Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 11-15

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 11-15 Benar juga Wan-jing merasa perut orang naik turun dengan perlahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia menjadi geli, "Haha, sungguh aneh!”
Jilid 11
Benar juga Wan-jing merasa perut orang naik turun dengan perlahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia menjadi geli, "Haha, sungguh aneh!”

Kiranya apa yang dilatih Jing-bau-khek atau orang berbaju hijau itu adalah semacam "Hok-gi-sut” atau ilmu bicara dengan perut.

Ilmu bicara dengan perut itu pada zaman sekarang masih banyak yang mahir, yaitu terutama dalang ‘boneka bicara’. Cuma untuk bicara dengan tegas dan jelas seperti Jing-bau-khek ini tentunya tidak mudah, sebab diperlukan Lwekang yang tinggi.

Dengan keheranan, Bok Wan-jing masih mengitar beberapa kali sambil mengamat-amati orang, kemudian tanyanya, "Mulutmu tak bisa bergerak, lalu cara bagaimana engkau makan?”

"Begini!” sahut orang itu sambil angkat kedua tangannya, ia pentang bibir atas dan tarik rahang bawah hingga mulutnya ternganga, lalu ambil sebutir makanan terus dijejalkan ke dalam mulut, "keruyuk”, makanan itu ditelan sekaligus.

"O, kasihan!” ujar Wan-jing melihat cara makan orang, "Bukankah tiada rasa apa pun?”

Baru sekarang ia tahu kulit daging muka orang kaku beku, kelopak matanya tak bisa terkatup, dengan sendirinya tiada sesuatu tanda perasaan pada mukanya itu, dari itulah maka mula-mula Bok Wan-jing menyangkanya orang mati.

Ia pikir orang aneh ini sendiri tak dapat mengatasi kesulitan sendiri yang luar biasa, mana mampu mengubah kakak sendiri menjadi suami baginya? Agaknya apa yang dikatakannya tadi hanya bualan belaka.

Setelah pikir sejenak, lalu Wan-jing berkata, "Aku akan pergi saja!”

"Ke mana?” tanya si jubah hijau.

"Entah, aku sendiri tidak tahu!” sahut si gadis.

"Aku akan membikin Toan Ki menjadi suamimu, jangan kau tinggalkan aku,” ujar orang itu.

Wan-jing tersenyum tawar sambil berjalan beberapa tindak ke depan, tiba-tiba ia berhenti dan tanya pula sambil putar tubuh, "Selamanya kita tidak kenal, dari mana kau tahu perasaanku? Engkau ... engkau kenal Toan-long?”

"Sudah tentu kutahu isi hatimu,” sahut orang itu. Tiba-tiba katanya pula, "Kembalilah sini!”

Berbareng tangan kirinya terjulur dan menarik dari jauh.

Aneh juga, tiba-tiba Bok Wan-jing merasakan suatu tenaga mahakuat yang tak bisa ditahan, tanpa kuasa tubuhnya terseret mentah-mentah oleh tenaga tak kelihatan itu dengan sempoyongan dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Jing-bau-khek.

Kejadian itu benar-benar sangat mengejutkan Bok Wan-jing, katanya dengan suara gemetar, "Apakah ... apakah kepandaianmu disebut Kim-liong-ciong-ho-kang?”

"Ehm, luas juga pengetahuanmu,” kata Jing-bau-khek. "Tapi ini bukan Kim-liong-ciong-ho-kang (ilmu menangkap naga dan menawan bangau), hanya khasiatnya sama, cara berlatihnya berbeda.”

"Habis apa namanya?” tanya Wan-jing.

"Namanya ‘Kui-gi-lay-hi’!” sahut Jing-bau-khek.

"Kui-gi-lay-hi (kalau sudah pergi, pulanglah)! Hah, nama ini jauh lebih bagus daripada Kim-liong-ciong-hokang, bila Toan-long mendengar nama demikian, tentu dia ... dia ....” teringat pada Toan Ki, kembali Wan-jing berduka.

"Marilah berangkat!” kata Jing-bau-khek tiba-tiba sambil mengeluarkan dua potong tongkat bambu dari bajunya. Sekali tongkat bambu kiri menutul, tubuhnya terus melayang ke depan dan dengan enteng sudah melangkah setombak lebih jauhnya.

Melihat tubuh orang ketika terapung di udara, kedua kakinya tetap tertekuk seperti waktu duduk bersila, Wanjing menjadi heran, tanyanya, "He, kedua kakimu ....”

"Ya, sudah lama kedua kakiku buntung,” sahut Jing-bau-khek. "Sudahlah, sejak saat ini, urusanku dilarang kau tanya lagi.”

"Kalau aku tanya lagi?” baru kalimat ini diucapkan Bok Wan-jing, sekonyong-konyong kedua kakinya terasa lemas, tubuhnya terbanting roboh.

Kiranya dengan kecepatan luar biasa si jubah hijau sudah melesat ke tempatnya, tongkat bambu sebelah kanan beruntun-runtun menutuk dua kali di balik lutut, menyusul mengetuknya sekali lagi, keruan Bok Wan-jing kesakitan seakan-akan remuk tulang kakinya, saking tak tahan sampai ia menjerit. Menyusul mana Jing-baukhek menutuk lagi dua kali untuk membuka Hiat-to si gadis.

Dengan cepat Wan-jing melompat bangun, dampratnya dengan gusar, "Kenapa engkau begini kasar?”

Berbareng panah dalam lengan baju sudah siap dibidikkan.

"Jangan coba-coba main kayu denganku, ya!” demikian kata Jing-bau-khek. "Berani kau panah aku sekali, segera kuhajar bokongmu sekali, kau panah sepuluh kali, aku pun gebuk sepuluh kali bokongmu. Kalau tidak percaya, boleh coba kau lakukan!”

Wan-jing menjadi ragu, pikirnya, "Jika sekali aku dapat memanahmu, seketika jiwamu lantas melayang, mana dapat kau balas hajar diriku? Tapi ilmu orang ini sangat sakti, tampaknya ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, rasanya susah kalau hendak memanahnya. Orang ini berani bicara berani berbuat, kalau benar-benar bokongku digaplok olehnya, kan runyam!”

"Nah, jika kau tidak berani memanah aku, kau harus menurut perintahku dengan baik, jangan membangkang!” demikian kata orang itu pula.

"Hm, aku justru tidak mau menurut perintahmu!” sahut Wan-jing. Walaupun begitu katanya, namun panah yang sudah disiapkan tadi disimpan kembali juga.

Segera Jing-bau-khek gunakan kedua tongkatnya sebagai kaki terus bertindak ke depan dengan cepat.

Bok Wan-jing mengikutinya dari belakang. Ia lihat kedua tongkat bambu orang sangat kecil, tapi keras seperti baja, meski digunakan menyangga ketiak, namun sedikit pun tidak bengkok. Tongkat bambu itu panjangnya lebih satu setengah meter, sekali melangkah, jauhnya melebihi langkah orang biasa. Terpaksa Bok Wan-jing harus mengerahkan Ginkang sekuatnya barulah sekadar dapat menyusulnya.

Tangkas sekali cara berjalan Jing-bau-khek ini, biar mendaki gunung atau melintasi bukit, jalannya seperti di tanah datar saja cepatnya. Bahkan yang dia pilih bukan lagi jalan besar yang rata tapi hutan belukar atau jalan pegunungan yang berbatu karang, keruan yang payah adalah Bok Wan-jing, ia megap-megap dan baju sobek oleh duri belukar. Namun dasar wataknya memang keras, biarpun menderita, sedikit pun ia tidak mau unjuk lemah.

Setelah melintasi beberapa lereng bukit, kemudian tertampak dari jauh banyak sekali kuburan, diam-diam Wan-jing heran, "Kenapa mendatangi Ban-jiat-kok ini?”

Benar juga Jing-bau-khek itu terus menuju ke kuburan yang batu nisannya tertulis, "Kuburan Ban Siu Toan”, segera tongkatnya menghantam batu nisan tepat di atas huruf Toan.

Sudah beberapa kali Bok Wan-jing mendatangi Ban-jiat-kok, tiap kali ia gunakan rahasia cara memasuki gerbang lembah maut itu, yaitu mendepak beberapa kali pada huruf "Toan” di batu nisan itu. Tapi kini demi melihat huruf itu lagi, tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh yang dahulu tidak pernah ada.

"Untuk apa kita datang ke Ban-jiat-kok ini?” demikian ia coba tanya.

Tapi mendadak Jing-bau-khek membalik tubuh, tongkatnya terus mengetuk sekali ke paha kanannya sambil membentak, "Kau berani ceriwis lagi tidak?”

Kalau menuruti watak Bok Wan-jing yang berangasan itu, betapa pun ia tidak sudi dihina secara demikian, biarpun ia tahu takkan mampu melawan orang. Tapi kini lamat-lamat terasa olehnya bahwa Jing-bau-khek ini tentu memiliki kepandaian di atas orang lain, bukan mustahil akan dapat membantu melaksanakan cita-citanya, yaitu bersuamikan Toan Ki.

Maka omelnya, "Hm, jangan kau sangka nona takut padamu, biarlah sementara ini aku mengalah padamu.”

"Ayo jalan!” seru Jing-bau-khek pula.

Segera Bok Wan-jing mendahului masuk ke liang kubur dan disusul oleh Jing-bau-khek, mereka telah masuk ke Ban-jiat-kok tempat tinggal Ciong Ban-siu.

Agaknya Jing-bau-khek sudah hafal terhadap keadaan di dalam lembah Ban-jiat-kok. Beberapa kali Bok Wanjing ingin tanya, tapi khawatir digebuk oleh tongkat orang, maka urung buka mulut.

Orang aneh itu membawanya mengitar ke sana dan membelok ke sini terus menuju ke belakang lembah.

Bok Wan-jing pernah juga tinggal beberapa hari di lembah Ban-jiat-kok ini, yaitu ketika ia mengunjungi bibigurunya, Ciong-hujin. Cuma sifat mereka berdua berbeda jauh, pada hari pertama juga mereka sudah lantas cekcok mulut. Tapi kini tempat yang didatanginya bersama Jing-bau-khek ini ternyata sebelumnya tidak pernah dikunjunginya. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa di tengah lembah sunyi ini masih ada tempat-tempat yang lebih terpencil.

Setelah beberapa li lagi, mereka masuk ke sebuah rimba raya yang pohonnya tinggi besar menjulang ke langit, biarpun waktu itu siang hari, namun sinar sang surya ternyata tak bisa menembus ke dalam rimba yang rindang itu. Makin jauh tetumbuhan di situ pun semakin lebat hingga sampai akhirnya untuk lewat saja diperlukan miringkan tubuh.

Setelah beberapa puluh meter lagi jauhnya, tertampaklah di depan tumbuh barisan pohon tua yang tinggi rapat bagai pagar yang kukuh, untuk masuk ke dalam sana terang sangat sulit.

Mendadak Jing-bau-khek tancap tongkatnya ke tanah untuk menyangga bahunya, lalu kedua tangannya menjuju dua batang pohon terus dipentang ke samping sekuatnya. Sungguh sangat mengagumkan, kedua pohon besar itu perlahan terbentang lebar ke samping hingga cukup untuk menyelinap tubuh manusia.

"Lekas masuk ke sana!” bentak orang aneh itu.

Tanpa pikir lagi Bok Wan-jing menyusup ke balik pagar pohon itu.

Waktu diperhatikan, ternyata di situ terdapat sebidang tanah kosong yang luas, di tengah tanah lapang sebuah rumah batu yang dibangun dengan bentuk sangat aneh, yaitu terdiri dari tumpukan batu besar hingga mirip piramida. Rumah batu itu hanya terdapat sebuah pintu yang besarnya mirip gua.

"Nah, masuk ke sana!” kata Jing-bau-khek pula.

Wan-jing coba memandang ke dalam rumah batu itu, ia lihat keadaan di dalam gelap gulita, entah tersembunyi makhluk aneh atau tidak, dengan sendirinya ia tidak berani masuk begitu saja.

Sedang Wan-jing sangsi, sekonyong-konyong punggung terasa ditempel oleh sebuah telapak tangan, cepat ia bermaksud mengelak, namun sudah terlambat, tenaga dorongan Jing-bau-khek itu sudah dikerahkan. Tanpa kuasa lagi tubuh Bok Wan-jing mencelat ke depan seakan-akan terbang masuk ke dalam rumah batu itu.

Walaupun terapung, namun Bok Wan-jing segera melindungi badan sendiri dengan sebelah tangan, ia gunakan gaya "Hia-hong-hut-liu” atau angin pagi mengembus pohon, tangan lain dipakai melindungi muka sendiri. Ia khawatir dalam keadaan gelap jangan-jangan akan diserang oleh sesuatu makhluk aneh.

Dalam pada itu, segera terdengar suara gemuruh yang keras, pintu rumah ditutup orang dengan benda keras.

Keruan Wan-jing terkejut, cepat ia lari ke arah pintu dan mendorong, tapi di mana tangannya memegang, rasanya kasap dan keras sekali. Ternyata tutup pintu itu adalah sepotong batu karang raksasa.

Sekuatnya ia coba membukanya, namun sedikit pun batu itu bergeming, bahkan goyang pun tidak. Dalam khawatirnya, ia berteriak-teriak, "Hai, hai! Mengapa engkau mengurung diriku di sini?”

Terdengar suara Jing-bau-khek menjawab, "Apa yang pernah kau mohon padaku, mengapa kau lupakan sendiri?”

Suara orang itu menyusup masuk dari lubang batu tadi, tapi kedengaran cukup jelas.

Wan-jing tenangkan diri sejenak, ia lihat lubang yang ditutup dengan batu karang itu sekitarnya masih banyak celah-celah, cuma untuk diterobos dengan tubuh manusia terang tidak bisa. Terpaksa ia berteriak-teriak lagi, "Lepaskan aku, lepaskan aku ke luar!”

Tapi yang terdengar hanya suara keresekan daun pohon di luar, agaknya Jing-bau-khek itu sudah pergi melintasi pagar pohon itu. Waktu mengintip keluar, yang dilihat Wan-jing hanya rontokan daun pohon yang berhamburan, selain itu tiada sesuatu lagi yang terlihat.

Ketika ia putar tubuh ke dalam dan coba mengawasi keadaan rumah batu itu, ia lihat di pojok sana ada sebuah dipan, di atas dipan duduk satu orang. Keruan ia kaget, tanyanya terputus-putus, "Sia ... siapa kau?”

"Jing-moay, kiranya kau masuk ke sini juga!” demikian sahut orang itu. Suaranya penuh rasa girang tercampur heran. Kiranya Toan Ki adanya.

Dalam keadaan putus asa, tiba-tiba Wan-jing ketemukan Toan Ki lagi, saking girangnya jantung serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya. Cepat ia menubruk ke pangkuan anak muda itu.

Remang-remang terlihat muka si gadis pucat lesi, kasih sayang Toan Ki sungguh tak terkatakan, ia peluk si gadis dengan erat, melihat bibir si nona yang merah mungil itu, tak tertahan lagi terus dikecupnya.

Tapi demi bibir menempel bibir, segera kedua muda-mudi itu teringat, "Hai, kami adalah kakak beradik, mana boleh berbuat tidak senonoh?”

Cepat kedua orang melepaskan tangan masing-masing dan sama-sama menyurut mundur. Kedua orang berdiri bersandar dinding batu dan saling pandang dengan terkesima.

Bok Wan-jing yang menangis lebih dulu. Namun Toan Ki lantas menghiburnya, "Jing-moay, rupanya nasib kita sudah ditakdirkan begini, hendaklah engkau jangan sedih. Mempunyai seorang adik perempuan seperti engkau, sungguh aku sangat senang.”

"Aku justru tidak senang, aku merasa sedih,” demikian seru Wan-jing sambil membanting-banting kaki sendiri. "Jadi engkau merasa senang? Itu berarti engkau tidak punya perasaan.”

"Apa mau dikatakan lagi, kenyataan memang begini,” ujar Toan Ki sambil menghela napas. "Coba kalau dulu aku tidak bertemu dengan engkau, urusan tentu akan menjadi lain.”

"Toh bukan aku yang ingin bertemu denganmu,” sahut Wan-jing. "Habis, siapa suruh kau cari padaku, dan kalau engkau tidak kembali hendak memberi kabar padaku, belum tentu aku akan kenal engkau. Ya, semuanya adalah salahmu, kau yang mengakibatkan kematian mawar hitamku, bikin hatiku luka, bikin Suhuku berubah menjadi ibuku, bikin ayahmu ikut menjadi ayahku. Tapi aku tidak mau, semuanya itu aku tidak mau, engkau membikin susah aku pula hingga terkurung di sini, aku ingin keluar, aku ingin keluar!”

"Ya, sudah, Jing-moay, memang semuanya salahku,” sahut Toan Ki, "Janganlah engkau marah, marilah kita mencari jalan untuk lari keluar dari sini.”

"Tidak, aku tidak mau keluar, mati di sini atau mati di luar sana sama saja bagiku. Aku tidak mau keluar!” demikian Wan-jing berteriak-teriak.

Sungguh lucu juga, semula minta keluar dari situ, tapi sebentar lagi bilang tidak mau. Toan Ki tahu perasaan si nona terlalu terguncang, seketika juga sukar diberi mengerti. Maka ia tidak bicara lagi.

Dan setelah muring-muring sejenak, melihat Toan Ki diam saja, Wan-jing lantas tanya, "Kenapa kau tidak bicara?”

"Habis, apa yang harus kukatakan?” sahut Toan Ki.

"Coba terangkan, untuk apa engkau berada di sini?” tanya Wan-jing.

"Aku ditawan muridku ke sini ....”

"Muridmu?” Wan-jing memotong dengan heran. Tapi segera teringat olehnya, ia tertawa dan berkata, "Ya, benar, itulah Lam-hay-gok-sin, dia yang menawan dan mengurungmu di sini?”

Toan Ki mengiakan.

"Kenapa tidak kau gunakan pengaruhmu sebagai guru dan menyuruh dia melepaskan dirimu dari sini?” ujar si nona.

"Sudah, entah sudah berapa kali aku suruh dia, tapi ia bilang aku harus ganti mengangkat dia sebagai guru, barulah dia mau melepaskan aku.”

"Ah, mungkin lagakmu sebagai guru kurang berwibawa, maka dia berani membangkang,” kata Wan-jing.

"Ya, mungkin begitulah,” sahut Toan Ki gegetun. "Dan engkau sendiri bagaimana, siapa yang menangkapmu

ke sini?”

Maka berceritalah Bok Wan-jing tentang Jing-bau-khek yang dijumpainya itu. Cuma tentang janji orang aneh itu hendak "mengubah kakak menjadi suaminya” itu tak diceritakannya.

Mendengar ada seorang yang bisa bicara dengan perut tanpa gerak mulut, bisa berjalan secepat terbang meski kakinya buntung, Toan Ki menjadi sangat tertarik, berulang-ulang ia berkecek-kecek kagum dan tanya lebih jelas.

Setelah lama mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara keletak di luar, dari celah-celah tampak disodorkan masuk sebuah mangkuk, terdengar suara orang berkata, "Ini, makanlah!”

Segera Toan Ki menyambut mangkuk itu, ternyata isinya adalah Ang-sio-bak yang masih hangat dan berbau sedap.

Menyusul dari luar diangsurkan masuk pula semangkuk ham keluaran Hunlam yang terkenal, semangkuk lagi sayur dan beberapa potong bakpao.

"Kau kira di dalam makanan ini ditaruh racun tidak?” tanya Toan Ki kepada Wan-jing sesudah taruh makanan itu di atas meja.

"Umpama mereka hendak membunuh kita, tentunya tidak perlu susah-susah menaruh racun di dalam makanan,” ujar Wan-jing.

Benar juga pikir Toan Ki, ia memang sudah sangat lapar, maka katanya, "Marilah makan!”

Terus saja ia mendahului serbu Ang-sio-bak yang lezat itu bersama bakpao.

"Habis makan lemparkan keluar mangkuk-mangkuk itu, nanti ada orang yang membereskannya,” demikian terdengar suara orang di luar tadi. Habis berkata, orang itu lantas tinggal pergi.

"Engkau jangan khawatir, Jing-moay!” demikian kata Toan Ki sembari makan. "Paman dan ayah pasti akan datang menolong kita. Biarpun ilmu silat Lam-hay-gok-sin dan kawan-kawannya cukup hebat, tapi mereka belum tentu sanggup melawan ayah. Apalagi kalau paman mau turun tangan sendiri, tentu saja mereka bisa

disapu bersih dengan mudah.”

"Hm, dia cuma seorang raja negeri Tayli, masakah ilmu silatnya ada sesuatu yang hebat?” demikian Wan-jing berolok-olok. "Aku tidak percaya dia mampu mengalahkan orang aneh berbaju hijau itu, paling-paling dia hanya bisa mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyerbu ke sini.”

"Tidak, tidak!” berulang-ulang Toan Ki menggoyang kepala. "Leluhur kita adalah tokoh Bu-lim daerah Tionggoan, meski menjadi raja di negeri Tayli ini, selama ini tidak pernah melupakan peraturan Bu-lim yang berlaku. Kalau mengalahkan musuh dengan jumlah lebih banyak, bukankah keluarga Toan kita akan ditertawai orang persilatan di jagat ini?”

"Ehm, kiranya sesudah familimu menjadi raja dan Ongya, mereka tetap tak mau melupakan kedudukan mereka di dunia Kangouw,” ujar Wan-jing.

"Ya, paman dan ayah sering berkata, itu namanya tidak melupakan asal usul,” sahut Toan Ki.

"Huh,” jengek si nona tiba-tiba, "di mulut selalu tentang kebajikan dan kebaikan, tapi yang diperbuat tak lain adalah hal-hal yang rendah memalukan. Coba jawab, ayahmu sudah mempunyai ibumu, kenapa ... kenapa mencederai guruku lagi?”

"He! Kenapa kau maki ayahku? Ayahku kan juga ayahmu?” sahut Toan Ki rada tercengang. "Lagi pula setiap pangeran atau orang bangsawan di jagat ini, siapakah yang tidak punya beberapa istri? Sekalipun mempunyai delapan atau sepuluh orang istri kan tidak menjadi soal dan lumrah?”

Tatkala itu zamannya dinasti Song utara. Di bagian utara ada negeri Cidan, di tengah adalah kerajaan Song, di barat laut negeri He, di barat daya ada negeri Turfan, sedang di selatan adalah negeri Tayli, seluruh Tiongkok waktu itu terbagi lima negeri. Dan memang benar, bukan cuma rajanya, pangeran-pangerannya dan bangsawan-bangsawannya, setiap orang mempunyai beberapa istri, bahkan berpuluh selir pula. Hal mana sudah menjadi kelaziman zaman feodal, kalau setiap bangsawan itu hanya memiliki seorang istri melulu, hal mana malah dipandang sebagai luar biasa.

Akan tetapi Bok Wan-jing menjadi gusar demi mendengar pembelaan Toan Ki itu, "plok”, kontan ia tampar pipi pemuda itu.

Keruan Toan Ki kaget hingga separuh bakpao yang masih dipegangnya terjatuh ke tanah. "Ada ... ada apa?” tanyanya bingung.

"Tidak, aku tidak mau panggil dia sebagai ayah!” demikian seru Wan-jing. "Kalau lelaki boleh punya beberapa istri, kenapa wanita tidak boleh bersuami dua atau tiga?”

Geli dan dongkol Toan Ki, sambil meraba pipinya yang sakit pedas itu, ia berkata dengan tersenyum getir, "Engkau adalah adikku, kenapa engkau pukul Engkohmu sendiri?”

Namun marah si gadis masih belum reda, tangannya terangkat terus hendak menggampar lagi. Tapi sekali ini Toan Ki sudah berjaga-jaga, sedikit kaki menggeser, cepat ia keluarkan langkah "Leng-po-wi-poh” yang aneh, tahu-tahu ia sudah menyelinap ke belakang Bok Wan-jing. Ketika tangan si nona menghantam ke belakang, kembali Toan Ki dapat menghindar pula.

Meski luas kamar batu itu tidak lebih dua meter, namun "Leng-po-wi-poh” itu benar-benar sangat ajaib, biarpun pukulan Bok Wan-jing makin lama makin cepat, dari awal sampai akhir tetap tak dapat mengenai Toan Ki.

Keruan semakin marah Bok Wan-jing, tiba-tiba ia mendapat akal.

"Auuh!” ia pura-pura menjerit terus menjatuhkan diri ke lantai.

"He, kenapa!” seru Toan Ki khawatir sambil berjongkok untuk memayang si nona.

Dengan lemas saja Wan-jing menyandarkan tubuhnya di pangkuan Toan Ki, tangan kiri terus merangkul leher pemuda itu, mendadak ia merangkul kencang sambil berkata dengan tertawa, "Sekarang engkau bisa menghindar tidak?”

Menyusul tangan kanan diayun lagi, "plok”, lagi-lagi pipi Toan Ki dipersen sekali tamparan.

Dalam sakitnya, Toan Ki menjerit pula, mendadak semacam arus hawa panas memburu ke atas dari dalam perut, seketika denyut nadinya bekerja keras, nafsu berahinya berkobar hingga sukar ditahan.

Bok Wan-jing berjuluk "Hiang-yok-jeh” atau si Hantu Wangi, memang tubuhnya membawa semacam bau harum yang memabukkan orang, kini tubuhnya dirangkul erat oleh Toan Ki, bau harum yang semerbak itu makin mengacaukan pikiran anak muda itu, tanpa terasa ia mencium bibir si gadis.

Dan sekali dicium, seketika Bok Wan-jing lemas lunglai. Segera Toan Ki mengangkat tubuh nona itu dan dibawa ke atas dipan ....

"Engkau ... engkau adalah kakakku!” tiba-tiba Wan-jing berbisik.

Meskipun pikiran sehat Toan Ki waktu itu sudah kabur, namun kata-kata Wan-jing itu mirip bunyi geledek siang bolong. Ia tertegun sejenak, sekonyong-konyong ia lepaskan gadis itu dan menyurut mundur beberapa tindak, menyusul "plak-plok” beberapa kali, ia berondongi pipi sendiri dengan tamparan keras sambil memaki, "Mampus kau, mampus kau!”

Melihat kedua mata pemuda itu merah membara menyorotkan cahaya yang aneh, kulit daging mukanya berkerut-kerut, hidungnya berkempas-kempis, Wan-jing menjadi kaget, teriaknya, "He, Toan-long, kita teperdaya, di dalam makanan ada racun!”

Waktu itu Toan Ki merasa antero badan panas bagai dibakar. Demi mendengar si gadis bilang di dalam makanan ada racun, ia menjadi girang malah, pikirnya, "Ah, kiranya racunlah yang telah mengacaukan pikiran suciku hingga timbul maksud tidak senonoh terhadap Jing-moay dan bukan karena jiwaku yang kotor dan mendadak hendak meniru perbuatan binatang yang rendah.”

Akan tetapi panas badan benar-benar sukar ditahan, saking tak tahan satu per satu ia copot bajunya hingga akhirnya melulu tinggal pakaian dalam saja, untunglah pikirannya masih rada jernih hingga tidak mencopot lebih jauh, cepat ia duduk bersila menenangkan diri untuk melawan pikiran jahat tadi.

Bok Wan-jing sendiri juga merasakan badan panas seperti Toan Ki, sampai akhirnya saking tak tahan, ia pun menanggalkan baju luarnya.

Namun Toan Ki lantas berteriak, "Jing-moay, jangan lepas baju lagi! Lekas tempelkan punggungmu ke dinding, tentu terasa segar sedikit!”

Begitulah segera mereka bersandar di dinding batu. Namun racun di dalam badan tetap bekerja dengan hebat, meski punggung terasa sedikit dingin, anggota badan lain malah bertambah panas. Toan Ki melihat kedua pipi Wan-jing merah membara, cantiknya sukar dilukiskan, matanya berkilau-kilau seakan-akan ingin sekali menubruk ke pangkuannya, ia pikir, "Dengan iman teguh kita lawan terus bekerjanya racun. Namun tenaga manusia terbatas juga, kalau akhirnya berbuat hal-hal yang tidak senonoh, ini benar-benar akan menodai habishabisan nama baik keluarga Toan dan selamanya sukar menebus kesalahan ini.”

Maka cepat ia berkata, "Jing-moay, lemparkanlah sebatang panahmu kepadaku!”

"Untuk apa?” tanya Wan-jing.

"Supaya ... supaya kalau aku sudah tak tahan lagi, sekali tikam aku akan membunuh diri dengan panah berbisa itu, agar tidak membikin susah padamu,” sahut Toan Ki.

"Tidak, aku tidak mau memberi,” kata si gadis.

"Jika begitu, janjilah padaku untuk memenuhi sesuatu permohonanku,” pinta Toan Ki.

"Tentang apa?” tanya Wan-jing.

"Bila tanganku sampai menyentuh badanmu, sekali panah boleh kau binasakan aku,” kata Toan Ki.

"Tidak, aku tidak mau!” sahut si gadis.

"Jing-moay, terimalah permintaanku itu,” pinta Toan Ki dengan sangat. "Nama baik keluarga Toan kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini tidak boleh hancur di tanganku. Kalau tidak, mati pun aku tidak bisa mempertanggungjawabkan pada leluhur di alam baka?”

"Huh, apanya yang hebat dari keluarga Toan di Tayli?” tiba-tiba suara jengek seorang di luar rumah batu itu. "Paling-paling di mulut saja selalu bicara tentang kebaikan dan kemanusiaan, tapi apa yang diperbuat lebih rendah daripada binatang. Apanya yang perlu dipuji?”

"Siapa kau? Ngaco-belo belaka!” damprat Toan Ki dengan gusar.

"Dia ... dia adalah si baju hijau yang aneh itu,” dengan lirih Wan-jing membisiki Toan Ki.

Maka terdengar Jing-bau-khek itu berkata lagi, "Bok-kohnio, sudah kusanggupi akan menjadikan kakakmu sebagai suamimu, kutanggung pasti akan memenuhi harapanmu.”

"Kau sengaja pakai racun untuk mencelakai kami, apa sangkut pautnya dengan permohonanku padamu?” sahut Wan-jing gusar.

"Di dalam Ang-sio-bak yang sudah kalian makan itu telah dengan banyak kucampur dengan ‘Im-yang-ho-hapsan’ (puyer menjodohkan negatif dan positif), sesudah minum, kalau tidak terjadi pembauran hawa Im dan Yang, kalau laki-laki dan wanita tidak melakukan tugas suami istri, maka antero badannya segera akan membusuk, mata hidung dan telinga akan mengucurkan darah dan akhirnya mati. Bekerjanya obat Ho-hap-san itu makin lihai, sampai hari kedelapan, sekalipun dewa juga takkan mampu menolong,” demikian orang itu menjelaskan.

Toan Ki menjadi gusar, dampratnya, "Selamanya aku tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa kau perlakukan aku begini keji? Kau sengaja membikin kami berbuat hal-hal yang durhaka, agar ayah dan pamanku malu selama hidup, namun biar seratus kali aku harus mati, tidak nanti aku masuk perangkapmu!”

"Kau memang tiada permusuhan apa-apa denganku, tapi leluhur keluarga Toan kalian justru mempunyai permusuhan sedalam lautan denganku,” demikian sahut Jing-bau-khek. "Hm, bilamana Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun dirundung malu selama hidup hingga tiada muka buat bertemu dengan orang luar, itulah paling bagus, paling bagus!”

Rupanya karena mulutnya tak bisa bergerak, maka meski hatinya sangat senang, namun tak dapat bergelak tertawa.

Dan selagi Toan Ki hendak mendebat pula, sekilas dilihatnya paras Bok Wan-jing yang cantik bagai kuntum bunga baru mekar itu, hatinya berdebar-debar keras lagi, seketika benaknya menjadi kacau pula, pikirnya, "Aku memang ada ikatan perjodohan dengan Jing-moay, andaikan kami tidak pulang ke Tayli, siapa lagi yang tahu kami adalah kakak dan adik? Apa yang terjadi ini adalah hukum karma akibat dosa leluhur, peduli apa dengan kami berdua?”

Berpikir begitu, segera Toan Ki bangkit dengan sempoyongan. Terlihat sambil berpegangan dinding, Bok Wanjing juga sedang berdiri perlahan.

Sekonyong-konyong terkilas pula pikiran sehat dalam benaknya, "Wah, tidak boleh, tidak boleh! Wahai Toan Ki, perbuatan binatang yang hendak kau lakukan ini tergantung pada pikiran sekilas saja, bila hari ini kau terjerumus, bukan saja nama baikmu sendiri akan hancur lebur, bahkan nama baik ayah dan paman serta leluhur juga ikut tercemar.”

Karena itu, mendadak ia membentak, "Jing-moay, aku adalah kakakmu dari satu ayah, dan engkau adalah adikku sendiri, tahu tidak kau? Kau paham Ih-keng tidak?”

Dalam keadaan sadar tak sadar Bok Wan-jing menjawab, "Ih-keng apa? Aku tidak paham.”

"Baiklah, biar kuajarkan padamu,” kata Toan Ki. "Pelajaran Ih-keng ini rada sulit dan sangat dalam, engkau harus mendengarkan dengan cermat.”

"Untuk apa aku mempelajarinya?” tanya Wan-jing.

"Besar manfaatnya sesudah kau belajar,” sahut Toan Ki. "Boleh jadi sesudah belajar kita berdua akan dapat melepaskan diri dari kesulitan ini.”

Kiranya Toan Ki merasa nafsunya semakin menyala-nyala. Dalam pertentangan batin antara kemanusiaan dan kebinatangan itu, sungguh keadaannya sangat berbahaya, asal Bok Wan-jing mendekatinya dan sedikit menggoda, rasanya pertahanannya akan bobol.

Sebab itulah ia bermaksud mengajarkan Ih-keng padanya untuk menyimpangkan pikirannya dari kesesatan. Maka katanya pula, "Dasar Ih-keng terletak pada Thay-kek (asas alamiah) dan Thay-kek melahirkan Liang-gi (langit dan bumi). Liang-gi menciptakan Su-siang (empat musim), Su-siang menimbulkan Pat-kwa (delapan unsur). Kau paham tidak lukisan Pat-kwa?”

"Tidak! Wah, gerah benar! Toan-long, marilah maju ke sini, aku ingin bicara padamu!” demikian kata si gadis.

"Aku adalah kakakmu, jangan panggil aku Toan-long, tapi harus panggil Toako,” sahut Toan Ki. "Coba dengarkan, aku akan menguraikan kalimat-kalimat bentuk Pat-kwa itu, harus kau ingat dengan baik, Kian-samthong, Kun-liok-toan dan ....”

"Apa Kian, apa Kun? Entahlah, aku tidak paham!” kata Wan-jing.

"Itu menggambarkan bentuk Pat-kwa,” tutur Toan Ki. "Harus kau tahu, Pat-kwa itu meliputi segala benda di alam semesta ini, dari langit dan bumi sampai semua makhluk di dunia. Misalnya keluarga kita, Kian adalah ayah dan Kun adalah ibu, Cin menyimbolkan putra dan Soan menandakan putri .... Kita berdua adalah kakakberadik, aku adalah unsur Cin dan engkau adalah unsur Soan.”

"Tidak, engkau unsur Kian dan aku unsur Kun,” demikian sahut Wan-jing dengan kemalas-malasan. "Biarlah kita berdua menikah, kelak melahirkan putra dan putri ....”

Mendengar ucapan si nona yang tak keruan itu, hati Toan Ki terguncang, serunya khawatir, "He, Jing-moay, jangan kau pikir yang tidak-tidak, dengarkanlah uraianku lebih jelas!”

"Kau duduklah di sampingku sini dan aku akan mendengarkan uraianmu,” ujar Wan-jing.

"Bagus, bagus! Sesudah kalian berdua menjadi suami istri dan melahirkan putra-putri, aku lantas melepaskan kalian keluar,” demikian terdengar Jing-bau-khek yang aneh itu berkata di luar rumah batu. "Dan bukan saja aku takkan membunuh kalian, bahkan akan kuajarkan kalian macam-macam kepandaian, biar kalian suami istri malang melintang di seluruh jagat.”

"Ngaco!” seru Toan Ki gusar. "Sampai saat terakhir, akan kubenturkan kepalaku ke dinding. Anak-cucu keluarga Toan lebih suka mati daripada dihina. Kau ingin membalas dendam atas diriku, jangan harap!”

"Kau mau mati atau ingin hidup, aku peduli apa?” sahut Jing-bau-khek. "Bila kalian berdua mencari mati, aku akan belejeti pakaian kalian hingga telanjang bulat, akan kutuliskan keterangan di atas mayat kalian bahwa inilah putra-putri Toan Cing-sun yang telah berbuat maksiat, tapi kepergok orang, saking malu maka lantas membunuh diri. Akan kubawa mayat kalian berkeliling ke setiap kota sesudah aku mengawetkan dulu mayat kalian.”

Sungguh tidak kepalang gusar Toan Ki, bentaknya murka, "Ada permusuhan apakah sebenarnya keluarga Toan kami dengan dirimu sehingga kau balas secara begini keji?”

"Urusanku, buat apa kuceritakan padamu?” sahut Jing-bau-khek. Habis ini, suaranya tak terdengar lagi, mungkin sudah pergi.

Toan Ki tahu, banyak bicara dengan Bok Wan-jing, bahayanya akan bertambah besar pula. Segera ia duduk menghadap dinding untuk memikirkan langkah-langkah "Leng-po-wi-poh” yang ajaib itu. Setelah terdiam agak lama, tiba-tiba teringat olehnya, "Enci Dewi di dalam gua itu berpuluh kali lebih cantik daripada Jing-moay, bila aku bisa memperistrikan dia, rasanya tidak sia-sia hidupku ini.”

Dalam keadaan sadar tak sadar ia berpaling, ia lihat muka Bok Wan-jing samar-samar mulai berubah menjadi patung cantik di dalam gua itu.

"O, Enci Dewi, betapa deritaku ini, tolonglah aku!” demikian Toan Ki berteriak. Mendadak ia menubruk ke depan merangkul betis Bok Wan-jing.

Justru pada saat itu juga, di luar ada suara orang, "Makan malam dulu ini!”

Berbareng sebatang lilin yang sudah dinyalakan diangsurkan. Dengan tertawa orang itu berkata lagi, "Nah, lekas sambut ini, malam pengantin, mana boleh tanpa lilin?”

Dalam kejutnya Toan Ki terus berbangkit, di bawah sinar lilin yang terang itu, ia lihat mata Wan-jing yang jeli itu berkilau-kilau penuh arti, cantiknya sukar dilukiskan. Cepat ia sirap lilin, lalu membentak, "Di dalam nasi ada racun, lekas bawa pergi, kami tidak mau makan!”

"Sudah banyak racun yang masuk perutmu, tidak perlu ditambah lagi,” sahut suara itu sambil tetap menyodorkan makanan.

Tanpa terasa Toan Ki sambut juga dan ditaruh di atas meja. Pikirnya, "Kalau sudah mati, musnahlah segalanya, apa yang terjadi sesudah itu, mana bisa aku mengurusnya lagi?”

Lalu pikirnya pula, "Tapi betapa kasih sayang ayah-bunda dan paman padaku, mana boleh aku menodai nama baik keluarga Toan hingga ditertawai orang?”

Tiba-tiba terdengar Bok Wan-jing berteriak, "Toan-long, aku akan bunuh diri dengan panahku, supaya tidak bikin susah padamu!”

"Nanti dulu!” seru Toan Ki, "Biarpun kita mati, keparat yang mahajahat itu pun takkan mengampuni kita. Orang ini sangat keji dan licik, dibanding Yap Ji-nio yang suka isap darah bayi dan Lam-hay-gok-sin yang suka makan hati manusia, orang ini jauh lebih jahat! Entah siapa dia sebenarnya?”

"Ucapanmu memang tidak salah,” tiba-tiba terdengar suara Jing-bau-khek itu menjawab, "Lohu tak-lain takbukan adalah ‘Ok-koan-boan-eng’ (kejahatan sudah melebihi takaran), kepala Su-ok aku adanya!”

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali mengenai keadaan di istana Tin-lam-ong.

Si Pek-hong alias Yau-toan-siancu menjadi sangat khawatir atas diri sang putra yang digondol kawanan Su-ok itu, tanyanya pada Po-ting-te, "Hong-heng, di manakah letak Ban-jiat-kok itu, apakah Hong-heng sudah tahu?”

"Nama Ban-jiat-kok juga baru kudengar hari ini,” sahut Po-ting-te Toan Cing-beng. "Tapi rasanya tidak jauh dari Tayli ini.”

"Dari nada ucapan Ciong Ban-siu itu, agaknya tempat itu sangat dirahasiakan,” kata Pek-hong dengan khawatir. "Dan kalau terlalu lama Ki-ji berada dalam cengkeraman musuh, mungkin ....”

"Ki-ji terlalu dimanjakan di rumah, biarkan dia mengalami sedikit gemblengan juga ada baiknya,” demikian sela Po-ting-te dengan tersenyum.

Si Pek-hong tidak berani banyak bicara lagi meski dalam hati khawatir sekali.

Maka Po-ting-te berkata pula kepada Toan Cing-sun, "Sun-te, suruh keluarkan santapan lagi, mari kita menjamu diri sendiri dahulu.”

Cing-sun mengiakan dan memberi perintah, hanya sebentar saja perjamuan lengkap sudah disediakan lagi. Segera Po-ting-te suruh semua orang duduk semeja untuk makan minum.

Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi tempatnya bukan di istana, biasanya ia tidak suka banyak adat, maka Toan Cing-sun, Si Pek-hong dan Ko Sing-thay lantas sama duduk mengiringinya tanpa rikuh.

Dalam perjamuan itu, mereka sama sekali tidak bicara tentang kejadian tadi.

Ketika dekat fajar, tiba-tiba seorang pengawal masuk melapor, "Pah-sugong ingin menghadap Hongsiang!”

Maka masuklah seorang laki-laki kehitam-hitaman, bertubuh pendek kurus. Ia memberi hormat kepada Poting-te dan berkata, "Lapor Hongsiang, untuk ke tempat itu harus melalui Sian-jin-toh dan jembatan rantai, mulut lembahnya adalah sebuah kuburan.”

"Wah, bila tahu Pah-sugong sudah turun tangan, masakah sarang musuh takkan diketemukan dan aku pun tidak perlu khawatir lagi,” seru Pek-hong dengan tertawa.

"Onghui terlalu memuji, Pah Thian-sik tidak berani terima,” sahut laki-laki hitam itu.

Kiranya Pah Thian-sik ini meski bermuka jelek dan potongannya kecil, tapi dia sangat cerdik dan pintar, sudah banyak berjasa bagi Po-ting-te. Pangkatnya sekarang di negeri Tayli adalah Sugong.

Gelar pangkat Suto, Suma dan Sugong sangat terhormat dalam kerajaan kecil ini. Pah Thian-sik sendiri ilmu silatnya sangat tinggi, lebih-lebih dalam ilmu Ginkang. Kali ini ia ditugaskan Po-ting-te untuk menguntit jejak musuh, dan benar juga ia dapat mengetahui tempat Ban-jiat-kok itu.

"Thian-sik, duduklah dan makan yang kenyang,” kata Po-ting-te kemudian dengan tertawa. "Habis makan, kita lantas berangkat.”

Thian-sik cukup kenal watak sang raja yang biasanya tak suka orang berlutut dan menyembah padanya, kalau terlalu kukuh pada adat-adat kolot itu, sang raja malah kurang senang. Maka ia hanya mengiakan sekali dan ambil tempat duduk, terus saja ia serbu apa yang tersedia di atas meja itu.

Setetes arak pun Pah Thian-sik tidak minum, tapi takarannya makan ternyata sangat mengejutkan, hanya sekejap saja hampir sepuluh mangkuk nasi telah dilangsir ke dalam perutnya.

Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain sudah lama bersahabat dengan Pah Thian-sik, maka mereka tidak menjadi heran akan kelakuan orang aneh itu.

Habis makan, segera Thian-sik berbangkit, ia usap mulutnya yang berlepotan minyak itu dengan lengan baju, lalu berkata, "Marilah Hongsiang, biar hamba menunjukkan jalannya.”

Dan segera ia mendahului melangkah keluar.

Berturut-turut Po-ting-te, Toan Cing-sun suami istri dan Ko Sing-thay lantas mengikuti di belakangnya.

Sampai di luar istana, tampak tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok sudah menanti di situ sambil menuntun kuda, di samping itu ada belasan pengawal lain yang membawakan senjata Po-ting-te.

Nyata, biarpun kedua saudara Toan ini mempunyai kedudukan terpuji, namun mereka tidak pernah meninggalkan etiket sebagai orang persilatan daerah Tionggoan yang diwariskan leluhur mereka. Sering kali mereka pun menyamar sebagai rakyat jelata untuk pesiar keluar, kalau ketemukan orang Bu-lim hendak menuntut balas atau mencari mereka, selalu mereka pun menghadapinya menurut peraturan Bu-lim, selamanya tidak gunakan pengaruh kedudukan mereka untuk menghina orang.

Sebab itulah, maka keluarnya Po-ting-te sekarang ini sedikit pun tidak mengherankan para pengiringnya, mereka anggap sudah biasa.

Melihat di antara beberapa orang pengiring itu ada yang membawa pacul dan sekop, dengan tertawa Si Pekhong tanya, "Pah-sugong, apakah kita hendak pergi menggali pusaka pendaman?”

"Pergi menggali kuburan!” sahut Pah Thian-sik.

Begitulah segera rombongan mereka berangkat beramai-ramai, kuda yang mereka pakai adalah pilihan, maka tidak sampai tengah hari mereka sudah tiba di tanah pekuburan di luar Ban-jiat-kok itu.

"Gali situ!” kata Pah Thian-sik segera sambil menunjuk kuburan besar yang ketujuh.

Terus saja pengiring-pengiring yang membawa alat-alat galian itu bekerja cepat.

"Wah, penghuni di Ban-jiat-kok ini rupanya dendam tiada tara terhadap keluarga Toan kita!” demikian kata Poting-te dengan tertawa sambil menuding batu nisan yang bertuliskan "Kuburan Ban Siu Toan” atau kuburan orang beribu sakit hati pada orang she Toan.

Dalam pada itu Jay-sin-khek Siau Tiok-sing sudah lantas ayun kapaknya dengan cepat pada batu nisan itu hingga batu kerikil bertebaran, hanya sebentar saja batu nisan itu sudah dihancurkan olehnya dan melulu tertinggal huruf "Toan” yang masih tetap utuh.

Sementara itu para pengiring juga sudah meratakan sebagian besar kuburan itu hingga kelihatan jalan masuk ke bawah tanah itu.

Segera Siau Tiok-sing mendahului masuk ke dalam, lalu keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok mendahului

membuka jalan, di belakangnya adalah Pah Thian-sik dan Ko Sing-thay, menyusul lantas Toan Cing-sun suami istri dan paling akhir Po-ting-te.

Setelah masuk ke dalam lembah itu ternyata keadaan sunyi senyap tiada seorang pun yang menyambut kedatangan mereka.

Pah Thian-sik menuruti peraturan Kangouw, ia bawa kartu nama Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun menuju ke depan rumah utama di lembah itu, serunya keras-keras, "Dua saudara she Toan dari negeri Tayli ingin bertemu dengan Ciong-kokcu!”

Baru selesai ucapannya, sekonyong-konyong dari semak-semak pohon sisi kiri sana berkelebat keluar sesosok bayangan orang yang panjang sekali, dengan cepat luar biasa tahu-tahu melayang ke arah Pah Thian-sik terus hendak menyambar kartu nama yang dipegangnya itu.

Namun Thian-sik cukup cepat juga gerakannya, ia menggeser ke samping sambil membentak, "Siapa?”

Kiranya itulah "Kiong-hiong-kek-ok” In Tiong-ho. Sekali sambar tidak kena, ia tidak berhenti tapi terus putar balik dan menubruk ke arah Thian-sik.

Melihat Ginkang orang sangat hebat, timbul keinginan Pah Thian-sik untuk menjajal kepandaian orang yang sesungguhnya, maka cepat ia geser pula ke samping lain. Segera In Tiong-ho mengudak juga.

Maka tertampaklah dua bayangan orang, yang satu jangkung dan yang lain pendek, dalam sekejap saja sudah saling uber kian kemari beberapa kali. Meski langkah In Tiong-ho sangat lebar, namun dengan gesit sambil berlompatan, Pah Thian-sik dapat menyusup pergi datang dengan lincah, jarak kedua orang tetap terpisah lebih satu meter. In Tiong-ho tak bisa menyusul Pah Thian-sik, sebaliknya Thian-sik juga tak mampu melepaskan diri dari kejaran Tiong-ho.

Biasanya kedua orang itu sama-sama sangat mengagulkan Ginkangnya sendiri, tapi kini ketemukan lawan setanding, diam-diam mereka sama terkejut. Makin berlari makin cepat, begitu cepatnya hingga baju mereka berkibaran menjangkitkan angin yang menderu-deru.

Meski hanya dua orang yang kejar-mengejar, namun bagi penglihatan orang menjadi seperti beberapa orang yang sedang saling udak kian kemari. Sampai akhirnya, saking cepatnya lari mereka hingga orang merasa bingung apakah sebenarnya In Tiong-ho yang lagi mengejar Pah Thian-sik atau Thian-sik yang sedang mengudak Tiong-ho?

Tiba-tiba terdengar suara keriut pintu dibuka, Ciong Ban-siu tampak keluar dari rumah itu.

Melihat tuan rumah itu, tanpa berhenti berlari, Pah Thian-sik mengerahkan tenaga dalam terus menyambitkan kartu nama yang enteng dan lemas, tapi Thian-sik ternyata dapat menimpuknya dengan lurus enteng, apalagi dia sedang berlari diuber musuh, angin yang terjangkit karena larinya itu cukup keras, tapi kartu nama itu mampu menembus sambaran angin dan tetap menuju ke arah Ciong Ban-siu, maka dapatlah dibayangkan betapa lihai Lwekang Pah Thian-sik.

Ban-siu lantas tangkap kartu yang terbang ke arahnya itu, serunya dengan gusar, "Orang she Toan, jika kau datang ke lembah ini menurut peraturan Kangouw, mengapa kau rusak peralatan pintu lembahku?”

"Hongsiang mahaagung, mana boleh menerobos liang kuburmu dan peti matimu yang busuk itu?” demikian sahut Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li.

Si Pek-hong sendiri paling khawatir keselamatan putranya, maka segera ia tanya, "Di manakah anakku, kalian mengurungnya di mana?”

Belum lagi Ciong Ban-siu menjawab, sekonyong-konyong dari belakangnya tampil seorang wanita, dengan suara yang tajam ia berseru, "Kedatanganmu sudah terlambat, bocah she Toan itu sudah kami sembelih dadanya dan isi perutnya kami buang sebagai umpan anjing!”

Kedua tangan wanita itu tampak memegangi sepasang golok, batang golok itu sangat ciut bagai daun pohon Liu, tapi bersinar kemilau. Itulah dia Siu-lo-to yang ditakuti orang Kangouw bila melihatnya.

Kedua wanita ini, Si Pek-hong dan Cin Ang-bian, pada masa belasan tahun yang lalu sudah saling bermusuhan. Meski Si Pek-hong tahu apa yang dikatakan Cin Ang-bian tadi tidak benar, namun ucapan orang yang mengerikan atas diri putranya, membuat Si Pek-hong menjadi gusar, dendam lama dan benci baru meledak sekaligus, dengan dingin ia balas berolok-olok, "Huh, aku bicara sendiri dengan Ciong-kokcu, siapa yang sudi omong-omong dengan perempuan rendah tak kenal malu hingga mengotorkan diri sendiri.”

"Creng-creng,” sekonyong-konyong kedua golok Cin Ang-bian membacok secepat kilat ke atas kepala Si Pekhong. Serangan "Sip-ji-gam” atau bacokan bersilang, yang satu malang ke sana dan yang lain melintang ke sini, jurus ini adalah kepandaian khas Cin Ang-bian yang telah banyak menjungkalkan jago dunia Kangouw.

Maka lekas Si Pek-hong ayun kebut pertapaannya untuk menangkis, berbareng tubuhnya bergeser ke samping,

ujung kebut lantas balas menyabet punggung lawan.

Menyaksikan itu, Toan Cing-sun menjadi serbasalah. Yang seorang adalah istri kesayangannya, dan yang lain adalah bekas kekasih. Dalam pertarungan sengit itu, siapa pun terluka, dirinya yang sudah pasti akan menyesal selama hidup. Maka segera ia membentak, "Berhenti, berhenti dulu!”

Ia terus melompat maju dengan pedang terhunus hendak memisah.

Melihat Toan Cing-sun, marah Ciong Ban-siu lantas berkobar, ia lolos golok "Tay-goan-to,” golok tebal yang bergelang hingga menerbitkan suara gemerantang nyaring, tanpa bicara lagi terus membacok kepala Toan Cing-sun.

"Tak usah Ongya maju sendiri, biar hamba membereskan dia saja,” kata Leng Jian-li sambil menjuju dengan senjata pancingnya.

"Haha,” Ban-siu tertawa mengejek. "Memang kutahu orang she Toan hanya besar omong saja, paling-paling cuma pandai main keroyokan.”

"Mundur Jian-li!” seru Cing-sun dengan tertawa, "biar kubelajar kenal sendiri dengan kepandaian Ciong-kokcu yang lihai.”

Berbareng ia lantas menangkis tangkai pancing Leng Jian-li, sekalian pedang terus menempel punggung Taygoan-to lawan yang dipakai menangkis tangkai pancing Leng Jian-li tadi, untuk memotong jari tangan Ciong Ban-siu.

Ban-siu terkejut oleh tiga gerakan yang dilakukan sekaligus, yaitu menangkis, menempel dan memotong, diam-diam ia harus mengaku orang she Toan ini benar-benar lihai. Maka ia tidak berani marah lagi, tapi ia hadapi lawan dengan sungguh-sungguh. Meski wataknya kasar, namun kalau sudah berhadapan dengan musuh, ia bisa berlaku hati-hati.

"Coba kalian masuk dan geledah sana!” perintah Po-ting-te kepada Leng Jian-li.

Jian-li mengiakan, segera tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok menyerbu ke dalam rumah orang. Tapi baru sebelah kaki Siau Tiok-sing melangkah masuk, tiba-tiba dari depan menyambar sebatang golok tipis ke mukanya. Untung ia sempat mengkeret kembali dengan cepat, kalau tidak tentu mukanya sudah rata terpotong, paling

tidak batang hidungnya pasti terpapas.

Saking kagetnya sampai Siau Tiok-sing berkeringat dingin. Ia coba perhatikan siapa gerangan penyergap itu. Kiranya seorang wanita yang berparas cantik, itulah dia Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio adanya.

Golok yang dipakai Yap Ji-nio itu bentuknya sangat aneh, enteng tipis, senjata tajam luar biasa. Sambil memegangi gagang golok yang pendeknya cuma belasan senti itu, hanya sedikit diputar seketika terjadilah segulung sinar putih.

Kaget Siau Tiok-sing semula memang luar biasa, tapi sesudah tenangkan diri, segera ia membentak, kapak baja diayun, terus saja ia bacok senjata musuh.

Namun Yap Ji-nio lekas putar goloknya yang tipis tajam itu, ia tidak berani adu senjata dengan kapak lawan.

Siau Tiok-sing mainkan 36 jurus "Khay-san-po-hoat” atau ilmu permainan kapak membelah gunung, ia membacok ke atas dan membabat ke bawah. Sebaliknya Yap Ji-nio terus-menerus mengejeknya dengan katakata yang menusuk hati.

Melihat perempuan itu sambil bicara seenaknya saja melayani serangan Tiok-sing, Cu Tan-sin menjadi khawatir jangan-jangan kawannya teperdaya musuh. Maka cepat ia pun menerjang maju, kipasnya berputar terus menutuk.

Tatkala itu In Tiong-ho masih tetap main putar kayun dengan Pah Thian-sik. Ginkang kedua orang sama lihainya, mereka tahu juga dalam waktu singkat sukar untuk menentukan kalah menang, tapi yang diuji sekarang adalah tenaga dalam, siapa yang tahan lama, dia akan menang.

Tapi Thian-sik tahu lawan sudah mengerahkan sepenuh tenaga untuk mengejar, berbeda seperti dirinya yang main melompat dan melejit, tenaga dalam masih terpelihara, bila sewaktu-waktu dirinya mendadak berhenti berlari terus menyerang serentak, tentu lawan tak kuat menahannya.

Cuma tujuannya memang ingin menguji Ginkang lawan, maka ia masih terus berlari dan belum ingin menundukkan lawan dengan ilmu pukulan.

"Setan alas, dari mana datangnya kawanan anjing ini, bikin berisik melulu hingga aku tak bisa tidur!” demikian tiba-tiba terdengar suara makian orang. Lalu tertampak Lam-hay-gok-sin melompat datang dengan senjatanya

yang istimewa, yaitu Gok-cui-cian atau gunting moncong buaya.

Segera Tiam-jong-san-long menjawabnya dengan suara keras, "Ini dia ayah gurumu yang datang kemari!”

"Apa ayah guruku?” bentak Lam-hay-gok-sin dengan bingung.

"Ini,” sahut Tiam-jong-san-long sambil tunjuk Toan Cing-sun, "Tin-lam-ong adalah ayah Toan-kongcu, dan Toan-kongcu adalah gurumu, masakah kau berani menyangkal, ayo?”

Biarpun perbuatan Lam-hay-gok-sin mahajahat, tapi ada suatu sifatnya yang baik, yaitu apa yang pernah dia ucapkan, tentu ditepatinya.

Maka demi mendengar jawaban itu, mukanya menjadi merah padam saking gusar, tanpa menjawab benar atau tidak, segera ia membentak pula, "Aku angkat guru padanya adalah urusanku sendiri, peduli apa dengan anak kura-kura macam kau ini?”

"Hahaha! Aku toh bukan anakmu, kenapa kau panggil aku anak kura-kura?” sahut San-long bergelak tertawa.

Lam-hay-gok-sin tertegun, ia bingung akan jawaban itu. Tapi kemudian ia menjadi sadar bahwa secara tidak langsung orang telah memaki dia sebagai kura-kura alias germo.

Sadar akan hal itu, keruan ia berjingkrak gusar, senjatanya yang aneh itu menggunting beberapa kali ke arah musuh.

Walaupun otaknya rada bebal, tapi ilmu silat Lam-hay-gok-sin memang sangat lihai. Gok-cui-cian yang dipakai itu penuh dengan gigi buaya yang tajam, baru Tiam-jong-san-long menangkis tiga jurus dengan pacul garuknya, kedua lengannya sudah mulai terasa linu pegal.

Melihat kawannya terdesak, segera pancing Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li bergerak, sekali terayun, cepat kait pancingnya melayang ke mata kiri Gok-sin.

"Huh, senjata apaan ini?” jengek Lam-hay-gok-sin.

"Aku berjuluk Lam-hay-tio-toh, kerjaku memancing buaya!” sahut Leng Jian-li dengan tertawa.

"Kau paham kentut, masakah buaya dapat dipancing, sekali gigit sudah putus pancingmu ini,” sahut Gok-sin tak mau kalah.

"Baik, boleh kau coba-coba,” ujar Jian-li tertawa. Kembali tali pancingnya terayun dan kait pancing hendak mencantol mulut Lam-hay-gok-sin.

Namun Gok-sin tidak lengah, mendadak Gok-bwe-pian atau ruyung ekor buaya terus dilolos, sekali sabat, segera tali pancing lawan hendak digulungnya.

Ruyung lawan kasar antap, sedang tali pancingnya halus enteng, maka Leng Jian-li tak berani sembrono, cepat ia tarik pancingnya dan putar sekali di udara, menyusul batok kepala belakang Gok-sin hendak dikait lagi.

Menyaksikan situasi pertarungan itu, Po-ting-te menaksir pihaknya tidak berbahaya, cuma sepasang Siu-lo-to Cin Ang-bian yang dimainkannya dengan cepat luar biasa dengan aneka macam perubahannya, di atas golokgolok tipis itu dilumasi racun pula. Dalam hal ilmu silat sejati tidak nanti Si Pek-hong kalah, tapi kalau tersentuh senjata lawan yang beracun, itulah yang dikhawatirkan.

Segera Po-ting-te berkata pada Ko Sing-thay, "Jaga dan awasi keadaan di sini, kalau perlu boleh kau rampas sebilah golok nyonya itu.”

Ko Sing-thay mengiakan, dengan tenang ia berdiri mengawasi kalangan pertempuran dengan gagahnya.

Po-ting-te lantas masuk ke dalam rumah, serunya keras-keras, "Ki-ji, apakah kau berada di sini?”

Tapi sama sekali tiada jawaban orang. Ia coba membuka pintu kamar sebelah kiri dan berseru pula, "Ki-ji!”

Belum hilang suaranya, sekonyong-konyong sesosok bayangan hijau berkelebat, seutas tali panjang secepat kilat menyambar lehernya.

Walaupun benda hijau itu menyambar dengan terapung di udara, tapi ternyata adalah makhluk hidup. Po-ting-te terkejut, segera ia dapat melihat jelas bahwa benda itu adalah seekor ular hijau yang panjang. Dengan lidahnya

yang mulur mengkeret, ular itu hendak menggigit tenggorokannya.

Tanpa pikir lagi Po-ting-te segera menyelentik dengan jarinya hingga tepat kena bawah leher ular itu.

Tenaga selentikan Po-ting-te ini sungguh bukan main hebatnya, biarpun ular hijau itu keras sebagai kawat baja, sekali kena diselentik, seketika patah juga tulang lehernya, ular itu jatuh ke lantai, setelah mengesot beberapa kali, lalu mati.

Maka terdengarlah suara jeritan kaget seorang gadis cilik, "Haya, kau bunuh aku punya Jing-leng-cu!”

Waktu Po-ting-te memerhatikan tertampak seorang nona cilik berusia 15-16 tahun muncul dari balik pintu dengan wajah yang kaget tercampur takut.

"Di mana Toan-kongcu berada?” tanya Po-ting-te.

"Untuk apa kau cari Toan-kongcu?” berbalik gadis itu tanya.

"Aku hendak menolongnya keluar!” sahut Po-ting-te.

"Engkau takkan dapat menolongnya,” ujar gadis itu. "Ia terkurung di dalam sebuah rumah batu, di luar ada yang jaga pula.”

"Harap bawa aku ke sana,” kata Po-ting-te, "akan kurobohkan orang yang jaga, membuka rumah batu itu dan menolong keluar Toan-kongcu.”

"Tidak bisa!” sahut si gadis cilik. "Kalau aku membawa engkau ke sana, tentu ayah akan membunuh aku!”

"Siapa ayahmu?” tanya Po-ting-te.

"Aku she Ciong, ayahku adalah tuan rumah lembah ini,” sahut si gadis cilik yang bukan lain adalah Ciong Ling itu. "Dan engkau sendiri siapa?”

Po-ting-te hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia pikir terhadap seorang nona cilik begini, baik memancingnya dengan kata-kata atau mengancam dengan kekerasan, semuanya tidak pantas digunakan atas diri gadis cilik ini. Kalau Toan Ki sudah terang dikurung di dalam lembah itu, tentu tidak sulit untuk mencarinya.

Karena itu, ia lantas keluar lagi dari rumah itu dengan maksud mencari jalan lain untuk menemukan Toan Ki ....

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali mengenai Toan Ki dan Bok Wan-jing yang dikurung di dalam kamar batu sebagai "ternak” yang disuruh mengembang biak itu. Ketika mengetahui bahwa Jing-bau-khek yang mengeram mereka dengan muslihat keji itu adalah "Ok-koan-boan-eng” atau kejahatan sudah melampaui takaran, tentu saja mereka bertambah kejut dan khawatir.

Dan karena pikiran kacau, keteguhan iman mereka semakin tipis, sampai akhirnya, entah bagaimana jadinya, tiba-tiba mereka duduk saling berdekapan.

"Jing-moay,” demikian Toan Ki berkata perlahan, "kita sudah jatuh dalam cengkeramannya, mungkin sukar menyelamatkan diri.”

Wan-jing hanya mengiakan sekali, ia merasa pipinya panas bagai dibakar, terus saja ia susupkan kepalanya di pangkuan Toan Ki.

Perlahan Toan Ki membelai rambut si nona, keringat kedua orang sudah membasahi baju masing-masing hingga mirip orang habis kecemplung dalam air. Dan begitu mencium bau badan masing-masing, keruan makin bertambah daya tariknya.

Jangankan mereka adalah muda-mudi yang belum berpengalaman, seumpama tidak terpengaruh oleh racun, tentu mereka pun sukar mengendalikan diri, apalagi racun "Im-yang-ho-hap-san” yang mereka minum itu sangat banyak, biarpun nabi sekalipun kalau sudah minum racun itu juga akan gugur imannya.

Untunglah dalam keadaan lupa daratan itu, dalam benak Toan Ki masih timbul setitik sinar terang yang mengingatkan nama baik dan kehormatan keluarga Toan mereka, maka sekuatnya ia terus bergulat dengan nafsu kebinatangannya.

Yang paling celaka adalah si baju hijau alias "Ok-koan-boan-eng” itu masih terus membakar dari luar, katanya, "Ayolah lekas kalian laksanakan cita-citamu. Lebih cepat kalian mempunyai anak lebih cepat pula kalian akan keluar dari kurungan ini. Nah, aku akan pergi!”

Habis itu, terdengar suara daun pohon berkeresekan, agaknya orangnya sudah pergi jauh.

Toan Ki berteriak-teriak, "Gak-losam! Gak-losam! Gurumu ada kesulitan, lekas menolongnya!”

Namun sampai tenggorokannya bejat tetap tiada seorang pun yang menyahut, pikirnya, "Dalam keadaan begini, biarpun aku harus angkat guru padanya juga tidak soal lagi. Soal salah mengangkat orang jahat sebagai guru adalah urusan pribadiku dan tak ada sangkut paut dengan ayah dan paman.”

Segera ia berteriak-teriak pula, "Gak-losam! Lam-hay-gok-sin! Aku rela mengangkat guru padamu, terima menjadi ahli waris Lam-hay-pay, lekas menolong muridmu ini. Kalau tidak cepat, tentu takkan kau peroleh murid berbakat!”

Tapi sampai ia capek sendiri, tetap tiada suatu bayangan setan pun yang kelihatan.

"Toan-long,” tiba-tiba Wan-jing berkata, "sesudah kita kawin, engkau lebih suka anak pertama kita nanti lakilaki atau perempuan?”

"Laki-laki,” sahut Toan Ki dalam keadaan sadar tak sadar.

"Hai, Toan-kongcu, engkau adalah Engkohnya, tidak boleh kalian kawin!” tiba-tiba suara seorang gadis cilik menyela dari luar.

Toan Ki terperanjat, cepat ia tanya, "Ap ... apakah Ciong-kohnio adanya?”

"Ya, benar, memang akulah!” demikian sahut gadis itu yang memang benar adalah Ciong Ling. "Sudah kudengar semua ucapan Jing-bau-khek yang jahat itu, tapi jangan khawatir, aku pasti akan berdaya untuk menolongmu!”

"Bagus!” seru Toan Ki girang. "Nah, lekas kau pergi mencuri obat penawarnya untuk kami.”

"Akan lebih baik kugeser batu besar ini untuk menolong kalian keluar dahulu,” demikian ujar Ciong Ling.

"Tidak, tidak! Lekas kau curikan obat penawar dahulu,” sahut Toan Ki cepat. "Seb ... sebab aku tak tahan lagi, aku ham ... hampir mati!”

"Mengapa tak tahan? Apakah engkau sakit perut?” tanya Ciong Ling khawatir.

"Bu ... bukan,” sahut Toan Ki.

"Habis, apakah sakit kepala?” Ciong Ling menegas pula.

"Juga bukan,” sahut Toan Ki.

"Habis, apamu yang tidak tahan?”

Toan Ki menjadi sulit menjawab, masakah urusan begituan boleh diterangkan pada seorang nona cilik yang masih hijau? Terpaksa ia menjawab, "Seluruh badanku terasa tidak enak, cukup asal kau berusaha mendapatkan obat penawarnya.”

"Tapi engkau tidak terangkan apa penyakitnya, dari mana kutahu obat penawar apa yang diperlukan?” ujar Ciong Ling berkerut kening. "Ayahku pandai mengobati segala macam penyakit, tapi dia harus tahu dulu apakah kau sakit perut, sakit kepala, atau sakit jantung?”

"Ak ... aku tidak apa-apa,” sahut Toan Ki sambil menghela napas. "Tapi aku salah ... salah minum semacam racun yang disebut ‘Im-yang-ho-hap-san’.”

"Bagus,” seru Ciong Ling, "asal kau tahu namanya, mudahlah urusan diselesaikan.”

Lalu dengan cepat gadis itu pulang ke rumah hendak minta obat penawar "Im-yang-ho-hap-san” pada ayahnya.

Tak tersangka begitu Ciong Ling menyebut tentang "Im-yang-ho-hap-san”, belum lagi ia menerangkan lebih lanjut, kontan Ciong Ban-siu terus menarik muka yang berbentuk muka kuda itu, dampratnya, "Anak perempuan sekecil ini untuk apa tanya ini dan itu, kalau berani sembarangan omong lagi, sebentar kujewer kupingmu.”

Dan sebelum Ciong Ling sempat bicara lebih lanjut, saat itulah Po-ting-te dan rombongannya menyerbu ke dalam lembah Ban-jiat-kok, maka cepat Ban-siu keluar menghadapi musuh sehingga Ciong Ling ditinggal sendirian di dalam kamar.

Ketika mendengar di luar sudah terjadi pertarungan sengit, Ciong Ling tidak ambil pusing sama sekali, ia asyik membongkar lemari obat simpanan sang ayah. Ia ubrak-abrik beratus botol obat Ciong Ban-siu yang tersimpan di dalam lemari, setiap botol obat itu tertempel etiket yang menunjukkan nama obat masing-masing, tapi obat penawar "Im-yang-ho-hap-san” itu justru tidak terdapat.

Dan sedang Ciong Ling bingung entah ke mana harus mencari obat penawar yang dibutuhkan, tiba-tiba terdengar suara orang mendobrak pintu dan melangkah masuk. Tanpa pikir lagi ia lepaskan Jing-leng-cu, siapa tahu badan Jing-leng-cu yang kuat seperti besi itu, sekali diselentik Po-ting-te lantas binasa.

Dalam pada itu, Toan Ki yang menunggu-nunggu kembalinya Ciong Ling hingga lama itu, pikiran tak senonohnya sudah semakin berkobar-kobar, beberapa kali hampir saja ia menubruk maju untuk memeluk Bok Wan-jing. Sampai akhirnya, saking tak tahan, segera ia berteriak, "Jing-moay, aku tidak ingin hidup lagi, lekas berikan panahmu yang berbisa itu!”

"Tidak, aku tak mau memberi,” sahut Wan-jing dengan suara serak dan mata merah.

Toan Ki terus memukul dada dan perut sendiri sambil berteriak pula, "Mati, matilah aku!”

Dan mendadak kepalan yang menghantam dada sendiri itu memukul sebuah benda keras, itulah kotak kemala yang berada dalam bajunya. Seketika pikirannya tergerak, "Hah, biarlah kugunakan Bong-koh-cu-hap ini untuk memanggil ular beracun, biarlah aku digigit mati ular berbisa saja.”

Segera ia keluarkan kotak kemala itu dan membuka tutupnya. Benar juga sepasang katak aneh itu lantas menguak keras-keras.

Namun di lembah Ban-jiat-kok itu berhubung Ciong Ling suka main Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu, maka ular

berbisa lainnya sudah jauh menyingkir ke tempat lain sehingga tidak mungkin mendengar suara menguaknya katak raja ular ini.

Sampai lama Toan Ki menunggu, namun tiada seekor ular pun yang muncul. Sebaliknya badan semakin panas, mulut terasa kering, keringat membasah kuyup bajunya. Pikirnya, "Sepasang Cu-hap ini bisa mengatasi ular berbisa, agaknya racun pada badan binatang ini pasti jauh lebih lihai daripada ular beracun yang paling jahat.”

Karena dia sudah ambil keputusan hendak membunuh diri, dalam keadaan pikiran gelap, tanpa banyak pikir lagi ia terus comot seekor katak merah itu, ia masukkan binatang itu ke dalam mulut terus dikunyahnya.

Ia merasakan air segar mengalir masuk tenggorokannya, rasanya sangat enak. Ternyata katak-katak itu adalah binatang berdarah dingin. Maka hanya sekejap saja seekor katak merah yang merupakan makhluk mestika yang jarang ada di jagat ini sudah dimakannya habis. Bahkan ia belum lagi puas, segera katak yang kedua dimakannya pula.

Melihat muka Toan Ki sangat beringas sambil makan katak hingga mulutnya penuh berlepotan darah, rambutnya kusut masai pula, Bok Wan-jing menjadi rada takut.

Sementara itu setelah makan dua ekor Cu-hap mestika itu, pernapasan Toan Ki bertambah megap-megap, ia justru berharap racun binatang itu lekas bekerja agar dirinya lekas mati, supaya terhindar daripada siksaan yang sukar ditahan itu ....

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali mengenai Po-ting-te. Sesudah tinggalkan Ciong Ling, ia coba mencari pula terkurungnya Toan Ki. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tindakan orang, cepat ia menoleh, ternyata Ciong Ling yang sedang menyusulnya. Segera ia pun berhenti menanti gadis cilik itu.

Sambil mendekat, Ciong Ling berkata, "Aku tidak menemukan obat penawarnya, marilah kubawa engkau ke sana. Tapi entah batu itu dapat kau geser atau tidak?”

Sudah tentu Po-ting-te tidak tahu tentang obat penawar segala, tanyanya, "Obat penawar apa? Dan batu apa lagi?”

"Marilah ikut padaku, sebentar engkau akan tahu sendiri,” sahut Ciong Ling dan mendahului jalan ke depan.

Meskipun jalanan di Ban-jiat-kok itu berliku-liku penuh rahasia, namun di bawah petunjuk Ciong Ling, sebentar saja ia sudah membawa Po-ting-te sampai di depan pagar pohon yang mengelilingi rumah batu itu.

Dengan enteng Po-ting-te pegang bahu Ciong Ling, sama sekali tidak tampak raja itu bergerak, tahu-tahu ia sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng dan anteng sambil membawa Ciong Ling.

Keruan gadis itu kagum dan kegirangan, ia bertepuk tangan memuji, "Bagus, bagus, engkau seperti bisa terbang saja, sungguh hebat! Wah, celaka!”

Tiba-tiba seruannya ditutup oleh jeritan khawatir. Kiranya tiba-tiba dilihatnya di depan rumah batu itu berduduk seorang, itulah dia Jing-bau-khek atau si baju hijau yang aneh itu.

Rupanya Ciong Ling sangat takut terhadap manusia yang setengah-mati setengah-hidup itu, ia membisiki Poting-te, "Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang itu sudah enyah, barulah kita kembali lagi.”

Po-ting-te sendiri rada heran juga melihat Jing-bau-khek yang luar biasa itu. Ia coba menghibur si gadis, "Jangan khawatir, ada aku di sini. Apakah Toan Ki terkurung di dalam rumah batu ini?”

Ciong Ling mengangguk, lalu sembunyi di belakang Po-ting-te.

Perlahan Po-ting-te mendekati Jing-bau-khek, tegurnya dengan ramah, "Dapatkah saudara menyingkir sedikit?”

Namun Jing-bau-khek itu anggap tidak melihat dan tidak mendengar, ia tetap duduk bersila dengan tenang di tempatnya.

"Jika saudara tidak suka menyingkir, maaf kalau aku berlaku kasar,” kata Po-ting-te pula. Sekali miringkan tubuh, segera ia melayang lewat di samping Jing-bau-khek terus hendak mendorong batu penutup pintu rumah.

Tapi sebelum Po-ting-te mengeluarkan tenaga, sekonyong-konyong Jing-bau-khek menarik keluar sebatang tongkat bambu terus menutuk ke "Koat-bun-hiat” di bawah ketiaknya. Anehnya tongkat bambu itu bergetar

terus dan tidak lantas ditutukkan, bila Po-ting-te mengerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali tongkat itu ditusukkan, tentu Po-ting-te sukar menghindarkan diri.

Keruan Po-ting-te terkesiap, pikirnya, "Ilmu Tiam-hiat orang ini sungguh sangat pandai. Di zaman ini, siapakah gerangan tokoh kosen selihai ini?”

Cepat ia ayun tangan yang lain untuk membelah tongkat bambu orang, sedang tangan lain tetap menahan di atas batu untuk sewaktu-waktu mendorongnya. Namun reaksi Jing-bau-khek itu benar-benar sangat cekatan, sekali tongkatnya berputar, kembali ia ancam "Thian-ti-hiat” di dada lawan.

Secepat kilat Po-ting-te berganti serangan sampai beberapa kali, tapi selalu diatasi lebih dulu oleh tongkat bambu si baju hijau yang tetap mengancam sesuatu tempat Hiat-to berbahaya di tubuhnya.

Pertarungan di antara kaum ahli memang tidak perlu setiap serangan mesti mengenai sasarannya dengan telak. Maka sesudah belasan kali berganti tipu serangan, selalu Jing-bau-khek berhasil membuat Po-ting-te tidak sempat mengerahkan tenaga untuk mendorong batu besar itu. Betapa jitu caranya mengincar Hiat-to, Po-ting-te harus mengakui lawan itu tidak kalah daripada dirinya, bahkan masih di atas adiknya, yaitu Toan Cing-sun.

Sekonyong-konyong Po-ting-te memotong miring ke bawah dengan tangan kiri, menyusul mata telapak tangan itu mendadak berubah dengan tutukan jari. "Cus”, ia keluarkan Lwekang It-yang-ci untuk menutuk tongkat lawan. Kalau tutukan ini kena, jangankan hanya tongkat bambu, biarpun tongkat baja juga akan dibuatnya bengkok.

Jilid 12
Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itu pun bergerak, "cus”, tongkat itu menutuk ke arahnya hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur di udara.

Kontan Po-ting-te tergetar mundur setindak, sebaliknya Jing-bau-khek juga tergeliat. Muka Po-ting-te sekilas memerah, sebaliknya wajah Jing-bau-khek sekilas bersemu hijau, namun sama lantas lenyap dalam sekejap saja.

Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnya, "Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bahkan sudah terang satu sumber dengan diriku. Jelas kelihatan ilmu permainan tongkatnya ini ada hubungannya dengan It-yang-ci.”

Karena itu, segera ia memberi hormat dan bertanya, "Siapakah nama Cianpwe yang terhormat, sudilah kiranya memberi tahu?”

"Kau ini Toan Cing-beng atau Toan Cing-sun?” terdengar suara mendenging berbalik tanya padanya.

Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bicara, Po-ting-te menjadi lebih heran, sahutnya, "Aku Toan Cing-beng!”

"Hm, jadi kau inilah raja Po-ting-te negeri Tayli sekarang?” jengek orang aneh itu.

"Benar,” sahut Po-ting-te.

"Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi?” tiba-tiba Jing-bau-khek itu tanya.

Untuk sejenak Po-ting-te berpikir, lalu menjawab, "Bicara tentang ilmu silat, memang engkau lebih menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku bisa mengalahkan engkau.”

"Benar,” Jing-bau-khek itu mengaku, "betapa pun karena badanku sudah cacat. Ai, sungguh tidak nyata bahwa sesudah menjadi raja, sedikit pun engkau tidak telantarkan ilmu silatmu.”

Walaupun suaranya keluar dari perutnya dengan nada yang aneh, tapi tetap dapat terdengar ucapannya yang terakhir itu penuh mengandung rasa bimbang, sesal dan kecewa.

Karena tak bisa menerka asal usul orang, dalam sekejap itu benak Po-ting-te berputar macam-macam tanda tanya.

Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu berkumandang keluar suara jeritan seorang yang keras dan serak. Itulah suara Toan Ki.

Cepat Po-ting-te berseru, "Ki-ji, kenapa kau? Jangan khawatir, segera dapat kutolongmu!”

Kiranya sehabis makan kedua ekor Bong-koh-cu-hap mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak segar. Tak tersangka sepasang katak merah itu adalah makhluk ajaib yang jarang terdapat di alam semesta ini, hidupnya berkat hawa Yang atau positif (lelaki) yang murni. Bila yang memakannya itu adalah Bok Wan-jing, maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika racun yang berkobar di dalam tubuh si gadis akan dapat dihapus.

Tapi sekarang yang memakannya adalah Toan Ki yang bertenaga Yang juga, tenaga kaum lelaki. Memangnya hawa Yang itu sedang bergolak di dalam tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari Cu-hap, keruan sebentar saja hawa Yang katak-katak itu bekerja, keadaan Toan Ki menjadi mirip api disiram minyak, saking panas oleh bergolaknya hawa Yang itu, sampai akhirnya Toan Ki hanya megap-megap dengan mulut menganga, dengan demikian dapatlah hawa yang bergolak di dalam tubuh itu sekadar dikeluarkan.

Tentang percakapan antara Po-ting-te dan Jing-bau-khek itu di luar rumah batu serta Po-ting-te menyuruhnya jangan khawatir segala, Toan Ki hanya dapat mendengarnya, tapi tidak sadar lagi akan maksudnya.

"Hm, Siaucu ini boleh juga dasar imannya, setelah minum ‘Im-yang-ho-hap-san’ ternyata masih mampu bertahan sampai sekarang,” demikian tiba-tiba Jing-bau-khek berkata.

Keruan Po-ting-te kaget, tanyanya ragu, "Kau ... kau beri racun sejahat dan secabul itu, apa maksud tujuanmu sebenarnya?”

"Di dalam rumah ini terdapat pula adik perempuannya,” sahut Jing-bau-khek.

Maka mengertilah Po-ting-te akan muslihat keji orang. Sekalipun biasanya ia sangat sabar, kini ia tak tahan lagi, dengan ilmu It-yang-ci yang mahalihai itu menutuk. Segera Jing-bau-khek membalasnya dengan tongkat bambunya.

Menyusul tutukan kedua Po-ting-te dilancarkan pula, kali ini mengarah "Tan-cong-hiat” di dada lawan. Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, ia menduga musuh tentu akan menangis sepenuh tenaga.

Tak tersangka Jing-bau-khek itu hanya mendengus dua kali, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, ia membiarkan dadanya ditutuk. Dalam pada itu jari Po-ting-te sudah menyentuh baju orang, ia menjadi curiga melihat lawannya terima saja diserang, segera ia tahan tutukannya itu di tengah jalan sambil tanya, "Kenapa kau rela mati?”

"Kalau aku mati di bawah tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan bertambah lagi setingkat,” sahut Jing-bau-khek.

"Siapakah engkau sebenarnya?” tanya Po-ting-te pula.

Dengan perlahan Jing-bau-khek itu mengucap satu kalimat.

Mendengar itu, seketika wajah Po-ting-te berubah hebat, katanya dengan terputus-putus, "Ak ... aku tidak percaya!”

Tiba-tiba Jing-bau-khek oper tongkat bambunya ke tangan kiri, lalu jari telunjuk tangan kanan menutuk ke arah Po-ting-te. Namun cepat Po-ting-te mengegos ke samping, berbareng balas menutuk sekali.

"Cus”, lagi-lagi tutukan kedua Jing-bau-khek itu dilontarkan dengan jari tengah. Dengan sikap prihatin Poting-te membalas pula dengan jari tengah pula.

Menyusul Jing-bau-khek menutuk pula dengan jari manis yang menyambar dari samping, kemudian tutukan keempat dilancarkan dengan jari kecil dengan gaya mencukit.

Dengan wajah sungguh-sungguh Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan jari-jari yang sama. Ketika tutukan kelima kalinya terjadi, kini Jing-bau-khek menggunakan jari jempol dengan gaya menekan ke depan.

Ciong Ling yang menonton di samping menjadi terheran-heran, sifat kanak-kanaknya menjadi timbul lagi hingga lupa rasa takutnya pada Jing-bau-khek itu. Dengan tertawa ia berseru, "He, apakah kalian sedang main sut-sutan)? Siapakah yang menang?”

Sembari berkata, Ciong Ling berjalan mendekati. Tapi sekonyong-konyong serangkum angin keras menyambar ke arahnya, seketika dadanya sesak seakan-akan ditikam senjata tajam.

Untung Po-ting-te sempat ayun sebelah tangannya hingga tubuh Ciong Ling dapat didorong mundur, menyusul Po-ting-te sendiri pun melesat mundur untuk memegang badan si gadis dengan wajah guram, katanya, "Apakah kau sudah tidak sayang pada jiwamu lagi?”

"Huak,” terus saja Ciong Ling tumpahkan darah segar, dengan tercengang ia menjawab, "Ap ... apa dia hendak membunuhku?”

"Bukan,” sahut Po-ting-te. "Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar tidak boleh sembarangan mendekat.”

Habis itu, Po-ting-te urut beberapa kali punggung Ciong Ling hingga pernapasan gadis itu lancar kembali.

"Sekarang kau percaya tidak?” demikian Jing-bau-khek bertanya pada Po-ting-te.

Segera Po-ting-te melangkah maju, ia memberi hormat dan berkata, "Toan Cing-beng memberi hormat pada Cianpwe.”

"Kau panggil aku Cianpwe, jadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau memang belum mau percaya?” tanya Jing-bau-khek itu.

"Cing-beng adalah pemimpin suatu negeri, mempunyai tanggung jawab yang berat, setiap tindak tanduk dengan sendirinya tidak boleh sembrono,” demikian jawab Po-ting-te. "Cing-beng sendiri tidak punya anak, Toan Ki itu adalah satu-satunya anak laki-laki keluarga Toan kami, maka mohon Cianpwe suka memberi ampun dan lepaskan dia.”

"Tidak, aku justru ingin keluarga Toan rusak moral dan runtuh iman, hilang anak putus turunan. Dengan susah payah kucari kesempatan dan baru hari ini berhasil, mana boleh sembarangan kubebaskan dia?”

"Toan Cing-beng tidak dapat terima perbuatanmu ini!” seru Po-ting-te dengan suara keras.

"Hehe, kau mengaku sebagai raja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada pemberontak yang rebut kekuasaan. Jika kau berani, boleh kau kerahkan pasukan dan pengawalmu ke sini. Tapi ingin kukatakan padamu, memang kekuatanku tidak bisa melawanmu, namun bila aku mau bunuh si bangsat cilik Toan Ki rasanya teramat mudah.”

Wajah Po-ting-te menjadi pucat pasi. Ia tahu apa yang dikatakan orang memang benar, bila dirinya bertambah lagi seorang pembantu, tentu Jing-bau-khek ini takkan mampu melawannya, tapi Toan Ki segera akan menjadi korban, apalagi orang terhitung kaum Cianpwe, mana boleh dirinya melawan orang tua. Maka terpaksa ia tanya, "Habis, cara bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Ki-ji?”

"Tidak susah, mudah sekali!” sahut Jing-bau-khek. "Lekas kau jadi Hwesio dan serahkan takhtamu padaku, segera akan kubebaskan Toan Ki.”

"Warisan leluhur, mana boleh sembarangan kuberikan pada orang lain?” sahut Po-ting-te.

"Jika begitu, boleh menanti saja, bila Toan Ki dan adik perempuannya sudah melahirkan anak, segera kulepaskan dia,” kata Jing-bau-khek.

"Lebih baik lekas kau bunuh dia saja,” sahut Po-ting-te.

"Tidak,” kata Jing-bau-khek. "Selain itu, masih ada lagi dua jalan.”

"Dua jalan apa?” tanya Po-ting-te.

"Pertama, secara mendadak kau serang aku, karena tak sempat jaga diri, dapat kau bunuh aku dengan mudah dan tentu dapat kau tolong keponakanmu itu.”

"Aku tidak pernah membokong orang, juga tidak padamu!” ujar Po-ting-te.

"Hm, sekalipun kau hendak kau bokong aku juga belum mampu,” sahut Jing-bau-khek. "Dan jalan kedua, boleh kau suruh Toan Ki tempur aku dengan It-yang-ci, asal dia bisa menang, bukankah dia dapat lolos? Hehe, hehe!”

Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan diri, katanya pula, "Ki-ji tak tahu ilmu silat, ia tidak pernah belajar ilmu It-yang-ci.”

"Putra keluarga Toan tak bisa It-yang-ci? Hah, siapa yang mau percaya!” jengek Jing-bau-khek.

"Sejak kecil Ki-ji hanya baca kitab dan tekun beribadat, hatinya welas asih, ia bertekad tidak mau belajar silat,” demikian Po-ting-te menjelaskan.

"Huh, kembali seorang laki-laki berhati palsu lagi. Orang demikian kalau menjadi raja Tayli juga takkan menguntungkan rakyatnya, lebih baik lekas dibunuh saja.”

"Cianpwe,” tiba-tiba Po-ting-te berseru dengan bengis, "kecuali itu tadi, apakah masih ada jalan lain pula?”

"Dahulu kalau aku diberi jalan lain, tentu tak jadi seperti sekarang ini,” sahut Jing-bau-khek dingin. "Kalau orang lain tidak memberi jalan padaku, kenapa aku harus memberi jalan padamu?”

Po-ting-te menunduk dan berpikir sejenak, mendadak ia angkat kepala dengan sikap yang penuh kepercayaan, serunya, "Ki-ji, selekasnya aku akan berdaya untuk menolongmu, janganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!”

Terdengar Toan Ki berseru menjawab, "Pekhu, lekas masuk ke sini dan ... dan menutuk mati aku saja!”

"Apa? Jadi kau sudah melakukan perbuatan yang merusak kehormatan keluarga Toan kita?” bentak Po-ting-te.

"Tidak! Tapi Titji (keponakan) merasa panas bagai dibakar, tak sanggup ... tak sanggup hidup lagi!”

"Mati atau hidup sudah takdir Ilahi, biarkan saja terjadi apa mestinya!” seru Po-ting-te.

Habis itu ia gandeng tangan Ciong Ling dan melompat lewat pagar pohon.

"Nona cilik, terima kasih engkau telah tunjukkan jalannya, semoga engkau mendapat ganjaran yang pantas,” kata Po-ting-te pada Ciong Ling, lalu tinggal pergi kembali ke depan rumah utama tadi.

Dalam pada itu pertarungan yang berlangsung itu sudah mulai kentara kekuatan masing-masing, Bu-sian-tiotoh Leng Jian-li dan Tiam-jong-san-long Tang Su-kui berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah jelas di atas angin. Sebaliknya Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Cu Tan-sin yang mengerubut Yap Ji-nio malah terdesak oleh golok tipis tokoh kedua Su-ok itu.

Si Pek-hong tampak putar kebutnya dengan kencang hingga sepasang Siu-lo-to lawannya susah menembus pertahanannya.

Di sebelah sana In Tiong-ho masih main udak-udakan dengan Pah Thian-sik. Napas In Tiong-ho tampak megap-megap bagai kerbau sekarat, sebaliknya Thian-sik masih dapat melompat dan melejit dengan enteng dan cekatan.

Sedang Sian-tan-hou Ko Sing-thay tetap acuh tak acuh menggendong tangan mondar-mandir di samping, nyata ia sudah yakin akan kemenangan di pihaknya, maka terhadap pertarungan sengit di depannya itu dianggapnya sepi saja. Padahal ia justru pasang telinga dan mata memusatkan antero perhatiannya mengikuti situasi medan pertempuran, asal tidak ada kawannya menghadapi bahaya, ia pun tidak perlu turun tangan membantu.

Dan karena tidak melihat adik pangerannya berada di situ, segera Po-ting-te tanya, "Ke mana adik Sun pergi?”

"Tin-lam-ong mengejar Ciong-kokcu dan sedang mencari Toan-kongcu,” sahut Sing-thay.

Segera Po-ting-te berseru, "Kita sudah ada rencana lain, harap semua mundur dulu.”

Mendadak Pah Thian-sik berhenti lari. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk ke arahnya. "Plak”, cepat Thian-sik melontarkan pukulan ke belakang. Ketika In Tiong-ho menangkis, kontan dada terasa sesak, darah hampir tersembur keluar dari mulutnya. Sekuatnya ia tahan, namun pandangannya menjadi remang-remang, susah lagi melihat datangnya lawan.

Untung Thian-sik tidak menghantam lebih jauh, sebaliknya cuma menjengek dan berkata, "Terima kasih!”

Dalam pada itu, tampak Toan Cing-sun telah muncul juga dari semak-semak pohon sana, segera ia tanya, "Hong-heng, apakah Ki-ji sudah ... sudah ditemukan?”

Sebenarnya ia hendak tanya apakah sudah "tertolong”, tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia tanya apakah sudah diketemukan atau belum.

"Sudah ketemu,” sahut Po-ting-te mengangguk. "Marilah kita pulang saja dahulu.”

Mendengar perintah "gencatan senjata” raja mereka, Leng Jian-li dan kawan-kawannya lantas hendak berhenti. Namun Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Cin Ang-bian sedang bernafsu melabrak lawannya, seketika mereka tidak rela berhenti begitu saja.

Po-ting-te bekernyit kening melihat itu, katanya pula, "Marilah kita pergi saja!”

Ko Sing-thay mengiakan, berbareng ia keluarkan senjata "Giok-tik” atau seruling kemala, sekali bergerak, segera punggung Cin Ang-bian ditutuknya.

"Huh, tidak malu, main keroyok!” damprat Ang-bian dengan gusar sambil menangkis.

Maka terdengarlah suara "crang-cring” dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan ke bawah, kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.

Menyusul Ko Sing-thay kebas lengan bajunya yang longgar itu hingga berjangkit serangkum angin keras, ia tahan agar Cin Ang-bian tidak menyerang lebih jauh lawannya, lalu serulingnya menutuk pula ke arah Lamhay-gok-sin, dan sekali serulingnya membalik, kini Yap Ji-nio yang diincar.

Kedua gerak serangan itu semuanya menyerang titik kelemahan musuh yang terpaksa mesti menghindar. Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Ji-nio menjadi kaget, cepat mereka melompat mundur beberapa tindak.

Sebenarnya ilmu silat Ko Sing-thay tidak lebih tinggi daripada ketiga lawannya itu, soalnya sudah lama dia mengikuti pertarungan mereka dari samping, sebelumnya ia sudah merencanakan tipu serangan hebat untuk melayani ketiga orang itu. Asal tipu serangan yang sudah disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti kelabakan dan terpaksa melompat mundur.

Mendelik mata Lam-hay-gok-sin yang bundar kecil sebesar kacang itu, ia terkejut tercampur kagum, serunya, "Setan, hebat benar, sungguh tidak nyana ....”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya yang bermaksud "tidak nyana begini lihai kepandaianmu, rasanya aku memang bukan tandinganmu.”

Dalam pada itu Si Pek-hong lantas tanya Po-ting-te, "Hong-heng, bagaimana dengan Ki-ji?”

Meski dalam batin Po-ting-te sangat khawatir, namun lahirnya ia tetap tenang saja, sahutnya, "Tidak apa-apa, saat ini justru adalah kesempatan yang paling bagus untuk menggemblengnya, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bebas.”

Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului berangkat.

Cepat Sugong Pah Thian-sik berlari ke depan sebagai pembuka jalan. Sedang suami istri Toan Cing-sun menyusul di belakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, paling akhir adalah Ko Sing-thay yang mengawal dengan berlenggang seenaknya.

Nyata, dengan serangan yang lihai tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan-lawannya merasa jeri. Biarpun Lamhay-gok-sin biasanya sangat garang dan buas, kini juga tidak berani sembarangan menantang pula.

Setelah belasan tindak berjalan, tiba-tiba Toan Cing-sun menoleh dan memandang Cin Ang-bian. Saat itu, dengan termangu-mangu Ang-bian juga sedang memandang bekas kekasihnya itu. Dua pasang mata ketemu, seketika mereka sama terkesima.

"Keparat!” mendadak Lam-hay-gok-sin membentak, "Apakah kau masih belum mau pergi dan ingin berkelahi pula dengan Locu (bapakmu)?”

Toan Cing-sun kaget, cepat ia berpaling kembali, ia lihat sang istri sedang memandangnya dengan sikap dingin, dengan kikuk lekas ia percepat langkah dan keluar Ban-jiat-kok.

Sesudah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te berkata, "Mari kita berkumpul semua di istana untuk berunding!”

Sampai di pendopo istana, Po-ting-te duduk di tengah, Toan Cing-sun suami istri di sisinya, sedang Ko Singthay dan lain-lain hanya berdiri.

Segera Po-ting-te suruh dayang membawakan kursi dan suruh semua orang ikut duduk. Habis itu, ia perintahkan semua dayang keluar ruangan, lalu menceritakan keadaan Toan Ki yang dikurung oleh musuh itu.

Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kunci dari mati hidup Toan Ki terletak pada diri Jing-bau-khek itu. Tapi demi mendengar Po-ting-te bilang orang aneh itu pun paham It-yang-ci, bahkan lebih lihai daripada sang raja, keruan tiada seorang pun yang berani sembarangan buka suara.

Sebab harus diketahui bahwa It-yang-ci adalah ilmu khas warisan keluarga Toan turun-temurun, hanya diajarkan pada anak laki-laki dan tidak kepada anak perempuan. Dan kalau Jing-bau-khek itu pun mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinya dia pasti juga berasal dari keturunan keluarga Toan.

Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Cing-sun, "Adik Sun, coba kau terka siapakah gerangan orang itu?”

Cing-sun geleng kepala, sahutnya, "Aku tidak bisa menebaknya, barangkali orang dari Cing-peng-si kembali menjadi orang preman dan menyamar?”

"Bukan,” sahut Po-ting-te, "dia adalah Yan-king Taycu!”

Mendengar nama "Yan-king Taycu” atau putra mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkejut.

"Yan-king Taycu?” Cing-sun menegas. "Bukankah sudah lama dia meninggal? Besar kemungkinan orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka.”

"Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-ci juga dapat dipalsu?” sahut Po-ting-te dengan menghela napas. "Memang banyak juga orang Bu-lim mencuri belajar ilmu silat aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang Ityang-ci kita cara bagaimana bisa dicurinya? Maka menurut pendapatku, orang ini pastilah Yan-king Taycu adanya, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.”

Cing-sun pikir sejenak, lalu berkata, "Jika Toako sudah jelas mengenalnya, ini berarti dia tokoh pilihan keluarga Toan kita, tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik keluarga kita sendiri?”

"Orang ini cacat badan, dengan sendirinya sifat-sifatnya sangat menyendiri dan aneh, segala tindak tanduk

dengan sendirinya juga abnormal,” demikian Po-ting-te menjelaskan. "Apalagi takhta kerajaan Tayli sudah kududuki, dengan sendirinya ia tidak senang, maka kita berdua hendak dihancurkannya habis-habisan.”

"Toako sudah lama naik takhta dan didukung penuh oleh seluruh rakyat, negara pun aman tenteram, rakyat hidup sejahtera, jangankan Yan-king Taycu datang kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali juga sukar menggantikan takhta Toako,” demikian ujar Cing-sun.

Segera Ko Sing-thay juga bangkit, dan berdatang sembah, "Apa yang dikatakan Tin-lam-ong memang tepat. Urusan akan menjadi beres bila Yan-king Taycu mau bebaskan Toan-kongcu dengan baik-baik, kalau tidak, kita pun tidak kenal lagi apakah dia itu Taycu apa segala, kita hanya anggap dia sebagai kepala Su-ok yang mahajahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnya tinggi, akhirnya juga takkan mampu lawan kita yang berjumlah lebih banyak.”

Kiranya pada masa 14 tahun yang lalu, tatkala itu raja Tayli Toan Lian-cit dengan gelar Siang-tek-te, telah dibunuh oleh menteri dorna Nyo Cit-ceng. Kemudian keponakan sang raja dapat membasmi pemberontakan Nyo Cit-ceng, lalu naik takhta sendiri dengan gelar Siang-beng-te.

Tapi Siang-beng-te tidak suka menjadi raja, ia hanya bertakhta satu tahun, lalu mengundurkan diri untuk menjadi Hwesio, ia serahkan takhtanya kepada adik sepupunya Toan Cing-beng, yaitu Po-ting-te yang sekarang.

Siang-tek-te sebenarnya mempunyai seorang putra kandung yang disebut oleh para menteri dengan gelar Yanking Taycu. Tapi sewaktu terjadi kudeta oleh Nyo Cit-ceng, Yan-king Taycu telah menghilang hingga semua orang menyangka dia juga dibunuh oleh pemberontak. Siapa duga setelah belasan tahun lamanya, kini mendadak muncul kembali.

Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te berkata sambil geleng kepala, "Tidak, aku tidak setuju. Takhtaku ini memangnya adalah hak Yan-king Taycu. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanya Siang-beng-te menerima takhta ini, kemudian diserahkan padaku. Tapi kini kalau Yan-king Taycu sudah kembali, takhta kerajaan ini sepantasnya kukembalikan padanya.”

Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menyambung, "Andaikan mendiang ayahmu masih hidup, tentu ia pun sependapat denganku.”

Kiranya Ko Sing-thay ini tak-lain tak-bukan adalah putranya Ko Ti-sing, itu menteri setia yang membantu Siang-tek-te membasmi pemberontakan.

Segera Ko Sing-thay melangkah maju, ia menyembah dan bertutur pula, "Mendiang ayahku membaktikan dirinya kepada negara dan cinta pada rakyat. Padahal Jing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok yang mahajahat, kalau dia yang merajai negeri Tayli ini, maka susah dibayangkan betapa celakanya rakyat jelata akan menderita akibat angkara murkanya itu. Maka pendapat Hongsiang tentang akan menyerahkan takhta padanya, hamba sekalipun mati tak bisa terima.”

Cepat Leng Jian-li pun menyembah, katanya, "Tadi Jian-li juga mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin itu, katanya kepala Su-ok mereka berjuluk ‘kejahatan sudah melebihi takaran’. Coba pikiran, andaikan benar orang itu adalah Yan-king Taycu, lalu Hongsiang menyerahkan takhta ini kepada seorang yang kejam dan durhaka seperti dia untuk memerintah rakyat Tayli ini, maka pastilah negara akan hancur dan rakyat akan celaka!”

"Harap kalian bangun, apa yang kalian katakan memang ada benarnya juga,” sahut Po-ting-te. "Cuma Ki-ji berada dalam cengkeramannya, kecuali kuserahkan takhta padanya, jalan lain rasanya tiada lagi.”

"Toako,” kata Cing-sun, "selama ini kita kenal peraturan ‘orang tua ada kesulitan, yang muda harus berusaha menolong’. Meski Ki-ji sangat disayang oleh Toako, mana boleh Toako rela melepaskan takhtamu hanya untuk keselamatannya seorang? Andaikan Ki-ji dapat diselamatkan, rasanya ia pun merasa berdosa pada rakyat negeri Tayli ini.”

Po-ting-te tidak berkata pula, ia bangkit sambil berjalan mondar-mandir di ruangan pendopo itu, tangan kiri mengelus jenggot, tangan lain ketuk-ketuk perlahan jidat sendiri.

Semua orang tahu bila sang raja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti demikian, maka tiada seorang pun yang berani bersuara mengganggu.

Sesudah mondar-mandir agak lama, kemudian berkatalah Po-ting-te, "Perbuatan Yan-king Taycu ini benarbenar keji sekali, racun ‘Im-yang-ho-hap-san’ yang dia minumkan pada Ki-ji itu sangat lihai, orang biasa sangat sukar bertahan. Maka kukhawatir saat ini Ki-ji sudah ... sudah khilaf oleh pengaruh racun serta sudah berbuat .... Ai, tapi kejadian ini adalah muslihat yang sengaja diatur musuh, tak dapat menyalahkan Ki-ji.”

Toan Cing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat secara mendalam, semuanya adalah gara-gara perbuatannya sendiri yang sok bangor itu.

Tiba-tiba Po-ting-te berpaling pada Ko Sing-thay dan tanya, "Sing-thay, tahun ini putrimu itu berusia berapa?”

"Siauli (putriku) tahun ini berumur delapan belas,” sahut Sing-thay.

"Bagus!” ujar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada Cing-sun, "Sun-te, kita tetapkan untuk melamar putri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sugong, harap kau pergi ke bagian protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta menyediakan emas kawin yang diperlukan. Peristiwa ini harus dirayakan semeriahnya hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui semua.”

Suami-istri Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak datangnya. Namun segera mereka pun paham bahwa tindakan Po-ting-te ini adalah demi nama baik keluarga serta kehormatan Toan Ki yang masih suci bersih itu.

Asal setiap orang di seluruh negeri sudah tahu bahwa istri Toan Ki adalah putri Sian-tan-hou Ko Sing-thay, sekalipun kemudian Yan-king Taycu menyebarkan desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak susila dengan adik perempuannya sendiri, tentu orang luar akan menganggapnya sebagai dusta dan fitnah belaka, paling-paling juga cuma setengah percaya setengah tidak.

Maka Toan Cing-sun menjawab, "Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus. Sudah lama kudengar putri Sian-tan-hou cantik molek, pintar lagi berbakti, sungguh seorang istri yang susah dicari. Tetapi tabiat Ki-ji agak aneh juga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia sudah lolos dari bahaya, kemudian beri tahukan hal ini padanya, lalu mengatur emas kawin untuk memastikan perjodohan ini.”

"Sudah tentu aku pun tahu watak Ki-ji memang suka bandel,” ujar Po-ting-te. "Misalnya waktu kita hendak ajarkan It-yang-ci padanya, tapi betapa pun ia tidak mau belajar, sungguh seorang yang tidak tahu adat. Tapi mengenai perjodohan, selamanya harus tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani membangkang perintah kalian suami istri? Apalagi hal ini demi menyelamatkan nama baik keluarga Toan, demi kehormatan selama hidupnya, bagaimanapun ia tidak boleh membangkang.”

"Kabarnya putri Ko-hiante itu badannya rada lemah, maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak dulu,” ujar Cing-sun.

Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu dicari-cari, maka katanya pula, "Soal badan lemah bukan soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia ajarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu badannya akan sehat kuat.”

"Namun ... namun .....” kata Cing-sun.

"Sun-te,” demikian Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bicara lebih lanjut, "sejak tadi kau selalu menolak saja, sebenarnya apa maksudmu? Apakah dalam hatimu ada sesuatu yang kurang senang terhadap Ko-

hiante?”

"O, tidak, tidak!” cepat Cing-sun menjawab. "Hubungan Ko-hiante denganku laksana saudara sekandung. Kalau kami berdua dapat besanan lagi, tentu lebih bagus. Ehm, ka ... kabarnya Pah-sugong juga mempunyai seorang putri dan Hoan-suma juga ada dua anak perempuan. Marilah kita pun ajukan mereka itu sebagai calon.”

Thian-sik tertawa, katanya, "Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun yang lalu, sampai sekarang pun usianya belum genap setahun. Sedang kedua putrinya Hoan-suma, yang satu adalah menantuku yang tertua, sedang yang lain konon sudah bertunangan, yaitu mendapat putra sulung Hoa-suto.”

Po-ting-te menjadi kurang senang juga atas sikap adiknya itu, segera katanya pula, "Sun-te, percumalah engkau sama bertugas dengan Thian-sik bertiga, masakah urusan mereka itu sedikit pun tak kau ketahui?”

Melihat kakak bagindanya rada gusar, Cing-sun tidak berani buka mulut lagi.

"Tin-lam-ongya,” tiba-tiba Sing-thay berkata, "sejak kecil Sing-thay sudah bergaul dengan Ongya, hubungan kita boleh dikatakan melebihi saudara sekandung, di antara kita biasanya tidak pernah kenal istilah rahasia, maka sudilah katakan bila ada dengar sesuatu yang menjelekkan nama baik putriku hingga terasa tidak sesuai untuk menjadi menantumu? Jika benar begitu, hendaklah katakan terus terang, Sing-thay tak nanti merasa tersinggung.”

Cing-sun agak ragu, tapi kemudian berkata, "Jika demikian, biarlah Cing-sun bicara, tapi harap Ko-hiante jangan marah.”

"Silakan Ongya bicara terus terang saja,” sahut Sing-thay.

"Begini,” kata Cing-sun dengan merandek sejenak, "sejak kecil putrimu sudah kehilangan ibu, betapa pun Hiante rada memanjakan dia. Konon watak putrimu sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnya dia sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan katanya lebih hebat daripadamu. Jika begitu, kelak bila dia sudah menjadi menantuku, mungkin ... mungkin, hehe, aku menjadi khawatir kalau Ki-ji akan menderita selama hidupnya. Ki-ji sedikit pun tidak suka ilmu silat dan melulu mahir beberapa langkah ‘Leng-po-wi-poh’ itu untuk berlari kian kemari di dalam kamar guna menghindarkan hajaran putrimu, hidup demikian bukankah tiada artinya lagi.”

Po-ting-te terbahak-bahak oleh keterangan itu, katanya, "Sun-te, sebabnya kau ragu-ragu kiranya melulu soal demikian saja.”

Cing-sun melirik Si Pek-hong sekejap, lalu menyahut dengan tertawa, "Toako, adik iparmu selalu selisih paham denganku, pada waktu cekcok, untung kepandaian kami berdua sama kuatnya hingga Siaute tidak sampai dihajar olehnya, kalau sebaliknya, wah, bisa runyam.”

Mendengar itu, mau tak mau semua orang tersenyum geli juga.

Dengan dingin Si Pek-hong berkata, "Asal Ki-ji dapat mempelajari It-yang-ci keluarga Toan, tentu tiada tandingannya di dunia ini, biarpun dia menikah dengan lima atau sepuluh perempuan bawel juga tidak perlu takut.”

Di balik kata-katanya itu terang ia sengaja berolok-olok "It-yang-ci.”

Namun Cing-sun hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Segera Ko Sing-thay bicara pula, "Siauli (putriku) meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanya juga takkan berbuat sembarangan. Sing-thay sudah banyak menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong.”

Po-ting-te tertawa, katanya, "Jika putrimu bisa bantu menghajar sedikit anak kami yang suka bikin gara-gara itu, kami bersaudara justru merasa sangat berterima kasih, itu berarti putrimu telah berjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay, siapa nama anak itu? Apakah benar rada ... rada keras wataknya?”

"Putri hamba bernama ‘Bi’, hanya satu huruf saja,” sahut Sing-thay. "Sejak kecil ia tidak pernah keluar rumah, tabiatnya sangat ramah. Mungkin ada orang yang dendam pada Sing-thay, maka sengaja menyebarkan kabar tidak benar itu dan dapat didengar Ongya.”

Nyata dia menjadi kurang senang karena mendengar Tin-lam-ong menyatakan watak putrinya kurang baik.

Maka cepat Cing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan tertawa, "Ko-hiante, aku tadi salah omong, hendaklah engkau jangan pikirkan lebih jauh.”

"Nah, urusan boleh diputuskan demikian,” kata Po-ting-te kemudian dengan tersenyum. "Thian-sik, aku

menugaskanmu sebagai Lap-jay-su, supaya kau bisa menarik komisi sebagai comblang dari kedua belah pihak.”

Lap-jay-su atau duta pengantar emas kawin di kalangan kerajaan adalah sama dengan comblang di kalangan rakyat jelata. Kalau urusan selesai, umumnya dari pihak pengantin laki-laki dan perempuan akan memberi hadiah cukup besar.

Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas itu sambil mengucapkan terima kasih.

"Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan) mencatat dalam buku silsilah, aku mengangkat adikku Cing-sun sebagai Hong-thay-te (adik pangeran mahkota),” demikian perintah Po-ting-te lebih lanjut.

Cing-sun terperanjat, cepat ia berlutut menyembah, "Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan bijaksana, tentu akan diberkahi Thian yang mahakuasa dengan keturunan banyak, maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu.”

Po-ting-te bangunkan adik pangeran itu, katanya, "Kita bersaudara adalah dwitunggal, dua badan satu jiwa. Nasib negeri Tayli ini terletak di tangan kita berdua, jangankan aku memang tidak punya anak, sekalipun punya keturunan juga takhtaku kelak akan kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula rakyat di seluruh negeri pun sudah lama tahu, hari ini hanya kutetapkan secara resmi saja, biar Yan-king Taycu yang bertujuan jahat itu hilang harapannya!”

Karena berulang menolak tetap tak diizinkan, akhirnya terpaksa Cing-sun menerima dengan baik serta mengaturkan terima kasih pada Hongsiang.

Segera Ko Sing-thay dan lain-lain saling memberi selamat kepada Toan Cing-sun.

Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang tidak punya keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak yang akan menggantikannya pasti Tin-lam-ong, hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.

Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan juga kepada Ko Sing-thay, maksudnya memberi selamat bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan takhta ayahnya, dengan sendirinya putrimu adalah permaisuri, maka uang jasaku sebagai comblang ini harus istimewa.

Akhirnya Po-ting-te berkata, "Sekarang silakan semua pergi mengaso. Tentang urusan Yan-king Taycu itu harap jangan sampai bocor.”

Semua orang mengiakan dan memberi hormat lalu mengundurkan diri.

Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar di luar ramai dengan suara musik yang meriah, suara letusan mercon bergemuruh di mana-mana. Dayang yang melayaninya itu memberi laporan, "Oleh karena putra Tin-lam-ong mengirim Lap-jay kepada putri Sian-tan-hou, maka di luar istana rakyat ikut merayakannya dengan meriah.”

Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahan yang bijaksana, rakyat hidup makmur sejahtera, maka dukungan rakyat kepada raja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain, luar biasa besarnya. Ketika mendengar keluarga Toan dan Ko besanan, segenap penduduk kota Tayli ikut riang gembira.

Segera Po-ting-te memberi perintah, "Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar kembang api, segala larangan di kota Tayli dicabut untuk sementara, semua angkatan bersenjata diberi cuti agar bisa ikut merayakan, orang tua dan anak piatu diberi hadiah tersendiri.”

Ketika titah raja itu disampaikan kepada umum, segenap rakyat Tayli seketika makin bersorak-sorai gembira.

Menjelang petang, Po-ting-te menyamar dengan pakaian preman dan keluar sendirian. Ia tarik topinya yang lebar itu ke bawah hingga hampir menutupi matanya, dengan demikian orang lain sukar mengenalnya. Sepanjang jalan ia lihat rakyat menyanyi dan menari dengan riangnya, laki-perempuan, tua-muda hilir mudik dengan ramai.

Betapa bersyukurnya Po-ting-te menyaksikan negerinya yang sentosa itu. Diam-diam ia berdoa, "Semoga rakyat negeri Tayli turun-temurun senantiasa diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Cing-beng sekalipun tidak punya keturunan juga takkan menyesal.”

Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas dipercepat, makin lama makin sunyi tempat yang dituju, kirakira belasan li jauhnya, setelah melintasi beberapa lereng bukit, sampailah di suatu kelenteng kuno kecil, di atas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf "Liam-hoa-si” atau kelenteng petik bunga.

Po-ting-te berhenti di depan kelenteng sambil berdoa sejenak, lalu mengetuk pintu dengan perlahan.

Tidak lama, pintu dibuka dan muncul seorang Hwesio kecil, tanyanya sambil memberi hormat, "Ada keperluan apakah kunjungan tuan tamu ini?”

"Harap sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan sobat lama Toan Cing-beng mohon bertemu,” sahut Po-ting-te.

"Silakan masuk,” kata padri cilik itu.

Po-ting-te dibawa ke ruangan tengah melalui suatu pekarangan yang sunyi, kata padri kecil itu, "Harap tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Suhu.”

Po-ting-te mengiakan, ia mondar-mandir di ruangan itu sambil menggendong tangan.

Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri di luar rumah untuk menunggu orang, yang selalu terjadi ialah orang lain menanti di luar istana hendak menghadap padanya. Namun begitu, ternyata sedikit pun ia tidak gelisah, ia tetap menanti dengan sabar di dalam kelenteng yang seakan-akan memberi rahmat padanya itu, sama sekali ia lupa bahwa dirinya adalah seorang raja.

Agak lama kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa, "Toan-hiante, rupanya engkau sedang dirundung sesuatu kesulitan?”

Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang padri tua bermuka sudah penuh keriput, berperawakan tinggi besar, sedang melangkah masuk dari pintu samping.

Kedua alis padri tua ini sangat panjang hingga melambai ke bawah, bulu alisnya bersemu kuning hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio yang hendak ditemuinya itu.

Po-ting-te memberi hormat, lalu katanya, "Maafkan mengganggu ketenteraman Taysu.”

Ui-bi Hwesio (padri alis kuning) hanya tersenyum, sahutnya, "Mari masuk.”

Po-ting-te ikut masuk ke suatu pondok kecil, di situ tampak enam Hwesio setengah umur berjubah abu-abu serentak membungkuk memberi hormat kepada mereka.

Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu duduk bersila di atas tikar di sisi kiri sana.

Sesudah Ui-bi Hwesio juga duduk di tikar sebelah kanan, Po-ting-te lantas berkata, "Aku mempunyai seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu berusia tujuh tahun, pernah kubawa dia ke sini untuk mendengarkan khotbah Suheng.”

"Ya, anak itu memang pintar, sungguh anak bagus, anak bagus!” ujar Ui-bi.

"Setelah mendapat rahmat Buddha, wataknya juga welas asih, tidak mau belajar silat, katanya agar tidak membunuh sesamanya,” tutur Po-ting-te.

"Tidak bisa ilmu silat juga bisa membunuh orang. Sebaliknya mahir ilmu silat, belum tentu akan membunuh orang,” ujar Ui-bi.

Po-ting-te membenarkan. Lalu ia pun bercerita tentang Toan Ki yang bandel, tidak mau belajar silat, minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wan-jing dan kemudian tertawan oleh Yan-king Taycu yang bergelar "orang jahat nomor satu di jagat” itu.

Dengan tersenyum Ui-bi mendengarkan cerita itu tanpa menyela. Keenam muridnya yang berdiri di belakangnya dengan tangan lurus ke bawah pun diam saja, bahkan bergerak sedikit pun tidak.

Habis Po-ting-te bicara, kemudian Ui-bi berkata dengan perlahan, "Jikalau Yan-king Taycu adalah saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak bergebrak dengan dia, seumpama kau kirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanya juga tidak pantas, maksudmu demikian bukan?”

Po-ting-te mengangguk, sahutnya, "Suheng memang bijaksana!”

Ui-bi tersenyum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak mengulur jari tengah terus menutuk perlahan ke arah dada Po-ting-te.

Po-ting-te tersenyum juga, ia pun ulur jari telunjuknya tepat menutuk ujung jari orang. Seketika tubuh kedua orang sama tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan masing-masing.

Dengan berkerut kening berkatalah Ui-bi, "Toan-hiante, aku punya Kim-kong-ci-lik toh tidak bisa menangkan It-yang-cimu yang hebat?”

"Tapi dengan kebijaksanaan dan kecerdikan Suheng, tidak perlu menang dengan tenaga jari,” ujar Po-ting-te.

Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk berpikir.

Tiba-tiba Po-ting-te bangkit dan berkata, "Sepuluh tahun yang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan cukai garam bagi segenap rakyat negeri Tayli. Tapi tatkala itu, karena perbendaharaan negara belum mengizinkan, pula Siaute bermaksud menunggu bila adikku Cing-sun menggantikan takhtaku, barulah aku melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakyat jelata berterima kasih kepada adikku. Tetapi kini aku berpikir lain, besok juga Siaute akan memberi perintah pembebasan cukai garam demi kebahagiaan rakyat.”

Ui-bi berbangkit juga dan memberi hormat, katanya, "Hiante sudi beramal bagi rakyat seluruh negeri, aku merasa terima kasih tak terhingga.”

Lekas Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa bicara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.

Pulang sampai di istana, segera Po-ting-te memerintahkan dayang mengundang Pah Thian-sik dan Hoa-suto serta memberitahukan kepada mereka tentang keputusan menghapuskan cukai garam itu.

Mengetahui itu, kedua Sugong dan Suto ikut berterima kasih dan memberi pujian atas kebijaksanaan sang raja.

"Dan untuk selanjutnya, segala pembiayaan di dalam istana harus diperkecil dan dihemat,” demikian pesan Poting-te lebih lanjut. "Sekarang pergilah kalian, coba rundingkan dan periksa secara teliti, apakah ada pengeluaran lain yang dapat dihemat pula.”

Segera kedua pejabat tinggi itu mengiakan dan mengundurkan diri.

Meski urusan diculiknya Toan Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoansuma adalah orang-orang kepercayaan Po-ting-te, dengan sendirinya tidak perlu dirahasiakan, maka sejak tadi Pah Thian-sik sudah beri tahukan hal itu kepada kedua rekannya itu.

Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa yang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannya yang dipanggil menghadap ke istana itu. Maka sesudah Pah Thian-sik dan Hoa-suto memberitahukan tentang keputusan raja akan membebaskan cukai garam serta menghemat anggaran belanja negara, Hoan-suma ikut bergirang, katanya, "Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnya Hongsiang memutuskan untuk menghapuskan pajak garam, tentunya disebabkan putra Tin-lam-ong masih berada dalam cengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar calon mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali tak bisa ikut menanggung beban kesukaran junjungan kita, masakah kita masih ada muka menjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan kerajaan?”

"Ucapan Hoan-jiko memang tidak salah, apa barangkali engkau mempunyai tipu daya yang bisa menolong Toan-kongcu?” tanya Thian-sik.

Hoan-suma ini bernama satu huruf "Hua” saja, tabiatnya jenaka, tapi banyak tipu akalnya, maka jawabnya kemudian, "Jika musuh benar-benar adalah Yan-king Taycu, terang Hongsiang tak ingin bermusuhan dengan dia secara terang-terangan. Siaute sih mempunyai suatu akal, cuma diperlukan pengorbanan tenaga Hoatoako.”

"Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani menolak? Lekaslah terangkan tipu akalmu!” sahut Hoa-suto cepat.

"Menurut keterangan Hongsiang,” demikian Hoan Hua, "katanya ilmu silat Yan-king Taycu itu lebih tinggi daripada Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongcu. Kalau Hoa-toako sudi, dapat juga pekerjaan Hoa-toako yang dulu coba-coba dilakukan lagi sekarang.”

Wajah Hoa-suto yang lebar dan rada kekuning-kuningan itu menjadi merah, sahutnya dengan tertawa, "Ah, kembali Jite hendak menggoda aku.”

Kiranya Hoa-suto ini asalnya bernama A Kin, meski sekarang berkedudukan tinggi di negeri Tayli, tapi dahulunya berasal dari kaum miskin, sebelum dia mendapat pangkat, kerjanya ialah membongkar kuburan. Kepandaiannya yang paling mahir adalah mencuri isi kuburan keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan orang-orang demikian tentu banyak disertai pendaman harta pusaka. Dan Hoa A Kin lantas menggangsir dari tempat jauh, ia menggali satu jalanan di bawah tanah sampai menembus ke dalam kuburan yang menjadi sasarannya, di situlah dia mencuri isi kuburan yang berharga itu.

Caranya membongkar kuburan itu dengan sendirinya sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir satu kuburan terkadang diperlukan waktu sebulan atau dua bulan lamanya, tetapi dengan caranya menggangsir itu justru sangat kecil sekali risikonya akan diketahui orang.

Suatu kali, ia berhasil menggangsir ke dalam suatu kuburan kuno, di situ ia mendapatkan sejilid kitab pusaka

ilmu silat. Ia lantas melatihnya menurut petunjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang (kekuatan luar) yang sangat tinggi, akhirnya ia pun lepaskan pekerjaannya yang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada kerajaan, karena jasa-jasanya selama bertugas, akhirnya pangkatnya mencapai Suto seperti sekarang ini, yaitu setingkat dengan pembantu menteri.

Sesudah menjadi pembesar, ia anggap namanya yang dulu terlalu kampungan, makanya lantas diganti menjadi Hek-kin. Di antara kawan-kawan karibnya, kecuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain jarang yang tahu asal usulnya.

Maka dengan tertawa Hoan Hua menjawab, "Mana Siaute berani menggoda Toako? Tapi maksudku bila kita dapat menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, di situ kita menggangsir satu jalan di bawah tanah yang menembus ke tempat kurungan Toan-kongcu, maka dengan bebas tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat menolongnya keluar.”

"Bagus, bagus!” teriak Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.

Menggangsir kuburan sebenarnya adalah pekerjaan yang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan tahun lamanya pekerjaan itu tak pernah lagi dilakukan, namun terkadang bila teringat kembali, tangannya menjadi gatal lagi.

Soalnya cuma pangkatnya sekarang sudah tinggi, hidupnya tidak kekurangan, kalau mesti menjalankan pekerjaan menggangsir, bagaimana jadinya kalau diketahui orang? Maka kini demi ada yang mengusulkan agar dirinya melakukan pekerjaan lama lagi, ia menjadi girang sekali.

"Nanti dulu, Hoa-toako jangan buru-buru senang dulu,” demikian kata Hoan Hua pula. "Dalam urusan ini kita masih banyak kesulitannya. Terutama hendaklah diketahui bahwa Su-tay-ok-jin (empat mahadurjana) telah berada di Ban-jiat-kok semua. Suami-istri Ciong Ban-siu dan Siu-lo-to Cin Ang-bian tergolong tokoh-tokoh lihai pula, kalau kita hendak menyelundup ke sana, sesungguhnya tidaklah gampang. Lagi pula, Yan-king Taycu ini senantiasa duduk jaga di depan rumah batu tempat Toan-kongcu dikurung, kalau kita harus menggali melalui bawahnya, apakah tidak mungkin akan diketahui olehnya?”

Hoa Hek-kin berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Jalan yang akan kita gangsir itu harus menembus ke dalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat jaga Yan-king Taycu itu.”

"Tapi Toan-kongcu setiap saat terancam bahaya, kalau kita menggangsir perlahan, apakah masih keburu?” ujar Hoan Hua, Hoan-suma.

"Kalau perlu, marilah kita bertiga kerja keras serentak,” usul Hoa-suto. "Cuma untuk itu kalian harus menjadi

muridku sebagai tukang gangsir kuburan.”

"Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerja menggangsir, tugas ini betapa pun tak boleh ditolak,” sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.

Maka tertawalah ketiga orang itu.

"Kalau sudah mau bekerja, marilah sekarang juga kita mulai,” ajak Hoa-suto.

Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Ban-jiat-kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin lantas merencanakan di mana akan dimulai dan di mana akan berakhir dari lorong yang akan digangsirnya nanti.

Sedang mengenai cara bagaimana harus menghindari pengintaian musuh dan cara bagaimana mengitari rintangan batu padas di bawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian Hoa-suto yang tiada bandingannya, maka tidak perlu dipersoalkan.

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali lagi mengenai Toan Ki.

Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-cu-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnya semakin bergolak, saking luar biasa panasnya, akhirnya ia jatuh pingsan.

Dan pingsannya itu justru menolongnya terhindar dari penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar bahwa sehari semalam itu di luar sudah terjadi banyak perubahan. Ayahnya telah diangkat menjadi calon pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan putrinya Ko Sing-thay, Ko Bi, sebagai istri. Di seluruh kota Tayli saat itu sedang diadakan perayaan besar untuk memeriahkan kedua peristiwa gembira itu, sekaligus untuk merayakan dihapus pajak garam rakyat oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri masih bersandar di dinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.

Sampai esok tengah hari, barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerjanya racun Im-yang-ho-hap-san dan Bongkoh-cu-hap yang sangat panas itu kebetulan berhenti bersama untuk sementara. Tapi setelah berhenti dan bila kumat lagi, maka racun itu akan bertambah hebat. Toan Ki tidak tahu bahaya apa yang masih mengeram di dalam tubuhnya, dengan sadarnya pikiran, walaupun badan masih sangat lemas, ia menyangka racun sudah

mulai hilang.

Dan selagi ia hendak bicara dengan Bok Wan-jing, tiba-tiba terdengar di luar rumah batu itu ada suara seorang tua lagi berkata, "Sembilan garis malang melintang, entah betapa banyak digemari orang. Apakah Kisu juga ada minat untuk coba-coba satu babak denganku?”

Toan Ki menjadi heran, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah batu. Maka tertampaklah seorang Hwesio tua bermuka keriput dan beralis kuning panjang sedang berjongkok sambil menggunakan jari tangannya lagi menggores-gores garis lurus di atas sebuah batu besar yang rata. Begitu hebat tenaga jarinya itu hingga terdengar suara "srak-srek” disertai berhamburnya bubuk batu, lalu jadilah satu garis lurus yang panjang di atas batu itu.

Toan Ki terkejut. Meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering juga ia menyaksikan sang ayah dan pamannya waktu berlatih It-yang-ci. Ia pikir wajah padri tua ini seperti sudah pernah kenal, tenaga jarinya ternyata sedemikian lihainya, mampu menggores batu menjadi satu garis yang dalam. Tenaga jari demikian adalah semacam ilmu Gwakang yang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknya berbeda dengan It-yang-ci yang dilatih paman dan ayahnya itu.

Maka terdengar pula suara seorang yang tak jelas berkata, "Bagus, sungguh Kim-kong-ci-lik yang hebat!”

Terang itu adalah suara si baju hijau alias "Ok-koan-boan-eng.”

Segera tertampak sebatang tongkat bambu menjulur ke atas batu, dengan rajin ia pun menggores satu garis di atas batu itu, cuma kalau Ui-bi-ceng atau padri alis kuning itu menggores garis lurus, maka garisan tongkat sekarang melintang, hingga berwujud satu garis palang dengan goresan padri tadi.

Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat bagaimana cara bergerak Jing-bau-khek itu, ia pikir tongkat itu dengan sendirinya lebih keras daripada jari manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi yang memakainya. Namun jari lebih pendek dan tongkat lebih panjang, untuk menggores garisan di atas batu dengan memakai tongkat sepanjang itu, terang tenaga yang dikeluarkan akan jauh lebih besar daripada memakai jari.

Lalu terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa, "Jika Toan-sicu sudi memberi petunjuk, itulah sangat baik.”

Habis berkata, kembali ia menggaris lagi di atas batu dengan jarinya.

Segera Jing-bau-khek menambahi garisan melintang lagi seperti tadi. Dengan demikian, yang satu menggaris

lurus dan yang lain menggaris melintang, makin lambat menggores garisan sendiri, agar setiap garis bisa dilakukan dengan cukup dalam dan sama rajinnya seperti semula.

Harus diketahui bahwa pertandingan di antara tokoh-tokoh terkemuka, soal menang atau kalah melulu tergantung sedikit selisih saja, asal satu garisan di antaranya menunjukkan kurang dalam atau menceng, maka itu berarti sudah kalah.

Maka kira-kira sepertanak nasi lamanya, sebuah peta catur yang berjumlah 19 garis malang melintang itu sudah selesai digaris dengan rajin.

Diam-diam Ui-bi-ceng membatin, "Apa yang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yanking Taycu ini benar luar biasa dan sedikit pun tidak di bawah Po-ting-te sendiri.”

Sebaliknya Yan-king Taycu alias Jing-bau-khek itu terlebih kejut lagi, kalau datangnya Ui-bi-ceng memang disengaja dan sudah siap sedia sebelumnya, adalah Yan-king Taycu sendiri sama sekali tidak menyangka apaapa, maka pikirnya, "Aneh, dari manakah mendadak bisa muncul seorang Hwesio tua selihai ini? Terang datangnya ini adalah atas undangan Toan Cing-beng, dalam saat demikian, kalau Toan Cing-beng ikut menyerbu ke dalam untuk menolong Toan Ki, terang aku tak berdaya untuk merintanginya.”

Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang berkata, "Betapa tinggi kepandaian Toan-sicu, sungguh aku sangat kagum, maka dalam hal kekuatan catur rasanya juga akan berpuluh kali lebih pandai daripadaku, terpaksa kuminta Toan-sicu suka mengalah empat biji dahulu.”

Jing-bau-khek tercengang, pikirnya, "Meski aku tak kenal asal usulmu, tapi tenaga jarimu begini lihai, dengan sendirinya adalah orang kosen yang tidak sembarang. Baru mulai menantang bertempur kenapa buka mulut lantas minta aku mengalah?”

Segera katanya, "Kenapa Taysu mesti merendah diri, jika harus menentukan kalah menang, dengan sendirinya kita harus maju sama tingkat dan sama derajat.”

"Tidak, tetap kuminta Toan-sicu harus mengalah empat biji,” sahut Ui-bi-ceng.

"Aneh juga usul Taysu ini,” ujar Jing-bau-khek dengan tawar. "Jikalau Taysu mengaku kepandaian caturmu tidak lebih tinggi daripadaku, maka tak perlulah kita bertanding.”

"Kalau begitu, sudilah memberi tiga biji saja, bagaimana?” kata Ui-bi-ceng pula.

"Biarpun memberi satu biji, namanya juga mengalah,” sahut Jing-bau-khek alias Yan-king Taycu.

"Hahaha!” tiba-tiba Ui-bi-ceng tertawa. "Kiranya dalam ilmu main catur, kepandaianmu sangat terbatas, jika demikian biarlah aku yang memberi padamu tiga biji.”

"Itu pun tidak perlu,” sahut Jing-bau-khek. "Mari kita mulai dengan kedudukan sama.”

Diam-diam Ui-bi-ceng bertambah waspada dan prihatin, pikirnya, "Orang ini tidak sombong juga tidak gopoh, sebaliknya tenang dan sukar diduga, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Meski aku sudah memancingnya dengan berbagai jalan, toh ia tetap tidak berubah sikap.”

Kiranya Ui-bi-ceng menginsafi dirinya tiada harapan buat menangkan It-yang-ci dari Jing-bau-khek itu. Ia tahu orang yang gemar catur, umumnya suka menang sendiri, bila diminta agar mengalah dua-tiga biji catur, biasanya tentu diluluskan.

Sebagai seorang pertapa, Ui-bi-ceng memandang soal nama sebagai sesuatu yang tak berarti. Asal Yan-king Taycu bersedia mengalah sedikit dalam permainan catur itu, maka dalam pertarungan sengit itu dia akan ada harapan buat menang.

Siapa duga sifat Yan-king Taycu itu ternyata lain daripada yang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas orang lain, tapi juga tidak mau dirugikan orang, setiap tindak tanduknya sangat prihatin dan tegas.

Karena tiada jalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-ceng berkata, "Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku adalah tamu, aku yang main dulu.”

"Tidak,” sahut Jing-bau-khek. "Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah? Aku yang main dulu!”

"Wah, jika demikian, rupanya kita harus sut dulu,” kata Ui-bi-ceng. "Baik begini saja, coba kau terka umurku tahun ini ganjil atau genap? Jika betul engkau terka, kau main dulu, kalau salah terka, aku main dulu.”

"Umpama tepat aku menerkanya, tentu engkau juga menyangkal,” ujar Jing-bau-khek.

"Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu yang tidak mungkin aku bisa menyangkal,” kata Ui-bi-ceng pula. "Coba kau terka, bila aku berumur 70 tahun, jari kakiku akan ganjil atau genap?”

Teka-teki ini benar-benar sangat aneh. Mau tak mau Jing-bau-khek harus berpikir, "Umumnya jari kaki orang berjumlah sepuluh, jadi genap. Tapi dia menegaskan bila sudah berumur 70, terang maksudnya agar aku menyangka kelak jari kakinya akan berkurang satu, jika demikian halnya, tentu aku akan menerka jarinya berjumlah ganjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau kosong katakanlah berisi. Jangan-jangan jari kakinya tetap sepuluh, tapi sengaja main gertak. Mana bisa aku ditipu olehnya?”

Karena itu, segera ia menjawab, "Berjumlah genap!”

"Salah, tapi berjumlah ganjil,” kata Ui-bi-ceng.

"Coba buka sepatu, periksa buktinya,” sahut Jing-bau-khek.

Terus saja Ui-bi-ceng membuka sepatu dan kaus kaki kiri, ternyata jari kakinya masih tetap utuh berjumlah lima. Ketika Jing-bau-khek memerhatikan wajah padri itu, ia lihat orang tersenyum, sikapnya tenang-tenang saja, mau tak mau ia membatin, "Wah, kiranya jari kaki kanannya memang cuma tinggal empat.”

Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang membuka sepatu lagi dengan perlahan, ketika mulai menanggalkan kaus kakinya, hampir-hampir Jing-bau-khek berseru jangan membuka lagi dan menyilakan orang main dulu. Namun sekilas timbul pula pikirannya, "Ah, tidak bisa, jangan aku tertipu olehnya.”

Dan benar juga, ia lihat kaus kaki kanan padri itu sudah dilepas dan jari kaki itu pun tampak masih utuh berjumlah lima tanpa cacat apa-apa.

Meski badan Jing-bau-khek itu sudah cacat dan mukanya kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa yang dirasakannya waktu itu, sebenarnya dalam sekejap itu hatinya sudah berganti berbagai perasaan untuk menduga-duga sebenarnya apa maksud tujuan perbuatan Ui-bi-ceng itu. Dan ia menjadi bersyukur ketika akhirnya melihat tebakannya jitu, yaitu jari kedua kaki padri itu toh tetap berjumlah genap sepuluh.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ui-bi-ceng terus angkat telapak tangan kanan dan memotong ke bawah sebagai pisau, "krek”, tahu-tahu jari kecil kaki kanan itu telah dipotong putus.

Sekalipun keenam anak muridnya yang berdiri di belakang sang guru itu sudah dalam belajar ilmu Buddha, setiap orangnya bisa berlaku tenang meski menghadapi keadaan bagaimanapun. Tapi mendadak tampak sang guru membikin cacat anggota badan sendiri, darah lantas mengucur pula, keruan mereka terperanjat, bahkan murid termuda yang bernama Boh-ban Hwesio, sampai berseru kaget.

Cepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan di atas kaki Suhunya itu.

Menyusul berkatalah Ui-bi-ceng dengan tertawa, "Tahun ini aku berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti, persis jariku berjumlah ganjil.”

Tanpa pikir lagi Jing-bau-khek menjawab, "Benar. Silakan Taysu main dulu.”

Nyata sebagai tokoh dari Su-ok yang berjuluk "orang jahat nomor satu di dunia,” perbuatan kejam dan ganas apa di dunia ini yang tidak pernah dilakukannya atau dilihatnya, maka terhadap kejadian memotong satu jari kaki yang sepele itu, tentu saja tidak terpikir olehnya. Cuma bila mengingat bahwa melulu untuk rebut hak main dulu dalam catur, Hwesio tua ini rela memotong jari kaki sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tujuan padri ini harus menangkan percaturan itu, dan bila dirinya kalah, bukan mustahil syarat yang akan dikemukakan padri itu tentu pelik luar biasa.

Maka terdengarlah Ui-bi-ceng berkata, "Terima kasih atas kesudianmu mengalah.”

Segera ia ulur jarinya dan menekan kedua ujung peta catur masing-masing satu kali. Karena tekanan jari itu, di atas batu lantas melekuk dua lubang hingga mirip dua biji catur hitam.

Segera Jing-bau-khek angkat tongkatnya juga dan menggores dua lingkaran kecil pada kedua ujung lain peta catur itu. Lingkaran kecil yang melekuk itu pun mirip dua biji catur putih.

Cara pembukaan main catur dengan menaruh dua biji catur di kedua ujung itu adalah lazim dilakukan dalam permainan catur kuno yang mirip permainan dam zaman sekarang.

Begitulah, maka secara bergiliran kedua orang itu saling menaruh biji caturnya masing-masing dengan tekanan tenaga jari dan goresan tongkat. Mula-mula cara menaruh mereka sangat cepat, tapi lambat laun menjadi perlahan. Sedikit pun Ui-bi-ceng tidak berani ayal, ia tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu tadi yang ditukarnya dengan memotong jari kaki itu.

Sampai belasan biji catur sudah dijalankan, pertarungan ternyata bertambah sengit dan pertahanan masingmasing pun semakin kuat, tapi tenaga yang dikeluarkan kedua orang pun semakin besar. Di samping memusatkan pikiran untuk menangkan permainan catur itu, di lain pihak harus mengerahkan tenaga untuk menekan atau menggores batu sekuatnya. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.

Di antara keenam murid yang ikut datang bersama Ui-bi-ceng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio juga seorang penggemar catur. Ia menjadi sangat kagum dan gegetun demi tampak ilmu permainan catur gurunya dengan Jing-bau-khek yang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24, mendadak Jing-bau-khek melakukan serangan aneh hingga kedudukan masing-masing segera berubah banyak, kalau Ui-bi-ceng tidak segera balas dengan langkah yang tepat, pasti pertahanannya akan bobol.

Tampak Ui-bi-ceng berpikir agak lama, agaknya seketika masih belum mendapat cara yang baik untuk balas serangan lawan itu. Tiba-tiba terdengar dari dalam rumah batu itu ada orang berkata, "Balas gempur sayap kanan, tetap menguasai permainan!”

Kiranya sejak kecil Toan Ki juga mahir main catur. Kini melihat permainan kedua orang itu, ia menjadi bersemangat dan ikut-ikutan bicara.

Penonton memang lebih jelas daripada yang main. Demikian orang bilang. Apalagi kepandaian catur Toan Ki memang lebih tinggi daripada Ui-bi-ceng, ditambah sudah mengikuti dari samping sejak tadi, ia menjadi lebih terang di mana letak kunci permainannya.

Maka terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa, "Memang sudah kupikir begitu, cuma masih ragu-ragu, tapi dengan ucapanmu, aku menjadi mantap sekarang.”

Segera ia taruh bijinya di sayap kanan yang dimaksud itu.

"Penonton yang tidak bicara adalah Cin-kun-cu (jantan tulen), orang yang ambil keputusan sendiri adalah Taytiang-hu (laki-laki sejati),” demikian Jing-bau-khek menyindir.

"Kau kurung aku di sini, sejak kapan engkau adalah Cin-kun-cu?” segera Toan Ki berteriak.

"Dan aku adalah Thayhwesio dan bukan Tay-tiang-hu,” sahut Ui-bi-ceng tertawa.

"Huh, tidak malu!” jengek Jing-bau-khek. Segera ia pun taruh bijinya dengan menggores satu lingkaran kecil

lagi.

Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-ceng menghadapi serangan bahaya. Boh-tin Hwesio menjadi khawatir karena melihat gurunya tak berdaya memecahkannya, sedangkan Toan Ki juga diam saja. Segera ia mendekati pintu batu itu dan tanya dengan perlahan, "Toan-kongcu, langkah ini bagaimana harus menjalankannya?”

"Jalan yang baik sih sudah kupikirkan,” demikian sahut Toan Ki. "Cuma jalan ini seluruhnya meliputi tujuh langkah, kalau kukatakan begini saja hingga didengar musuh, tentu akan gagal juga rencanaku, makanya aku diam saja tidak bersuara.”

Segera Boh-tin ulur telapak tangan kanan ke dalam rumah itu melalui celah-celah batu, bisiknya, "Silakan tulis di sini.”

Toan Ki pikir bagus juga akal ini, segera ia gunakan jarinya menulis ketujuh langkah catur yang diciptakan itu di telapak tangan Boh-tin.

Boh-tin pikir sejenak, ia pikir langkah catur yang ditulis anak muda itu memang sangat tinggi, cepat ia kembali ke belakang sang guru dan menulis juga di punggung Suhunya dengan jari. Karena jubahnya sangat longgar hingga tangannya tertutup semua, maka Jing-bau-khek tidak tahu apa yang dilakukan orang.

Sesudah mendapat petunjuk itu, Ui-bi-ceng menjalankannya satu langkah.

"Hm, langkah ini adalah ajaran orang lain, agaknya kepandaian catur Taysu masih belum mencapai tingkatan ini,” jengek Jing-bau-khek.

Tapi dengan tertawa Ui-bi-ceng menjawab lagi, "Permainan catur memang harus mengadu kecerdasan. Yang pintar pura-pura bodoh, mahir juga berlagak tak bisa. Kalau tingkatan permainanku diketahui Sicu, lalu buat apa pertandingan ini diadakan?”

"Huh, main licik, main sulap di bawah lengan baju,” sindir Jing-bau-khek pula. Rupanya ia pun menduga Bohtin yang mondar-mandir dan memegang punggung gurunya itu pasti sedang main gila. Cuma dia sedang mencurahkan perhatiannya di atas papan catur, terpaksa ia tak bisa mengurus apa yang terjadi di samping.

Untuk selanjutnya Ui-bi-ceng lantas menjalankan enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banyak pikir,

ia mengerahkan sepenuh tenaga jarinya untuk menekan enam biji catur itu di atas batu hingga lekuknya lebih dalam serta lebih bulat.

Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat, Jing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras otak memikirkan langkah-langkah perlawanan, kini terpaksa ia mesti bertahan saja sekuatnya, lingkaran yang digores di atas batu dengan tongkat bambu itu tidak sedalam tadi lagi.

Di luar dugaan, ketika mesti menjalankan langkah keenam sesudah giliran Ui-bi-ceng, mendadak ia berpikir lama, habis itu, tiba-tiba ia jalankan bijinya pada suatu tempat yang tak tersangka-sangka dan sama sekali di luar taksiran Toan Ki.

Keruan Ui-bi-ceng melongo, pikirnya, "Pemikiran ketujuh langkah Toan-kongcu ini sangat teliti dan bagus, tampaknya aku sudah mulai mendesaknya, tapi dengan perubahan yang mendadak dan hebat ini, rasanya langkahku yang ketujuh ini tak bisa dijalankan lagi dan bukankah akan sia-sia saja serangan-serangan tadi?”

Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main catur memang Jing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-biceng atau si Padri Beralis Kuning, maka begitu ia melihat gelagat jelek, segera ia mengadakan perubahan siasat, ternyata ia tidak mau masuk perangkap yang diatur Toan Ki itu. Keruan yang kelabakan adalah Ui-biceng.

Melihat perubahan di luar dugaan itu, pula tampak gurunya berpikir sampai lama masih belum mendapatkan akal yang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu pula, dengan perlahan ia uraikan keadaan percaturan itu kepada Toan Ki serta meminta petunjuknya.

Toan Ki pikir sejenak, segera ia pun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur tangannya agar bisa ditulis lagi petunjuk di atas telapak tangan.

Boh-tin menurut dan ulurkan tangannya ke dalam rumah batu itu. Tapi baru saja Toan Ki mencorat-coret beberapa kali di telapak tangan orang, sekonyong-konyong antero badannya terasa berguncang, dari perutnya mendadak terasa ada hawa panas menerjang ke atas hingga seketika mulutnya terasa kering, matanya berkunang-kunang. Tanpa pikir lagi tangannya mencengkeram sekenanya hingga tangan Boh-tin tadi dipegangnya erat-erat.

Tentu saja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannya digenggam Toan Ki dengan kencang, ia menjadi lebih kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui telapak tangan yang digenggam orang itu. Saking kejutnya terus saja ia berteriak, "Hei, Toan-kongcu, apa yang kau lakukan ini?”

Perlu diketahui, setiap orang yang berlatih ilmu silat yang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh sangat besar sangkut-pautnya dengan jiwanya, semakin kuat hawa murninya, semakin tinggi pula ilmu Lwekangnya. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun orangnya tidak mati, tentu juga seluruh ilmu silatnya akan kandas dan mirip orang cacat selama hidup.

Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin, masih berbadan jejaka, selama berpuluh tahun ia giat berlatih Lwekang, maka hawa murni dalam tubuhnya boleh dikatakan kuat luar biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannya menempel tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnya seakan-akan air bah yang bobol tanggulnya terus mengalir keluar tanpa bisa dicegah sama sekali.

Ia membentak berulang-ulang untuk tanya, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri. Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannya, tapi aneh bin ajaib, kedua tangan itu seperti lengket menjadi satu, betapa pun sukar dipisahkan lagi, dan hawa murni dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak mau berhenti.

Kiranya "Bong-koh-cu-hap” atau katak merah bersuara kerbau yang dimakan oleh Toan Ki itu mempunyai semacam khasiat aneh pembawaan yang bisa mengisap ular beracun dan serangga berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan campuran dari bermacam-macam ular berbisa hingga beberapa keturunan.

Jilid 13
Ciong Ban-siu suami-istri dan Ciong Ling cuma tahu bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular, tapi tidak tahu bila orang memakannya, maka akan timbul reaksi aneh pada tubuh orang yang memakannya itu.

Namun hendaklah maklum juga bahwa secara kebetulan Toan Ki bermaksud membunuh diri hingga secara ngawur pula telah makan katak-katak aneh itu. Kalau tidak, coba siapakah orangnya yang berani makan binatang yang dapat mengalahkan ular-ular berbisa itu?

Sesudah Toan Ki makan sepasang katak merah itu, segera timbul pertentangan dengan racun Im-yang-ho-hapsan yang bekerja di dalam perut itu. Hawa positif atau kelakiannya menjadi luar biasa kerasnya hingga sukar ditahan, bahkan timbul pula semacam sifat istimewa yang bisa menyedot hawa murni orang lain.

Waktu itu hawa murni Boh-tin masih terus-menerus mengalir ke tubuh Toan Ki, seumpama Toan Ki dalam keadaan sadar, pemuda itu pun tidak bisa menggunakan tenaga dalam untuk melepaskan tangan Boh-tin, apalagi ia dalam keadaan tak sadar, hakikatnya ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Boh-tin menjadi kelabakan ketika merasa hawa murninya terus mengalir keluar, terpaksa ia berteriak-teriak, "Tolong, Suhu, tolong!”

Mendengar itu, kelima murid Ui-bi-ceng yang lain cepat berlari mendekati Boh-tin, tapi karena tidak kelihatan apa yang terjadi di dalam rumah batu itu, mereka hanya ribut dan tanya, "Ada apa, Sute?”

"Tang ... tanganku!” seru Boh-tin sambil berusaha hendak menarik kembali tangannya sekuatnya. Namun waktu itu hawa murninya sudah hilang 8-9 bagian, untuk bersuara saja hampir tak kuat, apalagi hendak menarik tangan?

Boh-ban Hwesio, itu murid keenam, tanpa pikir terus ikut pegang tangan sang Suheng dengan maksud membantu menarik.

Tak tersangka, begitu tangan menempel, kontan seluruh badannya ikut tergetar seperti terkena aliran listrik, hawa murni dalam tubuhnya juga bergolak mengalir keluar, keruan ia kaget dan berteriak-teriak, "Aduh, celaka!”

Kiranya secara tidak sengaja Toan Ki telah makan sepasang katak ajaib itu hingga timbul semacam "Cu-hapsin-kang” atau tenaga sakti katak merah dalam badannya yang mempunyai daya sedot yang tak terbatas kuatnya. Siapa yang dipegangnya, lantas diisapnya. Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang yang tersedot itu, secara kontan hawa murninya juga akan ikut disedot seperti kena arus listrik ....

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali bercerita tentang ketiga tokoh kerajaan Tayli, yaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma Hoan Hua dan Sugong Pah Thian-sik.

Sesudah mereka menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, mereka lantas pilih tempat yang direncanakan dan terus menggangsir liang di bawah tanah.

Sebenarnya Ban-jiat-kok itu ada yang jaga, tapi sejak kuburan yang merupakan pintu masuk itu dibabat rata oleh orang-orang yang dibawa Po-ting-te, tempat itu menjadi bebas untuk keluar-masuk tanpa rintangan.

Setelah menggali semalaman, sudah berpuluh meter terowongan yang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli menggangsir, dibantu lagi jago seperti Pah Thian-sik dan Hoan Hua, tentu saja kemajuan mereka sangat pesat, mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi ransum dan air minum sudah tersedia hingga mereka tidak kekurangan perbekalan.

Hari kedua mereka menggali pula sepanjang hari, sampai petangnya, mereka taksir sudah tidak jauh lagi jaraknya dengan rumah batu yang mereka tuju. Mereka tahu ilmu silat Yan-king Taycu sangat tinggi, alat-alat gali mereka harus bekerja perlahan supaya tidak mengeluarkan suara. Sebab bagi orang yang Lwekangnya tinggi, biarpun dalam keadaan tidur pulas juga akan terjaga bangun bila mendengar sedikit suara berisik. Karena kekhawatiran itu, kemajuan mereka lantas banyak dilambatkan.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Yan-king Taycu justru lagi pusatkan perhatiannya untuk mengukur kepandaian catur Ui-bi-ceng disertai adu tenaga dalam, maka takkan dapat merasakan suara yang timbul dari bawah tanah.

Kiranya waktu Ui-bi-ceng melihat keenam muridnya berkerumun di luar rumah batu dengan ribut-ribut, tampaknya terjadi sesuatu yang aneh, ia menyangka Yan-king Taycu telah pasang perangkap apa-apa di depan rumah batu itu hingga murid-muridnya itu telah terjebak. Maka katanya segera, "Sicu terlalu banyak bertingkah yang aneh-aneh, Loceng harus pergi ke sana melihatnya dulu.”

Sembari berkata, ia terus berbangkit.

Tak terduga Jing-bau-khek justru tidak mau melepaskannya, tiba-tiba tongkat kiri diangkat terus menutuk ke iga kiri Ui-bi-ceng sambil berkata, "Babak catur ini belum selesai, jika Taysu mau mengaku kalah, boleh silakan pergi.”

Cepat Ui-bi-ceng angkat tangan kiri terus hendak pegang ujung tongkat orang. Namun tongkat Jing-bau-khek lantas ditarik kembali, menyusul ujung tongkat itu bergetar sambil menutuk pula ke bawah dada si padri. Mendadak Ui-bi-ceng memotong ke bawah dengan telapak tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali lagi serta berubah pula dengan gerak serangan lain. Hanya sekejap saja kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa jurus.

Sungguh celaka bagi keenam murid Ui-bi-ceng itu, seperti terkena aliran listrik saja, satu sama lain telah melengket tersedot oleh Cu-hap-sin-kang yang tiba-tiba timbul dalam tubuh Toan Ki. Sebaliknya Ui-bi-ceng yang sedang mencapai titik menentukan mati-hidup dalam pertandingannya melawan catur dan Lwekang tokoh utama dari Su-ok itu terpaksa tak bisa juga menolong murid-muridnya itu.

Ui-bi-ceng pikir tongkat orang menang panjang, terang lebih leluasa dibuat menyerang. Sementara itu tongkat itu tampak sedang menutuk lagi ke arahnya, tanpa pikir lagi ia pun ulur jari tengah, ia incar ujung tongkat orang dan menutuk juga.

Jing-bau-khek tidak menghindar, ia benturkan ujung tongkatnya pada ujung jari lawan. Keduanya saling mengadu tenaga dalam masing-masing. Dan baru sekarang Ui-bi-ceng mengerti bahwa di tengah tongkat orang itu dipasang pula dengan lonjoran besi, pantas saja begitu keras. Dan meski tongkat itu digencet oleh dua tenaga raksasa dari dua ahli Lwekang yang tinggi toh tidak tampak bengkok sedikit pun.

"Wah, rupanya ini adalah langkah simpanan Taysu yang tidak sembarangan dikeluarkan, lalu, apakah percaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah sekarang?” kata Jing-bau-khek.

"Haha, belum tentu aku akan kalah,” sahut Ui-bi-ceng terbahak-bahak, berbareng jari kanan lantas menutul lagi sekali di atas batu hingga menambah lagi satu lekukan.

Tapi Jing-bau-khek tanpa pikir juga balas menggores lagi satu kali. Dengan demikian, di samping mengadu Lwekang, kedua orang sambil bertanding catur pula. Ui-bi-ceng sadar dalam keadaan demikian bila mesti memikirkan pula keselamatan murid-muridnya, mungkin jiwa sendiri akan melayang lebih dulu. Padahal munculnya sekali ini adalah untuk memenuhi undangan Po-ting-te.

Sepuluh tahun yang lalu Ui-bi-ceng pernah memohon kemurahan hati Po-ting-te agar suka menghapuskan pungutan pajak garam rakyat, dan harapan itu baru sekarang diluluskan, meski kedua orang tidak bicara secara terang, namun sebagai timbal baliknya sudah pasti Ui-bi-ceng harus menolong Toan Ki.

Sebab itulah Ui-bi-ceng tidak berani pencarkan perhatiannya untuk mengurus keadaan murid-muridnya itu. Ia sudah bertekad, sekalipun jiwa sendiri harus melayang, Toan Ki harus diselamatkan demi memenuhi janji kepada Toan Cing-beng. Maka ia cuma kerahkan tenaga dalam untuk menandingi musuh di samping asyik memikirkan catur yang tegang itu, sekuat tenaga ia bertahan mati-matian.

Dalam pada itu "Cu-hap-sin-kang” dari Toan Ki yang mempunyai daya sedot luar biasa itu, setelah hampir kering mengisap hawa murni Boh-tin Hwesio, kemudian ditambah lagi menempelnya Boh-ban Hwesio, sekaligus korban kedua lantas disedot pula hawa murninya.

Keruan terjadilah sesuatu yang hebat, sebagai seorang yang sama sekali tidak pernah belajar silat, seketika Toan Ki telah berubah menjadi seorang yang memiliki tenaga dalam berpuluh tahun lamanya.

Murid Ui-bi Hwesio yang pertama bernama Boh-tam dan kedua Boh-ay, kedua orang itu menjadi panik demi melihat gelagat kedua Sutenya tidak benar, cepat mereka pun mendekat, yang satu hendak menarik Boh-tin dan yang lain membetot Boh-ban.

Akan tetapi, dengan sendirinya mereka pun ikut tersedot pula oleh Cu-hap-sin-kang yang lihai.

Boh-tam dan Boh-ay terhitung paling tinggi Lwekangnya di antara murid-murid Ui-bi-ceng itu. Ketika merasa hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir keluar, cepat mereka pusatkan tenaga untuk menahan, meski sesaat itu mereka masih bisa bertahan hingga hawa murni tidak membanjir keluar disedot Toan Ki, namun jangan sekali-kali mereka lengah, asal sedikit ayal, segera hawa murni merembes keluar lagi.

Tatkala itu Toan Ki masih tetap tak sadar, badannya panas bagai dibakar penuh hawa murni yang bergolak. Semakin banyak hawa murni dari keempat Hwesio itu mengalir masuk ke tubuhnya, semakin kuat pula daya isap Cu-hap-sin-kang yang hebat itu.

Syukurlah pula dasarnya dia tidak bermaksud menyedot hawa murni korban-korbannya itu, maka Boh-tam dan Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena sedikit demi sedikit masih terasa merembes, sedikit-sedikit akhirnya menjadi banyak juga, itu berarti daya tahan sendiri semakin berkurang, sebaliknya daya sedot lawan bertambah kuat, maka sampai akhirnya perembesan hawa murni mereka pun semakin deras keluarnya.

Murid keempat dan murid kelima masing-masing bernama Boh-ti dan Boh-ek menjadi tertegun menyaksikan

Suheng dan Sute mereka yang celaka itu. Maksudnya ingin minta pertolongan sang guru, tapi gurunya sedang bertanding tenaga dalam dengan musuh, saat itu pun sudah mencapai titik menentukan hidup atau mati.

Keruan mereka kelabakan berlari ke sana ke sini tanpa berdaya. Sampai akhirnya, karena dorongan sesama saudara seperguruan, mereka pun tidak pikir panjang lagi dan segera ikut-ikut menarik Boh-tam dan Boh-ay sekuatnya.

Waktu itu Cu-hap-sin-kang sudah bertambah dengan tenaga murni dari Boh-tam, Boh-ay, Boh-tin dan Boh-ban berempat, betapa hebat daya sedotnya, sudah tentu tak mungkin dapat mereka tarik begitu saja. Bahkan kontan mereka berdua pun ikut tersedot dan melengket.

Sungguh sial bagi keenam padri itu, tanpa sengaja mereka ketemu Cu-hap-sin-kang, tenaga latihan selama berpuluh tahun mereka akan hilang dalam sekejap saja. Sambil masih melengket satu sama lain, mereka hanya bisa saling pandang saja dengan cemas. Bahkan saking pedihnya, Boh-ti dan Boh-ek sampai mengucurkan air mata ....

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali bercerita tentang ketiga tokoh Suma, Suto dan Sugong.

Menjelang magrib, menurut perhitungan Hoa Hek-kin galian mereka sudah sampai di bawah kamar batu di mana Toan Ki terkurung.

Tempat itu sangat dekat dengan tempat duduk Jing-bau-khek, maka kerja mereka harus lebih hati-hati lagi, sedikit pun tidak boleh menerbitkan suara. Karena itu Hoa Hek-kin lantas taruh sekopnya, ia gunakan jari tangan untuk mencakar tanah.

"Hou-jiau-kang” atau ilmu cakar harimau yang dilatih Hoa Hek-kin sangat lihai, kini dipakai mencakar tanah, mirip benar dengan garuk besi, sekali cakar lantas segumpal tanah kena dikeduknya. Hoan Hua dan Pah Thiansik mengikut di belakangnya untuk mengusung keluar tanah galian itu.

Kini arah yang digali Hoa Hek-kin tidak lagi menjurus maju, tapi dari bawah ke atas. Maka tahulah Thian-sik dan Hoan Hua bahwa pekerjaan mereka sudah dekat rampung. Dapat tidak menyelamatkan Toan Ki, tidak lama lagi akan ketahuan dengan pasti. Karena itu, hati mereka menjadi berdebar-debar.

Menggali tanah dari bawah ke atas dengan sendirinya jauh lebih mudah. Sedikit tanahnya longgar, segera longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat berdiri tegak, cara galinya menjadi lebih cepat lagi. Tapi setiap kali mengeruk sepotong tanah, ia lantas berhenti untuk mendengarkan apakah ada sesuatu suara di atas sana.

Tidak lama pula, Hek-kin menaksir tinggal belasan senti saja dengan permukaan tanah, kerjanya lantas dilambatkan lagi dengan hati-hati, perlahan ia korek lapisan tanah dan akhirnya dapat menyentuh sepotong papan kayu yang rata.

Ia menjadi heran bahwa lantai rumah bukan dari batu, tapi papan kayu. Namun dengan begitu menjadi lebih leluasa lagi bagi kerjanya.

Segera Hek-kin kerahkan tenaga pada ujung jarinya, perlahan ia mengorek satu lubang persegi pada papan kayu itu hingga cukup untuk dibuat masuk keluar tubuh orang. Ia memberi tanda siap kepada kedua temannya, lalu mengendurkan tangannya yang menyanggah papan lubang yang sudah dipotong itu, dengan sendirinya potongan papan itu lantas jatuh sendiri ke bawah, segera Hek-kin ulurkan sekopnya ke atas melalui lubang itu sambil diabat-abitkan untuk menjaga kalau diserang musuh dari atas.

Di luar dugaan, bukannya diserang dari atas, tapi lantas terdengar jeritan kaget seorang wanita di atas situ.

"Jangan bersuara, Boh-kohnio, kawan sendiri yang datang untuk menolongmu!” demikian bisik Hek-kin perlahan sambil melompat ke atas melalui lubang papan itu.

Tapi kejutnya sungguh tak terkira ketika mengetahui bahwa kamar itu ternyata bukan rumah batu yang dituju itu.

Kamar itu banyak lemari dan meja yang penuh botol obat. Di pojok sana tampak seorang gadis cilik meringkuk dengan ketakutan.

Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa mereka salah gali. Rumah batu yang dikatakan Pah Thian-sik itu hanya didengarnya dari cerita Po-ting-te, maka rencana mereka itu didasarkan pada taksiran belaka, dan kini ternyata kesasar.

Kiranya kamar yang mereka masuki itu adalah kamar kerjanya Ciong Ban-siu dan gadis cilik itu bukan lain adalah Ciong Ling.

Gadis itu senantiasa berusaha mencari obat penawar di kamar kerja ayahnya guna menolong Toan Ki. Ia tidak tahu "Im-yang-ho-hap-san” itu tidak bisa sembarangan disembuhkan dengan obat penawar, tapi ada cara penyembuhan yang istimewa. Dengan sendirinya biarpun Ciong Ling mengubrak-abrik kamar obat ayahnya tetap tak bisa mendapatkan sesuatu obat penawar yang diharapkan.

Waktu itu ayah-bundanya sedang menjamu tamu di ruangan depan, maka diam-diam Ciong Ling masuk kamar ayahnya untuk mencari lagi. Siapa duga mendadak lantai kamar itu berlubang, menyusul sebatang sekop menyelonong keluar, bahkan terus melompat keluar pula seorang laki-laki tak dikenal, keruan kaget Ciong Ling tak terperikan.

Hoa Hek-kin bisa berpikir cepat, sekali sudah salah gali, terpaksa harus gali pula ke jurusan lain. Jejaknya sudah diketahui, kalau nona cilik ini dibunuh, tentu mayatnya akan diketemukan orang di sini dan segera pasti akan diadakan penggeledahan secara besar-besaran, jika hal itu terjadi, mungkin dirinya akan diketemukan sebelum berhasil menggali sampai di rumah batu itu. Rasanya jalan paling baik harus gondol gadis cilik ini ke dalam lorong di bawah tanah, bila orang lain kalau mencari gadis ini, tentu akan mencarinya di luar sana.

Dan pada saat itulah, tiba-tiba di luar kamar ada suara tindakan orang. Cepat Hek-kin goyang tangan kepada Ciong Ling dengan maksud agar gadis itu jangan bersuara, lalu ia putar tubuh dengan lagak seperti hendak menerobos ke dalam lubang. Tapi mendadak terus melompat ke belakang, segera mulut Ciong Ling didekapnya, menyusul badan gadis itu lantas diangkat ke tepi lubang terus dimasukkan ke bawah. Di situ Hoan Hua lantas menyambutnya.

Setelah ikut melompat ke bawah lubang lagi, cepat Hek-kin jejal mulut Ciong Ling dengan secomot tanah, keruan gadis itu kelabakan. Namun Hek-kin tak urus lagi, ia tutup kembali lubang papan tadi, lalu mendengarkan apa yang terjadi di atas.

Kejadian itu berlangsung dengan cepat luar biasa, dalam keadaan kaget dan takut, Ciong Ling menjadi bingung hingga tidak tahu apa maksud tujuan orang menculiknya. Apalagi mulutnya dijejali tanah, ia menjadi gelagapan tak bisa bersuara lagi.

Sementara itu terdengar ada dua orang telah masuk ke dalam kamar, yang seorang tindakannya berat, yang lain sangat enteng. Lalu suara seorang laki-laki lagi berkata, "Terang cintamu padanya belum lenyap seluruhnya, kalau tidak, sengaja kurusak nama baik keluarga Toan, mengapa kau merintangiku?”

"Belum lenyap apa segala, hakikatnya aku tidak cinta padanya,” sahut seorang perempuan.

"Jika demikian, itulah yang kuharapkan,” kata laki-laki tadi dengan penuh rasa syukur dan girang.

Maka terdengar wanita itu berkata pula, "Tapi nona Bok adalah putri kandung Suciku, meski tabiatnya agak kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun betapa pun juga adalah orang sendiri. Kau mau bikin susah Toan-kongcu aku tidak urus, tapi nona Bok juga akan kau korbankan nama baiknya sehingga selama hidupnya bakal merana, itulah aku tak bisa tinggal diam.”

Mendengar sampai di sini, tahulah Hek-kin kedua orang yang berbicara itu adalah suami-istri Ciong Ban-siu. Mendengar pembicaraan mereka menyangkut dirinya Toan Ki, segera ia pasang kuping lebih cermat.

Terdengar Ciong Ban-siu lagi berkata, "Sucimu berusaha melepaskan pemuda itu, untung dipergoki Yap Ji-nio dan sekarang dia bermusuhan dengan kita, mengapa kau malah ingin mengurus putrinya itu? A Po, para tamu di depan itu adalah tokoh Bu-lim kenamaan semua, tanpa pamit kau tinggal masuk kemari, bukankah kelakuanmu ini agak kurang sopan?”

"Hm, untuk apa engkau mengundang orang-orang macam begitu?” dengan kurang senang Ciong-hujin menegur. "Huh, Lo-kang-ong Cin Goan-cun, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng, murid utama Tiam-jong-pay Liu Cu-hi, Co Cu-bok dan Siang-jing tokoh dari Bu-liang-kiam dan ada lagi guru silat Be Ngo-tek apa segala, memangnya kau sangka orang-orang macam demikian berani main gila kepada Sri Baginda Raja Tayli sekarang?”

"Aku tidak bermaksud mengundang mereka untuk ikut memberontak pada Toan Cing-beng,” demikian Ciong Ban-siu menjawab. "Hanya secara kebetulan aku melihat mereka berada di sekitar sini, lantas kuundang mereka kemari untuk meramaikan suasana saja agar bisa ikut menjadi saksi bahwa putra-putri Toan Cing-sun tidur sekamar. Malahan di antara hadirin itu terdapat pula Hui-sian dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu dari Taykak-si, Oh-pek-kiam Su An. Orang-orang ini adalah tokoh di daerah Tionggoan. Besok beramai-ramai kita pergi membuka rumah batu itu, biar semua orang menyaksikan betapa bagus perbuatan keturunan keluarga Toan yang terpuji itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan tersiar luas di dunia Kangouw dengan cepat? Hahahaha!”

"Huh, rendah dan memalukan!” jengek Ciong-hujin.

"Kau maki siapa yang rendah dan memalukan?” tanya Ban-siu.

"Siapa yang berbuat rendah dan tidak kenal malu, dia manusia yang rendah dan memalukan,” sahut Cionghujin mendongkol.

"Benar, keparat Toan Cing-sun itu selama hidupnya banyak berbuat dosa, tapi akhirnya putra-putri sendiri berbuat tidak senonoh, haha, memang rendah dan memalukan!”

"Kau sendiri tidak mampu mengalahkan orang she Toan, selama hidup sembunyi di lembah ini dan pura-pura mati, namun maklum, engkau masih tahu diri dan terhitung seorang laki-laki yang kenal malu. Tapi sekarang kau sengaja mempermainkan putra-putri orang yang bukan tandinganmu, bila diketahui kesatria-kesatria seluruh jagat, mungkin orang yang akan ditertawai bukan dia, melainkan engkau sendiri!”

Keruan Ciong Ban-siu berjingkrak, teriaknya gusar, "Jadi ... jadi maksudmu aku yang rendah dan memalukan?”

Tiba-tiba Ciong-hujin mengucurkan air mata, sahutnya terguguk-guguk, "Sungguh tidak nyana bahwa suamiku adalah orang sedemikian gagah perwira!”

Sebenarnya Ciong Ban-siu memang sangat cinta pada istrinya ini, sebabnya dia benci dan dendam pada Toan Cing-sun juga disebabkan rasa cemburunya, kini melihat sang istri menangis, ia menjadi kelabakan, sahutnya cepat, "Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku, makilah sepuasmu.”

Habis berkata, ia mondar-mandir di dalam kamar, pikirnya hendak mengucapkan sesuatu untuk minta maaf pada sang istri, tapi seketika tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tiba-tiba ia melihat botol obat di lemari pada sudut kamar sana berserakan tak teratur, segera ia mengomel, "Hm, Ling-ji ini benar-benar kurang ajar, masih kecil sudah tanya tentang ‘Im-yang-ho-hap-san’ apa segala, sekarang berani mengubrak-abrik lagi kamarku.”

Sembari berkata, ia terus mendekati lemari obat untuk membetulkan botol-botol obat yang tak keruan itu dan tanpa sengaja sebelah kakinya mendadak menginjak di atas papan yang dilubangi Hoa Hek-kin. Keruan Hekkin kaget, cepat ia menyanggah dari bawah sekuatnya agar tidak diketahui orang.

"Di mana Ling-ji?” tiba-tiba Ciong-hujin tanya. "Selama beberapa hari ini banyak kedatangan orang jahat, Ling-ji harus diperingatkan jangan sembarang keluar. Aku lihat mata maling In Tiong-ho itu selalu mengincar Ling-ji saja, kukira kau pun harus hati-hati.”

"Aku hanya hati-hati menjaga engkau seorang, wanita cantik seperti engkau, siapa yang tidak menaksir padamu?” demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.

"Cis!” semprot nyonya Ciong. Lalu ia berseru memanggil, "Ling-ji!”

Segera seorang pelayan mendekat dan memberi tahu bahwa barusan saja sang Siocia berada di situ.

"Coba cari dan undang kemari,” perintah Ciong-hujin.

Sudah tentu Ciong Ling mendengar semua percakapan ayah-bundanya itu. Tapi apa daya, mulut tersumbat tanah, sama sekali tak dapat bersuara, hanya dalam hati kelabakan setengah mati.

Dalam pada itu terdengar Ciong Ban-siu lagi berkata pada sang istri, "Engkau mengaso saja di sini, aku akan keluar mengawani tamu.”

"Hm, kau berjuluk ‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat orang lantas membunuh), kenapa sesudah tua lantas ‘Kian-jinciu-bah’ (melihat orang lantas takut)?” sindir Ciong-hujin.

Ban-siu tidak berani marah, sambil menyengir kuda ia tinggal keluar ke ruangan depan.

Dalam pada itu, di kota Tayli dengan gembira rakyat sedang merayakan dihapuskannya cukai garam.

Hendaklah maklum bahwa produksi garam di wilayah Hunlam sangat terbatas, seluruh negeri hanya ada sembilan sumur garam, yaitu sumber penghasil garam yang terdapat di daratan Tiongkok bagian barat daya. Maka setiap tahun kerajaan Tayli mengimpor sebagian besar garam dari daerah Sucoan dengan cukai garam yang berat, bahkan sebagian besar dari penduduk di pinggiran negeri itu dalam setahun hampir setengah tahun mesti makan secara tawar tanpa garam.

Po-ting-te tahu bila cukai garam sudah dihapuskan, tentu Ui-bi-ceng akan berusaha menyelamatkan Toan Ki untuk membalas kebijaksanaannya itu. Biasanya Po-ting-te sangat kagum terhadap ilmu silat serta kecerdikan Ui-bi-ceng itu, keenam anak muridnya pun memiliki ilmu silat yang tinggi, jika guru dan murid bertujuh orang keluar sekaligus, pasti akan gol usaha mereka.

Tak terduga, sesudah ditunggu sehari semalam, ternyata tiada sedikit pun kabar yang diperoleh, hendak memerintahkan Pah Thian-sik pergi mencari tahu, siapa sangka Pah-sugong dan Hoa-suto serta Hoan-suma juga ikut menghilang tanpa pamit.

Keruan Po-ting-te menjadi khawatir, pikirnya, "Jangan-jangan Yan-king Taycu memang teramat lihai hingga Ui-bi Suheng bersama murid-muridnya dan ketiga pembantuku telah terjungkal semua di Ban-jiat-kok?”

Karena itu, segera ia undang berkumpul adik pangeran Toan Cing-sun dan permaisuri, Sian-tan-hou Ko Singthay serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, lalu diajak berangkat ke Ban-jiat-kok pula.

Karena khawatirkan keselamatan sang putra, Si Pek-hong minta Po-ting-te suka mengerahkan pasukan untuk menyapu bersih Ban-jiat-kok, namun sang raja yang bijaksana itu tidak setuju, ia ingin pertahankan kehormatan dan nama baik keluarga Toan sebagai tokoh utama dunia persilatan, kalau tidak terpaksa, ia tetap bertindak menurut peraturan Kangouw.

Dan baru saja rombongan mereka sampai di mulut lembah yang dituju, tertampaklah In Tiong-ho memapak mereka dengan tertawa, ia memberi hormat lebih dulu, lalu berkata, "Selamat datang! Ciong-kokcu menduga Paduka Yang Mulia hari ini pasti akan berkunjung kemari lagi, maka Cayhe disuruh menanti di sini. Bila kalian datang bersama pasukan secara besar-besaran, kami lantas angkat langkah seribu. Tapi bila kalian datang menurut peraturan Kangouw, maka kalian disilakan masuk untuk minum dulu!”

Melihat pihak lawan sedemikian tenang, terang sudah siap sedia sebelumnya, tidak seperti tempo hari, begitu datang lantas saling labrak, maka diam-diam Po-ting-te tambah khawatir dan lebih prihatin. Segera ia membalas hormat dan berkata, "Terima kasih atas penyambutanmu!”

Segera In Tiong-ho mendahului dan membawa rombongan Po-ting-te ke ruangan tamu. Begitu melangkah masuk ke ruangan pendopo itu, Po-ting-te lantas melihat ruangan itu sudah banyak berkumpul tokoh-tokoh Kangouw, kembali ia tambah waswas.

Segera In Tiong-ho berteriak, "Ciangbunjin Thian-lam Toan-keh Toan-losu tiba!”

Ia tidak bilang "Paduka Yang Mulia Raja Tayli”, tapi menyebutkan gelar keluarga Toan dalam kalangan Bulim, suatu tanda ia sengaja menyatakan segala tindak tanduk selanjutnya harus dilakukan menurut peraturan Bu-lim.

Nama Toan Cing-beng sendiri dalam Bu-lim memang terhitung juga seorang tokoh terkemuka dan disegani. Maka begitu mendengar namanya, seketika hadirin berbangkit sebagai tanda menyambut. Hanya Lam-haygok-sin yang masih duduk seenaknya di tempatnya sambil berseru, "Kukira siapa, tak tahunya Hongte-loji (si tua raja) yang datang! Baik-baikkah kau?”

Sebaliknya Ciong Ban-siu lantas melangkah maju dan menyapa, "Ciong Ban-siu tidak keluar menyambut, harap Toan-losu suka memaafkan!”

"Ah, jangan sungkan!” sahut Po-ting-te.

Oleh karena pertemuan ini dilakukan secara orang Bu-lim, maka ketika disilakan duduk, Toan Cing-sun dan

Ko Sing-thay lantas duduk di sisi Po-ting-te, sedang Leng Jian-li berempat berdiri di belakang Po-ting-te, segera pula pelayan menyuguhkan minuman.

Melihat Ui-bi-ceng dan murid-muridnya serta Pah Thian-sik bertiga tidak tampak di situ, diam-diam Po-ting-te pikir cara bagaimana harus buka mulut untuk menanyakannya.

Sementara itu Ciong Ban-siu lantas buka suara, "Atas kunjungan kedua kalinya dari Toan-ciangbun ini, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Mumpung ada sekian banyak kawan Bu-lim berkumpul di sini, biarlah kuperkenalkan satu per satu kepada Toan-ciangbun.”

Habis berkata, segera Ban-siu memperkenalkan Co Cu-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian Hwesio dan lain-lain kepada raja Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak kenal, tapi ada juga yang pernah mendengar namanya.

Setiap orang yang diperkenalkan itu lantas saling memberi hormat pula dengan Po-ting-te. Be Ngo-tek, Co Cubok dan kawan-kawannya sangat menghormat dan merendah diri terhadap Po-ting-te, sebaliknya Liu Cu-hi, Cin Goan-cun dan begundalnya bersikap sangat angkuh. Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan lain-lain memandang Po-ting-te sebagai kaum Cianpwe, mereka tidak terlalu merendahkan derajat sendiri juga tidak menjilat orang.

Lalu Ciong Ban-siu berkata lagi, "Mumpung Toan-ciangbun sempat berkunjung kemari, sudilah kiranya tinggal lebih lama barang beberapa hari di sini, agar para saudara bisa minta petunjuk.”

"Keponakanku Toan Ki berbuat salah pada Ciong-kokcu dan ditahan di sini, kedatanganku hari ini pertama adalah ingin mintakan ampun bagi bocah itu, kedua ingin minta maaf juga. Harap Ciong-kokcu suka memandang diriku, sudilah mengampuni anak yang masih hijau itu, untuk mana aku merasa terima kasih sekali,” demikian jawaban Po-ting-te.

Mendengar itu, diam-diam para kesatria sangat kagum, pikir mereka, "Sudah lama kabarnya Toan-hongya dari Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim dengan peraturan Bu-lim pula, dan nyatanya memang tidak omong kosong. Padahal wilayah ini masih di bawah kekuasaan Tayli, bila dia mengirim beberapa ratus prajuritnya sudah cukup untuk membebaskan keponakannya itu, tapi dia justru datang sendiri untuk memohon secara baik-baik.”

Dalam pada itu Ciong Ban-siu sedang terbahak-bahak, belum lagi menjawab, tiba-tiba Su An telah menyela, "Hah, kiranya Toan-kongcu berbuat salah sesuatu kepada Ciong-kokcu, jika demikian, untuk itu kuikut mohon ampun baginya, sebab aku pernah mendapat pertolongan dari Toan-kongcu.”

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar mendadak, bentaknya, "Urusan muridku, buat apa kau ikut cerewet?”

"Toan-kongcu adalah gurumu dan bukan muridmu,” cepat Ko Sing-thay menjawabnya dengan mengejek. "Kau sendiri sudah menyembah dan mengangkat guru padanya, apa sekarang kau hendak menyangkal?”

Muka Lam-hay-gok-sin menjadi merah, ia memaki, "Keparat, Locu takkan menyangkal. Hari ini biar Locu membunuh juga Suhu yang cuma namanya saja, tapi kenyataannya tidak. Hm, masakah Locu mempunyai seorang guru macam begitu, bisa mati kaku aku!”

Karena tidak tahu seluk-beluknya, keruan semua orang merasa bingung oleh tanya jawab itu.

Kemudian Si Pek-hong ikut bicara, "Ciong-kokcu, lepaskan putraku atau tidak, hanya bergantung satu kata ucapanmu saja.”

"Oya, tentu saja kulepaskan dia, tentu kulepaskan!” sahut Ciong Ban-siu dengan tertawa. "Buat apa kutahan putramu itu?”

"Benar,” tiba-tiba In Tiong-ho menimbrung. "Dasar Toan-kongcu tampan dan ganteng, sedangkan nyonya Ciong-kokcu sangat cantik ayu, kalau Toan-kongcu tinggal terus di lembah ini, apakah itu bukannya memiara serigala di kandang kambing dan cari penyakit sendiri? Maka sudah tentu Ciong-kokcu akan melepaskan bocah itu!”

Semua orang menjadi tercengang oleh kata-kata In Tiong-ho yang tidak kenal aturan dan tanpa tedeng alingaling itu, nyata suami-istri Ciong Ban-siu sama sekali tak terpandang sebelah mata olehnya, sungguh julukan "Kiong-hiong-kek-ok” atau jahat dan buas luar biasa, memang tidak bernama kosong.

Tentu saja Ciong Ban-siu menjadi murka, syukur ia masih bisa menahan diri, katanya sambil berpaling, "Inheng, kalau urusan di sini sudah selesai, pasti akan kubelajar kenal dengan kepandaianmu.”

"Bagus, bagus!” sahut In Tiong-ho tertawa. "Akan justru sudah lama ingin membunuh suaminya untuk mendapatkan istrinya, ingin kurebut hartanya serta mendiami lembahnya ini!”

Keruan para kesatria tambah terkesiap. Segera It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng berkata, "Para kesatria Kangouw kan belum mati seluruhnya, sekalipun kepandaian ‘Thian-he-su-ok’ kalian sangat tinggi, betapa pun takkan terhindarkan dari keadilan umum.”

Tiba-tiba Yap Ji-nio terbahak-bahak dengan suaranya yang nyaring, katanya, "Kim-siangkong, aku Yap Ji-nio tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa aku ikut-ikut disinggung, ha?”

Hati Kim Tay-peng tergetar oleh suara tertawa orang yang mengguncang sukma itu. Begitu juga Co Cu-bok berdebar-debar, terutama bila teringat putra sendiri hampir menjadi korban wanita iblis itu, tanpa terasa ia melirik sekejap pada tokoh kedua Su-ok itu.

Yap Ji-nio sedang terkikik tawa, katanya pula, "He, Co-ciangbun, baik-baikkah putramu itu, tentu kini tambah gemuk dan putih mulus bukan?”

Co Cu-bok tidak berani membantah, sahutnya tak jelas, "Ah, tempo hari ia masuk angin, sampai sekarang masih belum sehat.”

"O, kasihan!” ujar Ji-nio. "Biarlah nanti kujenguk putramu yang baik itu.”

Keruan Co Cu-bok terkejut, cepat ia goyang-goyang tangannya dan berkata, "Jang ... jangan, ti ... tidak usah!”

Sudah tentu ia khawatir, kalau orang benar-benar bermaksud baik menjenguk anaknya tentu tak mengapa, tapi kalau digondol lari lagi untuk diisap darahnya, kan celaka!

Melihat suasana begitu, diam-diam Po-ting-te membatin, "Rupanya kejahatan ‘Su-ok’ memang sudah keterlaluan dan banyak mengikat permusuhan, nanti kalau Ki-ji sudah diselamatkan, boleh juga sekalian cari kesempatan untuk membasminya. Yan-king Taycu dari Su-ok ini meski terhitung orang keluarga Toan, tapi akhirnya akan tiba juga hari tamatnya sesuai dengan julukannya ‘kejahatan sudah melebihi takaran’.”

Dan karena melihat pembicaraan orang-orang itu telah menyimpang dari persoalan pokok, segera Si Pek-hong berbangkit dan bicara lagi, "Ciong-kokcu, jika engkau sudah menyanggupi akan mengembalikan anakku, baiklah sekarang suruh dia keluar, biar kami ibu dan anak bisa bertemu kembali.”

Cepat Ciong Ban-siu juga berbangkit dan menyahut, "Baik!”

Mendadak ia menoleh dan mendelik pada Toan Cing-sun dengan penuh rasa dendam, katanya pula sambil menghela napas, "Toan Cing-sun, engkau mempunyai istri cantik dan putra tampan, mengapa engkau masih belum puas dan masih sok bangor? Jika hari ini harus menanggung malu di depan umum, itu adalah akibat

perbuatanmu sendiri dan jangan menyalahkan aku orang she Ciong.”

Pada waktu mendengar Ciong Ban-siu bersedia membebaskan Toan Ki begitu saja, Toan Cing-sun sudah sangsi urusan pasti takkan terjadi demikian sederhana, tentu musuh sudah mengatur sesuatu muslihat keji, maka demi mendengar ucapan Ban-siu itu, segera ia mendekati Kokcu itu dan menjawab tegas, "Ciong Bansiu, kau sendiri punya anak-istri, bila kau bermaksud membikin celaka orang, aku Toan Cing-sun pasti akan membikin kau menyesal selama hidup.”

Melihat sikap pangeran Tayli yang gagah perkasa dan agung itu, Ciong Ban-siu merasa dirinya semakin jelek, rasa siriknya bertambah menyala-nyala, segera teriaknya, "Urusan sudah begini, biarpun akhirnya Ciong Bansiu harus gugur dan rumah tangga hancur, betapa pun aku akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ayolah, kau ingin putramu, mari ikut padaku!”

Habis berkata, segera ia mendahului bertindak keluar.

Setelah beramai-ramai semua orang ikut Ciong Ban-siu sampai di depan pagar pohon yang lebat itu, In Tiongho sengaja pamer Ginkang, sekali lompat, segera ia melintasi pagar pohon yang tinggi itu.

Toan Cing-sun pikir urusan hari ini terang tak dapat diselesaikan secara damai, akan lebih baik sekarang juga memberi sedikit demonstrasi, agar pihak lawan tahu gelagat dan mundur teratur. Maka katanya segera, "Tioksing, penggal beberapa pohon itu, agar mudah dilalui semua orang!”

Jay-sin-khek Siau Tiok-sing, si Pencari Kayu, mengiakan sekali lalu mengayun kapaknya, sekali bacok, bagai pisau mengiris tahu saja, seketika sebatang pohon ditebang putus di dekat pangkalnya. Menyusul Tiam-jongsan-long hantamkan sebelah tangannya ke depan hingga pohon itu mencelat dan tersangkut di antara pohonpohon yang lain.

Beruntun-runtun tampak kapak bekerja cepat pula hingga dalam sekejap saja sudah ada lima batang pohon yang tumbang, maka berwujudlah sekarang sebuah pintu masuk.

Ciong Ban-siu menanam dan merawat pagar pohon itu selama bertahun-tahun dengan susah payah, tentu saja ia menjadi gusar pohon itu ditebang dan dirusak oleh Siau Tiok-sing. Tapi segera terpikir olehnya, "Orangorang she Toan dari Tayli hari ini bakal dibikin malu besar, buat apa aku mesti ribut urusan tetek bengek ini.”

Karena itu, tanpa bicara lagi ia lantas mendahului masuk melalui pintu pagar pohon yang bobol itu.

Maka tertampaklah segera di balik pohon sana Ui-bi-ceng dan Jing-bau-khek, yang satu menggunakan tangan kiri menahan ujung tongkat bambu yang lain, ubun-ubun kedua orang kelihatan mengepulkan kabut putih, terang kedua orang sedang mengadu Lwekang.

Mendadak Ui-bi-ceng mengulur tangan dan menekan sekali di atas papan batu di depan situ hingga berwujud suatu lekukan. Menyusul mana, hanya berpikir sejenak, Jing-bau-khek juga ikut menggores satu lingkaran kecil dengan tongkat bambunya.

Melihat itu segera Po-ting-te mengerti duduknya perkara. Kiranya Ui-bi Suheng itu di samping bertanding catur dengan Yan-king Taycu, berbareng juga mengadu Lwekang dengan tokoh utama dari Su-ok itu. Jadi mengadu otak dan tenaga secara berbareng, cara bertanding lain dari yang lain ini sesungguhnya sangat berbahaya. Pantas, makanya sudah ditunggu sehari semalam sang Suheng masih tiada kabar beritanya, rupanya pertandingan demikian itu sudah berlangsung selama sehari semalam dan masih belum ketahuan siapa akan menang atau kalah.

Sepintas lalu Po-ting-te melihat kedudukan di atas papan catur, kedua pihak sama-sama sedang menghadapi satu langkah sulit yang menentukan, rupanya Ui-bi-ceng berada di pihak terdesak, maka mati-matian padri itu sedang mencari jalan keluar bagi biji caturnya itu.

Waktu Po-ting-te menengok pula ke arah rumah batu, ia lihat keenam murid Ui-bi-ceng sedang duduk bersila di depan rumah dengan wajah pucat dan mata merem, mirip orang yang sudah hampir putus napas yang penghabisan. Keruan ia terkejut, pikirnya, "Apa barangkali keenam murid Suheng ini telah bergebrak dulu dengan Yan-king Taycu dan telah terluka parah semua?”

Segera ia mendekati mereka, ia coba periksa denyut nadi Boh-tam Hwesio, ia merasa denyut nadinya sangat lemah, seperti bergerak seperti tidak, seakan-akan setiap waktu bisa berhenti berdenyut.

Cepat Po-ting-te mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang keluar enam biji pil merah serta dijejalkan ke mulut keenam padri itu. Pil itu bernama "Hou-pek-wan,” sangat manjur untuk menyembuhkan luka dalam. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Boh-tam berenam bukanlah terluka dalam, tapi disebabkan antero hawa murni dalam tubuh mereka telah kering benar-benar tersedot oleh Cu-hap-sin-kang Toan Ki yang mahalihai itu. Pil itu digunakan tidak tepat pada penyakitnya, dengan sendirinya tidak berguna.

Dalam pada itu Cing-sun sedang berseru, "Jian-li, kalian berempat coba dorong batu besar itu, bebaskan Ki-ji dari dalam situ!”

Leng Jian-li berempat mengiakan, berbareng mereka lantas maju.

"Nanti dulu!” tiba-tiba Ciong Ban-siu mencegah. "Apakah kalian mengetahui siapa-apa saja yang terkurung di dalam rumah itu?”

Toan Cing-sun dan jago-jagonya itu belum tahu bahwa Bok Wan-jing juga sudah ditawan Yan-king Taycu serta dikurung bersama Toan Ki di dalam satu kamar.

Bahkan kedua muda-mudi itu telah dicekoki "Im-yang-ho-hap-san”, maka sama sekali mereka tidak curiga dan serentak hendak membebaskan Toan Ki dari penjara itu tanpa pikirkan apa yang bakal disaksikan orang banyak.

Kini demi mendengar ucapan Ciong Ban-siu itu, Cing-sun menjadi curiga, segera dampratnya, "Ciong-kokcu, bila kau berani bikin cacat sedikit pun atas diri putraku, hendaklah kau ingat bahwa engkau sendiri pun punya anak istri.”

Nyata yang dikhawatirkan adalah jangan-jangan Toan Ki telah disiksa atau dicacatkan sesuatu anggota badannya.

Maka dengan tertawa mengejek Ciong Ban-siu menjawab, "Hehe, memang benar orang she Ciong juga punya anak istri, cuma anakku adalah perempuan, untung aku tidak punya anak laki-laki, andaikan punya, anakku laki-laki takkan melakukan perbuatan binatang dengan anak perempuanku sendiri.”

"Kau sembarangan mengoceh apa?” bentak Cing-sun dengan gusar.

"Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing adalah putrimu dari hubungan gelap dengan wanita lain, bukan?” tanya Ban-siu dengan senyum ejek.

"Asal usul nona Bok pribadi, peduli apa kau ikut campur?” sahut Cing-sun dengan gusar.

"Hahaha, belum tentu bahwa aku yang suka ikut campur urusan,” sahut Ban-siu terbahak-bahak. "Keluarga Toan kalian merajai negeri Tayli, di kalangan Kangouw juga gilang-gemilang pula namanya. Tapi kini biarlah para kesatria seluruh jagat membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan bahwa putra dan putri Toan Cing-sun sendiri telah berbuat maksiat di antara sesama saudara sendiri, sungguh dunia sudah terbalik!”

Mendengar itu, rasa curiga Toan Cing-sun semakin menjadi, pikirnya, "Apa benar Jing-ji juga berada di dalam rumah ini dan bersama Ki-ji sudah .... sudah ....”

Ia tidak berani membayangkan lebih lanjut lagi, ia cocokkan ucapan Ciong Ban-siu dari mula hingga sekarang, agaknya berada bersamanya kedua putra-putrinya di dalam satu kamar itu tak perlu disangsikan lagi.

Keruan seketika badannya serasa dingin bagai kecemplung di sungai es, diam-diam ia mengeluh, "Betapa keji muslihat musuh ini!”

Dalam pada itu Ciong Ban-siu lantas memberi tanda kepada Lam-hay-gok-sin, segera mereka berdua mulai hendak mendorong batu besar yang menutupi pintu rumah itu.

"Nanti dulu!” seru Cing-sun sambil ulur tangan hendak merintangi.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio dan In Tiong-ho berbareng menyerangnya dari samping kanan dan kiri. Terpaksa Cing-sun angkat tangan menangkis, sedang Ko Sing-thay serentak pun menyusup maju untuk menangkis serangan In Tiong-ho.

Tak tersangka serangan kedua tokoh Su-ok itu hanya pancingan belaka, tangan yang satu pura-pura menyerang Toan Cing-sun, tapi tangan yang lain dipakai membantu mendorong batu besar penutup pintu itu.

Meski batu itu beratnya beribu kati, tapi di bawah dorongan tenaga bersama Ciong Ban-siu, Yap Ji-nio, Lamhay-gok-sin dan In Tiong-ho berempat, seketika batu itu menggelinding ke samping.

Tindakan mereka itu memang sudah direncanakan, maka sama sekali Toan Cing-sun tak mampu merintanginya. Di samping itu Cing-sun sendiri sebenarnya juga ingin lekas mengetahui keadaan putranya, maka tidak mencegah sekuat tenaga.

Dan begitu batu penutup pintu itu didorong ke pinggir, tertampaklah di dalam rumah batu itu gelap gulita belaka, sedikit pun tidak kelihatan pemandangan di dalam rumah.

"Huh, dua muda-mudi berada sendirian di dalam kamar segelap itu, dapat dibayangkan perbuatan apa yang akan dilakukan mereka!” demikian Ciong Ban-siu menjengek.

Baru lenyap ucapannya, tiba-tiba terlihat dari dalam rumah bertindak keluar seorang pemuda dengan rambut terurai, badan bagian atas telanjang, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki adanya? Bahkan di tangan pemuda itu membawa pula seorang wanita tak berkutik seperti orang yang tak sadarkan diri.

Melihat itu, alangkah malunya rasa Po-ting-te, Toan Cing-sun pun menunduk kepala, sedangkan Si Pek-hong mengembeng air mata sambil berkomat-kamit, "Karma! Hukum karma!”

Lekas Ko Sing-thay menanggalkan bajunya dengan maksud agar dipakai Toan Ki, sedang Oh-pek-kiam Su An mengingat pemuda itu pernah menolong jiwanya, ia merasa tidak tega kalau Toan Ki dibikin malu di depan orang banyak, maka cepat ia melompat maju untuk mengalingkan di depan pemuda itu.

Sebaliknya Ciong Ban-siu terbahak-bahak senang. Tapi mendadak suara tertawanya berubah menjadi jeritan kaget menyeramkan, "He, kau, Ling-ji?”

Mendengar suara teriakan itu, hati semua orang ikut terkesiap. Ketika semua orang memerhatikan apa yang terjadi, tertampak Ciong Ban-siu sedang menubruk ke arah Toan Ki terus hendak merampas wanita yang berada di pondongan pemuda itu.

Maka sekarang dapatlah semua orang melihat jelas wajah wanita yang dipondong Toan Ki itu, tampak umurnya lebih muda daripada Bok Wan-jing, tubuhnya juga lebih kecil mungil, mukanya masih kekanakkanakan, terang bukan Hiang-yok-jeh yang tersohor itu, tapi Ciong Ling, putri kesayangan Ciong Ban-siu sendiri.

Dalam kaget dan gusarnya, Ciong Ban-siu tidak mengerti sebab apa mendadak putri kesayangannya itu bisa berada di dalam situ, dengan cepat ia sambut putrinya itu dari pondongan Toan Ki. Tak terduga, begitu kedua tangannya menyentuh badan Ciong Ling, sekonyong-konyong tubuhnya tergetar hebat, tenaga murni dalam tubuh sendiri seakan-akan hendak terbang meninggalkan raganya.

Waktu itu Toan Ki sendiri belum lagi sadarkan diri, dalam keadaan samar-samar terasa dirinya dirubung orang banyak, lamat-lamat di antaranya terdapat paman dan kedua orang tua, segera ia lepaskan Ciong Ling dan berseru memanggil, "Mak, Pekhu, Ayah!”

Dan karena dilepaskannya Ciong Ling oleh Toan Ki, maka Cu-hap-sin-kang yang hebat itu tidak jadi menyedot hawa murni Ciong Ban-siu.

Oleh karena sudah lama berdiam di tempat gelap, kini Toan Ki menjadi silau oleh sinar matahari yang terang benderang itu hingga seketika matanya susah dipentang. Sebaliknya antero badannya terasa sangat kuat, semangat berkobar-kobar, tulang anggota badan terasa enteng seakan-akan bisa terbang saja.

Dalam pada itu Si Pek-hong sudah lantas mendekat serta merangkul sang putra dan bertanya, "Ki-ji, ken … kenapakah kau?”

"En ... entahlah, aku sendiri tidak tahu. Di ... di manakah aku berada?” demikian sahut Toan Ki.

Sungguh sama sekali tak terpikir oleh Ciong Ban-siu bahwa muslihatnya yang hendak bikin malu orang, kini berbalik senjata makan tuan, putri sendiri yang menjadi korban malah. Sedikit pun tidak terpikir olehnya bahwa wanita yang dipondong keluar oleh Toan Ki bukanlah Bok Wan-jing, melainkan putri kesayangannya itu.

Setelah tertegun sejenak, kemudian ia pun lepaskan Ciong Ling ke tanah.

Ketika menyadari dirinya cuma memakai baju dalam melulu, keruan Ciong Ling malu tak terkatakan. Cepat Ban-siu menanggalkan baju sendiri untuk ditutupkan di atas badan sang putri. Menyusul ia lantas persen sekali tamparan di pipi Ciong Ling hingga muka gadis itu merah bengap.

"Tidak malu! Siapa yang menyuruhmu berada bersama binatang cilik itu?” demikian Ban-siu memaki.

Tentu saja Ciong Ling merasa penasaran, katanya dengan menangis, "Aku ... aku ....” tapi sukar untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

Tiba-tiba terpikir oleh Ciong Ban-siu, "Bukankah Bok Wan-jing juga terkurung di dalam rumah batu ini, betapa pun dia takkan mampu membuka batu penutup pintu ini, jelas dia masih berada di dalam, biar aku memanggilnya keluar, paling tidak dia akan menanggung sebagian dari rasa malu putriku ini.”

Karena itu segera ia berteriak-teriak, "Bok-kohnio, silakan lekas keluar!”

Namun berulang-ulang ia berteriak hingga bejat kerongkongannya sekalipun tetap tiada sesuatu suara jawaban di dalam rumah batu itu.

Dengan tak sabar segera Ciong Ban-siu mendekati pintu dan coba melongok ke dalam, rumah itu tidak luas, maka sekejap saja sudah kentara bahwa di dalam kosong melompong, tiada bayangan seorang pun. Keruan

dada Ciong Ban-siu hampir-hampir meledak saking gusarnya, ia putar balik dan segera hendak hajar lagi putrinya itu sambil membentak, "Biar kumampuskan kau budak yang memalukan ini!”

Sekonyong-konyong dari samping ada orang menangkis tamparannya itu, nadi tangannya terasa kesemutan tersentuh oleh jari orang. Lekas Ban-siu tarik kembali tangannya dan baru diketahuinya bahwa yang menyerangnya dari samping itu adalah Toan Cing-sun. Keruan ia tambah gusar, bentaknya, "Aku menghajar anakku sendiri, peduli apa denganmu?”

Cing-sun menjawab dengan tersenyum, "Ciong-kokcu, rupanya engkau telah memberi pelayanan istimewa kepada putraku itu, khawatir dia kesepian di dalam rumah itu, sampai-sampai putri kesayanganmu disuruh mengawaninya, sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Dan karena urusan sudah telanjur, nasi sudah menjadi bubur, putrimu sudah terhitung anggota keluarga Toan kami, dengan sendirinya aku tak bisa tinggal diam lagi.”

"Apa? Terhitung anggota keluarga Toan kalian?” sahut Ban-siu dengan gusar.

"Habis, selama beberapa hari putrimu telah melayani anakku si Toan Ki di dalam rumah ini, coba bayangkan, sepasang muda-mudi berada sendirian di tempat segelap ini, kelihatan pula baju mereka terbuka, lalu perbuatan apa yang telah mereka lakukan?” demikian kata Cing-sun dengan tertawa. "Putraku adalah ahli waris Tin-lamong, meski sudah melamar putri Sian-tan-hou sebagai istri, tapi sebagai seorang calon pangeran, apa salahnya kalau punya beberapa istri dan selir? Dan dengan demikian, bukankah engkau sudah menjadi Jinkeh (besan) dengan aku? Hahaha, hahaaaaah!”

Sungguh gusar Ciong Ban-siu tak tertahan lagi, ia melompat maju dan beruntun menghantam tiga kali. Namun dengan terbahak-bahak Cing-sun dapat mematahkan setiap serangan orang kalap itu.

Diam-diam para kesatria sangat kagum pada pengaruh keluarga Toan yang ternyata tidak boleh sembarangan dihina itu, Ciong-kokcu hendak menghancurkan nama baik mereka, tapi entah dengan cara bagaimana tahutahu malah putri Ciong-kokcu sendiri yang telah ditukar dan dikurung di dalam rumah batu itu.

Kiranya kejadian itu tak-lain tak-bukan adalah hasil karya Hoa Hek-kin bertiga. Waktu mereka menawan Ciong Ling ke dalam lorong, maksud mereka cuma untuk menghindarkan rahasianya dibongkar oleh gadis itu. Tapi kemudian sesudah mendengar percakapan suami-istri Ciong Ban-siu, mereka tahu nama baik keluarga Toan sedang diuji oleh tipu muslihat yang diatur bersama antara Ciong Ban-siu dan Yan-king Taycu.

Segera mereka bertiga berunding di bawah tanah situ dan merasa urusan itu besar sekali sangkut pautnya dengan junjungan mereka, pula waktunya sudah sangat mendesak. Maka begitu Ciong-hujin keluar dari kamar itu, segera Pah Thian-sik menerobos keluar, dengan Ginkang yang tinggi ia menyelidiki lebih pasti di mana letak rumah batu yang dituju itu. Dan sesudah ditentukan pula arah galian baru, segera mereka bertiga

mempercepat galian lorong di bawah tanah itu hingga semalam suntuk, baru pagi hari itu mereka menggali sampai di bawah rumah batu yang tepat.

Ketika Hoa Hek-kin menggangsir ke atas lagi dan menerobos ke dalam rumah, ia lihat Toan Ki sedang memegang tangan orang di luar rumah dengan kencang, wajahnya tampak sangat aneh. Sudah tentu tak terpikir oleh Hek-kin bahwa tangan yang terjulur dari luar rumah itu adalah tangan Boh-tin Hwesio, sebaliknya ia menyangka sebagai tangan Yan-king Taycu, maka ia tidak berani mengajak bicara pada Toan Ki, hanya perlahan ia tepuk bahu pemuda itu.

Tak terduga olehnya, begitu tangannya menyentuh badan Toan Ki, seketika tubuh sendiri tergetar seperti menyenggol besi bakar panasnya. Ia menjadi khawatir pula ketika melihat kedua mata pemuda itu merah membara, sekuatnya ia bermaksud menarik Toan Ki terlepas dari genggaman tangan orang di luar itu, untuk kemudian melarikan diri melalui lorong di bawah tanah yang digalinya itu.

Siapa sangka, begitu tangannya memegang tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuh Hoa Hek-kin seakan-akan bocor keluar, saking kagetnya sampai ia menjerit.

Pah Thian-sik dan Hoan Hua adalah orang yang sangat cerdik, begitu melihat gelagat kurang beres, cepat mereka pun melompat ke atas untuk menarik Hoa Hek-kin dan dibetot sekuatnya. Dan berkat tenaga gabungan ketiga orang itulah dapat Hoa Hek-kin terlepas dari sedotan Cu-hap-sin-kang yang lihai itu.

Untunglah tenaga dalam ketiga tokoh kerajaan Tayli itu jauh lebih tinggi daripada Boh-tin berenam, pula dapat bertindak cepat sebelum kasip, namun demikian, toh mereka pun kaget luar biasa hingga mandi keringat dingin. Pikir mereka, "Ilmu sihir Yan-king Taycu ini sungguh sangat lihai.”

Karena itu juga mereka tidak berani menyentuh badan Toan Ki lagi.

Dan pada saat itu juga di luar terdengar suara ramai-ramai datangnya rombongan Po-ting-te, lalu Ciong Bansiu sedang menyindir dengan terbahak-bahak. Tabiat Hoan Hua sangat jenaka dan banyak akal, tiba-tiba pikirannya tergerak, "Ciong Ban-siu ini benar-benar jahat, biar kita kerjai dia agar malu sendiri.”

Terus saja mereka mencopot baju luar Ciong Ling untuk dipakai Bok Wan-jing, lalu mereka seret Bok Wanjing ke dalam lorong serta menutup kembali lantai batu yang mereka gali itu hingga tidak kentara sesuatu yang mencurigakan.

Begitulah setelah Toan Ki telah keluar rumah batu itu, oleh karena hawa murni Boh-tin berenam tak dapat dihimpunnya ke dalam perut untuk dijalankan menurut keinginannya, maka enam arus hawa murni yang sangat

kuat itu masih terus bergolak dalam tubuh hingga isi perut seakan-akan keterjang jungkir balik, ia menjadi sempoyongan dan tak bisa berdiri tegak.

Melihat itu, Po-ting-te menyangka sang keponakan keracunan jahat, cepat ia tutuk ketiga Hiat-to penting "Jinyang”, "Thay-yang” dan "Leng-tay-hiat” di badan pemuda itu, walaupun hawa murni itu masih belum bisa disalurkan ke tempat yang semestinya, namun pikiran Toan Ki menjadi rada jernih, ia sudah bisa bicara dengan terang, "Pekhu, aku kena racun Im-yang-ho-hap-san.”

Po-ting-te merasa lega keselamatan Toan Ki tidak berbahaya, tapi segera teringat olehnya pertandingan di antara Ui-bi-ceng dan Yan-king Taycu sedang mencapai klimaksnya, maka ia tak sempat mengurus Toan Ki lebih jauh dan mendekati Ui-bi-ceng untuk mengikuti pertandingan otak dan Lwekang kedua orang itu.

Ia lihat jidat Ui-bi-ceng penuh butiran keringat sebesar kedelai, sebaliknya Yan-king Taycu tampak tenangtenang saja seperti tidak merasakan apa-apa. Terang kekuatan kedua pihak itu sudah kentara nyata, mati hidup Ui-bi-ceng bergantung dalam sekejap saja.

Dalam pada itu karena pikiran Toan Ki sudah jernih kembali, ia pun memerhatikan lagi situasi percaturan kedua orang itu. Ia lihat jalan mundur Ui-bi-ceng sudah buntu, bila Yan-king Taycu mendesak maju lagi satu biji, maka Ui-bi-ceng pasti akan menyerah kalah.

Benar juga, ia lihat tongkat bambu Yan-king Taycu sedang diangkat dan akan menggores batu pula, tempat yang dituju itu adalah tepat langkah yang mematikan lawannya.

Keruan Toan Ki khawatir, pikirnya, "Biar aku mengacaunya sekali ini!”

Segera ia ulur tangan untuk menahan ujung tongkat orang yang akan digoreskan itu.

Sungguh kejut Yan-king Taycu tak terkatakan ketika mendadak terasa tongkatnya tertahan sesuatu, berbareng lengan tergetar dan tenaga murni seakan-akan membanjir keluar tak tertahankan. Waktu ia lirik, ia lihat Toan Ki sedang menahan tongkat dengan dua jarinya.

Keruan ia tambah kaget dan heran, "Tempo hari waktu menangkap bocah ini, terang sedikit pun ia tak bisa ilmu silat, paling-paling cuma pandai berkelit dengan gerak langkah yang aneh, mengapa dalam waktu cuma beberapa hari mendadak bisa menggunakan ilmu sihir untuk menyedot tenaga murni orang? Apa barangkali tempo hari ia sengaja pura-pura bodoh dan baru sekarang turun tangan?”

Toan Ki sendiri tidak tahu bahwa sesudah makan dua ekor katak merah itu, dalam tubuh telah timbul semacam Cu-hap-sin-kang yang mempunyai daya isap luar biasa lihainya, tentu saja Yan-king Taycu lebih-lebih tidak mengerti mengapa bocah yang masih hijau itu sekonyong-konyong menjadi sedemikian saktinya.

Segera ia tarik napas dalam-dalam, ia kerahkan tenaga sekuatnya dan disalurkan ke tongkatnya, sekali puntir dan betot, seketika terlepaslah tongkat itu dari tangan Toan Ki.

Hendaklah diketahui bahwa Lwekang tokoh utama Su-ok itu tinggi sekali, jarang ada bandingannya di zaman ini. Toan Ki sendiri meski kini terhimpun tenaga murni dari Boh-tam berenam yang disedotnya itu, namun dia tak tahu cara menggunakannya, sedikit pun ia tak bisa mengerahkan tenaga, dengan sendirinya ia tergetar lepas dari puntiran tongkat lawan, segera ia merasa separuh badan kesemutan dan hampir jatuh pingsan.

Sebaliknya tenaga dalam yang dikerahkan Yan-king Taycu itu saking besarnya hingga ada juga sebagian yang tak keburu ditarik kembali lagi, dalam terkejutnya, tanpa sengaja tongkatnya lantas melambai ke bawah dan mencoret di atas batu.

Cepat Yan-king Taycu sadar dan juga mengeluh, namun sudah telanjur, tongkatnya sudah mencoret setengah lingkaran di atas peta catur, cuma bukan tempat yang ditujunya semula, tapi jatuh di sisinya, sehingga gagal bikin buntu jalan lawan. Seketika wajah Yan-king Taycu berubah.

Sebagai seorang tokoh yang menjaga gengsi, meski tahu salah langkah dan itu berarti kekalahan total baginya, namun Yan-king Taycu tidak mau ribut dengan Ui-bi-ceng, segera ia berbangkit sebagai tanda menyerah kalah. Tapi kedua tangan masih menahan di atas papan batu itu sambil memerhatikan papan catur hingga lama sekali.

Sebagian besar di antara hadirin itu belum pernah kenal siapa tokoh Jing-bau-khek, melihat sikapnya yang aneh itu, semua orang ikut memerhatikan juga apa yang dilakukannya.

Sampai lama Yan-king Taycu memandangi papan catur, mendadak ia angkat tongkatnya, tanpa berkata lagi ia putar tubuh dan melangkah pergi.

Pada saat lain, tiba-tiba angin meniup, papan batu tadi tampak bergoyang sedikit, sekonyong-konyong batu besar itu pecah berantakan menjadi belasan potong.

Keruan semua orang ternganga dan saling pandang dengan kesima, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa Jing-bau-khek yang tidak mirip manusia dan tidak serupa setan itu, ilmu silatnya ternyata sudah mencapai taraf yang sukar diukur.

Ui-bi-ceng sendiri meski sudah menangkan babak percaturan itu, namun dia masih duduk merenung di tempatnya dengan rasa syukur dan bingung pula. Syukur karena pertandingan yang berbahaya itu akhirnya dimenangkan olehnya, bingung pula mengapa Yan-king Taycu yang sudah terang memegang kunci kemenangan itu mendadak bisa menyumbat jalan hidup sendiri, bukankah itu sengaja mengalah? Tapi dalam keadaan demikian, tidaklah masuk akal bahwa orang sudi mengalah padanya.

Po-ting-te dan Toan Cing-sun juga merasa tidak mengerti oleh kejadian itu. Akan tetapi mereka tidak ambil pusing lebih jauh, yang terang sekarang Toan Ki sudah diselamatkan dan Yan-king Taycu sudah dikalahkan dan sudah pergi, nama baik keluarga Toan telah dipertahankan, pertarungan ini boleh dikatakan telah menang total.

Maka segera Toan Cing-sun berolok-olok lagi dengan tertawa, "Ciong-kokcu, putraku pasti bukan manusia yang tipis budi, sekali putrimu sudah menjadi selir putraku, dalam waktu singkat tentu akan kami kirim orang untuk memapaknya dan kami sekeluarga akan menyambut baik-baik dan sayang padanya seperti anak sendiri, harap engkau jangan khawatirkan urusan ini.”

Ciong Ban-siu adalah seorang kasar, jiwanya sempit dan berangasan, karena tak tahan diolok-olok dan disindir Toan Cing-sun, ia menjadi naik darah lagi, tanpa tanya apakah Ciong Ling benar-benar telah dinodai Toan Ki atau tidak, terus saja ia cabut golok dari pinggangnya dan membacok kepala Ciong Ling sambil membentak, "Kau bikin aku mati gusar saja, biarlah kumampuskan budak hina dina ini lebih dulu!”

Sekonyong-konyong bayangan orang melayang tiba, dengan cepat luar biasa Ciong Ling telah dirangkul dan dibawa kabur beberapa tombak jauhnya. "Crat,” golok Ban-siu membacok di atas tanah dan ketika ditegasi orang yang menyambar Ciong Ling itu kiranya adalah "Kiong-hiong-kek-ok” In Tiong-ho.

"Kau ... kau mau apa?” bentak Ban-siu dengan gusar.

"Kau tidak mau pada putrimu ini, maka hadiahkan saja padaku dan anggap dia sudah mati kau bacok barusan,” sahut In Tiong-ho dengan cengar-cengir, berbareng itu orangnya lantas melesat pergi lagi beberapa tombak jauhnya.

Ia tahu bicara tentang ilmu silat, jangankan dirinya tak mampu menandingi Po-ting-te dan Ui-bi-ceng, sekalipun Toan Cing-sun atau Ko Sing-thay juga sudah lebih unggul daripadanya. Karena itu In Tiong-ho ambil keputusan, bila gelagat jelek, segera Ciong Ling akan digondolnya lari.

Pah Thian-sik yang diseganinya itu tidak tampak hadir di situ, maka dalam hal Ginkang, terang tiada seorang pun di antara hadirin itu mampu mengejarnya.

Ciong Ban-siu juga tahu Ginkang tokoh keempat dari Su-ok itu sangat lihai, untuk mengejar terang tak mampu, saking gemasnya ia cuma bisa berjingkrak sambil memaki kalang kabut.

Po-ting-te tempo hari sudah menyaksikan In Tiong-ho itu main udak-udakan dengan Pah Thian-sik, kini melihat orang menggondol Ciong Ling dan larinya begitu cepat dan enteng, terpaksa ia pun tak bisa berbuat apa-apa.

Tiba-tiba timbul suatu akal dalam benak Toan Ki, segera ia berseru, "Gak-losam, sebagai gurumu, aku memerintahkanmu lekas rebut kembali nona cilik itu?”

Lam-hay-gok-sin tercengang sekejap, segera ia menjadi gusar dan membentak, "Keparat, apa katamu?”

"Kau telah menyembah aku sebagai guru, apakah kau berani menyangkal?” sahut Toan Ki. "Memangnya apa yang sudah kau katakan sendiri itu kau anggap seperti kentut saja?”

Seperti diketahui, biarpun Lam-hay-gok-sin itu sangat jahat dan buas, tapi ada suatu sifatnya yang terpuji, yaitu apa yang pernah ia janji atau katakan, tidak pernah ia mungkir dan pasti akan ditepati.

Ia mengangkat guru pada Toan Ki, meski hal ini seribu kali hatinya tidak rela, tapi ia juga tidak menyangkal, maka dengan mendelik gusar ia membentak pula, "Apa yang telah kukatakan sudah tentu tetap berlaku. Kau adalah guruku, lantas mau apa? Hm, jika Locu geregetan, guru macammu juga sekalian akan kubunuh.”

"Baiklah jika kau sudah mengaku,” ujar Toan Ki. "Sekarang nona Ciong itu digondol si jahat keempat itu, nona itu adalah istriku, jadi dia ibu-gurumu pula, maka lekas kau rebutnya kembali. Kalau In Tiong-ho menghina nona itu, sama artinya menghina ibu-gurumu, jika kau tak mampu membelanya, bukankah terlalu pengecut?”

Lam-hay-gok-sin tercengang sejenak, ia pikir benar juga teguran sang "guru” itu. Tapi lantas teringat olehnya bahwa Bok Wan-jing juga mengaku sebagai istrinya, kenapa nona cilik she Ciong ini diaku istrinya pula? Segera ia tanya, "Kenapa begitu banyak ibu-guruku? Sebenarnya berapa orang istrimu?”

"Tak perlu kau tanya,” sahut Toan Ki. "Yang penting, lekaslah kau laksanakan perintahku, bila tidak dapat merebut kembali ibu-gurumu, itu berarti kau tiada muka buat bertemu lagi dengan kesatria-kesatria di jagat ini,

sekian orang gagah di sini telah menyaksikan, kalau kau tak mampu menangkan In Tiong-ho yang nomor empat, ya, biar urutanmu diturunkan menjadi nomor lima saja, bisa jadi nomor enam malah!”

Mana Lam-hay-gok-sin sudi terima olok-olok demikian? Suruh dia berada di bawah nama In Tiong-ho, hal ini baginya lebih celaka daripada mati. Karena itu, ia menggerung keras-keras sambil berlari mengudak ke arah In Tiong-ho dan membentak, "Lepaskan ibu-guruku!”

Cepat In Tiong-ho melayang beberapa tombak pula ke depan sambil berseru, "Gak-losam, sungguh tolol, ditipu orang masakah tidak tahu!”

Keruan marah Lam-hay-gok-sin semakin berkobar, biasanya ia paling suka mengaku dirinya paling pintar, masakan di hadapan orang banyak dicemooh sebagai orang tolol? Segera ia "tancap gas” lebih kencang untuk mengejar. Maka dengan cepat sekali kedua orang yang saling uber itu telah melintas beberapa lereng bukit.

Ciong Ban-siu yang kehilangan anak perempuan itu, meski dalam kalapnya tadi putrinya hendak dibacok mati, tapi kini demi melihat putrinya digondol lari orang jahat, betapa pun soal darah daging, apalagi nanti kalau ditanya sang istri, bagaimana dia harus memberi tanggung jawab? Maka tanpa pikir lagi ia pun ikut mengejar dengan golok terhunus.

Melihat pelaku utamanya sudah pergi, segera Po-ting-te memberi hormat kepada para kesatria yang hadir itu, katanya, "Mumpung hadirin kebetulan berkunjung ke Tayli sini, marilah silakan mampir ke tempat kami agar aku dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah.”

Hui-sian dan lain-lain memang berminat untuk berkenalan dengan Toan Cing-beng, raja Tayli yang terkenal sebagai "orang utama di dunia selatan”, demi diundang secara ramah, mereka lantas menerima baik undangan itu dengan tertawa.

Hanya Yap Ji-nio yang berkata dengan tersenyum, "Nyonyamu ini khawatir akan disembelih kalian untuk dimakan, maka lebih baik aku angkat langkah seribu saja lebih selamat!”

Habis berkata, tanpa pamit lagi ia lantas mengeluyur pergi dengan tersenyum.

Po-ting-te pun tidak merintangi kepergian tokoh kedua Su-ok itu, ia ajak para tamu meninggalkan Ban-jiat-kok dan pulang ke Tayli.

Boh-tam berenam sudah terlalu payah dan lemas, untuk berdiri saja tak sanggup, maka Leng Jian-li dan kawan-

kawannya lantas menaikkan mereka ke atas kuda dan beramai-ramai kembali ke Tin-lam-onghu.

Sementara itu Pah Thian-sik bertiga sudah menunggu di situ, mereka lantas menyambut keluar bersama seorang gadis jelita yang berdandan mewah, siapa lagi dia kalau bukan Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing!

Dalam pada itu Toan Ki yang sejak minum "Im-yang-ho-hap-san”, racun yang masih mengeram dalam tubuh itu belum lagi lenyap. Kini mendadak melihat Bok Wan-jing, tanpa kuasa lagi ia pentang kedua tangan terus berlari maju hendak peluk gadis itu. Syukurlah, betapa khilafnya, dalam benaknya masih timbul setitik pikiran jernih, mendadak ia sadar perbuatannya yang tidak pantas itu, seketika ia menahan diri dan berdiri terpaku di tempatnya.

Ternyata Im-yang-ho-hap-san itu bukan saja sangat lihai karena bekerjanya racun itu sangat awet, tahan lama, bahkan kedua pihak laki-laki dan perempuan yang minum racun itu akan timbul daya tarik yang sangat kuat. Mendingan kalau kedua pihak dipisahkan, tapi bila bertemu kembali, seketika pikiran kedua orang akan kabur dan tenggelam dalam perasaan yang tidak senonoh hingga sukar mengekang diri.

Melihat sikap kedua muda-mudi itu agak kurang beres, pipi merah, begitu pula mata mereka seakan-akan berapi, terang keracunan sangat hebat.

Cepat Po-ting-te bertindak, "cus-cus” dua kali, ia tutuk dari jauh, seketika Toan Ki dan Wan-jing tertutuk roboh pingsan. Segera Cu Tan-sin mengangkat Toan Ki dan Si Pek-hong memondong Wan-jing ke dalam kamar.

Kemudian para tamu disilakan masuk ke istana dan diadakan perjamuan secara meriah. Karena Siau-lim-si dipandang sebagai bintang cemerlang dalam dunia persilatan, maka Hui-sian Hwesio disilakan duduk di tempat tamu utama oleh para kesatria.

Dalam perjamuan itu Hoan Hua lalu menceritakan hasil karya mereka yang telah menggali lorong di bawah tanah hingga menembus ke dalam rumah batu tempat Toan Ki dikurung serta menaruh Ciong Ling yang mereka tawan di dalam rumah itu. Sudah tentu ia tidak menceritakan tentang Bok Wan-jing yang ditolong keluar sebagai ganti Ciong Ling.

Mendengar itu, para kesatria baru tahu duduknya perkara serta menertawakan Ciong Ban-siu yang sial itu, ingin bikin malu orang, siapa duga senjata telah makan tuan malah.

Dan oleh karena putra kesayangannya masih keracunan, Cing-sun menjadi murung dan coba tanya apakah sekiranya di antara hadirin itu ada yang bisa menolong. Namun para kesatria hanya saling pandang dengan bingung tak bisa berbuat apa-apa.

Pada saat itulah dari luar masuk seorang pengawal dan menyerahkan sepucuk surat kepada Toan Cing-sun, katanya yang membawakan surat itu adalah seorang dayang perempuan, di dalam sampul itu katanya ada pula resep obat untuk menyembuhkan putra pangeran yang keracunan itu.

Sungguh kejut dan girang Cing-sun tak terkatakan, cepat ia membuka sampul surat dan melihat di atas secarik kertas kecil yang putih bersih tertulis enam huruf kecil yang indah, "Banyak minum susu manusia dan segera sembuh.”

Cing-sun mengenali tulisan itu adalah buah tangan Ciong-hujin, saking terguncang perasaannya, tanpa merasa secawan arak di atas meja telah tersampuk tumpah oleh lengan bajunya.

"Sun-te, resep apakah itu?” tanya Po-ting-te.

Cing-sun tertegun, jawabnya dengan tergegap, "Apa? O, resep ini bilang banyak minum susu manusia dan Ki-ji akan segera sembuh.”

Po-ting-te mengangguk, katanya, "Tiada alangan untuk dicoba. Banyak minum susu manusia sekalipun tidak manjur juga tidak berbahaya.”

Segera Si Pek-hong berbangkit dan masuk ke dalam istana untuk memberi perintah pada para "abdi dalam” agar lekas mencari susu manusia pada para ibu yang meneteki.

Para pesuruh itu memang sangat cekatan, pula susu manusia juga bukan barang yang susah dicari, maka belum lagi perjamuan bubar, Toan Ki dan Bok Wan-jing sudah sadar kembali dari keracunan mereka serta keluar ke ruangan depan untuk menemui para tamu.

Toan Ki mengaturkan terima kasih kepada Ui-bi-ceng dan Hoa Hek-kin yang telah menyelamatkan jiwanya. Ia menyatakan penyesalannya pula akan terlukanya Boh-tam berenam.

Tatkala itu keenam murid Ui-bi-ceng masih sangat payah dan belum dapat bicara, maka bagaimana mereka menjadi begitu, bukan saja Ui-bi-ceng tidak tahu duduknya perkara, bahkan Toan Ki juga tidak mengerti bahwa dirinya yang menjadi gara-gara atas malapetaka yang menimpa murid-murid padri beralis kuning itu.

Kemudian Toan Cing-sun mengumumkan juga bahwa Bok Wan-jing adalah putri angkatnya. Dalam keadaan begitu, meski Cin Goan-cun, Hui-sian dan lain-lain saling bermusuhan dengan gadis wangi itu, kini mereka menjadi tidak enak untuk bikin onar di situ. Apalagi di hadapan empat tokoh mahasakti seperti Po-ting-te, Uibi-ceng, Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay, betapa pun besar nyali mereka juga tiada seorang pun berani berkutik.

Jilid 14
Di tengah perjamuan itu, hadirin ramai mengobrol ke timur dan ke barat, kemudian sama mengaturkan selamat pula kepada Toan Cing-sun suami-istri dan Ko Sing-thay karena kedua keluarga itu telah berbesanan. Seketika suasana tambah semarak dan beramai-ramai sama mengajak angkat cawan.

Bok Wan-jing coba melirik Toan Ki, ia lihat pemuda itu menunduk dengan lesu, teringat olehnya waktu mereka berduaan tinggal bersama di dalam rumah batu itu, tanpa terasa ia pun ikut muram durja. Ia tahu selama hidup ini terang tiada harapan untuk menjadi istri Toan Ki, tapi demi mendengar pemuda itu sudah melamar putri Ko Sing-thay, tentu saja ia pun berduka dan hancur perasaannya.

Semakin memandang Ko Sing-thay, semakin gemas hatinya, sungguh ia ingin sekali panah binasakan orang itu sebagai hukumannya mengapa melahirkan seorang anak perempuan untuk diperistri oleh kekasihnya itu? Cuma ia tahu kepandaian Ko Sing-thay terlampau lihai, untuk memanahnya tidaklah mudah, maka panah yang sudah disiapkan dalam lengan baju itu tidak lantas dibidikkan.

Ia lihat suasana perjamuan itu semakin memuncak riang gembira, ia khawatir saking tak tahan dirinya bisa menangis, hal mana tentu akan ditertawai orang, maka segera ia berbangkit dan menyatakan kepalanya pusing, ingin kembali ke kamar saja. Habis itu, tanpa permisi lagi pada Toan Cing-sun dan Po-ting-te, ia terus tinggal masuk ke dalam dengan cepat.

Dengan tersenyum Cing-sun minta maaf kepada para tamu atas kelakuan putrinya yang kurang adat itu.

Tiba-tiba datang bergegas seorang penjaga dan menyampaikan secarik kartu nama kepada Cing-sun serta melapor, "Ko Gan-ci, Ko-siauya dari Hou-cut-koan mohon bertemu dengan Ongya.”

Sungguh di luar dugaan Toan Cing-sun atas kunjungan tamu yang tak diundang ini. Ia tahu Ko Gan-ci itu adalah murid pertama dari Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, di kalangan Kangouw cukup harum namanya sebagai pendekar yang budiman, julukannya adalah "Tui-hun-jiu” atau si Tangan Penguber Nyawa. Konon ilmu silatnya sangat hebat, tapi selamanya tiada hubungan apa-apa dengan keluarga Toan, lantas untuk keperluan apa jauh-jauh dia datang kemari?

Walaupun agak sangsi, namun Cing-sun berbangkit juga dan berkata, "Kiranya Tui-hun-jiu Ko-tayhiap yang datang, aku harus menyambutnya sendiri.”

Para kesatria yang hadir di situ juga pernah mendengar namanya Ko Gan-ci, di antaranya Hui-sian dan Kim Tay-peng malah sudah kenal, maka beramai-ramai mereka lantas ikut menyambut keluar. Hanya Po-ting-te, Uibi-ceng, Co Cu-bok dan Cin Goan-cun yang tetap duduk di tempat masing-masing.

Kalau Po-ting-te dan Ui-bi-ceng tidak keluar menyambut adalah mengingat kedudukan mereka di kalangan Bulim memang lebih tinggi daripada orang lain, sedang Co Cu-bok dan Cin Goan-cun berdua sengaja berlaku angkuh, anggap diri sendiri adalah tokoh utama suatu aliran tersendiri. Ko Gan-ci dipandang mereka lebih rendah setingkat, betapa pun tenar nama Ko Gan-ci juga masih mempunyai seorang guru, yaitu Kwa Pek-hwe.

Ketika Toan Cing-sun sampai di luar, ia lihat seorang laki-laki setengah umur yang berperawakan tinggi besar sambil menuntun seekor kuda putih yang gagah sedang menunggu di depan pintu. Laki-laki itu memakai baju berkabung, wajah murung, kedua mata merah bendul, terang orang sedang ditimpa kemalangan kematian sanak keluarga.

Melihat orang, segera Kim Tay-peng melangkah maju dan menyapa, "Ko-toako, baik-baikkah engkau!”

Kiranya laki-laki berbaju berkabung inilah Ko Gan-ci. Maka jawabnya, "Kiranya Kim-hiante juga berada di sini.”

"Atas kunjungan Ko-tayhiap, maafkan Siaute tidak menyambut lebih dulu,” demikian Cing-sun memberi hormat.

Cepat Ko Gan-ci membalas hormat sambil merendah diri, diam-diam ia mengagumi keluarga Toan di Tayli yang tersohor bijaksana nyatanya memang tidak omong kosong.

Sesudah saling kagum, lalu Cing-sun membawa tamunya ke dalam serta diperkenalkan kepada Po-ting-te dan lain-lain. Segera Cing-sun memerintahkan pelayan menyediakan pula satu meja untuk menjamu Ko Gan-ci.

Namun Ko Gan-ci menolak, katanya, "Cayhe masih berkabung, pula ada urusan penting lain, cukup menerima suguhan secangkir teh saja!”

Habis itu, ia terus minum habis secangkir teh yang disediakan, lalu katanya pula, "Ongya, sudah lama Susiokku memondok di dalam istana sini, untuk mana Cayhe sangat berterima kasih. Kini Cayhe ada suatu urusan hendak bicara dengan beliau, sudilah Ongya mengundangnya keluar.”

"Susiok Ko-heng?” Cing-sun menegas dengan heran. Dalam hati ia tidak habis mengerti masakah di dalam istananya ada seorang tokoh Ko-san-pay segala?

Namun Ko Gan-ci berkata pula, "Susiokku suka ganti nama dan memondok di sini sekadar menghindari bahaya, hal mana mungkin tak berani dikatakan terus terang kepada Ongya, sungguh perbuatan yang tidak pantas, maka harap Ongya yang bijaksana sukalah memberi maaf.”

Berbareng ia memberi hormat lagi.

Sambil membalas hormat orang, diam-diam Cing-sun berpikir dan tetap tidak ingat siapakah gerangan Susiok orang yang dimaksud itu?

Tiba-tiba Ko Sing-thay berkata kepada seorang pesuruh di sampingnya, "Coba pergi ke kamar tulis, undanglah Ho-siansing kemari, katakan bahwa Tui-hun-jiu Ko-tayhiap sedang menunggu, ada urusan penting yang perlu dibicarakan dengan ‘Kim-sui-poa’ Cui-locianpwe!”

Pesuruh itu mengiakan dan selagi hendak bertindak masuk, tiba-tiba terdengar dari ruangan belakang sana ada suara tindakan orang yang berkeletakan, dengan langkah setengah diseret, orang itu berkata, "Sekali ini kau benar-benar hancurkan periuk nasiku ini.”

Ketika para kesatria mendengar nama "Kim-sui-poa” Cui-locianpwe atau si Swipoa Emas disebut, ada yang merasa bingung tidak paham apa yang dimaksudkan, tetapi ada pula yang terkesiap, mereka ragu apakah benar iblis kawakan Swipoa emas itu bercokol di negeri Tayli?

Tengah mereka heran, tertampaklah seorang kakek berwajah jelek dan berkumis tikus sedang keluar dari belakang dengan tertawa. Setiap orang dalam istana kenal Ho-siansing ini adalah juru tulis rendahan merangkap pekerjaan serabutan, yaitu juru tulis yang tempo hari diseret keluar oleh Toan Ki dan diaku sebagai gurunya untuk menggoda Lam-hay-gok-sin itu.

Keruan Toan Cing-sun terkejut, pikirnya, "Apakah benar Ho-siansing inilah Cui Pek-khe yang dimaksudkan? Ke manakah mukaku ini harus ditaruh bahwa seorang tokoh terkenal setiap hari berada di hadapanku, tapi aku tidak tahu sama sekali.”

Syukurlah dengan segera Ko Sing-thay dapat membuka rahasia itu hingga para hadirin mengira Tin-lam-onghu sudah lama mengetahui beradanya tokoh Ko-san-pay ini, maka Toan Cing-sun tidak sampai kehilangan muka.

Ho-siansing itu tetap lucu tampaknya, setengah mabuk setengah sadar dengan matanya yang keriyep-keriyep. Tapi demi tampak pakaian berkabung Ko Gan-ci, ia menjadi kaget dan bertanya, "He, ken ... kenapakah kau?”

Cepat Ko Gan-ci melangkah maju dan menjura ke hadapan sang Susiok sambil menangis, katanya, "Cuisusiok, Su ... Suhuku dibin ... dibinasakan orang.”

Seketika air muka Ho-siansing itu berubah hebat, muka yang tertawa tadi kontan berubah muram dan waswas. Tanyanya kemudian dengan perlahan, "Siapakah pembunuhnya?”

"Titji (keponakan) tak becus, sampai sekarang belum tahu dengan pasti siapa pembunuh Suhu itu,” demikian tutur Gan-ci dengan menangis. "Tapi menurut taksiran, besar kemungkinan adalah orang keluarga Buyung.”

Sekilas wajah Ho-siansing mengunjuk rasa jeri demi mendengar nama itu, namun cepat ia bisa tenangkan diri dan berkata dengan suara berat, "Urusan ini harus kita bicarakan secara mendalam.”

Semua orang merasa heran melihat sikap Cui Pek-khe itu. Mereka cukup kenal nama-nama Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, namun paling akhir ini Gan-ci jauh lebih tenar daripada nama sang Susiok. Dan tentang kelihaian keluarga Buyung yang disebut-sebut itu, mereka sama sekali tidak tahu. Hanya Po-ting-te dan Ui-bi-ceng saling pandang sekejap, bahkan perlahan Ui-bi-ceng menghela napas.

Betapa telitinya Cui Pek-khe, ternyata sedikit menghela napas Ui-bi-ceng lantas diketahui olehnya. Tiba-tiba ia memberi hormat kepada padri itu dan berkata, "Dunia Kangouw bakal terancam malapetaka, Taysu mahawelas-asih, sudilah memberi petunjuk jalan yang sempurna.”

Cepat Ui-bi-ceng membalas hormat orang, sahutnya, "Siancay, sudah lama kuasingkan diri dan tidak pernah ikut campur urusan Bu-lim di Tionggoan. Padahal tokoh sakti seperti Cui-sicu ternyata sudah sekian tahun tinggal di Tin-lam-ong, dan sama sekali tidak kuketahui, mana aku berani bicara tentang urusan Kangouw lagi?”

Cui Pek-khe tampak lemas dan sedih oleh jawaban itu, katanya kepada Gan-ci, "Ko-hiantit, cara bagaimana tewasnya Suheng, coba uraikan dengan jelas dari awal sampai akhir.”

"Sakit hati terbunuhnya guru senantiasa mengganggu pikiran Siautit, satu hari sakit hati itu tak terbalas, satu hari pula Siautit akan merasa tidak enak makan dan tidur. Maka mohon Susiok sekarang juga suka berangkat, biarlah di tengah jalan nanti Siautit akan menuturkan secara jelas demi menghemat waktu,” demikian sahut Ko Gan-ci.

Melihat sikap sang Sutit yang ragu-ragu itu, Cui Pek-khe tahu pasti Gan-ci merasa tidak leluasa untuk bicara terus terang karena di depan orang banyak. Namun dalam hati ia sudah ambil keputusan, "Telah sekian lama aku memondok di istana pangeran ini tanpa ketahuan jejakku, siapa duga Ko-houya ini sebenarnya sudah lama mengetahui samaranku. Jika aku tidak minta maaf pada Toan-ongya, itu berarti aku berbuat kurang ajar pada keluarga Toan. Apalagi aku masih perlu membalas sakit hati Suheng terhadap keluarga Buyung, untuk mana melulu tenagaku seorang terang takkan berhasil, kalau bisa mendapat bantuan keluarga Toan ini, pasti kekuatan pihakku akan berbeda, untuk inilah aku tidak boleh berlaku sembrono.”

Karena pikiran itu, mendadak ia menjura ke hadapan Toan Cing-sun sambil menangis.

Hal ini tentu saja di luar dugaan semua orang. Cepat Cing-sun hendak membangunkan orang. Tak terduga tubuh Cui Pek-khe ternyata tak dapat ditarik, sebaliknya seperti terpaku di lantai, sedikit pun tidak bergerak.

Diam-diam Cing-sun membatin, "Bagus kau setan arak ini, begini lihai kepandaianmu, tapi selama ini aku telah kau tipu.”

Segera ia kerahkan tenaga pada kedua tangannya dan diangkat ke atas.

Pek-khe tidak bertahan lagi dengan Lwekangnya, tapi lantas berdiri mengikuti daya tarikan orang. Namun baru saja berdiri tegak, terasalah tulang seluruh tubuhnya seakan-akan retak, sakitnya tak terkatakan.

Ia tahu Toan Cing-sun sengaja hendak menghajarnya sebagai ganjaran perbuatannya itu. Dasar namanya adalah "Pek-khe” atau beratus akal, otaknya memang benar-benar cerdas. Ia pikir bila mengerahkan tenaga untuk melawan, tentu rasa dongkol Tin-lam-ong takkan hilang, boleh jadi malah akan mencurigai dirinya sengaja menyelundup ke dalam istana pangeran dengan muslihat tertentu.

Sebab itulah, ia biarkan dirinya digencet oleh tenaga dalam orang terus menjatuhkan diri duduk di lantai sambil berseru, "Aduh!”

Cing-sun tersenyum puas dan menarik bangun orang, ketika tangan menempel tubuh Cui Pek-khe, sekalian ia hapuskan rasa sesak dada orang dengan Lwekangnya.

"Tin-lam-ong,” kata Pek-khe kemudian, "karena terdesak musuh, tiada jalan lain terpaksa Pek-khe dengan tidak malu-malu berlindung di bawah pengaruh Ongya dan beruntung dapat hidup sampai hari ini. Untuk itu Pek-khe tidak pernah mengaku terus terang pada Ongya, maka sangat mengharapkan kemurahan hati Ongya

untuk memaafkan perbuatanku yang lancang ini.”

"Ah, Cui-heng suka merendah diri saja,” tiba-tiba Ko Sing-thay menyela sebelum Toan Cing-sun menjawab. "Sudah lama Ongya mengetahui asal usulmu, cuma Ongya sengaja tidak mau bikin malu Cui-heng. Jangankan Ongya sudah tahu, orang-orang yang lain juga banyak yang tahu. Misalnya tempo hari waktu Toan-kongcu menerima tantangan Lam-hay-gok-sin, bukankah Cui-heng yang diseretnya keluar untuk diaku sebagai gurunya? Sebab Toan-kongcu juga tahu, hanya Cui-heng saja yang mampu menandingi iblis itu.”

Padahal tempo hari hanya secara kebetulan saja Toan Ki telah menyeret keluar Cui Pek-khe untuk diaku sebagai gurunya, sebab di antara penghuni istana itu, hanya wajah Cui Pek-khe yang paling jelek dan lucu, makanya diseret keluar untuk menggoda Lam-hay-gok-sin. Namun kini bagi pendengaran Cui Pek-khe, ia percaya penuh kejadian mana seperti apa yang dikatakan Ko Sing-thay.

Lalu Sing-thay melanjutkan lagi, "Dasar Ongya memang suka bergurau, jangankan Cui-heng memang tiada bermaksud jahat terhadap negeri Tayli kami, sekalipun ada, tentu juga Ongya yang bijaksana akan melayanimu dengan segala kebesaran jiwanya. Maka tidak perlu Cui-heng banyak adat lagi.”

Di balik kata-katanya ini seakan-akan hendak menyatakan bahwa syukurlah selama ini kelakuanmu tidak mengunjuk sesuatu tanda mencurigakan, kalau ada, tentu sudah lama kau dibereskan.

"Namun demikian, apa maksud Pek-khe berlindung di dalam Onghu, pada sebelum mohon diri, adalah pantas kujelaskan dulu, kalau tidak, rasanya terlalu tidak jujur,” demikian kata Cui Pek-khe. "Cuma urusan ini banyak pula menyangkut nama orang lain, maka terpaksa harus kubicara secara terus terang.”

"Ah, rasanya Cui-heng tidak perlu tergesa-gesa, soal sakit hati adalah sangat penting, biarlah dirundingkan nanti setelah selesai perjamuan ini,” ujar Cing-sun.

Mendengar percakapan itu, para hadirin adalah kesatria Kangouw yang kenal adat, maka cepat mereka selesaikan makan-minum itu, lalu sama mohon diri.

Terhadap kawan Kangouw, biasanya Cing-sun sangat terbuka, maka begitu para tamu hendak mohon diri, segera ada pelayan menyediakan hadiah dan Cing-sun sendiri yang menyampaikan kepada masing-masing tetamu itu. Terhadap tamu dari jauh seperti Kim Tay-peng, Su An dan lain-lain malah diberi bekal sangu pula.

Dengan tanpa rikuh para kesatria itu menerima juga pemberian itu serta mengaturkan terima kasih pada tuan rumah.

Tengah bicara, tiba-tiba di luar pintu terdengar suara sabda Buddha yang nyaring, "Omitohud!”

Suara itu tidak keras, tapi terdengar sangat jelas seperti diucapkan berhadapan. Keruan semua orang terkejut.

Harus diketahui bahwa istana pangeran itu sangat luas, dari pintu gerbang sampai ruangan pendopo itu jaraknya ada berpuluh tombak jauhnya, di tengah banyak teraling oleh dinding dan pintu lain. Maka dapat diduga bahwa ilmu "Jian-li-thoan-im” atau mengirim gelombang suara dari jarak ribuan li yang dimiliki orang di luar itu sesungguhnya sudah mencapai tingkatan sangat tinggi.

Cing-sun dapat mendengar bahwa ilmu mengirim suara dari jauh itu adalah dari aliran Siau-lim-pay, maka ia lantas menegur, "Padri sakti Siau-lim manakah yang sudi berkunjung kemari, maafkan kalau Toan Cing-sun tidak menyambut sebelumnya!”

Sembari berkata, segera ia bertindak keluar untuk menyambut.

Sampai di luar, tertampaklah seorang Hwesio kurus kering, berusia antara 50-an, sedang berdiri di situ. Melihat Cing-sun, padri itu lantas merangkap tangan memberi salam dan berkata, "Hui-cin dari Siau-lim-si memberi hormat pada Toan-ongya.”

Tengah Cing-sun membalas hormat orang, dari belakang muncul Hui-sian dan segera menegur dengan heran, "He, Suheng, engkau juga datang ke Tayli sini?”

Melihat sang Sute, tiba-tiba mata Hui-cin lantas merah basah, sahutnya dengan pedih, "Sute, Suhu sudah wafat!”

Meski sudah menjadi murid Buddha, namun sifat Hui-sian masih mudah terguncang, demi mendengar berita buruk itu, terus ia berlari maju dan memegang tangan sang Suheng sambil menegas dengan suara gemetar, "Bet ... betulkah katamu?”

Belum lagi Hui-cin menjawab, air matanya sudah lantas bercucuran.

"Tidak beruntung kami dirundung malang, maka kami telah berlaku kurang adat di hadapan Ongya, hendaklah Ongya jangan marah,” demikian pinta Hui-cin.

"Ah, kenapa Taysu berlaku sungkan,” cepat Cing-sun menjawab. Diam-diam ia pun membatin, "Guru Hui-sian dan Hui-cin ini adalah Hian-pi Taysu yang kabarnya amat hebat ilmu silatnya, jika demikian, jago Siau-lim-pay yang terkemuka kini telah hilang satu lagi.”

Lalu terdengar Hui-sian tanya pula dengan suara parau, "Sakit apakah Suhu hingga beliau wafat? Bukankah selama ini kesehatan beliau sangat baik?”

Melihat di depan ramai orang berlalu-lalang, banyak kesatria Bu-lim yang pergi-datang, maka Hui-cin berkata pula, "Ongya, atas perintah Ciangbun Supek hendak menyampaikan surat kepada Ongya sendiri serta Hongya (baginda raja).”

Ia lantas mengeluarkan satu buntelan kertas minyak, ia buka berlapis-lapis kertas itu, akhirnya tertampaklah sepucuk surat dengan sampul warna kuning dan diserahkan kepada Toan Cing-sun.

"Kebetulan Hong-heng berada di sini, marilah kuperkenalkan Taysu kepadanya,” kata Cing-sun. Segera ia membawa Hui-cin dan Hui-sian ke dalam.

Tatkala itu Po-ting-te sudah undurkan diri dan sedang istirahat di ruangan dalam sambil minum dan mengobrol dengan Ui-bi-ceng. Melihat datangnya Hui-cin, segera mereka berbangkit untuk menyambut.

Setelah Cing-sun menyerahkan sampul surat yang diterimanya tadi, Po-ting-te membuka dan membacanya. Ia lihat awal surat itu penuh tertulis kalimat yang menyatakan kekaguman dan pujian atas nama keluarga Toan mereka, kemudian ketika sampai pada soal pokok, surat menyatakan bahwa dunia persilatan bakal tertimpa malapetaka maka diharapkan campur tangan kedua saudara Toan itu demi menyelamatkan dunia persilatan umumnya, tentang hal-hal yang lebih jelas supaya tanya kepada Hui-cin yang membawa surat ini. Penanda tangan surat adalah Ciangbun Hongtiang dari Siau-lim-si, Hian-cu.

Po-ting-te membaca habis surat itu sambil berdiri sebagai tanda hormat kepada Siau-lim-si. Sedang Hui-cin dan Hui-sian juga ikut berdiri di samping dengan sikap sangat hormat.

Kemudian Po-ting-te berkata, "Silakan kedua Taysu duduk. Jika Siau-lim Hongtiang ada panggilan, sebagai sesama orang Bu-lim, asal dapat, tentu aku akan menurut dan berusaha sekuat tenaga.”

Tiba-tiba Hui-cin berlutut ke hadapan Po-ting-te dan menjura sambil menangis sedih sekali. Melihat kelakuan

sang Suheng itu, meski bingung, mau tak mau Hui-sian ikut berlutut juga.

Melihat padri Siau-lim-si itu menjalankan penghormatan sebesar itu padanya, diam-diam Po-ting-te merasa urusan agak ganjil, pikirnya, "Jago Siau-lim-si jumlahnya sukar dihitung, urusan besar apakah yang tak dapat diselesaikan mereka hingga perlu minta bantuanku secara sungguh-sungguh begini?”

Segera ia membangunkan Hui-cin berdua dan berkata pula, "Sesama kaum Bu-lim, aku tidak berani menerima penghormatan setinggi ini.”

"Suhuku tewas di tangan orang she Buyung dari Koh-soh, melulu tenaga Siau-lim-pay kami rasanya susah membalas sakit hati itu, maka Hongya dimohon sudi tampil untuk mengamankan situasi gawat dalam Bu-lim ini,” demikian pinta Hui-cin dengan menangis.

Kembali nama "Buyung” disebut, air mula Po-ting-te rada berubah. Sebaliknya, Hui-sian lantas berteriak sambil menangis, "Jadi Suhu telah dibinasakan musuh itu? Suheng, marilah kita adu jiwa dengan mereka!”

"Sute,” sahut Hui-cin dengan menarik muka, "di hadapan Hongya, hendaklah berlaku tenang.”

Perawatan Hui-cin kurus kecil, sebaliknya Hui-sian tinggi kekar, namun takut juga dia terhadap sang Suheng, karena omelan itu, ia tidak berani buka suara lagi, tapi tetap terguguk menangis perlahan.

"Silakan kalian duduk dulu untuk bicara lebih lanjut,” kata Po-ting-te kemudian. "Lebih 20 tahun yang lalu pernah kudengar bahwa di Koh-soh ada seorang tokoh she Buyung, lengkapnya bernama Buyung Bok. Dia pernah mengacau ke Siau-lim-si, apakah sekarang juga orang itu yang berbuat?”

Dengan mengertak gigi saking gemasnya, Hui-cin menjawab, "Siauceng cuma tahu musuh memang she Buyung, namanya apa, itulah kurang jelas.”

"Siau-lim-pay adalah suatu aliran terkemuka di kalangan Bu-lim, di jagat ini siapa yang tidak tunduk pada nama kebesarannya, gurumu Hian-pi Taysu juga sudah mencapai puncaknya melatih Lwekang dan Gwakang, sebagai seorang Cut-keh-lang (penganut agama), biasanya ia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, mengapa kini bisa dibunuh orang lain?”

Maka bertuturlah Hui-cin dengan air mata berlinang, "Suatu hari, selagi Siauceng duduk semadi di kamar sendiri, tiba-tiba Siauceng dipanggil Hongtiang Supek, ketika sampai di sana, jenazah Suhu sudah tampak tertaruh di situ. Kata Supek jenazah Suhu diketemukan orang kampung di kaki gunung, karena dikenal sebagai

padri Siau-lim-si, segera ada yang mengirim kabar ke kuil, sebab itulah, cara bagaimana Suhu ditewaskan musuh dan siapa nama pembunuhnya, sampai sekarang belum jelas diselidiki.”

Sejak tadi Ui-bi-ceng hanya mendengarkan saja, kini tiba-tiba menyela, "Bukankah tewasnya Hian-pi Taysu disebabkan dadanya terkena serangan ‘Kim-kong-co’?”

Hui-cin terkejut, tanyanya, "Dugaan Taysu memang tepat, entah dari ... dari mana Taysu mengetahuinya?”

"Sudah lama kudengar ilmu Kim-kong-co Hian-pi Taysu terhitung salah satu ilmu silat khas yang tiada tandingannya di Bu-lim, siapa yang terkena serangannya, semua tulang iganya akan patah. Ilmu silat demikian memang lihai sekali, namun sesungguhnya agak terlalu ganas, tidaklah sesuai untuk dipelajari oleh murid Buddha kita.”

"Ya, benar, kepandaian begitu sesungguhnya terlalu ganas,” tiba-tiba Toan Ki ikut menimbrung.

Mendengar guru mereka dikritik Ui-bi-ceng, Hui-cin dan Hui-sian menjadi kurang senang, tapi betapa pun juga orang terhitung padri saleh angkatan tua, mereka cuma kurang senang karena Toan Ki ikut mengoceh, tanpa terasa mereka sama melototi pemuda itu. Namun Toan Ki anggap tidak lihat dan tak gubris.

"Dari mana Suheng mengetahui Hian-pi Taysu ditewaskan oleh ‘Kim-kong-co’?” tiba-tiba Cing-sun ikut bertanya.

Ui-bi-ceng menghela napas, sahutnya, "Ketua Siau-lim-si, Hian-cu Taysu, begitu melihat jenazah Sutenya lantas menduga pasti pembunuhnya adalah keluarga Buyung dari Koh-soh. Toan-jite, orang-orang she Buyung itu terkenal suka menggunakan istilah ‘dengan kepandaiannya, digunakan di atas dirinya’. Pernah kau dengar tidak ungkapan itu?”

Cing-sun menggeleng kepala tanda tidak tahu.

Ui-bi-ceng mengulangi lagi ungkapan kata-kata tersohor dari keluarga Buyung itu, mendadak terkilas rasa jeri pada wajahnya.

Po-ting-te dan Toan Cing-sun sudah kenal padri itu selama berpuluh tahun lamanya, tapi selama ini tidak pernah melihat dia mengunjuk rasa jeri seperti sekarang. Seperti waktu padri itu melawan Yan-king Taycu secara mati-matian, meski hampir keok, namun dalam keadaan terdesak sedikit pun ia tidak khawatir, bahkan

tetap bersikap tenang sewajarnya. Tapi kini belum lihat musuhnya sudah mengunjuk rasa jeri, maka dapat dibayangkan pihak lawan pasti bukan orang sembarangan.

Untuk sejenak keadaan ruangan menjadi hening lelap. Selang sebentar, perlahan Ui-bi-ceng berkata lagi, "Kudengar di dunia ini memang ada seorang tokoh kelas satu bernama Buyung Bok. Ia sengaja memakai nama ‘Bok’ (luas), dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat luas peyakinannya. Agaknya tidak peduli Kungfu khas lihai dari aliran dan golongan Bu-lim mana pun pasti dipelajarinya dengan baik, bahkan jauh lebih mahir daripada pemiliknya sendiri. Dan yang paling aneh, setiap kali ia hendak membinasakan lawannya, tentu ia gunakan ilmu silat andalan sang korban itu untuk membunuhnya.”

"Ini sungguh sukar dimengerti,” Toan Ki ikut berkata. "Padahal di dunia ini ada sekian banyak ilmu silat yang berbeda, masakah dia dapat mempelajarinya dengan lengkap?”

"Apa yang dikatakan Toan-kongcu ada benarnya juga,” sahut Ui-bi-ceng. "Ilmu adalah sesuatu yang tiada batasnya, cara bagaimana orang bisa lengkap mempelajarinya? Akan tetapi musuh Buyung Bok memang sangat banyak dan untuk membalas dendam, sebelum dia mahir mempelajarinya, dia tidak mau sembarangan turun tangan.”

"Ya, aku pun pernah mendengar ada seorang tokoh aneh seperti itu di Tionggoan,” kata Po-ting-te. "Lok-sisam-hiong (tiga jago she Lok) dari Hopak mahir menggunakan Hui-cui (gurdi terbang), tapi akhirnya mereka bertiga tewas terkena Hui-cui yang mereka andalkan itu. Ciang-hi Tojin dari Soatang bila membunuh orang suka memotong dulu anggota badan musuh agar merintih-rintih setengah harian baru dibinasakan olehnya. Tapi Ciang-hi Tojin sendiri akhirnya juga mengalami nasib kesukaannya itu. Sebabnya Buyung Bok dikenal suka menggunakan ungkapan memakai kepandaiannya dan digunakan atas dirinya justru tersohor dari mulut Ciang-hi Tojin itu.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Waktu itu, di tengah pasar Celam, entah betapa banyak orang merubung Ciang-hi Tojin yang menggeletak di tanah sambil berteriak merintih kesakitan.”

Bicara sampai di sini, lamat-lamat terbayang olehnya keadaan waktu ajal Ciang-hi Tojin yang mengerikan itu, maka wajahnya menampilkan rasa kurang senang pada orang yang membunuh secara kejam begitu.

Tiba-tiba Cing-sun ingat sesuatu, katanya, "Jika begitu, guru Ko-tayhiap, Kwa Pek-hwe, kabarnya mahir menggunakan cambuk. Pada waktu membunuh musuh ia sering menggunakan cambuknya untuk melilit leher lawan hingga sesat napasnya dan akhirnya mati. Jangan-jangan dia ... dia ....” tiba-tiba ia berhenti, ia memanggil seorang pelayan dan memberi perintah, "Pergilah ke belakang dan panggil Cui-siansing dan Kotayhiap ke sini, katakan aku ingin berunding dengan mereka.”

Pelayan itu mengiakan, tapi tampak ragu dan tidak lantas bertindak pergi. Maka dengan tertawa Toan Ki

berkata, "Cui-siansing itu sama dengan Ho-siansing, si juru tulis kantor itu.”

Mendengar penjelasan itu, si pelayan mengiakan dan segera bertindak ke belakang. Maka tidak lama Cui Pekkhe dan Ko Gan-ci sudah diundang keluar.

"Ko-tayhiap,” segera Cing-sun bicara, "ada sesuatu pertanyaanku, lebih dulu harap dimaafkan.”

"Ongya tidak perlu sungkan-sungkan, katakanlah,” sahut Gan-ci.

"Tolong tanya, bagaimana gurumu Kwa-locianpwe itu ditewaskan orang? Apakah karena terluka oleh senjata atau terkena pukulan dan tendangan?” tanya Cing-sun.

Mendadak wajah Ko Gan-ci berubah merah jengah, setelah ragu sejenak, akhirnya ia menjawab, "Guruku justru tewas ... tewas di bawah serangan cambuk dengan tipu ‘Leng-coa-sian-keng’ (ular gesit melilit leher).”

Mendengar keterangan itu, tanpa terasa Po-ting-te, Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain saling pandang dengan terkesiap.

Tiba,-tiba Hui-cin melangkah maju ke depan Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, ia memberi hormat dengan merangkap tangan, lalu berkata, "Ternyata Siauceng berdua mempunyai musuh yang sama dengan kalian berdua, bila musuh she Buyung dari Koh-soh itu tak dihancurkan ....” berkata sampai di sini ia menjadi raguragu apakah yakin pasti dapat membasmi musuh yang lihai itu, namun akhirnya ia kertak gigi dengan penuh dendam, lalu melanjutkan, "Ya, pendek kata Siauceng sudah bertekad mengadu jiwa dengan dia.”

"Jadi ... jadi Siau-lim-pay juga mengikat permusuhan dengan orang she Buyung dari Koh-soh itu?” tanya Ko Gan-ci dengan mengembeng air mata.

Hui-ciri mengangguk, lalu ia pun menceritakan dengan ringkas cara bagaimana gurunya tewas di bawah tangan orang she Buyung itu.

Melihat Ko Gan-ci penuh rasa dendam dari berduka, sebaliknya sikap Cui Pek-khe tampak lesu, kepala menunduk dan bungkam seakan-akan sakit hati sang Suheng yang terbunuh itu sama sekali tak terpikir olehnya, diam-diam Po-ting-te merasa heran perbedaan sikap kedua tokoh Ko-san-pay itu.

Watak Hui-sian keras dan jujur, melihat sikap Cui Pek-khe yang acuh tak acuh itu, ia tak tahan lagi, ia lantas menegur, "Cui-siansing, kenapa engkau diam saja? Apakah engkau takut pada manusia she Buyung itu?”

"Sute, jangan kurang sopan?” cepat Hui-cin membentak.

Harus diketahui bahwa sesudah Kwa Pek-hwe meninggal, dengan sendirinya Cui Pek-khe akan menjadi ketua Ko-san-pay yang sekarang. Sedangkan Ko-san-pay adalah tetangga Siau-lim-si. Sebabnya dahulu cikal bakal Ko-san-pay dapat tancap kaki dan mendirikan perguruan di samping Siau-lim-pay, sudah tentu orangnya mempunyai ilmu kepandaian tersendiri yang lain daripada yang lain. Apalagi nama Kwa Pek-hwe dan Ko Ganci paling akhir ini sangat menonjol di kalangan Bu-lim, dengan sendirinya derajat Cui Pek-khe dalam dunia persilatan juga tidak boleh dipandang rendah.

Tak tersangka, meski ditegur dengan ucapan yang agak menghina, namun Cui Pek-khe malah celingukan ke sana dan ke sini seperti maling kesiangan, seakan-akan ada yang sedang mengubernya, sikapnya itu penuh mengunjuk rasa ketakutan.

Tiba-tiba Ui-bi-ceng berdehem perlahan, lalu berkata, "Apakah orang itu ....”

Baru tercetus kata-kata "orang itu” dari mulut padri itu, sekonyong-konyong Cui Pek-khe bergemetar dan melompat ke belakang hingga sebuah meja teh di sampingnya tersampuk dan terjungkir balik, mangkuk dan cangkir pun pecah berantakan.

Setelah tenangkan diri dan melihat sorot mata semua orang dipusatkan ke arahnya, wajah Cui Pek-khe menjadi merah jengah, cepat katanya dengan gugup, "O, ma ... maaf, maafkan!”

Mau tak mau Ko Gan-ci berkerut kening melihat kelakuan sang Susiok yang tak dapat dipuji itu, segera ia membantu membersihkan pecahan mangkuk dan cangkir itu.

Diam-diam Toan Cing-sun bersungut juga, sungguh tak tersangka olehnya bahwa Cui Pek-khe itu ternyata seorang penakut. Segera ia berkata pada Ui-bi-ceng, "Suheng, apa yang hendak kau katakan?”

"Orang itu ...” Ui-bi-ceng menghirup seceguk teh dulu, lalu menyambung dengan kalem, "maksudku Buyung Bok itu, apakah orang itu pernah dilihat oleh Cui-sicu?”

Mendengar nama "Buyung Bok”, mendadak Cui Pek-khe menjerit kaget sambil memegangi meja, sahutnya dengan suara gemetar, "O, ti ... tidak ... tidak pernah kulihatnya.”

Melihat sikap orang yang pengecut itu, segera Hui-sian ikut berteriak, "Sebenarnya Cui-siansing pernah melihat Buyung Bok atau tidak?”

Cui Pek-khe termangu-mangu memandang jauh ke depan seperti orang linglung. Sampai agak lama baru ia jawab dengan suara gelagapan, "Ti ... tidak ... eh ... seperti ti ... tidak pernah melihatnya.”

Cing-sun dan lain-lain menggeleng kepala melihat kelakuan tokoh Ko-san-pay itu. Diam-diam Ko Gan-ci juga merasa malu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Susiok yang biasanya sangat dihormati itu ternyata membikin malu saja di depan orang banyak.

"Loceng sendiri pernah juga mengalami suatu kejadian, biarlah kuceritakan agar bisa dibuat bahan pertimbangkan hadirin,” demikian tutur Ui-bi-ceng. "Peristiwa ini terjadi pada 43 tahun yang lalu. Tatkala itu usiaku masih muda, tenaga kuat, belum lama berkelana di Kangouw, namun sedikit-sedikit sudah terkenal. Sungguh waktu itu aku seperti anak banteng yang tidak kenal harimau, belum kenal apa artinya takut. Aku merasa di dunia ini kecuali guruku tiada orang lain lagi yang berkepandaian lebih tinggi daripadaku.

"Tahun itu aku mengawal seorang pembesar yang pensiun pulang ke kampung halamannya bersama keluarganya. Di tengah jalan aku dicegat oleh empat begal besar. Tujuan begal-begal itu ternyata bukan harta, tapi begitu maju lantas hendak menggondol putri kesayangan pembesar itu. Sebagai pemuda yang berdarah muda, sudah tentu aku tidak bisa mengampuni perbuatan mereka, sekali menyerang kugunakan tipu ganas, dengan Kim-kong-ci telah kubinasakan keempat begal itu, setiap orang kututuk ulu hatinya, tanpa bersuara sedikit pun mereka sama menggeletak binasa.

"Dan saat itulah kudengar suara derap kuda berdetak-detak, ada dua penunggang keledai tampak lewat di sampingku. Dasar watak orang muda, waktu itu aku sedang membual di hadapan pembesar yang kukawal itu tentang betapa lihainya Kungfu Kim-kong-ci yang menjadi andalanku itu, kataku biar musuh datang lagi sepuluh atau dua puluh orang juga akan kubinasakan satu per satu dengan Kim-kong-ci.

"Tiba-tiba kudengar salah seorang penunggang keledai itu mendengus sekali, suaranya seperti kaum wanita, tapi nada dengusan itu penuh mengunjuk rasa hina dan memandang rendah. Waktu atau menoleh, kiranya penunggang keledai itu memang benar orang perempuan, yang seorang muda cantik, usianya sekitar 32 atau 33 tahun, seorang lagi adalah anak kecil berumur 12-13 tahun yang bermuka putih bersih menyenangkan. Kedua orang itu sama-sama berpakaian berkabung warna putih. Kudengar si anak sedang berkata pada wanita muda itu, ‘Mak, apanya yang hebat Kim-kong-ci itu, huh, dasar pembual!’

Adapun asal usul Ui-bi-ceng sendiri, kecuali Po-ting-te berdua saudara, orang lain tiada yang tahu. Tapi ketika dia menggunakan tenaga jari Kim-kong-ci untuk menggores batu melawan Yan-king Taycu di Ban-jiat-kok tempo hari, kejadian itu telah disaksikan orang banyak serta sudah menggemparkan kalangan Bu-lim, terutama

mengenai Kim-kong-ci-lik yang lihai luar biasa itu.

Maka kini demi mendengar ceritanya tentang ucapan anak kecil itu, mereka sama menganggap anak itu mengoceh tak keruan saja.

Tak tersangka Ui-bi-ceng lantas menghela napas, lalu menyambung ceritanya, "Tatkala itu meski aku mendongkol mendengar ucapan itu, tapi aku pikir ocehan seorang bocah ingusan, buat apa diurus. Maka aku hanya mendelik sekali saja pada anak itu dan tidak menggubrisnya.

"Siapa duga wanita muda berbaju putih itu lantas mengomeli anak itu, ‘Kim-kong-ci orang ini memang ajaran asli Tat-mo-ih Hokkian Siau-lim-si, sedikitnya sudah tiga bagian cukup masak. Anak kecil tahu apa? Biar kau pun tidak sejitu jarinya itu.’

"Sudah tentu aku tambah kaget dan gusar. Padahal asal usul perguruanku jarang diketahui orang Kangouw, tapi nyonya muda ini dengan jitu dapat membuka rahasia diriku. Sedang aku punya Kim-kong-ci dikatakan cuma mencapai tiga bagian masak, sudah tentu aku tidak terima. Ai, sesungguhnya waktu itu aku sendiri memang masih hijau, tiga bagian masak bagiku sebenarnya sudah berlebihan, tapi dalam gusarku segera aku membentak, ‘Siapakah she nyonya yang terhormat ini? Jika merasa Kini-kong-ci-likku masih cetek, marilah coba-coba memberi petunjuk barang sejurus-dua?’

"Nyonya itu tidak menyahut, sebaliknya anak kecil itu segera hentikan keledainya dan hendak menjawab. Namun mata nyonya itu tiba-tiba mengembeng air mata, katanya, ‘Pesan apa yang ditinggalkan ayahmu sebelum wafat? Masa sudah kau lupakan?’ Anak kecil itu menjawab, ‘Ya, anak tidak berani melupakannya.’ Habis itu, keledai mereka lantas dilarikan ke depan dengan cepat.

"Tapi semakin kupikir, aku semakin penasaran karena diolok-olok. Segera kularikan kuda dan menyusul mereka sambil berseru ‘Hai! Kau berani sembarangan mengoceh mencela ilmu silat orang, tanpa coba-coba dulu barang beberapa jurus lantas hendak mengeluyur pergi begini saja?’

"Kuda tungganganku adalah kuda pilihan, maka dalam sekejap aku dapat melampaui dan mengadang di depan mereka. ‘Lihatlah, karena ocehanmu orang telah marah.’, demikian nyonya itu mengomeli anaknya. Rupanya bocah itu sangat penurut dan berbakti pada orang tua, ia tidak berani memandang padaku lagi.

"Dan karena melihat mereka jeri padaku, kupikir tidaklah pantas aku berkelahi dengan anak kecil dan orang perempuan karena urusan sepele. Tapi bila dari nada ucapan nyonya itu tadi agaknya anak itu pun mahir Kimkong-ci-lik. Padahal ilmu ini sudah 20 tahun kulatih dengan susah payah, masakah anak kecil itu juga bisa? Ah, tentu bualan belaka! Karena pikiran itu, aku membentak pula, ‘Baiklah, hari ini biar kulepaskan kalian, tapi selanjutnya kalau bicara hendaklah hati-hati.’

"Nyonya muda itu masih tetap tidak memandang sekejap pun padaku, katanya pada anaknya, ‘Nah, apa yang dikatakan paman ini memang benar, selanjutnya kalau bicara harus hati-hati!’

"Jika urusan diakhiri sampai di situ saja, bukankah kedua pihak sama-sama tidak kehilangan muka? Tapi waktu itu aku masih berdarah muda, ketika aku menarik kuda ke samping jalan, segera nyonya itu keprak keledainya jalan lebih dulu. Waktu anak itu pun larikan keledainya lewat di depanku, dengan tertawa aku ayun cambuk menyabet bokong keledainya sambil berkata, ‘Cepat sedikit!’

"Sungguh tak terduga, ketika cambukku masih jauh dari bokong keledai orang; tiba-tiba terdengar suara ‘cus’ sekali, tahu-tahu anak itu menoleh dan tenaga jarinya lantas menyambar dari jauh, kontan cambukku patah menjadi dua. Sungguh kagetku bukan buatan. Aku menaksir kalau bicara tentang tenaga jari, sama sekali aku tidak mampu menandingi anak itu.

"Tiba-tiba terdengar nyonya muda tadi berkata, ‘Sekali sudah turun tangan jangan kepalang tanggung lagi!’ Anak itu mengiakan terus melompat turun dari keledainya, tanpa bicara lagi ia acungkan jarinya dan menutuk betis kakiku.

"Perlu diketahui bahwa tubuh anak itu pendek, pula aku menunggang kuda, maka jarinya cuma bisa mencapai betis kakiku saja. Tapi gerak serangannya ternyata sangat bagus dan memang benar-benar Kim-kong-ci tulen. Cepat kulompat turun, sedikit pun aku tidak berani ayal dan menempurnya dengan Kim-kong-ci.

"Dan sesudah bergebrak, semakin lama semakin jeri hatiku. Ilmu jari anak itu belum dapat dikatakan mahir betul, bahkan terkadang tampak salah menggunakannya, namun di mana tenaga jarinya sampai, suaranya sungguh mengejutkan, maka aku tidak berani menangkis berhadapan. Kira-kira sampai jurus kesembilan, ‘cus’, terasa dada kiriku sakit, tenagaku pun hilang seketika.

Bicara sampai di sini Ui-bi-ceng membuka jubahnya hingga tertampak tulang iganya yang berderek-derek kurus itu. Semua orang kaget melihat keadaan dada padri itu. Ternyata tepat di atas jantung di dada kiri terdapat sebuah lubang sedalam dua-tiga senti. Meski lubang bekas luka itu sudah sembuh, tapi dapat dibayangkan betapa parahnya luka itu dahulu. Anehnya, meski luka itu terang begitu dalam dan tepat di tempat jantung tapi toh padri itu tidak tewas dan masih hidup sampai sekarang.

Ui-bi-ceng lantas tunjuk dada sebelah kanan dan berkata, "Coba lihat!”

Ternyata dada kanan padri itu tampak bergerak-gerak. Baru sekarang semua orang tahu bahwa pembawaan tubuh padri itu ternyata berbeda daripada manusia umumnya. Jantungnya justru terletak di dada kanan dan tidak di sebelah kiri. Makanya terluka parah pun tidak mati.

Setelah Ui-bi-ceng mengenakan kembali jubahnya, kemudian katanya pula, "Orang yang jantungnya tumbuh di sebelah kanan memang jarang terdapat. Ketika anak itu melihat aku tidak binasa oleh tutukannya segera ia melompat mundur dengan terheran-heran. Sebaliknya demi melihat darah mengucur dari dada kusangka jiwaku tak bisa diselamatkan, aku menjadi nekat dan memaki. ‘Bangsat cilik, katanya kau mahir Kim-kong-ci, tapi hm, adakah Kim-kong-ci Tat-mo-ih dapat melukai lawannya dan orangnya tidak binasa?’

Segera anak itu melompat maju hendak menyerang pula. Tatkala itu aku sudah lemas dan tak bisa melawannya lagi, terpaksa tinggal menunggu ajal saja. Tak tersangka cambuk si nyonya muda lantas bekerja, dengan perlahan pinggang anak itu dililit dan ditarik kembali dan didudukkan di atas keledainya lagi.

"Dalam keadaan kesima lamat-lamat kudengar nyonya itu mengomeli anaknya, ‘Keluarga Buyung dari Kohsoh masakah mempunyai keturunan tak becus seperti dirimu ini? Jika Kim-kong-cimu belum terlatih sempurna, tidak boleh kau bunuh dia lagi. Biar kuberi hukuman dalam tujuh hari ....’ Hukuman apa dalam tujuh hari itu, karena aku lantas jatuh pingsan, maka tidak kudengar lagi.”

"Taysu,” tiba-tiba Kim-sui-poa Cui Pek-khe bertanya, "kemudian ... kemudian engkau pernah berjumpa lagi tidak dengan mereka?”

"Sungguh memalukan, sejak itu aku lantas putus asa, aku merasa hanya seorang anak kecil saja sudah melebihiku, maka sekalipun aku berlatih selama hidup juga takkan mampu melebihinya,” demikian sambung Ui-bi-ceng. "Maka setelah luka dadaku sembuh, aku lantas meninggalkan Tionggoan dan datang ke Tayli sini untuk bernaung di bawah lindungan Toan-hongya, beberapa tahun kemudian, aku lantas cukur rambut menjadi Hwesio. Selama ini Loceng tenggelam dalam ajaran agama Buddha, tidak pernah pikirkan lagi urusan masa lalu itu. Cuma kalau terkadang ingat, sungguh hatiku masih kebat-kebit, nyaliku benar-benar sudah pecah oleh kejadian dahulu.”

Mendengar cerita itu, semua orang terdiam hingga lama. Rasa memandang hina mereka kepada Cui Pek-khe seketika lenyap. Sebab Ui-bi-ceng yang begitu sakti juga takut pada keluarga Buyung di Koh-soh, maka dapatlah dimengerti bila Cui Pek-khe juga sedemikian jerinya.

Cui Pek-khe dapat merasakan pikiran orang banyak itu, maka katanya, "Dengan kedudukan setinggi Ui-bi Taysu toh bersedia menceritakan apa yang dialaminya dahulu, sebaliknya aku Cui Pek-khe orang macam apa hingga mesti takut malu? Biarlah kuceritakan juga sebab musabab bernaung di istana Tin-lam-ong ini, harap pula hadirin sebentar suka memberi pendapat masing-masing.”

Habis ucapkan kata-kata itu, karena guncangan perasaan, tenggorokannya terasa kering, terus saja ia ceguk habis semangkuk teh yang tersedia untuknya, habis itu, ia sambar pula mangkuk teh yang disediakan untuk Ko

Gan-ci dan dituang pula ke kerongkongannya, kemudian barulah ia mulai berkata dengan terputus-putus, "Kejadian ... kejadian ini sudah ... sudah berlangsung 18 tahun yang lalu ....”

Bicara sampai di sini, tanpa terasa ia memandang ke luar jendela dengan rasa jeri. Setelah tenangkan diri, kemudian ia menyambung, "Di kota Bu-oh terdapat seorang buaya darat she Joa yang jahat dan suka menindas rakyat. Ada seorang sobat Suhengku, segenap keluarganya telah dibunuh oleh buaya darat itu.”

"Susiok, apakah engkau maksudkan si jahanam Joa Ging-toh itu?” sela Ko Gan-ci.

"Benar,” sahut Pek-khe. "Dahulu bilamana Suhumu membicarakan jahanam itu, selalu ia geregetan dan ingin membunuhnya. Cuma gurumu adalah seorang yang baik hati dan patuh pada peraturan, beberapa kali ia coba menggugat kejahatan Joa Ging-toh itu kepada pembesar negeri, tapi karena buaya itu pintar menyogok dan banyak hubungannya dengan kalangan atas, maka pengaduan gurumu itu selalu ditahan oleh pembesar yang bersangkutan.

"Kalau mau, sebenarnya tidak susah bagi gurumu untuk membunuh jahanam she Joa itu. Tapi selamanya gurumu memang orang alim, tidak suka berbuat sesuatu di luar hukum. Sebaliknya berbeda dengan aku Cui Pek-khe ini, dalam hal maling, madon, main, pendek kata segala perbuatan ‘M’, bahkan membunuh sekalipun aku tidak pantang, semuanya kulakoni.

"Maka pada suatu malam, tatkala aku sudah gemas, diam-diam aku menggerayangi rumah jahanam she Joa itu dan sekaligus kusapu bersih seluruh isi keluarganya yang lebih 30 jiwa itu. Aku mulai membunuh dari pintu depan terus sampai taman di belakang, dari penjaga pintu sampai tukang kebun, dari kacung-kacung, babubabu, semuanya kubunuh, tiada satu pun kuampuni. Ketika sampai di tengah taman belakang, kulihat di balik jendela sebuah loteng masih tampak sinar pelita. Segera kupanjat ke atas loteng itu, kutendang pintu kamarnya hingga terpentang.

"Kiranya loteng itu adalah sebuah kamar tulis, di sekeliling kamar penuh terdapat rak buku. Tampak sepasang muda-mudi sedang duduk menyanding sebuah meja, agaknya asyik membaca sesuatu kitab. Pemuda itu kirakira berumur 27-28 tahun, tampan dan ganteng. Usia yang pemudi lebih muda, cuma mungkur duduknya, maka mukanya tidak kelihatan, tapi dari bajunya yang dipakai serta potongan tubuhnya yang menggiurkan, dapat dipastikan seorang wanita cantik.

"Sekaligus aku sudah membunuh puluhan orang, semangatku masih berkobar-kobar. Tetapi demi tampak kedua muda-mudi itu, buset, aku menjadi rada heran. Sebab setiap orang di rumah jahanam she Joa itu kasar dan bengis, mengapa mendadak bisa muncul sepasang muda-mudi yang gagah dan cantik itu? Seketika aku terkesima hingga tidak lantas turun tangan membunuh mereka.”

Mendengar sampai di sini, diam-diam Toan Ki mencocokkan cerita Ui-bi-ceng tadi dengan Cui Pek-khe ini.

Ui-bi-ceng bilang waktu bertemu dengan anak kecil yang berusia belasan tahun itu adalah 43 tahun yang lalu. Sedang pemuda yang dilihat Cui Pek-khe itu berumur hampir 30 tahun dan terjadi pada 18 tahun yang lampau. Jika demikian, usia pemuda itu dan si anak kecil satu sama lain tidak cocok, terang bukan terdiri dari orang yang sama.

Dalam pada itu Cui Pek-khe sedang melanjutkan, "Dan karena aku tertegun, maka terdengarlah pemuda itu berkata, ‘Niocu (istriku), dari sudut Kui-moay menggeser ke tempat Bu-hong apakah demikian caranya?’”

Mendengar istilah "Kui-moay” dan "Bu-hong” segera Toan Ki paham apa yang dikatakan itu adalah istilah yang terdapat dalam Ih-keng.

Sementara itu Pek-khe sedang menyambung, "Maka tertampaklah si wanita merenung sejenak, lalu berkata, ‘Apabila jalannya miring ke sana, masuk dulu ke sudut Beng-ih, dari situ kemudian berputar ke Soan-wi, coba bisa ditembus tidak?’”

Toan Ki bertambah kaget oleh istilah paling akhir itu, apa yang diuraikan wanita itu terang adalah ilmu gerak langkah "Leng-po-wi-poh” yang pernah dipelajarinya di dasar telaga dulu itu. Cuma tempat-tempat yang dikatakan wanita itu tempatnya kurang tepat. Jangan-jangan wanita itu ada hubungannya dengan patung cantik Enci Dewi itu? Demikian Toan Ki menjadi ragu-ragu.

Sudah tentu Cui Pek-khe tidak tahu pikiran Toan Ki itu, ia meneruskan pula, "Dan karena kedua orang itu masih sibuk terus membicarakan entah isi kitab apa, aku menjadi tak sabar lagi segera aku membentak, ‘Hai, kalian berdua anjing laki-perempuan ini lekas enyah semua!’

"Tak terduga mereka seperti orang tuli saja, bentakanku sama sekali tak digubris, pandangan mereka masih tetap dicurahkan ke dalam kitab mereka. Malah terdengar pula si wanita berkata dengan lemah lembut, ‘Tapi dari sini menuju ke sudut Soan-wi seluruhnya ada sembilan langkah, inilah tidak mungkin tercapai.’

"Saking mendongkol aku lantas membentak lebih keras lagi, ‘Hai, lekas enyah, enyah ke akhirat untuk menemui kakek-moyangmu.’. Dan baru aku hendak menerjang maju, sekonyong-konyong si pemuda bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa, ‘Bagus, bagus! Im sama Kun, kakek-moyang 18 keturunan, hah, 9x2 sama dengan 18, jadi mesti berputar ke sudut Kun, ya, benar, jalan ini sangat tepat.’.

"Sambil bicara, tangan pemuda itu pun menyambar sebuah Swipoa di atas meja, dan entah cara bagaimana, tahu-tahu tiga butir biji Swipoa menyambar kencang ke arahku, seketika aku merasa dada sesak dan kesakitan, tubuhku seakan-akan terpaku dan tak bisa berkutik lagi.

"Habis itu, kedua muda-mudi itu masih tetap tidak gubris padaku, mereka masih tetap tukar pikiran tentang isi kitab, perasaanku menjadi sangat ketakutan. Sebab, hendaklah diketahui bahwa julukanku yang jelek adalah Kim-sui-poa, ke mana pun kupergi selalu membawa sebuah Swipoa terbuat dari emas, dan ke-77 biji Swipoa itu setiap saat dapat kugunakan untuk melukai orang.

Cuma caraku membidikkan biji Swipoa adalah berkat pegas yang terpasang di dalam Swipoa, sebaliknya Swipoa yang dipakai pemuda tadi hanya sebuah Swipoa kayu biasa saja. Ketika aku memandang Swipoa kayu itu, tertampak satu ruji bambu di tengahnya sudah patah, jadi pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya untuk mematahkan ruji Swipoa, lalu dengan Lwekang yang mahahebat menimpukkan biji Swipoa ke arahku, sungguh ilmu silat hebat yang sukar dibayangkan.

"Percakapan kedua muda-mudi itu ternyata berlangsung terus dan semakin asyik dengan gembiranya, sebaliknya semakin mendengar aku jadi semakin takut. Pikirku, sudah lebih 30 jiwa di rumah ini kubunuh, sekarang aku justru terpaku tak bisa berkutik di situ, tak bisa bergerak dan tak bisa bicara pula, jika aku mesti membayar jiwaku sendiri karena aku sudah utang jiwa begitu banyak, akan tetapi dengan demikian tentu Suhengku juga akan ikut tersangkut.

"Ada lebih dua jam aku terpaku di situ, tapi rasanya seperti disiksa selama 20 tahun. Kira-kira sudah hampir pagi, terdengar pemuda itu berkata dengan tertawa, ‘Niocu, langkah-langkah ini sungguh sukar kita tembus sekarang, biarlah ditunda saja, marilah kita pergi!’

"Wanita itu menjawab, ‘Kim-sui-poa Cui-losu telah membantumu memecahkan satu langkah bagus, sepantasnya engkau memberi apa-apa sebagai tanda terima kasih padanya!’ Terkejut dan girang rasaku, jadi sejak mula mereka sudah kenal namaku. Maka terdengar yang lelaki sedang berkata, ‘Jika begitu, biarlah jiwanya diberi hidup lebih lama beberapa tahun. Lain kali kalau bertemu lagi tentu tidak ada ampun!’

"Habis bicara, mereka menyimpan kembali kitab yang dibaca itu, lalu bergandengan tangan melayang keluar jendela dengan enteng sekali. Wajah wanita itu tetap tidak terlihat olehku, cuma sebelum pergi, tiba-tiba ia ayun tangan kirinya, lengan bajunya mengebut perlahan pada punggungku hingga Hiat-to terbuka seketika. Waktu kuperiksa dadaku, ternyata baju bagian situ berlubang tiga, dua biji Swipoa tepat terjepit di atas buah dadaku dan biji Swipoa ketiga persis berada di tengah-tengah kedua biji yang lain. Nah, inilah, biar hadirin periksa hiasan di dadaku ini.”

Sembari berkata ia terus membuka baju. Melihat itu, hampir semua orang tertawa geli. Kiranya dua biji Swipoa itu tepat sekali menclok di atas pentil teteknya dan di tengah-tengah kedua pentil menclok, pula sebiji Swipoa yang lain. Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu, tapi biji-biji Swipoa itu ternyata tidak dibuang dari dadanya.

Cui Pek-khe goyang-goyang kepala, ia kancing kembali bajunya, lalu berkata pula, "Deritaku sungguh tidak sedikit karena mencloknya tiga biji Swipoa ini di dadaku. Sebenarnya aku bermaksud mengoreknya keluar dengan pisau, tapi asal tersentuh sedikit saja Hiat-to sendiri, seketika aku jatuh pingsan, untuk mana harus 12

jam kemudian baru bisa sadar dengan sendirinya. Bila perlahan aku mengikir atau menggosoknya dengan kertas ampelas, namun sakitnya tetap tidak kepalang, sungguh aku seperti disiksa oleh kakek-moyang ke-18 turunan! Rupanya sudah nasibku mesti disiksa begini, bila hari mendung dan hawa lembap, ketiga tempat di dadaku ini lantas kesakitan seperti disayat-sayat!”

Mendengar cerita Pek-khe yang lucu dan luar biasa itu, semua orang merasa heran dan geli pula.

Maka Pek-khe melanjutkan pula sambil menghela napas, "Orang itu menyatakan bila lain kali ketemukan aku lagi jiwaku takkan diampuni. Maka jiwaku ini harus kujaga baik-baik, jalan yang paling selamat adalah jangan sampai kepergok lagi dengan dia. Untuk mana terpaksa aku harus kabur jauh-jauh dan menyusup ke dalam istana pangeran di Tayli ini. Kupikir daerah ini jauh terpencil di selatan, orang Bu-lim dari Tionggoan jarang datang kemari. Umpama akhirnya disusul juga oleh keparat anak kura-kura itu ke sini, paling tidak di sini ada Ongya dan Ko-houya serta jago lain, masakah mereka tega berpeluk tangan tidak ikut campur dan menyaksikan jiwaku melayang begitu saja? Selama ini, karena siksaan tiga biji Swipoa di dada ini, bila kesakitan, terpaksa aku minum arak sebanyak-banyaknya untuk melupakan rasa derita yang hebat ini.”

Selesai mendengar cerita Cui Pek-khe, semua orang berpendapat apa yang terjadi itu hampir serupa dengan Uibi-ceng, bedanya cuma yang seorang akhirnya menjadi Hwesio dan yang lain mengasingkan diri dengan bersembunyi.

"Ho-siansing,” tiba-tiba Toan Ki tanya, karena sudah biasa memanggil demikian, seketika pemuda itu tak bisa ganti panggilan lain, "habis dari mana engkau mengetahui suami-istri yang kau jumpai itu adalah keluarga Buyung dari Koh-soh?”

Pek-khe garuk-garuk kepala dan menjawab, "Hal itu adalah taksiran Suhengku, sebab setelah melihat ketiga biji Swipoa yang bersarang di dadaku ini, Suheng berpendapat di dunia persilatan cuma keluarga Buyung saja yang memakai kepandaian orang untuk digunakan atas diri orang itu. Dan karena kami yakin tak mampu melawan tokoh keluarga setan iblis itu, jalan paling gampang ialah kabur dan mengkeret seperti kura-kura.”

Sampai di sini, ia berpaling dan berkata kepada Toan Cing-sun, "Nah, Toan-ongya, sekianlah penjelasanku, sekarang aku mohon diri untuk segera berangkat ke Koh-soh.”

"Kau hendak pergi ke sana?” hanya Cing-sun heran.

"Ya,” sahut Pek-khe tegas. "Hubunganku dengan Suheng laksana saudara sekandung. Sakit hati membunuh saudara masakah tidak lekas kubalas? Gan-ci, marilah kita berangkat!”

Habis berkata, ia memberi hormat pada hadirin, lalu bertindak keluar diikuti oleh Ko Gan-ci.

Tindakan Cui Pek-khe itu benar-benar di luar dugaan semua orang. Semula tampaknya sangat ketakutan kepada keluarga Buyung itu. Tapi demi bicara membalas sakit hati sang Suheng, walaupun tahu kepergiannya tidak lebih daripada mengantarkan nyawa, tapi sedikit pun ia tidak gentar lagi. Maka diam-diam semua orang merasa kagum dan tidak dapat mencegah keberangkatannya itu.

Kemudian Hui-cin Hwesio berdiri dan berkata dengan hormat, "Ciangbun Supek telah memberi pesan bahwa Sri Baginda Po-ting-te adalah kaum Cianpwe yang diagungkan, dengan sendirinya kami tidak berani bikin repot, tapi kalau Toan-ongya sudi berkunjung ke kuil kami untuk memberi petunjuk cara bagaimana harus menghadapi orang Buyung dari Koh-soh, hal mana berarti Ongya telah menyelamatkan kaum Bu-lim di Tionggoan dari bencana. Kata Ciangbun Supek pula bahwa beliau seharusnya berkunjung sendiri ke sini untuk minta petunjuk Toan-ongya, cuma utusan kuil kami telah banyak dikirim untuk mengundang para tokoh berbagai aliran terkemuka untuk berkumpul di Siau-lim-si, sebagai tuan rumah, Supek tidak dapat tinggal pergi dan terpaksa tinggal di rumah untuk menantikan kedatangan para kesatria.”

"Kiranya Siau-lim-si bakal mengadakan Enghiong-tay-hwe (pertemuan besar para kesatria), itulah kesempatan yang sukar dicari buat menemui tokoh-tokoh Bu-lim dari Tionggoan, kalau bisa hadir, menggembirakan juga hal itu,” ujar Cing-sun sambil memandang kakak bagindanya untuk memberi keputusan.

Namun dengan kereng Po-ting-te berkata, "Keluarga Toan kami berasal juga dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, selama ratusan tahun belum pernah lupa pada sumbernya. Setiap kawan Bu-lim yang datang ke wilayah Tayli sini selalu kami sambut dengan hormat. Tapi leluhur kami ada suatu pesan agar anak-cucunya dilarang ikut campur urusan permusuhan dan bunuh-membunuh di kalangan Bu-lim. Terhadap ilmu silat dan pribadi Hian-cu Taysu selama ini Cing-beng sangat kagum, sayang maksud baiknya itu bertentangan dengan pesan tinggalan leluhur, maka terpaksa tak dapat kami penuhi dan harap saja Hian-cu Taysu suka memaafkan.”

Hui-cin sangat kecewa oleh jawaban itu, sebaliknya Hui-sian lantai berlutut pula sambil berseru, "Untuk membalas sakit hati Suhu, Hui-sian mohon Sri Baginda suka memberi izin kepada Tin-lam-ong pergi ke Siaulim-si.”

Segera Hui-cin menambahi juga, "Kehadiran Tin-lam-ong ke Siau-lim-si bukanlah untuk bertanding dengan orang Buyung, soalnya cuma mengenai ilmu silat musuh terlalu luas dan aneh, maka Supek sengaja mengundang para kesatria sekadar berkumpul untuk memberi prasaran yang berharga guna mengatasi keganasan orang Buyung itu. It-yang-ci keluarga Toan di Tayli sini adalah ilmu yang tiada bandingan dalam Bu-lim, dalam pertemuan besar di Siau-lim-si nanti kalau tiada hadir ahli waris keluarga Toan berarti belum lengkap dan mungkin tak bisa lagi menandingi orang she Buyung itu.”

Tiba-tiba Po-ting-te kebas lengan jubahnya hingga Hui-sian merasa terangkat bangun oleh tenaga mahabesar, sungguh kagumnya tak terkatakan, serunya segera, "Hongya, sungguh kepandaian yang luar biasa ....”

Sahut Po-ting-te, "Jauh-jauh kalian datang kemari, silakan mengaso dan dahar dulu. Mendengar berita duka gurumu, sungguh aku ikut merasa menyesal. Cuma sayang keluarga Toan telah dipesan leluhur agar jangan ikut campur urusan persengketaan dalam Bu-lim, terpaksa tak dapat kuterima undanganmu, harap dimaafkan.”

Mendengar raja Tayli itu tetap menolak, Hui-cin dan Hui-sian tahu takkan berhasil mengubah pendirian orang, terpaksa mereka mohon diri buat keluar.

Kini ruangan dalam itu hanya tinggal anggota keluarga Toan sendiri, maka Cing-sun lantas berkata, "Hongheng, ilmu kepandaian keluarga Buyung itu sedemikian hebatnya, seharusnya namanya mengguncangkan dunia, tapi mengapa selama ini jarang terdengar namanya di dalam Bu-lim?”

"Mungkin anggota keluarganya itu jarang keluar rumah, jika bertengkar dengan orang juga belum tentu memperkenalkan nama asli mereka, maka Siau-lim-pay dan Ko-san-pay pun tak tahu siapakah sebenarnya musuh mereka,” demikian sahut Po-ting-te.

"Keputusanmu untuk tidak ikut campur persengketaan itu memang sangat tepat,” Ui-bi-ceng ikut bicara. "Kalau sampai urusan ini menjalar menjadi besar, mungkin dunia persilatan akan banjir darah, entah berapa jiwa manusia akan menjadi korban. Tayli selama ini aman tenteram, negeri makmur, rakyat subur, bila Ongya hadir ke Siau-lim, selanjutnya tentu juga takkan terputus-putus orang Bu-lim akan mencari perkara ke Tayli sini.”

Tengah bicara, tiba-tiba seorang pengawal masuk memberi tahu, "Lapor Ongya, di luar ada seorang Totiang (Tosu, imam agama Tao) mohon bertemu. Katanya kawan lama dari Thian-tay-san.”

Cing-sun sangat girang, katanya, "Hong-heng, tentu Ciok-jing-cu Toheng yang datang!”

Segera ia menyambut keluar dengan langkah lebar.

Ui-bi-ceng saling pandang sekejap dengan Po-ting-te. Tiba-tiba padri itu berdiri dan berkata, "Biarlah aku menyingkir saja.”

"Apakah rasa marah Suheng masa lalu sampai kini masih belum lenyap?” ujar Po-ting-te dengan tersenyum.

Ui-bi-ceng hanya membalas tersenyum saja tanpa menjawab, lalu ia bertindak ke ruangan belakang untuk memeriksa keadaan murid-muridnya yang luka parah.

Selang tak lama, terdengarlah suara tertawa panjang nyaring berkumandang dari luar. Segera Po-ting-te berbangkit dan tertampaklah Cing-sun membawa masuk seorang Tojin berumur antara 50 tahun.

Imam itu berjubah kuning dan berkopiah kuning, bermuka putih, sikapnya gagah. Ia memberi hormat kepada Po-ting-te sambil berseru dengan tertawa, "Saudara Cing-beng, selama beberapa tahun ini engkau hidup jaya dan diagungkan, sungguh hidupmu ini aman tenteram penuh rezeki.”

Po-ting-te membalas hormat dan menjawab dengan tertawa, "Dan kau Gu-pi-cu (hidung kerbau, olok-olok pada kaum Tosu) ini selalu sibuk kian kemari di Kangouw, apa belum merasa capek dan bosan?”

"Hahaha, belum bosan, belum bosan!” sahut Ciok-jing-cu terbahak-bahak. Lalu ia berpaling pada hadirin yang lain, "Hai, saudara Sing-thay, baik-baikkah engkau? Dan kau si maling tukang bongkar kuburan, bagaimana rezekimu sekarang? Wah, cahaya muka Hoan-heng tampak berseri-seri, tentu telah bertambah beberapa putra! Tapi Thian-sik kelihatan makin kurus tinggal kulit membungkus tulang, kalau mengandalkan tubuh sekurus ini untuk menangkan gelar Ginkang nomor satu di dunia rasanya juga kurang cerlang-cemerlang. Eh, tukang pancing, engkau dapat mengait seekor kura-kura atau tidak?”

Begitulah Ciok-jing-cu menegur setiap hadirin yang berada di situ sebagai kawan lama tanpa canggungcanggung.

Toan Ki kenal watak sang paman yang ramah tamah, tapi toh tidak pernah melihatnya bergurau dengan orang. Kini dengan datangnya Tojin itu, seketika suasana di situ menjadi riang, bahkan paman pun menyebutnya sebagai "hidung kerbau”, maka dapat diduga Ciok-jing-cu ini sifatnya sangat jenaka dan disukai orang.

Segera Cing-sun berkata, "Ki-ji, lekas maju memberi hormat! Totiang ini adalah ‘Tang-hong-te-it-kiam’ Ciokjing-cu yang sering kukatakan padamu itu, betapa tinggi ilmu pedangnya di zaman ini tiada bandingannya.”

Toan Ki menjadi heran, sebab selama ini ia tidak pernah mendengar tentang "Tang-hong-te-it-kiam” atau jago pedang nomor satu di wilayah timur. Tapi ia pun tidak enak untuk bertanya, ia menurut dan melangkah maju untuk menjura.

Dengan tertawa Ciok-jing-cu berkata, "Wah, kacang memang tidak meninggalkan lanjarannya, ayahnya gagah, putranya ternyata juga ganteng tampan. Sebagai keturunan keluarga Toan dari Tayli, tentu ilmu silatnya juga hebat.”

Sembari berkata ia terus ulur kedua tangannya untuk membangunkan Toan Ki dengan maksud sekalian menjajal kepandaiannya.

Keruan yang khawatir adalah Toan Cing-sun, cepat ia berseru, "Hati-hati hidung kerbau, putraku ini tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa!”

Belum lenyap suaranya, tangan Ciok-jing-cu sudah menyentuh tangan Toan Ki, mendadak perasaannya tergetar, tenaga dalam yang dikerahkannya tahu-tahu lenyap sirna seperti lempung kecemplung ke laut, bahkan tiba-tiba terasa tangan Toan Ki timbul semacam daya sedot yang sangat kuat untuk mengisap tenaga dalamnya dengan paksa.

Ciok-jing-cu sudah menjelajah ke mana pun, pengetahuan dan pengalamannya sangat luas, dalam kejutnya segera ia menduga, "Bukankah ini Hoa-kang-tay-hoat dari aliran Sing-siok-hay di Kun-lun-san? Keluarga Toan dari Tayli adalah Beng-bun-cing-pay (perguruan terkenal dan aliran baik), kenapa mempelajari ilmu sesat yang dikutuk oleh sesama Bu-lim ini?”

Segera ia pun kerahkan tenaga, tangannya membalik terus menggeblak punggung tangan Toan Ki hingga daya lengket tadi terlepas.

Keruan Toan Ki meringis kesakitan, tulang tangan seakan-akan dipatahkan, pikirnya dengan gusar, "Aku memberi hormat dengan baik padamu, kenapa malah kau pukul aku?”

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Ciok-jing-cu menyangka dia menggunakan "Hoa-kang-tay-hoat” atau ilmu melenyapkan kepandaian orang untuk menyerangnya. Siapa pun yang terkena sedotan Hoa-kang-tay-hoat, seketika antero kepandaian yang pernah dilatihnya akan punah.

Cuma Hoa-kang-tay-hoat memang gunanya untuk melenyapkan ilmu orang hingga sang korban akan kembali seperti orang biasa, jadi merugikan orang dan tidak membawa untung bagi diri sendiri.

Sebaliknya "Cu-hap-sin-kang” yang dimiliki Toan Ki tanpa sadar itu mempunyai khasiat menyedot Lwekang orang untuk memupuk tenaga dalam sendiri, setiap kali jatuh korban, setiap kali pula tenaga dalam sendiri akan bertambah kuat Sebab itulah dalam persentuhan tangan Ciok-jing-cu dan Toan Ki tadi kontan ada sebagian kecil tenaga dalam Ciok-jing-cu telah disedot oleh Toan Ki.

Melihat sikap Ciok-jing-cu itu agak aneh, Po-ting-te dan lain-lain menjadi heran. Cing-sun khawatir juga kalau putra kesayangannya dilukai imam itu, cepat ia mengadang maju dan berkata dengan tertawa, "Sudah sekian lama tidak berjumpa, sekali bertemu, si hidung kerbau hendak memberi hadiah apa kepada putraku ini?”

Berbareng ia sudah bersiap-siap kalau imam itu menyerang lagi. Ia tahu Ciok-jing-cu itu sangat lihai, asal Toan Ki terkena serangannya, kalau tidak mati tentu juga terluka parah.

Maka terdengar Ciok-jing-cu menjawab dengan tertawa dingin, "Huh, It-yang-ci keluarga Toan sudah termasyhur di seluruh jagat, buat apa mesti mempelajari lagi ilmu sesat dari iblis tua Sing-siok-hay?”

"Apa katamu? Ilmu sesat iblis tua Sing-siok-hay? Apa kau maksudkan ‘Hoa-kang-tay-hoat’ itu?” tanya Cingsun heran. "Dan siapa yang kau katakan mempelajari ilmu itu?”

"Hm, putramu ini telah masuk golongan menyesatkan itu, apa tidak khawatir bikin kotor nama baik keluarga Toan di Tayli sini?” jengek Ciok-jing-cu.

Cing-sun bertambah heran dan menyangka orang maksudkan peristiwa Lam-hay-gok-sin itu. Maka dengan tertawa katanya pula, "Tentang Lam-hay-gok-sin, memang benar dia penujui anakku ini dan ingin menerimanya menjadi murid. Tapi kejadiannya justru terbalik hingga dia yang telah mengangkat guru pada anakku. Hal ini hanya main-main saja dan tak bisa dianggap sungguh-sungguh.”

Namun Ciok-jing-cu menggeleng kepala, sahutnya, "Meski ilmu silat Lam-hay-pay cukup hebat, tapi belum tentu mahir ‘Hoa-kang-tay-hoat’ ini.”

"Berulang-ulang hidung kerbau bicara tentang Hoa-kang-tay-hoat segala, sebenarnya apa-apaan maksudmu ini?” tanya Cing-sun bingung.

Keruan Ciok-jing-cu mendongkol. Betapa pun tak tersangka olehnya bahwa "Cu-hap-sin-kang” yang dimiliki Toan Ki itu bukan saja tak diketahui ayah dan pamannya, bahkan pemuda itu sendiri pun tidak tahu-menahu.

Maka mendadak ia berbangkit dan berkata, "Engkau memang tidak tahu atau berlagak pilon? Aku orang she Ciok meski orang pegunungan dan suka kelayapan di Kangouw, tapi kedua kakiku ini pun bukan cetakan dari besi, jauh-jauh dari Kanglam kudatang kemari, kau kira tujuanku melulu hendak minta secangkir teh ini? Jika kalian tidak anggap aku sebagai kawan, biarlah sekarang juga aku akan pamit.”

Habis berkata, terus saja ia bertindak keluar.

"Hek-kin, Thian-sik, rintangi hidung kerbau itu, minta penjelasan padanya,” seru Po-ting-te dengan tersenyum. "Para kawan sudah datang di Tayli, tanpa makan minum lebih dahulu masakan lantas mau angkat kaki begitu saja?”

Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga kawan karib Ciok-jing-cu, dengan terbahak-bahak cepat mereka melompat ke ambang pintu untuk merintangi. "Hahaha, Ciok-lauto, kau datang ke Tayli sini tanpa membawa pedang, itu tandanya engkau bermaksud baik serta mengindahkan Hongya kami. Tapi tanpa pedang engkau hendak menerobos keluar rintangan kami, hal ini rasanya tidaklah mudah!”

Melihat sikap semua orang tiada tanda bermusuhan padanya, pikiran Ciok-jing-cu tergerak pula, "Rasanya keluarga Toan tidak mungkin mengizinkan anak-cucunya belajar ilmu siluman dari Sing-siok-hay yang kotor itu. Apa barangkali diam-diam Toan Ki ini mempelajarinya, di luar tahu ayah dan pamannya? Kalau kubongkar rahasianya itu berarti aku akan mengikat permusuhan dengar pemuda ini. Tetapi hubunganku dengan ayah dan pamannya adalah lain daripada yang lain, kalau tahu sesuatu tak boleh kutinggal diam.”

Karena itu, segera ia putar balik dan berkata pula kepada Toan Ki dengan sungguh-sungguh, "Toan-kongcu, jelek-jelek Ciok-jing-cu adalah angkatan lebih tua daripadamu. Sekarang aku mempunyai suatu pertanyaan, mengingat hubunganku dengan ayah dan pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap engkau jangan marah.”

"Ciok-totiang mempunyai petunjuk apa, silakan bicara, aku akan terima dengan hormat,” sahut Toan Ki.

Diam-diam Ciok-jing-cu membatin bocah ini masih tetap berlagak pilon. Segera katanya, "Sudah berapa lama Toan-kongcu berhasil mempelajari ‘Hoa-kang-tay-hoat’? Gurumu adalah Cinjin yang mana dari anak murid iblis tua di Sing-siok-hay itu?”

Toan Ki menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala, sahutnya, "Hoa-kang-tay-hoat dan iblis tua dari Sing-siokhay apa? Wanpwe baru sekarang mendengar nama-nama itu.”

Ciok-jing-cu pikir mungkin orang yang mengajar Toan Ki itu sengaja tidak mengatakan asal usul dan nama perguruannya itu. Maka tanyanya pula, "Habis, dari mana engkau belajar ilmu itu, bagaimana wajah orang itu?”

"Wanpwe tidak pernah belajar apa-apa,” sahut Toan Ki.

Dan pada saat itu juga, sekonyong-konyong dari ruangan belakang berlari keluar seorang dan tangan Toan Ki terus dicengkeramnya. Kiranya orang ini adalah Ui-bi-ceng.

Tapi begitu kedua tangan bersentuhan, seketika badan padri itu tergetar, tenaga dalam tubuhnya seakan-akan membanjir keluar tak terhentikan. Tanpa pikir lagi Ui-bi-ceng ayun kakinya hingga Toan Ki didepak terjungkal.

Tentu saja semua orang kaget, beramai-ramai mereka berbangkit dan bertanya ada apa?

"Kedua Toan-heng, bocah ini akan kalian binasakan sendiri atau aku membereskannya?” tanya Ui-bi-ceng tibatiba dengan suara gemetar.

Kiranya berturut-turut Boh-tam berenam telah sadar kembali dan menceritakan kejadian tenaga dalam mereka disedot habis oleh Toan Ki. Karena itu timbul pendapat Ui-bi-ceng yang berlainan daripada Ciok-jing-cu. Padri itu menyangka Toan Ki telah membalas air susu dengan air tuba, ditolong malah mentung, dan merusak Lwekang keenam muridnya itu. Apalagi waktu tangannya memegang tangan pemuda itu, seketika tenaga dalam sendiri juga akan diisap, maka ia menjadi lebih yakin lagi akan cerita murid-muridnya itu.

Jilid 15
Mula-mula Po-ting-te dan lain-lain merasa heran ketika mendengar ucapan Ciok-jing-cu tadi, mereka mengira imam yang biasanya jenaka itu sedang membadut. Tapi kini demi tampak sikap Ui-bi-ceng yang sungguhsungguh itu, barulah mereka tahu urusan benar-benar sangat gawat.

Segera Po-ting-te pegang tangan Toan Ki dan hendak menyeretnya bangun. Ketika tangan menempel tangan, tiba-tiba hati tergetar juga, tenaga dalam terus merembes keluar. Cepat ia tahan sekuatnya berbareng lengan jubah mengebas hingga Toan Ki terentak ke samping beberapa tindak. Lalu bentaknya dengan suara bengis, "Sejak kapan kau belajar ilmu sesat begini?”

Sejak kecil sampai dewasa, jarang sekali Toan Ki melihat pamannya bicara dengan suara bengis padanya. Saking gugupnya cepat ia berlutut dan menjawab, "Kecuali ‘Leng-po-wi-poh’ itu selamanya anak tidak pernah belajar ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu gerak langkah itu sejahat ini? Jika ... jika demikian, biarlah anak takkan menggunakannya lagi mulai sekarang, bahkan akan kulupakan saja seluruhnya.”

Po-ting-te cukup kenal watak keponakannya, selamanya tidak pernah berdusta, terhadap orang tua juga sangat hormat, maka apa yang dikatakan pasti salah. Tentu di dalamnya ada sesuatu yang ganjil, maka katanya pula, "Kau gunakan ilmu melenyapkan tenagaku, hal ini sengaja kau lakukan atau karena terpaksa lantaran mendapat tekanan orang lain?”

Toan Ki bertambah heran dan bingung, "Titji ben ... benar tidak tahu sama sekali, dari mana Titji berani melenyapkan tenaga paman? Hakikatnya Titji tidak bisa sesuatu ilmu apa-apa!”

Tadi waktu Hui-cin dan Hui-sian menemui Po-ting-te, sebagai Onghui yang diagungkan, Si Pek-hong tidak bebas bertemu dengan orang luar, maka dia menyingkir ke dalam. Kemudian waktu mendapat laporan bahwa putra kesayangannya di depan terjungkal oleh tindakan Ui-bi-ceng dan sedang dimarahi Po-ting-te, saking gugupnya cepat ia keluar lagi.

Dan ketika melihat Toan Ki berlutut di hadapan sang paman dengan sikap bingung dan takut, sebagai ibu yang mahakasih, segera ia menarik bangun sang putra sambil berkata, "Ki-ji, jangan khawatir, segala urusan boleh katakan terus terang pada Pekhu dan aduuuuh ....”

Sekonyong-konyong ia merasa tangan sendiri seakan-akan tersedot dan tenaga dalam terus merembes keluar tak terhentikan.

Untunglah sebelum itu Po-ting-te sudah bersiap-siap, cuma di antara ipar tidak boleh bersentuhan badan, maka tidak enak baginya menarik tangan Si Pek-hong, tapi cepat ia kebas lengan bajunya hingga berjangkit serangkum angin keras ke tengah-tengah kedua orang itu, dengan paksa ia pisahkan daya lengket tangan ibu dan anak itu.

"Kenapa kau ... kau ....” seru Si Pek-hong kaget setelah dapat menarik kembali tangannya.

Melihat kelakuan sang ibu yang kaget dan gugup itu, Toan Ki belum sadar kalau dirinya yang menjadi garagara, cepat ia berbangkit hendak memegang sang ibu.

"Jangan Ki-ji!” lekas Cing-sun mencegahnya sambil mengadang di antara istri dan anaknya.

Maka sekarang tahulah semua orang bahwa pada badan Toan Ki ada sesuatu yang tidak beres, tapi mereka pun tidak mencurigai lagi bahwa arak muda itu mahir "Hoa-kang-tay-hoat” dan sengaja hendak mencelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui dari sikap Toan Ki yang polos dan lugu itu, sedikit pun tidak berpura-pura atau palsu. Pula, seumpama pemuda itu benar-benar jahat dari keji, rasanya tidak mungkin membunuh ibu kandung sendiri.

"Ui-bi Taysu, Ciok-jing-cu,” tiba-tiba Sing-thay berkata, "apakah sebabnya Toan-kongcu bisa begitu? Ayolah, coba siapa yang lebih dulu dapat menerangkannya!”

Mendengar itu, Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu saling melotot sekali, lalu sama-sama memeras otak untuk menemukan jawabannya.

Kiranya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu sebenarnya adalah dua kawan karib pada masa lalu. Suatu kali, karena berdebat tentang agama yang dianut masing-masing itu, keduanya sama-sama tidak mau mengalah hingga akhirnya saling gebrak.

Tapi karena kepandaian masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri, muka kekuatan kedua pihak boleh dikatakan setali-tiga-uang alias sama kuat.

Beberapa kali mereka pernah bertanding, pada penghabisan kalinya, hampir-hampir keduanya menggeletak dan gugur bersama. Untunglah datang Po-ting-te memisahkan mereka dengan Lwekang yang tinggi, tapi ketiga orang sama menderita kerugian tenaga dalam yang besar hingga perlu merawat diri dalam waktu cukup lama. Sejak itu Hwesio dan Tosu itu sama bersumpah tidak sudi bertemu muka lagi. Siapa duga hari ini justru saling berjumpa pula di istana pangeran Tin-lam-ong ini.

Ko Sing-thay bermaksud melenyapkan persengketaan di antara kedua tokoh itu, maka sengaja ia kemukakan persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu bertanding kecerdasan otak dan tidak bertanding ilmu silat, jika pertanyaannya tadi dapat dimenangkan oleh salah satu pihak, ia harap dapatlah mengakhiri percekcokan di antara kedua orang itu.

Pertanyaan Ko Sing-thay itu sebenarnya lebih menguntungkan Ciok-jing-cu, sebab imam itu telah menjelajah ke mana saja, dengan pengalamannya yang luas terang lebih menguntungkan daripada Ui-bi-ceng yang sudah sekian lama terasing di pegunungan sunyi.

Namun biarpun Ui-bi-ceng tidak tahu apa sebabnya Toan Ki menjadi begitu, bagi Ciok-jing-cu, kecuali menduga kepandaian pemuda itu adalah Hoa-kang-tay-hoat ajaran iblis tua Sing-siok-hay, lebih dari itu ia pun tidak bisa mengemukakan pendapat lain.

Maka dengan gusar Cing-sun berkata, "Ketika Ki-ji disekap di rumah batu itu, tentu dia telah dicekoki sesuatu obat racun apa-apa oleh Jing-bau-khek itu hingga ada ilmu sihir masuk tubuhnya tanpa disadarinya.”

"Ya, masuk akal juga pendapatmu ini,” ujar Po-ting-te mengangguk. "Tentu Ki-ji terkena apa-apanya, makanya bisa begini. Ki-ji, coba katakan, waktu dikurung di rumah batu itu, apa kau pernah pingsan?”

"Pernah,” sahut Toan Ki, "bahkan beberapa kali Titji tak sadarkan diri.”

"Itulah dia!” seru Cing-sun. "Pasti kesempatan pada waktu Ki-ji tak sadar itu telah digunakan oleh Jing-baukhek untuk memasukkan ilmu sihir yang bisa menghilangkan kepandaian orang ke dalam badannya. Maksud tujuannya tentu secara tak langsung Ki-ji hendak dipakai untuk mencelakai sanak familinya, yaitu, supaya kepandaian kita lenyap semua di tangan Ki-ji. Sungguh tipu muslihat yang keji dan terkutuk. Toako, urusan tak boleh terlambat, marilah kita segera mencari akal untuk melenyapkan ilmu sihir dalam tubuh Ki-ji itu.”

Dan di antara semua orang itu, dengan sendirinya Si Pek-hong yang paling khawatir, tanyanya cepat, "Ki-ji, apakah kau rasakan badanmu menderita sesuatu?”

Toan Ki berkerut kening, sahutnya, "Antero tubuhku terasa penuh terisi tenaga belaka, di mana-mana seakanakan melembung, tepi justru susah untuk ditumpah keluar. Hawa itu terasa meresap ke sana-sini di dalam badan, mungkin seluruh isi perutku kacau-balau diterjang olehnya.”

"O, kasihan!” seru Si Pek-hong terus hendak merangkul sang putra.

Syukur Cing-sun keburu mencegahnya sambil berkata, "Jangan menyentuh Ki-ji! Badannya keracunan.”

"Badan keracunan”, memang demikianlah pendapat semua orang yang hadir di situ. Mereka menjadi kasihan dan gegetun pemuda yang tampan itu mesti menderita penyakit yang aneh itu.

"Toapek, kita harus lekas berdaya untuk menyembuhkan Ki-ji,” pinta Si Pek-hong kepada Po-ting-te.

"Harap adik ipar jangan khawatir,” sahut Po-ting-te. "Di depan kita sekarang sudah siap seorang Hwesio dan seorang Tosu, keduanya tokoh nomor wahid dalam Bu-lim, satu tadi telah memaki Ki-ji habis-habisan, yang lain bahkan telah menendangnya hingga terjungkal, dengan sendirinya penyakit Ki-ji wajib mereka sembuhkan.”

Saat itu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu justru sedang peras otak memikirkan penyakit apa yang diderita Toan Ki. Maka apa yang dikatakan Po-ting-te itu sama sekali tak masuk dalam telinga mereka.

Sekonyong-konyong Ui-bi-ceng berteriak, "He, ya!

Semua orang ikut girang dan mengarahkan pandang kepadanya. Siapa duga padri itu lantas goyang-goyang tangan dan menyatakan dengan menyesal, "Ah, salah, salah! Obat racun itu melulu dapat merusak kepandaian sendiri dan tak bisa melenyapkan kepandaian pihak lain.”

Penjelasan itu membikin semua orang merasa kecewa.

Tiba-tiba Ciok-jing-cu juga berseru, "Ya, tentu begitu!”

"Bagus!” teriak Sing-thay ikut bergirang. "Nah, apa sebabnya, lekas katakan?”

Dengan berseri-seri segera Ciok-jing-cu bercerita, "Di luar lautan sana, di pantai semenanjung Liautang terdapat sebuah pulau ular ....” tiba-tiba wajah yang berseri-seri tadi membuyar hingga akhirnya berubah menjadi lesu, ia geleng-geleng kepala dan menyambung, "Wah, salah rekaanku, tak mungkin terjadi begini.”

Begitulah, suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi senyap, tiada seorang pun membuka suara lagi.

Dalam keadaan hening itulah, terdengar di luar ada tindakan orang datang dan segera ada suara seorang berseru, "Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata-mata musuh berpura-pura tuli dan bisu telah tertawan di luar, pada mereka terdapat tulisan-tulisan yang tak bisa diampuni.”

Mendengar kata-kata "tuli dan bisu”, pikiran Po-ting-te tergerak, cepat tanyanya, "Apakah benar-benar orang bisu, atau bisu disebabkan lidah mereka terpotong?”

"Baginda memang mahasakti, lidah kedua mata-mata itu memang bekas terpotong,” sahut pelapor di luar.

Po-ting-te memandang sekejap kepada Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu dan Toan Cing-sun, diam-diam ia membatin, "Nyata Liong-ah Lojin juga sudah muncul, kesulitan-kesulitan selanjutnya tentu semakin banyak lagi.”

Segera ia pun berkata, "Thian-sik, coba keluar membawa masak kedua tamu itu!”

Thian-sik memberi hormat dan bertindak keluar.

Tidak lama, masuklah Thian-sik dengan membawa dua pemuda berusia antara 18 atau 19 tahun dan memberi lapor, "Cong-pian Siansing mengirim utusan untuk menghadap Sri Baginda.”

Kiranya apa yang disebut Liong-ah Lojin atau si Kakek Bisu Tuli itu justru sengaja memakai gelaran "Congpian Siansing” atau si Tajam Telinga dan Tangkas Mulut. Maksudnya mengatakan meski kuping budek, tapi dapat mendengar lebih jelas daripada orang lain, dan meski bisu, namun kalau bicara sebenarnya jauh lebih tangkas daripada siapa pun.

Nama tokoh bisu tuli itu sangat tenar di dunia persilatan, tindak tanduknya agak aneh, tidak suci, tidak jahat. Kalau ada orang bermusuhan dengan dia, maka celakalah orang itu, selama hidupnya pasti akan selalu terlibat dalam pertempuran dengan si kakek tuli-bisu itu, kalau sakit hatinya belum terbalas, tentu takkan selesai urusannya. Sebab itulah, siapa pun juga, baik ilmu silatnya sama kuat atau lebih tinggi daripada kakek itu, tentu mengindahkan dan menghormatinya untuk menghindari kesukaran-kesukaran yang mungkin terjadi.

Sikap kedua pemuda tadi ternyata cukup gagah, wajah putih bagus, semuanya memakai baju putih, tapi di bagian dada tertulis dua baris huruf, "Utusan Cong-pian Siansing, ada sesuatu urusan hendak disampaikan kepada Toan Cing-beng Siansing dari Tayli.”

Sebagai raja, nama "Cing-beng” di negeri Tayli tidak boleh sembarangan disebut oleh siapa pun. Tapi tulisan di dada baju pemuda itu terang-terangan menyebut "Cing-beng Siansing” tanpa sebutan kebesaran lain, dengan sendirinya oleh pelapor tadi dianggap perbuatan berdosa.

Namun Po-ting-te hanya tersenyum saja, katanya, "Cong-pian Siansing ternyata sudi menyebut Siansing padaku, hal itu sudah boleh dikatakan mengindahkan diriku.”

Kemudian kedua pemuda tadi mendekati Po-ting-te, mereka hanya menghormat dengan membungkuk badan, tidak berlutut dan menyembah.

Segera Thian-sik mengambil pensil dan menulis di atas secarik kertas, "Cong-pian Siansing ada urusan apa, boleh segera lapor kepada Hongsiang.”

Hendaklah diketahui bahwa watak Liong-ah Lojin itu sangat aneh. Setiap anak murid atau pengikutnya, semuanya dipotong lidah dan dirusak anak telinganya hingga berwujud orang bisu tuli seperti dia sendiri, supaya tidak bisa mendengarkan pembicaraan orang, tapi ia sendiri juga tak dapat bicara. Peraturan yang aneh dan istimewa itu sudah diketahui oleh orang Kangouw umumnya.

Maka untuk menjawab pertanyaan Thian-sik itu, dengan sendirinya kedua pemuda itu tak bisa bicara, tapi pemuda sebelah kanan lantas menanggalkan buntelan yang dibawanya, ia mengeluarkan sepotong baju wanita warna jambon dan dikenakan di badan sendiri, lalu mengeluarkan bedak dan gincu untuk bersolek sekadarnya.

Pemuda yang lain lantas membantu kawan itu melepaskan rambutnya untuk dikepang menjadi dua kucir serta diberi pita merah pula hingga serupa dandanan gadis remaja.

Melihat kelakuan mereka, semua orang merasa heran dan geli pula. Tapi tiada seorang pun yang dapat menerka apa maksud tujuan Liong-ah Lojin dengan mengirim kedua utusannya ini.

Selesai pemuda itu berdandan sebagai seorang gadis, lalu ia berjalan beberapa tindak dengan berlenggaklenggok, kemudian melompat dan berjingkrak sebagaimana lazimnya gadis remaja yang lincah dan riang.

Meski geli melihat kelakuan pemuda yang menyamar sebagai gadis itu, namun semua orang menduga tindakan Liong-ah Lojin ini tentu mempunyai maksud dalam, maka tiada seorang pun berani tertawa.

Hanya Toan Ki saja yang tidak kenal siapakah gerangan Liong-ah Lojin itu, dengan bertepuk tangan ia tanya

dengan tertawa, "Haha, kau berperan sebagai nona cilik, dan dia menjadi siapa lagi?”

Pemuda yang lain ternyata tidak menyamar apa-apa, ia sengaja mendongak dan berjalan dengan membusungkan dada seakan-akan dunia ini aku punya. Dengan lagak tuan besar ia berjalan satu putaran di ruangan itu, ketika sampai di depan "gadis remaja” tadi, tiba-tiba ia mengamati-matinya dengan tersenyumsenyum, bahkan terus mencubit perlahan pipi gadis gadungan itu.

Gadis palsu itu tampak tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak menandakan telah bicara apa-apa. Mendadak pemuda itu tempelkan muka dan mencium sekali pipi si gadis palsu. "Plak”, tiba-tiba si gadis palsu memberi persen sekali tamparan kepada pemuda bangor itu. Namun dengan cepat pemuda itu menjulurkan jari telunjuknya dan menutuk iga si gadis palsu.

Melihat gerak tutukan jari itu, seketika Po-ting-te, Toan Cing-sun, Ko Sing-thay, Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu, Hoa Hek-kin dan kawan-kawannya sama terkejut hingga bersuara heran. Bahkan saking heran Cing-sun dan Ciokjing-cu berbangkit dari tempat duduknya.

Kiranya tutukan jari yang digunakan pemuda itu, baik gayanya maupun tempat yang diarah persis adalah kepandaian khas keluarga Toan, yaitu "It-yang-ci” yang hebat itu.

Gerak tutukan "It-yang-ci” itu tampaknya tidak sulit, tapi sebenarnya membawa gerak perubahan yang hebat, sekali tutuk, baik tempat yang diarah atau jaraknya, sedikit pun tidak boleh salah, kalau tidak, daya tekanannya tak bisa dilontarkan seluruhnya.

Meski Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu, Ko Sing-thay dan lain-lain tidak pernah belajar ilmu itu, tetapi hubungan mereka dengan keluarga Toan sangat erat, maka benar atau salah It-yang-ci yang digunakan itu cukup diketahui mereka.

Mereka pun tahu ilmu silat Liong-ah Lojin itu adalah suatu aliran tersendiri dan tergolong lunak, sama sekali berbeda seperti It-yang-ci yang mengutamakan kekerasan. Tapi mengapa anak muridnya juga dapat mempelajari ilmu tutuk itu?

Hanya sekejap itu saja rasa heran orang, sebab di tengah kalangan itu keadaan telah berubah lagi. Ketika melihat lawan menutuk iganya, tiba-tiba si gadis palsu mengulur tangan dan dengan cepat menangkap jari lawan. "Krek”, tahu-tahu tulang jari si pemuda dipatahkannya.

Serangan balasan si gadis palsu ini meski dilakukan dengan sangat aneh dan cepat, namun dapat diikuti semua orang dengan jelas. Tapi tiada seorang pun menduga sebelumnya bahwa gadis palsu itu bisa melontarkan tipu

serangan itu.

Maka menyusul pemuda tadi melangkah maju, kembali jari tangan kiri menutuk ke dada si gadis palsu, tipu serangan yang dipakai tetap bergaya It-yang-ci. Tapi ketika kedua tangan si gadis palsu menyambar, "krek”, lagi-lagi jari pemuda itu dipatahkan.

Meski dua jarinya sudah patah, namun, pemuda itu seperti tidak kenal apa artinya sakit, ia masih tetap menyerang terus, hanya sekejap saja kembali ia keluarkan enam gerak It-yang-ci. Tapi gadis palsu itu pun dapat menangkis dengan cepat dan menggunakan enam gerakan yang berbeda-beda untuk mematahkan serangan jari si pemuda.

Karena delapan jarinya telah dipatahkan dan tinggal dua buah jari jempol saja, pemuda itu tidak berani menyerang pula, ia putar tubuh dan terus melarikan diri ke samping. Si gadis palsu bertepuk tangan dengan tertawa sebagai tanda sangat senang. Menyusul ia lantas ambil pensil dan menulis di atas kertas, "Keluarga Toan dari Tayli, tak bisa menangkan Buyung di Koh-soh.”

Habis menulis, segera si pemuda yang patah jarinya itu digandengnya pergi.

"Nanti dulu!” segera Thian-sik bermaksud mencegat.

Namun Po-ting-te goyang-goyang kepala dan berkata, "Biarlah mereka pergi!”

Sesudah kedua pemuda itu pergi, pikiran semua orang merasa tertekan, mereka paham bahwa maksud Liongah Lojin mengirim kedua utusannya itu adalah untuk menunjukkan kepada Po-ting-te dan Toan Cing-sun bahwa orang she Buyung di Koh-soh itu sudah mempunyai ilmu khusus untuk mematahkan It-yang-ci.

Walaupun It-yang-ci itu kalau dimainkan Po-ting-te atau Toan Cing-sun, daya tekannya tentu jauh lebih lihai daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi sama halnya pihak lawan juga cuma seorang gadis remaja saja, kalau orang dewasa yang memainkan, dengan sendirinya kekuatannya juga jauh lebih hebat.

Yang harus dipuji adalah si pemuda bisu-tuli tadi ternyata bisa menirukan gerakan kedelapan jurus It-yang-ci dengan sangat tepat, meski cara mengerahkan tenaganya masih banyak kesalahannya, tapi gayanya yang indah itu sedikit pun tidak keliru. Sebaliknya cara si gadis palsu itu mematahkan jari-jarinya itu terlebih hebat dan aneh pula, perubahan-perubahan ternyata sukar diduga.

Namun Po-ting-te ternyata tidak mau mempersoalkan hal itu, dengan tersenyum ia tanya Ciok-jing-cu, "Ciok-

heng, jauh-jauh kau datang kemari, apakah ada hubungannya dengan persoalan orang Buyung di Koh-soh itu?”

"Tidak, tiada sangkut pautnya dengan orang Buyung di Koh-soh,” sahut Ciok-jing-cu menggeleng kepala. "Tapi besar sangkut pautnya dengan keluarga Toan kalian. Anak murid Toan kalian telah keterlaluan menggemparkan kota Yangciu. Kaisar kerajaan Song mungkin tidak enak mengusut perkara itu mengingat nama baikmu, tapi orang-orang Bu-lim dari Tionggoan merasa penasaran padamu.”

Keruan Po-ting-te terkejut, cepat tanyanya, "Mana bisa jadi begitu? Keturunan keluarga Toan kami melulu Kiji seorang, tapi selamanya ia tidak pernah meninggalkan wilayah Tayli, dari mana bisa mengacaukan kota Yangciu?”

"Yangciu-sam-hiong, yaitu He Hou-siu, Kim Tiong dan Ong Siok-kian, dan anggota keluarga laki-laki mereka yang berjumlah 28 jiwa dalam semalam saja telah tewas semua di bawah tutukan It-yang-ci,” demikian tutur Ciok-jing-cu, "Toan-hongya, katakanlah, dosa apakah Yangciu-sam-hiong itu terhadap Toan-keh kalian?”

"Dua puluh delapan jiwa mati semua di bawah tutukan It-yang-ci, apa betul dan tidak salah lihat, Cioktoheng?” sahut Po-ting-te.

"Cara It-yang-ci membunuh orang sangat halus, pihak yang terkena seluruh badan terasa nikmat, anggota badan juga hangat tanpa derita sedikit pun, makanya korban tetap bersenyum tanpa luka, betul tidak begitu tanda terkena It-yang-ci?” tanya Ciok-jing-cu.

"Sedikit pun tidak salah cara hidung kerbau melukiskan itu, seakan-akan dia sendiri pernah mencicipi rasanya It-yang-ci,” ujar Cing-sun dengan tertawa.

Namun Ciok-jing-cu tidak bisa tertawa lagi, katanya dengan sungguh-sungguh, "Anggota keluarga Yangciusam-hiong yang terbunuh itu semuanya mati dengan wajah tersenyum, pada badan mereka pun tiada tanda luka apa-apa.”

"Tapi mayat mereka lemas seperti orang hidup, sedikit pun tidak kaku bukan?” sela Cing-sun.

"Ya,” sahut Ciok-jing-cu. "Kita tahu ada beberapa macam racun bila membinasakan orang, wajah sang korban juga tampak tersenyum-senyum, namun tiada sesuatu ilmu lain lagi di dunia ini yang bisa menjadikan mayat sang korban tetap lemas tanpa kaku sedikit pun seperti halnya korban yang terkena It-yang-ci.”

"Tapi di antara anak murid dan keturunan keluarga Toan kami, sampai kini melulu Ki-ji seorang saja,

sedangkan dia sampai saat ini belum pernah belajar It-yang-ci,” ujar Cing-sun.

"Ciok-toheng,” kata Po-ting-te. "Kau bilang anggota keluarga Yangciu-sam-hiong yang terbunuh itu adalah kaum laki-laki semua, jika begitu kaum wanitanya tentu masih hidup dan telah melihat wajah si pembunuh itu?”

"Menurut cerita He-hujin dan Ong-hujin, katanya pembunuh itu memakai kedok kain hijau, mukanya tidak jelas kelihatan, cuma menurut taksiran usianya masih muda,” sahut Ciok-jing-cu.

Po-ting-te menghela napas dan memandang sekejap kepada Toan Cing-sun.

Maka berkatalah Cing-sun, "Ciok-toheng, putraku ini kesurupan ilmu sihir, orang yang mencelakainya itu justru adalah anggota keluarga Toan kami sendiri, orang itu terkenal sebagai ‘Thian-he-te-it-ok-jin’ (orang jahat nomor satu di jagat ini).”

Lalu ia bercerita cara bagaimana Toan Ki diculik dan dikurung oleh Yan-king Taycu di dalam rumah batu itu, kemudian Ui-bi-ceng berusaha menolongnya.

Pertandingan antara Yan-king Taycu dan Ui-bi-ceng sebenarnya dimenangkan Yan-king, tetapi Cing-sun sengaja bilang Yan-king Taycu salah menjalankan caturnya hingga mengaku kalah.

Karena itu Ui-bi-ceng lantas berkata, "Toan-ongya tidak perlu menutupi maluku, pertandingan itu terang aku yang kalah. Seumpama Gu-pit-cu yang melawan Yan-king Taycu, dia juga pasti akan kalah.”

"Ah, belum tentu,” sahut Ciok-jing-cu.

"Jika begitu, marilah kita boleh coba-coba satu babak,” kata Ui-bi-ceng.

"Bagus, aku justru ingin minta petunjuk padamu,” kontan Ciok-jing-cu terima tantangan itu.

"Hahaha, sungguh menertawakan orang,” tiba-tiba Ui-bi-ceng terbahak-babak.

"Apa yang menggelikanmu?” tanya Ciok-jing-cu mendongkol.

"Aku tertawa karena ada orang begitu tolol,” sahut Ui-bi-ceng. "Sudah terang kejahatan itu dilakukan anak murid Toan Yan-king, tapi Toan-hongya yang dimintai tanggung jawabnya.”

Muka Ciok-jing-cu menjadi merah, sahutnya, "Memangnya kalau anak murid Toan Yan-king itu bukan anak murid keluarga Toan? Toan Yan-king itu she Toan atau bukan?”

"Ah, pokrol bambu!” sahut Ui-bi-ceng.

"Ah, ngaco-belo!” jengek Ciok-jing-cu tak mau kalah.

Po-ting-te sudah biasa menyaksikan pertengkaran kedua tokoh itu, maka ia hanya tersenyum saja, katanya kemudian, "Cong-pian Siansing telah menyaksikan gadis keluarga Buyung mematahkan ilmu It-yang-ci, boleh jadi pemuda yang coba menggoda si gadis yang dimaksudkan itulah si pembunuh Yangciu-sam-hiong.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba sikapnya berubah kereng, katanya pula, "Sun-te, menurut pesan leluhur, soal permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim, jelas kita tak boleh ikut campur. Tapi sekarang ternyata ada orang menggunakan It-yang-ci untuk melakukan kejahatan di luaran, hal mana rasanya keluarga Toan kita tidak boleh tinggal diam lagi.”

"Benar,” sahut Cing-sun.

Dalam hati kedua saudara itu sebenarnya mempunyai pikiran yang sama, cuma tidak mereka katakan. Kalau ternyata orang she Buyung di Koh-soh itu mampu menggunakan ilmu lihai untuk mematahkan jari anak murid keluarga Toan dan hal ini didiamkan saja, tentu nama baik keluarga Toan di Tayli akan sangat dirugikan.

Maka Po-ting-te lantas berkata, "Sun-te, hendaknya segera membawa serta Sam-kong Su-un (tiga tokoh dan empat jago, maksudnya Pah Thian-sik bertiga dan Leng Jian-li berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk menemui Hian-cu Taysu, sekalian boleh juga belajar kenal dengan ilmu silat keluarga Buyung di Koh-soh yang lihai itu. Yan-king Taycu adalah keturunan lurus dari mendiang raja yang dulu, kalau ketemu dia hendaklah berlaku sopan dan menghormatinya. Kalau anak muridnya ada berbuat sesuatu yang tidak senonoh, paling baik selidiki dulu hingga terang, lalu tangkap dan serahkan pada Yan-king Taycu untuk dihajar sendiri, kita jangan sembarangan mencelakai mereka.”

Cing-sun dan ketiga tokoh serta empat jago sama mengiakan menerima titah baginda itu.

Melihat Ko Sing-thay ada maksud ingin ikut serta, dengan tersenyum Po-ting-te berkata, "Jago-jago kita seakan-akan dikerahkan semua, biarlah Sian-tan-hou tinggal di rumah untuk membantu aku saja.”

Ko Sing-thay mengiakan atas titah itu.

"Pekhu,” tiba-tiba Toan Ki berkata, "bolehkah Titji ikut pergi bersama ayah untuk menambah pengalaman?”

Po-ting-te menggeleng kepala, sahutnya, "Badanmu kesurupan ilmu sesat, aku masih harus menyembuhkan kau, apalagi kau tak bisa ilmu silat, kalau ikut pergi mungkin malah bikin malu keluarga Toan kita saja.”

Wajah Toan Ki menjadi merah, baru sekarang ia menyesal mengapa dahulu tidak belajar silat hingga kini tak boleh ikut pesiar ke Tionggoan yang indah permai itu.

Dalam pada itu perjamuan untuk menyambut kedatangan Ciok-jing-cu lantas dilangsungkan dengan meriah. Toan Ki duduk menyendiri, orang lain tiada yang berani mendekatinya, sebab khawatir tersentuh racun jahat di tubuh pemuda itu.

Tentu saja yang paling kesal adalah Toan Ki karena seakan-akan terasing dari pergaulan, sedangkan hawa murni dalam badannya masih terus bergolak karena tak bisa dipusatkan.

Semakin lama duduk di situ, semakin tak tahan Toan Ki, hanya minum dua cawan arak ia lantas mohon diri untuk kembali ke kamarnya. Teringat olehnya pengalaman yang aneh selama beberapa hari ini, ia terkenang pada Bok Wan-jing dan Ciong Ling, kedua nona jelita yang baru dikenalnya itu entah ke mana perginya sekarang.

Terpikir juga olehnya putri Ko Sing-thay, Ko Bi, yang telah dilamarkan oleh kedua orang tuanya itu, nona itu selama ini tidak pernah dilihatnya, entah bagaimana perangainya dan cocok tidak dengan dirinya, pula entah cantik atau jelek makanya.

Begitulah Toan Ki rebah di ranjang dengan macam-macam pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, hawa murni dalam badannya masih terus bergolak tak keruan rasanya, walaupun deritanya tidak sehebat seperti berkobarnya nafsu waktu minum Im-yang-ho-hap-san, tapi rasanya juga sukar ditahan, syukurlah akhirnya ia dapat tidur pula.

Sampai tengah malam, mendadak ia terjaga dari tidurnya ketika merasa kedua tangannya digenggam kencang oleh orang, dan baru saja mulutnya terpentang hendak menjerit, tahu-tahu sepotong kain dijejalkan ke dalam mulutnya.

Waktu ia berpaling sedikit, di bawah sinar lilin remang-remang ia lihat seraut wajah yang putih cakap sedang tersenyum padanya. Itulah Ciok-jing-cu adanya.

Cepat ia berpaling pula ke sisi lain, yang pertama-tama tertampak olehnya adalah dua jalur alis kuning yang panjang melambai, itulah dia Ui-bi-ceng. Muka padri yang kurus itu pun mengunjuk senyum penuh welas asih dan sedang mengangguk perlahan sebagai tanda agar pemuda itu jangan khawatir. Menyusul ia lantas keluarkan kain penyumbat mulut Toan Ki tadi.

Toan. Ki merasa lega melihat tokoh itu, segera ia merangkak bangun untuk memberi hormat. Namun Ciokjing-cu lantas berkata padanya, "Hiantit tak perlu banyak adat, hendaklah rebah saja dengan tenang, biar kami berdua menyembuhkan racun jahat dalam tubuhmu.”

"Sungguh Wanpwe merasa terima kasih harus membikin susah kedua Cianpwe,” kata Toan Ki.

"Kami berdua adalah kawan karib pamanmu, hanya sedikit urusan ini, kenapa mesti dipikirkan?” sahut Ui-biceng.

"Sedikit urusan? Huh, jangan membual dahulu, Hwesio,” jengek Ciok-jing-cu tiba-tiba. "Dapat tidak kita sembuhkan dia masih harus melihat hasilnya dulu.”

Selagi Toan Ki hendak berkata pula, sekonyong-konyong terasa kedua telapak tangannya tergetar, dua arus hawa sekaligus merembes masuk dari kanan-kiri, badan Toan Ki terguncang sedikit, mukanya menjadi merah membara seakan-akan orang mabuk arak.

Kedua arus hawa murni itu mula-mula berkeliaran kian kemari di antara urat-urat nadinya, tapi kemudian semakin lemah dan semakin lambat, akhirnya lantas lenyap. Menyusul dari telapak tangan yang dipegang Uibi-ceng dan Ciok-jing-cu itu terasa merembes masuk lagi hawa murni yang lain.

Begitulah kira-kira sepertanak nasi lamanya, Toan Ki merasa separuh tubuh bagian kanan semakin lama semakin panas, sebaliknya separuh tubuh sisi kiri makin lama makin dingin, yang kanan seperti dibakar, yang kiri seperti direndam es. Tapi aneh bin ajaib, biarpun panas dingin rasanya, namun nikmatnya tak terkatakan. Ia

tahu kedua tokoh terkemuka itu sedang menggunakan Lwekang mereka yang tinggi untuk mengusir racun dalam tubuhnya.

Sudah tentu apa yang diduga Toan Ki itu tidak benar seluruhnya.

Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu entah sudah berapa kali bertanding, baik mengadu kecerdasan maupun mengadu ketangkasan, dari pertandingan kasar sampai perlombaan secara halus, namun selalu sama kuat hingga sukar ditentukan siapa lebih unggul.

Ketika mereka bertengkar dan saling sindir pula siang tadi, keduanya sama-sama masih mendongkol. Sampai tengah malam, diam-diam kedua orang itu mengeluyur ke taman untuk berunding cara bagaimana harus bertanding lagi. Akhirnya acara jatuh pada diri Toan Ki, mereka sepakat untuk menyembuhkan pemuda itu sebagai batu ujian mereka.

Dahulu sudah dua kali mereka bertanding Lwekang dan banyak membuang tenaga, untung ditolong oleh Poting-te hingga jiwa mereka dapat diselamatkan. Karena itu, sekarang mereka ingin memberi jasa-jasa baik bagi Po-ting-te untuk mengusir racun dalam tubuh Toan Ki. Sebab, kalau bicara tentang menyembuhkan penyakit dengan Lwekang di dunia ini rasanya tiada yang lebih kuat daripada It-yang-ci, cuma tenaga dalam yang harus dikorbankan si pemakai It-yang-ci itu terlalu besar.

Dari itu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu telah bersepakat untuk menyembuhkan Toan Ki masing-masing separuh badan, kanan dan kiri, siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang.

Hwesio dan Tosu itu sudah pernah merasakan kelihaian racun dalam tubuh Toan Ki itu. Mereka tahu begitu menyenggol badan pemuda itu, tenaga dalam mereka segera akan buyar. Sebab itulah, begitu mulai, terus saja mereka mengerahkan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak berani ayal, pikir mereka dengan tenaga kedua jago pilihan seperti mereka, paling-paling cuma racunnya tidak bersih dilenyapkan, tapi pasti tiada halangan bagi kesehatan Toan Ki.

Tak mereka duga bahwa apa yang mengeram di dalam tubuh Toan Ki itu hakikatnya bukan racun apa segala, tapi adalah semacam ilmu sakti yang bisa menyedot hawa murni orang yaitu tenaga sakti yang berasal dari sepasang katak Bong-koh-cu-hap yang merupakan makhluk mestika di alam ini. Karena katak-katak itu telah dimakan oleh Toan Ki, maka khasiat yang berada pada katak-katak itu sudah terlebur di dalam tubuh pemuda itu hingga tiada mungkin dilenyapkan lagi. Apalagi daya isap tenaga Cu-hap itu memang sangat kuat, ditambah lagi hawa-hawa murni dari Lwekang yang dilatih Boh-tam berenam, maka tenaga dalam yang dimiliki Toan Ki tatkala itu sesungguhnya sudah tidak di bawahnya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Cuma saja Toan Ki tak bisa menjalankan dan menggunakan tenaganya itu. Namun begitu, setiap kali Hwesio dan Tosu itu mengerahkan tenaga mereka, keruan seperti air mengalir ke laut saja, seketika kena disedot oleh Cu-hap-sin-kang dalam tubuhnya Toan Ki.

Sebenarnya urusan memang juga sangat kebetulan, rupanya sudah takdir ilahi dalam hidup Toan Ki harus mengalami kejadian itu. Coba kalau bukan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu dengan sukarela mau menyalurkan tenaga murni mereka ke dalam tubuh Toan Ki, betapa pun kuat daya isap Cu-hap-sin-kangnya Toan Ki juga susah untuk menyedot Lwekang kedua tokoh kelas wahid itu, paling tidak mereka pasti mampu melepaskan diri dari daya isap itu.

Dan sebabnya badan Toan Ki bisa terasa panas-dingin pada kedua sisi tubuhnya itu adalah karena apa yang diyakinkan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu itu memang berbeda-beda si Hwesio meyakinkan ilmu keras dari unsur Yang, sebaliknya si Tosu meyakinkan ilmu bersumber pada unsur Im yang lunak. Dasar agama mereka pun berbeda, ilmu yang diyakinkan pun berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak mungkin dipersatukan.

Dalam pada itu dirasakan tenaga yang mereka kerahkan ke badan Toan Ki selalu lenyap seperti air mengalir ke laut, sedikit pun tak bisa ditarik kembali lagi. Hal ini tidak pernah mereka alami. Semakin kuat mereka mengerahkan tenaga semakin cepat pula lenyapnya Lwekang mereka.

Semula mereka terus bertahan oleh karena rasa ingin menang, tapi setelah setengah jam kemudian, jantung Uibi-ceng dan Ciok-jing-cu mulai berdebar dan tenaga mulai macet.

Ui-bi-ceng sadar ketidakberesan hal itu, kalau diteruskan pasti antero Lwekangnya akan ludes sama sekali. Segera ia berkata, "Ciok-toheng, urusan ini agak ganjil, marilah kita berhenti sementara untuk mempelajari apa sebab musababnya?”

Sebenarnya Ciok-jing-cu juga mempunyai maksud begitu, tapi karena rasa ingin menangnya, ia pikir orang telah lebih dulu minta padanya, maka ia sengaja menjawab, "Jika tenaga Taysu kurang cukup, silakan mundur dulu, tidak mungkin kupaksa orang yang tidak tahan lagi.”

Ui-bi-ceng menjadi gusar, "Hidung kerbau, betapa tinggi kepandaianmu memangnya aku tidak tahu? Him, kau berlagak gagah apa?”

Ciok-jing-cu juga tahu tenaga mereka sebenarnya setali-tiga-uang alias sama kuat. Tapi tempo hari si Hwesio sudah menempur Yan-king Taysu, Lwekang yang dikorbankan tentu sangat besar, inilah kesempatan yang sukar dicari, dirinya pasti dapat mengalahkan dia, bila kesempatan bagus ini dilewatkan, mungkin sampai mati kelak kedua orang tetap susah menentukan kalah dan menang.

Karena pikiran itulah, maka Ciok-jing-cu tetap bertahan sekuatnya dengan harapan lawan terpaksa akan undurkan diri lebih dulu.

Tak terduga Ui-bi-ceng juga mempunyai wataknya sendiri. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang dan sabar, suka mengalah. Tapi terhadap Ciok-jing-cu sungguh aneh sifatnya, asal bertemu tentu marah, betapa pun tidak mau mengalah.

Setelah bertahan lagi sebentar, tenaga murni dalam tubuh Toan Ki semakin penuh, daya sedotnya semakin kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih terus merembes keluar, segera mereka hendak menarik tangan, akan tetapi sudah tidak dapat lagi, dalam gugup mereka terpaksa soal pertandingan mereka itu harus dikesampingkan dan berbareng lepas tangan hendak meninggalkan badan Toan Ki.

Namun sudah telat, daya sedot Toan Ki teramat kuat, tenaga mereka bertambah lemah, tenaga murni mereka yang terlatih selama puluhan tahun itu sebagian besar sudah mengalir ke badan Toan Ki, sisa tenaga mereka tinggal sedikit saja, dengan sendirinya tangan mereka seperti lengket di badan pemuda itu dan tak bisa ditarik kembali, jadi mirip seperti Boh-tam berenam tempo hari.

Ui-bi-ceng saling pandang sekejap dengan Ciok-jing-cu, pikir mereka, "Sebabnya bisa terjadi begini, semua gara-gara karena rasa ingin menang. Bila sejak tadi lepas tangan ketika mengetahui gelagat tidak enak, tentu tidak sampai demikian jadinya.”

Dan tidak lama Hwesio dan Tosu itu mulai lesu dan lemas, napas mereka sudah kempas-kempis. Celakanya dalam peristiwa ini Toan Ki sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, kalau tahu bakal begitu, sejak mula tentu dia tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu, perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, betapa pun tidak mungkin dilakukannya.

Tapi ia justru mengira kedua Locianpwe itu sedang mengusir racun guna menyembuhkannya, hawa murni dalam tubuhnya terasa bergolak bagai air bah membanjir, makin lama makin keras, sampai akhirnya saking panasnya ia menjadi mabuk dan seperti orang tertidur pulas, maka terhadap bahaya yang sedang mengancam Ui-bi-ceng berdua itu sama sekali tak disadarinya.

Dalam keadaan begitu, asal lewat setengah jam lagi, Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu pasti akan menjadi cacat selama hidupnya. Untunglah pada detik berbahaya itu, tiba-tiba pintu kamar didobrak orang dan masuklah seorang yang bukan lain adalah Po-ting-te.

"Celaka!” serunya kaget melihat keadaan ketiga orang itu. Cepat ia tarik lengan baju Ui-bi-ceng dan dibetot hingga terlepas dari lengketan Toan Ki. Menyusul ia pun menarik Ciok-jing-cu dan berkata, "Kalian berdua asal ketemu tentu terjadi gara-gara, sudah kucari kalian, siapa tahu kalian justru bersembunyi dan sedang main gila di sini.”

Dan ketika melihat keadaan kedua tokoh itu sangat payah, dengan gegetun katanya pula, "Ai, usia kalian sudah sekian tua, urusan apa lagi yang mesti kalian ributkan terus? Dengan pertarungan ini, tidak sedikit pula tenaga yang telah kalian korbankan.”

Ia coba memegang nadi Ui-bi-ceng dan terasa denyutnya sangat lemah, waktu memeriksa Ciok-jing-cu, keadaannya serupa. Berulang Po-ting-te menggeleng kepala, disangkanya kedua orang itu mengulangi lagi apa yang terjadi dahulu, yaitu keduanya sama-sama mengalami cedera. Sudah tentu tak terduga olehnya bahwa tenaga murni kedua orang itu justru kena disedot oleh sang keponakan.

Dan ketika melihat Toan Ki tak sadarkan diri, ia malah menyangka keponakan itu menjadi korban pertandingan kedua tokoh itu. Cepat ia pun memeriksa nadinya, namun jalannya baik-baik saja, bahkan terasa ada sesuatu tenaga sedot yang sangat kuat hendak mengisap tenaga dalamnya.

Keruan Po-ting-te terkejut dan ragu, sebab kalau melihat keadaan begitu, agaknya tenaga dalam kedua tokoh Hwesio dan Tosu itu yang telah terisap ke dalam tubuh sang keponakan malah.

Ia pikir sejenak, lalu memanggil dayang istana pangeran agar membawa Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu ke kamar yang terpisah untuk istirahat.

Esok paginya, Toan Cing-sun beserta Sam-kong Su-un memohon diri kepada kakak baginda dan sang istri untuk berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-cin dan Hui-sian.

Meski hatinya masih khawatir karena keadaan sang putra yang keracunan itu, tapi mengingat kakak bagindanya sudah turun tangan sendiri, tentu takkan terjadi apa-apa. Sebelum berangkat, Cing-sun coba tengok Toan Ki, ia merasa lega ketika melihat pemuda itu masih tidur nyenyak dengan wajah merah bercahaya.

Setelah mengantarkan keberangkatan adik pangeran dan para kesatria, Po-ting-te lantas pergi memeriksa keadaan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Ia lihat kedua tokoh itu sedang bersemadi di kamar masing-masing. Wajah Ui-bi-ceng tampak pucat, badan gemetar. Sebaliknya muka Ciok-jing-cu merah membara bagai terbakar, terang kedua orang itu sama-sama terluka parah, tenaga murni mereka banyak terbuang.

Segera Po-ting-te menutuk dengan It-yang-ci pada Hiat-to penting masing-masing dan kemudian baru pergi menjenguk keadaan Toan Ki.

Tapi baru saja sampai di luar kamar pemuda itu, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan gemerencang keras. Dayang yang jaga di luar kamar tampak sangat khawatir, mereka berlutut menyambut kedatangan raja dan melapor, "Secu (putra pangeran) kesurupan dan sedang ... sedang kumat, dua Thayih (tabib istana) sedang

mengobatinya di dalam.”

Po-ting-te mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Ia lihat Toan Ki sedang berjingkrak-jingkrak di dalam kamar sambil mengubrak-abrik isi kamar seperti meja-kursi, mangkuk-piring dan lain-lain. Kedua Thayih tampak bersembunyi kian kemari untuk menghindari "piring terbang” yang mungkin menyambar kepala mereka.

"Ki-ji, kenapa kau?” tanya Po-ting-te segera. Meski tangannya mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih jernih sekali, hanya hawa murni dalam tubuh itu terlalu penuh hingga rasanya seakan-akan meletuskan kulit badannya, saking tak tahan, maka ia menggeraki anggota badan sekenanya hingga perabot di dalam kamar dirusaknya, tapi aneh, asal kaki-tangannya bergerak, rasa hawa dalam badan itu menjadi longgar.

Ketika melihat pamannya masuk, segera Toan Ki berseru, "Pekhu, wah, celakalah aku!”

Berbareng kedua tangannya masih terus bergerak serabutan.

"Bagaimana rasanya?” tanya Po-ting-te.

"Seluruh badanku rasanya seperti melembung,” sahut Toan Ki. "Pekhu, harap buangkan sedikit darahku.”

Po-ting-te pikir mungkin ada faedahnya juga cara itu, segera katanya kepada salah seorang Thayih, "Coba ambil sedikit darahnya.”

Tabib itu mengiakan dan segera membuka peti obatnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak porselen dan mengambil seekor lintah yang besar dan gemuk, ia taruh lintah itu di urat darah lengan Toan Ki agar darahnya diisap lintah itu.

Oleh karena tabib itu tidak bisa ilmu silat, dalam badan tidak terdapat tenaga murni latihan Lwekang, maka ia tidak terpengaruh oleh daya sedot dalam tubuh Toan Ki yang lihai itu. Akan tetapi begitu lintah itu menempel lengan Toan Ki, terus saja binatang itu berkelojotan dan tidak berani menggigit lengan yang disediakan itu.

Tentu saja tabib itu heran, sekuatnya ia tekan lintah itu di atas lengan Toan Ki agar darahnya terisap, tapi hanya sebentar saja, bukannya mengisap darah, sebaliknya tahu-tahu lintah itu mati.

Karena kepandaiannya tidak becus di hadapan raja, tabib itu menjadi gugup hingga mandi keringat, cepat ia keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa yang tadi, hanya sebentar binatang itu juga mati kaku di atas lengan Toan Ki.

Melihat itu, si tabib menjadi putus asa, cepat ia berkata, "Lapor Hongsiang, badan Secu keracunan mahajahat, sampai lintah juga mati keracunan.”

Ia tidak tahu bahwa Cu-hap-sin-kang yang terdapat di badan Toan Ki itu, jangankan cuma lintah, sekalipun ular yang paling berbisa bila mencium baunya juga akan menyingkir jauh-jauh dengan takut.

Po-ting-te menjadi khawatir juga, cepat tanyanya, "Keracunan apakah sebenarnya, kenapa begitu lihai?”

"Menurut pendapat hamba,” demikian kata tabib yang lain, "denyut nadinya sangat keras dan panas, tentu terkena semacam racun ganas yang jarang terdapat, adapun namanya ....”

"Bukan,” tiba-tiba tabib yang satu lagi menyela, "denyut nadi lemah dan dingin, racunnya tentu tergolong dingin, harus disembuhkan dengan obat yang bersifat panas.”

Kiranya dalam tubuh Toan Ki terdapat tenaga murni Ui-bi-ceng dari unsur Yang (panas), dan terdapat pula tenaga murni Ciok-jing-cu dari unsur Im mahadingin, makanya kedua tabib itu mempunyai pendapat berbeda.

Melihat kedua tabib itu tiada persesuaian paham, padahal kedua orang ini adalah tabib istana terpandai, tapi tak berdaya terhadap penyakit Toan Ki, maka dapat dibayangkan racun dalam tubuh pemuda itu sesungguhnya sangat aneh.

Dalam pada itu Toan Ki masih terus berjingkrak-jingkrak sambil menarik dan menyobek baju sendiri hingga tak keruan macamnya, Po-ting-te menjadi tak tega, pikirnya, "Rasanya soal ini harus dimintakan pemecahannya ke Thian-liong-si.”

Maka katanya segera, "Ki-ji, biarlah kubawa dirimu menemui beberapa orang tua, kukira mereka dapat menyembuhkanmu.”

Toan Ki mengiakan. Karena rasanya semakin menderita, yang dia harap asal lekas sembuh, maka cepat ia ganti pakaian dan ikut sang paman keluar istana, masing-masing menunggang seekor kuda terus dilarikan ke arah barat-laut.

Thian-liong-si yang dikatakan itu terletak di puncak Thian-liong di arah barat laut kota Tayli.

Puncak itu merupakan puncak utara pegunungan Thian-liong yang lerengnya memanjang dari barat-laut dan berakhir di wilayah Tayli. Leluhur keluarga Toan yang wafat semuanya dikubur di pegunungan itu.

Pegunungan Thian-liong yang panjang itu mirip seekor naga raksasa, maka puncak utama itu menjadi seperti kepala naga, dan di situlah leluhur keluarga Toan dikubur. Dan oleh karena leluhur keluarga Toan yang menjadi raja akhirnya cukur rambut menjadi Hwesio, maka semuanya tinggal di Thian-liong-si.

Sebab itulah Thian-liong-si merupakan kuil kerajaan yang terpuja. Karena itu juga maka kuil itu sangat megah dan terawat baik, biarpun kuil ternama di daerah Tionggoan seperti Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi dan lainlain yang merupakan pegunungan terkenal dengan kuilnya yang indah, kalau dibandingkan Thian-liong-si mungkin juga kalah. Cuma lelah Thian-liong-si itu terpencil di daerah perbatasan, maka namanya tidak terkenal.

Setelah ikut sang paman sampai di biara itu, Toan Ki melihat kemegahan Thian-liong-si boleh dikatakan tidak kalah daripada istana di Tayli.

Thian-liong-si adalah tempat yang sering didatangi Po-ting-te. Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi Hwesio dalam kuil itu banyak yang terhitung angkatan lebih tua, maka Ti-kek-ceng atau Hwesio penyambut tamu dengan hormat menyambut kedatangan dan tidak terlalu gugup seperti umumnya orang biasa bila mendadak bertemu dengan seorang raja.

Po-ting-te dan Toan Ki lebih dulu menemui ketua Thian-liong-si, Thian-in Taysu.

Menurut silsilah, bila Thian-in Taysu itu tidak jadi Hwesio, beliau terhitung paman Po-ting-te. Sebagai orang beragama, padri itu tidak kukuh lagi pada urutan umur dan perbedaan pangkat, kedua orang saling menghormat dengan derajat sama. Lalu secara ringkas Po-ting-te ceritakan kejadian Toan Ki kesurupan racun jahat itu.

Setelah berpikir sejenak, kemudian Thian-in berkata, "Marilah ikut padaku ke Bo-ni-tong untuk menemui ketiga Suheng dan Sute di sana.”

"Terpaksa mesti mengganggu ketenteraman para Taysu, sungguh dosa Cing-beng tidak kecil,” ujar Po-ting-te.

"Tin-lam-secu adalah calon putra mahkota kerajaan kita, urusan keselamatannya besar sangkut pautnya dengan kesejahteraan negara. Padahal kepandaianmu jauh di atasku, namun sudi datang bertanya padaku, maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana,” demikian kata Thian-in.

Begitulah setelah menyusuri serambi samping dan belasan ruangan lain, akhirnya Thian-in membawa Po-tingte dan Toan Ki sampai di depan beberapa buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun dengan kayu cemara, dindingnya dari papan kayu yang tak terkupas kulitnya, berbeda sekali dengan rumah lain yang dibangun secara megah itu. Malahan di antara dinding dan pilar kayu sudah banyak yang lapuk hingga lebih mirip perumahan kaum pemburu di pegunungan.

Dengan wajah serius Thian-in merangkap tangan dan berkata ke dalam rumah itu, "Omitohud, Thian-in mempunyai sesuatu kesulitan, terpaksa mesti mengganggu ketenteraman ketiga Suheng dan Sute.”

"Hongtiang silakan masuk!” demikian sahut seorang dari dalam.

Perlahan Thian-in mendorong pintu kayu dan melangkah masuk diikuti Po-ting-te dan Toan Ki. Pintu itu mengeluarkan suara berkeriut ketika didorong, suatu tanda jarang sekali digunakan orang untuk masuk-keluar.

Toan Ki menjadi heran ketika melihat di dalam rumah itu terdapat empat Hwesio yang duduk terpisah di empat bangku batu, padahal tadi ia dengar Thian-in mengatakan ketiga Suheng dan Sute.

Ketiga Hwesio yang duduk menghadap keluar itu, dua di antaranya bermuka kurus kering, sebaliknya yang seorang lagi sehat kuat. Hwesio keempat yang duduknya di pojok timur sana menghadap dinding dan tidak bergerak sedikit pun, sejak mula juga tidak berpaling.

Po-ting-te kenal kedua padri yang kurus itu masing-masing bergelar Thian-koan dan Thian-siang, keduanya Suheng Thian-in. Sedang padri yang kekar itu bernama Thian-som adalah Sutenya.

Po-ting-te cuma tahu Bo-ni-tong itu dihuni tiga padri saleh dan tidak tahu masih ada seorang lain, yaitu Hwesio keempat yang duduk menghadap dinding itu.

Dengan membungkuk tubuh Po-ting-te memberi hormat. Thian-koan bertiga membalas hormat dengan tersenyum. Sedang padri yang menghadap dinding itu entah sedang semadi atau latihannya lagi mencapai titik genting hingga sedikit pun tidak boleh terganggu, maka ia tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.

Po-ting-te cukup paham ajaran Buddha, ia tahu arti "Bo-ni” adalah tenang, sunyi. Karena ruangan itu bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bicara lebih baik. Maka secara ringkas ia menguraikan pula bagaimana Toan Ki keracunan dan kesurupan itu. Katanya paling akhir, "Mohon dengan sangat sudilah keempat Taysu suka memberi petunjuk jalan yang sempurna.”

Thian-koan termenung sejenak, palu mengamat-amati pula keadaan Toan Ki, kemudian berkata, "Bagaimana pendapat kedua Sute?”

"Ya, walaupun harus membuang sedikit tenaga dalam, rasanya juga takkan mengganggu hasil peyakinan Lakmeh-sin-kiam kita,” sahut Thian-som.

Mendengar "Lak-meh-sin-kiam” itu, hati Po-ting-te terguncang, pikirnya, "Waktu kecil pernah kudengar cerita ayah bahwa leluhur keluarga Toan ada mewariskan semacam ilmu yang sangat lihai dengan nama ‘Lak-mehsin-kiam’. Namun ayah mengatakan cuma mendengar namanya saja dan selamanya tidak pernah mengetahui siapakah gerangan tokoh keluarga Toan yang mahir ilmu itu, maka betapa hebat sebenarnya ilmu itu tiada seorang pun yang tahu. Kini Thian-som Taysu mengatakan sedang meyakinkan ilmu itu, jadi memang benar ada ilmu yang aneh dan sakti itu.”

Kemudian ia pikir pula, "Tampaknya ketiga Taysu ini hendak menggunakan Lwekang mereka untuk menyembuhkan Ki-ji, jika demikian, tentu akan mengakibatkan latihan ‘Lak-meh-sin-kiam’ mereka terganggu. Tapi melihat betapa hebatnya penyakit Ki-ji, sampai Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu juga tidak mampu menolongnya, kalau tidak memakai tenaga gabungan kami berlima, mana dapat menyembuhkan Ki-ji?”

Begitulah meski menyesal mesti mengganggu kemajuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi keselamatan Toan Ki yang dianggapnya seperti anak kandung sendiri, terpaksa ia pun tidak menolak.

Begitulah, tanpa bicara lagi Thian-siang Hwesio lantas berbangkit, dengan kepala tertunduk ia siap berdiri di sudut yang lain.

"Siancay, Siancay,” demikian Thian-in mengucapkan sabda Buddha, lalu ia pun ambil tempat di arah barat daya.

"Ki-ji,” kata Po-ting-te, "keempat kakek Tianglo dengan tidak sayang tenaga dalam sendiri hendak menyembuhkanmu, lekas kau mengaturkan terima kasih!”

Melihat sikap dan kelakuan keempat padri itu sangat khidmat, Toan Ki tahu apa yang bakal dilakukan mereka tentu bukan urusan kecil, maka cepat ia menjura dan mengucapkan terima kasih kepada para padri tua itu.

"Ki-ji, duduk bersila di tengah itu, longgarkan badanmu, sedikit pun jangan bertenaga, kalau terasa sakit atau gatal, jangan kaget dari khawatir,” pesan Po-ting-te kemudian.

Toan Ki mengiakan dan menurut perintah sang paman.

Segera Thian-koan Hwesio angkat jari jempolnya dan menekan Hong-hu-hiat di kuduk Toan Ki, satu arus hawa hangat dari It-yang-ci terus merembes masuk.

Hong-hu-hiat itu kira-kira tiga senti di bawah rambut bagian tengkuk, termasuk urat nadi "Tok-meh”. Menyusul Thian-siang Hwesio juga menutuk Ci-kiong-hiat dan Thian-som menutuk Tay-hiang-hiat, Thian-in ikut menutuk juga kedua nadi yang lain dan Po-ting-te, menutuk Jing-bing-hiat.

Begitulah tujuan mereka hendak menggunakan tenaga It-yang-ci yang berunsurkan hawa Yang yang keras itu untuk mengusir racun dari tubuh Toan Ki.

It-yang-ci kelima tokoh keluarga Toan ini boleh dikatakan sama hebatnya, maka terdengarlah suara mendesis perlahan, lima arus hawa panas berbareng menyusup ke dalam badan Toan Ki. Seketika tubuh pemuda itu terguncang dan merasa seperti jemur badan di bawah sang surya di musim dingin, nyaman dan segar sekali rasanya.

Berulang jari kelima tokoh itu bekerja, maka semakin bertambah juga tenaga dalam yang masuk di badan Toan Ki. Po-ting-te, Thian-in dan padri-padri lainnya sama merasakan tenaga mereka yang masuk ke badan Toan Ki itu perlahan lantas buyar dan tak bisa ditarik kembali, bahkan terasa daya sedot pada badan pemuda itu luar biasa kuatnya. Keruan mereka terkejut dan terheran-heran dengan saling pandang.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara gerungan yang sangat keras hingga memekak telinga. Po-ting-te tahu itulah ilmu semacam Lwekang yang mahatinggi dalam ilmu Buddha, namanya "Say-cu-ho” atau auman singa.

Menyusul terdengar padri yang duduk menghadap dinding tadi sedang berkata, "Musuh tangguh dalam waktu singkat segera datang, nama kebesaran Thian-liong-si selama ratusan tahun ini akan terguncang, apakah bocah ingusan ini keracunan atau kesurupan, kenapa mesti banyak membuang tenaga percuma baginya?”

Kata-kata itu diucapkan dengan penuh wibawa hingga sukar dibantah, maka Thian-in lantas menyahut, "Ya, ajaran Susiok memang tepat!”

Terus saja ia memberi tanda dan kelima orang lantas melangkah mundur. Meski daya sedot Cu-hap-sin-kang dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi untuk mengisap tenaga kelima tokoh itu sekaligus, ternyata tidak kuat juga.

Mendengar Thian-in membahasakan Hwesio itu dengan sebutan "Susiok” atau paman guru, cepat Po-ting-te memberi hormat dan berkata, "Kiranya Koh-eng Tianglo hadir di sini, maafkan Wanpwe tidak memberi hormat sebelumnya.”

Kiranya Koh-eng itu paling tinggi tingkatannya di dalam Thian-liong-si, para padri dalam kuil itu tiada satu pun yang pernah melihat wajah aslinya. Po-ting-te juga cuma mendengar namanya dan selamanya tidak pernah bertemu. Ia dengar padri tua itu selamanya bersemadi di ruang Siang-su-ih dan jarang orang membicarakannya, maka disangkanya padri tua itu sudah lama wafat. Siapa tahu sekarang justru dijumpainya di sini.

"Urusan harus dibedakan mana yang penting dari mana yang tidak,” demikian kata Koh-eng Tianglo pula. "Perjanjian dengan Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san sekejap lagi akan tiba. Cing-beng, ada baiknya juga kalau kau pun ikut berunding memberi pendapatmu.”

"Aneh, Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san terkenal sangat saleh dan tinggi ibadatnya, kenapa ada perselisihan dengan kita?” tanya Po-ting-te dengan heran.

Segera Thian-in mengeluarkan sepucuk surat yang berwarna kuning menyilaukan dan diangsurkan kepada Poting-te. Ternyata sampul surat itu sangat aneh, rasanya juga antap, kiranya terbuat dari lapisan emas murni yang sangat tipis, di atas sampul surat terbingkai pula beberapa huruf dari emas putih yang ditulis dalam bahasa Hindu kuno.

Po-ting-te paham ilmu Buddha, maka dapat membaca tulisan itu yang berarti, "Diaturkan kepada ketua Thianliong-si.”

Dari sampul emas itu Po-ting-te mengeluarkan secarik kertas surat yang terbuat dari emas juga, surat itu pun tertulis dalam bahasa Sanskerta dan terjemahannya kira-kira adalah, "Dahulu aku kebetulan bertemu dengan Buyung-siansing dari Koh-soh di negeri Thian-tiok hingga terikat persahabatan yang akrab. Dalam membicarakan ilmu silat di dunia ini, Buyung-siansing sangat memuji kitab ‘Lak-meh-sin-kiam’ kuil kalian dan menyatakan menyesal sebegitu jauh belum dapat membacanya. Belum lama berselang kabarnya Buyungsiansing telah wafat, rasa dukaku sungguh tak terkatakan, sebagai tanda persahabatanku ingin kumohon kitab yang dimaksudkannya itu kepada kalian untuk kubawa ke hadapan makam Buyung-siansing. Untuk itu dalam waktu singkat aku akan berkunjung kemari, hendaklah kalian jangan menolak permintaanku ini. Sudah tentu akan kuberi imbalan yang setimpal dengan hadiah yang bernilai tinggi, masa kuberani mengambilnya dengan begitu saja.”

Tulisan Sanskerta dalam surat itu pun dicetak dengan emas putih dengan sangat indah, terang dibuat oleh pandai emas yang sangat mahir. Melulu sampul dan kertas surat itu saja sudah merupakan dua benda mestika, maka dapatlah dibayangkan betapa royalnya Tay-lun-beng-ong.

Po-ting-te tahu Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kok-hoat-ong atau raja agama pelindung negara negeri Turfan, kabarnya seorang yang cerdik pandai dan mahir ilmu Buddha, setiap lima tahun sekali tentu mengadakan khotbah umum, banyak padri saleh dari Thian-tiok dan negeri barat lainnya sama berkunjung ke Tay-lun-si di Tay-swat-san untuk mengikuti ceramah keagamaan itu.

Tapi dalam surat yang ditujukan kepada Thian-liong-si ini dia mengatakan pernah tukar pikiran dalam hal ilmu silat dengan Buyung-siansing dari Koh-soh serta bersahabat sangat karib, maka dapat dipastikan Tay-lun-bengong pun seorang tokoh silat yang tinggi. Orang cerdik pandai demikian kalau sudah belajar silat, maka dapat dipastikan akan lain daripada yang lain.

Lalu terdengar Thian-in berkata, "Itu ‘Lak-meh-sin-kiam-keng’ adalah kitab pusaka kuil kita dan merupakan ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga Toan kita di Tayli ini. Cing-beng, ilmu saat keluarga Toan yang tertinggi terdapat di Thian-liong-si sini, engkau adalah orang biasa meski terhitung sanak keluarga sendiri, namun terpaksa banyak rahasia ilmu silat kita tak boleh kukatakan padamu.”

"Ya, hal itu kupaham,” sahut Po-ting-te.

"Anehnya,” demikian Thian-koan ikut bicara, "tentang kuil kita mempunyai ‘Lak-meh-sin-kiam-keng’, bahkan Cing-beng dan Cing-sun juga tidak tahu, mengapa orang she Buyung itu malah mengetahuinya?”

"Dan Tay-lun-beng-ong itu juga seorang padri saleh yang terkemuka di zaman ini, mengapa tidak kenal aturan dan berani minta kitab secara kekerasan pada kita?” ujar Thian-som dengan gusar. "Cing-beng, oleh karena Hongtiang-suheng tahu musuh yang bakal datang itu tidak bermaksud baik, akibat dari urusan ini tidaklah kecil, maka Koh-eng Susiok diundang untuk mengatasi urusan ini.”

"Sungguh memalukan juga,” Thian-in ikut berkata, "meski kuil kita mempunyai kitab pusaka itu, tapi tiada seorang pun di antara kita yang mahir ilmu sakti itu, bahkan mempelajari juga tidak pernah. Sedangkan ilmu yang diyakinkan Koh-eng Susiok adalah semacam ilmu sakti lain, untuk itu juga diperlukan sedikit waktu lagi baru terlatih sempurna. Sebaliknya bila teringat akan kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau dia tidak mempunyai sesuatu andalan, masakah dia berani terang-terangan minta kitab pusaka kita secara kekerasan?”

"Sudah tentu ia tidak berani memandang enteng Lak-meh-sin-kiam,” ujar Koh-eng Tianglo tiba-tiba. "Melihat isi surat itu, agaknya dia begitu mengagumi Buyung-siansing dan orang she Buyung itu pun sangat tertarik

pada kitab pusaka kita, dengan sendirinya Tay-lun-beng-ong bisa mengukur dirinya sendiri. Namun dia menduga dalam kuil kita tiada sesuatu tokoh yang luar biasa, biarpun terdapat kitab pusaka juga tiada orang mampu meyakinkannya, maka sama sekali dia tidak jeri pada kita.”

"Jika ia sendiri mengagumi kitab pusaka kita, asal dia mau pinjam secara baik-baik mengingat dia adalah padri saleh dalam Buddha, paling-paling kita akan menolaknya dengan hormat dan urusan akan selesai begitu saja. Tapi ia justru minta kitab itu untuk dibakar di hadapan orang sudah mati, bukankah tindakan demikian terlalu menghina Thian-liong-si kita?” demikian Thian-som berseru dengan gusar.

"Ai, Sute juga tidak perlu marah,” ujar Thian-siang. "Kulihat Tay-lun-beng-ong itu bukan seorang yang bodoh, dia hendak meniru perbuatan orang zaman dulu dengan membakar kitab di depan kuburan sahabat, agaknya dia benar-benar sangat kagum kepada Buyung-siansing itu.”

"Apakah Thian-siang Taysu kenal pribadi Buyung-siansing itu?” tanya Po-ting-te.

"Aku tidak tahu,” sahut Thian-siang. "Tapi mengingat betapa seorang tokoh macam Tay-lun-beng-ong begitu kesengsem padanya, maka dapat dipastikan Buyung-siansing itu tentu seorang yang lain daripada yang lain.”

Berkata sampai di sini, sikapnya ikut sangat kagum pada orang yang dibicarakan itu.

"Menurut penilaian Susiok pada kekuatan musuh,” demikian kata Thian-in, "kalau kita tidak lekas-lekas meyakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka kita akan direbut orang dan Thian-liong-si akan runtuh untuk selama-lamanya. Cuma ilmu pedang sakti itu mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil dilatih dalam waktu singkat. Cing-beng, bukan kami tidak mau membantu menyembuhkan Ki-ji, tapi kita khawatir terlalu banyak membuang tenaga, bila musuh tangguh mendadak datang, tentu kita akan susah melawannya. Tampaknya keselamatan Ki-ji takkan terancam dalam waktu beberapa hari, maka selama beberapa hari ini biarlah dia merawat dirinya di sini, bila kesehatannya bertambah buruk, kita akan dapat menolongnya setiap saat, sebaliknya kalau tidak apa-apa, nanti kalau musuh tangguh sudah dienyahkan baru kita akan berusaha menolongnya sepenuh tenaga.”

Walaupun Po-ting-te sangat khawatir akan kesehatan Toan Ki, namun demikian dia adalah seorang yang bijaksana, ia tahu Thian-liong-si adalah modal dasar keluarga Toan dari Tayli, setiap kali kerajaan ada bahaya, selalu Thian-liong-si memberi bantuan sekuatnya. Selama keturunan kerajaan Tayli banyak mengalami kesukaran dan dapat berdiri sampai sekarang, jasa Thian-liong-si itu sesungguhnya tidak kecil. Sebaliknya Thian-liong-si terancam bahaya, mana bisa dirinya tinggal diam.

Maka berkatalah Po-ting-te, "Atas kebaikan Hongtiang, Cing-beng merasa terima kasih sekali. Entah urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Cing-beng dapat sekadar memberi bantuan?”

Thian-in pikir sejenak, lalu menyahut, "Engkau adalah jago nomor satu keluarga Toan kita di kalangan orang biasa, bila engkau dapat menggabungkan tenagamu untuk menghadapi musuh, sudah tentu akan banyak menambah kekuatan kita. Cuma engkau adalah orang biasa, kalau ikut campur pertengkaran dalam kalangan agama, tentu akan ditertawai Thian-liong-si kita sudah kehabisan jago.”

"Kalau kita latih Lak-meh-sin-kiam itu sendiri-sendiri, biar siapa pun tiada seorang akan berhasil,” tiba-tiba Koh-eng berkata. "Kita pun sudah pikirkan suatu akal, yaitu masing-masing orang berlatih satu ‘Meh’ (nadi, Lak-meh = enam nadi) di antara Lak-meh-sin-kiam itu. Tatkala menghadapi musuh nanti cukup salah seorang tampil ke muka, sedang lima orang lainnya hanya membantunya dengan menyalurkan tenaga dalam padanya. Asal lawan tidak tahu akal kita ini, tentu kita akan menang. Cara ini meski kurang jujur, namun apa daya, keadaan terpaksa. Hanya untuk mencari orang keenam yang memiliki tenaga jari mahahebat, di Thian-liong-si ini memang sukar diketemukan lagi. Kebetulan engkau datang kemari, Cing-beng, marilah ikut mengisi kekurangan itu. Cuma engkau harus dicukur dulu dan pakai jubah Hwesio.”

"Kembali pada Buddha memang sudah lama menjadi cita-cita Cing-beng, cuma ilmu sakti yang hebat itu selama ini Cing-beng belum pernah mendengarnya ....”

"Jika pakai akal itu, sudah lama engkau paham, kini cukup kau pelajari tipu ilmu pedangnya saja,” sela Thiansom cepat.

Po-ting-te merasa bingung, tanyanya, "Silakan Taysu memberi petunjuk.”

"Coba duduklah untuk bicara lebih jelas,” kata Thian-in.

Sesudah Po-ting-te duduk bersila di atas tikar, lalu Thian-in berkata pula, "Apa yang disebut Lak-meh-sin-kiam itu sebenarnya tidak ada wujud pedang sesungguhnya, kita hanya menggunakan tenaga jari It-yang-ci yang hebat dan menjadikannya hawa pedang, ada kekuatan tapi tiada wujudnya, maka boleh juga dikatakan semacam Bu-heng-ki-kiam (pedang hawa yang tak berwujud). Tentang Lak-meh (enam nadi) di atas lengan itu adalah Thayim, Koatin ....”

Sambil berkata ia terus mengeluarkan satu berkas kertas gulungan. Mungkin sudah terlalu tua, maka gulungan kertas itu bersemu kuning.

Setelah Thian-som menerima gulungan kertas itu, lalu digantung di dinding, waktu gulungan kertas itu dibuka, kiranya adalah sebuah lukisan badan seorang laki-laki, di atas badan tercatat jelas tempat-tempat Hiat-to mengenai keenam urat nadi yang bersangkutan.

Po-ting-te adalah ahli It-yang-ci, pula "Lak-meh-sin-kiam-keng” itu berdasarkan tenaga It-yang-ci, jadi sejalan dengan ilmu silat keluarga Toan mereka, dengan sendirinya ia paham begitu melihat gambar itu tanpa penjelasan lagi.

"Cing-beng,” kata Thian-in kemudian, "engkau adalah seorang raja suatu negeri, untuk sementara meski dapat menyamar, tapi kalau sampai diketahui musuh, tentu akan sangat merugikan nama baik kita. Sebab itulah sebelumnya hendaklah kau pertimbangkan lebih masak.”

"Maju terus, pantang mundur,” sahut Po-ting-te tegas.

"Bagus,” kata Thian-in. "Lak-meh-sin-kiam-keng ini tidak diajarkan kepada anak murid orang biasa, maka engkau harus cukur rambut menjadi Hwesio baru boleh kuajarkan padamu.”

Tanpa pikir Po-ting-te berlutut ke hadapan Thian-in dan berkata, "Silakan Taysu!”

"Kemarilah, biar kucukur engkau,” kata Koh-eng Taysu tiba-tiba.

Po-ting-te menurut, ia melangkah maju dan berlutut, oleh karena Koh-eng duduk menghadap dinding, jadi Poting-te berlutut di belakangnya.

Dengan tenang sejak tadi Toan Ki meringkuk di tempatnya dengan perasaan sadar, maka ia dapat mengikuti semua percakapan orang, pikirnya, "Bicara ke sana ke sini ternyata selalu ada sangkutnya dengan orang she Buyung itu.”

Dan ketika melihat sang paman hendak dicukur untuk menjadi Hwesio, diam-diam ia terkesiap juga. Ia lihat Koh-eng Taysu telah membaliki tangannya hingga benar-benar tinggal kulit membungkus tulang belaka.

Tetap Koh-eng Tianglo itu tidak putar tubuh sedikit pun, hanya mulutnya mengucapkan sabda Buddha, ketika tangannya kemudian diangkat, tahu-tahu seluruh rambut Po-ting-te bertebaran jatuh ke tanah, kepalanya sudah gundul kelimis, biarpun dicukur dengan pisau cukur mungkin juga tidak sehalus itu.

Sungguh kejut Toan Ki tak terkatakan, Po-ting-te, Thian-koan dan lain-lain juga kagum tak terhingga atas ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka terdengar Koh-eng Taysu berkata, "Sesudah masuk ke dalam Buddha, nama agamamu adalah Thian-tim.”

"Terima kasih atas pemberian nama ini,” sahut Po-ting-te dengan merangkap tangan. Dan oleh karena Po-tingte telah dicukur oleh Koh-eng, menurut agama ia menjadi Sute Thian-in, walaupun dalam urut-urutan keluarga Thian-in sebenarnya adalah pamannya.

Lalu Koh-eng berkata pula, "Boleh jadi malam ini juga Tay-lun-beng-ong itu akan tiba, Thian-in, boleh kau ajarkan intisari Lak-meh-sin-kiam padanya.”

Thian-in mengiakan dan menunjuk tanda-tanda Hiat-to yang terdapat pada gambar yang tergantung di dinding itu. Segera Po-ting-te menurutkan petunjuk itu untuk menjalankan tenaga murni pada waktu jarinya menutuk dan segera mengeluarkan suara mencicit perlahan.

Koh-eng sangat girang, katanya, "Tidak cetek latihan Lwekangmu, meski Kiam-hoat ini sangat ruwet perubahannya, namun hawa pedang sudah dapat kau wujudkan, dengan sendirinya dapat kau gunakan sesuka hati.”

"Marilah sekarang juga kita mulai berlatih,” ujar Thian-in. "Susiok khusus melatih Siau-siang-kiam dengan jari jempol, aku melatih jari telunjuk, Thian-koan Suheng latih jari tengah, Thian-tim Sute latih jari manis dan Thian-siang Suheng melatih jari kecil tangan kiri. Waktu mendesak, kita harus cepat meyakinkannya.”

Cepat ia mengeluarkan pula enam lukisan dan digantung di sekeliling dinding, keenam lukisan itu masingmasing menunjukkan titik-titik Hiat-to keenam orang yang harus dilatihnya dan menggambarkan di mana jari mereka harus menutuk.

Dalam pada itu Toan Ki merasakan hawa dalam tubuhnya semakin penuh dan bergolak dengan hebat, jauh lebih menderita daripada tadi, maklum, tadi Thian-in berlima tidak sedikit mencurahkan tenaga dalam mereka ke dalam badan pemuda itu.

Karena sang paman dan padri-padri itu sedang memusatkan pikiran untuk berlatih ilmu sakti, maka Toan Ki tidak berani mengganggu, ia bertahan sekuatnya dengan termenung-menung. Dalam iseng, tanpa sengaja ia coba memandang lukisan yang menggambarkan Hiat-to di badan manusia yang tergantung di dinding itu, dan kebetulan pada saat itu tanpa terasa tangan kirinya sedang melonjak-lonjak seakan-akan ada sesuatu yang akan menerobos keluar dari bawah kulit tangannya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar