Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 61-65

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 61-65 Tatkala itu udara sebenarnya gelap gulita tapi di bawah sinar pelita yang terang itu semua orang dapat melihat dengan jelas melayang turunnya Buyung Hok yang indah dan cekatan itu,
Jilid 61
Tatkala itu udara sebenarnya gelap gulita tapi di bawah sinar pelita yang terang itu semua orang dapat melihat dengan jelas melayang turunnya Buyung Hok yang indah dan cekatan itu, semua orang tercengang dan kagum luar biasa.

Di tengah suara jerit maki yang menyeramkan itu tiba-tiba bergema pula suara sorak puji yang gemuruh sehingga jerit teriak orang yang tersiksa itu kalah kerasnya.

Tadi waktu ia melayang turun gayanya sangat lambat dan indah, tapi sekarang ia menubruk ke bawah dengan cepat seperti elang menyambar anak ayam, di mana bayangannya tiba, sekonyong-konyong kedua kakinya menginjak kepala seorang yang pendek gemuk di tepi batu padas itu.

Kiranya sesudah mengincar dengan cermat dari atas tiba -tiba ia melihat tangan orang gendut buntak ini memegang sebuah benda yang mirip sebuah wajan kecil dengan gerak-gerik seperii hendak menjepretkan jarum berbisa lagi. Maka segera ia mendahului menyambarnya.

Namun si gendut itu juga sangat gesit, sebelum batok kepalanya terinjak kaki Buyung Hok, dengan cepat sekali ia menjatuhkan diri terus menggelinding pergi seperti bola, Karena itu, Buyung Hok telah menginjak tempat kosong, namun segera ia susuli dengan hantaman keras ke punggung lawan.

Waktu itu si gendut baru saja hendak merangkak bangun karena pukulan Buyung Hok dari jauh itu, "Plak", kembali ia terjungkal lagi terkena pukulan itu

Tapi sekalian ia terus pentalkan diri beberapa meter jauhnya, habis itu barulah berbaagkit.

Namun pukulan Buyung Hok teramat hebat, baru saja si gendut sempat berdiri dengan agak sempoyongan, mendadak badannya tergeliat dan kembali jatuh tersungkur pula.

Serentak terdengar suara teriakan orang ramai.

"Song Tho-kong, mana obat penawarmu, lekas keluarkan!"

Berbareng mereka lantas menyerbu ke arah si gendut buntak itu.

"Kiranya si pendek gendut itu adalah Song Tho-kong!" demikian Ting Pek-jwan dan Pau Put-tong sama membatin. Karena mereka juga buru-buru ingin menangkapnya untuk mendapaikan obat penawar guna menyembuhkan luka para saudara angkatnya, maka berbareng mereka pun membentak dan menubruk ke sana.

Sementara itu Song Tho-kong tampak menggunakan tangan menyanggah tanah dan bermaksud merangkak bangun, tapi rupanya ia sudah terluka tidak ringan, tenaga sudah tidak mau menuruti kehendak hatinya lagi, baru saja badannya terangkat sedikit, "bluk", kembali ia jatuh lagi.

Dalam pada itu Pau Put-tong sudah menubruk tiba, sakali cengkeram ia hendak remas pundak Song Tho-kong, cengkeramannya menggunakan tenaga sekuatnya dengan tujuan agar musuh tak bisa berkutik lagi.

Tak terduga, baru saja kelima jarinya memegang pundak orang, tiba-tiba telapak tangannya terasa sakit luar biasa, cepat ia tarik kembali tangannya, ketika diperiksa, ternyata tangan sudah penuh darah.

Kiranya Song Tho-kong itu memakai baju yang penuh dipasang jarum lembut sehingga mirip seekor landak yang berduri tajam.

Jarum-jarum itu juga berbisa, maka dalam sekejap saja Pan Put-tong merasa telapak tangannya pegal linu dan gatal luar biasa, saking gatalnya sehingga hatinya serasa seperti dikili-kili, saking tak tahan, sungguh ia ingin potong saja tangannya.

Dalam kejut dan gusarnya, segera sebelah, kaki Pau Put-tong melayang hendak menendang pantat Song Thokong, ia lihat orang gendut itu meringkuk ditanah seperti babi, tendangannya itu pasti akan kena sasarannya dengan keras.

Tapi ketika kakinya sudah hampir mengenai pantat orang mendadak Put-tong sadar, "Wah, celaka! Jika pantatnya juga, penuh terpasang jarum yang tajam bukankah kakiku ini akan hancur?"

Padahal saat itu kakinya sudah melayang ke depan dan untuk menariknya kembali terang tak bisa lagi, tiada jalan lain terpaksa Pau Put-tong miringkan tendangannya sehingga hanya menyenggol sedikit celana Song Tho-kong, sekalian tubuh Pau Put-tong lantas ikut berputar seperti kitiran.

Dalam pada itu Pek-jwan dan lain-lain juga sudah menubruk tiba. Tapi mereka menjadi kaget melihat Pan Put-

tong yang jelas dapat menawan Song Tho-kong itu entah mengapa mendadak tangan Put-tong malah terluka sendiri. Mereka melihat Song Tho-kong masih bertiarap di atas tanah tanpa bergerak, seketika itu mereka menjadi tidak berani sembarangan bertindak.

Dasar watak Put-tong memang sangat keras dan tak mau kalah, sekali ia keselomot sudah tentu ia tidak mau tinggal diam lagi, tanpa pikir segera ia angkat sepotong batu besar sambil berteriak,

"Awas, minggir! Biar kugecek mampus kura-kura bangsat ini!”

Tapi segera ada oranya mencegahnya, "Jangan, jangan! Kalau digebuk mati, tentu kita takkan mendapatkan obat penawarnya!"

Lalu ada orang lain ikut berteriak, (Dewi KZ http://kangzusi.com/) "Obat penawar pasti berada dalam bajunya, ayolah tumbuk mampus dia dulu baru nanti ambil obatnya!”

Rupanya berkumpulnya para petualang yang menyebut dirinya dewa ke-36 gua dan ke-27 pulau itu masingmasing mempunyai maksud tujuan sendiri dan sama sekali tiada rasa persatuan buktinya ketika Pau Put-tong ingin menggecek mampus Song Tho-kong ternyata ada juga yang menyatakan setuju bahkan beramai-ramai mengemukakan usulnya.

Begitulah di tengah suara orang banyak itu, Put-tong tidak peduli lagi, ia angkat batu besar itu, dengan langkah lebar ia mendekati Song Tho-kong, ia incar punggung orang buntak itu dengan tepat sambil membentak, "Biar kugesek mampus kura-kura berduri ini!"

Tatkala itu Put-tong merasa gatal pegal di tangannya bertambah bebal dan susah ditahan lagi, maka sekali ia ayun tangannya, langsung batu besar itu menghantam punggung. Song Tho-kong.

"Blang", terdengar suara gemuruh yang keras dibarengi debu pasir beterbangan,

Orang-orang Itu ada yang girang dan ada yang kualir pula. Mereka menduga Song Tho-kong pasti akan hancur lebur seperti bergedel tertumbuk batu besar itu, tapi mereka menjadi terkejut, karena sama sekali mereka tidak mendengar suara jeritan Song Tho-kongg, sebaliknya mengapa debu pasir bisa berhamburan?

Ketika mereka memperhatikan, mereka tambah tercengang. Ternyata batu besar yaiig dihantamkan Pan Puttong itu masih tetap di atas tanah, sebaliknya Song Tho-kong sudah menghilang entah keumana.

Cepat sekali Pan Pat-tong berpikir demi melihat keadaan yang ganjil itu, segera ia depak batu besar itu. Maka tertampaklah di bawah tanah situ berdapat sebuah liang, besarnya cuma sebesar 20 an senti saja., padahal badan Sonng Tho-kong segemuk babi, masakah dia dapat menyusup ke dalam liang sekecil itu seperti kelinci?

Ia tidak tahu bahwanama Song Tho-kong memakai kata "Tho" atau tanah, dengan sendirinya dalam hal menggangsir tanah ia sangat rnahir. Ia dapat menggangsir dengan sangat cepat dengan menggunakan tangan dan kaki sesudah itu ia terus menyusup ke dalam liang yang digangsirnya itu.

Tapi waktu Buyung Hok menginjak tutup wajannya sehingga dia tidak dapat keluar, saat itu ia telah membuka pantat wajan dan meloloskan diri ke bawah tanah.

Sesudah tertegun sejenak, segera Pau Put-tong mencari pula tempat sembunyi Song Tho-kong. Ia pikir sekali pun dapat menggangsir, toh hanya manusia dan bukan trenggiling, paling banter juga cuma satu-dua meter jauhnya dan hanya dapat sembunyi untuk sementara saja, masakah dapat menghilang?"

Tapi selagi ia mencari, tiba-tiba terdengar seruan Buyung Kok, "'Ini dia, di sini!"

Berbareng itu lengan bajunya terus mengebas sepotong batu padas. Kiranya batu padas itu sebenarnya bukan batu melainkan punggung Sung Tho-kong yang menonjol ke atas. Dasar kelakuan Song Tho-kong itu memang aneh-aneh dan macam-macam caranya mengelabuhi mata orang, kalau bukan pandangan Buyung Hok yang tajam tentu susah menemukan jejaknya.

Dan sekali angin kebasan lengan baju Buyung Hok tiba, seketika badan Song Tho-kong yang bulat itu mencelat ke udara,

Sejak terkena pukulan Buyung Hok tadi, luka Song Tho-kong sebenarnya cukup parah, sekarang menjadi lebih-lebih tidak sanggup melawan sedikitpun, terpaksa ia berteriak-teriak, "Sabar dulu, jangan menyerang lagi, aku akan memberikan obat penawarnya!"

"Jangan kuatir, aku takkan menyerang lagi," kata Buyung Hok dengan tersenyum dan mengebaskan lengan baju lagi sehingga Song Tho-kong dapat turun ke bawah dengan enteng tanpa alangan.

Tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari jauh, "Koh-soh Buyung benar-benar hebat dan bukan omong kosong belaka!”

"Terima kasih atas pujianmu!" sahut Buyung Hok dengan merendah.

Pada saat itu juga, sekonyong-konyong sejalur sinar emas dan sejalur sinar perak menyambar tiba dari sebelah kiri, begitu hebat sambaran sinar emas perak itu sehingga mengeluarkan suara mendenging.

"Senjata apakah yang lihai ini?” diam-diam Buyung Hok membatin. Ia tidak berani ayal, segera kedua lengan bajunya mengebas pula memapak ke depan.

"Blung," angin kebasannya tertolak kembali sebaliknya sinar emas dan perak itu pun terpental balik, Dan baru sekarang terlihat dengan jelas, kiranya kedua jalur sinar emas perak itu adalah dua utas selendang yang panjang lagi lebar, yang sebuah berwarna emas dan yang lain berwarna perak.

Dari tenaga benturan tadi Buyung Hok sudah dapat menjajal bahwa tenaga dalam orang yang menggunakan selendang warna emas itu lebih kuat daripada kawannya yang memakai selendang warna perak itu. Tapi terasa juga olehnya bahwa tenaga yang dikeluarkan orang yang menggunakan selendang perak itu belum dikerahkan seluruhnya, sebaliknya orang yang bersenjata selendang emas telah mengeluarkan segenap tenaga dalamnya yang ada.

Maka tertampaklah di depan sana berdiri dua orang, semuanya kakek-kakek, yang bersenjata selendang emas berjubah putih perak dan.yang bersenjata selendang perak berjubah warna emas, jadi terbalik warna jubah dan senjata yang mereka pakai itu.

Jubah mereka pun gemerlapan menyilaukan mata, jubah macam begitu pada umumnya tidak ada orang yang mau pakai kecuali pemain sandiwara di atas panggung.

Terdengar si kakek jubah perak berkata, "Hebat. sungguh kagum, marilah terima sekali lagi serangan kami berdua!"

Menyusul sinar emas berkelebat, selendang emas menyambar pula dari sebelah kiri, sebaliknya selendang perak tiba-tiba menyendal ke atas terus menyambar turun ke bawah untuk menyerang kepala Buyung Hok.

"Kedua Cianpwe .... " baru Buyung Hok lhendak bicara, mendadak terdengar suara menderu, tiga batang-golok panjang membabat pula dari bagian bawah.

Rupanya musuh telah menggunakan "Te-tongto", ilmu golok bergelindingan di tanah, tiga orang telah bekerja sama dengan sangat rapat untuk menyerang bagian bawah tubuh Buyung Hok.

Ilmu golok dengan cara bergelindingan di tanah itu sebenarnya jarang digunakan oleh jago silat kelas wahid, sebab yang diarah selalu bagian bawah badan musuh, daya tempurnya terbatas pula dengan main bergulingan di tanah juga merosotkan pamor seorang tokoh ternama.

Tapi terdengar dari suara sambaran golok ketiga penyerang itu, rasanya tenaga dalam merekajjua tidak lemah dan dapat digolongkan jago kelas dua. Apalagi sekarang mereka tiga bergabung menjadi satu, golok mereka menyambar susul-menyusul dengan cepat kalau lena sedikit tentu sasarannya bisa binasa, maka betapapun tidalah boleh dipandang enteng.

Jadi saat itu Buyung Hok menghadapi serangan, dari tiga jurusan, dari utas, samping kiri dan depan bawah. (Dewi KZ http://kangzusi.com/) Diam-diam ia.pikir, "Pihak lawan terkenal sebagai Tongcu ke-36 gua dan Tosu ke-72 pulau, jumlah mereka sangat banyak, kalau aku tidak mendahului memberi hajaran pada mereka, tentu urusan sukar diakhiri."

Waktu itu dilihatnya ketiga golok musuh sedang menyambar tiba pula dari bawah, ia incar dengan tepat dan menendang tiga kali secepat kilat sehingga tiap-tiap tendangannya mengenai pergelangan tangan musuh, tiga batang golok mereka kontan mencelat ke udara.

Ketika Buyung Hok menggeser tubuh ke samping, sedikit ia geraki tangan, dengan ilmu "Tancoan-sing-ih" yang lihai, tahu-tahu ujung selendang emas diputar balik, "plak”, selendang emas itu saling melilit menjadi satu dengan, selendang perak kawannya.

Sementara itu ketiga orang yang memalukan Te-tong-to juga sudah menerjang maju, tiga batang golok mereka mendadak ditimpukkan, bahkan mereka tidak terus mundur, sebaliknya pentang tangan dan hendak merangkul kedua kaki Buyung Hok sambil mengeluarkan suara kalap.

Dalam keadaan berkelahi satu lawan banyak, sudah tentu Buyung Hok tidak mau badan tersentuh lawan, sekali kaki melayang, secepat angin hiatto penting di dada ketiga orang itu ditendangnya hingga terjungkal.

Pada saat itulah seorang berbaju hitam dengan tangan dan kaki serba panjang melompat maju, ia pentang tangannya, yang lebar itu dan sekali raih segera Song Tho-kong diangkat olehnya ke atas.

Seperti diceritakan pada badan Song Tho-kong itu penuh berduri sebagai landak, tapi tangan orang berbaju hitam itu entah berkulit setebal badak atau memakai sarung tangan istimewa sehingga tidak takut pada duri di

badan Song Tho-kong itu, dan sekali sasarannya diangkat segera ia melompat mundur lagi sejauh beberapa meter.

Melihat gerak-gerik si baju Hitam itu sangat gesit dan cekatan, terang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari yang lain, diam-diam Buyung Hok berkuatir, "Kalau Kong Tho-kong kena digondol lari orang ini, untuk, mencari obat penawarnya pasti akan sangat sulit."

Berpikir demikian, tanpa ayal lagi segera ia lompat melintasi. tiap sosok tubuh yang menggeletak di tanah itu terus menghantam orang berbaju hitam itu.

Mendadak orang itu tertawa panjang, tahu-tahu sebilah golok melintang di depan dadanya, nyata sebatang golok yang sangat tajam dan mengeluarkan sinar berkilauan. Kiranya sebatang Kui-thau-to, yaitu ujung golok berbentuk kepala setan dengan punggung golok agak tebal.

Dalam keadaan begitu, kalau pukulan Buyung Hok diteruskan, itu berarti tangan sendiri sengaja disodorkan untuk dimakan senjata musuh.

Namun Buyung Hok bukanlah Buyung Hok jika cuma sekian saja kemampuannya, ia tetap hantamkan tangannya itu, ketika tangan sudah tinggal beberapa senti hampir mengenai golok musuh, meddadak tangannya memotong ke samping meng--ikuti batang golok lawan, jadi tujuannya hendak memotong jari tangan si baju hitam yang memegang golok itu.

Dengan tenaga dalam Buyung Hok yang hebat, betapa kuat tebasan tangannya itu boleh dikatakan tidak kalah tajamnya dengan Kui-thau-to lawan. Karena tidak menyangka akan perubahan serangan Buyung Hok itu, maka terdengar orang berbaju hitam itu bersuara heran perlahan, lekas ia buang goloknya dan menggunakan tangan untuk memapak serangan Buyung Hok.

"Plak". kedua tangan saling beradu dan kembali si baju hitam bersuara heran pula, badan tergeliat, tapi masih sempat melompat mundur lagi beberapa meter jauhnya dengan tangan kiri tetap mencangking badan Song Thokong yang gendut buntak itu.

Ketika tangan Buyung Hok membalik kembali, dengan cepat ia masih sempat menyambar golok Kui-thau-to lawan yang dilepaskan itu, Segera, hidungnya mencium bau busuk amis yang memuakkan. la tahu pada golok itu tentu dilumasi racun yang maha jahat,

Walaupun sekali gebrak Buyung Hok dapat merampas senjata lawan, tapi dilihatnya pada pihak musuh sudah ada beberapa orang mengadang didepan si baju hitam dengan senjata lengkap kalau hendak merampas kembali

Song Tho-kong dengan menerjang orang banyak itu terang bukan pekerjaan gampang. Apalagi sesudah mengadu tangan tadi, ia merasa tenaga si baju hitam agak lebih lemah daripada dirinya, namun mempunyai sesuatu kepandaian yang aneh dan istimewa, biarpun bertarung satu lawan satu juga takkan dapat merobohkannya dalam waktu singkat.

Dalam, pada itu terdengar teriakan dan cacimaki orang banyak yang sudah tak sabar lagi, semua memaki Song Tho-kong dan minta obat penawarnya lekas dikeluarkan untuk menyembuhkan rasa sakit gatal mereka yang tak tertahankan itu.

Di bawah cahaya obor tertampak bayangan orang berlari kian kemari, semuanya sedang minta si baju hitam lekas mengeluarkan obat penawar dari baju Song Tho-kong.

"Baiklah! Nah, Song-gendut, lekas serahkan obat penawarmu," kata orang berbaju hitam itu.

"Harus kau lepaskan aku dahulu!" seru Song Tho-kong.

Tapi si baju hitam menjawab, "Sekali aku melepaskanmu, tentu kamu akan ditawan musuh. Mana boleh kulepaskanmu? Ayolah lekas keluarkan obat penawarmu!"

Serentak orang banyak juga berteriak dan memaki untuk mendesak Song Tho-kong lekas menyerahkan obat penawarnya.

Maka dengan suara yang serak Song Tho-kong berkata, "Obat penawar kupendam di dalam tanah, kalau aku tidak dilepaskan, cara bagaimana aku dapat mengeluarkannya?"

Semua orang melengak oleh keterangan itu. Mereka percaya apa yang dikatakan Song Tho-kong itu pasti betul, sebab Song Tho-kong terkenal suka sembunyi di dalam gua alau liang di bawah tanah, jika dia menyimpan sesuatu di bawah tanah tentu bukan omong kosong.

Meski Buyung Hok tidak mendengar suara teriakan dan rintihan Kongya Kian dan Hong Pook, tapi ia dapat membayangkan bila orang lain berteriak-teriak tidak tahan oleh siksaan racun Song Tho-kong itu maka dapat diduga kedua kawannya itu pun pasti juga serupa keadaannya. Jalan satu-satunya sekarang harus berusaha sebisanya merebut kembali Song Tho-kong urusan lain boleh dipikirkan belakang.

Maka sekali berteriak, terus saja ia putar Kui-thau-to rampasannya dia menerjang ke tengah-tengah orang

banyak.

Ting Pek-jwan dan Put Hut-tong menjaga rapat di samping kedua kawannya, mereka menyaksikan Buyung Hok menerjang ke tengah musuh bagai harimau mengamuk di tengah kawanan kambing, siapa yang berani merintangi segera dirobohkannya.

Melihat terjangan Buyung Hok yang hebat itu , si baju hitam tidak berani memapaknya, sambil membawa Song Tho-kong ia sengaja menyingkir jauh-jauh.

Maka terdengarlah teriakan orang ramai,

"Awas, senjata yang dipakai dia adalah 'Lik-po-hiang-lo-to', jangan sampai kena dilukai olehnya! Wan, sungguh celaka, Lik-po-hiang-lo-to itu kena direbut olehnya!"

Dan dimana Buyuilg Hok tiba, ternyata .semua orang sama menghindarinya dengan rasa jeri.

Maka dapat diduganya Kui-thau-to itu pasti bukan senjata sembarangan, padahal golok itu berbau busuk, tapi justru diberi nama "Lik-po-hiang-lo-to" (golok harum sari wangi) segala, sungguh menggelikan.

Diam-diam ia pikir pula, "Dengan golok berbisa ini tidaklah susah bagiku untuk membunuh sepuluh atau dua puluh Tongcu atau Tocu mereka ini, tapi selama ini aku tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, buat apa mesti banyak menimbulkan korban? Kalau permusuhan ini semakin mendalam dan mereka tidak mau memberikan obat penawarnya, maka keadaan Jiko dan Siko tentu akan payah dan sukar tertolong."

Karena pikiran itulah, maka tatkala Buyung Hok menerjang dan menyerbu, ia tidak melukai atau membunuh lawan lagi, hanya kalau ada kesempatan segera ia menutuknya hingga roboh atau menendangnya hingga terjungkal.

Semula orang-orang itu sangat panik dan jeri, tapi demi melihat daya guna golok yang diputar Buyung Hok itu tidak membahayakan, maka mereka menjadi tenang kembali, dalam sekejap saja serentak senjata mereka dikeluarkan untuk mengerubut Buyung Hok.

Meski kepandaian Buyung Hok sangat tinggi, tapi dikerubut puluhan orang, seketika ia agak kerepotan juga , apalagi di luar kepungan itu masih ada beratus orang pula, mau tak mau ia agak kuatir juga.

Tidak lama kemudian, Buyung Hok pikir kalau pertarungan begitu diteruskan tentu sukar diakhiri tambaknya terpaksa ia harus turun tangan keji. Maka sekail goloknya berputar, pada saat lain dua orang musuh kena diketok roboh oleh gagang goloknya.

Tiba-tiba terdengar seruan Ting pek-jwan,

"Manusia rendah, jangan mengganggu nona Ong!"

Ketika Buyung Hok melirik ke sana, dilihatnya ada dua orang sedang melompat ke atas untuk menyerang Giok-yan yang nongkrong di atas pohon itu. Pek-jwan nampak memburu maju dan beruntun melancarkan serangan sehingga seorang musuh kena dicegat olehnya, tapi seorang lagi serapat meloncat ke atas pohon namun segera terdengar suara jeritannya, ternyata orang itu kena didepak oleh Ong Giok-yan.

Buyung Hok agak lega. Tapi segera terlihat ada tiga orang melompat lagi ke atas, maka tahulah dia akan tujuan orang-orang itu. "Tentu mereka ingin menangkap Piaumoai untuk dijadikan sandera, sungguh rendah perbuatan mereka ini. "

Tapi ia sendiri sedang dikeroyok dan sukar melepaskan diri.

Pada saat lain dilihatnya dua orang wanita yang melompat ke atas itu berhaiil mencengkeram lengan Giok-yan terus diseret turun ke bawah. Seorang Thauto (hwesio berambut) yang memakai gelang emas di atas kepala telah melintangkan goloknya pada leher Giok-yan sambil berteriak,

"Buyung-siaucu, kau mau menyerah atau tidak? Kalau tidak, segera akan kupenggal kepala jantung hatimu ini!"

Buyung Hok terkesiap juga oleh ancaman itu ia tahu orang-orang itu sangat kejam, berani berkata berani berbuat, sungguh celaka kalau Piaumoai benar-benar dibunuh oleh mereka.

Tapi Koh-soh Buyung selama ini malang melintang di Bu-lim, masakah sekarang harus menyerah kepada ancaman orang? Kalau sekarang menyerah, cara bagaimana kelak dapat berkecimpung pula di dunia kangouw?

Hati berpikir, tapi tangan tidak menjadi kendur, sekali tangan kirinya menampar, kontan dua orang musuh kena dihantam hingga mencelat beberapa meter jauhnya,

"Apa benar-benar kamu tidak mau menyerah. Baiklah, biar kupenggal kepala nona jelita ini!" seru pula Thauto tadi, dan goloknya yang kemilauan itu terus diangkat ke atas.

"Tahan dulu, jangan sekali-kali mencelakai nona Ong, biarlah aku saja yang menyerah padamu!" demikian tiba-tiba terdengar setuan seorang dari lereng gunung sana.

Saat lain, tertampaklah sesosok bayangan orang sedang datang secepat terbang, beberapa orang yang berdiri di jalanan sana kedengaran membentak-bentak dan hendak merintangi tapi dengan menyelinap ke kanan dan membelok ke kiri, tahu-tahu orang itu sudah menerobos lewat dari rintangan orang banyak dan memburu tiba. Dibawah cahaya obor yang terang dapatlah terlihat dengan jelas, nyata dia bukan lain ada!ah Toan Ki.

"Untuk menyerah kan urusan panjang, demi nona Ong, kau minta aku menyerah seratus kali atau seribu kali juga jadi, " demikian seru Toan Ki sambil berlari mendekati Thauto tadi, lalu katanya lagi, "He, lekas kalian lepas tangan untuk apa kalian menangkap nona Ong?"

Giok-yau tahu Toan Ki tidak mahir ilmu silat tapi toh berani menolongnya tanpa menghiraukan Keselamatan sendiri, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Segera serunya, "Toan ... Toan kongcu, kiranya engkau?”

"Ya , ya, aku!" sahut Toan Ki kegirangan-.

'Persetan! Kamu ini apa?" damprat Thauto tadi.

"Aku manusia. Memangnya kaukira apa?" sahut Toan Ki.

"Plak", mendadak tangan Thauto itu membalik dan kena tampar di bawah dagu Toan Ki dan kontan pemuda itu terjungkal ke samping, kebetulan kepalanya membentur sepotong batu, seketika darah bercucuran.

Melihat cara lari Toan Ki tadi terang memiliki ginkang yang sangat tinggi maka Thauto itu yakin pemuda itu pasti memiliki ilmu silat yang lihai pukulannya barusan sebenarnya cuma serangan pura-pura saja, sebaliknya tebasan goloknya yang segera akan dilontarkan bila pemuda itu berkelit barulah benar-benar serangan yang berbahaya.

Siapa duga hantamannya yang tidak sungguh-sungguh itu malah kontan merobohkan Toan Ki, keruan ia

terkesima malah. Sementara itu dilihatnya

Buyung Hok masih menerjang kian kemari dengan gagahnya, segera ia berteriak, "Sekali lagi kuperingatkan supaya kamu menyerah saja, kalau tidak segera kepala nona ini kupenggal sungguh-sungguh, apa yang Hudya (tuan budha) katakan selamanya terbukti dan tidak omong kosong. Nah, kau mau menyerah atau tidak? Satu ... dua ...."

Buyung Hok menjadi serba sulit, bicara tentang hubungan persaudaraan mereka, sudah tentu tidak nanti ia biarkan Giok-yan dibunuh musuh.

Tapi nama "Koh-soh Buyung" yang agung itu tidak boleh menyerah di bawah ancaman orang sehingga kelak akan dibuat buah tertawaan orang kangouw.

Maka ia terus, berteriak menjawab, "Thauto bangsat, jangan kau mimpi bahwa Kongcuya mau menyerah padamu. Tapi kalau kau berani mengganggu seujung rambut nona itu, kalau aku tidak mencincangmu hingga hancur luluh aku bersumpah takkan menjadi manusia lagi!"

Sembari berseru ia lantas menerjang ke arah Giok-yan. Tapi dua-tiga puluh orang yang ber senjata lengkap telah mengerubutnya dari muka dan belakang sehingga susah melepaskan diri.

Sebaliknya Thauto tadi menjadi gusar, teriak nya, "Aku justru akan bunuh anak dara ini, ingin kulihat kau mampu mengapakan Hudya?"

Habis berkata, goloknya diangkat dan segera diayun ke leher Giok-yan.

Karena kuatir keserempet, (Dewi KZ http://kangzusi.com/) maka kedua wanita yang memegangi lengan Giokyan itu lekas-lekas lepas tangan dan melompat mundur.

Saat itu Toan Ki baru merangkak bangun, dengan tangan kiri mendekap batok kepala yang "bocor" itu, ia meringis kesakitan. Tapi demi dilihatnya si Thauto benar-benar hendak memenggal kepala Giok-yan dan gadis itu tampak berdiri terpatung di tempatnya seperti ditutuk orang dan sama sekali tak dapat melawan atau menghindar keruan kejut Toan Ki tidak kepalang, sekali jarinya menuding, "crit-crit", mendadak lengan si Thauto yang memegang golok itu terpotong putus, golok bersama lengan putus yang masih mencengkeram senjata itu jatuh ke tanah.

Kiranya dalam keadaan gugup dan kuatir, secara otomatis tenaga murni di dalam badan Toan Ki bergolok,sehingga "Lak-meh-sin-kiam" dapat dikeluarkan dan sekali tuding lengan Thauto itu kena dipotong putus olehnya. Menyusul itu Toan Ki terus berlari maju, segera ia tarik Giok-yan keatas punggungnya dan digendong sambil berseru,

"Lari paling perlu!"

Thauto tadi bernama Pa-gan-thauto (Thauto bermata harimau), Tocu (penguasa pulau) Yame san-to, orangnya sangat jahat dan ganas. Biar sebelah lengannya sudah putus dan sangat kesakitan, tapi saking gusarnya ia menjadi kalap pula, segera, ia gunakan tangan yang masih hidup itu untuk menyambar lengan sendiri yang putus tadi, ia mengerang keras sekali terus melemparkan lengan putus itu bersama golok yang masih tergenggam kearah Toan Ki.

Timpukkan lengan putus bersenjata itu sangat cepat dan lihai, untung dalam gugupnya Toan Ki masih sempat menuding pula ke belakang, "crit", satu jurus "Siau-yang-kiam" dilontarkan dan tepat mengenai golok yang terpegang lengan putus itu.

Seketika golok itu tergetar jatuh dari cekalan lengan putus, sebaliknya lengan putus itu masih tetap menyambar kedepan dan "plok", pipi Toan Ki tepat terbentur sehingga mirip ditempeleng sekali.

Memangnya batok kepala Toan Ki sudah keluar "kecap" sekarang disambali puyeng tujuh keliling oleh tempelengan itu, langkahnya menjadi sempoyongan. Tapi ia masih ingat dengan baik bahwa Ong Giok-yan harus diselamatkan. Maka dengan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh," cepat ia menerjang, keluar kepungan orang banyak.

Meski kawanan orang-orang itu segera hendak merintangi sambil berteriak-teriak dan, membentakbentak, tapi dengan "Leng-po-wi-poh" yang hebat itu dapatlah Toan Ki menyusup kian kemari dan menerjang keluar kepungan.

Hanya sekejap saja Toan Ki sudah meninggalkan orang banyak dengan menggendong Giok-yan karena kuatir dikejar lagi, ia terus berlari sehingga lebih satu li baru berhenti setelah menghela napas laga, lalu ia turunkan Giok-yan.

Tapi dengan wajah merah Giok-yan berkata

"Tidak, tidak, Toan kong-cu, hiat-to badanku kena ditutuk musuh, aku tidak sanggup berdiri."

"O, jika begitu, katakanlah tempat hiat-to yang tertutuk itu, biarlah aku membukanya," kata Toan Ki sambil memegangi bahu nona itu.

"Tidak, tidak perlu," sahut Giok-yan. "Sebentar lagi hiat-to yang tertutuk akan buyar sendiri, engkau tidak perlu membukanya bagiku." .

Kiranya untuk membuka hiat-to yang tertutuk itu harus memijat "Sin-hong-hiat", sedangkan Sin-hong-hiat itu terletak di bagian dada, sudah tentu Giok-yan merasa malu mengatakan hal ini.

Sebaliknya Toan Ki tidak-tahu hal itu, ia malah berkata lagi, "Di sini sangat berbahaya, lebih baik kubuka hiattomu saja agar kita bisa melarikan diri."

Tapi Giok-yan menggeleng kepala tanda tidak setuju. Ketika ia memandang ke belakang, dilihatnya Buyung Hok dan Ting, Pek-jwan masih bertempur di tengah kepungan musuh. Karena kuatirkan keselamatan sang Piauko, segera ia berkala,

"Toan-kongcu, Piaukoku masih terkepung musuh kita harus kembali ke sana untuk menolongnya."

Pedih rasa Toan Ki mendengar ucapan itu. La tahu yang dipikir Giok-yan hanya Buyung Hok seorang saja. Seketika Toan Ki merasa putus asa, pikirnya, "Rinduku kepadanya terang takkan terkabul, hari ini biarlah aku membantu dia mencapai cita-citanya dan biarlah aku mati bagi Buyung Hok. Aku tidak mahir ilmu silat, tapi aku akan menerjang lagi ke dalam kepungan musuh dengan segala risiko."

Karena pikiran itu, segera ia menjawab, "Baiklah, boleh kau tunggu di sini, biar aku menyerbu ke sana untuk menolong Piaukomu."

Tapi Giok-yan berkata, "Tidak, tidak! Engkau tidak mahir ilmu silat, cara bagaimana hendak kau tolong dia'.'"

"Bukankah tadi aku pun dapat menggendongmu dan lolos dengan selamat"' sahut Toan Ki tersenyum.

Giok-yan tahu "Lak-meh-sin-kiarn" yang menjadi andalan Toan Ki itu terkadang manjur dan terkadang tak berguna, maka ia masih kuatir, katanya pula, "Tadi hanya kebetulan saja, karena,...karena kau kuatirkan keselamatanku dan mendadak Lak-meh-sin-kiam dapat dikeluarkan. Tetapi terhadap Piaukoku belum tentu

dapat kau lakukan seperti terhadap diriku, mungkin .... mungkin..."

"Jangan kuatir, terhadap Piaukomu aku pun akan perlakukan serupa seperti terhadap dirimu," kata Toan Ki.

Namun Giok-yan tetap geleng kepala, katanya

"Toan-kongcu, kurasa tidak baik, hal itu agak berbahaya bagimu."

"Nona Ong," seru Toan Ki dengan membusungkan dada, "pendek kata, asalkan engkau yang minta aku menyerempet bahaya, biarpun mati juga aku tidak menolak”

Kembali air muka Giok-yan berubah merah, sahutnya lirih, "Engkau sungguh sangat baik terhadapku , aku merasa sangat berterima kasih."

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, " seru Toan Ki dengan bersemangat dan segera bermaksud menyerbu kembali ke medan peitempuran.

Tapi Giok-yan berkata pula, "Toan-kongcu, aku tak bisa bergerak, jika kau tinggaikan aku, tentu aku bisa celaka bila ada orang jahat datang kemari .... "

Toan Ki menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala dan berkata, "Ya, bagaimana ini ... ini ..."

Sebenarnya maksud Giok-yan ingin Toan Ki menggendongnya lagi dan kemudian pergi membantu Buyung Hok, cuma permintaan demikian sukar diucapkannya. Maklum, betapapun adalah memalukan jika seorang anak perawan minta digendong seorang jejaka.

Karena itu ia bicara secara samar-samar dengan harapan Toan Ki dapat menangkap maksudnya, tapi dasar bebal Toan Ki justru tidak mengerti ia hanya garuk-garuk kepala dan kukur-kukur kuping dengan bingung

Dalam pada itu suara pertempuran di sana terdengar semakin gemuruh suara benturan senjata juga semakin ramai, nyata Buyung Hok semakin sengit melabrak lawan yang banyak itu.

Giok-yan menginsyafi kekuatan musuh yang besar itu, ia menjadi kuatir dan tak menghiraukan rasa malu lagi segera ia berkata, "Toan-kongcu, tolong suka menggendong aku lagi dan kita bisa lantas pergi membantu Piauko, bukankah cara ini paling baik!"

Toan Ki seperti sadar dari impian, serunya "Ya, ya, betul. Goblok, mengapa aku tidak dapat memikirkan cara baik ini"

Segera ia berjongkok dan membiarkan Giok-yan menggemblok di atas punggungnya.

Waktu pertama kali Toan Ki menggendong Giok-yan tadi, yang dipikir olehnya ialah gadis itu harus diselamatkan, lain tidak. Tapi sekarang kembali sesosok tubuh yang halus empuk menggemblok di atas punggungnya kedua tangannya merangkul pula kedua kaki si nona , meski terhalang oleh pakaian, tapi dapat juga dirasakan oleh Toan Ki kulit badan nona cantik itu.

Selama ini, siang malam, baik dalam renungan maupun dalam impian, yang selalu terbayang dalam kalbu Toan Ki melulu Ong Giok-yan seorang.

Telah diketahuinya bahwa nona itu ikut pergi bersama Buyung Hok, beratus kali, mungkin beribu kali Toan Ki memperingatkan dirinya sendiri agar lekas tinggal pergi kearah sendiri saja, tapi aneh, kakinya seakan-akan tak berkuasa dan tanpa terasa tetap mengikuti jejak nona itu dari jauh.

Sejak ia makan katak merah sehingga memiliki "Cu-hap-sin-kang" yang sakti itu, tampa terasa ia telah memiliki ginkang yang tinggi, jalannya cepat dan enteng, maka selama dia menguntit di belakang Giok-yan itu sama sekali tak diketahui oleh Buyung Hok. Tentang Giok-yan dinaikkan ke atas pohon dan Buyung Hok melabrak musuh, semuanya itu disaksikan Toan Ki dengan jelas.

Maka ketika si Thauto hendak membunuh Giok-yan dan memnksa supaya Buyung Hok menyerah, dengan sukarela Toan Ki terus tampil ke muka dan bersedia mewakilkan Buyung HoK untuk "menyerah", tapi pihak musuh justru tidak sudi menerima "jasa baik" yang diajukan Tuan Ki itu, akibatnya Thauto itu mesti mengorbankan sebelah lengannya malah.

Sekarang Toan Ki menggendong Giok-yan lagi, mau tak mau perasaannya berdebar-debar dan pikirannya menyeleweng, namun segera ia mendampiat dirinya sendiri, "Toan Ki, dalam keadaan begini, mengapa kau berani timbul pikiran menyeleweng, kamu benar-benar binatang! Orang kan gadis "ting-ting* yang suci bersih dan agung tapi kaupikirkan hal yang kotor, ini berarti kamu telah menodai dia, sungguh kurangajar dan harus diajar, ya harus dihajar, ya harus dihajar!"

Terpikir "harus dihajar," eh, betul-betul Toan Ki angkat tangan terus menampar beberapa kali pada muka sendiri, berbareng ia percepat langkahnya dan berlari ke depan bagai terbang.

Sudah tentu Giok-yan sangat heran atas kelakuan Toan Ki itu, ia tanya, "Ada apa Toankongcu ?”

Dasar Toan Ki memang jujur, Giok-yan dipujanya sebagai bidadari dari kayangan, tentu saja ia tidak berani berdusta maka dengan terus terang ia menjawab, "Sungguh harus dihajar, sebab telah timbal pikiranku yang tidak hormat terhadap nona!"

Giok-yan paham kata-katanya itu sehingga mukanya berubah merah jengah seketika.

Pada saat itu tiba-tiba seorang Toan (imam) dengan pedang terhunus memapak ke arah mereka. Sambil berteriak, "Keparat, bocah ini berani datang mengacau lagi!"

Dan sekali tusuk, dengan gerak "Tok-liong-cui-tong" (naga berbisa keluar dari liang), langsung dada Toan Ki hendak di arah.

Dengan sendirinya Toan Ki menggunakan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh" untuk menghindar. Tiba-tiba didengarnya bisikan Giok-yan, "Jika dia menusuk lagi dari kiri, cepat kau putar ke sebelah kanan dan tepuk 'Thian-cong-hiat' di bawah iganya."

Benar juga, menyusul Tosu itu menusuk pula dari sebelah kiri. Maka dengan cepat Toan Ki menggeser ke sebelah kanan, "plok", kontan ia tepuk "Thian-cong-hiat" menurut ajaran Giok-yan tadi.

Rupanya hiat-to itu memang merupakan ciri kelemahan imam itu, meski tepukan Toan Ki itu tidaklah teras, tapi sudah cukup membuat imam itu tumpah darah dan ketakutan setengah mati, segera ia lari terbirit-birit.

Tapi baru saja Tosu itu dihalau pergi, segera ada dua orang lelaki kekar menerjang tiba pula. Namun Giok-yan memang serba pintar dan serba paham segala macam ilmu silat, dengan suara pelahan ia memberi sedikit petunjuk kepada Toan Ki dan segera pemuda itu dapat membereskan pula kedua lawan.

Melihat kemenangan yang diperoleh ternyata sangat gampang, sedang si nona selalu berbisik-bisik, di tepi telinganya, hawa mulutnya yang sedap dan bau harum yang keluar dari badan nona itu membuat semangat Toan Ki berkobar-kobar meski pada saat itu jiwanya sedang dipertaruhkan di medan pertempuran.

Ketika ia merobohkan dua musuh pula, sementara itu jaraknya dengan Buyung Hok sudah tinggal beberapa meter saja. Sekonyong-konyong ada angin menyambar, tahu-tahu dua lonjor bayangan hijau seperti cambuk menjahat ke arah Toan Ki. Dan baru saja ia menggeser ke samping tiba-tiba salah satu cambuk itu dapat menegak di udara untuk kemudian menyambar pula dengan cepat dan gesit luar biasa.

Seketika Giok-yan dan, Toan Ki menjerit kaget demi mengetahui bahwa kedua lonjor benda lemas itu ternyata bukan senjata melainkan dua ekor ular hidup.

Kalau pembaca tidak lupa, tentu masih ingar permulaan Toan Ki bertemu dengan Ciong Ling tatkala itu gadis cilik itu juga menggunakan ular hidup sebagai senjata, tapi Ciong Ling menggunakan senjata ular untuk mengalahkan musuh, sebaliknya sekarang musuh menggunakan ular hidup untuk menyerang Toan Ki sendiri, jadi keadaannya sama sekali berlainan.

Maka segera Toan Ki mempercepat langkahnya dengan maksud melampaui kedua punyerang itu, tak terduga kedua orang berbaju hijau yang bersenjata ular itu bertubuh pendek kecil dan gerak-gerik mereka pun sangat lincah, beberapa kali Toan Ki menyelinap ke sana dan ke sini selalu kena dicegat mereka, Diam-diam ia mengeluh, segera ia tanya Giok-yan,. "Wah, bagaimana ini, nona Ong?"

Dalam hal ilmu silat boleh dikatakan Giok-yan serba tahu, tapi cara menggunakan ular sebagai senjata, terang ini tidak tercatat dalam kitab ilmu silat mana pun. Biasanya tidaklah susah baginya untuk mengenali setiap gerakan atau setiap jurus dari aliran mana pun, tapi untuk menaksir bagaimana serangan ular itu akan dilontarkan musuh sekarang dia boleh dikatakan mati kutu.

Diam-diam Giok-yan pikir "Untuk menaksir jurus serangan ular hidup terang sangat susah biasanya menangkap rampok harus menangkap benggolannya, kukira kedua pemain ular ini yang harus dirobohkan dahulu."

Namun gerakan kedua pemilik ular itu kalau dibilang aneh memang juga aneh, dikatakan tidak aneh, tampaknya memang tidak aneh. Gerak-gerik mereka sangat cepat tapi sangat kaku dan bodoh terang mereka tidak pernah belajar ginkang apa segala, namun demikian mereka dapat meloncat kian kemari secepat kera.

Karena itu, susah bagi Giok-yan untuk menaksir tipu serangan yang akan dilancarkan mereka, setiap kali ia suruh Toan Ki menyerang suatu tempat, aneh juga, selalu dapat dihindarkan oleh mereka dengan sangat lincah dan cerdik.

Begitulah, sembari berpikir cara untuk mengalahkan musuh Giok-yan terus memperhatikan juga keadaan sang Piauko, dalam pada itu riuh ramai pula suara jeritan orang yang kesakitan, berpuluh orang yang terkena jarum berbisa Song Tho-kong tadi sama bergelimpangan di tanah sambil berteriak-teriak tak tahan.

Sedangkan orang berbaju hitam yang menawan Song Tho-kong tadi lagi mendesak agar menyerahkan obat penawar, tapi obat panawar yang dikehendaki

itu justru dipendam di sebelah Buyung Hok, karena jeri kepada kelihaian Buyung Hok, sibaju hitam tidak berani sembarangan maju, ia hanya berteriak-teriak mendesak kawannya agar menyerang lebih gencar dengan maksud mendapatkan obat penawar untuk menolong kawan-kawannya yang lain. Tapi untuk merobohkan Buyung Hok bukanlah pekerjaan yang gampang.

Tiba-tiba terdengar suara perintah seorang tiga di antara pengeroyok Buyung Hok itu segera mundur, lalu digantikan oleh tiga orang baru yang terdiri dari tokoh pilihan semua. Lebih-lebih seorang di antaranya yang pendek ternyata memiliki tenaga yang hebat ia putar sepasang senjata yang berbentuk palu baja. Ketika Buyung Hok menangkis dengan golok, lengannya tergetar sampat pegal, keruan ia terkejut. Maka waktu palu, orang menghantam lagi, segera ia berkelit dan tidak rnau menangkis pula.

Dalam pertarungan sengit itu, tiba-tiba terdengar seruan Ong Giok-yan, "Piauko, gunakan "Gin-ting-ban-tian” lalu ganti dengan 'Pi-kim-tang-hong'."

Buyung Hok kenal kepandaian sang Piaumoai dalam teori ilmu silat jauh lebih pintar daripada dia sendiri, cuma nona itu tidak suka berlatih sendiri, tapi untuk mengajar orang dia boleh dikatakan adalah seorang maha guru yang sukar dicari.

Maka ia pun tidak meragukan petunjuk sang Piaumoai itu, segera goloknya berputar, hingga mengeluarkan cahaya kemilau dalam jurus "Gin-ting-ban-cian" atau pelita perak berlaksa buah.

Karena serangan yang lihai itu para pengeroyok dipaksa menghindar mundur. Dan pada saat itulah lengan baju kiri Buyung Hok terus mengebas dan dipuntir pula dalam jurus "Pi-kim-tang-hong" atau pentang lengan baju menahan angin.

Kebetulan saat itu si pendek sedang menghantam dengan kedua palunya dari atas dan bawah dalam gerak tipu khai-thian-pi-te (membuka langit memecahkan bumi), Tapi mendadak terdengar suara "trang" yang amat keras sehingga memekakkan telinga, dengan tepat kedua palu si pendek saling bentur sendiri dan mencipratkan lelatu api.

Saking kuatnya tenaga si pendek sehingga kedua belah tulang lengan sendiri tergetar patah oleh getaran tenaga sendiri, kontan terjungkal dan tak sadarkan diri.

Kesempatan itu segera digunakan Buyung Hok untuk melontarkan pukulan kedepan untuk membantu Pan Puttong mendesah mundur dua lawan yang tangguh. Waktu Put-tong memayang bangun Kongya Kian, ia lihat muka sang Jiko sudah hitam gelap, tanda keracunan yang sudah kasip, kalau tidak lekas ditolong, tentu jiwa akan melayang dalam waktu singkat,

Di sebelah lain keadaan Toan Ki juga sudah berubah secara aneh. Ketika Giok-yan memberi petunjuk kepada Buyung Hok, dengan sendirinya keadaan Toan Ki tidak dapat diperhatikannya pada saat yang sama.

Bagi Toan Ki yang tiba-tiba mendengar si nona hanya membantu Buyung Hok dan tidak peduli lagi padanya, meski tubuh nona itu berada di atas gendongannya, namun hatinya telah melayang kepada Buyung Hok, hal ini membuat Toan Ki merasa hampa dan pedih, hingga air matanya hampir-hampir menetes.

Pada saat itulah, "crit-crit", mendadak kedua ekor ular musuh menyambar tiba dan tepat memagut lengan kirinya

"Aiii..” bukan Toan Ki yang menjerit, tapi Giok-yan yang berteriak kaget, "Toan-kongcu, engkau .... "

"Ya, biarlah, biar mati digigit ulat saja," kata Toan Ki dengan lesu dan bosan hidup.

Melihat warna kedua ekor ular itu belang-bonteng, kepala gepeng bersegi tiga, terang ular-ular berbisa jahat, seketika Giok-yan menjadi bingung dan kuatir. Di luar dugaan mendadak kedua ular itu berkelojotan dua kali lalu jatuh ketanah dan mati semua.

Seketika kedua orang yang memainkan ular itu pucat mukanya, mereka bicara beberapa kalimat dalam kalimat dalam bahasa daerah mereka, lalu putar tubuh dan melarikan diri.

Kiranya kedua orang itu sudah biasa memiara dan memuja ular, kini melihat Toan Ki tidak mati digigit ular mereka yang berbisa jahat, sebaliknya ular mereka yang mati sendiri, mereka-mereka menyangka Toan Ki adalah malaikat ular rajanya ular, maka mereka ketakutan dan segera ngacir.

Giok-yan juga tidak tahu ilmu Cu-hap-sinkang yang dimiliki Toan Ki itu, maka ia coba tanya. "Toan-kongcu, bagaimana engkau.. Bagaimana?"

Memangnya Toan Ki lagi lesu dan berduka tiba-tiba mendengar pertanyaan Giok-yan yang berulang-ulang dengan nada penuh perhatian, seketika ia girang kembali dan semangatnya terbangkit lagi,

Terdengar Giok-yan bertanya pula, "Engkau digigit ular-ular itu, bagaimanakah keadaanmu Toan-kongcu"

"Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa!" sahut Toan Ki cepat. Pikirnya asal kau mau memperhatikan diriku, biarpun setiap hari aku digigit ular beberapa kali juga tidak menjadi soal.

Segera ia mengangkat langkah dan menerjang ke depan untuk mendekati Buyung Hok

Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara seorang yang sangat lantang berkumandang dari tengah udara, "Buyung-kongcu, para Tocu dan Tongcu selamanya kalian tiada permusuhan atau sakit hati apa-apa, buat. apa kalian bertempur mati-matian'secara demikian?"

Waktu semua orang mendongak ke arah datangnya suara maka terlihatlah dipucuk pohon sana berdiri seorang Tojin (imam) berjenggot hitam tangan membawa sebatang Hut-tim (kebut), tempat kakinya menginjak tertampak batang pohon itu mentul-mentul naik-turun gaya Tojin itu nampak sangat gagah dan indah.

Di bawah sinar obor yang terang itu kelihatan wajah Tojin itu putih bersih, usianya kira-kira setengah abad, dengan tersenyum ia berkata pula.

"Jika orang-orang yang keracunan dalam keadaan berbahaya, maka paling penting harus menyembuhkan mereka dahulu. Hendaklah kalian suka terima usulku, sementara ini berhentilah bertempur, kalau ada perselisihan boleh dibereskan nanti!"

Melihat ginkang imam berjenggot hitam itu sangat hebat. Buyung Hok menduga ilmu silat orang tentu juga sangat lihai, memangnya ia pun sedang menguatirkan keadaan Kongya Kian dan Hong Po-ok, segera ia gunakan kesempatan itu untuk bicara, "Jika tuan sudi memisahkan percekcokan ini, sudah tentu kuterima dan aku bersedia berhenti bertempur."

Habis berkata, ia putar goloknya sehingga berwujud satu lingkaran, lalu ia tarik kembali senjatanya ke depan dada dan berdiri tegak. Tapi dirasakannya pula lengan kanan masih jarem pegal, nyata itulah akibat tangkisannya atas serangan palu baja si pendek tadi, diam-diam ia gegetun atas tenaga raksasa lawan yang hebat itu.

Dalam pada itu si baju hitam yang masih mencengkeram Song Tho-kong tadi lagi mendongak dan bertanya, "Siapakah nama tuan yang terhormat?"

Dan belum lagi Tojin itu menjawab, tiba-tiba di tengah orang banyak terdengar seruan seorang

"Oh-lotoa, asal-usul orang ini tidak boleh dibuat main-main, ia adalah ... adalah to . tokoh luar biasa, dia ... dia adalah ..adalah Kau ..Kau .... "

Berulang orang itu menyebut "Kau" dan tetap tidak sanggup menyambung seterusnya. Rupanya orang itu mempunyai penyakit bicara gagap, dalam gugupnya cara bicaranya menjadi lebih sulit dan susah diteruskan.

Tapi si baju hitam yang dipanggil sebagai Oh-lotoa itu cukup cerdik, tiba-tiba teringat satu orang olehnya, segera ia berseru, "Apakah dia adalah ...adalah Kau-ong si raja ular naga PutpenTojin?"

Si gagap menjadi girang, sebab kata-kata yang terhenti di tenggorokannya telah terkorek keluar cepat ia berkata pula, "Be ... betul! Dia.... dia adalah .. adalah Kau ... Kau ...Kau ...”

Sampai di sini kembali tenggorokannya tersumbat lagi.

Segera Oh-lotoa memberi Kiongchiu kepada imam di atas pohon dan berkata, "Apakah tuan tuan itu Put-peng Tojin yang maha tersohor itu? Sudah lama kudengar nama Tojin yang besar, sungguh beruntung hari mi dapat berjumpa di sini."

Tatkala dia bicara, sementara itu pertempuran sudah berhenti.

Maka dengan tersenyum Tojin itu menjawab,

"Ah, saudara terlalu memuji saja. Orang kangouw mengira aku sudah lama meninggal dunia, makanya Ohsiansing merasa sangsi dan tidak percaya bukan ?”

Sambil bicara ia terus melompat turun. Anehnya daya menurunnya itu ternyata sangat pelahan hingga tubuhnya seperti tak berbobot. Rupanya lebih dulu ia telah mengebutkan kebutnya ke tanah, tenaga kebutan yang menimbulkan daya tolak itu menahan tubuhnya sehingga dia dapat turun dengan sangat lambat.

Bagi orang yang tidak tahu tentu mengira hal itu sangat ajaib dan seperti ilmu sihir saja, tapi bagi orang yang berkepandaian tinggi segera mengetahui bahwa kebutnya yang menimbulkan daya tolak dari bawah sehingga

tubuhnya tertahan dan dapat menurun dengan pelahan. (Dewi KZ http://kangzusi.com/) Tentu saja semua orang kagum tak terkira.

Segera Oh-lotoa bersorak. "Ginkang yang hebat!"

Sementara itu kaki Putpeng Tojin juga sudah menginjak tanah, lalu katanya pula, "Tentang percekcokan kalian, sebagai orang di luar garis tentu aku dapat melihat dengan lebih jelas bahwa pokok pangkalnya adalah lantaran salah paham saja. Sebab itulah bila sudi terima saranku, hendaknya kalian akhiri percekcokan ini secara bersahabat, sekarang boleh minta Song Tho-kong mengeluarkan obat penawar untuk menyembuhkan para kawan yang keracunan."

Nada ucapan Put-peng Tojin itu sangat ramah tapi berwibawa sehingga orang sungkan menolak permintaannya. Apalagi berpuluh orang yang keracunan dan merintih-rintih di tanah itu memang juga sangat tersiksa sehingga kedua pihak sama-sama ingin bisa lekas menolong kawan mereka itu.

Maka Oh-lotoa lantas melepaskan Song Tho-kong, katanya, "Nah, Lau Song, mengingat maksud baik Put-peng Totiang, biarlah kita menurut”

Song Tho-kong tidak bicara lagi segera ia lari ke sebelah Buyung Hok, kedua tangannya bekerja dengan cepat sehingga dalam sekejap saja tanah di situ telah di gingsirnya menjadi sebuah lubang dari situ diluarkan sebuah bungkusan.

Sesudah bungkusan itu dibuka, kiranya isinya adalah sepotong besi hitam. Dengan besi itu segera ia gunakan untuk menyedot jarum lembut yang melukai seorang di sisinya. Kiranya besi hitam itu adalah batu sembrani, agaknya jarum berbisa itu harus dikeluarkan lebih dulu untuk kemudian baru dibubuhi obat.

"Song-siansing," dengan tertawa. Put-peng Tojin berkata, "seorang kesatria harus memikirkan orang lain lebih dulu baru kemudian memikirkan kepentingannya sendiri, Apakah tidak lebih baik kau sembuhkan dulu kawankawan Buyung-kongcu itu?"

"Ah, toh akhirnya akan diobati semua, lebih dulu atau tidak juga sama saja," Song Tho-kong

Namun begitu tidak urung ia pun menuruti kehendak Put-peng Tojin itu. Lebih dulu ia menyembuhkan Kongya Kiam dan Hong Po-ok, lalu menyembuhkan pula tangan Pau Put-tong, habis itu barulah ia tolong kawankawan sendiri,

Jangan dikira potongan Song Tho-kong itu bundar buntak, tampaknya seperti ketolol-tololan tapi gerakgeriknya ternyata sangat cepat kesepuluh jarinya yang pendek gemuk itu bahkan lebih lincah daripada jari kaum gadis yang mahir menyulam. Maka tidak antara lama jarum berbisa pada luka semua orang sudah dikeluarkan serta dibubuhi obat oleh Song Tho-kong. Seketika rasa gatal pegal semua orang lenyap.

Namun demikian, ada juga beberapa orang di antaranya yang berwatak keras dan aseran terus mencaci-maki kepada Song Tho-kong yang menggunakan senjata rahasia keji itu dikutuknya kalau kelak mati tentu bangkainya tak terkubur.

Tapi Song Tho-kong diam saja, ia membungkam dan membudek, segala caci-maki orang sama sekali tak digubrisnya.

"Oh-Lotoa," kala Put-peng Tojin dengan tersenyum, "berkumpulnya ke-36 Tongcu dan ke 72 Tocu di sini apakah berhubung dengan urusan orang di Thian-san itu?"

Oh-lotoa terkejut,tapi lahirnya sama sekali tidak perlihatkan perasannya itu, sahutnya, "Apa yang Put-peng Tojin maksudkan, sungguh aku tidak paham. Kami biasanya tinggal terpancar di berbagai penjuru dan jarang sekali berkumpul, hari ini kami saling berjanji untuk mengadakan pertemuan ramah tamah di sini, maksud tujuan lain tidak ada, Soalnya entah mengapa Buyung-kongcu dari Koh-soh menerjang ke sini sehingga terjadi percekcokan seperti tadi."

"Aku sendiri jaga secara kebetulan berlalu disini, sungguh kami tidak tahu bahwa para tokoh ksatria sedang berkumpul di sini sehingga banyak mengganggu, untuk ini aku minta dimaafkan," demikian kata Buyung Hok. "Mengenai maksud baik Püt-peng Totiang untuk melerai percekcokan ini sehingga urusan tidak jadi meluas, sudah tentu kami juga merasa sangat berterima kasih. Sekarang biarlah kami mohon diri saja dan sampai berjumpa pula."

Ia tahu berkumpulnya ke-36 Tongcu dan ke-72 Tosu yang terkenal sebagai tokoh kaum petualangan tentu mempunyai urusan penting yang dirahasiakan dan dengan sendirinya tidak ingin diketahui oleh orang luar. Buktinya barusan Put-peng Tojin menyebut tentang "Orang di Thai-san” dan segera Oh-lotoa membelokkan pembicaraannya terang sekali mereka pantang membicarakan "orang di Thian-san" itu. Kalau sekarang dirinya tidak mengundurkan diri, tentu nanti akan disangka dirinya sengaja hendak mencari tahu rahasia orang. Sebab itulah sesudah memberi hormat ke sekelilingnya. lalu ia ajak Pek-jwan dan lain-lain melangkah pergi.

Oh-lotoa membalas hormat Buyung Hok dan berkata, "Buyung-kongcu, hari ini aku Oh lotoa beruntung dapat berkenalan dengan tokoh ksatria tersohor seperti dirimu sungguh merupakah suatu kehormatan besar bagi kami. Gunung selalu menghijau dan air sungai tetap mengalir, selamat berpisah dan sampai berjumpa pula,"

Dari ucapannya itu nyata ia memang tidak ingin Buyung Hok dan kawan-kawannya tinggal lebih lama di situ.

Tapi Put-peng Tojin lantas berkata, "Oh-lotoa apakah kau tahu Buyung-kongcu .ini orang macam apa!"

Oh-lotoa tampak tercengang, sahutnya, "Lam Buyung, Pak Kiau Hong, nama kebesaran Koh-soh Buyung'sangat tersohor, masakah tidak tahu?"

"Itulah dia," ujar Put-peng Tojin dengan tertawa. "Jika tahu ada seorang tokoh besar seperti ini mengapa kalian kesampingkan saja, bukankah sangat sayang? Padahal pada waktu biasa, kalau ada orang mengharapkan bantuan keluarga Buyung, ha, jangan kalian harap, dapat, menemuinya. Dan sekarang secara beruntung kalian telah dipertemukan dengan Buyung-kongcu di sini, sebaliknya kalian diam saja dan tidak memohon bantuannya, bukankah kalian ini sangat bodoh."

"Tapi ... tapi .... " sahut Oh-lotoa dengan ragu.

"Hahaha!” Put-peng Tojin tertawa, "Nama kebesaran Buyung-kongcu tersohor di seluruh jagat ini. Kini kalian telah kenyang menderita di bawah perlakuan sewenang-wenang Thian-san Tong-lo....”

Begitu mendengar nama "Thian-san Tong-lo" (si nenek bocah dari Thian-san), seketika, semua orang bersuara "haa" sekali. Suara terkejut, heran, takut, gusar dan macam-macam perasaan lain.

Rupanya setiap orang yang bersuara itu mempunyai, kesannya sendiri-sendiri terhadap Thian-san Tong-lo yang disebut itu, tanpa terasa di antara oran-orang itu banyak yang gemetar ketakutan.

"Orang macam apakah Thian-san Tong-lo itu sehingga membuat mereka begini takut!" demikian diam-diam Buyung Hok bertanya di dalam hati.

Terdengar Put-peng Tojin menyambung, "Di bawah siksaan kejam dan hinaan Thian-san Tong-lo itu, hidup kalian sudah tentu tidak aman, para ksatria di jagat ini yang tahu nasib kalian ini juga akan menyesal. Sekarang kalian ada maksud berbangkit untuk melawannya, sudah tentu setiap orang ingin memberi bantuan sebisanya. Sedangkan orang yang berkepandaian rendah sebagai diriku juga bersedia mencurahkan sedikit tenaga, apalagi Buyung-kongcu yang sudah terkenal berbudi luhur, masakah beliau hanya berpeluk tangan tanpa ikut campur?"

Tapi dengan tertawa Oh-lotoa menjawab, "Entah Totiang mendapat berita dari mana, kami kira ini hanya kabar bohong saja. Tentang Tong-lo Popo, meski beliau memang agak sedikit keras terhadap kami, tapi semua mi adalah lantaran beliau ingin kami berbuat baik, untuk ini kami justru merasa sangat berterima kasih dan utang

budi pada beliau dari mana bisa dikatakan "hendak melawan” beliau?"

"Hahahaha! Jika demikian, jadi aku sendiri yang salah duga dan suka iseng mencampuri urussan orang lain," kata Put-peng Tojin. "Baiklah, mari Buyung-kongcu, kita bersama-sama pergi ke Thian-san untuk omongomong dengan Tong-lo, kita akan sampaikan padanya bahwa para Tongcu dan Tocu di sini sangat berbakti pada beliau dan sekarang sedang sibuk hendak mengadakan perayaan ulang tahun baginya."

Habis berkata, terus saja, ia mendekati Buyung Hok

Segera ada orang berteriak kutlir, "Oh-lotoa, jangan sampai dia merat begitu saja. kalau rahasia kita bocor, wah, bisa berabe!"

Lalu ada yang menanggapi, (Dewi KZ http://kangzusi.com/) "Ya, orang she Buyung iin juga harus dibekuk sekalian! Bagaimanapun hari ini kita harus bekerja habis-habisan!"

Serentak ramailah suara orang melolos senjata dengan caki-maki yang kotor, senjata yang tadinya mereka simpan kembali sekarang disiapkan lagi.

"Hah, apakah kalian bermaksud membunuh orang untuk menghilangkan saksi? Apa kalian kira begitu gampang?" jengek Put-peng tojin

Habis itu mendadak ia tarik suara dan berteriak, "Hu-yong Siaucu dan Kiam-sin Loheng, disini ada 36 Tongcu dan 72 Tocu sedang mengadakan komplotan keji untuk memberontak dan hendak melawan Tong-lolo, tapi rahasia mereka dipergoki olehku sekarang aku hendak dibunuh mereka agar rahasia niereka tidak bocor. Wah, celaka ini, tolong, lekas tolonglah! Jiwa Putpeng Tojin hari ini mungkin akan melayang ke nirwana!"

Suaranya yang keras itu berkumandang jauh ke lembah gunung sana sehingga dan segenap penjuru menggema suara kumandang yang ramai.

Dan baru lenyap suara Put-peng Tojin itu, dari puncak gunung arah barat sana terdengar suara seorang yang lantang menjawab, "Hidung kerbau (kata olok-olok kepada kaum Tosu) Putpeng Tojin, jika kamu dapat lari hendaklah lekas lari saja, kalau tak dapat lari boleh menyerah saja kepada nasibmu, Para anak cucu murid Tong-lolo ini susah tuituk diajak bicara, untuk menolong jiwamu terus terang saja aku tidak sanggup, palingpaling aku hanya dapat menyampaikan berita tentang dirimu kepada Tong-lolo saja."

Dari suaranya itu dapat ditaksir sedikitnya orang itu berada di tempat sejauh tiga-empat li.

Dan baru selesai ucapan orang itu, dari puncak sebelah utara berkumandang pula suara seorang wanita yang nyaring. "Hidung kerbau, jika kamu mampus semuanya itu adalah akibat perbuatanmu sendiri yang suka iseng mencampuri urusan orang lain. Habis, mereka sudah mengatakan sendiri dengan baik, sekali mereka bergerak, maka Tong-lolo pasti akan celaka. Untuk ini biarlah sekarang juga aku akan berangkat ke Thian-san hendak kutanya si nenek cara bagaimana dia akan bertindak."

Dari suara ini, agaknya jarak tempat wanita ini lebih jauh lagi daripada suara orang lelaki yang duluan tadi.

Mendengar itu, seketika air muka Oh-lotoa dan kawan-kawannya berubah hebat. Jarak kedua orang yang bersuara itu ada beberapa li jauhnya untuk mengejar mereka terang tidak mungkin, tampaknya Put-peng Tojin sudah mengatur dengan baik asal dia dalam keadaan bahaya, segera bersuara untuk minta bala bantuan pada kawan-kawannya. Apalagi dari suara kedua, orang itu terang mempunyai Iwekang yang lihai, sekalipun Ohlotoa dan kawan-kawannya dapat mengejar, juga belum tentu dapat melawan mereka,

Oh-lotoa juga cukup cerdik dan dapat melihat gelagat, segera ia pun berseru, "Put-peng Totiang, Kiam-sin dan Hu-yong Siancu, jika kalian bertiga sudi membebaskan kami dari derita sengsara, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Untuk bicara terus terang pada kalian, jika kalian toh sudah tahu duduknya perkara, rasanya kami pun tidak perlu berdusta. Maka sudilah kalian ikut hadir di sini untuk berunding bersama-sama?"

"Ah, lebih baik kami berdiri di sini yang agak jauh saja, agar bila terjadi apa-apa, untuk menyelamatkan jiwa juga lebih cepat," sahut lelaki yang disebut Kiam-sin (malaikat pedang) itu. "Sesungguhnya kami pun tidak ingin ikut campur dalam urusan kalian ini, habis, apa sih faedahnya?"

"Benar," sambung yang wanita. "Nah, hidung kerbau, biarlah kami menjaga jalan lari bagimu, jika akhirnya kau kena dicincang orang, sedikitnya kami masih bisa meloloskan diri untuk menyampaikan berita kematianmu bagi yang berkepentingan. Kalau tidak, tentu kematianmu nanti akan sia-sia belaka."

"Ah, kalian suka berkelakar saja," ujar Oh-lotoa dengan tertawa. "Sesungguhnya lawan terlalu lihai dan kami sudah kapok benar-benar padanya, maka setiap tindak-tanduk kami terpaksa harus dilakukan dengan lebih hatihati. Jika kalian bertiga sudi membantu, sudah tentu kami pun bukan manusia yang tak kenal budi. Adapun kami belum dapat memberi keterangan dengan segala kejujuran, hal ini memang ada kesulitan kami, untuk ini diharap kalian sudi memaklumi."

Ucapan Oh-lotoa ini boleh dikata sangat merendah diri dan benar-benar menyerah.

Maka Buyung Bok saling pandang sekejap dengan Ting Pek-jwan, pikir mereka, "Nyata orang-orang ini sedang merencanakan sesuatu usaha yang maha penting dan terang tidak suka dicampuri oleh orang luar. Sebaliknya Put-peng Tojin dan kedua kawannya itu menyatakan hendak membantu segala, namun sesungguhnya mereka juga mempunyai maksud tujuan yang jahat bagi kepentingan mereka sendiri. Untuk ini lebih baik kita jangan ikut campur saja."

Karena pikiran yang sama itu, kedua orang itu saling memberi tanda, Pek-jwan juga memberi isyarat lebih baik tinggal pergi saja. Maka berkatalah Buyung Bok, "Tuan-tuan sekalian, andaikan di sini akan terjadi hal-hal betapapun hebatnya, dengan tuan-tuan yang berkepandaian tinggi ini tentu sudah cukup untuk mengatasi, apalagi sekarang ditambah pula dengan Put-peng Tojin bertiga, maka urusan betapapun besarnya kukira tiada seorang pun yang dapat merintanginya. Maka dari itu, kukira tidak perlu kami ikut mengganggu di sini sehingga akan mengacaukan urusan kalian malah. Maka biarlah kami mohon diri saja."

"Nanti dulu," sahut Oh-lotoa. "Sekali urusan kami sudah diumumkan secara terbuka, maka soal ini berarti menyangkut keselamatan jiwa beberapa ratus kawan kami. Dari para Tongcu dan Tocu yang berkumpul di sini sekarang, mati hidup dan timbul atau tenggelam nasib kami hanya bergantung di ujung tanduk saja. Maka Buyung-kongcu, sesungguhnya bukan kami tidak mempercayai kalian, soalnya urusan ini terlalu besar sehingga kami tidak berani menanggung risiko ini."

Seketika Buyung Hok paham maksud orang. Tanyanya,

"Jadi saudara melarang kami pergi dari sini?"

"Sebenarnya bukan begitu maksud kami, tapi... tapi apa boleh buat," sahut Oh-lotoa.

"Huh, peduli apa dengan Tong-lolo atau Tong pepek segala, kami sendiri tidak pernah kenal namanya, apalagi orangnya, adapun urusan apa yang hendak kalian lakukan adalah urusanmu, kami jamin takkan membocorkan sepatah-kata pun," seru Pau Put-tong. "Memangnya kau sangka Koh-soh Buyung itu orang macam apa, masakah apa yang sudah kami ucapkan dianggap sebagai kentut saja? Kalau kalian bermaksud menahan kami secara kekerasan, haha, kukira juga belum tentu kalian mampu. Andaikan aku Pau Put-tong dapat kalian tahan, masakah kalian sanggup menahan Buyung kongcu kami dan Toan-kongcu itu?"

Oh-loioa percaya apa yang dikatakan Pan Put-tong itu. Memang benar sulit untuk menahan Buyung Hok, lebih-lebih Toao Ki yang mempunyai langkah ajaib itu.

Oh-lotoa coba memandang sekejap pada Putpeng Tojin dengan serba susah, ia, berharap imam itu mau memberi saran cara bagaimana harus diperbuatnya.

Maka berkatalah Put-peng Tojin, "Oh-lotoa, lawanmu itu benar-benar terlalu lihai jika kamu dapat tambah seorang pembantu, kan lebih baik! Ilmu sila Koh-soh Buyung-si siapa yang tidak tahu di dunia ini? Apalagi dia tidak mengharapkan sesuatu balas jasamu tentu rejeki yang akan kalian peroleh kelak tidak nanti dia minta bagian, untuk ini hendaknya kamu jangan kuatir. Yang paling utama ialah lawan kalian itu harus dibunuh. Kalau pergerakan kalian sekali ini tak mampu membunuhnya akan berarti tamatlah riwayat kalian. Nah, dengan adanya bala bantuan lihai sebagai Buyung-kongcu, mengapa kalian tidak mau mohon padanya?"

Sebenarnya Oh-lotoa masih enggan, tapi akhirnya ia tetapkan hati dan mendekati Buyung Hok serta memberi hormat, katanya, "Buyung kongcu, selama berpuluh tahun ini kami para Tongcu dan Tocu telah kenyang tersiksa dengan penghidupan yang tidak layak bagi manusia, (Dewi KZ http://kangzusi.com/) sekali ini kami sudah nekat akan mengadu jiwa dengan iblis tua itu, untuk mana diharapkan bantuanmu, atas budi kebaikanmu sudah tentu selamanya takkan kami lupakan."

Meski permohonannya kepada Buyung Hok ini sebenarnya terpaksa, bukan timbul dari maksudnya yang sebenarnya, tapi ucapannya itu toh sangat sungguh-sungguh dan tulus iklas.

Sebenarnya Buyung Hok hendak menolak, sebab ia tidak ingin terlibat dalam urusan para petualang itu, tapi mendadak pikirannya tergerak,

"Oh-lotoa ini menyatakan takkan melupakan budi untuk selamanya, jika demikian, rasanya ada manfaatnya juga bagiku. Di antara mereka ini tentu juga banyak orang pandai. Padahal bila aku hendak membangun kembali kerajaan Yan kami justru sangat niernbutuhkan tenaga, jika hari ini aku membantu mereka, kelak bila perlu, tentu aku pun dapat minta bantuan mereka. Jago silat sebanyak beberapa ratus orang sungguh merupakan suatu pasukan penggempur yang hebat."

Karena pikiran itu, segera ia berkata, "Tentu kubantu, sebagai sesama orang kaugouw memang sudah seharusnya berbuat demikian ... "

"Betul, betul!" seru Oh-lotoa dengan girang demi permintaannya diluluskan.

Jilid 62
Sebaliknya Ting Pek-jwan berulang-ulang mengedipi Buyung Hok maksudnya agar lebih baik menolak dan tinggal pergi, sebab dilihatnya Oh-lotoa dan begundalnya itu bukan manusia baik-baik jika bergaul dengan mereka tentu lebih banyak rugi daripada untungnya.

Tapi Buyung Hok hanya balas mengangguk tanda memahami maksudnya, lalu menyambung perkataannya tadi, "Sebenarnya kepandaian saudara-saudara cukup tinggi, kukira urusan betapa besarnya juga dapat diselesaikan, tapi melihat kejujuran dan kesetiakawanan saudara-saudara, sungguh aku menjadi ingin bersahabat pula dan aku siap untuk mencurahkan sedikit tenagaku ini”.

Selesai Buyung Hok bicara, serentak terdengar sorak gembira semua orang, sungguh tak terduga oleh Oh-lotoa dan kawan-kawannya bahwa Koh-soh Buyung yang termasyur di dunia ini dengan rendah hati mau trima permintaannya untuk memberi bantuan.

Sebaliknya Ting Pek-jwan, Kongya Kian dan lain-lain merasa bingung. Tapi biasanya mereka taat kepada setiap perintah Buyung Hok apa yang diputuskan sang junjungan selalu mereka turut biarpun Pau Put-tong yang biasanya suka ngotot juga tidak berani membangkang Kongcuya mereka.

Mendengar sang Piauko sudah berkawan dengan lawan-lawan tadi, maka berkatalah Ong Giok-yan kepada Toan Ki, Toan kongcu, mereka takkan berkelahi lagi, harap kau turunkan aku saja.

"O, ya, ya” sahut Toan Ki gugup, cepat ia berjongkok untuk menurunkan Ong Giok-yan ketanah

"Terima kasih” bisik Ong Giok-yan dengan wajah merah.

"Ai, langit tinggi, bumi luas juga ada masanya kiamat, tapi rindu dendam ini selamanya takkan berakhir”, demikian tiba-tiba Toan Ki bergumam sendiri menghela napas.

Rupanya dalam sekejap itu terbayang olehnya bahwa sebentar lagi Ong Giok-yan akan ikut pergi bersama Buyung Hok dan untuk seterusnya susah bertemu pula didunia seluas ini, sebaliknya ia sendiri akan terluntalunta di dunia kangouw dengan menanggung rasa duka dan akhirnya akan meninggal dengan rindu dendam.

Tiba-tiba Ong Giok-yan menegurnya, "Hm, engkau mengomel apa, Toan kongcu?”

Toan Ki kaget dan tersadar dari lamunannya, cepat ia menjawab, "O, tidak apa-apa, aku..aku sedang melamun”.

Dalam pada itu Putpeng Tojin telah berkata, "Oh-lotoa, terimalah ucapan selamat dariku. Buyung kongcu suka memberi bantuan padamu, ini berarti usaha kalian sudah pasti akan berhasil. Jangankan Buyung kongcu sendiri tiada bandingannya, bahkan bawahannya yang bernama Toan kongcu itu pun seorang kosen yang jarang terdapat di dunia persilatan”.

Mungkin karena dia lihat Toan Ki menggendong Ong Giok-yan dengan sikap yang sangat menghormat, maka disangkanya Toan Ki sama seperti Ting Pek-jwan dan lain-lain adalah punggawa Buyung Hok

Maka Buyung Hok cepat member keterangan, "Toan-heng ini adalah keturunan keluarga bangsawan ternama di Tayli, aku sendiri sangat menghormat padanya. Eh Toan-heng, marilah kuperkenalkan kepada kawan-kawan”.

Tapi saat itu Toan Ki sedang berdiri disamping Ong Giok-yan sambil kadang-kadang melirik dan mengendus bau harum anak dara itu, meski ia tidak berani secara memandang secara terang-terangan kemuka Ong Giokyan, tapi ia sudah puas memandangi tangan si nona yang putih bersih dan halus itu. Karena itu pada hakikatnya ia tidak mendengar panggilan Buyung Hok

Maka Buyung Hok berseru pula, "Toan-heng, silahkan kemari untuk berkenalan dengan sobat-sobat ini”.

Namun Toan Ki tetap tidak mendengar, yang kelihatan baginya pada saat itu melulu tangan Ong Giok-yan yang putih halus itu, lain tidak.

Maka Ong Giok-yan ikut berkata, "Toan kongcu, Piauko memanggil dirimu”.

Aneh juga, jika suara orang lain tak didengarnya, suara Ong Giok-yan itu seketika didengar oleh Toan Ki, cepat ia menjawab, "O, ya Ada apa dia panggil aku?”

"Piauko ingin memperkenaIkanmu kepada berapa sobat baru itu”, kata Ong Giok-yan.

Tapi Toan Ki benar-benar berat untuk meninggalkan nona itu, maka tanyanya, "Dan kau sendiri akan menemui

mereka tidak?”

Ong Giok-yan menjadi kikuk oleh pertanyaan itu, sahutnya. "Mereka ingin bertemu denganmu dan bukan diriku”.

"Jika engkau tidak ke sana, maka aku pun tidak” kata Toan Ki.

Putpeng ToJin adalah seorang tokoh terkemuka kaum petualang, biasanya sangat angkuh dan tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Ia hanya melihat langkah Toan Ki sangat aneh tapi juga tidak memandangnya sebagai seorang tokoh. Ia dengar tanya jawab Toan Ki dengan Ong Giok-yan itu, ia salah sangka pemuda itu tidak sudi berkenalan dengan dia, ia tidak tahu bahwa yang terpikir oleh Toan Ki pada saat itu hanya Ong Giok-yan seorang saja, segala urusan lain sudah tak digubris olehnya.

Meski dalam hati sangat mendongkol oleh sikap Toan Ki itu, namun Putpeng Tojin adalah seorang yang dapat menahan perasaan, maka lahirnya tetap tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa.

Melihat perhatian semua orang dialihkan kepada dirinya dan Toan Ki, mau tak mau Ong Giok-yan menjadi risi dan kuatir sang Piauko salah paham, maka cepat serunya, "Piauko, harap..harap pegang diriku”.

Tapi Buyung Hok tidak suka mengunjuk kasih mesra muda mudi di depan banyak orang, sahutnya, "Ting toako, harap kau bantu Piaumoi sebentar. Eh Toan-heng, silahkan maju kemari”.

"Toan kongcu, kata Ong Giok-yan, Piauko minta engkau ke sana hendaknya engkau suka menurut”.

Mendengar si nona minta dipayang oleh Buyung Hok dan bukan minta padanya, seketika hati Toan Ki terasa pedih, maka dengan limbung ia berjalan ketempat Buyung Hok.

"Toan-heng”, segera Buyung Hok berkata. "Biarlah kuperkenalkan engkau kepada beberapa orang kosen ini. yang ini adalah Putpeng Totiang dan itu Oh siansing, yang itu lagi adalah Song kongcu”.

"Ya, ya” sahut Toan Ki. Tapi yang terpikir olehnya adalah, "Sudah terang aku berada disampingnya, mengapa dia tidak suruh aku memayang dia, sebaliknya minta pada Piaukonya? Dari sini dapat diketahui bahwa tadi dia minta aku menggendongnya hanya terdorong oleh keadaan terpaksa saja, bila waktu itu Piaukonya dapat menggendong dia, tentu dia akan minta tolong pada sang Piauko dan tidak nanti memperbolehkan aku menyentuh badannya. Bahkan Ting Pek-jwan, Kongya kian dan lain-lain dalam mata si nona juga lebih akrab

daripada diriku, padahal mereka adalah punggawa Piaukonya. sebaliknya diriku? Aku tiada sangkut paut apaapa dengan dia, bukan sanak bukan kadang, hanya bertemu secara kebetulan, sudah tentu dia tidak menaruh perhatian pada diriku jika selama ini dia mengijinkan aku memandangnya, hal ini sudah terhitung rejekiku yang maha besar. Dan sekarang, ai, tidak nanti dia sudi memperbolehkan aku memegang dia”.

Melihat kelakuan Toan Ki yang linglung, sinar matanya buram, mukanya menghadap ke tempat lain, terhadap maksud Buyung Hok yang hendak memperkenalkan mereka dianggap seperti tidak tahu, air mukanya tampak muram durja dengan alis berkerut rapat, nyata pemuda itu tidak sudi berkenalan dengan mereka. Keruan Ohlotoa dan Putpeng Tojin merasa keki.

"Hahaha, selamat berkenalan, selamat berkenalan” demikian saking mendongkol Putpeng Tojin sengaja tertawa segera ia ulurkan tangan untuk menjabat tangan kanan Toan Ki.

Oh-lotoa paham juga maksud itu, cepat ia ulurkan tangan buat menjabat tangan kiri Toan Ki. Berbeda dengan Putpeng Tojin yang lebih sabar, begitu turun tangan segera Oh-lotoa mengerahkan tenaga untuk memecet sekuatnya, maksudnya ingin Toan Ki kesakitan dan tahu rasa. Cuma akhirnya ia pun pura-pura ramah sedikit pun tidak member tanda yang mencurigakan.

Siapa tahu, begitu tangan mereka memegang tangan Toan Ki, seketika Putpeng Tojin merasa hawa murni dalam tubuhnya menuang keluar. Keruan ia terkejut dan cepat hendak menarik kembali tangannya, tapi betapa hebat tenaga dalam Toan Ki sekarang sehingga telapak tangan Putpeng Tojin seperti melengket karena tersedot erat oleh Cu-hap-sin-kang yang lihai itu.

Sedangkan Oh-lotoa biasanya suka menggunakan racun maka begitu memegang tangan Toan Ki seketika ia menyalurkan kadar racun dari tangannya. Meski tiada maksudnya hendak membikin celaka nyawa Toan Ki, tapi ia ingin membikin pemuda itu sakit gatal serta akhirnya saking tak tahan tentu akan minta ampun, habis itu barulah ia akan member obat penawar racun.

Tak tahunya sejak Toan Ki makan katak merah Bong-koh-cu-hap, segala racun sudah tidak mempan lagi baginya, maka racun yang dikerahkan dari tangan Oh-lotoa itu pun tidak dapat mengganggu apa-apa terhadap Toan Ki, sebaliknya tenaga murni Oh-lotoa yang terus disedot dengan cepat. Keruan Oh-lotoa juga kelabakan dan berteriak-teriak "Hei, hei! Kau..kau gunakan Hoa-kang-tai-hoat”.

Sebaliknya Toan Ki masih melamun sendiri, dalam benaknya masih tidak habis menyesal dan gegetun. "Dia tidak sudi dipayang olehku, apa artinya hidupku ini? Lebih baik aku pulang ke Tayli saja dan untuk seterusnya tidak bertemu lagi dengan dia. Ai, lebih baik pergi ke Thian-liong-si saja, biarlah aku menjadi hwesio dan minta diterima sebagai murid Kho-eng Taisu, untuk selanjutnya aku takkan berkecimpung di dunia ramai lagi..”

Dalam pada itu Buyung Hok menyaksikan Putpeng Tojin dan Oh-lotoa sedang kelabakan, ia tidak tahu seluk beluk kepandaian Toan Ki maka disangkanya Toan Ki sengaja hendak menghajar Putpeng Tojin dan Oh-lotoa, cepat Buyung Hok tarik punggung Putpeng Tojin dan secepat kilat ia betot sambil mengerahkan tenaga murni sendiri untuk menolak daya sedot Cu-hap-sin-kang karena betotan itu mendadak dapatlah Putpeng Tojin ditarik lepas dari tangan Toan Ki, berbareng ia berseru, "Toan-heng, sabar dulu”

Karena betotan itu, Toan Ki sendiri juga kaget dan tersadar dari lamunannya, sudah beberapa kali ia punya Cuhap-sin-kang disangka orang sebagai "Hoa-kang-tai-hoat” dari Sing-siok-pai. Tapi sekarang ia dapat menggunakan cara yang diajarkan pamannya, yaitu Toan-cing-beng untuk menghimpun perhatian dan menarik kembali tenaganya. Karena itu segera daya sedotnya kepada Oh-lotoa juga lantas berhenti.

Saat itu Oh-lotoa sedang membetot-betot sekuatnya untuk melepaskan diri, ketika mendadak tangannya terlepas dari daya sedot lawan, saking kuatnya ia menarik, seketika ia sempoyongan dan hampir jatuh terjengkang. Keruan mukanya merah jengah, terkesiap dan gusar pula.

Pengetahuan dan pengalaman Putpeng Ttjin lebih luas, ia merasa daya sedot yang timbul dari tangan Toan Ki seperti berbeda dengan Hoa-kang-tai-hoat yang sangat ditakuti di dunia kangouw itu tapi sebenarnya sama atau tidak karena ia sendiri belum pernah merasakan bagaimana serangan Hoa-kang-tai-hoat, maka susah juga baginya untuk memastikannya.

Sebaliknya Oh-lotoa masih terus berteriak "Hoa-kang-tai-hoat…Hoa-kang-tai-hoat”

Namun dengan tersenyum Toan Ki berkata, "Huh! kepandaian Sing-siok Lokoai Ting jun-jiu itu teramat rendah dan keji, siapa yang sudi belajar ilmunya itu? Ai, kamu benar-bemar seperti katak dalam sumur., ai…ai.”

Sebenarnya Toan Ki lagi mengolok-olok Oh-lotoa, tapi mendadak teringat pula sikap Ong Giok-yan yang memandang asing kepadanya, maka kembali ia menghela napas gegetun beberapa kali.

Dalam pada itu Buyung Hok juga menjelaskan, "Toan-heng ini adalah keturunan keluarga ternama dari Tayli. It-yang-ci dan Lah-meh-sin-kiam keluarganya tiada bandingan di dunia ini, sudah tentu tidak dapat disamakan dengan kepandaian Sing-siok Lokoai itu”.

Bicara sampai disini, mendadak ia merasa tangan dan lengan sendiri kian lama tambah kaku dan bengkak nyata hal ini bukan lantaran getaran palu baja si pendek tadi tapi ada sebab lainnya. Diam-diam ia terkejut.

Waktu ia periksa tangan sendiri, ternyata punggung tangan sudah membiru, hidungnya mengendus bau amis busuk pula, maka tahulah dia seketika. "Ah, tanganku sudah terlalu lama berdekatan dengan Lik-po-hiang-lo-to

yang berbisa ini, sehingga hawa racun meresap ke kulit tanganku.

Segera ia lintang kembali golok rampasannya itu, dengan gagang golok kedepan dan ujung golok terpegang, katanya pada Oh-lotoa, "Oh siansing, terimalah kembali senjatamu ini dan maafkan kelancanganku tadi”.

Segera Oh-lotoa hendak menerima kembali goloknya, namun tangan Buyung Hok ternyata tidak melepaskan cekalannya, Oh-lotoa tercengang, tapi segera ia paham, katanya dengan tertawa, "Ya, golok ini memang sedikit aneh maafkan telah banyak membikin susah padamu”.

Lalu ia mengeluarkan sebuah botol kecil, ia menuang keluar sedikit obat bubuk dan diusapkan pada tangan Buyung Hok.

Seketika Buyung Hok merasa tangannya dingin segar, obat penawar Oh-lotoa ternyata cespleng, hanya sekejap saja sudah kelihatan khasiatnya. Maka dengan tersenyum puas Buyung Hok sodorkan golok rampasannya itu.

Sesudah terima kembali senjatanya, kemudian Oh-lotoa berkata kepada Toan Ki, "Toan-heng ini sebenarnya kawan atau lawan kita? Jika kawan, tentu kami anggap sebagai orang sendiri dan biar kuceritakan duduk perkara yang sebenarnya. Tapi kalau lawan, biarpun kepandaianmu maha tinggi, terpaksa kita harus bertempur mati-matian pula”. Tatkala bicara sikap Oh-lotoa sangat gagah dan angkuh sambil melirik Toan Ki.

Namun Toan Ki sedang edan kasmaran, sudah tentu ia tiada mempunyai sikap gagah ksatria sebagai Oh-lotoa. Bahkan dengan lesu ia berkata. "Aku sendiri sedang kesal sekali, darimana aku sempat menggubris urusan orang lain? Aku bukan kawanmu dan juga bukan lawanmu, urusan kalian aku tak dapat membantu, tapi aku pun pasti takkan mengganggu. Ai, aku memang seorang malang, sudah suratan nasib harus berduka terus. Tentang urusan tetek bengek di kalangan kangouw, masakan aku Toan Ki mau ikut campur?”

Melihat kelakuan Toan Ki yang angin-anginan dan mengigau sendiri itu, setiap berkata selalu melirik kearah Ong Giok-yan, maka dapatlah Putpeng Tojin menduga akan duduknya perkara, segera ia berseru kepada si nona, "Ong-kohnio, Piaukomu sudah berjanji akan ikut membantu dan akan berjuang bersama kami, kukira nona sendiri juga akan ikut serta dalam urusan kami ini, bukan?”

"Ya, jika Piauko sudah berjanji akan ikut bersama kalian, dengan sendirinya aku juga siap untuk mengikuti jejaknya di bawah pimpinan totiang”. sahut Ong Giok-yan. "Ah! nona terlalu merendah hati saja”, kata Putpeng Tojin dengan tersenyum.

Lalu ia berpaling dan berkata kepada Toan Ki, "Buyung kongcu sudah terang akan membantu kami begitu pula Nona Ong juga akan ikut serta bersama kami. sekarang tinggal Toan kongcu, jika kau pun sudi ikut dalam

pergerakan kami ini, sudah tentu kami merasa sangat berterima kasih. (Dewi KZ) Tapi kalau kongcu tiada maksud membantu bolehlah silahkan sesukamu untuk pergi saja.”

Habis berkata ia mengacungkan tangannya sebagai tanda menyilahkan tamunya pergi. Tiba-tiba Oh-lotoa menyela. "Tentang ini…ini”

Rupanya ia tidak setuju atas ucapan Putpeng Tojin itu, sebab kuatir dengan kepergian Toan Ki nanti rahasia mereka akan bocor.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa sekali Ong Giok-yan sudah menyatakan akan ikut serta tinggal disitu, biarpun Toan Ki sekarang diseret dengan lokomotif juga dia tak mau pergi, namun begitu Oh-lotoa tetap siapkan goloknya, asal Toan Ki melangkah pergi, segera ia akan merintanginya.

Toan Ki hanya mondar mandi saja sambil berkata. "Engkau menyilahkan aku pergi, tapi aku sendiri tidak tahu harus kemana? Bumi seluas ini bagiku hanya sebesar daun kelor, di manakah aku dapat bernaung? Ai, aku… aku..tiada tempat tujuan lagi.”

"Jika begitu, lebih baik Toan kongcu berada bersama kami saja, seru Putpeng Tojin dengan tersenyum. Bila terjadi apa-apa nanti boleh menonton saja disamping, tidak perlu kau bantu pihak mana pun”.

Selagi Oh-lotoa bersangsi Putpeng Tojin lantas mengedipi dia dan berkata, "Oh-lotoa, kerjamu sesungguhnya terlalu melilit, selama ini hanya kukenal nama para Tongcu dan tocu kalian, tapi belum kenal muka mereka. Mumpung sekarang berkumpul semua di sini, seharusnya kau perkenalkan mereka kepada Buyung kongcu dan Toan kongcu sekalian”.

"Ya, ya, memang seharusnya demikian”, sahut Oh-lotoa, lalu ia panggil satu persatu Tongcu atau Tocu untuk diperkenalkan.

Meski ke-72 tocu dan ke-36 Tongcu itu terkenal sebagai suatu komplotan, tapi mereka masing-masing mempunyai pangkalannya sendiri-sendiri dan satu sama lain terpencar jauh banyak diantara mereka pun tidak saling kenal muka dan baru malam ini mereka benar-benar kenal secara merata ke-108 tokoh petualang itu.

Diantara mereka ada empat orang telah terbunuh oleh Buyung Hok dalam pertarungan sengit tadi, maka anak buah keempat korban itu masih bersikap menantang dan dendam ketika dikenalkan kepada Buyung Hok

Dengan suara lantang Buyung Hok lantas berkata. "Maaf, terpaksa aku mesti mencelaka beberapa kawan

kalian dalam pertarungan tadi, sungguh aku pun merasa tidak enak. Tapi selanjutnya tentu aku akan berbuat sesuatu yang berfaedah bagi kalian untuk mengganti kesalahan ini. Tapi bila masih ada kawan yang benarbenar tidak dapat memaafkanku, biarlah sesudah kita bersama-sama menghadapi musuh besar nanti, kemudian boleh silahkan kalian datang ke kediamanku di Koh-soh untuk mencari penyelesaian denganku”.

"Cara demikian paling bagus”, kata Oh-lotoa. "Buyung kongcu memang seorang yang suka berterus terang. Padahal diantara kami ini satu sama lain juga ada yang bermusuhan, tapi tatkala menghadapi musuh bersama, terpaksa mesti dikesampingkan dulu permusuhan pribadi. Dengan ini aku ingin tanya, jika ada salah seorang kawan yang berpandangan cupat, tidak pikirkan musuh bersama tapi menggunakan kesempatan ini untuk membalas sakit hati seseorang, cara bagaimana harus ditindak terhadap orang demikian ini?”

"Orang begitu berarti penyakit bagi kita semua, maka kita harus membersihkannya dari lingkungan kita”, teriak orang banyak. "Ya, padahal jiwa kita tak terjamin bila tak mampu melawan Lothaipo (nenek reyot) dari Thiansan itu, masakah masih masalah memikirkan urusan pribadi? Untuk itu hendaknya Buyung koncu jangan kuatir, sarang yang terbalik takkan ada telur yang utuh, kami kira tiada seorang pun yang berpikiran sebodoh itu”.

"Jika, demikian, terima dulu salamku”, sahut Buyung Hok. "Dan entah bantuan apa yang dapat kuberikan, harap suka menerangkan.”

"Oh-lotoa”, kata Putpeng Tojin, "Kita sedang menghadapi urusan besar bersama, maka kita harus dapat saling membantu, tentang Thainsan Tonglo itu boleh kau ceritakan kepada orang banyak agar setiap orang tahu dimana letak kelihaian Lopocu itu supaya kita dapat waspada sebelumnya.”

"Baiklah”, kata Oh-lotoa,”Jika para saudara mendukungku untuk mengatur sementara pergerakan kita, meski kepandai nku terlalu dangkal dan tidak pantas memikul tanggung jawab ini, syukur kita dibantu Buyung kongcu, Putpeng Tojin Kiam-sin, Hu-yong siancu dan lain-lain sehingga bebanku menjadi lebih ringan”.

"Hai, hai! Pakai bicara secara pelungkar pelungker apa segala, bicaralah secara cekak-aos, tidak perlu berteletele”

"Benar, kita sudah biasa main senjata pada saat menghadapi urusan besar, buat apa bicara hal-hal kosong?” demikian beramai-ramai para Tongcu dan tocu berteriak.

"Baiklah, memang semangat para kawan harus dipuji”, kata Oh-lotoa, "Sekarang kuminta Kim-tocu dari Haima-to suka menjaga di sebelah tenggara sana, kalau tahu ada musuh mengintai harap segera member isyarat. Hong-tongcu darl Ci-giam-tong silahkan menjaga disebelah barat dan….”

Begitulah berturut-turut ia perintahkan delapan tokoh pilihan untuk menjaga delapan penjuru dan semuanya menerima dengan baik tugas itu.

Diam-diam Buyung Hok membatin, "Para Tongcu dan tocu ini tampaknya sangat liar dan ganas, tapi hari ini mau tunduk dibawah perintah Oh-lotoa dengan rasa was-was dan prihatin, maka dapat diduga urusan yang akan mereka hadapi ini sangat penting dan lawan mereka juga benar-benar jangat menakutkan mereka, tapi urusan mungkin sangat sukar dihadapi”.

Sesudah mengatur penjagaan seperlunya, kemudian Oh-lotoa berkata pula, "Sekarang silahkan saudara-saudara duduk ditanah, biar kuceritakan kesengsaraan kami selama ini.”

"Kalian adalah orang-orang yang sudah biasa membunuhi membakar, menggarong, meracun, segala kejahatan bagi kalian adalah pekerjaan sehari-hari, mengapa kalian juga kenal arti kata sengsara? kukira ini agak janggal, ya sungguh janggal” tiba-tiba Put-tong menyela.

Buyung Hok kenal watak Pau Put-tong, sekali orang terlibat debat dengan dia, maka biarpun tiga hari tiga malam juga takkan habis-habisan, maka katanya, "Pausamko, hendaknya dengarkan uraian Oh-lotoa, jangan memotong ceritanya.”

Pau Put-tong masih menggerundel, tapi tidak berani membangkang perintah Buyung Hok maka terpaksa tidak berani bicara lagi.

Oh-lotoa tampak tersenyum getir, katanya. "Teguran Pau-heng barusan memang beralasan juga. sebagai pemimpin dari suatu wilayah kekuasaan masing-masing, biasanya kami tidak kenal apa artinya takut. Biarpun kepandaian orang she Oh terlalu rendahi tapi watakku kepala batu, selama hidup hanya orang lain yang takut padaku dan tidak nanti aku takut pada orang lain, siapa tahu…ai..”

Oh-lotoa menghela napas, sekonyong-konyong seorang disebelah sana juga menghela napas panjang dengan rasa duka yang mengharukan. Waktu semua orang memandang kearah suara itu, kiranya Toan Ki adanya, sambil menyilangkan tangan dipunggung belakang, pemuda itu sedang menengadah memandang rembulan sembari bergumam sendiri, "Sinar bulan purnama, si cantik menggetarkan sukma hatiku tak habis duka, dimanakah terdapat pelipur lara!”ia bersajak menuruti perasaan rindunya pada waktu itu, tapi yang berada disitu adalah orang-orang kasar yang tidak tahu tulis sudah tentu jarang ada yang paham perasaan Toan Ki itu. Sebaliknya semuanya melotot padanya dengan mendongkol karena dia telah mengacau cerita Oh-lotoa.

Sudah tentu yang paling paham sajak Toan Ki itu adalah Ong Giok-yan. Ia kuatir sang Piauko marah ia coba

melirik kearah Buyung Hok dilihatnya sang Piauko sedang mencurahkan perhatiannya kepada cerita Oh-lotoa tadi dan sama sekali tidak mempedulikan apa yang diucapkan Toan Ki, maka diam-diam legalah hati Ong Giok-yan,

Sementara itu Oh-lotoa telah meneruskan uraiannya. "Buyung kongcu, Putpeng Tojin dan lain-lain sekarang sudah bukan orang luar lagi, maka akupun tidak malu-malu lagi untuk bercerita terus terang. Kami tiga puluh enam Tongcu dan Tujuh pulh dua Tocu selama ini tampaknya hidup bebas merdeka ditempatnya sendirisendiri, tapi sebenarnya kami terkekang dibawah keganasan Thian-san Tong-lo atau dapat juga dikatakan hidup kami telah diperbudak olehnya, setiap tahun dia tentu mengirim orang untuk mendamprat kami habis-habisan. Tapi jangan kalian kira kami merasa mendongkol karena didamprat, sebaliknya kami justru merasa senang, semakin kami dimaki, semakin senang kami.

"Hahaha, sungguh aneh, di dunia ini masakah ada manusia serendah itu, dimaki orang malah merasa senang?” seru Pau Put-tong geli. ”Ya, sebab kalau kami cuma dicaci maki oleh utusan Tong-lo itu, maka itu berarti telah bebas dari malapetaka dalam tahun itu dan untuk ini para kawan akan berpesta pora untuk menyatakan syukur kehadirat Tuhan. Ai, menjadi manusia sampai sedemikian rupa, sesungguhnya kami memang terlalu rendah, sebaliknya kalau kami tidak dicaci maki oleh utusan Tong-lo itu, bila kakek moyang delapan belas turunan kami tidak dimaki maka penghidupan kami selanjutnya tentu akan susah. Maklum, kalau kami tidak dicaci maki, maka tentu kami akan dihajar olehnya, bila nasib mujur paling-paling kami hanya dihajar 30 kali pentungan, jika kaki kami tidak patah dihajar, tentu kami akan berpesta pora juga untuk merayakan keselamatan kami”.

Pau Put-tong dan Hong Po ok saling pandang dengan geli. Sungguh kejadian yang aneh bin ajaib, masakah sudah dicaci maki dan dihajar setengah mati orang masih harus berpesta pora pula untuk merayakannya.. tapi jika melihat ucapan Oh-lotoa yang tegas dan suara caci maki orang banyak dengan penuh rasa dendam, rasanya apa yang diceritakan itu bukan omong kosong.

Dalam pada itu, yang sedang dipikir Toan Ki sebenarnya cuma Ong Giok-yan seorang, ketika ia lihat nona itu juga asyik mendengarkan uraian Oh-lotoa, mau tak mau ia pun mendengarkan uraian Oh-lotoa itu, kontan saja Toan Ki berteriak-teriak. "Mustahil, mustahil Masakah di dunia ini bisa terjadi hal demikian itu? Thian-san Tong-lo itu manusia atau dewa? Siluman atau setan? Mengapa begitu sewenang-wenang, sungguh keterlaluan”.

"Ucapan Toan kongcu memang tepat”, sahut Oh-lotoa, "Kami benar-benar tersiksa, kami dianggap lebih rendah daripada binatang oleh nenek keparat itu. Nah, coba Suma-tocu, silahkan perlihatkan bekas luka penderitaanmu kepada para sobat”.

Segera seorang tua yang kurus kering membuka bajunya sehingga kelihatan pada punggungnya banyak jalurjalur malang melintang bekas luka cambukan yang keras, dari bekas luka ini orang dapat membayangkan betapa hebat penderitaan orang tua itu ketika dihajar.

"Itu belum apa-apa, lihatlah paku di punggungku ini”, tiba-tiba seorang laki-laki hitam berseru, segera ia pun membuka bajunya, maka tertampaklah sebatang paku besar masih menancap di punggungnya, mungkin sudah cukup lama sehingga pangkal paku itu kelihatan sudah berkarat, entah sebab apa laki-laki hitam itu tidak berusaha untuk mencabut paku itu.

Habis itu, kembali ada dua tiga orang memperlihatkan bekas luka mereka yang dihajar utusan Thian-san Tonglo, semuanya sangat parah dan caranya juga sangat aneh serta menyiksa.

Melihat itu seketika Toan Ki berteriak-teriak lagi. "Wah, wah Masakah di dunia ini ada manusia begitu kejam. Hai, Oh-lotoa, aku Toan Ki bertekad akan membantumu, marilah kita bersama-sama membasmi penyakit bagi dunia persilatan itu”.

"Terima kasih”, sahut Oh-lotoa. Lalu ia berpaling kepada Buyung Hok. "Diantara kawan-kawan yang hadir disini sekarang boleh dikata tiada satu pun yang luput dari siksaan nenek jahanam itu. Karena takut kepada keganasannya itu maka kami hanya telan mentah-mentah semua siksaan, syukur, setelah mengganas selama ini akhirnya tiba juga saat naasnya.”

"Kalian disiksa, tapi tidak berani melawan, apakah karena kepandaian nenek itu teramat hebat?” Tanya Buyung Hok.

"Ya, kepandaian nenek bangsat itu memang sangat lihai, sampai dimana kelihaiannya sukar diukur”, sahut Ohlotoa.

"Kau bilang nenek itu juga menemui saat yang naas, coba ceritakan lagi”, pinta Buyung Hok.

Tiba-tiba Oh-lotoa jadi bersemangat, serunya, "Ya, justru karena itulah maka kami beramai-ramai berkumpul disini. Bulan tiga tahun ini, aku dan Ho-tongcu bersembilan orang mendapat giliran wajib mengantar upeti. Kami banyak mengumpulkan mutiara, mestika, kain halus dan sutera, bahan makanan yang mahal serta bedak dan gincu, kami mengantar ke Biau-biau-hong di Thian-san.”

"Ha ha, apakah Lothaipo itu berwujud siluman tua? Katanya sudah nenek-nenek, mengapa pakai bedak dan gincu segala?” seru Pau put-tong dengan tertawa.

"Ya, usia nenek bangsat itu sudah tua, tapi tidak sedikit budak dan dayangnya yang masih muda belia dan sudah tentu memerlukan bedak dan gincu”, tutur Oh-lotoa. "Cuma di puncak gunung itu tiada seorang lelaki pun, mereka bersolek entah diperlihatkan kepada siapa?”

"Diperlihatkan kepadamu, barangkali?” ujar Pau put-tong dengan tertawa.

"Pau-heng jangan bergurau,” sahut Oh-lotoa dengan sungguh-sungguh. Lalu ia melanjutkan ceritanya, "Untuk naik ke atas puncak gunung itu mata kami telah ditutup dengan kain hitam, hanya terdengar suaranya dan tidak dapat terlihat orangnya.Jadi penghuni Biau-biau-hong itu sebenarnya cantik-cantik atau sejelek siluman sudah tua atau masih muda, sama sekali kami tidak tahu”

"Jika begitu, jadi bagaimana macam Thian-san Tong-lo itu selama ini kalian juga tidak pernah melihatnya?” Tanya Buyung Hok

"Melihatnya sih sudah pernah”, sahut Oh-lotoa, "tapi itupun berarti maut bagi kawan yang melihatnya. Hal ini terjadi kira-kira belasan tahun yang lalu, ketika seorang kawan dengan nekat membuka kain hitam penutup mata, namun sebelum ia tutup kembali kain hitam itu, perbuatannya sudah diketahui oleh nenek bangsat itu, segera kedua mata kawan itu dicungkil, lidahnya diiris, kedua tangannya dipotong pula.”

"Benar-benar kejam. Mengapa mesti memotong lidah dan kedua tangannya?” ujar Buyung Hok.

"Mungkin agar kawan itu tidak dapat menceritakan tentang rupa nenek bangsat itu kepada orang lain,” kata Oh-lotoa. "Lidahnya dipotong kan tidak bisa bicara lagi dan tangan juga dipotong supaya tidak dapat menulis. Keparat, benar-benar lihai”, seru Pau put-tong sambil melelet lidah.

"Dan apa yang kalian dengar ketika bulan tiga tahun ini kalian datang ke Biau-biau-hong sana? "Tanya Buyung Hok

"Ketika kami bersembilan balik ke Biau-biau-hong, sungguh kami ketakutan setengah mati,” tutur Oh-lotoa. "Soalnya upeti yang kami bawa itu sebenarnya kurang komplit sebagaimana ditentukan nenek bangsat itu, terutama benda-benda aneh seperti telur kura-kura laut berumur tiga ratus tahun, tanduk menjangan yang panjangnya dua meter, sudah tentu sukar untuk dicari, untuk ini kami menjadi kebat-kebit dan menduga pasti akan mendapat hukuman keji. Diluar dugaan, sesudah terima upeti kami, nenek bangsat itu menyuruh dayangnya memberitahukan kepada kami bahwa barang-barang telah diterima dengan baik dan kami disuruh lekas enyah dari situ. Keruan kami seperti putus lotere 120 juta, cepat saja kami tinggalkan puncak gunung itu. setiba dikaki gunung, setelah membuka kain hitam penutup mata, tiba-tiba terlihat dibawah gunung situ terbinasa tiga orang, seorang diantaranya dikenal oleh Ho-tongcu sebagai Kiu-ek Tojin, seorang tokoh terkemuka dari negeri Se-he”.

"O, kiranya Kiu-ek Tojin dibinasakan oleh nenek keparat itu, tapi orang kangouw justru mendesas desuskan, katanya dibunuh oleh Koh-soh Buyung,” ujar Put peng Tojin.

"Kentut, kentut busuk” sela Pau Put-tong tiba-tiba. "Peduli Kiu-ek ToJin (imam sebilan sayap) atau Pat-bwe Hwesio (padri delapan buntut), yang terang kami tidak pernah kenal manusia-manusia seperti itu, tapi kematian mereka dicatat lagi atas rekening kami”.

Meski kentut-kentut yang diucapkan Pau put-tong itu tidak ditujukan kepada Put peng Tojin, tapi bagi pendengaran orang lain tentu agak menusuk telinga.

Namun Putpeng Tojin juga tidak marah, katanya dengan tersenyum, "Ya, maklumlah nama Koh-soh Buyung terlalu masyur sehingga menimbulkan prasangka jelek orang”.

"Kent…” belum lagi kata ‘tut’ terucapkan, tiba-tiba Pau put-tong melirik kearah Buyung Hok sehingga ucapannya terhenti.

"Kenapa Pau-heng telan kembali kedalam perut sendiri”, ujar Putpeng Tojin.

Pau put-tong menjadi gusar setelah paham maksud perkataan imam itu, bentaknya. "Keparat, aku kau maki telan kentut sendiri?”

"Mana berani” sahut Putpeng Tojin, "Pau-heng suka makan apa, boleh terserah”.

Selagi Pau put-tong hendak mendebatnya lagi, tiba-tiba Buyung Hok berkata, "Sudahlah samko tidak perlu berdebat lagi. Kabarnya Kiu-ek Tojin memiliki ginkang yang sangat tinggi, Lui-kong-tang adalah senjata andalannya, selama tiga puluh tahun ini jarang ketemu tandingannya. Jangankan diriku memang tidak pernah bermusuhan dengan dia, andaikata bermusuhan juga belum tentu aku dapat menandingi imam yang tersohor dengan palu geledeknya itu”.

"Ah, Buyung kongcu terlalu merendahkan diri sendiri saja”, ujar Putpeng Tojin dengan tersenyum. "Biarpun Kiu-ek Tojin terkenal dengan Lui-kong-tang (senjata palu dan tatah), tapi kalau Buyung kongcu mau mengembalikannya dengan serangan Lui-kong-tang pula, pasti juga dia akan terima ajalnya”.

"Tapi luka ditubuh Kiu-ek Tojin itu ada dua tempat bekas tusukan pedang”, kata Oh-lotoa. "Jadi berita tentang pembunuhnya adalah Koh-soh Buyung sebenarnya bohong belaka. Hal ini telah kusaksikan dengan mata kepala sendiri tidak nanti salah. sebab kalau dia dibunuh Buyung kongcu, tentu senjata yang mencabut nyawa Kiu-ek Tojin itu adalah Lui-kong-tangnya sendiri”

"Kau bilang ada dua bekas tusukan pedang?” Putpeng Tojin menegas. "Kalau betul ini memang aneh”

"Putpeng Tojin memang hebat, sekali dengar saja segera tahu ada sesuatu yang ganjil”, seru Oh-lotoa sambil tepuk pahanya sendiri, "Kiu-ek Tojin mati dibawah Biau-biau-hong dengan dua tempat luka pedang, ini benarbenar tidak beres”.

Diam-diam Buyung Hok membatin, Dimanakah letak tidak beres? Putpeng Tojin ini tahu ada sesuatu yang ganjil, tapi aku tidak dapat memikirkannya.

"Rupanya Oh-lotoa sengaja hendak menguji Buyung Hok” katanya. "Buyung kongcu, bukankah kematian Kiuek Tojin itu sangat ganjil?”

Selagi Buyung Hok hendak menjawab terus terang bahwa dia tidak paham letak keganjilannya, tiba-tiba Ong Giok-yan menimbrung.” Luka Kiu-ek Tojin itu yang satu terletak di tengah-tengah antara Hong-ji-hiat dan Hok-tho-hiat, yang lain di Koai-ki-hiat diatas pundak sehingga tulang patah, betul tidak?”

Oh-lotoa terkejut, serunya, "Hei, apakah waktu itu nona juga berada di sana? Mengapa kami-kami tidak melihat nona?”

Dari suaranya yang terputus-putus ini, nyata ia menjadi ketakutan, ia kuatir jika sampai setiap tindak tanduknya juga diketahui oleh nona itu sehingga tersiar, maka tidak mustahil sebelum gerakan rahasia mereka ini dimulai sudah diketahui lebih dulu oleh Thian-san Tong-lo.

Tiba-tiba suara seseorang lain berkumandang di tengah orang banyak. "Ya dari..dari ..mana kau..kau tahu ken..kenapa aku ti..tidak me.. melihat ?

Rupanya pembicara ini mempunyai penyakit gagap, dalam keadaan gugup, bicaranya menjadi makin tak keruan. Orang gagap ini adalah salah satu diantara kesembilan jago yang ikut Oh-lotoa mengirim upeti ke Biau-biau-hong itu, biarpun orang ini mempunyai penyakit gagap, tapi ilmu silatnya sangat hebat, sebab itu tiada seorang pun yang berani mentertawai cara bicaranya itu.

Maka dengan acuh tak acuh Ong Giok-yan menjawab. "Musim semi tahun ini aku berada di daerah Kanglam, selama hidupku ini tidak pernah ke Thian-san segala”.

Oh-lotoa tambah takut jika nona itu tidak menyaksikan sendiri kematian Kiu-ek Tojin, tapi hanya mendengar

dari cerita orang lain saja, inikan menandakan kejadian itu sudah tersebar di kalangan kangouw? Maka cepat ia tanya, "Habis nona mendengar dari siapa?”

"Aku hanya menerka saja”, sahut Ong Giok-yan, "sebab Kiu-ek Tojin adalah tokoh terkenal dari Lui-tian-bun, tatkala bertempur tentu dia menggunakan ginkang, tangan kiri memegang tameng dan tentu bagian dada dan punggung sebelah kiri terjaga rapat, satu-satunya kelemahan yang dapat diincar musuh hanya sebelah kanan, dan lawannya yang menggunakan pedang jika ingin merobohkan dia harus mengincar Hong ji hiat dan Hai tho hiat di paha kanan. Dan kalau Kiu-ek Tojin menangkis dengan tameng dan hendak balas menyerang dengan Lui-kong-tang dengan sendirinya lawan akan menyerang punggungnya. Sebenarnya musuh tidak gampang menyerang Kiu-ekTojin dengan pedang, paling baik kalau menggunakan Boan koanpit dan sebangsa alat piranti tiam hiat, jika memakai pedang, kukira kalau tidak menggunakan jurus Pek hong-koanjit (pelangi putih melingkungi matahari) tentu pakai jurus Pek-te cam-coan(raja putih memotong ular)”.

Baru sekarang Oh-lotoa merasa lega oleh penjelasan Ong Giok-yan itu, selang sejenak barulah ia mengacungkan jempolnya dan memuji. "Hebat, sungguh kagum orang dari keluarga Koh-soh Buyung memang tiada yang lemah. Analisa nona barusan benar-benar seperti menyaksikan sendiri kejadian itu”.

"Nona ini she Ong, dia bukan..bukan…”, demikian Toan Ki ikut berseru.

Namun ong Giok-yan lantas memotong. "Nenekku she Buyung, aku dianggap orang dari keluarga Buyung juga boleh”.

Seketika pandangan Toan Ki serasa gelap, telinganya mendengung oleh ucapan si nona yang menyatakan aku dianggap orang dari keluarga Buyung juga boleh.

Dalam pada itu Tocu yang berpenyakitan gagap tadi telah berkata juga, "O..ki. kiranya be.. begitu”.

Tapi Oh-lotoa itu sangat hati-hati dalam segala hal, ia coba menegas lagi. "Nona Ong, apa yang kau uraikan barusan apa benar berdasarkan analisa menurut teori ilmu silat dan bukan menyaksikan sendiri kejadian itu?”.

Ong Giok-yan hanya manggut-manggut dan tidak menjawab.

Tiba-tiba si gagap berseru pula, "Umpamanya bila engkau ha..harus mem..membunuh oh..Oh-lotoa, co-coba bagaimana..bagaimana caranya ?”

"Apa maksud tujuanmu dengan pertanyaan ini?” bentak Oh-lotoa dengan gusar.

Tapi segera timbul pula keragu-raguannya, usia nona ini sangat muda, masakah dia dapat menganalisa kematian Kiu-ek Tojin dengan sangat jitu. Hal ini sungguh sukar dipercaya, besar kemungkinan waktu itu dia sembunyi di bawah puncak Biau-biau-hong dan menyaksikan peristiwa itu urusan ini sangat penting, betapapun harus ditanya dengan lebih jelas.

Maka akhirnya dia pun bertanya, "Ya, coba jika nona hendak membunuh aku bagaimana caranya ?”.

Ong Giok-yan hanya tersenyum saja dan tidak menjawab, tiba-tiba ia membisiki Buyung Hok. "Piauko, kelemahan orang ini terletak di Thian cong hiat di belakang bahunya dan Ceng ling hiat dibalik sikunya, asal kedua tempat ini diserang, tentu dapat kau robohkan dia”.

Dalam hal pengetahuan ilmu silat memang Ong Giok-yan jauh lebih luas daripada Buyung Hok, dahulu tatkala iseng Buyung Hok memang sering minta petunjuk padanya, tapi sekarang dihadapan jago silat sebanyak ini masakah dia sudi diberi petunjuk oleh seorang nona cilik. Maka ia hanya mendengus saja dan tidak mau menurut, serunya "Jika kamu ditanya Oh-tongcu, maka boleh kau jawab terang-terangan saja”.

Ong Giok-yan menjadi merah jengah, diluar dugaannya bahwa maksud baiknya telah menimbulkan reaksi kasar dari sang Piauko, segera katanya, "Piauko, ilmu silat di dunia ini tiada satu pun yang tak dikenal oleh Koh-soh Buyung, boleh kau katakan saja kepada Oh-lotoa”.

Tapi Buyung Hok cukup angkuh dan tinggi hati, ia tidak mau pura-pura, juga tidak mau mendapat petunjuk seorang nona, maka sahutnya, "Ilmu silat Oh-tongcu sangat tinggi, masakah begitu mudah untuk merobohkan dia? sudahlah, Oh-tongcu, tak perlu kita mengurus persoalan di luar pokok pembicaraan, silahkan teruskan ceritamu tentang kejadian di Biau-biau-hong itu”.

Namun Oh-lotoa justru ingin tahu dengan jelas apakah ada orang lain lagi yang menyaksikan kejadian masa dahulu itu, maka katanya pula. "Nona Ong, jika engkau tidak tahu cara untuk membunuh orang she oh, dengan sendirinya kau pun belum pasti tahu jurus ilmu pedang apa yang menewaskan Kiu-ek Tojin itu. Apa yang kau katakan tadi terang hanya untuk menggoda aku saja. Maka tentang darimana nona mendapat tahu kematian Kiu-ek Tojin itu tidak boleh dibuat main-main, tapi hendaklah terus terang saja”.

Waktu Ong Giok-yan membisiki Buyung Hok tadi, dengan penuh perhatian Toan Ki terus mengikuti apa yang dilakukan nona itu terhadap sang piauko, dengan Iwekangnya yang tinggi, apa yang dibisiki Ong Giok-yan kepada Buyung Hok dapat didengarnya dengan jelas. Kini mendengar ada ucapan Oh-lotoa itu pada hakikatnya hendak menuduh Ong Giok-yan berdusta, nona yang dipujanya bagaikan dewi kahyangan itu mana boleh dicerca orang sesukanya.

Maka tanpa berkata lagi, terus saja Toan Ki melakukan langkah ajaib Leng-po-wi-poh, ia menggeser ke kanan dan menyelinap ke kiri dan tahu-tahu sudah sampai dibelakang Oh-lotoa.

Oh-lotoa kaget, bentaknya. "Kau mau apa?”

Tapi secepat kilat Toan Ki sudah dapat memegang Thian-cong-hiat dibelakang bahu kanannya sedang tangan lain mencengkeram pula Ceng-ing-hiat dibalik siku kiri Oh-lotoa, yaitu kedua hiat-to yang merupakan tempat lemah dibadan Oh-lotoa.

Gaya serangan Toan Ki itu sebenarnya sama sekali tidak menurut teori dan sangat kaku sehingga lebih mirip tingkah laku seorang copet yang kuatir konangan. Tapi karena langkahnya yang ajaib itu sehingga tahu-tahu Oh-lotoa didekati olehnya, pula letak kelemahan Oh-lotoa itu memang sangat tepat diketahui oleh Ong Giokyan, kedua hiat-to yang dikatakan itu memang benar ialah bagian yang merupakan ciri kelemahannya, ia tahutahu sekarang kena dicengkeram musuh dan Oh-lotoa tidak berani balas menyerang, dikuatirkan mendadak Toan Ki mengerahkan tenaganya dan seketika dia bisa celaka.

Ia tidak tahu meski Toan Ki memiliki Iwekang yang maha hebat, tapi tidak dapat dikerahkan dengan sesuka hati sehingga biarpun kedua tempat kelemahannya dicengkeram, namun sebenarnya pemuda itu sama sekali tidak dapat merobohkan dia.

Cuma dia tadi sudah merasakan kelihaian Toan Ki dengan Cu-hap-sin-kang yang membuatnya ketakutan itu, dengan sendirinya sekarang ia tidak berani melawan. Terpaksa ia berkata dengan tersenyum ewa, "Ilmu silat Toan kongcu memang benar-benar sakti, aku takluk sungguh-sungguh”.

"Aku tidak bisa ilmu silat, semuanya berkat petunjuk Nona Ong”, sahut Toan Ki. Lalu ia melepaskan cengkeramannya dan melangkah kembali ke tempatnya semula dengan perlahan-lahan.

Oh-lotoa menjadi heran dan takut, setelah termangu-mangu sekian lamanya, baru ia berkata lagi, "Hari ini aku baru tahu bahwa dunia seluas ini masih banyak orang kosen”.

"Oh-lotoa, kamu mempunyai kawan kosen sebanyak ini yang siap membantumu, sungguh kamu harus merasa gembira dan bahagia”, seru Putpeng Tojin.

"Benar”, sahut Oh-lotoa. "Seperti juga rasa heran Putpeng Tojin tadi, ketika aku melihat kedua luka Kiu-ek Tojin itu, kontan saja aku ragu-ragu, sebab selama ini cukup satu gebrakan saja orang dari Leng-ciu-kiong (istana elang sakti) di Biau-biau-hong sudah dapat membinasakan lawannya, mengapa sekarang harus berturut-

turut melukainya dua kali?”

Diam-diam Buyung Hok terkejut, pikirnya. "Dengan kepandaian Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin keluarga Buyung kami selama ini sudah mengguncang Bu lim tapi orang-orang dari Leng-ciu-kiong di Biau-biau-hong itu hanya satu kali gebrak saja sudah cukup untuk membinasakan lawannya, sungguh aku tidak percaya di dunia ini ada ilmu silat selihai itu?”

Walaupun sangsi dalam hati, tapi Buyung Hok adalah seorang yang dapat menahan perasaannya, maka lahirnya ia berlaku tenang-tenang saja.

"Oh-tongcu”, tiba-tiba Pau cut tong menimbrung, "Kau bilang orang-orang Leng-ciu-kiong itu tidak perlu dua kali gebrak untuk membinasakan seorang lawan, hal ini memang tidak sulit terhadap golongan tidak becus, tapi kalau ketemu jago pilihan, apakah juga dalam sejurus dapat membunuh orang? Ha..ha. benar-benar terlalu dilebih-lebihkan, terlalu berlebihan.”

"Jika Pau-heng tidak percaya, habis apa yang dapat kukatakan lagi”, sahut Oh-lotoa. "Namun silahkan pikirlah, jelek-jelek kami 36 Tongcu dan 72 Tocu juga bukan manusia yang dapat ditundukkan oleh siapa pun juga, tapi terhadap nenek bangsat itu tiada seorang pun diantara kami yang berani membantah perintahnya, bahkan selama berpuluh tahun ini sedikit pun tidak timbul maksud untuk melawannya. Coba, kalau dia tidak mempunyai kepandaian yang luar biasa, apakah kami mau tunduk padanya dengan begini saja?”

"Ya, hal ini memang agak aneh, belum tentu kalian rela diperbudak oleh dia”, kata Pau put-tong sambil mengangguk. Tapi dasar wataknya memang tidak gampang menyetujui pendapat orang lain, maka biarpun merasa ucapan Oh-lotoa itu cukup beralasan toh masih ditambahkannya pula. "Tapi meski kau bilang tidak berani timbul maksud untuk melawan, sekarang bukankah hal itu sudah terjadi dan kalian bermaksud memberontak kepadanya?”

"Dalam urusan ini sudah tentu ada alasannya”, sahut Oh-lotoa. "Tatkala kulihat kematian Kiu-ek Tojin itu adalah akibat dua tempat luka, aku menjadi curiga. Waktu kuperiksa kedua korban lainnya kematian mereka pun serupa, yaitu tidak terbunuh dalam sekali serang, hal ini menandakan sebelumnya telah terjadi pertarungan sengit. Aku lantas berunding dengan para Tongcu, meski merasa peristiwa itu mencurigakan, apa barangkali kematian Kiu-ek Tjin itu bukan terbunuh oleh orang Leng-ciu-kiong? Tapi kalau bukan terbunuh oleh orang Leng-ciu-kiong, habis siapa kah yang begitu berani main gila disekitar puncak gunung yang merupakan wilayah pengaruh Leng-ciu-kiong itu? Begitulah, dengan penuh curiga kami melanjutkan perjalanan. Tiada seberapa jauh, mendadak Ang-tongcu berkata ‘Jang….jangan-jangan.. Lo..Lo-huj in (nyonya tua) – Lohujin..sa...sa…’”

Mendengar cara Oh-lotoa menirukan dengan tergagap-gagap, maka tahulah Buyung Hok orang yang dimaksud sebagai Ang-tongcu tentu adalah orang yang punya penyakit gagap tadi.

Maka terdengar Oh-lotoa menyambung pula. "Tatkala itu belum seberapa jauh kami meninggalkan Leng-ciukiong, padahal berada dimana pun juga kalau menyebut nenek bangsat itu tiada seorang diantara kami yang berani kurang ajar padanya dan selalu menyebutnya sebagai Lohujin. Ketika kami mendengar Ang-tongcu mengatakan, jang..jangan jangan Lo..Lohujin sa..sa maka segera kami menyambungnya, sakit? Maksudmu?”

"Ya, sebenarnya sudah berapa tua Thian-san Tong-lo itu?” Tanya Putpeng Tojin.

"Itulah tiada seorang pun yang tahu”, sahut Oh-lotoa. "Yang terang di antara kami yang diperbudak olehnya, yang paling lama sedikitnya empat lima puluh tahun lamanya, pendek kata tiada seorang pun yang pernah melihat tampangnya dan tiada seorang pun yang berani tanya umurnya. Maka ketika Ang-tongcu mengemukakan pikirannya, seketika kami pun teringat bahwa Manusia pada akhirnya pasti akan mati, betapapun tinggi ilmu silatnya nenek bangsat itu masakah dia dapat hidup untuk selamanya dan takkan mampus? sekali ini dia sama sekali tidak memberi hukuman pada kami meski barang upeti kami itu tidak lengkap, hal ini sudah luar biasa, apalagi Kiu-ek Tojin mati di kaki gunung dengan luka yang tidak cuma satu tempat saja, hal ini lebih-lebih mencurigakan lagi.”

"Pendek kata, kami semuanya menganggap dibalik semua kejadian itu tentu ada sesuatu yang tidak beres. Tapi kamu hanya saling pandang satu sama lain, ada yang senang, ada yang kuatir, ada yang sedih, namun tiada seorang pun yang berani mengemukakan pendapat lagi. Kami cukup tahu waktu itu adalah kesempatan satusatunya untuk melepaskan belenggu dari nenek bangsat itu dan untuk menjadi manusia baru. Tapi selama itu kami telah kenyang disiksa dan dikekang d iba wah kekuasaan nenek keparat itu sehingga tiada seorang pun yang berani menyerempet bahaya untuk datang kembali ke Leng-ciu-kiong buat menyelidiki keadaan yang sebenarnya.”

"Sesudah agak lama, akhirnya Gim-tongcu berkata. Dugaan Ang jiko tadi memang cukup beralasan, cuma urusan ini juga sangat berbahaya. Menurut pendapatku, ada lebih baik kita pulang ke tempat masing-masing saja untuk menantikan berita lebih lanjut, bila sudah mendapat kabar yang memastikanya belum terlambat untuk kita bertindak lagi.”

"Usul Gim-tongcu ini memang jauh lebih aman dan lebih baik, namun kami benar-benar tidak dapat bersabar lagi, sebagian besar diantara kami bersembilan orang itu ingin lekas mendapatkan keadaan yang pasti, maka Ang-tongcu berkata, itu Sing-si-hu..Sing-si-hu…”

"Tidak perlu dia meneruskan ucapannya juga kami paham maksudnya. Maklum, nenek bangsat itu telah memegang Sing-si-hu (jimat mati hidup) kami sehingga siapa pun tiada yang berani melawannya dan bila dia jatuh sakit dan akhirnya mampus sehingga Sing-si-hu itu jatuh lagi ketangan orang kedua, maka terang kami akan menjadi budak pula bagi pengganti nenek bangsat itu dan selama hidup kami tiada kesempatan lagi buat hidup sebagai manusia yang layak.”

"Apalagi kalau orang kedua itu lebih jahat dan kejam daripada nenek bangsat itu, maka derita sengsara untuk selanjutnya pasti akan lebih celaka. Dalam keadaan berbuat atau tidaki terpaksa kami harus bertindak dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya walaupun tahu hal ini berarti kami harus menyerempet bahaya. Dan diantara kami bersembilan itu kalau bicara tentang ilmu silat dan kecerdikan, maka Ang-tongcu boleh kata tiada bandingannya, lebih-lebih ginkangnya, boleh dikatakan jempolan. Tatkala itu keadaan menjadi sunyi, pandangan semua orang terpusat kearah muka Ang-tongcu.”

Sampai disini, tanpa terasa Buyung Hok Ong Giok-yan, Toan Ki, Ting Pek-jwan dan lain-lain yang tidak kenal siapakah Ang-tongcu itu, seketika memandang kian kemari diantara orang banyak untuk mencari tokoh yang dimaksudkan dengan ilmu silat yang tinggi tapi mempunyai penyakit gagap itu. Mereka coba mengingat-ingat ketika mereka diperkenalkan kepada para petualang itu agaknya tidak terdapat orang she Ang.

Rupanya Oh-lotoa tahu akan pikiran Buyung Hok dan kawan-kawannya itu, katanya dengan tersenyum, "Angtongcu suka pada ketenangan dan tidak suka bergaul, sebab itulah tadi tidak diperkenalkan kepada kalian, harap maaf. begitulah ketika itu kami semuanya berharap agar Ang-tongcu suka tampil kemuka untuk pergi menyelidiki teka teki yang mencurigakan itu. Maka Ang-tongcu telah berkata jika demikian keputusan saudara-saudara, hal ini memang juga menjadi kewajibanku, sudah tentu aku akan pergi menyelidiki.”

Semua orang tahu cara bicara Ang-tongcu tentu juga tergagap-gagap dan tidak mungkin selancar seperti ucapan Oh-lotoa sekarang, cuma saja Oh-lotoa tidak mau menirukan penyakit gagap menggelikan orang itu.

Lalu Oh-lotoa menyambung, "Setelah Ang-tongcu kembali lagi ke Biau-biau-hong, kami berdelapan menunggu di kaki gunung, sungguh hati kami waktu itu sangat tidak tentram, satu jam kami rasakan oleh kami seperti setahun lamanya, kami kuatir kalau terjadi apa-apa atas diri Ang-tongcu dan akibatnya kami tentu akan celaka. Maklum saja, sebab kalau Ang-tongcu benar-benar mengalami nasib malang waktu itu, maka kami takut nenek bangsat itujuga akan membunuh kami semua.”

"Tapi urusan sudah terlanjur, biar bagaimana jadinya harus dihadapi dengan konsekuen-Begitulah kami menunggu dengan kebat-kebit. Kira-kira tiga jam kemudian, akhirnya kelihatan Ang-tongcu kembali dengan selamat. Kami tidak lantas tanya dia, tapi dari wajahnya yang berseri-seri kami tahu tentu ada kabar baik”

"Benar juga Ang-tongcu menerangkan kepada kami bahwa Lohujin jatuh sakit dan tidak berada diatas gunung. Berita itu diperoleh Ang-tongcu ketika dia menyelundup lagi kedalam Leng-ciu-kiong dan mendengar percakapan diantara dayang nenek bangsat itu, diketahui bahwa nenek bangsat itu sedang menderita sakit keras dan waktu itu lagi pergi mencari obat”

Sampai disini, serentak terdengarlah sorak gembira orang banyak bahwasannya berita sakitnya Thian-san Tong-lo tentu sudah mereka ketahui lebih dulu, dan pokok persoalan yang hendak mereka rundingkan dengan berkumpulnya mereka ini justru adalah tentang sakitnya nenek dari Thian-san itu, namun demi mendengar Ohlotoa menyebut lagi berita itu tanpa kuasa mereka bersorak gembira pula.

Toan Ki geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan kawanan petualang itu, katanya, "Orang lagi sakit, tapi kalian gembira sungguh tidak punya perasaan”

Tapi semua orang sedang bersorak-sorai, sudah tentu tiada seorang pun yang memperhatikan ucapannya itu.

Maka Oh-lotoa melanjutkan. "Dengan sendirinya girang para kawan tak terkatakan demi mendapat berita baik itu, tapi kami kuatir pula kalau-kalau hal itu cuma tipu muslihat si nenek bangsat yang sengaja hendak menguji kesetiaan kami saja. Maka sesudah kami berunding lagi, selang dua hari kemudian segera kami beramai-ramai menyelidiki pula keatas gunung. Sekali ini aku mendengar dengan telingaku sendiri bahwa si nenek bangsat memang benar-benar jatuh sakit. Cuma saja dimana tempat penyimpanan Sing-si-hu itu tetap tidak dapat kami temukan”.

"Hai, Oh-lotoa, benda apakah sebenarnya Sing-si-hu yang kau katakan itu?” tiba-tiba Pat put tong menyela.

"Hal ini terlalu panjang untuk diceritakan”, sahut Oh-lotoa dengan menghela napas. "Pendek kata, dengan memegang Sing-si-hu itu, maka nenek bangsat itu dapat membinasakan kami setiap saat”.

"Wah, apakah semacam jimat yang maha lihai?” Put tong menegas.

"Ya, boleh juga dikatakan demikian”, sahut Oh-lotoa dengan tersenyum getir. Rupanya ia tidak suka banyak menyinggung tentang Sing-si-hu, maka ia berpaling dan berkata kepada orang banyak. "Dan urusan kita sekarang ialah sakitnya nenek bangsat itu memang sudah terang dan pasti, kalau kita ingin melepaskan diri dari belenggu siksaan, maka kini sudah tiba waktunya, kita harus berani bertindak sebisanya. Cuma saja saat ini apa nenek bangsat itu sudah kembali ke Leng-ciu-kiong atau belum, hal ini kita tidak tahu. Dan bagaimana tindakan kita selanjutnya diharap saudara-saudara ikut memberi usul. Lebih-lebih Buyung kongcu, Toan kongcu dan Putpeng Tojin bertiga, mohon sudi memberi nasihat yang berharga”.

"Membikin celaka orang lain selagi dia dalam keadaan susah, hal ini tidak boleh diperbuat oleh seorang lakilaki sejati” kata Toan Ki "Jangankan aku tidak mempunyai saran-saran yang baik andaikan ada juga aku tidak sudi mengemukakan.”

Seketika air muka Oh-lotoa berubah hebat, tapi sebelum ia buka suara, Putpeng Tojin telah mengedipi dia, kata imam itu dengan tertawa, "Toan-heng memang sudah menyatakan takkan membantu pihak manapun dan cuma akan menonton saja, maka kalau dia tak mau memberi saran yang berharga juga kita tak dapat memaksanya untuk menyerang Biau-biau-hong, sekarang paling perlu hendaklah Oh-lotoa menerangkan dulu bagaimana kekuatan Leng-ciu-kiong yang sebenarnya. Ketika Ang-tongcu dan Oh-heng bersembilan menyelidiki kesana lagi, sebenarnya selain si nenek bangsat masih ada tokoh-tokoh siapa lagi dan bagaimana pertahanan yang

teratur di istana itu? Biarpun oh heng tak dapat mengetahui seluruhnya, paling sedikit tentu dapat memberi gambaran sekadarnya untuk kita rundingkan bersama.

"Sungguh memalukan kalau kuceritakan”, tutur Oh-lotoa. "Ketika kami meyelidiki lagi ke Leng-ciu-kiong. sebenarnya kami sangat ketakutan, sedapatnya kami main sembunyi-sembunyi dan kuatir dipergoki. Namun begitu akhirnya ditaman bunga belakang istana itu toh aku kepergokjuga oleh seorang anak dara.”

"Melihat dandanan anak perempuan itu tampaknya adalah kaum hamba karena tidak sempat menyingkir sehingga jejakku dapat dilihatnya., syukur pada saat itu pikranku dapat bekerja cepat, kuatir rahasia perbuatanku bocor, terus saja aku melompat maju, dengan Kim-na-jiu-hoat segera aku bermaksud menangkap dayang cilik itu.”

"Seranganku itu kulontarkan dengan mati-matian, maklum setiap orang di Leng-ciu-kiong itu tidak boleh dipandang enteng, biarpun seorang anak kecil juga bukan mustahil memiliki ilmu sakti yang susah dijajaki. Maka sekali aku menerjang maju, aku insyaf perbuatanku itu lebih banyak mendatangkan celaka daripada selamat bagiku..”

Bicara sampai disini suara Oh-lotoa kedengaran agak gemetar, agaknya masih mengerikan bila dia mengenang saat-saat yang sangat bahaya ketika itu.

Begitu pula semua orang juga mendengarkan uraian Oh-lotoa dengan cermat dan sunyi. Bila teringat kepada Thian-san Tong-lo, sebenarnya semua orang sangat ketakutan. Tapi Oh-lotoa ternyata berani menggerayangi Biau-biau-hong, walaupun hal itu dilakukan karena terpaksa, namun betapapun harus diakui sebagai seorang pemberani dan nekat.

Maka terdengar Oh-lotoa melanjutkan, "Sekali aku menubruk maju, segera kugunakan ilmu Hou-jiau-kang (cengkeraman sepenuh tenaga). Tatkala itu terkilas juga suatu keputusan dalam benakku, bila sekali tubruk aku tak mampu menawan anak dara itu sehingga dia sempat berteriak minta tolong, maka segera aku akan terjun ke bawah puncak gunung yang curam itu, lebih baik aku bunuh diri saja daripada mati konyol disiksa oleh nenek bangsat itu.”

"Siapa duga…siapa duga ketika tanganku tepat mencengkeram pundak anak dara itu, ternyata sedikitpun ia tak melawan, bahkan ia kelihatan ketakutan dan segera roboh dengan lemas, ternyata sama sekali ia tak paham ilmu silat, saking girangnya saat itu aku sendiri sampai terkesima, kakiku terasa lemas, ya, bicara terus terang, waktu itu aku pun hampir-hampir roboh dengan lemas.”

Maka tertawalah semua orang sehingga melonggarkan semua urat-urat yang tegang.

Oh-lotoa menyindir dirinya sendiri juga hampir roboh ketakutan, tapi semua cukup tahu sebenarnya Oh-lotoa sangat tangkas dan pemberani, buktinya ia berani menangkap orang dari Biau-biau-hong, hal ini sudah terang tidak sanggup dilakukan oleh orang lain.

Oh-lotoa memberi tanda sekali, seorang anak buahnya lantas maju dengan mengangkat sebuah karung warna hitam dan ditaruh di depan Oh-lotoa. sesudah Oh-lotoa membuka tali pengikat karung itu dan dibelejeti ke bawah, tiba-tiba dari dalam karung menongol keluar kepala satu orang.

Semua orang sampai berseru kaget, waktu diperhatikan perawakan orang di dalam karung tampak pendek kecil, terang seorang anak perempuan.

"Nah, inilah dia anak dara yang kutawan dari Biau-biau-hong itu”, dengan berseri-seri Oh-lotoa memperlihatkan hasil operasinya.

Serentak semua orang bersorak memuji akan ketangkasan Oh-lotoa, tentang keberaniannya dan menganggap dia sebagai pahlawan nomor satu di antara para Tongcu dan tocu. Di tengah sorak gembira orang banyak, anak perempuan itu tampak mewek-mewek dan akhirnya menangis dengan sedih.

"Sesudah kami dapat menawan anak dara ini”, demikian Oh-lotoa menyambung, "Karena kuatir terjadi apa-apa yang tidak menguntungkan, maka cepat kami turun gunung. Ketika kami periksa anak dara itu, sungguh sayang, ternyata bocah ini seorang gagu.”

"Semula kami kira dia sengaja pura-pura tuli dan berlagak bisu, maka berulang-ulang kami mencari akal untuk mencobanya. Terkadang kami sengaja membentak mendadak di belakangnya, ingin kami lihat apakah dia kaget atau tidaki tapi meski sudah dicoba beberapa kali, ternyata dia memang benar gagu.”

Untuk sejenak pandangan semua orang di alihkan pada kepala anakperempuan diluar karung itu, kedengaran suara tangisan bocah itu agak serak, tampaknya memang benar seorang bisu- Tiba-tiba seroang diantara para Tongcu itu bertanya, "Oh-lotoa, apa dia tidak dapat menulis?”

"Ya, tidak dapat”, sahut Oh-lotoa. "Kami sudah memaksanya dengan macam-macam jalan, kami sudah merangket dia, sudah merendam dia dalam air, menyelomot dia dengan api, membiarkan dia kelaparan dan siksaan lain, tapi tetap tak berhasil. Tampaknya bukan karena dia kepala batu tapi memang benar-benar tidak dapat.”

"Huh, menyiksa seorang nona cilik dengan cara-cara demikian rendah dan keji, sungguh tidak tahu malu”

jengek Toan Ki tiba-tiba saking tak tahan atas perbuatan kejam yang diceritakan Oh-lotoa itu.

Tapi Oh-lotoa menjawab, "Siksaan yang kami rasakan dari nenek bangsat itu berpuluh kali lebih kejam daripada yang kami perbuat itu, balas membalas, kenapa kami mesti merasa malu?”

"Jika hendak membalas dendam, seharusnya kalian tujukan kepada Thian-san Tang lo itu, apa gunanya kalian bertindak terhadap terhadap seorang pelayan cilik yang tak berdosa” ujar Toan Ki.

"Sudah tentu ada gunanya”, sahut Oh-lotoa. Lalu ia keraskan suaranya dan berpaling kepada orang banyak. "Saudara-saudara sekalian, hari ini kita sudah bertekad akan memberontak kepada Biau-biau-hong dengan bersatu padu, selanjutnya kita harus senasib sepenanggungan, ada rejeki dirasakan bersama, ada kesusahan kita pikul beramai kita akan bersumpah setia dengan darah bagi perjuangan kita ini. Adakah diantara saudarasaudara yang merasa tidak setuju?”

Berulang Oh-lotoa bertanya, sampai pertanyaan ketiga kalinya, mendadak seorang laki-laki tinggi besar berputar tubuh terus melarikan diri kearah barat tanpa permisi.

"Hai, Kiam-hi Tocu, hendak kemana?” seru Oh-lotoa.

Namun laki-laki itu tidak menjawab, bahkan tancap gas lebih kencang sehingga dalam sekejap saja sudah menghilang dibalik lereng gunung sana.

"Pengecut itu melarikan diri di garis depan lekas dicegat”, teriak orang banyak-serentak ada belasan orang lantas mengejar, namun jaraknya sudah agak jauh, sukar untuk dipastikan apakah mereka dapat menyusul Kiam-hi Tocu atau tidak.

Tapi sejenak kemudian, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri yang panjang dari balik lereng sana. semua terkejut dan saling sandang dengan bingung. Belasan orang yang sedang mengejar tadi juga serentak berhenti ditengah jalan. Pada saat lain tiba-tiba terdengar angin berkesiur, sebuah benda bundar tampak melayang tiba dari jauh sana danjatuh di tengah orang banyaki

Cepat Oh-lotoa melompat maju untuk menyambar benda bundar itu, dibawah cahaya obor tertampak benda itu berdarah, kiranya sebuah kepala manusia. Ketika diperhatikan, tampak muka kepala manusia itu sangat beringas, mata mendelik dan jenggot menjingkrak, ternyata buah kepala Kiam-hi Tocu yang baru saja melarikan diri

Untuk sejenak Oh-lotoa tertegun, ia tidak tahu mengapa Kiam-hi Tocu (pemilik pulau ikan pedang) itu dapat melayang jiwanya sedemikian cepat ? Lamat-lamat dalam hati kecilnya timbul perasaan yang seram janganjangan Thian-san Tang lo telah datang?

Terdengar Put peng Tojin sedang bergelak tertawa dan berkata, "Kiam-sin, benar-benar tidak bernama kosong. Kiam-sin Loheng, penjagaanmu benar-benar sangat ketat”

Lalu dari balik gunung sana berkumandang suara sahutan orang. "Melarikan diri di garis depan, pengecut seperti ini boleh dibunuh oleh siapa pun juga, untuk ini harap para Tongcu dan tocu sudi memaafkan.”

Sesudah tenang kembali, bukannya marah pada Kiam-sin yang telah membunuh kawan mereka, bahkan para Tongcu dan tocu itu menyatakan rasa syukur mereka, "Untung Kiam-sin membantu kami membasmi penghianat ini, sehingga tidak merusak pergerakan kami.”

Diam-diam Buyung Hok Ting Pek-jwan dan lain-lain merasa orang yang bergelar Kiam-sin (dewa pedang) itu agak terlalu sombong. Biarpun ilmu pedangnya tinggi juga tak boleh mengaku sebagai dewa. Mereka merasa tidak pernah mendengar tokoh kangouw yang bergelar demikian itu, entah bagaimana ilmu pedangnya yang sejati?

Diam-diam Oh-lotoa mentertawai dirinya sendiri yang menyangsikan kedatangan Thian-san Tang lo tadi. segera ia berseru, "Saudara-saudara sekalian, marilah kita masing-masing membacok sekali badan anak dara itu. Meski gagu, tapi dia orang Biau-biau-hong, marilah kita minum darahnya sebagai tanda tekad kita akan melawan Biau-biau-hong. sesudah sumpah setia ini, jangan lagi di antara kita saudara-saudara yang merasa takut-takut lagi, kita harus maju terus pantang mundur”

Sehabis bicara, segera ia mendahului meloloskan golok, sinar hijau berkelebat, seketika semua orang mengendus bau amis dari senjatanya yang berbisa itu.

"Ya, benar, serentak sahut orang banyak. Marilah kita bersumpah setia dengan minum darah korban kita dan untuk selanjutnya kita harus maju terus tanpa gentar”.

Diam-diam Buyung Hok berkerut kening, ia tahu politik Oh-lotoa itu ingin kawan-kawannya terikat oleh sumpah setia dan tak berani berkhianat pula. Meski tindakan mereka dengan membunuh anak perempuan kecil itu agak terlalu kejam, tapi Buyung Hok sudah berpengalaman luas kejadian yang lebih kejam pun sering dilihatnya, maka sekarang ia pun tidak terlalu menaruh perhatian.

Berbeda dengan Toan Ki, segera pemuda ini berteriak-teriak. "Hehe, ini tidak boleh terjadi, tidak boleh terjadi Mana boleh membunuh seorang anak perempuan tak berdosa? He, Buyung heng, engkau harus mencegah perbuatan kejam mereka ini.”

Tapi Buyung Hok menggeleng kepala, sahutnya, "Toan-heng, keselamatan mereka sendiri juga bergantung dalam tindakan mereka ini, kita adalah orang luar, lebih baik tidak ikut campur.”

Terdorong oleh jiwa kesatrianya segera Toan Ki berseru pula, "Seorang laki-laki sejati mana boleh berpeluk tangan saja bila melihat ada ketidak adilan? Nona Ong, biarpun engkau nanti akan mencaci maki padaku juga akan kutolong anak itu. Cuma saja aku..aku sama sekali tidak paham ilmu silat, untuk menolong nona cilik itu memang agak sulit. Eh, ya, Ting-heng, Kongya-heng, Hong-heng, biarlah kuterjang masuk untuk menolong nona itu dan kalian nanti membantuku dari belakang ya?”

Tapi Ting Pek-jwan berempat biasanya melulu tunduk kepada perintah Buyung Hok saja, sekarang junjungan mereka tidak mau ikut campur dengan sendirinya mereka pun tidak mau sembarangan bertindak mereka hanya menggeleng kepala saja sebagai tanda penyesalan kepada Toan Ki

Mendengar gembar-gembor Toan Ki itu, Oh-lotoa menjadi kuatir kalau pemuda yang berkepandaian sangat aneh itu nanti benar-benar mencari perkara sehingga urusan bisa runyam, maka segera ia mendahului bertindak, ia angkat goloknya dan berseru. "Biarlah Oh-lotoa turun tangan nomor satu”

Kontan golok terus membacok kearah anak perempuan yang tubuhnya masih terselongsong karung itu.

"Celaka seru Toan Ki, jarinya lantas menunding, dengan Tiong-ciong-kiam segera ia tusuk golok Oh-lotoa.

Di luar tahunya bahwa Lak-meh-sin-kiam yang dia miliki itu masih belum dapat digunakan dengan sesuka hatinya, tatkala hawa murni dalam tubuhnya bergolak ia dapat mainkan ilmu pedang tanpa wujud itu dengan daya serang yang lihai, tapi lebih sering ia tak dapat mengerahkan tenaga dalam sehingga Lak-meh-sin-kiam yang dimilikinya itu kehilangan dayaa gunanya dan begitu pula halnya sekarang.

Maka tertampaklah golok Oh-lotoa itu menyambar ke atas kepala anak dara itu, bukan mustahil dalam sekejap lagi kepala bocah itu akan terbelah menjadi dua.

Pada saat menentukan itulah sekonyong-konyong dari belakang sepotong batu padas melompat keluar sesosok bayangan orang, sekali tangannya bergerak, kontan Oh-lotoa tertumbuk mundur oleh serangkum angin yang kuat. Berbareng tangan orang lain itu terus menyambar karung hitam yang berisi anak dara itu dan di gendong di atas punggung, lalu dibawa lari secepat terbang ke arah barat.

Serentak orang banyak sama berteriak-teriak dan membentak-bentak berbareng terus mengejar juga. Tapi lari orang itu teramat cepat sehingga tiada seorang pun yang mampu menyusulnya.

Yang paling girang adalah Toan Ki, dengan matanya yang tajam segera ia kenal siapa gerangan orang yang membawa lari karung berisi anak dara itu, segera ia berteriak "Itulah dia Hi-tiok Hwesio dari Siau-lim-si Wahai, Hi-tiok suheng, terimalah puji hormat dariku. Perbuatanmu ini sangat mulia. Nama baik Siau-lim-si di dunia persilatan memang bukan omong kosong belaka”

Ternyata orang yang menyerobot dan membawa lari karung berisi anak perempuan itu memang betul adalah Hi-tiok Hwesio.

Sesudah menyaksikan pertarungan sengit antara Buyung Hok lawan Ting jun-jiu di rumah makan itu dimana ia sembunyi dikolong meja dan meja dimana ia sembunyi itu digempur hancur oleh pukulan Ting jun-jiu, saking ketakutan Hi-tiok lari terbirit-birit menyelamatkan diri

Sepanjang jalan ia ingin mencari paman gurunya untuk minta nasihat seperlunya. Maklum, sesudah menggebuk mati susiokcouw, yaitu Hian lan Taisu, sungguh Hi-tiok merasa bingung dan sedih. Pengalamannya di dunia kangouw teramat hijau dan tidak kenal jalan pula, untuk masuk rumah makan atau rumah penginapan kuatir kepergok orang sebangsa Ting Lokoai, maka yang dituju selalu jalan kecil dan lereng pegunungan yang sepi saja.

Selagi Hi-tiok Hwesio menyingkir ke tempat yang sunyi dan terpencil di lereng gunung itulah, kebetulan ke tiga puluh enam Tongcu dan ke tujuh puluh dua Tocu juga sedang berkumpul mengadakan musyawarah di lembah gunung situ, saking banyak jumlah anak buah masing-masing tokoh yang hadir dalam pertemuan itu, dengan sendirinya banyak juga yang berjumpa dengan Hi-tiok di tengah jalan.

Karena melihat potongan orang-orang itu agak aneh tindak tanduk mereka pun mencurigakan maka timbul rasa heran dalam hati kecil Hi-tioki diam-diam ia lantas mengintil di belakang orang banyak untuk menyelidiki duduknya perkara, sebab itulah segala apa yang terjadi telah didengar dan dilihatnya.

Terhadap dendam permusuhan di kalangan kangouw sama sekali dia tidak paham, tapi dasar jiwanya memang welas asih dan berbudi luhur, maka ketika dilihatnya Oh-lotoa mengacungkan golok hendak membacok mati seorang anak dan yang sedikitpun tidak mampu melawan, tanpa peduli apa-apa lagi segera ia terjang keluar dari tempat sembunyinya, ia serobot karung yang berisi anak dara itu terus digondol lari.

Ilmu silat Hi-tiok mestinya sangat rendahi tapi sejak si kakek Siau-yau-pai mencurahkan tenaga murni yang dihimpunya selama tujuh puluh tahun kedalam tubuh Hi-tioki maka kekuatan Iwekang Hi-tiok sekarang bukan main hebatnya, begitu karung itu berada dipunggungnya, terus saja ia lari secepat terbang ke atas gunung dan hanya sekejap saja sudah menghilang di dalam hutan yang lebat, macam-macam amgi yang dihamburkan para Tongcu dan tocu itu menjadi luput seluruhnya.

Waktu semua orang melihat langkah Hi-tiok begitu enteng dan cepat, sekali maju Oh-lotoa lantas dibikin terpental, terang ilmu silatnya sangat lihai, apalagi terdengar pula Toan Ki mengatakan dia adalah padri Siaulim-si, itu biara yang mempunyai nama dan wibawa yang membuat setiap orang merasa jeri maka mereka menjadi tidak berani terlalu mendesak.

Cuma urusannya sangat penting, dengan digondolnya anak perempuan itu, bila usaha pergerakan mereka sampai bocor maka itu berarti akan mendatangkan malapetaka bagi mereka, sebab itulah semua orang lantas terus mengejar sambil membentak-bentak dan berteriak-teriak.

Puncak gunung yang tak dikenal namanya itu menjulang tinggi ke tengah awan, penuh pula dengan salju, untuk bisa mendaki sampai puncaknya sekalipun orang yang memiliki ginkang maha tinggi juga diperlukan beberapa hari lamanya.

Sebab itulah Putpeng Tojin lantas berseru "Para saudara jangan kuatir, Hwesio itu berlari ke atas gunung, itu berarti menuju jalan buntu tidak nanti dia mampu terbang ke langit. Asalkan kita beramai-ramai menjaga rapat jalanan di sekitar puncak ini, pasti dia takkan dapat lolos.”

Mendengar itu semua orang merasa agak lega. segera Oh-lotoa mengatur kawan-kawannya mengepung rapat segenap jalan dibawah gunung itu. Kuatir kalau diterjang Hi-tiok dari atas, maka tiap-tiap jalan diadakan tiga pos penjagaan ditambah belasan jago pilihan yang selalu meronda silih berganti.

Selesai mengatur, lalu Oh-lotoa bersama Putpeng Tojin, Song Tho-kong, Hong-tongcu, Gim tocu dan lain-lain yang seluruhnya berjumlah belasan orang terus naik ke atas gunung untuk menggerebeki mereka bertekad harus melenyapkan jiwa padri itu supaya tidak mendatangkan bahaya di kemudian hari.

Adapun Buyung Hok dan rombongannya disuruh menjaga di sebelah timur. Resminya mereka diminta menjaga, tapi sebenarnya mereka sengaja disingkirkan ke tempat terpencil agar tidak langsung ikut campur urusan.

Sudah tentu Buyung Hok tahu Oh-lotoa dan lain-lain masih mencurigai dirinya, maka ia hanya tersenyum saja dan membawa kawan-kawan menuju ke tempat yang ditunjuk untuk menjaga, sebaliknya Toan Ki masih terus memuji keperkasaan dan kesatriaan Hi-tiok tanpa peduli apakah orang lain setuju atau tidak atas pujiannya itu.

Dalam pada itu Hi-tiok masih terus lari ke atas makin lama hutan yang disusupi itu semakin lebat- Tapi suara teriakan para pengejarnya juga makin menjauh.

Waktu ia turun tangan menolong orang adalah karena terdorong oleh keluhuran budinya yang ingin membela si lemah tapi sekarang bila dipikir para pengejarnya itu semuanya berkepandaian sangat tinggi dan kejam pula, salah seorang diantara mereka sekali hantam sudah cukup untuk membinasakan dirinya, maka Hi-tiok menjadi ketakutan, pikirnya. Paling baik harus kucarikan suatu tempat tersembunyi yang takkan ditemukan mereka, dengan demikian barulah anak dara ini dan jiwaku bisa selamat.

Saat itu Hi-tiok boleh dikatakan lupa lapar dan lupa letih dimana hutan yang paling lebat kesitulah lantas disusupi. Baiknya dia mempunyai Iwekang yang kuat sehingga sedikitpun tidak merasa payah meski sudah dua jam ia berlari.

Setelah berlari-lari lagi tak lama, hari sudah terang, kakinya sudah mulai menginjak lapisan salju yang tipis. Kiranya dia sudah sampai di pinggang gunung, di tempat itu

Sinar matahari tak sampai, maka disitulah terdapat salju yang tak mencair, ia coba menenangkan diri dan mengawasi sekelilingnya dengan hati masih kebat kebit. ia bergumam sendiri. "Wah, harus lari kemana sekarang?”

Di luar dugaan, mendadak terdengar suara orang berkata di belakangnya, "Setan penakut yang dipikir hanya lari terbirit-birit saja, sungguh aku pun ikut malu”

"Haya..” teriak Hi-tiok dengan kaget, langsung ia lari pula ke atas gunung seperti diuber setan.

Sesudah beberapa li, ia coba menoleh ternyata tak terlihat seorang pun, maka ia bergumam lagi, untung tiada orang mengejar

Tapi baru ia selesai bicara, kembali di belakang ada orang bersuara. "Pengecut seorang laki-laki sejati masakan ketakutan seperti celurut? sungguh goblok” Keruan kejut Hi-tiok melebihi tadi, segera ia angkat langkah lari pula.

Dalam pada itu terdengar suara tadi berkata pula di belakangnya, "Sudah penakut, tolol pula, sungguh menggelikan”

Kalau didengar dari suara itu terang hanya belasan sentj auhnya di belakangnya, boleh dikata sekali ulur tangan saja pasti Hi-tiok akan terpegang. Maka diam-diam ia menjerit di dalam hati. "Wah, celaka Kepandaian orang ini sedemikian tinggi, sekali ini riwayatku pasti akan tamat”

Segera ia tancap gas sepenuhnya lari semakin cepat.

Tapi suara itu kembali berkata "Jika takut mestinya jangan sok gagah seperti pahlawan. sekarang ingin kutanya padamu, sebenarnya kamu hendak lari kemana?”

Mendengar suara itu hanya di tepi telinganya saking gugupnya kaki Hi-tiok serasa lemas semua dan hampir saja terbanting jatuh, untung dia hanya sempoyongan saja. Habis itu cepat ia putar tubuh kebelakang, namun tiada bayangan seorang pun yang terlihat, ia sangka orang itu sembunyi di balik pohon, maka dengan penuh hormat ia berkata, "Siauceng melihat orang-orang jahat hendak membunuh seorang dara cilik, maka dengan

tidak tahu diri telah menolongnya, sama sekali tiada maksud buat berlagak sebagai pahlawan.”

"Huh, berani berbuat tapi tidak tahu kekuatan sendiri, pasti akan kau rasakan hasilnya nanti”, jengek suara itu yang tetap berjangkit dibelakang telinganya.

Keruan Hi-tiok tambah kaget, cepat ia berpaling lagi, tapi dibawah sinar matahari yang sementara itu sudah terang benderang menembus celah-celah hutan yang lebat, jelas tidak kelihatan bayangan setan pun, jangankan manusia.

Ia tahu kepandaian orang yang bersuara itu pasti berpuluh kali lipat lebih tinggi daripadanya, jika orang bermaksud jahat, biarpun sepuluh Hi-tiokjuga sudah melayang jiwanya.

Namun didengar dari nadanya, orang itu hanya memakinya sebagai pengecut, penakut, agaknya orang itu bukan sekomplotan dengan Oh-lotoa. Keruan Hi-tiok dapat menenangkan diri, lalu katanya, "Ya, siauceng memang tidak becus, harap cianpwe suka memberi petunjuk”.

"Hm, kamu bukan cucu muridku, buat apa mesti kuberi petunjuk padamu? " demikian suara itu menjengek.

"Ya, ya”, sahut Hi-tiok dengan gugup, "Memang siauceng salah omong, harap cianpwe suka maafkan, soalnya jumlah musuh terlalu banyak siauceng bukan tandingan mereka. Seka…sekarang aku harus melarikan diri lagi.”

Habis berkata, kembali ia lari kencang keatas gunung.

Puncak gunung itu adalah jalan buntu,jika mereka berjaga rapat disekeliling puncak itu, "Cara bagaimana kamu dapat meloloskan diri?” kata suara dibelakangnya itu.

Hi-tiok tertegun oleh pertanyaan itu dan berhenti lari, sahutnya. "Hal itu tidak..tidak kupikirkan, sukalah Cianpwe menaruh belas kasihan sudilah memberi petunjukjalan yang baik padaku.”

"Hehehehe”, suara itu tertawa dingin, "Sekarang hanya ada dua jalan bagimu, pertama, putar balik ke sana dan tempur mereka, bunuh semua setan iblis keroco itu”

"Sulit” sahut Hi-tioki "Pertama, karena siauceng memang tidak becus, pula tidak suka membunuh orang.”

"Jika begitu boleh ambil jalan kedua”, kata suara itu "Terjunlah kejurang yang beratus meter dalamnya itu sehingga badanmu akan hancur lebur dan habis perkara seluruhnya.”

"Tentang ini…ini.” ia tidak melanjutkan, tapi coba berpaling, ia lihat di belakangnya hanya salju belaka, di atas salju kecuali bekas tapak kaki sendiri toh tiada bekas kaki orang lain.

Diam-diam ia membatin. "Wah, kepandaian orang itu benar-benar sudah mencapai tingkatan menginjak salju tanpa meninggalkan bekas, suatu tingkatan yang sukar diukur.”

Rupanya orang itu menjadi tidak sabar, maka terdengar suara orang itu berkata pula, "Ini dan itu apa segala, apa yang hendak kau katakan, ayo lekas?”

"Kalau terjun kejurang sudah tentu akan mati tapi sekaligus juga akan membikin anak dara yang kutolong ini ikut menjadi korban, hal inilah yang membuatku keberatan”, kata Hi-tioki

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Biau-biau-hong, sehingga tanpa pikir keselamatan jiwa sendiri kau berani menyerempet bahaya untuk menolong dia?” Tanya suara itu.

Sambil berlari ke atas gunung Hi-tiok menjawab. "Tentang Biau-biau-hong dan Leng-ciu-kiong baru untuk pertama kalinya kudengar tadi. Aku adalah murid Siau-lim-si, sekali ini mendapat tugas ke luar, sama sekali tiada sangkut paut dan hubungan apa-apa dengan golongan dan aliran lain di kangouw.”

"Jika begitu, rupanya kamu ini seorang hwesio cilik yang gagah ksatria”, jengek suara itu.

"Hwesio cilik sih memang betul, gagah ksatriia mungkin tidak” sahut Hi-tiok. "Pengalamanku terlalu cetek sehingga banyak berbuat secara gegabah, sekarang telah banyak mengalami kesulitan, sungguh aku menjadi bingung”.

"Tenaga dalam yang kau miliki sangat hebat tapi kepandaian ini terang bukan berasal dari Siau-lim-pai, apakah sebabnya?” Tanya suara itu.

"Hal ini terlalu penjang kalau diceritakan, justru inilah salah satu kesulitan yang sedang dihadapi diriku”, sahut Hi-tiok.

"Terlalu panjang atau terlalu pendek apa segala, pokoknya jangan banyak alasan, lekas kau ceritakan” semprot suara itu dengan kencang.

Tapi Hi-tiok lantas ingat pada pesan So-sing-ho yang menyatakan bahwa nama Siau-yau-pai adalah suatu rahasia dan sekali-kali tidak boleh didengar orang luar. Apalagi orang yang bersuara di belakangnya ini bagaimana tampangnya sampai sekarang belum lagi diketahuinya, sudah tentu ia merasa sangsi untuk menceritakan rahasia besar itu. Maka jawabnya, "Untuk itu harap cianpwe suka maaf. sesungguhnya ada kesulitanku sehingga tidak dapat kuberitahukan dengan terus terang”.

"Hm, jika begitu, ayo lekas turunkan aku saja” kata suara itu dengan kurang senang.

"Ha..ah? Ap..apa katamu?” teriak Hi-tiok kaget.

"Lekas turunkan aku apa-apa segala, cerewet” sahut suara itu.

Dengan jelas Hi-tiok dapat membedakan suara itu bukan suara kaum pria atau wanita, suara banci juga bukan tapi suara serak-serak tua. sungguh ia tidak paham apa maksud perkataan suara itu yang minta lekas turunkan aku, padahal belum lagi naik dari mana bisa turun.

Segera ia berhenti dan cepat putar tubuh, tapi tetap tidak tampak seorang pun di belakangnya.

Tengah Hi-tiok merasa bingung, tiba-tiba suara itu memaki pula, "Hwesio goblok lekas turunkan aku. Aku berada di dalam karung ini, memangnya kau kira aku siapa?”

Keruan Hi-tiok tambah kaget, sehingga pegangannya menjadi kendur dan bluk karung yang digendongnya itu terbanting ke tanah dan terdengar suara jeritan "aduh” dari dalam karung. Dari suara jeritan yang serak tua itu terang sama dengan suara yang terdengar tadi.

Hi-tiok juga berteriak kaget dan cepat berkata, "Ai, nona cilik, kiranya dirimu. mengapa suaramu berubah sedemikian tua?”

Cepat ia buka karung itu dan memapah keluar satu orang.

Orang itu jelas kelihatan pendek kecil, terang seorang anak perempuan yang berumur delapan sembilan tahun, mukanya putih halus dan tidak terlalu cantik, tapi jelas terang dan nyata memang benar-benar seorang dara cilik. Pakaiannya juga pakaian anak kecil yang umum, rambutnya digelung seolah menjadi dua, bahkan memakai sebuah kalung dengan mainan yang indah. Tapi sinar matanya tajam berkilat-kilat penuh wibawa.

Melihat sikap anak dara yang aneh luar biasa itu, seketika mulut Hi-tiok ternganga dan tidak sanggup bicara.

Anak dara itu berkata. "Ketemu sama orang tua juga tidak memberi hormat, dasar tidak punya aturan”

Suaranya tetap serak-serak tua, malahan lagaknya melebihi nyonya besar.

"No…nona cilik”

"Hus, nona cilik atau nona besar apa segala. Aku ini nenekmu, tahu?” bentak anak dara itu sebelum lanjut ucapan Hi-tiok.

Hi-tiok melengak sekejap, la tersenyum, katanya, "Sudahlah, jangan berkelakar lagi, kita masih dalam keadaan bahaya. Marilah lekas masuk ke dalam karung lagi dan kita lari ke atas gunung, sebentar musuh tentu akan mengejar kemari”

Sekilas mendadak anak dara itu melihat tangan kiri Hi-tiok memakai sebentuk cincin besi, segera ia berseru, "Hei, apa-apa itu? Coba kulihat”

Sebenarnya Hi-tiok tidak suka memakai cincin besi itu. Cuma diketahuinya bahwa cincin itu adalah benda penting, kalau disimpan didalam saku kuatir akan hilang, maka terpaksa dipakainya juga pada jari. Mendengar pertanyaan anak dara itu, dengan tertawa ia menjawab. "Ah, hanya benda yang tidak berharga dan bukan suatu mainan yang menarik”.

Sekonyong-konyong anak dara itu pegang tangan kiri Hi-tiok dan memeriksa cincin besi itu dengan teliti.

Baru sekarang Hi-tiok dapat melihat jelas bahwa telapak tangan anak dara itu ternyata sangat besar dan sangat tidak seimbang dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil itu. Bahkan telapak tangannya kelihatan kurus

kering, otot hijau menonjol, kulit kisut sehingga mirip tangan kaum nenek-nenek yang berusia delapan sembilan puluh tahun, sedikitpun tidak pantas sebagai tangan seorang dara cilik, saking kagetnya cepat Hitiok membetot tangannya sehingga terlepas dari pegangan orang.

"Cincin ini kau dapat mencuri dari mana?” bentak anak dara itu dengan suara kereng seperti jaksa yang sedang menghardik penjahat.

Hi-tiok merasa tidak senang, sahutnya, "Orang beragama harus taat kepada ajaran-ajaran suci, mana boleh melakukan pencurian atau perampokan, apalagi membunuh. Cincin ini adalah pemberian orang, mengapa kau bilang aku mencuri?”

"Omong kosong” semprot anak dara itu. "Kamu mengaku sebagai murid Siau-lim-si, mana mungkin orang memberikan cincin ini padamu. Ayo, jika tidak mengaku terus terang, maka hari ini sudah pasti kamu akan kusiksa kubeset kulitmu dan kubetot otomu.”

Diam-diam Hi-tiok tertawa geli, "Pikirnya jika aku tidak melihat potonganmu dengan mata kepala sendiri, tentu aku akan mati kaku digertak oleh suaramu yang galak ini”

Maka ia menjawab.” Nona cilik”

"Plak” belum lanjut ucapannya, tahu-tahu pipi kirinya dipersen sekali tamparan, untung tenaga anak dara itu tidak besar sehingga tidak terlalu sakit.

Dengan bersungut Hi-tiok mengomel, "Hei, mengapa kau pukul orang? Masih kecil sudah begini galak?”

Anak dara itu berkata. "Kamu bernama Hi-tiok? Ehm, Leng, Hian, Hui, Hi, Jika begitu kamu adalah anak murid Siau-lim-si angkatan ke delapan puluh tujuh, hwesio-hwesio cilik seperti Hian cu, Hian pi, Hian lan dan lain-lain tentu adalah kakek gurumu, bukan?”

Hi-tiok sampai melangkah mundur saking herannya, sungguh susah dipercaya bahwa seorang dara cilik ternyata mengetahui angkatan perguruannya, bahkan para kakek gurunya seperti Hian cu dan lain-lain disebutnya sebagai Hwesio cilik, nada ini terang tidak mirip seorang anak perempuan kecil.

Tiba-tiba Hi-tiok teringat kepada dongeng tentang arwah halus yang hidup kembali dengan masuk ke mayat orang lain. ia menjadi sangsi jangan-jangan ada arwah setan tua yang hinggap pada badan si nona cilik ini?

Dalam pada itu terdengar anak dara itu berkata pula. "Aku Tanya padamu, kalau betul bilang betul, kalau tidak katakan tidak mengapa diam saja?”

"Apa yang kau katakan memang betul”, sahut Hi-tiok "Cuma agak keterlaluan jika kau sebut Hongtiang dan para kakek guru kami sebagai Hwesio-hwesio cilik”

"Kenapa bukan hwesio-hwesio cilik?” ujar anak dara itu. "Sedangkan aku dan guru mereka adalah satu angkatan dan setingkat, bila ketemu tentu juga Hian cu menyebut aku sebagai cianpwe yang terhormat, sudah puluhan tahun aku menyebut dia sebagai hwesio cilik, masakah sekarang kau anggap aku keterlaluan segala?”

Keruan Hi-tiok tambah terkejut, guru Hian cu adalah Leng bud siansu, yaitu padri saleh yang jarang terdapat pada murid siau-lim-si angkatan ke delapan puluh empat, hal ini cukup diketahui oleh Hi-tiok sendiri. Karena itu, ia tambah yakin bahwa anak dara ini pasti kesurupan arwah halus setan tua. Maka dengan suara terputusputus ia coba tanya lagi. "Lantas, sia….siapakah kau?”

Tiba-tiba anak dara itu marahi dampratnya. "Tadi kau sebut aku sebagai Cianpwe dan member hormat pula, mengapa sekarang kamu hanya panggil aku dengan kau saja? Hm, jika tidak mengingat jasamu telah menyelamatkan aku, tentu sekali hantam saja nenek sudah cabut jiwa anjingmu”

Mendengar anak dara itu menyebut diri sebagai nenek keruan Hi-tiok merasa takut, katanya, "Ya, nenek numpang tanya siapakah nama nenek yang mulia?”

"Nah, mesti begini”, ujar anak dara itu dengan senang. "Aku ingin tanya dulu, dari mana kau peroleh cincin besi itu?”

"Sungguh mati, cincin ini adalah pemberian seorang Losiansing (tuan tua)” sahut Hi-tiok dengan sungguhsungguh. "Sebenarnya aku tidak mau terima pemberian ini, maklum aku adalah murid siau lim dan tidak nanti menerima pemberian sesuatu dari luar. Tapi jiwa Losiansing itu dalam keadaan gawat, tanpa peduli dia terus saja.”

"Hah! kau bilang jiwa Losiansing itu dalam keadaan gawat? Apa dia sudah mati?” demikian tiba-tiba anak dara itu memegang tangan Hi-tiok dengan erat dan bertanya dengan suara gemetar, "Tidak..tidak coba ceritakan dulu, bagaimana bentuk wajah Losiansing itu?”

"Dia berjenggot sangat panjang, mukanya putih bersih, orangnya sangat tampan dan bagus”, sahut Hi-tiok

"Dan kenapa jiwanya bisa dalam keadaan gawat?” Tanya anak dara itu dengan suara makin gemetar. Padahal dia memmemiliki ilmu silat maha tinggi..

Tapi pada saat lain mendadak anak dara itu berubah menjadi gusar dan mendamprat Hi-tiok. "Hwesio busuk. ilmu silat Bu-gai-cu maha tinggi, jika dia tidak membuyarkan tenaganya mana bisa dia mati? Kematiannya masakah begini gampang?”

"Ya, ya” sahut Hi-tiok sambil mengangguk

Meski usia anak dara di hadapannya itu kelihatan sangat muda, tapi wibawanya ternyata membuat Hi-tiok merasa jeri dan hormat sehingga tidak berani membantah ucapannya meski dalam hati tidak habis mengerti tentang apa yang disebut membuyarkan tenaga dalam segala, kalau orang mau mati apasih kesukarannya? Mengapa dikatakan tidak begitu gampang?

Dalam pada itu si anak dara bertanya pula, "Dimanakah kamu bertemu dengan Bu-gai-cu?”

"Yang kau maksudkan apakah Losiansing yang mukanya tampan, gurunya Cong pian siansing So-sing-ho itu?” Hi-tiok menegas.

"Ya, siapa lagi kalau bukan dia?” bentak anak dara itu. "Hm, sampai namanya saja tidak kau kenal tapi kau berani berdusta dan mengatakan dia memberikan cincin besi itu padamu. Kamu benar-benar berani mati dan tidak tahu malu Apakah kau juga kenal Bu-gai-cu Losiansing itu?” Tanya Hitiok.

"Aku yang tanya padamu dan bukan kamu yang harus tanya padaku”, bentak anak dara itu dengan gusar. "Aku tanya padamu dimanakah kamu bertemu dengan Bu-gai-cu, ayo lekas jawab”

"O, hal itu terjadi di atas suatu puncak gunung”, tutur Hi-tiok. "Secara tidak sengaja aku memecahkan suatu problem catur sehingga aku bertemu dengan Losiansing itu.”

Karena jawaban yang dianggapnya tidak masuk akal itu, agaknya anak dara itu ingin menampar Hi-tiok lagi, tapi sekarang mereka berdiri tegak berhadapan, sedangkan perawakan anak dara itu pendek kecil, untuk memukul muka Hi-tiok tentu tak sampai, maka tangannya yang sudah terangkat urung dihantamkan. Dengan gusar ia mendamprat. "Kamu benar-benar ngaco belo selama beberapa puluh tahun entah berapa banyak kaum cerdik pandai yang dijatuhkan oleh problem catur itu, masakah hwesio cilik tolol dan dogol macam dirimu malahan mampu memecahkannya? He kau berani membual lagi, apa kau minta kugampar mulutmu?”

"Kalau melulu kepandaianku sendiri memang tidak sanggup memecahkan problem catur itu”, kata Hi-tiok. "Tapi waktu itu sudah terlanjur Cong pian siansing memaksaku harus menjalankan biji catur yang kupegang, maka terpaksa sembarangan kujalankan sebiji caturku dengan mata tertutup, siapa tahu permainan secara ngawur itu berbalik menemukan jalan keluarnya, ditambah lagi ada orang kosen diam-diam membantuku sehingga problem catur itu akhirnya dapat kupecahkan. semuanya itu hanya secara kebetulan saja, tapi karena kekhilafanku itu sehingga banyak terjadi perbuatan dosa lainnya, sungguh tobat, omitohud...omitohud..”

Demikian akhirnya Hitiok berulang-ulang menyebut Buddha.

Anak dara itu tampak setengah percaya dan setengah tidak katanya "Jika begitu duduknya perkara masih masuk akal”.

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara suitan dan tindakan orang banyak d iba wah gunung yang cukup jelas.

Hi-tiok menjerit kuatir, ia buka karung terus jejalkan anak dara itu kedalam karung dan segera digendong untuk dibawa lari pula keatas gunung, sesudah berlari-lari sebentar, suara para pengejar itu kembali ketinggalan jauh lagi. Waktu Hi-tiok menoleh, tanpa terasa ia berteriaki "Wah, celaka”.

"Kenapa celaka?” Tanya si anak dara didalam karung.

"Aku telah meninggalkan bekas tapak kaki di atas salju, kemana pun kita lari pasti juga akan ditemukan mereka”, sahut Hi-tioki

"Terbang saja diatas pohon tentu tak akan meninggalkan bekas”, kata anak dara itu. "Cuma sayang ilmu silatmu terlalu rendah ginkang yang sepele saja kamu tidak bisa. Eh hwesio cilik kulihat tenaga dalammu tidak lemah boleh juga kamu coba-coba”.

"Baiklah coba ini”. Kata Hi-tiok dan segera ia meloncat tinggi ke atas. Dan ternyata sekali loncat saja tingginya melebihi pohon. Waktu turun ia julurkan kaki hendak hinggap disuatu dahan, tak terduga injakannya terlalu berat,”krak” dahan itu patah sehingga Hi-tiok kejeblos berikut dahan pohon yang patah itu

Jatuhnya Hi-tiok dengan badan terlentang sehingga kalau terbanting ke tanah tentu karung yang berisi anak dara itu akan tertindih. Dasar hati Hi-tiok memang welas asih kuatir anak dara itu akan tertindih mati, dengan segala kemampuan ia coba membalik tubuh diudara sehingga menjadi tengkurap jatuhnya, "bluk” ia terbanting

keras, batok kepalanya membentur sepotong batu dan kontan bocor.

Hi-tiok merintih-rintih kesakitan dan meronta bangun dengan malu katanya kemudian, "Ai, aku terlalu bodoh, tidak dapat”

"Kamu lebih suka terluka sendiri daripada menindih aku, betapapun kamu ternyata cukup menghormati nenek” ujar anak dara itu. "Karena nenek ingin menggunakan tenagamu pula sebagai tanda jasa biarlah kuajarkan sejurus lompatan terbang padamu. Nah, dengarkan dengan baik, tatkala melompat ke atas, kedua lutut sedikit di tekuk, tenaga dalam kau himpun dibagian pusat, ketika badan terapung keatas, lantas…”

Begitulah satu persatu ia memberi penjelasan dan mengajarkan pula cara berputar dan membelok diudara, cara melompat kesamping atau mundur kebelakang. selesai itu, lalu katanya. "Nah, sekarang boleh coba melompat lagi seperti apa yang kuajarkan ini.”

"Baiklah”, sahut Hi-tiok. "Dan lebih baik kucoba sendirian saja supaya kalau gagal tidak membikin susah padamu”. Lalu ia bermaksud menaruh karung itu ke tanah.

Tapi anak dara itu menjadi gusar, dampratnya. "Kepandaian yang nenek ajarkan padamu masakah bisa keliru? Kenapa mesti pakai coba-coba segala? Jika sekali ini kamu terbanting lagi seketika juga nenek akan menyembelihmu”.

Hi-tiok merasa mengkirik bila teringat punggungnya menggendong mayat hidup yang setiap saat bisa mencekik lehernya, ia ingin melemparkan jauh-jauh karung itu, tapi tidak berani. Terpaksa ia tabahkan hatinya, ia turut apa yang diajarkan anak dara itu.

Ia tahan napas d a himpun tenaga, lutut sedikit tertekuk lalu meloncat perlahan ke atas.

Benar juga sekali ini tubuhnya seakan-akan bisa terapung sendiri keatas dengan perlahan, meski tiada sesuatu pegangan di udara toh ia dapat berputar dan membelok dengan sesuka hati.

Saking girangnya Hi-tiok berteriak-teriak. "Hah! jadilah sekarang, jadi..”

Tak terduga karena mulutnya terbuka sehingga hawa murni yang bekerja dalam badan lantas gembos sehingga ia jatuh kebawah lagi. untung jatuhnya sekarang menegak dan tidak keras, maka tidak sampai terbanting, hanya kedua kakinya yang yang terbentur dan kesakitan.

"Tolol” damprat si anak dara "Jika mau bicara lebih dulu harus mengatur pernapasan supaya tidak jatuh kebawah. Langkah pertama saja belum bisa sudah ingin langkah kelima dan keenam”.

"Ya, ya memang salahku”, sahut Hi-tiok.

Maka ketika ia meloncat lagi dengan ringan ia dapat hinggap dipucuk pohon, ranting pohon itu hanya mentulmentul saja dan tidak patah, girang Hi-tiok tak terhingga, tapi dia tidak berani bersuara lagi, ia menuruti apa yang diajarkan anak dara tadi dan melompat kedepan, ternyata sekali lompat saja sudah beberapa meter jauhnya dan dapat mendarat diranting yang lain, ketika ranting pohon itu menyendal sekali, kembali ia melompat keatas pohon berikutnya. Dan sekali sudah lancar, ia merasa badan enteng dan tenaga penuh makin melompat semakin jauh, sampai akhirnya sekali lompat dapat melampaui dua pohon jauhnya, ditengah udara ia dapat bergerak bebas seperti ’superman”, keruan ia terkejut dan bergirang.

Puncak gunung itu lebat dan rindang dengan pepohonan, Hi-tiok melayang diatas pohon bagai terbang, dengan sendirinya tidak meninggalkan sesuatu bekas di atas tanah. Maka hanya sebentar saja ia sudah jauh berada ditengah-tengah hutan yang lebat itu. "Cukuplah! sekarang boleh turun saja”, kata si anak dara.

Sekarang Hi-tiok sudah menaruh hormat dan segan kepada anak dara itu, sambil mengiakan ia lompat turun dengan perlahan, kemudian memapah anak dara itu keluar dari dalam karung.

Melihat roman Hi-tiok berseri-seri penuh kegirangan seperti orang baru putus lotere, kontan anak dara itu memaki, "Hwesio cilik kere, baru dapat belajar sedikit kepandaian kasaran saja sudah kegirangan setengah mati”

"Ya, ya, sebab ilmu yang diajarkan nenek ternyata sangat berguna”, sahut Hi-tioki

"Sekali tunjuk saja kamu lantas bisa, suatu tanda pandangan nenek memang tiada keliru, bahwa Iwekangmu itu bukan berasal dari Siau-lim-si”, kata anak dara itu, "Sebenarnya Iwekangmu kau belajar dari siapa? Mengapa dalam usiamu yang masih semuda ini sudah mempunyai Iwekang sedemikian tinggi”.

Hi-tiok menjadi pedih teringat kepada kejadian tempo hari, sahutnya. "Ini adalah perbuatan Bu-gai-cu Losiansing yang telah…telah mencurahkan segenap tenaga murni yang dilatihnya selama lebih tujuh puluh tahun ke dalam tubuhku pada saat beliau akan wafat, sesungguhnya siauceng tidak berani berhianat pada Siaulim-si dan berguru pada aliran lain. Tapi waktu itu tanpa peduli Bu-gai-cu Losiansing lantas memunahkan kepandaian yang kuperoleh dari Siau-lim-si lalu beliau mencurahkan segenap tenaga murninya padaku, siauceng sendiri tidak tahu apakah ini pantas diterima atau tidak dan entah untung atau akan bunting. Ai,

pendek kata, bila kelak siauceng pulang ke Siau-lim-si, pendek kata…pendek kata..”

Berulang-ulang ia bilang pendek kata, tapi entah apa yang harus di pendek katakan.

Sekali ini anak dara itu ternyata diam saja dengan termangu-mangu, ia menggelar karung diatas batu padas, lalu bersandar dan termenung dengan bertopang dagu. Katanya kemudian dengan perlahan "Jika begitu, jadi memang benar Bu-gai-cu telah mewariskan kedudukan ciangbunjin siau-yau-pai kepadamu”.

"Eh, kiranya kaupun kenal nama Siau-yau-pai?” Tanya Hi-tiok dengan heran.

Sebegitu jauh Hi-tiok masih tidak berani menyebut nama Siau-yau-pai karena teringat kepada pesan So-sing-ho yang menyatakan bahwa kecuali orang dari golongan sendiri, bila ada orang luar yang mendengar nama Siauyau-pai, maka orang itu tidak boleh dibiarkan hidup di dunia ini. sekarang ia dengar anak dara itu menyebut dulu Siau-yau-pai, makanya ia berani menyambung.

Terdengar anak dara itu menjawab dengan marah-marah. "Sudah tentu aku tahu siau-yau-pai. Bahkan ketika nenek kenal Siau-yau-pai, saat itu Bu-gai-cu sendiri belum lagi tahu”.

Hi-tiok hanya mengiakan saja dan tidak berani membantah. Pikirnya, "Boleh jadi kamu kesurupan arwah setan tua dari beberapa ratus tahun yang lalu, sudah tentu kamu lebih tahu daripada Bu-gai-cu”.

Dalam pada itu tampak anak dara itu menjemput sebatang kayu kering dan sedang menggores-gores di atas tanah salju, sejenak kemudian sebuah papan catur telah selesai

"Wah, celaka, dia akan paksa aku main catur”, diam-diam Hitiok mengeluh.

Sesudah menggambar papan catur, anak dara itu tampak memasang biji catur pula dengan tanda-tanda garis bundar kosong sebagai biji putih dan garis blok bundar dianggap sebagai hitam.

Baru separuh saja anak dara itu memasang biji catur, segera Hi-tiok dapat mengenali apa yang dilukiskan itu adalah problem catur yang dikarang Bu-gai-cu itu. ia menjadi heran darimana anak dara ini tahu akan problem catur itu Pikirnya jangan-jangan dahulu kaupun pernah berusaha memecahkan problem catur itu, tapi gagal sehingga kamu mati konyol saking dongkolnya?

Berpikir demikian, kembali ia merinding menghadapi anak dara yang disangkanya kesurupan setan itu.

Sejenak kemudian, terdengar anak dara itu berkata. "Nah, katanya kamu pernah memecahkan problem catur ini, sekarang coba kau jalankan langkahnya yang pertama, ingin kulihat betul tidak apa yang kau katakan itu”.

Hi-tiok mengiakan dan segera menjalankan satu biji catur hitam, lalu dilanjutkannya dengan langkah-langkah menurut apa yang didengar dari bisikan Toan yan khing tempo hari dan akhirnya pecahlah problem catur itu.

Seketika keringat tampak berketes-ketes dari dahi anak dara itu, terdengar ia bergumam sendiri. "Takdir, takdir sungguh tiada seorang pun yang dapat berpikir permainan aneh yang harus membunuh diri dulu untuk kemudian baru menyerang?”

Sesudah termangu-mangu sejenak kemudian anak dara itu berkata "jika demikian, tampaknya hwesio cilik tidak omong kosong belaka. Tapi bagaimana Bu-gai-cu menyerahkan cincin besi itu padamu, coba tuturkan pada ku sejelas-jelasnya sedikitpun tidak boleh bohong”

Hi-tiok mengiakan, lalu berceritalah pengalamannya sejak dia ditugaskan turun gunung sehingga memecahkan problem catur mendapat Iwekang dan cincin besi dari Bu-gai-cu, menyaksikan Ting jun-jiu meracun dan membunuh So-sing-ho dan Hian lan, akhirnya dirinya melarikan diri dengan ketakutan, semuanya ia ceritakan dengan jelas.

"Jika begitu terang Bu-gai-cu adalah gurumu, mengapa kamu tidak memanggilnya sebagai suhu, sebaliknya menyebutnya Bu-gai-cu Losiansing apa segala?” Tanya di anak dara.

Hi-tiok menjadi serba susah sahutnya, "Sebab siauceng tetap padri Siau-lim-si dan tidak boleh masuk lagi ke perguruan lain”.

"Apa kamu sudah bertekad danpasti tidak mau menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai?” anak dara itu menegas.

Hi-tiok geleng-geleng kepala dan menjawab, "Ya, tidak… pasti tidak”

"Jika begitu kan gampang”, ujar anak dara itu. "Kau berikan cincin besi itu padaku. Biarlah aku mewakilimu menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai, mau?”

"Bagus, itulah yang kuharap”, seru Hi-tiok dengan girang, segera ia lepaskan cincin besi yang dipakainya dan diserahkan kepada anak dara itu.

Wajah anak dara itu tampak menampilkan rasa girang dan gusar pula, segera cincin itu hendak dipakai pada jarinya, tapi jarinya ternyata sangat kasar dan besar sehingga jari tengah dan jari manis tidak dapat dimasuki cincin akhirnya cincin itu dipakai pada jari kecil secara paksa.

Dengan suara mendongkol kemudian anak dara itu berkata pula. "Kau bilang Bu-gai-cu memberikan lukisan padamu dan kamu disuruh pergi ke Thian san untuk mencari orang dalam lukisan itu, coba, dimanakah lukisan itu?”

Segera Hi-tiok mengeluarkan lukisan yang dimaksudkan. Ketika anak dara itu membentang lukisan dan melihat wanita cantik berdandan secara puteri keraton dalam gambar itu, seketika air mukanya berubah hebat, kontan ia mencaci maki "Jadi dia ingin budak hina dina ini mengajarkan kepandaian padamu? Dia-dia tetap tidak lupa kepada budak hina dina ini dan melukisnya sebagus ini”

Saking murka dan cemburunya, terus saja dia banting lukisan itu ke tanah dan diinjak-injak lukisan wanita cantik itu seketika menjadi kotor dan konyol.

"He, jangan” seru Hi-tiok dan cepat jemput kembali lukisan yang telah tak keruan macamnya itu.

"Apa yang disayang?” bentak anak dara itu dengan gusar.

"Lukisan sebagus ini kan sayang kalau diinjak-injak” sahut Hi-tiok-

"Apakah bangsat Bu-gai-cu itu mengatakan padamu tentang siapa budak hina dina ini?” Tanya si anak dara.

"Tidak” sahut Hi-tiok sambil menggeleng kepala, ia menjadi heran mengapa sekarang Bu-gai-cu dimaki sebagai bangsat?

"Hm, bangsat itu sedang mimpi barangkali, masakah sesudah berpuluh tahun budak hina dina itu masih sedemikian rupa? Huh! biarpun dulu juga tampangnya tidak sebagus ini” demikian anak dara itu marah-marah lagi. saking murkanya kembali lukisan itu hendak direbutnya pula untuk dirobek-robek.

Tapi Hi-tiok keburu mengangkat tangannya ke atas dan kemudian menyimpannya di dalam baju.

Dengan marah-marah anak dara itu masih terus memaki. "Bangsat Bu-gai-cu, yang tidak punya perasaan, dasar budak hina dina”

Sudah tentu Hi-tiok merasa bingung atas pengakuan orang, ia menduga setan yang selurup di badan anak dara ini tentu kenal wanita cantik dalam gambar itu dan kedua orang pernah bermusuhan, sebab itulah si anak dara mencaci maki tidak habis-habisnya demi melihat gambarnya.

Begitulah selagi anak dara itu masih terus mengumpat, sementara itu Hi-tiok merasa perutnya berkeruyukan. Nyata sesudah berlari-lari semalam suntuk sebegitu jauh ia tidak makan minum apa pun, maka sekarang ia kelaparan. Kemudian anak dara itu tanya, "Apa kau lapar?”

"Ya” sahut Hi-tiok. "Dipuncak gunung yang penuh salju melulu ini mungkin tiada sesuatu makanan apa-apa”.

"Kenapa tidak ada?” ujar anak itu. "Dipuncak salju ini sangat banyak ayam juga banyak menjangan dan kambing liar. Mari sini, biar kuajarkan suatu ilmu lari cepat ditanah datar, lalu akan kuajarkan pula cara menyambit ayam menangkap kambing..”

Tapi Hi-tiok lantas goyang-goyang tangan sebelum ucapan anak dara itu habis, katanya. "Wah, orang beragama mana boleh membunuh. Aku lebih suka mati lapar daripada makan barang berjiwa”

"Hwesio busuk! Hwesio goblok! apakah selama hidupmu ini tidak pernah makan daging segala?” damprat anak dara itu

Hi-tiok jadi teringat kejadian dirumah makan tempo hari, waktu itu dia digoda dan diticu A Ci sehingga terlanjur makan sepotong daging gemuk serta minum satu mangkuk kuah ayam.

Maka dengan muka bersungut ia menjawab, "Ya, pernah aku ditipu orang satu kali sehingga terlanjur makan barang berjiwa, tapi kejadian itu tidak disengaja, rasanya Buddha juga takkan menyalahkan aku. Tapi kalau aku disuruh membunuh mahluk berjiwa, minta ampun, tidak nanti mau kulakukan.”

"Kamu tidak mau menyembelih ayam dan memotong kambing, tapi mau membunuh manusia, dosamu tentu berlipat ganda, ujar anak dara itu”.

"Aneh bilakah aku membunuh manusia?” Tanya Hi-tiok dengan heran, "Omitohud Dosa, dosa..”

"Aaaa, pakai dosa segala, sungguh menggelikan”, kata anak dara itu. "Kalau kamu tidak mau menangkap ayam untuk makanku, selang dua jam lagi tentu aku akan mati, ini kan berarti kamu yang membunuh diriku?”

Hi-tiok menjadi serba runyam, ia garuk-garuk kepala, katanya kemudian "Jika engkau merasa lapar, dipuncak gunung ini tentu banyak rebung dan sayur-sayuran biarlah kucarikan untukmu”.

Mendadak anak dara itu menarik muka, ia menunjuk matahari dan berkata. "Sang surya sudah bergeser sampai diatas, bila aku tidak minum darah segar, aku pasti akan mati. Hal ini sekali-kali tidak kubohongimu”.

Hi-tiok menjadi ketakutan, tanyanya, "Orang baik-baik kenapa mesti minum darah segar?”

Teringat olehnya bahwa iblis yang suka isap darah adalah sebangsa drakula, maka ia jadi mengkirik lagi.

Maka terdengar anak dara itu berkata pula, "Aku mempunyai semacam penyakit aneh, tiap-tiap hari waktu lohor bila tidak minum darah segar, maka hawa murni dalam tubuhku akan bergolak dan akibatnya bisa membakar mati diriku, sebelum mati tentu aku akan menjadi gila, hal mana tentu juga takkan menguntungkanmu”

Tapi Hi-tiok masih terus menggeleng kepala katanya, "Biar bagaimana pun juga sebagai murid Buddha aku harus patuh pada ajaran agama dan taat pada setiap larangannya. Jangankan aku sendiri tidak mau disuruh membunuh makluk berjiwa, sekali pun melihat engkau hendak membunuh juga pasti akan kucegah sebisanya”.

Anak dara itu memandang tajam pada Hi-tiok, dilihatnya padri dogol itu agak takut-takut tapi jelas tekadnya sangat teguh rasanya sukar disuruh menurut, sesudah tertawa dingin beberapa kali, lalu ia tanya pula. "Kamu mengaku sebagai murid Buddha dan taat pada pelajaran agama. Coba katakan apa sih larangan dan pantangan agama kalian?”

"Larangan dan pantangan agama Buddha sudah tentu banyak” sahut Hi-tioki "Pendek kata, dilarang membunuh adalah larangan pertama agama Buddha.”

"Katanya dalam kitab Buddha ada disebut tentang memotong daging sendiri untuk makanan elang dapatkah

kau ceritakan kisahnya”, kata anak dara itu.

"Dahulu sang Buddha sakyawuni waktu melihat seekor elang lapar sedang memburu seekor burung merpati, beliau merasa tidak tega dan menyembunyikan merpati itu dalam bajunya. Elang lapar itu berkata pada sang Buddha, ‘Engkau menolong jiwa merpati itu tapi aku yang akan mati kelaparan’. Karena, itulah sang Buddha lantas memotong daging sendiri untuk makanan elang lapar itu”, demikian tutur Hi-tioki

"Bagus” seru si anak dara "Sekarang kalau kamu tidak mau menangkap kambing atau mencari ayam bagiku, maka kamu harus meniru kebijakan sakyawuni dengan memotong daging sendiri untuk makananku. Kalau tidak itu berarti kamu bukan murid Buddha lagi”

Sembari bicara ia singkap lengan baju kiri Hi-tiok sehingga kelihatan lengannya yang putih gemuk. Lalu sambungnya lagi dengan tertawa, "Setelah makan lenganmu yang gemuk itu tentu cukup untuk tahan lapar selama satu hari”.

Sekilas Hi-tiok melihat gigi anak dara itu panjang lagi lancip, terang bukan gigi kaum kanak-kanak, melihat lagaknya itu seperti ingin sekali gigit terus mengunyah daging lengannya.

Sebenarnya Hi-tiok tidak perlu takut kepada anak dara yang kecil dan lemah itu, tapi sejak tadi ia menduga anak dara itu tentu keseluruhan setan, maka begitu melihat kelakuannya yang luar biasa itu, ia jadi merinding dan ketakutan. Mendadak ia menjerit keras-keras satu kali, ia kipatkan tangan anak dara itu terus berlari kembali ke bawah gunung.

Saking takutnya maka jeritan Hi-tiok itu sangat keras dan nyaring sekonyong-konyong terdengar seruan orang di pinggang gunung sana, "Itulah dia, disana Marilah kita beramai-ramai menggerebeknya.” Nyata itulah suara Putpeng Tojin.

Karena itulah Hi-tiok lantas berhenti lari, pikirnya, "Wah! celaka. Karena jeritanku barusan sehingga tempat sembunyi diketahui, lantas bagaimana baiknya sekarang?”

Mestinya ia hendak lari kembali untuk menggendong anak dara itu, tapi ia masih takut jika ditinggal sendiri ia merasa tidak tega pula.

Dalam keadaan ragu-ragu ia coba melongo ke bawah gunung, ia lihat beberapa titik hitam sedang merayap keatas meski jaraknya masih jauh tapi akhirnya pasti akan disusul mereka. Dan sekali anak dara itu tertangkap mereka pasti tak berampun lagi.

Karena itu, akhirnya Hi-tiok putar baliki dar jauh ia berkata kepada si anak dara, "Hei, asal kamu bersumpah takkan menggigit aku, segera akan kugendong dirimu untuk melarikan diri lagi.”

Anak dara itu tampak tertawa, sahutnya, "Marilah sini, akan kukatakan padamu, orang-orang yang sedang merayap ke atas itu seluruhnya berjumlah lima orang, yang pertama adalah Putpeng Tojin, kedua Oh-lotoa, ketiga orang she Ang, dua orang lagi she Lo dan Lai. Biarlah kuajarkan beberapa jurus kepandaian, lebih dulu Putpeng Tojin harus kau robohkan.”

Sesudah merandek sejenak lalu sambungnya pula dengan tersenyum, "Ya, hanya robohkan dia saja agar dia tak bisa berkutik tapi jangan kau bunuh dia dengan demikian tidak berarti kamu membunuh dan melanggar pantangan”.

Tapi Hi-tiok merasa ragu, sahutnya, "Ilmu silat Putpeng Tojin dan Oh-lotoa sangat tinggi cara bagaimana dapat kurobohkan mereka? Biar pun kepandaianmu sangat bagus juga tak mungkin mengajarkan padaku dalam waktu sesingkat ini”.

"Goblok! dasar goblok” semprot anak dara itu. Bu-gai-cu adalah ketua Siau-yau-pai, dia adalah guru So-singho dan Ting jun-jiu. Tentang kepandaian So-sing-ho dan Ting jun-jiu sudah kau saksikan sendiri, maka dapat kau bayangkan bagaimana dengan kepandaian guru mereka, sekarang dia sudah mencurahkan seantero tenaga yang dilatihnya selama tujuh puluh tahun kepadamu, dengan kekuatanmu ini masakah kaum keroco sebangsa Putpeng Tojin dan Oh-lotoa itu mampu melawanmu? soalnya kamu terlalu goblok dan tak dapat menggunakan kekuatanmu, sekarang coba ambil karung itu tarik napas dalam-dalam dan mengerahkan tenaga pada lengan kanan, pentang mulut karung itu, lalu tangan kiri gaplok sekali pada pinggang belakang musuh”

Hi-tiok menuruti setiap gerakan yang diajarkan itu tapi dia tetap tidak percaya hanya dengan beberapa gerakan itu mampu merobohkan jago-jago silat terkemuka itu.

"Habis itu jari telunjuk kiri tutuk bagian ini ditubuh musuh, salah.. salah.. naik sedikit ..ya betul, itulah tempatnya. Harus mengerahkan tenaga dan jangan keliru tempat yang harus ditutuk itu”.

Begitulah anak dara itu melanjutkan petunjuknya.

Hi-tiok menirukan semua petunjuk itu dan mengingatnya dengan baik. Meski yang diajarkan itu kelihatannya cuma lima enam gerakan saja, tapi setiap gerakan itu ternyata meliputi macam-macam gaya yang sangat aneh dan ruwet sehingga Hi-tiok melatihnya sampai setengah hari masih tetap tidak tepat dengan ajaran di anak dara.

Untung ingatan Hi-tiok cukup baik, ia dapat ingat setiap kalimat kungfu dasar yang diajarkan anak dara itu cuma saja kalau dia disuruh memainkan secara sekaligus seluruh ajakan itu tetap dia tidak becus.

Berulang-ulang anak dara itu memperbaiki kesalahan Hi-tioki ia pun tidak habis-habis memaki "Goblok dasar goblok Bu-gai-cu benar-benar buta sehingga mencari seorang ahli waris semacam dirimu, jika kamu seorang pemuda tampan masih dapat dimengerti, tapi kamu justru seorang hwesio cilik yang bermuka jelek dan goblok pula, entah cara bagaimana Bu-gai-cu dapat penujuimu.”

Hi-tiok menjadi heran, tapi mendongkol karena olok-olok anak dara itu, sahutnya, "Ya. Bu-gai-cu Losiansing juga pernah menyatakan lagi mencari seorang ahliwaris berupa pemuda tampan. Peraturan Siau-yau-pai itu benar-benar sangat aneh. Dan sekarang ketua siau yau pai kan dijabat olehmu, tapi..”

Ia tidak melanjutkan lagi, sebenarnya ia ingin berkata. "Tapi nona cilik yang diselurupi setan tua seperti dirimu juga tidak seberapa cantik”

Hi-tiok melatih lagi beberapa kali dengan tekun, meski setiap kali masih salah. Tiba-tiba terdengar suara orang berlari secepat terbang, Putpeng Tojin memburu tiba sambil berseru dengan tertawa dan segera menerjang kearah Hi-tiok, "Sungguh cepat benar larimu, ya hwesio cilik”.

Hi-tiok insyaf tak mampu melawan, segera ia putar tubuh hendak angkat langkah seribu, Tapi si anak dara keburu membentaknya. "Lakukan menurut ajaran tadi, jangan takut”

Karena tak sempat banyak berpikir lagi, segera Hi-tiok pentang mulut karung, ia kerahkan tenaga pada lengan kanan terus menghantam kearah Putpeng Tojin

"Setan alas, berani, kau lawan Toya (tuan besar)” damprat Putpeng Tojin sambil menangkis.

Aneh juga, imam yang ditakuti 36 Tongcu dan 72 Tocu itu ternyata tidak tahan sekali hantam, sedikit tubuhnya terhuyung-huyung, terus saja kepala Pul-peng Tojin menyusup ke dalam karung yang dipantang Hi-tiok..

Girang Hi-tiok tidak kepalang, menyusul ia menutuk pula "Ih-sik-hiat" menurut ajaran si anak dara tadi.

"Ih-sik-hiat" itu terletak di kanan-kiri tulang punggung, tapi Hi-tiok tidak mahir ilmu Tiam-hiat, dalam keadaan

gugup tutukannya menjadi melenceng sehingga kena "Yang-kang-hjat", suatu hiat-to yang terletak di atas Ihsik-hiat.

Rupanya Put-peng Tojin menjadi kesakitan, ia menjerit dan menerobos keluar lagi dari dalam karung terus menjatuhkan diri ke depan sana dan tergelinding ke bawah gunung.

"Sayang, sayang" demikian terdengar si anak dara berseru gegetun. Lalu ia memaki Hi-tiok pula, "Goblok, suruh kau tutuk Ih-sik-hiat supaya dia roboh tak berkutik, kenapa, kau tutuk Yang-kang-hiatnya?"

Sebaliknya Hi-tiok tampak kaget dan bergirang pula, serunya "Wah, ajaranmu ini boleh juga, biarpun salah tutuk, tapi sudah membuatnya ketakutan setengah mati!"

Sementara itu Oh-lotoa telah menerjang maju untuk menggantikan. Put-peng Tojin.

Segera Hi-tiok memapaknya dengan menjinjing karung katanya, "Oh-lotoa, marilah jika kaupun mau cobacoba!"

Melihat sekali gebrak Put-peng Tojin lantas dikalahkan, maka Oh-lotoa sangat waspada dan tidak mau main seruduk Ia angkat golok "Lok-po-hiang-lot-to" yang berbisa itu dan menabas dari samping.

"Haya, celaka" teriak Hi-tiok. "Dia pakai senjata, aku tidak sanggup melawannya! Tadi tidak kauajarkan cara melawan golok padaku, sekarang aku tidak keburu minta petunjuk lagi padamu”

"Lekas pondong aku dan meloncat ke atas pohon sana!" seru si anak dara.

Dalam pada itu Oh-lotoa telah menyerang tiga kali kepada Hi-tiok, untung Oh-lotoa sudah jeri lebih dulu padanya sehingga tidak berani terlalu mendesak, serangan yang dilancarkan itu lebih bersifat menggertak saja. Tapi hal ini sudah cukup membual Hi-tiok kelabakan dan terancam bahaya, Maka demi mendengar seruan si anak dara , ia menjadi girang, pikirnya, "Ya, betul, menyelamatkan diri dengan meloncat ke atas pohon adalah kemahiranku!"

Tapi sebelum ia lari kearah si anak dara tau-tau golok Oh-lotoa sudah berulang-ulang menyerangnya pula. "Sret..sret", dua kali tabasan selalu mengarah tempat yang mematikan di tubuh Hi-tiok.

"Haya , Celaka!" teriak Hi-tiok gugup. Cepat ia loncat ke atas melambung tinggi ke atas pohon cemara yaiig

besar.

Pohon cemara itu empat-lima meter tapi sekaligus Hi-tiok dapat mencapainya dengan mudah keruan hal ini membuat Oh-lotoa terkejut.

Meski ilmu silat Oh-lotoa sangat tinggi, tapi dalam hal ginkang ia hanya biasa saja. Pohon setinggi itu tidak mampu dicapainya. Tapi sasaran utamanya memang bukan Hi-tiok melainkan anak dara maka ia lantas memaki, "Hwesio setan jika memang pintar boleh berdiri saja selama di atas pohon dan jangan turun!"

Habis berkata ia terus lari kearah si anak dara, sekali pegang segera leher baja anak dara itu dicengkeramnya dan diangkat ke atas. Rupanya dia masih hendak, menawan kembali anak dara itu agar kawan-kawannya dapat ikut membacoknya masing-masing satu kali dan minum darahnya sebagai sumpah,

Hi-tiok menjadi kuatir demi nampak si anak dara kena ditawan musuh pikirnya, "Dia suruh aku membawanya ke atas pohon , tapi aku melarikan diri lebih dulu ke sini, Padahal ilmu ginkang ini kubalajar dari dia, bukankah aku akan dikatakan manusia yang lupa budi dan tidak kenal kebaikan orang?"

Karena pikiran demikian, segera ia lompat turun lagi.

Dia masih memegang karun g kosong itu, waktu melompat turun kebetulan mulut karung itu menghadap ke bawah dan terbuka lebar, dalam gugupnya karena ingin menolong si anak dara, tanpa pikir lagi Hi-tiok terus mengerudungkan karung itu pada kepada Oh-lotoa, menyusul ia menutuk pula punggung lawan, tapi tutukan ini tetap tak bisa tepat seperti ajaran si anak daratadi, yaitu yang diincar mestinya Ih-sik hiat, tapi yang kena adalah sebelah bawah tempat "Wi-jong-hiat”

Oh-lotoa sendiri hanya mendengar ada angin menyambar dari atas menyusul pandanannya menjadi gelap, apapun tidak kelihatan lagi. Dalam kagetnya, goloknya terus membacok ke depan, tapi mengenai tempat kosong. Kebetulan saat itu Wi-jong-hiatnya ditutuk Hi-tiok.

Namun Oh-lotoa tidak lantas roboh. Hanya kedua lengannya terasa kesemutan, "trang", golok jatuh ke tanah cengkeramannya kepada, anak dara itu pun menjadi kendur, dan terpaksa dilepaskan.

Dalam gugupnya karena ingin melepaskan diri dari kerudungan karung! cepat ia mengelinding pergi.

Kesempatan itu digunakan Hi-tiok untuk memondong si anak dara luhi meloncat lagi ke atas pohon sambil

berkata. "Wah, hampir saja! Hampir saja'"

Air muka anak dara itu tampak pucat pasi, dampratnya, "Dasar goblok nenek mengajarkan ilmu sakti padamu, tapi dua kali gebrak dua kali salah menggunakan."

Hi-tiok menjudi malu, sahutnya, "Ya, ya.. Aku salah menutuk tempatnya."

"Lihatlah, kembali mereka datang lagi!" kata si anak dara.

Waktu Hi-tiok memandang ke bawah, benarjuga, selain Put-peng Tojin dan Oh-lotoa berdua bahkan tambah lagi liga orang lain. Cuma mereka tidak berani sembarangan maju lagi, mereka hanya bicara dan tuding-tuding dari jauh.

Seorang di antaranya yang pendet gemuk mendadak berteriak satu kali terus menjatuhkan diri ke atas tanah, lalu badannya yang bergelindingan itu tampak memancarkan sinar putih yang gemerlapan. Kiranya dia telah putar dua batang kampak pendek yang tajam dan menerjang ke bawah pohon, menyusul terdengarlah suara "crat..crat" berulang-ulang, kampaknya bekerja dengan cepat untuk menebang pohon.

Saking tajamnya kampak orang ini, tenaganya besar pula, tampaknya cukup belasan kali tabasan lagi tentu pohon Siong itu akan tumbang. Keruan Hi-tiok kelabakan dan berulang-ulang berkata, "Wah, celaka. Bagaimana ini?"

Dengan sikap dingin si anak dara berkata. "Gurumu Bu-gai-cu menyuruhmu minta belajar ilmu silat kepada budak hina-dina dalam lukisan Itu, nah, boleh kau pergi memohon padanya! Jika budak-hina-dina itu sudi mengajarkan ilmu padamu, tentu sekaligus akan dapat kau bereskan lima ekor babi di bawah pohon itu,"

Diam-diam Hi-liok sangat mendongkol, keadaan sudah kepepet, tapi anak dara ini masih mengejeknya.

Namun ia tidak berani membantah, hanya mengejar napas putus asa.

Dalam pada itu kapak si pendek gemuk di bawah pohon masih bekerja terus dengan cepat dan pohon cemara itu mulai bergoyang-goyang, lidi cemara juga rontok bagi hujan.

Tiba-tiba anak dara itu memberi petunjuk, " Kerahkan hawa murni dan pusat ke Ki-kut-hiat di pundak, lalu

salurkan ke Thian-cing-hiat di siku dan teruskan ke Yang-ti-hat di pergelangan tangan. Putarlah tenagamu di antara ketiga hiat-to itu sehingga tiga kali, lalu kerahkan ke Koan-ciong-'hiat di jari manis. Nah , sudah mulai belum?"

Begitulah sambil mengajar ditunjukkan pula tempat hiat-to yang dikatakan itu ditubuh Hi-tiok,

Ia tahu Hi-tiok sendiri tidak paham di mana letak hiat-to yang dimaksudkan, maka harus ditunjuk secara jelas dengan memegang tempatnya,

Sejak mendapat saluran tenaga murni dari Bu-gai-cu, dapatlah Hi-tiok mengerahkan tenaga dalamm yang hebat itu ke bagian mana pun sesukanya.

Demi mendengar petunjuk si anak dara, maka ia lantas menurut, terasa pohon sudah mulai miring dan akan tumbang, cepat ia berseru,

"Ya, sudah, tenagaku sudah siap!"

Maka berkatalah anak dara itu, "Boleh petik berapa biji cemara dan incar baik-baik si pendek gemuk itu, boleh kepalanya atau dadanya, gunakan tenaga yang terhimpun di jari manis dan kelentikan biji cemara itu ."

Hi-tiok mengiakan dan segera memetik biji cemara serta dijepit di antara dua, jarinya.

"Lekas selentik!" seru si anak dara.

Segera Hi-tiok kerjakan jarinya dan biji cemara itu terus menyambar bawah secepat anak panah, cuma sayang, selamanya, Hi-tiok tidak pernah belajar ilmu menggunakan Amgi atau senjata rahasia sehingga serangan itu melenceng agak jauh, "pluk", biji cemara .itu. mengenai tanah dan ambles tanpa bekas.

Si pendek gemuk itu kaget juga oleh timpukan itu, tapi hanya tertegun sejenak, lalu kapak nya menebang lagi lebih cepat.

"Hwesio goblok, ayo coba sekali lagi,"' seru si anak dara.

Dengan rasa malu Hi-tiok menurut. Tapi karena gemetar, sekali ini jaraknya menjadi lebih jauh daripada sasarannya.

"Untuk melompat ke pohon di depan sanajaraknya terlalu jauh , dengan membawa diriku mungkin sukar untuk mencapainya, keadaan sudah bahaya, lebih baik kamu menyelamatkan dirim u sendiri saja," kata si a n a k dara.

"Mana boleh jadi," sahut Hi-tiok. "Aku bukan manusia yang lupa pada budi orang. Biar bagaimana pun juga aku pasti akan menolongmu sebisanya. Jika benar-benar sudah tak berdaya, biaraku mati bersamamu saja."

"Hwesio bodoh, aku bukan sanak bukan kadangmu, buat apa kamu ikut mati bersamaku!" kata anak dara itu. "Tapi, hm, kan juga tidak gampang bila mereka hendak membunuh kita berdua. Boleh petik 12 biji cemara, pegang di tanganmu masing-masing enam biji, kerahkan tenagamu dan siap untuk menimpuk”

Lalu ia pun mengajarkan cara mengerahkan tenaga dan cara menimpuk.

Hi-tiok ingat baik-baik ajaran itu. Dalam pada itu pohon, cemara itu sudah mulai tumbang ke bawah dengan membawa suara "kraak" dan akhirnya Oh-lotoa, si pendek gemuk dan kedua kawannya sama bersorak gembira sambil memburu maju.

"Lekas hamburkan biji-biji cemara!" bentak si anak dara.

Tatkala itu tenaga murni yang dikerahkan Hi-tiok sedang bergolak, maka sekali kedua tangannya bergerak, 12 biji cemara lantas bertebaran bagai hujan terdengarlah suara "plak-plok" beberapa kali kontan empat orang roboh terjungkal.

Yang luput tertimpuk biji cemara hanya si pendek gemuk saja, ia sempat menjerit kaget, lalu membuang kedua kapaknya dan lari ke bawah gunung dengan terbirit-birit. Maka tertampaklah di tanah salju situ darah berceceran, darah yang mengucur dari keempat korban yang menggeletak tak berkutik itu.

Sehabis menghamburkan biji cemara, Hi-tiok kuatir kalau anak dara itu jatuh terbanting maka ia sempat merangkulnya untuk kemudian dibawa loncat turun dengan pelahan. Ketika melihat luka keempat orang itu sangat parah , ia sendiri menjadi terkesima.

Sebaliknya si anak dara lantas bersorak gembira , cepat ia meronta lepas dari rangkulan Hi-tiok dan, segera menubruk ke atas badan Put-peng Tojin, ia tempelkan mulutnya di jidat Put-peng Tojin dan menghirup darah segar yang mengucur keluar itu.

"He , apa yang kau lakukan ?" teriak Hi-tiok kaget. Cepat ia pegang leher baju anak dara itu dan diangkat ke atas

"'Kamu sudah membunuh dia sekarang aku mengisap darahnya sebagai obat, kenapa tidak boleh?" kata anak dara itu.

Melihat mulut anak dara itu penuh berlepotan darah, apalagi meringis-ringis ketika bicara, Hi-tiok menjadi takut, perlahan ia turunkan badan orang dan berkata, "Kau bilang aku sudah ... sudah membunuhnya ?”

"Memangnya apa dia masih hidup?" sahut anak dara itu dan kembali berjongkok untuk menghirup darah lagi.

Melihat jidat Put-peng Tojin berlubang sebesar telur, Hi-tiok terkesiap, pikirnya, "Wah, celaka! Biji cemara yang kusambitkan tadi telah bersarang di batok kepalanya. Padahal biji cemara itu adalah benda lemas, ken ..kenapa dapat menembus tulang kepalanya?"

Ketika ia periksa lagi korban yang lain, ia lihat seorang terkena dadanva, seorang lagi tenggorokan dan bagian hidung masing-masing kena satu biji cemara, semuanya sudah mati, hanya Oh-lotoa yang perutnya juga kena dua biji cemara tampak masih kembang-kempis dan merintih-rintih, namun belum mati.

Hi-tiok mendekati Oh-lotoa dan memberi hormat padanya, katanya, "Oh-siansing, tanpa sengaja telah kulukaimu, dosa kuterlalu besar, sungguh aku sangat menyesal."

"Huh, buat apa kamu bergurau lagi padaku?" kata Oh-lotoa dengan gusar. "Ayolah boleh lekas... lekas bunuh aku saja dan habis perkara!"

"Ah, mana aku berani bergurau dengan cian-pwe," sahut Hi-tiok. "Sungguh aku.. aku .... " mendadak teringat olehnya sekaligus dirinya telah membunuh tiga orang, tampaknya jiwa Oh-lotoa ini juga susah dipertahankan lagi. Terang dirinya telah melanggar larangan membunuh dari ajaran Budha, seketika ia sangat menyesal dan sedih, tanpa terasa air mata bercucuran.

Sehabis kenyang mengisap darah, perlahan anak dara itu berdiri kembali. Dilihatnya Hi-tiok lagi sibuk

membalut luka Oh-lotoa, sebaliknya badan Oh-lotoa tak bisa berkutik, namun mulutnya terus menerus menghamburkan caci makian yang kotor dan keji luar biasa, dari kakek-moyang sampai bapak-ibu Hi-tiok juga dimaki habis-habisan.

Namun Hi-tiok masih terus minta maaf, katanya "Ya, ya, memang aku yang salah. Sungguh aku menyesal. Tapi tiada gunanya kau maki bapak-ibuku, sebab sejak kecil aku sudah yatim piatu, bahkan siapa bapak-ibuku yang sebenarnya juga tid k tahu, maka percuma biarpun engkau memakinya. Kutahu perutmu tentu sangat sakit sehingga marah-marah, aku maklum dan tidak menyalahkanmu. Sungguh aku tidak menduga timpukan biji cemara akan begini lihai, Ai, biji-biji cemara itu sungguh sangat aneh, mungkin biji cemara itu adalah sejenis yang istimewa dan tidak sama dengan biji cemara biasa."

"Kakek-moyangmu! Apa bedanya biji cemara ini dengan biji cemara biasa?" rnaki Oh-lotoa. "Pendek kata, kelak kalau kamu mati tentu akan masuk neraka dan dihukum masuk dalam wajan minyak mendidih dan dipanggang di tungku membara. Dasar hwesio bangsat, lwekangmu tinggi dan dapat rnembinasakan aku, biarpun mati aku pun takkan menyesal karena memang kepandaianku kalah jauh. Tapi buat apa kamu mesti pentang bacot seenaknya, sudah melukai orang, yang disalahkan biji cemaranya. Hm, mentang-mentang kamu sudah berhasil menyakinkan Pak-beng-cin-gi' dan mestinya juga tidak perlu main menang-menangan,"

Hi-tiok menjadi heran oleh dampratan Oh-lotoa itu, sahutnya, "He, kau bilang Pak ... Pak..”

"Ya, hari ini memang mujur keledai gundul kecil ini" kata si anak dara dengan tertawa, "Sebenarnya ilmu sakti nenek 'Pak-beng-cin-gi' ini adalah ilmu yang dirahasiakan dan tak diajarkan pada siapa pun juga. Tapi kamu berhati sangat tulus, benar-benar rela mati bagi nenek, kelakuanmu ini sudah memenuhi syarat untuk menerima ajaranku, Apalagi dalam keadaan kepepet ketika nenek perlu bantuanmu. Eh, Oh-loioa, boleh juga pandanganmu ya, ternyata kaupun kenal nama ilmu yang digunakan hwesio cilik ini."

Kedua mata Oh-lotoa sampai melotot saking herannya, agak lama barulah ia berkata, "Sia ....siapakah kau? Tadi engkau bisu, kenapa sekarang dapat bicara?"

"Hm, berdasar apa kau berani tanya siapa diriku?" jengek si anak dara. Lalu ia keluarkan sebuah'botol porselen kecil, ia tuang dua butir pil kuning dan diserahkan kepada Hi-tiok serta berkata, "Minumkan dia!"

Hi-tiok mengiakan tanpa banyak bicara ia terima kedua pil itu dan disodorkan ke mulut Oh-lotoa.

Seketika Oh-lotoa mengendus bau pedas yang sangat menusuk hidung sehingga dia bersin beberapa kali. Ia girang-girang kejut, katanya, "Bukan..kah ini Kiu ... Kiu-coan-him-coa-wan?"

"Benar, luas juga pengetahuanmu ya, kamu tidak kecewa sebagai pemimpin para Tocu," sahut si anak dara. "Pil Kiu-coan-him-coa-wan ini sangat manjur untuk mengobati segala macam luka dan menyambung nyawa, lekas minum,"

"Kenapa engkau menolong jiwaku?" tanya Oh-lotoa. Ia kuatir kehilangan kesempatan baik maka tanpa menunggu jawaban si anak dara segera ia pentang mulut dan telan kedua biji pil kuning itu.

Maka si anak dara menjawab, "Pertama aku merasa terima kasih atas pertolonganmu, kedua, di kemudian hari aku masih membutuhkan tenagamu."

Oh-lotoa semakin heran, katanya, "Berterima kasih kepada pertolonganku? Padahal sudah terang aku hendak membunuhmu, bilamana aku pernah bermaksud baik padamu?"

"Bicaramu ternyata sangat jujur dan terus terang, kamu tidak kecewa sebagai seorang jantan.... " jengek si anak dara.

Tiba-tiba ia mendongak ke langit, ia melihat sang surya sudah berada tepat di atas kepala. Segera katanya kepada Hi-tiok, "Hwesio cilik, aku akan melatih ilmu, kamu harus menjaga diriku di samping sini. Jika ada orang datang hendak mengganggu, boleh kaugunakan 'Pak-beng-cin-gi' yang kuajarkan padamu itu, dengan segenggam pasir atau sambar sepotong batu dan sambitkan saja pada musuh."

"Tapi kalau aku menewaskan orang lagi, lantas bagaimana?" ujar Hi-tiok sambil geleng-geleng kepala. 'Tidak ... aku .. aku tak mau."

Anak dara itu pun tidak memaksa ia mendekati tepi puncak dan memandang ke bawah, lalu katanya. "Sementara ini juga takkan kedatangan orang, kalau tidak mau juga tak apa."

Kemudian ia duduk bersila, in rangkap kedua tangan di depan dada, lalu jari telunjuk kanan mengacung.ke langit dan jari telunjuk kiri menuding ke bumi, ketika ia bersuara mendengus sekali, dari lubang hidungnya lantas memancur keluar dua jalur hawa putih halus.

"Hei, ini ... ini 'Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-cun-kang' .... " seru Oh-lotoa dengan terperanjat,

Hi-tiok tidak peduli apa yang diserukan orang sebaliknya ia tanya, "Oh-siansing, sesudah makan obat, lukamu sudah baikan tidak?"

Namun Oh-lotoa lantas mencaci-maki, "Keledai gundul keparat, hwesio bangsat, lukaku akan sembuh atau tidak peduli apa denganmu? Buat apa pura-pura tanya,"

Namun sebenarnya luka di perutnya itu memang sudah berkurang rasa sakitnya.

Oh-lotoa tahu Kiu-coan-him-coa-wan adalah obat mujarab milik leng-ciu-kiong di puncak Biau-biau-hong, Thian-san, sesudah minum obat itu boleh dikata jiwanya dapat direnggut kembali dari tangan elmaut. Tapi ia menjadi sangat terperanjat ketika melihat anak dara itu dapat melatih ilmu yang hebat itu,

Ia pemah mendengar cerita orang bahwa "Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-cun-kang' (ilmu maha agung, di atas langit dan di seluruh jagat) itu adalah semacam ilmu yang tak ternilai milik Leng-ciu-kiong, kalau tidak mempunyai dasar lwekang beberapa puluh tahun tidak mungkin dapat melatihnya. Tapi anak dara yang diculiknya dari Leng-ciu-kiong ini usianya paling-paling cuma sembilan atau sepuluh tahun saja, mengapa juga dapat melatih ilmu sakti itu?

Dalam pada itu kelihatan kabut putih yang terembus keluar dari lubang hidung si anak dan telah menyelubungi sekitar kepalanya, makin lama makin tebal kabut itu sehingga akhirnya wajah anak dara itu tertutup semua. Menyusul terdengar ruas tulang anak dara itu berkerotokan, bunyinya seperti kacang digoreng.

Hi-tiok saling pandang dengan Oh-lotoa dengan bingung. Cuma Oh-lotoa sedikit-sedikit tahu tentang "Tokcun-kang" itu, tapi sampai dimana cara berlatih ilmu itu tidaklah diketahuinya,

Sementara itu suara "pletak-pletok" seperti kacang digoreng itu mulai mereda, menyusul kabut putih pun buyar, lalu jalur-jalur hawa putih menyusup kembali ke dalam lubang hidung si anak dara. Habis itu, perlahan si anak dara membuka mata dan berbangkit.

Hi-tiok dan Oh-lotoa sama kucek-kucek matanya sendiri, mereka merasa mata sendiri sudah kabur, mereka merasa sesudah melatih ilmu itu air muka si anak dara itu menjadi agak aneh, tapi dimana letak perbedaannya dengan tadi mereka tidak dapat mengatakannya.

Anak dara itu tampak mengawasi Oh-lotoa, katanya kemudian, "Pengetahuanmu ternyata cukup luas sehingga kenal juga Tok-cun-kang yang kumiliki ini."

"Sia ... siapakah kau'" tanya Oh-Iotoa dengan takut-takut.

"Ha , nyalimu sungguh besar sekali,” kata anak dara itu dan tidak menjawab pertanyaan Oh-lotoa, sebaliknya ia lantas berkata pada Hi-tiok,

"Sekarang boleh kaurangkul aku dengan tangan kiri, tangan kanan pegang pinggang belakang Oh-lotoa. kerahkan Pak-heng-cin-gi yang telah kaupahami itu dan loncat ke atas bohon, lari ke atas puncak sana, hari ini kita dapat mencapai 500 kali lebih tinggi lagi."

"Mungkin Siauceng tidak mempunyai tenaga sekuat itu," ujar Hi-tiok. Tapi ia pun menuruti apa yang dikatakan anak dara itu dan merangkulnya, sedang tangan kanan lantas mencengkeram pinggang belakang Oh-lotoa, terasa agak berat dan sukar meloncat ke atas pohon.

"Lekas mengerahkan tenaga dalam!" bentak si anak dara.

"Ya, ya! Dalam bingungnya aku menjadi lupa," sahut Hi-tiok dengan tertawa. Dan segera ia kerahkan hawa murni di dalam tubuh.

Aneh juga, seketika badan Oh-lotoa yang besar itu menjadi ringan seperti kapas, apalagi badan sianak dara yang kecil itu, boleh dikata tidak tersisa apa-apa.

Dan sekali loncat .segera Hi-tiok mencapai pucuk pohon, menyusul ia lantas melayang ke depan menurut ajaran si anak dara, ternyata jalannya dari atas satu pohon ke pohon yang lain sama saja seperti dia jalan di tanah datar saja, sedikitpun tidak sukar.

Suatu kali ia melangkah terlalu cepat sehingga melampaui ranting pohon yang harus dihinggapinya itu, maka ia kejeblos ke bawah. Keruan ia kaget, untung pegangannya atas si anak dara dan Oh-lotoa tidak sampai terlepas, lekas-lekas ia kerahkan tenaga dan meloncat lagi ke atas.

Ia kuatir didamprat si anak dara, maka tanpa berkata ia, terus lari terlebih cepat ke atas puncak gunung sana.

Lama kelamaan cara melayangnya itu menjadi biasa dan lancar, maka larinya semakin kencang sehingga samasekaili tak dirasakan bahwa saat itu dia sedang mendaki puncak gunung, sebaliknya tiada ubah seperti orang sedang turun ke bawah gunung.

"Kamu baru saja belajar Pak-beng-cin-gi', tidak boleh digunakan dengan terlalu berat, jika mau selamat, hendaknya berhenti saja," kata si anak dara.

Hi-tiok mengiakan, dan sesudah melayang lagi beberapa, meter jauhnya, lalu ia "lepas gas" dan melompat turun ke bawah, beban muatannya juga diturunkan.

Sungguh kejut, dan kagum Oh-lotoa tak terhingga, katanya kepada anak dara itu, 'Pak ....Pak-beng-cin-gi ini baru kauajarkan padanya hari ini dan ternyata, sudah begini hebat. Ilmu sakti orang Leng-ciu-kiong sungguh sukar untuk dijajaki”.

Anak dara itu tak gubris padanya, ia mendekati sebatang pohon, dilihatnya di sekeliling situ hutan sangat lebat, maka katanya dengan tertawa dingin, "Hm, dalam tiga hari, rasanya kawanan keroco kalian itu belum tentu mampu mencari kesini."

"Kami sudah kalah habis-habisan. Sedang hwesio cilik ini memiliki tenaga sakti Pak-beng-cin-gi pula, andaikan para kawan dapat menemukan jejakmu juga tak mampu melawan," kata Oh-lotoa dengan putus asa.

Si anak dara tertawa dingin saja dan tidak berkata pula, ia pejamkan mata dan bersandar di batang pohon untuk tidur.

Sesudah berlari-lari perut Hi-tiok menjadi semakin lapar, ia pandang si anak dara, lalu memandang Oh-lotoa pula, katanya kemudian, "Aku hendak pergi mencari makanan. Tapi kamu berhati jahat, mungkin akan membikin celaka kawan cilik ini, lebih baik kubawa serta dirimu saja."

Lalu ia cengkeram lagi punggung Oh-lotoa dan hendak dibawa pergi.

Tiba-tiba si anak dara membuka mata dan berkata, "Goblok, aku sudah mengajarkan cara tiam-hiat padamu, sekarang dia sudah tak bisa berkutik dan kamu masih tak dapat menutuknya dengan tepat"

"Justru kuatir tutukanku salah dan dia masih dapat bergerak," kata Hi-tiok.

”Aku sudah pegang dia punya 'sing-si-hu', masakah dia berani sembarangan bergerak?" kata si anak dara.

Mendengar istilah 'Sing-si-hu' itu, seketika Oh-lotoa berteriak kaget, "Hah, kau .'.. kau "

"Tadi kau makan berapa biji obatku?" tanya si anak dara.

"Dua biji," sahut Oh-loto;..

"Hm, khasiat Kiu-Coan-him-coa-wan keluaran Leng-ciu-kiong sangat cespleng, masakah sekali pakai perlu dua biji?" ujar si anak dara. "Lagi pula binatang yang lebih rendah daripada babi dan anjing seperti dirimu masakah ada harganya untuk makan dua biji pil mujarabku?"

Seketika jidat Oh-lotoa keluar butir keringat sebesar kedelai, tanyanya dangau suara gemetar,

"Jadi yang satu biji itu adalah , .. adalah .... "

"Coba periksa kaupunya ‘Thian-ti-hiat'" potong si anak dara.

Dengan gemetar Oit-lotoa coba membuka baju, benar juga ia lihat Thian-ti-hiat di tepi kelek kirinya terdapat satu titik merah seperti andeng-andeng. Seketika ia berteriak kaget dan hampir-hampir jatuh kelengsr, serunya, "Sebenarnya engkau ini ... ini siapa? Da .. . dari mana kau tahu letak tempat Sing-si-hu ku? Jadi aku telah minum Toan-kin-hu-kut-wan?"

Anak dara itu tersenyum, sahutnya, "Aku masih memerlukan tenagamu, tidak nanti aku cabut nyawamu, maka tidak perlu takut."

Namun kedua mata Oh-lotoa tampak melotot lebar-lebar, betapa rasa takutnya sungguh sukar dilukiskan.

Sudah beberapa kali Hi-tiok melihat wajah Oh-lotoa yang ketakutan, tapi sekali ini tampak luar biasa. Maka ia coba tanya, "Toan-kin-hu-kut-wan (pil peluluh tulang dan pemutus otot) itu barang apa-apaan? Apakah racun?"

Muka Oh-lotoa tampak berkerut-kerut dan untuk sekian lamanya tidak dapat buka suara.

Sekonyong-konyong ia tuding Hi-tiok dan mendamprat, "Kamu padri bangsat, hwesio keparat, keledai gundul sialan! Kakek moyangmu delapan belas keturunan tentu haram jadah semua! Kelak kamu pasti akan putus anak.putus cucu, kalau punya putra tentu juga cacat, kalau punya putri tentu tidak laku kawin…”

Begitulah makin memaki makin aneh-aneh, sungguh murkanya tidak alang kepalang. Lama sekali ia mengutuk Hi-tiok habis-habisan, sampai akhirnya mungkin ia letih sendiri, lalu berhenti..

Hi-tiok hanya menghela napas belaka, sahutnya."Aku adalah hwesio, dengan sendirinya tidak kawin, kalau tak kawin sudah tentu takkan punya anak dan cucu."

"Huh, kamu bangsat gundul ini apa mengira akan putus turunan dengan aman? Tidak, aku justru doakan kamu akan kawin dan kelak melahirkan dua puluh putra dan tiga puluh putri, semuanya makan Toan-kin-hu-kut-wan, semuanya akan merintih-rintih. dihadapanmu, mati tidak dan hidup tidak, akhirnya kau sendiri juga telan Toankin-hu-kut-wan dan rasakan siksaan obat itu."

"Hah, apakah pil itu sedemikian kejinya?" seru Hi-tiok kaget.

"Keparat, kelak kau sendiri tentu akan tersiksa, ototmu akan putus semua,dan mulutmu tak bisa terbuka, lidahmu akan kaku, lalu ... lalu .... " demikian Oh-lotoa mengutuk terus, ia sendiri pun mengkirik bila teringat betapa sengsaranya akan tersiksa bila obat itu sudah mulai bekerja. Terbayang akan kemungkinankemungkinan itu sungguh ia ingin sekarang juga membunuh diri saja.

Maka terdengar si anak dara berkata dengan tersenyum, "Asal kau turut segala perintahku, tentu aku takkan mengerahkan daya kerja obat itu, kenapa kamu mesti takut? Hwesio cilik, boleh kau tutuk dia agar dia tak bisa berkutik, jangan-jangan nanti dia menjadi gila dan benturkan kepalanya pada batang pohon."

Hi-tiok mengiakan dan mendekati Oh-lotoa ia raba betul tempat ih-sik-hiat, lalu menutuknya. Kontan Oh-lotoa roboh dan pingsan,

Kiranya saat itu Hi-tiok sudah berhasil meyakinkan "Pak-beng-cin-gi" yang sakti, sebenarnya tidak peduli dia tutuk bagian mana pun sudah cukup membuat lawan terluka parah. Tapi demi nampak. Oh-lotoa semaput, "Hitiok menjadi kelabakan malah, cepat ia pijat-pijat gitok Oh-lotoa dan urut dadanya, sampai sekian lama barulah Oh-lotoa siuman kembali. Namun keadaannya sudah sangat lemah, hanya bisa bernapas saja dan tak mampu memaki lagi,

Melihat Oh-lotoa sudah siuman barulah Hi~tiok pergi mencari makanan.

Meski di hutan situ banyak hewan sebangsa ayam alas, kelinci, menjangan dan kambing liar, tapi biarpun mati kelaparan juga Hi-tiok tidak mau membunuh, makluk berjiwa. Ia mencari sampai lama dan tidak mendapatkan sesuatu tetumbuhan yang bisa dimakan. Terpaksa ia lompat ke atas pohon Siang untuk memetik biji cemara ia kupas kulitnya dan makan isinya sekadar tangsal perut.

Biji cemara itu agak gurih dan enak, cuma bijinya terlalu kecil, sekaligus makan beratus-ratus biji juga belum terasa kenyang. Namun begitu Hi-tiok juga tidak rakus, setelah isi perut sekadarnya, lalu ia kumpulkan isi biji cemara itu sehingga penuh dua saku, ia bawa kembali untuk makanan si anak dara dan Oh-lotoa.

Sudah tentu si anak dara marah-marah karena makanan yang tidak digemari itu, katanya, "Sudahlah, lekas kau buka hiat-to Oh-lotoa, biar dia yang mencarikan makanan bagiku."

Lalu ia pun mengajarkan caranya membuka hiat-to yang tertutuk tadi.

"Ya, Oh-lotoa tentu juga sudah kelaparan," ujar Hi-tiok. Lalu ia buka Hiat-to dan meraup segenggam biji cemara untuk Oh-lotoa, katanya, "Oh-siansing, makanlah kacang ini sedikit."

Dengan gemas Oh-lotoa melotot sekali pada Hi-tiok, lalu ia comot biji cemara itu dan dimakan, Setiap jejalkan satu biji kacang cemara ke mulut segera ia memaki satu kali "Hwesio jahanam!" Setelah makan lagi satu biji, ia maki pula. "Kepala gundul keparat!"

Namun Hi-tiok juga tidak marah, ia maklum orang mencaci-maki padanya adalah karena dia telah melukainya.

"Sehabis makan, lekas tidur, dilarang bersuara lagi!" kata si anak dara

On-lotoa tidak berani membantah dan cepat mengiakan. Dengan cepat ia makan biji cemara itu, lalu rebah dan tidur.

Hi-tiok sendiri juga sangat letih, ia duduk bersila di sebelah si anak dara, tidak lama kemudian ia pun terpulas.

Esok paginya cuaca ternyata mendung, awan hitam penuh menutupi puncak gunung dan tampaknya akan hujan.

"Oh-lotoa," kata si anak dara. "Lekas pergi menangkap seekor menjangan atau kambing, sebelum lohor kamu harus kembali."

Oh-lotoa mengiakan dan berbangkit dengan sempoyongan. Ia jemput sebatang ranting kayu untuk dipakai sebagai tongkat. Lalu melangkah pergi dengan berincang-incut.

Mestinya Hi-tiok merasa kasihan dan ingin memayangnya sebentar, tapi demi ingat Oh-lotoa hendak pergi berburu dan membunuh, segera Hi-tiok berdoa lagi, lalu katanya, "Wahai, menjangan, ayam alas, kelinci dan sekalian makluk alam hendaklah menjauh dan jangan sampai kena ditangkap Oh-lotoa."

Si anak dara hanya mendengus saja melihat kelakuan Hi-tiok yang ketolol-tololan itu.

Siapa duga, biarpun dalam keadaan terluka, entah dengan cara bagaimana, akhirnya Oh-lotoa dapat kembali sebelum lohor dengan hasil buruannya seekok anak menjangan.

Melihat bakal korban itu, kembali Hi-tiok berdoa berulang-ulang.

Menjangan kecil itu tampaknya belum ada setahun umurnya dan masih bersuara mengembik mencari induknya,

Lalu Oh-lotoa berkata, "Hwesio cilik, lekas menyalakan api, sebentar kita dapat makan daging panggang menjangan."

"Ampun, dosa, dosa! Siauceng sekali-kali takkan membantu perbuatanmu yang jahat ini," kata Hi-tiok.

Namun Oh-lotoa tak peduli lagi, segera ia mencabut belatinya terus hendak menyembelih menjangan itu.

"Nanti dulu," tiba-tiba si anak dara mencegahnya.

Oh-lotoa menurut saja dan menarik kembali belatinya.

Hi-tiok menjadi girang, serunya, "Ya, betul! Nona cilik memang welas-asih, kelak pasti akan mendapat ganjaran yang baik."

Namun si anak dara hanya tertawa dingin saja dan tidak gubris padanya.

Dalam pada itu bayangan orang semakin mengkeret, hari tetap mendung sehingga bayangan hampir tak kelihatan. Akhirnya si anak dara berkata

"Sudah waktu lohor sekarang!"

Segera ia angkat menjangan kecil itu dari pegangan Oh-lotoa, sesudah pentang kepala menjangan itu, lalu tenggorokan binatang itu digigitnya.

Saking kesakitan menjangan itu meronta-ronta sambil bersuara keras, namun gigitan anak dara itu sangat kencang, mulutnya mengeluarkan suara

"krok-krok", darah menjangan tiada hentinya disedot.

Keruan Oh-lotoa terperanjat, teriaknya, "Hei, hei! Kau ... kau terlalu kejam ini!"

Namun anak dara itu tetap tidak peduli dan misih terus sedot darah sekuatnya, rontaan menjangan itu makin lama makin kendur, ahirnya berkdojotan beberapa kali dan tak bergerak lagi, sudah mati.

Sesudah kenyang minum darah menjangan, hal ini kentara dari perutnya yang agak gembung, lalu anak dara itu melemparkan bangkai menjangan dan duduk bersila lagi untuk melatih "Tok-cun-kang" dengan mengembuskan hawa putih, dari hidungnya.

Pada saat itulah sinar kilat tampak berkelebat dan guntur, berbunyi menyusul air hujan mulai mencurah dengan derasnya. Tapi anak dara itu tetap berlatih tanpa bergerak, kabut putih semakin tebal membungkus kepalanya, sedikit pun tidak terganggu oleh air hujan.

Hi-tiok dan Oh-lotoa berteduh di bawah pohon besar itu. Selang agak lama barulah tampak anak dara itu selesai berlatih dan berbangkit. Sudah tentu pakaian anak dara itu basah kuyup. Katanya, "Sesudah hujan berhenti, boleh daging menjangan itu dipanggang ... "

Esok paginya kembali Oh-lotoa berburu dan mendapat seekor kambing, caranya tetap sama, sehabis darah disedot anak dara itu dan selesai berlatih ilmu, lalu makan daging kambing panggang alias sate kambing,

Sudah tentu Hi-tiok merasa muak, katanya, "Nona cilik, sekarang Oh-lotoa telah tunduk kepada segala perintahmu dan dapat melayanimu dengan baik tanpa berani membangkang. Maka biarlah Siauceng mohon diri sekarang juga "

"Tidak, aku melarangmu pergi," kata anak dara itu.

"Siauceng harus cepat pulang ke Siau-lim-si untuk melaporkan hasil tugasku, maka tidak dapat tertahan lebih lama lagi di sini," ujar Hi-tiok.

"Jadi kamu tidak mau menurut kata-kataku dan mau tinggal pergi begini saja?" si anak dara menegas.

"Tapi nona jangan kuatir," ujar Hi-tiok. "Aku sudah mendapat akal, Jubahku akan kuisi dengan rumput dan dedaunan sehingga berwujud sebuah karung, lalu aku pura-pura membawamu lari dan sengaja diperlihatkan kepada orang di bawah gunung itu. Dengan demikian mereka pasti akan mengejarku karena mengira dirimu berada di dalam karung yang kugendong. Sesudah Siauceng memancing kawanan pengejar itu sampai jauh, lalu engkau dan Oh-lotoa dapat turun gunung dengan aman dan pulang ke Biau-biau-hong kalian."

"Akalmu ini boleh juga, tapi aku tidak mau lari" seru si anak dara.

"Jika tak mau, ya, boleh juga kau sembunyi saja di sini," kata Hi-tiok "Di tengah hutan lebat penuh salju ini tentu mereka pun sukar menemukanmu. Sesudah 8 atau 10 hari, tanpa alangan kaupun dapat pergi dengan bebas."

"Jika lewat 8 atau 10 hari lagi, aku pun akan pulih kepada kekuatanku antara usia 18 atau 19 tahun, tatkala itu akulah yang tak mau memberi ampun kepada mereka," kata si anak dara.

"Ha, apa katamu?" Hi-tiok menegas dengan heran.

"Coba periksa yang betul, apakah wajahku tiada sesuatu perbedaan dibanding tiga hari yang lampau" kata anak dara itu

Waktu Hi-tiok mengamat-amati, ia lihat roman anak dara itu seperti tambah tua beberapa tahun, sekarang mirip dengan anak perempuan umur belasan dan tidak lagi delapan atau sembilan tahun, maka katanya dengan setengah bergurau.

"Ya engkau seperti ... seperti sudah lebih tua beberapa tahun selama tiga hari ini. Cuma ...cuma badanmu tidak bertambah besar."

Anak dara itu tampak sangat girang, sahutnya, "Hehe, boleh juga pandanganmu sehingga dapat melihat aku sudah tambah tua beberapa tahun. Dasar hwesio tolol, perawakan Thian-san Tong-lo sudah tentu mirip anak perempuan kecil, selamanya tak bisa tumbuh lebih besar lagi."

"Hah, Thian-san Tong-lo! Engkau, Thian san Tong-lo?" teriak Hi-tiok dan Oh-lotoa berbareng saking terperanjat.

"Memangnya kalian sangka aku siapa?” jengek anak dara itu dengan gusar. "Nenekmu selamanya berbadan anak kecil, masakah kalian sudah buta semua sehingga, tidak tahu?"

Dengan mata terbelalak Oh-lotoa mengawasi si anak dara alias Thian-san Tong-lo, mulut komat kamit seperti ingin omong apa-apa, tapi sukar diluapkan.

Selang agak lama, mendadak ia berlutut dan berkata dengan tcrguguk-guguk, "Oo, seharusnya aku sudah tahu sejak mula, aku ... aku benar-benar orang paling goblok di dunia ini, sebaliknya kusangka engkau adalah seorang dayang cilik yang tiada artinya di Leng-ciu-hong, siapa tahu ....siapa tahu engkau ... engkau adalah Thian-san Tong-lo sendiri!"

"Dan tadinya kausangka aku ini siapa?" tanya nenek berbadan kerdil itu kepada Hi-tiok,

Sahut Hi-tiok dengan tenang dan sewajarnya, "Aku sangka dirimu adalah, anak dara yang kesurupan setan tua!".

"Ngaco-belo!” semprot Thian-san Tong-lo.

"Apa-apaan setan tua yang selurup di badan anak perempuan segala?"

"Habis, bangun tubuhmu sama dengan anak kecil, tapi pikiranmu dan suara mu serupa nenek-nenek jompo, kau sendiri mengaku sebagai nenek pula, jika bukan arwah halus wanita tua yang selurup di badan anak kecil, masakah bisa terjadi begitu?"

Thian-san Tong-lo terkekeh geli katanya, "Dasar hwesio cilik tolol,"

Lalu ia berpaling kepada Oh-lotoa dan berkata, "Ketika aku ditawan olehmu, selama itu kamu tidak membinasakan aku, sekarang kamu tentu menyesal bukan?"

"Benar," mendadak Oh-lotoa berbangkit. "Pernah tiga kali aku berkunjung ke Biau-biau-hong dan mendengar suaramu, cuma kedua mataku ditutup sehingga tidak tahu mukamu. Sungguh aku Oh-lotoa memang goblok sehingga menganggap dirimu sebagai ... sebagai anak bisu,"

"Bukan cuma kamu saja, tapi di antara ke-36 Tongcu dan ke 72 Tocu juga banyak yang pernah mendengar suaraku," kata Tong-lo. "Dan kalau nenekmu tidak berlagak bisu, bukankah rahasiaku akan konangan dan berbahaya?"

Berulang Oh-lotoa menghela napas gegetun katanya, "Konon Thian-san Tong-lo memiliki ilmu sakti, membunuh orang tidak pernah dua kali serangan. Tapi mengapa dapat kulawan dengan sangat mudah tanpa melawan sedikit pun?"'

Thian-san Tong-lo terbahak bahak, katanya, "Aku pernah meiyatakan terima kasih atas pertoloiganmu, dan di situlah letak persoalannya. Hari itu kebetulan aku akan kedalangan seorang musuh tangguh, sedangkan kesehatanku terganggu dan sukar melawannya. Kebetulan kamu menculik aku sehingga nenek terhindar dari bencana, bukankah aku harus berterima kasih padamu?"

Sampai di sini, mendadak sorot matanya berubah bengis dan sambungnya pula, "Tapi sesudah kamu tawan diriku, kamu tuduh aku bisu pula dan menyiksa aku dengan macam-macam aniaya keji, dosamu sungguh keliwat takaran, kalau tidak sebenarnya aku dapat mengampuni jiwamu."

Cepat Oh-lotoa menjura, katanyu, "Lolo, kata peribahasa: yang tidak tahu tak dapat disalahkan. Jika waktu itu Oh-lotoa mengetahui engkau adalah Thian-san Tong lo yang sangat kuhormati dan kutakuti, biarpun nyaliku sebesar gunung juga tidak berani main gila padamu."

"Hm, takut sih memang, tapi belum tentu kamu menghormati diriku," jengek Tong-lo. "Kamu telah kumpulkan 36 Tongcu dan 72 Tocu untuk mengadakan komplotan khianat padaku. Nah, bagaimana kamu akan bicara?"

Keringat Oh-lotoa mengucur sebagai hujan dan tiada hentinya menjura sehingga batok kepalanya membentur batu, akhirnya sampai keluar darah.

Diam-diam Hi-tiok membatin. "Kiranya nona cilik adalah Thian-san Tong-lo, Tong-lo, Tong-lo, tadinya kusangka dia she Tong, siapa tahu Tong artinya anak. Jadi Tong-lo benar-benar artinya nenek berwujud bocah dan tidak berayi nenek she Tong. ilmu silatnya terang luar biasa dan banyak tipu akalnya pula, setiap orang sangat takut padanja, sebaliknya selama beberapa hari ini aku telah bantu dia, dalam hati diam-diam tentu dia mentertawakan aku tidak tahu diri. Ai, Hi-tiok, wahai Hi-tiok engkau benar-benar seorang hwesio tolol!”

la lihat Oh-lotoa masih terus menjura, segera ia tinggal pergi tanpa pamit.

"Hendak ke mana kau? Berhenti!" bentak Tong-lo mendadak.

Hi-tiok membalik tubuh dan memberi hormat, katanya, "Selama tiga hari ini Hi-tiok telah berbuat macammacam kebodohan, sekarang aku hendak mohon diri saja!"

"Kebodohan apa?" tanya Tong-lo.

"Habis ilmu silat Lisicu sendiri sangat sakti dan mengguncangkan dunia, tapi Hi-tiok sendiri buta dan tidak kenal dirimu, sebaliknya berani menolongmu segala. Kalau Lisicu tidak mengolok-olok saja aku sudah merasa berterima kasih, aku sendiri makin pikir semakin malu, maka lebih baik mohon diri saja," demikian, sahut Hitiok.

Nenek bocah itu mendekati Hi-tiok, katanya kepada Oh-lotoa, "Aku ingin bicara dengan hwesio cilik, lekas menyingkir yang jauh."

Berulang Oh-Iotoa mengiakan dan cepat berbangkit serta menyingkir ke sana.

"Siauhwesio (padri kecil), selama tiga hari ini kamu benar-benar telah menyelamatkan jiwaku dan bukan

berbuat kebodohan," kata Tong-lo kepada Hi-tiok. "Selama hidup Thian-san Tong-lo tidak pernah menguapkan terima kasih kepada orang tapi kau telah menolong jiwaku, kelak nenek pasti akan membalas kebaikanmu ini."

"Ah, kepandaian mu maha tinggi, masakah perli pertolonganku? Terang engkau hanya berolok-olok saja," ujar Hi-tiok.

Tong-lo menjadi kurang senang, katanya, "Jika aku bilang kamu telah menolong jiwaku, maka hal itu memang benar telah terjadi. Selama hidupku tidak suka bila ada orang berani membantahku. Iwekang yang nenek yakinkan ini memang betul bernama 'Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-sinkang’. Ilmu ini maha sakti, tapi ada suatu ciri kelemahannya, yaitu setiap 30 tahun tentu dari tua akan kembali muda" .

"Dari tua kembali muda?" Hi-tiok nenegas dengan terheran-hcran. "Wah, jika begitu, bukankah sangat baik? Siapa di dunia ini yang tidak ingin, kembali muda?"

"Ai, kamu hwesio cilik ini sangat jujur, kamu telah menolong jiwaku pula, maka tiada alangannya kuceritakan padamu," kala Tong-lo dengan menghela napas. "Sejak berusia lima tahun aku sudah berlatih ilmu sakti itu, ketika berumur 36 tahun aku telah 'dari tua kembali muda' satu kali dan tempo yang kukorbankan adalah 30 hari, Ketika berumur 66 tahun kembali muda lagi dan makan waktu 60 hari. Dan tahun ini aku berumur 96 tahun dan kembali muda lagi, maka aku harus korbankan tempo 90 hari untuk memulihkan tenaga sakti."

"Haa? Sekarang engkau ... engkau berumur 96 tahun?"' Hi-tiok menegas dengan mata terbelalak sebesar gundu.

"Aku adalah Suci gurumu, Bu-gai-cu, jika Bugai-cu tidak mampus, maka tahun ini dia sudah berumur 93 tahun. Aku lebih tua tiga tahun dari dia, bukankah umurku 96 tahun sekarang?"

Mata Hi-tiok terbelalak lebih lebar lagi. Sungguh susah untuk dipercaya bahwa Thian-san Tong-lo itu sudah berumur 96 tahun jika dilihat dari perawakan dan wajahnya.

Maka nenek itu berkata pula, "Ilmu 'Tok-cun-kang' ini adalah semacam Iwekang yang sangat aneh dan sakti. Cuma sayang aku terlalu cepat melatihnya, baru berumur lima tahun aku sudah mulai berlatih dan tiga tahun kemudian daya sakti ilmu ini pun tampak jelas, yaitu aku selalu awet muda dan tidak bisa tua lagi, badanku juga tidak dapat tumbuh pula dan selamanya berwujud seperti anak perempuan berumur delapan atau sembilan tahun."

"O, kiranya begitu," kata Hi-tiok. Sekarang ia percaya penuh bahwa "anak dara" itu benar-benar adalah Thiansan Tong-lo. Kemudian ia, tanya pula, "Dan ada apa lagi ketika engkau kembali muda pula pada tahun ini?"

"Pada saat mulai kembali muda, seluruh tenaga sakti akan punah," tutur Tong-lo. "Dan untuk seterusnya setiap aku berlatih satu hari, tenagaku lantas pulih seperti waktu berumur lima tahun satu hari lagi, tenagaku pulih seperti waktu berumur enam tahun dan hari ketiga pulih seperti umur tujuh tahun. Jadi latihan setiap hari sama dengan satu tahun. Cuma untuk berlatih diperlukan minum darah segar pada waktu lohor tiap hari,

"Waktu aku diculik Oh-lotoa, tatkala itu aku baru berlatih sampai hari keempat, maka dengan mudah dapat diculik olehnya. Maklum waktu itu tenagaku baru-pulih seperti ketika berumur 8 tahun, dengan sendirinya tidak dapat melawan. Terpaksa aku pura-pura bisu dan berlagak gagu serta dimasukkan karung oleh Oh-lotoa dan dibawa lari”

"Sejak itu aku tidak dapat minum darah segar dan tetap berkekuatan seperti anak berumur delapan tahun saja. Dari tua kembali muda adalah seperti ular yang mengelungsungi, setiap kali ganti kulit baru menjadi tambah tua satu tahun, Tapi kalau ditangkap pada waktu ganti kulit, maka celakalah”.

"Bila dalam dua-tiga hari lagi aku tidak dapat minum darah segar sehingga tidak bisaberlatih, jika hawa mumi dalam tubuhku meledak, maka jiwaku pasti akan melayang. Sebab itulah kubilang kamu sudah menolong jiwaku, hal ini sedikitpun tidak salah."

"Jika begitu, sekarang engkau baru pulih seperti anak berumur belasan tahun, untuk bisa pulih sampai usia 96 tahun bukankah masih perlu waktu lebih dan 80 hari dan itu berarti akan minta korban jiwa menjangan atau kelinci sebanyak berpuluh ekor?"

'Thian-san' Tong-lo tersenyum, sahutnya, "Ha, hwesio cilik sekarang rupanya sudah tambah pintar. Cuma saja dalam waktu 80 an hari ini tenagaku masih belum dapat pulih dengan sekaligus, kalau menghadapi kaum keroco sebangsa Oh-lotoa, Putpeng Tojin dan lain-lain masih gampang dibereskan, tapi bila musihku yang utama mendapat tahu jejakku dan memburu kemari, maka susahlah, bagi nenek untuk melawannya, untuk itu diperlukan perlindunganmu."

"Tapi kepandaianku terlalu rendah! Dalam pandangan Cianpwe boleh dikata tiada nilainya," sahut Hi-tiok. "Jika Cianpwe sendiri tidak sanggup melawan musuh itu, apalagi diriku yang tak becus. Maka menurut pendapatku akan lebih baik bila Cianpwe menghindar saja sejauh mungkin, nanti sesudah 80-an hari lagi, kalau tenaga sakti Cianpwe sudah pulih kembali tentu tidak perlu takut lagi kepada musuh mana pun."

"Meski kepandaian mu rendah, tapi tenaga murni himpunan Bu-gai-cu selama 70 tahun sudah di curahkan seluruhnya ke dalam tubuhmu, asal kaupaham cara mengarahkannya, tentu masih cukup untuk menandingi sekadarnya terhadap musuh utamaku itu," kata Tong-!o. "Baik, begini saja, marilah kita mengadakan 'barter' Aku nanti mengajarkan" ilmu silat sakti padamu, kemudian kau gunakan ilmu silat ajaranku itu untuk

melindungiku menghadapi musuh, ini namanya saling menguntungkan.".

Dasar Thian-san tong-lo sudah biasa main perintah, setiap kata-katanya tidak pernah dibantah oleh siapa pun juga, maka tanpa menunggu jawaban Hi-tiok segera ia melanjutkan lagi, "Sebenarnya kaupun tidak terlalu bodoh. Kamu mirip anak kaum hartawan, ya, boleh dikatakan putra kaum milyarder, kamu mendapat warisan yang berlimpah-limpah, jadi tidak perlu mengumpulkan kekayaan lagi, tapi sebaliknya kamu tidak dapat menggunakan uang, maka boleh belajar cara berfoya-foya menghamburkan uang? Maka asal kamu melatih selama sebulan saja tentu akan kelihatan hasilnya, dua bulan kemudian kamu sudah cukup kuat untuk sekadar menandingi musuhku it.u. Nah, ingat dengan baik, langkah pertama adalah .... "

"Jangan, Ciaupwe!" berulang Hi-tiok menggoyang tangannya. "Siauceng adalah murid Siaulimpai, biarpun kepandaian Cianpwe maha sakti, tapi Siauceng sekali-kali tidak boleh mempelajarinya. Maaf, hendaknya jangan marah. Maaf!"

Thian-san Tong-lo menjadi gusar, semprotnya, "Kepandaianmu dari Siau-lim-pai itu sudah dipunahkan habis oleh Bu-gai-cu, mengapa kamu masih mengaku sebagai murid Siau-lim-pai segala?"

"Ya, apa boleh buat, terpaksa Siauceng akan pulang ke Siau-lim-si dan mulai belajar lagi dari semula," kata Hitiok.

Tong-lo tambah marah, "Jadi kamu anggap golongan kami adalah oarng jahat dan kamu tidak sudi belajar ilmu kami?”

"Bukan begitu maksudku," sahut Hi-tiok. "Orang beragama harus welas-asih dan mengutamakan menolong sesamanya. Tentang ilmu silat kalau bisa melatihnya hingga tinggi memang baik juga, tapi kalau tidak mahir juga tidak menjadi soal."

Melatih Hi-tiok bicara dengan penuh hikmat seperti padri saleh, diam-diam Tong-lo merasa dongkol, ia pikir padri cilik ini sangat kepala batu kalau dipaksa tentu akan gagal. Tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia berseru, "Oh-lotoa, lekas pergi menangkap dua ekor menjangan dan segera disembelih!"

Waktu itu Oh-lotoa lelah menyingkir agak jauh, karena tenaga Thian-san Tong-lo masih lemah, maka suaranya tak didengar Oh lotoa. Sesudah diulangi menggembor dua-tiga kali, akhirnya baru terdengar Oh-lotoa mengiakan.

"He, kenapa engkau hendak menyembelih menjangan lagi?" seru Hi-tiok kaget. "Hari ini bukankah engkau sudah minum darah segar?"

"Habis, kamu yang memaksa aku menyembelih kenapa banyak omong pula?" sahut Tong-lo dengan tertawa.

Hi-tiok menjadi heran, katanya, "Bi ... bilakah aku memaksamu menyembelih menjangan ?”.

"Kamu tidak mau membantu aku melawan musuh, maka akhirnya aku pasti akan dianiaya dan dibunuh musuh. Karena itu, coba kalau kamu menjadi aku, apa kamu tidak merasa masgul? Dan untuk melampiaskan rasa dendamku terpaksa aku ambil korban atas hewan saja."

"Omituhud'. Ampun! Ampuun" sahut Hi-tiok.

"Cianpwe, kawanan hewan itu sesungguhnya juga sangat kasihan. Hendaklah mengampuni jiwa mereka saja."

"Hm, sedangkan jiwaku sendiri sebentar lagi juga mungkin akan melayang, lantas siapa yang pernah menaruh belas kasihan padaku?" jengek Thian-san Tong-lo. Lalu ia berteriak keras-keras

"Oh-lotoa, lekas pergi, dua ekor, tidak boleh kurang"

Dan dari jauh terdengar Oh-lotoa mengiakan.

Hi-tiok menjadi bingung dan tak berdaya. Jika ia tinggal psrgi begitu' saja, maka entah berapa banyak kambing dan menjangan tak berdosa yang akan dibunuh Thian-san Tong-lo. Sebaliknya kalau suruh dia tinggal terus di situ untuk belajar ilmu silatnya Toug-lo, Hi-tiok merasa enggan juga.

Cara Oh-lotoa menangkap menjangan rupanya sangat pintar, sebab tidak terlalu lama ia sudah kembali dengan menyeret dua ekor menjangan hidup. Ia tahu Thian-san Tong-lo perlu darah yang segar, maka ia tidak lantas menyembelihnya.

"Darah segar yang kuperlukan hari ini sudah cukup, boleh kau potong menjangan itu dan buang saja ke selokan sana," kata Tong-lo dengan tak acuh.

Oh-lotoa mengiakan, sekali belatihnya bekerja "kuik", kontan seekor menjangan dijagalnya. Ketika ia hendak potong lagi menjangan yang lain, tiba-tiba Hi-tiok berteriak, "Nanti dulu, berhenti!"

"Jika kamu menurut kepada perintahku, maka boleh kuampuni jiwa menjangan ini," kata Tonglo, "Tapi kalau kamu tetap mau tinggal pergi, maka setiap hari tentu akan kusembelih sepuluh ekor menjangan, dan 20 ekor ayam alas, 30 ekor kambing, Banyak sedikit korban nanti bergantung kepada keputusanmu ini. Dahulu sang Budha rela mengorbankan diri sendiri bagi sesamanya, beliau bilang "Kalau aku sendiri tidak masuk neraka siapa yang mau masuk neraka?" Dan sekarang nenek cuma minta kamu tinggal di sini buat beberapa hari lagi dan tidak menyuruhmu masuk neraka, namun kamu tetap tidak mau dan tega membiarkan jiwa kawanan hewan menjadi korban, apakah caramu ini ada setitik rasa sebagai murid Budha ?"

Hi-tiok sampai berkeringat dingin mendengar "kotbah"' itu, cepat sahutnya, "kritik Cianpwe memang benar. Baiklah, harap lepaskan menjangan itu dan aku pasti akan menurut kepada peminataanmu,"

Tong-lo sangat girang, segera ia berkata kepada Oh-lotoa, "Nah, lekas lepaskan menjangan hidup itu! Lalu kau sendiri lekas menyingkir yang jauh "

Sesudah Oh-lotoa menyingkir agak jauh lalu Thian-san, Tong-lo mengajarkan istilah-istilah dan rahasia-rahasia ilmu cara bersemadi dan mengerahkan hawa murni dalam tubuh.

Thian-san Tong-lo adalah saudara seperguruan dengan Bu gai-cu, dangan sendirinya ilmu silat yang diajarkan itu sangat gampang diterima oleh Hi-tiok yang telah mempunyai dasar iwekang yang sama. Sedikit latihan saja kemajuannya sudah maju dengan pesat

Besoknya ketika Thian-san To-ig-lo mengisap darah menjangan lagi untuk melatih "Tok-cun-kang" sekali ini ia tidak membinasakan korbannya, ia bubuhi obat pada luka tempat gigitan, lalu binatang itu dilepaskan. Katanya kepada Oh-lotoa,

"Karena Siausuhu" ini tidak suka orang membunuh mahluk berjiwa, maka selanjutnya kau pun tidak boleh, makan barang berjiwa, hanya boleh makan biji cemara saja. Jika kutahu kamu makan daging menjangan atau kambing, hm, segara kusembelih dirimu untuk mengganti jiwa binatang yang kau bunuh itu."

Sudah tentu Oh-lotoa tidak berani membantah di mulut ia menyatakan tunduk, tapi. dalam hati ia mengumpat Hi-tiok, sedari kakek-moyang ke 16 keturunan sehingga bapak-biyungnya juga ikut dicaci-maki habis-habisan. Tapi ia tahu sekarang Hi-tiok adalah "anak mas" Thian-san Tong-lo, betapapun ia tidak berani sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor.

Keadaan begitu telah berjalan beberapa hari, bukan saja Thian-san Tong-lo tidak membunuh lagi, bahkan Ohlotoa juga ikut-ikutan puasa. Tentu saja Hi-tiok sangat senang, pikirnya, "Orang sudah menepati janji padaku,

betapapun aku juga harus berbuat sepenuh tenaga baginya."

Maka setiap hari ia berlatih dengan lebih giat, sedikit pun tidak berani malas.

Selama beberapa hari, yang paling aneh adalah perubahan wajah Thian-san Tong-lo, hanya dalam, waktu limaenam hari saja dari wajah anak dara berusia 11 atau 12 tahun sekarang sudah berubah menjadi 17 atau 18 tahun. Yang tidak berubah hanya perawakannya, masih tetap pendek dan kecil, kerdil atau mini.

Hari itu lewat lohor, sesudah Thian-san Tong-lo habis melatih Tok-cun-kang", lalu katanya kepada Hi-tiok dan Oh-lotoa, "Sudah cukup lama kita tinggal di sini, rasanya binatang iblis itu pun akan dapat menyusul tiba. maka hwesio cilik boleh gendong aku dan lari ke puncak yang lebih tinggi sana, sebelah tanganmu tetap mencangking Oh-lotoa dan melayang di atas pohon agar tidak meninggalkan bekas di tanah salju."

Hi-tiok mengiakan saja, tapi ketika dia hendak angkat Thian-san Tong-lo ke atas punggungnya, sekonyongkonyong dilihatnya air muka "anak dara" itu sangat cantik, ia menjadi kaget dan menarik kembali tangannya, katanya dengan suara ragu,

"Siau , .. Siauceng tidak berani mengganggu"

"Tidak berani mengganggu apa?" tanya Tong-lo dengan heran.

"Cianpwe sudah pulih kembali menjadi seorang nona dewasa dan bukan lagi anak dara cilik, maka orang beragama lebih-lebih harus patuh, pada larangan antara kaum pria dan wanita,"sahut Hi-tiok.

Tiba-tiba Tong-lo mengikik tawa sehingga pipinya bersemu merah dan tambah cantik, katanya,

"Siauhwesio suka ngaco-belo! Lolo (nenek) adalah nini-nini yang sudah berusia 96 tahun, apa alangannya kamu menggendong aku?"

Habis berkata, segera ia hendak menggemblok di atas punggung Hi-tiok..

"He. jangan, jangan.!” cepat Hi-tiok berseru dan segera lari.

Dengan menggunakan ginkangnya segera Thian-san Tong-lo mengejar dari belakang.

Saat itu "Pak-beng-cin-gi" yang dilatih Hi-tiok sudah mencapai tiga perempat masak, sebaliknya Thian-san Tong-lo baru pulih kekuatannya antara umur 18 tahun, melulu ginkang saja ia sudah kalah jauh daripada Hitiok. Maka hanya sebentar saja ia sudah ketinggalan jauh. "

"Siauhwesio, berhenti, berhenti!" cepat Tong-lo berseru.

Hi-tiok menurut, ia berhenti dan berkata,

"Biar kugandeng tanganmu dan kita melompat bersama ku atas pohon!"

Tong-lo menjadi gusar, katanya, "Dasar goblok, sedikit pun tidak bisa berpikir, rasanya selama hidupmu pun sukar menguasai ilmu mujizad"

Pada saat itulah tiba-tiba Hi-tiok melihat di belakang Thian-san Tong-lo ada berkelebatnya bayangan orang. Bayangan itu seperti ada dan seperti tidak ada, rupanya orang itu berpakaian putih mulus sehingga susah dibedakan antara tanah salju yang putih dengan bayangan orang itu.

Hi-tiok terkejut dan segera memapak maju. Mendadak terdengar teriakan Thian-san Tong-Io yang terus berlari ka arah Hi-tiok.

Tiba-tiba terdengar bayangan orang tadi berkata "Suci, senang benar engkau tinggal di sini!"

Ternyata suara seorang wanita yang halus merdu.

Waktu Hi-tiok melangkah maju dua-tiga tindak lagi dan mengawasi, ternyata orang berbaju putih itu berpotongan langsing menggiurkan, terang adalah kaum wanita, tapi mukanya berkerudung kain sutra sehingga tidak kelihatan wajahnya.

Mendengar wanita itu menyebut Tong-lo sebagai "Suci" (kakak perguruan), maka Hi-tiok berpendapat dirinya tentu takkan repot-repot lagi mengawal nenek itu karena sekarang Tong-lo sudah kedatangan bala bantuan

orang sendiri.

Tapi ketika ia lirik Thian-san Tong-lo, ia lihat air muka nenek itu sangat aneh, tampaknya sangat heran, jeri dan gusar, bahkan bersikap setengah mengejek pula.

Tiba-tiba nenek itu melompat ke samping Hi-tiok dan berseru "Lekas gendong aku dan lari ke atas puncak sana!"

Tapi Hi-tiok masih ragu, katanya, "Tentang ini .. , ini agak tidak pantas!"

Tong-lo menjadi gusar, "plok", mendadak ia gampar Hi-tiok sekali sambil berteriak, "Perempuan hina-dina itu sudah menyusul kemari dan aku terancam bahaya, apa kamu tidak lihat?”

Karena tenaga Tong-lo sekarang sudah pulih sebagian, maka tamparan itu cukup keras, kontan pipi Hi-tiok merah bengkak.

"Suci," terdengar wanita baju putih itu berkata, "Sampai tua tabiatmu ternyata tetap tidak berubah selalu ingin memaksakan keinginanmu pada orang lain dan suka memukul dan memaki orang""

Mendengar ucapan wanita berbaju putih itu, seketika timbul rasa suka pada diri Hi-tiok, pikirnya, "Jika orang ini betul-betul adalah sesama perguruan dengan Tong-lo dan Bu-gai-cu, maka tabiatnya terang sangat berbeda, lebih halus, lebih sopan dan tahu aturan."

Dalam pada itu Tong-lo masih terus mendesak Hi-tiok, "Lekas gendong aku dan melarikan diri, makin jauh makin baik, bantuanmu ini tentu takkan kulupakan dan akan kubalas sebaik-baiknya."

Sebaliknya wanita baju putih itu berdiri disamping dengan tenang-tenang saja, gayanya indah menarik.

Diam-diam Hi-tiok merasa nona yang tak dikenal itu benar-benar sangat sopan-santun, mengapa Tong-lo menjadi ketakutan dan benci padanya

"Suci, kita sudah 20 tahun tidak berjumpa, dan baru sekarang kita bertemu kenapa lantas terburu-buru hendak pergi?" terdengar wanita baju putih itu berkata, "Siaumoai telah menghitung bahwa dalam beberapa hari ini

adalah hari bahagiamu karena dari tua telah kembali muda. Kabarnya paling akhir ini engkau tidak sedikit mengangkat anak buah yang tak senonoh. Siaumoai kuatir mereka akan berbuat tidak menguntungkan Suci, maka sengaja berkunjung ke Biau-biau-hong dengan maksud hendak membantumu untuk melawan serangan dari luar, tapi justru tidak dapat bertemu denganmu."

Karena Hi-tiok tetap tidak mau menggendong dia dan lari dalam keadaan tak berdaya terpaksa Tong-lo menjawab dengan marah-marah, "Hm terima kasih atas maksud baikmu! Kamu sengaja datang ke Biau-biauhong sewaktu kau tahu aku sedang lemah, apa kamu bermaksud membalas dendammu masa dahulu? Hah, mungkin di luar dugaan mu bahwa tanpa sengaja aku telah diculik orang dan dilarikan sehingga kamu. Menubruk tempat kosong dau sangat kecewa, bukan? Li Jiu-sui, meski hari ini kamu tetap dapat menemukan aku, namun sayang kamu sudah terlambat beberapa hari, sudah tentu aku tetap bukan tandinganmu, tapi tujuan mu hendak mengurus tenaga sakti yang kuhimpun selama hidup ini jelas tidak bisa lagi."

"Ai, mengapa Suci berkata demikian?'" sahut wanita baju putih. "Sejak Siaumoai berpisah dengan Suci, sungguh Siaumoai senantiasa terkenang padamu, sering kuingin berkunjung pada Suci, tapi sejak Suci pernah salah paham kepada Siaumoai dan setiap bertemu pasti Suci mendampratku, sebab itulah supaya tidak membikin marah Suci dan agar tidak dihajar Suci, maka selama ini aku tidak berani berkunjung ke Leng-ciukiong. Jika sekarang Suci menganggap Siaumoai mempunyai tujuan jahat, ucapan Suci ini sungguh agak berlebih-lebihan.'"

Begitulah berulang-ulang wanita baju putih itu menyebut "Suci" dengan penuh hormat dan mesra, sebaliknya watak Thiau-san Tong-lo dikenal Hi-tiok agak galak. Maka ia menduga permusuhan diantara kedua wanita yang baik dan jahat ini pasti Thian-san Tong-lo adalah pihak yang salah.

Maka terdengar Tong-lo menjawap dengan gusar, "Li Jiu-sui, pendek kata, kamu tidak perlu putar lidah lagi. Lebih baik lihatlah, apa ini dan segera ia julurkan tangannya dan perlihatkan cincin besi yang dipakainya pada jari kecil tangan kiri itu.

Wanita baju putih itu tampak tergetar dan berseru, "Hah, Ciangbun-tiat-goan (cicin tanda ketua)! Kau ... kau dapatkan dari mana?".

"Sudah tentu dia yang memberi. Sudah tahu kenapa pura-pura tanya?" sahut Tong-lo dengan tertawa dingin.

Wanita baju putih itu tampak rnelengak tapi segera ia berkata, "Hm, mana bisa dia... memberikan padamu. Jika bukan mencuri, tentu kau merampas dari dia."

"Dengarkan, Li Jiu-sui!" tiba-riba Thian-san Tong-lo berseru. "Ciangbunjin dari Siau-yan-pai memberi perintah supaya kamu lekas berlutut untuk terima perintah."

"Hm, siapakah yang mengangkat kamu sebagai Ciangbunjin?" sahut wanita baju putih alias Li Jiu-sui itu. "Kutaksir cincin itu besar kemungkinan kau rampas dari dia setelah lebih dulu kaucelakai dia."

Sejak tadi sikap Li Jiu-sui tenang-tenang saja tapi demi melihat cincin besi itu, bicaranya mulai aseran dan tidak sabaran lagi.

"Kamu tidak mau tunduk pada perintah Ciangbunjin dan bermaksud memberontak, ya?" kata Tong-lo pula.

Mendadak sinar putih berkelebat, pada detik lain terdengar suara "bluk" sekali tahu-tahu tubuh Thian-sau Tong-lo mencelat pergi dan terbanting sejauh beberapa meter,

"He, ada apa" teriak Hi-tiok kaget. Segera dilihatnya di atas tanah salju itu terdapat sejalur garis merah, ternyata jari kecil Thian-san Tong-lo telah jatuh terputus di atas salju dan cincin besi itu sudah berada di tangan Li Jiu-sui.

Kiranya dengan cepat luar biasa Li Jiu Sui telah menabas jari kecil Thian-san Tong-lo dan merebut cincinnya, lalu menghantamnya pula sehingga mencelat. Sedangkan senjata apa yang digunakan untuk menabas jari, karena saking cepatnya sehingga Hi-tiok sama sekali tidak melihatnya.

Maka terdengar Li Jiu-sui berkata, "Suci, sebenarnya cara bagaimana kau celakai dia, hendaknya katakan pada Siaumoai saja. Selamanya Siaumoai sangat hormat dan cinta padamu, Siaumoai pun takkan membikinmu terlalu susah."

Setelah memegang cincin besi itu, maka ucapanya mulai berubah lagi menjadi halus dan sopan.

Karena tidak tega, Hi-tiok ikut berkata, "He, kalian adalah saudara seperguruan, buat apa saling aniaya sekeji itu? Bu-gai-cu Losiansing sekali-kali bukan ditewaskan oleh Tong-lo, Orang beragama tidak boleh dusta, aku tidak bohong padamu,"

"Numpang tanya siapakah gelaran Taisu? Di mana Taisu bersemayam ? Kenapa kenal nama Suhengku?"" tanya Li Jiu-sui kepada Hi-tiok.

"Siauceng bergelar Hi-tiok. murid Siau-lim-si. Tentang Bu-gai-cu Losiansing .... ai, urusan ini sangat panjang

kalau diceritakan .... "

Belum lanjut ucapan Hi-tiok, sekonyong-konyong Li Jiu-sui mengebaskan lengan bajunya dan tiba-tiba Hi-liok merasa kedua dengkulnya kesemutan, seketika jatuh terkulai ke tanah,

"Siausuhu adalah padri saleh Siau-lim-pai, maka aku cuma sekadar menjajal kepandaianmu saja," kata Li Jiusui dengan tersenyum. "Hah, meski nama Siau-lim-pai sangat gemilang di dunia kangouw, ternyata anak muridnya juga cuma begini saja."

Samar-samar Hi-tiok dapat melihat wajah di balik kerudung kain sutra tipis itu agaknya sangat cantik, usianya kurang lebih 40-an tahun, tapi pada muka yang molek itu seperti ada beberapa jalur bekas darah atau bekas luka, karena tidak jelas kelihatan sehingga membuat orang yang memandangnya merasa seram.

Lalu Hi-tiok menjawabnya, "Aku adalah hwesio paling tidak becus dari Siau-lirn-si, harap Cianpwe jangan pandang seorang tak becus seperti aku ini untuk menilai seluruh orang Siua-lim-piu."

Namun Li Jiu sui tidak gubris padanya, perlahan ia mendekati Thian-san Tong-lo, katanya, "Suci, selama ini sungguh Siaumoai sangat rnerindakan dirimu. Syukur Thian maha adil dan akhirnya Siaumoai dapat bertemu lagi denganmu. Suci, berbagai kebaikan yang kauberikan padaku pada masa dahulu itu, siang dan malam selalu kuingat dengan baik.

Sampai di sini sekonyong-konyong sinar putih berkelebat pula terdengar Thian-san Tong-lo menjerit ngeri, di atas tanah salju yang putih bersih itu seketika berlumuran darah segar. Kaki kiri Tong-lo ternyata sudah berpisah dengan tubuhnya.

Kejut Hi-tiok sungguh bukan buatan, dengan gusar ia membentak, "Sesama saudara seperguruan kenapa kamu sedemikian kejamnya? Kau .. kau ... sungguh lebih buas daripada binatang'"

Pelahan Li Jiu-sui menoleh ke arah Hi-tiok dan menyingkap kain sutra yang menutup mukanya itu sehingga kelihatan raut mukanya yang bundar telur dan putih bersih.

Tapi mendadak Hi-tiok menjerit kaget sekali. Ternyata di atas muka Li jiu-sui yang cantik itu terdapat empat jalur bekas goresan senjata tajam, keempat julur bekas luka itu silang melintang hingga berbentuk dua " X " . Karena luka itu maka mata kanan tampak melotot keluar seperti biji mata ikan mas, ujung mulut sisi kiri menjadi merot dan sumbing, sehingga wajah yang ayu itu berubah menjadi jelek seperti siluman.

"Nah, lihatlah Taisuhu dari Siau-lim-si, dahulu aku dilukai orang sedemikian rupa dan sekarang aku harus menuntut balas atau tidak ?" tanya Li Jiu-sui. Habis itu ia tutup kembali kerudung mukanya,

"Apakah ... apakah itu perbuatan Tong-!o dahulu?" tanya Hi-tiok.

"Hm, boleh kautanya sendiri padanya," jawab Li Jiu-sui.

"Benar, memang akulah yang merusak mukanya," sambung Thian-san Tong-lo. Meski kakinya sudah kutung dan mengucurkan darah seperti air ledeng, tapi dia tidak jatuh pingsan, "waktu aku berusia 26 tahun, dengan ilmu .. . ilmu yang berhasil kulatih itu mestinya tubuhku dapat tumbuh seperti wanita dewasa umumnya. Tapi diam-diam dia membikin celaka aku sehingga latihanku tersesait dan akibatnya badanku tak bisa tumbuh lebih besar lagi, coba katakan, dendam kesumat ini pantas dibalas atau tidak?"

Hi-tiok memandang ke arah Li Jiu-sui, pikirnya, "Jika apa yang dikatakannya itu betul, maka yang lebih dulu berlaku kejam adalah, kau sendiri."

Dalam pada itu Tong-lo berkata pula "Dan bila hari ini aku jatuh di tanganmu, ya, apa mau dikatakan lagi? Siauhwesio ini adalah sobat baikku hendaknya jangan kau ganggu. Kalau tidak, pasti 'dia' takkan mengampunimu."

Habis berkata ia terus pejamkan mata dan pasrah nasib untuk disembelih atau digorok oleh lawannya

"Suci," terdengar Li Jiu-sui menghela napas, "usiamu lebih tua dari ku, kau pun lebih pintar, tapi kalau sekarang kamu hendak menipu Siaumoai lagi mungkin tidak gampang. Kau bilang 'dia’, hm, jika dia ... dia masih hidup di dunia ini, kenapa cincin besi ini bisa jatuh ke tanganmu? Baiklah, Siaumoai memang juga tiada permusuhan apa-apa dengan Siausuhu ini, apalagi dasarnya Siaumoai memang penakut dan sekali-kali tidak berani bermusuhan dengan Siau-lim-pai yang rnerupakan golongan terpuja di dunia persilatan, maka aku pasti takkan mengganggu Siausuhu ini. Di sini Siaumoai sudah sediakan dua butir Kiu-coan-him-coa-wan harap Suci lekas minum supaya darah tidak mengucur terus dari pahamu yang terkutung itu."

"Jika hendak kau bunuh diriku boleh lekas lakukan, bila ingin aku makan Toan-kin-bu-kut-wan itu untuk disiksa dan dipermainkan olehmu, hm, jangan harap," jengek Thian-san Tong-lo,

"Ai maksud baikku selalu disalah paham Suci” kata Li jiu-sui. "Kulihat darah mengalir terlalu banyak dari pahamu yang terkutung dan ini akan sangat mengganggu kesehatan Suci sendiri, maka lebih baik Suci minum saja kedua pil ini."

Hi-tiok melihat di tangan Li Jiu-sui yang putih halus itu terdapat dua butir pil kuning yang serupa dangan pil pemberian Thian-san Tong-lo kepada Oh-lotoa itu, diam-diam ia merasa ngeri dan membatin "Dasar ketulah, tadi kau beri obat jahat itu kepada orang dan sekarang kontan kau pun dibayar kembali."

Dalam pada itu terdengar Thian-san Tong-lo lagi berseru, "Siauhwesio, lekas kepruk balok kepalaku agar nenek lekas pulang ke nirwana daripada mati dihina dan dianiaya perempuan rendah ini."

Tapi dengan tertawa Li Jiu-sui menanggapinya "Mana bisa? Siauhwesio sendiri sudah letih dan ingin istirahat dulu di situ."

Baru sekarang Tong-lo ingat bahwa Hi-tiok telah tertutuk tak berkutik oleh kebasan lengan baju Li Jiu-sui tadi. Saking gusarnya sampai wajahnya merah padam.

"Suci, kakimu sekarang menjadi ganjil, satu panjang dan satu pendek, kalau dilihat si'dia’ kan malu?" ejek Li jin-sui pula. "Ai, seorang wanita kecil yang cantik molek sekarang berubah menjadi si cantik yang pincang, sungguh harus disayangkan. Ai, lebih baik Siaumoai menyempurnakanmu saja."

Habis berkata, sokonyong-konyong sinar putih berkelebat dan tahu-tahu ditangannya sudah bertambah sebuah senjata,

Sekali ini Hi-tiok dapat melihat dengan jelas senjata yang dipegang Li Jin siu itu kiranya adalah sebilah belati yang panjangnya cuma belasan sentib Belati itu sangat tipis dan tajam

Rupanya Li Jui-sui sengaja hendak menakut-nakuti Thian-san Tong-lo. maka dia tidak lantas menyerangnya, belati itu hanya di obat-abitkan saja di depan kaki kanan Tong-lo yang tidak terkutung itu.

Hi-tiok menjadi gusar melihat kekejaman Li Jiu-sui. Karena itu hawa murni Pak-beng-cin-gi dalam tubuhnya segera bergolak sehingga hiat-to bagian dengkul yang tertutuk itu tertembus, seketika ia dapat bergerak lagi dengan bebas. Tanpa pikir, segera ia menerjang maju, ia rangkul Thian-san Tong-lo terus dibawa lari secepat terbang ke atas puncak.

Waktu Li Jiu-sui mengebas hiat-to Hi-tiok tadi, ia mengira kepandaian padri kecil itu sangat rendah, maka sedikit pun ia tidak menaruh perhatian padanya.

Sebaliknya ia sengaja hendak menyiksa Thian-san Tong-lo dengan disaksikan Hi-tiok, ia merasa akan lebih menyenangkan bila perbuatannya itu ditonton oleh orang. Siapa duga mendadak Hi-tiok dapat menembus jalan darah sendiri yang tertuluk itu.

Kejadian yang mendadak itu membuat Jiu-sui agak tercengang, dan ketika dia mengejar, namun sudah ketinggalan beberapa meter jauhnya. Dengan tertawa ia berseru, "He, Siauhwesio, apa kau pun kena dipelet oleh Suciku? Jangan kau kira dia sangat cantik molek, sesungguhnya dia adalah seorang nenek jompo berusia 96 tahun dan bukan gadis remaja lagi."

Karena tetap memandang enteng pada Hi-tiok, ia yakin sebentar saja pasti dapat menyusulnya.

Di luar dugaan lari Hi-tiok semakin lama semakin cepat, dan semakin cepat aliran darahnya jadi tambah gencar dan Pak-beng-cin-gi dapat bekerja lebih hebat. Maka biarpun Li Jin-sui mengejar mati-matian jaraknya tetap beberapa meter di belakang Hi-tiok dan tidak dapat menyusulnya

Dalam sekejap saja kejar-mengejar mereka sudah lebih satu li jauhnya, Li Jiu-sui mulai gopoh dan terkejut, cepat serunya, "Siausuhu, jika tidak lekas berhenti terpaksa akan kuserang dengan tenaga pukulanku"

Tong-lo tahu betapa hebat tenaga pukulan sang Sumoai yang banyak pula gaya perubahannya, hal ini sekalikali tak dapat dilawan oleh Hi-tiok. Asal sang Sumoai melancarkan beberapa kali pukulan, pasti jiwa Hi-tiok akan melayang dan dirinya tetap akan jatuh ke dalam cengkeraman Sumoai yang kejam itu. Maka katanya kepada Hi-tiok, "Siausuhu, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Tapi perempuan hina-dina ini memang sangal lihai dan kita tidak mampu melawannya,lebih baik ... kau lemparkan aku ke jurang saja dan mungkin dia takkan mengganggu dirimu."

"He.. mana .. mana boleh begitu” sahut Hi-tiok. Dan karena dia buka mulut sehingga tenaga yang sedang bekerja itu sedikit macet. Dalam pada itu Li Jiu-sui sudah lantas melompat maju, tahu-tahu Hi-tiok merasa punggungnya di sodok oleh serangkum tenaga yang kuat dan terasa "nyes" dingin, menyusul tubuhnya terus melayang turun ke dalam jurang tanpa kuasa lagi.

Hi-tiok tahu telah kena dihantam oleh tenaga pukulan Li Jiu-sui yang maha dingin, namun kerena tangannya tetap merangkul Thian-san Tong-lo dengan erat sambil anjlok ke bawah. Tak sempat berpikir pula, "Sekali ini aku pasti akan terbanting hancur lebur."

Ketika Hi tiok mulai kejeblos ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya itu, sayup-sayup terdengar suara Li Jiu-sui di atas puncak "Ai, terlalu keras aku memukulnya sehingga mengenakkan dia malah!"

Rupanya di atas puncak itu ada sebuah celah yang tertimbun oleh salju tebal sehingga sedikit pun tidak kentara dari atas. Ketika Li Jiu-sui melontarkan pukulannya dengan maksud merobohkan Hi-tiok untuk kemudian dapat menawan kembali Thian-san Tong-lo dan akan disiksanya secara keji sebelum membunuhnya.

Tak terduga saat itu Hi-tiok sedang berada di atas celah-celah puncak gunung yang tertimbun salju itu, karena getaran pukulan Li Jiu-sui yang keras itu, salju longsor dan Hi-tiok bersama Thian-san Tong-lo ikut kejeblos ke bawah. Walaupun hal ini berarti Li Jiu-sui telah menewaskan Thian-san Tong-lo, tapi dia merasa tidak puas cara membalas sakit hatinya itu

Begitulah Hi-tiok kejeblos ke dalam lembah gunung yang curam itu, ia merasa badannya terapung di tempat kosong dan sedikit pun tak kuasa, cuma jatuhnya itu tegak ke bawah, telinga mendengar suara angin yang menderu, meski kejadian itu hanya dalam waktu singkat saja, tapi ia merasa jatuhnya itu seperti tidak habishabis dan tidak sampai-sampai ke dasar.

Ia lihat di bawah adalah lereng gunung penuh salju yang sedang menantikan dia, asal keduanya sudah bergabung, maka tamatlah kelakonnya.

Tiba-tiba pandangannya serasa kabur, tahu-tahu tanah salju di bawah itu ada beberapa titik hitam yang sedang bergerak-gerak. Sebelum dia sempat membedakan benda apakah ... hitam itu, sementara itu tubuhnya sudah terjun ke lereng gunung itu secepat elang menyambar anak ayam.

Pada saat itu pula sekonyong-konyong terdengar bentakan seorang, "Siapa itu" dan tahu-tahu terasa serangkura tenaga maha kuat menolaknya dari samping sehingga tepat mengenai, pinggang Hi-tiok yang hampir menyentuh tanah itu.

Lantaran itu, tubuh Hi-tiok terus mencelat kesamping. Dan sekilas itu ternyata Buyung Kok adanya.

"Sambutlah ini!" cepat Hi-tiok berteriak.

Maksudnya Thian-san Tong-lo hendak dilemparkan sekuatnya kepada Buyung Hok.

Maklum, ia merasa jiwa sendiri pasti sukar tertolong karena terbanting dari puncak gunung setinggi itu, oleh karena itu demi tiba-tiba nampak Buyung Hok berada di situ, segera ia hendak melemparkan Thian-sin Tong-lo ke arahnya agar nenek itu disambut Buymg Hok dan tidak ikut terbanting mati.

Tak diketahuinya bahwa baru saja Buyung Hok telah menggunakan gayanya yang khas, yaitu ilmu "Tau-coansing-ih" (memutar bintang dan menggeser rembulan), daya turun Hi-tiok berdua telah berkurang separuh karena ditolak oleh tenaga geseran yang istimewa itu sehingga dari anjlok ke bawah Hi-tiok berdua tertolak mencelat ke samping.

Betapa hebat tenaga tolakan Buyung Hok itu sehingga sama sekali Hi-tiok tidak sempat lagi mengerahkan tenaga untuk melemparkan Thian-san Toug lo. Dan sedikit ayal itulah tahu-tahu mereka sudah mencelat belasan meter jauhnya untuk kemudian anjlok ke bawah pula.

Di luar dugaan mendadak kedua kaki Hi-tiok seakan-akan menginjak sesuatu yang lunak dan berdaya pegas. "Bluk", tahu-tahu Hi-tiok membal lagi ke atas. Keruan kejutnya tak terkira dan menjerit, "He, apa itu?"

Sekilas dapatlah dilihatnya di tanah salju itu menggeletak searang Hwesio yang sangat gemuk seperti bola raksasa. Kiranya dia bukan lain adalah Sam-ceng. Hwesio.

Hwesio yang berpotongan aneh dengan perut sebagai genta raksasa itu sering kali melanggar peraturan Siaulim-si dan dihukum, maka boleh dikata setiap orang tentu mengenalnya.

Sungguh sangat kebetulan juga ketika Hi-tiok anjlok ke bawah, dengan tepat kakinya menginjak perut Samceng yang besar itu, kontan saja perut pecah dan usus keluar dan binasa seketika. Untung juga berkat daya pental perutnya yang besar itu sehingga kaki Hi-tiok tidak sampai patah.

Begitulah Hi-tiok kembali membal lagi ke sana tanpa kuasa. Tiba-tiba terdengar pula seorang sedang berkata, "Cumoti, sambutlah bola manusia ini!"

Waktu Hi-tiok memandang ke arah suara itu seketika ia kaget setengah mati. Kiranya pembicara itu tak lain tak bukan adalah Sing-siok Lokoai Ting Jun-jiu yang ditakutinya itu.

Demi ingat dirinya sendiri pasti akan, di bunuh oleh Ting-lokoai, Hi-tiok menjadi gugup, cepat ia rangkul Tong-lo dengan tangan kiri, telapak tangan kanan siap di depan dada untuk menjaga diri.

Pada saat itulah pukulan Ting Jun-jiu sudah dilancarkan. Lekas Hi-tiok menangkis. Saat itu Pak-beng-cin-gi sudah cukup masak, maka begitu telapak kedua tangan kebentur, kontan Ting Jun-jui tergetar mundur setindak. Ia sampai bersuara heran karena tenaga pukulannya yang maha kuat itu ternyata tidak dapat melukai Hi-tiok sedikit pun.

Cuma Hi-tiok lagi terapung di udara, karena tenaga pukulan Ting Jun-jiu itu, ditambah daya pental kembali dari tenaga pukulan sendiri, maka tubuhnya lantas melayang pergi lagi seperti anak panah terlepas dari busurnya.

Tiba-tiba terdengar suara seorang yang lemah lembut lagi berkata, "Omitohud. Harap Toan-sicu suka menyambutnya!"

Sekilas Hi-tiok melihat seorang Hwesio yang berwajah welas-asih dan sikapnya angker sedang angkat tangan dan menghantam ke arahnya. Sebagai murid Budha yang sujud, meski badan terapung di udara toh Hi-tiok masih sempat membalas salam kawan seagama itu, "Omitohud! Ampun Taisuhu!"

Seketika ia merasa serangkum tenaga maha kuat tapi lunak, menyambar ke arahnya, napasnya terasa sesak, tapi badan teraba nyaman sekali. Cepat ia angkat tangan menolak ke depan, dua tenaga pukulan k bentur, kontan tubuh Hi-tiok terpental lagi ke atas bagai terbang.

"Wah, bagaimana bisa begini?" demikian terdengar seorang bertanya dengan bingung.

"Menggunakan manusia sebagai senjata, kepandaian ini hanya dimiliki keluarga Giam di Thai-goan-hu," terdengar suara seorang wanita sedang menjawab. "Tapi ilmu silat Hwesio itu sendiri tidaklah lemah, di udara dia masih dapat melancarkan serangannya, hal ini sangat berbeda dengan ilmu kepandaian keluarga Giam. Wah, Toan-kongcu, aku sendiri tidak tahu cara bagaimana harus melayaninya. Tapi jangan sekali-kali kau gunakan Lak-rnsh-sin-kiam dan janganmelukai dia ...."

Terang pembicara itu yang satu adalah Toan Ki dan yang lain Ong-Giok-yan. Meski Giok-yan bicara dengan cepat, namun saat itu Hi-Tiok sudah melayang tiba ke arah Toan Ki.

"Siausuhu, aku takkan menyerangmu!" seru

Toan Ki, ia segera pentang kedua tangannya hendak merangkul. Hi-tiok

Begitulah waktu Toan Ki hendak sambut jatuhnya Hi-tiok dengan merangkulnya, tiba-tiba terdengar Giok-yan berseru padanya, "Jangan! Terlalu keras jatuhnya, tak boleh disambut dari depan!"

Tapi melulu "Leng-po-wi-poh" Toan Ki tidak paham kepandaian lain, Lak-meh-sin-kiam hanya terkadang bisa digunakan dan terkadang tidak manjur sehingga tidak dapat dianggap sebagai ilmu silatnya, apalagi Lak-mehsin-kian itu dapat melukai sasarannya, sudah tentu tidak boleh digunakan atas diri Hi-tiok.

Maka demi mendengar setuan Giok-yan, cepat Toan Ki putar tubuh, ia hindarkan tubrukan itu dengan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh". Dan hampir pada saat yang sama itulah Hi-tiok yang membawa Thian-san Tong-lo telah menumbuk punggungnya.

Keruan Toan Ki mengeluh, "wah, sekali ini pasti celaka!"

Dalam gugupnya segera ia percepat langkahnya ke depan.

Ilmu silat lain tidak dipahami Toan Ki, hanya langkah "Leng-po-wi-poh" ini sudah sangat apal baginya seketika ia merasa punggungnya seperti ditindih oleh benda berat sehingga susah bernafas dan hampir jatuh terjerembab, tapi setiap ia melangkah ke depan satu kali, daya tindih dari belakang itu lantas berkurang sebagian, sehingga sesudah dia berlari belasan langkah, maka dengan enteng sekali Hi-tiok terperosot jatuh dari punggungnya.

Sebenarnya Hi-tiok dan Thian-san Tong-lo jatuh dari puncak gunung yang beratus meter tingginya, kebetulan ia kena digontok satu kali oleh pukulan Buyung Hok sehingga jatuhnya terpental dan ganti arah, kemudian membal lagi kena perut Samceng Hwesio yang besar, lalu ditolak oleh pukulan Ting Jun-jin dan didorong sekali pukul oleh Cumoti dan akhirnya kena digendong Toan Ki sambil dibawa lari, sesudah mengalami lima kali rintangan itu akhirnya ternyata Hi-tiok dan Thian-san Tong-lo tidak celaka apa-apa dan dapat mencapai tanah dengan selamat.

Sesudah berdiri, lalu Hi-tiok berseru kepada orang banyak;, "Banyak terima kasih atas pertolongan kalian!"

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas panjang dari balik lereng gunung sana.

Dalam keadaan terluka parah Thian-san Tong-lo masih belum kehilangan akal sehatnya, demi mendengar suara itu cepat katanya dengan kuatir, "Celaka, perempuan hina itu telah memburu kemari. Rasanya dia belum puas sebelum menemukan dan mencincang mayatku. Ayolah lekas lari lagi, lekas!"

Hi-tiok merasa bergidik; juga bila teringat pada kekejaman Li Jiu-sui. Maka cepat ia lari ke tengah hutan lagi dengan memondong Tong-lo.

Sekilas Comoti dapat melihat di pangkuan Hi-tiok itu meringkuk seorang wanita yang cantik molek, cuma perawakannya tak dapat dilihatnya, maka ia sangka Hi-tiok membawa lari anak gadis orang, terus saja ia berteriak-teriak, "Omituhud! Hwesio Siau-lim-si tidak taat pada ajaran agama, dan menggondol lari gadis baikbaik!"

Ting Jun-jiu juga berjingkrak gusar dan berteriak, "Keledai gundul kecil, kamu telah menginjak mati hwesio yang jauh-jauh kubawa dari Siau-lim-si, pasti kutangkap dirimu dan akan kubeset kulitmu dan betot ototmu'." Habis berkata segera ia mengejar.

Tapi Buyung Hok lantas melontarkan sekali pukulan ke arahnya sambil berseru dengan tertawa "Tinglosiansing, kita masih belum menentukan kalah atau menang, kenapa hendak kabur?"

"Kentut! Siapa yang ingin kabur?" sahut Ting Jun-Jiu dengan gusar dan terpaksa balas hantaman Buyung Hok dengan pukulan juga.

Saat itu Li Jiu-sui sedang lari turun dari lereng gunung sana, walaupun cepat luar biasa. tapi tetap kalah cepat dibandingkan jatuhnya Hi-tiok yang terjerumus lurus ke bawah itu, dengan sendirinya jajaknya tertinggal sangat jauh. Hi-tiok sendiri ketakutan, maka ia iari secepat terbang tanpa ayal sedikitpun.

Sesudah beberapa li jauhnya, tiba-tiba Thiansan Tong-lo berkata, "Turunkan aku robek lengan bajuku untuk

membalut luka pahaku agar tidak meninggalkan bekas, darah sehingga akan menjadi petunjuk jalan bagi perempuan hina dina itu, Kau tutuk tiga kali pada Goan-tiau-hiat dan Sing-bu-hiat di kakiku untuk menghentikan mengucurnya darah."

Hi-tiok mengiakan dan melakukan apa yang diminta itu sambil mendengarkan kalau-kalau ada suara kejaran Li Jiu-sui.

Kemudian Tong-lo mengeluarkan sebiji pil kuning dan ditelan sendiri, lalu katanya, "perempuan hina-dina itu dendam sedalam lautan padaku, betapapun tidak mungkin menyudahi diriku dengan begitu saja. Padahal aku masih perlu 72 hari lagi baru pulih kekuatanku semula, tatkala mana aku takkan takut lagi padanya. Dan selama 72 hari yang akan datang ini aku harus sembunyi di mana?"

Hi-tiok ikut berkerut kening dan berpikir, "Hendak sembunyi satu hari saja susah, di mana dapat dibuat sembunyi selama 72 hari."

Tiba-tiba Tong-lo berkata pula seperti bergumam sendiri, "Rasanya tempat sembunyi yang paling aman adalah Siau-lim-si saja .... "

Keruan Hi-tiok melonjak kaget sebelum ucapan Tong-lo habis.

Tong-lo menjadi gusar, dampratnya, "Hwesio goblok, kenapa kaget? Jarak dari sini ke Siau-limsi ada ribuan li jauhnya, mana dapat kita berangkat ke sana?"

Ia merandek sejenak, lalu sambungnya, "Dari sini ke barat, kira-kira ratusan li lagi adalah negeri Se He. Padahal perempuan hina itu mempunyai hubungan erat dengan kerajean Se He, bila dia memberi perintah agar jago kelas satu It-bin-tong kerajaan Se He dikerahkan untuk mencari kita, maka susahlah untuk lolos dari tangan kejinya. hei, hwesio cilik, kalau menurut pendapatmu, ke mana kita harus sembunyi?"

"Asal kita sembunyi di dalam gua di tengah hutan belukar atau di lereng gunung yang curam, kukira Sumoaimu belum tentu dapat menemukan kita," sahut Hi tiols,

"Kau tahu apa?" omel Tong-lo. "Bila perempuan hina itu tidak dapat menemukan kita, tentu dia akan pulang ke Se He untuk melepaskan kawanan anjing, jika anjing-anjing buruan yang beribu-ribu banyaknya itu dikerahkan, ke mana pun kita akan sembunyi juga pasti akan diketahui oleh kawanan anjing itu."

"Jika begitu marilah kita lari ke arah tenggara sana, semakin jauh meninggalkan negeri Se He kan semakin aman," ujar Hi-tiok.

"Mana bisa," jengek Tong-lo. "Di jurusan tenggara sudah tentu dia banyak memasang mata-telinga untuk mengawasi kita."

Dan sesudah merenung sejenak, tiba-tiba ia bertepuk tangan dan berkata, "Hab, ada akal bagus, Eh, hwesio cilik, langkah pertama dari problem catur Bu-gai-cu yang kau pecahkan itu cara bagaimana jalannya."

Hi-tiok merasa heran, masakah dalam keadaan terancam bahaya begini masih ada pikiran iseng untuk bicara tentang catur segala? Tapi ia pun menjawab, "Tatkala itu kujalankan secara ngawur dengan mata terpejam, tahu-tahu langkah pertama itu menyumbat mati jalannya sendiri sehingga sebagian besar biji catur sendiri terbunuh malah."

"Hah," bagus" seru Tong-lo dengan girang. "Selama berpuluh tahun ini banyak orang cerdik pandai tak dapat memecahkan problem catur itu, soalnya karena tiada seorang pun di antara mereka mau menempuh bahaya dengan mencari jalan kematian sendiri untuk merebut kemenangan terakhir. Hm, bagus, benar-benar bagus! Ayo, hwesio cilik, lekas gendong aku dan loncat ke atas pohon, lari selekasnya ke arah barat!"

"Ke mana?" tanya Hi-tiok.

"Ke suatu tempat yang tak terduga oleh siapa pun juga," sahut Tong-lo. "Meski harus menyerempet bahaya, tapi dalam keadaan mati atau hidup, terpaksa mesti ambil risiko ini."

Melihat paha orang yang sudah buntung itu. diam-diam Hi-tiok menghela napas, betapapun ia tidak dapat menolak permintaannya meski akan menghadapi bahaya. Tanpa pikir lagi segera ia gendong Tong-lo dan meloncat ke atas pohon serta lari secepat terbang ke arah barat menurut petunjuk nenek berbentuk bocah itu.

Sekaligus Hi-tiok berlari belasan li jauhnya ketika tiba-tiba jauh dan belakang sana terdengar suara seruan yang sangat halus dan lembut, 'Hwesio cilik, kamu terbanting mampus tidak? Suci, di manakah kau? Sungguh adikmu sangat merindukanmu, lekas kemari!"

Terang itulah suara Li Jiu-sui. Dalam kuatirnya kaki Hi-tiok menjadi lemas dan hampir saja terjungkal ke bawah pohon.

"Hwesio geblek, kenapa takut?" semprot Tong-lo. "Coba dengarkan, bukankah makin lama suaranya makin

jauh, bukankah dia mengejar ke arah timur sana?"

Waktu Hi-tiok mendengarkan lebih cermat, benar juga suara Li Jiu-sui kedengaran semakin jauh. Ia sangat kagum atas tipu akal Thian-san Tong-lo itu, katanya, "Dari mana dia tahu kita tidak terbanting mati dari puncak gunung setinggi beratus meter ini ?"

"Sudah tentu ada yang usil mulut dan memberitahukan padanya," ujar Tong-lo. "Hm, setan cilik Ting Jun-jiu itu memang kudu dicekoki sebutir Toan-kin-hu-kut-wan yang nenek sediakan ini"

Hi-tiok heran mendengar Tong-lo menyebut Ting Jun-jiu sebagai '"setan cilik". Tapi segera ia pun ingat bahwa Ting Jun-jiu adalah murid Bu-gai-cu, dengan sendirinya tingkatan Tong-lo lebih tinggi daripada Ting Jun-jiu. Segera ia tanya pula, "Apa Ting Jun-jiu yang memberitahukan padanya?"

"Terang dia," kata Tong-lo. "Selain Ting Jun-jiu, tiada seorang pun di antara kaum itu kenal diriku."

Dan sesudah termangu sejenak, lalu ia berkata lagi, "Sudah puluhan tahun Lolo tidak turun dari Biau-biauhong, sungguh tidak nyana ilmu silat di dunia telah maju sepesat ini. Usia beberapa orang tadi masih muda, tapi semuanya tampak sangat lihai. Pemuda yang mematahkan daya jerumus kita ke bawah itu benar-benar luar biasa, caranya meminjam tenaga untuk memukul tenaga lawan sungguh tiada taranya. Dan padri setengah umur itu besar kemungkinan adalah jago pilihan negeri Turfan, ada pula pemuda ... pemuda cakap itu, siapakah dia? Mengapa dia mahir 'Leng-po-wi-poh'?"

Begitulah Thian-san Tong-lo berguman sendiri. Sebaliknya Hi-tiok sedang kuatir disusul oleh Li Jiu-sui, maka ia sedang lari seperti kesetanan dan tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh Tong-lo.

Sesudah berada di tanah datar, masih tetap Hi-tiok memilih jalan kecil yang jarang dilalui manusia, malam itu mereka pun menginap di tengah hutan belukar dan esoknya melanjutkan pula perjalanan, arah yang dituju tetap sebelah barat.

"Cianpwe," katanya di sebelah barat sana adalah wilayah negara Se He, maka kukira kita jangan meneruskan perjalanan ke barat sana."

"Kenapa jangan ke barat?" tanya Tong-lo dengan tetawa dingin.

"Habis, kalau kita masuk ke dalam wilayah Se He, bukankah itu berarti kita mencari susah sendiri?" ujar Hi-

tiok.

"Hm, justru tempat kita berpijak sekarang pun sudah termasuk wilayah negeri Se He!" jengek Tong-lo.

"Haah? Tempat ini termasuk wilayah negeri Se He?" Hi-tiok menegas dengan kaget. "Bu ....bukankah kau bilang Li Jiu-sui mempunyai pengaruh yang ... yang sangat besar di negeri ini?"

"Benar," sahut Tong-lo dengan tertawa. "Perempuan hina-dina itu memang biasa malang melintang di negeri Se He ini, dia berkuasa dan dapat berbuat apa pun di sini, tapi kita justru sengaja menerjang ke tempat kepercayaannya ini agar mati pun dia takkan menduga akan tindakan kita ini. Dia tentu akan mencari ke segenap pelosok, sudah tentu dia takkan menyangka bahwa., kita justru sembunyi dengan aman dan tentram sambil memulihkan kekuatan di tengah-tengah sarangnya ini. Haha-haha-hahaha!"

Begitulah ia tertawa puas sekali, lalu sambungnya pula, "Hwesio cilik, akal ini kutiru dari caramu menjalankan langkah catur yang sama sekali tidak masuk akal dan paling goblok itu, tapi pada akhirnya justru membawa'hasil baling bagus."

Sungguh rasa kagum Hi-tiok tak terhingga, katanya, "Perhitungan Cianpwe sungguh sukar diraba oleh siapa pun juga. Cuma ... cuma saja ... "

"Cuma saja apa?" Tong-lo menegas.

"Kuduga di tempat pangkalan Li Jiu-sui ini tentu masih ada jago kuat lain, kalau jejak kita diketahui mereka ..."

"Hm, justru karena itulah maka tindakan kita ini dapat dikatakan menyerempet bahaya. Seorang kesatria sejati harus berani menempuh segala macam bahaya, kenapa mesti takut?" ujar Tong-lo dengan mendengus.

Hi-tiok tidak menjawab, tapi dalam hati ia pikir, "Jika tujuan ini untuk menolong orang atau demi untuk kebaikan orang banyak, tentu ada harganya untuk menyerempet bahaya. Tapi kamu dan Li Jiu-sui boleh dikata 'setali tiga uang' alias sama saja, sama-sama bukan orang baik, buat apa aku mesti ikut susah menempuh bahaya bagimu?"

Melihat air muka Hi-tiok mengunjuk rasa ragu dan serba susah, segera Thian-san Tong-lo dapat menduga apa yang dipikirkannya, maka katanya, "Aku mengajakmu menyerempet bahaya, sudah tentu nanti akan ku balas

kebaikanmu ini, tidak nanti kamu bersusah payah percuma. Sekarang aku akan mengajarkan dulu tiga jurus Ciang-hoat (ilmu pukulan) dan tiga jurus Kim-na-hoat (ilmu menangkap dan memegang), gabungan enam jurus ilmu silat ini disebut 'Thian-san-ciat-bwe-jiu'."

"Ai, kesehatan Cianpwe sendiri belum pulih, lebih baik Cianpwe merawat diri sendiri dulu," ujar Hi-tiok.

Tong-lo menjadi aseran, dengan mendelik ia tanya, "Apa kauanggap kepandaianku ini dari golongan jahat dan kamu tidak sudi mempelajarinya?"

"Bu ... bukan begitu maksudku, jangan .... jangan salah paham," sahut Hi-tiok cepat,

"Habis, kenapa ragu-ragu," kata Tong-lo.

"Ketahuilah bahwa Thian-san Tong-lo selamanya tidak mau merugikan orang dengan percuma. Sebabnya aku mengajarkan ilmu silat padamu adalah lantaran aku ingin memperalat tenagamu untuk melawan musuhku. Jika kamu tidak mau belajar 'Thian-san-ciat-bwe-jiu' (ilmu pukulan mematahkan pohon Bwe dari Thian-san), maka nasibmu pasti akan binasa di negeri Se He. Soal kematianmu seorang hwesio keroco tidak menjadi halangan, tapi dengan sendirinya Lolo akan ikut menjadi korban pula."

Hi-tiok mengiakan atas ucapan nenek berbentuk bocah itu. Ia pikir Thian-san Tong-lo meski jahat, tapi segala apa suka dibicarakan dengan blak-blakan, sungguh boleh dikata seorang jahat yang suka berterus terang.

Begitulah maka Thian-san Tong-lo lantas mengajarkan kata-kata kunci dari jurus pertama Thian-san-ciat-bweJiu itu.

Kata-kata kunci atau sandi itu terdiri dari dua helai kalimat dan tiap kalimat mempunyai nada yang berlainan terdiri dari tujuh huruf sehingga seluruhnya ada 84 huruf. Ingatan Hi-tiok cukup tajam, hanya sekali saja Tonglo mengajarkan padanya dan dia sudah dapat mengingatkan dengan baik.

"Coba sekarang kamu tetap lari ke arah barat sana dengan menggendong aku sambil mengapalkan kalimat sandi yang kuajarkan ini," perintah Tong-lo.

Hi-tiok menurut, sambil lari ia pun mengapalkan kalimat sandi itu, tapi baru tiga huruf ia ucapkan, huruf keempat ia tidak sanggup mengucapkannya, dia harus berhenti dan ganti napas, habis itu huruf keempat baru dapat diucapkan dengan lancar.

"Plak," mendadak Tong-lo keplak ubun-ubun kepala Hi-tiok sambil mendamprat, "Hwesio geblek baru kalimat pertama saja sudah lupa?"

Geplakan itu tidak keras, tapi tepat mengenai 'Tek-hwe-hiat" di atas kepala Hi-tiok sehingga padri cilik itu terhuyung-huyung karena merasa kepala pusing tujuh keliling, waktu ia mengapalkan pula, sampai huruf keempat kembali dia gelagapan lagi, akibatnya dia dikeplak pula oleh Tong-lo.

Diam-diam Hi-tiok sangat heran kenapa tiap-tiap kali sampai pada huruf keempat lantas susah mengucapkannya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya dia mengapalkan, tahu-tahu huruf keempat itu dapat disuarakan dengan lancar.

"Bagus, sudah lewat satu rintangan," ujar Tong-lo dengan tertawa.

Kiranya kata-kata sandi dalam kalimat itu sebenarnya adalah kunci utama dalam hal mengatur napas, tiap-tiap huruf dari kalimat itu mempunyai nada tinggi atau rendah yang berbeda sehingga cara mengucapkannya secara berturut-turut memerlukan kepanjangan tenaga dalam yang kuat, apalagi sekarang Hi-tiok mengapalkannya dengan berlari. Namun dengan bantuan Thian-san Tong-lo akhirnya ia dapat menembus rintangan itu.

Sampai lohor. Tong-lo minta Hi-tiok menurunkan dia, ia pungut sepotong batu kecil, sekali selentik ia tembak jatuh seekor burung gagak. Ia minum darah burung itu, lalu melatih "Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-cun-kang".

Supaya maklum bahwa saat itu kekuatan Thian-san Tong-lo sudah pulih seperti ketika dia berumur 18 tahun, walaupun masih sangat jauh dibandingkan Li Jiu-sui, tapi sudah lebih dari cukup untuk menembak burung gagak dengan selentikan batu kerikil.

Selesai Tong-lo berlatih, ia suruh Hi-tiok menggendongnya lagi dan melanjutkan perjalanan sembari mengapalkan pula kalimat yang telah diajarkan itu, kemudian ia suruh Hi-tiok mengapalkan pula secara terbalik, yaitu dari belakang ke depan.

Sebenarnya cara demikian adalah sangat susah, tapi dengan kesabaran dan tekad Hi-tiok, akhirnya dapat diapalkan pula dengan lancar.

Sudah tentu Tong-lo sangat senang, katanya, "Hwesio cilik, boleh juga kau ini ... Hei, tidak bisa jadi...."

Mendadak suaranya berubah, dengan kedua kepalan kontan ia hantami kepala Hi-tiok yang gundul sambil memaki, "Kamu telah berbuat mesum dengan perempuan hina itu dan selama ini aku dapat kau kelabui. Bangsat cilik, apa sekarang kamu hendak membohongi aku? Huk-huk .... huk-huk-huk-huk .... " Begitulah akhirnya ia menangis dengan terguguk-guguk.

Tentu saja Hi-tiok terkejut, kepalanya yang gundul itu kena diketok belasan kali, cepat ia menurunkan Tong-lo ke tanah dan bertanya "Cianpwe, apa ... apa yang kau katakan?"

Namun air muka Thian-san Tong-lo merah padam dan masih berteriak-teriak, "Kamu telah maingila dengan Li Jiu-sui yang hina-dina itu, bukan?. Masakah roasih menyangkal? masih juga tidak mau mengaku? Kalau tidak, mengapa dia mengajarkan 'Siau-bu-siang-kang' padamu. Bangsat cilik, . ai selama ini kamu telah bohong padaku!"

Keruan Hi-tiok merasa bingung, ia coba tanya lagi, "Cianpwe, 'Siau-bu-siang-kang' apa yang kau maksudkan".

Tong-lo tampak tertegun, lain termangu-mangu sejenak dan mengusap air mukanya, kemudian, katanya dengan menghela napas. "O, tak. apa-apa. Soalnya gurumu melakukan sesuatu yang mengingkari diriku."

Kiranya dari kelancaran Hi-tiok mengapalkan ajaran itu. Tong-lo jadi teringat boleh jadi dia telah berhasil meyakinkan "Siau-bu-siang-kang" yang merupakan kungfu khas milik Li Jiu-sui.

Dahulu mereka bertiga saudara seperguruan belajar bersama dan masing-masing mempunyai kepandaian khas tersendiri-sendiri. "Siau-bu-siang-kang" itu hanya diajarkan kepada Li Jiu-sui Oleh guru mereka ilmu itu lihainya tak terkira, sudah beberapa kali Thian-san Tong-lo hendak membinasakan Li Jiu-sui, tapi berkat Siaubu-siang-kang setiap kali Li Jiu-sui dapat bertahan dengan selamat.

Tong-lo tidak paham ilmu itu, tapi ia cukup apal bagaimana kerjanya ilmu itu, sekarang ia merasa pada diri Hitiok juga terdapat ilmu sakti itu bahkan sangat kuat, dalam kaget dan gusarnya pikiran sehatnya menjadi kacau sehingga Hi-tiok dianggapnya sebagai Bu-gai-cu serta dipukuli. Setelah tenang kembali, demi teringat Bu-gaicu telah main gila dengan Li Jiu-sui di luar tahunya sungguh gusarnya tidak kepalang dan amat berduka pula.

Malam itu, tiada henti-hentinya Tong-lo masih mencaci maki Bu-gai-cu dan Li Jiu-sui. Melihat rasa duka Tong-lo lebih hebat daripada rasa marahnya, diam-diam Hi-tiok ikut sedih juga bagi nenek itu.

Esok paginya kembali Tong-lo mengajarkan kalimat sandi kedua dari jurus ilmu pukulan kedua dan begitu

seterusnya setiap hari diajarkan satu jurus. Sampai hari kelima waktu magrib, sampailah mereka di suatu kota besar yang sangat ramai.

"Ini adalah kotaraja Se He,' namanya Lengciu," tutur Tong-lo. "Kamu masih harus mengapalkan suatu kalimat Kim-na-hoat yang terakhir, hari ini kita bermalam di sebelah barat Lengciu. besok kita akan lari dulu ke barat sana sejauh dua ratus Li, kemudian kita akan putar balik ke sini."

"Apa kita akan masuk ke Lengciu?" tanya Hi-tiok

"Sudah tentu, kalau tidak masuk ke kota itu mana bisa dikatakan menyerempet bahaya," sahut Tong-lo.

Satu hari kembali dilewatkan pula, Hi-tiok sudah dapat mengapalkan dengan baik semua kalimat yang merupakan kunci dari enam jurus "Thian-san-ciat-bwe-jiu", lalu Tong-lo mengajarkan cara menggunakan ilmu pukulan itu di tanah pegunungan yang sunyi. Karena sebelah kakinya sudah kutung, terpaksa ia duduk di atas tanah untuk memberi petunjuk kepada Hi-tiok.

Meski "Thian-san-ciat-bwe-jiu" itu hanya meliputi enam jurus saja, tapi mencakup seluruh saripati ilmu silat Siau-yau-pai, di antara Cianghoat dan Kim-aa-hoat, itu mencukup pula cara-cara permainan pedang, golok, ruyung, tombak, dan senjata lain yang hebat dan luas. Sudah tentu seketika itu Hi-tiok tak dapat mempelajari seluruhnya.

Maka Tong-lo berkata, "Ciat-bwe-jiu kita ini tidak mungkin kau pelajari sehingga lengkap, tapi kelak bila Iwekangmu sudah sempurna betul, dan pengalamanmu sudah luas, maka segala macam ilmu silat di dunia ini tentu akan dapat kau patahkan dengan mudah dengan Ciat-bwe-jiu yang kau latih ini. Sekarang kamu sudah apal betul-betul kalimat kunci ilmu ini, sampai di mana hasil yang akan kau capai, untuk selanjutnya adalah bergantung kepada dirimu sendiri".

"Sebabnya Wanpwe mau belajar Ciat-bwe-jiu ini adalah untuk membela keselamatan Cianpwe," demikian kata Hi-tiok. "Kelak bila kekuatan Cianpwe sudah pulih dan Wanpwe pulang ke Siau-lim-si, maka apa yang Cianpwe ajarkan padaku ini akan kulupakan semua dan akan kulatih kembali kungfu Siau-lim-pai"

Tong-lo Lidak bicara lagi, ia pandang Hi-tiok lekat-lekat dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan seperti melihat sesuatu makluk maha aneh.

Selang Sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata. "Kamu benar-benar kelewat bodoh, masakah Thiansan-ciat-bwe-jiu ini dapat dibandingi oleh segala ilmu silat dari Siau-lim pai? Tapi seorang hwesio cilik sebagai dirimu masih tetap ingat pada sumbernya,' betapapun hal ini harus dipuji. Sekarang kamu boleh mengaso dulu.

kalau hari sudah gelap, segera kita pergi ke Lengciu"

Kira-kira sebelum tengah malam dengan menggendong Tong-lo dapatlah Hi-tiok sampai di luar benteng kota Lengciu, Ia lompat ke seberang' sungai yang melingkari benteng kota itu, lalu melintasi tembok benteng yang tinggi dan belarian melayang ke dalam kota.

Dilihatnya penjagaan dalam kota Lengciu itu sangat ketat, pasukan berkuda tampak meronda kian kemari dengan membawa obor, rupanya kekuatan militer kerajaan Se He memang sangat kuat.

Pengalaman Hi-tiok terbatas, sekali ini dia ditugaskan turun gunung, sepanjang jalan ia banyak melihat pasukan Kerajaan Sung, tapi kalau di bantingkan pasukan Se He yang gagah dan tangkas itu terang kalah jauh.

Begitulah dengan petunjuk Tong-lo dengan hati-hati Hi-tiok menyusur ke pojok barat sana, kira kira dua li jauhnya, tertampaklah sebuah gedung bersusun yang sangat megah menjulang tinggi di depan sana di belakang gedung bersusun ini banyak pula gedung lain yang berderet-deret, genting gedung-gedung itu bercahaya mengkilap, nyata semuanya terdiri dari genting kaca tebal.

Melihat atap gedung-gedung itu agak mirip Siau-lim-si, cuma lebih megah dan jauh lebih mentereng, maka dengan suara pelahan Hi-tiok memuji, "Omitohud! Ternyata di sini ada sebuah kelenteng raksasa yang sangat megah!"

"Hwesio bodoh," kata Tong-lo dengan tersenyum geli. "Ini adalah istana raja Se He, masakah kau anggap kelenteng?"

"Hah, istana?" seru Hi-tiok kaget "Lantas, untuk apa kita datang ke sini?"

"Kita dapat berlindung di bawah pengaruh raja, bukan?" sahut Tong-lo. "Bila Li Jiu-sui tidak menemukan mayatku, dia tahu aku belum mati, biarpun lapisan bumi ini harus dia bongkar seluruhnya juga dia ingin menemukan aku. Tapi di tempat seluas ribuan li ini mungkin hanya satu tempat saja yang takkan dia cari, yaitu rumahnya sendiri."

"Wah, Cianpwe benar-benar sangat pintar berpikir" puji Hi-tiok. "Jika begitu, marilah kita bersembunyi ke rumah Li Jiu-sui, di mana letaknya?"

"Inilah rumah Li Jiu-sui. mana lagi?" sahut Tong-lo sambil menunjuk istana itu. "Awas, ada orang datang!"

Cepat Hi-tiok meringkuk di pojok rumah, maka tertampaklah empat sosok bayangan melayang lewat ke sana, menyusu! dari sana ada empat bayangan melesat ke sini pula. Kedelapan orang itu berpapasan dan saling memberi tanda tepukan tangan, lalu memutar pergi dengan cepat. Dari gerak-gerik mereka yang gesit jelas ilmu silat mereka tidaklah lemah.

"Di sinilah habis dironda oleh bayangkari raja, lekas melintasi pagar tembok istana itu, sebentar lagi tentu akan kedatangan peronda lagi" kata Tong-lo.

Tapi Hi-tiok menjadi jeri demi nampak penjagaan yang keras itu, sahutnya, "Cianpwe, dalam istana terdapat sekian banyak jago pilihan, bila kita kepergok mereka, wah, bi ... bisa celaka, Maka lebih baik kita pergi ke rumah Li Jiu-sui saja'

"Bukanlah sudah kukatakan, inilah rumahnya" ucap Tong-lo dengan gusar.

"Katanya ini istana raja?" sahut Hi-tiok.

"Hwesio tolol," semprot Tong-lo. "Perempuan hina itu adalah Hong-thai-hui (ibu suri) dan istana Se He ini dengan sendirinya adalah rumahnya"

Keterangan ini benar-benar di luar dugaan Hi-tiok , mimpi pun dia tidak menyangka bahwa Li Jiu-sui adalah ibu suri kerajaan Se He. Selagi ia terkesima sejenak, sementara itu ada empat bayangan orang sedang melayang lewat dari arah utara ke selatan.

Dan baru saja Hi-tiok hendak bicara, tiba-tiba Tong-lo mendekap mulutnya, ia tercengang dan tahu-tahu dari balik tembok yang tinggi sana muncul pula empat orang terus meronda ke arah lain.

Munculnya keempat orang ini benar-benar terlalu mendadak sehingga tak seorangpun menyangka di balik tembok yang tinggi gelap ini ada orang bersembunyi.

Sesudah peronda itu pergi jauh, Tong-lo melepaskan tangannya dan berkata, "Masuk ke sana melalui lorong kecil itu!"

Hi-tiok tahu penjagaan dalam istana sangat keras dan dirinya sudah berada di tempat maha bahaya, kalau tiada

petunjuk dari Thian-san Tong-lo, umpama sekarang mundur kembali juga pasti akan dipergoki para bayangkari tadi. Maka tanpa pikir lagi segera ia menuju ke lorong kecil yang ditunjuk itu dengan menggendong Tong-lo.

Lorong kecil itu diapit dua dinding yang tinggi, jadi lorong itu sebenarnya adalah lorong di tengah dua buah istana. Sesudah menembus lorong itu, mereka sembunyi di tengah semak-semak dan menunggu lewatnya peronda bayangkari, kemudian mereka menyusup masuk ke tengah taman yang penuh gunung-gunungan buatan.

Dengan petunjuk Tong-lo, setiap beberapa meter jauhnya Hi-tiok lantas berhenti untuk sembunyi.

Dan aneh juga, hanya sekejap saja mereka sembunyi segera dari depan muncul bayangkari peronda. Rupanya Tong-lo apal sekali keadaan dalam istana itu, di mana ada pos penjagaan dan di mana akan dilalui peronda, semua diketahuinya dengan baik, seperti juga Tong-lo sendiri adalah komandan piket yang mengatur penjagaan itu.

Begitulah dengan secara sembunyi-sembunyi akhirnya Hi-tiok sampai di suatu tempat yang banyak terdapat perumahan rendah dan jelek, para peronda juga tidak kelihatan lagi.

"Ke sana!" kata Tong-lo sambil menunjuk suatu rumah batu yang paling besar di sebelah kiri.

Hi-tiok tihat latai depan rumah batu itu adalah tanah lapang yang luas dan bersih tanpa sesuatu benda yang dapat dibuat sembunyi, maka cepat ia melesat ke depan dan sekaligus sampai di samping rumah itu.

Ternyata dinding di sekeliling rumah batu itu adalah buatan dari belahan batang pohon Siong yang besar pula.

"Tarik pintu itu dan masuk ke dalam," desak Tong-lo.

"Apakah Li ... Li Jiu-sui tinggal di sini?" tanya Hi-tiok ragu,

"Tidak," sahut Tong-lo. "Lekas masuk ke dalam"

Cepat Hi-tiok menarik gelang besi pintu kayu raksasa itu. Sesudah masuk dalam, ternyata di depan terdapat sebuah pintu pula. Berbareng terasa hawa dingin yang menusuk tulang mengembus keluar dari balik pintu itu.

Tatkala itu sudah memasuki musim panas, meski puncak gunung masih bersalju, tapi di tanah datar salju sudah cair dan bunga mekar semarak

Namun pada daun pintu kedua itu ternyata terbeku selapis salju yang tipis..

"Dorong pintu itu," perintah Tong-lo pula.

Waktu Hi-tiok mendorong, pelahan pintu itu terbuka, tapi baru belasan senti pintu itu terbuka, seketika terasa hawa dingin menyampuk dari depan.

Untung Iwekang Hi-tiok sudah sangat tinggi, namun begitu kena serangan hawa dingin yang mendadak tanpa terasa ia menggigil juga.

Waktu pintu itu didorong lebih lebar, maka kelihatan di dalamnya penuh tertimbun barang karungan sebangsa bahan makanan sehingga menyundul atap rumah. Rupanya rumah batu ini adalah gudang perbekalan. Di sisi kiri ruangan terluang sebuah jalan.

Diam-diam Hi-tiok sangat heran mengapa gudang bahan pangan bisa begitu dingin?

Dalam pada itu Tong-lo telah berkata dengan tertawa, "Tutup kembali pintu itu. Kita sudah masuk ke dalam gudang es, rasanya takkan terjadi apa-apa lagi".

"Gudang es?" tanya Hi-tiok penuh heran. "Bukankah ini gudang bahan makanan?"

Ternyata Tong-lo telah berubah sangat baik hati sekarang, ia tunggu sesudah Hi-tiok tutup pintu, lalu katanya, "Boleh coba kau periksa bagian dalam sana."

Sesudah pintu pintu ditutup, dengan sendirinya dalam gudang gelap gulita. Dengan meraba-raba Hi-tiok melangkah maju melalui sisi kiri, semakin ke dalam semakin gelap dan semakin dingin rasanya. Tiba-tiba tangan kiri Hi-tiok menyentuh suatu yang keras dan dingin rata dan basah pula, terang itulah sepotong es yang besar.

Selagi Hi-tiok merasa heran, tiba-tiba Tong-lo menyalakan geretan api. Dalam sekejap itu Hi-tiok merasa matanya menjadi silau, di muka belakang, kanan-kiri penuh es batu yang besar, tertimpa cahaya api, es batu itu mengeluarkan warna-warni beraneka ragam dan sangat aneh.

"Mari kita turun ke bawah," kata Tong-lo.

Sambil berpegangan dinding es itu, Tong-lo melompat-lompat mendahului ke depan dengan satu kaki. Sesudah berputar dua-tiga kali di antara es batu yang besar-besar itu, akhirnya mereka masuk ke suatu lubang di pojok ruangan.

Hi-tiok mengintil saja dari belakang, ia lihat di bawah lubang itu adalah sederetan undak-undakan batu, sesudah turun ke bawah, kembali di bagian bawah itu penuh es batu yang besar-besar pula.

"Besar kemungkinan gudang es ini masih ada satu tingkat lagi," ujar Tong-lo.

Sesudah dicari, benar juga. di bawah tingkat kedua itu masih ada sebuah kamar batu yang luas dan panuh tertimbun es batu juga.

Tong-lo memadamkan apinya, ia duduk dan berkata, "Kita sudah berada di tingkat ketiga di bawah tanah, biarpun perempuan hina-dina itu secerdik setan juga takkan dapat menemukan Lolo."

Habis berkata ia menghela napas lega yang panjang. Maklum, selama beberapa hari meski lahirnya tampak tenang-tenang saja, tetapi batinnya sebenarnya sangat kuatir, apalagi di negeri Se He ini penuh jago kelas wahid, sekarang dia dapat menemukan tempat sembunyinya yang sempurna tanpa alangan. sudah tentu ia merasa lega.

Karena merasa hawa dingin masih terus merangsang dari sekelilingnya, tiba-tiba Hi-tioK berkata, "Aneh. sungguh aneh!"

"Aneh apa?" tanya Tong-lo.

"Di iengah istana kerajaan Se He ini ternyata penuh tertimbun es batu yang tidak bernilai apa sih gunanya?" kata Hi-tiok.

"Es batu begini di musim dingin memang tak bernilai, tapi pada musim panas tentu akan berubah lain," ujar Tong-lo. "Coba bayangkan, dalam musim panas yang terik itu, tatkala semua orang kegerahan, kalau kamu diberi minum satu cangkir es teh atau es sirup, akan betapa segar rasanya?"

Baru sekarang Hi-tiok sadar akan manfaat es batu raksasa yang ditimbun dalam gudang itu, serunya, "Ya, bagus, bagus! Tapi untuk memboyong es batu sebanyak ini ke sini tentu akan banyak makan tenaga, bukankah repot juga."

"Hwesio bodoh," omel Tong-lo dengan tertawa. "Sebagai raja sudah tentu banyak hamba pesuruhnya, seorang berteriak, beratus orang akan menyahut, masakah dia kuatir repot apa segala?"

"Benar, sungguh beruntung sekali orang yang menjadi raja itu, tapi kalau memberi perintah secara berlebihlebihan juga berdosa," ujar Hi-tiok.

"Iih, Cianpwe, apakah pada masa dahulu engkau pernah datang ke sini? Mengapa engkau sangat apal terhadap setiap keadaan disini? Di mana ada penjagaan seperti sudah kau ketahui?"

"Istana ini sudah tentu pernah kudatangi dahulu," sahut Tong-lo. "Untuk mencari perkara kepada perempuan hina itu tidak cuma satu kali saja kudatang kemari. Tentang bayangkari penjaga-penjaga itu, pernapasan mereka sangat keras,dalam jarak beberapa meler sudah dapat kudengar, kenapa mesti heran?"

"Kiranya demikian. Wah, Cianpwe, telinga sakti pembawaanmu itu sungguh tak dapat dibandingi siapa pun."

"Telinga sakti pembawaan apa? Itu adalah kepandaian hasil latihan secara tekun, tahu?" kata Tong-lo.

Mendengar kata-kata "kepandaian hasil latihan," tiba-tiba Hi-tiok ingat di dalam gudang itu toh tiada binatang atau hewan yang dapat diambil darahnya sehingga entah cara bagaimana Toug-lo akan melatih "Tok-cun-kang" yang belum selesai itu. Terpikir pula oleh Hi-tiok bahwa di luar sana memang banyak juga bahan makanan, tapi dalam gudang es tentu sukar menyalakan api, apakah nanti musti makan bahan pangan itu secara mentah?

Melihat Hi-tiok termenung-menung, segera Tong-lo tanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?"

Dengan terus terang Hi-tiok mengutarakan pikirannya itu.

Tong-lo tertawa, katanya, "Apa kau sangka isi karung-karung besar itu adalah bahan makanan? Bukan, isinya adalah pasir krikil. Hehe, apa kamu akan makan pasir krikil?"

"Jika demikian, terpaksa kita harus mencari makanan ke luar sana?" tanya Hi-tiok.

"Kenapa mesti susah" ujar Tong-lo. "Di dapur istana banyak terdapat ayam dan bebek hidup.., masakah .kekurangan hewan? Cuma hewan piaraan kurang besar manfaatnya, jauh kalah daripada kambing liar, menjangan dan sebagainya. Tapi kita dapat juga menangkap bangau atau merak dan binatang piaraan lain di taman raja, aku minum darahnya dan kau makan dagingnya, cara demikian paling baik."

"He, he, mana boleh jadi," sahut Hi-tiok cepat. "Mana boleh kumakan barang berjiwa?"

Diam-diam ia kuatir jangan-jangan nenek itu akan memaksanya makan daging dan hal ini bisa runyam baginya. Ia pikir sekarang Tong-lo sudah berada di tempat yang aman dan tidak perlu didampingi lagi, maka ia berkata pula, "Cianpwe, kita mempunyai kepercayaan agama yang berlainan, Siauceng adalah murid Budha yang dilarang membunuh makluk berjiwa, maka lebih baik...lebih baik aku mohon diri saja,"

"Kau mau ke mana?" tanya Tong-lo.

"Siauceng akan pulang ke Siau-lim-si" sahut Hi-tiok.

Tong-lo menjadi gusar, teriaknya, "Tidak, kamu tidak boleh pergi, tapi harus menemani aku di sini, tunggu sesudah selesai kulatih ilmu saktiku dan mencabut nyawa perempuan hina itu barulah kulepaskan kau pergi."

Mendengar kelak nenek itu akan membunuh Li Jiu-sui, Hi-tiok jadi lebih tidak mau ikut berbuat dosa, segera ia berbangkit dan berkata, "Cianpwe, sebenarnya ingin kuberi nasihat padamu, tapi aku sendiri tidak banyak bersekolah sehingga tidak tahu cara, bagaimana harus bicara, yang terang, kukira permusuhan lebib baik diakhiri daripada dipupuk terus, bila dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni saja." Sambil berkata ia terus berjalan ke arah undak-undakan.

"Berhenti, kularang kau pergi!" bentak Tong-lo.

"Tapi terpaksa aku harus pergi ... " kata Hi-tiok.

Sebenarnya ia hendak menambahi pujian semoga ilmu sakti nenek itu lekas pulih kembali. Tapi demi ingat bila ilmu sakti nenek itu pulih bukan saja jiwa Li Jiu-sui terancam bahaya, bahkan Oh-lotoa dan para Tongcu ddn Toci, Putpeng Tojin dan lain-lain mungkin juga akan ikut celaka, makin dipikir Hi-tiok makin terasa takut, maka bukannya dia berhenti, sebaliknya ia lantas melangkah ke atas undak-undakan.

Tapi baru saja dua-tiga tindak, sekonyong-konyong lutut terasa kaku kesemutan dan tubuh lantas terjungkal ke bawah, menyusul bagian pinggang terasa linu, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia tahu Hiat-to bagian tubuhnya kena ditotok oleh Thian-san Tong-lo. Di hadapan nenek yang sakti itu. Hi-tiok insaf tidak dapat melawan, terpaksa ia hanya pasrah nasib saja. Maka sesudah tenangkan diri, lalu ia baca doa suci.

"Hei, kamu baca doa apa segala?" tanya Tong-lo kemudian,

"Siancai! Siancai' Ini adalah 'Jip-to-su-heng-keng' (kitab pengantar catur-bhakti) ajaran Budatama," sahut Hitiok.

"Tama sering diterjemahkan menjadi Tat-mo adalah cikal bakal Siau-lim-si kalian, kukira dia adalah seorang jagoan maha sakti, siapa tahu hanya seorang hwesio busuk yang suka pada segala doa yang bertele-tele," ujar Tong-lo.

"Omitohud! Hendaklah Cianpwe jangan sembarangan mencela" pinta Hi-tiok.

Tong-lo menjadi gusar, segera ia angkat sebelah tangan hendak menghantam kepada Hi-tiok. Tong-lo sudah biasa memerintah dan tidak pernah dibantah oleh siapa pun juga, tapi sekarang Hi-tiok, berani mencelanya, sudah tentu ia menjadi murka.

Namun sebelum tangan menyuruk kepala Hi-tiok, mendadak Tong-lo ingat pula bahwa dirinya masih, banyak memerlukan tenaga padri cilik itu maka cepat ia tarik kembali pukulannya, lalu ia duduk semadi melatih ilmunya.

Esoknya, Tong-lo meninggalkan Hi-tiok dalam keadaan tak berkutik itu untuk keluar. Sekarang kekuatan Tonglo sudah cukup hebat, meski sebelah kakinya buntung, tapi jalannya tetap sangat cepat dan ringan sebagai burung sehingga tiada seorang pun dari para bayangkari keraton itu memergoki dia.

Ketika kembali Tong-lo membawa beberapa ekor bangau putih yang ditangkapnya dari taman raja, meski dalam gudang es itu keadaan gelap gulita, tapi ketika Tong-lo merasa hawa murni dalam tubuhnya bergolak, segera ia tahu lohor sudah tiba dan sudah waktunya berlatih. Segera ia menggigit leher seekor bangau putih untuk mengisap darahnya.

Selesai melatih "Tok-cun-kang," kembali Tong-lo menggigit pula leher seekor bangau putih yang lain.

Mendengar suaranya, segera. Hi-tiok menasihatkan, "Cianpwe, burung itu lebih baik kau tahan saja untuk digunakan besuk, buat apa mesti lebih banyak mengambil korban?"

"Aku ini ingin berbuat bajik dan hendak menyediakan makanan bagimu, tahu?" sahut Tong-lo dengan tertawa,

Hi-tiok menjadi kaget, serunya cepat, "Tidak, tidak! Aku ... tidak mau makan!"

Namun Tong-lo lantas pencet hidungnya dan pentang dagunya sehingga mu tidak mau mulut Hi-tiok terbuka. Segera Tong-lo angkat bangau putih itu ke atas dan mencekoki Hi-tiok dengan darah bangau.

Hi tiok merasa cairan darah yang hangat-hangat tertuang ke dalam tenggorokan, mati-matian ia coba menahan agar darah bangau itu tidak terisap ke dalam perut, tapi hiat-to tertutuk dan mulut dikuasai Tong-lo, betapapun ia bertahan akhirnya darah tetap mengalir ke dalam perutnya. Saking gugup dan gusarnya sampai Hi-tiok mengucurkan air mata.

Selesai mencekoki orang, kemudian Tong-lo menutuk pula beberapa hiat-to lain agar Hi-tiok tidak menumpahkan darah bangau yang sudah masuk dalam perut itu. Lalu katanya dengan tertawa, "Hwesio cilik, sekarang kamu sudah melanggar pantangam makan barang berjiwa dari agamamu, sekali sudah melanggar, apa bedanya kalau melanggar lagi? Hm, barang siapa di dunia ini berani melawan kehendakku, maka pasti akan kumusuhinya hingga detik terakhir. Pendek kata aku akan membuatmu tidak berhasil menjadi hwesio yang suci. "Hahaha-hahaha!"

Begitulah tiada hentinya Tong-lo terbahak-bahak, senangnya tidak kepalang.

Hendaklah diketahui bahwa sifat Thian-san Tong-lo itu memang suka menang sendiri, siapa yang berani membangkang perintahnya, tentu akan dibikin sedemikian rupa sehingga lawan itu minta mati tidak bisa dan minta hidup pun tidak dapat.

Sebab itulah maka bawahan dan pengikutnya sangat takut padanya. Sekarang dia lihat Hi-tiok berkeras ingin mentaati pantangan agamanya, maka ia lantas berusaha agar Hi-tiok melanggar pantangan, baik dengan jalan halus dan bila perlu dengan cara paksa.

Dengan begitu telah berlangsung lebih sebulan lamanya, kekuatan Tong-lo sudah pulih kira-kira sama ketika dia berusia 50 tahun. Sekarang ia dapat keluar masuk gudang es itu bagai setan yang tak berbayangan. Coba kalau tidak jeri kepada Li Jiu-sui tentu sudah lama dia meninggalkan tempat sembunyi itu.

Setiap hari se|ain minum darah dan melatih ilmu, selalu Tong-lo menutuk Hi-tiok supaya tak berkutik, lalu mencekoki dia dengan darah dan melolohi daging mentah, dua-tiga jam kemudian sesudah makanan dalam perut Hi-tiok tercerna dan tidak mungkin tumpah keluar barulah ia buka hiat-to yang tertutuknya.

Begitulah setiap hari Hi-tiok selalu dipaksa minum darah dan makan daging di dalam gudang es itu, hidupnya tersiksa lahir batin, namun tak berdaya, terpaksa ia hanya membaca kitab dan berdoa sekedar menghibur diri.

Suatu hari Tong-lo mendengar Hi-tiok sedang membaca kitab suci pula, tiba-tiba ia mengejek, "Hm, daging juga sudah kau makan, masakah kamu masih anggap dirimu sebagai hwesio dan masih membaca kitab apa segala?"

"Siauceng dipaksa oleh Cianpwe dan bukan timbul dari keinginanku sendiri, maka tidak dapat dianggap melanggar pantangan," ujar Hi-tiok.

"Jika tak dipaksa, apa benar-benar kau sendiri takkan melanggar pantangan ?"

"Siauceng cukup teguh untuk menjaga diri dan tidak berani melanggar peraturan agama!"

"Baik, kita boleh coba"' kata Tong-lo akhirnya.

Maka mulai hari itu juga ia tidak memaksanya makan daging dan minum darah lagi. Sudah tentu Hi-tiok sangat girang.

Besoknya Tong-lo tetap tidak paksa dia makan daging dan minum darah, sebaliknya juga tidak memberi makanan apa-apa, keruan perut Hi-tiok sangat kelaparan. Segera ia berkata, "Cianpwe ilmu saktimu sudah hampir pulih seluruhnya dan rasanya tidak perlu bantuanku lagi, biarlah Siauceng mohon diri saja"

"Tidak, aku melarang kau pergi," kata Tong-lo.

"Namun perutku sangat lapar, jika demikian mobon Cianpwe suka mencarikan sedikit nasi putih dan sayur untuk tangsal perut,"

"Boleh," kata Tong-lo. Lalu ia tutuk hiat-to Hi-tiok agar tidak dapat melarikan diri, kemudian ia tinggal keluar"

Tidak lama kemudian, kembalilah Tong-lo ke dalam gudang es. Segera Hi-tiok mengendus bau lezat yang merangsang selera, seketika mulutnya mengeluarkan air liur.

Terdengar Tong-lo menaruh tiga buah mangkok besar di hadapannya dan berkata, "Ini, satu mangkuk besar Ang-sio-bak, satu mangkuk ayam tim kuah bening dan satu mangkuk kakap masak saus manis, lekas makan!"

"Hah, Omitohud! mati pun aku tidak mau makan!" sahut Hi-tiok terkejut.

Walaupun bau harum masakan lezat itu terus merangsang hidung Hi-tiok, namun sehari penuh ia dapat menahan diri.

Esok paginya Tong-lo sendiri lantas angkat ketiga mangkuk masakan itu dan dilahap habis ia sengaja ber kecap-kecap mulut untuk mengiming-iming Hi-tiok. Namun Hi-tiok hanya berdoa saja, sedikit pun tidak terpengaruh.

Hari ketiga Tong-]o membawakan pula beberapa mangkuk masakan sebangsa ayam goreng ham. Haisom masak jamur, bebek panggang dan

lain-lain yang enak, tapi Hi-tiok tetap tahan lapar dan tak mau makan meski perutnya berkeroncongan.

Diam-diam Tong-lo sangat mendongkol, ia pikir, "Kau berani main bandel-bandelan dengan aku, ingin kulihat kau sanggup tahan sampai kapan"

Maka ia lantas tinggal pergi seharian, ia menduga sesudah kelaparan tentu Hi-tiok akan makan sendiri.

Siapa duga ketika ia pulang, keadaan masakan itu masih tetap utuh tanpa tersentuh sedikit pun, bahkan setetes kuah saja tidak berkurang.

Sampai hati kesembilan, saking lapar tenaga Hi-tiok sudah habis, dia masih dapat minum air es bila terasa haus, namun sedikit pun ia tidak sudi menjamah daharan yang sengaja diberikan Tong-lo itu.

Akhirnya Tong-lo menjadi gemas, mendadak ia jambret dada Hi-tiok dan serentak menjejalkan semangkuk Ang-siok-tite ke mulut Hi-tiok sampai habis. Biarpun dia dapat paksa Hi-tiok makan, tapi ia pun tahu ia sendiri yang kalah dalam pertandingan itu Saking gusarnya ia tempeleng Hi-tiok beberapa kali sambil memaki, "Hwesio keparat, kau berani memusuhi nenekmu, ya? Boleh kau rasakan lihainya nenek!"

Tapi Hi-tiok juga tidak marah atau minta ampun, ia biarkan mukanya ditampar sambil tetap membaca kitab suci dan berdoa.

Untuk beberapa hari seterusnya Thian-san Tong-lo selalu melolohi Hi-tiok secara paksa dengan masakan daging dan ikan yang enak. Karena tak dapat melawan, Hi-tiok hanya menerima saja segala apa yang hendak diperbuat orang, selain berdoa, kerjanya hanya tidur melulu.

Hari itu, dalam impiannya tiba-tiba ia mengendus bau harum semerbak. Bau harum itu bukan harum dupa cendana yang biasa dinyalakan orang tatkala sembahyang, juga bukan harum lezatnya daharan. Ia hanya merasa bau harum itu sangat menyegarkan badan.

Dalam keadaan sadar tak sadar dirasakan pula ada sesuatu benda yang lunak menggelendot di depan dadanya. Hi-tiok berjaga bangun, cepat ia coba meraba benda apakah itu? Tapi di mana tangannya menyentuh ternyata adalah kulit badan yang halus dan hangat, nyata itulah badan manusia yang telanjang.

"Hah, Cianpwe, kau ... kenapa?" seru Hi-tiok kaget. Disangkanya badan yang telanjang itu adalah Thian-san Tong-lo.

Tapi lantas terdengar suara orang itu berkata, "Aku ... aku berada di ... di mana? Ken.. kenapa sedingin ini?"

Dari suaranya yang halus merdu itu terang suara seorang wanita muda dan sekali-kali bukan Tong-lo.

Keruan Hi-tiok tambah kejut sehingga ter>kesima, akhirnya ia coba tanya pula, "Kau ..kau siapa?"

"Aku .. . aku. sangat dingin! "Dan kau sendiri siapa?" sahut wanita muda itu. Sembari bicara badannya terus

mendesak maju untuk menggelendot lebih rapat.

Cepat Hi-tiok mengkeret mundur, maka terdengar wanita muda itu mengomel satu kali, lalu mendesak lebih rapat lagi.

Segera Hi-tiok bermaksud berbangkit untuk menjauhi orang, tapi sekali tangannya memegang, tahu-tahu bahu perempuan muda itu yang terpegang, sedang tangan lain juga kebetulan merangkul pinggangnya yang ramping.

Usia Hi-tiok sekararg 24 tahun. Selama hidupnya hanya pernah bicara dengan tiga orang wanita, yaitu A Ci, Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui.

Selama hidupnya dia cuma tekun semadi dan membaca kitab di Siau-lim-si dan tidak paham soal-soal insaniah.

Namun suka kepada wanita, terutama kepada gadis jelita adalah sifat pembawaan manusia mana pun juga. Meski Hi-tiok sangat alim, tapi ketika iseng, bila berahinya merangsang, betapapun dia pernah mengelamun dan membayangkan urusan insaniah dari dua jenis yang berlainan. Cuma saja ia tidak tahu persis sebenarnya bagaimanakah wanita itu, apa yang dikhayalkan dengan sendirinya macam-macam dan aneh-aneh,

Sekarang kedua tangannya menyentuh badan wanita muda yang halus dan licin dalam keadaan telanjang, keruan jantung berdebar-debar seakan-akan meloncat keluar dari rongga dadanya. Namun demikian toh dia enggan menarik kembali tangannya.

Waktu wanita muda itu membalik tubuh, tangannya terus merangkul leher Hi-tiok, seketika Hi-tiok mengendus bau harum yang merangsang, seluruh badan gemetar dan pikiran kabur, dengan suara terputus putus ia coba tanya, "Kau . kau ...."

"Aku kedinginan, tapi ... tapi panas di dalam hati," sahut wanita muda itu.

Dalam keadaan tak bisa menguasai diri lagi Hi-tiok terus memeluk wanita muda itu Terdengar wanita itu bersuara perlahan, tapi kepala terus merapat ke muka Hi-tiok, hidung menempel hidung, kedua mulut pun lantas terkatup menjadi satu.

Hi-tiok adalah seorang pemuda sehat kuat yang selamanya tidak pernah mengenal hubungan laki-laki dan perempuan, menghadapi godaan terbesar bagi orang hidup ini sedikit pun ia tidak melawan, bahkan ia terus peluk wanita itu dengan erat, dalam sekejap itu semangatnya serasa melayang-layang ke surga sehingga lupa daratan. Sebaliknya wanita itu pun sangat "panas" bagai api Hi-tiok dianggapnya sebagai kekasihnya yang

tercinta ....

Keadaan itu entah sudah berlangsung berapa lamanya, ketika mendadak Hi-tiok merasa seperti jatuh dari awang-awang dan pikiran segarnya pulih kembali, mendadak ia menjerit dan segera bermaksud melompat bangun.

Namun wanita muda itu masih terus merangkulnya dengan kencang, bahkan dengan suara menggiurkan lagi merayu, "Jangan ... jangan meninggalkan aku!"

Kejernihan pikiran Hi-tiok itu datangnya cuma sekejap saja, sebab segera ia pun memeluk erat pula wanita muda itu dan kembali tenggelam dalam lautan madu surga dunia ini.

Agak lama kemudian, ketika tiba-tiba terdengar wanita itu bertanya, "Oo, kakanda, siapakah Engkau?"

Pertanyaan "siapakah engkau" sebenarnya diucapkan dengan suara halus merdu merayu, tapi bagi Hi-tiok kedengaran justru seperti bunyi guntur di siang bolong, dengan snara gemetar ia berseru, "Ai, ah ... aku salah besar!"

"Kenapa salah besar?" tanya wanita itu.

Hi-tiok gelagapan tak bisa menjawab, "Aku .. aku ..."

Hanya sekian ucapannya atau mendadak iganya kena ditutuk orang pula serta tak bisa berkutik lagi. Hanya terasa sehelai selimut lantas menutup badannya, menyusul wanita muda itu pun terbungkus rapat serta meninggalkan pelukannya

"Jangan pergi, jaigan pergi!" seru Hi-tiok,

Dalam kegelapan lantas terdengar suara tertawa orang mengejek beberapa kali, nyata itulah suara Thian-san Tong-lo.

Hi-tiok terperanjat dan hampir-hampir jatuh kelengar. Seketika ia lemas dan mendemprok, kepala terasa hampa dan tak bisa berpikir. Hanya terdengar wanita muda itu dibawa keluar gudang oleh Tong-lo.

Tidak lama kemudian Tong-lo pulang kembali katanya dengan tenawa, "Hwesio cilik, aku telah memberimu menikmati surga dunia, cara bagaimana kamu akan berterima kasih padaku?"

"Aku ... aku .. '" ingin Hi-tiok menjawab tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Tong-lo melepaskan Hiat-to yang ditutuknya tadi, lalu katanya pula dengan tertawa, "Murid Budha kan dilarang berzinah? Barusan kau sendiri melanggarnya atau nenek yang paksa berbuat? Huh,Hwesio cilik sontoloyo, hanya di mulut bilang tidak, tapi di dalam hati sebenarnya kepingin setengah mati. Nah, coba katakan, sekarang kamu yang menang atau nenek yang menang? Hahahabaaahaha!"

Tertawanya makin lama makin lantang dan tertampak dia sangal puas dengan hasil kerjanya itu.

Hi-tiok sekarang sadar bahwa lantaran Tong-lo gemas kepada ke taatannya yang tidak mau melanggar pantangan makan barang berjiwa, maka nenek itu sengaja pergi menculik seoraug gadis jelita untuk dijadikan umpan guna menggodanya agar melanggar pantangan berzinah.

Seketika Hi-tiok merasa menyesal tak terhingga dan merasa malu pula. Sekonyong-konyong ia lompat bangun, kepalanya terus dibenturkan ke dinding es yang keras itu, "blang",.kontan ia jatuh tersungkur.

Tong-lo terkejut juga, tak terduga olehnya bahwa watak hwesio cilik ini sedemikian kerasnya baru saja menikmati surga dunia, tahu-tahu sekarang hendak membunuh diri.

Cepat ia menariknya bangun, untung masih bernapas, tapi kepalanya sudah berlubang dan bocor, lekas ia balut lukanya dan memberi sebutir Kiu-coan-him-coa-wan yang mustajab itu sambil memaki, "Jika dalam badanmu tiada Pak-beng-cin-gi, benturanmu ini tentu sudah membikin jiwamu melayang!"

"Siauceng merasa berdosa dan membikin susah orang lain pula, maka tidak ingin hidup lagi" kata Hi-tiok dengan air mata berlinang-linang.

"Huh, bila setiap hwesio yang melanggar pantangan agama mesti membunuh diri, di dunia ini akan sisa berapa orang hwesio?" jengek Tong-lo,

Hi-tiok terkesiap, teringat olehnya bahwa perbuatan bunuh diri itu pun termasuk pantangan besar bagi agama,

dalam keadaan khilap dirinya ternyata melanggar hukum agama lagi.

Dengan lemas ia duduk bersandar dinding es dengan perasaan bingung, di samping mencerca diri sendiri, berbareng ia pun terkenang kepada wanita muda itu, sungguh kejadian tadi yang melengkapi hidup Hi-tiok itu tak akan pernah terlupakan olehnya, ia membayangkan apa yang dilakukannya tadi dengan penuh kenikmatan itu. Mendadak ia tanya, "Sia ... siapakah no ... nona itu?"

"Haha! Apa kau ingin tahu?" Tong-lo terbahak-bahak,

"Usia nona itu baru 17 tahun, cantik molek lagi tiada bandingannya!"

Dalam kegelapan tadi Hi-tiok sama sekali tidak dapat melihat wajah nona cantik itu. Tapi dari kulit badannya yang-halus dan suaranya yang lembut dapat dibayangkan pasti seorang wanita yang sangat cantik. Sekarang didengarnya Tong-lo bilang nona itu "cantik molek lagi tiada bandingannya", tanpa terasa Hi-tiok menghela napas panjang penuh penyesalan.

"Kamu rindu padanya tidak?" tanya Tong-lo dengan tersenyum.

Hi-tiok tidak berani dusta, tapi juga tidak enak untuk mengaku terus terang, terpaksa ia hanya menghela napas lagi.

Entah berapa jam selanjutnya kembali Hi-tiok berada dalam keadaan mengelamun, dalam keadaan sadar tak sadar.

Ketika datang waktunya Tong-lo membawakan membawakan lagi daharan lesat sebangsa daging dan ikan, tiba-tiba timbul rasa benci diri, rasa masa bodoh dalam benak Hi-tiok, pikirnya' "Aku sudah merupakau murid Budha yang murtad, sudah masuk perguruan lain, melanggar pantangan membunuh dan berzinah pula, masakah aku masih dapat mengaku sebagai murid Budha?"

Karena pikiran itu, terus saja ia sambar ayam panggang dan santapan lain serta disikat dengan lahapnya, cuma saja bagaimana rasa makanan ini sama sekali hampa baginya, bahkan air mata pun berlinang-linang.

"Berani berpikir berani berbuat, inilah baru dapat dipuji," ujar Tong-lo dengan tertawa.

Selang dua jam kemudian, kembali Tong-lo mendatangkan pula nona cantik yang telanjang bulat itu dengan dibungkus selimut serta ditaruh di pangkuan Hi-tiok, lalu ia sendiri tinggal pergi ke tingkat kedua gudang itu.

Sesudah tinggal berduaan, tiba-tiba nona jelita itu menghela napas perlahan dan berkata, "Kembali aku bermimpi aneh seperti ini lagi, sungguh aku takut, tapi... tapi juga ... juga...."

"Juga apa?" tanya Hi-tiok.

"Juga ...juga senang," sahut si Nona dengan suara halus sambil merangkul leher Hi-tiok, lalu pipi pun mendempel pipi. Hi-tiok merasa muka nona itu panas-panas halus, dalam keadaan demikian biarpun patung juga akan tergerak hatinya, tanpa terasa ia peluk pinggang si nona yang ramping.

"Kakanda, sebenarnya aku berada dalam impian atau bukan?"' tanya nona itu. "Jika dibilang mimpi, mengapa jelas jemelas kutahu engkau sedang memeluk diriku? Aku dapat meraba mukamu, dapat menyentuh dadamu, dapat merasakan tanganmu"

Sambil bicara tangan si nona juga meraba-raba muka, dada dan tangan Hi-tiok, lalu sambungnya"Dan jika dikatakan bukan mimpi, mengapa ketika aku sedang enak-enak tidur di ranjangku, mendadak ... mendadak pakaianku bisa terlepas semua dan .. . dan tahu-tahu sampai di tempat yang gelap lagi dingin ini? Dan di tempat yang gelap dan dingin ini terdapat pula seorang engkau yang menantikan diriku, yang telah mengasihi aku dan menyayangi aku"

Diam-diam Hi-tiok membatin jadi nona ini pun diculik Thian-san Tong lo dalam keadaan sadar tak sadar.

Maka terdengar nona itu sedang melanjutkan, "Biasanya aku merasa malu bila mendengar suara orang lelaki, tapi mengapa setelah berada di sini aku lantas ... lantas merasa berani dan tak dapat mengekang diri? Ai, dikatakan impian toh bukan impian, bilang bukan mimpi toh seperti juga mimpi, kemarin alam mimpi aneh sepeti ini, malam ini kembali bermimpi aneh pula. apa barangkali kita ditakdirkan berjodhh? O. kakanda, siapakah engkau?"

"Aku ... aku adalah ... " dengan bimbang. Sebenarnya Hi-tiok hendak menerangkan bahwa dirinya adalah seorang hwesio, tapi susah terceplos dari mulutnya.

Mendadak nona itu menggunakan tangan untuk menutup mulut Hi-tiok dan bisiknya, "Jang ... jangan kau katakan saja, aku ... aku merasa takut."

"Takut apa?" tanya Hi-tiok sambil merangkul si nona dengan erat.

"Aku takut bila ucapanmu itu nanti akan membuyarkan impianku ini," sahut si nona "Engkau adalah kekasihku dalam mimpi maka boleh lah kupanggil dirimu sebagai 'kakanda dalam mimpi' saja, ya? Kakanda dalam mimpi, baik tidak sebutan ini?"

Begitulah sambil bicara, perlahan tangan si nona yang dipakai mendekap mulut Hi-tiok tadi mulai dipakai meraba-raba mata, hidung dan telinga Hi-tiok seperti penuh kasih sayang, tapi seperti juga hendak menggunakan tangannya itu untuk mengenali betapa wajah "kakanda dalam mimpi" itu.

Tangan yang mungil itu pelahan meraba sampai alis Hi-liok, lalu jidatnya dan akhirnya meraba pula kepalanya.

Keruan Hi-tiok terkejut. "Wah, celaka, bisa runyam bila kepalaku yang gundul kena dirabanya!" demikian keluhnya.

Tak terduga bahwa tangan si nona meraba hanya kepala dengan rambut yang cukup panjang. Rupanya Hi-tiok sendiri lupa bahwa dia sudah lebih dua bulan tinggal di dalam gudang es itu sehingga kepalanya, yang semula gundul kelimis itu sekarang sudah tumbuh rambut beberapa senti panjangnya.

"O, kakanda dalam mimpi, mengapa hatimu berdebar-debar? Mengapa engkau diam-diam saja?" demikian terdengar si nona merayu dengan suara halus.

"Aku ... aku pun serupa dirimu juga merasa senang dan merasa takut pula," kata Hi-tiok. "Aku telah menodai badanmu yang suci bersih, biarpun mati seribu kali juga tak dapat membalas kebaikanmu."

"Jangan sekali-kali bicara demikian," ujar si nona. "Kita sedang bermimpi, tidak perlu takut Eh, bagaimana akan kau panggil aku ?"

"Engkau adalah dewi dalam impianku, maka biarlah kupanggilmu sebagai 'dewi dalam impian, boleh?"

"Bagus!" seru si nona dengan tertawa. "Engkau adalah kakandaku, dalam impian dan aku adalah dewimu dalam impian. Semoga impian ini akan terus berlangsung selamanya dan tak pernah sadar kembali."

Begitulah mereka bercumbu rayu dengan asyiknya sehingga kedua orang kembali tenggelam di taman madu dan lupa daratan apakah mereka benar-benar berada di alam impian atau memang betul-betul terjadi, entah berada di dunia fana atau di surgaloka,

Selang beberapa jam kemudian, kembali Tong-lo membungkus gadis jelita itu dengan selimut dan dibawa pergi.

Besoknya tetap begitu, Tong-lo membawakan pula nona jelita itu untuk "dikumpulkan" dengan Hi-tiok.

Setelah bertemu selama tiga hari, rasa bingung kedua muda-mudi itu mulai hilang, rasa malu-malu juga berkurang, sebaliknya timbul cinta kasih yang semakin mesra, mereka bercumbu sepuas-puasnya tanpa batas. Cuma Hi-tiok tetap tidak berani membeberkan sebab musabab mengapa mereka dapat berkumpul di situ, sedangkan nona jelita itu pun tetap menganggap dirinya dalam mimpi, sama sekali ia tidak mengungkat kejadian-kejadian sebelum mimpi.

Cinta mesra selama tiga hari itu membuat Hi-tiok merasa gudang di bawah tanah yang gelap dan dingin itu sebagai surga ketujuh.

Sampai hari keempat, sesudah makan daharan yang dibawakan Tong-lo, Hi-tiok menduga nenek itu tentu akan membawakan pula si cantik untuk di kumpulkan padanya. Eh, di luar dugaan, tunggu punya tunggu, tetap Tong-lo duduk saja di tempatnya tanpa bergerak. Keruan Hi-tiok krupukan bagai semut dalam wajan panas. Beberapa kali ia ingin tanya Tong-lo, tapi tidak berani.

Dengan susah payah Hi-tiok bertahan sampai lebih dua jam, gerak-geraknya yang gopoh dan kelabakan itu sudah tentu dapat diketahui Tong-lo dengan jelas. Namun nenek itu tetap anggap tidak mendengar dan tidak melihatnya, sama sekali tidak menggubrisnya.

Akhirnya Hi-tiok benar-benar tak tahan lagi segera ia tanya, "Cianpwe, apakah no ... nona itu kiongli (dayang) dalam istana?"

Tapi Tong-lo hanya mendengus saja dan tanpa menjawab.

Diam-diam Hi-tiok sangat mendongkol, pikirnya, "Kamu tak mau gubris padaku, baik, aku pun tak sudi gubris padamu" Akan tetapi hanya sebentar saja kembali ia terkenang kepada si nona cantik yang menggiurkan itu, perasaannya kembali terguncang, hatinya seperti dikili-kili sehingga akhirnya ia tidak tahan dan terpaksa memohon, "Cianpwe, harap suka tolong memberitahukan padaku."

"Hari ini jangan bicara lagi dengan aku, boleh kau tanya besok pagi saja," kata Tong-lo.

Meski dalam hati sebenarnya sangat gelisah, terpaksa Hi-tiok menurut.

Dengan susah payah akhirnya sampailah besok, sesudah makan, segera Hi-tiok buka mulut, "Ciaupwe .... "

Tapi Tong-lo lantas memotongnya, "Apa sih sulitnya jika kau ingin tahu siapa nona itu? Bahkan bila kau ingin berkumpul siang malam dengan dia takkan berpisah untuk selamanya hal ini pun sangat gampang .... "

Sungguh girang Hi-tiok tak terkira sehingga ia tidak tahu cara bagaimana harus bicara.

Maka Tong-lo tanya dia, "Nah, sebenarnya kau ingin tidak?"

Hi-tiok tidak berani menjawab terus terang terpaksa ia menyahut dengan cara samar-samar, "Siauceng tidak tahu cara bagaimana harus membalas kebaikan Cianpwe."

"Aku tidak perlu balas jasamu," ujar Tong-lo

"Asal ilmu Tok-cun-kang selesai kupulihkan dalam beberapa hari lagi, dalam beberapa hari ini adalah saat-saat yang paing genting, sedikit pun tidak boleh ayal, bahkan mengambil makanan keluar juga tidak boleh, muka daharan dan binatang hidup yang kuperlukan sudah kusediakan di sini. Adapun nona cantik yang kau rindukan itu harus tunggu sampai aku selasai memulihkan. ilmu Saktiku."

Hi-tiok agak kecewa oleh keterangan ini. Tapi ia tahu apa yang dikatakan Tong-lo itu memang benar. Untung tidak terlalu lama waktunya dalam beberapa hari itu. terpaksa ia harus menahan perasaan yang rindu dendam.

"Nanti kalau ilmu saktiku sudah pulih, segera akan kucari perempuan hina she Li itu untuk membikin perhitungan, aku tidak sabar lagi untuk membiarkan dia hidup lebih lama," demikian kita Tong-lo pula. "Sebenarnya sesudah ilmu saktiku pulih, maka perempuan hina itu pasti bukan tandinganku, cuma sayang sebelah kakiku lelah ditabas kutung olehnya, tenagaku banyak terganggu, apakah sakit hatiku ini dapat terbalas atau tidak menjadi susah diramalkan. Bila akhirnya aku yang mati terbunuh sehingga tidak dapat membawakan nona cantik itu untukmu, maka hal ini pun sudah takdir, apa mau dikatakan lagi, ya, kecuali .... kecuali .... "

Hati Hi-tiok jadi berdebar-debar, cepat ia tanya. "Kecuali apa?"

"Kecuali kalau kau mau membantu diriku," kata Tong-lo.

"Kepandaianku terlalu rendah, cara bagaimana dapat membantu Cianpwe?" ujar Hi-tiok.

"Begini," tutur Tong-lo, "bila aku bertempur mati-matian dengan perempuan hina itu, kalah atau menang hanya selisih sedikit saja. Untuk menang mungkin sulit, sebaliknya ia pun tidak gampang hendak mengalahkan aku. Maka mulai hari ini akan kuajarkan pula padamu sejurus pukulan 'Thian-san-liok-yang-ciang', bila sudah selesai kau latih, kelak pada saat yang paling genting cukup kau pegang satu kali tubuh perempuan hina itu dengan tanganmu dan segera hawa murni dalam tubuhnya akan terkuras keluar semua dan dia pasti akan dapat ku kalahkan.'"

Hi-tiok menjadi serba salah, ia tahu permusuhan Tong-lo dan Li Jiu-sui sedalam lautan, sekali mereka sudah bertempur tentu pertarungan yang menentukan mati dan hidup. Biarpun sekarang dirinya sudah melanggar hukum agama, tapi disuruh berbuat jahat lagi dengan membantu Tong-lo untuk membunuh orang, perbuatan demikian sangat bertentangan dengan hati nuraninya dan sekali-kali tak dapat dilakukannya.

Maka ia lantas menjawab, "Cianpwe inginkan bantuanku, hal ini sebenarnya adalah kewajibanku. Tetapi bila karena Itu Li-cianpwe dapat kau bunuh, hal itu berarti Siauceng ikut berdosa dan kelak pasti akan masuk ke neraka serta takkan terlahir kembali untuk seterusnya."

Tong-lo menjadi gusar, dampratnya, "Hwesio setan, kamu sudah gagal menjadi hwesio, tapi masih mempertahankan ajaran agamamu yang sudah kau langgar itu. Padahal orang jahat seperti Li Jiu-sui itu biarpun dibunuh berpuluh kali juga tak bisa dianggap berdosa."

"Biarpun orang jahat juga mesti diberi pengertian dan dimaafkan, mana boleh sambarangan dibunuh" ujar Hitiok.

Tong-lo tambah gusar, teriaknya gemas, "Jadi kau berani membangkang keinginanku? Baiklah, maka kaupun jangan harap dapat bertemu pula dengan nona itu. Nah, bagaimana keputusanmu boleh lekas kau pilih."

Hi-tiok terdiam dengan lesu, dalam hati ia hanya berdoa saja.

Karena tidak mendapatkan jawaban, akhirnya Tong-lo menjadi girang, katanya, "Jadi kamu masih terkenang

kepada si cantik dan terpaksa akan melatih Liok-yang-ciang?"

"Tidak, demi untuk menemui keinginan Cianpwe sehingga mesti kurbankan jiwa orang, hal ini sekali-kali tak dapat kuterima," sahut Hi-tiok. "Biarpun selama hidup ini aku takkan bertemu pula dengan nona itu, hal ini pun sudah takdir ilahi dan sukar dimohon secara paksa."

"Jadi kamu tetap tidak mau melatih Liok-yang-ciang?" Tong lo menegas dengan gusar.

"Ya, tidak mungkin kupenuhi permintaanmu harap cianpwe suka maafkan," sahut Hi-tiok.

Tong-lo menjadi murka, teriaknya, "Jika begitu, lekas enyah, lekas! Makin jauh makin baik!"

Teringat oleh Hi-tiok selama berkumpul bersama Tong-lo, meski orang telah membikin dirinya melanggar hukum agama sehingga gagal menjadi hwesio suci, tapi lantaran itu pula telah dapat bertemu dengan 'dewi dalam impian'. Sebab itulah dalam lubuk hatinya Hi-tiok merasa Tong-lo telah banyak berbuat baik padanya daripada berbuat jahat, karena itu ia merasa berat untuk tinggal pergi dengan begitu saja segera ia berkata pula, "Harap Cianpwe menjaga diri dengan baik, Siauceng tidak dapat meladenimu lagi."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar