Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 71-75

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 71-75 Melihat serangan Cumoti yang maha dahsyat ftu. Hi-tiok terpaksa menangkisnya, segera ia gunakan satu jurus "Thian-san-ciat-bwe-jiu" sehingga tenaga pukulan Cumoti dipatahkan.
Melihat serangan Cumoti yang maha dahsyat ftu. Hi-tiok terpaksa menangkisnya, segera ia gunakan satu jurus "Thian-san-ciat-bwe-jiu" sehingga tenaga pukulan Cumoti dipatahkan.

Cumoti terkesiap karena merasa tenaga pukulan Hi-tiok itu dengan jitu dapat memunahkan serangannya dan jelas adalah Siau bu-siang-kang pula, tapi segera ia berkata dengan tertawa.

"Siausuhu, apakah kepandaianmu ini adalah kepandaian golongan Budha? Kedatanganku ini ingin belajar kenal dengan ilmu sakti Siau-lim-pai, kenapa kamu malah menggunakan kepandaian darl golongan tak karuan? Memangnya Siau-lim-pai yang terkenal hebat di negari Song ini cuma bernama kosong belaka dan tidak mampu melawan ilmu negeri lain yang dekil?"

Cumoti meimang sangat cerdìk, sekalì gebrak dan merasa dirinya sukar menandingi Hi-tiok, maka segera ia mengunakan ucapan itu untut mendesak agar Hi tiok hanya menggunakan ilmu silat Siau-lim-pai saja.

Sudah tentu Hí-tíolc tidak kenal kelicikan orang, jawabnya, "Bakat Siau-ceng terlalu bodoh ilmu silat dari golongan sendiri hanya paham sejurus Lo-han-kun dan Wi to-ciang yang merüpakan dasar pelajaran ilmu silat golongan kami, dengan sendirinya aku tidak sanggup melawan Tai-su."

Cumoti tertawa, katanya, "Jika demikian, jadi kaupun tahu sendiri bukan tandinganku, maka boleh kamu mundur saja."

Hi-tiok mengiakan dan memberi hormat, lalu mengundurkan diri ke tempatnya semula.

Sebaliknya Hian-cu Hongtiang cukup cerdik meski dia tidak tahu dari mana Hi-tiok memperoleh kepandaiannya, tapi dilihat dari beberapa jurus yang dimainkan Hi-tiok tadi terang gerakannya sangat aneh dan bagus. Iwekangnya sangat kuat dan mampu untuk menandingi Cumoti. Dalam keadaan menentukan ini boleh juga Hi-tiok disuruh maju walaupun kalah umpamanya, paling tidak tenaga Cumoti akan susut lebih dulu.

Maka katanya segera, "Tai-lun Beng-ong mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat golongan kami, sungguh kami sangat kagum kepada pengetahuanmu yang maha luas itu. Nah, Hi-tiok kamuadalah murid angkatan kelima golongan kita sekarang, mestinya kamu tidak sesuai untuk bergebrak dengan jagoan nomor satu dari negeri Taufan sebagai Beng-Ong, tapi jauh-jauh Beng-ong sudah datang ke sini kesempatan bagus ini sukar dicari, maka bolehlah kau minta petunjuk beberapa jurus kepada Beng-ong dengan kepandaian Ho-han-kun

dan Wi-to-ciangmu itu."

Karena diperintah sang Hongtiang, dengan sendirinya Hi-tiok tidak berani membantah, segerà ia mengiakan dan melangkah maju pula, katanya sambil memberi hormat, "Silakan Beng-ong memberi petunjuk!"'

la pikir pihak lawan adalah tokoh ternama, tentu takkan menyerang lebih dahulu, maka segera ia membuka serangan lebih, dulu dalam gaya "Leng-san-pai-hud" (menyembah Budha di gunung suci), yaitu suatu serangan pembukaan darl Wi-to-ciang yang sudah dipelajarinya dengan masak.

Mestinya gerakan "Leng-san-pai-hud" itu Cuma suatu gaya pemberian hormat sebagai tanda merendah diri, tak terpikir bahwa sekarang Hi-tiok sudah penuh dengan lwekang "pak-beng-cin-gi" yang diperolehnya dari Bu gai-cu, ditambah lagi ajaran-ajaran Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui, bahkan tidak sedikit manfaat yang diperolehnya dari ukiran di dindirg keluar batu bawah tanah Leng ciu-kiong. maka sekali dia bergaya memberi hormat dangan kedua tangannya terangkat, seketika jubahnya lantai mclembung hawa murninya bekerja untuk melindungi seluruh tubuhnya.

Karena Hi tiok sudah mulai, terpaksa,Cumoti melayani, segera sebelah telapak tangannya menghantam ke depan sehingga mengeluarkan suara rnendesir dari angin pukulannya itulah ilmu sakti pukulan Pan-yak-ciang.

Wi-to-ciang yang dimainkan Hi-tiok adalah ilmu pukulan dasar, bagi setiap murid Siau-lim-pai yang muiai belajar silat sebaliknya Pan yak-ciang hoat adalah ilmu pukulan yang maha sakti, untuk melatihnya diperlukan waktu puluhan tahun maka selama sejarah Siau-lim-si boleh dikata tidak pernah terjadi Wi-to-ciang digunakan melawan Pan-yak-ciang."

Tapi sekarang Hi-tiok sedikit pun tidak gentar begiltu pukulan lawan tiba cepat ia mengegos dan balas menyerang pula, sekali ini kedua telapak tangannya menyodok ke depan dalam gerakan yang bernama "Sanbun hou-hoat" (membela agama di depan gunung), gerak-serangannya tetap biasa saja tapi membawa tenaga yang maha dahsyat.

Cumoti putar ke samping, dengan jari yang tersembunyi di balik lengan baju segera ia menutuk ke depan. Cepat Hi–tiok menghindarkan tenaga tutukan hebat yang tak kelihatan itu. Namun Cimoti sudah menduga ke mana Hi-tìok pasti akan menghindar, maka menyusul ia lantas menghantam dengan pululan Kim-kong-kun, "bluk", pundak Hi-tiok dengan tepat kena digenjot sehingga orangnya terhuyung huyung kebelakang.

Maka tertawalah Cumoti, katanya, "Siausuhu mau mengaku kalah atau belum?"

Ia menduga dengan pukulan dahsyat itu tentu dapat menghancurkan tulang pundak lawan.

Tak terduga bahwa Hi-tiok memiliki "Pak-bong-cin-gi" yang tidak gentar terhadap pukulan apa pun, bahkan setiap kali kena hantaman, setiap kali hawa murninya tambah Kuat malah.

Begitulah maka dengan cepat Hi-tíok lantas menerjang maju pula, kedua telapak tangannya menggaplúk dari kiri ke kanan, serangan ini bernama "Hong-sui-kui hal" (air bah mengalir ke Laut) tenaga dalam yang dibawa pukulannya itu sedahsyat air bah melanda.

Karuan Cumoti terkejut sudah terang lawan kena hantam tapi tidak cedera bahkan dapat balas menyerang dengan pukulan yang lebih dahsyat. Lekas ia pun manangkis sekuatnya, menyusul kedua kaki juga menendang secara berantai, plak-plok, dalam sekejap saja ia menendang tujuh kali dan seluruhnya mengenai dada Hi-tiok.

Tendangan ini pun termasuk salah satu kepandaian Siau-lim-pai yang disebut "Ju-eng-sui-beng" (seperti bayangan mengikut bendanya), yaitu menggambarkan betapa cepatnya tendangan itu secara susul-menyusul. Sampai tendangan ketujuh Hi-tiok mencelat beberapa meter jauhnya. Bahkan Cumoti tidak memberi kesempatan lagi kepada Hi-tiok, jarinya menutuk dua kali pula dari jauh sehingga mengeluarkan suara mencicit, itulah "To-lo-ci-hoat” yang lihai.

Tapi Hi-tiok sempat pasang kuda-kuda dan menyambut dengan pukulan "Hek-hou-thau-sim" (harimau kumbang mencuri hati), salah satu pukulan Lo-han-kun.

Serangan Hi-tiok ini sebenarnya terlalu dangkal, sebab setiap orang Siau-lim-si boleh dikata pasti paham gerak serangan itu, tapi sekararg dikerahkan oleh Hi-tiok dengan tenaga Siau-bu-siang-kang, maka tenaga tutukan Cumoti yang hebat itu kena dipatahkan di tengah jalan.

Rupanya Cumoti sengaja hendak pamer kepandaiannya, habis To-lo-ci-hoat segera berganti membelah dengan telapak tangannya dalam ilmu, "Jian-bok-to-hoat" (ilmu golok membakar kayu).

Ilmu golok yang dimainkan dengan telapak tangan kosong ini cepat luar biasa, sekaligds ia dapat membelah dan membacok 9 x 9 = 81 kali di sekeliling sebatang kayu, kayu itu tidak terbelah menjadi dua tapi dari hawa panas yang keluar dari "golok tangan" Itu dapat membuat kayu Itu terbakar. Mendiang guru Siau Hong, yaitu Hian-kho Taisu sangat mahir ilmu gulok Ini, tapl sejak dia wafat, di Siau-lim-si tiada seorang pun, yang mahir lagi.

Cumoti mulai memotong sekali, "bluk”, dengan tepat lengan kanan Hi-tiok kena ditabas.

"Cepat amat!" Seru Hi-tiok sambil balas menghantam, dan baru kepalan sempat di tengah jalan kembali lengannya kena dibacok lagi.

Walau pun Cumoti menggunakan telapak tangan sebagai golok, tapi tenagànya dikerahkan pada tepi telapak tangan, kerasnya tidak kalah daripada golok baja dan cukup kuat untuk mengutungkan lengan. Tapi beruntun Hi tiok kena ditebas dua kali dan tetap tidak beralangan apa-apa sebaliknya telapak tangan Cumoti malah terasa kesakitan.

Sunggu kejut Cumoti tak terkatakan, sekilas terpikir olehnya jangan-jangan hwesio keroco ini memakai baju pusaka dan sebagainya, kalau tidak biarpun dia memiliki ilmu kebal sebangsa Kim-ciong-loh dan Tiat-poh-san juga tak tahan oleh serangan barusan yang hebat itu.

Terpikir demikian, segera ia ganti serangan, sekarang yang diarah selalu bagian muka Hi-tiok ia mencakar dan menutuk, beruntun ia keluarkan beberapa macam ilmu sakti Siau-lim-pai untuk menyerang mata dan tenggorokan Hi-tiok.

Karena serangan kilat ini Hi-tiok menjadi kelabakan dan terdesak mundur, tapi ia masih tetap balas memukul sekali demi sekali seluruhnya adalah tipu "Hok-hou thau-sim" anehnya selalu Cumati terdesak mundur kelakah kebelakang, dan oleh karena satu langkah itulah maka macam-macam serangan Cumoti itu menjadi susah mencapai sasarannya, sekalipun menyenggol saja tidak bisa.

Dengan gemas kembali Cumoti mangeluarkan belasan macam kepandaian Siau-lim-pai yang berbeda-beda untuk menyerang Hi-tiok. Para padri Siau-lim-si sampai terkesima menyaksikan itu, diam-diam mereka mengakui ucapan Cumoti yang mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-pai dan ternyata tidak omong kosong belaka.

Sebaliknya Hi-tiok tetap melayani dengan Loh-han-kun saja, jika kececer, segera ia menghantam dengan "Hekhou-thau-Sim", bila terdesak, kembali menyambut dengan pukulan "Hek-hon-thán sim", jadi itu-itu saja gerak tipu yang digunakan Hl-tiok. lain tidak.

Keruan kelakuannya menjadi lucu, semua orang menganggapnya kelewat bodoh, biar guru silat pasaran pun akan mentertawainya.

Jadi yang satu maha lihai dan yang lain kelewat bodoh, namun yang lihai toh tak dapat merobohkan yang bodoh, sebab di dalam gerakan "Hek-hou-thau-sim" yang dímainkan Hi-tiok itu justru membawa tenaga dalam yang makin dahsyat, jarak kedua orang juga makin lama makin jauh.

Sekarang Cumoti dapat merasakan bahwa tenaga dalam yang dikeluarkan Hi-tiok Itu ternyata juga. mengandung Siau-bu-siang-kang, bahkan terasa lebih kuat daripada dirinya, cuma saja cara menggunakannya tidak tepat dan kurang pandai. Tapi kalau pertarungan diteruskan, susah juga untuk memperoleh kemenangan.

Maka ketika dilihatnya Hi-tlok menghantam lagi dalam "Hong-hou-thai-sim", yaitu pukulan yang disodok mengarah hulu hati lawan, segera Cumoti mencengkeram ke depan, kedua tangannya memegang berbareng sehingga kepalan Hi tiok tertangkap, segera kedua tangannya menekuk jari jempol dan jari kecil Hi-tiok dan ditelingkung ke atas.

Kim-na-jiu-boat atau ilmu memegang dan menangkap ini sangat hebat sekali, Hi-tiok tidak dapat menggunakan gerakan "Hok-hou-thau-sim" untuk menghadapi Cumoti lagi. Tapi karena jarinya tertekuk, saking kesakitan dengan sendirinya ia keluarkan "Thian-san-ciat-bwe-jiu" ajaran Thian san Tong lo, tangan kanan Hi-tiok yang terpegang itu mendadak memuntir dan membalik ke atas, dengan cepat dan tepat sekall ia balas mencengkeram pergelangan kiri Cumoti.

Sungguh sama sekali tak terduga oleh Cumoti bahwa tangan yang sudah terpegang itu mendadak bisa mengeluarkan semacam kekuatan yang aneh dan memberosot lepas dari cengkeramannya, bahkan berbalik tangan sendiri yang terpegang malah.

Biarpun pengetahuan ilmu silat Cumoti sangat luas, tapi Thian-san-ciat-bwe-jiu ini adalah ciptaan Tong-lo sendiri sehingga dia tidak kenal asal-usul kungfu Hi-tiok itu.

Dalam kejutnya segera Cumoti merasa pergelangan tangan kirinya seakan-akan terjepit oleh anggam besi dan sukar terlepas. Untung dalam keadaan gugup Hi-tiok cuma berharap menyenyelamatkan diri dan tidak sempat menyerang pula maka ia cuma pegang tangan Cumoti dengan kencang agar lawan itu tidak dapat menelingkung dirinya sebaliknya lupa memencet urat nadi pergelangan tangan Cumoti.

Karena sedikit kesalahan itu, segera Cumoti mengerahkan tenaga dalam sehingga tangan Hi-tiok tergetar seakan-akan retak. Dalam keadaan kaku agak hi-tiok kuatir kalau cekalannya dilepaskan tentu Cumoti akan menyerang pula dengan cara-cara yang lebih lihai maka sekuatnya ia kerahkan beng-cin-gi pula.

Berturut-turut Cumoti meronta tiga kali dan tetap tak terlepas, keruan ia sangat takut, cepat ia gunakan telapak tangan kanan untuk membacok leher Hi-tiok. Dalarn gugupnya ia tidak sempat menggunakan ilmu silat Siaulim-pai lagi tapi bacokan tangan ini menggunakan kepandaiannya yang berasal dari Turfan.

Sekarang mereka bertempur dari jarak dekat, maka ketika merasa terancam segera tangan kiri Hi-tiok menggunakan Thian san-liok-yang-jiu untuk mematahkan serangan Cumoti.

Sekali serangan gagal, dengan sendirinya Cumoti melontarkan serangan lain pula, tapi Liok yang-jiu juga beruntun-runtun dimainkan Hi-tiok sehinggà setiap serangan Cumoti dapat dipatahkan.

Sudah tentu para penonton banyak yang terheran-heran, mereka bertarung dari jarak dekat boleh dikatakan saling bergumul, tangan kiri Cumoti kelihatan dicengkeram kencang olah Hi-tiok, sedang tangan kanan Cumoti berulang-ulang menghantam, tapi selalu tidak dapat mencapai sasarannya. Bahkan lama kelamaan mereka merasa terdesak oleh angin pukulan Cumoti yang membadai, makin larna makin kuat sehingga menyesakkan napas.

Walaupun setiap bacokan telapak tangan Camoti itu sangat dahsyat dan tajam melebihi senjata, tapi Thian-sanliok-yang jiu yang dimainkan Hi-tiok sekarang sudah sangat hebat, terutama sesudah dia menyelami pelajaran yang terukir di dinding kamar batu di bawah tanah Leng-cin-kiong itu. Cuma sayang selama ini dia belum pernah menggunakannya untuk bergebrak dangan orang, sekarang baru mulai dicoba sudah harus menghadapi jago kelas sátu seperti Cumoti dan mesti bergumul dari jarak dekat, menyadari seluruh kepandaiannya itu paling-paling cuma dua-tiga bagian saja yang dapat dimainkannya. Apalagi tenaga serangan Cumoti makin lama makin lihai sehingga yang dipikir oleh Hi-tiok asal dapat selamat saja, maka permainannya juga cuma mengutamakan menjaga diri saja.

Sebenarnya bukan maksud Hi-tiok hendak menangkap Cimoti, soalnya la merasa ilmu silat lawan lebih pandai berpuluh kali lipat daripada dirinya, serangan sebelah tangan saja sedahsyat itu apalagi kalau menyerang dengan kedua tangan, bukan mustahil jiwanya akan melayang seketika.

Lantaran itulah secara mati-matian Hi-tiok terus pegang pergelangan tangan Cumoti agar sebelah tangan itu tak bisa digunakan untuk menyerang.

Walaupun bodoh sekali pikiran Hi-tiok itu, tapi dalam saat berbahaya ternyata berguna juga. memang benar serangan hebat dari Cumoti menjadi kencang karena hanya sebelah tangan saja yang digerakkan. Sebaliknya bagi Hi-tiok yang belum masak betul dalam menggunakan kepandaian permainan sebelah tangan menjadi lebih leluasa daripadà permainan dua tangan, dengan demikian, kedua orang terus bergebrak sampai ratusan jurus dan keadaan masih tetap sama kuat.

Bagi padri agung seperti Hian-cu, Sin kong Hian to, Liong beng, Cilo Singh dan lain-lain. mereka dapat melihat Cumoti tidak dapat melepaskan tangan kirinya yang terpegang Hi-tiok, sedangkan tangan kiri Hi-tiok sama sekali tidak dapat melawan serangan tangan kanan Cumoti, jadi kedua orang itu sama sama unggul di lengan sebelah kanan dan asor di tangan sebelah kiri. Pertarungan demikian ini, biarpun para paderi itu sudah kenyang asam garam juga belum pernah menyaksikan selama hidup ini.

Menyaksíkan pertempuran itu, hampir seluruh padri Siau-lim-si merasa heran dan kuatir pula. Mereka tidak tahu selama Hi-tiok menghilang setengah tahun entah dari mana dapat mempelajari ilmu silat sehebat itu. Mereka melihat serangan Cumoti itu sangat lihai, asal Hi Tiok kena dihantam sekali pasti tamatlah riwayatnya.

Sebaliknya dalam keadaan tangan lawan terpegang Hi-tiok jika salah seorang padri Siau-liam-si itu berani maju membantu maka dengan sekali tonjok saja cukup membikin jiwa Cumoti melayang.

Tapi sudah tentu mereka tidak mau bertindak demikian sehingga dapat meruntuhkan nama baik sendiri. Maka para padri itu hanya kebat-kebit merasa kuatir mengikuti pertarungan kedua orang itu.

Sesudah ratusan jurus lagi, rasa takut Hi-tiok pelahan mulai hilang, maka permainan Thian-san-liong yang jitu dapat dilontarkan dengan lebih lancar, cara melontarkan tenaga serangannya dapat diketahuinya pula, maka lambat laun dalam sepuluh gebrakan ia dapat balas menyerang satu-dua kali dan tidak lama kemudian dapat balas menyerang sampai tiga-empat kali.

Melihat keadaan Hi-tiok tambah baik dan terhindar dari kemungkinan bahaya, diam-diam para padri Siau-limsi ikut bergirang.

Dalam pada itu sejak munculnya Cumoti, timbul pertentangan batin Sin-kong Siangjin, ia berharap Cumoti menjatuhkan nama baik Siau-lim-pai, tapi tidak suka pula kalau padri asing itu malang melintang di Tionggoan.

Ketika dilihatnya Cumoti bergebrak dengan Hi-tiok sampai sekian lama dan masih belum terpisahkan, diamdiam ia berharap kedua orang ituakan babak-bonyok dan akhirnya gugur bersama, dengan demikian ia sendiri akan dapat mengeduk keuntungan biarpun nanti susah memperoleh kepandaian Siau-lim-paì yang lain dari Polo Singh, namun dari pan-yak-ciang, Mo-ko-ci-hoat dan Kim-leng-kun yang telah dihapalkannya tadì dapatlah dibawa pulang ke Jing-liang-si untuk dipelajari lebih mendalam dan dikombinasikan dengan demikian bukan mustahil kelak dirinya akan menjadi cakal bakal gabungan ketiga macam kungfu sakti itu.

Sebaliknya Polo Singh juga mempunyai pikiran sendiri. Selama ini dia sembunyi di Ceng-keng-kok dan telah banyak membaca kitab pusaka Siau-lim-pai, ia merasa ilmu silat tinggalan padri agung Siau-lim-si yang dulu memang sangat luas dan hebat, makin dipelajari makin sukar dijajali sehingga lambat-laun Polo Singh sendiri tenggelam dalam keasyikannya.

Sekarang sang Suheng hendak memapaknya pulang, ia merasa apa yang sudah dibaca dan teringat baik itu masih bukan apa-apa kalau dibandingkan kepandaian yang dìpertunjukkan Cumoti dan Hi-tiok sekarang. Pulang ke kampung halaman memang menyenangkan, tapi berat juga rasanya jika kesempatan mempelajari ilmu silat secara lebih mendalam susah diketemukan lagi di kemudian hari.

Hendaklah maklum bahwa Polo Singh ini seorang padri Thian-tiok yang, berbakat dan gila ilmu silat. Seperti juga dalam bidang lain, misalnya seni main catur, main piano, melukis dan sebagainya, semakin dipelajari semakin terasa tak habis-habis dan tiada batas-batasnya, ilmu yang dipelajari itu, asal tahu di dunia ini ada

pihak lain yang lebih pandai, maka sedapat mungkin ingin belajar kenal dan mengukur kepandaian lawan itu.

Maksud tujuan Polo Singh semula adalah ingin mencuri kitab pusaka Siau-lim-si untuk dibawa pulang ke Thian-tiòk, tak terduga olehnya bahwa ilmu silat Siau-lim-si itu ternyata sedemikian luasnya, semakin dipelajari semakin terasa tidak habis-habis, maka sekarang ia pun merasa saying dan berat untuk meninggalkan biara agung itu.

Dalam pada itu keadaan Hi-tiok sekarang sudah tambah baik, dari dua kali serangan Cumoti ia sudah mampu balas menyerang satu kali, walaupun masih lebih banyak diserang daripada menyerang tapi tenaga dalamnya, makin lama makin, kuat sehingga tiap-tiap kali Cumoti merasa makin sulit untuk menangkis.

Suatu ketika, mendadak Hi-tiok ganti tipu serangan. ia tidak menggunakan Thian-san-liok-yang-jiu, tapi tibatiba sejurus pukulan ajaran Li-Jiu-sui dahulu dilontarkannya, yang diincar adalah bagian selangkangan.

Sekali berhasil membikin lawannya terdesak, segera semangat Hi-tiok terbangkit, menyusul ia keluarkan sejurus ajaran Thian-san Tong-lo ketika bertanding melawan Li Jiu-sui, mendadak telapak tangannya menyambar ke atas kepala Cumoti dengan gaya hendak menjambak. Walaupun kepala Cumoti gundul kelimis, tapi jika kena digaruk bukan tidak mungkin kepalanya akan pecah.

Ternyata serangan yang dilontarkan Hi-tiok itu adalah ciptaan Li Jin-sui dan Thian-san Tong-lo, tipu serangannya keji dan lihai pula, yaitu seperti lazimnya kaum wanita berkelahi dan main. jambak, cakar dan mencengkram bagian-bagian yang terlarang segala.

Keruan Hian-cu dan padri agung lain sama berkerut kening menyaksikan tipu serangan Hi-tiok yang semakin aneh dan keji itu. Selama sejarah Siau-lim-si belum pernah terdapat kungfu sedemikian aneh dan kejinya.

Dalam pada itu Cumoti sendiri juga sudah merasa keadaan sangat tidak menguntungkan baginya. Berulangulang ia membetot dan meronta, tapi tetap sukar terlepas. Jika dia mengerahkan tenaga maka tenaga pegangan Hi-tiok juga tambah kuat.

Dalam keadaan tak berdaya, timbul seketika napsu jahatnya untuk membunuh Hi-tiok, Berturut-turut ia menyerang pula tiga kali ketika Hi-tiok menangkis, pada suatu kesempatan Cumoti mencabut sebilah belati kecil yung terselip dalam kaos kakinya terus menikam bahu Hi-tiok.

Kepandaian yang dipelajari Hi tiok itu adalah bertangan kosong, ketika mendadak sinar senjata berkelebat, belati musuh tahu-tahu menusuk tiba, ia menjadi bingung cara bagaimana menangkisnya, tanpa pikir segera ia

mendahului sambar tangan orang yang memegang belati itu yang digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat yang cepat lagi jitu dari Thian-san-kiat-hwe-jiu maka tahu-tahu pergelangan tangan Cumoti kena dicengkeramnya.

Tapi pada saat itu juga mendadak Cumoti mengerahkan tenaganya sambil lepas tangan sehingga belati itu meluncur ke depan. Karena kedua tangan Hi-tiok digunakan untuk mencengkeram kedua tangan lawan ia tak bisa mengelak lagi, tanpa ampun belati itu menancap di pundaknya.

Para penonton sama menjerit kaget. Pada saat itulah tiba-tiba diantara orang banyak melompat keluar empat padri, serentak sinar tajam berkelebat, sekaligus ujung empat batang pedang mengancam tenggorokan Cumoti.

Dalam kagetnya Cumoti meronta sekuatnya dan hendak melompat mundur, tapi cekalan Hi-tiok ternyata sangat kuat, sedikitpun tidak bergeming. Cumoti merasa lehernya "nyes" dingin, ujung keempat pedang telah menyentuh kulit dagingnya. Bahkan terdengar keempat padri itu membentak bersama, "Manusia tak kenal malu, lekas serahkan Jiwamu!"

Dari suara mereka yang nyaring merdu itu kedengaran seperti suara kaum wanita muda.

Segera Hi-tiok dapat mengenali mereka adalah Bwe-kiam berempat, cuma mereka memakai kopian padri sehingga ikat rambut mereka tertutup, jubah padri yang mereka pakai juga jubah padri Siau-lim-si. Keruan Hitiok terkejut dan heran, serunya, "Jangan mengganggu jiwanya!"

Bwe-kiam mengiakan, tapi ujung pedang mereka masih tetap mengancam tenggorokan Cumoti.

"Hahahaha!" tiba-tiba Cumoti bergelak tertawa. "Rupanya Siau-lim-si tidak cuma pandai main keroyok bahkan diam diam menyembunyikan wanita di dalam kuilnya. Nama baik selama beratus tahun kiranya cuma begini. Hahaha, baru sekarang aku tahu!"

Hi-tiok sangat gugup dan bingung sehingga cekalan kedua tangan dilepaskan. Segera Kiok-kiam membuang pedangnya dan cepat mencabut belati yang menancap dipundak sang majikan lalu menggunakan saputangannya untuk membalut luka Hi-tiok. Sedangkan ujung pedang Bwe kiam bertiga masih tetap mengancam tenggorokan Cumoti.

"Meng ... mengapa kalian datang kemari?" tanya Hi-tiok dengan gugup.

Sebelum Bwe-kiam berempat menjawab, sekonyong-konyong tangan kanan Cumoti bergerak, dangan ilmu

"Hwe-yam-to" yang sakti tiba-tiba terdengar "trang-tring-treng" tiga kali, ketiga pedang Bwe-kiam bertiga patah seketika. Keruan Bwe-kiam bertiga terkejut cepat mereka melompat mundur, ketika diperiksa, ternyata senjata mereka hanya tertinggal bagian gagangnya saja.

"Nah, Hòngtiang Suheng, apa yang hendak kau katakan lagi?” seru Cumoti kepada Hian-cu Taisu sambil tertawa.

Air muka Hian-cu tampak membesi, sahutnya, "Seluk-beluk kejadian ini aku sendiri tidak paham, tapi pasti akan kuselidiki dan diputus menurut tata tertib biara kami. Sekarang boleh silakan Beng-Ong dan para Suheng mengaso dulu ke pondok tamu yang tersedia."

"Jika demikian terpaksa mengganggu," sahut Cumoti sambil memberi hormat.

Ketika Hian-cu membalas hormat, kedua tangan Cumoti yang terangkup itu menggeser ke samping dan diamdiam mengerahkan tenaga, maka terdengarlah suara "bar-ber" beberapa kali disusul jerit kaget Bwe-kiam berempat, kopiah padri mereka tersampuk jatuh semua sehingga kelihatan rambut mereka yang panjang dan indah, banyak pula rambut putus yang ikut bertebaran jatuh ke lantai bersama kopiah.

Tenaga Hwe-yam-to yang digunakan Cumoti tidak cuma menyampuk jatuh kopiah keempat ñona itu, bahkan memapas sebagian rambut mereka yang lemas, maka dapat dibayangkan betapa hebat iwekang Cumoti yang telah mencapai tingkatan paling sempurna itu.

Dengan demontrasi kepandaiannya bukan saja Cumoti hendak pamer kekuatan yang cuma memotong rambut dan tidak melukai orangnya sebagai tanda kemurahan batinya, berbareng ia sengaja menelanjangi penyamaran keempat nona itu agar pihak Siau-lim-si tidak bisa menyangkal terhadap bukti-bukti nyata itu.

Keruan air muka Hian-cu tampak masam, katanya kemudian, "Para Suheng, silakan!"

Serentak Sin-kong, Cilo Singh dan lain-lain lantas berbangkit dan diantar oleh padri penyambut tamu ke ruang istirahat. Mereka menduga Hian-cu sebentar lagi pasti akan mengambil tindakan tegas mengingat pelanggaran Hi-tiok yang luar biasa itu, jangankan di dalam Siau-lim-si terdapat beberapa gadis yang menyeru sebagai padri biarpun wanita biasa saja tidak boleh sembarangan masuk ke dalam kuil suci itu.

Dan baru saja para tamu itu keluar segera berkatalàh Bwe-kíam, "Cujin, hamba sekalian diam-diam telah menyusul ke sini untuk melayani Cujin harap engkau jangan marah kepada kami."

Lam-kiam juga berkata, "Itu hwesio yang bernama Yam-kin benar-benar terlalu kurang ajar, dia baru tahu rasa sesudah kami beri hajaran setimpal padanya sehingga tidak berani lagi menganiaya Cujin, tak terduga hwesio besar tadi telah melukai Cujin pula."

Baru sekarang Hi-tiok paham duduknya perkara,Rupanya tempo hari Yan-kin telah dihajar oleh Bwe-kiam berempat sehingga babak belur dan diancam pula, pantas Yan-kin lantas ketakutan dan sikapnya berubah baik padanya. "Jika demikian, teranglah Bwe-kiam berempat sudah cukup lama menyamar dan menyelundup ke dalam Siau-lim-si, wah, urusan bisa runyam," demikian pikir Hi-tiok.

Cepat Hi-tiok berlutut dan menyembah patung Budha di ruang pendopo itu dan berdoa. "Dosa Tecu teramat besar sehingga mendatangkan malapetaka yang tak terperikan kepada biara kita mohon Hongtiang memberi hukuman seberat-beratnya."

"Cujin," tiba-liba Kiok-kiam berseru, "buat apa engkau menjadi hwesio segala, lebih baik marilah kita pulang saja ke Biau-biau-hong daripada makan nasi dan minum air tawar di sini, bahkan mesti diperintah lagi oleh orang?"

Segera Tiok-kiam juga berkata sambil menuding Hian-cu, "He, kamu hwesio tua ini, kalau bicara hendaknya sopan sedikit, tahu! Jangan terlalu garang kepada Cujin kami. Awas, kami berempat ini takkan sungkansungkan ambil tindakan padamu."

"Diam," bentak Hi-tiok dengan gugup. "Kalian sudah mengacau di sini, masih banyak bicara apa lagi? Lekas tutup mulut!"

Tapi keempat nona itu masih terus bicara ini dan itu tak berhenti-henti.

Para padri Siau-lim-ii saling pandang dengan melongo. Mereka melihat keempat nona itu sama rupa dan sama tingkah-lakunya, semuanya cantik dan lincah, tak tahu apa artinya diam, mereka tidak tahu dari mana datangnya keempat nona nakal demikian.

Seperti telah diceritakan, Bwe-kiam berempat adalah kembar empat, asalnya adalah putri keluarga miskin di kaki gunung Tai-soat-san, orang tua mereka memang sudah punya beberapa orang anak, ketika mereka dilahirkan pula sekaligus, sudah tentu orang tua mereka tidak sanggup piara mereka dan terpaksa , dibuang di tempat sunyi.

Kebetulan Thian-san Tong-lo lewat di situ dan mendengar suara tangisan orok, ketika mengetahui ada bayi kembar empal yang dibuang orang tuanya, nenek itu sangat tertarik dan segera di bawa pulang ke Lcng-ciu-

kiong. Di sanalah Bwe-kiam berempat dibesarkan dan diajarkan ilmu silat.

Walaupun Bwe-kiam berempat separti dayangnya Tong-lo, tapi sesungguhnya mirip nenek dengan cucu-cucu dan mereka sangat disayang oleh Tong-lo. Selamanya mereka pun tidak pernah turun gunung, dengan sendirinya mereka tidak kenal dunia ramai dengan seluk-beluknya, selamanya mereka cuma tunduk kepada Tong-lo seorang, sesudah Hi-tiok menggantikan sebagai majikan, mereka juga meladeninya dengan penuh setia, bahkan karena sifat Hi-tiok yang ramah-tamah kepada mereka sehingga mereka tidak begitu takut seperti terhadap Tong-lo ....

Begitulah maka Hian-cu kemudian berkata, "Kecuali para Suheng dan Sute angkatan Hian dan Hui-lun yang boleh tinggal di sini, yang lain-lain silahkan kembali ke ruangan masing-masing?"

Para padri mengiakan dan berturut-turut keluar dari ruang pendopo itu. Hanya sekejap saja ruang itu tinggal kurang lebih 30 padri tua serta Hui-lun, guru Hi-tiok, ditambah Hi-tiok dan keempat dayangnya.

Segera Hui-lun juga melangkah maju dan berlutut di hadapan Hian-cu, katanya, "Tacu tidak becus mengajar muríd sehingga mengeluarkan murid murtad seperti ini, mohon Hungtiang. Menjatuhkan hukuman setimpal."

"Hihihihi!” tiba-tiba Tiok-kiam mengikik geli. "Hanya sedikit kepandaian seperti kamu ini juga berani menjadi guru Cujin kami! Apakah semalam kamu belum kapok jatuh terguling beberapa kali. dijegal oleh Toaci kami?"

"Wah, celaka!" demikian diam-diam Hi-tiok mengeluh. "Jadi guruku juga telah dipermainkan oleh mereka."

Dalam pada itu terdengar Bwe-kiam berkata dengan tertawa. "Kudengar dari Yan-kin, katanya kamu ini guru Cujin kami, maka aku sengaja hendak menguji dirimu, coba kalau Sam-moai barusan tidak bilang padamu, sampai mati pun kamu tidak tahu mengapa bisa jatuh terguling beberapa kali. Hihihi, sungguh lucu!"

"Hian-ciam, Hian-gui, Hian-liam dan Hian-ceng Sute, harap kalian menghentikan tingkah laku keempat nona ini," tiba-tiba Hian-cu berkata.

Keempat padri tua yang disebut itu mengiakan dengan hormat. lalu mereka berpaling kepada Bwe-kiam berempat dan berkata, "Atas perintah Hongtiang pada kalian, harap jangan sembarangan bicara dan bertingkah lagi!"

"Kami justru mau bicara dan bertingkah, mau apa?” sahut Bwe-kiam.

"Jika begitu, terpaksa maafkan kami!” kata keempat padri tua itu berbareng dan sekali jubah mereka mengebas dengan teraling-aling kain jubah mereka terus mencengkeram pergelangan tangan Bwe-kiam berempat. Keempat padri lua itu menggunakan Kim-na jiu-hoat yang berbeda, tapi semuanya adalah kepandaian Siau limpai yang sangat lihai.

Di antara keempat nona itu hanya Kiok-kiam saja yang masih bersenjata pedang, senjata ketiga dari lain sudah dipatahkan oleh Cumoti tadi. Maka dengan cepat Kiok-kiam putar pedangnya untuk melindungi ketiga saudaranya itu dan Bwe-kiam bertiga juga menggunakan pedang patah mereka untuk menyerang lawan.

Keruan Hi-tiok kelabakan, cepat ia berkata, "Jangan! Lemparkan pedang kalian dan jangan bergerak!"

Karena dibentak oleh sang majikan Bwe-kiam berempat tertegun, sehingga gerangan mereka berhenti di tengah jalan. Memangnya kepandaian, mereka bukan tandingan keempat padri tua Siau-lim-si, maka dengan mudah sekali mereka kena ditangkap.

Sekuatnya Bwe-kiam membetot tangannya yang terpegang tapi tak bisa lepas. Dia mengomel, "Kami tunduk kepada perintah Cujin, makanya sungkan pada kalian, kenapa kalian main pegang-pegang segala? Aduh, sakiiitt! Jangan pegang terlalu keras!"

Lam-kiam juga mendamprat, "Keledai gundul kecil, lekas lepaskan tanganku!"

"Kau mau lepas tidak? Kalau tidak, segera akan kumaki binimu, hoi!" demikian Tiok-kiam juga berteriakteriak.

Dasar anak dara yang masih hijau, masakah padri tua bangka dimaki sebagai "keledai gundul kecil" dan hwesio dianggap punya bini seperti orang biasa.

Bahkan Kiok-kiam berseru, "Biar aku meludahi dia!"

"Cuh", mendadak ia menyemburkan ludahnya ke arah Hian-ceng.

Namun sedikit menunduk dapatlah Hian-Ceng menghindarkan air ludah itu, berbareng ia keraskan cekatannya sehingga Kiok-kiam menjerit kesakitan.

Begitulah, Tai-hiong-po-tian yang merupakan ruang pendopo suci dan angker itu dalam sekejap itu ramai dengan jerit seru anak-anak dara.

Akhirnya Hian-Cu mengancam, "Keempat nona harap tenang dan jangan ribut, kalau tidak menurut hendaknya para Sute tutuk hiat-to bisu mereka!"

Supaya tidak ditutuk, sebab hal itu berarti hilangnya kebebasan mereka, terpaksa Bwe-kiam berempat tidak berani ribut lagi, sambil moncongkan mulut mereka melorok kepada Hian-cu. Hian-ceng berempat juga lantas lepaskan cekalan mereka dan berdiri di samping untuk mengawasi keempat dara itu.

Lalu Hian-cu berkata, "Hi tiok, coba sekarang ceritakan pengalamanmu selama ini, tidak boleh mengurangi sedikit pun apa yang terjadi."

"Tecu akan memberi lapor dengan sejujurnya," sahut Hi-tiok sambil menyembah.

Lalu berceritalah dia semua kejadian yang dialaminya, dimulai dia ditugaskan mengirim surat dan ditawan Yap Ji-nio, lalu ketemu dengan Hian-lan dan lain-lain dan secara kebetulan dapat memecahkan problem catur sehingga menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai, tentang dia digoda A Ci sehingga melanggar pantangan makan barang berjiwa akhirnya tentang pertamuannya dengan Thian-san Tong-lo dan kejadian dalam gudang es, di sana dia bertemu pula dengan Li Jiu-sui dan akhirnya dia menjadi majikan Leng ciu kiong. Bahkan tentang pelanggarannya main-main dengan dewi impiannya juga diceritakan tanpa mengurangi sedikit pun walau cara menguraikannya agak maiu-malu dan tergagap-gagap tak lancar.

Para padri terheran-heran sekali atas pengalaman Hi-tiok yang aneh itu, kalau melihat apa yang terjadi tadi mereka percaya cerita Hi-tiok itu pasti tidak bohoñg, sebab kalau Hi-tiok tidak menyerap ilmu sakti Bu gai-cu, Tong-lo dan Li Jiu-sui bertiga, pula telah mempelajari banyak ilmu sakti di dinding kamar batu di Leng-ciukiong pasti tidak mungkin dia mampu menandingi Tai-lun Beng-ong. yang maha lihai itu.

Begitulah sehabis melapor, berulang Hi-tiok menjura dan minta ampun atas segala dosanya sambil menangis.

Setelah termenung sejenak kemudian Hian-cu berkata, "Para Suheng dan Sute pengalaman Hi-tiok ini memang benar luar biasa. Urusan ini menyangkut nama suci biara kita, aku sendiri merasa sulit untuk, mengambil keputusan, maka diharap para Suheng dan Sute suka memberi pandangan superlunya."

Watak Hian-ceng paling keras, segera ia manggembor, "Lapor Hongtiang, menurut pendapatku, Walaupun kesalahan Hi-tiok teramat besar, tapi jasanya juga tidak kecil. Coba kalau tadì dia tidak mengalahkan padri asing itu, tentu pamor biara kita akan runtuh habis-habisan. Maka aku mengusulkan boleh perintahkan Hi-tiok masuk ke Tat-mo-ih untuk memperdalam ilmu silatnya dan agar menginsafi dosa-dosanya, untuk selanjutnya dilarang keluar biara dan tidak boleh ikut campur urusan biara."

Hendaknya dikelahui bahwa mempelajari ilmu silat di Tat-mo-ih adalah tugas kehormatan, bagi padri Siau-limsi, kalau ilmu silatnya belum mencapai tingkatan tertinggi tidak mungkin dapat di terima. Di antara padri angkatan Hian sebanyak lebih 30 orang itu cuma 7 atau 8 orang saja yang pernah masuk Tat-mo-ih, bahkan Hian-song sendiri belum pernah. Sekarang dia mengusulkan Hi-tiok dikirim ke Tat-mo-ih, ini bukan lagi hukuman melainkan boleh dikatakan scbagai anugerah malah.

Tapi kepala Kai-lut-ih. Hian-cit Taisu, lantas berkata, "Dengan kepandaiannya memang cukup syarat untuk masuk Tat-mo-ih, tapi ilmu silat yang dia pelajari adalah dari golongan luar, apakah Tat-mo-ih kita boleh dimasuki oleh jago silat seperti dia, hal ini apakah sudah dipikirkan oleh Hian-song Sute?"

Mendengar itu, para padri sama menunduk dan berpìkir, mereka merasa usul Hian-seng itu memang kurang pantas.

"Habis bagaimana kalau menurut pendapat Suheng?" Tanya Hian-seng kepada Hian-cit.

"Tentang ini, aku pun serba susah," sahut Hiau cit. "Hi-tiok berjasa dan berdosa pula. Ada jasa harus diberi ganjaran, ada dosa harus dihukum. Keempat nòna ini telah menyelundup ke dalam biara kita, hal ini bukan atas perintah Hi-tiok, maka kita dapat katakan terus terang duduknya perkara kepada Cumoti, Sin kong dan lainlain. Apakah nanti mereka mau percaya atau tidak boleh terserah, pokoknya dalam hati kita dapat bertanggung jawab kepada diri kita sendiri dan tak perlu pusing kepada sangkaan jelek orang lain. Tapi Saal Hi-tiok mengingkari perguruan sendiri dan belajar lagi kepada golongan lain, di Siau-lim-si kita sudah tiada tempat lagi baginya."

Maksud ucapan Hiaa-cit itu terang hendak memecat Hi-tiok dari Siau-lim-si. Hukuman ini merupakan hukuman paling berat dalam agama mereka, Keruan para padri saling pandang dengan kuatir.

Dalam pada itu Hian-cit berkata pula, "Berulang dia melanggar pantangan agama, mestinya ilmu silatnya harus dipunahkan, kemudian baru diusir pergi. Tapi ilmu silat yang pernah dimilikinya sudah dipunahkan orang lain lebih dulu, kepandaian yang dimilikinya sekarang bukan lagi ilmu silat golongan kita, maka kita tidak berhak buat memunahkannya."

Mendengar kepala Kai-lut-ih itu memutuskan mengusir dia dengan menangis Hi-tiok menyembah dan minta

ampun agar hukuman itu diringankan asal jangan mengusirnya keluar Siau-lim-si.

Seketika para paderi hanya saling pandang saja dengan bingung dan rasa tidak tega. Mestinya kalau melihat kesungguhan Hi-tiok, bukan mustahil dia akan dapat memperbaiki segala perbuatannya yang salah itu. Tapi sekarang soalnya menyangkut nama baik Siau-lim-si, dalam urusan ini telah menyangkut Cumoti, Cilo Singh dan padri agung dari Jing-lim-si dan lain-lain. Kalau Hi-tiok dihukum kurang keras, tentu Siau-lim-si, akan dituduh membela muridnya sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang padri tua dengan dipayang dua orang muridnya. Kiranya Hian-to yang tadi dilukai Cumoti dan pulang ke kamarnya untuk mengaso dia tetap menguatirkan keadaan di luar, maka sekarang keluar lagi.

"Hongtiang," demikian Hian-to lantas berkata, "jiwaku ini berkat pertolongan Hi-tiok, sekarang aku ingin bicara sedikit, entah boleh tidak?"

Hian-to masih terhitung Suhengnya Hian-cu, ilmu silatnya sangat tinggi pula, maka biasanya Hian-cu sangat senang padanya, cepat ia menjawab, "Suheng. silakan duduk, bicaralah pelahan supaya tidak, mengganggu lukamu."

"Bahwasanya Hi-tiok telah menyelamatkan jiwaku belum terhitung apa-apa," demikian kata Hian-to. "Sekarang kita masih ada enam persoalan yang belum bisa diselesaikan, kalau Hi-tiok dibiarkan tinggal di sini akan besar faedahnya bagi kita. Jika dia, diusir pergi kita pasti ... pasti akan sulitlah."

"Keenam soal yang dimaksudkan Suheng kalau tidak salah adalah, pertama Cumoti belum bisa digebuk pergi. Kedua mungkin mengenai peristiwa Polo Singh, Ketiga adalah soal tantangan Pangcu Kai-pang yaug mengaku bernama Ong sing-thian itu. Adapun tiga persoalan lain diharap Suheng suka memberi penjelasan?" demikian Tanya Hian-cit.

Hian-to menghela napas panjang, lalu berkata, "Ialah mengenai tewasnya Hian-pi, Hian-kho, Hian-thong dan Hian-lan Sute."

Serentak para padri sama mengucap "Omitohud" demi mendengar nama-nama keempat padri yang sudah meninggal itu.

Seperti dikelahui, Hian-kho Taisu tewas di tangan Kiau Hong Hian-lan dan Hian-thong terbunuh oleh Ting Jun-jiu, sedangkan siapa pembunuh Hian-pi sampai sekarang masih merupakan teka-teki, semua orang hanya tahu Hian-pi terkena hantaman "Kim-kong-cu", senjata gada yang merupakan senjata andalan Hian-pi sendiri

dan termäsuk satu di antara ke-72 macam ilmu silat Siau- lim-si.

Semula orang menyangka Hian-pi dibunuh oleh keluarga Buyung yang terkenal suka menggunakan kepandaian khas orangnya untuk diserang atas korban itu. Namun kemudian ketika bertemu dengan Buyung Hok tampak sangat gagah ksatria dan bukan golongan pengecut yang habis bunuh orang tidak mau mengaku. Ditambah lagi setelah menyaksikan Cumoti juga mahir Pan-yak-ciang dan lain-lain ilmu silat Siau-lim-pai hal ini membuktikan bahwa Buyung Hok bukan satu-satunya tersangka yang dapat menggunakan senjata '"Kimkong-cu."

Maka berkatalah Hian-cu, "Aku sendiri adalah Hongtiang, tapi sama sekali tak dapat menyelesaikan keenam persoalan itu, sungguh sangat memalukan. Akan tetapi kepandaian Hi-tiok sekarang seluruhnya jelas berasal dari Siau-yau-pai, masakah ... masakah Siau-lim-si harus ...."

Sampai di sini Hian-cu sukar meneruskan lagi. Namun para padri dapat memahami maksudnya.

Semua orang terdiam sejenak, akhirnya Hian to berkala pula, "Habis bagaimana kalau menurut pikiran Hongtiang?"

"Omitohud!" sabda Hian-cu. "Kita telah menerima warisan leluhur, hari ini kita menghadap alangan besar maka menurut pendapatku, kita harus bertindak menurut garis lurus sebagaimana mestinya. Lebih baik gugur sebagai satria daripada hidup menanggung malu. Asalkan kita berjuang sepenuh tenaga, mungkin nama baik Siau-lim-si masih dapat kita pertahankan, jika terpaksa, biarlah kita membelanya dengan mati-matian.”

Hian-cu berkata dengan tegas dan kerang sehingga para padri serentak menyatakan setuju.

Segera Hian-cu berkata pula kepada Hian-cit, "Sute, silakan melaksanakan hukum biara kita."

Hian-cit mengiakan dan segera memberi perintah kepada padri penyambut tamu, "Undanglah Tai-lun Beng-ong dan para padri agung!"

Diam-diam Hian-to dan Hian-seng merasa menyesal, meski mereka ada maksud untuk membela Hi-tiok, tapi Hongtiang lebih mengutamakan nama baik keseluruhan Siau-lim-pai mereka sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk.

Hi-tiok sendiri tidak tahu keputusan itu tak bisa ditarik kembali lagi, biarpun memohon lagi juga percuma.

Pikirnya, "Setiap orang Siau-lim-si sudah seharusnya mengutamakan nama baik golongannya. Aku sendiri harus terima akibat dari perbuatanku sendiri dan sekali-kali tidak boleh unjuk rasa takut dan minta belas kasihan didepan orang luar sehingga merosotkan pamor Siau-lim-si."

Begitulah tídak lama kemudian Cumoti, Cilo Singh, Sin-kong dan lain-lain telah diundang hadir di ruang pendopo. Menyusul suara genta bertalu-talu pula padri Siau-lim-si juga sama berkumpul. Lalu mulailah Hiancu membuka, suara, "Tai-lun Beng-ong dan para Suheng. sesudah diusut, diketahui murid Sian-lim-si angkatan Hi yang bernama Hi-tiok telah melanggar pantangan makan minum arak, membunuh dan berzinah serta telah berani belajar ilmu silat dan menjabat pula Ciangbunjin golongan lain. Untuk semua dosanya ini kepala Kal lut-ih dari Siau-lim-si, Hian cit Sute akan segera menjatuhkan hukuman yang setimpal sedikit pun tidak boleh memberi kelonggaran."

Mendengar keputusan Hian-cu ini, Cumoti, Sin kóng dan laín-laín agak melengak juga. Ketika melihat Bwekiam berempat semula mereka menyangka Hi-tiok telah menyembunyikan perempuan muda, pantangan yang di langgarnya paling-paling cuma berzinah saja, siapa tahu dosa Hi-tiok yang diumumkan Hian-cu sekarang ternyata lebih dari itu.

To-jin dari Bo-to-si menjadi hwesio ketika usianya sudah setengah umur, maka ia cukup tahu seluk-beluk orang hidup, ditambah perangainya juga welas-asih dan suka membantu, orang dalam kesulitan, maka ia lantas berkata, "Hongtiang Suheng. keempat nona ini kelihatan masih suci bersih terang masih perawan, bagi setiap orang yang berpengalaman dengan gampang akan dapat mengetahuinya. Bahwa tingkah-laku Hi-tiok tadi agak melampaui batas memang betul tapi kalau dituduh pelanggaran 'berzìnah' untuk ini kukira agak berlebihlebihan.”

"Banyak terima kasih atas petunjuk Suheng.” kata Hian-ci. "Tapi pelanggaran Hì-tiok ini bukan dimaksudkan atas diri keempat nona ini. Hi tiok sekarang telah menjadi Cujin dari Leng-ciu-kiong dan keempat nona ini adalah dayangnya, maksudnya menyelundup ke biara kami hanya bertujuan menjaga keselamatan majikan mereka, sebelumnya Hi-tiok sendiri juga tidak tahu. Memang Siau-lim-si harus merasa malu telah dapat diselundupi orang luar, tapi jelas ini bukan kesalahan Hi-tiok."

"Jika demikian, orang luar tidak enak untuk ikut campur lagi," ujar To-jing.

Sebenarnya semua yang hadir tiada yang kenal "Leng-ciu-kiong" segala karena selama ini Thian-tan Tong-lo jarang berkunjung ke Tionggoan dan bergaul dengan orang persilatan. Hanya Cumoti saja yang pernah mendengar nama Tong-lo, tapi juga tidak tahu dengan jelas.

Semula Cumoti, Sin-kong, Cilo Singh dan lain-lain bermaksud jelek terhadap Siau-lim-si, tapi sekarang Hiancu bertindak tegas tanpa pandang bulu terhadap anak muridnya sendiri, di depan orang banyak diumumkan pula dosa Hi-tiok yang mestinya tidak diketahui orang luar, hal ini membuat mereka mau-tak-mau harus kagum terhadap kebijaksanaan ketua Siau-lim-si itu.

Kemudian Hian-cit lantas melangkah maju, dengan suara lantang ia tanya, "Hi tiok, dosamu yang disebut Hongtiang tadi apa kamu akui semuanya dan apakah kamu ingin membela diri?"

"Tecu mengakui semua dosa itu dan rela menerima setiap hukuman," sahut Hi-tiok.

Seketika semua orang mencurahkan perhatian kepada Hian-cit untuk mendengarkan sangsi hokum yang hendak dijatuhkannya.

Maka berserulah Hian-cit, "Hi-tiok melanggar empat pantangan besar, maka harus dihukum rangket seratus kali di depan umum. Hi-tiok, kau terima tidak?"

"Tecu terima dengan baik, banyak terima kasih atas kemurahan hati Thai-supek," sahut Hi-tiok.

"Tanpa izin Hongtiang dan gurumu sendiri kamu mempelajari ilmu silat golongan lain, maka, ilmu silat yang kauperoleh dari Siau-lim si akan dipunahkan dan kamu dihukum pecat, untuk selanjutnya kamu bukan murid Siau-lim-pai lagi kau terima tidak?" tanya Hian-cit pula.

Hi-tiok menjadi sedih, tapi ia pun tahu keputusan ini tidak mungkin dihindarkan lagi, terpaksa ia jawab, "Keputusan Thai-supek memang maha adil, Tecu terima dengan rela."

Tadi para padri dari golongan lain telah menyaksikan Hi-tiok melabrak Cumoti dengan ilmu silat Siau-lim pai seperti Wi to ciang dan Lo-han-kun, tapi mereka tidak tahu bahwa kepandaian Hi tiok yang sebenarnya pada hakikatnya bukan kungfu Siau-lim-pai. Sebaliknya Cumoti yang mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat Siaulim-pai sesungguhnya cuma lahirnya atau gayanya saja yang dipahami. Iwekang Siau-lim-pai yang asli boleh dikatakan tidak dipahami olehnya, Siau-bu-siang-kang yang digunakan Hi-tiok tadi sudah tentu juga dipahami Cumoti, tapi dia tidak kenal Pah-teng-cin-gi, Thian-san-Hok-yang jiu dan Ciat-bwe-jín segala, maka ia sangka kepandaian Hi-tiok itu adalah ilmu silat Siau-lim-pai yang lihai.

Sekarang didengarnya ilmu silat Hi-tiok akan dipunahkan, tentu saja ia sangat girang di dalam hati. Sebaliknya To-jing, Kat-hian dan lain-lain merasa sangat sayang bagi Hi-tiok.

Maka terdengar Hian-cit berkata pula, "Karena kamu telah menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai dan Cujin Lengciu-kiong, maka kamu dilarang menjadi murid Budha lagi, selanjutnya kamu bukan lagi padri Siau-lim-sí."

Hi-tiok sudah yatim piatu, sejak bayi dibesarkan di Siau-lim-si, sekarang dia diharuskan berpisah dengan tempat bernaungnya selama ini, betapa pun dia merasa sedih juga maka menangislah dia dan dengan terguguk ia menyatakan terima kasih kepada para padri agung Siau-lim-si yang telah mendidiknya selama ini.

Akhìrnya Hian-cit berkata pula, "Sekarang hendaklah Hui-lun mendengarkan keputusan!"

Segera Huí lun melangkah maju dan berlutut.

"Hui-lun", seru Hian-cit, "sebagai guru Hi-tiok kamu salah mendidik dan kurang memberi petunjuk sehingga mengakibatkan pelanggaran yang dilakukan Hi-tiok ini. Sekarang kamu dlhukum rangket 30 kali dan harus bersujud di dalam Kai lut-ih selama tiga tahun, kauterima tidak."

"Tecu terima dengan rela," sahut Hui-lun dengan gemetar.

Tiba-tiba Hi-tiok berseru, "Thai-supek, Tecu bersedia mewakilkan suhu menerima hukuman 30 kali rangketan itu!"

"Jika demikian maka Hi tiok akan dirangket 130 kali," kata Hian-cit. "Ciang-heng Tecu (murid pelaksana hukum), siapkan pentungan sekarang, Hi-tiok masih anggota Siau-lim-si, maka hukuman ini harus dilaksanakan tanpa ampun. Nanti sesudah dia keluar dari keanggotaan biara kita, dan dia akan menjadi Ciangbunjin, golongan biara kíta harus menaruh hotmat juga padanya."

Keempat murid pelaksana hukum segera akan jalankan perintah itu, tidak lama kemudian mereka telah menyiapkan empat batang pentungan.

Selagi Hian-cik hendak memberi aba-aba agar hukuman itu dilakukan, tiba-tiba seorang padri penjaga berlari masuk sambil mempersembahkan setumpuk kartu nama kepada Hian-cu, katanya, "Lapor Hongtiang para ksatria Ho-siok (daerah utara sungai kuning) mohon bertemu!"

Ketika Hian Cu periksa kartu-kartu nama itu jumlah seluruhnya ada lebih 30 helai dan sebagian besar adalah ksatria ternama dari daerah utara diantaranya banyak pula ksatria yang pernah hadir dalam Eng-hiong-tai-hwe di Cip-hian-ceng dahulu.

Diam-diam Hian-cu heran ada urusan apakah sekaligus datang ksatria dan tokoh sebanyak itu?

Dalam pada itu di luar biara terdengar suara orang ramai, para-ksatria sudah tidak sabar menunggu lagi, "Hianseng Sute harap keluar menyambut mereka!" kata Hian-cu. Lalu sambungannya pula, "Hadirin sekalian karena banyak tamu berkunjung kemari, urusan pembersihan rumah tangga biara kami ini terpaksa ditunda untuk sementara agar tidak mengganggu kedatangan pera tamu."

Kemudian ia pun berangkat memapak keluar pendopo. Tidak lama, tertampaklah Hian-seng dan padri penyambut tamu datang mengiringi para ksatria Ho-siok.

Hian-cu, Hian-cit, Hian-seng dan lain-lain adalah padri yang saleh, mereka juga tokoh persilatan terkemuka sehingga terhadap sesama tokoh persilatan mereka sangat kagum satu sama lain. Sekarang biarpun sedang menghadapi urusan dalam yang menekan perasaan, tapi demi nampak datangnya para kenalan itu, seketika semangat mereka terbangkit juga. Bahkan diantara pendatang itu ada beberapa orang merupakan sobat baik Hian-seng dan padri agung lain, maka sesudah bersalaman dengan mesra, lalu mereka disilakan masuk pendopo dan dlperkenalkan kepada Cumoti dan lain-lain.

Sin-kong, Liong-beng dan lain-lain juga bukan kaum keroco, maka banyak juga kawan mereka diantara para ksatria Ho siok itu.

Dan baru saja Hian-cu hendak tanya maksud kedatangan para ksatria Ho-siok itu, tiba-tiba para penyambut tamu datang lagi melapor bahwa beberapa puluh tokoh Bu-lim dari daerah Sontang dan Sonsai juga berkunjung tiba. Maka Hiat-ciam lantas disuruh keluar menyambut lagi.

"Katni diundang Ong-pancu dari Kai-pang untuk menyaksikan keramaian apakah beliau sendiri belum datang?" demikian tiba-tiba seorang laki-liki hitam kekar berteriak.

"Buat apa ributi" demikian seorang lagi yang bersuara tajam melengking menanggapi "Kita sudah datang, kalau ada ramai-ramai masakah kami kekurangan tontonan?"

Segera Hian-cu membuka suara, "Para kawan telah sudi berkunjung kemari secara serentak, sungguh Siau-limsi merasa mendapat kehormatan besar. Apabila pelayanan kurang baik. harap suka memberi maaf."

"Ah, Hongtiang tidak perlu sungkan," sahut hadirin beramai.

Dalam pada itu beberapa tokoh yang menjadi sobat baik padri Siau-lim-si lantas menuturkan maksud kunjungan mereka ini. Kiranya Pang-cu Kai-pang yang mengaku bernama Ong Sing-thian itu sudah

menyebarkan kartu undangan kepada pera ksatria, katanya Siau-lim-pai dan Kai-pang biasanya sama-sama menjagoi dunia persilatan Tionggoan, tapi Ong Sing-thian yang baru menjabat sebagai Pangcu itu ingin menentukan seorang Bu-lim Beng-cu (pemimpin dunia persilatan) dan mengadakan peraturan tertentu agar ditaati oleh setiap orang persilatan. Untuk itu telah ditetapkan tanggal 15 bulan enam Ong Sing-thian akan datang sendiri ke Siau-lim-si untuk bicara dengan Hian-cu.

Dari kartu undangan yang dipertunjukan itu dapat dibaca kalimat-kalimat yang bernada congkak, seakan-akan Bu-lim Beng-cu itu nanti sudah pasti akan diduduki oleh orang yang bernama Ong Sing-thian itu.

Maksud dan tujuan Ong Sing-thian pun cukup jelas, yaitu hendak menggunakan kepandaiannya untuk mengalahkan para padri Siau-lim-si dan menundukkan Siau-lim-pai yang telah terkenal selama beratus tahun itu.

Begitulah maka tidak lama kemudian telah datang pula ksatria dari berbagai penjuru, baik dari utara maupun selatan telah berkumpul semua, padahal jarak kediaman para ksatria itu terpisah sangat jauh, namun dalam sehari saja mereka sudah berkumpul, hal ini menandakan persiapan kai-pang yang rapi dan terang sudah mengaturnya sekian lama.

Hian-cu dan para padri Siau-lim-si tidak memberi komentar apa-apa, tapi dalam hati mereka sangat gusar dan kuatir pula.

Tindakan Kai-pang ini boleh dikatakan sangat kurangajar. sebab baru beberapa hari yang lalu mereka menerima surat Ong Sing-thian yang menyatakan hendak berkunjung ke Siau-lim-si untuk membicarakan soal Bu-lim Beng-Cu dan menyatakan pula akan tiba dalam waktu singkat, di dalam surat itu sama sama sekali tidak disebut-sebut tentang diundanganya para satria dari berbagai penjuru itu. Siapa duga sekarang para ksatria itu telah berkumpul hingga Siau-lim-si kerepotan menghadapi persoalan itu.

Sebenarnya Siau-lim-sl. juga banyak mempunyai sobat andai di kalangan kongouw, tapi sebelum ini sama sekali tidak diperoleh kabar apa-apa, jadi sebelum bertanding Siau-lim-si sudah kebesaran asòr lebih dulu.

Dalam watak Hian seng memang kasar, dengan mendongkolnya segera ia menegur sobat baiknya yang bernama Cukat Tiong, bergelar Hopak-sin-tan (si pelor sakti dari Hopak), serunya, "Bagus sekali Cujin-loji, kamu mendapat berita peristiwa ini, tapi diam-diam saja dan tidak mau mengirim kabar padaku. Ya, anggaplah persahabatan kita kita selama 30 tahun ini telah putus sampai di sini saja."

Dengan muka merah padam Cukat Tiong memberi penjelasan, "Aku ... aku juga baru mendapat kartu undangan ini pada tiga hari yang lalu tanpa banyak pikir siang-malam aku lantas memburu kemari, di tengah jalan aku sampai ganti dua ekor kuda karena kuatir terlambat dan tak sempat memberi sedikit bantuan kepadamu tua bangka ini, tapi mengapa engkau malah menyalahkan aku?"

"Jadi kamu bermaksud baik juga, ya?" jengek Hian-seng.

"Mengapa bukan maksud baik?" sahut Cukat Tiong beruring-uring. "Sekalipun ilmu silat Siau-lim-si kalian maha tinggi, bila saudara tua ikut datang memberi semangat, apakah ini bermaksud jelek?"

Karena penjelasan itu barulah Hian-seng merasa lega. Ketika ksatria lain ditanya, ternyata ada yang terima kartu undangan lebih dulu bagi yang kediamannya jauh, yang tempat tinggalnya dekat Siau-lim-si baru terima kartu undangan beberapa hari yang lalu tapi semuanya segera berangkat dengan terburu-buru sehingga dapat tiba tepat pada waktunya.

Jadi bukan para sobat-andai itu tidak mau memberi kabar kepada Siau-lim-si sebelumnya, rupanya hal itu sudah diperhitungkan oleh pihak Kai-pang sedemikian rupa sehingga mereka menaksir datangnya para ksatria itu akan berbareng sekaligus dalam satu hari saja.

Mengingat kerapian persiapan Kai-pang ini Hian-cu dan kawan-kawannya menjadi kuatir jangan-jangan pihak Kai-pang masih banyak tindakan menyusul yang lebih lihai, diam-diam mereka sangat prihatin dan waspada.

Hari ini adalah tanggal 15 bulan enam sebagaimana di tetapkan oleh Ong Sing-thian, hawa panas terik.

Memangnya padri Siau lim-si lagi sibuk menghadapi Sin-kong Siangjin, Cilo Singh dan lain-lain kemudian menempur Cumoti dan memeriksa perkara Hi-tiok.

Sekarang mendadak membanjir lagi para ksatria dari segenap penjuru itu, keruan mereka tambah repot melayaninya.

Untung padri penyambut tamu Siau-lìm-si sudah berpengalaman, ruang biara juga luas, perbekalan pun cukup sehingga di bawah pimpinan Hian ceng yang merupakan kepala bagian penyambut tamu itu dapat berjalan dengan teratur baik.

Tengah Hian-cu sibuk menghadapi kenalan-kenalan di antara hadirin itu, tiba-tiba terdengar pula laporan padri penjaga, '"Pangeran Toan, Tin-lam-ong negeri Tayli tiba!"

Hian-cu menjadi girang dan cepat menyambut ke luar sendiri.

Seperti telah diceritakan, berhubung dengan tewasnya Hian-pi Taisu, maka padri Siau lim-si menyangka keluarga Buyung dari Koh-soh yang membunuhnya dan telah menyebarkan undangan kepada para ksatria di segenap penjuru untuk merundingkan citra menghadapi Koh-soh Buyung itu.

Menerima undangan itu, raja Tayli segera mengirim saudaranya sendiri, yaitu Toan Cing sun bersama Hoan Hwa, Po Thian-sik, Tang Su-kui dan lain-lain untuk membantu Siau-lim-si.

Tak terdüga sebelumnya Siau Hong telah mengamuk di Cip-hian-ceng sehingga sebelum Eng-hiong-tai-hwe dibuka para ksatria itu sudah diobrik-abrik dan kacau balau.

Karena itu para ksatria menganggap Kiau Hong adalah musuh bersama dunia persilatan Tionggoan sehingga permusuhan mereka terhadap "Lam Buyung" teralihkan dan "Pak Kian Hong" yang dijadikan sasaran.

Karena kerajaan Song dan Cidan adalah musuh bebuyutan, maka ketika Kiau Hong diketahui adalah keturunan bangsa Cidan. keruan rasa permüsuhan ksatria Tionggoan kepadanya semakin menjadi-jadi.

Walaupün negeri Tayli jauh terletak di selatan dan keluarga Toan sebenarnya adalah bangsa Han, tapi mereka sudah lama mendirikan negara dan tidak ingin bermusuhan dengan kerajaan Liau (negara bangsa Cidan), sebab itu juga tidak mau ikut bertengkar dengan Kiau Hong.

Kemudian ketika Toan Cing-sun terancam oleh Toan Yan-khing, untung dia ditolong oleh Kiau Hong, dengan demikian ia menjadi utang budi malah, kepada Kian Hong.

Sesudah urusan di Tionggoan selesai, mestinya Toan Cing-sun hendak terus pulang ke Tayli, tapi di tengah jalan ia mendapat berita dari negeri Tayli bahwa putra mahkota, Toan Ki, telah diculik oleh Cumoti dan dibawa lari ka Tionggoan.

Keruan ia kaget dan kuatir, segera ia mencari pütranya itu kemana-mana. ditambah lagi dia berada pula dengan kekasihnya yang lama, yaitu Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok, dasar sifat Toan Cing-sun memang romantis dan bangor.

Sekali kecantol urüsan perempuan, lupa daratanlah día sehingga selama beberapa bulan ini dia masih berada di Tionggoan.

Paling akhir ini dia mendengar Pangcu Kaì-pang yang baru bernama Ong Sìng thían hendak terebut pimpinan dengan Siau-lim-pai sebagai Bu-lim Beng-cu, ia pikir di tempat ramai-ramai itu mungkin dapat diperoleh sedikit kabatnya sang putra. Maka buru-buru ia dating ke Siau-lim-si.

Selama itu Wi Sing tiok terus mendampingi Toan Cing-sun, pertama día merasa berat berpisah dengan kekasihnya, kedua ingin mencari putrinya si A Ci. Tapi kaum wanita dilarang masuk ke Siau-lim-si, maka ia sengaja menyamar sebagai lelaki dan ikut dalam rombongan Toan Cing-sun itu."

Begitulah sesudah Hian-cu menyilakan Toan Ceng-sun dan rombongannya masuk ke ruang pondopo. Lalu diperkenalkan kepada para ksatria. Orang pertama yang diperkenalkan padanya adalah Tai-lun Beng ong Cumoti dari Turfan.

Mendengar nama padri itu, seketika air muka Toan Cing-sun berubah, la memberi salam dan segera menegur, "Rupanya putraku yang bodoh itu mendapat perhatian Beng ong dan kabarnya telah dibawa ke timur sini, sepanjang jalan tentu telah banyak mendapat petunjuk berharga dariJ Taisu dan mendapat kemajuan, sungguh aku merasa sangat berterima kasih."

"Ah, mana, mana!" sahut Cumoti dengan merendah, Tapi ia lantas geleng kepala pula dan berkata, "Dan sayang, sungguh sayang!"

Seketika hati Cing-sun berdebut keras ia sangka mungkin telah terjadi apa-apa atas diri Toan Ki, maka cepat ia tanya, "Apa maksud ucapan Beng-ong ini?"

"Tempo hari Sianceng telah beruntung dapat bertemu dengan Koh-eng Taisu, Thian-in Hongtiang dan kakakbagindamu, mereka semuanya ramah-tamah, sangat kereng dan tenang benar-benar kaum ini yang susah dicari. Nama Tin-lam-ong sendiri terkenal di seluruh jagat, mengapa dalam urusan anggota keluarga mesti mengunjuk rata kuatir sedemikian?"

Memang dalam gugup dan kuatirnya nada suara Toan Cing-sun tadi kedengaran agak gemetàr. Maka Cing-Sun cepat menenangkan diri, ia pikir kalau benar sang putra mengalami sesuatu juga ada gunanya dikuatirkan lagi sebaliknya malah akan ditertawai oleh padri asing ini.

Maka katanya kemudian, "Kasih sayang kepada putra-putri sendiri adalah sifat dasar setiap orang di dunia ini, kalau manusia tidak melahirkan putra-putri, tentu manusia akan lenyap dari dunia ini. Kami adalah orang biasa, sudah tentu tak dapat dibandingkan padri saleh sebagai Beng-ong yang welas-asih dan menganggap segala apa di dunia ini cuma kosong belaka."

Cumoti tersenyum, sahutnya, "Ketika mula-mula aku bertamu dengan putramu kulihat bentuk kepalanya menonjol kelak pasti akan menjayakan keluarga Toan dan menjadi Tuan yang diagungkan di negari Tayli."

"Terima kasih," kata Cing-sun, Tapi diam-diam ia menggerutu, "Keledai gundul ini sungguh sangat licin, bícaranya melantur-lantür saja dan membikin hatiku semakin kuatir.”

Tiba-tiba Cumoti menghela napas dan berkata, "Ai, sungguh sayang, putra keluarga Toan ini, ternyata tidak punya rejeki yang báik."

Dan ketika melihat air muka Toan Cing-sun berubah lagi, lalu dengan tersenyum ia melanjutkan, "Dia ikut datang ke Tionggoan sini dan bertemu dengan seorang nona cantik sejak-sejak itu ia melengket dan selalu berada di samping si Jelita dan hilanglah segala cita-citanya yang muluk-muluk dan semangat jantannya, ia selalu mengintil di belakang si cántik, ke mana si cantik pergi, di sana pula dia mengekor. Siapa saja yang melihat tentu akan mengatakan dia adalah seorang pemuda bangor, dan tidak memper sebagai seorang pangeran terhormat."

Sampai di sini tiba-tiba terdengar suara orang tertawa geli, suara tertawa kaum wanita. Waktu semua orang memandang ke arah suara tertawa itu, ternyata seorang laki-laki setengah umur bermuka jelek.

Kiranya orang yang tertawa ini adalah Wi Sing-tiok,dia adalah ibu A Cu, dan seperti juga A Cu, rupanya sudah pembawaannya bahwa dia diberkahi dengan kepandaian menyamar yang amat mahir. Sekarang dia menyaru sebagal lelaki, baik wajahnya maupun tingkah-lakunya memang persis sebagai kaum lelaki. Cuma suaranya agak lembut dan kalah daripada suara A Cu yang pandai menirukan lagak-lagu kaum lelaki itu.

Ketika melihat perhatian semua orang, tercurahkan padanya, cepat ia bikin kasar suaranya dan berkata, "Pangeran cilik negeri Tayli itu rupanya memang turunan ayah harimau tidak nanti melahirkan anak anjing! Hahaha! Sungguh hebat!"

Bahwasannya Toan Cing-sun adalah seorang pangeran "Don juan" memang sudah terkenal dikalangan kangouw, maka demi mendengar Wi Sing-tiok mengatakan kelakuan Toan Ki itu adalah turunan, para ksatria itu saling-pandang dengan tertawa geli.

Cing-sun sendiri lantas terbahaik juga, katanya kepada Cumoti, "Anak tak becus itu .... "

"Bukan tidak becus, justru dia sangat becus, malahan pandai sekali!" potong Cumoti.

Cing-sun tahu orang sengaja menyindir dia pandai memikat wanita, ia tidak ambil pusing dan melanjutkan, "Entah sekarang berada di mana dia? jika Beng-ong tahu kiranya, sudilah kiranya memberi tahu?"

"Dasar Toan-kongcu memang seorang romantis, setiap hari senantiasa tenggelam dalam lamunan asmara," ujar Cumoti. "Maka waktu aku bertemu dengan dia paling akhir ini dia tampak kurus kering dan pucat-pasi, apakah sekarang masih hidup atau sudah mati aku sendiri sukar mengatakannya dengan pasti."

Tiba-tiba Cing-sun teringat kejadian di Tayli dahulu, Toan Ki telah mencintai seorang gadis kampungan, Bok Wan-jing, celakanya secara sangat kebetulan itu justru adalah putrinya sendiri, jadi tunggal ayah lain Ibu dengan Toan Ki, kejadian itu membuat pemuda itu sangat terguncang hatinya, kalau sekarang dia masih terus tergila-gila kepada adik perempuan sendiri itu, maka urusan benar-benar akan celaka 13.

Selagi Cing-sun merasa kuatir, tiba-tiba seorang padri muda tampil ke muka dan memberi hormat padanya sambil menyapa, "Harap Ongya jangan kuatir, Toan-Samteku itu sama sekali tidak kurus-kering, tubuhnya sehat walafíat dan segar-bugar.”

Cepat Cíng-sun membalas hormat dengan heran, Kalau melihat dandanannya, padri itu terang adalah hwesio keroco Sian-lim-si, kenapa dia menyebut anak Ki sebagai "Samte" (adik ketiga)"

Maka ia coba tanya, "Apakah belum lama ini Siausuhu pernah melihat putraku itu?"

Hwesio muda itu bukan lain adalah Hi-tiok. Baru saja dia hendak menceritakan pertemuannya dengan Toan Ki di Leng-ciu-kiong, mendadak suara Toan Ki bergema di luar pendopo sana "Ayah, anak berada di sini, apakah engkau baik-baik saja?"

Dan baru lenyap suaranya, tahu-tahu sebuah bayangan orang sudah menyelinap masuk dengan kecepat luar biasa terus menubruk ke dalam pelukan Toan Cing-sun. síapa lagi dia kalau bukan Toan Ki.

Lwekang Toan Ki sekarang sudah amat tinggi, telinganya menjadi sangat tajam pula, maka sebelum masuk ke dalam biara lantas di dengarnya sang ayah sedang bercakap dengan Cumoti dan taisu-taisu siau lim si, maka dengan tidak sabar lagi terus saja ia masuk menggunakan "leng-po-wi-poh" untuk menyelinap masuk ke dalam pendopo itu.

Kemudain ayah dan anak itu saling rangkul dengan perasaan yang gembira yang tak terperihkan. Dilihatnya kondisi sang putra memang kurusan sedikit, tapi penuh dengan semangat dan sekali-kali tidak pucat pasi sebagai mana yang dikatakan Cumoti.

Kemudian Toan Ki berpaling kepada Hi-tiok dan menyapa, "Jiko, kenapa engkau telah menjadi hwesio lagi?"

Hi-tiok telah berlutut setengah harìan di depan patung Budha untuk mengakui dosanya, sekarang demi nampak Toan Ki, seketika teringat ia kepada "dewi impian" itu sehingga mukanya merah jengah dan sikapnya juga kikuk-kikuk, dangan sendirinya ia tidak berani sembarangan mencari tahu dan tanya Toan Ki tentang kekasih yang dirindukannya itu.

Dalam pada Cumoti yakin datangnya Toan ki ke Siau-lim-si pasti tidak sendirian. Ia tahu pemuda itu sangat kesemsem pada Giok-yan, hanya nona itulah yang mempunyai daya tarik sehigga Toan Ki ikut datang ka Siau lim-si. Sebaliknya ia pun tahu Giok-yan hanya mencintai kakak misannya, yaitu Buyung Hok, jika ada satu ada dua, tidak mungkin Giok-yan berpísah dengan Buyung Hok, karena keyakinan itu, segera kerahkan tenaga dalam dan berseru, "Buyung kongcu, jika sudah sampai di Siau-lim-pai kenapa tak lekas masuk biara dan menyembah Budha."

Para ksatria melengak, mereka heran apakah si Buyung-kongcu juga sudah datang? Tapi mengapa tìada sesuatu tanda ke datangannya, sebaliknya padri aslng ini sudah tahu malah? Mereka tidak tahu bahwa Cumoti hanya berdasarkan dugaannya saja atas diri Toan Ki dan Giok-yan, padahal ia sendiri tidak tahu persis datangnya Buyung Hök.

Tak tersangka di luar biara ternyata sunyi-sunyi saja, selang sejenak barulah terdengar suara Cumoti sendiri yang berkumandang kembali dari lembah pegunungan sana. Diam-diam Cumoti terkesiap, ia pikir dugaannya sekali ini ternyata meleset, sebab kalau Buyung Hok benar ikut datang, tentu dia akan menjawab seruannya.

Dan baru saja ia hendak tertawa dan mengucapkan kata-kata untuk menutupi salah duganya itu, tiba-tiba terdengar suara seorang yang dalam melengking sedang berkata, "Buyung-kongcu dan Ting-lokoai sedang bertarung dengan serunya, sesudah Ting-lokoai terbunuh barulah ia dapat bersembahyang ke Siau-lim-si sini."

Mendengar suara itu, seketika air muka Toan Cing-sun dan Toan Ki berubah, mereka kenal itu, suara "Ok koan-boan-ong" Toan Yan-khing, kepala "Su-ok” yang maha jahat itu.

Dahulu mereka ayah dan anak pernah hampir binasa ditangan durjana itu, sekarang kepergok lagi di Siau-lim si, andaikan nanti tidak mati di tangannya juga pasti akan kehilangan muka habis-habisan di depan ksatria yang berkumpul di sini.

Selagi Cing-sun kebat-kebit tak tentram sambil memikirkan cara menghadapi musuh nanti, dalam pada itu Toan Yan-khing yang berjubah panjang dan berkaki tongkat südah melangkah masuk. Di belakangnya tampak mengikut "Bu-ok-put-ok" Yap Ji-nio, "Hiong-sin-ok-sai" Lam-hai-gok-sin dan "Kiong-hiong-kek-ok" in Tiongho, Jadi "Su-ok” sekaligus telah datang semua.

Terhadap tetamunya Hian-cu tidak pandang bulu, biarpun "Su-ok" terkenal maha jahat juga dilayani dengan hormat.

Ketika mendadak melihat Toan Ki juga berada di situ, seketika wajah Lam-hai-gok-sin berubah merah dan segera putar tubuh hendak kabur.

Namun Toan Ki sudah lantas menegurnya dengan tertawa, "Eh, murid baik, apakah sehat-sehat saja selama ini?"

Mendengar panggilan itu, Lam-hai-gok-sin merasa tak bisa lari lagi, dengan marah-marah ia menjawab, "Maknya, Suhu keparat, kiranya kamu belum mampus!"

Keruan para hadirin melengak heran mendengar tanya jawab itu. Pemuda lemah-lembut sebagai Toan Ki memanggil seorang yang bengis jahat sebagai murid, hal ini saja sudah aneh, sekarang sang murid memanggil guru dengan cara sangat kurang ajar, tentu saja hal ini lebih-lebih mengherankan mereka.

Dalam pada itu Yap Ji-nio yang memondong seorang bayi berumur antara satu tahunan juga lantas berkata dengan tertawa, "Ting losian sedang mengunjukkan kesaktiannya sehingga Buyung-kongcu selalu dihajar habis-habisan. Pertarungan hebat itu jarang ada dijagat ini, apakah kalian beramai-ramai tidak ingin pergi melihatnya?"

Mendengar itu, Toan Ki berseru kaget dan segera mendahului menerobos keluar.

Kiranya dugaan Cumoti tadi memang tidak meleset. Sejak Toan Ki meninggallcan Lang-ciu-kiong, segera ia menyusul ke arah Buyung Hok dan Ong Giok-yan dan dapat bertemu dengan mereka beberapa ratus li di timur Biau-biau-Hong. Meski Pau Put-tong merasa jemu kepada pemuda dogol itu, tapi juga tidak berani mengusirnya atau melarang dia dalam rombongan mereka.

Di tangah jalan mereka mendengar kabar tentang Kai-pang hendak berebut Bu-lim Beng-cu dengan Siau-limpai. Karena Buyung Hok bercita-cita hendak bersahabat dengan ksatria seluruh jagat sebagai sebagai modal pergerakannya membangun kerajaan Yan di kemudian hari, maka diam-diam ia berunding dengan Ting Pakjwan dan lain-lain.

Menurut perhitungan mereka, jika Kai-pang dan Siau-lim-pai saling gempur sehingga kedua pihak sama-sama celaka, maka keluarga Buyung yang akan menarik keuntungannya, boleh jadi akan dapat merebut gelar sebagai Bu-lim Beng-cu dan dapat memerintah para ksatria kangouw, dan ini berarti suatu kesempatan bagus yang tidak boleh disia-siakan bagi pergerakannya.

Tak tersangka baru saja mereka sampai di kaki gunung, di situ mereka lantas kepergok Sing-siok lokoai Ting Jun-jiu. rupanya selama beberapa bulan itu Ting lokoai telah membuka pintu lebar-lebar untuk menerima murid, tidak peduii dari golongan dan aliran apa saja asal mau masuk perguruannya dan tunduk pada perintahnya, mereka semuanya diterima tanpa syarat lain. Sebab itulah dalam waktu singkat saja kawanan sampah masyarakat persilatan Tionggoan telah banyak menggabungkan diri dengan Sing-siok-pai.

Buyung Hok sudah pernah bergebrak beberapa kali melawan Ting Jun-jiu dan belum pernah ketahuan siapa lebih unggul dan asor. Sekarang kepergok lagi. ia lihat pihak Lokoai berjumlah sangat besar diam-diam Buyung Hok merasa kuatir. Sebaliknya Hong Po-ok yang tidak pernah kenal apa artinya takut dengan tangkas segera menerjang ditengah-tengah musuh dan bertempur melawan para pengikut Sing-siok-pai itu.

Karena tidak mahir ilmu silat maka Toan Ki hendak mengajak Giok-yan menyingkir saja. Tapi nona itu justru sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan sang Piauko, maka ia tidak lalu menyingkir.

Jumlah pengikut Sing-siok-pai yang amat bányak itu dalam waktu singkat saja sudah melanda rombongan Buyung Hok. Tapi dengan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh" dapatlah Toan Ki lari keluar dari kepungan musuh sehingga bertemu dengan ayahnya. Sekarang ia dengar Yap ji-nio mengatakan Buyung Hok dihajar habishabisan oleh Ting Jun-Jiu dan barulah Toan Ki ingat kembali kepada keselamatan Giok-yan, ia pikir nona itu harus lekas digendong keluar dari kepungan musuh. Begitulah maka secepat terbang ia lari mendahului keluar dari Siàu-lim-si.

Ting Jun-jiu adalah pembunuh Hian-thong dan Hian-lan, dengan sendirinya dia dipandang sebagai musuh besar Siau-lim-pai. Maka saat mendengar iblis tua itu sudah sampai di situ, seketika gegerlah para padri Siau-lim-si.

Segera Hian-teng mendahului berteriak, "Hari ini kita harus tangkap hidup-hidup Ting-lokoai untuk membalas dendam Hian-thong dan Hian lan Suheng!"

"Mereka adalah tamu, kita harus berbuat halus dahulu dan kemudian baru memakai kekerasan," kata Hian-cu.

Para padri serentak menyatakan baik. dan Hian-cu berkata pula kepada para tamu, "Para hadirin, apakah suka ikut pergi menyaksilan pertempuran hebat antara Ting-lokoai melawán orang she Buyung itu?"

Memang para ksatria sudah getol sekali ingin menyaksikan pertarungan itu, demi mendengarkan itu, sebagian kaum muda yang sudah tak sabar lagi segara mendahului berlari ke luar, Menyusul Su-ok, Sin-kong dan lainla¡n serta rombongan Toan Cing-sun juga beramai-ramai ikut dari belakang. Dalam pada itu para padri Siaulim-si juga sudah siapkan senjata dan berbaris keluar.

Sampai di luar biara, padri pengintai yang bertugas disamping gunung tampak berlari kembali untuk memberi lapor, "Ribuan orang Sing-siok-pai telah mengepung rombongan Buyung-kongcu dekat gardu tunggu di tengah gunung dan bertempur dengan sengit."

Han cu mengangguk tanda tahu. Lalu ia medekat jalan-batu dan memandang ke bawah, terlihat di bawah sana manusia berkerumun dengan rapat, tampaknya jumlahnya tidak kurang dari ribuan orang. Sayup-sayup terdengar pula sorak-sorai anggota Sing-siok-paí yang menyanjung puji kepada Ting-lokoai. Sedangkan Tin jun jiu sendiri tampak memimpin di samping sambil mengelus-elus jenggot.

"Para padri Siau-lim-si, pasang Lo-han-tai-tin (Barisan Lo-han)!" demikian terdengar Hian-seng berseru.

Serentak kawanan padri siau-lim-si hyang berjumlah 500 orang lebih itu membentuk barisan Lo-han-tai-tin.

Menyusul tersebarlah padri-padri lain mengelilingi pegunungan Siau-lim-san sana.

Sudah lama para ksatria sangat ingin melihat "Lo-han-tai tin" yang hebat, tapi selama ini belum pernah ada orang menyaksikan barisan 'tersohor' itu. Sekarang mereka lihat para padri Siau-lim-Si itu tersebar dalam kelompok dan rombongan dengan warnajubah yang berbeda-beda, bahkan senjata yang dipakai suatu regu lain pun tidak sama, secepat terbang para padri berlarian di lereng gunung sehingga dalam sekejap saja orang-orang Sing siok-pai sudah terkurung di tengah.

Jumlah orang Sing-siok-pai mestinya jauh lebih banyak daripada pihak Sían-lim-pai, tapi kebanyakan di antara mereka adalah anggota biar belum terlatih. Kalau bertempur perseorangan boleh, tapi sekarang harus berperang secara tak karuan mereka menjadi gugup, seketika puji-puji kepada Sing-slok Losian menjadi hilang.

"Ting-siangsing dari Sing-siok-pai telah berani datang ke Siau-lim-si sini tanpa Siau-lim-pai mengundangnya, maka para ksatria semuanya harap waspada, di samping itu mungkin mereka melihat apa daerahTionggoan terdapat wilayah yang lebih baik dari wilayah barat?" demikian Hian-Cu berseru.

Tapi para ksatria dari Ho-siok, Kanglam dan lain-lain lantas berteriak-teriak mencaci-maki Ting jin-jiu yang dikatakan sebagai hantu, pengganas harus dibasmi oleh setiap orang persilatan. Lantas mereka pun melolos senjata dan hendak bertempur bahu membahu dengan Siau-lim-pai.

Takkala itu Buyung Hok dan kawan-kawan sudah berhasil merobohkan 20-30 orang Sing-siok-pai. Sekarang mereka kedatangan bala bantuan maka lantas berhenti bertempur. Sedangkan orang-orang Sing-siok-pai juga tidak berani menerjang maju lagi.

Kesempatan itu dlgunakan oleh Toan Ki untuk menyelinap ke tengah orang banyak sana dan dapat mendekati Ong-Giok-yan, katanya, "Nona Ong, sebentar biia keadaan genting, biarlah aku menggendongmu lagi untuk lari keluar!"

Muka Giok-yan menjadi merah, sahutnya, "Aku toh tidak terluka, juga tidak ditutuk orang aku ... aku sendiri masih dapat berjalan ... "

Ia melirik sekejap ke arah Buyung Hok, lalu lanjutnya, "Kepandaian Piauko juga jauh lebih dari cukup untuk melindungi aku, maka sebaiknya engkau sendiri lekas lari saja, Toan-kongcu!"

Sudah tentu kecut rasa hati Toan Ki atas jawaban ítu. Pikirnya, "Ya, memangnya kepandaianku mana bisa dibandingkan dengan piaukomu?"

Namun derníkian ia masih merasa berat untuk tinggal pergi begitu saja. Ia mengada-ada untuk mengajak bicara, "No ... nona Ong, apakah kau tahu ayahku juga sudah datang? Beliau berada... berada di sanal"

Sebenarnya sudah cukup lama Giok-yan berkenalan dengan Toan Ki, tapi selama ini pemuda itu tidak pernah menceritakan asal-úsulnya. Giok-yan dipandangnya sebagai dewi kayangan yang suci dan agung sebaliknya ia anggap diri sendiri seorang yang biasa saja, dalam pandangannya dewi kayangan tentu tiada memperdulikan pangeran orang biasa. Jika dia mengatakan asal-usulnyamungkin akan disangka sengaja mengugulkan kebangsawannya.

Sudah tentu Toan Ki juga tahu cinta si nona dewi hanya dicurahkzan kepada Buyung Hok seorang, Tapi asal sì nona sudi tertawa atau sedikit memberi angin padanya, maka senanglah Toan Ki melebihi orang putus lotre 120 juta. Namun demikian bicara tentang pikiran ingin mempersunting si jelita, untuk ini Toan Ki juga cukup tahu diri terpikir pun tidak berani. Ya, tentu juga pernah sekilas keinginan seperti itu, yakni terkadang terurai di dalam mimpi.

Sebaliknyo Giok-yan juga agak terharu dan merasa terima kaalh kepada Toan Ki yang telah beberapa kali menyelamatkan dia tanpa menghiraukan jiwanya sendiri. Namun begitu pada hakekatnya ia pun tidak pernah memperhatikan pemuda itu.

Terkadang kalau mereka bicara tentang ilmu sikat dan ternyata Toan Ki sama sekali tidak becus, maka Giokyan hanya tahu Toan Ki adalah seorang pelajar tolol yang hanya mahir suatu jurus langkah ajaib saja. Sekarang demi mendengar bahwa ayah pemuda itu pun datang, ia menjadi agak heran dan bertanya, "'O, apakah ayahmu datang dari Tayli? Kalian ayah dan anak tentu sudah lama berpisah bukan?”

"Ya," sahut Toan Ki dengan senang. "Nona ong, maukah kuperkenalkan dirimu kepada ayahku? tentu ayah akan sangat suka padamu."

Muka Giok-yan menjadi merah pula, sahutnya sambil geleng kepala, "Tidak, aku tidak mau menemuinya?"

"Mengapa?” tanya Toan Ki agak kecewa. Dan ketika melihat nona itu tidak rnenjawab. Kembali Toan Ki mengada-ada pula, "Eh, nona Ong, aku punya seorang saudara angkat Hi-tiok namanya dia telah menjadi hwesio pula. Dan .... dan ada juga seorang muridku dia juga sudah datang. Woh. sungguh ramai sekali."

Giok-yan tampak terbelalak heran, pikirnya, ia sendiri tidak becus ilmu silat, masákáh punya murid segala? Apa barangkali mengajar dia membaca dan bersanjak?"

Karena merasa geli, tanpa terasa ia tersenyum.

Toan Ki menjadi girang melihat si jelita mau tersenyum, segera ia menambahkan, "Nona Ong, muridku itu bernama Gok-losam, bergelar Lam-hai-gok-sin dan punya alias 'Hiong-sin-ok-sat'. Ilmu silatnya juga tidak lemah!"

"Seorang baik-baik kenapa mesti pakai nama seburuk itu?" ujar Giok-yan dengan tersenyum. Dari potongan Toan Ki yang lemah-lembut itu. ia menduga muridnya tentu juga seorang pelajar muda yang sopan-santun.

Tak terduga Toan Ki lantas menjawab, "Baik apa? Dia justru tidak baik!”

Begitulah, biarpun terkepung di tengah orang Sing-siok-pai, tapi dapat berbicara dan membuat Giok-yan tertawa, sekalipun langit akan ambruk juga tak terpikir lagi oleh Toan Ki.

Dalam pada itu dengan barisan Lo-han-tai-tin para padri Siau-lim-si sudah balas mengepung maju dari segenap penjuru. Ada sekelompok orang Sing-siok-pai hendak menerjang tapi baru saja sedikit bertempur mereka sudah kena dilabrak habis-habisan.

Cepat Tìng-lokoai berseru, "jangan bergerak dulu, tetap pada tempat masing-masing!"

Lalu ia berteriak keras-keras, "Hian-cu Hongtiang, Siau-lim-si kalian suka mengaku sebagai pemimpin persilatan Tionggoan, tapi menurut pandanganku sebenarnya kalian tidak cukup dengan sekali gempur saja!"

Serentak para anggota Sing-siok-pai bersorakan memuji, "Ya, sekali Sing-siok Losian sudah maju para hwesio Siau-lim-si pasti akan mampus semua!"

"Kalian mengaku sebagai pemimpin persilatan, tapi sebentar tentu kalian akan rasakan batapa hebatnya Singsiok Losiang"

Bahkan ada yang terus mengeluarkan tambur dan gembreng untuk mengiringi lagu pujian itu sehingga suasana menjadi ramai.

Sudah tentu sebagian besar para ksatria tidak pernah menyaksikan kelakuan pihak Sing-siok-pai itu, keruan mereka terheran-heran geli.

Di tengah suasana riuh ramai itu, tiba-tiba dari bawah gunung terdengar suara derapan kuda yang nyaring dan makin lama makin mendekat, tidak lama kemudian dari balik lereng sana tertampaklah empat helai bendera kuning yang besar, pembawa bendera adalah adalah empat penunggang kuda, bendera itu berkibar-kibar tertiup angin.

Kedua bendera sebelah kanan jelas kelihatan tertulis "Ong. Cengpangcu Kai-pang", dan kedua bendera sisi kiri tertulis "Ong, Ciangbun Kek-lok-pai".

Sesudah agak dekat, keempat penunggang kuda itu melompat turun dari kuda mereka, lalu keempat helai bendera kuning ditancapkan di suatu tanjakan yang paling tinggi. Dari dandanan keempat orang itu dapat dikenal mereka adalah anggota Kai-pang.

"Ini dia, Pangcu Kai-pang Ong Sing-thian sudah tiba?" demikian para ksatria saling memberi tahu.

Seperti diketahui Ong Sing thian itu adalah nama samaran Yu Goan-ci. Selain Cumoti, Cilo Singh, Ting Junjiu, Buyung Hok dan kawan-kawannya tiada lagi orang lain yang kenal dia. Tentang sejak kapan dia diangkat menjadi Pangcu Kai-pang dan dari mana asal-usul Kekiok-pai itu lebih-lebih tiada seorang pun yang tahu.

Dan baru saja keempat helai bendera kuning itu dipancangkan di tempat yang tinggi, menyusul babarisan penunggang kuda lantas muncul dengan cepat. Yang di muka adalah ratusan anggota Kai-páng berkentung enam, di belakangnya ada anggota berkantung tujuh dan belasan anggota berkantung delapan.

Selang sejenak muncul pula empat Tianglo yang menggendong sembilan buah kantung. Semuanya tidak bersuara mereka melompat turun dari kuda terus berbaris di kedua sisi jalan.

Sementara itu terdengar pula suara derapan kuda yang berdetak-detak, dua ekor kuda berwarna kelabu mendatang dengan berjajar. Penunggang sebelah kiri adalah seorang anak dara cilik berbaju warna ungu, cantik molek tapi biji matanya tampak guram.

Melihat anak dara itu, seketika Wi-Sing-tiok berseru, "A Ci!"

Rupanya ia menjadi lupa dirinya di dalam penyamaran sebagai lelaki sehingga suara seruan itu diucapkan menurut suara aslinya. Sedangkan, penunggang kuda yang sebelah kanan berbaju compang-camping penuh tambalan yang luar biasa adalah air mukanya kaku dingin bagai mayat.

Tapi bagi yang berpengalaman segera mengetahui orang itu memakai kedok, agaknya muka aslinya tidak ingin diperlihatkan kepada orang lain. Hal ini menimbulkan rasa curiga para ksatria. Apa barangkali orang ini adalah tokoh ternama dalam dunia persilatan dan sengaja menyamar sebagai Ong Sing-thian, maka muka aslinya tidak mau diperlihatkan kepada orang lain. Dan kalau dia mampu menjadi Pangcu Kai-pang terang dia bukanlah tokoh sembarangan. Wah, jangan-jangan dia adalah Kiau Hong, itu pangcu Kai-pang yang dahulu sekarang memegang pimpinan kembali dan lenjuja dJiang memusuhi Siau-lim-pai. Demikian pikir mereka.

Cumoti dan beberapa orang lainnya pernah kenal muka asli Goan-ci. tapi sekarang melihat dia berada di atas

kudanya, dengan sikap yang kereng dan gagah, sorot matanya tajam mengerling kian kemari, sama sekail berbeda dengan Goan-ci yang lucu dan takut-takut dahulu itu tentu saja mereka terheran-heran. Terutama Ting Jun jiu yang pernah keok di tangan Goan-ci itu menjadi lebih-lebih waspada.

Kedatangan Ting-lokoai ini mestinya hendak mengeduk keuntungan tatkala Siau-lim-pai bertempur dengan Kai-pang, maka secara licik dia hendak membokong Ong Sing-thian untuk melenyapkan musuh besar itu. Tak terduga baru sampai punggung gunung sudah kepergok dengan rombongan Buyung Hok hingga saling labrak, lalu padri Siau-lim-si juga membanjir keluar sehingga sebelum pihak Kai-pang tiba pihak Sing siok-pai sudah bertempur lebih dulu dengan Siau-Lim-pai.

Tadi A Ci juga mendengar seruan ibunya, tapi sekarang dia ada urusan penting dan tidak ingin bertemu dulu dengan sang ibu, maka ia pura-pura tidak mendengar, ia berkata kepada Goan-ci alias Ong Sing-Thian, "Engkoh Sing agaknya banyak sekali orang yang berada di sekitar, aku seperti mendengar orang menyanyi mangatakan Sing-siok Losian maha sakti segala, Apakah bedebah Ting Jun-jiu dan begundalnya itu juga berada di sini?"

"Ya, benar jumlah mereka ternyata tidak sedikit," sahut Goan-ci.

"Wah. itulah sangat kebetulan!" seru A Ci dengan tertawa. "Dengan demikian aku menjadi tidak perlu mencarinya ke Sing-siok-pai yang jauh itu.”

Sementara itu anggota Kai-pang yang berjalan kaki berbondong-bondong juga sudah sampai di atas gunung dan telah berbaris di belakang barisan Goan-ci.

Ketika A Ci mengangkat tanganvya memberi aba-aba segera, dua orang anggota Kai-pang masing-masing mengeluarkan segulung kain warna ungu. Waktu dibeberkan, kiranya adalah dua helai bendera besar dari sutra ungu. Tatkala itu angina meniup keras, tapi kedua orang Kai-pang itu cukup tangkas, mereka seperti tiang bendera saja sehingga kedua bendera itu dapat dibentang dan berkibar.

Maka tertampaklah setiap bendera itu berisi enam huruf merah yang berbunyi, "Toan, ciangbun Sing-siok-pai."

Dan begitu kedua bendera itu berkibar, seketika anggota Sing-siok-pai menjadi kacau, segera orang-orang berteriak, "Ciangbunjin Sing-siok-pai adalah Ting-losian yang terkenal di seluruh jagat ini, masakah ada Ciangbunjin she Toan apa segala?"

Menyusul seruan lain, "Huh, mengaku-ngaku dan memalsu, tidak kenal malu! Apakah jabatan Ciangbujin boleh diangkat sendiri? Huh, lekas masuk kemari siluman cilik itu, kalau kamu minta digilas hancur!"

Semua padri Siau-lim-pai dan para ksatria agak terkejut ketika tiba-tiba mengetahui telah bertambah seorang Ciangbujin Sing-siok-pai, tapi diam-diam mereka pun senang dan bersyukur, kalau di antara golongan setan iblis itu saling gontok-gontokan sendiri.

Kemudian A Ci menepuk tangan tiga kali dan berseru, "Wahai dengarkan para anggota Sing-siok-pai! Menurut peraturan kita selama ini, jabatan Ciangbunjin harus direbut dengan kekuatan.

Siapa paling tinggi ilmu silatnya, dia yang menjadi ketua menjadi Ciangbunjin. Setengah tahun yang lalu Ting Jun-jiu telah kuhajar habis-habisan, ia telah berlutut dan menyembah padaku untuk minta ampun serta mengangkat aku sebagai gurunya. Kedudukan Ciangbunjin juga dia serahkan padaku sekalian? Hai, Ting Junjiu. kuraagajar benar kamu ini! Kamu sekarang adalah Toatecu (murid pertama) dan harus memberi teladan yang baik, mengapa kauberani membohongi guru dan mengapusi para Sutemu?”

Karena suara A Ci memang nyaring, maka ucapannya itu dengan jelas sekali dapat didengar oleh semua orang.

Keruan semua orang terheran-heran, Tampaknya A Ci cukup anak dara berumur 16-17 tahun kedua matanya buta pula, mengapa dapat mengalahkan Toan lokoai dan menjadi Ciangbun Sing-siok-Pai?

Toan Cing-sun dan Wi Sing-tiok juga saling pandang dengan ternganga. Mereka tahu anak dara itu memang betul murid Ting Jun-Jiu, nakal dan licin ilmu silatnya biasa saja kalau tidak mau dikatakan rendah, tapi sekarang di depan umum dia berani mengolok-olok Ting lokoai urusan ini tentu bisa runyum, dengan kekuatannya yang Cuma terdiri dari beberapa orang ini betapapun susah melawan Sing-siok-pai untuk menyelamatkan A Ci.

Sebaliknya walaupun diolok-olok, Ting Jun-jiu tetap tertawa-tawa saja. Dasar wataknya memang culas dan kejam sedangkan guru dan suhengnya juga dibunuh olehnya namun tempo hari ia telah mengalami kekalahan dari Goan-ci.

Waktu itu Goan-ci baru saja mengelotok topeng besi yang mengerudungi kepalanya itu sehingga mukanya dedel-dowel tak keruan dan mengerikan, ia mengaku sebagai ketua Kek-lok-pai dan bernama Ong Sing-Thian, maka Ting Jun-jiu, menyangka dia adalah gurunya Thi-thau-jin, si kepala besi yang sebenarnya adalah Goan-ci sendiri.

Sekarang di depan orang banyak A Ci mengibarkan panji dan mengaku sebagai ketua Sing-lok-pai, keruan dada Ting Jun jiu- serasa akan meledak, biar bagaimana pun ia bertekad akan menempur Ong Sing thian dengan mati-matian jika tidak mau kehilangan pamor.

Maka tetap dengan tersenyum ia lantas menjawab, "A Ci cilik, ucapanmu memang tidak salah siapa yang kuat, dia yang menjadi Ciangbunjin golongankita. Sekarang kaupun mengincar keduukan Ciangbunjin tentu kamu memiliki kepandaian. Sungguh-sungguh, maka bolehlah maju untuk coba-coba beberapa Jurus denganku?"

Baru selesai ucapannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapannya sudah berdiri seorang. itulah dia Yu Goan-ci.

Sungguh kejut Ting Jun-jiu tak terkatakan oleh kegesitan Goan-ci itu. Tanpa terasa ia mundur selangkah. Tapi meski dia sudah melangkah mundur toh tetap Goan-ci masih berada di depannya dalam jarak seperti tadi, maka dapat diduga tatkala dia melangkah mundur itu di luar tahunya Goan-ci juga telah meleset maju. Keruan Tinglokoai tambah gentar oleh kecepatan Goan-ci yang luar biasa itu.

Memangnya Ting-lokoai sudah nekat hendak menempur Goan-ci, sekarang Goan-ci mendesaknya sedemikian rupa, karuan ia menjadi murka juga. "Aku kan menantang A Ci, kenapa kamu ikut campur?" tegur Ting-lokoai berbareng tangannya menarik ke belakang sehingga seorang anak buahnya kena dicengkeram terus dilemparkan ke arah Goan-ci.

Tapi Goan-ci cukup gesit dan tangkas, mendadak tangannya juga menyambar ke belakang dan tepat seorang anggota Kai-pang berkantung lima yang berdiri kira-kita dua meter di belakangnya tanpa kuasaterus melayang ke depan dan menubruk anggota Sing siok-pai yang dilemparkan Ting Jun jiu tadi.

Melihat benturan yang keras itu, semua orang menduga kedua orang itu tentu akan sama-sama tertimbuk hancur binasa. Tak terduga setelah terbentur, segera terdengar suara mencicit seperti benda hangus, lalu semua orang mengendus bau sangit dan busuk memualkan. Maka tahulah mereka bahwa Ting Jun-jiu dan Ong Singthian sama-sama menggunakan racun, cepat mereka menahan napas dan ada yang pencet hidung sendiri, ada yang lekas-lekas menyingkir pula.

Kedua orang yang paling tumbuk itu lantas jatuh terkulai ke tanah tanpa berkutik lagi, rupanya sudah mati sejak tadi.

Dengan gebrakan ini meski sama-sama kuatnya, tapi diam-diam mereka pun sama jeri dan berbareng melangkah mundur. Menyusul kedua orang sama-sama menjambret pula ke belakang dan kembali seorang anggota golongan masing-masing tanpa kuasa kena ditarik dan terlempar ke depan. Kedua korban itu saling tumbuk lagi di udara dan mengeluarkan bau sangit, lalu jatuh dan binasa.

Kiranya kepandaian yang digunakan Ting Jun-jiu dan Goan-ci adalah semacam ilmu jahat dari Sing-siok-pai

yang bernama "Hu-si-iok" (racun pembusuk Jenazah). Seorang korban dijambret dari jauh, lalu dilempar ke arah musuh. Padahal sekali jambret itu sang korban sudah binasa lebih dulu sehingga sekujur badan mayat itu beracun. Kalau lawan menangkis dengan tangan pasti akan terkena racun jahat itu. Andaikan pakai senjata juga racun yang menempel di senjata itu akan menjalar ke telapak tangan. Bahkan mengegos juga susah terhindar dari kecipratan hawa berbisa mayat yang ditimpukkan itu.

Seperti diketahui, sejak Goan-ci mempelajari kungfu Sing-siok-pai berdasarkan uraian A Ci, maka ia telah melatihnya dengan giat sehingga mendapat kemajuan pesat. Ia pikir agar rahasia kepalsuannya tidak terbongkar, maka ia harus meyakinkan ilmu silat setinggi-tingginya. Dari situlah ia berhasil meyakinkan ilmu Hu-si-tok dari Sing-siok-pai yang lihat itu melalui penuturan A Ci.

Biarpun A Ci tergolong seorang nona yang pintar dan cerdik, tapi karena matanya sudah buta mala ia dengar sendiri pemuda pujaannya yang mengaku bernama Ong Sing-thian, ketua Kek-lok-pai itu, dengan sekali hantam telah mengalahkan Tin Jun-jiu, maka sama sekali ia tidak menduga bahwa Ong-kongcu yang maha sakti itu sebenarnya justru memperoleh ilmu silat dari uraiannya. Setiap jurus yang diuraikan A Ci tentu dipraktekan oleh Goan-ci dengan baik.

Karena dalam badan Goan-ci sudah penuh racun dingin ulat sutra es, pula ditambah iwekang dari Ih-kim-keng, dengan sendirinya menjadi luar biasa tenaga dalamnya. Satu jurus biasa yang tiada artinya bagi A Ci di tangan Goan-ci akan berubah menjadi maha sakti, Keruan A Ci merasa kagum tak terhingga.

Sebaliknya Goan-ci juga mengajarkan sedikit cara berlatih Iwekang menurut Ih-kin-keng. Ia mengatakan ilmu itu adalah ilmu dasar Kek-lok-pai. Maka A Ci juga lantas melatihnya, walaupun tidak banyak kemajuannya, tapi badannya tambah sehat dan segar.

Namun sifat A Ci suka bergerak, disuruh tinggal di tempat yang sunyi untuk melatih ilmu silat, dengan sendirinya ia jadi bosan. Maka hanya beberapa bulan saja ia sudah tidak kerasan dan mendesak Goan-ci membawanya jalan-jalan ke kota.

Sementara itu kepandaian yang dimiliki A Ci, hampir seluruhnya sudah dipàhami Goan-ci, terpaksa ia menurut permintaan dara itu dan berangkat.

Kebetulan ketika bertemu kelenteng kuno waktu mereka hendak berteduh, diluar dugaan mereka mendengar percakapan orang-orang anggota Kai-pang tentang pemilihan Pangcu yang akan diadakan pada hari tertentu di kaki gunung Hok-gu-san.

Karuan A Ci sangat girang, segera ia suruh Goan-ci menawan kedua anggota Kai-pang itu setelah ditanya, akhirnya diketahui bahwa sesudah Siau Hong dipecat, Thong-kong dan Cit-hoat tianglo berturut-turut juga

meninggal dunia, dalam keadaan tiada pimpinan maka kekuatan Kai-pang mundur banyak. Sebab itulah para Tianglo Kai-pang menetapkan hari tertentu untuk mengadakan pemilihan ketua baru.

Karena pernah tinggal cukup lama bersama Siau Hong, A Ci banyak dengar cerita tentang kejadian dan peraturan Kai-pang, maka diketahuinnya anggota Kai-pang sendiri yang dapat dipilih sebagai Pangcu, Segera ia memaksa kedua anggota Kai-pang itu mau menerima mereka sebagai anggota. Karena disiksa dengan caracara keji, saking tidak tahan akhirnya kedua anggota Kai-pang itu menerima denganbaik keinginan A Ci itu, dan dalam waktu yang tepat dapatlah mereka ikut hadir di lereng Huk-gu-san.

Tatkala itu kepandaian Goan-ci sudah tentu tak dapat ditandingi oleh Song-tianglo, Go-tianglo, Tan-tianglo dan lain-lain. Maka dalam beberapa kali gebrak, dengan mudah sekali Goan-ci dapat merebut kedudukan Pangcu. Karena melihat kepandaian Goan-ci memang sangat tinggi dan sukar dijajaki, maka semua anggota Kai-pang sangat kagum dan takluk padanya, semuanya merasa beruntung dan bahagia, memperoleh seorang pemimpin maha sakti.

Seperti diketahui di dalam Kai-pang ada seorang tokoh yang cerdik pandai bernama Coan Koan-jing, pernah menjabat Tho-cu (pemimpin) "Tai-si-han-tho" suatu pasukan yang merupakan tulang punggung Kai-pang. Dengan licin dia mengadakan fitnah dan hasutan agar anggota Kai-pang membangkang kepada pimpinan Siau Hong. Kebetulan kedudukan Siau Hong diketahui memang betul adalah keturunan bangsa Cidan sehingga akhirnya Siau Hong benar-benar dipecat dari Kai-pang.

Waktu Coan Koan-jing mengadakan "kudeta" kebetulan Thong-kong Tianglo dan Cit-hoat Tianglo juga ikut tersangkut dan ditawan, apalagi sebagian besar anggota Kai-pang sebenarnya masih sangat sayang kepada Siau Hong yang gagah perwira itu. Muka tidak lama kemudian Song-tianglo dan lain-lain lantas mencari sesuatu alasan dan memecat kedudukan Coan Koan-jing sebagai Tho-cu serta menurunkan pangkatnya menjadi anggota berkantung lima, padahal sebelumnya ia berkantung delapan.

Sesudah Goan-ci menjabat Pangcu, Coan Koan-jing lantas mencari kesempatan baik dan berhasil mendekati A Ci. Dasar licin, ia pandai menjilat dan mengumpak, ia pintar mencari macam-macam permainan untuk menyenangkan A Ci yang buta itu. Bahkan akhirnya ia mengusulkan agar Kai-pang berebut Bu-lim Beng-cu dengan Siau-lim-pai, supaya "Ong Sing-thian" dapat menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan.

Dasar sifat A Ci juga suka menang dan suka mencari perkara, biarpun buta wataknya itu tetap tidak pernah berubah, Tentu saja usul Coan Koan-jing itu sangat mencocoki kesukaannya.

Sebenarnya Goan-ci tidak pernah ingin menjadi Bu-lim Beng-cu apa segala, tapi ia sudah biasa tunduk kepada segala apa yang dikatakan A Ci, maka ia pun tidak membantah usul Coan Koan-Jing itu. Segera segala rencana dan pelaksanaannya diserahkan pada Coan Koan-jing untuk mengaturnya. Dan berkumpulnya para ksatria dari segenap penjuru di Siau-lim-si pada tanggal 15 bulan enam itu bukan lain adalah hasil karya Coan Koan-jing.

Sebelum Kai-pang berangkat ke Siau-sit-san, sementara itu pangkat Coan Koan-jing sudah naik empat tingkat, sekarang dia sudah Tianglo sembilan kantung untuk menggantikan kedudukan Go-tianglo yang dipukul mati oleh Siau Hong dahulu, dia dan Song, Go dan Tan Tianglo disebut Su-tai-tianglo (empat tertua).

Bahwasanya di Siau-sit-san akan bertemu dengan Ting Jun-jiu, hal ini sama sekali di luar perhitungan Coan Koan-jing. Tapi ia pun tahu Ting jun-jiu pasti akan menantang A Ci, maka sebelumnya ìa telah membisiki Goan-ci, asal Ting-lokoai membuka suara pemuda itu disuruh, segera maju untuk mewakilkan A Ci.

Sekarang kedua orang sudah bergebrak dan sama-sama mengetahui kelihaian masing-masing. Mereka masih terus saling timpuk dengan menggunakan anak buahnya sendiri sebagai senjata, dan tìap-tiap kali menimpukan orang lantas sama-sama mundur selangkah. Maka terdengarlah suara "blak-bluk” berulang-ulang, dalam sekejap saja masing-masing pihak sudahmengorbankan sembilan anak buahnya sendiri sehingga di tanah sudah menggeletak 18 sosok mayat yang menyeramkan.

Dengan ketakutan anak buah Sing-siok-pai lantas main mundur ke belakang untuk mencari selamat agar tidak dijadikan korban oleh sang guru. Namun begitu suara puja-puji mereka kepada Ting-lokoai masih tidak berhenti, cuma suaranya agak gemetar.

Sebaliknya anggota Kai-pang juga terperanjat ketika mendadak nampak Pangcu mereka mengeluarkan ilmu berbisa itu. Ada yang berpikir, "Tindak-tanduk Kai-pang kita selamanya terkenal mengutamakan keluhuran budi, mana boleh Pangcu menggunakan ilmu jahat yang tidak cocok dimiliki oleh seorang ksatria sejati?"

Dan ada pula yang berpendapat, "Andaikan Siau Hong masih menjadi Pangcu kita tentu beliau akan menggunakan ilmu sejati dari Kai-pang sendiri untuk menghajar Iblis tua itu."

Begitulah, sesudah kedua orang sama-sama melemparkan sembilan anak buahnya, maka masing-masing juga sudah mundur hamper 9 meter jauhnya, jadi jarak mereka sekarang sudah belasan meter. Ketika Ting Jun-jiu menggunakan tangannya hendak mencengkeram pula, tahu-tahu ia menangkap tempat kosong, waktu menoleh, sekilas ia lihat anak buahnya semua menyingkir agak jauh dengan ketakutan.

Dalam pada itu orang kesepuluh yang dilemparkan Goan-ci itu sudah menyambar tiba. Keruan Ting Jun-jiu terkejut dan gusar pula kepada anak buahnya. Dalam keadaan berbahaya, tanpa pikir lagi ia terus melompat mundur kalangan tengah anak buahnya.

Sementara itu anggota Kai-pang yang dilemparkan Goan-ci itu sudah meluncur tiba dengan cepat. Ketika anggota Sing-siok-pai hendak lari sudah tidak keburu lagi, maka terdengarlah jeritan takut tujuh atau delapan orang, sekaligus mereka kena di timpuk oleh mayat itu. Karena mayat itu benar-benar maha jahat, dalam sekejap saja kedelapan korban itu bergelimpangan di tanah dengan muka hitam hangus, sesudah berkelejetan

beberapa kali, lalu binasa.

A Ci terlihat senang, ia tertawa mengejek, katanya, "Hei, Ting-jun-jiu, Ong pangcu adalah pembela aku, ketua Sing-siok-pai, jika kauingin bertanding dengan aku, kamu harus mampu menangkan pertandingan dulu, Nah, bagaimana sekarang yang kalah kamu atau dia?"

Ting Jun-jiu sangat mendongkol, Bicara tentang kepandaian sejati sekali kali ia tidak kalah. Walaupun tenaga dalam Goan-ci memang hebat tapi dari caranya melempar korban tadi terang dia cuma mendapat sedikit kepandaian kasaran dari A Ci saja, di mana letak perubahan-perubahan kelihaian ilmu "Hu-si-tok” itu sama sekali tak diketahui. Jadi kalahnya terletak pada anggota Sing-siok-pai lebih pengecut dan takut mati sehingga dia kehilangan senjata dan akhirnya dapat di dahului oleh serangan Goan-ci.

Namun Ting-lokoai lantas mendapat akal tiba-tiba ia mendongak dan terbahak-bahak.

"Eh, tertawa? Masih tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya A Ci.

Tapi Ting Jun-jiu masih terus bergelak tertawa, sekonyong-konyong kedua tangannya bekerja sekaligus 8 sampai 9 anak buah Sing siuk-pai disambarnya terus ditimpukkan susul menyusul ke arah Goan-ci dengan cepat luar biasa.

Goan-ci sendiri, tidak mahir "Hu-si-tok" secara berantai itu, ia hanya sempat menimpukkan tiga anggota Kaipang dan untuk selanjutnya ia jadi kelabakan. Dalam keadaan berbahaya, terpaksa ia meloncat setinggitingginya ke atas sehingga mayat-mayat berbisa itu menyambar lewat di bawahnya.

Tujuau Ting lokoai justru ingin memaksa Goan-ci menghindar, tiba-tiba sabelah tangannya mengayun ke depan terus ditarik lagi. Maka terdengarlah A Ci menjerit kaget dan tanpa kuasa tubuhnya terseret dan melayang ke arah Ting Jun-Jiu.

Keruan semua penonton terparanjat. Mereka tahu ada ilmu sebangsa "Kim-liong-kang" (Ilmu menangkap naga), "Na-hou-kang" (ilmu menangkap harimau) dan sebagainya yang dapat mencengkeram musuh dari jarak beberapa meter jauhnya tapi tidaklah mungkin mencapai sejauh belasan metar seperti Ting-lokoai sekarang ini. Tentu saja banyak di antara penonton itu merasa sangat jeri dan kagum pula kepada ilmu sakti Lokoai.

Mereka tidak tahu bahwa cara Ting-lokoai menangkap A Ci itu bukan dengan kepandaian yang sejati, tapi ia menggunakan semacam alat yang merupakan satu di antara ketiga jimat Sing-siok-pai mereka yaitu alat yang disebut "Ju-ni-soh" (tali benang sutra halus).

Benang sutra yang sangat halus dan bening tembus itu diperoleh dari ulat sutra salju yang badannya lebih kecil dari ulat es dan tak berbisa. Tapi sutra yang dihasilkan ulat salju itu sangat ulet dan kuat. Ulat salju itu tidak dapat membuat kepompong sehingga sutranya juga sangat terbatas dan susah dicari. Dahulu sebabnya Leng Jian-li membunuh diri adalah karena digoda oleh A Ci dengan jaring yang terbuat dari sutra halus yang tak kelihatan ini.

Sekarang tali sutra yang digunakan Ting Jin-jiu ini jauh lebih ulet daripada kepunyaan A Ci itu. Ketika sekaligus ia melemparkan sembilan anak buahnya, berbareng ia pun mengayunkan tali sutranya. Jadi mayatmayat berbisa yang dia lemparkan itu hanya untuk memaksa Goan-ci menyingkir dan untuk mengetahui pandangan para penonton saja dengan demikian orang menjadi tidak menduga sama sekali akan tali sutra yang dia ayunkan itu.

Ketika A Ci terkejut atas serangan itu, namun sudah kasip, ia kena diseret ke arah Ting lokoai. Menyusul punggung A Ci lantas dijambret oleh iblis tua itu, bahkan sekalian ditutuk hiat-to nya supaya tidak dapat berkutik, lalu tali sutra itu digulung dan dimasukkan ke dalam baju. Jadi melemparkan sembilan korban, mengayunkan tali sutra, menarik dan menangkap A Ci, semuanya dilakukan Ting Jun-jiu dengan sekaligus di tengah gelak tertawanya yang tak putus-putus sampai A Ci tertawa olehnya.

Saat itu tubuh Goan-ci masih terapung di udara, keruan ia terkejut dan kuatir ketika melihat A Ci tertangkap musuh. Dalam pada itu sembilan mayat berbisa sudah melayang lewat di bawah kakinya, maka waktu turun ia terus menubruk maju dan sebelah telapak tangan menghantam sekuatnya ke arah Ting-lokoai.

Cepat Ting Jun-jiu angkat A Ci dan disodorkan ke depan untuk menerima pukulan Goan-ci yang maha dahsyat itu. Keruan Goan-ci menjadi bingung. Meski ilmu silatnya sekarang sudah sangat tinggi, tapi pengalamannya dalam pertempuran boleh dikata masih hijau, maka waktu pukulan sendiri hendak mencelakai A Ci tanpa pikir lagi ia tarik kembali tenaga pukulan sendiri itu, padahal asal dia sedikit miringkan pukulannya dan dengan sendirinya akan luput mengenal A Ci.

Tapi dia terlalu cinta dan menghormati A Ci, begitu melihat gelagat jelek, tanpa pikir ia tarik kembali tenaga pukulan sendiri sehingga dadanya mirip dihantam sendiri oleh tenaga pukulan yang sama dahsyatnya. Kontan ia sempoyongan sendiri dan memuntahkan darah segar.

Kalau orang lain mungkin jiwanya sudah melayang, untung Goan-ci sudah berhasil menyakinkan iwekang dari kitab Ih-kin-keng. namun begitu pukulan sendiri itu pun membuatnya tumpah darah. Dan baru dia hendak ganti napas untuk menyerang pula, namun Ting-lokoai sudah tidak memberi kesempatan lagi padanya, beruntunruntun ia memukul empat kali.

Karena belum sempat menghimpun kembali tenaganya, terpaksa Goan-ci hanya menangkis sebisanya dan setiap kali ia menangkis, setiap kali muntah darah pula. Bahkan sedikit pun Ting-lokoai tidak kenal ampun,

menyusul pukulan kelima dilancarkan lagi untuk membinasakan lawannya.

Melihat itu, para penonton menjadi gempar beberapa orang berteriak dan membentak akan kekejaman Lokoai itu. Beberapa ksatria diantaranya juga sudah siap-siap hendak memberi bantuan kepada "Ong Sing-thian".

Tak terduga baru saja pukulan kelima Ting-Jui jiu sendiri tergetar mundur selangkah. Bagi para ksatria yang tajarn pandangannya segara mengetahui bahwa dalam gebrakan itu Ting-lokoai mengalami kerugian, maka mereka pun urung memberi bantuan.

Kiranya sesudah muntah darah akhirnya hawa murni Goan-cidapat berjalan lancar lagi, tepat dapat menyambut serangan kelima Ting-lokoai dangan racun jahat ulat es dan Iwekang yang hebat.

Pada setengah tahun yang lalu Ting Jun-jiu juga pernah kecundang di bawah pukulan Goan-ci selama setengah tahun ini melatih tenaga pukulan sudah tentu Ting Jun jiu bukan tandingannya. Coba kalau Goan-ci tidak terluka lebih dulu, kelima kali gontokan tadi pasti akan membikin Ting Jun-jiu yang terdesak mundur dan bukan Goan-ci.

Walaupun sudah tergetar dan dada terasa sesak, namun Ting-lokoai masih belum kapok dan merasa penasaran. Segera ia kerahkan segenap tenaganya, sambil membentak, dengan kumis dan jenggot sama menyengkit saking murkanya, terus saja ia lontarkan pukulan yang maha dasyat.

Namun Goan-ci malah melangkah maju dan menyambut pukulan itu sambil berseru, "Lekas lepaskan nona Toan!"

Beruntun-luntun la pun membarengi hantam empat kali setiap kali menghantam selalu diikuti dengan melangkah ke depan, Karena majunya itu, sekarang jaraknya dengan Ting Jun-jiu sudah sangat dekat, asal tangannya meraih tentu A Ci akan dapat dirampas olehnya.

Melihat muka Goan-c¡ yang kaku dingin bagai mayat (karena memakai kedok) itu, mau tak mau Ting-lokoai menjadi jeri. Tapi ia masih coba tersenyum dan berkata, "Awas, segera aku akan menggunakan Hu-si-tok lagi, boleh coba menyambutnya pula!"

Sembari berkata tubuh A Ci terus diangkat dan digoyang- goyangkan pelahan beberapa kali.

"He. jangan, jangan!" seru Goan-ci dengan suara gemetar, terang kuatirnya tak terhingga.

Mengapa Goan-ci begitu kuatir? Sebab sekali Ting Jun jiu menggunakan ilmu "Hu-si-tok", itu berarti seketíka A Ci akan menjadi mayat berbisa.

Ting Jun jiu memang orang cerdik, demi melihat kelakuan Goan-ci itu, segera ia tahu bahwa pemuda itu sudah tergila-gila kepada A Ci. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan dirinya. Tujuannya semula sebenarnya A Ci akan dibinasakan supaya tidak dapat berebut kedudukan Ciangbujin Sing-siok-pai mereka. Sekarang melihat Goan ci begitu kuatir atas keselamatan A Ci maka ia menaksir nona cilik itu tentu dapat diperat untuk menundukkan Ong Sing-thian yang lihai itu.

Maka berkatalah Ting-lokoai, "Apa kamu tidak ingin dia mati?"

"Ya. le ... lekas lepaskan dia, lni sang ... sangat berbahaya ...." demikian sahut Goan-ci dengan terputus-putus.

"Haha, kalau aku mau membunuh dia boleh dikata terlalu gampang, buat apa melepaskan dia?" sahut Lokoai dengan tertawa. "Dia adalah muridku yang murtad dan khianat, kalau orang begini tak dibunuh, siapa yang harus dibunuh?"

"Tapi .... tapi dia adalah.. . adalah nona A Ci, ba .. . bagaimanapun jangan .. . jangan kaubunuh dial Engkau telah membutakan matanya, maka .... maka aku mohon padamu, jang....jangan membunuh dia lagi! Le ... lekas kau lepaskan dia dan aku tentu akan membalaa kebaikan ... kebaikanmu ini!"

Dalam kuatirnya cara bicara Goan-ci menjadi tak keruan sehingga sama sekail tidak pantas sebagai seorang Pungcu atau ketua Kek-lok-pai.

Maka Ting Jin-jiu menjawab, "Untuk mengampuni dia sih boleh àsal saja kamu menerima beberapa syaratku."

"Boleh, boleh!” sahut Goan-ci cepat, "Jangankan beberapa syarat, sekalipun seratus atau serìbu syarat juga kuterima."

"Bagus," kata Lokoai. "Nah, pertama, kamu harus segera mengangkat aku sebagai guru, untuk selanjutnya kamu adalah murid Sing-siok-pai kami."

Tanpa pikir lagi Goan-ci berlutut dan menyembah, katanya, "Suhu, terimalah hormat muridmu Ong Singthian!"

Dalam pikiran Goan-ci, toh dulu dia sudah pernah mengangkat Lokoai sebagai guru, kalau sekarang menyembah, lagi apalah alangannya?

Ia tidak menduga bahwa dengan tindakannya itu para ksatria telah dibuatnya menjadi panik. Para Tianglo dan anggota Kai-pang yang terkemuka juga merasa penasaran sekali. Pikir mereka"Kai-pang kini adalah suatu organisasi terbesar, selamanya terkenal sebagai golongan yang luhur budi dan membela keadilan tapi sekarang Pangcu justru mengangkat guru pada Sing-siok-Lokoai yang terkenal busuk dan jahat itu. Terang orang demikian tidak dapat dipertahankan jadi pang-cu kita."

Sebaliknya di pihak Sing-siok-pai serentak berbunyilah tambur gembreng dan seruling, bergemuruh mereka menyanyikan lagu Sing-siok losian maha saktl dan macam-macam sanjung keji yang mendirikan bulu roma pandengarnya.

Tadi ketika melihat A Ci ditawan Ting Jun jiu, Toan Cing-sun dan Wi Sing-tiok juga saling pandang dengan kuatir. Tapi mareka insaf bukan tandingan Sing-sok Lokoai kalau berani maju tentu akan mengantarkan nyawa belaka. Kemudian ketika melihat "Ong Sing-thian" berlutut dan minta ampun demi putri mereka itu, hal ini benar-benar di luar dugaan mereka,

Diam-diam Wi Sing-tiok sangat heran dan giráng pula, dengan berbisik-bisik ia berkata kepada Cing-sun, "Lihatlah itu, betapa mendalam cinta kasih orang, setitik pun engkau tak dapat memadainya,"

Di sebelah sana Toan Kí juga lagi melirik ke arah Giok-yan, katanya di dalam hati, "Betapa rindu dendamnya kepada nona Ong boleh dikata sudah tiada taranya, tapi kalau dibandingkan Ong-pangcu ini mungkin masih jauh sekali. Coba kalau nona Ong yang tertawan Sing-siok LoKoai, apakah aku mau berlutut dan menyembah padanya?"

Berpikir sampai di sini. mendadak semangat Toan Ki bergolak, ia merasa mati pun rela asalkan demi Ong Giok-yan, apalagi cuma dihina saja di depan umum. Karena pikiran itu, tanpa terasa ia berkata, "Mau. aku mau. tentu aku mau!"

Giok-yan menjadi heran, tanyanya, "Kau mau apa?”

"O. ti.... tidak, aku ... aku ... " Toan Ki menjadi gelagapan dengan muka merah.

Dalam pada itu habis menyembah Goan-ci sudah berdiri kembali. Ketika melihat A Ci masih dicengkeram Ting lokoai, segera ia berkata, "Suhu lekas engkau melepaskan dial"

"Budak cilik ini terlalu kurangajar masakah begini enak lantas mengampuni dia!” sahut Lokoai dengan mendengus. "Ya, kecuali kalau kaumau menebus dosanya dengan membuat beberapa pahala bagiku."

"Ya, ya, Tecu harus membuat pahala apa" tanya Gonn-ci.

"Sekarang Juga boleh kautantang Hongtiang Siau-lim-si Hian-cu, gempur dan bunuhlah dia," kata Lokoai.

Goan-ci menjadi ragu, jawabnya, "Tecu tiada permusuhan apa-apa dengan dia, meski Kai-pang hendak berabut kedudukan dengan Siau-lim-pai, namun tidak perlu saling membunuh."

Lokoai menjadi gusar, dampratnya, "Kau berani membangkang pada perintah guru hal ini menandakan kemunafikanmu, kamu mengangkat guru padaku jadi cuma pura-pura saja?"

Yang diharapkan Goan-ci asalkan A Ci bias selamat, maka ia tidak pedulikan lagi tata-krama orang kangouw apa segala. Segera ia menjawab, "Ya, ya! Cuma ... Cuma cuma silat Siau-lim pai teramat lihai, Tecu akan ... akan berbuat sebisa mungkin. Tapi ... tapi harap Suhu juga pegang janji jangan ... jangan engkau membikin susah nona A Ci."

"Membunuh Hian-cu atau tidak bergantung padamu, membunuh A Ci atau tidak bergantung padaku,” sahut Lokoai, Rupanya dia sengaja menghasut agar Kai-pang bertempur dengan Siau-Lim-pai, dengan demikian dia dapat mengail di air keruh.

Terpaksa Goan-cl putar tubuh ke arah Slau lim-pai, serunya. "Hian-cu Hong-tiang, selamanya Siau-lim-pai dan Kai-pang sama-sama menjagoi dunia persilatan Tianggoan, masing-masing tiada di bawah perintah siapa-siapa. Tapi hari ini kita harus menentukan unggul dan asor, yang menang akan menjadi Bu-lim Beng-cu, yang kalah mesti tunduk pada perintahnya,"

Sinar matanya mengerling ke arah para ksatria, lalu melanjutkan, "Nah, para ksatria hari ini sudah hadir semua di sini, kalau ada di antaranya yang merasa tidak terima boleh ciaju untuk bartanding dengan Bu-lim Beng-cu,"

Di balik ucapannya ilu seakan-akan sekarang juga dia sudah menjadi Bu-lim Beng-cu. Sudah tentu semua oravg sangat gusar. Tadi pambicaraan Ting Jun-jiu dan Goan-ci juga sudah didengar para padri Siau-lim-pai, mereka menjadi sangat murka karena Lokoai berani terang-terang menyuruh Ong Sing-thian menantang dan

membunuh Hian-cu Hongtiang, Tapi kalau melihat pertarungan kedua orang tadi terang kepandaian Ong singthian itu memang sangat tinggi lagi keji, maka sukar diramalkan apakah Hian cu mampu melawannya.

Walaupua Hían-cu tidak suka berkelahi, tapi ia sudah ditantang secara terbuka, untuk menghindar terang tak bisa lagi. Terpaksa ia rangkap kedua tangannya dan bersabda, "Selama beratus tahun ini kai-pang terkenal sebagai saka guru dunia parsilatan Tionggoan, setiap ksatria di dünia tahu siapa yang tidak kagum. Pangcu kalian yang dahulu juga bersahabat sangat karib dengan kami. Sekarang Ong-Pangcu menjabat sebagai Pangcu baru, memang kami agak teledor karena terlambat mengirimkan ucapan selamat. Namun begitu hubungan kita selama ini sangat baik dan saling menghormati, entah mengapa hari ini Ong pangcu marah-marah kepada kami, dapatkah kami diberitahu di mana letak kesalahannya dan biarlah dipertimbangkan secara adil oleh para ksatria yang hadir di sini."

Goan-ci rnasih hijau dan kepalang tanggung sekolahnya, sudah tentu ia tidak dapat berdebat dengan Hian-cu. Tapi sebeium datang ke Siau lirn-si ia sudah mendapat "kursus” dari Coan Koan-jing. tentang apa-apa yang harus dikatakan, maka sekarang ia pun menjawab, "Di utara kerajaan Song kita ada negeri Tayli, dibarat ada Se He dan turfan daa diselat ada kerajaan Liau keempat negeri aslng itu selala mengìncar tanah air kita, maka .. . maka ... "

Ternyata dia telah salah mengatakan letak negeri-nagerl Tayli dan Liau, mestinya Tayli terletak dì selatan dan Liau di utara. Karena itu banyak di antara para pendengarnya tertawa geli mengejek.

Goan-ci tahu ucapannya ada yang keliru tapi tak mungkin ditarik kembali lagi, karuan ia menjadi malu, untung la memakai-kedok sehingga orang lain tidak tahu. Dan sesudah tergegap-gegap sebentar kemudian la berdehem dan melanjutkan "Ehem! Kerajaan Song kita terlalu miskin dan dan lemah, maka kaum kita harus beramairamai membela ... membela tanah air dan bersama-sama melawan musuh."

Mendengar ucapannya cukup beralasan serentak para ksatria memberi aplus tanda setuju.

Keruan Goan-ci menjadi semangat, segara ia menyambung, "Dan akhir ini, karana gangguan-gangguan negeri musuh itu, maka ... mka kewajiban kaum kità juga tambah barat kita ... kita harus bersatu-padu. bergotongroyong untuk menghadapi segala kesukaran itu. Tapi di antara berbagai golongan dan aliran kita justru masih suka gontok-gontokan, saling bunuh mambunuh, pendek kata akan merugikan persatuan kita, seperti tempo hari, hanya seorang Kiau Hong saja sudah membikin kocar-kacir para ksatria Tionggoan, apalagi paling akhir Ini kabarnya Sing siok Lo ...siok Lo ... Lo itu juga .... "

Sebenarnya Coan-Koan-jing telah mengajarkan dia agar menyatakan. "Sing-siok Lokoai telah mernbunuh dua padri agung Siau-lim-si dan orang orang Slau-lim-pai sama sekali tak berdaya." Kalimat itu sebenarnya sudah diapalkan Goan-ci di luar kepala, tapi sekarang dia telah mengakui Lokoai sebagal Suhu, dengan sendirinya ia tidak dapat menyebutnya sebagai Lokoai maka kata-kata yang hampir diucapkan itu ditelannya kembali mentah-mentah.

Karena itu para ksatrla msnjadl geli, segera ada orang menanggapi, "Dia adalah Lokoai (iblis tua), dan kamu adalah Siau-yau (dewi siluman cilikz) Hahaha!"

Namun orang orang Sing-siok pai juga tidak mau kalah suara, serentak mereka menggema ke angkasa. Tapi pada waktu suara mereka sudah mulai pila, sekonyong-konyong di antara orang banyak ada seorang yang mulai menyanyi lagi dengan suara yang serak tapi bernada tinggi.

Mula-mula ia menyanyi menurunkan irama orang-orang Sing-siok-pai tadi, begitu pula syairnya juga sama, tapi ketika sampai pada bait syair yang terakhir, mendadak ia sengaja menekuk suaranya sedemikian rupa, dan kata-kata pujian pada Ting Jun-jiu juga diganti sehingga menjadi "Sing-siok Lokoai, kentut busuk."

Semula orang-orang Sing-siok-pai mengira di antara kawannya ada yang sengaja menyanyi "solo" dengan suara tenor. siapa duga kata-kata terakhir itu sama sekali berbeda daripada syair Lagu yang sebenarnya, katakata itu sengaja ditarik panjang sehingga kedengarannya menjadi sangat merdu.

Keruan para ksatria tertawa tarpingkal-pingkal, sebaliknya orang-orang Sing-siok-pai sama mencaci maki.

"Wah. Pau-samko, suaramu boleh juga, ya!" demikian seru Giok-yan dengan tersenyum.

"Ah, lumayan saja!” sahut Pau Put-tong.

Kiranya penyanyi solo dengan suara tenor itu adalah hasil karya Pau put-tong yang jahil. Keruan semua orang tambah geli.

Dan ditengah gelak-tawa dan caci-maki itu Goan-ci berbisik-bisik berunding dengan Coan Koan-Jing. Lalu berseru pula, "Mengingat apa yang kukatakan tadi, demi kepentingan bersama, kami mengusulkan agar di antara kita dipilih seorang Bu-lim Beng-cu untuk memberi pimpinan pada kita. Untuk ini entah Hian-cu Hongtiang setuju atau tidak?"

"Usul Ong-pangcu memang cukup beralasan," sahut Hian-cu dengan kalem. "Cuma ada sesuatu yang aku kurang mengerti, maka diharap Ong-pangcu suka memberi penjelasan."

"Tentang apa?" tanya Goan-ci.

"Sekarang Ong-pangcu telah mengangkat Sing-siok Losian sebagai guru, dengan demikian. engkau sudah terhitung orang Sing-siok-pai, benar tidak?"

"ini ... ini adalah utusan pribadiku dan ... dan tiada sangkut-pautnya denganmu," sahut Goan-ci dengan tergagap.

"Tapi Sing-siok-pai terhitung aliran benua barat dan bukan sekaum dengan kita." Sambung Hian-cu. "Maka soal pemilihan Bu-lim Beng-cu segala sesungguhnya bukanlah urusan Sing-siok-pai dan juga tidak ada hak buat ikut campur."

"Ya, benar!”

"Tepat sekali ucapan Hongtiang itu!"

"Benar, kamu adalah budak golongan asing mana boleh mimpi hendak menjadi Beng-cu dunia persilatan Tionggoan kita!" demikian beramai- ramai para ksatria berteriak.

Goan-ci menjadi bingung dan tak dapat menjawab. ia pandang Ting Jun jiu dan pandang Coan Koan jing pula dengan harapan mereka dapat membantu jawabannya.

Maka sesudah berdehem-dehem dulu, lalu Ting Jun-jiu berseru, "Ucapan, Hong-tiang barusan kurang tepat, sebab aku berasal dari propinsi Soe-tang dan terhitung suatu kampung dengan nabi Khong-hu-cu, aku yang membangun Sing-siok-pai, mana boleh dikatakan sebagal aliran negeri asing? Kalau bicara tentang asing dan tidak, cikal-bakal Siau-lim-si sendiri, Tat-mo Cosu (Budhi darma) kan berasal dari negeri Thian-tiok, agama Budha juga berasal dari negeri asing, kalau kalian juga dituduh menganut ajaran dan kepandaian impor, apakah kalian mau terima?"

Sanggahan ini membuât Hian-cu dan lain-lain merasa susah untuk menjawabnya.

Bahkan Coan Koan-jing juga segera ikut bicara, "Sumber asal mulanya ilmu silat di dunia ini memang sukar diusut. Ada kepandaian berasal barat yang dipelajari di negeri timur sebaliknya banyak juga ilmu negeri timur yang masuk ke negeri barat. Yang terang Ong-pangcu kita adalah bangsa awam, Kai-pang juga sudah dikenal sebagai organisasi terbesar di negeri kita dia dengan sendirinya beliau harus dianggap sebagai tokoh persilatan Tionggoan, pendek kata urusan hari ini hanya dapat diputuskan dengan kekuatan dan tidak perlu berperang lidah, apakah sebentar Sìau-lim-pai atau Kai-pang akan menang, hal ini akan ditentukan oleh pertandingan

kalian sebagai pemimpin kedua pihak, maka tidak perlu banyak bicara lagi. Tapi kalau pihak Siau-lim-pai menyadari bukan tandingan Pangcu kami dan terima mengaku kalah serta bersedia mengangkat Pangcu kami sebagai Beng-cu, maka segala pertarungan tentu akan dapat dihindarkan."

Di balik kata-katanya itu seakan-akan menganggap Hian-cu merasa jeri, maka sengaja menggunakan macammacam alasan. Keruan Hian-cu sangat mendongkol, segera ia melangkah maju dan berkata, "jika Ong-pangcu sudah berkeras ingin main-main beberapa jurus denganku, bila kutolak lagi tentu akan menjadi kurang hormat. Kai-pang kalian yang telah bersahabat selama beratus tahun dengan Siau-lim-si kami. Nah, wahai para kawan yang hadir di sini, oleh karena terpaksa, tiada jalan lain lagi terpaksa kulayani tantangan Ong-pangcu."

"Ya, kami menyaksikan Siau-lilm-si bukan pihak yang salah," seru para ksatria.

Dalam pada itu Goan-ci sudah tidak sabar lagi karena menguatirkan keselamatan A Ci yang masih berada dalam genggaman Ting-lokoai itu. Segera ia berteriak, "Sudahlah, tidak perlu banyak cingcong, silakan maju!"

Dasar Goan-ci memang bukan anak baik-baik, pada waktu kecilnya kurang didikan dan sangat nakal, sesudah besar bergaul pula dengan A Ci yang jahil itu, maka sedikit-banyak ia telah ketularan sifat-sifat yang tidak baik, kepandaian yang dipelajari juga ilmu keji dari golongan Sing-siok-pai. Karena itu sekarang ia berubah menjadi orang yang tidak kenal kebaikan dan jahat lagi.

Begitulah maka Hian-cu menanggapi pula, Siancai! Kata-kata Ong pangcu ini sungguh sangat tidak sesuai dengan nama Kai-ping yang tersemat selama beratus tahun ini."

"Mau bertempur ayolah lekas bertempur, kalau tidak, boleh mundur saja!" seru Goan-ci sambil mendesak maju. Sembari bicara ia pun melirik kearah Ting Jun-jiu yang masih mencengkeram A Ci itu, rasanya benarbenar tidak sabar lagi.

"Baiklah, kalau begitu biarlah kubelajar kenal dengan Ong-pangcu punya Hang-liong-sip-pat-Ciang (delapan belas jurus pukulan penakluk naga) dan Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing), supaya para ksatria yang hadir dapat kenal betapa hebatnya kepandaian Kai-pang yang kesohor itu," kata Hian-cu sambil bersiap-siap.

Goan-ci tampak melengok dan menyurut mundur malah. Sebab walaupun dia telah menjadi Pangcu, tapi Hangliong-sip-pat-ciang dan Pak-kau-pang-hoat yang dikatakan itu boleh dikatakan sejurus pun tidak bisa. Ia pernah dengar bahwa kedua macan kungfu itu biasanya mesti diajarkan oleh Pangcu lama kepada Pangcu baru, maka kedua macam ilmu itu disebut "Tin-pang-sin-kang" (ilmu sakti pemimpin). Terkadang Hang-liong-sip-patCiang itu juga diajarkan kepada anggota biasa, sebaliknya Pak-kau pang-hoat hanya diajarkan kepada Pangcu saja. Boleh dikatakan setiap Pangcu Kai-pang selama beratus tahun ini tiada satu pun yang tidak mahir dua macam kepandaian itu. Sekarang Goan-ci disuruh untuk mengunakan kedua macam ilmu silat yang tak

dipahaminya, sudah tentu la merasa serba susah.

Melihat sikap Goan-ci itu, segera Hian-cu menambahi lagi, "Aku adalah ketua Siau-lim-si dan tentu akan menggunakan kepandaian utama golongan kami seperti Kim-kong-pan-yak-ciang untuk coba-coba dengan Hang-liong-sip-pat-ciang kalian dan Hok-mo-siang-thong untuk melawan Pak kau pang-hoat Ong-pangcu. Cuma, ai sungguh sangat disayangkan, selama ini di antara dua golongan kita hanya saling tukar pikiran saja dan selamanya tidak pernah digunakan untuk saling gebrak. Tapi sekarang terpaksa mesti kulayani Ongpangcu, sungguh menyesal sekali."

Para ksatria merasa kagum dan hormat terhadap ucapan Hian-cu yang luhur budi itu. Segera tampak jubah Hian-cu mulai bergoyang, kedua tangannya terangkap di depan dada, lalu didorong maju pelahan itulah salam pembukaan ilmu pukulan Pan-yak-ciang.

Goan-ci juga tidak banyak omong segera telapak tangan kirinya menghantam, menyusul tangan kanan juga memotong ke depan dengan cepat sekali. Tenaga pukulan yang susul menyusul itu memang sangat hebat dan aneh. Maka terdengarlah suara beradunya tenaga pukulan, menyusul terdengar suara "brat-bret" dua kali tahutahu kedua ujung ikat pinggang Hian-cu terputus dan melayang ke kanan-kiri.

Kiranya tanaga pukulan kedua tangan Goan-ci itu mencakup lingkaran yang sangat luas ketika tenaga pukulannya sebagian dipatahkan oleh pukulan Hian-cu, maka ujung kain ikal pinggang Hian cu yang berkibaran itu terkupas putus oleh tenaga pukulan Goan-ci yang menyambar lewat ke samping itu.

Menyaksikan gebrakan itu, terentak pula ksatria dan padri Siau-lim-si lama berteriak-teriak, "ini kan kepandaian jahat Sing-siok-pai dan bukan Heng liong-sip-pat-ciang!"

"Ya, itu bukan kepandaian asli Kai-pang!”

Bahkan di antara anggota Kai-pang juga ada yang berteriak, "Kita bertanding dengan Siau-lim-pai, maka kita tidak boleh memakai ilmu jahat golongan lain! Benar, harus menggunakan Heng-liong-sip-pat-ciang! Kenapa memakai ilmu jahat golongan lain, membikin malu Kai-pang saja!"

Gebrakan pertama itu sebenarnya Goan-ci lebih unggul, tapi demi mendengar teriakan-teriakan itu. ia menjadi ragu sehingga jurus kedua tak bisa dilancarkan lagi. Sebaliknya orang 'Sing-siok-pai lantas berseru, "Nah, sudah terang ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih hebat, buat apa mesti memakai Heng-liong-sip-pat-ciang apa segala yang tak berguna!"

"Ayo, Ong-suheng, maju dan labrak lagi, bikin keok dia!"

Seketika suara sanjung puji "Sing-siok losian maha sakti” lantas bergema pula.

Di tengah suara riuh ramai itu sekonyong-konyong dari bawah gunung berkumandang suara seorang yang keras dan lantang, "Siapa bilang ilmu silat Sing-siok-pai jauh lebih hebat daripada Hang-liong-sip-pat-ciang?"

Begitu lantang dan nyaring suara itu sehingga suara ribut orang banyak tersirap seketika. Dengan terkejut semua orang sama tutup mulut. Maka terdengarlah suara derapan kuda yang ramai, belasan penunggang kuda secepat angin telah menerjang tiba.

Penunggang-penunggang kuda itu seluruhnya memakai mantel sutra merah, orangnya gagah dan kudanya tangkas, semua kuda pilihan berwarna hitam mulus. Sesudah dekat, pandangan semua orang merasa silau. Ternyata tapal kuda itu semuanya terbuat dari emas.

Jumlah penunggang kuda itu seluruhnya 19 orang. Meski tidak banyak, tapi pembawa mereka melebihi suatu bárisan besar.

Sesudah dekat, 18 penunggang kuda itu lantas memisah kedua sisi, tinggal penunggang kuda yang paling belakang masuk terus menyusur maju dengan cepat.

Melihat penunggang kuda itu, serentak orang-orang Kai-pang berteriak-teriak, "Siau-pangcu!, Siau-pangcu!"

Menyusul sebagian besar di antara mereka lantas merubung maju untuk memberi hormat.

Kiranya panunggang kuda ini memang benar adalah Siau-hong. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa meski dia sudah dipecat tapi sekarang masih ada anggota Kai-pang sebanyak ini yang menyembah padanya. Saking terharunya sampai tak tertahan mengambang air matanya, cepat ia melompat turun dari kudanya dan balas menghormat.

Segera katanya, "Orang Cidan Siau Hong telah dipecat dan sudah tiada hubungan lagi dengan Kai-pang mana boleh para saudara tetap menyapa dengan sebutan lama? Selama berpisah tentu saudara baik-baik saja bukan?”

Anggota-anggota Kai-pang yang memberi hormat itu sebagian besar adalah murid berkantung tiga dan empat yang masih muda dan berjiwa lebih dinamis apa yang mereka pikirkan segera dilaksanakan. Karena mereka masih sangat menjunjung pribadi Siau Hong yang luhur budi dan gagah perwira itu maka begitu bertemu serentak mereka tetap memanggilnya sebagai "Kiau-pangcu”, mereka lupa bahwa "Kiau-pangcu" itu sudah dipecat bahkan adalah bangsa Cidan yang merupakan musuh besar mereka.

Karena jawaban Siau Hong itu, segera ada sebagian yang menunduk kepala dan mengundurkan diri, tapi masih tetap ada sebagian yang berkata pula. "Engkau juga baik-baik, Kiau ... Kiau .... Selama berpisah ini sungguh kami selalu terkenang Padamu!"

Kedatangan Siau Hong ke Tionggoan ini memang disengaja, pengiring-pengiringnya itu adalah "18 ksatria penunggang kuda” yang merupakan jago pilihan bangsa Cidan. Dahulu Siau Hong hampir mati dikeroyok orang banyak di Cip-hian-ceng, untung dia ditolong oleh seorang ksatria berbaju hitam. Hal ini menandakan bahwa betapa pun tinggi ilmu silatnya juga susah melawan orang banyak yang berjumlah ratusan. Tapi sekarang ia membawa 18 jago, apalagi kuda tunggangan mereka juga kuda pilihan, bila perlu mereka tidak sulit melarikan diri dengan mencamplok kuda.

Ketika masih di bawah gunung tadi Siau Hong sudah mendengar teriakan orang sing-siok-pai yang membual bahwa ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih hebat dari pada Hang-liong-sip-pat-ciang hal ini membuatnya marah sekali. Mesti bukan anggota kai-pang lagi, tapi ia tidak terima kalau Hang-liong-sip-pat-ciang yang lihai itu dihina orang. Bahkan sekilas iapun melihat Ting jun-jiu menawan seorang dara cilik berbaju ungu yang segera dikenalnya sebagai a Ci.

Kedatangannya di Tiongoan ini antara lain juga hendak mencari A Ci. Sekarang melihat anak dara itu ditawan orang, seketika teringat olehnya pesan terakhir A Cu yang minta dia menjaga baik-baik adik perempuannya itu. Tanpa piker lagi segera ia mendekati Ting-lokoai sekali tangan kirinya terangkat, kontan ia hantam kedepan dengan gerakan "Gang- liong-yu-hwe", salah satu jurus Hang-liong-sip-pat-ciang yang ampuh.

Waktu Siau hong menyerang, jaraknya dengan Ting Jun-jui masih belasan meter jauhnya, tapi karena datangnya terlalu cepat sehingga dimana tenaga pukulannya sampai tahu-tahu jarak mereka hanya tinggal beberapa meter saja.

Ting-lokoai juga sudah kenal nama "Lam Buyung dan Pak Kiau Hong” yang tersohor, maka dia pun tidak berani memandang enteng lawan. Ketika melihat Siau Hong mulai menyerang dari jauh, sekali-kali tak terduga olehnya bahwa dirinya yang dijadikan sasaran, apalagi menyusul Siau Hong juga melesat maju dan kembali menyerang dengan jurus kedua "Gang liong-yu hwe" di lancarkan,jadi tenaga pukulan pertama didorong oleh

tenaga pukulan kedua, karuan bagaikan gugur gunung dahsyatnya.

Hanya sekejap saja Ting-lokoai merasa, dadanya sesak, napas susah, tenaga pukulan lawan sungguh bagai air bah yang melanda dan tak terbendungkan seakañ-akan dirinya dan A Ci akan tenggelam di tengah gelombang tenaga itu.

Dalam kagetnya Ting-lokoai tidak sempat memikirkan cara paling sempurna untuk melayani serangan itu. Tapi ia tahu kalau menangkís dengan sebelah tangan saja tentu bukan mustahil tangan sendiri akan patah boleh jadi otot tulang seluruh badan akan tergetar remuk. Sementara itu pukulan lawan yang dahsyat sudah tiba dalam keadaan genting ia terpaksa ia melemparkan A Ci ke atas, berbareng kedua tangannya terus bergerak untuk berjaga di depan dada, sedangkan ujung kakinya menutuk pelahan dan melompat mundur.

T¡ba-tiba Siau Hong menyusul serangan "Gang-liong-yu-hwe” yang ketiga belum lenyap tenaga pukulan yang lebih dahulu, segera tenaga pukulan lain sudah membanjir lagi.

Lokoai tidak berani menangkisnya dengan keras lawan keras, ia miringkan pukulannya sehingga kedua tenaga pukulan Cuma saling senggol saja. namun begitu Lokoaí merasa lengannya linu pegal dan napas sesak, capat ía melompat mundur düa-tiga meter jauhnya sambil mengerahkan hawa berbisa di tangannya untuk berjaga jaga kalau lawan mendesak maju.

Namun dengan pelahan Siau Hong tangkap dulu A Ci yang sementara itu baru jatuh dari udara sekalian ia membuka hiat-to si nona yang tertutuk tadi.

Sejak A Ci ditawan Ting Jun-jiu, walaupun matanya tak bisa melihat dàn mulut tak dapat bicara, namun segala apa yang terjadi di sekelilingnya dapat didengarnya dengan jelas, Maka begitu hiat to terbuka, dengan girang segera ia berseru, "Cihu yang baik, banyak terima kasih atas pertolonganmu!”

Bila teringat anak dara Itu mengeluyur pergi tanpa pamit sehingga dirinya dibikin kelabakan mencarinya, sungguh anak dara yang terlalu nakal, maka Siau Hong menjadi gregatan, "plok", ia gaplok sekali pantat anak dara itu sambil mengomel, "kenapa kaupergi tanpa bilang bilang padaku snggaeh aku bingung mencarimu ke mana-mana?"

Keruan A Ci kesakitan dan berkeok-keok "Aduh cihu busuk, kenapa engkau memukul orang?”

"Biar, aku justru ingin menghajarmu budak nakal ini!" kata SiauHong.

Ketika A Ci berpaling dan sekilas dilihatnya kedua bola mata anak dara Itu buram tak bersinar terang sudah buta, sungguh kaget Siau Hong tak terhingga serunya, "Hei kau ... matamu kenapa?”

"Tidak apa-apa, biar kenapa kaupusing?" sahut A Ci dengan uring-uringan.

Dengan munculnya Siau Hong tadi, para ksatria Tionggoan menjadi panik bila teringat pada kejadian di Ciphian-ceng dahulu di mana berpuluh kawan mereka telah dibinasakan Siau Hong. Mereka menduga sebentar tentu sukar terhindar pertempuran mati-matian pula. Kemudian ketika mereka menyaksikan dengan sekali-dua gebrak saja Siau Hong telah mengalahkan Sing-siok- Lokoai yang malang melintang, tadi seketika mereka saling pandang dengan kagum dan kuatir pula. Sebaliknya ada sebagian anggota Sing siok-pai yang tidak kenal malu masih berani mencaci-maki Siau Hong dan ada yang menyanjung puji lokoai.

Di sebelah lain Goan-ci merasa jeri juga dengan datangnya Siau Hong, ketika dilihatnya A Ci digaplok dan diomeli Síau Hong, ia menjadi tidak tahan dan segera melompat maju serta berkata, "Lekas lepaskan nona A Ci."

"Síapa kau?" tanya Siau hong sambil menurunkan A Ci ketanah.

Dahulu Goan-ci sering bertemu dengan Siau Hong ketika berada di negeri Liam, tapi sekarang muka Goan-ci sudah berubah sama sekali, kedudukannya juga sudah lain, sudah tentu Goan-cí tidak perlu takut lagi padanya. Namun permbawa Siau Hong sebagai "Lam-ih Tai-ong" terlalu berakar dalam lubuk hatí Goan ci, apalagi Siau Hong telah menyelamatkan A Ci dengan gagah perkasa, budi kebaikan ini bagi Goan-ci melampaui dendam terbunuhnya orang tua. Karenai ítu Goan-ci menjadi kalah pembawa lebih dulu dan menjawab dengan tetgagap, "Aku adalah ... adalah Ciangbun Kek-lok-pai, Kai-pang Pangcu Ong .... Ong Sing Thian.” tapi di antara anggota Kai-pang sagera ada orang berteriak, "Kamu südah mengangkat guru pada Sing-siok Lokoai, mana boleh mengaku sebagai Pangcu lagi!"

"Akulah Ciangbun Slng-siok-pai yang sesungguhnya," kata A Ci. "Ong-pangcu tadi cuma menjura kepada Sing-siok Lokoai dengan 'Kap-tan-hoa-Hiat kang (ilmu meluluhkan darah musuh dengan menjura), apakah kalian sangka dia sungguh-sungguh ingin menjadi murid Lokoai? Justru Lokoai yang telah diselomoti, tidak lebih dari tiga hari seluruh badan Ting-lokoal akan hancur luluh menjadi darah. Kalau kalian tidak percaya boleh lihat saja nanti!"

Dasar memang jebolan murid Sing-siok pai, kepandaian A Ci dalam hal membual dan membohong dengan sendirinya sangat pintar. Maka orang orang Kai pang menjadi ragu mereka tahu Sing-siok-pai memang memiliki macam-macam ilmu jahat dan berbisa, apa yang dikatakan A Ci memang bukan mustahil.

Sebaliknya Siau Hong tahu A Ci sengaja ngaco-belo lagi, sekilas ia lihat Toan Cing-sun dan Wi Sing tiok juga berada di situ, ia menjadi girang dan segera berseru, "Kiranya Tin lam ong juga berada di sini biarlah putrimu

ini kuserahtkan kepada kalian untuk diberi pendidikan sebaik-biaknya."

Lalu ia gandeng tangan A Ci ke arah Toan Cing-sun, pelaban ia dorong anak dara itu ke depan dan segera dirangkul oleh Wi Sing tiok dengan air mata berlinang linang.

"O, anakku, ken ... kenapa keduá matamu ini?” tanya Sing-tiok dengan menangis.

Sebaliknya A Cì tiada mempunyai rasa kasih sayang kepada ayah bundanya, maklum sejak kecil ia tidak pernah merasakan kasih saying orang tua. Dasar wataknya tidak mau kalah, maka ia pun tidak mau mengakü kedua matanya ítu díbutakan oleh Ting jun-jiu, dengan suara keras ia menjawab, " aku sendiri sengaja membutakan mataku karena aku sedang melatih semacam ilmu gaib Sing-siok-pai Ting-lokoai sendiri pun tidak mampu melatih ilmu ini.”

Dalam pada ítu Toan Ki juga sangat girang atas munculnya Síau Hong, cumu dia belum sempat menyapa sang Toako karena Siau Hong lagi melabrak Ting Jun jiu, Ia heran ketika mengetahuí bahwa nona buta itu oleh Siau Hong dikatakan sebagai putri ayahnya. Tapi la pun tahu sifat sang ayah yang romantis, segera ia dapat menduga hubungan ayahnya dengan Wi Sing-tiok.

Sesudah A Ci diserahkan kepada orang tuanya oleh Siau Hong, segera Toan Ki tampil kemuka dan berseru. "Toako, bàik-baikkah selama berpisah sungguh sangat merindukan adikmu ini?”

Sejak Siau Hoing angkat saudara dengan Toan Ki, walaupun singkat sekali waktu berkumpul mereka, tapi Siau Hong tetap sangat simpati dan suka sekali kepada Toan Ki, segera ia pegang kedua tangan adïk angkat îtu dan menjawab, "banyak sekàli kejadian sesudah berpisah dan susah diceritakan dalam sekejap untung kita samasama dalam keadaan baik-baik semua."

Belum lagi mereka sempat bicara lebîh banyaktiba-riba terdengar teriakan orang banyak yang mencaci-maki Siau Hong, "Hai, orang she Kiau, kamu telah membunuh saudaraku sakit hati itu belum terbalas, biarlah hari ini aku mengadu jiwa denganmu!”

"Ya, Kiau Hong adalah anjing Cidan yang harus kita bunuh bersama, hari inl tidak boleh lagi dià lolos dari Siau-sit-sian ini!"

Menyusul banyak lagi caci-maki yang menuduh Siau Hong membunuh ayah atau putranya, semua ingin memuntut balas atas korban yang dahulu pernah dibunuh oleh Siau Hong di Cip-bian-ceng.

Makin lama makin banyak yang mendamprat dan memakì, bukan mustahil dalam sekejap lagì akan terjadi pertempuran ramai pula. Sebaliknya rombongan Siau Hong hanya 18 orang saja ia pun bermusuhan dengan Kai-pang, Siau-lim-pai dan Sing siok-pai, kalau sampai terjadi pertempuran itu berarti Siau Hong ber-l8 orang harus menandingi seribu orang pasti sukar baginya untuk meloloskan diri.

Namun Siau hong tidak gentar, dengan suara lantang ia berseru."Kedatangan Siau Hong ini mestinya ada suatu urusan dengan Siau-lim-si jika kalian ingin membunuh orang she Siau ini, apa kalian mampu atau tidak boleh dicoba nanti, tapi saat ini aku belum sempat melayani kalian.

Dalam keadaan rebut sudah tentu para ksatria Tionggoan itu tidak mau menunggu iagi, segera ada beberapa orang yang kasar melontarkan caci maki yang kotor dan keji. Dan karena hasutan dan bermain-main mereka lantas merubung maju hendak mengerubut.

Sebelumnya Siau Hong tidak menduga bahwa dì Siau sit-san telah berkumpul musuh sebanyak itu, sskarang sudah tentu ia pun pantang mundur, Tapi ia lihat para ksatra itu kebanyakan adalahkawan lama, ia kenal mereka sebagai ksatria yang gagah perwira, sebabnya mereka memusuhi dirinya adalah lantaran dia di anggap bangsa Cidan, pula ada orang sengaja menghasut dan mengadu-domba sehingga terjadi salah paham pembunuh yang pernah terjadi di Cip-hia-ciang itu sesungguhnya bukan maksud hatinya kalau hari ini terjadi pertarungan sengit pula susah memperoleh kemenangan, andaikan dirinya dapat eloloskan diri, tapi ksatria-ksatria yang dia bawa serta itu pasti sulit lolos. Sebaliknya kalau para ksatria Tionggoan itu terbunuh lebih banyak, hal ini berarti memperdalam permusuhan dan makin menyakitkan hati, lalu apa gunanya semua ini?

Karena pikiran itu, segera Siau Hong mengambil keputusan, "Di depan orang sebanyak ini terpaksa urusan yang hendak kutanyakan kepada Siau-Lim-si harus ditunda dulu dan sementara ini lebih baik aku menghindarkan diri saja supaya tidak terjadi banjir darah lagi. Bila keadaan di sini sudah tenang kembali barulah aku akan dtang ke sini pula."

Sesudah mengambil keputusan itu, segera ia berkata kepada Toan Ki, "Adik yang baik, adaan sekarang sangat gawat dan susah bagi kita untuk bicara, sementara ini adik boleh menyingkir dahulu, tempo masih banyak, biarlah kita bertemu lagi lain hari."

Maksud tujuan Siau Hong adalah minta Toan Ki menyingkir ke samping agar sebentar bila musuh menerjang ke bawah gunung Toan Ki takkan ikut terbawa bawa di tengah pertempuran.

Tapi biarpun Toan Ki tidak mahir ilmu namun wataknya sangat gagab berani. Ia lihat ksatria yang berjumlah ribuan orang itu hendak membunuh kakak angkatnya, tanpa terasa timbul rasa keadilannya, dengan suara keras ia berteriak, "Toako, pada waktu kita mengangkat saudara apa yang telah kita ucapkan? Bakankah kita telah bersumpah ada rejeki dibagi bersama, ada kesukaran dipikul berbareng. Kita tidak dilahirkan pada hari dan Waktu yang sama, tapi rela mati pada hari dan waktu yang sama. Hari ini Toako menghadapi kesukaran manakah adik harus berpeluk tangan dan takut mati!”

Dahulu dalam setiap kali terancam selalu Toan Ki dapat menyelamatkan diri dengan langkah aJaib leng Po-wipoh. Tapi sekarang ia sama sekali tidak memikirkan atau menyelamatkan diri, semakin berbahaya keadaannya semakin teguh tekatnya gugur bersama Siau Hong untuk memenuhi kéwajibannya sebagai saudara angkat yang sehidup semati.

Hampir seluruh ksatria Tionggoan itu tidak kenal macam apakah tokoh Toan Ki itu, tapi melihat dia mengaku sebagai saudara angkat Siau Hong dan bertekat membantunya, sudah tentu tiada seorang pun yang jeri pada pemuda yang muda belia dan lemah itu.

Maka Siau Hong berkata pula,'"Adikku yang baik, sungguh aku sangat berterima kasih pada maksudmu yang luhur ini. Tapi rasanya tidaklah gampang bila mereka ingin membunuh aku. Maka lebih baik lekas engkau menyingkir saja agar aku nanti tidak menguatirkan keselamatanmu sehingga tidak leluasa melabrak musuh."

"Engkau tidak perlu menguatirkan diriku.” sàhut Toan Ki, "Aku toh tiada punya permusuhan apa-apa dengan mereka membunuhku?"

Siau Hong menjadi serba salah menghadapi saudara angkat yang polos itu, pikirnya dengan rasa pilu, "Jika di dunia ini orang mau bicara tentang permusuhan atau tidak, tentu dunia ini akan aman tentram dan tiada percekcokan."

Dalam pada itu di sebelah sana Toan Cing-sun juga sedang pesan kepada Hoan Hua dan lain-lain agar sebentar bila Siau Hong terancam bahaya, mereka harus menyelamatkan secepat mungkin untuk membalas budi pertolongan Siau Hong dahulu. Sudah tentu Hoan Hun dm lain-lain mengiakan dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Di pihak lain Buyung Hok juga lagi berunding dengan kawan-kawannya, Sebenarnya Kongya Kian sangat kagum sekali kepada pribadi Siau Hong sejak perkenalannya waktu berlomba minum arak dahulu, maka ia menganjurkan memberi bantuan kepada Siau Hong. Begitu pula Pau-Put tong dan Hong Po-ok juga sangat kagum terhadap Siau Hong, maka mereka pun menyetujui usul Kongya Kian.

Sebaliknya Buyung Hok sendiri berpendapat lain, katanya, "Saudara-saudara sekalian, kita harus mengutamakan pembangunan kerajaan Yan Raya kita sebagai tugas utama dan jangan tertarik kepada Siau hong seorang dan harus bermusuhan ksatria sejagat."

"Ucapan Kongcu memang benar," kata Ting Pek-jwan. "Dan cara bagaimana kita harus bertindak?"

"Kita harus menarik simpati orang banyak agar berfaedah bagi pergerakan kita kelak," kata Buyung Hok, Habis itu, mendadak ia bersuit keras dan tampil ke muka, serunya dengan lantang, "Siau-heng, engkau adalah ksatria Cidan dan terlalu memandang enteng kapada para ksatria Tionggoan kami, maka hari ini biarlah orang she Buyung dari Koh-soh belajar kenal dulu dengan kepandaianmu. Kalau aku harus mati di bawah tangan Siau-hong juga cukup berharga, paling dikit aku telah berjuang bagi sesama kawan ksatria Tionggoan. Nah, silakan Siau-heng mulai."

Ucapan Buyung Hok ini sesungguhnya segaja diperdengarkan kepada ksatria Tionggoan, Sebab dengan demikian biarpun nanti kalah atau menang tentu para ksatria akan memandang Buyung Hok sebagai kawan sehidup semati mareka.

Benar juga, demi mendangar kata-kata Buyung Hok ítu, serentak bergemuruhlah suara sorai puji orang banyak. Maklum, meski mereka ada maksud hendak mengerubut Siau Hong, tapi sejak tadi tiada seorang pun berani bertindak lebih dulu, mereka kenal betapa lihainya Siau Hong, sekali sudah bergebrak, maka beberapa orang yang maju lebih dulu dapat dipastikan akan binasa oleh pukulan bekas Pangcu Kai-pang itu. Sekarang tiba-tiba Buyung Hok tampìl ke muka lebih dulu, keruan mereka sangat senang dan bersemangat.

Nama "Pak Kiau Hong dan Lam Buyüng juga sudah lama didengar Siau Hong sendiri, ia tahu ilmu silat keluarga Buyung tentu bukan main hebatnya, Sekarang keluarga Buyung menantangnya, tentu saja Siau Hong terperanjat, Walaupun tidak gentar, tapi ia menduga pasti akan menjadi pertarungan sengit.

Segera ia pun memberi salam dan menjawab "Sudah lama kudengar nama Buyung-kongcu yang tersohor, sungguh sangat beruntung hari ini dapat berkenalan di sini."

"Buyung-heng, dalam hal ini terang kaulah yang salah!" tiba-tiba Toan Ki berseru "Siau-toako sendiri baru sekarang kenal dirimu dan selama ini kalian tiada permusuhan apa-apa, mengapa engkau sengaja ikut memusuhi Toako tatkala ia harus menghadapi musuh sebanyak ini."

"Wah, rupanya Toan heng hendak menjadi ksatria pembela keadilan ya? Jika perlu, ayo boleh maju sekalian!" demikian sahut Buyung hok degan mengejek. Memangnya dia sudah merasa sirik karena Toan Ki selalu merecoki Giok-yan maka sekarang rasa dongkolnya telah dilampiaskan sekalian.

Tapi Toan Ki menjawab, "Kepandaian apa yang dapat menandingimu? Akú hanya bicara secara adik saja."

Dalam pada itu Ting Jun-jiu yang dihantam mundur olah Siau Hong tadi telah maju kembali. la mengakak tawa dan berkata, "Orang she Siau kulihat engkau masih terlalu muda, maka tadi aku mengalah tiga Jurus padamu, tapi jurus keempat ini aku tak dapat mengalah lagi."

Juga Goan-Ci lantas melangkah maju, katanya kepada Siau Hong, "Aku Ong Sing-thian mengucapkan terima kasih padamu karena engkau telah menyelamatkan nona A Ci. Tetapi sakit hati pembunuhan orang tua sedalam lautan, hari ini jangan kauharap dapat lolos dengan hidup dari sini orang she Siau!"

Sementara itu Hian-seng Taisu dari Siau-lim-pai diam-diam juga telah memberi perintah agar lo-han-tui-tín siap siaga dan menjaga jalan penting dengan kuat agar Siau Hóng tidak dapat lolos.

Melihattiga tokoh terkemuka telah mengepung dirinya, begitu pula para padri Siau-lim-pai tampak berjaga-jaga dengan rapat keadaan íní terang jauh lebih berbahaya daripada pertempuran di Cap-hian-ceng dahulu. Dan sebelum Siau Hong dapat mengambil tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara kuda meringkik ngeri, 19 ekor kuda bagus tunggangan mereka tahu-tahü telah roboh semua dengan mulut berbuih dan binasa.

Karuan Siau Hong kaget, Sedangkan ke-18 ksatria Cidan tampak membentak-bentak dan lantas menyerang sehingga dalam sekejap saja belasan orang Sing-siok-pai telah terbunuh, selebihnya lantas ngacir menggabungkan diri dengan kawan-kawannya.

Kiranya pada waktu ting jun-jiu maju menantang Siau Hong lagi, maka anak buahnya juga lantas bertindak dengan membunuh kuda tunggangan Siau Hong dan kawan-kawannya dengan menggunakan racun. Dengan demikian Siau hong dipaksa menghadapi jalan buntu karena tak bisa kabur dengan menunggang kuda lagi.

Melihat kuda kesayangannya mati secara menggenaskan di tangan kawanan pengecut itu, seketika darah panas Siau Hong bergolak dan timbul seketika jiwa ksatrianya dengan bersuit panjang ia berkata, "Buyung-heng, Ong-pangcu, Ting-lokoai. ayolah kalian maju sekaligus saja, masakah orang she Siau ini gentar padamu!"

Karena dia gemas kepada orang-orang Sing-siok-pai yang keji itu,kontan pukulan pertama ia keluarkan ke arah Ting Jun-jiu.

Ting-lokoai sudah kenal betapa lihainya Siau Hong, cepat ia keluarkan kedua tangannya untuk menangkis dengan sekuatnya.

Tapi Siau Hong sekalian menggeser tenaga pukulan kedua orang dan memotong miring ke jurusan Buyung Hök.

Kepandaian Buyung Hok yang paling hebat adalah memutar balikkan serangan musuh untuk menyerang kembali kepada musuh. Tapi sekarang pukulan Siau Hong membawa tenaga duaorang yang maha dahsyat, pula datangnya miring dari samping sehingga entah tempat mana yang diincar, Buyung Hok menjadi susah untuk menghadapi serangan ini, terpaksa ia kerahkan segenap tenaga, kedua tangan memapak ke depan dan

berbareng ia pun melompat mundur dua-tiga meter jauhnya.

Sedikit Siau Hong mengegos sehingga pukulan Buyung Hok terhindar, mendadak ia menggertak dengan suara menggeledek, kepalan menjotos lurus ke depan pada Goan ci. Karena perawakan Siau Hong tinggi besar sehingga hampir lebih tinggi satu kepala daripada Goan-ci, maka jotosan itu jadi mengarah muka Goan-ci.

Memangnya Goan-ci sudah jeri menghadapi Siau Hong, ia menjadi kaget pula ketika mendengar suara gertakannya. Apalagi serangan Siau Hong itu datangnya mendadak, sebelumnya ia baru menghantam Ting JunJiu dan Buyung Hok, tahu-tahu menjotos pula ke arah Goan-ci, tiga kali serangan itu boleh dikata suatu rangkaian secepat kilat.

Dalam gugupnya segera Goan-ci hendak menangkis, namun tenaga pukulan lawan terang sudah mendekati mukanya. Untung dia telah berlatih ilmu ih-kin-keng sehingga iwekangnya juga banyak bertambah, secara otomatis timbul daya tolak dari badánnya dan cepat ia mendongakkan kepalanya ke belakang sambil berjumpalitan püla dengan demikian kepalanya nyaris háncür oleh pukulan Siau Hong yang dahsyat itu.

Namun begitu lantas terdengar suara seruan heran para penonton. Goan-ci merasa mukanya silir dingin tahutahu kain kedoknya sudah hancur menjadi kain kecil-kecil dan bertebaran bagai Kupu-kupu. Ternyata luput mukanya dari serangan itu, tapi tidak luput kain kedoknya yang tergetar hancur oleh tenaga pukulan Siau Hong. Dan ketika melihat muka pemuda yang mengaku sebagai Ciangbunjin Kok-lok-pai dan Pangcu Kai pang ítu tak karüan macamnya karena bekas luka tampaknya sangat seram dan menakutkan, maka muka mereka sama berseru kaget.

Dengan sekaligus Siau Hong mendesak mundur tiga jago kelas satù di jaman ini, semangatnya seketika berkobar-kobar lebih hebat, teriaknya, "Mana arak!"

Segera seorang ksatria Cídan mengiakan dan menanggalkan sebuah kantung kulit yang menggablok di atas kuda mati dan berlari-lari mendekati Siau Hong serta menghaturkan dengan hormat.

Siau Hong copot sumbat kantung kulit itu, ia angkat kantung itu tinggi-tinggi ke atas, maka tertüanglah arak putih yang harum. Sambil mendongak, Siau Hong menenggak arak itu.

Arak yang terisi dalam kantong kulit itu sedikitnya ada 20 kati, tapi Síau Hong terus menenggak tanpa berhenti sehingga arak seisi kantung terhabis sama sekali. Kelihatan perut Siau Hong sedíkít kembung, tapi air mukanya tetap biasa saja tanpa mabük sedikit pun.

Di tengah kejut para penonton, tiba-tiba Siau Hong memberi tanda pula dan ke 17 ksatria Cidan yang lain

masing-masing juga membawakan pula satu kantung arak.

"Saudara-saudara, Toan-Kongcu ini adalah adik angkatku," kata Siau Hong kepada ksatria-ksatria Cidan itu. "Hari ini kita telah terkepung di tengah musuh, kita hanya berjumlah belasan orang saja, tentu susah meloloskan diri."

Sampai disini segera ia, menarik tangan Toan Ki dan berkata pula, "Adikku yang baik, kau bersedia sehidup semati, sungguh tidak mengecewakan sebagai saudara angkat, apakah sebentar kita akan mati atau akan hidup biarkan saja, sekarang kita harus minum dulu sepuas-puasnya!"

Terdorong oleh semangat jantan kakak angkat itu, tanpa pikir Toan Ki terus terima juga sekantong arak dan menjawab, "Benar, kita harus minum dulu!"

Dan baru Toan Ki hendak menenggak araknya, sekonyong-konyong di tengah padri-padri Siau-lim-si telah berlari keluar seorang, sambil berseru, "Toako dan Samte, kalian hendak minum arak, kenapa tidak panggil juga padaku?"

Itulah dia Hi tiok.

Ia menyaksikan munculnya Siau Hong yang gagah perwira dan membikin silau para ksatria maka diam-diam ia pun sangat kagum. Kemudian dilihatnya Toan Ki secara konsekwen bersedia sehidup semati dengan kakak angkat itu. Padahal dahulu waktu dia sendiri mengangkat saudara dengan Toan Ki di Leng-ciu-kiong, didalam upacara itu telah dimasukkan juga Siau Hong sebagai Toako mereka. Seorang lelakì sejati harus bisa pegang, janji dan berani menghadapi segala kemungkinan apalagi dilihatnya Siau Hong dan Toan Ki yang bersikap gagah perkasa dihadapan musuh banyak itu, seketika timbul juga semangat ksatria Hi tiok, ia tidak pikirkan keselamatan sendiri dan tentang peratüran-peratiran agama apa segala dan segera tampil kemuka.

Siau Hong belum kenal Hi tìok, maka ia menjadi tertegun heran ketika Hi tiok memanggìlnya Sebagai Toako. Sebaliknya Toan Ki lantas memapak maju dan memegang tangan Hi-tiok!, lalu dìbawanya kehadapan Siau Hong dan berkata, "Toako, dia juga kakak angkatku. Waktu menjadi hwesio gelarnya adalah Hi-tiok dan sekarang telah ganti nama menjadì Hi tiok cu. Di waktu kamì mengangkat saudara, maka Toako juga telah kami masukkan didalam hitungan. Nah, Jiko lekas kau memberi hormat kepada Toako!"

Segera Hi-tiok berlutut dan memberi hormat katanya. "Toako, terimalah salam hormat siaute!"

Siau Hong tersenyum. Dìam-diam ia merasa Toan Ki benar-benar agak dogol, dia mengangkat saudara dengan orang masa juga mengikut sertakan sang Toako. Padahal sekarang jiwanya terancam di tengah kepungan

musuh, namun orang (Hi-tiok) ternyata tidak gentar dan berani tampil ke muka, hal ini membuktikan dia adalah seorang jantan sejati seorang lelaki yang setia kawan dan berbudi kalau bisa bersaudara dengan ksatria demikian juga boleh dikatakan suatu kehormatan besar.

Karena itu Siau Hong lantas berlutut juga dan membalas hormat dengan kata-kata ramah tamah. Jadi mereka telah mengulangi sumpah setia sebagai saudara angkát di depan para ksatria sejagat.

Siau Hong tidak tahu Hi-tiok memiliki ilmu silat sakti, la anggap saudara angkat ¡tu cuma seorang hwesio rendahan di Siau-lim-si, tapi berani ikut maju untuk memenuhi panggilan persaudaraan pada saat menghadapi bahaya, kalau dia disuruh menyingkir tentu malah akan menyinggung perasaannya.

Maka setelah angkat kantung araknya segera Siau Hong berkata, "Ke-dua adik yang baik, ke-18 ksatria Cidan ini adalah kawanku yang setia, hubungan kami sehari-hari mirip saudara sendiri, maka marilah kita minum bersama, habis itu segera kita melabrak musuh sekuatnya."

Habis berkata, segera ia membuka sumbat kantung arak dan menenggak seteguk, lalu diangsurkan kepada Hitiok. Dengan semangat berkobar-kobar Hi-tiok juga tidak pikirkan larangan minum arak apa segala lagi, segera ìa pun angkat kantung arak, dan menenggak, kemudian disodorkan kepada Toan Ki. Dan sesudah Toan Ki minum seteguk lalu ia serahkan kepada salah seorang Cidan dan begitu seterusnya ke-18 ksatria Cidan itu pun sama-sama mengakat sekantung arak masing-masing dan menenggaknya.

”Toako," kata Hi-Tiok kemudian kepada Siau Hong,”Sing-siok Lokoai ini telah membinasakan Suhu dan suhengku, ia telah membunuh pula Hian-lun dan hian-thong Susiokco dari Siau lim-si maka sekarang aku hendak menuntut balas padanya,"

Siau Hong menjadi heran "Kau ber...."baru saja dia hendak tanya, tahu-tahu kedua tangan Hi-tiok sudah bergerak dan menghantam ke arah Ting Jun-jiu.

Melihat ilmu pukulannya sangat aneh dan sangat kuat, Sian Hong terkejut dan girang pula, katanya di dalam hati, "Kiranya ilmu silat jiko sedemikian lihai, sungguh aku tidak menduga sama sekali."

"Lihat pukulan!" mendadak Siau hong juga membentak dan berbareng kedua kepalan tangannya ke arah Buyung Hok dan Yan Goan-ci sekaligus.

Rupanya ke-18 ksatria Cidan dapat memahami maksud Cukong (junjungan) mereka maka tanpa disuruh lagi segera mereka mengelilingi Toan Ki dan melindunginya.

Dalam pada itu Buyung Hok dan Goan Ci juga telah menyambut dan menghindarkan serangan Siau Hong tadi.

Sedangkan Hi-tiok juga lagi mencecar Tìng lokoai dengan Thian-san liok-yang-ciang yang hebat.

Meski Liok-yang-ciang itu adalah cìptaan Thian-san Tong-lo, tapi dasarnya bersumber dari ilmu Siau-yau-pai. Maka cuma dua-tiga gebrak saja diam-diam Ting Jun-jiu terperanjat, ia heran mengapa hwesio cilik ini pun mahir ilmu pukulan Siau-yau-pai?

Karena sudah pernah adu pukulan dan ke cundang di tangan Goan-ci, sekarang melihat Hi-tiok mengeluarkan ilmu pukulan Siau-yau-pai, maka Lòkoai tidak berani sembarangan menggunakan pukulan barbisa lagi, sebab kuatir tak mempan terhadap lawan, sebaliknya dirinya sendiri bisa celaka malah. Karena itu ia ambil keputusan akan menjajaki dulu asal usul si gundul pacul itu, kemudian baru akan menggunakan racun bila perlu.

Ilmu silat Siau-yau pai itu mengutamakan kegesitan dan keluwesen, sedangkan Ting-Lokoai dan Hi-tiok adalah tokoh-tokoh terkemuka dari golongan mereka, dengan sendirinya gaya mereka menjadi sangat indah dan cepat luar biasa.

Hampir seluruh ksatria yang hadir itu tidak pernah menyaksikan ilmu silat golongan Siau yau-pai, maka semuanya menjadi sangat tertarik, merekaa melihat gaya ilmu silat Siau-yan-pai itu sangat indah bagai menari, tapi setiap pukulan selalu mengincar tempat mematikan di tubuh lawan, sungguh mereka belum pernah lihat dan tidak kenal apa namanya ilmu silat semacam ini.

Disebelah sana Siau Hong sendiri lagi melawan keroyokan Buyung Hok dan Goan-ci, untuk sepuluh jurus petama ia selalu mencecar lawannya, tapi sesudah belasan jurus ia merasa setiap pukulan Goan-ci penuh mengandung hawa maha dingin. Pada saat Siau Hong lagi mengadu tenaga dengan Buyung Hok, Goan ci juga menyerangnya, seketika ia merasa di serang hawa dingin yang susah di tahan.

Seperti diketahui dalam badan Goan ci sudah penuh racun dingin dari ulat sutra es, di tambah lagi mendapat pemupukan iwekang Ih-kin-keng, maka sekarang iwekangnya yang maha dingin itu sudah merupakan Salah satu Iwekang maha lihai di dunia ini.

Walaupun Siau Hong sangat gagah perwira, tapi menghadapi ilmu yang aneh dan lihai itu, mau tak mau ia merasa susah juga melayani, apalagi kepandaian Buyung Hok juga seimbang dengan dia, pada waktu Goan-ci terdesak Buyüng Hok membantunya pula, dengan demikian Siau Hong menjadi serba repot.

Di bawah keroyokan dua jago seperti Buyung Hok Goan-ci, keadaan Siau Hong sekarang boleh dikatakan jauh lebih berbahaya daripada dahulu ketika dikerubuti orang banyak di Cip hian-Ceng.

Tapi dasar Siau Hong memang gagah perkasa semakin payah keadaannya semakin semangat daya tempurnya, tenaga sakti dalam tubuhnya bekerja terus, ia mainkan " Hang liong-sip-pat-ciang," ilmu pukulan penakluk naga yang maha dahsyat telah dikeluarkan seluruhnya sehingga Buyung Hok dan Goan ci sukar mendekat, dengan demikian pula racun dingin pukulan Goan-ci menjadi susah mencapai tubuhnya.

Namun dengan memainkan ilmu pukulan dahsyat itu, dengan sendirinya tenaga dalam Siau Hong banyak terkuras. Asal ratusan jurus lagi tentu kekuatannya akan surut dan lemah. Goan-ci belum berpengalaman dalam pertarungan, ia tidak tahu seluk-beluk kelemahan atau keunggulan pihak sendiri dan pihak lawan. Sebaliknya Buyung Hok yang luas pengetahunya telah memperhitungkan bila pertarungan demikian diteruskan, asal dirinya dan Ong Sing-thian dapat berlahan sampai satu jam, akhirnya pihak sendiri pasti akan menang.

Biasanya "Pak Kiau Hong" dan "Lam Buyung" (Kiau Hong di utara dan Buyung di selatan) mempunyai nama harum yang sederajat di dunia persilatan, hari ini untuk pertama kalinya kedua tokoh ternama itu bertemu dan saling gebrak, tapi Lam Buyung memerlukan bantuan Ong-sing-thian dari Kai-pang untuk mengarubut lawan itu andaikan Siau Hong dapat dibinasakan, toh hal ini sudah membuktikan bahwa "Lam Buyung" sesungguhnya kalah lihai daripada "Pak Kiau Hong."

Begitulah diam-diam Buyung Hok berpikir dan menimbang dalam hati, akhirnya ia berpendapat, "Usaha membangun kembali kerajaan Yan adalah urusan lebih besar dan nama pribadi adalah soal kecil, jika sekarang aku dapat menumpas Siau Hong yang dianggap oleh para ksatria Tionggoan sebagai musuh bersama mereka, tentu mereka akan kagum dan mengindahkan diriku dan dengan sendirinya kedudukan Bu-lim Beng-cu akan kupegang dan mereka akan berada di bawah perintahku, besar harapan kerajaan Yan akan dapat dibangun kembali dengan segera. Apalagi kalau Siau Hong sudah binasa, andaikan orang anggap Lam Buyung lebih asor daripada Pak Kiau Hong toh kejadian ini pun sudah lampau."

Lalu terpikir pula olehnya, 'Jika Siau Hong binasa, Ong sing-thian akan merupakan lawan pula. Bila kedudukan Bu lim Bengcu ini sampai direbut olehnya, maka aku akan diharuskan tunduk kepada perintahnya. Wah, hal ini pun tidak menguntungkan."

Karena itu, maka pada waktu menyerang lagi diam-diam ia menghemat tenaga kelihatannya dia menyerang sekuatnya, tapi sebenarnya memupuk tenaga sendiri, dengan demikian daya tekanan Hang-liong-sip-pat-ciang yang dilontarkan Siau Hong sebagian besar dibebankan kepada Goan-ci. Karena cara permainan Buyung Hok itu memang cepat dan bagus sehingga kelicikannya sukar diketahui orang lain.

Begitulah dalam sekejap lagi serang menyerang ketiga orang itu sudah mencapai ratusan jurus, Berulang Siau Hong hendak memancing Goan-ci agar mau masuk perangkapnya. Dengan pengalaman Goan-ci yang masih hijau itu memang beberapa kali hampir kejeblos ke dalam perangkap Siau Hong, untung Buyung Hok lantas

membantunya dari samping dan dapat mematahkan setiap serangan Siau Hong. Sebaliknya tiap tiap pukulan Siau Hong yang maha dahsyat selalu disambut mentah-mentah oleh Goan ci yang memiliki iwekang maha kuat.

Saat itu Toan Ki masih berada di tengah lindungan ke-18 ksatria Cidan. Ia menyaksikan sang jiko dapat mendesak Ting lokoai dan sedikit pun tidak kelihatan asor, sebaliknya sang Toako yang mesti melawan dua musuh, walaupun kelihatannya gagah perkasa, setiap pukulannya tampak sangat dahsyat, tapi mungkin tidak tahan lama.

Diam-diam Toan Ki berpikir, "Tadi aku berkaok-kaok hendak sehidup semati dengan kedua kakak angkat, tapi sesudah bertempur aku malah sembunyi di bawah lindungan orang. Huh, terhitung adik angkat macam apakah aku lni? Masakah caraku ini dapat dianggap sehidup semati. Huh, benar-benar memalukan. Biarpun aku tidak mahir ilmu silat, tapi aku dapat menggoda Buyung hok dengan langkah ajaib Leng-po-wi-poh agar Toako sempat mampuskan dulu si muka buruk yang mengaku sebagai Ong-pangcu itu. Ya, aku harus bertindak demikian."

Karena pikiran ini, segera ia menyelinap ke luar dari lingkungan ke-18 ksatria Cidan dan berseru lantang, "Buyung-kongcu, engkau mengaku sebagai ”Lam Buyung' yang sama derajat dengan 'Pak Kiau Hong' seharusnya engkau mesti satu lawan satu dengan Toako kami, mengapa engkau pakai pembantu dan mengeroyok Toako toh dengan demikian kalian tetap kewalahan, andaikan nanti kalian mampu menandingi Toako sama kuatnya juga hal ini akan memalukan dan diterwakan sesama orang Bu-lim. Nah, marilah lebih baik kita berdua main-main sendiri boleh coba kau serang aku!" sembari berkata tubuh Toan Ki terus melayang dan menyerobot ke belakang Buyung Hok, sekali ulur tangan, segera kuduk Buyung Hok hendak dicengkramnya.

Melihat datangnya Toan Ki sangat cepat dan aneh langkahnya, tanpa pikir Buyung Hok putar tangannya dan menampar ke belakang, "plok", dengan tepat pipi kanan Toan Ki kena digampar sehingga merah bengap, saking sakitnya sampai air mata Toan Ki bercucuran.

Kiranya langkah ajaib Leng po-wi-poh itu meski sangat hebat tapi Toan ki sendiri tídak becus ilmu silat, maka langkah ajaib itu hanya berguna untuk berlari saja menghindarkan serangan lawan, sekali Toan Ki menggunakan langkah ajaib itu, biarpun jago kelas satu juga sukar menjamah ujung bajunya.

Tapi sekarang dia yang hendak menyerang orang. Dengan caranya yang geremat-geramut sudah tentu tidak dapat melawan Koh soh Buyung yang berkepandaian lihai. Maka ketika ditampar sudah tentu Toan Ki tidak mampu mengelak karuan mukanya lantas merah bengap dan meringis kesakitan.

Sebaliknya ketika telapak tangan Buyung Hok dengan cepat menyentuh pada pipi Toan Ki seketika ia pun merasa tenaga dalamnya mendadak tertuang keluar dan menghilang tak tertahankan lagi, dan karena karena kehilangan tenaga itu untuk sejenak lengannya ítu terasa kaku. Sudah tentu Buyung Hok terperanjat, pikirnya,

"ilmu sihir atau ilmu siluman apakah yang dia gunakan rasanya mirip benar dengan Hoa-kang-tai-hoat milik Ting-lokoai itu? Jangan-jangan ilmu jahat Sing-siok-pai itu benar-benar telah dipelajari bocah she Toan ini, terpaksa aku harus lebih hati-hatí menghadapi dia.”

Karena itu, segera ía mendamprat, "Orang she Toan, sejak kapan kaupun masuk Siok-siok-pai?”

"Apa katamu? ... " baru Toan Ki hendák bertanya sekonyong-konyong kaki Buyung Hok melayang tiba sehingga dia didepak terguling.

Kiranya Buyung Hok mengira orang mahir Hoa-Kang tai-hoat maka tidak berani menempurnya dari depan lagi, tapi pada saat tak terduga ía terus menendangnya sehingga Toan Ki roboh terjungkal. Sama sekali Buyung Hok juga tidak menduja bahwa dengan mudah lawannya dapat ditendang terjungkal, segera ia memburu maju dan dengan kaki kanan ia injak dada Toan Ki yang belum lagi sempat bangun.

'Kau minta mampus atau ingin hidup?" bentak Büyung Hok.

Sekilas Toañ Ki melihat Siau Hong masih melabrak Ong Sing-thían dengan sengit, la pikir kalau menjawab dengan kata-kata kasar tentu akan segera dibunuh oleh Buyung Hok dan hal ini akan berarti Buyung Hok dapat membantu Ong Síng thian untuk mengeroyok sang Toako lagi. Akan lebih baik aku main ulur waktu saja dengan dia. Maka Toan Ki lantas menjawab, "Apa gunanya mati? Sudah tentu lebih baík hidüp di dunia ramai ini!"

Sama sekali Buyung Hok tidak menduga bahwa dalam keadaan terancam jiwanya pelajar tolol ini masih berani bícara secara jahil dan acuh-tak acuh. Dengan mendongkol ia membentak pula, "Jika ingin hidup, kamu harus .... "

Mestinya ia hendak menyuruh Toan Ki menjura seratus kali padanya untuk menghinanya di depan orang banyak tapi lantas terpikir olehnya bila Toan Ki dilepaskan, untuk membekuknya lagi, mungkin akan susah, maka ucapannya lantas berganti menjadi, "harus memanggil seratus kali ’kakek’ padaku!"

"Usiamu cuma beberapa tahun lebih tua dari padaku, masakah cocok untuk menjadi kakekku!” sahut Toan-kí dengan tertawa.

"Blang," mendadak Buyung Hok menghantam sehingga mengenai tanah di samping kanan kepala Toan Ki, seketika debu pasir berhamburan dan berwujud sebuah lubang. Coba kalau pukulan itu sedikit menceng saja, bukan mustahil kepala Toan Ki sudah hancur luluh.

"Nah, kau mau memanggil atau tidak?" bentak Buyung pula.

Toan Ki miringkan kepalanya agar matanya tidak kelilipan oleh debu pasir dan sekilas dilihatnya Ong Giokyan berdiri di antara Pau Put-tong dan Hong Po-ok. Dengan jelas Toan Ki melihat nona itu sedang memperhatikan dirinya, yang bertempur dengan Buyung Hok. tapi biarpun dirinya sekarang sudah kalah dan diancam oleh Buyung Hok, sedikit pun nona itu ternyata tidak memperlihatkan rasa kuatir. Nyata apa yang dipikirkan oleh nona itu mungkin hanya satu saja, yaitu sang Piauko akan membunuh Toan-kongcu?"

Dan kalau dirinya dibunuh Buyung Hok, boleh jadi nona itu juga takkan sedih. Hancur luluh hati Toan Ki demi melihat sikap Giok-yan itu. Seketika ia merasa lebih baik mati di bawah Pukulan Buyung Hok saja daripada kelak akan menderita siksaan batin yang rindu dendam karena kasih tak sampai. Maka tanpa pikir ia terus menjawab pertanyaan Buyung Hok tadi, "Kenapa bukan dirimu saja yang memanggil seratus kali 'kakek' padaku?"

Karuan Buyung Hok manjadi gusar, sebelah tangannya terangkat dan segera menghantam kemuka Toan Ki.

Pada saat yang sama, sekoyong-konyong dua sosok bayangan orang menerjang tiba secepat kilat yang seorang berteriak. "Jangan melukai putraku!"

Dan yang lain berseru, "Jangan mencelakai Suhuku!"

Mereka adalah Toan Cing-sun dan Lam-hai-go-siu.

Walaupun kedatangan mereka sangat Cepat, tapi toh sudah terlambat untuk mencegah pukulan Buyung hok itu. Sebagai tokoh persilatan terkemuka, berbareng dua rangkuman tenaga pukulan mereka susul menyusul menyerang ke bagian mematikan di tubuh Buyung Hok.

Dalam keadaan menyerang dan diserang, walau Büyung Hok dapat membunuh Toan Ki, ia sendiri pasti juga akan celaka. Sudah tentu ia tidak ingin dirinya celaka maka segera ia menarik kembali pukulannya tadi dan digunakan untuk menangkis puluhan Toan Cing-sun, sedangkan tangan lain juga berputar ke belakang untuk mematahkan serangan Lam-hai-gok-sin.

Karena benturan tenaga itu, ketiga orang sama-sama kesiap, ketiganya merasa kepandaian lawan memang sangat hebat. Karena terburu-buru ingin menyelamatkan putranya, segera jari telunjuk Toan Cing-sun bergerak dan menutuk lagi dengan ilmu jari "it yang-ci".

"Awas, Piàuko, ini kungfu It-yang-ci keluarga Toan di Tayli, tidak boleh kau anggap enteng," seru Giok yan.

Dalam pada itu Lam-hai gok-sin juga berteriak teriak, "Bedebah keparat, meski Suhuku tidak genah, setidaktidaknya dia adalah guruku. dan kalau kau pukul Suhuku, itu berarti memukul aku si Gak luji ini. Bila Suhuku ini mendadak takut mati terus memanggil 'kakek' padamu, wah, tentu aku Gak Loji juga akan sial dan cara bagaimana aku harus memanggil padamu? Bukankah tingkatanku akan merosot tiga angkatan dan bukankah aku akan menjadi cucumu yang celaka! Kurangajar! Kamu benar-benar terlalu kurang ajar, Hari ini biarlah aku mengadu jiwa dengamu!"

Begitulah, sembari memaki segera ia mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaítu "Gok-hi-cian" (gunting congor buaya) dan segera menggunting ke kanan dan ke kiri ke arah Buyung Hok.

Selama hidup Lam hai gok Sin paling takut kalau tingkatannya berada di bawah orang lain. sampai-sampai urusan nomor dua dan tiga dalam "Su-ok" juga di perebutkan dengan Yap Ji-nio, Sekarang jika toan Ki benarbenar memanggil "kakek" pada Buyung Hok, maka tanpa bisa dítawar lagi Lam-hai gok-sin juga akan ikut menjadi "cucu" orang, Hal ini baginya benar-benar suatu kejadian yang sial. Sebab ítulah ia mati darípada hídup dihina.

Buyüng hokz sendiri tidak paham mengapa Lam-Haí-gok-sin marah-marah dan mencaci-maki padanya, Namun sebelah kakinya masih tetap! Menginjak di atas dada Toan Ki dan kedua tangannya dipakai untuk melawan Toan cing sun dan Lam-Hai gok sin.sesudah belasan jurus lambat-laun ia merasa Lam-hai-gok-sin lebih mudah dilawan biarpün orang bersenjata gunting yang aneh. Sebaliknya It-yang-ci yang dilontarkan Toan Cing-sun benar-benar tidak boleh dipandang enteng.

Sebab itulah ia mencurahkan perhatiannya untuk melayani Toan Cing sun dan cuma menggunakan sisa tenaga lain untuk melawan Lam-hai-Gok sin, bahkan terkadang dengan pukulannya yang hebat ia desak Gok-sin hingga terpaksa meloncat mundur.

Toan Ki yang dadanya terinjak, meski sudah meronta ronta hendak bangun, tetap gagal dan tidak kuat.

Sudah tentu yang paling kuatir adalah Toan Cing sun ia tahu bila kaki Buyung Hok menginjak lebih keras pasti sang putra akan muntah darah dan mungkin binasa. Dalam keadaan demikian terpaksa ia harus menggunakan serangan kilat untuk menyelamatkan dulu putranya itu. Segera ia mainkan It-yang ci dengan cepat, ia mencecar dengan serangan dahsyat.

Tiba-tiba suara seorang berseru mengejek, „Huh, It yang ci dari Tayli mengutamakan sikap agung berwibawa

tutukan yang dahsyat harus tidak harus mengurangi perbawa seorang raja. Kalau bermain cara hantam kromo demikian masakah dapat disebut sebagai It-yang ci? Hehe, benar-benar membikin malu keluarga Toan dari Tayli."

Cing-sun kenal pembicara itu adalah musuh besarnya Yan khing Thaisu alias Toa-ok. Apa yang dikatakannya itu memang benar, tapi Cing sun sendiri terlalu menguatirkan keselamatan sang putra, maka pikirannya menjadi kacau dan tidak sempat memikirkan gaya dan sikap agung lagi.

Dan karena permainan Cing-sun agak kasar, ketika ia menutuk pula dan tenaga tutukan itu kena dítarík sekekalian Buyung Hok, "crit", tahu-tahu ketika Lam-hai gok sin kena tertutuk.

Karuan Lam-hai-Gok-sín berkeok-keok kesakitan dan gelí.

"Maknya .... " baru saja ia hendak memaki, mendadak senjata guntingnya jatuh ke bawah dan mengetuk telapak kaki sendiri, ia berjingkrak kesakìtàn dan mestinya hendak mencaci-maki lagi, tapi lantas terpikir olehnya yang menggunakan It-yang-ci dan salah menyerangnya itu adalah ayah sang Suhu, kalau memakinya berarti memaki kakeknya sendirí. Ia pikir orang ini hanya boleh dibunuh dan tidak boleh dimaki, kalau ada kesempatan biar menggunting saja kepalanya. Sebab itulah makinya tadi menjadi urung diteruskan.

Pada waktu Cing sun salah menyerang teman sendiri, sedikit terpencar perhatiannya itu telah digunakan dengan baik oleh Buyung Hok, secepat kilat Ia pun menutuk dada lawan dan dengan tepat mengenai Tiong-tanhiat. Seketika Cing-sun meràsa napasnya sesak da n dada kesakitan.

"Bagus, Piauko! Jurus Ya ja-tam-hai yang hebat!" seru Giok-yan memuji.

Padahal serangan Buyung Hok itu dilakukan dengan terburu-buru dan tidak mengenai tempat yang mematikan, tapi Giok-yan sengaja memujinya.

Dalam pada itu serangan Buyung Hok sudah menyusul pula, segera tangan kanan menyodok ke depan untuk menghantam dada lawan. Karena napas Cing-sun belum lagi lancar, terpaksa ia tak dapat menangkis, kontan ia manyemburkan darah karena hantaman Buyung Hok Itu. Namun begitu demi menyelamatkan sang putra, tetap ia tidak mau mengundurkan diri, cepat ia mengerahkan tenaga. Sementara itu serangan Buyung Hok yang lain sudah tiba pula.

Toan Ki yang masih terinjak di bawah kaki Buyung Hok menjadi kaget ketika melihat sang ayah tumpah darah, sedang serangan Buyung Hok di lontarkan pula, dengan kuatir segera ia membentak, "Ho , kau berani melukai ayahku!”

Dalam gugupnya, dengan sendirinya tenaga andalannya bergolak dan meluncur keluar melalui jarínya. Dan itulah "Siang-yang-kiam" yang keluar dari Lak-mah-sin-kiam yang tak berujut itu.

"Cret", tahu-tahu lengan baju Buyung Hok terkupas terpotong oleh Kiam-gi (hawa pedang) yang tak kelihatan itu. Menyusul hawa pedang terus membentur pukulan Buyung Hok tadi, kontan Buyung Hok merasa tangan sakit pegal. Ia terkejut dan cepat melompat mundur.

Bebas dari injakan kaki orang, cepat Toan Ki merangkak bangun dan kembali jari kecil kiri menuding pula, dengan jurus "Siau-tik-kiam" ia menusuk ke arah musuh.

Buyung Hok tidak berani ayal, ia kebaskan lengan baju untuk menangkis, terdengar lagi suara "brat-bret" dua kali, lengan bajunya terkupas potong oleh hawa pedang.

"Awas Kongcu!" seru Ting Pek-jwan. Itu Bu-heng-Kiam-gi,(hawa pedang tak berwujud) pakailah senjata ini.”

Berbareng ia lolos pedang sendiri dan dilemparkan kepada Buyung Hok.

Toan Ki merasa sangat sedih dan dongkol panas tadi mendengar Gíok-yan bersorak memuji serangan Buyung Hok, dan yang diserang justru dada ayahnya.

Dengan perasaan yang bergejolak itu, maka tenaga dalamnya juga ikut bekerja serentak, sekaligus ¡a ményerang dengan Siau-siang, Siang-heng, Tiong-hang, Kwan-heng , Siau-hong dan Biau-heng, Lak-mehkiam-hoat dikeluarkan seluruhnya dengan lancar seakan-akan dibantu oleh suatu kekuatan gaib.

Buyung Hok sendíri juga tambah semangat barusan mendapat lemparan senjata dari Ting Pek-juan, ia putar pedang dengan kencang hingga seluruh tubuh seperti terbungkus dalam lapisan sinar pedang.

Orang-orang Bu-lim biasanya cuma mendengar kepandaian keluarga Buyung itu sangat tinggi dan luas. boleh dikatakan serba bisa, tapi tidak menduga bahwa ilmu pedangnya ternyata sedemikian bagusnya.

Namun begitu, betepa hebat Ilmu pedang Buyung Hok itu tetap dia tidak dapat mendekati Toan Ki dalam jarak dua-tiga meter.

Kedua tangan Toan Ki kelihatan menutuk kesana dan ke sini danBuyung Hok terpaksa harus berkelit kian kemari dengan sibuk Sekonyong-konyong terdengar "krek" sekali, tahu-tahu pedang yang dipegang Buyung hok menjadi belasan potong dan mencelat ke udara sehingga mengeluarkan Sinar gemerdep.

Walaupun terkejut, Buyung Hok tidak menjadi gugup, menyusul ia menghantamkan telapak tangannya sehingga belasan potong pedang patah itu tertimpuk ke depan dan mirip hujan senjata rahasia dan menyerang ke arah Toan Ki.

"Haya, celaka!" teriak Toan Ki dengan kelabakan dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan bertiarap di atas tanah.

Maklum dia tidak mahir ilmu silat, jangakan dihujani senjata rahasia sebanyak itu, biarpun sibatang saja dia sudah kerepotan. Untung juga dia bertiarap hingga belasan pedang patah itu menyambar lewat di atas kepalanya. Tapi cara berkelit dengan bertiarap hingga mirip "anjing menubruk tahi" itu sudah tentu tidak pantas dipandang orang. Sebaliknya meski pedangnya diputuskan tapi Buyung Hok bisa merubah menjadi pihak yang menang, tentu saja ia lebih gemilang daripada lawannya.

”Terimalah senjata ini Kongcu!" seru Hong Po-ok sambil melemparkan goloknya.

Cepat Buyung Hok sambar senjata itu. Ia lihat Toan Ki sudah merangkak bangun, segera ia mengejeknya dengan tertawa, "Jurus Toan-heng barusan mungkin bernama anjing menubruk tahi, apakah itu termasuk kungfu lihai dari keluarga Toan di Tayli?”

Toan Ki melengak tapi lantas menjawab, ”Bukan!”

Menyusul jarinya bergerak, segera ia menusuk pula dengan Siau ciang-kiam.

Kembali buyung Hok putar goloknya dengan segera ia mengeluarkan bermacam-macam ilmu golok dari berbagai golongan seperti tidak habis-habis kepandaiannya tak terhingga. Cuma meski ilmu golok Buyung Hok sangat hebat tetap susah mendekati Toan Ki.

Sebaliknya ketika Toan Ki menusuk lagi dengan jarinya dan terpaksa Buyung Hok menangkis dengan goloknya, tahu-tahu terdengar "trang" sekali, kembali golok itu tergetar patah.

Cepat Kongya Kian melemparkan senjatanya sendiri, yaitu dua batang Boan-koan-pit dari baja, Buyung Hok membuang golok patah dan sambut Boan-koan pit yang dilemparkan anak buahnya itu, menyusul ia gunakan untuk menyerang dengan cepat.

Dalam pada itu semangat pertempuran Toan Ki sudah tambah kuat, sesudah berpuluh jurus sekarang rasa jerinya sudah lenyap, Teringat pula ajaran-ajaran Iwekang dari paman bagindanya Koh-eng Taisu. Segera ia dapat memainkan Lak-meh-sin-kiam dengan lebih lancar.

Tiba-tiba terdengar Siau Hong berkata padanya, "Samte permainan Lak-meh-sin-kiam sekaligus ini tampaknya engkau belum apal betul sehingga banyak lubang yang dapat digunakan musuh untuk balas menyerang. Lebih baik kamu menggunakan salah satu macam di antaranya saja.”

"Baik banyak terima kasih atas petunjuk Toako." jawab Toan Ki. Waktu ia melirik, ia lihat Siau Hong sudah berdiri di samping dengan berpeluk tangan, sebaliknya Ong Sing-thian tampak menggeletak di alas tanah dan sedang rnerintih-rintih kesakitan, ternyata kedua kakinya telah patah.

Kiranya sesudah Toan Ki ikut maju menempur Buyung Hok sehingga Siau Hong hanya melawan Goan-ci sendirian, seketika Siau Hong berada di atas angin. Walaupun beberapa kali mengadu tangan dan merasa hawa dingin pukulan Goan-ci itu susah ditahan, untung tenaga dalam Síaü Hong teramat kuat dan tidak sampai keracunan.

Segera Siau Hong berganti siasat sedapat mungkin ia menghindari adu pukulan sebaliknya ia mengunakan tipu serangan lain.

Mendadak ia memukul susul menyusül dua kali sehingga terpaksa Goan-ci mesti menangkis sekuatnya, kesempatan ítu segera digunakan Siau Hong untuk menyapak dengan kakinya.

Kemahiran Goan-ci hanya racun dingin yang diperolehnya dari ulat es dan iwekang dari Ih tin kang, dalam hal ilmu silat hanya dipelajarinya sedikit-sedikit dari A Ci, sudah tentu ià tidak mampu menghindarkan serampangan kaki Sìau Hong. Maka tanpa ampun lagi, "krak-krek", kedua tulang kakinya disapu patah oleh Siau Hong sehingga roboh terjungkal.

"Hm, selamanya Kai-pang méngútamakan kejujuran dan berdiri di pihak yang baik, sebagai pangcu masakah kamu malah berkomplotan dengan kawanan siluman Sing-siok-pai? Benar-benar membikin malu nama baik Kai-pang selama beratus tahun ini!" damprat Siau Hong.

Sebabnya Goan-ci dapat menjabat Pangcu adalah karana orang lain tidak mampu melawan ilmu silatnya yang

berbisa, bicara tentang pengalaman dan pengetahuan dia boleh dikatakan sangat hijau, apalagi dia memakai kedok, kelakuannya serba sembunyi-sembunyi, segala urusan selalu bergantung kepada A Ci dan Coan Koanjing, dengan sendìrinya para Tionglo Kaì Pang merasa tidak suka padanya.

Apalagi tadi Goan-ci telah menyembah kepada Ting jun-jiu dan masuk menjadi anggota Sing-siok-pai, tentu saja para Tianglo semakin memandang hina padanya. Maka sekarang tiada seorang pun yang mau menolongnya biarpun kedüa kakinya disarampang patah olah Siau Hong. sebaliknya diam-diam para Tionglo merasa bersyukur dan senang malah.

Ada juga beberapa orang separti Coan Koan jun dan begundalnya ingin maju menolong sang Pangcu yang menggeletak di tanah itu, tapi demi nampak sikap Siau Hong yang gagah perkasa dan angker itu, mereka menjadi jeri pula.

Sesudah merobohkan Goan-ci, Siau Hong melihat pertarungan Hi-Tiok melawan Ting Jun-jíu pün sudah menduduki tempat yang unggul, sebaliknya Toan ki yang melawan Buyung Hok dengan Lek-meh-sin-kiang terkadang bagus dan sekali tempo sangat lambat sehingga banyak kesempatan baik untuk mengalahkan lawan tersia-siakan, bahkan kalau kena pukül bukan mustahil Toan Ki sendiri yang akan celaka di tangan Buyung Hok sebab itulah ia lantas bersuara memberi petunjuk kepada Toan Ki.

Dan karena Toan k¡ melirik sekejap keadaan Siau Hong yang telah mengalahkan Goan-cí itu sedikít lengah saja telah digunakan oleh Buyung Hok dengan baik. Sebelah Boan-koan-pit secepat kilat disambitkanke dada Toan Ki.

Melihat sambaran Boan koan-pit itu sedemikian hebatnya, tampaknya akan segera menembus dadanya, Toan Ki menjadi kelabakan dan berteriak-teriak, "Toako! tolong, Toako!"

Cepat Síau Hong bertindak, dengan Jurus "Kian-liong-cai-thian" (melihat naga di sawah) salah satu jurus Hang liong sip pát ciang keras dihantamkan ke depan sehingga Boan koan pit itu tersampuk dan melengkung bagian Tengahnya, karena itu arahnya lantas berkisar dan membelok kebelakang kepala Toan Ki, bahkan terus berputar balik dan menyambar ke arah Buyung Hok malah.

Kejadian ini pun di luar dugaan Siau Hong sendiri, ia tidak menduga bahwa selama ini tenaga dalamnya telah maju sedemikian pesatnya sehingga tanpa terasa tenaga pukulannya dapat membuat batang potlot baja itu melengkung, bahkan terus mengitar balik ke árah penyambitnya.

Sebenarnya tindakan Siau Hong ini hanya secara kebetulan saja, namun demikian sudah membikin para ksatria melongo kesima, semuanya terkejut dan merasa kepandaian Siau Hong benar-benar sudah mencapai tarap yang sukar diukur.

"Nah, itu namanya 'Ih-pi-ci-to, hoan-si-pat sin," teriak Hoan Hua.

Tapi Buyung Hok sempat mengangkat Boan-koan-pit yang lain untuk menangkis, "trang", kedua batang Boankoan-p¡t kebentur, lengan tergetar sampai kesemutan, diam-diam ia mengakui betapa kuatnya tenaga Siau Hong.

Namun sebelum Boan-koan-pit yang melengkung tadi terpental jatuh, sekali tangannya meraup dengan tepat Boan koan-pit bengkok itu kena ditangkapnya dan dapat digunakan sebagai senjata pula dalam bentuk gaetan.

Melihat macam-macam kepandaian Buyung Hok yang serba bagus itu, ditambah lagi tenaga pukulan Siau Hong yang hebat tadi, seketika bersoraklah para ksatria memberi pujian,

Mereka merasa tontonan hari ini benar-benar berharga untuk dilihat dan perjalanan mereka ke Siau-lim-pai ini tidak percuma juga.

Dalam pada itu sesudah terhindar dari serangan Boan koan-pit, hanya tertegun sejenak saja segera Toan Ki. menutuk ke depan pula dengan Jari jempol dalam jurus "Siau-siang-kiam" yang dahsyat. Walaupun Buyung Hok masih dapat menangkis dengan Boan-koan-pit yang sekarang berbentuk lain itu namun lambt-laun ia merasa penuh juga.

Sebaliknya. karena mendapat petunjuk dari Siau Hong, maka sekarang Toan Ki melulu memainkan siau-siangkiam sajà sehingga daya tekannya benar-benar bertambah hebat dan tidak memberi lobang kelemahan bagi Buyung Hok.

Sebenarnya Lak-meh-kiam hoat itu meliputi enam jurus yang satu lebih hebat daripada yang lain kalau dimainkan secara berantai.

Tapi Toan Ki tidak paham letak kelihaian ilmu pedang tak berwujud itu, ia cuma memainkan Siau-siang-kiam secara berulang-ulang. Namun begitu sesudah belasan kali berulang,

Buyung Hok terdesak hingga mandi keringat, ia main mundur terus dan akhirnya kepepet sampai di samping sebatang pohon besar. di situlah ia coba bertahan pula dengan membelakangi pohon.

Setelah memainkan Siau-siang-kiam, segera Toan Ki menekuk jempolnya dan berganti dengan jari telunjuk, sekarang yang dimainkan adalah Siau-yang kiam.

Siau-yang-kiam memang kurang dahsyat dibandingkan Siau siang-kiam, tapi lebih cepat dan lebih ganas. Maka ketika Jarinya menusuk, seketika Buyung Hok tambah kerepotan menghindarkan diri.

Melihat keadaan sang Piauko terancam bahaya, Giok yan menjadi kuatir. Meski ia tahu segala macam Ilmu silat dari berbagai golongan persilatan tapi terhadap Lak-meh-sin-kiam sama sekali tidak paham sehingga tidak dapat memberi petunjuk apa-apa kepadà sang Piauko maka dia hanya kuatir saja dan tak berdaya.

Melihat ilmu pedang Toan Ki yang tak berwujud itu makin dimainkan makin hebat, diam-diam Siau Hong sangat senang dan kagum. Tiba-tiba hatinya menjadi pedih pula demi teringat kepada A Cu.

Sebabnya A Cu rela mati mewakilkan ayahnya adalah lantara kuatir kalau aku tidak dapat melawan Lak-mehsin-kiam keluarga Toan mereka. Sedangkan kalau melihat ilmu pedang yang dimainkan Samte ini memang sedemikian saktinya, andaikan aku yang diserang seperti Buyung Hok sekarang. terang aku pun tidak sanggup melawannya. Jadi A Cu telah mengorbankan jiwanya untuk keselamatan diriku, padahal aku adalah ....adalah bangsa Cidan yang kasar, masaakah aku ada harganya untuk mendapatkan cinta si nona yang suci murni itu? Demikian pikir Siau Hong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang banyak dari arah barat laut sana sedang berteriak. "Sing síok Lokoai, kau berani bergebrak dengan Kaucu kami dari Leng ciü kiong? Sekarang kamu berlutut dan menyembah untuk minta ampun jika tidak ingin mampus?"

Waktu Siau Hong berpaling, la lihat di lambung gunung sana berdiri delapan baris kaum wanita ada yang tua dan ada yang muda. setiap barisan itu memakai pakaian seragam berbeda warna.

Disamping kedelapan barisan wanita itu ada pula ratusan orang kangouw dengan dandanan berbeda daripada orang biasa. Orang orang kang-ouw yang tampaknya gagah dan tangkas itu juga sedang berteriak-teriak, "Kaucu, lekas tanamkan Sing-si-hu padanya, biar dia tahu rasa!”

"Ya, terhadap Sing-siok Lokoai tiada obat yang lebih mujarab daripada diberi persen dengan Sing-si-hu!"

Saal itu Hi-tiokz sedang melabrak Ting-lokoai dengan sepenuh tenaga. Baik ilmu silatnya maupun tenaga dalamnya Hi-tiok berada di atas Ting Jun jiu maka sejak tadi mestinya dia dapat mengalahkan lawan, cuma dia kurang berpengalaman di medan tempur sehingga kepardaiannya yang sejati tidak sempat dikeluarkan seluruhnya. Pula dia berhati welas asih, banyak tipu serangan mematikan tak mau digunakannya, apalagi

seluruh badan Lokoai boleh dikata racun melulu, hal ini membuat Hi-tiok agak jeri dan tidak berani sembarangan menyentuh badannya, makanya sampai sekian lama ia masih belum dapat merobohkan iblis tua itu.

Ketika mendadak mendengar suara orang banyak yang memanggil dia, segera Hi-tiok berpaling dan terlihat delapan daripada sembilan pasukan wanita Leng ciu kiong telah datang semua. Dan kaum laki-laki itu adalah para Tongcu dan Tocu yang jumlahnya tidak sedikit.

”Sia-popo. Oh-siangsing, mengapa kalian pun datang semua?” seru Hi-Tiok dengan girang.

"Lapor Kaucu, hamba sekalian telah menerima berita Bwe-kiam berempat dan mendapat tahu para keledai gundul Siau-lim-pai hendak membikin susah kepada Kaucu, maka buru-buru hamba mengumpulkan para Tongcu dnn Tucu dan menyusul kemari," demikian sahut Sia-popo. "Dan sekarang ternyata Cujin tidak kurang suatu apa pun, sungguh hamba sekalian merasa sangat girang."

"Siau-lim-pai adalah perguruanku, kamu tidak boleh memakai kata-kata kasar, lekas minta maaf kepada Hongtiang Siau lim-si," bentak Hi-Tiok.

Sembari berkata tetap Hi-tiok memainkan Thian-san ciat-bwe-jiu dengan tidak kurang hebatnya.

Sia-popo tampak gugup karena teguran Hi-tiok itu, dengan hormat ia mengiakan dampratan sang Cujin, lalu mendekati Hian-cu dan berlutut, ia menyembah beberapa kali dan berkata, "Sia-Popo dari Leng-ciu-kiong tadi telah bicara secara kasar dan menyinggung nama baik para Taisu Siau-lim-si, untuk itu harap Hongtiang suka memaafkan dan mohon diberi hukuman yang pantas."

Dia bicara dengan sungguh-sungguh dan penuh hormat, kata demi kata sangat lantang dan jelas, hal ini menandakan Iwekangnya yang tinggi dan sudah tergolong jago kelas satu.

Hian-cu mengebatkan lengan bajunya berkata, "Ah, Lisicu tidak perlu banyak adat, silahkan bangun!"

Dengan kebasan langan baju yang menggunakan delapan bagian tenaga itu mestinya Hiau-cu hendak mengangkat bangun si nenek, tak tersangka badan Sia-popo cuma sedikit tergetar saja dan tidak sampai terangkat. Bahkan ia nenek itu lantas menjura lagi dan minta ampun, habis itu baru dia berbangkit dengan pelahan dan kembali ke tempatnya tadi.

Para padri Siau lim-si angkatan Hian tadi telah mendengar penuturan Hi-Tiok tentang pengalamannya di Biau-

biau-hong. sebaliknya padri lain dan para kesatria yang menyaksikan itu menjadi terheran-heran akan kepandaian si nenek yang luar biasa itu tampaknya kawan-kawannya baik wanita maupun laki-laki itu pun bukan kaum lemah, tapi mengapa sudi mengaku harnba pada Hi-tiok.

Dalam pada itu anggota Sing siok-pai yang dasarnya memang terdiri dari manusia-manusia rendah dan kurangajar itu, demi melihat banyak di antaranya wanita Leng-ciu-kiong itu masih muda dan cantik serentak mereka berkeok-keok dan bersiul-siul menggoda dengan kata-kata yang kotor.

Sebaliknya para Tongcu dan Tocu itu adalah orang kasar pula, demi mendengar ucapan orang Sing-siok-pai yang tidak sopan itu, kontan mereka balas mecaci maki sehingga seketika itu ramailah suara orang membentak dan memaki.

Bahkan para Tongcu dan Tocu serentak meloloskan senjata hendak melabrak lawan-lawannya. Tapi anggota Sing-siok-pai tidak berani sembarangan bergerak karena belum mendapat perintah guru mereka. Mereka masih tetap mencaci maki dengan kata-kata yang semakin kotor.

Sementara Toan Ki masih terus memusatkan perhatiannyq untuk menyerang Buyung Hok dengan Siau-yangkiam. Karena tercecer, maka akhirnya Buyung Hok menjadi susah membendung arah datangnya hawa pedang serangan Toan Ki itu, terpaksa ia putar sepasang Boan-koan-pit yang lurus dan bengkok itu untuk melindungi tubuhnya.

"Crit", sekonyong-konyong hawa pedang Toan Ki menembus pertahanan Buyung Hok sehingga kopyahnya terpapas jatuh, seketika rambutnya terurai, keadaannya serba runyam.

"Jangan, Toan kongcu!" teriak Giok yan dengan kuatir.

Toan Ki terkesiap, menghela napas panjang dan serangan lain tidak jadi dilontarkan lagi. Katanya di dalam hati, "Ya, aku tahu yang kau pikirkan hanya piaukomu seorang saja, andaikan aku membunuhnya, tentu engkau akan sangat terluka dan selanjutnya takkan tertawa lagi. Aku menghormati dan mencintaimu, tidak nanti aku membikin dirimu hidup merana."

Dalam pada itu Buyung Hok telah mengikat kembali rambutnya dengan wajah pucat, kalau mendapat bantuan seorang wanita untuk mengatakan ampun kepada lawan, maka ke mana lagi mukaku harus ditaruh selanjutnya?

Karena pikiran itu, ia lantas membentak, "Seorang laki-laki biar mati juga tidak sudi minta kemurahan hatimu."

Berbareng ia putar Boan-koan-pit dan menubruk maju lagi.

"Eh, eh, jangan! kita kan tiada permusuhan apa-apa. Kenapa mesti bertempur lagi?"' seru Toan Ki sambil menggoyang-goyang kedua tangannya ke depan. "Sudahlah aku tak mau berkelahi lagi, tak mau lagi!"

Dasar watak Buyung Hok memang tinggi hati selamanya dia tidak pandang sebelah mata pada siapa pun, tapi sekarang dia kecundang di depan orang banyak celakanya lawan adalah orang yang dikenal sebagai pelajar tolol itu, apalagi lawannya lantas mengalah lantaran Giok-yan ikut minta. Sudah tentu la tidak mau terima mentah-mentah kekalahannya.

Maka sekali menubruk maju, segera ia gunakan Boan-koan-pit yang bengkok itu untuk menyerang müka Toan Ki, sebaliknya Boan-koan-pit lurus menusuk dada lawan, pikirnya, "Biarlah kau bunuh aku dengan hawa pedang tak kelihatan itu, marilah kita. gugur bersama daripada hidup menanggung malu di dunia ini."

Nyata, dengan serangan Buyung Hok itu, terang dia sudah nekat dan tidak menghiraukan sendiri lagi.

Di lain pihak Toan Ki menjadi bingung juga ketika melihat Buyung Hok menubruk ke arahnya, kalau ia gunakan Lak-meh-sin-kiam, kuatír akan membinasakan lawan itu. Dan karena sedikit ayalserangan Buyung Hok sudah tiba, "Bles”, tahu-tahu Boan-koan-pit menancap dibadan Toan Ki sedang dalam kagetnya mengeges sedikit ke kiri sehingga tusukan itu tidak tepat menembus dadanya tapi menancap bahunya, begitu hebatnya serangan itu sehingga bahu Toan Ki tertembus.

Dan Takkala Toan Ki menjerit kaget menyusül Buyung Hok ayun Boan-kuau-pit lain yang bengkok itu untuk menggaet leher Toan Ki.

Saat itu Toan telah dipantek oleh Boan-koan-pit sehingga susah mengelak lagi, tampaknya dia pasti akan dibinasakan oleh serangan Buyung Hok yang sudáh kalap itu.

Melihat keadaán berbahava itu, kembali Toan Cing-Sun dan Lam-hai-gok-sin menubruk maju lagi hendak menolong. Tapi sekali ini Buyung-Hok sudah bertekad harus mernbunuh Toan Kí, maka ia tidak menghiraukan keselamatan sendiri yang diserang sekaligus oleh Toan Cing-sun dán Lam-hai-gok-sin berdua.

Tampaknya leher Toan Kí akan segera dapat digantul oleh Boan-koan-pitnya yang bengkok itu, walaupün Buyung Hok sendiri juga takkan terhindar dari kematian karena di serang bareng oleh Cing-sun dan Gok-sin, di luar dugaan pada detik yang menentukan itu sekonyong-koyong Buyung Hok merasa "Sin-to-hiat" di punggungnya terasa kesemutan dan tahu-tahu badan kena dicengram dan diangkat ke atas oleh tangan seseorang.

Sin-to-hiat adalah hiat-to terpenting di bagian punggung, sekalí tempat itü terpegang seketika terasa kedua tangan linu pegal dan tak bertenaga lagi sehingga senjata yang dipegangnya juga terjatuh.

Maka mendengar Siau Hong membentak dengan suara bengis, "Orang sengaja mengampun jiwamu, tapi kamu malah turun tangan keji. Huh, terhitung ksatria macam apakah ini!"

Kiranya Siau Hong telah mengikuti tindakan Buyung Hok yang nekat tadi dengan menubruk maju tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri, dalam keadaan begitu, kalau Toan Ki mau menyerang lagi, dengan gampang sekali jiwa Buyung Hkk pasti akan melayang.

Tapi sama sekali tak terduga bahwa pada saat yang menguntungkan itu mendadak Toan Ki "melongok" di tengah jalan dan tidak mau menyerang, Sebaliknya serangan Buyung Hok tadi teramat cepat datängnya, walau Siau Hong juga harus memburu maju secepat kilat terus mencengkram pinggang Buyung Hok, tapi tidak beruntung Toan Ki sudah dilukai lebih dulu.

Sebenarnya dengan kepandaian Buyung Hok yang tinggi itu, meski masih kalah setingkat dari pada Siau Hong, tapi juga tidak perlu sekali gebrak saja lantas tertawan. Soalnya waktu itu dia sudah kalap dan nekat, yang dipikir hanya membinasakan Toan Ki melulu dan sama sekali tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Sedangkan cengkeraman Siau Hong itu pun semacam Kim-tiaw-jiu-hoat yang amat cepat dan lihai, yang diarah juga hiat-to terpenting, maka Buyung Hok lantas tertangkap dan tak bisa berkutik lagi.

Dasar perawakan Siau Hong juga tinggi besar tangan panjang dan kaki jangkung, ia pegang Buyung Hok ke atas hingga mirip elang mencengram anak ayam.

Melihat sang majikan terancam bahaya, serentak Ting Pek-Jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok berempat berlari maju sambil berteriak, "Jangan mencelakai Cukong kami!"

Begitu juga Giok-yan ikut berlari dan berseru, "Piauko! Piauko!"

Namun berada di bawah cengkraman orang biarpun Buyung Hok mempunyai kepandaian setinggi langit juga sukar dikeluarkan. Sungguh ia ingin lebih baik mati saja daripada menderita hinaan sehebat itu.

Tiba tiba Siau Hong tertawa dingin dan berseru, "Huh, Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati ternyata diberi nama sejajar dengan manusia rendah seperti ini, sungguh memalukan saja!"

Dan sekali bergerak segera ia lemparkan Buyung Hok.

Di lempar oleh tenaga Siau Hong yang maha kuat itu, kontan Buyung Hok mencelat sampai belasan meter jauhnya. Segara ia melejit hendak berbangkit, tak tersangka ketika Siau Hong mencengkram hiat to punggungnya tadi, tenaga dalam Siau Hong telah dikerahkan sehingga menembus seluruh urat nadinya, maka dalam waktu sekejap saja Buyung Hok tidak dapat melancarkan kembali jalan darahnya, "Blang", tanpa ampun lagi ia terbanting di tanah dalam keadaan serba runyam.

Ting Pek jwan dan lain-lain tidak sempat mengerubut Siau Hong lagi dan serentak putar balìk dan lari mandekati Buyung-Hok. Tapi sebelum Pak-jwan dan kawan-kawannya mendekat, Buyung Hok sudah berbangkit. Dengan muka pucat bagaikan mayat ia terus lolos pedang yang tergantung di pinggang Tìng Pekjwan, menyusul sebelah tangan menolak ke depan sehingga Pek-jwan dan Giok-yan berlima didesak mundur, lalu ia angkat pedang terus mengorok leher sendiri.

Keruan Giok-yan terkejut, cepat ia berteriak-teriak, "He, Piauko, jangan .... "

Dan pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendesing nyaring memecah angkasa, sepotong am gi (senjata rahasia) tahu-tahu menyambar dari tempat jauh dan melintasi lapangan terus membentur pedang yang terpegang di tangan Buyung Hok itu. "Trang", kontan Buyung Hok merasa tangan kesemutan, pedang terlepas dari cekalan telapak tangan sampai tergetar lecet dan berdarah.

Waktu Buyung Hok memandang ke arah datangnya, senjata rahasia itu, ia lihat di atas karang sana berdiri seorang padri berjubah putìh perawakannya tinggi kurus, mukanya memakai kain kedok putih, hanya kelihatan sepasang matanya yang bersinar tajam.

Dengan tenang padri jubah putih itu melintas lapangan yang dikerumuni orang banyak itu dan mendekati Buyung Hok. Tiba-tiba ia tanya pemuda itu, "Kamu mempunyai putra atau tidak?"

Sebenarnya semua orang sama terkejut dan kagum ketika mendengar suara mendesingnya senjata rahasia yang nyaring memecah angkasa tadi. Kini demi nampak padri berjubah putih yang menyambitkan senjata rahasia itu mendekati Buyung Hok dan mengajukan pertanyaan yang aneh itu mereka tambah heran dan geli pula.

Didengar dari suaranya, agaknya usia padri jubah putih itu sudah cukup tua. Jubah padri yang dipakai itu pün agak berbeda daripada jubah yang dipakai oleh hwesio Siau-lim-si.

Begitulah, maka terdengar Buyung Hök menjawab, "Aku belum kawin, dari mana punya putra!”

"Dan kau punya kakek-moyang atau tidak?" kembali padri jubah putih bertanya dengan kereng.

Buyung Hok sangat mendongkol, jawabnya dengan ketus, "Sudah tentu punya! Aku sendiri akan mati, peduli apa denganmu? Seorang boleh dibunuh dan tidak sudi dihina. Buyung Hok adalah seorang laki-laki sejati dan tidak mau terima ucapanmu yang kasar ini."

"Hm, kakek moyangmu mempunyai keturunan ayahmu mempunyai putra sebagai dirimu. Tapi, tahu betapa gagah perwiranya raja Yan seperti Buyung Lok, Buyung Tok dan lain-lain, sungguh tidak nyana akhirnya mesti mengalami nasib putus keturunan!" demikian padri jubah putih berkata dengan mengejek.

Buyung Lok, Buyung Tok dan lain-lain adalah raja kerajaan Yan yang terkenal sangat pandai dan gagah, namanya disegani kawan dan lawan. mereka itu adalah leluhur Buyung Hok yang terkenal dalam lembaran sejarah.

Sekarang dalam keadaan kalap dan nekat mendadak Buyung Hok mendengar nama-nama kakek-moyangnya itu, seketika ia merasa kepalanya seperti disiram air dingin dan sadar seketika. Pikirnva, "Mendiang ayahku telah memperingatkan aku agar mengemban cita-cita membangun kembali kerajaan Yan sebagai tugas utama dalam hidupku ini. Sekarang aku terburu napsu dan nekat ingin membunuh diri, selanjutnya keluarga Buyung tentu akan putus turunan. Ya, anak saja belum punya, mana aku dapat bicara tentang perjuangan menjayakan nama keluarga dan membangun kembali kerajaan Yan?"

Teringat semua itu, seketika Buyung Hok mandi keringat dingin, tanpa terasa ia berlutut dan menyembah kapada padri tadi, katanya, "Buyung Hok terlalu bodoh, berkat petunjuk padri agung yang berharga ini, sungguh selama hidup takkan kulupakan budi kebaikan ini."

Dengan begitu saja padri itu menerima penghormatan Buyung Hok, sahutnya, "Ya, sejak dulu sampai sekarang, seorang pejuang sejati harus berani menghadapi segala penderitaan Seperti Han-Koat, Toan-ko-cung, semuanya pernah mengalami kegagalan dan dihina. Tapi akhirnya mereka berhasil mendirikan dinasti Han dan Tong. Jika mereka juga memble seperti dirimu dengan menggorok leher sendiri, hal ini berarti tamatlah segala cita-cita dan hilangnya harapan leluhur. Sungguh dangkal benar pengetahuanmu!"

Buyung Hok terima petuah itu dengan berlutut mendadak ia terkesiap dan heran, "Padri saleh ini seakan-akan tahu cita-cita apa yang terkandung dalam pikiranku sehingga memberi banyak contoh yang berharga bagiku?"

Maka dengan hikmat ia pun mengakui kesalahannya.

"Nah, bangunlah!” kata padri itu akhirnya.

Dengan hormat Buyung Hok menyembah lagi beberapa kali, lalu berbangkit.

"llmu silat keturunan keluarga Buyung dari Koh-soh sungguh sangat hebat dan tiada bandingannya di dunia ini. soalnya kau sendiri yang belum dapat belajar sampai tingkatan yang tertinggi," kata pula padri itu. "Memangnya kaù sangka ilmu silat keluarga Buyung beñar-benar kalah daripada Lak-meh-sin-kian keluarga Toan dì Tayli? Ini, coba lihat yang jelas!"

Habis berkata, sekonyong-konyong ia mengunakan jari telunjuknya dan menutuk tiga kali ke depan. Saat itu Toan Cing-Sun dan Pa Thian-sik berdiri disebelah Toan Ki. Cing-sun sedang menutuk hiat-to disekitar terluka. Toan Ki yang tertusuk Boan-koan-pit dan telah dicabut keluar itu. Tak terduga tiba-tiba jari padri itu menutuk secepat kilat dada Cing-sun dan Thian-sik lantas terasa kesemutan dan roboh ke belakang, berbareng Boankoan-pit yang dicabut dan dipegang Cing-sun itu lantas terpental dari cekalan dan meluncur cepat ke depan, "plok" senjata itu menancap diatas batang pohon di kejauhan sana.

Sesudah roboh, segera Cing-sun dan Thian-sik melompat bangun dan saling pandang mereka terperanjat. Sungguh tak terkira hebatnya tenaga tutukan padri jubah putih itu, terang padri itu tidak bermaksud membunuh mereka, kalau mau pasti jiwa mereka sudah melayang sejak tadi.

Dalam pada itu terdengar padri jubah putih itu sedang berkata kepada Buyung Hok, "Nah, inilah 'Jap-hap-ci' (tutukan campuran) yang hebat dari keluarga Buyung kalian. Dahulu kupelajari secara tak sengaja dari leluhurmu, padahal aku pun cuma paham sebagian kecil saja, ilmu silat lain yang tak kuketahui entah masihberapa banyak. Hehe, masakah dengan sedikit, kepandaian bocah yang masih hijau sebagai dirimu ini lantas dapat mengembangkan nama kebesaran Koh-soh Buyung yang tersohor itu?"

Semula para ksatria juga sangat jeri kepada nama "Koh-soh Buyung" yang tersohor itu tapi ketika melihat Buyung Hok dikalahkan habis-habis oleh Toan Ki yang ketolol-tololan itu, kemudian dibanting pula oleh Siau Hong tanpa bisa berkutik maka dalam hati para ksatria lantas timbul rasa kecewa kepada keluarga Buyung yang dianggapnya cuma punya nama kosong belaka.

Tapi sekarang setelah menyaksikan sì padri jubah putih memperlihatkan tutukan saktinya, mau tak mau timbul kembali rasa kagum dan homat para ksatria kepada "Koh-soh Buyung." Cuma saja dalam hati semua orang sama bertanya-tanya, "Siapakah gerangan padri ini? Ada hubuungan apakah antara dia dengan Buyung Hok?"

Kemudian padri baju putih itu berpaling Ke arah Siau Hong, katanya sambil merangkap tangannya, "Ilmu silatl Kiaui-tai-hiap sungguh maha sakti dan tidak bernama kosong, maka ingin kubelajar kenal beberapa jurus denganmu."

Memangnya Siau Hong sudah siap, maka ketika merangkap tangannya memberi salam, segera la pun merangkap kepalan tangan dan balas menghormat sambil berkata, "Ahh, Taisu tidak perlu sungkan-sungkan!”

Maka terbenturlah dua arus tenaga maha kuat badan kedua orang pun sama-sama tergeliat sedikit.

Pada saat itulah dari udara tiba-tiba melayang turun sesosok bayangan hitam laksana elang raksasa menyambar ka bawah dan dengan tepat jatuh di tengah-tengah antara padri jubah putih dan Siau Hong yang sedang mengadu kekuatan itu.

Karena datangnya bayangan orang itu teramat cepat dan melayang turun dari udara saking terkejutnya sampai semua orang sama menjerit. Dan sesudah bayangan orang itu berdiri tegak di atas tanah barulah semua orang dapat melihat jelas kiranya pada tangan orang itu terpegang seutas tambang yang sangat panjang, ujung tambang yang lain terikat di pohon besar yang berada di tempat beberapa meter jauhnya. Jadi orang itu melayang tiba dengan ayunan tambang yang panjang itu.

Orang itu tampak berkepala gundul, nyata juga seorang padri. Terbalik daripada si padri jubah putih yang memakai kain kedok putih, padri jubah hitam ini juga memakai kain kedok hitam sekarang cuma kelihatan sinar matanya yang berkilatan. Kedua padri hitam-putih ini berdiri berhadapan dan saling pandang.

Kedua padri itu berdiri saling pandang sampai sekian lamanya dan tetap tiada yang membuka suara.

Semua orang melihat perawakan kedua padri itu sama-sama sangat tinggi cuma padri jubah hitam agak lebih kekar dan padri jubah putih lebih kurus.

Di antara para penonton itu hanya ada seorang yang merasa sangat girang dan terima kasih ialah Siau Hong. Dari gaya dan cara si padri jubah hitam itu melayang tiba dengan tambang yang panjang itu dapat dikenali tak lain tak bukan adalah Hek ih-tai-han (si lelaki baju hitam) yang pernah menolong jiwanya di Cip-hian ceng dahulu. Cuma waktu itu Hek-ih-tai-han memakai topi dan berbaju orang biasa, sedangkan sekarang dia pakai jubah padri.

Tapi dengan pandangan Siau Hong yang tajam segera la dapat mengenalnya dari gerak gerik dan ilmu silatnya. Apalagi dahulu sesudak hek-ih-tai-han itu menolongnya dan mcmbawanya ke atas gunung, di sana mereka telah saling gebrak belasan jurus, maka Siau Hong tidak pernah melupakan gerak gerik tuan penolongnya itu.

Banyak di antara hadirin sekarang dahulu juga ikut hadir di Cip-hian-ceng, cuma takkala itu Hek-ih-tai-han datang dan pergi dalam sekejap saja sehingga orang lain sukar melihat gerakannya itu dan dengan sendirinya sekarang pun tiada seorang pun yang kenal dia.

Sesudah paling pandang sampai sekian lama, tiba-tiba kedua padri hitam putih itu bicara berbareng, "Kau .... " tapi lantas berhenti púla karena yang diucapkan ternyata sama.

Dan setelah lewat sejénak lagi barulah si padri jubah putih melanjutkan, "Kau ini siapa?”

"Dan kau sendiri siapa?” balas padri jubah hitam.

Mendengar suara padri jubah hitam itu baru sekarang para ksatria tahu bahwa padri itu juga sudah tua. Sebaliknya Siau Hong pun lantas kenal suara itu memang tidak salah lagi adalah tuan penolongnya, suatu yang pernah memberi petunjuk dipergunungan sunyi dahulu. Seketika hatinya berdebar-debar, sungguh ia ingin segera maju mengajak bicara dan menyatakan terima kasihnya.

Dalam pada itu terdengar si padri jubah putih bertanya lagi, "Kau sembunyi selama berpuluh tahun dalam Siaulim-si, apa maksud tujuanmu?”

"Ya, aku juga tanya padamu, apa pula maksud tujuanmu kau sembunyi berpuluh tahun di siau-lim-si?" balas tanya si padri baju hitam.

Karuan tanya-jawab kedua padri hitam-putih itu membuat para padri Siau-lim-si, baik Hian-cu Hongtiang maupun tertua yang lain sama merasa terheran-heran dan saling pandang dengan tegang. Pikir mereka, "Mengapa kedua padri ini mengaku sembunyi di dalam biara kita selama berpuluh tahun tanpa kita ketahui? Apa benar bisa terjadi hal begini?”

Sementara itu terdengar si padri jubah putih itu sedang menjawab, "Aku sembunyi di Siau-lim-si karena ingin menyelidiki duduk perkara suatu urusan yang sebenarnya."

"Ya, aku sembunyi di Siau-lim-si juga ingin menyelidiki duduk perkara sebenarnya suatu urusan," sahut si padri jubah hitam.

"Urusan yang hendak kuselidiki itu sekarang juga sudah ku ketahui dengan jelas. Dan bagaimana dengan urusanmu?”

"Urusan yang hendak kuselidlki sekarang juga sudah kuketahui dengan jelas," kata si padri jubah putih. "Ilmu silat saudara sangat hebat dan boleh dikatakan jarang ada bandingannya. Kita sendiri sudah pernah bertanding tiga kali dan tetap susah menentukan unggul dan asor. Apakah sekarang kita perlu bertanding lagi?"

"Aku pun sangat kagum terhadap ilmu silat tuan andaikan kita bertanding lagi kiranya sukar menentukan kalah atau menang," sahut padri baju hitam.

Semua orang menjadi lebih heran demi mendengar pembicaraan kedua "padri" itu, tidak lazim kaum padri menggunakan sebutan-sebutan "saudara" atau "tuan" segala.

Maka terdengar padri jubah putih menjawab, "jika begitu, biar kita saling mengagumi saja dan mempunyai jiwa yang berdekatan, kita tidak perlu bertanding lagi."

'Baik sekali," kata padri jubah hitam.

Kedua padri lalu saling mengangguk dan jalan berbareng ke bawah besar di sana serta berduduk berjajar di situ sambil memejamkan mata sehingga mirip orang bersemedi dan tidak bicara lagi.

Setelah mengalami kekalahan tadi karena pikiran pepet seketika hingga Buyung Hok bermaksud membunuh diri, tapi telah ditolong dan ditegur oleh padri jubah putih dan akhirnya sadar kembali akan kekeliruan yang cupat itu, sungguh ia merasa malu dan berterima kasih pula. Pikirnya, "Padri agung ini katanya kenal leluhurnya siapa yang di kenalnya kakek atau ayah? Rasanya untuk pergerakanku selanjutnya aku perlu minta petunjuk yang berharga dari padri agung ini, kesempatan baik ini tak boleh kulewatkan."

Karena melihat kedua padri Itu sedang semedi, Buyung Hok lantas mundur kesamping dan tak berani mengganggunya, ia ambil keputusan akàn menunggu agar nanti dapat minta petuah yang lebih berharga bila padri jubah putih itu sudàh berbangkit.

Teringat tadi sang Pìauko hampir saja bunuh diri, perasaan Giok-yan sampai sekarang belum lagi tentram, ia memegangi lengan baju Buyung Hok dengan air mata bercucuran.

Sekarang perhatian semua orang lantas terpusat pada Hi-tiok yang masih terus melabrak Ting Jun-jiu itu.

Tiba-tiba Kiok-kiam teringat sesuatu, segera ia mendekati Salah seorang ksatria Cidan dan berkata padanya, "Cujin kami sedang bertempur, pasti perlu minum sedikit arak agar tenaganya bertambah hebat. Dapatlah kami mendapatkan sedikit arakmu?"

"Persediaan arak di sini cukup banyak boleh kau ambil saja." sahut ksatria Cidan itu sambil menyodorkan dua kantung besar.

"Banyak terima kasih," sahut Kiok-kiam dengan tertawa, "Kekuatan minum Cujia kami terlalu sedikit, sekantung saja sudah lebih dari cukup."

Lalu ia menerima satu kantung arak itu ia buka sumbatnya dan mendekati medan pertempuran, serunya kepada Hi-tiok, "Cujin, untuk menanam bibit Sing-si-hu pada Sing-siok Lokoai, bukankah diperlukan, sedikit air arak?"

Habis berkata, segera la angkat melintang kantung arak itu dan menyodorkan ke depan, seketika arak mancur keluar dari kantung itu dan menyembur kearah Hi-tiok.

"Bagus adik Kiok!" seru Bwe-kiam bertiga dengan bersorak gembira.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar dari bawah gunung ada suara wanita yang sedang menembang membawakan lagu opera "Nyo Kui-hui mabuk arak."

Di tengah suara tembang itulah arak menyembur bagai panah dari kantung arak yang dipegangi Kiok-kiam itu.

Saat itu Hi-tiok sedang melabrak Ting Jun-jiu dengan sekuat tenaga, cuma sayang belum diketemukan cara paling tepat untuk menundukkan Ting-lokoai. Tadi ketika dia mendengar teriakan anggota Long-ciu-kiong yang minta dia menggunakan "Sing-sì-hu", ia merasa cara ini terlalu keji dan belum mau digunakan. Sekarang melihat Kiok-kiam telah menuangkan air arak kearahnya, mau-tak-mau ia angsurkan sebelah tangannya dan meraup segenggam air arak itù.

Pada saat lain dilihatnya dari balik lereng gunung sana muncul sembilan orang. Kiranya Khim-sian Kheng Kong-leng berdelapan, yaitu apa yang disebut "Ham kok-pat-yu" (delapan sahabat dari lembah Ham). murid, murid Liong-uh lojin, seorang lagi adalah A Pik, dia adalah murid Khong Kong-leng. Dan yang menembang adalah si pemain sandiwara Li Gui lut.

Ketika melihat Hi-tiok sedang melabrak Ting Jui-jin, keadaan sangat seru, segera Kong-leng dan lain-lain berteriak-teriak memberi semangat, "Ciangbun Susiok hari ini benar-benar unjuk kesaktiannya, lekas Susiok bunuh Ting-lokoai untuk membalas sakit hati Suhu!"

Para padri Siau-lim-si menjadi heran mengapa orang-orang itu menyebut Hi-tiok sebagai susiok mereka.

Dalam pada itu Kiok-kiam masih terus menyemburkan araknya tanpa berhenti sehingga ada sebagian menyemprot ke atas kepala Ting Jun-jiu.

Sesudah menempur Hi-tiok sampai sekian lama Ting jun-jiu merasa serangan lawan berubah terus tak habishabis sehingga dia sendirì terdesak dan kerepotan, sekarang mendadak disembur pula oleh air arak tiba-tiba Lokoai mendapat akal licik sekonyong-konyong lengan bajunya mengebas sehingga air arak itu muncrat kembali berhamburaran kearah Hi-tiok bagai hujan mencurah.

Tak kala itu Hi-tiok sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya sehingga kumpulan iwekang yang diperolehnya dari Bu-gai-cu, Thian-san Tong-lo dan. Li Jui-sui terbentang sekuat dinding baja dan membungkus seluruh tubuhnya, sudah tentu tidak mempan diserang apa pun, malahan sejak tadi berulang ting-

lokoai telah mengguna racun dan tetap tak mampu merobohkan Hi-tiok. Sekarang arak yang muncrat ke arah Hi-tiok bagai hujan itu sebelum mendekati baju Hi-tiok sudah tertolak kembali oleh tenaga dalamnya yang maha dahsyat itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan dua orang. Kiok-kiam dan A Pik berbareng roboh.

Kiranya air arak yang dihamburkan kembali oleh Ting Jun-jíü itu, setiap-titik air mengandung racun yang disebarkan oleh kebasan lengan baju tadi. Kiok-kiam berdiri sangat dekat medan tempur, A Pik juga sedang berlari ke arah Buyung Hok dan hendak memberi sembah kepada majikannya itu, maka keduanya keciprat air arak berbisa itu dan roboh terjungkal.

Sekilas Hi-tiok melihat air muka Kiok-kiam dan A Pik berubah pucat guram bagai mayat ia kaget dan gusar pula. Maka timbul juga akhirnya tekadnya untuk menumpas Ting Jun-jiü, kalau iblis ini belum dibasmi, tentu kelak akan banyak berbuat kejahatan lagi. Apalagi lantas terdengar Seruan Sih-sin-ih yang kuatir, "Susiok, jahat sekali racun ini, lekas Susiok bekuk Lakoai dan paksa dia menyerahkan obat penawarnya!”

Maka tanpa pikir lagi segara Hi-tiok melancarkan serangan dengan lebih gencar. Telapak tangan kiri diamdiam mengerahkan lwekang dan menjalankan Pak-beng-cin-gi. Tidak lama kemudian air arak yang tergenggam ditangannya terbeku menjadi beberapa lapis es kecil, menyusul terus manghantam ke depan beruntun tiga kali.

Ting Jun-jiu merasa diserang oleh hawa yang mengigilkan. Karuan ia terkejut, ”Kenapa tenaga dalam keledai gundul kecil ini mendadak bisa berubah?"

Cepat ia mencurahkan pikiran dan bertahan dengan sepenuh tenaga. Tapi menyusul beberapa hiat to penting di bagian pundak, perut, paha, betis dan lengan juga terasa ditempel sesuatu yang maha dingin, Diam-diam Lokoai memaki, "Kurang ajar, hawa pukulan keledai gundul cilik yang dingin ini hebat juga sehingga dapat membuat aku menggigil."

Segera ia pun mengerahkan tenaga untuk bertahan. Tapi tiba-tiba "Thian-cu-hiat" di kuduk, "Hong-bun-hiat" di bagian punggung dan "Ci-Sing-hiat” di belakang pinggang juga terasa sangat dingin.

Dengan pengetahuan dan pengalaman Ting-lokoai yangluas, seketika ia merasa heran dan curiga, pikirnya, "Biapun pukulannya lebih dingin lagi juga tidak mungkin dapat memutar untuk menyerang punggungku, apalagi yang terasa dingin adalah bagian hiat-to penting, jangan-jangan bangsat gundul cilik ini ada tipu muslihat yang aneh. hal ini aku perlu berjaga-jaga."

Karena itu, segera ia pun balas menyerang, kedua lengan bajunya mengebas berbareng, menyusul sebelah kaki

terus menendang. Cara menendang dengan ditutupi kebasan lengan baju ini adalah kepandaian sejati Ting Junjiu, biasanya sangat jitu, seratus kali menyerang seratus kali kena, kalau musuh tidak binasa, tentu juga terluka parah.

Tak disangka serangan kilat yang diandalkan ini sekarang gagal dan tidak manjur. Baru saja kaki terangkat setengah jalan, sekonyorg-konyong "Hok-tho-hiat” dan "Yang-kau-hiat" bagian dada terasa linu pegal, bahkan lantas berubah gatal tak tertahankan. Tanpa terasa i menjerit. Dan karena merasa gatalpegal itulah, maka kaki yang akan mengenai sasarannya itu lantas terasa dan terpaksa ditarik kembali.

Anehnya sekali ia menjerit, maka menyusul ía terus menjerít-jerit pula beberapa kali. Sebaliknya anak murid Sing-siok-pai masih terus bersorak memuji tentang Sing-siok Losian maha sakti segala, bahkan sambil mengolok-olok pihah lawan dan dikatakan sebentar pasti akan dibinasakan Sing-siok Losian, lebih baik sekarang juga minta ampun saja.

Jadi sorak-sorai pujian mereka itu diselingi dengan jerit mengaduh Ting Jun-jiu sehingga kedengarannya menjadi sangat lucu. Sebagian anak muridnya yang lebih cerdik dengan segera tutup mulut demi melihat gelagat tidak seperti dugaan mereka, namun sebagian besar kawannya masih terus berkaok-kaok dan pentang bacot.

Begitulah, dalam sekejap saja serentak Ting Jun-Jiu merasa tujuh hiat-to terpenting tubuhnya terasa gatal tak tertahankan, rasanya seperti digigit dan disusupi oleh beribu semut kecil, gatal-gatal geli dan sakit nyelekit.

Padahal ketujuh hiat-to itu adalah tempat yang mematikan, untung ilmu silat Ting-lokoai memang luar biasa lihainya takkala bertempur ia melindungi tempat-tempat hiat-to dengan tenaga dalam yang kuat sehingga serangan Sing-si-hu yang dilancarkan Hi-tiok itu sukar mengenai dia namun begitu toh tidak urung ketujuh hiat-to itu akhirnya disusupi oleh lapisan es kecil sebagai bibit Sing-si-hu yang disambitkan Hi-tiok.

Sebenarnya Sing-si-hu itu bukan sesuatu senjata rahasia dan juga bukan racun, tapi semacam tenaga yang tak dapat dipegang dan tak bisa teraba, Ketika Ting Jun-jiu meresa terserang hawa dingin pada saat itulah Hi-tiok mengerahkan Iwekangnya untuk menyusupkan lapisan es itu ke dalam tubuh iblis itu dan es itu dengan segera cair terkena hawa panas badan dan tidak berbalas lagi. Namun begitu tenaga dalam Hi-tiok sudah menyusup ke dalam urat nadinya.

Karena merasa gatal pegal tak tertahan, dengan kelabakan Ting Jun jiu mengeluarkan macam-macam obat yang dia bawa, sekaligus ia minum beberapa macam obat penawar, menyusul lantas mengerahkan Iwekangnya untuk menolak rasa gatal itu, tapi bukannya sembuh, sebaliknya rasa gatal pegal itu semakin menjadi-jadi. Coba kalau orang lain tentu sudah berguling guling di atas tanah, Tapi tenaga dalam Ting Jun jiu memang maha sakti sehingga dia masih dapat bertahan dengan mati-matian.

Celakanya Sing si-hu itu justru semacam kekuatan yang aneh, kalau mengenai orang yang tidak mahir ilmu silat, maka penderitaannya juga tidak berat sebaliknya semakin kuat Iwekang penderita itu, semakin hebat pula bekerjanya Sing-si-hu.

Maka tertampaklah Tíng-lokoai mulai sempoyongan seperti orang mabuk arak mukanya sebentar merah padam dan lain saat pucat pasi, kedua tangannya bergerak-gerak seperti menari sikapnya beringas menakutkan.

Melihat penderitaan Lokoai itu. Hi-tiok agak menyesal pikirnya "meski dosa Iblis ini pantas diberi ganjaran, tapi apa yang harus dideritanya ternyata sedemikian hebatnya. Tahu begitu tentu aku cuma menanamkan satudua potong Sing si-hu saja dan kiranya sudahlah cukup.”

Melihat keadaan Suhu mereka yang serba celaka itu. anak murid Sing-siok-pai yang tadinya masih bersoraksorai memuji itu seketika bungkam dan ikut merasa takut pula. Walaupun masih ada satu-dua di antaranya yang berkepala batu dan tetap memberi suara yang mengumpak Sing-siok Lokoai, betapapun suara mereka sudah tidak selantang tadi.

Pada saat itulah mendadak sí pemain sandiwara Li Gui lui menembang pula dangan membawakan lakon Patsian (delapan dewa) mabuk dangán mengikuti gerak gerik Sing-siok Lokoai yang sempoyongan seperti orang mabuk itu.

Karuan para ksatria terbahak-bahak geli mendengar tembang Li Gui-lui yang jenaka itu.

Selang tak lama, akhirnya Ting Jun-Jui tidak tahan lagi, ia tarik dan betot Jenggotnya sendiri sehingga secomot janggotnya yang indah memutih perak itu dibubut sendiri dan bertebaran terbawa angin. Menyusul lantas baju sendiri yang dirobek-robek sehingga kelihatan kulit badannya yang putih bersih.

Usia Ting jun jiu sudah lebih 70 tahun, tapi badànnya masih sehat dan kuat seperti anek muda. Dalam keadaan kalap, dimana jaringan sampai, di situlah badannya lantas tergeruk luka, darah lantas mengucur pula. Sembari menggaruk-garuk dengan sekeras-kerasnya, berbareng ia pun berteriak-teriak, "Gatal! Aduh, gatal bukan main! Matilah aku!"

Selang tak lama, sebelah kakinya lantas bertekuk lutut, jerit mengaduhnya semakin mengerikan.

Walaupun para ksatria itu terhitung tokoh-tokoh yang berpengalaman semua, tapi demi nampak seorang tua bermuka muda dan bergaya luwes sebagai dawasa, seorang tokoh terkemuka dunia persilitan seperti Ting Jinjiu dan sekarang berubah gila bagai kesurupan setan sambil mengeluarkan suara jeritan serupa binatang buas

itu mau-tak-mau semua orang ikut ketakutan, sampai Li Gui-lui yang biasanya suka melucu juga ikut bungkam karena takut. Hanya kedua padri hitam pütih tadi yang masih tetap duduk semedi d¡ bawah pohon dengan tenang seakan-akan tidak melihat dan mendengar apa yang terjadi di sekitarnya.

Maka Hian-cu berkata, "Siancai, Siancai Hi-tiok, boleh kau hapuskan penderitaan Ting-siangsing sekarang."

Hi-tiok mengiakan dan menerima baik perintah ketua Siau lim-si itu.

"Nanti dulu," tiba-tiba Hian cit mencegahnya 'Hongtiang suheng juga terbinasa di tangan iblis tua ini mana boleh kita mengampunin dia?"

Di sebelah sana Kheng Kong-leng juga bekata, "Cíangbun Susiok, engkau adalah ketua dari golongan kita, kenapa masih tunduk kepada períntah orang lain? Sakit hati Suhu dan Suco (kakek guru) kita masakah tidak dibalas?"

Seketika Hi-tiok menjadi bingung dan tidak b¡sa mengambil keputusan.

Maka Sih-sin-ih lantas ikut bicara, "Susiok, lebih penting memintakan dulu obat penawarnya."

Hi-tiok membenarkan usul itu. Segera ia berkata, "Nona Bwe-kiam, boleh kau minumkan setengah butir Tinyang-wan (pil pemunah gatal) padanya."

Bwe-kiam mengiakan dan mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, ia menuang sebutir obat sebesar kacang. Tapi demi nampak sikap Ting jun-Jiu yang beringas bagai orang gila itu, ia menjadi takut dan tidak berani mendekat.

Segera Hi-tiok mengambil pil itu. ia membelahnya separoh, lalu berseru, "Ting siangsing, coba pentangkan mulutmu, biar kuminumkan pil pemunah rasa gatal ini!"

Sambil masih menggerung-gerung Ting-lokoai lantas pentang mulut ke atas. Sekali Hi-tiok menjentik, setengah butir pil itu lantas melayang kedepan dan tepat masuk kerongkongan Ting Jun-jiu.

Karena seketika khasiat pil itu belum lagi bekerja, saking gatalnya sampai Ting Jun-jiu berguling-guling di atas tanah. Selang tidak lama kemudian rasa gatalnya mulai hilang dan barulah ia dapat berbangkit. Pikiran sehat

iblis tua itu ternyata tidak hilang, menyadarl dirinya tak dapat melawan lagi maka sebelum Hi-tiok membuka suara pula, buru-buru ia mengeluarkan obat penawar dan diberikan kepada Sih-sin ih katanya, "Yang warna merah obat luar yang putih obat dalam?"

Rupanya karena menggerung-gerung sekian lamanya, maka suaranya sekarang berubah serak.

Sih-sin-ih yakin Ting-lokoai tidak berani berdusta dan main gila lagi maka tanpa ragu ia membubuhkan dan minumkan obat yang diterimanya dari Lokoai itu kepada Kiok-kíam dan A Pik.

"Sing-siok Lokoai." seru Bwe-kiam. "separoh pil penghapus rasa gatal itu hanya bertahan untuk tiga hari saja, lewat tiga hari tentu rasa gatal geli itu akan kumat pula. Tatkala mana apakah Cukong Kami akan memberikan obat lagi atau tidak semuanya bergantung pada tingkah lakumu nanti."

Ting-Jun-Jiu sendiri masih belum hilang rasa penderitaannya tadi, badannya masih gemetar dan tidak sanggup bicara lagi.

Dasar anggota Sing siok-pai itu memang manusia licin dan pengecut, mereka sangat pandai melihat gelagat dan mengikuti arah angin, demi melihat Ting Jun-Jiu sudah keok, segera ada dua-tiga orang berlari ke hadapan Hi-tiok, mereka memberi sembah dan minta diterima sebagai hamba, kata mereka, "Leng-ciu-kiong Cujin maha bijaksana dan berilmu maha sakti, hamba sekalian merasa kagum sekali dan bersedia mengabdi bagi Cujin dengan segenap jiwa raga kami."

"Ya, dan kedudukan bu-lim Beng-cu ini terang tak bisa lain kecuali Cujin yang berhak memangkunya," timbrung yang lain, "Dan asal cujin memberi perintah, biar masuk lautan api atau terjun ke dalam air mendidih pasti hamba sekalian tak berani menolak."

Bahkan banyak di antaranya demi untuk membuktikan kesetiaan mereka, terus saja mereka menuding Ting Jun-jiu dan mencaci-makinya habis-habisan. Malahan ada yang minta kepada Hi-tiok agar lekas membinasakan Ting-lokai supaya iblis itu kelak tidak dapat berbuat kejahatan lagi. Menyusul terdengar suara tambur dan gembreng bergeremuruh dan serentak orang-orang Sing-siok-pai lantas menyanyikan lagu "Leng ciu cujin, maha sakti” dan lain-lain, jadi mereka Cuma menggantikan kata-kata sing-siok Losian dengan Leng-cíu-Cujin, sedang iramanaya tidak berubah.

Dasar jiwa hi-tiok memang sederhana, demi mendengar sanjungan puji orang-orang sing-siok-pai itu, mau-takmau agak syur juga hatinya.

Namun Lak-kiam lantas membentak, "Kalian manusia yang tidak tahu malu ini masakah menggunakan cara

menjilat Sing-siok Lokoai untuk memuji Cujin kami? Benar-benar terlalu kurangajar dan tidak tahu malu!"

Seketika orang-orang Sing-siok-pai itu menjadi gugup dan takut, ada yang menjawab, "Ya, ya! hamba tentu akan mencari cara dan model lain, tanggung Siankoh (dewi) akan puas nanti!”

Ada yang bilang, "Keempat siankoh benar-benar secantik bídadari turun dari kayangan, Kelak pasti memperoleh jodoh jejaka yang gagah!"

Begitulah macam-macam pujian yang muluk-muluk dan membuat pendengarannya merasa mengirik yang dikeluarkan oleh anggota sing-siok-pai itu.

Dan sesudah memberi sembah kepada Hí-Tiok pula mereka mengundurkan diri ke belakang barisan para Tongcu dan Tocu dengan rasa bangga dan puas sehingga para ksatria Tionggoan dan padri Siau-lim-si tidak mereka pandang sebelah mata lagi.

Kèmudian Hian-cu berkata. "Hi tiok, engkau telah mendirikan suatu aliran tersendiri diharap kelak akan menuju ke arah yang baik arah yang berguna bagi sesamanya dan diharap dapat mengawasi anak muridmu supaya mereka tidak berbuat kejahatan dan membahayakan sesama orang kangouw. Jika semua ini dapat kau laksanakan, maka soal kamu menjadi padri atau tidak adalah sama saja."

"Ya, Hi-tiok menerima pesan Hongtiang dengan rasa terima kasih," sahut Hi-tiok dengan suara berat.

Lalu Hian-cu menyambung pula, "Keputusan memecat dirimu tak bisa di tarik kembali lagi, tapi tentang hukuman rangket boleh dibebaskan!"

Dan belum lagi Hi-tiok menjawab, tiba-tiba terdengar seorang tertawa terbahak-bahak berkata, "Hahaha! Kukira Siau-lim-si paling mengutamakan tata tertib dan menegakan hukum secara teguh, siapa tahu juga cuma sebangsa manusia yang pandai lihat arah angin saja, hanya berani kepada yang lemah dan takut kepada yang kuat.”

Waktu semua orang memandang ke arah pembicara itu, kiranya Tai-lun Beng-ong Cumoti.

Air muka Hian-cu berubah merah, katanya, "Teguran Beng-ong memang tepat. Kami mengaku salah Hian-cit Sute, laksanakan hukuman!"

Hiau-cit mengiakan dan berpaling kepada bawahannya sambil berseru, "Siapkan pentung hukuman!”

Lalu katanya kepada Hi-tiok, "Hi-tiok, sekarang kamu masih terhitung murid Siu lim-pai, hendaknya bertiarap dan menerima rangketan."

Hi-tiok menyatakan siap, lalu ia berlutut dan memberi hormat kepada Hian-cu dan Hian-cit, katanya, "Tocu Hitiok telah melanggar larangan besar biara kita maka dengan hikmat tecu menerima hukuman rangket menurut peraturan!"

Tapi mendadak bekas orang-orang Sing-siok-pai tadi berteriak-teriak, "Leng ciu-kiong Cujin kami adalah Bulim Beng Cu, masakah para padri Siau-lim-si berani sembarangan menyentuh badan beliau?”

"Ya, jika kalian berani mengganggu seujung bulu romanya, rasakan nanti labrakan kami ini. Biarpun hancur lebur bagi beliau juga kami merasa bahagia!"

Namun Sia-popo dan kawan-kawannya cukup memahami pikiran Hi-tiok. segera membentak, "Hai, tutup bacot kalian! Apakah Leng-ciu-kiong Cujin cocok untuk disebut-sebut oleh kalian kawanan setan ìblis yang tidak kenal malu ini? Lekas tutup bacot!"

Karena dampratan itu, seketika orang-orang Sing-siok-pai tadi bungkam kembali, tampa bernapas pun tidak berani keras-keras.

"Laksanakan hukum!" bentak Hian cit kemudian.

Segera padri pelaksana hukum dari Kai-lat-ih mendekati Hi-tiok dan menyingsìng jubahnya keatas sehingga kelihatan kulit punggungnya, Sedang padri lain lantas mengangkat pentungan ke atas dan siap memukul.

Hi-Tiok sendiri tidak berani mengerakan tenaga dalam untuk melawan rangketan itu, ia pikir hukuman itu diterimanya sebagai akibat perbuatannya sendiri, maka setiap langketan itu berarti akan mengurangi sebagiaan dosanya. Jika dia mengerahkan tenaga untuk melawan dan tidak merasakan sakitnya rangketan itu. maka hukuman itu berarti tiada berguna baginya. Sebab itulah ia diam saja dan mengendurkan otot dagingnya untuk menerima hukuman rangket itu.

Tapi belum lagi pentung padri Siau-lim-si itu dijatuhkan ke bokong Hi-tiok, sekonyong-konyong terdengar jeritan seorang wanita yang tajam, "Hoi, nanti dulu! Apa ... apa itu yang kelihatan diatas punggungmu?"

Waktu semua orang memandang punggung Hi tiok, tertampaklah bagian pinggang belakang itu ternyata ada sebuah titik bekas luka selomotan api dupa yang terjajar secara rajin.

Umumnya pada waktu setiap biku atau hwesio dinobatkan, di atas kepalanya yang gundul itulah yang diselomoti dengan dupa berapi sehingga meninggalkan bekas selomatan itu. Siapa duga selain diatas kepala, bahkan di punggung Hi-tiok juga bekas selomotan dupa, malahan bekas selomotan itu jauh lebih besar, kirakira sebesar mata uang, hal ini menandakan selomotan itu dilakukan pada waktu dia masih bayi sehingga bekas selomotan itu pun ikut membesar takkala badan Hi-tiok bertumbuh. Maka kalau dilihat sekarang bekas selomotan itu sudah kurang sempurna lagi.

Ketika semua orang tercengang heran, tiba-tiba di antara orang banyak berlari keluar seorang perempuan setengah umur berbaju hijau pupus. rambutnya panjang terurai sampai di pundak, ke dua pipinya masingmasing terdapat tiga jalur bekas luka garukan. Dia bukan lain adalah "Bu ok-put-tiok", si orang kedua dari Suok, Yap Ji-nio adanya.

Begitu mendekat, sekali tangannya bergerak, kontan kedua padri pelaksana hukuman Siau-lim-si tadi ditendang pergi, menyusul Yap Ji-nio lantas hendak menarik celana Hi-tiok. Melihat gelagatnya. celana Hi-tiok itu hendak dibelejeti mentah-mentah tanpa menghiraukan Hi-tiok sebenarnya bukan anak kecil lagi, tapi pemuda berusia 21 tahun.

Keruan Hi-tiok terkejut dan kelabakan, cepat ia lompat bangun sambil memegangi celananya yang kedodoran dan hampir terlepas itu, ia lompat pergi dua-tiga meter jauhnya, lalu berpaling dan bertanya. "Kau ... kau mau apa?”

Badan Yap Ji-nio tampak bergemetar, "O.oo ... anakku!" mendadak ia berseru, ia pentang kedua tangan terus hendak merangkul Hi-tiok.

Tapi Hi tiok sempat berkelit sehingga Ji nio menubruk tampat kosong.

Semua orang merasa heran dan mengira jangan-jangan wanita ini sudah gila.

Berturut-turut Yap Ji-nio menubruk lagi beberapa kali dan setiap kali dapat dihindarkan Hi-tiok dengan cepat. Maklum, sejak Ji-nio dihantam sekali oleh Goan-ci sehingga jatuh kelengar. Untung dia ditolong seseorang dan ketika sadar kembali iwekangnya sudah banyak surut. Ginkang yang mestinya merupakan kepandaian utama Yap Ji-nio juga telah mundur separoh dari pada tadinya.

Karena menubruk beberapa kali tidak kena, Ji nio tambah kalap bagai orang gila ia berteriak-terak, ”Oh. anakku! Ken ... kenapa engkau tidak mau mengakui ibumu ini."

Hi tiok terkesiap, perasaannya seperti kena arus listrik serunya dengan tak lampias, "Engkau .. engkau ibuku?"

"O, anakku," seru Ji-nio. "Tidak lama sesudah aku melahirkan dirimu aku lantas menyelomot punggung dan kedua belah bokongmu masing-masing sembilan titik dupa. Coba kau periksa, bukankah kedua belah bokongmu masing-masing ada sembilan titik bekas selomotan?"

Sungguh Hi tiok terperanjat luar biasa. Memang benar bahwa di atas kedua belah bokongnya yang putih halus itu terdapat sembilan titik bekas selomotan dupa. Karena hal itu sudah ada sejak kecil, pula tidak tahu asalusulnya sendiri maka selamanya ia tidak pernah beberkan rahasia badan sendiri kepada orang lain.

Terkadang bila dia sedang mandi dan melihat tanda istimewa di atas bokong sendiri itu selalu ia anggap dirinya memang dilahirkan sebagai anak Budha, makanya terdapat bekas selomotan yang aneh itu. Karena itulah meka ia tambah alim dan sujud kepada agamanya.

Sekarang demi mendengar ucapan Yap Ji-nio itu, rasanya seperti bunyi halilintar di siang bolong, dengan suara gemetar dan tak tertahankan ia menagis, "Ya, ya! Memang ... memang di atas bokongku ada bekas selomot ... selomotan itu. Apa ... apa engkau ... ibu yang ... yang menyelomoti aku dahulu?”

Maka menangislah ji-nio dengan tergerung-gerung sambil sesambatan, "Ya, benar! Jika ...Jika bukan aku yang menyelomot, dari mana ...àku akan bisa tahu? O, aku telah ... telah menemukan putraku, aku menemukan putra kandungku..O, aku ... aku sudah menemukan anakku sekarang!"

Sembari menangis terus saja ia ulur tangan buat merangkul Hi-tiok.

Sekali ini Hi-tiok tidak menghindar dan menolak lagi, ia membiarkan dirinya dipeluk Ji-nio.

Sejak kecil Hi-tiok sudah yatim piatu dan dipiara padri Siau-lim-si. tentang kedua belah bokongnya ada bekas selomotan dupa hanya dia sendiri yang tahu, sekarang Yap Ji-nio ternyata dapat mengatakannya dengan jitu, sudah tentu tidak perlu disangsikan lagi akan kebenaran ucapan Ji-nio tadi.

Untuk pertama kali inilah mendadak Hi-tiok merasakan cinta kasih seorang ibu yang belum pernah dinikmatinya selama ini, saking terharu air matanya lantas bercucuran juga. Serunya dengan suara parau, "Ibu

... O, ibu! Engkau ....engkau adalah ibuku!"

Kejadian mendadak ini benar-benar di luar dugaan siapa pun. Dengan terheran-heran semua orang menyaksikan Hi-tiok dan Yap Ji-nio saling rangkul dan menangis, berduka dan bergirang pula. Menyaksikan adegan demikian, biarpun hati para ksatria sekeras baja juga ikut luluh dan terharu.

Maka terdengar Ji-nio berkata, "Anakku, tahun ini engkau berusia 24 tahun, selama 24 tahun ini, siang malam senantiasa kupikirkan dirimu. Aku menjadi iri bila melihatnya orang lain punya anak, sebaliknya anakku sendiri diculik bangsat terkutuk, makanya aku ... aku pun suka menculik anak orang lain. Tetapi .. tetapi anak orang lain sudah tentu tidak sebaik anaknya sendiri."

"Hahahaha!" tiba-tiba Lam-hai gok-sin tertawa. "Sam-moai, jadi sebabnya kau suka menculik anak kecil orang untuk dibuat mainan sesudah bosan memain lantas kau minum darahnya, kiranya lantaran anakmu sendiri diculik orang. Sering aku Gak-loji suka tanya padamu, tapi engkau tidak mau menerangkan sebab musababnya. Ehm, bagus-bagus sekali..He, bocah Hi-tiok, ibumu adalah adik angkatku, nah, lekas kau panggil Empek (paman) padaku!"

Mengingat bahwa tingkatannya sekarang ternyata lebih tua daripada Leng-ciu-kiong Cujin yang berkepandaian maha sakti, sungguh girang Lam-hai-gok-sìn tidak kepalang.

Sebaliknya terdengar In Tiong-ho berkata sambil geleng kepala, "Salah, salah! Tidak bisa! Hi-tiok cu adalah saudara angkat Suhumu, maka kamu harus panggil dia Supek. Sedangkan aku adalah saudara angkat ibunya, tingkatanku juga lebih tua dua angkatan daripadamu, maka kamu harus lekas panggil 'Susiokco' (kakek guru) padaku!”

Lam-hai-gok-sin melengak oleh keterangan itu dipikir-pikir memang serba salah akhirnya ia meludah dan mendadak memaki, "Maknya, Locu tidak mau panggil!"

Dalam pada itu Yap ji-nio telah melepaskan rangakulannya pada Hi-tiok, ia pegang pundaknya dan dipandang dari kanan dan kiri dengan girang tak terlukiskan. Lalu ia berpaling kepada Hian-cu dan berkata, "Dia adalah putraku, kamu keledai gundul ini tidak boleh mengganggu dia!"

Tiba-tiba Hi-tiok teringat sesuatu. Tempo hari waktu dia memecahkan problem catur pernah dia lihatnya Yap Ji-nio bersikap sangat mesra pada Sing-siok Lokoai, bahkan memanggilnya "Engkok Jun-jin yang tercinta” apa segala, terang di antara mereka berdua seperti ada hubungan istimewa. Wah, jangan-jangan dirinya adalah putra Ting Jun-jui.

Sungguh celaka bila betul begitu, Sang ibu adalah Yap Ji-nio yang bejat dan jahat termasuk satu di antara Suok yang terkutuk dan kalau sang ayah benar benar Ting jun jiu adanya, maka nama busuknya jauh lebih lebih tak terkatakan lagi. Yang penting celaka adalah tadi dia malah sudah melabraknya dan menanamkan Sing si-hu pada tubuhnya sehingga dia tersiksa setengah hidup. Wah, lantas bagaimana baiknya? Demikian pikir Hi-tiok.

Hi-tiok coba melirik ke arah Ting Jun-jiu dengan rasa tidak tentram, mukanya sebentar merah sebentar pucat, kemudian pun pandang Yap Ji-nio dengan harapan ibunya akan mengatakan siapakah gerangan ayahnya yang sebenarnya? Tapi bila sudah di katakan pun ayahnya benar-benar Ting Jun jiu, wah, kan jadi benar celaka 13? Maka lebih baik tidak dikatakan saja.

Namun sejak kecil Hi-tiok sudah yatim piatu, sekarang dapat bertemu dengan ibundanya, sudah tentu ia pun berharap dapatbertemu dengan ayahnya pula.Ya, biarpun ayahnya adalah Ting-Jun-jui mau-tidak-mau día harus mengakuinya.

Tengah Hi-tiok merasa ragu dan serba susah tiba-tiba terdengar Yap Ji-Nio berseru, ”Entah kampret keparat mana yang menculik anakku sehingga kita ibu dan anak terpisah selama 24 tahun, Nah, anakku, marilah kíta menjelajahi dunia ini dan harus menemukan bangsat keparat itu, kíta akan mencincang dia hingga hancur luluh. Ibu tidak dapat melawan dia, tapi ilmu silat anak sekarang maha tinggi, kebetulan dapat membalas sakit hati ibu."

Mendadak padri jubah hitam yang sejak tadi duduk semadi di bawah pohon itu berdiri, lalu berkata dengan pelahan, "Anakmu ini diculik orang atau di rampas orang? Dan bekas luka enam jalur garukan pada mukamu itu disebabkan apa?"

Air muka Yap Ji-nio berubah hebat, jeritnya dengan suara tajam, "kau ... kau siapa? Dari mana kau tahu!"

"Masakah kamu menjadi pangling padaku?" Tanya padri jubah hitam.

"Hah, kau, ya, benar kau!" Jerit Ji-nio pula segera ia pun menubruk maju.

Tapi kira-kira dua meter di depan padri itu, mendadak Ji-nio berdiri tegak sambil menuding dengan beringas dan tidak berani mendekat lagi.

"Ya, memang akulah yang merampas anakmu itu." kata si padri jubah hitam. "Dan enam jalur luka pada mukamu itu pun akulah yang menggaruknya."

"Sebab apa sebenarnya sebab apa kau rampas anakku?" teriak Ji-niu. "Selamanya kita tidak saling kenal, tiada punya permusuhan apa pun, tapi mengapa kau ... kau bikin susah padaku, membikin aku menderita siang dan malam selama 24 tahun?"

"Tempo hari waktu terkena pukulan Ong-Sing-thian yang jahat itu, jiwamu mestinya sukar dipertahankan lagi, tapi siapakah yang menolongmu?" tiba-tiba padri itu bertanya pula.

"Aku tidak tahu," sahut Ji-nio. "Apakah mungkin engkau yang , .. yang menolong aku?"

"Benar, memang aku," padri itu mengangguk.

Tempo hari waktu Yap Ji-nio jatuh pingsan karena pukulan Goan-ci itu, dalam keadaan tak sadar dia cuma merasa ada orang telah menolongnya dengan menyalurkan iwekang yang sangat tinggi namun orang itu sudah tinggal pergi ketika Ji-nio siuman kembali. Kemudian Ji-nio pernah tanya Ting jun-jiu dan Toan Yan-khing, tapi mereka tidak merasa telah menolongnya sehingga kejadian itu tetap merupakan tanda tanya didalam hati Ji-nio. Ia tahu perbuatannya sendiri terlalu jahat sehingga tiada seorang tokoh persilatan dari kalangan baikbaik sudi menolongnya, sebaliknya sedepat mungkin malah akan membunuhnya.

Sekarang paderi jubah hitam itu mengaku telah menolong jiwanya, kalau dilihat dari kepandaiannya yang amat mengejutkan tadi memang tidak perlu disangsikan lagi akan kemampuan padri ini. Tapi karenanya juga Ji-nio menjadi lebih curiga. Dengan termangu-manggu ia pandang padri itu sambil berkata, "Sebab apa? Sebab ... sebab apa kau menolong aku?”

Tiba-tiba padri jubah hitam itu menunjuk Hi tiok dan berkata. "Siapakah ayah bocah ini?”

Ji-nio tergetar hebat, sahutnya dengan gemetar, "Dia ... dia ... Tidak, tidak dapat kukatakan. Tidak mungkin kukatakan."

Perasaan Hi-tiok terguncang hebat, cepat ia berlari mendekati Ji-nio sambil berseru, "Mak, kau katakan pada ku saja! Siapakah ayahku?"

"Ti ... tidak, tidak dapat ku katakan," sahut Ji-nio sambil goyang-goyang kepala.

"Yap Ji-nio," kata padri jubah hitam berkata pelahan-pelahan, "asalnya kau adalah seorang nona yang baik, seorang nona yang cantik dan prihatin. Tapi pada waktu kau berumur 18 tahun kau telah terpeleset oleh

seorang lelaki yang berkedudukan dan berilmu silat tinggi, kau telah menyerahkan kehormatan kepadanya sehingga melahirkan anak ini betul tidak?"

Ji-nio tampak diam, seperti patung di tempatnya, sampai agak lama baru mengangguk dan berkata, "Ya!"

"Lelaki itu memang terlalu serakah, dia Cuma memikirkan kesenangannya sendiri, memikirkan nama baik dan hari depan sendiri, sebaliknya tidak ingat kepada dirimu sebagai seorang nona yang belum menikah dan sudah punya anak, dia tidak ingat bagai bagaimana keadaanmu yang menyedihkan itu,"demikian kata padri itu lebih jauh.

"Tidak, tidak!" sahut Ji-nio. "Dia telah memikirkan diriku dia banyak memberi uang padaku dan mengatur hidupku hari-hari selanjutnya."

"Tapi mengapa dia tidak mau mengambil dirimu sebagai istri saja. sebaliknya membiarkan dirimu terluntalunta di rantau!" tanya si padri.

"Aku tak dapat menikah padanya, mana boleh dia mengambil aku sebagai istri!" sahut Ji-nio. "Tapi dia seorang baik selamanya dia sangat baik padaku. Hanya aku sendirilah yang tidak ingin membikin susah padanya. Dia ... dia adalah orang baik."

Nyata dari ucapannya itu terang ia masih penuh kenangan dan rasa bahagia kepada kekasihnya dahulu yang sekarang telah meninggalkan dia itu, sedikit pun tidak mengurangi cintanya walaupun sudah menderita dan merana selama ini.

Diam-diam semua orang membatin, "Yap ji-nio terkenal maha jahat, tapi terhadap kekasihnya itu benar-benar sangat setia dan cinta murni. Entah siapakah gerangan sang lelaki itu."

Mendengar kisah roman Ji-nio itu, Toan Ki, Wi Sing-tiok, Hoan Hoa, Pa thian-sik dan lain-lain tanpa merasa sama melirik ke arah Toan Cing-sun. Mereka merasa kekasih Yup Ji-nio itu, baik kedudukan, sifatnya yang romantis dan perbuatannya, semuanya mirip dengan kelakuan Cing-sun. Bahkan ada yang berpendapat, "Ya, jika demikian terang maksud kedatangan Su-ok ke negeri Tayli tempo dulu itu benar kemungkinan ingin membikin perhitungan perkara ini dengan Tin-lam-ong."

Kalau semua orang menyangka keras kekasih Yap Ji-nio itu tentu Toan Cing-sun adanya, sebaliknya Cing-sun sendiri juga merasa ragu dia sedang bertanya kepada dirinya sendirl. "Wanita yang ku kenal memang tidak sedikit tapi apakah termasuk juga Yap Ji-nio ini? Mengapa sedikit pun aku tidak ingat lagi?"

Maka terdengar si padri jubah hitam sedang berkata pula dengan suara lantang. "Ayah bocah ini sekarang juga berada di sini, kenapa tidak kau tunjuk dia saja dan suruh dia mengaku?"

"Ti ... tidak, aku tidak dapat mengatakannya," sahut Ji-nio dengan gemetar.

Hi-tiok hanya melirik ke arah Ting Jun-jiu dan ingin tahu reaksinya. Sebaliknya hati Toan Cing sun juga berdebar-debar.

"Kenapa kau selomot anakmu dengan dupa di bagian punggung dan kedua belah bokongnya?" tanya si padri pula.

"Tidak, aku tidak tahu? aku tidak tahu!” seru Ji nio sambil menutupi mukanya. "O, aku mohon padamu, jangan ... jangan kau bertanya lagi."

Namun padri itu sedikit pun tidak terpengaruh, la tanya terus, "Apa barangkali kau ingin anakmu menjadi hwesio sejak dilahirkan.”

"Tidak, tidak, bukan!" sahut Ji-nio.

"Habis, mengapa?"

"Entah, aku tidak tahu, aku tidak tahu!"

"Sikap kamu tidak mau mengaku pun aku tahu," kata si padri dengan suara keras. "Ialah lantaran ayah si bocah itu sebenarnya adalah seorang padri alim dan terhormat."

"O!" Ji-nio merintih dan tak tahan lagi. Ia jatuh pingsan.

Seketika gegerlah para ksatria. Kalau melihat keadaan Yap Ji-nio itu tentang apa yang dikatakan si padri jubah hitam itu tidak omong kosong. Jadi orang yang bergendak dengan Ji-nio sehingga melahirkan Hi tiok itu kiranya juga seorang hwesio. Maka ramailah orang berbisik-bisik membicarakan "skandal" luar biasa itu.

Dalam pada itu Hi-Tiok memayang bangun Yap ji-nio dan berseru, "Mak, mak! Sadarlah engkau!”

Selang tak lama, pelahan Ji-nio mulai siuman lalu berkata dengan suara berat, "Nak, lekas kau bawa aku pergi dari sini, orang ini adalah ....adalah hantu , ia serba tahu semua aku tidak ingin melihat dia lagi. Sakit .... sakit hati ini pun tidak perlu dibalas lagi."

"Ya, mak. marilah kita pergi," sahut Hi-tiok.

"Nanti dulu," cegah si padri tiba-tiba, "Apa yang hendak kukatakan belum lagi habis. Kau bilang tidak mau membalas sakit hati lagi. Tapi sakít hatiku belum ku balas. Yap Ji nio, apakah kau tahu sebab apa aku merampas anakmu? sebabnya íalah ... ialah ada orang juga orang merampas anakku sehingga keluargaku berantakan dan orangnya binasa, kami suami istri dan ayah anak bercerai berai. Maka perbuatanku itu hanya membalas dendam belaka."

"Jadi ada orang telah merampas anakmu? Dan engkau cuma ingin membalas dendam?” Ji nio menegas.

"Benar," sahut si padri jubah hitam, "Aku sengaja merampas anakmu dan kutaruh di kebun sayur Siau-lim-si supaya hwesio di situ memeliharanya sehingga dewasa dan mengajarkan ilmu silat padanya. Sebab anakku sendiri juga telah dirampas orang dan dibesarkan serta mendapat didikan ilmu silat dari hwesio Siau-lim-si. Apakah kau ingin melihat mukaku yang asli?”

Dan tanpa menunggu jawaban Yap Ji-nio, dengan cepat padri itu menanggalkan kain kedok sendiri. Seketika para ksatria menjerit kaget.

Ternyata "padri" itu bermuka lebar dan penuh brewok, wajahnya sangat angker dan gagah, usianya antara 60an tahun.

Sungguh kejut dan girang Siau Hong tak terkirakan, cepat ia memburu maju dan menyembah sambil berseru, "Kau ... engkau adalah ... "

"Hahaha!" orang itu terbahak-bahak, "Anak baik, anak baik, memang benar aku ini ayahmu. Kita ayah dan anak mempunyai perawakan dan muka yang serupa, maka tidak pakai bukti juga semua orang tahu aku adalah bapakmu."

Ketika ia tarik bajunya sendiri sehingga dadanya terbuka, maka tertampaklah sebuah lukisan cacah kepala serigala, lalu ia pun tarik bangun Siau Hong dan membuka bajunya, segera kelihatan juga tato kepala serigala yang menyeringai dengan kedua taringnya yang menyeramkan di dada Siau Hong itu.

Kedua orang berbareng lantas bersiul sambil menengadah, suara mereka nyaring berkumandang sehingga lembah gunung seakan-akan terguncang. 18 ksatria Cidan juga serentak mencabut golok mereka, pembawa mereka sungguh luar biasa laksana pasukan raksasa.

Lalu Siau Hong mengeluarkan sebuah bungkusan kecil kain minyak, dari situ ia mengeluarkan sehelai kertas kuning yang yang terlipat. Ketika itu dibentang, maka kelihatanlah huruf-huruf cidan yang tercetak. Itulah tulisan tinggalan ayah Siau Hong di dinding karang yang diterimanya dari Ti-kong Taisu dahulu.

"Hahaha, tulisan Siau Wan-san sebelum ajal haha!" demikian orang tua berewok alias Siau Wan-san terbahak sambil tuding tulisan di atas kertas yang dibentang Siau Hong itu. "Haha, anakku pada saat aku terjun ke bawah jurang, ingin menyusul ibumu, tak tersangka ajalku belum waktunya tamat, tahu-tahu aku kecantol di dahan pohon raksasa di bawah jurang dan tidak jadi mati. Dengan demikian gagal maksudku membunuh diri sebaliknya lantas timbul cita-citaku untuk membalas dendam. Tatkala di luar Gan-bun-koan dahulu itu, ibumu yang tak bisa ilmu silat itu tanpa alasan telah dibunuh jago silat Tionggoan sini, coba katakan, sakit hati ini harus kita balas atau tidak?”

"Sakit hati ibu sedalam lautan, sudah tentu harus dibalas!" sahut Siau Hong tegas.

"Orang-orang yang dahulu ikut membinasakan ibumu itu sebagian besar sudah kubunuh pada waktu itu juga," kata Siau Wan-san. "Sedangkan Ti kong dan manusia yang menyamar dan mengaku bernama Tio-ci-sun itu pun sudah mampus di bunuh anak Ong Kiam-thong, itu Pangcu Kai-pang sudah mampus karena sakit, baginya boleh dikatakan terlalu untung. Cuma itu Toa-ok-jin (durjana besar) yang mereka sebut sebagai Toako pemimpin itu sampai sekarang masih hidup segar-bugar. Coba katakan nak, cara bagaimana kita harus menghadapinya."

"Siapakah dia itu!" tanya Siau Hong cepat.

”Ya, siapakah dia?" mendadak Siau Wan-sin bersiul panjang, sinar matanya bagai kilat menyapu ke arah para ksatria Tionggoan.

Para ksatria yang kebentrok sinar matanya sama merasa kebat-kebit. Walaupun mereka tiada sangkut-pautnya dengan peristiwa di luar Gan-bun-koan dahulu, tapi demi melihat sikap Siau Wan-san yang gagah berwibawa itu semuanya merasa jeri dan tiada seorang pun berani bergerak atau bersuara seakan-akan kuatir menimbulkan bencana bagi mereka sendiri.

"Anakku," kata Siau wan-san kemudian "pada hari itu aku bersama ibumu dengan membopong dirimu sedang berkunjung ke rumah nenekmu, tidak tersangka setiba di luar Gan-bun-koan mendadak berpuluh jago silat Tionggoan menyergap kita sehingga ibumu dan para pengiring kita terbunuh semua. Kerajaan Song memang bermusuhan dengan bangsa Cidan kita dan bukan kejadian aneh kalau saling bunuh-membunuh, Tapi para jago silat Tionggoan ini bersembunyi di lereng bukit sana terang mereka mempunyai muslihat tertentu. Anakku, apakah kau tahu apa sebabnya?”

Siau Hong menyahut, "Dari Ti-kong Taisu anak mendengar katanya mereka mendapat berita bahwa jago silat Cidan hendak menyerbu ke Siau-lim-si dan merampas kitab pusaka mereka agar ilmu silat mereka dapat disebar-luaskan di negeri Liau kita dan kelak akan dapat di pergunakan sebagai modal untuk menyerang kekerajaan Song sebab itulah mereka menyergap ayah dan membunuh ibu."

"Hehe, hehe! Sebenarnya waktu itu aku tiada maksud hendak merebut kitab pusaka Síau-lim-si mereka yang memfitnah aku," kata Siau Wan san dengan tertawa pedih. "Baik, baik! Sekali Siau Wan-san di fitnah orang, maka aku lantas sengaja berbuat. Selama 30 tahun ini aku telah bersembunyi di Siau lim-si dan telah membaca sepuas-puasnya segala kitab pusaka Ilmu silat mereka. Nah, para padri saleh Siau-lim-si, kalau kalian mampu bolehlah membunuh Siau Wan-san. kalau tidak, maka ilmu silat Siau-líím-paí tentu akan tersebar di negeri Liau. Jika kalian ingin menjebak aku lagi di Gan-bun-koan pasti kalian akan terlambat."

Semua padri Siau-lim-si menjadi terperanjat oleh cerita Siau Wan-san itu. Mereka pikir jika beñar apa yang dikatakan sehingga ilmu silat Siau-lim-pai tersebar di negeri musuh, itu berarti orang Cidan akan mirip harimau tumbuh sayap dan benar-benar membahayakan.

"Ayah," kata Siau Hong. "kalau Toa-ok-jin itu membunuh ibu, hal ini boleh dikatakan terjadi karena salah paham, Tapi dia membúnuh juga ayah bunda angkatku Kiau Sam-hoai suami-istri sehingga anak yang harus menanggung nama jelek, hal itu sungguh tidak pantas. Maka sebenarnya siapakah Toa-ok-jin itu, harap ayah memberi tahu saja."

"Hahaha!" tiba-tiba Siau Wan-san tertawa. "Nyata kau pun salah sangka, anakku!"

"Salah sangka?" Siau Hong menegas dangan heran.

"Ya, kau salah sangka," sahut Wan-san mengangguk. "Sebab suami-istri orang she Kiau itu akulah yang membunuhnya!"

"Hah, ayah yang membunuhnya?" Siau Hong menegas dengan terkejut. "Se ... sebab apa?"

"Kamu putraku, mestinya keluarga kita dapat hidup berbahag¡a, tetapi orang Tionggoan ini memandang bangsa Cidán kita bagai mahluk yang lebih rendah daripada hewan dan sedikit-sedikit lantas main bunuh bangsa kita." demikian sahut Wan-san, "Mereka merampas anakku dan diberikan kepada orang lain. Suami-istri she Kiau itu mengaku sebagai orang tuamu, ia merampas kebahagiaan keluarga kita dan tidak mengatakan duduknya perkara padamu, kesalahannya inilah pantas di hukum mati."

"Tapi ... tapi ayah dan ibu angkat sangat berbudi pada anak, mereka adalah orang baik sekali." ujar Siau Hong dengan rasa pedih. '"Jika demikian, jangan-jangan orang yang membakar Tan-keh-ceng, yang membunuh Tamkong dan Tam-poh apakah juga ... juga .... "

"Benar, semuanya perbuatanku," sahut Wan-san. "Habis, sudah terang mereka mengetahui biang keladi yang dahulu memimpin mereka menyergap kitadi Gan-bun-koan tapi mereka tidak mau mengatakan padamu, semuanya melindungi dìa, bukankah mereka pun pantas dibunuh?"

Untuk sejenak Siau Hong terdiam, pikirnya, "Semula Toa ok-jin yang kucari itu kusangka sama orangnya dengan 'Toako pemimpin’ yang dikatakan mereka, siapa tahu pembunuhan-pembunuhan itu adalah perbuatan ayah. Ai, sungguh sukar untuk dipahami."

Kemudian ia berkata pula dengan terputus-putus. "Hian ... Hian koh Taisu dari Siau-lim-si adalah guru yang telah mendidik dan membesarkan anak selama ini .... " Sampai di sini suaranya menjadi terguguk-guguk, la menunduk dan air mata berlinang-linang.

"Hm, masakah orang Tionggoan ada yang baik? Memang, Hian-koh itu pun mati di bawah pukulanku." kata Siau Wan san.

Mendengar pengakuan itu serentak para padri Siau-lim-si sama menyebut, "Omitohud!"

Suara mereka sangat berduka dan penuh kemarahan, walaupun seketika itu tiada orang yang lantas menantang Siau Wan-san, tapi dari suara "Omitohud" mereka yang penuh rasa duka itu terang mereka sudah bertekad akan membikin perhitungan dengan Siau Wan san.

Siau Wan-san tidak menghiraukan suara padri Siau-Lim-si itu, ia berkata pula, "Di antara orang-orang yang ikut membunuh istriku dan merampas putraku terdapat pangcu Kai-pang dan juga terdapat tokoh Siau lim-pai. Hehe, mereka ingin menutupi utang darah mereka untuk selamanya dengun jalan mengubah anakku menjadi orang Han, menyuruh anakku mengangkat musuh sebagai guru dan menerima waris kedudukan Pangcu Kaipang dari musuh. Hehe, pada malam itu sesudah kuhantam sekali pada Hian-keh, lalu aku sembunyi di situ. Ketika dia melihat wajahmu sangat mirip aku dia mengira kamu yang menyerang dia, sampai si gundul kecil yang melayani Hian-keh juga tidak dapat membedakan mana dirimu dan aku. Nah bangsa cidan kita sudah disembelih dan dianiaya, apakah kita tidak masih tidak cukup menderita?”

Baru sekarang Siau Hong paham duduknya perkara. Makanya malam itu ketika Hian-keh melihat día mendadak padri tua itu kaget tak terkira sedangkan hwesio cilik juga memberi kesaksian bahwa dirinya yang memukul Hian-koh, sudah tentu sama sekali tak terpikir olehnya bahwa pembunuh yang sebenarnya adalah seorang yang bermuka mírip dengan dirinya dan mempunyai hubungan darah yang erat.

Maka kemudian Siau Hong berkata. "Jika ayah yang membunuh orang-orang itu, Jadinya tiada bedanya seperti anak yang membunuh mereka, maka tuduhan yang selama ini dilimpahkan padaku juga tidak membuat penasaran. Tentang orang yang mereka namakan Toako Pemimpin yang mengepalaikawan-kawan menyergap dan membunuh ibu itu, apa sekarang ayah dapat menyelidiki dengan jelas siapa orang itu.”

"Hehe, masakah usahaku selama ini percuma saja? Sudah tentu telah kuselidiki dengan jelas." ujar Wan-sin. "Jahanam itu telah mambuat berantakan keluargaku, kalau sekali kuhantam membinasakan dia, bukankah cara ini terlalu enak baginya?

..... (Terputus) ………………………………………….tak dapat dibaca )......

Mendengar pernyataan Hian-cu itu seketika menjadi ramai. Dan mendapat berbagai tanggapan, ada yang menjadi terkejut dan mencemooh dan ada yang kasihan. Sungguh siapa pun tidak menduga bahwa Hongtiang atau ketua Siau-lim-si yang berwibawa dan terhormat itu bisa melakukan perbuatan semacam itu?

Sesudah agak lama barulah suara berisik itu mulai mereda. Lalu Hian-cu berkata pula dengan pelahan, suaranya tetap ramah dan tenang seperti biasanya, "Siau sicu, engkau terpísah 30 tahun dengan putramu dan baru sekarang dapat bertemu tapi engkau sudah mengetahui bahwa dia berilmu silat sangat tinggi, namanya sangat termasyur dan telah menjadi tokoh terkemuka dunia kongouw, dengan sendirinya hatinya terhibur dan merasa lega. Sebaliknya setiap hari aku bertemu dengan putraku, namun tidak kukenal dia, aku menyangka dia telah diculik penjahat dan tidak tahu mati hidupnya, malahan siang malam berkuatir baginya."

"Engkau ... tidak perlu bercerita lagi bahwa engkau ... bagaimana? Apa mau di ... dikata lagi?" seru Yap Ji-nio dengan menangis.

Namun Hian-cu menjawab dengan suara halus, ”Ji-nio, kalau kesalahan itu sudah kita perbuat, untuk menyesal juga sudah terlambat. Ai, selama beberapa tahun ini tentu banyak membikin susah dirimu?"

"Aku tídak susah," kata Ji-nío dengan menangís. "Kau sendiri menderita batin tapi tak bisa dikatakan, itulah benar-benar süsah."

Hian-Cu mengeleng kepala pelahan, lalu katanya kepada Siau Wan san, "Siau-sicu, pertempuran Gan bun koan ítu adalah salah pimpinanku. Tapi para saudara telah membela dan berkorban Jiwa bagiku, biarpun hari ini aku pun mati juga sudah terlambat. Cuma masih ada suatu hal yang aku benar-benar tidak paham sampai sekarang.”

Sampai disini tiba-tiba ia perkeras suaranya dàn berseru, "Buyung Bok, Buyung-siansing, dahulu engkau telah menyampaikan berita palsu itu padaku, katanya jago jago Cidan hendak menyerbu Siau-lim-si apakah maksud tujuanmu dengan kabar palsu itu?”

Kembali semua orang terkejut demi mendengar nama "Buyung Bok” itu. Di antara para ksatria itu hanya terbatas orang yang luas pengalamannya saja yang pernah mendengar bahwa di antara tokoh angkatan tua "Koh soh buyung” terdapat seorang yang bernama Buyung Bok. Karena tindak tanduk Buyung Bok itu sangat aneh dan misterius maka jarang yang kenal mukanya, apalagi dua-tiga puluh tahun paling akhir ini sudah tiada orang menyebutnya lagi, Kenapa sekarang mendadak Hian-cu menyebut nama Buyung Bok?

Dan ketika semua orang memandang menurut arah yang dituju Hian-cu, kiranya yang dimaksud adalah si padri jubah putih yang masih duduk di bawah pohon itu.

Maka terdengar padri itu tertawa panjang sambil berdiri katanya, "Hongtiang Taisu, penglihatanmu ternyata sangat tajam sehingga dapat mengenali diriku."

Habis berkata ia terus tarik satu kedok sendiri sehingga wajahnya yang putih bagus da agak kurus.

Buyung Hok berdiri tidak jauh di sebelahnya dalam kagetnya ia terus berteriak, "Hei, ayah jadi engkau belum .,.. belum meninggal?"

"Buyung-sicu," kata Hian-cu pula, "kita sebenarnya adalah sahabat lama, selamanya kuhormati kematian dirimu. Maka takkala kau sampaikan berita itu padaku, dengan sendirinya aku percaya padamu. Tapi sesuatu peristiwa yang keliru itu, untuk selanjutnya engkau tidak dapat kutemukan lagi. Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa engkau telah wafat, waktu itu aku benar-benar sangat berduka kukira kaupun sama menyesalnya karena percaya pada kabar orang lain sehingga terjadi kesalahan besar yang tak bisa ditarik kembali itu. Siapa tahu ... ai!"

Suara hembusan napas panjang itu penuh mengandung rasa menyesal dan cercaan.

Siau Wan-san saling pandang sekejap dengan Siau Hong. Baru sekarang mereka tahu bahwa manusia yang menyampaikan berita palsu untuk mengadu domba itu ternyata adalah Buyung Bok. Seketika timbul suatu pikiran yang sama dalam benak kedua ayah dan anak itu, yakni, "Jadi peristiwa menyedihkan di Gan-bun-koan dahulu itu walaupun dipimpin oleh Hian-cu, tapi dia adalah ketua Siau-lim-si, sudah sepantasnya dia memikirkan kepentingan bangsa dan neger¡nya serta kitab pusaka biaranya dengan sendirinya pula dia bertindak sekuat tenaga. Dan kemudian sesudah tahu perbuatannya yang salah itu. lalu sebisa mungkin dia berusaha memperbaíki kesalahannya. Jadì Toa ok-jin atau si durjana yang sesungguhnya bükanlah Hian-cu melainkan Buyung Bok adanya."

Karena dendam kesumat selama 30 tahun, maka rasa permusuhan Siau Wan-san terhadap Hian-cu susah dihapuskan. Sebaliknya Siau Hong merasa terharu dan kasihan juga kepada nasib Hian-cu.

Begitulah terdengar Buyung Bok bergelak tertawa, katanya, "Bangsa Han dan orang Cidan adalah musuh bebuyutan, asal bertemu lantas saling bunuh tanpa membedakan salah atau benar, kenapa aku yang disalahkan? Marilah nak, kita pergi saja!"

Segera ia gandeng tangan Buyung Hok untuk diajak pergi.

"Nanti dulu!" bentak Siau Hong mendadak. "Masäkah begitu enak lantas hendak mengeluyur pergi?”

"Habis mau apa?" sahut Buyung Bok. "Apakah kau ingin belajar kenal dengan kepandaian sejati Koh-Boh Buyung?"

"Sakit hati pembunuhan ibu mana boleh tidak dibalas?" kata Siau Hong. "Segala kejadian yang menyedihkan adalah karena perbuatanmu. Maka hari ini aku harus menuntut keadilan padamu,"

"Hahahal" tiba-tiba Buyung Bok tertawa panjang, ia lepaskan tangan Buyung Hok dan segera melompat pergi, ia berlari menuju ke atas gunung malah.

"Mari kejar!" seru Wan-san kepada Siau Hong. Kedua orang segera mengundak ke atas gunung dari jurusan kanan dan kiri.

Kepandaian ketiga orang itu sudah mencapai tingkatan tertinggi, maka dalam sekejap saja mereka sudah pergi sangat jauh dan hanya kelihatan tiga bayangan orang, satu di muka dan dua di belakang, semuanya menuju ke arah Siau-lim-si dan untuk sekejap pula lantas menghilang di balik dinding biara agung itu.

Tindakan Buyung Bok itu benar-benar membuat para ksatria sangat heran. Pikir mereka, "Kepandaian Buyung Bok itu sama hebat dengan Siau Wan-san. Tapi kalau ditambah seorang Siau Hong, pasti Buyung Bok sukar dilawan. Dan kenapa dia tidak berlari ke bawah gunung, sebaliknya malah lari ke dalam Siau-lim-si?”

"Ayah. ayah!" Buyung Hok berteriak-teriak dan segera ia pun menyusul ke atas gunung. Ginkangnya juga sangat tinggi, tapi kalau dibandingkan ketiga orang didepan ternyata masih kalah setingkat.

Segera Ting Pak-jwan. Kongya Kian, Pau Put-tong, Hong Po-ok dan ke-18 ksatria Cidan juga bermaksud memburu ke atas gunung untuk membantu majikannya masing-masing. Tapi baru saja mereka akan bergerak, tiba-tiba Hian-cit membentak. "Pasang barisan dan rintangi mereka?”

Serentak beratus-ratus padri Siau Lim-Si mengerubung maju dan pasang barisan masing-masing dengan senjata siap di tangan untuk merintangi setiap orang yang berani maju.

"Siau Lim-si kami adalah tempat suci dan bukan tempat berkelahi untuk umum, maka perempuan diharap jangan sembarangan masuk ke sana!” seru Hian-cit pula dengan garang.

Melihat begitu hebatnya barisan padri Siau-Lim-Si, Pek jwan insaf tidak mungkin dapat menerjang lewat kesana, terpaksa ia tidak berani bergerak lagi walaupun dalam hati sangat menguatirkan keadaan sang majikan.

Sebaliknya Pau Put-tong lantas menanggapi ucapan Hian Cit tadi, " Benar, Siau Lim-Si memang tempat suci, tempat suci untuk mengadakan hubungan gelap dan melahirkan anak haram!”

Karena kata-kata ini seketika beratus pasang mata dengan sorot mata yang gusar terpancar arahnya. Tapi dasar watak Pau Put-tong tidak kenal apa artinya takut biarpun tahu bukan tandingan salah seorang padri angkatan

"Hian" dari Siau-Lim-Si, tapi sekali dia sudah bicara apa pun juga siap akan dihadapinya. Maka terhadap pelototan mata beratus padri Siau-Lim-si itu kontan dibalasnya dengan mendelik pula.

Maka terdengar Hian-cu berkata dengan suara lantang. "Aku telah melanggar larangan besar agama sehingga mencemarkan nama baik Siau-Lim-pai. Nah Hian-Cit Sute, Kalau menurut peraturan apa hukumanku itu?”

"Ini... ini ... Suheng .... " sahut Hian cit dengan tergegap dan ragu.

"Negara mempunyai undang-undang dan keluarga mempunyai peraturan, setiap golongan, aliran atau perkumpulan tentu juga punya murid yang menyeleweng." kata Hian-Cu. "Nah. Murid pelaksana hukuman, siapkan pentungan dan rangket Hi tiok 130 kali, yang seratus kali adalah hukuman yang dijatuhkan atas dosanya dan 30 kali adalah hukuman kepada gurunya yang diwakilkan olehnya."

Segera murid pelaksana hukum memandang Hian-Cit, ketika padri agung itu mengangguk, dalam pada itu Hitiok sudah bertiarap dan siap menerima hukuman. Segera padri yang memegang pentungan itu mulai menghantam punggung dan bokong Hi-tiok sehingga babak belur dan berdarah.

Walau pun dalam hati Yap Ji-nio sangat sedih, tapi biasanya dia jeri kepada wibawa Hian-cu, maka tidak berani memohonkan ampun. Dengan susah payah akhirnya Hi-tiok selesai menerima 130 kali rangketan itu. Karena dia tidak melawan dengan tenaga dalamnya, maka sakitnya tidak kepalang sehingga tidak sanggup berdiri lagi.

"Sejak kini kamu dipecat dan bukan padri Siau-lim-si lagi," kata Hian-cu.

Hi-tiok mengiakan dengan air mata berlinang-linang.

Lalu Hian-Cu berkata pula, "Hian-cu melanggar pantangan berzinah, dosanya sama dengan Hi-tiok, tapi dia adalah Hongtiang, maka hukumannya harus berlipat ganda. Nah, padri pelaksana hukum, rangket Hian-cu 200 kali. Nama baik Siau Lim-si harus tetap terpupuk, sedikit pun tldak boleh pandang bulu dan pilih kasih."

Habis berkata, ia lantas bertiarap sendiri terhadap patung Budha yang jauh berada di tengah pendopo Siau limsi di atas gunung. Ia menyingsing bajunya sendiri sehingga kelihatan punggungnya.

Seketika para ksatria saling pandang dengan melongok. Bahwasannya Hongtiang Siau-Lim-si menerima hukuman di depan umum, sungguh kejadian yang mengejutkan dan luar biasa.

Dengan ragu Hian-cit coba bertanya, "Suheng Engkau .... "

"Laksanakan hukuman semestinya.” seru Hian-Cu. "Nama baik Siau Lim-Si mana boleh tercemar di tanganku?"

Terpaksa Hian-cit mengiakan dan memberi perintah, "Baiklah, hukuman dimulai!”

"Maaf Hongtiang!" lebih dulu kedua pelaksana hukuman memberi hukuman. Habis itu mereka melangkah mundur dua tindak dan angkat pentungan mereka terus menghantam ke Hian-Cu secara bergiliran.

Kedua padri pelaksana hukum itu tahu yang membuat tidak enak Hongtiang mereka adalah di jatuhihukuman di depan umum dan bukan soal babak belurnya rangketan itu. Kalau sekarang mereka merangket dengan ringan tentu akan di buat comooh orang luar malah. Maka mereka terus menghantam sebagaimana mestinya tanpa pandang bulu. Hanya sekejap saja punggung dan bokong Hian-Cu sudah babak-bundas penuh darah.”

Para padri Siau Lim-si lain sama menunduk sambil berdoa mereka hanya mendengar kedua padri pelaksana hukum itu menjatuhkan pentungan mereka dan mengeluarkan suara "plak-plok" diseling dengan suara hitungan.

Mendadak To-Ling Taisu dari Bo-to-si berseru "Hian Cu Suheng biara kalian sangat mengutamakan tata tertib dan menjatuhkan hukuman kepada Hongtiang sendiri tanpa pandang bulu, sungguh aku sendiri kagum. Cuma usía Hian-cu Suheng sudah lanjut, piula tidak mau menggunakan Iwekangnya untuk menahan pukulan ítu, rasanya 200 kali rangketan akan susah diterimanya. Maka ingin kumohon ampun baginya sekarang sudah lebih 80 kali rangketan, sisanya boleh ditunda saja pada lain hari."

"Ya, Setuju, Setujul" segera banyak di antara ksatria itu menyokong usul To jing.

Tapi sebelum Hian-cit menjawab segera Hian-cu berseru "Banyak terima kasih atas maksud baik para kawan. Namun peraturan tetap peraturan dan tidak boleh dltawar. Maka padri pelaksana hukum, hendaknya rangket terus?"

Sebenarnya kedua padri yang merangket tadi sudah berhenti, demi mendengar perintah sang ketua terpaksa mereka menghantam dan menghitung lagi.

Kira-kira empat puluh kali rangketan pula Hian-cu tidak tahan lagi, kedua tangannya yang menyanggah diatas

tanah itu menjadi lemas sehingga mukanya menempel tanah.

"O, semuanya adalah salahku dan tak dapat menyalahkan Hongtiang. akulah yang salah karena ditipu orang sehingga sengaja menggoda Hongtiang maka ... maka rangketan yang lain biarlah aku saja yang menerimanya," demikian seru Yap Ji-nio dengan menangis, la berlari-lari maju hendak tiarap di atas badan Hian-cu untuk mewakilkan terima rangketan yang masih kurang itu.

Tapi sebelum mendekat, sekali jari Hiau cu menutuk, seketika Hiat-to dipinggang Yap Ji-nio tertutuk dan tak berkutik. "Bodoh. Engkau bukan orang dalam agama dan tidak bersalah, kenapa minta dihukum?"

Dan ketika Yap Ji-nio terpaksa diam di tempatnya dengan air mata berlinang lalu Hian-cu berseru, "Teruskan rangketan!"

Dengan susah payah akhirnya genaplah 200 kali rangketan itu dilaksanakan. Darah sampat mengenangi tanah sekitar badan Hian-Cu di mana dia tengkurap. Sekuat mungkin Hian-cu menahan diri sehingga tidak sampai jatuh pingsan.

Lalu kedua padri pelaksana hukum memberi hormat kepada Hian-cu, "Lapor Siaco, hukuman atas Hongtiang sudah selesai."

Hian-cit cuma mengangguk saja dan tak sanggup bicara.

Sesudah Hian-cu merangkak bangun, lalu ia hendak menutuk pula Yap Ji-nio untuk membuka hiat-to yang ditutuknya tadi. Tak terduga karena lukanya terlalu parah sehingga tutukannya itu menjadi gagal.

Sejak tadi Hi-tiok menunggu di samping ibunya, melihat kegagalan Hian-cu itu, segera ia mewakilkan membuka hiat to ibunya.

Tiba-tiba Hian-Cu menggapai pada Ji-nio dan Hi-tiok agar mendekatinya. Hi-tiok menjadi ragu sesudah berhadapan dengan ketua Siau-lim-si itu ia tidak tahu apa mesti memanggil "ayah" atau tetap menyebut "Hongtiang” saja?

Hian-cu lantas berkata kepada para hwesio Siau-Lim-si, "Empat padri angkatan "Hian” dari Siau-lim-si kita telah dibunuh orang. Hian-thong dan Hian-lan Sute diketahui sebagai korban keganasan Ting-siangsing dari Sing siok pai, Hian koh sute tewas di bawah pukulan Siau-sicu. Masih ada pula Hian-pi Sute yang belum di ketahui meninggal dibunuh oleh siapa. Semula aku kira adalah perbuatan ”Koh-soh Buyung”, Tapi sesudah

menyaksikan kepandaian Buyung Bok losian yang telah menahan bunuh diri putranya, barulah ku tahu bahwa sahabat lama ini kiranya belum meninggal dan nyata "Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin” memang ilmu sakti nomor satu di dunia ini. Cuma saja Siau-lim-pai kita selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan Buyung-Losicu, entah mengapa dengan susah payah dia menjalankan muslihatnya untuk menghancurkan golongan kita, hal ini benar-benar tidak dapat kupahami.”

"Tangkap hidup-hidup Buyung Bok dan hukum mäti dia untuk membalaskan Sakit hati Hian-pi Taisu!"' serentak semua orang berteriak saking duka dan gusernya.

Tapi Hian-cu menggeleng kepala dan tersenyum, katanya pula dengan perLahan "Setiap orang mempunyai kesalahan dan dosa masing-masing, semoga Budha maha kasih memberi jalan bagi mereka yang tersesat."

Lalu ia mengulurkan lengan yang sebelah memegang tangan Ji-nio dan yang lain memegang tangan Hi-tiok katanya, "Orang hidup di dunia ini ada kehendak dan ada kasih, tapi semuanya sebenarnya hampa belaka, sungguh sulit, Sülit!"

Habis berkata pelahan ia pejamkan mata dan tidak bersuara lagi.

Ji-nio dan Hi-tiok tidak berani bergerak, sebab mengira masih ada apa-apa yang hendak dikatakan Hiau-cu. Tak terduga tangan Hiau-cu yang memegang mereka itu makin lama makin dingin, Karuan Ji-nio terkejut, cepat ia perìksa pernapasan Hian-cu dan ternyata sudah berhenti, nyata ketua Siau-lim-si itu sudah wafat.

"Ken ... kenapa kau tinggalkan aku dengan begini saja!" seru Ji-nio dengan wajah pucat. Mendadak ia melompat setinggi dua-tiga meter ke atas dan membiarkan dirinya dirinya terbanting ke bawah, "bluk", dengan keras badannya terkapar di samping Hian-cu, dan sesudah berkelojotan beberapa kali lalu tidak bergerak lagi.

"Ibu, ibu! Jangan , .. jangan .... " seru Hi-tiok dengan bingung. Waktu ia angkat bangun ibunya, tertampaklah sebilah belati sudah menancap di hulu hati sang ibu, terang sukar dihidupkan kembali lagi. Cepat Hi-tiok menutuk hiat-to disekitar luka itu, kemudian ia hendak menolong Hian-cu pula, dengan sibuk ia hendak menolong dua orang sekaligus.

Segera Sih-sin-ih ikut maju buat membantu tapi dilihatnya kedua orang itu sudah berhenti bernapas terang tak tertolong lagi maka ia berkata, "Susiok hendaklah jangan terlalu berduka kedua orang tua sudah tak bisa tertolong pula."

Tapi Hi-tiok masih ngotot dan tidak putus asa, Uia masih berkutat sampai sekian lama dan sudah tentu tak

berhasil. Ia dengar para padri sedang berdoa, dalam dukanya hi-tiok lantas menangis juga dengan tergerunggerung. Selama 24 tahun ini ia hidup yatim-piatu dan tidak pernah merasakan setitik bahagia hidup kekeluargaanan, baru beberapa hari ini dia bertemu dengan ayah bundanya, siapa tahu belum ada satu jam lamanya kedua orang tua itu sudah meninggal semua. Kalau ada peristiwa yang paling memilükan di dunia ini rasanya tiada yang lebih tragis daripada Hi-tiok ini.

Tadi semua orang agak memandang hina kepada Hian-cu karena sebagai ketua Síau-l¡m-si dia telah melanggar peraturan suci, tapi kemudian mereka merasakan kesalahan Hian-cu itu telah ditebus dengan hukuman 200 kali rangketan di depan umum. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa sesudah dirangket, mendadak Hian-cu membunuh diri untuk menebus dosanya.

Sebenarnya bila Hian-cu ingin menebus dosanya dengan kematian, maka mestinya hukuman rangket itu tidak perlu diterimanya, namun dia bertekad sehabis dirangket baru membunuh diri, hal ini benar-banar perbuatan seorang sejati. Karena kagum kepada jiwa Hian-cu yang besar itu, segera banyak di antara para ksatria mendekati jenazah dan memberi penghormatan terakhir.

Lam-hai-gok-sin juga lantas berkata kepada Yap Ji-nio, "Jici (kakak kedua), Gak-Losam sekarang tidak akan berebut urutan lagi denganmu, biarlah engkau saja yang menduduki tempat kedua itu!"

Selama ini Lam-hai-gok-sin selalu berebut "tua" dengan Yap-ji-nio, selalu ia mencari daya upaya agar dapat menduduki tempat kedua dari su-ok itu. Tapi sekarang dia mengalah dengan ikhlas, hal ini menunjukkan dia juga sangat berduka dan kagum kepada kematian Yap-ji-nio yang setia itu.

Dalam pada itu orang-orang Kai-pang juga merasa lesu semua. Dengan penuh semangat mereka mengeluruk ke siau lim-si, siapa tahu Ong-pancu mereka datang-datang lantas bertekuk lutut dan mengangkat guru kepada sing-siok lokoai, bahkan kemudian kedua kaki sang pangcu itu di patahkan pula oleh siau Hong.

Maka Goan-tianglo lantas berseru "Saudara-saudara sekalian, untuk apa lagi kita berdiam di sini? Memangnya ingin menunggu sedekah nasi basi? Ayolah pergi dari sini!”

Para pengemis serentak mengiakan dan segera hendak pergi semua.

Tapi mendadak terdengar Pau put-tong berseru kepada mereka, "He, nanti dulu! Ada sesuatu yang hendak kuberitahukan kepada Kai-pang.”

Dahulu Tan-tianglo pernah bertempur dengan Pat-tong dan Po-ok di kota Busik, ia kenal mulut Put-tong tidak ada kata-kata bersih, maka dengan suara garang segera ia menanggapi, "Orang she Pau, kalau mau bicara boleh

lekas bicara jika mau kentut lekas kentut!”

"Waduuuh! Baunya bacin!” seru Put-tong sambil pencet hidungnya sendiri. ”Hai, pengemis tukang kentut, apakah dalam Kai-pang kalian ada seorang pengemis tua bangka bernama Ih It-jing?”

Mendengar nama kawannya itu seketika Tan-tianglo sangat tertarik, jawabnya, ”Jika ada mau apa? Kalau tidak ada bagaimana?”

”Aku sedang bicara dengan seorang pengemis tukang kentut dan kamu menanggapi ucapanku, apakah kamu mengaku sebagai tukang kentut?” tanya Put-tong.

Karena ingin tahu urusan yang menyangkut kepentingan organisasi mereka sudah tentu Tong Tianglo tidak sabar untuk adu mulut dengan Put-tong. Maka jawabnya, "Aku ingin tanya tentang Ih It jing yang kau katakan itu. Dia adalah anggota kami dan sedang diutus berdinas ke negeri Se He, apakah saudara mengetahui kabar beritanya?"

"Aku justru ingin bicarakan suatu urusan negeri Se He dengan kalian," kata Put tong. "Cuma Ih It-jing itu sudah lama melaporkan diri kepada Giam-lo-ong (Raja akherat)!"

"Hah, apa betul ucapanmu?" Yan-tianglo menegas dengan agak kaget. "Numpang tanya, ada urusan apa tantang negeri Se he?"

"Kamu memaki aku bicara sepertl kentut, maka sekarang aku tidak ingin kentut lagi." sahut Put-tong.

Sungguh Tan-tianglo sangat mendongkol, tapi dia memang seorang sabar, dengan tertawa ia berkata, "Ya, tadi umpatanku telah menyinggung perasaan saudara, maaf!"

"Minta maaf sih tidak perlu, asal selanjutnya kamu sedikit kentut dan banyak bicara, saja.” ujar Put-tong.

"Apa-apaan ini?” demikian pikir Tan-tianglo dengan mendongkol. Tapi karena ingin minta keterangan terpaksa ia mengalah. Maka ia hanya diam saja tanpa menjawab.

"Hah, kamu tidak mau bicara, jadi cuma mau kentut saja!" kembali Put-tong mendesák.

Tapi Tan-tíanglo tetap mengalah, sahutnya tak acuh, "Ah, jangan bergurau?”

Melihat dirinya sudah menang, kemudian Put-tong berkata, "Jika kamu sudah mau buka suara, itu berarti tidak mau kentüt lagi. Baiklah biar kukatakan padamu. Setengah tahun yang lalu, ketika aku ikut Kongcu kami bersama Ting-toako dan lain-lain, di tengah perjalanan bertemu dengan dua orang pengemis, yang satu sudah mampus dan yang lain baru sekarat. Yang mati itu sangat kurus, mungkín mati kelaparan karena tidak cukup sedekah yang diperolehnya sehingga tinggal kulit pembungkus tulang belaka dan akhirnya mampus. Sungguh kasihan.”

"Müngkin dia Tik Pin, Tik-hiante dari Kai-pang kami,” ujar Tan-tiang-lo.

"Ketika aku menemukan dia, keadaannya sudah kaku dan entah día sudah laporkan diri belum kepada Giam-loong," tutur Put-tong pula. "Dan karena dia sudah tak bisa bicara, dengan sendirinya aku tak dapat tanya dia tinggal di mana dan siapa namanya. Cuma aku pun kuatir jangan-jangan dia akan memaki aku kalau mau bicara lekas bicara, jika mau kentut lekas kentut kan celaka!"

Tan-tianglo diam saja mendengarkan ocehan Pau Put-tong. Diam-diam ia harus mengakui orang she Pau ini sukar diajak bercekcok, sekali salah omong, maka tidak habis-habis akan dibalasnya.

"Huh, kamu diam saja, tentu dalam hati kamu mencaci-maki padaku ... " begitulah kembali Pau Put-tong mengoceh dan memberi "kuliah" panjang lebar kepada Tan-tianglo dan sesudah melihat lawannya itu tetap tidak berani menjawab, kemudian barulah ia berkata, "Nah, boleh dengarkan sekarang Selain pengemis mati yang kau katakan she Tik itu, masih ada seorang pengemis tua yang terluka parah dan mengaku bernama Ih-Itjing. Dia membawa sehelai maklumat dari kerajaan Se He dan minta kami menyampaikannya kepada ketua Kai-pang kalian."

Karena kuatir orang mengolok-olok Tan-tianglo lagi. Segera Song-tianglo mewakilkan bicara, lebih dulu ia memberi hormat, lalu berkata, "Pau-siangsing telah menyampaikan berita ini kepada kami, sungguh kami segenap anggota Kai pang merasa sangat berterima kasih."

"Tidak, tidak! Begitu tidak segenap anggota Kai-pang kalian akan berterima kasih padamu," seru Put-tong.

"Apa maksüd ucapan Pau-siansing ini?" tanya Song-tianglo dengan tercengang.

"Yang terang Pangcu kalian bukan saja tidak terima kasih padaku, sebaliknya di dalam hati dia pasti akan

dendam padaku sampai ke tulang sumsum!" kata Püt-tong sambil menunjuk Yu Goan ci.

"Mengapa bisa begitu? Mohon pau-siansing memberi keterangan,” kata Song dan Tan-tianglo bersama.

”Habis, Ih-It-jing itu pun kemudian mati dan orang yang membunuh mereka itu bukan lain adalah Ong-pangcu kalian," kata Put-tong.

Seperti diketahui, ketika Goan-ci memukul mati kedua pengemis she Tik dan Ih, hal itu memang dilihat oleh Pau Put-tong, Sebelum itu Goan-Ci pernah mendapatkan pemberian belati dari Hong Po-ok untuk mengupas kerudung besinya, sebab itulah orang lain tídak tahu bahwa Ong Sing-thian adalah Yu Goan-ci, tapi bagi Buyung Hok dan kawan-kawannya sudah dapat menduga akan hal ini.

Karena keterangan Put-tong tadi, maka geregetanlah kawanan pengemis. Segera Gu-Tianglo mendekati Goanci, dengan suara bengís ia tanya, "Betul tidak keterangannya itu?"

Karena kedua kakinya dipatahkan oleh Siau Hong, maka sedari tadi Goan-ci duduk di tanah dengan tidak bicara, diam-diam ia mengerahkan Iwekangnya untuk menahan sakit. Ketika mendadak didengarnya Pau PutTong membongkar kejadian tempo hari. Diam-diam ia gugup dan kuatir. Maka waktu ditegur Cin-tianglo seketika ia menjadi gelagapan dan tidak sanggup menjawab.

Melíhat sikapnya ítu, tahulah para pengemis bahwa diam-diam Goan-ci telah mengakui adanya kejadian itu. Namun apa pún juga dia adalah Pangcu, mereka tak dapat bertindak padanya.

"Kenapa kau binasakan kedua saudara kita sendiri?" tanya Go-tianglo pula.

"Aku ... aku mestinya tidak ... tidak bermaksud mencelakai jiwa mereka tapi me .... mereka sendirilah yang tidak tahan," sahut Goan-Ci tergagap.

Karena jawaban ini, maka makin yakinlah Pau Pit-tong bahwa Ong Sing-thian itu memang benar adalah Yu Goan-ci yang aneh tindak-tanduknya itu.

Karena tidak ingin borok Kai-pang dikatahui orang luar terpaksa Song-Tianglo kesampingkan dulu akan kematian kedua kawannya itu, ia berkata kepada Pau Put-tong, "Entah maklumat yang diserahkan Ih It-Jing itu apakah Pau-siangsing membawanya sekarang?”

”Tidak!" jawab Put tong sambil geleng kepala.

Wajah Song tianglo berubah agak kurang senang pikirnya, "Kurang ajar! Jadi bicara panjang lebar tadì sejak tadi tujuanmu hanya sengaja hendak mempermainkan orang!”

Dan belum lagi ia tanya pula, tiba-tiba put-tong berpamit, "Nah, selama gunung tetap menghijau dan sungai selalu mengalir, biarlah kita bertemu pula kelak!"

Habis itu ia terus putar tubuh dan bertindak menjauh.

"Eh, maklumat negeri Se He itu kenapa tidak saudara sampaikan kepada kami?" cepat Go-tianglo bertanya.

"Aneh." sahut Put-tong, "Dari mana kau tahu Ih It-jing menyerahkan maklumat itu kepadaku sehingga kau gunakan kata 'sampaikan'? Apa barangkali kau sendiri menyaksikannya tempo hari?”

Dengan menahan rasa gusar Song-tianglo ikut bicara, "Sudah terang Pau-heng tadi mengatakan Ih It-jing dari Kai-pang kami membawa sehelai maklumat dari kerajaan Se He dan minta Pau-heng menyampaikan kepada kami, Apa yang Pau-heng katakan ini telah didengar pula oleh para ksatria yang hadir di sini, kenapa mandadak Pau-heng menarik kembali ucapannya sediri?”

”Tidak, tidak! Aku tidak berkata demikian,’ sahut Put tong. Dan ketika melihat air muka Song tianglo berubah kurang senang, segera ia menyambung pula, "Biasanya para Tianglo Kai-pang terkenal sebagai kaum Jantan sejati, kenapa di depan para ksatria sejagat ini berani memutar balikan persoalan, apakah dengan demikian nama baik para Tianglo takkan runtuh sama sekali?"

Song, Tan dan Go tianglo saling pandang sekejap dengan muka cemberut, sungguh mereka sangat mendongkol atas sikap Pau Put tong yang "plin-plan" itu, mereka menjadi ragu apa mesti ambil tindakan keras atau bersabar.

Akhirnya Tan-tianglo berkata dengan gusar, "Sebenarnya apa kehendak Pau-heng, harap suka bicara secara blak-blakan saja."

"Wah, kenapa kamu begini bodoh?" sahut Put-tong. "Eh. Tan tianglo, tempo hari kamu bertanding dengan Hong-sute kami di Bu-sik. Waktu itu kau bawa, sebuah kantung besar dan di dalam kantung berisi seekor

ketungging besar, ketungging besar itu punya ekor panjang, ekor panjang itu sangat berbisa, sangat berbisa itu kalau mengantup akan bikin jiwa sang korban melayang, betul tidak?"

Diam-diam Tan-tianglo tambah mendongkol oleh ucapan Pau Put-tong yang bertele-tele itu, mestinya beberapa kata yang cekak-aos sengaja diulur-ulur ada ekor, ada sengat, panjang, besar dan segala. Namun begitu, terpaksa ia pun mengiakan perkataan orang.

Maka Put-tong berkata lagi, "Bagus! Nah, sekarang aku ingin bertaruh dengan dirimu, Jika kamu menang, segera aku akan memberitahukan berita yang dibawa oleh pengemis she Tik dari Se-He itu. Sebaliknya kalau aku yang menang muka kamu harus menyerahkan kantung besar dengan isi ketungging itu, semuanya harus diberikan padaku. Nah, kau berani bertaruh tidak?”

"Apa yang hendak Pau-heng pertaruhkan?” tanya Tan-tianglo.

"Barusan Song-Tianglo kalian menuduh dia minta barang padaku, la berkeras mengatakan kawan kalian yang bernama Ih it-jing itu minta aku menyampaikan sehelai maklumat kerajaan Se-He kepada kalian. Padahal sama sekali aku tidak pernah berkata demikian. Nah, maka kita boleh bertaruh. Jika benar aku pernah berkata seperti itu maka kalian adalah pihak yang menang, sebaliknya kalau aku tidak pernah omong begitu itu berarti aku yang menang."

Tan-tianglo ragu sejenak, ia coba memandang kedua kawannya dan melihat Song dan Go-tiang|o sama mengangguk seakan-akan mengatakan di bawah saksi para ksatria sebanyak ini masakah Pau Put-tong dapat mangkir, maka boleh bertaruh saja dengan dia.

Segera berkatalah Tan-tianglo, ”Baik, aku bertaruh denganmu! Tapi entah cara bagaimana Pau-heng hendak membuktikan pertaruhan ini? Apakah perlu mengangkat beberapa juri yang jujur dan terhormat di antara para ksatria yang hadir ini?”

"Bukan, bukan!" sahut Put tong dengan istilahnya yang khas. "Kaubilang hendak mengangkat beberapa orang yang jujur dan terhormat di antara hadirin untuk menjadi juri apakah selain beberapa orang itu, selebihnya bukan orang jujur dan tidak terhormat, semuanya rendah dan kotor? Ai, ai, engkau sungguh terlalu menghina para ksatria yang hadir ini Kai-pang kalian benar-benar terlalu kurangajar!"

”Ah, janganlah Pau-heng bergurau, sekali-kali tiada maksudku begitu," kata Tan-tianglo dengan mendongkol "Habis bagaimana kalau menurut usulmu?”

"Kenapa mesti susah?" sahut put-tong. "Kalah atau menang cukup dengan satu-dua orang saja, biarlah sebentar

aku memecahkan bagimu. Nah. serahkan sini."

Sambil mangucapkan kata-kata terakhir itu, berbareng ia pun menyodorkan tangannya.

Keruan Tan-tianglo terkejut. "Apa?" tanyanya.

"Apalagi? Kantung ketungging dan obat penawar!”

"Pau-herg belum memberi bukti-bukti nyata, mengapa sudah anggap dirimu yang menang?"

"Aku kuatir sesudah kalah jangan-jangan kamu mungkir janji dan tak mau menyerahkan barang-barangmu itu."

"Hahaha!" Tan-tianglo bergelak tertawa. "Hanya makluk berbisa sekecil ini apa sih artinya, Jika Pau-heng memang kehendaki, biarlah segera kuberikan dan kenapa mesti pakai bertaruh segala?"

Sambil bicara ia terus menanggalkan sebuah kantung kain yang berada di punggungnya dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan diserahkan kepada Put-tong.

Tanpa sungkan lagi Put-tong menerimanya, ia membuka mulut kantung itu dan melongok isinya, ia lihat di dalam kantung ada beberapa ekor ketungging besar berwarna loreng, cepat la menutupnya kembali dan menyimpan obat penawar tadi. Lalu katanya, "Nah, sekarang akan kuperlihatkan buktinya mengapa aku menang dan kamu kalah."

Lalu ia menanggalkan bajunya. ia kebas-kebas bajunya dan mengeluarkan isi sakunya yang hanya terdapat beberapa potong uang perak pecahan, batu api dan besi ketikan api lain barang tidak ada lagi. Kemudian ia memakai kembali bajunya.

Sudah tentu Song, Tan dan Go-tianglo tidak paham apa maksud orang. Namun lantas terdengar Pau Put-tong berkata, "Jiko, boleh kau pegang maklumat itu dan perlihatkan kepada mereka."

Sebenarnya Kongya Kian lagi kelebakan menguatirkan keselamatan Buyung Hok, tapi karena tidak mampu menembus barisan pertahanan padri Siau-lim-si, terpaksa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Maka dengan tersenyum la lantas mengeluarkan kertas maklumat dari Se He itu dan dibentang.

Waktu semua orang memperhatikan ini maklumat itu, mereka hanya lihat ada sebuah cap merah besar, selebihnya adalah huruf-huruf yang tidak dikenal.

"Nah, dengarkan yang jelas." demikian kata Put-tong kemudian. "Tadi aku cuma mengatakan bahwa Ih It-jing menyerahkan sehelai maklumat kepada kami dan minta kami menyampaikannya kepada Tianglo kalian betul tidak?"

"Ya, benar," sahut Song-tianglo bertiga dengan girang karena orang mengaku sendiri apa yang dikatakannya tadi.

"Tapi Song-tianglo berkeras menuduh aku pernah mengatakan Ih It jing telah menyerahkan sehelai maklumat padaku dan minta aku menyampaikannya kepada Tianglo kalian benar tidak?"

"Ya, benar! Memangnya apa bedanya?" seru ketiga Tianglo itu berbareng.

"Sudah tentu beda, beda besar sekali! Bedanya seperti langit dan bumi! " teriak Put-tong sambil geleng-geleng kepala. "Apa yang kukatakan ialah 'kami', tapi Song-tianglo menuduh 'aku', kami adalah kami dan aku adalah aku, kami dan aku mana boleh dicampuradukan menjadi satu? Kami termasuk Buyung-kongcu, Ting-toako, nona Ong dan lain-lain, sebaliknya aku cuma si 'bukan-bukan' orang she Pau itu, mana boleh kalian anggap sama dan tiada bedanya?"

Seketika Song, Tan dan Go tianglo menjadi bungkam, mereka hanya saling pandang belaka. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa Pau Put-tong sengaja main pokrol bambu, sengaja membeda-bedakan kata 'kami' dan aku secara membingungkan.

Sekali mendapat angin terus saja Pau Put-tong menyusul lagi, ”Nah, jadi sudah jelas bukan? Jadi yang harus menyampaikan berita maklumat ini bukanlah aku si orang she Pau ini, tapi rombongan kami dari Koh-soh Buyung ini. Aku sendiri pernah kecundang di tangan kalian di Bu-sik, umpama aku tidak bermaksud mencari balas pada kalian, tapi berita demikian terang tak sudi kusampaikan kepada kalian."

Sampai di sini lalu ia berpaling kepada Kongya Kian dan berkata, "Jiko,. kitia sudah menang, boleh simpan kembali maklumat itu."

Tan-tianglo sangat cerdik mendengar kata-kata Pau Put tong tadi segera ia tahu bahwa ocehan Pau Put-tong yang panjang lebar dan putar kayun itu titik pokoknya adalah mengenai persoalan kecundangnya di kota Bu-sik

dulu.

Maka sambil memberi hormat Tan-tianglo berkata, "Tempo hari dengan bertangan kosong, Pau heng telah menempur tongkat baja Go-tianglo kami dan terang Pau-heng tidak lebih unggul.

Kemudian sesudah Kiau-pangcu kami tampil ke muka, akhirnya baru dapat menang sejurus pada Pau-heng. Tatkala itu Pau-heng lantas pergi dengan berdendang tanpa memikirkan pertarungan hebat itu. Sungguh segenap anggota Kai-pang kami sangat menghargai jiwa besar Pau-heng, tapi kenapa Pau-heng sendiri malah merasa rendah hati dan mengaku kalah di tangan para Tianglo kami? Ingat kukatakan bahwa sekali-kali tidak pernah terjadi hal seperti itu! Apalagi Kiau Hong sudah lama putus hubungan dengan Kai-pang kami, bahkan sekarang boleh dikata dia adalah musuh kita bersama."

Dia tidak tahu sebabnya Pau Put-tong putar lidah panjang lebar justru mengharapkan pernyataannya yang terakhir itu. Jadi Tan-tianglo tanpa sadar telah terjebak.

Maka Pau Put tong lantas menumpangi umpan ítu, ”Kalau demikian halnya, neh, sekarang kalian boleh pimpin anggota Kai-pang kalian untuk menawan Kiau Hong yang merupakan musuh kita bersama itu. Sesudah itu mengingat persahatan baik kita tentu kami akan menyerahkan maklumat ini padamu. Bahkan bila kalian tidak kenal huruf cacing dalam maklumat itu, maka Kongya jiko tentu suka menolong kalian pula untuk memberi penjelasan secukupnya. Nah bagaimana pendapat kalian?”

Tan-tianglo menjadi ragu, ia pandang Song tianglo dan pandang Go-tianglo pila.

"Ya. harus begítu, kanapa mesti ragu?" tiba-tiba seorang berseru.

Waktu semua orang memandang ke arah pembicara itu, kiranya Coan Koan-Jing yang terkenal cerdik itu, Terdengar ia menyambung, "Kerajaan Liau adalah musuh bebuyutan kerajaan Song kita. Sedang ayah Kiau Hong mengaku telah sembunyi selama 30 tahun di dalam Siau-lim-si dan banyak mempelajari iimu silat dari kitab pusaka yang telah dicuri-bacanya itu. Kalau sekarang kita tidak bersatu menumpasnya, kelak dia akan menyebarkan kepandaian yang diperolehnya dari Siau lim-si itu kepada bangsa Cidan mereka, maka itu berarti suatu bahaya besar bagi bangsa kita."

Semua orang menganggap uraian Coan Koan jing cukup beralasan. Akan tetapi Hian-cu telah meninggal, Ong Sing-thian sudah patah kedua kakinya, Siau-lim-pai dan Kai-pang yang merupakan dua saka guru dunia persilatan Tlonggoan dalam keadaan tanpa pimpinan. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan seorang yang sanggup memimpin mereka. Karena itu semua orang Cuma saling pandang belaka dan tidak dapat mengambil sesuatu keputusan.

Segera Coao Koan-jing berseru pula, "Boleh silakan ketiga padri agung angkatan Hian dari Siau-lim-si dan katiga Tianglo dari Kai-pang bersama-sama memimpin dan memberi komando pada kita. Pendeknya kitä harus membasmi dahulu Siau Wan-san dan Siau Hong yang merupakan bahaya bagi kerajaan Song kita. Jika ada urusan lain biarlah ditunda dan dirembuk lagi nanti.”

"Benar, harap para padri agung dan ketiga Tianglo suka memimpin kita!"

"Ya, urusan yang menyangkut kepentingan bangsa ini, harap keenam Locianpwe suka tampil ke muka!”

"Memang harus begitu! Kita akan tunduk kepada setiap perintah untuk membunuh kedua anjing keparat ini!" demikian beramai-ramai orang banyak lantas berteriak. Dan dalam sekejap saja beratus orang itu serentak melolos senjata, bahkan ada sebagian yang siap menyerbu ke-18 ksatria Cidan yang masih berada di situ itu.

"Para saudara Cidan itu, silakan kemari!" seru Sia-popo.

Tapi karena tidak tahu apa maksud tujuan nenek itu, maka ke-18 orang itu tetap diam saja di tempatnya dengansenjata terhunus dan berdiri merapat. Biarpun tahu bukan tandingan kaum ksatria Tionggoan yang berjumlah besar itu, tapi rupanya mereka pun sudah bertekad akan bertempur sampai titik darah terakhir.

Maka Sia-popo berseru pula, "Leng-cin Pat-poh, lindungilah ke-18 sahabat Cidan itu!"

Maka larilah kedelapan barisan wanita Leng-cit-kiong ke depan para ksatila Cidan, Begitu pula para Tongcu dan ToCu ke-36 pulau dan ke-72 gua.

Para bekas anggota Sing-slok-pai rupanya juga ingin unjuk jasa di depan majikan baru mereka. Maka tanpa disuruh mereka pun ikut-ikut merubung maju sambil mamberi semangat sehingga menambah perbawa mereka.

"Cujin," kata Sia-popo kepada Hi-tiok dengan hormat, "ke-18 ksatria cidan ini adalah bawahan kakak angkat Cujin, jika mereka dibunuh orang di depan hidung Cujin, ha! ini akan, terlalu merosotkan pamor Leng-ciukiong kita. Maka kita tidak boleh tinggal diam, kita harus mengawasi mereka dan harap Cujin memberi keputusan."

Hi-tiok sendiri sangai berduka atas kematian ayah-ibunya. Ia sendiri juga tidak dapat mengambil keputusan apa-apa maka ia cuma mengangguk saja dan berkata, "Lang ciu-kiong kita dengan Siau lim-pai adalah kawan

dan bukan lawan, hendaknya kita jangan merenggangkan hubungan baik ini lebih-lebih janganlah sampai terjadi saling bunuh!"

Hian-cit juga tahu pihak Leng-ciu-kiong itu bukan lawan empuk, maka demi mendengar ucapan Hi tiok itu segera ia berkata, "Ke 18 orang Cidan ini dibunuh atau tidak tak jadi soal, untuk sementara ini bolehlah kita kesampingkan du!u. Nah, Hi-tiok Siansing kami hendak menangkap Siau Hong, engkau akan membantü pihak mana?"

"Aku ... aku tidak, membantu pihak mana-mana," sahut Hi-tiok dengan ragu. "Siau lim pai adalah tempat asalku, Siau Hong adalah saudara angkatku, aku tidak boleh memihak siapa pun juga. Cuma ... cuma, Susiokco, kumohon engkau jangan mengganggu Siau toako kami biarlah kunasehati dan supaya .. supaya jangan menyerang negeri kita."

Diäm-diam Hian cit menganggap ucapan, "Hi-Tiok siangsing, sebutan 'Sosiokco' hendaklah jangan kau gunakan lagi."

"Ya, ya aku lupa," sahut Hi-Tiok.

"Baiklah, jlka Leng-ciu-kiong sudah menyatakan tidak membantu salah satu-pihak, makä Siau-lim-pai kami dengan pihak kalian adalah kawan dan bukan lawan, kedua pihak jangan sampai bercekcok,” sampai di sini Hian-cit lantas berpaling kepada ketiga Tianglo Kai-pang dan berkata, "Para Tianglo, marilah kita pergi ke biara kami untuk melihat bagaimana jadinya dì sana?"

"Baik!" seru Song-tianglo bertiga. "Ayolah para anggota Kai-pang, ikutlah semua ke atas gunung."

Segera para padri Siau-lim-si mendahului berangkat dan disusul dengan anggota Kai-pang dan pada ksatria Tionggoan lainnya, beramai-ramai mereka menerjang ke atas gunung.

"Sungguh hebat, Samte." kata Ting Pek-jwan sambil berlari, "hanya dengan lidahmu saja dapat kau tarik bala bantuan sebanyak ini bagi Cukong dan Kongcu."

"Bukan, bukan ! Sudah tertahan sekian lama., entah bagaimana keadaan Cukong dan Köngcu sekarang'" sahut Put-tong.

"Sudahlah, jangan 'bukan, bukan" apa lagi, lekas jalan!" kata Giok yan sembari percepat langkahnya.

Tiba-tiba dilihatnya Toan Ki juga mengintil di sebelahnya, maka katanya pula, "Toan-kongcu, apakah kaupun hendak ke sana? Engkau akan membantu Gihengmu dan memusuhi Piaukoku?"

Nyata nada ucapannya itu mengunjuk rasa kurang senang. Rupanya si nona masih gusar kepada Toan Ki karena kejadian Buyung Hok hendak bunuh diri lantaran dikalahkan Toan Ki dan Siau Hong tadi.

Toan Ki melengak atas teguran itu dan menghentikan langkahnya. Sejak perkenalan dengan Giok-yan belum pernah ia mendapat sikap kaku seperti itu dari si nona, maka ia terkesima. Seketika ia menjadi gugup dan bingung, selang sejenak baru ia sanggup bersuara, ”O, aku .... aku tidak bermaksud memusuhi Buyung-kongcu .... "

Tapi waktu ia perhatikan sebelahnya, ternyata Giok-yan dan rombongannya sudah tak kelihatan lagi, di sekitarnya hanya para ksatria saja yang sedang berlari-lari dengan cepat ke atas gunung.

Dengan menghela napas Toan Ki membatin, "Jika nona Ong sudah curiga padaku, buat apa aku mencari penyakit sendiri ke sana?"

Tapi lantas timbul pula pikiran lain, "Siau-toako akan dikerubut oleh seribu orang ini, keadaan nya tentu berbahaya, sedangkan Ji-ko sudah menyatakan tidak membantu salah satu pihak, kalau aku sendiri tidak membantunya sekuat tenaga, bukankah percuma saja kami mengangkat saudara? Ya, biarpun nona Ong akan marah padaku, terpaksa aku tidak peduli lagi."

Karena pikiran itu, segera ia berlari-lari ke atas gunung.

Karena langkah ajaibnya yang hebat itu, dalam sekejap saja ia sudah melampaui orang lain. Sampai di depan Siau-lim-si, kelihatan orang banyak sama mengalir masuk ke dalam biara agung itu, tanpa pikir ia pun ikut menyelinap ke daiam.

Kompleks Siau-lim-si sangat luas, bangunan berates-ratus banyaknya. Ia dengar para padri dan orang-orang Kai-pang berteriak member semangat sambil putar ke sana sini di antara ruangan dan pendopo yang tak terhitung banyaknya itu untuk mencari Siau Wan-san ayah dan anak beserta Buyung Bok ayah dan anak. Namun sampai sekian lama mereka ubek-ubekan kian kemari tetap tidak menemukan jejak musuh, bahkan suara saja tidak terdengar.

Orang banyak tampak hilir mudik kian kemari sambil saling bertanya-tanya, "Di mana orangnya? Ketemu belum?"

Dan Siau-lim-si yang maha agung itu seketika berubah menjadi seperti pasar ramainya.

Toan Ki sendiri juga bingung, tiba-tiba ia lihat dari pintu samping sana menyelinap keluar seorang padri tua dengan tindakan cepat seperti kuatir dipergoki orang. Ia menjadi tertarik jangan-jangan ada rahasia apa-apa atas padri tua ini, kalau aku mengintil di belakang padri ini mungkin akan dapat menemukan jejak Siau-toako daripada mencarinya secara ngawur, demikian pikirnya.

Segera dengan langkah "Leng-po-wi-poh" yang ajaib itu ia menglntil di belakang si padri tua. Ia lihat pudri itu berlari ke tengah hutan yang terletak di samping biara dengan menyusur sebuah jalan kecil, sesudah membelok dan menikung beberapa kali, tiba-tiba terbentang sebuah sungai kecil dengan suara air yang gemercik. Ditepi sungai berdiri sebuah gedung berloteng dengan megahnya. Dimuka gedung terpancang sebuah papan bertulisan tiga huruf ”cong-keng-kok” (gedung penyimpan kitab, gedung perpustakaan).

"Ceng-keng-kok Siau-lim-si sangat terkenal, kiranya bangunan itu berada di sini dan bukan berada dalam biara induk mereka," demikian pikir Toan Ki.

Dalam pada itu dilihatnya padri tua tadi langsung menuju ke dalam Cong-kek-kok itu, maka Toan Ki juga menyusulnya ke situ. Sampai di depan pintu mendadak dari dalam melompat keluar dua orang padri setengah umur dan merintanginya dengan menegur, "Sicu hendak ke mana?"

"Aku ... aku ingin tahu ... apakah ... " sahut Toan Ki dengan gelagapan.

"Hendaknya Sicu kembali saja, Cong-kang-kok kami bukan tempat yang boleh dimasuki sembarangan orang," kata salah seorang padri itu.

Dan padri yaug lain juga berkata, "Oràng she Siau itu tidak berada di sini!"

"Jika begitu, akulah yang semberono, harap Taisu memaafkan," kata Toan Ki.

"Ya kami terpaksa menjalankan kewajiban, harap sicu jangan marah," sahut kedua padri itu.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang berkumandang keluar dari dalam gedung perpustakaan itu,

”Kau lihat mereka menuju ke jurusan mana?"

Toan Ki kenal suara itu adalah suara Hian Cit. Lalu terdengar seorang menjawab, "Tecu berempat berjaga di sini, ketika padri jubah putih itu menerobos masuk kemari, sekaligus Tecu, Berempat lantas tertutuk sehingga tak sadarkan diri. Waktu Supek membangunkan Tecu, sementara itu padri jubah putih itu entah menghilang ke mana."

"Daun jendela ini lantas rusak, Mungkin orangnya menerobos dan lari ke belakang gunung." demikian terdengar suara seorang tua lain.

"Ya, tampaknya memang begitu," terdengar Hian-cit menjawab.

"Dan entah kitab apa yang telah mereka curi dari dari gedung ini?" ujar padri tua tadi.

"Mereka sudah sembunyi selama berpuluh tahun di sini dan tiada seorang pun di antara kita yang tahu, sungguh kita terlalu goblok.", ujar Hian cit. Dan kalau mereka mau mencuri kitab, bilamana berpuluh tahun itu mereka dapat mencuri dengan sepuas-puasnya, masakah mesti tunggu sampai sekarang?"

"Benar juga ucapan Suheng," sahut padri tua. Berbarang terdengar kedua orang sama-sama menghela napas, agaknya mereka sangat lesu dan sedih terhadap apa yang telah terjadi.

Toan Ki merasa tidak enak mendengarkan pembicaraan urusan mereka, maka ia memberi hormat kepada kedua padri setengah umur tadi, lalu tinggal pergi.

Padahal pembicaraan Hian-cit dengan kawánnya itu dílakukan di dalam gedung dan dengan suara pelahan, cuma iwekang Toan Ki sekarang sudah sangat tinggi, maka ia dapat mendengarnya, sebaliknya kedua padri penjaga pintu itu sama sekali tidak mendengar apa pun.

Begitulah pelahan Toan Ki berjalan pergi sambil berpikir, "Mereka mengatakan Siau-toako telah menuju ke belakang gunung, biarlah aku menyusulnya ke sana."

Lereng pegunungan Siau-lim-san ¡tu sangat rindang dengan hutan lebat dan jalanan terjal. Sesudah beberapa li jauhnya, Toan Ki tidak mendengar lagi suara ramai-ramai di dalam Siau lim-si itu. Keadaan berubah menjadl sunyi senyap, meski tatkala itu sebenarnya dalam musim panas.

Diam-diam Toan Ki merasa lega demi melihat keadaan hutan pegunungan yang mudah bagi Siau Hong dan ayahnya untuk melarikan diri bila dikerubut para ksatria Tionggoan. Sebaliknya ia jadi kuatir pula kalau sang Toako sampai membinasakan Buyung Bok ayah dan anak, untuk ini tentu Giok-yan akan merana seumur hidup dan ini sesungguhnya juga tidak diharapkannya.

Teringat ada kemungkinan Buyung Hok akan terbunuh oleh Siau Hong, tanpa terasa ia menjadi bimbang dan berjalan menurut arah langkah dan makin jauh makin tinggi ke atas lereng gunung. Tiba-tiba terdengar suara orang berkhotbah dalam agama Budha, suaranya ramah tapi tandas.

Toan Ki merasa girang, ia pikir kalau di sini ada orang, ”ada baiknya tanya padanya apakah melihat Siau Toako atau tidak?"

Segera ia menuju ke arah suara orang itu. Sesudah menyusuri sebuah hutan bambu tiba-tiba tertampak di tanah hutan bambu itu ada sebuah pelataran di situ berkumpul beberapa orang. Seorang padri berjubah warna kelabu duduk mengdengkur di atas sebuah batu karang dan suara khotbah itu diucapkan olehnya.

Di depan padri itu berlutut beberapa orang bukan saja termasuk Siau Wan-san, Siau Hong, Buyung Bok dan Buyung Hok, bahkan padri Thian tiok Cilo Singh dan Polo Singh Sin-kong, Siangjin Liong-beng Siansan, Tojing Taisu dan lain-lain serta beberapa padri agung angkatan "Hian" dari Siau-lim-si juga berlutut di situ. Beberapa meter di sebelah sana tampak berdiri Cumoti, itu Imam negara Turfan.

Semua orang yang berlutut itu sama menunduk dengan penuh khidmat mendengarkan khutbah padri jubah kelabu itu sebaliknya air muka Cumoti tampak mengunjing sikap mengejek dan merasa tidak sependapat dengan khotbah itu.

Toaa Ki heran mendengar khotbah yang mengandung filsafat orang hidup dan penuh keberatan itu. Ia lihat jubah padri itu serupa dengan jubah padri Siau-lim-si, malahan dari dandanannya kentara kalau kedudukannya sangat rendah, mungkin padri tukang sapu atau tukang kebun, tapi entah mungapa para padri agung Siau-limsi, Siau-toako dan lain-lain sama berlutut mendengarkan khotbahnya?

Pelahan Toan Ki mendekatinya dengan mengitar ke depan sana agar dapat melihat jelas wajah padri jubah kelabu itu, dan untuk itu ia harus menuju ke belakang Siau Hong dan lain-lain. Karena tidak ingin mengagetkan orang lain, Toan Ki sengaja membikin pelahan langkahnya dan memutar agak jauh dengan berjinjit-jinjit. Waktu dekat di sebelah Cumoti. Tiba-tiba dilihatnya padri itu menoleh padanya dengan tersenyum, terpaksa ToanKi juga membalasnya dengan tersenyum, Tak terduga pada saat itu juga sekonyongkonyong terasa ada serangkum angin maha kuat menyambar ke dadanya.

Toan Ki tahu gelagat jelek, sambil menjerit kaget segera ia bermaksud menggunakan Lak-meh-sin-kiam untuk melawan, tapi sudah terlambat, dada lantas terasa kesakitan, dalam keadaan samar-samar masih didengarnya

ada orang bersabda, "Siancai! Siancail"

Habís itu ia lantas tak sadarkan diri ....

Kiranya tadi sesudah penyamaran Buyung Bok terbongkar oleh Hian-cu, ia tahu dirinya sudah terlalu dibenci oleh para ksatria Tionggoan, maka cepat ia berlari ke atas gunung, ia tahu komplek bangunan Siau-lim-si itu sangat luas dan sudah hapal baginya, asal diasembunyi di salah satu tempat itu tentu akan sukar ditemukan orang.

Tak terduga Siau Wan-san dan Siau Hong terus mengejarnya dengan kencang, terutama Siau Hong yang lebih muda dan tangkas, ketika sampäi di depan biara Siau-lim-si, jarak mereka sudah tinggal belasan meter saja. Melihat lawan hampir lari masuk ka dalam pakarangan biara itu, sambil menggertak segera Siau Hong melontarkan pukulan dahsyat dari jauh.

Karena serangan itu, terpaksa Buyung Bok terus membalik tangannya untuk menangkis, ketika kedua tenaga pukulan beradu, lengan Buyung Bok terasa sakit pegal tergetar, Ia terkejut, ia tidak menduga bahwa musuh yang masih muda itu memiliki tenaga sedemikian lihainya. Sekali menyelinap, cepat ia menyusup masuk ke dalam Siau-lim-si.

Sudah tentu Siau Hong tidak tinggal diam, segera ia memburu. Sesudah ubek-ubekan, akhirnya Buyung Bok lari sampai di 'Cong keng-kok,’ Buyung Bok menerjang ke dalam gedung ini dengan menjebol jendela dan sekaligus menutuk pinggang empat padri penjaga di situ, Lalu ia membalik tubuh dan menantang, "Siau Wansan, apakah kalian ayah dan anak akan maju berbareng atau kita berdua saja yang bertempur mati-matian!"

Siau Wan-san tidak lantas manjawab ia merintangi dulu jalan keluar dan berkata kepada Siau Hong, "Nak, kau cegat di depan Jendela, jangan sampai dia lolos."

Sesudah Siau Hong mengiakan lalu mereka ayah dan anak mengambil kedudukan mengepung sehingga Buyung Bok tak bisa lari lagi, kemudian Siau Wan-san berkata, "Permusuhan kita terlalu mendalam dan baru akan berakhir bila ada yang mati. Karena ini bukan pertandingan biasa, sudah tentu kami ayah dan anak akan maju sekaligus untuk mencabut nyawamu!”

Buyung Bok terbahak-bahak selagi hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang dan muncul seorang kiranya Cumoti. Dia memberi hormat kepada Buyung Bok dan berkata, ”Buyung sicu, sejak berpisah di Thian-tiok, kemudian kabarnya engkau telah wafat, sungguh aku ikut berduka cita. Tak tahunya sicu sengaja mengasingkan diri dengan maksud tujuan tertentu, sungguh menggembirakan hari ini dapat bertemu pula di sini.”

"Ah, karena terpaksa, aku mesti pura-pura mati sehingga memb¡kin Taísu ikut kuatir, sungguh memalukan," sahut Buyung Bok sambil memberi hormat.

Mendengar percakapan mereka itu, Siau Wan-san saling pandang dengan Siau Hong. Mereka menduga jika Cumoti yang lihai itu adalah sahabat Buyung Bok, maka sebentar padri itu tentu akan membantu pihak lawan dan menang atau kalah menjadi sukar diramalkan lagi.

Dalam pada itu terdengar Cumoti berkata pula, "Dahulu Siauceng pernah mendengar uraian Buyung siansing tentang ilmu pedang di dunia ini katanya 'Lak-meh-sin-kiam' dari negeri Tayli adalah ilmu pedang nomor satu di dunia, tapi Siansing merasa menyesal karena selama hidup ini tidak pernah melihatnya. Maka sesudah kudengar berita duka tentang wafatnya Siansing, segera kupergi ke Tayli untuk memohon kitab Lak-meh-sinkiam agar dapat kubakar di depan makam Siansing sekedar sebagai tanda baktiku kepada sahabat lama. Tak tersangka si tua Koh-eng di Thian-liong-si itu teramat licik, pada detik terakhir dia menggunakan tenaga dalamnya untuk merusak kitab pusaka itu sehingga cita-cita Siauceng untuk memenuhikewajiban sebagai sahabat tidak terkabul, sungguh aku sangat menyesal dan malu.”

"Walaupun maksud baik Taisu tidak terlaksana tapi terhadap pikiran Taisu itu sungguh aku merasa sangat barterima kasih," ujar Buyung Bok, "Apalagi Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan itu masih tetap dipahami keturunannya, tadi ketika Toan-kongcu, bertempur dengan putraku yang tak becus itu, dari gaya dan daya ilmu pedang itu tampak sekali memang tidak bernama kosong untuk disebut sebagai ilmu pedang nomor satu di jagat ini."

Pada saat itulah tiba-tiba muncul pula seorang itulah dia Buyung Hok. Dia agak ketinggalan di belakang sehingga waktu masuk ke Siau-lim-si lantas kehilangan jejak ayahnya dan Siau Wan-san berdua. Ketika mencari sampai di Cong-keng-kok sudah didahului Cumoti pula. Kebetulan ia dapat dengar ucapan ayahnya tentang dia ditaklukan Toan Ki dengan Lak-meh-sin-kiam itu, keruan ia menjadi malu.

Sementara itu Buyung Bok berkata pula kepada Cumoti "Kedua orang ini sudah bertekad akan membunuh diriku entah bagaimana pendapat Taisu?”

"Sebagai sahabat mana dapat kutinggal diam?" sahut Cumoti.

Melihat Buyung Hok juga sudah tiba. Siau Hong menjadi lebih prihatin karena pihak lawan sekarang telah berubah menjadi tiga orang sedangkan pihak sendiri hanya berdua saja. Walaupun kepandaian Buyung Hok agak lemah, tapi juga tidak boleh dipandang ringan.

Namun sadar Siau Hong memang gagah berani dalam keadaan semakin sulit semakin membangkitnya jiwa kepahlawanannya, maka dengan suara keras segera ia membentak, "Pendek kata urusan hari ini harus ada penyelesaian yang pasti sebelum terjadi mati dan hidup tidak nanti berakhir. Nah, sambutlah seranganku!"

Habis berkata, kontan ia menghantam ke arah Buyung Bok.

Cepat Buyung Bok mengebaskan lengan baju dengan sekuatnya untuk mematahkan serangan itu. Maka terdengarlah suara "brak" yang keras sebuah rak kayu hancur berantakan. kitab di atas rak itu pun jatuh berantakan.

"Lam Buyung, Pak Kiau Hong! Nyata memang tidak bernama kosongi" seru Buyung Bok dengan tersenyum. "Siau hong, aku ingin bicara sedikit, entah kamu mau mendengarkan atau tidak?”

"Betapapun engkau akan putar lidah dan bermulut manis jangan harap akan dapat membatalkan maksudku membalas sakit hati terbunuhnya istriku," sahut Siau Wan-san,

"Melihat keadaan sekarang, biarpun engkau tetap ingin membunuhku untuk membalas dendam toh rasanya tidak mudah," sahut Buyung Bok. "pihak kami ada tiga orang, sedangkan kalian cuma berdua, coba katakan apakah engkau yakin pasti akan menang?"

"Biarpun kekuatan pihakmu lebih besar, seorang laki-laki sejati kenapa mesti gentar menghadapi lawan yang lebih banyak!" sahut Siau Wan-san.

"Ya, memangnya ksatria sebagai kalian pernah gentar terhadap siapa?" kata Buyung Bok. "Tetapi takut atau tidak, yang terang bila kalian ingin membunuh aku pasti tidak gampang lagi. Maka aku ingin mengadakan kompromi denganmu, bila kupenuhi cita-cita kalian dalam hal membalas dendam, hendaknya kalian juga memenuhisuatu permintaanku."

Siau Wan-san dan Siau Hong menjadi heran dan curiga, untuk sekian lamanya mereka tidak sanggup menjawab.

Maka Buyung Bok berkata pula, "Asal kalian sanggup memenuhi syaratku ini, maka kalian boleh maju untuk membunuhku, untuk ini aku akan mandah dibunuh dan takkan melawan, Cumoti Suheng dan anak Hok juga tidak boleh menolongku."

Ucapan ini tidak cuma membuat Siau Hong berdua merasa heran, bahkan Cumoti dan Buyung Hok juga terkejut. Segera Buyung Hok berseru, "ayah, Kita kan sudah menang jumlah orang ....”

Cumotl juga berkata, "Ya, kenapa Buyung siansing omong demikian? Asal aku masih berada di sini, sudah tentu takkan kubiarkan siapa pun mengusik engkau."

Namun Buyung Bok menjawab, "Maksud baik Taisu sungguh kuterima dengan terima kasih. Kepada Siauheng ingin kuminta penjelasan sesuatu dulu. Dahulu aku sengaja menyampaikan berita palsu sehingga terjadi malapetaka besar, apakah Siau-heng mengetahui bagaimana maksud tujuanku dengan melakukan perbuatan yang rendah itü?”

"Kamu memang manusia rendah dan pengecut segala kejahatan juga biasa kaulakukan masakah pakai maksud tujuan apa segala?" damprat Siau Wan-san dengan murka, dan begitu melangkah maju. Segara ia menghantam.

Namun Cumoti lantas melompat ke depan dan menangkiskan serangan itu, "Plak" kedua tenaga pukulan beradu dan ternyata sama kuatnya sehingga diam-diam kedua orang saling kagum terhadap lawan masingmasing.

"Hendaknya Siau heng jangan marah dahulu harap dengarkan uraianku sehingga selesai," kata Buyung Bok, "Aku Buyung Bok jelek-jelek juga mempunyai sedikit nama di dunia kangouw selamanya aku tidak kenal dengan Siau-heng dan dengan sendirinya kita tidak parnah bermusuhan dan mempunyai dendam apa pun, Menganai Hian-cu Hongtiang dari Siau-lim-si, bahkan aku adalah sobat baiknya yang lama. Maka kalau aku sampai mencari akal untuk mengadu domba kalian, jika dipikirkan secara mendalam, mustahil aku tidak mempunyai maksud tujuan tertentu."

"Maksud tujuan tertentu apa? Coba ka ... katakan!" teriak Siau Wan san dengan mata melotot dan marah membara.

"Siau-heng, engkau adalah bangsa Cidan, sedangkan Cumoti Suheng ini orang Turfan, bagi jago silat Tionggoan kalian dianggap sebagai bangsa asing dari negeri lain," demikian tutur Buyung Bok. "sudah terang putramu adalah Pang-cu Kai-pang dengan ilmu silat yang tinggi dan kecerdasan yang terpuji, seorang ksatria yang sukar dicari yang pernah menjabat Pang-cu mereka, tetapi demi anggota. Kai-pang mengetahui dia adalah bangsa Cidan, serentak mereka membangkang, bukan Cuma tidak mengakui dia sebagai Pangcu, bahkan semua orang hendak membunuhnya. Coba katakan, Siau-heng, apakah itu adil?”

"Kerajaan Song dan Liau sudah ratusan tahun lamanya berperang," sahut Siau Wan-san. "setiap kali kedua bangsa itu bertemu di perbatasan tentu saling membunuh, hal ini sudah terjadi sejak dulu. Maka kalau orang Kai-pang mengetahui anakku adalah bangsa musuh, sudah tentu mereka tidak mengakuinya sebagai Pangcu.

Soal ini masuk diakal, tak dapat bicara tentang adil dan tidak.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar