Jilid 11
Benar juga Wan-jing merasa
perut orang naik turun dengan perlahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia
menjadi geli, "Haha, sungguh aneh!”
Kiranya apa yang dilatih
Jing-bau-khek atau orang berbaju hijau itu adalah semacam "Hok-gi-sut”
atau ilmu bicara dengan perut.
Ilmu bicara dengan perut itu
pada zaman sekarang masih banyak yang mahir, yaitu terutama dalang ‘boneka
bicara’. Cuma untuk bicara dengan tegas dan jelas seperti Jing-bau-khek ini
tentunya tidak mudah, sebab diperlukan Lwekang yang tinggi.
Dengan keheranan, Bok Wan-jing
masih mengitar beberapa kali sambil mengamat-amati orang, kemudian tanyanya,
"Mulutmu tak bisa bergerak, lalu cara bagaimana engkau makan?”
"Begini!” sahut orang itu
sambil angkat kedua tangannya, ia pentang bibir atas dan tarik rahang bawah
hingga mulutnya ternganga, lalu ambil sebutir makanan terus dijejalkan ke dalam
mulut, "keruyuk”, makanan itu ditelan sekaligus.
"O, kasihan!” ujar
Wan-jing melihat cara makan orang, "Bukankah tiada rasa apa pun?”
Baru sekarang ia tahu kulit
daging muka orang kaku beku, kelopak matanya tak bisa terkatup, dengan
sendirinya tiada sesuatu tanda perasaan pada mukanya itu, dari itulah maka
mula-mula Bok Wan-jing menyangkanya orang mati.
Ia pikir orang aneh ini
sendiri tak dapat mengatasi kesulitan sendiri yang luar biasa, mana mampu
mengubah kakak sendiri menjadi suami baginya? Agaknya apa yang dikatakannya
tadi hanya bualan belaka.
Setelah pikir sejenak, lalu
Wan-jing berkata, "Aku akan pergi saja!”
"Ke mana?” tanya si jubah
hijau.
"Entah, aku sendiri tidak
tahu!” sahut si gadis.
"Aku akan membikin Toan
Ki menjadi suamimu, jangan kau tinggalkan aku,” ujar orang itu.
Wan-jing tersenyum tawar
sambil berjalan beberapa tindak ke depan, tiba-tiba ia berhenti dan tanya pula
sambil putar tubuh, "Selamanya kita tidak kenal, dari mana kau tahu
perasaanku? Engkau ... engkau kenal Toan-long?”
"Sudah tentu kutahu isi
hatimu,” sahut orang itu. Tiba-tiba katanya pula, "Kembalilah sini!”
Berbareng tangan kirinya
terjulur dan menarik dari jauh.
Aneh juga, tiba-tiba Bok
Wan-jing merasakan suatu tenaga mahakuat yang tak bisa ditahan, tanpa kuasa
tubuhnya terseret mentah-mentah oleh tenaga tak kelihatan itu dengan
sempoyongan dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Jing-bau-khek.
Kejadian itu benar-benar
sangat mengejutkan Bok Wan-jing, katanya dengan suara gemetar, "Apakah ...
apakah kepandaianmu disebut Kim-liong-ciong-ho-kang?”
"Ehm, luas juga
pengetahuanmu,” kata Jing-bau-khek. "Tapi ini bukan
Kim-liong-ciong-ho-kang (ilmu menangkap naga dan menawan bangau), hanya
khasiatnya sama, cara berlatihnya berbeda.”
"Habis apa namanya?”
tanya Wan-jing.
"Namanya
‘Kui-gi-lay-hi’!” sahut Jing-bau-khek.
"Kui-gi-lay-hi (kalau
sudah pergi, pulanglah)! Hah, nama ini jauh lebih bagus daripada Kim-liong-ciong-hokang,
bila Toan-long mendengar nama demikian, tentu dia ... dia ....” teringat pada
Toan Ki, kembali Wan-jing berduka.
"Marilah berangkat!” kata
Jing-bau-khek tiba-tiba sambil mengeluarkan dua potong tongkat bambu dari
bajunya. Sekali tongkat bambu kiri menutul, tubuhnya terus melayang ke depan
dan dengan enteng sudah melangkah setombak lebih jauhnya.
Melihat tubuh orang ketika
terapung di udara, kedua kakinya tetap tertekuk seperti waktu duduk bersila,
Wanjing menjadi heran, tanyanya, "He, kedua kakimu ....”
"Ya, sudah lama kedua
kakiku buntung,” sahut Jing-bau-khek. "Sudahlah, sejak saat ini, urusanku
dilarang kau tanya lagi.”
"Kalau aku tanya lagi?”
baru kalimat ini diucapkan Bok Wan-jing, sekonyong-konyong kedua kakinya terasa
lemas, tubuhnya terbanting roboh.
Kiranya dengan kecepatan luar
biasa si jubah hijau sudah melesat ke tempatnya, tongkat bambu sebelah kanan
beruntun-runtun menutuk dua kali di balik lutut, menyusul mengetuknya sekali
lagi, keruan Bok Wan-jing kesakitan seakan-akan remuk tulang kakinya, saking
tak tahan sampai ia menjerit. Menyusul mana Jing-baukhek menutuk lagi dua kali
untuk membuka Hiat-to si gadis.
Dengan cepat Wan-jing melompat
bangun, dampratnya dengan gusar, "Kenapa engkau begini kasar?”
Berbareng panah dalam lengan
baju sudah siap dibidikkan.
"Jangan coba-coba main
kayu denganku, ya!” demikian kata Jing-bau-khek. "Berani kau panah aku
sekali, segera kuhajar bokongmu sekali, kau panah sepuluh kali, aku pun gebuk
sepuluh kali bokongmu. Kalau tidak percaya, boleh coba kau lakukan!”
Wan-jing menjadi ragu,
pikirnya, "Jika sekali aku dapat memanahmu, seketika jiwamu lantas
melayang, mana dapat kau balas hajar diriku? Tapi ilmu orang ini sangat sakti,
tampaknya ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, rasanya
susah kalau hendak memanahnya. Orang ini berani bicara berani berbuat, kalau
benar-benar bokongku digaplok olehnya, kan runyam!”
"Nah, jika kau tidak
berani memanah aku, kau harus menurut perintahku dengan baik, jangan
membangkang!” demikian kata orang itu pula.
"Hm, aku justru tidak mau
menurut perintahmu!” sahut Wan-jing. Walaupun begitu katanya, namun panah yang
sudah disiapkan tadi disimpan kembali juga.
Segera Jing-bau-khek gunakan
kedua tongkatnya sebagai kaki terus bertindak ke depan dengan cepat.
Bok Wan-jing mengikutinya dari
belakang. Ia lihat kedua tongkat bambu orang sangat kecil, tapi keras seperti
baja, meski digunakan menyangga ketiak, namun sedikit pun tidak bengkok.
Tongkat bambu itu panjangnya lebih satu setengah meter, sekali melangkah,
jauhnya melebihi langkah orang biasa. Terpaksa Bok Wan-jing harus mengerahkan
Ginkang sekuatnya barulah sekadar dapat menyusulnya.
Tangkas sekali cara berjalan
Jing-bau-khek ini, biar mendaki gunung atau melintasi bukit, jalannya seperti
di tanah datar saja cepatnya. Bahkan yang dia pilih bukan lagi jalan besar yang
rata tapi hutan belukar atau jalan pegunungan yang berbatu karang, keruan yang
payah adalah Bok Wan-jing, ia megap-megap dan baju sobek oleh duri belukar.
Namun dasar wataknya memang keras, biarpun menderita, sedikit pun ia tidak mau
unjuk lemah.
Setelah melintasi beberapa
lereng bukit, kemudian tertampak dari jauh banyak sekali kuburan, diam-diam
Wan-jing heran, "Kenapa mendatangi Ban-jiat-kok ini?”
Benar juga Jing-bau-khek itu
terus menuju ke kuburan yang batu nisannya tertulis, "Kuburan Ban Siu
Toan”, segera tongkatnya menghantam batu nisan tepat di atas huruf Toan.
Sudah beberapa kali Bok
Wan-jing mendatangi Ban-jiat-kok, tiap kali ia gunakan rahasia cara memasuki
gerbang lembah maut itu, yaitu mendepak beberapa kali pada huruf "Toan” di
batu nisan itu. Tapi kini demi melihat huruf itu lagi, tiba-tiba timbul semacam
perasaan aneh yang dahulu tidak pernah ada.
"Untuk apa kita datang ke
Ban-jiat-kok ini?” demikian ia coba tanya.
Tapi mendadak Jing-bau-khek
membalik tubuh, tongkatnya terus mengetuk sekali ke paha kanannya sambil
membentak, "Kau berani ceriwis lagi tidak?”
Kalau menuruti watak Bok
Wan-jing yang berangasan itu, betapa pun ia tidak sudi dihina secara demikian,
biarpun ia tahu takkan mampu melawan orang. Tapi kini lamat-lamat terasa
olehnya bahwa Jing-bau-khek ini tentu memiliki kepandaian di atas orang lain,
bukan mustahil akan dapat membantu melaksanakan cita-citanya, yaitu bersuamikan
Toan Ki.
Maka omelnya, "Hm, jangan
kau sangka nona takut padamu, biarlah sementara ini aku mengalah padamu.”
"Ayo jalan!” seru
Jing-bau-khek pula.
Segera Bok Wan-jing mendahului
masuk ke liang kubur dan disusul oleh Jing-bau-khek, mereka telah masuk ke
Ban-jiat-kok tempat tinggal Ciong Ban-siu.
Agaknya Jing-bau-khek sudah
hafal terhadap keadaan di dalam lembah Ban-jiat-kok. Beberapa kali Bok Wanjing
ingin tanya, tapi khawatir digebuk oleh tongkat orang, maka urung buka mulut.
Orang aneh itu membawanya
mengitar ke sana dan membelok ke sini terus menuju ke belakang lembah.
Bok Wan-jing pernah juga
tinggal beberapa hari di lembah Ban-jiat-kok ini, yaitu ketika ia mengunjungi
bibigurunya, Ciong-hujin. Cuma sifat mereka berdua berbeda jauh, pada hari
pertama juga mereka sudah lantas cekcok mulut. Tapi kini tempat yang
didatanginya bersama Jing-bau-khek ini ternyata sebelumnya tidak pernah
dikunjunginya. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa di tengah lembah sunyi ini
masih ada tempat-tempat yang lebih terpencil.
Setelah beberapa li lagi,
mereka masuk ke sebuah rimba raya yang pohonnya tinggi besar menjulang ke
langit, biarpun waktu itu siang hari, namun sinar sang surya ternyata tak bisa
menembus ke dalam rimba yang rindang itu. Makin jauh tetumbuhan di situ pun
semakin lebat hingga sampai akhirnya untuk lewat saja diperlukan miringkan
tubuh.
Setelah beberapa puluh meter
lagi jauhnya, tertampaklah di depan tumbuh barisan pohon tua yang tinggi rapat
bagai pagar yang kukuh, untuk masuk ke dalam sana terang sangat sulit.
Mendadak Jing-bau-khek tancap
tongkatnya ke tanah untuk menyangga bahunya, lalu kedua tangannya menjuju dua
batang pohon terus dipentang ke samping sekuatnya. Sungguh sangat mengagumkan,
kedua pohon besar itu perlahan terbentang lebar ke samping hingga cukup untuk
menyelinap tubuh manusia.
"Lekas masuk ke sana!”
bentak orang aneh itu.
Tanpa pikir lagi Bok Wan-jing
menyusup ke balik pagar pohon itu.
Waktu diperhatikan, ternyata
di situ terdapat sebidang tanah kosong yang luas, di tengah tanah lapang sebuah
rumah batu yang dibangun dengan bentuk sangat aneh, yaitu terdiri dari tumpukan
batu besar hingga mirip piramida. Rumah batu itu hanya terdapat sebuah pintu
yang besarnya mirip gua.
"Nah, masuk ke sana!”
kata Jing-bau-khek pula.
Wan-jing coba memandang ke
dalam rumah batu itu, ia lihat keadaan di dalam gelap gulita, entah tersembunyi
makhluk aneh atau tidak, dengan sendirinya ia tidak berani masuk begitu saja.
Sedang Wan-jing sangsi,
sekonyong-konyong punggung terasa ditempel oleh sebuah telapak tangan, cepat ia
bermaksud mengelak, namun sudah terlambat, tenaga dorongan Jing-bau-khek itu
sudah dikerahkan. Tanpa kuasa lagi tubuh Bok Wan-jing mencelat ke depan
seakan-akan terbang masuk ke dalam rumah batu itu.
Walaupun terapung, namun Bok
Wan-jing segera melindungi badan sendiri dengan sebelah tangan, ia gunakan gaya
"Hia-hong-hut-liu” atau angin pagi mengembus pohon, tangan lain dipakai
melindungi muka sendiri. Ia khawatir dalam keadaan gelap jangan-jangan akan
diserang oleh sesuatu makhluk aneh.
Dalam pada itu, segera
terdengar suara gemuruh yang keras, pintu rumah ditutup orang dengan benda
keras.
Keruan Wan-jing terkejut,
cepat ia lari ke arah pintu dan mendorong, tapi di mana tangannya memegang,
rasanya kasap dan keras sekali. Ternyata tutup pintu itu adalah sepotong batu
karang raksasa.
Sekuatnya ia coba membukanya,
namun sedikit pun batu itu bergeming, bahkan goyang pun tidak. Dalam
khawatirnya, ia berteriak-teriak, "Hai, hai! Mengapa engkau mengurung
diriku di sini?”
Terdengar suara Jing-bau-khek
menjawab, "Apa yang pernah kau mohon padaku, mengapa kau lupakan sendiri?”
Suara orang itu menyusup masuk
dari lubang batu tadi, tapi kedengaran cukup jelas.
Wan-jing tenangkan diri
sejenak, ia lihat lubang yang ditutup dengan batu karang itu sekitarnya masih
banyak celah-celah, cuma untuk diterobos dengan tubuh manusia terang tidak
bisa. Terpaksa ia berteriak-teriak lagi, "Lepaskan aku, lepaskan aku ke
luar!”
Tapi yang terdengar hanya
suara keresekan daun pohon di luar, agaknya Jing-bau-khek itu sudah pergi
melintasi pagar pohon itu. Waktu mengintip keluar, yang dilihat Wan-jing hanya
rontokan daun pohon yang berhamburan, selain itu tiada sesuatu lagi yang
terlihat.
Ketika ia putar tubuh ke dalam
dan coba mengawasi keadaan rumah batu itu, ia lihat di pojok sana ada sebuah
dipan, di atas dipan duduk satu orang. Keruan ia kaget, tanyanya
terputus-putus, "Sia ... siapa kau?”
"Jing-moay, kiranya kau
masuk ke sini juga!” demikian sahut orang itu. Suaranya penuh rasa girang tercampur
heran. Kiranya Toan Ki adanya.
Dalam keadaan putus asa,
tiba-tiba Wan-jing ketemukan Toan Ki lagi, saking girangnya jantung serasa mau
melompat keluar dari rongga dadanya. Cepat ia menubruk ke pangkuan anak muda
itu.
Remang-remang terlihat muka si
gadis pucat lesi, kasih sayang Toan Ki sungguh tak terkatakan, ia peluk si
gadis dengan erat, melihat bibir si nona yang merah mungil itu, tak tertahan
lagi terus dikecupnya.
Tapi demi bibir menempel
bibir, segera kedua muda-mudi itu teringat, "Hai, kami adalah kakak
beradik, mana boleh berbuat tidak senonoh?”
Cepat kedua orang melepaskan
tangan masing-masing dan sama-sama menyurut mundur. Kedua orang berdiri
bersandar dinding batu dan saling pandang dengan terkesima.
Bok Wan-jing yang menangis
lebih dulu. Namun Toan Ki lantas menghiburnya, "Jing-moay, rupanya nasib
kita sudah ditakdirkan begini, hendaklah engkau jangan sedih. Mempunyai seorang
adik perempuan seperti engkau, sungguh aku sangat senang.”
"Aku justru tidak senang,
aku merasa sedih,” demikian seru Wan-jing sambil membanting-banting kaki
sendiri. "Jadi engkau merasa senang? Itu berarti engkau tidak punya
perasaan.”
"Apa mau dikatakan lagi,
kenyataan memang begini,” ujar Toan Ki sambil menghela napas. "Coba kalau
dulu aku tidak bertemu dengan engkau, urusan tentu akan menjadi lain.”
"Toh bukan aku yang ingin
bertemu denganmu,” sahut Wan-jing. "Habis, siapa suruh kau cari padaku,
dan kalau engkau tidak kembali hendak memberi kabar padaku, belum tentu aku
akan kenal engkau. Ya, semuanya adalah salahmu, kau yang mengakibatkan kematian
mawar hitamku, bikin hatiku luka, bikin Suhuku berubah menjadi ibuku, bikin
ayahmu ikut menjadi ayahku. Tapi aku tidak mau, semuanya itu aku tidak mau,
engkau membikin susah aku pula hingga terkurung di sini, aku ingin keluar, aku
ingin keluar!”
"Ya, sudah, Jing-moay,
memang semuanya salahku,” sahut Toan Ki, "Janganlah engkau marah, marilah
kita mencari jalan untuk lari keluar dari sini.”
"Tidak, aku tidak mau
keluar, mati di sini atau mati di luar sana sama saja bagiku. Aku tidak mau
keluar!” demikian Wan-jing berteriak-teriak.
Sungguh lucu juga, semula
minta keluar dari situ, tapi sebentar lagi bilang tidak mau. Toan Ki tahu
perasaan si nona terlalu terguncang, seketika juga sukar diberi mengerti. Maka
ia tidak bicara lagi.
Dan setelah muring-muring sejenak,
melihat Toan Ki diam saja, Wan-jing lantas tanya, "Kenapa kau tidak
bicara?”
"Habis, apa yang harus
kukatakan?” sahut Toan Ki.
"Coba terangkan, untuk
apa engkau berada di sini?” tanya Wan-jing.
"Aku ditawan muridku ke
sini ....”
"Muridmu?” Wan-jing
memotong dengan heran. Tapi segera teringat olehnya, ia tertawa dan berkata,
"Ya, benar, itulah Lam-hay-gok-sin, dia yang menawan dan mengurungmu di
sini?”
Toan Ki mengiakan.
"Kenapa tidak kau gunakan
pengaruhmu sebagai guru dan menyuruh dia melepaskan dirimu dari sini?” ujar si
nona.
"Sudah, entah sudah
berapa kali aku suruh dia, tapi ia bilang aku harus ganti mengangkat dia
sebagai guru, barulah dia mau melepaskan aku.”
"Ah, mungkin lagakmu
sebagai guru kurang berwibawa, maka dia berani membangkang,” kata Wan-jing.
"Ya, mungkin begitulah,”
sahut Toan Ki gegetun. "Dan engkau sendiri bagaimana, siapa yang
menangkapmu
ke sini?”
Maka berceritalah Bok Wan-jing
tentang Jing-bau-khek yang dijumpainya itu. Cuma tentang janji orang aneh itu
hendak "mengubah kakak menjadi suaminya” itu tak diceritakannya.
Mendengar ada seorang yang
bisa bicara dengan perut tanpa gerak mulut, bisa berjalan secepat terbang meski
kakinya buntung, Toan Ki menjadi sangat tertarik, berulang-ulang ia
berkecek-kecek kagum dan tanya lebih jelas.
Setelah lama mereka berbicara,
tiba-tiba terdengar suara keletak di luar, dari celah-celah tampak disodorkan
masuk sebuah mangkuk, terdengar suara orang berkata, "Ini, makanlah!”
Segera Toan Ki menyambut
mangkuk itu, ternyata isinya adalah Ang-sio-bak yang masih hangat dan berbau
sedap.
Menyusul dari luar diangsurkan
masuk pula semangkuk ham keluaran Hunlam yang terkenal, semangkuk lagi sayur
dan beberapa potong bakpao.
"Kau kira di dalam
makanan ini ditaruh racun tidak?” tanya Toan Ki kepada Wan-jing sesudah taruh
makanan itu di atas meja.
"Umpama mereka hendak
membunuh kita, tentunya tidak perlu susah-susah menaruh racun di dalam
makanan,” ujar Wan-jing.
Benar juga pikir Toan Ki, ia
memang sudah sangat lapar, maka katanya, "Marilah makan!”
Terus saja ia mendahului serbu
Ang-sio-bak yang lezat itu bersama bakpao.
"Habis makan lemparkan
keluar mangkuk-mangkuk itu, nanti ada orang yang membereskannya,” demikian
terdengar suara orang di luar tadi. Habis berkata, orang itu lantas tinggal
pergi.
"Engkau jangan khawatir,
Jing-moay!” demikian kata Toan Ki sembari makan. "Paman dan ayah pasti
akan datang menolong kita. Biarpun ilmu silat Lam-hay-gok-sin dan
kawan-kawannya cukup hebat, tapi mereka belum tentu sanggup melawan ayah.
Apalagi kalau paman mau turun tangan sendiri, tentu saja mereka bisa
disapu bersih dengan mudah.”
"Hm, dia cuma seorang
raja negeri Tayli, masakah ilmu silatnya ada sesuatu yang hebat?” demikian
Wan-jing berolok-olok. "Aku tidak percaya dia mampu mengalahkan orang aneh
berbaju hijau itu, paling-paling dia hanya bisa mengerahkan pasukannya secara
besar-besaran untuk menyerbu ke sini.”
"Tidak, tidak!”
berulang-ulang Toan Ki menggoyang kepala. "Leluhur kita adalah tokoh
Bu-lim daerah Tionggoan, meski menjadi raja di negeri Tayli ini, selama ini
tidak pernah melupakan peraturan Bu-lim yang berlaku. Kalau mengalahkan musuh
dengan jumlah lebih banyak, bukankah keluarga Toan kita akan ditertawai orang
persilatan di jagat ini?”
"Ehm, kiranya sesudah
familimu menjadi raja dan Ongya, mereka tetap tak mau melupakan kedudukan
mereka di dunia Kangouw,” ujar Wan-jing.
"Ya, paman dan ayah
sering berkata, itu namanya tidak melupakan asal usul,” sahut Toan Ki.
"Huh,” jengek si nona
tiba-tiba, "di mulut selalu tentang kebajikan dan kebaikan, tapi yang
diperbuat tak lain adalah hal-hal yang rendah memalukan. Coba jawab, ayahmu
sudah mempunyai ibumu, kenapa ... kenapa mencederai guruku lagi?”
"He! Kenapa kau maki
ayahku? Ayahku kan juga ayahmu?” sahut Toan Ki rada tercengang. "Lagi pula
setiap pangeran atau orang bangsawan di jagat ini, siapakah yang tidak punya
beberapa istri? Sekalipun mempunyai delapan atau sepuluh orang istri kan tidak
menjadi soal dan lumrah?”
Tatkala itu zamannya dinasti
Song utara. Di bagian utara ada negeri Cidan, di tengah adalah kerajaan Song,
di barat laut negeri He, di barat daya ada negeri Turfan, sedang di selatan
adalah negeri Tayli, seluruh Tiongkok waktu itu terbagi lima negeri. Dan memang
benar, bukan cuma rajanya, pangeran-pangerannya dan bangsawan-bangsawannya,
setiap orang mempunyai beberapa istri, bahkan berpuluh selir pula. Hal mana sudah
menjadi kelaziman zaman feodal, kalau setiap bangsawan itu hanya memiliki
seorang istri melulu, hal mana malah dipandang sebagai luar biasa.
Akan tetapi Bok Wan-jing
menjadi gusar demi mendengar pembelaan Toan Ki itu, "plok”, kontan ia
tampar pipi pemuda itu.
Keruan Toan Ki kaget hingga
separuh bakpao yang masih dipegangnya terjatuh ke tanah. "Ada ... ada
apa?” tanyanya bingung.
"Tidak, aku tidak mau
panggil dia sebagai ayah!” demikian seru Wan-jing. "Kalau lelaki boleh
punya beberapa istri, kenapa wanita tidak boleh bersuami dua atau tiga?”
Geli dan dongkol Toan Ki,
sambil meraba pipinya yang sakit pedas itu, ia berkata dengan tersenyum getir,
"Engkau adalah adikku, kenapa engkau pukul Engkohmu sendiri?”
Namun marah si gadis masih
belum reda, tangannya terangkat terus hendak menggampar lagi. Tapi sekali ini
Toan Ki sudah berjaga-jaga, sedikit kaki menggeser, cepat ia keluarkan langkah
"Leng-po-wi-poh” yang aneh, tahu-tahu ia sudah menyelinap ke belakang Bok
Wan-jing. Ketika tangan si nona menghantam ke belakang, kembali Toan Ki dapat
menghindar pula.
Meski luas kamar batu itu
tidak lebih dua meter, namun "Leng-po-wi-poh” itu benar-benar sangat
ajaib, biarpun pukulan Bok Wan-jing makin lama makin cepat, dari awal sampai
akhir tetap tak dapat mengenai Toan Ki.
Keruan semakin marah Bok
Wan-jing, tiba-tiba ia mendapat akal.
"Auuh!” ia pura-pura
menjerit terus menjatuhkan diri ke lantai.
"He, kenapa!” seru Toan
Ki khawatir sambil berjongkok untuk memayang si nona.
Dengan lemas saja Wan-jing
menyandarkan tubuhnya di pangkuan Toan Ki, tangan kiri terus merangkul leher
pemuda itu, mendadak ia merangkul kencang sambil berkata dengan tertawa,
"Sekarang engkau bisa menghindar tidak?”
Menyusul tangan kanan diayun
lagi, "plok”, lagi-lagi pipi Toan Ki dipersen sekali tamparan.
Dalam sakitnya, Toan Ki
menjerit pula, mendadak semacam arus hawa panas memburu ke atas dari dalam
perut, seketika denyut nadinya bekerja keras, nafsu berahinya berkobar hingga
sukar ditahan.
Bok Wan-jing berjuluk
"Hiang-yok-jeh” atau si Hantu Wangi, memang tubuhnya membawa semacam bau
harum yang memabukkan orang, kini tubuhnya dirangkul erat oleh Toan Ki, bau
harum yang semerbak itu makin mengacaukan pikiran anak muda itu, tanpa terasa
ia mencium bibir si gadis.
Dan sekali dicium, seketika
Bok Wan-jing lemas lunglai. Segera Toan Ki mengangkat tubuh nona itu dan dibawa
ke atas dipan ....
"Engkau ... engkau adalah
kakakku!” tiba-tiba Wan-jing berbisik.
Meskipun pikiran sehat Toan Ki
waktu itu sudah kabur, namun kata-kata Wan-jing itu mirip bunyi geledek siang
bolong. Ia tertegun sejenak, sekonyong-konyong ia lepaskan gadis itu dan
menyurut mundur beberapa tindak, menyusul "plak-plok” beberapa kali, ia
berondongi pipi sendiri dengan tamparan keras sambil memaki, "Mampus kau,
mampus kau!”
Melihat kedua mata pemuda itu
merah membara menyorotkan cahaya yang aneh, kulit daging mukanya
berkerut-kerut, hidungnya berkempas-kempis, Wan-jing menjadi kaget, teriaknya,
"He, Toan-long, kita teperdaya, di dalam makanan ada racun!”
Waktu itu Toan Ki merasa
antero badan panas bagai dibakar. Demi mendengar si gadis bilang di dalam
makanan ada racun, ia menjadi girang malah, pikirnya, "Ah, kiranya
racunlah yang telah mengacaukan pikiran suciku hingga timbul maksud tidak
senonoh terhadap Jing-moay dan bukan karena jiwaku yang kotor dan mendadak
hendak meniru perbuatan binatang yang rendah.”
Akan tetapi panas badan
benar-benar sukar ditahan, saking tak tahan satu per satu ia copot bajunya
hingga akhirnya melulu tinggal pakaian dalam saja, untunglah pikirannya masih
rada jernih hingga tidak mencopot lebih jauh, cepat ia duduk bersila
menenangkan diri untuk melawan pikiran jahat tadi.
Bok Wan-jing sendiri juga
merasakan badan panas seperti Toan Ki, sampai akhirnya saking tak tahan, ia pun
menanggalkan baju luarnya.
Namun Toan Ki lantas
berteriak, "Jing-moay, jangan lepas baju lagi! Lekas tempelkan punggungmu
ke dinding, tentu terasa segar sedikit!”
Begitulah segera mereka
bersandar di dinding batu. Namun racun di dalam badan tetap bekerja dengan
hebat, meski punggung terasa sedikit dingin, anggota badan lain malah bertambah
panas. Toan Ki melihat kedua pipi Wan-jing merah membara, cantiknya sukar
dilukiskan, matanya berkilau-kilau seakan-akan ingin sekali menubruk ke
pangkuannya, ia pikir, "Dengan iman teguh kita lawan terus bekerjanya
racun. Namun tenaga manusia terbatas juga, kalau akhirnya berbuat hal-hal yang
tidak senonoh, ini benar-benar akan menodai habishabisan nama baik keluarga
Toan dan selamanya sukar menebus kesalahan ini.”
Maka cepat ia berkata,
"Jing-moay, lemparkanlah sebatang panahmu kepadaku!”
"Untuk apa?” tanya
Wan-jing.
"Supaya ... supaya kalau
aku sudah tak tahan lagi, sekali tikam aku akan membunuh diri dengan panah
berbisa itu, agar tidak membikin susah padamu,” sahut Toan Ki.
"Tidak, aku tidak mau
memberi,” kata si gadis.
"Jika begitu, janjilah
padaku untuk memenuhi sesuatu permohonanku,” pinta Toan Ki.
"Tentang apa?” tanya
Wan-jing.
"Bila tanganku sampai
menyentuh badanmu, sekali panah boleh kau binasakan aku,” kata Toan Ki.
"Tidak, aku tidak mau!”
sahut si gadis.
"Jing-moay, terimalah
permintaanku itu,” pinta Toan Ki dengan sangat. "Nama baik keluarga Toan
kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini tidak boleh hancur di tanganku.
Kalau tidak, mati pun aku tidak bisa mempertanggungjawabkan pada leluhur di
alam baka?”
"Huh, apanya yang hebat
dari keluarga Toan di Tayli?” tiba-tiba suara jengek seorang di luar rumah batu
itu. "Paling-paling di mulut saja selalu bicara tentang kebaikan dan
kemanusiaan, tapi apa yang diperbuat lebih rendah daripada binatang. Apanya
yang perlu dipuji?”
"Siapa kau? Ngaco-belo
belaka!” damprat Toan Ki dengan gusar.
"Dia ... dia adalah si
baju hijau yang aneh itu,” dengan lirih Wan-jing membisiki Toan Ki.
Maka terdengar Jing-bau-khek
itu berkata lagi, "Bok-kohnio, sudah kusanggupi akan menjadikan kakakmu
sebagai suamimu, kutanggung pasti akan memenuhi harapanmu.”
"Kau sengaja pakai racun
untuk mencelakai kami, apa sangkut pautnya dengan permohonanku padamu?” sahut
Wan-jing gusar.
"Di dalam Ang-sio-bak
yang sudah kalian makan itu telah dengan banyak kucampur dengan
‘Im-yang-ho-hapsan’ (puyer menjodohkan negatif dan positif), sesudah minum,
kalau tidak terjadi pembauran hawa Im dan Yang, kalau laki-laki dan wanita
tidak melakukan tugas suami istri, maka antero badannya segera akan membusuk,
mata hidung dan telinga akan mengucurkan darah dan akhirnya mati. Bekerjanya
obat Ho-hap-san itu makin lihai, sampai hari kedelapan, sekalipun dewa juga
takkan mampu menolong,” demikian orang itu menjelaskan.
Toan Ki menjadi gusar,
dampratnya, "Selamanya aku tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa kau
perlakukan aku begini keji? Kau sengaja membikin kami berbuat hal-hal yang
durhaka, agar ayah dan pamanku malu selama hidup, namun biar seratus kali aku
harus mati, tidak nanti aku masuk perangkapmu!”
"Kau memang tiada
permusuhan apa-apa denganku, tapi leluhur keluarga Toan kalian justru mempunyai
permusuhan sedalam lautan denganku,” demikian sahut Jing-bau-khek. "Hm,
bilamana Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun dirundung malu selama hidup hingga
tiada muka buat bertemu dengan orang luar, itulah paling bagus, paling bagus!”
Rupanya karena mulutnya tak
bisa bergerak, maka meski hatinya sangat senang, namun tak dapat bergelak
tertawa.
Dan selagi Toan Ki hendak
mendebat pula, sekilas dilihatnya paras Bok Wan-jing yang cantik bagai kuntum
bunga baru mekar itu, hatinya berdebar-debar keras lagi, seketika benaknya
menjadi kacau pula, pikirnya, "Aku memang ada ikatan perjodohan dengan
Jing-moay, andaikan kami tidak pulang ke Tayli, siapa lagi yang tahu kami
adalah kakak dan adik? Apa yang terjadi ini adalah hukum karma akibat dosa
leluhur, peduli apa dengan kami berdua?”
Berpikir begitu, segera Toan
Ki bangkit dengan sempoyongan. Terlihat sambil berpegangan dinding, Bok Wanjing
juga sedang berdiri perlahan.
Sekonyong-konyong terkilas
pula pikiran sehat dalam benaknya, "Wah, tidak boleh, tidak boleh! Wahai
Toan Ki, perbuatan binatang yang hendak kau lakukan ini tergantung pada pikiran
sekilas saja, bila hari ini kau terjerumus, bukan saja nama baikmu sendiri akan
hancur lebur, bahkan nama baik ayah dan paman serta leluhur juga ikut
tercemar.”
Karena itu, mendadak ia
membentak, "Jing-moay, aku adalah kakakmu dari satu ayah, dan engkau
adalah adikku sendiri, tahu tidak kau? Kau paham Ih-keng tidak?”
Dalam keadaan sadar tak sadar
Bok Wan-jing menjawab, "Ih-keng apa? Aku tidak paham.”
"Baiklah, biar kuajarkan
padamu,” kata Toan Ki. "Pelajaran Ih-keng ini rada sulit dan sangat dalam,
engkau harus mendengarkan dengan cermat.”
"Untuk apa aku
mempelajarinya?” tanya Wan-jing.
"Besar manfaatnya sesudah
kau belajar,” sahut Toan Ki. "Boleh jadi sesudah belajar kita berdua akan
dapat melepaskan diri dari kesulitan ini.”
Kiranya Toan Ki merasa
nafsunya semakin menyala-nyala. Dalam pertentangan batin antara kemanusiaan dan
kebinatangan itu, sungguh keadaannya sangat berbahaya, asal Bok Wan-jing
mendekatinya dan sedikit menggoda, rasanya pertahanannya akan bobol.
Sebab itulah ia bermaksud
mengajarkan Ih-keng padanya untuk menyimpangkan pikirannya dari kesesatan. Maka
katanya pula, "Dasar Ih-keng terletak pada Thay-kek (asas alamiah) dan
Thay-kek melahirkan Liang-gi (langit dan bumi). Liang-gi menciptakan Su-siang
(empat musim), Su-siang menimbulkan Pat-kwa (delapan unsur). Kau paham tidak
lukisan Pat-kwa?”
"Tidak! Wah, gerah benar!
Toan-long, marilah maju ke sini, aku ingin bicara padamu!” demikian kata si
gadis.
"Aku adalah kakakmu,
jangan panggil aku Toan-long, tapi harus panggil Toako,” sahut Toan Ki. "Coba
dengarkan, aku akan menguraikan kalimat-kalimat bentuk Pat-kwa itu, harus kau
ingat dengan baik, Kian-samthong, Kun-liok-toan dan ....”
"Apa Kian, apa Kun?
Entahlah, aku tidak paham!” kata Wan-jing.
"Itu menggambarkan bentuk
Pat-kwa,” tutur Toan Ki. "Harus kau tahu, Pat-kwa itu meliputi segala
benda di alam semesta ini, dari langit dan bumi sampai semua makhluk di dunia.
Misalnya keluarga kita, Kian adalah ayah dan Kun adalah ibu, Cin menyimbolkan
putra dan Soan menandakan putri .... Kita berdua adalah kakakberadik, aku
adalah unsur Cin dan engkau adalah unsur Soan.”
"Tidak, engkau unsur Kian
dan aku unsur Kun,” demikian sahut Wan-jing dengan kemalas-malasan.
"Biarlah kita berdua menikah, kelak melahirkan putra dan putri ....”
Mendengar ucapan si nona yang
tak keruan itu, hati Toan Ki terguncang, serunya khawatir, "He, Jing-moay,
jangan kau pikir yang tidak-tidak, dengarkanlah uraianku lebih jelas!”
"Kau duduklah di
sampingku sini dan aku akan mendengarkan uraianmu,” ujar Wan-jing.
"Bagus, bagus! Sesudah
kalian berdua menjadi suami istri dan melahirkan putra-putri, aku lantas
melepaskan kalian keluar,” demikian terdengar Jing-bau-khek yang aneh itu
berkata di luar rumah batu. "Dan bukan saja aku takkan membunuh kalian,
bahkan akan kuajarkan kalian macam-macam kepandaian, biar kalian suami istri
malang melintang di seluruh jagat.”
"Ngaco!” seru Toan Ki
gusar. "Sampai saat terakhir, akan kubenturkan kepalaku ke dinding.
Anak-cucu keluarga Toan lebih suka mati daripada dihina. Kau ingin membalas
dendam atas diriku, jangan harap!”
"Kau mau mati atau ingin
hidup, aku peduli apa?” sahut Jing-bau-khek. "Bila kalian berdua mencari
mati, aku akan belejeti pakaian kalian hingga telanjang bulat, akan kutuliskan
keterangan di atas mayat kalian bahwa inilah putra-putri Toan Cing-sun yang
telah berbuat maksiat, tapi kepergok orang, saking malu maka lantas membunuh
diri. Akan kubawa mayat kalian berkeliling ke setiap kota sesudah aku
mengawetkan dulu mayat kalian.”
Sungguh tidak kepalang gusar
Toan Ki, bentaknya murka, "Ada permusuhan apakah sebenarnya keluarga Toan
kami dengan dirimu sehingga kau balas secara begini keji?”
"Urusanku, buat apa
kuceritakan padamu?” sahut Jing-bau-khek. Habis ini, suaranya tak terdengar
lagi, mungkin sudah pergi.
Toan Ki tahu, banyak bicara
dengan Bok Wan-jing, bahayanya akan bertambah besar pula. Segera ia duduk
menghadap dinding untuk memikirkan langkah-langkah "Leng-po-wi-poh” yang
ajaib itu. Setelah terdiam agak lama, tiba-tiba teringat olehnya, "Enci
Dewi di dalam gua itu berpuluh kali lebih cantik daripada Jing-moay, bila aku
bisa memperistrikan dia, rasanya tidak sia-sia hidupku ini.”
Dalam keadaan sadar tak sadar
ia berpaling, ia lihat muka Bok Wan-jing samar-samar mulai berubah menjadi
patung cantik di dalam gua itu.
"O, Enci Dewi, betapa
deritaku ini, tolonglah aku!” demikian Toan Ki berteriak. Mendadak ia menubruk
ke depan merangkul betis Bok Wan-jing.
Justru pada saat itu juga, di
luar ada suara orang, "Makan malam dulu ini!”
Berbareng sebatang lilin yang
sudah dinyalakan diangsurkan. Dengan tertawa orang itu berkata lagi, "Nah,
lekas sambut ini, malam pengantin, mana boleh tanpa lilin?”
Dalam kejutnya Toan Ki terus
berbangkit, di bawah sinar lilin yang terang itu, ia lihat mata Wan-jing yang
jeli itu berkilau-kilau penuh arti, cantiknya sukar dilukiskan. Cepat ia sirap
lilin, lalu membentak, "Di dalam nasi ada racun, lekas bawa pergi, kami
tidak mau makan!”
"Sudah banyak racun yang
masuk perutmu, tidak perlu ditambah lagi,” sahut suara itu sambil tetap
menyodorkan makanan.
Tanpa terasa Toan Ki sambut
juga dan ditaruh di atas meja. Pikirnya, "Kalau sudah mati, musnahlah
segalanya, apa yang terjadi sesudah itu, mana bisa aku mengurusnya lagi?”
Lalu pikirnya pula, "Tapi
betapa kasih sayang ayah-bunda dan paman padaku, mana boleh aku menodai nama
baik keluarga Toan hingga ditertawai orang?”
Tiba-tiba terdengar Bok
Wan-jing berteriak, "Toan-long, aku akan bunuh diri dengan panahku, supaya
tidak bikin susah padamu!”
"Nanti dulu!” seru Toan
Ki, "Biarpun kita mati, keparat yang mahajahat itu pun takkan mengampuni
kita. Orang ini sangat keji dan licik, dibanding Yap Ji-nio yang suka isap
darah bayi dan Lam-hay-gok-sin yang suka makan hati manusia, orang ini jauh
lebih jahat! Entah siapa dia sebenarnya?”
"Ucapanmu memang tidak
salah,” tiba-tiba terdengar suara Jing-bau-khek itu menjawab, "Lohu
tak-lain takbukan adalah ‘Ok-koan-boan-eng’ (kejahatan sudah melebihi takaran),
kepala Su-ok aku adanya!”
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali mengenai keadaan di
istana Tin-lam-ong.
Si Pek-hong alias
Yau-toan-siancu menjadi sangat khawatir atas diri sang putra yang digondol
kawanan Su-ok itu, tanyanya pada Po-ting-te, "Hong-heng, di manakah letak
Ban-jiat-kok itu, apakah Hong-heng sudah tahu?”
"Nama Ban-jiat-kok juga
baru kudengar hari ini,” sahut Po-ting-te Toan Cing-beng. "Tapi rasanya
tidak jauh dari Tayli ini.”
"Dari nada ucapan Ciong
Ban-siu itu, agaknya tempat itu sangat dirahasiakan,” kata Pek-hong dengan
khawatir. "Dan kalau terlalu lama Ki-ji berada dalam cengkeraman musuh,
mungkin ....”
"Ki-ji terlalu dimanjakan
di rumah, biarkan dia mengalami sedikit gemblengan juga ada baiknya,” demikian
sela Po-ting-te dengan tersenyum.
Si Pek-hong tidak berani
banyak bicara lagi meski dalam hati khawatir sekali.
Maka Po-ting-te berkata pula
kepada Toan Cing-sun, "Sun-te, suruh keluarkan santapan lagi, mari kita
menjamu diri sendiri dahulu.”
Cing-sun mengiakan dan memberi
perintah, hanya sebentar saja perjamuan lengkap sudah disediakan lagi. Segera
Po-ting-te suruh semua orang duduk semeja untuk makan minum.
Meski dia diagungkan sebagai
raja, tapi tempatnya bukan di istana, biasanya ia tidak suka banyak adat, maka
Toan Cing-sun, Si Pek-hong dan Ko Sing-thay lantas sama duduk mengiringinya
tanpa rikuh.
Dalam perjamuan itu, mereka
sama sekali tidak bicara tentang kejadian tadi.
Ketika dekat fajar, tiba-tiba
seorang pengawal masuk melapor, "Pah-sugong ingin menghadap Hongsiang!”
Maka masuklah seorang
laki-laki kehitam-hitaman, bertubuh pendek kurus. Ia memberi hormat kepada
Poting-te dan berkata, "Lapor Hongsiang, untuk ke tempat itu harus melalui
Sian-jin-toh dan jembatan rantai, mulut lembahnya adalah sebuah kuburan.”
"Wah, bila tahu
Pah-sugong sudah turun tangan, masakah sarang musuh takkan diketemukan dan aku
pun tidak perlu khawatir lagi,” seru Pek-hong dengan tertawa.
"Onghui terlalu memuji,
Pah Thian-sik tidak berani terima,” sahut laki-laki hitam itu.
Kiranya Pah Thian-sik ini
meski bermuka jelek dan potongannya kecil, tapi dia sangat cerdik dan pintar,
sudah banyak berjasa bagi Po-ting-te. Pangkatnya sekarang di negeri Tayli
adalah Sugong.
Gelar pangkat Suto, Suma dan
Sugong sangat terhormat dalam kerajaan kecil ini. Pah Thian-sik sendiri ilmu
silatnya sangat tinggi, lebih-lebih dalam ilmu Ginkang. Kali ini ia ditugaskan
Po-ting-te untuk menguntit jejak musuh, dan benar juga ia dapat mengetahui
tempat Ban-jiat-kok itu.
"Thian-sik, duduklah dan
makan yang kenyang,” kata Po-ting-te kemudian dengan tertawa. "Habis
makan, kita lantas berangkat.”
Thian-sik cukup kenal watak
sang raja yang biasanya tak suka orang berlutut dan menyembah padanya, kalau
terlalu kukuh pada adat-adat kolot itu, sang raja malah kurang senang. Maka ia
hanya mengiakan sekali dan ambil tempat duduk, terus saja ia serbu apa yang
tersedia di atas meja itu.
Setetes arak pun Pah Thian-sik
tidak minum, tapi takarannya makan ternyata sangat mengejutkan, hanya sekejap
saja hampir sepuluh mangkuk nasi telah dilangsir ke dalam perutnya.
Toan Cing-sun, Ko Sing-thay
dan lain-lain sudah lama bersahabat dengan Pah Thian-sik, maka mereka tidak
menjadi heran akan kelakuan orang aneh itu.
Habis makan, segera Thian-sik
berbangkit, ia usap mulutnya yang berlepotan minyak itu dengan lengan baju,
lalu berkata, "Marilah Hongsiang, biar hamba menunjukkan jalannya.”
Dan segera ia mendahului
melangkah keluar.
Berturut-turut Po-ting-te,
Toan Cing-sun suami istri dan Ko Sing-thay lantas mengikuti di belakangnya.
Sampai di luar istana, tampak
tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok sudah menanti di situ sambil menuntun kuda, di
samping itu ada belasan pengawal lain yang membawakan senjata Po-ting-te.
Nyata, biarpun kedua saudara
Toan ini mempunyai kedudukan terpuji, namun mereka tidak pernah meninggalkan
etiket sebagai orang persilatan daerah Tionggoan yang diwariskan leluhur
mereka. Sering kali mereka pun menyamar sebagai rakyat jelata untuk pesiar
keluar, kalau ketemukan orang Bu-lim hendak menuntut balas atau mencari mereka,
selalu mereka pun menghadapinya menurut peraturan Bu-lim, selamanya tidak
gunakan pengaruh kedudukan mereka untuk menghina orang.
Sebab itulah, maka keluarnya
Po-ting-te sekarang ini sedikit pun tidak mengherankan para pengiringnya,
mereka anggap sudah biasa.
Melihat di antara beberapa
orang pengiring itu ada yang membawa pacul dan sekop, dengan tertawa Si Pekhong
tanya, "Pah-sugong, apakah kita hendak pergi menggali pusaka pendaman?”
"Pergi menggali kuburan!”
sahut Pah Thian-sik.
Begitulah segera rombongan
mereka berangkat beramai-ramai, kuda yang mereka pakai adalah pilihan, maka
tidak sampai tengah hari mereka sudah tiba di tanah pekuburan di luar
Ban-jiat-kok itu.
"Gali situ!” kata Pah
Thian-sik segera sambil menunjuk kuburan besar yang ketujuh.
Terus saja pengiring-pengiring
yang membawa alat-alat galian itu bekerja cepat.
"Wah, penghuni di
Ban-jiat-kok ini rupanya dendam tiada tara terhadap keluarga Toan kita!”
demikian kata Poting-te dengan tertawa sambil menuding batu nisan yang
bertuliskan "Kuburan Ban Siu Toan” atau kuburan orang beribu sakit hati
pada orang she Toan.
Dalam pada itu Jay-sin-khek
Siau Tiok-sing sudah lantas ayun kapaknya dengan cepat pada batu nisan itu
hingga batu kerikil bertebaran, hanya sebentar saja batu nisan itu sudah
dihancurkan olehnya dan melulu tertinggal huruf "Toan” yang masih tetap
utuh.
Sementara itu para pengiring
juga sudah meratakan sebagian besar kuburan itu hingga kelihatan jalan masuk ke
bawah tanah itu.
Segera Siau Tiok-sing
mendahului masuk ke dalam, lalu keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok mendahului
membuka jalan, di belakangnya
adalah Pah Thian-sik dan Ko Sing-thay, menyusul lantas Toan Cing-sun suami
istri dan paling akhir Po-ting-te.
Setelah masuk ke dalam lembah
itu ternyata keadaan sunyi senyap tiada seorang pun yang menyambut kedatangan
mereka.
Pah Thian-sik menuruti
peraturan Kangouw, ia bawa kartu nama Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun menuju
ke depan rumah utama di lembah itu, serunya keras-keras, "Dua saudara she
Toan dari negeri Tayli ingin bertemu dengan Ciong-kokcu!”
Baru selesai ucapannya,
sekonyong-konyong dari semak-semak pohon sisi kiri sana berkelebat keluar
sesosok bayangan orang yang panjang sekali, dengan cepat luar biasa tahu-tahu
melayang ke arah Pah Thian-sik terus hendak menyambar kartu nama yang
dipegangnya itu.
Namun Thian-sik cukup cepat
juga gerakannya, ia menggeser ke samping sambil membentak, "Siapa?”
Kiranya itulah
"Kiong-hiong-kek-ok” In Tiong-ho. Sekali sambar tidak kena, ia tidak
berhenti tapi terus putar balik dan menubruk ke arah Thian-sik.
Melihat Ginkang orang sangat
hebat, timbul keinginan Pah Thian-sik untuk menjajal kepandaian orang yang
sesungguhnya, maka cepat ia geser pula ke samping lain. Segera In Tiong-ho
mengudak juga.
Maka tertampaklah dua bayangan
orang, yang satu jangkung dan yang lain pendek, dalam sekejap saja sudah saling
uber kian kemari beberapa kali. Meski langkah In Tiong-ho sangat lebar, namun
dengan gesit sambil berlompatan, Pah Thian-sik dapat menyusup pergi datang
dengan lincah, jarak kedua orang tetap terpisah lebih satu meter. In Tiong-ho
tak bisa menyusul Pah Thian-sik, sebaliknya Thian-sik juga tak mampu melepaskan
diri dari kejaran Tiong-ho.
Biasanya kedua orang itu
sama-sama sangat mengagulkan Ginkangnya sendiri, tapi kini ketemukan lawan
setanding, diam-diam mereka sama terkejut. Makin berlari makin cepat, begitu
cepatnya hingga baju mereka berkibaran menjangkitkan angin yang menderu-deru.
Meski hanya dua orang yang
kejar-mengejar, namun bagi penglihatan orang menjadi seperti beberapa orang
yang sedang saling udak kian kemari. Sampai akhirnya, saking cepatnya lari
mereka hingga orang merasa bingung apakah sebenarnya In Tiong-ho yang lagi
mengejar Pah Thian-sik atau Thian-sik yang sedang mengudak Tiong-ho?
Tiba-tiba terdengar suara
keriut pintu dibuka, Ciong Ban-siu tampak keluar dari rumah itu.
Melihat tuan rumah itu, tanpa
berhenti berlari, Pah Thian-sik mengerahkan tenaga dalam terus menyambitkan
kartu nama yang enteng dan lemas, tapi Thian-sik ternyata dapat menimpuknya
dengan lurus enteng, apalagi dia sedang berlari diuber musuh, angin yang
terjangkit karena larinya itu cukup keras, tapi kartu nama itu mampu menembus
sambaran angin dan tetap menuju ke arah Ciong Ban-siu, maka dapatlah
dibayangkan betapa lihai Lwekang Pah Thian-sik.
Ban-siu lantas tangkap kartu
yang terbang ke arahnya itu, serunya dengan gusar, "Orang she Toan, jika
kau datang ke lembah ini menurut peraturan Kangouw, mengapa kau rusak peralatan
pintu lembahku?”
"Hongsiang mahaagung,
mana boleh menerobos liang kuburmu dan peti matimu yang busuk itu?” demikian
sahut Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li.
Si Pek-hong sendiri paling
khawatir keselamatan putranya, maka segera ia tanya, "Di manakah anakku,
kalian mengurungnya di mana?”
Belum lagi Ciong Ban-siu
menjawab, sekonyong-konyong dari belakangnya tampil seorang wanita, dengan
suara yang tajam ia berseru, "Kedatanganmu sudah terlambat, bocah she Toan
itu sudah kami sembelih dadanya dan isi perutnya kami buang sebagai umpan
anjing!”
Kedua tangan wanita itu tampak
memegangi sepasang golok, batang golok itu sangat ciut bagai daun pohon Liu,
tapi bersinar kemilau. Itulah dia Siu-lo-to yang ditakuti orang Kangouw bila
melihatnya.
Kedua wanita ini, Si Pek-hong
dan Cin Ang-bian, pada masa belasan tahun yang lalu sudah saling bermusuhan.
Meski Si Pek-hong tahu apa yang dikatakan Cin Ang-bian tadi tidak benar, namun
ucapan orang yang mengerikan atas diri putranya, membuat Si Pek-hong menjadi
gusar, dendam lama dan benci baru meledak sekaligus, dengan dingin ia balas
berolok-olok, "Huh, aku bicara sendiri dengan Ciong-kokcu, siapa yang sudi
omong-omong dengan perempuan rendah tak kenal malu hingga mengotorkan diri
sendiri.”
"Creng-creng,”
sekonyong-konyong kedua golok Cin Ang-bian membacok secepat kilat ke atas
kepala Si Pekhong. Serangan "Sip-ji-gam” atau bacokan bersilang, yang satu
malang ke sana dan yang lain melintang ke sini, jurus ini adalah kepandaian
khas Cin Ang-bian yang telah banyak menjungkalkan jago dunia Kangouw.
Maka lekas Si Pek-hong ayun
kebut pertapaannya untuk menangkis, berbareng tubuhnya bergeser ke samping,
ujung kebut lantas balas
menyabet punggung lawan.
Menyaksikan itu, Toan Cing-sun
menjadi serbasalah. Yang seorang adalah istri kesayangannya, dan yang lain
adalah bekas kekasih. Dalam pertarungan sengit itu, siapa pun terluka, dirinya
yang sudah pasti akan menyesal selama hidup. Maka segera ia membentak,
"Berhenti, berhenti dulu!”
Ia terus melompat maju dengan
pedang terhunus hendak memisah.
Melihat Toan Cing-sun, marah
Ciong Ban-siu lantas berkobar, ia lolos golok "Tay-goan-to,” golok tebal
yang bergelang hingga menerbitkan suara gemerantang nyaring, tanpa bicara lagi
terus membacok kepala Toan Cing-sun.
"Tak usah Ongya maju
sendiri, biar hamba membereskan dia saja,” kata Leng Jian-li sambil menjuju
dengan senjata pancingnya.
"Haha,” Ban-siu tertawa
mengejek. "Memang kutahu orang she Toan hanya besar omong saja,
paling-paling cuma pandai main keroyokan.”
"Mundur Jian-li!” seru
Cing-sun dengan tertawa, "biar kubelajar kenal sendiri dengan kepandaian
Ciong-kokcu yang lihai.”
Berbareng ia lantas menangkis
tangkai pancing Leng Jian-li, sekalian pedang terus menempel punggung
Taygoan-to lawan yang dipakai menangkis tangkai pancing Leng Jian-li tadi,
untuk memotong jari tangan Ciong Ban-siu.
Ban-siu terkejut oleh tiga
gerakan yang dilakukan sekaligus, yaitu menangkis, menempel dan memotong,
diam-diam ia harus mengaku orang she Toan ini benar-benar lihai. Maka ia tidak
berani marah lagi, tapi ia hadapi lawan dengan sungguh-sungguh. Meski wataknya
kasar, namun kalau sudah berhadapan dengan musuh, ia bisa berlaku hati-hati.
"Coba kalian masuk dan
geledah sana!” perintah Po-ting-te kepada Leng Jian-li.
Jian-li mengiakan, segera
tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok menyerbu ke dalam rumah orang. Tapi baru sebelah
kaki Siau Tiok-sing melangkah masuk, tiba-tiba dari depan menyambar sebatang
golok tipis ke mukanya. Untung ia sempat mengkeret kembali dengan cepat, kalau
tidak tentu mukanya sudah rata terpotong, paling
tidak batang hidungnya pasti
terpapas.
Saking kagetnya sampai Siau
Tiok-sing berkeringat dingin. Ia coba perhatikan siapa gerangan penyergap itu.
Kiranya seorang wanita yang berparas cantik, itulah dia Bu-ok-put-cok Yap
Ji-nio adanya.
Golok yang dipakai Yap Ji-nio
itu bentuknya sangat aneh, enteng tipis, senjata tajam luar biasa. Sambil
memegangi gagang golok yang pendeknya cuma belasan senti itu, hanya sedikit
diputar seketika terjadilah segulung sinar putih.
Kaget Siau Tiok-sing semula
memang luar biasa, tapi sesudah tenangkan diri, segera ia membentak, kapak baja
diayun, terus saja ia bacok senjata musuh.
Namun Yap Ji-nio lekas putar
goloknya yang tipis tajam itu, ia tidak berani adu senjata dengan kapak lawan.
Siau Tiok-sing mainkan 36
jurus "Khay-san-po-hoat” atau ilmu permainan kapak membelah gunung, ia
membacok ke atas dan membabat ke bawah. Sebaliknya Yap Ji-nio terus-menerus
mengejeknya dengan katakata yang menusuk hati.
Melihat perempuan itu sambil
bicara seenaknya saja melayani serangan Tiok-sing, Cu Tan-sin menjadi khawatir
jangan-jangan kawannya teperdaya musuh. Maka cepat ia pun menerjang maju,
kipasnya berputar terus menutuk.
Tatkala itu In Tiong-ho masih
tetap main putar kayun dengan Pah Thian-sik. Ginkang kedua orang sama lihainya,
mereka tahu juga dalam waktu singkat sukar untuk menentukan kalah menang, tapi
yang diuji sekarang adalah tenaga dalam, siapa yang tahan lama, dia akan
menang.
Tapi Thian-sik tahu lawan
sudah mengerahkan sepenuh tenaga untuk mengejar, berbeda seperti dirinya yang
main melompat dan melejit, tenaga dalam masih terpelihara, bila sewaktu-waktu
dirinya mendadak berhenti berlari terus menyerang serentak, tentu lawan tak
kuat menahannya.
Cuma tujuannya memang ingin
menguji Ginkang lawan, maka ia masih terus berlari dan belum ingin menundukkan
lawan dengan ilmu pukulan.
"Setan alas, dari mana
datangnya kawanan anjing ini, bikin berisik melulu hingga aku tak bisa tidur!”
demikian tiba-tiba terdengar suara makian orang. Lalu tertampak Lam-hay-gok-sin
melompat datang dengan senjatanya
yang istimewa, yaitu
Gok-cui-cian atau gunting moncong buaya.
Segera Tiam-jong-san-long
menjawabnya dengan suara keras, "Ini dia ayah gurumu yang datang kemari!”
"Apa ayah guruku?” bentak
Lam-hay-gok-sin dengan bingung.
"Ini,” sahut
Tiam-jong-san-long sambil tunjuk Toan Cing-sun, "Tin-lam-ong adalah ayah
Toan-kongcu, dan Toan-kongcu adalah gurumu, masakah kau berani menyangkal,
ayo?”
Biarpun perbuatan
Lam-hay-gok-sin mahajahat, tapi ada suatu sifatnya yang baik, yaitu apa yang
pernah dia ucapkan, tentu ditepatinya.
Maka demi mendengar jawaban
itu, mukanya menjadi merah padam saking gusar, tanpa menjawab benar atau tidak,
segera ia membentak pula, "Aku angkat guru padanya adalah urusanku
sendiri, peduli apa dengan anak kura-kura macam kau ini?”
"Hahaha! Aku toh bukan
anakmu, kenapa kau panggil aku anak kura-kura?” sahut San-long bergelak
tertawa.
Lam-hay-gok-sin tertegun, ia
bingung akan jawaban itu. Tapi kemudian ia menjadi sadar bahwa secara tidak
langsung orang telah memaki dia sebagai kura-kura alias germo.
Sadar akan hal itu, keruan ia
berjingkrak gusar, senjatanya yang aneh itu menggunting beberapa kali ke arah
musuh.
Walaupun otaknya rada bebal,
tapi ilmu silat Lam-hay-gok-sin memang sangat lihai. Gok-cui-cian yang dipakai
itu penuh dengan gigi buaya yang tajam, baru Tiam-jong-san-long menangkis tiga
jurus dengan pacul garuknya, kedua lengannya sudah mulai terasa linu pegal.
Melihat kawannya terdesak,
segera pancing Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li bergerak, sekali terayun, cepat
kait pancingnya melayang ke mata kiri Gok-sin.
"Huh, senjata apaan ini?”
jengek Lam-hay-gok-sin.
"Aku berjuluk
Lam-hay-tio-toh, kerjaku memancing buaya!” sahut Leng Jian-li dengan tertawa.
"Kau paham kentut,
masakah buaya dapat dipancing, sekali gigit sudah putus pancingmu ini,” sahut
Gok-sin tak mau kalah.
"Baik, boleh kau
coba-coba,” ujar Jian-li tertawa. Kembali tali pancingnya terayun dan kait
pancing hendak mencantol mulut Lam-hay-gok-sin.
Namun Gok-sin tidak lengah,
mendadak Gok-bwe-pian atau ruyung ekor buaya terus dilolos, sekali sabat,
segera tali pancing lawan hendak digulungnya.
Ruyung lawan kasar antap,
sedang tali pancingnya halus enteng, maka Leng Jian-li tak berani sembrono,
cepat ia tarik pancingnya dan putar sekali di udara, menyusul batok kepala
belakang Gok-sin hendak dikait lagi.
Menyaksikan situasi
pertarungan itu, Po-ting-te menaksir pihaknya tidak berbahaya, cuma sepasang
Siu-lo-to Cin Ang-bian yang dimainkannya dengan cepat luar biasa dengan aneka
macam perubahannya, di atas golokgolok tipis itu dilumasi racun pula. Dalam hal
ilmu silat sejati tidak nanti Si Pek-hong kalah, tapi kalau tersentuh senjata
lawan yang beracun, itulah yang dikhawatirkan.
Segera Po-ting-te berkata pada
Ko Sing-thay, "Jaga dan awasi keadaan di sini, kalau perlu boleh kau
rampas sebilah golok nyonya itu.”
Ko Sing-thay mengiakan, dengan
tenang ia berdiri mengawasi kalangan pertempuran dengan gagahnya.
Po-ting-te lantas masuk ke
dalam rumah, serunya keras-keras, "Ki-ji, apakah kau berada di sini?”
Tapi sama sekali tiada jawaban
orang. Ia coba membuka pintu kamar sebelah kiri dan berseru pula, "Ki-ji!”
Belum hilang suaranya,
sekonyong-konyong sesosok bayangan hijau berkelebat, seutas tali panjang
secepat kilat menyambar lehernya.
Walaupun benda hijau itu
menyambar dengan terapung di udara, tapi ternyata adalah makhluk hidup.
Po-ting-te terkejut, segera ia dapat melihat jelas bahwa benda itu adalah
seekor ular hijau yang panjang. Dengan lidahnya
yang mulur mengkeret, ular itu
hendak menggigit tenggorokannya.
Tanpa pikir lagi Po-ting-te
segera menyelentik dengan jarinya hingga tepat kena bawah leher ular itu.
Tenaga selentikan Po-ting-te
ini sungguh bukan main hebatnya, biarpun ular hijau itu keras sebagai kawat
baja, sekali kena diselentik, seketika patah juga tulang lehernya, ular itu
jatuh ke lantai, setelah mengesot beberapa kali, lalu mati.
Maka terdengarlah suara
jeritan kaget seorang gadis cilik, "Haya, kau bunuh aku punya
Jing-leng-cu!”
Waktu Po-ting-te memerhatikan
tertampak seorang nona cilik berusia 15-16 tahun muncul dari balik pintu dengan
wajah yang kaget tercampur takut.
"Di mana Toan-kongcu
berada?” tanya Po-ting-te.
"Untuk apa kau cari
Toan-kongcu?” berbalik gadis itu tanya.
"Aku hendak menolongnya
keluar!” sahut Po-ting-te.
"Engkau takkan dapat
menolongnya,” ujar gadis itu. "Ia terkurung di dalam sebuah rumah batu, di
luar ada yang jaga pula.”
"Harap bawa aku ke sana,”
kata Po-ting-te, "akan kurobohkan orang yang jaga, membuka rumah batu itu
dan menolong keluar Toan-kongcu.”
"Tidak bisa!” sahut si
gadis cilik. "Kalau aku membawa engkau ke sana, tentu ayah akan membunuh
aku!”
"Siapa ayahmu?” tanya
Po-ting-te.
"Aku she Ciong, ayahku
adalah tuan rumah lembah ini,” sahut si gadis cilik yang bukan lain adalah
Ciong Ling itu. "Dan engkau sendiri siapa?”
Po-ting-te hanya mengangguk
tanpa menjawab. Ia pikir terhadap seorang nona cilik begini, baik memancingnya
dengan kata-kata atau mengancam dengan kekerasan, semuanya tidak pantas
digunakan atas diri gadis cilik ini. Kalau Toan Ki sudah terang dikurung di
dalam lembah itu, tentu tidak sulit untuk mencarinya.
Karena itu, ia lantas keluar
lagi dari rumah itu dengan maksud mencari jalan lain untuk menemukan Toan Ki
....
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali mengenai Toan Ki dan
Bok Wan-jing yang dikurung di dalam kamar batu sebagai "ternak” yang
disuruh mengembang biak itu. Ketika mengetahui bahwa Jing-bau-khek yang
mengeram mereka dengan muslihat keji itu adalah "Ok-koan-boan-eng” atau
kejahatan sudah melampaui takaran, tentu saja mereka bertambah kejut dan
khawatir.
Dan karena pikiran kacau,
keteguhan iman mereka semakin tipis, sampai akhirnya, entah bagaimana jadinya,
tiba-tiba mereka duduk saling berdekapan.
"Jing-moay,” demikian
Toan Ki berkata perlahan, "kita sudah jatuh dalam cengkeramannya, mungkin
sukar menyelamatkan diri.”
Wan-jing hanya mengiakan
sekali, ia merasa pipinya panas bagai dibakar, terus saja ia susupkan kepalanya
di pangkuan Toan Ki.
Perlahan Toan Ki membelai
rambut si nona, keringat kedua orang sudah membasahi baju masing-masing hingga
mirip orang habis kecemplung dalam air. Dan begitu mencium bau badan
masing-masing, keruan makin bertambah daya tariknya.
Jangankan mereka adalah
muda-mudi yang belum berpengalaman, seumpama tidak terpengaruh oleh racun,
tentu mereka pun sukar mengendalikan diri, apalagi racun
"Im-yang-ho-hap-san” yang mereka minum itu sangat banyak, biarpun nabi
sekalipun kalau sudah minum racun itu juga akan gugur imannya.
Untunglah dalam keadaan lupa
daratan itu, dalam benak Toan Ki masih timbul setitik sinar terang yang
mengingatkan nama baik dan kehormatan keluarga Toan mereka, maka sekuatnya ia
terus bergulat dengan nafsu kebinatangannya.
Yang paling celaka adalah si
baju hijau alias "Ok-koan-boan-eng” itu masih terus membakar dari luar,
katanya, "Ayolah lekas kalian laksanakan cita-citamu. Lebih cepat kalian
mempunyai anak lebih cepat pula kalian akan keluar dari kurungan ini. Nah, aku
akan pergi!”
Habis itu, terdengar suara
daun pohon berkeresekan, agaknya orangnya sudah pergi jauh.
Toan Ki berteriak-teriak,
"Gak-losam! Gak-losam! Gurumu ada kesulitan, lekas menolongnya!”
Namun sampai tenggorokannya
bejat tetap tiada seorang pun yang menyahut, pikirnya, "Dalam keadaan
begini, biarpun aku harus angkat guru padanya juga tidak soal lagi. Soal salah
mengangkat orang jahat sebagai guru adalah urusan pribadiku dan tak ada sangkut
paut dengan ayah dan paman.”
Segera ia berteriak-teriak
pula, "Gak-losam! Lam-hay-gok-sin! Aku rela mengangkat guru padamu, terima
menjadi ahli waris Lam-hay-pay, lekas menolong muridmu ini. Kalau tidak cepat,
tentu takkan kau peroleh murid berbakat!”
Tapi sampai ia capek sendiri,
tetap tiada suatu bayangan setan pun yang kelihatan.
"Toan-long,” tiba-tiba
Wan-jing berkata, "sesudah kita kawin, engkau lebih suka anak pertama kita
nanti lakilaki atau perempuan?”
"Laki-laki,” sahut Toan
Ki dalam keadaan sadar tak sadar.
"Hai, Toan-kongcu, engkau
adalah Engkohnya, tidak boleh kalian kawin!” tiba-tiba suara seorang gadis
cilik menyela dari luar.
Toan Ki terperanjat, cepat ia
tanya, "Ap ... apakah Ciong-kohnio adanya?”
"Ya, benar, memang
akulah!” demikian sahut gadis itu yang memang benar adalah Ciong Ling.
"Sudah kudengar semua ucapan Jing-bau-khek yang jahat itu, tapi jangan
khawatir, aku pasti akan berdaya untuk menolongmu!”
"Bagus!” seru Toan Ki
girang. "Nah, lekas kau pergi mencuri obat penawarnya untuk kami.”
"Akan lebih baik kugeser
batu besar ini untuk menolong kalian keluar dahulu,” demikian ujar Ciong Ling.
"Tidak, tidak! Lekas kau
curikan obat penawar dahulu,” sahut Toan Ki cepat. "Seb ... sebab aku tak
tahan lagi, aku ham ... hampir mati!”
"Mengapa tak tahan?
Apakah engkau sakit perut?” tanya Ciong Ling khawatir.
"Bu ... bukan,” sahut
Toan Ki.
"Habis, apakah sakit
kepala?” Ciong Ling menegas pula.
"Juga bukan,” sahut Toan
Ki.
"Habis, apamu yang tidak
tahan?”
Toan Ki menjadi sulit
menjawab, masakah urusan begituan boleh diterangkan pada seorang nona cilik
yang masih hijau? Terpaksa ia menjawab, "Seluruh badanku terasa tidak
enak, cukup asal kau berusaha mendapatkan obat penawarnya.”
"Tapi engkau tidak
terangkan apa penyakitnya, dari mana kutahu obat penawar apa yang diperlukan?”
ujar Ciong Ling berkerut kening. "Ayahku pandai mengobati segala macam
penyakit, tapi dia harus tahu dulu apakah kau sakit perut, sakit kepala, atau
sakit jantung?”
"Ak ... aku tidak
apa-apa,” sahut Toan Ki sambil menghela napas. "Tapi aku salah ... salah
minum semacam racun yang disebut ‘Im-yang-ho-hap-san’.”
"Bagus,” seru Ciong Ling,
"asal kau tahu namanya, mudahlah urusan diselesaikan.”
Lalu dengan cepat gadis itu
pulang ke rumah hendak minta obat penawar "Im-yang-ho-hap-san” pada
ayahnya.
Tak tersangka begitu Ciong
Ling menyebut tentang "Im-yang-ho-hap-san”, belum lagi ia menerangkan
lebih lanjut, kontan Ciong Ban-siu terus menarik muka yang berbentuk muka kuda
itu, dampratnya, "Anak perempuan sekecil ini untuk apa tanya ini dan itu,
kalau berani sembarangan omong lagi, sebentar kujewer kupingmu.”
Dan sebelum Ciong Ling sempat
bicara lebih lanjut, saat itulah Po-ting-te dan rombongannya menyerbu ke dalam
lembah Ban-jiat-kok, maka cepat Ban-siu keluar menghadapi musuh sehingga Ciong
Ling ditinggal sendirian di dalam kamar.
Ketika mendengar di luar sudah
terjadi pertarungan sengit, Ciong Ling tidak ambil pusing sama sekali, ia asyik
membongkar lemari obat simpanan sang ayah. Ia ubrak-abrik beratus botol obat
Ciong Ban-siu yang tersimpan di dalam lemari, setiap botol obat itu tertempel
etiket yang menunjukkan nama obat masing-masing, tapi obat penawar
"Im-yang-ho-hap-san” itu justru tidak terdapat.
Dan sedang Ciong Ling bingung
entah ke mana harus mencari obat penawar yang dibutuhkan, tiba-tiba terdengar
suara orang mendobrak pintu dan melangkah masuk. Tanpa pikir lagi ia lepaskan
Jing-leng-cu, siapa tahu badan Jing-leng-cu yang kuat seperti besi itu, sekali
diselentik Po-ting-te lantas binasa.
Dalam pada itu, Toan Ki yang
menunggu-nunggu kembalinya Ciong Ling hingga lama itu, pikiran tak senonohnya
sudah semakin berkobar-kobar, beberapa kali hampir saja ia menubruk maju untuk
memeluk Bok Wan-jing. Sampai akhirnya, saking tak tahan, segera ia berteriak,
"Jing-moay, aku tidak ingin hidup lagi, lekas berikan panahmu yang berbisa
itu!”
"Tidak, aku tak mau
memberi,” sahut Wan-jing dengan suara serak dan mata merah.
Toan Ki terus memukul dada dan
perut sendiri sambil berteriak pula, "Mati, matilah aku!”
Dan mendadak kepalan yang
menghantam dada sendiri itu memukul sebuah benda keras, itulah kotak kemala
yang berada dalam bajunya. Seketika pikirannya tergerak, "Hah, biarlah
kugunakan Bong-koh-cu-hap ini untuk memanggil ular beracun, biarlah aku digigit
mati ular berbisa saja.”
Segera ia keluarkan kotak
kemala itu dan membuka tutupnya. Benar juga sepasang katak aneh itu lantas
menguak keras-keras.
Namun di lembah Ban-jiat-kok
itu berhubung Ciong Ling suka main Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu, maka ular
berbisa lainnya sudah jauh
menyingkir ke tempat lain sehingga tidak mungkin mendengar suara menguaknya
katak raja ular ini.
Sampai lama Toan Ki menunggu,
namun tiada seekor ular pun yang muncul. Sebaliknya badan semakin panas, mulut
terasa kering, keringat membasah kuyup bajunya. Pikirnya, "Sepasang Cu-hap
ini bisa mengatasi ular berbisa, agaknya racun pada badan binatang ini pasti
jauh lebih lihai daripada ular beracun yang paling jahat.”
Karena dia sudah ambil
keputusan hendak membunuh diri, dalam keadaan pikiran gelap, tanpa banyak pikir
lagi ia terus comot seekor katak merah itu, ia masukkan binatang itu ke dalam
mulut terus dikunyahnya.
Ia merasakan air segar
mengalir masuk tenggorokannya, rasanya sangat enak. Ternyata katak-katak itu
adalah binatang berdarah dingin. Maka hanya sekejap saja seekor katak merah
yang merupakan makhluk mestika yang jarang ada di jagat ini sudah dimakannya
habis. Bahkan ia belum lagi puas, segera katak yang kedua dimakannya pula.
Melihat muka Toan Ki sangat
beringas sambil makan katak hingga mulutnya penuh berlepotan darah, rambutnya
kusut masai pula, Bok Wan-jing menjadi rada takut.
Sementara itu setelah makan
dua ekor Cu-hap mestika itu, pernapasan Toan Ki bertambah megap-megap, ia
justru berharap racun binatang itu lekas bekerja agar dirinya lekas mati,
supaya terhindar daripada siksaan yang sukar ditahan itu ....
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali mengenai Po-ting-te.
Sesudah tinggalkan Ciong Ling, ia coba mencari pula terkurungnya Toan Ki.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tindakan orang, cepat ia menoleh,
ternyata Ciong Ling yang sedang menyusulnya. Segera ia pun berhenti menanti
gadis cilik itu.
Sambil mendekat, Ciong Ling
berkata, "Aku tidak menemukan obat penawarnya, marilah kubawa engkau ke
sana. Tapi entah batu itu dapat kau geser atau tidak?”
Sudah tentu Po-ting-te tidak
tahu tentang obat penawar segala, tanyanya, "Obat penawar apa? Dan batu
apa lagi?”
"Marilah ikut padaku,
sebentar engkau akan tahu sendiri,” sahut Ciong Ling dan mendahului jalan ke
depan.
Meskipun jalanan di
Ban-jiat-kok itu berliku-liku penuh rahasia, namun di bawah petunjuk Ciong
Ling, sebentar saja ia sudah membawa Po-ting-te sampai di depan pagar pohon
yang mengelilingi rumah batu itu.
Dengan enteng Po-ting-te
pegang bahu Ciong Ling, sama sekali tidak tampak raja itu bergerak, tahu-tahu
ia sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng dan anteng sambil membawa
Ciong Ling.
Keruan gadis itu kagum dan
kegirangan, ia bertepuk tangan memuji, "Bagus, bagus, engkau seperti bisa
terbang saja, sungguh hebat! Wah, celaka!”
Tiba-tiba seruannya ditutup
oleh jeritan khawatir. Kiranya tiba-tiba dilihatnya di depan rumah batu itu
berduduk seorang, itulah dia Jing-bau-khek atau si baju hijau yang aneh itu.
Rupanya Ciong Ling sangat
takut terhadap manusia yang setengah-mati setengah-hidup itu, ia membisiki
Poting-te, "Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang itu sudah enyah,
barulah kita kembali lagi.”
Po-ting-te sendiri rada heran
juga melihat Jing-bau-khek yang luar biasa itu. Ia coba menghibur si gadis,
"Jangan khawatir, ada aku di sini. Apakah Toan Ki terkurung di dalam rumah
batu ini?”
Ciong Ling mengangguk, lalu
sembunyi di belakang Po-ting-te.
Perlahan Po-ting-te mendekati
Jing-bau-khek, tegurnya dengan ramah, "Dapatkah saudara menyingkir
sedikit?”
Namun Jing-bau-khek itu anggap
tidak melihat dan tidak mendengar, ia tetap duduk bersila dengan tenang di
tempatnya.
"Jika saudara tidak suka
menyingkir, maaf kalau aku berlaku kasar,” kata Po-ting-te pula. Sekali
miringkan tubuh, segera ia melayang lewat di samping Jing-bau-khek terus hendak
mendorong batu penutup pintu rumah.
Tapi sebelum Po-ting-te
mengeluarkan tenaga, sekonyong-konyong Jing-bau-khek menarik keluar sebatang
tongkat bambu terus menutuk ke "Koat-bun-hiat” di bawah ketiaknya. Anehnya
tongkat bambu itu bergetar
terus dan tidak lantas
ditutukkan, bila Po-ting-te mengerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali
tongkat itu ditusukkan, tentu Po-ting-te sukar menghindarkan diri.
Keruan Po-ting-te terkesiap,
pikirnya, "Ilmu Tiam-hiat orang ini sungguh sangat pandai. Di zaman ini,
siapakah gerangan tokoh kosen selihai ini?”
Cepat ia ayun tangan yang lain
untuk membelah tongkat bambu orang, sedang tangan lain tetap menahan di atas
batu untuk sewaktu-waktu mendorongnya. Namun reaksi Jing-bau-khek itu
benar-benar sangat cekatan, sekali tongkatnya berputar, kembali ia ancam "Thian-ti-hiat”
di dada lawan.
Secepat kilat Po-ting-te
berganti serangan sampai beberapa kali, tapi selalu diatasi lebih dulu oleh
tongkat bambu si baju hijau yang tetap mengancam sesuatu tempat Hiat-to
berbahaya di tubuhnya.
Pertarungan di antara kaum
ahli memang tidak perlu setiap serangan mesti mengenai sasarannya dengan telak.
Maka sesudah belasan kali berganti tipu serangan, selalu Jing-bau-khek berhasil
membuat Po-ting-te tidak sempat mengerahkan tenaga untuk mendorong batu besar
itu. Betapa jitu caranya mengincar Hiat-to, Po-ting-te harus mengakui lawan itu
tidak kalah daripada dirinya, bahkan masih di atas adiknya, yaitu Toan
Cing-sun.
Sekonyong-konyong Po-ting-te
memotong miring ke bawah dengan tangan kiri, menyusul mata telapak tangan itu
mendadak berubah dengan tutukan jari. "Cus”, ia keluarkan Lwekang
It-yang-ci untuk menutuk tongkat lawan. Kalau tutukan ini kena, jangankan hanya
tongkat bambu, biarpun tongkat baja juga akan dibuatnya bengkok.
Jilid 12
Tak tersangka, tiba-tiba
tongkat bambu orang itu pun bergerak, "cus”, tongkat itu menutuk ke
arahnya hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur di udara.
Kontan Po-ting-te tergetar
mundur setindak, sebaliknya Jing-bau-khek juga tergeliat. Muka Po-ting-te
sekilas memerah, sebaliknya wajah Jing-bau-khek sekilas bersemu hijau, namun
sama lantas lenyap dalam sekejap saja.
Sungguh heran Po-ting-te tak
terkatakan. Pikirnya, "Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bahkan sudah
terang satu sumber dengan diriku. Jelas kelihatan ilmu permainan tongkatnya ini
ada hubungannya dengan It-yang-ci.”
Karena itu, segera ia memberi
hormat dan bertanya, "Siapakah nama Cianpwe yang terhormat, sudilah
kiranya memberi tahu?”
"Kau ini Toan Cing-beng
atau Toan Cing-sun?” terdengar suara mendenging berbalik tanya padanya.
Melihat mulut orang tanpa
bergerak, tapi dapat bicara, Po-ting-te menjadi lebih heran, sahutnya,
"Aku Toan Cing-beng!”
"Hm, jadi kau inilah raja
Po-ting-te negeri Tayli sekarang?” jengek orang aneh itu.
"Benar,” sahut
Po-ting-te.
"Sesudah pertandingan
barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi?” tiba-tiba Jing-bau-khek itu
tanya.
Untuk sejenak Po-ting-te
berpikir, lalu menjawab, "Bicara tentang ilmu silat, memang engkau lebih
menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku bisa mengalahkan
engkau.”
"Benar,” Jing-bau-khek
itu mengaku, "betapa pun karena badanku sudah cacat. Ai, sungguh tidak
nyata bahwa sesudah menjadi raja, sedikit pun engkau tidak telantarkan ilmu
silatmu.”
Walaupun suaranya keluar dari
perutnya dengan nada yang aneh, tapi tetap dapat terdengar ucapannya yang
terakhir itu penuh mengandung rasa bimbang, sesal dan kecewa.
Karena tak bisa menerka asal
usul orang, dalam sekejap itu benak Po-ting-te berputar macam-macam tanda
tanya.
Saat itulah, tiba-tiba dari
dalam rumah batu berkumandang keluar suara jeritan seorang yang keras dan
serak. Itulah suara Toan Ki.
Cepat Po-ting-te berseru,
"Ki-ji, kenapa kau? Jangan khawatir, segera dapat kutolongmu!”
Kiranya sehabis makan kedua
ekor Bong-koh-cu-hap mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak segar. Tak
tersangka sepasang katak merah itu adalah makhluk ajaib yang jarang terdapat di
alam semesta ini, hidupnya berkat hawa Yang atau positif (lelaki) yang murni.
Bila yang memakannya itu adalah Bok Wan-jing, maka dengan pembauran hawa Im dan
Yang, seketika racun yang berkobar di dalam tubuh si gadis akan dapat dihapus.
Tapi sekarang yang memakannya
adalah Toan Ki yang bertenaga Yang juga, tenaga kaum lelaki. Memangnya hawa
Yang itu sedang bergolak di dalam tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang
murni dari Cu-hap, keruan sebentar saja hawa Yang katak-katak itu bekerja,
keadaan Toan Ki menjadi mirip api disiram minyak, saking panas oleh bergolaknya
hawa Yang itu, sampai akhirnya Toan Ki hanya megap-megap dengan mulut menganga,
dengan demikian dapatlah hawa yang bergolak di dalam tubuh itu sekadar
dikeluarkan.
Tentang percakapan antara
Po-ting-te dan Jing-bau-khek itu di luar rumah batu serta Po-ting-te
menyuruhnya jangan khawatir segala, Toan Ki hanya dapat mendengarnya, tapi
tidak sadar lagi akan maksudnya.
"Hm, Siaucu ini boleh
juga dasar imannya, setelah minum ‘Im-yang-ho-hap-san’ ternyata masih mampu
bertahan sampai sekarang,” demikian tiba-tiba Jing-bau-khek berkata.
Keruan Po-ting-te kaget,
tanyanya ragu, "Kau ... kau beri racun sejahat dan secabul itu, apa maksud
tujuanmu sebenarnya?”
"Di dalam rumah ini terdapat
pula adik perempuannya,” sahut Jing-bau-khek.
Maka mengertilah Po-ting-te
akan muslihat keji orang. Sekalipun biasanya ia sangat sabar, kini ia tak tahan
lagi, dengan ilmu It-yang-ci yang mahalihai itu menutuk. Segera Jing-bau-khek
membalasnya dengan tongkat bambunya.
Menyusul tutukan kedua
Po-ting-te dilancarkan pula, kali ini mengarah "Tan-cong-hiat” di dada
lawan. Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, ia menduga musuh tentu akan
menangis sepenuh tenaga.
Tak tersangka Jing-bau-khek
itu hanya mendengus dua kali, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, ia
membiarkan dadanya ditutuk. Dalam pada itu jari Po-ting-te sudah menyentuh baju
orang, ia menjadi curiga melihat lawannya terima saja diserang, segera ia tahan
tutukannya itu di tengah jalan sambil tanya, "Kenapa kau rela mati?”
"Kalau aku mati di bawah
tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan
bertambah lagi setingkat,” sahut Jing-bau-khek.
"Siapakah engkau
sebenarnya?” tanya Po-ting-te pula.
Dengan perlahan Jing-bau-khek
itu mengucap satu kalimat.
Mendengar itu, seketika wajah
Po-ting-te berubah hebat, katanya dengan terputus-putus, "Ak ... aku tidak
percaya!”
Tiba-tiba Jing-bau-khek oper
tongkat bambunya ke tangan kiri, lalu jari telunjuk tangan kanan menutuk ke
arah Po-ting-te. Namun cepat Po-ting-te mengegos ke samping, berbareng balas
menutuk sekali.
"Cus”, lagi-lagi tutukan
kedua Jing-bau-khek itu dilontarkan dengan jari tengah. Dengan sikap prihatin
Poting-te membalas pula dengan jari tengah pula.
Menyusul Jing-bau-khek menutuk
pula dengan jari manis yang menyambar dari samping, kemudian tutukan keempat
dilancarkan dengan jari kecil dengan gaya mencukit.
Dengan wajah sungguh-sungguh
Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan jari-jari yang sama. Ketika
tutukan kelima kalinya terjadi, kini Jing-bau-khek menggunakan jari jempol
dengan gaya menekan ke depan.
Ciong Ling yang menonton di
samping menjadi terheran-heran, sifat kanak-kanaknya menjadi timbul lagi hingga
lupa rasa takutnya pada Jing-bau-khek itu. Dengan tertawa ia berseru, "He,
apakah kalian sedang main sut-sutan)? Siapakah yang menang?”
Sembari berkata, Ciong Ling
berjalan mendekati. Tapi sekonyong-konyong serangkum angin keras menyambar ke
arahnya, seketika dadanya sesak seakan-akan ditikam senjata tajam.
Untung Po-ting-te sempat ayun
sebelah tangannya hingga tubuh Ciong Ling dapat didorong mundur, menyusul
Po-ting-te sendiri pun melesat mundur untuk memegang badan si gadis dengan
wajah guram, katanya, "Apakah kau sudah tidak sayang pada jiwamu lagi?”
"Huak,” terus saja Ciong
Ling tumpahkan darah segar, dengan tercengang ia menjawab, "Ap ... apa dia
hendak membunuhku?”
"Bukan,” sahut
Po-ting-te. "Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar tidak
boleh sembarangan mendekat.”
Habis itu, Po-ting-te urut
beberapa kali punggung Ciong Ling hingga pernapasan gadis itu lancar kembali.
"Sekarang kau percaya
tidak?” demikian Jing-bau-khek bertanya pada Po-ting-te.
Segera Po-ting-te melangkah
maju, ia memberi hormat dan berkata, "Toan Cing-beng memberi hormat pada
Cianpwe.”
"Kau panggil aku Cianpwe,
jadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau memang belum mau percaya?” tanya
Jing-bau-khek itu.
"Cing-beng adalah
pemimpin suatu negeri, mempunyai tanggung jawab yang berat, setiap tindak
tanduk dengan sendirinya tidak boleh sembrono,” demikian jawab Po-ting-te.
"Cing-beng sendiri tidak punya anak, Toan Ki itu adalah satu-satunya anak
laki-laki keluarga Toan kami, maka mohon Cianpwe suka memberi ampun dan
lepaskan dia.”
"Tidak, aku justru ingin
keluarga Toan rusak moral dan runtuh iman, hilang anak putus turunan. Dengan
susah payah kucari kesempatan dan baru hari ini berhasil, mana boleh
sembarangan kubebaskan dia?”
"Toan Cing-beng tidak
dapat terima perbuatanmu ini!” seru Po-ting-te dengan suara keras.
"Hehe, kau mengaku
sebagai raja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada pemberontak yang rebut
kekuasaan. Jika kau berani, boleh kau kerahkan pasukan dan pengawalmu ke sini.
Tapi ingin kukatakan padamu, memang kekuatanku tidak bisa melawanmu, namun bila
aku mau bunuh si bangsat cilik Toan Ki rasanya teramat mudah.”
Wajah Po-ting-te menjadi pucat
pasi. Ia tahu apa yang dikatakan orang memang benar, bila dirinya bertambah
lagi seorang pembantu, tentu Jing-bau-khek ini takkan mampu melawannya, tapi
Toan Ki segera akan menjadi korban, apalagi orang terhitung kaum Cianpwe, mana
boleh dirinya melawan orang tua. Maka terpaksa ia tanya, "Habis, cara
bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Ki-ji?”
"Tidak susah, mudah
sekali!” sahut Jing-bau-khek. "Lekas kau jadi Hwesio dan serahkan takhtamu
padaku, segera akan kubebaskan Toan Ki.”
"Warisan leluhur, mana
boleh sembarangan kuberikan pada orang lain?” sahut Po-ting-te.
"Jika begitu, boleh
menanti saja, bila Toan Ki dan adik perempuannya sudah melahirkan anak, segera
kulepaskan dia,” kata Jing-bau-khek.
"Lebih baik lekas kau
bunuh dia saja,” sahut Po-ting-te.
"Tidak,” kata
Jing-bau-khek. "Selain itu, masih ada lagi dua jalan.”
"Dua jalan apa?” tanya
Po-ting-te.
"Pertama, secara mendadak
kau serang aku, karena tak sempat jaga diri, dapat kau bunuh aku dengan mudah
dan tentu dapat kau tolong keponakanmu itu.”
"Aku tidak pernah
membokong orang, juga tidak padamu!” ujar Po-ting-te.
"Hm, sekalipun kau hendak
kau bokong aku juga belum mampu,” sahut Jing-bau-khek. "Dan jalan kedua,
boleh kau suruh Toan Ki tempur aku dengan It-yang-ci, asal dia bisa menang,
bukankah dia dapat lolos? Hehe, hehe!”
Sungguh gusar Po-ting-te tak
terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan diri, katanya pula, "Ki-ji
tak tahu ilmu silat, ia tidak pernah belajar ilmu It-yang-ci.”
"Putra keluarga Toan tak
bisa It-yang-ci? Hah, siapa yang mau percaya!” jengek Jing-bau-khek.
"Sejak kecil Ki-ji hanya
baca kitab dan tekun beribadat, hatinya welas asih, ia bertekad tidak mau
belajar silat,” demikian Po-ting-te menjelaskan.
"Huh, kembali seorang
laki-laki berhati palsu lagi. Orang demikian kalau menjadi raja Tayli juga takkan
menguntungkan rakyatnya, lebih baik lekas dibunuh saja.”
"Cianpwe,” tiba-tiba
Po-ting-te berseru dengan bengis, "kecuali itu tadi, apakah masih ada
jalan lain pula?”
"Dahulu kalau aku diberi
jalan lain, tentu tak jadi seperti sekarang ini,” sahut Jing-bau-khek dingin.
"Kalau orang lain tidak memberi jalan padaku, kenapa aku harus memberi
jalan padamu?”
Po-ting-te menunduk dan
berpikir sejenak, mendadak ia angkat kepala dengan sikap yang penuh
kepercayaan, serunya, "Ki-ji, selekasnya aku akan berdaya untuk
menolongmu, janganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!”
Terdengar Toan Ki berseru
menjawab, "Pekhu, lekas masuk ke sini dan ... dan menutuk mati aku saja!”
"Apa? Jadi kau sudah
melakukan perbuatan yang merusak kehormatan keluarga Toan kita?” bentak
Po-ting-te.
"Tidak! Tapi Titji
(keponakan) merasa panas bagai dibakar, tak sanggup ... tak sanggup hidup
lagi!”
"Mati atau hidup sudah
takdir Ilahi, biarkan saja terjadi apa mestinya!” seru Po-ting-te.
Habis itu ia gandeng tangan
Ciong Ling dan melompat lewat pagar pohon.
"Nona cilik, terima kasih
engkau telah tunjukkan jalannya, semoga engkau mendapat ganjaran yang pantas,”
kata Po-ting-te pada Ciong Ling, lalu tinggal pergi kembali ke depan rumah
utama tadi.
Dalam pada itu pertarungan
yang berlangsung itu sudah mulai kentara kekuatan masing-masing, Bu-sian-tiotoh
Leng Jian-li dan Tiam-jong-san-long Tang Su-kui berdua menempur Lam-hay-gok-sin
sudah jelas di atas angin. Sebaliknya Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan
Pit-bak-seng Cu Tan-sin yang mengerubut Yap Ji-nio malah terdesak oleh golok
tipis tokoh kedua Su-ok itu.
Si Pek-hong tampak putar
kebutnya dengan kencang hingga sepasang Siu-lo-to lawannya susah menembus
pertahanannya.
Di sebelah sana In Tiong-ho
masih main udak-udakan dengan Pah Thian-sik. Napas In Tiong-ho tampak
megap-megap bagai kerbau sekarat, sebaliknya Thian-sik masih dapat melompat dan
melejit dengan enteng dan cekatan.
Sedang Sian-tan-hou Ko
Sing-thay tetap acuh tak acuh menggendong tangan mondar-mandir di samping,
nyata ia sudah yakin akan kemenangan di pihaknya, maka terhadap pertarungan
sengit di depannya itu dianggapnya sepi saja. Padahal ia justru pasang telinga
dan mata memusatkan antero perhatiannya mengikuti situasi medan pertempuran,
asal tidak ada kawannya menghadapi bahaya, ia pun tidak perlu turun tangan
membantu.
Dan karena tidak melihat adik
pangerannya berada di situ, segera Po-ting-te tanya, "Ke mana adik Sun
pergi?”
"Tin-lam-ong mengejar
Ciong-kokcu dan sedang mencari Toan-kongcu,” sahut Sing-thay.
Segera Po-ting-te berseru,
"Kita sudah ada rencana lain, harap semua mundur dulu.”
Mendadak Pah Thian-sik
berhenti lari. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk ke arahnya. "Plak”,
cepat Thian-sik melontarkan pukulan ke belakang. Ketika In Tiong-ho menangkis,
kontan dada terasa sesak, darah hampir tersembur keluar dari mulutnya.
Sekuatnya ia tahan, namun pandangannya menjadi remang-remang, susah lagi
melihat datangnya lawan.
Untung Thian-sik tidak menghantam
lebih jauh, sebaliknya cuma menjengek dan berkata, "Terima kasih!”
Dalam pada itu, tampak Toan
Cing-sun telah muncul juga dari semak-semak pohon sana, segera ia tanya,
"Hong-heng, apakah Ki-ji sudah ... sudah ditemukan?”
Sebenarnya ia hendak tanya
apakah sudah "tertolong”, tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia tanya
apakah sudah diketemukan atau belum.
"Sudah ketemu,” sahut
Po-ting-te mengangguk. "Marilah kita pulang saja dahulu.”
Mendengar perintah
"gencatan senjata” raja mereka, Leng Jian-li dan kawan-kawannya lantas
hendak berhenti. Namun Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Cin Ang-bian sedang
bernafsu melabrak lawannya, seketika mereka tidak rela berhenti begitu saja.
Po-ting-te bekernyit kening
melihat itu, katanya pula, "Marilah kita pergi saja!”
Ko Sing-thay mengiakan,
berbareng ia keluarkan senjata "Giok-tik” atau seruling kemala, sekali
bergerak, segera punggung Cin Ang-bian ditutuknya.
"Huh, tidak malu, main
keroyok!” damprat Ang-bian dengan gusar sambil menangkis.
Maka terdengarlah suara
"crang-cring” dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan ke bawah,
kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.
Menyusul Ko Sing-thay kebas
lengan bajunya yang longgar itu hingga berjangkit serangkum angin keras, ia
tahan agar Cin Ang-bian tidak menyerang lebih jauh lawannya, lalu serulingnya
menutuk pula ke arah Lamhay-gok-sin, dan sekali serulingnya membalik, kini Yap
Ji-nio yang diincar.
Kedua gerak serangan itu
semuanya menyerang titik kelemahan musuh yang terpaksa mesti menghindar. Maka
Lam-hay-gok-sin dan Yap Ji-nio menjadi kaget, cepat mereka melompat mundur
beberapa tindak.
Sebenarnya ilmu silat Ko
Sing-thay tidak lebih tinggi daripada ketiga lawannya itu, soalnya sudah lama
dia mengikuti pertarungan mereka dari samping, sebelumnya ia sudah merencanakan
tipu serangan hebat untuk melayani ketiga orang itu. Asal tipu serangan yang
sudah disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti
kelabakan dan terpaksa melompat mundur.
Mendelik mata Lam-hay-gok-sin
yang bundar kecil sebesar kacang itu, ia terkejut tercampur kagum, serunya,
"Setan, hebat benar, sungguh tidak nyana ....”
Ia tidak melanjutkan
kata-katanya yang bermaksud "tidak nyana begini lihai kepandaianmu,
rasanya aku memang bukan tandinganmu.”
Dalam pada itu Si Pek-hong
lantas tanya Po-ting-te, "Hong-heng, bagaimana dengan Ki-ji?”
Meski dalam batin Po-ting-te
sangat khawatir, namun lahirnya ia tetap tenang saja, sahutnya, "Tidak
apa-apa, saat ini justru adalah kesempatan yang paling bagus untuk
menggemblengnya, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bebas.”
Habis berkata, segera ia putar
tubuh dan mendahului berangkat.
Cepat Sugong Pah Thian-sik
berlari ke depan sebagai pembuka jalan. Sedang suami istri Toan Cing-sun
menyusul di belakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan tokoh-tokoh
Hi-jiau-keng-dok, paling akhir adalah Ko Sing-thay yang mengawal dengan
berlenggang seenaknya.
Nyata, dengan serangan yang
lihai tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan-lawannya merasa jeri. Biarpun
Lamhay-gok-sin biasanya sangat garang dan buas, kini juga tidak berani
sembarangan menantang pula.
Setelah belasan tindak
berjalan, tiba-tiba Toan Cing-sun menoleh dan memandang Cin Ang-bian. Saat itu,
dengan termangu-mangu Ang-bian juga sedang memandang bekas kekasihnya itu. Dua
pasang mata ketemu, seketika mereka sama terkesima.
"Keparat!” mendadak
Lam-hay-gok-sin membentak, "Apakah kau masih belum mau pergi dan ingin
berkelahi pula dengan Locu (bapakmu)?”
Toan Cing-sun kaget, cepat ia
berpaling kembali, ia lihat sang istri sedang memandangnya dengan sikap dingin,
dengan kikuk lekas ia percepat langkah dan keluar Ban-jiat-kok.
Sesudah rombongan sampai di
Tayli, Po-ting-te berkata, "Mari kita berkumpul semua di istana untuk
berunding!”
Sampai di pendopo istana,
Po-ting-te duduk di tengah, Toan Cing-sun suami istri di sisinya, sedang Ko
Singthay dan lain-lain hanya berdiri.
Segera Po-ting-te suruh dayang
membawakan kursi dan suruh semua orang ikut duduk. Habis itu, ia perintahkan
semua dayang keluar ruangan, lalu menceritakan keadaan Toan Ki yang dikurung
oleh musuh itu.
Mendengar itu, semua orang
tahu bahwa kunci dari mati hidup Toan Ki terletak pada diri Jing-bau-khek itu.
Tapi demi mendengar Po-ting-te bilang orang aneh itu pun paham It-yang-ci,
bahkan lebih lihai daripada sang raja, keruan tiada seorang pun yang berani
sembarangan buka suara.
Sebab harus diketahui bahwa
It-yang-ci adalah ilmu khas warisan keluarga Toan turun-temurun, hanya
diajarkan pada anak laki-laki dan tidak kepada anak perempuan. Dan kalau
Jing-bau-khek itu pun mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinya dia pasti juga
berasal dari keturunan keluarga Toan.
Sedang semua orang menunduk
berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Cing-sun, "Adik Sun, coba kau terka
siapakah gerangan orang itu?”
Cing-sun geleng kepala,
sahutnya, "Aku tidak bisa menebaknya, barangkali orang dari Cing-peng-si
kembali menjadi orang preman dan menyamar?”
"Bukan,” sahut
Po-ting-te, "dia adalah Yan-king Taycu!”
Mendengar nama "Yan-king
Taycu” atau putra mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkejut.
"Yan-king Taycu?”
Cing-sun menegas. "Bukankah sudah lama dia meninggal? Besar kemungkinan
orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka.”
"Nama orang bisa dipalsu,
apakah It-yang-ci juga dapat dipalsu?” sahut Po-ting-te dengan menghela napas.
"Memang banyak juga orang Bu-lim mencuri belajar ilmu silat aliran lain,
akan tetapi rahasia Lwekang Ityang-ci kita cara bagaimana bisa dicurinya? Maka
menurut pendapatku, orang ini pastilah Yan-king Taycu adanya, hal ini tidak
perlu disangsikan lagi.”
Cing-sun pikir sejenak, lalu
berkata, "Jika Toako sudah jelas mengenalnya, ini berarti dia tokoh
pilihan keluarga Toan kita, tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik
keluarga kita sendiri?”
"Orang ini cacat badan,
dengan sendirinya sifat-sifatnya sangat menyendiri dan aneh, segala tindak
tanduk
dengan sendirinya juga
abnormal,” demikian Po-ting-te menjelaskan. "Apalagi takhta kerajaan Tayli
sudah kududuki, dengan sendirinya ia tidak senang, maka kita berdua hendak
dihancurkannya habis-habisan.”
"Toako sudah lama naik
takhta dan didukung penuh oleh seluruh rakyat, negara pun aman tenteram, rakyat
hidup sejahtera, jangankan Yan-king Taycu datang kembali, sekalipun
Siang-tek-te hidup kembali juga sukar menggantikan takhta Toako,” demikian ujar
Cing-sun.
Segera Ko Sing-thay juga
bangkit, dan berdatang sembah, "Apa yang dikatakan Tin-lam-ong memang
tepat. Urusan akan menjadi beres bila Yan-king Taycu mau bebaskan Toan-kongcu
dengan baik-baik, kalau tidak, kita pun tidak kenal lagi apakah dia itu Taycu
apa segala, kita hanya anggap dia sebagai kepala Su-ok yang mahajahat serta
pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnya tinggi, akhirnya juga takkan mampu lawan
kita yang berjumlah lebih banyak.”
Kiranya pada masa 14 tahun
yang lalu, tatkala itu raja Tayli Toan Lian-cit dengan gelar Siang-tek-te,
telah dibunuh oleh menteri dorna Nyo Cit-ceng. Kemudian keponakan sang raja
dapat membasmi pemberontakan Nyo Cit-ceng, lalu naik takhta sendiri dengan
gelar Siang-beng-te.
Tapi Siang-beng-te tidak suka
menjadi raja, ia hanya bertakhta satu tahun, lalu mengundurkan diri untuk
menjadi Hwesio, ia serahkan takhtanya kepada adik sepupunya Toan Cing-beng,
yaitu Po-ting-te yang sekarang.
Siang-tek-te sebenarnya
mempunyai seorang putra kandung yang disebut oleh para menteri dengan gelar
Yanking Taycu. Tapi sewaktu terjadi kudeta oleh Nyo Cit-ceng, Yan-king Taycu
telah menghilang hingga semua orang menyangka dia juga dibunuh oleh
pemberontak. Siapa duga setelah belasan tahun lamanya, kini mendadak muncul
kembali.
Maka sesudah mendengar
pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te berkata sambil geleng kepala,
"Tidak, aku tidak setuju. Takhtaku ini memangnya adalah hak Yan-king
Taycu. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanya Siang-beng-te menerima
takhta ini, kemudian diserahkan padaku. Tapi kini kalau Yan-king Taycu sudah
kembali, takhta kerajaan ini sepantasnya kukembalikan padanya.”
Lalu ia menatap Ko Sing-thay
dan menyambung, "Andaikan mendiang ayahmu masih hidup, tentu ia pun
sependapat denganku.”
Kiranya Ko Sing-thay ini
tak-lain tak-bukan adalah putranya Ko Ti-sing, itu menteri setia yang membantu
Siang-tek-te membasmi pemberontakan.
Segera Ko Sing-thay melangkah
maju, ia menyembah dan bertutur pula, "Mendiang ayahku membaktikan dirinya
kepada negara dan cinta pada rakyat. Padahal Jing-bau-khek ini mengaku sebagai
kepala dari Su-ok yang mahajahat, kalau dia yang merajai negeri Tayli ini, maka
susah dibayangkan betapa celakanya rakyat jelata akan menderita akibat angkara
murkanya itu. Maka pendapat Hongsiang tentang akan menyerahkan takhta padanya,
hamba sekalipun mati tak bisa terima.”
Cepat Leng Jian-li pun
menyembah, katanya, "Tadi Jian-li juga mendengar gembar-gembor
Lam-hay-gok-sin itu, katanya kepala Su-ok mereka berjuluk ‘kejahatan sudah
melebihi takaran’. Coba pikiran, andaikan benar orang itu adalah Yan-king
Taycu, lalu Hongsiang menyerahkan takhta ini kepada seorang yang kejam dan
durhaka seperti dia untuk memerintah rakyat Tayli ini, maka pastilah negara
akan hancur dan rakyat akan celaka!”
"Harap kalian bangun, apa
yang kalian katakan memang ada benarnya juga,” sahut Po-ting-te. "Cuma
Ki-ji berada dalam cengkeramannya, kecuali kuserahkan takhta padanya, jalan
lain rasanya tiada lagi.”
"Toako,” kata Cing-sun,
"selama ini kita kenal peraturan ‘orang tua ada kesulitan, yang muda harus
berusaha menolong’. Meski Ki-ji sangat disayang oleh Toako, mana boleh Toako
rela melepaskan takhtamu hanya untuk keselamatannya seorang? Andaikan Ki-ji
dapat diselamatkan, rasanya ia pun merasa berdosa pada rakyat negeri Tayli
ini.”
Po-ting-te tidak berkata pula,
ia bangkit sambil berjalan mondar-mandir di ruangan pendopo itu, tangan kiri
mengelus jenggot, tangan lain ketuk-ketuk perlahan jidat sendiri.
Semua orang tahu bila sang
raja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti
demikian, maka tiada seorang pun yang berani bersuara mengganggu.
Sesudah mondar-mandir agak
lama, kemudian berkatalah Po-ting-te, "Perbuatan Yan-king Taycu ini
benarbenar keji sekali, racun ‘Im-yang-ho-hap-san’ yang dia minumkan pada Ki-ji
itu sangat lihai, orang biasa sangat sukar bertahan. Maka kukhawatir saat ini
Ki-ji sudah ... sudah khilaf oleh pengaruh racun serta sudah berbuat .... Ai,
tapi kejadian ini adalah muslihat yang sengaja diatur musuh, tak dapat
menyalahkan Ki-ji.”
Toan Cing-sun menunduk dengan
rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat secara mendalam, semuanya adalah
gara-gara perbuatannya sendiri yang sok bangor itu.
Tiba-tiba Po-ting-te berpaling
pada Ko Sing-thay dan tanya, "Sing-thay, tahun ini putrimu itu berusia
berapa?”
"Siauli (putriku) tahun
ini berumur delapan belas,” sahut Sing-thay.
"Bagus!” ujar Po-ting-te.
Lalu ia berkata lagi kepada Cing-sun, "Sun-te, kita tetapkan untuk melamar
putri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sugong, harap kau pergi ke bagian
protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta menyediakan emas kawin yang
diperlukan. Peristiwa ini harus dirayakan semeriahnya hingga setiap pelosok
negeri Tayli ini mengetahui semua.”
Suami-istri Toan Cing-sun, Ko
Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak datangnya.
Namun segera mereka pun paham bahwa tindakan Po-ting-te ini adalah demi nama
baik keluarga serta kehormatan Toan Ki yang masih suci bersih itu.
Asal setiap orang di seluruh
negeri sudah tahu bahwa istri Toan Ki adalah putri Sian-tan-hou Ko Sing-thay,
sekalipun kemudian Yan-king Taycu menyebarkan desas-desus bahwa Toan Ki
mengadakan hubungan tak susila dengan adik perempuannya sendiri, tentu orang
luar akan menganggapnya sebagai dusta dan fitnah belaka, paling-paling juga
cuma setengah percaya setengah tidak.
Maka Toan Cing-sun menjawab,
"Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus. Sudah lama kudengar putri
Sian-tan-hou cantik molek, pintar lagi berbakti, sungguh seorang istri yang
susah dicari. Tetapi tabiat Ki-ji agak aneh juga, maka lebih baik kita tunggu
kalau dia sudah lolos dari bahaya, kemudian beri tahukan hal ini padanya, lalu
mengatur emas kawin untuk memastikan perjodohan ini.”
"Sudah tentu aku pun tahu
watak Ki-ji memang suka bandel,” ujar Po-ting-te. "Misalnya waktu kita
hendak ajarkan It-yang-ci padanya, tapi betapa pun ia tidak mau belajar,
sungguh seorang yang tidak tahu adat. Tapi mengenai perjodohan, selamanya harus
tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani membangkang
perintah kalian suami istri? Apalagi hal ini demi menyelamatkan nama baik
keluarga Toan, demi kehormatan selama hidupnya, bagaimanapun ia tidak boleh
membangkang.”
"Kabarnya putri Ko-hiante
itu badannya rada lemah, maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak
dulu,” ujar Cing-sun.
Po-ting-te merasa alasan adik
pangeran itu terlalu dicari-cari, maka katanya pula, "Soal badan lemah
bukan soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia ajarkan
sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu badannya akan sehat
kuat.”
"Namun ... namun .....”
kata Cing-sun.
"Sun-te,” demikian
Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bicara lebih lanjut, "sejak
tadi kau selalu menolak saja, sebenarnya apa maksudmu? Apakah dalam hatimu ada
sesuatu yang kurang senang terhadap Ko-
hiante?”
"O, tidak, tidak!” cepat
Cing-sun menjawab. "Hubungan Ko-hiante denganku laksana saudara sekandung.
Kalau kami berdua dapat besanan lagi, tentu lebih bagus. Ehm, ka ... kabarnya
Pah-sugong juga mempunyai seorang putri dan Hoan-suma juga ada dua anak
perempuan. Marilah kita pun ajukan mereka itu sebagai calon.”
Thian-sik tertawa, katanya,
"Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun yang lalu, sampai sekarang pun
usianya belum genap setahun. Sedang kedua putrinya Hoan-suma, yang satu adalah
menantuku yang tertua, sedang yang lain konon sudah bertunangan, yaitu mendapat
putra sulung Hoa-suto.”
Po-ting-te menjadi kurang
senang juga atas sikap adiknya itu, segera katanya pula, "Sun-te,
percumalah engkau sama bertugas dengan Thian-sik bertiga, masakah urusan mereka
itu sedikit pun tak kau ketahui?”
Melihat kakak bagindanya rada
gusar, Cing-sun tidak berani buka mulut lagi.
"Tin-lam-ongya,”
tiba-tiba Sing-thay berkata, "sejak kecil Sing-thay sudah bergaul dengan
Ongya, hubungan kita boleh dikatakan melebihi saudara sekandung, di antara kita
biasanya tidak pernah kenal istilah rahasia, maka sudilah katakan bila ada
dengar sesuatu yang menjelekkan nama baik putriku hingga terasa tidak sesuai
untuk menjadi menantumu? Jika benar begitu, hendaklah katakan terus terang,
Sing-thay tak nanti merasa tersinggung.”
Cing-sun agak ragu, tapi
kemudian berkata, "Jika demikian, biarlah Cing-sun bicara, tapi harap
Ko-hiante jangan marah.”
"Silakan Ongya bicara
terus terang saja,” sahut Sing-thay.
"Begini,” kata Cing-sun
dengan merandek sejenak, "sejak kecil putrimu sudah kehilangan ibu, betapa
pun Hiante rada memanjakan dia. Konon watak putrimu sangat keras, suka turuti
kemauan sendiri. Kabarnya dia sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan
katanya lebih hebat daripadamu. Jika begitu, kelak bila dia sudah menjadi
menantuku, mungkin ... mungkin, hehe, aku menjadi khawatir kalau Ki-ji akan
menderita selama hidupnya. Ki-ji sedikit pun tidak suka ilmu silat dan melulu
mahir beberapa langkah ‘Leng-po-wi-poh’ itu untuk berlari kian kemari di dalam
kamar guna menghindarkan hajaran putrimu, hidup demikian bukankah tiada artinya
lagi.”
Po-ting-te terbahak-bahak oleh
keterangan itu, katanya, "Sun-te, sebabnya kau ragu-ragu kiranya melulu
soal demikian saja.”
Cing-sun melirik Si Pek-hong
sekejap, lalu menyahut dengan tertawa, "Toako, adik iparmu selalu selisih
paham denganku, pada waktu cekcok, untung kepandaian kami berdua sama kuatnya
hingga Siaute tidak sampai dihajar olehnya, kalau sebaliknya, wah, bisa
runyam.”
Mendengar itu, mau tak mau
semua orang tersenyum geli juga.
Dengan dingin Si Pek-hong
berkata, "Asal Ki-ji dapat mempelajari It-yang-ci keluarga Toan, tentu
tiada tandingannya di dunia ini, biarpun dia menikah dengan lima atau sepuluh
perempuan bawel juga tidak perlu takut.”
Di balik kata-katanya itu
terang ia sengaja berolok-olok "It-yang-ci.”
Namun Cing-sun hanya tersenyum
saja tanpa menjawab.
Segera Ko Sing-thay bicara
pula, "Siauli (putriku) meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanya
juga takkan berbuat sembarangan. Sing-thay sudah banyak menerima budi, tidak
berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong.”
Po-ting-te tertawa, katanya,
"Jika putrimu bisa bantu menghajar sedikit anak kami yang suka bikin
gara-gara itu, kami bersaudara justru merasa sangat berterima kasih, itu
berarti putrimu telah berjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay, siapa nama
anak itu? Apakah benar rada ... rada keras wataknya?”
"Putri hamba bernama
‘Bi’, hanya satu huruf saja,” sahut Sing-thay. "Sejak kecil ia tidak
pernah keluar rumah, tabiatnya sangat ramah. Mungkin ada orang yang dendam pada
Sing-thay, maka sengaja menyebarkan kabar tidak benar itu dan dapat didengar
Ongya.”
Nyata dia menjadi kurang
senang karena mendengar Tin-lam-ong menyatakan watak putrinya kurang baik.
Maka cepat Cing-sun mendekati
Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan tertawa,
"Ko-hiante, aku tadi salah omong, hendaklah engkau jangan pikirkan lebih
jauh.”
"Nah, urusan boleh
diputuskan demikian,” kata Po-ting-te kemudian dengan tersenyum.
"Thian-sik, aku
menugaskanmu sebagai
Lap-jay-su, supaya kau bisa menarik komisi sebagai comblang dari kedua belah
pihak.”
Lap-jay-su atau duta pengantar
emas kawin di kalangan kerajaan adalah sama dengan comblang di kalangan rakyat
jelata. Kalau urusan selesai, umumnya dari pihak pengantin laki-laki dan
perempuan akan memberi hadiah cukup besar.
Maka dengan tertawa Pah
Thian-sik menerima tugas itu sambil mengucapkan terima kasih.
"Segera kau teruskan
perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan) mencatat dalam buku
silsilah, aku mengangkat adikku Cing-sun sebagai Hong-thay-te (adik pangeran
mahkota),” demikian perintah Po-ting-te lebih lanjut.
Cing-sun terperanjat, cepat ia
berlutut menyembah, "Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan
bijaksana, tentu akan diberkahi Thian yang mahakuasa dengan keturunan banyak,
maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu.”
Po-ting-te bangunkan adik
pangeran itu, katanya, "Kita bersaudara adalah dwitunggal, dua badan satu
jiwa. Nasib negeri Tayli ini terletak di tangan kita berdua, jangankan aku
memang tidak punya anak, sekalipun punya keturunan juga takhtaku kelak akan
kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula
rakyat di seluruh negeri pun sudah lama tahu, hari ini hanya kutetapkan secara
resmi saja, biar Yan-king Taycu yang bertujuan jahat itu hilang harapannya!”
Karena berulang menolak tetap
tak diizinkan, akhirnya terpaksa Cing-sun menerima dengan baik serta
mengaturkan terima kasih pada Hongsiang.
Segera Ko Sing-thay dan
lain-lain saling memberi selamat kepada Toan Cing-sun.
Perlu diketahui bahwa
Po-ting-te sendiri memang tidak punya keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi
bahwa kelak yang akan menggantikannya pasti Tin-lam-ong, hal ini sama sekali
tidak mengherankan mereka.
Dengan tertawa Pah Thian-sik
memberi tangan juga kepada Ko Sing-thay, maksudnya memberi selamat bahwa bila
kelak Toan Ki menggantikan takhta ayahnya, dengan sendirinya putrimu adalah
permaisuri, maka uang jasaku sebagai comblang ini harus istimewa.
Akhirnya Po-ting-te berkata,
"Sekarang silakan semua pergi mengaso. Tentang urusan Yan-king Taycu itu
harap jangan sampai bocor.”
Semua orang mengiakan dan
memberi hormat lalu mengundurkan diri.
Setelah dahar, Po-ting-te
tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar di luar ramai dengan suara musik
yang meriah, suara letusan mercon bergemuruh di mana-mana. Dayang yang
melayaninya itu memberi laporan, "Oleh karena putra Tin-lam-ong mengirim
Lap-jay kepada putri Sian-tan-hou, maka di luar istana rakyat ikut merayakannya
dengan meriah.”
Perlu diketahui bahwa tatkala
itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahan yang
bijaksana, rakyat hidup makmur sejahtera, maka dukungan rakyat kepada raja,
Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain, luar biasa besarnya. Ketika
mendengar keluarga Toan dan Ko besanan, segenap penduduk kota Tayli ikut riang
gembira.
Segera Po-ting-te memberi
perintah, "Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar
kembang api, segala larangan di kota Tayli dicabut untuk sementara, semua
angkatan bersenjata diberi cuti agar bisa ikut merayakan, orang tua dan anak
piatu diberi hadiah tersendiri.”
Ketika titah raja itu
disampaikan kepada umum, segenap rakyat Tayli seketika makin bersorak-sorai
gembira.
Menjelang petang, Po-ting-te
menyamar dengan pakaian preman dan keluar sendirian. Ia tarik topinya yang
lebar itu ke bawah hingga hampir menutupi matanya, dengan demikian orang lain
sukar mengenalnya. Sepanjang jalan ia lihat rakyat menyanyi dan menari dengan
riangnya, laki-perempuan, tua-muda hilir mudik dengan ramai.
Betapa bersyukurnya Po-ting-te
menyaksikan negerinya yang sentosa itu. Diam-diam ia berdoa, "Semoga
rakyat negeri Tayli turun-temurun senantiasa diberkahi kegembiraan seperti ini,
maka aku Toan Cing-beng sekalipun tidak punya keturunan juga takkan menyesal.”
Sesudah keluar kota, langkah
Po-ting-te lantas dipercepat, makin lama makin sunyi tempat yang dituju,
kirakira belasan li jauhnya, setelah melintasi beberapa lereng bukit, sampailah
di suatu kelenteng kuno kecil, di atas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf
"Liam-hoa-si” atau kelenteng petik bunga.
Po-ting-te berhenti di depan
kelenteng sambil berdoa sejenak, lalu mengetuk pintu dengan perlahan.
Tidak lama, pintu dibuka dan
muncul seorang Hwesio kecil, tanyanya sambil memberi hormat, "Ada
keperluan apakah kunjungan tuan tamu ini?”
"Harap sampaikan pada
Ui-bi Taysu, katakan sobat lama Toan Cing-beng mohon bertemu,” sahut Po-ting-te.
"Silakan masuk,” kata
padri cilik itu.
Po-ting-te dibawa ke ruangan
tengah melalui suatu pekarangan yang sunyi, kata padri kecil itu, "Harap
tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Suhu.”
Po-ting-te mengiakan, ia
mondar-mandir di ruangan itu sambil menggendong tangan.
Selama hidup Po-ting-te tidak
pernah berdiri di luar rumah untuk menunggu orang, yang selalu terjadi ialah
orang lain menanti di luar istana hendak menghadap padanya. Namun begitu,
ternyata sedikit pun ia tidak gelisah, ia tetap menanti dengan sabar di dalam
kelenteng yang seakan-akan memberi rahmat padanya itu, sama sekali ia lupa
bahwa dirinya adalah seorang raja.
Agak lama kemudian, tiba-tiba
terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa, "Toan-hiante,
rupanya engkau sedang dirundung sesuatu kesulitan?”
Waktu Po-ting-te menoleh,
terlihatlah seorang padri tua bermuka sudah penuh keriput, berperawakan tinggi
besar, sedang melangkah masuk dari pintu samping.
Kedua alis padri tua ini
sangat panjang hingga melambai ke bawah, bulu alisnya bersemu kuning hangus. Ia
bukan lain adalah Ui-bi Hwesio yang hendak ditemuinya itu.
Po-ting-te memberi hormat,
lalu katanya, "Maafkan mengganggu ketenteraman Taysu.”
Ui-bi Hwesio (padri alis
kuning) hanya tersenyum, sahutnya, "Mari masuk.”
Po-ting-te ikut masuk ke suatu
pondok kecil, di situ tampak enam Hwesio setengah umur berjubah abu-abu
serentak membungkuk memberi hormat kepada mereka.
Po-ting-te tahu keenam Hwesio
itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu duduk
bersila di atas tikar di sisi kiri sana.
Sesudah Ui-bi Hwesio juga
duduk di tikar sebelah kanan, Po-ting-te lantas berkata, "Aku mempunyai
seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu berusia tujuh tahun, pernah kubawa dia
ke sini untuk mendengarkan khotbah Suheng.”
"Ya, anak itu memang
pintar, sungguh anak bagus, anak bagus!” ujar Ui-bi.
"Setelah mendapat rahmat
Buddha, wataknya juga welas asih, tidak mau belajar silat, katanya agar tidak
membunuh sesamanya,” tutur Po-ting-te.
"Tidak bisa ilmu silat
juga bisa membunuh orang. Sebaliknya mahir ilmu silat, belum tentu akan
membunuh orang,” ujar Ui-bi.
Po-ting-te membenarkan. Lalu
ia pun bercerita tentang Toan Ki yang bandel, tidak mau belajar silat, minggat
dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wan-jing dan kemudian tertawan oleh
Yan-king Taycu yang bergelar "orang jahat nomor satu di jagat” itu.
Dengan tersenyum Ui-bi
mendengarkan cerita itu tanpa menyela. Keenam muridnya yang berdiri di
belakangnya dengan tangan lurus ke bawah pun diam saja, bahkan bergerak sedikit
pun tidak.
Habis Po-ting-te bicara,
kemudian Ui-bi berkata dengan perlahan, "Jikalau Yan-king Taycu adalah
saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak bergebrak dengan dia, seumpama
kau kirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanya juga tidak
pantas, maksudmu demikian bukan?”
Po-ting-te mengangguk,
sahutnya, "Suheng memang bijaksana!”
Ui-bi tersenyum, ia tidak
berkata pula, tapi mendadak mengulur jari tengah terus menutuk perlahan ke arah
dada Po-ting-te.
Po-ting-te tersenyum juga, ia
pun ulur jari telunjuknya tepat menutuk ujung jari orang. Seketika tubuh kedua
orang sama tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan masing-masing.
Dengan berkerut kening
berkatalah Ui-bi, "Toan-hiante, aku punya Kim-kong-ci-lik toh tidak bisa
menangkan It-yang-cimu yang hebat?”
"Tapi dengan
kebijaksanaan dan kecerdikan Suheng, tidak perlu menang dengan tenaga jari,”
ujar Po-ting-te.
Ui-bi tidak berkata pula, ia
menunduk berpikir.
Tiba-tiba Po-ting-te bangkit
dan berkata, "Sepuluh tahun yang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan
cukai garam bagi segenap rakyat negeri Tayli. Tapi tatkala itu, karena
perbendaharaan negara belum mengizinkan, pula Siaute bermaksud menunggu bila
adikku Cing-sun menggantikan takhtaku, barulah aku melaksanakan politik dalam
negeri itu agar setiap rakyat jelata berterima kasih kepada adikku. Tetapi kini
aku berpikir lain, besok juga Siaute akan memberi perintah pembebasan cukai
garam demi kebahagiaan rakyat.”
Ui-bi berbangkit juga dan
memberi hormat, katanya, "Hiante sudi beramal bagi rakyat seluruh negeri,
aku merasa terima kasih tak terhingga.”
Lekas Po-ting-te membalas
hormat orang, lalu tanpa bicara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.
Pulang sampai di istana,
segera Po-ting-te memerintahkan dayang mengundang Pah Thian-sik dan Hoa-suto
serta memberitahukan kepada mereka tentang keputusan menghapuskan cukai garam
itu.
Mengetahui itu, kedua Sugong
dan Suto ikut berterima kasih dan memberi pujian atas kebijaksanaan sang raja.
"Dan untuk selanjutnya,
segala pembiayaan di dalam istana harus diperkecil dan dihemat,” demikian pesan
Poting-te lebih lanjut. "Sekarang pergilah kalian, coba rundingkan dan
periksa secara teliti, apakah ada pengeluaran lain yang dapat dihemat pula.”
Segera kedua pejabat tinggi
itu mengiakan dan mengundurkan diri.
Meski urusan diculiknya Toan
Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoansuma
adalah orang-orang kepercayaan Po-ting-te, dengan sendirinya tidak perlu
dirahasiakan, maka sejak tadi Pah Thian-sik sudah beri tahukan hal itu kepada
kedua rekannya itu.
Waktu itu Hoan-suma sedang
menantikan kabar apa yang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannya yang
dipanggil menghadap ke istana itu. Maka sesudah Pah Thian-sik dan Hoa-suto
memberitahukan tentang keputusan raja akan membebaskan cukai garam serta
menghemat anggaran belanja negara, Hoan-suma ikut bergirang, katanya,
"Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnya Hongsiang memutuskan untuk
menghapuskan pajak garam, tentunya disebabkan putra Tin-lam-ong masih berada
dalam cengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar calon
mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali
tak bisa ikut menanggung beban kesukaran junjungan kita, masakah kita masih ada
muka menjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan kerajaan?”
"Ucapan Hoan-jiko memang
tidak salah, apa barangkali engkau mempunyai tipu daya yang bisa menolong
Toan-kongcu?” tanya Thian-sik.
Hoan-suma ini bernama satu
huruf "Hua” saja, tabiatnya jenaka, tapi banyak tipu akalnya, maka
jawabnya kemudian, "Jika musuh benar-benar adalah Yan-king Taycu, terang
Hongsiang tak ingin bermusuhan dengan dia secara terang-terangan. Siaute sih
mempunyai suatu akal, cuma diperlukan pengorbanan tenaga Hoatoako.”
"Kalau tenagaku bisa
dipakai, masakah aku berani menolak? Lekaslah terangkan tipu akalmu!” sahut
Hoa-suto cepat.
"Menurut keterangan
Hongsiang,” demikian Hoan Hua, "katanya ilmu silat Yan-king Taycu itu
lebih tinggi daripada Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai kekerasan,
terang takkan dapat menolong Toan-kongcu. Kalau Hoa-toako sudi, dapat juga
pekerjaan Hoa-toako yang dulu coba-coba dilakukan lagi sekarang.”
Wajah Hoa-suto yang lebar dan
rada kekuning-kuningan itu menjadi merah, sahutnya dengan tertawa, "Ah,
kembali Jite hendak menggoda aku.”
Kiranya Hoa-suto ini asalnya
bernama A Kin, meski sekarang berkedudukan tinggi di negeri Tayli, tapi
dahulunya berasal dari kaum miskin, sebelum dia mendapat pangkat, kerjanya
ialah membongkar kuburan. Kepandaiannya yang paling mahir adalah mencuri isi
kuburan keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan orang-orang
demikian tentu banyak disertai pendaman harta pusaka. Dan Hoa A Kin lantas
menggangsir dari tempat jauh, ia menggali satu jalanan di bawah tanah sampai
menembus ke dalam kuburan yang menjadi sasarannya, di situlah dia mencuri isi
kuburan yang berharga itu.
Caranya membongkar kuburan itu
dengan sendirinya sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir satu
kuburan terkadang diperlukan waktu sebulan atau dua bulan lamanya, tetapi
dengan caranya menggangsir itu justru sangat kecil sekali risikonya akan
diketahui orang.
Suatu kali, ia berhasil
menggangsir ke dalam suatu kuburan kuno, di situ ia mendapatkan sejilid kitab
pusaka
ilmu silat. Ia lantas
melatihnya menurut petunjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang (kekuatan
luar) yang sangat tinggi, akhirnya ia pun lepaskan pekerjaannya yang tak
bermoral itu serta mengabdikan diri kepada kerajaan, karena jasa-jasanya selama
bertugas, akhirnya pangkatnya mencapai Suto seperti sekarang ini, yaitu
setingkat dengan pembantu menteri.
Sesudah menjadi pembesar, ia
anggap namanya yang dulu terlalu kampungan, makanya lantas diganti menjadi
Hek-kin. Di antara kawan-kawan karibnya, kecuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik
berdua, orang lain jarang yang tahu asal usulnya.
Maka dengan tertawa Hoan Hua
menjawab, "Mana Siaute berani menggoda Toako? Tapi maksudku bila kita
dapat menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, di situ kita menggangsir satu jalan di
bawah tanah yang menembus ke tempat kurungan Toan-kongcu, maka dengan bebas tanpa
diketahui oleh musuh, kita tentu dapat menolongnya keluar.”
"Bagus, bagus!” teriak
Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.
Menggangsir kuburan sebenarnya
adalah pekerjaan yang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan tahun
lamanya pekerjaan itu tak pernah lagi dilakukan, namun terkadang bila teringat
kembali, tangannya menjadi gatal lagi.
Soalnya cuma pangkatnya
sekarang sudah tinggi, hidupnya tidak kekurangan, kalau mesti menjalankan
pekerjaan menggangsir, bagaimana jadinya kalau diketahui orang? Maka kini demi
ada yang mengusulkan agar dirinya melakukan pekerjaan lama lagi, ia menjadi
girang sekali.
"Nanti dulu, Hoa-toako
jangan buru-buru senang dulu,” demikian kata Hoan Hua pula. "Dalam urusan
ini kita masih banyak kesulitannya. Terutama hendaklah diketahui bahwa
Su-tay-ok-jin (empat mahadurjana) telah berada di Ban-jiat-kok semua. Suami-istri
Ciong Ban-siu dan Siu-lo-to Cin Ang-bian tergolong tokoh-tokoh lihai pula,
kalau kita hendak menyelundup ke sana, sesungguhnya tidaklah gampang. Lagi
pula, Yan-king Taycu ini senantiasa duduk jaga di depan rumah batu tempat
Toan-kongcu dikurung, kalau kita harus menggali melalui bawahnya, apakah tidak
mungkin akan diketahui olehnya?”
Hoa Hek-kin berpikir sejenak,
sahutnya kemudian, "Jalan yang akan kita gangsir itu harus menembus ke
dalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat jaga Yan-king Taycu
itu.”
"Tapi Toan-kongcu setiap
saat terancam bahaya, kalau kita menggangsir perlahan, apakah masih keburu?”
ujar Hoan Hua, Hoan-suma.
"Kalau perlu, marilah
kita bertiga kerja keras serentak,” usul Hoa-suto. "Cuma untuk itu kalian
harus menjadi
muridku sebagai tukang gangsir
kuburan.”
"Kita adalah Sam-kong
(tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerja menggangsir, tugas ini betapa
pun tak boleh ditolak,” sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.
Maka tertawalah ketiga orang
itu.
"Kalau sudah mau bekerja,
marilah sekarang juga kita mulai,” ajak Hoa-suto.
Segera Pah Thian-sik
melukiskan situasi lembah Ban-jiat-kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin
lantas merencanakan di mana akan dimulai dan di mana akan berakhir dari lorong
yang akan digangsirnya nanti.
Sedang mengenai cara bagaimana
harus menghindari pengintaian musuh dan cara bagaimana mengitari rintangan batu
padas di bawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian Hoa-suto yang tiada
bandingannya, maka tidak perlu dipersoalkan.
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali lagi mengenai Toan Ki.
Sesudah dia memakan sepasang
Bong-koh-cu-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnya semakin bergolak, saking luar
biasa panasnya, akhirnya ia jatuh pingsan.
Dan pingsannya itu justru
menolongnya terhindar dari penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak
sadar bahwa sehari semalam itu di luar sudah terjadi banyak perubahan. Ayahnya
telah diangkat menjadi calon pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan
putrinya Ko Sing-thay, Ko Bi, sebagai istri. Di seluruh kota Tayli saat itu
sedang diadakan perayaan besar untuk memeriahkan kedua peristiwa gembira itu,
sekaligus untuk merayakan dihapus pajak garam rakyat oleh pemerintah. Sedangkan
dia sendiri masih bersandar di dinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.
Sampai esok tengah hari,
barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerjanya racun Im-yang-ho-hap-san dan
Bongkoh-cu-hap yang sangat panas itu kebetulan berhenti bersama untuk
sementara. Tapi setelah berhenti dan bila kumat lagi, maka racun itu akan
bertambah hebat. Toan Ki tidak tahu bahaya apa yang masih mengeram di dalam
tubuhnya, dengan sadarnya pikiran, walaupun badan masih sangat lemas, ia
menyangka racun sudah
mulai hilang.
Dan selagi ia hendak bicara
dengan Bok Wan-jing, tiba-tiba terdengar di luar rumah batu itu ada suara
seorang tua lagi berkata, "Sembilan garis malang melintang, entah betapa
banyak digemari orang. Apakah Kisu juga ada minat untuk coba-coba satu babak
denganku?”
Toan Ki menjadi heran, ia coba
mengintip keluar melalui celah-celah batu. Maka tertampaklah seorang Hwesio tua
bermuka keriput dan beralis kuning panjang sedang berjongkok sambil menggunakan
jari tangannya lagi menggores-gores garis lurus di atas sebuah batu besar yang
rata. Begitu hebat tenaga jarinya itu hingga terdengar suara "srak-srek”
disertai berhamburnya bubuk batu, lalu jadilah satu garis lurus yang panjang di
atas batu itu.
Toan Ki terkejut. Meski dia
tidak mahir ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering
juga ia menyaksikan sang ayah dan pamannya waktu berlatih It-yang-ci. Ia pikir
wajah padri tua ini seperti sudah pernah kenal, tenaga jarinya ternyata
sedemikian lihainya, mampu menggores batu menjadi satu garis yang dalam. Tenaga
jari demikian adalah semacam ilmu Gwakang yang mengutamakan kekerasan tenaga
melulu, agaknya berbeda dengan It-yang-ci yang dilatih paman dan ayahnya itu.
Maka terdengar pula suara
seorang yang tak jelas berkata, "Bagus, sungguh Kim-kong-ci-lik yang
hebat!”
Terang itu adalah suara si
baju hijau alias "Ok-koan-boan-eng.”
Segera tertampak sebatang
tongkat bambu menjulur ke atas batu, dengan rajin ia pun menggores satu garis
di atas batu itu, cuma kalau Ui-bi-ceng atau padri alis kuning itu menggores
garis lurus, maka garisan tongkat sekarang melintang, hingga berwujud satu
garis palang dengan goresan padri tadi.
Dari dalam rumah batu itu Toan
Ki tidak bisa melihat bagaimana cara bergerak Jing-bau-khek itu, ia pikir
tongkat itu dengan sendirinya lebih keras daripada jari manusia, sudah tentu
lebih menguntungkan bagi yang memakainya. Namun jari lebih pendek dan tongkat
lebih panjang, untuk menggores garisan di atas batu dengan memakai tongkat
sepanjang itu, terang tenaga yang dikeluarkan akan jauh lebih besar daripada
memakai jari.
Lalu terdengar Ui-bi-ceng
berkata dengan tertawa, "Jika Toan-sicu sudi memberi petunjuk, itulah
sangat baik.”
Habis berkata, kembali ia
menggaris lagi di atas batu dengan jarinya.
Segera Jing-bau-khek menambahi
garisan melintang lagi seperti tadi. Dengan demikian, yang satu menggaris
lurus dan yang lain menggaris
melintang, makin lambat menggores garisan sendiri, agar setiap garis bisa
dilakukan dengan cukup dalam dan sama rajinnya seperti semula.
Harus diketahui bahwa
pertandingan di antara tokoh-tokoh terkemuka, soal menang atau kalah melulu
tergantung sedikit selisih saja, asal satu garisan di antaranya menunjukkan
kurang dalam atau menceng, maka itu berarti sudah kalah.
Maka kira-kira sepertanak nasi
lamanya, sebuah peta catur yang berjumlah 19 garis malang melintang itu sudah
selesai digaris dengan rajin.
Diam-diam Ui-bi-ceng membatin,
"Apa yang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yanking
Taycu ini benar luar biasa dan sedikit pun tidak di bawah Po-ting-te sendiri.”
Sebaliknya Yan-king Taycu
alias Jing-bau-khek itu terlebih kejut lagi, kalau datangnya Ui-bi-ceng memang
disengaja dan sudah siap sedia sebelumnya, adalah Yan-king Taycu sendiri sama
sekali tidak menyangka apaapa, maka pikirnya, "Aneh, dari manakah mendadak
bisa muncul seorang Hwesio tua selihai ini? Terang datangnya ini adalah atas
undangan Toan Cing-beng, dalam saat demikian, kalau Toan Cing-beng ikut
menyerbu ke dalam untuk menolong Toan Ki, terang aku tak berdaya untuk
merintanginya.”
Dalam pada itu Ui-bi-ceng
sedang berkata, "Betapa tinggi kepandaian Toan-sicu, sungguh aku sangat
kagum, maka dalam hal kekuatan catur rasanya juga akan berpuluh kali lebih
pandai daripadaku, terpaksa kuminta Toan-sicu suka mengalah empat biji dahulu.”
Jing-bau-khek tercengang,
pikirnya, "Meski aku tak kenal asal usulmu, tapi tenaga jarimu begini
lihai, dengan sendirinya adalah orang kosen yang tidak sembarang. Baru mulai
menantang bertempur kenapa buka mulut lantas minta aku mengalah?”
Segera katanya, "Kenapa
Taysu mesti merendah diri, jika harus menentukan kalah menang, dengan
sendirinya kita harus maju sama tingkat dan sama derajat.”
"Tidak, tetap kuminta
Toan-sicu harus mengalah empat biji,” sahut Ui-bi-ceng.
"Aneh juga usul Taysu
ini,” ujar Jing-bau-khek dengan tawar. "Jikalau Taysu mengaku kepandaian
caturmu tidak lebih tinggi daripadaku, maka tak perlulah kita bertanding.”
"Kalau begitu, sudilah
memberi tiga biji saja, bagaimana?” kata Ui-bi-ceng pula.
"Biarpun memberi satu
biji, namanya juga mengalah,” sahut Jing-bau-khek alias Yan-king Taycu.
"Hahaha!” tiba-tiba
Ui-bi-ceng tertawa. "Kiranya dalam ilmu main catur, kepandaianmu sangat
terbatas, jika demikian biarlah aku yang memberi padamu tiga biji.”
"Itu pun tidak perlu,”
sahut Jing-bau-khek. "Mari kita mulai dengan kedudukan sama.”
Diam-diam Ui-bi-ceng bertambah
waspada dan prihatin, pikirnya, "Orang ini tidak sombong juga tidak gopoh,
sebaliknya tenang dan sukar diduga, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Meski
aku sudah memancingnya dengan berbagai jalan, toh ia tetap tidak berubah
sikap.”
Kiranya Ui-bi-ceng menginsafi
dirinya tiada harapan buat menangkan It-yang-ci dari Jing-bau-khek itu. Ia tahu
orang yang gemar catur, umumnya suka menang sendiri, bila diminta agar mengalah
dua-tiga biji catur, biasanya tentu diluluskan.
Sebagai seorang pertapa,
Ui-bi-ceng memandang soal nama sebagai sesuatu yang tak berarti. Asal Yan-king
Taycu bersedia mengalah sedikit dalam permainan catur itu, maka dalam
pertarungan sengit itu dia akan ada harapan buat menang.
Siapa duga sifat Yan-king
Taycu itu ternyata lain daripada yang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas
orang lain, tapi juga tidak mau dirugikan orang, setiap tindak tanduknya sangat
prihatin dan tegas.
Karena tiada jalan lain lagi,
terpaksa Ui-bi-ceng berkata, "Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku
adalah tamu, aku yang main dulu.”
"Tidak,” sahut
Jing-bau-khek. "Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah? Aku yang main
dulu!”
"Wah, jika demikian,
rupanya kita harus sut dulu,” kata Ui-bi-ceng. "Baik begini saja, coba kau
terka umurku tahun ini ganjil atau genap? Jika betul engkau terka, kau main
dulu, kalau salah terka, aku main dulu.”
"Umpama tepat aku
menerkanya, tentu engkau juga menyangkal,” ujar Jing-bau-khek.
"Baiklah, boleh engkau
menerka sesuatu yang tidak mungkin aku bisa menyangkal,” kata Ui-bi-ceng pula.
"Coba kau terka, bila aku berumur 70 tahun, jari kakiku akan ganjil atau
genap?”
Teka-teki ini benar-benar
sangat aneh. Mau tak mau Jing-bau-khek harus berpikir, "Umumnya jari kaki
orang berjumlah sepuluh, jadi genap. Tapi dia menegaskan bila sudah berumur 70,
terang maksudnya agar aku menyangka kelak jari kakinya akan berkurang satu,
jika demikian halnya, tentu aku akan menerka jarinya berjumlah ganjil. Namun
seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau
kosong katakanlah berisi. Jangan-jangan jari kakinya tetap sepuluh, tapi
sengaja main gertak. Mana bisa aku ditipu olehnya?”
Karena itu, segera ia
menjawab, "Berjumlah genap!”
"Salah, tapi berjumlah
ganjil,” kata Ui-bi-ceng.
"Coba buka sepatu,
periksa buktinya,” sahut Jing-bau-khek.
Terus saja Ui-bi-ceng membuka
sepatu dan kaus kaki kiri, ternyata jari kakinya masih tetap utuh berjumlah
lima. Ketika Jing-bau-khek memerhatikan wajah padri itu, ia lihat orang
tersenyum, sikapnya tenang-tenang saja, mau tak mau ia membatin, "Wah,
kiranya jari kaki kanannya memang cuma tinggal empat.”
Dalam pada itu Ui-bi-ceng
sedang membuka sepatu lagi dengan perlahan, ketika mulai menanggalkan kaus
kakinya, hampir-hampir Jing-bau-khek berseru jangan membuka lagi dan menyilakan
orang main dulu. Namun sekilas timbul pula pikirannya, "Ah, tidak bisa,
jangan aku tertipu olehnya.”
Dan benar juga, ia lihat kaus
kaki kanan padri itu sudah dilepas dan jari kaki itu pun tampak masih utuh
berjumlah lima tanpa cacat apa-apa.
Meski badan Jing-bau-khek itu
sudah cacat dan mukanya kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa yang
dirasakannya waktu itu, sebenarnya dalam sekejap itu hatinya sudah berganti
berbagai perasaan untuk menduga-duga sebenarnya apa maksud tujuan perbuatan
Ui-bi-ceng itu. Dan ia menjadi bersyukur ketika akhirnya melihat tebakannya
jitu, yaitu jari kedua kaki padri itu toh tetap berjumlah genap sepuluh.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong
Ui-bi-ceng terus angkat telapak tangan kanan dan memotong ke bawah sebagai
pisau, "krek”, tahu-tahu jari kecil kaki kanan itu telah dipotong putus.
Sekalipun keenam anak muridnya
yang berdiri di belakang sang guru itu sudah dalam belajar ilmu Buddha, setiap
orangnya bisa berlaku tenang meski menghadapi keadaan bagaimanapun. Tapi
mendadak tampak sang guru membikin cacat anggota badan sendiri, darah lantas
mengucur pula, keruan mereka terperanjat, bahkan murid termuda yang bernama
Boh-ban Hwesio, sampai berseru kaget.
Cepat murid keempat, Boh-gi
Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan di atas kaki Suhunya itu.
Menyusul berkatalah Ui-bi-ceng
dengan tertawa, "Tahun ini aku berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti,
persis jariku berjumlah ganjil.”
Tanpa pikir lagi Jing-bau-khek
menjawab, "Benar. Silakan Taysu main dulu.”
Nyata sebagai tokoh dari Su-ok
yang berjuluk "orang jahat nomor satu di dunia,” perbuatan kejam dan ganas
apa di dunia ini yang tidak pernah dilakukannya atau dilihatnya, maka terhadap
kejadian memotong satu jari kaki yang sepele itu, tentu saja tidak terpikir
olehnya. Cuma bila mengingat bahwa melulu untuk rebut hak main dulu dalam
catur, Hwesio tua ini rela memotong jari kaki sendiri, maka dapat dipastikan
bahwa tujuan padri ini harus menangkan percaturan itu, dan bila dirinya kalah,
bukan mustahil syarat yang akan dikemukakan padri itu tentu pelik luar biasa.
Maka terdengarlah Ui-bi-ceng
berkata, "Terima kasih atas kesudianmu mengalah.”
Segera ia ulur jarinya dan
menekan kedua ujung peta catur masing-masing satu kali. Karena tekanan jari
itu, di atas batu lantas melekuk dua lubang hingga mirip dua biji catur hitam.
Segera Jing-bau-khek angkat
tongkatnya juga dan menggores dua lingkaran kecil pada kedua ujung lain peta
catur itu. Lingkaran kecil yang melekuk itu pun mirip dua biji catur putih.
Cara pembukaan main catur
dengan menaruh dua biji catur di kedua ujung itu adalah lazim dilakukan dalam
permainan catur kuno yang mirip permainan dam zaman sekarang.
Begitulah, maka secara
bergiliran kedua orang itu saling menaruh biji caturnya masing-masing dengan
tekanan tenaga jari dan goresan tongkat. Mula-mula cara menaruh mereka sangat
cepat, tapi lambat laun menjadi perlahan. Sedikit pun Ui-bi-ceng tidak berani
ayal, ia tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu tadi yang
ditukarnya dengan memotong jari kaki itu.
Sampai belasan biji catur
sudah dijalankan, pertarungan ternyata bertambah sengit dan pertahanan
masingmasing pun semakin kuat, tapi tenaga yang dikeluarkan kedua orang pun
semakin besar. Di samping memusatkan pikiran untuk menangkan permainan catur
itu, di lain pihak harus mengerahkan tenaga untuk menekan atau menggores batu
sekuatnya. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.
Di antara keenam murid yang
ikut datang bersama Ui-bi-ceng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio juga seorang
penggemar catur. Ia menjadi sangat kagum dan gegetun demi tampak ilmu permainan
catur gurunya dengan Jing-bau-khek yang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24,
mendadak Jing-bau-khek melakukan serangan aneh hingga kedudukan masing-masing
segera berubah banyak, kalau Ui-bi-ceng tidak segera balas dengan langkah yang
tepat, pasti pertahanannya akan bobol.
Tampak Ui-bi-ceng berpikir
agak lama, agaknya seketika masih belum mendapat cara yang baik untuk balas
serangan lawan itu. Tiba-tiba terdengar dari dalam rumah batu itu ada orang
berkata, "Balas gempur sayap kanan, tetap menguasai permainan!”
Kiranya sejak kecil Toan Ki
juga mahir main catur. Kini melihat permainan kedua orang itu, ia menjadi
bersemangat dan ikut-ikutan bicara.
Penonton memang lebih jelas
daripada yang main. Demikian orang bilang. Apalagi kepandaian catur Toan Ki
memang lebih tinggi daripada Ui-bi-ceng, ditambah sudah mengikuti dari samping
sejak tadi, ia menjadi lebih terang di mana letak kunci permainannya.
Maka terdengar Ui-bi-ceng
berkata dengan tertawa, "Memang sudah kupikir begitu, cuma masih
ragu-ragu, tapi dengan ucapanmu, aku menjadi mantap sekarang.”
Segera ia taruh bijinya di
sayap kanan yang dimaksud itu.
"Penonton yang tidak
bicara adalah Cin-kun-cu (jantan tulen), orang yang ambil keputusan sendiri
adalah Taytiang-hu (laki-laki sejati),” demikian Jing-bau-khek menyindir.
"Kau kurung aku di sini,
sejak kapan engkau adalah Cin-kun-cu?” segera Toan Ki berteriak.
"Dan aku adalah
Thayhwesio dan bukan Tay-tiang-hu,” sahut Ui-bi-ceng tertawa.
"Huh, tidak malu!” jengek
Jing-bau-khek. Segera ia pun taruh bijinya dengan menggores satu lingkaran
kecil
lagi.
Tapi lewat beberapa langkah
lagi, kembali Ui-bi-ceng menghadapi serangan bahaya. Boh-tin Hwesio menjadi
khawatir karena melihat gurunya tak berdaya memecahkannya, sedangkan Toan Ki
juga diam saja. Segera ia mendekati pintu batu itu dan tanya dengan perlahan,
"Toan-kongcu, langkah ini bagaimana harus menjalankannya?”
"Jalan yang baik sih
sudah kupikirkan,” demikian sahut Toan Ki. "Cuma jalan ini seluruhnya
meliputi tujuh langkah, kalau kukatakan begini saja hingga didengar musuh,
tentu akan gagal juga rencanaku, makanya aku diam saja tidak bersuara.”
Segera Boh-tin ulur telapak
tangan kanan ke dalam rumah itu melalui celah-celah batu, bisiknya,
"Silakan tulis di sini.”
Toan Ki pikir bagus juga akal
ini, segera ia gunakan jarinya menulis ketujuh langkah catur yang diciptakan
itu di telapak tangan Boh-tin.
Boh-tin pikir sejenak, ia
pikir langkah catur yang ditulis anak muda itu memang sangat tinggi, cepat ia
kembali ke belakang sang guru dan menulis juga di punggung Suhunya dengan jari.
Karena jubahnya sangat longgar hingga tangannya tertutup semua, maka
Jing-bau-khek tidak tahu apa yang dilakukan orang.
Sesudah mendapat petunjuk itu,
Ui-bi-ceng menjalankannya satu langkah.
"Hm, langkah ini adalah
ajaran orang lain, agaknya kepandaian catur Taysu masih belum mencapai
tingkatan ini,” jengek Jing-bau-khek.
Tapi dengan tertawa Ui-bi-ceng
menjawab lagi, "Permainan catur memang harus mengadu kecerdasan. Yang
pintar pura-pura bodoh, mahir juga berlagak tak bisa. Kalau tingkatan
permainanku diketahui Sicu, lalu buat apa pertandingan ini diadakan?”
"Huh, main licik, main
sulap di bawah lengan baju,” sindir Jing-bau-khek pula. Rupanya ia pun menduga
Bohtin yang mondar-mandir dan memegang punggung gurunya itu pasti sedang main
gila. Cuma dia sedang mencurahkan perhatiannya di atas papan catur, terpaksa ia
tak bisa mengurus apa yang terjadi di samping.
Untuk selanjutnya Ui-bi-ceng
lantas menjalankan enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banyak pikir,
ia mengerahkan sepenuh tenaga
jarinya untuk menekan enam biji catur itu di atas batu hingga lekuknya lebih
dalam serta lebih bulat.
Melihat enam langkah itu makin
lama makin kuat, Jing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras otak
memikirkan langkah-langkah perlawanan, kini terpaksa ia mesti bertahan saja
sekuatnya, lingkaran yang digores di atas batu dengan tongkat bambu itu tidak
sedalam tadi lagi.
Di luar dugaan, ketika mesti
menjalankan langkah keenam sesudah giliran Ui-bi-ceng, mendadak ia berpikir
lama, habis itu, tiba-tiba ia jalankan bijinya pada suatu tempat yang tak
tersangka-sangka dan sama sekali di luar taksiran Toan Ki.
Keruan Ui-bi-ceng melongo,
pikirnya, "Pemikiran ketujuh langkah Toan-kongcu ini sangat teliti dan
bagus, tampaknya aku sudah mulai mendesaknya, tapi dengan perubahan yang
mendadak dan hebat ini, rasanya langkahku yang ketujuh ini tak bisa dijalankan
lagi dan bukankah akan sia-sia saja serangan-serangan tadi?”
Harus diketahui bahwa dalam
hal kepandaian main catur memang Jing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-biceng
atau si Padri Beralis Kuning, maka begitu ia melihat gelagat jelek, segera ia
mengadakan perubahan siasat, ternyata ia tidak mau masuk perangkap yang diatur
Toan Ki itu. Keruan yang kelabakan adalah Ui-biceng.
Melihat perubahan di luar
dugaan itu, pula tampak gurunya berpikir sampai lama masih belum mendapatkan
akal yang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu pula, dengan perlahan
ia uraikan keadaan percaturan itu kepada Toan Ki serta meminta petunjuknya.
Toan Ki pikir sejenak, segera
ia pun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur tangannya agar bisa ditulis lagi
petunjuk di atas telapak tangan.
Boh-tin menurut dan ulurkan
tangannya ke dalam rumah batu itu. Tapi baru saja Toan Ki mencorat-coret
beberapa kali di telapak tangan orang, sekonyong-konyong antero badannya terasa
berguncang, dari perutnya mendadak terasa ada hawa panas menerjang ke atas
hingga seketika mulutnya terasa kering, matanya berkunang-kunang. Tanpa pikir
lagi tangannya mencengkeram sekenanya hingga tangan Boh-tin tadi dipegangnya
erat-erat.
Tentu saja Boh-tin kaget
ketika mendadak tangannya digenggam Toan Ki dengan kencang, ia menjadi lebih
kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri terus-menerus mengalir
keluar karena disedot melalui telapak tangan yang digenggam orang itu. Saking
kejutnya terus saja ia berteriak, "Hei, Toan-kongcu, apa yang kau lakukan
ini?”
Perlu diketahui, setiap orang
yang berlatih ilmu silat yang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh
sangat besar sangkut-pautnya dengan jiwanya, semakin kuat hawa murninya,
semakin tinggi pula ilmu Lwekangnya. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun
orangnya tidak mati, tentu juga seluruh ilmu silatnya akan kandas dan mirip
orang cacat selama hidup.
Boh-tin Hwesio sendiri sudah
berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin, masih berbadan jejaka,
selama berpuluh tahun ia giat berlatih Lwekang, maka hawa murni dalam tubuhnya
boleh dikatakan kuat luar biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannya menempel
tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnya seakan-akan air bah yang
bobol tanggulnya terus mengalir keluar tanpa bisa dicegah sama sekali.
Ia membentak berulang-ulang
untuk tanya, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri. Maksud
Boh-tin hendak melepaskan tangannya, tapi aneh bin ajaib, kedua tangan itu
seperti lengket menjadi satu, betapa pun sukar dipisahkan lagi, dan hawa murni
dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak mau berhenti.
Kiranya "Bong-koh-cu-hap”
atau katak merah bersuara kerbau yang dimakan oleh Toan Ki itu mempunyai
semacam khasiat aneh pembawaan yang bisa mengisap ular beracun dan serangga
berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan campuran dari bermacam-macam
ular berbisa hingga beberapa keturunan.
Jilid 13
Ciong Ban-siu suami-istri dan
Ciong Ling cuma tahu bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular, tapi tidak
tahu bila orang memakannya, maka akan timbul reaksi aneh pada tubuh orang yang
memakannya itu.
Namun hendaklah maklum juga
bahwa secara kebetulan Toan Ki bermaksud membunuh diri hingga secara ngawur
pula telah makan katak-katak aneh itu. Kalau tidak, coba siapakah orangnya yang
berani makan binatang yang dapat mengalahkan ular-ular berbisa itu?
Sesudah Toan Ki makan sepasang
katak merah itu, segera timbul pertentangan dengan racun Im-yang-ho-hapsan yang
bekerja di dalam perut itu. Hawa positif atau kelakiannya menjadi luar biasa
kerasnya hingga sukar ditahan, bahkan timbul pula semacam sifat istimewa yang
bisa menyedot hawa murni orang lain.
Waktu itu hawa murni Boh-tin
masih terus-menerus mengalir ke tubuh Toan Ki, seumpama Toan Ki dalam keadaan
sadar, pemuda itu pun tidak bisa menggunakan tenaga dalam untuk melepaskan
tangan Boh-tin, apalagi ia dalam keadaan tak sadar, hakikatnya ia tidak tahu
apa yang sedang terjadi.
Boh-tin menjadi kelabakan
ketika merasa hawa murninya terus mengalir keluar, terpaksa ia
berteriak-teriak, "Tolong, Suhu, tolong!”
Mendengar itu, kelima murid
Ui-bi-ceng yang lain cepat berlari mendekati Boh-tin, tapi karena tidak
kelihatan apa yang terjadi di dalam rumah batu itu, mereka hanya ribut dan
tanya, "Ada apa, Sute?”
"Tang ... tanganku!” seru
Boh-tin sambil berusaha hendak menarik kembali tangannya sekuatnya. Namun waktu
itu hawa murninya sudah hilang 8-9 bagian, untuk bersuara saja hampir tak kuat,
apalagi hendak menarik tangan?
Boh-ban Hwesio, itu murid
keenam, tanpa pikir terus ikut pegang tangan sang Suheng dengan maksud membantu
menarik.
Tak tersangka, begitu tangan
menempel, kontan seluruh badannya ikut tergetar seperti terkena aliran listrik,
hawa murni dalam tubuhnya juga bergolak mengalir keluar, keruan ia kaget dan
berteriak-teriak, "Aduh, celaka!”
Kiranya secara tidak sengaja
Toan Ki telah makan sepasang katak ajaib itu hingga timbul semacam
"Cu-hapsin-kang” atau tenaga sakti katak merah dalam badannya yang
mempunyai daya sedot yang tak terbatas kuatnya. Siapa yang dipegangnya, lantas
diisapnya. Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang yang tersedot itu,
secara kontan hawa murninya juga akan ikut disedot seperti kena arus listrik
....
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali bercerita tentang
ketiga tokoh kerajaan Tayli, yaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma Hoan Hua dan Sugong
Pah Thian-sik.
Sesudah mereka menyelundup ke
dalam Ban-jiat-kok, mereka lantas pilih tempat yang direncanakan dan terus
menggangsir liang di bawah tanah.
Sebenarnya Ban-jiat-kok itu
ada yang jaga, tapi sejak kuburan yang merupakan pintu masuk itu dibabat rata
oleh orang-orang yang dibawa Po-ting-te, tempat itu menjadi bebas untuk
keluar-masuk tanpa rintangan.
Setelah menggali semalaman,
sudah berpuluh meter terowongan yang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli
menggangsir, dibantu lagi jago seperti Pah Thian-sik dan Hoan Hua, tentu saja
kemajuan mereka sangat pesat, mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi ransum
dan air minum sudah tersedia hingga mereka tidak kekurangan perbekalan.
Hari kedua mereka menggali
pula sepanjang hari, sampai petangnya, mereka taksir sudah tidak jauh lagi
jaraknya dengan rumah batu yang mereka tuju. Mereka tahu ilmu silat Yan-king
Taycu sangat tinggi, alat-alat gali mereka harus bekerja perlahan supaya tidak
mengeluarkan suara. Sebab bagi orang yang Lwekangnya tinggi, biarpun dalam
keadaan tidur pulas juga akan terjaga bangun bila mendengar sedikit suara
berisik. Karena kekhawatiran itu, kemajuan mereka lantas banyak dilambatkan.
Sudah tentu mereka tidak tahu
bahwa saat itu Yan-king Taycu justru lagi pusatkan perhatiannya untuk mengukur
kepandaian catur Ui-bi-ceng disertai adu tenaga dalam, maka takkan dapat
merasakan suara yang timbul dari bawah tanah.
Kiranya waktu Ui-bi-ceng
melihat keenam muridnya berkerumun di luar rumah batu dengan ribut-ribut,
tampaknya terjadi sesuatu yang aneh, ia menyangka Yan-king Taycu telah pasang
perangkap apa-apa di depan rumah batu itu hingga murid-muridnya itu telah
terjebak. Maka katanya segera, "Sicu terlalu banyak bertingkah yang
aneh-aneh, Loceng harus pergi ke sana melihatnya dulu.”
Sembari berkata, ia terus
berbangkit.
Tak terduga Jing-bau-khek
justru tidak mau melepaskannya, tiba-tiba tongkat kiri diangkat terus menutuk
ke iga kiri Ui-bi-ceng sambil berkata, "Babak catur ini belum selesai,
jika Taysu mau mengaku kalah, boleh silakan pergi.”
Cepat Ui-bi-ceng angkat tangan
kiri terus hendak pegang ujung tongkat orang. Namun tongkat Jing-bau-khek
lantas ditarik kembali, menyusul ujung tongkat itu bergetar sambil menutuk pula
ke bawah dada si padri. Mendadak Ui-bi-ceng memotong ke bawah dengan telapak
tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali lagi serta berubah pula dengan
gerak serangan lain. Hanya sekejap saja kedua orang itu sudah saling gebrak
beberapa jurus.
Sungguh celaka bagi keenam
murid Ui-bi-ceng itu, seperti terkena aliran listrik saja, satu sama lain telah
melengket tersedot oleh Cu-hap-sin-kang yang tiba-tiba timbul dalam tubuh Toan
Ki. Sebaliknya Ui-bi-ceng yang sedang mencapai titik menentukan mati-hidup
dalam pertandingannya melawan catur dan Lwekang tokoh utama dari Su-ok itu
terpaksa tak bisa juga menolong murid-muridnya itu.
Ui-bi-ceng pikir tongkat orang
menang panjang, terang lebih leluasa dibuat menyerang. Sementara itu tongkat
itu tampak sedang menutuk lagi ke arahnya, tanpa pikir lagi ia pun ulur jari
tengah, ia incar ujung tongkat orang dan menutuk juga.
Jing-bau-khek tidak
menghindar, ia benturkan ujung tongkatnya pada ujung jari lawan. Keduanya
saling mengadu tenaga dalam masing-masing. Dan baru sekarang Ui-bi-ceng
mengerti bahwa di tengah tongkat orang itu dipasang pula dengan lonjoran besi,
pantas saja begitu keras. Dan meski tongkat itu digencet oleh dua tenaga
raksasa dari dua ahli Lwekang yang tinggi toh tidak tampak bengkok sedikit pun.
"Wah, rupanya ini adalah
langkah simpanan Taysu yang tidak sembarangan dikeluarkan, lalu, apakah
percaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah sekarang?” kata Jing-bau-khek.
"Haha, belum tentu aku
akan kalah,” sahut Ui-bi-ceng terbahak-bahak, berbareng jari kanan lantas
menutul lagi sekali di atas batu hingga menambah lagi satu lekukan.
Tapi Jing-bau-khek tanpa pikir
juga balas menggores lagi satu kali. Dengan demikian, di samping mengadu
Lwekang, kedua orang sambil bertanding catur pula. Ui-bi-ceng sadar dalam
keadaan demikian bila mesti memikirkan pula keselamatan murid-muridnya, mungkin
jiwa sendiri akan melayang lebih dulu. Padahal munculnya sekali ini adalah
untuk memenuhi undangan Po-ting-te.
Sepuluh tahun yang lalu
Ui-bi-ceng pernah memohon kemurahan hati Po-ting-te agar suka menghapuskan
pungutan pajak garam rakyat, dan harapan itu baru sekarang diluluskan, meski
kedua orang tidak bicara secara terang, namun sebagai timbal baliknya sudah
pasti Ui-bi-ceng harus menolong Toan Ki.
Sebab itulah Ui-bi-ceng tidak
berani pencarkan perhatiannya untuk mengurus keadaan murid-muridnya itu. Ia
sudah bertekad, sekalipun jiwa sendiri harus melayang, Toan Ki harus
diselamatkan demi memenuhi janji kepada Toan Cing-beng. Maka ia cuma kerahkan
tenaga dalam untuk menandingi musuh di samping asyik memikirkan catur yang
tegang itu, sekuat tenaga ia bertahan mati-matian.
Dalam pada itu
"Cu-hap-sin-kang” dari Toan Ki yang mempunyai daya sedot luar biasa itu,
setelah hampir kering mengisap hawa murni Boh-tin Hwesio, kemudian ditambah
lagi menempelnya Boh-ban Hwesio, sekaligus korban kedua lantas disedot pula
hawa murninya.
Keruan terjadilah sesuatu yang
hebat, sebagai seorang yang sama sekali tidak pernah belajar silat, seketika
Toan Ki telah berubah menjadi seorang yang memiliki tenaga dalam berpuluh tahun
lamanya.
Murid Ui-bi Hwesio yang
pertama bernama Boh-tam dan kedua Boh-ay, kedua orang itu menjadi panik demi
melihat gelagat kedua Sutenya tidak benar, cepat mereka pun mendekat, yang satu
hendak menarik Boh-tin dan yang lain membetot Boh-ban.
Akan tetapi, dengan sendirinya
mereka pun ikut tersedot pula oleh Cu-hap-sin-kang yang lihai.
Boh-tam dan Boh-ay terhitung
paling tinggi Lwekangnya di antara murid-murid Ui-bi-ceng itu. Ketika merasa
hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir keluar, cepat mereka pusatkan tenaga
untuk menahan, meski sesaat itu mereka masih bisa bertahan hingga hawa murni
tidak membanjir keluar disedot Toan Ki, namun jangan sekali-kali mereka lengah,
asal sedikit ayal, segera hawa murni merembes keluar lagi.
Tatkala itu Toan Ki masih
tetap tak sadar, badannya panas bagai dibakar penuh hawa murni yang bergolak.
Semakin banyak hawa murni dari keempat Hwesio itu mengalir masuk ke tubuhnya,
semakin kuat pula daya isap Cu-hap-sin-kang yang hebat itu.
Syukurlah pula dasarnya dia
tidak bermaksud menyedot hawa murni korban-korbannya itu, maka Boh-tam dan
Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena sedikit demi sedikit masih terasa
merembes, sedikit-sedikit akhirnya menjadi banyak juga, itu berarti daya tahan
sendiri semakin berkurang, sebaliknya daya sedot lawan bertambah kuat, maka
sampai akhirnya perembesan hawa murni mereka pun semakin deras keluarnya.
Murid keempat dan murid kelima
masing-masing bernama Boh-ti dan Boh-ek menjadi tertegun menyaksikan
Suheng dan Sute mereka yang
celaka itu. Maksudnya ingin minta pertolongan sang guru, tapi gurunya sedang
bertanding tenaga dalam dengan musuh, saat itu pun sudah mencapai titik
menentukan hidup atau mati.
Keruan mereka kelabakan
berlari ke sana ke sini tanpa berdaya. Sampai akhirnya, karena dorongan sesama
saudara seperguruan, mereka pun tidak pikir panjang lagi dan segera ikut-ikut
menarik Boh-tam dan Boh-ay sekuatnya.
Waktu itu Cu-hap-sin-kang
sudah bertambah dengan tenaga murni dari Boh-tam, Boh-ay, Boh-tin dan Boh-ban
berempat, betapa hebat daya sedotnya, sudah tentu tak mungkin dapat mereka
tarik begitu saja. Bahkan kontan mereka berdua pun ikut tersedot dan melengket.
Sungguh sial bagi keenam padri
itu, tanpa sengaja mereka ketemu Cu-hap-sin-kang, tenaga latihan selama
berpuluh tahun mereka akan hilang dalam sekejap saja. Sambil masih melengket
satu sama lain, mereka hanya bisa saling pandang saja dengan cemas. Bahkan
saking pedihnya, Boh-ti dan Boh-ek sampai mengucurkan air mata ....
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali bercerita tentang
ketiga tokoh Suma, Suto dan Sugong.
Menjelang magrib, menurut
perhitungan Hoa Hek-kin galian mereka sudah sampai di bawah kamar batu di mana
Toan Ki terkurung.
Tempat itu sangat dekat dengan
tempat duduk Jing-bau-khek, maka kerja mereka harus lebih hati-hati lagi,
sedikit pun tidak boleh menerbitkan suara. Karena itu Hoa Hek-kin lantas taruh
sekopnya, ia gunakan jari tangan untuk mencakar tanah.
"Hou-jiau-kang” atau ilmu
cakar harimau yang dilatih Hoa Hek-kin sangat lihai, kini dipakai mencakar
tanah, mirip benar dengan garuk besi, sekali cakar lantas segumpal tanah kena
dikeduknya. Hoan Hua dan Pah Thiansik mengikut di belakangnya untuk mengusung
keluar tanah galian itu.
Kini arah yang digali Hoa
Hek-kin tidak lagi menjurus maju, tapi dari bawah ke atas. Maka tahulah
Thian-sik dan Hoan Hua bahwa pekerjaan mereka sudah dekat rampung. Dapat tidak
menyelamatkan Toan Ki, tidak lama lagi akan ketahuan dengan pasti. Karena itu,
hati mereka menjadi berdebar-debar.
Menggali tanah dari bawah ke
atas dengan sendirinya jauh lebih mudah. Sedikit tanahnya longgar, segera
longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat berdiri tegak, cara galinya
menjadi lebih cepat lagi. Tapi setiap kali mengeruk sepotong tanah, ia lantas
berhenti untuk mendengarkan apakah ada sesuatu suara di atas sana.
Tidak lama pula, Hek-kin
menaksir tinggal belasan senti saja dengan permukaan tanah, kerjanya lantas
dilambatkan lagi dengan hati-hati, perlahan ia korek lapisan tanah dan akhirnya
dapat menyentuh sepotong papan kayu yang rata.
Ia menjadi heran bahwa lantai
rumah bukan dari batu, tapi papan kayu. Namun dengan begitu menjadi lebih
leluasa lagi bagi kerjanya.
Segera Hek-kin kerahkan tenaga
pada ujung jarinya, perlahan ia mengorek satu lubang persegi pada papan kayu
itu hingga cukup untuk dibuat masuk keluar tubuh orang. Ia memberi tanda siap
kepada kedua temannya, lalu mengendurkan tangannya yang menyanggah papan lubang
yang sudah dipotong itu, dengan sendirinya potongan papan itu lantas jatuh
sendiri ke bawah, segera Hek-kin ulurkan sekopnya ke atas melalui lubang itu
sambil diabat-abitkan untuk menjaga kalau diserang musuh dari atas.
Di luar dugaan, bukannya
diserang dari atas, tapi lantas terdengar jeritan kaget seorang wanita di atas
situ.
"Jangan bersuara,
Boh-kohnio, kawan sendiri yang datang untuk menolongmu!” demikian bisik Hek-kin
perlahan sambil melompat ke atas melalui lubang papan itu.
Tapi kejutnya sungguh tak
terkira ketika mengetahui bahwa kamar itu ternyata bukan rumah batu yang dituju
itu.
Kamar itu banyak lemari dan
meja yang penuh botol obat. Di pojok sana tampak seorang gadis cilik meringkuk
dengan ketakutan.
Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa
mereka salah gali. Rumah batu yang dikatakan Pah Thian-sik itu hanya
didengarnya dari cerita Po-ting-te, maka rencana mereka itu didasarkan pada
taksiran belaka, dan kini ternyata kesasar.
Kiranya kamar yang mereka
masuki itu adalah kamar kerjanya Ciong Ban-siu dan gadis cilik itu bukan lain
adalah Ciong Ling.
Gadis itu senantiasa berusaha
mencari obat penawar di kamar kerja ayahnya guna menolong Toan Ki. Ia tidak
tahu "Im-yang-ho-hap-san” itu tidak bisa sembarangan disembuhkan dengan
obat penawar, tapi ada cara penyembuhan yang istimewa. Dengan sendirinya
biarpun Ciong Ling mengubrak-abrik kamar obat ayahnya tetap tak bisa
mendapatkan sesuatu obat penawar yang diharapkan.
Waktu itu ayah-bundanya sedang
menjamu tamu di ruangan depan, maka diam-diam Ciong Ling masuk kamar ayahnya
untuk mencari lagi. Siapa duga mendadak lantai kamar itu berlubang, menyusul
sebatang sekop menyelonong keluar, bahkan terus melompat keluar pula seorang
laki-laki tak dikenal, keruan kaget Ciong Ling tak terperikan.
Hoa Hek-kin bisa berpikir
cepat, sekali sudah salah gali, terpaksa harus gali pula ke jurusan lain.
Jejaknya sudah diketahui, kalau nona cilik ini dibunuh, tentu mayatnya akan
diketemukan orang di sini dan segera pasti akan diadakan penggeledahan secara besar-besaran,
jika hal itu terjadi, mungkin dirinya akan diketemukan sebelum berhasil
menggali sampai di rumah batu itu. Rasanya jalan paling baik harus gondol gadis
cilik ini ke dalam lorong di bawah tanah, bila orang lain kalau mencari gadis
ini, tentu akan mencarinya di luar sana.
Dan pada saat itulah,
tiba-tiba di luar kamar ada suara tindakan orang. Cepat Hek-kin goyang tangan
kepada Ciong Ling dengan maksud agar gadis itu jangan bersuara, lalu ia putar
tubuh dengan lagak seperti hendak menerobos ke dalam lubang. Tapi mendadak
terus melompat ke belakang, segera mulut Ciong Ling didekapnya, menyusul badan
gadis itu lantas diangkat ke tepi lubang terus dimasukkan ke bawah. Di situ
Hoan Hua lantas menyambutnya.
Setelah ikut melompat ke bawah
lubang lagi, cepat Hek-kin jejal mulut Ciong Ling dengan secomot tanah, keruan
gadis itu kelabakan. Namun Hek-kin tak urus lagi, ia tutup kembali lubang papan
tadi, lalu mendengarkan apa yang terjadi di atas.
Kejadian itu berlangsung
dengan cepat luar biasa, dalam keadaan kaget dan takut, Ciong Ling menjadi
bingung hingga tidak tahu apa maksud tujuan orang menculiknya. Apalagi mulutnya
dijejali tanah, ia menjadi gelagapan tak bisa bersuara lagi.
Sementara itu terdengar ada
dua orang telah masuk ke dalam kamar, yang seorang tindakannya berat, yang lain
sangat enteng. Lalu suara seorang laki-laki lagi berkata, "Terang cintamu
padanya belum lenyap seluruhnya, kalau tidak, sengaja kurusak nama baik
keluarga Toan, mengapa kau merintangiku?”
"Belum lenyap apa segala,
hakikatnya aku tidak cinta padanya,” sahut seorang perempuan.
"Jika demikian, itulah
yang kuharapkan,” kata laki-laki tadi dengan penuh rasa syukur dan girang.
Maka terdengar wanita itu
berkata pula, "Tapi nona Bok adalah putri kandung Suciku, meski tabiatnya agak
kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun betapa pun juga adalah orang
sendiri. Kau mau bikin susah Toan-kongcu aku tidak urus, tapi nona Bok juga
akan kau korbankan nama baiknya sehingga selama hidupnya bakal merana, itulah
aku tak bisa tinggal diam.”
Mendengar sampai di sini,
tahulah Hek-kin kedua orang yang berbicara itu adalah suami-istri Ciong
Ban-siu. Mendengar pembicaraan mereka menyangkut dirinya Toan Ki, segera ia
pasang kuping lebih cermat.
Terdengar Ciong Ban-siu lagi
berkata, "Sucimu berusaha melepaskan pemuda itu, untung dipergoki Yap
Ji-nio dan sekarang dia bermusuhan dengan kita, mengapa kau malah ingin
mengurus putrinya itu? A Po, para tamu di depan itu adalah tokoh Bu-lim kenamaan
semua, tanpa pamit kau tinggal masuk kemari, bukankah kelakuanmu ini agak
kurang sopan?”
"Hm, untuk apa engkau
mengundang orang-orang macam begitu?” dengan kurang senang Ciong-hujin menegur.
"Huh, Lo-kang-ong Cin Goan-cun, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng, murid
utama Tiam-jong-pay Liu Cu-hi, Co Cu-bok dan Siang-jing tokoh dari
Bu-liang-kiam dan ada lagi guru silat Be Ngo-tek apa segala, memangnya kau
sangka orang-orang macam demikian berani main gila kepada Sri Baginda Raja
Tayli sekarang?”
"Aku tidak bermaksud
mengundang mereka untuk ikut memberontak pada Toan Cing-beng,” demikian Ciong
Ban-siu menjawab. "Hanya secara kebetulan aku melihat mereka berada di
sekitar sini, lantas kuundang mereka kemari untuk meramaikan suasana saja agar
bisa ikut menjadi saksi bahwa putra-putri Toan Cing-sun tidur sekamar. Malahan
di antara hadirin itu terdapat pula Hui-sian dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu
dari Taykak-si, Oh-pek-kiam Su An. Orang-orang ini adalah tokoh di daerah
Tionggoan. Besok beramai-ramai kita pergi membuka rumah batu itu, biar semua
orang menyaksikan betapa bagus perbuatan keturunan keluarga Toan yang terpuji
itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan tersiar luas di dunia
Kangouw dengan cepat? Hahahaha!”
"Huh, rendah dan
memalukan!” jengek Ciong-hujin.
"Kau maki siapa yang
rendah dan memalukan?” tanya Ban-siu.
"Siapa yang berbuat
rendah dan tidak kenal malu, dia manusia yang rendah dan memalukan,” sahut
Cionghujin mendongkol.
"Benar, keparat Toan
Cing-sun itu selama hidupnya banyak berbuat dosa, tapi akhirnya putra-putri
sendiri berbuat tidak senonoh, haha, memang rendah dan memalukan!”
"Kau sendiri tidak mampu
mengalahkan orang she Toan, selama hidup sembunyi di lembah ini dan pura-pura
mati, namun maklum, engkau masih tahu diri dan terhitung seorang laki-laki yang
kenal malu. Tapi sekarang kau sengaja mempermainkan putra-putri orang yang
bukan tandinganmu, bila diketahui kesatria-kesatria seluruh jagat, mungkin
orang yang akan ditertawai bukan dia, melainkan engkau sendiri!”
Keruan Ciong Ban-siu
berjingkrak, teriaknya gusar, "Jadi ... jadi maksudmu aku yang rendah dan
memalukan?”
Tiba-tiba Ciong-hujin
mengucurkan air mata, sahutnya terguguk-guguk, "Sungguh tidak nyana bahwa
suamiku adalah orang sedemikian gagah perwira!”
Sebenarnya Ciong Ban-siu
memang sangat cinta pada istrinya ini, sebabnya dia benci dan dendam pada Toan
Cing-sun juga disebabkan rasa cemburunya, kini melihat sang istri menangis, ia
menjadi kelabakan, sahutnya cepat, "Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku,
makilah sepuasmu.”
Habis berkata, ia
mondar-mandir di dalam kamar, pikirnya hendak mengucapkan sesuatu untuk minta
maaf pada sang istri, tapi seketika tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Tiba-tiba ia melihat botol obat di lemari pada sudut kamar sana berserakan tak
teratur, segera ia mengomel, "Hm, Ling-ji ini benar-benar kurang ajar,
masih kecil sudah tanya tentang ‘Im-yang-ho-hap-san’ apa segala, sekarang
berani mengubrak-abrik lagi kamarku.”
Sembari berkata, ia terus
mendekati lemari obat untuk membetulkan botol-botol obat yang tak keruan itu
dan tanpa sengaja sebelah kakinya mendadak menginjak di atas papan yang
dilubangi Hoa Hek-kin. Keruan Hekkin kaget, cepat ia menyanggah dari bawah
sekuatnya agar tidak diketahui orang.
"Di mana Ling-ji?”
tiba-tiba Ciong-hujin tanya. "Selama beberapa hari ini banyak kedatangan
orang jahat, Ling-ji harus diperingatkan jangan sembarang keluar. Aku lihat
mata maling In Tiong-ho itu selalu mengincar Ling-ji saja, kukira kau pun harus
hati-hati.”
"Aku hanya hati-hati
menjaga engkau seorang, wanita cantik seperti engkau, siapa yang tidak menaksir
padamu?” demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.
"Cis!” semprot nyonya
Ciong. Lalu ia berseru memanggil, "Ling-ji!”
Segera seorang pelayan
mendekat dan memberi tahu bahwa barusan saja sang Siocia berada di situ.
"Coba cari dan undang
kemari,” perintah Ciong-hujin.
Sudah tentu Ciong Ling
mendengar semua percakapan ayah-bundanya itu. Tapi apa daya, mulut tersumbat
tanah, sama sekali tak dapat bersuara, hanya dalam hati kelabakan setengah
mati.
Dalam pada itu terdengar Ciong
Ban-siu lagi berkata pada sang istri, "Engkau mengaso saja di sini, aku
akan keluar mengawani tamu.”
"Hm, kau berjuluk
‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat orang lantas membunuh), kenapa sesudah tua lantas
‘Kian-jinciu-bah’ (melihat orang lantas takut)?” sindir Ciong-hujin.
Ban-siu tidak berani marah,
sambil menyengir kuda ia tinggal keluar ke ruangan depan.
Dalam pada itu, di kota Tayli
dengan gembira rakyat sedang merayakan dihapuskannya cukai garam.
Hendaklah maklum bahwa
produksi garam di wilayah Hunlam sangat terbatas, seluruh negeri hanya ada
sembilan sumur garam, yaitu sumber penghasil garam yang terdapat di daratan
Tiongkok bagian barat daya. Maka setiap tahun kerajaan Tayli mengimpor sebagian
besar garam dari daerah Sucoan dengan cukai garam yang berat, bahkan sebagian
besar dari penduduk di pinggiran negeri itu dalam setahun hampir setengah tahun
mesti makan secara tawar tanpa garam.
Po-ting-te tahu bila cukai
garam sudah dihapuskan, tentu Ui-bi-ceng akan berusaha menyelamatkan Toan Ki
untuk membalas kebijaksanaannya itu. Biasanya Po-ting-te sangat kagum terhadap
ilmu silat serta kecerdikan Ui-bi-ceng itu, keenam anak muridnya pun memiliki
ilmu silat yang tinggi, jika guru dan murid bertujuh orang keluar sekaligus,
pasti akan gol usaha mereka.
Tak terduga, sesudah ditunggu
sehari semalam, ternyata tiada sedikit pun kabar yang diperoleh, hendak
memerintahkan Pah Thian-sik pergi mencari tahu, siapa sangka Pah-sugong dan
Hoa-suto serta Hoan-suma juga ikut menghilang tanpa pamit.
Keruan Po-ting-te menjadi
khawatir, pikirnya, "Jangan-jangan Yan-king Taycu memang teramat lihai
hingga Ui-bi Suheng bersama murid-muridnya dan ketiga pembantuku telah
terjungkal semua di Ban-jiat-kok?”
Karena itu, segera ia undang
berkumpul adik pangeran Toan Cing-sun dan permaisuri, Sian-tan-hou Ko Singthay
serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, lalu diajak berangkat ke Ban-jiat-kok pula.
Karena khawatirkan keselamatan
sang putra, Si Pek-hong minta Po-ting-te suka mengerahkan pasukan untuk menyapu
bersih Ban-jiat-kok, namun sang raja yang bijaksana itu tidak setuju, ia ingin
pertahankan kehormatan dan nama baik keluarga Toan sebagai tokoh utama dunia
persilatan, kalau tidak terpaksa, ia tetap bertindak menurut peraturan Kangouw.
Dan baru saja rombongan mereka
sampai di mulut lembah yang dituju, tertampaklah In Tiong-ho memapak mereka
dengan tertawa, ia memberi hormat lebih dulu, lalu berkata, "Selamat
datang! Ciong-kokcu menduga Paduka Yang Mulia hari ini pasti akan berkunjung
kemari lagi, maka Cayhe disuruh menanti di sini. Bila kalian datang bersama
pasukan secara besar-besaran, kami lantas angkat langkah seribu. Tapi bila
kalian datang menurut peraturan Kangouw, maka kalian disilakan masuk untuk
minum dulu!”
Melihat pihak lawan sedemikian
tenang, terang sudah siap sedia sebelumnya, tidak seperti tempo hari, begitu
datang lantas saling labrak, maka diam-diam Po-ting-te tambah khawatir dan lebih
prihatin. Segera ia membalas hormat dan berkata, "Terima kasih atas
penyambutanmu!”
Segera In Tiong-ho mendahului
dan membawa rombongan Po-ting-te ke ruangan tamu. Begitu melangkah masuk ke
ruangan pendopo itu, Po-ting-te lantas melihat ruangan itu sudah banyak
berkumpul tokoh-tokoh Kangouw, kembali ia tambah waswas.
Segera In Tiong-ho berteriak,
"Ciangbunjin Thian-lam Toan-keh Toan-losu tiba!”
Ia tidak bilang "Paduka
Yang Mulia Raja Tayli”, tapi menyebutkan gelar keluarga Toan dalam kalangan
Bulim, suatu tanda ia sengaja menyatakan segala tindak tanduk selanjutnya harus
dilakukan menurut peraturan Bu-lim.
Nama Toan Cing-beng sendiri
dalam Bu-lim memang terhitung juga seorang tokoh terkemuka dan disegani. Maka
begitu mendengar namanya, seketika hadirin berbangkit sebagai tanda menyambut.
Hanya Lam-haygok-sin yang masih duduk seenaknya di tempatnya sambil berseru,
"Kukira siapa, tak tahunya Hongte-loji (si tua raja) yang datang!
Baik-baikkah kau?”
Sebaliknya Ciong Ban-siu
lantas melangkah maju dan menyapa, "Ciong Ban-siu tidak keluar menyambut,
harap Toan-losu suka memaafkan!”
"Ah, jangan sungkan!”
sahut Po-ting-te.
Oleh karena pertemuan ini
dilakukan secara orang Bu-lim, maka ketika disilakan duduk, Toan Cing-sun dan
Ko Sing-thay lantas duduk di sisi
Po-ting-te, sedang Leng Jian-li berempat berdiri di belakang Po-ting-te, segera
pula pelayan menyuguhkan minuman.
Melihat Ui-bi-ceng dan
murid-muridnya serta Pah Thian-sik bertiga tidak tampak di situ, diam-diam
Po-ting-te pikir cara bagaimana harus buka mulut untuk menanyakannya.
Sementara itu Ciong Ban-siu
lantas buka suara, "Atas kunjungan kedua kalinya dari Toan-ciangbun ini,
sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Mumpung ada sekian banyak kawan
Bu-lim berkumpul di sini, biarlah kuperkenalkan satu per satu kepada
Toan-ciangbun.”
Habis berkata, segera Ban-siu
memperkenalkan Co Cu-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian Hwesio dan lain-lain kepada raja
Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak kenal, tapi ada juga yang pernah
mendengar namanya.
Setiap orang yang
diperkenalkan itu lantas saling memberi hormat pula dengan Po-ting-te. Be
Ngo-tek, Co Cubok dan kawan-kawannya sangat menghormat dan merendah diri
terhadap Po-ting-te, sebaliknya Liu Cu-hi, Cin Goan-cun dan begundalnya
bersikap sangat angkuh. Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan
lain-lain memandang Po-ting-te sebagai kaum Cianpwe, mereka tidak terlalu
merendahkan derajat sendiri juga tidak menjilat orang.
Lalu Ciong Ban-siu berkata
lagi, "Mumpung Toan-ciangbun sempat berkunjung kemari, sudilah kiranya
tinggal lebih lama barang beberapa hari di sini, agar para saudara bisa minta
petunjuk.”
"Keponakanku Toan Ki
berbuat salah pada Ciong-kokcu dan ditahan di sini, kedatanganku hari ini
pertama adalah ingin mintakan ampun bagi bocah itu, kedua ingin minta maaf
juga. Harap Ciong-kokcu suka memandang diriku, sudilah mengampuni anak yang
masih hijau itu, untuk mana aku merasa terima kasih sekali,” demikian jawaban Po-ting-te.
Mendengar itu, diam-diam para
kesatria sangat kagum, pikir mereka, "Sudah lama kabarnya Toan-hongya dari
Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim dengan peraturan Bu-lim pula, dan
nyatanya memang tidak omong kosong. Padahal wilayah ini masih di bawah
kekuasaan Tayli, bila dia mengirim beberapa ratus prajuritnya sudah cukup untuk
membebaskan keponakannya itu, tapi dia justru datang sendiri untuk memohon
secara baik-baik.”
Dalam pada itu Ciong Ban-siu
sedang terbahak-bahak, belum lagi menjawab, tiba-tiba Su An telah menyela,
"Hah, kiranya Toan-kongcu berbuat salah sesuatu kepada Ciong-kokcu, jika
demikian, untuk itu kuikut mohon ampun baginya, sebab aku pernah mendapat
pertolongan dari Toan-kongcu.”
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar
mendadak, bentaknya, "Urusan muridku, buat apa kau ikut cerewet?”
"Toan-kongcu adalah
gurumu dan bukan muridmu,” cepat Ko Sing-thay menjawabnya dengan mengejek.
"Kau sendiri sudah menyembah dan mengangkat guru padanya, apa sekarang kau
hendak menyangkal?”
Muka Lam-hay-gok-sin menjadi
merah, ia memaki, "Keparat, Locu takkan menyangkal. Hari ini biar Locu
membunuh juga Suhu yang cuma namanya saja, tapi kenyataannya tidak. Hm, masakah
Locu mempunyai seorang guru macam begitu, bisa mati kaku aku!”
Karena tidak tahu seluk-beluknya,
keruan semua orang merasa bingung oleh tanya jawab itu.
Kemudian Si Pek-hong ikut
bicara, "Ciong-kokcu, lepaskan putraku atau tidak, hanya bergantung satu
kata ucapanmu saja.”
"Oya, tentu saja
kulepaskan dia, tentu kulepaskan!” sahut Ciong Ban-siu dengan tertawa.
"Buat apa kutahan putramu itu?”
"Benar,” tiba-tiba In
Tiong-ho menimbrung. "Dasar Toan-kongcu tampan dan ganteng, sedangkan
nyonya Ciong-kokcu sangat cantik ayu, kalau Toan-kongcu tinggal terus di lembah
ini, apakah itu bukannya memiara serigala di kandang kambing dan cari penyakit
sendiri? Maka sudah tentu Ciong-kokcu akan melepaskan bocah itu!”
Semua orang menjadi tercengang
oleh kata-kata In Tiong-ho yang tidak kenal aturan dan tanpa tedeng alingaling
itu, nyata suami-istri Ciong Ban-siu sama sekali tak terpandang sebelah mata
olehnya, sungguh julukan "Kiong-hiong-kek-ok” atau jahat dan buas luar
biasa, memang tidak bernama kosong.
Tentu saja Ciong Ban-siu
menjadi murka, syukur ia masih bisa menahan diri, katanya sambil berpaling,
"Inheng, kalau urusan di sini sudah selesai, pasti akan kubelajar kenal
dengan kepandaianmu.”
"Bagus, bagus!” sahut In
Tiong-ho tertawa. "Akan justru sudah lama ingin membunuh suaminya untuk
mendapatkan istrinya, ingin kurebut hartanya serta mendiami lembahnya ini!”
Keruan para kesatria tambah
terkesiap. Segera It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng berkata, "Para kesatria
Kangouw kan belum mati seluruhnya, sekalipun kepandaian ‘Thian-he-su-ok’ kalian
sangat tinggi, betapa pun takkan terhindarkan dari keadilan umum.”
Tiba-tiba Yap Ji-nio
terbahak-bahak dengan suaranya yang nyaring, katanya, "Kim-siangkong, aku
Yap Ji-nio tiada permusuhan apa-apa denganmu, kenapa aku ikut-ikut disinggung,
ha?”
Hati Kim Tay-peng tergetar
oleh suara tertawa orang yang mengguncang sukma itu. Begitu juga Co Cu-bok
berdebar-debar, terutama bila teringat putra sendiri hampir menjadi korban
wanita iblis itu, tanpa terasa ia melirik sekejap pada tokoh kedua Su-ok itu.
Yap Ji-nio sedang terkikik
tawa, katanya pula, "He, Co-ciangbun, baik-baikkah putramu itu, tentu kini
tambah gemuk dan putih mulus bukan?”
Co Cu-bok tidak berani
membantah, sahutnya tak jelas, "Ah, tempo hari ia masuk angin, sampai
sekarang masih belum sehat.”
"O, kasihan!” ujar
Ji-nio. "Biarlah nanti kujenguk putramu yang baik itu.”
Keruan Co Cu-bok terkejut,
cepat ia goyang-goyang tangannya dan berkata, "Jang ... jangan, ti ...
tidak usah!”
Sudah tentu ia khawatir, kalau
orang benar-benar bermaksud baik menjenguk anaknya tentu tak mengapa, tapi
kalau digondol lari lagi untuk diisap darahnya, kan celaka!
Melihat suasana begitu,
diam-diam Po-ting-te membatin, "Rupanya kejahatan ‘Su-ok’ memang sudah
keterlaluan dan banyak mengikat permusuhan, nanti kalau Ki-ji sudah
diselamatkan, boleh juga sekalian cari kesempatan untuk membasminya. Yan-king
Taycu dari Su-ok ini meski terhitung orang keluarga Toan, tapi akhirnya akan
tiba juga hari tamatnya sesuai dengan julukannya ‘kejahatan sudah melebihi
takaran’.”
Dan karena melihat pembicaraan
orang-orang itu telah menyimpang dari persoalan pokok, segera Si Pek-hong
berbangkit dan bicara lagi, "Ciong-kokcu, jika engkau sudah menyanggupi
akan mengembalikan anakku, baiklah sekarang suruh dia keluar, biar kami ibu dan
anak bisa bertemu kembali.”
Cepat Ciong Ban-siu juga
berbangkit dan menyahut, "Baik!”
Mendadak ia menoleh dan
mendelik pada Toan Cing-sun dengan penuh rasa dendam, katanya pula sambil
menghela napas, "Toan Cing-sun, engkau mempunyai istri cantik dan putra
tampan, mengapa engkau masih belum puas dan masih sok bangor? Jika hari ini harus
menanggung malu di depan umum, itu adalah akibat
perbuatanmu sendiri dan jangan
menyalahkan aku orang she Ciong.”
Pada waktu mendengar Ciong
Ban-siu bersedia membebaskan Toan Ki begitu saja, Toan Cing-sun sudah sangsi
urusan pasti takkan terjadi demikian sederhana, tentu musuh sudah mengatur
sesuatu muslihat keji, maka demi mendengar ucapan Ban-siu itu, segera ia
mendekati Kokcu itu dan menjawab tegas, "Ciong Bansiu, kau sendiri punya
anak-istri, bila kau bermaksud membikin celaka orang, aku Toan Cing-sun pasti
akan membikin kau menyesal selama hidup.”
Melihat sikap pangeran Tayli
yang gagah perkasa dan agung itu, Ciong Ban-siu merasa dirinya semakin jelek,
rasa siriknya bertambah menyala-nyala, segera teriaknya, "Urusan sudah
begini, biarpun akhirnya Ciong Bansiu harus gugur dan rumah tangga hancur,
betapa pun aku akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ayolah, kau ingin
putramu, mari ikut padaku!”
Habis berkata, segera ia
mendahului bertindak keluar.
Setelah beramai-ramai semua
orang ikut Ciong Ban-siu sampai di depan pagar pohon yang lebat itu, In Tiongho
sengaja pamer Ginkang, sekali lompat, segera ia melintasi pagar pohon yang
tinggi itu.
Toan Cing-sun pikir urusan
hari ini terang tak dapat diselesaikan secara damai, akan lebih baik sekarang
juga memberi sedikit demonstrasi, agar pihak lawan tahu gelagat dan mundur
teratur. Maka katanya segera, "Tioksing, penggal beberapa pohon itu, agar
mudah dilalui semua orang!”
Jay-sin-khek Siau Tiok-sing,
si Pencari Kayu, mengiakan sekali lalu mengayun kapaknya, sekali bacok, bagai
pisau mengiris tahu saja, seketika sebatang pohon ditebang putus di dekat
pangkalnya. Menyusul Tiam-jongsan-long hantamkan sebelah tangannya ke depan
hingga pohon itu mencelat dan tersangkut di antara pohonpohon yang lain.
Beruntun-runtun tampak kapak
bekerja cepat pula hingga dalam sekejap saja sudah ada lima batang pohon yang
tumbang, maka berwujudlah sekarang sebuah pintu masuk.
Ciong Ban-siu menanam dan
merawat pagar pohon itu selama bertahun-tahun dengan susah payah, tentu saja ia
menjadi gusar pohon itu ditebang dan dirusak oleh Siau Tiok-sing. Tapi segera
terpikir olehnya, "Orangorang she Toan dari Tayli hari ini bakal dibikin
malu besar, buat apa aku mesti ribut urusan tetek bengek ini.”
Karena itu, tanpa bicara lagi
ia lantas mendahului masuk melalui pintu pagar pohon yang bobol itu.
Maka tertampaklah segera di
balik pohon sana Ui-bi-ceng dan Jing-bau-khek, yang satu menggunakan tangan
kiri menahan ujung tongkat bambu yang lain, ubun-ubun kedua orang kelihatan
mengepulkan kabut putih, terang kedua orang sedang mengadu Lwekang.
Mendadak Ui-bi-ceng mengulur
tangan dan menekan sekali di atas papan batu di depan situ hingga berwujud
suatu lekukan. Menyusul mana, hanya berpikir sejenak, Jing-bau-khek juga ikut
menggores satu lingkaran kecil dengan tongkat bambunya.
Melihat itu segera Po-ting-te
mengerti duduknya perkara. Kiranya Ui-bi Suheng itu di samping bertanding catur
dengan Yan-king Taycu, berbareng juga mengadu Lwekang dengan tokoh utama dari
Su-ok itu. Jadi mengadu otak dan tenaga secara berbareng, cara bertanding lain
dari yang lain ini sesungguhnya sangat berbahaya. Pantas, makanya sudah
ditunggu sehari semalam sang Suheng masih tiada kabar beritanya, rupanya
pertandingan demikian itu sudah berlangsung selama sehari semalam dan masih
belum ketahuan siapa akan menang atau kalah.
Sepintas lalu Po-ting-te
melihat kedudukan di atas papan catur, kedua pihak sama-sama sedang menghadapi
satu langkah sulit yang menentukan, rupanya Ui-bi-ceng berada di pihak
terdesak, maka mati-matian padri itu sedang mencari jalan keluar bagi biji
caturnya itu.
Waktu Po-ting-te menengok pula
ke arah rumah batu, ia lihat keenam murid Ui-bi-ceng sedang duduk bersila di
depan rumah dengan wajah pucat dan mata merem, mirip orang yang sudah hampir
putus napas yang penghabisan. Keruan ia terkejut, pikirnya, "Apa
barangkali keenam murid Suheng ini telah bergebrak dulu dengan Yan-king Taycu
dan telah terluka parah semua?”
Segera ia mendekati mereka, ia
coba periksa denyut nadi Boh-tam Hwesio, ia merasa denyut nadinya sangat lemah,
seperti bergerak seperti tidak, seakan-akan setiap waktu bisa berhenti
berdenyut.
Cepat Po-ting-te mengeluarkan
sebuah botol porselen dan menuang keluar enam biji pil merah serta dijejalkan
ke mulut keenam padri itu. Pil itu bernama "Hou-pek-wan,” sangat manjur
untuk menyembuhkan luka dalam. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Boh-tam berenam
bukanlah terluka dalam, tapi disebabkan antero hawa murni dalam tubuh mereka
telah kering benar-benar tersedot oleh Cu-hap-sin-kang Toan Ki yang mahalihai
itu. Pil itu digunakan tidak tepat pada penyakitnya, dengan sendirinya tidak
berguna.
Dalam pada itu Cing-sun sedang
berseru, "Jian-li, kalian berempat coba dorong batu besar itu, bebaskan
Ki-ji dari dalam situ!”
Leng Jian-li berempat
mengiakan, berbareng mereka lantas maju.
"Nanti dulu!” tiba-tiba
Ciong Ban-siu mencegah. "Apakah kalian mengetahui siapa-apa saja yang
terkurung di dalam rumah itu?”
Toan Cing-sun dan jago-jagonya
itu belum tahu bahwa Bok Wan-jing juga sudah ditawan Yan-king Taycu serta
dikurung bersama Toan Ki di dalam satu kamar.
Bahkan kedua muda-mudi itu
telah dicekoki "Im-yang-ho-hap-san”, maka sama sekali mereka tidak curiga
dan serentak hendak membebaskan Toan Ki dari penjara itu tanpa pikirkan apa
yang bakal disaksikan orang banyak.
Kini demi mendengar ucapan
Ciong Ban-siu itu, Cing-sun menjadi curiga, segera dampratnya,
"Ciong-kokcu, bila kau berani bikin cacat sedikit pun atas diri putraku,
hendaklah kau ingat bahwa engkau sendiri pun punya anak istri.”
Nyata yang dikhawatirkan
adalah jangan-jangan Toan Ki telah disiksa atau dicacatkan sesuatu anggota
badannya.
Maka dengan tertawa mengejek
Ciong Ban-siu menjawab, "Hehe, memang benar orang she Ciong juga punya
anak istri, cuma anakku adalah perempuan, untung aku tidak punya anak
laki-laki, andaikan punya, anakku laki-laki takkan melakukan perbuatan binatang
dengan anak perempuanku sendiri.”
"Kau sembarangan mengoceh
apa?” bentak Cing-sun dengan gusar.
"Hiang-yok-jeh Bok
Wan-jing adalah putrimu dari hubungan gelap dengan wanita lain, bukan?” tanya
Ban-siu dengan senyum ejek.
"Asal usul nona Bok
pribadi, peduli apa kau ikut campur?” sahut Cing-sun dengan gusar.
"Hahaha, belum tentu
bahwa aku yang suka ikut campur urusan,” sahut Ban-siu terbahak-bahak.
"Keluarga Toan kalian merajai negeri Tayli, di kalangan Kangouw juga
gilang-gemilang pula namanya. Tapi kini biarlah para kesatria seluruh jagat
membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan bahwa putra dan putri Toan Cing-sun
sendiri telah berbuat maksiat di antara sesama saudara sendiri, sungguh dunia
sudah terbalik!”
Mendengar itu, rasa curiga
Toan Cing-sun semakin menjadi, pikirnya, "Apa benar Jing-ji juga berada di
dalam rumah ini dan bersama Ki-ji sudah .... sudah ....”
Ia tidak berani membayangkan
lebih lanjut lagi, ia cocokkan ucapan Ciong Ban-siu dari mula hingga sekarang,
agaknya berada bersamanya kedua putra-putrinya di dalam satu kamar itu tak
perlu disangsikan lagi.
Keruan seketika badannya
serasa dingin bagai kecemplung di sungai es, diam-diam ia mengeluh,
"Betapa keji muslihat musuh ini!”
Dalam pada itu Ciong Ban-siu
lantas memberi tanda kepada Lam-hay-gok-sin, segera mereka berdua mulai hendak
mendorong batu besar yang menutupi pintu rumah itu.
"Nanti dulu!” seru
Cing-sun sambil ulur tangan hendak merintangi.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong
Yap Ji-nio dan In Tiong-ho berbareng menyerangnya dari samping kanan dan kiri.
Terpaksa Cing-sun angkat tangan menangkis, sedang Ko Sing-thay serentak pun
menyusup maju untuk menangkis serangan In Tiong-ho.
Tak tersangka serangan kedua
tokoh Su-ok itu hanya pancingan belaka, tangan yang satu pura-pura menyerang
Toan Cing-sun, tapi tangan yang lain dipakai membantu mendorong batu besar
penutup pintu itu.
Meski batu itu beratnya beribu
kati, tapi di bawah dorongan tenaga bersama Ciong Ban-siu, Yap Ji-nio,
Lamhay-gok-sin dan In Tiong-ho berempat, seketika batu itu menggelinding ke
samping.
Tindakan mereka itu memang
sudah direncanakan, maka sama sekali Toan Cing-sun tak mampu merintanginya. Di
samping itu Cing-sun sendiri sebenarnya juga ingin lekas mengetahui keadaan
putranya, maka tidak mencegah sekuat tenaga.
Dan begitu batu penutup pintu
itu didorong ke pinggir, tertampaklah di dalam rumah batu itu gelap gulita
belaka, sedikit pun tidak kelihatan pemandangan di dalam rumah.
"Huh, dua muda-mudi berada
sendirian di dalam kamar segelap itu, dapat dibayangkan perbuatan apa yang akan
dilakukan mereka!” demikian Ciong Ban-siu menjengek.
Baru lenyap ucapannya,
tiba-tiba terlihat dari dalam rumah bertindak keluar seorang pemuda dengan
rambut terurai, badan bagian atas telanjang, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki
adanya? Bahkan di tangan pemuda itu membawa pula seorang wanita tak berkutik
seperti orang yang tak sadarkan diri.
Melihat itu, alangkah malunya
rasa Po-ting-te, Toan Cing-sun pun menunduk kepala, sedangkan Si Pek-hong
mengembeng air mata sambil berkomat-kamit, "Karma! Hukum karma!”
Lekas Ko Sing-thay
menanggalkan bajunya dengan maksud agar dipakai Toan Ki, sedang Oh-pek-kiam Su
An mengingat pemuda itu pernah menolong jiwanya, ia merasa tidak tega kalau
Toan Ki dibikin malu di depan orang banyak, maka cepat ia melompat maju untuk
mengalingkan di depan pemuda itu.
Sebaliknya Ciong Ban-siu
terbahak-bahak senang. Tapi mendadak suara tertawanya berubah menjadi jeritan
kaget menyeramkan, "He, kau, Ling-ji?”
Mendengar suara teriakan itu,
hati semua orang ikut terkesiap. Ketika semua orang memerhatikan apa yang
terjadi, tertampak Ciong Ban-siu sedang menubruk ke arah Toan Ki terus hendak
merampas wanita yang berada di pondongan pemuda itu.
Maka sekarang dapatlah semua
orang melihat jelas wajah wanita yang dipondong Toan Ki itu, tampak umurnya
lebih muda daripada Bok Wan-jing, tubuhnya juga lebih kecil mungil, mukanya
masih kekanakkanakan, terang bukan Hiang-yok-jeh yang tersohor itu, tapi Ciong
Ling, putri kesayangan Ciong Ban-siu sendiri.
Dalam kaget dan gusarnya,
Ciong Ban-siu tidak mengerti sebab apa mendadak putri kesayangannya itu bisa
berada di dalam situ, dengan cepat ia sambut putrinya itu dari pondongan Toan
Ki. Tak terduga, begitu kedua tangannya menyentuh badan Ciong Ling, sekonyong-konyong
tubuhnya tergetar hebat, tenaga murni dalam tubuh sendiri seakan-akan hendak
terbang meninggalkan raganya.
Waktu itu Toan Ki sendiri
belum lagi sadarkan diri, dalam keadaan samar-samar terasa dirinya dirubung
orang banyak, lamat-lamat di antaranya terdapat paman dan kedua orang tua,
segera ia lepaskan Ciong Ling dan berseru memanggil, "Mak, Pekhu, Ayah!”
Dan karena dilepaskannya Ciong
Ling oleh Toan Ki, maka Cu-hap-sin-kang yang hebat itu tidak jadi menyedot hawa
murni Ciong Ban-siu.
Oleh karena sudah lama berdiam
di tempat gelap, kini Toan Ki menjadi silau oleh sinar matahari yang terang
benderang itu hingga seketika matanya susah dipentang. Sebaliknya antero
badannya terasa sangat kuat, semangat berkobar-kobar, tulang anggota badan
terasa enteng seakan-akan bisa terbang saja.
Dalam pada itu Si Pek-hong
sudah lantas mendekat serta merangkul sang putra dan bertanya, "Ki-ji, ken
… kenapakah kau?”
"En ... entahlah, aku
sendiri tidak tahu. Di ... di manakah aku berada?” demikian sahut Toan Ki.
Sungguh sama sekali tak
terpikir oleh Ciong Ban-siu bahwa muslihatnya yang hendak bikin malu orang,
kini berbalik senjata makan tuan, putri sendiri yang menjadi korban malah.
Sedikit pun tidak terpikir olehnya bahwa wanita yang dipondong keluar oleh Toan
Ki bukanlah Bok Wan-jing, melainkan putri kesayangannya itu.
Setelah tertegun sejenak,
kemudian ia pun lepaskan Ciong Ling ke tanah.
Ketika menyadari dirinya cuma
memakai baju dalam melulu, keruan Ciong Ling malu tak terkatakan. Cepat Ban-siu
menanggalkan baju sendiri untuk ditutupkan di atas badan sang putri. Menyusul
ia lantas persen sekali tamparan di pipi Ciong Ling hingga muka gadis itu merah
bengap.
"Tidak malu! Siapa yang
menyuruhmu berada bersama binatang cilik itu?” demikian Ban-siu memaki.
Tentu saja Ciong Ling merasa
penasaran, katanya dengan menangis, "Aku ... aku ....” tapi sukar untuk
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Tiba-tiba terpikir oleh Ciong
Ban-siu, "Bukankah Bok Wan-jing juga terkurung di dalam rumah batu ini,
betapa pun dia takkan mampu membuka batu penutup pintu ini, jelas dia masih
berada di dalam, biar aku memanggilnya keluar, paling tidak dia akan menanggung
sebagian dari rasa malu putriku ini.”
Karena itu segera ia
berteriak-teriak, "Bok-kohnio, silakan lekas keluar!”
Namun berulang-ulang ia
berteriak hingga bejat kerongkongannya sekalipun tetap tiada sesuatu suara
jawaban di dalam rumah batu itu.
Dengan tak sabar segera Ciong
Ban-siu mendekati pintu dan coba melongok ke dalam, rumah itu tidak luas, maka
sekejap saja sudah kentara bahwa di dalam kosong melompong, tiada bayangan
seorang pun. Keruan
dada Ciong Ban-siu
hampir-hampir meledak saking gusarnya, ia putar balik dan segera hendak hajar
lagi putrinya itu sambil membentak, "Biar kumampuskan kau budak yang
memalukan ini!”
Sekonyong-konyong dari samping
ada orang menangkis tamparannya itu, nadi tangannya terasa kesemutan tersentuh
oleh jari orang. Lekas Ban-siu tarik kembali tangannya dan baru diketahuinya
bahwa yang menyerangnya dari samping itu adalah Toan Cing-sun. Keruan ia tambah
gusar, bentaknya, "Aku menghajar anakku sendiri, peduli apa denganmu?”
Cing-sun menjawab dengan
tersenyum, "Ciong-kokcu, rupanya engkau telah memberi pelayanan istimewa
kepada putraku itu, khawatir dia kesepian di dalam rumah itu, sampai-sampai
putri kesayanganmu disuruh mengawaninya, sungguh aku merasa sangat berterima
kasih. Dan karena urusan sudah telanjur, nasi sudah menjadi bubur, putrimu
sudah terhitung anggota keluarga Toan kami, dengan sendirinya aku tak bisa
tinggal diam lagi.”
"Apa? Terhitung anggota
keluarga Toan kalian?” sahut Ban-siu dengan gusar.
"Habis, selama beberapa
hari putrimu telah melayani anakku si Toan Ki di dalam rumah ini, coba
bayangkan, sepasang muda-mudi berada sendirian di tempat segelap ini, kelihatan
pula baju mereka terbuka, lalu perbuatan apa yang telah mereka lakukan?”
demikian kata Cing-sun dengan tertawa. "Putraku adalah ahli waris
Tin-lamong, meski sudah melamar putri Sian-tan-hou sebagai istri, tapi sebagai
seorang calon pangeran, apa salahnya kalau punya beberapa istri dan selir? Dan
dengan demikian, bukankah engkau sudah menjadi Jinkeh (besan) dengan aku?
Hahaha, hahaaaaah!”
Sungguh gusar Ciong Ban-siu
tak tertahan lagi, ia melompat maju dan beruntun menghantam tiga kali. Namun
dengan terbahak-bahak Cing-sun dapat mematahkan setiap serangan orang kalap
itu.
Diam-diam para kesatria sangat
kagum pada pengaruh keluarga Toan yang ternyata tidak boleh sembarangan dihina
itu, Ciong-kokcu hendak menghancurkan nama baik mereka, tapi entah dengan cara
bagaimana tahutahu malah putri Ciong-kokcu sendiri yang telah ditukar dan
dikurung di dalam rumah batu itu.
Kiranya kejadian itu tak-lain
tak-bukan adalah hasil karya Hoa Hek-kin bertiga. Waktu mereka menawan Ciong
Ling ke dalam lorong, maksud mereka cuma untuk menghindarkan rahasianya
dibongkar oleh gadis itu. Tapi kemudian sesudah mendengar percakapan
suami-istri Ciong Ban-siu, mereka tahu nama baik keluarga Toan sedang diuji
oleh tipu muslihat yang diatur bersama antara Ciong Ban-siu dan Yan-king Taycu.
Segera mereka bertiga
berunding di bawah tanah situ dan merasa urusan itu besar sekali sangkut
pautnya dengan junjungan mereka, pula waktunya sudah sangat mendesak. Maka
begitu Ciong-hujin keluar dari kamar itu, segera Pah Thian-sik menerobos
keluar, dengan Ginkang yang tinggi ia menyelidiki lebih pasti di mana letak
rumah batu yang dituju itu. Dan sesudah ditentukan pula arah galian baru,
segera mereka bertiga
mempercepat galian lorong di
bawah tanah itu hingga semalam suntuk, baru pagi hari itu mereka menggali
sampai di bawah rumah batu yang tepat.
Ketika Hoa Hek-kin menggangsir
ke atas lagi dan menerobos ke dalam rumah, ia lihat Toan Ki sedang memegang
tangan orang di luar rumah dengan kencang, wajahnya tampak sangat aneh. Sudah
tentu tak terpikir oleh Hek-kin bahwa tangan yang terjulur dari luar rumah itu
adalah tangan Boh-tin Hwesio, sebaliknya ia menyangka sebagai tangan Yan-king
Taycu, maka ia tidak berani mengajak bicara pada Toan Ki, hanya perlahan ia
tepuk bahu pemuda itu.
Tak terduga olehnya, begitu
tangannya menyentuh badan Toan Ki, seketika tubuh sendiri tergetar seperti menyenggol
besi bakar panasnya. Ia menjadi khawatir pula ketika melihat kedua mata pemuda
itu merah membara, sekuatnya ia bermaksud menarik Toan Ki terlepas dari
genggaman tangan orang di luar itu, untuk kemudian melarikan diri melalui
lorong di bawah tanah yang digalinya itu.
Siapa sangka, begitu tangannya
memegang tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuh Hoa Hek-kin
seakan-akan bocor keluar, saking kagetnya sampai ia menjerit.
Pah Thian-sik dan Hoan Hua
adalah orang yang sangat cerdik, begitu melihat gelagat kurang beres, cepat
mereka pun melompat ke atas untuk menarik Hoa Hek-kin dan dibetot sekuatnya.
Dan berkat tenaga gabungan ketiga orang itulah dapat Hoa Hek-kin terlepas dari
sedotan Cu-hap-sin-kang yang lihai itu.
Untunglah tenaga dalam ketiga
tokoh kerajaan Tayli itu jauh lebih tinggi daripada Boh-tin berenam, pula dapat
bertindak cepat sebelum kasip, namun demikian, toh mereka pun kaget luar biasa
hingga mandi keringat dingin. Pikir mereka, "Ilmu sihir Yan-king Taycu ini
sungguh sangat lihai.”
Karena itu juga mereka tidak
berani menyentuh badan Toan Ki lagi.
Dan pada saat itu juga di luar
terdengar suara ramai-ramai datangnya rombongan Po-ting-te, lalu Ciong Bansiu
sedang menyindir dengan terbahak-bahak. Tabiat Hoan Hua sangat jenaka dan
banyak akal, tiba-tiba pikirannya tergerak, "Ciong Ban-siu ini benar-benar
jahat, biar kita kerjai dia agar malu sendiri.”
Terus saja mereka mencopot
baju luar Ciong Ling untuk dipakai Bok Wan-jing, lalu mereka seret Bok Wanjing ke
dalam lorong serta menutup kembali lantai batu yang mereka gali itu hingga
tidak kentara sesuatu yang mencurigakan.
Begitulah setelah Toan Ki
telah keluar rumah batu itu, oleh karena hawa murni Boh-tin berenam tak dapat
dihimpunnya ke dalam perut untuk dijalankan menurut keinginannya, maka enam
arus hawa murni yang sangat
kuat itu masih terus bergolak
dalam tubuh hingga isi perut seakan-akan keterjang jungkir balik, ia menjadi
sempoyongan dan tak bisa berdiri tegak.
Melihat itu, Po-ting-te
menyangka sang keponakan keracunan jahat, cepat ia tutuk ketiga Hiat-to penting
"Jinyang”, "Thay-yang” dan "Leng-tay-hiat” di badan pemuda itu,
walaupun hawa murni itu masih belum bisa disalurkan ke tempat yang semestinya,
namun pikiran Toan Ki menjadi rada jernih, ia sudah bisa bicara dengan terang,
"Pekhu, aku kena racun Im-yang-ho-hap-san.”
Po-ting-te merasa lega
keselamatan Toan Ki tidak berbahaya, tapi segera teringat olehnya pertandingan
di antara Ui-bi-ceng dan Yan-king Taycu sedang mencapai klimaksnya, maka ia tak
sempat mengurus Toan Ki lebih jauh dan mendekati Ui-bi-ceng untuk mengikuti
pertandingan otak dan Lwekang kedua orang itu.
Ia lihat jidat Ui-bi-ceng
penuh butiran keringat sebesar kedelai, sebaliknya Yan-king Taycu tampak
tenangtenang saja seperti tidak merasakan apa-apa. Terang kekuatan kedua pihak
itu sudah kentara nyata, mati hidup Ui-bi-ceng bergantung dalam sekejap saja.
Dalam pada itu karena pikiran
Toan Ki sudah jernih kembali, ia pun memerhatikan lagi situasi percaturan kedua
orang itu. Ia lihat jalan mundur Ui-bi-ceng sudah buntu, bila Yan-king Taycu
mendesak maju lagi satu biji, maka Ui-bi-ceng pasti akan menyerah kalah.
Benar juga, ia lihat tongkat
bambu Yan-king Taycu sedang diangkat dan akan menggores batu pula, tempat yang
dituju itu adalah tepat langkah yang mematikan lawannya.
Keruan Toan Ki khawatir,
pikirnya, "Biar aku mengacaunya sekali ini!”
Segera ia ulur tangan untuk
menahan ujung tongkat orang yang akan digoreskan itu.
Sungguh kejut Yan-king Taycu
tak terkatakan ketika mendadak terasa tongkatnya tertahan sesuatu, berbareng
lengan tergetar dan tenaga murni seakan-akan membanjir keluar tak tertahankan.
Waktu ia lirik, ia lihat Toan Ki sedang menahan tongkat dengan dua jarinya.
Keruan ia tambah kaget dan
heran, "Tempo hari waktu menangkap bocah ini, terang sedikit pun ia tak
bisa ilmu silat, paling-paling cuma pandai berkelit dengan gerak langkah yang
aneh, mengapa dalam waktu cuma beberapa hari mendadak bisa menggunakan ilmu
sihir untuk menyedot tenaga murni orang? Apa barangkali tempo hari ia sengaja
pura-pura bodoh dan baru sekarang turun tangan?”
Toan Ki sendiri tidak tahu
bahwa sesudah makan dua ekor katak merah itu, dalam tubuh telah timbul semacam
Cu-hap-sin-kang yang mempunyai daya isap luar biasa lihainya, tentu saja
Yan-king Taycu lebih-lebih tidak mengerti mengapa bocah yang masih hijau itu sekonyong-konyong
menjadi sedemikian saktinya.
Segera ia tarik napas
dalam-dalam, ia kerahkan tenaga sekuatnya dan disalurkan ke tongkatnya, sekali
puntir dan betot, seketika terlepaslah tongkat itu dari tangan Toan Ki.
Hendaklah diketahui bahwa
Lwekang tokoh utama Su-ok itu tinggi sekali, jarang ada bandingannya di zaman
ini. Toan Ki sendiri meski kini terhimpun tenaga murni dari Boh-tam berenam
yang disedotnya itu, namun dia tak tahu cara menggunakannya, sedikit pun ia tak
bisa mengerahkan tenaga, dengan sendirinya ia tergetar lepas dari puntiran
tongkat lawan, segera ia merasa separuh badan kesemutan dan hampir jatuh
pingsan.
Sebaliknya tenaga dalam yang
dikerahkan Yan-king Taycu itu saking besarnya hingga ada juga sebagian yang tak
keburu ditarik kembali lagi, dalam terkejutnya, tanpa sengaja tongkatnya lantas
melambai ke bawah dan mencoret di atas batu.
Cepat Yan-king Taycu sadar dan
juga mengeluh, namun sudah telanjur, tongkatnya sudah mencoret setengah
lingkaran di atas peta catur, cuma bukan tempat yang ditujunya semula, tapi
jatuh di sisinya, sehingga gagal bikin buntu jalan lawan. Seketika wajah
Yan-king Taycu berubah.
Sebagai seorang tokoh yang
menjaga gengsi, meski tahu salah langkah dan itu berarti kekalahan total
baginya, namun Yan-king Taycu tidak mau ribut dengan Ui-bi-ceng, segera ia
berbangkit sebagai tanda menyerah kalah. Tapi kedua tangan masih menahan di
atas papan batu itu sambil memerhatikan papan catur hingga lama sekali.
Sebagian besar di antara
hadirin itu belum pernah kenal siapa tokoh Jing-bau-khek, melihat sikapnya yang
aneh itu, semua orang ikut memerhatikan juga apa yang dilakukannya.
Sampai lama Yan-king Taycu
memandangi papan catur, mendadak ia angkat tongkatnya, tanpa berkata lagi ia
putar tubuh dan melangkah pergi.
Pada saat lain, tiba-tiba
angin meniup, papan batu tadi tampak bergoyang sedikit, sekonyong-konyong batu
besar itu pecah berantakan menjadi belasan potong.
Keruan semua orang ternganga
dan saling pandang dengan kesima, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa Jing-bau-khek
yang tidak mirip manusia dan tidak serupa setan itu, ilmu silatnya ternyata
sudah mencapai taraf yang sukar diukur.
Ui-bi-ceng sendiri meski sudah
menangkan babak percaturan itu, namun dia masih duduk merenung di tempatnya
dengan rasa syukur dan bingung pula. Syukur karena pertandingan yang berbahaya
itu akhirnya dimenangkan olehnya, bingung pula mengapa Yan-king Taycu yang
sudah terang memegang kunci kemenangan itu mendadak bisa menyumbat jalan hidup
sendiri, bukankah itu sengaja mengalah? Tapi dalam keadaan demikian, tidaklah
masuk akal bahwa orang sudi mengalah padanya.
Po-ting-te dan Toan Cing-sun
juga merasa tidak mengerti oleh kejadian itu. Akan tetapi mereka tidak ambil
pusing lebih jauh, yang terang sekarang Toan Ki sudah diselamatkan dan Yan-king
Taycu sudah dikalahkan dan sudah pergi, nama baik keluarga Toan telah
dipertahankan, pertarungan ini boleh dikatakan telah menang total.
Maka segera Toan Cing-sun
berolok-olok lagi dengan tertawa, "Ciong-kokcu, putraku pasti bukan
manusia yang tipis budi, sekali putrimu sudah menjadi selir putraku, dalam
waktu singkat tentu akan kami kirim orang untuk memapaknya dan kami sekeluarga
akan menyambut baik-baik dan sayang padanya seperti anak sendiri, harap engkau
jangan khawatirkan urusan ini.”
Ciong Ban-siu adalah seorang
kasar, jiwanya sempit dan berangasan, karena tak tahan diolok-olok dan disindir
Toan Cing-sun, ia menjadi naik darah lagi, tanpa tanya apakah Ciong Ling
benar-benar telah dinodai Toan Ki atau tidak, terus saja ia cabut golok dari
pinggangnya dan membacok kepala Ciong Ling sambil membentak, "Kau bikin
aku mati gusar saja, biarlah kumampuskan budak hina dina ini lebih dulu!”
Sekonyong-konyong bayangan
orang melayang tiba, dengan cepat luar biasa Ciong Ling telah dirangkul dan
dibawa kabur beberapa tombak jauhnya. "Crat,” golok Ban-siu membacok di
atas tanah dan ketika ditegasi orang yang menyambar Ciong Ling itu kiranya
adalah "Kiong-hiong-kek-ok” In Tiong-ho.
"Kau ... kau mau apa?”
bentak Ban-siu dengan gusar.
"Kau tidak mau pada
putrimu ini, maka hadiahkan saja padaku dan anggap dia sudah mati kau bacok
barusan,” sahut In Tiong-ho dengan cengar-cengir, berbareng itu orangnya lantas
melesat pergi lagi beberapa tombak jauhnya.
Ia tahu bicara tentang ilmu
silat, jangankan dirinya tak mampu menandingi Po-ting-te dan Ui-bi-ceng,
sekalipun Toan Cing-sun atau Ko Sing-thay juga sudah lebih unggul daripadanya.
Karena itu In Tiong-ho ambil keputusan, bila gelagat jelek, segera Ciong Ling
akan digondolnya lari.
Pah Thian-sik yang diseganinya
itu tidak tampak hadir di situ, maka dalam hal Ginkang, terang tiada seorang
pun di antara hadirin itu mampu mengejarnya.
Ciong Ban-siu juga tahu
Ginkang tokoh keempat dari Su-ok itu sangat lihai, untuk mengejar terang tak
mampu, saking gemasnya ia cuma bisa berjingkrak sambil memaki kalang kabut.
Po-ting-te tempo hari sudah
menyaksikan In Tiong-ho itu main udak-udakan dengan Pah Thian-sik, kini melihat
orang menggondol Ciong Ling dan larinya begitu cepat dan enteng, terpaksa ia
pun tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba timbul suatu akal
dalam benak Toan Ki, segera ia berseru, "Gak-losam, sebagai gurumu, aku
memerintahkanmu lekas rebut kembali nona cilik itu?”
Lam-hay-gok-sin tercengang
sekejap, segera ia menjadi gusar dan membentak, "Keparat, apa katamu?”
"Kau telah menyembah aku
sebagai guru, apakah kau berani menyangkal?” sahut Toan Ki. "Memangnya apa
yang sudah kau katakan sendiri itu kau anggap seperti kentut saja?”
Seperti diketahui, biarpun
Lam-hay-gok-sin itu sangat jahat dan buas, tapi ada suatu sifatnya yang
terpuji, yaitu apa yang pernah ia janji atau katakan, tidak pernah ia mungkir
dan pasti akan ditepati.
Ia mengangkat guru pada Toan
Ki, meski hal ini seribu kali hatinya tidak rela, tapi ia juga tidak
menyangkal, maka dengan mendelik gusar ia membentak pula, "Apa yang telah
kukatakan sudah tentu tetap berlaku. Kau adalah guruku, lantas mau apa? Hm,
jika Locu geregetan, guru macammu juga sekalian akan kubunuh.”
"Baiklah jika kau sudah
mengaku,” ujar Toan Ki. "Sekarang nona Ciong itu digondol si jahat keempat
itu, nona itu adalah istriku, jadi dia ibu-gurumu pula, maka lekas kau rebutnya
kembali. Kalau In Tiong-ho menghina nona itu, sama artinya menghina ibu-gurumu,
jika kau tak mampu membelanya, bukankah terlalu pengecut?”
Lam-hay-gok-sin tercengang
sejenak, ia pikir benar juga teguran sang "guru” itu. Tapi lantas teringat
olehnya bahwa Bok Wan-jing juga mengaku sebagai istrinya, kenapa nona cilik she
Ciong ini diaku istrinya pula? Segera ia tanya, "Kenapa begitu banyak
ibu-guruku? Sebenarnya berapa orang istrimu?”
"Tak perlu kau tanya,”
sahut Toan Ki. "Yang penting, lekaslah kau laksanakan perintahku, bila
tidak dapat merebut kembali ibu-gurumu, itu berarti kau tiada muka buat bertemu
lagi dengan kesatria-kesatria di jagat ini,
sekian orang gagah di sini
telah menyaksikan, kalau kau tak mampu menangkan In Tiong-ho yang nomor empat,
ya, biar urutanmu diturunkan menjadi nomor lima saja, bisa jadi nomor enam
malah!”
Mana Lam-hay-gok-sin sudi
terima olok-olok demikian? Suruh dia berada di bawah nama In Tiong-ho, hal ini
baginya lebih celaka daripada mati. Karena itu, ia menggerung keras-keras
sambil berlari mengudak ke arah In Tiong-ho dan membentak, "Lepaskan
ibu-guruku!”
Cepat In Tiong-ho melayang
beberapa tombak pula ke depan sambil berseru, "Gak-losam, sungguh tolol,
ditipu orang masakah tidak tahu!”
Keruan marah Lam-hay-gok-sin
semakin berkobar, biasanya ia paling suka mengaku dirinya paling pintar,
masakan di hadapan orang banyak dicemooh sebagai orang tolol? Segera ia
"tancap gas” lebih kencang untuk mengejar. Maka dengan cepat sekali kedua
orang yang saling uber itu telah melintas beberapa lereng bukit.
Ciong Ban-siu yang kehilangan
anak perempuan itu, meski dalam kalapnya tadi putrinya hendak dibacok mati,
tapi kini demi melihat putrinya digondol lari orang jahat, betapa pun soal
darah daging, apalagi nanti kalau ditanya sang istri, bagaimana dia harus
memberi tanggung jawab? Maka tanpa pikir lagi ia pun ikut mengejar dengan golok
terhunus.
Melihat pelaku utamanya sudah
pergi, segera Po-ting-te memberi hormat kepada para kesatria yang hadir itu,
katanya, "Mumpung hadirin kebetulan berkunjung ke Tayli sini, marilah
silakan mampir ke tempat kami agar aku dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai
tuan rumah.”
Hui-sian dan lain-lain memang
berminat untuk berkenalan dengan Toan Cing-beng, raja Tayli yang terkenal
sebagai "orang utama di dunia selatan”, demi diundang secara ramah, mereka
lantas menerima baik undangan itu dengan tertawa.
Hanya Yap Ji-nio yang berkata
dengan tersenyum, "Nyonyamu ini khawatir akan disembelih kalian untuk
dimakan, maka lebih baik aku angkat langkah seribu saja lebih selamat!”
Habis berkata, tanpa pamit
lagi ia lantas mengeluyur pergi dengan tersenyum.
Po-ting-te pun tidak
merintangi kepergian tokoh kedua Su-ok itu, ia ajak para tamu meninggalkan
Ban-jiat-kok dan pulang ke Tayli.
Boh-tam berenam sudah terlalu
payah dan lemas, untuk berdiri saja tak sanggup, maka Leng Jian-li dan kawan-
kawannya lantas menaikkan
mereka ke atas kuda dan beramai-ramai kembali ke Tin-lam-onghu.
Sementara itu Pah Thian-sik
bertiga sudah menunggu di situ, mereka lantas menyambut keluar bersama seorang
gadis jelita yang berdandan mewah, siapa lagi dia kalau bukan Hiang-yok-jeh Bok
Wan-jing!
Dalam pada itu Toan Ki yang
sejak minum "Im-yang-ho-hap-san”, racun yang masih mengeram dalam tubuh
itu belum lagi lenyap. Kini mendadak melihat Bok Wan-jing, tanpa kuasa lagi ia
pentang kedua tangan terus berlari maju hendak peluk gadis itu. Syukurlah,
betapa khilafnya, dalam benaknya masih timbul setitik pikiran jernih, mendadak
ia sadar perbuatannya yang tidak pantas itu, seketika ia menahan diri dan
berdiri terpaku di tempatnya.
Ternyata Im-yang-ho-hap-san
itu bukan saja sangat lihai karena bekerjanya racun itu sangat awet, tahan
lama, bahkan kedua pihak laki-laki dan perempuan yang minum racun itu akan
timbul daya tarik yang sangat kuat. Mendingan kalau kedua pihak dipisahkan, tapi
bila bertemu kembali, seketika pikiran kedua orang akan kabur dan tenggelam
dalam perasaan yang tidak senonoh hingga sukar mengekang diri.
Melihat sikap kedua muda-mudi
itu agak kurang beres, pipi merah, begitu pula mata mereka seakan-akan berapi,
terang keracunan sangat hebat.
Cepat Po-ting-te bertindak,
"cus-cus” dua kali, ia tutuk dari jauh, seketika Toan Ki dan Wan-jing
tertutuk roboh pingsan. Segera Cu Tan-sin mengangkat Toan Ki dan Si Pek-hong
memondong Wan-jing ke dalam kamar.
Kemudian para tamu disilakan
masuk ke istana dan diadakan perjamuan secara meriah. Karena Siau-lim-si
dipandang sebagai bintang cemerlang dalam dunia persilatan, maka Hui-sian
Hwesio disilakan duduk di tempat tamu utama oleh para kesatria.
Dalam perjamuan itu Hoan Hua
lalu menceritakan hasil karya mereka yang telah menggali lorong di bawah tanah
hingga menembus ke dalam rumah batu tempat Toan Ki dikurung serta menaruh Ciong
Ling yang mereka tawan di dalam rumah itu. Sudah tentu ia tidak menceritakan
tentang Bok Wan-jing yang ditolong keluar sebagai ganti Ciong Ling.
Mendengar itu, para kesatria
baru tahu duduknya perkara serta menertawakan Ciong Ban-siu yang sial itu,
ingin bikin malu orang, siapa duga senjata telah makan tuan malah.
Dan oleh karena putra
kesayangannya masih keracunan, Cing-sun menjadi murung dan coba tanya apakah
sekiranya di antara hadirin itu ada yang bisa menolong. Namun para kesatria
hanya saling pandang dengan bingung tak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat itulah dari luar
masuk seorang pengawal dan menyerahkan sepucuk surat kepada Toan Cing-sun,
katanya yang membawakan surat itu adalah seorang dayang perempuan, di dalam
sampul itu katanya ada pula resep obat untuk menyembuhkan putra pangeran yang
keracunan itu.
Sungguh kejut dan girang
Cing-sun tak terkatakan, cepat ia membuka sampul surat dan melihat di atas
secarik kertas kecil yang putih bersih tertulis enam huruf kecil yang indah,
"Banyak minum susu manusia dan segera sembuh.”
Cing-sun mengenali tulisan itu
adalah buah tangan Ciong-hujin, saking terguncang perasaannya, tanpa merasa
secawan arak di atas meja telah tersampuk tumpah oleh lengan bajunya.
"Sun-te, resep apakah
itu?” tanya Po-ting-te.
Cing-sun tertegun, jawabnya
dengan tergegap, "Apa? O, resep ini bilang banyak minum susu manusia dan Ki-ji
akan segera sembuh.”
Po-ting-te mengangguk,
katanya, "Tiada alangan untuk dicoba. Banyak minum susu manusia sekalipun
tidak manjur juga tidak berbahaya.”
Segera Si Pek-hong berbangkit
dan masuk ke dalam istana untuk memberi perintah pada para "abdi dalam”
agar lekas mencari susu manusia pada para ibu yang meneteki.
Para pesuruh itu memang sangat
cekatan, pula susu manusia juga bukan barang yang susah dicari, maka belum lagi
perjamuan bubar, Toan Ki dan Bok Wan-jing sudah sadar kembali dari keracunan
mereka serta keluar ke ruangan depan untuk menemui para tamu.
Toan Ki mengaturkan terima
kasih kepada Ui-bi-ceng dan Hoa Hek-kin yang telah menyelamatkan jiwanya. Ia
menyatakan penyesalannya pula akan terlukanya Boh-tam berenam.
Tatkala itu keenam murid
Ui-bi-ceng masih sangat payah dan belum dapat bicara, maka bagaimana mereka
menjadi begitu, bukan saja Ui-bi-ceng tidak tahu duduknya perkara, bahkan Toan
Ki juga tidak mengerti bahwa dirinya yang menjadi gara-gara atas malapetaka yang
menimpa murid-murid padri beralis kuning itu.
Kemudian Toan Cing-sun
mengumumkan juga bahwa Bok Wan-jing adalah putri angkatnya. Dalam keadaan
begitu, meski Cin Goan-cun, Hui-sian dan lain-lain saling bermusuhan dengan
gadis wangi itu, kini mereka menjadi tidak enak untuk bikin onar di situ.
Apalagi di hadapan empat tokoh mahasakti seperti Po-ting-te, Uibi-ceng, Toan
Cing-sun dan Ko Sing-thay, betapa pun besar nyali mereka juga tiada seorang pun
berani berkutik.
Jilid 14
Di tengah perjamuan itu,
hadirin ramai mengobrol ke timur dan ke barat, kemudian sama mengaturkan
selamat pula kepada Toan Cing-sun suami-istri dan Ko Sing-thay karena kedua
keluarga itu telah berbesanan. Seketika suasana tambah semarak dan
beramai-ramai sama mengajak angkat cawan.
Bok Wan-jing coba melirik Toan
Ki, ia lihat pemuda itu menunduk dengan lesu, teringat olehnya waktu mereka
berduaan tinggal bersama di dalam rumah batu itu, tanpa terasa ia pun ikut
muram durja. Ia tahu selama hidup ini terang tiada harapan untuk menjadi istri
Toan Ki, tapi demi mendengar pemuda itu sudah melamar putri Ko Sing-thay, tentu
saja ia pun berduka dan hancur perasaannya.
Semakin memandang Ko
Sing-thay, semakin gemas hatinya, sungguh ia ingin sekali panah binasakan orang
itu sebagai hukumannya mengapa melahirkan seorang anak perempuan untuk
diperistri oleh kekasihnya itu? Cuma ia tahu kepandaian Ko Sing-thay terlampau
lihai, untuk memanahnya tidaklah mudah, maka panah yang sudah disiapkan dalam
lengan baju itu tidak lantas dibidikkan.
Ia lihat suasana perjamuan itu
semakin memuncak riang gembira, ia khawatir saking tak tahan dirinya bisa
menangis, hal mana tentu akan ditertawai orang, maka segera ia berbangkit dan
menyatakan kepalanya pusing, ingin kembali ke kamar saja. Habis itu, tanpa
permisi lagi pada Toan Cing-sun dan Po-ting-te, ia terus tinggal masuk ke dalam
dengan cepat.
Dengan tersenyum Cing-sun
minta maaf kepada para tamu atas kelakuan putrinya yang kurang adat itu.
Tiba-tiba datang bergegas
seorang penjaga dan menyampaikan secarik kartu nama kepada Cing-sun serta
melapor, "Ko Gan-ci, Ko-siauya dari Hou-cut-koan mohon bertemu dengan
Ongya.”
Sungguh di luar dugaan Toan
Cing-sun atas kunjungan tamu yang tak diundang ini. Ia tahu Ko Gan-ci itu
adalah murid pertama dari Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, di kalangan Kangouw
cukup harum namanya sebagai pendekar yang budiman, julukannya adalah "Tui-hun-jiu”
atau si Tangan Penguber Nyawa. Konon ilmu silatnya sangat hebat, tapi selamanya
tiada hubungan apa-apa dengan keluarga Toan, lantas untuk keperluan apa
jauh-jauh dia datang kemari?
Walaupun agak sangsi, namun
Cing-sun berbangkit juga dan berkata, "Kiranya Tui-hun-jiu Ko-tayhiap yang
datang, aku harus menyambutnya sendiri.”
Para kesatria yang hadir di
situ juga pernah mendengar namanya Ko Gan-ci, di antaranya Hui-sian dan Kim
Tay-peng malah sudah kenal, maka beramai-ramai mereka lantas ikut menyambut keluar.
Hanya Po-ting-te, Uibi-ceng, Co Cu-bok dan Cin Goan-cun yang tetap duduk di
tempat masing-masing.
Kalau Po-ting-te dan
Ui-bi-ceng tidak keluar menyambut adalah mengingat kedudukan mereka di kalangan
Bulim memang lebih tinggi daripada orang lain, sedang Co Cu-bok dan Cin
Goan-cun berdua sengaja berlaku angkuh, anggap diri sendiri adalah tokoh utama
suatu aliran tersendiri. Ko Gan-ci dipandang mereka lebih rendah setingkat,
betapa pun tenar nama Ko Gan-ci juga masih mempunyai seorang guru, yaitu Kwa Pek-hwe.
Ketika Toan Cing-sun sampai di
luar, ia lihat seorang laki-laki setengah umur yang berperawakan tinggi besar
sambil menuntun seekor kuda putih yang gagah sedang menunggu di depan pintu.
Laki-laki itu memakai baju berkabung, wajah murung, kedua mata merah bendul,
terang orang sedang ditimpa kemalangan kematian sanak keluarga.
Melihat orang, segera Kim
Tay-peng melangkah maju dan menyapa, "Ko-toako, baik-baikkah engkau!”
Kiranya laki-laki berbaju
berkabung inilah Ko Gan-ci. Maka jawabnya, "Kiranya Kim-hiante juga berada
di sini.”
"Atas kunjungan
Ko-tayhiap, maafkan Siaute tidak menyambut lebih dulu,” demikian Cing-sun
memberi hormat.
Cepat Ko Gan-ci membalas
hormat sambil merendah diri, diam-diam ia mengagumi keluarga Toan di Tayli yang
tersohor bijaksana nyatanya memang tidak omong kosong.
Sesudah saling kagum, lalu
Cing-sun membawa tamunya ke dalam serta diperkenalkan kepada Po-ting-te dan
lain-lain. Segera Cing-sun memerintahkan pelayan menyediakan pula satu meja
untuk menjamu Ko Gan-ci.
Namun Ko Gan-ci menolak,
katanya, "Cayhe masih berkabung, pula ada urusan penting lain, cukup
menerima suguhan secangkir teh saja!”
Habis itu, ia terus minum
habis secangkir teh yang disediakan, lalu katanya pula, "Ongya, sudah lama
Susiokku memondok di dalam istana sini, untuk mana Cayhe sangat berterima
kasih. Kini Cayhe ada suatu urusan hendak bicara dengan beliau, sudilah Ongya
mengundangnya keluar.”
"Susiok Ko-heng?”
Cing-sun menegas dengan heran. Dalam hati ia tidak habis mengerti masakah di
dalam istananya ada seorang tokoh Ko-san-pay segala?
Namun Ko Gan-ci berkata pula,
"Susiokku suka ganti nama dan memondok di sini sekadar menghindari bahaya,
hal mana mungkin tak berani dikatakan terus terang kepada Ongya, sungguh
perbuatan yang tidak pantas, maka harap Ongya yang bijaksana sukalah memberi
maaf.”
Berbareng ia memberi hormat
lagi.
Sambil membalas hormat orang,
diam-diam Cing-sun berpikir dan tetap tidak ingat siapakah gerangan Susiok
orang yang dimaksud itu?
Tiba-tiba Ko Sing-thay berkata
kepada seorang pesuruh di sampingnya, "Coba pergi ke kamar tulis,
undanglah Ho-siansing kemari, katakan bahwa Tui-hun-jiu Ko-tayhiap sedang
menunggu, ada urusan penting yang perlu dibicarakan dengan ‘Kim-sui-poa’ Cui-locianpwe!”
Pesuruh itu mengiakan dan
selagi hendak bertindak masuk, tiba-tiba terdengar dari ruangan belakang sana
ada suara tindakan orang yang berkeletakan, dengan langkah setengah diseret,
orang itu berkata, "Sekali ini kau benar-benar hancurkan periuk nasiku
ini.”
Ketika para kesatria mendengar
nama "Kim-sui-poa” Cui-locianpwe atau si Swipoa Emas disebut, ada yang
merasa bingung tidak paham apa yang dimaksudkan, tetapi ada pula yang
terkesiap, mereka ragu apakah benar iblis kawakan Swipoa emas itu bercokol di
negeri Tayli?
Tengah mereka heran,
tertampaklah seorang kakek berwajah jelek dan berkumis tikus sedang keluar dari
belakang dengan tertawa. Setiap orang dalam istana kenal Ho-siansing ini adalah
juru tulis rendahan merangkap pekerjaan serabutan, yaitu juru tulis yang tempo
hari diseret keluar oleh Toan Ki dan diaku sebagai gurunya untuk menggoda
Lam-hay-gok-sin itu.
Keruan Toan Cing-sun terkejut,
pikirnya, "Apakah benar Ho-siansing inilah Cui Pek-khe yang dimaksudkan?
Ke manakah mukaku ini harus ditaruh bahwa seorang tokoh terkenal setiap hari
berada di hadapanku, tapi aku tidak tahu sama sekali.”
Syukurlah dengan segera Ko
Sing-thay dapat membuka rahasia itu hingga para hadirin mengira Tin-lam-onghu
sudah lama mengetahui beradanya tokoh Ko-san-pay ini, maka Toan Cing-sun tidak
sampai kehilangan muka.
Ho-siansing itu tetap lucu
tampaknya, setengah mabuk setengah sadar dengan matanya yang keriyep-keriyep.
Tapi demi tampak pakaian berkabung Ko Gan-ci, ia menjadi kaget dan bertanya,
"He, ken ... kenapakah kau?”
Cepat Ko Gan-ci melangkah maju
dan menjura ke hadapan sang Susiok sambil menangis, katanya, "Cuisusiok,
Su ... Suhuku dibin ... dibinasakan orang.”
Seketika air muka Ho-siansing
itu berubah hebat, muka yang tertawa tadi kontan berubah muram dan waswas.
Tanyanya kemudian dengan perlahan, "Siapakah pembunuhnya?”
"Titji (keponakan) tak
becus, sampai sekarang belum tahu dengan pasti siapa pembunuh Suhu itu,”
demikian tutur Gan-ci dengan menangis. "Tapi menurut taksiran, besar
kemungkinan adalah orang keluarga Buyung.”
Sekilas wajah Ho-siansing
mengunjuk rasa jeri demi mendengar nama itu, namun cepat ia bisa tenangkan diri
dan berkata dengan suara berat, "Urusan ini harus kita bicarakan secara
mendalam.”
Semua orang merasa heran
melihat sikap Cui Pek-khe itu. Mereka cukup kenal nama-nama Cui Pek-khe dan Ko
Gan-ci, namun paling akhir ini Gan-ci jauh lebih tenar daripada nama sang
Susiok. Dan tentang kelihaian keluarga Buyung yang disebut-sebut itu, mereka
sama sekali tidak tahu. Hanya Po-ting-te dan Ui-bi-ceng saling pandang sekejap,
bahkan perlahan Ui-bi-ceng menghela napas.
Betapa telitinya Cui Pek-khe,
ternyata sedikit menghela napas Ui-bi-ceng lantas diketahui olehnya. Tiba-tiba
ia memberi hormat kepada padri itu dan berkata, "Dunia Kangouw bakal terancam
malapetaka, Taysu mahawelas-asih, sudilah memberi petunjuk jalan yang
sempurna.”
Cepat Ui-bi-ceng membalas
hormat orang, sahutnya, "Siancay, sudah lama kuasingkan diri dan tidak
pernah ikut campur urusan Bu-lim di Tionggoan. Padahal tokoh sakti seperti
Cui-sicu ternyata sudah sekian tahun tinggal di Tin-lam-ong, dan sama sekali tidak
kuketahui, mana aku berani bicara tentang urusan Kangouw lagi?”
Cui Pek-khe tampak lemas dan
sedih oleh jawaban itu, katanya kepada Gan-ci, "Ko-hiantit, cara bagaimana
tewasnya Suheng, coba uraikan dengan jelas dari awal sampai akhir.”
"Sakit hati terbunuhnya
guru senantiasa mengganggu pikiran Siautit, satu hari sakit hati itu tak
terbalas, satu hari pula Siautit akan merasa tidak enak makan dan tidur. Maka
mohon Susiok sekarang juga suka berangkat, biarlah di tengah jalan nanti
Siautit akan menuturkan secara jelas demi menghemat waktu,” demikian sahut Ko
Gan-ci.
Melihat sikap sang Sutit yang
ragu-ragu itu, Cui Pek-khe tahu pasti Gan-ci merasa tidak leluasa untuk bicara
terus terang karena di depan orang banyak. Namun dalam hati ia sudah ambil
keputusan, "Telah sekian lama aku memondok di istana pangeran ini tanpa
ketahuan jejakku, siapa duga Ko-houya ini sebenarnya sudah lama mengetahui
samaranku. Jika aku tidak minta maaf pada Toan-ongya, itu berarti aku berbuat
kurang ajar pada keluarga Toan. Apalagi aku masih perlu membalas sakit hati
Suheng terhadap keluarga Buyung, untuk mana melulu tenagaku seorang terang
takkan berhasil, kalau bisa mendapat bantuan keluarga Toan ini, pasti kekuatan
pihakku akan berbeda, untuk inilah aku tidak boleh berlaku sembrono.”
Karena pikiran itu, mendadak
ia menjura ke hadapan Toan Cing-sun sambil menangis.
Hal ini tentu saja di luar
dugaan semua orang. Cepat Cing-sun hendak membangunkan orang. Tak terduga tubuh
Cui Pek-khe ternyata tak dapat ditarik, sebaliknya seperti terpaku di lantai,
sedikit pun tidak bergerak.
Diam-diam Cing-sun membatin,
"Bagus kau setan arak ini, begini lihai kepandaianmu, tapi selama ini aku
telah kau tipu.”
Segera ia kerahkan tenaga pada
kedua tangannya dan diangkat ke atas.
Pek-khe tidak bertahan lagi
dengan Lwekangnya, tapi lantas berdiri mengikuti daya tarikan orang. Namun baru
saja berdiri tegak, terasalah tulang seluruh tubuhnya seakan-akan retak,
sakitnya tak terkatakan.
Ia tahu Toan Cing-sun sengaja
hendak menghajarnya sebagai ganjaran perbuatannya itu. Dasar namanya adalah
"Pek-khe” atau beratus akal, otaknya memang benar-benar cerdas. Ia pikir
bila mengerahkan tenaga untuk melawan, tentu rasa dongkol Tin-lam-ong takkan
hilang, boleh jadi malah akan mencurigai dirinya sengaja menyelundup ke dalam
istana pangeran dengan muslihat tertentu.
Sebab itulah, ia biarkan
dirinya digencet oleh tenaga dalam orang terus menjatuhkan diri duduk di lantai
sambil berseru, "Aduh!”
Cing-sun tersenyum puas dan
menarik bangun orang, ketika tangan menempel tubuh Cui Pek-khe, sekalian ia
hapuskan rasa sesak dada orang dengan Lwekangnya.
"Tin-lam-ong,” kata
Pek-khe kemudian, "karena terdesak musuh, tiada jalan lain terpaksa
Pek-khe dengan tidak malu-malu berlindung di bawah pengaruh Ongya dan beruntung
dapat hidup sampai hari ini. Untuk itu Pek-khe tidak pernah mengaku terus
terang pada Ongya, maka sangat mengharapkan kemurahan hati Ongya
untuk memaafkan perbuatanku
yang lancang ini.”
"Ah, Cui-heng suka
merendah diri saja,” tiba-tiba Ko Sing-thay menyela sebelum Toan Cing-sun
menjawab. "Sudah lama Ongya mengetahui asal usulmu, cuma Ongya sengaja
tidak mau bikin malu Cui-heng. Jangankan Ongya sudah tahu, orang-orang yang
lain juga banyak yang tahu. Misalnya tempo hari waktu Toan-kongcu menerima
tantangan Lam-hay-gok-sin, bukankah Cui-heng yang diseretnya keluar untuk diaku
sebagai gurunya? Sebab Toan-kongcu juga tahu, hanya Cui-heng saja yang mampu
menandingi iblis itu.”
Padahal tempo hari hanya
secara kebetulan saja Toan Ki telah menyeret keluar Cui Pek-khe untuk diaku
sebagai gurunya, sebab di antara penghuni istana itu, hanya wajah Cui Pek-khe
yang paling jelek dan lucu, makanya diseret keluar untuk menggoda
Lam-hay-gok-sin. Namun kini bagi pendengaran Cui Pek-khe, ia percaya penuh
kejadian mana seperti apa yang dikatakan Ko Sing-thay.
Lalu Sing-thay melanjutkan
lagi, "Dasar Ongya memang suka bergurau, jangankan Cui-heng memang tiada
bermaksud jahat terhadap negeri Tayli kami, sekalipun ada, tentu juga Ongya
yang bijaksana akan melayanimu dengan segala kebesaran jiwanya. Maka tidak
perlu Cui-heng banyak adat lagi.”
Di balik kata-katanya ini
seakan-akan hendak menyatakan bahwa syukurlah selama ini kelakuanmu tidak
mengunjuk sesuatu tanda mencurigakan, kalau ada, tentu sudah lama kau
dibereskan.
"Namun demikian, apa
maksud Pek-khe berlindung di dalam Onghu, pada sebelum mohon diri, adalah
pantas kujelaskan dulu, kalau tidak, rasanya terlalu tidak jujur,” demikian
kata Cui Pek-khe. "Cuma urusan ini banyak pula menyangkut nama orang lain,
maka terpaksa harus kubicara secara terus terang.”
"Ah, rasanya Cui-heng
tidak perlu tergesa-gesa, soal sakit hati adalah sangat penting, biarlah
dirundingkan nanti setelah selesai perjamuan ini,” ujar Cing-sun.
Mendengar percakapan itu, para
hadirin adalah kesatria Kangouw yang kenal adat, maka cepat mereka selesaikan
makan-minum itu, lalu sama mohon diri.
Terhadap kawan Kangouw,
biasanya Cing-sun sangat terbuka, maka begitu para tamu hendak mohon diri,
segera ada pelayan menyediakan hadiah dan Cing-sun sendiri yang menyampaikan
kepada masing-masing tetamu itu. Terhadap tamu dari jauh seperti Kim Tay-peng,
Su An dan lain-lain malah diberi bekal sangu pula.
Dengan tanpa rikuh para
kesatria itu menerima juga pemberian itu serta mengaturkan terima kasih pada
tuan rumah.
Tengah bicara, tiba-tiba di
luar pintu terdengar suara sabda Buddha yang nyaring, "Omitohud!”
Suara itu tidak keras, tapi
terdengar sangat jelas seperti diucapkan berhadapan. Keruan semua orang
terkejut.
Harus diketahui bahwa istana
pangeran itu sangat luas, dari pintu gerbang sampai ruangan pendopo itu
jaraknya ada berpuluh tombak jauhnya, di tengah banyak teraling oleh dinding
dan pintu lain. Maka dapat diduga bahwa ilmu "Jian-li-thoan-im” atau
mengirim gelombang suara dari jarak ribuan li yang dimiliki orang di luar itu
sesungguhnya sudah mencapai tingkatan sangat tinggi.
Cing-sun dapat mendengar bahwa
ilmu mengirim suara dari jauh itu adalah dari aliran Siau-lim-pay, maka ia
lantas menegur, "Padri sakti Siau-lim manakah yang sudi berkunjung kemari,
maafkan kalau Toan Cing-sun tidak menyambut sebelumnya!”
Sembari berkata, segera ia
bertindak keluar untuk menyambut.
Sampai di luar, tertampaklah
seorang Hwesio kurus kering, berusia antara 50-an, sedang berdiri di situ.
Melihat Cing-sun, padri itu lantas merangkap tangan memberi salam dan berkata,
"Hui-cin dari Siau-lim-si memberi hormat pada Toan-ongya.”
Tengah Cing-sun membalas
hormat orang, dari belakang muncul Hui-sian dan segera menegur dengan heran,
"He, Suheng, engkau juga datang ke Tayli sini?”
Melihat sang Sute, tiba-tiba
mata Hui-cin lantas merah basah, sahutnya dengan pedih, "Sute, Suhu sudah
wafat!”
Meski sudah menjadi murid
Buddha, namun sifat Hui-sian masih mudah terguncang, demi mendengar berita
buruk itu, terus ia berlari maju dan memegang tangan sang Suheng sambil menegas
dengan suara gemetar, "Bet ... betulkah katamu?”
Belum lagi Hui-cin menjawab,
air matanya sudah lantas bercucuran.
"Tidak beruntung kami
dirundung malang, maka kami telah berlaku kurang adat di hadapan Ongya,
hendaklah Ongya jangan marah,” demikian pinta Hui-cin.
"Ah, kenapa Taysu berlaku
sungkan,” cepat Cing-sun menjawab. Diam-diam ia pun membatin, "Guru
Hui-sian dan Hui-cin ini adalah Hian-pi Taysu yang kabarnya amat hebat ilmu
silatnya, jika demikian, jago Siau-lim-pay yang terkemuka kini telah hilang
satu lagi.”
Lalu terdengar Hui-sian tanya
pula dengan suara parau, "Sakit apakah Suhu hingga beliau wafat? Bukankah
selama ini kesehatan beliau sangat baik?”
Melihat di depan ramai orang
berlalu-lalang, banyak kesatria Bu-lim yang pergi-datang, maka Hui-cin berkata
pula, "Ongya, atas perintah Ciangbun Supek hendak menyampaikan surat
kepada Ongya sendiri serta Hongya (baginda raja).”
Ia lantas mengeluarkan satu
buntelan kertas minyak, ia buka berlapis-lapis kertas itu, akhirnya
tertampaklah sepucuk surat dengan sampul warna kuning dan diserahkan kepada
Toan Cing-sun.
"Kebetulan Hong-heng
berada di sini, marilah kuperkenalkan Taysu kepadanya,” kata Cing-sun. Segera
ia membawa Hui-cin dan Hui-sian ke dalam.
Tatkala itu Po-ting-te sudah
undurkan diri dan sedang istirahat di ruangan dalam sambil minum dan mengobrol
dengan Ui-bi-ceng. Melihat datangnya Hui-cin, segera mereka berbangkit untuk
menyambut.
Setelah Cing-sun menyerahkan
sampul surat yang diterimanya tadi, Po-ting-te membuka dan membacanya. Ia lihat
awal surat itu penuh tertulis kalimat yang menyatakan kekaguman dan pujian atas
nama keluarga Toan mereka, kemudian ketika sampai pada soal pokok, surat
menyatakan bahwa dunia persilatan bakal tertimpa malapetaka maka diharapkan
campur tangan kedua saudara Toan itu demi menyelamatkan dunia persilatan
umumnya, tentang hal-hal yang lebih jelas supaya tanya kepada Hui-cin yang
membawa surat ini. Penanda tangan surat adalah Ciangbun Hongtiang dari
Siau-lim-si, Hian-cu.
Po-ting-te membaca habis surat
itu sambil berdiri sebagai tanda hormat kepada Siau-lim-si. Sedang Hui-cin dan
Hui-sian juga ikut berdiri di samping dengan sikap sangat hormat.
Kemudian Po-ting-te berkata,
"Silakan kedua Taysu duduk. Jika Siau-lim Hongtiang ada panggilan, sebagai
sesama orang Bu-lim, asal dapat, tentu aku akan menurut dan berusaha sekuat
tenaga.”
Tiba-tiba Hui-cin berlutut ke
hadapan Po-ting-te dan menjura sambil menangis sedih sekali. Melihat kelakuan
sang Suheng itu, meski
bingung, mau tak mau Hui-sian ikut berlutut juga.
Melihat padri Siau-lim-si itu
menjalankan penghormatan sebesar itu padanya, diam-diam Po-ting-te merasa
urusan agak ganjil, pikirnya, "Jago Siau-lim-si jumlahnya sukar dihitung,
urusan besar apakah yang tak dapat diselesaikan mereka hingga perlu minta bantuanku
secara sungguh-sungguh begini?”
Segera ia membangunkan Hui-cin
berdua dan berkata pula, "Sesama kaum Bu-lim, aku tidak berani menerima
penghormatan setinggi ini.”
"Suhuku tewas di tangan
orang she Buyung dari Koh-soh, melulu tenaga Siau-lim-pay kami rasanya susah
membalas sakit hati itu, maka Hongya dimohon sudi tampil untuk mengamankan
situasi gawat dalam Bu-lim ini,” demikian pinta Hui-cin dengan menangis.
Kembali nama "Buyung”
disebut, air mula Po-ting-te rada berubah. Sebaliknya, Hui-sian lantas
berteriak sambil menangis, "Jadi Suhu telah dibinasakan musuh itu? Suheng,
marilah kita adu jiwa dengan mereka!”
"Sute,” sahut Hui-cin
dengan menarik muka, "di hadapan Hongya, hendaklah berlaku tenang.”
Perawatan Hui-cin kurus kecil,
sebaliknya Hui-sian tinggi kekar, namun takut juga dia terhadap sang Suheng,
karena omelan itu, ia tidak berani buka suara lagi, tapi tetap terguguk
menangis perlahan.
"Silakan kalian duduk
dulu untuk bicara lebih lanjut,” kata Po-ting-te kemudian. "Lebih 20 tahun
yang lalu pernah kudengar bahwa di Koh-soh ada seorang tokoh she Buyung,
lengkapnya bernama Buyung Bok. Dia pernah mengacau ke Siau-lim-si, apakah
sekarang juga orang itu yang berbuat?”
Dengan mengertak gigi saking
gemasnya, Hui-cin menjawab, "Siauceng cuma tahu musuh memang she Buyung,
namanya apa, itulah kurang jelas.”
"Siau-lim-pay adalah
suatu aliran terkemuka di kalangan Bu-lim, di jagat ini siapa yang tidak tunduk
pada nama kebesarannya, gurumu Hian-pi Taysu juga sudah mencapai puncaknya
melatih Lwekang dan Gwakang, sebagai seorang Cut-keh-lang (penganut agama),
biasanya ia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, mengapa kini bisa dibunuh
orang lain?”
Maka bertuturlah Hui-cin
dengan air mata berlinang, "Suatu hari, selagi Siauceng duduk semadi di
kamar sendiri, tiba-tiba Siauceng dipanggil Hongtiang Supek, ketika sampai di
sana, jenazah Suhu sudah tampak tertaruh di situ. Kata Supek jenazah Suhu
diketemukan orang kampung di kaki gunung, karena dikenal sebagai
padri Siau-lim-si, segera ada
yang mengirim kabar ke kuil, sebab itulah, cara bagaimana Suhu ditewaskan musuh
dan siapa nama pembunuhnya, sampai sekarang belum jelas diselidiki.”
Sejak tadi Ui-bi-ceng hanya
mendengarkan saja, kini tiba-tiba menyela, "Bukankah tewasnya Hian-pi
Taysu disebabkan dadanya terkena serangan ‘Kim-kong-co’?”
Hui-cin terkejut, tanyanya,
"Dugaan Taysu memang tepat, entah dari ... dari mana Taysu mengetahuinya?”
"Sudah lama kudengar ilmu
Kim-kong-co Hian-pi Taysu terhitung salah satu ilmu silat khas yang tiada
tandingannya di Bu-lim, siapa yang terkena serangannya, semua tulang iganya
akan patah. Ilmu silat demikian memang lihai sekali, namun sesungguhnya agak
terlalu ganas, tidaklah sesuai untuk dipelajari oleh murid Buddha kita.”
"Ya, benar, kepandaian
begitu sesungguhnya terlalu ganas,” tiba-tiba Toan Ki ikut menimbrung.
Mendengar guru mereka dikritik
Ui-bi-ceng, Hui-cin dan Hui-sian menjadi kurang senang, tapi betapa pun juga
orang terhitung padri saleh angkatan tua, mereka cuma kurang senang karena Toan
Ki ikut mengoceh, tanpa terasa mereka sama melototi pemuda itu. Namun Toan Ki
anggap tidak lihat dan tak gubris.
"Dari mana Suheng
mengetahui Hian-pi Taysu ditewaskan oleh ‘Kim-kong-co’?” tiba-tiba Cing-sun
ikut bertanya.
Ui-bi-ceng menghela napas,
sahutnya, "Ketua Siau-lim-si, Hian-cu Taysu, begitu melihat jenazah
Sutenya lantas menduga pasti pembunuhnya adalah keluarga Buyung dari Koh-soh.
Toan-jite, orang-orang she Buyung itu terkenal suka menggunakan istilah ‘dengan
kepandaiannya, digunakan di atas dirinya’. Pernah kau dengar tidak ungkapan
itu?”
Cing-sun menggeleng kepala
tanda tidak tahu.
Ui-bi-ceng mengulangi lagi
ungkapan kata-kata tersohor dari keluarga Buyung itu, mendadak terkilas rasa
jeri pada wajahnya.
Po-ting-te dan Toan Cing-sun
sudah kenal padri itu selama berpuluh tahun lamanya, tapi selama ini tidak
pernah melihat dia mengunjuk rasa jeri seperti sekarang. Seperti waktu padri
itu melawan Yan-king Taycu secara mati-matian, meski hampir keok, namun dalam
keadaan terdesak sedikit pun ia tidak khawatir, bahkan
tetap bersikap tenang
sewajarnya. Tapi kini belum lihat musuhnya sudah mengunjuk rasa jeri, maka
dapat dibayangkan pihak lawan pasti bukan orang sembarangan.
Untuk sejenak keadaan ruangan
menjadi hening lelap. Selang sebentar, perlahan Ui-bi-ceng berkata lagi,
"Kudengar di dunia ini memang ada seorang tokoh kelas satu bernama Buyung
Bok. Ia sengaja memakai nama ‘Bok’ (luas), dengan sendirinya ilmu silatnya
pasti sangat luas peyakinannya. Agaknya tidak peduli Kungfu khas lihai dari
aliran dan golongan Bu-lim mana pun pasti dipelajarinya dengan baik, bahkan
jauh lebih mahir daripada pemiliknya sendiri. Dan yang paling aneh, setiap kali
ia hendak membinasakan lawannya, tentu ia gunakan ilmu silat andalan sang
korban itu untuk membunuhnya.”
"Ini sungguh sukar
dimengerti,” Toan Ki ikut berkata. "Padahal di dunia ini ada sekian banyak
ilmu silat yang berbeda, masakah dia dapat mempelajarinya dengan lengkap?”
"Apa yang dikatakan
Toan-kongcu ada benarnya juga,” sahut Ui-bi-ceng. "Ilmu adalah sesuatu
yang tiada batasnya, cara bagaimana orang bisa lengkap mempelajarinya? Akan
tetapi musuh Buyung Bok memang sangat banyak dan untuk membalas dendam, sebelum
dia mahir mempelajarinya, dia tidak mau sembarangan turun tangan.”
"Ya, aku pun pernah
mendengar ada seorang tokoh aneh seperti itu di Tionggoan,” kata Po-ting-te.
"Lok-sisam-hiong (tiga jago she Lok) dari Hopak mahir menggunakan Hui-cui
(gurdi terbang), tapi akhirnya mereka bertiga tewas terkena Hui-cui yang mereka
andalkan itu. Ciang-hi Tojin dari Soatang bila membunuh orang suka memotong
dulu anggota badan musuh agar merintih-rintih setengah harian baru dibinasakan
olehnya. Tapi Ciang-hi Tojin sendiri akhirnya juga mengalami nasib kesukaannya
itu. Sebabnya Buyung Bok dikenal suka menggunakan ungkapan memakai
kepandaiannya dan digunakan atas dirinya justru tersohor dari mulut Ciang-hi
Tojin itu.”
Ia merandek sejenak, lalu
menyambung pula, "Waktu itu, di tengah pasar Celam, entah betapa banyak
orang merubung Ciang-hi Tojin yang menggeletak di tanah sambil berteriak
merintih kesakitan.”
Bicara sampai di sini,
lamat-lamat terbayang olehnya keadaan waktu ajal Ciang-hi Tojin yang mengerikan
itu, maka wajahnya menampilkan rasa kurang senang pada orang yang membunuh
secara kejam begitu.
Tiba-tiba Cing-sun ingat
sesuatu, katanya, "Jika begitu, guru Ko-tayhiap, Kwa Pek-hwe, kabarnya
mahir menggunakan cambuk. Pada waktu membunuh musuh ia sering menggunakan
cambuknya untuk melilit leher lawan hingga sesat napasnya dan akhirnya mati.
Jangan-jangan dia ... dia ....” tiba-tiba ia berhenti, ia memanggil seorang
pelayan dan memberi perintah, "Pergilah ke belakang dan panggil
Cui-siansing dan Kotayhiap ke sini, katakan aku ingin berunding dengan mereka.”
Pelayan itu mengiakan, tapi
tampak ragu dan tidak lantas bertindak pergi. Maka dengan tertawa Toan Ki
berkata, "Cui-siansing
itu sama dengan Ho-siansing, si juru tulis kantor itu.”
Mendengar penjelasan itu, si
pelayan mengiakan dan segera bertindak ke belakang. Maka tidak lama Cui Pekkhe
dan Ko Gan-ci sudah diundang keluar.
"Ko-tayhiap,” segera
Cing-sun bicara, "ada sesuatu pertanyaanku, lebih dulu harap dimaafkan.”
"Ongya tidak perlu
sungkan-sungkan, katakanlah,” sahut Gan-ci.
"Tolong tanya, bagaimana
gurumu Kwa-locianpwe itu ditewaskan orang? Apakah karena terluka oleh senjata
atau terkena pukulan dan tendangan?” tanya Cing-sun.
Mendadak wajah Ko Gan-ci
berubah merah jengah, setelah ragu sejenak, akhirnya ia menjawab, "Guruku
justru tewas ... tewas di bawah serangan cambuk dengan tipu
‘Leng-coa-sian-keng’ (ular gesit melilit leher).”
Mendengar keterangan itu,
tanpa terasa Po-ting-te, Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan lain-lain saling
pandang dengan terkesiap.
Tiba,-tiba Hui-cin melangkah
maju ke depan Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, ia memberi hormat dengan merangkap
tangan, lalu berkata, "Ternyata Siauceng berdua mempunyai musuh yang sama
dengan kalian berdua, bila musuh she Buyung dari Koh-soh itu tak dihancurkan
....” berkata sampai di sini ia menjadi raguragu apakah yakin pasti dapat
membasmi musuh yang lihai itu, namun akhirnya ia kertak gigi dengan penuh
dendam, lalu melanjutkan, "Ya, pendek kata Siauceng sudah bertekad mengadu
jiwa dengan dia.”
"Jadi ... jadi
Siau-lim-pay juga mengikat permusuhan dengan orang she Buyung dari Koh-soh
itu?” tanya Ko Gan-ci dengan mengembeng air mata.
Hui-ciri mengangguk, lalu ia
pun menceritakan dengan ringkas cara bagaimana gurunya tewas di bawah tangan
orang she Buyung itu.
Melihat Ko Gan-ci penuh rasa
dendam dari berduka, sebaliknya sikap Cui Pek-khe tampak lesu, kepala menunduk
dan bungkam seakan-akan sakit hati sang Suheng yang terbunuh itu sama sekali
tak terpikir olehnya, diam-diam Po-ting-te merasa heran perbedaan sikap kedua
tokoh Ko-san-pay itu.
Watak Hui-sian keras dan
jujur, melihat sikap Cui Pek-khe yang acuh tak acuh itu, ia tak tahan lagi, ia
lantas menegur, "Cui-siansing, kenapa engkau diam saja? Apakah engkau
takut pada manusia she Buyung itu?”
"Sute, jangan kurang
sopan?” cepat Hui-cin membentak.
Harus diketahui bahwa sesudah
Kwa Pek-hwe meninggal, dengan sendirinya Cui Pek-khe akan menjadi ketua
Ko-san-pay yang sekarang. Sedangkan Ko-san-pay adalah tetangga Siau-lim-si.
Sebabnya dahulu cikal bakal Ko-san-pay dapat tancap kaki dan mendirikan perguruan
di samping Siau-lim-pay, sudah tentu orangnya mempunyai ilmu kepandaian
tersendiri yang lain daripada yang lain. Apalagi nama Kwa Pek-hwe dan Ko Ganci
paling akhir ini sangat menonjol di kalangan Bu-lim, dengan sendirinya derajat
Cui Pek-khe dalam dunia persilatan juga tidak boleh dipandang rendah.
Tak tersangka, meski ditegur
dengan ucapan yang agak menghina, namun Cui Pek-khe malah celingukan ke sana
dan ke sini seperti maling kesiangan, seakan-akan ada yang sedang mengubernya,
sikapnya itu penuh mengunjuk rasa ketakutan.
Tiba-tiba Ui-bi-ceng berdehem
perlahan, lalu berkata, "Apakah orang itu ....”
Baru tercetus kata-kata
"orang itu” dari mulut padri itu, sekonyong-konyong Cui Pek-khe bergemetar
dan melompat ke belakang hingga sebuah meja teh di sampingnya tersampuk dan
terjungkir balik, mangkuk dan cangkir pun pecah berantakan.
Setelah tenangkan diri dan
melihat sorot mata semua orang dipusatkan ke arahnya, wajah Cui Pek-khe menjadi
merah jengah, cepat katanya dengan gugup, "O, ma ... maaf, maafkan!”
Mau tak mau Ko Gan-ci berkerut
kening melihat kelakuan sang Susiok yang tak dapat dipuji itu, segera ia
membantu membersihkan pecahan mangkuk dan cangkir itu.
Diam-diam Toan Cing-sun
bersungut juga, sungguh tak tersangka olehnya bahwa Cui Pek-khe itu ternyata
seorang penakut. Segera ia berkata pada Ui-bi-ceng, "Suheng, apa yang
hendak kau katakan?”
"Orang itu ...”
Ui-bi-ceng menghirup seceguk teh dulu, lalu menyambung dengan kalem,
"maksudku Buyung Bok itu, apakah orang itu pernah dilihat oleh Cui-sicu?”
Mendengar nama "Buyung
Bok”, mendadak Cui Pek-khe menjerit kaget sambil memegangi meja, sahutnya
dengan suara gemetar, "O, ti ... tidak ... tidak pernah kulihatnya.”
Melihat sikap orang yang
pengecut itu, segera Hui-sian ikut berteriak, "Sebenarnya Cui-siansing
pernah melihat Buyung Bok atau tidak?”
Cui Pek-khe termangu-mangu
memandang jauh ke depan seperti orang linglung. Sampai agak lama baru ia jawab
dengan suara gelagapan, "Ti ... tidak ... eh ... seperti ti ... tidak
pernah melihatnya.”
Cing-sun dan lain-lain
menggeleng kepala melihat kelakuan tokoh Ko-san-pay itu. Diam-diam Ko Gan-ci
juga merasa malu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Susiok yang biasanya
sangat dihormati itu ternyata membikin malu saja di depan orang banyak.
"Loceng sendiri pernah
juga mengalami suatu kejadian, biarlah kuceritakan agar bisa dibuat bahan
pertimbangkan hadirin,” demikian tutur Ui-bi-ceng. "Peristiwa ini terjadi
pada 43 tahun yang lalu. Tatkala itu usiaku masih muda, tenaga kuat, belum lama
berkelana di Kangouw, namun sedikit-sedikit sudah terkenal. Sungguh waktu itu
aku seperti anak banteng yang tidak kenal harimau, belum kenal apa artinya
takut. Aku merasa di dunia ini kecuali guruku tiada orang lain lagi yang
berkepandaian lebih tinggi daripadaku.
"Tahun itu aku mengawal
seorang pembesar yang pensiun pulang ke kampung halamannya bersama keluarganya.
Di tengah jalan aku dicegat oleh empat begal besar. Tujuan begal-begal itu
ternyata bukan harta, tapi begitu maju lantas hendak menggondol putri kesayangan
pembesar itu. Sebagai pemuda yang berdarah muda, sudah tentu aku tidak bisa
mengampuni perbuatan mereka, sekali menyerang kugunakan tipu ganas, dengan
Kim-kong-ci telah kubinasakan keempat begal itu, setiap orang kututuk ulu
hatinya, tanpa bersuara sedikit pun mereka sama menggeletak binasa.
"Dan saat itulah kudengar
suara derap kuda berdetak-detak, ada dua penunggang keledai tampak lewat di
sampingku. Dasar watak orang muda, waktu itu aku sedang membual di hadapan
pembesar yang kukawal itu tentang betapa lihainya Kungfu Kim-kong-ci yang
menjadi andalanku itu, kataku biar musuh datang lagi sepuluh atau dua puluh
orang juga akan kubinasakan satu per satu dengan Kim-kong-ci.
"Tiba-tiba kudengar salah
seorang penunggang keledai itu mendengus sekali, suaranya seperti kaum wanita,
tapi nada dengusan itu penuh mengunjuk rasa hina dan memandang rendah. Waktu
atau menoleh, kiranya penunggang keledai itu memang benar orang perempuan, yang
seorang muda cantik, usianya sekitar 32 atau 33 tahun, seorang lagi adalah anak
kecil berumur 12-13 tahun yang bermuka putih bersih menyenangkan. Kedua orang
itu sama-sama berpakaian berkabung warna putih. Kudengar si anak sedang berkata
pada wanita muda itu, ‘Mak, apanya yang hebat Kim-kong-ci itu, huh, dasar
pembual!’
Adapun asal usul Ui-bi-ceng
sendiri, kecuali Po-ting-te berdua saudara, orang lain tiada yang tahu. Tapi
ketika dia menggunakan tenaga jari Kim-kong-ci untuk menggores batu melawan
Yan-king Taycu di Ban-jiat-kok tempo hari, kejadian itu telah disaksikan orang
banyak serta sudah menggemparkan kalangan Bu-lim, terutama
mengenai Kim-kong-ci-lik yang
lihai luar biasa itu.
Maka kini demi mendengar
ceritanya tentang ucapan anak kecil itu, mereka sama menganggap anak itu
mengoceh tak keruan saja.
Tak tersangka Ui-bi-ceng
lantas menghela napas, lalu menyambung ceritanya, "Tatkala itu meski aku
mendongkol mendengar ucapan itu, tapi aku pikir ocehan seorang bocah ingusan,
buat apa diurus. Maka aku hanya mendelik sekali saja pada anak itu dan tidak
menggubrisnya.
"Siapa duga wanita muda
berbaju putih itu lantas mengomeli anak itu, ‘Kim-kong-ci orang ini memang
ajaran asli Tat-mo-ih Hokkian Siau-lim-si, sedikitnya sudah tiga bagian cukup
masak. Anak kecil tahu apa? Biar kau pun tidak sejitu jarinya itu.’
"Sudah tentu aku tambah
kaget dan gusar. Padahal asal usul perguruanku jarang diketahui orang Kangouw,
tapi nyonya muda ini dengan jitu dapat membuka rahasia diriku. Sedang aku punya
Kim-kong-ci dikatakan cuma mencapai tiga bagian masak, sudah tentu aku tidak
terima. Ai, sesungguhnya waktu itu aku sendiri memang masih hijau, tiga bagian
masak bagiku sebenarnya sudah berlebihan, tapi dalam gusarku segera aku
membentak, ‘Siapakah she nyonya yang terhormat ini? Jika merasa
Kini-kong-ci-likku masih cetek, marilah coba-coba memberi petunjuk barang
sejurus-dua?’
"Nyonya itu tidak
menyahut, sebaliknya anak kecil itu segera hentikan keledainya dan hendak
menjawab. Namun mata nyonya itu tiba-tiba mengembeng air mata, katanya, ‘Pesan
apa yang ditinggalkan ayahmu sebelum wafat? Masa sudah kau lupakan?’ Anak kecil
itu menjawab, ‘Ya, anak tidak berani melupakannya.’ Habis itu, keledai mereka
lantas dilarikan ke depan dengan cepat.
"Tapi semakin kupikir,
aku semakin penasaran karena diolok-olok. Segera kularikan kuda dan menyusul
mereka sambil berseru ‘Hai! Kau berani sembarangan mengoceh mencela ilmu silat
orang, tanpa coba-coba dulu barang beberapa jurus lantas hendak mengeluyur
pergi begini saja?’
"Kuda tungganganku adalah
kuda pilihan, maka dalam sekejap aku dapat melampaui dan mengadang di depan
mereka. ‘Lihatlah, karena ocehanmu orang telah marah.’, demikian nyonya itu
mengomeli anaknya. Rupanya bocah itu sangat penurut dan berbakti pada orang
tua, ia tidak berani memandang padaku lagi.
"Dan karena melihat
mereka jeri padaku, kupikir tidaklah pantas aku berkelahi dengan anak kecil dan
orang perempuan karena urusan sepele. Tapi bila dari nada ucapan nyonya itu
tadi agaknya anak itu pun mahir Kimkong-ci-lik. Padahal ilmu ini sudah 20 tahun
kulatih dengan susah payah, masakah anak kecil itu juga bisa? Ah, tentu bualan
belaka! Karena pikiran itu, aku membentak pula, ‘Baiklah, hari ini biar
kulepaskan kalian, tapi selanjutnya kalau bicara hendaklah hati-hati.’
"Nyonya muda itu masih
tetap tidak memandang sekejap pun padaku, katanya pada anaknya, ‘Nah, apa yang
dikatakan paman ini memang benar, selanjutnya kalau bicara harus hati-hati!’
"Jika urusan diakhiri
sampai di situ saja, bukankah kedua pihak sama-sama tidak kehilangan muka? Tapi
waktu itu aku masih berdarah muda, ketika aku menarik kuda ke samping jalan,
segera nyonya itu keprak keledainya jalan lebih dulu. Waktu anak itu pun
larikan keledainya lewat di depanku, dengan tertawa aku ayun cambuk menyabet
bokong keledainya sambil berkata, ‘Cepat sedikit!’
"Sungguh tak terduga,
ketika cambukku masih jauh dari bokong keledai orang; tiba-tiba terdengar suara
‘cus’ sekali, tahu-tahu anak itu menoleh dan tenaga jarinya lantas menyambar
dari jauh, kontan cambukku patah menjadi dua. Sungguh kagetku bukan buatan. Aku
menaksir kalau bicara tentang tenaga jari, sama sekali aku tidak mampu
menandingi anak itu.
"Tiba-tiba terdengar
nyonya muda tadi berkata, ‘Sekali sudah turun tangan jangan kepalang tanggung
lagi!’ Anak itu mengiakan terus melompat turun dari keledainya, tanpa bicara
lagi ia acungkan jarinya dan menutuk betis kakiku.
"Perlu diketahui bahwa
tubuh anak itu pendek, pula aku menunggang kuda, maka jarinya cuma bisa
mencapai betis kakiku saja. Tapi gerak serangannya ternyata sangat bagus dan
memang benar-benar Kim-kong-ci tulen. Cepat kulompat turun, sedikit pun aku
tidak berani ayal dan menempurnya dengan Kim-kong-ci.
"Dan sesudah bergebrak,
semakin lama semakin jeri hatiku. Ilmu jari anak itu belum dapat dikatakan
mahir betul, bahkan terkadang tampak salah menggunakannya, namun di mana tenaga
jarinya sampai, suaranya sungguh mengejutkan, maka aku tidak berani menangkis
berhadapan. Kira-kira sampai jurus kesembilan, ‘cus’, terasa dada kiriku sakit,
tenagaku pun hilang seketika.
Bicara sampai di sini Ui-bi-ceng
membuka jubahnya hingga tertampak tulang iganya yang berderek-derek kurus itu.
Semua orang kaget melihat keadaan dada padri itu. Ternyata tepat di atas
jantung di dada kiri terdapat sebuah lubang sedalam dua-tiga senti. Meski
lubang bekas luka itu sudah sembuh, tapi dapat dibayangkan betapa parahnya luka
itu dahulu. Anehnya, meski luka itu terang begitu dalam dan tepat di tempat
jantung tapi toh padri itu tidak tewas dan masih hidup sampai sekarang.
Ui-bi-ceng lantas tunjuk dada
sebelah kanan dan berkata, "Coba lihat!”
Ternyata dada kanan padri itu
tampak bergerak-gerak. Baru sekarang semua orang tahu bahwa pembawaan tubuh
padri itu ternyata berbeda daripada manusia umumnya. Jantungnya justru terletak
di dada kanan dan tidak di sebelah kiri. Makanya terluka parah pun tidak mati.
Setelah Ui-bi-ceng mengenakan
kembali jubahnya, kemudian katanya pula, "Orang yang jantungnya tumbuh di
sebelah kanan memang jarang terdapat. Ketika anak itu melihat aku tidak binasa
oleh tutukannya segera ia melompat mundur dengan terheran-heran. Sebaliknya
demi melihat darah mengucur dari dada kusangka jiwaku tak bisa diselamatkan,
aku menjadi nekat dan memaki. ‘Bangsat cilik, katanya kau mahir Kim-kong-ci,
tapi hm, adakah Kim-kong-ci Tat-mo-ih dapat melukai lawannya dan orangnya tidak
binasa?’
Segera anak itu melompat maju
hendak menyerang pula. Tatkala itu aku sudah lemas dan tak bisa melawannya
lagi, terpaksa tinggal menunggu ajal saja. Tak tersangka cambuk si nyonya muda
lantas bekerja, dengan perlahan pinggang anak itu dililit dan ditarik kembali
dan didudukkan di atas keledainya lagi.
"Dalam keadaan kesima
lamat-lamat kudengar nyonya itu mengomeli anaknya, ‘Keluarga Buyung dari Kohsoh
masakah mempunyai keturunan tak becus seperti dirimu ini? Jika Kim-kong-cimu
belum terlatih sempurna, tidak boleh kau bunuh dia lagi. Biar kuberi hukuman
dalam tujuh hari ....’ Hukuman apa dalam tujuh hari itu, karena aku lantas
jatuh pingsan, maka tidak kudengar lagi.”
"Taysu,” tiba-tiba
Kim-sui-poa Cui Pek-khe bertanya, "kemudian ... kemudian engkau pernah
berjumpa lagi tidak dengan mereka?”
"Sungguh memalukan, sejak
itu aku lantas putus asa, aku merasa hanya seorang anak kecil saja sudah
melebihiku, maka sekalipun aku berlatih selama hidup juga takkan mampu
melebihinya,” demikian sambung Ui-bi-ceng. "Maka setelah luka dadaku
sembuh, aku lantas meninggalkan Tionggoan dan datang ke Tayli sini untuk
bernaung di bawah lindungan Toan-hongya, beberapa tahun kemudian, aku lantas
cukur rambut menjadi Hwesio. Selama ini Loceng tenggelam dalam ajaran agama
Buddha, tidak pernah pikirkan lagi urusan masa lalu itu. Cuma kalau terkadang
ingat, sungguh hatiku masih kebat-kebit, nyaliku benar-benar sudah pecah oleh
kejadian dahulu.”
Mendengar cerita itu, semua
orang terdiam hingga lama. Rasa memandang hina mereka kepada Cui Pek-khe
seketika lenyap. Sebab Ui-bi-ceng yang begitu sakti juga takut pada keluarga
Buyung di Koh-soh, maka dapatlah dimengerti bila Cui Pek-khe juga sedemikian
jerinya.
Cui Pek-khe dapat merasakan
pikiran orang banyak itu, maka katanya, "Dengan kedudukan setinggi Ui-bi
Taysu toh bersedia menceritakan apa yang dialaminya dahulu, sebaliknya aku Cui
Pek-khe orang macam apa hingga mesti takut malu? Biarlah kuceritakan juga sebab
musabab bernaung di istana Tin-lam-ong ini, harap pula hadirin sebentar suka
memberi pendapat masing-masing.”
Habis ucapkan kata-kata itu,
karena guncangan perasaan, tenggorokannya terasa kering, terus saja ia ceguk
habis semangkuk teh yang tersedia untuknya, habis itu, ia sambar pula mangkuk
teh yang disediakan untuk Ko
Gan-ci dan dituang pula ke
kerongkongannya, kemudian barulah ia mulai berkata dengan terputus-putus,
"Kejadian ... kejadian ini sudah ... sudah berlangsung 18 tahun yang lalu
....”
Bicara sampai di sini, tanpa
terasa ia memandang ke luar jendela dengan rasa jeri. Setelah tenangkan diri,
kemudian ia menyambung, "Di kota Bu-oh terdapat seorang buaya darat she
Joa yang jahat dan suka menindas rakyat. Ada seorang sobat Suhengku, segenap
keluarganya telah dibunuh oleh buaya darat itu.”
"Susiok, apakah engkau
maksudkan si jahanam Joa Ging-toh itu?” sela Ko Gan-ci.
"Benar,” sahut Pek-khe.
"Dahulu bilamana Suhumu membicarakan jahanam itu, selalu ia geregetan dan
ingin membunuhnya. Cuma gurumu adalah seorang yang baik hati dan patuh pada
peraturan, beberapa kali ia coba menggugat kejahatan Joa Ging-toh itu kepada
pembesar negeri, tapi karena buaya itu pintar menyogok dan banyak hubungannya
dengan kalangan atas, maka pengaduan gurumu itu selalu ditahan oleh pembesar
yang bersangkutan.
"Kalau mau, sebenarnya
tidak susah bagi gurumu untuk membunuh jahanam she Joa itu. Tapi selamanya
gurumu memang orang alim, tidak suka berbuat sesuatu di luar hukum. Sebaliknya
berbeda dengan aku Cui Pek-khe ini, dalam hal maling, madon, main, pendek kata
segala perbuatan ‘M’, bahkan membunuh sekalipun aku tidak pantang, semuanya
kulakoni.
"Maka pada suatu malam,
tatkala aku sudah gemas, diam-diam aku menggerayangi rumah jahanam she Joa itu
dan sekaligus kusapu bersih seluruh isi keluarganya yang lebih 30 jiwa itu. Aku
mulai membunuh dari pintu depan terus sampai taman di belakang, dari penjaga
pintu sampai tukang kebun, dari kacung-kacung, babubabu, semuanya kubunuh,
tiada satu pun kuampuni. Ketika sampai di tengah taman belakang, kulihat di
balik jendela sebuah loteng masih tampak sinar pelita. Segera kupanjat ke atas
loteng itu, kutendang pintu kamarnya hingga terpentang.
"Kiranya loteng itu
adalah sebuah kamar tulis, di sekeliling kamar penuh terdapat rak buku. Tampak
sepasang muda-mudi sedang duduk menyanding sebuah meja, agaknya asyik membaca
sesuatu kitab. Pemuda itu kirakira berumur 27-28 tahun, tampan dan ganteng.
Usia yang pemudi lebih muda, cuma mungkur duduknya, maka mukanya tidak
kelihatan, tapi dari bajunya yang dipakai serta potongan tubuhnya yang
menggiurkan, dapat dipastikan seorang wanita cantik.
"Sekaligus aku sudah
membunuh puluhan orang, semangatku masih berkobar-kobar. Tetapi demi tampak
kedua muda-mudi itu, buset, aku menjadi rada heran. Sebab setiap orang di rumah
jahanam she Joa itu kasar dan bengis, mengapa mendadak bisa muncul sepasang
muda-mudi yang gagah dan cantik itu? Seketika aku terkesima hingga tidak lantas
turun tangan membunuh mereka.”
Mendengar sampai di sini,
diam-diam Toan Ki mencocokkan cerita Ui-bi-ceng tadi dengan Cui Pek-khe ini.
Ui-bi-ceng bilang waktu
bertemu dengan anak kecil yang berusia belasan tahun itu adalah 43 tahun yang
lalu. Sedang pemuda yang dilihat Cui Pek-khe itu berumur hampir 30 tahun dan
terjadi pada 18 tahun yang lampau. Jika demikian, usia pemuda itu dan si anak
kecil satu sama lain tidak cocok, terang bukan terdiri dari orang yang sama.
Dalam pada itu Cui Pek-khe
sedang melanjutkan, "Dan karena aku tertegun, maka terdengarlah pemuda itu
berkata, ‘Niocu (istriku), dari sudut Kui-moay menggeser ke tempat Bu-hong
apakah demikian caranya?’”
Mendengar istilah
"Kui-moay” dan "Bu-hong” segera Toan Ki paham apa yang dikatakan itu
adalah istilah yang terdapat dalam Ih-keng.
Sementara itu Pek-khe sedang
menyambung, "Maka tertampaklah si wanita merenung sejenak, lalu berkata,
‘Apabila jalannya miring ke sana, masuk dulu ke sudut Beng-ih, dari situ
kemudian berputar ke Soan-wi, coba bisa ditembus tidak?’”
Toan Ki bertambah kaget oleh
istilah paling akhir itu, apa yang diuraikan wanita itu terang adalah ilmu
gerak langkah "Leng-po-wi-poh” yang pernah dipelajarinya di dasar telaga
dulu itu. Cuma tempat-tempat yang dikatakan wanita itu tempatnya kurang tepat.
Jangan-jangan wanita itu ada hubungannya dengan patung cantik Enci Dewi itu?
Demikian Toan Ki menjadi ragu-ragu.
Sudah tentu Cui Pek-khe tidak
tahu pikiran Toan Ki itu, ia meneruskan pula, "Dan karena kedua orang itu
masih sibuk terus membicarakan entah isi kitab apa, aku menjadi tak sabar lagi
segera aku membentak, ‘Hai, kalian berdua anjing laki-perempuan ini lekas enyah
semua!’
"Tak terduga mereka
seperti orang tuli saja, bentakanku sama sekali tak digubris, pandangan mereka
masih tetap dicurahkan ke dalam kitab mereka. Malah terdengar pula si wanita
berkata dengan lemah lembut, ‘Tapi dari sini menuju ke sudut Soan-wi seluruhnya
ada sembilan langkah, inilah tidak mungkin tercapai.’
"Saking mendongkol aku
lantas membentak lebih keras lagi, ‘Hai, lekas enyah, enyah ke akhirat untuk
menemui kakek-moyangmu.’. Dan baru aku hendak menerjang maju, sekonyong-konyong
si pemuda bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa, ‘Bagus, bagus! Im sama
Kun, kakek-moyang 18 keturunan, hah, 9x2 sama dengan 18, jadi mesti berputar ke
sudut Kun, ya, benar, jalan ini sangat tepat.’.
"Sambil bicara, tangan
pemuda itu pun menyambar sebuah Swipoa di atas meja, dan entah cara bagaimana,
tahu-tahu tiga butir biji Swipoa menyambar kencang ke arahku, seketika aku
merasa dada sesak dan kesakitan, tubuhku seakan-akan terpaku dan tak bisa
berkutik lagi.
"Habis itu, kedua
muda-mudi itu masih tetap tidak gubris padaku, mereka masih tetap tukar pikiran
tentang isi kitab, perasaanku menjadi sangat ketakutan. Sebab, hendaklah
diketahui bahwa julukanku yang jelek adalah Kim-sui-poa, ke mana pun kupergi
selalu membawa sebuah Swipoa terbuat dari emas, dan ke-77 biji Swipoa itu
setiap saat dapat kugunakan untuk melukai orang.
Cuma caraku membidikkan biji
Swipoa adalah berkat pegas yang terpasang di dalam Swipoa, sebaliknya Swipoa
yang dipakai pemuda tadi hanya sebuah Swipoa kayu biasa saja. Ketika aku memandang
Swipoa kayu itu, tertampak satu ruji bambu di tengahnya sudah patah, jadi
pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya untuk mematahkan ruji Swipoa, lalu
dengan Lwekang yang mahahebat menimpukkan biji Swipoa ke arahku, sungguh ilmu
silat hebat yang sukar dibayangkan.
"Percakapan kedua
muda-mudi itu ternyata berlangsung terus dan semakin asyik dengan gembiranya,
sebaliknya semakin mendengar aku jadi semakin takut. Pikirku, sudah lebih 30
jiwa di rumah ini kubunuh, sekarang aku justru terpaku tak bisa berkutik di
situ, tak bisa bergerak dan tak bisa bicara pula, jika aku mesti membayar
jiwaku sendiri karena aku sudah utang jiwa begitu banyak, akan tetapi dengan
demikian tentu Suhengku juga akan ikut tersangkut.
"Ada lebih dua jam aku
terpaku di situ, tapi rasanya seperti disiksa selama 20 tahun. Kira-kira sudah
hampir pagi, terdengar pemuda itu berkata dengan tertawa, ‘Niocu,
langkah-langkah ini sungguh sukar kita tembus sekarang, biarlah ditunda saja,
marilah kita pergi!’
"Wanita itu menjawab,
‘Kim-sui-poa Cui-losu telah membantumu memecahkan satu langkah bagus,
sepantasnya engkau memberi apa-apa sebagai tanda terima kasih padanya!’
Terkejut dan girang rasaku, jadi sejak mula mereka sudah kenal namaku. Maka
terdengar yang lelaki sedang berkata, ‘Jika begitu, biarlah jiwanya diberi
hidup lebih lama beberapa tahun. Lain kali kalau bertemu lagi tentu tidak ada
ampun!’
"Habis bicara, mereka
menyimpan kembali kitab yang dibaca itu, lalu bergandengan tangan melayang
keluar jendela dengan enteng sekali. Wajah wanita itu tetap tidak terlihat
olehku, cuma sebelum pergi, tiba-tiba ia ayun tangan kirinya, lengan bajunya
mengebut perlahan pada punggungku hingga Hiat-to terbuka seketika. Waktu
kuperiksa dadaku, ternyata baju bagian situ berlubang tiga, dua biji Swipoa tepat
terjepit di atas buah dadaku dan biji Swipoa ketiga persis berada di
tengah-tengah kedua biji yang lain. Nah, inilah, biar hadirin periksa hiasan di
dadaku ini.”
Sembari berkata ia terus
membuka baju. Melihat itu, hampir semua orang tertawa geli. Kiranya dua biji
Swipoa itu tepat sekali menclok di atas pentil teteknya dan di tengah-tengah
kedua pentil menclok, pula sebiji Swipoa yang lain. Kejadian itu sudah belasan
tahun yang lalu, tapi biji-biji Swipoa itu ternyata tidak dibuang dari dadanya.
Cui Pek-khe goyang-goyang
kepala, ia kancing kembali bajunya, lalu berkata pula, "Deritaku sungguh
tidak sedikit karena mencloknya tiga biji Swipoa ini di dadaku. Sebenarnya aku
bermaksud mengoreknya keluar dengan pisau, tapi asal tersentuh sedikit saja Hiat-to
sendiri, seketika aku jatuh pingsan, untuk mana harus 12
jam kemudian baru bisa sadar
dengan sendirinya. Bila perlahan aku mengikir atau menggosoknya dengan kertas
ampelas, namun sakitnya tetap tidak kepalang, sungguh aku seperti disiksa oleh
kakek-moyang ke-18 turunan! Rupanya sudah nasibku mesti disiksa begini, bila
hari mendung dan hawa lembap, ketiga tempat di dadaku ini lantas kesakitan
seperti disayat-sayat!”
Mendengar cerita Pek-khe yang
lucu dan luar biasa itu, semua orang merasa heran dan geli pula.
Maka Pek-khe melanjutkan pula
sambil menghela napas, "Orang itu menyatakan bila lain kali ketemukan aku
lagi jiwaku takkan diampuni. Maka jiwaku ini harus kujaga baik-baik, jalan yang
paling selamat adalah jangan sampai kepergok lagi dengan dia. Untuk mana
terpaksa aku harus kabur jauh-jauh dan menyusup ke dalam istana pangeran di
Tayli ini. Kupikir daerah ini jauh terpencil di selatan, orang Bu-lim dari
Tionggoan jarang datang kemari. Umpama akhirnya disusul juga oleh keparat anak
kura-kura itu ke sini, paling tidak di sini ada Ongya dan Ko-houya serta jago
lain, masakah mereka tega berpeluk tangan tidak ikut campur dan menyaksikan
jiwaku melayang begitu saja? Selama ini, karena siksaan tiga biji Swipoa di
dada ini, bila kesakitan, terpaksa aku minum arak sebanyak-banyaknya untuk
melupakan rasa derita yang hebat ini.”
Selesai mendengar cerita Cui
Pek-khe, semua orang berpendapat apa yang terjadi itu hampir serupa dengan
Uibi-ceng, bedanya cuma yang seorang akhirnya menjadi Hwesio dan yang lain
mengasingkan diri dengan bersembunyi.
"Ho-siansing,” tiba-tiba
Toan Ki tanya, karena sudah biasa memanggil demikian, seketika pemuda itu tak
bisa ganti panggilan lain, "habis dari mana engkau mengetahui suami-istri
yang kau jumpai itu adalah keluarga Buyung dari Koh-soh?”
Pek-khe garuk-garuk kepala dan
menjawab, "Hal itu adalah taksiran Suhengku, sebab setelah melihat ketiga
biji Swipoa yang bersarang di dadaku ini, Suheng berpendapat di dunia
persilatan cuma keluarga Buyung saja yang memakai kepandaian orang untuk digunakan
atas diri orang itu. Dan karena kami yakin tak mampu melawan tokoh keluarga
setan iblis itu, jalan paling gampang ialah kabur dan mengkeret seperti
kura-kura.”
Sampai di sini, ia berpaling
dan berkata kepada Toan Cing-sun, "Nah, Toan-ongya, sekianlah
penjelasanku, sekarang aku mohon diri untuk segera berangkat ke Koh-soh.”
"Kau hendak pergi ke
sana?” hanya Cing-sun heran.
"Ya,” sahut Pek-khe
tegas. "Hubunganku dengan Suheng laksana saudara sekandung. Sakit hati
membunuh saudara masakah tidak lekas kubalas? Gan-ci, marilah kita berangkat!”
Habis berkata, ia memberi
hormat pada hadirin, lalu bertindak keluar diikuti oleh Ko Gan-ci.
Tindakan Cui Pek-khe itu
benar-benar di luar dugaan semua orang. Semula tampaknya sangat ketakutan
kepada keluarga Buyung itu. Tapi demi bicara membalas sakit hati sang Suheng,
walaupun tahu kepergiannya tidak lebih daripada mengantarkan nyawa, tapi
sedikit pun ia tidak gentar lagi. Maka diam-diam semua orang merasa kagum dan
tidak dapat mencegah keberangkatannya itu.
Kemudian Hui-cin Hwesio
berdiri dan berkata dengan hormat, "Ciangbun Supek telah memberi pesan
bahwa Sri Baginda Po-ting-te adalah kaum Cianpwe yang diagungkan, dengan
sendirinya kami tidak berani bikin repot, tapi kalau Toan-ongya sudi berkunjung
ke kuil kami untuk memberi petunjuk cara bagaimana harus menghadapi orang
Buyung dari Koh-soh, hal mana berarti Ongya telah menyelamatkan kaum Bu-lim di
Tionggoan dari bencana. Kata Ciangbun Supek pula bahwa beliau seharusnya
berkunjung sendiri ke sini untuk minta petunjuk Toan-ongya, cuma utusan kuil
kami telah banyak dikirim untuk mengundang para tokoh berbagai aliran terkemuka
untuk berkumpul di Siau-lim-si, sebagai tuan rumah, Supek tidak dapat tinggal
pergi dan terpaksa tinggal di rumah untuk menantikan kedatangan para kesatria.”
"Kiranya Siau-lim-si
bakal mengadakan Enghiong-tay-hwe (pertemuan besar para kesatria), itulah
kesempatan yang sukar dicari buat menemui tokoh-tokoh Bu-lim dari Tionggoan,
kalau bisa hadir, menggembirakan juga hal itu,” ujar Cing-sun sambil memandang
kakak bagindanya untuk memberi keputusan.
Namun dengan kereng Po-ting-te
berkata, "Keluarga Toan kami berasal juga dari kalangan Bu-lim di
Tionggoan, selama ratusan tahun belum pernah lupa pada sumbernya. Setiap kawan
Bu-lim yang datang ke wilayah Tayli sini selalu kami sambut dengan hormat. Tapi
leluhur kami ada suatu pesan agar anak-cucunya dilarang ikut campur urusan
permusuhan dan bunuh-membunuh di kalangan Bu-lim. Terhadap ilmu silat dan
pribadi Hian-cu Taysu selama ini Cing-beng sangat kagum, sayang maksud baiknya
itu bertentangan dengan pesan tinggalan leluhur, maka terpaksa tak dapat kami
penuhi dan harap saja Hian-cu Taysu suka memaafkan.”
Hui-cin sangat kecewa oleh
jawaban itu, sebaliknya Hui-sian lantai berlutut pula sambil berseru,
"Untuk membalas sakit hati Suhu, Hui-sian mohon Sri Baginda suka memberi
izin kepada Tin-lam-ong pergi ke Siaulim-si.”
Segera Hui-cin menambahi juga,
"Kehadiran Tin-lam-ong ke Siau-lim-si bukanlah untuk bertanding dengan
orang Buyung, soalnya cuma mengenai ilmu silat musuh terlalu luas dan aneh,
maka Supek sengaja mengundang para kesatria sekadar berkumpul untuk memberi
prasaran yang berharga guna mengatasi keganasan orang Buyung itu. It-yang-ci
keluarga Toan di Tayli sini adalah ilmu yang tiada bandingan dalam Bu-lim,
dalam pertemuan besar di Siau-lim-si nanti kalau tiada hadir ahli waris
keluarga Toan berarti belum lengkap dan mungkin tak bisa lagi menandingi orang
she Buyung itu.”
Tiba-tiba Po-ting-te kebas
lengan jubahnya hingga Hui-sian merasa terangkat bangun oleh tenaga mahabesar,
sungguh kagumnya tak terkatakan, serunya segera, "Hongya, sungguh
kepandaian yang luar biasa ....”
Sahut Po-ting-te,
"Jauh-jauh kalian datang kemari, silakan mengaso dan dahar dulu. Mendengar
berita duka gurumu, sungguh aku ikut merasa menyesal. Cuma sayang keluarga Toan
telah dipesan leluhur agar jangan ikut campur urusan persengketaan dalam Bu-lim,
terpaksa tak dapat kuterima undanganmu, harap dimaafkan.”
Mendengar raja Tayli itu tetap
menolak, Hui-cin dan Hui-sian tahu takkan berhasil mengubah pendirian orang,
terpaksa mereka mohon diri buat keluar.
Kini ruangan dalam itu hanya
tinggal anggota keluarga Toan sendiri, maka Cing-sun lantas berkata,
"Hongheng, ilmu kepandaian keluarga Buyung itu sedemikian hebatnya,
seharusnya namanya mengguncangkan dunia, tapi mengapa selama ini jarang
terdengar namanya di dalam Bu-lim?”
"Mungkin anggota
keluarganya itu jarang keluar rumah, jika bertengkar dengan orang juga belum
tentu memperkenalkan nama asli mereka, maka Siau-lim-pay dan Ko-san-pay pun tak
tahu siapakah sebenarnya musuh mereka,” demikian sahut Po-ting-te.
"Keputusanmu untuk tidak
ikut campur persengketaan itu memang sangat tepat,” Ui-bi-ceng ikut bicara.
"Kalau sampai urusan ini menjalar menjadi besar, mungkin dunia persilatan
akan banjir darah, entah berapa jiwa manusia akan menjadi korban. Tayli selama
ini aman tenteram, negeri makmur, rakyat subur, bila Ongya hadir ke Siau-lim,
selanjutnya tentu juga takkan terputus-putus orang Bu-lim akan mencari perkara
ke Tayli sini.”
Tengah bicara, tiba-tiba
seorang pengawal masuk memberi tahu, "Lapor Ongya, di luar ada seorang
Totiang (Tosu, imam agama Tao) mohon bertemu. Katanya kawan lama dari
Thian-tay-san.”
Cing-sun sangat girang,
katanya, "Hong-heng, tentu Ciok-jing-cu Toheng yang datang!”
Segera ia menyambut keluar
dengan langkah lebar.
Ui-bi-ceng saling pandang
sekejap dengan Po-ting-te. Tiba-tiba padri itu berdiri dan berkata,
"Biarlah aku menyingkir saja.”
"Apakah rasa marah Suheng
masa lalu sampai kini masih belum lenyap?” ujar Po-ting-te dengan tersenyum.
Ui-bi-ceng hanya membalas
tersenyum saja tanpa menjawab, lalu ia bertindak ke ruangan belakang untuk
memeriksa keadaan murid-muridnya yang luka parah.
Selang tak lama, terdengarlah
suara tertawa panjang nyaring berkumandang dari luar. Segera Po-ting-te
berbangkit dan tertampaklah Cing-sun membawa masuk seorang Tojin berumur antara
50 tahun.
Imam itu berjubah kuning dan
berkopiah kuning, bermuka putih, sikapnya gagah. Ia memberi hormat kepada
Po-ting-te sambil berseru dengan tertawa, "Saudara Cing-beng, selama
beberapa tahun ini engkau hidup jaya dan diagungkan, sungguh hidupmu ini aman
tenteram penuh rezeki.”
Po-ting-te membalas hormat dan
menjawab dengan tertawa, "Dan kau Gu-pi-cu (hidung kerbau, olok-olok pada
kaum Tosu) ini selalu sibuk kian kemari di Kangouw, apa belum merasa capek dan
bosan?”
"Hahaha, belum bosan,
belum bosan!” sahut Ciok-jing-cu terbahak-bahak. Lalu ia berpaling pada hadirin
yang lain, "Hai, saudara Sing-thay, baik-baikkah engkau? Dan kau si maling
tukang bongkar kuburan, bagaimana rezekimu sekarang? Wah, cahaya muka Hoan-heng
tampak berseri-seri, tentu telah bertambah beberapa putra! Tapi Thian-sik
kelihatan makin kurus tinggal kulit membungkus tulang, kalau mengandalkan tubuh
sekurus ini untuk menangkan gelar Ginkang nomor satu di dunia rasanya juga
kurang cerlang-cemerlang. Eh, tukang pancing, engkau dapat mengait seekor
kura-kura atau tidak?”
Begitulah Ciok-jing-cu menegur
setiap hadirin yang berada di situ sebagai kawan lama tanpa canggungcanggung.
Toan Ki kenal watak sang paman
yang ramah tamah, tapi toh tidak pernah melihatnya bergurau dengan orang. Kini
dengan datangnya Tojin itu, seketika suasana di situ menjadi riang, bahkan
paman pun menyebutnya sebagai "hidung kerbau”, maka dapat diduga
Ciok-jing-cu ini sifatnya sangat jenaka dan disukai orang.
Segera Cing-sun berkata,
"Ki-ji, lekas maju memberi hormat! Totiang ini adalah
‘Tang-hong-te-it-kiam’ Ciokjing-cu yang sering kukatakan padamu itu, betapa
tinggi ilmu pedangnya di zaman ini tiada bandingannya.”
Toan Ki menjadi heran, sebab
selama ini ia tidak pernah mendengar tentang "Tang-hong-te-it-kiam” atau
jago pedang nomor satu di wilayah timur. Tapi ia pun tidak enak untuk bertanya,
ia menurut dan melangkah maju untuk menjura.
Dengan tertawa Ciok-jing-cu
berkata, "Wah, kacang memang tidak meninggalkan lanjarannya, ayahnya
gagah, putranya ternyata juga ganteng tampan. Sebagai keturunan keluarga Toan
dari Tayli, tentu ilmu silatnya juga hebat.”
Sembari berkata ia terus ulur
kedua tangannya untuk membangunkan Toan Ki dengan maksud sekalian menjajal
kepandaiannya.
Keruan yang khawatir adalah
Toan Cing-sun, cepat ia berseru, "Hati-hati hidung kerbau, putraku ini
tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa!”
Belum lenyap suaranya, tangan
Ciok-jing-cu sudah menyentuh tangan Toan Ki, mendadak perasaannya tergetar,
tenaga dalam yang dikerahkannya tahu-tahu lenyap sirna seperti lempung
kecemplung ke laut, bahkan tiba-tiba terasa tangan Toan Ki timbul semacam daya
sedot yang sangat kuat untuk mengisap tenaga dalamnya dengan paksa.
Ciok-jing-cu sudah menjelajah
ke mana pun, pengetahuan dan pengalamannya sangat luas, dalam kejutnya segera
ia menduga, "Bukankah ini Hoa-kang-tay-hoat dari aliran Sing-siok-hay di
Kun-lun-san? Keluarga Toan dari Tayli adalah Beng-bun-cing-pay (perguruan
terkenal dan aliran baik), kenapa mempelajari ilmu sesat yang dikutuk oleh
sesama Bu-lim ini?”
Segera ia pun kerahkan tenaga,
tangannya membalik terus menggeblak punggung tangan Toan Ki hingga daya lengket
tadi terlepas.
Keruan Toan Ki meringis
kesakitan, tulang tangan seakan-akan dipatahkan, pikirnya dengan gusar,
"Aku memberi hormat dengan baik padamu, kenapa malah kau pukul aku?”
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa Ciok-jing-cu menyangka dia menggunakan "Hoa-kang-tay-hoat” atau ilmu
melenyapkan kepandaian orang untuk menyerangnya. Siapa pun yang terkena sedotan
Hoa-kang-tay-hoat, seketika antero kepandaian yang pernah dilatihnya akan
punah.
Cuma Hoa-kang-tay-hoat memang
gunanya untuk melenyapkan ilmu orang hingga sang korban akan kembali seperti
orang biasa, jadi merugikan orang dan tidak membawa untung bagi diri sendiri.
Sebaliknya
"Cu-hap-sin-kang” yang dimiliki Toan Ki tanpa sadar itu mempunyai khasiat
menyedot Lwekang orang untuk memupuk tenaga dalam sendiri, setiap kali jatuh
korban, setiap kali pula tenaga dalam sendiri akan bertambah kuat Sebab itulah
dalam persentuhan tangan Ciok-jing-cu dan Toan Ki tadi kontan ada sebagian
kecil tenaga dalam Ciok-jing-cu telah disedot oleh Toan Ki.
Melihat sikap Ciok-jing-cu itu
agak aneh, Po-ting-te dan lain-lain menjadi heran. Cing-sun khawatir juga kalau
putra kesayangannya dilukai imam itu, cepat ia mengadang maju dan berkata
dengan tertawa, "Sudah sekian lama tidak berjumpa, sekali bertemu, si hidung
kerbau hendak memberi hadiah apa kepada putraku ini?”
Berbareng ia sudah
bersiap-siap kalau imam itu menyerang lagi. Ia tahu Ciok-jing-cu itu sangat
lihai, asal Toan Ki terkena serangannya, kalau tidak mati tentu juga terluka
parah.
Maka terdengar Ciok-jing-cu
menjawab dengan tertawa dingin, "Huh, It-yang-ci keluarga Toan sudah
termasyhur di seluruh jagat, buat apa mesti mempelajari lagi ilmu sesat dari
iblis tua Sing-siok-hay?”
"Apa katamu? Ilmu sesat
iblis tua Sing-siok-hay? Apa kau maksudkan ‘Hoa-kang-tay-hoat’ itu?” tanya
Cingsun heran. "Dan siapa yang kau katakan mempelajari ilmu itu?”
"Hm, putramu ini telah
masuk golongan menyesatkan itu, apa tidak khawatir bikin kotor nama baik
keluarga Toan di Tayli sini?” jengek Ciok-jing-cu.
Cing-sun bertambah heran dan
menyangka orang maksudkan peristiwa Lam-hay-gok-sin itu. Maka dengan tertawa
katanya pula, "Tentang Lam-hay-gok-sin, memang benar dia penujui anakku
ini dan ingin menerimanya menjadi murid. Tapi kejadiannya justru terbalik
hingga dia yang telah mengangkat guru pada anakku. Hal ini hanya main-main saja
dan tak bisa dianggap sungguh-sungguh.”
Namun Ciok-jing-cu menggeleng
kepala, sahutnya, "Meski ilmu silat Lam-hay-pay cukup hebat, tapi belum
tentu mahir ‘Hoa-kang-tay-hoat’ ini.”
"Berulang-ulang hidung
kerbau bicara tentang Hoa-kang-tay-hoat segala, sebenarnya apa-apaan maksudmu
ini?” tanya Cing-sun bingung.
Keruan Ciok-jing-cu
mendongkol. Betapa pun tak tersangka olehnya bahwa "Cu-hap-sin-kang” yang
dimiliki Toan Ki itu bukan saja tak diketahui ayah dan pamannya, bahkan pemuda
itu sendiri pun tidak tahu-menahu.
Maka mendadak ia berbangkit
dan berkata, "Engkau memang tidak tahu atau berlagak pilon? Aku orang she
Ciok meski orang pegunungan dan suka kelayapan di Kangouw, tapi kedua kakiku ini
pun bukan cetakan dari besi, jauh-jauh dari Kanglam kudatang kemari, kau kira
tujuanku melulu hendak minta secangkir teh ini? Jika kalian tidak anggap aku
sebagai kawan, biarlah sekarang juga aku akan pamit.”
Habis berkata, terus saja ia
bertindak keluar.
"Hek-kin, Thian-sik,
rintangi hidung kerbau itu, minta penjelasan padanya,” seru Po-ting-te dengan
tersenyum. "Para kawan sudah datang di Tayli, tanpa makan minum lebih
dahulu masakan lantas mau angkat kaki begitu saja?”
Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga
kawan karib Ciok-jing-cu, dengan terbahak-bahak cepat mereka melompat ke ambang
pintu untuk merintangi. "Hahaha, Ciok-lauto, kau datang ke Tayli sini
tanpa membawa pedang, itu tandanya engkau bermaksud baik serta mengindahkan
Hongya kami. Tapi tanpa pedang engkau hendak menerobos keluar rintangan kami,
hal ini rasanya tidaklah mudah!”
Melihat sikap semua orang
tiada tanda bermusuhan padanya, pikiran Ciok-jing-cu tergerak pula,
"Rasanya keluarga Toan tidak mungkin mengizinkan anak-cucunya belajar ilmu
siluman dari Sing-siok-hay yang kotor itu. Apa barangkali diam-diam Toan Ki ini
mempelajarinya, di luar tahu ayah dan pamannya? Kalau kubongkar rahasianya itu
berarti aku akan mengikat permusuhan dengar pemuda ini. Tetapi hubunganku
dengan ayah dan pamannya adalah lain daripada yang lain, kalau tahu sesuatu tak
boleh kutinggal diam.”
Karena itu, segera ia putar
balik dan berkata pula kepada Toan Ki dengan sungguh-sungguh,
"Toan-kongcu, jelek-jelek Ciok-jing-cu adalah angkatan lebih tua
daripadamu. Sekarang aku mempunyai suatu pertanyaan, mengingat hubunganku
dengan ayah dan pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap engkau jangan
marah.”
"Ciok-totiang mempunyai
petunjuk apa, silakan bicara, aku akan terima dengan hormat,” sahut Toan Ki.
Diam-diam Ciok-jing-cu
membatin bocah ini masih tetap berlagak pilon. Segera katanya, "Sudah
berapa lama Toan-kongcu berhasil mempelajari ‘Hoa-kang-tay-hoat’? Gurumu adalah
Cinjin yang mana dari anak murid iblis tua di Sing-siok-hay itu?”
Toan Ki menjadi bingung, ia
garuk-garuk kepala, sahutnya, "Hoa-kang-tay-hoat dan iblis tua dari
Sing-siokhay apa? Wanpwe baru sekarang mendengar nama-nama itu.”
Ciok-jing-cu pikir mungkin
orang yang mengajar Toan Ki itu sengaja tidak mengatakan asal usul dan nama
perguruannya itu. Maka tanyanya pula, "Habis, dari mana engkau belajar
ilmu itu, bagaimana wajah orang itu?”
"Wanpwe tidak pernah
belajar apa-apa,” sahut Toan Ki.
Dan pada saat itu juga,
sekonyong-konyong dari ruangan belakang berlari keluar seorang dan tangan Toan
Ki terus dicengkeramnya. Kiranya orang ini adalah Ui-bi-ceng.
Tapi begitu kedua tangan
bersentuhan, seketika badan padri itu tergetar, tenaga dalam tubuhnya
seakan-akan membanjir keluar tak terhentikan. Tanpa pikir lagi Ui-bi-ceng ayun
kakinya hingga Toan Ki didepak terjungkal.
Tentu saja semua orang kaget,
beramai-ramai mereka berbangkit dan bertanya ada apa?
"Kedua Toan-heng, bocah
ini akan kalian binasakan sendiri atau aku membereskannya?” tanya Ui-bi-ceng
tibatiba dengan suara gemetar.
Kiranya berturut-turut Boh-tam
berenam telah sadar kembali dan menceritakan kejadian tenaga dalam mereka
disedot habis oleh Toan Ki. Karena itu timbul pendapat Ui-bi-ceng yang
berlainan daripada Ciok-jing-cu. Padri itu menyangka Toan Ki telah membalas air
susu dengan air tuba, ditolong malah mentung, dan merusak Lwekang keenam
muridnya itu. Apalagi waktu tangannya memegang tangan pemuda itu, seketika
tenaga dalam sendiri juga akan diisap, maka ia menjadi lebih yakin lagi akan
cerita murid-muridnya itu.
Jilid 15
Mula-mula Po-ting-te dan
lain-lain merasa heran ketika mendengar ucapan Ciok-jing-cu tadi, mereka
mengira imam yang biasanya jenaka itu sedang membadut. Tapi kini demi tampak
sikap Ui-bi-ceng yang sungguhsungguh itu, barulah mereka tahu urusan benar-benar
sangat gawat.
Segera Po-ting-te pegang
tangan Toan Ki dan hendak menyeretnya bangun. Ketika tangan menempel tangan,
tiba-tiba hati tergetar juga, tenaga dalam terus merembes keluar. Cepat ia
tahan sekuatnya berbareng lengan jubah mengebas hingga Toan Ki terentak ke
samping beberapa tindak. Lalu bentaknya dengan suara bengis, "Sejak kapan
kau belajar ilmu sesat begini?”
Sejak kecil sampai dewasa,
jarang sekali Toan Ki melihat pamannya bicara dengan suara bengis padanya.
Saking gugupnya cepat ia berlutut dan menjawab, "Kecuali ‘Leng-po-wi-poh’
itu selamanya anak tidak pernah belajar ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu
gerak langkah itu sejahat ini? Jika ... jika demikian, biarlah anak takkan
menggunakannya lagi mulai sekarang, bahkan akan kulupakan saja seluruhnya.”
Po-ting-te cukup kenal watak
keponakannya, selamanya tidak pernah berdusta, terhadap orang tua juga sangat
hormat, maka apa yang dikatakan pasti salah. Tentu di dalamnya ada sesuatu yang
ganjil, maka katanya pula, "Kau gunakan ilmu melenyapkan tenagaku, hal ini
sengaja kau lakukan atau karena terpaksa lantaran mendapat tekanan orang lain?”
Toan Ki bertambah heran dan
bingung, "Titji ben ... benar tidak tahu sama sekali, dari mana Titji
berani melenyapkan tenaga paman? Hakikatnya Titji tidak bisa sesuatu ilmu
apa-apa!”
Tadi waktu Hui-cin dan
Hui-sian menemui Po-ting-te, sebagai Onghui yang diagungkan, Si Pek-hong tidak
bebas bertemu dengan orang luar, maka dia menyingkir ke dalam. Kemudian waktu
mendapat laporan bahwa putra kesayangannya di depan terjungkal oleh tindakan
Ui-bi-ceng dan sedang dimarahi Po-ting-te, saking gugupnya cepat ia keluar
lagi.
Dan ketika melihat Toan Ki
berlutut di hadapan sang paman dengan sikap bingung dan takut, sebagai ibu yang
mahakasih, segera ia menarik bangun sang putra sambil berkata, "Ki-ji,
jangan khawatir, segala urusan boleh katakan terus terang pada Pekhu dan
aduuuuh ....”
Sekonyong-konyong ia merasa
tangan sendiri seakan-akan tersedot dan tenaga dalam terus merembes keluar tak
terhentikan.
Untunglah sebelum itu
Po-ting-te sudah bersiap-siap, cuma di antara ipar tidak boleh bersentuhan
badan, maka tidak enak baginya menarik tangan Si Pek-hong, tapi cepat ia kebas
lengan bajunya hingga berjangkit serangkum angin keras ke tengah-tengah kedua
orang itu, dengan paksa ia pisahkan daya lengket tangan ibu dan anak itu.
"Kenapa kau ... kau ....”
seru Si Pek-hong kaget setelah dapat menarik kembali tangannya.
Melihat kelakuan sang ibu yang
kaget dan gugup itu, Toan Ki belum sadar kalau dirinya yang menjadi garagara,
cepat ia berbangkit hendak memegang sang ibu.
"Jangan Ki-ji!” lekas
Cing-sun mencegahnya sambil mengadang di antara istri dan anaknya.
Maka sekarang tahulah semua
orang bahwa pada badan Toan Ki ada sesuatu yang tidak beres, tapi mereka pun
tidak mencurigai lagi bahwa arak muda itu mahir "Hoa-kang-tay-hoat” dan
sengaja hendak mencelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui dari sikap Toan
Ki yang polos dan lugu itu, sedikit pun tidak berpura-pura atau palsu. Pula,
seumpama pemuda itu benar-benar jahat dari keji, rasanya tidak mungkin membunuh
ibu kandung sendiri.
"Ui-bi Taysu,
Ciok-jing-cu,” tiba-tiba Sing-thay berkata, "apakah sebabnya Toan-kongcu
bisa begitu? Ayolah, coba siapa yang lebih dulu dapat menerangkannya!”
Mendengar itu, Ui-bi-ceng dan
Ciok-jing-cu saling melotot sekali, lalu sama-sama memeras otak untuk menemukan
jawabannya.
Kiranya Ui-bi-ceng dan
Ciok-jing-cu sebenarnya adalah dua kawan karib pada masa lalu. Suatu kali,
karena berdebat tentang agama yang dianut masing-masing itu, keduanya sama-sama
tidak mau mengalah hingga akhirnya saling gebrak.
Tapi karena kepandaian masing-masing
mempunyai keunggulan sendiri-sendiri, muka kekuatan kedua pihak boleh dikatakan
setali-tiga-uang alias sama kuat.
Beberapa kali mereka pernah
bertanding, pada penghabisan kalinya, hampir-hampir keduanya menggeletak dan
gugur bersama. Untunglah datang Po-ting-te memisahkan mereka dengan Lwekang
yang tinggi, tapi ketiga orang sama menderita kerugian tenaga dalam yang besar
hingga perlu merawat diri dalam waktu cukup lama. Sejak itu Hwesio dan Tosu itu
sama bersumpah tidak sudi bertemu muka lagi. Siapa duga hari ini justru saling
berjumpa pula di istana pangeran Tin-lam-ong ini.
Ko Sing-thay bermaksud
melenyapkan persengketaan di antara kedua tokoh itu, maka sengaja ia kemukakan
persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu bertanding kecerdasan otak
dan tidak bertanding ilmu silat, jika pertanyaannya tadi dapat dimenangkan oleh
salah satu pihak, ia harap dapatlah mengakhiri percekcokan di antara kedua
orang itu.
Pertanyaan Ko Sing-thay itu
sebenarnya lebih menguntungkan Ciok-jing-cu, sebab imam itu telah menjelajah ke
mana saja, dengan pengalamannya yang luas terang lebih menguntungkan daripada
Ui-bi-ceng yang sudah sekian lama terasing di pegunungan sunyi.
Namun biarpun Ui-bi-ceng tidak
tahu apa sebabnya Toan Ki menjadi begitu, bagi Ciok-jing-cu, kecuali menduga
kepandaian pemuda itu adalah Hoa-kang-tay-hoat ajaran iblis tua Sing-siok-hay,
lebih dari itu ia pun tidak bisa mengemukakan pendapat lain.
Maka dengan gusar Cing-sun
berkata, "Ketika Ki-ji disekap di rumah batu itu, tentu dia telah dicekoki
sesuatu obat racun apa-apa oleh Jing-bau-khek itu hingga ada ilmu sihir masuk
tubuhnya tanpa disadarinya.”
"Ya, masuk akal juga
pendapatmu ini,” ujar Po-ting-te mengangguk. "Tentu Ki-ji terkena
apa-apanya, makanya bisa begini. Ki-ji, coba katakan, waktu dikurung di rumah
batu itu, apa kau pernah pingsan?”
"Pernah,” sahut Toan Ki,
"bahkan beberapa kali Titji tak sadarkan diri.”
"Itulah dia!” seru
Cing-sun. "Pasti kesempatan pada waktu Ki-ji tak sadar itu telah digunakan
oleh Jing-baukhek untuk memasukkan ilmu sihir yang bisa menghilangkan
kepandaian orang ke dalam badannya. Maksud tujuannya tentu secara tak langsung
Ki-ji hendak dipakai untuk mencelakai sanak familinya, yaitu, supaya kepandaian
kita lenyap semua di tangan Ki-ji. Sungguh tipu muslihat yang keji dan
terkutuk. Toako, urusan tak boleh terlambat, marilah kita segera mencari akal
untuk melenyapkan ilmu sihir dalam tubuh Ki-ji itu.”
Dan di antara semua orang itu,
dengan sendirinya Si Pek-hong yang paling khawatir, tanyanya cepat,
"Ki-ji, apakah kau rasakan badanmu menderita sesuatu?”
Toan Ki berkerut kening,
sahutnya, "Antero tubuhku terasa penuh terisi tenaga belaka, di mana-mana
seakanakan melembung, tepi justru susah untuk ditumpah keluar. Hawa itu terasa
meresap ke sana-sini di dalam badan, mungkin seluruh isi perutku kacau-balau
diterjang olehnya.”
"O, kasihan!” seru Si
Pek-hong terus hendak merangkul sang putra.
Syukur Cing-sun keburu
mencegahnya sambil berkata, "Jangan menyentuh Ki-ji! Badannya keracunan.”
"Badan keracunan”, memang
demikianlah pendapat semua orang yang hadir di situ. Mereka menjadi kasihan dan
gegetun pemuda yang tampan itu mesti menderita penyakit yang aneh itu.
"Toapek, kita harus lekas
berdaya untuk menyembuhkan Ki-ji,” pinta Si Pek-hong kepada Po-ting-te.
"Harap adik ipar jangan
khawatir,” sahut Po-ting-te. "Di depan kita sekarang sudah siap seorang
Hwesio dan seorang Tosu, keduanya tokoh nomor wahid dalam Bu-lim, satu tadi
telah memaki Ki-ji habis-habisan, yang lain bahkan telah menendangnya hingga
terjungkal, dengan sendirinya penyakit Ki-ji wajib mereka sembuhkan.”
Saat itu Ui-bi-ceng dan
Ciok-jing-cu justru sedang peras otak memikirkan penyakit apa yang diderita
Toan Ki. Maka apa yang dikatakan Po-ting-te itu sama sekali tak masuk dalam
telinga mereka.
Sekonyong-konyong Ui-bi-ceng
berteriak, "He, ya!
Semua orang ikut girang dan
mengarahkan pandang kepadanya. Siapa duga padri itu lantas goyang-goyang tangan
dan menyatakan dengan menyesal, "Ah, salah, salah! Obat racun itu melulu
dapat merusak kepandaian sendiri dan tak bisa melenyapkan kepandaian pihak
lain.”
Penjelasan itu membikin semua
orang merasa kecewa.
Tiba-tiba Ciok-jing-cu juga
berseru, "Ya, tentu begitu!”
"Bagus!” teriak Sing-thay
ikut bergirang. "Nah, apa sebabnya, lekas katakan?”
Dengan berseri-seri segera
Ciok-jing-cu bercerita, "Di luar lautan sana, di pantai semenanjung
Liautang terdapat sebuah pulau ular ....” tiba-tiba wajah yang berseri-seri
tadi membuyar hingga akhirnya berubah menjadi lesu, ia geleng-geleng kepala dan
menyambung, "Wah, salah rekaanku, tak mungkin terjadi begini.”
Begitulah, suasana di dalam
ruangan itu menjadi sunyi senyap, tiada seorang pun membuka suara lagi.
Dalam keadaan hening itulah,
terdengar di luar ada tindakan orang datang dan segera ada suara seorang
berseru, "Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata-mata musuh berpura-pura
tuli dan bisu telah tertawan di luar, pada mereka terdapat tulisan-tulisan yang
tak bisa diampuni.”
Mendengar kata-kata "tuli
dan bisu”, pikiran Po-ting-te tergerak, cepat tanyanya, "Apakah
benar-benar orang bisu, atau bisu disebabkan lidah mereka terpotong?”
"Baginda memang
mahasakti, lidah kedua mata-mata itu memang bekas terpotong,” sahut pelapor di
luar.
Po-ting-te memandang sekejap
kepada Ui-bi-ceng, Ciok-jing-cu dan Toan Cing-sun, diam-diam ia membatin,
"Nyata Liong-ah Lojin juga sudah muncul, kesulitan-kesulitan selanjutnya
tentu semakin banyak lagi.”
Segera ia pun berkata,
"Thian-sik, coba keluar membawa masak kedua tamu itu!”
Thian-sik memberi hormat dan
bertindak keluar.
Tidak lama, masuklah Thian-sik
dengan membawa dua pemuda berusia antara 18 atau 19 tahun dan memberi lapor,
"Cong-pian Siansing mengirim utusan untuk menghadap Sri Baginda.”
Kiranya apa yang disebut
Liong-ah Lojin atau si Kakek Bisu Tuli itu justru sengaja memakai gelaran
"Congpian Siansing” atau si Tajam Telinga dan Tangkas Mulut. Maksudnya
mengatakan meski kuping budek, tapi dapat mendengar lebih jelas daripada orang
lain, dan meski bisu, namun kalau bicara sebenarnya jauh lebih tangkas daripada
siapa pun.
Nama tokoh bisu tuli itu
sangat tenar di dunia persilatan, tindak tanduknya agak aneh, tidak suci, tidak
jahat. Kalau ada orang bermusuhan dengan dia, maka celakalah orang itu, selama
hidupnya pasti akan selalu terlibat dalam pertempuran dengan si kakek tuli-bisu
itu, kalau sakit hatinya belum terbalas, tentu takkan selesai urusannya. Sebab
itulah, siapa pun juga, baik ilmu silatnya sama kuat atau lebih tinggi daripada
kakek itu, tentu mengindahkan dan menghormatinya untuk menghindari
kesukaran-kesukaran yang mungkin terjadi.
Sikap kedua pemuda tadi
ternyata cukup gagah, wajah putih bagus, semuanya memakai baju putih, tapi di
bagian dada tertulis dua baris huruf, "Utusan Cong-pian Siansing, ada
sesuatu urusan hendak disampaikan kepada Toan Cing-beng Siansing dari Tayli.”
Sebagai raja, nama
"Cing-beng” di negeri Tayli tidak boleh sembarangan disebut oleh siapa
pun. Tapi tulisan di dada baju pemuda itu terang-terangan menyebut
"Cing-beng Siansing” tanpa sebutan kebesaran lain, dengan sendirinya oleh
pelapor tadi dianggap perbuatan berdosa.
Namun Po-ting-te hanya
tersenyum saja, katanya, "Cong-pian Siansing ternyata sudi menyebut
Siansing padaku, hal itu sudah boleh dikatakan mengindahkan diriku.”
Kemudian kedua pemuda tadi
mendekati Po-ting-te, mereka hanya menghormat dengan membungkuk badan, tidak
berlutut dan menyembah.
Segera Thian-sik mengambil
pensil dan menulis di atas secarik kertas, "Cong-pian Siansing ada urusan
apa, boleh segera lapor kepada Hongsiang.”
Hendaklah diketahui bahwa
watak Liong-ah Lojin itu sangat aneh. Setiap anak murid atau pengikutnya,
semuanya dipotong lidah dan dirusak anak telinganya hingga berwujud orang bisu
tuli seperti dia sendiri, supaya tidak bisa mendengarkan pembicaraan orang,
tapi ia sendiri juga tak dapat bicara. Peraturan yang aneh dan istimewa itu
sudah diketahui oleh orang Kangouw umumnya.
Maka untuk menjawab pertanyaan
Thian-sik itu, dengan sendirinya kedua pemuda itu tak bisa bicara, tapi pemuda
sebelah kanan lantas menanggalkan buntelan yang dibawanya, ia mengeluarkan
sepotong baju wanita warna jambon dan dikenakan di badan sendiri, lalu
mengeluarkan bedak dan gincu untuk bersolek sekadarnya.
Pemuda yang lain lantas
membantu kawan itu melepaskan rambutnya untuk dikepang menjadi dua kucir serta
diberi pita merah pula hingga serupa dandanan gadis remaja.
Melihat kelakuan mereka, semua
orang merasa heran dan geli pula. Tapi tiada seorang pun yang dapat menerka apa
maksud tujuan Liong-ah Lojin dengan mengirim kedua utusannya ini.
Selesai pemuda itu berdandan
sebagai seorang gadis, lalu ia berjalan beberapa tindak dengan
berlenggaklenggok, kemudian melompat dan berjingkrak sebagaimana lazimnya gadis
remaja yang lincah dan riang.
Meski geli melihat kelakuan
pemuda yang menyamar sebagai gadis itu, namun semua orang menduga tindakan
Liong-ah Lojin ini tentu mempunyai maksud dalam, maka tiada seorang pun berani
tertawa.
Hanya Toan Ki saja yang tidak
kenal siapakah gerangan Liong-ah Lojin itu, dengan bertepuk tangan ia tanya
dengan tertawa, "Haha,
kau berperan sebagai nona cilik, dan dia menjadi siapa lagi?”
Pemuda yang lain ternyata
tidak menyamar apa-apa, ia sengaja mendongak dan berjalan dengan membusungkan
dada seakan-akan dunia ini aku punya. Dengan lagak tuan besar ia berjalan satu
putaran di ruangan itu, ketika sampai di depan "gadis remaja” tadi,
tiba-tiba ia mengamati-matinya dengan tersenyumsenyum, bahkan terus mencubit
perlahan pipi gadis gadungan itu.
Gadis palsu itu tampak
tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak menandakan telah bicara apa-apa. Mendadak
pemuda itu tempelkan muka dan mencium sekali pipi si gadis palsu. "Plak”,
tiba-tiba si gadis palsu memberi persen sekali tamparan kepada pemuda bangor
itu. Namun dengan cepat pemuda itu menjulurkan jari telunjuknya dan menutuk iga
si gadis palsu.
Melihat gerak tutukan jari
itu, seketika Po-ting-te, Toan Cing-sun, Ko Sing-thay, Ui-bi-ceng,
Ciok-jing-cu, Hoa Hek-kin dan kawan-kawannya sama terkejut hingga bersuara
heran. Bahkan saking heran Cing-sun dan Ciokjing-cu berbangkit dari tempat
duduknya.
Kiranya tutukan jari yang
digunakan pemuda itu, baik gayanya maupun tempat yang diarah persis adalah
kepandaian khas keluarga Toan, yaitu "It-yang-ci” yang hebat itu.
Gerak tutukan "It-yang-ci”
itu tampaknya tidak sulit, tapi sebenarnya membawa gerak perubahan yang hebat,
sekali tutuk, baik tempat yang diarah atau jaraknya, sedikit pun tidak boleh
salah, kalau tidak, daya tekanannya tak bisa dilontarkan seluruhnya.
Meski Ui-bi-ceng,
Ciok-jing-cu, Ko Sing-thay dan lain-lain tidak pernah belajar ilmu itu, tetapi
hubungan mereka dengan keluarga Toan sangat erat, maka benar atau salah
It-yang-ci yang digunakan itu cukup diketahui mereka.
Mereka pun tahu ilmu silat
Liong-ah Lojin itu adalah suatu aliran tersendiri dan tergolong lunak, sama
sekali berbeda seperti It-yang-ci yang mengutamakan kekerasan. Tapi mengapa
anak muridnya juga dapat mempelajari ilmu tutuk itu?
Hanya sekejap itu saja rasa
heran orang, sebab di tengah kalangan itu keadaan telah berubah lagi. Ketika
melihat lawan menutuk iganya, tiba-tiba si gadis palsu mengulur tangan dan
dengan cepat menangkap jari lawan. "Krek”, tahu-tahu tulang jari si pemuda
dipatahkannya.
Serangan balasan si gadis
palsu ini meski dilakukan dengan sangat aneh dan cepat, namun dapat diikuti
semua orang dengan jelas. Tapi tiada seorang pun menduga sebelumnya bahwa gadis
palsu itu bisa melontarkan tipu
serangan itu.
Maka menyusul pemuda tadi
melangkah maju, kembali jari tangan kiri menutuk ke dada si gadis palsu, tipu
serangan yang dipakai tetap bergaya It-yang-ci. Tapi ketika kedua tangan si
gadis palsu menyambar, "krek”, lagi-lagi jari pemuda itu dipatahkan.
Meski dua jarinya sudah patah,
namun, pemuda itu seperti tidak kenal apa artinya sakit, ia masih tetap
menyerang terus, hanya sekejap saja kembali ia keluarkan enam gerak It-yang-ci.
Tapi gadis palsu itu pun dapat menangkis dengan cepat dan menggunakan enam
gerakan yang berbeda-beda untuk mematahkan serangan jari si pemuda.
Karena delapan jarinya telah
dipatahkan dan tinggal dua buah jari jempol saja, pemuda itu tidak berani
menyerang pula, ia putar tubuh dan terus melarikan diri ke samping. Si gadis
palsu bertepuk tangan dengan tertawa sebagai tanda sangat senang. Menyusul ia
lantas ambil pensil dan menulis di atas kertas, "Keluarga Toan dari Tayli,
tak bisa menangkan Buyung di Koh-soh.”
Habis menulis, segera si
pemuda yang patah jarinya itu digandengnya pergi.
"Nanti dulu!” segera
Thian-sik bermaksud mencegat.
Namun Po-ting-te goyang-goyang
kepala dan berkata, "Biarlah mereka pergi!”
Sesudah kedua pemuda itu
pergi, pikiran semua orang merasa tertekan, mereka paham bahwa maksud Liongah
Lojin mengirim kedua utusannya itu adalah untuk menunjukkan kepada Po-ting-te
dan Toan Cing-sun bahwa orang she Buyung di Koh-soh itu sudah mempunyai ilmu
khusus untuk mematahkan It-yang-ci.
Walaupun It-yang-ci itu kalau
dimainkan Po-ting-te atau Toan Cing-sun, daya tekannya tentu jauh lebih lihai
daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi sama halnya pihak lawan juga cuma
seorang gadis remaja saja, kalau orang dewasa yang memainkan, dengan sendirinya
kekuatannya juga jauh lebih hebat.
Yang harus dipuji adalah si
pemuda bisu-tuli tadi ternyata bisa menirukan gerakan kedelapan jurus
It-yang-ci dengan sangat tepat, meski cara mengerahkan tenaganya masih banyak
kesalahannya, tapi gayanya yang indah itu sedikit pun tidak keliru. Sebaliknya
cara si gadis palsu itu mematahkan jari-jarinya itu terlebih hebat dan aneh
pula, perubahan-perubahan ternyata sukar diduga.
Namun Po-ting-te ternyata
tidak mau mempersoalkan hal itu, dengan tersenyum ia tanya Ciok-jing-cu,
"Ciok-
heng, jauh-jauh kau datang
kemari, apakah ada hubungannya dengan persoalan orang Buyung di Koh-soh itu?”
"Tidak, tiada sangkut
pautnya dengan orang Buyung di Koh-soh,” sahut Ciok-jing-cu menggeleng kepala.
"Tapi besar sangkut pautnya dengan keluarga Toan kalian. Anak murid Toan
kalian telah keterlaluan menggemparkan kota Yangciu. Kaisar kerajaan Song
mungkin tidak enak mengusut perkara itu mengingat nama baikmu, tapi orang-orang
Bu-lim dari Tionggoan merasa penasaran padamu.”
Keruan Po-ting-te terkejut,
cepat tanyanya, "Mana bisa jadi begitu? Keturunan keluarga Toan kami
melulu Kiji seorang, tapi selamanya ia tidak pernah meninggalkan wilayah Tayli,
dari mana bisa mengacaukan kota Yangciu?”
"Yangciu-sam-hiong, yaitu
He Hou-siu, Kim Tiong dan Ong Siok-kian, dan anggota keluarga laki-laki mereka
yang berjumlah 28 jiwa dalam semalam saja telah tewas semua di bawah tutukan
It-yang-ci,” demikian tutur Ciok-jing-cu, "Toan-hongya, katakanlah, dosa
apakah Yangciu-sam-hiong itu terhadap Toan-keh kalian?”
"Dua puluh delapan jiwa
mati semua di bawah tutukan It-yang-ci, apa betul dan tidak salah lihat,
Cioktoheng?” sahut Po-ting-te.
"Cara It-yang-ci membunuh
orang sangat halus, pihak yang terkena seluruh badan terasa nikmat, anggota
badan juga hangat tanpa derita sedikit pun, makanya korban tetap bersenyum
tanpa luka, betul tidak begitu tanda terkena It-yang-ci?” tanya Ciok-jing-cu.
"Sedikit pun tidak salah
cara hidung kerbau melukiskan itu, seakan-akan dia sendiri pernah mencicipi
rasanya It-yang-ci,” ujar Cing-sun dengan tertawa.
Namun Ciok-jing-cu tidak bisa
tertawa lagi, katanya dengan sungguh-sungguh, "Anggota keluarga Yangciusam-hiong
yang terbunuh itu semuanya mati dengan wajah tersenyum, pada badan mereka pun
tiada tanda luka apa-apa.”
"Tapi mayat mereka lemas
seperti orang hidup, sedikit pun tidak kaku bukan?” sela Cing-sun.
"Ya,” sahut Ciok-jing-cu.
"Kita tahu ada beberapa macam racun bila membinasakan orang, wajah sang
korban juga tampak tersenyum-senyum, namun tiada sesuatu ilmu lain lagi di
dunia ini yang bisa menjadikan mayat sang korban tetap lemas tanpa kaku sedikit
pun seperti halnya korban yang terkena It-yang-ci.”
"Tapi di antara anak
murid dan keturunan keluarga Toan kami, sampai kini melulu Ki-ji seorang saja,
sedangkan dia sampai saat ini
belum pernah belajar It-yang-ci,” ujar Cing-sun.
"Ciok-toheng,” kata
Po-ting-te. "Kau bilang anggota keluarga Yangciu-sam-hiong yang terbunuh
itu adalah kaum laki-laki semua, jika begitu kaum wanitanya tentu masih hidup
dan telah melihat wajah si pembunuh itu?”
"Menurut cerita He-hujin
dan Ong-hujin, katanya pembunuh itu memakai kedok kain hijau, mukanya tidak
jelas kelihatan, cuma menurut taksiran usianya masih muda,” sahut Ciok-jing-cu.
Po-ting-te menghela napas dan
memandang sekejap kepada Toan Cing-sun.
Maka berkatalah Cing-sun,
"Ciok-toheng, putraku ini kesurupan ilmu sihir, orang yang mencelakainya
itu justru adalah anggota keluarga Toan kami sendiri, orang itu terkenal
sebagai ‘Thian-he-te-it-ok-jin’ (orang jahat nomor satu di jagat ini).”
Lalu ia bercerita cara
bagaimana Toan Ki diculik dan dikurung oleh Yan-king Taycu di dalam rumah batu
itu, kemudian Ui-bi-ceng berusaha menolongnya.
Pertandingan antara Yan-king
Taycu dan Ui-bi-ceng sebenarnya dimenangkan Yan-king, tetapi Cing-sun sengaja
bilang Yan-king Taycu salah menjalankan caturnya hingga mengaku kalah.
Karena itu Ui-bi-ceng lantas
berkata, "Toan-ongya tidak perlu menutupi maluku, pertandingan itu terang
aku yang kalah. Seumpama Gu-pit-cu yang melawan Yan-king Taycu, dia juga pasti
akan kalah.”
"Ah, belum tentu,” sahut
Ciok-jing-cu.
"Jika begitu, marilah
kita boleh coba-coba satu babak,” kata Ui-bi-ceng.
"Bagus, aku justru ingin
minta petunjuk padamu,” kontan Ciok-jing-cu terima tantangan itu.
"Hahaha, sungguh
menertawakan orang,” tiba-tiba Ui-bi-ceng terbahak-babak.
"Apa yang menggelikanmu?”
tanya Ciok-jing-cu mendongkol.
"Aku tertawa karena ada
orang begitu tolol,” sahut Ui-bi-ceng. "Sudah terang kejahatan itu
dilakukan anak murid Toan Yan-king, tapi Toan-hongya yang dimintai tanggung
jawabnya.”
Muka Ciok-jing-cu menjadi
merah, sahutnya, "Memangnya kalau anak murid Toan Yan-king itu bukan anak
murid keluarga Toan? Toan Yan-king itu she Toan atau bukan?”
"Ah, pokrol bambu!” sahut
Ui-bi-ceng.
"Ah, ngaco-belo!” jengek
Ciok-jing-cu tak mau kalah.
Po-ting-te sudah biasa
menyaksikan pertengkaran kedua tokoh itu, maka ia hanya tersenyum saja, katanya
kemudian, "Cong-pian Siansing telah menyaksikan gadis keluarga Buyung
mematahkan ilmu It-yang-ci, boleh jadi pemuda yang coba menggoda si gadis yang
dimaksudkan itulah si pembunuh Yangciu-sam-hiong.”
Bicara sampai di sini,
tiba-tiba sikapnya berubah kereng, katanya pula, "Sun-te, menurut pesan
leluhur, soal permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim, jelas kita tak boleh
ikut campur. Tapi sekarang ternyata ada orang menggunakan It-yang-ci untuk
melakukan kejahatan di luaran, hal mana rasanya keluarga Toan kita tidak boleh
tinggal diam lagi.”
"Benar,” sahut Cing-sun.
Dalam hati kedua saudara itu
sebenarnya mempunyai pikiran yang sama, cuma tidak mereka katakan. Kalau
ternyata orang she Buyung di Koh-soh itu mampu menggunakan ilmu lihai untuk
mematahkan jari anak murid keluarga Toan dan hal ini didiamkan saja, tentu nama
baik keluarga Toan di Tayli akan sangat dirugikan.
Maka Po-ting-te lantas
berkata, "Sun-te, hendaknya segera membawa serta Sam-kong Su-un (tiga
tokoh dan empat jago, maksudnya Pah Thian-sik bertiga dan Leng Jian-li
berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk menemui Hian-cu Taysu, sekalian boleh
juga belajar kenal dengan ilmu silat keluarga Buyung di Koh-soh yang lihai itu.
Yan-king Taycu adalah keturunan lurus dari mendiang raja yang dulu, kalau ketemu
dia hendaklah berlaku sopan dan menghormatinya. Kalau anak muridnya ada berbuat
sesuatu yang tidak senonoh, paling baik selidiki dulu hingga terang, lalu
tangkap dan serahkan pada Yan-king Taycu untuk dihajar sendiri, kita jangan
sembarangan mencelakai mereka.”
Cing-sun dan ketiga tokoh
serta empat jago sama mengiakan menerima titah baginda itu.
Melihat Ko Sing-thay ada
maksud ingin ikut serta, dengan tersenyum Po-ting-te berkata, "Jago-jago
kita seakan-akan dikerahkan semua, biarlah Sian-tan-hou tinggal di rumah untuk
membantu aku saja.”
Ko Sing-thay mengiakan atas
titah itu.
"Pekhu,” tiba-tiba Toan
Ki berkata, "bolehkah Titji ikut pergi bersama ayah untuk menambah
pengalaman?”
Po-ting-te menggeleng kepala,
sahutnya, "Badanmu kesurupan ilmu sesat, aku masih harus menyembuhkan kau,
apalagi kau tak bisa ilmu silat, kalau ikut pergi mungkin malah bikin malu
keluarga Toan kita saja.”
Wajah Toan Ki menjadi merah,
baru sekarang ia menyesal mengapa dahulu tidak belajar silat hingga kini tak
boleh ikut pesiar ke Tionggoan yang indah permai itu.
Dalam pada itu perjamuan untuk
menyambut kedatangan Ciok-jing-cu lantas dilangsungkan dengan meriah. Toan Ki
duduk menyendiri, orang lain tiada yang berani mendekatinya, sebab khawatir
tersentuh racun jahat di tubuh pemuda itu.
Tentu saja yang paling kesal
adalah Toan Ki karena seakan-akan terasing dari pergaulan, sedangkan hawa murni
dalam badannya masih terus bergolak karena tak bisa dipusatkan.
Semakin lama duduk di situ,
semakin tak tahan Toan Ki, hanya minum dua cawan arak ia lantas mohon diri
untuk kembali ke kamarnya. Teringat olehnya pengalaman yang aneh selama
beberapa hari ini, ia terkenang pada Bok Wan-jing dan Ciong Ling, kedua nona
jelita yang baru dikenalnya itu entah ke mana perginya sekarang.
Terpikir juga olehnya putri Ko
Sing-thay, Ko Bi, yang telah dilamarkan oleh kedua orang tuanya itu, nona itu
selama ini tidak pernah dilihatnya, entah bagaimana perangainya dan cocok tidak
dengan dirinya, pula entah cantik atau jelek makanya.
Begitulah Toan Ki rebah di
ranjang dengan macam-macam pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, hawa murni
dalam badannya masih terus bergolak tak keruan rasanya, walaupun deritanya
tidak sehebat seperti berkobarnya nafsu waktu minum Im-yang-ho-hap-san, tapi
rasanya juga sukar ditahan, syukurlah akhirnya ia dapat tidur pula.
Sampai tengah malam, mendadak
ia terjaga dari tidurnya ketika merasa kedua tangannya digenggam kencang oleh
orang, dan baru saja mulutnya terpentang hendak menjerit, tahu-tahu sepotong
kain dijejalkan ke dalam mulutnya.
Waktu ia berpaling sedikit, di
bawah sinar lilin remang-remang ia lihat seraut wajah yang putih cakap sedang
tersenyum padanya. Itulah Ciok-jing-cu adanya.
Cepat ia berpaling pula ke
sisi lain, yang pertama-tama tertampak olehnya adalah dua jalur alis kuning
yang panjang melambai, itulah dia Ui-bi-ceng. Muka padri yang kurus itu pun mengunjuk
senyum penuh welas asih dan sedang mengangguk perlahan sebagai tanda agar
pemuda itu jangan khawatir. Menyusul ia lantas keluarkan kain penyumbat mulut
Toan Ki tadi.
Toan. Ki merasa lega melihat
tokoh itu, segera ia merangkak bangun untuk memberi hormat. Namun Ciokjing-cu
lantas berkata padanya, "Hiantit tak perlu banyak adat, hendaklah rebah
saja dengan tenang, biar kami berdua menyembuhkan racun jahat dalam tubuhmu.”
"Sungguh Wanpwe merasa
terima kasih harus membikin susah kedua Cianpwe,” kata Toan Ki.
"Kami berdua adalah kawan
karib pamanmu, hanya sedikit urusan ini, kenapa mesti dipikirkan?” sahut
Ui-biceng.
"Sedikit urusan? Huh,
jangan membual dahulu, Hwesio,” jengek Ciok-jing-cu tiba-tiba. "Dapat
tidak kita sembuhkan dia masih harus melihat hasilnya dulu.”
Selagi Toan Ki hendak berkata
pula, sekonyong-konyong terasa kedua telapak tangannya tergetar, dua arus hawa
sekaligus merembes masuk dari kanan-kiri, badan Toan Ki terguncang sedikit,
mukanya menjadi merah membara seakan-akan orang mabuk arak.
Kedua arus hawa murni itu
mula-mula berkeliaran kian kemari di antara urat-urat nadinya, tapi kemudian
semakin lemah dan semakin lambat, akhirnya lantas lenyap. Menyusul dari telapak
tangan yang dipegang Uibi-ceng dan Ciok-jing-cu itu terasa merembes masuk lagi
hawa murni yang lain.
Begitulah kira-kira sepertanak
nasi lamanya, Toan Ki merasa separuh tubuh bagian kanan semakin lama semakin
panas, sebaliknya separuh tubuh sisi kiri makin lama makin dingin, yang kanan
seperti dibakar, yang kiri seperti direndam es. Tapi aneh bin ajaib, biarpun
panas dingin rasanya, namun nikmatnya tak terkatakan. Ia
tahu kedua tokoh terkemuka itu
sedang menggunakan Lwekang mereka yang tinggi untuk mengusir racun dalam
tubuhnya.
Sudah tentu apa yang diduga
Toan Ki itu tidak benar seluruhnya.
Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu
entah sudah berapa kali bertanding, baik mengadu kecerdasan maupun mengadu
ketangkasan, dari pertandingan kasar sampai perlombaan secara halus, namun
selalu sama kuat hingga sukar ditentukan siapa lebih unggul.
Ketika mereka bertengkar dan
saling sindir pula siang tadi, keduanya sama-sama masih mendongkol. Sampai
tengah malam, diam-diam kedua orang itu mengeluyur ke taman untuk berunding
cara bagaimana harus bertanding lagi. Akhirnya acara jatuh pada diri Toan Ki,
mereka sepakat untuk menyembuhkan pemuda itu sebagai batu ujian mereka.
Dahulu sudah dua kali mereka
bertanding Lwekang dan banyak membuang tenaga, untung ditolong oleh Poting-te
hingga jiwa mereka dapat diselamatkan. Karena itu, sekarang mereka ingin
memberi jasa-jasa baik bagi Po-ting-te untuk mengusir racun dalam tubuh Toan
Ki. Sebab, kalau bicara tentang menyembuhkan penyakit dengan Lwekang di dunia
ini rasanya tiada yang lebih kuat daripada It-yang-ci, cuma tenaga dalam yang
harus dikorbankan si pemakai It-yang-ci itu terlalu besar.
Dari itu Ui-bi-ceng dan
Ciok-jing-cu telah bersepakat untuk menyembuhkan Toan Ki masing-masing separuh
badan, kanan dan kiri, siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang.
Hwesio dan Tosu itu sudah
pernah merasakan kelihaian racun dalam tubuh Toan Ki itu. Mereka tahu begitu
menyenggol badan pemuda itu, tenaga dalam mereka segera akan buyar. Sebab
itulah, begitu mulai, terus saja mereka mengerahkan sepenuh tenaga, sedikit pun
tidak berani ayal, pikir mereka dengan tenaga kedua jago pilihan seperti
mereka, paling-paling cuma racunnya tidak bersih dilenyapkan, tapi pasti tiada
halangan bagi kesehatan Toan Ki.
Tak mereka duga bahwa apa yang
mengeram di dalam tubuh Toan Ki itu hakikatnya bukan racun apa segala, tapi
adalah semacam ilmu sakti yang bisa menyedot hawa murni orang yaitu tenaga
sakti yang berasal dari sepasang katak Bong-koh-cu-hap yang merupakan makhluk
mestika di alam ini. Karena katak-katak itu telah dimakan oleh Toan Ki, maka
khasiat yang berada pada katak-katak itu sudah terlebur di dalam tubuh pemuda
itu hingga tiada mungkin dilenyapkan lagi. Apalagi daya isap tenaga Cu-hap itu
memang sangat kuat, ditambah lagi hawa-hawa murni dari Lwekang yang dilatih
Boh-tam berenam, maka tenaga dalam yang dimiliki Toan Ki tatkala itu
sesungguhnya sudah tidak di bawahnya Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Cuma saja
Toan Ki tak bisa menjalankan dan menggunakan tenaganya itu. Namun begitu,
setiap kali Hwesio dan Tosu itu mengerahkan tenaga mereka, keruan seperti air
mengalir ke laut saja, seketika kena disedot oleh Cu-hap-sin-kang dalam
tubuhnya Toan Ki.
Sebenarnya urusan memang juga
sangat kebetulan, rupanya sudah takdir ilahi dalam hidup Toan Ki harus
mengalami kejadian itu. Coba kalau bukan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu dengan
sukarela mau menyalurkan tenaga murni mereka ke dalam tubuh Toan Ki, betapa pun
kuat daya isap Cu-hap-sin-kangnya Toan Ki juga susah untuk menyedot Lwekang
kedua tokoh kelas wahid itu, paling tidak mereka pasti mampu melepaskan diri
dari daya isap itu.
Dan sebabnya badan Toan Ki
bisa terasa panas-dingin pada kedua sisi tubuhnya itu adalah karena apa yang
diyakinkan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu itu memang berbeda-beda si Hwesio
meyakinkan ilmu keras dari unsur Yang, sebaliknya si Tosu meyakinkan ilmu bersumber
pada unsur Im yang lunak. Dasar agama mereka pun berbeda, ilmu yang diyakinkan
pun berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak mungkin dipersatukan.
Dalam pada itu dirasakan
tenaga yang mereka kerahkan ke badan Toan Ki selalu lenyap seperti air mengalir
ke laut, sedikit pun tak bisa ditarik kembali lagi. Hal ini tidak pernah mereka
alami. Semakin kuat mereka mengerahkan tenaga semakin cepat pula lenyapnya
Lwekang mereka.
Semula mereka terus bertahan
oleh karena rasa ingin menang, tapi setelah setengah jam kemudian, jantung
Uibi-ceng dan Ciok-jing-cu mulai berdebar dan tenaga mulai macet.
Ui-bi-ceng sadar
ketidakberesan hal itu, kalau diteruskan pasti antero Lwekangnya akan ludes
sama sekali. Segera ia berkata, "Ciok-toheng, urusan ini agak ganjil,
marilah kita berhenti sementara untuk mempelajari apa sebab musababnya?”
Sebenarnya Ciok-jing-cu juga
mempunyai maksud begitu, tapi karena rasa ingin menangnya, ia pikir orang telah
lebih dulu minta padanya, maka ia sengaja menjawab, "Jika tenaga Taysu kurang
cukup, silakan mundur dulu, tidak mungkin kupaksa orang yang tidak tahan lagi.”
Ui-bi-ceng menjadi gusar,
"Hidung kerbau, betapa tinggi kepandaianmu memangnya aku tidak tahu? Him,
kau berlagak gagah apa?”
Ciok-jing-cu juga tahu tenaga
mereka sebenarnya setali-tiga-uang alias sama kuat. Tapi tempo hari si Hwesio
sudah menempur Yan-king Taysu, Lwekang yang dikorbankan tentu sangat besar,
inilah kesempatan yang sukar dicari, dirinya pasti dapat mengalahkan dia, bila
kesempatan bagus ini dilewatkan, mungkin sampai mati kelak kedua orang tetap
susah menentukan kalah dan menang.
Karena pikiran itulah, maka
Ciok-jing-cu tetap bertahan sekuatnya dengan harapan lawan terpaksa akan
undurkan diri lebih dulu.
Tak terduga Ui-bi-ceng juga
mempunyai wataknya sendiri. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang dan sabar,
suka mengalah. Tapi terhadap Ciok-jing-cu sungguh aneh sifatnya, asal bertemu
tentu marah, betapa pun tidak mau mengalah.
Setelah bertahan lagi
sebentar, tenaga murni dalam tubuh Toan Ki semakin penuh, daya sedotnya semakin
kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih terus merembes keluar,
segera mereka hendak menarik tangan, akan tetapi sudah tidak dapat lagi, dalam
gugup mereka terpaksa soal pertandingan mereka itu harus dikesampingkan dan
berbareng lepas tangan hendak meninggalkan badan Toan Ki.
Namun sudah telat, daya sedot
Toan Ki teramat kuat, tenaga mereka bertambah lemah, tenaga murni mereka yang
terlatih selama puluhan tahun itu sebagian besar sudah mengalir ke badan Toan
Ki, sisa tenaga mereka tinggal sedikit saja, dengan sendirinya tangan mereka
seperti lengket di badan pemuda itu dan tak bisa ditarik kembali, jadi mirip
seperti Boh-tam berenam tempo hari.
Ui-bi-ceng saling pandang
sekejap dengan Ciok-jing-cu, pikir mereka, "Sebabnya bisa terjadi begini,
semua gara-gara karena rasa ingin menang. Bila sejak tadi lepas tangan ketika
mengetahui gelagat tidak enak, tentu tidak sampai demikian jadinya.”
Dan tidak lama Hwesio dan Tosu
itu mulai lesu dan lemas, napas mereka sudah kempas-kempis. Celakanya dalam
peristiwa ini Toan Ki sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, kalau tahu bakal
begitu, sejak mula tentu dia tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu,
perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, betapa pun
tidak mungkin dilakukannya.
Tapi ia justru mengira kedua
Locianpwe itu sedang mengusir racun guna menyembuhkannya, hawa murni dalam
tubuhnya terasa bergolak bagai air bah membanjir, makin lama makin keras,
sampai akhirnya saking panasnya ia menjadi mabuk dan seperti orang tertidur
pulas, maka terhadap bahaya yang sedang mengancam Ui-bi-ceng berdua itu sama
sekali tak disadarinya.
Dalam keadaan begitu, asal
lewat setengah jam lagi, Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu pasti akan menjadi cacat
selama hidupnya. Untunglah pada detik berbahaya itu, tiba-tiba pintu kamar
didobrak orang dan masuklah seorang yang bukan lain adalah Po-ting-te.
"Celaka!” serunya kaget
melihat keadaan ketiga orang itu. Cepat ia tarik lengan baju Ui-bi-ceng dan
dibetot hingga terlepas dari lengketan Toan Ki. Menyusul ia pun menarik
Ciok-jing-cu dan berkata, "Kalian berdua asal ketemu tentu terjadi gara-gara,
sudah kucari kalian, siapa tahu kalian justru bersembunyi dan sedang main gila
di sini.”
Dan ketika melihat keadaan
kedua tokoh itu sangat payah, dengan gegetun katanya pula, "Ai, usia
kalian sudah sekian tua, urusan apa lagi yang mesti kalian ributkan terus? Dengan
pertarungan ini, tidak sedikit pula tenaga yang telah kalian korbankan.”
Ia coba memegang nadi
Ui-bi-ceng dan terasa denyutnya sangat lemah, waktu memeriksa Ciok-jing-cu,
keadaannya serupa. Berulang Po-ting-te menggeleng kepala, disangkanya kedua orang
itu mengulangi lagi apa yang terjadi dahulu, yaitu keduanya sama-sama mengalami
cedera. Sudah tentu tak terduga olehnya bahwa tenaga murni kedua orang itu
justru kena disedot oleh sang keponakan.
Dan ketika melihat Toan Ki tak
sadarkan diri, ia malah menyangka keponakan itu menjadi korban pertandingan
kedua tokoh itu. Cepat ia pun memeriksa nadinya, namun jalannya baik-baik saja,
bahkan terasa ada sesuatu tenaga sedot yang sangat kuat hendak mengisap tenaga
dalamnya.
Keruan Po-ting-te terkejut dan
ragu, sebab kalau melihat keadaan begitu, agaknya tenaga dalam kedua tokoh
Hwesio dan Tosu itu yang telah terisap ke dalam tubuh sang keponakan malah.
Ia pikir sejenak, lalu
memanggil dayang istana pangeran agar membawa Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu ke
kamar yang terpisah untuk istirahat.
Esok paginya, Toan Cing-sun
beserta Sam-kong Su-un memohon diri kepada kakak baginda dan sang istri untuk
berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-cin dan Hui-sian.
Meski hatinya masih khawatir
karena keadaan sang putra yang keracunan itu, tapi mengingat kakak bagindanya
sudah turun tangan sendiri, tentu takkan terjadi apa-apa. Sebelum berangkat,
Cing-sun coba tengok Toan Ki, ia merasa lega ketika melihat pemuda itu masih
tidur nyenyak dengan wajah merah bercahaya.
Setelah mengantarkan
keberangkatan adik pangeran dan para kesatria, Po-ting-te lantas pergi
memeriksa keadaan Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu. Ia lihat kedua tokoh itu sedang
bersemadi di kamar masing-masing. Wajah Ui-bi-ceng tampak pucat, badan gemetar.
Sebaliknya muka Ciok-jing-cu merah membara bagai terbakar, terang kedua orang
itu sama-sama terluka parah, tenaga murni mereka banyak terbuang.
Segera Po-ting-te menutuk
dengan It-yang-ci pada Hiat-to penting masing-masing dan kemudian baru pergi
menjenguk keadaan Toan Ki.
Tapi baru saja sampai di luar
kamar pemuda itu, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan gemerencang keras.
Dayang yang jaga di luar kamar tampak sangat khawatir, mereka berlutut
menyambut kedatangan raja dan melapor, "Secu (putra pangeran) kesurupan
dan sedang ... sedang kumat, dua Thayih (tabib istana) sedang
mengobatinya di dalam.”
Po-ting-te mengangguk dan
masuk ke dalam kamar. Ia lihat Toan Ki sedang berjingkrak-jingkrak di dalam
kamar sambil mengubrak-abrik isi kamar seperti meja-kursi, mangkuk-piring dan
lain-lain. Kedua Thayih tampak bersembunyi kian kemari untuk menghindari
"piring terbang” yang mungkin menyambar kepala mereka.
"Ki-ji, kenapa kau?”
tanya Po-ting-te segera. Meski tangannya mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih
jernih sekali, hanya hawa murni dalam tubuh itu terlalu penuh hingga rasanya
seakan-akan meletuskan kulit badannya, saking tak tahan, maka ia menggeraki
anggota badan sekenanya hingga perabot di dalam kamar dirusaknya, tapi aneh,
asal kaki-tangannya bergerak, rasa hawa dalam badan itu menjadi longgar.
Ketika melihat pamannya masuk,
segera Toan Ki berseru, "Pekhu, wah, celakalah aku!”
Berbareng kedua tangannya
masih terus bergerak serabutan.
"Bagaimana rasanya?”
tanya Po-ting-te.
"Seluruh badanku rasanya
seperti melembung,” sahut Toan Ki. "Pekhu, harap buangkan sedikit
darahku.”
Po-ting-te pikir mungkin ada
faedahnya juga cara itu, segera katanya kepada salah seorang Thayih, "Coba
ambil sedikit darahnya.”
Tabib itu mengiakan dan segera
membuka peti obatnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak porselen dan mengambil
seekor lintah yang besar dan gemuk, ia taruh lintah itu di urat darah lengan
Toan Ki agar darahnya diisap lintah itu.
Oleh karena tabib itu tidak
bisa ilmu silat, dalam badan tidak terdapat tenaga murni latihan Lwekang, maka
ia tidak terpengaruh oleh daya sedot dalam tubuh Toan Ki yang lihai itu. Akan
tetapi begitu lintah itu menempel lengan Toan Ki, terus saja binatang itu
berkelojotan dan tidak berani menggigit lengan yang disediakan itu.
Tentu saja tabib itu heran,
sekuatnya ia tekan lintah itu di atas lengan Toan Ki agar darahnya terisap,
tapi hanya sebentar saja, bukannya mengisap darah, sebaliknya tahu-tahu lintah
itu mati.
Karena kepandaiannya tidak
becus di hadapan raja, tabib itu menjadi gugup hingga mandi keringat, cepat ia
keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa yang tadi, hanya sebentar binatang itu
juga mati kaku di atas lengan Toan Ki.
Melihat itu, si tabib menjadi
putus asa, cepat ia berkata, "Lapor Hongsiang, badan Secu keracunan
mahajahat, sampai lintah juga mati keracunan.”
Ia tidak tahu bahwa
Cu-hap-sin-kang yang terdapat di badan Toan Ki itu, jangankan cuma lintah,
sekalipun ular yang paling berbisa bila mencium baunya juga akan menyingkir
jauh-jauh dengan takut.
Po-ting-te menjadi khawatir
juga, cepat tanyanya, "Keracunan apakah sebenarnya, kenapa begitu lihai?”
"Menurut pendapat hamba,”
demikian kata tabib yang lain, "denyut nadinya sangat keras dan panas,
tentu terkena semacam racun ganas yang jarang terdapat, adapun namanya ....”
"Bukan,” tiba-tiba tabib
yang satu lagi menyela, "denyut nadi lemah dan dingin, racunnya tentu
tergolong dingin, harus disembuhkan dengan obat yang bersifat panas.”
Kiranya dalam tubuh Toan Ki
terdapat tenaga murni Ui-bi-ceng dari unsur Yang (panas), dan terdapat pula
tenaga murni Ciok-jing-cu dari unsur Im mahadingin, makanya kedua tabib itu
mempunyai pendapat berbeda.
Melihat kedua tabib itu tiada
persesuaian paham, padahal kedua orang ini adalah tabib istana terpandai, tapi
tak berdaya terhadap penyakit Toan Ki, maka dapat dibayangkan racun dalam tubuh
pemuda itu sesungguhnya sangat aneh.
Dalam pada itu Toan Ki masih terus
berjingkrak-jingkrak sambil menarik dan menyobek baju sendiri hingga tak keruan
macamnya, Po-ting-te menjadi tak tega, pikirnya, "Rasanya soal ini harus
dimintakan pemecahannya ke Thian-liong-si.”
Maka katanya segera,
"Ki-ji, biarlah kubawa dirimu menemui beberapa orang tua, kukira mereka
dapat menyembuhkanmu.”
Toan Ki mengiakan. Karena
rasanya semakin menderita, yang dia harap asal lekas sembuh, maka cepat ia
ganti pakaian dan ikut sang paman keluar istana, masing-masing menunggang
seekor kuda terus dilarikan ke arah barat-laut.
Thian-liong-si yang dikatakan
itu terletak di puncak Thian-liong di arah barat laut kota Tayli.
Puncak itu merupakan puncak
utara pegunungan Thian-liong yang lerengnya memanjang dari barat-laut dan
berakhir di wilayah Tayli. Leluhur keluarga Toan yang wafat semuanya dikubur di
pegunungan itu.
Pegunungan Thian-liong yang
panjang itu mirip seekor naga raksasa, maka puncak utama itu menjadi seperti
kepala naga, dan di situlah leluhur keluarga Toan dikubur. Dan oleh karena leluhur
keluarga Toan yang menjadi raja akhirnya cukur rambut menjadi Hwesio, maka
semuanya tinggal di Thian-liong-si.
Sebab itulah Thian-liong-si
merupakan kuil kerajaan yang terpuja. Karena itu juga maka kuil itu sangat
megah dan terawat baik, biarpun kuil ternama di daerah Tionggoan seperti
Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi dan lainlain yang merupakan pegunungan terkenal
dengan kuilnya yang indah, kalau dibandingkan Thian-liong-si mungkin juga
kalah. Cuma lelah Thian-liong-si itu terpencil di daerah perbatasan, maka
namanya tidak terkenal.
Setelah ikut sang paman sampai
di biara itu, Toan Ki melihat kemegahan Thian-liong-si boleh dikatakan tidak
kalah daripada istana di Tayli.
Thian-liong-si adalah tempat
yang sering didatangi Po-ting-te. Meski dia diagungkan sebagai raja, tapi
Hwesio dalam kuil itu banyak yang terhitung angkatan lebih tua, maka
Ti-kek-ceng atau Hwesio penyambut tamu dengan hormat menyambut kedatangan dan
tidak terlalu gugup seperti umumnya orang biasa bila mendadak bertemu dengan
seorang raja.
Po-ting-te dan Toan Ki lebih
dulu menemui ketua Thian-liong-si, Thian-in Taysu.
Menurut silsilah, bila
Thian-in Taysu itu tidak jadi Hwesio, beliau terhitung paman Po-ting-te.
Sebagai orang beragama, padri itu tidak kukuh lagi pada urutan umur dan perbedaan
pangkat, kedua orang saling menghormat dengan derajat sama. Lalu secara ringkas
Po-ting-te ceritakan kejadian Toan Ki kesurupan racun jahat itu.
Setelah berpikir sejenak,
kemudian Thian-in berkata, "Marilah ikut padaku ke Bo-ni-tong untuk
menemui ketiga Suheng dan Sute di sana.”
"Terpaksa mesti
mengganggu ketenteraman para Taysu, sungguh dosa Cing-beng tidak kecil,” ujar
Po-ting-te.
"Tin-lam-secu adalah
calon putra mahkota kerajaan kita, urusan keselamatannya besar sangkut pautnya
dengan kesejahteraan negara. Padahal kepandaianmu jauh di atasku, namun sudi
datang bertanya padaku, maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana,”
demikian kata Thian-in.
Begitulah setelah menyusuri
serambi samping dan belasan ruangan lain, akhirnya Thian-in membawa Po-tingte
dan Toan Ki sampai di depan beberapa buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun
dengan kayu cemara, dindingnya dari papan kayu yang tak terkupas kulitnya,
berbeda sekali dengan rumah lain yang dibangun secara megah itu. Malahan di
antara dinding dan pilar kayu sudah banyak yang lapuk hingga lebih mirip
perumahan kaum pemburu di pegunungan.
Dengan wajah serius Thian-in
merangkap tangan dan berkata ke dalam rumah itu, "Omitohud, Thian-in
mempunyai sesuatu kesulitan, terpaksa mesti mengganggu ketenteraman ketiga
Suheng dan Sute.”
"Hongtiang silakan
masuk!” demikian sahut seorang dari dalam.
Perlahan Thian-in mendorong
pintu kayu dan melangkah masuk diikuti Po-ting-te dan Toan Ki. Pintu itu
mengeluarkan suara berkeriut ketika didorong, suatu tanda jarang sekali
digunakan orang untuk masuk-keluar.
Toan Ki menjadi heran ketika
melihat di dalam rumah itu terdapat empat Hwesio yang duduk terpisah di empat
bangku batu, padahal tadi ia dengar Thian-in mengatakan ketiga Suheng dan Sute.
Ketiga Hwesio yang duduk
menghadap keluar itu, dua di antaranya bermuka kurus kering, sebaliknya yang
seorang lagi sehat kuat. Hwesio keempat yang duduknya di pojok timur sana
menghadap dinding dan tidak bergerak sedikit pun, sejak mula juga tidak
berpaling.
Po-ting-te kenal kedua padri
yang kurus itu masing-masing bergelar Thian-koan dan Thian-siang, keduanya
Suheng Thian-in. Sedang padri yang kekar itu bernama Thian-som adalah Sutenya.
Po-ting-te cuma tahu
Bo-ni-tong itu dihuni tiga padri saleh dan tidak tahu masih ada seorang lain,
yaitu Hwesio keempat yang duduk menghadap dinding itu.
Dengan membungkuk tubuh
Po-ting-te memberi hormat. Thian-koan bertiga membalas hormat dengan tersenyum.
Sedang padri yang menghadap dinding itu entah sedang semadi atau latihannya
lagi mencapai titik genting hingga sedikit pun tidak boleh terganggu, maka ia
tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.
Po-ting-te cukup paham ajaran
Buddha, ia tahu arti "Bo-ni” adalah tenang, sunyi. Karena ruangan itu
bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bicara lebih baik. Maka secara ringkas ia
menguraikan pula bagaimana Toan Ki keracunan dan kesurupan itu. Katanya paling
akhir, "Mohon dengan sangat sudilah keempat Taysu suka memberi petunjuk
jalan yang sempurna.”
Thian-koan termenung sejenak,
palu mengamat-amati pula keadaan Toan Ki, kemudian berkata, "Bagaimana
pendapat kedua Sute?”
"Ya, walaupun harus
membuang sedikit tenaga dalam, rasanya juga takkan mengganggu hasil peyakinan
Lakmeh-sin-kiam kita,” sahut Thian-som.
Mendengar
"Lak-meh-sin-kiam” itu, hati Po-ting-te terguncang, pikirnya, "Waktu
kecil pernah kudengar cerita ayah bahwa leluhur keluarga Toan ada mewariskan
semacam ilmu yang sangat lihai dengan nama ‘Lak-mehsin-kiam’. Namun ayah
mengatakan cuma mendengar namanya saja dan selamanya tidak pernah mengetahui
siapakah gerangan tokoh keluarga Toan yang mahir ilmu itu, maka betapa hebat
sebenarnya ilmu itu tiada seorang pun yang tahu. Kini Thian-som Taysu
mengatakan sedang meyakinkan ilmu itu, jadi memang benar ada ilmu yang aneh dan
sakti itu.”
Kemudian ia pikir pula,
"Tampaknya ketiga Taysu ini hendak menggunakan Lwekang mereka untuk
menyembuhkan Ki-ji, jika demikian, tentu akan mengakibatkan latihan
‘Lak-meh-sin-kiam’ mereka terganggu. Tapi melihat betapa hebatnya penyakit
Ki-ji, sampai Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu juga tidak mampu menolongnya, kalau
tidak memakai tenaga gabungan kami berlima, mana dapat menyembuhkan Ki-ji?”
Begitulah meski menyesal mesti
mengganggu kemajuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi keselamatan Toan Ki
yang dianggapnya seperti anak kandung sendiri, terpaksa ia pun tidak menolak.
Begitulah, tanpa bicara lagi
Thian-siang Hwesio lantas berbangkit, dengan kepala tertunduk ia siap berdiri
di sudut yang lain.
"Siancay, Siancay,”
demikian Thian-in mengucapkan sabda Buddha, lalu ia pun ambil tempat di arah
barat daya.
"Ki-ji,” kata Po-ting-te,
"keempat kakek Tianglo dengan tidak sayang tenaga dalam sendiri hendak
menyembuhkanmu, lekas kau mengaturkan terima kasih!”
Melihat sikap dan kelakuan
keempat padri itu sangat khidmat, Toan Ki tahu apa yang bakal dilakukan mereka
tentu bukan urusan kecil, maka cepat ia menjura dan mengucapkan terima kasih
kepada para padri tua itu.
"Ki-ji, duduk bersila di
tengah itu, longgarkan badanmu, sedikit pun jangan bertenaga, kalau terasa
sakit atau gatal, jangan kaget dari khawatir,” pesan Po-ting-te kemudian.
Toan Ki mengiakan dan menurut
perintah sang paman.
Segera Thian-koan Hwesio
angkat jari jempolnya dan menekan Hong-hu-hiat di kuduk Toan Ki, satu arus hawa
hangat dari It-yang-ci terus merembes masuk.
Hong-hu-hiat itu kira-kira
tiga senti di bawah rambut bagian tengkuk, termasuk urat nadi "Tok-meh”.
Menyusul Thian-siang Hwesio juga menutuk Ci-kiong-hiat dan Thian-som menutuk
Tay-hiang-hiat, Thian-in ikut menutuk juga kedua nadi yang lain dan Po-ting-te,
menutuk Jing-bing-hiat.
Begitulah tujuan mereka hendak
menggunakan tenaga It-yang-ci yang berunsurkan hawa Yang yang keras itu untuk
mengusir racun dari tubuh Toan Ki.
It-yang-ci kelima tokoh
keluarga Toan ini boleh dikatakan sama hebatnya, maka terdengarlah suara
mendesis perlahan, lima arus hawa panas berbareng menyusup ke dalam badan Toan
Ki. Seketika tubuh pemuda itu terguncang dan merasa seperti jemur badan di
bawah sang surya di musim dingin, nyaman dan segar sekali rasanya.
Berulang jari kelima tokoh itu
bekerja, maka semakin bertambah juga tenaga dalam yang masuk di badan Toan Ki.
Po-ting-te, Thian-in dan padri-padri lainnya sama merasakan tenaga mereka yang
masuk ke badan Toan Ki itu perlahan lantas buyar dan tak bisa ditarik kembali,
bahkan terasa daya sedot pada badan pemuda itu luar biasa kuatnya. Keruan
mereka terkejut dan terheran-heran dengan saling pandang.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara gerungan yang sangat keras hingga memekak telinga. Po-ting-te
tahu itulah ilmu semacam Lwekang yang mahatinggi dalam ilmu Buddha, namanya
"Say-cu-ho” atau auman singa.
Menyusul terdengar padri yang
duduk menghadap dinding tadi sedang berkata, "Musuh tangguh dalam waktu
singkat segera datang, nama kebesaran Thian-liong-si selama ratusan tahun ini
akan terguncang, apakah bocah ingusan ini keracunan atau kesurupan, kenapa
mesti banyak membuang tenaga percuma baginya?”
Kata-kata itu diucapkan dengan
penuh wibawa hingga sukar dibantah, maka Thian-in lantas menyahut, "Ya,
ajaran Susiok memang tepat!”
Terus saja ia memberi tanda
dan kelima orang lantas melangkah mundur. Meski daya sedot Cu-hap-sin-kang
dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi untuk mengisap tenaga kelima tokoh
itu sekaligus, ternyata tidak kuat juga.
Mendengar Thian-in
membahasakan Hwesio itu dengan sebutan "Susiok” atau paman guru, cepat
Po-ting-te memberi hormat dan berkata, "Kiranya Koh-eng Tianglo hadir di
sini, maafkan Wanpwe tidak memberi hormat sebelumnya.”
Kiranya Koh-eng itu paling
tinggi tingkatannya di dalam Thian-liong-si, para padri dalam kuil itu tiada
satu pun yang pernah melihat wajah aslinya. Po-ting-te juga cuma mendengar
namanya dan selamanya tidak pernah bertemu. Ia dengar padri tua itu selamanya
bersemadi di ruang Siang-su-ih dan jarang orang membicarakannya, maka
disangkanya padri tua itu sudah lama wafat. Siapa tahu sekarang justru
dijumpainya di sini.
"Urusan harus dibedakan
mana yang penting dari mana yang tidak,” demikian kata Koh-eng Tianglo pula.
"Perjanjian dengan Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san sekejap lagi akan
tiba. Cing-beng, ada baiknya juga kalau kau pun ikut berunding memberi
pendapatmu.”
"Aneh, Tay-lun-beng-ong
dari Tay-swat-san terkenal sangat saleh dan tinggi ibadatnya, kenapa ada
perselisihan dengan kita?” tanya Po-ting-te dengan heran.
Segera Thian-in mengeluarkan
sepucuk surat yang berwarna kuning menyilaukan dan diangsurkan kepada
Poting-te. Ternyata sampul surat itu sangat aneh, rasanya juga antap, kiranya
terbuat dari lapisan emas murni yang sangat tipis, di atas sampul surat
terbingkai pula beberapa huruf dari emas putih yang ditulis dalam bahasa Hindu
kuno.
Po-ting-te paham ilmu Buddha,
maka dapat membaca tulisan itu yang berarti, "Diaturkan kepada ketua
Thianliong-si.”
Dari sampul emas itu
Po-ting-te mengeluarkan secarik kertas surat yang terbuat dari emas juga, surat
itu pun tertulis dalam bahasa Sanskerta dan terjemahannya kira-kira adalah,
"Dahulu aku kebetulan bertemu dengan Buyung-siansing dari Koh-soh di
negeri Thian-tiok hingga terikat persahabatan yang akrab. Dalam membicarakan
ilmu silat di dunia ini, Buyung-siansing sangat memuji kitab ‘Lak-meh-sin-kiam’
kuil kalian dan menyatakan menyesal sebegitu jauh belum dapat membacanya. Belum
lama berselang kabarnya Buyungsiansing telah wafat, rasa dukaku sungguh tak
terkatakan, sebagai tanda persahabatanku ingin kumohon kitab yang
dimaksudkannya itu kepada kalian untuk kubawa ke hadapan makam Buyung-siansing.
Untuk itu dalam waktu singkat aku akan berkunjung kemari, hendaklah kalian
jangan menolak permintaanku ini. Sudah tentu akan kuberi imbalan yang setimpal
dengan hadiah yang bernilai tinggi, masa kuberani mengambilnya dengan begitu
saja.”
Tulisan Sanskerta dalam surat
itu pun dicetak dengan emas putih dengan sangat indah, terang dibuat oleh
pandai emas yang sangat mahir. Melulu sampul dan kertas surat itu saja sudah
merupakan dua benda mestika, maka dapatlah dibayangkan betapa royalnya
Tay-lun-beng-ong.
Po-ting-te tahu
Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kok-hoat-ong atau raja agama pelindung negara
negeri Turfan, kabarnya seorang yang cerdik pandai dan mahir ilmu Buddha,
setiap lima tahun sekali tentu mengadakan khotbah umum, banyak padri saleh dari
Thian-tiok dan negeri barat lainnya sama berkunjung ke Tay-lun-si di
Tay-swat-san untuk mengikuti ceramah keagamaan itu.
Tapi dalam surat yang
ditujukan kepada Thian-liong-si ini dia mengatakan pernah tukar pikiran dalam
hal ilmu silat dengan Buyung-siansing dari Koh-soh serta bersahabat sangat
karib, maka dapat dipastikan Tay-lun-bengong pun seorang tokoh silat yang
tinggi. Orang cerdik pandai demikian kalau sudah belajar silat, maka dapat
dipastikan akan lain daripada yang lain.
Lalu terdengar Thian-in
berkata, "Itu ‘Lak-meh-sin-kiam-keng’ adalah kitab pusaka kuil kita dan
merupakan ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga Toan kita di Tayli ini.
Cing-beng, ilmu saat keluarga Toan yang tertinggi terdapat di Thian-liong-si
sini, engkau adalah orang biasa meski terhitung sanak keluarga sendiri, namun
terpaksa banyak rahasia ilmu silat kita tak boleh kukatakan padamu.”
"Ya, hal itu kupaham,”
sahut Po-ting-te.
"Anehnya,” demikian
Thian-koan ikut bicara, "tentang kuil kita mempunyai
‘Lak-meh-sin-kiam-keng’, bahkan Cing-beng dan Cing-sun juga tidak tahu, mengapa
orang she Buyung itu malah mengetahuinya?”
"Dan Tay-lun-beng-ong itu
juga seorang padri saleh yang terkemuka di zaman ini, mengapa tidak kenal
aturan dan berani minta kitab secara kekerasan pada kita?” ujar Thian-som
dengan gusar. "Cing-beng, oleh karena Hongtiang-suheng tahu musuh yang
bakal datang itu tidak bermaksud baik, akibat dari urusan ini tidaklah kecil,
maka Koh-eng Susiok diundang untuk mengatasi urusan ini.”
"Sungguh memalukan juga,”
Thian-in ikut berkata, "meski kuil kita mempunyai kitab pusaka itu, tapi
tiada seorang pun di antara kita yang mahir ilmu sakti itu, bahkan mempelajari
juga tidak pernah. Sedangkan ilmu yang diyakinkan Koh-eng Susiok adalah semacam
ilmu sakti lain, untuk itu juga diperlukan sedikit waktu lagi baru terlatih
sempurna. Sebaliknya bila teringat akan kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau
dia tidak mempunyai sesuatu andalan, masakah dia berani terang-terangan minta
kitab pusaka kita secara kekerasan?”
"Sudah tentu ia tidak
berani memandang enteng Lak-meh-sin-kiam,” ujar Koh-eng Tianglo tiba-tiba.
"Melihat isi surat itu, agaknya dia begitu mengagumi Buyung-siansing dan
orang she Buyung itu pun sangat tertarik
pada kitab pusaka kita, dengan
sendirinya Tay-lun-beng-ong bisa mengukur dirinya sendiri. Namun dia menduga
dalam kuil kita tiada sesuatu tokoh yang luar biasa, biarpun terdapat kitab
pusaka juga tiada orang mampu meyakinkannya, maka sama sekali dia tidak jeri
pada kita.”
"Jika ia sendiri
mengagumi kitab pusaka kita, asal dia mau pinjam secara baik-baik mengingat dia
adalah padri saleh dalam Buddha, paling-paling kita akan menolaknya dengan
hormat dan urusan akan selesai begitu saja. Tapi ia justru minta kitab itu
untuk dibakar di hadapan orang sudah mati, bukankah tindakan demikian terlalu
menghina Thian-liong-si kita?” demikian Thian-som berseru dengan gusar.
"Ai, Sute juga tidak
perlu marah,” ujar Thian-siang. "Kulihat Tay-lun-beng-ong itu bukan
seorang yang bodoh, dia hendak meniru perbuatan orang zaman dulu dengan
membakar kitab di depan kuburan sahabat, agaknya dia benar-benar sangat kagum
kepada Buyung-siansing itu.”
"Apakah Thian-siang Taysu
kenal pribadi Buyung-siansing itu?” tanya Po-ting-te.
"Aku tidak tahu,” sahut
Thian-siang. "Tapi mengingat betapa seorang tokoh macam Tay-lun-beng-ong
begitu kesengsem padanya, maka dapat dipastikan Buyung-siansing itu tentu
seorang yang lain daripada yang lain.”
Berkata sampai di sini,
sikapnya ikut sangat kagum pada orang yang dibicarakan itu.
"Menurut penilaian Susiok
pada kekuatan musuh,” demikian kata Thian-in, "kalau kita tidak
lekas-lekas meyakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka kita akan direbut
orang dan Thian-liong-si akan runtuh untuk selama-lamanya. Cuma ilmu pedang
sakti itu mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil dilatih dalam
waktu singkat. Cing-beng, bukan kami tidak mau membantu menyembuhkan Ki-ji,
tapi kita khawatir terlalu banyak membuang tenaga, bila musuh tangguh mendadak
datang, tentu kita akan susah melawannya. Tampaknya keselamatan Ki-ji takkan
terancam dalam waktu beberapa hari, maka selama beberapa hari ini biarlah dia
merawat dirinya di sini, bila kesehatannya bertambah buruk, kita akan dapat
menolongnya setiap saat, sebaliknya kalau tidak apa-apa, nanti kalau musuh
tangguh sudah dienyahkan baru kita akan berusaha menolongnya sepenuh tenaga.”
Walaupun Po-ting-te sangat
khawatir akan kesehatan Toan Ki, namun demikian dia adalah seorang yang
bijaksana, ia tahu Thian-liong-si adalah modal dasar keluarga Toan dari Tayli,
setiap kali kerajaan ada bahaya, selalu Thian-liong-si memberi bantuan
sekuatnya. Selama keturunan kerajaan Tayli banyak mengalami kesukaran dan dapat
berdiri sampai sekarang, jasa Thian-liong-si itu sesungguhnya tidak kecil.
Sebaliknya Thian-liong-si terancam bahaya, mana bisa dirinya tinggal diam.
Maka berkatalah Po-ting-te,
"Atas kebaikan Hongtiang, Cing-beng merasa terima kasih sekali. Entah
urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Cing-beng dapat sekadar memberi
bantuan?”
Thian-in pikir sejenak, lalu
menyahut, "Engkau adalah jago nomor satu keluarga Toan kita di kalangan
orang biasa, bila engkau dapat menggabungkan tenagamu untuk menghadapi musuh,
sudah tentu akan banyak menambah kekuatan kita. Cuma engkau adalah orang biasa,
kalau ikut campur pertengkaran dalam kalangan agama, tentu akan ditertawai
Thian-liong-si kita sudah kehabisan jago.”
"Kalau kita latih
Lak-meh-sin-kiam itu sendiri-sendiri, biar siapa pun tiada seorang akan
berhasil,” tiba-tiba Koh-eng berkata. "Kita pun sudah pikirkan suatu akal,
yaitu masing-masing orang berlatih satu ‘Meh’ (nadi, Lak-meh = enam nadi) di
antara Lak-meh-sin-kiam itu. Tatkala menghadapi musuh nanti cukup salah seorang
tampil ke muka, sedang lima orang lainnya hanya membantunya dengan menyalurkan
tenaga dalam padanya. Asal lawan tidak tahu akal kita ini, tentu kita akan
menang. Cara ini meski kurang jujur, namun apa daya, keadaan terpaksa. Hanya
untuk mencari orang keenam yang memiliki tenaga jari mahahebat, di
Thian-liong-si ini memang sukar diketemukan lagi. Kebetulan engkau datang
kemari, Cing-beng, marilah ikut mengisi kekurangan itu. Cuma engkau harus dicukur
dulu dan pakai jubah Hwesio.”
"Kembali pada Buddha
memang sudah lama menjadi cita-cita Cing-beng, cuma ilmu sakti yang hebat itu
selama ini Cing-beng belum pernah mendengarnya ....”
"Jika pakai akal itu,
sudah lama engkau paham, kini cukup kau pelajari tipu ilmu pedangnya saja,”
sela Thiansom cepat.
Po-ting-te merasa bingung,
tanyanya, "Silakan Taysu memberi petunjuk.”
"Coba duduklah untuk
bicara lebih jelas,” kata Thian-in.
Sesudah Po-ting-te duduk
bersila di atas tikar, lalu Thian-in berkata pula, "Apa yang disebut
Lak-meh-sin-kiam itu sebenarnya tidak ada wujud pedang sesungguhnya, kita hanya
menggunakan tenaga jari It-yang-ci yang hebat dan menjadikannya hawa pedang,
ada kekuatan tapi tiada wujudnya, maka boleh juga dikatakan semacam
Bu-heng-ki-kiam (pedang hawa yang tak berwujud). Tentang Lak-meh (enam nadi) di
atas lengan itu adalah Thayim, Koatin ....”
Sambil berkata ia terus
mengeluarkan satu berkas kertas gulungan. Mungkin sudah terlalu tua, maka
gulungan kertas itu bersemu kuning.
Setelah Thian-som menerima
gulungan kertas itu, lalu digantung di dinding, waktu gulungan kertas itu
dibuka, kiranya adalah sebuah lukisan badan seorang laki-laki, di atas badan
tercatat jelas tempat-tempat Hiat-to mengenai keenam urat nadi yang
bersangkutan.
Po-ting-te adalah ahli
It-yang-ci, pula "Lak-meh-sin-kiam-keng” itu berdasarkan tenaga
It-yang-ci, jadi sejalan dengan ilmu silat keluarga Toan mereka, dengan
sendirinya ia paham begitu melihat gambar itu tanpa penjelasan lagi.
"Cing-beng,” kata
Thian-in kemudian, "engkau adalah seorang raja suatu negeri, untuk
sementara meski dapat menyamar, tapi kalau sampai diketahui musuh, tentu akan
sangat merugikan nama baik kita. Sebab itulah sebelumnya hendaklah kau
pertimbangkan lebih masak.”
"Maju terus, pantang
mundur,” sahut Po-ting-te tegas.
"Bagus,” kata Thian-in.
"Lak-meh-sin-kiam-keng ini tidak diajarkan kepada anak murid orang biasa,
maka engkau harus cukur rambut menjadi Hwesio baru boleh kuajarkan padamu.”
Tanpa pikir Po-ting-te
berlutut ke hadapan Thian-in dan berkata, "Silakan Taysu!”
"Kemarilah, biar kucukur
engkau,” kata Koh-eng Taysu tiba-tiba.
Po-ting-te menurut, ia
melangkah maju dan berlutut, oleh karena Koh-eng duduk menghadap dinding, jadi
Poting-te berlutut di belakangnya.
Dengan tenang sejak tadi Toan
Ki meringkuk di tempatnya dengan perasaan sadar, maka ia dapat mengikuti semua
percakapan orang, pikirnya, "Bicara ke sana ke sini ternyata selalu ada
sangkutnya dengan orang she Buyung itu.”
Dan ketika melihat sang paman
hendak dicukur untuk menjadi Hwesio, diam-diam ia terkesiap juga. Ia lihat
Koh-eng Taysu telah membaliki tangannya hingga benar-benar tinggal kulit
membungkus tulang belaka.
Tetap Koh-eng Tianglo itu
tidak putar tubuh sedikit pun, hanya mulutnya mengucapkan sabda Buddha, ketika
tangannya kemudian diangkat, tahu-tahu seluruh rambut Po-ting-te bertebaran
jatuh ke tanah, kepalanya sudah gundul kelimis, biarpun dicukur dengan pisau
cukur mungkin juga tidak sehalus itu.
Sungguh kejut Toan Ki tak
terkatakan, Po-ting-te, Thian-koan dan lain-lain juga kagum tak terhingga atas
ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka terdengar Koh-eng Taysu berkata,
"Sesudah masuk ke dalam Buddha, nama agamamu adalah Thian-tim.”
"Terima kasih atas
pemberian nama ini,” sahut Po-ting-te dengan merangkap tangan. Dan oleh karena
Po-tingte telah dicukur oleh Koh-eng, menurut agama ia menjadi Sute Thian-in,
walaupun dalam urut-urutan keluarga Thian-in sebenarnya adalah pamannya.
Lalu Koh-eng berkata pula,
"Boleh jadi malam ini juga Tay-lun-beng-ong itu akan tiba, Thian-in, boleh
kau ajarkan intisari Lak-meh-sin-kiam padanya.”
Thian-in mengiakan dan
menunjuk tanda-tanda Hiat-to yang terdapat pada gambar yang tergantung di
dinding itu. Segera Po-ting-te menurutkan petunjuk itu untuk menjalankan tenaga
murni pada waktu jarinya menutuk dan segera mengeluarkan suara mencicit
perlahan.
Koh-eng sangat girang,
katanya, "Tidak cetek latihan Lwekangmu, meski Kiam-hoat ini sangat ruwet
perubahannya, namun hawa pedang sudah dapat kau wujudkan, dengan sendirinya
dapat kau gunakan sesuka hati.”
"Marilah sekarang juga
kita mulai berlatih,” ujar Thian-in. "Susiok khusus melatih
Siau-siang-kiam dengan jari jempol, aku melatih jari telunjuk, Thian-koan
Suheng latih jari tengah, Thian-tim Sute latih jari manis dan Thian-siang
Suheng melatih jari kecil tangan kiri. Waktu mendesak, kita harus cepat
meyakinkannya.”
Cepat ia mengeluarkan pula
enam lukisan dan digantung di sekeliling dinding, keenam lukisan itu
masingmasing menunjukkan titik-titik Hiat-to keenam orang yang harus dilatihnya
dan menggambarkan di mana jari mereka harus menutuk.
Dalam pada itu Toan Ki
merasakan hawa dalam tubuhnya semakin penuh dan bergolak dengan hebat, jauh
lebih menderita daripada tadi, maklum, tadi Thian-in berlima tidak sedikit
mencurahkan tenaga dalam mereka ke dalam badan pemuda itu.
Karena sang paman dan
padri-padri itu sedang memusatkan pikiran untuk berlatih ilmu sakti, maka Toan
Ki tidak berani mengganggu, ia bertahan sekuatnya dengan termenung-menung.
Dalam iseng, tanpa sengaja ia coba memandang lukisan yang menggambarkan Hiat-to
di badan manusia yang tergantung di dinding itu, dan kebetulan pada saat itu
tanpa terasa tangan kirinya sedang melonjak-lonjak seakan-akan ada sesuatu yang
akan menerobos keluar dari bawah kulit tangannya.