Pendekar Hina Kelana Jilid 46-50

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 46-50 Berkat hembusan angin yang cukup kencang membuat kapal melaju dengan cepat menuju hilir sungai.
Berkat hembusan angin yang cukup kencang membuat kapal melaju dengan cepat menuju hilir sungai. Memasuki senja, rombongan telah mendekati kota Lanfeng. Si jurumudi telah menurunkan jangkar dan segera menyiapkan makan malam. Selagi mereka hendak bersantap, tiba-tiba terdengar suara orang berseru lantang di daratan, “Permisi, numpang tanya! Apakah para kesatria dari Perguruan Huashan berada di dalam kapal ini?”

Sebelum Yue Buqun menjawab, Dewa Ranting Persik sudah mendahului berteriak, “Benar, para kesatria gagah dari Lembah Persik dan Perguruan Huashan berada di kapal ini. Ada urusan apa?”

“Syukurlah kalau demikian,” seru orang itu gembira. “Kami sudah menunggu sehari semalam di sini. Ayo, lekas, lekas kita bawa ke sana!”

Terlihat belasan orang laki-laki kekar terbagi dalam dua barisan berjalan keluar dari sebuah pondok beratap jerami dengan memikul belasan peti berwarna merah secara berpasangan. Seorang laki-laki berbaju biru dan bertangan kosong mendekati kapal, lalu berkata sambil memberi hormat, “Majikan kami mendengar bahwa Pendekar Linghu sedang tidak enak badan. Beliau merasa ikut prihatin. Sebenarnya majikan kami ingin datang menjenguk langsung, namun sayang ada urusan lain di tempat jauh yang tidak bisa ditinggalkan. Maka, majikan kami hanya bisa memberi perintah melalui merpati pos kepada kami supaya mengantarkan sedikit hadiah kepada Pendekar Linghu. Mohon Pendekar Linghu sudi menerima.”

Dua barisan orang kekar itu lantas berjalan ke atas kapal. Belasan peti merah tersebut mereka letakkan di atas geladak kapal.

Linghu Chong berseru keheranan. Ia lalu bertanya, “Aku yang bernama Linghu Chong. Bolehkah aku bertanya siapakah majikan kalian yang mulia? Sungguh aku merasa tidak pantas menerima hadiah-hadiah ini.”

Laki-laki berbaju biru menjawab, “Semoga Pendekar Linghu mendapat keberuntungan dan lekas pulih kembali. Untuk itu kami harap Pendekar Linghu suka menjaga diri baik-baik.” Usai berkata demikian, orang itu memberi hormat dan kemudian melangkah pergi.

Linghu Chong yang masih terheran-heran pun berkata sendiri, “Sungguh aneh. Entah siapa orang yang telah mengirimkan hadiah-hadiah ini untukku.”

Kelima Dewa Lembah Persik tidak mampu menahan diri dan segera berkata bersamaan, “Ayo kita buka saja semuanya!”

Kakek-kakek aneh itu lantas berhamburan maju dan membuka tutup peti-peti merah tersebut. Tampak sebagian berisi macam-macam makanan lezat. Ada panggang ayam, daging babi, dan makanan lain yang cocok untuk minum arak. Selain itu ada pula ginseng, tanduk rusa, sarang burung walet, jamur emas, dan obat-obatan lain yang tidak ternilai harganya. Dua peti terakhir berisi penuh dengan emas dan perak. Sepertinya disediakan sebagai bekal perjalanan Linghu Chong. Meskipun tadi si laki-laki berbaju biru menyebutkan “sedikit hadiah” namun pada kenyataannya sama sekali tidak dapat disebut sedikit.

Begitu melihat kue, manisan, buah-buahan, dan berbagai makanan di dalam peti tersebut, kelima Dewa Lembah Persik tanpa disuruh segera mengambil dan memasukkannya ke dalam mulut sambil berteriak-teriak, “Enak sekali! Sungguh lezat!”

Linghu Chong memeriksa setiap peti dengan saksama namun sama sekali tidak menemukan adanya kartu nama ataupun catatan dan tanda pengenal sehingga ia tidak menemukan petunjuk dari mana sebenarnya hadiah-hadiah tersebut berasal.

Segera ia berkata kepada Yue Buqun, “Guru, urusan ini benar-benar membuat saya bingung. Pengirim hadiah ini tampaknya tidak punya maksud jahat, juga tidak sedang bergurau dengan kita.” Usai berkata demikian ia lantas mengambilkan makanan tersebut untuk guru dan ibu-gurunya, serta adik-adik seperguruan semua.

Yue Buqun mengamati Enam Dewa Lembah Persik yang sepertinya baik-baik saja dan tidak mengalami tanda-tanda keracunan pada wajah mereka. Ia lalu bertanya, “Apakah kau punya kawan persilatan yang tinggal di daerah sini?”

Linghu Chong berpikir sejenak, kemudian menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang cukup ramai. Terlihat ada delapan orang penunggang kuda tiba. Seorang di antaranya berseru, “Apakah Pendekar Linghu dari Perguruan Huashan ada di sini?”

“Ya, ya! Dia ada di sini!” seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan. “Barang enak apa lagi yang kalian antar kemari?”

“Ketua perkumpulan kami mendengar perihal kedatangan Pendekar Linghu di kota Lanfeng. Beliau juga mendengar bahwa Pendekar Linghu gemar minum arak. Maka, kami diperintah untuk mencari enam belas macam arak pilihan untuk kemudian khusus diantar kemari. Semoga Pendekar Linghu dapat menikmatinya sebagai teman perjalanan,” kata orang tadi.

Sesudah dekat, terlihat pada pelana kedelapan ekor kuda masing-masing tergantung dua guci arak. Pada setiap guci terdapat label bertuliskan nama arak yang bersangkutan, seperti Arak Istana Bermutu Tinggi, Arak Fen Unggulan, ada pula Arak Shaoxing Merah. Ternyata keenam belas guci arak itu masing-masing berisi jenis arak yang berbeda pula. Linghu Chong merasa bahwa tidak ada hadiah yang lebih baik daripada enam belas guci arak tersebut. Ia lalu memberi hormat dan berkata, “Maafkan atas kebodohanku ini. Mohon diberi tahu dari perkumpulan manakah saudara-saudara ini berasal? Siapa pula nama Saudara yang terhormat?”

Orang itu tertawa dan menjawab, “Ketua perkumpulan kami telah berpesan agar kami jangan sampai menyebutkan nama perkumpulan kepada Pendekar Linghu. Ketua kami berkata bahwa hadiah dari perkumpulan kami sangat kecil sehingga jika kami menyebutkan nama perkumpulan kami tentu hanya akan membuat malu saja.” Begitu ia memberi isyarat, serentak para penunggang kuda lainnya pun mengangkat guci-guci arak itu ke atas geladak kapal.

Dari dalam kabin kapal Yue Buqun mengamat-amati kedelapan orang itu. Mereka semua terlihat sangat cekatan. Masing-masing tangan membawa sebuah guci arak dan kaki mereka dapat melompat ke atas kapal dengan gesit dan ringan. Dari gerakan mereka tidak ada yang istimewa sehingga dapat dipastikan mereka bukan berasal dari suatu perguruan yang sama, melainkan dari sebuah perkumpulan. Hanya saja, mereka tidak mau menyebutkan dari perkumpulan mana mereka berasal.

Setelah mengusung keenam belas guci arak tersebut ke atas kapal, kedelapan orang itu lantas memberi hormat kepada Linghu Chong, kemudian melompat ke atas kuda masing-masing dan melaju pergi dengan cepat.

Linghu Chong tersenyum kepada Yue Buqun dan berkata, “Guru, kejadian ini benar-benar sangat aneh. Entah siapakah yang sengaja bercanda dengan mengirim arak sebanyak ini?”

“Apakah ini perbuatan Tian Boguang? Ataukah mungkin Biksu Bujie?” ucap Yue Buqun sesudah termenung sejenak.

“Benar juga. Kelakuan kedua orang itu memang aneh dan sukar diduga. Bisa jadi ini hasil perbuatan mereka,” jawab Linghu Chong. “Hei, Enam Dewa Lembah Persik, kita punya banyak arak. Apakah kalian tidak ingin minum?”

“Tentu saja! Tentu saja! Mana mungkin kami tidak mau?” sahut Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Dewa Akar Persik dan Dewa Dahan Persik masing-masing langsung mengangkat sebuah guci arak, kemudian menuang isinya ke dalam mangkuk. Seketika bau wangi pun menusuk hidung. Tanpa segan-segan keenam orang aneh itu lantas meneguk sendiri arak enak itu.

Linghu Chong juga menuang semangkuk dan disuguhkannya kepada Yue Buqun, “Guru, silakan mencicipi. Arak ini kelihatan enak.”

Yue Buqun hanya mengerutkan kening.

Lao Denuo segera menanggapi, “Guru, tiada salahnya kalau kita tetap berhati-hati. Kita tidak tahu arak ini pemberian siapa. Siapa tahu di dalam arak ini terdapat sesuatu yang mencurigakan?”

“Benar juga,” jawab Yue Buqun ambil mengangguk. “Chong’er, lebih baik kita berhati-hati.”

Namun begitu mencium bau arak yang wangi itu, Linghu Chong merasa tidak tahan lagi. Sambil tertawa ia berkata, “Umur saya tidak lama lagi. Jika arak ini mengandung racun juga tidak masalah bagi saya.” Usai berkata demikian ia lantas mengangkat mangkuk dengan kedua tangan. Hanya beberapa kali teguk saja seluruh isi mangkuk itu sudah berpindah ke dalam perutnya.

Sambil menjilat-jilat bibir pemuda itu memuji, “Hm, arak bagus! Arak bagus!”

Tiba-tiba terdengar suara orang memuji dari tepi sungai, “Arak bagus! Sungguh menakjubkan!”

Linghu Chong segera menoleh ke arah datangnya suara. Tampak di bawah pohon Liu ada seorang laki-laki berpakaian sastrawan yang kotor dan lusuh. Tangan kanan laki-laki itu sedang menggoyang-goyang sebuah kipas rusak, sambil kepalanya mendongak dan mencium bau arak yang tersebar dari arah kapal. Ia kemudian memuji lagi, “Benar-benar arak yang sedap!”

Linghu Chong tertawa dan menyapa si sastrawan, “Saudara belum mencicipi, bagaimana bisa mengetahui baik atau jeleknya arak ini?”

“Dari baunya saja aku sudah tahu kalau itu adalah Arak Fen Unggulan yang sudah berumur enam puluh dua tahun,” jawab si sastrawan dekil.

Wawasan Linghu Chong dalam memahami arak telah berkembang pesat di atas rata-rata setelah ia menerima pelajaran dari Lu Zhuweng di Pondok Bambu Hijau. Sebenarnya ia sudah menduga kalau Arak Fen Unggulan yang ia minum tadi berusia sekitar enam puluh tahun, namun sungguh aneh si sastrawan dengan yakin bisa menebak kalau arak itu berusia enam puluh dua tahun. Mungkin saja si sastrawan terlalu berlebihan. Berpikir demikian, ia pun berkata, “Jika Saudara tidak menolak, silakan naik kemari untuk minum beberapa cawan.”

Si sastrawan dekil menggeleng dan berkata, “Aih, kita belum saling kenal, hanya secara kebetulan saja bertemu di sini. Dengan mencium bau arak dari sini saja aku sudah mengganggu, mana mungkin aku berani mencicipi arak Saudara yang enak itu? Aku sungguh tidak berani, tidak berani!”

“Pepatah mengatakan, Di atas samudra, setiap orang adalah saudara,” ujar Linghu Chong sambil tertawa. “Dari ucapan Saudara tadi jelas Saudara adalah sesepuh ahli arak. Justru aku ingin minta beberapa petunjuk dari Tuan. Silakan naik ke atas perahu dan jangan segan-segan lagi. Di kapal ini juga ada guruku, Tuan Yue, dan ibu-guruku, Nyonya Yue.”

Mendengar itu, perlahan-lahan si sastrawan menyusuri papan titian ke atas kapal. Sesudah berhadapan ia membungkuk dan memberi hormat, kemudian berkata, “Aku bermarga Zu, sama seperti dalam kata ‘zuzong’ yang berarti ‘kakek moyang’. Aku adalah keturunan jauh Zu Ti dari zaman Dinasti Han, yang selalu bangun pagi untuk berlatih setiap mendengar ayam berkokok. Namaku adalah Qianqiu, yang berarti seribu musim semi, sebagai kiasan panjang umur. Mohon dijawab siapakah marga Saudara yang mulia, dan nama Saudara yang harum?”

“Margaku rangkap, yaitu Linghu, dan namaku tunggal, yaitu Chong,” jawab Linghu Chong.

“Hmm, marga yang bagus, namanya juga baik,” ujar Zu Qianqiu. “Pada zaman Dinasti Tang, ada tokoh besar yang menjadi perdana menteri, bernama Linghu Chu, juga Linghu Xian.” Usai berkata demikian ia pun mendaratkan kaki di atas geladak kapal.

Linghu Chong tersenyum. Dalam hati ia berkata, “Aku mengundangmu minum arak. Sudah tentu kau mengumbar pujian untukku.” Kemudian ia menuangkan arak ke dalam mangkuk dan menyuguhkannya kepada Zu Qianqiu sambil berkata, “Silakan minum!”

Zu Qianqiu sendiri berusia sekitar lima puluhan. Wajahnya pucat kekuningan, matanya sayu, dan hidungnya kemerah-merahan pertanda ia sering minum arak. Bagian depan bajunya agak mengkilap karena terkena minyak. Saat ia mengulurkan tangan, tampak kuku jarinya kotor kehitaman. Tubuhnya kurus kering, namun perutnya terlihat buncit.

Ketika Linghu Chong menyuguhkan semangkuk arak, Zu Qianqiu tidak langsung menerima, namun berkata, “Saudara Linghu, meski kau memiliki arak bagus, namun sayang sekali kau tidak punya wadah yang bagus. Sungguh sangat disayangkan!”

“Di tengah perjalanan yang ada hanya mangkuk kasar dan cawan lama. Harap Tuan Zu dapat memakluminya,” ujar Linghu Chong.

“Tidak bisa begitu! Tidak bisa begitu!” kata Zu Qianqiu sambil menggeleng. “Ternyata kau belum terlalu paham seni minum arak. Kau tidak boleh mengabaikan soal wadah. Dalam seni minum arak juga harus memperhatikan cawan yang dipakai untuk minum pula. Arak tertentu harus diminum memakai cawan tertentu pula. Kalau minum arak Fen harus memakai cawan kumala. Dalam sebuah syair dari zaman Dinasti Tang menyatakan, mangkuk kumala dapat menambah keindahan warna arak.”

“Tepat sekali!” jawab Linghu Chong.

Zu Qianqiu melanjutkan sambil menunjuk sebuah guci arak, “Lihat guci itu yang berisi Arak Putih dari Timur Laut. Rasa sangat enak, namun baunya kurang harum. Maka, sebaiknya arak ini diminum memakai cawan dari cula badak. Hendaknya kau tahu bahwa cawan kumala bisa menambah keindahan warna arak, sedangkan cawan dari cula badak bisa menambah wangi bau arak. Ternyata orang zaman kuna tidak membohongi kita.”

Di pinggir kota Luoyang, Linghu Chong telah mendapatkan pelajaran dari Lu Zhuweng mengenai berbagai macam jenis arak ternama, baik itu asal-usul, aroma, ataupun bagaimana cara pembuatannya. Namun mengenai wadah untuk seni meminum arak, ia sama sekali tidak mendapat pengetahuan. Kini begitu mendengar Zu Qianqiu berbicara dengan penuh keyakinan, membuat pemuda itu bagaikan mendapat pencerahan.

Zu Qianqiu melanjutkan, “Untuk meminum arak dari buah anggur, sebaiknya memakai cawan kemilau. Puisi dari zaman kuna berbunyi, ‘Arak anggur yang istimewa telah memenuhi cawan kemilau. Maksud hati hendak meminum, namun suara musik pipa telah memanggilku kembali memacu kuda.’ Arak anggur berwarna kemerah-merahan, kurang menunjukkan semangat kepahlawanan jika diminum kaum laki-laki seperti kita. Namun jika arak anggur dituang ke dalam cawan kemilau, maka warnanya menjadi merah menyala seperti darah. Meminum arak seperti meminum darah. Yue Fei menulis dalam puisinya, ‘Cita-citaku setinggi langit, ingin memakan daging bangsa Hu untuk penawar rasa lapar, dan sambil bersenda gurau aku ingin meminum darah Xiongnu untuk pembunuh rasa haus.’ Benar-benar hebat!”

Linghu Chong hanya bisa mengangguk-angguk. Pengetahuannya mengenai seni sastra sangat terbatas, sehingga saat Zu Qianqiu membacakan beberapa puisi kuna, ia sering tidak memahami apa isinya. Namun begitu sampai pada kalimat “sambil bersenda gurau aku ingin meminum darah Xiongnu untuk pembunuh rasa haus” benar-benar membuat semangatnya bangkit karena menurutnya, kalimat ini benar-benar menggelorakan jiwa kepahlawanan.

Zu Qianqiu kemudian menunjuk sebuah guci dan berkata, “Arak gandum adalah arak paling tua dalam sejarah umat manusia. Yi Di yang hidup di zaman Dinasti Xia pada masa kepemimpinan Raja Yu telah menemukan cara pembuatan arak jenis ini. Ketika Raja Yu meminumnya, ia sangat menyukai rasanya. Saudara Linghu, pada umumnya orang-orang berpengetahuan sempit, hanya mengetahui kalau Raja Yu telah berhasil mengendalikan banjir besar, hingga sangat dihormati sepanjang masa bahkan di alam baka. Namun sesungguhnya penemuannya yang lebih besar bukanlah cara pengendalian banjir. Kau tahu apakah itu?”

“Cara pembuatan arak!” sahut Linghu Chong dan Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

“Tepat sekali!” kata Zu Qianqiu yang kemudian diikuti suara gelak tawa mereka berdelapan.

“Untuk meminum arak gandum harus memakai cangkir jue yang terbuat dari perunggu supaya kesan antik tetap terjaga,” lanjut Zu Qianqiu. “Sedangkan untuk arak beras, meskipun terbuat dari beras pilihan, memang rasanya lezat tetapi kurang manis dan terlalu ringan. Untuk meminumnya, kita perlu menggunakan gantang besar supaya dapat memperlihatkan kesan gagah dan wibawa.”

Linghu Chong menukas, “Aku hanyalah orang pedalaman yang kurang berpendidikan. Aku sama sekali tidak tahu kalau ada hubungan sedemikian rupa antara arak dengan wadah untuk meminumnya.”

Zu Qianqiu lalu menepuk pelan sebuah guci arak yang bertuliskan nama “Arak Seratus Rumput”. Ia kemudian berkata, “Untuk membuat Arak Seratus Rumput, seseorang harus mengumpulkan berbagai macam jenis rumput dan merendamnya dalam arak bermutu tinggi. Hal ini akan membuat aroma arak bertambah wangi, sehingga yang menciumnya seperti berjalan di tengah padang rumput. Sebelum meminum saja sudah membuat mabuk. Untuk meminum Arak Seratus Rumput, harus menggunakan cangkir yang terbuat dari rotan tua berusia seratus tahun, yang dapat menambah wangi aroma arak.”

“Mencari rotan tua berusia seratus tahun tentu sangat sulit,” kata Linghu Chong menanggapi.

“Saudara Linghu, apa yang kau katakan itu tidak benar,” ujar Zu Qianqiu dengan wajah bersungguh-sungguh. Dibandingkan dengan rotan tua berusia seratus tahun, arak tua berusia seratus tahun jauh lebih sulit ditemui. Coba bayangkan, kau bisa pergi ke hutan belantara nun jauh di sana untuk menemukan rotan tua berusia seratus tahun. Namun terhadap arak berusia seratus tahun, tentu setiap orang ingin meminumnya. Setelah diminum tentu akan habis begitu saja, sedangkan cangkir yang terbuat dari rotan tua berusia seratus tahun masih bisa digunakan ribuan kali, dan tetap ada.”

“Ah, tepat sekali! Aku sungguh bodoh. Terima kasih atas pencerahan ini,” jawab Linghu Chong.

Sejak tadi Yue Buqun memerhatikan setiap perkataan Zu Qianqiu yang terkesan berlebihan tetapi jika dipikirkan memang masuk akal. Saat itu ia melihat Dewa Ranting Persik, Dewa Dahan Persik, dan yang lain sedang sibuk membuka tutup guci Arak Seratus Rumput dan membiarkan isinya berceceran membasahi meja, seolah mereka tidak menyadari betapa bernilainya arak tersebut. Meskipun Yue Buqun tidak terlalu suka minum arak, namun ia dapat mencium bau arak tersebut sangat wangi dan menyengat. Ia sadar kalau arak tersebut golongan kelas satu, namun sungguh sayang kalau disia-siakan Enam Dewa Lembah Persik begitu saja.

Terdengar Zu Qianqiu melanjutkan, “Untuk meminum Arak Shaoxing Merah, kita gunakan cawan porselen kuna, dan yang paling baik adalah cawan dari Dinasti Song Utara. Cawan dari Dinasti Song Selatan juga bisa digunakan, namun mutunya lebih rendah. Cawan dari zaman Lima Dinasti memang yang paling baik, namun sudah sangat langka. Kalau cawan dari Dinasti Yuan agak kasar dan tidak aturan. Untuk meminum Arak Bunga Pir, tentu saja harus menggunakan cawan dari zamrud. Bai Yuji dalam puisinya yang berjudul Pemandangan Musim Semi di Hangzhou berkata, ‘Kain lengan baju warna merah yang dipakai gadis penenun sutra mencerminkan daun pohon kesemak, dan bendera hijau zamrud pada kedai arak mengimbangi Arak Bunga Pir.’ Coba bayangkan, kedai arak di Hangzhou menjual Arak Bunga Pir dan mereka memasang bendera hijau zamrud di luar. Warnanya benar-benar membuat warna arak semakin menyala. Nah, apabila kita ingin meminum Arak Embun Kumala, maka dapat menggunakan cawan kaca bening. Dalam arak jenis ini terdapat gelembung udara yang jika dilihat dari cawan kaca bening akan terlihat semakin indah, seperti manik-manik.”

“Tut… tut… tut…! Kau hanya meniup terompetmu sendiri!” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis menyela pembicaraan. Ia adalah Yue Lingshan yang berkata sambil menunjuk-nunjuk pipi kanannya.

“Shan’er, kau jangan lancang!” bentak Yue Buqun. “Apa yang dikatakan Tuan Zu masuk akal.”

“Masuk akal bagaimana?” balas Yue Lingshan. “Kalau minum arak sekadar untuk bersenang-senang atau membangkitkan semangat memang boleh saja. Tapi kalau siang dan malam menenggak arak melulu dengan bermacam-macam aturan yang dinamakan seni segala, apakah itu perbuatan seorang kesatria besar?”

“Ucapan nona ini jelas salah,” kata Zu Qianqiu. “Apakah Liu Bang bukan seorang kesatria besar? Jika bukan karena ia sedang mabuk dan berhasil memenggal seekor ular putih, mana mungkin ia bisa mendirikan Dinasti Han yang turun-temurun sampai ratusan tahun? Bukankah Fan Kuai juga seorang kesatria besar? Dalam Perjamuan Hongman, ia telah mengiris daging di atas perisai dan minum arak memakai topi perang. Bukankah tindakannya itu mencerminkan kegagahannya?”

“Jika Tuan Zu sudah tahu arak-arak di sini bagus semua, dan juga kau katakan kalau kaum kesatria suka minum arak, lantas mengapa sejak tadi tidak juga minum?” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

Zu Qianqiu menjawab, “Sejak tadi aku sudah bilang, kalau minum arak tanpa memakai wadah yang tepat hanya akan menyia-nyiakan arak bagus saja.”

“Ah, dari tadi kau hanya membual tentang cawan zamrud, cawan kemilau, cawan cula badak, atau apapun namanya. Di dunia ini mana ada cawan arak seperti itu?” tiba-tiba Dewa Dahan Persik mengejek. “Seandainya benar-benar ada paling-paling hanya satu-dua macam saja. Siapa orangnya yang mampu memiliki cawan selengkap itu?”

“Seorang pria berbudi yang anggun, apalagi seorang penyair, yang sangat peduli terhadap nilai arak bagus sudah tentu memilikinya,” jawab Zu Qianqiu. “Kalau minum gaya keledai seperti kalian, tentu bisa memakai sembarangan wadah. Bisa memakai mangkuk besar atau cawan kasar seadanya.”

“Memangnya kau ini seorang pria berbudi yang anggun?” tanya Dewa Daun Persik.

“Hm, tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit, aku memiliki ciri-ciri pria berbudi yang anggun,” jawab Zu Qianqiu.

“Hahaha. Jika begitu, cawan untuk meminum kedelapan macam arak bagus ini ada berapa macam yang kau punya?” tanya Dewa Daun Persik sambil bergelak tertawa.

“Dikatakan banyak juga tidak, dikatakan sedikit juga tidak. Tapi untuk setiap jenis aku membawanya,” sahut Zu Qianqiu.

“Pembual! Pembual!” teriak Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

“Bagaimana kalau kita bertaruh saja?” ajak Dewa Akar Persik tiba-tiba. “Jika kau benar-benar membawa kedelapan macam cawan itu, biarlah nanti akan kami makan satu demi satu cawan-cawan itu ke dalam perut. Sebaliknya kalau kau tidak punya cawan yang kau katakan itu, lantas bagaimana?”

“Jika begitu aku yang akan memakan cawan dan mangkuk arak yang kasar ini satu per satu ke dalam perutku,” sahut Zu Qianqiu.

“Bagus, bagus!” sorak Enam Dewa Lembah Persik. “Coba kita lihat bagaimana dia….”

Belum selesai mereka berkata, tiba-tiba Zu Qianqiu sudah mengeluarkan sebuah cawan dari balik bajunya. Cawan itu halus mengkilap, jelas merupakan sebuah cawan kumala yang sangat indah, putih seperti susu kambing.

Enam Dewa Lembah Persik sangat terkejut sehingga tidak melanjutkan olok-olok mereka. Mereka melihat Zu Qianqiu kembali mengeluarkan cawan dari balik bajunya. Berturut-turut ia mengeluarkan cawan zamrud, cawan cula badak, cawan rotan tua, cawan perunggu, cawan kemilau, cawan kaca bening, dan cawan porselen kuna. Tidak berhenti sampai di situ, Zu Qianqiu terus menerus mengeluarkan cawan jenis lain. Ada cawan emas gemerlapan, ada cawan perak berukir indah, ada cawan batu berwarna-warni, ada pula cawan gading gajah, cawan gigi harimau, cawan kulit kerbau, cawan bumbung bambu, cawan kayu merah tua, dan lain-lain. Ada yang berukuran besar, ada yang berukuran kecil; satu sama lain tidak sama.

Tentu saja semua yang melihat terkesima. Siapa pun tidak menduga bahwa di balik baju si sastrawan miskin ternyata tersimpan cawan arak sebanyak itu.

“Sekarang bagaimana?” tanya Zu Qianqiu dengan suara bangga kepada Dewa Akar Persik.

Dewa Akar Persik terlihat sedih. Ia berkata, “Aku kalah. Biarlah kumakan kedelapan cawan arak itu.” Usai berkata ia pun mengambil cawan rotan tua, dan langsung menggigitnya sampai patah jadi dua. Setelah itu ia mengunyah benda tersebut mentah-mentah dan sesaat kemudian sudah masuk ke dalam perutnya.

Saat semua orang terperanjat melihat pemandangan itu, Dewa Akar Persik sudah menjulurkan tangan hendak mengambil cawan cula badak. Tiba-tiba Zu Qianqiu mengayunkan tangan kirinya ke bawah untuk memukul pergelangan Dewa Akar Persik. Dewa Akar Persik pun menggeser tangannya, kemudian berbalik hendak memegang pergelangan Zu Qianqiu. Namun Zu Qianqiu segera menyentilkan jari tengah ke arah telapak tangan lawan. Dewa Akar Persik terkejut dan lekas-lekas menarik kembali tangannya, sambil berseru, “Hei, kenapa kau tidak ingin aku memakannya?”

“Sudahlah, aku mengaku kalah. Anggap saja kedelapan cawanku ini kau santap masuk ke dalam perutmu. Kalau kau makan semua, aku yang rugi,” jawab Zu Qianqiu. Mendengar itu semua orang pun tertawa geli.

Pada mulanya Yue Lingshan sangat takut kepada Enam Dewa Lembah Persik. Namun sejak menyaksikan tingkah laku dan ucapan mereka yang lucu dan tidak menunjukkan kekerasan dan kekejaman, maka rasa ngeri gadis itu sedikit demi sedikit mulai pudar. Dengan memberanikan diri, ia pun bertanya, “Hei, bagaimana rasanya? Enak atau tidak rasa cawan rotan itu?”

“Pahit sekali! Apanya yang enak?” jawab Dewa Akar Persik dengan mulut masih berkecap-kecap.

Zu Qianqiu mengerutkan kening, lalu berkata, “Aduh, cawan rotan tua telah kau makan. Sekarang Arak Seratus Rumput ini harus diwadahi dengan cawan apa? Kau sudah mengacaukan rencanaku. Ah, terpaksa memakai cawan kayu merah tua ini saja untuk sementara.”

Usai berkata demikian ia lalu mengeluarkan selembar saputangan dari balik bajunya. Dengan saputangan itu ia mengusap sisa-sisa pecahan cawan rotan tua, kemudian mengelap cawan kayu merah tua luar dalam. Saputangan tersebut terlihat kotor dan lembab, sehingga cawan kayu merah tua semakin dilap bukannya menjadi bersih, justru semakin kotor.

Setelah dirasa cukup, Zu Qianqiu kemudian menaruh cawan kayu merah tua itu di atas meja yang dijajar dalam satu baris bersama ketujuh cawan yang lain. Cawan-cawan yang tidak terpakai segera dimasukkan kembali ke dalam baju. Kemudian sastrawan dekil itu menuang delapan jenis arak seperti arak Fen, arak Anggur, arak Shaoxing Merah, dan yang lain ke dalam delapan cawan sesuai penjelasannya tadi.

Setelah menuang arak, Zu Qianqiu menghela nafas lega, kemudian berkata, “Saudara Linghu, kedelapan cawan arak ini sudah kuisi penuh. Silakan kau minum satu per satu. Setelah selesai, aku akan minum delapan cawan juga. Setelah itu kau bisa membandingkan perbedaan cita rasa arak-arak ini dengan arak-arak yang pernah kau minum memakai wadah biasa.”

“Baiklah!” sahut Linghu Chong. Ia lalu mengangkat cawan kayu merah tua. Dalam sekali teguk Arak Seratus Rumput dalam cawan itu sudah berpindah ke dalam kerongkongannya. Tiba-tiba, ia merasa arak itu sangat pedas, dan ketika masuk ke dalam perut terasa begitu panas. Dengan perasaan sangat terkejut ia berpikir, “Aneh, mengapa rasa arak ini sedemikian aneh?”

Terdengar Zu Qianqiu berkata, “Cawan-cawan arakku ini merupakan benda pusaka di mata kaum pecinta arak. Sebelum ini aku pernah berjumpa para pengecut yang tidak berani minum cawan kedua karena arak pada cawan pertama terasa aneh. Terus terang, selama ini aku belum pernah melihat ada orang yang sanggup minum delapan cawan berturut-turut sampai tuntas.”

Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Hidupku tidak akan lama lagi. Andaikan di dalam arak ini terdapat racun juga aku tidak peduli. Apa bedanya mati karena sakit atau karena racun? Mati lebih baik daripada diejek orang ini.”

Maka Linghu Chong pun mengangkat cawan kedua dan ketiga kemudian meminum isinya sampai habis. Ia merasa arak yang satu terasa pahit, sedangkan yang lain terasa pesing, ama sekali tidak terasa seperti arak enak.

Ketika hendak mengambil cawan keempat, tiba-tiba terdengar Dewa Akar Persik berseru kesakitan, “Aduh, celaka! Perutku rasanya panas seperti dibakar!”

“Kau telah memakan mentah-mentah cawan rotan tua, sudah tentu perutmu kesakitan,” kata Zu Qianqiu dengan tertawa. “Cawan rotan tua keras seperti baja. Entah bagaimana perutmu bisa mencerna cawanku? Kau harus banyak minum obat cuci perut agar dapat terkuras keluar. Kalau tidak dapat keluar terpaksa kau harus meminta pertolongan Ping Yizhi si Tabib Sakti Pembunuh untuk membedah perutmu dan mengeluarkan cawan itu.”

Mendengar itu Linghu Chong pun berpikir, “Ada yang tidak beres pada kedelapan cawan ini. Dewa Akar Persik telah memakan cawan rotan tua. Seandainya rotan tua adalah benda keras seperti baja yang tidak bisa dicernakan, lantas mengapa bisa menimbulkan rasa panas seperti dibakar? Tapi, ah, seorang laki-laki sejati memandang kematian seperti pulang ke rumahnya, kenapa harus takut? Semakin ampuh racunnya justru semakin baik bagiku.”

Maka sekali teguk ia kembali menghabiskan isi secawan arak pula.

“Kakak Pertama, arak itu jangan diminum lagi! Jangan-jangan di dalamnya terdapat racun,” tiba-tiba Yue Lingshan berseru demikian. “Kau pernah membutakan mata lima belas orang. Hendaknya kau waspada mereka menuntut balas kepadamu.”

“Tuan Zu ini seorang laki-laki yang suka berterus terang, rasanya tidak mungkin meracuni diriku. Lagipula, kalau dia mau membunuhku bisa segera dilakukannya. Untuk apa harus banyak membuang waktu dan pikiran?” kata Linghu Chong sambil tersenyum sedih. Dalam hati ia justru berharap di dalam arak tersebut benar-benar ada racun mematikan. Jika tubuhnya nanti roboh dan sekarat, ia ingin tahu apakah Yue Lingshan akan bersedih atau tidak.

Dengan berpikir demikian pemuda itu pun kembali meminum dua cawan arak. Arak pada cawan keenam ini terasa asam dan asin, bahkan agak berbau bacin. Rasanya benar-benar tidak pantas disebut sebagai “arak bagus”, bahkan sama sekali tidak pantas disebut “arak”. Waktu mengalir masuk ke dalam perut, mau tidak mau keningnya pun berkerut.

Melihat Linghu Chong minum enam cawan berturut-turut, Dewa Dahan Persik penasaran dan ingin ikut mencoba. Ia pun berkata, “Sisa dua cawan itu berikan saja kepadaku.” Bersamaan dengan itu, tangannya pun menjulur untuk mengambil cawan ketujuh dan kedelapan.

Dengan cekatan Zu Qianqiu mengayunkan kipasnya untuk memukul punggung tangan Dewa Dahan Persik sambil berkata, “Sabar dulu! Sabar dulu! Setiap orang harus minum delapan cawan secara berurut-turut sampai habis, supaya dapat merasakan intisari arak-arak ini yang sesungguhnya.”

Dewa Dahan Persik melihat pukulan kipas tersebut disertai tenaga yang cukup kuat shingga jika mengenai sasaran mungkin bisa membuat tulangnya patah. Maka dengan gerakan cepat ia pun memutar tangan untuk merebut kipas tersebut sambil berkata, “Kalau aku ingin minum dua cawan ini, kau mau apa?”

Melihat gerakan lawan, Zu Qianqiu tiba-tiba membuka kipas tersebut dan ujungnya pun menjentik jari telunjuk Dewa Dahan Persik. Dalam keterkejutannya, Dewa Dahan Persik menarik tangannya yang terkena pukul itu. Ia merasa jarinya agak kesemutan. Sambil menjerit kesakitan, ia pun mundur satu langkah.

Zu Qianqiu berseru, “Saudara Linghu, lekas habiskan isi kedua cawan itu!”

Tanpa pikir lagi, Linghu Chong langsung meraih dua cawan terakhir dan segera menghabiskan isinya. Keduanya tidak berbau, namun yang satu terasa pedas di lidah. Bahkan tenggorokan pun terasa seperti diiris-iris dengan pisau tajam. Sementara itu arak terakhir rasanya seperti obat. Bahkan, baunya terasa sangat menyengat melebihi obat yang paling keras.

Melihat raut muka Linghu Chong terkesan aneh, Enam Dewa Lembah Persik merasa penasaran, kemudian serentak bertanya, “Bagaimana rasanya setelah kedelapan arak itu kau minum habis?”

Zu Qianqiu menyela, “Kalau kedelapan arak itu diminum bersama, sudah tentu rasanya enak sekali. Hal ini tertulis pada naskah kuna.” sela Zu Qianqiu.

“Omong kosong! Naskah kuna apa?” seru Dewa Dahan Persik.

Tiba-tiba, empat saudaranya berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu masing-masing sudah memegangi tangan dan kaki Zu Qianqiu. Entah isyarat apa yang disampaikan Dewa Dahan Persik yang membuat keempat saudaranya maju menyerang secara mendadak? Cara yang dilakukan Enam Dewa Lembah Persik benar-benar aneh dan sangat cepat. Apa yang mereka lakukan dalam sekejap sudah membuat Zu Qianqiu berada di pihak yang kalah. Meskipun memiliki ilmu silat hebat, namun Zu Qianqiu sepertinya sulit untuk meloloskan diri.

Sekejap kemudian, tubuh Zu Qianqiu sudah terangkat ke atas. Para murid Huashan menjerit kaget karena teringat nasib Cheng Buyou yang terpotong menjadi empat oleh tindakan Enam Dewa Lembah Persik seperti itu. Sementara itu, Zu Qianqiu memeras otak untuk menyelamatkan dirinya. Tiba-tiba ia berteriak nyaring, “Di dalam arak terdapat racun! Aku punya penawarnya!”

Keempat Dewa Lembah Persik yang menangkap Zu Qianqiu itu sudah minum arak cukup banyak dari dalam guci. Begitu mendengar bahwa arak-arak tersebut mengandung racun membuat mereka tertegun. Meskipun hanya sedetik keempat orang itu lengah, namun Zu Qianqiu mampu memanfaatkannya dengan baik. Sekuat tenaga ia berteriak, “Kentut bau! Kentut bau!”

Dalam sekejap keempat Dewa Lembah Persik merasakan sesuatu terlepas dari cengkeraman tangan mereka. Selanjutnya terdengar suara benturan keras dan tahu-tahu atap kabin sudah jebol. Zu Qianqiu sendiri sudah menghilang entah ke mana. Sepertinya sastrawan miskin itu melompat ke atas dan menerobos atap kabin untuk meloloskan diri. Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik sudah tidak memegang apa-apa, sedangkan Dewa Bunga Persik dan Dewa Daun Persik masing-masing hanya tinggal memegang sepatu kotor dan butut.

Gerakan kelima Dewa Persik juga tidak kalah cepat. Serentak mereka melesat memburu ke tepi sungai, namun bayangan Zu Qianqiu sudah terlanjur lenyap tanpa jejak.

Tiba-tiba di ujung jalan sana terdengar suara seseorang berteriak, “Zu Qianqiu, kau bajingan busuk! Lekas kembalikan obatku! Kurang satu biji saja tentu akan kucincang dan kukuliti tubuhmu!”

Mendengar ada orang memaki-maki Zu Qianqiu jelas membuat kelima Dewa Lembah Persik merasa senang. Mereka pun berhenti untuk melihat siapa kiranya orang yang bisa mereka jadikan teman tersebut. Sekejap kemudian terlihat sosok seperti segumpal bola daging yang menggelinding datang mendekat. Setelah jaraknya semakin dekat barulah kelima Dewa Lembah Persik dapat mengenali kalau bola daging tersebut ternyata seorang laki-laki yang bertubuh sangat pendek dan gemuk, bahkan sulit disebut manusia.

Orang itu bertubuh sangat aneh. Kepalanya tampak pipih, tapi sangat lebar dan menempel di atas bahu tanpa leher, bagaikan sewaktu bayi ada orang yang memukul kepalanya sehingga melesak ke bawah. Pipi, hidung, dan mulutnya pun seperti ikut tertarik pula. Melihat kedatangannya, semua orang merasa geli dan berpikir, “Tabib Ping bertubuh pendek, tapi orang ini jauh lebih pendek. Mungkin lebih tepat kalau orang ini disebut cebol.”

Jika Ping Yizhi memiliki bahu yang lebar, maka orang cebol ini memiliki dada dan punggung yang lebar. Lengan orang ini juga terlihat sangat pendek. Seperti hanya memiliki lengan bawah saja, tanpa lengan atas. Begitu pula dengan perutnya yang buncit, sepertinya hanya memiliki perut bagian atas saja.

Begitu tiba di samping kapal, orang cebol bulat tersebut bertanya sambil berkacak pinggang dengan angkuh, “Bangsat keparat Zu Qianqiu itu bersembunyi di mana?”

“Bangsat keparat itu sudah lari,” jawab Dewa Akar Persik dengan tertawa. “Dia berkaki panjang dan bisa berlari dengan kencang. Jika kau menggelinding pelan-pelan seperti itu mana mungkin bisa mengejarnya?”

Si cebol bulat hanya mendengus, matanya yang kecil melotot, sambil mulutnya berteriak pula, “Pilku! Pilku!” Usai berkata demikian ia langsung melesat naik ke atas kapal.

Setelah masuk ke dalam kabin, si bulat mengendus-endus dan langsung menyambar sebuah cawan di atas meja. Setelah mencium bau cawan kosong itu, seketika wajahnya berubah hebat. Sebelumnya ia sudah berwajah jelek, dan kini berubah menjadi sangat buruk, bahkan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dari raut mukanya jelas menujukkan kalau hatinya sangat berduka. Ia kemudian memeriksa tujuh cawan kosong lainnya dan mengendus baunya satu per satu.

“Pilku!” kata si bulat sampai delapan kali. Setelah itu ia terlihat semakin sedih dan tidak seorang pun yang tahan melihat perubahan wajahnya. Orang itu kemudian jatuh terduduk di lantai kabin dan menangis keras-keras.

Melihat itu, kelima Dewa Lembah Persik semakin heran dan tertarik. Beramai-ramai mereka mengelilingi si bulat dan bertanya, “Hei, mengapa menangis?

“Apakah kau dipermainkan si bangsat keparat Zu Qianqiu?”

“Jangan bersedih, nanti kalau kami menemukan bangsat keparat itu pasti akan kami robek tubuhnya menjadi empat!”

Si bulat berseru, “Pilku sudah lenyap. Dia telah mencampur pilku dengan arak dan meminum semuanya. Meskipun dia dibunuh juga tidak ada gunanya lagi.”

Terkejut hati Linghu Chong mendengarnya. Segera ia bertanya, “Pil apa yang kau maksudkan itu?”

Si bulat menjawab sambil berlinang air mata, “Selama dua belas tahun aku bersusah payah mencari dan mengumpulkan bahan obat berharga seperti ginseng seribu tahun, jamur fuling, jamur lingzi, tanduk rusa, empedu beruang, umbi shouwu, notoginseng, dan sebagainya. Setelah bahan-bahan itu melewati sembilan kali penyulingan dan sembilan kali pengeringan, aku akhirnya berhasil membuat delapan butir Pil Penyambung Nyawa yang mujarab bisa membangkitkan orang mati. Namun, siapa sangka si keparat Zu Qianqiu mencuri kedelapan pilku yang berharga itu kemudian mencampurnya dengan arak untuk diminum semuanya?”

Linghu Chong semakin terkejut. Ia bertanya, “Apakah kedelapan pil itu memiliki rasa yang sama?”

“Jelas tidak,” sahut si bulat. “Ada yang berbau bacin, ada yang rasanya sangat pahit, ada yang rasanya pedas dan panas seperti dibakar, ada yang tajam seperti pisau mengiris. Asalkan sudah minum kedelapan butir Pil Penyambung Nyawa tersebut, biarpun luka dalam atau luka luar yang bagaimana parahnya juga pasti akan tertolong.”

“Wah, celaka!” seru Linghu Chong sambil menepuk paha. “Zu Qianqiu memang telah mencuri Pil Penyambung Nyawa itu, tapi dia tidak memakannya sendiri, melainkan….”

“Melainkan apa?” desak orang cebol bulat itu.

“Dia mencampur kedepalan pil itu ke dalam arak dan menipu aku supaya meminumnya,” jawab Linghu Chong. “Sungguh aku tidak tahu kalau di dalam arak terdapat obat berharga seperti itu. Justru aku mengira dia hendak meracuni aku.”

“Racun? Racun nenekmu!” damprat si bulat dengan gusar. “Jadi kau yang telah meminum Pil Penyambung Nyawa buatanku itu?” Sampai di sini matanya tampak memandang dengan tajam.

Linghu Chong menjawab, “Zu Qianqiu mengisi delapan cawan arak dan membujuk aku supaya meminum habis semuanya. Memang benar ada yang rasanya panas, ada yang rasanya pahit, ada yang berbau bacin, dan macam-macam lagi. Tapi aku sendiri tidak melihat ada pil di dalamnya.”

Orang cebol bulat itu melotot ke arah Linghu Chong, kemudian tubuhnya melesat ke atas dan menubruk ke arah pemuda itu.

Sejak tadi kelima Dewa Lembah Persik sudah bersiap-siap. Maka begitu tubuh si bulat melompat ke atas, empat orang dari mereka lantas secepat kilat memegang kedua tangan dan kedua kaki orang itu.

“Jangan bunuh dia!” demikian Linghu Chong buru-buru berteriak.

Sungguh aneh, begitu keempat Dewa Lembah Persik menangkap sasaran, langsung saja kedua kaki dan tangan orang cebol bulat itu masuk ke dalam tubuh. Kini si bulat tak ubahnya seperti bola daging berukuran besar. Keempat Dewa Lembah Persik berteriak kaget, kemudian menarik dengan lebih keras. Kedua tangan dan kaki orang itu terlihat mulur ke arah yang berlawanan. Semakin kuat tarikan, semakin mulur pula akibatnya, bagaikan seekor kura-kura mengeluarkan keempat kakinya dari dalam cangkang.

“Jangan bunuh dia!” kembali Linghu Chong berseru.

Keempat Dewa Lembah Persik sedikit mengendurkan tarikan mereka. Lengan dan kaki orang cebol itu kembali masuk ke dalam tubuh, dan kini ia bagiakan segumpal bola daging kembali.

Dewa Buah Persik yang masih terbaring di atas tandu ikut berseru, “Wah, sungguh menarik! Ilmu apakah yang kaupakai itu?”

Waktu keempat Dewa Lembah Persik menarik lagi, kembali tangan dan kaki si bulat terulur keluar sampai lebih dari satu meter panjangnya. Melihat kejadian yang lucu itu, Yue Lingshan dan murid perempuan Huashan lainnya serentak tertawa geli.

“Hei, bagaimana kalau kami tarik tangan dan kakimu supaya lebih panjang, sehingga kau akan terlihat lebih tampan?” seru Dewa Akar Persik bergurau.

“Aih, jangan!” teriak orang itu.

Keempat Dewa Lembah Persik tertegun dan bertanya, “Mengapa?”

Di luar dugaan, begitu merasakan cengkeraman tersebut melemah, si bulat langsung meronta sekerasnya dan melepaskan diri dari keempat orang itu. “Blang!” tahu-tahu dasar kapal diterobos olehnya sehingga berlubang besar. Gerakannya bagaikan belut melarikan diri melalui sungai.

Di tengah suara jeritan para penumpang, terlihat air Sungai Kuning terus naik melalui lubang di dasar kapal dan menyembur ke atas.

Lekas-lekas Yue Buqun memberi perintah, “Masing-masing orang membawa barangnya sendiri-sendiri dan lekas melompat ke daratan!”

Lubang yang jebol di dasar kapal itu sekitar empat kali satu meter lebih. Air sungai pun mengalir sangat cepat. Hanya sekejap saja air di dalam kabin itu sudah setinggi lutut. Untungnya saat itu kapal masih tertambat di tepi sungai sehingga mereka bisa melompat ke daratan dengan selamat. Sementara itu, si jurumudi tampak gelisah dan bingung melihat kapalnya mulai tenggelam. Linghu Chong pun menghiburnya, “Kau tidak perlu khawatir, berapa harga kapalmu akan kuganti dua kali lipat.”

Diam-diam Linghu Chong juga sangat heran. “Selama ini aku tidak mengenal Zu Qianqiu, tapi mengapa orang itu sengaja mencuri obat milik orang cebol bulat tadi untuk diminumkan kepadaku?” Ketika sedikit saja ia mengerahkan tenaga dalam, seketika pada titik Dantian di bawah perut terasa panas membara, namun kedelapan hawa murni yang saling serang di tubuhnya masih terasa bergejolak pula.

Sementara itu Lao Denuo telah menyewa sebuah kapal baru dan memimpin para murid Huashan lainnya untuk memindahkan semua perbekalan dari kapal lama. Linghu Chong mengambil beberapa tahil perak yang entah pemberian dari siapa untuk dibayarkan kepada si jurumudi kapal lama yang telah rusak tadi.

Sebenarnya Yue Buqun sudah merasa tidak nyaman atas segala peristiwa aneh yang baru saja terjadi. Bisa dikatakan semua orang yang baru saja datang satu per satu tidak diketahui maksud dan tujuannya, serta mereka seperti menyembunyikan sesuatu. Maka, keputusan yang paling baik adalah segera pergi melanjutkan perjalanan secepatnya. Namun, saat itu hari sudah mulai gelap, sehingga sangat tidak aman untuk melanjutkan perjalanan karena sungai di daerah itu berliku-liku. Terpaksa ia memutuskan untuk beristirahat saja di dalam kapal.

Enam Dewa Lembah Persik juga merasa kesal karena berturut-turut mereka dua kali gagal menangkap Zu Qianqiu dan si cebol bola daging. Lolosnya dua orang itu merupakan kejadian langka di dalam hidup mereka. Maka, keenam orang aneh itu pun berusaha membual untuk menutupi rasa malu. Namun pada akhirnya mereka tetap saja tidak menemukan alasan yang tepat. Maka untuk menghibur diri, keenam orang aneh itu pun melanjutkan minum arak, dan sesudah mabuk mereka langsung tertidur pulas.

Yue Buqun berbaring di dalam kabin. Telinganya mendengar suara arus sungai saat bermacam-macam pikiran terlintas dalam benaknya. Beberapa waktu kemudian terdengar suara orang berjalan dari jauh dan semakin mendekat. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari arah tepi sungai yang mendekat ke arah kapal. Segera ia bangkit dan mengintip dari balik jendela kabin. Di bawah cahaya rembulan ia dapat melihat secara samar-samar dua sosok bayangan berlari dari kejauhan. Tiba-tiba seorang dari mereka mengangkat tangan memberi isyarat. Ia dan temannya lantas berhenti kira-kira beberapa meter dari perahu.

Kedua orang itu pun berbisik-bisik satu sama lain. Melihat itu, Yue Buqun menarik nafas dalam-dalam untuk mengerahkan ilmu Awan Lembayung. Dengan ilmu tersebut, penglihatan dan pendengarannya tidak hanya bertambah peka, namun juga memiliki jangkauan yang lebih jauh.

Maka terdengarlah seseorang di antara kedua yang datang itu berkata dengan suara lirih, “Pasti kapal ini. Tadi ketika orang tua dari Huashan menyewa kapal, aku langsung membuat tanda pada atap kabin kapal itu. Aku yakin tidak salah.”

“Baiklah, mari kita segera pulang dan melapor kepada Paman Guru Zhu!” kata yang satu lagi. “Kakak, sejak kapan Partai Seratus Racun kita bermusuhan dengan Perguruan Huashan? Mengapa Paman Guru Zhu mengerahkan begitu banyak tenaga demi menghadang mereka secara besar-besaran?”

Begitu mendengar nama “Partai Seratus Racun”, seketika jantung Yue Buqun berdebar kencang dan keringat dingin pun mengalir di punggungnya. Akibatnya, kekuatan ilmu Awan Lembayung sempat menurun sehingga suara percakapan kedua orang yang sangat lirih itu tidak terdengar. Ketika ia mengerahkan ilmunya kembali, terdengar suara orang pertama berkata, “…bukan menghadang, tetapi Paman Guru Zhu telah berhutang budi pada seseorang, dan orang itu meminta Paman Guru Zhu untuk menanyakan tentang seseorang…. Sama sekali bukan….”

Suara orang itu sangat pelan sehingga Yue Buqun tidak mampu mendengarnya secara utuh, melainkan terputus-putus. Ketika Yue Buqun berusaha meningkatkan kekuatan ilmu Awan Lembayung, terdengar langkah kaki kedua orang itu yang semakin menjauh. Akhirnya, bayangan mereka pun lenyap ditelan kegelapan malam.

“Bagaimana bisa Perguruan Huashan kami memiliki permusuhan dengan Partai Seratus Racun?” tanya Yue Buqun dalam hati. “Si Paman Guru Zhu yang mereka bicarakan tadi kemungkinan besar adalah Zhu Caoxian yang selama ini menjadi ketua partai tersebut. Ia dijuluki sebagai ‘Si Ahli Racun Setengah Mati’. Julukan itu merupakan keahliannya yang bisa meracun orang lain sampai setengah mati. Memang, meracuni orang lain sampai mati adalah perkara mudah dan setiap orang bisa melakukannya. Tapi bagaimana dengan meracuni orang sampai setengah mati? Jika dia sudah turun tangan, tentu si korban akan menderita seperti diiris-iris ribuan pisau atau digigit puluhan ribu serangga. Tentu yang ini lebih menderita daripada mati. Namun demikian, si korban sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melakukan bunuh diri meskipun ia menginginkannya, sehingga satu-satunya jalan adalah menyerah dan mengikuti segala perintah Zhu Caoxian. Boleh dikata dua perkumpulan ahli racun terbesar di dunia persilatan adalah Sekte Lima Dewi dan Partai Seratus Racun. Meskipun Partai Seratus Racun masih di bawah Sekte Lima Dewi, namun tetap tidak bisa dipandang remeh. Tapi mengapa Ketua Zhu ingin menghadang perjalanan kami? Lantas, siapakah orang yang telah menyuruhnya?”

Setelah memeras otak Yue Buqun akhirnya sampai pada dugaan, bahwa kemungkinan besar pihak yang menyuruh Partai Seratus Racun adalah Feng Buping dengan Kelompok Pedangnya, atau mungkin lima belas penjahat bercadar yang tempo hari dibutakan mata mereka oleh Linghu Chong.

Tiba-tiba dari arah tepi sungai terdengar suara seorang perempuan berkata dengan suara lirih, “Apakah keluargamu benar-benar memiliki kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Yue Buqun mengenali suara perempuan itu yang tidak lain adalah Yue Lingshan. Tanpa perlu menunggu dengan siapa putrinya bicara, ia langsung dapat menyimpulkan tentu ia adalah Lin Pingzhi. Tiba-tiba Yue Buqun terperanjat karena menyadari kalau hubungan kedua muda-mudi itu semakin hari semakin dekat. Pada siang hari mereka tidak berani menunjukkan perasaan masing-masing karena takut menjadi bahan olok-olok murid-murid Huashan lainnya. Maka, keduanya pun memilih bertemu secara sembunyi-sembunyi di tepi sungai setelah lewat tengah malam. Andai saja Yue Buqun tadi tidak mengerahkan ilmu Awan Lembayung untuk menguping pembicaraan musuh, tentu hal ini akan luput dari perhatiannya. Untuk mengerahkan ilmu Awan Lembayung diperlukan tenaga yang sangat besar. Itulah sebabnya ia tidak sembarangan mengerahkan ilmu hebat tersebut, kecuali benar-benar dibutuhkan. Sama sekali ia tidak menyangka kalau selain ilmu itu bisa digunakan untuk menyelidiki pembicaraan musuh, ternyata juga berhasil menangkap pembicaraan anak perempuannya.

Terdengar suara Lin Pingzhi berkata, “Keluargaku memang memiliki ilmu Pedang Penakluk Iblis dan aku sendiri sudah sering memperlihatkannya padamu. Tapi, mengenai keberadaan kitabnya aku masih belum yakin.”

“Jika begitu mengapa kakek dan kedua pamanmu mencurigai Kakak Pertama telah menggelapkan kitab warisan keluargamu itu?” tanya Yue Lingshan.

“Mereka yang menaruh curiga. Aku sendiri tidak mencurigai Kakak Pertama,” kata Lin Pingzhi.

“Oh, ternyata kau ini baik hati juga,” sahut Yue Lingshan. “Kau membiarkan orang lain curiga, sedangkan kau tidak menaruh curiga.”

Lin Pingzhi menghela napas dan berkata, “Jika keluargaku benar-benar memiliki kitab pusaka yang hebat itu, tentu Biro Ekspedisi Fuwei kami tidak mungkin hancur dan keluargaku tidak sampai berantakan oleh perbuatan Perguruan Qingcheng.”

“Ucapanmu memang masuk akal,” ujar Yue Lingshan. “Jika demikian, mengapa kau tidak membela Kakak Pertama sewaktu ia didesak oleh kakek dan paman-pamanmu?”

“Aku sendiri tidak mendengar langsung bunyi wasiat yang ditinggalkan Ayah dan Ibu. Maka itu, aku tidak punya alasan untuk membela Kakak Pertama,” jawab Lin Pingzhi.

“Jadi, di dalam hatimu sedikit banyak ada rasa curiga,” desak Yue Lingshan.

“Ah, jangan sekali-kali berkata demikian! Kalau sampai didengar Kakak Pertama bukankah akan merusak hubungan baik sesama saudara seperguruan?” ujar Lin Pingzhi.

“Hm, ternyata kau ini pandai berpura-pura,” ejek Yue Lingshan. “Kalau curiga ya bilang curiga saja, kalau tidak ya bilang tidak. Bila aku menjadi dirimu tentu sudah lama aku menanyai Kakak Pertama terang-terangan.” Gadis itu diam sejenak, kemudian melanjutkan, “Watakmu ternyata sangat mirip dengan Ayah. Kalian sama-sama menaruh curiga bahwa Kakak Pertama telah menggelapkan kitab pusaka itu.”

“Guru juga curiga?” Lin Pingzhi menukas.

Yue Lingshan tertawa, “Hehe, jika kau sendiri tidak curiga mengapa memakai istilah ‘juga’? Aku bilang sifatmu mirip dengan Ayah, ada masalah hanya disimpan dalam hati, sedangkan mulut sama sekali tidak menyinggungnya secara langsung.”

Pada saat itulah tiba-tiba datang sebuah perahu mendekati kapal besar yang ditumpangi rombongan Huashan. Dari perahu tersebut terdengar suara seseorang membentak, “Kalian binatang kecil tak tahu malu! Berani sekali sembarangan menuduh orang! Linghu Chong seorang kesatria gagah sejati, untuk apa ia menginginkan kitab itu? Kalian hanya berani membicarakan sampah di belakang punggung orang. Huh, si tua ini tidak terima!”

Suara bentakan yang sangat keras itu membuat terkejut para penumpang kapal Huashan sehingga mereka terbangun dari tidur masing-masing. Bahkan, burung-burung yang bertengger di pepohonan dekat tepi sungai pun terbangun dan berhamburan ke udara. Sekejap kemudian, dari atas perahu tadi tampak seorang bertubuh tinggi besar melompat ke arah Lin Pingzhi dan Yue Lingshan dengan gerakan sangat cepat. Di bawah cahaya rembulan pemandangan tersebut bagaikan seekor burung elang sedang menyambar dua anak ayam.

Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sama-sama tidak membawa senjata. Terpaksa mereka memasang kuda-kuda, bersiap untuk melawan dengan tangan kosong. Sementara itu Yue Buqun yang mengintip dari balik jendela dapat mengetahui kehebatan tenaga dalam raksasa itu dari teriakannya. Dari gerakan si raksasa yang melesat di udara pun menunjukkan kehebatan ilmu silatnya.

Melihat keselamatan putrinya dalam bahaya, Yue Buqun pun berteriak dengan nada cemas, “Tunggu! Jangan sakiti mereka!” Ia kemudian menjebol jendela dan melesat ke arah tepi sungai. Namun baru saja tubuhnya melayang di udara, dilihatnya tangan pria raksasa itu sudah berhasil mencengkeram tubuh Lin Pingzhi dan Yue Lingshan masing-masing dengan satu tangan dan membawa kedua muda-mudi itu lari ke depan sana.

Yue Buqun terkejut luar biasa. Begitu kaki menginjak tanah segera ia mengerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Pedang yang sudah siap di tangan lantas ditusukkan ke arah punggung raksasa itu dengan jurus Pelangi Putih Menembus Sinar Mentari.

Karena si penculik bertubuh tinggi besar, langkahnya pun lebar pula. Cukup maju satu langkah ke depan saja ia sudah bisa menghindari tusukan Yue Buqun. Begitu Yue Buqun melompat maju dan kembali menusuk dengan jurus Pedang Zhongping, lagi-lagi raksasa itu melangkah lebar ke depan sehingga serangan tersebut kembali luput.

Yue Buqun kembali melancarkan serangan untuk menusuk punggung si raksasa, kali ini dengan jurus Angin Semilir Membuai Rasa. Sebagai seorang yang menjunjung tata krama, ia lebih dulu berteriak, “Awas seranganku!”

Pada saat ujung pedang hanya berjarak tiga puluh senti dari punggung si raksasa, tiba-tiba ada hembusan angin menerpa tubuh Yue Buqun dari arah samping, disusul kemudian dengan munculnya seseorang yang menusukkan dua jarinya ke arah matanya, membuat ketua Perguruan Huashan itu melompat mundur. Ternyata ada orang lain yang bersembunyi dan mendadak muncul membantu si raksasa.

Saat itu pengejaran Yue Buqun sudah sampai di ujung jalan. Cahaya rembulan tertutup oleh sederet rumah yang berbaris rapi di pinggiran jalan. Dalam kegelapan malam itu reaksi Yue Buqun sungguh luar biasa. Begitu mengetahui munculnya orang lain dari balik persembunyian, ia langsung menghindar sekaligus melancarkan serangan balasan tanpa mengetahui seperti apa wajah si musuh baru.

Si penyerang menundukkan kepala dan kemudian mendesak maju. Jari tangannya mencengkeram untuk menyerang titik Zhongwan di perut Yue Buqun. Tanpa pikir lagi Yue Buqun segera balas menendang. Terpaksa orang itu berputar ke arah lain dan kembali menyerang punggung sang ketua Huashan. Tanpa membalik tubuh, Yue Buqun segera menebas ke belakang dengan cepat dan jitu. Tapi orang itu kembali bisa menghindarkan diri. Menyusul kemudian ia menubruk maju hendak mengincar tenggorokan Yue Buqun.

Diam-diam Yue Buqun merasa gusar karena orang itu berani menghadapi pedangnya dengan tangan kosong. Segera ia mengumpulkan semangat dan menlancarkan serangan berputar ke arah kepala lawan. Buru-buru si lawan menyentil batang pedang dengan jarinya sehingga posisinya berubah agak miring. Keadaan ini justru dimanfaatkan Yue Buqun untuk melanjutkan serangan dengan gerakan menebas. Kali ini serangan tersebut berhasil melemparkan topi lawan yang ternyata menutupi kepala yang botak. Jelas-jelas si penyerang ini seorang biksu. Darah tampak mengalir dari dahinya yang tergores pedang Yue Buqun.

Biksu tersebut kemudian menghentakkan kakinya lalu melesat pergi ditelan kegelapan malam. Karena ia melarikan diri ke arah yang berbeda dengan si raksasa yang menculik Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, maka Yue Buqun memutuskan untuk tidak mengejarnya.

Pada saat itulah Ning Zhongze datang dengan pedang terhunus. Ia bertanya, “Di mana Shan’er?”

“Ke sana! Mari kita kejar!” jawab Yue Buqun sambil menunjuk ke depan dengan ujung pedangnya.

Suami-istri itu lantas mengejar ke arah larinya si raksasa tadi. Tak lama kemudian sampailah mereka di suatu persimpangan jalan. Keduanya menjadi bingung entah ke mana si penculik berlari.

“Bagaimana ini? Bagaimana ini?” tanya Ning Zhongze dengan nada gelisah.

“Orang yang menculik Shan’er adalah teman Chong’er. Aku yakin mereka tidak akan berbuat macam-macam,” ujar Yue Buqun berusaha menghibur sang istri. “Marilah kita kembali ke kapal untuk menanyai Chong’er. Tentu dia mengetahui masalah ini.”

Ning Zhongze mengangguk sambil menjawab, “Benar sekali. Aku dengar orang tadi membentak Shan’er dan Pingzhi yang dianggapnya berani sembarangan memfitnah Chong’er. Entah apa yang menjadi alasannya?”

“Tentu ada sangkut pautnya dengan kitab Pedang Penakluk Iblis,” kata Yue Buqun.

Waktu mereka kembali ke kapal, tampak Linghu Chong dan para murid lainnya sedang menunggu di tepi sungai dengan penuh rasa khawatir. Setelah Yue Buqun dan Ning Zhongze masuk ke dalam kabin kapal, mereka berniat memanggil Linghu Chong untuk ditanyai, namun tiba-tiba terdengar suara teriakan, “Ada surat untuk Yue Buqun!” Lao Denuo dan beberapa murid pria segera menghunus pedang dan berlari ke arah suara. Tak lama kemudian mereka sudah kembali ke kapal. Lao Denuo masuk ke dalam kabin untuk melapor, “Guru, kami menemukan selembar kain yang tertindih batu di atas tanah sana. Si pengirim sudah pergi ketika kami datang.”

Yue Buqun menerima kain tersebut dan memeriksanya dengan saksama. Sepertinya kain itu berasal dari sobekan jubah biksu yang ditulisi dengan jari menggunakan tinta darah. Tulisan tersebut berbunyi, “Kami akan mengembalikan putrimu yang bau di Lembah Lima Raja Kejam.”

Yue Buqun menunjukkan kain itu kepada sang istri dan berkata, “Tulisan ini dibuat oleh si biksu tadi.”

Ning Zhongze menganggapi dengan gugup, “Darah… darah siapa yang dipakai menulis itu?”

“Jangan khawatir, pasti darahnya sendiri. Aku tadi berhasil melukai dahinya,” jawab Yue Buqun menenangkan istrinya. Ia kemudian bertanya kepada si jurumudi, “Berapa jauh jarak dari sini ke Lembah Lima Raja Kejam?”

Jurumudi menjawab, “Kalau kita berlayar pagi-pagi sekali, setelah melewati Kota Dongwa dan Jiuhe, maka kita akan sampai di Kota Dongming. Lembah Lima Raja Kejam berada di sebelah timur Dongming, dekat Heze. Lembah itu terletak di perbatasan Provinsi Henan dan Shandong. Jika Tuan ingin pergi ke sana, mungkin kita bisa sampai setelah senja besok.”

Yue Buqun menanggapi dengan berdehem, sambil benaknya berpikir, “Mereka menantang aku untuk bertemu di Lembah Lima Raja Kejam. Mau tidak mau aku harus datang ke sana. Tapi entah berapa jumlah musuh yang menunggu di sana? Selain itu, mereka juga menangkap Shan’er sebagai tawanan. Sepertinya dalam pertandingan ini kekalahanku sudah ditentukan. Tipis harapan untuk menang.”

Sementara hatinya ragu-ragu, tiba-tiba kembali terdengar suara teriakan orang dari arah daratan, “Keparat! Di mana Enam Setan Lembah Persik berada? Aku kakek kalian, Zhong Kui, dewa penangkap setan, datang hendak menangkap kalian!”

Mendengar itu, tentu saja Enam Dewa Lembah Persik gusar bukan kepalang. Mereka pun memaki-maki dengan segala macam kata-kata kotor. Kecuali Dewa Buah Persik yang masih terbaring lemah, kelima orang kakaknya pun bersama-sama melompat ke tepi sungai. Mereka melihat seorang laki-laki yang memakai kopiah panjang dan runcing berdiri di daratan dengan memegang seperangkat panji berwarna putih, seperti yang biasa dibawa pengurus jenazah.

Begitu melihat kelima Dewa Lembah Persik turun dari kapal, ia langsung berbalik sambil berteriak, “Kalian Enam Setan Lembah Persik adalah pengecut seperti tikus! Jika berani, ayo kejar aku!” Usai berkata demikian orang berkopiah panjang itu pun melesat pergi.

Dewa Akar Persik dan keempat adiknya semakin murka. Mereka pun bergegas mengejar si kopiah panjang. Namun tak disangka, orang itu memiliki ilmu ringan tubuh tingkat tinggi. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

Yue Buqun, Ning Zhongze, dan beberapa murid Huashan juga turun dari kapal. Tiba-tiba Yue Buqun menyadari sesuatu dan segera berteriak, “Ini adalah siasat ‘memancing harimau turun gunung’. Semuanya segera kembali ke kapal!”

Pada saat itu sesosok bayangan bulat menggelinding entah dari mana dan langsung menangkap kerah baju Linghu Chong. Ia tidak lain adalah manusia cebol bulat yang tadi sore muncul.

“Ikut pergi denganku!” katanya sambil menarik tubuh Linghu Chong.

Linghu Chong tidak memiliki kekuatan untuk meronta. Namun tiba-tiba dari ujung jalan muncul sesosok bayangan yang menerjang keluar dan langsung menendang si cebol bulat. Ternyata si penyerang ini adalah Dewa Ranting Persik. Rupanya ia telah memisahkan diri dari saudara-saudaranya yang berlari mengejar si kopiah panjang dan memilih kembali ke kapal. Saat pengejaran tadi, diam-diam ia teringat kalau Dewa Buah Persik masih di atas kapal dan bisa jadi kakek Zhong Kui keparat berkopiah panjang tadi berlari memutar dan menangkap si adik bungsu tersebut. Begitu kembali, ia melihat si cebol bulat menyeret tubuh Linghu Chong, sehingga ia pun langsung melancarkan serangan untuk menolong.

Si bulat segera melepaskan Linghu Chong kemudian dengan sekali lompat ia masuk ke dalam kabin kapal mendekati Dewa Buah Persik yang masih terbaring lemah. Ia lantas mengangkat sebelah kakinya hendak menginjak dada Dewa Buah Persik.

Kontan saja Dewa Ranting Persik terkejut dan berteriak, “Jangan lukai adikku!”

“Aku ingin membunuhnya, peduli apa denganmu?” seru si bulat.

Secepat kilat Dewa Ranting Persik menyusul masuk ke dalam kabin. Ia lantas mengangkat tubuh Dewa Buah Persik sekaligus bersama alas tidurnya.

Siasat si bulat berjalan lancar. Ia lantas berbalik dan melompat ke daratan. Dalam sekali cengkeram ia sudah menangkap Linghu Chong kembali. Tubuh pemuda itu kemudian dipanggulnya dan segera dibawanya pergi.

Dewa Ranting Persik teringat pada amanat Ping Yizhi supaya ia dan saudara-saudaranya selalu menjaga Linghu Chong baik-baik. Kini Linghu Chong telah diculik orang. Bagaimana jika hal ini sampai terdengar oleh Tabib Ping? Bukan tidak mungkin kalau Tabib Ping akan memerintahkan supaya Dewa Buah Persik dibunuh sebagai hukuman. Mau tidak mau, Dewa Ranting Persik harus mengejar si bulat dan merebut Linghu Chong. Akan tetapi, ia juga tidak tega meninggalkan Dewa Buah Persik sendirian. Bagaimana jika ada musuh lain yang datang menyerang? Mana mungkin Dewa Buah Persik bisa mempertahankan diri? Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Ranting Persik pun memanggul tubuh adik bungsunya itu dan membawanya serta mengejar si bulat.

Melihat itu Yue Buqun segera memberi isyarat kepada sang istri, lalu berkata, “Kau jaga para murid, biar aku yang menyusul ke sana untuk melihat apa yang terjadi.”

Ning Zhongze mengangguk paham. Mereka merasa saat ini banyak musuh tak dikenal yang bisa datang setiap saat. Jika ia ikut sang suami mengejar, bisa-bisa keselamatan para murid dalam bahaya.

Ilmu ringan tubuh si bulat sebenarnya masih di bawah Dewa Ranting Persik. Lebih-lebih dengan memanggul tubuh Linghu Chong di atas bahu membuatnya harus menguras banyak tenaga untuk berlari kencang. Namun Dewa Ranting Persik sendiri juga sedang menggendong Dewa Buah Persik yang belum sembuh dari luka. Dalam hal ini ia sama sekali tidak berani mengambil risiko karena khawatir luka adik bungsunya kembali kambuh apabila terbentur sesuatu. Itu sebabnya Dewa Ranting Persik tidak berlari, melainkan hanya berjalan dengan langkah lebar, sehingga tidak mampu mendekati si bulat yang berlari di depannya.

Yue Buqun juga mengerahkan ilmu ringan tubuh untuk mengejar mereka. Sedikit demi sedikit ia dapat menyusul dan mendengar suara Dewa Ranting Persik berteriak-teriak, “Lepaskan Linghu Chong! Jika tidak, maka aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia dan menghabisimu!”

Meskipun tubuh Dewa Buah Persik lemah tak berdaya, tapi mulutnya tetap saja cerewet. Ia pun menanggapi teriakan Dewa Ranting Persik yang menggendongnya, “Kakak Ketiga, bagaimana kau bisa menghabisinya? Kakak Pertama dan yang lain tidak ada di sini. Biarpun kau dapat menyusul si cebol bulat itu juga tak bisa mengapa-apakan dia. Kau bilang akan mengejarnya sampai ke ujung dunia juga hanya omong kosong belaka, bukan?”

“Walaupun cuma omong kosong, paling tidak bisa membuat dia takut, bukan? Lebih baik omong kosong daripada tidak berbuat apa-apa,” kata Dewa Ranting Persik.

“Kau lihat sendiri, si cebol bulat itu tetap berlari cepat, sama sekali tidak menjadi lambat. Itu berarti, omong kosongmu tidak ada gunanya,” desak Dewa Buah Persik.

“Yah… dia memang tidak memperlambat larinya. Tapi, percayalah padaku. Sebentar lagi dia pasti lebih lambat,” balas Dewa Ranting Persik.

“Tetap saja kata-katamu salah. Seharusnya tadi kau bilang ‘membuat lambat’, bukan ‘membuat takut’,” kata Dewa Buah Persik.

“Pokoknya kata ‘membuat’ tetap benar!” tukas Dewa Ranting Persik. Meskipun mulutnya berdebat dan tangannya memanggul orang, namun kecepatan langkah kakinya sama sekali tidak berkurang.

Begitulah, tiga orang itu berkejar-kejaran dengan cepat menuju ke arah timur laut. Jalanan makin lama makin terjal, rupanya mereka sedang mendaki jalan pegunungan.

Tiba-tiba Yue Buqun menyadari sesuatu. “Jangan-jangan si cebol itu mempersiapkan bala bantuan di lembah pegunungan ini untuk memancing kedatanganku? Jika demikian sungguh sangat berbahaya jika aku sampai masuk ke dalam perangkapnya.”

Karena bimbang, Yue Buqun memperlambat langkah kakinya. Dilihatnya si cebol bulat memanggul tubuh Linghu Chong menuju ke sebuah rumah beratap genting di lereng gunung. Sesudah dekat ia lantas melompat masuk ke halaman rumah itu dengan melintasi pagar tembok.

Dewa Ranting Persik yang menggendong Dewa Buah Persik juga ikut melompati pagar tembok itu. Tapi mendadak terdengar suara ia menjerit. Ternyata ia dan adik bungsunya telah masuk ke dalam perangkap yang terpasang di balik pagar tembok tersebut.

Yue Buqun juga sudah mengejar sampai di tepi pagar tembok itu. Tapi ia lantas berhenti dan memasang telinga. Terdengar Dewa Buah Persik menggerutu, “Sudah kukatakan kepadamu agar berhati-hati. Coba lihat, sekarang kau terperangkap di dalam jaring ini mirip seekor ikan, sungguh sial!”

Dewa Ranting Persik menjawab, “Pertama, bukan seekor tapi dua ekor ikan. Kedua, kapan kau pernah menyuruh aku berhati-hati?”

“Eh, dulu waktu masih kecil, ketika kita pergi mencuri buah mangga di halaman rumah orang, bukankah pernah kusuruh kau berhati-hati? Apa kau sudah lupa?” balas Dewa Buah Persik.

“Itu kejadian tiga puluh tahun yang lalu, mana ada sangkut pautnya dengan yang sekarang ini?” sahut Dewa Ranting Persik.

“Sudah tentu ada sangkut pautnya,” kata Dewa Buah Persik. “Karena dulu kau kurang hati-hati sehingga jatuh dari pohon dan ditangkap orang, lalu dihajar. Untung Kakak Pertama, Kakak Kedua, dan yang lain datang menolong kita dan membunuh habis orang-orang itu sekeluarga. Sekarang kau kurang hati-hati lagi sehingga kembali tertangkap pula.”

“Apa susahnya? Kita tunggu saja Kakak Pertama dan yang lain datang dan membunuh habis orang ini sekeluarga,” kata Dewa Ranting Persik.

Terdengar si bulat mendengus dan berkata, “Hm, kematian kalian dua Setan Lembah Persik sudah di depan mata, tapi masih berani mengoceh akan membunuh orang segala. Lebih baik tutup mulut kalian supaya telingaku tidak panas.”

Lalu terdengar dua kali suara tamparan yang disusul kemudian Dewa Ranting Persik dan Dewa Buah Persik terdiam seketika.

Yue Buqun masih memasang telinga, namun tidak terdengar suara apa-apa lagi. Ia lantas memutar ke belakang rumah. Tampak di luar pekarangan tumbuh sebuah pohon besar. Ia pun memanjat pohon besar itu dan memandang ke dalam. Tampak sebuah pondok kecil berdiri pada jarak belasan meter dari tembok luar.

Melihat nasib Dewa Ranting Persik dan Dewa Buah Persik, Yue Buqun tidak berani masuk ke dalam pondok itu karena yakin terdapat banyak perangkap di sana. Maka ia hanya bersembunyi di atas pohon tersebut sambil mengerahkan ilmu Awan Lembayung untuk mendengarkan pembicaraan di dalam pondok. Terdengarlah suara si bulat mendudukkan tubuh Linghu Chong di atas kursi, kemudian bertanya, “Sesungguhnya si tua bangka Zu Qianqiu itu ada hubungan apa denganmu?”

Linghu Chong menjawab, “Baru pertama kali ini aku bertemu orang bernama Zu Qianqiu itu.”

“Kau masih berani berdusta, hah?” bentak si bulat gusar, “Apa kau sudah lupa kalau sekarang sudah jatuh ke tanganku? Tunggu saja, sebentar lagi kau pasti akan kubuat menderita sampai mati.”

“Aku tahu kau sangat marah karena pilmu yang katanya mujarab itu telah kumakan tanpa sengaja,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Tapi jujur saja, aku merasa ragu jangan-jangan pilmu itu tidak sehebat dugaanmu. Sudah sekian lama kutelan obatmu namun sedikit pun aku tidak merasakan adanya perubahan.”

“Memangnya kau kira bisa begitu cepat reaksinya?” kata si bulat makin gusar. “Datangnya penyakit biasanya mendadak seperti gunung runtuh, tapi sembuhnya sedikit demi sedikit seperti kepompong ulat sutra. Khasiat obatku itu baru dapat terlihat sesudah sepuluh atau lima belas hari lagi.”

“Kalau begitu, mengapa kau tidak menunggu sampai lima belas hari saja, supaya ketahuan bagaimana khasiatnya?” ejek Linghu Chong.

“Kentut busuk!” bentak si bulat. “Kau sudah memakan Pil Penyambung Nyawa secara licik. Akan kubunuh kau sekarang juga!”

“Kalau kau bunuh aku, justru membuktikan kalau Pil Penyambung Nyawa ternyata tidak bisa memperpanjang nyawaku,” kata Linghu Chong.

“Huh, kau mati di tanganku, tidak ada hubungannya dengan khasiat Pil Penyambung Nyawa,” balas si bulat.

“Baiklah, kalau kau mau membunuhku boleh saja. Aku sudah tidak bertenaga dan tidak mampu melawan,” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Huh, jangan harap kau bisa mati dengan enak! Aku harus menanyaimu lebih dulu,” bentak si bulat. “Bedebah! Zu Qianqiu adalah sahabatku selama puluhan tahun. Sekarang dia tega mengkhianati kawan sendiri, tentu ada sebab-musababnya. Perguruan Huashan kalian tidak ada artinya sama sekali di mata kami, Leluhur Tua Sungai Kuning. Dia mencuri Pil Penyambung Nyawa milikku untuk diberikan kepadamu tentu bukan karena kau ini murid Huashan. Pasti ada alasan lainnya. Aih, sungguh aneh, sungguh aneh!” Sambil bicara sendiri, ia membanting kakinya di lantai dengan sangat marah.

“Oh, aku tahu. Ternyata julukanmu adalah Leluhur Tua Sungai Kuning. Maafkan aku kalau tidak mengenalimu,” kata Linghu Chong.

“Dasar bodoh!” bentak si bulat semakin kesal. “Aku seorang diri, mana bisa disebut Leluhur Tua Sungai Kuning?”

“Mengapa tidak bisa?” tanya Linghu Chong heran.

“Leluhur Tua Sungai Kuning terdiri dari dua orang, yang satu bermarga Lao, yang satu lagi bermarga Zu. Mengapa begini saja tidak paham? Sungguh goblok!” gerutu si bulat. “Namaku Lao Ye, atau Lao Touzi, sedangkan dia bernama Zu Zong atau Zu Qianqiu. Kami berdua bersemayam di sepanjang lembah Sungai Kuning, sehingga kami disebut sebagai Leluhur Tua Sungai Kuning.”

“Aneh, mengapa yang seorang bermarga Lao, artinya tua, dan yang lain bermarga Zu, artinya leluhur?” tanya Linghu Chong.

“Kau ini masih hijau seperti katak dalam tempurung, sehingga tidak tahu kalau di dunia ini ada orang bermarga Lao dan Zu,” kata si bulat. “Namaku Lao Ye, atau Lao Touzi. Kalau aku tidak dipanggil Lao Ye, berarti aku dipanggil Lao Touzi.”

Linghu Chong tertawa menanggapi, “Kalau begitu Zu Qianqiu bermarga Zu dan bernama Zong?”

“Benar!” jawab si bulat Lao Touzi. Setelah diam sejenak ia melanjutkan, “Hei, kau tidak tahu nama Zu Qianqiu, jika begitu mungkin kau memang tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Tapi, aih, jangan-jangan kau ini anaknya Zu Qianqiu?”

Linghu Chong bertambah geli dan menyahut, “Bagaimana mungkin aku ini anaknya? Dia bermarga Zu, sedang aku bermarga Linghu. Mana bisa keduanya dihubung-hubungkan?”

“Sungguh aneh,” gumam Lao Touzi. “Dengan susah payah, dengan segala tipu daya akhirnya aku bisa meracik delapan biji Pil Penyambung Nyawa yang sedianya hendak kugunakan untuk mengobati penyakit putriku tercinta. Kau sendiri bukan anak Zu Qianqiu, tapi mengapa dia mencuri obat itu untukmu?”

Mendengar itu barulah Linghu Chong paham duduk perkara yang sebenarnya. Ia pun berkata, “Ternyata obat Tuan Lao ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu tetapi terlanjur kumakan. Sungguh aku merasa tidak enak hati. Aku tidak tahu penyakit apa yang sedang diderita putrimu, tapi mengapa kau tidak meminta pertolongan kepada Ping Yizhi, Si Tabib Sakti Pembunuh untuk mengobatinya?”

“Huh, siapa yang tidak tahu bila sakit parah harus meminta pertolongan kepada Ping Yizhi? Aku tinggal di Kaifeng, apa kau kira aku tidak kenal dia?” bentak Lao Touzi. “Dia menetapkan peraturan bahwa setiap orang yang disembuhkan harus membunuh orang lain sebagai pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, maka terlebih dulu kubunuh lima orang anggota keluarga mertuanya. Dengan demikian barulah dia merasa segan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya, penyakit putriku yang aneh itu sudah ada sejak keluar dari kandungan ibunya. Maka, ia pun memberikan resep Pil Penyambung Nyawa kepadaku. Kalau tidak –aku sendiri bukan tabib– dari mana aku paham cara meracik obat segala?”

Linghu Chong heran dan bertanya, “Kau telah meminta pertolongan kepada Tabib Ping untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh lima anggota keluarga mertuanya?”

“Kau ini benar-benar sangat tolol, harus dijelaskan sampai paham,” gerutu Lao Touzi. “Musuh Ping Yizhi sebenarnya tidak banyak, apalagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi seumur hidup, Ping Yizhi paling benci kepada ibu mertuanya. Karena takut istri, ia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, sehingga akulah yang mewakilinya turun tangan. Sesudah aku membunuh segenap keluarga istrinya, Ping Yizhi sangat senang dan mau mengobati putriku dengan sungguh-sungguh.”

“Oh, ternyata demikian,” kata Linghu Chong. “Padahal pilmu yang katanya sangat mujarab itu ternyata tidak cocok untuk penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu sekarang? Apakah kau masih bisa mengumpulkan bahan lagi dan meracik obat yang baru?”

Lao Touzi menjadi gusar dan membentak, “Putriku paling lama bisa bertahan hidup sampai satu tahun lagi. Mana sempat untuk mencari bahan-bahan yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang tiada pilihan lain, terpaksa aku harus mengobatinya dengan caraku sendiri.”

Usai berkata demikian ia lantas mengambil seutas tali untuk mengikat kaki dan tangan Linghu Chong sekencang-kencangnyanya di kursi. Kemudian orang tua bertubuh cebol bulat itu merobek baju bagian dada Linghu Chong sehingga terlihat kulit dadanya.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Linghu Chong gusar.

“Jangan terburu-buru! Sebentar lagi kau akan tahu sendiri,” jawab Lao Touzi sambil menyeringai. Ia lalu memindahkan tubuh Linghu Chong sekaligus beserta kursinya ke ruang belakang. Setelah melewati dua buah ruangan, ia pun menyingkap tirai kain dan masuk ke ruangan ketiga yang ternyata sebuah kamar tidur.

Berada di dalam kamar tersebut, Linghu Chong merasa pengap luar biasa. Celah-celah jendela kamar ditutup rapat dengan kertas sehingga benar-benar tidak tembus udara sedikit pun. Selain itu terdapat pula dua buah anglo yang arangnya tampak membara menghangatkan ruangan. Kelambu tempat tidur tampak menjulai rendah. Bau obat pun menyengat memenuhi ruangan.

Si bulat Lao Touzi lantas meletakkan Linghu Chong beserta kursinya di depan ranjang. Perlahan ia membuka kelambu kemudian berkata dengan suara lembut, “Busi, bagaimana keadaanmu hari ini?”

Linghu Chong merasa tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. “Apa? Anak gadisnya bernama Busi? Busi artinya ‘tidak mati’. Kalau begitu nama lengkapnya pasti Lao Busi, artinya ‘sampai tua tidak mati’. Ah, aku tahu. Pasti gadis ini sejak bayi sudah menderita penyakit aneh dan membuat ayahnya sangat takut kehilangan. Maka, si bulat ini memberi nama anaknya Busi sebagai harapan agar sampai tua tidak mati. Hei, namanya mengandung unsur ‘bu’, jika di Perguruan Huashan tentu ia satu angkatan dengan guruku.” Berpikir demikian membuat Linghu Chong tersenyum geli.

Di atas ranjang tampak berbaring seorang gadis dengan mata tertutup rapat. Wajah gadis itu pucat pasi dengan rambut jarang dan agak kekuningan, terurai di atas selimut. Usia gadis itu sekitar tujuh belas tahun.

“Ayah!” kata si gadis menyapa dengan mata tetap terpejam.

“Busi sayang,” kata Lao Touzi, “Pil Penyambung Nyawa yang Ayah racik untukmu sekarang sudah siap. Hari ini bisa kau telan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh. Tidak lama lagi kau dapat bangun dan bermain-main sepuas hati.”

Gadis itu hanya bersuara sangat lirih, seolah tidak begitu tertarik pada ucapan sang ayah.

Linghu Chong dapat memahami betapa besar cinta kasih Lao Touzi terhadap putrinya itu. Ia pun berpikir, “Hm, Lao Touzi sengaja berbohong untuk menyenangkan hati anaknya.”

Lao Touzi kemudian meletakkan lengannya pada punggung putrinya dan membantu gadis itu bangun, sambil berkata, “Kau duduk saja agar lebih leluasa meminum obat ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jadi jangan kau sia-siakan.”

Si gadis perlahan bangun dengan dibimbing ayahnya. Lao Touzi kemudian mengambil dua buah bantal untuk mengganjal punggung putrinya tersebut. Begitu membuka mata, Lao Busi sangat heran melihat Linghu Chong. Ia pun bertanya, “Ayah, siapa … siapakah dia?”

“Dia? Oh, dia bukan orang. Dia adalah obat,” jawab Lao Touzi sambil tersenyum.

“Dia obat?” tanya Lao Busi agak bingung.

“Ya, dia adalah obat,” kata Lao Touzi menegaskan. “Pil Penyambung Nyawa terlalu keras untuk ditelan begitu saja olehmu. Maka itu Ayah berikan kepadanya untuk ditelan. Sekarang akan Ayah ambil darahnya untuk kau minum.”

“Meminum darahnya? Apakah itu tidak akan menyakitinya? Ini bukan cara yang bagus,” kata Lao Busi lirih.

“Tenang saja, orang ini dungu. Dia tidak akan kesakitan,” kata Lao Touzi menenangkan.

“Oh,” kata Lao Busi yang kemudian memejamkan matanya kembali.

Tentu saja Linghu Chong terkejut dan sangat gusar mendengar kata-kata Lao Touzi. Ia bermaksud memaki tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah menelan obat mujarab yang seharusnya digunakan untuk menolong nyawa gadis ini. Walaupun tidak sengaja, tetap saja aku yang telah membuat dia susah. Di samping itu, aku sendiri sudah kehilangan semangat hidup. Tidak ada masalah jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya.”

Lao Touzi berdiri di samping Linghu Chong. Ia siap menotok titik bisu pemuda itu jika sampai mengeluarkan caci maki. Tak disangka, raut muka Linghu Chong sama sekali tidak terlihat gusar, justru tersenyum hambar kepadanya. Ia tidak tahu kalau pemuda itu sudah tidak memiliki semangat hidup lagi setelah Yue Lingshan jatuh hati kepada pemuda lain. Lebih-lebih malam ini Linghu Chong baru saja mendengar seorang pria bertubuh raksasa telah memaki Yue Lingshan dan Lin Pingzhi yang berani membicarakan dirinya di dalam kegelapan. Apalagi dengan membayangkan bagaimana Yue Lingshan dan Lin Pingzhi diam-diam berjumpa dan mengobrol di tepi sungai malam itu membuat Linghu Chong semakin pilu dan tidak ada gairah hidup sama sekali.

Lao Touzi bertanya, “Aku akan menusuk jantungmu dan mengambil darahmu hangatmu untuk mengobati putriku. Kau takut atau tidak?”

“Kenapa harus takut?” sahut Linghu Chong dengan nada datar.

Lao Touzi melirik wajah pemuda itu yang terlihat tenang-tenang saja, tanpa gentar sedikit pun. Dengan agak heran ia melanjutkan, “Sekali kutusuk jantungmu, maka jiwamu langsung melayang. Aku sudah memperingatkan, jadi jangan menyalahkan aku kelak!”

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Setiap orang pada akhirnya akan mati. Mati lebih cepat beberapa tahun atau lebih lambat beberapa tahun apa bedanya? Jika darahku dapat menolong jiwa nona ini tentu sangat bagus daripada aku mati sia-sia tanpa bermanfaat bagi siapa pun.” Sambil berkata demikian ia mengasihani diri sendiri karena membayangkan jika Yue Lingshan mendengar kabar kematiannya pasti gadis itu tidak akan bersedih, mungkin malah berkata, “Rasakan! Kau pantas mendapatkannya!”

Di lain pihak, Lao Touzi mengacungkan jempolnya sambil memuji, “Sungguh hebat! Kau benar-benar kesatria yang tidak gentar mati. Orang sepertimu jarang sekali kutemukan dalam hidup ini. Sayang sekali putriku terpaksa harus meminum darahmu supaya bisa sembuh. Kalau tidak, sungguh aku ingin membebaskanmu saja.”

Segera ia berjalan ke dapur dan kembali dengan membawa sebuah baskom berisi air panas yang masih mendidih. Tangan kanannya kemudian memegang sebilah belati, sedangkan tangan kiri mengambil sehelai handuk kecil. Dibasahinya handuk itu dengan air panas, lalu ditempelkannya ujung belati di depan ulu hati Linghu Chong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara Zu Qianqiu si sastrawan dekil berseru di luar, “Lao Touzi! Lao Touzi! Lekas bukakan pintu! Aku membawa barang bagus untuk putrimu Busi.”

Lao Touzi mengerutkan keningnya. Dipotongnya handuk kecil tadi menjadi dua, lalu yang selembar dijejalkan ke mulut Linghu Chong agar tidak dapat bersuara. Ia kemudian berseru, “Barang bagus apa yang kau maksudkan?” Orang tua bertubuh cebol bulat itu lantas menaruh belatinya, kemudian berlari keluar untuk membuka pintu dan mempersilakan Zu Qianqiu masuk ke dalam rumah.

Zu Qianqiu berkata, “Lao Touzi, entah bagaimana kau akan berterima kasih kepadaku soal ini? Karena urusannya terlalu mendesak, sedangkan aku tidak sempat bertemu denganmu, terpaksa aku mengambil Pil Penyambung Nyawa tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui permasalahannya, tentu kau pun akan mengantar sendiri obat mujarabmu kepada pemuda itu. Tapi belum tentu dia mau menerima begitu saja.”

Lao Touzi sangat gusar dan memaki, “Omong kos….”

Zu Qianqiu buru-buru menempelkan mulutnya ke dekat telinga Lao Touzi untuk kemudian membisikkan sesuatu kepadanya. Mendengar bisikan itu Lao Touzi melonjak terkejut dan berteriak, “Apa benar demikian? Kau … kau tidak berdusta padaku?”

“Untuk apa aku berdusta?” sahut Zu Qianqiu. “Semuanya sudah kuselidiki dan setelah terbukti barulah aku kerjakan. Lao Touzi, kita adalah sahabat karib selama puluhan tahun. Kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?”

“Benar sekali, benar sekali! Sial, sungguh sial!” jawab Lao Touzi.

“Hei, kalau sudah benar tapi kenapa kau bilang sial?” tanya Zu Qianqiu terheran-heran.

“Kau yang benar, aku yang sial!” jawab Lao Touzi.

“Apanya yang sial?” desak Zu Qianqiu.

Tanpa bicara lagi Lao Touzi langsung menyeret Zu Qianqiu masuk ke dalam kamar putrinya. Segera ia memberi hormat dan menyembah Linghu Chong, sambil berkata, “Tuan Muda Linghu, Pendekar Muda Linghu, hamba telah melakukan kesalahan besar dan membuat susah dirimu. Untungnya Langit Maha Pengasih. Zu Qianqiu keburu tiba. Apabila aku telanjur menikam ulu hatimu, meskipun aku dihukum gantung dan tubuhku dicincang juga belum cukup untuk menebus dosaku ini.”

Mulut Linghu Chong masih tersumbat sehingga hanya bisa menjawab, “Uh! Uh!”

Zu Qianqiu segera menarik kain penyumbat mulut Linghu Chong dengan sangat hati-hati, kemudian bertanya, “Tuan Muda Linghu, mengapa kau berada di sini?”

Linghu Chong berkata, “Sesepuh Lao, mohon segera bangun! Aku tidak berani menerima penghormatan darimu. Kau hanya membuatku segan.”

Lao Touzi menjawab, “Aku tidak tahu kalau Tuan Muda Linghu mempunyai hubungan dekat dengan penolongku, junjunganku yang berbudi. Aku bersalah telah banyak membuatmu susah. Aih, benar-benar kurang ajar diriku ini dan pantas dihukum mati. Andaikan aku mempunyai seratus orang putri dan semuanya sakit parah juga aku tidak akan berani lagi meminta setetes darah Tuan Muda Linghu untuk menolong jiwa mereka.”

Zu Qianqiu bertanya dengan mata melotot, “Lao Touzi, apa maksudmu dengan mengikat Tuan Muda Linghu di atas kursi ini?”

“Sudahlah, semua ini salahku. Tolong kau jangan banyak bertanya karena hanya membuatku semakin bertambah malu!” sahut Lao Touzi dengan wajah menyesal.

“Lalu belati ini, serta air panas di dalam baskom ini akan kau gunakan untuk apa?” kembali Zu Qianqiu bertanya.

Lao Touzi tidak menjawab melainkan menampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang sudah bulat seperti labu itu bertambah bengkak dan melembung.

Linghu Chong berkata, “Aku juga tidak paham duduk perkara yang sebenarnya. Aku masih bingung. Mohon Sesepuh berdua sudi memberikan penjelasan kepadaku.”

Lekas-lekas Lao Touzi dan Zu Qianqiu melepaskan tali pengikat pada tubuh pemuda itu dan berkata, “Marilah kita minum arak sambil bicara.”

Linghu Chong memandang sejenak ke arah Lao Busi yang terbaring lemah di tempat tidurnya, kemudian bertanya, “Apakah penyakit putrimu tidak akan bertambah gawat?”

“Tidak, tidak akan,” jawab Lao Touzi. “Seandainya bertambah gawat juga … aih, apa hendak dikata ….” Mulutnya menggumam tidak jelas berkata apa. Ia kemudian mempersilakan Linghu Chong dan Zu Qianqiu pindah ke ruang tamu. Disuguhkannya tiga mangkuk arak dan sepiring daging babi serta makanan ringan lainnya. Dengan penuh hormat ia lalu mengangkat mangkuknya kepada Linghu Chong.

Linghu Chong mengangkat mangkuknya pula lalu meminum seteguk. Cita rasa arak ini biasa saja. Namun kalau dibandingkan dengan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Zu Qianqiu tadi sore rasanya sepuluh kali lebih sedap.

“Tuan Muda Linghu, aku sudah tua bangka dan telah membuat susah dirimu, aih, sungguh … sungguh ….” Lao Touzi tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Wajahnya tampak gugup dan ketakutan. Ia ingin sekali mengungkapkan rasa penyesalannya namun tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Tuan Muda Linghu berjiwa besar, tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Zu Qianqiu. “Lagipula Pil Penyambung Nyawa milikmu jika benar-benar ada manfaatnya bagi kesehatan Tuan Muda Linghu, tentu kau menjadi berjasa besar, bukan?.”

“Mengenai jasa … ah, aku tidak berani menerimanya,” jawab Lao Touzi. “Adik Zu, justru jasamu itu yang paling besar.”

“Aku telah mengambil kedelapan pilmu, mungkin akan mengganggu kesehatan Keponakan Busi,” kata Zu Qianqiu dengan tertawa. “Ini ada sedikit ginseng, bisa kau berikan kepadanya sekadar untuk penguat badan.” Pria kurus berpakaian sastrawan itu lantas mengambil keranjang bambu yang ia bawa dan membuka tutupnya. Dari dalam keranjang ia mengeluarkan beberapa batang ginseng. Mungkin beratnya tidak sampai sepuluh kati.

“Wah, dari mana kau memperoleh ginseng sebanyak ini?” tanya Lao Touzi.

“Sudah tentu kupinjam dari toko obat,” sahut Zu Qianqiu dengan tertawa.

“Seperti pada Zaman Tiga Negara, Liu Bei meminjam Kota Jinzhou tetapi tak pernah mengembalikannya,” kata Lao Touzi sambil bergelak tawa pula. Walaupun begitu, sekilas wajahnya terlihat menunjukkan rasa sedih.

Menyadari hal itu, Linghu Chong lantas berkata, “Tuan Lao dan Tuan Zu, meskipun kalian berniat baik hendak menyembuhkan penyakitku, namun kalian memakai cara yang kurang pantas. Yang satu menipu aku dengan arak, dan yang satu lagi menculik dan mengikat tubuhku di sini. Aku merasa direndahkan oleh kalian.”

Mendengar itu Lao Touzi dan Zu Qianqiu langsung berdiri dan memberi hormat kepada Linghu Chong. “Tuan Muda Linghu, kami berdua tua bangka mengaku salah. Entah bagaimana cara Tuan Muda Linghu menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tidak akan mengelak,” kata mereka bersamaan.

“Baik, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Kuharap kalian bersedia menjawab terus terang,” kata Linghu Chong. “Aku ingin bertanya, siapakah orang yang sangat kalian hormati itu, sehingga kalian begitu segan kepadaku?”

Kedua orang tua itu saling pandang sejenak, kemudian Zu Qianqiu menjawab, “Inikah … inikah pertanyaannya? Tuan Muda Linghu tentu sudah tahu siapa tokoh itu. Mohon maaf, kami tidak berani menyebutkannya.”

“Tapi aku benar-benar tidak tahu,” kata Linghu Chong. Diam-diam ia memikirkan siapakah sebenarnya tokoh yang mereka maksudkan itu? Apakah Feng Qingyang? Atau Biksu Bujie? Atau Tian Boguang? Atau Lu Zhuweng? Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya bukan mereka. “Kakek Guru Feng sudah menyepi di pegunungan dan melarang aku membocorkan keberadaan Beliau. Mana mungkin Beliau turun gunung dan melakukan ini semua? Tian Boguang, Biksu Bujie, dan Lu Zhuweng bersifat terbuka dan suka berterus terang. Rasanya tidak mungkin mereka.” Demikian ia berpikir.

“Tuan Muda Linghu,” kata Zu Qianqiu kemudian, “pertanyaanmu ini sama sekali tidak berani kami jawab. Biarpun kami dibunuh juga tidak akan kami katakan. Bukankah Tuan Muda Linghu sendiri sudah tahu, jadi untuk apa harus meminta kami menyebutkan namanya?”

Mendengar ucapan mereka itu, terpaksa Linghu Chong berkata, “Baiklah, karena kalian tidak mau mengatakannya, maka rasa kesalku pun sulit dilenyapkan. Tuan Lao baru saja mengikat tubuhku di kursi hingga aku ketakutan setengah mati. Sekarang giliranku untuk membalas dengan cara mengikat kalian di kursi pula. Bisa jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar jantung kalian menggunakan belati.”

Lao Touzi dan Zu Qianqiu kembali berpandangan, kemudian berkata, “Jika Tuan Muda Linghu ingin mengikat kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”

Segera Lao Touzi mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tali tambang. Dalam hati ia dan Zu Qianqiu percaya kalau Linghu Chong kemungkinan besar hanya bergurau saja.

Tak disangka Linghu Chong benar-benar mengambil tali tambang itu untuk mengikat tangan mereka berdua ke belakang sandaran kursi, serta kaki mereka pada kaki depan kursi pula. Lalu ia memegang belati sambil berkata, “Tenaga dalamku sudah musnah. Aku tidak kuat menotok kalian dengan jari. Terpaksa aku harus menggunakan gagang belati ini untuk menotok titik nadi kalian.”

Usai berkata demikian ia lantas menotok kedua orang tua itu pada titik Huantiao, Tianzhu, dan Shaohai menggunakan gagang belati. Zu Qianqiu dan Lao Touzi saling pandang dengan terheran-heran. Mau tidak mau timbul juga rasa khawatir mereka terhadap maksud dan tujuan Linghu Chong selanjutnya.

“Kalian tunggu di sini,” kata Linghu Chong. Ia lalu memutar tubuh dan melangkah pergi meninggalkan ruang tamu tersebut.

Dengan membawa belati, Linghu Chong menuju ke kamar Lao Busi. Sesampainya di luar kamar, ia berdehem dulu, lalu menyapa, “Nona La … eh, Nona, bagaimana keadaanmu?”

Semula Linghu Chong bermaksud memanggilnya “Nona Lao”, tapi itu mengandung bermakna “nona tua”. Tentu saja hal ini tidak pantas bagi seorang gadis yang masih muda belia. Sementara itu, panggilan “Nona Busi” yang bermakna “nona tidak mati” menurutnya juga kurang pantas.

Lao Busi tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara, “Hm.”

Perlahan Linghu Chong menyingkap tirai kain penutup pintu masuk kamar dan melangkah masuk. Terlihat gadis itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal. Kedua matanya sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur. Linghu Chong melangkah ke depan lebih dekat. Terlihat kulit wajah Lao Busi halus seperti kaca tembus pandang. Linghu Chong seperti dapat melihat aliran darah yang mengalir pada pembuluh darah berwarna biru yang terlihat jelas di balik kulit gadis itu yang kekuning-kuningan. Suasana kamar sunyi senyap, sama sekali tidak terdengar udara yang keluar masuk. Aliran darah pada tubuh gadis itu sangat lambat seperti membeku, sedangkan napasnya terdengar lemah. Tampaknya gadis itu lebih banyak mengembuskan napas daripada menghirup udara segar.

“Nona ini seharusnya dapat diselamatkan, tapi obatnya sudah telanjur kumakan. Aku sendiri juga sudah pasti akan mati. Bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak, juga tiada bedanya bagiku,” demikian pikir Linghu Chong sambil menghela napas panjang.

Segera ia mengambil sebuah mangkuk porselen dan ditaruhnya di atas meja. Tiba-tiba ia mengiris nadi pergelangan tangan kirinya sendiri menggunakan belati. Seketika darah pun bercucuran dan mengalir jatuh ke dalam mangkuk tersebut. Setelah itu, tangan kanannya dicelupkan ke dalam air panas yang tadi sudah disiapkan Lao Touzi, lalu diusapkannya pada luka di pergelangan tangan kiri agar darah yang mengucur tidak lekas membeku. Maka, hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir penuh terisi darah segar.

Dalam keadaan setengah sadar, Lao Busi mencium bau anyir darah. Begitu membuka mata, ia pun menjerit kaget karena melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Linghu Chong.

Saat itu mangkuk sudah terisi penuh dengan darah. Linghu Chong segera membawanya ke dekat ranjang dan menempelkannya di dekat mulut Lao Busi. “Lekas kau minum! Di dalam darah ini mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu,” katanya.

“Aku … aku … aku takut. Aku tidak mau minum,” jawab Lao Busi.

Setelah mengeluarkan banyak darah, Linghu Chong merasa pusing dan kakinya pun gemetar lemas. Karena takut pengorbanannya sia-sia, ia pun menghunus belati untuk menggertak, “Kau mau minum atau tidak? Jika tidak mau, lebih baik kau kubunuh saja!” Menyusul kemudian, ujung belati tersebut ditempelkannya pada tenggorokan si gadis.

Lao Busi sangat ketakutan. Terpaksa ia membuka mulut dan meneguk darah di dalam mangkuk tersebut. Beberapa kali ia merasa mual dan hampir muntah. Tapi demi melihat ujung belati yang mengkilap itu, rasa takutnya pun mengusir segala kemualan jauh-jauh dan mencegah supaya tidak sampai muntah.

Melihat darah di mangkuk sudah habis, Linghu Chong pun berpikir, “Aku telah menelan habis kedelapan Pil Penyambung Nyawa milik Lao Touzi, tapi yang berpindah ke dalam perut gadis ini mungkin tidak lebih sampai sepersepuluh bagian saja. Apalagi kalau nanti aku pergi ke kakus, mungkin akan lebih banyak bagian obat yang hilang dari perutku. Aku harus mengucurkan lebih banyak darah lagi sampai aku merasa lemah dan tidak dapat bergerak.” Ia kemudian mengiris urat nadi lengan kanan dan mengucurkan darahnya ke dalam mangkuk.

Ketika Linghu Chong hendak meminumkan semangkuk darah tersebut, Lao Busi mengerutkan kening dan berkata, “Jangan paksa aku lagi! Aku sudah tidak … tidak sanggup lagi.”

“Sanggup atau tidak sanggup harus menghabiskannya. Lekas, minum ini!” desak Linghu Chong.

Lao Busi kembali meminum darah dalam mangkuk itu dengan sangat terpaksa. Seteleh beberapa teguk ia berhenti untuk bernapas, kemudian berkata, “Mengapa … mengapa kau berbuat begini? Ini bisa … ini bisa merugikan dirimu sendiri.”

“Jangan khawatirkan aku. Semua ini demi kebaikanmu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum hambar.

Sementara itu Dewa Ranting Persik dan Dewa Buah Persik yang masih terperangkap dalam jaring ikan milik Lao Touzi, berusaha membebaskan diri mereka. Namun semakin meronta, jaring ikan itu justru semakin erat membungkus tubuh mereka sampai tidak dapat bergerak sedikit pun. Meskipun demikian, telinga mereka masih bisa mendengar jelas tentang apa yang terjadi di dalam pondok, serta mulut mereka pun saling berdebat macam-macam. Ketika mendengar Linghu Chong mengikat tubuh Lao Touzi dan Zu Qianqiu pada kursi masing-masing, mereka pun saling adu pendapat seperti biasanya. Dewa Ranting Persik mengira Linghu Chong akan membunuh Lao Touzi dan Zu Qianqiu, sedangkan Dewa Buah Persik berpendapat bahwa Linghu Chong akan membebaskan dirinya dan kakak ketiganya itu. Namun perdebatan mereka sia-sia belaka karena Linghu Chong ternyata masuk ke dalam kamar si gadis anak Lao Touzi untuk melakukan sesuatu.

Karena kamar tidur Lao Busi tertutup rapat, maka suara Linghu Chong dan gadis itu hanya terdengar sayup-sayup saja dari luar. Meskipun Yue Buqun, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Buah Persik memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, namun mereka tidak dapat mengetahui dengan pasti, dan hanya bisa menduga-duga saja apa sebenarnya yang sedang diperbuat Linghu Chong terhadap gadis itu. Ketika mendadak terdengar suara jeritan si gadis, raut muka kelima orang itu berubah semua.

Dewa Ranting Persik berkata, “Seorang pemuda seperti Linghu Chong, untuk apa masuk ke kamar anak gadis orang?”

“Coba dengar, nona itu sangat ketakutan,” sahut Dewa Buah Persik. “Dia sedang meratap, ‘Aku… aku takut!’ Kemudian Linghu Chong berkata, “Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, maka aku akan membunuhmu dengan belati ini.” Kira-kira Linghu Chong menyuruh gadis itu melakukan apa?”

“Apa lagi? Sudah tentu dia memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Dewa Ranting Persik.

“Hahaha! Sungguh menggelikan!” Dewa Buah Persik terbahak-bahak. “Si cebol bulat itu pasti mempunyai putri yang juga bulat seperti semangka. Mengapa Linghu Chong memaksa perempuan seperti itu menjadi istrinya?”

“Ah, setiap orang memiliki selera sendiri-sendiri. Bisa jadi Linghu Chong itu paling suka dengan wanita gemuk bulat. Maka, begitu melihat nona gembrot itu, semangatnya langsung terbang ke awang-awang,” jawab Dewa Ranting Persik.

“Hei, coba dengarkan!” bisik Dewa Buah Persik. “Nona bulat itu sedang minta ampun, katanya, ‘Jangan kau paksa aku lagi! Aku benar-benar tidak sanggup.’”

“Benar sekali. Tapi sepertinya Linghu Chong tetap memaksa. Ia berkata, ‘Sanggup atau tidak sanggup, kau harus melakukannya segera!’”

“Segera? Mengapa Linghu Chong menyuruh dia melakukan segera?” tanya Dewa Buah Persik.

“Kau tidak pernah menikah, masih perjaka. Sudah tentu kau tidak paham,” kata Dewa Ranting Persik.

“Memangnya kau sendiri pernah beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Dewa Buah Persik.

“Kau sudah tahu aku belum pernah menikah, mengapa masih bertanya?” balas Dewa Ranting Persik.

Dewa Buah Persik kemudian berteriak-teriak, “Lao Touzi, Linghu Chong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya, mengapa kau diam saja tanpa memberi pertolongan? Apa kau rela anakmu mati?”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Dari mana kau tahu gadis itu akan mati? Di dunia ini banyak perempuan menikah, apa semuanya mati? Lagipula gadis itu bernama Lao Busi, sudah pasti tidak akan mati.”

Lao Touzi sendiri bersama Zu Qianqiu masih dalam keadaan terikat di kursi dan tertotok pula. Saat mendengar suara si gadis menjerit keras, mereka hanya bisa saling pandang dengan pikiran macam-macam. Dalam hati mereka menaruh curiga, dan apa yang diperdebatkan kedua Dewa Lembah Persik membuat mereka semakin curiga.

“Kakak Lao, kita harus segera mencegahnya. Sungguh tak kusangka ternyata Tuan Muda Linghu doyan main perempuan. Aku khawatir akan terjadi masalah besar,” kata Zu Qianqiu.

“Aih, kalau dia terlanjur memerkosa Busi, lantas bagaimana lagi?” kata Lao Touzi. “Tapi … tapi bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada ….”

“Coba dengar, agaknya Keponakan Busi juga menaruh perasaan kepadanya. Dia mengatakan, ‘Perbuatanmu ini merugikan dirimu sendiri.’ Kau dengar apa jawaban Linghu Chong? Kau dengar tidak?”

“Ya, aku dengar. Linghu Chong bilang, ‘Jangan khawatirkan aku. Ini semua demi kebaikanmu.’ Setan alas! Kedua bocah itu benar-benar….”

“Selamat, Kakak Lao! Selamat, Kakak Lao!” kata Zu Qianqiu sambil bergelak tawa.

“Selamat nenekmu!” damprat Lao Touzi.

“Kenapa kau marah? Aku memberi selamat karena kau baru saja memperoleh seorang menantu yang baik,” jawab Zu Qianqiu.

“Omong kosong!” bentak Lao Touzi. “Kau jangan sembarangan bicara lagi! Kalau peristiwa ini sampai tersebar luas, apakah jiwa kita bisa selamat?” Sampai di sini suaranya terdengar agak gemetar.

“Benar juga, benar juga,” kata Zu Qianqiu dengan suara gemetar pula.

Yue Buqun yang mengintai agak jauh dari pondok, meskipun telah mengerahkan ilmu Awan Lembayung juga hanya dapat mendengar secara samar-samar saja. Pada mulanya ia juga mengira Linghu Chong benar-benar melakukan perbuatan tidak senonoh kepada Lao Busi. Semula ia bermaksud menerjang ke dalam kamar untuk mencegah perbuatan murid pertamanya itu. Namun begitu teringat Linghu Chong menyimpan banyak rahasia yang mencurigakan, ia pun segera mengurungkan niat tersebut. Jangan-jangan Linghu Chong telah bekerja sama dengan Lao Touzi dan Zu Qianqiu mempersiapkan jebakan untuknya. Ia merasa lebih baik jangan bertindak gegabah. Setelah menambah kekuatan ilmu Awan Lembayung, ia pun mendengar percakapan kedua Dewa Lembah Persik, serta Lao Touzi dan Zu Qianqiu dengan jelas. Ia menduga Linghu Chong telah mengambil kesempatan dalam kesempitan saat gadis itu terbaring lemah. Namun ternyata gadis itu juga menaruh perasaan kepada Linghu Chong adalah lain soal. Ia menduga anak perempuan Lao Touzi tentu juga bertubuh cebol bulat sehingga wajar kalau ia jatuh cinta kepada Linghu Chong setelah mendapat perlakuan tidak senonoh. Membayangkan itu semua membuat Yue Buqun hanya bisa menggelengkan kepala.

Tiba-tiba terdengar Lao Busi menjerit kembali, “Jangan … jangan … oh, banyak sekali darah … oh, kumohon ….”

Pada saat itulah di luar sana terdengar seseorang berseru, “Lao Touzi, aku sudah bisa meloloskan diri dari kejaran Empat Setan Lembah Persik!” Ternyata dia adalah laki-laki berkopiah lancip, pembawa panji-panji putih yang telah memancing empat dari Enam Dewa Lembah Persik meninggalkan kapal rombongan Huashan tadi. Tahu-tahu ia sudah melompat masuk ke dalam pondok melewati tembok luar dan membuka pintu ruang tamu.

Begitu melihat keadaan Lao Touzi dan Zu Qianqiu, si kopiah lancip bertanya kaget, “Hei, kenapa … kenapa kalian?” Segera ia mengeluarkan sebilah belati dari balik bajunya. Hanya beberapa kali gerakan saja ia sudah memotong tali-tali yang mengikat kaki dan tangan kedua Leluhur Tua Sungai Kuning itu serta membuka totokan mereka.

Pada saat itu kembali terdengar jeritan melengking Lao Busi di dalam kamar, “Oh, kumohon kau jangan … jangan begitu ….”

Mendengar suara gadis itu, si kopiah lancip terkejut. “Itu Nona Busi!” teriaknya sambil berlari menuju ke arah kamar.

Tapi, Lao Touzi dengan cekatan memegang lengan laki-laki berkopiah itu dan membentak, “Jangan masuk ke sana!”

Si kopiah lancip tercengang dan menghentikan langkahnya.

Terdengar suara Dewa Ranting Persik mengoceh di luar, “Aku yakin si cebol merasa gembira karena memperoleh menantu ganteng seperti Linghu Chong itu.”

“Linghu Chong sudah hampir mati. Apa yang perlu dibanggakan kalau mendapat menantu dalam keadaan setengah mati begitu?” tanya Dewa Buah Persik.

“Anak perempuan si cebol itu juga dalam keadaan sekarat. Sepasang suami istri yang sangat serasi, sama-sama setengah mati dan setengah hidup,” sahut Dewa Ranting Persik.

“Siapa yang akan mati? Siapa yang akan hidup?” tanya Dewa Buah Persik.

“Pertanyaan bodoh! Sudah jelas Linghu Chong akan segera mati, sedangkan anak perempuan si cebol bukankah bernama Lao Busi? Dia sampai tua tidak akan mati,” jawab Dewa Ranting Persik.

“Tidak benar! Tidak benar!” kata Dewa Buah Persik. “Apakah nama selalu sesuai dengan orangnya? Kalau di dunia ini semua orang memakai nama Lao Busi, apakah lantas tidak akan mati semua? Kalau begitu sungguh sia-sia kita belajar ilmu silat?”

Di sela-sela perdebatan kedua bersaudara itu, kembali terdengar suara si gadis berteriak dengan suara lirih, “Ayah, lekas kemari! Ayah, lekas kemari!” Meskipun teriakannya sangat lemah namun disertai perasaan khawatir yang teramat sangat.

Segera Lao Touzi berlari ke dalam kamar. Dilihatnya Linghu Chong sudah tergeletak di lantai. Sebuah mangkuk tengkurap di atas dadanya. Bajunya pun berlumuran darah. Anak gadisnya tampak duduk bersandar di atas ranjang, mulutnya juga berlumuran darah. Zu Qianqiu dan si kopiah lancip yang menyusul juga terkejut melihat apa yang terjadi. Mereka bertiga hanya bisa saling pandang dengan hati penasaran.

“Ayah, orang ini telah mengiris urat nadi sendiri dan mengambil darahnya,” kata Lao Busi dengan suara lemah, “Aku dipaksa … dipaksa minum darahnya sampai dua mangkuk, dan dia masih … masih akan ….”

Lao Touzi terkejut setengah mati seperti disambar petir. Dengan cepat ia mendekati Linghu Chong dan memapah pemuda itu bangun. Dilihatnya pada kedua pergelangan tangan Linghu Chong masih mengucurkan darah. Segera ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat luka. Walaupun di dalam rumah sendiri, namun karena terlalu gugup sampai-sampai batok kepalanya terbentur bingkai pintu. Akibatnya, dahinya pun benjol dan bingkai pintu yang dibentur olehnya sampai rusak pula.

Ketika mendengar suara benturan tersebut, Dewa Ranting Persik mengira Lao Touzi dan kedua kawannya sedang menghajar Linghu Chong. Segera ia berteriak, “Lao Touzi, Linghu Chong adalah sahabat baik Enam Dewa Lembah Persik. Jangan sekali-kali kau memukul dia! Jika sampai terjadi apa-apa pada bocah itu, tentu akan kami robek tubuhmu yang penuh lemak menjadi irisan kecil.”

“Salah besar, salah besar!” kata Dewa Buah Persik.

“Apanya yang salah?” tanya Dewa Ranting Persik heran.

“Jika dia berbadan kurus, maka dagingnya akan mudah kita robek. Tapi jelas-jelas dia berbadan bulat. Kalau kita robek tentu dia akan menjadi potongan-potongan bulat seperti bola bakso. Bagaimana caranya badan yang pendek dan gemuk itu bisa kita robek menjadi irisan panjang?” ujar Dewa Buah Persik.

Lao Touzi segera membubuhkan obat dan membalut luka Linghu Chong. Setelah mengurut-urut beberapa titik nadi di dada dan di perut Linghu Chong, tidak lama kemudian pemuda itu pun sadar dari pingsan. Lao Touzi merasa sangat gembira dan berterima kasih. “Tuan Muda Linghu, meskipun tubuh kami hancur lebur juga … aih, benar-benar sulit kukatakan.”

Zu Qianqiu ikut bicara, “Tuan Muda Linghu, tadi Lao Touzi telah mengikatmu. Hal ini terjadi karena salah paham. Mengapa kau anggap semua ini sungguh-sungguh? Kau telah membuatnya merasa sangat bersalah.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Penyakitku ini tidak bisa disembuhkan dengan obat apa pun. Terhadap maksud baik Tuan Zu yang telah mengambil obat Tuan Lao untuk diminumkan kepadaku, sungguh aku sangat berterima kasih. Namun aku juga merasa sayang obat mujarab itu hanya terbuang sia-sia. Lebih baik darahku kuminumkan kepada gadis ini.” Karena terlalu banyak kehilangan darah, ia merasa pusing dan kembali jatuh pingsan.

Lao Touzi segera memapahnya keluar dan merebahkannya di atas ranjang pada kamarnya sendiri. Dengan sedih pria cebol bulat itu menggumam, “Wah, bagaimana ini? Bagaimana ini?”

“Tuan Muda Linghu terlalu banyak kehilangan darah. Mungkin jiwanya terancam bahaya. Bagaimana kalau kita bertiga menyalurkan tenaga dalam masing-masing ke dalam tubuhnya?” ajak Zu Qianqiu.

“Ya, harus begitu,” sahut Lao Touzi.

Perlahan ia membangunkan tubuh Linghu Chong dan menempelkan telapak tangan kanannya ke titik Dazhui pada punggung pemuda itu. Tapi baru saja ia mengerahkan tenaga, seketika badannya tergetar hebat. Kursi yang ia duduki sampai hancur berkeping-keping.

Terdengar Dewa Ranting Persik terbahak-bahak di luar, sambil berseru, “Penyakit Linghu Chong justru timbul karena kita enam bersaudara hendak menyembuhkan lukanya dengan tenaga dalam kami. Sekarang si cebol itu hendak menirukan cara kita tentu penyakit Linghu Chong akan bertambah parah! Hahahaha!”

Dewa Buah Persik menanggapi, “Kau dengar suara barang hancur tadi? Pasti si cebol bulat membentur sesuatu setelah terdorong oleh tenaga dalam yang ada di tubuh Linghu Chong. Dia tidak tahu kalau tenaga dalam Linghu Chong berasal dari kita, enam bersaudara. Bagus sekali! Bagus sekali! Sekarang dia tahu rasa karena berani main-main dengan Enam Dewa Lembah Persik.”

Melihat keadaan Linghu Chong, Lao Touzi pun berkata sambil menghela napas, “Aih, jika Tuan Muda Linghu masih tidak siuman, maka aku tidak punya pilihan lain. Aku harus bunuh diri.”

“Nanti dulu,” ujar lelaki berkopiah lancip. Tiba-tiba ia berteriak, “Itu orang yang bertengger di atas pohon di luar pagar tembok bukankah Tuan Yue, Ketua Perguruan Huashan?”

Kontan saja Yue Buqun terperanjat. “Ternyata ia sudah tahu kalau aku bersembunyi di sini,” pikirnya.

Si kopiah lancip melanjutkan, “Tuan Yue adalah tamu dari jauh, mengapa tidak masuk kemari untuk beramah tamah?”

Yue Buqun menjadi serbasalah. Kalau masuk ke dalam pondok agak berbahaya baginya, tapi ia juga tidak dapat bertengger terus-menerus di atas pohon.

Si lelaki berkopiah kembali berkata, “Tuan Muda Linghu muridmu tak sadarkan diri. Silakan Tuan Yue masuk kemari untuk melihatnya.”

Yue Buqun berdehem untuk menghilangkan rasa gugup kemudian melompat turun melewati belasan meter dan mendarat tepat di bawah atap teras. Lao Touzi selaku tuan rumah buru-buru keluar untuk menyambut. Sambil memberi hormat ia berkata, “Silakan masuk, Tuan Yue!”

“Mohon maaf kalau aku bertindak kurang sopan,” kata Yue Buqun. “Aku datang kemari karena mengkhawatirkan keadaan muridku.”

“Ah, semua ini salahku,” ujar Lao Touzi. “Jika saja … jika saja ….”

“Kau tidak perlu khawatir,” sahut Dewa Ranting Persik menukas, “Linghu Chong tidak akan mati!”

Lao Touzi menjadi gembira. Ia bertanya, “Dari mana kau bisa mengetahui kalau dia tidak akan mati?”

“Dia jauh lebih muda daripada kau dan juga lebih muda daripadaku, bukan?” kata Dewa Ranting Persik.

“Benar. Lantas kenapa?” Lao Touzi menegas.

“Umumnya orang tua mati lebih dulu, atau orang muda mati lebih dulu?” balas Dewa Ranting Persik. “Sudah tentu tua yang lebih dulu mati. Jika demikian, sebelum kau mati dan aku mati, mana mungkin Linghu Chong bisa mati?”

Lao Touzi hanya tersenyum hambar mendengar pernyataan bodoh itu. Tadinya ia berharap Dewa Ranting Persik menyampaikan suatu gagasan yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa Linghu Chong.

Dewa Buah Persik menanggapi, “Ah, aku ada usul. Mari kita bersama-sama sepakat mengganti nama Linghu Chong menjadi Linghu Busi.”

Yue Buqun mengikuti Lao Touzi masuk ke dalam kamar. Tampak Linghu Chong tergeletak pingsan di atas ranjang. Yue Buqun pun berpikir, “Jika aku tidak mengerahkan ilmu Awan Lembayung, tentu Perguruan Huashan akan dipandang rendah oleh orang-orang ini.”

Maka, Yue Buqun segera mengerahkan tenaga dalam sambil menghadap ke arah ranjang supaya warna lembayung yang terpancar di wajahnya tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di situ. Begitu dirasa cukup, ia kemudian menjulurkan telapak tangannya ke titik Dazhui di punggung Linghu Chong. Mengingat di dalam tubuh sang murid terdapat hawa murni yang bergejolak dan mendesak penyaluran tenaga yang datang, ia pun menyalurkan tenaga secara sedikit demi sedikit. Begitu terasa adanya perlawanan dari dalam tubuh Linghu Chong, segera ia menarik tangannya sekitar satu senti, kemudian menempelkannya lagi.

Tidak lama kemudian Linghu Chong mulai siuman. Segera ia menyapa, “Guru juga … juga datang kemari.”

Melihat bagaimana Yue Buqun membangunkan Linghu Chong dari pingsan tanpa mengeluarkan banyak tenaga membuat kagum Lao Touzi dan kedua temannya. Yue Buqun sendiri merasa tempat tersebut sangat misterius sehingga memutuskan untuk segera pergi. Lagipula keadaan sang istri dan para murid di kapal juga bisa jadi terancam bahaya. Maka, ia pun berkata sambil memberi hormat, “Terima kasih banyak atas kebaikan Tuan-Tuan kepada kami, guru dan murid. Sekarang izinkan kami berdua mohon pamit.”

“Baiklah, baiklah!” jawab Lao Touzi. “Kesehatan Tuan Muda Linghu terganggu dan kami tidak dapat memberi perawatan yang baik. Mungkin keadaan Tuan Muda Linghu akan lebih baik jika bersama Tuan Yue. Sungguh kami sudah berbuat sangat tidak sopan. Harap kalian sudi memberi maaf.”

“Tuan sungguh merendahkan diri,” kata Yue Buqun. Mendadak ia tertegun melihat sepasang mata yang berkilat-kilat milik lelaki berkopiah lancip di dalam kamar yang remang-remang. Ia pun bertanya sambil memberi hormat, “Kalau boleh tahu, siapakah nama sobat yang terhormat ini?”

“Kiranya Tuan Yue tidak kenal kawan kita ini, Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam,” sela Zu Qianqiu sambil tertawa.

Yue Buqun terperanjat dan agak berdebar. Dalam hati ia berkata, “Kiranya orang ini yang bernama Ji Wushi alias Si Burung Hantu Malam. Konon dia mempunyai keajaiban pembawaan sejak lahir, yaitu matanya bisa memandang jelas di malam hari bagaikan siang. Tindak tanduknya tidak menentu, kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat. Meskipun namanya Ji Wushi yang berarti ‘kehabisan akal’ tetapi sebenarnya ia sangat cerdik dan lihai. Siapa disangka ia bisa bersama dengan Lao Touzi dan Zu Qianqiu ini?”

Segera Yue Buqun memberi hormat dan menyapa, “Sudah lama aku mendengar nama besar Tuan Ji. Sungguh beruntung hari ini mendapat kesempatan bisa berjumpa di sini.”

Ji Wushi tersenyum dan menjawab, “Tidak hanya hari ini. Bukankah esok kita bertemu lagi di Lembah Lima Raja Kejam?”

Kembali jantung Yue Buqun berdebar. Meskipun ia merasa kurang pantas jika menanyakan keadaan Yue Lingshan kepada orang-orang yang baru ia kenal tersebut, namun karena sangat mengkawatirkan nasib putrinya terpaksa ia bertanya, “Aku tidak tahu kapan pernah berbuat salah terhadap kawan-kawan persilatan di daerah sini. Mungkin karena aku kurang sopan karena tidak berkunjung kepada para tokoh perilatan di wilayah ini, sehingga putriku dan seorang muridku yang bermarga Lin telah dibawa oleh salah seorang sobat. Untuk ini apakah Tuan Ji dapat memberi petunjuk?”

“Oh, mengenai hal itu aku juga tidak banyak tahu,” jawab Ji Wushi dengan tersenyum.

Dengan bertanya seperti tadi membuat Yue Buqun telah merendahkan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Huashan yang ternama. Kini saat Ji Wushi menjawab dengan acuh tak acuh jelas membuatnya merasa gusar dan tersinggung. Namun demikian, ia berusaha menahan diri dan berkata dengan tersenyum hambar, “Maaf kami sudah terlalu lama mengganggu sampai larut malam. Sekarang kami mohon pamit.”

Ketika Yue Buqun hendak mengangkat tubuh Linghu Chong, tiba-tiba Lao Touzi menyusup di antara kepala mereka dan mendahului mengangkat tubuh si pemuda. Orang bertubuh cebol bulat itu berkata, “Akulah yang mengundang Tuan Muda Linghu ke sini. Sudah seharusnya aku pula yang mengantarnya pulang.” Dengan cekatan ia mengambil selimut tipis dan membungkus badan Linghu Chong. Setelah itu, ia memanggul tubuh pemuda tersebut di atas bahunya dan bergegas meninggalkan rumah dengan langkah lebar.

“Hei, tunggu dulu! Bagaimana dengan kami, kedua ikan besar ini? Apakah ditinggalkan begitu saja?” teriak Dewa Ranting Persik.

Lao Touzi menjawab gugup, “Mengenai kalian … kukira ….” Rupanya ia bimbang jika kedua bersaudara itu dibebaskan, bisa jadi suatu saat Enam Dewa Lembah Persik akan menuntut balas ke tempatnya ini. Namun jika keduanya ditawan, tentu bisa digunakan sebagai sandera.

Linghu Chong paham isi pikiran Lao Touzi. Ia pun berkata, “Tuan Lao, tolong kau bebaskan saja mereka berdua. Kalian berdua Dewa Lembah Persik, untuk selanjutnya kalian dan yang lain jangan mencari masalah lagi dengan kedua Tuan Lao dan Tuan Zu atau membalas dendam. Bagaimana kalau dari lawan berubah menjadi kawan?”

“Mengenai kami bedua, entah apa kami bisa untuk tidak mencari masalah lagi dengan mereka di kemudian hari?” ujar Dewa Ranting Persik.

“Tentu saja yang aku maksud adalah kalian semua Enam Dewa Lembah Persik,” tegas Linghu Chong.

“Tidak membalas dendam atau mencari masalah dengan mereka bisa saja,” kata Dewa Buah Persik, “Tapi dari lawan berubah menjadi kawan, inilah yang tidak mungkin. Sekalipun kepalaku dipenggal tetap tidak mungkin!”

Lao Touzi dan Zu Qianqiu sama-sama mendengus. Mereka berpikir, “Hm, kalau saja tidak memandang Tuan Muda Linghu, mana kami sudi mengurusi kalian? Memangnya kalian pikir kami, Leluhur Tua Sungai Kuning, takut kepada Enam Dewa Lembah Persik?”

Linghu Chong bertanya kepada Dewa Buah Persik, “Apa sebabnya?”

“Enam Dewa Lembah Persik memang tidak punya dendam atau permusuhan dengan Leluhur Tua Sungai Kuning. Mereka berdua bukan musuh kami. Maka, kalau dikatakan mengubah dari lawan menjadi kawan jelas tidak tepat, bukan?”

Mendengar jawaban seenaknya tetapi masuk akal itu membuat semua orang bergelak tawa. Zu Qianqiu membungkuk untuk kemudian membuka ikatan jala dan melepaskan kedua orang tua aneh itu. Jala tersebut terbuat dari campuran rambut manusia, benang sutra yang berasal dari ulat sutra liar, serta benang emas murni yang dianyam sedemikian rupa. Sungguh memiliki tingkat keuletan yang luar biasa. Golok pusaka atau pedang setajam apa pun juga sulit untuk merusaknya. Jika orang terjaring, semakin meronta justru semakin teringkus kencang. Untuk membebaskannya harus ada orang yang mengurai ikatan jala tersebut dari luar.

Sesudah bebas, tanpa banyak bicara Dewa Ranting Persik segera membuka celana dan mengencingi jala ikan tersebut.

“Hei, apa yang kau lakukan?” tanya Zu Qianqiu terkejut.

“Kalau tidak mengencingi jala busuk ini, maka aku tidak bisa melampiaskan rasa kesalku,” jawab Dewa Ranting Persik.

Begitulah, beramai-ramai ketujuh orang itu lantas berjalan menuju ke tepi sungai. Dari jauh Yue Buqun melihat Lao Denuo dan Gao Genming menghunus senjata, berjaga di haluan kapal. Hatinya pun lega karena ternyata tidak terjadi apa-apa di atas kapal tersebut selama ia pergi.

Setelah meletakkan tubuh Linghu Chong di dalam kabin kapal, Lao Touzi membungkuk dan berkata dengan penuh hormat, “Atas budi baik Tuan Muda Linghu, aku merasa sangat berterima kasih yang tak terhingga. Sementara ini aku mohon diri. Tidak lama lagi tentu kita dapat berjumpa kembali.”

Linghu Chong yang masih lemah akibat kehilangan banyak darah dan terguncang-guncang dalam perjalanan kembali ke kapal membuatnya tidak dapat mendengar dengan jelas segala perkataan Lao Touzi. Ia hanya sekadar mengiakan dengan suara lirih.

Sementara itu Ning Zhongze dan para murid terheran-heran melihat si cebol bulat yang tadinya begitu garang kini telah berubah menjadi lembut dan penuh tata krama terhadap Linghu Chong. Sementara itu, Lao Touzi dan Zu Qianqiu segera berpamitan kepada Yue Buqun sebelum empat Dewa Lembah Persik yang lainnya datang.

“Tunggu dulu, Saudara Zu!” seru Dewa Ranting Persik tiba-tiba.

“Mau apa?” tanya Zu Qianqiu.

“Mau ini!” jawab Dewa Ranting Persik. Secepat kilat ia menekuk lutut kemudian menyeruduk maju dengan kecepatan tinggi.

Zu Qianqiu yang tidak sempat menghindar segera mengerahkan tenaga dalam untuk menerima serudukan yang sangat mendadak itu. Dalam sekejap saja hawa murni sudah memenuhi titik Dantian di bawah pusarnya, sehingga perutnya kini menjadi keras seperti baja. Kemudian terdengar suara seperti hancurnya benda-benda pecah belah, disusul dengan Dewa Ranting Persik yang melompat mundur beberapa meter ke belakang sambil bergelak tawa.

“Aduh, celaka!” teriak Zu Qianqiu begitu memasukkan tangan ke balik bajunya. Ketika tangannya dikeluarkan tampak menggenggam kepingan porselen, batu kumala, kayu, bambu, yang tak terhitung jumlahnya. Rupanya bunyi barang pecah tadi adalah hancurnya cawan-cawan arak yang terdiri dari bermacam-macam jenis itu. Sementara, cawan yang terbuat dari perak, emas, dan perunggu tampak tergencet pipih. Kontan saja rasa sedih tak terlukiskan ditambah rasa murka yang tidak kepalang terpancar di wajah Zu Qianqiu. Ia pun menghamburkan pecahan-pecahan beling itu ke arah Dewa Ranting Persik.

Akan tetapi, Dewa Ranting Persik sudah siap sedia dan dapat mengelak dari serangan tersebut, sambil kemudian berteriak, “Linghu Chong menyuruh kita berubah dari musuh menjadi kawan. Apa yang dia katakan harus kita turuti. Maka, kita harus menjadi musuh lebih dulu, baru kemudian bisa berubah menjadi kawan.”

Selama puluhan tahun Zu Qianqiu dengan susah payah mengumpulkan berbagai jenis cawan arak yang kini telah dihancurkan oleh Dewa Ranting Persik secara sekaligus. Sebenarnya ia hendak melakukan pembalasan, tapi begitu mendengar ucapan Dewa Ranting Persik itu segera ia menghentikan niatnya. Terpaksa sastrawan dekil itu menjawab dengan senyuman hambar, “Ya, benar! Dari lawan berubah menjadi kawan! Dari lawan menjadi kawan!” Usai berkata demikian ia pun melangkah pergi bersama Lao Touzi dan Ji Wushi.

Dalam keadaan setengah sadar Linghu Chong masih mengkhawatirkan keselamatannya Yue Lingshan. Ia berkata, “Dewa Ranting Persik, tolong kau minta mereka jangan … jangan mengganggu adik seperguruanku, Yue ….”

“Baik,” jawab Dewa Ranting Persik. Ia kemudian berseru lantang, “Hai, hai! Sobat-sobat Lao Touzi, Burung Hantu Malam, dan Zu Qianqiu, dengarkanlah! Linghu Chong berpesan supaya kalian jangan sampai mengganggu adiknya yang tercinta.”

Saat itu JiWushi dan kedua rekannya sudah berjalan lumayan jauh. Mereka langsung berhenti begitu mendengar teriakan Dewa Ranting Persik. Lao Touzi berpaling dan menjawab dengan suara keras, “Tentu saja! Kalau Tuan Muda Linghu berpesan demikian, pasti kami patuhi!”

Usai menjawab demikian, ia dan kedua temannya tampak berbisik-bisik membicarakan sesuatu, kemudian melanjutkan perjalanan.

Yue Buqun kemudian menceritakan apa yang telah ia saksikan di rumah Lao Touzi kepada sang istri. Namun baru menyampaikan beberapa kalimat, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di daratan sana. Ternyata Dewa Akar Persik dan ketiga adiknya sudah kembali. Keempat orang tua aneh itu langsung saja membual. Mereka berkata telah menangkap pria berkopiah lancip yang membawa panji-panji putih tadi dan merobek tubuh orang itu menjadi empat potong.

Mendengar itu Dewa Buah Persik tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Lihai! Sungguh kalian keempat kakakku sangat lihai!”

Dewa Ranting Persik juga ikut berkata, “Kalian telah merobek orang itu menjadi empat potong? Apakah kalian tahu dia bernama siapa?”

“Dia sudah mati. Peduli apa dengan namanya? Memangnya kau sendiri tahu?” sahut Dewa Dahan Persik.

“Tentu saja aku tahu,” jawab Dewa Ranting Persik. “Dia bernama Ji Wushi, alias Si Burung Hantu Malam.”

Dewa Daun Persik bersorak memuji, “Wah, nama yang bagus! Orang itu pasti pandai meramal. Dia pasti tahu kalau suatu saat akan bertemu Enam Dewa Lembah Persik dan kehabisan akal untuk meloloskan diri, sehingga akhirnya tubuhnya terpotong menjadi empat. Itulah sebabnya, jauh-jauh hari ia sudah memakai nama Ji Wushi, yang artinya ‘kehabisan akal’.”

“Ilmu kesaktian Si Burung Hantu Malam Ji Wushi itu benar-benar lain daripada yang lain. Jarang ada bandingannya di dunia ini,” kata Dewa Buah Persik.

“Memang benar. Ilmu kesaktiannya memang luar biasa. Sayang sekali ia bernasib sial, bertemu dengan Enam Dewa Lembah Persik. Jika tidak, tentu ilmu ringan tubuhnya bisa disebut nomor satu di dunia persilatan,” sahut Dewa Akar Persik.

“Ilmu ringan tubuhnya memang hebat. Yang lebih hebat lagi adalah ia bisa hidup kembali setelah tubuhnya kalian robek menjadi empat potong,” ujar Dewa Buah Persik sambil tersenyum mengejek. “Dia bisa menggabungkan kembali potongan-potongan tubuhnya dan berjalan seperti biasa. Bahkan, ia baru saja datang kemari untuk mengobrol denganku.”

Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik sadar kalau kebohongan mereka telah terbongkar. Namun mereka serentak berpura-pura memperlihatkan wajah terkejut mendengar perkataan Dewa Buah Persik tersebut.

Dewa Bunga Persik pun berkata, “Aku baru tahu kalau Ji Wushi ternyata memiliki ilmu selihai itu. Ini benar-benar luar biasa. Pepatah mengatakan, jangan menilai orang dari tampangnya saja. Dalamnya laut tidak dapat diukur. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagumkan!”

Dewa Dahan Persik menanggapi, “Aku pernah dengar ada ilmu yang bisa menggabungkan tubuh yang telah terpotong seperti sediakala dan kembali bisa berjalan dengan wajar. Itu namanya ‘Ilmu Sakti Menggabungkan Potongan Menjadi Utuh’. Konon kabarnya, ilmu sakti ini sudah punah sejak lama. Siapa sangka Ji Wushi ternyata mewarisi ilmu ini? Hm, ini sungguh ilmu langka di dunia persilatan. Menurutku jika kelak kita berjumpa lagi dengannya, sebaiknya kita menjalin pertemanan saja.”

Di sudut lain, Yue Buqun dan Ning Zhongze sedang mengkhawatirkan nasib putri mereka yang hilang diculik orang. Bahkan, siapa pihak yang telah menculik juga tidak diketahui dengan pasti. Nama besar Perguruan Huashan yang termashur di dunia persilatan kali ini terpuruk habis-habisan di lembah Sungai Kuning. Namun demikian, pasangan suami istri itu tidak memperlihatkan rasa sedih di wajah masing-masing karena takut para murid akan ikut bersedih dan panik. Mereka juga tidak membicarakan hal-hal yang membingungkan dan hanya memperkeruh suasana, melainkan hanya memendam kegelisahan dalam hati saja. Saat itu di atas kapal yang terdengar hanyalah omong kosong Enam Dewa Lembah Persik saling adu pendapat.

Dua jam kemudian, ketika fajar hampir menyingsing, tiba-tiba terdengar suara ramai orang berjalan di daratan. Sejenak kemudian tampak dua buah joli diusung empat orang menuju ke tepi sungai. Salah seorang pengusung berseru, “Tuan Muda Linghu memberi pesan supaya kami jangan mengganggu Nona Yue, tapi majikan kami sudah telanjur berbuat. Mohon Tuan Muda Linghu sudi memberi maaf.”

Setelah joli diletakkan di tanah, keempat pengusung itu memberi hormat ke arah kapal, kemudian bergegas pergi dengan langkah cepat.

“Ayah, ibu!” terdengar suara Yue Lingshan dari salah satu joli.

Yue Buqun dan Ning Zhongze terkejut bercampur senang. Segera mereka melompat ke daratan dan membuka tirai joli. Pasangan suami istri itu sangat lega karena melihat putri mereka tampak duduk di dalam bilik usungan tersebut dalam keadaan tidak kurang suatu apa, kecuali tertotok sehingga tidak bisa berdiri. Orang yang duduk di dalam joli satu lagi sudah pasti Lin Pingzhi.

Yue Buqun segera menepuk titik Huantiao, Jizhong, dan Weizhong di kaki putrinya itu, kemudian bertanya, “Siapa orang bertubuh tinggi besar yang menculik kalian tadi malam?”

“Raksasa itu, dia … dia … dia ….” Jawab Yue Lingshan dengan bibir berkerut seperti hendak menangis.

Dengan lembut, Ning Zhongze segera menggendong tubuh putrinya itu dan membawanya masuk ke dalam kabin kapal. Ia kemudian bertanya, “Apakah kau baik-baik saja?”

Mendengar suara sang ibu yang penuh kasih sayang justru membuat Yue Lingshan benar-benar menangis.

Dalam hati Ning Zhongze merasa khawatir. Ia berpikir, “Orang-orang itu bertingkah laku aneh dan mencurigakan. Shan’er berada di tangan mereka selama beberapa jam. Mungkinkah ia mengalami pelecehan?” Maka, Nyonya Yue pun kembali bertanya, “Sebenarnya apa yang telah terjadi? Tidak apa-apa, katakanlah kepada Ibu.”

Namun tangis Yue Lingshan justru semakin meledak. Tentu saja hal ini membuat Ning Zhongze bertambah cemas. Karena di situ banyak orang, Nyonya Yue tidak berani bertanya lebih lanjut. Segera ia merebahkan putrinya itu di atas dipan dan menutupinya dengan selimut.

Mendadak Yue Lingshan berkata sambil menangis, “Ibu, raksasa itu telah mencaci maki aku.”

Ucapan putrinya itu membuat perasaan Ning Zhongze sangat lega. Ia pun menanggapi dengan tersenyum, “Hanya dimaki orang saja apa harus begini sedih?”

“Tapi … tapi dia juga mengangkat tangannya seperti hendak memukul aku,” gerutu Yue Lingshan.

“Baiklah, baiklah! Lain kali jika bertemu orang itu biar kita balas memaki dan menggertaknya,” ujar Nyonya Yue sambil tertawa.

“Padahal aku tidak menjelek-jelekan Kakak Pertama, Lin Kecil juga tidak. Tapi raksasa itu tetap saja mencak-mencak dan mengancamku. Katanya selama hidup ia paling tidak senang bila mendengar ada orang menjelek-jelekkan Linghu Chong. Aku menjawab tidak. Ia berkata, bila ia marah bisa jadi orang yang tidak disukainya akan disembelih dan dimakan olehnya. Sambil berkata demikian ia menunjukkan giginya yang menyeramkan kepadaku,” jawab Yue Lingshan sambil tersedu-sedu.

“Benar-benar kejam,” ujar Ning Zhongze. “Chong’er, orang tinggi besar itu siapa?”

Linghu Chong menjawab dengan suara lirih, “Yang tinggi besar itu? Aku … aku ….”

Saat itu Lin Pingzhi yang sudah dibebaskan dari totokan oleh Yue Buqun, tampak melangkah masuk ke dalam kabin. “Ibu Guru, raksasa dan biksu itu benar-benar makan daging manusia. Ini bukan omong kosong atau gertakan belaka,” katanya menukas.

Ning Zhongze tercengang, “Mereka berdua benar-benar makan daging manusia? Dari … darimana kau tahu?”

“Biksu itu menanyai aku tentang kitab Pedang Penakluk Iblis. Sambil bertanya demikian, ia mengeluarkan sepotong makanan yang lantas digerogotinya dengan lahap,” tutur Lin Pingzhi. “Ia juga meletakkan potongan makanan itu di dekat hidung saya dan bertanya apakah saya ingin mencicipinya. Ternyata … ternyata yang ia makan adalah potongan tangan manusia.”

“Hah, mengapa kau … kau tidak cerita padaku dari tadi?” teriak Yue Lingshan.

“Aku khawatir kau terkejut dan ketakutan sehingga tidak berani menceritakannya kepadamu,” sahut Lin Pingzhi.

“Ah, aku ingat sekarang,” tiba-tiba Yue Buqun menyela. “Mereka adalah Sepasang Beruang Gurun Utara. Apakah si raksasa berkulit putih bersih, sedangkan si biksu berkulit hitam legam?”

“Benar sekali,” jawab Yue Lingshan. “Ayah kenal mereka?”

Yue Buqun menggeleng, “Tidak, Ayah tidak kenal mereka. Ayah hanya pernah mendengar cerita orang bahwa di padang pasir sebelah utara Tembok Besar ada dua perampok terkenal. Yang satu bernama Beruang Putih dan yang lain bernama Beruang Hitam. Seringkali mereka menghadang orang yang lewat dan merampok harta bendanya. Namun bila barang yang mereka hadang dikawal oleh perusahaan ekspedisi, maka keduanya pun menangkap para pengawal dan memakan daging mereka. Katanya, orang yang bisa ilmu silat memiliki daging yang jauh lebih keras dan lebih gurih kalau dimakan.”

“Aih!” jerit Yue Lingshan dengan perasaan ngeri.

“Kakak, mengapa kau bercerita hal-hal yang memuakkan seperti itu? Sungguh membuat orang ingin muntah,” ujar Ning Zhongze tidak setuju.

Yue Buqun tersenyum. Sejenak kemudian barulah ia menyambung, “Selama ini aku belum pernah mendengar Sepasang Beruang Gurun Utara melintasi Tembok Besar. Mengapa sekarang mereka telah berada di lembah Sungai Kuning? Chong’er, bagaimana kau bisa kenal Sepasang Beruang Gurun Utara itu?”

“Sepasang Orang Gurun Utara?” tanya Linghu Chong setengah menggumam. Rupanya ia tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan sang guru. Setelah termenung sejenak, akhirnya ia menjawab, “Entah, aku tidak kenal mereka.”

Tiba-tiba Yue Lingshan menyela, “Lin Kecil, saat biksu itu menyuruhmu mencicipi daging manusia, apakah kau mau?”

“Tentu saja tidak,” jawab Lin Pingzhi.

“Syukurlah jika tidak. Kalau saja kau ikut makan, hm, untuk selanjutnya aku tidak akan menggubrismu lagi,” gerutu Yue Lingshan.

Mendadak terdengar Dewa Dahan Persik menyahut dari luar kabin, “Makanan yang paling lezat di dunia ini adalah daging manusia. Lin Kecil diam-diam tentu sudah mencicipinya. Hanya saja ia tidak mau mengaku.”

“Benar, kalau dia tidak mencicipi mengapa tidak bilang dari tadi? Kenapa baru sekarang menyangkal mati-matian,” sahut Dewa Daun Persik menambahkan.

Sejak keluarganya tertimpa bencana habis-habisan, sikap Lin Pingzhi banyak berubah. Kini ia selalu berhati-hati dalam berbicara dengan siapa saja. Apa yang dikatakan kedua Dewa Lembah Persik tadi membuatnya tercengang dan tidak bisa menjawab.

“Nah, betul tidak?” sahut Dewa Bunga Persik ikut menimpali. “Dia tidak menjawab. Kalau diam berarti mengaku. Nona Yue, dia sudah memakan daging manusia tapi tidak mau mengakui. Laki-laki yang tidak jujur seperti dia mana bisa diajak menikah dan hidup bersama?”

“Benar, bila kau menikah dengannya, kelak dia tentu main gila dengan perempuan lain. Dan bila kau bertanya, pasti dia akan menyangkal,” sahut Dewa Akar Persik.

“Ada yang lebih celaka lagi,” tambah Dewa Daun Persik. “Bila kau tidur bersamanya, bagaimana kalau mendadak ia ketagihan makan daging manusia? Di tengah malam kau akan bangun karena kesakitan dan mendengar suara ‘kriuk-kriuk’. Ternyata dia sedang memakan jari-jari tanganmu.”

Dewa Buah Persik menyahut, “Nona Yue, meskipun jari tangan dan kakimu berjumlah dua puluh, tetapi setiap malam dia memakan sedikit demi sedikit, lama-lama pasti habis juga. Kau tidak akan mempunyai jari lagi.”

Sejak bertemu di puncak Gunung Huashan, Enam Dewa Lembah Persik sudah menganggap Linghu Chong sebagai teman baik. Meskipun sering berdebat hal-hal yang tidak penting, namun mereka bukanlah orang-orang dungu sama sekali. Diam-diam mereka memerhatikan perasaan Linghu Chong yang tak terbalas oleh Yue Lingshan, bagaikan pohon yang menggugurkan bunganya ke arah sungai kecil, namun si sungai tetap mengalir tak peduli. Kini begitu menemukan celah kelemahan pada ucapan Lin Pingzhi, mereka langsung memanfaatkannya untuk merusak hubungan pemuda itu dengan Yue Lingshan.

“Omong kosong semuanya! Aku tidak mau dengar! Aku tidak mau dengar!” teriak Yue Lingshan sambil menutupi telinganya.

Dewa Akar Persik berkata, “Nona Yue, tidak ada salahnya kalau kau ingin menikah dengan Lin Kecil. Tetapi, ada suatu ilmu sakti yang harus kau pelajari. Ilmu sakti ini sangatlah penting. Kalau kau sampai lalai untuk mempelajarinya, maka aku yakin kau akan menyesal seumur hidup.”

“Ilmu sakti macam apa itu? Menagapa begitu penting untukku?” tanya Yue Lingshan yang penasaran karena melihat Dewa Akar Persik berbicara dengan wajah bersungguh-sungguh.

“Ilmu tersebut adalah milik Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam, yang disebut ‘Ilmu Sakti Menggabungkan Potongan Menjadi Utuh’. Jika kelak di kemudian hari telingamu, hidungmu, jari-jari tangan dan kakimu sudah habis dimakan Lin Kecil, kau tidak perlu khawatir. Cukup gunakan ilmu sakti ini maka semuanya akan beres. Kau tinggal membedah perutnya, ambil bagian-bagian tubuhmu itu dan tempelkan ke tempatnya semula. Tentu tubuhmu menjadi utuh kembali.”

Di tengah suara riuh omong kosong Enam Dewa Lembah Persik, kapal rombongan Huashan itu telah mengangkat sauh dan melanjutkan perjalanan menuju ke arah hilir Sungai Kuning. Saat itu fajar mulai menyingsing, kabut pagi masih menyelimuti ombak di permukaan sungai. Pikiran pun terasa segar dan bebas lepas saat memandangnya.

Satu jam kemudian, matahari perlahan-lahan terbit di ufuk timur. Sinarnya yang cerah dan terpantul di permukaan sungai bagaikan ribuan ular emas yang berjalan meliuk-liuk. Tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang berlayar menuju ke arah hulu. Saat itu angin timur bertiup kencang menerpa layar hijau kebiruan pada perahu tersebut yang meluncur melawan arus sungai. Pada layar terpampang gambar kaki manusia berukuran besar dan berwarna putih. Setelah perahu semakin mendekat, ternyata gambar kaki tersebut terlihat langsing dan cantik. Orang-orang Huashan dapat menyimpulkan kalau gambar itu adalah gambar kaki seorang wanita.

“Mengapa layar perahu itu bergambar kaki wanita? Aneh sekali?” kata para murid Huashan saling bertanya-tanya.

Dewa Ranting Persik berkata, “Sepertinya itu kapal milik Sepasang Beruang Gurun Utara. Aih, Nyonya Yue dan Nona Yue, kalian ibu dan anak harus berhati-hati. Sepertinya orang di dalam perahu itu gemar makan kaki perempuan.”

Yue Lingshan hanya mencibir kepadanya, namun dalam hati merasa ngeri dan gentar juga.

Beberapa menit kemudian, perahu kecil itu sudah berhadap-hadapan dengan kapal rombongan Huashan. Sayup-sayup terdengar suara nyanyian penumpang perahu dari dalam kabin. Suara nyanyian tersbut terdengar lembut, namun liriknya aneh dan sukar dimengerti. Irama lagu pun terkesan intim dan mesra, sama sekali tidak mirip nyanyian, melainkan lebih mirip suara desahan dan rintihan. Untuk selanjutnya, suara nyanyian berubah dan kini terdengar seperti suara laki-laki dan perempuan sedang asyik masyuk dengan sangat riang dan penuh nafsu birahi. Mendengar itu, mau tidak mau wajah para murid Huashan bersemu merah.

“Siluman macam apa mereka itu!” gerutu Ning Zhongze agak memaki.

Tiba-tiba terdengar suara centil seorang perempuan dari dalam kabin perahu tersebut, “Apakah Tuan Muda Linghu dari Perguruan Huashan ada di atas kapal?”

Nyonya Yue berkata kepada Linghu Chong yang masih terbaring di dalam kabin, “Chong’er, jangan kau pedulikan perempuan itu!”

“Kami hanya ingin melihat wajah Tuan Muda Linghu,” kata perempuan itu. Suaranya merdu dan menawan, seperti memiliki kekuatan gaib yang membuat hati tergetar bagi siapa saja yang mendengarnya.

Saat suaranya masih menggema, terlihat seorang gadis melompat keluar dari dalam kabin dan kemudian berdiri di tepi perahu. Ia memakai baju dan rok berwarna biru dengan sulaman bunga-bunga warna putih. Di luar bajunya tampak selembar celemek berhiaskan sulaman warna-warni dan berkilauan hijau keemasan yang tergantung menutupi dada sampai lutut. Sepasang telinganya pun berhiaskan anting-anting sebesar mulut cawan arak. Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga atau empat, dengan kulit agak kekuningan. Sepasang matanya besar, dan manik matanya berwarna hitam legam. Ikat pinggangnya pun berwarna-warni dengan kedua ujung dibiarkan melambai-lambai tertiup angin. Anehnya, kedua kaki gadis itu telanjang tanpa sepatu atau sandal. Meskipun penampilan gadis itu sangat menawan, namun karena suaranya lebih dulu terdengar membuat orang-orang Huashan menganggap bahwa suaranya lebih menawan daripada orangnya. Melihat semua pasang mata di atas kapal tertuju kepadanya, si gadis hanya tersenyum manis. Semua dapat menebak kalau gadis itu bukan berasal dari suku Han.

Saat itu kapal yang ditumpangi rombongan Huashan hampir bertabrakan dengan perahu kecil yang ditumpangi gadis tadi. Namun perahu kecil tersebut segera memutar haluan dan menurunkan layar, sehingga sekarang berjajar di samping kapal Huashan dan sama-sama menuju ke arah hilir.

Tiba-tiba Yue Buqun teringat sesuatu. Ia pun menyapa, “Nona, apakah kau ini bawahan Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi di Yunnan?”

Gadis berbaju biru itu tertawa cekikikan, kemudian menjawab dengan suara lembut, “Pandangan matamu boleh juga. Tapi sayang, tebakanmu hanya benar setengah. Aku memang berasal dari Sekte Lima Dewi di Yunnan, tapi aku bukan bawahan Ketua Lan.”

Yue Buqun maju beberapa langkah, kemudian merangkap tangan memberi hormat dan berkata dengan santun, “Nona, namaku Yue Buqun. Mohon beri tahukan marga Nona yang mulia, serta petunjuk apa yang akan Nona sampaikan kepadaku dengan berkunjung ke sungai ini?”

Gadis itu menjawab, “Aku dari suku Miao. Aku tidak paham bahasamu yang muluk-muluk. Apa katamu tadi?”

“Nona, mohon supaya memberitahukan margamu?” ulang Yue Buqun.

Si gadis membalas, “Kau sudah tahu aku ini bermarga apa, mengapa masih bertanya?”

Yue Buqun berkata, “Aku bertanya karena aku benar-benar tidak mengetahui margamu.”

Gadis itu menjawab, “Kau ini sudah tua. Lihat saja, janggut kambingmu sudah sepanjang ini. Jelas-jelas kau sudah tahu margaku, tapi mengapa masih pura-pura tidak tahu?” Ucapan ini terdengar tidak sopan tetapi disampaikannya dengan tersenyum manis. Raut mukanya yang ramah dan suaranya yang lembut sama sekali tidak menunjukkan rasa permusuhan.

“Nona, kau jangan bercanda,” kata Yue Buqun.

“Nah, Ketua Yue, sebutkan apa margamu?” tanya si gadis baju biru.

“Nona, kau sudah tahu aku bermarga Yue, mengapa masih bertanya padahal sudah tahu jawabannya?” balas Yue Buqun.

Ning Zhongze kesal melihat ucapan perempuan yang dinilainya main-main itu. Ia pun berbisik kepada sang suami, “Jangan pedulikan dia.”

Yue Buqun meletakkan tangan di balik punggung dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali sebagai isyarat kepada istrinya supaya tidak ikut bicara.

Melihat itu Dewa Akar Persik menanggapi, “Mengapa Tuan Yue menggoyang-goyangkan tangannya di balik punggung? Ah, aku tahu! Nyonya Yue menyuruhnya supaya tidak memedulikan perempuan itu. Tapi setelah Tuan Yue melihat perempuan itu ternyata cantik dan genit, maka ia sengaja tidak menuruti perkataan istrinya, dan memilih tetap memerhatikan perempuan itu.”

Gadis baju biru itu tersenyum dan berkata, “Terima kasih banyak. Kau bilang aku cantik dan … genit? Kami perempuan suku Miao, mana bisa lebih cantik dan genit daripada perempuan suku Han kalian?” Ternyata ia tidak mengetahui kalau kata “genit” mengandung makna yang kurang baik sehingga apa yang dikatakan Dewa Akar Persik dianggapnya sebagai pujian. Dengan wajah berseri-seri, ia kemudian bertanya kepada Yue Buqun, “Kau sudah tahu apa margaku. Kenapa kau masih bertanya padahal sudah tahu jawabannya?”

Dewa Ranting Persik menyahut, “Hei, apa yang akan terjadi pada Tuan Yue? Dia tidak menuruti perkataan istrinya.”

“Akibatnya pasti tidak baik,” kata Dewa Bunga Persik.

Dewa Dahan Persik ikut menanggapi, “Bukankah Tuan Yue dijuluki ‘Si Pedang Budiman’? Sepertinya dia sama sekali tidak budiman. Dia sudah tahu perempuan ini bermarga apa, tetapi masih saja bertanya. Dia terus bertanya padahal sudah tahu jawabannya. Aku rasa dia hanya mengada-ada supaya tetap bisa berbicara dengan perempuan itu.”

Yue Buqun sangat kesal bercampur malu mendengar pembicaraan Enam Dewa Lembah Persik. Ia pun berpikir, “Enam bersaudara ini suka bicara seenaknya. Kalau mulut mereka tidak disumpal, entah omong kosong apa lagi yang akan mereka katakan? Bagaimana pula perasaan para murid mendengar ucapan mereka?”

Namun, begitu mengingat sifat dan kebiasaan keenam orang aneh itu, Yue Buqun memilih tidak memedulikan mereka. Ia pun berkata kepada si gadis, “Nona, mohon sampaikan hormat kami kepada Ketua Lan. Yue Buqun dari Perguruan Huashan berharap semoga Beliau selalu dalam keadaan baik.”

Gadis berbaju biru itu terbelalak. Matanya melotot lebar dan berputar-putar seakan tidak percaya mendengar ucapan Yue Buqun. “Hei, kenapa kau menyebutku sebagai ‘Beliau’? Memangnya aku ini sudah tua?”

Kini giliran Yue Buqun yang terkejut setengah mati. Ia pun berkata dengan gugup, “Nona … jadi kau … kau adalah Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi ….”

Sepak terjang Sekte Lima Dewi sebagai kelompok yang ganas dan kejam sudah lama diketahui Yue Buqun. Sebenarnya, kaum persilatan diam-diam lebih suka menyindir kelompok ini sebagai Sekte Lima Racun. Pada awalnya ketika didirikan sekitar seratus tahun yang lalu, kelompok ini memang bernama Sekte Lima Racun. Para pendiri dan pemuka sekte ini adalah orang-orang suku Miao dari daerah Yunnan, Guizhou, Sichuan, dan Hunan. Kemudian setelah beberapa orang suku Han bergabung dengan sekte ini, mereka mengusulkan supaya nama “Lima Racun” diubah saja karena terkesan kurang anggun. Mereka pun mengubah nama perkumpulan menjadi “Lima Dewi”.

Sekte Lima Dewi pandai menggunakan hawa beracun yang keluar dari tanah rawa, bisa serangga, dan parasit tak kasat mata. Nama besar mereka di wilayah selatan dapat disejajarkan dengan Partai Seratus Racun yang berjaya di wilayah utara. Anggota Sekte Lima Dewi kebanyakan berasal dari suku Miao, sehingga tipu muslihat mereka dalam menggunakan racun tidak sehebat dan serapi Partai Seratus Racun. Namun racun yang mereka gunakan seringkali sangat aneh dan sukar dibayangkan. Konon kabarnya, apabila Partai Seratus Racun berniat meracuni orang, meskipun sulit dihindari, tetapi masih bisa diselidiki cara bekerjanya sehingga dapat pula diketahu penyebabnya. Lain halnya dengan Sekte Lima Dewi. Meskipun orang yang menaruh racun menjelaskan dengan terus terang dan terperinci, namun tetap saja susah dibayangkan dan susah dipercaya. Keanehan dan kengerian yang terjadi akibat racun tersebut sulit dijelaskan dengan akal sehat.

“Aku memang bernama Lan Fenghuang, apa kau belum tahu?” kata gadis berbaju biru itu dengan tersenyum. “Kuberi tahu kau, aku memang berasal dari Sekte Lima Dewi, tetapi bukan bawahan Ketua Lan. Di dalam Sekte Lima Dewi, selain Lan Fenghuang, mana ada yang bukan bawahan Ketua Lan?” Sampai di sini ia pun tertawa cekikikan.

Enam Dewa Lembah Persik ikut tertawa sambil bertepuk tangan. Mereka serentak berkata, “Tuan Yue benar-benar bodoh. Perempuan ini sudah memberi tahu tapi tetap saja dia tidak mengerti.”

Yue Buqun sudah lama mengetahui kalau Sekte Lima Dewi dipimpin seorang ketua bermarga Lan. Kini setelah mendengar gadis itu berkata demikian, ia pun mengetahui kalau nama lengkapnya Lan Fenghuang, yang artinya “Burung Feng Biru”. Dilihat dari penampilannya yang berwarna-warni, gadis itu memang mirip burung feng berwarna biru.

Pada umumnya, gadis suku Han dari keluarga baik-baik selalu menyembunyikan nama lengkapnya sampai ia bertunangan dengan seseorang. Apabila keluarga calon suami melamar dan menjalankan tradisi “bertanya nama”, barulah si gadis memberitahukan nama lengkapnya. Meskipun kaum persilatan tidak terlalu mematuhi adat istiadat, namun mereka juga tidak sembarangan menyebut nama lengkap seorang nona. Tak disangka, gadis dari suku Miao ini tanpa malu-malu menyebutkan nama lengkapnya di hadapan banyak orang di atas aliran sungai. Ketika menyebutkan nama lengkap, wajahnya terlihat santai dan tindak-tanduknya alami, sedangkan suaranya terdengar semakin lembut dan memesona.

Lan Fenghuang berusia masih muda, namun dapat mengetuai sebuah sekte terkenal. Hal ini membuat Yue Buqun dan yang lain sangat tercengang.

Yue Buqun kembali memberi hormat sambil berkata, “Ternyata Ketua Lan sendiri yang berkunjung secara pribadi kemari. Aku, Yue Buqun, mohon maaf karena bersikap lancang. Entah pelajaran apa yang akan Ketua Lan berikan kepadaku?”

Lan Fenghuang menjawab sambil tersenyum, “Aku ini buta huruf; pelajaran apa yang bisa kuberikan kepadamu? Atau seharusnya kaulah yang memberi pelajaran kepadaku. Penampilanmu seperti sarjana guru sekolah. Mungkin kau akan mengajariku cara membaca, benar tidak? Aku ini sangat bodoh, sedangkan kalian orang Han sangat pintar. Aku sendiri tidak yakin apakah bisa belajar dengan baik atau tidak.”

Yue Buqun pun berkata dalam hati, “Dia ini pura-pura bodoh atau memang benar-benar tidak paham basa-basi pergaulan? Dilihat dari raut wajahnya, sepertinya dia tidak pura-pura.” Setelah berpikir demikian, ia pun mengulangi pertanyaan dengan menggunakan kalimat yang lebih sederhana, “Ketua Lan, ada urusan apa datang kemari?”

Lan Fenghuang balas bertanya, “Linghu Chong itu adik seperguruanmu, ataukah muridmu?”

“Muridku,” jawab Yue Buqun.

“Hm, apa aku boleh melihat dia?” pinta Lan Fenghuang.

“Muridku itu sedang sakit dan pikirannya masih kacau. Mohon maaf untuk saat ini dia tidak pantas datang kemari untuk memberi hormat kepada Ketua Lan,” jawab Yue Buqun.

“Memberi hormat kepadaku?” tanya Lan Fenghuang dengan mata terbelalak pertanda hatinya sangat terkejut. “Aku tidak ingin dia memberi hormat kepadaku. Dia bukan bawahan Sekte Lima Dewi kami, untuk apa dia memberi hormat kepadaku? Di samping itu, dia adalah … hihihi … dia adalah teman baik dari seseorang. Meskipun dia datang kemari untuk memberi hormat, tetap saja aku tidak ingin menerimanya. Aku dengar dia telah mengiris nadi sendiri untuk mengeluarkan darah sebanyak dua mangkuk dan meminumkannya kepada anak perempuan Lao Touzi, demi menyelamatkan nyawa nona itu. Laki-laki yang penuh kasih sayang dan rela berkorban seperti dia sangat dikagumi oleh perempuan Miao sepertiku. Itu sebabnya, aku datang kemari karena ingin melihatnya.”

Yue Buqun menggumam, “Hal ini … hal ini ….”

Lan Fenghuang menukas, “Aku tahu dia terluka dan kehilangan banyak darah. Kau tidak perlu memanggilnya keluar. Biar aku saja yang masuk ke dalam.”

Yue Buqun buru-buru menyahut, “Kami tidak berani merepotkan Ketua yang mulia.”

“Yang mulia apanya? Terserah kau!” kata Lan Fenghuang dengan tertawa cekikikan. Gadis itu kemudian melompat dari perahunya dan mendarat dengan anggun di atas kapal rombongan Huashan.

Yue Buqun dapat melihat Lan Fenghuang memiliki gerakan yang lincah, namun sesungguhnya tidak memiliki ilmu silat yang istimewa. Ia segera mundur dua langkah untuk menghalangi pintu masuk kabin kapal. Dalam hati ia merasa sangat rikuh karena tahu kalau Sekte Lima Dewi sangat sulit dihadapi. Mereka memiliki keahlian meracun tingkat tinggi, dan suka datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Jika bertarung melawan aliran sesat seperti mereka, tentu tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu silat belaka. Itulah sebabnya sejak tadi Yue Buqun selalu menggunakan kata-kata sopan demi untuk menghindari perselisihan.

Teringat kemarin malam ada dua anggota Partai Seratus Racun yang menyebutkan kalau mereka telah menerima perintah untuk membuntuti rombongan Huashan, membuat Yue Buqun mencoba menebak bahwa yang memberi perintah tentu pihak Sekte Lima Dewi. Namun, untuk apa Sekte Lima Dewi berniat menyusahkan Perguruan Huashan? Sekte Lima Dewi memiliki kekuatan besar di dunia persilatan. Saat ini Sang Ketua Sekte datang sendiri, tentu tidak seharusnya Yue Buqun menghadang langkahnya. Namun membiarkan seseorang yang sekujur tubuhnya mengandung racun aneh seperti dia masuk ke dalam kabin tentu sangat berbahaya. Menyadari hal itu, Yue Buqun merasa lebih baik Linghu Chong saja yang keluar dari kabin untuk menemui perempuan itu. Segera ia pun berteriak, “Chong’er, Ketua Lan ingin menemuimu. Lekas kau keluar untuk menemuinya!”

Linghu Chong yang kehilangan banyak darah masih belum bisa mendengar dengan jelas. Meskipun sang guru berteriak, namun ia hanya bisa menjawab lirih, “Baik, Guru!” Ia mencoba bangun namun baru bergerak sedikit sudah jatuh terduduk dan sulit untuk bangkit kembali.

Lan Fenghuang berkata, “Aku dengar dia sedang terluka parah. Mana bisa dia keluar kemari? Angin di sungai ini sangat kencang. Aku tidak ingin dia masuk angin, padahal saat ini sudah kenyang menderita. Biarlah aku yang masuk ke dalam untuk menemuinya.”

Gadis itu kemudian berjalan menuju pintu kabin. Ketika jarak tinggal satu meter, Yue Buqun mencium bau harum yang sangat menyengat dari tubuhnya. Terpaksa ia sedikit memiringkan badan supaya gadis itu bisa masuk ke dalam kabin.

Di luar kabin, lima Dewa Lembah Persik duduk bersila, sedangkan Dewa Buah Persik berbaring di atas dipan. Lan Fenghuang pun tersenyum dan menyapa mereka, “Kalian pasti Enam Dewa Lembah Persik, bukan? Aku ini Ketua Sekte Lima Dewi. Dewa dan Dewi adalah saudara. Kita ini berasal dari golongan yang sama.”

“Tidak sama!” jawab Dewa Akar Persik. “Kami adalah dewa asli, sedangkan kau dewi palsu.”

“Meskipun kau dewi asli, tetap saja jumlah kami lebih banyak. Kami adalah enam dewa, sedangkan kau hanya lima dewi,” tambah Dewa Dahan Persik.

Lan Fenghuang menjawab, “Kalau kami ingin lebih banyak dari kalian bukanlah hal yang sulit.”

“Bagaimana kau bisa lebih banyak daripada kami?” tanya Dewa Daun Persik. “Apa kau hendak mengubah nama menjadi Sekte Tujuh Dewi?”

Lan Fenghuang menjawab sambil tersenyum nakal, “Kami hanya punya Lima Dewi, bukan tujuh. Namun kalian Enam Dewa Lembah Persik bisa berubah menjadi Empat Dewa Lembah Persik. Bukankah dengan demikian jumlah kami menjadi lebih banyak?”

“Mengubah enam dewa menjadi empat dewa? Apa kau bermaksud hendak membunuh dua dari kami?” tanya Dewa Bunga Persik dengan nada gusar.

“Membunuh atau tidak, itu terserah kami, benar tidak?” balas Lan Fenghuang dengan tersenyum bangga. “Hanya saja, aku dengar kalian berenam ini adalah sahabat Linghu Chong, maka aku tidak akan membunuh kalian. Tapi, untuk selanjutnya kalian tidak boleh lagi menyombongkan diri dengan mengatakan jumlah kalian lebih banyak daripada Sekte Lima Dewi kami.”

“Kalau kami tetap menyombongkan diri, kau mau apa?” kata Dewa Dahan Persik.

Secepat kilat Dewa Akar Persik, Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik sudah menerjang maju dan memegang tangan dan kaki Lan Fenghuang. Ketika baru saja hendak mengangkat tubuh perempuan itu ke atas, mereka berseru kaget dan melepaskan pegangan masing-masing. Begitu setiap orang membuka genggaman, mereka melihat suatu benda mengerikan berada di telapak tangan masing-masing. Raut muka keempat bersaudara itu langsung menunjukkan rasa ngeri luar biasa.

Yue Buqun pun terkejut begitu menyaksikan apa yang berada di dalam tangan keempat Dewa Lembah Persik. Ia merasa bulu kuduknya berdiri dan keringat dingin mengalir di punggung. Ternyata Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik masing-masing memegang seekor kelabang besar berwarna hijau, sedangkan Dewa Daun Persik dan Dewa Bunga Persik masing-masing memegang seekor laba-laba berwarna-warni. Tubuh keempat binatang berbisa itu dipenuhi rambut panjang sehingga siapa saja yang melihat pasti merasa muak dan ingin muntah. Namun demikian, keempat hewan berbisa itu hanya bergetar tanpa menggigit tangan Dewa Akar Persik dan yang lain. Apabila keempat hewan itu menggigit, pasti empat Dewa Lembah Persik tidak mungkin terlihat ketakutan. Karena keempat hewan itu belum menyuntikkan bisa, empat Dewa Lembah Persik pun tidak berani bergerak sedikit pun.

Lan Fenghuang lantas mengibaskan lengan bajunya dengan gerakan enteng. Keempat hewan berbisa langsung hilang dari pandangan. Setiap orang dapat melihat Lan Fenghuang mengambil kembali keempat hewannya dengan kibasan lengan baju tadi, namun tidak seorang pun yang tahu di mana keempat hewan itu disembunyikan.

Ketua Sekte Lima Dewi itu melangkah masuk ke dalam kabin tanpa memedulikan Enam Dewa Lembah Persik yang ketakutan setengah mati dan kini tidak berani bicara apa-apa lagi.

Linghu Chong dan beberapa murid laki-laki Huashan sedang berada di kabin tengah. Saat itu Ning Zhongze dan para murid perempuan sudah berada di kabin belakang. Antara kedua ruang kabin tersebut terpisahkan oleh sekat yang terbuat dari papan kayu. Begitu Lan Fenghuang masuk ke dalam kabin tengah, matanya lantas mengamat-amati setiap murid Huashan yang ada di sana. Setelah itu ia melangkah ke arah dipan dan menyapa lirih, “Tuan Muda Linghu! Tuan Muda Linghu!”

Suara panggilannya sangat lembut dan bergema di telinga setiap orang yang mendengarnya. Para murid laki-laki Huashan pun bergolak jiwanya mendengar panggilan tersebut, seolah-olah mereka merasa bahwa diri mereka yang sedang dipanggil, bukan Linghu Chong. Akibatnya, hampir semua orang tanpa sadar menjawab. Setelah Lan Fenghuang dua kali memanggil, setengah dari jumlah murid laki-laki yang berada di situ terlihat gemetar dengan wajah merah padam menahan malu.

Linghu Chong membuka mata perlahan-lahan dan bertanya lirih, “Siapa … siapa kau ini?”

Lan Fenghuang menjawab dengan lembut, “Aku ini teman dari sahabat baikmu. Jadi, aku ini temanmu juga.”

Linghu Chong hanya bisa mendehem pelan dan kembali menutup mata.

Lan Fenghuang berkata, “Tuan Muda Linghu, aku tahu kau baru saja kehilangan banyak darah. Tapi kau tidak perlu khawatir. Kau tidak akan mati.”

Linghu Chong merasa bingung, namun tidak menjawab apa-apa.

Lan Fenghuang memasukkan tangannya ke dalam selimut Linghu Chong dan menarik keluar tangan pemuda itu. Begitu memeriksa denyut nadi Linghu Chong, seketika Lan Fenghuang terkejut dan mengernyitkan dahi. Perempuan itu lantas mengeluarkan kepalanya ke jendela kabin. Mulutnya bersuit dan mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti orang-orang di dalam kabin.

Rupanya Lan Fenghuang baru saja memanggil anak buahnya dengan menggunakan bahasa daerah sendiri. Tidak lama kemudian, empat orang perempuan suku Miao sudah naik ke atas kapal rombongan Huashan dan masuk ke dalam kabin. Rata-rata mereka berusia delapan belas tahun, dan semuanya memakai baju biru berhiaskan motif bunga-bunga, serta ikat pinggang bersulam indah. Masing-masing tangan keempat gadis tersebut tampak memegang sebuah kotak berukuran dua puluh senti, yang terbuat dari anyaman bambu.

Yue Buqun agak mengernyitkan dahi, berpikir bahwa kotak-kotak yang dibawa anggota Sekte Lima Dewi tersebut pasti bukan sesuatu yang baik. Pada tubuh Lan Fenghuang saja sudah tersembunyi beberapa ekor kelabang dan laba-laba beracun. Kini, keempat gadis Miao itu masuk ke dalam kabin sambil memegang kotak bambu pasti hendak membuat kekacauan. Meskipun demikian, Yue Buqun tidak berusaha turun tangan karena pihak lawan sepertinya belum memperlihatkan tanda-tanda permusuhan.

Keempat gadis Miao itu melangkah ke sisi Lan Fenghuang dan membisikkan sesuatu. Setelah Lan Fenghuang mengangguk, keempat gadis itu lantas membuka tutup kotak bambu masing-masing. Para murid Huashan penasaran dan ingin sekali mengetahui benda aneh apa yang berada di dalam kotak-kotak tersebut. Dalam peristiwa tadi, hanya Yue Buqun yang sempat melihat empat hewan berbulu dan berbisa berada di dalam genggaman empat Dewa Lembah Persik, dan untuk selanjutnya ia tidak ingin lagi melihat hewan-hewan menjijikkan tersebut seumur hidup.

Namun yang terjadi kemudian adalah suatu pemandangan aneh. Keempat gadis Miao tersebut menyingsingkan lengan baju masing-masing hingga lengan mereka yang putih bersih sampai siku terlihat jelas. Mereka juga menggulung bagian bawah celana masing-masing sampai lutut sehingga betis mereka pun kelihatan pula. Menyaksikan hal itu membuat para murid Huashan terperanjat dengan jantung berdebar-debar.

Yue Buqun berseru di dalam hati, “Celaka! Wanita-wanita aliran sesat ini hendak mengerahkan ilmu sihir dan menggunakan nafsu birahi untuk menjerat murid-muridku. Suara Lan Fenghuang seorang saja sudah terdengar begitu cabul. Kalau sekarang dia menggunakan ilmu sihir, tentu murid-muridku tidak akan berdaya untuk melawannya.”

Berpikir demikian membuat Yue Buqun bersiap-siap dengan meraba gagang pedang. Ia berniat mencabut pedangnya apabila para perempuan Miao itu melepaskan baju dan mengerahkan guna-guna.

Setelah keempat anak buahnya menggulung lengan baju dan celana, Lan Fenghuang pun melakukan hal yang sama. Perlahan-lahan Ketua Sekte Lima Dewi itu menggulung celana bagian bawah sehingga betisnya terlihat. Melihat keadaan semakin gawat, Yue Buqun segera mengedipkan mata ke arah para murid supaya mereka mundur ke luar kabin dan terbebas dari guna-guna. Namun hanya Lao Denuo yang banyak pengalaman dan Shi Daizi yang lugu saja yang benar-benar keluar. Para murid lainnya ada yang melangkah mundur namun tanpa sadar kembali lagi ke tempat semula, bahkan ada pula yang tetap berdiri tanpa bergerak sedikit pun sambil memandang apa yang dilakukan kelima perempuan Miao tersebut.

Yue Buqun segera menghimpun tenaga dalam yang berpusat pada titik Dantian di bawah perut, dan mengerahkan ilmu Awan Lembayung. Segera pada wajahnya pun memancarkan warna ungu kemerah-merahan. Ia mengetahui dengan baik bagaimana Sekte Lima Dewi memiliki nama besar di dunia persilatan wilayah selatan. Nama besar yang cenderung menyeramkan itu sudah pasti tidak mereka peroleh dengan cuma-cuma. Tak diragukan lagi, sekte ini pasti memiliki cara-cara yang kejam dan ganas di luar kebiasaan untuk mendapatkan kejayaan di dunia persilatan. Kali ini, Sang Ketua sendiri yang melancarkan ilmu sihirnya, tentu masalah ini bukan suatu yang bisa dianggap remeh. Yue Buqun merasa perlu menjaga diri dengan ilmu Awan Lembayung karena ia khawatir lengah sedikit saja akan jatuh ke dalam pengaruh guna-guna Lan Fenghuang. Telah terlihat jelas bagaimana para perempuan suku Miao itu tanpa malu-malu memperlihatkan lengan dan betis di depan umum, dan bahkan kemungkinan bisa lebih dari itu membuat Yue Buqun semakin khawatir. Mati terkena racun tidak menjadi masalah baginya. Tapi jika ia jatuh ke dalam perangkap guna-guna dan ilmu sihir tentu akan membuatnya malu seumur hidup. Jika hal itu sampai terjadi, maka nama besar Perguruan Huashan dan Si Pedang Budiman akan benar-benar hancur luluh.

Keempat gadis Miao itu terlihat mengambil sesuatu dari dalam kotak bambu masing-masing. Sesuatu tersebut tampak menggeliat-liat di tangan mereka. Yue Buqun hanya bisa menebak mungkin itu semacam cacing berbisa. Anehnya, keempat gadis Miao itu justru menempelkan cacing-cacing itu pada lengan dan betis mereka sendiri. Hewan-hewan tersebut melekat kuat dan tidak jatuh sama sekali.

Yue Buqun menajamkan penglihatannya ke arah cacing-cacing itu. Kini ia paham bahwa sebenarnya itu bukan cacing, melainkan lintah, sejenis hewan penghisap darah yang banyak dijumpai di perairan atau rawa-rawa di pedesaan. Hanya saja, dibandingkan dengan binatang lintah pada umumnya, lintah yang mereka bawa tersebut berukuran dua kali lebih besar. Gadis-gadis Miao itu terus-menerus mengambil lintah satu demi satu dari dalam kotak masing-masing dan menempelkannya ke kulit. Lan Fenghuang pun melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, lengan dan betis kelima perempuan itu sudah dipenuhi lintah, yang jumlahnya masing-masing mencapai seratus ekor.

Para hadirin di dalam kabin hanya bisa tercengang heran. Mereka tidak tahu apa sebenarnya maksud dan tujuan kelima gadis Miao tersebut. Sementara itu, Ning Zhongze di ruang sebelah hanya bisa mendengar suara para gadis merintih-rintih, “Ah! Uh!” sehingga membuat hatinya penasaran. Tak kuasa menahan diri, Nyonya Yue pun menarik papan penyekat ruangan kabin. Begitu melihat pemandangan yang sebenarnya, ia pun menjerit kaget, “Aih!”

Lan Fenghuang menyapa dengan tersenyum ramah, “Jangan takut. Mereka tidak akan menggigitmu. Apakah kau ini istri Tuan Yue? Kabarnya kau punya ilmu pedang hebat, ya?”

Ning Zhongze tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum yang agak dipaksakan. Saat Lan Fenghuang bertanya apakah ia istri Tuan Yue, hal ini terdengar kasar bagi suku Han. Sedangkan pertanyaan apakah ilmu pedangnya hebat, apabila yang bertanya orang lain tentu Ning Zhongze akan menjawab dengan rendah hati. Namun karena yang bertanya adalah Lan Fenghuang yang kurang memahami adat istiadat suku Han membuat Ning Zhongze merasa serba salah. Jika dijawab “benar” maka akan terkesan sombong, namun jika dijawab “tidak” tentu si gadis Miao akan mengira ilmu pedang Ning Zhongze biasa saja. Daripada Lan Fenghuang memandang rendah terhadap dirinya, Ning Zhongze memutuskan hanya tersenyum tanpa menjawab. Lagipula, Lan Fenghuang juga diam saja dan tidak melanjutkan pembicaraan.

Yue Buqun sendiri masih berjaga-jaga dengan tangan meraba gagang pedang. Apabila para gadis Miao itu melakukan gerakan mencurigakan, maka ia langsung mencabut pedang dan menyerang mereka. Pepatah mengatakan, untuk menangkap kawanan penkahat sebaiknya ringkus pemimpinnya dulu. Maka itu, Yue Buqun pun bersiap untuk menyerang Lan Fenghuang terlebih dulu. Saat itu keadaan di dalam kabin begitu sunyi, kecuali terdengar suara napas berat para murid laki-laki Perguruan Huashan.

Selang agak lama, tubuh lintah-lintah tersebut terlihat menggelembung dan berwarna kemerah-merahan. Yue Buqun paham apabila lintah menempel pada kulit manusia atau hewan, maka mereka akan melekat kuat dan menghisap darah sampai kenyang. Mereka tidak akan melepaskan diri sebelum benar-benar kenyang. Pada saat lintah menghisap darah, makhluk yang dihisapnya seringkali tidak merasakan apa-apa, kecuali gatal atau kebas saja. Tidak jarang para petani di sawah dihisap darahnya oleh lintah namun mereka tidak mengetahuinya.

Dalam hati Yue Buqun bertanya-tanya, “Untuk apa para wanita iblis ini menggunakan lintah untuk menghisap darah sendiri? Mungkin untuk mengerahkan ilmu sihir mereka, orang-orang Sekte Lima Dewi harus menggunakan darah mereka sendiri. Sepertinya, setelah lintah-lintah itu kenyang menghisap darah, mereka akan segera mengerahkan guna-guna.”

Lan Fenghuang dengan lembut membuka selimut penutup tubuh Linghu Chong, kemudian mencabut seekor lintah yang sudah kenyang menghisap darah dari lengannya. Lintah tersebut kemudian diletakkannya pada pembuluh darah di leher Linghu Chong.

Khawatir Lan Fenghuang hendak mencelakai Linghu Chong, Ning Zhongze pun berkata dengan cemas, “Hei, apa yang kau lakukan?” Wanita itu kemudian melompat ke kabin tengah sambil menghunus pedang.

“Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa!” cegah Yue Buqun sambil menggelengkan kepala.

Ning Zhongze pun menghentikan langkah namun tangannya tetap memegang gagang pedang erat-erat sambil pandangan mata menatap tajam ke arah Lan Fenghuang dan Linghu Chong.

Begitu lintah tadi melekat di leher Linghu Chong langsung menggigit dan menghisap darah. Lan Fenghuang mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari balik bajunya. Setelah tutup dibuka, perempuan itu mengambil sedikit isinya yang berupa serbuk menggunakan ujung kuku jari kelingking. Serbuk tersebut kemudian ditaburkan pada tubuh si lintah. Keempat gadis Miao yang lain segera membuka baju Linghu Chong pada bagian dada dan perut serta menggulung lengan baju dan kaki celana pemuda itu. Mereka lalu mencabuti satu per satu lintah pada tubuh masing-masing dan memindahkannya di dekat pembuluh darah pada dada, perut, kaki, dan lengan Linghu Chong. Dalam sekejap, lebih dari dua ratus ekor lintah sudah menempel dengan erat di tubuh si pemuda. Sementara itu, Lan Fenghuang sibuk menaburkan serbuk dari botol kecilnya pada setiap lintah yang ada.

Suatu keanehan terjadi. Sewaktu menempel di tubuh para gadis Miao, lintah-lintah itu semakin lama semakin menggelembung. Namun kini yang terjadi adalah sebaliknya. Lintah-lintah itu saat menempel di tubuh Linghu Chong justru semakin kempis dan mengkerut.

Seketika Yue Buqun sadar apa yang sebenarnya terjadi. Sambil menghela napas lega, ia pun berpikir, “Ternyata perempuan-perempuan ini sedang memindahkan darah mereka untuk dimasukkan ke dalam tubuh Chong’er melalui lintah sebagai perantara. Serbuk putih itu entah dibuat dari bahan apa sehingga bisa memaksa lintah-lintah itu untuk memuntahkan darah yang baru saja mereka hisap. Benar-benar ajaib!”

Menyadari hal itu, Yue Buqun pun mengendurkan jari-jarinya yang sejak tadi siap mencabut pedang. Sementara itu, sang istri yang berpikiran sama tampak tersenyum dan menyarungkan kembali pedangnya.

Meskipun di dalam kabin masih tetap sunyi senyap, namun suasana tegang – seolah akan terjadi pertempuran habis-habisan – kini telah berubah menjadi tenang. Bahkan, Enam Dewa Lembah Persik pun terheran-heran menyaksikan apa yang sedang terjadi. Mulut mereka menganga lebar sehingga tidak bisa berdebat dan adu pendapat seperti biasanya. Sungguh peristiwa yang jarang terjadi.

Tidak lama kemudian, terdengar suara seekor lintah jatuh di lantai kabin. Lintah yang telah memuntahkan seluruh darah dari perutnya itu menggelepar beberapa kali kemudian mati. Seorang gadis Miao memungut bangkai binatang itu dan membuangnya ke sungai melalui jendela kabin. Satu per satu lintah yang menempel di tubuh Linghu Chong pun berjatuhan dan segera dilemparkan ke sungai pula. Kini, wajah Linghu Chong terlihat merona merah setelah sebelumnya pucat pasi seperti kertas. Darah para gadis Miao yang disalurkan ke dalam tubuhnya melalui lintah-lintah tadi jumlahnya lebih dari satu mangkuk besar. Meskipun tidak dapat menggantikan seluruh darahnya yang hilang, namun sudah cukup untuk menyelamatkan nyawanya.

Yue Buqun dan Ning Zhongze saling berpandangan. Suami istri itu sama-sama berpikir, “Perempuan Miao ini seorang ketua sekte besar dan ternama, namun tidak segan-segan menyalurkan darahnya ke dalam tubuh Chong’er. Dia dan Chong’er belum pernah berjumpa, jadi tidak mungkin memiliki perasaan cinta atau semacamnya. Ia tadi mengaku sebagai teman dari sahabat baik Chong’er. Sejak kapan Chong’er berkenalan dengan seseorang yang mempunyai kekuasaan besar seperti itu?”

Begitu melihat perubahan warna pada muka Linghu Chong, Lan Fenghuang segera memeriksa denyut nadi pemuda itu yang terasa lebih kuat daripada tadi. Merasa senang, gadis itu pun bertanya, “Tuan Muda Linghu, bagaimana perasaanmu?”

Meskipun Linghu Chong tidak sepenuhnya paham apa yang baru saja terjadi, namun ia yakin kalau kedatangan perempuan itu adalah untuk mengobatinya. Terbukti, ia kini merasa jauh lebih kuat daripada tadi. Maka, ia pun menjawab, “Terima kasih banyak, Nona. Aku … aku sekarang merasa jauh lebih baik.”

Lan Fenghuang menyahut, “Apa menurutmu aku sudah tua? Memangnya aku sudah sangat tua, ya?”

Linghu Chong menjawab, “Siapa bilang kau sudah tua? Sudah jelas kau masih muda. Bahkan, kalau kau tidak keberatan, aku akan memanggilmu ‘adik’.”

Lan Fenghuang terlihat sangat senang. Senyumnya merekah bagaikan sekuntum bunga yang baru saja mekar di musim semi sehingga menambah kecantikannya. Ia pun berkata, “Kau benar-benar baik. Pantas saja, seseorang yang tidak pernah peduli pada laki-laki di muka bumi bisa sedemikian baik kepadamu. Tidak heran … tidak heran … aih ….”

Linghu Chong menanggapi, “Kalau kau memang menganggapku baik, mengapa tidak memanggil ‘kakak’ saja kepadaku?”

Wajah Lan Fenghuang agak merona merah saat ia berkata, “Kakak Linghu!”

Linghu Chong langsung menjawab, “Adik yang baik! Adik yang manis!”

Dasar watak Linghu Chong yang bebas dan merdeka, sehingga tidak memedulikan hal-hal remeh. Sifatnya sangat berbeda dengan Yue Buqun yang selalu menganggap diri sendiri sebagai seorang budiman. Begitu memperoleh kesadarannya, Linghu Chong langsung paham kalau Lan Fenghuang sangat senang apabila disebut masih muda dan cantik. Begitu si gadis bertanya dengan terus terang, Linghu Chong langsung menyebutnya sebagai adik, meskipun usia mereka hampir sama. Ia berpikir Lan Fenghuang sudah bersusah payah menyelamatkan nyawanya, sehingga tiada salahnya kalau ia menyenangkan gadis itu sebagai balas budi. Benar saja, begitu mendengar dirinya dipanggil sebagai adik, Lan Fenghuang terlihat sangat gembira.

Sebaliknya, Yue Buqun dan Ning Zhongze terlihat mengernyitkan dahi, sambil berpikir, “Chong’er benar-benar ceroboh. Wataknya sulit disembuhkan. Ping Yizhi berkata bahwa umurnya tinggal seratus hari, bahkan kini sudah berjalan beberapa hari. Sebentar lagi ia masuk peti mati, namun begitu mendapat kesadaran justru langsung menggoda perempuan sesat dan cabul ini.”

Lan Fenghuang berkata, “Kakak, dalam hal memindahkan darah seperti yang baru saja kami lakukan tadi, ada beberapa jenis darah yang tidak bisa dipindahkan ke dalam tubuhmu. Apabila lintah-lintah tadi begitu menyalurkan darah langsung berjatuhan, itu berarti darah jenis tersebut tidak dapat dipindahkan. Kami berlima dipilih dari ratusan orang. Darah kami berlima termasuk jenis yang bisa diberikan kepada siapa saja.” Setelah diam sejenak, gadis itu melanjutkan, “Kakak, kau ingin makan apa? Aku punya beberapa makanan ringan, kau mau atau tidak?”

Linghu Chong menjawab, “Aku tidak ingin makan. Aku hanya ingin minum arak.”

Lan Fenghuang berkata, “Mudah sekali. Kami punya arak buatan sendiri yang disebut ‘Nektar Lima Permata’. Kau boleh mencoba sekarang.”

Usai berkata demikian Lan Fenghuang pun memberi perintah kepada anak buahnya dengan manggunakan bahasa Miao. Suaranya terdengar seperti kicauan burung. Dua orang gadis Miao segera pergi ke perahu mereka, dan kembali dengan membawa delapan botol arak. Begitu satu botol dibuka, bau semerbak wangi bunga langsung memenuhi ruangan kabin.

Linghu Chong berkata, “Adikku yang baik, arakmu ini baunya sangat wangi sehingga mengalahkan rasa araknya sendiri. Menurutku, ini pasti arak untuk kaum wanita, bukan begitu?”

Lan Fenghuang tersenyum dan menjawab, “Wangi bunga dalam arak ini memang harus keras. Jika tidak, maka arak ini akan berbau amis seperti bau ular berbisa.”

“Dalam arak ini ada bau amis ular berbisa?” tanya Linghu Chong dengan nada terkejut.

“Tepat sekali,” jawab Lan Fenghuang. “Kami menyebut arak ini ‘Nektar Lima Permata’, sehingga tentu saja harus mengandung lima jenis permata pula.”

“Apa maksudnya ‘Lima Permata’?” tanya Linghu Chong penasaran.

“Lima Permata adalah lima jenis harta karun dalam kepercayaan kami,” jawab Lan Fenghuang. “Coba kau lihat.” Sambil berbicara, gadis itu menuangkan isi botol arak ke dalam dua buah mangkuk kosong yang sudah ia siapkan. Di tengah suara gemericik, terlihat beberapa benda mungil ikut masuk ke dalam mangkuk bersama arak. Beberapa murid Huashan langsung menjerit ngeri begitu melihat pemandangan itu.

Lan Fenghuang menyodorkan mangkuk arak di tangannya kepada Linghu Chong. Arak tersebut sangat jernih seperti air dari mata air pegunungan. Dalam arak itu terendam lima ekor hewan berbisa berukuran kecil, yaitu ular hijau, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak.

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Mengapa di dalam arakmu ada … ada binatang beracun seperti ini?”

“Huh, ini adalah lima harta karun. Jangan sembarangan kau menyebutnya binatang beracun,” kata Lan Fenghuang sambil mendengus. “Kakak Linghu, kau berani minum atau tidak?”

Linghu Chong tersenyum kecut dan menjawab, “Lima … lima harta karun ini membuatku agak takut.”

Lan Fenghuang mengangkat mangkuk arak tersebut dan meneguk isinya; sebuah tegukan besar. Ia kemudian berkata, “Kami orang-orang Miao memiliki adat kebiasaan, apabila kami mengajak makan atau minum, sedangkan yang kami ajak menolak makan atau minum, maka orang itu bukan teman sejati dan kami pun tidak akan lagi menganggapnya sebagai teman.”

Linghu Chong pun menerima mangkuk arak tersebut dan meneguk isinya. Kelima hewan berbisa di dalam mangkuk tersebut ikut masuk pula ke dalam kerongkongannya. Meskipun memiliki nyali besar, namun ia tetap tidak berani mengunyah hewan-hewan itu.

Lan Fenghuang sangat senang dan langsung memeluk leher Linghu Chong dengan kedua lengannya. Tanpa malu-malu ia mencium pipi kiri Linghu Chong sebanyak dua kali sampai gincunya meninggalkan bekas. “Ini baru kakak yang baik!” katanya.

Linghu Chong pun tersenyum, namun jantungnya langsung berdebar kencang begitu melihat tatapan tajam Yue Buqun kepadanya. Dalam hati ia menggerutu, “Sial! Aku sudah keterlaluan, berbuat ceroboh di depan Guru dan Ibu Guru. Pasti setelah ini Guru akan memaki kebodohanku. Adik Kecil tentu akan memandangku lebih rendah lagi.”

Lan Fenghuang kembali membuka sebotol arak dan menuangkan isinya ke dalam mangkuk, untuk kemudian disodorkan kepada Yue Buqun. Sambil tersenyum ia berkata, “Tuan Yue, silakan minum arak kami.”

Begitu melihat di dalam mangkuk arak terdapat kelabang, kalajengking, dan beberapa hewan berbisa lainnya, Yue Buqun langsung merasa mual. Apalagi samar-samar tercium bau amis di sela-sela semerbak wangi bunga membuatnya semakin ingin muntah. Maka, ia pun menjulurkan tangan kiri untuk menolak mangkuk tersebut. Tak disangka, Lan Fenghuang tidak juga menarik mundur tangannya sehingga hampir bersentuhan dengan jari tangan Yue Buqun. Menyadari hal itu, Yue Buqun buru-buru menarik tangan kirinya.

“Mengapa sang guru justru tidak punya nyali dibanding muridnya?” kata Lan Fenghuang sambil tersenyum. “Kawan-kawan dari Perguruan Huashan, apakah ada yang mau minum arak ini? Yang berani minum akan mendapat banyak manfaat.”

Dalam sekejap ruangan kabin tersebut menjadi sunyi senyap. Lan Fenghuang mengangkat mangkuk araknya namun tidak satu pun yang berani maju untuk menyambut. Sambil menghela napas, ia pun berkata, “Di Perguruan Huashan, selain Linghu Chong tidak ada lagi orang gagah.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru lantang, “Aku yang akan meminumnya!” Ternyata itu suara Lin Pingzhi. Pemuda itu maju ke depan dan menjulurkan tangan untuk menyambut mangkuk arak.

Lan Fenghuang tersenyum dan mengangkat kedua alisnya. Ia berkata, “Ternyata ….”

“Lin Kecil!” seru Yue Lingshan menyela. “Jika kau menelan barang menjijikkan itu, meskipun kau tidak mati kena racun, aku tidak akan bicara denganmu lagi!”

Lan Fenghuang menyodorkan mangkuk araknya ke arah Lin Pingzhi sambil tersenyum, “Silakan minum arak ini!”

Lin Pingzhi menjawab dengan terbata-bata, “Aku … aku tidak jadi minum.”

Lan Fenghuang pun tertawa terbahak-bahak. Wajah Lin Pingzhi berubah merah dan ia berkata, “Aku tidak jadi minum arak bukan … bukan karena aku takut mati.”

“Aku tahu! Aku tahu! Kau takut nona cantik itu tidak mau lagi bicara denganmu. Kau bukan pengecut, tapi kau ini seorang laki-laki yang sedang dimabuk asmara, hahahaha!” kata Lan Fenghuang sambil terus bergelak tawa. Ia kemudian berjalan ke sisi Linghu Chong dan berkata, “Kakak, sampai jumpa lagi.”

Setelah menaruh mangkuk araknya di atas meja, Lan Fenghuang pun melambaikan tangan ke arah anak buahnya. Keempat gadis Miao lainnya segera meletakkan keenam botol arak yang tersisa dan melangkah keluar kabin mengikuti Sang Ketua. Sejenak kemudian, kelima perempuan itu sudah melompat kembali ke atas perahu mereka. Kembali terdengar suara nyanyian merdu dan bersyair mesra berkumandang dari dalam kabin perahu. Perahu pun bergerak menuju hilir semakin cepat dan semakin jauh. Suara nyanyian akhirnya lenyap seiring dengan menghilangnya perahu tersebut.

“Buang semua botol dan mangkuk arak ini ke sungai!” seru Yue Buqun memberi perintah sambil mengernyitkan dahi.

“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi yang kemudian melangkah ke arah meja. Namun begitu ujung jarinya menyentuh botol arak, hidungnya langsung mencium bau amis yang sangat aneh. Seketika tubuh pemuda itu bergoyang-goyang dan tidak bisa berdiri tegak. Dengan cepat Lin Pingzhi pun meraih tepian meja untuk menyandarkan diri supaya tidak jatuh ke lantai.

Yue Buqun menyadari sesuatu dan segera berseru, “Botol arak ini ada racunnya!” Ia kemudian mengibaskan lengan bajunya yang menyapu keluar semua botol dan mangkuk di atas meja melewati jendela kabin hingga akhirnya jatuh di sungai. Tiba-tiba dadanya terasa sangat mual. Setelah mengerahkan tenaga dalam, ia pun dapat menekan kembali rasa mual tersebut sehingga tidak sampai muntah.

Sekejap kemudian terdengar suara orang lain yang muntah. Ternyata dia adalah Lin Pingzhi. Disusul kemudian satu per satu orang-orang lainnya ikut muntah-muntah pula. Bahkan, Enam Dewa Lembah Persik dan para awak kapal juga muntah-muntah padahal mereka berada di luar kabin. Setelah menahan rasa mual untuk sekian lama, akhirnya Yue Buqun tak kuasa menahan diri lagi dan ikut muntah pula. Setiap orang muntah-muntah untuk waktu yang cukup lama. Walaupun makanan dalam perut mereka sudah terkuras habis, namun mereka tetap saja muntah, yaitu memuntahkan asam lambung. Setelah asam lambung habis, tetap saja perut mereka terasa mual dan tenggorokan terasa gatal. Bagi mereka, muntah-muntah dalam keadaan perut kosong rasanya jauh lebih menderita daripada mengeluarkan semua makanan dari dalam perut.

Dalam keadaan ribut tersebut hanya Linghu Chong seorang yang tidak muntah di antara puluhan orang yang ada di atas kapal.

Melihat itu, Dewa Buah Persik berkata, “Linghu Chong, siluman betina itu memperlakukanmu dengan sangat istimewa. Ia pasti telah meminumkan obat penawar kepadamu.”

Linghu Chong menjawab, “Aku belum minum obat penawar. Apakah semangkuk arak berbisa tadi adalah obat penawar?”

Dewa Akar Persik menyahut, “Bisa jadi begitu. Siluman betina itu melihat kau tampan, lantas jatuh cinta kepadamu.”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Menurutku bukan karena tampan, tapi karena dia memuji siluman betina itu muda dan cantik, juga memanggilnya sebagai adik yang manis. Andai aku tahu, aku juga akan memuji perempuan itu sehingga tidak akan mengalami nasib buruk seperti ini.”

“Bukan hanya soal memuji, tapi juga harus berani meminum arak beracun dan menelan lima hewan berbisa tadi,” tukas Dewa Bunga Persik.

“Kali ini dia memang tidak muntah. Tapi bukankah di dalam perutnya sudah ada kelima hewan berbisa tadi? Bagaimana kalau kelima hewan itu membuat dia keracunan yang lebih parah daripada kita ini?” ujar Dewa Daun Persik.

“Aih, celaka kita! Linghu Chong telah meminum semangkuk arak beracun, sementara kita tidak mencegahnya. Kalau gara-gara hal itu kemudian dia tewas keracunan, bagaimana kalau Ping Yizhi sampai mendengarnya?” kata Dewa Dahan Persik.

“Ping Yizhi pernah berkata, umur Linghu Chong tinggal sedikit. Kalau dia mati beberapa hari lebih cepat, apa ada yang salah?” tanya Dewa Akar Persik.

“Masalah bukan pada Linghu Chong, tapi pada kita,” kata Dewa Bunga Persik.

“Tenang saja, kita bisa kabur jauh-jauh,” ujar Dewa Buah Persik. “Ping Yizhi itu gemuk dan pendek. Mana bisa dia mengejar kita?”

Begitulah, Enam Dewa Lembah Persik meskipun muntah-muntah namun tetap tidak berhenti adu bicara.

Sementara itu Yue Buqun melihat jurumudi kapal masih muntah-muntah tanpa henti hingga kapal tersebut oleng ke kanan dan ke kiri di tengah aliran sungai besar yang deras. Merasa sangat berbahaya, ia segera melompat ke buritan dan mengambil alih kemudi, selanjutnya merapatkan kapal ke daratan di sisi selatan. Tenaga dalamnya sangat kuat sehingga setelah mengerahkan hawa murni beberapa kali, rasa mual di dadanya sedikit demi sedikit menghilang.

Perlahan-lahan kapal pun merapat ke tepian. Yue Buqun melompat ke haluan dan mengangkat jangkar besi, kemudian melemparkannya ke dasar sungai. Jangkar itu beratnya lebih dari seratus kilogram dan biasanya diperlukan dua orang awak kapal untuk mengangkatnya. Kini, para awak kapal tersebut tercegang melihat Yue Buqun yang berpenampilan seperti sarjana santun dan lembut ternyata mampu mengangkat jangkar tersebut seorang diri, bahkan melemparkannya sejauh beberapa meter. Namun mereka hanya sebentar dalam kekaguman karena kemudian muntah-muntah kembali.

Begitu kapal berhenti, semua orang pun turun satu per satu ke daratan. Mereka berlutut di tepian dan meminum air sungai sebanyak-banyaknya, kemudian memuntahkannya kembali. Beberapa kali mereka minum dan muntah sampai akhirnya rasa mual pun berangsur-angsur hilang.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar