Melihat serangan Cumoti yang
maha dahsyat ftu. Hi-tiok terpaksa menangkisnya, segera ia gunakan satu jurus
"Thian-san-ciat-bwe-jiu" sehingga tenaga pukulan Cumoti dipatahkan.
Cumoti terkesiap karena merasa
tenaga pukulan Hi-tiok itu dengan jitu dapat memunahkan serangannya dan jelas
adalah Siau bu-siang-kang pula, tapi segera ia berkata dengan tertawa.
"Siausuhu, apakah
kepandaianmu ini adalah kepandaian golongan Budha? Kedatanganku ini ingin
belajar kenal dengan ilmu sakti Siau-lim-pai, kenapa kamu malah menggunakan
kepandaian darl golongan tak karuan? Memangnya Siau-lim-pai yang terkenal hebat
di negari Song ini cuma bernama kosong belaka dan tidak mampu melawan ilmu
negeri lain yang dekil?"
Cumoti meimang sangat cerdìk,
sekalì gebrak dan merasa dirinya sukar menandingi Hi-tiok, maka segera ia
mengunakan ucapan itu untut mendesak agar Hi tiok hanya menggunakan ilmu silat
Siau-lim-pai saja.
Sudah tentu Hí-tíolc tidak
kenal kelicikan orang, jawabnya, "Bakat Siau-ceng terlalu bodoh ilmu silat
dari golongan sendiri hanya paham sejurus Lo-han-kun dan Wi to-ciang yang
merüpakan dasar pelajaran ilmu silat golongan kami, dengan sendirinya aku tidak
sanggup melawan Tai-su."
Cumoti tertawa, katanya,
"Jika demikian, jadi kaupun tahu sendiri bukan tandinganku, maka boleh
kamu mundur saja."
Hi-tiok mengiakan dan memberi
hormat, lalu mengundurkan diri ke tempatnya semula.
Sebaliknya Hian-cu Hongtiang
cukup cerdik meski dia tidak tahu dari mana Hi-tiok memperoleh kepandaiannya,
tapi dilihat dari beberapa jurus yang dimainkan Hi-tiok tadi terang gerakannya
sangat aneh dan bagus. Iwekangnya sangat kuat dan mampu untuk menandingi
Cumoti. Dalam keadaan menentukan ini boleh juga Hi-tiok disuruh maju walaupun
kalah umpamanya, paling tidak tenaga Cumoti akan susut lebih dulu.
Maka katanya segera,
"Tai-lun Beng-ong mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat golongan kami,
sungguh kami sangat kagum kepada pengetahuanmu yang maha luas itu. Nah, Hi-tiok
kamuadalah murid angkatan kelima golongan kita sekarang, mestinya kamu tidak
sesuai untuk bergebrak dengan jagoan nomor satu dari negeri Taufan sebagai
Beng-Ong, tapi jauh-jauh Beng-ong sudah datang ke sini kesempatan bagus ini
sukar dicari, maka bolehlah kau minta petunjuk beberapa jurus kepada Beng-ong
dengan kepandaian Ho-han-kun
dan Wi-to-ciangmu itu."
Karena diperintah sang
Hongtiang, dengan sendirinya Hi-tiok tidak berani membantah, segerà ia
mengiakan dan melangkah maju pula, katanya sambil memberi hormat, "Silakan
Beng-ong memberi petunjuk!"'
la pikir pihak lawan adalah
tokoh ternama, tentu takkan menyerang lebih dahulu, maka segera ia membuka
serangan lebih, dulu dalam gaya "Leng-san-pai-hud" (menyembah Budha
di gunung suci), yaitu suatu serangan pembukaan darl Wi-to-ciang yang sudah
dipelajarinya dengan masak.
Mestinya gerakan
"Leng-san-pai-hud" itu Cuma suatu gaya pemberian hormat sebagai tanda
merendah diri, tak terpikir bahwa sekarang Hi-tiok sudah penuh dengan lwekang
"pak-beng-cin-gi" yang diperolehnya dari Bu gai-cu, ditambah lagi
ajaran-ajaran Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui, bahkan tidak sedikit manfaat
yang diperolehnya dari ukiran di dindirg keluar batu bawah tanah Leng ciu-kiong.
maka sekali dia bergaya memberi hormat dangan kedua tangannya terangkat,
seketika jubahnya lantai mclembung hawa murninya bekerja untuk melindungi
seluruh tubuhnya.
Karena Hi tiok sudah mulai,
terpaksa,Cumoti melayani, segera sebelah telapak tangannya menghantam ke depan
sehingga mengeluarkan suara rnendesir dari angin pukulannya itulah ilmu sakti
pukulan Pan-yak-ciang.
Wi-to-ciang yang dimainkan
Hi-tiok adalah ilmu pukulan dasar, bagi setiap murid Siau-lim-pai yang muiai
belajar silat sebaliknya Pan yak-ciang hoat adalah ilmu pukulan yang maha
sakti, untuk melatihnya diperlukan waktu puluhan tahun maka selama sejarah
Siau-lim-si boleh dikata tidak pernah terjadi Wi-to-ciang digunakan melawan
Pan-yak-ciang."
Tapi sekarang Hi-tiok sedikit
pun tidak gentar begiltu pukulan lawan tiba cepat ia mengegos dan balas
menyerang pula, sekali ini kedua telapak tangannya menyodok ke depan dalam
gerakan yang bernama "Sanbun hou-hoat" (membela agama di depan
gunung), gerak-serangannya tetap biasa saja tapi membawa tenaga yang maha
dahsyat.
Cumoti putar ke samping,
dengan jari yang tersembunyi di balik lengan baju segera ia menutuk ke depan.
Cepat Hi–tiok menghindarkan tenaga tutukan hebat yang tak kelihatan itu. Namun
Cimoti sudah menduga ke mana Hi-tìok pasti akan menghindar, maka menyusul ia
lantas menghantam dengan pululan Kim-kong-kun, "bluk", pundak Hi-tiok
dengan tepat kena digenjot sehingga orangnya terhuyung huyung kebelakang.
Maka tertawalah Cumoti,
katanya, "Siausuhu mau mengaku kalah atau belum?"
Ia menduga dengan pukulan
dahsyat itu tentu dapat menghancurkan tulang pundak lawan.
Tak terduga bahwa Hi-tiok
memiliki "Pak-bong-cin-gi" yang tidak gentar terhadap pukulan apa
pun, bahkan setiap kali kena hantaman, setiap kali hawa murninya tambah Kuat
malah.
Begitulah maka dengan cepat
Hi-tíok lantas menerjang maju pula, kedua telapak tangannya menggaplúk dari
kiri ke kanan, serangan ini bernama "Hong-sui-kui hal" (air bah
mengalir ke Laut) tenaga dalam yang dibawa pukulannya itu sedahsyat air bah
melanda.
Karuan Cumoti terkejut sudah
terang lawan kena hantam tapi tidak cedera bahkan dapat balas menyerang dengan
pukulan yang lebih dahsyat. Lekas ia pun manangkis sekuatnya, menyusul kedua
kaki juga menendang secara berantai, plak-plok, dalam sekejap saja ia menendang
tujuh kali dan seluruhnya mengenai dada Hi-tiok.
Tendangan ini pun termasuk
salah satu kepandaian Siau-lim-pai yang disebut "Ju-eng-sui-beng"
(seperti bayangan mengikut bendanya), yaitu menggambarkan betapa cepatnya
tendangan itu secara susul-menyusul. Sampai tendangan ketujuh Hi-tiok mencelat
beberapa meter jauhnya. Bahkan Cumoti tidak memberi kesempatan lagi kepada
Hi-tiok, jarinya menutuk dua kali pula dari jauh sehingga mengeluarkan suara
mencicit, itulah "To-lo-ci-hoat” yang lihai.
Tapi Hi-tiok sempat pasang
kuda-kuda dan menyambut dengan pukulan "Hek-hou-thau-sim" (harimau
kumbang mencuri hati), salah satu pukulan Lo-han-kun.
Serangan Hi-tiok ini
sebenarnya terlalu dangkal, sebab setiap orang Siau-lim-si boleh dikata pasti
paham gerak serangan itu, tapi sekararg dikerahkan oleh Hi-tiok dengan tenaga
Siau-bu-siang-kang, maka tenaga tutukan Cumoti yang hebat itu kena dipatahkan
di tengah jalan.
Rupanya Cumoti sengaja hendak
pamer kepandaiannya, habis To-lo-ci-hoat segera berganti membelah dengan
telapak tangannya dalam ilmu, "Jian-bok-to-hoat" (ilmu golok membakar
kayu).
Ilmu golok yang dimainkan
dengan telapak tangan kosong ini cepat luar biasa, sekaligds ia dapat membelah
dan membacok 9 x 9 = 81 kali di sekeliling sebatang kayu, kayu itu tidak
terbelah menjadi dua tapi dari hawa panas yang keluar dari "golok tangan"
Itu dapat membuat kayu Itu terbakar. Mendiang guru Siau Hong, yaitu Hian-kho
Taisu sangat mahir ilmu gulok Ini, tapl sejak dia wafat, di Siau-lim-si tiada
seorang pun, yang mahir lagi.
Cumoti mulai memotong sekali,
"bluk”, dengan tepat lengan kanan Hi-tiok kena ditabas.
"Cepat amat!" Seru
Hi-tiok sambil balas menghantam, dan baru kepalan sempat di tengah jalan
kembali lengannya kena dibacok lagi.
Walau pun Cumoti menggunakan
telapak tangan sebagai golok, tapi tenagànya dikerahkan pada tepi telapak
tangan, kerasnya tidak kalah daripada golok baja dan cukup kuat untuk
mengutungkan lengan. Tapi beruntun Hi tiok kena ditebas dua kali dan tetap
tidak beralangan apa-apa sebaliknya telapak tangan Cumoti malah terasa
kesakitan.
Sunggu kejut Cumoti tak
terkatakan, sekilas terpikir olehnya jangan-jangan hwesio keroco ini memakai
baju pusaka dan sebagainya, kalau tidak biarpun dia memiliki ilmu kebal
sebangsa Kim-ciong-loh dan Tiat-poh-san juga tak tahan oleh serangan barusan
yang hebat itu.
Terpikir demikian, segera ia
ganti serangan, sekarang yang diarah selalu bagian muka Hi-tiok ia mencakar dan
menutuk, beruntun ia keluarkan beberapa macam ilmu sakti Siau-lim-pai untuk
menyerang mata dan tenggorokan Hi-tiok.
Karena serangan kilat ini
Hi-tiok menjadi kelabakan dan terdesak mundur, tapi ia masih tetap balas
memukul sekali demi sekali seluruhnya adalah tipu "Hok-hou thau-sim"
anehnya selalu Cumati terdesak mundur kelakah kebelakang, dan oleh karena satu
langkah itulah maka macam-macam serangan Cumoti itu menjadi susah mencapai
sasarannya, sekalipun menyenggol saja tidak bisa.
Dengan gemas kembali Cumoti
mangeluarkan belasan macam kepandaian Siau-lim-pai yang berbeda-beda untuk
menyerang Hi-tiok. Para padri Siau-lim-si sampai terkesima menyaksikan itu,
diam-diam mereka mengakui ucapan Cumoti yang mengaku mahir ke-72 macam ilmu
silat Siau-lim-pai dan ternyata tidak omong kosong belaka.
Sebaliknya Hi-tiok tetap
melayani dengan Loh-han-kun saja, jika kececer, segera ia menghantam dengan
"Hekhou-thau-Sim", bila terdesak, kembali menyambut dengan pukulan
"Hek-hon-thán sim", jadi itu-itu saja gerak tipu yang digunakan Hl-tiok.
lain tidak.
Keruan kelakuannya menjadi
lucu, semua orang menganggapnya kelewat bodoh, biar guru silat pasaran pun akan
mentertawainya.
Jadi yang satu maha lihai dan
yang lain kelewat bodoh, namun yang lihai toh tak dapat merobohkan yang bodoh,
sebab di dalam gerakan "Hek-hou-thau-sim" yang dímainkan Hi-tiok itu
justru membawa tenaga dalam yang makin dahsyat, jarak kedua orang juga makin
lama makin jauh.
Sekarang Cumoti dapat
merasakan bahwa tenaga dalam yang dikeluarkan Hi-tiok Itu ternyata juga.
mengandung Siau-bu-siang-kang, bahkan terasa lebih kuat daripada dirinya, cuma
saja cara menggunakannya tidak tepat dan kurang pandai. Tapi kalau pertarungan
diteruskan, susah juga untuk memperoleh kemenangan.
Maka ketika dilihatnya Hi-tlok
menghantam lagi dalam "Hong-hou-thai-sim", yaitu pukulan yang disodok
mengarah hulu hati lawan, segera Cumoti mencengkeram ke depan, kedua tangannya
memegang berbareng sehingga kepalan Hi tiok tertangkap, segera kedua tangannya
menekuk jari jempol dan jari kecil Hi-tiok dan ditelingkung ke atas.
Kim-na-jiu-boat atau ilmu
memegang dan menangkap ini sangat hebat sekali, Hi-tiok tidak dapat menggunakan
gerakan "Hok-hou-thau-sim" untuk menghadapi Cumoti lagi. Tapi karena
jarinya tertekuk, saking kesakitan dengan sendirinya ia keluarkan "Thian-san-ciat-bwe-jiu"
ajaran Thian san Tong lo, tangan kanan Hi-tiok yang terpegang itu mendadak
memuntir dan membalik ke atas, dengan cepat dan tepat sekall ia balas
mencengkeram pergelangan kiri Cumoti.
Sungguh sama sekali tak
terduga oleh Cumoti bahwa tangan yang sudah terpegang itu mendadak bisa
mengeluarkan semacam kekuatan yang aneh dan memberosot lepas dari
cengkeramannya, bahkan berbalik tangan sendiri yang terpegang malah.
Biarpun pengetahuan ilmu silat
Cumoti sangat luas, tapi Thian-san-ciat-bwe-jiu ini adalah ciptaan Tong-lo
sendiri sehingga dia tidak kenal asal-usul kungfu Hi-tiok itu.
Dalam kejutnya segera Cumoti
merasa pergelangan tangan kirinya seakan-akan terjepit oleh anggam besi dan
sukar terlepas. Untung dalam keadaan gugup Hi-tiok cuma berharap
menyenyelamatkan diri dan tidak sempat menyerang pula maka ia cuma pegang
tangan Cumoti dengan kencang agar lawan itu tidak dapat menelingkung dirinya
sebaliknya lupa memencet urat nadi pergelangan tangan Cumoti.
Karena sedikit kesalahan itu,
segera Cumoti mengerahkan tenaga dalam sehingga tangan Hi-tiok tergetar
seakan-akan retak. Dalam keadaan kaku agak hi-tiok kuatir kalau cekalannya
dilepaskan tentu Cumoti akan menyerang pula dengan cara-cara yang lebih lihai
maka sekuatnya ia kerahkan beng-cin-gi pula.
Berturut-turut Cumoti meronta
tiga kali dan tetap tak terlepas, keruan ia sangat takut, cepat ia gunakan
telapak tangan kanan untuk membacok leher Hi-tiok. Dalarn gugupnya ia tidak
sempat menggunakan ilmu silat Siaulim-pai lagi tapi bacokan tangan ini
menggunakan kepandaiannya yang berasal dari Turfan.
Sekarang mereka bertempur dari
jarak dekat, maka ketika merasa terancam segera tangan kiri Hi-tiok menggunakan
Thian san-liok-yang-jiu untuk mematahkan serangan Cumoti.
Sekali serangan gagal, dengan sendirinya
Cumoti melontarkan serangan lain pula, tapi Liok yang-jiu juga beruntun-runtun
dimainkan Hi-tiok sehinggà setiap serangan Cumoti dapat dipatahkan.
Sudah tentu para penonton
banyak yang terheran-heran, mereka bertarung dari jarak dekat boleh dikatakan
saling bergumul, tangan kiri Cumoti kelihatan dicengkeram kencang olah Hi-tiok,
sedang tangan kanan Cumoti berulang-ulang menghantam, tapi selalu tidak dapat
mencapai sasarannya. Bahkan lama kelamaan mereka merasa terdesak oleh angin
pukulan Cumoti yang membadai, makin larna makin kuat sehingga menyesakkan
napas.
Walaupun setiap bacokan
telapak tangan Camoti itu sangat dahsyat dan tajam melebihi senjata, tapi
Thian-sanliok-yang jiu yang dimainkan Hi-tiok sekarang sudah sangat hebat,
terutama sesudah dia menyelami pelajaran yang terukir di dinding kamar batu di
bawah tanah Leng-cin-kiong itu. Cuma sayang selama ini dia belum pernah
menggunakannya untuk bergebrak dangan orang, sekarang baru mulai dicoba sudah
harus menghadapi jago kelas sátu seperti Cumoti dan mesti bergumul dari jarak
dekat, menyadari seluruh kepandaiannya itu paling-paling cuma dua-tiga bagian
saja yang dapat dimainkannya. Apalagi tenaga serangan Cumoti makin lama makin
lihai sehingga yang dipikir oleh Hi-tiok asal dapat selamat saja, maka
permainannya juga cuma mengutamakan menjaga diri saja.
Sebenarnya bukan maksud
Hi-tiok hendak menangkap Cimoti, soalnya la merasa ilmu silat lawan lebih
pandai berpuluh kali lipat daripada dirinya, serangan sebelah tangan saja
sedahsyat itu apalagi kalau menyerang dengan kedua tangan, bukan mustahil
jiwanya akan melayang seketika.
Lantaran itulah secara
mati-matian Hi-tiok terus pegang pergelangan tangan Cumoti agar sebelah tangan
itu tak bisa digunakan untuk menyerang.
Walaupun bodoh sekali pikiran
Hi-tiok itu, tapi dalam saat berbahaya ternyata berguna juga. memang benar
serangan hebat dari Cumoti menjadi kencang karena hanya sebelah tangan saja
yang digerakkan. Sebaliknya bagi Hi-tiok yang belum masak betul dalam
menggunakan kepandaian permainan sebelah tangan menjadi lebih leluasa daripadà
permainan dua tangan, dengan demikian, kedua orang terus bergebrak sampai
ratusan jurus dan keadaan masih tetap sama kuat.
Bagi padri agung seperti
Hian-cu, Sin kong Hian to, Liong beng, Cilo Singh dan lain-lain. mereka dapat
melihat Cumoti tidak dapat melepaskan tangan kirinya yang terpegang Hi-tiok,
sedangkan tangan kiri Hi-tiok sama sekali tidak dapat melawan serangan tangan
kanan Cumoti, jadi kedua orang itu sama sama unggul di lengan sebelah kanan dan
asor di tangan sebelah kiri. Pertarungan demikian ini, biarpun para paderi itu
sudah kenyang asam garam juga belum pernah menyaksikan selama hidup ini.
Menyaksíkan pertempuran itu,
hampir seluruh padri Siau-lim-si merasa heran dan kuatir pula. Mereka tidak
tahu selama Hi-tiok menghilang setengah tahun entah dari mana dapat mempelajari
ilmu silat sehebat itu. Mereka melihat serangan Cumoti itu sangat lihai, asal
Hi Tiok kena dihantam sekali pasti tamatlah riwayatnya.
Sebaliknya dalam keadaan
tangan lawan terpegang Hi-tiok jika salah seorang padri Siau-liam-si itu berani
maju membantu maka dengan sekali tonjok saja cukup membikin jiwa Cumoti
melayang.
Tapi sudah tentu mereka tidak
mau bertindak demikian sehingga dapat meruntuhkan nama baik sendiri. Maka para
padri itu hanya kebat-kebit merasa kuatir mengikuti pertarungan kedua orang
itu.
Sesudah ratusan jurus lagi,
rasa takut Hi-tiok pelahan mulai hilang, maka permainan Thian-san-liong yang
jitu dapat dilontarkan dengan lebih lancar, cara melontarkan tenaga serangannya
dapat diketahuinya pula, maka lambat laun dalam sepuluh gebrakan ia dapat balas
menyerang satu-dua kali dan tidak lama kemudian dapat balas menyerang sampai
tiga-empat kali.
Melihat keadaan Hi-tiok tambah
baik dan terhindar dari kemungkinan bahaya, diam-diam para padri Siau-limsi
ikut bergirang.
Dalam pada itu sejak munculnya
Cumoti, timbul pertentangan batin Sin-kong Siangjin, ia berharap Cumoti
menjatuhkan nama baik Siau-lim-pai, tapi tidak suka pula kalau padri asing itu
malang melintang di Tionggoan.
Ketika dilihatnya Cumoti
bergebrak dengan Hi-tiok sampai sekian lama dan masih belum terpisahkan,
diamdiam ia berharap kedua orang ituakan babak-bonyok dan akhirnya gugur
bersama, dengan demikian ia sendiri akan dapat mengeduk keuntungan biarpun
nanti susah memperoleh kepandaian Siau-lim-paì yang lain dari Polo Singh, namun
dari pan-yak-ciang, Mo-ko-ci-hoat dan Kim-leng-kun yang telah dihapalkannya
tadì dapatlah dibawa pulang ke Jing-liang-si untuk dipelajari lebih mendalam
dan dikombinasikan dengan demikian bukan mustahil kelak dirinya akan menjadi
cakal bakal gabungan ketiga macam kungfu sakti itu.
Sebaliknya Polo Singh juga
mempunyai pikiran sendiri. Selama ini dia sembunyi di Ceng-keng-kok dan telah
banyak membaca kitab pusaka Siau-lim-pai, ia merasa ilmu silat tinggalan padri
agung Siau-lim-si yang dulu memang sangat luas dan hebat, makin dipelajari
makin sukar dijajali sehingga lambat-laun Polo Singh sendiri tenggelam dalam
keasyikannya.
Sekarang sang Suheng hendak
memapaknya pulang, ia merasa apa yang sudah dibaca dan teringat baik itu masih
bukan apa-apa kalau dibandingkan kepandaian yang dìpertunjukkan Cumoti dan
Hi-tiok sekarang. Pulang ke kampung halaman memang menyenangkan, tapi berat
juga rasanya jika kesempatan mempelajari ilmu silat secara lebih mendalam susah
diketemukan lagi di kemudian hari.
Hendaklah maklum bahwa Polo
Singh ini seorang padri Thian-tiok yang, berbakat dan gila ilmu silat. Seperti
juga dalam bidang lain, misalnya seni main catur, main piano, melukis dan
sebagainya, semakin dipelajari semakin terasa tak habis-habis dan tiada batas-batasnya,
ilmu yang dipelajari itu, asal tahu di dunia ini ada
pihak lain yang lebih pandai,
maka sedapat mungkin ingin belajar kenal dan mengukur kepandaian lawan itu.
Maksud tujuan Polo Singh
semula adalah ingin mencuri kitab pusaka Siau-lim-si untuk dibawa pulang ke
Thian-tiòk, tak terduga olehnya bahwa ilmu silat Siau-lim-si itu ternyata
sedemikian luasnya, semakin dipelajari semakin terasa tidak habis-habis, maka sekarang
ia pun merasa saying dan berat untuk meninggalkan biara agung itu.
Dalam pada itu keadaan Hi-tiok
sekarang sudah tambah baik, dari dua kali serangan Cumoti ia sudah mampu balas
menyerang satu kali, walaupun masih lebih banyak diserang daripada menyerang
tapi tenaga dalamnya, makin lama makin, kuat sehingga tiap-tiap kali Cumoti
merasa makin sulit untuk menangkis.
Suatu ketika, mendadak Hi-tiok
ganti tipu serangan. ia tidak menggunakan Thian-san-liok-yang-jiu, tapi
tibatiba sejurus pukulan ajaran Li-Jiu-sui dahulu dilontarkannya, yang diincar
adalah bagian selangkangan.
Sekali berhasil membikin
lawannya terdesak, segera semangat Hi-tiok terbangkit, menyusul ia keluarkan
sejurus ajaran Thian-san Tong-lo ketika bertanding melawan Li Jiu-sui, mendadak
telapak tangannya menyambar ke atas kepala Cumoti dengan gaya hendak menjambak.
Walaupun kepala Cumoti gundul kelimis, tapi jika kena digaruk bukan tidak
mungkin kepalanya akan pecah.
Ternyata serangan yang
dilontarkan Hi-tiok itu adalah ciptaan Li Jin-sui dan Thian-san Tong-lo, tipu
serangannya keji dan lihai pula, yaitu seperti lazimnya kaum wanita berkelahi
dan main. jambak, cakar dan mencengkram bagian-bagian yang terlarang segala.
Keruan Hian-cu dan padri agung
lain sama berkerut kening menyaksikan tipu serangan Hi-tiok yang semakin aneh
dan keji itu. Selama sejarah Siau-lim-si belum pernah terdapat kungfu
sedemikian aneh dan kejinya.
Dalam pada itu Cumoti sendiri
juga sudah merasa keadaan sangat tidak menguntungkan baginya. Berulangulang ia
membetot dan meronta, tapi tetap sukar terlepas. Jika dia mengerahkan tenaga
maka tenaga pegangan Hi-tiok juga tambah kuat.
Dalam keadaan tak berdaya,
timbul seketika napsu jahatnya untuk membunuh Hi-tiok, Berturut-turut ia
menyerang pula tiga kali ketika Hi-tiok menangkis, pada suatu kesempatan Cumoti
mencabut sebilah belati kecil yung terselip dalam kaos kakinya terus menikam
bahu Hi-tiok.
Kepandaian yang dipelajari Hi
tiok itu adalah bertangan kosong, ketika mendadak sinar senjata berkelebat,
belati musuh tahu-tahu menusuk tiba, ia menjadi bingung cara bagaimana
menangkisnya, tanpa pikir segera ia
mendahului sambar tangan orang
yang memegang belati itu yang digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat yang cepat lagi
jitu dari Thian-san-kiat-hwe-jiu maka tahu-tahu pergelangan tangan Cumoti kena
dicengkeramnya.
Tapi pada saat itu juga
mendadak Cumoti mengerahkan tenaganya sambil lepas tangan sehingga belati itu
meluncur ke depan. Karena kedua tangan Hi-tiok digunakan untuk mencengkeram
kedua tangan lawan ia tak bisa mengelak lagi, tanpa ampun belati itu menancap
di pundaknya.
Para penonton sama menjerit
kaget. Pada saat itulah tiba-tiba diantara orang banyak melompat keluar empat
padri, serentak sinar tajam berkelebat, sekaligus ujung empat batang pedang
mengancam tenggorokan Cumoti.
Dalam kagetnya Cumoti meronta
sekuatnya dan hendak melompat mundur, tapi cekalan Hi-tiok ternyata sangat
kuat, sedikitpun tidak bergeming. Cumoti merasa lehernya "nyes"
dingin, ujung keempat pedang telah menyentuh kulit dagingnya. Bahkan terdengar
keempat padri itu membentak bersama, "Manusia tak kenal malu, lekas
serahkan Jiwamu!"
Dari suara mereka yang nyaring
merdu itu kedengaran seperti suara kaum wanita muda.
Segera Hi-tiok dapat mengenali
mereka adalah Bwe-kiam berempat, cuma mereka memakai kopian padri sehingga ikat
rambut mereka tertutup, jubah padri yang mereka pakai juga jubah padri
Siau-lim-si. Keruan Hitiok terkejut dan heran, serunya, "Jangan mengganggu
jiwanya!"
Bwe-kiam mengiakan, tapi ujung
pedang mereka masih tetap mengancam tenggorokan Cumoti.
"Hahahaha!"
tiba-tiba Cumoti bergelak tertawa. "Rupanya Siau-lim-si tidak cuma pandai
main keroyok bahkan diam diam menyembunyikan wanita di dalam kuilnya. Nama baik
selama beratus tahun kiranya cuma begini. Hahaha, baru sekarang aku tahu!"
Hi-tiok sangat gugup dan
bingung sehingga cekalan kedua tangan dilepaskan. Segera Kiok-kiam membuang
pedangnya dan cepat mencabut belati yang menancap dipundak sang majikan lalu
menggunakan saputangannya untuk membalut luka Hi-tiok. Sedangkan ujung pedang
Bwe kiam bertiga masih tetap mengancam tenggorokan Cumoti.
"Meng ... mengapa kalian
datang kemari?" tanya Hi-tiok dengan gugup.
Sebelum Bwe-kiam berempat
menjawab, sekonyong-konyong tangan kanan Cumoti bergerak, dangan ilmu
"Hwe-yam-to" yang
sakti tiba-tiba terdengar "trang-tring-treng" tiga kali, ketiga
pedang Bwe-kiam bertiga patah seketika. Keruan Bwe-kiam bertiga terkejut cepat
mereka melompat mundur, ketika diperiksa, ternyata senjata mereka hanya
tertinggal bagian gagangnya saja.
"Nah, Hòngtiang Suheng,
apa yang hendak kau katakan lagi?” seru Cumoti kepada Hian-cu Taisu sambil
tertawa.
Air muka Hian-cu tampak
membesi, sahutnya, "Seluk-beluk kejadian ini aku sendiri tidak paham, tapi
pasti akan kuselidiki dan diputus menurut tata tertib biara kami. Sekarang
boleh silakan Beng-Ong dan para Suheng mengaso dulu ke pondok tamu yang
tersedia."
"Jika demikian terpaksa
mengganggu," sahut Cumoti sambil memberi hormat.
Ketika Hian-cu membalas
hormat, kedua tangan Cumoti yang terangkup itu menggeser ke samping dan
diamdiam mengerahkan tenaga, maka terdengarlah suara "bar-ber"
beberapa kali disusul jerit kaget Bwe-kiam berempat, kopiah padri mereka
tersampuk jatuh semua sehingga kelihatan rambut mereka yang panjang dan indah,
banyak pula rambut putus yang ikut bertebaran jatuh ke lantai bersama kopiah.
Tenaga Hwe-yam-to yang
digunakan Cumoti tidak cuma menyampuk jatuh kopiah keempat ñona itu, bahkan
memapas sebagian rambut mereka yang lemas, maka dapat dibayangkan betapa hebat
iwekang Cumoti yang telah mencapai tingkatan paling sempurna itu.
Dengan demontrasi
kepandaiannya bukan saja Cumoti hendak pamer kekuatan yang cuma memotong rambut
dan tidak melukai orangnya sebagai tanda kemurahan batinya, berbareng ia
sengaja menelanjangi penyamaran keempat nona itu agar pihak Siau-lim-si tidak
bisa menyangkal terhadap bukti-bukti nyata itu.
Keruan air muka Hian-cu tampak
masam, katanya kemudian, "Para Suheng, silakan!"
Serentak Sin-kong, Cilo Singh
dan lain-lain lantas berbangkit dan diantar oleh padri penyambut tamu ke ruang
istirahat. Mereka menduga Hian-cu sebentar lagi pasti akan mengambil tindakan
tegas mengingat pelanggaran Hi-tiok yang luar biasa itu, jangankan di dalam
Siau-lim-si terdapat beberapa gadis yang menyeru sebagai padri biarpun wanita
biasa saja tidak boleh sembarangan masuk ke dalam kuil suci itu.
Dan baru saja para tamu itu
keluar segera berkatalàh Bwe-kíam, "Cujin, hamba sekalian diam-diam telah
menyusul ke sini untuk melayani Cujin harap engkau jangan marah kepada
kami."
Lam-kiam juga berkata,
"Itu hwesio yang bernama Yam-kin benar-benar terlalu kurang ajar, dia baru
tahu rasa sesudah kami beri hajaran setimpal padanya sehingga tidak berani lagi
menganiaya Cujin, tak terduga hwesio besar tadi telah melukai Cujin pula."
Baru sekarang Hi-tiok paham
duduknya perkara,Rupanya tempo hari Yan-kin telah dihajar oleh Bwe-kiam
berempat sehingga babak belur dan diancam pula, pantas Yan-kin lantas ketakutan
dan sikapnya berubah baik padanya. "Jika demikian, teranglah Bwe-kiam
berempat sudah cukup lama menyamar dan menyelundup ke dalam Siau-lim-si, wah,
urusan bisa runyam," demikian pikir Hi-tiok.
Cepat Hi-tiok berlutut dan
menyembah patung Budha di ruang pendopo itu dan berdoa. "Dosa Tecu teramat
besar sehingga mendatangkan malapetaka yang tak terperikan kepada biara kita
mohon Hongtiang memberi hukuman seberat-beratnya."
"Cujin," tiba-liba
Kiok-kiam berseru, "buat apa engkau menjadi hwesio segala, lebih baik marilah
kita pulang saja ke Biau-biau-hong daripada makan nasi dan minum air tawar di
sini, bahkan mesti diperintah lagi oleh orang?"
Segera Tiok-kiam juga berkata
sambil menuding Hian-cu, "He, kamu hwesio tua ini, kalau bicara hendaknya
sopan sedikit, tahu! Jangan terlalu garang kepada Cujin kami. Awas, kami
berempat ini takkan sungkansungkan ambil tindakan padamu."
"Diam," bentak
Hi-tiok dengan gugup. "Kalian sudah mengacau di sini, masih banyak bicara
apa lagi? Lekas tutup mulut!"
Tapi keempat nona itu masih
terus bicara ini dan itu tak berhenti-henti.
Para padri Siau-lim-ii saling
pandang dengan melongo. Mereka melihat keempat nona itu sama rupa dan sama
tingkah-lakunya, semuanya cantik dan lincah, tak tahu apa artinya diam, mereka
tidak tahu dari mana datangnya keempat nona nakal demikian.
Seperti telah diceritakan,
Bwe-kiam berempat adalah kembar empat, asalnya adalah putri keluarga miskin di
kaki gunung Tai-soat-san, orang tua mereka memang sudah punya beberapa orang
anak, ketika mereka dilahirkan pula sekaligus, sudah tentu orang tua mereka
tidak sanggup piara mereka dan terpaksa , dibuang di tempat sunyi.
Kebetulan Thian-san Tong-lo
lewat di situ dan mendengar suara tangisan orok, ketika mengetahui ada bayi
kembar empal yang dibuang orang tuanya, nenek itu sangat tertarik dan segera di
bawa pulang ke Lcng-ciu-
kiong. Di sanalah Bwe-kiam
berempat dibesarkan dan diajarkan ilmu silat.
Walaupun Bwe-kiam berempat
separti dayangnya Tong-lo, tapi sesungguhnya mirip nenek dengan cucu-cucu dan
mereka sangat disayang oleh Tong-lo. Selamanya mereka pun tidak pernah turun
gunung, dengan sendirinya mereka tidak kenal dunia ramai dengan seluk-beluknya,
selamanya mereka cuma tunduk kepada Tong-lo seorang, sesudah Hi-tiok
menggantikan sebagai majikan, mereka juga meladeninya dengan penuh setia,
bahkan karena sifat Hi-tiok yang ramah-tamah kepada mereka sehingga mereka
tidak begitu takut seperti terhadap Tong-lo ....
Begitulah maka Hian-cu
kemudian berkata, "Kecuali para Suheng dan Sute angkatan Hian dan Hui-lun
yang boleh tinggal di sini, yang lain-lain silahkan kembali ke ruangan
masing-masing?"
Para padri mengiakan dan
berturut-turut keluar dari ruang pendopo itu. Hanya sekejap saja ruang itu
tinggal kurang lebih 30 padri tua serta Hui-lun, guru Hi-tiok, ditambah Hi-tiok
dan keempat dayangnya.
Segera Hui-lun juga melangkah
maju dan berlutut di hadapan Hian-cu, katanya, "Tacu tidak becus mengajar
muríd sehingga mengeluarkan murid murtad seperti ini, mohon Hungtiang.
Menjatuhkan hukuman setimpal."
"Hihihihi!” tiba-tiba
Tiok-kiam mengikik geli. "Hanya sedikit kepandaian seperti kamu ini juga
berani menjadi guru Cujin kami! Apakah semalam kamu belum kapok jatuh terguling
beberapa kali. dijegal oleh Toaci kami?"
"Wah, celaka!"
demikian diam-diam Hi-tiok mengeluh. "Jadi guruku juga telah dipermainkan
oleh mereka."
Dalam pada itu terdengar
Bwe-kiam berkata dengan tertawa. "Kudengar dari Yan-kin, katanya kamu ini
guru Cujin kami, maka aku sengaja hendak menguji dirimu, coba kalau Sam-moai
barusan tidak bilang padamu, sampai mati pun kamu tidak tahu mengapa bisa jatuh
terguling beberapa kali. Hihihi, sungguh lucu!"
"Hian-ciam, Hian-gui,
Hian-liam dan Hian-ceng Sute, harap kalian menghentikan tingkah laku keempat
nona ini," tiba-tiba Hian-cu berkata.
Keempat padri tua yang disebut
itu mengiakan dengan hormat. lalu mereka berpaling kepada Bwe-kiam berempat dan
berkata, "Atas perintah Hongtiang pada kalian, harap jangan sembarangan
bicara dan bertingkah lagi!"
"Kami justru mau bicara
dan bertingkah, mau apa?” sahut Bwe-kiam.
"Jika begitu, terpaksa
maafkan kami!” kata keempat padri tua itu berbareng dan sekali jubah mereka
mengebas dengan teraling-aling kain jubah mereka terus mencengkeram pergelangan
tangan Bwe-kiam berempat. Keempat padri lua itu menggunakan Kim-na jiu-hoat
yang berbeda, tapi semuanya adalah kepandaian Siau limpai yang sangat lihai.
Di antara keempat nona itu
hanya Kiok-kiam saja yang masih bersenjata pedang, senjata ketiga dari lain
sudah dipatahkan oleh Cumoti tadi. Maka dengan cepat Kiok-kiam putar pedangnya
untuk melindungi ketiga saudaranya itu dan Bwe-kiam bertiga juga menggunakan
pedang patah mereka untuk menyerang lawan.
Keruan Hi-tiok kelabakan, cepat
ia berkata, "Jangan! Lemparkan pedang kalian dan jangan bergerak!"
Karena dibentak oleh sang
majikan Bwe-kiam berempat tertegun, sehingga gerangan mereka berhenti di tengah
jalan. Memangnya kepandaian, mereka bukan tandingan keempat padri tua Siau-lim-si,
maka dengan mudah sekali mereka kena ditangkap.
Sekuatnya Bwe-kiam membetot
tangannya yang terpegang tapi tak bisa lepas. Dia mengomel, "Kami tunduk
kepada perintah Cujin, makanya sungkan pada kalian, kenapa kalian main
pegang-pegang segala? Aduh, sakiiitt! Jangan pegang terlalu keras!"
Lam-kiam juga mendamprat,
"Keledai gundul kecil, lekas lepaskan tanganku!"
"Kau mau lepas tidak?
Kalau tidak, segera akan kumaki binimu, hoi!" demikian Tiok-kiam juga
berteriakteriak.
Dasar anak dara yang masih
hijau, masakah padri tua bangka dimaki sebagai "keledai gundul kecil"
dan hwesio dianggap punya bini seperti orang biasa.
Bahkan Kiok-kiam berseru,
"Biar aku meludahi dia!"
"Cuh", mendadak ia
menyemburkan ludahnya ke arah Hian-ceng.
Namun sedikit menunduk
dapatlah Hian-Ceng menghindarkan air ludah itu, berbareng ia keraskan
cekatannya sehingga Kiok-kiam menjerit kesakitan.
Begitulah, Tai-hiong-po-tian
yang merupakan ruang pendopo suci dan angker itu dalam sekejap itu ramai dengan
jerit seru anak-anak dara.
Akhirnya Hian-Cu mengancam,
"Keempat nona harap tenang dan jangan ribut, kalau tidak menurut hendaknya
para Sute tutuk hiat-to bisu mereka!"
Supaya tidak ditutuk, sebab
hal itu berarti hilangnya kebebasan mereka, terpaksa Bwe-kiam berempat tidak
berani ribut lagi, sambil moncongkan mulut mereka melorok kepada Hian-cu.
Hian-ceng berempat juga lantas lepaskan cekalan mereka dan berdiri di samping
untuk mengawasi keempat dara itu.
Lalu Hian-cu berkata, "Hi
tiok, coba sekarang ceritakan pengalamanmu selama ini, tidak boleh mengurangi
sedikit pun apa yang terjadi."
"Tecu akan memberi lapor
dengan sejujurnya," sahut Hi-tiok sambil menyembah.
Lalu berceritalah dia semua
kejadian yang dialaminya, dimulai dia ditugaskan mengirim surat dan ditawan Yap
Ji-nio, lalu ketemu dengan Hian-lan dan lain-lain dan secara kebetulan dapat
memecahkan problem catur sehingga menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai, tentang dia
digoda A Ci sehingga melanggar pantangan makan barang berjiwa akhirnya tentang pertamuannya
dengan Thian-san Tong-lo dan kejadian dalam gudang es, di sana dia bertemu pula
dengan Li Jiu-sui dan akhirnya dia menjadi majikan Leng ciu kiong. Bahkan
tentang pelanggarannya main-main dengan dewi impiannya juga diceritakan tanpa
mengurangi sedikit pun walau cara menguraikannya agak maiu-malu dan
tergagap-gagap tak lancar.
Para padri terheran-heran
sekali atas pengalaman Hi-tiok yang aneh itu, kalau melihat apa yang terjadi
tadi mereka percaya cerita Hi-tiok itu pasti tidak bohoñg, sebab kalau Hi-tiok
tidak menyerap ilmu sakti Bu gai-cu, Tong-lo dan Li Jiu-sui bertiga, pula telah
mempelajari banyak ilmu sakti di dinding kamar batu di Leng-ciukiong pasti
tidak mungkin dia mampu menandingi Tai-lun Beng-ong. yang maha lihai itu.
Begitulah sehabis melapor,
berulang Hi-tiok menjura dan minta ampun atas segala dosanya sambil menangis.
Setelah termenung sejenak
kemudian Hian-cu berkata, "Para Suheng dan Sute pengalaman Hi-tiok ini
memang benar luar biasa. Urusan ini menyangkut nama suci biara kita, aku
sendiri merasa sulit untuk, mengambil keputusan, maka diharap para Suheng dan
Sute suka memberi pandangan superlunya."
Watak Hian-ceng paling keras,
segera ia manggembor, "Lapor Hongtiang, menurut pendapatku, Walaupun
kesalahan Hi-tiok teramat besar, tapi jasanya juga tidak kecil. Coba kalau tadì
dia tidak mengalahkan padri asing itu, tentu pamor biara kita akan runtuh habis-habisan.
Maka aku mengusulkan boleh perintahkan Hi-tiok masuk ke Tat-mo-ih untuk
memperdalam ilmu silatnya dan agar menginsafi dosa-dosanya, untuk selanjutnya
dilarang keluar biara dan tidak boleh ikut campur urusan biara."
Hendaknya dikelahui bahwa mempelajari
ilmu silat di Tat-mo-ih adalah tugas kehormatan, bagi padri Siau-limsi, kalau
ilmu silatnya belum mencapai tingkatan tertinggi tidak mungkin dapat di terima.
Di antara padri angkatan Hian sebanyak lebih 30 orang itu cuma 7 atau 8 orang
saja yang pernah masuk Tat-mo-ih, bahkan Hian-song sendiri belum pernah.
Sekarang dia mengusulkan Hi-tiok dikirim ke Tat-mo-ih, ini bukan lagi hukuman
melainkan boleh dikatakan scbagai anugerah malah.
Tapi kepala Kai-lut-ih.
Hian-cit Taisu, lantas berkata, "Dengan kepandaiannya memang cukup syarat
untuk masuk Tat-mo-ih, tapi ilmu silat yang dia pelajari adalah dari golongan
luar, apakah Tat-mo-ih kita boleh dimasuki oleh jago silat seperti dia, hal ini
apakah sudah dipikirkan oleh Hian-song Sute?"
Mendengar itu, para padri sama
menunduk dan berpìkir, mereka merasa usul Hian-seng itu memang kurang pantas.
"Habis bagaimana kalau
menurut pendapat Suheng?" Tanya Hian-seng kepada Hian-cit.
"Tentang ini, aku pun
serba susah," sahut Hiau cit. "Hi-tiok berjasa dan berdosa pula. Ada
jasa harus diberi ganjaran, ada dosa harus dihukum. Keempat nòna ini telah
menyelundup ke dalam biara kita, hal ini bukan atas perintah Hi-tiok, maka kita
dapat katakan terus terang duduknya perkara kepada Cumoti, Sin kong dan
lainlain. Apakah nanti mereka mau percaya atau tidak boleh terserah, pokoknya
dalam hati kita dapat bertanggung jawab kepada diri kita sendiri dan tak perlu
pusing kepada sangkaan jelek orang lain. Tapi Saal Hi-tiok mengingkari
perguruan sendiri dan belajar lagi kepada golongan lain, di Siau-lim-si kita
sudah tiada tempat lagi baginya."
Maksud ucapan Hiaa-cit itu
terang hendak memecat Hi-tiok dari Siau-lim-si. Hukuman ini merupakan hukuman
paling berat dalam agama mereka, Keruan para padri saling pandang dengan
kuatir.
Dalam pada itu Hian-cit
berkata pula, "Berulang dia melanggar pantangan agama, mestinya ilmu
silatnya harus dipunahkan, kemudian baru diusir pergi. Tapi ilmu silat yang
pernah dimilikinya sudah dipunahkan orang lain lebih dulu, kepandaian yang
dimilikinya sekarang bukan lagi ilmu silat golongan kita, maka kita tidak
berhak buat memunahkannya."
Mendengar kepala Kai-lut-ih
itu memutuskan mengusir dia dengan menangis Hi-tiok menyembah dan minta
ampun agar hukuman itu
diringankan asal jangan mengusirnya keluar Siau-lim-si.
Seketika para paderi hanya
saling pandang saja dengan bingung dan rasa tidak tega. Mestinya kalau melihat
kesungguhan Hi-tiok, bukan mustahil dia akan dapat memperbaiki segala
perbuatannya yang salah itu. Tapi sekarang soalnya menyangkut nama baik
Siau-lim-si, dalam urusan ini telah menyangkut Cumoti, Cilo Singh dan padri
agung dari Jing-lim-si dan lain-lain. Kalau Hi-tiok dihukum kurang keras, tentu
Siau-lim-si, akan dituduh membela muridnya sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba
muncul seorang padri tua dengan dipayang dua orang muridnya. Kiranya Hian-to
yang tadi dilukai Cumoti dan pulang ke kamarnya untuk mengaso dia tetap
menguatirkan keadaan di luar, maka sekarang keluar lagi.
"Hongtiang,"
demikian Hian-to lantas berkata, "jiwaku ini berkat pertolongan Hi-tiok,
sekarang aku ingin bicara sedikit, entah boleh tidak?"
Hian-to masih terhitung
Suhengnya Hian-cu, ilmu silatnya sangat tinggi pula, maka biasanya Hian-cu
sangat senang padanya, cepat ia menjawab, "Suheng. silakan duduk,
bicaralah pelahan supaya tidak, mengganggu lukamu."
"Bahwasanya Hi-tiok telah
menyelamatkan jiwaku belum terhitung apa-apa," demikian kata Hian-to.
"Sekarang kita masih ada enam persoalan yang belum bisa diselesaikan,
kalau Hi-tiok dibiarkan tinggal di sini akan besar faedahnya bagi kita. Jika
dia, diusir pergi kita pasti ... pasti akan sulitlah."
"Keenam soal yang
dimaksudkan Suheng kalau tidak salah adalah, pertama Cumoti belum bisa digebuk
pergi. Kedua mungkin mengenai peristiwa Polo Singh, Ketiga adalah soal
tantangan Pangcu Kai-pang yaug mengaku bernama Ong sing-thian itu. Adapun tiga
persoalan lain diharap Suheng suka memberi penjelasan?" demikian Tanya
Hian-cit.
Hian-to menghela napas
panjang, lalu berkata, "Ialah mengenai tewasnya Hian-pi, Hian-kho,
Hian-thong dan Hian-lan Sute."
Serentak para padri sama
mengucap "Omitohud" demi mendengar nama-nama keempat padri yang sudah
meninggal itu.
Seperti dikelahui, Hian-kho
Taisu tewas di tangan Kiau Hong Hian-lan dan Hian-thong terbunuh oleh Ting
Jun-jiu, sedangkan siapa pembunuh Hian-pi sampai sekarang masih merupakan
teka-teki, semua orang hanya tahu Hian-pi terkena hantaman
"Kim-kong-cu", senjata gada yang merupakan senjata andalan Hian-pi
sendiri
dan termäsuk satu di antara
ke-72 macam ilmu silat Siau- lim-si.
Semula orang menyangka Hian-pi
dibunuh oleh keluarga Buyung yang terkenal suka menggunakan kepandaian khas
orangnya untuk diserang atas korban itu. Namun kemudian ketika bertemu dengan
Buyung Hok tampak sangat gagah ksatria dan bukan golongan pengecut yang habis
bunuh orang tidak mau mengaku. Ditambah lagi setelah menyaksikan Cumoti juga mahir
Pan-yak-ciang dan lain-lain ilmu silat Siau-lim-pai hal ini membuktikan bahwa
Buyung Hok bukan satu-satunya tersangka yang dapat menggunakan senjata
'"Kimkong-cu."
Maka berkatalah Hian-cu,
"Aku sendiri adalah Hongtiang, tapi sama sekali tak dapat menyelesaikan
keenam persoalan itu, sungguh sangat memalukan. Akan tetapi kepandaian Hi-tiok
sekarang seluruhnya jelas berasal dari Siau-yau-pai, masakah ... masakah
Siau-lim-si harus ...."
Sampai di sini Hian-cu sukar
meneruskan lagi. Namun para padri dapat memahami maksudnya.
Semua orang terdiam sejenak,
akhirnya Hian to berkala pula, "Habis bagaimana kalau menurut pikiran
Hongtiang?"
"Omitohud!" sabda
Hian-cu. "Kita telah menerima warisan leluhur, hari ini kita menghadap
alangan besar maka menurut pendapatku, kita harus bertindak menurut garis lurus
sebagaimana mestinya. Lebih baik gugur sebagai satria daripada hidup menanggung
malu. Asalkan kita berjuang sepenuh tenaga, mungkin nama baik Siau-lim-si masih
dapat kita pertahankan, jika terpaksa, biarlah kita membelanya dengan
mati-matian.”
Hian-cu berkata dengan tegas
dan kerang sehingga para padri serentak menyatakan setuju.
Segera Hian-cu berkata pula
kepada Hian-cit, "Sute, silakan melaksanakan hukum biara kita."
Hian-cit mengiakan dan segera
memberi perintah kepada padri penyambut tamu, "Undanglah Tai-lun Beng-ong
dan para padri agung!"
Diam-diam Hian-to dan
Hian-seng merasa menyesal, meski mereka ada maksud untuk membela Hi-tiok, tapi
Hongtiang lebih mengutamakan nama baik keseluruhan Siau-lim-pai mereka sehingga
mau tidak mau mereka harus tunduk.
Hi-tiok sendiri tidak tahu
keputusan itu tak bisa ditarik kembali lagi, biarpun memohon lagi juga percuma.
Pikirnya, "Setiap orang
Siau-lim-si sudah seharusnya mengutamakan nama baik golongannya. Aku sendiri
harus terima akibat dari perbuatanku sendiri dan sekali-kali tidak boleh unjuk
rasa takut dan minta belas kasihan didepan orang luar sehingga merosotkan pamor
Siau-lim-si."
Begitulah tídak lama kemudian
Cumoti, Cilo Singh, Sin-kong dan lain-lain telah diundang hadir di ruang
pendopo. Menyusul suara genta bertalu-talu pula padri Siau-lim-si juga sama
berkumpul. Lalu mulailah Hiancu membuka, suara, "Tai-lun Beng-ong dan para
Suheng. sesudah diusut, diketahui murid Sian-lim-si angkatan Hi yang bernama
Hi-tiok telah melanggar pantangan makan minum arak, membunuh dan berzinah serta
telah berani belajar ilmu silat dan menjabat pula Ciangbunjin golongan lain.
Untuk semua dosanya ini kepala Kal lut-ih dari Siau-lim-si, Hian cit Sute akan
segera menjatuhkan hukuman yang setimpal sedikit pun tidak boleh memberi
kelonggaran."
Mendengar keputusan Hian-cu
ini, Cumoti, Sin kóng dan laín-laín agak melengak juga. Ketika melihat Bwekiam
berempat semula mereka menyangka Hi-tiok telah menyembunyikan perempuan muda,
pantangan yang di langgarnya paling-paling cuma berzinah saja, siapa tahu dosa
Hi-tiok yang diumumkan Hian-cu sekarang ternyata lebih dari itu.
To-jin dari Bo-to-si menjadi
hwesio ketika usianya sudah setengah umur, maka ia cukup tahu seluk-beluk orang
hidup, ditambah perangainya juga welas-asih dan suka membantu, orang dalam
kesulitan, maka ia lantas berkata, "Hongtiang Suheng. keempat nona ini
kelihatan masih suci bersih terang masih perawan, bagi setiap orang yang
berpengalaman dengan gampang akan dapat mengetahuinya. Bahwa tingkah-laku
Hi-tiok tadi agak melampaui batas memang betul tapi kalau dituduh pelanggaran
'berzìnah' untuk ini kukira agak berlebihlebihan.”
"Banyak terima kasih atas
petunjuk Suheng.” kata Hian-ci. "Tapi pelanggaran Hì-tiok ini bukan
dimaksudkan atas diri keempat nona ini. Hi tiok sekarang telah menjadi Cujin
dari Leng-ciu-kiong dan keempat nona ini adalah dayangnya, maksudnya menyelundup
ke biara kami hanya bertujuan menjaga keselamatan majikan mereka, sebelumnya
Hi-tiok sendiri juga tidak tahu. Memang Siau-lim-si harus merasa malu telah
dapat diselundupi orang luar, tapi jelas ini bukan kesalahan Hi-tiok."
"Jika demikian, orang
luar tidak enak untuk ikut campur lagi," ujar To-jing.
Sebenarnya semua yang hadir
tiada yang kenal "Leng-ciu-kiong" segala karena selama ini Thian-tan
Tong-lo jarang berkunjung ke Tionggoan dan bergaul dengan orang persilatan.
Hanya Cumoti saja yang pernah mendengar nama Tong-lo, tapi juga tidak tahu
dengan jelas.
Semula Cumoti, Sin-kong, Cilo
Singh dan lain-lain bermaksud jelek terhadap Siau-lim-si, tapi sekarang Hiancu
bertindak tegas tanpa pandang bulu terhadap anak muridnya sendiri, di depan
orang banyak diumumkan pula dosa Hi-tiok yang mestinya tidak diketahui orang
luar, hal ini membuat mereka mau-tak-mau harus kagum terhadap kebijaksanaan
ketua Siau-lim-si itu.
Kemudian Hian-cit lantas
melangkah maju, dengan suara lantang ia tanya, "Hi tiok, dosamu yang
disebut Hongtiang tadi apa kamu akui semuanya dan apakah kamu ingin membela
diri?"
"Tecu mengakui semua dosa
itu dan rela menerima setiap hukuman," sahut Hi-tiok.
Seketika semua orang
mencurahkan perhatian kepada Hian-cit untuk mendengarkan sangsi hokum yang hendak
dijatuhkannya.
Maka berserulah Hian-cit,
"Hi-tiok melanggar empat pantangan besar, maka harus dihukum rangket
seratus kali di depan umum. Hi-tiok, kau terima tidak?"
"Tecu terima dengan baik,
banyak terima kasih atas kemurahan hati Thai-supek," sahut Hi-tiok.
"Tanpa izin Hongtiang dan
gurumu sendiri kamu mempelajari ilmu silat golongan lain, maka, ilmu silat yang
kauperoleh dari Siau-lim si akan dipunahkan dan kamu dihukum pecat, untuk
selanjutnya kamu bukan murid Siau-lim-pai lagi kau terima tidak?" tanya
Hian-cit pula.
Hi-tiok menjadi sedih, tapi ia
pun tahu keputusan ini tidak mungkin dihindarkan lagi, terpaksa ia jawab,
"Keputusan Thai-supek memang maha adil, Tecu terima dengan rela."
Tadi para padri dari golongan
lain telah menyaksikan Hi-tiok melabrak Cumoti dengan ilmu silat Siau-lim pai
seperti Wi to ciang dan Lo-han-kun, tapi mereka tidak tahu bahwa kepandaian Hi
tiok yang sebenarnya pada hakikatnya bukan kungfu Siau-lim-pai. Sebaliknya
Cumoti yang mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat Siaulim-pai sesungguhnya cuma
lahirnya atau gayanya saja yang dipahami. Iwekang Siau-lim-pai yang asli boleh
dikatakan tidak dipahami olehnya, Siau-bu-siang-kang yang digunakan Hi-tiok
tadi sudah tentu juga dipahami Cumoti, tapi dia tidak kenal Pah-teng-cin-gi,
Thian-san-Hok-yang jiu dan Ciat-bwe-jín segala, maka ia sangka kepandaian
Hi-tiok itu adalah ilmu silat Siau-lim-pai yang lihai.
Sekarang didengarnya ilmu
silat Hi-tiok akan dipunahkan, tentu saja ia sangat girang di dalam hati.
Sebaliknya To-jing, Kat-hian dan lain-lain merasa sangat sayang bagi Hi-tiok.
Maka terdengar Hian-cit
berkata pula, "Karena kamu telah menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai dan
Cujin Lengciu-kiong, maka kamu dilarang menjadi murid Budha lagi, selanjutnya
kamu bukan lagi padri Siau-lim-sí."
Hi-tiok sudah yatim piatu,
sejak bayi dibesarkan di Siau-lim-si, sekarang dia diharuskan berpisah dengan
tempat bernaungnya selama ini, betapa pun dia merasa sedih juga maka
menangislah dia dan dengan terguguk ia menyatakan terima kasih kepada para
padri agung Siau-lim-si yang telah mendidiknya selama ini.
Akhìrnya Hian-cit berkata
pula, "Sekarang hendaklah Hui-lun mendengarkan keputusan!"
Segera Huí lun melangkah maju
dan berlutut.
"Hui-lun", seru
Hian-cit, "sebagai guru Hi-tiok kamu salah mendidik dan kurang memberi
petunjuk sehingga mengakibatkan pelanggaran yang dilakukan Hi-tiok ini.
Sekarang kamu dlhukum rangket 30 kali dan harus bersujud di dalam Kai lut-ih
selama tiga tahun, kauterima tidak."
"Tecu terima dengan
rela," sahut Hui-lun dengan gemetar.
Tiba-tiba Hi-tiok berseru,
"Thai-supek, Tecu bersedia mewakilkan suhu menerima hukuman 30 kali
rangketan itu!"
"Jika demikian maka Hi
tiok akan dirangket 130 kali," kata Hian-cit. "Ciang-heng Tecu (murid
pelaksana hukum), siapkan pentungan sekarang, Hi-tiok masih anggota
Siau-lim-si, maka hukuman ini harus dilaksanakan tanpa ampun. Nanti sesudah dia
keluar dari keanggotaan biara kita, dan dia akan menjadi Ciangbunjin, golongan
biara kíta harus menaruh hotmat juga padanya."
Keempat murid pelaksana hukum
segera akan jalankan perintah itu, tidak lama kemudian mereka telah menyiapkan
empat batang pentungan.
Selagi Hian-cik hendak memberi
aba-aba agar hukuman itu dilakukan, tiba-tiba seorang padri penjaga berlari
masuk sambil mempersembahkan setumpuk kartu nama kepada Hian-cu, katanya,
"Lapor Hongtiang para ksatria Ho-siok (daerah utara sungai kuning) mohon
bertemu!"
Ketika Hian Cu periksa
kartu-kartu nama itu jumlah seluruhnya ada lebih 30 helai dan sebagian besar
adalah ksatria ternama dari daerah utara diantaranya banyak pula ksatria yang
pernah hadir dalam Eng-hiong-tai-hwe di Cip-hian-ceng dahulu.
Diam-diam Hian-cu heran ada
urusan apakah sekaligus datang ksatria dan tokoh sebanyak itu?
Dalam pada itu di luar biara
terdengar suara orang ramai, para-ksatria sudah tidak sabar menunggu lagi,
"Hianseng Sute harap keluar menyambut mereka!" kata Hian-cu. Lalu
sambungannya pula, "Hadirin sekalian karena banyak tamu berkunjung kemari,
urusan pembersihan rumah tangga biara kami ini terpaksa ditunda untuk sementara
agar tidak mengganggu kedatangan pera tamu."
Kemudian ia pun berangkat
memapak keluar pendopo. Tidak lama, tertampaklah Hian-seng dan padri penyambut
tamu datang mengiringi para ksatria Ho-siok.
Hian-cu, Hian-cit, Hian-seng
dan lain-lain adalah padri yang saleh, mereka juga tokoh persilatan terkemuka
sehingga terhadap sesama tokoh persilatan mereka sangat kagum satu sama lain.
Sekarang biarpun sedang menghadapi urusan dalam yang menekan perasaan, tapi
demi nampak datangnya para kenalan itu, seketika semangat mereka terbangkit
juga. Bahkan diantara pendatang itu ada beberapa orang merupakan sobat baik
Hian-seng dan padri agung lain, maka sesudah bersalaman dengan mesra, lalu
mereka disilakan masuk pendopo dan dlperkenalkan kepada Cumoti dan lain-lain.
Sin-kong, Liong-beng dan
lain-lain juga bukan kaum keroco, maka banyak juga kawan mereka diantara para
ksatria Ho siok itu.
Dan baru saja Hian-cu hendak
tanya maksud kedatangan para ksatria Ho-siok itu, tiba-tiba para penyambut tamu
datang lagi melapor bahwa beberapa puluh tokoh Bu-lim dari daerah Sontang dan
Sonsai juga berkunjung tiba. Maka Hiat-ciam lantas disuruh keluar menyambut
lagi.
"Katni diundang Ong-pancu
dari Kai-pang untuk menyaksikan keramaian apakah beliau sendiri belum
datang?" demikian tiba-tiba seorang laki-liki hitam kekar berteriak.
"Buat apa ributi"
demikian seorang lagi yang bersuara tajam melengking menanggapi "Kita
sudah datang, kalau ada ramai-ramai masakah kami kekurangan tontonan?"
Segera Hian-cu membuka suara,
"Para kawan telah sudi berkunjung kemari secara serentak, sungguh
Siau-limsi merasa mendapat kehormatan besar. Apabila pelayanan kurang baik.
harap suka memberi maaf."
"Ah, Hongtiang tidak
perlu sungkan," sahut hadirin beramai.
Dalam pada itu beberapa tokoh
yang menjadi sobat baik padri Siau-lim-si lantas menuturkan maksud kunjungan
mereka ini. Kiranya Pang-cu Kai-pang yang mengaku bernama Ong Sing-thian itu
sudah
menyebarkan kartu undangan
kepada pera ksatria, katanya Siau-lim-pai dan Kai-pang biasanya sama-sama
menjagoi dunia persilatan Tionggoan, tapi Ong Sing-thian yang baru menjabat
sebagai Pangcu itu ingin menentukan seorang Bu-lim Beng-cu (pemimpin dunia
persilatan) dan mengadakan peraturan tertentu agar ditaati oleh setiap orang
persilatan. Untuk itu telah ditetapkan tanggal 15 bulan enam Ong Sing-thian
akan datang sendiri ke Siau-lim-si untuk bicara dengan Hian-cu.
Dari kartu undangan yang
dipertunjukan itu dapat dibaca kalimat-kalimat yang bernada congkak,
seakan-akan Bu-lim Beng-cu itu nanti sudah pasti akan diduduki oleh orang yang
bernama Ong Sing-thian itu.
Maksud dan tujuan Ong
Sing-thian pun cukup jelas, yaitu hendak menggunakan kepandaiannya untuk
mengalahkan para padri Siau-lim-si dan menundukkan Siau-lim-pai yang telah
terkenal selama beratus tahun itu.
Begitulah maka tidak lama
kemudian telah datang pula ksatria dari berbagai penjuru, baik dari utara
maupun selatan telah berkumpul semua, padahal jarak kediaman para ksatria itu
terpisah sangat jauh, namun dalam sehari saja mereka sudah berkumpul, hal ini
menandakan persiapan kai-pang yang rapi dan terang sudah mengaturnya sekian
lama.
Hian-cu dan para padri
Siau-lim-si tidak memberi komentar apa-apa, tapi dalam hati mereka sangat gusar
dan kuatir pula.
Tindakan Kai-pang ini boleh
dikatakan sangat kurangajar. sebab baru beberapa hari yang lalu mereka menerima
surat Ong Sing-thian yang menyatakan hendak berkunjung ke Siau-lim-si untuk
membicarakan soal Bu-lim Beng-Cu dan menyatakan pula akan tiba dalam waktu
singkat, di dalam surat itu sama sama sekali tidak disebut-sebut tentang
diundanganya para satria dari berbagai penjuru itu. Siapa duga sekarang para
ksatria itu telah berkumpul hingga Siau-lim-si kerepotan menghadapi persoalan
itu.
Sebenarnya Siau-lim-sl. juga
banyak mempunyai sobat andai di kalangan kongouw, tapi sebelum ini sama sekali
tidak diperoleh kabar apa-apa, jadi sebelum bertanding Siau-lim-si sudah
kebesaran asòr lebih dulu.
Dalam watak Hian seng memang
kasar, dengan mendongkolnya segera ia menegur sobat baiknya yang bernama Cukat
Tiong, bergelar Hopak-sin-tan (si pelor sakti dari Hopak), serunya, "Bagus
sekali Cujin-loji, kamu mendapat berita peristiwa ini, tapi diam-diam saja dan
tidak mau mengirim kabar padaku. Ya, anggaplah persahabatan kita kita selama 30
tahun ini telah putus sampai di sini saja."
Dengan muka merah padam Cukat
Tiong memberi penjelasan, "Aku ... aku juga baru mendapat kartu undangan
ini pada tiga hari yang lalu tanpa banyak pikir siang-malam aku lantas memburu
kemari, di tengah jalan aku sampai ganti dua ekor kuda karena kuatir terlambat
dan tak sempat memberi sedikit bantuan kepadamu tua bangka ini, tapi mengapa
engkau malah menyalahkan aku?"
"Jadi kamu bermaksud baik
juga, ya?" jengek Hian-seng.
"Mengapa bukan maksud
baik?" sahut Cukat Tiong beruring-uring. "Sekalipun ilmu silat
Siau-lim-si kalian maha tinggi, bila saudara tua ikut datang memberi semangat,
apakah ini bermaksud jelek?"
Karena penjelasan itu barulah
Hian-seng merasa lega. Ketika ksatria lain ditanya, ternyata ada yang terima
kartu undangan lebih dulu bagi yang kediamannya jauh, yang tempat tinggalnya
dekat Siau-lim-si baru terima kartu undangan beberapa hari yang lalu tapi
semuanya segera berangkat dengan terburu-buru sehingga dapat tiba tepat pada
waktunya.
Jadi bukan para sobat-andai
itu tidak mau memberi kabar kepada Siau-lim-si sebelumnya, rupanya hal itu
sudah diperhitungkan oleh pihak Kai-pang sedemikian rupa sehingga mereka
menaksir datangnya para ksatria itu akan berbareng sekaligus dalam satu hari
saja.
Mengingat kerapian persiapan
Kai-pang ini Hian-cu dan kawan-kawannya menjadi kuatir jangan-jangan pihak
Kai-pang masih banyak tindakan menyusul yang lebih lihai, diam-diam mereka
sangat prihatin dan waspada.
Hari ini adalah tanggal 15
bulan enam sebagaimana di tetapkan oleh Ong Sing-thian, hawa panas terik.
Memangnya padri Siau lim-si
lagi sibuk menghadapi Sin-kong Siangjin, Cilo Singh dan lain-lain kemudian
menempur Cumoti dan memeriksa perkara Hi-tiok.
Sekarang mendadak membanjir
lagi para ksatria dari segenap penjuru itu, keruan mereka tambah repot
melayaninya.
Untung padri penyambut tamu
Siau-lìm-si sudah berpengalaman, ruang biara juga luas, perbekalan pun cukup
sehingga di bawah pimpinan Hian ceng yang merupakan kepala bagian penyambut
tamu itu dapat berjalan dengan teratur baik.
Tengah Hian-cu sibuk
menghadapi kenalan-kenalan di antara hadirin itu, tiba-tiba terdengar pula
laporan padri penjaga, '"Pangeran Toan, Tin-lam-ong negeri Tayli
tiba!"
Hian-cu menjadi girang dan
cepat menyambut ke luar sendiri.
Seperti telah diceritakan,
berhubung dengan tewasnya Hian-pi Taisu, maka padri Siau lim-si menyangka
keluarga Buyung dari Koh-soh yang membunuhnya dan telah menyebarkan undangan
kepada para ksatria di segenap penjuru untuk merundingkan citra menghadapi
Koh-soh Buyung itu.
Menerima undangan itu, raja
Tayli segera mengirim saudaranya sendiri, yaitu Toan Cing sun bersama Hoan Hwa,
Po Thian-sik, Tang Su-kui dan lain-lain untuk membantu Siau-lim-si.
Tak terdüga sebelumnya Siau
Hong telah mengamuk di Cip-hian-ceng sehingga sebelum Eng-hiong-tai-hwe dibuka
para ksatria itu sudah diobrik-abrik dan kacau balau.
Karena itu para ksatria
menganggap Kiau Hong adalah musuh bersama dunia persilatan Tionggoan sehingga
permusuhan mereka terhadap "Lam Buyung" teralihkan dan "Pak Kian
Hong" yang dijadikan sasaran.
Karena kerajaan Song dan Cidan
adalah musuh bebuyutan, maka ketika Kiau Hong diketahui adalah keturunan bangsa
Cidan. keruan rasa permüsuhan ksatria Tionggoan kepadanya semakin menjadi-jadi.
Walaupün negeri Tayli jauh
terletak di selatan dan keluarga Toan sebenarnya adalah bangsa Han, tapi mereka
sudah lama mendirikan negara dan tidak ingin bermusuhan dengan kerajaan Liau
(negara bangsa Cidan), sebab itu juga tidak mau ikut bertengkar dengan Kiau
Hong.
Kemudian ketika Toan Cing-sun
terancam oleh Toan Yan-khing, untung dia ditolong oleh Kiau Hong, dengan
demikian ia menjadi utang budi malah, kepada Kian Hong.
Sesudah urusan di Tionggoan
selesai, mestinya Toan Cing-sun hendak terus pulang ke Tayli, tapi di tengah
jalan ia mendapat berita dari negeri Tayli bahwa putra mahkota, Toan Ki, telah
diculik oleh Cumoti dan dibawa lari ka Tionggoan.
Keruan ia kaget dan kuatir,
segera ia mencari pütranya itu kemana-mana. ditambah lagi dia berada pula
dengan kekasihnya yang lama, yaitu Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok, dasar sifat
Toan Cing-sun memang romantis dan bangor.
Sekali kecantol urüsan
perempuan, lupa daratanlah día sehingga selama beberapa bulan ini dia masih
berada di Tionggoan.
Paling akhir ini dia mendengar
Pangcu Kaì-pang yang baru bernama Ong Sìng thían hendak terebut pimpinan dengan
Siau-lim-pai sebagai Bu-lim Beng-cu, ia pikir di tempat ramai-ramai itu mungkin
dapat diperoleh sedikit kabatnya sang putra. Maka buru-buru ia dating ke
Siau-lim-si.
Selama itu Wi Sing tiok terus
mendampingi Toan Cing-sun, pertama día merasa berat berpisah dengan kekasihnya,
kedua ingin mencari putrinya si A Ci. Tapi kaum wanita dilarang masuk ke
Siau-lim-si, maka ia sengaja menyamar sebagai lelaki dan ikut dalam rombongan
Toan Cing-sun itu."
Begitulah sesudah Hian-cu
menyilakan Toan Ceng-sun dan rombongannya masuk ke ruang pondopo. Lalu
diperkenalkan kepada para ksatria. Orang pertama yang diperkenalkan padanya
adalah Tai-lun Beng ong Cumoti dari Turfan.
Mendengar nama padri itu,
seketika air muka Toan Cing-sun berubah, la memberi salam dan segera menegur,
"Rupanya putraku yang bodoh itu mendapat perhatian Beng ong dan kabarnya
telah dibawa ke timur sini, sepanjang jalan tentu telah banyak mendapat petunjuk
berharga dariJ Taisu dan mendapat kemajuan, sungguh aku merasa sangat berterima
kasih."
"Ah, mana, mana!"
sahut Cumoti dengan merendah, Tapi ia lantas geleng kepala pula dan berkata,
"Dan sayang, sungguh sayang!"
Seketika hati Cing-sun
berdebut keras ia sangka mungkin telah terjadi apa-apa atas diri Toan Ki, maka
cepat ia tanya, "Apa maksud ucapan Beng-ong ini?"
"Tempo hari Sianceng
telah beruntung dapat bertemu dengan Koh-eng Taisu, Thian-in Hongtiang dan
kakakbagindamu, mereka semuanya ramah-tamah, sangat kereng dan tenang
benar-benar kaum ini yang susah dicari. Nama Tin-lam-ong sendiri terkenal di
seluruh jagat, mengapa dalam urusan anggota keluarga mesti mengunjuk rata
kuatir sedemikian?"
Memang dalam gugup dan
kuatirnya nada suara Toan Cing-sun tadi kedengaran agak gemetàr. Maka Cing-Sun
cepat menenangkan diri, ia pikir kalau benar sang putra mengalami sesuatu juga
ada gunanya dikuatirkan lagi sebaliknya malah akan ditertawai oleh padri asing
ini.
Maka katanya kemudian,
"Kasih sayang kepada putra-putri sendiri adalah sifat dasar setiap orang
di dunia ini, kalau manusia tidak melahirkan putra-putri, tentu manusia akan
lenyap dari dunia ini. Kami adalah orang biasa, sudah tentu tak dapat
dibandingkan padri saleh sebagai Beng-ong yang welas-asih dan menganggap segala
apa di dunia ini cuma kosong belaka."
Cumoti tersenyum, sahutnya,
"Ketika mula-mula aku bertamu dengan putramu kulihat bentuk kepalanya
menonjol kelak pasti akan menjayakan keluarga Toan dan menjadi Tuan yang
diagungkan di negari Tayli."
"Terima kasih," kata
Cing-sun, Tapi diam-diam ia menggerutu, "Keledai gundul ini sungguh sangat
licin, bícaranya melantur-lantür saja dan membikin hatiku semakin kuatir.”
Tiba-tiba Cumoti menghela
napas dan berkata, "Ai, sungguh sayang, putra keluarga Toan ini, ternyata
tidak punya rejeki yang báik."
Dan ketika melihat air muka
Toan Cing-sun berubah lagi, lalu dengan tersenyum ia melanjutkan, "Dia
ikut datang ke Tionggoan sini dan bertemu dengan seorang nona cantik
sejak-sejak itu ia melengket dan selalu berada di samping si Jelita dan
hilanglah segala cita-citanya yang muluk-muluk dan semangat jantannya, ia
selalu mengintil di belakang si cántik, ke mana si cantik pergi, di sana pula
dia mengekor. Siapa saja yang melihat tentu akan mengatakan dia adalah seorang
pemuda bangor, dan tidak memper sebagai seorang pangeran terhormat."
Sampai di sini tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa geli, suara tertawa kaum wanita. Waktu semua
orang memandang ke arah suara tertawa itu, ternyata seorang laki-laki setengah
umur bermuka jelek.
Kiranya orang yang tertawa ini
adalah Wi Sing-tiok,dia adalah ibu A Cu, dan seperti juga A Cu, rupanya sudah
pembawaannya bahwa dia diberkahi dengan kepandaian menyamar yang amat mahir.
Sekarang dia menyaru sebagal lelaki, baik wajahnya maupun tingkah-lakunya
memang persis sebagai kaum lelaki. Cuma suaranya agak lembut dan kalah daripada
suara A Cu yang pandai menirukan lagak-lagu kaum lelaki itu.
Ketika melihat perhatian semua
orang, tercurahkan padanya, cepat ia bikin kasar suaranya dan berkata,
"Pangeran cilik negeri Tayli itu rupanya memang turunan ayah harimau tidak
nanti melahirkan anak anjing! Hahaha! Sungguh hebat!"
Bahwasannya Toan Cing-sun
adalah seorang pangeran "Don juan" memang sudah terkenal dikalangan
kangouw, maka demi mendengar Wi Sing-tiok mengatakan kelakuan Toan Ki itu
adalah turunan, para ksatria itu saling-pandang dengan tertawa geli.
Cing-sun sendiri lantas
terbahaik juga, katanya kepada Cumoti, "Anak tak becus itu .... "
"Bukan tidak becus,
justru dia sangat becus, malahan pandai sekali!" potong Cumoti.
Cing-sun tahu orang sengaja
menyindir dia pandai memikat wanita, ia tidak ambil pusing dan melanjutkan,
"Entah sekarang berada di mana dia? jika Beng-ong tahu kiranya, sudilah
kiranya memberi tahu?"
"Dasar Toan-kongcu memang
seorang romantis, setiap hari senantiasa tenggelam dalam lamunan asmara,"
ujar Cumoti. "Maka waktu aku bertemu dengan dia paling akhir ini dia
tampak kurus kering dan pucat-pasi, apakah sekarang masih hidup atau sudah mati
aku sendiri sukar mengatakannya dengan pasti."
Tiba-tiba Cing-sun teringat
kejadian di Tayli dahulu, Toan Ki telah mencintai seorang gadis kampungan, Bok
Wan-jing, celakanya secara sangat kebetulan itu justru adalah putrinya sendiri,
jadi tunggal ayah lain Ibu dengan Toan Ki, kejadian itu membuat pemuda itu
sangat terguncang hatinya, kalau sekarang dia masih terus tergila-gila kepada
adik perempuan sendiri itu, maka urusan benar-benar akan celaka 13.
Selagi Cing-sun merasa kuatir,
tiba-tiba seorang padri muda tampil ke muka dan memberi hormat padanya sambil
menyapa, "Harap Ongya jangan kuatir, Toan-Samteku itu sama sekali tidak
kurus-kering, tubuhnya sehat walafíat dan segar-bugar.”
Cepat Cíng-sun membalas hormat
dengan heran, Kalau melihat dandanannya, padri itu terang adalah hwesio keroco
Sian-lim-si, kenapa dia menyebut anak Ki sebagai "Samte" (adik
ketiga)"
Maka ia coba tanya,
"Apakah belum lama ini Siausuhu pernah melihat putraku itu?"
Hwesio muda itu bukan lain
adalah Hi-tiok. Baru saja dia hendak menceritakan pertemuannya dengan Toan Ki
di Leng-ciu-kiong, mendadak suara Toan Ki bergema di luar pendopo sana
"Ayah, anak berada di sini, apakah engkau baik-baik saja?"
Dan baru lenyap suaranya,
tahu-tahu sebuah bayangan orang sudah menyelinap masuk dengan kecepat luar
biasa terus menubruk ke dalam pelukan Toan Cing-sun. síapa lagi dia kalau bukan
Toan Ki.
Lwekang Toan Ki sekarang sudah
amat tinggi, telinganya menjadi sangat tajam pula, maka sebelum masuk ke dalam
biara lantas di dengarnya sang ayah sedang bercakap dengan Cumoti dan
taisu-taisu siau lim si, maka dengan tidak sabar lagi terus saja ia masuk
menggunakan "leng-po-wi-poh" untuk menyelinap masuk ke dalam pendopo
itu.
Kemudain ayah dan anak itu
saling rangkul dengan perasaan yang gembira yang tak terperihkan. Dilihatnya
kondisi sang putra memang kurusan sedikit, tapi penuh dengan semangat dan
sekali-kali tidak pucat pasi sebagai mana yang dikatakan Cumoti.
Kemudian Toan Ki berpaling kepada
Hi-tiok dan menyapa, "Jiko, kenapa engkau telah menjadi hwesio lagi?"
Hi-tiok telah berlutut
setengah harìan di depan patung Budha untuk mengakui dosanya, sekarang demi
nampak Toan Ki, seketika teringat ia kepada "dewi impian" itu
sehingga mukanya merah jengah dan sikapnya juga kikuk-kikuk, dangan sendirinya
ia tidak berani sembarangan mencari tahu dan tanya Toan Ki tentang kekasih yang
dirindukannya itu.
Dalam pada Cumoti yakin
datangnya Toan ki ke Siau-lim-si pasti tidak sendirian. Ia tahu pemuda itu
sangat kesemsem pada Giok-yan, hanya nona itulah yang mempunyai daya tarik
sehigga Toan Ki ikut datang ka Siau lim-si. Sebaliknya ia pun tahu Giok-yan
hanya mencintai kakak misannya, yaitu Buyung Hok, jika ada satu ada dua, tidak
mungkin Giok-yan berpísah dengan Buyung Hok, karena keyakinan itu, segera
kerahkan tenaga dalam dan berseru, "Buyung kongcu, jika sudah sampai di
Siau-lim-pai kenapa tak lekas masuk biara dan menyembah Budha."
Para ksatria melengak, mereka
heran apakah si Buyung-kongcu juga sudah datang? Tapi mengapa tìada sesuatu
tanda ke datangannya, sebaliknya padri aslng ini sudah tahu malah? Mereka tidak
tahu bahwa Cumoti hanya berdasarkan dugaannya saja atas diri Toan Ki dan
Giok-yan, padahal ia sendiri tidak tahu persis datangnya Buyung Hök.
Tak tersangka di luar biara
ternyata sunyi-sunyi saja, selang sejenak barulah terdengar suara Cumoti
sendiri yang berkumandang kembali dari lembah pegunungan sana. Diam-diam Cumoti
terkesiap, ia pikir dugaannya sekali ini ternyata meleset, sebab kalau Buyung
Hok benar ikut datang, tentu dia akan menjawab seruannya.
Dan baru saja ia hendak
tertawa dan mengucapkan kata-kata untuk menutupi salah duganya itu, tiba-tiba
terdengar suara seorang yang dalam melengking sedang berkata,
"Buyung-kongcu dan Ting-lokoai sedang bertarung dengan serunya, sesudah
Ting-lokoai terbunuh barulah ia dapat bersembahyang ke Siau-lim-si sini."
Mendengar suara itu, seketika
air muka Toan Cing-sun dan Toan Ki berubah, mereka kenal itu, suara "Ok
koan-boan-ong" Toan Yan-khing, kepala "Su-ok” yang maha jahat itu.
Dahulu mereka ayah dan anak
pernah hampir binasa ditangan durjana itu, sekarang kepergok lagi di Siau-lim
si, andaikan nanti tidak mati di tangannya juga pasti akan kehilangan muka
habis-habisan di depan ksatria yang berkumpul di sini.
Selagi Cing-sun kebat-kebit
tak tentram sambil memikirkan cara menghadapi musuh nanti, dalam pada itu Toan
Yan-khing yang berjubah panjang dan berkaki tongkat südah melangkah masuk. Di
belakangnya tampak mengikut "Bu-ok-put-ok" Yap Ji-nio,
"Hiong-sin-ok-sai" Lam-hai-gok-sin dan "Kiong-hiong-kek-ok"
in Tiongho, Jadi "Su-ok” sekaligus telah datang semua.
Terhadap tetamunya Hian-cu
tidak pandang bulu, biarpun "Su-ok" terkenal maha jahat juga dilayani
dengan hormat.
Ketika mendadak melihat Toan
Ki juga berada di situ, seketika wajah Lam-hai-gok-sin berubah merah dan segera
putar tubuh hendak kabur.
Namun Toan Ki sudah lantas
menegurnya dengan tertawa, "Eh, murid baik, apakah sehat-sehat saja selama
ini?"
Mendengar panggilan itu,
Lam-hai-gok-sin merasa tak bisa lari lagi, dengan marah-marah ia menjawab,
"Maknya, Suhu keparat, kiranya kamu belum mampus!"
Keruan para hadirin melengak
heran mendengar tanya jawab itu. Pemuda lemah-lembut sebagai Toan Ki memanggil
seorang yang bengis jahat sebagai murid, hal ini saja sudah aneh, sekarang sang
murid memanggil guru dengan cara sangat kurang ajar, tentu saja hal ini
lebih-lebih mengherankan mereka.
Dalam pada itu Yap Ji-nio yang
memondong seorang bayi berumur antara satu tahunan juga lantas berkata dengan
tertawa, "Ting losian sedang mengunjukkan kesaktiannya sehingga
Buyung-kongcu selalu dihajar habis-habisan. Pertarungan hebat itu jarang ada
dijagat ini, apakah kalian beramai-ramai tidak ingin pergi melihatnya?"
Mendengar itu, Toan Ki berseru
kaget dan segera mendahului menerobos keluar.
Kiranya dugaan Cumoti tadi
memang tidak meleset. Sejak Toan Ki meninggallcan Lang-ciu-kiong, segera ia
menyusul ke arah Buyung Hok dan Ong Giok-yan dan dapat bertemu dengan mereka
beberapa ratus li di timur Biau-biau-Hong. Meski Pau Put-tong merasa jemu
kepada pemuda dogol itu, tapi juga tidak berani mengusirnya atau melarang dia
dalam rombongan mereka.
Di tangah jalan mereka
mendengar kabar tentang Kai-pang hendak berebut Bu-lim Beng-cu dengan
Siau-limpai. Karena Buyung Hok bercita-cita hendak bersahabat dengan ksatria
seluruh jagat sebagai sebagai modal pergerakannya membangun kerajaan Yan di
kemudian hari, maka diam-diam ia berunding dengan Ting Pakjwan dan lain-lain.
Menurut perhitungan mereka,
jika Kai-pang dan Siau-lim-pai saling gempur sehingga kedua pihak sama-sama
celaka, maka keluarga Buyung yang akan menarik keuntungannya, boleh jadi akan
dapat merebut gelar sebagai Bu-lim Beng-cu dan dapat memerintah para ksatria
kangouw, dan ini berarti suatu kesempatan bagus yang tidak boleh disia-siakan
bagi pergerakannya.
Tak tersangka baru saja mereka
sampai di kaki gunung, di situ mereka lantas kepergok Sing-siok lokoai Ting
Jun-jiu. rupanya selama beberapa bulan itu Ting lokoai telah membuka pintu
lebar-lebar untuk menerima murid, tidak peduii dari golongan dan aliran apa
saja asal mau masuk perguruannya dan tunduk pada perintahnya, mereka semuanya
diterima tanpa syarat lain. Sebab itulah dalam waktu singkat saja kawanan sampah
masyarakat persilatan Tionggoan telah banyak menggabungkan diri dengan
Sing-siok-pai.
Buyung Hok sudah pernah
bergebrak beberapa kali melawan Ting Jun-jiu dan belum pernah ketahuan siapa
lebih unggul dan asor. Sekarang kepergok lagi. ia lihat pihak Lokoai berjumlah
sangat besar diam-diam Buyung Hok merasa kuatir. Sebaliknya Hong Po-ok yang
tidak pernah kenal apa artinya takut dengan tangkas segera menerjang
ditengah-tengah musuh dan bertempur melawan para pengikut Sing-siok-pai itu.
Karena tidak mahir ilmu silat
maka Toan Ki hendak mengajak Giok-yan menyingkir saja. Tapi nona itu justru
sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan sang Piauko, maka ia tidak lalu
menyingkir.
Jumlah pengikut Sing-siok-pai
yang amat bányak itu dalam waktu singkat saja sudah melanda rombongan Buyung
Hok. Tapi dengan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh" dapatlah Toan Ki lari
keluar dari kepungan musuh sehingga bertemu dengan ayahnya. Sekarang ia dengar
Yap ji-nio mengatakan Buyung Hok dihajar habishabisan oleh Ting Jun-Jiu dan
barulah Toan Ki ingat kembali kepada keselamatan Giok-yan, ia pikir nona itu
harus lekas digendong keluar dari kepungan musuh. Begitulah maka secepat
terbang ia lari mendahului keluar dari Siàu-lim-si.
Ting Jun-jiu adalah pembunuh
Hian-thong dan Hian-lan, dengan sendirinya dia dipandang sebagai musuh besar
Siau-lim-pai. Maka saat mendengar iblis tua itu sudah sampai di situ, seketika
gegerlah para padri Siau-lim-si.
Segera Hian-teng mendahului
berteriak, "Hari ini kita harus tangkap hidup-hidup Ting-lokoai untuk
membalas dendam Hian-thong dan Hian lan Suheng!"
"Mereka adalah tamu, kita
harus berbuat halus dahulu dan kemudian baru memakai kekerasan," kata
Hian-cu.
Para padri serentak menyatakan
baik. dan Hian-cu berkata pula kepada para tamu, "Para hadirin, apakah
suka ikut pergi menyaksilan pertempuran hebat antara Ting-lokoai melawán orang
she Buyung itu?"
Memang para ksatria sudah
getol sekali ingin menyaksikan pertarungan itu, demi mendengarkan itu, sebagian
kaum muda yang sudah tak sabar lagi segara mendahului berlari ke luar, Menyusul
Su-ok, Sin-kong dan lainla¡n serta rombongan Toan Cing-sun juga beramai-ramai
ikut dari belakang. Dalam pada itu para padri Siaulim-si juga sudah siapkan
senjata dan berbaris keluar.
Sampai di luar biara, padri
pengintai yang bertugas disamping gunung tampak berlari kembali untuk memberi
lapor, "Ribuan orang Sing-siok-pai telah mengepung rombongan Buyung-kongcu
dekat gardu tunggu di tengah gunung dan bertempur dengan sengit."
Han cu mengangguk tanda tahu.
Lalu ia medekat jalan-batu dan memandang ke bawah, terlihat di bawah sana
manusia berkerumun dengan rapat, tampaknya jumlahnya tidak kurang dari ribuan
orang. Sayup-sayup terdengar pula sorak-sorai anggota Sing-siok-paí yang
menyanjung puji kepada Ting-lokoai. Sedangkan Tin jun jiu sendiri tampak
memimpin di samping sambil mengelus-elus jenggot.
"Para padri Siau-lim-si,
pasang Lo-han-tai-tin (Barisan Lo-han)!" demikian terdengar Hian-seng
berseru.
Serentak kawanan padri
siau-lim-si hyang berjumlah 500 orang lebih itu membentuk barisan
Lo-han-tai-tin.
Menyusul tersebarlah
padri-padri lain mengelilingi pegunungan Siau-lim-san sana.
Sudah lama para ksatria sangat
ingin melihat "Lo-han-tai tin" yang hebat, tapi selama ini belum
pernah ada orang menyaksikan barisan 'tersohor' itu. Sekarang mereka lihat para
padri Siau-lim-Si itu tersebar dalam kelompok dan rombongan dengan warnajubah
yang berbeda-beda, bahkan senjata yang dipakai suatu regu lain pun tidak sama,
secepat terbang para padri berlarian di lereng gunung sehingga dalam sekejap
saja orang-orang Sing siok-pai sudah terkurung di tengah.
Jumlah orang Sing-siok-pai
mestinya jauh lebih banyak daripada pihak Sían-lim-pai, tapi kebanyakan di
antara mereka adalah anggota biar belum terlatih. Kalau bertempur perseorangan
boleh, tapi sekarang harus berperang secara tak karuan mereka menjadi gugup,
seketika puji-puji kepada Sing-slok Losian menjadi hilang.
"Ting-siangsing dari
Sing-siok-pai telah berani datang ke Siau-lim-si sini tanpa Siau-lim-pai
mengundangnya, maka para ksatria semuanya harap waspada, di samping itu mungkin
mereka melihat apa daerahTionggoan terdapat wilayah yang lebih baik dari
wilayah barat?" demikian Hian-Cu berseru.
Tapi para ksatria dari
Ho-siok, Kanglam dan lain-lain lantas berteriak-teriak mencaci-maki Ting
jin-jiu yang dikatakan sebagai hantu, pengganas harus dibasmi oleh setiap orang
persilatan. Lantas mereka pun melolos senjata dan hendak bertempur bahu membahu
dengan Siau-lim-pai.
Takkala itu Buyung Hok dan
kawan-kawan sudah berhasil merobohkan 20-30 orang Sing-siok-pai. Sekarang
mereka kedatangan bala bantuan maka lantas berhenti bertempur. Sedangkan
orang-orang Sing-siok-pai juga tidak berani menerjang maju lagi.
Kesempatan itu dlgunakan oleh
Toan Ki untuk menyelinap ke tengah orang banyak sana dan dapat mendekati
Ong-Giok-yan, katanya, "Nona Ong, sebentar biia keadaan genting, biarlah
aku menggendongmu lagi untuk lari keluar!"
Muka Giok-yan menjadi merah,
sahutnya, "Aku toh tidak terluka, juga tidak ditutuk orang aku ... aku
sendiri masih dapat berjalan ... "
Ia melirik sekejap ke arah
Buyung Hok, lalu lanjutnya, "Kepandaian Piauko juga jauh lebih dari cukup
untuk melindungi aku, maka sebaiknya engkau sendiri lekas lari saja,
Toan-kongcu!"
Sudah tentu kecut rasa hati
Toan Ki atas jawaban ítu. Pikirnya, "Ya, memangnya kepandaianku mana bisa
dibandingkan dengan piaukomu?"
Namun derníkian ia masih
merasa berat untuk tinggal pergi begitu saja. Ia mengada-ada untuk mengajak
bicara, "No ... nona Ong, apakah kau tahu ayahku juga sudah datang? Beliau
berada... berada di sanal"
Sebenarnya sudah cukup lama
Giok-yan berkenalan dengan Toan Ki, tapi selama ini pemuda itu tidak pernah
menceritakan asal-úsulnya. Giok-yan dipandangnya sebagai dewi kayangan yang
suci dan agung sebaliknya ia anggap diri sendiri seorang yang biasa saja, dalam
pandangannya dewi kayangan tentu tiada memperdulikan pangeran orang biasa. Jika
dia mengatakan asal-usulnyamungkin akan disangka sengaja mengugulkan
kebangsawannya.
Sudah tentu Toan Ki juga tahu
cinta si nona dewi hanya dicurahkzan kepada Buyung Hok seorang, Tapi asal sì
nona sudi tertawa atau sedikit memberi angin padanya, maka senanglah Toan Ki
melebihi orang putus lotre 120 juta. Namun demikian bicara tentang pikiran
ingin mempersunting si jelita, untuk ini Toan Ki juga cukup tahu diri terpikir
pun tidak berani. Ya, tentu juga pernah sekilas keinginan seperti itu, yakni
terkadang terurai di dalam mimpi.
Sebaliknyo Giok-yan juga agak
terharu dan merasa terima kaalh kepada Toan Ki yang telah beberapa kali
menyelamatkan dia tanpa menghiraukan jiwanya sendiri. Namun begitu pada
hakekatnya ia pun tidak pernah memperhatikan pemuda itu.
Terkadang kalau mereka bicara
tentang ilmu sikat dan ternyata Toan Ki sama sekali tidak becus, maka Giokyan
hanya tahu Toan Ki adalah seorang pelajar tolol yang hanya mahir suatu jurus
langkah ajaib saja. Sekarang demi mendengar bahwa ayah pemuda itu pun datang,
ia menjadi agak heran dan bertanya, "'O, apakah ayahmu datang dari Tayli?
Kalian ayah dan anak tentu sudah lama berpisah bukan?”
"Ya," sahut Toan Ki
dengan senang. "Nona ong, maukah kuperkenalkan dirimu kepada ayahku? tentu
ayah akan sangat suka padamu."
Muka Giok-yan menjadi merah
pula, sahutnya sambil geleng kepala, "Tidak, aku tidak mau
menemuinya?"
"Mengapa?” tanya Toan Ki
agak kecewa. Dan ketika melihat nona itu tidak rnenjawab. Kembali Toan Ki
mengada-ada pula, "Eh, nona Ong, aku punya seorang saudara angkat Hi-tiok
namanya dia telah menjadi hwesio pula. Dan .... dan ada juga seorang muridku
dia juga sudah datang. Woh. sungguh ramai sekali."
Giok-yan tampak terbelalak
heran, pikirnya, ia sendiri tidak becus ilmu silat, masákáh punya murid segala?
Apa barangkali mengajar dia membaca dan bersanjak?"
Karena merasa geli, tanpa
terasa ia tersenyum.
Toan Ki menjadi girang melihat
si jelita mau tersenyum, segera ia menambahkan, "Nona Ong, muridku itu
bernama Gok-losam, bergelar Lam-hai-gok-sin dan punya alias 'Hiong-sin-ok-sat'.
Ilmu silatnya juga tidak lemah!"
"Seorang baik-baik kenapa
mesti pakai nama seburuk itu?" ujar Giok-yan dengan tersenyum. Dari
potongan Toan Ki yang lemah-lembut itu. ia menduga muridnya tentu juga seorang
pelajar muda yang sopan-santun.
Tak terduga Toan Ki lantas
menjawab, "Baik apa? Dia justru tidak baik!”
Begitulah, biarpun terkepung
di tengah orang Sing-siok-pai, tapi dapat berbicara dan membuat Giok-yan
tertawa, sekalipun langit akan ambruk juga tak terpikir lagi oleh Toan Ki.
Dalam pada itu dengan barisan
Lo-han-tai-tin para padri Siau-lim-si sudah balas mengepung maju dari segenap
penjuru. Ada sekelompok orang Sing-siok-pai hendak menerjang tapi baru saja
sedikit bertempur mereka sudah kena dilabrak habis-habisan.
Cepat Tìng-lokoai berseru,
"jangan bergerak dulu, tetap pada tempat masing-masing!"
Lalu ia berteriak keras-keras,
"Hian-cu Hongtiang, Siau-lim-si kalian suka mengaku sebagai pemimpin
persilatan Tionggoan, tapi menurut pandanganku sebenarnya kalian tidak cukup
dengan sekali gempur saja!"
Serentak para anggota
Sing-siok-pai bersorakan memuji, "Ya, sekali Sing-siok Losian sudah maju
para hwesio Siau-lim-si pasti akan mampus semua!"
"Kalian mengaku sebagai
pemimpin persilatan, tapi sebentar tentu kalian akan rasakan batapa hebatnya
Singsiok Losiang"
Bahkan ada yang terus
mengeluarkan tambur dan gembreng untuk mengiringi lagu pujian itu sehingga
suasana menjadi ramai.
Sudah tentu sebagian besar
para ksatria tidak pernah menyaksikan kelakuan pihak Sing-siok-pai itu, keruan
mereka terheran-heran geli.
Di tengah suasana riuh ramai
itu, tiba-tiba dari bawah gunung terdengar suara derapan kuda yang nyaring dan
makin lama makin mendekat, tidak lama kemudian dari balik lereng sana
tertampaklah empat helai bendera kuning yang besar, pembawa bendera adalah adalah
empat penunggang kuda, bendera itu berkibar-kibar tertiup angin.
Kedua bendera sebelah kanan
jelas kelihatan tertulis "Ong. Cengpangcu Kai-pang", dan kedua
bendera sisi kiri tertulis "Ong, Ciangbun Kek-lok-pai".
Sesudah agak dekat, keempat
penunggang kuda itu melompat turun dari kuda mereka, lalu keempat helai bendera
kuning ditancapkan di suatu tanjakan yang paling tinggi. Dari dandanan keempat
orang itu dapat dikenal mereka adalah anggota Kai-pang.
"Ini dia, Pangcu Kai-pang
Ong Sing-thian sudah tiba?" demikian para ksatria saling memberi tahu.
Seperti diketahui Ong Sing
thian itu adalah nama samaran Yu Goan-ci. Selain Cumoti, Cilo Singh, Ting
Junjiu, Buyung Hok dan kawan-kawannya tiada lagi orang lain yang kenal dia.
Tentang sejak kapan dia diangkat menjadi Pangcu Kai-pang dan dari mana
asal-usul Kekiok-pai itu lebih-lebih tiada seorang pun yang tahu.
Dan baru saja keempat helai
bendera kuning itu dipancangkan di tempat yang tinggi, menyusul babarisan
penunggang kuda lantas muncul dengan cepat. Yang di muka adalah ratusan anggota
Kai-páng berkentung enam, di belakangnya ada anggota berkantung tujuh dan
belasan anggota berkantung delapan.
Selang sejenak muncul pula
empat Tianglo yang menggendong sembilan buah kantung. Semuanya tidak bersuara
mereka melompat turun dari kuda terus berbaris di kedua sisi jalan.
Sementara itu terdengar pula
suara derapan kuda yang berdetak-detak, dua ekor kuda berwarna kelabu mendatang
dengan berjajar. Penunggang sebelah kiri adalah seorang anak dara cilik berbaju
warna ungu, cantik molek tapi biji matanya tampak guram.
Melihat anak dara itu,
seketika Wi-Sing-tiok berseru, "A Ci!"
Rupanya ia menjadi lupa
dirinya di dalam penyamaran sebagai lelaki sehingga suara seruan itu diucapkan
menurut suara aslinya. Sedangkan, penunggang kuda yang sebelah kanan berbaju
compang-camping penuh tambalan yang luar biasa adalah air mukanya kaku dingin
bagai mayat.
Tapi bagi yang berpengalaman
segera mengetahui orang itu memakai kedok, agaknya muka aslinya tidak ingin
diperlihatkan kepada orang lain. Hal ini menimbulkan rasa curiga para ksatria.
Apa barangkali orang ini adalah tokoh ternama dalam dunia persilatan dan
sengaja menyamar sebagai Ong Sing-thian, maka muka aslinya tidak mau
diperlihatkan kepada orang lain. Dan kalau dia mampu menjadi Pangcu Kai-pang
terang dia bukanlah tokoh sembarangan. Wah, jangan-jangan dia adalah Kiau Hong,
itu pangcu Kai-pang yang dahulu sekarang memegang pimpinan kembali dan lenjuja
dJiang memusuhi Siau-lim-pai. Demikian pikir mereka.
Cumoti dan beberapa orang
lainnya pernah kenal muka asli Goan-ci. tapi sekarang melihat dia berada di
atas
kudanya, dengan sikap yang
kereng dan gagah, sorot matanya tajam mengerling kian kemari, sama sekail
berbeda dengan Goan-ci yang lucu dan takut-takut dahulu itu tentu saja mereka
terheran-heran. Terutama Ting Jun jiu yang pernah keok di tangan Goan-ci itu
menjadi lebih-lebih waspada.
Kedatangan Ting-lokoai ini
mestinya hendak mengeduk keuntungan tatkala Siau-lim-pai bertempur dengan
Kai-pang, maka secara licik dia hendak membokong Ong Sing-thian untuk
melenyapkan musuh besar itu. Tak terduga baru sampai punggung gunung sudah
kepergok dengan rombongan Buyung Hok hingga saling labrak, lalu padri
Siau-lim-si juga membanjir keluar sehingga sebelum pihak Kai-pang tiba pihak
Sing siok-pai sudah bertempur lebih dulu dengan Siau-Lim-pai.
Tadi A Ci juga mendengar
seruan ibunya, tapi sekarang dia ada urusan penting dan tidak ingin bertemu
dulu dengan sang ibu, maka ia pura-pura tidak mendengar, ia berkata kepada
Goan-ci alias Ong Sing-Thian, "Engkoh Sing agaknya banyak sekali orang
yang berada di sekitar, aku seperti mendengar orang menyanyi mangatakan
Sing-siok Losian maha sakti segala, Apakah bedebah Ting Jun-jiu dan begundalnya
itu juga berada di sini?"
"Ya, benar jumlah mereka
ternyata tidak sedikit," sahut Goan-ci.
"Wah. itulah sangat
kebetulan!" seru A Ci dengan tertawa. "Dengan demikian aku menjadi
tidak perlu mencarinya ke Sing-siok-pai yang jauh itu.”
Sementara itu anggota Kai-pang
yang berjalan kaki berbondong-bondong juga sudah sampai di atas gunung dan
telah berbaris di belakang barisan Goan-ci.
Ketika A Ci mengangkat
tanganvya memberi aba-aba segera, dua orang anggota Kai-pang masing-masing
mengeluarkan segulung kain warna ungu. Waktu dibeberkan, kiranya adalah dua
helai bendera besar dari sutra ungu. Tatkala itu angina meniup keras, tapi
kedua orang Kai-pang itu cukup tangkas, mereka seperti tiang bendera saja
sehingga kedua bendera itu dapat dibentang dan berkibar.
Maka tertampaklah setiap
bendera itu berisi enam huruf merah yang berbunyi, "Toan, ciangbun
Sing-siok-pai."
Dan begitu kedua bendera itu
berkibar, seketika anggota Sing-siok-pai menjadi kacau, segera orang-orang
berteriak, "Ciangbunjin Sing-siok-pai adalah Ting-losian yang terkenal di
seluruh jagat ini, masakah ada Ciangbunjin she Toan apa segala?"
Menyusul seruan lain,
"Huh, mengaku-ngaku dan memalsu, tidak kenal malu! Apakah jabatan
Ciangbujin boleh diangkat sendiri? Huh, lekas masuk kemari siluman cilik itu,
kalau kamu minta digilas hancur!"
Semua padri Siau-lim-pai dan
para ksatria agak terkejut ketika tiba-tiba mengetahui telah bertambah seorang
Ciangbujin Sing-siok-pai, tapi diam-diam mereka pun senang dan bersyukur, kalau
di antara golongan setan iblis itu saling gontok-gontokan sendiri.
Kemudian A Ci menepuk tangan
tiga kali dan berseru, "Wahai dengarkan para anggota Sing-siok-pai!
Menurut peraturan kita selama ini, jabatan Ciangbunjin harus direbut dengan
kekuatan.
Siapa paling tinggi ilmu
silatnya, dia yang menjadi ketua menjadi Ciangbunjin. Setengah tahun yang lalu
Ting Jun-jiu telah kuhajar habis-habisan, ia telah berlutut dan menyembah
padaku untuk minta ampun serta mengangkat aku sebagai gurunya. Kedudukan
Ciangbunjin juga dia serahkan padaku sekalian? Hai, Ting Junjiu. kuraagajar
benar kamu ini! Kamu sekarang adalah Toatecu (murid pertama) dan harus memberi
teladan yang baik, mengapa kauberani membohongi guru dan mengapusi para
Sutemu?”
Karena suara A Ci memang
nyaring, maka ucapannya itu dengan jelas sekali dapat didengar oleh semua
orang.
Keruan semua orang
terheran-heran, Tampaknya A Ci cukup anak dara berumur 16-17 tahun kedua
matanya buta pula, mengapa dapat mengalahkan Toan lokoai dan menjadi Ciangbun
Sing-siok-Pai?
Toan Cing-sun dan Wi Sing-tiok
juga saling pandang dengan ternganga. Mereka tahu anak dara itu memang betul
murid Ting Jun-Jiu, nakal dan licin ilmu silatnya biasa saja kalau tidak mau
dikatakan rendah, tapi sekarang di depan umum dia berani mengolok-olok Ting
lokoai urusan ini tentu bisa runyum, dengan kekuatannya yang Cuma terdiri dari
beberapa orang ini betapapun susah melawan Sing-siok-pai untuk menyelamatkan A
Ci.
Sebaliknya walaupun
diolok-olok, Ting Jun-jiu tetap tertawa-tawa saja. Dasar wataknya memang culas
dan kejam sedangkan guru dan suhengnya juga dibunuh olehnya namun tempo hari ia
telah mengalami kekalahan dari Goan-ci.
Waktu itu Goan-ci baru saja
mengelotok topeng besi yang mengerudungi kepalanya itu sehingga mukanya
dedel-dowel tak keruan dan mengerikan, ia mengaku sebagai ketua Kek-lok-pai dan
bernama Ong Sing-Thian, maka Ting Jun-jiu, menyangka dia adalah gurunya
Thi-thau-jin, si kepala besi yang sebenarnya adalah Goan-ci sendiri.
Sekarang di depan orang banyak
A Ci mengibarkan panji dan mengaku sebagai ketua Sing-lok-pai, keruan dada Ting
Jun jiu- serasa akan meledak, biar bagaimana pun ia bertekad akan menempur Ong
Sing thian dengan mati-matian jika tidak mau kehilangan pamor.
Maka tetap dengan tersenyum ia
lantas menjawab, "A Ci cilik, ucapanmu memang tidak salah siapa yang kuat,
dia yang menjadi Ciangbunjin golongankita. Sekarang kaupun mengincar keduukan
Ciangbunjin tentu kamu memiliki kepandaian. Sungguh-sungguh, maka bolehlah maju
untuk coba-coba beberapa Jurus denganku?"
Baru selesai ucapannya,
sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapannya sudah
berdiri seorang. itulah dia Yu Goan-ci.
Sungguh kejut Ting Jun-jiu tak
terkatakan oleh kegesitan Goan-ci itu. Tanpa terasa ia mundur selangkah. Tapi
meski dia sudah melangkah mundur toh tetap Goan-ci masih berada di depannya
dalam jarak seperti tadi, maka dapat diduga tatkala dia melangkah mundur itu di
luar tahunya Goan-ci juga telah meleset maju. Keruan Tinglokoai tambah gentar
oleh kecepatan Goan-ci yang luar biasa itu.
Memangnya Ting-lokoai sudah
nekat hendak menempur Goan-ci, sekarang Goan-ci mendesaknya sedemikian rupa,
karuan ia menjadi murka juga. "Aku kan menantang A Ci, kenapa kamu ikut
campur?" tegur Ting-lokoai berbareng tangannya menarik ke belakang sehingga
seorang anak buahnya kena dicengkeram terus dilemparkan ke arah Goan-ci.
Tapi Goan-ci cukup gesit dan
tangkas, mendadak tangannya juga menyambar ke belakang dan tepat seorang
anggota Kai-pang berkantung lima yang berdiri kira-kita dua meter di belakangnya
tanpa kuasaterus melayang ke depan dan menubruk anggota Sing siok-pai yang
dilemparkan Ting Jun jiu tadi.
Melihat benturan yang keras
itu, semua orang menduga kedua orang itu tentu akan sama-sama tertimbuk hancur
binasa. Tak terduga setelah terbentur, segera terdengar suara mencicit seperti
benda hangus, lalu semua orang mengendus bau sangit dan busuk memualkan. Maka
tahulah mereka bahwa Ting Jun-jiu dan Ong Singthian sama-sama menggunakan
racun, cepat mereka menahan napas dan ada yang pencet hidung sendiri, ada yang
lekas-lekas menyingkir pula.
Kedua orang yang paling tumbuk
itu lantas jatuh terkulai ke tanah tanpa berkutik lagi, rupanya sudah mati
sejak tadi.
Dengan gebrakan ini meski
sama-sama kuatnya, tapi diam-diam mereka pun sama jeri dan berbareng melangkah
mundur. Menyusul kedua orang sama-sama menjambret pula ke belakang dan kembali
seorang anggota golongan masing-masing tanpa kuasa kena ditarik dan terlempar
ke depan. Kedua korban itu saling tumbuk lagi di udara dan mengeluarkan bau sangit,
lalu jatuh dan binasa.
Kiranya kepandaian yang
digunakan Ting Jun-jiu dan Goan-ci adalah semacam ilmu jahat dari Sing-siok-pai
yang bernama
"Hu-si-iok" (racun pembusuk Jenazah). Seorang korban dijambret dari
jauh, lalu dilempar ke arah musuh. Padahal sekali jambret itu sang korban sudah
binasa lebih dulu sehingga sekujur badan mayat itu beracun. Kalau lawan
menangkis dengan tangan pasti akan terkena racun jahat itu. Andaikan pakai
senjata juga racun yang menempel di senjata itu akan menjalar ke telapak
tangan. Bahkan mengegos juga susah terhindar dari kecipratan hawa berbisa mayat
yang ditimpukkan itu.
Seperti diketahui, sejak
Goan-ci mempelajari kungfu Sing-siok-pai berdasarkan uraian A Ci, maka ia telah
melatihnya dengan giat sehingga mendapat kemajuan pesat. Ia pikir agar rahasia
kepalsuannya tidak terbongkar, maka ia harus meyakinkan ilmu silat
setinggi-tingginya. Dari situlah ia berhasil meyakinkan ilmu Hu-si-tok dari
Sing-siok-pai yang lihat itu melalui penuturan A Ci.
Biarpun A Ci tergolong seorang
nona yang pintar dan cerdik, tapi karena matanya sudah buta mala ia dengar
sendiri pemuda pujaannya yang mengaku bernama Ong Sing-thian, ketua Kek-lok-pai
itu, dengan sekali hantam telah mengalahkan Tin Jun-jiu, maka sama sekali ia
tidak menduga bahwa Ong-kongcu yang maha sakti itu sebenarnya justru memperoleh
ilmu silat dari uraiannya. Setiap jurus yang diuraikan A Ci tentu dipraktekan
oleh Goan-ci dengan baik.
Karena dalam badan Goan-ci
sudah penuh racun dingin ulat sutra es, pula ditambah iwekang dari Ih-kim-keng,
dengan sendirinya menjadi luar biasa tenaga dalamnya. Satu jurus biasa yang
tiada artinya bagi A Ci di tangan Goan-ci akan berubah menjadi maha sakti,
Keruan A Ci merasa kagum tak terhingga.
Sebaliknya Goan-ci juga
mengajarkan sedikit cara berlatih Iwekang menurut Ih-kin-keng. Ia mengatakan
ilmu itu adalah ilmu dasar Kek-lok-pai. Maka A Ci juga lantas melatihnya,
walaupun tidak banyak kemajuannya, tapi badannya tambah sehat dan segar.
Namun sifat A Ci suka bergerak,
disuruh tinggal di tempat yang sunyi untuk melatih ilmu silat, dengan
sendirinya ia jadi bosan. Maka hanya beberapa bulan saja ia sudah tidak kerasan
dan mendesak Goan-ci membawanya jalan-jalan ke kota.
Sementara itu kepandaian yang
dimiliki A Ci, hampir seluruhnya sudah dipàhami Goan-ci, terpaksa ia menurut
permintaan dara itu dan berangkat.
Kebetulan ketika bertemu
kelenteng kuno waktu mereka hendak berteduh, diluar dugaan mereka mendengar
percakapan orang-orang anggota Kai-pang tentang pemilihan Pangcu yang akan
diadakan pada hari tertentu di kaki gunung Hok-gu-san.
Karuan A Ci sangat girang,
segera ia suruh Goan-ci menawan kedua anggota Kai-pang itu setelah ditanya,
akhirnya diketahui bahwa sesudah Siau Hong dipecat, Thong-kong dan Cit-hoat
tianglo berturut-turut juga
meninggal dunia, dalam keadaan
tiada pimpinan maka kekuatan Kai-pang mundur banyak. Sebab itulah para Tianglo
Kai-pang menetapkan hari tertentu untuk mengadakan pemilihan ketua baru.
Karena pernah tinggal cukup
lama bersama Siau Hong, A Ci banyak dengar cerita tentang kejadian dan
peraturan Kai-pang, maka diketahuinnya anggota Kai-pang sendiri yang dapat
dipilih sebagai Pangcu, Segera ia memaksa kedua anggota Kai-pang itu mau
menerima mereka sebagai anggota. Karena disiksa dengan caracara keji, saking
tidak tahan akhirnya kedua anggota Kai-pang itu menerima denganbaik keinginan A
Ci itu, dan dalam waktu yang tepat dapatlah mereka ikut hadir di lereng
Huk-gu-san.
Tatkala itu kepandaian Goan-ci
sudah tentu tak dapat ditandingi oleh Song-tianglo, Go-tianglo, Tan-tianglo dan
lain-lain. Maka dalam beberapa kali gebrak, dengan mudah sekali Goan-ci dapat
merebut kedudukan Pangcu. Karena melihat kepandaian Goan-ci memang sangat
tinggi dan sukar dijajaki, maka semua anggota Kai-pang sangat kagum dan takluk
padanya, semuanya merasa beruntung dan bahagia, memperoleh seorang pemimpin
maha sakti.
Seperti diketahui di dalam
Kai-pang ada seorang tokoh yang cerdik pandai bernama Coan Koan-jing, pernah
menjabat Tho-cu (pemimpin) "Tai-si-han-tho" suatu pasukan yang
merupakan tulang punggung Kai-pang. Dengan licin dia mengadakan fitnah dan
hasutan agar anggota Kai-pang membangkang kepada pimpinan Siau Hong. Kebetulan
kedudukan Siau Hong diketahui memang betul adalah keturunan bangsa Cidan
sehingga akhirnya Siau Hong benar-benar dipecat dari Kai-pang.
Waktu Coan Koan-jing
mengadakan "kudeta" kebetulan Thong-kong Tianglo dan Cit-hoat Tianglo
juga ikut tersangkut dan ditawan, apalagi sebagian besar anggota Kai-pang
sebenarnya masih sangat sayang kepada Siau Hong yang gagah perwira itu. Muka
tidak lama kemudian Song-tianglo dan lain-lain lantas mencari sesuatu alasan
dan memecat kedudukan Coan Koan-jing sebagai Tho-cu serta menurunkan pangkatnya
menjadi anggota berkantung lima, padahal sebelumnya ia berkantung delapan.
Sesudah Goan-ci menjabat
Pangcu, Coan Koan-jing lantas mencari kesempatan baik dan berhasil mendekati A
Ci. Dasar licin, ia pandai menjilat dan mengumpak, ia pintar mencari
macam-macam permainan untuk menyenangkan A Ci yang buta itu. Bahkan akhirnya ia
mengusulkan agar Kai-pang berebut Bu-lim Beng-cu dengan Siau-lim-pai, supaya
"Ong Sing-thian" dapat menjadi tokoh nomor satu di dunia persilatan.
Dasar sifat A Ci juga suka
menang dan suka mencari perkara, biarpun buta wataknya itu tetap tidak pernah
berubah, Tentu saja usul Coan Koan-jing itu sangat mencocoki kesukaannya.
Sebenarnya Goan-ci tidak
pernah ingin menjadi Bu-lim Beng-cu apa segala, tapi ia sudah biasa tunduk
kepada segala apa yang dikatakan A Ci, maka ia pun tidak membantah usul Coan
Koan-Jing itu. Segera segala rencana dan pelaksanaannya diserahkan pada Coan Koan-jing
untuk mengaturnya. Dan berkumpulnya para ksatria dari segenap penjuru di
Siau-lim-si pada tanggal 15 bulan enam itu bukan lain adalah hasil karya Coan
Koan-jing.
Sebelum Kai-pang berangkat ke
Siau-sit-san, sementara itu pangkat Coan Koan-jing sudah naik empat tingkat,
sekarang dia sudah Tianglo sembilan kantung untuk menggantikan kedudukan
Go-tianglo yang dipukul mati oleh Siau Hong dahulu, dia dan Song, Go dan Tan
Tianglo disebut Su-tai-tianglo (empat tertua).
Bahwasanya di Siau-sit-san
akan bertemu dengan Ting Jun-jiu, hal ini sama sekali di luar perhitungan Coan
Koan-jing. Tapi ia pun tahu Ting jun-jiu pasti akan menantang A Ci, maka
sebelumnya ìa telah membisiki Goan-ci, asal Ting-lokoai membuka suara pemuda
itu disuruh, segera maju untuk mewakilkan A Ci.
Sekarang kedua orang sudah
bergebrak dan sama-sama mengetahui kelihaian masing-masing. Mereka masih terus
saling timpuk dengan menggunakan anak buahnya sendiri sebagai senjata, dan
tìap-tiap kali menimpukan orang lantas sama-sama mundur selangkah. Maka
terdengarlah suara "blak-bluk” berulang-ulang, dalam sekejap saja
masing-masing pihak sudahmengorbankan sembilan anak buahnya sendiri sehingga di
tanah sudah menggeletak 18 sosok mayat yang menyeramkan.
Dengan ketakutan anak buah
Sing-siok-pai lantas main mundur ke belakang untuk mencari selamat agar tidak
dijadikan korban oleh sang guru. Namun begitu suara puja-puji mereka kepada
Ting-lokoai masih tidak berhenti, cuma suaranya agak gemetar.
Sebaliknya anggota Kai-pang
juga terperanjat ketika mendadak nampak Pangcu mereka mengeluarkan ilmu berbisa
itu. Ada yang berpikir, "Tindak-tanduk Kai-pang kita selamanya terkenal
mengutamakan keluhuran budi, mana boleh Pangcu menggunakan ilmu jahat yang
tidak cocok dimiliki oleh seorang ksatria sejati?"
Dan ada pula yang berpendapat,
"Andaikan Siau Hong masih menjadi Pangcu kita tentu beliau akan
menggunakan ilmu sejati dari Kai-pang sendiri untuk menghajar Iblis tua
itu."
Begitulah, sesudah kedua orang
sama-sama melemparkan sembilan anak buahnya, maka masing-masing juga sudah
mundur hamper 9 meter jauhnya, jadi jarak mereka sekarang sudah belasan meter.
Ketika Ting Jun-jiu menggunakan tangannya hendak mencengkeram pula, tahu-tahu
ia menangkap tempat kosong, waktu menoleh, sekilas ia lihat anak buahnya semua
menyingkir agak jauh dengan ketakutan.
Dalam pada itu orang kesepuluh
yang dilemparkan Goan-ci itu sudah menyambar tiba. Keruan Ting Jun-jiu terkejut
dan gusar pula kepada anak buahnya. Dalam keadaan berbahaya, tanpa pikir lagi
ia terus melompat mundur kalangan tengah anak buahnya.
Sementara itu anggota Kai-pang
yang dilemparkan Goan-ci itu sudah meluncur tiba dengan cepat. Ketika anggota
Sing-siok-pai hendak lari sudah tidak keburu lagi, maka terdengarlah jeritan
takut tujuh atau delapan orang, sekaligus mereka kena di timpuk oleh mayat itu.
Karena mayat itu benar-benar maha jahat, dalam sekejap saja kedelapan korban
itu bergelimpangan di tanah dengan muka hitam hangus, sesudah berkelejetan
beberapa kali, lalu binasa.
A Ci terlihat senang, ia
tertawa mengejek, katanya, "Hei, Ting-jun-jiu, Ong pangcu adalah pembela
aku, ketua Sing-siok-pai, jika kauingin bertanding dengan aku, kamu harus mampu
menangkan pertandingan dulu, Nah, bagaimana sekarang yang kalah kamu atau
dia?"
Ting Jun-jiu sangat
mendongkol, Bicara tentang kepandaian sejati sekali kali ia tidak kalah.
Walaupun tenaga dalam Goan-ci memang hebat tapi dari caranya melempar korban
tadi terang dia cuma mendapat sedikit kepandaian kasaran dari A Ci saja, di
mana letak perubahan-perubahan kelihaian ilmu "Hu-si-tok” itu sama sekali
tak diketahui. Jadi kalahnya terletak pada anggota Sing-siok-pai lebih pengecut
dan takut mati sehingga dia kehilangan senjata dan akhirnya dapat di dahului
oleh serangan Goan-ci.
Namun Ting-lokoai lantas
mendapat akal tiba-tiba ia mendongak dan terbahak-bahak.
"Eh, tertawa? Masih
tertawa? Apa yang kau tertawakan?" tanya A Ci.
Tapi Ting Jun-jiu masih terus
bergelak tertawa, sekonyong-konyong kedua tangannya bekerja sekaligus 8 sampai
9 anak buah Sing siuk-pai disambarnya terus ditimpukkan susul menyusul ke arah
Goan-ci dengan cepat luar biasa.
Goan-ci sendiri, tidak mahir
"Hu-si-tok" secara berantai itu, ia hanya sempat menimpukkan tiga
anggota Kaipang dan untuk selanjutnya ia jadi kelabakan. Dalam keadaan
berbahaya, terpaksa ia meloncat setinggitingginya ke atas sehingga mayat-mayat
berbisa itu menyambar lewat di bawahnya.
Tujuau Ting lokoai justru
ingin memaksa Goan-ci menghindar, tiba-tiba sabelah tangannya mengayun ke depan
terus ditarik lagi. Maka terdengarlah A Ci menjerit kaget dan tanpa kuasa
tubuhnya terseret dan melayang ke arah Ting Jun-Jiu.
Keruan semua penonton terparanjat.
Mereka tahu ada ilmu sebangsa "Kim-liong-kang" (Ilmu menangkap naga),
"Na-hou-kang" (ilmu menangkap harimau) dan sebagainya yang dapat
mencengkeram musuh dari jarak beberapa meter jauhnya tapi tidaklah mungkin
mencapai sejauh belasan metar seperti Ting-lokoai sekarang ini. Tentu saja
banyak di antara penonton itu merasa sangat jeri dan kagum pula kepada ilmu
sakti Lokoai.
Mereka tidak tahu bahwa cara
Ting-lokoai menangkap A Ci itu bukan dengan kepandaian yang sejati, tapi ia
menggunakan semacam alat yang merupakan satu di antara ketiga jimat
Sing-siok-pai mereka yaitu alat yang disebut "Ju-ni-soh" (tali benang
sutra halus).
Benang sutra yang sangat halus
dan bening tembus itu diperoleh dari ulat sutra salju yang badannya lebih kecil
dari ulat es dan tak berbisa. Tapi sutra yang dihasilkan ulat salju itu sangat
ulet dan kuat. Ulat salju itu tidak dapat membuat kepompong sehingga sutranya
juga sangat terbatas dan susah dicari. Dahulu sebabnya Leng Jian-li membunuh
diri adalah karena digoda oleh A Ci dengan jaring yang terbuat dari sutra halus
yang tak kelihatan ini.
Sekarang tali sutra yang
digunakan Ting Jin-jiu ini jauh lebih ulet daripada kepunyaan A Ci itu. Ketika
sekaligus ia melemparkan sembilan anak buahnya, berbareng ia pun mengayunkan
tali sutranya. Jadi mayatmayat berbisa yang dia lemparkan itu hanya untuk
memaksa Goan-ci menyingkir dan untuk mengetahui pandangan para penonton saja
dengan demikian orang menjadi tidak menduga sama sekali akan tali sutra yang
dia ayunkan itu.
Ketika A Ci terkejut atas
serangan itu, namun sudah kasip, ia kena diseret ke arah Ting lokoai. Menyusul
punggung A Ci lantas dijambret oleh iblis tua itu, bahkan sekalian ditutuk
hiat-to nya supaya tidak dapat berkutik, lalu tali sutra itu digulung dan
dimasukkan ke dalam baju. Jadi melemparkan sembilan korban, mengayunkan tali
sutra, menarik dan menangkap A Ci, semuanya dilakukan Ting Jun-jiu dengan
sekaligus di tengah gelak tertawanya yang tak putus-putus sampai A Ci tertawa
olehnya.
Saat itu tubuh Goan-ci masih
terapung di udara, keruan ia terkejut dan kuatir ketika melihat A Ci tertangkap
musuh. Dalam pada itu sembilan mayat berbisa sudah melayang lewat di bawah
kakinya, maka waktu turun ia terus menubruk maju dan sebelah telapak tangan
menghantam sekuatnya ke arah Ting-lokoai.
Cepat Ting Jun-jiu angkat A Ci
dan disodorkan ke depan untuk menerima pukulan Goan-ci yang maha dahsyat itu.
Keruan Goan-ci menjadi bingung. Meski ilmu silatnya sekarang sudah sangat
tinggi, tapi pengalamannya dalam pertempuran boleh dikata masih hijau, maka
waktu pukulan sendiri hendak mencelakai A Ci tanpa pikir lagi ia tarik kembali
tenaga pukulan sendiri itu, padahal asal dia sedikit miringkan pukulannya dan
dengan sendirinya akan luput mengenal A Ci.
Tapi dia terlalu cinta dan
menghormati A Ci, begitu melihat gelagat jelek, tanpa pikir ia tarik kembali
tenaga pukulan sendiri sehingga dadanya mirip dihantam sendiri oleh tenaga
pukulan yang sama dahsyatnya. Kontan ia sempoyongan sendiri dan memuntahkan
darah segar.
Kalau orang lain mungkin jiwanya
sudah melayang, untung Goan-ci sudah berhasil menyakinkan iwekang dari kitab
Ih-kin-keng. namun begitu pukulan sendiri itu pun membuatnya tumpah darah. Dan
baru dia hendak ganti napas untuk menyerang pula, namun Ting-lokoai sudah tidak
memberi kesempatan lagi padanya, beruntunruntun ia memukul empat kali.
Karena belum sempat menghimpun
kembali tenaganya, terpaksa Goan-ci hanya menangkis sebisanya dan setiap kali
ia menangkis, setiap kali muntah darah pula. Bahkan sedikit pun Ting-lokoai
tidak kenal ampun,
menyusul pukulan kelima
dilancarkan lagi untuk membinasakan lawannya.
Melihat itu, para penonton
menjadi gempar beberapa orang berteriak dan membentak akan kekejaman Lokoai
itu. Beberapa ksatria diantaranya juga sudah siap-siap hendak memberi bantuan
kepada "Ong Sing-thian".
Tak terduga baru saja pukulan
kelima Ting-Jui jiu sendiri tergetar mundur selangkah. Bagi para ksatria yang
tajarn pandangannya segara mengetahui bahwa dalam gebrakan itu Ting-lokoai
mengalami kerugian, maka mereka pun urung memberi bantuan.
Kiranya sesudah muntah darah
akhirnya hawa murni Goan-cidapat berjalan lancar lagi, tepat dapat menyambut
serangan kelima Ting-lokoai dangan racun jahat ulat es dan Iwekang yang hebat.
Pada setengah tahun yang lalu
Ting Jun-jiu juga pernah kecundang di bawah pukulan Goan-ci selama setengah
tahun ini melatih tenaga pukulan sudah tentu Ting Jun jiu bukan tandingannya.
Coba kalau Goan-ci tidak terluka lebih dulu, kelima kali gontokan tadi pasti
akan membikin Ting Jun-jiu yang terdesak mundur dan bukan Goan-ci.
Walaupun sudah tergetar dan
dada terasa sesak, namun Ting-lokoai masih belum kapok dan merasa penasaran.
Segera ia kerahkan segenap tenaganya, sambil membentak, dengan kumis dan
jenggot sama menyengkit saking murkanya, terus saja ia lontarkan pukulan yang
maha dasyat.
Namun Goan-ci malah melangkah
maju dan menyambut pukulan itu sambil berseru, "Lekas lepaskan nona
Toan!"
Beruntun-luntun la pun
membarengi hantam empat kali setiap kali menghantam selalu diikuti dengan
melangkah ke depan, Karena majunya itu, sekarang jaraknya dengan Ting Jun-jiu
sudah sangat dekat, asal tangannya meraih tentu A Ci akan dapat dirampas
olehnya.
Melihat muka Goan-c¡ yang kaku
dingin bagai mayat (karena memakai kedok) itu, mau tak mau Ting-lokoai menjadi
jeri. Tapi ia masih coba tersenyum dan berkata, "Awas, segera aku akan
menggunakan Hu-si-tok lagi, boleh coba menyambutnya pula!"
Sembari berkata tubuh A Ci
terus diangkat dan digoyang- goyangkan pelahan beberapa kali.
"He. jangan,
jangan!" seru Goan-ci dengan suara gemetar, terang kuatirnya tak
terhingga.
Mengapa Goan-ci begitu kuatir?
Sebab sekali Ting Jun jiu menggunakan ilmu "Hu-si-tok", itu berarti
seketíka A Ci akan menjadi mayat berbisa.
Ting Jun jiu memang orang
cerdik, demi melihat kelakuan Goan-ci itu, segera ia tahu bahwa pemuda itu
sudah tergila-gila kepada A Ci. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan
dirinya. Tujuannya semula sebenarnya A Ci akan dibinasakan supaya tidak dapat
berebut kedudukan Ciangbujin Sing-siok-pai mereka. Sekarang melihat Goan ci
begitu kuatir atas keselamatan A Ci maka ia menaksir nona cilik itu tentu dapat
diperat untuk menundukkan Ong Sing-thian yang lihai itu.
Maka berkatalah Ting-lokoai,
"Apa kamu tidak ingin dia mati?"
"Ya. le ... lekas
lepaskan dia, lni sang ... sangat berbahaya ...." demikian sahut Goan-ci
dengan terputus-putus.
"Haha, kalau aku mau
membunuh dia boleh dikata terlalu gampang, buat apa melepaskan dia?" sahut
Lokoai dengan tertawa. "Dia adalah muridku yang murtad dan khianat, kalau
orang begini tak dibunuh, siapa yang harus dibunuh?"
"Tapi .... tapi dia
adalah.. . adalah nona A Ci, ba .. . bagaimanapun jangan .. . jangan kaubunuh
dial Engkau telah membutakan matanya, maka .... maka aku mohon padamu,
jang....jangan membunuh dia lagi! Le ... lekas kau lepaskan dia dan aku tentu
akan membalaa kebaikan ... kebaikanmu ini!"
Dalam kuatirnya cara bicara
Goan-ci menjadi tak keruan sehingga sama sekail tidak pantas sebagai seorang
Pungcu atau ketua Kek-lok-pai.
Maka Ting Jin-jiu menjawab,
"Untuk mengampuni dia sih boleh àsal saja kamu menerima beberapa
syaratku."
"Boleh, boleh!” sahut
Goan-ci cepat, "Jangankan beberapa syarat, sekalipun seratus atau serìbu
syarat juga kuterima."
"Bagus," kata
Lokoai. "Nah, pertama, kamu harus segera mengangkat aku sebagai guru,
untuk selanjutnya kamu adalah murid Sing-siok-pai kami."
Tanpa pikir lagi Goan-ci
berlutut dan menyembah, katanya, "Suhu, terimalah hormat muridmu Ong
Singthian!"
Dalam pikiran Goan-ci, toh
dulu dia sudah pernah mengangkat Lokoai sebagai guru, kalau sekarang menyembah,
lagi apalah alangannya?
Ia tidak menduga bahwa dengan
tindakannya itu para ksatria telah dibuatnya menjadi panik. Para Tianglo dan
anggota Kai-pang yang terkemuka juga merasa penasaran sekali. Pikir
mereka"Kai-pang kini adalah suatu organisasi terbesar, selamanya terkenal
sebagai golongan yang luhur budi dan membela keadilan tapi sekarang Pangcu
justru mengangkat guru pada Sing-siok-Lokoai yang terkenal busuk dan jahat itu.
Terang orang demikian tidak dapat dipertahankan jadi pang-cu kita."
Sebaliknya di pihak Sing-siok-pai
serentak berbunyilah tambur gembreng dan seruling, bergemuruh mereka
menyanyikan lagu Sing-siok losian maha saktl dan macam-macam sanjung keji yang
mendirikan bulu roma pandengarnya.
Tadi ketika melihat A Ci
ditawan Ting Jun jiu, Toan Cing-sun dan Wi Sing-tiok juga saling pandang dengan
kuatir. Tapi mareka insaf bukan tandingan Sing-sok Lokoai kalau berani maju
tentu akan mengantarkan nyawa belaka. Kemudian ketika melihat "Ong
Sing-thian" berlutut dan minta ampun demi putri mereka itu, hal ini
benar-benar di luar dugaan mereka,
Diam-diam Wi Sing-tiok sangat
heran dan giráng pula, dengan berbisik-bisik ia berkata kepada Cing-sun,
"Lihatlah itu, betapa mendalam cinta kasih orang, setitik pun engkau tak
dapat memadainya,"
Di sebelah sana Toan Kí juga
lagi melirik ke arah Giok-yan, katanya di dalam hati, "Betapa rindu
dendamnya kepada nona Ong boleh dikata sudah tiada taranya, tapi kalau
dibandingkan Ong-pangcu ini mungkin masih jauh sekali. Coba kalau nona Ong yang
tertawan Sing-siok LoKoai, apakah aku mau berlutut dan menyembah padanya?"
Berpikir sampai di sini.
mendadak semangat Toan Ki bergolak, ia merasa mati pun rela asalkan demi Ong
Giok-yan, apalagi cuma dihina saja di depan umum. Karena pikiran itu, tanpa
terasa ia berkata, "Mau. aku mau. tentu aku mau!"
Giok-yan menjadi heran,
tanyanya, "Kau mau apa?”
"O. ti.... tidak, aku ...
aku ... " Toan Ki menjadi gelagapan dengan muka merah.
Dalam pada itu habis menyembah
Goan-ci sudah berdiri kembali. Ketika melihat A Ci masih dicengkeram Ting
lokoai, segera ia berkata, "Suhu lekas engkau melepaskan dial"
"Budak cilik ini terlalu
kurangajar masakah begini enak lantas mengampuni dia!” sahut Lokoai dengan
mendengus. "Ya, kecuali kalau kaumau menebus dosanya dengan membuat
beberapa pahala bagiku."
"Ya, ya, Tecu harus
membuat pahala apa" tanya Gonn-ci.
"Sekarang Juga boleh
kautantang Hongtiang Siau-lim-si Hian-cu, gempur dan bunuhlah dia," kata
Lokoai.
Goan-ci menjadi ragu,
jawabnya, "Tecu tiada permusuhan apa-apa dengan dia, meski Kai-pang hendak
berabut kedudukan dengan Siau-lim-pai, namun tidak perlu saling membunuh."
Lokoai menjadi gusar,
dampratnya, "Kau berani membangkang pada perintah guru hal ini menandakan
kemunafikanmu, kamu mengangkat guru padaku jadi cuma pura-pura saja?"
Yang diharapkan Goan-ci
asalkan A Ci bias selamat, maka ia tidak pedulikan lagi tata-krama orang
kangouw apa segala. Segera ia menjawab, "Ya, ya! Cuma ... Cuma cuma silat
Siau-lim pai teramat lihai, Tecu akan ... akan berbuat sebisa mungkin. Tapi ...
tapi harap Suhu juga pegang janji jangan ... jangan engkau membikin susah nona
A Ci."
"Membunuh Hian-cu atau
tidak bergantung padamu, membunuh A Ci atau tidak bergantung padaku,” sahut
Lokoai, Rupanya dia sengaja menghasut agar Kai-pang bertempur dengan
Siau-Lim-pai, dengan demikian dia dapat mengail di air keruh.
Terpaksa Goan-cl putar tubuh
ke arah Slau lim-pai, serunya. "Hian-cu Hong-tiang, selamanya Siau-lim-pai
dan Kai-pang sama-sama menjagoi dunia persilatan Tianggoan, masing-masing tiada
di bawah perintah siapa-siapa. Tapi hari ini kita harus menentukan unggul dan
asor, yang menang akan menjadi Bu-lim Beng-cu, yang kalah mesti tunduk pada
perintahnya,"
Sinar matanya mengerling ke
arah para ksatria, lalu melanjutkan, "Nah, para ksatria hari ini sudah
hadir semua di sini, kalau ada di antaranya yang merasa tidak terima boleh
ciaju untuk bartanding dengan Bu-lim Beng-cu,"
Di balik ucapannya ilu
seakan-akan sekarang juga dia sudah menjadi Bu-lim Beng-cu. Sudah tentu semua
oravg sangat gusar. Tadi pambicaraan Ting Jun-jiu dan Goan-ci juga sudah
didengar para padri Siau-lim-pai, mereka menjadi sangat murka karena Lokoai
berani terang-terang menyuruh Ong Sing-thian menantang dan
membunuh Hian-cu Hongtiang,
Tapi kalau melihat pertarungan kedua orang tadi terang kepandaian Ong singthian
itu memang sangat tinggi lagi keji, maka sukar diramalkan apakah Hian cu mampu
melawannya.
Walaupua Hían-cu tidak suka
berkelahi, tapi ia sudah ditantang secara terbuka, untuk menghindar terang tak
bisa lagi. Terpaksa ia rangkap kedua tangannya dan bersabda, "Selama
beratus tahun ini kai-pang terkenal sebagai saka guru dunia parsilatan
Tionggoan, setiap ksatria di dünia tahu siapa yang tidak kagum. Pangcu kalian
yang dahulu juga bersahabat sangat karib dengan kami. Sekarang Ong-Pangcu
menjabat sebagai Pangcu baru, memang kami agak teledor karena terlambat
mengirimkan ucapan selamat. Namun begitu hubungan kita selama ini sangat baik
dan saling menghormati, entah mengapa hari ini Ong pangcu marah-marah kepada
kami, dapatkah kami diberitahu di mana letak kesalahannya dan biarlah
dipertimbangkan secara adil oleh para ksatria yang hadir di sini."
Goan-ci rnasih hijau dan
kepalang tanggung sekolahnya, sudah tentu ia tidak dapat berdebat dengan
Hian-cu. Tapi sebeium datang ke Siau lirn-si ia sudah mendapat "kursus”
dari Coan Koan-jing. tentang apa-apa yang harus dikatakan, maka sekarang ia pun
menjawab, "Di utara kerajaan Song kita ada negeri Tayli, dibarat ada Se He
dan turfan daa diselat ada kerajaan Liau keempat negeri aslng itu selala
mengìncar tanah air kita, maka .. . maka ... "
Ternyata dia telah salah
mengatakan letak negeri-nagerl Tayli dan Liau, mestinya Tayli terletak dì
selatan dan Liau di utara. Karena itu banyak di antara para pendengarnya
tertawa geli mengejek.
Goan-ci tahu ucapannya ada
yang keliru tapi tak mungkin ditarik kembali lagi, karuan ia menjadi malu,
untung la memakai-kedok sehingga orang lain tidak tahu. Dan sesudah
tergegap-gegap sebentar kemudian la berdehem dan melanjutkan "Ehem!
Kerajaan Song kita terlalu miskin dan dan lemah, maka kaum kita harus beramairamai
membela ... membela tanah air dan bersama-sama melawan musuh."
Mendengar ucapannya cukup
beralasan serentak para ksatria memberi aplus tanda setuju.
Keruan Goan-ci menjadi
semangat, segara ia menyambung, "Dan akhir ini, karana gangguan-gangguan
negeri musuh itu, maka ... mka kewajiban kaum kità juga tambah barat kita ...
kita harus bersatu-padu. bergotongroyong untuk menghadapi segala kesukaran itu.
Tapi di antara berbagai golongan dan aliran kita justru masih suka
gontok-gontokan, saling bunuh mambunuh, pendek kata akan merugikan persatuan
kita, seperti tempo hari, hanya seorang Kiau Hong saja sudah membikin
kocar-kacir para ksatria Tionggoan, apalagi paling akhir Ini kabarnya Sing siok
Lo ...siok Lo ... Lo itu juga .... "
Sebenarnya Coan-Koan-jing telah
mengajarkan dia agar menyatakan. "Sing-siok Lokoai telah mernbunuh dua
padri agung Siau-lim-si dan orang orang Slau-lim-pai sama sekali tak
berdaya." Kalimat itu sebenarnya sudah diapalkan Goan-ci di luar kepala,
tapi sekarang dia telah mengakui Lokoai sebagal Suhu, dengan sendirinya ia
tidak dapat menyebutnya sebagai Lokoai maka kata-kata yang hampir diucapkan itu
ditelannya kembali mentah-mentah.
Karena itu para ksatrla
msnjadl geli, segera ada orang menanggapi, "Dia adalah Lokoai (iblis tua),
dan kamu adalah Siau-yau (dewi siluman cilikz) Hahaha!"
Namun orang orang Sing-siok
pai juga tidak mau kalah suara, serentak mereka menggema ke angkasa. Tapi pada
waktu suara mereka sudah mulai pila, sekonyong-konyong di antara orang banyak
ada seorang yang mulai menyanyi lagi dengan suara yang serak tapi bernada
tinggi.
Mula-mula ia menyanyi
menurunkan irama orang-orang Sing-siok-pai tadi, begitu pula syairnya juga
sama, tapi ketika sampai pada bait syair yang terakhir, mendadak ia sengaja
menekuk suaranya sedemikian rupa, dan kata-kata pujian pada Ting Jun-jiu juga
diganti sehingga menjadi "Sing-siok Lokoai, kentut busuk."
Semula orang-orang
Sing-siok-pai mengira di antara kawannya ada yang sengaja menyanyi
"solo" dengan suara tenor. siapa duga kata-kata terakhir itu sama
sekali berbeda daripada syair Lagu yang sebenarnya, katakata itu sengaja
ditarik panjang sehingga kedengarannya menjadi sangat merdu.
Keruan para ksatria tertawa
tarpingkal-pingkal, sebaliknya orang-orang Sing-siok-pai sama mencaci maki.
"Wah. Pau-samko, suaramu
boleh juga, ya!" demikian seru Giok-yan dengan tersenyum.
"Ah, lumayan saja!” sahut
Pau Put-tong.
Kiranya penyanyi solo dengan
suara tenor itu adalah hasil karya Pau put-tong yang jahil. Keruan semua orang
tambah geli.
Dan ditengah gelak-tawa dan
caci-maki itu Goan-ci berbisik-bisik berunding dengan Coan Koan-Jing. Lalu
berseru pula, "Mengingat apa yang kukatakan tadi, demi kepentingan
bersama, kami mengusulkan agar di antara kita dipilih seorang Bu-lim Beng-cu
untuk memberi pimpinan pada kita. Untuk ini entah Hian-cu Hongtiang setuju atau
tidak?"
"Usul Ong-pangcu memang
cukup beralasan," sahut Hian-cu dengan kalem. "Cuma ada sesuatu yang
aku kurang mengerti, maka diharap Ong-pangcu suka memberi penjelasan."
"Tentang apa?" tanya
Goan-ci.
"Sekarang Ong-pangcu
telah mengangkat Sing-siok Losian sebagai guru, dengan demikian. engkau sudah
terhitung orang Sing-siok-pai, benar tidak?"
"ini ... ini adalah
utusan pribadiku dan ... dan tiada sangkut-pautnya denganmu," sahut
Goan-ci dengan tergagap.
"Tapi Sing-siok-pai
terhitung aliran benua barat dan bukan sekaum dengan kita." Sambung
Hian-cu. "Maka soal pemilihan Bu-lim Beng-cu segala sesungguhnya bukanlah
urusan Sing-siok-pai dan juga tidak ada hak buat ikut campur."
"Ya, benar!”
"Tepat sekali ucapan
Hongtiang itu!"
"Benar, kamu adalah budak
golongan asing mana boleh mimpi hendak menjadi Beng-cu dunia persilatan
Tionggoan kita!" demikian beramai- ramai para ksatria berteriak.
Goan-ci menjadi bingung dan
tak dapat menjawab. ia pandang Ting Jun jiu dan pandang Coan Koan jing pula
dengan harapan mereka dapat membantu jawabannya.
Maka sesudah berdehem-dehem
dulu, lalu Ting Jun-jiu berseru, "Ucapan, Hong-tiang barusan kurang tepat,
sebab aku berasal dari propinsi Soe-tang dan terhitung suatu kampung dengan
nabi Khong-hu-cu, aku yang membangun Sing-siok-pai, mana boleh dikatakan
sebagal aliran negeri asing? Kalau bicara tentang asing dan tidak, cikal-bakal
Siau-lim-si sendiri, Tat-mo Cosu (Budhi darma) kan berasal dari negeri
Thian-tiok, agama Budha juga berasal dari negeri asing, kalau kalian juga
dituduh menganut ajaran dan kepandaian impor, apakah kalian mau terima?"
Sanggahan ini membuât Hian-cu
dan lain-lain merasa susah untuk menjawabnya.
Bahkan Coan Koan-jing juga
segera ikut bicara, "Sumber asal mulanya ilmu silat di dunia ini memang
sukar diusut. Ada kepandaian berasal barat yang dipelajari di negeri timur
sebaliknya banyak juga ilmu negeri timur yang masuk ke negeri barat. Yang
terang Ong-pangcu kita adalah bangsa awam, Kai-pang juga sudah dikenal sebagai
organisasi terbesar di negeri kita dia dengan sendirinya beliau harus dianggap
sebagai tokoh persilatan Tionggoan, pendek kata urusan hari ini hanya dapat
diputuskan dengan kekuatan dan tidak perlu berperang lidah, apakah sebentar
Sìau-lim-pai atau Kai-pang akan menang, hal ini akan ditentukan oleh
pertandingan
kalian sebagai pemimpin kedua
pihak, maka tidak perlu banyak bicara lagi. Tapi kalau pihak Siau-lim-pai
menyadari bukan tandingan Pangcu kami dan terima mengaku kalah serta bersedia
mengangkat Pangcu kami sebagai Beng-cu, maka segala pertarungan tentu akan
dapat dihindarkan."
Di balik kata-katanya itu
seakan-akan menganggap Hian-cu merasa jeri, maka sengaja menggunakan macammacam
alasan. Keruan Hian-cu sangat mendongkol, segera ia melangkah maju dan berkata,
"jika Ong-pangcu sudah berkeras ingin main-main beberapa jurus denganku,
bila kutolak lagi tentu akan menjadi kurang hormat. Kai-pang kalian yang telah
bersahabat selama beratus tahun dengan Siau-lim-si kami. Nah, wahai para kawan
yang hadir di sini, oleh karena terpaksa, tiada jalan lain lagi terpaksa
kulayani tantangan Ong-pangcu."
"Ya, kami menyaksikan
Siau-lilm-si bukan pihak yang salah," seru para ksatria.
Dalam pada itu Goan-ci sudah
tidak sabar lagi karena menguatirkan keselamatan A Ci yang masih berada dalam
genggaman Ting-lokoai itu. Segera ia berteriak, "Sudahlah, tidak perlu
banyak cingcong, silakan maju!"
Dasar Goan-ci memang bukan
anak baik-baik, pada waktu kecilnya kurang didikan dan sangat nakal, sesudah
besar bergaul pula dengan A Ci yang jahil itu, maka sedikit-banyak ia telah
ketularan sifat-sifat yang tidak baik, kepandaian yang dipelajari juga ilmu
keji dari golongan Sing-siok-pai. Karena itu sekarang ia berubah menjadi orang
yang tidak kenal kebaikan dan jahat lagi.
Begitulah maka Hian-cu
menanggapi pula, Siancai! Kata-kata Ong pangcu ini sungguh sangat tidak sesuai
dengan nama Kai-ping yang tersemat selama beratus tahun ini."
"Mau bertempur ayolah
lekas bertempur, kalau tidak, boleh mundur saja!" seru Goan-ci sambil
mendesak maju. Sembari bicara ia pun melirik kearah Ting Jun-jiu yang masih
mencengkeram A Ci itu, rasanya benarbenar tidak sabar lagi.
"Baiklah, kalau begitu
biarlah kubelajar kenal dengan Ong-pangcu punya Hang-liong-sip-pat-Ciang
(delapan belas jurus pukulan penakluk naga) dan Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung
penggebuk anjing), supaya para ksatria yang hadir dapat kenal betapa hebatnya
kepandaian Kai-pang yang kesohor itu," kata Hian-cu sambil bersiap-siap.
Goan-ci tampak melengok dan
menyurut mundur malah. Sebab walaupun dia telah menjadi Pangcu, tapi
Hangliong-sip-pat-ciang dan Pak-kau-pang-hoat yang dikatakan itu boleh
dikatakan sejurus pun tidak bisa. Ia pernah dengar bahwa kedua macan kungfu itu
biasanya mesti diajarkan oleh Pangcu lama kepada Pangcu baru, maka kedua macam
ilmu itu disebut "Tin-pang-sin-kang" (ilmu sakti pemimpin). Terkadang
Hang-liong-sip-patCiang itu juga diajarkan kepada anggota biasa, sebaliknya
Pak-kau pang-hoat hanya diajarkan kepada Pangcu saja. Boleh dikatakan setiap
Pangcu Kai-pang selama beratus tahun ini tiada satu pun yang tidak mahir dua
macam kepandaian itu. Sekarang Goan-ci disuruh untuk mengunakan kedua macam
ilmu silat yang tak
dipahaminya, sudah tentu la
merasa serba susah.
Melihat sikap Goan-ci itu,
segera Hian-cu menambahi lagi, "Aku adalah ketua Siau-lim-si dan tentu
akan menggunakan kepandaian utama golongan kami seperti Kim-kong-pan-yak-ciang
untuk coba-coba dengan Hang-liong-sip-pat-ciang kalian dan Hok-mo-siang-thong
untuk melawan Pak kau pang-hoat Ong-pangcu. Cuma, ai sungguh sangat
disayangkan, selama ini di antara dua golongan kita hanya saling tukar pikiran
saja dan selamanya tidak pernah digunakan untuk saling gebrak. Tapi sekarang
terpaksa mesti kulayani Ongpangcu, sungguh menyesal sekali."
Para ksatria merasa kagum dan
hormat terhadap ucapan Hian-cu yang luhur budi itu. Segera tampak jubah Hian-cu
mulai bergoyang, kedua tangannya terangkap di depan dada, lalu didorong maju
pelahan itulah salam pembukaan ilmu pukulan Pan-yak-ciang.
Goan-ci juga tidak banyak
omong segera telapak tangan kirinya menghantam, menyusul tangan kanan juga
memotong ke depan dengan cepat sekali. Tenaga pukulan yang susul menyusul itu
memang sangat hebat dan aneh. Maka terdengarlah suara beradunya tenaga pukulan,
menyusul terdengar suara "brat-bret" dua kali tahutahu kedua ujung
ikat pinggang Hian-cu terputus dan melayang ke kanan-kiri.
Kiranya tanaga pukulan kedua
tangan Goan-ci itu mencakup lingkaran yang sangat luas ketika tenaga pukulannya
sebagian dipatahkan oleh pukulan Hian-cu, maka ujung kain ikal pinggang Hian cu
yang berkibaran itu terkupas putus oleh tenaga pukulan Goan-ci yang menyambar
lewat ke samping itu.
Menyaksikan gebrakan itu,
terentak pula ksatria dan padri Siau-lim-si lama berteriak-teriak, "ini
kan kepandaian jahat Sing-siok-pai dan bukan Heng liong-sip-pat-ciang!"
"Ya, itu bukan kepandaian
asli Kai-pang!”
Bahkan di antara anggota
Kai-pang juga ada yang berteriak, "Kita bertanding dengan Siau-lim-pai,
maka kita tidak boleh memakai ilmu jahat golongan lain! Benar, harus
menggunakan Heng-liong-sip-pat-ciang! Kenapa memakai ilmu jahat golongan lain,
membikin malu Kai-pang saja!"
Gebrakan pertama itu
sebenarnya Goan-ci lebih unggul, tapi demi mendengar teriakan-teriakan itu. ia
menjadi ragu sehingga jurus kedua tak bisa dilancarkan lagi. Sebaliknya orang
'Sing-siok-pai lantas berseru, "Nah, sudah terang ilmu sakti Sing-siok-pai
jauh lebih hebat, buat apa mesti memakai Heng-liong-sip-pat-ciang apa segala
yang tak berguna!"
"Ayo, Ong-suheng, maju
dan labrak lagi, bikin keok dia!"
Seketika suara sanjung puji
"Sing-siok losian maha sakti” lantas bergema pula.
Di tengah suara riuh ramai itu
sekonyong-konyong dari bawah gunung berkumandang suara seorang yang keras dan
lantang, "Siapa bilang ilmu silat Sing-siok-pai jauh lebih hebat daripada
Hang-liong-sip-pat-ciang?"
Begitu lantang dan nyaring
suara itu sehingga suara ribut orang banyak tersirap seketika. Dengan terkejut
semua orang sama tutup mulut. Maka terdengarlah suara derapan kuda yang ramai,
belasan penunggang kuda secepat angin telah menerjang tiba.
Penunggang-penunggang kuda itu
seluruhnya memakai mantel sutra merah, orangnya gagah dan kudanya tangkas,
semua kuda pilihan berwarna hitam mulus. Sesudah dekat, pandangan semua orang
merasa silau. Ternyata tapal kuda itu semuanya terbuat dari emas.
Jumlah penunggang kuda itu
seluruhnya 19 orang. Meski tidak banyak, tapi pembawa mereka melebihi suatu
bárisan besar.
Sesudah dekat, 18 penunggang
kuda itu lantas memisah kedua sisi, tinggal penunggang kuda yang paling
belakang masuk terus menyusur maju dengan cepat.
Melihat penunggang kuda itu,
serentak orang-orang Kai-pang berteriak-teriak, "Siau-pangcu!,
Siau-pangcu!"
Menyusul sebagian besar di
antara mereka lantas merubung maju untuk memberi hormat.
Kiranya panunggang kuda ini
memang benar adalah Siau-hong. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa meski dia
sudah dipecat tapi sekarang masih ada anggota Kai-pang sebanyak ini yang
menyembah padanya. Saking terharunya sampai tak tertahan mengambang air
matanya, cepat ia melompat turun dari kudanya dan balas menghormat.
Segera katanya, "Orang
Cidan Siau Hong telah dipecat dan sudah tiada hubungan lagi dengan Kai-pang
mana boleh para saudara tetap menyapa dengan sebutan lama? Selama berpisah
tentu saudara baik-baik saja bukan?”
Anggota-anggota Kai-pang yang
memberi hormat itu sebagian besar adalah murid berkantung tiga dan empat yang
masih muda dan berjiwa lebih dinamis apa yang mereka pikirkan segera
dilaksanakan. Karena mereka masih sangat menjunjung pribadi Siau Hong yang
luhur budi dan gagah perwira itu maka begitu bertemu serentak mereka tetap
memanggilnya sebagai "Kiau-pangcu”, mereka lupa bahwa
"Kiau-pangcu" itu sudah dipecat bahkan adalah bangsa Cidan yang
merupakan musuh besar mereka.
Karena jawaban Siau Hong itu,
segera ada sebagian yang menunduk kepala dan mengundurkan diri, tapi masih
tetap ada sebagian yang berkata pula. "Engkau juga baik-baik, Kiau ...
Kiau .... Selama berpisah ini sungguh kami selalu terkenang Padamu!"
Kedatangan Siau Hong ke
Tionggoan ini memang disengaja, pengiring-pengiringnya itu adalah "18
ksatria penunggang kuda” yang merupakan jago pilihan bangsa Cidan. Dahulu Siau
Hong hampir mati dikeroyok orang banyak di Cip-hian-ceng, untung dia ditolong
oleh seorang ksatria berbaju hitam. Hal ini menandakan bahwa betapa pun tinggi
ilmu silatnya juga susah melawan orang banyak yang berjumlah ratusan. Tapi
sekarang ia membawa 18 jago, apalagi kuda tunggangan mereka juga kuda pilihan,
bila perlu mereka tidak sulit melarikan diri dengan mencamplok kuda.
Ketika masih di bawah gunung
tadi Siau Hong sudah mendengar teriakan orang sing-siok-pai yang membual bahwa
ilmu sakti Sing-siok-pai jauh lebih hebat dari pada Hang-liong-sip-pat-ciang
hal ini membuatnya marah sekali. Mesti bukan anggota kai-pang lagi, tapi ia
tidak terima kalau Hang-liong-sip-pat-ciang yang lihai itu dihina orang. Bahkan
sekilas iapun melihat Ting jun-jiu menawan seorang dara cilik berbaju ungu yang
segera dikenalnya sebagai a Ci.
Kedatangannya di Tiongoan ini
antara lain juga hendak mencari A Ci. Sekarang melihat anak dara itu ditawan
orang, seketika teringat olehnya pesan terakhir A Cu yang minta dia menjaga
baik-baik adik perempuannya itu. Tanpa piker lagi segera ia mendekati
Ting-lokoai sekali tangan kirinya terangkat, kontan ia hantam kedepan dengan
gerakan "Gang- liong-yu-hwe", salah satu jurus
Hang-liong-sip-pat-ciang yang ampuh.
Waktu Siau hong menyerang,
jaraknya dengan Ting Jun-jui masih belasan meter jauhnya, tapi karena datangnya
terlalu cepat sehingga dimana tenaga pukulannya sampai tahu-tahu jarak mereka
hanya tinggal beberapa meter saja.
Ting-lokoai juga sudah kenal
nama "Lam Buyung dan Pak Kiau Hong” yang tersohor, maka dia pun tidak
berani memandang enteng lawan. Ketika melihat Siau Hong mulai menyerang dari
jauh, sekali-kali tak terduga olehnya bahwa dirinya yang dijadikan sasaran,
apalagi menyusul Siau Hong juga melesat maju dan kembali menyerang dengan jurus
kedua "Gang liong-yu hwe" di lancarkan,jadi tenaga pukulan pertama
didorong oleh
tenaga pukulan kedua, karuan
bagaikan gugur gunung dahsyatnya.
Hanya sekejap saja Ting-lokoai
merasa, dadanya sesak, napas susah, tenaga pukulan lawan sungguh bagai air bah
yang melanda dan tak terbendungkan seakañ-akan dirinya dan A Ci akan tenggelam
di tengah gelombang tenaga itu.
Dalam kagetnya Ting-lokoai
tidak sempat memikirkan cara paling sempurna untuk melayani serangan itu. Tapi
ia tahu kalau menangkís dengan sebelah tangan saja tentu bukan mustahil tangan
sendiri akan patah boleh jadi otot tulang seluruh badan akan tergetar remuk.
Sementara itu pukulan lawan yang dahsyat sudah tiba dalam keadaan genting ia
terpaksa ia melemparkan A Ci ke atas, berbareng kedua tangannya terus bergerak
untuk berjaga di depan dada, sedangkan ujung kakinya menutuk pelahan dan
melompat mundur.
T¡ba-tiba Siau Hong menyusul
serangan "Gang-liong-yu-hwe” yang ketiga belum lenyap tenaga pukulan yang
lebih dahulu, segera tenaga pukulan lain sudah membanjir lagi.
Lokoai tidak berani
menangkisnya dengan keras lawan keras, ia miringkan pukulannya sehingga kedua
tenaga pukulan Cuma saling senggol saja. namun begitu Lokoaí merasa lengannya
linu pegal dan napas sesak, capat ía melompat mundur düa-tiga meter jauhnya
sambil mengerahkan hawa berbisa di tangannya untuk berjaga jaga kalau lawan
mendesak maju.
Namun dengan pelahan Siau Hong
tangkap dulu A Ci yang sementara itu baru jatuh dari udara sekalian ia membuka
hiat-to si nona yang tertutuk tadi.
Sejak A Ci ditawan Ting
Jun-jiu, walaupun matanya tak bisa melihat dàn mulut tak dapat bicara, namun
segala apa yang terjadi di sekelilingnya dapat didengarnya dengan jelas, Maka
begitu hiat to terbuka, dengan girang segera ia berseru, "Cihu yang baik,
banyak terima kasih atas pertolonganmu!”
Bila teringat anak dara Itu
mengeluyur pergi tanpa pamit sehingga dirinya dibikin kelabakan mencarinya,
sungguh anak dara yang terlalu nakal, maka Siau Hong menjadi gregatan,
"plok", ia gaplok sekali pantat anak dara itu sambil mengomel,
"kenapa kaupergi tanpa bilang bilang padaku snggaeh aku bingung mencarimu
ke mana-mana?"
Keruan A Ci kesakitan dan
berkeok-keok "Aduh cihu busuk, kenapa engkau memukul orang?”
"Biar, aku justru ingin
menghajarmu budak nakal ini!" kata SiauHong.
Ketika A Ci berpaling dan
sekilas dilihatnya kedua bola mata anak dara Itu buram tak bersinar terang
sudah buta, sungguh kaget Siau Hong tak terhingga serunya, "Hei kau ...
matamu kenapa?”
"Tidak apa-apa, biar
kenapa kaupusing?" sahut A Ci dengan uring-uringan.
Dengan munculnya Siau Hong
tadi, para ksatria Tionggoan menjadi panik bila teringat pada kejadian di
Ciphian-ceng dahulu di mana berpuluh kawan mereka telah dibinasakan Siau Hong.
Mereka menduga sebentar tentu sukar terhindar pertempuran mati-matian pula.
Kemudian ketika mereka menyaksikan dengan sekali-dua gebrak saja Siau Hong
telah mengalahkan Sing-siok- Lokoai yang malang melintang, tadi seketika mereka
saling pandang dengan kagum dan kuatir pula. Sebaliknya ada sebagian anggota
Sing siok-pai yang tidak kenal malu masih berani mencaci-maki Siau Hong dan ada
yang menyanjung puji lokoai.
Di sebelah lain Goan-ci merasa
jeri juga dengan datangnya Siau Hong, ketika dilihatnya A Ci digaplok dan
diomeli Síau Hong, ia menjadi tidak tahan dan segera melompat maju serta
berkata, "Lekas lepaskan nona A Ci."
"Síapa kau?" tanya
Siau hong sambil menurunkan A Ci ketanah.
Dahulu Goan-ci sering bertemu
dengan Siau Hong ketika berada di negeri Liam, tapi sekarang muka Goan-ci sudah
berubah sama sekali, kedudukannya juga sudah lain, sudah tentu Goan-cí tidak
perlu takut lagi padanya. Namun permbawa Siau Hong sebagai "Lam-ih
Tai-ong" terlalu berakar dalam lubuk hatí Goan ci, apalagi Siau Hong telah
menyelamatkan A Ci dengan gagah perkasa, budi kebaikan ini bagi Goan-ci
melampaui dendam terbunuhnya orang tua. Karenai ítu Goan-ci menjadi kalah
pembawa lebih dulu dan menjawab dengan tetgagap, "Aku adalah ... adalah
Ciangbun Kek-lok-pai, Kai-pang Pangcu Ong .... Ong Sing Thian.” tapi di antara
anggota Kai-pang sagera ada orang berteriak, "Kamu südah mengangkat guru
pada Sing-siok Lokoai, mana boleh mengaku sebagai Pangcu lagi!"
"Akulah Ciangbun
Slng-siok-pai yang sesungguhnya," kata A Ci. "Ong-pangcu tadi cuma
menjura kepada Sing-siok Lokoai dengan 'Kap-tan-hoa-Hiat kang (ilmu meluluhkan
darah musuh dengan menjura), apakah kalian sangka dia sungguh-sungguh ingin menjadi
murid Lokoai? Justru Lokoai yang telah diselomoti, tidak lebih dari tiga hari
seluruh badan Ting-lokoal akan hancur luluh menjadi darah. Kalau kalian tidak
percaya boleh lihat saja nanti!"
Dasar memang jebolan murid
Sing-siok pai, kepandaian A Ci dalam hal membual dan membohong dengan
sendirinya sangat pintar. Maka orang orang Kai pang menjadi ragu mereka tahu
Sing-siok-pai memang memiliki macam-macam ilmu jahat dan berbisa, apa yang
dikatakan A Ci memang bukan mustahil.
Sebaliknya Siau Hong tahu A Ci
sengaja ngaco-belo lagi, sekilas ia lihat Toan Cing-sun dan Wi Sing tiok juga
berada di situ, ia menjadi girang dan segera berseru, "Kiranya Tin lam ong
juga berada di sini biarlah putrimu
ini kuserahtkan kepada kalian
untuk diberi pendidikan sebaik-biaknya."
Lalu ia gandeng tangan A Ci ke
arah Toan Cing-sun, pelaban ia dorong anak dara itu ke depan dan segera
dirangkul oleh Wi Sing tiok dengan air mata berlinang linang.
"O, anakku, ken ...
kenapa keduá matamu ini?” tanya Sing-tiok dengan menangis.
Sebaliknya A Cì tiada
mempunyai rasa kasih sayang kepada ayah bundanya, maklum sejak kecil ia tidak
pernah merasakan kasih saying orang tua. Dasar wataknya tidak mau kalah, maka
ia pun tidak mau mengakü kedua matanya ítu díbutakan oleh Ting jun-jiu, dengan
suara keras ia menjawab, " aku sendiri sengaja membutakan mataku karena
aku sedang melatih semacam ilmu gaib Sing-siok-pai Ting-lokoai sendiri pun
tidak mampu melatih ilmu ini.”
Dalam pada ítu Toan Ki juga
sangat girang atas munculnya Síau Hong, cumu dia belum sempat menyapa sang
Toako karena Siau Hong lagi melabrak Ting Jun jiu, Ia heran ketika mengetahuí
bahwa nona buta itu oleh Siau Hong dikatakan sebagai putri ayahnya. Tapi la pun
tahu sifat sang ayah yang romantis, segera ia dapat menduga hubungan ayahnya
dengan Wi Sing-tiok.
Sesudah A Ci diserahkan kepada
orang tuanya oleh Siau Hong, segera Toan Ki tampil kemuka dan berseru.
"Toako, bàik-baikkah selama berpisah sungguh sangat merindukan adikmu
ini?”
Sejak Siau Hoing angkat
saudara dengan Toan Ki, walaupun singkat sekali waktu berkumpul mereka, tapi
Siau Hong tetap sangat simpati dan suka sekali kepada Toan Ki, segera ia pegang
kedua tangan adïk angkat îtu dan menjawab, "banyak sekàli kejadian sesudah
berpisah dan susah diceritakan dalam sekejap untung kita samasama dalam keadaan
baik-baik semua."
Belum lagi mereka sempat
bicara lebîh banyaktiba-riba terdengar teriakan orang banyak yang mencaci-maki
Siau Hong, "Hai, orang she Kiau, kamu telah membunuh saudaraku sakit hati
itu belum terbalas, biarlah hari ini aku mengadu jiwa denganmu!”
"Ya, Kiau Hong adalah
anjing Cidan yang harus kita bunuh bersama, hari inl tidak boleh lagi dià lolos
dari Siau-sit-sian ini!"
Menyusul banyak lagi caci-maki
yang menuduh Siau Hong membunuh ayah atau putranya, semua ingin memuntut balas
atas korban yang dahulu pernah dibunuh oleh Siau Hong di Cip-bian-ceng.
Makin lama makin banyak yang
mendamprat dan memakì, bukan mustahil dalam sekejap lagì akan terjadi
pertempuran ramai pula. Sebaliknya rombongan Siau Hong hanya 18 orang saja ia
pun bermusuhan dengan Kai-pang, Siau-lim-pai dan Sing siok-pai, kalau sampai
terjadi pertempuran itu berarti Siau Hong ber-l8 orang harus menandingi seribu
orang pasti sukar baginya untuk meloloskan diri.
Namun Siau hong tidak gentar,
dengan suara lantang ia berseru."Kedatangan Siau Hong ini mestinya ada
suatu urusan dengan Siau-lim-si jika kalian ingin membunuh orang she Siau ini,
apa kalian mampu atau tidak boleh dicoba nanti, tapi saat ini aku belum sempat
melayani kalian.
Dalam keadaan rebut sudah
tentu para ksatria Tionggoan itu tidak mau menunggu iagi, segera ada beberapa
orang yang kasar melontarkan caci maki yang kotor dan keji. Dan karena hasutan
dan bermain-main mereka lantas merubung maju hendak mengerubut.
Sebelumnya Siau Hong tidak
menduga bahwa dì Siau sit-san telah berkumpul musuh sebanyak itu, sskarang
sudah tentu ia pun pantang mundur, Tapi ia lihat para ksatra itu kebanyakan
adalahkawan lama, ia kenal mereka sebagai ksatria yang gagah perwira, sebabnya
mereka memusuhi dirinya adalah lantaran dia di anggap bangsa Cidan, pula ada
orang sengaja menghasut dan mengadu-domba sehingga terjadi salah paham pembunuh
yang pernah terjadi di Cip-hia-ciang itu sesungguhnya bukan maksud hatinya
kalau hari ini terjadi pertarungan sengit pula susah memperoleh kemenangan,
andaikan dirinya dapat eloloskan diri, tapi ksatria-ksatria yang dia bawa serta
itu pasti sulit lolos. Sebaliknya kalau para ksatria Tionggoan itu terbunuh
lebih banyak, hal ini berarti memperdalam permusuhan dan makin menyakitkan
hati, lalu apa gunanya semua ini?
Karena pikiran itu, segera
Siau Hong mengambil keputusan, "Di depan orang sebanyak ini terpaksa
urusan yang hendak kutanyakan kepada Siau-Lim-si harus ditunda dulu dan
sementara ini lebih baik aku menghindarkan diri saja supaya tidak terjadi
banjir darah lagi. Bila keadaan di sini sudah tenang kembali barulah aku akan
dtang ke sini pula."
Sesudah mengambil keputusan
itu, segera ia berkata kepada Toan Ki, "Adik yang baik, adaan sekarang
sangat gawat dan susah bagi kita untuk bicara, sementara ini adik boleh
menyingkir dahulu, tempo masih banyak, biarlah kita bertemu lagi lain
hari."
Maksud tujuan Siau Hong adalah
minta Toan Ki menyingkir ke samping agar sebentar bila musuh menerjang ke bawah
gunung Toan Ki takkan ikut terbawa bawa di tengah pertempuran.
Tapi biarpun Toan Ki tidak
mahir ilmu namun wataknya sangat gagab berani. Ia lihat ksatria yang berjumlah
ribuan orang itu hendak membunuh kakak angkatnya, tanpa terasa timbul rasa keadilannya,
dengan suara keras ia berteriak, "Toako, pada waktu kita mengangkat
saudara apa yang telah kita ucapkan? Bakankah kita telah bersumpah ada rejeki
dibagi bersama, ada kesukaran dipikul berbareng. Kita tidak dilahirkan pada
hari dan Waktu yang sama, tapi rela mati pada hari dan waktu yang sama. Hari
ini Toako menghadapi kesukaran manakah adik harus berpeluk tangan dan takut
mati!”
Dahulu dalam setiap kali
terancam selalu Toan Ki dapat menyelamatkan diri dengan langkah aJaib leng
Po-wipoh. Tapi sekarang ia sama sekali tidak memikirkan atau menyelamatkan
diri, semakin berbahaya keadaannya semakin teguh tekatnya gugur bersama Siau
Hong untuk memenuhi kéwajibannya sebagai saudara angkat yang sehidup semati.
Hampir seluruh ksatria
Tionggoan itu tidak kenal macam apakah tokoh Toan Ki itu, tapi melihat dia
mengaku sebagai saudara angkat Siau Hong dan bertekat membantunya, sudah tentu
tiada seorang pun yang jeri pada pemuda yang muda belia dan lemah itu.
Maka Siau Hong berkata
pula,'"Adikku yang baik, sungguh aku sangat berterima kasih pada maksudmu
yang luhur ini. Tapi rasanya tidaklah gampang bila mereka ingin membunuh aku.
Maka lebih baik lekas engkau menyingkir saja agar aku nanti tidak menguatirkan
keselamatanmu sehingga tidak leluasa melabrak musuh."
"Engkau tidak perlu
menguatirkan diriku.” sàhut Toan Ki, "Aku toh tiada punya permusuhan
apa-apa dengan mereka membunuhku?"
Siau Hong menjadi serba salah
menghadapi saudara angkat yang polos itu, pikirnya dengan rasa pilu, "Jika
di dunia ini orang mau bicara tentang permusuhan atau tidak, tentu dunia ini
akan aman tentram dan tiada percekcokan."
Dalam pada itu di sebelah sana
Toan Cing-sun juga sedang pesan kepada Hoan Hua dan lain-lain agar sebentar
bila Siau Hong terancam bahaya, mereka harus menyelamatkan secepat mungkin
untuk membalas budi pertolongan Siau Hong dahulu. Sudah tentu Hoan Hun dm
lain-lain mengiakan dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Di pihak lain Buyung Hok juga
lagi berunding dengan kawan-kawannya, Sebenarnya Kongya Kian sangat kagum
sekali kepada pribadi Siau Hong sejak perkenalannya waktu berlomba minum arak
dahulu, maka ia menganjurkan memberi bantuan kepada Siau Hong. Begitu pula
Pau-Put tong dan Hong Po-ok juga sangat kagum terhadap Siau Hong, maka mereka
pun menyetujui usul Kongya Kian.
Sebaliknya Buyung Hok sendiri
berpendapat lain, katanya, "Saudara-saudara sekalian, kita harus
mengutamakan pembangunan kerajaan Yan Raya kita sebagai tugas utama dan jangan
tertarik kepada Siau hong seorang dan harus bermusuhan ksatria sejagat."
"Ucapan Kongcu memang
benar," kata Ting Pek-jwan. "Dan cara bagaimana kita harus
bertindak?"
"Kita harus menarik
simpati orang banyak agar berfaedah bagi pergerakan kita kelak," kata
Buyung Hok, Habis itu, mendadak ia bersuit keras dan tampil ke muka, serunya
dengan lantang, "Siau-heng, engkau adalah ksatria Cidan dan terlalu memandang
enteng kapada para ksatria Tionggoan kami, maka hari ini biarlah orang she
Buyung dari Koh-soh belajar kenal dulu dengan kepandaianmu. Kalau aku harus
mati di bawah tangan Siau-hong juga cukup berharga, paling dikit aku telah
berjuang bagi sesama kawan ksatria Tionggoan. Nah, silakan Siau-heng
mulai."
Ucapan Buyung Hok ini
sesungguhnya segaja diperdengarkan kepada ksatria Tionggoan, Sebab dengan
demikian biarpun nanti kalah atau menang tentu para ksatria akan memandang
Buyung Hok sebagai kawan sehidup semati mareka.
Benar juga, demi mendangar
kata-kata Buyung Hok ítu, serentak bergemuruhlah suara sorai puji orang banyak.
Maklum, meski mereka ada maksud hendak mengerubut Siau Hong, tapi sejak tadi
tiada seorang pun berani bertindak lebih dulu, mereka kenal betapa lihainya
Siau Hong, sekali sudah bergebrak, maka beberapa orang yang maju lebih dulu
dapat dipastikan akan binasa oleh pukulan bekas Pangcu Kai-pang itu. Sekarang
tiba-tiba Buyung Hok tampìl ke muka lebih dulu, keruan mereka sangat senang dan
bersemangat.
Nama "Pak Kiau Hong dan
Lam Buyüng juga sudah lama didengar Siau Hong sendiri, ia tahu ilmu silat
keluarga Buyung tentu bukan main hebatnya, Sekarang keluarga Buyung
menantangnya, tentu saja Siau Hong terperanjat, Walaupun tidak gentar, tapi ia
menduga pasti akan menjadi pertarungan sengit.
Segera ia pun memberi salam
dan menjawab "Sudah lama kudengar nama Buyung-kongcu yang tersohor,
sungguh sangat beruntung hari ini dapat berkenalan di sini."
"Buyung-heng, dalam hal
ini terang kaulah yang salah!" tiba-tiba Toan Ki berseru "Siau-toako
sendiri baru sekarang kenal dirimu dan selama ini kalian tiada permusuhan
apa-apa, mengapa engkau sengaja ikut memusuhi Toako tatkala ia harus menghadapi
musuh sebanyak ini."
"Wah, rupanya Toan heng
hendak menjadi ksatria pembela keadilan ya? Jika perlu, ayo boleh maju
sekalian!" demikian sahut Buyung hok degan mengejek. Memangnya dia sudah
merasa sirik karena Toan Ki selalu merecoki Giok-yan maka sekarang rasa
dongkolnya telah dilampiaskan sekalian.
Tapi Toan Ki menjawab,
"Kepandaian apa yang dapat menandingimu? Akú hanya bicara secara adik
saja."
Dalam pada itu Ting Jun-jiu
yang dihantam mundur olah Siau Hong tadi telah maju kembali. la mengakak tawa
dan berkata, "Orang she Siau kulihat engkau masih terlalu muda, maka tadi
aku mengalah tiga Jurus padamu, tapi jurus keempat ini aku tak dapat mengalah
lagi."
Juga Goan-Ci lantas melangkah
maju, katanya kepada Siau Hong, "Aku Ong Sing-thian mengucapkan terima
kasih padamu karena engkau telah menyelamatkan nona A Ci. Tetapi sakit hati
pembunuhan orang tua sedalam lautan, hari ini jangan kauharap dapat lolos
dengan hidup dari sini orang she Siau!"
Sementara itu Hian-seng Taisu
dari Siau-lim-pai diam-diam juga telah memberi perintah agar lo-han-tui-tín
siap siaga dan menjaga jalan penting dengan kuat agar Siau Hóng tidak dapat
lolos.
Melihattiga tokoh terkemuka
telah mengepung dirinya, begitu pula para padri Siau-lim-pai tampak
berjaga-jaga dengan rapat keadaan íní terang jauh lebih berbahaya daripada
pertempuran di Cap-hian-ceng dahulu. Dan sebelum Siau Hong dapat mengambil
tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara kuda meringkik ngeri, 19 ekor kuda
bagus tunggangan mereka tahu-tahü telah roboh semua dengan mulut berbuih dan
binasa.
Karuan Siau Hong kaget,
Sedangkan ke-18 ksatria Cidan tampak membentak-bentak dan lantas menyerang
sehingga dalam sekejap saja belasan orang Sing-siok-pai telah terbunuh,
selebihnya lantas ngacir menggabungkan diri dengan kawan-kawannya.
Kiranya pada waktu ting
jun-jiu maju menantang Siau Hong lagi, maka anak buahnya juga lantas bertindak
dengan membunuh kuda tunggangan Siau Hong dan kawan-kawannya dengan menggunakan
racun. Dengan demikian Siau hong dipaksa menghadapi jalan buntu karena tak bisa
kabur dengan menunggang kuda lagi.
Melihat kuda kesayangannya
mati secara menggenaskan di tangan kawanan pengecut itu, seketika darah panas
Siau Hong bergolak dan timbul seketika jiwa ksatrianya dengan bersuit panjang
ia berkata, "Buyung-heng, Ong-pangcu, Ting-lokoai. ayolah kalian maju
sekaligus saja, masakah orang she Siau ini gentar padamu!"
Karena dia gemas kepada
orang-orang Sing-siok-pai yang keji itu,kontan pukulan pertama ia keluarkan ke
arah Ting Jun-jiu.
Ting-lokoai sudah kenal betapa
lihainya Siau Hong, cepat ia keluarkan kedua tangannya untuk menangkis dengan
sekuatnya.
Tapi Siau Hong sekalian
menggeser tenaga pukulan kedua orang dan memotong miring ke jurusan Buyung Hök.
Kepandaian Buyung Hok yang
paling hebat adalah memutar balikkan serangan musuh untuk menyerang kembali
kepada musuh. Tapi sekarang pukulan Siau Hong membawa tenaga duaorang yang maha
dahsyat, pula datangnya miring dari samping sehingga entah tempat mana yang
diincar, Buyung Hok menjadi susah untuk menghadapi serangan ini, terpaksa ia
kerahkan segenap tenaga, kedua tangan memapak ke depan dan
berbareng ia pun melompat
mundur dua-tiga meter jauhnya.
Sedikit Siau Hong mengegos
sehingga pukulan Buyung Hok terhindar, mendadak ia menggertak dengan suara
menggeledek, kepalan menjotos lurus ke depan pada Goan ci. Karena perawakan
Siau Hong tinggi besar sehingga hampir lebih tinggi satu kepala daripada
Goan-ci, maka jotosan itu jadi mengarah muka Goan-ci.
Memangnya Goan-ci sudah jeri
menghadapi Siau Hong, ia menjadi kaget pula ketika mendengar suara gertakannya.
Apalagi serangan Siau Hong itu datangnya mendadak, sebelumnya ia baru
menghantam Ting JunJiu dan Buyung Hok, tahu-tahu menjotos pula ke arah Goan-ci,
tiga kali serangan itu boleh dikata suatu rangkaian secepat kilat.
Dalam gugupnya segera Goan-ci
hendak menangkis, namun tenaga pukulan lawan terang sudah mendekati mukanya.
Untung dia telah berlatih ilmu ih-kin-keng sehingga iwekangnya juga banyak
bertambah, secara otomatis timbul daya tolak dari badánnya dan cepat ia mendongakkan
kepalanya ke belakang sambil berjumpalitan püla dengan demikian kepalanya
nyaris háncür oleh pukulan Siau Hong yang dahsyat itu.
Namun begitu lantas terdengar
suara seruan heran para penonton. Goan-ci merasa mukanya silir dingin tahutahu
kain kedoknya sudah hancur menjadi kain kecil-kecil dan bertebaran bagai
Kupu-kupu. Ternyata luput mukanya dari serangan itu, tapi tidak luput kain
kedoknya yang tergetar hancur oleh tenaga pukulan Siau Hong. Dan ketika melihat
muka pemuda yang mengaku sebagai Ciangbunjin Kok-lok-pai dan Pangcu Kai pang
ítu tak karüan macamnya karena bekas luka tampaknya sangat seram dan
menakutkan, maka muka mereka sama berseru kaget.
Dengan sekaligus Siau Hong
mendesak mundur tiga jago kelas satù di jaman ini, semangatnya seketika
berkobar-kobar lebih hebat, teriaknya, "Mana arak!"
Segera seorang ksatria Cídan
mengiakan dan menanggalkan sebuah kantung kulit yang menggablok di atas kuda
mati dan berlari-lari mendekati Siau Hong serta menghaturkan dengan hormat.
Siau Hong copot sumbat kantung
kulit itu, ia angkat kantung itu tinggi-tinggi ke atas, maka tertüanglah arak
putih yang harum. Sambil mendongak, Siau Hong menenggak arak itu.
Arak yang terisi dalam kantong
kulit itu sedikitnya ada 20 kati, tapi Síau Hong terus menenggak tanpa berhenti
sehingga arak seisi kantung terhabis sama sekali. Kelihatan perut Siau Hong
sedíkít kembung, tapi air mukanya tetap biasa saja tanpa mabük sedikit pun.
Di tengah kejut para penonton,
tiba-tiba Siau Hong memberi tanda pula dan ke 17 ksatria Cidan yang lain
masing-masing juga membawakan
pula satu kantung arak.
"Saudara-saudara,
Toan-Kongcu ini adalah adik angkatku," kata Siau Hong kepada
ksatria-ksatria Cidan itu. "Hari ini kita telah terkepung di tengah musuh,
kita hanya berjumlah belasan orang saja, tentu susah meloloskan diri."
Sampai disini segera ia,
menarik tangan Toan Ki dan berkata pula, "Adikku yang baik, kau bersedia
sehidup semati, sungguh tidak mengecewakan sebagai saudara angkat, apakah
sebentar kita akan mati atau akan hidup biarkan saja, sekarang kita harus minum
dulu sepuas-puasnya!"
Terdorong oleh semangat jantan
kakak angkat itu, tanpa pikir Toan Ki terus terima juga sekantong arak dan menjawab,
"Benar, kita harus minum dulu!"
Dan baru Toan Ki hendak
menenggak araknya, sekonyong-konyong di tengah padri-padri Siau-lim-si telah
berlari keluar seorang, sambil berseru, "Toako dan Samte, kalian hendak
minum arak, kenapa tidak panggil juga padaku?"
Itulah dia Hi tiok.
Ia menyaksikan munculnya Siau
Hong yang gagah perwira dan membikin silau para ksatria maka diam-diam ia pun
sangat kagum. Kemudian dilihatnya Toan Ki secara konsekwen bersedia sehidup
semati dengan kakak angkat itu. Padahal dahulu waktu dia sendiri mengangkat
saudara dengan Toan Ki di Leng-ciu-kiong, didalam upacara itu telah dimasukkan
juga Siau Hong sebagai Toako mereka. Seorang lelakì sejati harus bisa pegang,
janji dan berani menghadapi segala kemungkinan apalagi dilihatnya Siau Hong dan
Toan Ki yang bersikap gagah perkasa dihadapan musuh banyak itu, seketika timbul
juga semangat ksatria Hi tiok, ia tidak pikirkan keselamatan sendiri dan
tentang peratüran-peratiran agama apa segala dan segera tampil kemuka.
Siau Hong belum kenal Hi tìok,
maka ia menjadi tertegun heran ketika Hi tiok memanggìlnya Sebagai Toako.
Sebaliknya Toan Ki lantas memapak maju dan memegang tangan Hi-tiok!, lalu
dìbawanya kehadapan Siau Hong dan berkata, "Toako, dia juga kakak
angkatku. Waktu menjadi hwesio gelarnya adalah Hi-tiok dan sekarang telah ganti
nama menjadì Hi tiok cu. Di waktu kamì mengangkat saudara, maka Toako juga
telah kami masukkan didalam hitungan. Nah, Jiko lekas kau memberi hormat kepada
Toako!"
Segera Hi-tiok berlutut dan
memberi hormat katanya. "Toako, terimalah salam hormat siaute!"
Siau Hong tersenyum. Dìam-diam
ia merasa Toan Ki benar-benar agak dogol, dia mengangkat saudara dengan orang
masa juga mengikut sertakan sang Toako. Padahal sekarang jiwanya terancam di
tengah kepungan
musuh, namun orang (Hi-tiok)
ternyata tidak gentar dan berani tampil ke muka, hal ini membuktikan dia adalah
seorang jantan sejati seorang lelaki yang setia kawan dan berbudi kalau bisa
bersaudara dengan ksatria demikian juga boleh dikatakan suatu kehormatan besar.
Karena itu Siau Hong lantas
berlutut juga dan membalas hormat dengan kata-kata ramah tamah. Jadi mereka
telah mengulangi sumpah setia sebagai saudara angkát di depan para ksatria
sejagat.
Siau Hong tidak tahu Hi-tiok
memiliki ilmu silat sakti, la anggap saudara angkat ¡tu cuma seorang hwesio
rendahan di Siau-lim-si, tapi berani ikut maju untuk memenuhi panggilan
persaudaraan pada saat menghadapi bahaya, kalau dia disuruh menyingkir tentu
malah akan menyinggung perasaannya.
Maka setelah angkat kantung
araknya segera Siau Hong berkata, "Ke-dua adik yang baik, ke-18 ksatria
Cidan ini adalah kawanku yang setia, hubungan kami sehari-hari mirip saudara
sendiri, maka marilah kita minum bersama, habis itu segera kita melabrak musuh sekuatnya."
Habis berkata, segera ia
membuka sumbat kantung arak dan menenggak seteguk, lalu diangsurkan kepada
Hitiok. Dengan semangat berkobar-kobar Hi-tiok juga tidak pikirkan larangan
minum arak apa segala lagi, segera ìa pun angkat kantung arak, dan menenggak,
kemudian disodorkan kepada Toan Ki. Dan sesudah Toan Ki minum seteguk lalu ia
serahkan kepada salah seorang Cidan dan begitu seterusnya ke-18 ksatria Cidan
itu pun sama-sama mengakat sekantung arak masing-masing dan menenggaknya.
”Toako," kata Hi-Tiok
kemudian kepada Siau Hong,”Sing-siok Lokoai ini telah membinasakan Suhu dan
suhengku, ia telah membunuh pula Hian-lun dan hian-thong Susiokco dari Siau
lim-si maka sekarang aku hendak menuntut balas padanya,"
Siau Hong menjadi heran
"Kau ber...."baru saja dia hendak tanya, tahu-tahu kedua tangan
Hi-tiok sudah bergerak dan menghantam ke arah Ting Jun-jiu.
Melihat ilmu pukulannya sangat
aneh dan sangat kuat, Sian Hong terkejut dan girang pula, katanya di dalam
hati, "Kiranya ilmu silat jiko sedemikian lihai, sungguh aku tidak menduga
sama sekali."
"Lihat pukulan!"
mendadak Siau hong juga membentak dan berbareng kedua kepalan tangannya ke arah
Buyung Hok dan Yan Goan-ci sekaligus.
Rupanya ke-18 ksatria Cidan
dapat memahami maksud Cukong (junjungan) mereka maka tanpa disuruh lagi segera
mereka mengelilingi Toan Ki dan melindunginya.
Dalam pada itu Buyung Hok dan
Goan Ci juga telah menyambut dan menghindarkan serangan Siau Hong tadi.
Sedangkan Hi-tiok juga lagi
mencecar Tìng lokoai dengan Thian-san liok-yang-ciang yang hebat.
Meski Liok-yang-ciang itu
adalah cìptaan Thian-san Tong-lo, tapi dasarnya bersumber dari ilmu
Siau-yau-pai. Maka cuma dua-tiga gebrak saja diam-diam Ting Jun-jiu
terperanjat, ia heran mengapa hwesio cilik ini pun mahir ilmu pukulan
Siau-yau-pai?
Karena sudah pernah adu
pukulan dan ke cundang di tangan Goan-ci, sekarang melihat Hi-tiok mengeluarkan
ilmu pukulan Siau-yau-pai, maka Lòkoai tidak berani sembarangan menggunakan
pukulan barbisa lagi, sebab kuatir tak mempan terhadap lawan, sebaliknya
dirinya sendiri bisa celaka malah. Karena itu ia ambil keputusan akan menjajaki
dulu asal usul si gundul pacul itu, kemudian baru akan menggunakan racun bila
perlu.
Ilmu silat Siau-yau pai itu
mengutamakan kegesitan dan keluwesen, sedangkan Ting-Lokoai dan Hi-tiok adalah
tokoh-tokoh terkemuka dari golongan mereka, dengan sendirinya gaya mereka
menjadi sangat indah dan cepat luar biasa.
Hampir seluruh ksatria yang
hadir itu tidak pernah menyaksikan ilmu silat golongan Siau yau-pai, maka semuanya
menjadi sangat tertarik, merekaa melihat gaya ilmu silat Siau-yan-pai itu
sangat indah bagai menari, tapi setiap pukulan selalu mengincar tempat
mematikan di tubuh lawan, sungguh mereka belum pernah lihat dan tidak kenal apa
namanya ilmu silat semacam ini.
Disebelah sana Siau Hong
sendiri lagi melawan keroyokan Buyung Hok dan Goan-ci, untuk sepuluh jurus
petama ia selalu mencecar lawannya, tapi sesudah belasan jurus ia merasa setiap
pukulan Goan-ci penuh mengandung hawa maha dingin. Pada saat Siau Hong lagi
mengadu tenaga dengan Buyung Hok, Goan ci juga menyerangnya, seketika ia merasa
di serang hawa dingin yang susah di tahan.
Seperti diketahui dalam badan
Goan ci sudah penuh racun dingin dari ulat sutra es, di tambah lagi mendapat
pemupukan iwekang Ih-kin-keng, maka sekarang iwekangnya yang maha dingin itu
sudah merupakan Salah satu Iwekang maha lihai di dunia ini.
Walaupun Siau Hong sangat
gagah perwira, tapi menghadapi ilmu yang aneh dan lihai itu, mau tak mau ia
merasa susah juga melayani, apalagi kepandaian Buyung Hok juga seimbang dengan
dia, pada waktu Goan-ci terdesak Buyüng Hok membantunya pula, dengan demikian
Siau Hong menjadi serba repot.
Di bawah keroyokan dua jago
seperti Buyung Hok Goan-ci, keadaan Siau Hong sekarang boleh dikatakan jauh
lebih berbahaya daripada dahulu ketika dikerubuti orang banyak di Cip
hian-Ceng.
Tapi dasar Siau Hong memang
gagah perkasa semakin payah keadaannya semakin semangat daya tempurnya, tenaga
sakti dalam tubuhnya bekerja terus, ia mainkan " Hang
liong-sip-pat-ciang," ilmu pukulan penakluk naga yang maha dahsyat telah
dikeluarkan seluruhnya sehingga Buyung Hok dan Goan ci sukar mendekat, dengan
demikian pula racun dingin pukulan Goan-ci menjadi susah mencapai tubuhnya.
Namun dengan memainkan ilmu
pukulan dahsyat itu, dengan sendirinya tenaga dalam Siau Hong banyak terkuras.
Asal ratusan jurus lagi tentu kekuatannya akan surut dan lemah. Goan-ci belum
berpengalaman dalam pertarungan, ia tidak tahu seluk-beluk kelemahan atau
keunggulan pihak sendiri dan pihak lawan. Sebaliknya Buyung Hok yang luas
pengetahunya telah memperhitungkan bila pertarungan demikian diteruskan, asal dirinya
dan Ong Sing-thian dapat berlahan sampai satu jam, akhirnya pihak sendiri pasti
akan menang.
Biasanya "Pak Kiau
Hong" dan "Lam Buyung" (Kiau Hong di utara dan Buyung di
selatan) mempunyai nama harum yang sederajat di dunia persilatan, hari ini
untuk pertama kalinya kedua tokoh ternama itu bertemu dan saling gebrak, tapi
Lam Buyung memerlukan bantuan Ong-sing-thian dari Kai-pang untuk mengarubut
lawan itu andaikan Siau Hong dapat dibinasakan, toh hal ini sudah membuktikan
bahwa "Lam Buyung" sesungguhnya kalah lihai daripada "Pak Kiau
Hong."
Begitulah diam-diam Buyung Hok
berpikir dan menimbang dalam hati, akhirnya ia berpendapat, "Usaha
membangun kembali kerajaan Yan adalah urusan lebih besar dan nama pribadi
adalah soal kecil, jika sekarang aku dapat menumpas Siau Hong yang dianggap
oleh para ksatria Tionggoan sebagai musuh bersama mereka, tentu mereka akan
kagum dan mengindahkan diriku dan dengan sendirinya kedudukan Bu-lim Beng-cu
akan kupegang dan mereka akan berada di bawah perintahku, besar harapan
kerajaan Yan akan dapat dibangun kembali dengan segera. Apalagi kalau Siau Hong
sudah binasa, andaikan orang anggap Lam Buyung lebih asor daripada Pak Kiau
Hong toh kejadian ini pun sudah lampau."
Lalu terpikir pula olehnya,
'Jika Siau Hong binasa, Ong sing-thian akan merupakan lawan pula. Bila
kedudukan Bu lim Bengcu ini sampai direbut olehnya, maka aku akan diharuskan
tunduk kepada perintahnya. Wah, hal ini pun tidak menguntungkan."
Karena itu, maka pada waktu
menyerang lagi diam-diam ia menghemat tenaga kelihatannya dia menyerang
sekuatnya, tapi sebenarnya memupuk tenaga sendiri, dengan demikian daya tekanan
Hang-liong-sip-pat-ciang yang dilontarkan Siau Hong sebagian besar dibebankan
kepada Goan-ci. Karena cara permainan Buyung Hok itu memang cepat dan bagus
sehingga kelicikannya sukar diketahui orang lain.
Begitulah dalam sekejap lagi
serang menyerang ketiga orang itu sudah mencapai ratusan jurus, Berulang Siau
Hong hendak memancing Goan-ci agar mau masuk perangkapnya. Dengan pengalaman
Goan-ci yang masih hijau itu memang beberapa kali hampir kejeblos ke dalam
perangkap Siau Hong, untung Buyung Hok lantas
membantunya dari samping dan
dapat mematahkan setiap serangan Siau Hong. Sebaliknya tiap tiap pukulan Siau
Hong yang maha dahsyat selalu disambut mentah-mentah oleh Goan ci yang memiliki
iwekang maha kuat.
Saat itu Toan Ki masih berada
di tengah lindungan ke-18 ksatria Cidan. Ia menyaksikan sang jiko dapat
mendesak Ting lokoai dan sedikit pun tidak kelihatan asor, sebaliknya sang
Toako yang mesti melawan dua musuh, walaupun kelihatannya gagah perkasa, setiap
pukulannya tampak sangat dahsyat, tapi mungkin tidak tahan lama.
Diam-diam Toan Ki berpikir,
"Tadi aku berkaok-kaok hendak sehidup semati dengan kedua kakak angkat,
tapi sesudah bertempur aku malah sembunyi di bawah lindungan orang. Huh,
terhitung adik angkat macam apakah aku lni? Masakah caraku ini dapat dianggap
sehidup semati. Huh, benar-benar memalukan. Biarpun aku tidak mahir ilmu silat,
tapi aku dapat menggoda Buyung hok dengan langkah ajaib Leng-po-wi-poh agar
Toako sempat mampuskan dulu si muka buruk yang mengaku sebagai Ong-pangcu itu.
Ya, aku harus bertindak demikian."
Karena pikiran ini, segera ia
menyelinap ke luar dari lingkungan ke-18 ksatria Cidan dan berseru lantang,
"Buyung-kongcu, engkau mengaku sebagai ”Lam Buyung' yang sama derajat
dengan 'Pak Kiau Hong' seharusnya engkau mesti satu lawan satu dengan Toako
kami, mengapa engkau pakai pembantu dan mengeroyok Toako toh dengan demikian
kalian tetap kewalahan, andaikan nanti kalian mampu menandingi Toako sama
kuatnya juga hal ini akan memalukan dan diterwakan sesama orang Bu-lim. Nah,
marilah lebih baik kita berdua main-main sendiri boleh coba kau serang
aku!" sembari berkata tubuh Toan Ki terus melayang dan menyerobot ke belakang
Buyung Hok, sekali ulur tangan, segera kuduk Buyung Hok hendak dicengkramnya.
Melihat datangnya Toan Ki
sangat cepat dan aneh langkahnya, tanpa pikir Buyung Hok putar tangannya dan
menampar ke belakang, "plok", dengan tepat pipi kanan Toan Ki kena
digampar sehingga merah bengap, saking sakitnya sampai air mata Toan Ki
bercucuran.
Kiranya langkah ajaib Leng
po-wi-poh itu meski sangat hebat tapi Toan ki sendiri tídak becus ilmu silat,
maka langkah ajaib itu hanya berguna untuk berlari saja menghindarkan serangan
lawan, sekali Toan Ki menggunakan langkah ajaib itu, biarpun jago kelas satu
juga sukar menjamah ujung bajunya.
Tapi sekarang dia yang hendak
menyerang orang. Dengan caranya yang geremat-geramut sudah tentu tidak dapat
melawan Koh soh Buyung yang berkepandaian lihai. Maka ketika ditampar sudah
tentu Toan Ki tidak mampu mengelak karuan mukanya lantas merah bengap dan
meringis kesakitan.
Sebaliknya ketika telapak
tangan Buyung Hok dengan cepat menyentuh pada pipi Toan Ki seketika ia pun
merasa tenaga dalamnya mendadak tertuang keluar dan menghilang tak tertahankan
lagi, dan karena karena kehilangan tenaga itu untuk sejenak lengannya ítu
terasa kaku. Sudah tentu Buyung Hok terperanjat, pikirnya,
"ilmu sihir atau ilmu
siluman apakah yang dia gunakan rasanya mirip benar dengan Hoa-kang-tai-hoat
milik Ting-lokoai itu? Jangan-jangan ilmu jahat Sing-siok-pai itu benar-benar
telah dipelajari bocah she Toan ini, terpaksa aku harus lebih hati-hatí
menghadapi dia.”
Karena itu, segera ía
mendamprat, "Orang she Toan, sejak kapan kaupun masuk Siok-siok-pai?”
"Apa katamu? ... "
baru Toan Ki hendák bertanya sekonyong-konyong kaki Buyung Hok melayang tiba
sehingga dia didepak terguling.
Kiranya Buyung Hok mengira
orang mahir Hoa-Kang tai-hoat maka tidak berani menempurnya dari depan lagi,
tapi pada saat tak terduga ía terus menendangnya sehingga Toan Ki roboh
terjungkal. Sama sekali Buyung Hok juga tidak menduja bahwa dengan mudah
lawannya dapat ditendang terjungkal, segera ia memburu maju dan dengan kaki
kanan ia injak dada Toan Ki yang belum lagi sempat bangun.
'Kau minta mampus atau ingin hidup?"
bentak Büyung Hok.
Sekilas Toañ Ki melihat Siau
Hong masih melabrak Ong Sing-thían dengan sengit, la pikir kalau menjawab
dengan kata-kata kasar tentu akan segera dibunuh oleh Buyung Hok dan hal ini
akan berarti Buyung Hok dapat membantu Ong Síng thian untuk mengeroyok sang
Toako lagi. Akan lebih baik aku main ulur waktu saja dengan dia. Maka Toan Ki
lantas menjawab, "Apa gunanya mati? Sudah tentu lebih baík hidüp di dunia
ramai ini!"
Sama sekali Buyung Hok tidak
menduga bahwa dalam keadaan terancam jiwanya pelajar tolol ini masih berani
bícara secara jahil dan acuh-tak acuh. Dengan mendongkol ia membentak pula,
"Jika ingin hidup, kamu harus .... "
Mestinya ia hendak menyuruh
Toan Ki menjura seratus kali padanya untuk menghinanya di depan orang banyak
tapi lantas terpikir olehnya bila Toan Ki dilepaskan, untuk membekuknya lagi,
mungkin akan susah, maka ucapannya lantas berganti menjadi, "harus
memanggil seratus kali ’kakek’ padaku!"
"Usiamu cuma beberapa
tahun lebih tua dari padaku, masakah cocok untuk menjadi kakekku!” sahut
Toan-kí dengan tertawa.
"Blang," mendadak
Buyung Hok menghantam sehingga mengenai tanah di samping kanan kepala Toan Ki,
seketika debu pasir berhamburan dan berwujud sebuah lubang. Coba kalau pukulan
itu sedikit menceng saja, bukan mustahil kepala Toan Ki sudah hancur luluh.
"Nah, kau mau memanggil
atau tidak?" bentak Buyung pula.
Toan Ki miringkan kepalanya
agar matanya tidak kelilipan oleh debu pasir dan sekilas dilihatnya Ong Giokyan
berdiri di antara Pau Put-tong dan Hong Po-ok. Dengan jelas Toan Ki melihat
nona itu sedang memperhatikan dirinya, yang bertempur dengan Buyung Hok. tapi
biarpun dirinya sekarang sudah kalah dan diancam oleh Buyung Hok, sedikit pun
nona itu ternyata tidak memperlihatkan rasa kuatir. Nyata apa yang dipikirkan
oleh nona itu mungkin hanya satu saja, yaitu sang Piauko akan membunuh
Toan-kongcu?"
Dan kalau dirinya dibunuh
Buyung Hok, boleh jadi nona itu juga takkan sedih. Hancur luluh hati Toan Ki
demi melihat sikap Giok-yan itu. Seketika ia merasa lebih baik mati di bawah
Pukulan Buyung Hok saja daripada kelak akan menderita siksaan batin yang rindu
dendam karena kasih tak sampai. Maka tanpa pikir ia terus menjawab pertanyaan
Buyung Hok tadi, "Kenapa bukan dirimu saja yang memanggil seratus kali
'kakek' padaku?"
Karuan Buyung Hok manjadi
gusar, sebelah tangannya terangkat dan segera menghantam kemuka Toan Ki.
Pada saat yang sama,
sekoyong-konyong dua sosok bayangan orang menerjang tiba secepat kilat yang
seorang berteriak. "Jangan melukai putraku!"
Dan yang lain berseru,
"Jangan mencelakai Suhuku!"
Mereka adalah Toan Cing-sun
dan Lam-hai-go-siu.
Walaupun kedatangan mereka
sangat Cepat, tapi toh sudah terlambat untuk mencegah pukulan Buyung hok itu.
Sebagai tokoh persilatan terkemuka, berbareng dua rangkuman tenaga pukulan
mereka susul menyusul menyerang ke bagian mematikan di tubuh Buyung Hok.
Dalam keadaan menyerang dan
diserang, walau Büyung Hok dapat membunuh Toan Ki, ia sendiri pasti juga akan
celaka. Sudah tentu ia tidak ingin dirinya celaka maka segera ia menarik
kembali pukulannya tadi dan digunakan untuk menangkis puluhan Toan Cing-sun, sedangkan
tangan lain juga berputar ke belakang untuk mematahkan serangan
Lam-hai-gok-sin.
Karena benturan tenaga itu,
ketiga orang sama-sama kesiap, ketiganya merasa kepandaian lawan memang sangat
hebat. Karena terburu-buru ingin menyelamatkan putranya, segera jari telunjuk
Toan Cing-sun bergerak dan menutuk lagi dengan ilmu jari "it
yang-ci".
"Awas, Piàuko, ini kungfu
It-yang-ci keluarga Toan di Tayli, tidak boleh kau anggap enteng," seru
Giok yan.
Dalam pada itu Lam-hai gok-sin
juga berteriak teriak, "Bedebah keparat, meski Suhuku tidak genah,
setidaktidaknya dia adalah guruku. dan kalau kau pukul Suhuku, itu berarti
memukul aku si Gak luji ini. Bila Suhuku ini mendadak takut mati terus
memanggil 'kakek' padamu, wah, tentu aku Gak Loji juga akan sial dan cara
bagaimana aku harus memanggil padamu? Bukankah tingkatanku akan merosot tiga
angkatan dan bukankah aku akan menjadi cucumu yang celaka! Kurangajar! Kamu
benar-benar terlalu kurang ajar, Hari ini biarlah aku mengadu jiwa
dengamu!"
Begitulah, sembari memaki
segera ia mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaítu "Gok-hi-cian"
(gunting congor buaya) dan segera menggunting ke kanan dan ke kiri ke arah
Buyung Hok.
Selama hidup Lam hai gok Sin
paling takut kalau tingkatannya berada di bawah orang lain. sampai-sampai
urusan nomor dua dan tiga dalam "Su-ok" juga di perebutkan dengan Yap
Ji-nio, Sekarang jika toan Ki benarbenar memanggil "kakek" pada
Buyung Hok, maka tanpa bisa dítawar lagi Lam-hai gok-sin juga akan ikut menjadi
"cucu" orang, Hal ini baginya benar-benar suatu kejadian yang sial.
Sebab ítulah ia mati darípada hídup dihina.
Buyüng hokz sendiri tidak
paham mengapa Lam-Haí-gok-sin marah-marah dan mencaci-maki padanya, Namun
sebelah kakinya masih tetap! Menginjak di atas dada Toan Ki dan kedua tangannya
dipakai untuk melawan Toan cing sun dan Lam-Hai gok sin.sesudah belasan jurus
lambat-laun ia merasa Lam-hai-gok-sin lebih mudah dilawan biarpün orang
bersenjata gunting yang aneh. Sebaliknya It-yang-ci yang dilontarkan Toan
Cing-sun benar-benar tidak boleh dipandang enteng.
Sebab itulah ia mencurahkan
perhatiannya untuk melayani Toan Cing sun dan cuma menggunakan sisa tenaga lain
untuk melawan Lam-hai-Gok sin, bahkan terkadang dengan pukulannya yang hebat ia
desak Gok-sin hingga terpaksa meloncat mundur.
Toan Ki yang dadanya terinjak,
meski sudah meronta ronta hendak bangun, tetap gagal dan tidak kuat.
Sudah tentu yang paling kuatir
adalah Toan Cing sun ia tahu bila kaki Buyung Hok menginjak lebih keras pasti
sang putra akan muntah darah dan mungkin binasa. Dalam keadaan demikian
terpaksa ia harus menggunakan serangan kilat untuk menyelamatkan dulu putranya
itu. Segera ia mainkan It-yang ci dengan cepat, ia mencecar dengan serangan
dahsyat.
Tiba-tiba suara seorang
berseru mengejek, „Huh, It yang ci dari Tayli mengutamakan sikap agung
berwibawa
tutukan yang dahsyat harus
tidak harus mengurangi perbawa seorang raja. Kalau bermain cara hantam kromo
demikian masakah dapat disebut sebagai It-yang ci? Hehe, benar-benar membikin
malu keluarga Toan dari Tayli."
Cing-sun kenal pembicara itu
adalah musuh besarnya Yan khing Thaisu alias Toa-ok. Apa yang dikatakannya itu
memang benar, tapi Cing sun sendiri terlalu menguatirkan keselamatan sang
putra, maka pikirannya menjadi kacau dan tidak sempat memikirkan gaya dan sikap
agung lagi.
Dan karena permainan Cing-sun
agak kasar, ketika ia menutuk pula dan tenaga tutukan itu kena dítarík
sekekalian Buyung Hok, "crit", tahu-tahu ketika Lam-hai gok sin kena
tertutuk.
Karuan Lam-hai-Gok-sín
berkeok-keok kesakitan dan gelí.
"Maknya .... " baru
saja ia hendak memaki, mendadak senjata guntingnya jatuh ke bawah dan mengetuk
telapak kaki sendiri, ia berjingkrak kesakìtàn dan mestinya hendak mencaci-maki
lagi, tapi lantas terpikir olehnya yang menggunakan It-yang-ci dan salah
menyerangnya itu adalah ayah sang Suhu, kalau memakinya berarti memaki kakeknya
sendirí. Ia pikir orang ini hanya boleh dibunuh dan tidak boleh dimaki, kalau
ada kesempatan biar menggunting saja kepalanya. Sebab itulah makinya tadi
menjadi urung diteruskan.
Pada waktu Cing sun salah
menyerang teman sendiri, sedikit terpencar perhatiannya itu telah digunakan
dengan baik oleh Buyung Hok, secepat kilat Ia pun menutuk dada lawan dan dengan
tepat mengenai Tiong-tanhiat. Seketika Cing-sun meràsa napasnya sesak da n dada
kesakitan.
"Bagus, Piauko! Jurus Ya
ja-tam-hai yang hebat!" seru Giok-yan memuji.
Padahal serangan Buyung Hok
itu dilakukan dengan terburu-buru dan tidak mengenai tempat yang mematikan,
tapi Giok-yan sengaja memujinya.
Dalam pada itu serangan Buyung
Hok sudah menyusul pula, segera tangan kanan menyodok ke depan untuk menghantam
dada lawan. Karena napas Cing-sun belum lagi lancar, terpaksa ia tak dapat
menangkis, kontan ia manyemburkan darah karena hantaman Buyung Hok Itu. Namun
begitu demi menyelamatkan sang putra, tetap ia tidak mau mengundurkan diri,
cepat ia mengerahkan tenaga. Sementara itu serangan Buyung Hok yang lain sudah
tiba pula.
Toan Ki yang masih terinjak di
bawah kaki Buyung Hok menjadi kaget ketika melihat sang ayah tumpah darah,
sedang serangan Buyung Hok di lontarkan pula, dengan kuatir segera ia
membentak, "Ho , kau berani melukai ayahku!”
Dalam gugupnya, dengan
sendirinya tenaga andalannya bergolak dan meluncur keluar melalui jarínya. Dan
itulah "Siang-yang-kiam" yang keluar dari Lak-mah-sin-kiam yang tak
berujut itu.
"Cret", tahu-tahu
lengan baju Buyung Hok terkupas terpotong oleh Kiam-gi (hawa pedang) yang tak
kelihatan itu. Menyusul hawa pedang terus membentur pukulan Buyung Hok tadi,
kontan Buyung Hok merasa tangan sakit pegal. Ia terkejut dan cepat melompat
mundur.
Bebas dari injakan kaki orang,
cepat Toan Ki merangkak bangun dan kembali jari kecil kiri menuding pula,
dengan jurus "Siau-tik-kiam" ia menusuk ke arah musuh.
Buyung Hok tidak berani ayal,
ia kebaskan lengan baju untuk menangkis, terdengar lagi suara "brat-bret"
dua kali, lengan bajunya terkupas potong oleh hawa pedang.
"Awas Kongcu!" seru
Ting Pek-jwan. Itu Bu-heng-Kiam-gi,(hawa pedang tak berwujud) pakailah senjata
ini.”
Berbareng ia lolos pedang
sendiri dan dilemparkan kepada Buyung Hok.
Toan Ki merasa sangat sedih
dan dongkol panas tadi mendengar Gíok-yan bersorak memuji serangan Buyung Hok,
dan yang diserang justru dada ayahnya.
Dengan perasaan yang
bergejolak itu, maka tenaga dalamnya juga ikut bekerja serentak, sekaligus ¡a
ményerang dengan Siau-siang, Siang-heng, Tiong-hang, Kwan-heng , Siau-hong dan
Biau-heng, Lak-mehkiam-hoat dikeluarkan seluruhnya dengan lancar seakan-akan
dibantu oleh suatu kekuatan gaib.
Buyung Hok sendíri juga tambah
semangat barusan mendapat lemparan senjata dari Ting Pek-juan, ia putar pedang
dengan kencang hingga seluruh tubuh seperti terbungkus dalam lapisan sinar
pedang.
Orang-orang Bu-lim biasanya
cuma mendengar kepandaian keluarga Buyung itu sangat tinggi dan luas. boleh
dikatakan serba bisa, tapi tidak menduga bahwa ilmu pedangnya ternyata
sedemikian bagusnya.
Namun begitu, betepa hebat
Ilmu pedang Buyung Hok itu tetap dia tidak dapat mendekati Toan Ki dalam jarak
dua-tiga meter.
Kedua tangan Toan Ki kelihatan
menutuk kesana dan ke sini danBuyung Hok terpaksa harus berkelit kian kemari
dengan sibuk Sekonyong-konyong terdengar "krek" sekali, tahu-tahu
pedang yang dipegang Buyung hok menjadi belasan potong dan mencelat ke udara
sehingga mengeluarkan Sinar gemerdep.
Walaupun terkejut, Buyung Hok
tidak menjadi gugup, menyusul ia menghantamkan telapak tangannya sehingga
belasan potong pedang patah itu tertimpuk ke depan dan mirip hujan senjata
rahasia dan menyerang ke arah Toan Ki.
"Haya, celaka!"
teriak Toan Ki dengan kelabakan dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri dan
bertiarap di atas tanah.
Maklum dia tidak mahir ilmu
silat, jangakan dihujani senjata rahasia sebanyak itu, biarpun sibatang saja
dia sudah kerepotan. Untung juga dia bertiarap hingga belasan pedang patah itu
menyambar lewat di atas kepalanya. Tapi cara berkelit dengan bertiarap hingga
mirip "anjing menubruk tahi" itu sudah tentu tidak pantas dipandang
orang. Sebaliknya meski pedangnya diputuskan tapi Buyung Hok bisa merubah
menjadi pihak yang menang, tentu saja ia lebih gemilang daripada lawannya.
”Terimalah senjata ini
Kongcu!" seru Hong Po-ok sambil melemparkan goloknya.
Cepat Buyung Hok sambar
senjata itu. Ia lihat Toan Ki sudah merangkak bangun, segera ia mengejeknya
dengan tertawa, "Jurus Toan-heng barusan mungkin bernama anjing menubruk
tahi, apakah itu termasuk kungfu lihai dari keluarga Toan di Tayli?”
Toan Ki melengak tapi lantas
menjawab, ”Bukan!”
Menyusul jarinya bergerak,
segera ia menusuk pula dengan Siau ciang-kiam.
Kembali buyung Hok putar
goloknya dengan segera ia mengeluarkan bermacam-macam ilmu golok dari berbagai
golongan seperti tidak habis-habis kepandaiannya tak terhingga. Cuma meski ilmu
golok Buyung Hok sangat hebat tetap susah mendekati Toan Ki.
Sebaliknya ketika Toan Ki
menusuk lagi dengan jarinya dan terpaksa Buyung Hok menangkis dengan goloknya,
tahu-tahu terdengar "trang" sekali, kembali golok itu tergetar patah.
Cepat Kongya Kian melemparkan
senjatanya sendiri, yaitu dua batang Boan-koan-pit dari baja, Buyung Hok
membuang golok patah dan sambut Boan-koan pit yang dilemparkan anak buahnya
itu, menyusul ia gunakan untuk menyerang dengan cepat.
Dalam pada itu semangat
pertempuran Toan Ki sudah tambah kuat, sesudah berpuluh jurus sekarang rasa
jerinya sudah lenyap, Teringat pula ajaran-ajaran Iwekang dari paman bagindanya
Koh-eng Taisu. Segera ia dapat memainkan Lak-meh-sin-kiam dengan lebih lancar.
Tiba-tiba terdengar Siau Hong
berkata padanya, "Samte permainan Lak-meh-sin-kiam sekaligus ini tampaknya
engkau belum apal betul sehingga banyak lubang yang dapat digunakan musuh untuk
balas menyerang. Lebih baik kamu menggunakan salah satu macam di antaranya
saja.”
"Baik banyak terima kasih
atas petunjuk Toako." jawab Toan Ki. Waktu ia melirik, ia lihat Siau Hong
sudah berdiri di samping dengan berpeluk tangan, sebaliknya Ong Sing-thian
tampak menggeletak di alas tanah dan sedang rnerintih-rintih kesakitan,
ternyata kedua kakinya telah patah.
Kiranya sesudah Toan Ki ikut
maju menempur Buyung Hok sehingga Siau Hong hanya melawan Goan-ci sendirian,
seketika Siau Hong berada di atas angin. Walaupun beberapa kali mengadu tangan
dan merasa hawa dingin pukulan Goan-ci itu susah ditahan, untung tenaga dalam
Síaü Hong teramat kuat dan tidak sampai keracunan.
Segera Siau Hong berganti
siasat sedapat mungkin ia menghindari adu pukulan sebaliknya ia mengunakan tipu
serangan lain.
Mendadak ia memukul susul
menyusül dua kali sehingga terpaksa Goan-ci mesti menangkis sekuatnya,
kesempatan ítu segera digunakan Siau Hong untuk menyapak dengan kakinya.
Kemahiran Goan-ci hanya racun
dingin yang diperolehnya dari ulat es dan iwekang dari Ih tin kang, dalam hal
ilmu silat hanya dipelajarinya sedikit-sedikit dari A Ci, sudah tentu ià tidak
mampu menghindarkan serampangan kaki Sìau Hong. Maka tanpa ampun lagi,
"krak-krek", kedua tulang kakinya disapu patah oleh Siau Hong
sehingga roboh terjungkal.
"Hm, selamanya Kai-pang méngútamakan
kejujuran dan berdiri di pihak yang baik, sebagai pangcu masakah kamu malah
berkomplotan dengan kawanan siluman Sing-siok-pai? Benar-benar membikin malu
nama baik Kai-pang selama beratus tahun ini!" damprat Siau Hong.
Sebabnya Goan-ci dapat menjabat
Pangcu adalah karana orang lain tidak mampu melawan ilmu silatnya yang
berbisa, bicara tentang
pengalaman dan pengetahuan dia boleh dikatakan sangat hijau, apalagi dia
memakai kedok, kelakuannya serba sembunyi-sembunyi, segala urusan selalu
bergantung kepada A Ci dan Coan Koanjing, dengan sendìrinya para Tionglo Kaì
Pang merasa tidak suka padanya.
Apalagi tadi Goan-ci telah
menyembah kepada Ting jun-jiu dan masuk menjadi anggota Sing-siok-pai, tentu
saja para Tianglo semakin memandang hina padanya. Maka sekarang tiada seorang
pun yang mau menolongnya biarpun kedüa kakinya disarampang patah olah Siau
Hong. sebaliknya diam-diam para Tionglo merasa bersyukur dan senang malah.
Ada juga beberapa orang
separti Coan Koan jun dan begundalnya ingin maju menolong sang Pangcu yang
menggeletak di tanah itu, tapi demi nampak sikap Siau Hong yang gagah perkasa
dan angker itu, mereka menjadi jeri pula.
Sesudah merobohkan Goan-ci,
Siau Hong melihat pertarungan Hi-Tiok melawan Ting Jun-jíu pün sudah menduduki
tempat yang unggul, sebaliknya Toan ki yang melawan Buyung Hok dengan
Lek-meh-sin-kiang terkadang bagus dan sekali tempo sangat lambat sehingga
banyak kesempatan baik untuk mengalahkan lawan tersia-siakan, bahkan kalau kena
pukül bukan mustahil Toan Ki sendiri yang akan celaka di tangan Buyung Hok
sebab itulah ia lantas bersuara memberi petunjuk kepada Toan Ki.
Dan karena Toan k¡ melirik
sekejap keadaan Siau Hong yang telah mengalahkan Goan-cí itu sedikít lengah
saja telah digunakan oleh Buyung Hok dengan baik. Sebelah Boan-koan-pit secepat
kilat disambitkanke dada Toan Ki.
Melihat sambaran Boan koan-pit
itu sedemikian hebatnya, tampaknya akan segera menembus dadanya, Toan Ki
menjadi kelabakan dan berteriak-teriak, "Toako! tolong, Toako!"
Cepat Síau Hong bertindak,
dengan Jurus "Kian-liong-cai-thian" (melihat naga di sawah) salah
satu jurus Hang liong sip pát ciang keras dihantamkan ke depan sehingga Boan
koan pit itu tersampuk dan melengkung bagian Tengahnya, karena itu arahnya
lantas berkisar dan membelok kebelakang kepala Toan Ki, bahkan terus berputar
balik dan menyambar ke arah Buyung Hok malah.
Kejadian ini pun di luar
dugaan Siau Hong sendiri, ia tidak menduga bahwa selama ini tenaga dalamnya
telah maju sedemikian pesatnya sehingga tanpa terasa tenaga pukulannya dapat
membuat batang potlot baja itu melengkung, bahkan terus mengitar balik ke árah
penyambitnya.
Sebenarnya tindakan Siau Hong
ini hanya secara kebetulan saja, namun demikian sudah membikin para ksatria
melongo kesima, semuanya terkejut dan merasa kepandaian Siau Hong benar-benar
sudah mencapai tarap yang sukar diukur.
"Nah, itu namanya
'Ih-pi-ci-to, hoan-si-pat sin," teriak Hoan Hua.
Tapi Buyung Hok sempat
mengangkat Boan-koan-pit yang lain untuk menangkis, "trang", kedua
batang Boankoan-p¡t kebentur, lengan tergetar sampai kesemutan, diam-diam ia
mengakui betapa kuatnya tenaga Siau Hong.
Namun sebelum Boan-koan-pit
yang melengkung tadi terpental jatuh, sekali tangannya meraup dengan tepat Boan
koan-pit bengkok itu kena ditangkapnya dan dapat digunakan sebagai senjata pula
dalam bentuk gaetan.
Melihat macam-macam kepandaian
Buyung Hok yang serba bagus itu, ditambah lagi tenaga pukulan Siau Hong yang
hebat tadi, seketika bersoraklah para ksatria memberi pujian,
Mereka merasa tontonan hari
ini benar-benar berharga untuk dilihat dan perjalanan mereka ke Siau-lim-pai
ini tidak percuma juga.
Dalam pada itu sesudah
terhindar dari serangan Boan koan-pit, hanya tertegun sejenak saja segera Toan
Ki. menutuk ke depan pula dengan Jari jempol dalam jurus
"Siau-siang-kiam" yang dahsyat. Walaupun Buyung Hok masih dapat
menangkis dengan Boan-koan-pit yang sekarang berbentuk lain itu namun
lambt-laun ia merasa penuh juga.
Sebaliknya. karena mendapat
petunjuk dari Siau Hong, maka sekarang Toan Ki melulu memainkan siau-siangkiam
sajà sehingga daya tekannya benar-benar bertambah hebat dan tidak memberi lobang
kelemahan bagi Buyung Hok.
Sebenarnya Lak-meh-kiam hoat
itu meliputi enam jurus yang satu lebih hebat daripada yang lain kalau
dimainkan secara berantai.
Tapi Toan Ki tidak paham letak
kelihaian ilmu pedang tak berwujud itu, ia cuma memainkan Siau-siang-kiam
secara berulang-ulang. Namun begitu sesudah belasan kali berulang,
Buyung Hok terdesak hingga
mandi keringat, ia main mundur terus dan akhirnya kepepet sampai di samping
sebatang pohon besar. di situlah ia coba bertahan pula dengan membelakangi pohon.
Setelah memainkan
Siau-siang-kiam, segera Toan Ki menekuk jempolnya dan berganti dengan jari
telunjuk, sekarang yang dimainkan adalah Siau-yang kiam.
Siau-yang-kiam memang kurang
dahsyat dibandingkan Siau siang-kiam, tapi lebih cepat dan lebih ganas. Maka
ketika Jarinya menusuk, seketika Buyung Hok tambah kerepotan menghindarkan
diri.
Melihat keadaan sang Piauko
terancam bahaya, Giok yan menjadi kuatir. Meski ia tahu segala macam Ilmu silat
dari berbagai golongan persilatan tapi terhadap Lak-meh-sin-kiam sama sekali
tidak paham sehingga tidak dapat memberi petunjuk apa-apa kepadà sang Piauko
maka dia hanya kuatir saja dan tak berdaya.
Melihat ilmu pedang Toan Ki
yang tak berwujud itu makin dimainkan makin hebat, diam-diam Siau Hong sangat
senang dan kagum. Tiba-tiba hatinya menjadi pedih pula demi teringat kepada A
Cu.
Sebabnya A Cu rela mati
mewakilkan ayahnya adalah lantara kuatir kalau aku tidak dapat melawan
Lak-mehsin-kiam keluarga Toan mereka. Sedangkan kalau melihat ilmu pedang yang
dimainkan Samte ini memang sedemikian saktinya, andaikan aku yang diserang
seperti Buyung Hok sekarang. terang aku pun tidak sanggup melawannya. Jadi A Cu
telah mengorbankan jiwanya untuk keselamatan diriku, padahal aku adalah
....adalah bangsa Cidan yang kasar, masaakah aku ada harganya untuk mendapatkan
cinta si nona yang suci murni itu? Demikian pikir Siau Hong.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang banyak dari arah barat laut sana sedang berteriak.
"Sing síok Lokoai, kau berani bergebrak dengan Kaucu kami dari Leng ciü
kiong? Sekarang kamu berlutut dan menyembah untuk minta ampun jika tidak ingin
mampus?"
Waktu Siau Hong berpaling, la
lihat di lambung gunung sana berdiri delapan baris kaum wanita ada yang tua dan
ada yang muda. setiap barisan itu memakai pakaian seragam berbeda warna.
Disamping kedelapan barisan
wanita itu ada pula ratusan orang kangouw dengan dandanan berbeda daripada
orang biasa. Orang orang kang-ouw yang tampaknya gagah dan tangkas itu juga
sedang berteriak-teriak, "Kaucu, lekas tanamkan Sing-si-hu padanya, biar
dia tahu rasa!”
"Ya, terhadap Sing-siok
Lokoai tiada obat yang lebih mujarab daripada diberi persen dengan
Sing-si-hu!"
Saal itu Hi-tiokz sedang
melabrak Ting-lokoai dengan sepenuh tenaga. Baik ilmu silatnya maupun tenaga
dalamnya Hi-tiok berada di atas Ting Jun jiu maka sejak tadi mestinya dia dapat
mengalahkan lawan, cuma dia kurang berpengalaman di medan tempur sehingga
kepardaiannya yang sejati tidak sempat dikeluarkan seluruhnya. Pula dia berhati
welas asih, banyak tipu serangan mematikan tak mau digunakannya, apalagi
seluruh badan Lokoai boleh
dikata racun melulu, hal ini membuat Hi-tiok agak jeri dan tidak berani
sembarangan menyentuh badannya, makanya sampai sekian lama ia masih belum dapat
merobohkan iblis tua itu.
Ketika mendadak mendengar
suara orang banyak yang memanggil dia, segera Hi-tiok berpaling dan terlihat
delapan daripada sembilan pasukan wanita Leng ciu kiong telah datang semua. Dan
kaum laki-laki itu adalah para Tongcu dan Tocu yang jumlahnya tidak sedikit.
”Sia-popo. Oh-siangsing,
mengapa kalian pun datang semua?” seru Hi-Tiok dengan girang.
"Lapor Kaucu, hamba
sekalian telah menerima berita Bwe-kiam berempat dan mendapat tahu para keledai
gundul Siau-lim-pai hendak membikin susah kepada Kaucu, maka buru-buru hamba
mengumpulkan para Tongcu dnn Tucu dan menyusul kemari," demikian sahut
Sia-popo. "Dan sekarang ternyata Cujin tidak kurang suatu apa pun, sungguh
hamba sekalian merasa sangat girang."
"Siau-lim-pai adalah
perguruanku, kamu tidak boleh memakai kata-kata kasar, lekas minta maaf kepada
Hongtiang Siau lim-si," bentak Hi-Tiok.
Sembari berkata tetap Hi-tiok
memainkan Thian-san ciat-bwe-jiu dengan tidak kurang hebatnya.
Sia-popo tampak gugup karena
teguran Hi-tiok itu, dengan hormat ia mengiakan dampratan sang Cujin, lalu
mendekati Hian-cu dan berlutut, ia menyembah beberapa kali dan berkata,
"Sia-Popo dari Leng-ciu-kiong tadi telah bicara secara kasar dan
menyinggung nama baik para Taisu Siau-lim-si, untuk itu harap Hongtiang suka
memaafkan dan mohon diberi hukuman yang pantas."
Dia bicara dengan
sungguh-sungguh dan penuh hormat, kata demi kata sangat lantang dan jelas, hal
ini menandakan Iwekangnya yang tinggi dan sudah tergolong jago kelas satu.
Hian-cu mengebatkan lengan
bajunya berkata, "Ah, Lisicu tidak perlu banyak adat, silahkan
bangun!"
Dengan kebasan langan baju
yang menggunakan delapan bagian tenaga itu mestinya Hiau-cu hendak mengangkat
bangun si nenek, tak tersangka badan Sia-popo cuma sedikit tergetar saja dan
tidak sampai terangkat. Bahkan ia nenek itu lantas menjura lagi dan minta
ampun, habis itu baru dia berbangkit dengan pelahan dan kembali ke tempatnya
tadi.
Para padri Siau lim-si
angkatan Hian tadi telah mendengar penuturan Hi-Tiok tentang pengalamannya di
Biau-
biau-hong. sebaliknya padri
lain dan para kesatria yang menyaksikan itu menjadi terheran-heran akan
kepandaian si nenek yang luar biasa itu tampaknya kawan-kawannya baik wanita
maupun laki-laki itu pun bukan kaum lemah, tapi mengapa sudi mengaku harnba
pada Hi-tiok.
Dalam pada itu anggota Sing
siok-pai yang dasarnya memang terdiri dari manusia-manusia rendah dan
kurangajar itu, demi melihat banyak di antaranya wanita Leng-ciu-kiong itu
masih muda dan cantik serentak mereka berkeok-keok dan bersiul-siul menggoda
dengan kata-kata yang kotor.
Sebaliknya para Tongcu dan Tocu
itu adalah orang kasar pula, demi mendengar ucapan orang Sing-siok-pai yang
tidak sopan itu, kontan mereka balas mecaci maki sehingga seketika itu ramailah
suara orang membentak dan memaki.
Bahkan para Tongcu dan Tocu
serentak meloloskan senjata hendak melabrak lawan-lawannya. Tapi anggota
Sing-siok-pai tidak berani sembarangan bergerak karena belum mendapat perintah
guru mereka. Mereka masih tetap mencaci maki dengan kata-kata yang semakin kotor.
Sementara Toan Ki masih terus
memusatkan perhatiannyq untuk menyerang Buyung Hok dengan Siau-yangkiam. Karena
tercecer, maka akhirnya Buyung Hok menjadi susah membendung arah datangnya hawa
pedang serangan Toan Ki itu, terpaksa ia putar sepasang Boan-koan-pit yang
lurus dan bengkok itu untuk melindungi tubuhnya.
"Crit",
sekonyong-konyong hawa pedang Toan Ki menembus pertahanan Buyung Hok sehingga
kopyahnya terpapas jatuh, seketika rambutnya terurai, keadaannya serba runyam.
"Jangan, Toan
kongcu!" teriak Giok yan dengan kuatir.
Toan Ki terkesiap, menghela
napas panjang dan serangan lain tidak jadi dilontarkan lagi. Katanya di dalam
hati, "Ya, aku tahu yang kau pikirkan hanya piaukomu seorang saja,
andaikan aku membunuhnya, tentu engkau akan sangat terluka dan selanjutnya
takkan tertawa lagi. Aku menghormati dan mencintaimu, tidak nanti aku membikin
dirimu hidup merana."
Dalam pada itu Buyung Hok
telah mengikat kembali rambutnya dengan wajah pucat, kalau mendapat bantuan
seorang wanita untuk mengatakan ampun kepada lawan, maka ke mana lagi mukaku
harus ditaruh selanjutnya?
Karena pikiran itu, ia lantas
membentak, "Seorang laki-laki biar mati juga tidak sudi minta kemurahan
hatimu."
Berbareng ia putar
Boan-koan-pit dan menubruk maju lagi.
"Eh, eh, jangan! kita kan
tiada permusuhan apa-apa. Kenapa mesti bertempur lagi?"' seru Toan Ki
sambil menggoyang-goyang kedua tangannya ke depan. "Sudahlah aku tak mau
berkelahi lagi, tak mau lagi!"
Dasar watak Buyung Hok memang
tinggi hati selamanya dia tidak pandang sebelah mata pada siapa pun, tapi
sekarang dia kecundang di depan orang banyak celakanya lawan adalah orang yang
dikenal sebagai pelajar tolol itu, apalagi lawannya lantas mengalah lantaran
Giok-yan ikut minta. Sudah tentu la tidak mau terima mentah-mentah
kekalahannya.
Maka sekali menubruk maju,
segera ia gunakan Boan-koan-pit yang bengkok itu untuk menyerang müka Toan Ki,
sebaliknya Boan-koan-pit lurus menusuk dada lawan, pikirnya, "Biarlah kau
bunuh aku dengan hawa pedang tak kelihatan itu, marilah kita. gugur bersama
daripada hidup menanggung malu di dunia ini."
Nyata, dengan serangan Buyung
Hok itu, terang dia sudah nekat dan tidak menghiraukan sendiri lagi.
Di lain pihak Toan Ki menjadi
bingung juga ketika melihat Buyung Hok menubruk ke arahnya, kalau ia gunakan
Lak-meh-sin-kiam, kuatír akan membinasakan lawan itu. Dan karena sedikit
ayalserangan Buyung Hok sudah tiba, "Bles”, tahu-tahu Boan-koan-pit
menancap dibadan Toan Ki sedang dalam kagetnya mengeges sedikit ke kiri sehingga
tusukan itu tidak tepat menembus dadanya tapi menancap bahunya, begitu hebatnya
serangan itu sehingga bahu Toan Ki tertembus.
Dan Takkala Toan Ki menjerit
kaget menyusül Buyung Hok ayun Boan-kuau-pit lain yang bengkok itu untuk
menggaet leher Toan Ki.
Saat itu Toan telah dipantek
oleh Boan-koan-pit sehingga susah mengelak lagi, tampaknya dia pasti akan
dibinasakan oleh serangan Buyung Hok yang sudáh kalap itu.
Melihat keadaán berbahava itu,
kembali Toan Cing-Sun dan Lam-hai-gok-sin menubruk maju lagi hendak menolong.
Tapi sekali ini Buyung-Hok sudah bertekad harus mernbunuh Toan Kí, maka ia
tidak menghiraukan keselamatan sendiri yang diserang sekaligus oleh Toan
Cing-sun dán Lam-hai-gok-sin berdua.
Tampaknya leher Toan Kí akan
segera dapat digantul oleh Boan-koan-pitnya yang bengkok itu, walaupün Buyung
Hok sendiri juga takkan terhindar dari kematian karena di serang bareng oleh
Cing-sun dan Gok-sin, di luar dugaan pada detik yang menentukan itu sekonyong-koyong
Buyung Hok merasa "Sin-to-hiat" di punggungnya terasa kesemutan dan
tahu-tahu badan kena dicengram dan diangkat ke atas oleh tangan seseorang.
Sin-to-hiat adalah hiat-to
terpenting di bagian punggung, sekalí tempat itü terpegang seketika terasa
kedua tangan linu pegal dan tak bertenaga lagi sehingga senjata yang
dipegangnya juga terjatuh.
Maka mendengar Siau Hong
membentak dengan suara bengis, "Orang sengaja mengampun jiwamu, tapi kamu
malah turun tangan keji. Huh, terhitung ksatria macam apakah ini!"
Kiranya Siau Hong telah
mengikuti tindakan Buyung Hok yang nekat tadi dengan menubruk maju tanpa
menghiraukan keselamatannya sendiri, dalam keadaan begitu, kalau Toan Ki mau
menyerang lagi, dengan gampang sekali jiwa Buyung Hkk pasti akan melayang.
Tapi sama sekali tak terduga
bahwa pada saat yang menguntungkan itu mendadak Toan Ki "melongok" di
tengah jalan dan tidak mau menyerang, Sebaliknya serangan Buyung Hok tadi
teramat cepat datängnya, walau Siau Hong juga harus memburu maju secepat kilat
terus mencengkram pinggang Buyung Hok, tapi tidak beruntung Toan Ki sudah
dilukai lebih dulu.
Sebenarnya dengan kepandaian
Buyung Hok yang tinggi itu, meski masih kalah setingkat dari pada Siau Hong,
tapi juga tidak perlu sekali gebrak saja lantas tertawan. Soalnya waktu itu dia
sudah kalap dan nekat, yang dipikir hanya membinasakan Toan Ki melulu dan sama
sekali tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Sedangkan cengkeraman Siau
Hong itu pun semacam Kim-tiaw-jiu-hoat yang amat cepat dan lihai, yang diarah
juga hiat-to terpenting, maka Buyung Hok lantas tertangkap dan tak bisa
berkutik lagi.
Dasar perawakan Siau Hong juga
tinggi besar tangan panjang dan kaki jangkung, ia pegang Buyung Hok ke atas
hingga mirip elang mencengram anak ayam.
Melihat sang majikan terancam
bahaya, serentak Ting Pek-Jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok
berempat berlari maju sambil berteriak, "Jangan mencelakai Cukong
kami!"
Begitu juga Giok-yan ikut
berlari dan berseru, "Piauko! Piauko!"
Namun berada di bawah cengkraman
orang biarpun Buyung Hok mempunyai kepandaian setinggi langit juga sukar
dikeluarkan. Sungguh ia ingin lebih baik mati saja daripada menderita hinaan
sehebat itu.
Tiba tiba Siau Hong tertawa
dingin dan berseru, "Huh, Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati
ternyata diberi nama sejajar dengan manusia rendah seperti ini, sungguh
memalukan saja!"
Dan sekali bergerak segera ia
lemparkan Buyung Hok.
Di lempar oleh tenaga Siau
Hong yang maha kuat itu, kontan Buyung Hok mencelat sampai belasan meter jauhnya.
Segara ia melejit hendak berbangkit, tak tersangka ketika Siau Hong mencengkram
hiat to punggungnya tadi, tenaga dalam Siau Hong telah dikerahkan sehingga
menembus seluruh urat nadinya, maka dalam waktu sekejap saja Buyung Hok tidak
dapat melancarkan kembali jalan darahnya, "Blang", tanpa ampun lagi
ia terbanting di tanah dalam keadaan serba runyam.
Ting Pek jwan dan lain-lain
tidak sempat mengerubut Siau Hong lagi dan serentak putar balìk dan lari
mandekati Buyung-Hok. Tapi sebelum Pak-jwan dan kawan-kawannya mendekat, Buyung
Hok sudah berbangkit. Dengan muka pucat bagaikan mayat ia terus lolos pedang
yang tergantung di pinggang Tìng Pekjwan, menyusul sebelah tangan menolak ke
depan sehingga Pek-jwan dan Giok-yan berlima didesak mundur, lalu ia angkat
pedang terus mengorok leher sendiri.
Keruan Giok-yan terkejut,
cepat ia berteriak-teriak, "He, Piauko, jangan .... "
Dan pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara mendesing nyaring memecah angkasa, sepotong am gi (senjata
rahasia) tahu-tahu menyambar dari tempat jauh dan melintasi lapangan terus
membentur pedang yang terpegang di tangan Buyung Hok itu. "Trang",
kontan Buyung Hok merasa tangan kesemutan, pedang terlepas dari cekalan telapak
tangan sampai tergetar lecet dan berdarah.
Waktu Buyung Hok memandang ke
arah datangnya, senjata rahasia itu, ia lihat di atas karang sana berdiri
seorang padri berjubah putìh perawakannya tinggi kurus, mukanya memakai kain
kedok putih, hanya kelihatan sepasang matanya yang bersinar tajam.
Dengan tenang padri jubah
putih itu melintas lapangan yang dikerumuni orang banyak itu dan mendekati
Buyung Hok. Tiba-tiba ia tanya pemuda itu, "Kamu mempunyai putra atau
tidak?"
Sebenarnya semua orang sama
terkejut dan kagum ketika mendengar suara mendesingnya senjata rahasia yang
nyaring memecah angkasa tadi. Kini demi nampak padri berjubah putih yang
menyambitkan senjata rahasia itu mendekati Buyung Hok dan mengajukan pertanyaan
yang aneh itu mereka tambah heran dan geli pula.
Didengar dari suaranya,
agaknya usia padri jubah putih itu sudah cukup tua. Jubah padri yang dipakai
itu pün agak berbeda daripada jubah yang dipakai oleh hwesio Siau-lim-si.
Begitulah, maka terdengar
Buyung Hök menjawab, "Aku belum kawin, dari mana punya putra!”
"Dan kau punya
kakek-moyang atau tidak?" kembali padri jubah putih bertanya dengan
kereng.
Buyung Hok sangat mendongkol,
jawabnya dengan ketus, "Sudah tentu punya! Aku sendiri akan mati, peduli
apa denganmu? Seorang boleh dibunuh dan tidak sudi dihina. Buyung Hok adalah
seorang laki-laki sejati dan tidak mau terima ucapanmu yang kasar ini."
"Hm, kakek moyangmu
mempunyai keturunan ayahmu mempunyai putra sebagai dirimu. Tapi, tahu betapa
gagah perwiranya raja Yan seperti Buyung Lok, Buyung Tok dan lain-lain, sungguh
tidak nyana akhirnya mesti mengalami nasib putus keturunan!" demikian
padri jubah putih berkata dengan mengejek.
Buyung Lok, Buyung Tok dan
lain-lain adalah raja kerajaan Yan yang terkenal sangat pandai dan gagah,
namanya disegani kawan dan lawan. mereka itu adalah leluhur Buyung Hok yang
terkenal dalam lembaran sejarah.
Sekarang dalam keadaan kalap
dan nekat mendadak Buyung Hok mendengar nama-nama kakek-moyangnya itu, seketika
ia merasa kepalanya seperti disiram air dingin dan sadar seketika. Pikirnva,
"Mendiang ayahku telah memperingatkan aku agar mengemban cita-cita
membangun kembali kerajaan Yan sebagai tugas utama dalam hidupku ini. Sekarang aku
terburu napsu dan nekat ingin membunuh diri, selanjutnya keluarga Buyung tentu
akan putus turunan. Ya, anak saja belum punya, mana aku dapat bicara tentang
perjuangan menjayakan nama keluarga dan membangun kembali kerajaan Yan?"
Teringat semua itu, seketika Buyung
Hok mandi keringat dingin, tanpa terasa ia berlutut dan menyembah kapada padri
tadi, katanya, "Buyung Hok terlalu bodoh, berkat petunjuk padri agung yang
berharga ini, sungguh selama hidup takkan kulupakan budi kebaikan ini."
Dengan begitu saja padri itu
menerima penghormatan Buyung Hok, sahutnya, "Ya, sejak dulu sampai
sekarang, seorang pejuang sejati harus berani menghadapi segala penderitaan
Seperti Han-Koat, Toan-ko-cung, semuanya pernah mengalami kegagalan dan dihina.
Tapi akhirnya mereka berhasil mendirikan dinasti Han dan Tong. Jika mereka juga
memble seperti dirimu dengan menggorok leher sendiri, hal ini berarti tamatlah
segala cita-cita dan hilangnya harapan leluhur. Sungguh dangkal benar
pengetahuanmu!"
Buyung Hok terima petuah itu
dengan berlutut mendadak ia terkesiap dan heran, "Padri saleh ini
seakan-akan tahu cita-cita apa yang terkandung dalam pikiranku sehingga memberi
banyak contoh yang berharga bagiku?"
Maka dengan hikmat ia pun
mengakui kesalahannya.
"Nah, bangunlah!” kata
padri itu akhirnya.
Dengan hormat Buyung Hok
menyembah lagi beberapa kali, lalu berbangkit.
"llmu silat keturunan
keluarga Buyung dari Koh-soh sungguh sangat hebat dan tiada bandingannya di
dunia ini. soalnya kau sendiri yang belum dapat belajar sampai tingkatan yang
tertinggi," kata pula padri itu. "Memangnya kaù sangka ilmu silat
keluarga Buyung beñar-benar kalah daripada Lak-meh-sin-kian keluarga Toan dì
Tayli? Ini, coba lihat yang jelas!"
Habis berkata,
sekonyong-konyong ia mengunakan jari telunjuknya dan menutuk tiga kali ke
depan. Saat itu Toan Cing-Sun dan Pa Thian-sik berdiri disebelah Toan Ki.
Cing-sun sedang menutuk hiat-to disekitar terluka. Toan Ki yang tertusuk
Boan-koan-pit dan telah dicabut keluar itu. Tak terduga tiba-tiba jari padri
itu menutuk secepat kilat dada Cing-sun dan Thian-sik lantas terasa kesemutan
dan roboh ke belakang, berbareng Boankoan-pit yang dicabut dan dipegang
Cing-sun itu lantas terpental dari cekalan dan meluncur cepat ke depan,
"plok" senjata itu menancap diatas batang pohon di kejauhan sana.
Sesudah roboh, segera Cing-sun
dan Thian-sik melompat bangun dan saling pandang mereka terperanjat. Sungguh
tak terkira hebatnya tenaga tutukan padri jubah putih itu, terang padri itu
tidak bermaksud membunuh mereka, kalau mau pasti jiwa mereka sudah melayang
sejak tadi.
Dalam pada itu terdengar padri
jubah putih itu sedang berkata kepada Buyung Hok, "Nah, inilah
'Jap-hap-ci' (tutukan campuran) yang hebat dari keluarga Buyung kalian. Dahulu
kupelajari secara tak sengaja dari leluhurmu, padahal aku pun cuma paham
sebagian kecil saja, ilmu silat lain yang tak kuketahui entah masihberapa
banyak. Hehe, masakah dengan sedikit, kepandaian bocah yang masih hijau sebagai
dirimu ini lantas dapat mengembangkan nama kebesaran Koh-soh Buyung yang
tersohor itu?"
Semula para ksatria juga
sangat jeri kepada nama "Koh-soh Buyung" yang tersohor itu tapi
ketika melihat Buyung Hok dikalahkan habis-habis oleh Toan Ki yang
ketolol-tololan itu, kemudian dibanting pula oleh Siau Hong tanpa bisa berkutik
maka dalam hati para ksatria lantas timbul rasa kecewa kepada keluarga Buyung
yang dianggapnya cuma punya nama kosong belaka.
Tapi sekarang setelah
menyaksikan sì padri jubah putih memperlihatkan tutukan saktinya, mau tak mau
timbul kembali rasa kagum dan homat para ksatria kepada "Koh-soh
Buyung." Cuma saja dalam hati semua orang sama bertanya-tanya,
"Siapakah gerangan padri ini? Ada hubuungan apakah antara dia dengan
Buyung Hok?"
Kemudian padri baju putih itu
berpaling Ke arah Siau Hong, katanya sambil merangkap tangannya, "Ilmu
silatl Kiaui-tai-hiap sungguh maha sakti dan tidak bernama kosong, maka ingin
kubelajar kenal beberapa jurus denganmu."
Memangnya Siau Hong sudah
siap, maka ketika merangkap tangannya memberi salam, segera la pun merangkap
kepalan tangan dan balas menghormat sambil berkata, "Ahh, Taisu tidak
perlu sungkan-sungkan!”
Maka terbenturlah dua arus
tenaga maha kuat badan kedua orang pun sama-sama tergeliat sedikit.
Pada saat itulah dari udara
tiba-tiba melayang turun sesosok bayangan hitam laksana elang raksasa menyambar
ka bawah dan dengan tepat jatuh di tengah-tengah antara padri jubah putih dan
Siau Hong yang sedang mengadu kekuatan itu.
Karena datangnya bayangan
orang itu teramat cepat dan melayang turun dari udara saking terkejutnya sampai
semua orang sama menjerit. Dan sesudah bayangan orang itu berdiri tegak di atas
tanah barulah semua orang dapat melihat jelas kiranya pada tangan orang itu
terpegang seutas tambang yang sangat panjang, ujung tambang yang lain terikat
di pohon besar yang berada di tempat beberapa meter jauhnya. Jadi orang itu
melayang tiba dengan ayunan tambang yang panjang itu.
Orang itu tampak berkepala
gundul, nyata juga seorang padri. Terbalik daripada si padri jubah putih yang
memakai kain kedok putih, padri jubah hitam ini juga memakai kain kedok hitam
sekarang cuma kelihatan sinar matanya yang berkilatan. Kedua padri hitam-putih
ini berdiri berhadapan dan saling pandang.
Kedua padri itu berdiri saling
pandang sampai sekian lamanya dan tetap tiada yang membuka suara.
Semua orang melihat perawakan
kedua padri itu sama-sama sangat tinggi cuma padri jubah hitam agak lebih kekar
dan padri jubah putih lebih kurus.
Di antara para penonton itu
hanya ada seorang yang merasa sangat girang dan terima kasih ialah Siau Hong.
Dari gaya dan cara si padri jubah hitam itu melayang tiba dengan tambang yang
panjang itu dapat dikenali tak lain tak bukan adalah Hek ih-tai-han (si lelaki
baju hitam) yang pernah menolong jiwanya di Cip-hian ceng dahulu. Cuma waktu
itu Hek-ih-tai-han memakai topi dan berbaju orang biasa, sedangkan sekarang dia
pakai jubah padri.
Tapi dengan pandangan Siau
Hong yang tajam segera la dapat mengenalnya dari gerak gerik dan ilmu silatnya.
Apalagi dahulu sesudak hek-ih-tai-han itu menolongnya dan mcmbawanya ke atas
gunung, di sana mereka telah saling gebrak belasan jurus, maka Siau Hong tidak
pernah melupakan gerak gerik tuan penolongnya itu.
Banyak di antara hadirin sekarang
dahulu juga ikut hadir di Cip-hian-ceng, cuma takkala itu Hek-ih-tai-han datang
dan pergi dalam sekejap saja sehingga orang lain sukar melihat gerakannya itu
dan dengan sendirinya sekarang pun tiada seorang pun yang kenal dia.
Sesudah paling pandang sampai
sekian lama, tiba-tiba kedua padri hitam putih itu bicara berbareng, "Kau
.... " tapi lantas berhenti púla karena yang diucapkan ternyata sama.
Dan setelah lewat sejénak lagi
barulah si padri jubah putih melanjutkan, "Kau ini siapa?”
"Dan kau sendiri siapa?”
balas padri jubah hitam.
Mendengar suara padri jubah
hitam itu baru sekarang para ksatria tahu bahwa padri itu juga sudah tua.
Sebaliknya Siau Hong pun lantas kenal suara itu memang tidak salah lagi adalah
tuan penolongnya, suatu yang pernah memberi petunjuk dipergunungan sunyi
dahulu. Seketika hatinya berdebar-debar, sungguh ia ingin segera maju mengajak
bicara dan menyatakan terima kasihnya.
Dalam pada itu terdengar si
padri jubah putih bertanya lagi, "Kau sembunyi selama berpuluh tahun dalam
Siaulim-si, apa maksud tujuanmu?”
"Ya, aku juga tanya
padamu, apa pula maksud tujuanmu kau sembunyi berpuluh tahun di
siau-lim-si?" balas tanya si padri baju hitam.
Karuan tanya-jawab kedua padri
hitam-putih itu membuat para padri Siau-lim-si, baik Hian-cu Hongtiang maupun
tertua yang lain sama merasa terheran-heran dan saling pandang dengan tegang.
Pikir mereka, "Mengapa kedua padri ini mengaku sembunyi di dalam biara
kita selama berpuluh tahun tanpa kita ketahui? Apa benar bisa terjadi hal begini?”
Sementara itu terdengar si
padri jubah putih itu sedang menjawab, "Aku sembunyi di Siau-lim-si karena
ingin menyelidiki duduk perkara suatu urusan yang sebenarnya."
"Ya, aku sembunyi di
Siau-lim-si juga ingin menyelidiki duduk perkara sebenarnya suatu urusan,"
sahut si padri jubah hitam.
"Urusan yang hendak
kuselidiki itu sekarang juga sudah ku ketahui dengan jelas. Dan bagaimana
dengan urusanmu?”
"Urusan yang hendak
kuselidlki sekarang juga sudah kuketahui dengan jelas," kata si padri
jubah putih. "Ilmu silat saudara sangat hebat dan boleh dikatakan jarang
ada bandingannya. Kita sendiri sudah pernah bertanding tiga kali dan tetap susah
menentukan unggul dan asor. Apakah sekarang kita perlu bertanding lagi?"
"Aku pun sangat kagum
terhadap ilmu silat tuan andaikan kita bertanding lagi kiranya sukar menentukan
kalah atau menang," sahut padri baju hitam.
Semua orang menjadi lebih
heran demi mendengar pembicaraan kedua "padri" itu, tidak lazim kaum
padri menggunakan sebutan-sebutan "saudara" atau "tuan"
segala.
Maka terdengar padri jubah
putih menjawab, "jika begitu, biar kita saling mengagumi saja dan
mempunyai jiwa yang berdekatan, kita tidak perlu bertanding lagi."
'Baik sekali," kata padri
jubah hitam.
Kedua padri lalu saling
mengangguk dan jalan berbareng ke bawah besar di sana serta berduduk berjajar
di situ sambil memejamkan mata sehingga mirip orang bersemedi dan tidak bicara
lagi.
Setelah mengalami kekalahan
tadi karena pikiran pepet seketika hingga Buyung Hok bermaksud membunuh diri,
tapi telah ditolong dan ditegur oleh padri jubah putih dan akhirnya sadar
kembali akan kekeliruan yang cupat itu, sungguh ia merasa malu dan berterima
kasih pula. Pikirnya, "Padri agung ini katanya kenal leluhurnya siapa yang
di kenalnya kakek atau ayah? Rasanya untuk pergerakanku selanjutnya aku perlu
minta petunjuk yang berharga dari padri agung ini, kesempatan baik ini tak
boleh kulewatkan."
Karena melihat kedua padri Itu
sedang semedi, Buyung Hok lantas mundur kesamping dan tak berani mengganggunya,
ia ambil keputusan akàn menunggu agar nanti dapat minta petuah yang lebih
berharga bila padri jubah putih itu sudàh berbangkit.
Teringat tadi sang Pìauko
hampir saja bunuh diri, perasaan Giok-yan sampai sekarang belum lagi tentram,
ia memegangi lengan baju Buyung Hok dengan air mata bercucuran.
Sekarang perhatian semua orang
lantas terpusat pada Hi-tiok yang masih terus melabrak Ting Jun-jiu itu.
Tiba-tiba Kiok-kiam teringat
sesuatu, segera ia mendekati Salah seorang ksatria Cidan dan berkata padanya,
"Cujin kami sedang bertempur, pasti perlu minum sedikit arak agar
tenaganya bertambah hebat. Dapatlah kami mendapatkan sedikit arakmu?"
"Persediaan arak di sini
cukup banyak boleh kau ambil saja." sahut ksatria Cidan itu sambil
menyodorkan dua kantung besar.
"Banyak terima
kasih," sahut Kiok-kiam dengan tertawa, "Kekuatan minum Cujia kami
terlalu sedikit, sekantung saja sudah lebih dari cukup."
Lalu ia menerima satu kantung
arak itu ia buka sumbatnya dan mendekati medan pertempuran, serunya kepada
Hi-tiok, "Cujin, untuk menanam bibit Sing-si-hu pada Sing-siok Lokoai,
bukankah diperlukan, sedikit air arak?"
Habis berkata, segera la
angkat melintang kantung arak itu dan menyodorkan ke depan, seketika arak
mancur keluar dari kantung itu dan menyembur kearah Hi-tiok.
"Bagus adik Kiok!"
seru Bwe-kiam bertiga dengan bersorak gembira.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar
dari bawah gunung ada suara wanita yang sedang menembang membawakan lagu opera
"Nyo Kui-hui mabuk arak."
Di tengah suara tembang itulah
arak menyembur bagai panah dari kantung arak yang dipegangi Kiok-kiam itu.
Saat itu Hi-tiok sedang
melabrak Ting Jun-jiu dengan sekuat tenaga, cuma sayang belum diketemukan cara
paling tepat untuk menundukkan Ting-lokoai. Tadi ketika dia mendengar teriakan
anggota Long-ciu-kiong yang minta dia menggunakan "Sing-sì-hu", ia
merasa cara ini terlalu keji dan belum mau digunakan. Sekarang melihat
Kiok-kiam telah menuangkan air arak kearahnya, mau-tak-mau ia angsurkan sebelah
tangannya dan meraup segenggam air arak itù.
Pada saat lain dilihatnya dari
balik lereng gunung sana muncul sembilan orang. Kiranya Khim-sian Kheng
Kong-leng berdelapan, yaitu apa yang disebut "Ham kok-pat-yu"
(delapan sahabat dari lembah Ham). murid, murid Liong-uh lojin, seorang lagi
adalah A Pik, dia adalah murid Khong Kong-leng. Dan yang menembang adalah si
pemain sandiwara Li Gui lut.
Ketika melihat Hi-tiok sedang
melabrak Ting Jui-jin, keadaan sangat seru, segera Kong-leng dan lain-lain
berteriak-teriak memberi semangat, "Ciangbun Susiok hari ini benar-benar
unjuk kesaktiannya, lekas Susiok bunuh Ting-lokoai untuk membalas sakit hati Suhu!"
Para padri Siau-lim-si menjadi
heran mengapa orang-orang itu menyebut Hi-tiok sebagai susiok mereka.
Dalam pada itu Kiok-kiam masih
terus menyemburkan araknya tanpa berhenti sehingga ada sebagian menyemprot ke
atas kepala Ting Jun-jiu.
Sesudah menempur Hi-tiok
sampai sekian lama Ting jun-jiu merasa serangan lawan berubah terus tak
habishabis sehingga dia sendirì terdesak dan kerepotan, sekarang mendadak
disembur pula oleh air arak tiba-tiba Lokoai mendapat akal licik
sekonyong-konyong lengan bajunya mengebas sehingga air arak itu muncrat kembali
berhamburaran kearah Hi-tiok bagai hujan mencurah.
Tak kala itu Hi-tiok sedang
mengerahkan segenap tenaga dalamnya sehingga kumpulan iwekang yang diperolehnya
dari Bu-gai-cu, Thian-san Tong-lo dan. Li Jui-sui terbentang sekuat dinding
baja dan membungkus seluruh tubuhnya, sudah tentu tidak mempan diserang apa
pun, malahan sejak tadi berulang ting-
lokoai telah mengguna racun
dan tetap tak mampu merobohkan Hi-tiok. Sekarang arak yang muncrat ke arah
Hi-tiok bagai hujan itu sebelum mendekati baju Hi-tiok sudah tertolak kembali
oleh tenaga dalamnya yang maha dahsyat itu.
Sekonyong-konyong terdengar
suara jeritan dua orang. Kiok-kiam dan A Pik berbareng roboh.
Kiranya air arak yang
dihamburkan kembali oleh Ting Jun-jíü itu, setiap-titik air mengandung racun
yang disebarkan oleh kebasan lengan baju tadi. Kiok-kiam berdiri sangat dekat
medan tempur, A Pik juga sedang berlari ke arah Buyung Hok dan hendak memberi
sembah kepada majikannya itu, maka keduanya keciprat air arak berbisa itu dan
roboh terjungkal.
Sekilas Hi-tiok melihat air
muka Kiok-kiam dan A Pik berubah pucat guram bagai mayat ia kaget dan gusar
pula. Maka timbul juga akhirnya tekadnya untuk menumpas Ting Jun-jiü, kalau
iblis ini belum dibasmi, tentu kelak akan banyak berbuat kejahatan lagi. Apalagi
lantas terdengar Seruan Sih-sin-ih yang kuatir, "Susiok, jahat sekali
racun ini, lekas Susiok bekuk Lakoai dan paksa dia menyerahkan obat
penawarnya!”
Maka tanpa pikir lagi segara
Hi-tiok melancarkan serangan dengan lebih gencar. Telapak tangan kiri diamdiam
mengerahkan lwekang dan menjalankan Pak-beng-cin-gi. Tidak lama kemudian air
arak yang tergenggam ditangannya terbeku menjadi beberapa lapis es kecil,
menyusul terus manghantam ke depan beruntun tiga kali.
Ting Jun-jiu merasa diserang
oleh hawa yang mengigilkan. Karuan ia terkejut, ”Kenapa tenaga dalam keledai
gundul kecil ini mendadak bisa berubah?"
Cepat ia mencurahkan pikiran
dan bertahan dengan sepenuh tenaga. Tapi menyusul beberapa hiat to penting di
bagian pundak, perut, paha, betis dan lengan juga terasa ditempel sesuatu yang
maha dingin, Diam-diam Lokoai memaki, "Kurang ajar, hawa pukulan keledai
gundul cilik yang dingin ini hebat juga sehingga dapat membuat aku
menggigil."
Segera ia pun mengerahkan
tenaga untuk bertahan. Tapi tiba-tiba "Thian-cu-hiat" di kuduk,
"Hong-bun-hiat" di bagian punggung dan "Ci-Sing-hiat” di
belakang pinggang juga terasa sangat dingin.
Dengan pengetahuan dan
pengalaman Ting-lokoai yangluas, seketika ia merasa heran dan curiga, pikirnya,
"Biapun pukulannya lebih dingin lagi juga tidak mungkin dapat memutar
untuk menyerang punggungku, apalagi yang terasa dingin adalah bagian hiat-to
penting, jangan-jangan bangsat gundul cilik ini ada tipu muslihat yang aneh.
hal ini aku perlu berjaga-jaga."
Karena itu, segera ia pun
balas menyerang, kedua lengan bajunya mengebas berbareng, menyusul sebelah kaki
terus menendang. Cara
menendang dengan ditutupi kebasan lengan baju ini adalah kepandaian sejati Ting
Junjiu, biasanya sangat jitu, seratus kali menyerang seratus kali kena, kalau
musuh tidak binasa, tentu juga terluka parah.
Tak disangka serangan kilat
yang diandalkan ini sekarang gagal dan tidak manjur. Baru saja kaki terangkat
setengah jalan, sekonyorg-konyong "Hok-tho-hiat” dan
"Yang-kau-hiat" bagian dada terasa linu pegal, bahkan lantas berubah
gatal tak tertahankan. Tanpa terasa i menjerit. Dan karena merasa gatalpegal
itulah, maka kaki yang akan mengenai sasarannya itu lantas terasa dan terpaksa
ditarik kembali.
Anehnya sekali ia menjerit,
maka menyusul ía terus menjerít-jerit pula beberapa kali. Sebaliknya anak murid
Sing-siok-pai masih terus bersorak memuji tentang Sing-siok Losian maha sakti
segala, bahkan sambil mengolok-olok pihah lawan dan dikatakan sebentar pasti
akan dibinasakan Sing-siok Losian, lebih baik sekarang juga minta ampun saja.
Jadi sorak-sorai pujian mereka
itu diselingi dengan jerit mengaduh Ting Jun-jiu sehingga kedengarannya menjadi
sangat lucu. Sebagian anak muridnya yang lebih cerdik dengan segera tutup mulut
demi melihat gelagat tidak seperti dugaan mereka, namun sebagian besar kawannya
masih terus berkaok-kaok dan pentang bacot.
Begitulah, dalam sekejap saja
serentak Ting Jun-Jiu merasa tujuh hiat-to terpenting tubuhnya terasa gatal tak
tertahankan, rasanya seperti digigit dan disusupi oleh beribu semut kecil,
gatal-gatal geli dan sakit nyelekit.
Padahal ketujuh hiat-to itu
adalah tempat yang mematikan, untung ilmu silat Ting-lokoai memang luar biasa
lihainya takkala bertempur ia melindungi tempat-tempat hiat-to dengan tenaga
dalam yang kuat sehingga serangan Sing-si-hu yang dilancarkan Hi-tiok itu sukar
mengenai dia namun begitu toh tidak urung ketujuh hiat-to itu akhirnya disusupi
oleh lapisan es kecil sebagai bibit Sing-si-hu yang disambitkan Hi-tiok.
Sebenarnya Sing-si-hu itu
bukan sesuatu senjata rahasia dan juga bukan racun, tapi semacam tenaga yang
tak dapat dipegang dan tak bisa teraba, Ketika Ting Jun-jiu meresa terserang
hawa dingin pada saat itulah Hi-tiok mengerahkan Iwekangnya untuk menyusupkan
lapisan es itu ke dalam tubuh iblis itu dan es itu dengan segera cair terkena
hawa panas badan dan tidak berbalas lagi. Namun begitu tenaga dalam Hi-tiok
sudah menyusup ke dalam urat nadinya.
Karena merasa gatal pegal tak
tertahan, dengan kelabakan Ting Jun jiu mengeluarkan macam-macam obat yang dia
bawa, sekaligus ia minum beberapa macam obat penawar, menyusul lantas
mengerahkan Iwekangnya untuk menolak rasa gatal itu, tapi bukannya sembuh,
sebaliknya rasa gatal pegal itu semakin menjadi-jadi. Coba kalau orang lain
tentu sudah berguling guling di atas tanah, Tapi tenaga dalam Ting Jun jiu
memang maha sakti sehingga dia masih dapat bertahan dengan mati-matian.
Celakanya Sing si-hu itu
justru semacam kekuatan yang aneh, kalau mengenai orang yang tidak mahir ilmu
silat, maka penderitaannya juga tidak berat sebaliknya semakin kuat Iwekang
penderita itu, semakin hebat pula bekerjanya Sing-si-hu.
Maka tertampaklah Tíng-lokoai
mulai sempoyongan seperti orang mabuk arak mukanya sebentar merah padam dan
lain saat pucat pasi, kedua tangannya bergerak-gerak seperti menari sikapnya
beringas menakutkan.
Melihat penderitaan Lokoai
itu. Hi-tiok agak menyesal pikirnya "meski dosa Iblis ini pantas diberi
ganjaran, tapi apa yang harus dideritanya ternyata sedemikian hebatnya. Tahu
begitu tentu aku cuma menanamkan satudua potong Sing si-hu saja dan kiranya
sudahlah cukup.”
Melihat keadaan Suhu mereka
yang serba celaka itu. anak murid Sing-siok-pai yang tadinya masih
bersoraksorai memuji itu seketika bungkam dan ikut merasa takut pula. Walaupun
masih ada satu-dua di antaranya yang berkepala batu dan tetap memberi suara
yang mengumpak Sing-siok Lokoai, betapapun suara mereka sudah tidak selantang
tadi.
Pada saat itulah mendadak sí
pemain sandiwara Li Gui lui menembang pula dangan membawakan lakon Patsian
(delapan dewa) mabuk dangán mengikuti gerak gerik Sing-siok Lokoai yang
sempoyongan seperti orang mabuk itu.
Karuan para ksatria
terbahak-bahak geli mendengar tembang Li Gui-lui yang jenaka itu.
Selang tak lama, akhirnya Ting
Jun-Jui tidak tahan lagi, ia tarik dan betot Jenggotnya sendiri sehingga
secomot janggotnya yang indah memutih perak itu dibubut sendiri dan bertebaran
terbawa angin. Menyusul lantas baju sendiri yang dirobek-robek sehingga
kelihatan kulit badannya yang putih bersih.
Usia Ting jun jiu sudah lebih
70 tahun, tapi badànnya masih sehat dan kuat seperti anek muda. Dalam keadaan
kalap, dimana jaringan sampai, di situlah badannya lantas tergeruk luka, darah
lantas mengucur pula. Sembari menggaruk-garuk dengan sekeras-kerasnya,
berbareng ia pun berteriak-teriak, "Gatal! Aduh, gatal bukan main! Matilah
aku!"
Selang tak lama, sebelah
kakinya lantas bertekuk lutut, jerit mengaduhnya semakin mengerikan.
Walaupun para ksatria itu
terhitung tokoh-tokoh yang berpengalaman semua, tapi demi nampak seorang tua
bermuka muda dan bergaya luwes sebagai dawasa, seorang tokoh terkemuka dunia
persilitan seperti Ting Jinjiu dan sekarang berubah gila bagai kesurupan setan
sambil mengeluarkan suara jeritan serupa binatang buas
itu mau-tak-mau semua orang
ikut ketakutan, sampai Li Gui-lui yang biasanya suka melucu juga ikut bungkam
karena takut. Hanya kedua padri hitam pütih tadi yang masih tetap duduk semedi
d¡ bawah pohon dengan tenang seakan-akan tidak melihat dan mendengar apa yang
terjadi di sekitarnya.
Maka Hian-cu berkata,
"Siancai, Siancai Hi-tiok, boleh kau hapuskan penderitaan Ting-siangsing
sekarang."
Hi-tiok mengiakan dan menerima
baik perintah ketua Siau lim-si itu.
"Nanti dulu,"
tiba-tiba Hian cit mencegahnya 'Hongtiang suheng juga terbinasa di tangan iblis
tua ini mana boleh kita mengampunin dia?"
Di sebelah sana Kheng
Kong-leng juga bekata, "Cíangbun Susiok, engkau adalah ketua dari golongan
kita, kenapa masih tunduk kepada períntah orang lain? Sakit hati Suhu dan Suco
(kakek guru) kita masakah tidak dibalas?"
Seketika Hi-tiok menjadi
bingung dan tidak b¡sa mengambil keputusan.
Maka Sih-sin-ih lantas ikut
bicara, "Susiok, lebih penting memintakan dulu obat penawarnya."
Hi-tiok membenarkan usul itu.
Segera ia berkata, "Nona Bwe-kiam, boleh kau minumkan setengah butir
Tinyang-wan (pil pemunah gatal) padanya."
Bwe-kiam mengiakan dan
mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, ia menuang sebutir obat sebesar
kacang. Tapi demi nampak sikap Ting jun-Jiu yang beringas bagai orang gila itu,
ia menjadi takut dan tidak berani mendekat.
Segera Hi-tiok mengambil pil
itu. ia membelahnya separoh, lalu berseru, "Ting siangsing, coba
pentangkan mulutmu, biar kuminumkan pil pemunah rasa gatal ini!"
Sambil masih menggerung-gerung
Ting-lokoai lantas pentang mulut ke atas. Sekali Hi-tiok menjentik, setengah
butir pil itu lantas melayang kedepan dan tepat masuk kerongkongan Ting
Jun-jiu.
Karena seketika khasiat pil
itu belum lagi bekerja, saking gatalnya sampai Ting Jun-jiu berguling-guling di
atas tanah. Selang tidak lama kemudian rasa gatalnya mulai hilang dan barulah
ia dapat berbangkit. Pikiran sehat
iblis tua itu ternyata tidak
hilang, menyadarl dirinya tak dapat melawan lagi maka sebelum Hi-tiok membuka
suara pula, buru-buru ia mengeluarkan obat penawar dan diberikan kepada Sih-sin
ih katanya, "Yang warna merah obat luar yang putih obat dalam?"
Rupanya karena
menggerung-gerung sekian lamanya, maka suaranya sekarang berubah serak.
Sih-sin-ih yakin Ting-lokoai
tidak berani berdusta dan main gila lagi maka tanpa ragu ia membubuhkan dan
minumkan obat yang diterimanya dari Lokoai itu kepada Kiok-kíam dan A Pik.
"Sing-siok Lokoai."
seru Bwe-kiam. "separoh pil penghapus rasa gatal itu hanya bertahan untuk
tiga hari saja, lewat tiga hari tentu rasa gatal geli itu akan kumat pula.
Tatkala mana apakah Cukong Kami akan memberikan obat lagi atau tidak semuanya
bergantung pada tingkah lakumu nanti."
Ting-Jun-Jiu sendiri masih
belum hilang rasa penderitaannya tadi, badannya masih gemetar dan tidak sanggup
bicara lagi.
Dasar anggota Sing siok-pai
itu memang manusia licin dan pengecut, mereka sangat pandai melihat gelagat dan
mengikuti arah angin, demi melihat Ting Jun-Jiu sudah keok, segera ada dua-tiga
orang berlari ke hadapan Hi-tiok, mereka memberi sembah dan minta diterima
sebagai hamba, kata mereka, "Leng-ciu-kiong Cujin maha bijaksana dan
berilmu maha sakti, hamba sekalian merasa kagum sekali dan bersedia mengabdi
bagi Cujin dengan segenap jiwa raga kami."
"Ya, dan kedudukan bu-lim
Beng-cu ini terang tak bisa lain kecuali Cujin yang berhak memangkunya,"
timbrung yang lain, "Dan asal cujin memberi perintah, biar masuk lautan
api atau terjun ke dalam air mendidih pasti hamba sekalian tak berani
menolak."
Bahkan banyak di antaranya
demi untuk membuktikan kesetiaan mereka, terus saja mereka menuding Ting
Jun-jiu dan mencaci-makinya habis-habisan. Malahan ada yang minta kepada
Hi-tiok agar lekas membinasakan Ting-lokai supaya iblis itu kelak tidak dapat
berbuat kejahatan lagi. Menyusul terdengar suara tambur dan gembreng
bergeremuruh dan serentak orang-orang Sing-siok-pai lantas menyanyikan lagu
"Leng ciu cujin, maha sakti” dan lain-lain, jadi mereka Cuma menggantikan
kata-kata sing-siok Losian dengan Leng-cíu-Cujin, sedang iramanaya tidak
berubah.
Dasar jiwa hi-tiok memang
sederhana, demi mendengar sanjungan puji orang-orang sing-siok-pai itu,
mau-takmau agak syur juga hatinya.
Namun Lak-kiam lantas
membentak, "Kalian manusia yang tidak tahu malu ini masakah menggunakan
cara
menjilat Sing-siok Lokoai
untuk memuji Cujin kami? Benar-benar terlalu kurangajar dan tidak tahu
malu!"
Seketika orang-orang
Sing-siok-pai itu menjadi gugup dan takut, ada yang menjawab, "Ya, ya!
hamba tentu akan mencari cara dan model lain, tanggung Siankoh (dewi) akan puas
nanti!”
Ada yang bilang, "Keempat
siankoh benar-benar secantik bídadari turun dari kayangan, Kelak pasti
memperoleh jodoh jejaka yang gagah!"
Begitulah macam-macam pujian
yang muluk-muluk dan membuat pendengarannya merasa mengirik yang dikeluarkan
oleh anggota sing-siok-pai itu.
Dan sesudah memberi sembah
kepada Hí-Tiok pula mereka mengundurkan diri ke belakang barisan para Tongcu
dan Tocu dengan rasa bangga dan puas sehingga para ksatria Tionggoan dan padri
Siau-lim-si tidak mereka pandang sebelah mata lagi.
Kèmudian Hian-cu berkata.
"Hi tiok, engkau telah mendirikan suatu aliran tersendiri diharap kelak
akan menuju ke arah yang baik arah yang berguna bagi sesamanya dan diharap
dapat mengawasi anak muridmu supaya mereka tidak berbuat kejahatan dan
membahayakan sesama orang kangouw. Jika semua ini dapat kau laksanakan, maka
soal kamu menjadi padri atau tidak adalah sama saja."
"Ya, Hi-tiok menerima
pesan Hongtiang dengan rasa terima kasih," sahut Hi-tiok dengan suara
berat.
Lalu Hian-cu menyambung pula,
"Keputusan memecat dirimu tak bisa di tarik kembali lagi, tapi tentang
hukuman rangket boleh dibebaskan!"
Dan belum lagi Hi-tiok
menjawab, tiba-tiba terdengar seorang tertawa terbahak-bahak berkata,
"Hahaha! Kukira Siau-lim-si paling mengutamakan tata tertib dan menegakan
hukum secara teguh, siapa tahu juga cuma sebangsa manusia yang pandai lihat
arah angin saja, hanya berani kepada yang lemah dan takut kepada yang kuat.”
Waktu semua orang memandang ke
arah pembicara itu, kiranya Tai-lun Beng-ong Cumoti.
Air muka Hian-cu berubah
merah, katanya, "Teguran Beng-ong memang tepat. Kami mengaku salah
Hian-cit Sute, laksanakan hukuman!"
Hiau-cit mengiakan dan
berpaling kepada bawahannya sambil berseru, "Siapkan pentung hukuman!”
Lalu katanya kepada Hi-tiok,
"Hi-tiok, sekarang kamu masih terhitung murid Siu lim-pai, hendaknya
bertiarap dan menerima rangketan."
Hi-tiok menyatakan siap, lalu
ia berlutut dan memberi hormat kepada Hian-cu dan Hian-cit, katanya, "Tocu
Hitiok telah melanggar larangan besar biara kita maka dengan hikmat tecu
menerima hukuman rangket menurut peraturan!"
Tapi mendadak bekas
orang-orang Sing-siok-pai tadi berteriak-teriak, "Leng ciu-kiong Cujin
kami adalah Bulim Beng Cu, masakah para padri Siau-lim-si berani sembarangan
menyentuh badan beliau?”
"Ya, jika kalian berani
mengganggu seujung bulu romanya, rasakan nanti labrakan kami ini. Biarpun
hancur lebur bagi beliau juga kami merasa bahagia!"
Namun Sia-popo dan
kawan-kawannya cukup memahami pikiran Hi-tiok. segera membentak, "Hai,
tutup bacot kalian! Apakah Leng-ciu-kiong Cujin cocok untuk disebut-sebut oleh
kalian kawanan setan ìblis yang tidak kenal malu ini? Lekas tutup bacot!"
Karena dampratan itu, seketika
orang-orang Sing-siok-pai tadi bungkam kembali, tampa bernapas pun tidak berani
keras-keras.
"Laksanakan hukum!"
bentak Hian cit kemudian.
Segera padri pelaksana hukum
dari Kai-lat-ih mendekati Hi-tiok dan menyingsìng jubahnya keatas sehingga
kelihatan kulit punggungnya, Sedang padri lain lantas mengangkat pentungan ke
atas dan siap memukul.
Hi-Tiok sendiri tidak berani
mengerakan tenaga dalam untuk melawan rangketan itu, ia pikir hukuman itu
diterimanya sebagai akibat perbuatannya sendiri, maka setiap langketan itu
berarti akan mengurangi sebagiaan dosanya. Jika dia mengerahkan tenaga untuk
melawan dan tidak merasakan sakitnya rangketan itu. maka hukuman itu berarti
tiada berguna baginya. Sebab itulah ia diam saja dan mengendurkan otot
dagingnya untuk menerima hukuman rangket itu.
Tapi belum lagi pentung padri
Siau-lim-si itu dijatuhkan ke bokong Hi-tiok, sekonyong-konyong terdengar
jeritan seorang wanita yang tajam, "Hoi, nanti dulu! Apa ... apa itu yang kelihatan
diatas punggungmu?"
Waktu semua orang memandang
punggung Hi tiok, tertampaklah bagian pinggang belakang itu ternyata ada sebuah
titik bekas luka selomotan api dupa yang terjajar secara rajin.
Umumnya pada waktu setiap biku
atau hwesio dinobatkan, di atas kepalanya yang gundul itulah yang diselomoti
dengan dupa berapi sehingga meninggalkan bekas selomatan itu. Siapa duga selain
diatas kepala, bahkan di punggung Hi-tiok juga bekas selomotan dupa, malahan
bekas selomotan itu jauh lebih besar, kirakira sebesar mata uang, hal ini
menandakan selomotan itu dilakukan pada waktu dia masih bayi sehingga bekas
selomotan itu pun ikut membesar takkala badan Hi-tiok bertumbuh. Maka kalau
dilihat sekarang bekas selomotan itu sudah kurang sempurna lagi.
Ketika semua orang tercengang
heran, tiba-tiba di antara orang banyak berlari keluar seorang perempuan
setengah umur berbaju hijau pupus. rambutnya panjang terurai sampai di pundak,
ke dua pipinya masingmasing terdapat tiga jalur bekas luka garukan. Dia bukan lain
adalah "Bu ok-put-tiok", si orang kedua dari Suok, Yap Ji-nio adanya.
Begitu mendekat, sekali
tangannya bergerak, kontan kedua padri pelaksana hukuman Siau-lim-si tadi
ditendang pergi, menyusul Yap Ji-nio lantas hendak menarik celana Hi-tiok.
Melihat gelagatnya. celana Hi-tiok itu hendak dibelejeti mentah-mentah tanpa
menghiraukan Hi-tiok sebenarnya bukan anak kecil lagi, tapi pemuda berusia 21
tahun.
Keruan Hi-tiok terkejut dan
kelabakan, cepat ia lompat bangun sambil memegangi celananya yang kedodoran dan
hampir terlepas itu, ia lompat pergi dua-tiga meter jauhnya, lalu berpaling dan
bertanya. "Kau ... kau mau apa?”
Badan Yap Ji-nio tampak
bergemetar, "O.oo ... anakku!" mendadak ia berseru, ia pentang kedua
tangan terus hendak merangkul Hi-tiok.
Tapi Hi tiok sempat berkelit
sehingga Ji nio menubruk tampat kosong.
Semua orang merasa heran dan
mengira jangan-jangan wanita ini sudah gila.
Berturut-turut Yap Ji-nio
menubruk lagi beberapa kali dan setiap kali dapat dihindarkan Hi-tiok dengan
cepat. Maklum, sejak Ji-nio dihantam sekali oleh Goan-ci sehingga jatuh
kelengar. Untung dia ditolong seseorang dan ketika sadar kembali iwekangnya
sudah banyak surut. Ginkang yang mestinya merupakan kepandaian utama Yap Ji-nio
juga telah mundur separoh dari pada tadinya.
Karena menubruk beberapa kali
tidak kena, Ji nio tambah kalap bagai orang gila ia berteriak-terak, ”Oh.
anakku! Ken ... kenapa engkau tidak mau mengakui ibumu ini."
Hi tiok terkesiap, perasaannya
seperti kena arus listrik serunya dengan tak lampias, "Engkau .. engkau
ibuku?"
"O, anakku," seru
Ji-nio. "Tidak lama sesudah aku melahirkan dirimu aku lantas menyelomot
punggung dan kedua belah bokongmu masing-masing sembilan titik dupa. Coba kau
periksa, bukankah kedua belah bokongmu masing-masing ada sembilan titik bekas
selomotan?"
Sungguh Hi tiok terperanjat
luar biasa. Memang benar bahwa di atas kedua belah bokongnya yang putih halus
itu terdapat sembilan titik bekas selomotan dupa. Karena hal itu sudah ada
sejak kecil, pula tidak tahu asalusulnya sendiri maka selamanya ia tidak pernah
beberkan rahasia badan sendiri kepada orang lain.
Terkadang bila dia sedang
mandi dan melihat tanda istimewa di atas bokong sendiri itu selalu ia anggap
dirinya memang dilahirkan sebagai anak Budha, makanya terdapat bekas selomotan
yang aneh itu. Karena itulah meka ia tambah alim dan sujud kepada agamanya.
Sekarang demi mendengar ucapan
Yap Ji-nio itu, rasanya seperti bunyi halilintar di siang bolong, dengan suara
gemetar dan tak tertahankan ia menagis, "Ya, ya! Memang ... memang di atas
bokongku ada bekas selomot ... selomotan itu. Apa ... apa engkau ... ibu yang
... yang menyelomoti aku dahulu?”
Maka menangislah ji-nio dengan
tergerung-gerung sambil sesambatan, "Ya, benar! Jika ...Jika bukan aku
yang menyelomot, dari mana ...àku akan bisa tahu? O, aku telah ... telah
menemukan putraku, aku menemukan putra kandungku..O, aku ... aku sudah
menemukan anakku sekarang!"
Sembari menangis terus saja ia
ulur tangan buat merangkul Hi-tiok.
Sekali ini Hi-tiok tidak
menghindar dan menolak lagi, ia membiarkan dirinya dipeluk Ji-nio.
Sejak kecil Hi-tiok sudah
yatim piatu dan dipiara padri Siau-lim-si. tentang kedua belah bokongnya ada
bekas selomotan dupa hanya dia sendiri yang tahu, sekarang Yap Ji-nio ternyata
dapat mengatakannya dengan jitu, sudah tentu tidak perlu disangsikan lagi akan
kebenaran ucapan Ji-nio tadi.
Untuk pertama kali inilah
mendadak Hi-tiok merasakan cinta kasih seorang ibu yang belum pernah
dinikmatinya selama ini, saking terharu air matanya lantas bercucuran juga.
Serunya dengan suara parau, "Ibu
... O, ibu! Engkau ....engkau
adalah ibuku!"
Kejadian mendadak ini
benar-benar di luar dugaan siapa pun. Dengan terheran-heran semua orang
menyaksikan Hi-tiok dan Yap Ji-nio saling rangkul dan menangis, berduka dan
bergirang pula. Menyaksikan adegan demikian, biarpun hati para ksatria sekeras
baja juga ikut luluh dan terharu.
Maka terdengar Ji-nio berkata,
"Anakku, tahun ini engkau berusia 24 tahun, selama 24 tahun ini, siang
malam senantiasa kupikirkan dirimu. Aku menjadi iri bila melihatnya orang lain
punya anak, sebaliknya anakku sendiri diculik bangsat terkutuk, makanya aku ...
aku pun suka menculik anak orang lain. Tetapi .. tetapi anak orang lain sudah
tentu tidak sebaik anaknya sendiri."
"Hahahaha!"
tiba-tiba Lam-hai gok-sin tertawa. "Sam-moai, jadi sebabnya kau suka
menculik anak kecil orang untuk dibuat mainan sesudah bosan memain lantas kau
minum darahnya, kiranya lantaran anakmu sendiri diculik orang. Sering aku
Gak-loji suka tanya padamu, tapi engkau tidak mau menerangkan sebab musababnya.
Ehm, bagus-bagus sekali..He, bocah Hi-tiok, ibumu adalah adik angkatku, nah,
lekas kau panggil Empek (paman) padaku!"
Mengingat bahwa tingkatannya
sekarang ternyata lebih tua daripada Leng-ciu-kiong Cujin yang berkepandaian
maha sakti, sungguh girang Lam-hai-gok-sìn tidak kepalang.
Sebaliknya terdengar In
Tiong-ho berkata sambil geleng kepala, "Salah, salah! Tidak bisa! Hi-tiok
cu adalah saudara angkat Suhumu, maka kamu harus panggil dia Supek. Sedangkan
aku adalah saudara angkat ibunya, tingkatanku juga lebih tua dua angkatan
daripadamu, maka kamu harus lekas panggil 'Susiokco' (kakek guru) padaku!”
Lam-hai-gok-sin melengak oleh
keterangan itu dipikir-pikir memang serba salah akhirnya ia meludah dan
mendadak memaki, "Maknya, Locu tidak mau panggil!"
Dalam pada itu Yap ji-nio
telah melepaskan rangakulannya pada Hi-tiok, ia pegang pundaknya dan dipandang
dari kanan dan kiri dengan girang tak terlukiskan. Lalu ia berpaling kepada
Hian-cu dan berkata, "Dia adalah putraku, kamu keledai gundul ini tidak
boleh mengganggu dia!"
Tiba-tiba Hi-tiok teringat
sesuatu. Tempo hari waktu dia memecahkan problem catur pernah dia lihatnya Yap
Ji-nio bersikap sangat mesra pada Sing-siok Lokoai, bahkan memanggilnya
"Engkok Jun-jin yang tercinta” apa segala, terang di antara mereka berdua
seperti ada hubungan istimewa. Wah, jangan-jangan dirinya adalah putra Ting
Jun-jui.
Sungguh celaka bila betul
begitu, Sang ibu adalah Yap Ji-nio yang bejat dan jahat termasuk satu di antara
Suok yang terkutuk dan kalau sang ayah benar benar Ting jun jiu adanya, maka
nama busuknya jauh lebih lebih tak terkatakan lagi. Yang penting celaka adalah
tadi dia malah sudah melabraknya dan menanamkan Sing si-hu pada tubuhnya
sehingga dia tersiksa setengah hidup. Wah, lantas bagaimana baiknya? Demikian
pikir Hi-tiok.
Hi-tiok coba melirik ke arah
Ting Jun-jiu dengan rasa tidak tentram, mukanya sebentar merah sebentar pucat,
kemudian pun pandang Yap Ji-nio dengan harapan ibunya akan mengatakan siapakah
gerangan ayahnya yang sebenarnya? Tapi bila sudah di katakan pun ayahnya
benar-benar Ting Jun jiu, wah, kan jadi benar celaka 13? Maka lebih baik tidak
dikatakan saja.
Namun sejak kecil Hi-tiok
sudah yatim piatu, sekarang dapat bertemu dengan ibundanya, sudah tentu ia pun
berharap dapatbertemu dengan ayahnya pula.Ya, biarpun ayahnya adalah
Ting-Jun-jui mau-tidak-mau día harus mengakuinya.
Tengah Hi-tiok merasa ragu dan
serba susah tiba-tiba terdengar Yap Ji-Nio berseru, ”Entah kampret keparat mana
yang menculik anakku sehingga kita ibu dan anak terpisah selama 24 tahun, Nah,
anakku, marilah kíta menjelajahi dunia ini dan harus menemukan bangsat keparat
itu, kíta akan mencincang dia hingga hancur luluh. Ibu tidak dapat melawan dia,
tapi ilmu silat anak sekarang maha tinggi, kebetulan dapat membalas sakit hati
ibu."
Mendadak padri jubah hitam
yang sejak tadi duduk semadi di bawah pohon itu berdiri, lalu berkata dengan
pelahan, "Anakmu ini diculik orang atau di rampas orang? Dan bekas luka
enam jalur garukan pada mukamu itu disebabkan apa?"
Air muka Yap Ji-nio berubah
hebat, jeritnya dengan suara tajam, "kau ... kau siapa? Dari mana kau
tahu!"
"Masakah kamu menjadi
pangling padaku?" Tanya padri jubah hitam.
"Hah, kau, ya, benar
kau!" Jerit Ji-nio pula segera ia pun menubruk maju.
Tapi kira-kira dua meter di
depan padri itu, mendadak Ji-nio berdiri tegak sambil menuding dengan beringas
dan tidak berani mendekat lagi.
"Ya, memang akulah yang
merampas anakmu itu." kata si padri jubah hitam. "Dan enam jalur luka
pada mukamu itu pun akulah yang menggaruknya."
"Sebab apa sebenarnya
sebab apa kau rampas anakku?" teriak Ji-niu. "Selamanya kita tidak
saling kenal, tiada punya permusuhan apa pun, tapi mengapa kau ... kau bikin
susah padaku, membikin aku menderita siang dan malam selama 24 tahun?"
"Tempo hari waktu terkena
pukulan Ong-Sing-thian yang jahat itu, jiwamu mestinya sukar dipertahankan
lagi, tapi siapakah yang menolongmu?" tiba-tiba padri itu bertanya pula.
"Aku tidak tahu,"
sahut Ji-nio. "Apakah mungkin engkau yang , .. yang menolong aku?"
"Benar, memang aku,"
padri itu mengangguk.
Tempo hari waktu Yap Ji-nio
jatuh pingsan karena pukulan Goan-ci itu, dalam keadaan tak sadar dia cuma
merasa ada orang telah menolongnya dengan menyalurkan iwekang yang sangat
tinggi namun orang itu sudah tinggal pergi ketika Ji-nio siuman kembali.
Kemudian Ji-nio pernah tanya Ting jun-jiu dan Toan Yan-khing, tapi mereka tidak
merasa telah menolongnya sehingga kejadian itu tetap merupakan tanda tanya
didalam hati Ji-nio. Ia tahu perbuatannya sendiri terlalu jahat sehingga tiada
seorang tokoh persilatan dari kalangan baikbaik sudi menolongnya, sebaliknya
sedepat mungkin malah akan membunuhnya.
Sekarang paderi jubah hitam
itu mengaku telah menolong jiwanya, kalau dilihat dari kepandaiannya yang amat
mengejutkan tadi memang tidak perlu disangsikan lagi akan kemampuan padri ini.
Tapi karenanya juga Ji-nio menjadi lebih curiga. Dengan termangu-manggu ia
pandang padri itu sambil berkata, "Sebab apa? Sebab ... sebab apa kau
menolong aku?”
Tiba-tiba padri jubah hitam
itu menunjuk Hi tiok dan berkata. "Siapakah ayah bocah ini?”
Ji-nio tergetar hebat,
sahutnya dengan gemetar, "Dia ... dia ... Tidak, tidak dapat kukatakan.
Tidak mungkin kukatakan."
Perasaan Hi-tiok terguncang
hebat, cepat ia berlari mendekati Ji-nio sambil berseru, "Mak, kau katakan
pada ku saja! Siapakah ayahku?"
"Ti ... tidak, tidak
dapat ku katakan," sahut Ji-nio sambil goyang-goyang kepala.
"Yap Ji-nio," kata
padri jubah hitam berkata pelahan-pelahan, "asalnya kau adalah seorang
nona yang baik, seorang nona yang cantik dan prihatin. Tapi pada waktu kau
berumur 18 tahun kau telah terpeleset oleh
seorang lelaki yang
berkedudukan dan berilmu silat tinggi, kau telah menyerahkan kehormatan
kepadanya sehingga melahirkan anak ini betul tidak?"
Ji-nio tampak diam, seperti
patung di tempatnya, sampai agak lama baru mengangguk dan berkata,
"Ya!"
"Lelaki itu memang
terlalu serakah, dia Cuma memikirkan kesenangannya sendiri, memikirkan nama
baik dan hari depan sendiri, sebaliknya tidak ingat kepada dirimu sebagai
seorang nona yang belum menikah dan sudah punya anak, dia tidak ingat bagai
bagaimana keadaanmu yang menyedihkan itu,"demikian kata padri itu lebih
jauh.
"Tidak, tidak!"
sahut Ji-nio. "Dia telah memikirkan diriku dia banyak memberi uang padaku
dan mengatur hidupku hari-hari selanjutnya."
"Tapi mengapa dia tidak
mau mengambil dirimu sebagai istri saja. sebaliknya membiarkan dirimu
terluntalunta di rantau!" tanya si padri.
"Aku tak dapat menikah
padanya, mana boleh dia mengambil aku sebagai istri!" sahut Ji-nio.
"Tapi dia seorang baik selamanya dia sangat baik padaku. Hanya aku
sendirilah yang tidak ingin membikin susah padanya. Dia ... dia adalah orang
baik."
Nyata dari ucapannya itu
terang ia masih penuh kenangan dan rasa bahagia kepada kekasihnya dahulu yang
sekarang telah meninggalkan dia itu, sedikit pun tidak mengurangi cintanya
walaupun sudah menderita dan merana selama ini.
Diam-diam semua orang
membatin, "Yap ji-nio terkenal maha jahat, tapi terhadap kekasihnya itu
benar-benar sangat setia dan cinta murni. Entah siapakah gerangan sang lelaki
itu."
Mendengar kisah roman Ji-nio
itu, Toan Ki, Wi Sing-tiok, Hoan Hoa, Pa thian-sik dan lain-lain tanpa merasa
sama melirik ke arah Toan Cing-sun. Mereka merasa kekasih Yup Ji-nio itu, baik
kedudukan, sifatnya yang romantis dan perbuatannya, semuanya mirip dengan
kelakuan Cing-sun. Bahkan ada yang berpendapat, "Ya, jika demikian terang
maksud kedatangan Su-ok ke negeri Tayli tempo dulu itu benar kemungkinan ingin
membikin perhitungan perkara ini dengan Tin-lam-ong."
Kalau semua orang menyangka
keras kekasih Yap Ji-nio itu tentu Toan Cing-sun adanya, sebaliknya Cing-sun
sendiri juga merasa ragu dia sedang bertanya kepada dirinya sendirl.
"Wanita yang ku kenal memang tidak sedikit tapi apakah termasuk juga Yap
Ji-nio ini? Mengapa sedikit pun aku tidak ingat lagi?"
Maka terdengar si padri jubah
hitam sedang berkata pula dengan suara lantang. "Ayah bocah ini sekarang
juga berada di sini, kenapa tidak kau tunjuk dia saja dan suruh dia
mengaku?"
"Ti ... tidak, aku tidak
dapat mengatakannya," sahut Ji-nio dengan gemetar.
Hi-tiok hanya melirik ke arah
Ting Jun-jiu dan ingin tahu reaksinya. Sebaliknya hati Toan Cing sun juga
berdebar-debar.
"Kenapa kau selomot
anakmu dengan dupa di bagian punggung dan kedua belah bokongnya?" tanya si
padri pula.
"Tidak, aku tidak tahu?
aku tidak tahu!” seru Ji nio sambil menutupi mukanya. "O, aku mohon
padamu, jangan ... jangan kau bertanya lagi."
Namun padri itu sedikit pun
tidak terpengaruh, la tanya terus, "Apa barangkali kau ingin anakmu
menjadi hwesio sejak dilahirkan.”
"Tidak, tidak,
bukan!" sahut Ji-nio.
"Habis, mengapa?"
"Entah, aku tidak tahu,
aku tidak tahu!"
"Sikap kamu tidak mau
mengaku pun aku tahu," kata si padri dengan suara keras. "Ialah
lantaran ayah si bocah itu sebenarnya adalah seorang padri alim dan
terhormat."
"O!" Ji-nio merintih
dan tak tahan lagi. Ia jatuh pingsan.
Seketika gegerlah para
ksatria. Kalau melihat keadaan Yap Ji-nio itu tentang apa yang dikatakan si
padri jubah hitam itu tidak omong kosong. Jadi orang yang bergendak dengan
Ji-nio sehingga melahirkan Hi tiok itu kiranya juga seorang hwesio. Maka
ramailah orang berbisik-bisik membicarakan "skandal" luar biasa itu.
Dalam pada itu Hi-Tiok
memayang bangun Yap ji-nio dan berseru, "Mak, mak! Sadarlah engkau!”
Selang tak lama, pelahan
Ji-nio mulai siuman lalu berkata dengan suara berat, "Nak, lekas kau bawa
aku pergi dari sini, orang ini adalah ....adalah hantu , ia serba tahu semua
aku tidak ingin melihat dia lagi. Sakit .... sakit hati ini pun tidak perlu
dibalas lagi."
"Ya, mak. marilah kita
pergi," sahut Hi-tiok.
"Nanti dulu," cegah
si padri tiba-tiba, "Apa yang hendak kukatakan belum lagi habis. Kau
bilang tidak mau membalas sakit hati lagi. Tapi sakít hatiku belum ku balas.
Yap Ji nio, apakah kau tahu sebab apa aku merampas anakmu? sebabnya íalah ...
ialah ada orang juga orang merampas anakku sehingga keluargaku berantakan dan
orangnya binasa, kami suami istri dan ayah anak bercerai berai. Maka
perbuatanku itu hanya membalas dendam belaka."
"Jadi ada orang telah
merampas anakmu? Dan engkau cuma ingin membalas dendam?” Ji nio menegas.
"Benar," sahut si
padri jubah hitam, "Aku sengaja merampas anakmu dan kutaruh di kebun sayur
Siau-lim-si supaya hwesio di situ memeliharanya sehingga dewasa dan mengajarkan
ilmu silat padanya. Sebab anakku sendiri juga telah dirampas orang dan
dibesarkan serta mendapat didikan ilmu silat dari hwesio Siau-lim-si. Apakah
kau ingin melihat mukaku yang asli?”
Dan tanpa menunggu jawaban Yap
Ji-nio, dengan cepat padri itu menanggalkan kain kedok sendiri. Seketika para
ksatria menjerit kaget.
Ternyata "padri" itu
bermuka lebar dan penuh brewok, wajahnya sangat angker dan gagah, usianya
antara 60an tahun.
Sungguh kejut dan girang Siau
Hong tak terkirakan, cepat ia memburu maju dan menyembah sambil berseru,
"Kau ... engkau adalah ... "
"Hahaha!" orang itu
terbahak-bahak, "Anak baik, anak baik, memang benar aku ini ayahmu. Kita
ayah dan anak mempunyai perawakan dan muka yang serupa, maka tidak pakai bukti
juga semua orang tahu aku adalah bapakmu."
Ketika ia tarik bajunya
sendiri sehingga dadanya terbuka, maka tertampaklah sebuah lukisan cacah kepala
serigala, lalu ia pun tarik bangun Siau Hong dan membuka bajunya, segera
kelihatan juga tato kepala serigala yang menyeringai dengan kedua taringnya
yang menyeramkan di dada Siau Hong itu.
Kedua orang berbareng lantas bersiul
sambil menengadah, suara mereka nyaring berkumandang sehingga lembah gunung
seakan-akan terguncang. 18 ksatria Cidan juga serentak mencabut golok mereka,
pembawa mereka sungguh luar biasa laksana pasukan raksasa.
Lalu Siau Hong mengeluarkan
sebuah bungkusan kecil kain minyak, dari situ ia mengeluarkan sehelai kertas
kuning yang yang terlipat. Ketika itu dibentang, maka kelihatanlah huruf-huruf
cidan yang tercetak. Itulah tulisan tinggalan ayah Siau Hong di dinding karang
yang diterimanya dari Ti-kong Taisu dahulu.
"Hahaha, tulisan Siau
Wan-san sebelum ajal haha!" demikian orang tua berewok alias Siau Wan-san
terbahak sambil tuding tulisan di atas kertas yang dibentang Siau Hong itu.
"Haha, anakku pada saat aku terjun ke bawah jurang, ingin menyusul ibumu,
tak tersangka ajalku belum waktunya tamat, tahu-tahu aku kecantol di dahan
pohon raksasa di bawah jurang dan tidak jadi mati. Dengan demikian gagal
maksudku membunuh diri sebaliknya lantas timbul cita-citaku untuk membalas
dendam. Tatkala di luar Gan-bun-koan dahulu itu, ibumu yang tak bisa ilmu silat
itu tanpa alasan telah dibunuh jago silat Tionggoan sini, coba katakan, sakit
hati ini harus kita balas atau tidak?”
"Sakit hati ibu sedalam
lautan, sudah tentu harus dibalas!" sahut Siau Hong tegas.
"Orang-orang yang dahulu
ikut membinasakan ibumu itu sebagian besar sudah kubunuh pada waktu itu
juga," kata Siau Wan-san. "Sedangkan Ti kong dan manusia yang
menyamar dan mengaku bernama Tio-ci-sun itu pun sudah mampus di bunuh anak Ong
Kiam-thong, itu Pangcu Kai-pang sudah mampus karena sakit, baginya boleh
dikatakan terlalu untung. Cuma itu Toa-ok-jin (durjana besar) yang mereka sebut
sebagai Toako pemimpin itu sampai sekarang masih hidup segar-bugar. Coba
katakan nak, cara bagaimana kita harus menghadapinya."
"Siapakah dia itu!"
tanya Siau Hong cepat.
”Ya, siapakah dia?"
mendadak Siau Wan-sin bersiul panjang, sinar matanya bagai kilat menyapu ke
arah para ksatria Tionggoan.
Para ksatria yang kebentrok
sinar matanya sama merasa kebat-kebit. Walaupun mereka tiada sangkut-pautnya
dengan peristiwa di luar Gan-bun-koan dahulu, tapi demi melihat sikap Siau
Wan-san yang gagah berwibawa itu semuanya merasa jeri dan tiada seorang pun
berani bergerak atau bersuara seakan-akan kuatir menimbulkan bencana bagi mereka
sendiri.
"Anakku," kata Siau
wan-san kemudian "pada hari itu aku bersama ibumu dengan membopong dirimu
sedang berkunjung ke rumah nenekmu, tidak tersangka setiba di luar Gan-bun-koan
mendadak berpuluh jago silat Tionggoan menyergap kita sehingga ibumu dan para
pengiring kita terbunuh semua. Kerajaan Song memang bermusuhan dengan bangsa
Cidan kita dan bukan kejadian aneh kalau saling bunuh-membunuh, Tapi para jago
silat Tionggoan ini bersembunyi di lereng bukit sana terang mereka mempunyai
muslihat tertentu. Anakku, apakah kau tahu apa sebabnya?”
Siau Hong menyahut, "Dari
Ti-kong Taisu anak mendengar katanya mereka mendapat berita bahwa jago silat
Cidan hendak menyerbu ke Siau-lim-si dan merampas kitab pusaka mereka agar ilmu
silat mereka dapat disebar-luaskan di negeri Liau kita dan kelak akan dapat di
pergunakan sebagai modal untuk menyerang kekerajaan Song sebab itulah mereka
menyergap ayah dan membunuh ibu."
"Hehe, hehe! Sebenarnya
waktu itu aku tiada maksud hendak merebut kitab pusaka Síau-lim-si mereka yang
memfitnah aku," kata Siau Wan san dengan tertawa pedih. "Baik, baik!
Sekali Siau Wan-san di fitnah orang, maka aku lantas sengaja berbuat. Selama 30
tahun ini aku telah bersembunyi di Siau lim-si dan telah membaca sepuas-puasnya
segala kitab pusaka Ilmu silat mereka. Nah, para padri saleh Siau-lim-si, kalau
kalian mampu bolehlah membunuh Siau Wan-san. kalau tidak, maka ilmu silat
Siau-líím-paí tentu akan tersebar di negeri Liau. Jika kalian ingin menjebak
aku lagi di Gan-bun-koan pasti kalian akan terlambat."
Semua padri Siau-lim-si
menjadi terperanjat oleh cerita Siau Wan-san itu. Mereka pikir jika beñar apa
yang dikatakan sehingga ilmu silat Siau-lim-pai tersebar di negeri musuh, itu
berarti orang Cidan akan mirip harimau tumbuh sayap dan benar-benar membahayakan.
"Ayah," kata Siau
Hong. "kalau Toa-ok-jin itu membunuh ibu, hal ini boleh dikatakan terjadi
karena salah paham, Tapi dia membúnuh juga ayah bunda angkatku Kiau Sam-hoai
suami-istri sehingga anak yang harus menanggung nama jelek, hal itu sungguh tidak
pantas. Maka sebenarnya siapakah Toa-ok-jin itu, harap ayah memberi tahu
saja."
"Hahaha!" tiba-tiba
Siau Wan-san tertawa. "Nyata kau pun salah sangka, anakku!"
"Salah sangka?" Siau
Hong menegas dangan heran.
"Ya, kau salah
sangka," sahut Wan-san mengangguk. "Sebab suami-istri orang she Kiau
itu akulah yang membunuhnya!"
"Hah, ayah yang
membunuhnya?" Siau Hong menegas dengan terkejut. "Se ... sebab
apa?"
"Kamu putraku, mestinya
keluarga kita dapat hidup berbahag¡a, tetapi orang Tionggoan ini memandang
bangsa Cidán kita bagai mahluk yang lebih rendah daripada hewan dan
sedikit-sedikit lantas main bunuh bangsa kita." demikian sahut Wan-san,
"Mereka merampas anakku dan diberikan kepada orang lain. Suami-istri she
Kiau itu mengaku sebagai orang tuamu, ia merampas kebahagiaan keluarga kita dan
tidak mengatakan duduknya perkara padamu, kesalahannya inilah pantas di hukum
mati."
"Tapi ... tapi ayah dan
ibu angkat sangat berbudi pada anak, mereka adalah orang baik sekali."
ujar Siau Hong dengan rasa pedih. '"Jika demikian, jangan-jangan orang
yang membakar Tan-keh-ceng, yang membunuh Tamkong dan Tam-poh apakah juga ...
juga .... "
"Benar, semuanya
perbuatanku," sahut Wan-san. "Habis, sudah terang mereka mengetahui
biang keladi yang dahulu memimpin mereka menyergap kitadi Gan-bun-koan tapi
mereka tidak mau mengatakan padamu, semuanya melindungi dìa, bukankah mereka
pun pantas dibunuh?"
Untuk sejenak Siau Hong
terdiam, pikirnya, "Semula Toa ok-jin yang kucari itu kusangka sama
orangnya dengan 'Toako pemimpin’ yang dikatakan mereka, siapa tahu
pembunuhan-pembunuhan itu adalah perbuatan ayah. Ai, sungguh sukar untuk
dipahami."
Kemudian ia berkata pula
dengan terputus-putus. "Hian ... Hian koh Taisu dari Siau-lim-si adalah
guru yang telah mendidik dan membesarkan anak selama ini .... " Sampai di
sini suaranya menjadi terguguk-guguk, la menunduk dan air mata
berlinang-linang.
"Hm, masakah orang
Tionggoan ada yang baik? Memang, Hian-koh itu pun mati di bawah
pukulanku." kata Siau Wan san.
Mendengar pengakuan itu
serentak para padri Siau-lim-si sama menyebut, "Omitohud!"
Suara mereka sangat berduka
dan penuh kemarahan, walaupun seketika itu tiada orang yang lantas menantang
Siau Wan-san, tapi dari suara "Omitohud" mereka yang penuh rasa duka
itu terang mereka sudah bertekad akan membikin perhitungan dengan Siau Wan san.
Siau Wan-san tidak
menghiraukan suara padri Siau-Lim-si itu, ia berkata pula, "Di antara
orang-orang yang ikut membunuh istriku dan merampas putraku terdapat pangcu
Kai-pang dan juga terdapat tokoh Siau lim-pai. Hehe, mereka ingin menutupi
utang darah mereka untuk selamanya dengun jalan mengubah anakku menjadi orang
Han, menyuruh anakku mengangkat musuh sebagai guru dan menerima waris kedudukan
Pangcu Kaipang dari musuh. Hehe, pada malam itu sesudah kuhantam sekali pada
Hian-keh, lalu aku sembunyi di situ. Ketika dia melihat wajahmu sangat mirip
aku dia mengira kamu yang menyerang dia, sampai si gundul kecil yang melayani
Hian-keh juga tidak dapat membedakan mana dirimu dan aku. Nah bangsa cidan kita
sudah disembelih dan dianiaya, apakah kita tidak masih tidak cukup menderita?”
Baru sekarang Siau Hong paham
duduknya perkara. Makanya malam itu ketika Hian-keh melihat día mendadak padri
tua itu kaget tak terkira sedangkan hwesio cilik juga memberi kesaksian bahwa
dirinya yang memukul Hian-koh, sudah tentu sama sekali tak terpikir olehnya
bahwa pembunuh yang sebenarnya adalah seorang yang bermuka mírip dengan dirinya
dan mempunyai hubungan darah yang erat.
Maka kemudian Siau Hong
berkata. "Jika ayah yang membunuh orang-orang itu, Jadinya tiada bedanya
seperti anak yang membunuh mereka, maka tuduhan yang selama ini dilimpahkan
padaku juga tidak membuat penasaran. Tentang orang yang mereka namakan Toako
Pemimpin yang mengepalaikawan-kawan menyergap dan membunuh ibu itu, apa
sekarang ayah dapat menyelidiki dengan jelas siapa orang itu.”
"Hehe, masakah usahaku
selama ini percuma saja? Sudah tentu telah kuselidiki dengan jelas." ujar
Wan-sin. "Jahanam itu telah mambuat berantakan keluargaku, kalau sekali
kuhantam membinasakan dia, bukankah cara ini terlalu enak baginya?
..... (Terputus) ………………………………………….tak
dapat dibaca )......
Mendengar pernyataan Hian-cu
itu seketika menjadi ramai. Dan mendapat berbagai tanggapan, ada yang menjadi
terkejut dan mencemooh dan ada yang kasihan. Sungguh siapa pun tidak menduga
bahwa Hongtiang atau ketua Siau-lim-si yang berwibawa dan terhormat itu bisa
melakukan perbuatan semacam itu?
Sesudah agak lama barulah
suara berisik itu mulai mereda. Lalu Hian-cu berkata pula dengan pelahan,
suaranya tetap ramah dan tenang seperti biasanya, "Siau sicu, engkau terpísah
30 tahun dengan putramu dan baru sekarang dapat bertemu tapi engkau sudah
mengetahui bahwa dia berilmu silat sangat tinggi, namanya sangat termasyur dan
telah menjadi tokoh terkemuka dunia kongouw, dengan sendirinya hatinya terhibur
dan merasa lega. Sebaliknya setiap hari aku bertemu dengan putraku, namun tidak
kukenal dia, aku menyangka dia telah diculik penjahat dan tidak tahu mati
hidupnya, malahan siang malam berkuatir baginya."
"Engkau ... tidak perlu
bercerita lagi bahwa engkau ... bagaimana? Apa mau di ... dikata lagi?"
seru Yap Ji-nio dengan menangis.
Namun Hian-cu menjawab dengan
suara halus, ”Ji-nio, kalau kesalahan itu sudah kita perbuat, untuk menyesal
juga sudah terlambat. Ai, selama beberapa tahun ini tentu banyak membikin susah
dirimu?"
"Aku tídak susah,"
kata Ji-nío dengan menangís. "Kau sendiri menderita batin tapi tak bisa
dikatakan, itulah benar-benar süsah."
Hian-Cu mengeleng kepala
pelahan, lalu katanya kepada Siau Wan san, "Siau-sicu, pertempuran Gan bun
koan ítu adalah salah pimpinanku. Tapi para saudara telah membela dan berkorban
Jiwa bagiku, biarpun hari ini aku pun mati juga sudah terlambat. Cuma masih ada
suatu hal yang aku benar-benar tidak paham sampai sekarang.”
Sampai disini tiba-tiba ia
perkeras suaranya dàn berseru, "Buyung Bok, Buyung-siansing, dahulu engkau
telah menyampaikan berita palsu itu padaku, katanya jago jago Cidan hendak
menyerbu Siau-lim-si apakah maksud tujuanmu dengan kabar palsu itu?”
Kembali semua orang terkejut
demi mendengar nama "Buyung Bok” itu. Di antara para ksatria itu hanya
terbatas orang yang luas pengalamannya saja yang pernah mendengar bahwa di
antara tokoh angkatan tua "Koh soh buyung” terdapat seorang yang bernama
Buyung Bok. Karena tindak tanduk Buyung Bok itu sangat aneh dan misterius maka
jarang yang kenal mukanya, apalagi dua-tiga puluh tahun paling akhir ini sudah
tiada orang menyebutnya lagi, Kenapa sekarang mendadak Hian-cu menyebut nama
Buyung Bok?
Dan ketika semua orang
memandang menurut arah yang dituju Hian-cu, kiranya yang dimaksud adalah si
padri jubah putih yang masih duduk di bawah pohon itu.
Maka terdengar padri itu
tertawa panjang sambil berdiri katanya, "Hongtiang Taisu, penglihatanmu
ternyata sangat tajam sehingga dapat mengenali diriku."
Habis berkata ia terus tarik
satu kedok sendiri sehingga wajahnya yang putih bagus da agak kurus.
Buyung Hok berdiri tidak jauh
di sebelahnya dalam kagetnya ia terus berteriak, "Hei, ayah jadi engkau
belum .,.. belum meninggal?"
"Buyung-sicu," kata
Hian-cu pula, "kita sebenarnya adalah sahabat lama, selamanya kuhormati
kematian dirimu. Maka takkala kau sampaikan berita itu padaku, dengan
sendirinya aku percaya padamu. Tapi sesuatu peristiwa yang keliru itu, untuk
selanjutnya engkau tidak dapat kutemukan lagi. Tidak lama kemudian terdengar
kabar bahwa engkau telah wafat, waktu itu aku benar-benar sangat berduka kukira
kaupun sama menyesalnya karena percaya pada kabar orang lain sehingga terjadi
kesalahan besar yang tak bisa ditarik kembali itu. Siapa tahu ... ai!"
Suara hembusan napas panjang
itu penuh mengandung rasa menyesal dan cercaan.
Siau Wan-san saling pandang
sekejap dengan Siau Hong. Baru sekarang mereka tahu bahwa manusia yang
menyampaikan berita palsu untuk mengadu domba itu ternyata adalah Buyung Bok.
Seketika timbul suatu pikiran yang sama dalam benak kedua ayah dan anak itu,
yakni, "Jadi peristiwa menyedihkan di Gan-bun-koan dahulu itu walaupun
dipimpin oleh Hian-cu, tapi dia adalah ketua Siau-lim-si, sudah sepantasnya dia
memikirkan kepentingan bangsa dan neger¡nya serta kitab pusaka biaranya dengan
sendirinya pula dia bertindak sekuat tenaga. Dan kemudian sesudah tahu
perbuatannya yang salah itu. lalu sebisa mungkin dia berusaha memperbaíki
kesalahannya. Jadì Toa ok-jin atau si durjana yang sesungguhnya bükanlah
Hian-cu melainkan Buyung Bok adanya."
Karena dendam kesumat selama
30 tahun, maka rasa permusuhan Siau Wan-san terhadap Hian-cu susah dihapuskan.
Sebaliknya Siau Hong merasa terharu dan kasihan juga kepada nasib Hian-cu.
Begitulah terdengar Buyung Bok
bergelak tertawa, katanya, "Bangsa Han dan orang Cidan adalah musuh
bebuyutan, asal bertemu lantas saling bunuh tanpa membedakan salah atau benar,
kenapa aku yang disalahkan? Marilah nak, kita pergi saja!"
Segera ia gandeng tangan Buyung
Hok untuk diajak pergi.
"Nanti dulu!" bentak
Siau Hong mendadak. "Masäkah begitu enak lantas hendak mengeluyur pergi?”
"Habis mau apa?"
sahut Buyung Bok. "Apakah kau ingin belajar kenal dengan kepandaian sejati
Koh-Boh Buyung?"
"Sakit hati pembunuhan ibu
mana boleh tidak dibalas?" kata Siau Hong. "Segala kejadian yang
menyedihkan adalah karena perbuatanmu. Maka hari ini aku harus menuntut
keadilan padamu,"
"Hahahal" tiba-tiba
Buyung Bok tertawa panjang, ia lepaskan tangan Buyung Hok dan segera melompat
pergi, ia berlari menuju ke atas gunung malah.
"Mari kejar!" seru
Wan-san kepada Siau Hong. Kedua orang segera mengundak ke atas gunung dari
jurusan kanan dan kiri.
Kepandaian ketiga orang itu
sudah mencapai tingkatan tertinggi, maka dalam sekejap saja mereka sudah pergi
sangat jauh dan hanya kelihatan tiga bayangan orang, satu di muka dan dua di
belakang, semuanya menuju ke arah Siau-lim-si dan untuk sekejap pula lantas
menghilang di balik dinding biara agung itu.
Tindakan Buyung Bok itu
benar-benar membuat para ksatria sangat heran. Pikir mereka, "Kepandaian
Buyung Bok itu sama hebat dengan Siau Wan-san. Tapi kalau ditambah seorang Siau
Hong, pasti Buyung Bok sukar dilawan. Dan kenapa dia tidak berlari ke bawah
gunung, sebaliknya malah lari ke dalam Siau-lim-si?”
"Ayah. ayah!" Buyung
Hok berteriak-teriak dan segera ia pun menyusul ke atas gunung. Ginkangnya juga
sangat tinggi, tapi kalau dibandingkan ketiga orang didepan ternyata masih
kalah setingkat.
Segera Ting Pak-jwan. Kongya
Kian, Pau Put-tong, Hong Po-ok dan ke-18 ksatria Cidan juga bermaksud memburu
ke atas gunung untuk membantu majikannya masing-masing. Tapi baru saja mereka
akan bergerak, tiba-tiba Hian-cit membentak. "Pasang barisan dan rintangi
mereka?”
Serentak beratus-ratus padri
Siau Lim-Si mengerubung maju dan pasang barisan masing-masing dengan senjata
siap di tangan untuk merintangi setiap orang yang berani maju.
"Siau Lim-si kami adalah
tempat suci dan bukan tempat berkelahi untuk umum, maka perempuan diharap
jangan sembarangan masuk ke sana!” seru Hian-cit pula dengan garang.
Melihat begitu hebatnya
barisan padri Siau-Lim-Si, Pek jwan insaf tidak mungkin dapat menerjang lewat
kesana, terpaksa ia tidak berani bergerak lagi walaupun dalam hati sangat
menguatirkan keadaan sang majikan.
Sebaliknya Pau Put-tong lantas
menanggapi ucapan Hian Cit tadi, " Benar, Siau Lim-Si memang tempat suci,
tempat suci untuk mengadakan hubungan gelap dan melahirkan anak haram!”
Karena kata-kata ini seketika
beratus pasang mata dengan sorot mata yang gusar terpancar arahnya. Tapi dasar
watak Pau Put-tong tidak kenal apa artinya takut biarpun tahu bukan tandingan
salah seorang padri angkatan
"Hian" dari
Siau-Lim-Si, tapi sekali dia sudah bicara apa pun juga siap akan dihadapinya.
Maka terhadap pelototan mata beratus padri Siau-Lim-si itu kontan dibalasnya
dengan mendelik pula.
Maka terdengar Hian-cu berkata
dengan suara lantang. "Aku telah melanggar larangan besar agama sehingga
mencemarkan nama baik Siau-Lim-pai. Nah Hian-Cit Sute, Kalau menurut peraturan
apa hukumanku itu?”
"Ini... ini ... Suheng
.... " sahut Hian cit dengan tergegap dan ragu.
"Negara mempunyai
undang-undang dan keluarga mempunyai peraturan, setiap golongan, aliran atau
perkumpulan tentu juga punya murid yang menyeleweng." kata Hian-Cu.
"Nah. Murid pelaksana hukuman, siapkan pentungan dan rangket Hi tiok 130
kali, yang seratus kali adalah hukuman yang dijatuhkan atas dosanya dan 30 kali
adalah hukuman kepada gurunya yang diwakilkan olehnya."
Segera murid pelaksana hukum
memandang Hian-Cit, ketika padri agung itu mengangguk, dalam pada itu Hitiok
sudah bertiarap dan siap menerima hukuman. Segera padri yang memegang pentungan
itu mulai menghantam punggung dan bokong Hi-tiok sehingga babak belur dan
berdarah.
Walau pun dalam hati Yap
Ji-nio sangat sedih, tapi biasanya dia jeri kepada wibawa Hian-cu, maka tidak
berani memohonkan ampun. Dengan susah payah akhirnya Hi-tiok selesai menerima
130 kali rangketan itu. Karena dia tidak melawan dengan tenaga dalamnya, maka
sakitnya tidak kepalang sehingga tidak sanggup berdiri lagi.
"Sejak kini kamu dipecat
dan bukan padri Siau-lim-si lagi," kata Hian-cu.
Hi-tiok mengiakan dengan air
mata berlinang-linang.
Lalu Hian-Cu berkata pula,
"Hian-cu melanggar pantangan berzinah, dosanya sama dengan Hi-tiok, tapi
dia adalah Hongtiang, maka hukumannya harus berlipat ganda. Nah, padri
pelaksana hukum, rangket Hian-cu 200 kali. Nama baik Siau Lim-si harus tetap terpupuk,
sedikit pun tldak boleh pandang bulu dan pilih kasih."
Habis berkata, ia lantas
bertiarap sendiri terhadap patung Budha yang jauh berada di tengah pendopo Siau
limsi di atas gunung. Ia menyingsing bajunya sendiri sehingga kelihatan
punggungnya.
Seketika para ksatria saling
pandang dengan melongok. Bahwasannya Hongtiang Siau-Lim-si menerima hukuman di
depan umum, sungguh kejadian yang mengejutkan dan luar biasa.
Dengan ragu Hian-cit coba
bertanya, "Suheng Engkau .... "
"Laksanakan hukuman
semestinya.” seru Hian-Cu. "Nama baik Siau Lim-Si mana boleh tercemar di
tanganku?"
Terpaksa Hian-cit mengiakan
dan memberi perintah, "Baiklah, hukuman dimulai!”
"Maaf Hongtiang!"
lebih dulu kedua pelaksana hukuman memberi hukuman. Habis itu mereka melangkah
mundur dua tindak dan angkat pentungan mereka terus menghantam ke Hian-Cu
secara bergiliran.
Kedua padri pelaksana hukum
itu tahu yang membuat tidak enak Hongtiang mereka adalah di jatuhihukuman di
depan umum dan bukan soal babak belurnya rangketan itu. Kalau sekarang mereka
merangket dengan ringan tentu akan di buat comooh orang luar malah. Maka mereka
terus menghantam sebagaimana mestinya tanpa pandang bulu. Hanya sekejap saja
punggung dan bokong Hian-Cu sudah babak-bundas penuh darah.”
Para padri Siau Lim-si lain
sama menunduk sambil berdoa mereka hanya mendengar kedua padri pelaksana hukum
itu menjatuhkan pentungan mereka dan mengeluarkan suara "plak-plok"
diseling dengan suara hitungan.
Mendadak To-Ling Taisu dari
Bo-to-si berseru "Hian Cu Suheng biara kalian sangat mengutamakan tata
tertib dan menjatuhkan hukuman kepada Hongtiang sendiri tanpa pandang bulu,
sungguh aku sendiri kagum. Cuma usía Hian-cu Suheng sudah lanjut, piula tidak
mau menggunakan Iwekangnya untuk menahan pukulan ítu, rasanya 200 kali rangketan
akan susah diterimanya. Maka ingin kumohon ampun baginya sekarang sudah lebih
80 kali rangketan, sisanya boleh ditunda saja pada lain hari."
"Ya, Setuju,
Setujul" segera banyak di antara ksatria itu menyokong usul To jing.
Tapi sebelum Hian-cit menjawab
segera Hian-cu berseru "Banyak terima kasih atas maksud baik para kawan.
Namun peraturan tetap peraturan dan tidak boleh dltawar. Maka padri pelaksana
hukum, hendaknya rangket terus?"
Sebenarnya kedua padri yang
merangket tadi sudah berhenti, demi mendengar perintah sang ketua terpaksa
mereka menghantam dan menghitung lagi.
Kira-kira empat puluh kali
rangketan pula Hian-cu tidak tahan lagi, kedua tangannya yang menyanggah diatas
tanah itu menjadi lemas
sehingga mukanya menempel tanah.
"O, semuanya adalah
salahku dan tak dapat menyalahkan Hongtiang. akulah yang salah karena ditipu
orang sehingga sengaja menggoda Hongtiang maka ... maka rangketan yang lain
biarlah aku saja yang menerimanya," demikian seru Yap Ji-nio dengan menangis,
la berlari-lari maju hendak tiarap di atas badan Hian-cu untuk mewakilkan
terima rangketan yang masih kurang itu.
Tapi sebelum mendekat, sekali
jari Hiau cu menutuk, seketika Hiat-to dipinggang Yap Ji-nio tertutuk dan tak
berkutik. "Bodoh. Engkau bukan orang dalam agama dan tidak bersalah,
kenapa minta dihukum?"
Dan ketika Yap Ji-nio terpaksa
diam di tempatnya dengan air mata berlinang lalu Hian-cu berseru,
"Teruskan rangketan!"
Dengan susah payah akhirnya
genaplah 200 kali rangketan itu dilaksanakan. Darah sampat mengenangi tanah
sekitar badan Hian-Cu di mana dia tengkurap. Sekuat mungkin Hian-cu menahan
diri sehingga tidak sampai jatuh pingsan.
Lalu kedua padri pelaksana
hukum memberi hormat kepada Hian-cu, "Lapor Siaco, hukuman atas Hongtiang
sudah selesai."
Hian-cit cuma mengangguk saja
dan tak sanggup bicara.
Sesudah Hian-cu merangkak
bangun, lalu ia hendak menutuk pula Yap Ji-nio untuk membuka hiat-to yang
ditutuknya tadi. Tak terduga karena lukanya terlalu parah sehingga tutukannya
itu menjadi gagal.
Sejak tadi Hi-tiok menunggu di
samping ibunya, melihat kegagalan Hian-cu itu, segera ia mewakilkan membuka
hiat to ibunya.
Tiba-tiba Hian-Cu menggapai
pada Ji-nio dan Hi-tiok agar mendekatinya. Hi-tiok menjadi ragu sesudah
berhadapan dengan ketua Siau-lim-si itu ia tidak tahu apa mesti memanggil
"ayah" atau tetap menyebut "Hongtiang” saja?
Hian-cu lantas berkata kepada
para hwesio Siau-Lim-si, "Empat padri angkatan "Hian” dari
Siau-lim-si kita telah dibunuh orang. Hian-thong dan Hian-lan Sute diketahui sebagai
korban keganasan Ting-siangsing dari Sing siok pai, Hian koh sute tewas di
bawah pukulan Siau-sicu. Masih ada pula Hian-pi Sute yang belum di ketahui
meninggal dibunuh oleh siapa. Semula aku kira adalah perbuatan ”Koh-soh
Buyung”, Tapi sesudah
menyaksikan kepandaian Buyung
Bok losian yang telah menahan bunuh diri putranya, barulah ku tahu bahwa
sahabat lama ini kiranya belum meninggal dan nyata "Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin” memang ilmu sakti nomor satu di dunia ini. Cuma saja
Siau-lim-pai kita selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan Buyung-Losicu,
entah mengapa dengan susah payah dia menjalankan muslihatnya untuk
menghancurkan golongan kita, hal ini benar-benar tidak dapat kupahami.”
"Tangkap hidup-hidup
Buyung Bok dan hukum mäti dia untuk membalaskan Sakit hati Hian-pi
Taisu!"' serentak semua orang berteriak saking duka dan gusernya.
Tapi Hian-cu menggeleng kepala
dan tersenyum, katanya pula dengan perLahan "Setiap orang mempunyai
kesalahan dan dosa masing-masing, semoga Budha maha kasih memberi jalan bagi
mereka yang tersesat."
Lalu ia mengulurkan lengan
yang sebelah memegang tangan Ji-nio dan yang lain memegang tangan Hi-tiok
katanya, "Orang hidup di dunia ini ada kehendak dan ada kasih, tapi
semuanya sebenarnya hampa belaka, sungguh sulit, Sülit!"
Habis berkata pelahan ia pejamkan
mata dan tidak bersuara lagi.
Ji-nio dan Hi-tiok tidak
berani bergerak, sebab mengira masih ada apa-apa yang hendak dikatakan Hiau-cu.
Tak terduga tangan Hiau-cu yang memegang mereka itu makin lama makin dingin,
Karuan Ji-nio terkejut, cepat ia perìksa pernapasan Hian-cu dan ternyata sudah
berhenti, nyata ketua Siau-lim-si itu sudah wafat.
"Ken ... kenapa kau
tinggalkan aku dengan begini saja!" seru Ji-nio dengan wajah pucat.
Mendadak ia melompat setinggi dua-tiga meter ke atas dan membiarkan dirinya
dirinya terbanting ke bawah, "bluk", dengan keras badannya terkapar
di samping Hian-cu, dan sesudah berkelojotan beberapa kali lalu tidak bergerak
lagi.
"Ibu, ibu! Jangan , ..
jangan .... " seru Hi-tiok dengan bingung. Waktu ia angkat bangun ibunya,
tertampaklah sebilah belati sudah menancap di hulu hati sang ibu, terang sukar
dihidupkan kembali lagi. Cepat Hi-tiok menutuk hiat-to disekitar luka itu,
kemudian ia hendak menolong Hian-cu pula, dengan sibuk ia hendak menolong dua
orang sekaligus.
Segera Sih-sin-ih ikut maju
buat membantu tapi dilihatnya kedua orang itu sudah berhenti bernapas terang
tak tertolong lagi maka ia berkata, "Susiok hendaklah jangan terlalu
berduka kedua orang tua sudah tak bisa tertolong pula."
Tapi Hi-tiok masih ngotot dan
tidak putus asa, Uia masih berkutat sampai sekian lama dan sudah tentu tak
berhasil. Ia dengar para padri
sedang berdoa, dalam dukanya hi-tiok lantas menangis juga dengan
tergerunggerung. Selama 24 tahun ini ia hidup yatim-piatu dan tidak pernah
merasakan setitik bahagia hidup kekeluargaanan, baru beberapa hari ini dia
bertemu dengan ayah bundanya, siapa tahu belum ada satu jam lamanya kedua orang
tua itu sudah meninggal semua. Kalau ada peristiwa yang paling memilükan di
dunia ini rasanya tiada yang lebih tragis daripada Hi-tiok ini.
Tadi semua orang agak
memandang hina kepada Hian-cu karena sebagai ketua Síau-l¡m-si dia telah
melanggar peraturan suci, tapi kemudian mereka merasakan kesalahan Hian-cu itu
telah ditebus dengan hukuman 200 kali rangketan di depan umum. Sama sekali
mereka tidak menduga bahwa sesudah dirangket, mendadak Hian-cu membunuh diri
untuk menebus dosanya.
Sebenarnya bila Hian-cu ingin
menebus dosanya dengan kematian, maka mestinya hukuman rangket itu tidak perlu
diterimanya, namun dia bertekad sehabis dirangket baru membunuh diri, hal ini
benar-banar perbuatan seorang sejati. Karena kagum kepada jiwa Hian-cu yang
besar itu, segera banyak di antara para ksatria mendekati jenazah dan memberi
penghormatan terakhir.
Lam-hai-gok-sin juga lantas
berkata kepada Yap Ji-nio, "Jici (kakak kedua), Gak-Losam sekarang tidak
akan berebut urutan lagi denganmu, biarlah engkau saja yang menduduki tempat
kedua itu!"
Selama ini Lam-hai-gok-sin
selalu berebut "tua" dengan Yap-ji-nio, selalu ia mencari daya upaya
agar dapat menduduki tempat kedua dari su-ok itu. Tapi sekarang dia mengalah
dengan ikhlas, hal ini menunjukkan dia juga sangat berduka dan kagum kepada
kematian Yap-ji-nio yang setia itu.
Dalam pada itu orang-orang
Kai-pang juga merasa lesu semua. Dengan penuh semangat mereka mengeluruk ke
siau lim-si, siapa tahu Ong-pancu mereka datang-datang lantas bertekuk lutut
dan mengangkat guru kepada sing-siok lokoai, bahkan kemudian kedua kaki sang
pangcu itu di patahkan pula oleh siau Hong.
Maka Goan-tianglo lantas
berseru "Saudara-saudara sekalian, untuk apa lagi kita berdiam di sini?
Memangnya ingin menunggu sedekah nasi basi? Ayolah pergi dari sini!”
Para pengemis serentak
mengiakan dan segera hendak pergi semua.
Tapi mendadak terdengar Pau
put-tong berseru kepada mereka, "He, nanti dulu! Ada sesuatu yang hendak
kuberitahukan kepada Kai-pang.”
Dahulu Tan-tianglo pernah
bertempur dengan Pat-tong dan Po-ok di kota Busik, ia kenal mulut Put-tong
tidak ada kata-kata bersih, maka dengan suara garang segera ia menanggapi,
"Orang she Pau, kalau mau bicara boleh
lekas bicara jika mau kentut
lekas kentut!”
"Waduuuh! Baunya bacin!”
seru Put-tong sambil pencet hidungnya sendiri. ”Hai, pengemis tukang kentut,
apakah dalam Kai-pang kalian ada seorang pengemis tua bangka bernama Ih
It-jing?”
Mendengar nama kawannya itu
seketika Tan-tianglo sangat tertarik, jawabnya, ”Jika ada mau apa? Kalau tidak
ada bagaimana?”
”Aku sedang bicara dengan
seorang pengemis tukang kentut dan kamu menanggapi ucapanku, apakah kamu
mengaku sebagai tukang kentut?” tanya Put-tong.
Karena ingin tahu urusan yang
menyangkut kepentingan organisasi mereka sudah tentu Tong Tianglo tidak sabar
untuk adu mulut dengan Put-tong. Maka jawabnya, "Aku ingin tanya tentang
Ih It jing yang kau katakan itu. Dia adalah anggota kami dan sedang diutus
berdinas ke negeri Se He, apakah saudara mengetahui kabar beritanya?"
"Aku justru ingin
bicarakan suatu urusan negeri Se He dengan kalian," kata Put tong.
"Cuma Ih It-jing itu sudah lama melaporkan diri kepada Giam-lo-ong (Raja
akherat)!"
"Hah, apa betul
ucapanmu?" Yan-tianglo menegas dengan agak kaget. "Numpang tanya, ada
urusan apa tantang negeri Se he?"
"Kamu memaki aku bicara
sepertl kentut, maka sekarang aku tidak ingin kentut lagi." sahut
Put-tong.
Sungguh Tan-tianglo sangat
mendongkol, tapi dia memang seorang sabar, dengan tertawa ia berkata, "Ya,
tadi umpatanku telah menyinggung perasaan saudara, maaf!"
"Minta maaf sih tidak
perlu, asal selanjutnya kamu sedikit kentut dan banyak bicara, saja.” ujar
Put-tong.
"Apa-apaan ini?” demikian
pikir Tan-tianglo dengan mendongkol. Tapi karena ingin minta keterangan
terpaksa ia mengalah. Maka ia hanya diam saja tanpa menjawab.
"Hah, kamu tidak mau
bicara, jadi cuma mau kentut saja!" kembali Put-tong mendesák.
Tapi Tan-tíanglo tetap
mengalah, sahutnya tak acuh, "Ah, jangan bergurau?”
Melihat dirinya sudah menang,
kemudian Put-tong berkata, "Jika kamu sudah mau buka suara, itu berarti
tidak mau kentüt lagi. Baiklah biar kukatakan padamu. Setengah tahun yang lalu,
ketika aku ikut Kongcu kami bersama Ting-toako dan lain-lain, di tengah perjalanan
bertemu dengan dua orang pengemis, yang satu sudah mampus dan yang lain baru
sekarat. Yang mati itu sangat kurus, mungkín mati kelaparan karena tidak cukup
sedekah yang diperolehnya sehingga tinggal kulit pembungkus tulang belaka dan
akhirnya mampus. Sungguh kasihan.”
"Müngkin dia Tik Pin,
Tik-hiante dari Kai-pang kami,” ujar Tan-tiang-lo.
"Ketika aku menemukan
dia, keadaannya sudah kaku dan entah día sudah laporkan diri belum kepada
Giam-loong," tutur Put-tong pula. "Dan karena dia sudah tak bisa
bicara, dengan sendirinya aku tak dapat tanya dia tinggal di mana dan siapa
namanya. Cuma aku pun kuatir jangan-jangan dia akan memaki aku kalau mau bicara
lekas bicara, jika mau kentut lekas kentut kan celaka!"
Tan-tianglo diam saja
mendengarkan ocehan Pau Put-tong. Diam-diam ia harus mengakui orang she Pau ini
sukar diajak bercekcok, sekali salah omong, maka tidak habis-habis akan
dibalasnya.
"Huh, kamu diam saja,
tentu dalam hati kamu mencaci-maki padaku ... " begitulah kembali Pau
Put-tong mengoceh dan memberi "kuliah" panjang lebar kepada
Tan-tianglo dan sesudah melihat lawannya itu tetap tidak berani menjawab,
kemudian barulah ia berkata, "Nah, boleh dengarkan sekarang Selain
pengemis mati yang kau katakan she Tik itu, masih ada seorang pengemis tua yang
terluka parah dan mengaku bernama Ih-Itjing. Dia membawa sehelai maklumat dari
kerajaan Se He dan minta kami menyampaikannya kepada ketua Kai-pang
kalian."
Karena kuatir orang
mengolok-olok Tan-tianglo lagi. Segera Song-tianglo mewakilkan bicara, lebih
dulu ia memberi hormat, lalu berkata, "Pau-siangsing telah menyampaikan
berita ini kepada kami, sungguh kami segenap anggota Kai pang merasa sangat
berterima kasih."
"Tidak, tidak! Begitu
tidak segenap anggota Kai-pang kalian akan berterima kasih padamu," seru
Put-tong.
"Apa maksüd ucapan
Pau-siansing ini?" tanya Song-tianglo dengan tercengang.
"Yang terang Pangcu
kalian bukan saja tidak terima kasih padaku, sebaliknya di dalam hati dia pasti
akan
dendam padaku sampai ke tulang
sumsum!" kata Püt-tong sambil menunjuk Yu Goan ci.
"Mengapa bisa begitu?
Mohon pau-siansing memberi keterangan,” kata Song dan Tan-tianglo bersama.
”Habis, Ih-It-jing itu pun
kemudian mati dan orang yang membunuh mereka itu bukan lain adalah Ong-pangcu
kalian," kata Put-tong.
Seperti diketahui, ketika
Goan-ci memukul mati kedua pengemis she Tik dan Ih, hal itu memang dilihat oleh
Pau Put-tong, Sebelum itu Goan-Ci pernah mendapatkan pemberian belati dari Hong
Po-ok untuk mengupas kerudung besinya, sebab itulah orang lain tídak tahu bahwa
Ong Sing-thian adalah Yu Goan-ci, tapi bagi Buyung Hok dan kawan-kawannya sudah
dapat menduga akan hal ini.
Karena keterangan Put-tong
tadi, maka geregetanlah kawanan pengemis. Segera Gu-Tianglo mendekati Goanci,
dengan suara bengís ia tanya, "Betul tidak keterangannya itu?"
Karena kedua kakinya
dipatahkan oleh Siau Hong, maka sedari tadi Goan-ci duduk di tanah dengan tidak
bicara, diam-diam ia mengerahkan Iwekangnya untuk menahan sakit. Ketika
mendadak didengarnya Pau PutTong membongkar kejadian tempo hari. Diam-diam ia
gugup dan kuatir. Maka waktu ditegur Cin-tianglo seketika ia menjadi gelagapan
dan tidak sanggup menjawab.
Melíhat sikapnya ítu, tahulah
para pengemis bahwa diam-diam Goan-ci telah mengakui adanya kejadian itu. Namun
apa pún juga dia adalah Pangcu, mereka tak dapat bertindak padanya.
"Kenapa kau binasakan
kedua saudara kita sendiri?" tanya Go-tianglo pula.
"Aku ... aku mestinya
tidak ... tidak bermaksud mencelakai jiwa mereka tapi me .... mereka sendirilah
yang tidak tahan," sahut Goan-Ci tergagap.
Karena jawaban ini, maka makin
yakinlah Pau Pit-tong bahwa Ong Sing-thian itu memang benar adalah Yu Goan-ci
yang aneh tindak-tanduknya itu.
Karena tidak ingin borok
Kai-pang dikatahui orang luar terpaksa Song-Tianglo kesampingkan dulu akan
kematian kedua kawannya itu, ia berkata kepada Pau Put-tong, "Entah
maklumat yang diserahkan Ih It-Jing itu apakah Pau-siangsing membawanya
sekarang?”
”Tidak!" jawab Put tong
sambil geleng kepala.
Wajah Song tianglo berubah
agak kurang senang pikirnya, "Kurang ajar! Jadi bicara panjang lebar tadì
sejak tadi tujuanmu hanya sengaja hendak mempermainkan orang!”
Dan belum lagi ia tanya pula,
tiba-tiba put-tong berpamit, "Nah, selama gunung tetap menghijau dan
sungai selalu mengalir, biarlah kita bertemu pula kelak!"
Habis itu ia terus putar tubuh
dan bertindak menjauh.
"Eh, maklumat negeri Se
He itu kenapa tidak saudara sampaikan kepada kami?" cepat Go-tianglo
bertanya.
"Aneh." sahut
Put-tong, "Dari mana kau tahu Ih It-jing menyerahkan maklumat itu kepadaku
sehingga kau gunakan kata 'sampaikan'? Apa barangkali kau sendiri
menyaksikannya tempo hari?”
Dengan menahan rasa gusar
Song-tianglo ikut bicara, "Sudah terang Pau-heng tadi mengatakan Ih
It-jing dari Kai-pang kami membawa sehelai maklumat dari kerajaan Se He dan
minta Pau-heng menyampaikan kepada kami, Apa yang Pau-heng katakan ini telah
didengar pula oleh para ksatria yang hadir di sini, kenapa mandadak Pau-heng
menarik kembali ucapannya sediri?”
”Tidak, tidak! Aku tidak
berkata demikian,’ sahut Put tong. Dan ketika melihat air muka Song tianglo
berubah kurang senang, segera ia menyambung pula, "Biasanya para Tianglo
Kai-pang terkenal sebagai kaum Jantan sejati, kenapa di depan para ksatria
sejagat ini berani memutar balikan persoalan, apakah dengan demikian nama baik
para Tianglo takkan runtuh sama sekali?"
Song, Tan dan Go tianglo
saling pandang sekejap dengan muka cemberut, sungguh mereka sangat mendongkol
atas sikap Pau Put tong yang "plin-plan" itu, mereka menjadi ragu apa
mesti ambil tindakan keras atau bersabar.
Akhirnya Tan-tianglo berkata
dengan gusar, "Sebenarnya apa kehendak Pau-heng, harap suka bicara secara
blak-blakan saja."
"Wah, kenapa kamu begini
bodoh?" sahut Put-tong. "Eh. Tan tianglo, tempo hari kamu bertanding
dengan Hong-sute kami di Bu-sik. Waktu itu kau bawa, sebuah kantung besar dan
di dalam kantung berisi seekor
ketungging besar, ketungging
besar itu punya ekor panjang, ekor panjang itu sangat berbisa, sangat berbisa
itu kalau mengantup akan bikin jiwa sang korban melayang, betul tidak?"
Diam-diam Tan-tianglo tambah
mendongkol oleh ucapan Pau Put-tong yang bertele-tele itu, mestinya beberapa
kata yang cekak-aos sengaja diulur-ulur ada ekor, ada sengat, panjang, besar
dan segala. Namun begitu, terpaksa ia pun mengiakan perkataan orang.
Maka Put-tong berkata lagi,
"Bagus! Nah, sekarang aku ingin bertaruh dengan dirimu, Jika kamu menang,
segera aku akan memberitahukan berita yang dibawa oleh pengemis she Tik dari
Se-He itu. Sebaliknya kalau aku yang menang muka kamu harus menyerahkan kantung
besar dengan isi ketungging itu, semuanya harus diberikan padaku. Nah, kau
berani bertaruh tidak?”
"Apa yang hendak Pau-heng
pertaruhkan?” tanya Tan-tianglo.
"Barusan Song-Tianglo
kalian menuduh dia minta barang padaku, la berkeras mengatakan kawan kalian yang
bernama Ih it-jing itu minta aku menyampaikan sehelai maklumat kerajaan Se-He
kepada kalian. Padahal sama sekali aku tidak pernah berkata demikian. Nah, maka
kita boleh bertaruh. Jika benar aku pernah berkata seperti itu maka kalian
adalah pihak yang menang, sebaliknya kalau aku tidak pernah omong begitu itu
berarti aku yang menang."
Tan-tianglo ragu sejenak, ia
coba memandang kedua kawannya dan melihat Song dan Go-tiang|o sama mengangguk
seakan-akan mengatakan di bawah saksi para ksatria sebanyak ini masakah Pau
Put-tong dapat mangkir, maka boleh bertaruh saja dengan dia.
Segera berkatalah Tan-tianglo,
”Baik, aku bertaruh denganmu! Tapi entah cara bagaimana Pau-heng hendak
membuktikan pertaruhan ini? Apakah perlu mengangkat beberapa juri yang jujur
dan terhormat di antara para ksatria yang hadir ini?”
"Bukan, bukan!"
sahut Put tong dengan istilahnya yang khas. "Kaubilang hendak mengangkat
beberapa orang yang jujur dan terhormat di antara hadirin untuk menjadi juri
apakah selain beberapa orang itu, selebihnya bukan orang jujur dan tidak
terhormat, semuanya rendah dan kotor? Ai, ai, engkau sungguh terlalu menghina
para ksatria yang hadir ini Kai-pang kalian benar-benar terlalu
kurangajar!"
”Ah, janganlah Pau-heng
bergurau, sekali-kali tiada maksudku begitu," kata Tan-tianglo dengan
mendongkol "Habis bagaimana kalau menurut usulmu?”
"Kenapa mesti
susah?" sahut put-tong. "Kalah atau menang cukup dengan satu-dua
orang saja, biarlah sebentar
aku memecahkan bagimu. Nah.
serahkan sini."
Sambil mangucapkan kata-kata
terakhir itu, berbareng ia pun menyodorkan tangannya.
Keruan Tan-tianglo terkejut.
"Apa?" tanyanya.
"Apalagi? Kantung
ketungging dan obat penawar!”
"Pau-herg belum memberi
bukti-bukti nyata, mengapa sudah anggap dirimu yang menang?"
"Aku kuatir sesudah kalah
jangan-jangan kamu mungkir janji dan tak mau menyerahkan barang-barangmu
itu."
"Hahaha!"
Tan-tianglo bergelak tertawa. "Hanya makluk berbisa sekecil ini apa sih
artinya, Jika Pau-heng memang kehendaki, biarlah segera kuberikan dan kenapa
mesti pakai bertaruh segala?"
Sambil bicara ia terus
menanggalkan sebuah kantung kain yang berada di punggungnya dan mengeluarkan
sebuah botol porselen kecil dan diserahkan kepada Put-tong.
Tanpa sungkan lagi Put-tong
menerimanya, ia membuka mulut kantung itu dan melongok isinya, ia lihat di
dalam kantung ada beberapa ekor ketungging besar berwarna loreng, cepat la
menutupnya kembali dan menyimpan obat penawar tadi. Lalu katanya, "Nah,
sekarang akan kuperlihatkan buktinya mengapa aku menang dan kamu kalah."
Lalu ia menanggalkan bajunya.
ia kebas-kebas bajunya dan mengeluarkan isi sakunya yang hanya terdapat
beberapa potong uang perak pecahan, batu api dan besi ketikan api lain barang
tidak ada lagi. Kemudian ia memakai kembali bajunya.
Sudah tentu Song, Tan dan
Go-tianglo tidak paham apa maksud orang. Namun lantas terdengar Pau Put-tong
berkata, "Jiko, boleh kau pegang maklumat itu dan perlihatkan kepada
mereka."
Sebenarnya Kongya Kian lagi
kelebakan menguatirkan keselamatan Buyung Hok, tapi karena tidak mampu menembus
barisan pertahanan padri Siau-lim-si, terpaksa ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Maka dengan tersenyum la lantas mengeluarkan kertas maklumat dari Se He itu dan
dibentang.
Waktu semua orang
memperhatikan ini maklumat itu, mereka hanya lihat ada sebuah cap merah besar,
selebihnya adalah huruf-huruf yang tidak dikenal.
"Nah, dengarkan yang
jelas." demikian kata Put-tong kemudian. "Tadi aku cuma mengatakan
bahwa Ih It-jing menyerahkan sehelai maklumat kepada kami dan minta kami
menyampaikannya kepada Tianglo kalian betul tidak?"
"Ya, benar," sahut
Song-tianglo bertiga dengan girang karena orang mengaku sendiri apa yang
dikatakannya tadi.
"Tapi Song-tianglo
berkeras menuduh aku pernah mengatakan Ih It jing telah menyerahkan sehelai maklumat
padaku dan minta aku menyampaikannya kepada Tianglo kalian benar tidak?"
"Ya, benar! Memangnya apa
bedanya?" seru ketiga Tianglo itu berbareng.
"Sudah tentu beda, beda
besar sekali! Bedanya seperti langit dan bumi! " teriak Put-tong sambil
geleng-geleng kepala. "Apa yang kukatakan ialah 'kami', tapi Song-tianglo
menuduh 'aku', kami adalah kami dan aku adalah aku, kami dan aku mana boleh
dicampuradukan menjadi satu? Kami termasuk Buyung-kongcu, Ting-toako, nona Ong
dan lain-lain, sebaliknya aku cuma si 'bukan-bukan' orang she Pau itu, mana
boleh kalian anggap sama dan tiada bedanya?"
Seketika Song, Tan dan Go
tianglo menjadi bungkam, mereka hanya saling pandang belaka. Sama sekali mereka
tidak menduga bahwa Pau Put-tong sengaja main pokrol bambu, sengaja
membeda-bedakan kata 'kami' dan aku secara membingungkan.
Sekali mendapat angin terus
saja Pau Put-tong menyusul lagi, ”Nah, jadi sudah jelas bukan? Jadi yang harus
menyampaikan berita maklumat ini bukanlah aku si orang she Pau ini, tapi
rombongan kami dari Koh-soh Buyung ini. Aku sendiri pernah kecundang di tangan
kalian di Bu-sik, umpama aku tidak bermaksud mencari balas pada kalian, tapi
berita demikian terang tak sudi kusampaikan kepada kalian."
Sampai di sini lalu ia
berpaling kepada Kongya Kian dan berkata, "Jiko,. kitia sudah menang,
boleh simpan kembali maklumat itu."
Tan-tianglo sangat cerdik
mendengar kata-kata Pau Put tong tadi segera ia tahu bahwa ocehan Pau Put-tong
yang panjang lebar dan putar kayun itu titik pokoknya adalah mengenai persoalan
kecundangnya di kota Bu-sik
dulu.
Maka sambil memberi hormat
Tan-tianglo berkata, "Tempo hari dengan bertangan kosong, Pau heng telah
menempur tongkat baja Go-tianglo kami dan terang Pau-heng tidak lebih unggul.
Kemudian sesudah Kiau-pangcu
kami tampil ke muka, akhirnya baru dapat menang sejurus pada Pau-heng. Tatkala
itu Pau-heng lantas pergi dengan berdendang tanpa memikirkan pertarungan hebat
itu. Sungguh segenap anggota Kai-pang kami sangat menghargai jiwa besar
Pau-heng, tapi kenapa Pau-heng sendiri malah merasa rendah hati dan mengaku
kalah di tangan para Tianglo kami? Ingat kukatakan bahwa sekali-kali tidak
pernah terjadi hal seperti itu! Apalagi Kiau Hong sudah lama putus hubungan
dengan Kai-pang kami, bahkan sekarang boleh dikata dia adalah musuh kita
bersama."
Dia tidak tahu sebabnya Pau
Put-tong putar lidah panjang lebar justru mengharapkan pernyataannya yang
terakhir itu. Jadi Tan-tianglo tanpa sadar telah terjebak.
Maka Pau Put tong lantas
menumpangi umpan ítu, ”Kalau demikian halnya, neh, sekarang kalian boleh pimpin
anggota Kai-pang kalian untuk menawan Kiau Hong yang merupakan musuh kita
bersama itu. Sesudah itu mengingat persahatan baik kita tentu kami akan
menyerahkan maklumat ini padamu. Bahkan bila kalian tidak kenal huruf cacing
dalam maklumat itu, maka Kongya jiko tentu suka menolong kalian pula untuk
memberi penjelasan secukupnya. Nah bagaimana pendapat kalian?”
Tan-tianglo menjadi ragu, ia
pandang Song tianglo dan pandang Go-tianglo pila.
"Ya. harus begítu, kanapa
mesti ragu?" tiba-tiba seorang berseru.
Waktu semua orang memandang ke
arah pembicara itu, kiranya Coan Koan-Jing yang terkenal cerdik itu, Terdengar
ia menyambung, "Kerajaan Liau adalah musuh bebuyutan kerajaan Song kita.
Sedang ayah Kiau Hong mengaku telah sembunyi selama 30 tahun di dalam
Siau-lim-si dan banyak mempelajari iimu silat dari kitab pusaka yang telah
dicuri-bacanya itu. Kalau sekarang kita tidak bersatu menumpasnya, kelak dia
akan menyebarkan kepandaian yang diperolehnya dari Siau lim-si itu kepada
bangsa Cidan mereka, maka itu berarti suatu bahaya besar bagi bangsa
kita."
Semua orang menganggap uraian
Coan Koan jing cukup beralasan. Akan tetapi Hian-cu telah meninggal, Ong
Sing-thian sudah patah kedua kakinya, Siau-lim-pai dan Kai-pang yang merupakan
dua saka guru dunia persilatan Tlonggoan dalam keadaan tanpa pimpinan. Dalam
keadaan demikian sangat diperlukan seorang yang sanggup memimpin mereka. Karena
itu semua orang Cuma saling pandang belaka dan tidak dapat mengambil sesuatu
keputusan.
Segera Coao Koan-jing berseru
pula, "Boleh silakan ketiga padri agung angkatan Hian dari Siau-lim-si dan
katiga Tianglo dari Kai-pang bersama-sama memimpin dan memberi komando pada
kita. Pendeknya kitä harus membasmi dahulu Siau Wan-san dan Siau Hong yang merupakan
bahaya bagi kerajaan Song kita. Jika ada urusan lain biarlah ditunda dan
dirembuk lagi nanti.”
"Benar, harap para padri
agung dan ketiga Tianglo suka memimpin kita!"
"Ya, urusan yang
menyangkut kepentingan bangsa ini, harap keenam Locianpwe suka tampil ke muka!”
"Memang harus begitu!
Kita akan tunduk kepada setiap perintah untuk membunuh kedua anjing keparat
ini!" demikian beramai-ramai orang banyak lantas berteriak. Dan dalam
sekejap saja beratus orang itu serentak melolos senjata, bahkan ada sebagian
yang siap menyerbu ke-18 ksatria Cidan yang masih berada di situ itu.
"Para saudara Cidan itu,
silakan kemari!" seru Sia-popo.
Tapi karena tidak tahu apa
maksud tujuan nenek itu, maka ke-18 orang itu tetap diam saja di tempatnya
dengansenjata terhunus dan berdiri merapat. Biarpun tahu bukan tandingan kaum
ksatria Tionggoan yang berjumlah besar itu, tapi rupanya mereka pun sudah
bertekad akan bertempur sampai titik darah terakhir.
Maka Sia-popo berseru pula,
"Leng-cin Pat-poh, lindungilah ke-18 sahabat Cidan itu!"
Maka larilah kedelapan barisan
wanita Leng-cit-kiong ke depan para ksatila Cidan, Begitu pula para Tongcu dan
ToCu ke-36 pulau dan ke-72 gua.
Para bekas anggota
Sing-slok-pai rupanya juga ingin unjuk jasa di depan majikan baru mereka. Maka
tanpa disuruh mereka pun ikut-ikut merubung maju sambil mamberi semangat
sehingga menambah perbawa mereka.
"Cujin," kata
Sia-popo kepada Hi-tiok dengan hormat, "ke-18 ksatria cidan ini adalah
bawahan kakak angkat Cujin, jika mereka dibunuh orang di depan hidung Cujin,
ha! ini akan, terlalu merosotkan pamor Leng-ciukiong kita. Maka kita tidak
boleh tinggal diam, kita harus mengawasi mereka dan harap Cujin memberi
keputusan."
Hi-tiok sendiri sangai berduka
atas kematian ayah-ibunya. Ia sendiri juga tidak dapat mengambil keputusan
apa-apa maka ia cuma mengangguk saja dan berkata, "Lang ciu-kiong kita
dengan Siau lim-pai adalah kawan
dan bukan lawan, hendaknya
kita jangan merenggangkan hubungan baik ini lebih-lebih janganlah sampai
terjadi saling bunuh!"
Hian-cit juga tahu pihak
Leng-ciu-kiong itu bukan lawan empuk, maka demi mendengar ucapan Hi tiok itu
segera ia berkata, "Ke 18 orang Cidan ini dibunuh atau tidak tak jadi
soal, untuk sementara ini bolehlah kita kesampingkan du!u. Nah, Hi-tiok Siansing
kami hendak menangkap Siau Hong, engkau akan membantü pihak mana?"
"Aku ... aku tidak,
membantu pihak mana-mana," sahut Hi-tiok dengan ragu. "Siau lim pai
adalah tempat asalku, Siau Hong adalah saudara angkatku, aku tidak boleh
memihak siapa pun juga. Cuma ... cuma, Susiokco, kumohon engkau jangan
mengganggu Siau toako kami biarlah kunasehati dan supaya .. supaya jangan
menyerang negeri kita."
Diäm-diam Hian cit menganggap
ucapan, "Hi-Tiok siangsing, sebutan 'Sosiokco' hendaklah jangan kau
gunakan lagi."
"Ya, ya aku lupa,"
sahut Hi-Tiok.
"Baiklah, jlka
Leng-ciu-kiong sudah menyatakan tidak membantu salah satu-pihak, makä
Siau-lim-pai kami dengan pihak kalian adalah kawan dan bukan lawan, kedua pihak
jangan sampai bercekcok,” sampai di sini Hian-cit lantas berpaling kepada
ketiga Tianglo Kai-pang dan berkata, "Para Tianglo, marilah kita pergi ke
biara kami untuk melihat bagaimana jadinya dì sana?"
"Baik!" seru
Song-tianglo bertiga. "Ayolah para anggota Kai-pang, ikutlah semua ke atas
gunung."
Segera para padri Siau-lim-si
mendahului berangkat dan disusul dengan anggota Kai-pang dan pada ksatria
Tionggoan lainnya, beramai-ramai mereka menerjang ke atas gunung.
"Sungguh hebat,
Samte." kata Ting Pek-jwan sambil berlari, "hanya dengan lidahmu saja
dapat kau tarik bala bantuan sebanyak ini bagi Cukong dan Kongcu."
"Bukan, bukan ! Sudah
tertahan sekian lama., entah bagaimana keadaan Cukong dan Köngcu
sekarang'" sahut Put-tong.
"Sudahlah, jangan 'bukan,
bukan" apa lagi, lekas jalan!" kata Giok yan sembari percepat
langkahnya.
Tiba-tiba dilihatnya Toan Ki
juga mengintil di sebelahnya, maka katanya pula, "Toan-kongcu, apakah
kaupun hendak ke sana? Engkau akan membantu Gihengmu dan memusuhi
Piaukoku?"
Nyata nada ucapannya itu
mengunjuk rasa kurang senang. Rupanya si nona masih gusar kepada Toan Ki karena
kejadian Buyung Hok hendak bunuh diri lantaran dikalahkan Toan Ki dan Siau Hong
tadi.
Toan Ki melengak atas teguran
itu dan menghentikan langkahnya. Sejak perkenalan dengan Giok-yan belum pernah
ia mendapat sikap kaku seperti itu dari si nona, maka ia terkesima. Seketika ia
menjadi gugup dan bingung, selang sejenak baru ia sanggup bersuara, ”O, aku
.... aku tidak bermaksud memusuhi Buyung-kongcu .... "
Tapi waktu ia perhatikan
sebelahnya, ternyata Giok-yan dan rombongannya sudah tak kelihatan lagi, di
sekitarnya hanya para ksatria saja yang sedang berlari-lari dengan cepat ke
atas gunung.
Dengan menghela napas Toan Ki
membatin, "Jika nona Ong sudah curiga padaku, buat apa aku mencari
penyakit sendiri ke sana?"
Tapi lantas timbul pula
pikiran lain, "Siau-toako akan dikerubut oleh seribu orang ini, keadaan
nya tentu berbahaya, sedangkan Ji-ko sudah menyatakan tidak membantu salah satu
pihak, kalau aku sendiri tidak membantunya sekuat tenaga, bukankah percuma saja
kami mengangkat saudara? Ya, biarpun nona Ong akan marah padaku, terpaksa aku
tidak peduli lagi."
Karena pikiran itu, segera ia
berlari-lari ke atas gunung.
Karena langkah ajaibnya yang
hebat itu, dalam sekejap saja ia sudah melampaui orang lain. Sampai di depan
Siau-lim-si, kelihatan orang banyak sama mengalir masuk ke dalam biara agung
itu, tanpa pikir ia pun ikut menyelinap ke daiam.
Kompleks Siau-lim-si sangat
luas, bangunan berates-ratus banyaknya. Ia dengar para padri dan orang-orang
Kai-pang berteriak member semangat sambil putar ke sana sini di antara ruangan
dan pendopo yang tak terhitung banyaknya itu untuk mencari Siau Wan-san ayah
dan anak beserta Buyung Bok ayah dan anak. Namun sampai sekian lama mereka
ubek-ubekan kian kemari tetap tidak menemukan jejak musuh, bahkan suara saja
tidak terdengar.
Orang banyak tampak hilir
mudik kian kemari sambil saling bertanya-tanya, "Di mana orangnya? Ketemu
belum?"
Dan Siau-lim-si yang maha
agung itu seketika berubah menjadi seperti pasar ramainya.
Toan Ki sendiri juga bingung,
tiba-tiba ia lihat dari pintu samping sana menyelinap keluar seorang padri tua
dengan tindakan cepat seperti kuatir dipergoki orang. Ia menjadi tertarik
jangan-jangan ada rahasia apa-apa atas padri tua ini, kalau aku mengintil di
belakang padri ini mungkin akan dapat menemukan jejak Siau-toako daripada
mencarinya secara ngawur, demikian pikirnya.
Segera dengan langkah
"Leng-po-wi-poh" yang ajaib itu ia menglntil di belakang si padri
tua. Ia lihat pudri itu berlari ke tengah hutan yang terletak di samping biara
dengan menyusur sebuah jalan kecil, sesudah membelok dan menikung beberapa
kali, tiba-tiba terbentang sebuah sungai kecil dengan suara air yang gemercik.
Ditepi sungai berdiri sebuah gedung berloteng dengan megahnya. Dimuka gedung
terpancang sebuah papan bertulisan tiga huruf ”cong-keng-kok” (gedung penyimpan
kitab, gedung perpustakaan).
"Ceng-keng-kok
Siau-lim-si sangat terkenal, kiranya bangunan itu berada di sini dan bukan
berada dalam biara induk mereka," demikian pikir Toan Ki.
Dalam pada itu dilihatnya
padri tua tadi langsung menuju ke dalam Cong-kek-kok itu, maka Toan Ki juga
menyusulnya ke situ. Sampai di depan pintu mendadak dari dalam melompat keluar
dua orang padri setengah umur dan merintanginya dengan menegur, "Sicu
hendak ke mana?"
"Aku ... aku ingin tahu
... apakah ... " sahut Toan Ki dengan gelagapan.
"Hendaknya Sicu kembali
saja, Cong-kang-kok kami bukan tempat yang boleh dimasuki sembarangan
orang," kata salah seorang padri itu.
Dan padri yaug lain juga
berkata, "Oràng she Siau itu tidak berada di sini!"
"Jika begitu, akulah yang
semberono, harap Taisu memaafkan," kata Toan Ki.
"Ya kami terpaksa
menjalankan kewajiban, harap sicu jangan marah," sahut kedua padri itu.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara seorang berkumandang keluar dari dalam gedung perpustakaan itu,
”Kau lihat mereka menuju ke
jurusan mana?"
Toan Ki kenal suara itu adalah
suara Hian Cit. Lalu terdengar seorang menjawab, "Tecu berempat berjaga di
sini, ketika padri jubah putih itu menerobos masuk kemari, sekaligus Tecu,
Berempat lantas tertutuk sehingga tak sadarkan diri. Waktu Supek membangunkan
Tecu, sementara itu padri jubah putih itu entah menghilang ke mana."
"Daun jendela ini lantas
rusak, Mungkin orangnya menerobos dan lari ke belakang gunung." demikian
terdengar suara seorang tua lain.
"Ya, tampaknya memang
begitu," terdengar Hian-cit menjawab.
"Dan entah kitab apa yang
telah mereka curi dari dari gedung ini?" ujar padri tua tadi.
"Mereka sudah sembunyi
selama berpuluh tahun di sini dan tiada seorang pun di antara kita yang tahu,
sungguh kita terlalu goblok.", ujar Hian cit. Dan kalau mereka mau mencuri
kitab, bilamana berpuluh tahun itu mereka dapat mencuri dengan sepuas-puasnya,
masakah mesti tunggu sampai sekarang?"
"Benar juga ucapan
Suheng," sahut padri tua. Berbarang terdengar kedua orang sama-sama
menghela napas, agaknya mereka sangat lesu dan sedih terhadap apa yang telah
terjadi.
Toan Ki merasa tidak enak
mendengarkan pembicaraan urusan mereka, maka ia memberi hormat kepada kedua
padri setengah umur tadi, lalu tinggal pergi.
Padahal pembicaraan Hian-cit
dengan kawánnya itu dílakukan di dalam gedung dan dengan suara pelahan, cuma
iwekang Toan Ki sekarang sudah sangat tinggi, maka ia dapat mendengarnya,
sebaliknya kedua padri penjaga pintu itu sama sekali tidak mendengar apa pun.
Begitulah pelahan Toan Ki
berjalan pergi sambil berpikir, "Mereka mengatakan Siau-toako telah menuju
ke belakang gunung, biarlah aku menyusulnya ke sana."
Lereng pegunungan Siau-lim-san
¡tu sangat rindang dengan hutan lebat dan jalanan terjal. Sesudah beberapa li
jauhnya, Toan Ki tidak mendengar lagi suara ramai-ramai di dalam Siau lim-si
itu. Keadaan berubah menjadl sunyi senyap, meski tatkala itu sebenarnya dalam
musim panas.
Diam-diam Toan Ki merasa lega
demi melihat keadaan hutan pegunungan yang mudah bagi Siau Hong dan ayahnya
untuk melarikan diri bila dikerubut para ksatria Tionggoan. Sebaliknya ia jadi
kuatir pula kalau sang Toako sampai membinasakan Buyung Bok ayah dan anak,
untuk ini tentu Giok-yan akan merana seumur hidup dan ini sesungguhnya juga
tidak diharapkannya.
Teringat ada kemungkinan
Buyung Hok akan terbunuh oleh Siau Hong, tanpa terasa ia menjadi bimbang dan
berjalan menurut arah langkah dan makin jauh makin tinggi ke atas lereng
gunung. Tiba-tiba terdengar suara orang berkhotbah dalam agama Budha, suaranya
ramah tapi tandas.
Toan Ki merasa girang, ia
pikir kalau di sini ada orang, ”ada baiknya tanya padanya apakah melihat Siau
Toako atau tidak?"
Segera ia menuju ke arah suara
orang itu. Sesudah menyusuri sebuah hutan bambu tiba-tiba tertampak di tanah
hutan bambu itu ada sebuah pelataran di situ berkumpul beberapa orang. Seorang
padri berjubah warna kelabu duduk mengdengkur di atas sebuah batu karang dan
suara khotbah itu diucapkan olehnya.
Di depan padri itu berlutut
beberapa orang bukan saja termasuk Siau Wan-san, Siau Hong, Buyung Bok dan
Buyung Hok, bahkan padri Thian tiok Cilo Singh dan Polo Singh Sin-kong,
Siangjin Liong-beng Siansan, Tojing Taisu dan lain-lain serta beberapa padri agung
angkatan "Hian" dari Siau-lim-si juga berlutut di situ. Beberapa
meter di sebelah sana tampak berdiri Cumoti, itu Imam negara Turfan.
Semua orang yang berlutut itu
sama menunduk dengan penuh khidmat mendengarkan khutbah padri jubah kelabu itu
sebaliknya air muka Cumoti tampak mengunjing sikap mengejek dan merasa tidak
sependapat dengan khotbah itu.
Toaa Ki heran mendengar
khotbah yang mengandung filsafat orang hidup dan penuh keberatan itu. Ia lihat
jubah padri itu serupa dengan jubah padri Siau-lim-si, malahan dari dandanannya
kentara kalau kedudukannya sangat rendah, mungkin padri tukang sapu atau tukang
kebun, tapi entah mungapa para padri agung Siau-limsi, Siau-toako dan lain-lain
sama berlutut mendengarkan khotbahnya?
Pelahan Toan Ki mendekatinya dengan
mengitar ke depan sana agar dapat melihat jelas wajah padri jubah kelabu itu,
dan untuk itu ia harus menuju ke belakang Siau Hong dan lain-lain. Karena tidak
ingin mengagetkan orang lain, Toan Ki sengaja membikin pelahan langkahnya dan
memutar agak jauh dengan berjinjit-jinjit. Waktu dekat di sebelah Cumoti.
Tiba-tiba dilihatnya padri itu menoleh padanya dengan tersenyum, terpaksa
ToanKi juga membalasnya dengan tersenyum, Tak terduga pada saat itu juga
sekonyongkonyong terasa ada serangkum angin maha kuat menyambar ke dadanya.
Toan Ki tahu gelagat jelek,
sambil menjerit kaget segera ia bermaksud menggunakan Lak-meh-sin-kiam untuk
melawan, tapi sudah terlambat, dada lantas terasa kesakitan, dalam keadaan
samar-samar masih didengarnya
ada orang bersabda,
"Siancai! Siancail"
Habís itu ia lantas tak
sadarkan diri ....
Kiranya tadi sesudah
penyamaran Buyung Bok terbongkar oleh Hian-cu, ia tahu dirinya sudah terlalu
dibenci oleh para ksatria Tionggoan, maka cepat ia berlari ke atas gunung, ia
tahu komplek bangunan Siau-lim-si itu sangat luas dan sudah hapal baginya, asal
diasembunyi di salah satu tempat itu tentu akan sukar ditemukan orang.
Tak terduga Siau Wan-san dan
Siau Hong terus mengejarnya dengan kencang, terutama Siau Hong yang lebih muda
dan tangkas, ketika sampäi di depan biara Siau-lim-si, jarak mereka sudah
tinggal belasan meter saja. Melihat lawan hampir lari masuk ka dalam pakarangan
biara itu, sambil menggertak segera Siau Hong melontarkan pukulan dahsyat dari
jauh.
Karena serangan itu, terpaksa
Buyung Bok terus membalik tangannya untuk menangkis, ketika kedua tenaga
pukulan beradu, lengan Buyung Bok terasa sakit pegal tergetar, Ia terkejut, ia
tidak menduga bahwa musuh yang masih muda itu memiliki tenaga sedemikian
lihainya. Sekali menyelinap, cepat ia menyusup masuk ke dalam Siau-lim-si.
Sudah tentu Siau Hong tidak
tinggal diam, segera ia memburu. Sesudah ubek-ubekan, akhirnya Buyung Bok lari
sampai di 'Cong keng-kok,’ Buyung Bok menerjang ke dalam gedung ini dengan
menjebol jendela dan sekaligus menutuk pinggang empat padri penjaga di situ,
Lalu ia membalik tubuh dan menantang, "Siau Wansan, apakah kalian ayah dan
anak akan maju berbareng atau kita berdua saja yang bertempur
mati-matian!"
Siau Wan-san tidak lantas
manjawab ia merintangi dulu jalan keluar dan berkata kepada Siau Hong,
"Nak, kau cegat di depan Jendela, jangan sampai dia lolos."
Sesudah Siau Hong mengiakan
lalu mereka ayah dan anak mengambil kedudukan mengepung sehingga Buyung Bok tak
bisa lari lagi, kemudian Siau Wan-san berkata, "Permusuhan kita terlalu
mendalam dan baru akan berakhir bila ada yang mati. Karena ini bukan
pertandingan biasa, sudah tentu kami ayah dan anak akan maju sekaligus untuk
mencabut nyawamu!”
Buyung Bok terbahak-bahak
selagi hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang dan muncul
seorang kiranya Cumoti. Dia memberi hormat kepada Buyung Bok dan berkata,
”Buyung sicu, sejak berpisah di Thian-tiok, kemudian kabarnya engkau telah
wafat, sungguh aku ikut berduka cita. Tak tahunya sicu sengaja mengasingkan
diri dengan maksud tujuan tertentu, sungguh menggembirakan hari ini dapat
bertemu pula di sini.”
"Ah, karena terpaksa, aku
mesti pura-pura mati sehingga memb¡kin Taísu ikut kuatir, sungguh
memalukan," sahut Buyung Bok sambil memberi hormat.
Mendengar percakapan mereka
itu, Siau Wan-san saling pandang dengan Siau Hong. Mereka menduga jika Cumoti
yang lihai itu adalah sahabat Buyung Bok, maka sebentar padri itu tentu akan
membantu pihak lawan dan menang atau kalah menjadi sukar diramalkan lagi.
Dalam pada itu terdengar
Cumoti berkata pula, "Dahulu Siauceng pernah mendengar uraian Buyung
siansing tentang ilmu pedang di dunia ini katanya 'Lak-meh-sin-kiam' dari
negeri Tayli adalah ilmu pedang nomor satu di dunia, tapi Siansing merasa
menyesal karena selama hidup ini tidak pernah melihatnya. Maka sesudah kudengar
berita duka tentang wafatnya Siansing, segera kupergi ke Tayli untuk memohon
kitab Lak-meh-sinkiam agar dapat kubakar di depan makam Siansing sekedar
sebagai tanda baktiku kepada sahabat lama. Tak tersangka si tua Koh-eng di
Thian-liong-si itu teramat licik, pada detik terakhir dia menggunakan tenaga
dalamnya untuk merusak kitab pusaka itu sehingga cita-cita Siauceng untuk
memenuhikewajiban sebagai sahabat tidak terkabul, sungguh aku sangat menyesal
dan malu.”
"Walaupun maksud baik
Taisu tidak terlaksana tapi terhadap pikiran Taisu itu sungguh aku merasa
sangat barterima kasih," ujar Buyung Bok, "Apalagi Lak-meh-sin-kiam
keluarga Toan itu masih tetap dipahami keturunannya, tadi ketika Toan-kongcu,
bertempur dengan putraku yang tak becus itu, dari gaya dan daya ilmu pedang itu
tampak sekali memang tidak bernama kosong untuk disebut sebagai ilmu pedang
nomor satu di jagat ini."
Pada saat itulah tiba-tiba
muncul pula seorang itulah dia Buyung Hok. Dia agak ketinggalan di belakang
sehingga waktu masuk ke Siau-lim-si lantas kehilangan jejak ayahnya dan Siau
Wan-san berdua. Ketika mencari sampai di Cong-keng-kok sudah didahului Cumoti
pula. Kebetulan ia dapat dengar ucapan ayahnya tentang dia ditaklukan Toan Ki
dengan Lak-meh-sin-kiam itu, keruan ia menjadi malu.
Sementara itu Buyung Bok
berkata pula kepada Cumoti "Kedua orang ini sudah bertekad akan membunuh
diriku entah bagaimana pendapat Taisu?”
"Sebagai sahabat mana
dapat kutinggal diam?" sahut Cumoti.
Melihat Buyung Hok juga sudah
tiba. Siau Hong menjadi lebih prihatin karena pihak lawan sekarang telah
berubah menjadi tiga orang sedangkan pihak sendiri hanya berdua saja. Walaupun
kepandaian Buyung Hok agak lemah, tapi juga tidak boleh dipandang ringan.
Namun sadar Siau Hong memang
gagah berani dalam keadaan semakin sulit semakin membangkitnya jiwa
kepahlawanannya, maka dengan suara keras segera ia membentak, "Pendek kata
urusan hari ini harus ada penyelesaian yang pasti sebelum terjadi mati dan
hidup tidak nanti berakhir. Nah, sambutlah seranganku!"
Habis berkata, kontan ia
menghantam ke arah Buyung Bok.
Cepat Buyung Bok mengebaskan
lengan baju dengan sekuatnya untuk mematahkan serangan itu. Maka terdengarlah
suara "brak" yang keras sebuah rak kayu hancur berantakan. kitab di
atas rak itu pun jatuh berantakan.
"Lam Buyung, Pak Kiau
Hong! Nyata memang tidak bernama kosongi" seru Buyung Bok dengan
tersenyum. "Siau hong, aku ingin bicara sedikit, entah kamu mau
mendengarkan atau tidak?”
"Betapapun engkau akan
putar lidah dan bermulut manis jangan harap akan dapat membatalkan maksudku
membalas sakit hati terbunuhnya istriku," sahut Siau Wan-san,
"Melihat keadaan
sekarang, biarpun engkau tetap ingin membunuhku untuk membalas dendam toh
rasanya tidak mudah," sahut Buyung Bok. "pihak kami ada tiga orang,
sedangkan kalian cuma berdua, coba katakan apakah engkau yakin pasti akan
menang?"
"Biarpun kekuatan pihakmu
lebih besar, seorang laki-laki sejati kenapa mesti gentar menghadapi lawan yang
lebih banyak!" sahut Siau Wan-san.
"Ya, memangnya ksatria
sebagai kalian pernah gentar terhadap siapa?" kata Buyung Bok.
"Tetapi takut atau tidak, yang terang bila kalian ingin membunuh aku pasti
tidak gampang lagi. Maka aku ingin mengadakan kompromi denganmu, bila kupenuhi
cita-cita kalian dalam hal membalas dendam, hendaknya kalian juga memenuhisuatu
permintaanku."
Siau Wan-san dan Siau Hong
menjadi heran dan curiga, untuk sekian lamanya mereka tidak sanggup menjawab.
Maka Buyung Bok berkata pula,
"Asal kalian sanggup memenuhi syaratku ini, maka kalian boleh maju untuk
membunuhku, untuk ini aku akan mandah dibunuh dan takkan melawan, Cumoti Suheng
dan anak Hok juga tidak boleh menolongku."
Ucapan ini tidak cuma membuat
Siau Hong berdua merasa heran, bahkan Cumoti dan Buyung Hok juga terkejut.
Segera Buyung Hok berseru, "ayah, Kita kan sudah menang jumlah orang ....”
Cumotl juga berkata, "Ya,
kenapa Buyung siansing omong demikian? Asal aku masih berada di sini, sudah
tentu takkan kubiarkan siapa pun mengusik engkau."
Namun Buyung Bok menjawab,
"Maksud baik Taisu sungguh kuterima dengan terima kasih. Kepada Siauheng
ingin kuminta penjelasan sesuatu dulu. Dahulu aku sengaja menyampaikan berita
palsu sehingga terjadi malapetaka besar, apakah Siau-heng mengetahui bagaimana
maksud tujuanku dengan melakukan perbuatan yang rendah itü?”
"Kamu memang manusia
rendah dan pengecut segala kejahatan juga biasa kaulakukan masakah pakai maksud
tujuan apa segala?" damprat Siau Wan-san dengan murka, dan begitu
melangkah maju. Segara ia menghantam.
Namun Cumoti lantas melompat
ke depan dan menangkiskan serangan itu, "Plak" kedua tenaga pukulan
beradu dan ternyata sama kuatnya sehingga diam-diam kedua orang saling kagum
terhadap lawan masingmasing.
"Hendaknya Siau heng
jangan marah dahulu harap dengarkan uraianku sehingga selesai," kata
Buyung Bok, "Aku Buyung Bok jelek-jelek juga mempunyai sedikit nama di
dunia kangouw selamanya aku tidak kenal dengan Siau-heng dan dengan sendirinya
kita tidak parnah bermusuhan dan mempunyai dendam apa pun, Menganai Hian-cu
Hongtiang dari Siau-lim-si, bahkan aku adalah sobat baiknya yang lama. Maka
kalau aku sampai mencari akal untuk mengadu domba kalian, jika dipikirkan
secara mendalam, mustahil aku tidak mempunyai maksud tujuan tertentu."
"Maksud tujuan tertentu
apa? Coba ka ... katakan!" teriak Siau Wan san dengan mata melotot dan
marah membara.
"Siau-heng, engkau adalah
bangsa Cidan, sedangkan Cumoti Suheng ini orang Turfan, bagi jago silat
Tionggoan kalian dianggap sebagai bangsa asing dari negeri lain," demikian
tutur Buyung Bok. "sudah terang putramu adalah Pang-cu Kai-pang dengan
ilmu silat yang tinggi dan kecerdasan yang terpuji, seorang ksatria yang sukar
dicari yang pernah menjabat Pang-cu mereka, tetapi demi anggota. Kai-pang
mengetahui dia adalah bangsa Cidan, serentak mereka membangkang, bukan Cuma
tidak mengakui dia sebagai Pangcu, bahkan semua orang hendak membunuhnya. Coba
katakan, Siau-heng, apakah itu adil?”
"Kerajaan Song dan Liau
sudah ratusan tahun lamanya berperang," sahut Siau Wan-san. "setiap
kali kedua bangsa itu bertemu di perbatasan tentu saling membunuh, hal ini
sudah terjadi sejak dulu. Maka kalau orang Kai-pang mengetahui anakku adalah
bangsa musuh, sudah tentu mereka tidak mengakuinya sebagai Pangcu.
Soal ini masuk diakal, tak
dapat bicara tentang adil dan tidak.”