Berkat hembusan angin yang
cukup kencang membuat kapal melaju dengan cepat menuju hilir sungai. Memasuki
senja, rombongan telah mendekati kota Lanfeng. Si jurumudi telah menurunkan
jangkar dan segera menyiapkan makan malam. Selagi mereka hendak bersantap,
tiba-tiba terdengar suara orang berseru lantang di daratan, “Permisi, numpang
tanya! Apakah para kesatria dari Perguruan Huashan berada di dalam kapal ini?”
Sebelum Yue Buqun menjawab,
Dewa Ranting Persik sudah mendahului berteriak, “Benar, para kesatria gagah
dari Lembah Persik dan Perguruan Huashan berada di kapal ini. Ada urusan apa?”
“Syukurlah kalau demikian,”
seru orang itu gembira. “Kami sudah menunggu sehari semalam di sini. Ayo,
lekas, lekas kita bawa ke sana!”
Terlihat belasan orang
laki-laki kekar terbagi dalam dua barisan berjalan keluar dari sebuah pondok
beratap jerami dengan memikul belasan peti berwarna merah secara berpasangan.
Seorang laki-laki berbaju biru dan bertangan kosong mendekati kapal, lalu
berkata sambil memberi hormat, “Majikan kami mendengar bahwa Pendekar Linghu
sedang tidak enak badan. Beliau merasa ikut prihatin. Sebenarnya majikan kami
ingin datang menjenguk langsung, namun sayang ada urusan lain di tempat jauh
yang tidak bisa ditinggalkan. Maka, majikan kami hanya bisa memberi perintah
melalui merpati pos kepada kami supaya mengantarkan sedikit hadiah kepada
Pendekar Linghu. Mohon Pendekar Linghu sudi menerima.”
Dua barisan orang kekar itu
lantas berjalan ke atas kapal. Belasan peti merah tersebut mereka letakkan di
atas geladak kapal.
Linghu Chong berseru
keheranan. Ia lalu bertanya, “Aku yang bernama Linghu Chong. Bolehkah aku
bertanya siapakah majikan kalian yang mulia? Sungguh aku merasa tidak pantas
menerima hadiah-hadiah ini.”
Laki-laki berbaju biru
menjawab, “Semoga Pendekar Linghu mendapat keberuntungan dan lekas pulih
kembali. Untuk itu kami harap Pendekar Linghu suka menjaga diri baik-baik.”
Usai berkata demikian, orang itu memberi hormat dan kemudian melangkah pergi.
Linghu Chong yang masih
terheran-heran pun berkata sendiri, “Sungguh aneh. Entah siapa orang yang telah
mengirimkan hadiah-hadiah ini untukku.”
Kelima Dewa Lembah Persik
tidak mampu menahan diri dan segera berkata bersamaan, “Ayo kita buka saja
semuanya!”
Kakek-kakek aneh itu lantas
berhamburan maju dan membuka tutup peti-peti merah tersebut. Tampak sebagian
berisi macam-macam makanan lezat. Ada panggang ayam, daging babi, dan makanan
lain yang cocok untuk minum arak. Selain itu ada pula ginseng, tanduk rusa,
sarang burung walet, jamur emas, dan obat-obatan lain yang tidak ternilai
harganya. Dua peti terakhir berisi penuh dengan emas dan perak. Sepertinya
disediakan sebagai bekal perjalanan Linghu Chong. Meskipun tadi si laki-laki
berbaju biru menyebutkan “sedikit hadiah” namun pada kenyataannya sama sekali
tidak dapat disebut sedikit.
Begitu melihat kue, manisan,
buah-buahan, dan berbagai makanan di dalam peti tersebut, kelima Dewa Lembah
Persik tanpa disuruh segera mengambil dan memasukkannya ke dalam mulut sambil
berteriak-teriak, “Enak sekali! Sungguh lezat!”
Linghu Chong memeriksa setiap
peti dengan saksama namun sama sekali tidak menemukan adanya kartu nama ataupun
catatan dan tanda pengenal sehingga ia tidak menemukan petunjuk dari mana
sebenarnya hadiah-hadiah tersebut berasal.
Segera ia berkata kepada Yue
Buqun, “Guru, urusan ini benar-benar membuat saya bingung. Pengirim hadiah ini
tampaknya tidak punya maksud jahat, juga tidak sedang bergurau dengan kita.”
Usai berkata demikian ia lantas mengambilkan makanan tersebut untuk guru dan ibu-gurunya,
serta adik-adik seperguruan semua.
Yue Buqun mengamati Enam Dewa
Lembah Persik yang sepertinya baik-baik saja dan tidak mengalami tanda-tanda
keracunan pada wajah mereka. Ia lalu bertanya, “Apakah kau punya kawan
persilatan yang tinggal di daerah sini?”
Linghu Chong berpikir sejenak,
kemudian menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada.”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda yang cukup ramai. Terlihat ada delapan orang
penunggang kuda tiba. Seorang di antaranya berseru, “Apakah Pendekar Linghu
dari Perguruan Huashan ada di sini?”
“Ya, ya! Dia ada di sini!”
seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan. “Barang enak apa lagi yang kalian antar
kemari?”
“Ketua perkumpulan kami
mendengar perihal kedatangan Pendekar Linghu di kota Lanfeng. Beliau juga
mendengar bahwa Pendekar Linghu gemar minum arak. Maka, kami diperintah untuk
mencari enam belas macam arak pilihan untuk kemudian khusus diantar kemari.
Semoga Pendekar Linghu dapat menikmatinya sebagai teman perjalanan,” kata orang
tadi.
Sesudah dekat, terlihat pada
pelana kedelapan ekor kuda masing-masing tergantung dua guci arak. Pada setiap
guci terdapat label bertuliskan nama arak yang bersangkutan, seperti Arak
Istana Bermutu Tinggi, Arak Fen Unggulan, ada pula Arak Shaoxing Merah. Ternyata
keenam belas guci arak itu masing-masing berisi jenis arak yang berbeda pula.
Linghu Chong merasa bahwa tidak ada hadiah yang lebih baik daripada enam belas
guci arak tersebut. Ia lalu memberi hormat dan berkata, “Maafkan atas
kebodohanku ini. Mohon diberi tahu dari perkumpulan manakah saudara-saudara ini
berasal? Siapa pula nama Saudara yang terhormat?”
Orang itu tertawa dan
menjawab, “Ketua perkumpulan kami telah berpesan agar kami jangan sampai
menyebutkan nama perkumpulan kepada Pendekar Linghu. Ketua kami berkata bahwa
hadiah dari perkumpulan kami sangat kecil sehingga jika kami menyebutkan nama
perkumpulan kami tentu hanya akan membuat malu saja.” Begitu ia memberi
isyarat, serentak para penunggang kuda lainnya pun mengangkat guci-guci arak
itu ke atas geladak kapal.
Dari dalam kabin kapal Yue
Buqun mengamat-amati kedelapan orang itu. Mereka semua terlihat sangat cekatan.
Masing-masing tangan membawa sebuah guci arak dan kaki mereka dapat melompat ke
atas kapal dengan gesit dan ringan. Dari gerakan mereka tidak ada yang istimewa
sehingga dapat dipastikan mereka bukan berasal dari suatu perguruan yang sama,
melainkan dari sebuah perkumpulan. Hanya saja, mereka tidak mau menyebutkan
dari perkumpulan mana mereka berasal.
Setelah mengusung keenam belas
guci arak tersebut ke atas kapal, kedelapan orang itu lantas memberi hormat
kepada Linghu Chong, kemudian melompat ke atas kuda masing-masing dan melaju
pergi dengan cepat.
Linghu Chong tersenyum kepada
Yue Buqun dan berkata, “Guru, kejadian ini benar-benar sangat aneh. Entah
siapakah yang sengaja bercanda dengan mengirim arak sebanyak ini?”
“Apakah ini perbuatan Tian
Boguang? Ataukah mungkin Biksu Bujie?” ucap Yue Buqun sesudah termenung
sejenak.
“Benar juga. Kelakuan kedua
orang itu memang aneh dan sukar diduga. Bisa jadi ini hasil perbuatan mereka,”
jawab Linghu Chong. “Hei, Enam Dewa Lembah Persik, kita punya banyak arak.
Apakah kalian tidak ingin minum?”
“Tentu saja! Tentu saja! Mana
mungkin kami tidak mau?” sahut Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.
Dewa Akar Persik dan Dewa
Dahan Persik masing-masing langsung mengangkat sebuah guci arak, kemudian
menuang isinya ke dalam mangkuk. Seketika bau wangi pun menusuk hidung. Tanpa
segan-segan keenam orang aneh itu lantas meneguk sendiri arak enak itu.
Linghu Chong juga menuang
semangkuk dan disuguhkannya kepada Yue Buqun, “Guru, silakan mencicipi. Arak
ini kelihatan enak.”
Yue Buqun hanya mengerutkan
kening.
Lao Denuo segera menanggapi,
“Guru, tiada salahnya kalau kita tetap berhati-hati. Kita tidak tahu arak ini
pemberian siapa. Siapa tahu di dalam arak ini terdapat sesuatu yang
mencurigakan?”
“Benar juga,” jawab Yue Buqun
ambil mengangguk. “Chong’er, lebih baik kita berhati-hati.”
Namun begitu mencium bau arak
yang wangi itu, Linghu Chong merasa tidak tahan lagi. Sambil tertawa ia
berkata, “Umur saya tidak lama lagi. Jika arak ini mengandung racun juga tidak
masalah bagi saya.” Usai berkata demikian ia lantas mengangkat mangkuk dengan
kedua tangan. Hanya beberapa kali teguk saja seluruh isi mangkuk itu sudah
berpindah ke dalam perutnya.
Sambil menjilat-jilat bibir
pemuda itu memuji, “Hm, arak bagus! Arak bagus!”
Tiba-tiba terdengar suara
orang memuji dari tepi sungai, “Arak bagus! Sungguh menakjubkan!”
Linghu Chong segera menoleh ke
arah datangnya suara. Tampak di bawah pohon Liu ada seorang laki-laki
berpakaian sastrawan yang kotor dan lusuh. Tangan kanan laki-laki itu sedang
menggoyang-goyang sebuah kipas rusak, sambil kepalanya mendongak dan mencium
bau arak yang tersebar dari arah kapal. Ia kemudian memuji lagi, “Benar-benar
arak yang sedap!”
Linghu Chong tertawa dan
menyapa si sastrawan, “Saudara belum mencicipi, bagaimana bisa mengetahui baik
atau jeleknya arak ini?”
“Dari baunya saja aku sudah
tahu kalau itu adalah Arak Fen Unggulan yang sudah berumur enam puluh dua
tahun,” jawab si sastrawan dekil.
Wawasan Linghu Chong dalam
memahami arak telah berkembang pesat di atas rata-rata setelah ia menerima
pelajaran dari Lu Zhuweng di Pondok Bambu Hijau. Sebenarnya ia sudah menduga
kalau Arak Fen Unggulan yang ia minum tadi berusia sekitar enam puluh tahun,
namun sungguh aneh si sastrawan dengan yakin bisa menebak kalau arak itu
berusia enam puluh dua tahun. Mungkin saja si sastrawan terlalu berlebihan.
Berpikir demikian, ia pun berkata, “Jika Saudara tidak menolak, silakan naik
kemari untuk minum beberapa cawan.”
Si sastrawan dekil menggeleng
dan berkata, “Aih, kita belum saling kenal, hanya secara kebetulan saja bertemu
di sini. Dengan mencium bau arak dari sini saja aku sudah mengganggu, mana mungkin
aku berani mencicipi arak Saudara yang enak itu? Aku sungguh tidak berani,
tidak berani!”
“Pepatah mengatakan, Di atas
samudra, setiap orang adalah saudara,” ujar Linghu Chong sambil tertawa. “Dari
ucapan Saudara tadi jelas Saudara adalah sesepuh ahli arak. Justru aku ingin
minta beberapa petunjuk dari Tuan. Silakan naik ke atas perahu dan jangan
segan-segan lagi. Di kapal ini juga ada guruku, Tuan Yue, dan ibu-guruku,
Nyonya Yue.”
Mendengar itu, perlahan-lahan
si sastrawan menyusuri papan titian ke atas kapal. Sesudah berhadapan ia
membungkuk dan memberi hormat, kemudian berkata, “Aku bermarga Zu, sama seperti
dalam kata ‘zuzong’ yang berarti ‘kakek moyang’. Aku adalah keturunan jauh Zu
Ti dari zaman Dinasti Han, yang selalu bangun pagi untuk berlatih setiap
mendengar ayam berkokok. Namaku adalah Qianqiu, yang berarti seribu musim semi,
sebagai kiasan panjang umur. Mohon dijawab siapakah marga Saudara yang mulia,
dan nama Saudara yang harum?”
“Margaku rangkap, yaitu
Linghu, dan namaku tunggal, yaitu Chong,” jawab Linghu Chong.
“Hmm, marga yang bagus,
namanya juga baik,” ujar Zu Qianqiu. “Pada zaman Dinasti Tang, ada tokoh besar
yang menjadi perdana menteri, bernama Linghu Chu, juga Linghu Xian.” Usai
berkata demikian ia pun mendaratkan kaki di atas geladak kapal.
Linghu Chong tersenyum. Dalam
hati ia berkata, “Aku mengundangmu minum arak. Sudah tentu kau mengumbar pujian
untukku.” Kemudian ia menuangkan arak ke dalam mangkuk dan menyuguhkannya
kepada Zu Qianqiu sambil berkata, “Silakan minum!”
Zu Qianqiu sendiri berusia
sekitar lima puluhan. Wajahnya pucat kekuningan, matanya sayu, dan hidungnya
kemerah-merahan pertanda ia sering minum arak. Bagian depan bajunya agak
mengkilap karena terkena minyak. Saat ia mengulurkan tangan, tampak kuku
jarinya kotor kehitaman. Tubuhnya kurus kering, namun perutnya terlihat buncit.
Ketika Linghu Chong
menyuguhkan semangkuk arak, Zu Qianqiu tidak langsung menerima, namun berkata,
“Saudara Linghu, meski kau memiliki arak bagus, namun sayang sekali kau tidak
punya wadah yang bagus. Sungguh sangat disayangkan!”
“Di tengah perjalanan yang ada
hanya mangkuk kasar dan cawan lama. Harap Tuan Zu dapat memakluminya,” ujar
Linghu Chong.
“Tidak bisa begitu! Tidak bisa
begitu!” kata Zu Qianqiu sambil menggeleng. “Ternyata kau belum terlalu paham
seni minum arak. Kau tidak boleh mengabaikan soal wadah. Dalam seni minum arak
juga harus memperhatikan cawan yang dipakai untuk minum pula. Arak tertentu
harus diminum memakai cawan tertentu pula. Kalau minum arak Fen harus memakai cawan
kumala. Dalam sebuah syair dari zaman Dinasti Tang menyatakan, mangkuk kumala
dapat menambah keindahan warna arak.”
“Tepat sekali!” jawab Linghu
Chong.
Zu Qianqiu melanjutkan sambil
menunjuk sebuah guci arak, “Lihat guci itu yang berisi Arak Putih dari Timur
Laut. Rasa sangat enak, namun baunya kurang harum. Maka, sebaiknya arak ini
diminum memakai cawan dari cula badak. Hendaknya kau tahu bahwa cawan kumala
bisa menambah keindahan warna arak, sedangkan cawan dari cula badak bisa
menambah wangi bau arak. Ternyata orang zaman kuna tidak membohongi kita.”
Di pinggir kota Luoyang,
Linghu Chong telah mendapatkan pelajaran dari Lu Zhuweng mengenai berbagai
macam jenis arak ternama, baik itu asal-usul, aroma, ataupun bagaimana cara
pembuatannya. Namun mengenai wadah untuk seni meminum arak, ia sama sekali
tidak mendapat pengetahuan. Kini begitu mendengar Zu Qianqiu berbicara dengan
penuh keyakinan, membuat pemuda itu bagaikan mendapat pencerahan.
Zu Qianqiu melanjutkan, “Untuk
meminum arak dari buah anggur, sebaiknya memakai cawan kemilau. Puisi dari
zaman kuna berbunyi, ‘Arak anggur yang istimewa telah memenuhi cawan kemilau.
Maksud hati hendak meminum, namun suara musik pipa telah memanggilku kembali
memacu kuda.’ Arak anggur berwarna kemerah-merahan, kurang menunjukkan semangat
kepahlawanan jika diminum kaum laki-laki seperti kita. Namun jika arak anggur
dituang ke dalam cawan kemilau, maka warnanya menjadi merah menyala seperti
darah. Meminum arak seperti meminum darah. Yue Fei menulis dalam puisinya, ‘Cita-citaku
setinggi langit, ingin memakan daging bangsa Hu untuk penawar rasa lapar, dan
sambil bersenda gurau aku ingin meminum darah Xiongnu untuk pembunuh rasa
haus.’ Benar-benar hebat!”
Linghu Chong hanya bisa
mengangguk-angguk. Pengetahuannya mengenai seni sastra sangat terbatas,
sehingga saat Zu Qianqiu membacakan beberapa puisi kuna, ia sering tidak
memahami apa isinya. Namun begitu sampai pada kalimat “sambil bersenda gurau
aku ingin meminum darah Xiongnu untuk pembunuh rasa haus” benar-benar membuat
semangatnya bangkit karena menurutnya, kalimat ini benar-benar menggelorakan
jiwa kepahlawanan.
Zu Qianqiu kemudian menunjuk
sebuah guci dan berkata, “Arak gandum adalah arak paling tua dalam sejarah umat
manusia. Yi Di yang hidup di zaman Dinasti Xia pada masa kepemimpinan Raja Yu
telah menemukan cara pembuatan arak jenis ini. Ketika Raja Yu meminumnya, ia
sangat menyukai rasanya. Saudara Linghu, pada umumnya orang-orang
berpengetahuan sempit, hanya mengetahui kalau Raja Yu telah berhasil
mengendalikan banjir besar, hingga sangat dihormati sepanjang masa bahkan di
alam baka. Namun sesungguhnya penemuannya yang lebih besar bukanlah cara
pengendalian banjir. Kau tahu apakah itu?”
“Cara pembuatan arak!” sahut
Linghu Chong dan Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.
“Tepat sekali!” kata Zu
Qianqiu yang kemudian diikuti suara gelak tawa mereka berdelapan.
“Untuk meminum arak gandum
harus memakai cangkir jue yang terbuat dari perunggu supaya kesan antik tetap
terjaga,” lanjut Zu Qianqiu. “Sedangkan untuk arak beras, meskipun terbuat dari
beras pilihan, memang rasanya lezat tetapi kurang manis dan terlalu ringan.
Untuk meminumnya, kita perlu menggunakan gantang besar supaya dapat
memperlihatkan kesan gagah dan wibawa.”
Linghu Chong menukas, “Aku
hanyalah orang pedalaman yang kurang berpendidikan. Aku sama sekali tidak tahu
kalau ada hubungan sedemikian rupa antara arak dengan wadah untuk meminumnya.”
Zu Qianqiu lalu menepuk pelan
sebuah guci arak yang bertuliskan nama “Arak Seratus Rumput”. Ia kemudian
berkata, “Untuk membuat Arak Seratus Rumput, seseorang harus mengumpulkan
berbagai macam jenis rumput dan merendamnya dalam arak bermutu tinggi. Hal ini
akan membuat aroma arak bertambah wangi, sehingga yang menciumnya seperti
berjalan di tengah padang rumput. Sebelum meminum saja sudah membuat mabuk.
Untuk meminum Arak Seratus Rumput, harus menggunakan cangkir yang terbuat dari
rotan tua berusia seratus tahun, yang dapat menambah wangi aroma arak.”
“Mencari rotan tua berusia
seratus tahun tentu sangat sulit,” kata Linghu Chong menanggapi.
“Saudara Linghu, apa yang kau
katakan itu tidak benar,” ujar Zu Qianqiu dengan wajah bersungguh-sungguh.
Dibandingkan dengan rotan tua berusia seratus tahun, arak tua berusia seratus
tahun jauh lebih sulit ditemui. Coba bayangkan, kau bisa pergi ke hutan
belantara nun jauh di sana untuk menemukan rotan tua berusia seratus tahun.
Namun terhadap arak berusia seratus tahun, tentu setiap orang ingin meminumnya.
Setelah diminum tentu akan habis begitu saja, sedangkan cangkir yang terbuat
dari rotan tua berusia seratus tahun masih bisa digunakan ribuan kali, dan
tetap ada.”
“Ah, tepat sekali! Aku sungguh
bodoh. Terima kasih atas pencerahan ini,” jawab Linghu Chong.
Sejak tadi Yue Buqun
memerhatikan setiap perkataan Zu Qianqiu yang terkesan berlebihan tetapi jika
dipikirkan memang masuk akal. Saat itu ia melihat Dewa Ranting Persik, Dewa
Dahan Persik, dan yang lain sedang sibuk membuka tutup guci Arak Seratus Rumput
dan membiarkan isinya berceceran membasahi meja, seolah mereka tidak menyadari
betapa bernilainya arak tersebut. Meskipun Yue Buqun tidak terlalu suka minum
arak, namun ia dapat mencium bau arak tersebut sangat wangi dan menyengat. Ia
sadar kalau arak tersebut golongan kelas satu, namun sungguh sayang kalau
disia-siakan Enam Dewa Lembah Persik begitu saja.
Terdengar Zu Qianqiu
melanjutkan, “Untuk meminum Arak Shaoxing Merah, kita gunakan cawan porselen
kuna, dan yang paling baik adalah cawan dari Dinasti Song Utara. Cawan dari
Dinasti Song Selatan juga bisa digunakan, namun mutunya lebih rendah. Cawan
dari zaman Lima Dinasti memang yang paling baik, namun sudah sangat langka.
Kalau cawan dari Dinasti Yuan agak kasar dan tidak aturan. Untuk meminum Arak
Bunga Pir, tentu saja harus menggunakan cawan dari zamrud. Bai Yuji dalam puisinya
yang berjudul Pemandangan Musim Semi di Hangzhou berkata, ‘Kain lengan baju
warna merah yang dipakai gadis penenun sutra mencerminkan daun pohon kesemak,
dan bendera hijau zamrud pada kedai arak mengimbangi Arak Bunga Pir.’ Coba
bayangkan, kedai arak di Hangzhou menjual Arak Bunga Pir dan mereka memasang
bendera hijau zamrud di luar. Warnanya benar-benar membuat warna arak semakin
menyala. Nah, apabila kita ingin meminum Arak Embun Kumala, maka dapat
menggunakan cawan kaca bening. Dalam arak jenis ini terdapat gelembung udara
yang jika dilihat dari cawan kaca bening akan terlihat semakin indah, seperti
manik-manik.”
“Tut… tut… tut…! Kau hanya
meniup terompetmu sendiri!” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis menyela
pembicaraan. Ia adalah Yue Lingshan yang berkata sambil menunjuk-nunjuk pipi
kanannya.
“Shan’er, kau jangan lancang!”
bentak Yue Buqun. “Apa yang dikatakan Tuan Zu masuk akal.”
“Masuk akal bagaimana?” balas
Yue Lingshan. “Kalau minum arak sekadar untuk bersenang-senang atau membangkitkan
semangat memang boleh saja. Tapi kalau siang dan malam menenggak arak melulu
dengan bermacam-macam aturan yang dinamakan seni segala, apakah itu perbuatan
seorang kesatria besar?”
“Ucapan nona ini jelas salah,”
kata Zu Qianqiu. “Apakah Liu Bang bukan seorang kesatria besar? Jika bukan
karena ia sedang mabuk dan berhasil memenggal seekor ular putih, mana mungkin
ia bisa mendirikan Dinasti Han yang turun-temurun sampai ratusan tahun?
Bukankah Fan Kuai juga seorang kesatria besar? Dalam Perjamuan Hongman, ia
telah mengiris daging di atas perisai dan minum arak memakai topi perang.
Bukankah tindakannya itu mencerminkan kegagahannya?”
“Jika Tuan Zu sudah tahu
arak-arak di sini bagus semua, dan juga kau katakan kalau kaum kesatria suka
minum arak, lantas mengapa sejak tadi tidak juga minum?” ujar Linghu Chong
dengan tertawa.
Zu Qianqiu menjawab, “Sejak
tadi aku sudah bilang, kalau minum arak tanpa memakai wadah yang tepat hanya
akan menyia-nyiakan arak bagus saja.”
“Ah, dari tadi kau hanya
membual tentang cawan zamrud, cawan kemilau, cawan cula badak, atau apapun
namanya. Di dunia ini mana ada cawan arak seperti itu?” tiba-tiba Dewa Dahan
Persik mengejek. “Seandainya benar-benar ada paling-paling hanya satu-dua macam
saja. Siapa orangnya yang mampu memiliki cawan selengkap itu?”
“Seorang pria berbudi yang
anggun, apalagi seorang penyair, yang sangat peduli terhadap nilai arak bagus
sudah tentu memilikinya,” jawab Zu Qianqiu. “Kalau minum gaya keledai seperti
kalian, tentu bisa memakai sembarangan wadah. Bisa memakai mangkuk besar atau
cawan kasar seadanya.”
“Memangnya kau ini seorang
pria berbudi yang anggun?” tanya Dewa Daun Persik.
“Hm, tidak terlalu banyak,
juga tidak terlalu sedikit, aku memiliki ciri-ciri pria berbudi yang anggun,”
jawab Zu Qianqiu.
“Hahaha. Jika begitu, cawan
untuk meminum kedelapan macam arak bagus ini ada berapa macam yang kau punya?”
tanya Dewa Daun Persik sambil bergelak tertawa.
“Dikatakan banyak juga tidak,
dikatakan sedikit juga tidak. Tapi untuk setiap jenis aku membawanya,” sahut Zu
Qianqiu.
“Pembual! Pembual!” teriak
Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.
“Bagaimana kalau kita bertaruh
saja?” ajak Dewa Akar Persik tiba-tiba. “Jika kau benar-benar membawa kedelapan
macam cawan itu, biarlah nanti akan kami makan satu demi satu cawan-cawan itu
ke dalam perut. Sebaliknya kalau kau tidak punya cawan yang kau katakan itu,
lantas bagaimana?”
“Jika begitu aku yang akan
memakan cawan dan mangkuk arak yang kasar ini satu per satu ke dalam perutku,”
sahut Zu Qianqiu.
“Bagus, bagus!” sorak Enam
Dewa Lembah Persik. “Coba kita lihat bagaimana dia….”
Belum selesai mereka berkata,
tiba-tiba Zu Qianqiu sudah mengeluarkan sebuah cawan dari balik bajunya. Cawan
itu halus mengkilap, jelas merupakan sebuah cawan kumala yang sangat indah,
putih seperti susu kambing.
Enam Dewa Lembah Persik sangat
terkejut sehingga tidak melanjutkan olok-olok mereka. Mereka melihat Zu Qianqiu
kembali mengeluarkan cawan dari balik bajunya. Berturut-turut ia mengeluarkan
cawan zamrud, cawan cula badak, cawan rotan tua, cawan perunggu, cawan kemilau,
cawan kaca bening, dan cawan porselen kuna. Tidak berhenti sampai di situ, Zu
Qianqiu terus menerus mengeluarkan cawan jenis lain. Ada cawan emas gemerlapan,
ada cawan perak berukir indah, ada cawan batu berwarna-warni, ada pula cawan
gading gajah, cawan gigi harimau, cawan kulit kerbau, cawan bumbung bambu,
cawan kayu merah tua, dan lain-lain. Ada yang berukuran besar, ada yang
berukuran kecil; satu sama lain tidak sama.
Tentu saja semua yang melihat
terkesima. Siapa pun tidak menduga bahwa di balik baju si sastrawan miskin
ternyata tersimpan cawan arak sebanyak itu.
“Sekarang bagaimana?” tanya Zu
Qianqiu dengan suara bangga kepada Dewa Akar Persik.
Dewa Akar Persik terlihat
sedih. Ia berkata, “Aku kalah. Biarlah kumakan kedelapan cawan arak itu.” Usai
berkata ia pun mengambil cawan rotan tua, dan langsung menggigitnya sampai
patah jadi dua. Setelah itu ia mengunyah benda tersebut mentah-mentah dan
sesaat kemudian sudah masuk ke dalam perutnya.
Saat semua orang terperanjat
melihat pemandangan itu, Dewa Akar Persik sudah menjulurkan tangan hendak
mengambil cawan cula badak. Tiba-tiba Zu Qianqiu mengayunkan tangan kirinya ke
bawah untuk memukul pergelangan Dewa Akar Persik. Dewa Akar Persik pun
menggeser tangannya, kemudian berbalik hendak memegang pergelangan Zu Qianqiu.
Namun Zu Qianqiu segera menyentilkan jari tengah ke arah telapak tangan lawan.
Dewa Akar Persik terkejut dan lekas-lekas menarik kembali tangannya, sambil
berseru, “Hei, kenapa kau tidak ingin aku memakannya?”
“Sudahlah, aku mengaku kalah.
Anggap saja kedelapan cawanku ini kau santap masuk ke dalam perutmu. Kalau kau
makan semua, aku yang rugi,” jawab Zu Qianqiu. Mendengar itu semua orang pun
tertawa geli.
Pada mulanya Yue Lingshan
sangat takut kepada Enam Dewa Lembah Persik. Namun sejak menyaksikan tingkah
laku dan ucapan mereka yang lucu dan tidak menunjukkan kekerasan dan kekejaman,
maka rasa ngeri gadis itu sedikit demi sedikit mulai pudar. Dengan memberanikan
diri, ia pun bertanya, “Hei, bagaimana rasanya? Enak atau tidak rasa cawan
rotan itu?”
“Pahit sekali! Apanya yang
enak?” jawab Dewa Akar Persik dengan mulut masih berkecap-kecap.
Zu Qianqiu mengerutkan kening,
lalu berkata, “Aduh, cawan rotan tua telah kau makan. Sekarang Arak Seratus
Rumput ini harus diwadahi dengan cawan apa? Kau sudah mengacaukan rencanaku.
Ah, terpaksa memakai cawan kayu merah tua ini saja untuk sementara.”
Usai berkata demikian ia lalu
mengeluarkan selembar saputangan dari balik bajunya. Dengan saputangan itu ia
mengusap sisa-sisa pecahan cawan rotan tua, kemudian mengelap cawan kayu merah
tua luar dalam. Saputangan tersebut terlihat kotor dan lembab, sehingga cawan
kayu merah tua semakin dilap bukannya menjadi bersih, justru semakin kotor.
Setelah dirasa cukup, Zu Qianqiu
kemudian menaruh cawan kayu merah tua itu di atas meja yang dijajar dalam satu
baris bersama ketujuh cawan yang lain. Cawan-cawan yang tidak terpakai segera
dimasukkan kembali ke dalam baju. Kemudian sastrawan dekil itu menuang delapan
jenis arak seperti arak Fen, arak Anggur, arak Shaoxing Merah, dan yang lain ke
dalam delapan cawan sesuai penjelasannya tadi.
Setelah menuang arak, Zu
Qianqiu menghela nafas lega, kemudian berkata, “Saudara Linghu, kedelapan cawan
arak ini sudah kuisi penuh. Silakan kau minum satu per satu. Setelah selesai,
aku akan minum delapan cawan juga. Setelah itu kau bisa membandingkan perbedaan
cita rasa arak-arak ini dengan arak-arak yang pernah kau minum memakai wadah
biasa.”
“Baiklah!” sahut Linghu Chong.
Ia lalu mengangkat cawan kayu merah tua. Dalam sekali teguk Arak Seratus Rumput
dalam cawan itu sudah berpindah ke dalam kerongkongannya. Tiba-tiba, ia merasa
arak itu sangat pedas, dan ketika masuk ke dalam perut terasa begitu panas.
Dengan perasaan sangat terkejut ia berpikir, “Aneh, mengapa rasa arak ini
sedemikian aneh?”
Terdengar Zu Qianqiu berkata,
“Cawan-cawan arakku ini merupakan benda pusaka di mata kaum pecinta arak.
Sebelum ini aku pernah berjumpa para pengecut yang tidak berani minum cawan
kedua karena arak pada cawan pertama terasa aneh. Terus terang, selama ini aku
belum pernah melihat ada orang yang sanggup minum delapan cawan berturut-turut
sampai tuntas.”
Linghu Chong tertegun dan
berpikir, “Hidupku tidak akan lama lagi. Andaikan di dalam arak ini terdapat racun
juga aku tidak peduli. Apa bedanya mati karena sakit atau karena racun? Mati
lebih baik daripada diejek orang ini.”
Maka Linghu Chong pun
mengangkat cawan kedua dan ketiga kemudian meminum isinya sampai habis. Ia
merasa arak yang satu terasa pahit, sedangkan yang lain terasa pesing, ama
sekali tidak terasa seperti arak enak.
Ketika hendak mengambil cawan
keempat, tiba-tiba terdengar Dewa Akar Persik berseru kesakitan, “Aduh, celaka!
Perutku rasanya panas seperti dibakar!”
“Kau telah memakan mentah-mentah
cawan rotan tua, sudah tentu perutmu kesakitan,” kata Zu Qianqiu dengan
tertawa. “Cawan rotan tua keras seperti baja. Entah bagaimana perutmu bisa
mencerna cawanku? Kau harus banyak minum obat cuci perut agar dapat terkuras
keluar. Kalau tidak dapat keluar terpaksa kau harus meminta pertolongan Ping
Yizhi si Tabib Sakti Pembunuh untuk membedah perutmu dan mengeluarkan cawan
itu.”
Mendengar itu Linghu Chong pun
berpikir, “Ada yang tidak beres pada kedelapan cawan ini. Dewa Akar Persik
telah memakan cawan rotan tua. Seandainya rotan tua adalah benda keras seperti
baja yang tidak bisa dicernakan, lantas mengapa bisa menimbulkan rasa panas
seperti dibakar? Tapi, ah, seorang laki-laki sejati memandang kematian seperti
pulang ke rumahnya, kenapa harus takut? Semakin ampuh racunnya justru semakin
baik bagiku.”
Maka sekali teguk ia kembali
menghabiskan isi secawan arak pula.
“Kakak Pertama, arak itu
jangan diminum lagi! Jangan-jangan di dalamnya terdapat racun,” tiba-tiba Yue
Lingshan berseru demikian. “Kau pernah membutakan mata lima belas orang.
Hendaknya kau waspada mereka menuntut balas kepadamu.”
“Tuan Zu ini seorang laki-laki
yang suka berterus terang, rasanya tidak mungkin meracuni diriku. Lagipula,
kalau dia mau membunuhku bisa segera dilakukannya. Untuk apa harus banyak
membuang waktu dan pikiran?” kata Linghu Chong sambil tersenyum sedih. Dalam
hati ia justru berharap di dalam arak tersebut benar-benar ada racun mematikan.
Jika tubuhnya nanti roboh dan sekarat, ia ingin tahu apakah Yue Lingshan akan
bersedih atau tidak.
Dengan berpikir demikian
pemuda itu pun kembali meminum dua cawan arak. Arak pada cawan keenam ini
terasa asam dan asin, bahkan agak berbau bacin. Rasanya benar-benar tidak
pantas disebut sebagai “arak bagus”, bahkan sama sekali tidak pantas disebut
“arak”. Waktu mengalir masuk ke dalam perut, mau tidak mau keningnya pun
berkerut.
Melihat Linghu Chong minum
enam cawan berturut-turut, Dewa Dahan Persik penasaran dan ingin ikut mencoba.
Ia pun berkata, “Sisa dua cawan itu berikan saja kepadaku.” Bersamaan dengan
itu, tangannya pun menjulur untuk mengambil cawan ketujuh dan kedelapan.
Dengan cekatan Zu Qianqiu
mengayunkan kipasnya untuk memukul punggung tangan Dewa Dahan Persik sambil
berkata, “Sabar dulu! Sabar dulu! Setiap orang harus minum delapan cawan secara
berurut-turut sampai habis, supaya dapat merasakan intisari arak-arak ini yang
sesungguhnya.”
Dewa Dahan Persik melihat
pukulan kipas tersebut disertai tenaga yang cukup kuat shingga jika mengenai
sasaran mungkin bisa membuat tulangnya patah. Maka dengan gerakan cepat ia pun
memutar tangan untuk merebut kipas tersebut sambil berkata, “Kalau aku ingin
minum dua cawan ini, kau mau apa?”
Melihat gerakan lawan, Zu
Qianqiu tiba-tiba membuka kipas tersebut dan ujungnya pun menjentik jari
telunjuk Dewa Dahan Persik. Dalam keterkejutannya, Dewa Dahan Persik menarik
tangannya yang terkena pukul itu. Ia merasa jarinya agak kesemutan. Sambil
menjerit kesakitan, ia pun mundur satu langkah.
Zu Qianqiu berseru, “Saudara
Linghu, lekas habiskan isi kedua cawan itu!”
Tanpa pikir lagi, Linghu Chong
langsung meraih dua cawan terakhir dan segera menghabiskan isinya. Keduanya
tidak berbau, namun yang satu terasa pedas di lidah. Bahkan tenggorokan pun
terasa seperti diiris-iris dengan pisau tajam. Sementara itu arak terakhir
rasanya seperti obat. Bahkan, baunya terasa sangat menyengat melebihi obat yang
paling keras.
Melihat raut muka Linghu Chong
terkesan aneh, Enam Dewa Lembah Persik merasa penasaran, kemudian serentak
bertanya, “Bagaimana rasanya setelah kedelapan arak itu kau minum habis?”
Zu Qianqiu menyela, “Kalau
kedelapan arak itu diminum bersama, sudah tentu rasanya enak sekali. Hal ini
tertulis pada naskah kuna.” sela Zu Qianqiu.
“Omong kosong! Naskah kuna
apa?” seru Dewa Dahan Persik.
Tiba-tiba, empat saudaranya
berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu masing-masing sudah memegangi tangan dan
kaki Zu Qianqiu. Entah isyarat apa yang disampaikan Dewa Dahan Persik yang
membuat keempat saudaranya maju menyerang secara mendadak? Cara yang dilakukan
Enam Dewa Lembah Persik benar-benar aneh dan sangat cepat. Apa yang mereka
lakukan dalam sekejap sudah membuat Zu Qianqiu berada di pihak yang kalah.
Meskipun memiliki ilmu silat hebat, namun Zu Qianqiu sepertinya sulit untuk
meloloskan diri.
Sekejap kemudian, tubuh Zu
Qianqiu sudah terangkat ke atas. Para murid Huashan menjerit kaget karena
teringat nasib Cheng Buyou yang terpotong menjadi empat oleh tindakan Enam Dewa
Lembah Persik seperti itu. Sementara itu, Zu Qianqiu memeras otak untuk menyelamatkan
dirinya. Tiba-tiba ia berteriak nyaring, “Di dalam arak terdapat racun! Aku
punya penawarnya!”
Keempat Dewa Lembah Persik
yang menangkap Zu Qianqiu itu sudah minum arak cukup banyak dari dalam guci.
Begitu mendengar bahwa arak-arak tersebut mengandung racun membuat mereka
tertegun. Meskipun hanya sedetik keempat orang itu lengah, namun Zu Qianqiu
mampu memanfaatkannya dengan baik. Sekuat tenaga ia berteriak, “Kentut bau!
Kentut bau!”
Dalam sekejap keempat Dewa
Lembah Persik merasakan sesuatu terlepas dari cengkeraman tangan mereka.
Selanjutnya terdengar suara benturan keras dan tahu-tahu atap kabin sudah
jebol. Zu Qianqiu sendiri sudah menghilang entah ke mana. Sepertinya sastrawan
miskin itu melompat ke atas dan menerobos atap kabin untuk meloloskan diri.
Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik sudah tidak memegang apa-apa,
sedangkan Dewa Bunga Persik dan Dewa Daun Persik masing-masing hanya tinggal
memegang sepatu kotor dan butut.
Gerakan kelima Dewa Persik
juga tidak kalah cepat. Serentak mereka melesat memburu ke tepi sungai, namun
bayangan Zu Qianqiu sudah terlanjur lenyap tanpa jejak.
Tiba-tiba di ujung jalan sana
terdengar suara seseorang berteriak, “Zu Qianqiu, kau bajingan busuk! Lekas
kembalikan obatku! Kurang satu biji saja tentu akan kucincang dan kukuliti
tubuhmu!”
Mendengar ada orang
memaki-maki Zu Qianqiu jelas membuat kelima Dewa Lembah Persik merasa senang.
Mereka pun berhenti untuk melihat siapa kiranya orang yang bisa mereka jadikan
teman tersebut. Sekejap kemudian terlihat sosok seperti segumpal bola daging
yang menggelinding datang mendekat. Setelah jaraknya semakin dekat barulah
kelima Dewa Lembah Persik dapat mengenali kalau bola daging tersebut ternyata
seorang laki-laki yang bertubuh sangat pendek dan gemuk, bahkan sulit disebut
manusia.
Orang itu bertubuh sangat
aneh. Kepalanya tampak pipih, tapi sangat lebar dan menempel di atas bahu tanpa
leher, bagaikan sewaktu bayi ada orang yang memukul kepalanya sehingga melesak
ke bawah. Pipi, hidung, dan mulutnya pun seperti ikut tertarik pula. Melihat
kedatangannya, semua orang merasa geli dan berpikir, “Tabib Ping bertubuh
pendek, tapi orang ini jauh lebih pendek. Mungkin lebih tepat kalau orang ini
disebut cebol.”
Jika Ping Yizhi memiliki bahu
yang lebar, maka orang cebol ini memiliki dada dan punggung yang lebar. Lengan
orang ini juga terlihat sangat pendek. Seperti hanya memiliki lengan bawah
saja, tanpa lengan atas. Begitu pula dengan perutnya yang buncit, sepertinya
hanya memiliki perut bagian atas saja.
Begitu tiba di samping kapal,
orang cebol bulat tersebut bertanya sambil berkacak pinggang dengan angkuh,
“Bangsat keparat Zu Qianqiu itu bersembunyi di mana?”
“Bangsat keparat itu sudah
lari,” jawab Dewa Akar Persik dengan tertawa. “Dia berkaki panjang dan bisa
berlari dengan kencang. Jika kau menggelinding pelan-pelan seperti itu mana
mungkin bisa mengejarnya?”
Si cebol bulat hanya
mendengus, matanya yang kecil melotot, sambil mulutnya berteriak pula, “Pilku!
Pilku!” Usai berkata demikian ia langsung melesat naik ke atas kapal.
Setelah masuk ke dalam kabin,
si bulat mengendus-endus dan langsung menyambar sebuah cawan di atas meja.
Setelah mencium bau cawan kosong itu, seketika wajahnya berubah hebat.
Sebelumnya ia sudah berwajah jelek, dan kini berubah menjadi sangat buruk,
bahkan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dari raut mukanya jelas menujukkan
kalau hatinya sangat berduka. Ia kemudian memeriksa tujuh cawan kosong lainnya
dan mengendus baunya satu per satu.
“Pilku!” kata si bulat sampai
delapan kali. Setelah itu ia terlihat semakin sedih dan tidak seorang pun yang
tahan melihat perubahan wajahnya. Orang itu kemudian jatuh terduduk di lantai
kabin dan menangis keras-keras.
Melihat itu, kelima Dewa
Lembah Persik semakin heran dan tertarik. Beramai-ramai mereka mengelilingi si
bulat dan bertanya, “Hei, mengapa menangis?
“Apakah kau dipermainkan si
bangsat keparat Zu Qianqiu?”
“Jangan bersedih, nanti kalau
kami menemukan bangsat keparat itu pasti akan kami robek tubuhnya menjadi
empat!”
Si bulat berseru, “Pilku sudah
lenyap. Dia telah mencampur pilku dengan arak dan meminum semuanya. Meskipun
dia dibunuh juga tidak ada gunanya lagi.”
Terkejut hati Linghu Chong
mendengarnya. Segera ia bertanya, “Pil apa yang kau maksudkan itu?”
Si bulat menjawab sambil
berlinang air mata, “Selama dua belas tahun aku bersusah payah mencari dan
mengumpulkan bahan obat berharga seperti ginseng seribu tahun, jamur fuling,
jamur lingzi, tanduk rusa, empedu beruang, umbi shouwu, notoginseng, dan
sebagainya. Setelah bahan-bahan itu melewati sembilan kali penyulingan dan
sembilan kali pengeringan, aku akhirnya berhasil membuat delapan butir Pil
Penyambung Nyawa yang mujarab bisa membangkitkan orang mati. Namun, siapa
sangka si keparat Zu Qianqiu mencuri kedelapan pilku yang berharga itu kemudian
mencampurnya dengan arak untuk diminum semuanya?”
Linghu Chong semakin terkejut.
Ia bertanya, “Apakah kedelapan pil itu memiliki rasa yang sama?”
“Jelas tidak,” sahut si bulat.
“Ada yang berbau bacin, ada yang rasanya sangat pahit, ada yang rasanya pedas
dan panas seperti dibakar, ada yang tajam seperti pisau mengiris. Asalkan sudah
minum kedelapan butir Pil Penyambung Nyawa tersebut, biarpun luka dalam atau
luka luar yang bagaimana parahnya juga pasti akan tertolong.”
“Wah, celaka!” seru Linghu
Chong sambil menepuk paha. “Zu Qianqiu memang telah mencuri Pil Penyambung
Nyawa itu, tapi dia tidak memakannya sendiri, melainkan….”
“Melainkan apa?” desak orang
cebol bulat itu.
“Dia mencampur kedepalan pil
itu ke dalam arak dan menipu aku supaya meminumnya,” jawab Linghu Chong.
“Sungguh aku tidak tahu kalau di dalam arak terdapat obat berharga seperti itu.
Justru aku mengira dia hendak meracuni aku.”
“Racun? Racun nenekmu!”
damprat si bulat dengan gusar. “Jadi kau yang telah meminum Pil Penyambung Nyawa
buatanku itu?” Sampai di sini matanya tampak memandang dengan tajam.
Linghu Chong menjawab, “Zu
Qianqiu mengisi delapan cawan arak dan membujuk aku supaya meminum habis
semuanya. Memang benar ada yang rasanya panas, ada yang rasanya pahit, ada yang
berbau bacin, dan macam-macam lagi. Tapi aku sendiri tidak melihat ada pil di
dalamnya.”
Orang cebol bulat itu melotot
ke arah Linghu Chong, kemudian tubuhnya melesat ke atas dan menubruk ke arah
pemuda itu.
Sejak tadi kelima Dewa Lembah
Persik sudah bersiap-siap. Maka begitu tubuh si bulat melompat ke atas, empat
orang dari mereka lantas secepat kilat memegang kedua tangan dan kedua kaki
orang itu.
“Jangan bunuh dia!” demikian
Linghu Chong buru-buru berteriak.
Sungguh aneh, begitu keempat
Dewa Lembah Persik menangkap sasaran, langsung saja kedua kaki dan tangan orang
cebol bulat itu masuk ke dalam tubuh. Kini si bulat tak ubahnya seperti bola
daging berukuran besar. Keempat Dewa Lembah Persik berteriak kaget, kemudian
menarik dengan lebih keras. Kedua tangan dan kaki orang itu terlihat mulur ke
arah yang berlawanan. Semakin kuat tarikan, semakin mulur pula akibatnya,
bagaikan seekor kura-kura mengeluarkan keempat kakinya dari dalam cangkang.
“Jangan bunuh dia!” kembali
Linghu Chong berseru.
Keempat Dewa Lembah Persik
sedikit mengendurkan tarikan mereka. Lengan dan kaki orang cebol itu kembali
masuk ke dalam tubuh, dan kini ia bagiakan segumpal bola daging kembali.
Dewa Buah Persik yang masih
terbaring di atas tandu ikut berseru, “Wah, sungguh menarik! Ilmu apakah yang
kaupakai itu?”
Waktu keempat Dewa Lembah
Persik menarik lagi, kembali tangan dan kaki si bulat terulur keluar sampai
lebih dari satu meter panjangnya. Melihat kejadian yang lucu itu, Yue Lingshan
dan murid perempuan Huashan lainnya serentak tertawa geli.
“Hei, bagaimana kalau kami
tarik tangan dan kakimu supaya lebih panjang, sehingga kau akan terlihat lebih
tampan?” seru Dewa Akar Persik bergurau.
“Aih, jangan!” teriak orang
itu.
Keempat Dewa Lembah Persik
tertegun dan bertanya, “Mengapa?”
Di luar dugaan, begitu
merasakan cengkeraman tersebut melemah, si bulat langsung meronta sekerasnya
dan melepaskan diri dari keempat orang itu. “Blang!” tahu-tahu dasar kapal
diterobos olehnya sehingga berlubang besar. Gerakannya bagaikan belut melarikan
diri melalui sungai.
Di tengah suara jeritan para
penumpang, terlihat air Sungai Kuning terus naik melalui lubang di dasar kapal
dan menyembur ke atas.
Lekas-lekas Yue Buqun memberi
perintah, “Masing-masing orang membawa barangnya sendiri-sendiri dan lekas
melompat ke daratan!”
Lubang yang jebol di dasar
kapal itu sekitar empat kali satu meter lebih. Air sungai pun mengalir sangat
cepat. Hanya sekejap saja air di dalam kabin itu sudah setinggi lutut.
Untungnya saat itu kapal masih tertambat di tepi sungai sehingga mereka bisa
melompat ke daratan dengan selamat. Sementara itu, si jurumudi tampak gelisah
dan bingung melihat kapalnya mulai tenggelam. Linghu Chong pun menghiburnya,
“Kau tidak perlu khawatir, berapa harga kapalmu akan kuganti dua kali lipat.”
Diam-diam Linghu Chong juga
sangat heran. “Selama ini aku tidak mengenal Zu Qianqiu, tapi mengapa orang itu
sengaja mencuri obat milik orang cebol bulat tadi untuk diminumkan kepadaku?”
Ketika sedikit saja ia mengerahkan tenaga dalam, seketika pada titik Dantian di
bawah perut terasa panas membara, namun kedelapan hawa murni yang saling serang
di tubuhnya masih terasa bergejolak pula.
Sementara itu Lao Denuo telah
menyewa sebuah kapal baru dan memimpin para murid Huashan lainnya untuk
memindahkan semua perbekalan dari kapal lama. Linghu Chong mengambil beberapa
tahil perak yang entah pemberian dari siapa untuk dibayarkan kepada si jurumudi
kapal lama yang telah rusak tadi.
Sebenarnya Yue Buqun sudah
merasa tidak nyaman atas segala peristiwa aneh yang baru saja terjadi. Bisa
dikatakan semua orang yang baru saja datang satu per satu tidak diketahui
maksud dan tujuannya, serta mereka seperti menyembunyikan sesuatu. Maka,
keputusan yang paling baik adalah segera pergi melanjutkan perjalanan secepatnya.
Namun, saat itu hari sudah mulai gelap, sehingga sangat tidak aman untuk
melanjutkan perjalanan karena sungai di daerah itu berliku-liku. Terpaksa ia
memutuskan untuk beristirahat saja di dalam kapal.
Enam Dewa Lembah Persik juga
merasa kesal karena berturut-turut mereka dua kali gagal menangkap Zu Qianqiu
dan si cebol bola daging. Lolosnya dua orang itu merupakan kejadian langka di
dalam hidup mereka. Maka, keenam orang aneh itu pun berusaha membual untuk
menutupi rasa malu. Namun pada akhirnya mereka tetap saja tidak menemukan
alasan yang tepat. Maka untuk menghibur diri, keenam orang aneh itu pun
melanjutkan minum arak, dan sesudah mabuk mereka langsung tertidur pulas.
Yue Buqun berbaring di dalam
kabin. Telinganya mendengar suara arus sungai saat bermacam-macam pikiran
terlintas dalam benaknya. Beberapa waktu kemudian terdengar suara orang
berjalan dari jauh dan semakin mendekat. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah
kaki dari arah tepi sungai yang mendekat ke arah kapal. Segera ia bangkit dan
mengintip dari balik jendela kabin. Di bawah cahaya rembulan ia dapat melihat
secara samar-samar dua sosok bayangan berlari dari kejauhan. Tiba-tiba seorang
dari mereka mengangkat tangan memberi isyarat. Ia dan temannya lantas berhenti
kira-kira beberapa meter dari perahu.
Kedua orang itu pun
berbisik-bisik satu sama lain. Melihat itu, Yue Buqun menarik nafas dalam-dalam
untuk mengerahkan ilmu Awan Lembayung. Dengan ilmu tersebut, penglihatan dan
pendengarannya tidak hanya bertambah peka, namun juga memiliki jangkauan yang
lebih jauh.
Maka terdengarlah seseorang di
antara kedua yang datang itu berkata dengan suara lirih, “Pasti kapal ini. Tadi
ketika orang tua dari Huashan menyewa kapal, aku langsung membuat tanda pada
atap kabin kapal itu. Aku yakin tidak salah.”
“Baiklah, mari kita segera
pulang dan melapor kepada Paman Guru Zhu!” kata yang satu lagi. “Kakak, sejak
kapan Partai Seratus Racun kita bermusuhan dengan Perguruan Huashan? Mengapa
Paman Guru Zhu mengerahkan begitu banyak tenaga demi menghadang mereka secara
besar-besaran?”
Begitu mendengar nama “Partai
Seratus Racun”, seketika jantung Yue Buqun berdebar kencang dan keringat dingin
pun mengalir di punggungnya. Akibatnya, kekuatan ilmu Awan Lembayung sempat
menurun sehingga suara percakapan kedua orang yang sangat lirih itu tidak
terdengar. Ketika ia mengerahkan ilmunya kembali, terdengar suara orang pertama
berkata, “…bukan menghadang, tetapi Paman Guru Zhu telah berhutang budi pada
seseorang, dan orang itu meminta Paman Guru Zhu untuk menanyakan tentang
seseorang…. Sama sekali bukan….”
Suara orang itu sangat pelan
sehingga Yue Buqun tidak mampu mendengarnya secara utuh, melainkan
terputus-putus. Ketika Yue Buqun berusaha meningkatkan kekuatan ilmu Awan
Lembayung, terdengar langkah kaki kedua orang itu yang semakin menjauh.
Akhirnya, bayangan mereka pun lenyap ditelan kegelapan malam.
“Bagaimana bisa Perguruan
Huashan kami memiliki permusuhan dengan Partai Seratus Racun?” tanya Yue Buqun
dalam hati. “Si Paman Guru Zhu yang mereka bicarakan tadi kemungkinan besar
adalah Zhu Caoxian yang selama ini menjadi ketua partai tersebut. Ia dijuluki
sebagai ‘Si Ahli Racun Setengah Mati’. Julukan itu merupakan keahliannya yang
bisa meracun orang lain sampai setengah mati. Memang, meracuni orang lain
sampai mati adalah perkara mudah dan setiap orang bisa melakukannya. Tapi
bagaimana dengan meracuni orang sampai setengah mati? Jika dia sudah turun
tangan, tentu si korban akan menderita seperti diiris-iris ribuan pisau atau
digigit puluhan ribu serangga. Tentu yang ini lebih menderita daripada mati.
Namun demikian, si korban sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melakukan
bunuh diri meskipun ia menginginkannya, sehingga satu-satunya jalan adalah
menyerah dan mengikuti segala perintah Zhu Caoxian. Boleh dikata dua perkumpulan
ahli racun terbesar di dunia persilatan adalah Sekte Lima Dewi dan Partai
Seratus Racun. Meskipun Partai Seratus Racun masih di bawah Sekte Lima Dewi,
namun tetap tidak bisa dipandang remeh. Tapi mengapa Ketua Zhu ingin menghadang
perjalanan kami? Lantas, siapakah orang yang telah menyuruhnya?”
Setelah memeras otak Yue Buqun
akhirnya sampai pada dugaan, bahwa kemungkinan besar pihak yang menyuruh Partai
Seratus Racun adalah Feng Buping dengan Kelompok Pedangnya, atau mungkin lima
belas penjahat bercadar yang tempo hari dibutakan mata mereka oleh Linghu
Chong.
Tiba-tiba dari arah tepi
sungai terdengar suara seorang perempuan berkata dengan suara lirih, “Apakah
keluargamu benar-benar memiliki kitab Pedang Penakluk Iblis?”
Yue Buqun mengenali suara perempuan
itu yang tidak lain adalah Yue Lingshan. Tanpa perlu menunggu dengan siapa
putrinya bicara, ia langsung dapat menyimpulkan tentu ia adalah Lin Pingzhi.
Tiba-tiba Yue Buqun terperanjat karena menyadari kalau hubungan kedua muda-mudi
itu semakin hari semakin dekat. Pada siang hari mereka tidak berani menunjukkan
perasaan masing-masing karena takut menjadi bahan olok-olok murid-murid Huashan
lainnya. Maka, keduanya pun memilih bertemu secara sembunyi-sembunyi di tepi
sungai setelah lewat tengah malam. Andai saja Yue Buqun tadi tidak mengerahkan
ilmu Awan Lembayung untuk menguping pembicaraan musuh, tentu hal ini akan luput
dari perhatiannya. Untuk mengerahkan ilmu Awan Lembayung diperlukan tenaga yang
sangat besar. Itulah sebabnya ia tidak sembarangan mengerahkan ilmu hebat
tersebut, kecuali benar-benar dibutuhkan. Sama sekali ia tidak menyangka kalau
selain ilmu itu bisa digunakan untuk menyelidiki pembicaraan musuh, ternyata
juga berhasil menangkap pembicaraan anak perempuannya.
Terdengar suara Lin Pingzhi
berkata, “Keluargaku memang memiliki ilmu Pedang Penakluk Iblis dan aku sendiri
sudah sering memperlihatkannya padamu. Tapi, mengenai keberadaan kitabnya aku
masih belum yakin.”
“Jika begitu mengapa kakek dan
kedua pamanmu mencurigai Kakak Pertama telah menggelapkan kitab warisan
keluargamu itu?” tanya Yue Lingshan.
“Mereka yang menaruh curiga.
Aku sendiri tidak mencurigai Kakak Pertama,” kata Lin Pingzhi.
“Oh, ternyata kau ini baik
hati juga,” sahut Yue Lingshan. “Kau membiarkan orang lain curiga, sedangkan
kau tidak menaruh curiga.”
Lin Pingzhi menghela napas dan
berkata, “Jika keluargaku benar-benar memiliki kitab pusaka yang hebat itu,
tentu Biro Ekspedisi Fuwei kami tidak mungkin hancur dan keluargaku tidak
sampai berantakan oleh perbuatan Perguruan Qingcheng.”
“Ucapanmu memang masuk akal,”
ujar Yue Lingshan. “Jika demikian, mengapa kau tidak membela Kakak Pertama
sewaktu ia didesak oleh kakek dan paman-pamanmu?”
“Aku sendiri tidak mendengar
langsung bunyi wasiat yang ditinggalkan Ayah dan Ibu. Maka itu, aku tidak punya
alasan untuk membela Kakak Pertama,” jawab Lin Pingzhi.
“Jadi, di dalam hatimu sedikit
banyak ada rasa curiga,” desak Yue Lingshan.
“Ah, jangan sekali-kali
berkata demikian! Kalau sampai didengar Kakak Pertama bukankah akan merusak
hubungan baik sesama saudara seperguruan?” ujar Lin Pingzhi.
“Hm, ternyata kau ini pandai
berpura-pura,” ejek Yue Lingshan. “Kalau curiga ya bilang curiga saja, kalau
tidak ya bilang tidak. Bila aku menjadi dirimu tentu sudah lama aku menanyai Kakak
Pertama terang-terangan.” Gadis itu diam sejenak, kemudian melanjutkan,
“Watakmu ternyata sangat mirip dengan Ayah. Kalian sama-sama menaruh curiga
bahwa Kakak Pertama telah menggelapkan kitab pusaka itu.”
“Guru juga curiga?” Lin
Pingzhi menukas.
Yue Lingshan tertawa, “Hehe,
jika kau sendiri tidak curiga mengapa memakai istilah ‘juga’? Aku bilang
sifatmu mirip dengan Ayah, ada masalah hanya disimpan dalam hati, sedangkan
mulut sama sekali tidak menyinggungnya secara langsung.”
Pada saat itulah tiba-tiba
datang sebuah perahu mendekati kapal besar yang ditumpangi rombongan Huashan.
Dari perahu tersebut terdengar suara seseorang membentak, “Kalian binatang
kecil tak tahu malu! Berani sekali sembarangan menuduh orang! Linghu Chong
seorang kesatria gagah sejati, untuk apa ia menginginkan kitab itu? Kalian
hanya berani membicarakan sampah di belakang punggung orang. Huh, si tua ini
tidak terima!”
Suara bentakan yang sangat
keras itu membuat terkejut para penumpang kapal Huashan sehingga mereka
terbangun dari tidur masing-masing. Bahkan, burung-burung yang bertengger di
pepohonan dekat tepi sungai pun terbangun dan berhamburan ke udara. Sekejap
kemudian, dari atas perahu tadi tampak seorang bertubuh tinggi besar melompat
ke arah Lin Pingzhi dan Yue Lingshan dengan gerakan sangat cepat. Di bawah
cahaya rembulan pemandangan tersebut bagaikan seekor burung elang sedang
menyambar dua anak ayam.
Lin Pingzhi dan Yue Lingshan
sama-sama tidak membawa senjata. Terpaksa mereka memasang kuda-kuda, bersiap
untuk melawan dengan tangan kosong. Sementara itu Yue Buqun yang mengintip dari
balik jendela dapat mengetahui kehebatan tenaga dalam raksasa itu dari
teriakannya. Dari gerakan si raksasa yang melesat di udara pun menunjukkan
kehebatan ilmu silatnya.
Melihat keselamatan putrinya
dalam bahaya, Yue Buqun pun berteriak dengan nada cemas, “Tunggu! Jangan sakiti
mereka!” Ia kemudian menjebol jendela dan melesat ke arah tepi sungai. Namun
baru saja tubuhnya melayang di udara, dilihatnya tangan pria raksasa itu sudah
berhasil mencengkeram tubuh Lin Pingzhi dan Yue Lingshan masing-masing dengan
satu tangan dan membawa kedua muda-mudi itu lari ke depan sana.
Yue Buqun terkejut luar biasa.
Begitu kaki menginjak tanah segera ia mengerahkan segenap tenaga untuk
mengejar. Pedang yang sudah siap di tangan lantas ditusukkan ke arah punggung
raksasa itu dengan jurus Pelangi Putih Menembus Sinar Mentari.
Karena si penculik bertubuh
tinggi besar, langkahnya pun lebar pula. Cukup maju satu langkah ke depan saja
ia sudah bisa menghindari tusukan Yue Buqun. Begitu Yue Buqun melompat maju dan
kembali menusuk dengan jurus Pedang Zhongping, lagi-lagi raksasa itu melangkah
lebar ke depan sehingga serangan tersebut kembali luput.
Yue Buqun kembali melancarkan
serangan untuk menusuk punggung si raksasa, kali ini dengan jurus Angin Semilir
Membuai Rasa. Sebagai seorang yang menjunjung tata krama, ia lebih dulu
berteriak, “Awas seranganku!”
Pada saat ujung pedang hanya
berjarak tiga puluh senti dari punggung si raksasa, tiba-tiba ada hembusan angin
menerpa tubuh Yue Buqun dari arah samping, disusul kemudian dengan munculnya
seseorang yang menusukkan dua jarinya ke arah matanya, membuat ketua Perguruan
Huashan itu melompat mundur. Ternyata ada orang lain yang bersembunyi dan
mendadak muncul membantu si raksasa.
Saat itu pengejaran Yue Buqun
sudah sampai di ujung jalan. Cahaya rembulan tertutup oleh sederet rumah yang
berbaris rapi di pinggiran jalan. Dalam kegelapan malam itu reaksi Yue Buqun
sungguh luar biasa. Begitu mengetahui munculnya orang lain dari balik
persembunyian, ia langsung menghindar sekaligus melancarkan serangan balasan
tanpa mengetahui seperti apa wajah si musuh baru.
Si penyerang menundukkan
kepala dan kemudian mendesak maju. Jari tangannya mencengkeram untuk menyerang
titik Zhongwan di perut Yue Buqun. Tanpa pikir lagi Yue Buqun segera balas
menendang. Terpaksa orang itu berputar ke arah lain dan kembali menyerang
punggung sang ketua Huashan. Tanpa membalik tubuh, Yue Buqun segera menebas ke
belakang dengan cepat dan jitu. Tapi orang itu kembali bisa menghindarkan diri.
Menyusul kemudian ia menubruk maju hendak mengincar tenggorokan Yue Buqun.
Diam-diam Yue Buqun merasa
gusar karena orang itu berani menghadapi pedangnya dengan tangan kosong. Segera
ia mengumpulkan semangat dan menlancarkan serangan berputar ke arah kepala
lawan. Buru-buru si lawan menyentil batang pedang dengan jarinya sehingga
posisinya berubah agak miring. Keadaan ini justru dimanfaatkan Yue Buqun untuk
melanjutkan serangan dengan gerakan menebas. Kali ini serangan tersebut
berhasil melemparkan topi lawan yang ternyata menutupi kepala yang botak.
Jelas-jelas si penyerang ini seorang biksu. Darah tampak mengalir dari dahinya
yang tergores pedang Yue Buqun.
Biksu tersebut kemudian
menghentakkan kakinya lalu melesat pergi ditelan kegelapan malam. Karena ia
melarikan diri ke arah yang berbeda dengan si raksasa yang menculik Yue
Lingshan dan Lin Pingzhi, maka Yue Buqun memutuskan untuk tidak mengejarnya.
Pada saat itulah Ning Zhongze
datang dengan pedang terhunus. Ia bertanya, “Di mana Shan’er?”
“Ke sana! Mari kita kejar!”
jawab Yue Buqun sambil menunjuk ke depan dengan ujung pedangnya.
Suami-istri itu lantas
mengejar ke arah larinya si raksasa tadi. Tak lama kemudian sampailah mereka di
suatu persimpangan jalan. Keduanya menjadi bingung entah ke mana si penculik
berlari.
“Bagaimana ini? Bagaimana
ini?” tanya Ning Zhongze dengan nada gelisah.
“Orang yang menculik Shan’er
adalah teman Chong’er. Aku yakin mereka tidak akan berbuat macam-macam,” ujar
Yue Buqun berusaha menghibur sang istri. “Marilah kita kembali ke kapal untuk
menanyai Chong’er. Tentu dia mengetahui masalah ini.”
Ning Zhongze mengangguk sambil
menjawab, “Benar sekali. Aku dengar orang tadi membentak Shan’er dan Pingzhi
yang dianggapnya berani sembarangan memfitnah Chong’er. Entah apa yang menjadi
alasannya?”
“Tentu ada sangkut pautnya
dengan kitab Pedang Penakluk Iblis,” kata Yue Buqun.
Waktu mereka kembali ke kapal,
tampak Linghu Chong dan para murid lainnya sedang menunggu di tepi sungai dengan
penuh rasa khawatir. Setelah Yue Buqun dan Ning Zhongze masuk ke dalam kabin
kapal, mereka berniat memanggil Linghu Chong untuk ditanyai, namun tiba-tiba
terdengar suara teriakan, “Ada surat untuk Yue Buqun!” Lao Denuo dan beberapa
murid pria segera menghunus pedang dan berlari ke arah suara. Tak lama kemudian
mereka sudah kembali ke kapal. Lao Denuo masuk ke dalam kabin untuk melapor,
“Guru, kami menemukan selembar kain yang tertindih batu di atas tanah sana. Si
pengirim sudah pergi ketika kami datang.”
Yue Buqun menerima kain
tersebut dan memeriksanya dengan saksama. Sepertinya kain itu berasal dari
sobekan jubah biksu yang ditulisi dengan jari menggunakan tinta darah. Tulisan
tersebut berbunyi, “Kami akan mengembalikan putrimu yang bau di Lembah Lima
Raja Kejam.”
Yue Buqun menunjukkan kain itu
kepada sang istri dan berkata, “Tulisan ini dibuat oleh si biksu tadi.”
Ning Zhongze menganggapi
dengan gugup, “Darah… darah siapa yang dipakai menulis itu?”
“Jangan khawatir, pasti
darahnya sendiri. Aku tadi berhasil melukai dahinya,” jawab Yue Buqun
menenangkan istrinya. Ia kemudian bertanya kepada si jurumudi, “Berapa jauh
jarak dari sini ke Lembah Lima Raja Kejam?”
Jurumudi menjawab, “Kalau kita
berlayar pagi-pagi sekali, setelah melewati Kota Dongwa dan Jiuhe, maka kita
akan sampai di Kota Dongming. Lembah Lima Raja Kejam berada di sebelah timur
Dongming, dekat Heze. Lembah itu terletak di perbatasan Provinsi Henan dan
Shandong. Jika Tuan ingin pergi ke sana, mungkin kita bisa sampai setelah senja
besok.”
Yue Buqun menanggapi dengan
berdehem, sambil benaknya berpikir, “Mereka menantang aku untuk bertemu di
Lembah Lima Raja Kejam. Mau tidak mau aku harus datang ke sana. Tapi entah
berapa jumlah musuh yang menunggu di sana? Selain itu, mereka juga menangkap
Shan’er sebagai tawanan. Sepertinya dalam pertandingan ini kekalahanku sudah
ditentukan. Tipis harapan untuk menang.”
Sementara hatinya ragu-ragu,
tiba-tiba kembali terdengar suara teriakan orang dari arah daratan, “Keparat!
Di mana Enam Setan Lembah Persik berada? Aku kakek kalian, Zhong Kui, dewa
penangkap setan, datang hendak menangkap kalian!”
Mendengar itu, tentu saja Enam
Dewa Lembah Persik gusar bukan kepalang. Mereka pun memaki-maki dengan segala
macam kata-kata kotor. Kecuali Dewa Buah Persik yang masih terbaring lemah,
kelima orang kakaknya pun bersama-sama melompat ke tepi sungai. Mereka melihat
seorang laki-laki yang memakai kopiah panjang dan runcing berdiri di daratan
dengan memegang seperangkat panji berwarna putih, seperti yang biasa dibawa
pengurus jenazah.
Begitu melihat kelima Dewa
Lembah Persik turun dari kapal, ia langsung berbalik sambil berteriak, “Kalian
Enam Setan Lembah Persik adalah pengecut seperti tikus! Jika berani, ayo kejar
aku!” Usai berkata demikian orang berkopiah panjang itu pun melesat pergi.
Dewa Akar Persik dan keempat
adiknya semakin murka. Mereka pun bergegas mengejar si kopiah panjang. Namun
tak disangka, orang itu memiliki ilmu ringan tubuh tingkat tinggi. Dalam
sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Yue Buqun, Ning Zhongze, dan
beberapa murid Huashan juga turun dari kapal. Tiba-tiba Yue Buqun menyadari
sesuatu dan segera berteriak, “Ini adalah siasat ‘memancing harimau turun
gunung’. Semuanya segera kembali ke kapal!”
Pada saat itu sesosok bayangan
bulat menggelinding entah dari mana dan langsung menangkap kerah baju Linghu
Chong. Ia tidak lain adalah manusia cebol bulat yang tadi sore muncul.
“Ikut pergi denganku!” katanya
sambil menarik tubuh Linghu Chong.
Linghu Chong tidak memiliki
kekuatan untuk meronta. Namun tiba-tiba dari ujung jalan muncul sesosok
bayangan yang menerjang keluar dan langsung menendang si cebol bulat. Ternyata
si penyerang ini adalah Dewa Ranting Persik. Rupanya ia telah memisahkan diri
dari saudara-saudaranya yang berlari mengejar si kopiah panjang dan memilih
kembali ke kapal. Saat pengejaran tadi, diam-diam ia teringat kalau Dewa Buah
Persik masih di atas kapal dan bisa jadi kakek Zhong Kui keparat berkopiah
panjang tadi berlari memutar dan menangkap si adik bungsu tersebut. Begitu
kembali, ia melihat si cebol bulat menyeret tubuh Linghu Chong, sehingga ia pun
langsung melancarkan serangan untuk menolong.
Si bulat segera melepaskan
Linghu Chong kemudian dengan sekali lompat ia masuk ke dalam kabin kapal mendekati
Dewa Buah Persik yang masih terbaring lemah. Ia lantas mengangkat sebelah
kakinya hendak menginjak dada Dewa Buah Persik.
Kontan saja Dewa Ranting
Persik terkejut dan berteriak, “Jangan lukai adikku!”
“Aku ingin membunuhnya, peduli
apa denganmu?” seru si bulat.
Secepat kilat Dewa Ranting
Persik menyusul masuk ke dalam kabin. Ia lantas mengangkat tubuh Dewa Buah
Persik sekaligus bersama alas tidurnya.
Siasat si bulat berjalan
lancar. Ia lantas berbalik dan melompat ke daratan. Dalam sekali cengkeram ia
sudah menangkap Linghu Chong kembali. Tubuh pemuda itu kemudian dipanggulnya
dan segera dibawanya pergi.
Dewa Ranting Persik teringat
pada amanat Ping Yizhi supaya ia dan saudara-saudaranya selalu menjaga Linghu
Chong baik-baik. Kini Linghu Chong telah diculik orang. Bagaimana jika hal ini
sampai terdengar oleh Tabib Ping? Bukan tidak mungkin kalau Tabib Ping akan
memerintahkan supaya Dewa Buah Persik dibunuh sebagai hukuman. Mau tidak mau,
Dewa Ranting Persik harus mengejar si bulat dan merebut Linghu Chong. Akan
tetapi, ia juga tidak tega meninggalkan Dewa Buah Persik sendirian. Bagaimana
jika ada musuh lain yang datang menyerang? Mana mungkin Dewa Buah Persik bisa
mempertahankan diri? Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Ranting Persik pun
memanggul tubuh adik bungsunya itu dan membawanya serta mengejar si bulat.
Melihat itu Yue Buqun segera
memberi isyarat kepada sang istri, lalu berkata, “Kau jaga para murid, biar aku
yang menyusul ke sana untuk melihat apa yang terjadi.”
Ning Zhongze mengangguk paham.
Mereka merasa saat ini banyak musuh tak dikenal yang bisa datang setiap saat.
Jika ia ikut sang suami mengejar, bisa-bisa keselamatan para murid dalam
bahaya.
Ilmu ringan tubuh si bulat
sebenarnya masih di bawah Dewa Ranting Persik. Lebih-lebih dengan memanggul
tubuh Linghu Chong di atas bahu membuatnya harus menguras banyak tenaga untuk
berlari kencang. Namun Dewa Ranting Persik sendiri juga sedang menggendong Dewa
Buah Persik yang belum sembuh dari luka. Dalam hal ini ia sama sekali tidak
berani mengambil risiko karena khawatir luka adik bungsunya kembali kambuh
apabila terbentur sesuatu. Itu sebabnya Dewa Ranting Persik tidak berlari,
melainkan hanya berjalan dengan langkah lebar, sehingga tidak mampu mendekati
si bulat yang berlari di depannya.
Yue Buqun juga mengerahkan
ilmu ringan tubuh untuk mengejar mereka. Sedikit demi sedikit ia dapat menyusul
dan mendengar suara Dewa Ranting Persik berteriak-teriak, “Lepaskan Linghu
Chong! Jika tidak, maka aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia dan menghabisimu!”
Meskipun tubuh Dewa Buah
Persik lemah tak berdaya, tapi mulutnya tetap saja cerewet. Ia pun menanggapi
teriakan Dewa Ranting Persik yang menggendongnya, “Kakak Ketiga, bagaimana kau
bisa menghabisinya? Kakak Pertama dan yang lain tidak ada di sini. Biarpun kau
dapat menyusul si cebol bulat itu juga tak bisa mengapa-apakan dia. Kau bilang
akan mengejarnya sampai ke ujung dunia juga hanya omong kosong belaka, bukan?”
“Walaupun cuma omong kosong,
paling tidak bisa membuat dia takut, bukan? Lebih baik omong kosong daripada
tidak berbuat apa-apa,” kata Dewa Ranting Persik.
“Kau lihat sendiri, si cebol
bulat itu tetap berlari cepat, sama sekali tidak menjadi lambat. Itu berarti,
omong kosongmu tidak ada gunanya,” desak Dewa Buah Persik.
“Yah… dia memang tidak
memperlambat larinya. Tapi, percayalah padaku. Sebentar lagi dia pasti lebih
lambat,” balas Dewa Ranting Persik.
“Tetap saja kata-katamu salah.
Seharusnya tadi kau bilang ‘membuat lambat’, bukan ‘membuat takut’,” kata Dewa
Buah Persik.
“Pokoknya kata ‘membuat’ tetap
benar!” tukas Dewa Ranting Persik. Meskipun mulutnya berdebat dan tangannya
memanggul orang, namun kecepatan langkah kakinya sama sekali tidak berkurang.
Begitulah, tiga orang itu
berkejar-kejaran dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama
makin terjal, rupanya mereka sedang mendaki jalan pegunungan.
Tiba-tiba Yue Buqun menyadari
sesuatu. “Jangan-jangan si cebol itu mempersiapkan bala bantuan di lembah
pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh sangat
berbahaya jika aku sampai masuk ke dalam perangkapnya.”
Karena bimbang, Yue Buqun
memperlambat langkah kakinya. Dilihatnya si cebol bulat memanggul tubuh Linghu
Chong menuju ke sebuah rumah beratap genting di lereng gunung. Sesudah dekat ia
lantas melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok.
Dewa Ranting Persik yang
menggendong Dewa Buah Persik juga ikut melompati pagar tembok itu. Tapi
mendadak terdengar suara ia menjerit. Ternyata ia dan adik bungsunya telah
masuk ke dalam perangkap yang terpasang di balik pagar tembok tersebut.
Yue Buqun juga sudah mengejar
sampai di tepi pagar tembok itu. Tapi ia lantas berhenti dan memasang telinga.
Terdengar Dewa Buah Persik menggerutu, “Sudah kukatakan kepadamu agar
berhati-hati. Coba lihat, sekarang kau terperangkap di dalam jaring ini mirip
seekor ikan, sungguh sial!”
Dewa Ranting Persik menjawab,
“Pertama, bukan seekor tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku
berhati-hati?”
“Eh, dulu waktu masih kecil,
ketika kita pergi mencuri buah mangga di halaman rumah orang, bukankah pernah
kusuruh kau berhati-hati? Apa kau sudah lupa?” balas Dewa Buah Persik.
“Itu kejadian tiga puluh tahun
yang lalu, mana ada sangkut pautnya dengan yang sekarang ini?” sahut Dewa
Ranting Persik.
“Sudah tentu ada sangkut
pautnya,” kata Dewa Buah Persik. “Karena dulu kau kurang hati-hati sehingga
jatuh dari pohon dan ditangkap orang, lalu dihajar. Untung Kakak Pertama, Kakak
Kedua, dan yang lain datang menolong kita dan membunuh habis orang-orang itu
sekeluarga. Sekarang kau kurang hati-hati lagi sehingga kembali tertangkap
pula.”
“Apa susahnya? Kita tunggu
saja Kakak Pertama dan yang lain datang dan membunuh habis orang ini
sekeluarga,” kata Dewa Ranting Persik.
Terdengar si bulat mendengus
dan berkata, “Hm, kematian kalian dua Setan Lembah Persik sudah di depan mata,
tapi masih berani mengoceh akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut
kalian supaya telingaku tidak panas.”
Lalu terdengar dua kali suara
tamparan yang disusul kemudian Dewa Ranting Persik dan Dewa Buah Persik terdiam
seketika.
Yue Buqun masih memasang
telinga, namun tidak terdengar suara apa-apa lagi. Ia lantas memutar ke
belakang rumah. Tampak di luar pekarangan tumbuh sebuah pohon besar. Ia pun
memanjat pohon besar itu dan memandang ke dalam. Tampak sebuah pondok kecil
berdiri pada jarak belasan meter dari tembok luar.
Melihat nasib Dewa Ranting
Persik dan Dewa Buah Persik, Yue Buqun tidak berani masuk ke dalam pondok itu
karena yakin terdapat banyak perangkap di sana. Maka ia hanya bersembunyi di
atas pohon tersebut sambil mengerahkan ilmu Awan Lembayung untuk mendengarkan
pembicaraan di dalam pondok. Terdengarlah suara si bulat mendudukkan tubuh
Linghu Chong di atas kursi, kemudian bertanya, “Sesungguhnya si tua bangka Zu
Qianqiu itu ada hubungan apa denganmu?”
Linghu Chong menjawab, “Baru
pertama kali ini aku bertemu orang bernama Zu Qianqiu itu.”
“Kau masih berani berdusta,
hah?” bentak si bulat gusar, “Apa kau sudah lupa kalau sekarang sudah jatuh ke
tanganku? Tunggu saja, sebentar lagi kau pasti akan kubuat menderita sampai
mati.”
“Aku tahu kau sangat marah
karena pilmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja,” kata Linghu
Chong dengan tertawa. “Tapi jujur saja, aku merasa ragu jangan-jangan pilmu itu
tidak sehebat dugaanmu. Sudah sekian lama kutelan obatmu namun sedikit pun aku
tidak merasakan adanya perubahan.”
“Memangnya kau kira bisa
begitu cepat reaksinya?” kata si bulat makin gusar. “Datangnya penyakit
biasanya mendadak seperti gunung runtuh, tapi sembuhnya sedikit demi sedikit
seperti kepompong ulat sutra. Khasiat obatku itu baru dapat terlihat sesudah
sepuluh atau lima belas hari lagi.”
“Kalau begitu, mengapa kau
tidak menunggu sampai lima belas hari saja, supaya ketahuan bagaimana
khasiatnya?” ejek Linghu Chong.
“Kentut busuk!” bentak si
bulat. “Kau sudah memakan Pil Penyambung Nyawa secara licik. Akan kubunuh kau
sekarang juga!”
“Kalau kau bunuh aku, justru
membuktikan kalau Pil Penyambung Nyawa ternyata tidak bisa memperpanjang
nyawaku,” kata Linghu Chong.
“Huh, kau mati di tanganku,
tidak ada hubungannya dengan khasiat Pil Penyambung Nyawa,” balas si bulat.
“Baiklah, kalau kau mau
membunuhku boleh saja. Aku sudah tidak bertenaga dan tidak mampu melawan,” kata
Linghu Chong dengan tertawa.
“Huh, jangan harap kau bisa
mati dengan enak! Aku harus menanyaimu lebih dulu,” bentak si bulat. “Bedebah!
Zu Qianqiu adalah sahabatku selama puluhan tahun. Sekarang dia tega
mengkhianati kawan sendiri, tentu ada sebab-musababnya. Perguruan Huashan kalian
tidak ada artinya sama sekali di mata kami, Leluhur Tua Sungai Kuning. Dia
mencuri Pil Penyambung Nyawa milikku untuk diberikan kepadamu tentu bukan
karena kau ini murid Huashan. Pasti ada alasan lainnya. Aih, sungguh aneh,
sungguh aneh!” Sambil bicara sendiri, ia membanting kakinya di lantai dengan
sangat marah.
“Oh, aku tahu. Ternyata
julukanmu adalah Leluhur Tua Sungai Kuning. Maafkan aku kalau tidak
mengenalimu,” kata Linghu Chong.
“Dasar bodoh!” bentak si bulat
semakin kesal. “Aku seorang diri, mana bisa disebut Leluhur Tua Sungai Kuning?”
“Mengapa tidak bisa?” tanya
Linghu Chong heran.
“Leluhur Tua Sungai Kuning
terdiri dari dua orang, yang satu bermarga Lao, yang satu lagi bermarga Zu.
Mengapa begini saja tidak paham? Sungguh goblok!” gerutu si bulat. “Namaku Lao
Ye, atau Lao Touzi, sedangkan dia bernama Zu Zong atau Zu Qianqiu. Kami berdua
bersemayam di sepanjang lembah Sungai Kuning, sehingga kami disebut sebagai
Leluhur Tua Sungai Kuning.”
“Aneh, mengapa yang seorang
bermarga Lao, artinya tua, dan yang lain bermarga Zu, artinya leluhur?” tanya
Linghu Chong.
“Kau ini masih hijau seperti
katak dalam tempurung, sehingga tidak tahu kalau di dunia ini ada orang
bermarga Lao dan Zu,” kata si bulat. “Namaku Lao Ye, atau Lao Touzi. Kalau aku
tidak dipanggil Lao Ye, berarti aku dipanggil Lao Touzi.”
Linghu Chong tertawa
menanggapi, “Kalau begitu Zu Qianqiu bermarga Zu dan bernama Zong?”
“Benar!” jawab si bulat Lao
Touzi. Setelah diam sejenak ia melanjutkan, “Hei, kau tidak tahu nama Zu
Qianqiu, jika begitu mungkin kau memang tidak ada hubungan apa-apa dengannya.
Tapi, aih, jangan-jangan kau ini anaknya Zu Qianqiu?”
Linghu Chong bertambah geli
dan menyahut, “Bagaimana mungkin aku ini anaknya? Dia bermarga Zu, sedang aku
bermarga Linghu. Mana bisa keduanya dihubung-hubungkan?”
“Sungguh aneh,” gumam Lao
Touzi. “Dengan susah payah, dengan segala tipu daya akhirnya aku bisa meracik
delapan biji Pil Penyambung Nyawa yang sedianya hendak kugunakan untuk
mengobati penyakit putriku tercinta. Kau sendiri bukan anak Zu Qianqiu, tapi
mengapa dia mencuri obat itu untukmu?”
Mendengar itu barulah Linghu
Chong paham duduk perkara yang sebenarnya. Ia pun berkata, “Ternyata obat Tuan
Lao ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu tetapi terlanjur
kumakan. Sungguh aku merasa tidak enak hati. Aku tidak tahu penyakit apa yang
sedang diderita putrimu, tapi mengapa kau tidak meminta pertolongan kepada Ping
Yizhi, Si Tabib Sakti Pembunuh untuk mengobatinya?”
“Huh, siapa yang tidak tahu
bila sakit parah harus meminta pertolongan kepada Ping Yizhi? Aku tinggal di
Kaifeng, apa kau kira aku tidak kenal dia?” bentak Lao Touzi. “Dia menetapkan
peraturan bahwa setiap orang yang disembuhkan harus membunuh orang lain sebagai
pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, maka terlebih dulu
kubunuh lima orang anggota keluarga mertuanya. Dengan demikian barulah dia
merasa segan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya,
penyakit putriku yang aneh itu sudah ada sejak keluar dari kandungan ibunya.
Maka, ia pun memberikan resep Pil Penyambung Nyawa kepadaku. Kalau tidak –aku
sendiri bukan tabib– dari mana aku paham cara meracik obat segala?”
Linghu Chong heran dan
bertanya, “Kau telah meminta pertolongan kepada Tabib Ping untuk mengobati putrimu,
tapi mengapa malah membunuh lima anggota keluarga mertuanya?”
“Kau ini benar-benar sangat
tolol, harus dijelaskan sampai paham,” gerutu Lao Touzi. “Musuh Ping Yizhi
sebenarnya tidak banyak, apalagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis
dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi seumur hidup, Ping Yizhi
paling benci kepada ibu mertuanya. Karena takut istri, ia tidak berani membunuh
ibu mertuanya itu, sehingga akulah yang mewakilinya turun tangan. Sesudah aku
membunuh segenap keluarga istrinya, Ping Yizhi sangat senang dan mau mengobati
putriku dengan sungguh-sungguh.”
“Oh, ternyata demikian,” kata
Linghu Chong. “Padahal pilmu yang katanya sangat mujarab itu ternyata tidak
cocok untuk penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu sekarang?
Apakah kau masih bisa mengumpulkan bahan lagi dan meracik obat yang baru?”
Lao Touzi menjadi gusar dan
membentak, “Putriku paling lama bisa bertahan hidup sampai satu tahun lagi.
Mana sempat untuk mencari bahan-bahan yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang
tiada pilihan lain, terpaksa aku harus mengobatinya dengan caraku sendiri.”
Usai berkata demikian ia
lantas mengambil seutas tali untuk mengikat kaki dan tangan Linghu Chong
sekencang-kencangnyanya di kursi. Kemudian orang tua bertubuh cebol bulat itu
merobek baju bagian dada Linghu Chong sehingga terlihat kulit dadanya.
“Apa yang akan kau lakukan?”
tanya Linghu Chong gusar.
“Jangan terburu-buru! Sebentar
lagi kau akan tahu sendiri,” jawab Lao Touzi sambil menyeringai. Ia lalu
memindahkan tubuh Linghu Chong sekaligus beserta kursinya ke ruang belakang.
Setelah melewati dua buah ruangan, ia pun menyingkap tirai kain dan masuk ke
ruangan ketiga yang ternyata sebuah kamar tidur.
Berada di dalam kamar
tersebut, Linghu Chong merasa pengap luar biasa. Celah-celah jendela kamar
ditutup rapat dengan kertas sehingga benar-benar tidak tembus udara sedikit
pun. Selain itu terdapat pula dua buah anglo yang arangnya tampak membara
menghangatkan ruangan. Kelambu tempat tidur tampak menjulai rendah. Bau obat pun
menyengat memenuhi ruangan.
Si bulat Lao Touzi lantas
meletakkan Linghu Chong beserta kursinya di depan ranjang. Perlahan ia membuka
kelambu kemudian berkata dengan suara lembut, “Busi, bagaimana keadaanmu hari
ini?”
Linghu Chong merasa tidak
percaya pada apa yang baru saja ia dengar. “Apa? Anak gadisnya bernama Busi?
Busi artinya ‘tidak mati’. Kalau begitu nama lengkapnya pasti Lao Busi, artinya
‘sampai tua tidak mati’. Ah, aku tahu. Pasti gadis ini sejak bayi sudah
menderita penyakit aneh dan membuat ayahnya sangat takut kehilangan. Maka, si
bulat ini memberi nama anaknya Busi sebagai harapan agar sampai tua tidak mati.
Hei, namanya mengandung unsur ‘bu’, jika di Perguruan Huashan tentu ia satu
angkatan dengan guruku.” Berpikir demikian membuat Linghu Chong tersenyum geli.
Di atas ranjang tampak
berbaring seorang gadis dengan mata tertutup rapat. Wajah gadis itu pucat pasi
dengan rambut jarang dan agak kekuningan, terurai di atas selimut. Usia gadis
itu sekitar tujuh belas tahun.
“Ayah!” kata si gadis menyapa
dengan mata tetap terpejam.
“Busi sayang,” kata Lao Touzi,
“Pil Penyambung Nyawa yang Ayah racik untukmu sekarang sudah siap. Hari ini
bisa kau telan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh. Tidak lama lagi kau
dapat bangun dan bermain-main sepuas hati.”
Gadis itu hanya bersuara
sangat lirih, seolah tidak begitu tertarik pada ucapan sang ayah.
Linghu Chong dapat memahami
betapa besar cinta kasih Lao Touzi terhadap putrinya itu. Ia pun berpikir, “Hm,
Lao Touzi sengaja berbohong untuk menyenangkan hati anaknya.”
Lao Touzi kemudian meletakkan
lengannya pada punggung putrinya dan membantu gadis itu bangun, sambil berkata,
“Kau duduk saja agar lebih leluasa meminum obat ini. Obat ini tidak mudah
diperoleh, jadi jangan kau sia-siakan.”
Si gadis perlahan bangun
dengan dibimbing ayahnya. Lao Touzi kemudian mengambil dua buah bantal untuk
mengganjal punggung putrinya tersebut. Begitu membuka mata, Lao Busi sangat
heran melihat Linghu Chong. Ia pun bertanya, “Ayah, siapa … siapakah dia?”
“Dia? Oh, dia bukan orang. Dia
adalah obat,” jawab Lao Touzi sambil tersenyum.
“Dia obat?” tanya Lao Busi
agak bingung.
“Ya, dia adalah obat,” kata
Lao Touzi menegaskan. “Pil Penyambung Nyawa terlalu keras untuk ditelan begitu
saja olehmu. Maka itu Ayah berikan kepadanya untuk ditelan. Sekarang akan Ayah
ambil darahnya untuk kau minum.”
“Meminum darahnya? Apakah itu
tidak akan menyakitinya? Ini bukan cara yang bagus,” kata Lao Busi lirih.
“Tenang saja, orang ini dungu.
Dia tidak akan kesakitan,” kata Lao Touzi menenangkan.
“Oh,” kata Lao Busi yang
kemudian memejamkan matanya kembali.
Tentu saja Linghu Chong
terkejut dan sangat gusar mendengar kata-kata Lao Touzi. Ia bermaksud memaki
tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah menelan obat mujarab yang seharusnya
digunakan untuk menolong nyawa gadis ini. Walaupun tidak sengaja, tetap saja
aku yang telah membuat dia susah. Di samping itu, aku sendiri sudah kehilangan
semangat hidup. Tidak ada masalah jika sekarang darahku digunakan untuk
menolong jiwanya.”
Lao Touzi berdiri di samping
Linghu Chong. Ia siap menotok titik bisu pemuda itu jika sampai mengeluarkan
caci maki. Tak disangka, raut muka Linghu Chong sama sekali tidak terlihat
gusar, justru tersenyum hambar kepadanya. Ia tidak tahu kalau pemuda itu sudah tidak
memiliki semangat hidup lagi setelah Yue Lingshan jatuh hati kepada pemuda
lain. Lebih-lebih malam ini Linghu Chong baru saja mendengar seorang pria
bertubuh raksasa telah memaki Yue Lingshan dan Lin Pingzhi yang berani
membicarakan dirinya di dalam kegelapan. Apalagi dengan membayangkan bagaimana
Yue Lingshan dan Lin Pingzhi diam-diam berjumpa dan mengobrol di tepi sungai
malam itu membuat Linghu Chong semakin pilu dan tidak ada gairah hidup sama
sekali.
Lao Touzi bertanya, “Aku akan
menusuk jantungmu dan mengambil darahmu hangatmu untuk mengobati putriku. Kau
takut atau tidak?”
“Kenapa harus takut?” sahut
Linghu Chong dengan nada datar.
Lao Touzi melirik wajah pemuda
itu yang terlihat tenang-tenang saja, tanpa gentar sedikit pun. Dengan agak
heran ia melanjutkan, “Sekali kutusuk jantungmu, maka jiwamu langsung melayang.
Aku sudah memperingatkan, jadi jangan menyalahkan aku kelak!”
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Setiap orang pada akhirnya akan mati. Mati lebih cepat beberapa
tahun atau lebih lambat beberapa tahun apa bedanya? Jika darahku dapat menolong
jiwa nona ini tentu sangat bagus daripada aku mati sia-sia tanpa bermanfaat
bagi siapa pun.” Sambil berkata demikian ia mengasihani diri sendiri karena
membayangkan jika Yue Lingshan mendengar kabar kematiannya pasti gadis itu
tidak akan bersedih, mungkin malah berkata, “Rasakan! Kau pantas
mendapatkannya!”
Di lain pihak, Lao Touzi
mengacungkan jempolnya sambil memuji, “Sungguh hebat! Kau benar-benar kesatria
yang tidak gentar mati. Orang sepertimu jarang sekali kutemukan dalam hidup
ini. Sayang sekali putriku terpaksa harus meminum darahmu supaya bisa sembuh.
Kalau tidak, sungguh aku ingin membebaskanmu saja.”
Segera ia berjalan ke dapur
dan kembali dengan membawa sebuah baskom berisi air panas yang masih mendidih.
Tangan kanannya kemudian memegang sebilah belati, sedangkan tangan kiri
mengambil sehelai handuk kecil. Dibasahinya handuk itu dengan air panas, lalu
ditempelkannya ujung belati di depan ulu hati Linghu Chong.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara Zu Qianqiu si sastrawan dekil berseru di luar, “Lao Touzi! Lao
Touzi! Lekas bukakan pintu! Aku membawa barang bagus untuk putrimu Busi.”
Lao Touzi mengerutkan
keningnya. Dipotongnya handuk kecil tadi menjadi dua, lalu yang selembar dijejalkan
ke mulut Linghu Chong agar tidak dapat bersuara. Ia kemudian berseru, “Barang
bagus apa yang kau maksudkan?” Orang tua bertubuh cebol bulat itu lantas
menaruh belatinya, kemudian berlari keluar untuk membuka pintu dan
mempersilakan Zu Qianqiu masuk ke dalam rumah.
Zu Qianqiu berkata, “Lao
Touzi, entah bagaimana kau akan berterima kasih kepadaku soal ini? Karena
urusannya terlalu mendesak, sedangkan aku tidak sempat bertemu denganmu,
terpaksa aku mengambil Pil Penyambung Nyawa tanpa permisi dan menipu dia untuk
meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui permasalahannya, tentu kau pun
akan mengantar sendiri obat mujarabmu kepada pemuda itu. Tapi belum tentu dia
mau menerima begitu saja.”
Lao Touzi sangat gusar dan
memaki, “Omong kos….”
Zu Qianqiu buru-buru
menempelkan mulutnya ke dekat telinga Lao Touzi untuk kemudian membisikkan
sesuatu kepadanya. Mendengar bisikan itu Lao Touzi melonjak terkejut dan
berteriak, “Apa benar demikian? Kau … kau tidak berdusta padaku?”
“Untuk apa aku berdusta?” sahut
Zu Qianqiu. “Semuanya sudah kuselidiki dan setelah terbukti barulah aku
kerjakan. Lao Touzi, kita adalah sahabat karib selama puluhan tahun. Kita
saling mengetahui isi hati masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini
cocok dengan perasaanmu atau tidak?”
“Benar sekali, benar sekali!
Sial, sungguh sial!” jawab Lao Touzi.
“Hei, kalau sudah benar tapi
kenapa kau bilang sial?” tanya Zu Qianqiu terheran-heran.
“Kau yang benar, aku yang
sial!” jawab Lao Touzi.
“Apanya yang sial?” desak Zu
Qianqiu.
Tanpa bicara lagi Lao Touzi
langsung menyeret Zu Qianqiu masuk ke dalam kamar putrinya. Segera ia memberi
hormat dan menyembah Linghu Chong, sambil berkata, “Tuan Muda Linghu, Pendekar
Muda Linghu, hamba telah melakukan kesalahan besar dan membuat susah dirimu.
Untungnya Langit Maha Pengasih. Zu Qianqiu keburu tiba. Apabila aku telanjur
menikam ulu hatimu, meskipun aku dihukum gantung dan tubuhku dicincang juga
belum cukup untuk menebus dosaku ini.”
Mulut Linghu Chong masih
tersumbat sehingga hanya bisa menjawab, “Uh! Uh!”
Zu Qianqiu segera menarik kain
penyumbat mulut Linghu Chong dengan sangat hati-hati, kemudian bertanya, “Tuan
Muda Linghu, mengapa kau berada di sini?”
Linghu Chong berkata, “Sesepuh
Lao, mohon segera bangun! Aku tidak berani menerima penghormatan darimu. Kau
hanya membuatku segan.”
Lao Touzi menjawab, “Aku tidak
tahu kalau Tuan Muda Linghu mempunyai hubungan dekat dengan penolongku,
junjunganku yang berbudi. Aku bersalah telah banyak membuatmu susah. Aih,
benar-benar kurang ajar diriku ini dan pantas dihukum mati. Andaikan aku
mempunyai seratus orang putri dan semuanya sakit parah juga aku tidak akan
berani lagi meminta setetes darah Tuan Muda Linghu untuk menolong jiwa mereka.”
Zu Qianqiu bertanya dengan
mata melotot, “Lao Touzi, apa maksudmu dengan mengikat Tuan Muda Linghu di atas
kursi ini?”
“Sudahlah, semua ini salahku.
Tolong kau jangan banyak bertanya karena hanya membuatku semakin bertambah
malu!” sahut Lao Touzi dengan wajah menyesal.
“Lalu belati ini, serta air
panas di dalam baskom ini akan kau gunakan untuk apa?” kembali Zu Qianqiu
bertanya.
Lao Touzi tidak menjawab
melainkan menampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang sudah
bulat seperti labu itu bertambah bengkak dan melembung.
Linghu Chong berkata, “Aku
juga tidak paham duduk perkara yang sebenarnya. Aku masih bingung. Mohon
Sesepuh berdua sudi memberikan penjelasan kepadaku.”
Lekas-lekas Lao Touzi dan Zu
Qianqiu melepaskan tali pengikat pada tubuh pemuda itu dan berkata, “Marilah
kita minum arak sambil bicara.”
Linghu Chong memandang sejenak
ke arah Lao Busi yang terbaring lemah di tempat tidurnya, kemudian bertanya,
“Apakah penyakit putrimu tidak akan bertambah gawat?”
“Tidak, tidak akan,” jawab Lao
Touzi. “Seandainya bertambah gawat juga … aih, apa hendak dikata ….” Mulutnya
menggumam tidak jelas berkata apa. Ia kemudian mempersilakan Linghu Chong dan
Zu Qianqiu pindah ke ruang tamu. Disuguhkannya tiga mangkuk arak dan sepiring
daging babi serta makanan ringan lainnya. Dengan penuh hormat ia lalu mengangkat
mangkuknya kepada Linghu Chong.
Linghu Chong mengangkat
mangkuknya pula lalu meminum seteguk. Cita rasa arak ini biasa saja. Namun
kalau dibandingkan dengan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Zu Qianqiu tadi
sore rasanya sepuluh kali lebih sedap.
“Tuan Muda Linghu, aku sudah
tua bangka dan telah membuat susah dirimu, aih, sungguh … sungguh ….” Lao Touzi
tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Wajahnya tampak gugup dan ketakutan. Ia
ingin sekali mengungkapkan rasa penyesalannya namun tidak tahu harus berkata
apa lagi.
“Tuan Muda Linghu berjiwa
besar, tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Zu Qianqiu. “Lagipula Pil
Penyambung Nyawa milikmu jika benar-benar ada manfaatnya bagi kesehatan Tuan
Muda Linghu, tentu kau menjadi berjasa besar, bukan?.”
“Mengenai jasa … ah, aku tidak
berani menerimanya,” jawab Lao Touzi. “Adik Zu, justru jasamu itu yang paling
besar.”
“Aku telah mengambil kedelapan
pilmu, mungkin akan mengganggu kesehatan Keponakan Busi,” kata Zu Qianqiu
dengan tertawa. “Ini ada sedikit ginseng, bisa kau berikan kepadanya sekadar
untuk penguat badan.” Pria kurus berpakaian sastrawan itu lantas mengambil
keranjang bambu yang ia bawa dan membuka tutupnya. Dari dalam keranjang ia
mengeluarkan beberapa batang ginseng. Mungkin beratnya tidak sampai sepuluh
kati.
“Wah, dari mana kau memperoleh
ginseng sebanyak ini?” tanya Lao Touzi.
“Sudah tentu kupinjam dari
toko obat,” sahut Zu Qianqiu dengan tertawa.
“Seperti pada Zaman Tiga
Negara, Liu Bei meminjam Kota Jinzhou tetapi tak pernah mengembalikannya,” kata
Lao Touzi sambil bergelak tawa pula. Walaupun begitu, sekilas wajahnya terlihat
menunjukkan rasa sedih.
Menyadari hal itu, Linghu
Chong lantas berkata, “Tuan Lao dan Tuan Zu, meskipun kalian berniat baik
hendak menyembuhkan penyakitku, namun kalian memakai cara yang kurang pantas.
Yang satu menipu aku dengan arak, dan yang satu lagi menculik dan mengikat
tubuhku di sini. Aku merasa direndahkan oleh kalian.”
Mendengar itu Lao Touzi dan Zu
Qianqiu langsung berdiri dan memberi hormat kepada Linghu Chong. “Tuan Muda
Linghu, kami berdua tua bangka mengaku salah. Entah bagaimana cara Tuan Muda
Linghu menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tidak akan mengelak,” kata mereka
bersamaan.
“Baik, ada sesuatu yang ingin
aku tanyakan. Kuharap kalian bersedia menjawab terus terang,” kata Linghu
Chong. “Aku ingin bertanya, siapakah orang yang sangat kalian hormati itu,
sehingga kalian begitu segan kepadaku?”
Kedua orang tua itu saling
pandang sejenak, kemudian Zu Qianqiu menjawab, “Inikah … inikah pertanyaannya? Tuan
Muda Linghu tentu sudah tahu siapa tokoh itu. Mohon maaf, kami tidak berani
menyebutkannya.”
“Tapi aku benar-benar tidak
tahu,” kata Linghu Chong. Diam-diam ia memikirkan siapakah sebenarnya tokoh
yang mereka maksudkan itu? Apakah Feng Qingyang? Atau Biksu Bujie? Atau Tian
Boguang? Atau Lu Zhuweng? Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya bukan
mereka. “Kakek Guru Feng sudah menyepi di pegunungan dan melarang aku
membocorkan keberadaan Beliau. Mana mungkin Beliau turun gunung dan melakukan
ini semua? Tian Boguang, Biksu Bujie, dan Lu Zhuweng bersifat terbuka dan suka
berterus terang. Rasanya tidak mungkin mereka.” Demikian ia berpikir.
“Tuan Muda Linghu,” kata Zu
Qianqiu kemudian, “pertanyaanmu ini sama sekali tidak berani kami jawab.
Biarpun kami dibunuh juga tidak akan kami katakan. Bukankah Tuan Muda Linghu
sendiri sudah tahu, jadi untuk apa harus meminta kami menyebutkan namanya?”
Mendengar ucapan mereka itu,
terpaksa Linghu Chong berkata, “Baiklah, karena kalian tidak mau mengatakannya,
maka rasa kesalku pun sulit dilenyapkan. Tuan Lao baru saja mengikat tubuhku di
kursi hingga aku ketakutan setengah mati. Sekarang giliranku untuk membalas
dengan cara mengikat kalian di kursi pula. Bisa jadi aku masih belum puas dan
akan mengorek keluar jantung kalian menggunakan belati.”
Lao Touzi dan Zu Qianqiu
kembali berpandangan, kemudian berkata, “Jika Tuan Muda Linghu ingin mengikat
kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”
Segera Lao Touzi mengambilkan
dua buah kursi dan beberapa utas tali tambang. Dalam hati ia dan Zu Qianqiu
percaya kalau Linghu Chong kemungkinan besar hanya bergurau saja.
Tak disangka Linghu Chong
benar-benar mengambil tali tambang itu untuk mengikat tangan mereka berdua ke
belakang sandaran kursi, serta kaki mereka pada kaki depan kursi pula. Lalu ia
memegang belati sambil berkata, “Tenaga dalamku sudah musnah. Aku tidak kuat
menotok kalian dengan jari. Terpaksa aku harus menggunakan gagang belati ini
untuk menotok titik nadi kalian.”
Usai berkata demikian ia
lantas menotok kedua orang tua itu pada titik Huantiao, Tianzhu, dan Shaohai
menggunakan gagang belati. Zu Qianqiu dan Lao Touzi saling pandang dengan
terheran-heran. Mau tidak mau timbul juga rasa khawatir mereka terhadap maksud
dan tujuan Linghu Chong selanjutnya.
“Kalian tunggu di sini,” kata
Linghu Chong. Ia lalu memutar tubuh dan melangkah pergi meninggalkan ruang tamu
tersebut.
Dengan membawa belati, Linghu
Chong menuju ke kamar Lao Busi. Sesampainya di luar kamar, ia berdehem dulu,
lalu menyapa, “Nona La … eh, Nona, bagaimana keadaanmu?”
Semula Linghu Chong bermaksud
memanggilnya “Nona Lao”, tapi itu mengandung bermakna “nona tua”. Tentu saja
hal ini tidak pantas bagi seorang gadis yang masih muda belia. Sementara itu,
panggilan “Nona Busi” yang bermakna “nona tidak mati” menurutnya juga kurang
pantas.
Lao Busi tidak menjawab, hanya
mengeluarkan suara, “Hm.”
Perlahan Linghu Chong
menyingkap tirai kain penutup pintu masuk kamar dan melangkah masuk. Terlihat
gadis itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal. Kedua matanya sedikit
terbuka dan seperti orang baru bangun tidur. Linghu Chong melangkah ke depan
lebih dekat. Terlihat kulit wajah Lao Busi halus seperti kaca tembus pandang.
Linghu Chong seperti dapat melihat aliran darah yang mengalir pada pembuluh darah
berwarna biru yang terlihat jelas di balik kulit gadis itu yang
kekuning-kuningan. Suasana kamar sunyi senyap, sama sekali tidak terdengar
udara yang keluar masuk. Aliran darah pada tubuh gadis itu sangat lambat
seperti membeku, sedangkan napasnya terdengar lemah. Tampaknya gadis itu lebih
banyak mengembuskan napas daripada menghirup udara segar.
“Nona ini seharusnya dapat
diselamatkan, tapi obatnya sudah telanjur kumakan. Aku sendiri juga sudah pasti
akan mati. Bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak, juga tiada bedanya
bagiku,” demikian pikir Linghu Chong sambil menghela napas panjang.
Segera ia mengambil sebuah
mangkuk porselen dan ditaruhnya di atas meja. Tiba-tiba ia mengiris nadi
pergelangan tangan kirinya sendiri menggunakan belati. Seketika darah pun
bercucuran dan mengalir jatuh ke dalam mangkuk tersebut. Setelah itu, tangan
kanannya dicelupkan ke dalam air panas yang tadi sudah disiapkan Lao Touzi,
lalu diusapkannya pada luka di pergelangan tangan kiri agar darah yang mengucur
tidak lekas membeku. Maka, hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah
hampir penuh terisi darah segar.
Dalam keadaan setengah sadar,
Lao Busi mencium bau anyir darah. Begitu membuka mata, ia pun menjerit kaget
karena melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Linghu Chong.
Saat itu mangkuk sudah terisi
penuh dengan darah. Linghu Chong segera membawanya ke dekat ranjang dan
menempelkannya di dekat mulut Lao Busi. “Lekas kau minum! Di dalam darah ini
mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu,” katanya.
“Aku … aku … aku takut. Aku
tidak mau minum,” jawab Lao Busi.
Setelah mengeluarkan banyak
darah, Linghu Chong merasa pusing dan kakinya pun gemetar lemas. Karena takut
pengorbanannya sia-sia, ia pun menghunus belati untuk menggertak, “Kau mau
minum atau tidak? Jika tidak mau, lebih baik kau kubunuh saja!” Menyusul
kemudian, ujung belati tersebut ditempelkannya pada tenggorokan si gadis.
Lao Busi sangat ketakutan.
Terpaksa ia membuka mulut dan meneguk darah di dalam mangkuk tersebut. Beberapa
kali ia merasa mual dan hampir muntah. Tapi demi melihat ujung belati yang
mengkilap itu, rasa takutnya pun mengusir segala kemualan jauh-jauh dan
mencegah supaya tidak sampai muntah.
Melihat darah di mangkuk sudah
habis, Linghu Chong pun berpikir, “Aku telah menelan habis kedelapan Pil
Penyambung Nyawa milik Lao Touzi, tapi yang berpindah ke dalam perut gadis ini
mungkin tidak lebih sampai sepersepuluh bagian saja. Apalagi kalau nanti aku
pergi ke kakus, mungkin akan lebih banyak bagian obat yang hilang dari perutku.
Aku harus mengucurkan lebih banyak darah lagi sampai aku merasa lemah dan tidak
dapat bergerak.” Ia kemudian mengiris urat nadi lengan kanan dan mengucurkan
darahnya ke dalam mangkuk.
Ketika Linghu Chong hendak
meminumkan semangkuk darah tersebut, Lao Busi mengerutkan kening dan berkata,
“Jangan paksa aku lagi! Aku sudah tidak … tidak sanggup lagi.”
“Sanggup atau tidak sanggup
harus menghabiskannya. Lekas, minum ini!” desak Linghu Chong.
Lao Busi kembali meminum darah
dalam mangkuk itu dengan sangat terpaksa. Seteleh beberapa teguk ia berhenti
untuk bernapas, kemudian berkata, “Mengapa … mengapa kau berbuat begini? Ini
bisa … ini bisa merugikan dirimu sendiri.”
“Jangan khawatirkan aku. Semua
ini demi kebaikanmu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum hambar.
Sementara itu Dewa Ranting
Persik dan Dewa Buah Persik yang masih terperangkap dalam jaring ikan milik Lao
Touzi, berusaha membebaskan diri mereka. Namun semakin meronta, jaring ikan itu
justru semakin erat membungkus tubuh mereka sampai tidak dapat bergerak sedikit
pun. Meskipun demikian, telinga mereka masih bisa mendengar jelas tentang apa
yang terjadi di dalam pondok, serta mulut mereka pun saling berdebat
macam-macam. Ketika mendengar Linghu Chong mengikat tubuh Lao Touzi dan Zu Qianqiu
pada kursi masing-masing, mereka pun saling adu pendapat seperti biasanya. Dewa
Ranting Persik mengira Linghu Chong akan membunuh Lao Touzi dan Zu Qianqiu,
sedangkan Dewa Buah Persik berpendapat bahwa Linghu Chong akan membebaskan
dirinya dan kakak ketiganya itu. Namun perdebatan mereka sia-sia belaka karena
Linghu Chong ternyata masuk ke dalam kamar si gadis anak Lao Touzi untuk
melakukan sesuatu.
Karena kamar tidur Lao Busi
tertutup rapat, maka suara Linghu Chong dan gadis itu hanya terdengar sayup-sayup
saja dari luar. Meskipun Yue Buqun, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Dewa Ranting Persik,
dan Dewa Buah Persik memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, namun mereka tidak
dapat mengetahui dengan pasti, dan hanya bisa menduga-duga saja apa sebenarnya
yang sedang diperbuat Linghu Chong terhadap gadis itu. Ketika mendadak
terdengar suara jeritan si gadis, raut muka kelima orang itu berubah semua.
Dewa Ranting Persik berkata,
“Seorang pemuda seperti Linghu Chong, untuk apa masuk ke kamar anak gadis
orang?”
“Coba dengar, nona itu sangat
ketakutan,” sahut Dewa Buah Persik. “Dia sedang meratap, ‘Aku… aku takut!’
Kemudian Linghu Chong berkata, “Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, maka
aku akan membunuhmu dengan belati ini.” Kira-kira Linghu Chong menyuruh gadis
itu melakukan apa?”
“Apa lagi? Sudah tentu dia
memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Dewa Ranting Persik.
“Hahaha! Sungguh menggelikan!”
Dewa Buah Persik terbahak-bahak. “Si cebol bulat itu pasti mempunyai putri yang
juga bulat seperti semangka. Mengapa Linghu Chong memaksa perempuan seperti itu
menjadi istrinya?”
“Ah, setiap orang memiliki
selera sendiri-sendiri. Bisa jadi Linghu Chong itu paling suka dengan wanita
gemuk bulat. Maka, begitu melihat nona gembrot itu, semangatnya langsung
terbang ke awang-awang,” jawab Dewa Ranting Persik.
“Hei, coba dengarkan!” bisik
Dewa Buah Persik. “Nona bulat itu sedang minta ampun, katanya, ‘Jangan kau
paksa aku lagi! Aku benar-benar tidak sanggup.’”
“Benar sekali. Tapi sepertinya
Linghu Chong tetap memaksa. Ia berkata, ‘Sanggup atau tidak sanggup, kau harus
melakukannya segera!’”
“Segera? Mengapa Linghu Chong
menyuruh dia melakukan segera?” tanya Dewa Buah Persik.
“Kau tidak pernah menikah,
masih perjaka. Sudah tentu kau tidak paham,” kata Dewa Ranting Persik.
“Memangnya kau sendiri pernah
beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Dewa Buah Persik.
“Kau sudah tahu aku belum
pernah menikah, mengapa masih bertanya?” balas Dewa Ranting Persik.
Dewa Buah Persik kemudian
berteriak-teriak, “Lao Touzi, Linghu Chong sedang memaksa putrimu untuk menjadi
istrinya, mengapa kau diam saja tanpa memberi pertolongan? Apa kau rela anakmu
mati?”
Dewa Ranting Persik
menanggapi, “Mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Dari mana kau tahu gadis
itu akan mati? Di dunia ini banyak perempuan menikah, apa semuanya mati?
Lagipula gadis itu bernama Lao Busi, sudah pasti tidak akan mati.”
Lao Touzi sendiri bersama Zu
Qianqiu masih dalam keadaan terikat di kursi dan tertotok pula. Saat mendengar
suara si gadis menjerit keras, mereka hanya bisa saling pandang dengan pikiran
macam-macam. Dalam hati mereka menaruh curiga, dan apa yang diperdebatkan kedua
Dewa Lembah Persik membuat mereka semakin curiga.
“Kakak Lao, kita harus segera
mencegahnya. Sungguh tak kusangka ternyata Tuan Muda Linghu doyan main
perempuan. Aku khawatir akan terjadi masalah besar,” kata Zu Qianqiu.
“Aih, kalau dia terlanjur
memerkosa Busi, lantas bagaimana lagi?” kata Lao Touzi. “Tapi … tapi bagaimana
aku harus bertanggung jawab kepada ….”
“Coba dengar, agaknya Keponakan
Busi juga menaruh perasaan kepadanya. Dia mengatakan, ‘Perbuatanmu ini
merugikan dirimu sendiri.’ Kau dengar apa jawaban Linghu Chong? Kau dengar
tidak?”
“Ya, aku dengar. Linghu Chong
bilang, ‘Jangan khawatirkan aku. Ini semua demi kebaikanmu.’ Setan alas! Kedua
bocah itu benar-benar….”
“Selamat, Kakak Lao! Selamat,
Kakak Lao!” kata Zu Qianqiu sambil bergelak tawa.
“Selamat nenekmu!” damprat Lao
Touzi.
“Kenapa kau marah? Aku memberi
selamat karena kau baru saja memperoleh seorang menantu yang baik,” jawab Zu
Qianqiu.
“Omong kosong!” bentak Lao
Touzi. “Kau jangan sembarangan bicara lagi! Kalau peristiwa ini sampai tersebar
luas, apakah jiwa kita bisa selamat?” Sampai di sini suaranya terdengar agak
gemetar.
“Benar juga, benar juga,” kata
Zu Qianqiu dengan suara gemetar pula.
Yue Buqun yang mengintai agak
jauh dari pondok, meskipun telah mengerahkan ilmu Awan Lembayung juga hanya
dapat mendengar secara samar-samar saja. Pada mulanya ia juga mengira Linghu
Chong benar-benar melakukan perbuatan tidak senonoh kepada Lao Busi. Semula ia
bermaksud menerjang ke dalam kamar untuk mencegah perbuatan murid pertamanya
itu. Namun begitu teringat Linghu Chong menyimpan banyak rahasia yang
mencurigakan, ia pun segera mengurungkan niat tersebut. Jangan-jangan Linghu
Chong telah bekerja sama dengan Lao Touzi dan Zu Qianqiu mempersiapkan jebakan
untuknya. Ia merasa lebih baik jangan bertindak gegabah. Setelah menambah
kekuatan ilmu Awan Lembayung, ia pun mendengar percakapan kedua Dewa Lembah
Persik, serta Lao Touzi dan Zu Qianqiu dengan jelas. Ia menduga Linghu Chong
telah mengambil kesempatan dalam kesempitan saat gadis itu terbaring lemah.
Namun ternyata gadis itu juga menaruh perasaan kepada Linghu Chong adalah lain
soal. Ia menduga anak perempuan Lao Touzi tentu juga bertubuh cebol bulat
sehingga wajar kalau ia jatuh cinta kepada Linghu Chong setelah mendapat
perlakuan tidak senonoh. Membayangkan itu semua membuat Yue Buqun hanya bisa
menggelengkan kepala.
Tiba-tiba terdengar Lao Busi
menjerit kembali, “Jangan … jangan … oh, banyak sekali darah … oh, kumohon ….”
Pada saat itulah di luar sana
terdengar seseorang berseru, “Lao Touzi, aku sudah bisa meloloskan diri dari
kejaran Empat Setan Lembah Persik!” Ternyata dia adalah laki-laki berkopiah
lancip, pembawa panji-panji putih yang telah memancing empat dari Enam Dewa
Lembah Persik meninggalkan kapal rombongan Huashan tadi. Tahu-tahu ia sudah
melompat masuk ke dalam pondok melewati tembok luar dan membuka pintu ruang
tamu.
Begitu melihat keadaan Lao
Touzi dan Zu Qianqiu, si kopiah lancip bertanya kaget, “Hei, kenapa … kenapa
kalian?” Segera ia mengeluarkan sebilah belati dari balik bajunya. Hanya
beberapa kali gerakan saja ia sudah memotong tali-tali yang mengikat kaki dan
tangan kedua Leluhur Tua Sungai Kuning itu serta membuka totokan mereka.
Pada saat itu kembali
terdengar jeritan melengking Lao Busi di dalam kamar, “Oh, kumohon kau jangan …
jangan begitu ….”
Mendengar suara gadis itu, si
kopiah lancip terkejut. “Itu Nona Busi!” teriaknya sambil berlari menuju ke
arah kamar.
Tapi, Lao Touzi dengan cekatan
memegang lengan laki-laki berkopiah itu dan membentak, “Jangan masuk ke sana!”
Si kopiah lancip tercengang
dan menghentikan langkahnya.
Terdengar suara Dewa Ranting
Persik mengoceh di luar, “Aku yakin si cebol merasa gembira karena memperoleh
menantu ganteng seperti Linghu Chong itu.”
“Linghu Chong sudah hampir
mati. Apa yang perlu dibanggakan kalau mendapat menantu dalam keadaan setengah
mati begitu?” tanya Dewa Buah Persik.
“Anak perempuan si cebol itu
juga dalam keadaan sekarat. Sepasang suami istri yang sangat serasi, sama-sama
setengah mati dan setengah hidup,” sahut Dewa Ranting Persik.
“Siapa yang akan mati? Siapa
yang akan hidup?” tanya Dewa Buah Persik.
“Pertanyaan bodoh! Sudah jelas
Linghu Chong akan segera mati, sedangkan anak perempuan si cebol bukankah
bernama Lao Busi? Dia sampai tua tidak akan mati,” jawab Dewa Ranting Persik.
“Tidak benar! Tidak benar!”
kata Dewa Buah Persik. “Apakah nama selalu sesuai dengan orangnya? Kalau di
dunia ini semua orang memakai nama Lao Busi, apakah lantas tidak akan mati
semua? Kalau begitu sungguh sia-sia kita belajar ilmu silat?”
Di sela-sela perdebatan kedua
bersaudara itu, kembali terdengar suara si gadis berteriak dengan suara lirih,
“Ayah, lekas kemari! Ayah, lekas kemari!” Meskipun teriakannya sangat lemah
namun disertai perasaan khawatir yang teramat sangat.
Segera Lao Touzi berlari ke
dalam kamar. Dilihatnya Linghu Chong sudah tergeletak di lantai. Sebuah mangkuk
tengkurap di atas dadanya. Bajunya pun berlumuran darah. Anak gadisnya tampak
duduk bersandar di atas ranjang, mulutnya juga berlumuran darah. Zu Qianqiu dan
si kopiah lancip yang menyusul juga terkejut melihat apa yang terjadi. Mereka
bertiga hanya bisa saling pandang dengan hati penasaran.
“Ayah, orang ini telah
mengiris urat nadi sendiri dan mengambil darahnya,” kata Lao Busi dengan suara
lemah, “Aku dipaksa … dipaksa minum darahnya sampai dua mangkuk, dan dia masih
… masih akan ….”
Lao Touzi terkejut setengah
mati seperti disambar petir. Dengan cepat ia mendekati Linghu Chong dan memapah
pemuda itu bangun. Dilihatnya pada kedua pergelangan tangan Linghu Chong masih
mengucurkan darah. Segera ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat luka.
Walaupun di dalam rumah sendiri, namun karena terlalu gugup sampai-sampai batok
kepalanya terbentur bingkai pintu. Akibatnya, dahinya pun benjol dan bingkai
pintu yang dibentur olehnya sampai rusak pula.
Ketika mendengar suara
benturan tersebut, Dewa Ranting Persik mengira Lao Touzi dan kedua kawannya
sedang menghajar Linghu Chong. Segera ia berteriak, “Lao Touzi, Linghu Chong
adalah sahabat baik Enam Dewa Lembah Persik. Jangan sekali-kali kau memukul
dia! Jika sampai terjadi apa-apa pada bocah itu, tentu akan kami robek tubuhmu
yang penuh lemak menjadi irisan kecil.”
“Salah besar, salah besar!”
kata Dewa Buah Persik.
“Apanya yang salah?” tanya
Dewa Ranting Persik heran.
“Jika dia berbadan kurus, maka
dagingnya akan mudah kita robek. Tapi jelas-jelas dia berbadan bulat. Kalau
kita robek tentu dia akan menjadi potongan-potongan bulat seperti bola bakso.
Bagaimana caranya badan yang pendek dan gemuk itu bisa kita robek menjadi
irisan panjang?” ujar Dewa Buah Persik.
Lao Touzi segera membubuhkan
obat dan membalut luka Linghu Chong. Setelah mengurut-urut beberapa titik nadi
di dada dan di perut Linghu Chong, tidak lama kemudian pemuda itu pun sadar
dari pingsan. Lao Touzi merasa sangat gembira dan berterima kasih. “Tuan Muda
Linghu, meskipun tubuh kami hancur lebur juga … aih, benar-benar sulit kukatakan.”
Zu Qianqiu ikut bicara, “Tuan
Muda Linghu, tadi Lao Touzi telah mengikatmu. Hal ini terjadi karena salah
paham. Mengapa kau anggap semua ini sungguh-sungguh? Kau telah membuatnya
merasa sangat bersalah.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Penyakitku ini tidak bisa disembuhkan dengan obat apa pun. Terhadap
maksud baik Tuan Zu yang telah mengambil obat Tuan Lao untuk diminumkan
kepadaku, sungguh aku sangat berterima kasih. Namun aku juga merasa sayang obat
mujarab itu hanya terbuang sia-sia. Lebih baik darahku kuminumkan kepada gadis
ini.” Karena terlalu banyak kehilangan darah, ia merasa pusing dan kembali
jatuh pingsan.
Lao Touzi segera memapahnya
keluar dan merebahkannya di atas ranjang pada kamarnya sendiri. Dengan sedih
pria cebol bulat itu menggumam, “Wah, bagaimana ini? Bagaimana ini?”
“Tuan Muda Linghu terlalu
banyak kehilangan darah. Mungkin jiwanya terancam bahaya. Bagaimana kalau kita
bertiga menyalurkan tenaga dalam masing-masing ke dalam tubuhnya?” ajak Zu
Qianqiu.
“Ya, harus begitu,” sahut Lao
Touzi.
Perlahan ia membangunkan tubuh
Linghu Chong dan menempelkan telapak tangan kanannya ke titik Dazhui pada
punggung pemuda itu. Tapi baru saja ia mengerahkan tenaga, seketika badannya
tergetar hebat. Kursi yang ia duduki sampai hancur berkeping-keping.
Terdengar Dewa Ranting Persik
terbahak-bahak di luar, sambil berseru, “Penyakit Linghu Chong justru timbul
karena kita enam bersaudara hendak menyembuhkan lukanya dengan tenaga dalam
kami. Sekarang si cebol itu hendak menirukan cara kita tentu penyakit Linghu
Chong akan bertambah parah! Hahahaha!”
Dewa Buah Persik menanggapi,
“Kau dengar suara barang hancur tadi? Pasti si cebol bulat membentur sesuatu
setelah terdorong oleh tenaga dalam yang ada di tubuh Linghu Chong. Dia tidak
tahu kalau tenaga dalam Linghu Chong berasal dari kita, enam bersaudara. Bagus
sekali! Bagus sekali! Sekarang dia tahu rasa karena berani main-main dengan
Enam Dewa Lembah Persik.”
Melihat keadaan Linghu Chong,
Lao Touzi pun berkata sambil menghela napas, “Aih, jika Tuan Muda Linghu masih
tidak siuman, maka aku tidak punya pilihan lain. Aku harus bunuh diri.”
“Nanti dulu,” ujar lelaki
berkopiah lancip. Tiba-tiba ia berteriak, “Itu orang yang bertengger di atas
pohon di luar pagar tembok bukankah Tuan Yue, Ketua Perguruan Huashan?”
Kontan saja Yue Buqun
terperanjat. “Ternyata ia sudah tahu kalau aku bersembunyi di sini,” pikirnya.
Si kopiah lancip melanjutkan,
“Tuan Yue adalah tamu dari jauh, mengapa tidak masuk kemari untuk beramah
tamah?”
Yue Buqun menjadi serbasalah.
Kalau masuk ke dalam pondok agak berbahaya baginya, tapi ia juga tidak dapat
bertengger terus-menerus di atas pohon.
Si lelaki berkopiah kembali
berkata, “Tuan Muda Linghu muridmu tak sadarkan diri. Silakan Tuan Yue masuk
kemari untuk melihatnya.”
Yue Buqun berdehem untuk
menghilangkan rasa gugup kemudian melompat turun melewati belasan meter dan
mendarat tepat di bawah atap teras. Lao Touzi selaku tuan rumah buru-buru
keluar untuk menyambut. Sambil memberi hormat ia berkata, “Silakan masuk, Tuan
Yue!”
“Mohon maaf kalau aku
bertindak kurang sopan,” kata Yue Buqun. “Aku datang kemari karena
mengkhawatirkan keadaan muridku.”
“Ah, semua ini salahku,” ujar
Lao Touzi. “Jika saja … jika saja ….”
“Kau tidak perlu khawatir,”
sahut Dewa Ranting Persik menukas, “Linghu Chong tidak akan mati!”
Lao Touzi menjadi gembira. Ia
bertanya, “Dari mana kau bisa mengetahui kalau dia tidak akan mati?”
“Dia jauh lebih muda daripada
kau dan juga lebih muda daripadaku, bukan?” kata Dewa Ranting Persik.
“Benar. Lantas kenapa?” Lao
Touzi menegas.
“Umumnya orang tua mati lebih
dulu, atau orang muda mati lebih dulu?” balas Dewa Ranting Persik. “Sudah tentu
tua yang lebih dulu mati. Jika demikian, sebelum kau mati dan aku mati, mana
mungkin Linghu Chong bisa mati?”
Lao Touzi hanya tersenyum
hambar mendengar pernyataan bodoh itu. Tadinya ia berharap Dewa Ranting Persik
menyampaikan suatu gagasan yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa Linghu Chong.
Dewa Buah Persik menanggapi,
“Ah, aku ada usul. Mari kita bersama-sama sepakat mengganti nama Linghu Chong
menjadi Linghu Busi.”
Yue Buqun mengikuti Lao Touzi
masuk ke dalam kamar. Tampak Linghu Chong tergeletak pingsan di atas ranjang.
Yue Buqun pun berpikir, “Jika aku tidak mengerahkan ilmu Awan Lembayung, tentu
Perguruan Huashan akan dipandang rendah oleh orang-orang ini.”
Maka, Yue Buqun segera
mengerahkan tenaga dalam sambil menghadap ke arah ranjang supaya warna
lembayung yang terpancar di wajahnya tidak terlihat oleh orang-orang yang ada
di situ. Begitu dirasa cukup, ia kemudian menjulurkan telapak tangannya ke
titik Dazhui di punggung Linghu Chong. Mengingat di dalam tubuh sang murid
terdapat hawa murni yang bergejolak dan mendesak penyaluran tenaga yang datang,
ia pun menyalurkan tenaga secara sedikit demi sedikit. Begitu terasa adanya
perlawanan dari dalam tubuh Linghu Chong, segera ia menarik tangannya sekitar
satu senti, kemudian menempelkannya lagi.
Tidak lama kemudian Linghu
Chong mulai siuman. Segera ia menyapa, “Guru juga … juga datang kemari.”
Melihat bagaimana Yue Buqun
membangunkan Linghu Chong dari pingsan tanpa mengeluarkan banyak tenaga membuat
kagum Lao Touzi dan kedua temannya. Yue Buqun sendiri merasa tempat tersebut
sangat misterius sehingga memutuskan untuk segera pergi. Lagipula keadaan sang
istri dan para murid di kapal juga bisa jadi terancam bahaya. Maka, ia pun
berkata sambil memberi hormat, “Terima kasih banyak atas kebaikan Tuan-Tuan
kepada kami, guru dan murid. Sekarang izinkan kami berdua mohon pamit.”
“Baiklah, baiklah!” jawab Lao
Touzi. “Kesehatan Tuan Muda Linghu terganggu dan kami tidak dapat memberi
perawatan yang baik. Mungkin keadaan Tuan Muda Linghu akan lebih baik jika
bersama Tuan Yue. Sungguh kami sudah berbuat sangat tidak sopan. Harap kalian
sudi memberi maaf.”
“Tuan sungguh merendahkan
diri,” kata Yue Buqun. Mendadak ia tertegun melihat sepasang mata yang
berkilat-kilat milik lelaki berkopiah lancip di dalam kamar yang remang-remang.
Ia pun bertanya sambil memberi hormat, “Kalau boleh tahu, siapakah nama sobat
yang terhormat ini?”
“Kiranya Tuan Yue tidak kenal
kawan kita ini, Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam,” sela Zu Qianqiu sambil
tertawa.
Yue Buqun terperanjat dan agak
berdebar. Dalam hati ia berkata, “Kiranya orang ini yang bernama Ji Wushi alias
Si Burung Hantu Malam. Konon dia mempunyai keajaiban pembawaan sejak lahir,
yaitu matanya bisa memandang jelas di malam hari bagaikan siang. Tindak
tanduknya tidak menentu, kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat. Meskipun
namanya Ji Wushi yang berarti ‘kehabisan akal’ tetapi sebenarnya ia sangat
cerdik dan lihai. Siapa disangka ia bisa bersama dengan Lao Touzi dan Zu
Qianqiu ini?”
Segera Yue Buqun memberi
hormat dan menyapa, “Sudah lama aku mendengar nama besar Tuan Ji. Sungguh
beruntung hari ini mendapat kesempatan bisa berjumpa di sini.”
Ji Wushi tersenyum dan
menjawab, “Tidak hanya hari ini. Bukankah esok kita bertemu lagi di Lembah Lima
Raja Kejam?”
Kembali jantung Yue Buqun
berdebar. Meskipun ia merasa kurang pantas jika menanyakan keadaan Yue Lingshan
kepada orang-orang yang baru ia kenal tersebut, namun karena sangat
mengkawatirkan nasib putrinya terpaksa ia bertanya, “Aku tidak tahu kapan
pernah berbuat salah terhadap kawan-kawan persilatan di daerah sini. Mungkin
karena aku kurang sopan karena tidak berkunjung kepada para tokoh perilatan di
wilayah ini, sehingga putriku dan seorang muridku yang bermarga Lin telah
dibawa oleh salah seorang sobat. Untuk ini apakah Tuan Ji dapat memberi
petunjuk?”
“Oh, mengenai hal itu aku juga
tidak banyak tahu,” jawab Ji Wushi dengan tersenyum.
Dengan bertanya seperti tadi
membuat Yue Buqun telah merendahkan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan
Huashan yang ternama. Kini saat Ji Wushi menjawab dengan acuh tak acuh jelas
membuatnya merasa gusar dan tersinggung. Namun demikian, ia berusaha menahan
diri dan berkata dengan tersenyum hambar, “Maaf kami sudah terlalu lama
mengganggu sampai larut malam. Sekarang kami mohon pamit.”
Ketika Yue Buqun hendak
mengangkat tubuh Linghu Chong, tiba-tiba Lao Touzi menyusup di antara kepala
mereka dan mendahului mengangkat tubuh si pemuda. Orang bertubuh cebol bulat
itu berkata, “Akulah yang mengundang Tuan Muda Linghu ke sini. Sudah seharusnya
aku pula yang mengantarnya pulang.” Dengan cekatan ia mengambil selimut tipis
dan membungkus badan Linghu Chong. Setelah itu, ia memanggul tubuh pemuda
tersebut di atas bahunya dan bergegas meninggalkan rumah dengan langkah lebar.
“Hei, tunggu dulu! Bagaimana
dengan kami, kedua ikan besar ini? Apakah ditinggalkan begitu saja?” teriak
Dewa Ranting Persik.
Lao Touzi menjawab gugup,
“Mengenai kalian … kukira ….” Rupanya ia bimbang jika kedua bersaudara itu
dibebaskan, bisa jadi suatu saat Enam Dewa Lembah Persik akan menuntut balas ke
tempatnya ini. Namun jika keduanya ditawan, tentu bisa digunakan sebagai
sandera.
Linghu Chong paham isi pikiran
Lao Touzi. Ia pun berkata, “Tuan Lao, tolong kau bebaskan saja mereka berdua.
Kalian berdua Dewa Lembah Persik, untuk selanjutnya kalian dan yang lain jangan
mencari masalah lagi dengan kedua Tuan Lao dan Tuan Zu atau membalas dendam.
Bagaimana kalau dari lawan berubah menjadi kawan?”
“Mengenai kami bedua, entah
apa kami bisa untuk tidak mencari masalah lagi dengan mereka di kemudian hari?”
ujar Dewa Ranting Persik.
“Tentu saja yang aku maksud
adalah kalian semua Enam Dewa Lembah Persik,” tegas Linghu Chong.
“Tidak membalas dendam atau
mencari masalah dengan mereka bisa saja,” kata Dewa Buah Persik, “Tapi dari
lawan berubah menjadi kawan, inilah yang tidak mungkin. Sekalipun kepalaku
dipenggal tetap tidak mungkin!”
Lao Touzi dan Zu Qianqiu
sama-sama mendengus. Mereka berpikir, “Hm, kalau saja tidak memandang Tuan Muda
Linghu, mana kami sudi mengurusi kalian? Memangnya kalian pikir kami, Leluhur
Tua Sungai Kuning, takut kepada Enam Dewa Lembah Persik?”
Linghu Chong bertanya kepada
Dewa Buah Persik, “Apa sebabnya?”
“Enam Dewa Lembah Persik
memang tidak punya dendam atau permusuhan dengan Leluhur Tua Sungai Kuning.
Mereka berdua bukan musuh kami. Maka, kalau dikatakan mengubah dari lawan
menjadi kawan jelas tidak tepat, bukan?”
Mendengar jawaban seenaknya
tetapi masuk akal itu membuat semua orang bergelak tawa. Zu Qianqiu membungkuk
untuk kemudian membuka ikatan jala dan melepaskan kedua orang tua aneh itu.
Jala tersebut terbuat dari campuran rambut manusia, benang sutra yang berasal
dari ulat sutra liar, serta benang emas murni yang dianyam sedemikian rupa.
Sungguh memiliki tingkat keuletan yang luar biasa. Golok pusaka atau pedang
setajam apa pun juga sulit untuk merusaknya. Jika orang terjaring, semakin
meronta justru semakin teringkus kencang. Untuk membebaskannya harus ada orang
yang mengurai ikatan jala tersebut dari luar.
Sesudah bebas, tanpa banyak
bicara Dewa Ranting Persik segera membuka celana dan mengencingi jala ikan
tersebut.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
tanya Zu Qianqiu terkejut.
“Kalau tidak mengencingi jala
busuk ini, maka aku tidak bisa melampiaskan rasa kesalku,” jawab Dewa Ranting
Persik.
Begitulah, beramai-ramai
ketujuh orang itu lantas berjalan menuju ke tepi sungai. Dari jauh Yue Buqun
melihat Lao Denuo dan Gao Genming menghunus senjata, berjaga di haluan kapal.
Hatinya pun lega karena ternyata tidak terjadi apa-apa di atas kapal tersebut
selama ia pergi.
Setelah meletakkan tubuh
Linghu Chong di dalam kabin kapal, Lao Touzi membungkuk dan berkata dengan penuh
hormat, “Atas budi baik Tuan Muda Linghu, aku merasa sangat berterima kasih
yang tak terhingga. Sementara ini aku mohon diri. Tidak lama lagi tentu kita
dapat berjumpa kembali.”
Linghu Chong yang masih lemah
akibat kehilangan banyak darah dan terguncang-guncang dalam perjalanan kembali
ke kapal membuatnya tidak dapat mendengar dengan jelas segala perkataan Lao
Touzi. Ia hanya sekadar mengiakan dengan suara lirih.
Sementara itu Ning Zhongze dan
para murid terheran-heran melihat si cebol bulat yang tadinya begitu garang
kini telah berubah menjadi lembut dan penuh tata krama terhadap Linghu Chong.
Sementara itu, Lao Touzi dan Zu Qianqiu segera berpamitan kepada Yue Buqun
sebelum empat Dewa Lembah Persik yang lainnya datang.
“Tunggu dulu, Saudara Zu!” seru
Dewa Ranting Persik tiba-tiba.
“Mau apa?” tanya Zu Qianqiu.
“Mau ini!” jawab Dewa Ranting
Persik. Secepat kilat ia menekuk lutut kemudian menyeruduk maju dengan
kecepatan tinggi.
Zu Qianqiu yang tidak sempat
menghindar segera mengerahkan tenaga dalam untuk menerima serudukan yang sangat
mendadak itu. Dalam sekejap saja hawa murni sudah memenuhi titik Dantian di
bawah pusarnya, sehingga perutnya kini menjadi keras seperti baja. Kemudian
terdengar suara seperti hancurnya benda-benda pecah belah, disusul dengan Dewa
Ranting Persik yang melompat mundur beberapa meter ke belakang sambil bergelak
tawa.
“Aduh, celaka!” teriak Zu
Qianqiu begitu memasukkan tangan ke balik bajunya. Ketika tangannya dikeluarkan
tampak menggenggam kepingan porselen, batu kumala, kayu, bambu, yang tak
terhitung jumlahnya. Rupanya bunyi barang pecah tadi adalah hancurnya
cawan-cawan arak yang terdiri dari bermacam-macam jenis itu. Sementara, cawan
yang terbuat dari perak, emas, dan perunggu tampak tergencet pipih. Kontan saja
rasa sedih tak terlukiskan ditambah rasa murka yang tidak kepalang terpancar di
wajah Zu Qianqiu. Ia pun menghamburkan pecahan-pecahan beling itu ke arah Dewa
Ranting Persik.
Akan tetapi, Dewa Ranting
Persik sudah siap sedia dan dapat mengelak dari serangan tersebut, sambil
kemudian berteriak, “Linghu Chong menyuruh kita berubah dari musuh menjadi
kawan. Apa yang dia katakan harus kita turuti. Maka, kita harus menjadi musuh
lebih dulu, baru kemudian bisa berubah menjadi kawan.”
Selama puluhan tahun Zu
Qianqiu dengan susah payah mengumpulkan berbagai jenis cawan arak yang kini
telah dihancurkan oleh Dewa Ranting Persik secara sekaligus. Sebenarnya ia
hendak melakukan pembalasan, tapi begitu mendengar ucapan Dewa Ranting Persik
itu segera ia menghentikan niatnya. Terpaksa sastrawan dekil itu menjawab
dengan senyuman hambar, “Ya, benar! Dari lawan berubah menjadi kawan! Dari
lawan menjadi kawan!” Usai berkata demikian ia pun melangkah pergi bersama Lao
Touzi dan Ji Wushi.
Dalam keadaan setengah sadar
Linghu Chong masih mengkhawatirkan keselamatannya Yue Lingshan. Ia berkata,
“Dewa Ranting Persik, tolong kau minta mereka jangan … jangan mengganggu adik
seperguruanku, Yue ….”
“Baik,” jawab Dewa Ranting
Persik. Ia kemudian berseru lantang, “Hai, hai! Sobat-sobat Lao Touzi, Burung
Hantu Malam, dan Zu Qianqiu, dengarkanlah! Linghu Chong berpesan supaya kalian
jangan sampai mengganggu adiknya yang tercinta.”
Saat itu JiWushi dan kedua
rekannya sudah berjalan lumayan jauh. Mereka langsung berhenti begitu mendengar
teriakan Dewa Ranting Persik. Lao Touzi berpaling dan menjawab dengan suara
keras, “Tentu saja! Kalau Tuan Muda Linghu berpesan demikian, pasti kami
patuhi!”
Usai menjawab demikian, ia dan
kedua temannya tampak berbisik-bisik membicarakan sesuatu, kemudian melanjutkan
perjalanan.
Yue Buqun kemudian
menceritakan apa yang telah ia saksikan di rumah Lao Touzi kepada sang istri.
Namun baru menyampaikan beberapa kalimat, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut
di daratan sana. Ternyata Dewa Akar Persik dan ketiga adiknya sudah kembali.
Keempat orang tua aneh itu langsung saja membual. Mereka berkata telah
menangkap pria berkopiah lancip yang membawa panji-panji putih tadi dan merobek
tubuh orang itu menjadi empat potong.
Mendengar itu Dewa Buah Persik
tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Lihai! Sungguh kalian keempat kakakku
sangat lihai!”
Dewa Ranting Persik juga ikut
berkata, “Kalian telah merobek orang itu menjadi empat potong? Apakah kalian
tahu dia bernama siapa?”
“Dia sudah mati. Peduli apa
dengan namanya? Memangnya kau sendiri tahu?” sahut Dewa Dahan Persik.
“Tentu saja aku tahu,” jawab
Dewa Ranting Persik. “Dia bernama Ji Wushi, alias Si Burung Hantu Malam.”
Dewa Daun Persik bersorak
memuji, “Wah, nama yang bagus! Orang itu pasti pandai meramal. Dia pasti tahu
kalau suatu saat akan bertemu Enam Dewa Lembah Persik dan kehabisan akal untuk
meloloskan diri, sehingga akhirnya tubuhnya terpotong menjadi empat. Itulah
sebabnya, jauh-jauh hari ia sudah memakai nama Ji Wushi, yang artinya
‘kehabisan akal’.”
“Ilmu kesaktian Si Burung
Hantu Malam Ji Wushi itu benar-benar lain daripada yang lain. Jarang ada
bandingannya di dunia ini,” kata Dewa Buah Persik.
“Memang benar. Ilmu
kesaktiannya memang luar biasa. Sayang sekali ia bernasib sial, bertemu dengan
Enam Dewa Lembah Persik. Jika tidak, tentu ilmu ringan tubuhnya bisa disebut
nomor satu di dunia persilatan,” sahut Dewa Akar Persik.
“Ilmu ringan tubuhnya memang
hebat. Yang lebih hebat lagi adalah ia bisa hidup kembali setelah tubuhnya
kalian robek menjadi empat potong,” ujar Dewa Buah Persik sambil tersenyum
mengejek. “Dia bisa menggabungkan kembali potongan-potongan tubuhnya dan
berjalan seperti biasa. Bahkan, ia baru saja datang kemari untuk mengobrol
denganku.”
Dewa Akar Persik, Dewa Dahan
Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik sadar kalau kebohongan mereka
telah terbongkar. Namun mereka serentak berpura-pura memperlihatkan wajah
terkejut mendengar perkataan Dewa Buah Persik tersebut.
Dewa Bunga Persik pun berkata,
“Aku baru tahu kalau Ji Wushi ternyata memiliki ilmu selihai itu. Ini
benar-benar luar biasa. Pepatah mengatakan, jangan menilai orang dari
tampangnya saja. Dalamnya laut tidak dapat diukur. Sungguh mengagumkan! Sungguh
mengagumkan!”
Dewa Dahan Persik menanggapi,
“Aku pernah dengar ada ilmu yang bisa menggabungkan tubuh yang telah terpotong
seperti sediakala dan kembali bisa berjalan dengan wajar. Itu namanya ‘Ilmu
Sakti Menggabungkan Potongan Menjadi Utuh’. Konon kabarnya, ilmu sakti ini
sudah punah sejak lama. Siapa sangka Ji Wushi ternyata mewarisi ilmu ini? Hm,
ini sungguh ilmu langka di dunia persilatan. Menurutku jika kelak kita berjumpa
lagi dengannya, sebaiknya kita menjalin pertemanan saja.”
Di sudut lain, Yue Buqun dan
Ning Zhongze sedang mengkhawatirkan nasib putri mereka yang hilang diculik
orang. Bahkan, siapa pihak yang telah menculik juga tidak diketahui dengan
pasti. Nama besar Perguruan Huashan yang termashur di dunia persilatan kali ini
terpuruk habis-habisan di lembah Sungai Kuning. Namun demikian, pasangan suami
istri itu tidak memperlihatkan rasa sedih di wajah masing-masing karena takut
para murid akan ikut bersedih dan panik. Mereka juga tidak membicarakan hal-hal
yang membingungkan dan hanya memperkeruh suasana, melainkan hanya memendam
kegelisahan dalam hati saja. Saat itu di atas kapal yang terdengar hanyalah
omong kosong Enam Dewa Lembah Persik saling adu pendapat.
Dua jam kemudian, ketika fajar
hampir menyingsing, tiba-tiba terdengar suara ramai orang berjalan di daratan.
Sejenak kemudian tampak dua buah joli diusung empat orang menuju ke tepi
sungai. Salah seorang pengusung berseru, “Tuan Muda Linghu memberi pesan supaya
kami jangan mengganggu Nona Yue, tapi majikan kami sudah telanjur berbuat.
Mohon Tuan Muda Linghu sudi memberi maaf.”
Setelah joli diletakkan di tanah,
keempat pengusung itu memberi hormat ke arah kapal, kemudian bergegas pergi
dengan langkah cepat.
“Ayah, ibu!” terdengar suara
Yue Lingshan dari salah satu joli.
Yue Buqun dan Ning Zhongze
terkejut bercampur senang. Segera mereka melompat ke daratan dan membuka tirai
joli. Pasangan suami istri itu sangat lega karena melihat putri mereka tampak
duduk di dalam bilik usungan tersebut dalam keadaan tidak kurang suatu apa,
kecuali tertotok sehingga tidak bisa berdiri. Orang yang duduk di dalam joli
satu lagi sudah pasti Lin Pingzhi.
Yue Buqun segera menepuk titik
Huantiao, Jizhong, dan Weizhong di kaki putrinya itu, kemudian bertanya, “Siapa
orang bertubuh tinggi besar yang menculik kalian tadi malam?”
“Raksasa itu, dia … dia … dia
….” Jawab Yue Lingshan dengan bibir berkerut seperti hendak menangis.
Dengan lembut, Ning Zhongze
segera menggendong tubuh putrinya itu dan membawanya masuk ke dalam kabin
kapal. Ia kemudian bertanya, “Apakah kau baik-baik saja?”
Mendengar suara sang ibu yang
penuh kasih sayang justru membuat Yue Lingshan benar-benar menangis.
Dalam hati Ning Zhongze merasa
khawatir. Ia berpikir, “Orang-orang itu bertingkah laku aneh dan mencurigakan.
Shan’er berada di tangan mereka selama beberapa jam. Mungkinkah ia mengalami
pelecehan?” Maka, Nyonya Yue pun kembali bertanya, “Sebenarnya apa yang telah
terjadi? Tidak apa-apa, katakanlah kepada Ibu.”
Namun tangis Yue Lingshan
justru semakin meledak. Tentu saja hal ini membuat Ning Zhongze bertambah
cemas. Karena di situ banyak orang, Nyonya Yue tidak berani bertanya lebih
lanjut. Segera ia merebahkan putrinya itu di atas dipan dan menutupinya dengan
selimut.
Mendadak Yue Lingshan berkata
sambil menangis, “Ibu, raksasa itu telah mencaci maki aku.”
Ucapan putrinya itu membuat
perasaan Ning Zhongze sangat lega. Ia pun menanggapi dengan tersenyum, “Hanya
dimaki orang saja apa harus begini sedih?”
“Tapi … tapi dia juga
mengangkat tangannya seperti hendak memukul aku,” gerutu Yue Lingshan.
“Baiklah, baiklah! Lain kali
jika bertemu orang itu biar kita balas memaki dan menggertaknya,” ujar Nyonya
Yue sambil tertawa.
“Padahal aku tidak
menjelek-jelekan Kakak Pertama, Lin Kecil juga tidak. Tapi raksasa itu tetap
saja mencak-mencak dan mengancamku. Katanya selama hidup ia paling tidak senang
bila mendengar ada orang menjelek-jelekkan Linghu Chong. Aku menjawab tidak. Ia
berkata, bila ia marah bisa jadi orang yang tidak disukainya akan disembelih
dan dimakan olehnya. Sambil berkata demikian ia menunjukkan giginya yang
menyeramkan kepadaku,” jawab Yue Lingshan sambil tersedu-sedu.
“Benar-benar kejam,” ujar Ning
Zhongze. “Chong’er, orang tinggi besar itu siapa?”
Linghu Chong menjawab dengan
suara lirih, “Yang tinggi besar itu? Aku … aku ….”
Saat itu Lin Pingzhi yang
sudah dibebaskan dari totokan oleh Yue Buqun, tampak melangkah masuk ke dalam
kabin. “Ibu Guru, raksasa dan biksu itu benar-benar makan daging manusia. Ini
bukan omong kosong atau gertakan belaka,” katanya menukas.
Ning Zhongze tercengang,
“Mereka berdua benar-benar makan daging manusia? Dari … darimana kau tahu?”
“Biksu itu menanyai aku
tentang kitab Pedang Penakluk Iblis. Sambil bertanya demikian, ia mengeluarkan
sepotong makanan yang lantas digerogotinya dengan lahap,” tutur Lin Pingzhi.
“Ia juga meletakkan potongan makanan itu di dekat hidung saya dan bertanya
apakah saya ingin mencicipinya. Ternyata … ternyata yang ia makan adalah
potongan tangan manusia.”
“Hah, mengapa kau … kau tidak
cerita padaku dari tadi?” teriak Yue Lingshan.
“Aku khawatir kau terkejut dan
ketakutan sehingga tidak berani menceritakannya kepadamu,” sahut Lin Pingzhi.
“Ah, aku ingat sekarang,”
tiba-tiba Yue Buqun menyela. “Mereka adalah Sepasang Beruang Gurun Utara.
Apakah si raksasa berkulit putih bersih, sedangkan si biksu berkulit hitam
legam?”
“Benar sekali,” jawab Yue
Lingshan. “Ayah kenal mereka?”
Yue Buqun menggeleng, “Tidak,
Ayah tidak kenal mereka. Ayah hanya pernah mendengar cerita orang bahwa di
padang pasir sebelah utara Tembok Besar ada dua perampok terkenal. Yang satu
bernama Beruang Putih dan yang lain bernama Beruang Hitam. Seringkali mereka
menghadang orang yang lewat dan merampok harta bendanya. Namun bila barang yang
mereka hadang dikawal oleh perusahaan ekspedisi, maka keduanya pun menangkap
para pengawal dan memakan daging mereka. Katanya, orang yang bisa ilmu silat
memiliki daging yang jauh lebih keras dan lebih gurih kalau dimakan.”
“Aih!” jerit Yue Lingshan
dengan perasaan ngeri.
“Kakak, mengapa kau bercerita
hal-hal yang memuakkan seperti itu? Sungguh membuat orang ingin muntah,” ujar Ning
Zhongze tidak setuju.
Yue Buqun tersenyum. Sejenak
kemudian barulah ia menyambung, “Selama ini aku belum pernah mendengar Sepasang
Beruang Gurun Utara melintasi Tembok Besar. Mengapa sekarang mereka telah
berada di lembah Sungai Kuning? Chong’er, bagaimana kau bisa kenal Sepasang
Beruang Gurun Utara itu?”
“Sepasang Orang Gurun Utara?”
tanya Linghu Chong setengah menggumam. Rupanya ia tidak mendengar dengan jelas
apa yang diucapkan sang guru. Setelah termenung sejenak, akhirnya ia menjawab,
“Entah, aku tidak kenal mereka.”
Tiba-tiba Yue Lingshan
menyela, “Lin Kecil, saat biksu itu menyuruhmu mencicipi daging manusia, apakah
kau mau?”
“Tentu saja tidak,” jawab Lin
Pingzhi.
“Syukurlah jika tidak. Kalau
saja kau ikut makan, hm, untuk selanjutnya aku tidak akan menggubrismu lagi,”
gerutu Yue Lingshan.
Mendadak terdengar Dewa Dahan
Persik menyahut dari luar kabin, “Makanan yang paling lezat di dunia ini adalah
daging manusia. Lin Kecil diam-diam tentu sudah mencicipinya. Hanya saja ia
tidak mau mengaku.”
“Benar, kalau dia tidak
mencicipi mengapa tidak bilang dari tadi? Kenapa baru sekarang menyangkal
mati-matian,” sahut Dewa Daun Persik menambahkan.
Sejak keluarganya tertimpa
bencana habis-habisan, sikap Lin Pingzhi banyak berubah. Kini ia selalu berhati-hati
dalam berbicara dengan siapa saja. Apa yang dikatakan kedua Dewa Lembah Persik
tadi membuatnya tercengang dan tidak bisa menjawab.
“Nah, betul tidak?” sahut Dewa
Bunga Persik ikut menimpali. “Dia tidak menjawab. Kalau diam berarti mengaku.
Nona Yue, dia sudah memakan daging manusia tapi tidak mau mengakui. Laki-laki
yang tidak jujur seperti dia mana bisa diajak menikah dan hidup bersama?”
“Benar, bila kau menikah
dengannya, kelak dia tentu main gila dengan perempuan lain. Dan bila kau
bertanya, pasti dia akan menyangkal,” sahut Dewa Akar Persik.
“Ada yang lebih celaka lagi,”
tambah Dewa Daun Persik. “Bila kau tidur bersamanya, bagaimana kalau mendadak
ia ketagihan makan daging manusia? Di tengah malam kau akan bangun karena
kesakitan dan mendengar suara ‘kriuk-kriuk’. Ternyata dia sedang memakan
jari-jari tanganmu.”
Dewa Buah Persik menyahut,
“Nona Yue, meskipun jari tangan dan kakimu berjumlah dua puluh, tetapi setiap
malam dia memakan sedikit demi sedikit, lama-lama pasti habis juga. Kau tidak
akan mempunyai jari lagi.”
Sejak bertemu di puncak Gunung
Huashan, Enam Dewa Lembah Persik sudah menganggap Linghu Chong sebagai teman
baik. Meskipun sering berdebat hal-hal yang tidak penting, namun mereka
bukanlah orang-orang dungu sama sekali. Diam-diam mereka memerhatikan perasaan
Linghu Chong yang tak terbalas oleh Yue Lingshan, bagaikan pohon yang
menggugurkan bunganya ke arah sungai kecil, namun si sungai tetap mengalir tak
peduli. Kini begitu menemukan celah kelemahan pada ucapan Lin Pingzhi, mereka
langsung memanfaatkannya untuk merusak hubungan pemuda itu dengan Yue Lingshan.
“Omong kosong semuanya! Aku
tidak mau dengar! Aku tidak mau dengar!” teriak Yue Lingshan sambil menutupi
telinganya.
Dewa Akar Persik berkata,
“Nona Yue, tidak ada salahnya kalau kau ingin menikah dengan Lin Kecil. Tetapi,
ada suatu ilmu sakti yang harus kau pelajari. Ilmu sakti ini sangatlah penting.
Kalau kau sampai lalai untuk mempelajarinya, maka aku yakin kau akan menyesal
seumur hidup.”
“Ilmu sakti macam apa itu? Menagapa
begitu penting untukku?” tanya Yue Lingshan yang penasaran karena melihat Dewa
Akar Persik berbicara dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Ilmu tersebut adalah milik Ji
Wushi, Si Burung Hantu Malam, yang disebut ‘Ilmu Sakti Menggabungkan Potongan
Menjadi Utuh’. Jika kelak di kemudian hari telingamu, hidungmu, jari-jari
tangan dan kakimu sudah habis dimakan Lin Kecil, kau tidak perlu khawatir.
Cukup gunakan ilmu sakti ini maka semuanya akan beres. Kau tinggal membedah
perutnya, ambil bagian-bagian tubuhmu itu dan tempelkan ke tempatnya semula.
Tentu tubuhmu menjadi utuh kembali.”
Di tengah suara riuh omong
kosong Enam Dewa Lembah Persik, kapal rombongan Huashan itu telah mengangkat
sauh dan melanjutkan perjalanan menuju ke arah hilir Sungai Kuning. Saat itu
fajar mulai menyingsing, kabut pagi masih menyelimuti ombak di permukaan
sungai. Pikiran pun terasa segar dan bebas lepas saat memandangnya.
Satu jam kemudian, matahari
perlahan-lahan terbit di ufuk timur. Sinarnya yang cerah dan terpantul di
permukaan sungai bagaikan ribuan ular emas yang berjalan meliuk-liuk. Tiba-tiba
dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang berlayar menuju ke arah hulu. Saat
itu angin timur bertiup kencang menerpa layar hijau kebiruan pada perahu
tersebut yang meluncur melawan arus sungai. Pada layar terpampang gambar kaki
manusia berukuran besar dan berwarna putih. Setelah perahu semakin mendekat,
ternyata gambar kaki tersebut terlihat langsing dan cantik. Orang-orang Huashan
dapat menyimpulkan kalau gambar itu adalah gambar kaki seorang wanita.
“Mengapa layar perahu itu
bergambar kaki wanita? Aneh sekali?” kata para murid Huashan saling
bertanya-tanya.
Dewa Ranting Persik berkata,
“Sepertinya itu kapal milik Sepasang Beruang Gurun Utara. Aih, Nyonya Yue dan
Nona Yue, kalian ibu dan anak harus berhati-hati. Sepertinya orang di dalam
perahu itu gemar makan kaki perempuan.”
Yue Lingshan hanya mencibir
kepadanya, namun dalam hati merasa ngeri dan gentar juga.
Beberapa menit kemudian,
perahu kecil itu sudah berhadap-hadapan dengan kapal rombongan Huashan.
Sayup-sayup terdengar suara nyanyian penumpang perahu dari dalam kabin. Suara
nyanyian tersbut terdengar lembut, namun liriknya aneh dan sukar dimengerti.
Irama lagu pun terkesan intim dan mesra, sama sekali tidak mirip nyanyian,
melainkan lebih mirip suara desahan dan rintihan. Untuk selanjutnya, suara
nyanyian berubah dan kini terdengar seperti suara laki-laki dan perempuan
sedang asyik masyuk dengan sangat riang dan penuh nafsu birahi. Mendengar itu,
mau tidak mau wajah para murid Huashan bersemu merah.
“Siluman macam apa mereka
itu!” gerutu Ning Zhongze agak memaki.
Tiba-tiba terdengar suara
centil seorang perempuan dari dalam kabin perahu tersebut, “Apakah Tuan Muda
Linghu dari Perguruan Huashan ada di atas kapal?”
Nyonya Yue berkata kepada
Linghu Chong yang masih terbaring di dalam kabin, “Chong’er, jangan kau
pedulikan perempuan itu!”
“Kami hanya ingin melihat
wajah Tuan Muda Linghu,” kata perempuan itu. Suaranya merdu dan menawan,
seperti memiliki kekuatan gaib yang membuat hati tergetar bagi siapa saja yang
mendengarnya.
Saat suaranya masih menggema,
terlihat seorang gadis melompat keluar dari dalam kabin dan kemudian berdiri di
tepi perahu. Ia memakai baju dan rok berwarna biru dengan sulaman bunga-bunga
warna putih. Di luar bajunya tampak selembar celemek berhiaskan sulaman
warna-warni dan berkilauan hijau keemasan yang tergantung menutupi dada sampai
lutut. Sepasang telinganya pun berhiaskan anting-anting sebesar mulut cawan
arak. Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga atau empat, dengan kulit agak
kekuningan. Sepasang matanya besar, dan manik matanya berwarna hitam legam.
Ikat pinggangnya pun berwarna-warni dengan kedua ujung dibiarkan
melambai-lambai tertiup angin. Anehnya, kedua kaki gadis itu telanjang tanpa
sepatu atau sandal. Meskipun penampilan gadis itu sangat menawan, namun karena
suaranya lebih dulu terdengar membuat orang-orang Huashan menganggap bahwa
suaranya lebih menawan daripada orangnya. Melihat semua pasang mata di atas
kapal tertuju kepadanya, si gadis hanya tersenyum manis. Semua dapat menebak
kalau gadis itu bukan berasal dari suku Han.
Saat itu kapal yang ditumpangi
rombongan Huashan hampir bertabrakan dengan perahu kecil yang ditumpangi gadis
tadi. Namun perahu kecil tersebut segera memutar haluan dan menurunkan layar,
sehingga sekarang berjajar di samping kapal Huashan dan sama-sama menuju ke
arah hilir.
Tiba-tiba Yue Buqun teringat
sesuatu. Ia pun menyapa, “Nona, apakah kau ini bawahan Ketua Lan dari Sekte
Lima Dewi di Yunnan?”
Gadis berbaju biru itu tertawa
cekikikan, kemudian menjawab dengan suara lembut, “Pandangan matamu boleh juga.
Tapi sayang, tebakanmu hanya benar setengah. Aku memang berasal dari Sekte Lima
Dewi di Yunnan, tapi aku bukan bawahan Ketua Lan.”
Yue Buqun maju beberapa
langkah, kemudian merangkap tangan memberi hormat dan berkata dengan santun,
“Nona, namaku Yue Buqun. Mohon beri tahukan marga Nona yang mulia, serta
petunjuk apa yang akan Nona sampaikan kepadaku dengan berkunjung ke sungai
ini?”
Gadis itu menjawab, “Aku dari
suku Miao. Aku tidak paham bahasamu yang muluk-muluk. Apa katamu tadi?”
“Nona, mohon supaya
memberitahukan margamu?” ulang Yue Buqun.
Si gadis membalas, “Kau sudah
tahu aku ini bermarga apa, mengapa masih bertanya?”
Yue Buqun berkata, “Aku bertanya
karena aku benar-benar tidak mengetahui margamu.”
Gadis itu menjawab, “Kau ini
sudah tua. Lihat saja, janggut kambingmu sudah sepanjang ini. Jelas-jelas kau
sudah tahu margaku, tapi mengapa masih pura-pura tidak tahu?” Ucapan ini
terdengar tidak sopan tetapi disampaikannya dengan tersenyum manis. Raut
mukanya yang ramah dan suaranya yang lembut sama sekali tidak menunjukkan rasa
permusuhan.
“Nona, kau jangan bercanda,”
kata Yue Buqun.
“Nah, Ketua Yue, sebutkan apa
margamu?” tanya si gadis baju biru.
“Nona, kau sudah tahu aku
bermarga Yue, mengapa masih bertanya padahal sudah tahu jawabannya?” balas Yue
Buqun.
Ning Zhongze kesal melihat
ucapan perempuan yang dinilainya main-main itu. Ia pun berbisik kepada sang
suami, “Jangan pedulikan dia.”
Yue Buqun meletakkan tangan di
balik punggung dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali sebagai isyarat kepada
istrinya supaya tidak ikut bicara.
Melihat itu Dewa Akar Persik
menanggapi, “Mengapa Tuan Yue menggoyang-goyangkan tangannya di balik punggung?
Ah, aku tahu! Nyonya Yue menyuruhnya supaya tidak memedulikan perempuan itu.
Tapi setelah Tuan Yue melihat perempuan itu ternyata cantik dan genit, maka ia
sengaja tidak menuruti perkataan istrinya, dan memilih tetap memerhatikan
perempuan itu.”
Gadis baju biru itu tersenyum
dan berkata, “Terima kasih banyak. Kau bilang aku cantik dan … genit? Kami
perempuan suku Miao, mana bisa lebih cantik dan genit daripada perempuan suku
Han kalian?” Ternyata ia tidak mengetahui kalau kata “genit” mengandung makna
yang kurang baik sehingga apa yang dikatakan Dewa Akar Persik dianggapnya
sebagai pujian. Dengan wajah berseri-seri, ia kemudian bertanya kepada Yue
Buqun, “Kau sudah tahu apa margaku. Kenapa kau masih bertanya padahal sudah
tahu jawabannya?”
Dewa Ranting Persik menyahut,
“Hei, apa yang akan terjadi pada Tuan Yue? Dia tidak menuruti perkataan
istrinya.”
“Akibatnya pasti tidak baik,”
kata Dewa Bunga Persik.
Dewa Dahan Persik ikut
menanggapi, “Bukankah Tuan Yue dijuluki ‘Si Pedang Budiman’? Sepertinya dia
sama sekali tidak budiman. Dia sudah tahu perempuan ini bermarga apa, tetapi
masih saja bertanya. Dia terus bertanya padahal sudah tahu jawabannya. Aku rasa
dia hanya mengada-ada supaya tetap bisa berbicara dengan perempuan itu.”
Yue Buqun sangat kesal
bercampur malu mendengar pembicaraan Enam Dewa Lembah Persik. Ia pun berpikir,
“Enam bersaudara ini suka bicara seenaknya. Kalau mulut mereka tidak disumpal,
entah omong kosong apa lagi yang akan mereka katakan? Bagaimana pula perasaan
para murid mendengar ucapan mereka?”
Namun, begitu mengingat sifat
dan kebiasaan keenam orang aneh itu, Yue Buqun memilih tidak memedulikan
mereka. Ia pun berkata kepada si gadis, “Nona, mohon sampaikan hormat kami
kepada Ketua Lan. Yue Buqun dari Perguruan Huashan berharap semoga Beliau
selalu dalam keadaan baik.”
Gadis berbaju biru itu
terbelalak. Matanya melotot lebar dan berputar-putar seakan tidak percaya
mendengar ucapan Yue Buqun. “Hei, kenapa kau menyebutku sebagai ‘Beliau’?
Memangnya aku ini sudah tua?”
Kini giliran Yue Buqun yang
terkejut setengah mati. Ia pun berkata dengan gugup, “Nona … jadi kau … kau
adalah Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi ….”
Sepak terjang Sekte Lima Dewi
sebagai kelompok yang ganas dan kejam sudah lama diketahui Yue Buqun.
Sebenarnya, kaum persilatan diam-diam lebih suka menyindir kelompok ini sebagai
Sekte Lima Racun. Pada awalnya ketika didirikan sekitar seratus tahun yang
lalu, kelompok ini memang bernama Sekte Lima Racun. Para pendiri dan pemuka
sekte ini adalah orang-orang suku Miao dari daerah Yunnan, Guizhou, Sichuan,
dan Hunan. Kemudian setelah beberapa orang suku Han bergabung dengan sekte ini,
mereka mengusulkan supaya nama “Lima Racun” diubah saja karena terkesan kurang
anggun. Mereka pun mengubah nama perkumpulan menjadi “Lima Dewi”.
Sekte Lima Dewi pandai
menggunakan hawa beracun yang keluar dari tanah rawa, bisa serangga, dan
parasit tak kasat mata. Nama besar mereka di wilayah selatan dapat disejajarkan
dengan Partai Seratus Racun yang berjaya di wilayah utara. Anggota Sekte Lima
Dewi kebanyakan berasal dari suku Miao, sehingga tipu muslihat mereka dalam
menggunakan racun tidak sehebat dan serapi Partai Seratus Racun. Namun racun
yang mereka gunakan seringkali sangat aneh dan sukar dibayangkan. Konon
kabarnya, apabila Partai Seratus Racun berniat meracuni orang, meskipun sulit
dihindari, tetapi masih bisa diselidiki cara bekerjanya sehingga dapat pula
diketahu penyebabnya. Lain halnya dengan Sekte Lima Dewi. Meskipun orang yang
menaruh racun menjelaskan dengan terus terang dan terperinci, namun tetap saja
susah dibayangkan dan susah dipercaya. Keanehan dan kengerian yang terjadi
akibat racun tersebut sulit dijelaskan dengan akal sehat.
“Aku memang bernama Lan
Fenghuang, apa kau belum tahu?” kata gadis berbaju biru itu dengan tersenyum.
“Kuberi tahu kau, aku memang berasal dari Sekte Lima Dewi, tetapi bukan bawahan
Ketua Lan. Di dalam Sekte Lima Dewi, selain Lan Fenghuang, mana ada yang bukan
bawahan Ketua Lan?” Sampai di sini ia pun tertawa cekikikan.
Enam Dewa Lembah Persik ikut
tertawa sambil bertepuk tangan. Mereka serentak berkata, “Tuan Yue benar-benar
bodoh. Perempuan ini sudah memberi tahu tapi tetap saja dia tidak mengerti.”
Yue Buqun sudah lama
mengetahui kalau Sekte Lima Dewi dipimpin seorang ketua bermarga Lan. Kini
setelah mendengar gadis itu berkata demikian, ia pun mengetahui kalau nama
lengkapnya Lan Fenghuang, yang artinya “Burung Feng Biru”. Dilihat dari
penampilannya yang berwarna-warni, gadis itu memang mirip burung feng berwarna
biru.
Pada umumnya, gadis suku Han
dari keluarga baik-baik selalu menyembunyikan nama lengkapnya sampai ia
bertunangan dengan seseorang. Apabila keluarga calon suami melamar dan
menjalankan tradisi “bertanya nama”, barulah si gadis memberitahukan nama
lengkapnya. Meskipun kaum persilatan tidak terlalu mematuhi adat istiadat,
namun mereka juga tidak sembarangan menyebut nama lengkap seorang nona. Tak
disangka, gadis dari suku Miao ini tanpa malu-malu menyebutkan nama lengkapnya
di hadapan banyak orang di atas aliran sungai. Ketika menyebutkan nama lengkap,
wajahnya terlihat santai dan tindak-tanduknya alami, sedangkan suaranya
terdengar semakin lembut dan memesona.
Lan Fenghuang berusia masih
muda, namun dapat mengetuai sebuah sekte terkenal. Hal ini membuat Yue Buqun
dan yang lain sangat tercengang.
Yue Buqun kembali memberi
hormat sambil berkata, “Ternyata Ketua Lan sendiri yang berkunjung secara
pribadi kemari. Aku, Yue Buqun, mohon maaf karena bersikap lancang. Entah
pelajaran apa yang akan Ketua Lan berikan kepadaku?”
Lan Fenghuang menjawab sambil
tersenyum, “Aku ini buta huruf; pelajaran apa yang bisa kuberikan kepadamu?
Atau seharusnya kaulah yang memberi pelajaran kepadaku. Penampilanmu seperti
sarjana guru sekolah. Mungkin kau akan mengajariku cara membaca, benar tidak?
Aku ini sangat bodoh, sedangkan kalian orang Han sangat pintar. Aku sendiri
tidak yakin apakah bisa belajar dengan baik atau tidak.”
Yue Buqun pun berkata dalam
hati, “Dia ini pura-pura bodoh atau memang benar-benar tidak paham basa-basi
pergaulan? Dilihat dari raut wajahnya, sepertinya dia tidak pura-pura.” Setelah
berpikir demikian, ia pun mengulangi pertanyaan dengan menggunakan kalimat yang
lebih sederhana, “Ketua Lan, ada urusan apa datang kemari?”
Lan Fenghuang balas bertanya,
“Linghu Chong itu adik seperguruanmu, ataukah muridmu?”
“Muridku,” jawab Yue Buqun.
“Hm, apa aku boleh melihat
dia?” pinta Lan Fenghuang.
“Muridku itu sedang sakit dan
pikirannya masih kacau. Mohon maaf untuk saat ini dia tidak pantas datang
kemari untuk memberi hormat kepada Ketua Lan,” jawab Yue Buqun.
“Memberi hormat kepadaku?”
tanya Lan Fenghuang dengan mata terbelalak pertanda hatinya sangat terkejut.
“Aku tidak ingin dia memberi hormat kepadaku. Dia bukan bawahan Sekte Lima Dewi
kami, untuk apa dia memberi hormat kepadaku? Di samping itu, dia adalah …
hihihi … dia adalah teman baik dari seseorang. Meskipun dia datang kemari untuk
memberi hormat, tetap saja aku tidak ingin menerimanya. Aku dengar dia telah
mengiris nadi sendiri untuk mengeluarkan darah sebanyak dua mangkuk dan meminumkannya
kepada anak perempuan Lao Touzi, demi menyelamatkan nyawa nona itu. Laki-laki
yang penuh kasih sayang dan rela berkorban seperti dia sangat dikagumi oleh
perempuan Miao sepertiku. Itu sebabnya, aku datang kemari karena ingin
melihatnya.”
Yue Buqun menggumam, “Hal ini
… hal ini ….”
Lan Fenghuang menukas, “Aku
tahu dia terluka dan kehilangan banyak darah. Kau tidak perlu memanggilnya
keluar. Biar aku saja yang masuk ke dalam.”
Yue Buqun buru-buru menyahut,
“Kami tidak berani merepotkan Ketua yang mulia.”
“Yang mulia apanya? Terserah
kau!” kata Lan Fenghuang dengan tertawa cekikikan. Gadis itu kemudian melompat
dari perahunya dan mendarat dengan anggun di atas kapal rombongan Huashan.
Yue Buqun dapat melihat Lan
Fenghuang memiliki gerakan yang lincah, namun sesungguhnya tidak memiliki ilmu
silat yang istimewa. Ia segera mundur dua langkah untuk menghalangi pintu masuk
kabin kapal. Dalam hati ia merasa sangat rikuh karena tahu kalau Sekte Lima
Dewi sangat sulit dihadapi. Mereka memiliki keahlian meracun tingkat tinggi,
dan suka datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Jika bertarung melawan
aliran sesat seperti mereka, tentu tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu
silat belaka. Itulah sebabnya sejak tadi Yue Buqun selalu menggunakan kata-kata
sopan demi untuk menghindari perselisihan.
Teringat kemarin malam ada dua
anggota Partai Seratus Racun yang menyebutkan kalau mereka telah menerima
perintah untuk membuntuti rombongan Huashan, membuat Yue Buqun mencoba menebak
bahwa yang memberi perintah tentu pihak Sekte Lima Dewi. Namun, untuk apa Sekte
Lima Dewi berniat menyusahkan Perguruan Huashan? Sekte Lima Dewi memiliki
kekuatan besar di dunia persilatan. Saat ini Sang Ketua Sekte datang sendiri,
tentu tidak seharusnya Yue Buqun menghadang langkahnya. Namun membiarkan
seseorang yang sekujur tubuhnya mengandung racun aneh seperti dia masuk ke
dalam kabin tentu sangat berbahaya. Menyadari hal itu, Yue Buqun merasa lebih
baik Linghu Chong saja yang keluar dari kabin untuk menemui perempuan itu. Segera
ia pun berteriak, “Chong’er, Ketua Lan ingin menemuimu. Lekas kau keluar untuk
menemuinya!”
Linghu Chong yang kehilangan
banyak darah masih belum bisa mendengar dengan jelas. Meskipun sang guru
berteriak, namun ia hanya bisa menjawab lirih, “Baik, Guru!” Ia mencoba bangun
namun baru bergerak sedikit sudah jatuh terduduk dan sulit untuk bangkit
kembali.
Lan Fenghuang berkata, “Aku
dengar dia sedang terluka parah. Mana bisa dia keluar kemari? Angin di sungai
ini sangat kencang. Aku tidak ingin dia masuk angin, padahal saat ini sudah
kenyang menderita. Biarlah aku yang masuk ke dalam untuk menemuinya.”
Gadis itu kemudian berjalan
menuju pintu kabin. Ketika jarak tinggal satu meter, Yue Buqun mencium bau
harum yang sangat menyengat dari tubuhnya. Terpaksa ia sedikit memiringkan
badan supaya gadis itu bisa masuk ke dalam kabin.
Di luar kabin, lima Dewa
Lembah Persik duduk bersila, sedangkan Dewa Buah Persik berbaring di atas
dipan. Lan Fenghuang pun tersenyum dan menyapa mereka, “Kalian pasti Enam Dewa
Lembah Persik, bukan? Aku ini Ketua Sekte Lima Dewi. Dewa dan Dewi adalah
saudara. Kita ini berasal dari golongan yang sama.”
“Tidak sama!” jawab Dewa Akar
Persik. “Kami adalah dewa asli, sedangkan kau dewi palsu.”
“Meskipun kau dewi asli, tetap
saja jumlah kami lebih banyak. Kami adalah enam dewa, sedangkan kau hanya lima
dewi,” tambah Dewa Dahan Persik.
Lan Fenghuang menjawab, “Kalau
kami ingin lebih banyak dari kalian bukanlah hal yang sulit.”
“Bagaimana kau bisa lebih
banyak daripada kami?” tanya Dewa Daun Persik. “Apa kau hendak mengubah nama
menjadi Sekte Tujuh Dewi?”
Lan Fenghuang menjawab sambil
tersenyum nakal, “Kami hanya punya Lima Dewi, bukan tujuh. Namun kalian Enam
Dewa Lembah Persik bisa berubah menjadi Empat Dewa Lembah Persik. Bukankah dengan
demikian jumlah kami menjadi lebih banyak?”
“Mengubah enam dewa menjadi
empat dewa? Apa kau bermaksud hendak membunuh dua dari kami?” tanya Dewa Bunga
Persik dengan nada gusar.
“Membunuh atau tidak, itu
terserah kami, benar tidak?” balas Lan Fenghuang dengan tersenyum bangga.
“Hanya saja, aku dengar kalian berenam ini adalah sahabat Linghu Chong, maka
aku tidak akan membunuh kalian. Tapi, untuk selanjutnya kalian tidak boleh lagi
menyombongkan diri dengan mengatakan jumlah kalian lebih banyak daripada Sekte
Lima Dewi kami.”
“Kalau kami tetap
menyombongkan diri, kau mau apa?” kata Dewa Dahan Persik.
Secepat kilat Dewa Akar
Persik, Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik sudah
menerjang maju dan memegang tangan dan kaki Lan Fenghuang. Ketika baru saja
hendak mengangkat tubuh perempuan itu ke atas, mereka berseru kaget dan
melepaskan pegangan masing-masing. Begitu setiap orang membuka genggaman,
mereka melihat suatu benda mengerikan berada di telapak tangan masing-masing.
Raut muka keempat bersaudara itu langsung menunjukkan rasa ngeri luar biasa.
Yue Buqun pun terkejut begitu
menyaksikan apa yang berada di dalam tangan keempat Dewa Lembah Persik. Ia
merasa bulu kuduknya berdiri dan keringat dingin mengalir di punggung. Ternyata
Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik masing-masing memegang seekor kelabang
besar berwarna hijau, sedangkan Dewa Daun Persik dan Dewa Bunga Persik
masing-masing memegang seekor laba-laba berwarna-warni. Tubuh keempat binatang
berbisa itu dipenuhi rambut panjang sehingga siapa saja yang melihat pasti
merasa muak dan ingin muntah. Namun demikian, keempat hewan berbisa itu hanya
bergetar tanpa menggigit tangan Dewa Akar Persik dan yang lain. Apabila keempat
hewan itu menggigit, pasti empat Dewa Lembah Persik tidak mungkin terlihat
ketakutan. Karena keempat hewan itu belum menyuntikkan bisa, empat Dewa Lembah
Persik pun tidak berani bergerak sedikit pun.
Lan Fenghuang lantas
mengibaskan lengan bajunya dengan gerakan enteng. Keempat hewan berbisa
langsung hilang dari pandangan. Setiap orang dapat melihat Lan Fenghuang
mengambil kembali keempat hewannya dengan kibasan lengan baju tadi, namun tidak
seorang pun yang tahu di mana keempat hewan itu disembunyikan.
Ketua Sekte Lima Dewi itu
melangkah masuk ke dalam kabin tanpa memedulikan Enam Dewa Lembah Persik yang
ketakutan setengah mati dan kini tidak berani bicara apa-apa lagi.
Linghu Chong dan beberapa
murid laki-laki Huashan sedang berada di kabin tengah. Saat itu Ning Zhongze
dan para murid perempuan sudah berada di kabin belakang. Antara kedua ruang
kabin tersebut terpisahkan oleh sekat yang terbuat dari papan kayu. Begitu Lan
Fenghuang masuk ke dalam kabin tengah, matanya lantas mengamat-amati setiap
murid Huashan yang ada di sana. Setelah itu ia melangkah ke arah dipan dan
menyapa lirih, “Tuan Muda Linghu! Tuan Muda Linghu!”
Suara panggilannya sangat
lembut dan bergema di telinga setiap orang yang mendengarnya. Para murid
laki-laki Huashan pun bergolak jiwanya mendengar panggilan tersebut,
seolah-olah mereka merasa bahwa diri mereka yang sedang dipanggil, bukan Linghu
Chong. Akibatnya, hampir semua orang tanpa sadar menjawab. Setelah Lan
Fenghuang dua kali memanggil, setengah dari jumlah murid laki-laki yang berada
di situ terlihat gemetar dengan wajah merah padam menahan malu.
Linghu Chong membuka mata
perlahan-lahan dan bertanya lirih, “Siapa … siapa kau ini?”
Lan Fenghuang menjawab dengan
lembut, “Aku ini teman dari sahabat baikmu. Jadi, aku ini temanmu juga.”
Linghu Chong hanya bisa
mendehem pelan dan kembali menutup mata.
Lan Fenghuang berkata, “Tuan
Muda Linghu, aku tahu kau baru saja kehilangan banyak darah. Tapi kau tidak
perlu khawatir. Kau tidak akan mati.”
Linghu Chong merasa bingung,
namun tidak menjawab apa-apa.
Lan Fenghuang memasukkan tangannya
ke dalam selimut Linghu Chong dan menarik keluar tangan pemuda itu. Begitu
memeriksa denyut nadi Linghu Chong, seketika Lan Fenghuang terkejut dan
mengernyitkan dahi. Perempuan itu lantas mengeluarkan kepalanya ke jendela
kabin. Mulutnya bersuit dan mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti
orang-orang di dalam kabin.
Rupanya Lan Fenghuang baru
saja memanggil anak buahnya dengan menggunakan bahasa daerah sendiri. Tidak
lama kemudian, empat orang perempuan suku Miao sudah naik ke atas kapal
rombongan Huashan dan masuk ke dalam kabin. Rata-rata mereka berusia delapan
belas tahun, dan semuanya memakai baju biru berhiaskan motif bunga-bunga, serta
ikat pinggang bersulam indah. Masing-masing tangan keempat gadis tersebut
tampak memegang sebuah kotak berukuran dua puluh senti, yang terbuat dari
anyaman bambu.
Yue Buqun agak mengernyitkan
dahi, berpikir bahwa kotak-kotak yang dibawa anggota Sekte Lima Dewi tersebut
pasti bukan sesuatu yang baik. Pada tubuh Lan Fenghuang saja sudah tersembunyi
beberapa ekor kelabang dan laba-laba beracun. Kini, keempat gadis Miao itu
masuk ke dalam kabin sambil memegang kotak bambu pasti hendak membuat
kekacauan. Meskipun demikian, Yue Buqun tidak berusaha turun tangan karena
pihak lawan sepertinya belum memperlihatkan tanda-tanda permusuhan.
Keempat gadis Miao itu
melangkah ke sisi Lan Fenghuang dan membisikkan sesuatu. Setelah Lan Fenghuang
mengangguk, keempat gadis itu lantas membuka tutup kotak bambu masing-masing.
Para murid Huashan penasaran dan ingin sekali mengetahui benda aneh apa yang
berada di dalam kotak-kotak tersebut. Dalam peristiwa tadi, hanya Yue Buqun
yang sempat melihat empat hewan berbulu dan berbisa berada di dalam genggaman
empat Dewa Lembah Persik, dan untuk selanjutnya ia tidak ingin lagi melihat
hewan-hewan menjijikkan tersebut seumur hidup.
Namun yang terjadi kemudian
adalah suatu pemandangan aneh. Keempat gadis Miao tersebut menyingsingkan
lengan baju masing-masing hingga lengan mereka yang putih bersih sampai siku
terlihat jelas. Mereka juga menggulung bagian bawah celana masing-masing sampai
lutut sehingga betis mereka pun kelihatan pula. Menyaksikan hal itu membuat
para murid Huashan terperanjat dengan jantung berdebar-debar.
Yue Buqun berseru di dalam
hati, “Celaka! Wanita-wanita aliran sesat ini hendak mengerahkan ilmu sihir dan
menggunakan nafsu birahi untuk menjerat murid-muridku. Suara Lan Fenghuang
seorang saja sudah terdengar begitu cabul. Kalau sekarang dia menggunakan ilmu
sihir, tentu murid-muridku tidak akan berdaya untuk melawannya.”
Berpikir demikian membuat Yue
Buqun bersiap-siap dengan meraba gagang pedang. Ia berniat mencabut pedangnya
apabila para perempuan Miao itu melepaskan baju dan mengerahkan guna-guna.
Setelah keempat anak buahnya
menggulung lengan baju dan celana, Lan Fenghuang pun melakukan hal yang sama.
Perlahan-lahan Ketua Sekte Lima Dewi itu menggulung celana bagian bawah
sehingga betisnya terlihat. Melihat keadaan semakin gawat, Yue Buqun segera
mengedipkan mata ke arah para murid supaya mereka mundur ke luar kabin dan terbebas
dari guna-guna. Namun hanya Lao Denuo yang banyak pengalaman dan Shi Daizi yang
lugu saja yang benar-benar keluar. Para murid lainnya ada yang melangkah mundur
namun tanpa sadar kembali lagi ke tempat semula, bahkan ada pula yang tetap
berdiri tanpa bergerak sedikit pun sambil memandang apa yang dilakukan kelima
perempuan Miao tersebut.
Yue Buqun segera menghimpun
tenaga dalam yang berpusat pada titik Dantian di bawah perut, dan mengerahkan
ilmu Awan Lembayung. Segera pada wajahnya pun memancarkan warna ungu
kemerah-merahan. Ia mengetahui dengan baik bagaimana Sekte Lima Dewi memiliki
nama besar di dunia persilatan wilayah selatan. Nama besar yang cenderung
menyeramkan itu sudah pasti tidak mereka peroleh dengan cuma-cuma. Tak
diragukan lagi, sekte ini pasti memiliki cara-cara yang kejam dan ganas di luar
kebiasaan untuk mendapatkan kejayaan di dunia persilatan. Kali ini, Sang Ketua
sendiri yang melancarkan ilmu sihirnya, tentu masalah ini bukan suatu yang bisa
dianggap remeh. Yue Buqun merasa perlu menjaga diri dengan ilmu Awan Lembayung
karena ia khawatir lengah sedikit saja akan jatuh ke dalam pengaruh guna-guna
Lan Fenghuang. Telah terlihat jelas bagaimana para perempuan suku Miao itu
tanpa malu-malu memperlihatkan lengan dan betis di depan umum, dan bahkan
kemungkinan bisa lebih dari itu membuat Yue Buqun semakin khawatir. Mati
terkena racun tidak menjadi masalah baginya. Tapi jika ia jatuh ke dalam
perangkap guna-guna dan ilmu sihir tentu akan membuatnya malu seumur hidup.
Jika hal itu sampai terjadi, maka nama besar Perguruan Huashan dan Si Pedang
Budiman akan benar-benar hancur luluh.
Keempat gadis Miao itu
terlihat mengambil sesuatu dari dalam kotak bambu masing-masing. Sesuatu
tersebut tampak menggeliat-liat di tangan mereka. Yue Buqun hanya bisa menebak
mungkin itu semacam cacing berbisa. Anehnya, keempat gadis Miao itu justru
menempelkan cacing-cacing itu pada lengan dan betis mereka sendiri. Hewan-hewan
tersebut melekat kuat dan tidak jatuh sama sekali.
Yue Buqun menajamkan
penglihatannya ke arah cacing-cacing itu. Kini ia paham bahwa sebenarnya itu
bukan cacing, melainkan lintah, sejenis hewan penghisap darah yang banyak
dijumpai di perairan atau rawa-rawa di pedesaan. Hanya saja, dibandingkan
dengan binatang lintah pada umumnya, lintah yang mereka bawa tersebut berukuran
dua kali lebih besar. Gadis-gadis Miao itu terus-menerus mengambil lintah satu
demi satu dari dalam kotak masing-masing dan menempelkannya ke kulit. Lan
Fenghuang pun melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, lengan dan betis
kelima perempuan itu sudah dipenuhi lintah, yang jumlahnya masing-masing
mencapai seratus ekor.
Para hadirin di dalam kabin
hanya bisa tercengang heran. Mereka tidak tahu apa sebenarnya maksud dan tujuan
kelima gadis Miao tersebut. Sementara itu, Ning Zhongze di ruang sebelah hanya
bisa mendengar suara para gadis merintih-rintih, “Ah! Uh!” sehingga membuat
hatinya penasaran. Tak kuasa menahan diri, Nyonya Yue pun menarik papan
penyekat ruangan kabin. Begitu melihat pemandangan yang sebenarnya, ia pun
menjerit kaget, “Aih!”
Lan Fenghuang menyapa dengan
tersenyum ramah, “Jangan takut. Mereka tidak akan menggigitmu. Apakah kau ini
istri Tuan Yue? Kabarnya kau punya ilmu pedang hebat, ya?”
Ning Zhongze tidak menjawab,
melainkan hanya tersenyum yang agak dipaksakan. Saat Lan Fenghuang bertanya
apakah ia istri Tuan Yue, hal ini terdengar kasar bagi suku Han. Sedangkan
pertanyaan apakah ilmu pedangnya hebat, apabila yang bertanya orang lain tentu
Ning Zhongze akan menjawab dengan rendah hati. Namun karena yang bertanya
adalah Lan Fenghuang yang kurang memahami adat istiadat suku Han membuat Ning
Zhongze merasa serba salah. Jika dijawab “benar” maka akan terkesan sombong,
namun jika dijawab “tidak” tentu si gadis Miao akan mengira ilmu pedang Ning
Zhongze biasa saja. Daripada Lan Fenghuang memandang rendah terhadap dirinya,
Ning Zhongze memutuskan hanya tersenyum tanpa menjawab. Lagipula, Lan Fenghuang
juga diam saja dan tidak melanjutkan pembicaraan.
Yue Buqun sendiri masih
berjaga-jaga dengan tangan meraba gagang pedang. Apabila para gadis Miao itu
melakukan gerakan mencurigakan, maka ia langsung mencabut pedang dan menyerang
mereka. Pepatah mengatakan, untuk menangkap kawanan penkahat sebaiknya ringkus
pemimpinnya dulu. Maka itu, Yue Buqun pun bersiap untuk menyerang Lan Fenghuang
terlebih dulu. Saat itu keadaan di dalam kabin begitu sunyi, kecuali terdengar
suara napas berat para murid laki-laki Perguruan Huashan.
Selang agak lama, tubuh
lintah-lintah tersebut terlihat menggelembung dan berwarna kemerah-merahan. Yue
Buqun paham apabila lintah menempel pada kulit manusia atau hewan, maka mereka
akan melekat kuat dan menghisap darah sampai kenyang. Mereka tidak akan
melepaskan diri sebelum benar-benar kenyang. Pada saat lintah menghisap darah,
makhluk yang dihisapnya seringkali tidak merasakan apa-apa, kecuali gatal atau
kebas saja. Tidak jarang para petani di sawah dihisap darahnya oleh lintah
namun mereka tidak mengetahuinya.
Dalam hati Yue Buqun
bertanya-tanya, “Untuk apa para wanita iblis ini menggunakan lintah untuk
menghisap darah sendiri? Mungkin untuk mengerahkan ilmu sihir mereka,
orang-orang Sekte Lima Dewi harus menggunakan darah mereka sendiri. Sepertinya,
setelah lintah-lintah itu kenyang menghisap darah, mereka akan segera
mengerahkan guna-guna.”
Lan Fenghuang dengan lembut
membuka selimut penutup tubuh Linghu Chong, kemudian mencabut seekor lintah
yang sudah kenyang menghisap darah dari lengannya. Lintah tersebut kemudian
diletakkannya pada pembuluh darah di leher Linghu Chong.
Khawatir Lan Fenghuang hendak
mencelakai Linghu Chong, Ning Zhongze pun berkata dengan cemas, “Hei, apa yang
kau lakukan?” Wanita itu kemudian melompat ke kabin tengah sambil menghunus
pedang.
“Tunggu dulu! Jangan
tergesa-gesa!” cegah Yue Buqun sambil menggelengkan kepala.
Ning Zhongze pun menghentikan
langkah namun tangannya tetap memegang gagang pedang erat-erat sambil pandangan
mata menatap tajam ke arah Lan Fenghuang dan Linghu Chong.
Begitu lintah tadi melekat di
leher Linghu Chong langsung menggigit dan menghisap darah. Lan Fenghuang
mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari balik bajunya. Setelah tutup
dibuka, perempuan itu mengambil sedikit isinya yang berupa serbuk menggunakan
ujung kuku jari kelingking. Serbuk tersebut kemudian ditaburkan pada tubuh si
lintah. Keempat gadis Miao yang lain segera membuka baju Linghu Chong pada
bagian dada dan perut serta menggulung lengan baju dan kaki celana pemuda itu.
Mereka lalu mencabuti satu per satu lintah pada tubuh masing-masing dan
memindahkannya di dekat pembuluh darah pada dada, perut, kaki, dan lengan
Linghu Chong. Dalam sekejap, lebih dari dua ratus ekor lintah sudah menempel
dengan erat di tubuh si pemuda. Sementara itu, Lan Fenghuang sibuk menaburkan
serbuk dari botol kecilnya pada setiap lintah yang ada.
Suatu keanehan terjadi.
Sewaktu menempel di tubuh para gadis Miao, lintah-lintah itu semakin lama
semakin menggelembung. Namun kini yang terjadi adalah sebaliknya. Lintah-lintah
itu saat menempel di tubuh Linghu Chong justru semakin kempis dan mengkerut.
Seketika Yue Buqun sadar apa
yang sebenarnya terjadi. Sambil menghela napas lega, ia pun berpikir, “Ternyata
perempuan-perempuan ini sedang memindahkan darah mereka untuk dimasukkan ke
dalam tubuh Chong’er melalui lintah sebagai perantara. Serbuk putih itu entah
dibuat dari bahan apa sehingga bisa memaksa lintah-lintah itu untuk memuntahkan
darah yang baru saja mereka hisap. Benar-benar ajaib!”
Menyadari hal itu, Yue Buqun
pun mengendurkan jari-jarinya yang sejak tadi siap mencabut pedang. Sementara
itu, sang istri yang berpikiran sama tampak tersenyum dan menyarungkan kembali
pedangnya.
Meskipun di dalam kabin masih
tetap sunyi senyap, namun suasana tegang – seolah akan terjadi pertempuran
habis-habisan – kini telah berubah menjadi tenang. Bahkan, Enam Dewa Lembah
Persik pun terheran-heran menyaksikan apa yang sedang terjadi. Mulut mereka
menganga lebar sehingga tidak bisa berdebat dan adu pendapat seperti biasanya.
Sungguh peristiwa yang jarang terjadi.
Tidak lama kemudian, terdengar
suara seekor lintah jatuh di lantai kabin. Lintah yang telah memuntahkan
seluruh darah dari perutnya itu menggelepar beberapa kali kemudian mati.
Seorang gadis Miao memungut bangkai binatang itu dan membuangnya ke sungai
melalui jendela kabin. Satu per satu lintah yang menempel di tubuh Linghu Chong
pun berjatuhan dan segera dilemparkan ke sungai pula. Kini, wajah Linghu Chong
terlihat merona merah setelah sebelumnya pucat pasi seperti kertas. Darah para
gadis Miao yang disalurkan ke dalam tubuhnya melalui lintah-lintah tadi
jumlahnya lebih dari satu mangkuk besar. Meskipun tidak dapat menggantikan
seluruh darahnya yang hilang, namun sudah cukup untuk menyelamatkan nyawanya.
Yue Buqun dan Ning Zhongze
saling berpandangan. Suami istri itu sama-sama berpikir, “Perempuan Miao ini
seorang ketua sekte besar dan ternama, namun tidak segan-segan menyalurkan
darahnya ke dalam tubuh Chong’er. Dia dan Chong’er belum pernah berjumpa, jadi
tidak mungkin memiliki perasaan cinta atau semacamnya. Ia tadi mengaku sebagai
teman dari sahabat baik Chong’er. Sejak kapan Chong’er berkenalan dengan
seseorang yang mempunyai kekuasaan besar seperti itu?”
Begitu melihat perubahan warna
pada muka Linghu Chong, Lan Fenghuang segera memeriksa denyut nadi pemuda itu
yang terasa lebih kuat daripada tadi. Merasa senang, gadis itu pun bertanya,
“Tuan Muda Linghu, bagaimana perasaanmu?”
Meskipun Linghu Chong tidak
sepenuhnya paham apa yang baru saja terjadi, namun ia yakin kalau kedatangan
perempuan itu adalah untuk mengobatinya. Terbukti, ia kini merasa jauh lebih
kuat daripada tadi. Maka, ia pun menjawab, “Terima kasih banyak, Nona. Aku …
aku sekarang merasa jauh lebih baik.”
Lan Fenghuang menyahut, “Apa
menurutmu aku sudah tua? Memangnya aku sudah sangat tua, ya?”
Linghu Chong menjawab, “Siapa
bilang kau sudah tua? Sudah jelas kau masih muda. Bahkan, kalau kau tidak
keberatan, aku akan memanggilmu ‘adik’.”
Lan Fenghuang terlihat sangat
senang. Senyumnya merekah bagaikan sekuntum bunga yang baru saja mekar di musim
semi sehingga menambah kecantikannya. Ia pun berkata, “Kau benar-benar baik.
Pantas saja, seseorang yang tidak pernah peduli pada laki-laki di muka bumi
bisa sedemikian baik kepadamu. Tidak heran … tidak heran … aih ….”
Linghu Chong menanggapi,
“Kalau kau memang menganggapku baik, mengapa tidak memanggil ‘kakak’ saja
kepadaku?”
Wajah Lan Fenghuang agak
merona merah saat ia berkata, “Kakak Linghu!”
Linghu Chong langsung
menjawab, “Adik yang baik! Adik yang manis!”
Dasar watak Linghu Chong yang
bebas dan merdeka, sehingga tidak memedulikan hal-hal remeh. Sifatnya sangat
berbeda dengan Yue Buqun yang selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang
budiman. Begitu memperoleh kesadarannya, Linghu Chong langsung paham kalau Lan
Fenghuang sangat senang apabila disebut masih muda dan cantik. Begitu si gadis
bertanya dengan terus terang, Linghu Chong langsung menyebutnya sebagai adik,
meskipun usia mereka hampir sama. Ia berpikir Lan Fenghuang sudah bersusah
payah menyelamatkan nyawanya, sehingga tiada salahnya kalau ia menyenangkan
gadis itu sebagai balas budi. Benar saja, begitu mendengar dirinya dipanggil
sebagai adik, Lan Fenghuang terlihat sangat gembira.
Sebaliknya, Yue Buqun dan Ning
Zhongze terlihat mengernyitkan dahi, sambil berpikir, “Chong’er benar-benar
ceroboh. Wataknya sulit disembuhkan. Ping Yizhi berkata bahwa umurnya tinggal
seratus hari, bahkan kini sudah berjalan beberapa hari. Sebentar lagi ia masuk
peti mati, namun begitu mendapat kesadaran justru langsung menggoda perempuan
sesat dan cabul ini.”
Lan Fenghuang berkata, “Kakak,
dalam hal memindahkan darah seperti yang baru saja kami lakukan tadi, ada
beberapa jenis darah yang tidak bisa dipindahkan ke dalam tubuhmu. Apabila
lintah-lintah tadi begitu menyalurkan darah langsung berjatuhan, itu berarti
darah jenis tersebut tidak dapat dipindahkan. Kami berlima dipilih dari ratusan
orang. Darah kami berlima termasuk jenis yang bisa diberikan kepada siapa
saja.” Setelah diam sejenak, gadis itu melanjutkan, “Kakak, kau ingin makan
apa? Aku punya beberapa makanan ringan, kau mau atau tidak?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
tidak ingin makan. Aku hanya ingin minum arak.”
Lan Fenghuang berkata, “Mudah
sekali. Kami punya arak buatan sendiri yang disebut ‘Nektar Lima Permata’. Kau
boleh mencoba sekarang.”
Usai berkata demikian Lan
Fenghuang pun memberi perintah kepada anak buahnya dengan manggunakan bahasa
Miao. Suaranya terdengar seperti kicauan burung. Dua orang gadis Miao segera
pergi ke perahu mereka, dan kembali dengan membawa delapan botol arak. Begitu
satu botol dibuka, bau semerbak wangi bunga langsung memenuhi ruangan kabin.
Linghu Chong berkata, “Adikku
yang baik, arakmu ini baunya sangat wangi sehingga mengalahkan rasa araknya
sendiri. Menurutku, ini pasti arak untuk kaum wanita, bukan begitu?”
Lan Fenghuang tersenyum dan
menjawab, “Wangi bunga dalam arak ini memang harus keras. Jika tidak, maka arak
ini akan berbau amis seperti bau ular berbisa.”
“Dalam arak ini ada bau amis
ular berbisa?” tanya Linghu Chong dengan nada terkejut.
“Tepat sekali,” jawab Lan
Fenghuang. “Kami menyebut arak ini ‘Nektar Lima Permata’, sehingga tentu saja
harus mengandung lima jenis permata pula.”
“Apa maksudnya ‘Lima
Permata’?” tanya Linghu Chong penasaran.
“Lima Permata adalah lima
jenis harta karun dalam kepercayaan kami,” jawab Lan Fenghuang. “Coba kau
lihat.” Sambil berbicara, gadis itu menuangkan isi botol arak ke dalam dua buah
mangkuk kosong yang sudah ia siapkan. Di tengah suara gemericik, terlihat
beberapa benda mungil ikut masuk ke dalam mangkuk bersama arak. Beberapa murid
Huashan langsung menjerit ngeri begitu melihat pemandangan itu.
Lan Fenghuang menyodorkan
mangkuk arak di tangannya kepada Linghu Chong. Arak tersebut sangat jernih
seperti air dari mata air pegunungan. Dalam arak itu terendam lima ekor hewan berbisa
berukuran kecil, yaitu ular hijau, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan
katak.
Linghu Chong terkejut dan
bertanya, “Mengapa di dalam arakmu ada … ada binatang beracun seperti ini?”
“Huh, ini adalah lima harta
karun. Jangan sembarangan kau menyebutnya binatang beracun,” kata Lan Fenghuang
sambil mendengus. “Kakak Linghu, kau berani minum atau tidak?”
Linghu Chong tersenyum kecut
dan menjawab, “Lima … lima harta karun ini membuatku agak takut.”
Lan Fenghuang mengangkat
mangkuk arak tersebut dan meneguk isinya; sebuah tegukan besar. Ia kemudian
berkata, “Kami orang-orang Miao memiliki adat kebiasaan, apabila kami mengajak
makan atau minum, sedangkan yang kami ajak menolak makan atau minum, maka orang
itu bukan teman sejati dan kami pun tidak akan lagi menganggapnya sebagai
teman.”
Linghu Chong pun menerima
mangkuk arak tersebut dan meneguk isinya. Kelima hewan berbisa di dalam mangkuk
tersebut ikut masuk pula ke dalam kerongkongannya. Meskipun memiliki nyali
besar, namun ia tetap tidak berani mengunyah hewan-hewan itu.
Lan Fenghuang sangat senang
dan langsung memeluk leher Linghu Chong dengan kedua lengannya. Tanpa malu-malu
ia mencium pipi kiri Linghu Chong sebanyak dua kali sampai gincunya
meninggalkan bekas. “Ini baru kakak yang baik!” katanya.
Linghu Chong pun tersenyum,
namun jantungnya langsung berdebar kencang begitu melihat tatapan tajam Yue
Buqun kepadanya. Dalam hati ia menggerutu, “Sial! Aku sudah keterlaluan,
berbuat ceroboh di depan Guru dan Ibu Guru. Pasti setelah ini Guru akan memaki
kebodohanku. Adik Kecil tentu akan memandangku lebih rendah lagi.”
Lan Fenghuang kembali membuka
sebotol arak dan menuangkan isinya ke dalam mangkuk, untuk kemudian disodorkan
kepada Yue Buqun. Sambil tersenyum ia berkata, “Tuan Yue, silakan minum arak kami.”
Begitu melihat di dalam
mangkuk arak terdapat kelabang, kalajengking, dan beberapa hewan berbisa
lainnya, Yue Buqun langsung merasa mual. Apalagi samar-samar tercium bau amis
di sela-sela semerbak wangi bunga membuatnya semakin ingin muntah. Maka, ia pun
menjulurkan tangan kiri untuk menolak mangkuk tersebut. Tak disangka, Lan
Fenghuang tidak juga menarik mundur tangannya sehingga hampir bersentuhan
dengan jari tangan Yue Buqun. Menyadari hal itu, Yue Buqun buru-buru menarik
tangan kirinya.
“Mengapa sang guru justru
tidak punya nyali dibanding muridnya?” kata Lan Fenghuang sambil tersenyum.
“Kawan-kawan dari Perguruan Huashan, apakah ada yang mau minum arak ini? Yang
berani minum akan mendapat banyak manfaat.”
Dalam sekejap ruangan kabin
tersebut menjadi sunyi senyap. Lan Fenghuang mengangkat mangkuk araknya namun
tidak satu pun yang berani maju untuk menyambut. Sambil menghela napas, ia pun
berkata, “Di Perguruan Huashan, selain Linghu Chong tidak ada lagi orang
gagah.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang
berseru lantang, “Aku yang akan meminumnya!” Ternyata itu suara Lin Pingzhi.
Pemuda itu maju ke depan dan menjulurkan tangan untuk menyambut mangkuk arak.
Lan Fenghuang tersenyum dan
mengangkat kedua alisnya. Ia berkata, “Ternyata ….”
“Lin Kecil!” seru Yue Lingshan
menyela. “Jika kau menelan barang menjijikkan itu, meskipun kau tidak mati kena
racun, aku tidak akan bicara denganmu lagi!”
Lan Fenghuang menyodorkan
mangkuk araknya ke arah Lin Pingzhi sambil tersenyum, “Silakan minum arak ini!”
Lin Pingzhi menjawab dengan
terbata-bata, “Aku … aku tidak jadi minum.”
Lan Fenghuang pun tertawa
terbahak-bahak. Wajah Lin Pingzhi berubah merah dan ia berkata, “Aku tidak jadi
minum arak bukan … bukan karena aku takut mati.”
“Aku tahu! Aku tahu! Kau takut
nona cantik itu tidak mau lagi bicara denganmu. Kau bukan pengecut, tapi kau
ini seorang laki-laki yang sedang dimabuk asmara, hahahaha!” kata Lan Fenghuang
sambil terus bergelak tawa. Ia kemudian berjalan ke sisi Linghu Chong dan
berkata, “Kakak, sampai jumpa lagi.”
Setelah menaruh mangkuk
araknya di atas meja, Lan Fenghuang pun melambaikan tangan ke arah anak
buahnya. Keempat gadis Miao lainnya segera meletakkan keenam botol arak yang
tersisa dan melangkah keluar kabin mengikuti Sang Ketua. Sejenak kemudian,
kelima perempuan itu sudah melompat kembali ke atas perahu mereka. Kembali
terdengar suara nyanyian merdu dan bersyair mesra berkumandang dari dalam kabin
perahu. Perahu pun bergerak menuju hilir semakin cepat dan semakin jauh. Suara
nyanyian akhirnya lenyap seiring dengan menghilangnya perahu tersebut.
“Buang semua botol dan mangkuk
arak ini ke sungai!” seru Yue Buqun memberi perintah sambil mengernyitkan dahi.
“Baik, Guru!” jawab Lin
Pingzhi yang kemudian melangkah ke arah meja. Namun begitu ujung jarinya
menyentuh botol arak, hidungnya langsung mencium bau amis yang sangat aneh.
Seketika tubuh pemuda itu bergoyang-goyang dan tidak bisa berdiri tegak. Dengan
cepat Lin Pingzhi pun meraih tepian meja untuk menyandarkan diri supaya tidak
jatuh ke lantai.
Yue Buqun menyadari sesuatu
dan segera berseru, “Botol arak ini ada racunnya!” Ia kemudian mengibaskan
lengan bajunya yang menyapu keluar semua botol dan mangkuk di atas meja
melewati jendela kabin hingga akhirnya jatuh di sungai. Tiba-tiba dadanya
terasa sangat mual. Setelah mengerahkan tenaga dalam, ia pun dapat menekan
kembali rasa mual tersebut sehingga tidak sampai muntah.
Sekejap kemudian terdengar
suara orang lain yang muntah. Ternyata dia adalah Lin Pingzhi. Disusul kemudian
satu per satu orang-orang lainnya ikut muntah-muntah pula. Bahkan, Enam Dewa
Lembah Persik dan para awak kapal juga muntah-muntah padahal mereka berada di
luar kabin. Setelah menahan rasa mual untuk sekian lama, akhirnya Yue Buqun tak
kuasa menahan diri lagi dan ikut muntah pula. Setiap orang muntah-muntah untuk
waktu yang cukup lama. Walaupun makanan dalam perut mereka sudah terkuras
habis, namun mereka tetap saja muntah, yaitu memuntahkan asam lambung. Setelah
asam lambung habis, tetap saja perut mereka terasa mual dan tenggorokan terasa
gatal. Bagi mereka, muntah-muntah dalam keadaan perut kosong rasanya jauh lebih
menderita daripada mengeluarkan semua makanan dari dalam perut.
Dalam keadaan ribut tersebut
hanya Linghu Chong seorang yang tidak muntah di antara puluhan orang yang ada
di atas kapal.
Melihat itu, Dewa Buah Persik
berkata, “Linghu Chong, siluman betina itu memperlakukanmu dengan sangat
istimewa. Ia pasti telah meminumkan obat penawar kepadamu.”
Linghu Chong menjawab, “Aku
belum minum obat penawar. Apakah semangkuk arak berbisa tadi adalah obat
penawar?”
Dewa Akar Persik menyahut,
“Bisa jadi begitu. Siluman betina itu melihat kau tampan, lantas jatuh cinta
kepadamu.”
Dewa Ranting Persik
menanggapi, “Menurutku bukan karena tampan, tapi karena dia memuji siluman
betina itu muda dan cantik, juga memanggilnya sebagai adik yang manis. Andai
aku tahu, aku juga akan memuji perempuan itu sehingga tidak akan mengalami
nasib buruk seperti ini.”
“Bukan hanya soal memuji, tapi
juga harus berani meminum arak beracun dan menelan lima hewan berbisa tadi,”
tukas Dewa Bunga Persik.
“Kali ini dia memang tidak
muntah. Tapi bukankah di dalam perutnya sudah ada kelima hewan berbisa tadi?
Bagaimana kalau kelima hewan itu membuat dia keracunan yang lebih parah
daripada kita ini?” ujar Dewa Daun Persik.
“Aih, celaka kita! Linghu
Chong telah meminum semangkuk arak beracun, sementara kita tidak mencegahnya.
Kalau gara-gara hal itu kemudian dia tewas keracunan, bagaimana kalau Ping
Yizhi sampai mendengarnya?” kata Dewa Dahan Persik.
“Ping Yizhi pernah berkata,
umur Linghu Chong tinggal sedikit. Kalau dia mati beberapa hari lebih cepat,
apa ada yang salah?” tanya Dewa Akar Persik.
“Masalah bukan pada Linghu
Chong, tapi pada kita,” kata Dewa Bunga Persik.
“Tenang saja, kita bisa kabur
jauh-jauh,” ujar Dewa Buah Persik. “Ping Yizhi itu gemuk dan pendek. Mana bisa
dia mengejar kita?”
Begitulah, Enam Dewa Lembah
Persik meskipun muntah-muntah namun tetap tidak berhenti adu bicara.
Sementara itu Yue Buqun
melihat jurumudi kapal masih muntah-muntah tanpa henti hingga kapal tersebut
oleng ke kanan dan ke kiri di tengah aliran sungai besar yang deras. Merasa
sangat berbahaya, ia segera melompat ke buritan dan mengambil alih kemudi,
selanjutnya merapatkan kapal ke daratan di sisi selatan. Tenaga dalamnya sangat
kuat sehingga setelah mengerahkan hawa murni beberapa kali, rasa mual di
dadanya sedikit demi sedikit menghilang.
Perlahan-lahan kapal pun
merapat ke tepian. Yue Buqun melompat ke haluan dan mengangkat jangkar besi,
kemudian melemparkannya ke dasar sungai. Jangkar itu beratnya lebih dari
seratus kilogram dan biasanya diperlukan dua orang awak kapal untuk
mengangkatnya. Kini, para awak kapal tersebut tercegang melihat Yue Buqun yang
berpenampilan seperti sarjana santun dan lembut ternyata mampu mengangkat
jangkar tersebut seorang diri, bahkan melemparkannya sejauh beberapa meter.
Namun mereka hanya sebentar dalam kekaguman karena kemudian muntah-muntah
kembali.
Begitu kapal berhenti, semua
orang pun turun satu per satu ke daratan. Mereka berlutut di tepian dan meminum
air sungai sebanyak-banyaknya, kemudian memuntahkannya kembali. Beberapa kali
mereka minum dan muntah sampai akhirnya rasa mual pun berangsur-angsur hilang.