Jilid 61
Tatkala itu udara sebenarnya
gelap gulita tapi di bawah sinar pelita yang terang itu semua orang dapat
melihat dengan jelas melayang turunnya Buyung Hok yang indah dan cekatan itu,
semua orang tercengang dan kagum luar biasa.
Di tengah suara jerit maki yang
menyeramkan itu tiba-tiba bergema pula suara sorak puji yang gemuruh sehingga
jerit teriak orang yang tersiksa itu kalah kerasnya.
Tadi waktu ia melayang turun
gayanya sangat lambat dan indah, tapi sekarang ia menubruk ke bawah dengan
cepat seperti elang menyambar anak ayam, di mana bayangannya tiba,
sekonyong-konyong kedua kakinya menginjak kepala seorang yang pendek gemuk di
tepi batu padas itu.
Kiranya sesudah mengincar
dengan cermat dari atas tiba -tiba ia melihat tangan orang gendut buntak ini
memegang sebuah benda yang mirip sebuah wajan kecil dengan gerak-gerik seperii
hendak menjepretkan jarum berbisa lagi. Maka segera ia mendahului menyambarnya.
Namun si gendut itu juga
sangat gesit, sebelum batok kepalanya terinjak kaki Buyung Hok, dengan cepat
sekali ia menjatuhkan diri terus menggelinding pergi seperti bola, Karena itu,
Buyung Hok telah menginjak tempat kosong, namun segera ia susuli dengan
hantaman keras ke punggung lawan.
Waktu itu si gendut baru saja
hendak merangkak bangun karena pukulan Buyung Hok dari jauh itu,
"Plak", kembali ia terjungkal lagi terkena pukulan itu
Tapi sekalian ia terus
pentalkan diri beberapa meter jauhnya, habis itu barulah berbaagkit.
Namun pukulan Buyung Hok
teramat hebat, baru saja si gendut sempat berdiri dengan agak sempoyongan,
mendadak badannya tergeliat dan kembali jatuh tersungkur pula.
Serentak terdengar suara
teriakan orang ramai.
"Song Tho-kong, mana obat
penawarmu, lekas keluarkan!"
Berbareng mereka lantas
menyerbu ke arah si gendut buntak itu.
"Kiranya si pendek gendut
itu adalah Song Tho-kong!" demikian Ting Pek-jwan dan Pau Put-tong sama
membatin. Karena mereka juga buru-buru ingin menangkapnya untuk mendapaikan
obat penawar guna menyembuhkan luka para saudara angkatnya, maka berbareng mereka
pun membentak dan menubruk ke sana.
Sementara itu Song Tho-kong
tampak menggunakan tangan menyanggah tanah dan bermaksud merangkak bangun, tapi
rupanya ia sudah terluka tidak ringan, tenaga sudah tidak mau menuruti kehendak
hatinya lagi, baru saja badannya terangkat sedikit, "bluk", kembali
ia jatuh lagi.
Dalam pada itu Pau Put-tong
sudah menubruk tiba, sakali cengkeram ia hendak remas pundak Song Tho-kong,
cengkeramannya menggunakan tenaga sekuatnya dengan tujuan agar musuh tak bisa
berkutik lagi.
Tak terduga, baru saja kelima
jarinya memegang pundak orang, tiba-tiba telapak tangannya terasa sakit luar
biasa, cepat ia tarik kembali tangannya, ketika diperiksa, ternyata tangan
sudah penuh darah.
Kiranya Song Tho-kong itu
memakai baju yang penuh dipasang jarum lembut sehingga mirip seekor landak yang
berduri tajam.
Jarum-jarum itu juga berbisa,
maka dalam sekejap saja Pan Put-tong merasa telapak tangannya pegal linu dan
gatal luar biasa, saking gatalnya sehingga hatinya serasa seperti dikili-kili,
saking tak tahan, sungguh ia ingin potong saja tangannya.
Dalam kejut dan gusarnya,
segera sebelah, kaki Pau Put-tong melayang hendak menendang pantat Song
Thokong, ia lihat orang gendut itu meringkuk ditanah seperti babi, tendangannya
itu pasti akan kena sasarannya dengan keras.
Tapi ketika kakinya sudah
hampir mengenai pantat orang mendadak Put-tong sadar, "Wah, celaka! Jika
pantatnya juga, penuh terpasang jarum yang tajam bukankah kakiku ini akan
hancur?"
Padahal saat itu kakinya sudah
melayang ke depan dan untuk menariknya kembali terang tak bisa lagi, tiada
jalan lain terpaksa Pau Put-tong miringkan tendangannya sehingga hanya
menyenggol sedikit celana Song Tho-kong, sekalian tubuh Pau Put-tong lantas
ikut berputar seperti kitiran.
Dalam pada itu Pek-jwan dan
lain-lain juga sudah menubruk tiba. Tapi mereka menjadi kaget melihat Pan Put-
tong yang jelas dapat menawan
Song Tho-kong itu entah mengapa mendadak tangan Put-tong malah terluka sendiri.
Mereka melihat Song Tho-kong masih bertiarap di atas tanah tanpa bergerak,
seketika itu mereka menjadi tidak berani sembarangan bertindak.
Dasar watak Put-tong memang
sangat keras dan tak mau kalah, sekali ia keselomot sudah tentu ia tidak mau
tinggal diam lagi, tanpa pikir segera ia angkat sepotong batu besar sambil
berteriak,
"Awas, minggir! Biar
kugecek mampus kura-kura bangsat ini!”
Tapi segera ada oranya
mencegahnya, "Jangan, jangan! Kalau digebuk mati, tentu kita takkan
mendapatkan obat penawarnya!"
Lalu ada orang lain ikut
berteriak, (Dewi KZ http://kangzusi.com/) "Obat penawar pasti berada dalam
bajunya, ayolah tumbuk mampus dia dulu baru nanti ambil obatnya!”
Rupanya berkumpulnya para
petualang yang menyebut dirinya dewa ke-36 gua dan ke-27 pulau itu masingmasing
mempunyai maksud tujuan sendiri dan sama sekali tiada rasa persatuan buktinya
ketika Pau Put-tong ingin menggecek mampus Song Tho-kong ternyata ada juga yang
menyatakan setuju bahkan beramai-ramai mengemukakan usulnya.
Begitulah di tengah suara
orang banyak itu, Put-tong tidak peduli lagi, ia angkat batu besar itu, dengan
langkah lebar ia mendekati Song Tho-kong, ia incar punggung orang buntak itu
dengan tepat sambil membentak, "Biar kugesek mampus kura-kura berduri
ini!"
Tatkala itu Put-tong merasa
gatal pegal di tangannya bertambah bebal dan susah ditahan lagi, maka sekali ia
ayun tangannya, langsung batu besar itu menghantam punggung. Song Tho-kong.
"Blang", terdengar
suara gemuruh yang keras dibarengi debu pasir beterbangan,
Orang-orang Itu ada yang
girang dan ada yang kualir pula. Mereka menduga Song Tho-kong pasti akan hancur
lebur seperti bergedel tertumbuk batu besar itu, tapi mereka menjadi terkejut,
karena sama sekali mereka tidak mendengar suara jeritan Song Tho-kongg,
sebaliknya mengapa debu pasir bisa berhamburan?
Ketika mereka memperhatikan,
mereka tambah tercengang. Ternyata batu besar yaiig dihantamkan Pan Puttong itu
masih tetap di atas tanah, sebaliknya Song Tho-kong sudah menghilang entah
keumana.
Cepat sekali Pan Pat-tong
berpikir demi melihat keadaan yang ganjil itu, segera ia depak batu besar itu.
Maka tertampaklah di bawah tanah situ berdapat sebuah liang, besarnya cuma
sebesar 20 an senti saja., padahal badan Sonng Tho-kong segemuk babi, masakah dia
dapat menyusup ke dalam liang sekecil itu seperti kelinci?
Ia tidak tahu bahwanama Song
Tho-kong memakai kata "Tho" atau tanah, dengan sendirinya dalam hal
menggangsir tanah ia sangat rnahir. Ia dapat menggangsir dengan sangat cepat
dengan menggunakan tangan dan kaki sesudah itu ia terus menyusup ke dalam liang
yang digangsirnya itu.
Tapi waktu Buyung Hok
menginjak tutup wajannya sehingga dia tidak dapat keluar, saat itu ia telah
membuka pantat wajan dan meloloskan diri ke bawah tanah.
Sesudah tertegun sejenak,
segera Pau Put-tong mencari pula tempat sembunyi Song Tho-kong. Ia pikir sekali
pun dapat menggangsir, toh hanya manusia dan bukan trenggiling, paling banter
juga cuma satu-dua meter jauhnya dan hanya dapat sembunyi untuk sementara saja,
masakah dapat menghilang?"
Tapi selagi ia mencari,
tiba-tiba terdengar seruan Buyung Kok, "'Ini dia, di sini!"
Berbareng itu lengan bajunya
terus mengebas sepotong batu padas. Kiranya batu padas itu sebenarnya bukan
batu melainkan punggung Sung Tho-kong yang menonjol ke atas. Dasar kelakuan
Song Tho-kong itu memang aneh-aneh dan macam-macam caranya mengelabuhi mata
orang, kalau bukan pandangan Buyung Hok yang tajam tentu susah menemukan
jejaknya.
Dan sekali angin kebasan
lengan baju Buyung Hok tiba, seketika badan Song Tho-kong yang bulat itu
mencelat ke udara,
Sejak terkena pukulan Buyung
Hok tadi, luka Song Tho-kong sebenarnya cukup parah, sekarang menjadi
lebih-lebih tidak sanggup melawan sedikitpun, terpaksa ia berteriak-teriak,
"Sabar dulu, jangan menyerang lagi, aku akan memberikan obat
penawarnya!"
"Jangan kuatir, aku
takkan menyerang lagi," kata Buyung Hok dengan tersenyum dan mengebaskan
lengan baju lagi sehingga Song Tho-kong dapat turun ke bawah dengan enteng
tanpa alangan.
Tiba-tiba terdengar suara orang
berseru dari jauh, "Koh-soh Buyung benar-benar hebat dan bukan omong
kosong belaka!”
"Terima kasih atas
pujianmu!" sahut Buyung Hok dengan merendah.
Pada saat itu juga,
sekonyong-konyong sejalur sinar emas dan sejalur sinar perak menyambar tiba
dari sebelah kiri, begitu hebat sambaran sinar emas perak itu sehingga
mengeluarkan suara mendenging.
"Senjata apakah yang
lihai ini?” diam-diam Buyung Hok membatin. Ia tidak berani ayal, segera kedua
lengan bajunya mengebas pula memapak ke depan.
"Blung," angin
kebasannya tertolak kembali sebaliknya sinar emas dan perak itu pun terpental
balik, Dan baru sekarang terlihat dengan jelas, kiranya kedua jalur sinar emas
perak itu adalah dua utas selendang yang panjang lagi lebar, yang sebuah
berwarna emas dan yang lain berwarna perak.
Dari tenaga benturan tadi
Buyung Hok sudah dapat menjajal bahwa tenaga dalam orang yang menggunakan
selendang warna emas itu lebih kuat daripada kawannya yang memakai selendang
warna perak itu. Tapi terasa juga olehnya bahwa tenaga yang dikeluarkan orang
yang menggunakan selendang perak itu belum dikerahkan seluruhnya, sebaliknya
orang yang bersenjata selendang emas telah mengeluarkan segenap tenaga dalamnya
yang ada.
Maka tertampaklah di depan
sana berdiri dua orang, semuanya kakek-kakek, yang bersenjata selendang emas
berjubah putih perak dan.yang bersenjata selendang perak berjubah warna emas,
jadi terbalik warna jubah dan senjata yang mereka pakai itu.
Jubah mereka pun gemerlapan
menyilaukan mata, jubah macam begitu pada umumnya tidak ada orang yang mau
pakai kecuali pemain sandiwara di atas panggung.
Terdengar si kakek jubah perak
berkata, "Hebat. sungguh kagum, marilah terima sekali lagi serangan kami
berdua!"
Menyusul sinar emas
berkelebat, selendang emas menyambar pula dari sebelah kiri, sebaliknya
selendang perak tiba-tiba menyendal ke atas terus menyambar turun ke bawah
untuk menyerang kepala Buyung Hok.
"Kedua Cianpwe ....
" baru Buyung Hok lhendak bicara, mendadak terdengar suara menderu, tiga
batang-golok panjang membabat pula dari bagian bawah.
Rupanya musuh telah
menggunakan "Te-tongto", ilmu golok bergelindingan di tanah, tiga
orang telah bekerja sama dengan sangat rapat untuk menyerang bagian bawah tubuh
Buyung Hok.
Ilmu golok dengan cara
bergelindingan di tanah itu sebenarnya jarang digunakan oleh jago silat kelas
wahid, sebab yang diarah selalu bagian bawah badan musuh, daya tempurnya
terbatas pula dengan main bergulingan di tanah juga merosotkan pamor seorang
tokoh ternama.
Tapi terdengar dari suara
sambaran golok ketiga penyerang itu, rasanya tenaga dalam merekajjua tidak
lemah dan dapat digolongkan jago kelas dua. Apalagi sekarang mereka tiga
bergabung menjadi satu, golok mereka menyambar susul-menyusul dengan cepat
kalau lena sedikit tentu sasarannya bisa binasa, maka betapapun tidalah boleh
dipandang enteng.
Jadi saat itu Buyung Hok
menghadapi serangan, dari tiga jurusan, dari utas, samping kiri dan depan bawah.
(Dewi KZ http://kangzusi.com/) Diam-diam ia.pikir, "Pihak lawan terkenal
sebagai Tongcu ke-36 gua dan Tosu ke-72 pulau, jumlah mereka sangat banyak,
kalau aku tidak mendahului memberi hajaran pada mereka, tentu urusan sukar
diakhiri."
Waktu itu dilihatnya ketiga
golok musuh sedang menyambar tiba pula dari bawah, ia incar dengan tepat dan
menendang tiga kali secepat kilat sehingga tiap-tiap tendangannya mengenai
pergelangan tangan musuh, tiga batang golok mereka kontan mencelat ke udara.
Ketika Buyung Hok menggeser
tubuh ke samping, sedikit ia geraki tangan, dengan ilmu
"Tancoan-sing-ih" yang lihai, tahu-tahu ujung selendang emas diputar
balik, "plak”, selendang emas itu saling melilit menjadi satu dengan,
selendang perak kawannya.
Sementara itu ketiga orang
yang memalukan Te-tong-to juga sudah menerjang maju, tiga batang golok mereka
mendadak ditimpukkan, bahkan mereka tidak terus mundur, sebaliknya pentang
tangan dan hendak merangkul kedua kaki Buyung Hok sambil mengeluarkan suara
kalap.
Dalam keadaan berkelahi satu
lawan banyak, sudah tentu Buyung Hok tidak mau badan tersentuh lawan, sekali
kaki melayang, secepat angin hiatto penting di dada ketiga orang itu
ditendangnya hingga terjungkal.
Pada saat itulah seorang
berbaju hitam dengan tangan dan kaki serba panjang melompat maju, ia pentang
tangannya, yang lebar itu dan sekali raih segera Song Tho-kong diangkat olehnya
ke atas.
Seperti diceritakan pada badan
Song Tho-kong itu penuh berduri sebagai landak, tapi tangan orang berbaju hitam
itu entah berkulit setebal badak atau memakai sarung tangan istimewa sehingga
tidak takut pada duri di
badan Song Tho-kong itu, dan
sekali sasarannya diangkat segera ia melompat mundur lagi sejauh beberapa
meter.
Melihat gerak-gerik si baju
Hitam itu sangat gesit dan cekatan, terang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari
yang lain, diam-diam Buyung Hok berkuatir, "Kalau Kong Tho-kong kena
digondol lari orang ini, untuk, mencari obat penawarnya pasti akan sangat
sulit."
Berpikir demikian, tanpa ayal
lagi segera ia lompat melintasi. tiap sosok tubuh yang menggeletak di tanah itu
terus menghantam orang berbaju hitam itu.
Mendadak orang itu tertawa
panjang, tahu-tahu sebilah golok melintang di depan dadanya, nyata sebatang
golok yang sangat tajam dan mengeluarkan sinar berkilauan. Kiranya sebatang
Kui-thau-to, yaitu ujung golok berbentuk kepala setan dengan punggung golok
agak tebal.
Dalam keadaan begitu, kalau
pukulan Buyung Hok diteruskan, itu berarti tangan sendiri sengaja disodorkan
untuk dimakan senjata musuh.
Namun Buyung Hok bukanlah
Buyung Hok jika cuma sekian saja kemampuannya, ia tetap hantamkan tangannya
itu, ketika tangan sudah tinggal beberapa senti hampir mengenai golok musuh,
meddadak tangannya memotong ke samping meng--ikuti batang golok lawan, jadi
tujuannya hendak memotong jari tangan si baju hitam yang memegang golok itu.
Dengan tenaga dalam Buyung Hok
yang hebat, betapa kuat tebasan tangannya itu boleh dikatakan tidak kalah
tajamnya dengan Kui-thau-to lawan. Karena tidak menyangka akan perubahan
serangan Buyung Hok itu, maka terdengar orang berbaju hitam itu bersuara heran
perlahan, lekas ia buang goloknya dan menggunakan tangan untuk memapak serangan
Buyung Hok.
"Plak". kedua tangan
saling beradu dan kembali si baju hitam bersuara heran pula, badan tergeliat,
tapi masih sempat melompat mundur lagi beberapa meter jauhnya dengan tangan
kiri tetap mencangking badan Song Thokong yang gendut buntak itu.
Ketika tangan Buyung Hok
membalik kembali, dengan cepat ia masih sempat menyambar golok Kui-thau-to
lawan yang dilepaskan itu, Segera, hidungnya mencium bau busuk amis yang
memuakkan. la tahu pada golok itu tentu dilumasi racun yang maha jahat,
Walaupun sekali gebrak Buyung
Hok dapat merampas senjata lawan, tapi dilihatnya pada pihak musuh sudah ada
beberapa orang mengadang didepan si baju hitam dengan senjata lengkap kalau
hendak merampas kembali
Song Tho-kong dengan menerjang
orang banyak itu terang bukan pekerjaan gampang. Apalagi sesudah mengadu tangan
tadi, ia merasa tenaga si baju hitam agak lebih lemah daripada dirinya, namun
mempunyai sesuatu kepandaian yang aneh dan istimewa, biarpun bertarung satu
lawan satu juga takkan dapat merobohkannya dalam waktu singkat.
Dalam, pada itu terdengar
teriakan dan cacimaki orang banyak yang sudah tak sabar lagi, semua memaki Song
Tho-kong dan minta obat penawarnya lekas dikeluarkan untuk menyembuhkan rasa
sakit gatal mereka yang tak tertahankan itu.
Di bawah cahaya obor tertampak
bayangan orang berlari kian kemari, semuanya sedang minta si baju hitam lekas
mengeluarkan obat penawar dari baju Song Tho-kong.
"Baiklah! Nah,
Song-gendut, lekas serahkan obat penawarmu," kata orang berbaju hitam itu.
"Harus kau lepaskan aku
dahulu!" seru Song Tho-kong.
Tapi si baju hitam menjawab,
"Sekali aku melepaskanmu, tentu kamu akan ditawan musuh. Mana boleh
kulepaskanmu? Ayolah lekas keluarkan obat penawarmu!"
Serentak orang banyak juga
berteriak dan memaki untuk mendesak Song Tho-kong lekas menyerahkan obat
penawarnya.
Maka dengan suara yang serak
Song Tho-kong berkata, "Obat penawar kupendam di dalam tanah, kalau aku
tidak dilepaskan, cara bagaimana aku dapat mengeluarkannya?"
Semua orang melengak oleh
keterangan itu. Mereka percaya apa yang dikatakan Song Tho-kong itu pasti
betul, sebab Song Tho-kong terkenal suka sembunyi di dalam gua alau liang di
bawah tanah, jika dia menyimpan sesuatu di bawah tanah tentu bukan omong
kosong.
Meski Buyung Hok tidak
mendengar suara teriakan dan rintihan Kongya Kian dan Hong Pook, tapi ia dapat
membayangkan bila orang lain berteriak-teriak tidak tahan oleh siksaan racun
Song Tho-kong itu maka dapat diduga kedua kawannya itu pun pasti juga serupa
keadaannya. Jalan satu-satunya sekarang harus berusaha sebisanya merebut
kembali Song Tho-kong urusan lain boleh dipikirkan belakang.
Maka sekali berteriak, terus
saja ia putar Kui-thau-to rampasannya dia menerjang ke tengah-tengah orang
banyak.
Ting Pek-jwan dan Put Hut-tong
menjaga rapat di samping kedua kawannya, mereka menyaksikan Buyung Hok
menerjang ke tengah musuh bagai harimau mengamuk di tengah kawanan kambing,
siapa yang berani merintangi segera dirobohkannya.
Melihat terjangan Buyung Hok
yang hebat itu , si baju hitam tidak berani memapaknya, sambil membawa Song
Tho-kong ia sengaja menyingkir jauh-jauh.
Maka terdengarlah teriakan
orang ramai,
"Awas, senjata yang
dipakai dia adalah 'Lik-po-hiang-lo-to', jangan sampai kena dilukai olehnya!
Wan, sungguh celaka, Lik-po-hiang-lo-to itu kena direbut olehnya!"
Dan dimana Buyuilg Hok tiba,
ternyata .semua orang sama menghindarinya dengan rasa jeri.
Maka dapat diduganya
Kui-thau-to itu pasti bukan senjata sembarangan, padahal golok itu berbau
busuk, tapi justru diberi nama "Lik-po-hiang-lo-to" (golok harum sari
wangi) segala, sungguh menggelikan.
Diam-diam ia pikir pula,
"Dengan golok berbisa ini tidaklah susah bagiku untuk membunuh sepuluh
atau dua puluh Tongcu atau Tocu mereka ini, tapi selama ini aku tiada
permusuhan apa-apa dengan mereka, buat apa mesti banyak menimbulkan korban?
Kalau permusuhan ini semakin mendalam dan mereka tidak mau memberikan obat
penawarnya, maka keadaan Jiko dan Siko tentu akan payah dan sukar
tertolong."
Karena pikiran itulah, maka
tatkala Buyung Hok menerjang dan menyerbu, ia tidak melukai atau membunuh lawan
lagi, hanya kalau ada kesempatan segera ia menutuknya hingga roboh atau
menendangnya hingga terjungkal.
Semula orang-orang itu sangat
panik dan jeri, tapi demi melihat daya guna golok yang diputar Buyung Hok itu
tidak membahayakan, maka mereka menjadi tenang kembali, dalam sekejap saja
serentak senjata mereka dikeluarkan untuk mengerubut Buyung Hok.
Meski kepandaian Buyung Hok
sangat tinggi, tapi dikerubut puluhan orang, seketika ia agak kerepotan juga ,
apalagi di luar kepungan itu masih ada beratus orang pula, mau tak mau ia agak
kuatir juga.
Tidak lama kemudian, Buyung
Hok pikir kalau pertarungan begitu diteruskan tentu sukar diakhiri tambaknya
terpaksa ia harus turun tangan keji. Maka sekail goloknya berputar, pada saat
lain dua orang musuh kena diketok roboh oleh gagang goloknya.
Tiba-tiba terdengar seruan
Ting pek-jwan,
"Manusia rendah, jangan
mengganggu nona Ong!"
Ketika Buyung Hok melirik ke
sana, dilihatnya ada dua orang sedang melompat ke atas untuk menyerang Giok-yan
yang nongkrong di atas pohon itu. Pek-jwan nampak memburu maju dan beruntun
melancarkan serangan sehingga seorang musuh kena dicegat olehnya, tapi seorang
lagi serapat meloncat ke atas pohon namun segera terdengar suara jeritannya,
ternyata orang itu kena didepak oleh Ong Giok-yan.
Buyung Hok agak lega. Tapi
segera terlihat ada tiga orang melompat lagi ke atas, maka tahulah dia akan
tujuan orang-orang itu. "Tentu mereka ingin menangkap Piaumoai untuk
dijadikan sandera, sungguh rendah perbuatan mereka ini. "
Tapi ia sendiri sedang
dikeroyok dan sukar melepaskan diri.
Pada saat lain dilihatnya dua
orang wanita yang melompat ke atas itu berhaiil mencengkeram lengan Giok-yan
terus diseret turun ke bawah. Seorang Thauto (hwesio berambut) yang memakai
gelang emas di atas kepala telah melintangkan goloknya pada leher Giok-yan
sambil berteriak,
"Buyung-siaucu, kau mau
menyerah atau tidak? Kalau tidak, segera akan kupenggal kepala jantung hatimu
ini!"
Buyung Hok terkesiap juga oleh
ancaman itu ia tahu orang-orang itu sangat kejam, berani berkata berani
berbuat, sungguh celaka kalau Piaumoai benar-benar dibunuh oleh mereka.
Tapi Koh-soh Buyung selama ini
malang melintang di Bu-lim, masakah sekarang harus menyerah kepada ancaman
orang? Kalau sekarang menyerah, cara bagaimana kelak dapat berkecimpung pula di
dunia kangouw?
Hati berpikir, tapi tangan
tidak menjadi kendur, sekali tangan kirinya menampar, kontan dua orang musuh
kena dihantam hingga mencelat beberapa meter jauhnya,
"Apa benar-benar kamu
tidak mau menyerah. Baiklah, biar kupenggal kepala nona jelita ini!" seru
pula Thauto tadi, dan goloknya yang kemilauan itu terus diangkat ke atas.
"Tahan dulu, jangan
sekali-kali mencelakai nona Ong, biarlah aku saja yang menyerah padamu!"
demikian tiba-tiba terdengar setuan seorang dari lereng gunung sana.
Saat lain, tertampaklah
sesosok bayangan orang sedang datang secepat terbang, beberapa orang yang
berdiri di jalanan sana kedengaran membentak-bentak dan hendak merintangi tapi
dengan menyelinap ke kanan dan membelok ke kiri, tahu-tahu orang itu sudah
menerobos lewat dari rintangan orang banyak dan memburu tiba. Dibawah cahaya
obor yang terang dapatlah terlihat dengan jelas, nyata dia bukan lain ada!ah
Toan Ki.
"Untuk menyerah kan
urusan panjang, demi nona Ong, kau minta aku menyerah seratus kali atau seribu
kali juga jadi, " demikian seru Toan Ki sambil berlari mendekati Thauto
tadi, lalu katanya lagi, "He, lekas kalian lepas tangan untuk apa kalian
menangkap nona Ong?"
Giok-yau tahu Toan Ki tidak
mahir ilmu silat tapi toh berani menolongnya tanpa menghiraukan Keselamatan
sendiri, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Segera serunya, "Toan
... Toan kongcu, kiranya engkau?”
"Ya , ya, aku!"
sahut Toan Ki kegirangan-.
'Persetan! Kamu ini apa?"
damprat Thauto tadi.
"Aku manusia. Memangnya
kaukira apa?" sahut Toan Ki.
"Plak", mendadak
tangan Thauto itu membalik dan kena tampar di bawah dagu Toan Ki dan kontan
pemuda itu terjungkal ke samping, kebetulan kepalanya membentur sepotong batu,
seketika darah bercucuran.
Melihat cara lari Toan Ki tadi
terang memiliki ginkang yang sangat tinggi maka Thauto itu yakin pemuda itu
pasti memiliki ilmu silat yang lihai pukulannya barusan sebenarnya cuma
serangan pura-pura saja, sebaliknya tebasan goloknya yang segera akan
dilontarkan bila pemuda itu berkelit barulah benar-benar serangan yang
berbahaya.
Siapa duga hantamannya yang
tidak sungguh-sungguh itu malah kontan merobohkan Toan Ki, keruan ia
terkesima malah. Sementara itu
dilihatnya
Buyung Hok masih menerjang
kian kemari dengan gagahnya, segera ia berteriak, "Sekali lagi
kuperingatkan supaya kamu menyerah saja, kalau tidak segera kepala nona ini
kupenggal sungguh-sungguh, apa yang Hudya (tuan budha) katakan selamanya
terbukti dan tidak omong kosong. Nah, kau mau menyerah atau tidak? Satu ... dua
...."
Buyung Hok menjadi serba
sulit, bicara tentang hubungan persaudaraan mereka, sudah tentu tidak nanti ia
biarkan Giok-yan dibunuh musuh.
Tapi nama "Koh-soh
Buyung" yang agung itu tidak boleh menyerah di bawah ancaman orang
sehingga kelak akan dibuat buah tertawaan orang kangouw.
Maka ia terus, berteriak
menjawab, "Thauto bangsat, jangan kau mimpi bahwa Kongcuya mau menyerah
padamu. Tapi kalau kau berani mengganggu seujung rambut nona itu, kalau aku
tidak mencincangmu hingga hancur luluh aku bersumpah takkan menjadi manusia
lagi!"
Sembari berseru ia lantas
menerjang ke arah Giok-yan. Tapi dua-tiga puluh orang yang ber senjata lengkap
telah mengerubutnya dari muka dan belakang sehingga susah melepaskan diri.
Sebaliknya Thauto tadi menjadi
gusar, teriak nya, "Aku justru akan bunuh anak dara ini, ingin kulihat kau
mampu mengapakan Hudya?"
Habis berkata, goloknya
diangkat dan segera diayun ke leher Giok-yan.
Karena kuatir keserempet,
(Dewi KZ http://kangzusi.com/) maka kedua wanita yang memegangi lengan Giokyan
itu lekas-lekas lepas tangan dan melompat mundur.
Saat itu Toan Ki baru
merangkak bangun, dengan tangan kiri mendekap batok kepala yang
"bocor" itu, ia meringis kesakitan. Tapi demi dilihatnya si Thauto
benar-benar hendak memenggal kepala Giok-yan dan gadis itu tampak berdiri
terpatung di tempatnya seperti ditutuk orang dan sama sekali tak dapat melawan
atau menghindar keruan kejut Toan Ki tidak kepalang, sekali jarinya menuding,
"crit-crit", mendadak lengan si Thauto yang memegang golok itu
terpotong putus, golok bersama lengan putus yang masih mencengkeram senjata itu
jatuh ke tanah.
Kiranya dalam keadaan gugup
dan kuatir, secara otomatis tenaga murni di dalam badan Toan Ki
bergolok,sehingga "Lak-meh-sin-kiam" dapat dikeluarkan dan sekali
tuding lengan Thauto itu kena dipotong putus olehnya. Menyusul itu Toan Ki
terus berlari maju, segera ia tarik Giok-yan keatas punggungnya dan digendong
sambil berseru,
"Lari paling perlu!"
Thauto tadi bernama
Pa-gan-thauto (Thauto bermata harimau), Tocu (penguasa pulau) Yame san-to,
orangnya sangat jahat dan ganas. Biar sebelah lengannya sudah putus dan sangat
kesakitan, tapi saking gusarnya ia menjadi kalap pula, segera, ia gunakan
tangan yang masih hidup itu untuk menyambar lengan sendiri yang putus tadi, ia
mengerang keras sekali terus melemparkan lengan putus itu bersama golok yang
masih tergenggam kearah Toan Ki.
Timpukkan lengan putus
bersenjata itu sangat cepat dan lihai, untung dalam gugupnya Toan Ki masih
sempat menuding pula ke belakang, "crit", satu jurus
"Siau-yang-kiam" dilontarkan dan tepat mengenai golok yang terpegang
lengan putus itu.
Seketika golok itu tergetar
jatuh dari cekalan lengan putus, sebaliknya lengan putus itu masih tetap
menyambar kedepan dan "plok", pipi Toan Ki tepat terbentur sehingga
mirip ditempeleng sekali.
Memangnya batok kepala Toan Ki
sudah keluar "kecap" sekarang disambali puyeng tujuh keliling oleh
tempelengan itu, langkahnya menjadi sempoyongan. Tapi ia masih ingat dengan
baik bahwa Ong Giok-yan harus diselamatkan. Maka dengan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh,"
cepat ia menerjang, keluar kepungan orang banyak.
Meski kawanan orang-orang itu
segera hendak merintangi sambil berteriak-teriak dan, membentakbentak, tapi
dengan "Leng-po-wi-poh" yang hebat itu dapatlah Toan Ki menyusup kian
kemari dan menerjang keluar kepungan.
Hanya sekejap saja Toan Ki
sudah meninggalkan orang banyak dengan menggendong Giok-yan karena kuatir
dikejar lagi, ia terus berlari sehingga lebih satu li baru berhenti setelah
menghela napas laga, lalu ia turunkan Giok-yan.
Tapi dengan wajah merah
Giok-yan berkata
"Tidak, tidak, Toan
kong-cu, hiat-to badanku kena ditutuk musuh, aku tidak sanggup berdiri."
"O, jika begitu,
katakanlah tempat hiat-to yang tertutuk itu, biarlah aku membukanya," kata
Toan Ki sambil memegangi bahu nona itu.
"Tidak, tidak
perlu," sahut Giok-yan. "Sebentar lagi hiat-to yang tertutuk akan
buyar sendiri, engkau tidak perlu membukanya bagiku." .
Kiranya untuk membuka hiat-to
yang tertutuk itu harus memijat "Sin-hong-hiat", sedangkan
Sin-hong-hiat itu terletak di bagian dada, sudah tentu Giok-yan merasa malu
mengatakan hal ini.
Sebaliknya Toan Ki tidak-tahu
hal itu, ia malah berkata lagi, "Di sini sangat berbahaya, lebih baik
kubuka hiattomu saja agar kita bisa melarikan diri."
Tapi Giok-yan menggeleng
kepala tanda tidak setuju. Ketika ia memandang ke belakang, dilihatnya Buyung
Hok dan Ting, Pek-jwan masih bertempur di tengah kepungan musuh. Karena
kuatirkan keselamatan sang Piauko, segera ia berkala,
"Toan-kongcu, Piaukoku
masih terkepung musuh kita harus kembali ke sana untuk menolongnya."
Pedih rasa Toan Ki mendengar
ucapan itu. La tahu yang dipikir Giok-yan hanya Buyung Hok seorang saja.
Seketika Toan Ki merasa putus asa, pikirnya, "Rinduku kepadanya terang
takkan terkabul, hari ini biarlah aku membantu dia mencapai cita-citanya dan
biarlah aku mati bagi Buyung Hok. Aku tidak mahir ilmu silat, tapi aku akan
menerjang lagi ke dalam kepungan musuh dengan segala risiko."
Karena pikiran itu, segera ia
menjawab, "Baiklah, boleh kau tunggu di sini, biar aku menyerbu ke sana
untuk menolong Piaukomu."
Tapi Giok-yan berkata,
"Tidak, tidak! Engkau tidak mahir ilmu silat, cara bagaimana hendak kau
tolong dia'.'"
"Bukankah tadi aku pun
dapat menggendongmu dan lolos dengan selamat"' sahut Toan Ki tersenyum.
Giok-yan tahu
"Lak-meh-sin-kiarn" yang menjadi andalan Toan Ki itu terkadang manjur
dan terkadang tak berguna, maka ia masih kuatir, katanya pula, "Tadi hanya
kebetulan saja, karena,...karena kau kuatirkan keselamatanku dan mendadak
Lak-meh-sin-kiam dapat dikeluarkan. Tetapi terhadap Piaukoku belum tentu
dapat kau lakukan seperti
terhadap diriku, mungkin .... mungkin..."
"Jangan kuatir, terhadap
Piaukomu aku pun akan perlakukan serupa seperti terhadap dirimu," kata
Toan Ki.
Namun Giok-yan tetap geleng kepala,
katanya
"Toan-kongcu, kurasa
tidak baik, hal itu agak berbahaya bagimu."
"Nona Ong," seru
Toan Ki dengan membusungkan dada, "pendek kata, asalkan engkau yang minta
aku menyerempet bahaya, biarpun mati juga aku tidak menolak”
Kembali air muka Giok-yan
berubah merah, sahutnya lirih, "Engkau sungguh sangat baik terhadapku ,
aku merasa sangat berterima kasih."
"Tidak apa-apa, tidak
apa-apa, " seru Toan Ki dengan bersemangat dan segera bermaksud menyerbu
kembali ke medan peitempuran.
Tapi Giok-yan berkata pula,
"Toan-kongcu, aku tak bisa bergerak, jika kau tinggaikan aku, tentu aku
bisa celaka bila ada orang jahat datang kemari .... "
Toan Ki menjadi bingung, ia
garuk-garuk kepala dan berkata, "Ya, bagaimana ini ... ini ..."
Sebenarnya maksud Giok-yan
ingin Toan Ki menggendongnya lagi dan kemudian pergi membantu Buyung Hok, cuma
permintaan demikian sukar diucapkannya. Maklum, betapapun adalah memalukan jika
seorang anak perawan minta digendong seorang jejaka.
Karena itu ia bicara secara
samar-samar dengan harapan Toan Ki dapat menangkap maksudnya, tapi dasar bebal
Toan Ki justru tidak mengerti ia hanya garuk-garuk kepala dan kukur-kukur
kuping dengan bingung
Dalam pada itu suara
pertempuran di sana terdengar semakin gemuruh suara benturan senjata juga
semakin ramai, nyata Buyung Hok semakin sengit melabrak lawan yang banyak itu.
Giok-yan menginsyafi kekuatan
musuh yang besar itu, ia menjadi kuatir dan tak menghiraukan rasa malu lagi
segera ia berkata, "Toan-kongcu, tolong suka menggendong aku lagi dan kita
bisa lantas pergi membantu Piauko, bukankah cara ini paling baik!"
Toan Ki seperti sadar dari
impian, serunya "Ya, ya, betul. Goblok, mengapa aku tidak dapat memikirkan
cara baik ini"
Segera ia berjongkok dan
membiarkan Giok-yan menggemblok di atas punggungnya.
Waktu pertama kali Toan Ki
menggendong Giok-yan tadi, yang dipikir olehnya ialah gadis itu harus
diselamatkan, lain tidak. Tapi sekarang kembali sesosok tubuh yang halus empuk
menggemblok di atas punggungnya kedua tangannya merangkul pula kedua kaki si
nona , meski terhalang oleh pakaian, tapi dapat juga dirasakan oleh Toan Ki
kulit badan nona cantik itu.
Selama ini, siang malam, baik
dalam renungan maupun dalam impian, yang selalu terbayang dalam kalbu Toan Ki
melulu Ong Giok-yan seorang.
Telah diketahuinya bahwa nona
itu ikut pergi bersama Buyung Hok, beratus kali, mungkin beribu kali Toan Ki
memperingatkan dirinya sendiri agar lekas tinggal pergi kearah sendiri saja,
tapi aneh, kakinya seakan-akan tak berkuasa dan tanpa terasa tetap mengikuti
jejak nona itu dari jauh.
Sejak ia makan katak merah
sehingga memiliki "Cu-hap-sin-kang" yang sakti itu, tampa terasa ia
telah memiliki ginkang yang tinggi, jalannya cepat dan enteng, maka selama dia
menguntit di belakang Giok-yan itu sama sekali tak diketahui oleh Buyung Hok.
Tentang Giok-yan dinaikkan ke atas pohon dan Buyung Hok melabrak musuh,
semuanya itu disaksikan Toan Ki dengan jelas.
Maka ketika si Thauto hendak
membunuh Giok-yan dan memnksa supaya Buyung Hok menyerah, dengan sukarela Toan
Ki terus tampil ke muka dan bersedia mewakilkan Buyung HoK untuk
"menyerah", tapi pihak musuh justru tidak sudi menerima "jasa
baik" yang diajukan Tuan Ki itu, akibatnya Thauto itu mesti mengorbankan
sebelah lengannya malah.
Sekarang Toan Ki menggendong
Giok-yan lagi, mau tak mau perasaannya berdebar-debar dan pikirannya
menyeleweng, namun segera ia mendampiat dirinya sendiri, "Toan Ki, dalam
keadaan begini, mengapa kau berani timbul pikiran menyeleweng, kamu benar-benar
binatang! Orang kan gadis "ting-ting* yang suci bersih dan agung tapi
kaupikirkan hal yang kotor, ini berarti kamu telah menodai dia, sungguh
kurangajar dan harus diajar, ya harus dihajar, ya harus dihajar!"
Terpikir "harus
dihajar," eh, betul-betul Toan Ki angkat tangan terus menampar beberapa
kali pada muka sendiri, berbareng ia percepat langkahnya dan berlari ke depan
bagai terbang.
Sudah tentu Giok-yan sangat
heran atas kelakuan Toan Ki itu, ia tanya, "Ada apa Toankongcu ?”
Dasar Toan Ki memang jujur,
Giok-yan dipujanya sebagai bidadari dari kayangan, tentu saja ia tidak berani
berdusta maka dengan terus terang ia menjawab, "Sungguh harus dihajar,
sebab telah timbal pikiranku yang tidak hormat terhadap nona!"
Giok-yan paham kata-katanya
itu sehingga mukanya berubah merah jengah seketika.
Pada saat itu tiba-tiba
seorang Toan (imam) dengan pedang terhunus memapak ke arah mereka. Sambil
berteriak, "Keparat, bocah ini berani datang mengacau lagi!"
Dan sekali tusuk, dengan gerak
"Tok-liong-cui-tong" (naga berbisa keluar dari liang), langsung dada
Toan Ki hendak di arah.
Dengan sendirinya Toan Ki
menggunakan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh" untuk menghindar.
Tiba-tiba didengarnya bisikan Giok-yan, "Jika dia menusuk lagi dari kiri,
cepat kau putar ke sebelah kanan dan tepuk 'Thian-cong-hiat' di bawah iganya."
Benar juga, menyusul Tosu itu
menusuk pula dari sebelah kiri. Maka dengan cepat Toan Ki menggeser ke sebelah
kanan, "plok", kontan ia tepuk "Thian-cong-hiat" menurut
ajaran Giok-yan tadi.
Rupanya hiat-to itu memang
merupakan ciri kelemahan imam itu, meski tepukan Toan Ki itu tidaklah teras,
tapi sudah cukup membuat imam itu tumpah darah dan ketakutan setengah mati,
segera ia lari terbirit-birit.
Tapi baru saja Tosu itu
dihalau pergi, segera ada dua orang lelaki kekar menerjang tiba pula. Namun
Giok-yan memang serba pintar dan serba paham segala macam ilmu silat, dengan
suara pelahan ia memberi sedikit petunjuk kepada Toan Ki dan segera pemuda itu
dapat membereskan pula kedua lawan.
Melihat kemenangan yang
diperoleh ternyata sangat gampang, sedang si nona selalu berbisik-bisik, di
tepi telinganya, hawa mulutnya yang sedap dan bau harum yang keluar dari badan
nona itu membuat semangat Toan Ki berkobar-kobar meski pada saat itu jiwanya
sedang dipertaruhkan di medan pertempuran.
Ketika ia merobohkan dua musuh
pula, sementara itu jaraknya dengan Buyung Hok sudah tinggal beberapa meter
saja. Sekonyong-konyong ada angin menyambar, tahu-tahu dua lonjor bayangan
hijau seperti cambuk menjahat ke arah Toan Ki. Dan baru saja ia menggeser ke
samping tiba-tiba salah satu cambuk itu dapat menegak di udara untuk kemudian
menyambar pula dengan cepat dan gesit luar biasa.
Seketika Giok-yan dan, Toan Ki
menjerit kaget demi mengetahui bahwa kedua lonjor benda lemas itu ternyata
bukan senjata melainkan dua ekor ular hidup.
Kalau pembaca tidak lupa,
tentu masih ingar permulaan Toan Ki bertemu dengan Ciong Ling tatkala itu gadis
cilik itu juga menggunakan ular hidup sebagai senjata, tapi Ciong Ling
menggunakan senjata ular untuk mengalahkan musuh, sebaliknya sekarang musuh
menggunakan ular hidup untuk menyerang Toan Ki sendiri, jadi keadaannya sama
sekali berlainan.
Maka segera Toan Ki
mempercepat langkahnya dengan maksud melampaui kedua punyerang itu, tak terduga
kedua orang berbaju hijau yang bersenjata ular itu bertubuh pendek kecil dan
gerak-gerik mereka pun sangat lincah, beberapa kali Toan Ki menyelinap ke sana
dan ke sini selalu kena dicegat mereka, Diam-diam ia mengeluh, segera ia tanya
Giok-yan,. "Wah, bagaimana ini, nona Ong?"
Dalam hal ilmu silat boleh
dikatakan Giok-yan serba tahu, tapi cara menggunakan ular sebagai senjata,
terang ini tidak tercatat dalam kitab ilmu silat mana pun. Biasanya tidaklah
susah baginya untuk mengenali setiap gerakan atau setiap jurus dari aliran mana
pun, tapi untuk menaksir bagaimana serangan ular itu akan dilontarkan musuh
sekarang dia boleh dikatakan mati kutu.
Diam-diam Giok-yan pikir
"Untuk menaksir jurus serangan ular hidup terang sangat susah biasanya
menangkap rampok harus menangkap benggolannya, kukira kedua pemain ular ini
yang harus dirobohkan dahulu."
Namun gerakan kedua pemilik
ular itu kalau dibilang aneh memang juga aneh, dikatakan tidak aneh, tampaknya
memang tidak aneh. Gerak-gerik mereka sangat cepat tapi sangat kaku dan bodoh
terang mereka tidak pernah belajar ginkang apa segala, namun demikian mereka
dapat meloncat kian kemari secepat kera.
Karena itu, susah bagi
Giok-yan untuk menaksir tipu serangan yang akan dilancarkan mereka, setiap kali
ia suruh Toan Ki menyerang suatu tempat, aneh juga, selalu dapat dihindarkan
oleh mereka dengan sangat lincah dan cerdik.
Begitulah, sembari berpikir
cara untuk mengalahkan musuh Giok-yan terus memperhatikan juga keadaan sang
Piauko, dalam pada itu riuh ramai pula suara jeritan orang yang kesakitan,
berpuluh orang yang terkena jarum berbisa Song Tho-kong tadi sama
bergelimpangan di tanah sambil berteriak-teriak tak tahan.
Sedangkan orang berbaju hitam
yang menawan Song Tho-kong tadi lagi mendesak agar menyerahkan obat penawar,
tapi obat panawar yang dikehendaki
itu justru dipendam di sebelah
Buyung Hok, karena jeri kepada kelihaian Buyung Hok, sibaju hitam tidak berani
sembarangan maju, ia hanya berteriak-teriak mendesak kawannya agar menyerang
lebih gencar dengan maksud mendapatkan obat penawar untuk menolong kawan-kawannya
yang lain. Tapi untuk merobohkan Buyung Hok bukanlah pekerjaan yang gampang.
Tiba-tiba terdengar suara
perintah seorang tiga di antara pengeroyok Buyung Hok itu segera mundur, lalu
digantikan oleh tiga orang baru yang terdiri dari tokoh pilihan semua.
Lebih-lebih seorang di antaranya yang pendek ternyata memiliki tenaga yang
hebat ia putar sepasang senjata yang berbentuk palu baja. Ketika Buyung Hok
menangkis dengan golok, lengannya tergetar sampat pegal, keruan ia terkejut.
Maka waktu palu, orang menghantam lagi, segera ia berkelit dan tidak rnau
menangkis pula.
Dalam pertarungan sengit itu,
tiba-tiba terdengar seruan Ong Giok-yan, "Piauko, gunakan
"Gin-ting-ban-tian” lalu ganti dengan 'Pi-kim-tang-hong'."
Buyung Hok kenal kepandaian
sang Piaumoai dalam teori ilmu silat jauh lebih pintar daripada dia sendiri,
cuma nona itu tidak suka berlatih sendiri, tapi untuk mengajar orang dia boleh
dikatakan adalah seorang maha guru yang sukar dicari.
Maka ia pun tidak meragukan
petunjuk sang Piaumoai itu, segera goloknya berputar, hingga mengeluarkan
cahaya kemilau dalam jurus "Gin-ting-ban-cian" atau pelita perak
berlaksa buah.
Karena serangan yang lihai itu
para pengeroyok dipaksa menghindar mundur. Dan pada saat itulah lengan baju
kiri Buyung Hok terus mengebas dan dipuntir pula dalam jurus
"Pi-kim-tang-hong" atau pentang lengan baju menahan angin.
Kebetulan saat itu si pendek
sedang menghantam dengan kedua palunya dari atas dan bawah dalam gerak tipu
khai-thian-pi-te (membuka langit memecahkan bumi), Tapi mendadak terdengar
suara "trang" yang amat keras sehingga memekakkan telinga, dengan
tepat kedua palu si pendek saling bentur sendiri dan mencipratkan lelatu api.
Saking kuatnya tenaga si
pendek sehingga kedua belah tulang lengan sendiri tergetar patah oleh getaran
tenaga sendiri, kontan terjungkal dan tak sadarkan diri.
Kesempatan itu segera
digunakan Buyung Hok untuk melontarkan pukulan kedepan untuk membantu Pan
Puttong mendesah mundur dua lawan yang tangguh. Waktu Put-tong memayang bangun
Kongya Kian, ia lihat muka sang Jiko sudah hitam gelap, tanda keracunan yang
sudah kasip, kalau tidak lekas ditolong, tentu jiwa akan melayang dalam waktu
singkat,
Di sebelah lain keadaan Toan
Ki juga sudah berubah secara aneh. Ketika Giok-yan memberi petunjuk kepada
Buyung Hok, dengan sendirinya keadaan Toan Ki tidak dapat diperhatikannya pada
saat yang sama.
Bagi Toan Ki yang tiba-tiba
mendengar si nona hanya membantu Buyung Hok dan tidak peduli lagi padanya,
meski tubuh nona itu berada di atas gendongannya, namun hatinya telah melayang
kepada Buyung Hok, hal ini membuat Toan Ki merasa hampa dan pedih, hingga air
matanya hampir-hampir menetes.
Pada saat itulah,
"crit-crit", mendadak kedua ekor ular musuh menyambar tiba dan tepat
memagut lengan kirinya
"Aiii..” bukan Toan Ki
yang menjerit, tapi Giok-yan yang berteriak kaget, "Toan-kongcu, engkau
.... "
"Ya, biarlah, biar mati
digigit ulat saja," kata Toan Ki dengan lesu dan bosan hidup.
Melihat warna kedua ekor ular
itu belang-bonteng, kepala gepeng bersegi tiga, terang ular-ular berbisa jahat,
seketika Giok-yan menjadi bingung dan kuatir. Di luar dugaan mendadak kedua
ular itu berkelojotan dua kali lalu jatuh ketanah dan mati semua.
Seketika kedua orang yang
memainkan ular itu pucat mukanya, mereka bicara beberapa kalimat dalam kalimat
dalam bahasa daerah mereka, lalu putar tubuh dan melarikan diri.
Kiranya kedua orang itu sudah
biasa memiara dan memuja ular, kini melihat Toan Ki tidak mati digigit ular
mereka yang berbisa jahat, sebaliknya ular mereka yang mati sendiri,
mereka-mereka menyangka Toan Ki adalah malaikat ular rajanya ular, maka mereka
ketakutan dan segera ngacir.
Giok-yan juga tidak tahu ilmu
Cu-hap-sinkang yang dimiliki Toan Ki itu, maka ia coba tanya.
"Toan-kongcu, bagaimana engkau.. Bagaimana?"
Memangnya Toan Ki lagi lesu
dan berduka tiba-tiba mendengar pertanyaan Giok-yan yang berulang-ulang dengan
nada penuh perhatian, seketika ia girang kembali dan semangatnya terbangkit
lagi,
Terdengar Giok-yan bertanya
pula, "Engkau digigit ular-ular itu, bagaimanakah keadaanmu
Toan-kongcu"
"Ah, tidak apa-apa, tidak
apa-apa!" sahut Toan Ki cepat. Pikirnya asal kau mau memperhatikan diriku,
biarpun setiap hari aku digigit ular beberapa kali juga tidak menjadi soal.
Segera ia mengangkat langkah
dan menerjang ke depan untuk mendekati Buyung Hok
Pada saat itu juga, tiba-tiba
terdengar suara seorang yang sangat lantang berkumandang dari tengah udara,
"Buyung-kongcu, para Tocu dan Tongcu selamanya kalian tiada permusuhan
atau sakit hati apa-apa, buat. apa kalian bertempur mati-matian'secara
demikian?"
Waktu semua orang mendongak ke
arah datangnya suara maka terlihatlah dipucuk pohon sana berdiri seorang Tojin
(imam) berjenggot hitam tangan membawa sebatang Hut-tim (kebut), tempat kakinya
menginjak tertampak batang pohon itu mentul-mentul naik-turun gaya Tojin itu
nampak sangat gagah dan indah.
Di bawah sinar obor yang
terang itu kelihatan wajah Tojin itu putih bersih, usianya kira-kira setengah
abad, dengan tersenyum ia berkata pula.
"Jika orang-orang yang
keracunan dalam keadaan berbahaya, maka paling penting harus menyembuhkan
mereka dahulu. Hendaklah kalian suka terima usulku, sementara ini berhentilah
bertempur, kalau ada perselisihan boleh dibereskan nanti!"
Melihat ginkang imam
berjenggot hitam itu sangat hebat. Buyung Hok menduga ilmu silat orang tentu
juga sangat lihai, memangnya ia pun sedang menguatirkan keadaan Kongya Kian dan
Hong Po-ok, segera ia gunakan kesempatan itu untuk bicara, "Jika tuan sudi
memisahkan percekcokan ini, sudah tentu kuterima dan aku bersedia berhenti
bertempur."
Habis berkata, ia putar
goloknya sehingga berwujud satu lingkaran, lalu ia tarik kembali senjatanya ke
depan dada dan berdiri tegak. Tapi dirasakannya pula lengan kanan masih jarem
pegal, nyata itulah akibat tangkisannya atas serangan palu baja si pendek tadi,
diam-diam ia gegetun atas tenaga raksasa lawan yang hebat itu.
Dalam pada itu si baju hitam
yang masih mencengkeram Song Tho-kong tadi lagi mendongak dan bertanya,
"Siapakah nama tuan yang terhormat?"
Dan belum lagi Tojin itu
menjawab, tiba-tiba di tengah orang banyak terdengar seruan seorang
"Oh-lotoa, asal-usul orang
ini tidak boleh dibuat main-main, ia adalah ... adalah to . tokoh luar biasa,
dia ... dia adalah ..adalah Kau ..Kau .... "
Berulang orang itu menyebut
"Kau" dan tetap tidak sanggup menyambung seterusnya. Rupanya orang
itu mempunyai penyakit bicara gagap, dalam gugupnya cara bicaranya menjadi
lebih sulit dan susah diteruskan.
Tapi si baju hitam yang
dipanggil sebagai Oh-lotoa itu cukup cerdik, tiba-tiba teringat satu orang
olehnya, segera ia berseru, "Apakah dia adalah ...adalah Kau-ong si raja
ular naga PutpenTojin?"
Si gagap menjadi girang, sebab
kata-kata yang terhenti di tenggorokannya telah terkorek keluar cepat ia
berkata pula, "Be ... betul! Dia.... dia adalah .. adalah Kau ... Kau
...Kau ...”
Sampai di sini kembali
tenggorokannya tersumbat lagi.
Segera Oh-lotoa memberi
Kiongchiu kepada imam di atas pohon dan berkata, "Apakah tuan tuan itu
Put-peng Tojin yang maha tersohor itu? Sudah lama kudengar nama Tojin yang
besar, sungguh beruntung hari mi dapat berjumpa di sini."
Tatkala dia bicara, sementara
itu pertempuran sudah berhenti.
Maka dengan tersenyum Tojin
itu menjawab,
"Ah, saudara terlalu
memuji saja. Orang kangouw mengira aku sudah lama meninggal dunia, makanya
Ohsiansing merasa sangsi dan tidak percaya bukan ?”
Sambil bicara ia terus melompat
turun. Anehnya daya menurunnya itu ternyata sangat pelahan hingga tubuhnya
seperti tak berbobot. Rupanya lebih dulu ia telah mengebutkan kebutnya ke
tanah, tenaga kebutan yang menimbulkan daya tolak itu menahan tubuhnya sehingga
dia dapat turun dengan sangat lambat.
Bagi orang yang tidak tahu
tentu mengira hal itu sangat ajaib dan seperti ilmu sihir saja, tapi bagi orang
yang berkepandaian tinggi segera mengetahui bahwa kebutnya yang menimbulkan
daya tolak dari bawah sehingga
tubuhnya tertahan dan dapat
menurun dengan pelahan. (Dewi KZ http://kangzusi.com/) Tentu saja semua orang
kagum tak terkira.
Segera Oh-lotoa bersorak.
"Ginkang yang hebat!"
Sementara itu kaki Putpeng
Tojin juga sudah menginjak tanah, lalu katanya pula, "Tentang percekcokan
kalian, sebagai orang di luar garis tentu aku dapat melihat dengan lebih jelas
bahwa pokok pangkalnya adalah lantaran salah paham saja. Sebab itulah bila sudi
terima saranku, hendaknya kalian akhiri percekcokan ini secara bersahabat,
sekarang boleh minta Song Tho-kong mengeluarkan obat penawar untuk menyembuhkan
para kawan yang keracunan."
Nada ucapan Put-peng Tojin itu
sangat ramah tapi berwibawa sehingga orang sungkan menolak permintaannya.
Apalagi berpuluh orang yang keracunan dan merintih-rintih di tanah itu memang
juga sangat tersiksa sehingga kedua pihak sama-sama ingin bisa lekas menolong
kawan mereka itu.
Maka Oh-lotoa lantas
melepaskan Song Tho-kong, katanya, "Nah, Lau Song, mengingat maksud baik
Put-peng Totiang, biarlah kita menurut”
Song Tho-kong tidak bicara
lagi segera ia lari ke sebelah Buyung Hok, kedua tangannya bekerja dengan cepat
sehingga dalam sekejap saja tanah di situ telah di gingsirnya menjadi sebuah
lubang dari situ diluarkan sebuah bungkusan.
Sesudah bungkusan itu dibuka,
kiranya isinya adalah sepotong besi hitam. Dengan besi itu segera ia gunakan
untuk menyedot jarum lembut yang melukai seorang di sisinya. Kiranya besi hitam
itu adalah batu sembrani, agaknya jarum berbisa itu harus dikeluarkan lebih
dulu untuk kemudian baru dibubuhi obat.
"Song-siansing,"
dengan tertawa. Put-peng Tojin berkata, "seorang kesatria harus memikirkan
orang lain lebih dulu baru kemudian memikirkan kepentingannya sendiri, Apakah
tidak lebih baik kau sembuhkan dulu kawankawan Buyung-kongcu itu?"
"Ah, toh akhirnya akan
diobati semua, lebih dulu atau tidak juga sama saja," Song Tho-kong
Namun begitu tidak urung ia
pun menuruti kehendak Put-peng Tojin itu. Lebih dulu ia menyembuhkan Kongya
Kiam dan Hong Po-ok, lalu menyembuhkan pula tangan Pau Put-tong, habis itu
barulah ia tolong kawankawan sendiri,
Jangan dikira potongan Song
Tho-kong itu bundar buntak, tampaknya seperti ketolol-tololan tapi gerakgeriknya
ternyata sangat cepat kesepuluh jarinya yang pendek gemuk itu bahkan lebih
lincah daripada jari kaum gadis yang mahir menyulam. Maka tidak antara lama
jarum berbisa pada luka semua orang sudah dikeluarkan serta dibubuhi obat oleh
Song Tho-kong. Seketika rasa gatal pegal semua orang lenyap.
Namun demikian, ada juga
beberapa orang di antaranya yang berwatak keras dan aseran terus mencaci-maki
kepada Song Tho-kong yang menggunakan senjata rahasia keji itu dikutuknya kalau
kelak mati tentu bangkainya tak terkubur.
Tapi Song Tho-kong diam saja,
ia membungkam dan membudek, segala caci-maki orang sama sekali tak digubrisnya.
"Oh-Lotoa," kala
Put-peng Tojin dengan tersenyum, "berkumpulnya ke-36 Tongcu dan ke 72 Tocu
di sini apakah berhubung dengan urusan orang di Thian-san itu?"
Oh-lotoa terkejut,tapi
lahirnya sama sekali tidak perlihatkan perasannya itu, sahutnya, "Apa yang
Put-peng Tojin maksudkan, sungguh aku tidak paham. Kami biasanya tinggal
terpancar di berbagai penjuru dan jarang sekali berkumpul, hari ini kami saling
berjanji untuk mengadakan pertemuan ramah tamah di sini, maksud tujuan lain
tidak ada, Soalnya entah mengapa Buyung-kongcu dari Koh-soh menerjang ke sini
sehingga terjadi percekcokan seperti tadi."
"Aku sendiri jaga secara
kebetulan berlalu disini, sungguh kami tidak tahu bahwa para tokoh ksatria
sedang berkumpul di sini sehingga banyak mengganggu, untuk ini aku minta
dimaafkan," demikian kata Buyung Hok. "Mengenai maksud baik Püt-peng
Totiang untuk melerai percekcokan ini sehingga urusan tidak jadi meluas, sudah
tentu kami juga merasa sangat berterima kasih. Sekarang biarlah kami mohon diri
saja dan sampai berjumpa pula."
Ia tahu berkumpulnya ke-36
Tongcu dan ke-72 Tosu yang terkenal sebagai tokoh kaum petualangan tentu
mempunyai urusan penting yang dirahasiakan dan dengan sendirinya tidak ingin
diketahui oleh orang luar. Buktinya barusan Put-peng Tojin menyebut tentang "Orang
di Thai-san” dan segera Oh-lotoa membelokkan pembicaraannya terang sekali
mereka pantang membicarakan "orang di Thian-san" itu. Kalau sekarang
dirinya tidak mengundurkan diri, tentu nanti akan disangka dirinya sengaja
hendak mencari tahu rahasia orang. Sebab itulah sesudah memberi hormat ke
sekelilingnya. lalu ia ajak Pek-jwan dan lain-lain melangkah pergi.
Oh-lotoa membalas hormat
Buyung Hok dan berkata, "Buyung-kongcu, hari ini aku Oh lotoa beruntung
dapat berkenalan dengan tokoh ksatria tersohor seperti dirimu sungguh merupakah
suatu kehormatan besar bagi kami. Gunung selalu menghijau dan air sungai tetap
mengalir, selamat berpisah dan sampai berjumpa pula,"
Dari ucapannya itu nyata ia
memang tidak ingin Buyung Hok dan kawan-kawannya tinggal lebih lama di situ.
Tapi Put-peng Tojin lantas
berkata, "Oh-lotoa apakah kau tahu Buyung-kongcu .ini orang macam
apa!"
Oh-lotoa tampak tercengang,
sahutnya, "Lam Buyung, Pak Kiau Hong, nama kebesaran Koh-soh Buyung'sangat
tersohor, masakah tidak tahu?"
"Itulah dia," ujar
Put-peng Tojin dengan tertawa. "Jika tahu ada seorang tokoh besar seperti
ini mengapa kalian kesampingkan saja, bukankah sangat sayang? Padahal pada
waktu biasa, kalau ada orang mengharapkan bantuan keluarga Buyung, ha, jangan
kalian harap, dapat, menemuinya. Dan sekarang secara beruntung kalian telah
dipertemukan dengan Buyung-kongcu di sini, sebaliknya kalian diam saja dan
tidak memohon bantuannya, bukankah kalian ini sangat bodoh."
"Tapi ... tapi ....
" sahut Oh-lotoa dengan ragu.
"Hahaha!” Put-peng Tojin
tertawa, "Nama kebesaran Buyung-kongcu tersohor di seluruh jagat ini. Kini
kalian telah kenyang menderita di bawah perlakuan sewenang-wenang Thian-san
Tong-lo....”
Begitu mendengar nama
"Thian-san Tong-lo" (si nenek bocah dari Thian-san), seketika, semua
orang bersuara "haa" sekali. Suara terkejut, heran, takut, gusar dan
macam-macam perasaan lain.
Rupanya setiap orang yang
bersuara itu mempunyai, kesannya sendiri-sendiri terhadap Thian-san Tong-lo
yang disebut itu, tanpa terasa di antara oran-orang itu banyak yang gemetar
ketakutan.
"Orang macam apakah
Thian-san Tong-lo itu sehingga membuat mereka begini takut!" demikian
diam-diam Buyung Hok bertanya di dalam hati.
Terdengar Put-peng Tojin
menyambung, "Di bawah siksaan kejam dan hinaan Thian-san Tong-lo itu,
hidup kalian sudah tentu tidak aman, para ksatria di jagat ini yang tahu nasib
kalian ini juga akan menyesal. Sekarang kalian ada maksud berbangkit untuk
melawannya, sudah tentu setiap orang ingin memberi bantuan sebisanya. Sedangkan
orang yang berkepandaian rendah sebagai diriku juga bersedia mencurahkan
sedikit tenaga, apalagi Buyung-kongcu yang sudah terkenal berbudi luhur,
masakah beliau hanya berpeluk tangan tanpa ikut campur?"
Tapi dengan tertawa Oh-lotoa
menjawab, "Entah Totiang mendapat berita dari mana, kami kira ini hanya
kabar bohong saja. Tentang Tong-lo Popo, meski beliau memang agak sedikit keras
terhadap kami, tapi semua mi adalah lantaran beliau ingin kami berbuat baik,
untuk ini kami justru merasa sangat berterima kasih dan utang
budi pada beliau dari mana
bisa dikatakan "hendak melawan” beliau?"
"Hahahaha! Jika demikian,
jadi aku sendiri yang salah duga dan suka iseng mencampuri urussan orang
lain," kata Put-peng Tojin. "Baiklah, mari Buyung-kongcu, kita
bersama-sama pergi ke Thian-san untuk omongomong dengan Tong-lo, kita akan sampaikan
padanya bahwa para Tongcu dan Tocu di sini sangat berbakti pada beliau dan
sekarang sedang sibuk hendak mengadakan perayaan ulang tahun baginya."
Habis berkata, terus saja, ia
mendekati Buyung Hok
Segera ada orang berteriak
kutlir, "Oh-lotoa, jangan sampai dia merat begitu saja. kalau rahasia kita
bocor, wah, bisa berabe!"
Lalu ada yang menanggapi,
(Dewi KZ http://kangzusi.com/) "Ya, orang she Buyung iin juga harus
dibekuk sekalian! Bagaimanapun hari ini kita harus bekerja habis-habisan!"
Serentak ramailah suara orang
melolos senjata dengan caki-maki yang kotor, senjata yang tadinya mereka simpan
kembali sekarang disiapkan lagi.
"Hah, apakah kalian
bermaksud membunuh orang untuk menghilangkan saksi? Apa kalian kira begitu
gampang?" jengek Put-peng tojin
Habis itu mendadak ia tarik
suara dan berteriak, "Hu-yong Siaucu dan Kiam-sin Loheng, disini ada 36
Tongcu dan 72 Tocu sedang mengadakan komplotan keji untuk memberontak dan
hendak melawan Tong-lolo, tapi rahasia mereka dipergoki olehku sekarang aku
hendak dibunuh mereka agar rahasia niereka tidak bocor. Wah, celaka ini,
tolong, lekas tolonglah! Jiwa Putpeng Tojin hari ini mungkin akan melayang ke
nirwana!"
Suaranya yang keras itu
berkumandang jauh ke lembah gunung sana sehingga dan segenap penjuru menggema
suara kumandang yang ramai.
Dan baru lenyap suara Put-peng
Tojin itu, dari puncak gunung arah barat sana terdengar suara seorang yang
lantang menjawab, "Hidung kerbau (kata olok-olok kepada kaum Tosu) Putpeng
Tojin, jika kamu dapat lari hendaklah lekas lari saja, kalau tak dapat lari
boleh menyerah saja kepada nasibmu, Para anak cucu murid Tong-lolo ini susah
tuituk diajak bicara, untuk menolong jiwamu terus terang saja aku tidak
sanggup, palingpaling aku hanya dapat menyampaikan berita tentang dirimu kepada
Tong-lolo saja."
Dari suaranya itu dapat
ditaksir sedikitnya orang itu berada di tempat sejauh tiga-empat li.
Dan baru selesai ucapan orang
itu, dari puncak sebelah utara berkumandang pula suara seorang wanita yang
nyaring. "Hidung kerbau, jika kamu mampus semuanya itu adalah akibat
perbuatanmu sendiri yang suka iseng mencampuri urusan orang lain. Habis, mereka
sudah mengatakan sendiri dengan baik, sekali mereka bergerak, maka Tong-lolo
pasti akan celaka. Untuk ini biarlah sekarang juga aku akan berangkat ke
Thian-san hendak kutanya si nenek cara bagaimana dia akan bertindak."
Dari suara ini, agaknya jarak
tempat wanita ini lebih jauh lagi daripada suara orang lelaki yang duluan tadi.
Mendengar itu, seketika air
muka Oh-lotoa dan kawan-kawannya berubah hebat. Jarak kedua orang yang bersuara
itu ada beberapa li jauhnya untuk mengejar mereka terang tidak mungkin,
tampaknya Put-peng Tojin sudah mengatur dengan baik asal dia dalam keadaan
bahaya, segera bersuara untuk minta bala bantuan pada kawan-kawannya. Apalagi
dari suara kedua, orang itu terang mempunyai Iwekang yang lihai, sekalipun
Ohlotoa dan kawan-kawannya dapat mengejar, juga belum tentu dapat melawan
mereka,
Oh-lotoa juga cukup cerdik dan
dapat melihat gelagat, segera ia pun berseru, "Put-peng Totiang, Kiam-sin
dan Hu-yong Siancu, jika kalian bertiga sudi membebaskan kami dari derita
sengsara, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Untuk bicara terus terang
pada kalian, jika kalian toh sudah tahu duduknya perkara, rasanya kami pun
tidak perlu berdusta. Maka sudilah kalian ikut hadir di sini untuk berunding
bersama-sama?"
"Ah, lebih baik kami
berdiri di sini yang agak jauh saja, agar bila terjadi apa-apa, untuk
menyelamatkan jiwa juga lebih cepat," sahut lelaki yang disebut Kiam-sin
(malaikat pedang) itu. "Sesungguhnya kami pun tidak ingin ikut campur
dalam urusan kalian ini, habis, apa sih faedahnya?"
"Benar," sambung
yang wanita. "Nah, hidung kerbau, biarlah kami menjaga jalan lari bagimu,
jika akhirnya kau kena dicincang orang, sedikitnya kami masih bisa meloloskan
diri untuk menyampaikan berita kematianmu bagi yang berkepentingan. Kalau
tidak, tentu kematianmu nanti akan sia-sia belaka."
"Ah, kalian suka
berkelakar saja," ujar Oh-lotoa dengan tertawa. "Sesungguhnya lawan
terlalu lihai dan kami sudah kapok benar-benar padanya, maka setiap
tindak-tanduk kami terpaksa harus dilakukan dengan lebih hatihati. Jika kalian
bertiga sudi membantu, sudah tentu kami pun bukan manusia yang tak kenal budi.
Adapun kami belum dapat memberi keterangan dengan segala kejujuran, hal ini
memang ada kesulitan kami, untuk ini diharap kalian sudi memaklumi."
Ucapan Oh-lotoa ini boleh
dikata sangat merendah diri dan benar-benar menyerah.
Maka Buyung Bok saling pandang
sekejap dengan Ting Pek-jwan, pikir mereka, "Nyata orang-orang ini sedang
merencanakan sesuatu usaha yang maha penting dan terang tidak suka dicampuri
oleh orang luar. Sebaliknya Put-peng Tojin dan kedua kawannya itu menyatakan
hendak membantu segala, namun sesungguhnya mereka juga mempunyai maksud tujuan
yang jahat bagi kepentingan mereka sendiri. Untuk ini lebih baik kita jangan
ikut campur saja."
Karena pikiran yang sama itu,
kedua orang itu saling memberi tanda, Pek-jwan juga memberi isyarat lebih baik
tinggal pergi saja. Maka berkatalah Buyung Bok, "Tuan-tuan sekalian,
andaikan di sini akan terjadi hal-hal betapapun hebatnya, dengan tuan-tuan yang
berkepandaian tinggi ini tentu sudah cukup untuk mengatasi, apalagi sekarang
ditambah pula dengan Put-peng Tojin bertiga, maka urusan betapapun besarnya
kukira tiada seorang pun yang dapat merintanginya. Maka dari itu, kukira tidak
perlu kami ikut mengganggu di sini sehingga akan mengacaukan urusan kalian
malah. Maka biarlah kami mohon diri saja."
"Nanti dulu," sahut
Oh-lotoa. "Sekali urusan kami sudah diumumkan secara terbuka, maka soal
ini berarti menyangkut keselamatan jiwa beberapa ratus kawan kami. Dari para Tongcu
dan Tocu yang berkumpul di sini sekarang, mati hidup dan timbul atau tenggelam
nasib kami hanya bergantung di ujung tanduk saja. Maka Buyung-kongcu,
sesungguhnya bukan kami tidak mempercayai kalian, soalnya urusan ini terlalu
besar sehingga kami tidak berani menanggung risiko ini."
Seketika Buyung Hok paham
maksud orang. Tanyanya,
"Jadi saudara melarang
kami pergi dari sini?"
"Sebenarnya bukan begitu
maksud kami, tapi... tapi apa boleh buat," sahut Oh-lotoa.
"Huh, peduli apa dengan
Tong-lolo atau Tong pepek segala, kami sendiri tidak pernah kenal namanya,
apalagi orangnya, adapun urusan apa yang hendak kalian lakukan adalah urusanmu,
kami jamin takkan membocorkan sepatah-kata pun," seru Pau Put-tong.
"Memangnya kau sangka Koh-soh Buyung itu orang macam apa, masakah apa yang
sudah kami ucapkan dianggap sebagai kentut saja? Kalau kalian bermaksud menahan
kami secara kekerasan, haha, kukira juga belum tentu kalian mampu. Andaikan aku
Pau Put-tong dapat kalian tahan, masakah kalian sanggup menahan Buyung kongcu
kami dan Toan-kongcu itu?"
Oh-loioa percaya apa yang
dikatakan Pan Put-tong itu. Memang benar sulit untuk menahan Buyung Hok,
lebih-lebih Toao Ki yang mempunyai langkah ajaib itu.
Oh-lotoa coba memandang
sekejap pada Putpeng Tojin dengan serba susah, ia, berharap imam itu mau
memberi saran cara bagaimana harus diperbuatnya.
Maka berkatalah Put-peng
Tojin, "Oh-lotoa, lawanmu itu benar-benar terlalu lihai jika kamu dapat
tambah seorang pembantu, kan lebih baik! Ilmu sila Koh-soh Buyung-si siapa yang
tidak tahu di dunia ini? Apalagi dia tidak mengharapkan sesuatu balas jasamu
tentu rejeki yang akan kalian peroleh kelak tidak nanti dia minta bagian, untuk
ini hendaknya kamu jangan kuatir. Yang paling utama ialah lawan kalian itu
harus dibunuh. Kalau pergerakan kalian sekali ini tak mampu membunuhnya akan
berarti tamatlah riwayat kalian. Nah, dengan adanya bala bantuan lihai sebagai
Buyung-kongcu, mengapa kalian tidak mau mohon padanya?"
Sebenarnya Oh-lotoa masih
enggan, tapi akhirnya ia tetapkan hati dan mendekati Buyung Hok serta memberi
hormat, katanya, "Buyung kongcu, selama berpuluh tahun ini kami para
Tongcu dan Tocu telah kenyang tersiksa dengan penghidupan yang tidak layak bagi
manusia, (Dewi KZ http://kangzusi.com/) sekali ini kami sudah nekat akan
mengadu jiwa dengan iblis tua itu, untuk mana diharapkan bantuanmu, atas budi
kebaikanmu sudah tentu selamanya takkan kami lupakan."
Meski permohonannya kepada
Buyung Hok ini sebenarnya terpaksa, bukan timbul dari maksudnya yang
sebenarnya, tapi ucapannya itu toh sangat sungguh-sungguh dan tulus iklas.
Sebenarnya Buyung Hok hendak
menolak, sebab ia tidak ingin terlibat dalam urusan para petualang itu, tapi
mendadak pikirannya tergerak,
"Oh-lotoa ini menyatakan
takkan melupakan budi untuk selamanya, jika demikian, rasanya ada manfaatnya
juga bagiku. Di antara mereka ini tentu juga banyak orang pandai. Padahal bila
aku hendak membangun kembali kerajaan Yan kami justru sangat niernbutuhkan
tenaga, jika hari ini aku membantu mereka, kelak bila perlu, tentu aku pun
dapat minta bantuan mereka. Jago silat sebanyak beberapa ratus orang sungguh
merupakan suatu pasukan penggempur yang hebat."
Karena pikiran itu, segera ia
berkata, "Tentu kubantu, sebagai sesama orang kaugouw memang sudah
seharusnya berbuat demikian ... "
"Betul, betul!" seru
Oh-lotoa dengan girang demi permintaannya diluluskan.
Jilid 62
Sebaliknya Ting Pek-jwan
berulang-ulang mengedipi Buyung Hok maksudnya agar lebih baik menolak dan
tinggal pergi, sebab dilihatnya Oh-lotoa dan begundalnya itu bukan manusia
baik-baik jika bergaul dengan mereka tentu lebih banyak rugi daripada
untungnya.
Tapi Buyung Hok hanya balas
mengangguk tanda memahami maksudnya, lalu menyambung perkataannya tadi,
"Sebenarnya kepandaian saudara-saudara cukup tinggi, kukira urusan betapa
besarnya juga dapat diselesaikan, tapi melihat kejujuran dan kesetiakawanan
saudara-saudara, sungguh aku menjadi ingin bersahabat pula dan aku siap untuk
mencurahkan sedikit tenagaku ini”.
Selesai Buyung Hok bicara,
serentak terdengar sorak gembira semua orang, sungguh tak terduga oleh Oh-lotoa
dan kawan-kawannya bahwa Koh-soh Buyung yang termasyur di dunia ini dengan
rendah hati mau trima permintaannya untuk memberi bantuan.
Sebaliknya Ting Pek-jwan,
Kongya Kian dan lain-lain merasa bingung. Tapi biasanya mereka taat kepada
setiap perintah Buyung Hok apa yang diputuskan sang junjungan selalu mereka
turut biarpun Pau Put-tong yang biasanya suka ngotot juga tidak berani
membangkang Kongcuya mereka.
Mendengar sang Piauko sudah
berkawan dengan lawan-lawan tadi, maka berkatalah Ong Giok-yan kepada Toan Ki,
Toan kongcu, mereka takkan berkelahi lagi, harap kau turunkan aku saja.
"O, ya, ya” sahut Toan Ki
gugup, cepat ia berjongkok untuk menurunkan Ong Giok-yan ketanah
"Terima kasih” bisik Ong
Giok-yan dengan wajah merah.
"Ai, langit tinggi, bumi
luas juga ada masanya kiamat, tapi rindu dendam ini selamanya takkan berakhir”,
demikian tiba-tiba Toan Ki bergumam sendiri menghela napas.
Rupanya dalam sekejap itu
terbayang olehnya bahwa sebentar lagi Ong Giok-yan akan ikut pergi bersama
Buyung Hok dan untuk seterusnya susah bertemu pula didunia seluas ini,
sebaliknya ia sendiri akan terluntalunta di dunia kangouw dengan menanggung
rasa duka dan akhirnya akan meninggal dengan rindu dendam.
Tiba-tiba Ong Giok-yan
menegurnya, "Hm, engkau mengomel apa, Toan kongcu?”
Toan Ki kaget dan tersadar
dari lamunannya, cepat ia menjawab, "O, tidak apa-apa, aku..aku sedang
melamun”.
Dalam pada itu Putpeng Tojin telah
berkata, "Oh-lotoa, terimalah ucapan selamat dariku. Buyung kongcu suka
memberi bantuan padamu, ini berarti usaha kalian sudah pasti akan berhasil.
Jangankan Buyung kongcu sendiri tiada bandingannya, bahkan bawahannya yang
bernama Toan kongcu itu pun seorang kosen yang jarang terdapat di dunia
persilatan”.
Mungkin karena dia lihat Toan
Ki menggendong Ong Giok-yan dengan sikap yang sangat menghormat, maka
disangkanya Toan Ki sama seperti Ting Pek-jwan dan lain-lain adalah punggawa
Buyung Hok
Maka Buyung Hok cepat member
keterangan, "Toan-heng ini adalah keturunan keluarga bangsawan ternama di
Tayli, aku sendiri sangat menghormat padanya. Eh Toan-heng, marilah
kuperkenalkan kepada kawan-kawan”.
Tapi saat itu Toan Ki sedang
berdiri disamping Ong Giok-yan sambil kadang-kadang melirik dan mengendus bau
harum anak dara itu, meski ia tidak berani secara memandang secara
terang-terangan kemuka Ong Giokyan, tapi ia sudah puas memandangi tangan si
nona yang putih bersih dan halus itu. Karena itu pada hakikatnya ia tidak
mendengar panggilan Buyung Hok
Maka Buyung Hok berseru pula,
"Toan-heng, silahkan kemari untuk berkenalan dengan sobat-sobat ini”.
Namun Toan Ki tetap tidak
mendengar, yang kelihatan baginya pada saat itu melulu tangan Ong Giok-yan yang
putih halus itu, lain tidak.
Maka Ong Giok-yan ikut
berkata, "Toan kongcu, Piauko memanggil dirimu”.
Aneh juga, jika suara orang
lain tak didengarnya, suara Ong Giok-yan itu seketika didengar oleh Toan Ki,
cepat ia menjawab, "O, ya Ada apa dia panggil aku?”
"Piauko ingin
memperkenaIkanmu kepada berapa sobat baru itu”, kata Ong Giok-yan.
Tapi Toan Ki benar-benar berat
untuk meninggalkan nona itu, maka tanyanya, "Dan kau sendiri akan menemui
mereka tidak?”
Ong Giok-yan menjadi kikuk
oleh pertanyaan itu, sahutnya. "Mereka ingin bertemu denganmu dan bukan
diriku”.
"Jika engkau tidak ke
sana, maka aku pun tidak” kata Toan Ki.
Putpeng ToJin adalah seorang
tokoh terkemuka kaum petualang, biasanya sangat angkuh dan tidak memandang
sebelah mata kepada orang lain. Ia hanya melihat langkah Toan Ki sangat aneh
tapi juga tidak memandangnya sebagai seorang tokoh. Ia dengar tanya jawab Toan
Ki dengan Ong Giok-yan itu, ia salah sangka pemuda itu tidak sudi berkenalan
dengan dia, ia tidak tahu bahwa yang terpikir oleh Toan Ki pada saat itu hanya
Ong Giok-yan seorang saja, segala urusan lain sudah tak digubris olehnya.
Meski dalam hati sangat
mendongkol oleh sikap Toan Ki itu, namun Putpeng Tojin adalah seorang yang
dapat menahan perasaan, maka lahirnya tetap tenang-tenang saja seperti tidak
terjadi apa-apa.
Melihat perhatian semua orang
dialihkan kepada dirinya dan Toan Ki, mau tak mau Ong Giok-yan menjadi risi dan
kuatir sang Piauko salah paham, maka cepat serunya, "Piauko, harap..harap
pegang diriku”.
Tapi Buyung Hok tidak suka
mengunjuk kasih mesra muda mudi di depan banyak orang, sahutnya, "Ting
toako, harap kau bantu Piaumoi sebentar. Eh Toan-heng, silahkan maju kemari”.
"Toan kongcu, kata Ong
Giok-yan, Piauko minta engkau ke sana hendaknya engkau suka menurut”.
Mendengar si nona minta
dipayang oleh Buyung Hok dan bukan minta padanya, seketika hati Toan Ki terasa
pedih, maka dengan limbung ia berjalan ketempat Buyung Hok.
"Toan-heng”, segera
Buyung Hok berkata. "Biarlah kuperkenalkan engkau kepada beberapa orang
kosen ini. yang ini adalah Putpeng Totiang dan itu Oh siansing, yang itu lagi
adalah Song kongcu”.
"Ya, ya” sahut Toan Ki.
Tapi yang terpikir olehnya adalah, "Sudah terang aku berada disampingnya,
mengapa dia tidak suruh aku memayang dia, sebaliknya minta pada Piaukonya? Dari
sini dapat diketahui bahwa tadi dia minta aku menggendongnya hanya terdorong oleh
keadaan terpaksa saja, bila waktu itu Piaukonya dapat menggendong dia, tentu
dia akan minta tolong pada sang Piauko dan tidak nanti memperbolehkan aku
menyentuh badannya. Bahkan Ting Pek-jwan, Kongya kian dan lain-lain dalam mata
si nona juga lebih akrab
daripada diriku, padahal
mereka adalah punggawa Piaukonya. sebaliknya diriku? Aku tiada sangkut paut
apaapa dengan dia, bukan sanak bukan kadang, hanya bertemu secara kebetulan,
sudah tentu dia tidak menaruh perhatian pada diriku jika selama ini dia mengijinkan
aku memandangnya, hal ini sudah terhitung rejekiku yang maha besar. Dan
sekarang, ai, tidak nanti dia sudi memperbolehkan aku memegang dia”.
Melihat kelakuan Toan Ki yang
linglung, sinar matanya buram, mukanya menghadap ke tempat lain, terhadap maksud
Buyung Hok yang hendak memperkenalkan mereka dianggap seperti tidak tahu, air
mukanya tampak muram durja dengan alis berkerut rapat, nyata pemuda itu tidak
sudi berkenalan dengan mereka. Keruan Ohlotoa dan Putpeng Tojin merasa keki.
"Hahaha, selamat
berkenalan, selamat berkenalan” demikian saking mendongkol Putpeng Tojin
sengaja tertawa segera ia ulurkan tangan untuk menjabat tangan kanan Toan Ki.
Oh-lotoa paham juga maksud
itu, cepat ia ulurkan tangan buat menjabat tangan kiri Toan Ki. Berbeda dengan
Putpeng Tojin yang lebih sabar, begitu turun tangan segera Oh-lotoa mengerahkan
tenaga untuk memecet sekuatnya, maksudnya ingin Toan Ki kesakitan dan tahu
rasa. Cuma akhirnya ia pun pura-pura ramah sedikit pun tidak member tanda yang
mencurigakan.
Siapa tahu, begitu tangan
mereka memegang tangan Toan Ki, seketika Putpeng Tojin merasa hawa murni dalam
tubuhnya menuang keluar. Keruan ia terkejut dan cepat hendak menarik kembali
tangannya, tapi betapa hebat tenaga dalam Toan Ki sekarang sehingga telapak tangan
Putpeng Tojin seperti melengket karena tersedot erat oleh Cu-hap-sin-kang yang
lihai itu.
Sedangkan Oh-lotoa biasanya
suka menggunakan racun maka begitu memegang tangan Toan Ki seketika ia
menyalurkan kadar racun dari tangannya. Meski tiada maksudnya hendak membikin
celaka nyawa Toan Ki, tapi ia ingin membikin pemuda itu sakit gatal serta
akhirnya saking tak tahan tentu akan minta ampun, habis itu barulah ia akan
member obat penawar racun.
Tak tahunya sejak Toan Ki
makan katak merah Bong-koh-cu-hap, segala racun sudah tidak mempan lagi
baginya, maka racun yang dikerahkan dari tangan Oh-lotoa itu pun tidak dapat
mengganggu apa-apa terhadap Toan Ki, sebaliknya tenaga murni Oh-lotoa yang
terus disedot dengan cepat. Keruan Oh-lotoa juga kelabakan dan berteriak-teriak
"Hei, hei! Kau..kau gunakan Hoa-kang-tai-hoat”.
Sebaliknya Toan Ki masih
melamun sendiri, dalam benaknya masih tidak habis menyesal dan gegetun.
"Dia tidak sudi dipayang olehku, apa artinya hidupku ini? Lebih baik aku
pulang ke Tayli saja dan untuk seterusnya tidak bertemu lagi dengan dia. Ai,
lebih baik pergi ke Thian-liong-si saja, biarlah aku menjadi hwesio dan minta
diterima sebagai murid Kho-eng Taisu, untuk selanjutnya aku takkan berkecimpung
di dunia ramai lagi..”
Dalam pada itu Buyung Hok
menyaksikan Putpeng Tojin dan Oh-lotoa sedang kelabakan, ia tidak tahu seluk
beluk kepandaian Toan Ki maka disangkanya Toan Ki sengaja hendak menghajar
Putpeng Tojin dan Oh-lotoa, cepat Buyung Hok tarik punggung Putpeng Tojin dan
secepat kilat ia betot sambil mengerahkan tenaga murni sendiri untuk menolak
daya sedot Cu-hap-sin-kang karena betotan itu mendadak dapatlah Putpeng Tojin
ditarik lepas dari tangan Toan Ki, berbareng ia berseru, "Toan-heng, sabar
dulu”
Karena betotan itu, Toan Ki
sendiri juga kaget dan tersadar dari lamunannya, sudah beberapa kali ia punya
Cuhap-sin-kang disangka orang sebagai "Hoa-kang-tai-hoat” dari
Sing-siok-pai. Tapi sekarang ia dapat menggunakan cara yang diajarkan pamannya,
yaitu Toan-cing-beng untuk menghimpun perhatian dan menarik kembali tenaganya.
Karena itu segera daya sedotnya kepada Oh-lotoa juga lantas berhenti.
Saat itu Oh-lotoa sedang
membetot-betot sekuatnya untuk melepaskan diri, ketika mendadak tangannya
terlepas dari daya sedot lawan, saking kuatnya ia menarik, seketika ia
sempoyongan dan hampir jatuh terjengkang. Keruan mukanya merah jengah,
terkesiap dan gusar pula.
Pengetahuan dan pengalaman
Putpeng Ttjin lebih luas, ia merasa daya sedot yang timbul dari tangan Toan Ki
seperti berbeda dengan Hoa-kang-tai-hoat yang sangat ditakuti di dunia kangouw
itu tapi sebenarnya sama atau tidak karena ia sendiri belum pernah merasakan
bagaimana serangan Hoa-kang-tai-hoat, maka susah juga baginya untuk
memastikannya.
Sebaliknya Oh-lotoa masih
terus berteriak "Hoa-kang-tai-hoat…Hoa-kang-tai-hoat”
Namun dengan tersenyum Toan Ki
berkata, "Huh! kepandaian Sing-siok Lokoai Ting jun-jiu itu teramat rendah
dan keji, siapa yang sudi belajar ilmunya itu? Ai, kamu benar-bemar seperti
katak dalam sumur., ai…ai.”
Sebenarnya Toan Ki lagi
mengolok-olok Oh-lotoa, tapi mendadak teringat pula sikap Ong Giok-yan yang
memandang asing kepadanya, maka kembali ia menghela napas gegetun beberapa
kali.
Dalam pada itu Buyung Hok juga
menjelaskan, "Toan-heng ini adalah keturunan keluarga ternama dari Tayli.
It-yang-ci dan Lah-meh-sin-kiam keluarganya tiada bandingan di dunia ini, sudah
tentu tidak dapat disamakan dengan kepandaian Sing-siok Lokoai itu”.
Bicara sampai disini, mendadak
ia merasa tangan dan lengan sendiri kian lama tambah kaku dan bengkak nyata hal
ini bukan lantaran getaran palu baja si pendek tadi tapi ada sebab lainnya.
Diam-diam ia terkejut.
Waktu ia periksa tangan
sendiri, ternyata punggung tangan sudah membiru, hidungnya mengendus bau amis
busuk pula, maka tahulah dia seketika. "Ah, tanganku sudah terlalu lama
berdekatan dengan Lik-po-hiang-lo-to
yang berbisa ini, sehingga
hawa racun meresap ke kulit tanganku.
Segera ia lintang kembali
golok rampasannya itu, dengan gagang golok kedepan dan ujung golok terpegang,
katanya pada Oh-lotoa, "Oh siansing, terimalah kembali senjatamu ini dan
maafkan kelancanganku tadi”.
Segera Oh-lotoa hendak
menerima kembali goloknya, namun tangan Buyung Hok ternyata tidak melepaskan
cekalannya, Oh-lotoa tercengang, tapi segera ia paham, katanya dengan tertawa,
"Ya, golok ini memang sedikit aneh maafkan telah banyak membikin susah
padamu”.
Lalu ia mengeluarkan sebuah
botol kecil, ia menuang keluar sedikit obat bubuk dan diusapkan pada tangan
Buyung Hok.
Seketika Buyung Hok merasa
tangannya dingin segar, obat penawar Oh-lotoa ternyata cespleng, hanya sekejap
saja sudah kelihatan khasiatnya. Maka dengan tersenyum puas Buyung Hok sodorkan
golok rampasannya itu.
Sesudah terima kembali
senjatanya, kemudian Oh-lotoa berkata kepada Toan Ki, "Toan-heng ini
sebenarnya kawan atau lawan kita? Jika kawan, tentu kami anggap sebagai orang
sendiri dan biar kuceritakan duduk perkara yang sebenarnya. Tapi kalau lawan,
biarpun kepandaianmu maha tinggi, terpaksa kita harus bertempur mati-matian
pula”. Tatkala bicara sikap Oh-lotoa sangat gagah dan angkuh sambil melirik
Toan Ki.
Namun Toan Ki sedang edan
kasmaran, sudah tentu ia tiada mempunyai sikap gagah ksatria sebagai Oh-lotoa.
Bahkan dengan lesu ia berkata. "Aku sendiri sedang kesal sekali, darimana
aku sempat menggubris urusan orang lain? Aku bukan kawanmu dan juga bukan
lawanmu, urusan kalian aku tak dapat membantu, tapi aku pun pasti takkan
mengganggu. Ai, aku memang seorang malang, sudah suratan nasib harus berduka
terus. Tentang urusan tetek bengek di kalangan kangouw, masakan aku Toan Ki mau
ikut campur?”
Melihat kelakuan Toan Ki yang
angin-anginan dan mengigau sendiri itu, setiap berkata selalu melirik kearah
Ong Giok-yan, maka dapatlah Putpeng Tojin menduga akan duduknya perkara, segera
ia berseru kepada si nona, "Ong-kohnio, Piaukomu sudah berjanji akan ikut
membantu dan akan berjuang bersama kami, kukira nona sendiri juga akan ikut
serta dalam urusan kami ini, bukan?”
"Ya, jika Piauko sudah
berjanji akan ikut bersama kalian, dengan sendirinya aku juga siap untuk
mengikuti jejaknya di bawah pimpinan totiang”. sahut Ong Giok-yan. "Ah!
nona terlalu merendah hati saja”, kata Putpeng Tojin dengan tersenyum.
Lalu ia berpaling dan berkata
kepada Toan Ki, "Buyung kongcu sudah terang akan membantu kami begitu pula
Nona Ong juga akan ikut serta bersama kami. sekarang tinggal Toan kongcu, jika
kau pun sudi ikut dalam
pergerakan kami ini, sudah
tentu kami merasa sangat berterima kasih. (Dewi KZ) Tapi kalau kongcu tiada
maksud membantu bolehlah silahkan sesukamu untuk pergi saja.”
Habis berkata ia mengacungkan
tangannya sebagai tanda menyilahkan tamunya pergi. Tiba-tiba Oh-lotoa menyela.
"Tentang ini…ini”
Rupanya ia tidak setuju atas
ucapan Putpeng Tojin itu, sebab kuatir dengan kepergian Toan Ki nanti rahasia
mereka akan bocor.
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa sekali Ong Giok-yan sudah menyatakan akan ikut serta tinggal disitu,
biarpun Toan Ki sekarang diseret dengan lokomotif juga dia tak mau pergi, namun
begitu Oh-lotoa tetap siapkan goloknya, asal Toan Ki melangkah pergi, segera ia
akan merintanginya.
Toan Ki hanya mondar mandi
saja sambil berkata. "Engkau menyilahkan aku pergi, tapi aku sendiri tidak
tahu harus kemana? Bumi seluas ini bagiku hanya sebesar daun kelor, di manakah
aku dapat bernaung? Ai, aku… aku..tiada tempat tujuan lagi.”
"Jika begitu, lebih baik
Toan kongcu berada bersama kami saja, seru Putpeng Tojin dengan tersenyum. Bila
terjadi apa-apa nanti boleh menonton saja disamping, tidak perlu kau bantu
pihak mana pun”.
Selagi Oh-lotoa bersangsi
Putpeng Tojin lantas mengedipi dia dan berkata, "Oh-lotoa, kerjamu
sesungguhnya terlalu melilit, selama ini hanya kukenal nama para Tongcu dan
tocu kalian, tapi belum kenal muka mereka. Mumpung sekarang berkumpul semua di
sini, seharusnya kau perkenalkan mereka kepada Buyung kongcu dan Toan kongcu
sekalian”.
"Ya, ya, memang
seharusnya demikian”, sahut Oh-lotoa, lalu ia panggil satu persatu Tongcu atau
Tocu untuk diperkenalkan.
Meski ke-72 tocu dan ke-36
Tongcu itu terkenal sebagai suatu komplotan, tapi mereka masing-masing
mempunyai pangkalannya sendiri-sendiri dan satu sama lain terpencar jauh banyak
diantara mereka pun tidak saling kenal muka dan baru malam ini mereka
benar-benar kenal secara merata ke-108 tokoh petualang itu.
Diantara mereka ada empat
orang telah terbunuh oleh Buyung Hok dalam pertarungan sengit tadi, maka anak
buah keempat korban itu masih bersikap menantang dan dendam ketika dikenalkan
kepada Buyung Hok
Dengan suara lantang Buyung
Hok lantas berkata. "Maaf, terpaksa aku mesti mencelaka beberapa kawan
kalian dalam pertarungan tadi,
sungguh aku pun merasa tidak enak. Tapi selanjutnya tentu aku akan berbuat
sesuatu yang berfaedah bagi kalian untuk mengganti kesalahan ini. Tapi bila
masih ada kawan yang benarbenar tidak dapat memaafkanku, biarlah sesudah kita
bersama-sama menghadapi musuh besar nanti, kemudian boleh silahkan kalian
datang ke kediamanku di Koh-soh untuk mencari penyelesaian denganku”.
"Cara demikian paling
bagus”, kata Oh-lotoa. "Buyung kongcu memang seorang yang suka berterus
terang. Padahal diantara kami ini satu sama lain juga ada yang bermusuhan, tapi
tatkala menghadapi musuh bersama, terpaksa mesti dikesampingkan dulu permusuhan
pribadi. Dengan ini aku ingin tanya, jika ada salah seorang kawan yang
berpandangan cupat, tidak pikirkan musuh bersama tapi menggunakan kesempatan
ini untuk membalas sakit hati seseorang, cara bagaimana harus ditindak terhadap
orang demikian ini?”
"Orang begitu berarti
penyakit bagi kita semua, maka kita harus membersihkannya dari lingkungan
kita”, teriak orang banyak. "Ya, padahal jiwa kita tak terjamin bila tak
mampu melawan Lothaipo (nenek reyot) dari Thiansan itu, masakah masih masalah
memikirkan urusan pribadi? Untuk itu hendaknya Buyung koncu jangan kuatir,
sarang yang terbalik takkan ada telur yang utuh, kami kira tiada seorang pun
yang berpikiran sebodoh itu”.
"Jika, demikian, terima
dulu salamku”, sahut Buyung Hok. "Dan entah bantuan apa yang dapat
kuberikan, harap suka menerangkan.”
"Oh-lotoa”, kata Putpeng
Tojin, "Kita sedang menghadapi urusan besar bersama, maka kita harus dapat
saling membantu, tentang Thainsan Tonglo itu boleh kau ceritakan kepada orang
banyak agar setiap orang tahu dimana letak kelihaian Lopocu itu supaya kita dapat
waspada sebelumnya.”
"Baiklah”, kata
Oh-lotoa,”Jika para saudara mendukungku untuk mengatur sementara pergerakan
kita, meski kepandai nku terlalu dangkal dan tidak pantas memikul tanggung
jawab ini, syukur kita dibantu Buyung kongcu, Putpeng Tojin Kiam-sin, Hu-yong
siancu dan lain-lain sehingga bebanku menjadi lebih ringan”.
"Hai, hai! Pakai bicara
secara pelungkar pelungker apa segala, bicaralah secara cekak-aos, tidak perlu
berteletele”
"Benar, kita sudah biasa
main senjata pada saat menghadapi urusan besar, buat apa bicara hal-hal
kosong?” demikian beramai-ramai para Tongcu dan tocu berteriak.
"Baiklah, memang semangat
para kawan harus dipuji”, kata Oh-lotoa, "Sekarang kuminta Kim-tocu dari
Haima-to suka menjaga di sebelah tenggara sana, kalau tahu ada musuh mengintai
harap segera member isyarat. Hong-tongcu darl Ci-giam-tong silahkan menjaga
disebelah barat dan….”
Begitulah berturut-turut ia
perintahkan delapan tokoh pilihan untuk menjaga delapan penjuru dan semuanya
menerima dengan baik tugas itu.
Diam-diam Buyung Hok membatin,
"Para Tongcu dan tocu ini tampaknya sangat liar dan ganas, tapi hari ini
mau tunduk dibawah perintah Oh-lotoa dengan rasa was-was dan prihatin, maka
dapat diduga urusan yang akan mereka hadapi ini sangat penting dan lawan mereka
juga benar-benar jangat menakutkan mereka, tapi urusan mungkin sangat sukar
dihadapi”.
Sesudah mengatur penjagaan
seperlunya, kemudian Oh-lotoa berkata pula, "Sekarang silahkan
saudara-saudara duduk ditanah, biar kuceritakan kesengsaraan kami selama ini.”
"Kalian adalah
orang-orang yang sudah biasa membunuhi membakar, menggarong, meracun, segala
kejahatan bagi kalian adalah pekerjaan sehari-hari, mengapa kalian juga kenal
arti kata sengsara? kukira ini agak janggal, ya sungguh janggal” tiba-tiba Put-tong
menyela.
Buyung Hok kenal watak Pau
Put-tong, sekali orang terlibat debat dengan dia, maka biarpun tiga hari tiga
malam juga takkan habis-habisan, maka katanya, "Pausamko, hendaknya
dengarkan uraian Oh-lotoa, jangan memotong ceritanya.”
Pau Put-tong masih
menggerundel, tapi tidak berani membangkang perintah Buyung Hok maka terpaksa
tidak berani bicara lagi.
Oh-lotoa tampak tersenyum
getir, katanya. "Teguran Pau-heng barusan memang beralasan juga. sebagai
pemimpin dari suatu wilayah kekuasaan masing-masing, biasanya kami tidak kenal
apa artinya takut. Biarpun kepandaian orang she Oh terlalu rendahi tapi watakku
kepala batu, selama hidup hanya orang lain yang takut padaku dan tidak nanti
aku takut pada orang lain, siapa tahu…ai..”
Oh-lotoa menghela napas,
sekonyong-konyong seorang disebelah sana juga menghela napas panjang dengan
rasa duka yang mengharukan. Waktu semua orang memandang kearah suara itu,
kiranya Toan Ki adanya, sambil menyilangkan tangan dipunggung belakang, pemuda
itu sedang menengadah memandang rembulan sembari bergumam sendiri, "Sinar
bulan purnama, si cantik menggetarkan sukma hatiku tak habis duka, dimanakah
terdapat pelipur lara!”ia bersajak menuruti perasaan rindunya pada waktu itu,
tapi yang berada disitu adalah orang-orang kasar yang tidak tahu tulis sudah
tentu jarang ada yang paham perasaan Toan Ki itu. Sebaliknya semuanya melotot
padanya dengan mendongkol karena dia telah mengacau cerita Oh-lotoa.
Sudah tentu yang paling paham
sajak Toan Ki itu adalah Ong Giok-yan. Ia kuatir sang Piauko marah ia coba
melirik kearah Buyung Hok
dilihatnya sang Piauko sedang mencurahkan perhatiannya kepada cerita Oh-lotoa
tadi dan sama sekali tidak mempedulikan apa yang diucapkan Toan Ki, maka
diam-diam legalah hati Ong Giok-yan,
Sementara itu Oh-lotoa telah
meneruskan uraiannya. "Buyung kongcu, Putpeng Tojin dan lain-lain sekarang
sudah bukan orang luar lagi, maka akupun tidak malu-malu lagi untuk bercerita
terus terang. Kami tiga puluh enam Tongcu dan Tujuh pulh dua Tocu selama ini
tampaknya hidup bebas merdeka ditempatnya sendirisendiri, tapi sebenarnya kami
terkekang dibawah keganasan Thian-san Tong-lo atau dapat juga dikatakan hidup
kami telah diperbudak olehnya, setiap tahun dia tentu mengirim orang untuk
mendamprat kami habis-habisan. Tapi jangan kalian kira kami merasa mendongkol
karena didamprat, sebaliknya kami justru merasa senang, semakin kami dimaki,
semakin senang kami.
"Hahaha, sungguh aneh, di
dunia ini masakah ada manusia serendah itu, dimaki orang malah merasa senang?”
seru Pau Put-tong geli. ”Ya, sebab kalau kami cuma dicaci maki oleh utusan
Tong-lo itu, maka itu berarti telah bebas dari malapetaka dalam tahun itu dan
untuk ini para kawan akan berpesta pora untuk menyatakan syukur kehadirat
Tuhan. Ai, menjadi manusia sampai sedemikian rupa, sesungguhnya kami memang
terlalu rendah, sebaliknya kalau kami tidak dicaci maki oleh utusan Tong-lo
itu, bila kakek moyang delapan belas turunan kami tidak dimaki maka penghidupan
kami selanjutnya tentu akan susah. Maklum, kalau kami tidak dicaci maki, maka
tentu kami akan dihajar olehnya, bila nasib mujur paling-paling kami hanya
dihajar 30 kali pentungan, jika kaki kami tidak patah dihajar, tentu kami akan
berpesta pora juga untuk merayakan keselamatan kami”.
Pau Put-tong dan Hong Po ok
saling pandang dengan geli. Sungguh kejadian yang aneh bin ajaib, masakah sudah
dicaci maki dan dihajar setengah mati orang masih harus berpesta pora pula
untuk merayakannya.. tapi jika melihat ucapan Oh-lotoa yang tegas dan suara
caci maki orang banyak dengan penuh rasa dendam, rasanya apa yang diceritakan
itu bukan omong kosong.
Dalam pada itu, yang sedang
dipikir Toan Ki sebenarnya cuma Ong Giok-yan seorang, ketika ia lihat nona itu
juga asyik mendengarkan uraian Oh-lotoa, mau tak mau ia pun mendengarkan uraian
Oh-lotoa itu, kontan saja Toan Ki berteriak-teriak. "Mustahil, mustahil
Masakah di dunia ini bisa terjadi hal demikian itu? Thian-san Tong-lo itu
manusia atau dewa? Siluman atau setan? Mengapa begitu sewenang-wenang, sungguh
keterlaluan”.
"Ucapan Toan kongcu
memang tepat”, sahut Oh-lotoa, "Kami benar-benar tersiksa, kami dianggap
lebih rendah daripada binatang oleh nenek keparat itu. Nah, coba Suma-tocu,
silahkan perlihatkan bekas luka penderitaanmu kepada para sobat”.
Segera seorang tua yang kurus
kering membuka bajunya sehingga kelihatan pada punggungnya banyak jalurjalur
malang melintang bekas luka cambukan yang keras, dari bekas luka ini orang
dapat membayangkan betapa hebat penderitaan orang tua itu ketika dihajar.
"Itu belum apa-apa,
lihatlah paku di punggungku ini”, tiba-tiba seorang laki-laki hitam berseru,
segera ia pun membuka bajunya, maka tertampaklah sebatang paku besar masih
menancap di punggungnya, mungkin sudah cukup lama sehingga pangkal paku itu
kelihatan sudah berkarat, entah sebab apa laki-laki hitam itu tidak berusaha
untuk mencabut paku itu.
Habis itu, kembali ada dua
tiga orang memperlihatkan bekas luka mereka yang dihajar utusan Thian-san
Tonglo, semuanya sangat parah dan caranya juga sangat aneh serta menyiksa.
Melihat itu seketika Toan Ki
berteriak-teriak lagi. "Wah, wah Masakah di dunia ini ada manusia begitu
kejam. Hai, Oh-lotoa, aku Toan Ki bertekad akan membantumu, marilah kita
bersama-sama membasmi penyakit bagi dunia persilatan itu”.
"Terima kasih”, sahut
Oh-lotoa. Lalu ia berpaling kepada Buyung Hok. "Diantara kawan-kawan yang
hadir disini sekarang boleh dikata tiada satu pun yang luput dari siksaan nenek
jahanam itu. Karena takut kepada keganasannya itu maka kami hanya telan
mentah-mentah semua siksaan, syukur, setelah mengganas selama ini akhirnya tiba
juga saat naasnya.”
"Kalian disiksa, tapi
tidak berani melawan, apakah karena kepandaian nenek itu teramat hebat?” Tanya
Buyung Hok.
"Ya, kepandaian nenek
bangsat itu memang sangat lihai, sampai dimana kelihaiannya sukar diukur”,
sahut Ohlotoa.
"Kau bilang nenek itu
juga menemui saat yang naas, coba ceritakan lagi”, pinta Buyung Hok.
Tiba-tiba Oh-lotoa jadi
bersemangat, serunya, "Ya, justru karena itulah maka kami beramai-ramai
berkumpul disini. Bulan tiga tahun ini, aku dan Ho-tongcu bersembilan orang
mendapat giliran wajib mengantar upeti. Kami banyak mengumpulkan mutiara,
mestika, kain halus dan sutera, bahan makanan yang mahal serta bedak dan gincu,
kami mengantar ke Biau-biau-hong di Thian-san.”
"Ha ha, apakah Lothaipo
itu berwujud siluman tua? Katanya sudah nenek-nenek, mengapa pakai bedak dan
gincu segala?” seru Pau put-tong dengan tertawa.
"Ya, usia nenek bangsat
itu sudah tua, tapi tidak sedikit budak dan dayangnya yang masih muda belia dan
sudah tentu memerlukan bedak dan gincu”, tutur Oh-lotoa. "Cuma di puncak
gunung itu tiada seorang lelaki pun, mereka bersolek entah diperlihatkan kepada
siapa?”
"Diperlihatkan kepadamu,
barangkali?” ujar Pau put-tong dengan tertawa.
"Pau-heng jangan bergurau,”
sahut Oh-lotoa dengan sungguh-sungguh. Lalu ia melanjutkan ceritanya,
"Untuk naik ke atas puncak gunung itu mata kami telah ditutup dengan kain
hitam, hanya terdengar suaranya dan tidak dapat terlihat orangnya.Jadi penghuni
Biau-biau-hong itu sebenarnya cantik-cantik atau sejelek siluman sudah tua atau
masih muda, sama sekali kami tidak tahu”
"Jika begitu, jadi
bagaimana macam Thian-san Tong-lo itu selama ini kalian juga tidak pernah
melihatnya?” Tanya Buyung Hok
"Melihatnya sih sudah
pernah”, sahut Oh-lotoa, "tapi itupun berarti maut bagi kawan yang
melihatnya. Hal ini terjadi kira-kira belasan tahun yang lalu, ketika seorang
kawan dengan nekat membuka kain hitam penutup mata, namun sebelum ia tutup
kembali kain hitam itu, perbuatannya sudah diketahui oleh nenek bangsat itu,
segera kedua mata kawan itu dicungkil, lidahnya diiris, kedua tangannya
dipotong pula.”
"Benar-benar kejam.
Mengapa mesti memotong lidah dan kedua tangannya?” ujar Buyung Hok.
"Mungkin agar kawan itu
tidak dapat menceritakan tentang rupa nenek bangsat itu kepada orang lain,”
kata Oh-lotoa. "Lidahnya dipotong kan tidak bisa bicara lagi dan tangan
juga dipotong supaya tidak dapat menulis. Keparat, benar-benar lihai”, seru Pau
put-tong sambil melelet lidah.
"Dan apa yang kalian dengar
ketika bulan tiga tahun ini kalian datang ke Biau-biau-hong sana? "Tanya
Buyung Hok
"Ketika kami bersembilan
balik ke Biau-biau-hong, sungguh kami ketakutan setengah mati,” tutur Oh-lotoa.
"Soalnya upeti yang kami bawa itu sebenarnya kurang komplit sebagaimana
ditentukan nenek bangsat itu, terutama benda-benda aneh seperti telur kura-kura
laut berumur tiga ratus tahun, tanduk menjangan yang panjangnya dua meter,
sudah tentu sukar untuk dicari, untuk ini kami menjadi kebat-kebit dan menduga
pasti akan mendapat hukuman keji. Diluar dugaan, sesudah terima upeti kami,
nenek bangsat itu menyuruh dayangnya memberitahukan kepada kami bahwa
barang-barang telah diterima dengan baik dan kami disuruh lekas enyah dari
situ. Keruan kami seperti putus lotere 120 juta, cepat saja kami tinggalkan
puncak gunung itu. setiba dikaki gunung, setelah membuka kain hitam penutup
mata, tiba-tiba terlihat dibawah gunung situ terbinasa tiga orang, seorang
diantaranya dikenal oleh Ho-tongcu sebagai Kiu-ek Tojin, seorang tokoh terkemuka
dari negeri Se-he”.
"O, kiranya Kiu-ek Tojin
dibinasakan oleh nenek keparat itu, tapi orang kangouw justru mendesas
desuskan, katanya dibunuh oleh Koh-soh Buyung,” ujar Put peng Tojin.
"Kentut, kentut busuk”
sela Pau Put-tong tiba-tiba. "Peduli Kiu-ek ToJin (imam sebilan sayap)
atau Pat-bwe Hwesio (padri delapan buntut), yang terang kami tidak pernah kenal
manusia-manusia seperti itu, tapi kematian mereka dicatat lagi atas rekening
kami”.
Meski kentut-kentut yang
diucapkan Pau put-tong itu tidak ditujukan kepada Put peng Tojin, tapi bagi
pendengaran orang lain tentu agak menusuk telinga.
Namun Putpeng Tojin juga tidak
marah, katanya dengan tersenyum, "Ya, maklumlah nama Koh-soh Buyung
terlalu masyur sehingga menimbulkan prasangka jelek orang”.
"Kent…” belum lagi kata
‘tut’ terucapkan, tiba-tiba Pau put-tong melirik kearah Buyung Hok sehingga
ucapannya terhenti.
"Kenapa Pau-heng telan
kembali kedalam perut sendiri”, ujar Putpeng Tojin.
Pau put-tong menjadi gusar
setelah paham maksud perkataan imam itu, bentaknya. "Keparat, aku kau maki
telan kentut sendiri?”
"Mana berani” sahut
Putpeng Tojin, "Pau-heng suka makan apa, boleh terserah”.
Selagi Pau put-tong hendak
mendebatnya lagi, tiba-tiba Buyung Hok berkata, "Sudahlah samko tidak
perlu berdebat lagi. Kabarnya Kiu-ek Tojin memiliki ginkang yang sangat tinggi,
Lui-kong-tang adalah senjata andalannya, selama tiga puluh tahun ini jarang
ketemu tandingannya. Jangankan diriku memang tidak pernah bermusuhan dengan
dia, andaikata bermusuhan juga belum tentu aku dapat menandingi imam yang
tersohor dengan palu geledeknya itu”.
"Ah, Buyung kongcu
terlalu merendahkan diri sendiri saja”, ujar Putpeng Tojin dengan tersenyum.
"Biarpun Kiu-ek Tojin terkenal dengan Lui-kong-tang (senjata palu dan
tatah), tapi kalau Buyung kongcu mau mengembalikannya dengan serangan
Lui-kong-tang pula, pasti juga dia akan terima ajalnya”.
"Tapi luka ditubuh Kiu-ek
Tojin itu ada dua tempat bekas tusukan pedang”, kata Oh-lotoa. "Jadi
berita tentang pembunuhnya adalah Koh-soh Buyung sebenarnya bohong belaka. Hal
ini telah kusaksikan dengan mata kepala sendiri tidak nanti salah. sebab kalau
dia dibunuh Buyung kongcu, tentu senjata yang mencabut nyawa Kiu-ek Tojin itu
adalah Lui-kong-tangnya sendiri”
"Kau bilang ada dua bekas
tusukan pedang?” Putpeng Tojin menegas. "Kalau betul ini memang aneh”
"Putpeng Tojin memang
hebat, sekali dengar saja segera tahu ada sesuatu yang ganjil”, seru Oh-lotoa
sambil tepuk pahanya sendiri, "Kiu-ek Tojin mati dibawah Biau-biau-hong
dengan dua tempat luka pedang, ini benarbenar tidak beres”.
Diam-diam Buyung Hok membatin,
Dimanakah letak tidak beres? Putpeng Tojin ini tahu ada sesuatu yang ganjil,
tapi aku tidak dapat memikirkannya.
"Rupanya Oh-lotoa sengaja
hendak menguji Buyung Hok” katanya. "Buyung kongcu, bukankah kematian
Kiuek Tojin itu sangat ganjil?”
Selagi Buyung Hok hendak
menjawab terus terang bahwa dia tidak paham letak keganjilannya, tiba-tiba Ong
Giok-yan menimbrung.” Luka Kiu-ek Tojin itu yang satu terletak di tengah-tengah
antara Hong-ji-hiat dan Hok-tho-hiat, yang lain di Koai-ki-hiat diatas pundak
sehingga tulang patah, betul tidak?”
Oh-lotoa terkejut, serunya,
"Hei, apakah waktu itu nona juga berada di sana? Mengapa kami-kami tidak
melihat nona?”
Dari suaranya yang
terputus-putus ini, nyata ia menjadi ketakutan, ia kuatir jika sampai setiap
tindak tanduknya juga diketahui oleh nona itu sehingga tersiar, maka tidak
mustahil sebelum gerakan rahasia mereka ini dimulai sudah diketahui lebih dulu
oleh Thian-san Tong-lo.
Tiba-tiba suara seseorang lain
berkumandang di tengah orang banyak. "Ya dari..dari ..mana kau..kau tahu
ken..kenapa aku ti..tidak me.. melihat ?
Rupanya pembicara ini
mempunyai penyakit gagap, dalam keadaan gugup, bicaranya menjadi makin tak
keruan. Orang gagap ini adalah salah satu diantara kesembilan jago yang ikut
Oh-lotoa mengirim upeti ke Biau-biau-hong itu, biarpun orang ini mempunyai
penyakit gagap, tapi ilmu silatnya sangat hebat, sebab itu tiada seorang pun
yang berani mentertawai cara bicaranya itu.
Maka dengan acuh tak acuh Ong
Giok-yan menjawab. "Musim semi tahun ini aku berada di daerah Kanglam,
selama hidupku ini tidak pernah ke Thian-san segala”.
Oh-lotoa tambah takut jika
nona itu tidak menyaksikan sendiri kematian Kiu-ek Tojin, tapi hanya mendengar
dari cerita orang lain saja,
inikan menandakan kejadian itu sudah tersebar di kalangan kangouw? Maka cepat
ia tanya, "Habis nona mendengar dari siapa?”
"Aku hanya menerka saja”,
sahut Ong Giok-yan, "sebab Kiu-ek Tojin adalah tokoh terkenal dari
Lui-tian-bun, tatkala bertempur tentu dia menggunakan ginkang, tangan kiri
memegang tameng dan tentu bagian dada dan punggung sebelah kiri terjaga rapat,
satu-satunya kelemahan yang dapat diincar musuh hanya sebelah kanan, dan
lawannya yang menggunakan pedang jika ingin merobohkan dia harus mengincar Hong
ji hiat dan Hai tho hiat di paha kanan. Dan kalau Kiu-ek Tojin menangkis dengan
tameng dan hendak balas menyerang dengan Lui-kong-tang dengan sendirinya lawan
akan menyerang punggungnya. Sebenarnya musuh tidak gampang menyerang
Kiu-ekTojin dengan pedang, paling baik kalau menggunakan Boan koanpit dan
sebangsa alat piranti tiam hiat, jika memakai pedang, kukira kalau tidak
menggunakan jurus Pek hong-koanjit (pelangi putih melingkungi matahari) tentu
pakai jurus Pek-te cam-coan(raja putih memotong ular)”.
Baru sekarang Oh-lotoa merasa
lega oleh penjelasan Ong Giok-yan itu, selang sejenak barulah ia mengacungkan
jempolnya dan memuji. "Hebat, sungguh kagum orang dari keluarga Koh-soh
Buyung memang tiada yang lemah. Analisa nona barusan benar-benar seperti
menyaksikan sendiri kejadian itu”.
"Nona ini she Ong, dia
bukan..bukan…”, demikian Toan Ki ikut berseru.
Namun ong Giok-yan lantas
memotong. "Nenekku she Buyung, aku dianggap orang dari keluarga Buyung
juga boleh”.
Seketika pandangan Toan Ki
serasa gelap, telinganya mendengung oleh ucapan si nona yang menyatakan aku
dianggap orang dari keluarga Buyung juga boleh.
Dalam pada itu Tocu yang
berpenyakitan gagap tadi telah berkata juga, "O..ki. kiranya be.. begitu”.
Tapi Oh-lotoa itu sangat
hati-hati dalam segala hal, ia coba menegas lagi. "Nona Ong, apa yang kau
uraikan barusan apa benar berdasarkan analisa menurut teori ilmu silat dan
bukan menyaksikan sendiri kejadian itu?”.
Ong Giok-yan hanya
manggut-manggut dan tidak menjawab.
Tiba-tiba si gagap berseru
pula, "Umpamanya bila engkau ha..harus mem..membunuh oh..Oh-lotoa, co-coba
bagaimana..bagaimana caranya ?”
"Apa maksud tujuanmu
dengan pertanyaan ini?” bentak Oh-lotoa dengan gusar.
Tapi segera timbul pula
keragu-raguannya, usia nona ini sangat muda, masakah dia dapat menganalisa
kematian Kiu-ek Tojin dengan sangat jitu. Hal ini sungguh sukar dipercaya,
besar kemungkinan waktu itu dia sembunyi di bawah puncak Biau-biau-hong dan
menyaksikan peristiwa itu urusan ini sangat penting, betapapun harus ditanya
dengan lebih jelas.
Maka akhirnya dia pun
bertanya, "Ya, coba jika nona hendak membunuh aku bagaimana caranya ?”.
Ong Giok-yan hanya tersenyum
saja dan tidak menjawab, tiba-tiba ia membisiki Buyung Hok. "Piauko,
kelemahan orang ini terletak di Thian cong hiat di belakang bahunya dan Ceng
ling hiat dibalik sikunya, asal kedua tempat ini diserang, tentu dapat kau
robohkan dia”.
Dalam hal pengetahuan ilmu
silat memang Ong Giok-yan jauh lebih luas daripada Buyung Hok, dahulu tatkala
iseng Buyung Hok memang sering minta petunjuk padanya, tapi sekarang dihadapan
jago silat sebanyak ini masakah dia sudi diberi petunjuk oleh seorang nona
cilik. Maka ia hanya mendengus saja dan tidak mau menurut, serunya "Jika
kamu ditanya Oh-tongcu, maka boleh kau jawab terang-terangan saja”.
Ong Giok-yan menjadi merah
jengah, diluar dugaannya bahwa maksud baiknya telah menimbulkan reaksi kasar
dari sang Piauko, segera katanya, "Piauko, ilmu silat di dunia ini tiada
satu pun yang tak dikenal oleh Koh-soh Buyung, boleh kau katakan saja kepada
Oh-lotoa”.
Tapi Buyung Hok cukup angkuh
dan tinggi hati, ia tidak mau pura-pura, juga tidak mau mendapat petunjuk
seorang nona, maka sahutnya, "Ilmu silat Oh-tongcu sangat tinggi, masakah
begitu mudah untuk merobohkan dia? sudahlah, Oh-tongcu, tak perlu kita mengurus
persoalan di luar pokok pembicaraan, silahkan teruskan ceritamu tentang
kejadian di Biau-biau-hong itu”.
Namun Oh-lotoa justru ingin
tahu dengan jelas apakah ada orang lain lagi yang menyaksikan kejadian masa
dahulu itu, maka katanya pula. "Nona Ong, jika engkau tidak tahu cara
untuk membunuh orang she oh, dengan sendirinya kau pun belum pasti tahu jurus
ilmu pedang apa yang menewaskan Kiu-ek Tojin itu. Apa yang kau katakan tadi
terang hanya untuk menggoda aku saja. Maka tentang darimana nona mendapat tahu
kematian Kiu-ek Tojin itu tidak boleh dibuat main-main, tapi hendaklah terus
terang saja”.
Waktu Ong Giok-yan membisiki
Buyung Hok tadi, dengan penuh perhatian Toan Ki terus mengikuti apa yang
dilakukan nona itu terhadap sang piauko, dengan Iwekangnya yang tinggi, apa
yang dibisiki Ong Giok-yan kepada Buyung Hok dapat didengarnya dengan jelas.
Kini mendengar ada ucapan Oh-lotoa itu pada hakikatnya hendak menuduh Ong
Giok-yan berdusta, nona yang dipujanya bagaikan dewi kahyangan itu mana boleh
dicerca orang sesukanya.
Maka tanpa berkata lagi, terus
saja Toan Ki melakukan langkah ajaib Leng-po-wi-poh, ia menggeser ke kanan dan
menyelinap ke kiri dan tahu-tahu sudah sampai dibelakang Oh-lotoa.
Oh-lotoa kaget, bentaknya.
"Kau mau apa?”
Tapi secepat kilat Toan Ki
sudah dapat memegang Thian-cong-hiat dibelakang bahu kanannya sedang tangan
lain mencengkeram pula Ceng-ing-hiat dibalik siku kiri Oh-lotoa, yaitu kedua hiat-to
yang merupakan tempat lemah dibadan Oh-lotoa.
Gaya serangan Toan Ki itu
sebenarnya sama sekali tidak menurut teori dan sangat kaku sehingga lebih mirip
tingkah laku seorang copet yang kuatir konangan. Tapi karena langkahnya yang
ajaib itu sehingga tahu-tahu Oh-lotoa didekati olehnya, pula letak kelemahan
Oh-lotoa itu memang sangat tepat diketahui oleh Ong Giokyan, kedua hiat-to yang
dikatakan itu memang benar ialah bagian yang merupakan ciri kelemahannya, ia
tahutahu sekarang kena dicengkeram musuh dan Oh-lotoa tidak berani balas
menyerang, dikuatirkan mendadak Toan Ki mengerahkan tenaganya dan seketika dia
bisa celaka.
Ia tidak tahu meski Toan Ki
memiliki Iwekang yang maha hebat, tapi tidak dapat dikerahkan dengan sesuka
hati sehingga biarpun kedua tempat kelemahannya dicengkeram, namun sebenarnya
pemuda itu sama sekali tidak dapat merobohkan dia.
Cuma dia tadi sudah merasakan
kelihaian Toan Ki dengan Cu-hap-sin-kang yang membuatnya ketakutan itu, dengan
sendirinya sekarang ia tidak berani melawan. Terpaksa ia berkata dengan
tersenyum ewa, "Ilmu silat Toan kongcu memang benar-benar sakti, aku
takluk sungguh-sungguh”.
"Aku tidak bisa ilmu
silat, semuanya berkat petunjuk Nona Ong”, sahut Toan Ki. Lalu ia melepaskan
cengkeramannya dan melangkah kembali ke tempatnya semula dengan perlahan-lahan.
Oh-lotoa menjadi heran dan
takut, setelah termangu-mangu sekian lamanya, baru ia berkata lagi, "Hari
ini aku baru tahu bahwa dunia seluas ini masih banyak orang kosen”.
"Oh-lotoa, kamu mempunyai
kawan kosen sebanyak ini yang siap membantumu, sungguh kamu harus merasa
gembira dan bahagia”, seru Putpeng Tojin.
"Benar”, sahut Oh-lotoa.
"Seperti juga rasa heran Putpeng Tojin tadi, ketika aku melihat kedua luka
Kiu-ek Tojin itu, kontan saja aku ragu-ragu, sebab selama ini cukup satu
gebrakan saja orang dari Leng-ciu-kiong (istana elang sakti) di Biau-biau-hong
sudah dapat membinasakan lawannya, mengapa sekarang harus berturut-
turut melukainya dua kali?”
Diam-diam Buyung Hok terkejut,
pikirnya. "Dengan kepandaian Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin keluarga Buyung
kami selama ini sudah mengguncang Bu lim tapi orang-orang dari Leng-ciu-kiong
di Biau-biau-hong itu hanya satu kali gebrak saja sudah cukup untuk
membinasakan lawannya, sungguh aku tidak percaya di dunia ini ada ilmu silat
selihai itu?”
Walaupun sangsi dalam hati,
tapi Buyung Hok adalah seorang yang dapat menahan perasaannya, maka lahirnya ia
berlaku tenang-tenang saja.
"Oh-tongcu”, tiba-tiba
Pau cut tong menimbrung, "Kau bilang orang-orang Leng-ciu-kiong itu tidak
perlu dua kali gebrak untuk membinasakan seorang lawan, hal ini memang tidak
sulit terhadap golongan tidak becus, tapi kalau ketemu jago pilihan, apakah
juga dalam sejurus dapat membunuh orang? Ha..ha. benar-benar terlalu
dilebih-lebihkan, terlalu berlebihan.”
"Jika Pau-heng tidak
percaya, habis apa yang dapat kukatakan lagi”, sahut Oh-lotoa. "Namun
silahkan pikirlah, jelek-jelek kami 36 Tongcu dan 72 Tocu juga bukan manusia
yang dapat ditundukkan oleh siapa pun juga, tapi terhadap nenek bangsat itu
tiada seorang pun diantara kami yang berani membantah perintahnya, bahkan
selama berpuluh tahun ini sedikit pun tidak timbul maksud untuk melawannya.
Coba, kalau dia tidak mempunyai kepandaian yang luar biasa, apakah kami mau
tunduk padanya dengan begini saja?”
"Ya, hal ini memang agak
aneh, belum tentu kalian rela diperbudak oleh dia”, kata Pau put-tong sambil
mengangguk. Tapi dasar wataknya memang tidak gampang menyetujui pendapat orang
lain, maka biarpun merasa ucapan Oh-lotoa itu cukup beralasan toh masih
ditambahkannya pula. "Tapi meski kau bilang tidak berani timbul maksud
untuk melawan, sekarang bukankah hal itu sudah terjadi dan kalian bermaksud
memberontak kepadanya?”
"Dalam urusan ini sudah
tentu ada alasannya”, sahut Oh-lotoa. "Tatkala kulihat kematian Kiu-ek
Tojin itu adalah akibat dua tempat luka, aku menjadi curiga. Waktu kuperiksa
kedua korban lainnya kematian mereka pun serupa, yaitu tidak terbunuh dalam
sekali serang, hal ini menandakan sebelumnya telah terjadi pertarungan sengit.
Aku lantas berunding dengan para Tongcu, meski merasa peristiwa itu
mencurigakan, apa barangkali kematian Kiu-ek Tjin itu bukan terbunuh oleh orang
Leng-ciu-kiong? Tapi kalau bukan terbunuh oleh orang Leng-ciu-kiong, habis siapa
kah yang begitu berani main gila disekitar puncak gunung yang merupakan wilayah
pengaruh Leng-ciu-kiong itu? Begitulah, dengan penuh curiga kami melanjutkan
perjalanan. Tiada seberapa jauh, mendadak Ang-tongcu berkata
‘Jang….jangan-jangan.. Lo..Lo-huj in (nyonya tua) – Lohujin..sa...sa…’”
Mendengar cara Oh-lotoa
menirukan dengan tergagap-gagap, maka tahulah Buyung Hok orang yang dimaksud
sebagai Ang-tongcu tentu adalah orang yang punya penyakit gagap tadi.
Maka terdengar Oh-lotoa
menyambung pula. "Tatkala itu belum seberapa jauh kami meninggalkan
Leng-ciukiong, padahal berada dimana pun juga kalau menyebut nenek bangsat itu
tiada seorang diantara kami yang berani kurang ajar padanya dan selalu
menyebutnya sebagai Lohujin. Ketika kami mendengar Ang-tongcu mengatakan,
jang..jangan jangan Lo..Lohujin sa..sa maka segera kami menyambungnya, sakit?
Maksudmu?”
"Ya, sebenarnya sudah
berapa tua Thian-san Tong-lo itu?” Tanya Putpeng Tojin.
"Itulah tiada seorang pun
yang tahu”, sahut Oh-lotoa. "Yang terang di antara kami yang diperbudak
olehnya, yang paling lama sedikitnya empat lima puluh tahun lamanya, pendek
kata tiada seorang pun yang pernah melihat tampangnya dan tiada seorang pun
yang berani tanya umurnya. Maka ketika Ang-tongcu mengemukakan pikirannya, seketika
kami pun teringat bahwa Manusia pada akhirnya pasti akan mati, betapapun tinggi
ilmu silatnya nenek bangsat itu masakah dia dapat hidup untuk selamanya dan
takkan mampus? sekali ini dia sama sekali tidak memberi hukuman pada kami meski
barang upeti kami itu tidak lengkap, hal ini sudah luar biasa, apalagi Kiu-ek
Tojin mati di kaki gunung dengan luka yang tidak cuma satu tempat saja, hal ini
lebih-lebih mencurigakan lagi.”
"Pendek kata, kami
semuanya menganggap dibalik semua kejadian itu tentu ada sesuatu yang tidak
beres. Tapi kamu hanya saling pandang satu sama lain, ada yang senang, ada yang
kuatir, ada yang sedih, namun tiada seorang pun yang berani mengemukakan pendapat
lagi. Kami cukup tahu waktu itu adalah kesempatan satusatunya untuk melepaskan
belenggu dari nenek bangsat itu dan untuk menjadi manusia baru. Tapi selama itu
kami telah kenyang disiksa dan dikekang d iba wah kekuasaan nenek keparat itu
sehingga tiada seorang pun yang berani menyerempet bahaya untuk datang kembali
ke Leng-ciu-kiong buat menyelidiki keadaan yang sebenarnya.”
"Sesudah agak lama,
akhirnya Gim-tongcu berkata. Dugaan Ang jiko tadi memang cukup beralasan, cuma
urusan ini juga sangat berbahaya. Menurut pendapatku, ada lebih baik kita
pulang ke tempat masing-masing saja untuk menantikan berita lebih lanjut, bila
sudah mendapat kabar yang memastikanya belum terlambat untuk kita bertindak
lagi.”
"Usul Gim-tongcu ini
memang jauh lebih aman dan lebih baik, namun kami benar-benar tidak dapat
bersabar lagi, sebagian besar diantara kami bersembilan orang itu ingin lekas
mendapatkan keadaan yang pasti, maka Ang-tongcu berkata, itu
Sing-si-hu..Sing-si-hu…”
"Tidak perlu dia
meneruskan ucapannya juga kami paham maksudnya. Maklum, nenek bangsat itu telah
memegang Sing-si-hu (jimat mati hidup) kami sehingga siapa pun tiada yang
berani melawannya dan bila dia jatuh sakit dan akhirnya mampus sehingga
Sing-si-hu itu jatuh lagi ketangan orang kedua, maka terang kami akan menjadi
budak pula bagi pengganti nenek bangsat itu dan selama hidup kami tiada
kesempatan lagi buat hidup sebagai manusia yang layak.”
"Apalagi kalau orang
kedua itu lebih jahat dan kejam daripada nenek bangsat itu, maka derita
sengsara untuk selanjutnya pasti akan lebih celaka. Dalam keadaan berbuat atau
tidaki terpaksa kami harus bertindak dan menyelidiki keadaan yang sebenarnya
walaupun tahu hal ini berarti kami harus menyerempet bahaya. Dan diantara kami
bersembilan itu kalau bicara tentang ilmu silat dan kecerdikan, maka Ang-tongcu
boleh kata tiada bandingannya, lebih-lebih ginkangnya, boleh dikatakan
jempolan. Tatkala itu keadaan menjadi sunyi, pandangan semua orang terpusat
kearah muka Ang-tongcu.”
Sampai disini, tanpa terasa
Buyung Hok Ong Giok-yan, Toan Ki, Ting Pek-jwan dan lain-lain yang tidak kenal
siapakah Ang-tongcu itu, seketika memandang kian kemari diantara orang banyak
untuk mencari tokoh yang dimaksudkan dengan ilmu silat yang tinggi tapi
mempunyai penyakit gagap itu. Mereka coba mengingat-ingat ketika mereka
diperkenalkan kepada para petualang itu agaknya tidak terdapat orang she Ang.
Rupanya Oh-lotoa tahu akan
pikiran Buyung Hok dan kawan-kawannya itu, katanya dengan tersenyum,
"Angtongcu suka pada ketenangan dan tidak suka bergaul, sebab itulah tadi
tidak diperkenalkan kepada kalian, harap maaf. begitulah ketika itu kami
semuanya berharap agar Ang-tongcu suka tampil kemuka untuk pergi menyelidiki
teka teki yang mencurigakan itu. Maka Ang-tongcu telah berkata jika demikian
keputusan saudara-saudara, hal ini memang juga menjadi kewajibanku, sudah tentu
aku akan pergi menyelidiki.”
Semua orang tahu cara bicara
Ang-tongcu tentu juga tergagap-gagap dan tidak mungkin selancar seperti ucapan
Oh-lotoa sekarang, cuma saja Oh-lotoa tidak mau menirukan penyakit gagap
menggelikan orang itu.
Lalu Oh-lotoa menyambung,
"Setelah Ang-tongcu kembali lagi ke Biau-biau-hong, kami berdelapan
menunggu di kaki gunung, sungguh hati kami waktu itu sangat tidak tentram, satu
jam kami rasakan oleh kami seperti setahun lamanya, kami kuatir kalau terjadi
apa-apa atas diri Ang-tongcu dan akibatnya kami tentu akan celaka. Maklum saja,
sebab kalau Ang-tongcu benar-benar mengalami nasib malang waktu itu, maka kami
takut nenek bangsat itujuga akan membunuh kami semua.”
"Tapi urusan sudah
terlanjur, biar bagaimana jadinya harus dihadapi dengan konsekuen-Begitulah
kami menunggu dengan kebat-kebit. Kira-kira tiga jam kemudian, akhirnya
kelihatan Ang-tongcu kembali dengan selamat. Kami tidak lantas tanya dia, tapi
dari wajahnya yang berseri-seri kami tahu tentu ada kabar baik”
"Benar juga Ang-tongcu
menerangkan kepada kami bahwa Lohujin jatuh sakit dan tidak berada diatas
gunung. Berita itu diperoleh Ang-tongcu ketika dia menyelundup lagi kedalam
Leng-ciu-kiong dan mendengar percakapan diantara dayang nenek bangsat itu,
diketahui bahwa nenek bangsat itu sedang menderita sakit keras dan waktu itu
lagi pergi mencari obat”
Sampai disini, serentak
terdengarlah sorak gembira orang banyak bahwasannya berita sakitnya Thian-san
Tong-lo tentu sudah mereka ketahui lebih dulu, dan pokok persoalan yang hendak
mereka rundingkan dengan berkumpulnya mereka ini justru adalah tentang sakitnya
nenek dari Thian-san itu, namun demi mendengar Ohlotoa menyebut lagi berita itu
tanpa kuasa mereka bersorak gembira pula.
Toan Ki geleng-geleng kepala
menyaksikan kelakuan kawanan petualang itu, katanya, "Orang lagi sakit,
tapi kalian gembira sungguh tidak punya perasaan”
Tapi semua orang sedang
bersorak-sorai, sudah tentu tiada seorang pun yang memperhatikan ucapannya itu.
Maka Oh-lotoa melanjutkan.
"Dengan sendirinya girang para kawan tak terkatakan demi mendapat berita
baik itu, tapi kami kuatir pula kalau-kalau hal itu cuma tipu muslihat si nenek
bangsat yang sengaja hendak menguji kesetiaan kami saja. Maka sesudah kami
berunding lagi, selang dua hari kemudian segera kami beramai-ramai menyelidiki
pula keatas gunung. Sekali ini aku mendengar dengan telingaku sendiri bahwa si
nenek bangsat memang benar-benar jatuh sakit. Cuma saja dimana tempat
penyimpanan Sing-si-hu itu tetap tidak dapat kami temukan”.
"Hai, Oh-lotoa, benda
apakah sebenarnya Sing-si-hu yang kau katakan itu?” tiba-tiba Pat put tong
menyela.
"Hal ini terlalu panjang
untuk diceritakan”, sahut Oh-lotoa dengan menghela napas. "Pendek kata,
dengan memegang Sing-si-hu itu, maka nenek bangsat itu dapat membinasakan kami
setiap saat”.
"Wah, apakah semacam
jimat yang maha lihai?” Put tong menegas.
"Ya, boleh juga dikatakan
demikian”, sahut Oh-lotoa dengan tersenyum getir. Rupanya ia tidak suka banyak
menyinggung tentang Sing-si-hu, maka ia berpaling dan berkata kepada orang
banyak. "Dan urusan kita sekarang ialah sakitnya nenek bangsat itu memang
sudah terang dan pasti, kalau kita ingin melepaskan diri dari belenggu siksaan,
maka kini sudah tiba waktunya, kita harus berani bertindak sebisanya. Cuma saja
saat ini apa nenek bangsat itu sudah kembali ke Leng-ciu-kiong atau belum, hal
ini kita tidak tahu. Dan bagaimana tindakan kita selanjutnya diharap
saudara-saudara ikut memberi usul. Lebih-lebih Buyung kongcu, Toan kongcu dan
Putpeng Tojin bertiga, mohon sudi memberi nasihat yang berharga”.
"Membikin celaka orang
lain selagi dia dalam keadaan susah, hal ini tidak boleh diperbuat oleh seorang
lakilaki sejati” kata Toan Ki "Jangankan aku tidak mempunyai saran-saran
yang baik andaikan ada juga aku tidak sudi mengemukakan.”
Seketika air muka Oh-lotoa
berubah hebat, tapi sebelum ia buka suara, Putpeng Tojin telah mengedipi dia,
kata imam itu dengan tertawa, "Toan-heng memang sudah menyatakan takkan
membantu pihak manapun dan cuma akan menonton saja, maka kalau dia tak mau
memberi saran yang berharga juga kita tak dapat memaksanya untuk menyerang
Biau-biau-hong, sekarang paling perlu hendaklah Oh-lotoa menerangkan dulu
bagaimana kekuatan Leng-ciu-kiong yang sebenarnya. Ketika Ang-tongcu dan
Oh-heng bersembilan menyelidiki kesana lagi, sebenarnya selain si nenek bangsat
masih ada tokoh-tokoh siapa lagi dan bagaimana pertahanan yang
teratur di istana itu? Biarpun
oh heng tak dapat mengetahui seluruhnya, paling sedikit tentu dapat memberi
gambaran sekadarnya untuk kita rundingkan bersama.
"Sungguh memalukan kalau
kuceritakan”, tutur Oh-lotoa. "Ketika kami meyelidiki lagi ke
Leng-ciu-kiong. sebenarnya kami sangat ketakutan, sedapatnya kami main
sembunyi-sembunyi dan kuatir dipergoki. Namun begitu akhirnya ditaman bunga
belakang istana itu toh aku kepergokjuga oleh seorang anak dara.”
"Melihat dandanan anak
perempuan itu tampaknya adalah kaum hamba karena tidak sempat menyingkir
sehingga jejakku dapat dilihatnya., syukur pada saat itu pikranku dapat bekerja
cepat, kuatir rahasia perbuatanku bocor, terus saja aku melompat maju, dengan
Kim-na-jiu-hoat segera aku bermaksud menangkap dayang cilik itu.”
"Seranganku itu
kulontarkan dengan mati-matian, maklum setiap orang di Leng-ciu-kiong itu tidak
boleh dipandang enteng, biarpun seorang anak kecil juga bukan mustahil memiliki
ilmu sakti yang susah dijajaki. Maka sekali aku menerjang maju, aku insyaf
perbuatanku itu lebih banyak mendatangkan celaka daripada selamat bagiku..”
Bicara sampai disini suara
Oh-lotoa kedengaran agak gemetar, agaknya masih mengerikan bila dia mengenang
saat-saat yang sangat bahaya ketika itu.
Begitu pula semua orang juga
mendengarkan uraian Oh-lotoa dengan cermat dan sunyi. Bila teringat kepada
Thian-san Tong-lo, sebenarnya semua orang sangat ketakutan. Tapi Oh-lotoa
ternyata berani menggerayangi Biau-biau-hong, walaupun hal itu dilakukan karena
terpaksa, namun betapapun harus diakui sebagai seorang pemberani dan nekat.
Maka terdengar Oh-lotoa
melanjutkan, "Sekali aku menubruk maju, segera kugunakan ilmu
Hou-jiau-kang (cengkeraman sepenuh tenaga). Tatkala itu terkilas juga suatu
keputusan dalam benakku, bila sekali tubruk aku tak mampu menawan anak dara itu
sehingga dia sempat berteriak minta tolong, maka segera aku akan terjun ke
bawah puncak gunung yang curam itu, lebih baik aku bunuh diri saja daripada
mati konyol disiksa oleh nenek bangsat itu.”
"Siapa duga…siapa duga
ketika tanganku tepat mencengkeram pundak anak dara itu, ternyata sedikitpun ia
tak melawan, bahkan ia kelihatan ketakutan dan segera roboh dengan lemas,
ternyata sama sekali ia tak paham ilmu silat, saking girangnya saat itu aku
sendiri sampai terkesima, kakiku terasa lemas, ya, bicara terus terang, waktu
itu aku pun hampir-hampir roboh dengan lemas.”
Maka tertawalah semua orang
sehingga melonggarkan semua urat-urat yang tegang.
Oh-lotoa menyindir dirinya
sendiri juga hampir roboh ketakutan, tapi semua cukup tahu sebenarnya Oh-lotoa
sangat tangkas dan pemberani, buktinya ia berani menangkap orang dari
Biau-biau-hong, hal ini sudah terang tidak sanggup dilakukan oleh orang lain.
Oh-lotoa memberi tanda sekali,
seorang anak buahnya lantas maju dengan mengangkat sebuah karung warna hitam
dan ditaruh di depan Oh-lotoa. sesudah Oh-lotoa membuka tali pengikat karung
itu dan dibelejeti ke bawah, tiba-tiba dari dalam karung menongol keluar kepala
satu orang.
Semua orang sampai berseru
kaget, waktu diperhatikan perawakan orang di dalam karung tampak pendek kecil,
terang seorang anak perempuan.
"Nah, inilah dia anak
dara yang kutawan dari Biau-biau-hong itu”, dengan berseri-seri Oh-lotoa memperlihatkan
hasil operasinya.
Serentak semua orang bersorak
memuji akan ketangkasan Oh-lotoa, tentang keberaniannya dan menganggap dia
sebagai pahlawan nomor satu di antara para Tongcu dan tocu. Di tengah sorak
gembira orang banyak, anak perempuan itu tampak mewek-mewek dan akhirnya
menangis dengan sedih.
"Sesudah kami dapat
menawan anak dara ini”, demikian Oh-lotoa menyambung, "Karena kuatir
terjadi apa-apa yang tidak menguntungkan, maka cepat kami turun gunung. Ketika
kami periksa anak dara itu, sungguh sayang, ternyata bocah ini seorang gagu.”
"Semula kami kira dia
sengaja pura-pura tuli dan berlagak bisu, maka berulang-ulang kami mencari akal
untuk mencobanya. Terkadang kami sengaja membentak mendadak di belakangnya,
ingin kami lihat apakah dia kaget atau tidaki tapi meski sudah dicoba beberapa
kali, ternyata dia memang benar gagu.”
Untuk sejenak pandangan semua
orang di alihkan pada kepala anakperempuan diluar karung itu, kedengaran suara
tangisan bocah itu agak serak, tampaknya memang benar seorang bisu- Tiba-tiba
seroang diantara para Tongcu itu bertanya, "Oh-lotoa, apa dia tidak dapat
menulis?”
"Ya, tidak dapat”, sahut
Oh-lotoa. "Kami sudah memaksanya dengan macam-macam jalan, kami sudah
merangket dia, sudah merendam dia dalam air, menyelomot dia dengan api,
membiarkan dia kelaparan dan siksaan lain, tapi tetap tak berhasil. Tampaknya
bukan karena dia kepala batu tapi memang benar-benar tidak dapat.”
"Huh, menyiksa seorang
nona cilik dengan cara-cara demikian rendah dan keji, sungguh tidak tahu malu”
jengek Toan Ki tiba-tiba
saking tak tahan atas perbuatan kejam yang diceritakan Oh-lotoa itu.
Tapi Oh-lotoa menjawab,
"Siksaan yang kami rasakan dari nenek bangsat itu berpuluh kali lebih
kejam daripada yang kami perbuat itu, balas membalas, kenapa kami mesti merasa
malu?”
"Jika hendak membalas
dendam, seharusnya kalian tujukan kepada Thian-san Tang lo itu, apa gunanya
kalian bertindak terhadap terhadap seorang pelayan cilik yang tak berdosa” ujar
Toan Ki.
"Sudah tentu ada
gunanya”, sahut Oh-lotoa. Lalu ia keraskan suaranya dan berpaling kepada orang
banyak. "Saudara-saudara sekalian, hari ini kita sudah bertekad akan
memberontak kepada Biau-biau-hong dengan bersatu padu, selanjutnya kita harus
senasib sepenanggungan, ada rejeki dirasakan bersama, ada kesusahan kita pikul
beramai kita akan bersumpah setia dengan darah bagi perjuangan kita ini. Adakah
diantara saudarasaudara yang merasa tidak setuju?”
Berulang Oh-lotoa bertanya,
sampai pertanyaan ketiga kalinya, mendadak seorang laki-laki tinggi besar
berputar tubuh terus melarikan diri kearah barat tanpa permisi.
"Hai, Kiam-hi Tocu,
hendak kemana?” seru Oh-lotoa.
Namun laki-laki itu tidak
menjawab, bahkan tancap gas lebih kencang sehingga dalam sekejap saja sudah
menghilang dibalik lereng gunung sana.
"Pengecut itu melarikan
diri di garis depan lekas dicegat”, teriak orang banyak-serentak ada belasan
orang lantas mengejar, namun jaraknya sudah agak jauh, sukar untuk dipastikan
apakah mereka dapat menyusul Kiam-hi Tocu atau tidak.
Tapi sejenak kemudian,
sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri yang panjang dari balik lereng
sana. semua terkejut dan saling sandang dengan bingung. Belasan orang yang
sedang mengejar tadi juga serentak berhenti ditengah jalan. Pada saat lain
tiba-tiba terdengar angin berkesiur, sebuah benda bundar tampak melayang tiba
dari jauh sana danjatuh di tengah orang banyaki
Cepat Oh-lotoa melompat maju
untuk menyambar benda bundar itu, dibawah cahaya obor tertampak benda itu
berdarah, kiranya sebuah kepala manusia. Ketika diperhatikan, tampak muka
kepala manusia itu sangat beringas, mata mendelik dan jenggot menjingkrak,
ternyata buah kepala Kiam-hi Tocu yang baru saja melarikan diri
Untuk sejenak Oh-lotoa
tertegun, ia tidak tahu mengapa Kiam-hi Tocu (pemilik pulau ikan pedang) itu
dapat melayang jiwanya sedemikian cepat ? Lamat-lamat dalam hati kecilnya
timbul perasaan yang seram janganjangan Thian-san Tang lo telah datang?
Terdengar Put peng Tojin
sedang bergelak tertawa dan berkata, "Kiam-sin, benar-benar tidak bernama
kosong. Kiam-sin Loheng, penjagaanmu benar-benar sangat ketat”
Lalu dari balik gunung sana
berkumandang suara sahutan orang. "Melarikan diri di garis depan, pengecut
seperti ini boleh dibunuh oleh siapa pun juga, untuk ini harap para Tongcu dan
tocu sudi memaafkan.”
Sesudah tenang kembali,
bukannya marah pada Kiam-sin yang telah membunuh kawan mereka, bahkan para
Tongcu dan tocu itu menyatakan rasa syukur mereka, "Untung Kiam-sin
membantu kami membasmi penghianat ini, sehingga tidak merusak pergerakan kami.”
Diam-diam Buyung Hok Ting
Pek-jwan dan lain-lain merasa orang yang bergelar Kiam-sin (dewa pedang) itu
agak terlalu sombong. Biarpun ilmu pedangnya tinggi juga tak boleh mengaku
sebagai dewa. Mereka merasa tidak pernah mendengar tokoh kangouw yang bergelar
demikian itu, entah bagaimana ilmu pedangnya yang sejati?
Diam-diam Oh-lotoa mentertawai
dirinya sendiri yang menyangsikan kedatangan Thian-san Tang lo tadi. segera ia
berseru, "Saudara-saudara sekalian, marilah kita masing-masing membacok
sekali badan anak dara itu. Meski gagu, tapi dia orang Biau-biau-hong, marilah
kita minum darahnya sebagai tanda tekad kita akan melawan Biau-biau-hong. sesudah
sumpah setia ini, jangan lagi di antara kita saudara-saudara yang merasa
takut-takut lagi, kita harus maju terus pantang mundur”
Sehabis bicara, segera ia
mendahului meloloskan golok, sinar hijau berkelebat, seketika semua orang
mengendus bau amis dari senjatanya yang berbisa itu.
"Ya, benar, serentak
sahut orang banyak. Marilah kita bersumpah setia dengan minum darah korban kita
dan untuk selanjutnya kita harus maju terus tanpa gentar”.
Diam-diam Buyung Hok berkerut
kening, ia tahu politik Oh-lotoa itu ingin kawan-kawannya terikat oleh sumpah
setia dan tak berani berkhianat pula. Meski tindakan mereka dengan membunuh
anak perempuan kecil itu agak terlalu kejam, tapi Buyung Hok sudah berpengalaman
luas kejadian yang lebih kejam pun sering dilihatnya, maka sekarang ia pun
tidak terlalu menaruh perhatian.
Berbeda dengan Toan Ki, segera
pemuda ini berteriak-teriak. "Hehe, ini tidak boleh terjadi, tidak boleh
terjadi Mana boleh membunuh seorang anak perempuan tak berdosa? He, Buyung
heng, engkau harus mencegah perbuatan kejam mereka ini.”
Tapi Buyung Hok menggeleng
kepala, sahutnya, "Toan-heng, keselamatan mereka sendiri juga bergantung
dalam tindakan mereka ini, kita adalah orang luar, lebih baik tidak ikut
campur.”
Terdorong oleh jiwa
kesatrianya segera Toan Ki berseru pula, "Seorang laki-laki sejati mana
boleh berpeluk tangan saja bila melihat ada ketidak adilan? Nona Ong, biarpun
engkau nanti akan mencaci maki padaku juga akan kutolong anak itu. Cuma saja
aku..aku sama sekali tidak paham ilmu silat, untuk menolong nona cilik itu
memang agak sulit. Eh, ya, Ting-heng, Kongya-heng, Hong-heng, biarlah kuterjang
masuk untuk menolong nona itu dan kalian nanti membantuku dari belakang ya?”
Tapi Ting Pek-jwan berempat
biasanya melulu tunduk kepada perintah Buyung Hok saja, sekarang junjungan
mereka tidak mau ikut campur dengan sendirinya mereka pun tidak mau sembarangan
bertindak mereka hanya menggeleng kepala saja sebagai tanda penyesalan kepada Toan
Ki
Mendengar gembar-gembor Toan
Ki itu, Oh-lotoa menjadi kuatir kalau pemuda yang berkepandaian sangat aneh itu
nanti benar-benar mencari perkara sehingga urusan bisa runyam, maka segera ia
mendahului bertindak, ia angkat goloknya dan berseru. "Biarlah Oh-lotoa
turun tangan nomor satu”
Kontan golok terus membacok
kearah anak perempuan yang tubuhnya masih terselongsong karung itu.
"Celaka seru Toan Ki,
jarinya lantas menunding, dengan Tiong-ciong-kiam segera ia tusuk golok
Oh-lotoa.
Di luar tahunya bahwa
Lak-meh-sin-kiam yang dia miliki itu masih belum dapat digunakan dengan sesuka
hatinya, tatkala hawa murni dalam tubuhnya bergolak ia dapat mainkan ilmu
pedang tanpa wujud itu dengan daya serang yang lihai, tapi lebih sering ia tak
dapat mengerahkan tenaga dalam sehingga Lak-meh-sin-kiam yang dimilikinya itu
kehilangan dayaa gunanya dan begitu pula halnya sekarang.
Maka tertampaklah golok
Oh-lotoa itu menyambar ke atas kepala anak dara itu, bukan mustahil dalam
sekejap lagi kepala bocah itu akan terbelah menjadi dua.
Pada saat menentukan itulah
sekonyong-konyong dari belakang sepotong batu padas melompat keluar sesosok
bayangan orang, sekali tangannya bergerak, kontan Oh-lotoa tertumbuk mundur
oleh serangkum angin yang kuat. Berbareng tangan orang lain itu terus menyambar
karung hitam yang berisi anak dara itu dan di gendong di atas punggung, lalu
dibawa lari secepat terbang ke arah barat.
Serentak orang banyak sama
berteriak-teriak dan membentak-bentak berbareng terus mengejar juga. Tapi lari
orang itu teramat cepat sehingga tiada seorang pun yang mampu menyusulnya.
Yang paling girang adalah Toan
Ki, dengan matanya yang tajam segera ia kenal siapa gerangan orang yang membawa
lari karung berisi anak dara itu, segera ia berteriak "Itulah dia Hi-tiok
Hwesio dari Siau-lim-si Wahai, Hi-tiok suheng, terimalah puji hormat dariku.
Perbuatanmu ini sangat mulia. Nama baik Siau-lim-si di dunia persilatan memang
bukan omong kosong belaka”
Ternyata orang yang menyerobot
dan membawa lari karung berisi anak perempuan itu memang betul adalah Hi-tiok
Hwesio.
Sesudah menyaksikan
pertarungan sengit antara Buyung Hok lawan Ting jun-jiu di rumah makan itu
dimana ia sembunyi dikolong meja dan meja dimana ia sembunyi itu digempur
hancur oleh pukulan Ting jun-jiu, saking ketakutan Hi-tiok lari terbirit-birit
menyelamatkan diri
Sepanjang jalan ia ingin
mencari paman gurunya untuk minta nasihat seperlunya. Maklum, sesudah menggebuk
mati susiokcouw, yaitu Hian lan Taisu, sungguh Hi-tiok merasa bingung dan
sedih. Pengalamannya di dunia kangouw teramat hijau dan tidak kenal jalan pula,
untuk masuk rumah makan atau rumah penginapan kuatir kepergok orang sebangsa
Ting Lokoai, maka yang dituju selalu jalan kecil dan lereng pegunungan yang
sepi saja.
Selagi Hi-tiok Hwesio
menyingkir ke tempat yang sunyi dan terpencil di lereng gunung itulah,
kebetulan ke tiga puluh enam Tongcu dan ke tujuh puluh dua Tocu juga sedang
berkumpul mengadakan musyawarah di lembah gunung situ, saking banyak jumlah
anak buah masing-masing tokoh yang hadir dalam pertemuan itu, dengan sendirinya
banyak juga yang berjumpa dengan Hi-tiok di tengah jalan.
Karena melihat potongan
orang-orang itu agak aneh tindak tanduk mereka pun mencurigakan maka timbul
rasa heran dalam hati kecil Hi-tioki diam-diam ia lantas mengintil di belakang
orang banyak untuk menyelidiki duduknya perkara, sebab itulah segala apa yang
terjadi telah didengar dan dilihatnya.
Terhadap dendam permusuhan di
kalangan kangouw sama sekali dia tidak paham, tapi dasar jiwanya memang welas
asih dan berbudi luhur, maka ketika dilihatnya Oh-lotoa mengacungkan golok
hendak membacok mati seorang anak dan yang sedikitpun tidak mampu melawan,
tanpa peduli apa-apa lagi segera ia terjang keluar dari tempat sembunyinya, ia
serobot karung yang berisi anak dara itu terus digondol lari.
Ilmu silat Hi-tiok mestinya
sangat rendahi tapi sejak si kakek Siau-yau-pai mencurahkan tenaga murni yang
dihimpunya selama tujuh puluh tahun kedalam tubuh Hi-tioki maka kekuatan
Iwekang Hi-tiok sekarang bukan main hebatnya, begitu karung itu berada
dipunggungnya, terus saja ia lari secepat terbang ke atas gunung dan hanya sekejap
saja sudah menghilang di dalam hutan yang lebat, macam-macam amgi yang
dihamburkan para Tongcu dan tocu itu menjadi luput seluruhnya.
Waktu semua orang melihat
langkah Hi-tiok begitu enteng dan cepat, sekali maju Oh-lotoa lantas dibikin
terpental, terang ilmu silatnya sangat lihai, apalagi terdengar pula Toan Ki
mengatakan dia adalah padri Siaulim-si, itu biara yang mempunyai nama dan
wibawa yang membuat setiap orang merasa jeri maka mereka menjadi tidak berani
terlalu mendesak.
Cuma urusannya sangat penting,
dengan digondolnya anak perempuan itu, bila usaha pergerakan mereka sampai
bocor maka itu berarti akan mendatangkan malapetaka bagi mereka, sebab itulah
semua orang lantas terus mengejar sambil membentak-bentak dan berteriak-teriak.
Puncak gunung yang tak dikenal
namanya itu menjulang tinggi ke tengah awan, penuh pula dengan salju, untuk
bisa mendaki sampai puncaknya sekalipun orang yang memiliki ginkang maha tinggi
juga diperlukan beberapa hari lamanya.
Sebab itulah Putpeng Tojin
lantas berseru "Para saudara jangan kuatir, Hwesio itu berlari ke atas
gunung, itu berarti menuju jalan buntu tidak nanti dia mampu terbang ke langit.
Asalkan kita beramai-ramai menjaga rapat jalanan di sekitar puncak ini, pasti
dia takkan dapat lolos.”
Mendengar itu semua orang
merasa agak lega. segera Oh-lotoa mengatur kawan-kawannya mengepung rapat
segenap jalan dibawah gunung itu. Kuatir kalau diterjang Hi-tiok dari atas,
maka tiap-tiap jalan diadakan tiga pos penjagaan ditambah belasan jago pilihan
yang selalu meronda silih berganti.
Selesai mengatur, lalu
Oh-lotoa bersama Putpeng Tojin, Song Tho-kong, Hong-tongcu, Gim tocu dan
lain-lain yang seluruhnya berjumlah belasan orang terus naik ke atas gunung
untuk menggerebeki mereka bertekad harus melenyapkan jiwa padri itu supaya
tidak mendatangkan bahaya di kemudian hari.
Adapun Buyung Hok dan
rombongannya disuruh menjaga di sebelah timur. Resminya mereka diminta menjaga,
tapi sebenarnya mereka sengaja disingkirkan ke tempat terpencil agar tidak
langsung ikut campur urusan.
Sudah tentu Buyung Hok tahu
Oh-lotoa dan lain-lain masih mencurigai dirinya, maka ia hanya tersenyum saja
dan membawa kawan-kawan menuju ke tempat yang ditunjuk untuk menjaga,
sebaliknya Toan Ki masih terus memuji keperkasaan dan kesatriaan Hi-tiok tanpa
peduli apakah orang lain setuju atau tidak atas pujiannya itu.
Dalam pada itu Hi-tiok masih
terus lari ke atas makin lama hutan yang disusupi itu semakin lebat- Tapi suara
teriakan para pengejarnya juga makin menjauh.
Waktu ia turun tangan menolong
orang adalah karena terdorong oleh keluhuran budinya yang ingin membela si
lemah tapi sekarang bila dipikir para pengejarnya itu semuanya berkepandaian
sangat tinggi dan kejam pula, salah seorang diantara mereka sekali hantam sudah
cukup untuk membinasakan dirinya, maka Hi-tiok menjadi ketakutan, pikirnya.
Paling baik harus kucarikan suatu tempat tersembunyi yang takkan ditemukan
mereka, dengan demikian barulah anak dara ini dan jiwaku bisa selamat.
Saat itu Hi-tiok boleh
dikatakan lupa lapar dan lupa letih dimana hutan yang paling lebat kesitulah
lantas disusupi. Baiknya dia mempunyai Iwekang yang kuat sehingga sedikitpun
tidak merasa payah meski sudah dua jam ia berlari.
Setelah berlari-lari lagi tak
lama, hari sudah terang, kakinya sudah mulai menginjak lapisan salju yang
tipis. Kiranya dia sudah sampai di pinggang gunung, di tempat itu
Sinar matahari tak sampai,
maka disitulah terdapat salju yang tak mencair, ia coba menenangkan diri dan
mengawasi sekelilingnya dengan hati masih kebat kebit. ia bergumam sendiri.
"Wah, harus lari kemana sekarang?”
Di luar dugaan, mendadak
terdengar suara orang berkata di belakangnya, "Setan penakut yang dipikir
hanya lari terbirit-birit saja, sungguh aku pun ikut malu”
"Haya..” teriak Hi-tiok
dengan kaget, langsung ia lari pula ke atas gunung seperti diuber setan.
Sesudah beberapa li, ia coba
menoleh ternyata tak terlihat seorang pun, maka ia bergumam lagi, untung tiada
orang mengejar
Tapi baru ia selesai bicara,
kembali di belakang ada orang bersuara. "Pengecut seorang laki-laki sejati
masakan ketakutan seperti celurut? sungguh goblok” Keruan kejut Hi-tiok
melebihi tadi, segera ia angkat langkah lari pula.
Dalam pada itu terdengar suara
tadi berkata pula di belakangnya, "Sudah penakut, tolol pula, sungguh
menggelikan”
Kalau didengar dari suara itu
terang hanya belasan sentj auhnya di belakangnya, boleh dikata sekali ulur
tangan saja pasti Hi-tiok akan terpegang. Maka diam-diam ia menjerit di dalam
hati. "Wah, celaka Kepandaian orang ini sedemikian tinggi, sekali ini
riwayatku pasti akan tamat”
Segera ia tancap gas
sepenuhnya lari semakin cepat.
Tapi suara itu kembali berkata
"Jika takut mestinya jangan sok gagah seperti pahlawan. sekarang ingin
kutanya padamu, sebenarnya kamu hendak lari kemana?”
Mendengar suara itu hanya di
tepi telinganya saking gugupnya kaki Hi-tiok serasa lemas semua dan hampir saja
terbanting jatuh, untung dia hanya sempoyongan saja. Habis itu cepat ia putar
tubuh kebelakang, namun tiada bayangan seorang pun yang terlihat, ia sangka
orang itu sembunyi di balik pohon, maka dengan penuh hormat ia berkata,
"Siauceng melihat orang-orang jahat hendak membunuh seorang dara cilik,
maka dengan
tidak tahu diri telah
menolongnya, sama sekali tiada maksud buat berlagak sebagai pahlawan.”
"Huh, berani berbuat tapi
tidak tahu kekuatan sendiri, pasti akan kau rasakan hasilnya nanti”, jengek suara
itu yang tetap berjangkit dibelakang telinganya.
Keruan Hi-tiok tambah kaget,
cepat ia berpaling lagi, tapi dibawah sinar matahari yang sementara itu sudah
terang benderang menembus celah-celah hutan yang lebat, jelas tidak kelihatan
bayangan setan pun, jangankan manusia.
Ia tahu kepandaian orang yang
bersuara itu pasti berpuluh kali lipat lebih tinggi daripadanya, jika orang
bermaksud jahat, biarpun sepuluh Hi-tiokjuga sudah melayang jiwanya.
Namun didengar dari nadanya,
orang itu hanya memakinya sebagai pengecut, penakut, agaknya orang itu bukan
sekomplotan dengan Oh-lotoa. Keruan Hi-tiok dapat menenangkan diri, lalu
katanya, "Ya, siauceng memang tidak becus, harap cianpwe suka memberi petunjuk”.
"Hm, kamu bukan cucu
muridku, buat apa mesti kuberi petunjuk padamu? " demikian suara itu
menjengek.
"Ya, ya”, sahut Hi-tiok
dengan gugup, "Memang siauceng salah omong, harap cianpwe suka maafkan,
soalnya jumlah musuh terlalu banyak siauceng bukan tandingan mereka.
Seka…sekarang aku harus melarikan diri lagi.”
Habis berkata, kembali ia lari
kencang keatas gunung.
Puncak gunung itu adalah jalan
buntu,jika mereka berjaga rapat disekeliling puncak itu, "Cara bagaimana
kamu dapat meloloskan diri?” kata suara dibelakangnya itu.
Hi-tiok tertegun oleh
pertanyaan itu dan berhenti lari, sahutnya. "Hal itu tidak..tidak
kupikirkan, sukalah Cianpwe menaruh belas kasihan sudilah memberi petunjukjalan
yang baik padaku.”
"Hehehehe”, suara itu
tertawa dingin, "Sekarang hanya ada dua jalan bagimu, pertama, putar balik
ke sana dan tempur mereka, bunuh semua setan iblis keroco itu”
"Sulit” sahut Hi-tioki
"Pertama, karena siauceng memang tidak becus, pula tidak suka membunuh
orang.”
"Jika begitu boleh ambil
jalan kedua”, kata suara itu "Terjunlah kejurang yang beratus meter
dalamnya itu sehingga badanmu akan hancur lebur dan habis perkara seluruhnya.”
"Tentang ini…ini.” ia
tidak melanjutkan, tapi coba berpaling, ia lihat di belakangnya hanya salju
belaka, di atas salju kecuali bekas tapak kaki sendiri toh tiada bekas kaki
orang lain.
Diam-diam ia membatin.
"Wah, kepandaian orang itu benar-benar sudah mencapai tingkatan menginjak
salju tanpa meninggalkan bekas, suatu tingkatan yang sukar diukur.”
Rupanya orang itu menjadi
tidak sabar, maka terdengar suara orang itu berkata pula, "Ini dan itu apa
segala, apa yang hendak kau katakan, ayo lekas?”
"Kalau terjun kejurang
sudah tentu akan mati tapi sekaligus juga akan membikin anak dara yang kutolong
ini ikut menjadi korban, hal inilah yang membuatku keberatan”, kata Hi-tioki
"Sebenarnya apa
hubunganmu dengan Biau-biau-hong, sehingga tanpa pikir keselamatan jiwa sendiri
kau berani menyerempet bahaya untuk menolong dia?” Tanya suara itu.
Sambil berlari ke atas gunung
Hi-tiok menjawab. "Tentang Biau-biau-hong dan Leng-ciu-kiong baru untuk
pertama kalinya kudengar tadi. Aku adalah murid Siau-lim-si, sekali ini
mendapat tugas ke luar, sama sekali tiada sangkut paut dan hubungan apa-apa
dengan golongan dan aliran lain di kangouw.”
"Jika begitu, rupanya
kamu ini seorang hwesio cilik yang gagah ksatria”, jengek suara itu.
"Hwesio cilik sih memang
betul, gagah ksatriia mungkin tidak” sahut Hi-tiok. "Pengalamanku terlalu
cetek sehingga banyak berbuat secara gegabah, sekarang telah banyak mengalami
kesulitan, sungguh aku menjadi bingung”.
"Tenaga dalam yang kau
miliki sangat hebat tapi kepandaian ini terang bukan berasal dari Siau-lim-pai,
apakah sebabnya?” Tanya suara itu.
"Hal ini terlalu penjang
kalau diceritakan, justru inilah salah satu kesulitan yang sedang dihadapi
diriku”, sahut Hi-tiok.
"Terlalu panjang atau
terlalu pendek apa segala, pokoknya jangan banyak alasan, lekas kau ceritakan”
semprot suara itu dengan kencang.
Tapi Hi-tiok lantas ingat pada
pesan So-sing-ho yang menyatakan bahwa nama Siau-yau-pai adalah suatu rahasia
dan sekali-kali tidak boleh didengar orang luar. Apalagi orang yang bersuara di
belakangnya ini bagaimana tampangnya sampai sekarang belum lagi diketahuinya,
sudah tentu ia merasa sangsi untuk menceritakan rahasia besar itu. Maka
jawabnya, "Untuk itu harap cianpwe suka maaf. sesungguhnya ada kesulitanku
sehingga tidak dapat kuberitahukan dengan terus terang”.
"Hm, jika begitu, ayo
lekas turunkan aku saja” kata suara itu dengan kurang senang.
"Ha..ah? Ap..apa katamu?”
teriak Hi-tiok kaget.
"Lekas turunkan aku
apa-apa segala, cerewet” sahut suara itu.
Dengan jelas Hi-tiok dapat
membedakan suara itu bukan suara kaum pria atau wanita, suara banci juga bukan
tapi suara serak-serak tua. sungguh ia tidak paham apa maksud perkataan suara
itu yang minta lekas turunkan aku, padahal belum lagi naik dari mana bisa
turun.
Segera ia berhenti dan cepat
putar tubuh, tapi tetap tidak tampak seorang pun di belakangnya.
Tengah Hi-tiok merasa bingung,
tiba-tiba suara itu memaki pula, "Hwesio goblok lekas turunkan aku. Aku
berada di dalam karung ini, memangnya kau kira aku siapa?”
Keruan Hi-tiok tambah kaget,
sehingga pegangannya menjadi kendur dan bluk karung yang digendongnya itu
terbanting ke tanah dan terdengar suara jeritan "aduh” dari dalam karung.
Dari suara jeritan yang serak tua itu terang sama dengan suara yang terdengar
tadi.
Hi-tiok juga berteriak kaget
dan cepat berkata, "Ai, nona cilik, kiranya dirimu. mengapa suaramu
berubah sedemikian tua?”
Cepat ia buka karung itu dan
memapah keluar satu orang.
Orang itu jelas kelihatan
pendek kecil, terang seorang anak perempuan yang berumur delapan sembilan
tahun, mukanya putih halus dan tidak terlalu cantik, tapi jelas terang dan
nyata memang benar-benar seorang dara cilik. Pakaiannya juga pakaian anak kecil
yang umum, rambutnya digelung seolah menjadi dua, bahkan memakai sebuah kalung
dengan mainan yang indah. Tapi sinar matanya tajam berkilat-kilat penuh wibawa.
Melihat sikap anak dara yang
aneh luar biasa itu, seketika mulut Hi-tiok ternganga dan tidak sanggup bicara.
Anak dara itu berkata.
"Ketemu sama orang tua juga tidak memberi hormat, dasar tidak punya
aturan”
Suaranya tetap serak-serak
tua, malahan lagaknya melebihi nyonya besar.
"No…nona cilik”
"Hus, nona cilik atau
nona besar apa segala. Aku ini nenekmu, tahu?” bentak anak dara itu sebelum
lanjut ucapan Hi-tiok.
Hi-tiok melengak sekejap, la
tersenyum, katanya, "Sudahlah, jangan berkelakar lagi, kita masih dalam
keadaan bahaya. Marilah lekas masuk ke dalam karung lagi dan kita lari ke atas
gunung, sebentar musuh tentu akan mengejar kemari”
Sekilas mendadak anak dara itu
melihat tangan kiri Hi-tiok memakai sebentuk cincin besi, segera ia berseru,
"Hei, apa-apa itu? Coba kulihat”
Sebenarnya Hi-tiok tidak suka
memakai cincin besi itu. Cuma diketahuinya bahwa cincin itu adalah benda
penting, kalau disimpan didalam saku kuatir akan hilang, maka terpaksa
dipakainya juga pada jari. Mendengar pertanyaan anak dara itu, dengan tertawa
ia menjawab. "Ah, hanya benda yang tidak berharga dan bukan suatu mainan yang
menarik”.
Sekonyong-konyong anak dara
itu pegang tangan kiri Hi-tiok dan memeriksa cincin besi itu dengan teliti.
Baru sekarang Hi-tiok dapat
melihat jelas bahwa telapak tangan anak dara itu ternyata sangat besar dan
sangat tidak seimbang dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil itu. Bahkan
telapak tangannya kelihatan kurus
kering, otot hijau menonjol,
kulit kisut sehingga mirip tangan kaum nenek-nenek yang berusia delapan
sembilan puluh tahun, sedikitpun tidak pantas sebagai tangan seorang dara cilik,
saking kagetnya cepat Hitiok membetot tangannya sehingga terlepas dari pegangan
orang.
"Cincin ini kau dapat
mencuri dari mana?” bentak anak dara itu dengan suara kereng seperti jaksa yang
sedang menghardik penjahat.
Hi-tiok merasa tidak senang,
sahutnya, "Orang beragama harus taat kepada ajaran-ajaran suci, mana boleh
melakukan pencurian atau perampokan, apalagi membunuh. Cincin ini adalah
pemberian orang, mengapa kau bilang aku mencuri?”
"Omong kosong” semprot
anak dara itu. "Kamu mengaku sebagai murid Siau-lim-si, mana mungkin orang
memberikan cincin ini padamu. Ayo, jika tidak mengaku terus terang, maka hari
ini sudah pasti kamu akan kusiksa kubeset kulitmu dan kubetot otomu.”
Diam-diam Hi-tiok tertawa
geli, "Pikirnya jika aku tidak melihat potonganmu dengan mata kepala
sendiri, tentu aku akan mati kaku digertak oleh suaramu yang galak ini”
Maka ia menjawab.” Nona cilik”
"Plak” belum lanjut
ucapannya, tahu-tahu pipi kirinya dipersen sekali tamparan, untung tenaga anak
dara itu tidak besar sehingga tidak terlalu sakit.
Dengan bersungut Hi-tiok
mengomel, "Hei, mengapa kau pukul orang? Masih kecil sudah begini galak?”
Anak dara itu berkata.
"Kamu bernama Hi-tiok? Ehm, Leng, Hian, Hui, Hi, Jika begitu kamu adalah
anak murid Siau-lim-si angkatan ke delapan puluh tujuh, hwesio-hwesio cilik
seperti Hian cu, Hian pi, Hian lan dan lain-lain tentu adalah kakek gurumu,
bukan?”
Hi-tiok sampai melangkah
mundur saking herannya, sungguh susah dipercaya bahwa seorang dara cilik
ternyata mengetahui angkatan perguruannya, bahkan para kakek gurunya seperti
Hian cu dan lain-lain disebutnya sebagai Hwesio cilik, nada ini terang tidak
mirip seorang anak perempuan kecil.
Tiba-tiba Hi-tiok teringat
kepada dongeng tentang arwah halus yang hidup kembali dengan masuk ke mayat
orang lain. ia menjadi sangsi jangan-jangan ada arwah setan tua yang hinggap
pada badan si nona cilik ini?
Dalam pada itu terdengar anak
dara itu berkata pula. "Aku Tanya padamu, kalau betul bilang betul, kalau
tidak katakan tidak mengapa diam saja?”
"Apa yang kau katakan
memang betul”, sahut Hi-tiok "Cuma agak keterlaluan jika kau sebut
Hongtiang dan para kakek guru kami sebagai Hwesio-hwesio cilik”
"Kenapa bukan
hwesio-hwesio cilik?” ujar anak dara itu. "Sedangkan aku dan guru mereka
adalah satu angkatan dan setingkat, bila ketemu tentu juga Hian cu menyebut aku
sebagai cianpwe yang terhormat, sudah puluhan tahun aku menyebut dia sebagai
hwesio cilik, masakah sekarang kau anggap aku keterlaluan segala?”
Keruan Hi-tiok tambah
terkejut, guru Hian cu adalah Leng bud siansu, yaitu padri saleh yang jarang
terdapat pada murid siau-lim-si angkatan ke delapan puluh empat, hal ini cukup
diketahui oleh Hi-tiok sendiri. Karena itu, ia tambah yakin bahwa anak dara ini
pasti kesurupan arwah halus setan tua. Maka dengan suara terputusputus ia coba
tanya lagi. "Lantas, sia….siapakah kau?”
Tiba-tiba anak dara itu marahi
dampratnya. "Tadi kau sebut aku sebagai Cianpwe dan member hormat pula,
mengapa sekarang kamu hanya panggil aku dengan kau saja? Hm, jika tidak
mengingat jasamu telah menyelamatkan aku, tentu sekali hantam saja nenek sudah
cabut jiwa anjingmu”
Mendengar anak dara itu
menyebut diri sebagai nenek keruan Hi-tiok merasa takut, katanya, "Ya,
nenek numpang tanya siapakah nama nenek yang mulia?”
"Nah, mesti begini”, ujar
anak dara itu dengan senang. "Aku ingin tanya dulu, dari mana kau peroleh
cincin besi itu?”
"Sungguh mati, cincin ini
adalah pemberian seorang Losiansing (tuan tua)” sahut Hi-tiok dengan
sungguhsungguh. "Sebenarnya aku tidak mau terima pemberian ini, maklum aku
adalah murid siau lim dan tidak nanti menerima pemberian sesuatu dari luar.
Tapi jiwa Losiansing itu dalam keadaan gawat, tanpa peduli dia terus saja.”
"Hah! kau bilang jiwa
Losiansing itu dalam keadaan gawat? Apa dia sudah mati?” demikian tiba-tiba
anak dara itu memegang tangan Hi-tiok dengan erat dan bertanya dengan suara
gemetar, "Tidak..tidak coba ceritakan dulu, bagaimana bentuk wajah
Losiansing itu?”
"Dia berjenggot sangat
panjang, mukanya putih bersih, orangnya sangat tampan dan bagus”, sahut Hi-tiok
"Dan kenapa jiwanya bisa
dalam keadaan gawat?” Tanya anak dara itu dengan suara makin gemetar. Padahal
dia memmemiliki ilmu silat maha tinggi..
Tapi pada saat lain mendadak
anak dara itu berubah menjadi gusar dan mendamprat Hi-tiok. "Hwesio busuk.
ilmu silat Bu-gai-cu maha tinggi, jika dia tidak membuyarkan tenaganya mana
bisa dia mati? Kematiannya masakah begini gampang?”
"Ya, ya” sahut Hi-tiok
sambil mengangguk
Meski usia anak dara di
hadapannya itu kelihatan sangat muda, tapi wibawanya ternyata membuat Hi-tiok
merasa jeri dan hormat sehingga tidak berani membantah ucapannya meski dalam
hati tidak habis mengerti tentang apa yang disebut membuyarkan tenaga dalam
segala, kalau orang mau mati apasih kesukarannya? Mengapa dikatakan tidak
begitu gampang?
Dalam pada itu si anak dara
bertanya pula, "Dimanakah kamu bertemu dengan Bu-gai-cu?”
"Yang kau maksudkan
apakah Losiansing yang mukanya tampan, gurunya Cong pian siansing So-sing-ho
itu?” Hi-tiok menegas.
"Ya, siapa lagi kalau
bukan dia?” bentak anak dara itu. "Hm, sampai namanya saja tidak kau kenal
tapi kau berani berdusta dan mengatakan dia memberikan cincin besi itu padamu.
Kamu benar-benar berani mati dan tidak tahu malu Apakah kau juga kenal
Bu-gai-cu Losiansing itu?” Tanya Hitiok.
"Aku yang tanya padamu
dan bukan kamu yang harus tanya padaku”, bentak anak dara itu dengan gusar. "Aku
tanya padamu dimanakah kamu bertemu dengan Bu-gai-cu, ayo lekas jawab”
"O, hal itu terjadi di
atas suatu puncak gunung”, tutur Hi-tiok. "Secara tidak sengaja aku
memecahkan suatu problem catur sehingga aku bertemu dengan Losiansing itu.”
Karena jawaban yang
dianggapnya tidak masuk akal itu, agaknya anak dara itu ingin menampar Hi-tiok
lagi, tapi sekarang mereka berdiri tegak berhadapan, sedangkan perawakan anak
dara itu pendek kecil, untuk memukul muka Hi-tiok tentu tak sampai, maka
tangannya yang sudah terangkat urung dihantamkan. Dengan gusar ia mendamprat.
"Kamu benar-benar ngaco belo selama beberapa puluh tahun entah berapa
banyak kaum cerdik pandai yang dijatuhkan oleh problem catur itu, masakah
hwesio cilik tolol dan dogol macam dirimu malahan mampu memecahkannya? He kau
berani membual lagi, apa kau minta kugampar mulutmu?”
"Kalau melulu
kepandaianku sendiri memang tidak sanggup memecahkan problem catur itu”, kata
Hi-tiok. "Tapi waktu itu sudah terlanjur Cong pian siansing memaksaku
harus menjalankan biji catur yang kupegang, maka terpaksa sembarangan
kujalankan sebiji caturku dengan mata tertutup, siapa tahu permainan secara
ngawur itu berbalik menemukan jalan keluarnya, ditambah lagi ada orang kosen
diam-diam membantuku sehingga problem catur itu akhirnya dapat kupecahkan.
semuanya itu hanya secara kebetulan saja, tapi karena kekhilafanku itu sehingga
banyak terjadi perbuatan dosa lainnya, sungguh tobat, omitohud...omitohud..”
Demikian akhirnya Hitiok
berulang-ulang menyebut Buddha.
Anak dara itu tampak setengah
percaya dan setengah tidak katanya "Jika begitu duduknya perkara masih
masuk akal”.
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong terdengar suara suitan dan tindakan orang banyak d iba wah
gunung yang cukup jelas.
Hi-tiok menjerit kuatir, ia
buka karung terus jejalkan anak dara itu kedalam karung dan segera digendong
untuk dibawa lari pula keatas gunung, sesudah berlari-lari sebentar, suara para
pengejar itu kembali ketinggalan jauh lagi. Waktu Hi-tiok menoleh, tanpa terasa
ia berteriaki "Wah, celaka”.
"Kenapa celaka?” Tanya si
anak dara didalam karung.
"Aku telah meninggalkan
bekas tapak kaki di atas salju, kemana pun kita lari pasti juga akan ditemukan
mereka”, sahut Hi-tioki
"Terbang saja diatas
pohon tentu tak akan meninggalkan bekas”, kata anak dara itu. "Cuma sayang
ilmu silatmu terlalu rendah ginkang yang sepele saja kamu tidak bisa. Eh hwesio
cilik kulihat tenaga dalammu tidak lemah boleh juga kamu coba-coba”.
"Baiklah coba ini”. Kata
Hi-tiok dan segera ia meloncat tinggi ke atas. Dan ternyata sekali loncat saja
tingginya melebihi pohon. Waktu turun ia julurkan kaki hendak hinggap disuatu
dahan, tak terduga injakannya terlalu berat,”krak” dahan itu patah sehingga
Hi-tiok kejeblos berikut dahan pohon yang patah itu
Jatuhnya Hi-tiok dengan badan
terlentang sehingga kalau terbanting ke tanah tentu karung yang berisi anak
dara itu akan tertindih. Dasar hati Hi-tiok memang welas asih kuatir anak dara
itu akan tertindih mati, dengan segala kemampuan ia coba membalik tubuh diudara
sehingga menjadi tengkurap jatuhnya, "bluk” ia terbanting
keras, batok kepalanya
membentur sepotong batu dan kontan bocor.
Hi-tiok merintih-rintih
kesakitan dan meronta bangun dengan malu katanya kemudian, "Ai, aku
terlalu bodoh, tidak dapat”
"Kamu lebih suka terluka
sendiri daripada menindih aku, betapapun kamu ternyata cukup menghormati nenek”
ujar anak dara itu. "Karena nenek ingin menggunakan tenagamu pula sebagai
tanda jasa biarlah kuajarkan sejurus lompatan terbang padamu. Nah, dengarkan dengan
baik, tatkala melompat ke atas, kedua lutut sedikit di tekuk, tenaga dalam kau
himpun dibagian pusat, ketika badan terapung keatas, lantas…”
Begitulah satu persatu ia
memberi penjelasan dan mengajarkan pula cara berputar dan membelok diudara,
cara melompat kesamping atau mundur kebelakang. selesai itu, lalu katanya.
"Nah, sekarang boleh coba melompat lagi seperti apa yang kuajarkan ini.”
"Baiklah”, sahut Hi-tiok.
"Dan lebih baik kucoba sendirian saja supaya kalau gagal tidak membikin
susah padamu”. Lalu ia bermaksud menaruh karung itu ke tanah.
Tapi anak dara itu menjadi
gusar, dampratnya. "Kepandaian yang nenek ajarkan padamu masakah bisa
keliru? Kenapa mesti pakai coba-coba segala? Jika sekali ini kamu terbanting
lagi seketika juga nenek akan menyembelihmu”.
Hi-tiok merasa mengkirik bila
teringat punggungnya menggendong mayat hidup yang setiap saat bisa mencekik
lehernya, ia ingin melemparkan jauh-jauh karung itu, tapi tidak berani.
Terpaksa ia tabahkan hatinya, ia turut apa yang diajarkan anak dara itu.
Ia tahan napas d a himpun
tenaga, lutut sedikit tertekuk lalu meloncat perlahan ke atas.
Benar juga sekali ini tubuhnya
seakan-akan bisa terapung sendiri keatas dengan perlahan, meski tiada sesuatu
pegangan di udara toh ia dapat berputar dan membelok dengan sesuka hati.
Saking girangnya Hi-tiok
berteriak-teriak. "Hah! jadilah sekarang, jadi..”
Tak terduga karena mulutnya
terbuka sehingga hawa murni yang bekerja dalam badan lantas gembos sehingga ia
jatuh kebawah lagi. untung jatuhnya sekarang menegak dan tidak keras, maka
tidak sampai terbanting, hanya kedua kakinya yang yang terbentur dan kesakitan.
"Tolol” damprat si anak
dara "Jika mau bicara lebih dulu harus mengatur pernapasan supaya tidak
jatuh kebawah. Langkah pertama saja belum bisa sudah ingin langkah kelima dan
keenam”.
"Ya, ya memang salahku”,
sahut Hi-tiok.
Maka ketika ia meloncat lagi
dengan ringan ia dapat hinggap dipucuk pohon, ranting pohon itu hanya
mentulmentul saja dan tidak patah, girang Hi-tiok tak terhingga, tapi dia tidak
berani bersuara lagi, ia menuruti apa yang diajarkan anak dara tadi dan
melompat kedepan, ternyata sekali lompat saja sudah beberapa meter jauhnya dan
dapat mendarat diranting yang lain, ketika ranting pohon itu menyendal sekali,
kembali ia melompat keatas pohon berikutnya. Dan sekali sudah lancar, ia merasa
badan enteng dan tenaga penuh makin melompat semakin jauh, sampai akhirnya
sekali lompat dapat melampaui dua pohon jauhnya, ditengah udara ia dapat
bergerak bebas seperti ’superman”, keruan ia terkejut dan bergirang.
Puncak gunung itu lebat dan
rindang dengan pepohonan, Hi-tiok melayang diatas pohon bagai terbang, dengan
sendirinya tidak meninggalkan sesuatu bekas di atas tanah. Maka hanya sebentar
saja ia sudah jauh berada ditengah-tengah hutan yang lebat itu. "Cukuplah!
sekarang boleh turun saja”, kata si anak dara.
Sekarang Hi-tiok sudah menaruh
hormat dan segan kepada anak dara itu, sambil mengiakan ia lompat turun dengan
perlahan, kemudian memapah anak dara itu keluar dari dalam karung.
Melihat roman Hi-tiok
berseri-seri penuh kegirangan seperti orang baru putus lotere, kontan anak dara
itu memaki, "Hwesio cilik kere, baru dapat belajar sedikit kepandaian
kasaran saja sudah kegirangan setengah mati”
"Ya, ya, sebab ilmu yang
diajarkan nenek ternyata sangat berguna”, sahut Hi-tioki
"Sekali tunjuk saja kamu
lantas bisa, suatu tanda pandangan nenek memang tiada keliru, bahwa Iwekangmu
itu bukan berasal dari Siau-lim-si”, kata anak dara itu, "Sebenarnya
Iwekangmu kau belajar dari siapa? Mengapa dalam usiamu yang masih semuda ini
sudah mempunyai Iwekang sedemikian tinggi”.
Hi-tiok menjadi pedih teringat
kepada kejadian tempo hari, sahutnya. "Ini adalah perbuatan Bu-gai-cu
Losiansing yang telah…telah mencurahkan segenap tenaga murni yang dilatihnya
selama lebih tujuh puluh tahun ke dalam tubuhku pada saat beliau akan wafat,
sesungguhnya siauceng tidak berani berhianat pada Siaulim-si dan berguru pada
aliran lain. Tapi waktu itu tanpa peduli Bu-gai-cu Losiansing lantas memunahkan
kepandaian yang kuperoleh dari Siau-lim-si lalu beliau mencurahkan segenap
tenaga murninya padaku, siauceng sendiri tidak tahu apakah ini pantas diterima
atau tidak dan entah untung atau akan bunting. Ai,
pendek kata, bila kelak
siauceng pulang ke Siau-lim-si, pendek kata…pendek kata..”
Berulang-ulang ia bilang
pendek kata, tapi entah apa yang harus di pendek katakan.
Sekali ini anak dara itu
ternyata diam saja dengan termangu-mangu, ia menggelar karung diatas batu
padas, lalu bersandar dan termenung dengan bertopang dagu. Katanya kemudian
dengan perlahan "Jika begitu, jadi memang benar Bu-gai-cu telah mewariskan
kedudukan ciangbunjin siau-yau-pai kepadamu”.
"Eh, kiranya kaupun kenal
nama Siau-yau-pai?” Tanya Hi-tiok dengan heran.
Sebegitu jauh Hi-tiok masih
tidak berani menyebut nama Siau-yau-pai karena teringat kepada pesan So-sing-ho
yang menyatakan bahwa kecuali orang dari golongan sendiri, bila ada orang luar
yang mendengar nama Siauyau-pai, maka orang itu tidak boleh dibiarkan hidup di
dunia ini. sekarang ia dengar anak dara itu menyebut dulu Siau-yau-pai, makanya
ia berani menyambung.
Terdengar anak dara itu
menjawab dengan marah-marah. "Sudah tentu aku tahu siau-yau-pai. Bahkan
ketika nenek kenal Siau-yau-pai, saat itu Bu-gai-cu sendiri belum lagi tahu”.
Hi-tiok hanya mengiakan saja
dan tidak berani membantah. Pikirnya, "Boleh jadi kamu kesurupan arwah
setan tua dari beberapa ratus tahun yang lalu, sudah tentu kamu lebih tahu
daripada Bu-gai-cu”.
Dalam pada itu tampak anak
dara itu menjemput sebatang kayu kering dan sedang menggores-gores di atas
tanah salju, sejenak kemudian sebuah papan catur telah selesai
"Wah, celaka, dia akan
paksa aku main catur”, diam-diam Hitiok mengeluh.
Sesudah menggambar papan
catur, anak dara itu tampak memasang biji catur pula dengan tanda-tanda garis
bundar kosong sebagai biji putih dan garis blok bundar dianggap sebagai hitam.
Baru separuh saja anak dara
itu memasang biji catur, segera Hi-tiok dapat mengenali apa yang dilukiskan itu
adalah problem catur yang dikarang Bu-gai-cu itu. ia menjadi heran darimana
anak dara ini tahu akan problem catur itu Pikirnya jangan-jangan dahulu kaupun
pernah berusaha memecahkan problem catur itu, tapi gagal sehingga kamu mati
konyol saking dongkolnya?
Berpikir demikian, kembali ia
merinding menghadapi anak dara yang disangkanya kesurupan setan itu.
Sejenak kemudian, terdengar
anak dara itu berkata. "Nah, katanya kamu pernah memecahkan problem catur
ini, sekarang coba kau jalankan langkahnya yang pertama, ingin kulihat betul
tidak apa yang kau katakan itu”.
Hi-tiok mengiakan dan segera
menjalankan satu biji catur hitam, lalu dilanjutkannya dengan langkah-langkah
menurut apa yang didengar dari bisikan Toan yan khing tempo hari dan akhirnya
pecahlah problem catur itu.
Seketika keringat tampak
berketes-ketes dari dahi anak dara itu, terdengar ia bergumam sendiri.
"Takdir, takdir sungguh tiada seorang pun yang dapat berpikir permainan
aneh yang harus membunuh diri dulu untuk kemudian baru menyerang?”
Sesudah termangu-mangu sejenak
kemudian anak dara itu berkata "jika demikian, tampaknya hwesio cilik
tidak omong kosong belaka. Tapi bagaimana Bu-gai-cu menyerahkan cincin besi itu
padamu, coba tuturkan pada ku sejelas-jelasnya sedikitpun tidak boleh bohong”
Hi-tiok mengiakan, lalu
berceritalah pengalamannya sejak dia ditugaskan turun gunung sehingga
memecahkan problem catur mendapat Iwekang dan cincin besi dari Bu-gai-cu,
menyaksikan Ting jun-jiu meracun dan membunuh So-sing-ho dan Hian lan, akhirnya
dirinya melarikan diri dengan ketakutan, semuanya ia ceritakan dengan jelas.
"Jika begitu terang
Bu-gai-cu adalah gurumu, mengapa kamu tidak memanggilnya sebagai suhu,
sebaliknya menyebutnya Bu-gai-cu Losiansing apa segala?” Tanya di anak dara.
Hi-tiok menjadi serba susah
sahutnya, "Sebab siauceng tetap padri Siau-lim-si dan tidak boleh masuk
lagi ke perguruan lain”.
"Apa kamu sudah bertekad
danpasti tidak mau menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai?” anak dara itu menegas.
Hi-tiok geleng-geleng kepala
dan menjawab, "Ya, tidak… pasti tidak”
"Jika begitu kan
gampang”, ujar anak dara itu. "Kau berikan cincin besi itu padaku. Biarlah
aku mewakilimu menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai, mau?”
"Bagus, itulah yang
kuharap”, seru Hi-tiok dengan girang, segera ia lepaskan cincin besi yang dipakainya
dan diserahkan kepada anak dara itu.
Wajah anak dara itu tampak
menampilkan rasa girang dan gusar pula, segera cincin itu hendak dipakai pada
jarinya, tapi jarinya ternyata sangat kasar dan besar sehingga jari tengah dan
jari manis tidak dapat dimasuki cincin akhirnya cincin itu dipakai pada jari
kecil secara paksa.
Dengan suara mendongkol
kemudian anak dara itu berkata pula. "Kau bilang Bu-gai-cu memberikan
lukisan padamu dan kamu disuruh pergi ke Thian san untuk mencari orang dalam
lukisan itu, coba, dimanakah lukisan itu?”
Segera Hi-tiok mengeluarkan
lukisan yang dimaksudkan. Ketika anak dara itu membentang lukisan dan melihat
wanita cantik berdandan secara puteri keraton dalam gambar itu, seketika air
mukanya berubah hebat, kontan ia mencaci maki "Jadi dia ingin budak hina
dina ini mengajarkan kepandaian padamu? Dia-dia tetap tidak lupa kepada budak
hina dina ini dan melukisnya sebagus ini”
Saking murka dan cemburunya,
terus saja dia banting lukisan itu ke tanah dan diinjak-injak lukisan wanita cantik
itu seketika menjadi kotor dan konyol.
"He, jangan” seru Hi-tiok
dan cepat jemput kembali lukisan yang telah tak keruan macamnya itu.
"Apa yang disayang?”
bentak anak dara itu dengan gusar.
"Lukisan sebagus ini kan
sayang kalau diinjak-injak” sahut Hi-tiok-
"Apakah bangsat Bu-gai-cu
itu mengatakan padamu tentang siapa budak hina dina ini?” Tanya si anak dara.
"Tidak” sahut Hi-tiok
sambil menggeleng kepala, ia menjadi heran mengapa sekarang Bu-gai-cu dimaki
sebagai bangsat?
"Hm, bangsat itu sedang
mimpi barangkali, masakah sesudah berpuluh tahun budak hina dina itu masih
sedemikian rupa? Huh! biarpun dulu juga tampangnya tidak sebagus ini” demikian
anak dara itu marah-marah lagi. saking murkanya kembali lukisan itu hendak
direbutnya pula untuk dirobek-robek.
Tapi Hi-tiok keburu mengangkat
tangannya ke atas dan kemudian menyimpannya di dalam baju.
Dengan marah-marah anak dara
itu masih terus memaki. "Bangsat Bu-gai-cu, yang tidak punya perasaan,
dasar budak hina dina”
Sudah tentu Hi-tiok merasa
bingung atas pengakuan orang, ia menduga setan yang selurup di badan anak dara
ini tentu kenal wanita cantik dalam gambar itu dan kedua orang pernah
bermusuhan, sebab itulah si anak dara mencaci maki tidak habis-habisnya demi
melihat gambarnya.
Begitulah selagi anak dara itu
masih terus mengumpat, sementara itu Hi-tiok merasa perutnya berkeruyukan.
Nyata sesudah berlari-lari semalam suntuk sebegitu jauh ia tidak makan minum
apa pun, maka sekarang ia kelaparan. Kemudian anak dara itu tanya, "Apa
kau lapar?”
"Ya” sahut Hi-tiok.
"Dipuncak gunung yang penuh salju melulu ini mungkin tiada sesuatu makanan
apa-apa”.
"Kenapa tidak ada?” ujar
anak itu. "Dipuncak salju ini sangat banyak ayam juga banyak menjangan dan
kambing liar. Mari sini, biar kuajarkan suatu ilmu lari cepat ditanah datar,
lalu akan kuajarkan pula cara menyambit ayam menangkap kambing..”
Tapi Hi-tiok lantas
goyang-goyang tangan sebelum ucapan anak dara itu habis, katanya. "Wah,
orang beragama mana boleh membunuh. Aku lebih suka mati lapar daripada makan
barang berjiwa”
"Hwesio busuk! Hwesio
goblok! apakah selama hidupmu ini tidak pernah makan daging segala?” damprat
anak dara itu
Hi-tiok jadi teringat kejadian
dirumah makan tempo hari, waktu itu dia digoda dan diticu A Ci sehingga
terlanjur makan sepotong daging gemuk serta minum satu mangkuk kuah ayam.
Maka dengan muka bersungut ia
menjawab, "Ya, pernah aku ditipu orang satu kali sehingga terlanjur makan
barang berjiwa, tapi kejadian itu tidak disengaja, rasanya Buddha juga takkan
menyalahkan aku. Tapi kalau aku disuruh membunuh mahluk berjiwa, minta ampun,
tidak nanti mau kulakukan.”
"Kamu tidak mau
menyembelih ayam dan memotong kambing, tapi mau membunuh manusia, dosamu tentu
berlipat ganda, ujar anak dara itu”.
"Aneh bilakah aku
membunuh manusia?” Tanya Hi-tiok dengan heran, "Omitohud Dosa, dosa..”
"Aaaa, pakai dosa segala,
sungguh menggelikan”, kata anak dara itu. "Kalau kamu tidak mau menangkap
ayam untuk makanku, selang dua jam lagi tentu aku akan mati, ini kan berarti
kamu yang membunuh diriku?”
Hi-tiok menjadi serba runyam,
ia garuk-garuk kepala, katanya kemudian "Jika engkau merasa lapar,
dipuncak gunung ini tentu banyak rebung dan sayur-sayuran biarlah kucarikan
untukmu”.
Mendadak anak dara itu menarik
muka, ia menunjuk matahari dan berkata. "Sang surya sudah bergeser sampai
diatas, bila aku tidak minum darah segar, aku pasti akan mati. Hal ini
sekali-kali tidak kubohongimu”.
Hi-tiok menjadi ketakutan,
tanyanya, "Orang baik-baik kenapa mesti minum darah segar?”
Teringat olehnya bahwa iblis
yang suka isap darah adalah sebangsa drakula, maka ia jadi mengkirik lagi.
Maka terdengar anak dara itu
berkata pula, "Aku mempunyai semacam penyakit aneh, tiap-tiap hari waktu
lohor bila tidak minum darah segar, maka hawa murni dalam tubuhku akan bergolak
dan akibatnya bisa membakar mati diriku, sebelum mati tentu aku akan menjadi
gila, hal mana tentu juga takkan menguntungkanmu”
Tapi Hi-tiok masih terus
menggeleng kepala katanya, "Biar bagaimana pun juga sebagai murid Buddha
aku harus patuh pada ajaran agama dan taat pada setiap larangannya. Jangankan
aku sendiri tidak mau disuruh membunuh makluk berjiwa, sekali pun melihat
engkau hendak membunuh juga pasti akan kucegah sebisanya”.
Anak dara itu memandang tajam
pada Hi-tiok, dilihatnya padri dogol itu agak takut-takut tapi jelas tekadnya
sangat teguh rasanya sukar disuruh menurut, sesudah tertawa dingin beberapa
kali, lalu ia tanya pula. "Kamu mengaku sebagai murid Buddha dan taat pada
pelajaran agama. Coba katakan apa sih larangan dan pantangan agama kalian?”
"Larangan dan pantangan
agama Buddha sudah tentu banyak” sahut Hi-tioki "Pendek kata, dilarang
membunuh adalah larangan pertama agama Buddha.”
"Katanya dalam kitab
Buddha ada disebut tentang memotong daging sendiri untuk makanan elang dapatkah
kau ceritakan kisahnya”, kata
anak dara itu.
"Dahulu sang Buddha
sakyawuni waktu melihat seekor elang lapar sedang memburu seekor burung
merpati, beliau merasa tidak tega dan menyembunyikan merpati itu dalam bajunya.
Elang lapar itu berkata pada sang Buddha, ‘Engkau menolong jiwa merpati itu
tapi aku yang akan mati kelaparan’. Karena, itulah sang Buddha lantas memotong
daging sendiri untuk makanan elang lapar itu”, demikian tutur Hi-tioki
"Bagus” seru si anak dara
"Sekarang kalau kamu tidak mau menangkap kambing atau mencari ayam bagiku,
maka kamu harus meniru kebijakan sakyawuni dengan memotong daging sendiri untuk
makananku. Kalau tidak itu berarti kamu bukan murid Buddha lagi”
Sembari bicara ia singkap
lengan baju kiri Hi-tiok sehingga kelihatan lengannya yang putih gemuk. Lalu
sambungnya lagi dengan tertawa, "Setelah makan lenganmu yang gemuk itu
tentu cukup untuk tahan lapar selama satu hari”.
Sekilas Hi-tiok melihat gigi
anak dara itu panjang lagi lancip, terang bukan gigi kaum kanak-kanak, melihat
lagaknya itu seperti ingin sekali gigit terus mengunyah daging lengannya.
Sebenarnya Hi-tiok tidak perlu
takut kepada anak dara yang kecil dan lemah itu, tapi sejak tadi ia menduga
anak dara itu tentu keseluruhan setan, maka begitu melihat kelakuannya yang
luar biasa itu, ia jadi merinding dan ketakutan. Mendadak ia menjerit
keras-keras satu kali, ia kipatkan tangan anak dara itu terus berlari kembali
ke bawah gunung.
Saking takutnya maka jeritan
Hi-tiok itu sangat keras dan nyaring sekonyong-konyong terdengar seruan orang
di pinggang gunung sana, "Itulah dia, disana Marilah kita beramai-ramai
menggerebeknya.” Nyata itulah suara Putpeng Tojin.
Karena itulah Hi-tiok lantas
berhenti lari, pikirnya, "Wah! celaka. Karena jeritanku barusan sehingga
tempat sembunyi diketahui, lantas bagaimana baiknya sekarang?”
Mestinya ia hendak lari
kembali untuk menggendong anak dara itu, tapi ia masih takut jika ditinggal
sendiri ia merasa tidak tega pula.
Dalam keadaan ragu-ragu ia
coba melongo ke bawah gunung, ia lihat beberapa titik hitam sedang merayap
keatas meski jaraknya masih jauh tapi akhirnya pasti akan disusul mereka. Dan
sekali anak dara itu tertangkap mereka pasti tak berampun lagi.
Karena itu, akhirnya Hi-tiok
putar baliki dar jauh ia berkata kepada si anak dara, "Hei, asal kamu
bersumpah takkan menggigit aku, segera akan kugendong dirimu untuk melarikan
diri lagi.”
Anak dara itu tampak tertawa,
sahutnya, "Marilah sini, akan kukatakan padamu, orang-orang yang sedang
merayap ke atas itu seluruhnya berjumlah lima orang, yang pertama adalah
Putpeng Tojin, kedua Oh-lotoa, ketiga orang she Ang, dua orang lagi she Lo dan
Lai. Biarlah kuajarkan beberapa jurus kepandaian, lebih dulu Putpeng Tojin
harus kau robohkan.”
Sesudah merandek sejenak lalu
sambungnya pula dengan tersenyum, "Ya, hanya robohkan dia saja agar dia
tak bisa berkutik tapi jangan kau bunuh dia dengan demikian tidak berarti kamu
membunuh dan melanggar pantangan”.
Tapi Hi-tiok merasa ragu,
sahutnya, "Ilmu silat Putpeng Tojin dan Oh-lotoa sangat tinggi cara
bagaimana dapat kurobohkan mereka? Biar pun kepandaianmu sangat bagus juga tak
mungkin mengajarkan padaku dalam waktu sesingkat ini”.
"Goblok! dasar goblok”
semprot anak dara itu. Bu-gai-cu adalah ketua Siau-yau-pai, dia adalah guru
So-singho dan Ting jun-jiu. Tentang kepandaian So-sing-ho dan Ting jun-jiu
sudah kau saksikan sendiri, maka dapat kau bayangkan bagaimana dengan
kepandaian guru mereka, sekarang dia sudah mencurahkan seantero tenaga yang
dilatihnya selama tujuh puluh tahun kepadamu, dengan kekuatanmu ini masakah
kaum keroco sebangsa Putpeng Tojin dan Oh-lotoa itu mampu melawanmu? soalnya
kamu terlalu goblok dan tak dapat menggunakan kekuatanmu, sekarang coba ambil karung
itu tarik napas dalam-dalam dan mengerahkan tenaga pada lengan kanan, pentang
mulut karung itu, lalu tangan kiri gaplok sekali pada pinggang belakang musuh”
Hi-tiok menuruti setiap
gerakan yang diajarkan itu tapi dia tetap tidak percaya hanya dengan beberapa
gerakan itu mampu merobohkan jago-jago silat terkemuka itu.
"Habis itu jari telunjuk
kiri tutuk bagian ini ditubuh musuh, salah.. salah.. naik sedikit ..ya betul,
itulah tempatnya. Harus mengerahkan tenaga dan jangan keliru tempat yang harus
ditutuk itu”.
Begitulah anak dara itu
melanjutkan petunjuknya.
Hi-tiok menirukan semua
petunjuk itu dan mengingatnya dengan baik. Meski yang diajarkan itu
kelihatannya cuma lima enam gerakan saja, tapi setiap gerakan itu ternyata
meliputi macam-macam gaya yang sangat aneh dan ruwet sehingga Hi-tiok
melatihnya sampai setengah hari masih tetap tidak tepat dengan ajaran di anak
dara.
Untung ingatan Hi-tiok cukup
baik, ia dapat ingat setiap kalimat kungfu dasar yang diajarkan anak dara itu
cuma saja kalau dia disuruh memainkan secara sekaligus seluruh ajakan itu tetap
dia tidak becus.
Berulang-ulang anak dara itu
memperbaiki kesalahan Hi-tioki ia pun tidak habis-habis memaki "Goblok
dasar goblok Bu-gai-cu benar-benar buta sehingga mencari seorang ahli waris
semacam dirimu, jika kamu seorang pemuda tampan masih dapat dimengerti, tapi
kamu justru seorang hwesio cilik yang bermuka jelek dan goblok pula, entah cara
bagaimana Bu-gai-cu dapat penujuimu.”
Hi-tiok menjadi heran, tapi
mendongkol karena olok-olok anak dara itu, sahutnya, "Ya. Bu-gai-cu
Losiansing juga pernah menyatakan lagi mencari seorang ahliwaris berupa pemuda
tampan. Peraturan Siau-yau-pai itu benar-benar sangat aneh. Dan sekarang ketua
siau yau pai kan dijabat olehmu, tapi..”
Ia tidak melanjutkan lagi,
sebenarnya ia ingin berkata. "Tapi nona cilik yang diselurupi setan tua
seperti dirimu juga tidak seberapa cantik”
Hi-tiok melatih lagi beberapa
kali dengan tekun, meski setiap kali masih salah. Tiba-tiba terdengar suara
orang berlari secepat terbang, Putpeng Tojin memburu tiba sambil berseru dengan
tertawa dan segera menerjang kearah Hi-tiok, "Sungguh cepat benar larimu,
ya hwesio cilik”.
Hi-tiok insyaf tak mampu
melawan, segera ia putar tubuh hendak angkat langkah seribu, Tapi si anak dara
keburu membentaknya. "Lakukan menurut ajaran tadi, jangan takut”
Karena tak sempat banyak
berpikir lagi, segera Hi-tiok pentang mulut karung, ia kerahkan tenaga pada
lengan kanan terus menghantam kearah Putpeng Tojin
"Setan alas, berani, kau
lawan Toya (tuan besar)” damprat Putpeng Tojin sambil menangkis.
Aneh juga, imam yang ditakuti
36 Tongcu dan 72 Tocu itu ternyata tidak tahan sekali hantam, sedikit tubuhnya
terhuyung-huyung, terus saja kepala Pul-peng Tojin menyusup ke dalam karung
yang dipantang Hi-tiok..
Girang Hi-tiok tidak kepalang,
menyusul ia menutuk pula "Ih-sik-hiat" menurut ajaran si anak dara
tadi.
"Ih-sik-hiat" itu
terletak di kanan-kiri tulang punggung, tapi Hi-tiok tidak mahir ilmu
Tiam-hiat, dalam keadaan
gugup tutukannya menjadi
melenceng sehingga kena "Yang-kang-hjat", suatu hiat-to yang terletak
di atas Ihsik-hiat.
Rupanya Put-peng Tojin menjadi
kesakitan, ia menjerit dan menerobos keluar lagi dari dalam karung terus
menjatuhkan diri ke depan sana dan tergelinding ke bawah gunung.
"Sayang, sayang"
demikian terdengar si anak dara berseru gegetun. Lalu ia memaki Hi-tiok pula,
"Goblok, suruh kau tutuk Ih-sik-hiat supaya dia roboh tak berkutik,
kenapa, kau tutuk Yang-kang-hiatnya?"
Sebaliknya Hi-tiok tampak
kaget dan bergirang pula, serunya "Wah, ajaranmu ini boleh juga, biarpun
salah tutuk, tapi sudah membuatnya ketakutan setengah mati!"
Sementara itu Oh-lotoa telah
menerjang maju untuk menggantikan. Put-peng Tojin.
Segera Hi-tiok memapaknya
dengan menjinjing karung katanya, "Oh-lotoa, marilah jika kaupun mau
cobacoba!"
Melihat sekali gebrak Put-peng
Tojin lantas dikalahkan, maka Oh-lotoa sangat waspada dan tidak mau main
seruduk Ia angkat golok "Lok-po-hiang-lot-to" yang berbisa itu dan
menabas dari samping.
"Haya, celaka"
teriak Hi-tiok. "Dia pakai senjata, aku tidak sanggup melawannya! Tadi
tidak kauajarkan cara melawan golok padaku, sekarang aku tidak keburu minta
petunjuk lagi padamu”
"Lekas pondong aku dan
meloncat ke atas pohon sana!" seru si anak dara.
Dalam pada itu Oh-lotoa telah
menyerang tiga kali kepada Hi-tiok, untung Oh-lotoa sudah jeri lebih dulu
padanya sehingga tidak berani terlalu mendesak, serangan yang dilancarkan itu
lebih bersifat menggertak saja. Tapi hal ini sudah cukup membual Hi-tiok
kelabakan dan terancam bahaya, Maka demi mendengar seruan si anak dara , ia
menjadi girang, pikirnya, "Ya, betul, menyelamatkan diri dengan meloncat
ke atas pohon adalah kemahiranku!"
Tapi sebelum ia lari kearah si
anak dara tau-tau golok Oh-lotoa sudah berulang-ulang menyerangnya pula.
"Sret..sret", dua kali tabasan selalu mengarah tempat yang mematikan
di tubuh Hi-tiok.
"Haya , Celaka!"
teriak Hi-tiok gugup. Cepat ia loncat ke atas melambung tinggi ke atas pohon
cemara yaiig
besar.
Pohon cemara itu empat-lima
meter tapi sekaligus Hi-tiok dapat mencapainya dengan mudah keruan hal ini
membuat Oh-lotoa terkejut.
Meski ilmu silat Oh-lotoa
sangat tinggi, tapi dalam hal ginkang ia hanya biasa saja. Pohon setinggi itu
tidak mampu dicapainya. Tapi sasaran utamanya memang bukan Hi-tiok melainkan
anak dara maka ia lantas memaki, "Hwesio setan jika memang pintar boleh
berdiri saja selama di atas pohon dan jangan turun!"
Habis berkata ia terus lari
kearah si anak dara, sekali pegang segera leher baja anak dara itu
dicengkeramnya dan diangkat ke atas. Rupanya dia masih hendak, menawan kembali
anak dara itu agar kawan-kawannya dapat ikut membacoknya masing-masing satu
kali dan minum darahnya sebagai sumpah,
Hi-tiok menjadi kuatir demi
nampak si anak dara kena ditawan musuh pikirnya, "Dia suruh aku membawanya
ke atas pohon , tapi aku melarikan diri lebih dulu ke sini, Padahal ilmu
ginkang ini kubalajar dari dia, bukankah aku akan dikatakan manusia yang lupa
budi dan tidak kenal kebaikan orang?"
Karena pikiran demikian,
segera ia lompat turun lagi.
Dia masih memegang karun g
kosong itu, waktu melompat turun kebetulan mulut karung itu menghadap ke bawah
dan terbuka lebar, dalam gugupnya karena ingin menolong si anak dara, tanpa
pikir lagi Hi-tiok terus mengerudungkan karung itu pada kepada Oh-lotoa,
menyusul ia menutuk pula punggung lawan, tapi tutukan ini tetap tak bisa tepat
seperti ajaran si anak daratadi, yaitu yang diincar mestinya Ih-sik hiat, tapi
yang kena adalah sebelah bawah tempat "Wi-jong-hiat”
Oh-lotoa sendiri hanya
mendengar ada angin menyambar dari atas menyusul pandanannya menjadi gelap,
apapun tidak kelihatan lagi. Dalam kagetnya, goloknya terus membacok ke depan,
tapi mengenai tempat kosong. Kebetulan saat itu Wi-jong-hiatnya ditutuk
Hi-tiok.
Namun Oh-lotoa tidak lantas
roboh. Hanya kedua lengannya terasa kesemutan, "trang", golok jatuh
ke tanah cengkeramannya kepada, anak dara itu pun menjadi kendur, dan terpaksa
dilepaskan.
Dalam gugupnya karena ingin
melepaskan diri dari kerudungan karung! cepat ia mengelinding pergi.
Kesempatan itu digunakan
Hi-tiok untuk memondong si anak dara luhi meloncat lagi ke atas pohon sambil
berkata. "Wah, hampir
saja! Hampir saja'"
Air muka anak dara itu tampak
pucat pasi, dampratnya, "Dasar goblok nenek mengajarkan ilmu sakti padamu,
tapi dua kali gebrak dua kali salah menggunakan."
Hi-tiok menjudi malu,
sahutnya, "Ya, ya.. Aku salah menutuk tempatnya."
"Lihatlah, kembali mereka
datang lagi!" kata si anak dara.
Waktu Hi-tiok memandang ke
bawah, benarjuga, selain Put-peng Tojin dan Oh-lotoa berdua bahkan tambah lagi
liga orang lain. Cuma mereka tidak berani sembarangan maju lagi, mereka hanya
bicara dan tuding-tuding dari jauh.
Seorang di antaranya yang
pendet gemuk mendadak berteriak satu kali terus menjatuhkan diri ke atas tanah,
lalu badannya yang bergelindingan itu tampak memancarkan sinar putih yang
gemerlapan. Kiranya dia telah putar dua batang kampak pendek yang tajam dan
menerjang ke bawah pohon, menyusul terdengarlah suara "crat..crat"
berulang-ulang, kampaknya bekerja dengan cepat untuk menebang pohon.
Saking tajamnya kampak orang
ini, tenaganya besar pula, tampaknya cukup belasan kali tabasan lagi tentu
pohon Siong itu akan tumbang. Keruan Hi-tiok kelabakan dan berulang-ulang
berkata, "Wah, celaka. Bagaimana ini?"
Dengan sikap dingin si anak
dara berkata. "Gurumu Bu-gai-cu menyuruhmu minta belajar ilmu silat kepada
budak hina-dina dalam lukisan Itu, nah, boleh kau pergi memohon padanya! Jika
budak-hina-dina itu sudi mengajarkan ilmu padamu, tentu sekaligus akan dapat
kau bereskan lima ekor babi di bawah pohon itu,"
Diam-diam Hi-liok sangat
mendongkol, keadaan sudah kepepet, tapi anak dara ini masih mengejeknya.
Namun ia tidak berani
membantah, hanya mengejar napas putus asa.
Dalam pada itu kapak si pendek
gemuk di bawah pohon masih bekerja terus dengan cepat dan pohon cemara itu
mulai bergoyang-goyang, lidi cemara juga rontok bagi hujan.
Tiba-tiba anak dara itu
memberi petunjuk, " Kerahkan hawa murni dan pusat ke Ki-kut-hiat di
pundak, lalu
salurkan ke Thian-cing-hiat di
siku dan teruskan ke Yang-ti-hat di pergelangan tangan. Putarlah tenagamu di
antara ketiga hiat-to itu sehingga tiga kali, lalu kerahkan ke Koan-ciong-'hiat
di jari manis. Nah , sudah mulai belum?"
Begitulah sambil mengajar
ditunjukkan pula tempat hiat-to yang dikatakan itu ditubuh Hi-tiok,
Ia tahu Hi-tiok sendiri tidak
paham di mana letak hiat-to yang dimaksudkan, maka harus ditunjuk secara jelas
dengan memegang tempatnya,
Sejak mendapat saluran tenaga
murni dari Bu-gai-cu, dapatlah Hi-tiok mengerahkan tenaga dalamm yang hebat itu
ke bagian mana pun sesukanya.
Demi mendengar petunjuk si
anak dara, maka ia lantas menurut, terasa pohon sudah mulai miring dan akan
tumbang, cepat ia berseru,
"Ya, sudah, tenagaku
sudah siap!"
Maka berkatalah anak dara itu,
"Boleh petik berapa biji cemara dan incar baik-baik si pendek gemuk itu,
boleh kepalanya atau dadanya, gunakan tenaga yang terhimpun di jari manis dan
kelentikan biji cemara itu ."
Hi-tiok mengiakan dan segera
memetik biji cemara serta dijepit di antara dua, jarinya.
"Lekas selentik!"
seru si anak dara.
Segera Hi-tiok kerjakan
jarinya dan biji cemara itu terus menyambar bawah secepat anak panah, cuma
sayang, selamanya, Hi-tiok tidak pernah belajar ilmu menggunakan Amgi atau
senjata rahasia sehingga serangan itu melenceng agak jauh, "pluk",
biji cemara .itu. mengenai tanah dan ambles tanpa bekas.
Si pendek gemuk itu kaget juga
oleh timpukan itu, tapi hanya tertegun sejenak, lalu kapak nya menebang lagi
lebih cepat.
"Hwesio goblok, ayo coba
sekali lagi,"' seru si anak dara.
Dengan rasa malu Hi-tiok
menurut. Tapi karena gemetar, sekali ini jaraknya menjadi lebih jauh daripada
sasarannya.
"Untuk melompat ke pohon
di depan sanajaraknya terlalu jauh , dengan membawa diriku mungkin sukar untuk
mencapainya, keadaan sudah bahaya, lebih baik kamu menyelamatkan dirim u
sendiri saja," kata si a n a k dara.
"Mana boleh jadi,"
sahut Hi-tiok. "Aku bukan manusia yang lupa pada budi orang. Biar
bagaimana pun juga aku pasti akan menolongmu sebisanya. Jika benar-benar sudah
tak berdaya, biaraku mati bersamamu saja."
"Hwesio bodoh, aku bukan
sanak bukan kadangmu, buat apa kamu ikut mati bersamaku!" kata anak dara
itu. "Tapi, hm, kan juga tidak gampang bila mereka hendak membunuh kita
berdua. Boleh petik 12 biji cemara, pegang di tanganmu masing-masing enam biji,
kerahkan tenagamu dan siap untuk menimpuk”
Lalu ia pun mengajarkan cara
mengerahkan tenaga dan cara menimpuk.
Hi-tiok ingat baik-baik ajaran
itu. Dalam pada itu pohon, cemara itu sudah mulai tumbang ke bawah dengan
membawa suara "kraak" dan akhirnya Oh-lotoa, si pendek gemuk dan
kedua kawannya sama bersorak gembira sambil memburu maju.
"Lekas hamburkan
biji-biji cemara!" bentak si anak dara.
Tatkala itu tenaga murni yang
dikerahkan Hi-tiok sedang bergolak, maka sekali kedua tangannya bergerak, 12
biji cemara lantas bertebaran bagai hujan terdengarlah suara
"plak-plok" beberapa kali kontan empat orang roboh terjungkal.
Yang luput tertimpuk biji
cemara hanya si pendek gemuk saja, ia sempat menjerit kaget, lalu membuang
kedua kapaknya dan lari ke bawah gunung dengan terbirit-birit. Maka
tertampaklah di tanah salju situ darah berceceran, darah yang mengucur dari
keempat korban yang menggeletak tak berkutik itu.
Sehabis menghamburkan biji
cemara, Hi-tiok kuatir kalau anak dara itu jatuh terbanting maka ia sempat
merangkulnya untuk kemudian dibawa loncat turun dengan pelahan. Ketika melihat
luka keempat orang itu sangat parah , ia sendiri menjadi terkesima.
Sebaliknya si anak dara lantas
bersorak gembira , cepat ia meronta lepas dari rangkulan Hi-tiok dan, segera
menubruk ke atas badan Put-peng Tojin, ia tempelkan mulutnya di jidat Put-peng
Tojin dan menghirup darah segar yang mengucur keluar itu.
"He , apa yang kau
lakukan ?" teriak Hi-tiok kaget. Cepat ia pegang leher baju anak dara itu
dan diangkat ke atas
"'Kamu sudah membunuh dia
sekarang aku mengisap darahnya sebagai obat, kenapa tidak boleh?" kata
anak dara itu.
Melihat mulut anak dara itu
penuh berlepotan darah, apalagi meringis-ringis ketika bicara, Hi-tiok menjadi
takut, perlahan ia turunkan badan orang dan berkata, "Kau bilang aku sudah
... sudah membunuhnya ?”
"Memangnya apa dia masih
hidup?" sahut anak dara itu dan kembali berjongkok untuk menghirup darah
lagi.
Melihat jidat Put-peng Tojin
berlubang sebesar telur, Hi-tiok terkesiap, pikirnya, "Wah, celaka! Biji
cemara yang kusambitkan tadi telah bersarang di batok kepalanya. Padahal biji
cemara itu adalah benda lemas, ken ..kenapa dapat menembus tulang
kepalanya?"
Ketika ia periksa lagi korban
yang lain, ia lihat seorang terkena dadanva, seorang lagi tenggorokan dan
bagian hidung masing-masing kena satu biji cemara, semuanya sudah mati, hanya
Oh-lotoa yang perutnya juga kena dua biji cemara tampak masih kembang-kempis
dan merintih-rintih, namun belum mati.
Hi-tiok mendekati Oh-lotoa dan
memberi hormat padanya, katanya, "Oh-siansing, tanpa sengaja telah
kulukaimu, dosa kuterlalu besar, sungguh aku sangat menyesal."
"Huh, buat apa kamu
bergurau lagi padaku?" kata Oh-lotoa dengan gusar. "Ayolah boleh
lekas... lekas bunuh aku saja dan habis perkara!"
"Ah, mana aku berani
bergurau dengan cian-pwe," sahut Hi-tiok. "Sungguh aku.. aku ....
" mendadak teringat olehnya sekaligus dirinya telah membunuh tiga orang,
tampaknya jiwa Oh-lotoa ini juga susah dipertahankan lagi. Terang dirinya telah
melanggar larangan membunuh dari ajaran Budha, seketika ia sangat menyesal dan
sedih, tanpa terasa air mata bercucuran.
Sehabis kenyang mengisap
darah, perlahan anak dara itu berdiri kembali. Dilihatnya Hi-tiok lagi sibuk
membalut luka Oh-lotoa,
sebaliknya badan Oh-lotoa tak bisa berkutik, namun mulutnya terus menerus
menghamburkan caci makian yang kotor dan keji luar biasa, dari kakek-moyang
sampai bapak-ibu Hi-tiok juga dimaki habis-habisan.
Namun Hi-tiok masih terus
minta maaf, katanya "Ya, ya, memang aku yang salah. Sungguh aku menyesal.
Tapi tiada gunanya kau maki bapak-ibuku, sebab sejak kecil aku sudah yatim
piatu, bahkan siapa bapak-ibuku yang sebenarnya juga tid k tahu, maka percuma
biarpun engkau memakinya. Kutahu perutmu tentu sangat sakit sehingga
marah-marah, aku maklum dan tidak menyalahkanmu. Sungguh aku tidak menduga
timpukan biji cemara akan begini lihai, Ai, biji-biji cemara itu sungguh sangat
aneh, mungkin biji cemara itu adalah sejenis yang istimewa dan tidak sama
dengan biji cemara biasa."
"Kakek-moyangmu! Apa
bedanya biji cemara ini dengan biji cemara biasa?" rnaki Oh-lotoa.
"Pendek kata, kelak kalau kamu mati tentu akan masuk neraka dan dihukum
masuk dalam wajan minyak mendidih dan dipanggang di tungku membara. Dasar
hwesio bangsat, lwekangmu tinggi dan dapat rnembinasakan aku, biarpun mati aku
pun takkan menyesal karena memang kepandaianku kalah jauh. Tapi buat apa kamu
mesti pentang bacot seenaknya, sudah melukai orang, yang disalahkan biji
cemaranya. Hm, mentang-mentang kamu sudah berhasil menyakinkan Pak-beng-cin-gi'
dan mestinya juga tidak perlu main menang-menangan,"
Hi-tiok menjadi heran oleh
dampratan Oh-lotoa itu, sahutnya, "He, kau bilang Pak ... Pak..”
"Ya, hari ini memang
mujur keledai gundul kecil ini" kata si anak dara dengan tertawa,
"Sebenarnya ilmu sakti nenek 'Pak-beng-cin-gi' ini adalah ilmu yang
dirahasiakan dan tak diajarkan pada siapa pun juga. Tapi kamu berhati sangat
tulus, benar-benar rela mati bagi nenek, kelakuanmu ini sudah memenuhi syarat
untuk menerima ajaranku, Apalagi dalam keadaan kepepet ketika nenek perlu
bantuanmu. Eh, Oh-loioa, boleh juga pandanganmu ya, ternyata kaupun kenal nama
ilmu yang digunakan hwesio cilik ini."
Kedua mata Oh-lotoa sampai
melotot saking herannya, agak lama barulah ia berkata, "Sia ....siapakah
kau? Tadi engkau bisu, kenapa sekarang dapat bicara?"
"Hm, berdasar apa kau
berani tanya siapa diriku?" jengek si anak dara. Lalu ia keluarkan
sebuah'botol porselen kecil, ia tuang dua butir pil kuning dan diserahkan
kepada Hi-tiok serta berkata, "Minumkan dia!"
Hi-tiok mengiakan tanpa banyak
bicara ia terima kedua pil itu dan disodorkan ke mulut Oh-lotoa.
Seketika Oh-lotoa mengendus
bau pedas yang sangat menusuk hidung sehingga dia bersin beberapa kali. Ia
girang-girang kejut, katanya, "Bukan..kah ini Kiu ...
Kiu-coan-him-coa-wan?"
"Benar, luas juga
pengetahuanmu ya, kamu tidak kecewa sebagai pemimpin para Tocu," sahut si
anak dara. "Pil Kiu-coan-him-coa-wan ini sangat manjur untuk mengobati
segala macam luka dan menyambung nyawa, lekas minum,"
"Kenapa engkau menolong jiwaku?"
tanya Oh-lotoa. Ia kuatir kehilangan kesempatan baik maka tanpa menunggu
jawaban si anak dara segera ia pentang mulut dan telan kedua biji pil kuning
itu.
Maka si anak dara menjawab,
"Pertama aku merasa terima kasih atas pertolonganmu, kedua, di kemudian
hari aku masih membutuhkan tenagamu."
Oh-lotoa semakin heran,
katanya, "Berterima kasih kepada pertolonganku? Padahal sudah terang aku
hendak membunuhmu, bilamana aku pernah bermaksud baik padamu?"
"Bicaramu ternyata sangat
jujur dan terus terang, kamu tidak kecewa sebagai seorang jantan.... "
jengek si anak dara.
Tiba-tiba ia mendongak ke
langit, ia melihat sang surya sudah berada tepat di atas kepala. Segera katanya
kepada Hi-tiok, "Hwesio cilik, aku akan melatih ilmu, kamu harus menjaga
diriku di samping sini. Jika ada orang datang hendak mengganggu, boleh kaugunakan
'Pak-beng-cin-gi' yang kuajarkan padamu itu, dengan segenggam pasir atau sambar
sepotong batu dan sambitkan saja pada musuh."
"Tapi kalau aku
menewaskan orang lagi, lantas bagaimana?" ujar Hi-tiok sambil
geleng-geleng kepala. 'Tidak ... aku .. aku tak mau."
Anak dara itu pun tidak
memaksa ia mendekati tepi puncak dan memandang ke bawah, lalu katanya.
"Sementara ini juga takkan kedatangan orang, kalau tidak mau juga tak
apa."
Kemudian ia duduk bersila, in
rangkap kedua tangan di depan dada, lalu jari telunjuk kanan mengacung.ke
langit dan jari telunjuk kiri menuding ke bumi, ketika ia bersuara mendengus
sekali, dari lubang hidungnya lantas memancur keluar dua jalur hawa putih
halus.
"Hei, ini ... ini
'Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-cun-kang' .... " seru Oh-lotoa dengan
terperanjat,
Hi-tiok tidak peduli apa yang
diserukan orang sebaliknya ia tanya, "Oh-siansing, sesudah makan obat,
lukamu sudah baikan tidak?"
Namun Oh-lotoa lantas
mencaci-maki, "Keledai gundul keparat, hwesio bangsat, lukaku akan sembuh
atau tidak peduli apa denganmu? Buat apa pura-pura tanya,"
Namun sebenarnya luka di
perutnya itu memang sudah berkurang rasa sakitnya.
Oh-lotoa tahu
Kiu-coan-him-coa-wan adalah obat mujarab milik leng-ciu-kiong di puncak
Biau-biau-hong, Thian-san, sesudah minum obat itu boleh dikata jiwanya dapat
direnggut kembali dari tangan elmaut. Tapi ia menjadi sangat terperanjat ketika
melihat anak dara itu dapat melatih ilmu yang hebat itu,
Ia pemah mendengar cerita
orang bahwa "Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-cun-kang' (ilmu maha agung, di
atas langit dan di seluruh jagat) itu adalah semacam ilmu yang tak ternilai
milik Leng-ciu-kiong, kalau tidak mempunyai dasar lwekang beberapa puluh tahun
tidak mungkin dapat melatihnya. Tapi anak dara yang diculiknya dari Leng-ciu-kiong
ini usianya paling-paling cuma sembilan atau sepuluh tahun saja, mengapa juga
dapat melatih ilmu sakti itu?
Dalam pada itu kelihatan kabut
putih yang terembus keluar dari lubang hidung si anak dan telah menyelubungi
sekitar kepalanya, makin lama makin tebal kabut itu sehingga akhirnya wajah
anak dara itu tertutup semua. Menyusul terdengar ruas tulang anak dara itu
berkerotokan, bunyinya seperti kacang digoreng.
Hi-tiok saling pandang dengan
Oh-lotoa dengan bingung. Cuma Oh-lotoa sedikit-sedikit tahu tentang
"Tokcun-kang" itu, tapi sampai dimana cara berlatih ilmu itu tidaklah
diketahuinya,
Sementara itu suara
"pletak-pletok" seperti kacang digoreng itu mulai mereda, menyusul
kabut putih pun buyar, lalu jalur-jalur hawa putih menyusup kembali ke dalam
lubang hidung si anak dara. Habis itu, perlahan si anak dara membuka mata dan
berbangkit.
Hi-tiok dan Oh-lotoa sama
kucek-kucek matanya sendiri, mereka merasa mata sendiri sudah kabur, mereka
merasa sesudah melatih ilmu itu air muka si anak dara itu menjadi agak aneh,
tapi dimana letak perbedaannya dengan tadi mereka tidak dapat mengatakannya.
Anak dara itu tampak mengawasi
Oh-lotoa, katanya kemudian, "Pengetahuanmu ternyata cukup luas sehingga
kenal juga Tok-cun-kang yang kumiliki ini."
"Sia ... siapakah
kau'" tanya Oh-Iotoa dengan takut-takut.
"Ha , nyalimu sungguh
besar sekali,” kata anak dara itu dan tidak menjawab pertanyaan Oh-lotoa,
sebaliknya ia lantas berkata pada Hi-tiok,
"Sekarang boleh
kaurangkul aku dengan tangan kiri, tangan kanan pegang pinggang belakang
Oh-lotoa. kerahkan Pak-heng-cin-gi yang telah kaupahami itu dan loncat ke atas
bohon, lari ke atas puncak sana, hari ini kita dapat mencapai 500 kali lebih
tinggi lagi."
"Mungkin Siauceng tidak
mempunyai tenaga sekuat itu," ujar Hi-tiok. Tapi ia pun menuruti apa yang
dikatakan anak dara itu dan merangkulnya, sedang tangan kanan lantas
mencengkeram pinggang belakang Oh-lotoa, terasa agak berat dan sukar meloncat
ke atas pohon.
"Lekas mengerahkan tenaga
dalam!" bentak si anak dara.
"Ya, ya! Dalam bingungnya
aku menjadi lupa," sahut Hi-tiok dengan tertawa. Dan segera ia kerahkan
hawa murni di dalam tubuh.
Aneh juga, seketika badan
Oh-lotoa yang besar itu menjadi ringan seperti kapas, apalagi badan sianak dara
yang kecil itu, boleh dikata tidak tersisa apa-apa.
Dan sekali loncat .segera
Hi-tiok mencapai pucuk pohon, menyusul ia lantas melayang ke depan menurut
ajaran si anak dara, ternyata jalannya dari atas satu pohon ke pohon yang lain
sama saja seperti dia jalan di tanah datar saja, sedikitpun tidak sukar.
Suatu kali ia melangkah
terlalu cepat sehingga melampaui ranting pohon yang harus dihinggapinya itu,
maka ia kejeblos ke bawah. Keruan ia kaget, untung pegangannya atas si anak
dara dan Oh-lotoa tidak sampai terlepas, lekas-lekas ia kerahkan tenaga dan
meloncat lagi ke atas.
Ia kuatir didamprat si anak
dara, maka tanpa berkata ia, terus lari terlebih cepat ke atas puncak gunung
sana.
Lama kelamaan cara melayangnya
itu menjadi biasa dan lancar, maka larinya semakin kencang sehingga samasekaili
tak dirasakan bahwa saat itu dia sedang mendaki puncak gunung, sebaliknya tiada
ubah seperti orang sedang turun ke bawah gunung.
"Kamu baru saja belajar
Pak-beng-cin-gi', tidak boleh digunakan dengan terlalu berat, jika mau selamat,
hendaknya berhenti saja," kata si anak dara.
Hi-tiok mengiakan, dan sesudah
melayang lagi beberapa, meter jauhnya, lalu ia "lepas gas" dan
melompat turun ke bawah, beban muatannya juga diturunkan.
Sungguh kejut, dan kagum
Oh-lotoa tak terhingga, katanya kepada anak dara itu, 'Pak ....Pak-beng-cin-gi
ini baru kauajarkan padanya hari ini dan ternyata, sudah begini hebat. Ilmu
sakti orang Leng-ciu-kiong sungguh sukar untuk dijajaki”.
Anak dara itu tak gubris
padanya, ia mendekati sebatang pohon, dilihatnya di sekeliling situ hutan
sangat lebat, maka katanya dengan tertawa dingin, "Hm, dalam tiga hari,
rasanya kawanan keroco kalian itu belum tentu mampu mencari kesini."
"Kami sudah kalah
habis-habisan. Sedang hwesio cilik ini memiliki tenaga sakti Pak-beng-cin-gi
pula, andaikan para kawan dapat menemukan jejakmu juga tak mampu melawan,"
kata Oh-lotoa dengan putus asa.
Si anak dara tertawa dingin
saja dan tidak berkata pula, ia pejamkan mata dan bersandar di batang pohon
untuk tidur.
Sesudah berlari-lari perut
Hi-tiok menjadi semakin lapar, ia pandang si anak dara, lalu memandang Oh-lotoa
pula, katanya kemudian, "Aku hendak pergi mencari makanan. Tapi kamu
berhati jahat, mungkin akan membikin celaka kawan cilik ini, lebih baik kubawa
serta dirimu saja."
Lalu ia cengkeram lagi
punggung Oh-lotoa dan hendak dibawa pergi.
Tiba-tiba si anak dara membuka
mata dan berkata, "Goblok, aku sudah mengajarkan cara tiam-hiat padamu,
sekarang dia sudah tak bisa berkutik dan kamu masih tak dapat menutuknya dengan
tepat"
"Justru kuatir tutukanku
salah dan dia masih dapat bergerak," kata Hi-tiok.
”Aku sudah pegang dia punya
'sing-si-hu', masakah dia berani sembarangan bergerak?" kata si anak dara.
Mendengar istilah 'Sing-si-hu'
itu, seketika Oh-lotoa berteriak kaget, "Hah, kau .'.. kau "
"Tadi kau makan berapa
biji obatku?" tanya si anak dara.
"Dua biji," sahut
Oh-loto;..
"Hm, khasiat
Kiu-Coan-him-coa-wan keluaran Leng-ciu-kiong sangat cespleng, masakah sekali
pakai perlu dua biji?" ujar si anak dara. "Lagi pula binatang yang
lebih rendah daripada babi dan anjing seperti dirimu masakah ada harganya untuk
makan dua biji pil mujarabku?"
Seketika jidat Oh-lotoa keluar
butir keringat sebesar kedelai, tanyanya dangau suara gemetar,
"Jadi yang satu biji itu
adalah , .. adalah .... "
"Coba periksa kaupunya
‘Thian-ti-hiat'" potong si anak dara.
Dengan gemetar Oit-lotoa coba
membuka baju, benar juga ia lihat Thian-ti-hiat di tepi kelek kirinya terdapat
satu titik merah seperti andeng-andeng. Seketika ia berteriak kaget dan
hampir-hampir jatuh kelengsr, serunya, "Sebenarnya engkau ini ... ini
siapa? Da .. . dari mana kau tahu letak tempat Sing-si-hu ku? Jadi aku telah
minum Toan-kin-hu-kut-wan?"
Anak dara itu tersenyum,
sahutnya, "Aku masih memerlukan tenagamu, tidak nanti aku cabut nyawamu,
maka tidak perlu takut."
Namun kedua mata Oh-lotoa
tampak melotot lebar-lebar, betapa rasa takutnya sungguh sukar dilukiskan.
Sudah beberapa kali Hi-tiok
melihat wajah Oh-lotoa yang ketakutan, tapi sekali ini tampak luar biasa. Maka
ia coba tanya, "Toan-kin-hu-kut-wan (pil peluluh tulang dan pemutus otot)
itu barang apa-apaan? Apakah racun?"
Muka Oh-lotoa tampak
berkerut-kerut dan untuk sekian lamanya tidak dapat buka suara.
Sekonyong-konyong ia tuding
Hi-tiok dan mendamprat, "Kamu padri bangsat, hwesio keparat, keledai
gundul sialan! Kakek moyangmu delapan belas keturunan tentu haram jadah semua!
Kelak kamu pasti akan putus anak.putus cucu, kalau punya putra tentu juga
cacat, kalau punya putri tentu tidak laku kawin…”
Begitulah makin memaki makin
aneh-aneh, sungguh murkanya tidak alang kepalang. Lama sekali ia mengutuk
Hi-tiok habis-habisan, sampai akhirnya mungkin ia letih sendiri, lalu
berhenti..
Hi-tiok hanya menghela napas
belaka, sahutnya."Aku adalah hwesio, dengan sendirinya tidak kawin, kalau
tak kawin sudah tentu takkan punya anak dan cucu."
"Huh, kamu bangsat gundul
ini apa mengira akan putus turunan dengan aman? Tidak, aku justru doakan kamu
akan kawin dan kelak melahirkan dua puluh putra dan tiga puluh putri, semuanya
makan Toan-kin-hu-kut-wan, semuanya akan merintih-rintih. dihadapanmu, mati tidak
dan hidup tidak, akhirnya kau sendiri juga telan Toankin-hu-kut-wan dan rasakan
siksaan obat itu."
"Hah, apakah pil itu
sedemikian kejinya?" seru Hi-tiok kaget.
"Keparat, kelak kau
sendiri tentu akan tersiksa, ototmu akan putus semua,dan mulutmu tak bisa
terbuka, lidahmu akan kaku, lalu ... lalu .... " demikian Oh-lotoa
mengutuk terus, ia sendiri pun mengkirik bila teringat betapa sengsaranya akan
tersiksa bila obat itu sudah mulai bekerja. Terbayang akan
kemungkinankemungkinan itu sungguh ia ingin sekarang juga membunuh diri saja.
Maka terdengar si anak dara
berkata dengan tersenyum, "Asal kau turut segala perintahku, tentu aku
takkan mengerahkan daya kerja obat itu, kenapa kamu mesti takut? Hwesio cilik,
boleh kau tutuk dia agar dia tak bisa berkutik, jangan-jangan nanti dia menjadi
gila dan benturkan kepalanya pada batang pohon."
Hi-tiok mengiakan dan
mendekati Oh-lotoa ia raba betul tempat ih-sik-hiat, lalu menutuknya. Kontan
Oh-lotoa roboh dan pingsan,
Kiranya saat itu Hi-tiok sudah
berhasil meyakinkan "Pak-beng-cin-gi" yang sakti, sebenarnya tidak
peduli dia tutuk bagian mana pun sudah cukup membuat lawan terluka parah. Tapi
demi nampak. Oh-lotoa semaput, "Hitiok menjadi kelabakan malah, cepat ia
pijat-pijat gitok Oh-lotoa dan urut dadanya, sampai sekian lama barulah
Oh-lotoa siuman kembali. Namun keadaannya sudah sangat lemah, hanya bisa
bernapas saja dan tak mampu memaki lagi,
Melihat Oh-lotoa sudah siuman
barulah Hi~tiok pergi mencari makanan.
Meski di hutan situ banyak
hewan sebangsa ayam alas, kelinci, menjangan dan kambing liar, tapi biarpun
mati kelaparan juga Hi-tiok tidak mau membunuh, makluk berjiwa. Ia mencari
sampai lama dan tidak mendapatkan sesuatu tetumbuhan yang bisa dimakan. Terpaksa
ia lompat ke atas pohon Siang untuk memetik biji cemara ia kupas kulitnya dan
makan isinya sekadar tangsal perut.
Biji cemara itu agak gurih dan
enak, cuma bijinya terlalu kecil, sekaligus makan beratus-ratus biji juga belum
terasa kenyang. Namun begitu Hi-tiok juga tidak rakus, setelah isi perut
sekadarnya, lalu ia kumpulkan isi biji cemara itu sehingga penuh dua saku, ia
bawa kembali untuk makanan si anak dara dan Oh-lotoa.
Sudah tentu si anak dara
marah-marah karena makanan yang tidak digemari itu, katanya, "Sudahlah,
lekas kau buka hiat-to Oh-lotoa, biar dia yang mencarikan makanan bagiku."
Lalu ia pun mengajarkan
caranya membuka hiat-to yang tertutuk tadi.
"Ya, Oh-lotoa tentu juga
sudah kelaparan," ujar Hi-tiok. Lalu ia buka Hiat-to dan meraup segenggam
biji cemara untuk Oh-lotoa, katanya, "Oh-siansing, makanlah kacang ini
sedikit."
Dengan gemas Oh-lotoa melotot
sekali pada Hi-tiok, lalu ia comot biji cemara itu dan dimakan, Setiap jejalkan
satu biji kacang cemara ke mulut segera ia memaki satu kali "Hwesio
jahanam!" Setelah makan lagi satu biji, ia maki pula. "Kepala gundul
keparat!"
Namun Hi-tiok juga tidak
marah, ia maklum orang mencaci-maki padanya adalah karena dia telah melukainya.
"Sehabis makan, lekas
tidur, dilarang bersuara lagi!" kata si anak dara
On-lotoa tidak berani
membantah dan cepat mengiakan. Dengan cepat ia makan biji cemara itu, lalu
rebah dan tidur.
Hi-tiok sendiri juga sangat
letih, ia duduk bersila di sebelah si anak dara, tidak lama kemudian ia pun
terpulas.
Esok paginya cuaca ternyata
mendung, awan hitam penuh menutupi puncak gunung dan tampaknya akan hujan.
"Oh-lotoa," kata si
anak dara. "Lekas pergi menangkap seekor menjangan atau kambing, sebelum
lohor kamu harus kembali."
Oh-lotoa mengiakan dan
berbangkit dengan sempoyongan. Ia jemput sebatang ranting kayu untuk dipakai
sebagai tongkat. Lalu melangkah pergi dengan berincang-incut.
Mestinya Hi-tiok merasa
kasihan dan ingin memayangnya sebentar, tapi demi ingat Oh-lotoa hendak pergi
berburu dan membunuh, segera Hi-tiok berdoa lagi, lalu katanya, "Wahai,
menjangan, ayam alas, kelinci dan sekalian makluk alam hendaklah menjauh dan
jangan sampai kena ditangkap Oh-lotoa."
Si anak dara hanya mendengus
saja melihat kelakuan Hi-tiok yang ketolol-tololan itu.
Siapa duga, biarpun dalam
keadaan terluka, entah dengan cara bagaimana, akhirnya Oh-lotoa dapat kembali
sebelum lohor dengan hasil buruannya seekok anak menjangan.
Melihat bakal korban itu,
kembali Hi-tiok berdoa berulang-ulang.
Menjangan kecil itu tampaknya
belum ada setahun umurnya dan masih bersuara mengembik mencari induknya,
Lalu Oh-lotoa berkata,
"Hwesio cilik, lekas menyalakan api, sebentar kita dapat makan daging
panggang menjangan."
"Ampun, dosa, dosa!
Siauceng sekali-kali takkan membantu perbuatanmu yang jahat ini," kata
Hi-tiok.
Namun Oh-lotoa tak peduli
lagi, segera ia mencabut belatinya terus hendak menyembelih menjangan itu.
"Nanti dulu,"
tiba-tiba si anak dara mencegahnya.
Oh-lotoa menurut saja dan
menarik kembali belatinya.
Hi-tiok menjadi girang,
serunya, "Ya, betul! Nona cilik memang welas-asih, kelak pasti akan
mendapat ganjaran yang baik."
Namun si anak dara hanya
tertawa dingin saja dan tidak gubris padanya.
Dalam pada itu bayangan orang
semakin mengkeret, hari tetap mendung sehingga bayangan hampir tak kelihatan.
Akhirnya si anak dara berkata
"Sudah waktu lohor
sekarang!"
Segera ia angkat menjangan
kecil itu dari pegangan Oh-lotoa, sesudah pentang kepala menjangan itu, lalu
tenggorokan binatang itu digigitnya.
Saking kesakitan menjangan itu
meronta-ronta sambil bersuara keras, namun gigitan anak dara itu sangat
kencang, mulutnya mengeluarkan suara
"krok-krok", darah
menjangan tiada hentinya disedot.
Keruan Oh-lotoa terperanjat,
teriaknya, "Hei, hei! Kau ... kau terlalu kejam ini!"
Namun anak dara itu tetap
tidak peduli dan misih terus sedot darah sekuatnya, rontaan menjangan itu makin
lama makin kendur, ahirnya berkdojotan beberapa kali dan tak bergerak lagi,
sudah mati.
Sesudah kenyang minum darah
menjangan, hal ini kentara dari perutnya yang agak gembung, lalu anak dara itu
melemparkan bangkai menjangan dan duduk bersila lagi untuk melatih "Tok-cun-kang"
dengan mengembuskan hawa putih, dari hidungnya.
Pada saat itulah sinar kilat
tampak berkelebat dan guntur, berbunyi menyusul air hujan mulai mencurah dengan
derasnya. Tapi anak dara itu tetap berlatih tanpa bergerak, kabut putih semakin
tebal membungkus kepalanya, sedikit pun tidak terganggu oleh air hujan.
Hi-tiok dan Oh-lotoa berteduh
di bawah pohon besar itu. Selang agak lama barulah tampak anak dara itu selesai
berlatih dan berbangkit. Sudah tentu pakaian anak dara itu basah kuyup.
Katanya, "Sesudah hujan berhenti, boleh daging menjangan itu dipanggang
... "
Esok paginya kembali Oh-lotoa
berburu dan mendapat seekor kambing, caranya tetap sama, sehabis darah disedot
anak dara itu dan selesai berlatih ilmu, lalu makan daging kambing panggang alias
sate kambing,
Sudah tentu Hi-tiok merasa
muak, katanya, "Nona cilik, sekarang Oh-lotoa telah tunduk kepada segala
perintahmu dan dapat melayanimu dengan baik tanpa berani membangkang. Maka
biarlah Siauceng mohon diri sekarang juga "
"Tidak, aku melarangmu
pergi," kata anak dara itu.
"Siauceng harus cepat
pulang ke Siau-lim-si untuk melaporkan hasil tugasku, maka tidak dapat tertahan
lebih lama lagi di sini," ujar Hi-tiok.
"Jadi kamu tidak mau
menurut kata-kataku dan mau tinggal pergi begini saja?" si anak dara
menegas.
"Tapi nona jangan
kuatir," ujar Hi-tiok. "Aku sudah mendapat akal, Jubahku akan kuisi
dengan rumput dan dedaunan sehingga berwujud sebuah karung, lalu aku pura-pura
membawamu lari dan sengaja diperlihatkan kepada orang di bawah gunung itu.
Dengan demikian mereka pasti akan mengejarku karena mengira dirimu berada di
dalam karung yang kugendong. Sesudah Siauceng memancing kawanan pengejar itu
sampai jauh, lalu engkau dan Oh-lotoa dapat turun gunung dengan aman dan pulang
ke Biau-biau-hong kalian."
"Akalmu ini boleh juga,
tapi aku tidak mau lari" seru si anak dara.
"Jika tak mau, ya, boleh
juga kau sembunyi saja di sini," kata Hi-tiok "Di tengah hutan lebat
penuh salju ini tentu mereka pun sukar menemukanmu. Sesudah 8 atau 10 hari,
tanpa alangan kaupun dapat pergi dengan bebas."
"Jika lewat 8 atau 10
hari lagi, aku pun akan pulih kepada kekuatanku antara usia 18 atau 19 tahun,
tatkala itu akulah yang tak mau memberi ampun kepada mereka," kata si anak
dara.
"Ha, apa katamu?"
Hi-tiok menegas dengan heran.
"Coba periksa yang betul,
apakah wajahku tiada sesuatu perbedaan dibanding tiga hari yang lampau"
kata anak dara itu
Waktu Hi-tiok mengamat-amati,
ia lihat roman anak dara itu seperti tambah tua beberapa tahun, sekarang mirip
dengan anak perempuan umur belasan dan tidak lagi delapan atau sembilan tahun,
maka katanya dengan setengah bergurau.
"Ya engkau seperti ...
seperti sudah lebih tua beberapa tahun selama tiga hari ini. Cuma ...cuma
badanmu tidak bertambah besar."
Anak dara itu tampak sangat
girang, sahutnya, "Hehe, boleh juga pandanganmu sehingga dapat melihat aku
sudah tambah tua beberapa tahun. Dasar hwesio tolol, perawakan Thian-san
Tong-lo sudah tentu mirip anak perempuan kecil, selamanya tak bisa tumbuh lebih
besar lagi."
"Hah, Thian-san Tong-lo!
Engkau, Thian san Tong-lo?" teriak Hi-tiok dan Oh-lotoa berbareng saking
terperanjat.
"Memangnya kalian sangka
aku siapa?” jengek anak dara itu dengan gusar. "Nenekmu selamanya berbadan
anak kecil, masakah kalian sudah buta semua sehingga, tidak tahu?"
Dengan mata terbelalak
Oh-lotoa mengawasi si anak dara alias Thian-san Tong-lo, mulut komat kamit
seperti ingin omong apa-apa, tapi sukar diluapkan.
Selang agak lama, mendadak ia
berlutut dan berkata dengan tcrguguk-guguk, "Oo, seharusnya aku sudah tahu
sejak mula, aku ... aku benar-benar orang paling goblok di dunia ini,
sebaliknya kusangka engkau adalah seorang dayang cilik yang tiada artinya di
Leng-ciu-hong, siapa tahu ....siapa tahu engkau ... engkau adalah Thian-san
Tong-lo sendiri!"
"Dan tadinya kausangka
aku ini siapa?" tanya nenek berbadan kerdil itu kepada Hi-tiok,
Sahut Hi-tiok dengan tenang
dan sewajarnya, "Aku sangka dirimu adalah, anak dara yang kesurupan setan
tua!".
"Ngaco-belo!” semprot
Thian-san Tong-lo.
"Apa-apaan setan tua yang
selurup di badan anak perempuan segala?"
"Habis, bangun tubuhmu
sama dengan anak kecil, tapi pikiranmu dan suara mu serupa nenek-nenek jompo,
kau sendiri mengaku sebagai nenek pula, jika bukan arwah halus wanita tua yang
selurup di badan anak kecil, masakah bisa terjadi begitu?"
Thian-san Tong-lo terkekeh
geli katanya, "Dasar hwesio cilik tolol,"
Lalu ia berpaling kepada
Oh-lotoa dan berkata, "Ketika aku ditawan olehmu, selama itu kamu tidak
membinasakan aku, sekarang kamu tentu menyesal bukan?"
"Benar," mendadak
Oh-lotoa berbangkit. "Pernah tiga kali aku berkunjung ke Biau-biau-hong
dan mendengar suaramu, cuma kedua mataku ditutup sehingga tidak tahu mukamu.
Sungguh aku Oh-lotoa memang goblok sehingga menganggap dirimu sebagai ...
sebagai anak bisu,"
"Bukan cuma kamu saja,
tapi di antara ke-36 Tongcu dan ke 72 Tocu juga banyak yang pernah mendengar
suaraku," kata Tong-lo. "Dan kalau nenekmu tidak berlagak bisu,
bukankah rahasiaku akan konangan dan berbahaya?"
Berulang Oh-lotoa menghela
napas gegetun katanya, "Konon Thian-san Tong-lo memiliki ilmu sakti,
membunuh orang tidak pernah dua kali serangan. Tapi mengapa dapat kulawan
dengan sangat mudah tanpa melawan sedikit pun?"'
Thian-san Tong-lo terbahak
bahak, katanya, "Aku pernah meiyatakan terima kasih atas pertoloiganmu,
dan di situlah letak persoalannya. Hari itu kebetulan aku akan kedalangan
seorang musuh tangguh, sedangkan kesehatanku terganggu dan sukar melawannya.
Kebetulan kamu menculik aku sehingga nenek terhindar dari bencana, bukankah aku
harus berterima kasih padamu?"
Sampai di sini, mendadak sorot
matanya berubah bengis dan sambungnya pula, "Tapi sesudah kamu tawan
diriku, kamu tuduh aku bisu pula dan menyiksa aku dengan macam-macam aniaya
keji, dosamu sungguh keliwat takaran, kalau tidak sebenarnya aku dapat
mengampuni jiwamu."
Cepat Oh-lotoa menjura,
katanyu, "Lolo, kata peribahasa: yang tidak tahu tak dapat disalahkan.
Jika waktu itu Oh-lotoa mengetahui engkau adalah Thian-san Tong lo yang sangat
kuhormati dan kutakuti, biarpun nyaliku sebesar gunung juga tidak berani main gila
padamu."
"Hm, takut sih memang,
tapi belum tentu kamu menghormati diriku," jengek Tong-lo. "Kamu
telah kumpulkan 36 Tongcu dan 72 Tocu untuk mengadakan komplotan khianat
padaku. Nah, bagaimana kamu akan bicara?"
Keringat Oh-lotoa mengucur
sebagai hujan dan tiada hentinya menjura sehingga batok kepalanya membentur
batu, akhirnya sampai keluar darah.
Diam-diam Hi-tiok membatin.
"Kiranya nona cilik adalah Thian-san Tong-lo, Tong-lo, Tong-lo, tadinya
kusangka dia she Tong, siapa tahu Tong artinya anak. Jadi Tong-lo benar-benar
artinya nenek berwujud bocah dan tidak berayi nenek she Tong. ilmu silatnya
terang luar biasa dan banyak tipu akalnya pula, setiap orang sangat takut
padanja, sebaliknya selama beberapa hari ini aku telah bantu dia, dalam hati
diam-diam tentu dia mentertawakan aku tidak tahu diri. Ai, Hi-tiok, wahai
Hi-tiok engkau benar-benar seorang hwesio tolol!”
la lihat Oh-lotoa masih terus
menjura, segera ia tinggal pergi tanpa pamit.
"Hendak ke mana kau?
Berhenti!" bentak Tong-lo mendadak.
Hi-tiok membalik tubuh dan
memberi hormat, katanya, "Selama tiga hari ini Hi-tiok telah berbuat
macammacam kebodohan, sekarang aku hendak mohon diri saja!"
"Kebodohan apa?"
tanya Tong-lo.
"Habis ilmu silat Lisicu
sendiri sangat sakti dan mengguncangkan dunia, tapi Hi-tiok sendiri buta dan
tidak kenal dirimu, sebaliknya berani menolongmu segala. Kalau Lisicu tidak
mengolok-olok saja aku sudah merasa berterima kasih, aku sendiri makin pikir
semakin malu, maka lebih baik mohon diri saja," demikian, sahut Hitiok.
Nenek bocah itu mendekati
Hi-tiok, katanya kepada Oh-lotoa, "Aku ingin bicara dengan hwesio cilik,
lekas menyingkir yang jauh."
Berulang Oh-Iotoa mengiakan
dan cepat berbangkit serta menyingkir ke sana.
"Siauhwesio (padri
kecil), selama tiga hari ini kamu benar-benar telah menyelamatkan jiwaku dan
bukan
berbuat kebodohan," kata
Tong-lo kepada Hi-tiok. "Selama hidup Thian-san Tong-lo tidak pernah
menguapkan terima kasih kepada orang tapi kau telah menolong jiwaku, kelak
nenek pasti akan membalas kebaikanmu ini."
"Ah, kepandaian mu maha
tinggi, masakah perli pertolonganku? Terang engkau hanya berolok-olok
saja," ujar Hi-tiok.
Tong-lo menjadi kurang senang,
katanya, "Jika aku bilang kamu telah menolong jiwaku, maka hal itu memang
benar telah terjadi. Selama hidupku tidak suka bila ada orang berani
membantahku. Iwekang yang nenek yakinkan ini memang betul bernama
'Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-sinkang’. Ilmu ini maha sakti, tapi ada suatu
ciri kelemahannya, yaitu setiap 30 tahun tentu dari tua akan kembali muda"
.
"Dari tua kembali
muda?" Hi-tiok nenegas dengan terheran-hcran. "Wah, jika begitu,
bukankah sangat baik? Siapa di dunia ini yang tidak ingin, kembali muda?"
"Ai, kamu hwesio cilik
ini sangat jujur, kamu telah menolong jiwaku pula, maka tiada alangannya
kuceritakan padamu," kala Tong-lo dengan menghela napas. "Sejak
berusia lima tahun aku sudah berlatih ilmu sakti itu, ketika berumur 36 tahun
aku telah 'dari tua kembali muda' satu kali dan tempo yang kukorbankan adalah
30 hari, Ketika berumur 66 tahun kembali muda lagi dan makan waktu 60 hari. Dan
tahun ini aku berumur 96 tahun dan kembali muda lagi, maka aku harus korbankan
tempo 90 hari untuk memulihkan tenaga sakti."
"Haa? Sekarang engkau ...
engkau berumur 96 tahun?"' Hi-tiok menegas dengan mata terbelalak sebesar
gundu.
"Aku adalah Suci gurumu,
Bu-gai-cu, jika Bugai-cu tidak mampus, maka tahun ini dia sudah berumur 93
tahun. Aku lebih tua tiga tahun dari dia, bukankah umurku 96 tahun
sekarang?"
Mata Hi-tiok terbelalak lebih
lebar lagi. Sungguh susah untuk dipercaya bahwa Thian-san Tong-lo itu sudah
berumur 96 tahun jika dilihat dari perawakan dan wajahnya.
Maka nenek itu berkata pula,
"Ilmu 'Tok-cun-kang' ini adalah semacam Iwekang yang sangat aneh dan
sakti. Cuma sayang aku terlalu cepat melatihnya, baru berumur lima tahun aku
sudah mulai berlatih dan tiga tahun kemudian daya sakti ilmu ini pun tampak
jelas, yaitu aku selalu awet muda dan tidak bisa tua lagi, badanku juga tidak
dapat tumbuh pula dan selamanya berwujud seperti anak perempuan berumur delapan
atau sembilan tahun."
"O, kiranya begitu,"
kata Hi-tiok. Sekarang ia percaya penuh bahwa "anak dara" itu
benar-benar adalah Thiansan Tong-lo. Kemudian ia, tanya pula, "Dan ada apa
lagi ketika engkau kembali muda pula pada tahun ini?"
"Pada saat mulai kembali
muda, seluruh tenaga sakti akan punah," tutur Tong-lo. "Dan untuk
seterusnya setiap aku berlatih satu hari, tenagaku lantas pulih seperti waktu
berumur lima tahun satu hari lagi, tenagaku pulih seperti waktu berumur enam
tahun dan hari ketiga pulih seperti umur tujuh tahun. Jadi latihan setiap hari
sama dengan satu tahun. Cuma untuk berlatih diperlukan minum darah segar pada
waktu lohor tiap hari,
"Waktu aku diculik
Oh-lotoa, tatkala itu aku baru berlatih sampai hari keempat, maka dengan mudah
dapat diculik olehnya. Maklum waktu itu tenagaku baru-pulih seperti ketika
berumur 8 tahun, dengan sendirinya tidak dapat melawan. Terpaksa aku pura-pura
bisu dan berlagak gagu serta dimasukkan karung oleh Oh-lotoa dan dibawa lari”
"Sejak itu aku tidak
dapat minum darah segar dan tetap berkekuatan seperti anak berumur delapan
tahun saja. Dari tua kembali muda adalah seperti ular yang mengelungsungi,
setiap kali ganti kulit baru menjadi tambah tua satu tahun, Tapi kalau
ditangkap pada waktu ganti kulit, maka celakalah”.
"Bila dalam dua-tiga hari
lagi aku tidak dapat minum darah segar sehingga tidak bisaberlatih, jika hawa
mumi dalam tubuhku meledak, maka jiwaku pasti akan melayang. Sebab itulah
kubilang kamu sudah menolong jiwaku, hal ini sedikitpun tidak salah."
"Jika begitu, sekarang
engkau baru pulih seperti anak berumur belasan tahun, untuk bisa pulih sampai
usia 96 tahun bukankah masih perlu waktu lebih dan 80 hari dan itu berarti akan
minta korban jiwa menjangan atau kelinci sebanyak berpuluh ekor?"
'Thian-san' Tong-lo tersenyum,
sahutnya, "Ha, hwesio cilik sekarang rupanya sudah tambah pintar. Cuma
saja dalam waktu 80 an hari ini tenagaku masih belum dapat pulih dengan
sekaligus, kalau menghadapi kaum keroco sebangsa Oh-lotoa, Putpeng Tojin dan
lain-lain masih gampang dibereskan, tapi bila musihku yang utama mendapat tahu
jejakku dan memburu kemari, maka susahlah, bagi nenek untuk melawannya, untuk
itu diperlukan perlindunganmu."
"Tapi kepandaianku
terlalu rendah! Dalam pandangan Cianpwe boleh dikata tiada nilainya,"
sahut Hi-tiok. "Jika Cianpwe sendiri tidak sanggup melawan musuh itu,
apalagi diriku yang tak becus. Maka menurut pendapatku akan lebih baik bila
Cianpwe menghindar saja sejauh mungkin, nanti sesudah 80-an hari lagi, kalau tenaga
sakti Cianpwe sudah pulih kembali tentu tidak perlu takut lagi kepada musuh
mana pun."
"Meski kepandaian mu
rendah, tapi tenaga murni himpunan Bu-gai-cu selama 70 tahun sudah di curahkan
seluruhnya ke dalam tubuhmu, asal kaupaham cara mengarahkannya, tentu masih
cukup untuk menandingi sekadarnya terhadap musuh utamaku itu," kata
Tong-!o. "Baik, begini saja, marilah kita mengadakan 'barter' Aku nanti
mengajarkan" ilmu silat sakti padamu, kemudian kau gunakan ilmu silat
ajaranku itu untuk
melindungiku menghadapi musuh,
ini namanya saling menguntungkan.".
Dasar Thian-san tong-lo sudah
biasa main perintah, setiap kata-katanya tidak pernah dibantah oleh siapa pun
juga, maka tanpa menunggu jawaban Hi-tiok segera ia melanjutkan lagi,
"Sebenarnya kaupun tidak terlalu bodoh. Kamu mirip anak kaum hartawan, ya,
boleh dikatakan putra kaum milyarder, kamu mendapat warisan yang
berlimpah-limpah, jadi tidak perlu mengumpulkan kekayaan lagi, tapi sebaliknya
kamu tidak dapat menggunakan uang, maka boleh belajar cara berfoya-foya
menghamburkan uang? Maka asal kamu melatih selama sebulan saja tentu akan
kelihatan hasilnya, dua bulan kemudian kamu sudah cukup kuat untuk sekadar
menandingi musuhku it.u. Nah, ingat dengan baik, langkah pertama adalah ....
"
"Jangan, Ciaupwe!"
berulang Hi-tiok menggoyang tangannya. "Siauceng adalah murid Siaulimpai,
biarpun kepandaian Cianpwe maha sakti, tapi Siauceng sekali-kali tidak boleh
mempelajarinya. Maaf, hendaknya jangan marah. Maaf!"
Thian-san Tong-lo menjadi
gusar, semprotnya, "Kepandaianmu dari Siau-lim-pai itu sudah dipunahkan
habis oleh Bu-gai-cu, mengapa kamu masih mengaku sebagai murid Siau-lim-pai
segala?"
"Ya, apa boleh buat,
terpaksa Siauceng akan pulang ke Siau-lim-si dan mulai belajar lagi dari
semula," kata Hitiok.
Tong-lo tambah marah,
"Jadi kamu anggap golongan kami adalah oarng jahat dan kamu tidak sudi
belajar ilmu kami?”
"Bukan begitu
maksudku," sahut Hi-tiok. "Orang beragama harus welas-asih dan
mengutamakan menolong sesamanya. Tentang ilmu silat kalau bisa melatihnya
hingga tinggi memang baik juga, tapi kalau tidak mahir juga tidak menjadi
soal."
Melatih Hi-tiok bicara dengan
penuh hikmat seperti padri saleh, diam-diam Tong-lo merasa dongkol, ia pikir
padri cilik ini sangat kepala batu kalau dipaksa tentu akan gagal. Tiba-tiba ia
mendapat akal, segera ia berseru, "Oh-lotoa, lekas pergi menangkap dua
ekor menjangan dan segera disembelih!"
Waktu itu Oh-lotoa lelah
menyingkir agak jauh, karena tenaga Thian-san Tong-lo masih lemah, maka
suaranya tak didengar Oh lotoa. Sesudah diulangi menggembor dua-tiga kali,
akhirnya baru terdengar Oh-lotoa mengiakan.
"He, kenapa engkau hendak
menyembelih menjangan lagi?" seru Hi-tiok kaget. "Hari ini bukankah
engkau sudah minum darah segar?"
"Habis, kamu yang memaksa
aku menyembelih kenapa banyak omong pula?" sahut Tong-lo dengan tertawa.
Hi-tiok menjadi heran,
katanya, "Bi ... bilakah aku memaksamu menyembelih menjangan ?”.
"Kamu tidak mau membantu
aku melawan musuh, maka akhirnya aku pasti akan dianiaya dan dibunuh musuh. Karena
itu, coba kalau kamu menjadi aku, apa kamu tidak merasa masgul? Dan untuk
melampiaskan rasa dendamku terpaksa aku ambil korban atas hewan saja."
"Omituhud'. Ampun!
Ampuun" sahut Hi-tiok.
"Cianpwe, kawanan hewan
itu sesungguhnya juga sangat kasihan. Hendaklah mengampuni jiwa mereka
saja."
"Hm, sedangkan jiwaku
sendiri sebentar lagi juga mungkin akan melayang, lantas siapa yang pernah
menaruh belas kasihan padaku?" jengek Thian-san Tong-lo. Lalu ia berteriak
keras-keras
"Oh-lotoa, lekas pergi,
dua ekor, tidak boleh kurang"
Dan dari jauh terdengar
Oh-lotoa mengiakan.
Hi-tiok menjadi bingung dan
tak berdaya. Jika ia tinggal psrgi begitu' saja, maka entah berapa banyak
kambing dan menjangan tak berdosa yang akan dibunuh Thian-san Tong-lo.
Sebaliknya kalau suruh dia tinggal terus di situ untuk belajar ilmu silatnya
Toug-lo, Hi-tiok merasa enggan juga.
Cara Oh-lotoa menangkap
menjangan rupanya sangat pintar, sebab tidak terlalu lama ia sudah kembali
dengan menyeret dua ekor menjangan hidup. Ia tahu Thian-san Tong-lo perlu darah
yang segar, maka ia tidak lantas menyembelihnya.
"Darah segar yang
kuperlukan hari ini sudah cukup, boleh kau potong menjangan itu dan buang saja
ke selokan sana," kata Tong-lo dengan tak acuh.
Oh-lotoa mengiakan, sekali
belatihnya bekerja "kuik", kontan seekor menjangan dijagalnya. Ketika
ia hendak potong lagi menjangan yang lain, tiba-tiba Hi-tiok berteriak,
"Nanti dulu, berhenti!"
"Jika kamu menurut kepada
perintahku, maka boleh kuampuni jiwa menjangan ini," kata Tonglo,
"Tapi kalau kamu tetap mau tinggal pergi, maka setiap hari tentu akan
kusembelih sepuluh ekor menjangan, dan 20 ekor ayam alas, 30 ekor kambing,
Banyak sedikit korban nanti bergantung kepada keputusanmu ini. Dahulu sang
Budha rela mengorbankan diri sendiri bagi sesamanya, beliau bilang "Kalau
aku sendiri tidak masuk neraka siapa yang mau masuk neraka?" Dan sekarang
nenek cuma minta kamu tinggal di sini buat beberapa hari lagi dan tidak
menyuruhmu masuk neraka, namun kamu tetap tidak mau dan tega membiarkan jiwa
kawanan hewan menjadi korban, apakah caramu ini ada setitik rasa sebagai murid
Budha ?"
Hi-tiok sampai berkeringat
dingin mendengar "kotbah"' itu, cepat sahutnya, "kritik Cianpwe
memang benar. Baiklah, harap lepaskan menjangan itu dan aku pasti akan menurut
kepada peminataanmu,"
Tong-lo sangat girang, segera
ia berkata kepada Oh-lotoa, "Nah, lekas lepaskan menjangan hidup itu! Lalu
kau sendiri lekas menyingkir yang jauh "
Sesudah Oh-lotoa menyingkir
agak jauh lalu Thian-san, Tong-lo mengajarkan istilah-istilah dan
rahasia-rahasia ilmu cara bersemadi dan mengerahkan hawa murni dalam tubuh.
Thian-san Tong-lo adalah
saudara seperguruan dengan Bu gai-cu, dangan sendirinya ilmu silat yang
diajarkan itu sangat gampang diterima oleh Hi-tiok yang telah mempunyai dasar
iwekang yang sama. Sedikit latihan saja kemajuannya sudah maju dengan pesat
Besoknya ketika Thian-san
To-ig-lo mengisap darah menjangan lagi untuk melatih "Tok-cun-kang"
sekali ini ia tidak membinasakan korbannya, ia bubuhi obat pada luka tempat
gigitan, lalu binatang itu dilepaskan. Katanya kepada Oh-lotoa,
"Karena Siausuhu"
ini tidak suka orang membunuh mahluk berjiwa, maka selanjutnya kau pun tidak
boleh, makan barang berjiwa, hanya boleh makan biji cemara saja. Jika kutahu
kamu makan daging menjangan atau kambing, hm, segara kusembelih dirimu untuk
mengganti jiwa binatang yang kau bunuh itu."
Sudah tentu Oh-lotoa tidak
berani membantah di mulut ia menyatakan tunduk, tapi. dalam hati ia mengumpat
Hi-tiok, sedari kakek-moyang ke 16 keturunan sehingga bapak-biyungnya juga ikut
dicaci-maki habis-habisan. Tapi ia tahu sekarang Hi-tiok adalah "anak
mas" Thian-san Tong-lo, betapapun ia tidak berani sembarangan mengeluarkan
kata-kata kotor.
Keadaan begitu telah berjalan
beberapa hari, bukan saja Thian-san Tong-lo tidak membunuh lagi, bahkan Ohlotoa
juga ikut-ikutan puasa. Tentu saja Hi-tiok sangat senang, pikirnya, "Orang
sudah menepati janji padaku,
betapapun aku juga harus
berbuat sepenuh tenaga baginya."
Maka setiap hari ia berlatih
dengan lebih giat, sedikit pun tidak berani malas.
Selama beberapa hari, yang
paling aneh adalah perubahan wajah Thian-san Tong-lo, hanya dalam, waktu
limaenam hari saja dari wajah anak dara berusia 11 atau 12 tahun sekarang sudah
berubah menjadi 17 atau 18 tahun. Yang tidak berubah hanya perawakannya, masih
tetap pendek dan kecil, kerdil atau mini.
Hari itu lewat lohor, sesudah
Thian-san Tong-lo habis melatih Tok-cun-kang", lalu katanya kepada Hi-tiok
dan Oh-lotoa, "Sudah cukup lama kita tinggal di sini, rasanya binatang
iblis itu pun akan dapat menyusul tiba. maka hwesio cilik boleh gendong aku dan
lari ke puncak yang lebih tinggi sana, sebelah tanganmu tetap mencangking
Oh-lotoa dan melayang di atas pohon agar tidak meninggalkan bekas di tanah
salju."
Hi-tiok mengiakan saja, tapi
ketika dia hendak angkat Thian-san Tong-lo ke atas punggungnya, sekonyongkonyong
dilihatnya air muka "anak dara" itu sangat cantik, ia menjadi kaget
dan menarik kembali tangannya, katanya dengan suara ragu,
"Siau , .. Siauceng tidak
berani mengganggu"
"Tidak berani mengganggu
apa?" tanya Tong-lo dengan heran.
"Cianpwe sudah pulih
kembali menjadi seorang nona dewasa dan bukan lagi anak dara cilik, maka orang
beragama lebih-lebih harus patuh, pada larangan antara kaum pria dan
wanita,"sahut Hi-tiok.
Tiba-tiba Tong-lo mengikik
tawa sehingga pipinya bersemu merah dan tambah cantik, katanya,
"Siauhwesio suka
ngaco-belo! Lolo (nenek) adalah nini-nini yang sudah berusia 96 tahun, apa
alangannya kamu menggendong aku?"
Habis berkata, segera ia
hendak menggemblok di atas punggung Hi-tiok..
"He. jangan, jangan.!”
cepat Hi-tiok berseru dan segera lari.
Dengan menggunakan ginkangnya
segera Thian-san Tong-lo mengejar dari belakang.
Saat itu
"Pak-beng-cin-gi" yang dilatih Hi-tiok sudah mencapai tiga perempat
masak, sebaliknya Thian-san Tong-lo baru pulih kekuatannya antara umur 18 tahun,
melulu ginkang saja ia sudah kalah jauh daripada Hitiok. Maka hanya sebentar
saja ia sudah ketinggalan jauh. "
"Siauhwesio, berhenti,
berhenti!" cepat Tong-lo berseru.
Hi-tiok menurut, ia berhenti
dan berkata,
"Biar kugandeng tanganmu
dan kita melompat bersama ku atas pohon!"
Tong-lo menjadi gusar,
katanya, "Dasar goblok, sedikit pun tidak bisa berpikir, rasanya selama
hidupmu pun sukar menguasai ilmu mujizad"
Pada saat itulah tiba-tiba
Hi-tiok melihat di belakang Thian-san Tong-lo ada berkelebatnya bayangan orang.
Bayangan itu seperti ada dan seperti tidak ada, rupanya orang itu berpakaian
putih mulus sehingga susah dibedakan antara tanah salju yang putih dengan
bayangan orang itu.
Hi-tiok terkejut dan segera
memapak maju. Mendadak terdengar teriakan Thian-san Tong-Io yang terus berlari
ka arah Hi-tiok.
Tiba-tiba terdengar bayangan
orang tadi berkata "Suci, senang benar engkau tinggal di sini!"
Ternyata suara seorang wanita
yang halus merdu.
Waktu Hi-tiok melangkah maju
dua-tiga tindak lagi dan mengawasi, ternyata orang berbaju putih itu
berpotongan langsing menggiurkan, terang adalah kaum wanita, tapi mukanya
berkerudung kain sutra sehingga tidak kelihatan wajahnya.
Mendengar wanita itu menyebut
Tong-lo sebagai "Suci" (kakak perguruan), maka Hi-tiok berpendapat
dirinya tentu takkan repot-repot lagi mengawal nenek itu karena sekarang
Tong-lo sudah kedatangan bala bantuan
orang sendiri.
Tapi ketika ia lirik Thian-san
Tong-lo, ia lihat air muka nenek itu sangat aneh, tampaknya sangat heran, jeri
dan gusar, bahkan bersikap setengah mengejek pula.
Tiba-tiba nenek itu melompat
ke samping Hi-tiok dan berseru "Lekas gendong aku dan lari ke atas puncak
sana!"
Tapi Hi-tiok masih ragu,
katanya, "Tentang ini .. , ini agak tidak pantas!"
Tong-lo menjadi gusar,
"plok", mendadak ia gampar Hi-tiok sekali sambil berteriak,
"Perempuan hina-dina itu sudah menyusul kemari dan aku terancam bahaya,
apa kamu tidak lihat?”
Karena tenaga Tong-lo sekarang
sudah pulih sebagian, maka tamparan itu cukup keras, kontan pipi Hi-tiok merah
bengkak.
"Suci," terdengar
wanita baju putih itu berkata, "Sampai tua tabiatmu ternyata tetap tidak
berubah selalu ingin memaksakan keinginanmu pada orang lain dan suka memukul
dan memaki orang""
Mendengar ucapan wanita
berbaju putih itu, seketika timbul rasa suka pada diri Hi-tiok, pikirnya,
"Jika orang ini betul-betul adalah sesama perguruan dengan Tong-lo dan
Bu-gai-cu, maka tabiatnya terang sangat berbeda, lebih halus, lebih sopan dan
tahu aturan."
Dalam pada itu Tong-lo masih
terus mendesak Hi-tiok, "Lekas gendong aku dan melarikan diri, makin jauh
makin baik, bantuanmu ini tentu takkan kulupakan dan akan kubalas
sebaik-baiknya."
Sebaliknya wanita baju putih
itu berdiri disamping dengan tenang-tenang saja, gayanya indah menarik.
Diam-diam Hi-tiok merasa nona
yang tak dikenal itu benar-benar sangat sopan-santun, mengapa Tong-lo menjadi
ketakutan dan benci padanya
"Suci, kita sudah 20
tahun tidak berjumpa, dan baru sekarang kita bertemu kenapa lantas terburu-buru
hendak pergi?" terdengar wanita baju putih itu berkata, "Siaumoai
telah menghitung bahwa dalam beberapa hari ini
adalah hari bahagiamu karena
dari tua telah kembali muda. Kabarnya paling akhir ini engkau tidak sedikit
mengangkat anak buah yang tak senonoh. Siaumoai kuatir mereka akan berbuat
tidak menguntungkan Suci, maka sengaja berkunjung ke Biau-biau-hong dengan
maksud hendak membantumu untuk melawan serangan dari luar, tapi justru tidak
dapat bertemu denganmu."
Karena Hi-tiok tetap tidak mau
menggendong dia dan lari dalam keadaan tak berdaya terpaksa Tong-lo menjawab
dengan marah-marah, "Hm terima kasih atas maksud baikmu! Kamu sengaja
datang ke Biau-biauhong sewaktu kau tahu aku sedang lemah, apa kamu bermaksud
membalas dendammu masa dahulu? Hah, mungkin di luar dugaan mu bahwa tanpa
sengaja aku telah diculik orang dan dilarikan sehingga kamu. Menubruk tempat
kosong dau sangat kecewa, bukan? Li Jiu-sui, meski hari ini kamu tetap dapat
menemukan aku, namun sayang kamu sudah terlambat beberapa hari, sudah tentu aku
tetap bukan tandinganmu, tapi tujuan mu hendak mengurus tenaga sakti yang
kuhimpun selama hidup ini jelas tidak bisa lagi."
"Ai, mengapa Suci berkata
demikian?'" sahut wanita baju putih. "Sejak Siaumoai berpisah dengan
Suci, sungguh Siaumoai senantiasa terkenang padamu, sering kuingin berkunjung
pada Suci, tapi sejak Suci pernah salah paham kepada Siaumoai dan setiap
bertemu pasti Suci mendampratku, sebab itulah supaya tidak membikin marah Suci
dan agar tidak dihajar Suci, maka selama ini aku tidak berani berkunjung ke
Leng-ciukiong. Jika sekarang Suci menganggap Siaumoai mempunyai tujuan jahat,
ucapan Suci ini sungguh agak berlebih-lebihan.'"
Begitulah berulang-ulang
wanita baju putih itu menyebut "Suci" dengan penuh hormat dan mesra,
sebaliknya watak Thiau-san Tong-lo dikenal Hi-tiok agak galak. Maka ia menduga
permusuhan diantara kedua wanita yang baik dan jahat ini pasti Thian-san
Tong-lo adalah pihak yang salah.
Maka terdengar Tong-lo
menjawap dengan gusar, "Li Jiu-sui, pendek kata, kamu tidak perlu putar
lidah lagi. Lebih baik lihatlah, apa ini dan segera ia julurkan tangannya dan
perlihatkan cincin besi yang dipakainya pada jari kecil tangan kiri itu.
Wanita baju putih itu tampak
tergetar dan berseru, "Hah, Ciangbun-tiat-goan (cicin tanda ketua)! Kau
... kau dapatkan dari mana?".
"Sudah tentu dia yang
memberi. Sudah tahu kenapa pura-pura tanya?" sahut Tong-lo dengan tertawa
dingin.
Wanita baju putih itu tampak
rnelengak tapi segera ia berkata, "Hm, mana bisa dia... memberikan padamu.
Jika bukan mencuri, tentu kau merampas dari dia."
"Dengarkan, Li
Jiu-sui!" tiba-riba Thian-san Tong-lo berseru. "Ciangbunjin dari
Siau-yan-pai memberi perintah supaya kamu lekas berlutut untuk terima
perintah."
"Hm, siapakah yang
mengangkat kamu sebagai Ciangbunjin?" sahut wanita baju putih alias Li
Jiu-sui itu. "Kutaksir cincin itu besar kemungkinan kau rampas dari dia
setelah lebih dulu kaucelakai dia."
Sejak tadi sikap Li Jiu-sui
tenang-tenang saja tapi demi melihat cincin besi itu, bicaranya mulai aseran
dan tidak sabaran lagi.
"Kamu tidak mau tunduk
pada perintah Ciangbunjin dan bermaksud memberontak, ya?" kata Tong-lo
pula.
Mendadak sinar putih
berkelebat, pada detik lain terdengar suara "bluk" sekali tahu-tahu
tubuh Thian-sau Tong-lo mencelat pergi dan terbanting sejauh beberapa meter,
"He, ada apa" teriak
Hi-tiok kaget. Segera dilihatnya di atas tanah salju itu terdapat sejalur garis
merah, ternyata jari kecil Thian-san Tong-lo telah jatuh terputus di atas salju
dan cincin besi itu sudah berada di tangan Li Jiu-sui.
Kiranya dengan cepat luar
biasa Li Jiu Sui telah menabas jari kecil Thian-san Tong-lo dan merebut
cincinnya, lalu menghantamnya pula sehingga mencelat. Sedangkan senjata apa
yang digunakan untuk menabas jari, karena saking cepatnya sehingga Hi-tiok sama
sekali tidak melihatnya.
Maka terdengar Li Jiu-sui
berkata, "Suci, sebenarnya cara bagaimana kau celakai dia, hendaknya
katakan pada Siaumoai saja. Selamanya Siaumoai sangat hormat dan cinta padamu,
Siaumoai pun takkan membikinmu terlalu susah."
Setelah memegang cincin besi
itu, maka ucapanya mulai berubah lagi menjadi halus dan sopan.
Karena tidak tega, Hi-tiok
ikut berkata, "He, kalian adalah saudara seperguruan, buat apa saling
aniaya sekeji itu? Bu-gai-cu Losiansing sekali-kali bukan ditewaskan oleh
Tong-lo, Orang beragama tidak boleh dusta, aku tidak bohong padamu,"
"Numpang tanya siapakah
gelaran Taisu? Di mana Taisu bersemayam ? Kenapa kenal nama
Suhengku?"" tanya Li Jiu-sui kepada Hi-tiok.
"Siauceng bergelar
Hi-tiok. murid Siau-lim-si. Tentang Bu-gai-cu Losiansing .... ai, urusan ini
sangat panjang
kalau diceritakan .... "
Belum lanjut ucapan Hi-tiok,
sekonyong-konyong Li Jiu-sui mengebaskan lengan bajunya dan tiba-tiba Hi-liok
merasa kedua dengkulnya kesemutan, seketika jatuh terkulai ke tanah,
"Siausuhu adalah padri
saleh Siau-lim-pai, maka aku cuma sekadar menjajal kepandaianmu saja,"
kata Li Jiusui dengan tersenyum. "Hah, meski nama Siau-lim-pai sangat
gemilang di dunia kangouw, ternyata anak muridnya juga cuma begini saja."
Samar-samar Hi-tiok dapat
melihat wajah di balik kerudung kain sutra tipis itu agaknya sangat cantik,
usianya kurang lebih 40-an tahun, tapi pada muka yang molek itu seperti ada
beberapa jalur bekas darah atau bekas luka, karena tidak jelas kelihatan
sehingga membuat orang yang memandangnya merasa seram.
Lalu Hi-tiok menjawabnya,
"Aku adalah hwesio paling tidak becus dari Siau-lirn-si, harap Cianpwe
jangan pandang seorang tak becus seperti aku ini untuk menilai seluruh orang
Siua-lim-piu."
Namun Li Jiu sui tidak gubris
padanya, perlahan ia mendekati Thian-san Tong-lo, katanya, "Suci, selama
ini sungguh Siaumoai sangat rnerindakan dirimu. Syukur Thian maha adil dan
akhirnya Siaumoai dapat bertemu lagi denganmu. Suci, berbagai kebaikan yang kauberikan
padaku pada masa dahulu itu, siang dan malam selalu kuingat dengan baik.
Sampai di sini
sekonyong-konyong sinar putih berkelebat pula terdengar Thian-san Tong-lo
menjerit ngeri, di atas tanah salju yang putih bersih itu seketika berlumuran
darah segar. Kaki kiri Tong-lo ternyata sudah berpisah dengan tubuhnya.
Kejut Hi-tiok sungguh bukan
buatan, dengan gusar ia membentak, "Sesama saudara seperguruan kenapa kamu
sedemikian kejamnya? Kau .. kau ... sungguh lebih buas daripada binatang'"
Pelahan Li Jiu-sui menoleh ke
arah Hi-tiok dan menyingkap kain sutra yang menutup mukanya itu sehingga
kelihatan raut mukanya yang bundar telur dan putih bersih.
Tapi mendadak Hi-tiok menjerit
kaget sekali. Ternyata di atas muka Li jiu-sui yang cantik itu terdapat empat
jalur bekas goresan senjata tajam, keempat julur bekas luka itu silang
melintang hingga berbentuk dua " X " . Karena luka itu maka mata
kanan tampak melotot keluar seperti biji mata ikan mas, ujung mulut sisi kiri
menjadi merot dan sumbing, sehingga wajah yang ayu itu berubah menjadi jelek
seperti siluman.
"Nah, lihatlah Taisuhu
dari Siau-lim-si, dahulu aku dilukai orang sedemikian rupa dan sekarang aku
harus menuntut balas atau tidak ?" tanya Li Jiu-sui. Habis itu ia tutup
kembali kerudung mukanya,
"Apakah ... apakah itu
perbuatan Tong-!o dahulu?" tanya Hi-tiok.
"Hm, boleh kautanya
sendiri padanya," jawab Li Jiu-sui.
"Benar, memang akulah
yang merusak mukanya," sambung Thian-san Tong-lo. Meski kakinya sudah
kutung dan mengucurkan darah seperti air ledeng, tapi dia tidak jatuh pingsan,
"waktu aku berusia 26 tahun, dengan ilmu .. . ilmu yang berhasil kulatih
itu mestinya tubuhku dapat tumbuh seperti wanita dewasa umumnya. Tapi diam-diam
dia membikin celaka aku sehingga latihanku tersesait dan akibatnya badanku tak
bisa tumbuh lebih besar lagi, coba katakan, dendam kesumat ini pantas dibalas
atau tidak?"
Hi-tiok memandang ke arah Li
Jiu-sui, pikirnya, "Jika apa yang dikatakannya itu betul, maka yang lebih
dulu berlaku kejam adalah, kau sendiri."
Dalam pada itu Tong-lo berkata
pula "Dan bila hari ini aku jatuh di tanganmu, ya, apa mau dikatakan lagi?
Siauhwesio ini adalah sobat baikku hendaknya jangan kau ganggu. Kalau tidak,
pasti 'dia' takkan mengampunimu."
Habis berkata ia terus
pejamkan mata dan pasrah nasib untuk disembelih atau digorok oleh lawannya
"Suci," terdengar Li
Jiu-sui menghela napas, "usiamu lebih tua dari ku, kau pun lebih pintar,
tapi kalau sekarang kamu hendak menipu Siaumoai lagi mungkin tidak gampang. Kau
bilang 'dia’, hm, jika dia ... dia masih hidup di dunia ini, kenapa cincin besi
ini bisa jatuh ke tanganmu? Baiklah, Siaumoai memang juga tiada permusuhan
apa-apa dengan Siausuhu ini, apalagi dasarnya Siaumoai memang penakut dan
sekali-kali tidak berani bermusuhan dengan Siau-lim-pai yang rnerupakan
golongan terpuja di dunia persilatan, maka aku pasti takkan mengganggu Siausuhu
ini. Di sini Siaumoai sudah sediakan dua butir Kiu-coan-him-coa-wan harap Suci
lekas minum supaya darah tidak mengucur terus dari pahamu yang terkutung itu."
"Jika hendak kau bunuh
diriku boleh lekas lakukan, bila ingin aku makan Toan-kin-bu-kut-wan itu untuk
disiksa dan dipermainkan olehmu, hm, jangan harap," jengek Thian-san
Tong-lo,
"Ai maksud baikku selalu
disalah paham Suci” kata Li jiu-sui. "Kulihat darah mengalir terlalu
banyak dari pahamu yang terkutung dan ini akan sangat mengganggu kesehatan Suci
sendiri, maka lebih baik Suci minum saja kedua pil ini."
Hi-tiok melihat di tangan Li
Jiu-sui yang putih halus itu terdapat dua butir pil kuning yang serupa dangan
pil pemberian Thian-san Tong-lo kepada Oh-lotoa itu, diam-diam ia merasa ngeri
dan membatin "Dasar ketulah, tadi kau beri obat jahat itu kepada orang dan
sekarang kontan kau pun dibayar kembali."
Dalam pada itu terdengar
Thian-san Tong-lo lagi berseru, "Siauhwesio, lekas kepruk balok kepalaku
agar nenek lekas pulang ke nirwana daripada mati dihina dan dianiaya perempuan
rendah ini."
Tapi dengan tertawa Li Jiu-sui
menanggapinya "Mana bisa? Siauhwesio sendiri sudah letih dan ingin
istirahat dulu di situ."
Baru sekarang Tong-lo ingat
bahwa Hi-tiok telah tertutuk tak berkutik oleh kebasan lengan baju Li Jiu-sui
tadi. Saking gusarnya sampai wajahnya merah padam.
"Suci, kakimu sekarang
menjadi ganjil, satu panjang dan satu pendek, kalau dilihat si'dia’ kan
malu?" ejek Li jin-sui pula. "Ai, seorang wanita kecil yang cantik
molek sekarang berubah menjadi si cantik yang pincang, sungguh harus disayangkan.
Ai, lebih baik Siaumoai menyempurnakanmu saja."
Habis berkata,
sokonyong-konyong sinar putih berkelebat dan tahu-tahu ditangannya sudah
bertambah sebuah senjata,
Sekali ini Hi-tiok dapat
melihat dengan jelas senjata yang dipegang Li Jin siu itu kiranya adalah
sebilah belati yang panjangnya cuma belasan sentib Belati itu sangat tipis dan
tajam
Rupanya Li Jui-sui sengaja
hendak menakut-nakuti Thian-san Tong-lo. maka dia tidak lantas menyerangnya,
belati itu hanya di obat-abitkan saja di depan kaki kanan Tong-lo yang tidak
terkutung itu.
Hi-tiok menjadi gusar melihat
kekejaman Li Jiu-sui. Karena itu hawa murni Pak-beng-cin-gi dalam tubuhnya
segera bergolak sehingga hiat-to bagian dengkul yang tertutuk itu tertembus,
seketika ia dapat bergerak lagi dengan bebas. Tanpa pikir, segera ia menerjang
maju, ia rangkul Thian-san Tong-lo terus dibawa lari secepat terbang ke atas
puncak.
Waktu Li Jiu-sui mengebas
hiat-to Hi-tiok tadi, ia mengira kepandaian padri kecil itu sangat rendah, maka
sedikit pun ia tidak menaruh perhatian padanya.
Sebaliknya ia sengaja hendak
menyiksa Thian-san Tong-lo dengan disaksikan Hi-tiok, ia merasa akan lebih
menyenangkan bila perbuatannya itu ditonton oleh orang. Siapa duga mendadak
Hi-tiok dapat menembus jalan darah sendiri yang tertuluk itu.
Kejadian yang mendadak itu
membuat Jiu-sui agak tercengang, dan ketika dia mengejar, namun sudah
ketinggalan beberapa meter jauhnya. Dengan tertawa ia berseru, "He,
Siauhwesio, apa kau pun kena dipelet oleh Suciku? Jangan kau kira dia sangat
cantik molek, sesungguhnya dia adalah seorang nenek jompo berusia 96 tahun dan
bukan gadis remaja lagi."
Karena tetap memandang enteng
pada Hi-tiok, ia yakin sebentar saja pasti dapat menyusulnya.
Di luar dugaan lari Hi-tiok
semakin lama semakin cepat, dan semakin cepat aliran darahnya jadi tambah
gencar dan Pak-beng-cin-gi dapat bekerja lebih hebat. Maka biarpun Li Jin-sui
mengejar mati-matian jaraknya tetap beberapa meter di belakang Hi-tiok dan
tidak dapat menyusulnya
Dalam sekejap saja
kejar-mengejar mereka sudah lebih satu li jauhnya, Li Jiu-sui mulai gopoh dan
terkejut, cepat serunya, "Siausuhu, jika tidak lekas berhenti terpaksa
akan kuserang dengan tenaga pukulanku"
Tong-lo tahu betapa hebat
tenaga pukulan sang Sumoai yang banyak pula gaya perubahannya, hal ini
sekalikali tak dapat dilawan oleh Hi-tiok. Asal sang Sumoai melancarkan
beberapa kali pukulan, pasti jiwa Hi-tiok akan melayang dan dirinya tetap akan
jatuh ke dalam cengkeraman Sumoai yang kejam itu. Maka katanya kepada Hi-tiok,
"Siausuhu, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Tapi perempuan
hina-dina ini memang sangal lihai dan kita tidak mampu melawannya,lebih baik
... kau lemparkan aku ke jurang saja dan mungkin dia takkan mengganggu dirimu."
"He.. mana .. mana boleh
begitu” sahut Hi-tiok. Dan karena dia buka mulut sehingga tenaga yang sedang
bekerja itu sedikit macet. Dalam pada itu Li Jiu-sui sudah lantas melompat
maju, tahu-tahu Hi-tiok merasa punggungnya di sodok oleh serangkum tenaga yang
kuat dan terasa "nyes" dingin, menyusul tubuhnya terus melayang turun
ke dalam jurang tanpa kuasa lagi.
Hi-tiok tahu telah kena
dihantam oleh tenaga pukulan Li Jiu-sui yang maha dingin, namun kerena
tangannya tetap merangkul Thian-san Tong-lo dengan erat sambil anjlok ke bawah.
Tak sempat berpikir pula, "Sekali ini aku pasti akan terbanting hancur
lebur."
Ketika Hi tiok mulai kejeblos
ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya itu, sayup-sayup terdengar suara Li
Jiu-sui di atas puncak "Ai, terlalu keras aku memukulnya sehingga
mengenakkan dia malah!"
Rupanya di atas puncak itu ada
sebuah celah yang tertimbun oleh salju tebal sehingga sedikit pun tidak kentara
dari atas. Ketika Li Jiu-sui melontarkan pukulannya dengan maksud merobohkan
Hi-tiok untuk kemudian dapat menawan kembali Thian-san Tong-lo dan akan
disiksanya secara keji sebelum membunuhnya.
Tak terduga saat itu Hi-tiok
sedang berada di atas celah-celah puncak gunung yang tertimbun salju itu,
karena getaran pukulan Li Jiu-sui yang keras itu, salju longsor dan Hi-tiok
bersama Thian-san Tong-lo ikut kejeblos ke bawah. Walaupun hal ini berarti Li
Jiu-sui telah menewaskan Thian-san Tong-lo, tapi dia merasa tidak puas cara
membalas sakit hatinya itu
Begitulah Hi-tiok kejeblos ke
dalam lembah gunung yang curam itu, ia merasa badannya terapung di tempat
kosong dan sedikit pun tak kuasa, cuma jatuhnya itu tegak ke bawah, telinga
mendengar suara angin yang menderu, meski kejadian itu hanya dalam waktu
singkat saja, tapi ia merasa jatuhnya itu seperti tidak habishabis dan tidak
sampai-sampai ke dasar.
Ia lihat di bawah adalah
lereng gunung penuh salju yang sedang menantikan dia, asal keduanya sudah
bergabung, maka tamatlah kelakonnya.
Tiba-tiba pandangannya serasa
kabur, tahu-tahu tanah salju di bawah itu ada beberapa titik hitam yang sedang
bergerak-gerak. Sebelum dia sempat membedakan benda apakah ... hitam itu,
sementara itu tubuhnya sudah terjun ke lereng gunung itu secepat elang
menyambar anak ayam.
Pada saat itu pula
sekonyong-konyong terdengar bentakan seorang, "Siapa itu" dan
tahu-tahu terasa serangkura tenaga maha kuat menolaknya dari samping sehingga
tepat mengenai, pinggang Hi-tiok yang hampir menyentuh tanah itu.
Lantaran itu, tubuh Hi-tiok
terus mencelat kesamping. Dan sekilas itu ternyata Buyung Kok adanya.
"Sambutlah ini!"
cepat Hi-tiok berteriak.
Maksudnya Thian-san Tong-lo
hendak dilemparkan sekuatnya kepada Buyung Hok.
Maklum, ia merasa jiwa sendiri
pasti sukar tertolong karena terbanting dari puncak gunung setinggi itu, oleh
karena itu demi tiba-tiba nampak Buyung Hok berada di situ, segera ia hendak
melemparkan Thian-sin Tong-lo ke arahnya agar nenek itu disambut Buymg Hok dan
tidak ikut terbanting mati.
Tak diketahuinya bahwa baru
saja Buyung Hok telah menggunakan gayanya yang khas, yaitu ilmu
"Tau-coansing-ih" (memutar bintang dan menggeser rembulan), daya
turun Hi-tiok berdua telah berkurang separuh karena ditolak oleh tenaga geseran
yang istimewa itu sehingga dari anjlok ke bawah Hi-tiok berdua tertolak
mencelat ke samping.
Betapa hebat tenaga tolakan
Buyung Hok itu sehingga sama sekali Hi-tiok tidak sempat lagi mengerahkan
tenaga untuk melemparkan Thian-san Toug lo. Dan sedikit ayal itulah tahu-tahu mereka
sudah mencelat belasan meter jauhnya untuk kemudian anjlok ke bawah pula.
Di luar dugaan mendadak kedua
kaki Hi-tiok seakan-akan menginjak sesuatu yang lunak dan berdaya pegas.
"Bluk", tahu-tahu Hi-tiok membal lagi ke atas. Keruan kejutnya tak
terkira dan menjerit, "He, apa itu?"
Sekilas dapatlah dilihatnya di
tanah salju itu menggeletak searang Hwesio yang sangat gemuk seperti bola
raksasa. Kiranya dia bukan lain adalah Sam-ceng. Hwesio.
Hwesio yang berpotongan aneh
dengan perut sebagai genta raksasa itu sering kali melanggar peraturan
Siaulim-si dan dihukum, maka boleh dikata setiap orang tentu mengenalnya.
Sungguh sangat kebetulan juga
ketika Hi-tiok anjlok ke bawah, dengan tepat kakinya menginjak perut Samceng
yang besar itu, kontan saja perut pecah dan usus keluar dan binasa seketika.
Untung juga berkat daya pental perutnya yang besar itu sehingga kaki Hi-tiok
tidak sampai patah.
Begitulah Hi-tiok kembali
membal lagi ke sana tanpa kuasa. Tiba-tiba terdengar pula seorang sedang
berkata, "Cumoti, sambutlah bola manusia ini!"
Waktu Hi-tiok memandang ke
arah suara itu seketika ia kaget setengah mati. Kiranya pembicara itu tak lain
tak bukan adalah Sing-siok Lokoai Ting Jun-jiu yang ditakutinya itu.
Demi ingat dirinya sendiri
pasti akan, di bunuh oleh Ting-lokoai, Hi-tiok menjadi gugup, cepat ia rangkul
Tong-lo dengan tangan kiri, telapak tangan kanan siap di depan dada untuk
menjaga diri.
Pada saat itulah pukulan Ting
Jun-jiu sudah dilancarkan. Lekas Hi-tiok menangkis. Saat itu Pak-beng-cin-gi sudah
cukup masak, maka begitu telapak kedua tangan kebentur, kontan Ting Jun-jui
tergetar mundur setindak. Ia sampai bersuara heran karena tenaga pukulannya
yang maha kuat itu ternyata tidak dapat melukai Hi-tiok sedikit pun.
Cuma Hi-tiok lagi terapung di udara,
karena tenaga pukulan Ting Jun-jiu itu, ditambah daya pental kembali dari
tenaga pukulan sendiri, maka tubuhnya lantas melayang pergi lagi seperti anak
panah terlepas dari busurnya.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang yang lemah lembut lagi berkata, "Omitohud. Harap Toan-sicu suka
menyambutnya!"
Sekilas Hi-tiok melihat
seorang Hwesio yang berwajah welas-asih dan sikapnya angker sedang angkat
tangan dan menghantam ke arahnya. Sebagai murid Budha yang sujud, meski badan
terapung di udara toh Hi-tiok masih sempat membalas salam kawan seagama itu,
"Omitohud! Ampun Taisuhu!"
Seketika ia merasa serangkum
tenaga maha kuat tapi lunak, menyambar ke arahnya, napasnya terasa sesak, tapi
badan teraba nyaman sekali. Cepat ia angkat tangan menolak ke depan, dua tenaga
pukulan k bentur, kontan tubuh Hi-tiok terpental lagi ke atas bagai terbang.
"Wah, bagaimana bisa
begini?" demikian terdengar seorang bertanya dengan bingung.
"Menggunakan manusia
sebagai senjata, kepandaian ini hanya dimiliki keluarga Giam di
Thai-goan-hu," terdengar suara seorang wanita sedang menjawab. "Tapi
ilmu silat Hwesio itu sendiri tidaklah lemah, di udara dia masih dapat
melancarkan serangannya, hal ini sangat berbeda dengan ilmu kepandaian keluarga
Giam. Wah, Toan-kongcu, aku sendiri tidak tahu cara bagaimana harus
melayaninya. Tapi jangan sekali-kali kau gunakan Lak-rnsh-sin-kiam dan
janganmelukai dia ...."
Terang pembicara itu yang satu
adalah Toan Ki dan yang lain Ong-Giok-yan. Meski Giok-yan bicara dengan cepat,
namun saat itu Hi-Tiok sudah melayang tiba ke arah Toan Ki.
"Siausuhu, aku takkan
menyerangmu!" seru
Toan Ki, ia segera pentang
kedua tangannya hendak merangkul. Hi-tiok
Begitulah waktu Toan Ki hendak
sambut jatuhnya Hi-tiok dengan merangkulnya, tiba-tiba terdengar Giok-yan
berseru padanya, "Jangan! Terlalu keras jatuhnya, tak boleh disambut dari
depan!"
Tapi melulu
"Leng-po-wi-poh" Toan Ki tidak paham kepandaian lain,
Lak-meh-sin-kiam hanya terkadang bisa digunakan dan terkadang tidak manjur
sehingga tidak dapat dianggap sebagai ilmu silatnya, apalagi Lak-mehsin-kian
itu dapat melukai sasarannya, sudah tentu tidak boleh digunakan atas diri
Hi-tiok.
Maka demi mendengar setuan
Giok-yan, cepat Toan Ki putar tubuh, ia hindarkan tubrukan itu dengan langkah
ajaib "Leng-po-wi-poh". Dan hampir pada saat yang sama itulah Hi-tiok
yang membawa Thian-san Tong-lo telah menumbuk punggungnya.
Keruan Toan Ki mengeluh,
"wah, sekali ini pasti celaka!"
Dalam gugupnya segera ia
percepat langkahnya ke depan.
Ilmu silat lain tidak dipahami
Toan Ki, hanya langkah "Leng-po-wi-poh" ini sudah sangat apal baginya
seketika ia merasa punggungnya seperti ditindih oleh benda berat sehingga susah
bernafas dan hampir jatuh terjerembab, tapi setiap ia melangkah ke depan satu
kali, daya tindih dari belakang itu lantas berkurang sebagian, sehingga sesudah
dia berlari belasan langkah, maka dengan enteng sekali Hi-tiok terperosot jatuh
dari punggungnya.
Sebenarnya Hi-tiok dan
Thian-san Tong-lo jatuh dari puncak gunung yang beratus meter tingginya,
kebetulan ia kena digontok satu kali oleh pukulan Buyung Hok sehingga jatuhnya
terpental dan ganti arah, kemudian membal lagi kena perut Samceng Hwesio yang
besar, lalu ditolak oleh pukulan Ting Jun-jin dan didorong sekali pukul oleh
Cumoti dan akhirnya kena digendong Toan Ki sambil dibawa lari, sesudah
mengalami lima kali rintangan itu akhirnya ternyata Hi-tiok dan Thian-san
Tong-lo tidak celaka apa-apa dan dapat mencapai tanah dengan selamat.
Sesudah berdiri, lalu Hi-tiok
berseru kepada orang banyak;, "Banyak terima kasih atas pertolongan
kalian!"
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang menghela napas panjang dari balik lereng gunung sana.
Dalam keadaan terluka parah
Thian-san Tong-lo masih belum kehilangan akal sehatnya, demi mendengar suara
itu cepat katanya dengan kuatir, "Celaka, perempuan hina itu telah memburu
kemari. Rasanya dia belum puas sebelum menemukan dan mencincang mayatku. Ayolah
lekas lari lagi, lekas!"
Hi-tiok merasa bergidik; juga
bila teringat pada kekejaman Li Jiu-sui. Maka cepat ia lari ke tengah hutan
lagi dengan memondong Tong-lo.
Sekilas Comoti dapat melihat
di pangkuan Hi-tiok itu meringkuk seorang wanita yang cantik molek, cuma
perawakannya tak dapat dilihatnya, maka ia sangka Hi-tiok membawa lari anak
gadis orang, terus saja ia berteriak-teriak, "Omituhud! Hwesio Siau-lim-si
tidak taat pada ajaran agama, dan menggondol lari gadis baikbaik!"
Ting Jun-jiu juga berjingkrak
gusar dan berteriak, "Keledai gundul kecil, kamu telah menginjak mati
hwesio yang jauh-jauh kubawa dari Siau-lim-si, pasti kutangkap dirimu dan akan
kubeset kulitmu dan betot ototmu'." Habis berkata segera ia mengejar.
Tapi Buyung Hok lantas
melontarkan sekali pukulan ke arahnya sambil berseru dengan tertawa
"Tinglosiansing, kita masih belum menentukan kalah atau menang, kenapa
hendak kabur?"
"Kentut! Siapa yang ingin
kabur?" sahut Ting Jun-Jiu dengan gusar dan terpaksa balas hantaman Buyung
Hok dengan pukulan juga.
Saat itu Li Jiu-sui sedang
lari turun dari lereng gunung sana, walaupun cepat luar biasa. tapi tetap kalah
cepat dibandingkan jatuhnya Hi-tiok yang terjerumus lurus ke bawah itu, dengan
sendirinya jajaknya tertinggal sangat jauh. Hi-tiok sendiri ketakutan, maka ia
iari secepat terbang tanpa ayal sedikitpun.
Sesudah beberapa li jauhnya,
tiba-tiba Thiansan Tong-lo berkata, "Turunkan aku robek lengan bajuku
untuk
membalut luka pahaku agar
tidak meninggalkan bekas, darah sehingga akan menjadi petunjuk jalan bagi
perempuan hina dina itu, Kau tutuk tiga kali pada Goan-tiau-hiat dan
Sing-bu-hiat di kakiku untuk menghentikan mengucurnya darah."
Hi-tiok mengiakan dan
melakukan apa yang diminta itu sambil mendengarkan kalau-kalau ada suara
kejaran Li Jiu-sui.
Kemudian Tong-lo mengeluarkan
sebiji pil kuning dan ditelan sendiri, lalu katanya, "perempuan hina-dina
itu dendam sedalam lautan padaku, betapapun tidak mungkin menyudahi diriku
dengan begitu saja. Padahal aku masih perlu 72 hari lagi baru pulih kekuatanku
semula, tatkala mana aku takkan takut lagi padanya. Dan selama 72 hari yang
akan datang ini aku harus sembunyi di mana?"
Hi-tiok ikut berkerut kening
dan berpikir, "Hendak sembunyi satu hari saja susah, di mana dapat dibuat
sembunyi selama 72 hari."
Tiba-tiba Tong-lo berkata pula
seperti bergumam sendiri, "Rasanya tempat sembunyi yang paling aman adalah
Siau-lim-si saja .... "
Keruan Hi-tiok melonjak kaget
sebelum ucapan Tong-lo habis.
Tong-lo menjadi gusar,
dampratnya, "Hwesio goblok, kenapa kaget? Jarak dari sini ke Siau-limsi
ada ribuan li jauhnya, mana dapat kita berangkat ke sana?"
Ia merandek sejenak, lalu
sambungnya, "Dari sini ke barat, kira-kira ratusan li lagi adalah negeri
Se He. Padahal perempuan hina itu mempunyai hubungan erat dengan kerajean Se
He, bila dia memberi perintah agar jago kelas satu It-bin-tong kerajaan Se He
dikerahkan untuk mencari kita, maka susahlah untuk lolos dari tangan kejinya.
hei, hwesio cilik, kalau menurut pendapatmu, ke mana kita harus sembunyi?"
"Asal kita sembunyi di
dalam gua di tengah hutan belukar atau di lereng gunung yang curam, kukira
Sumoaimu belum tentu dapat menemukan kita," sahut Hi tiols,
"Kau tahu apa?" omel
Tong-lo. "Bila perempuan hina itu tidak dapat menemukan kita, tentu dia
akan pulang ke Se He untuk melepaskan kawanan anjing, jika anjing-anjing buruan
yang beribu-ribu banyaknya itu dikerahkan, ke mana pun kita akan sembunyi juga
pasti akan diketahui oleh kawanan anjing itu."
"Jika begitu marilah kita
lari ke arah tenggara sana, semakin jauh meninggalkan negeri Se He kan semakin
aman," ujar Hi-tiok.
"Mana bisa," jengek
Tong-lo. "Di jurusan tenggara sudah tentu dia banyak memasang mata-telinga
untuk mengawasi kita."
Dan sesudah merenung sejenak,
tiba-tiba ia bertepuk tangan dan berkata, "Hab, ada akal bagus, Eh, hwesio
cilik, langkah pertama dari problem catur Bu-gai-cu yang kau pecahkan itu cara
bagaimana jalannya."
Hi-tiok merasa heran, masakah
dalam keadaan terancam bahaya begini masih ada pikiran iseng untuk bicara
tentang catur segala? Tapi ia pun menjawab, "Tatkala itu kujalankan secara
ngawur dengan mata terpejam, tahu-tahu langkah pertama itu menyumbat mati
jalannya sendiri sehingga sebagian besar biji catur sendiri terbunuh
malah."
"Hah," bagus"
seru Tong-lo dengan girang. "Selama berpuluh tahun ini banyak orang cerdik
pandai tak dapat memecahkan problem catur itu, soalnya karena tiada seorang pun
di antara mereka mau menempuh bahaya dengan mencari jalan kematian sendiri
untuk merebut kemenangan terakhir. Hm, bagus, benar-benar bagus! Ayo, hwesio
cilik, lekas gendong aku dan loncat ke atas pohon, lari selekasnya ke arah
barat!"
"Ke mana?" tanya
Hi-tiok.
"Ke suatu tempat yang tak
terduga oleh siapa pun juga," sahut Tong-lo. "Meski harus menyerempet
bahaya, tapi dalam keadaan mati atau hidup, terpaksa mesti ambil risiko
ini."
Melihat paha orang yang sudah
buntung itu. diam-diam Hi-tiok menghela napas, betapapun ia tidak dapat menolak
permintaannya meski akan menghadapi bahaya. Tanpa pikir lagi segera ia gendong
Tong-lo dan meloncat ke atas pohon serta lari secepat terbang ke arah barat
menurut petunjuk nenek berbentuk bocah itu.
Sekaligus Hi-tiok berlari
belasan li jauhnya ketika tiba-tiba jauh dan belakang sana terdengar suara
seruan yang sangat halus dan lembut, 'Hwesio cilik, kamu terbanting mampus
tidak? Suci, di manakah kau? Sungguh adikmu sangat merindukanmu, lekas
kemari!"
Terang itulah suara Li
Jiu-sui. Dalam kuatirnya kaki Hi-tiok menjadi lemas dan hampir saja terjungkal
ke bawah pohon.
"Hwesio geblek, kenapa
takut?" semprot Tong-lo. "Coba dengarkan, bukankah makin lama
suaranya makin
jauh, bukankah dia mengejar ke
arah timur sana?"
Waktu Hi-tiok mendengarkan
lebih cermat, benar juga suara Li Jiu-sui kedengaran semakin jauh. Ia sangat
kagum atas tipu akal Thian-san Tong-lo itu, katanya, "Dari mana dia tahu
kita tidak terbanting mati dari puncak gunung setinggi beratus meter ini
?"
"Sudah tentu ada yang
usil mulut dan memberitahukan padanya," ujar Tong-lo. "Hm, setan
cilik Ting Jun-jiu itu memang kudu dicekoki sebutir Toan-kin-hu-kut-wan yang
nenek sediakan ini"
Hi-tiok heran mendengar
Tong-lo menyebut Ting Jun-jiu sebagai '"setan cilik". Tapi segera ia
pun ingat bahwa Ting Jun-jiu adalah murid Bu-gai-cu, dengan sendirinya
tingkatan Tong-lo lebih tinggi daripada Ting Jun-jiu. Segera ia tanya pula,
"Apa Ting Jun-jiu yang memberitahukan padanya?"
"Terang dia," kata
Tong-lo. "Selain Ting Jun-jiu, tiada seorang pun di antara kaum itu kenal
diriku."
Dan sesudah termangu sejenak,
lalu ia berkata lagi, "Sudah puluhan tahun Lolo tidak turun dari
Biau-biauhong, sungguh tidak nyana ilmu silat di dunia telah maju sepesat ini.
Usia beberapa orang tadi masih muda, tapi semuanya tampak sangat lihai. Pemuda
yang mematahkan daya jerumus kita ke bawah itu benar-benar luar biasa, caranya
meminjam tenaga untuk memukul tenaga lawan sungguh tiada taranya. Dan padri
setengah umur itu besar kemungkinan adalah jago pilihan negeri Turfan, ada pula
pemuda ... pemuda cakap itu, siapakah dia? Mengapa dia mahir
'Leng-po-wi-poh'?"
Begitulah Thian-san Tong-lo
berguman sendiri. Sebaliknya Hi-tiok sedang kuatir disusul oleh Li Jiu-sui,
maka ia sedang lari seperti kesetanan dan tidak memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Tong-lo.
Sesudah berada di tanah datar,
masih tetap Hi-tiok memilih jalan kecil yang jarang dilalui manusia, malam itu
mereka pun menginap di tengah hutan belukar dan esoknya melanjutkan pula
perjalanan, arah yang dituju tetap sebelah barat.
"Cianpwe," katanya
di sebelah barat sana adalah wilayah negara Se He, maka kukira kita jangan
meneruskan perjalanan ke barat sana."
"Kenapa jangan ke
barat?" tanya Tong-lo dengan tetawa dingin.
"Habis, kalau kita masuk
ke dalam wilayah Se He, bukankah itu berarti kita mencari susah sendiri?"
ujar Hi-
tiok.
"Hm, justru tempat kita
berpijak sekarang pun sudah termasuk wilayah negeri Se He!" jengek
Tong-lo.
"Haah? Tempat ini
termasuk wilayah negeri Se He?" Hi-tiok menegas dengan kaget. "Bu
....bukankah kau bilang Li Jiu-sui mempunyai pengaruh yang ... yang sangat
besar di negeri ini?"
"Benar," sahut
Tong-lo dengan tertawa. "Perempuan hina-dina itu memang biasa malang
melintang di negeri Se He ini, dia berkuasa dan dapat berbuat apa pun di sini,
tapi kita justru sengaja menerjang ke tempat kepercayaannya ini agar mati pun
dia takkan menduga akan tindakan kita ini. Dia tentu akan mencari ke segenap
pelosok, sudah tentu dia takkan menyangka bahwa., kita justru sembunyi dengan
aman dan tentram sambil memulihkan kekuatan di tengah-tengah sarangnya ini.
Haha-haha-hahaha!"
Begitulah ia tertawa puas
sekali, lalu sambungnya pula, "Hwesio cilik, akal ini kutiru dari caramu
menjalankan langkah catur yang sama sekali tidak masuk akal dan paling goblok
itu, tapi pada akhirnya justru membawa'hasil baling bagus."
Sungguh rasa kagum Hi-tiok tak
terhingga, katanya, "Perhitungan Cianpwe sungguh sukar diraba oleh siapa
pun juga. Cuma ... cuma saja ... "
"Cuma saja apa?"
Tong-lo menegas.
"Kuduga di tempat
pangkalan Li Jiu-sui ini tentu masih ada jago kuat lain, kalau jejak kita
diketahui mereka ..."
"Hm, justru karena itulah
maka tindakan kita ini dapat dikatakan menyerempet bahaya. Seorang kesatria
sejati harus berani menempuh segala macam bahaya, kenapa mesti takut?"
ujar Tong-lo dengan mendengus.
Hi-tiok tidak menjawab, tapi
dalam hati ia pikir, "Jika tujuan ini untuk menolong orang atau demi untuk
kebaikan orang banyak, tentu ada harganya untuk menyerempet bahaya. Tapi kamu
dan Li Jiu-sui boleh dikata 'setali tiga uang' alias sama saja, sama-sama bukan
orang baik, buat apa aku mesti ikut susah menempuh bahaya bagimu?"
Melihat air muka Hi-tiok
mengunjuk rasa ragu dan serba susah, segera Thian-san Tong-lo dapat menduga apa
yang dipikirkannya, maka katanya, "Aku mengajakmu menyerempet bahaya,
sudah tentu nanti akan ku balas
kebaikanmu ini, tidak nanti
kamu bersusah payah percuma. Sekarang aku akan mengajarkan dulu tiga jurus
Ciang-hoat (ilmu pukulan) dan tiga jurus Kim-na-hoat (ilmu menangkap dan
memegang), gabungan enam jurus ilmu silat ini disebut
'Thian-san-ciat-bwe-jiu'."
"Ai, kesehatan Cianpwe sendiri
belum pulih, lebih baik Cianpwe merawat diri sendiri dulu," ujar Hi-tiok.
Tong-lo menjadi aseran, dengan
mendelik ia tanya, "Apa kauanggap kepandaianku ini dari golongan jahat dan
kamu tidak sudi mempelajarinya?"
"Bu ... bukan begitu
maksudku, jangan .... jangan salah paham," sahut Hi-tiok cepat,
"Habis, kenapa
ragu-ragu," kata Tong-lo.
"Ketahuilah bahwa
Thian-san Tong-lo selamanya tidak mau merugikan orang dengan percuma. Sebabnya
aku mengajarkan ilmu silat padamu adalah lantaran aku ingin memperalat tenagamu
untuk melawan musuhku. Jika kamu tidak mau belajar 'Thian-san-ciat-bwe-jiu'
(ilmu pukulan mematahkan pohon Bwe dari Thian-san), maka nasibmu pasti akan
binasa di negeri Se He. Soal kematianmu seorang hwesio keroco tidak menjadi
halangan, tapi dengan sendirinya Lolo akan ikut menjadi korban pula."
Hi-tiok mengiakan atas ucapan
nenek berbentuk bocah itu. Ia pikir Thian-san Tong-lo meski jahat, tapi segala
apa suka dibicarakan dengan blak-blakan, sungguh boleh dikata seorang jahat
yang suka berterus terang.
Begitulah maka Thian-san
Tong-lo lantas mengajarkan kata-kata kunci dari jurus pertama
Thian-san-ciat-bweJiu itu.
Kata-kata kunci atau sandi itu
terdiri dari dua helai kalimat dan tiap kalimat mempunyai nada yang berlainan
terdiri dari tujuh huruf sehingga seluruhnya ada 84 huruf. Ingatan Hi-tiok
cukup tajam, hanya sekali saja Tonglo mengajarkan padanya dan dia sudah dapat
mengingatkan dengan baik.
"Coba sekarang kamu tetap
lari ke arah barat sana dengan menggendong aku sambil mengapalkan kalimat sandi
yang kuajarkan ini," perintah Tong-lo.
Hi-tiok menurut, sambil lari
ia pun mengapalkan kalimat sandi itu, tapi baru tiga huruf ia ucapkan, huruf
keempat ia tidak sanggup mengucapkannya, dia harus berhenti dan ganti napas,
habis itu huruf keempat baru dapat diucapkan dengan lancar.
"Plak," mendadak
Tong-lo keplak ubun-ubun kepala Hi-tiok sambil mendamprat, "Hwesio geblek
baru kalimat pertama saja sudah lupa?"
Geplakan itu tidak keras, tapi
tepat mengenai 'Tek-hwe-hiat" di atas kepala Hi-tiok sehingga padri cilik
itu terhuyung-huyung karena merasa kepala pusing tujuh keliling, waktu ia
mengapalkan pula, sampai huruf keempat kembali dia gelagapan lagi, akibatnya dia
dikeplak pula oleh Tong-lo.
Diam-diam Hi-tiok sangat heran
kenapa tiap-tiap kali sampai pada huruf keempat lantas susah mengucapkannya.
Tapi ketika untuk ketiga kalinya dia mengapalkan, tahu-tahu huruf keempat itu
dapat disuarakan dengan lancar.
"Bagus, sudah lewat satu
rintangan," ujar Tong-lo dengan tertawa.
Kiranya kata-kata sandi dalam
kalimat itu sebenarnya adalah kunci utama dalam hal mengatur napas, tiap-tiap
huruf dari kalimat itu mempunyai nada tinggi atau rendah yang berbeda sehingga
cara mengucapkannya secara berturut-turut memerlukan kepanjangan tenaga dalam
yang kuat, apalagi sekarang Hi-tiok mengapalkannya dengan berlari. Namun dengan
bantuan Thian-san Tong-lo akhirnya ia dapat menembus rintangan itu.
Sampai lohor. Tong-lo minta
Hi-tiok menurunkan dia, ia pungut sepotong batu kecil, sekali selentik ia
tembak jatuh seekor burung gagak. Ia minum darah burung itu, lalu melatih
"Thian-siang-te-he-wi-ngo-tok-cun-kang".
Supaya maklum bahwa saat itu
kekuatan Thian-san Tong-lo sudah pulih seperti ketika dia berumur 18 tahun,
walaupun masih sangat jauh dibandingkan Li Jiu-sui, tapi sudah lebih dari cukup
untuk menembak burung gagak dengan selentikan batu kerikil.
Selesai Tong-lo berlatih, ia
suruh Hi-tiok menggendongnya lagi dan melanjutkan perjalanan sembari
mengapalkan pula kalimat yang telah diajarkan itu, kemudian ia suruh Hi-tiok
mengapalkan pula secara terbalik, yaitu dari belakang ke depan.
Sebenarnya cara demikian
adalah sangat susah, tapi dengan kesabaran dan tekad Hi-tiok, akhirnya dapat
diapalkan pula dengan lancar.
Sudah tentu Tong-lo sangat
senang, katanya, "Hwesio cilik, boleh juga kau ini ... Hei, tidak bisa
jadi...."
Mendadak suaranya berubah,
dengan kedua kepalan kontan ia hantami kepala Hi-tiok yang gundul sambil
memaki, "Kamu telah berbuat mesum dengan perempuan hina itu dan selama ini
aku dapat kau kelabui. Bangsat cilik, apa sekarang kamu hendak membohongi aku?
Huk-huk .... huk-huk-huk-huk .... " Begitulah akhirnya ia menangis dengan
terguguk-guguk.
Tentu saja Hi-tiok terkejut,
kepalanya yang gundul itu kena diketok belasan kali, cepat ia menurunkan
Tong-lo ke tanah dan bertanya "Cianpwe, apa ... apa yang kau
katakan?"
Namun air muka Thian-san
Tong-lo merah padam dan masih berteriak-teriak, "Kamu telah maingila
dengan Li Jiu-sui yang hina-dina itu, bukan?. Masakah roasih menyangkal? masih
juga tidak mau mengaku? Kalau tidak, mengapa dia mengajarkan
'Siau-bu-siang-kang' padamu. Bangsat cilik, . ai selama ini kamu telah bohong
padaku!"
Keruan Hi-tiok merasa bingung,
ia coba tanya lagi, "Cianpwe, 'Siau-bu-siang-kang' apa yang kau
maksudkan".
Tong-lo tampak tertegun, lain
termangu-mangu sejenak dan mengusap air mukanya, kemudian, katanya dengan
menghela napas. "O, tak. apa-apa. Soalnya gurumu melakukan sesuatu yang
mengingkari diriku."
Kiranya dari kelancaran
Hi-tiok mengapalkan ajaran itu. Tong-lo jadi teringat boleh jadi dia telah
berhasil meyakinkan "Siau-bu-siang-kang" yang merupakan kungfu khas
milik Li Jiu-sui.
Dahulu mereka bertiga saudara
seperguruan belajar bersama dan masing-masing mempunyai kepandaian khas
tersendiri-sendiri. "Siau-bu-siang-kang" itu hanya diajarkan kepada
Li Jiu-sui Oleh guru mereka ilmu itu lihainya tak terkira, sudah beberapa kali
Thian-san Tong-lo hendak membinasakan Li Jiu-sui, tapi berkat Siaubu-siang-kang
setiap kali Li Jiu-sui dapat bertahan dengan selamat.
Tong-lo tidak paham ilmu itu,
tapi ia cukup apal bagaimana kerjanya ilmu itu, sekarang ia merasa pada diri
Hitiok juga terdapat ilmu sakti itu bahkan sangat kuat, dalam kaget dan
gusarnya pikiran sehatnya menjadi kacau sehingga Hi-tiok dianggapnya sebagai
Bu-gai-cu serta dipukuli. Setelah tenang kembali, demi teringat Bu-gaicu telah
main gila dengan Li Jiu-sui di luar tahunya sungguh gusarnya tidak kepalang dan
amat berduka pula.
Malam itu, tiada
henti-hentinya Tong-lo masih mencaci maki Bu-gai-cu dan Li Jiu-sui. Melihat
rasa duka Tong-lo lebih hebat daripada rasa marahnya, diam-diam Hi-tiok ikut
sedih juga bagi nenek itu.
Esok paginya kembali Tong-lo
mengajarkan kalimat sandi kedua dari jurus ilmu pukulan kedua dan begitu
seterusnya setiap hari
diajarkan satu jurus. Sampai hari kelima waktu magrib, sampailah mereka di
suatu kota besar yang sangat ramai.
"Ini adalah kotaraja Se He,'
namanya Lengciu," tutur Tong-lo. "Kamu masih harus mengapalkan suatu
kalimat Kim-na-hoat yang terakhir, hari ini kita bermalam di sebelah barat
Lengciu. besok kita akan lari dulu ke barat sana sejauh dua ratus Li, kemudian
kita akan putar balik ke sini."
"Apa kita akan masuk ke
Lengciu?" tanya Hi-tiok
"Sudah tentu, kalau tidak
masuk ke kota itu mana bisa dikatakan menyerempet bahaya," sahut Tong-lo.
Satu hari kembali dilewatkan
pula, Hi-tiok sudah dapat mengapalkan dengan baik semua kalimat yang merupakan
kunci dari enam jurus "Thian-san-ciat-bwe-jiu", lalu Tong-lo
mengajarkan cara menggunakan ilmu pukulan itu di tanah pegunungan yang sunyi.
Karena sebelah kakinya sudah kutung, terpaksa ia duduk di atas tanah untuk
memberi petunjuk kepada Hi-tiok.
Meski
"Thian-san-ciat-bwe-jiu" itu hanya meliputi enam jurus saja, tapi
mencakup seluruh saripati ilmu silat Siau-yau-pai, di antara Cianghoat dan
Kim-aa-hoat, itu mencukup pula cara-cara permainan pedang, golok, ruyung,
tombak, dan senjata lain yang hebat dan luas. Sudah tentu seketika itu Hi-tiok
tak dapat mempelajari seluruhnya.
Maka Tong-lo berkata,
"Ciat-bwe-jiu kita ini tidak mungkin kau pelajari sehingga lengkap, tapi
kelak bila Iwekangmu sudah sempurna betul, dan pengalamanmu sudah luas, maka
segala macam ilmu silat di dunia ini tentu akan dapat kau patahkan dengan mudah
dengan Ciat-bwe-jiu yang kau latih ini. Sekarang kamu sudah apal betul-betul
kalimat kunci ilmu ini, sampai di mana hasil yang akan kau capai, untuk
selanjutnya adalah bergantung kepada dirimu sendiri".
"Sebabnya Wanpwe mau
belajar Ciat-bwe-jiu ini adalah untuk membela keselamatan Cianpwe,"
demikian kata Hi-tiok. "Kelak bila kekuatan Cianpwe sudah pulih dan Wanpwe
pulang ke Siau-lim-si, maka apa yang Cianpwe ajarkan padaku ini akan kulupakan
semua dan akan kulatih kembali kungfu Siau-lim-pai"
Tong-lo Lidak bicara lagi, ia
pandang Hi-tiok lekat-lekat dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan seperti
melihat sesuatu makluk maha aneh.
Selang Sejenak, akhirnya ia
menghela napas dan berkata. "Kamu benar-benar kelewat bodoh, masakah
Thiansan-ciat-bwe-jiu ini dapat dibandingi oleh segala ilmu silat dari Siau-lim
pai? Tapi seorang hwesio cilik sebagai dirimu masih tetap ingat pada sumbernya,'
betapapun hal ini harus dipuji. Sekarang kamu boleh mengaso dulu.
kalau hari sudah gelap, segera
kita pergi ke Lengciu"
Kira-kira sebelum tengah malam
dengan menggendong Tong-lo dapatlah Hi-tiok sampai di luar benteng kota
Lengciu, Ia lompat ke seberang' sungai yang melingkari benteng kota itu, lalu
melintasi tembok benteng yang tinggi dan belarian melayang ke dalam kota.
Dilihatnya penjagaan dalam
kota Lengciu itu sangat ketat, pasukan berkuda tampak meronda kian kemari
dengan membawa obor, rupanya kekuatan militer kerajaan Se He memang sangat
kuat.
Pengalaman Hi-tiok terbatas,
sekali ini dia ditugaskan turun gunung, sepanjang jalan ia banyak melihat
pasukan Kerajaan Sung, tapi kalau di bantingkan pasukan Se He yang gagah dan
tangkas itu terang kalah jauh.
Begitulah dengan petunjuk
Tong-lo dengan hati-hati Hi-tiok menyusur ke pojok barat sana, kira kira dua li
jauhnya, tertampaklah sebuah gedung bersusun yang sangat megah menjulang tinggi
di depan sana di belakang gedung bersusun ini banyak pula gedung lain yang
berderet-deret, genting gedung-gedung itu bercahaya mengkilap, nyata semuanya
terdiri dari genting kaca tebal.
Melihat atap gedung-gedung itu
agak mirip Siau-lim-si, cuma lebih megah dan jauh lebih mentereng, maka dengan
suara pelahan Hi-tiok memuji, "Omitohud! Ternyata di sini ada sebuah
kelenteng raksasa yang sangat megah!"
"Hwesio bodoh," kata
Tong-lo dengan tersenyum geli. "Ini adalah istana raja Se He, masakah kau
anggap kelenteng?"
"Hah, istana?" seru
Hi-tiok kaget "Lantas, untuk apa kita datang ke sini?"
"Kita dapat berlindung di
bawah pengaruh raja, bukan?" sahut Tong-lo. "Bila Li Jiu-sui tidak
menemukan mayatku, dia tahu aku belum mati, biarpun lapisan bumi ini harus dia
bongkar seluruhnya juga dia ingin menemukan aku. Tapi di tempat seluas ribuan
li ini mungkin hanya satu tempat saja yang takkan dia cari, yaitu rumahnya
sendiri."
"Wah, Cianpwe benar-benar
sangat pintar berpikir" puji Hi-tiok. "Jika begitu, marilah kita
bersembunyi ke rumah Li Jiu-sui, di mana letaknya?"
"Inilah rumah Li Jiu-sui.
mana lagi?" sahut Tong-lo sambil menunjuk istana itu. "Awas, ada
orang datang!"
Cepat Hi-tiok meringkuk di
pojok rumah, maka tertampaklah empat sosok bayangan melayang lewat ke sana,
menyusu! dari sana ada empat bayangan melesat ke sini pula. Kedelapan orang itu
berpapasan dan saling memberi tanda tepukan tangan, lalu memutar pergi dengan
cepat. Dari gerak-gerik mereka yang gesit jelas ilmu silat mereka tidaklah
lemah.
"Di sinilah habis dironda
oleh bayangkari raja, lekas melintasi pagar tembok istana itu, sebentar lagi
tentu akan kedatangan peronda lagi" kata Tong-lo.
Tapi Hi-tiok menjadi jeri demi
nampak penjagaan yang keras itu, sahutnya, "Cianpwe, dalam istana terdapat
sekian banyak jago pilihan, bila kita kepergok mereka, wah, bi ... bisa celaka,
Maka lebih baik kita pergi ke rumah Li Jiu-sui saja'
"Bukanlah sudah
kukatakan, inilah rumahnya" ucap Tong-lo dengan gusar.
"Katanya ini istana
raja?" sahut Hi-tiok.
"Hwesio tolol,"
semprot Tong-lo. "Perempuan hina itu adalah Hong-thai-hui (ibu suri) dan
istana Se He ini dengan sendirinya adalah rumahnya"
Keterangan ini benar-benar di
luar dugaan Hi-tiok , mimpi pun dia tidak menyangka bahwa Li Jiu-sui adalah ibu
suri kerajaan Se He. Selagi ia terkesima sejenak, sementara itu ada empat
bayangan orang sedang melayang lewat dari arah utara ke selatan.
Dan baru saja Hi-tiok hendak
bicara, tiba-tiba Tong-lo mendekap mulutnya, ia tercengang dan tahu-tahu dari
balik tembok yang tinggi sana muncul pula empat orang terus meronda ke arah
lain.
Munculnya keempat orang ini
benar-benar terlalu mendadak sehingga tak seorangpun menyangka di balik tembok
yang tinggi gelap ini ada orang bersembunyi.
Sesudah peronda itu pergi
jauh, Tong-lo melepaskan tangannya dan berkata, "Masuk ke sana melalui
lorong kecil itu!"
Hi-tiok tahu penjagaan dalam
istana sangat keras dan dirinya sudah berada di tempat maha bahaya, kalau tiada
petunjuk dari Thian-san
Tong-lo, umpama sekarang mundur kembali juga pasti akan dipergoki para
bayangkari tadi. Maka tanpa pikir lagi segera ia menuju ke lorong kecil yang
ditunjuk itu dengan menggendong Tong-lo.
Lorong kecil itu diapit dua
dinding yang tinggi, jadi lorong itu sebenarnya adalah lorong di tengah dua buah
istana. Sesudah menembus lorong itu, mereka sembunyi di tengah semak-semak dan
menunggu lewatnya peronda bayangkari, kemudian mereka menyusup masuk ke tengah
taman yang penuh gunung-gunungan buatan.
Dengan petunjuk Tong-lo,
setiap beberapa meter jauhnya Hi-tiok lantas berhenti untuk sembunyi.
Dan aneh juga, hanya sekejap
saja mereka sembunyi segera dari depan muncul bayangkari peronda. Rupanya
Tong-lo apal sekali keadaan dalam istana itu, di mana ada pos penjagaan dan di
mana akan dilalui peronda, semua diketahuinya dengan baik, seperti juga Tong-lo
sendiri adalah komandan piket yang mengatur penjagaan itu.
Begitulah dengan secara
sembunyi-sembunyi akhirnya Hi-tiok sampai di suatu tempat yang banyak terdapat
perumahan rendah dan jelek, para peronda juga tidak kelihatan lagi.
"Ke sana!" kata
Tong-lo sambil menunjuk suatu rumah batu yang paling besar di sebelah kiri.
Hi-tiok tihat latai depan
rumah batu itu adalah tanah lapang yang luas dan bersih tanpa sesuatu benda
yang dapat dibuat sembunyi, maka cepat ia melesat ke depan dan sekaligus sampai
di samping rumah itu.
Ternyata dinding di sekeliling
rumah batu itu adalah buatan dari belahan batang pohon Siong yang besar pula.
"Tarik pintu itu dan
masuk ke dalam," desak Tong-lo.
"Apakah Li ... Li Jiu-sui
tinggal di sini?" tanya Hi-tiok ragu,
"Tidak," sahut
Tong-lo. "Lekas masuk ke dalam"
Cepat Hi-tiok menarik gelang besi
pintu kayu raksasa itu. Sesudah masuk dalam, ternyata di depan terdapat sebuah
pintu pula. Berbareng terasa hawa dingin yang menusuk tulang mengembus keluar
dari balik pintu itu.
Tatkala itu sudah memasuki
musim panas, meski puncak gunung masih bersalju, tapi di tanah datar salju
sudah cair dan bunga mekar semarak
Namun pada daun pintu kedua
itu ternyata terbeku selapis salju yang tipis..
"Dorong pintu itu,"
perintah Tong-lo pula.
Waktu Hi-tiok mendorong,
pelahan pintu itu terbuka, tapi baru belasan senti pintu itu terbuka, seketika
terasa hawa dingin menyampuk dari depan.
Untung Iwekang Hi-tiok sudah
sangat tinggi, namun begitu kena serangan hawa dingin yang mendadak tanpa
terasa ia menggigil juga.
Waktu pintu itu didorong lebih
lebar, maka kelihatan di dalamnya penuh tertimbun barang karungan sebangsa
bahan makanan sehingga menyundul atap rumah. Rupanya rumah batu ini adalah
gudang perbekalan. Di sisi kiri ruangan terluang sebuah jalan.
Diam-diam Hi-tiok sangat heran
mengapa gudang bahan pangan bisa begitu dingin?
Dalam pada itu Tong-lo telah
berkata dengan tertawa, "Tutup kembali pintu itu. Kita sudah masuk ke
dalam gudang es, rasanya takkan terjadi apa-apa lagi".
"Gudang es?" tanya
Hi-tiok penuh heran. "Bukankah ini gudang bahan makanan?"
Ternyata Tong-lo telah berubah
sangat baik hati sekarang, ia tunggu sesudah Hi-tiok tutup pintu, lalu katanya,
"Boleh coba kau periksa bagian dalam sana."
Sesudah pintu pintu ditutup,
dengan sendirinya dalam gudang gelap gulita. Dengan meraba-raba Hi-tiok
melangkah maju melalui sisi kiri, semakin ke dalam semakin gelap dan semakin
dingin rasanya. Tiba-tiba tangan kiri Hi-tiok menyentuh suatu yang keras dan
dingin rata dan basah pula, terang itulah sepotong es yang besar.
Selagi Hi-tiok merasa heran,
tiba-tiba Tong-lo menyalakan geretan api. Dalam sekejap itu Hi-tiok merasa
matanya menjadi silau, di muka belakang, kanan-kiri penuh es batu yang besar,
tertimpa cahaya api, es batu itu mengeluarkan warna-warni beraneka ragam dan
sangat aneh.
"Mari kita turun ke
bawah," kata Tong-lo.
Sambil berpegangan dinding es
itu, Tong-lo melompat-lompat mendahului ke depan dengan satu kaki. Sesudah
berputar dua-tiga kali di antara es batu yang besar-besar itu, akhirnya mereka
masuk ke suatu lubang di pojok ruangan.
Hi-tiok mengintil saja dari
belakang, ia lihat di bawah lubang itu adalah sederetan undak-undakan batu,
sesudah turun ke bawah, kembali di bagian bawah itu penuh es batu yang
besar-besar pula.
"Besar kemungkinan gudang
es ini masih ada satu tingkat lagi," ujar Tong-lo.
Sesudah dicari, benar juga. di
bawah tingkat kedua itu masih ada sebuah kamar batu yang luas dan panuh
tertimbun es batu juga.
Tong-lo memadamkan apinya, ia
duduk dan berkata, "Kita sudah berada di tingkat ketiga di bawah tanah,
biarpun perempuan hina-dina itu secerdik setan juga takkan dapat menemukan
Lolo."
Habis berkata ia menghela
napas lega yang panjang. Maklum, selama beberapa hari meski lahirnya tampak
tenang-tenang saja, tetapi batinnya sebenarnya sangat kuatir, apalagi di negeri
Se He ini penuh jago kelas wahid, sekarang dia dapat menemukan tempat
sembunyinya yang sempurna tanpa alangan. sudah tentu ia merasa lega.
Karena merasa hawa dingin
masih terus merangsang dari sekelilingnya, tiba-tiba Hi-tioK berkata,
"Aneh. sungguh aneh!"
"Aneh apa?" tanya
Tong-lo.
"Di iengah istana
kerajaan Se He ini ternyata penuh tertimbun es batu yang tidak bernilai apa sih
gunanya?" kata Hi-tiok.
"Es batu begini di musim
dingin memang tak bernilai, tapi pada musim panas tentu akan berubah
lain," ujar Tong-lo. "Coba bayangkan, dalam musim panas yang terik
itu, tatkala semua orang kegerahan, kalau kamu diberi minum satu cangkir es teh
atau es sirup, akan betapa segar rasanya?"
Baru sekarang Hi-tiok sadar
akan manfaat es batu raksasa yang ditimbun dalam gudang itu, serunya, "Ya,
bagus, bagus! Tapi untuk memboyong es batu sebanyak ini ke sini tentu akan
banyak makan tenaga, bukankah repot juga."
"Hwesio bodoh," omel
Tong-lo dengan tertawa. "Sebagai raja sudah tentu banyak hamba pesuruhnya,
seorang berteriak, beratus orang akan menyahut, masakah dia kuatir repot apa
segala?"
"Benar, sungguh beruntung
sekali orang yang menjadi raja itu, tapi kalau memberi perintah secara
berlebihlebihan juga berdosa," ujar Hi-tiok.
"Iih, Cianpwe, apakah
pada masa dahulu engkau pernah datang ke sini? Mengapa engkau sangat apal
terhadap setiap keadaan disini? Di mana ada penjagaan seperti sudah kau
ketahui?"
"Istana ini sudah tentu
pernah kudatangi dahulu," sahut Tong-lo. "Untuk mencari perkara
kepada perempuan hina itu tidak cuma satu kali saja kudatang kemari. Tentang
bayangkari penjaga-penjaga itu, pernapasan mereka sangat keras,dalam jarak
beberapa meler sudah dapat kudengar, kenapa mesti heran?"
"Kiranya demikian. Wah,
Cianpwe, telinga sakti pembawaanmu itu sungguh tak dapat dibandingi siapa
pun."
"Telinga sakti pembawaan
apa? Itu adalah kepandaian hasil latihan secara tekun, tahu?" kata
Tong-lo.
Mendengar kata-kata
"kepandaian hasil latihan," tiba-tiba Hi-tiok ingat di dalam gudang
itu toh tiada binatang atau hewan yang dapat diambil darahnya sehingga entah
cara bagaimana Toug-lo akan melatih "Tok-cun-kang" yang belum selesai
itu. Terpikir pula oleh Hi-tiok bahwa di luar sana memang banyak juga bahan
makanan, tapi dalam gudang es tentu sukar menyalakan api, apakah nanti musti
makan bahan pangan itu secara mentah?
Melihat Hi-tiok
termenung-menung, segera Tong-lo tanya, "Apa yang sedang kau
pikirkan?"
Dengan terus terang Hi-tiok
mengutarakan pikirannya itu.
Tong-lo tertawa, katanya,
"Apa kau sangka isi karung-karung besar itu adalah bahan makanan? Bukan,
isinya adalah pasir krikil. Hehe, apa kamu akan makan pasir krikil?"
"Jika demikian, terpaksa
kita harus mencari makanan ke luar sana?" tanya Hi-tiok.
"Kenapa mesti susah"
ujar Tong-lo. "Di dapur istana banyak terdapat ayam dan bebek hidup..,
masakah .kekurangan hewan? Cuma hewan piaraan kurang besar manfaatnya, jauh
kalah daripada kambing liar, menjangan dan sebagainya. Tapi kita dapat juga menangkap
bangau atau merak dan binatang piaraan lain di taman raja, aku minum darahnya
dan kau makan dagingnya, cara demikian paling baik."
"He, he, mana boleh
jadi," sahut Hi-tiok cepat. "Mana boleh kumakan barang berjiwa?"
Diam-diam ia kuatir jangan-jangan
nenek itu akan memaksanya makan daging dan hal ini bisa runyam baginya. Ia
pikir sekarang Tong-lo sudah berada di tempat yang aman dan tidak perlu
didampingi lagi, maka ia berkata pula, "Cianpwe, kita mempunyai
kepercayaan agama yang berlainan, Siauceng adalah murid Budha yang dilarang
membunuh makluk berjiwa, maka lebih baik...lebih baik aku mohon diri
saja,"
"Kau mau ke mana?"
tanya Tong-lo.
"Siauceng akan pulang ke
Siau-lim-si" sahut Hi-tiok.
Tong-lo menjadi gusar,
teriaknya, "Tidak, kamu tidak boleh pergi, tapi harus menemani aku di
sini, tunggu sesudah selesai kulatih ilmu saktiku dan mencabut nyawa perempuan
hina itu barulah kulepaskan kau pergi."
Mendengar kelak nenek itu akan
membunuh Li Jiu-sui, Hi-tiok jadi lebih tidak mau ikut berbuat dosa, segera ia
berbangkit dan berkata, "Cianpwe, sebenarnya ingin kuberi nasihat padamu,
tapi aku sendiri tidak banyak bersekolah sehingga tidak tahu cara, bagaimana
harus bicara, yang terang, kukira permusuhan lebib baik diakhiri daripada
dipupuk terus, bila dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni saja."
Sambil berkata ia terus berjalan ke arah undak-undakan.
"Berhenti, kularang kau
pergi!" bentak Tong-lo.
"Tapi terpaksa aku harus
pergi ... " kata Hi-tiok.
Sebenarnya ia hendak menambahi
pujian semoga ilmu sakti nenek itu lekas pulih kembali. Tapi demi ingat bila
ilmu sakti nenek itu pulih bukan saja jiwa Li Jiu-sui terancam bahaya, bahkan
Oh-lotoa dan para Tongcu ddn Toci, Putpeng Tojin dan lain-lain mungkin juga
akan ikut celaka, makin dipikir Hi-tiok makin terasa takut, maka bukannya dia
berhenti, sebaliknya ia lantas melangkah ke atas undak-undakan.
Tapi baru saja dua-tiga
tindak, sekonyong-konyong lutut terasa kaku kesemutan dan tubuh lantas terjungkal
ke bawah, menyusul bagian pinggang terasa linu, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia
tahu Hiat-to bagian tubuhnya kena ditotok oleh Thian-san Tong-lo. Di hadapan
nenek yang sakti itu. Hi-tiok insaf tidak dapat melawan, terpaksa ia hanya
pasrah nasib saja. Maka sesudah tenangkan diri, lalu ia baca doa suci.
"Hei, kamu baca doa apa
segala?" tanya Tong-lo kemudian,
"Siancai! Siancai' Ini
adalah 'Jip-to-su-heng-keng' (kitab pengantar catur-bhakti) ajaran
Budatama," sahut Hitiok.
"Tama sering
diterjemahkan menjadi Tat-mo adalah cikal bakal Siau-lim-si kalian, kukira dia
adalah seorang jagoan maha sakti, siapa tahu hanya seorang hwesio busuk yang
suka pada segala doa yang bertele-tele," ujar Tong-lo.
"Omitohud! Hendaklah
Cianpwe jangan sembarangan mencela" pinta Hi-tiok.
Tong-lo menjadi gusar, segera
ia angkat sebelah tangan hendak menghantam kepada Hi-tiok. Tong-lo sudah biasa
memerintah dan tidak pernah dibantah oleh siapa pun juga, tapi sekarang
Hi-tiok, berani mencelanya, sudah tentu ia menjadi murka.
Namun sebelum tangan menyuruk
kepala Hi-tiok, mendadak Tong-lo ingat pula bahwa dirinya masih, banyak
memerlukan tenaga padri cilik itu maka cepat ia tarik kembali pukulannya, lalu
ia duduk semadi melatih ilmunya.
Esoknya, Tong-lo meninggalkan
Hi-tiok dalam keadaan tak berkutik itu untuk keluar. Sekarang kekuatan Tonglo
sudah cukup hebat, meski sebelah kakinya buntung, tapi jalannya tetap sangat
cepat dan ringan sebagai burung sehingga tiada seorang pun dari para bayangkari
keraton itu memergoki dia.
Ketika kembali Tong-lo membawa
beberapa ekor bangau putih yang ditangkapnya dari taman raja, meski dalam
gudang es itu keadaan gelap gulita, tapi ketika Tong-lo merasa hawa murni dalam
tubuhnya bergolak, segera ia tahu lohor sudah tiba dan sudah waktunya berlatih.
Segera ia menggigit leher seekor bangau putih untuk mengisap darahnya.
Selesai melatih
"Tok-cun-kang," kembali Tong-lo menggigit pula leher seekor bangau
putih yang lain.
Mendengar suaranya, segera.
Hi-tiok menasihatkan, "Cianpwe, burung itu lebih baik kau tahan saja untuk
digunakan besuk, buat apa mesti lebih banyak mengambil korban?"
"Aku ini ingin berbuat
bajik dan hendak menyediakan makanan bagimu, tahu?" sahut Tong-lo dengan
tertawa,
Hi-tiok menjadi kaget, serunya
cepat, "Tidak, tidak! Aku ... tidak mau makan!"
Namun Tong-lo lantas pencet
hidungnya dan pentang dagunya sehingga mu tidak mau mulut Hi-tiok terbuka.
Segera Tong-lo angkat bangau putih itu ke atas dan mencekoki Hi-tiok dengan
darah bangau.
Hi tiok merasa cairan darah
yang hangat-hangat tertuang ke dalam tenggorokan, mati-matian ia coba menahan
agar darah bangau itu tidak terisap ke dalam perut, tapi hiat-to tertutuk dan
mulut dikuasai Tong-lo, betapapun ia bertahan akhirnya darah tetap mengalir ke
dalam perutnya. Saking gugup dan gusarnya sampai Hi-tiok mengucurkan air mata.
Selesai mencekoki orang,
kemudian Tong-lo menutuk pula beberapa hiat-to lain agar Hi-tiok tidak
menumpahkan darah bangau yang sudah masuk dalam perut itu. Lalu katanya dengan
tertawa, "Hwesio cilik, sekarang kamu sudah melanggar pantangam makan
barang berjiwa dari agamamu, sekali sudah melanggar, apa bedanya kalau
melanggar lagi? Hm, barang siapa di dunia ini berani melawan kehendakku, maka
pasti akan kumusuhinya hingga detik terakhir. Pendek kata aku akan membuatmu
tidak berhasil menjadi hwesio yang suci. "Hahaha-hahaha!"
Begitulah tiada hentinya
Tong-lo terbahak-bahak, senangnya tidak kepalang.
Hendaklah diketahui bahwa
sifat Thian-san Tong-lo itu memang suka menang sendiri, siapa yang berani
membangkang perintahnya, tentu akan dibikin sedemikian rupa sehingga lawan itu
minta mati tidak bisa dan minta hidup pun tidak dapat.
Sebab itulah maka bawahan dan
pengikutnya sangat takut padanya. Sekarang dia lihat Hi-tiok berkeras ingin
mentaati pantangan agamanya, maka ia lantas berusaha agar Hi-tiok melanggar
pantangan, baik dengan jalan halus dan bila perlu dengan cara paksa.
Dengan begitu telah
berlangsung lebih sebulan lamanya, kekuatan Tong-lo sudah pulih kira-kira sama
ketika dia berusia 50 tahun. Sekarang ia dapat keluar masuk gudang es itu bagai
setan yang tak berbayangan. Coba kalau tidak jeri kepada Li Jiu-sui tentu sudah
lama dia meninggalkan tempat sembunyi itu.
Setiap hari se|ain minum darah
dan melatih ilmu, selalu Tong-lo menutuk Hi-tiok supaya tak berkutik, lalu
mencekoki dia dengan darah dan melolohi daging mentah, dua-tiga jam kemudian
sesudah makanan dalam perut Hi-tiok tercerna dan tidak mungkin tumpah keluar
barulah ia buka hiat-to yang tertutuknya.
Begitulah setiap hari Hi-tiok
selalu dipaksa minum darah dan makan daging di dalam gudang es itu, hidupnya
tersiksa lahir batin, namun tak berdaya, terpaksa ia hanya membaca kitab dan
berdoa sekedar menghibur diri.
Suatu hari Tong-lo mendengar
Hi-tiok sedang membaca kitab suci pula, tiba-tiba ia mengejek, "Hm, daging
juga sudah kau makan, masakah kamu masih anggap dirimu sebagai hwesio dan masih
membaca kitab apa segala?"
"Siauceng dipaksa oleh
Cianpwe dan bukan timbul dari keinginanku sendiri, maka tidak dapat dianggap
melanggar pantangan," ujar Hi-tiok.
"Jika tak dipaksa, apa
benar-benar kau sendiri takkan melanggar pantangan ?"
"Siauceng cukup teguh
untuk menjaga diri dan tidak berani melanggar peraturan agama!"
"Baik, kita boleh
coba"' kata Tong-lo akhirnya.
Maka mulai hari itu juga ia
tidak memaksanya makan daging dan minum darah lagi. Sudah tentu Hi-tiok sangat
girang.
Besoknya Tong-lo tetap tidak
paksa dia makan daging dan minum darah, sebaliknya juga tidak memberi makanan
apa-apa, keruan perut Hi-tiok sangat kelaparan. Segera ia berkata,
"Cianpwe ilmu saktimu sudah hampir pulih seluruhnya dan rasanya tidak
perlu bantuanku lagi, biarlah Siauceng mohon diri saja"
"Tidak, aku melarang kau
pergi," kata Tong-lo.
"Namun perutku sangat
lapar, jika demikian mobon Cianpwe suka mencarikan sedikit nasi putih dan sayur
untuk tangsal perut,"
"Boleh," kata
Tong-lo. Lalu ia tutuk hiat-to Hi-tiok agar tidak dapat melarikan diri,
kemudian ia tinggal keluar"
Tidak lama kemudian,
kembalilah Tong-lo ke dalam gudang es. Segera Hi-tiok mengendus bau lezat yang
merangsang selera, seketika mulutnya mengeluarkan air liur.
Terdengar Tong-lo menaruh tiga
buah mangkok besar di hadapannya dan berkata, "Ini, satu mangkuk besar
Ang-sio-bak, satu mangkuk ayam tim kuah bening dan satu mangkuk kakap masak
saus manis, lekas makan!"
"Hah, Omitohud! mati pun
aku tidak mau makan!" sahut Hi-tiok terkejut.
Walaupun bau harum masakan
lezat itu terus merangsang hidung Hi-tiok, namun sehari penuh ia dapat menahan
diri.
Esok paginya Tong-lo sendiri
lantas angkat ketiga mangkuk masakan itu dan dilahap habis ia sengaja ber
kecap-kecap mulut untuk mengiming-iming Hi-tiok. Namun Hi-tiok hanya berdoa
saja, sedikit pun tidak terpengaruh.
Hari ketiga Tong-]o membawakan
pula beberapa mangkuk masakan sebangsa ayam goreng ham. Haisom masak jamur,
bebek panggang dan
lain-lain yang enak, tapi
Hi-tiok tetap tahan lapar dan tak mau makan meski perutnya berkeroncongan.
Diam-diam Tong-lo sangat mendongkol,
ia pikir, "Kau berani main bandel-bandelan dengan aku, ingin kulihat kau
sanggup tahan sampai kapan"
Maka ia lantas tinggal pergi
seharian, ia menduga sesudah kelaparan tentu Hi-tiok akan makan sendiri.
Siapa duga ketika ia pulang,
keadaan masakan itu masih tetap utuh tanpa tersentuh sedikit pun, bahkan
setetes kuah saja tidak berkurang.
Sampai hati kesembilan, saking
lapar tenaga Hi-tiok sudah habis, dia masih dapat minum air es bila terasa
haus, namun sedikit pun ia tidak sudi menjamah daharan yang sengaja diberikan
Tong-lo itu.
Akhirnya Tong-lo menjadi
gemas, mendadak ia jambret dada Hi-tiok dan serentak menjejalkan semangkuk
Ang-siok-tite ke mulut Hi-tiok sampai habis. Biarpun dia dapat paksa Hi-tiok
makan, tapi ia pun tahu ia sendiri yang kalah dalam pertandingan itu Saking
gusarnya ia tempeleng Hi-tiok beberapa kali sambil memaki, "Hwesio
keparat, kau berani memusuhi nenekmu, ya? Boleh kau rasakan lihainya
nenek!"
Tapi Hi-tiok juga tidak marah
atau minta ampun, ia biarkan mukanya ditampar sambil tetap membaca kitab suci
dan berdoa.
Untuk beberapa hari seterusnya
Thian-san Tong-lo selalu melolohi Hi-tiok secara paksa dengan masakan daging
dan ikan yang enak. Karena tak dapat melawan, Hi-tiok hanya menerima saja
segala apa yang hendak diperbuat orang, selain berdoa, kerjanya hanya tidur
melulu.
Hari itu, dalam impiannya
tiba-tiba ia mengendus bau harum semerbak. Bau harum itu bukan harum dupa
cendana yang biasa dinyalakan orang tatkala sembahyang, juga bukan harum
lezatnya daharan. Ia hanya merasa bau harum itu sangat menyegarkan badan.
Dalam keadaan sadar tak sadar
dirasakan pula ada sesuatu benda yang lunak menggelendot di depan dadanya.
Hi-tiok berjaga bangun, cepat ia coba meraba benda apakah itu? Tapi di mana
tangannya menyentuh ternyata adalah kulit badan yang halus dan hangat, nyata
itulah badan manusia yang telanjang.
"Hah, Cianpwe, kau ...
kenapa?" seru Hi-tiok kaget. Disangkanya badan yang telanjang itu adalah
Thian-san Tong-lo.
Tapi lantas terdengar suara
orang itu berkata, "Aku ... aku berada di ... di mana? Ken.. kenapa
sedingin ini?"
Dari suaranya yang halus merdu
itu terang suara seorang wanita muda dan sekali-kali bukan Tong-lo.
Keruan Hi-tiok tambah kejut
sehingga ter>kesima, akhirnya ia coba tanya pula, "Kau ..kau
siapa?"
"Aku .. . aku. sangat
dingin! "Dan kau sendiri siapa?" sahut wanita muda itu. Sembari
bicara badannya terus
mendesak maju untuk
menggelendot lebih rapat.
Cepat Hi-tiok mengkeret
mundur, maka terdengar wanita muda itu mengomel satu kali, lalu mendesak lebih
rapat lagi.
Segera Hi-tiok bermaksud
berbangkit untuk menjauhi orang, tapi sekali tangannya memegang, tahu-tahu bahu
perempuan muda itu yang terpegang, sedang tangan lain juga kebetulan merangkul
pinggangnya yang ramping.
Usia Hi-tiok sekararg 24
tahun. Selama hidupnya hanya pernah bicara dengan tiga orang wanita, yaitu A
Ci, Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui.
Selama hidupnya dia cuma tekun
semadi dan membaca kitab di Siau-lim-si dan tidak paham soal-soal insaniah.
Namun suka kepada wanita,
terutama kepada gadis jelita adalah sifat pembawaan manusia mana pun juga.
Meski Hi-tiok sangat alim, tapi ketika iseng, bila berahinya merangsang,
betapapun dia pernah mengelamun dan membayangkan urusan insaniah dari dua jenis
yang berlainan. Cuma saja ia tidak tahu persis sebenarnya bagaimanakah wanita
itu, apa yang dikhayalkan dengan sendirinya macam-macam dan aneh-aneh,
Sekarang kedua tangannya
menyentuh badan wanita muda yang halus dan licin dalam keadaan telanjang,
keruan jantung berdebar-debar seakan-akan meloncat keluar dari rongga dadanya.
Namun demikian toh dia enggan menarik kembali tangannya.
Waktu wanita muda itu membalik
tubuh, tangannya terus merangkul leher Hi-tiok, seketika Hi-tiok mengendus bau
harum yang merangsang, seluruh badan gemetar dan pikiran kabur, dengan suara
terputus putus ia coba tanya, "Kau . kau ...."
"Aku kedinginan, tapi ...
tapi panas di dalam hati," sahut wanita muda itu.
Dalam keadaan tak bisa
menguasai diri lagi Hi-tiok terus memeluk wanita muda itu Terdengar wanita itu
bersuara perlahan, tapi kepala terus merapat ke muka Hi-tiok, hidung menempel
hidung, kedua mulut pun lantas terkatup menjadi satu.
Hi-tiok adalah seorang pemuda
sehat kuat yang selamanya tidak pernah mengenal hubungan laki-laki dan
perempuan, menghadapi godaan terbesar bagi orang hidup ini sedikit pun ia tidak
melawan, bahkan ia terus peluk wanita itu dengan erat, dalam sekejap itu
semangatnya serasa melayang-layang ke surga sehingga lupa daratan. Sebaliknya
wanita itu pun sangat "panas" bagai api Hi-tiok dianggapnya sebagai
kekasihnya yang
tercinta ....
Keadaan itu entah sudah
berlangsung berapa lamanya, ketika mendadak Hi-tiok merasa seperti jatuh dari
awang-awang dan pikiran segarnya pulih kembali, mendadak ia menjerit dan segera
bermaksud melompat bangun.
Namun wanita muda itu masih
terus merangkulnya dengan kencang, bahkan dengan suara menggiurkan lagi merayu,
"Jangan ... jangan meninggalkan aku!"
Kejernihan pikiran Hi-tiok itu
datangnya cuma sekejap saja, sebab segera ia pun memeluk erat pula wanita muda
itu dan kembali tenggelam dalam lautan madu surga dunia ini.
Agak lama kemudian, ketika
tiba-tiba terdengar wanita itu bertanya, "Oo, kakanda, siapakah
Engkau?"
Pertanyaan "siapakah
engkau" sebenarnya diucapkan dengan suara halus merdu merayu, tapi bagi
Hi-tiok kedengaran justru seperti bunyi guntur di siang bolong, dengan snara
gemetar ia berseru, "Ai, ah ... aku salah besar!"
"Kenapa salah
besar?" tanya wanita itu.
Hi-tiok gelagapan tak bisa
menjawab, "Aku .. aku ..."
Hanya sekian ucapannya atau
mendadak iganya kena ditutuk orang pula serta tak bisa berkutik lagi. Hanya
terasa sehelai selimut lantas menutup badannya, menyusul wanita muda itu pun
terbungkus rapat serta meninggalkan pelukannya
"Jangan pergi, jaigan
pergi!" seru Hi-tiok,
Dalam kegelapan lantas
terdengar suara tertawa orang mengejek beberapa kali, nyata itulah suara
Thian-san Tong-lo.
Hi-tiok terperanjat dan
hampir-hampir jatuh kelengar. Seketika ia lemas dan mendemprok, kepala terasa
hampa dan tak bisa berpikir. Hanya terdengar wanita muda itu dibawa keluar
gudang oleh Tong-lo.
Tidak lama kemudian Tong-lo
pulang kembali katanya dengan tenawa, "Hwesio cilik, aku telah memberimu
menikmati surga dunia, cara bagaimana kamu akan berterima kasih padaku?"
"Aku ... aku .. '"
ingin Hi-tiok menjawab tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Tong-lo melepaskan Hiat-to
yang ditutuknya tadi, lalu katanya pula dengan tertawa, "Murid Budha kan
dilarang berzinah? Barusan kau sendiri melanggarnya atau nenek yang paksa
berbuat? Huh,Hwesio cilik sontoloyo, hanya di mulut bilang tidak, tapi di dalam
hati sebenarnya kepingin setengah mati. Nah, coba katakan, sekarang kamu yang
menang atau nenek yang menang? Hahahabaaahaha!"
Tertawanya makin lama makin
lantang dan tertampak dia sangal puas dengan hasil kerjanya itu.
Hi-tiok sekarang sadar bahwa
lantaran Tong-lo gemas kepada ke taatannya yang tidak mau melanggar pantangan
makan barang berjiwa, maka nenek itu sengaja pergi menculik seoraug gadis
jelita untuk dijadikan umpan guna menggodanya agar melanggar pantangan berzinah.
Seketika Hi-tiok merasa
menyesal tak terhingga dan merasa malu pula. Sekonyong-konyong ia lompat
bangun, kepalanya terus dibenturkan ke dinding es yang keras itu,
"blang",.kontan ia jatuh tersungkur.
Tong-lo terkejut juga, tak
terduga olehnya bahwa watak hwesio cilik ini sedemikian kerasnya baru saja
menikmati surga dunia, tahu-tahu sekarang hendak membunuh diri.
Cepat ia menariknya bangun,
untung masih bernapas, tapi kepalanya sudah berlubang dan bocor, lekas ia balut
lukanya dan memberi sebutir Kiu-coan-him-coa-wan yang mustajab itu sambil
memaki, "Jika dalam badanmu tiada Pak-beng-cin-gi, benturanmu ini tentu
sudah membikin jiwamu melayang!"
"Siauceng merasa berdosa
dan membikin susah orang lain pula, maka tidak ingin hidup lagi" kata
Hi-tiok dengan air mata berlinang-linang.
"Huh, bila setiap hwesio
yang melanggar pantangan agama mesti membunuh diri, di dunia ini akan sisa
berapa orang hwesio?" jengek Tong-lo,
Hi-tiok terkesiap, teringat
olehnya bahwa perbuatan bunuh diri itu pun termasuk pantangan besar bagi agama,
dalam keadaan khilap dirinya
ternyata melanggar hukum agama lagi.
Dengan lemas ia duduk
bersandar dinding es dengan perasaan bingung, di samping mencerca diri sendiri,
berbareng ia pun terkenang kepada wanita muda itu, sungguh kejadian tadi yang
melengkapi hidup Hi-tiok itu tak akan pernah terlupakan olehnya, ia
membayangkan apa yang dilakukannya tadi dengan penuh kenikmatan itu. Mendadak
ia tanya, "Sia ... siapakah no ... nona itu?"
"Haha! Apa kau ingin
tahu?" Tong-lo terbahak-bahak,
"Usia nona itu baru 17
tahun, cantik molek lagi tiada bandingannya!"
Dalam kegelapan tadi Hi-tiok
sama sekali tidak dapat melihat wajah nona cantik itu. Tapi dari kulit badannya
yang-halus dan suaranya yang lembut dapat dibayangkan pasti seorang wanita yang
sangat cantik. Sekarang didengarnya Tong-lo bilang nona itu "cantik molek
lagi tiada bandingannya", tanpa terasa Hi-tiok menghela napas panjang
penuh penyesalan.
"Kamu rindu padanya
tidak?" tanya Tong-lo dengan tersenyum.
Hi-tiok tidak berani dusta,
tapi juga tidak enak untuk mengaku terus terang, terpaksa ia hanya menghela
napas lagi.
Entah berapa jam selanjutnya
kembali Hi-tiok berada dalam keadaan mengelamun, dalam keadaan sadar tak sadar.
Ketika datang waktunya Tong-lo
membawakan membawakan lagi daharan lesat sebangsa daging dan ikan, tiba-tiba
timbul rasa benci diri, rasa masa bodoh dalam benak Hi-tiok, pikirnya'
"Aku sudah merupakau murid Budha yang murtad, sudah masuk perguruan lain,
melanggar pantangan membunuh dan berzinah pula, masakah aku masih dapat mengaku
sebagai murid Budha?"
Karena pikiran itu, terus saja
ia sambar ayam panggang dan santapan lain serta disikat dengan lahapnya, cuma
saja bagaimana rasa makanan ini sama sekali hampa baginya, bahkan air mata pun
berlinang-linang.
"Berani berpikir berani
berbuat, inilah baru dapat dipuji," ujar Tong-lo dengan tertawa.
Selang dua jam kemudian,
kembali Tong-lo mendatangkan pula nona cantik yang telanjang bulat itu dengan
dibungkus selimut serta ditaruh di pangkuan Hi-tiok, lalu ia sendiri tinggal
pergi ke tingkat kedua gudang itu.
Sesudah tinggal berduaan,
tiba-tiba nona jelita itu menghela napas perlahan dan berkata, "Kembali
aku bermimpi aneh seperti ini lagi, sungguh aku takut, tapi... tapi juga ...
juga...."
"Juga apa?" tanya
Hi-tiok.
"Juga ...juga
senang," sahut si Nona dengan suara halus sambil merangkul leher Hi-tiok,
lalu pipi pun mendempel pipi. Hi-tiok merasa muka nona itu panas-panas halus,
dalam keadaan demikian biarpun patung juga akan tergerak hatinya, tanpa terasa
ia peluk pinggang si nona yang ramping.
"Kakanda, sebenarnya aku
berada dalam impian atau bukan?"' tanya nona itu. "Jika dibilang
mimpi, mengapa jelas jemelas kutahu engkau sedang memeluk diriku? Aku dapat meraba
mukamu, dapat menyentuh dadamu, dapat merasakan tanganmu"
Sambil bicara tangan si nona
juga meraba-raba muka, dada dan tangan Hi-tiok, lalu sambungnya"Dan jika
dikatakan bukan mimpi, mengapa ketika aku sedang enak-enak tidur di ranjangku,
mendadak ... mendadak pakaianku bisa terlepas semua dan .. . dan tahu-tahu
sampai di tempat yang gelap lagi dingin ini? Dan di tempat yang gelap dan
dingin ini terdapat pula seorang engkau yang menantikan diriku, yang telah
mengasihi aku dan menyayangi aku"
Diam-diam Hi-tiok membatin
jadi nona ini pun diculik Thian-san Tong lo dalam keadaan sadar tak sadar.
Maka terdengar nona itu sedang
melanjutkan, "Biasanya aku merasa malu bila mendengar suara orang lelaki,
tapi mengapa setelah berada di sini aku lantas ... lantas merasa berani dan tak
dapat mengekang diri? Ai, dikatakan impian toh bukan impian, bilang bukan mimpi
toh seperti juga mimpi, kemarin alam mimpi aneh sepeti ini, malam ini kembali
bermimpi aneh pula. apa barangkali kita ditakdirkan berjodhh? O. kakanda,
siapakah engkau?"
"Aku ... aku adalah ...
" dengan bimbang. Sebenarnya Hi-tiok hendak menerangkan bahwa dirinya
adalah seorang hwesio, tapi susah terceplos dari mulutnya.
Mendadak nona itu menggunakan
tangan untuk menutup mulut Hi-tiok dan bisiknya, "Jang ... jangan kau
katakan saja, aku ... aku merasa takut."
"Takut apa?" tanya
Hi-tiok sambil merangkul si nona dengan erat.
"Aku takut bila ucapanmu
itu nanti akan membuyarkan impianku ini," sahut si nona "Engkau
adalah kekasihku dalam mimpi maka boleh lah kupanggil dirimu sebagai 'kakanda
dalam mimpi' saja, ya? Kakanda dalam mimpi, baik tidak sebutan ini?"
Begitulah sambil bicara,
perlahan tangan si nona yang dipakai mendekap mulut Hi-tiok tadi mulai dipakai
meraba-raba mata, hidung dan telinga Hi-tiok seperti penuh kasih sayang, tapi
seperti juga hendak menggunakan tangannya itu untuk mengenali betapa wajah
"kakanda dalam mimpi" itu.
Tangan yang mungil itu pelahan
meraba sampai alis Hi-liok, lalu jidatnya dan akhirnya meraba pula kepalanya.
Keruan Hi-tiok terkejut.
"Wah, celaka, bisa runyam bila kepalaku yang gundul kena dirabanya!"
demikian keluhnya.
Tak terduga bahwa tangan si
nona meraba hanya kepala dengan rambut yang cukup panjang. Rupanya Hi-tiok
sendiri lupa bahwa dia sudah lebih dua bulan tinggal di dalam gudang es itu
sehingga kepalanya, yang semula gundul kelimis itu sekarang sudah tumbuh rambut
beberapa senti panjangnya.
"O, kakanda dalam mimpi,
mengapa hatimu berdebar-debar? Mengapa engkau diam-diam saja?" demikian
terdengar si nona merayu dengan suara halus.
"Aku ... aku pun serupa
dirimu juga merasa senang dan merasa takut pula," kata Hi-tiok. "Aku
telah menodai badanmu yang suci bersih, biarpun mati seribu kali juga tak dapat
membalas kebaikanmu."
"Jangan sekali-kali
bicara demikian," ujar si nona. "Kita sedang bermimpi, tidak perlu
takut Eh, bagaimana akan kau panggil aku ?"
"Engkau adalah dewi dalam
impianku, maka biarlah kupanggilmu sebagai 'dewi dalam impian, boleh?"
"Bagus!" seru si
nona dengan tertawa. "Engkau adalah kakandaku, dalam impian dan aku adalah
dewimu dalam impian. Semoga impian ini akan terus berlangsung selamanya dan tak
pernah sadar kembali."
Begitulah mereka bercumbu rayu
dengan asyiknya sehingga kedua orang kembali tenggelam di taman madu dan lupa
daratan apakah mereka benar-benar berada di alam impian atau memang betul-betul
terjadi, entah berada di dunia fana atau di surgaloka,
Selang beberapa jam kemudian,
kembali Tong-lo membungkus gadis jelita itu dengan selimut dan dibawa pergi.
Besoknya tetap begitu, Tong-lo
membawakan pula nona jelita itu untuk "dikumpulkan" dengan Hi-tiok.
Setelah bertemu selama tiga
hari, rasa bingung kedua muda-mudi itu mulai hilang, rasa malu-malu juga
berkurang, sebaliknya timbul cinta kasih yang semakin mesra, mereka bercumbu
sepuas-puasnya tanpa batas. Cuma Hi-tiok tetap tidak berani membeberkan sebab
musabab mengapa mereka dapat berkumpul di situ, sedangkan nona jelita itu pun
tetap menganggap dirinya dalam mimpi, sama sekali ia tidak mengungkat
kejadian-kejadian sebelum mimpi.
Cinta mesra selama tiga hari
itu membuat Hi-tiok merasa gudang di bawah tanah yang gelap dan dingin itu
sebagai surga ketujuh.
Sampai hari keempat, sesudah
makan daharan yang dibawakan Tong-lo, Hi-tiok menduga nenek itu tentu akan
membawakan pula si cantik untuk di kumpulkan padanya. Eh, di luar dugaan,
tunggu punya tunggu, tetap Tong-lo duduk saja di tempatnya tanpa bergerak. Keruan
Hi-tiok krupukan bagai semut dalam wajan panas. Beberapa kali ia ingin tanya
Tong-lo, tapi tidak berani.
Dengan susah payah Hi-tiok
bertahan sampai lebih dua jam, gerak-geraknya yang gopoh dan kelabakan itu
sudah tentu dapat diketahui Tong-lo dengan jelas. Namun nenek itu tetap anggap
tidak mendengar dan tidak melihatnya, sama sekali tidak menggubrisnya.
Akhirnya Hi-tiok benar-benar
tak tahan lagi segera ia tanya, "Cianpwe, apakah no ... nona itu kiongli
(dayang) dalam istana?"
Tapi Tong-lo hanya mendengus
saja dan tanpa menjawab.
Diam-diam Hi-tiok sangat
mendongkol, pikirnya, "Kamu tak mau gubris padaku, baik, aku pun tak sudi
gubris padamu" Akan tetapi hanya sebentar saja kembali ia terkenang kepada
si nona cantik yang menggiurkan itu, perasaannya kembali terguncang, hatinya
seperti dikili-kili sehingga akhirnya ia tidak tahan dan terpaksa memohon,
"Cianpwe, harap suka tolong memberitahukan padaku."
"Hari ini jangan bicara
lagi dengan aku, boleh kau tanya besok pagi saja," kata Tong-lo.
Meski dalam hati sebenarnya
sangat gelisah, terpaksa Hi-tiok menurut.
Dengan susah payah akhirnya
sampailah besok, sesudah makan, segera Hi-tiok buka mulut, "Ciaupwe ....
"
Tapi Tong-lo lantas
memotongnya, "Apa sih sulitnya jika kau ingin tahu siapa nona itu? Bahkan
bila kau ingin berkumpul siang malam dengan dia takkan berpisah untuk selamanya
hal ini pun sangat gampang .... "
Sungguh girang Hi-tiok tak
terkira sehingga ia tidak tahu cara bagaimana harus bicara.
Maka Tong-lo tanya dia,
"Nah, sebenarnya kau ingin tidak?"
Hi-tiok tidak berani menjawab
terus terang terpaksa ia menyahut dengan cara samar-samar, "Siauceng tidak
tahu cara bagaimana harus membalas kebaikan Cianpwe."
"Aku tidak perlu balas
jasamu," ujar Tong-lo
"Asal ilmu Tok-cun-kang
selesai kupulihkan dalam beberapa hari lagi, dalam beberapa hari ini adalah
saat-saat yang paing genting, sedikit pun tidak boleh ayal, bahkan mengambil
makanan keluar juga tidak boleh, muka daharan dan binatang hidup yang
kuperlukan sudah kusediakan di sini. Adapun nona cantik yang kau rindukan itu
harus tunggu sampai aku selasai memulihkan. ilmu Saktiku."
Hi-tiok agak kecewa oleh
keterangan ini. Tapi ia tahu apa yang dikatakan Tong-lo itu memang benar.
Untung tidak terlalu lama waktunya dalam beberapa hari itu. terpaksa ia harus
menahan perasaan yang rindu dendam.
"Nanti kalau ilmu saktiku
sudah pulih, segera akan kucari perempuan hina she Li itu untuk membikin
perhitungan, aku tidak sabar lagi untuk membiarkan dia hidup lebih lama,"
demikian kita Tong-lo pula. "Sebenarnya sesudah ilmu saktiku pulih, maka
perempuan hina itu pasti bukan tandinganku, cuma sayang sebelah kakiku lelah
ditabas kutung olehnya, tenagaku banyak terganggu, apakah sakit hatiku ini
dapat terbalas atau tidak menjadi susah diramalkan. Bila akhirnya aku yang mati
terbunuh sehingga tidak dapat membawakan nona cantik itu untukmu, maka hal ini
pun sudah takdir, apa mau dikatakan lagi, ya, kecuali .... kecuali .... "
Hati Hi-tiok jadi
berdebar-debar, cepat ia tanya. "Kecuali apa?"
"Kecuali kalau kau mau
membantu diriku," kata Tong-lo.
"Kepandaianku terlalu
rendah, cara bagaimana dapat membantu Cianpwe?" ujar Hi-tiok.
"Begini," tutur
Tong-lo, "bila aku bertempur mati-matian dengan perempuan hina itu, kalah
atau menang hanya selisih sedikit saja. Untuk menang mungkin sulit, sebaliknya
ia pun tidak gampang hendak mengalahkan aku. Maka mulai hari ini akan kuajarkan
pula padamu sejurus pukulan 'Thian-san-liok-yang-ciang', bila sudah selesai kau
latih, kelak pada saat yang paling genting cukup kau pegang satu kali tubuh
perempuan hina itu dengan tanganmu dan segera hawa murni dalam tubuhnya akan terkuras
keluar semua dan dia pasti akan dapat ku kalahkan.'"
Hi-tiok menjadi serba salah,
ia tahu permusuhan Tong-lo dan Li Jiu-sui sedalam lautan, sekali mereka sudah
bertempur tentu pertarungan yang menentukan mati dan hidup. Biarpun sekarang
dirinya sudah melanggar hukum agama, tapi disuruh berbuat jahat lagi dengan
membantu Tong-lo untuk membunuh orang, perbuatan demikian sangat bertentangan
dengan hati nuraninya dan sekali-kali tak dapat dilakukannya.
Maka ia lantas menjawab,
"Cianpwe inginkan bantuanku, hal ini sebenarnya adalah kewajibanku. Tetapi
bila karena Itu Li-cianpwe dapat kau bunuh, hal itu berarti Siauceng ikut
berdosa dan kelak pasti akan masuk ke neraka serta takkan terlahir kembali
untuk seterusnya."
Tong-lo menjadi gusar,
dampratnya, "Hwesio setan, kamu sudah gagal menjadi hwesio, tapi masih
mempertahankan ajaran agamamu yang sudah kau langgar itu. Padahal orang jahat
seperti Li Jiu-sui itu biarpun dibunuh berpuluh kali juga tak bisa dianggap
berdosa."
"Biarpun orang jahat juga
mesti diberi pengertian dan dimaafkan, mana boleh sambarangan dibunuh"
ujar Hitiok.
Tong-lo tambah gusar,
teriaknya gemas, "Jadi kau berani membangkang keinginanku? Baiklah, maka
kaupun jangan harap dapat bertemu pula dengan nona itu. Nah, bagaimana
keputusanmu boleh lekas kau pilih."
Hi-tiok terdiam dengan lesu,
dalam hati ia hanya berdoa saja.
Karena tidak mendapatkan
jawaban, akhirnya Tong-lo menjadi girang, katanya, "Jadi kamu masih
terkenang
kepada si cantik dan terpaksa
akan melatih Liok-yang-ciang?"
"Tidak, demi untuk
menemui keinginan Cianpwe sehingga mesti kurbankan jiwa orang, hal ini
sekali-kali tak dapat kuterima," sahut Hi-tiok. "Biarpun selama hidup
ini aku takkan bertemu pula dengan nona itu, hal ini pun sudah takdir ilahi dan
sukar dimohon secara paksa."
"Jadi kamu tetap tidak
mau melatih Liok-yang-ciang?" Tong lo menegas dengan gusar.
"Ya, tidak mungkin
kupenuhi permintaanmu harap cianpwe suka maafkan," sahut Hi-tiok.
Tong-lo menjadi murka,
teriaknya, "Jika begitu, lekas enyah, lekas! Makin jauh makin baik!"
Teringat oleh Hi-tiok selama
berkumpul bersama Tong-lo, meski orang telah membikin dirinya melanggar hukum
agama sehingga gagal menjadi hwesio suci, tapi lantaran itu pula telah dapat
bertemu dengan 'dewi dalam impian'. Sebab itulah dalam lubuk hatinya Hi-tiok
merasa Tong-lo telah banyak berbuat baik padanya daripada berbuat jahat, karena
itu ia merasa berat untuk tinggal pergi dengan begitu saja segera ia berkata
pula, "Harap Cianpwe menjaga diri dengan baik, Siauceng tidak dapat meladenimu
lagi."