Jilid 31
Mendadak timbul pula semangat
kesatrianya yang tak gentar pada apa pun juga, ia jadi nekat untuk menghadapi
segala kemungkinan, katanya pula, "A Cu, besok akan kucarikan seorang
tabib sakti untuk mengobati lukamu, sekarang boleh kau tidur dengan tenang.”
Melihat sikap bekas pangcu
yang gagah perkasa dan angkuh tak gentar itu, A Cu merasa kagum, hormat, dan
takut pula. Ia merasa tokoh di hadapannya itu sama sekali berbeda daripada
Buyung-kongcu, tapi banyak persamaannya pula. Keduanya sama-sama tidak gentar
pada langit dan tidak takut pada bumi, sama-sama angkuh dan berwibawa. Tapi
Kiau Hong mirip seekor singa jantan dan Buyung Hok seperti burung hong, yang
satu kasar dan yang lain halus.
Begitulah demi sudah ambil
kebulatan tekad itu, Kiau Hong dapat tidur nyenyak, walaupun hanya duduk di
atas kursi.
Di bawah sinar pelita yang
remang-remang A Cu dapat melihat muka Kiau Hong. Selang tak lama, ia dengar
Kiau Hong mulai mendengkur perlahan, ia lihat daging muka laki-laki gagah itu
berkerut-kerut sedikit sambil mengertak gigi, tulang pipi yang lebar itu agak
menonjol. Tiba-tiba timbul semacam rasa kasihan dalam hati A Cu, ia merasa
batin laki-laki gagah di depan itu pasti sangat tertekan, sangat menderita,
jauh lebih malang daripada nasibnya sendiri.
Esok paginya Kiau Hong
menyalurkan tenaga murninya pula untuk menyegarkan A Cu, lalu mengeluarkan uang
dan suruh pelayan hotel menyewakan sebuah kereta keledai. Ia payang A Cu ke
atas kereta lalu datang ke kamar Pau Jian-leng, dan luar ia berseru,
"Pau-heng, Siaute Kiau Hong memberi salam hormat!”
Waktu itu Pau Jian-leng, Hiang
Bong-thian, dan Ki Liok bertiga belum lagi bangun, mereka kaget demi mendengar
seruan Kiau Hong itu. Cepat mereka melompat bangun dan menyambar senjata dengan
kelabakan. Tapi mereka menjadi terperanjat demi tampak di atas senjata masing-masing
tertempel secarik kertas kecil yang tertulis: "Salam dari Kiau Hong”.
Mereka saling pandang dengan
melongo, mereka sadar bahwa semalam tanpa terasa Kiau Hong telah kerjai mereka,
jika mau, jiwa mereka dengan gampang sudah ditamatkan oleh Kiau Hong. Di antara
mereka Pau Jianleng yang merasa paling malu, dia berjuluk "Bo-pun-ci” atau
tanpa modal, artinya pekerjaannya ialah maling, mencuri tanpa memakai modal,
dan sebagai pencuri, sudah tentu kepandaian menggerayangi rumah orang merupakan
kemahirannya yang paling diandalkan, tapi kini ia sendiri telah digerayangi
Kiau Hong dan baru sekarang ketahuan.
Segera Pau Jian-leng mengikat
senjatanya yang berupa ruyung lemas itu di pinggang, lalu ia ke luar kamar, ia
tahu bila Kiau Hong bermaksud membunuhnya tentu sudah dilakukannya semalam,
maka tanpa takut-takut lagi ia berkata, "Buah kepala Pau Jian-leng ini
setiap saat silakan Kiau-heng mengambilnya bila engkau suka, selamanya orang
she Pau ini bekerja tanpa modal, kalau kini aku mesti bangkrut di tangan Kiau-heng
rasanya juga masih berharga. Sedang ayah-bunda dan gurumu sendiri juga kau tega
membunuhnya, apalagi terhadap orang she Pau yang tiada artinya ini, mengapa
engkau bermurah hati segala?”
Namun Kiau Hong tidak
pusingkan olok-olok itu, sebaliknya ia menjawab secara biasa saja,
"Selamat bertemu, Pau-heng, sejak perpisahan di Tong-ting-oh dahulu,
ternyata Pau-heng semakin gagah dan kuat.”
"Haha, untunglah jiwaku
ini belum lagi amblas, maka sampai sekarang masih sehat walafiat,” sahut Pau
Jianleng dengan terbahak.
"Kabarnya ‘Giam-ong-tek’
Sih-sin-ih telah menyebarkan kartu undangan, maka aku tertarik untuk hadir ke
sana, bagaimana kalau kupergi ke sana bersama kalian bertiga?” kata Kiau Hong
pula.
Diam-diam Jian-leng sangat
heran, pikirnya, "Bukankah maksud tujuan Sih-sin-ih menyebarkan kartu
undangan justru hendak menghadapimu. Apa barangkali kau sudah bosan hidup, maka
berani datang ke sana seorang diri? Tapi biasanya Kiau-pangcu terkenal
pemberani dan cerdik pula, baik ketangkasan maupun kecerdasan serbakomplet,
jika dia tidak punya pegangan apa-apa, tidak nanti dia masuk jaring sendiri,
maka aku tidak boleh tertipu olehnya.”
Melihat Pau Jian-leng hanya
diam saja tanpa menjawab, segera Kiau Hong berkata pula, "Aku ada urusan
penting perlu minta tolong pada Sih-sin-ih, kuharap Pau-heng suka
memberitahukan tempatnya, untuk mana aku takkan melupakan pada kebaikanmu.”
Kebetulan pikir Pau Jian-leng,
jika kau berani hadir pada pertemuan besar para kesatria itu, sekali dikerubut,
biarpun kau punya tiga kepala dan enam tangan juga takkan mampu lolos.
Dengan keputusan itu, segera
ia menjawab, "Tentang tempat pertemuan itu adalah di Cip-hian-ceng yang
terletak kurang lebih 70 li di timur laut sana. Jika Kiau-heng sudi hadir ke
sana, itulah paling baik. Cuma ingin kukatakan di muka, pertemuan ini tidak
mungkin pertemuan yang baik, kehadiran Kiau-heng ke sana nanti banyak celakanya
daripada selamatnya, untuk mana janganlah menyalahkan aku tidak
memperingatkanmu sebelumnya.”
"Terima kasih atas
kebaikan Pau-heng,” sahut Kiau Hong dengan tersenyum tawar. "Jika
enghiong-yan itu diadakan di Cip-hian-ceng, jadi tuan rumahnya adalah
Yu-si-siang-hiong, bukan? Jika demikian, jalan ke sana sudah kukenal, maka
kalian boleh silakan berangkat dulu, mungkin sejam lagi baru dapat kuberangkat,
dengan demikian agar mereka dapat bersiap-siap pula lebih dulu.”
Pau Jian-leng menoleh dan
saling pandang sekejap dengan Ki Liok dan Hiang Bong-thian. Kedua kawan itu
tampak mengangguk perlahan. Lalu Pau Jian-leng berkata, "Jika demikian, Cayhe
akan menunggu kehadiran Kiau-heng di Cip-hian-ceng.”
Begitulah dengan tergesa-gesa
mereka bertiga lantas membereskan rekening hotel dan berangkat ke Cip-hianceng
dengan menunggang kuda. Sepanjang jalan mereka melarikan kuda secepatnya,
berulang-ulang mereka menoleh, khawatir kalau-kalau Kiau Hong mendadak menyusul
dari belakang dan mendahului mereka.
Sekalipun Pau Jian-leng adalah
seorang cerdik pandai, Ki Liok dan Hiang Bong-thian juga jago Kangouw yang
berpengalaman luas, sepanjang jalan mereka menerka ini dan menebak itu, namun
tetap tidak dapat meraba apa maksud tujuan Kiau Hong sengaja hadir dalam
enghiong-yan itu.
"Pau-toako,” tiba-tiba Ki
Liok berkata, "apakah engkau melihat kereta yang disewa Kiau Hong itu.
Mungkin di dalam kereta itu ada apa-apanya?”
"Jangan-jangan di dalam
kereta itu terdapat jago-jago lihai begundalnya?” ujar Hiang Bong-thian.
"Andaikan kereta itu
tumplak penuh dengan begundalnya, paling-paling cuma muat beberapa orang,
katakanlah seluruhnya ada sepuluh orang bersama Kiau Hong, tapi dalam pertemuan
besar nanti, paling-paling mereka cuma mirip sebuah sampan yang
terombang-ambing di tengah samudra raya, apa yang dapat mereka perbuat?” kata
Pau Jian-leng.
Tengah bicara, sepanjang jalan
sudah banyak bertemu dengan jago-jago persilatan yang juga hendak hadir pada
enghiong-yan di Cip-hian-ceng.
Karena pertemuan itu diadakan
secara mendadak dan mendesak, maka setiap orang yang menerima kartu undangan
segera berangkat siang dan malam sambil menghampiri sesama kawan bu-lim, maka
hanya dalam waktu sehari semalam saja kartu undangan yang disebarkan
Giam-ong-tek itu sudah hampir merata. Cuma waktunya terlalu mendesak, maka yang
sudah tiba di Cip-hian-ceng itu baru tokoh-tokoh yang bertempat tinggal ratusan
li di sekitar Siau-lim-si di Provinsi Holam.
Sebenarnya Siau-lim-si sendiri
sudah menyebarkan kartu undangan kepada para kesatria untuk berunding cara
menghadapi Buyung Hok. Tapi waktu yang ditentukan itu masih ada 20 hari lebih,
sebagian besar kesatria yang diundang itu masih dalam perjalanan, seperti ayah
Toan Ki, yaitu Tin-lam-ong dari negeri Tayli, Toan Cing-sun, dan jago-jago
silat yang dipimpinnya saat itu juga belum tiba di Siau-lim-si. Namun begitu
sudah banyak juga kaum kesatria yang berada di daerah Holam untuk pesiar atau
menyambangi sobat-andai. Mereka inilah yang telah menerima kartu undangan
Yu-si-siang-hiong dan "Giam-ong-tek” Sih-sin-ih.
Kalau undangan melulu datang
dari Yu-si-siang-hiong saja mungkin tidak diperhatikan oleh para kesatria itu.
Tapi nama Giam-ong-tek juga tercantum sebagai pengundang, keruan mereka merasa
mendapat kehormatan besar dan buru-buru hadir.
Maklum, nama Si Tabib Sakti
she Sih dan Musuh Raja Akhirat itu terlalu tenar, setiap orang persilatan
sangat mengharapkan bisa berkenalan atau bersahabat dengan dia. Sebab, sebagai
orang persilatan, bukan mustahil setiap saat bisa terluka parah atau terbinasa,
tapi kalau kenal dan bersahabat dengan Giam-ong-tek, maka boleh dikatakan jiwa
mereka telah diasuransikan kepada tabib sakti itu.
Begitulah, ketika Pau
Jian-leng bertiga sampai di Cip-hian-ceng, mereka telah disambut sendiri oleh
Yu-sisiang-hiong.
Sesudah berada di dalam rumah,
ternyata, tetamu sudah memenuhi ruangan luar dan dalam. Banyak yang dikenal Pau
Jian-leng, banyak pula yang tidak kenal. Yang kenal segera saling menyapa,
sedapatnya Pau Jianleng membalas hormati kepada setiap kenalan secara merata.
Ia khawatir kalau ada yang terlupa dan kelompatan balas menghormat, bukan
mustahil akan menimbulkan rasa dendam hingga berakibat permusuhan di belakang
hari.
Setelah Yu Ki, yaitu orang
kedua dari Yu-si-siang-hiong (Dua Jago she Yu) mengajak mereka ke meja tuan
rumah, di situ sudah menunggu Si Tabib Sakti she Sih, ia sambut kedatangan
tamunya sambil memberi hormat, "Atas kesudian hadirnya Pau-heng bertiga,
sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga.”
"Haha, masakah undangan
Sih-loyacu berani kutolak, biarpun aku sedang sakit tak bisa berjalan juga aku
akan datang kemari meski harus digotong,” sahut Pau Jian-leng dengan terbahak.
"Tentu saja,” sela Yu Ek,
si tua dari kedua saudara Yu itu. "Jika kau sakit payah, tanpa diundang
juga kau akan cari Sih-loyacu.”
Mendengar percakapan itu,
banyak tetamu lain ikut bergelak tertawa.
"Kalian bertiga baru
tiba, tentu sangat lelah, silakan ke belakang dulu untuk dahar sekadarnya,”
ujar Yu Ki.
"Lelah sih tidak, lapar
pun belum, sebaliknya kubawa suatu berita penting yang perlu kukatakan dengan
segera,” sahut Pau Jian-leng. "Numpang tanya dulu, kartu undangan yang
Sih-loyacu dan kedua saudara Yu sebarkan itu apakah di antaranya terdapat
undangan kepada Kiau Hong?”
Mendengar nama Kiau Hong
disebut, wajah Sih-sin-ih agak berubah. Sebaliknya Yu Ek lantas tanya,
"Apa maksud Pau-heng sebenarnya, kenapa menyinggung tentang Kiau Hong?
Apakah disebabkan Pau-heng bersahabat karib dengan orang she Kiau itu?”
"Harap Yu-heng jangan
salah paham,” cepat Pau Jian-leng menjelaskan. "Sebaliknya aku justru
hendak menyampaikan berita penting ini, Kiau Hong menyatakan akan hadir dalam
pertemuan besar kaum kesatria ini.”
Seketika gemparlah suasana
ruangan tamu itu, sejenak kemudian keadaan menjadi hening, semuanya diam ingin
mendengarkan berita itu lebih lanjut. Yang terdengar hanya suara obrolan dan
tertawa tamu-tamu di ruangan belakang dan samping karena mereka tidak tahu
suasana di ruangan depan itu.
"Dari mana Pau-heng tahu
Kiau Hong akan datang ke sini?” tanya Si Tabib Sakti.
"Cayhe bersama Ki-heng
dan Hiang-heng mendengar dengan telinga sendiri,” sahut Jian-leng.
"Sungguh memalukan kalau diceritakan, kami bertiga semalam telah
terjungkal habis-habisan.”
Berulang Hiang Bong-thian
mengedipi kawan itu agar jangan menguraikan kejadian semalam yang memalukan
itu. Tapi Pau Jian-leng cerdik orangnya, ia pikir bila sedikit ia dusta hingga
menimbulkan rasa curiga Si Tabib Sakti dan tokoh-tokoh lain, kelak pasti akan mendatangkan
banyak kesukaran.
Maka ia tidak peduli isyarat
Hiang Bong-thian itu, sebaliknya perlahan ia lepaskan ruyungnya dari pinggang
dan diperlihatkan kepada Sih-sin-ih tulisan di atas kertas yang masih menempel
pada senjatanya itu, katanya, "Kiau Hong suruh kami bertiga menyampaikan
pesannya, katanya dalam waktu singkat ia akan datang ke Ciphian-ceng ini.”
Lalu ia ceritakan
pengalamannya tanpa dusta sedikit pun. Sudah tentu yang runyam adalah Hiang
Bong-thian, ia merasa malu dan membanting-banting kaki.
Namun tanpa tedeng aling-aling
Pau Jian-leng menghabiskan ceritanya itu, akhirnya ia berkata, "Kiau Hong
itu adalah keturunan anjing bangsa Cidan, andaikan dia cukup baik dan berbudi
juga kita mesti membasminya, apalagi sekarang ia sudah umbar kebuasannya, mara
bahaya di kemudian hari tentu tak terkirakan, sebenarnya untuk menangkapnya
tidaklah mudah, syukur sekarang ia masuk jeratan sendiri, rupanya ajalnya sudah
tiba saatnya.”
Yu Ki berkerut kening
mendengar laporan itu, ia pikir sejenak, lalu berkata, "Konon Kiau Hong
itu seorang yang serbapintar dan tangkas, sekali-kali bulan seorang laki-laki
kasar dan sembarang bertindak, masakah ia benar-benar berani hadir dalam
pertemuan ini?”
"Mungkin ada tipu
muslihat di balik kehadirannya nanti, untuk mana kita harus waspada,” ujar Pau
Jian-leng. "Marilah kita berunding cara bagaimana harus menghadapinya
nanti.”
Tengah bicara, dari luar sudah
masuk lagi banyak kesatria lain, di antaranya "Tiat-bin-poan-koan” Tan
Cing dan kelima putranya. Tam-kong dan Tam-poh serta Tio-ci-sun, Kim Tay-peng
dan Oh-pek-kiam Su An, Naukang-ong Cin Goan-cun, dan lain-lain. Tidak lama kemudian,
tiba pula Hian-lan dan Hian-cit berdua padri saleh dari Siau-lim-si.
Meski ada juga di antara
mereka tidak menerima kartu undangan, tapi karena merasa diri mereka cukup
memenuhi syarat untuk disebut sebagai kesatria, maka tanpa diundang juga mereka
hadir sendiri.
Dengan hormat
Yu-si-siang-hiong dan Giam-ong-tek menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Ketika
bicara tentang kejahatan yang diperbuat Kiau Hong, semua orang merasa gusar dan
bertekad akan membasmi durjana yang kejam itu.
Tiba-tiba pelayan penyambut
tamu masuk memberi lapor bahwa Ci-tianglo dari Kay-pang bersama Cit-hoat dan
Thoan-kong Tianglo serta keempat tianglo lain juga tiba. Tamu-tamu yang sudah
berada di situ sama terkesiap. Ujar Hiang Bong-thian, "Orang Kay-pang
datang ke sini secara berbondong-bondong, jelas mereka hendak memberi bantuan
kepada Kiau Hong.”
"Tidak mungkin,” kata Tan
Cing. "Kiau Hong sudah dipecat dari keanggotaan Kay-pang dan bukan pangcu
mereka lagi, kejadian itu kami ikut menyaksikan sendiri, malahan di antara mereka
sudah saling bermusuhan.”
"Tapi hubungan lama belum
tentu dilupakan begitu saja,” kata Hiang Bong-thian.
"Kukira para tianglo dari
Kay-pang adalah kesatria sejati dan patriot tulen, kalau mereka membantu Kiau
Hong, bukankah berarti mereka pun pengkhianat bangsa dan penjual negara?” ujar
Yu Ek.
"Ya, manusia yang paling
rendah sekalipun tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan penjual negara,”
demikian dukung tetamu yang lain.
Maka Yu-si-siang-hiong bersama
Sih-sin-ih lantas menyambut keluar. Mereka merasa lega ketika melihat orang
Kay-pang yang hadir itu cuma belasan tianglo saja, andaikan mereka hendak
membela Kiau Hong juga takkan dapat melawan kesatria lain yang lebih banyak
jumlahnya.
Tapi Yu-loji, Yu Ki, orangnya
cukup hati-hati, diam-diam ia kirim anak buahnya pasang mata di sekitar
pedusunan untuk melihat apakah orang Kay-pang menyembunyikan bala bantuan atau
tidak. Setelah itu barulah ia menyilakan Ci-tianglo dan rombongan masuk ke
dalam. Wajah para tokoh Kay-pang tampak masam, nyata mereka sedang menanggung
sesuatu urusan yang memusingkan.
Sesudah tuan rumah dan para
tamu mengambil tempat duduk, segera Ci-tianglo membuka suara lebih dulu,
"Sih-heng, dan kedua saudara Yu, hari ini para kesatria kalian undang ke
sini, apakah maksudnya hendak menghadapi bibit bencana bu-lim yang ditimbulkan
Kiau Hong itu?”
Mendengar tokoh Kay-pang itu
menyebut Kiau Hong sebagai bibit bencana bu-lim, semua orang saling pandang
sekejap dengan hati lega. Segera Yu Ek menjawab, "Memang demikianlah
halnya. Maka atas kunjungan Ci-tianglo sekalian kami merasa sangat beruntung,
sebab untuk membasmi pengganas itu, perlu sekali kami mendapat bantuan dan izin
para Tianglo, kalau tidak, jangan-jangan akan timbul salah paham hingga terjadi
hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Ci-tianglo menghela napas
panjang, sahutnya, "Orang itu sudah tidak punya hati nurani lagi, tindak
tanduknya kejam. Sepantasnya, karena ia pernah banyak berjasa bagi pang kami,
paling akhir juga telah menolong saudara-saudara kami dari jebakan musuh. Akan
tetapi seorang laki-laki harus dapat memandang jauh, segala apa mesti berpikir
pada kepentingan orang banyak, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Kini
Kiau Hong adalah musuh besar bangsa Song kita, meski para tianglo dari pang
kami pernah mendapatkan kebaikannya, tapi tidak nanti kami mengutamakan
kepentingan pribadi dan melalaikan kepentingan umum. Apalagi sekarang ia sudah
bukan orang kami.”
Ucapan Ci-tianglo segera
mendapat pujian orang banyak. Menyusul Yu Ek lantas beri tahu tentang Kiau Hong
telah menyatakan akan hadir dalam pertemuan ini. Berita ini membuat para
Tianglo Kay-pang terperanjat dan heran. Sebagai bekas anak buah Kiau Hong,
mereka cukup kenal pribadi bekas pangcu mereka yang tangkas lagi cerdik itu,
kalau dikatakan Kiau Hong akan datang ke Cip-hian-ceng seorang diri, hal ini
benar-benar sangat mengherankan mereka.
Tiba-tiba Hiang Bong-thian
berseru, "Kukira pernyataan Kiau Hong itu hanya tipu muslihat belaka, ia
sengaja membikin kita menunggu percuma di sini, sebaliknya ia angkat langkah
seribu entah kabur ke mana, itu namanya ‘tonggeret melepaskan kulit’!”
"Melepas kulit makmu!”
mendadak Go-tianglo memaki sambil menggebrak meja. "Tokoh macam apakah
Kiau Hong itu, apa yang telah dikatakannya masakah kau kira cuma omong kosong?”
Muka Hiang Bong-thian menjadi
merah padam oleh makian itu, segera ia menyahut, "Kau mau bela Kiau Hong,
bukan? Hm, aku orang she Hiang inilah orang pertama yang penasaran, marilah,
boleh kita coba-coba dulu.”
Selama hidup Go-tianglo paling
kagum kepada Kiau Hong, ia memang lagi mendongkol sepanjang jalan ketika
mendengar berita tentang bekas pangcu itu membunuh kedua orang tua serta
gurunya.
Oleh karena seorang saudara
Go-tianglo juga telah menjadi korban keganasan bangsa Cidan, selama hidupnya ia
sangat benci pada orang Cidan. Kini mendadak diketahuinya Kiau-pangcu yang
dihormati dan dicintainya itu ternyata adalah orang Cidan, keruan kesal dan
sesalnya tak terlukiskan.
Dalam keadaan sedih itulah
tiba-tiba Hiang Bong-thian berani menantang padanya, keruan tanpa tawar lagi ia
tandangi tantangan itu. Sekali lompat ia melesat ke tengah pelataran dan
berseru, "Apakah Kiau Hong itu keturunan anjing Cidan atau bukan, saat ini
masih belum dapat dipastikan oleh siapa pun juga. Tapi bila dia benar-benar bangsa
Cidan, aku orang she Go inilah yang pertama-tama akan mengadu jiwa padanya. Dan
untuk membunuh Kiau Hong, biarpun nomor urut keseribu juga belum sampai pada
giliranmu. Hm, kau ini kutu busuk macam apa hingga berani mengoceh di sini?
Ayolah maju, biar kuhajar adat dulu padamu.”
Sudah tentu Hiang Bong-thian
jadi murka juga, "sret”, segera ia lolos goloknya dan hendak tandangi
Gotianglo. Tapi begitu golok terlolos, segera kertas yang ditempel Kiau Hong di
atas senjatanya itu lantas terbaca. Seketika ia tertegun.
"Sudahlah, kalian
sama-sama tetamu kami, harap suka memandang muka kami, janganlah ribut dulu,”
demikian Yu Ek berusaha memisah.
"Ya, Go-hiati, janganlah
kita bertindak sembrono, betapa pun nama baik pang kita harus dijaga,” ujar
Citianglo.
"Huh, Kay-pang mempunyai
seorang tokoh besar macam Kiau Hong, nama baiknya sangat tersohor, memang kudu
dijaga sebaik-baiknya,” demikian tiba-tiba suara seorang aneh dingin dan lirih
menanggapi ucapan Citianglo itu.
Keruan para tokoh Kay-pang
yang hadir di situ menjadi gusar, beramai-ramai mereka membentak, "Siapa
itu yang bicara?” - "Ayolah, kalau berani tampil ke muka sini!” -
"Huh, pengecut, bicara secara sembunyisembunyi! Haram jadah!”
Namun pembicara itu diam saja
sesudah mengucapkan kata-kata tadi hingga tiada seorang pun tahu siapa
gerangannya.
Sungguh dongkol tokoh-tokoh
Kay-pang itu tidak kepalang karena disindir tanpa mengetahui siapa orangnya,
tentu saja mereka mati kutu. Tapi beberapa di antaranya yang berwatak
berangasan dan kasar, tanpa pikir lagi terus balas mencaci maki hingga
kakek-moyang ke-18 keturunan pembicara itu pun dimaki habis-habisan.
Sih-sin-ih berkerut kening
oleh caci maki yang kotor itu, segera katanya, "Harap para Tianglo suka
sabar, dengarkan kataku ini.”
Maka perlahan para pengemis itu
tenang kembali.
Di luar dugaan, kembali suara
orang tadi bergema pula di tengah orang banyak sana, "Bagus, bagus! Kiau
Hong sengaja mengirim mata-mata sebanyak ini, sebentar tentu ada permainan
sandiwara yang menarik.”
Mendengar ucapan itu,
Go-tianglo semakin murka, segera terdengar suara gemerencing senjata dilolos,
para tokoh pengemis itu siapkan senjata mereka yang gemerlapan. Tamu lain
mengira kawanan pengemis itu akan turun tangan, beramai mereka pun lolos
senjata hingga keadaan menjadi kacau-balau.
Cepat Sih-sin-ih dan
Yu-si-siang-hiong berusaha menenangkan suasana ribut itu, tapi suara mereka
ternyata tidak cukup untuk bikin tenteram suasana yang panas itu.
Pada saat kacau itulah,
tiba-tiba seorang penjaga berlari masuk dan membisiki telinga Yu Ek. Air muka
Yu Ek tampak berubah hebat, ia tanya sesuatu pada pelayan itu dan hamba itu
tampak menuding ke luar pintu dengan rasa takut.
Segera tampak Yu Ek
bisik-bisik juga pada Sih-sin-ih dan air muka tabib sakti itu pun kelihatan
gelisah. Waktu Yu Ki mendekati saudaranya dan menanyakan apa yang terjadi,
sesudah Yu Ek berbisik perlahan, mendadak air muka Yu Ki juga berubah kaget.
Lalu Yu Ki membisiki kawannya yang lain.
Begitulah seorang demi seorang
meneruskan bisik-bisik itu hingga akhirnya merata dan semua orang mengetahui
apa yang terjadi. Seketika suasana gaduh menjadi sunyi, sebab setiap orang yang
hadir di situ sama mendapat bisikan, "Kiau Hong sudah datang!”
Setelah saling pandang sekejap
antara Sih-sin-ih dan kedua saudara Yu, mereka memandang pula pada Hian-
lan dan Hian-cit berdua,
akhirnya Sih-sin-ih berkata, "Silakan dia masuk!”
Segera pelayan tadi keluar.
Sedangkan hati semua kesatria sama berdebar dengan hebat. Walaupun jelas jumlah
orang pihak sini jauh lebih banyak, sekali Kiau Hong bertindak, seketika semua
orang mengerubut maju, tentu bekas Pangcu Kay-pang itu akan dapat dicacah
menjadi perkedel. Tapi nama Kiau Hong itu terlalu disegani, kalau dia sudah
berani hadir seorang diri, terang dia sudah punya sesuatu pegangan, siapa pun
tidak dapat menerka tipu muslihat apa yang telah diatur olehnya.
Di tengah suasana yang hening
itu, tiba-tiba terdengar suara keledai lari berdetak-detak diselingi suara
kelotakan roda kereta yang menggelinding di atas batu. Sebuah kereta terdengar
sudah sampai di depan pintu. Malahan kereta itu tidak berhenti di situ, bahkan
terus melintasi gerbang pintu dan langsung masuk ke dalam pekarangan. Kereta
keledai itu tampak dikusiri seorang laki-laki tegap dengan cambuk di tangan,
kerai kereta tertutup hingga tidak jelas apa isi kendaraan itu.
Seketika perhatian semua orang
terarah kepada laki-laki tegap yang mengemudi kereta itu. Tertampak badannya
tinggi besar, dada lebar dan lengan kasar, mukanya kereng, siapa lagi dia kalau
bukan bekas Pangcu Kay-pang, Kiau Hong adanya.
Setelah taruh cambuknya di
atas kereta, segera Kiau Hong melompat turun dan berkata, "Kudengar
Sih-sin-ih dan Yu-si-hengte sedang mengadakan pertemuan besar dengan para
kesatria di Cip-hian-ceng ini, Kiau Hong sudah merasa dibenci oleh para
kesatria Tionggoan, masakah aku berani ikut hadir ke sini tanpa kenal malu?
Cuma hari aku ada urusan penting yang mesti minta tolong kepada Sih-sin-ih,
maka kedatanganku secara sembrono ini hendaklah dimaafkan.”
Habis berkata, ia membungkuk
dengan laku sangat hormat.
Tapi semakin Kiau Hong berlaku
sopan, semakin Sih-sin-ih dan lain-lain curiga mungkin di balik kehalusan ini
ada sesuatu tipu keji. Maka diam-diam Yu Ek memberi tanda kepada anak buahnya
agar meronda keluar untuk berjaga segala kemungkinan di samping untuk
merintangi larinya Kiau Hong bila bekas pangcu itu hendak kabur.
Lalu Sih-sin-ih membalas
hormat dan berkata, "Ada urusan penting apa yang Kiau-heng ingin minta
tolong padaku?”
Kiau Hong tidak lantas
menyahut, tapi ia melangkah mundur ke samping kereta, ia singkap tirai kereta
keledai itu dan memayang A Cu turun ke bawah. Lalu katanya, "Disebabkan
aku suka bertindak gegabah, maka nona cilik ini ikut menjadi korban tenaga pukulan
orang hingga terluka parah. Di zaman ini selain Sih-sin-ih tiada orang lain
lagi yang mampu menyembuhkannya, maka secara sembrono kudatang kemari untuk
mohon Sihsin-ih agar suka menolong jiwanya.”
Waktu melihat kereta keledai
itu tadi sebenarnya semua orang sangat curiga, sebab tidak tahu apa isi kereta
yang dibawa datang Kiau Hong. Kini demi tampak dari dalam kereta diturunkan
seorang nona cilik berumur 16-17 tahun, kembali mereka heran lagi, lebih-lebih
setelah mendengar Kiau Hong menyatakan kedatangannya itu hendak mohon
pengobatan kepada Si Tabib Sakti.
Sih-sin-ih sendiri juga sama
sekali tidak menduga akan hal itu. Sudah biasa baginya menerima tamu dari jauh
yang ingin minta tolong padanya, tapi kini mereka sedang berunding cara
bagaimana menawan dan membunuh Kiau Hong, siapa tahu "durjana” yang
dipandang mahajahat itu justru datang sendiri, sungguh hal ini sukar untuk
dipercaya oleh siapa pun.
Ia coba mengamat-amati A Cu
dari atas ke bawah dan sebaliknya, ia lihat anak dara itu cukup cantik, tapi
tidak luar biasa, apalagi usianya masih muda, tidak mungkin Kiau Hong tergoda
oleh kecantikan seorang dara ingusan. Tapi ia lantas berpikir,
"Jangan-jangan anak dara ini adalah adik perempuannya? Tapi, hal ini tidak
mungkin terjadi, sedangkan orang tua dan gurunya saja dibunuhnya, masakah dia
sudi mengambil risiko sebesar ini demi untuk adik perempuan. Jika demikian,
apakah putrinya? Tapi toh tidak pernah kudengar Kiau Hong pernah menikah?”
Sebagai seorang tabib sakti,
dengan sendirinya Sih-sin-ih pandai membedakan ciri-ciri setiap orang. Ia lihat
Kiau Hong sangat kekar, sebaliknya A Cu kecil mungil, tiada sesuatu persamaan
di antara mereka, maka dapat dipastikan tiada hubungan darah apa-apa. Setelah
berpikir sejenak, akhirnya ia tanya, "Siapakah nona ini, dia pernah apa
dengan kau?”
Kiau Hong melengak oleh
pertanyaan itu, sejak kenal A Cu, yang diketahui cuma panggilan anak dara itu
adalah "A Cu”, apakah dia she Cu atau bukan tidaklah diketahui. Maka ia
coba tanya gadis itu, "A Cu, apakah kau memang she Cu?”
"Bukan,” sahut A Cu
dengan tersenyum. "Aku she Wi dan bernama Si. Cuma aku cuka pakai baju
merah, maka Kongcu memanggilku A Cu (Si Merah).”
"O, jadi dia she Wi,
Sih-sin-ih, aku pun baru tahu sekarang,” ujar Kiau Hong.
Keruan Si Tabib Sakti semakin
heran, tanyanya pula, "Jika begitu, jadi engkau tiada persahabatan apa-apa
dengan dia?”
"Dia adalah dayang
seorang sobatku, sedikit banyak ada sangkut pautnya,” ujar Kiau Hong.
"Siapakah sobatmu itu,
tentu hubungan kalian sebaik saudara sekandung, bukan?” tanya Sih-sin-ih.
"Tidak, sobatku itu juga
cuma kukenal namanya saja, selamanya belum pernah bertemu,” sahut Kiau Hong.
Keruan jawabannya membikin
gempar pula. Sebagian besar orang tidak percaya pada pengakuannya itu, mereka
menyangka itu cuma suatu tipu muslihat Kiau Hong saja. Tapi banyak pula yang
kenal watak Kiau Hong tidak pernah berdusta, biarpun segala kejahatan mungkin
dapat dilakukannya, tapi untuk menjaga harga diri, tidak nanti ia bohong untuk
menipu orang.
Sih-sin-ih tidak tanya lagi,
tiba-tiba ia melangkah maju, ia pegang nadi pergelangan tangan A Cu, ia merasa
denyut nadi sangat lemah, tenaga murni dalam tubuh bergolak hebat, keduanya itu
satu sama lain tidak seimbang. Waktu ia periksa nadi lain pula, maka dapatlah
ia menentukan penyakitnya. Katanya, "Jika Kiauheng tidak menyambung
jiwanya dengan tenaga dalam, mungkin nona ini sudah lama terbinasa di bawah
pukulan Kim-kong-ciang Hian-cu Taysu.”
Sudah tentu ucapan Si Tabib
Sakti ini sekali lagi membikin gempar para kesatria, lebih-lebih Hian-lan dan
Hian-cit, mereka merasa aneh bilakah suheng mereka pernah memukul seorang nona
cilik dengan Kim-kongciang? Jika dara cilik ini benar-benar diserang Kim-kong-ciang
yang mahahebat itu, tidak mungkin jiwanya bisa dipertahankan sampai sekarang.
Maka Hian-lan lantas berkata,
"Sih-kisu, Hongtiang Suheng kami selama beberapa tahun tidak pernah keluar
dari biara, selamanya Siau-lim-si tidak pernah dimasuki kaum wanita, mungkin
pukulan Kim-kong-ciang itu bukan dilakukan oleh suheng kami.”
"Habis, di dunia ini
siapa lagi yang mampu menggunakan Kim-kong-ciang dari kalangan Buddha ini?”
ujar Sih-sin-ih.
Hian-lan dan Hian-cit menjadi
bungkam dan saling pandang. Mereka berdua belajar bersama dengan Hian-cu dari
satu guru, mereka giat berlatih, tapi karena terbatas oleh bakat mereka, maka
Tay-pan-yak-kim-kong-ciang itu tak berhasil diyakinkan mereka. Hal ini pun
tidak membuat menyesal mereka, sebab mereka maklum orang Siau-lim-pay mereka
jarang yang berhasil meyakinkan ilmu silat golongannya sendiri walaupun inti
rahasia setiap ilmu pusaka mereka selalu dapat diturunkan dengan baik oleh
padri-padri sakti angkatan yang lebih tua. Tapi untuk bisa melatihnya dengan
sempurna terkadang sampai ratusan tahun baru terdapat seorang genius di antara
padri yang berjumlah ratusan itu.
Sebenarnya Hian-cit ingin
tanya apakah benar nona itu terkena "Tay-pan-yak-kim-kong-ciang”, tapi
urung diucapkannya, sebab bila ia tanya begitu, itu berarti ia ragukan
kepandaian Sih-sin-ih, hal ini akan dianggap kurang hormat.
Hian-lan lantas berkata,
"Di balik kejadian ini tentu ada sesuatu yang ganjil. Suhengku adalah
padri yang alim, sebagai seorang ketua suatu mazhab persilatan terkemuka, tidak
mungkin ia menyerang seorang nona cilik? Sekalipun nona ini berbuat sesuatu
yang salah juga Hongtiang Suheng kami takkan bertindak seganas ini padanya.”
Semua orang menyatakan benar
ucapan itu, mereka pun sependapat bahwa di balik urusan ini pasti ada sesuatu
muslihat tertentu.
Karena itu banyak di antara
mereka sama melototi Kiau Hong, maksud mereka sudah terang yaitu bila ada orang
yang main gila dalam peristiwa itu, terang dia pastilah Kiau Hong.
Namun Kiau Hong anggap
kebetulan malah jika kedua padri Siau-lim-si itu tidak mengakui A Cu dilukai
ketua mereka, sebab kalau mereka mengakui hal itu, mungkin Sih-sin-ih akan
tidak enak malah untuk mengobati luka A Cu.
Supaya menurut arah angin,
segera ia berkata, "Ya, Hian-cu Hongtiang adalah padri welas kasih, tidak
mungkin beliau sembarangan menyerang seorang gadis cilik. Besar kemungkinan ada
orang sengaja memalsukan padri saleh untuk merusak nama baik Siau-lim-pay.”
Hian-lan dan Hian-cit saling
pandang, mereka anggap ucapan Kiau Hong yang durhaka itu beralasan juga.
Sebaliknya diam-diam A Cu
merasa geli, memang benar juga ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, tapi
bukan memalsukan Hian-cu Hongtiang, melainkan Ti-jing Hwesio. Dan sudah tentu
Hian-lan dan Hian-cit tidak mengetahui maksud ganda kata-kata Kiau Hong itu.
Mendengar apa yang dikemukakan
Hian-lan dan Hian-cit tadi, Sih-sin-ih yakin diagnosis yang dikatakannya tadi
tidak salah lagi, maka katanya pula, "Jika begitu halnya, ternyata di
dunia ini ada orang lain lagi yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang dari
Siau-lim-si. Cuma waktu orang ini menyerang, entah teralang apa, maka daya
pukulannya telah terhapus 7-8 badan hingga Nona Wi ini tidak terbinasa. Tapi
betapa hebat tenaga pukulan orang itu mungkin tidak lebih lemah daripada
Hian-cu Hongtiang, di jagat ini terang tiada orang ketiga lagi yang dapat
menandingi mereka.”
Alangkah kagumnya Kiau Hong,
pikirnya diam-diam, "Sungguh mahasakti kepandaian Sih-sin-ih ini. Dia
hanya memegang nadi A Cu sebentar, segera ia dapat menguraikan apa yang terjadi
pada pertarungan itu dengan tepat. Tampaknya dia pasti dapat juga menyembuhkan
A Cu.”
Maka dengan rasa girang segera
ia berkata, "Jika nona ini terbinasa di bawah pukulan
Tay-pan-yak-kim-kongciang, tentu Siau-lim-pay akan ikut tersangkut, maka
sudilah Sih-sin-ih menaruh belas kasihan dan suka mengobatinya.”
Sembari berkata, kembali ia
memberi hormat.
Tapi belum lagi Si Tabib Sakti
menjawab, tiba-tiba Hian-cit tanya A Cu, "Siapakah orang yang melukai
Nona? Di manakah kau diserang olehnya dan sekarang penyerang itu berada di
mana?”
Karena urusan menyangkut nama
baik Siau-lim-pay mereka, pula tidak disangka bahwa di dunia ini ternyata masih
ada golongan lain yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, maka betapa pun ia
ingin mengusut urusan ini hingga terang.
Sebaliknya sifat A Cu memang
nakal dan jahil, tiba-tiba tergerak pikirannya, "Kawanan hwesio ini gentar
kepada kongcu kami, biarlah aku sengaja menakuti-nakuti mereka.
Maka ia lantas menjawab,
"Penyerang itu adalah seorang pemuda cendekia, wajahnya cakap dan
potongannya ganteng. Waktu itu aku sedang minum dengan Kiau-toaya di suatu
kedai arak sambil mempercakapkan kepandaian Sih-sin-ih yang mahasakti dan tiada
bandingannya sepanjang sejarah ….”
Manusia mana yang tidak suka
dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Sih-sin-ih. Apalagi kata-kata itu
diucapkan oleh seorang dara jelita, maka tanpa terasa tabib sakti itu sangat
senang, ia mengelus jenggotnya dengan tersenyum sambil mendengarkan
pujian-pujian setinggi langit itu.
Sebaliknya Kiau Hong berkerut
kening, sebab apa yang dikatakan A Cu itu sudah terang omong kosong belaka.
Terdengar A Cu mencerocos lagi,
"Waktu itu aku berkata, ‘Adanya Sih-sin-ih itu di dunia, sebenarnya orang
lain tidak perlu belajar silat lagi.’ Maka Kiau-toaya tanya padaku apa
sebabnya? Aku menjawab, ‘Jika setiap orang yang dipukul mati toh akan
dihidupkan kembali oleh Sih-sin-ih, lalu apa gunanya orang belajar ilmu silat
segala, bukankah sia-sia? Bila kau bunuh seorang, beliau sanggup hidupkan dua
orang, kau bunuh dua orang, beliau malahan hidupkan empat orang. Nah, kan
sia-sia orang belajar silat?’”
Dasar A Cu memang pandai bicara
dan pintar mengarang, lagu suaranya enak didengar pula tidak membosankan
pendengarnya. Saking tertariknya bahkan ada yang bergelak tertawa.
Namun A Cu sendiri sedikit pun
tidak tertawa, ia sambung lagi, "Di luar dugaan di meja sebelah waktu itu
pun duduk seorang kongcuya, rupanya percakapan kami dapat didengarnya,
tiba-tiba ia mendengus dan berkata, ‘Hah, segala pukulan di dunia ini pada
umumnya enteng tak bertenaga, karena itulah tabib she Sih bisa mendapatkan nama
kosong. Coba kalau tenaga pukulanku ini, apakah dia mampu menyembuhkan?’”
Habis berucap begitu dari
tempat duduknya ia terus menghantam ke arahku dari jauh. Tadinya kukira dia
hanya bergurau saja, maka tidak kuambil pusing, Tapi Kiau-toaya inilah yang
terkejut ….”
"Apakah dia yang
menangkiskan pukulan itu?” tanya Hian-cit.
"Bukan,” sahut A Cu
dengan menggeleng kepala. "Jika Kiau-toaya menangkis pukulan itu, tentu
aku takkan terluka. Justru karena jarak Kiau-toaya dengan aku agak jauh, maka
tanpa pikir ia angkat sebuah kursi dan ditimpukkan dari samping. Syukurlah
pertolongan Kiau-toaya itu tepat datangnya hingga kursi itu hancur kena tenaga
pukulan kongcu muda itu, aku sendiri merasa sekujur badan enteng bagai terbang
ke awang-awang, sedikit pun tidak bertenaga lagi. Lalu kongcuya itu berkata
padaku, ‘Nah, sekarang boleh kau pergi pada Sihsin-ih, suruh dia latihan dulu
atas lukamu ini, supaya kelak dia takkan repot jika mesti mengobati Hian-cu
Taysu.’.”
"Apa maksud perkataannya
itu?” tanya Hian-lan dengan kening bekernyit.
"Agaknya ia maksudkan
kelak akan menggunakan Tay-pan-yak-kim-kong-ciang untuk melukai Hian-cu Taysu,”
sahut A Cu.
Seketika para kesatria dibikin
gempar pula, banyak di antaranya berseru, "He, Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin,
ternyata betul, itulah dia Koh-soh Buyung!”
Mereka pakai kalimat
"ternyata betul”, maksudnya mereka sudah menduga sebelumnya akan
keterangan A Cu itu.
Begitulah oleh karena A Cu
sudah tahu Buyung Hok bakal cari setori pada orang Siau-lim-pay, maka sekarang
ia sengaja membual untuk menggertak lawan dulu, sekalian untuk mengangkat
derajat dan meninggikan perbawa Buyung-kongcu.
"He, bukankah Kiau Hong
tadi bilang ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, mengapa nona ini sekarang
mengatakan penyerangnya itu adalah seorang muda, sebenarnya manakah yang
betul?” tiba-tiba Yu Ek menegas.
"Orang yang memalsukan
padri Siau-lim-si memang bukan karangan, aku sendiri menyaksikan dua hwesio
yang mengaku dari Siau-lim-si, tapi diam-diam mencuri anjing orang untuk
disembelih,” sahut A Cu. Ia sadar bualannya tadi agak tidak cocok dengan
keterangan Kiau Hong, maka ia sengaja omong yang tidak-tidak untuk membelokkan
pokok pertanyaan mereka.
Dengan sendirinya Sih-sin-ih
lantas tahu juga apa yang diceritakan A Cu itu agak ganjil, seketika ia menjadi
ragu apakah mesti mengobati luka gadis ini atau tidak. Ia coba pandang Hian-lan
dan Hian-cit berdua, lalu memandang Yu-si-siang-hiong dan memandang pula Kiau
Hong dan A Cu.
"Hari ini jika
Sih-siansing sudi menolong Nona Wi, budi kebaikan ini pasti takkan kulupakan di
kemudian hari,” ujar Kiau Hong.
"Hehe, takkan melupakan
kebaikanku di kemudian hari? Memangnya kau kira kau dapat keluar dari sini
dengan hidup?” jengek Sih-sin-ih.
"Keluar dari sini dengan
hidup atau akan mati di sini, hal ini tak dapat kupikirkan lagi,” kata Kiau
Hong. "Yang terang, luka nona ini betapa pun harus kau obati.”
"Untuk apa aku harus
mengobati dia?” sahut Sih-sin-ih dengan ketus.
"Kota Buddha, menolong
jiwa seorang melebihi membangun tujuh tingkat candi,” ujar Kiau Hong.
"Sebagai seorang bu-lim yang wajib berlaku bajik, rasanya tidak mungkin
Sih-siansing tega menyaksikan nona ini mati begitu saja tanpa berdosa.”
"Sebenarnya siapa pun
yang membawa nona ini kemari, pasti akan kusembuhkan dia,” sahut Sih-sin-ih.
"Tapi, hm, karena kau yang membawanya kemari, maka aku tidak mau menolong
dia.”
Air muka Kiau Hong berubah
mendadak, katanya dengan dingin, "Kalian berkumpul di Cip-hian-ceng tujuan
kalian memang hendak menghadapi orang she Kiau, masakah aku tidak tahu?”
"Ai, Kiau-toaya, jika
begitu, tidak seharusnya engkau menempuh bahaya dan membawa aku ke sini,” sela
A Cu mendadak.
Namun Kiau Hong menyambung
lagi, "Tapi kupikir kalian adalah kaum kesatria sejati, tentu dapat
membedakan yang benar dan yang
salah, yang ingin kalian bunuh juga cuma aku seorang dan tiada sangkut paut
apa-apa dengan nona cilik ini. Sekarang rasa benci Sih-siansing kepadaku ikut
merembet atas diri Nona Wi ini, bukankah itu tidak patut?”
Sih-sin-ih menjadi bungkam.
Sejenak barulah ia menjawab, "Apakah aku akan mengobati seseorang atau
tidak bergantung kepada keputusanku, hal ini tak dapat dimohon oleh siapa pun
dan tak bisa dipaksakan padaku. Kiau Hong, dosamu, sudah kelewat takaran, kami
justru lagi berunding hendak membekuk batang lehermu untuk mencencangmu guna
sesajen ayah-bunda dan gurumu yang telah menjadi korban keganasanmu itu. Jika
sekarang kau sendiri sudah datang kemari, itulah paling bagus. Nah, boleh kau
bereskan nyawamu sendiri saja.”
Habis berkata, sekali ia
memberi tanda, serentak para kesatria berteriak sekali sambil melolos senjata
masingmasing, seluruh ruangan itu penuh sinar kemilau dari berbagai jenis
senjata. Menyusul di tempat tinggi juga terdengar suara seruan, di atap rumah,
emper, dan pagar tembok sudah penuh berdiri jago-jago silat dengan senjata siap
di tangan.
Meski sudah banyak pertempuran
besar yang dialami Kiau Hong, tapi biasanya anggota Kay-pang yang dipimpinnya
itu selalu berjumlah lebih banyak daripada pihak musuh, tidak pernah seorang
diri terkepung di tengah musuh banyak seperti sekarang ini, bahkan ia masih
harus melindungi seorang nona cilik yang terluka parah, sungguh ia menjadi
bingung juga cara bagaimana mesti meloloskan diri dari kepungan musuh yang
ketat ini.
Yang paling khawatir adalah A
Cu. "Kiau-toaya, lekas engkau melarikan diri saja dan tidak perlu urus
diriku! Mereka tiada permusuhan apa-apa denganku, tentu aku takkan dibikin
susah oleh mereka,” demikian seru A Cu sambil menangis.
Tergerak pikiran Kiau Hong, ia
pikir para kesatria tentu takkan bikin susah seorang gadis tak berdosa, biarlah
lekas kutinggalkan tempat ini saja. Tapi segera terpikir pula, "Seorang
laki-laki sejati sekali menolong orang harus menolong sampai akhirnya,
sedangkan Sih-sin-ih belum lagi menyanggupi akan mengobati lukanya, sebelum
tahu pasti bagaimana nasib nona cilik ini, mana boleh aku tamak hidup dan takut
mati, lalu tinggal pergi begini saja?”
Ia coba pandang sekitar
ruangan tamu itu, ia lihat banyak tokoh terkemuka di antara hadirin itu adalah
kenalan lama.
Melihat jago-jago terkemuka
sebanyak itu, sekonyong-konyong semangat jantannya berkobar-kobar, rasa jeri
tersapu bersih semua. Katanya di dalam hati, "Andaikan darahku akan
membasahi Cip-hian-ceng ini dan badanku akan dicencang mereka, apa artinya lagi
bagiku? Seorang laki-laki kenapa mesti girang hidup dan takut mati?”
Berpikir begitu, segera ia
terbahak dan berkata, "Sih-sin-ih, kalian menuduh aku adalah orang Cidan
dan ingin membunuhku. Hehehe, apakah aku sebenarnya orang Cidan atau orang Han,
sampai saat ini aku sendiri pun tidak pasti ….”
"Benar, memang kau anak
keturunan capcai, dengan sendirinya kau tidak tahu keturunan jenis apa!”
tiba-tiba suara orang yang dingin aneh tadi bergema lagi di antara orang
banyak. Sejak tadi semua orang ingin tahu siapakah gerangan pembicara itu, tapi
meski sudah dicari dan diperhatikan arah datangnya suara itu, tetap tak
diketahui bibir siapa yang bergerak dan bicara itu. Jika perawakan orang itu
sangat pendek, toh di antara hadirin itu tiada seorang pun yang berperawakan
katai.
Semula Kiau Hong juga
celingukan mencari si pembicara itu, tapi sesudah memerhatikan sejenak kemudian
ia manggut-manggut, ia tidak gubris orang dan melanjutkan perkataannya kepada
Sih-sin-ih, "Dan bila aku ternyata bangsa Han adanya, hari ini engkau
telah menghinaku secara terbuka begini, tidak nanti aku tinggal diam atas
perbuatanmu ini. Sebaliknya kalau aku adalah bangsa Cidan dan bertekad akan
memusuhi para kesatria Tionggoan, maka orang pertama yang akan kubunuh adalah
dirimu, dengan demikian supaya setiap kesatria Tionggoan yang kulukai akan
binasa dan tak dapat tertolong lagi olehmu.”
"Memang, betapa pun kau
pasti akan membunuhku,” sahut Sih-sin-ih.
"Tapi aku mohon sukalah
engkau menolong nona ini, satu jiwa kubayar kembali dengan satu jiwa, selamanya
aku takkan mengganggu seujung rambutmu,” ujar Kiau Hong.
"Hehehe,” Sih-sin-ih
tertawa dingin, "selama hidupku bila mengobati orang hanya kalau dimohon,
tapi tidak pernah dipaksa atau diancam.”
"Kan kutukar jiwamu
dengan satu jiwa secara adil, tak dapat dikatakan aku mengancam atau memaksa,”
sahut Kiau Hong.
Tiba-tiba suara dingin dan
aneh tadi berkata pula, "Huh, apakah kau tidak malu? Padahal sekejap lagi
kau sendiri akan dicencang mereka menjadi perkedel, tapi kau masih bicara
tentang mengampuni jiwa orang segala? Kau ….”
Belum selesai ia berkata,
mendadak Kiau Hong membentak, "Gelinding keluar!”
Begitu hebat bentakannya
hingga atap rumah seakan-akan terguncang, debu kotoran pun bertebaran dari
atas, telinga setiap orang seakan-akan pekak dan jantung berdebar.
Pada saat lain tertampaklah di
antara orang banyak ada seorang laki-laki terhuyung-huyung menumbuk kiankemari
pada orang-orang di sekitarnya. Hanya sekejap saja di situ lantas berwujud
suatu tempat luang, orangorang lain sama menyingkir dan laki-laki itu tampak
sempoyongan bagai orang mabuk.
Para kesatria lantas dapat
melihat jelas laki-laki itu berjubah hijau, muka pucat kaku, perawakannya
sangat kekar dan tegap, tapi tiada yang kenal siapakah dia.
"Ah, tahulah aku, dia ini
Tui-hun-tiang Tam-ceng. Ya, dia inilah murid Yan-king Taycu,” demikian
tiba-tiba Oh-pek-kiam Su An berseru.
Tui-hun-tiang Tam-ceng, Si
Tongkat Pencabut Nyawa, mukanya waktu itu tampak berkerut-kerut, terang sedang
menderita kesakitan yang luar biasa sambil kedua tangan tiada berhenti-henti
memukul dan mencakar dada sendiri. Dari dalam badannya terdengar suara
perkataan, "Aku … aku tiada permusuhan apa-apa dengan … denganmu, mengapa
kau musnahkan ilmuku?”
Suaranya tetap lirih, dingin
dan aneh, tapi kini terdengar lemah dan terputus-putus, sedang bibirnya sedikit
pun tidak bergerak.
Keruan banyak di antara
hadirin terkejut dan heran. Hanya beberapa di antaranya yang mengetahui bahwa
ilmu kemahiran Tam-ceng itu disebut "Hok-lwe-gi” (ilmu bicara dengan
perut), dengan ilmu mukjizat itu ditambah lwekang yang tinggi, sering pihak
lawan bisa dipermainkan hingga semangat kabur dan sukma hilang, akhirnya
terbinasa.
Rupanya Tam-ceng sudah
memperoleh kepandaian gurunya, yaitu, Yan-king Taycu dan telah menjadi seorang
pembicara dengan perut yang ulung.
Tapi sial baginya, ia
ketanggor sekali ini, karena lwekang Kiau Hong jauh lebih tinggi daripadanya,
maka ilmu sihirnya itu tidak mempan, sebaliknya ia kena digertak Kiau Hong dan
ia celaka sendiri.
Maka dengan gusar Sih-sin-ih
lantas mendamprat Tam-ceng, "Jadi kau inilah murid ‘Ok-koan-boan-eng’ Toan
Yan-king? Pertemuan besar kaum kesatria yang kuadakan ini hanya disediakan
untuk para pahlawan. Manusia rendah dan sampah masyarakat macammu ini juga
berani menyelundup ke sini?”
"Huh, pertemuan kesatria
apa segala, kulihat lebih tepat dikatakan pertemuan antara kawanan babi
celeng!” tiba-tiba dari tempat tinggi di kejauhan berkumandang suara seorang.
Dan begitu selesai ucapannya, tahu-tahu
sesosok bayangan orang
melayang turun dari atas pagar tembok yang tinggi.
Perawakan orang ini tampak
lencir dan tinggi sekali dengan gerak-geriknya yang sangat cepat. Banyak di
antara penjaga di atas rumah telah berusaha merintanginya, tapi semuanya
terlambat sedikit hingga orang jangkung ini sempat menerobos lewat.
Segera banyak juga di antara
hadirin mengenal si jangkung ini tak-lain-tak-bukan adalah
"Kiong-hiong-kekok” In Tiong-ho alias Si Ganas dan Mahajahat.
Dan begitu In Tiong-ho
melayang turun ke tengah ruangan, dengan cepat ia jambret Tam-ceng terus
menerjang ke arah Sih-sin-ih malah.
Karena khawatir tabib sakti
itu diserang, dengan sendirinya tokoh-tokoh di sekitarnya serentak berusaha
melindunginya. Tak tersangka tindakan In Tiong-ho itu melulu tipu belaka,
pura-pura maju tapi sebenarnya akan mundur. Begitu lawan mengerubut maju, cepat
sekali ia melompat mundur dan melompat ke atas pagar tembok lagi.
Sebenarnya tidak sedikit di
antara kesatria yang hadir itu berilmu silat lebih tinggi daripada In Tiong-ho,
tapi karena didahului oleh durjana itu, ditambah lagi ginkang Tiong-ho memang
lain daripada yang lain, sekali dia sudah naik ke pagar tembok, sukarlah untuk
disusul oleh siapa pun.
Segera banyak di antara
jago-jago itu bermaksud menyerang dengan senjata rahasia, penjaga di atas atap
rumah juga membentak dan hendak mencegat, tapi Kiau Hong sudah mendahului
bertindak, mendadak ia membentak, "Tinggal sajalah di sini!”
Berbareng sebelah tangan terus
memukul dari jauh, kontan suatu arus tenaga mahadahsyat bagaikan senjata tanpa
wujud mengenai punggung In Tiong-ho.
Tanpa ampun lagi mahadurjana
itu bersuara tertahan sekali, lalu terbanting jatuh ke belakang. Begitu
terjungkal ke bawah, terus saja mulutnya menyemburkan darah segar bagai air
mancur.
Sebaliknya Tam-ceng yang ikut
terjungkal kembali itu masih dapat merangkak bangun, namun tetap
terhuyung-huyung ke sana dan kemari sambil mulutnya menggumam seperti orang
gila, keadaannya sangat lucu. Namun tiada seorang pun di antara hadirin geli
oleh kelakuan Tam-ceng itu, sebaliknya mereka merasa keadaan di depan mata itu
sangat seram.
Sih-sin-ih tahu luka In
Tiong-ho sangat parah, tapi masih dapat ditolong, sebaliknya semangat Tam-ceng
sudah runtuh, pikiran sehatnya sudah hilang, tiada obat mukjizat di dunia ini
yang dapat menolong jiwanya. Terbayang olehnya Kiau Hong hanya sekali
menggertak dan sekali menghantam dari jauh saja sudah memiliki daya selihai
itu, bila bekas pangcu itu mau ambil jiwanya, rasanya tiada yang mampu
merintanginya.
Tengah Sih-sin-ih termenung
itu, tertampak Tam-ceng tidak bergerak lagi, tapi berdiri terpatung di
tempatnya tanpa bersuara lagi. Kedua matanya mendelik, napasnya sudah putus.
Tadi Tam-ceng telah menghina
Kay-pang, sebenarnya anggota-anggota Kay-pang sangat murka, tapi waktu itu
tiada diketemukan siapa pembicaranya, maka mereka cuma gusar tanpa ada
sasarannya. Kini, sekali Kiau Hong datang ke situ, segera orang itu dapat
dimampuskan, tentu saja mereka merasa sangat senang dan puas. Kesatria-kesatria
yang jujur tulus sebagai Go-tianglo dan Song-tianglo sampai hampir-hampir
bersorak memuji, cuma teringat oleh mereka bahwa Kiau Hong sekarang bukan
pangcu mereka lagi, pula dituduh sebagai keturunan Cidan, maka mereka urung
bersorak. Tapi lapat-lapat dalam hati kecil mereka toh merasa menyesal bila
Kiau Hong tidak menjadi pangcu mereka, maka kejayaan Kay-pang yang telah lalu
tentu susah dibangun kembali.
"Kedua Yu-heng,” demikian
Kiau Hong berkata. "Hari ini Cayhe dapat bersua dengan kenalan-kenalan
lama di sini, tapi untuk selanjutnya kita akan menjadi lawan dan bukan kawan
lagi, sungguh aku merasa sangat menyesal, maka aku ingin mohon beberapa mangkuk
arak padamu.”
Semua orang menjadi heran
menyaksikan ketenangan Kiau Hong ini, di bawah kepungan lawan sebanyak ini toh
dia masih sempat minta minum arak apa segala. Diam-diam Yu Ek pikir,
"Biarlah kita lihat cara bagaimana ia akan bertingkah?”
Maka ia lantas perintahkan
centeng menyediakan arak yang diminta.
Cip-hian-ceng sedang
mengadakan pertemuan, dengan sendirinya arak dan daharan sudah tersedia lebih
dari cukup. Hanya sekejap pelayan sudah sediakan poci dan cawan arak
seperlunya.
Tapi Kiau Hong berkata pula,
"Cawan sekecil ini mana dapat memuaskan, harap ambilkan mangkuk yang
besar.”
Segera dua centeng membawakan
beberapa buah mangkuk besar dan satu guci arak simpanan, mereka menaruh semua
itu di atas meja di depan Kiau Hong dan menuangkan satu mangkuk penuh.
"Harap setiap mangkuk
diisi semua,” pinta Kiau Hong, dan sesudah hal itu dipenuhi kedua pelayan, lalu
Kiau Hong angkat mangkuk dan berkata, "Para enghiong-hohan dari segenap
penjuru yang hadir di sini sebagian besar adalah kawan lama Kiau Hong, tapi sekarang
karena aku dicurigai kalian, marilah, silakan, kita habiskan semangkuk arak ini
sekadar tanda putusnya persaudaraan. Siapa yang ingin membunuh diriku harap
minum dulu semangkuk. Selanjutnya putuslah hubungan baik kita, apakah aku akan
terbunuh oleh kalian atau kalian akan kubinasakan, masing-masing tidak perlu
sungkan-sungkan. Nah, silakan siapa yang akan maju lebih dulu.”
Seketika ruangan tamu itu
menjadi sunyi senyap, semuanya berpikir dengan khawatir, "Jika aku maju
dulu, jangan-jangan akan tertipu olehnya. Pukulan sakti dari jauh seperti tadi
mana aku sanggup menangkisnya?”
Dalam keadaan hening itulah,
tiba-tiba tampil ke muka seorang perempuan berpakaian putih berkabung. Itulah
janda Be Tay-goan.
Be-hujin mengangkat mangkuk
arak dan berkata dengan dingin, "Suamiku dibinasakan olehmu, di antara
kita tiada soal persaudaraan lagi!”
Lalu ia tempelkan mangkuk arak
ke bibir, ia cicip sedikit dan berkata pula, "Aku tidak sanggup minum
habis arak ini, tapi sakit hati kematian suami yang harus kubalas adalah mirip
arak ini.”
Habis berkata, ia siram sisa
arak ke lantai.
Waktu Kiau Hong perhatikan
janda muda itu, ia lihat Be-hujin itu cantik molek. Tempo hari waktu bertemu di
tengah hutan, karena cuaca sudah gelap, maka wajahnya tidak jelas kelihatan,
sungguh tak tersangka wanita yang lihai itu ternyata mempunyai wujud secantik
ini. Tanpa bicara ia pun angkat mangkuknya, sekali tenggak ia habiskan isi
mangkuk. Ia memberi tanda agar pelayan memenuhi mangkuknya lagi.
Sesudah Be-hujin undurkan
diri, lalu maju Ci-tianglo, ia pun tanpa bicara mengeringkan semangkuk arak
diiringi Kiau Hong.
Dan setelah Thoan-kong
Tianglo, lalu majulah Cit-hoat Tianglo. Selagi tokoh Kay-pang itu angkat
mangkuknya hendak ditenggak, mendadak Kiau Hong berkata, "Nanti dulu!”
"Kiau-heng ada pesan
apa?” tanya Cit-hoat Tianglo. Biasanya ia sangat hormat kepada Kiau Hong, maka
nada suaranya sekarang tetap merendah seperti biasanya, bedanya cuma tidak
memanggil "pangcu” lagi.
Maka berkatalah Kiau Hong,
"Kita adalah saudara selama sepuluh tahun, sungguh tidak nyana hari ini
mesti menjadi musuh.”
Air mata Cit-hoat Tianglo
berlinang-linang di kelopak matanya, sahutnya, "Jika tidak menyangkut
kepentingan nusa dan bangsa, Pek Si-kia lebih suka mati daripada bermusuhan
dengan Kiau-heng.”
"Aku paham hal ini,” kata
Kiau Hong sambil mengangguk, "Sebentar lagi kita akan menjadi lawan,
rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit. Maka Kiau Hong ingin
minta tolong sesuatu urusan.”
"Asal tidak menyangkut
pengkhianatan pada negara, pasti akan kuterima,” sahut Pek Si-kia.
Kiau Hong tersenyum, katanya
sambil menunjuk A Cu, "Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada
sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang, harap suka jaga keselamatan
nona cilik ini.”
Mendengar pesan itu tahulah
semua orang bahwa Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria sampai
titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan sebanyak biarpun dia mampu
membinasakan beberapa puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu juga
akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria terharu juga oleh semangat
jantan dan jiwa kesatria Kiau Hong itu.
Sebagai seorang tokoh
terkemuka serta kedudukan yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang,
dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria yang berjiwa besar,
apalagi hubungannya dengan Kiau Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir
bekas pangcu itu segera dijawabnya, "Harap Kiau-heng jangan khawatir, Pek
Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka menyembuhkan nona itu, bila terjadi
apa-apa atas diri Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk
mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini.”
Janji Cit-hoat Tianglo ini
cukup tegas, apakah nanti Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti
ia akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim selamanya berani berkata
berani berbuat, apalagi ia telah berjanji di depan orang banyak, maka janji
pasti akan ditepati olehnya.
Kiau Hong percaya sepenuhnya,
katanya, "Banyak terima kasih atas kebaikan Tianglo ini.”
"Dan dalam pertarungan
nanti Kiau-heng tidak perlu berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di
tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan menggantikan aku menjaga
Nona Wi.”
Habis bicara, ia angkat
mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong lantas
mengiringi dengan minum
semangkuk.
Lalu giliran maju
Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh Kay-pang yang lain. Kemudian majulah
jago-jago bu-lim dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu mengadu
mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah
menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi sudah habis terminum,
malahan centeng sudah mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong masih
segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak merah, hanya perutnya tampak
sedikit gembung, tiada sesuatu tanda lain yang luar biasa.
Keruan semua orang ternganga
heran, pikir mereka, "Jika minum terus cara begini, jangankan mesti
bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup bangun lagi.”
Sudah tentu mereka tidak tahu
bahwa semakin banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin tambah. Apalagi
selama beberapa hari ini Kiau Hong selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan
dan membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan semua itu dan sengaja
hendak melabrak mereka sepuasnya.
Setelah lebih 60 mangkuk arak
masuk perut Kiau Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk dengan
dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat sebuah mangkuk dan berkata,
"Orang she Kiau, biarlah aku pun minum semangkuk denganmu!”
Mendengar ucapan orang yang
kurang hormat itu, Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada
Hiang Bong-thian dan menyahut, "Orang she Kiau minum arak putus hubungan
ini dengan para kesatria bulim, maksudnya menghapuskan segala kebaikan
persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam apa? Macam dirimu juga
tidak ada harganya untuk bicara tentang persaudaraan denganku dan mengajak
minum ‘coat-kay-ciu’ (arak putus hubungan) padaku?”
Bicara sampai di sini, tanpa memberi
kesempatan pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah maju setindak,
sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu dada baju Hiang Bong-thian kena
dijambretnya, menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang Bong-thian
yang besar itu terlempar keluar ruangan, "bluk,” dengan keras badan Hiang
Bong-thian tertumbuk dinding dan seketika menggeletak kelengar.
Suasana menjadi kacau dan
tegang. Segera Kiau Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, "Ayolah, siapa
yang berani maju dulu untuk menempur aku!”
Melihat betapa gagah dan
tangkasnya Kiau Hong, seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga
tiada seorang pun berani maju.
"Kalian tidak berani
maju, biarlah aku yang mulai dulu!” bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia
terus menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang terkapar di tanah oleh
angin pukulan jarak jauh itu.
Bahkan Kiau Hong terus
menerjang maju, di mana kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang dan
telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja kembali beberapa orang dirobohkan
pula.
"Lekas mundur mepet
dinding, jangan sembarangan menyerang!” teriak Yu Ek cepat.
Seruan Yu Wk memang tepat.
Jumlah orang yang berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut maju
begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong juga tak mampu melawan.
Tapi tempatnya kecil dan orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang
benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga cuma lima-enam orang saja,
dan di bawah hujan pukulan dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang
akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan Yu Ek itu, seketika
terluanglah di bagian tengah hingga cukup luas.
"Marilah, biar kubelajar
kenal dulu kepandaian Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng,” seru Kiau Hong
pula. Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di atas meja tadi
terbang melayang ke arah Yu Ek.
Cepat Yu Ek dorong kedua
tangannya ke depan, maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar dugaan,
Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman dengan tangan kanan, "prak”, guci
hancur dan beratus beling pecahan guci bertebaran.
Beling dari remukan guci itu
sudah tentu sangat tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau Hong
yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip beratus senjata rahasia seperti
piau, hui-to (pisau terbang), dan lain-lain.
Seketika muka Yu Ek terkena
tiga potong beling hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya juga
ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan itu, suara caci maki
bercampur dengan suara jerit riuh.
Dalam pada itu sebelah kaki
Kiau Hong menendang pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi
dia hendak menambahi sekali hantaman pula, sekonyong-konyong dari belakang
terasa menyambar tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi sebenarnya
mengandung tenaga dalam yang sangat kuat.
Kiau Hong tahu pukulan itu
dilontarkan oleh seorang jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia
menangkis ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam yang kuat.
Waktu Kiau Hong memerhatikan
penyerang itu, ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si
"badut” yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai "Tio-ci-sun” itu.
Diam-diam Kiau Hong tidak
berani memandang enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik napas
panjang-panjang, pukulan kedua segera dilancarkan bagaikan gugur gunung
dahsyatnya.
Rupanya Tio-ci-sun juga tahu
melulu dengan sebelah tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong itu,
maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia berusaha menangkis.
"Apakah kau cari mampus!”
mendadak suara seorang wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun
merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga serangan Kiau Hong itu
terhindarkan.
Namun begitu toh tenaga
pukulan Kiau Hong itu masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga orang
di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa malang. Terdengarlah suara
gedebukan tiga kali, ketiga orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan
keras, begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding rontok bertebaran.
Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia
lihat orang yang menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang, katanya,
"Terima kasih atas pertolonganmu!”
"Kau serang bagian kiri
dan aku akan menyerang dari kanan,” kata Tam-poh.
Dan baru Tio-ci-sun mengiakan,
tahu-tahu sesosok bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului menerjang ke
arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah Tam-kong, si kakek Tam.
Jangan sangka perawakan
Tam-kong itu kurus kecil, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan
kiri menghantam ke depan, menyusul serangan tangan kanan dilontarkan lagi. Dan
sedikit tangan kiri ditarik kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada
tangan kanan.
Serangan tiga kali secara
berantai ini menjadi mirip damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan
pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tam-kong ini beberapa kali
lipat lebih kuat.
"Pukulan
‘Tiang-kang-sam-tiap-long’ (Ombak Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang
hebat!” puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri.
Benturan kedua arus tenaga
dalam yang hebat itu memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan pada
saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut maju, menyusul Ci-tianglo,
Thoan-kong Tianglo, Tantianglo dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan
pertarungan sengit itu.
"Kiau-hengte, Cidan tidak
dapat hidup berdampingan dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan umum
terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan pribadi, maafkan bila aku akan
berlaku kasar padamu!” demikian Thoan-kong Tianglo berseru.
"Sedangkan coat-kay-ciu
juga sudah kita minum, buat apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas
serangan!” demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah tokoh Kay-pang itu.
Namun begitu omongnya, toh
terhadap tokoh Kay-pang mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja tiada
niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin malu mereka di depan orang banyak
juga tidak. Maka depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah,
"bluk”, tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi sasarannya hingga
tertendang mencelat.
Rupanya Ki Liok, Si Golok
Kilat itu sama sekali tidak menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit
kaget ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan badannya mencelat ke atas.
Goloknya sebenarnya sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena badannya
mumbul ke udara, dan goloknya tetap dibacokkan, maka terdengarlah "crat”,
golok itu tepat kena membacok belandar utama ruangan besar itu.
Gedung utama Cip-hian-ceng
yang dibangun Yu-si-siang-hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih
belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat kuat. Maka sekali kena
bacok dengan kuat, golok Ki Liok itu lantas ambles belasan senti dalamnya
hingga senjata itu tergigit dengan kencang dalam belandar.
Golok Ki Liok itu adalah
senjata andalan yang membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh tangguh,
mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka sekuatnya ia memegangi golok itu
dengan tangan kanan. Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di
udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap orang di tengah ruangan
itu sedang menghadapi detik antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada
seorang pun sempat menertawainya.
Kiau Hong sendiri meski sudah
banyak menghadapi pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah, tapi kini
harus bertempur dengan jago sebanyak dan selihai ini, hal ini pun selama
hidupnya tidak pernah dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya
semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua tangannya naik-turun hingga
lawan-lawan tangguh sukar mendekatinya.
Sih-sin-ih memang sakti dalam
ilmu pengobatan, tapi ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu
pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan dan pengalaman yang mendalam.
Dalam hal ilmu silat
ia pun sangat luas
pengetahuannya, tapi luas pengetahuan tidak berarti pandai pula menggunakannya.
Oleh karena terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka tiada
sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya hingga sempurna. Jadi hanya
sepintas lalu saja ia mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya
dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya.
Sebelumnya ia suka bergirang
dan puas akan pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi kini
demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau Hong melawan orang banyak itu,
betapa hebat dan lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar membuatnya
terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya ada ilmu silat begini lihai.
Saking takjubnya hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak maju
bertempur.
Begitulah ia berdiri mepet
tembok dengan rasa takut, cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia
merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri malah kabur lebih dulu?
Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hian-lan berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya,
maka katanya perlahan, "Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan, harap
Taysu suka memaafkan.”
Sebenarnya Hian-lan asyik
mengikuti pertarungan sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan
Sihsin-ih itu, segera ia tanya, "Ucapan apa maksudmu?”
"Tadi aku menyatakan
heran mengapa Kiau Hong mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan
bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan sekarang, nyata dia memang
cukup mampu untuk berbuat begitu,” kata Sih-sin-ih.
Keruan Hian-lan kurang senang
mendengar demikian, sahutnya dengan mendengus, "Hm, Sih-sin-ih ingin
menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan?”
Belum lagi Sih-sin-ih
menjawab, terus saja ia melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang itu
mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul suara menderu yang keras,
angin pukulan yang dahsyat lantas menyambar ke arah Kiau Hong.
Jilid 32
Ilmu silat yang dikeluarkan
ini adalah satu diantara 72 macam ilmu silat pusaka Siau-lim-si, namanya
"Siu-likian-gun” (menyekap jagat dalam lengan baju), sekali ia kebas
lengan jubahnya, seketika tenaga pukulannya menyambar keluar dari dalam jubah.
Jadi lengan jubah itu hanya sebagai tameng pukulan saja agar musuh tidak dapat
membedakan arah datangnya serangan, tapi tahu-tahu diserang hingga kelabakan.
Namun Kiau Hong sudah lebih
dulu melihat kedua lengan baju Hian-lan itu melembung bagai goni penuh angin,
segera ia tahu serangan apa yang akan dilakukan padri sakti itu, bentaknya
cepat, "Siu-li-kian-gun, nyata memang hebat !”
Berbareng itu sebelah tangannya
segera dipukulkan ke arah lengan baju lawan dengan kuat. Tenaga yang terhimpun
dalam lengan baju Hian-lan itu menggembung, sebaliknya tenaga pukulan yang
dilontarkan itu terpusat keras, maka terdengarlah suara "bret-bret”
beberapa kali, ditengah goncangan arus tenaga yang maha dahsyat itu,
sekonyong-koyong ditengah ruangan itu bertebaran beberapa puluh ekor
"kupu-kupu”.
Keruan semua orang
terperanjat, waktu mereka perhatikan, ternyata "kupu-kupu” itu bukan lain
adalah robekan kain lengan baju Hian-lan. Waktu perhatian mereka beralih atas
diri padri itu, tertampaklah kedua lengannya sudah telanjang hingga kelihatan
jelas tulang lengannya yang kurus kering.
Rupanya di bawah tekanan dua
arus tenaga dalam yang maha kuat, maka lengan baju padri yang gondrong itu
tidak tahan dan seketika tergilas hancur. Dengan demikian, tanpa lengan baju
Hian-lan menjadi mati kutu dan tidak bisa menggunakan Siu-li-kian-gun lagi.
Saking gusarnya sampai muka
Hian-lan merah padam, cara Kiau Hong mematahkan serangannya itu dirasakan jauh
lebih menderita daripada membunuhnya. Tanpa omong lagi kedua lengannya yang
telanjang itu susul menyusul menghantam serabutan dengan dahsyat luar biasa.
Waktu semua orang
memperhatikan, ternyata yang dimainkan Hian-lan sekarang adalah ilmu pukulan
yang tersebar luas di dunia kangouw, yaitu "Thio-co-tiang-tin” atau ilmu
pukulan ciptaan Song-thai-co.
Song-thai-co Tio Kong-in,
cikal bakal dinasti Song, sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam dua jenis
ilmu silat, yaitu "Thai-co-tiang-kun” dan "Thai-co-pang”, ilmu
pukulan dan ilmu permainan toya dari Songthai-co.
Saking populernya kedua jenis
ilmu silat itu hingga pada jaman itu setiap orang Bu-lim hampir setiap orang
bisa, paling tidak juga pernah melihatnya.
Maka semua orang menjadi heran
demi nampak padri sakti Siau-lim-si yang terkenal itu ternyata memainkan ilmu
silat yang umum itu.
Tapi sesudah Hian-lan
menyerang tiga kali, mau tak mau timbul juga perasaan kagum mereka,
"Pantas saja Siau-lim-si memperoleh nama harum. Sama-sama sejurus Hoa-san-tio-ki
(main catur diatas Hoa-san), tapi di bawah permainannya ternyata mempunyai daya
serang selihat ini.”
Dan karena rasa kagum mereka
kepada ketangkasan Hian-lan, mereka jadi lupa pada wujud si padri yang
sebenarnya tak keruan dan lucu itu.
Tadi sebenarnya ada berpuluh
orang yang mengerubut Kiau Hong, tapi kini demi Hian-lan sudah turun tangan,
yang lain merasa akan mengganggu malah jika ikut mengeroyok, maka satu persatu
mereka mengundurkan diri, semuanya hanya menonton saja sambil merubung rapat di
pinggir untuk berjaga kalau Kiau Hong kewalahan dan ingin kabur.
Melihat pengeroyok lain sudah
mundur, hati Kiau Hong tergerak, mendadak ia menghantam ke depan dengan tipu
"Ciong-hong-cam-ciang” atau menyerbu maju membunuh panglima musuh, tipu
ini pun termasuk salah satu pukulan "Thai-co-tiang-kun”.
Tipu ini sebenarnya sangat
umum, tapi di bawah pukulan Kiau Hong ternyata membawa tenaga maha dahsyat
dengan gaya yang indah.
Setiap hadirin ini boleh
dikatakan adalah jago silat pilihan semua, dengan sendirinya mereka kenal di
mana letak kebagusan setiap ilmu silat. Maka demi nampak serangan Kiau Hong
yang indah itu, tanpa terasa mereka sama bersorak memuji.
Dan sesudah sorakan mereka
tercetus barulah mereka merasa salah. Bukankah Kiau Hong adalah musuh yang
harus mereka bunuh, tapi mengapa malah bersorak untuk menambah semangat musuh?
Namun sudah terlanjur, suara
sorakan mereka sudah lalu. Bahkan serangan kedua Kiau Hong dalam tipu
"Hosiok-lip-wi” (memperlihatkan pengaruh di Ho-siok) tampaknya lebih bagus
lagi daripada jurus pertama, maka tidak sedikit di antara para hadirin itu
masih bersorak, urung ketika sadar kelakuan mereka yang keliru. Namun hal mana
jelas mengunjuk betapa rasa kagum dan gegetun mereka atas kepandaian Kiau Hong
itu.
Begitulah, jika tadi malam
keadaan dikeroyok Kiau Hong tidak dapat memperlihatkan ketangkasannya, adalah
sekarang sesuah Kiau Hong bertempur satu lawan satu dan para pengeroyok tadi
menjadi penonton, barulah semua orang menyadari di mana kelebihan ilmu silat
Kiau Hong daripada orang lain.
Maka sesudah beberapa jurus
lagi, jelas kelihatan siapa lebih unggul dan siapa asor.
Ilmu pukulan yang dimainkan
kedua orang sama-sama kungfu yang sangat umum, tapi setiap serangan Kiau Hong
selalu lebih lambat sedikit dan membiarkan Hian-lan melancarkan serangan lebih
dulu. Dan sekali serangan Hian-lan dilontarkan, menyusul Kiau Hong lantas
menyerang juga.
Ilmu pukulan ciptaan
Song-thai-to itu seluruhnya meliputi 72 jurus. Tapi setiap jurus merupakan
lawan daripada jurus lain. Maka Kiau Hong sengaja incar baik-baik tipu serangan
lawan. Lalu ia keluarkan tipu serangan yang tepat untuk mengatasinya.
Dengan demikian, tentu saja
Hian-lan dibikin kewalahan. Teori itu sebenarnya diketahui oleh setiap
penonton, yang susah adalah kepandaian "serang belakang tapi tiba lebih
dulu” itulah yang tidak mungkin dimiliki sembarang orang.
Melihat kawannya kewalahan,
terang sudah kalah, segera Hian-cit berseru, "Huh, kamu anjing Cidan ini,
caramu sesungguhnya terlalu rendah !”
"Apa yang kumainkan
adalah ilmu pukulan Thai-co dinasti kita, mengapa aku dituduh rendah ?” sahut
Kiau Hong tertawa.
Mendengar demikian, seketika
pahamlah semua orang maksud Kiau Hong memainkan "Thai-co-tiang-kun” itu.
Jika Kiau Hong menggunakan
ilmu silat jenis lain untuk menangkan "Thai-co-tiang-kun” yang dimainkan
Hian-lan tentu orang lain takkan mengatakan dia lebih kuat dan ulet, sebaliknya
akan menyalahkan dia dengaja menghina ilmu silat ciptaan cikal bakal dinasti
Song yang jaya itu. Dan hal ini tentu akan menambah sentimen kebangsaan orang
banyak itu. Tapi sekarang kedua pihak sama menggunakan
"Thai-co-tiang-kun”, dalam pertandingan ini hanya mengadu ilmu silat
belakan, Kiau Hong takbisa lagi dituduh kurang ajar atau tuduhan lain.
Begitulah maka Hian-cit tak
dapat tinggal diam lagi melihat Hian-lan dalam sekejap lagi akan terancam
bahaya. Tanpa bicara ia terus menuding ke "Soan-ki-hiat” di dada Kiau
Hong. Ilmu yang dia pakai adalah
"Thian-tiok-hud-ci” atau
jari Budha dari Thian-tiok, semacam ilmu tiam-hiat yang hebat dari Siau-lim-si.
Mendengar tutukan orang itu
membawa suara mencicit perlahan, segera Kiau Hong berkata, "Sudah lama
kudengar betapa hebat Thian-tiok-hud-ci, ternyata memang bukan omong kosong
belaka. Tapi bila kau gunakan ilmu silat bangsa asing Thian-tiok itu untuk
mengalahkan ilmu pukulan cikal bakal dinasti kita bukankah engkau akan dituduh
menghianat dan menghina dinasti kita sendiri ?”
Hian-cit terkesiap sebab ilmu
silat Siau-lim-si memang berasal dari Budhi Dharma yang aslinya orang asing
dari Thian-tiok (kini India).
Sebabnya Kiau Hong sekarang
dikeroyok adalah disebabkan bekas Pangcu itu dituduh keturunan Cidan. Tapi
karena sejarah Siau-lim-si sudah terlalu tua, ilmu silatnya sudah tersebar luas
dikalangan Bu-lim hingga berbagai aliran dan mazhab sedikit banyak ada
tersangkut hubungan hingga semua orang sama melupakan asal usul Siau-lim-si
yang ada sangkut pautnya dengan bangsa asing itu.
Kini demi mendengar teguran
Kiau Hong itu, segera banyak di antara hadirin yang berpandangan jauh dan
berjiwa terbuka itu berpikir, "Terhadap Budhi Dharma kita memuja sebagai
malaikat dewata, sebaliknya mengapa membenci orang Cidan sampai ke tulang sumsumnya?
Bukankah mereka sama-sama bangsa asing? Ya, sudah tentu diantara kedua bangsa
itu ada bedanya, bangsa Thian-tiok tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa
Han kita, sebaliknya bangsa Cidan adalah penjajah yang ganas dan kejam. Jadi
antara bangsa asing pada hakikatnya juga ada perbedaannya dan tidak boleh
disamaratakan, harus dibedakan antara yang baik dan yang jahat, antara kawan
dan lawan, antara penjajah dan dijajah. Dan apakah orang Cidan itu semua jahat?
Apakah tidak ada yang baik ?”
Begitulah di tengah
pertarungan sengit itu banyak di antara pengeroyok terdapat kaum pikiran
sempit, berjiwa dangkal dan dengan sendirinya takkan berpikir tentang perbedaan
itu, tapi sebagian yang tergolong cendikia, dalam benak mereka lantas terlintas
pikiran seperti itu, mereka merasa Kiau Hong belum tentu adalah manusia yang
harus dibunuh, sebaliknya kita sendiri juga belum pasti di pihak yang benar.
Dalam pada itu, meski Hian-lan
dan Hian-cit berdua melawan Kiau Hong seorang, mereka lebih banyak menagkis
daripada menyerang.
Sementara itu karena ilmu
pukulan pertama telah dipatahkan sama sekali oleh lawan, maka Hian-lan telah
ganti ilmu silat "Lo-han-kun” yang lihai dari Siau-lim-pai.
"Huh, bukankah Lo-han-kun
juga berasal dari ajaran bangsa asing dari Thian-tiok ?” demikian Kiau Hong
mengejek. "Baiklah, akan kulihat apakah ilmu silat asal luar negeri itu
lebih lihai ataukah ilmu silat dalam negeri Song sendiri lebih hebat ?”
Sembari bicara,
"Thai-co-tiang-kun” terus dilancarkan susul menyusul.
Keruan semua orang merasa
tersinggung oleh ucapan Kiau Hong itu. Mereka mengeroyok Kiau Hong, alasannya
karena dia bangsa asing. Tapi sekarang ilmu silat yang dipakai pihak sendiri
justru adalah ilmu silat "impor”, sebaliknya ilmu silat pukulan yang
dimainkan Kiau Hong adalah "produksi dalam negeri” asli, yaitu ciptaan
cikal bakal dinasti Song yang tersohor itu.
Begitulah selagi banyak di
antara mereka merasa ragu-ragu dan rikuh, tiba-tiba terdengar Tio-cit-sun
berseru, "Peduli kita memakai ilmu silat berasal dari mana, yang terang
keparat ini telah membunuh ayah bundanya dan gurunya sendiri, kejahatannya jauh
lebih pantas dihukum mati. Ayolah saudara, kerubut maju bersama !”
Sambil berseru, segera ia
mendahului menerjang maju.
Menyusul Tam-kong, Tam-poh,
para Tianglo dari Kay-pang. Tiat-bin poan-koan Tan Cing bersama putranya,
semuanya berjumlah puluhan orang terus ikut menyerbu maju.
Ilmu silat para pengerubut ini
semua pilihan, meski banyak jumlah mereka, tapi posisi mereka tidak kacau, yang
satu maju, yang lain mundur, yang lain maju, yang satu mundur lagi.
Sambil berkata menghantam dan
menangkis, Kiau Hong berkata pula, "Kalian mengatakan aku orang Cidan,
jika betul, maka Kiau Sam-hoai Lokongkong dan Lopohpoh tentu bukan ayah ibuku.
Jangankan kedua orang tua itu adalah orang yang paling kuhormati selama hidup
dan tiada maksud mencelakainya sedikitpun, andaikan benar akulah yang membunuh
mereka, toh tuduhan membunuh ayah bunda sendiri juga tidak dapat ditimpakan
atas diriku? Sedangkan Hian-koh Taisu adalah guruku yang kupuja, jika
Siau-lim-pai mengakui Hian-koh Taysu adalah guruku, maka aku orang she Kiau
menjadi terhitung anak murid Siau-lim, lantas apa alasan kalian mengerubut
seorang anak murid Siau-lim-pai cara begini ?”
"Hm, bicara seperti
pokrol bambu, mau menang sendiri,” jengek Hian-cit dengan mendongkol.
"Habis, kalau kalian
tidak anggap aku sebagai anak murid Siau-lim-pai, dengan sendirinya ‘tuduhan
membunuh guru’ itu tak terbukti,” sahut Kiau Hong, "Memangnya kalau mau
menyalahkan orang masakan kuatir kurang alasan? Tapi bila kalian ingin
membunuhku, mestinya bicaralah terus terang dan bunuhlah kalau mampu, mengapa
mesti cari alasan yang tidak dapat dibuktikan ?”
Biarpun mulutnya bicara
mencerocos, namun serangannya tidak pernah berhenti, tinjunya menjotos Tan
Siok-
san, kakinya menendang Tio
ci-sun sukutnya menyikut Cin Goan-cun, telapak tangan menghantam Pau Jianleng.
Hanya sekejap saja beruntun empat orang sudah dirobohkan olehnya.
Kiau Hong tahu bahwa lawan-lawannya
itu bukan kaum penjahat, maka serangannya selalu seringan mungkin. Yang
dirobohkan sampai saat itu sudah ada belasan orang, tapi tiada satu jiwa pun
yang dicelakai olehnya. Namun pengeroyok itu terlalu banyak, belasan orang
roboh, berpuluh orang segera menggantikannya.
Maka tidak lama kemudian,
mau-tak-mau Kiau Hong mengeluh, "Jika pertepuran begini diteruskan,
akhirnya aku pasti akan kepayahan, rasanya jalan paling baik adalah kabur
saja.”
Maka sambil bertempur segera
ia mencari jalan untuk meloloskan diri.
Tio ci-sun yang dirobohkan itu
menggeletak di lantai dengan sebelah tangan patah. Tapi ia tahu maksud Kiau
Hong akan melarikan diri, segera ia berseru, "Awas, kawan-kawan !Kepung
dia dengan rapat, anjing keparat ini hendak melarikan diri !”
Dalam pertarungan sengit itu
memang Kiau Hong sudah agak terpengaruh oleh bekerjanya arak yang banyak
diminumnya tadi, kini mendengar caci maki Tio ci-sun, keruan amarahnya tak
tertahankan lagi, bentaknya dengan gusar, "Ya, anjing keparat ini akan pakai
dirimu sebagai korban pembunuhan pertama ?”
Sambil berkata, sekuatnya ia
memukul dari jauh.
"Celaka !” seru Hian-lian
dan Hian-cit berbareng. Kedua tangan mereka sama memapak kedepan untuk menolong
Tio ci-sun.
Di tengah gencetan arus tenaga
yang hebat itu, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri seorang, dada
orang itu tersodok oleh tenaga pukulan Hian-lan dan Hian-cit, sebaliknya
punggung kena dihantam oleh pukulan Kiau Hong dari jauh.
Di tengah gencetan tiga arus
tenaga maha dahsyat itu, keruan tulang iga orang itu seketika patah dan remuk,
isi perutnya hancur, darah menyembur keluar dari mulutnya, badan terkulai lemas
bagai cacing di lantai.
Kejadian di luar dugaan ini
tidak hanya mengejutkan Hian-lan dan Hian-cit, bahkan Kiau Hong juga terkesiap.
Orang yang sial itu ternyata Goai-to Ki Liok adanya.
Sebagaimana diketahui Ki Liok
tadi terkatung-katung di atas belandar dengan menggandul pada goloknya yang
terjepit belandar itu. Oleh karena sudah sekian lamanya, setelah
tergontai-gontai kian kemari, akhirnya golok yang terjepit belandar itu mulai
mengendur dan akhirnya jatuh ke bawah.
Seungguh kebetulan juga,
dengan tepat Ki Liok jatuh di tengah-tengah gelombang tenaga yang sedang
dilontarkan oleh ketiga orang yang bertempur itu. Keruan Ki Liok mirip digencet
di tengah peres yang maha kuat, seketika jiwanya melayang.
"Omitohud !Siancai,
Siancai !Kiau Hong, dosamu bertambah besar lagi !” demikian kata Hian-lan
menyebut Budha.
Kiau Hong menjadi gusar,
sahutnya, "Orang ini tidak seluruhnya terbinasa di tanganku, kalian berdua
juga mempunyai saham atas kematiannya, mengapa kau tumplek semua kesalahan atas
namaku ?”
"Omitohud ! Kalau
sebelumnya tiada gara-garamu, masakah terjadi pertempuran seperti sekarang ini
?” sahut Hian-lan.
Kiau Hong semakin murka,
"Baiklah, semua boleh kau catat atas rekeningku, lantas mau apa ?”
Setelah mengalami pertarungan
sengit itu, watak liar dalam darah Kiau Hong menjadi kumat, sekejap itu ia
berubah beringas bagaikan seekor binatang buas. Sekali tangannya membalik,
tepat seorang lawan kena cengkramannya, ternyata orang ini adalah Tan
Tiong-san, putra kedua Tan Cing.
Menyusul Kiau Hong terus
rampas golok Tan Tiong-san, ketika tangan kanan menggaplok, tanpa ampun lagi
batok kepala Tan Tiong-san hancur dan mati seketika. Maka gegerlah para
ksatria, mereka menjerit kaget, berteriak kuatir dan mencaci-maki dengan gusar.
Setelah membunuh orang, Kiau
Hong bertambah kalap, golok rampasannya berputar dengan cepat, tangan kanan
mendadak menjotos dan terkadang memukul dengan telapakan, sedang golok di
tangan kiri membacok dan menebas, dahsyatnya tak tertahankan.
Hanya sekejap saja
tertampaklah dinding di sekitar sudah penuh titik noda darah, di tengah
kalangan sudah bergelimpangan belasan mayat, ada yang kepala berpisah dengan
badannya, ada yang dada pecah dan pinggang putus.
Dalam mengamuk itu, Kiau Hong
sudah tidak pandang bulu lagi, dengan mata merah membara ia membunuh setiap
orang yang diketemukan, Thoan-kong Tianglo dan Ge-tianglo telah binasa semua di
bawah goloknya.
Di antara ksatria yang hadir
itu kebanyakan tentu pernah membunuh orang. Maklum, membunuh orang bagi orang
persilatan boleh dikatakan terlalu jinak. Andaikan tidak pernah membunuh orang
dengan tenaga sendiri, paling sedikit juga sudah biasa menyaksikan pembunuhan.
Tapi pertarungan sengit
seperti sekarang sungguh tidak pernah dilihat mereka selama hidup. Lawan mereka
hanya satu orang, tapi Kiau Hong justru bertempur seperti binatang buas dan
hantu iblis yang mendadak berada disana, sekejap kemudian tahu-tahu sudah
berada di sini, banyak jago terkemuka yang maju melabraknya berbalik terbunuh
oleh cara Kiau Hong yang lebih cepat, lebih ganas dan lebih tangkas.
Sebenarnya para ksatria yang
hadir itu bukanlah manusia pengecut, tapi di bawah terjangan Kiau Hong yang
kalap bagai banteng ketaton itu, segera banyak di antaranya timbul rasa takut
dan ingin melarikan diri, mereka berharap bisa lekas tinggalkan gelanggang
pertempuran, apakah Kiau Hong berdosa atau tidak, mereka tidak mau ikut campur
lagi.
Dalam pada itu
Yu-si-siang-hong, kedua jago bersaudara she Yu, berbareng menerjang dari kanan
dan kiri, tangan kiri mereka sama memegang tameng bundar, hanya tangan kanan
yang berbeda persenjataannya, Yu Ek memakai tombak pendek, sebaliknya Yu Ki
menggunakan golok.
Walaupun Kiau Hong melabrak
para pengeroyok itu dengan kalap dan tak kenal ampun, tapi terhadap setiap
gerak serangan lawan selalu diperhatikan dengan baik, pikirannya tetap dalam
keadaan jernih, maka sejauh ini ia tidak terluka sedikit pun.
Ketika dilihatnya kedua
saudara she Yu itu menerjang maju dengan senjata aneh, cepat ia mainkan
goloknya ke kanan kiri, lebih dulu ia robohkan dua lawan di sampingnya, habis
itu ia mendahului memapak ke arah Yu Ek dan menyerang.
Tapi bacokannya ditangkis oleh
tameng Yu Ek, "trang”, golok Kiau Hong malah mendal keatas. Waktu
diperiksa, ternyata mata goloknya melingkar dan tak bisa dipakai lagi.
Ternyata tameng kedua jago
bersaudara itu adalah buatan dari baja murni, biarpun dibacok dengan pedang
atau golok mestika juga tak mempan, apalagi golok yang dipakai Kiau Hong itu
hanya golok biasa yang dirampasnya dari Tan Tiong-san.
Begitulah sekali perisainya
menangkis, secepat kilat tombak pendek di tangan Yu Ek yang lain lantas menusuk
dengan tipu
"tok-coa-cut-tong” (ular berbisa keluar dari gua), tombak itu menyambar
dari bawah perisai dan mengarah perut Kiau Hong.
Pada saat itu juga Kiau Hong
melihat berkelebatnya senjata, perisai Yu Ki mendadak memotong pinggangnya.
Mata Kiau Hong cukup awas, sekilas pandang ia sudah tahu pinggir tameng itu
sangat tajam, bila kena pinggang bukan mustahil akan terpotong putus menjadi
dua, sungguh lihainya tidak kepalang.
"Bagus !” bentak Kiau
Hong sambil buang goloknya, menyusul tinju kiri terus menghantam sekuatnya,
maka terdengarlah suara "blang” yang keras, bagian tengah tameng Yu Ki
tepat kena digenjot, menyusul kepalan tanagan kanan Kiau Hong menghantam lagi,
"blang”, tameng Yu Ek juga kena digempurnya dengan tepat.
Kontan Yu-si-siang-hiong
merasa separuh tubuh mereka seakan-akan kaku dan lumpuh, pukulan-pukulan Kiau
Hong yang maha dahsyat itu meski tidak langsung mengenai mereka, tapi sudah
cukup membuat mata mereka berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling
seketika tangan mereka menjadi lemas. Tameng, tombak dan golok tidak kuat
dipegang lagi, terdengar suara gemerentang nyaring, senjata mereka semua jatuh
ke lantai.
"Bagus, boleh berikan
padaku saja senjata kalian itu !” seru Kiau Hong dengan tertawa. Cepat ia
jemput perisai kedua saudara Yu itu, segera ia putar dengan kencang.
Kedua perisai baja yang bundar
itu sungguh merupakan senjata serba guna yang ampuh, kemana senjata itu
menyambar, disitu lantas terdengar jeritan ngeri. Hanya sekejap saja sudah
empat orang menjadi korban perisai baja itu.
Wajah Yu-si-siang-hiong tampak
pucat dan semangat lesu. Kata Yu Ek, "Jite, bukankah Suhu pernah
mengatakankepada kita, perisai ada orang ada, perisai hilang orangnya gugur ?”
"Benar twako,” sahut Yu
Ki dengan muram. "Hari ini kita telah kecundang sedemikian rupa, masakah
kita masih ada muka untuk hidup lebih lama di dunia ini ?”
Segera mereka menjemput
kembali senjata masing-masing, yaitu tombak dan golok, berbareng mereka tikam
perut sendiri dengan senjata itu, maka binasalah mereka seketika.
Keruan banyak ksatria menjerit
kaget. Tapi mereka sedang dicecar oleh Kiau Hong dengan hebat, maka tiada
seorang pun sempat mencegah perbuatan nekat kedua saudara Yu itu.
Kiau Hong melengak juga.
Sungguh tak terpikir olehnya bahwa sebagai tuan rumah kedua saudara Yu itu bisa
ambil pikiran pendek begitu? Karena kejutnya itu pengaruh arak tadi menjadi
hilang sebagian besar, hati pun agak menyesal.
"Yu-si-siang-hiong, guna
apa ambil keputusan demikian ?” seru Kiau Hong dengan terharu, "Tentang
kedua perisai ini, biarlah kukembalikan saja !”
Sambil berkata, dengan khidmat
dan hormat ia taruh kedua perisai itu disamping jenazah Yu-si-siang-hiong. Tapi
belum lagi ia tegak kembali dari berjongkok, tiba-tiba didengarnya jerita
kuatir seorang gadis, "Awas !”
Kiau Hong cukup cerdas dan
tangkas, sedikit menggeser ke samping, maka menyambar lewatlah sebilah pedang
tajam. Jeritan itu ternyata berasal dari A Cu. Dan penyerang gelap itu adalah
Tam-kong.Sekali membokong tidak kena, segera jago tua itu menyingkir jauh.
Tam-poh menjadi gusar,
serunya, "Bagus, kamu budak setan ini, kami tidak membunuhmu, tapi kamu
malah bersuara membantu dia !”
Mendadak ia melompat ke sana,
sekali gaplok, segera kepala A Cu hendak dipecahkannya.
Waktu Kiau Hong menempur para
ksatria itu, sejak tadi A Cu meringkuk di sudut ruangan, tenaga murninya
perlahan mulai lenyap, badan menjadi lemas. Ia melihat Kiau Hong dikeroyok
orang banyak, walaupun tahu bakal banyak menghadapi bahaya toh bekas Pangcu itu
bersedia mengantar dirinya untuk mencari tabib sakti, budi kebaikan ini biar
tubuhnya hancur lebur juga susah dibalas.
Sebab itulah A Cu merasa
sangat berterima kasih dan kuatir pula. Maka ketika mendadak Kiau Hong disergap
Tam-kong tadi, segera ia bersuara memperingatkan.
Untung sebelum Tam-poh
mencapai sasarannya, secepat kilat Kiau Hong menyusul tiba, dari belakang ia
jambret punggung nenek itu dan ditarik sekuat tenaga serta dilemparkan ke
samping. "Brak”, sebuah kursi tertabrak hancur oleh badan. Tam-poh yang
gede mirip kuda teji itu.
Meski tidak kena serangan
nenek itu, namun A Cu ketakutan hingga muka pucat dan badan lemas terkulai.
Kiau Hong terkejut, pikirnya, "Hawa murninya sudah mulai kering, namun dalam
keadaan begini mana dapat kutolong dia ?”
Sementara itu terdengar
Sih-sin-ih berkata dengan nada dingin, "Tenaga nona itu sekejap lagi akan
habis, akan
kau tolong jiwnya tidak dengan
tenaga dalammu? Jika napasnya putus, terpaksa aku tak dapat menolongnya lagi.”
Kiau Hong menjadi serba susah.
Ia tahu perkataan Sih-sin-ih itu bukan omong kosong belaka tapi sekali awak
sendiri menolong A Cu, segera dirinya akan dihujani pukulan dan senjata oleh
lawan yang sudah merumbung di sekitarnya itu.
Sudah banyak jatuh korban di
pihak kdatria itu, mana mau mereka menyudahi pertempuran ini? Lalu, apakah
mesti menyaksikan A Cu mati begitu saja? Padahal dengan menyerempet bahaya ini
ia membawa A Cu ke Ciphian-ceng ini tujuannya adalah minta pengobatan pada
Sih-sin-ih. Sesudah tiba di tempat dan berhadapan dengan tabib sakti, lalu
membiarkan nona itu mati kehabisan tanaga, bukankah sangat sayang?
Tapi kalau sekarang ia
salurkan hawa murni padanya, itu berarti ia mengantikan jiwa nona itu dengan
jiwa sendiri. Padahal A Cu hanya seorang budak cilik yang baru dikenalnya di
tengah jalan, pada hakikatnya tiada sesuatu hubungan bai apa-apa, soal menolong
sesamanya adalah perbuatan biasa bagi seorang pendekar dan ksatria tapi kalau
mesti menggunakan jiwa sendiri yang berharga untuk menggantikan nyawa nona
cilik itu, betapapun juga tidak masuk diakal. Aku sudah berusaha sedapatnya
membawanya ke tempat si tabib sakti, kewajibanku boleh dikatakan sudah jauh
lebih dari cukup. Biarlah sekarang juga kutinggal pergi saja dan terserah
Sih-sin-ih mau menolong jiwanya atau tidak.
Setelah ambil keputusan itu,
segera Kiau Hong jemput kembali kedua perisai tadi, dengan gerakan
"Tai-pengtian-ih” atau garuda raksasa pentang sayap, mendadak ia putar
perisai itu dengan kencang hingga berwujud dua bola, berbareng ia terus terjang
keluar.
Karena orang di dalam ruangan
itu terlalu sesak, pula gerakan Kiau Hong teramat lihai, seketika tiada
seorangpun yang berani merintanginya.
Setiba di ambang pintu, baru
Kiau Hong hendak angkat kaki seribu, sekonyong-konyong terdengar suara seorang
yang parau, "Bunuh dulu budak itu, baru kita balas sakit hati pula !”
Pembicara ini ternyata Tiat-bin-poan-koan
Tan Cing adanya.
Putranya yang tertua, Tan
Pek-san segera mengiakan dan ayun goloknya membacok kepala A Cu.
Keruan Kiau Hong terkejut dan
kuatir tidak jadi melangkah pergi, tanpa pikir, ia sambitkan sebelah
perisainya. Bagaikan "piring terbang” perisai itu menyambar secepat kilat
ke depan.
"Awas !” dengan kuatir
beberapa orang memperingatkan. Dengan cepat Tan Pek-san juga angkat goloknya
hendak menyampuk.
Namun betapa hebat tenaga Kiau
Hong tepi perisai itu sangat tajam pula, "krak…cret”, tahu-tahu golok
tertabas patah, bahkan Tan Pek-san sendiri terpotong putus sebatas pinggang.
Malahan perisai itu masih terus menyambar ke depan hingga menancap di pilar.
Kematian Tan Pek-san itu
benar-benar sangat mengenaskan, hal ini membuat semua orang ikut murka, bukan
saja Tan Cing dan putranya, Tan Ki-san, menubruk berbareng ke arah A Cu, bahkan
beberapa ksatria lain juga menghujani A Cu dengan senjata.
"Manusia pengecut !” maki
Kiau Hong. Cepat ia bertindak, dari jauh ia memukul empat kali berturut-turut
hingga semua orang itu dipaksa menyingkir, menyusul ia lari maju, ia angkat A
Cu dan dikempit dengan tangan kiri, ia gunakan perisai yang masih ada untuk
melindungi badan si gadis.
"Kiau-toaya, aku percuma,
jangan kau pikirkan aku lagi, lekas engkau menyelamatkan diri saja !” seru A Cu
dengan suara lemah.
Namun pertarungan sengit itu
sudah mengobarkan semangat jantan Kiau Hong yang angkuh dan tinggi hati,
serunya, "Urusan sudah terlanjur begini, sudah terang mereka takkan
mengampuni jiwamu, biarlah kita mati bersama saja !”
Dan sekali tangan kanan
bergerak, kembali ia berhasil merebut sebatang pedang, dengan senjata rampasan
itu ia terus menerjang keluar.
Karena tangan kiri mengempit A
Cu, gerak-geriknya menjadi kurang leluasa, perisai pun kurang rapat untuk
melindungi badan si gadis. Namun Kiau Hong sudah tidak pikirkan mati hidup
sendiri, ia putar pedang sedemikian kencangnya.
Tapi baru saja dia hendak
menerobos keluar, sekonyong-konyong punggung terasa sakit, nyata telah kena
dibacok sekali oleh orang.
Tanpa pikir lagi ia mendepak
ke belakang, kontan penyerang itu kena ditendang dan binasa seketika. Dan pada
saat hampir bersamaan itu pundak Kiau Hong kena hantam sekali pula oleh
Hian-lan, menyusul dada kanan juga kena ditusuk pedang musuh.
Mendadak Kiau hong mengerang
sekali, begitu keras suaranya hingga seperti bunyi halilintar, bentaknya,
"Kiau Hong akan bereskan diri sendiri dan tidak mau mati di tangan kaum
keroco dan bangsa pengecut !”
Namun para pengeroyok itu
sudah kadung nekat, mereka tidak mau memberi kesempatan kepada Kiau Hong untuk
membunuh diri lagi. Segera belasan orang menubruk maju.
Tapi dengan tangkasnya mendadak
Kiau Hong mencengkram, kontan "tan-tiong-hiat” di dada Hian-cit kena
dipegang olehnya terus diangkat tinggi ke atas. Dalam kagetnya semua orang sama
menjerit dan beramai melompat mundur.
Karena "tan-tiong-hiat”
terpegang, betapapun lihai Hian-cit juga tak berguna, sama sekali ia tak bisa
berkutik, tampaknya pinggir perisai yang tajam itu tinggal belasan senti saja
di depan tenggorokannya, asal sedikit Kiau Hong sodok senjata itu, seketika
kepala Hian-cit bisa kuntung. Tak tertahankan lagi padri itu menghela napas
panjang, ia pejamkan mata menunggu ajal.
Tapi Kiau Hong sendiri merasa
luka di punggung, dada dan pundak sakitnya tidak kepalang, maka berkatalah dia,
"Ilmu silatku ini asalnya juga dari Siau-lim-pai, minum air harus ingat
pada sumbernya, mana boleh kubunuh padri saleh Siau-lim-pai? Hari ini aku sudah
pasti akan mati, kalau membunuh seorang lagi apa manfaatnya ?”
Habis berkata, cekalannya
menjadi kendur, ia lepaskan Hian-cit ke lantai dan berkata, "Silahkan
kalian turun tangan !”
Di tantang begitu, semua orang
menjadi tertegun dan saling pandang malah, mereka terpengaruh oleh perbawa Kiau
Hong yang gagah berani itu, sebaliknya Tan Cing sudah terlalu sakit hati karena
kedua putranya dibunuh oleh Kiau Hong, dengan kalap terus ia menerjang maju,
golok lantas membacok dada Kiau Hong.
Kiau Hong tahu betapapun ia
menerjang toh takkan mampu membobol kepungan orang banyak. Maka ia hanya
berdiri tegak tanpa menangkis. Sesaat itu terkilas macam-macam pikiran dalam
benaknya, "Sebenarnya aku orang Cidan atau bangsa Han? Siapakah gerangan
yang membunuh ayah bunda dan guruku itu? Selama hidupku selalu berbuat bajik
dan membela keadilan, mengapa hari ini tanpa sebab aku menewaskan pendekar
sebanyak ini? Dengan nekat aku menolong jiwa A Cu hingga aku sendiri malah
binasa ditangan para ksatria ini bukankah aku ini terlalu bodoh san akan
ditertawai orang ?”
Dalam pada itu ia lihat wajah
Tan Cing yang merah padam saking murka itu tampak berkerut-kerut, mata
mendelik, goloknya sudah menyambar ke arah dadanya.
Tampaknya dalam sekejap lagi
Kiau Hong pasti akan menggeletak tanpa bernyawa oleh serangan Tan Cing itu.
Go-tianglo, Cit-hoat-tianglo
dan lain-lain sama pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan kejadian tragis
itu.
Sekonyong-konyong dari udara
melayang turun seorang dengan cepat luar biasa dan tepat membentur golok Tan
Cing. Karena tidak tahan oleh tenaga tumbukan itu, golok Tan Cing terpental ke
samping.
Di tengah jerit kaget semua
orang, mendadak dari udara melayang turun seorang lain. Sekali ini orang itu
terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, jadi lebih tepat di katakan
terjun, "prak”, kepala orang itu tepat menumbuk kepala Tan Cing, keruan
kepala kedua orang sama-sama hancur luluh seketika.
Dan baru saja sekarang semua
orang dapat melihat jelas kedua orang yang melayang turun dari udara itu adalah
penjaga di atas rumah, terang mereka dipegang orang dan dilemparkan ke bawah
sebagai senjata rahasia.
Selagi keadaan kacau-balau,
mendadak dari ujung wuwungan sana membuai turun seutas tambang yang panjang,
dengan keras sekali tambang itu menyambar kepala orang banyak. Cepat para
ksatria angkat senjata hendak menangkis, tapi ujung tambang itu tahu-tahu
berganti arah terus melilit pinggang Kiau Hong, pada lain saat mendadak tambang
itu sudah terangkat keatas.
Waktu itu darah sudah
bercucuran dari luka Kiau hong, tangan kirinya yang mengempit A Cu itu sudah
tak bertenaga, maka ketika ia dikerek keatas oleh tambang itu, A Cu lantas
jatuh ke tanah.
Kemudian dapatlah semua orang
melihat orang yang memegangi ujung tambang sebelah sana adalah seorang
laki-laki berbaju hitam mulus, perawakannya tegap, tapi mukanya berkedok kain
hitam, hanya kedua matanya yang kelihatan.
Setelah mengerek Kiau Hong ke
atas, segera laki-laki itu mengempitnya dengan tangan kiri, menyusul tambang
panjang itu diayunkan hingga tergubat pada tiang bendera di depan
Cip-hian-ceng.
Pada saat para Ksatria
berteriak dan membentak disertai hujan berbagai macam senjata rahasia ke arah
Kiau Hong dan laki-laki baju hitam itu tarik kencang tambangnya, sekali
melayang ke depan, tahu-tahu badannya terangkat ke atas dan hinggap di balkon
di pucuk tiang bendera itu. Maka terdengarlah suara plak-plok yang riuh,
berpuluh macam senjata rahasia itu sama menancap di balkon tiang bendera.
Sementara itu tambang lelaki
baju hitam itu diayun ke depan lagi hingga ujungnya tepat mengubat pucuk pohon
besar yang berada puluhan meter jauhnya, lalu orang itu mengempit Kiau Hong dan
membuai keatas pohon di sebelah sana lagi dan begitu seterusnya, hanya sekejap
saja laki-laki baju hitam itu sudah menghilang, yang terdengar kemudian hanya
suara derap lari kuda yang berdetak-detak dan semakin jauh. Tertinggal para ksatria
hanya saling pandang dengan bingung.
Meski Kiau Hong terluka parah,
tapi pikiran jernihnya masih belum lenyap. Cara bagaimana lelaki baju hitam itu
menolongnya, semuanya dapat diikuti dengan jelas. Sudah tahu ia sangat
berterima kasih. Pikirnya, "Cara main tambang demikian aku pun bisa, tapi
kepandaiannya sekaligus menyerang berpuluh lawan dengan tambang, lalu ganti
arah untuk menolong diriku, inilah yang aku tidak mampu menirunya.”
Setelah menyelamatkan Kiau
Hong, orang baju hitam itu lantas angkat Kiau Hong ke atas kuda, dua orang
setunggangan mereka menuju ke utara. Di atas kuda juga orang itu mengeluarkan
obat untuk dibubuhkan pada luka Kiau Hong.
Saking banyak mengeluarkan
darah, beberapa kali Kiau Hong hampir pingsan, syukur setiap kali ia sempat
mengerahkan tenaga dalam hingga kejernihan pikirannya masih dapat
dipertahankan.
Laki-laki itu larikan kudanya
melalui jalan yang berliku-liku, sampai akhirnya, kuda itu melulu naik turun di
antara batu padas belaka. Lebih satu jam kemudian, kuda itu tidak meneruskan
perjalanan lagi.
Laki-laki itu lantas
menurunkan Kiau Hong dan memondongnya ke atas puncak, makin jauh makin tinggi.
Badan Kiau Hong sebenarnya sangat berat, tapi orang itu sama sekali tidak
merasakan apa-apa, bahkan dapat lari secepat terbangdi tebing karang yang
terjal itu.
Suatu ketika, jalan di depan
terhalang oleh selat jurang yang dalam, orang itu lantas menggunakan tambangnya
lagi untuk menggubat pohon di seberang selat, lalu melayang ke seberang sana.
Diam-diam Kiau Hong terperanjat
dan heran, "Cara menyebrangi jurang melintasi selat aku pun bisa jika
bertangan kosong, tapi bila memondong seorang seperti dia, tak dapatlah aku.”
Setelah melalui tebing karang
dan banyak selat jurang yang berbahaya, kemudian jalanan lantas menurun ke
bawah, lalu masuk ke suatu lembah jurang yang dalam sekali hingga langit hampir
tak kelihatan. Akhirnya berhentilah orang itu, dan taruh Kiau Hong di tanah.
Sesudah berdiri tegak, segera
Kiau Hong berkata, "Sungguh terima kasih atas pertolongan In-heng (saudara
berbudi) ini, dapatkah Kiau
Hong mohon melihat wajah asli In-heng ?”
Sinar mata orang berbaju hitam
itu berkilat-kilat membayang kian kemari di muka Kiau Hong, sejenak kemudian
barulah dia membuka suara, "Di dalam goa situ terdapat rangsum yang cukup
untuk setengah bulan, boleh kau rawat lukamu di sini, musuh pasti tidak dapat
menyusul kemari.”
Kiau Hong mengiakan sekali, ia
pikir, "Dari suaranya ini, agaknya dia bukan orang muda lagi.”
Orang itu juga sedang
mengamat-amati Kiau Hong, pada saat lain mendadak tangan kanannya bergerak,
"plak”, tahu-tahu Kiau Hong digamparnya sekali.
Keruan Kiau Hong kaget.
Tempelengan itu dilakukan dengan cepat luar biasa, pula Kiau Hong sama sekali
tidak menduga orang akan menghajarnya, ketiga, cara memukul itu pun sangat
pintar, maka Kiau Hong tidak sempat menghindar.
Tapi ketika orang itu hendak
menempelengnya untuk kedua kalinya, walau pun pukulan susulan ini cepat luar
biasa, tapi Kiau Hong sudah sempat berjaga-jaga, tidak nanti ia kena digampar
lagi. Cuma mengingat orang adalah tuan penolong kiwanya, ia tidak ingin mengadu
telapak tangan dengan orang itu.
Tempat yang diarah jari Kiau
Hong adalah "lau-kiong-hiat” di tengah telapak tangan laki-laki itu. Jika
pukulannya diteruskan, itu berarti telapak tangannya sengaja diberikan kepada
jari Kiau Hong.
Ilmu silat orang itu sangat
tinggi, dengan sendirinya gerak geriknya juga sangat cekatan. Sebelum telapak
tangan tertutuk, mendadak tangannya membalik, yang dibuat menggampar berubah
menjadi punggung tangan orang itu.
Tapi Kiau Hong juga cepat
sekali menggeser jarinya, ia incar arah datangnya punggung tangan lawan,
jarinya tepat memapak "ji-kan-hiat” di punggung tangan orang itu.
Terdengarlah laki-laki itu
tertawa panjang, ia tarik kembali tangannya yang sudah mendekati sasrannya itu,
sebaliknya tangan kiri terus menabas. Tapi Kiau Hong mendadak juga julurkan
jari tangan kiri, ujung jari tepat mengincar "au-ka-hiat” di tepi telapak
tangan orang…
Begitulah dalam sekejap saja
kedua tangan laki-laki berbaju hitam itu naik turun bagaikan orang menari dan
sekaligus sudah belasan serangan dilancarkan, namun Kiau Hong juga tidak kalah
tangkasnya, ia melulu bertahan saja tanpa balas menyerang. Selalu ia pasang
jarinya untuk melancarkan hiat-to di telapak tangan
orang yang hendak menyerangnya
itu.
Kalau pertama kali tadi
laki-laki itu dapat menghajar Kiau Hong adalah disebabkan bekas Pangcu itu
tidak menduga sama sekali, tapi serangan selanjutnya tidak mungkin dapat
mengenainya lagi. Maka serangan dan tangkisan itu berlangsung dengan cepat,
ilmu silat yang mereka gunakan sama-sama kelas wahid yang jarang ada di dunia.
Setelah genap menyerang dua
puluh kali, mesti Kiau Hong dalam keadaan terluka, namun gerak-gerik dan
jitunya menangkis sedikitpun tidak menjadi kendur dan meleset. Mendadak
laki-laki baju hitam itu menarik kembali tangannya dan melompat mundur.
Katanya, "Kamu benar-benar seorang tolol, seharusnya aku tidak perlu
menolongmu.”
"Dengan hormat aku
bersedia menerima nasihat Inkong (tuan penolong),” kata Kiau Hong dengan rendah
hati.
"Kamu ini sungguh keledai
tolol,” omel laki-laki baju hitam itu. "Kau sendiri meyakinkan ilmu silat
yang tiada bandingannya di dunia ini, tapi mengapa rela mengorbankan jiwa
secara sia-sia bagi seorang anak dara yang kurus kecil begitu? Dia bukan sanak
kandangmu, tiada budi tiada kasih, cantik tidak, manis tidak, masakah di dunia
ini ada seorang tolol seperti dirimu dan bersedia berkorban jiwa baginya ?”
"Petuah Inkong memang
benar,” sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Perbuatanku yang tidak
mendatangkan manfaat ini memang tidak tepat. Soalnya karena terdorong oleh
nafsu yang murka, lalu bertindak tanpa pikirkan akibatnya.”
Tiba-tiba laki-laki baju hitam
menengadah sambil terbahak-bahak. Suara ketawanya terasa agak memilukan, Kiau
Hong menjadi bingung. Mendadak orang itu melompat pergi hingga jauh, sekali
melesat lagi, segera orangnya menghilang di balik batu karang sana.
"Inkong !Inkong !” seru
Kiau Hong.
Namun orang itu tidak menyahut
juga tidak balik lagi. Maksud Kiau Hong hendak mengejarnya, tapi baru bertindak
selangkah, segera ia terhuyung-huyung akan roboh. Cepat ia pegang dinding
karang di sampingnya dan tenangkan diri.
Waktu ia menoleh, ia lihat di
balik dinding karang itu ada sebuah gua, ia merembet dinding dan masuk gua itu
dengan perlahan. Ia lihat dalam gua sudah banyak tersedia rangsum kering
sebangsa ikan asin, dendeng, kacang, beras goreng dan sebagainya. Yang paling
menarik adalah tersedia pula seguci arak.
Segera Kiau Hong membuka tutup
guci arak itu, seketika bau arak yang semerbak menusuk hidung. Terus saja ia
gunakan tangannya untuk meraup arak dan diminum, ternyata arak itu adalah arak
pilihan yang sangat sedap. Sungguh terima kasihnya tak terhingga. Pikirnya,
"Inkong itu benar-benar seorang yang pintar, ia tahu aku gemar minum arak,
maka sengaja menyediakan minuman enak ini untukku.”
Obat luka yang dibubuhkan
laki-laki baju hitam itu ternyata sangat mujarab, hanya beberapa jam saja darah
sudah mampet. Ditambah Lwekang Kiau Hong sangat tinggi, walau pun lukanya cukup
parah, namun sembuhnya ternyata sangat cepat. Baru 6-7 hari ia tinggal di dalam
gua itu dan luka pun hampir sembuh seluruhnya. Selama beberapa hari itu yang
selalu terpikir olehnya hanya dua soal, "Siapakah musuh yang memfitnah
diriku itu? Dan siapakah Inkong yang menolong aku itu ?”
Ilmu silat kedua orang itu,
baik musuh yang tak dikenal maupun Inkong, tuan penolongnya semuanya sangat
tinggi dan agaknya tidak di bawah Kiau Hong sendiri. Padahal tokoh Bu-lim yang
memiliki kepandaian setinggi itu sedikit sekali, boleh dikatakan dapat dihitung
dengan jari. Tapi meski Kiau Hong coba berpikir dan mengingat-ingat toh tiada
seorang tokoh Bu-lim yang menyerupai kedua orang itu.
Bahwa musuh itu susah diterka,
itu memang masuk diakal. Tapi tuan penolong yang telah bergebrak 20 jurus dengan
dirinya itu seharusnya dapat diduga gaya permainan silatnya itu dari aliran
mana dan golongan apa, namun sedikitpun ia tetap tidak dapat menerkanya, sebab
setiap jurus serangan yang dilontarkan tuan penolong tadi semuanya silat biasa
saja, yaitu terdiri dari ilmu pukulan yang sangat umum, mirip seperti dirinya
waktu melawan Hian-lan Taisu dengan ilmu pukulan "Thai-co-tiang-kun”,
sedikitpun Inkong itu tidak memakai ilmu silat golongan sendiri hingga
asal-usulnya susah diketahui.
Sebagai seorang ksatria, meski
kedua soal penting itu tak bisa dipecahkan, namun segera di kesampingkannya dan
tak dipikir lagi.
Seguci arak itu tidak cukup
dua hari sudah habis diminum olehnya. Sedang lukanya setengah bulan kemudian
juga hampir sembuh seluruhnya. Selama belasan hari tidak minum arak, ia menjadi
ketagihan. Ia tidak tahan lagi. Ia menduga untuk melompati selat lebar dan
jurang dalam sudah cukup kuat, maka ia lantas meninggalkan gua tempat istirahat
itu dan berkecimpung di dunia kangouw lagi.
Pikirnya di tengah jalan,
"Sesuah A Cu jatuh di bawah cengkraman mereka, kalau dibunuh tentu sudah
mati, sebaliknya kalau masih hidup tentu tidak perlu aku mengurusnya lagi.
Urusan paling penting sekarang adalah harus kuselidiki hingga jelas siapakah
sebenarnya diriku ini? Tapi ayah ibu dan Suhu dalam waktu sehari saja telah
dibunuh musuh, rahasia tentang asal-usulku ini menjadi lebih susah dipecahkan.
Jalan satu-satunya sekarang harus kupergi keluar perbatasan Gan-bun-koan untuk
membaca tulisan yang terukir di dinding batu sana.”
Setelah ambil keputusan
demikian, segera ia menuju ke arah barat laut. Setiba di kota, terus saja ia
minum arak sepuasnya. Tapi sekali minum sangu yang dibawanya telah dihabiskan.
Waktu itu ia berada di kota
Liong-koan. Malamnya ia lantas menggerayangi kantor residen, ia ambil beberapa
puluh tail perak dari kas negara. Dengan begitu ia dapat makan minum besar lagi
sepanjang jalan dengan biaya negara.
Beberapa hari kemudian
sampailah dia di Taiciu, Gan-bun-koan itu terletak antara 30 li di utara
Taiciu. Dahulu waktu Kiau Hong mengembara juga pernah datang ke kota ini. Cuma
tatkala itu dia ada urusan penting, maka hanya sepintas lalu saja kota itu
dikenalnya.
Menjelang lohor ia sampai di
Taiciu, maka lebih dulu ia makan minum sekenyangnya, lalu keluar kota dan
menuju ke utara.
Dengan kecepatan larinya,
jarak 30 li itu tiada setengah jam sudah dicapainya. Sesudah mendaki lereng
bukit, ia lihat di kanan kiri jalan dinding karang berdiri tegak menyempit,
jalan di tengah selat bukit itu berliku-liku. Memang benar tempat yang
berbahaya dalam ilmu militer.
Sebabnya tempat itu diberi
nama "Gan-bun-koan” atau pintu gerbang burung belibis, ialah untuk
melukiskan betapa terjalnya dinding karang di situ, bahwasanya setelah musim
dingin, burung belibis yang mengungsi ke selatan waktu kembali ke utara mesti
melalui selat gunung yang terjal itu, tapi saking tingginya puncak pegunungan
di situ terpaksa burung belibis harus terbang lewat melalui selat di tengah
apitan dinding karang, sebab itu tempat ini diberi nama Gan-bun-koan.
Diam-diam Kiau Hong pikir,
"Hari ini aku datang dari selatan. Bila tulisan dinding karang itu
menyatakan aku Kiau Hong memang benar adalah keturunan Cidan, maka sekeluar
dari Gan-bun-koan ini, selamanya aku akan menjadi orang utara Gan-bun-koan dan
takkan pernah kembali ke selatan lagi. Dibandingkan burung belibis yang tiap
tahun sekali mesti pulang pergi ke utara dan selatan, terang burung itu jauh
lebih bebas dan merdeka daripada diriku.”
Berpikir demikian, mau-tak-mau
ia jadi berduka dan pedih.
Gan-bun-koan itu terhitung
salah satu benteng penting dalam pertahanan negara Song pada waktu itu, di
antara lebih 40 koan (benteng atau pos penjagaan Ban-ti-tiang-sia atau Tembok
Besar) di wilayah Soasai, Gan-bunkoan itu termasuk yang paling kuat dan megah.
Beberapa puluh li di luar benteng pertahanan itu adalah batas negeri kerajaan
Liau. Karena itulah di Gan-bun-koan ada pasukan penjaga yang kuat.
Kalau meneruskan perjalanan
melalui pintu benteng penjagaan, tentu Kiau Hong akan ditanya penjaga di situ.
Maka ia sengaja berputar ke arah barat, ia ambil jalan lereng bukit dan sampai
di Coat-nia (bukit buntu).
Ia pandang sekeliling bukit
itu. Ia lihat jauhdi timur sana Ngo-tai-san menjulang tinggi mencakar langit,
arah lain juga penuh lereng bukit yang menghijau kebiruan tak berujung, suasana
sunyi senyap.
Kiau Hong teringat pada masa
dahulu pernah mendengar cerita tentang sejarah Gan-bun-koan yang merupakan
benteng pertahanan dalam melawan serbuan bangsa Tartar, bangsa Hun dan lain-lain
yang seringkali mengganggu wilayah Tiongkok. Apabila sekarang ternyata benar
dirinya adalah keturunan bangsa asing Cidan, maka boleh dikatakan dirinya
adalah keturunan bangsa yang suka menyerbu ke wilayah Tiongkok selama beratus
tahun ini.
Ia memandang jauh ke utara dan
berpikir, "Tatkala Ong-pangcu, Tio-ci-sun dan lain-lain menyergap musuh
bangsa Cidan di luar Gan-bun-koan dulu, tentu mereka pilih suatu tempat yang
paling baik di lereng bukit. Melihat keadaan sekitar tempat ini, rasanya tempat
yang paling tepat adalah lereng sebelah barat laut ini. Ya, besar kemungkinan
di situlah mereka menyergap musuh.”
Segera ia berlari ke bawah
bukit dan sampai di sana. Tiba-tiba hatinya merasakan semacam tekanan batin
yang memilukan. Ia lihat di situ terdapat sepotong batu karang raksasa. Menurut
cerita Ti-kong Taisu, katanya dahulu para ksatria Tionggoan sana bersembunyi di
balik sebuah batu karang, lalu menghamburkan senjata gelap berbisa ke arah
musuh. Melihat gelagatnya, sekarang mungkin batu karang raksasa inilah yang
dimaksudkan.
Kira-kira beberapa meter
disisi jalan sana ada jurang yang sangat dalam, dipermukaan jurang tertutup
kabut tebal hingga betapa dalamnya jurang itu sukar dijajaki.
Diam-diam Kiau Hong berpikir,
"Bila cerita Ti-kong Taisu itu memang benar, maka sesudah ibuku dibunuh
mereka, lalu ayahku membunuh diri dengan terjun ke jurang ini. Tapi begitu
terjun ke bawah, beliau tidak tega aku ikut menjadi korban, maka aku telah
dilemparkan ke atas dan tepat jatuh di atas tubuh Ong-pangcu. Dan……tulisan
apakah yang ditulisnya di dinding batu yang dimaksudkan itu ?”
Ketika ia berpaling dan
memandang dinding karang yang berada di sisi kanan, ia lihat dinding gunung di
situ halus licin dan cukup lebar, tapi tepat di bagian tengah dinding itu
tampak penuh bekas bacokan kapak. Terang ada seorang yang sengaja menghilangkan
tulisan yang katanya terukir di dinding itu.
Kiau Hong berdiri
termangu-mangu di depan dinding batu itu dengan perasaan bergolak, sungguh ia
ingin putar senjata dan mengangkat kepalan untuk menghantam dan membunuh
sepuas-puasnya. Tapi mendadak teringat sesuatu olehnya, "Waktu aku keluar
dari Kay-pang, pernah aku bersumpah dengan mematahkan golok
Tan-cing, aku menyatakan
selama hidup ini takkan membunuh seorang pun bangsa Han, baik aku terbukti
orang Cidan atau bukan. Akan tetapi, dengan pertarungan sengit di Cip-hian-ceng
itu, sekaligus entah sudah berapa orang yang telah ku bunuh, dan sekarang
timbul pula keinginanku hendak membunuh, bukankah perbuatanku ini telah
melanggar sumpahku sendiri? Ai, urusan sudah terlanjur begini, biarpun aku tak
mengganggu orang, toh orang yang akan mengusik diriku, jika aku diam-diam saja
pasrah nasib untuk di bunuh orang, apakah sikap demikian cukup bijaksana
sebagai seorang ksatria ?”
Padahal jauh-jauh ia datang
keluar Gan-bun-koan ini, tujuannya adalah ingin membaca tulisan di dinding batu
ini untuk menyelidiki asal-usul nya sendiri yang sebenarnya. Akan tetapi usaha
nya sekarang ternyata sia-sia belaka. Perangainya makin lama semakin gopoh dan
suka aseran, tiba-tiba ia berteriak-teriak, "Aku bukan orang Han, aku
bukan orang Han !Aku adalah orang Cidan !Ya, aku orang Cidan !”
Dan tangannya terus menghantam
susul menyusul kearah dinding batu itu.
Maka terdengarlah suara
kumandang yang riuh gemuruh menirukan teriakan akibat hantaman Kiau Hong pada
dinding batu itu. Karena tekanan batinnya yang tak terlampiaskan itu, maka
pukulan Kiau Hong itu masih terus dilontarkan tanpa berhenti.
Kesehatannya memang sudah lama
sembuh, ditambah tenaga dalamnya sangat kuat, maka setiap pukulannya semakin
keras daripada pukulan yang lain, begitu hebat caranya mengamuk hingga seakan-akan
segala duka derita yang dirasakannya selama ini hendak dilampiaskan atas
dinding batu itu.
Tengah ia menggempur dinding
batu itu, tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita yang nyaring merdu
berkata, "Kiau-toaya, jika engkau memukul terus, sebentar gunung ini tentu
akan kau bikin gugur !”
Kiau Hong melengak oleh
teguran itu. Waktu ia menoleh, ia lihat di balik batu sana, di bawah sebatang
pohon berdiri seorang gadis jelita dengan mengulum senyum. Siapa lagi dia kalau
bukan si A Cu.
Heran dan girang juga Kiau
Hong, cepat ia mendekati dan menyapa dengan tertawa, "Hei, A Cu kamu
selamat dan tidak apa-apa ?”
Tapi karena dia habis
marah-marah, maka tertawanya itu dengan sendirinya rada dipaksakan dan kurang
wajar.
"Kiau-toaya, engkau
sendiri juga baik-baik, bukan ?” sahut A Cu. Ia pandang Kiau Hong sejenak,
mendadak ia menubruk ke dalam pelukan bekas Pangcu itu sambil meratap, "O,
Kiau-toaya, aku sudah……sudah menunggu lima hari lima malam di sini, kukuatir
engkau takkan datang, tapi sekarang ter……ternyata datang juga. Dan
syukurlah engkau ternyata
selamat tak kurang suatu apa pun.”
Meski ucapan A Cu itu
terputus-putus, tapi penuh rasa girang dan lega, dengan sendirinya Kiau Hong
dapat merasakan betapa gadis itu memperhatikan keselamatannya, hatinya tergerak
segera bertanya, "Mengapa kau tunggu aku di sini selama lima hari lima
malam? Dan dari……dari mana kau tahu aku akan datang kemari ?”
Perlahan A Cu mendongak,
tiba-tiba ia ingat dirinya berada di dalam pelukan seorang laki-laki, wajahnya
menjadi merah, cepat ia melepaskan dari dan melangkah mundur, ia merasa malu
dirinya tadi telah lupa daratan dan tanpa sadar menyusup dalam pelukan orang.
Mendadak ia membalik tubuh dengan kepala menunduk.
"He, kenapakah A Cu ?”
tanya Kiau Hong bingung.
Namun A Cu tidak menjawab, ia
merasa hati berdebar-debar. Selang sejenak, ia berpaling sedikit sambil
melirik, tapi lantas membalik ke sana lagi dengan malu-malu.
Melihat sikap si gadis yang
aneh itu, Kiau Hong lantas tanya, "A Cu, adakah sesuatu yang akan kau
katakan? Jika ada, katakanlah terus terang. Kita pernah sama-sama menghadapi
kesukaran dan merupakan kawan sehidup semati, apa yang kau pantangkan lagi ?”
Muka A Cu merah jengah lagi,
sahutnya lirih, "Ti…tidak !”
Perlahan Kiau Hong pegang
pundak gadis itu dan diputar ke arah matahari, maka jelas terlihat wajah gadis
itu meski masih pucat dan agak kurus, tapi air muka yang kepucat-pucatan itu
bersemu merah pula dan bukan lagi muka pucat pasi waktu terluka parah tempo
hari. Segera Kiau Hong pegang tangan A Cu untuk memeriksa nadinya.
Ketika pergelangan tangan A Cu
tersentuh jari Kiau Hong, tanpa terasa badan gadis itu tergetar bagai kena
aliran listrik.
Kiau Hong menjadi heran, ia
tanya, "Kenapa? Apa badanmu kurang enak ?”
Kembali wajah A Cu merah dadu,
sahutnya cepat, "O, ti…tidak, tak apa-apa !”
Sesudah Kiau Hong periksa nadi
A Cu, ia merasa denyut nadi itu tenang dan kuat, sedikitpun tiada tanda luar
biasa, maka katanya, "Kepandaian Sih-sin-ih benar-benar sakti,
pengobatannya selalu ‘ces-pleng’, sungguh tidak bernama kosong.”
"Ya, beruntung sobatmu
Pek Si-kia Tianglo telah mengancam tabib sakti itu dengan golok di dada, karena
terpaksa, barulah ia mengobati aku.” tutur A Cu.
"Dan sesudah kau sembuh,
ternyata mereka mau juga membebaskanmu.” ujar Kiau Hong.
"Huh, masakah mereka
begitu baik ?” jengek A Cu dengan tertawa. "Justru mereka selalu merecoki
aku, baru kesehatanku sedikit pulih, setiap hari paling sedikit ada belasan
orang yang mengajukan macam-macam pertanyaan dan gertakan padaku. Meraka tanya
Kiau-toaya pernah hubungan apa dengan aku? Ada yang tanya siapakah gerangan
laki-laki berbaju hitam yang menolongmu itu? Dan ke manakah engkau digondol?
Sudah tentu aku tidak tahu, maka aku menjawab dengan sejujurnya. Tapi mereka
tidak percaya padaku dan mengancam takkan memberi makan, akan menyiksa padaku
dan lain-lain gertakan lagi. Terpaksa aku mengarang pengakuan yang tidak betul,
aku sengaja bilang laki-laki berbaju hitam itu datang dari Kun-lun-san, lain
hari kukatakan dia datang dari pulau di Tanghai dan macam-macam dongengan lain
yang lucu.”
Bercerita sampai di sini, ia
jadi teringat pada para ksatria Tionggoan yang dibohongi dan dipermainkan
olehnya itu, saking gelinya ia tertawa cekikikan.
"Dan mereka percaya tidak
pada obrolanmu ?” tanya Kiau Hong ikut geli.
"Ada yang percaya, ada
yang tidak, dan ada yang setengah percaya dan setengah tidak.” sahut A Cu.
"Ku yakin di antara mereka tiada seorangpun yang kenal dengan tokoh
berbaju hitam itu, maka aku sengaja mengarang cerita yang aneh dan khayal, biar
mereka curiga dan ketakutan serta selalu kebat-kebit.”
"Padahal siapakah tuan
penolong berbaju hitam itu, sampai kini aku sendiri pun tidak kenal,” ujar Kiau
Hong. "Coba bila kudengar dongenganmu itu, mungkin aku pun percaya.”
"Eh, jadi engkau sendiri
pun tidak kenal dia? Habis, mengapa beliau sudi menyerempet bahaya untuk
menolongmu ?” tanya A Cu heran. "Tapi memang begitulah perbuatan seorang
pendekar sejati, seorang ksatria yang suka menolong sesamanya.”
"Ai, entah cara bagaimana
harus kubalas budi tuan penolong itu dan entah bagaimana pula harus kutuntut
balas pada musuh yang belum kukenal,” kata Kiau Hong dengan penuh menyesal.
"Apalagi aku pun belum tahu apakah aku bangsa Han atau Cidan, juga tidak
tahu perbuatanku sendiri selama hidup ini betul atau salah? O,
Kiau Hong wahai, Kiau Hong!
Percumalah kau jadi manusia !”
Melihat Kiau Hong sangat
sedih, tanpa terasa A Cu memegang tangan bekas Pangcu itu, hibur nya dengan
suara lembut, "Kiau -toaya, buat apa mencari susah sendiri? Segala
kejadian pada akhirnya tentu akan terang. Asal engkau merasa tidak berdosa,
segala perbuatanmu dapat dipertanggung jawabkan kepada siapapun juga, maka
engkau tidak perlu gentar lagi.”
"Benar, aku justru merasa
berdosa, makanya sedih,” sahut Kiau Hong. "Tempo hari aku telah bersumpah
takkan membunuh seorang pun bangsa Han, tetapi sekarang……”
"Engkau terpaksa membela
diri, kalau tidak balas menyerang, tentu engkau sendiri sudah binasa dikeroyok
mereka,” ujar A Cu.
Sebagai seorang laki-laki yang
bisa berpikir panjang, cepat juga Kiau Hong kesampingkan tekanan batinnya itu.
Katanya kemudian, "Menurut Ti-kong Taysu dan orang yang mengaku bernama
Tio-ci-sun itu katanya pada dinding batu ini ada tulisannya, entah mengapa
sekarang telah dihapus orang ?”
"Ya, memang sudah kuduga
engkau pasti akan memeriksa tulisan di dinding ini, makanya aku menantimu di
sini sesudah lolos dari bahaya,” kata A Cu.
"Cara bagaimana kau lolos
dari bahaya, apakah ditolong pula oleh Pek Si-kia ?” tanya Kiau Hong.
"Bukan,” sahut A Cu
dengan tersenyum, "Bukankah engkau masih ingat aku pernah menyamar sebagai
hwesio untuk mengelabui padri Siau-lim-si ?”
"Ya, kepandaianmu yang
nakal itu memang hebat, "sahut Kiau Hong.
"Dan setelah lukaku agak
sembuh, menurut Sih-sin-ih, katanya tidak perlu diobati lagi, cukup tetirah
beberapa hari lagi tentu akan sehat kembali. Dalam pada itu dongeng yang
kukarang untuk menipu mereka itu makin lama makin banyak dan macam-macam hingga
aku sendiri pun bosan, pula merasa kuatir atas dirimu, maka pada suatu malam,
kembali aku menyaru sebagai seorang tokoh untuk meloloskan diri.”
"Kamu menyaru lagi?
Menyaru siapa ?” tanya Kiau Hong.
"Aku menyaru sebagai
Sih-sin-ih,” sahut A Cu.
"Menyaru sebagai
Sih-sin-ih? Dapat menyaru dengan percis ?” Kiau Hong menegas dengan
terheran-heran.
"Tentu saja dapat,” sahut
A Cu. "Setiap hari aku bertemu dan paling sering pula bicara dengan dia,
maka sikapnya dan gerak-geriknya sangat apal bagiku. Lagi pula hanya dia
seorang yang paling sering berada bersamaku. Malam itu aku pura-pura pingsan,
segera ia memeriksa nadiku, kesempatan itu kugunakan untuk pencet urat nadinya
secara mendadak sehingga dia tidak berani berkutik dan mau-tak-mau pasrah nasib
padaku.”
Diam-diam Kiau Hong geli di
dalam hati, sungguh sial tabib sakti itu, yang dipikirkan oleh tabib itu hanya
mengobati orang, sudah tentu tak diduganya bahwa budak setan ini bisa main gila
padanya.
"Begitulah aku lantas
tutuk jalan darahnya,” demikian A Cu menyambung. "Tapi ilmu tutukanku
kurang pandai, kukuatir dalam waktu singkat dia akan bergerak lagi, maka
kutambahi dia dengan ringkusan kain sobekan seprei, kaki tangan nya kuikat dan
mulutnya kusumbat, lalu kugusur dia ke atas ranjang sesudah kucopot dulu baju
dan sepatunya. Kututupi dia dengan selimut hingga kalau dipandang dari luar
tentu orang akan menyangka aku yang tidur di situ tanpa curiga. Kemudian
kupakai baju dan sepatu serta kopiahnya. Aku coret mukaku dengan garis-garis
keriput hingga mirip tabib sakti itu, yang masih kurang hanya tinggal
jenggotnya saja.”
"Kurang jenggot ?” Kiau
Hong menegas. "Ehm, jenggotnya yang panjang dan sudah mulai ubanan itu
agak sulit dipalsukan.”
"Tak bisa memalsu,
terpaksa aku memakai yang asli,” ujar A Cu.
"Pakai yang asli ?” Kiau
Hong menegas dengan heran.
"Ya, kupakai yang asli.
Kuambil pisau dari peti obat dan mencukur jenggotnya, lalu kutempelkan jenggot
pinjaman itu di mukaku, dengan demikian jenggot si tabib sakti itu kupindahkan
tanpa memalsunya. Sudah tentu tabib itu keki setengah mati, tapi apa yang bisa
dia perbuat? Ia mengobati aku karena terpaksa, aku mencukur jenggotnya juga tak
dapat dikatakan membalas susu dengan air tuba. Apalagi sesudah kucukur
jenggotnya, ia menjadi jauh lebih muda tampaknya dan lebih tampan dari
biasanya.”
Bercerita sampai sini,
tertawalah kedua orang dengan geli.
"Dan sesudah menyaru
sebagai Sih-sin-ih, dengan lagak tuan besar aku lantas keluar dari
Cip-hian-ceng dan dengan sendirinya tiada seorang pun berani menegur padaku.
Malahan kuperintahkan orang-orang di situ menyediakan kuda dan sangu
seperlunya, lalu kuangkat kaki,” demikian A Cu meneruskan. "Sesudah jauh
dari Cip-hian-ceng, segera kububut bersih jenggot tempelan itu dan berubah
menjadi laki-laki muda. Orang-orang di Cip-hian-ceng itu baru akan mengetahui
lolosnya diriku pada esok paginya. Tapi sepanjang jalan aku menyamar orang lain
lagi secara berganti-ganti hingga takkan dapat mereka temukan.”
"Bagus, sungguh bagus !”
sorak Kiau Hong sambil bertepuk tangan. Tapi mendadak ia ingat pernah melihat
bayangan belakang diri sendiri dalam cermin perunggu di ruang po-te-ih di
Siau-lim-si tempo hari, tatkala itu ia terkesiap, lamat-lamat ia merasakan ada sesuatu
yang kurang beres. Kini demi mendengar cerita A Cu tentang menyaru orang lain
untuk menipu, kembali ia merasakan ketidak beresan seperti dulu itu, maka
segera ia berkata, "A Cu, coba kau putar tubuhmu !”
Sudah tentu A Cu bingung akan
maksud Kiau Hong, tapi ia menurut juga dan memutar tubuh.
Kiau Hong termenung sejenak
memandangi belakang tubuh gadis itu. Tiba-tiba ia lepaskan baju luar sendiri
dan dikenakan pada badan A Cu.
Dengan muka kemerah-merahan A
Cu menoleh, ia pandang bekas pangcu itu dengan sorot mata yang lembut dan
melekat, katanya lirih, "Aku tidak dingin.”
Tapi setelah memandangi bentuk
tubuh A Cu dengan mengenakan bajunya itu, mendadak Kiau Hong menjadi terang
seluk beluk ketidak beresan yang mencengkam perasaannya itu. Sekali tangannya
bergerak, cepat ia pegang tangan si gadis sambil bertanya dengan suara bengis,
"Hah, kiranya kau inilah! Kau lakukan atas suruhan siapa? Lekas mengaku
terus terang!”
Keruan A Cu kaget, tanyanya
dengan gelagapan, "Kiau…Kiau-toaya, ada…ada apa ?”
"Kau pernah menyaru
sebagai diriku dan pernah memalsukan aku bukan ?” tanya Kiau Hong.
Baru sekarang ia ingat pada
kejadian tempo hari waktu ia terburu-buru hendak pergi menolong kawan Kaypang
yang ditawan orang Sehe, di tengah jalan ia pernah melihat bayangan belakang
seseorang. Tatkala itu ia tidak menaruh perhatian apa-apa, kemudian sesudah
melihat bayangan belakang sendiri pada cermin perunggu di Siau-lim-si, barulah
ia ingat bentuk tubuh belakang yang pernah dilihatnya itu mirip sekali dengan
dirinya.
Padahal waktu dia tiba di
tempat yang dituju lebih dulu orang-orang Kay-pang sudah bebas dari bahaya dan
semua orang mengucapkan terima kasih atas pertolongannya yang pada hakikatnya
bukan dia yang
melakukannya. Tatkala itu ia
pun merasa bingung dan menduga pasti ada seorang lain yang telah memalsukan
dirinya.
Kini setelah melihat bangun
tubuh A Cu sesudah mengenakan bajunya itu, sesudah dicek satu sama lain,
mengertilah Kiau Hong akan duduknya perkara, terang gadis inilah yang telah
memalsukan dirinya dan tidak mungkin orang lain.
A Cu ternyata tidak heran dan
kuatir lagi, sebaliknya ia mengaku terus terang dengan tertawa, "Ya,
baiklah, aku mengaku pernah menyamar sebagai engkau.”
Lalu ia pun ceritakan
pengalamannya menyaru sebagai Kiau Hong untuk menolong anggota Kay-pang dengan
obat penawar racun itu.
"Apa tujuanmu menyaru
diriku untuk menolong orang Kay-pang ?” bentak Kiau Hong dengan bengis sambil
melepaskan tangannya.
A Cu terkesiap, sahutnya
cepat, "Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya untuk kelakar saja. Kupikir
mereka memperlakukan engkau kurang baik, sebaliknya engkau malah menolong
mereka, tentu mereka akan merasa malu dan berterima kasih. Ai, siapa duga
ketika di Cip-hian-ceng mereka tetap begitu kejam padamu, sama sekali tidak
ingat budi kebaikanmu masa lalu.”
Air muka Kiau Hong makin
kereng, mendadak ia tanya pula dengan menggertak gigi, "Habis, mengapa kau
palsukan aku pula untuk membunuh ayah bundaku dan membinasakan Suhu ku di
Siau-lim-si ?”
Seketika A Cu melonjak kaget,
serunya, "Hah, mana bisa jadi? Siapa bilang aku memalsukan dirimu untuk
membunuh ayah bunda dan gurumu ?”
"Suhuku kena serangan
musuh hingga terluka dalam, begitu melihat diriku beliau lantas menuduh aku
yang turun tangan keji itu, masakah bukan perbuatanmu ?” kata Kiau Hong. Sampai
di sini sebelah tangannya perlahan diangkat dengan nafsu membunuh, asal jawaban
A Cu kurang memuaskan, seketika gadis itu akan binasa di bawah gaplokannya.
Melihat sikap Kiau Hong yang
kereng itu, A Cu merasa takut, tanpa terasa ia mundur dua tindak. Dan ia mundur
lagi beberapa tindak, tentu gadis itu akan terjerumus ke dalam jurang di
belakangnya itu.
"Jangan bergerak, berdiri
di situ !” cepat Kiau Hong membentak.
Saking ketakutannya hingga air
mata A Cu bercucuran, sahutnya dengan gemetar, "Aku…aku…tid…tidak membunuh
ayah bundamu dan tidak…tidak membinasakan Suhumu. Masakah aku mampu membunuh…
membunuh gurumu yang berkepandaian tinggi itu ?”
Ucapan terakhir itu ternyata
sangat tepat hingga hati Kiau Hong terketuk. Gurunya, Hian-koh Taysu, tewas
oleh semacam ilmu pukulan dahsyat dari Lwekang yang tinggi, hal ini mana tidak
mungkin dapat dilakukan A Cu yang berkepandaian tak seberapa tinggi ini.
Segera ia sadar telah salah
menuduh A Cu. Secepat kilat tangannya menyambar ke depan, ia tarik tangan gadis
itu ke dekat dinding batu agar gadis itu tidak terpeleset ke bawah jurang. Lalu
katanya, "Ya, benar, bukan kamu yang membunuh suhuku !”
Baru sekarang A Cu bisa
tertawa, ia tepuk dada sendiri tanda lega, katanya, "Ai, hampir aku mati
ketakutan. Mengapa engkau begini sembrono, jika aku mempunyai kepandaian
membunuh gurumu, masakah aku tidak membantumu menghajar orang-orang di
Cip-hian-ceng itu ?”
Melihat gadis itu Cuma
mengomel sekadarnya saja, Kiau Hong merasa menyesal, katanya pula,
"Akhir-akhir ini pikiranku memang sedang kusut dan suka sembarangan omong,
harap nona jangan marah padaku.”
"Jika aku marah, sejak
tadi aku tak sudi bicara padamu lagi,” sahut A Cu tertawa.
Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu,
tiba-tiba tanyanya pula, "A Cu, kepandaianmu menyamar itu dipelajari dari
siapa? Apakah gurumu masih mempunyai murid lain lagi ?”
"Tiada yang mengajar
padaku,” sahut A Cu. "Sejak kecil aku suka menirukan gerak-gerik orang
lain, semakin meniru semakin pintar, mengapa harus belajar pada guru segala ?”
"Inilah aneh sekali,
ternyata di dunia ini masih ada seorang lain lagi yang sangat mirip diriku
hingga Suhu salah sangka sebagai diriku yang sebenarnya,” ujar Kiau hong dengan
menyesal.
"Jika ada titik terang
demikian, urusan menjadi mudah diselidiki,” kata A Cu. "Marilah kita pergi
mencari orang itu untuk memaksanya mengaku duduknya perkara.”
"Benar,” sahut Kiau Hong.
"Tapi, dunia seluas ini, ke mana dapat mencari orang itu ?”
Ia coba memperhatikan tulisan
pada dinding yang sudah terhapus itu guna mencari sesuatu tanda yang mungkin
berguna, tapi meski sudah dipandang dari sini dan diperiksa dari sana, tetap
tiada sehuruf pun yang dikenalnya. Katanya kemudian, "A Cu untuk mengetahui
apa yang ditulis di dinding ini, aku bermaksud mencari Ti-kong Taysu untuk
minta keterangan padanya. Sebelum membikin terang urusan ini, sungguh aku tidak
enak makan dan tidak nyenyak tidur.”
"Tapi mungkin dia tidak
mau menerangkan padamu,” ujar A Cu.
Jilid 33
"Ya, memang besar
kemungkinan dia tak mau mengatakan, tapi akan kupaksa secara keras atau halus
agar dia mengaku, sebelum dia menjelaskan tidak nanti aku mau sudahi urusan
ini,” kata Kiau Hong.
"Tapi Ti-kong Taysu itu
tampaknya sangat keras wataknya dan tidak gentar mati, biarpun kita pancing
dengan halus maupun paksa secara kasar, mungkin takkan membuatnya mengaku.
Kukira lebih baik….”
"Ya, memang lebih baik
kita pergi mencari Tio-cin-sun saja,” sela Kiau Hong. "Tio-cin-sun itu
besar kemungkinan juga takkan mengaku biarpun mati, tapi aku sudah mempunyai
akal untuk menghadapinya.”
Sampai di sini, ia pandang
arah jurang di sebelahnya, lalu katanya pula, "A Cu, aku ingin turun ke
bawah jurang itu.”
Keruan A Cu terperanjat, ia
melongok sekejap ke jurang yang tertutup kabut tebal itu, kemudian berkata,
"Ai, mana boleh jadi! Jangan kau turun ke sana. Apa sih yang ingin kau
lakukan ?”
"Sebenarnya aku bangsa
Han atau orang Cidan, hal ini yang selalu menekan perasaanku, maka ingin
kuturun ke sana untuk memeriksa mayat orang Cidan itu.”
"Sudah lebih 30 tahun
orang itu terjun ke jurang itu mungkin yang tertinggal sekarang hanya tulang
belulang belaka, apa yang dapat kau…periksa ?”
"Aku justru ingin melihat
tulang belulangnya. Kupikir jika…jika benar dia adalah ayahku sendiri maka
harus kukumpulkan tulang jenazahnya untuk dikebumikan sebagaimana mestinya.”
"Ai, mana bisa, mana
mungkin !” seru A Cu melengking. "Engkau adalah ksatria berbudi, mana
mungkin keturunan orang Cidan yang buas dan kejam ?”
"Sudahlah, harap kau
tunggu sehari saja di sini, bila besok pada waktu yang sama aku belum naik
kembali, maka bolehlah kau tinggal pergi saja.”
Keruan A Cu kuatir,
sekonyong-konyong ia menagis dan berseru, "Jangan, Kiau-toaya, jangan
engkau turun ke bawah jurang !”
Tapi watak Kiau Hong sangat
keras, apa yang menjadi ketetapan hatinya tidak mungkin mengubahnya. Dengan
tersenyum ia menjawab, "Dikeroyok jago-jago sebanyak itu di Cip-hian-ceng
pun aku tak terbinasa, masakan jurang yang tiada artinya ini dapat merenggut jiwaku
?”
Habis berkata, ia pandang
sekitar jurang itu untuk mencari sesuatu tempat berpijak yang sekedar dapat
dipakai sebagai batu loncatan ke bawah.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari jurusan timur laut sana sayup-sayup terdengar suara derap kuda lari yang
ramai menuju ke arah selatan. Dari suaranya dapat ditaksir sedikitnya ada lebih
20 penunggang kuda.
Cepat Kiau Hong lari melintasi
bukit sana dan memandang jauh ke arah datangnya suara itu. Maka jelas tertampak
olehnya 20-an penunggang kuda itu berpakaian seragam kuning, semuanya adalah
prajurit kerajaan Song.
Setelah mengetahui siapa
pendatang itu, sebenarnya Kiau Hong tidak taruh perhatian apa-apa. Tapi tempat
dia dan A Cu berada itu justru adalah jalan penting yang pasti akan dilalui
oleh orang-orang dari luar perbatasan yang akan memasuki Gan-bun-koan sebagai
mana dahulu jago silat Tionggoan telah memilih tempat ini untuk mencegat orang
Cidan.
Kiau Hong pikir dari pada
nanti kepergok prajurit Song itu hingga mungkin akan menimbulkan kerewelan,
lebih baik menghindari saja. Maka cepat ia kembali ketempat semula dan mengajak
A Cu bersembunyi di balik sebuah batu karang raksasa. Bisiknya pada si gadis,
"Rombongan prajurit Song !”
Tidak lama, prajurit Song itu
telah muncul di atas bukit situ. Dari belakang batu Kiau Hong dapat melihat
perwira yang memimpin pasukan itu, terkenanglah olehnya cerita Ti-kong Taysu
tentang peristiwa penghadangan di bukit ini dahulu. Suasana bukit karang itu
masih tenang seperti dulu, tapi jago silat dari kedua pihak sudah banyak yang
jatuh menjadi korban dan tinggal tulang belulang belaka.
Tengah Kiau Hong termenung,
tiba-tiba di dengarnya suara jerit tangis anak kecil. Ia terkejut seakan-akan
di alam mimpi.
"Dari manakah suara
tangisan anak kecil itu ?” pikirnya heran.
Tiba-tiba terdengar pula
beberapa kali suara jeritan tajam kaum wanita. Waktu itu ia melongok ke depan,
jelas terlihat olehnya di antara prajurit-prajurit Song itu terdapat tawanan
wanita dan anak-anak. Wanita dan anakanak itu mengenakan baju kaum gembala orang
Cidan. Banyak di antara prajurit Song itu main raba dan main comot pada tawanan
wanita mereka, tingkah laku mereka itu rendah dan memuakkan. Ada di antara
wanita itu melawan perlakuan tidak senonoh itu, tapi segera mereka dipersen
dengan gamparan dan hajaran kejam oleh prajurit dan perwira Song.
Kiau Hong terheran-heran dan
tidak mengerti apa yang telah terjadi itu.
Pasukan Song itu sebentar saja
sudah lalu dan menuju ke arah Gan-bun-koan.
"Kiau-toaya, apa yang
akan dikerjakan mereka itu ?” tanya A Cu.
Kiau Hong menggeleng kepala
tanpa menjawab, hanya dalam hati ia membatin, "Mengapa pasukan penjaga
perbatasan sedemikian bejat kelakukannya ?”
Dalam pada itu A Cu telah
berkata pula, "Huh, prajurit seperti itu pada hakikatnya lebih mirip
kawanan bandit !”
Tengah bicara, dari arah tadi
kembali muncul lagi satu regu pasukan Song yang lain sambil menggiring beratus
ekor ternak sebangsa domba dan sapi, di samping itu ada pula belasan wanita
Cidan.
Terdengar seorang perwira di
antaranya sedang berkata, "Operasi kita ini tidak banyak membawa hasil,
entah Tai-swe (komandan) bakal marah atau tidak ?”
Maka perwira yang lain
menjawab, "Tidak banyak ternak musuh yang dapat kita rampas, tapi beberapa
orang di antara tawanan wanita ini parasnya cukup lumayan dan dapat menghibur
Tai-swe, dengan demikian tentu beliau takkan marah.”
"Cuma belasan orang
perempuan hasil ‘panenan’ kita kali ini hingga tidak cukup memenuhi ‘jatah’
orang banyak, biarlah besok kita berusaha lagi mencari tambahan lain,” demikian
perwira yang pertama tadi.
"Tidak gampang lagi, pak
!” demikian timbrung seorang prajurit. "Setelah mengalami kejadian tadi,
kawanan anjing Cidan itu tentu sudah lari sejauh-jauhnya. Untuk bisa ‘panen’
lagi sedikitnya tunggu beberapa bulan pula.”
Mendengar sampai sini, dada
Kiau Hong sudah hampir meledak. Sungguh kelakuan prajurit itu jauh lebih jahat
daripada kawanan bandit yang paling kejam sekalipun.
Sekonyong-konyong terdengar
suara orok di dalam pelukan seorang wanita menjerit-jerit. Maka wanita Cidan
itu mengipatkan tangan seorang perwira yang sedang menggerayangi tubuhnya untuk
menimang orok dalam pelukannya itu.
Perwira itu menjadi marah.
Mendadak ia jambret orok dalam pangkuan ibundanya terus dibanting ke tanah.
Menyusul ia larikan kudanya ke depan hingga bayi itu terinjak kuda, seketika
perut pecah dan usus keluar. Saking ketakutan wanita Cidan itu sampai tak dapat
menangis lagi. Sebaliknya prajurit Song yang lain sama tertawa malah dan
sebentar saja lantas berlalu.
Selama hidup Kiau Hong sudah
banyak menyaksikan keganasan orang, tapi perbuatan membunuh anak kecil secara
keji tanpa kenal kasihan sedikitpun baru sekarang dilihatnya. Sungguh gusarnya tak
terkatakan, tapi dasar dia memang cukup sabar, sedapatnya ia tenangkan diri
untuk melihat bagaimana kelanjutannya.
Sebentar kemudian, kembali
muncul lagi belasan prajurit yang lain. Prajurit-prajurit ini berkuda dan
bertombak. Pada ujung tombak masing-masing tampak menyunduk sebuah kepala
manusia dengan darah masih bertetes-tetes. Di belakang kuda mereka menyeret
lima orang laki-laki Cidan yang terikat tali panjang.
Dari dandanan orang-orang
Cidan itu Kiau Hong dapat menarik kesimpulan mereka adalah kaum gembala biasa.
Dua di antaranya berusia sangat tua, tiga lagi adalah pemuda tanggung. Maka
tahulah Kiau Hong duduknya perkara. Prajurit-prajurit Song ini telah mendatangi
tempat orang-orang Cidan untuk merampok dan membunuh, penggembala Cidan yang muda
dan kuat sudah sama melarikan diri, hanya tertinggal kaum wanita, anak-anak dan
orang tua yang ditawan.
Ia dengar seorang perwira di
antaranya sedang berkata dengan tertawa, "Kita dapat memenggal 14 buah
kepala dan menawan hidup lima anjing Cidan, jasa ini dibilang besar memang
kurang besar, dikatakan kecil juga tidak kecil, untuk naik pangkat setingkat
dan mendapat hadiah seratus tahil perak rasanya tidak perlu disangsikanlagi.”
"He, Lau Tio,” tiba-tiba
seorang kawanan menimbrung, "Kira-kira lima puluh li di sebalah barat sana
ada suatu tempat pemukiman orang Cidan, apa kau berani mengaduk ke sana ?”
"Kenapa tidak berani ?”
sahut Lau Tio yang ditegur itu, "Memangnya kau kira aku baru datang
kemari, maka tidak berani? Hm, justru karena aku orang baru, maka perlu lebih
banyak mengumpulkan jasa.”
Tengah bicara, sementara itu
rombongan mereka sudah sampai di dekat batu karang tempat sembunyi Kiau Hong
berdua itu. Ketika melihat di tengah jalan situ terdapat sosok mayat anak bayi,
seketika salah seorang tua Cidan itu menjerit keras-keras.
Meski Kiau Hong tidak paham
bahasa Cidan, tapi dapat juga menyelami betapa pedih dan gusar suara itu. Boleh
jadi bayi yang diinjak kuda itu adalah anak keluarganya.
Mendadak prajurit yang
menyeretnya dengan tali itu menarik sekuatnya agar orang itu berjalan cepat.
Tapi orang tua Cidan itu menjadi murka, tiba-tiba ia menubruk ke arah prajurit
itu.
Keruan prajurit itu terkejut,
cepat ia ayun goloknya untuk membacok. Tapi orang Cidan itu lantas menarik
sekuatnya hingga prajurit itu terseret jatuh ke bawah kuda. Menyusul orang
Cidan terus mengigit leher prajurit itu dengan kalap.
Pada saat itulah seorang
perwira pasukan Song ayun golok panjangnya dari atas hingga punggung orang tua
Cidan itu terbacok. Dengan demikian dapatlah prajurit tadi meronta bangun,
saking gemasnya prajurit itu terus membacok beberapa kali lagi atas tubuh orang
Cidan itu.
Tiba-tiba orang tua itu putar
tubuh ke arah utara, ia lepas baju atasnya dan membusungkan dada, mendadak ia
menggerung keras, suaranya sedih memilukan bagaikan lolong srigala.
Seketika air muka prajurit
Song itu berubah ketakutan. Diam-diam Kiau Hong juga terkesip. Tiba-tiba merasa
olehnya seolah-olah ada ikatan batin dengan orang tua Cidan itu. Suara lolong
srigala tatkala mendekati ajalnya itu pernah juga ingin disuarakan olehnya
dahulu, yaitu pada waktu dirinya berulang-ulang terluka di Cip-hianceng dan
merasa ajalnya sudah hampir tiba, Cuma teringat teriakan yang menyamai binatang
itu sesungguhnya akan merosotkan pamornya sebagai ksatria yang terpuja selama
ini, maka sedapat mungkin telah ditahannya. Tapi bila kemudian tak tertolong
oleh laki-laki berbaju hitam, boleh jadi pada saat akan binasa toh lolong
srigala itu akan disuarakan juga olehnya.
Begitulah demi mendengar suara
melolong itu, otomatis timbul semacam rasa persaudaraan dalam benak Kiau Hong.
Tanpa pikir lagi segera ia melompat keluar dari belakang batu, sekali pegang
satu orang, prajurit Song itu satu per satu dilemparkannya ke bawah jurang.
Dalam hal menindas rakyat
jelata prajurit-prajurit itu memang tangkas dan gagah berani, tapi menghadapi
Kiau Hong mereka jadi mirip tikus ketemu kucing. Hanya sekejap saja mereka
sudah disapu bersih ke dalam jurang.
Saking nafsunya sampai kuda
tunggangan prajurit-prajurit itu pun didepak ke dalam jurang oleh Kiau Hong.
Maka riuh ramailah suara jeritan manusia dan ringkik kuda yang bercampur aduk.
Tapi hanya sebentar saja suara
itu lantas lenyap, suasana kembali hening lagi.
Melihat betapa tangkasnya Kiau
Hong, seketika A Cu dan keempat orang Cidan yang lain sama termangumangu
terkesima.
Habis membasmi habis kawanan
prajurit penindas itu, Kiau Hong terus bersuit panjang hingga suaranya
menggetar lembah pegunungan. Ia lihat orang tua Cidan yang terluka parah itu
masih tetap berdiri tegak, diamdiam ia kagum pada keperwiraannya, segera ia
mendekatinya. Ia lihat dada orang tua itu terbuka dan tepat menghadap keutara
ternyata orangnya sudah tak bernapas lagi.
Tiba-tiba Kiau Hong berseru
kaget demi melihat dada orang Cidan itu, ia menyurut mundur beberapa tindak
dengan sempoyongan seakan akan roboh.
Keruan A Cu kuatir, cepat
serunya, "Kiau-toaya, ada…ada apa ?”
Segera terdengar suara
"bret-bret” beberap akali, mendadak Kiau Hong merobek baju sendiri hingga
tertampak simbar didada yang hitam pekat.
Waktu A Cu mengawasi, ia lihat
pada dada Kiau Hong bercacah sebuah gambar kepala serigala yang pentang mulut
dan kelihatan siungnya bentuk kepala serigala itu sangat menakutkan. Ketika A
Cu memandang si orang tua Cidan, di lihatnya pada dadanya juga bercacahkan
gambar kepala serigala yang percis dengan gambar di dada Kiau Hong itu. Pasa
saat lain, tiba-tiba terdengar keempat orang Cidan pun berseru serentak.
Segera mereka merubungi Kiau
Hong sambil bicara dalam bahasa Cidan dan berulang-ulang menuding gambar kepala
serigala di dada Kiau Hong.
Sudah tentu Kiau Hong tidak
paham maksud mereka. Cacahan gambar kepala serigala di dadanya sejak kecil
sudah ada. Pernah ia tanya kepada suami-istri Kiau Sam-hoai tentang gambar
cacah itu, tapi kedua orang tua itu Cuma mengatakan untuk hiasan saja agar
indah dipandang lebih dari itu tak mau menerangkan lagi.
Pada jaman Pak Song (dinasti
Song utara) itu soal mencacah gambar di badan (tatto) adalah sangat umum,
bahkan ada yang sekujur badan penuh dicacah beraneka ragam gambar yang
aneh-aneh. Malahan banyak di
antara anggota Kai-pang juga
mempunyai gambar cacah di lengan, dada, punggung dan bagian tubuh lain, makanya
selama itu Kiau Hong tidak pernah curiga apa-apa. Tapi kini demi melihat di
dada orang tua Cidan itu pun tercacah gambar kepala serigala seperti di dadanya
sendiri, sedangkan keempat orang Cidan yang lain terus mengoceh tiada hentinya
padanya sambil menunjuk gambar cacah itu, bahkan mendadak laki-laki tua itu pun
membuka bajunya hingga kelihatan didadanya jug aterdapat gambar cacah kepala
serigala yang sama.
Sesaat itu teranglah duduknya
perkara bagi Kiau Hong, kini ia yakin benar-benar dirinya memang betul adalah
orang Cidan. Gambar kepala serigala di dada itu tentulah tanda kelompok suku
mereka, mungkin sejak bayi sudah harus di cacah gambar seperti itu.
Padahal sejak kecil Kiau Hong
sangat benci pada orang Cidan dan tahu suku bangsa itu suku mengganas secara
kejam dan tidak pegang janji, masakah sekarang ia harus mengaku diri sendiri
sebagai bangsa yang dipandangnya serendah binatang itu, sungguh kesalnya tidak
kepalang, jiwanya benar-benar tertekan sekali. Ia termangu-mangu sejenak,
sekonyong-konyong ia berteriak terus berlari ke arah lereng bukit bagai orang
gila.
"Kiau-toaya, Kiau-toaya
!” cepat A Cu berseru dan menyusulnya.
Sesudah belasan li A Cu mengejar
barulah ia lihat Kiau Hong duduk di bawah sebuah pohon rindang sambil mendekap
kepala sendiri, air mukanya tampak muram, otot hijau di kening sampai menonjol
besar-besar, suatu tanda betapa pedih perasaan bekas Pangcu itu.
A Cu mendekatinya dan duduk
sejajar dengan dia. Namun Kiau Hong lantas menyurutkan tubuh dan berkata,
"Aku adalah bangsa asing yang kotor dan rendah sebagai babi dan anjing,
sejak kini lebih baik jangan kau temui aku lagi.”
Seperti juga bangsa Han yang
lain, sebenarnya A Cu sangat benci pada orang Cidan. Tapi dalam pandangannya
Kiau Hong adalah tokoh yang dipujanya melebihi malaikat dewata, jangankan cuma
manusia Cidan, sekalipun setan iblis atau binatang buas juga takkan
ditinggalnya pergi. Pikir gadis itu, "Saat ini perasaannya lagi sedih,
sedapatnya aku harus menghiburnya.”
Maka katanya dengan tertawa,
"Di antara bangsa Han juga ada orang baik dan orang jahat begitu pula
dalam bangsa Cidan tentu juga ada yang baik dan ada yang jahat. Kiau-toaya,
harap janganlah kau pikirkan urusan ini. Jiwa A Cu ini engkaulah yang
menyelamatkan, biarpun engkau orang Han ataupun orang Cidan, sama sekali tiada
perbedaannya lagi bagi A Cu.”
"Aku tidak perlu belas
kasihanmu,” sahut Kiau Hong dengan dingin. "Di dalam hati tentu kau
pandang rendah padaku, maka kamu tidak perlu pura-pura bermulut manis. Aku
menolong jiwamu juga bukan timbul dari maksudku yang sebenarnya, hanya terdorong
oleh nafsu ingin menang saja. Maka tentang peristiwa itu biarlah ku hapus untuk
selamanya dan bolehlah kau pergi saja.”
A Cu jadi kuatir, sesudah
mengetahui dirinya adalah bangsa Cidan, boleh jadi Kiau Hong akan terus pulang
ke utara dan untuk selamanya tak akan menginjak selangkah pun negeri Tiongkok
demikian pikirnya.
Saking tak tahan oleh gelora
kalbunya, terus saja ia berkata, "Kiau-toaya, bila engkau tega
meninggalkan aku tanpa peduli lagi, segera aku akan terjun ke dalam jurang itu.
Selamanya A Cu berani berkata berani berbuat, tentu engkau anggap dirimu adalah
ksatria gagah perwira bangsa Cidan, maka memandang hina pada kaum budak yang
rendah seperti diriku, biarlah lebih baik aku mati saja.”
Kiau Hong jadi terharu oleh
ucapan A Cu yang tulus itu. Tadinya ia mengira setiap orang pasti akan menjauhi
bangsa kejam sebagai dirinya ini, tak sangka A Cu ternyata tidak pandang bulu,
tetap menghargai dirinya tanpa ada kecualinya. Segera ia pegang tangan gadis
itu dan berkata dengan suara lembut, "A Cu, kamu adalah pelayan
Buyung-kongcu dan bukan budakku, masakah aku memandang hina padamu ?”
"Huh, aku tidak perlu
belas kasihanmu! Di dalam hati tentu kau pandang rendah padaku, tidak perlu
pura-pura bermulut manis !” demikian A Cu menirukan lagu Kiau Hong tadi dengan
sorot mata yang menggoda.
Tak tertahankan lagi Kiau Hong
terbahak-bahak, pada saat susah bisa terhibur oleh seorang gadis jelita sebagai
A Cu yang pandai bicara dan pintar berkelakar, sudah tentu rasa kesalnya lantas
banyak berkurang.
"Kiau-toaya,” tiba-tiba A
Cu berkata pula dengan kereng, "Aku memang pelayan Buyung-kongcu, tapi itu
tidak berarti aku telah menjual diriku padanya. Soalnya karena keluarga kami
suatu waktu mendapat kesulitan, ada seorang musuh yang lihai mendatangi ayah
buat menuntut balas dendam. Ayahku merasa tak dapat melawan musuh itu, maka aku
lantas dititipkan pada Buyung-loya, yaitu ayah Buyung-kongcu sekarang, katanya
untuk dijadikan budaknya, tapi sebenarnya lebih tepat dikatakan untuk
menyelamatkan diriku di rumah keluarga Buyung. Maka selanjutnya akan kulayanimu
dan menjadi dayangmu, pasti Buyung-kongcu takkan marah.”
"Tidak, tidak! Mana boleh
jadi !” seru Kiau Hong sambil goyang kedua tangannya. "Aku adalah bangsa
Cidan, masakah punya budak apa segala? Kamu sudah biasa tinggal di tengah
keluarga mampu di daerah Kanglam, apa faedahnya ikut aku terlunta-lunta dan
menderita? Lihatlah laki-laki kasar seperti aku ini apa ada harganya untuk
mendapat pelayananmu ?”
A Cu tertawa manis, sahutnya,
"Baik begitu saja, anggaplah aku sebagai budak tawananmu, bila engkau
senang, engkau boleh tertawa padaku, jika tidak suka, boleh engkau hajar
diriku. Nah, jadi bukan ?”
"Hah, mungkin sekali
hantam dapat kuhancurkan tubuhmu,” ujar Kiau Hong.
"Ya jangan keras-keras,
dong! Pelahan saja,” sahut A Cu.
Kiau Hong terbahak, katanya,
"Pelahan? Kan lebih baik tidak menghajar saja, pula aku pun tidak
menginginkan budak apa segala.”
"Engkau adalah ksatria
Cidan, kalau menawan beberapa wanita Han untuk dijadikan budak, apa salahnya ?”
ujar A Cu. "Bukankah prajurit Song itu juga banyak menawan orang Cidan ?”
Kiau Hong terdiam tanpa
menjawab.
Melihat bekas Pangcu itu
berkerut kening, sorot matanya sayu, A Cu menjadi kuatir salah omong hingga
membuatnya kurang senang.
Syukurlah tidak antara lama
Kiau Hong membuka suara pula dengan pelahan, "Selama ini kusangka orang
Cidan adalah bangsa yang paling kejam dan ganas, tapi dengan mata kepalaku tadi
kulihat kawanan prajurit Song juga mengganas pada orang Cidan, bahkan kaum wanita
dan anak-anak juga tidak terhindar dari siksaan mereka. A Cu, aku adalah
orang……orang Cidan, sejak kini aku tidak merasa malu lagi sebagai bangsa Cidan
dan takkan bangga sebagai bangsa Han. Ayah bundaku dibunuh tanpa berdosa, maka
aku harus menuntut balas sakit hati itu.”
A Cu menganggu. Tapi diam-diam
ia merasa takut, terbayang-bayang olehnya "menuntut balas” yang ditegaskan
oleh Kiau Hong itu pasti akan mengakibatkan banjir darah di kalangan Bu-lim.
"Dahulu ibuku dibunuh
mereka,” demikian Kiau Hong berkata pula sambil menunjuk jurang, "Saking
berduka ayahku lantas terjun juga ke dalam jurang itu. Tapi mendadak beliau
tidak tega aku ikut mati bersama mereka, maka aku dilemparkan ke atas selagi
ayah masih terapung di udara, dengan demikian barulah aku dapat hidup sampai
hari ini. A Cu, hal ini menandakan betapa cintanya ayahku kepadaku, bukan ?”
Dengan air mata meleleh A Cu
mengiakan.
"Dan sakit hati sedalam
lautan itu masakan tidak kutuntut balas ?” kata Kiau Hong. "Dahulu aku
tidak tahu hingga mengaku musuh sebagai kawan, jika sekarang aku tidak menuntut
balas, apakah aku ada harganya untuk hidup lebih lama di dunia ini? Itu ‘Toako
pemimpin’ yang mereka sebut itu entah siapa sebenarnya? Pada surat yang
ditulisnya kepada Ong-pangcu terdapat namanya, tapi Ti-kong Taysu sengaja
menyobek bagian yang tertulis nama itu dan ditelan ke dalam perut. Terang
‘Toako pemimpin’ masih hidup dengan baik, kalau tidak, mestinya mereka tidak
perlu merahasiakan dia.”
Begitulah ia bertanya dan
menjawab sendiri untuk meraba seluk-beluk perkara itu. Kemudian katanya lagi,
"Toako pemimpin itu dapat memimpin para ksatria Tionggoan, dengan
sendirinya dia seorang tokoh yang berilmu silat sangat tinggi dan sangat
dihormati. Dalam suratnya ia sebut Ong-pangcu sebagai ‘Laute’ (saudara), maka
dapat diduga usianya sudah lanjut kini, sedikitnya sudah lebih 60 tahun, boleh
jadi di antara 70 tahun malah. Untuk mencari seorang tokoh seperti itu
sebenarnya tidak susah. Ehm, orang yang pernah membaca surat itu di antara lain
adalah Ti-kong Taysu, Ci-tianglo dari Kay-pang, Be-hujin, Tiat-bin-poan-koan
Tan Cing. Dan masih ada pula Tio-cit-sun, sudah tentu ia pun tahu siapa
gerangan Toako pemimpin itu. Hm, aku……aku harus membunuhnya, menghabisi pula
antero keluarganya, dari tua sampai muda, satu pun tidak boleh diberi ampun !”
A Cu bergidik mendengar nada
yang seram itu. Tapi ia tidak berani menimbrung demi melihat sikap gagah
berwibawa Kiau Hong pada saat itu.
Kiau Hong melanjutkan lagi,
"Ti-kong Taysu suka berkelana, Tio-ci-sun juga tiada tempat tinggal yang
tetap, untuk mencari kedua orang tua itu tidaklah mudah, maka marilah A Cu,
lebih baik kita pergi mencari Ci-tinglo saja.”
Sungguh girang A Cu tidak
kepalang demi mendengar ucapan "kita” itu, sebab itu berarti dirinya juga
diajak serta. Diam-diam ia berkata di dalam hati, "Biarpun ke ujung langit
juga aku akan ikut serta padamu.”
Segera mereka putar balik ke
selatan, setelah melintasi Gan-bun-koan, melalui lereng bukit, tibalah mereka
di suatu kota kecil, mereka mendapatkan sebuah hotel. Tanpa disuruh segera A Cu
pesan pelayan membawakan 20 kati arak.
Pelayan hotel memang sedang
curiga karena melihat kedua orang tidak mirip sebagai suami istri, dibilang
saudara juga tidak sama, kini demi mendengar permintaan 20 kati arak lagi,
keruan tambah heran hingga terkesima memandangi A Cu berdua.
Pelayan itu sangat terkejut
ketika mendadak Kiau Hong melotot padanya, cepat ia lari pergi sambil
menggerutu, "Masakah minta arak 20 kati? Apa barangkali akan digunakan
untuk mandi?”
Kemudian A Cu berkata pada
Kiau Hong dengan tertawa, "Kiau-toaya, keberangkatan kita untuk mencari
Citianglo ini, kukira dua hari lagi jejak kita tentu akan diketahui orang. Dan
kalau sepanjang jalan kita mesti bertempur, meski menarik juga permainan ini,
mungkin lebih dulu Ci-tianglo akan melarikan diri dan sembunyi, dan untuk
mencarinya tentu susah.”
"Habis, menurut
pendapatmu bagaimana kita harus bertindak ?” tanya Kiau Hong. "Apa kita
mengaso pada siang hari dan berjalan waktu malam hari ?”
"Untuk mengelabui mereka
sebenarnya tidak sulit,” ujar A Cu dengan tersenyum. "Cuma entah
Kiau-toaya yang namanya disegani di seluruh jagat ini sudi menyamar atau tidak
?”
"Aku bukan bangsa Han
lagi, memangnya pakaian orang Han ini aku tidak ingin pakai lagi,” sahut Kiau
Hong dengan tertawa. "Lalu, aku harus menyamar sebagai siapa, A Cu ?”
"Perawakanmu tinggi
besar, mudah menarik perhatian orang, sebaiknya menyaru seorang yang berwajah
biasa tanpa sesuatu tanda orang Kangouw yang menarik. Dengan demikian perjalanan
kita tentu akan aman.”
"Bagus, bagus! Habis
minum arak segera kita mulai menyamar ?” seru Kiau Hong dengan senang.
Setelah menghabiskan 20 kati
arak, segera A Cu membelikan tepung kanji, pensil, tinta dan lain-lain yang
diperlukan. Setalah "bersolek”, lenyaplah banyak ciri-ciri khas di muka
Kiau Hong. Waktu A Cu menambahi pula bibir Kiau Hong dengan selapis kumis yang
tipis, ketika bercermin, sampai Kiau Hong pun pangling pada diri sendiri.
Menyusul A Cu juga menyamar
sebagai laki-laki setengah umur dan berkata, "Lahirmu sekarang sudah
berubah sama sekali, tapi suaramu dan kegemaranmu akan minum arak mudah
dikenali orang.”
"Ehm, aku akan sedikit
bicara dan sedikit minum,” sahut Kiau Hong.
Benar juga perjalanan
selanjutnya jarang Kiau Hong buka mulut, setiap kali dahar cuma minum dua-tiga
kati arak saja sekedar menghilangkan rasa dahaga.
Suatu hari, sampailah mereka
di Sam-ka-tin, propinsi Soasai selatan, tengah Kiau Hong dan A Cu asik makan
bakmi di suatu kedai, tiba-tiba mereka dengar percakapan dua orang pengemis di
luar kedai. Katayang seorang, "Kematian Ci-tianglo benar-benar sangat
mengenaskan, besar kemungkinan bangsat Kiau Hong itu yang membunuhnya.”
Keruan Kiau Hong terperanjat.
"Jadi Ci-tianglo telah mati ?” demikian batinnya. Ia saling pandang
sekejap dengan A Cu.
Dalam pada itu pengemis yang
lain telah mendesis pada kawannya sambil memperingatkan dengan kata-kata
rahasia Kay-pang agar jangan sembarangan bicara, sebab mungkin di situ terdapat
begundal bangsat she Kiau, kita harus lekas menyusul ke Wi-hui di Holam, di
sana para Tianglo kita akan mengadakan sembahyang bagi arwah Ci-tianglo dan
akan berunding cara bagaimana untuk menangkap Kiau Hong.
Mendengar itu, dengan cepat
Kiau Hong dan A Cu habiskan bakmi mereka dan meninggalkan Sam-ka-tin itu. Kata
Kiau Hong, "Marilah kita pergi ke Wi-hui, bisa jadi di sana kita dapat
memperoleh sesuatu kabar.”
"Ya, sudah tentu kita
harus ke sana,” sahut A Cu. "Tapi engkau harus hati-hati Kiau -toaya,
ingat bahwa orangorang yang akan hadir di sana hampir semuanya adalah bekas
anak buahmu yang sangat kenal gerak-gerikmu, maka jangan sampai engkau dapat
dikenali.”
"Aku tahu,” sahut Kiau
Hong mengangguk. Segera mereka putar ke arah timur, menuju kota Wi-hui.
Esok paginya sampailah mereka
di kota itu. Ternyata di dalam kota sudah penuh kawanan pengemis anggota
Kay-pang. Ada yang nongkrong di kedai arak, yang potong anjing dan sembelih
babi di gang yang sepi, ada pula yang minta-minta sepanjang jalan, kalau tak
diberi lantas main paksa dan mencaci-maki.
Pedih hati Kiau Hong
menyaksikan kelakuan anak buah Kai-pang yang dihormat sebagai Pang terbesar di
Kangouw itu, sejak ditinggalkan olehnya ternyata sudah berubah sedemikian buruk
disiplinnya. Walaupun sekarang Kai-pang telah menjadi lawan dan bukan kawan baginya,
tapi mengingat jerih payah sendiri dahulu waktu membina kesatuan Kay-pang yang
jaya itu, mau-tak mau Kiau Hong merasa menyesal juga.
Tempat layon Ci-tianglo itu
terletak di sebuah taman bobrok di barat kota. Sesudah membeli lilin, dupa dan
lain-lain keperluan, segera Kiau Hong dan A Cu menuju ke sana. Mereka mengikuti
banyak orang untuk sembahyang di depan layon Ci-tianglo.
Di atas meja sembahyang itu
penuh berlumuran darah, itu adalah peraturan Kay-pang yang menandaskan bahwa
orang yang meninggal itu mati dibunuh musuh, maka saudara Pang harus menuntut
balas baginya.
Di tengah ruangan sembahyang
itu orang ramai membicarakan dan mencaci maki Kiau Hong, tapi tiada yang tahu
bahwa yang dicaci-maki itu justru berada di situ.
Melihat orang yang jaga layon
itu adalah tokoh-tokoh terkemuka Kay-pang, Kiau Hong kuatir akan dikenali, maka
selekasnya ia mohon diri bersama A Cu. Sambil berjalan keluar, diam-diam ia
membatin, "Dengan
matinya Ci-tianglo, orang yang
kenal siapa gerangan Toako pemimpin di dunia ini menjadi berkurang pula satu
orang.”
Pada saat itulah tiba-tiba di
ujung jalan sana berkelebat bayangan orang, dari perawakannya tertampak jelas
adalah seorang wanita yang tinggi besar. Dengan kejelian mata Kiau Hong, segera
orang itu dapat dikenalnya sebagai Tam-poh, si nenek Tam. Pikirnya, "Hah,
sangat kebetulan. Tentu ia pun datang untuk melayat kematian Ci-tianglo, aku
justru lagi ingin cari dia.”
Pada saat lain kembali ada
lagi seorang melayang ke sana dengan ginkang yang tinggi, tertanya orang kedua
ini adalah Tio-ci-sun.
Kiau Hong menjadi heran,
"Ada urusan apa kedua orang ini main sembunyi-sembunyi seperti maling
kuatir kepergok ?”
Ia pun tahu kedua orang itu
adalah saudara seperguruan dan pernah saling cinta, bahkan cinta asmara itu
sampai tua juga belum lenyap, jangan-jangan sekarang mereka hendak mengadakan
pertemuan gelap dan main patpat-gulipat.
Sebenarnya Kiau Hong tidak
suka mencari tahu urusan pribadi orang lain, tapi mengingat Tio-ci-sun dan
Tampoh itu adalah orang yang mengetahui siapakah Toako pemimpin yang dimaksud
itu, jika ada sesuatu ciri rahasia mereka terpegang olehnya, bisa jadi hal itu
akan dapat dipakai sebagai alat penekan agar mereka mau menceritakan apa yang
mereka ketahui tentang Toako pimimpin. Maka ia lantas membisiki A Cu agar
pulang dulu dan menunggudi hotel.
A Cu mengangguk. Segera Kiau
Hong mengejar ke jurusan larinya Tio-ci-sun. Ia lihat kakek aneh itu
sebentarsebentar sembunyi di pojok jalan sana dan lain saat mengumpet di balik
pohon, kelakuannya penuh rahasia dan kuatir dipergoki orang, jurusan yang
dituju adalah timur kota.
Kiau Hong terus menguntit dari
jauh dan selama itu tak diketahui oleh Tio-ci-sun. Dari jauh tertampak kakek
itu lari sampai di tepi sungai, lalu menyusup ke dalam sebuah perahu beratap.
Cepat Kiau Hong memburu ke
sana, dengan beberapa kali lompatan saja ia dapat menyusul sampai di samping
perahu, dengan pelahan ia melompat ke atas atap perahu dan menempelkan
telinganya untuk mendengarkan.
Didengarnya suara Tam-poh
sedang berkata, "Suko, usia kita sudah selanjut ini, hubungan masa muda
dahulu sudah terlambat untuk desesalkan, buat apa mesti diungkat-ungkit lagi ?”
"Hidupku ini sudah
kukorbankan bagimu, maksudku mengajakmu ke sini tiada keinginan lain, Siau
Koan, hanya kumohon sudilah kau nyanyikan lagi beberapa lagu waktu dahulu itu,”
demikian pinta Tio-ci-sun.
"Ai, engkau ini sungguh
ketolol-tololan,” ujar Tam-poh, "Ketika kita sama-sama datang di Wu-hai
ini, suamiku telah melihat mau juga, hatinya sudah merasa kurang senang.
Wataknya juga suka curiga, maka hendaknya jangan kau ganggu diriku lagi.”
"Takut apa ?” sahut
Tio-ci-sun. "Perbuatan kita cukup terang dan dapat dipertanggung jawabkan,
kita Cuma omong-omong kejadian dahulu apa salahnya ?”
"Tapi, ai, nyanyian masa
dahulu itu……”
Melihat Tam-poh sudah goyah
pikirannya, segera Tio-ci-sun memohon dengan sangat lagi, katanya, "Siau
Koan, pertemuan kita hari ini entah sampai kapan baru dapat terjadi pula.
Mungkin juga usiaku sudah tidak panjang lagi, tiada banyak kesempatan untuk
mendengarkan nyanyianmu.”
"Suko, janganlah berkata
demikian. Jika engkau berkeras ingin mendengar, bolehlah aku menyanyi satu
lagu.”
"Bagus, bagus !” sorak
Tio-ci-sun dengan gembira.
Lali terdengar Tam-poh mulai
tarik suara, "Terkenang dahulu kakanda lalu di atas jembatan, dinda asik
mencuci pakaian di tepi sungai……”
Baru sekian dinyanyikan,
mendadak terdengar suara gedubrakan, pintu rumah perahu itu didobrak orang
hingga terpentang, menyusul seorang laki-laki menerjang ke dalam. Itulah dia
Kiau Hong. Cuma ia sudah menyamar, maka Tio-ci-sun dan Tam-poh tidak
mengenalnya lagi.
Dan karena pendatang itu bukan
Tam-kong, legalah hati kedua kakek dan nenek itu, segera mereka membentak,
"Siapa Kau ?”
Dengan sorot mata dingin
menghina Kiau Hong memandang mereka, sahutnya, "Yang satu adalah lelaki
bangor dan suka memikat wanita bersuami, yang lain adalah perempuan jalang tak
kenal malu yang berani mendurhakai suami sendiri dan bergendak dengan laki-laki
lain……”
Belum habis ucapannya,
serentak Tam-poh dan Tio-ci-sun menyerang dari kanan dan kiri. Namun sedikit
Kiau Hong mengengos, tangan membalik terus mencengkram pergelangan tangan
Tam-poh, berbareng sikunya juga menyikut, ia mendahului menyerang iga kiri
Tio-ci-sun.
Sebagai jago kelas satu dalam
Bu-lim, Tio-ci-sun dan Tam-poh mengira dalam sejurus saja pasti dapat membekuk
lawannya. Siapa duga laki-laki yang tidak ada sesuatu tanda luar biasa itu
ternyata memiliki kepandaian yang sukar diukur, hanya sejurus saja pihak terserang
telah berubah menjadi pihak penyerang.
Ruangan perahu sebenarnya
sangat sempit, tapi bagi Kiau Hong keadaan itu tidak menjadi halangan, ia
menghantam dan menyerang dengan gesit dalam ruangan sempit itu sama lincahnya
seperti di tempat luas.
Sampai jurus ketujuh,
tahu-tahu pinggang Tio-ci-sun tertutuk. Keruan Tam-poh terkejut, dan sedikit
ayal punggung lantas kena digaplok juga oleh Kiau Hong hingga keduanya roboh
terkulai.
"Nah, kalian boleh
mengaso sebentar di sini, di dalam kota sedang berkumpul para ksatria biarlah
kupergi mengundang mereka untuk menimbang atas perbuatan kalian ini,” demikian
kata Kiau Hong.
Tentu saja Tio-ci-sun dan
Tam-poh sangat kuatir, mereka coba mengerahkan Lwekang untuk melepaskan tutukan
musuh, tapi ternyata tak bisa berkutik sama sekali, bahkan satu jari pun sukar
bergerak.
Sebenarnya usia mereka sudah
lanjut, pertemuan gelap yang mereka adakan ini bukan karena dirangsang oleh
nafsu berahi, tapi cuma sekedar omong-omong untuk mengenang cinta kasih masa
lalu saja, sama sekali tidak melampau batas-batas kesopanan.
Tapi tatkala itu adalah
dinasti Song yang sangat mengutamakan tata tertib kesopanan, pelanggaran
mengenai urusan perempuan adalah sesuatu yang tak bisa diampuni pada masa itu.
Kalau sekarang mereka mengaku mengadakan pertemuan gelap dalam perahu hanya
sekedar omong-omong dan nyanyi-nyanyi mengenang masa lalu, sudah tentu tiada
seorang pun yang mau percaya. Terutama Tam-kong sudah tentu akan kehilangan
muka.
Maka cepat Tam-poh berseru,
"Kami tidak berbuat sesuatu kesalahan apa padamu, jika tuan dapat berlaku
murah hati pada kami, tentu aku akan……akan membalas kebaikanmu ini.”
"Membalas kebaikan sih
tidak perlu,” sahut Kiau Hong. "Aku hanya ingin tanya satu soal padamu,
cukup asal kau jawab tiga huruf saja dengan sebenarnya, segera akan kubebaskan
kalian, kejadian sekarang pun takkan kukatakan pada siapa pun juga.”
"Asal aku tahu, tentu
akan kukatakan,” sahut Tam-poh.
"Begini, pernah ada orang
mengirim surat kepada Ong-pangcu dari Kay-pang untuk membicarakan persoalan
Kiau Hong, pengirim surat itu disebut sebagai ‘Toako pemimpin’. Nah, siapakah
dia itu ?”
"Siau Koan, jangan kau
katakan, jangan katakan !” cepat Tio-ci-sun berteriak.
Dengan mata mendelik Kiau Hong
pandang kakek itu, katanya, "Jadi kamu lebih suka badan hancur dan nama
buruk daripada menerangkan ?”
"Locu tidak gentar mati.
Toako pemimpin yang berbudi padaku itu tidak nanti kujual padamu,” sahut
Tio-cisun dengan angkuh.
"Tapi Siau Koan juga akan
ikut menjadi korban, apa kamu tidak pikirkan dia lagi ?” tanya Kiau Hong.
"Jika kejadian ini
diketahui Tam-kong, segera akan kubunuh diri di hadapannya untuk menebus
dosaku,” sahut Tio-ci-sun.
Terpaksa Kiau Hong mengalihkan
pembicaraannya kepada Tam-poh, "Tapi Toako pemimpin itu belum tentu ada
budi padamu, bolehlah kamu yang menerangkan, dengan demikian kita akan
sama-sama baik, kehormatan Tam-kong juga dapat dijaga, jiwa Sukomu pun dapat
diselamatkan.”
Diam-diam Tam-poh merasa seram
oleh ancaman itu, segera katanya, "Baik akan kukatakan padamu. Orang itu
bernama……”
"Siau Koan, jangan kau
katakan padanya,” seru Tio-ci-sun dengan suara melengking kuatir. "O, Siau
Koan, kumohon dengan sangat, janganlah kau katakan padanya. Orang ini besar
kemungkinan adalah begundal Kiau Hong, sekali kamu mengaku, pasti jiwa Twako
pemimpin akan terancam.”
"Aku sendiri inilah Kiau
Hong, jika kalian tidak mau mengaku, celakalah kalian !” kata Kiau Hong.
Keruan Tio-ci-sun terperanjat,
sahutnya, "Pantas, maka ilmu silatmu sedemikian tinggi. Siau Koan, selama
hidup ini tidak pernah kumohon
sesuatu apa padamu, maka sekarang ini adalah satu-satunya permintaanku,
janganlah kau katakan nama Toako pemimpin padanya. Betapa pun permintaanku ini
harus kau terima.”
Teringat selama berpuluh tahun
ini betapa bekas kekasihnya itu mencintai dan merindukan dirinya, selamanya
memang tidak pernah memohon sesuatu apapun padanya kini demi untuk membela
keselamatan Toako pemimpin yang berbudi itu ia rela berkorban jiwa pula, maka
bagaimanapun juga dirinya tidak boleh mengecewakan perbuatannya yang gagah
perkasa ini.
Maka Tam-poh lantas menjawab,
"Kiau Hong apakah kamu akan berbuat jahat atau berlaku bajik, semuanya
terserah padamu. Kami berdua asal tidak merasa berdosa, apa yang mesti kami
takutkan? Maka apa yang ingin kau ketahui, maafkan, tidak bisa kuberitahu.”
"Terima kasih, Siau Koan,
terima kasih !” seru Tio-ci-sun dengan girang.
Melihat jawaban si nenek yang
tegas itu, Kiau Hong tahu percuma juga memaksanya. Ia mendengus sekali,
tiba-tiba ia cabut sebuah tusuk kundai dari rambut Tam-poh, lalu melompat ke
gili-gili dan pulang ke kota Wihui untuk mencari tempat tinggal Tam-kong, si
kakek Tam.
Karena dalam penyamaran,
dengan sendirinya tiada seorang pun yang kenal Kiau Hong. Sedangkan
"Ji-kuikhek-tiam”, yaitu nama hotel tempat Tam-kong dan Tam-poh menginap
juga bukan tempat yang dirahasiakan, maka dengan mudah saja Kiau Hong dapat
mengetahui letak hotel itu.
Sampai di hotel itu, ia lihat
Tam-kong sedang mondar-mandir di dalam kamar dengan menggendong tangan,
sikapnya sangat gelisah dan air mukanya bersengut.
Tanpa bicara apa-apa Kiau Hong
mendekati kakek itu dan sodorkan tangannya, maka tertampaklah tusuk kundai
milik Tam-poh itu.
Tam-kong memang lagi murung
dan merasa tidak tentram sejak melihat Tio-ci-sun juga datang di kota Wi-hui,
sementara itu istrinya menghilang setengah harian, ia sedang kuatir dan curiga.
Kini mendadak nampak tusuk kundai milik sang istri itu, ia terkejut dan girang,
cepat ia tanya, "Siapa saudara? Apakah kamu disuruh istriku ke sini. Ada
urusan apakah ?”
Sembari bicara ia terus ambil
tusuk kundai di tangan Kiau Hong itu.
Kiau Hong membiarkan tusuk
kundai diambil si kakek, lalu katanya, "Istrimu telah ditawan orang,
jiwanya terancam.”
Keruan Tam-kong terperanjat,
cepat tanyanya, "Ilmu silat istriku sangat hebat, masakah begitu gampang
ditawan orang ?”
"Kiau Hong yang menawannya
!”
"Hah, Kiau Hong ?” seru
Tam-kong. Kalau orang lain boleh jadi ia tidak percaya, tapi bekas Pangcu itu
cukup dikenalnya, maka tidak heran istrinya dapat ditawan dengan mudah.
"Jika demikian, sulitlah urusan ini. Dan di……di manakah istriku sekarang
?”
"Apakah kau inginkan
hidupnya istrimu, itulah sangat mudah. Dan jika inginkan dia mati, itu pun
sangat gampang !” kata Kiau Hong.
Sifat Tam-kong sangat pendiam
dan sabar, meski dalam hati sebenarnya sangat gugup, tapi lahirnya tetap
tenang-tenang saja. Ia tanya malah, "Apa maksudmu, coba katakan !”
"Ada suatu pertanyaan
ingin kutanya Tam-kong, asal kau jawab terus terang, maka istrimu segera akan
pulang dengan selamat tanpa terganggu seujung rambut pun,” kata Kiau Hong.
"Tapi bila Tam-kong tidak mau menerangkan, terpaksa istrimu akan dibunuh,
mayatnya akan dikubur satu liang dengan mayat Tio-ci-sun.”
Sampai disini Tam-kong tidak
dapat tahan perasaannya lagi, bentaknya murka dan menghantam muka Kiau Hong.
Tapi sedikit Kiau Hong mengengos ke samping, serangan Tam-kong itu lantas
luput.
Diam-diam kakek itu terkejut,
padahal pukulan geledek itu adalah ilmu andalannya, tapi dengan gampang lawan
dapat menghindar. Ia tidak berani ayal lagi, telapak tangan kanan mengisar ke
samping, telapak tangan kiri lantas menghantam pula.
Melihat ruangan kamar hotel
itu kurang luas untuk menghindar lagi agak susah, terpaksa Kiau Hong menangkis.
"Plok”, hantaman Tam-kong itu, tepat mengenai tangan Kiau Hong, tapi sama
sekali Kiau Hong tidak bergeming, sebaliknya tangan terus terjulur ke depan dan
meraih ke bawah hingga pundak Tam-kong terpegang.
Seketika Tam-kong merasa
pundaknya seperti dibebani beribu kati beratnya, begitu antap sehingga tulang
punggung seakan-akan patah, hampir ia bertekuk lutut saking tak tahan. Tapi
sekuatnya ia menegak, betapa
pun ia tidak sudi menyerah,
tapi akhirnya lemas juga kakinya, "bluk”, terpaksa ia tekuk lutut ke
bawah.
Hal ini bukan dia menyerah dan
minta ampun, tapi disebabkan tenaga tidak kuat menahan, maklum, kekuatan tulang
manusia ada batasnya, pada saat ruas tulang sudah tertekan sedemikian rupa,
tanpa kuasa lagi ia berlutut ke bawah, jalan lain tidak ada.
Kiau Hong memang sengaja
hendak mematahkan keangkuhan kakek itu, maka ia tetap tindih pundaknya hingga
akhirnya punggung ikut membungkuk seakan-akan orang hendak menjura. Tapi
Tam-kong benar-benar sangat kepala batu, mati-matian ia masih terus bertahan,
ia kerahkan segenap tenaganya untuk melawan dan bertahan sekuatnya.
Sekonyong-konyong Kiau Hong
melepaskan tangannya. Saat itu Tam-kong yang ditekan ke bawah itu lagi bertahan
sekuatnya ke atas dan karena mendadak Kiau Hong lepas tangan, tanpa kuasa lagi
Tam-kong menjembul ke atas setinggi beberapa meter, "blang”, kepalanya
menubruk belandar rumah, hampir belandar itu patah tertumbuk olehnya.
Ketika jatuh kembali dari
atas, sebelum kedua kakinya menyentuh tanah, lebih dulu Kiau Hong sudah ulur
tangan kanan untuk mencengkram dadanya. Perawakan Tam-kong yang pendek kecil,
sebaliknya tangan Kiau Hong panjang dan kuat, betapapun Tam-kong hendak
menghantam dan menendang, selalu tak bisa mengenai sasarannya apalagi kedua
kaki terapung di udara, percuma saja ia berilmu silat tinggi, sedikit pun tidak
bisa digunakan.
Dalam gugupnya, seketika
Tam-kong jadi sadar, bentaknya, "Kamu inilah Kiau Hong !”
"Memang !” sahut Kiau
Hong.
"Keparat, meng……mengapa
kau sangkut pautkan istriku dengan Tio-ci-sun ?” bentak Tam-kong pula dengan
gusar karena tadi Kiau Hong menyatakan akan membunuh Tam-poh dan akan
menguburnya bersama Tio-cisun.
"Habis, istrimu sendiri
yang suka menyangkut-pautkan dia, peduli apa dengan aku ?” sahut Kiau Hong.
"Apakah kau ingin tahu saat ini Tam-poh berada di mana? Ingin tahu dia
sedang menyanyi dan bercumbu dengan siapa ?”
Mendengar ini, sudah tentu
Tam-kong dapat menduga sang istri bersama Tio-ci-sun, dengan sendirinya ia
sangat ingin tahu keadaan itu, maka cepat sahutnya, "Di mana dia? Harap
bawa aku ke sana.”
"Kebaikan apa yang kau
berikan padaku? Mengapa harus kubawa ke sana ?” jengek Kiau Hong.
Tam-kong ingat apa yang
dikatakan Kiau Hong tadi, segera tanyanya, "Kau bilang ingin tanya sesuatu
padaku, soal apakah itu ?”
"Tempo hari waktu
berkumpul di tengah hutan di luar kota Bu-sik, Ci-tianglo membawa sepucuk surat
yang dikirim orang kepada mendiang Ong-pangcu dari Kay-pang, siapakah penulis
surat itu ?”
Seketika Tam-kong tergetar,
tapi saat itu ia diangkat oleh Kiau Hong dan terkatung di udara, asal Kiau Hong
mengerahkan tenaga dalamnya, kontan jiwanya bisa melayang. Tapi sedikitpun
kakek itu tidak gentar, sahutnya tegas, "Orang itu adalah pembunuh ayah
bundamu, sama sekali tidak boleh kukatakan namanya, kalau kukatakan, tentu kamu
akan menuntut balas padanya dan itu berarti aku yang bikin susah dia.”
"Jika kamu tidak mengaku,
jiwamu sendiri segera akan melayang lebih dulu,” ancam Kiau Hong.
"Hahahaha !” tiba-tiba
Tam-kong bergelak tertawa. "Memangnya kau anggap aku ini manusia pengecut
hingga perlu menjual kawan untuk mencari hidup sendiri ?”
Melihat ketegasan kakek itu,
mau-tak-mau Kiau Hong kagum juga akan jiwa ksatrianya. Coba kalau urusan lain,
tentu ia tidak sudi mendesak lebih jauh, namun kini urusannya menyangkut sakit
hati ayah bundanya, terpaksa ia tanya pula, "Kau sendiri tidak gentar
mati, tapi apa jiwa istrimu tidak kau sayangkan lagi? Nama baik Tam-kong dan
Tam-poh segera akan tersapu runtuh selamanya dan ditertawai ksatria sejagat
apakah hal ini tak kau pikirkan ?”
Pada umumnya orang Bu-lim
paling sayang pada nama baik atau kehormatan. Tapi sikap Tam-kong sekarang
sangat tegas, sahutnya, "Asal tindak-tandukku dapat kupertanggung
jawabkan, mengapa kukuatir dipandang rendah dan ditertawai orang ?”
"Tapi bagaimana dengan
istrimu? Bagaimana dengan Tio-ci-sun ?” tanya Kiau Hong.
Seketika air muka Tam-kong
berubah merah padam, dengan mata mendelik ia pandang Kiau Hong.
Tanpa bicara lagi Kiau Hong
taruh kakek itu ke tanah, lalu melangkah ke luar. Dengan bungkam Tam-kong
lantas ikut di belakangnya.
Begitulah mereka lantas keluar
kota Wi-hui. Banyak juga kawan Kangouw yang diketemukan di tengah jalan, mereka
sama memberi hormat kepada Tam-kong yang dijawabnya dengan tawar saja.
Tidak lama, sampailah mereka
di tepi sungai tempat berlabuh perahu itu. Sekali lompat, Kiau Hong melayang ke
haluan perahu, ia tuding ke dalam perahu dan berkata, "Nah, boleh kau
periksa sendiri !”
Segera Tam-kong ikut melompat
ke atas perahu dan melongok ke dalam, ia lihat sang istri meringkuk di pojok
ruangan saling bersandaran dengan Tio-ci-sun. Sungguh gusar Tam-kong tak
tertahan lagi, kontan ia menghantam kepala Tio-ci-sun.
"Prak”, badan Tio-ci-sun
bergerak sekali, tidak menangkis juga tidak berkelit. Begitu tangan Tam-kong
menyentuh kepala Tio-ci-sun segera ia merasakan keadaan agak aneh, cepat ia
meraba pipi sang istri, ternyata sudah dingin, sudah lama sang istri meninggal.
Badan Tam-kong mengigil, ia
masih belum percaya, ia coba periksa pernapasan hidung sang istri dan memang
benar sudah tidak bernapas lagi. Begitu pula keadaan Tio-ci-sun ketika diperiksa.
Tam-kong tertegun sejenak
dengan rasa duka dan gusar tak terhingga, mendadak ia putar rubuh dan melotot
pada Kiau Hong dengan mata membara.
Kiau Hong sendiri juga
terheran-heran ketika mengetahui Tam-poh dan Tio-ci-sun sudah mati dalam waktu
singkat setelah ditinggal pergi tadi. Padahal ia cuma menutuk hiat-to kedua
orang itu, mengapa mendadak kedua jago kelas tinggi itu bisa mati begitu saja.
Segera ia tarik jenazah
Tio-ci-sun untuk di periksa, tapi ia tidak melihat sesuatu luka senjata dan
noda darah. Ia coba buka baju dada orang maka tertampaklah dada Tio-ci-sun ada
satu bagian berwarna matang biru, itulah tanda terkena pukulan berat. Dan yang
paling aneh adalah bekas telapak tangan yang memukul itu ternyata mirip dengan
tangan Kiau Hong sendiri.
Sementara itu Tam-kong juga
telah putar jenazah Tam-poh ke hadapannya, lalu juga diperiksa dada sang istri,
ternyata luka yang diderita itu serupa dengan Tio-ci-sun. Sungguh pedih
Tam-kong tak terkeatakan, hendak menangis juga tiada air mata. Dengan suara
geram ia maki Kiau Hong, "Kau manusia berhati binatang, kamu demikian keji
!”
Dalam heran dan kejutnya Kiau
Hong tidak sanggup menjawab. Dalam benaknya timbul macam-macam pikiran,
"Siapakah gerangan yang menyerang sehebat ini kepada Tam-poh dan Tio-ci-sun?
Tenaga dan kepandaian penyerang itu luar biasa, jangan-jangan perbuatan musuhku
yang tak terkenal itu pula? Tapi dari mana ia tahu kedua orang ini berada di
dalam perahu ini ?”
Saking berduka atas kematian
istrinya itu, tanpa bicara lagi Tam-kong kerahkan antero tenaganya dan
menghantam Kiau Hong dengan kedua tangan. Tapi sedikit Kiau Hong berkelit,
terdengarlah suara gedubrakan yang gemuruh, atap perahu itu rompal sebagian kena
pukulannya.
Tiba-tiba Kiau Hong menjulur
tangan kanan ke depan dan tahu-tahu pundak Tam-kong kena terpegang, katanya,
"Tam-kong, aku tidak membunuh istrimu, kau percaya tidak ?”
"Jika bukan kamu, habis
siapa lagi ?” sahut Tam-kong dengan gemas.
"Saat ini jiwamu
tergantung di tanganku, jika aku mau membunuhmu, sungguh terlalu mudah bagiku,
untuk apa aku bohong padamu ?” ujar Kiau Hong.
"Tujuanmu ingin
mengetahui siapa pembunuh orang tuamu, biar ilmu silat orang she Tam ini jauh
di bawahmu juga tidak nanti dibodohi oleh mu.”
"Baiklah, asal kau
katakan nama orang yang membunuh orang tuaku, aku berjanji akan menuntut balas
sakit hati istrimu ini,” bujuk Kiau Hong.
Tapi mendadak Tam-kong
bergelak tertawa pedih, berulang-ulang ia mengerahkan tenaga dengan maksud
melepaskan cengkraman Kiau Hong. Tapi tangan Kiau Hong yang menahan pelahan di
pundaknya itu dapat bergerak menurut keadaan, lebih keras Tam-kong meronta,
lebihberat pula tekanannya hingga selama itu tetap Tam-kong tak sanggup
melepaskan diri.
Sampai akhirnya Tam-kong
menjadi nekat. Mendadak ia gigit lidah sendiri, sekumur darah segar lantas
disemburkan ke arah Kiau Hong. Terpaksa Kiau Hong lepas tangan untuk
menghindar. Kesempatan itu segera digunakan oleh Tam-kong untuk berlari ke
sana, sekali depak ia tendang mayat Tio-ci-sun ke pinggir, lalu ia rangkul
jenazah sang istri, pada saat lain, tahu-tahu kepala nya terkulai, kakek itu
pun menghembuskan napas yang terakhir.
Menyaksikan adegan mengerikan
itu, mau-tak-mau terharu dan menyesal juga Kiau Hong. Meski kedua suamiistri
she Tam dan Tio-ci-sun itu tidak dibunuh olehnya, tapi sebab musabab
kematiannya adalah karena garagara Kiau Hong. Jika dia mau menghilangkan
jenazah untuk menghapus jejak, sebenarnya cukup ia banting
kaki sekerasnya hingga dasar perahu
itu berlubang, maka perahu itu akan tenggelam ke sungai dan hilanglah segala
bukti peristiwa menyedihkan itu. Tapi Kiau Hong pikir, "Jika aku
menghapuskan jenazah-jenazah ini tentu akan kentara seakan-akan aku yang
bersalah dan ketakutan.”
Segera ia meninggalkan perahu
itu, ia coba berusaha menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan di sekitar
situ, tapi tiada sesuatu apa yang dilihatnya. Buru-buru ia kembali ke hotel.
Sejak tadi A Cu sudah menunggu
di luar pintu, melihat Kiau Hong pulang tanpa kurang apa-apa, gadis itu sangat
girang. Tapi demi nempak Kiau Hong agak lesu, ia lantas tahu pasti penguntitan
Kiau Hong atas Tampoh dan Tio-ci-sun itu tidak mendatangkan sesuatu hasil yang
baik. Dengan suara lembut ia tanya, "Bagaimana ?”
"Sudah mati semua,” sahut
Kiau Hong singkat.
"Hah, mati semua? Tam-poh
dan Tio-ci-sun ?” A Cu menegas dengan kaget.
"Ya, ditambah lagi
Tam-kong menjadi tiga,” kata Kiau Hong.
Mengira Kiau Hong yang
membunuh ketiga korbannya itu, meski merasa tidak tentram, tapi A Cu tidak
berani menegur, hanya katanya, "Tio-ci-sun itu ikut serta dalam pembunuhan
ayahmu, adalah setimpal jika dia terima ganjarannya.”
"Tapi bukan aku yang
membunuhnya,” kata Kiau Hong sambil menggeleng. Lalu ia hitung-hitung dengan
jari dan menyambung. "Kini orang yang mengetahui nama biang keladi
daripada durjana pembunuh ayahku itu hanya tinggal tiga orang saja di dunia
ini. A Cu, berbuat sesuatu harus dilakukan dengan cepat, kita jangan didahului
musuh lagi hingga selalu kita ketinggalan.”
"Benar,” sahut A Cu.
"Be-hujin sudah terlampau benci padamu, betapapun tidak mungkin dia mau
mengaku, apalagi tidak pantas jika kita mesti paksa pengakuan seorang janda.
Marilah kita berangkat ke tempat orang she Tan di Soatang saja.”
Lalu ia berseru,
"Pelayan, pelayan! Selesaikan rekening kami.”
Sungguh Kiau Hong sangat
terharu, dengan sorot mata kasih sayang ia pandang gadis itu, katanya, "A
Cu, selama beberapa hari ini sudah terlalu melelahkanmu, biarlah kita berangkat
besok saja.”
"Tidak, kita harus
berangkat malam ini juga agar tidak didahului musuh,” ujar A Cu.
Terima kasih Kiau Hong tak
terhingga, maka menggangguklah dia.
Malam itu juga mereka lantas
keluar kota Wi-hui, sepanjang jalan terdengar orang ramai membicarakan
"iblis Cidan Kiau Hong” mengganas lagi dengan membunuh Tam-kong
suami-istri dan Tio-ci-sun. Waktu bicara orang-orang itu suka celingukan kian
kemari seakan-akan kuatir mendadak Kiau Hong berada di situ hingga jiwanya bisa
celaka. Tak terduga bahwa memang benar Kiau Hong berada di sisi mereka, jika ia
mau membunuh boleh dikatakan tidak sukar sedikit pun.
Begitulah Kiau Hong dan A Cu
terus melanjutkan perjalanan siang dan malam tanpa berhenti dengan menunggang
kuda dan secara berganti-ganti binatang tunggangan itu.
Tiga hari kemudian, Kiau Hong
tahu A Cu pasti sangat lelah walaupun tidak diucapkan gadis itu. Maka ia ganti
kuda dengan menumpang kereta, dalam kereta kuda mereka dapat mengaso untuk
beberap ajam lamanya, sesudah tenaga pulih, segera menunggang kuda pula dan
dilarikan secepatnya.
"Sekali ini biar
bagaimana pun kita harus dapat mendahului Tai-ok-jin itu,” ujar A Cu dengan
girang.
Kiau Hong tidak menjawab, tapi
diam-diam hatinya merasa pedih. "Tai-ok-jin” (manusia paling jahat), yaitu
sebutan A Cu dan Kiau Hong kepada pembunuh yang sampai kini belum dikenal itu,
setiap kali selalu mendahului usaha penyelidikannya, dan jika sekali ini
lagi-lagi Tiat-bin-boan-koan Tan Cing juga terbunuh, mungkin penyelidikan
selanjutnya akan tambah sulit dan sakit hati sedalam lautan itu akan sukar
terbalas.
Setiba di kota Thai-an di
Soatang, rumah tinggal Tan Cing itu ternyata sangat terkenal, sekali tanya saja
lantas tahu, yaitu di timur kota.
Tatkala itu sudah magrib,
sampailah mereka di luar pintu timur kota. Tidak jauh pula, sekonyong-konyong
tampak asap mengepul bergulung-gulung dan api menjilat-jilat tinggi, entah
tempat mana yang kebakaran. Menyusul terdengar riuh ramai suara gembreng dan
kentongan bertalu-talu disertai teriakan orang, "Kebakaran! Kebakaran !”
Kiau Hong tidak menaruh
perhatian apa-apa, ia tetap melarikan kuda ke depan bersama A Cu dan akhirnya
dekat juga dengan tempat kebakaran itu.
"Lekas padamkan api,
lekas! Itulah rumah keluarga Tiat-bin-boan-koan !” demikian terdengar seruan
orang.
Keruan Kiau Hong dan A Cu
terkejut. Mereka berhentikan kuda dan saling pandang sekejap, mereka sama
berpikir, "Jangan-jangan didahului lagi oleh Tai-ok-jin itu ?”
"Keluarga Tan tentu
banyak penghuninya, kalau rumahnya terbakar, orangnya belum tentu ikut
terbakar,” demikian A Cu coba menghibur.
"Tahu begini, tempo hari
seharusnya jangan kubunuh Tan Pek-san dan Tan Tiong-san,” ujar Kiau Hong dengan
menyesal.
Sejak kedua saudara she Tan
itu dibunuh Kiau Hong, permusuhan kedua pihak boleh dikatakan tak dapat
didamaikan lagi. Walaupun kedatangannya ke Thai-an ini tiada maksud membunuh
orang pula, tapi pihak Tan Cing pasti tidak mau menyudahi permusuhan itu, maka
ia sudah siap untuk menempur mereka. Siapa duga baru sampai di tempat tujuan,
pihak yang dicari itu sudah mengalami musibah.
Kebakaran itu ternyata sangat
hebat, sebentar saja sudah berwujud lautan api. Sementara itu penduduk di
sekitar beramai ramai sudah datang hendak memadamkan kebakaran itu, ada yang
membawa ember dan menyiramkan air, ada yang menghamburkan pasir. Untung juga di
sekeliling Tan-keh-ceng (perkampungan keluarga Tan) itu ada sungai yang cukup
dalam, sekitar itu juga tiada rumah penduduk lain, maka api tidak sampai
menjalar. Secara gotong-royong penduduk berusaha memadamkan api dengan perkasa.
Kiau Hong dan A Cu turun dari
kuda serta mendekati tempat kebakaran itu untuk menonton. Terdengar suara
seorang laki-laki di sebelah mereka sedang berkata, "Sungguh sayang,
Tan-loya yang baik hati mengapa tertimpa bencana begini, sudah terbakar
rumahnya, anggota keluarganya sebanyak lebih 30 jiwa tiada seorang pun yang
berhasil menyelamatkan diri ?”
"Tentu musuh yang
membakar rumah dan menutup pintu supaya tiada yang bisa lolos,” demikian sahut
seorang. "Padahal anak kecil umur tiga keluarga Tan juga pandai silat,
mustahil tiada seorang pun yang berhasil menyelamatkan diri ?”
"Kabarnya Tan-toaya dan
Tan-jiya telah dibunuh orang jahat bernama Kiau Hong di Holam, jangan-jangan
yang membakar rumahnya sekarang juga Tai-ok-jin itu lagi ?” ujar laki-laki yang
duluan.
Bila Kiau Hong bicara dengan A
Cu, musuh yang tak dikenal itupun disebutnya sebagai "Tai-ok-jin”, kini
mendengar kedua orang desa itu
pun menyinggung "Tai-ok-jin”, tanpa terasa mereka saling pandang sekejap.
Dalam pada itu terdengar orang
tadi lagi menjawab, "Ya, pasti perbuatan Kiau Hong keparat itu!”
Sampai di sini, tiba-tiba ia
tahan suaranya dan berbisik, "pasti Tai-ok-jin itu ada begundalnya
menyerbu ke Tan-keh-ceng hingga keluarga Tan terbunuh semua. Ai, di mana letak
keadilan ini.”
"Kiau Hong itu terlalu
banyak berbuat kejahatan, pada akhirnya dia pasti akan diganjar secara setimpal
dan matinya pasti akan lebih mengenaskan daripada Tan-loya yang baik budi itu,”
demikian laki-laki yang satu menanggapi.
Mendengar mereka mengutuk Kiau
Hong, A Cu jadi mendongkol. Mendadak ia tepuk lebar kudanya hingga binatang itu
kaget dan berjingkrak, sekali kaki kuda mendepak, tepat punggung orang yang
ceriwis itu tertendang, sambil menjerit, tanpa ampun lagi orang itu jatuh
terguling.
"Kalian sedari tadi
mengoceh apa ?” damprat A Cu.
Meski terdepak kuda, tapi demi
ingat "Tai-ok-jin” Kiau Hong banyak begundalnya, orang itu jadi ketakutan
dan tidak berani bersuara lagi cepat ia menyingkir pergi.
Kiau Hong tersenyum pedih, ia
dapat merasakan betapa jelek kesan dirinya dalam pandangan khalayak ramai
terbukti dari percakapan kedua orang desa itu. Ia coba pindah ke sebelah lain
dari tempat kebakaran, di sana juga orang ramai membicarakan keluarga Tan yang
berjumlah lebih dari 30 jiwa itu tiada seorang pun yang selamat. Dari bau
sangit yang terendus Kiau Hong dari gumpalan asap kebakaran itu, ia tahu apa
yang dikatakan orang-orang itu tentu tidak salah, segenap anggota keluarga Tan
memang benar telah terkubur di tengah lautan api.
"Tai-ok-jin itu
benar-benar sangat keji, tidak cukup membunuh Tan Cing dan putra-putranya,
bahkan antero keluarganya juga dibunuh, dan mengapa mesti membakar pula
rumahnya ?” kata A Cu dengan suara pelahan.
"Ini namanya membabat
rumput harus sampai akar-akarnya,” sahut Kiau Hong. "Andaikan aku, pasti
juga akan kubakar rumahnya.”
"Mengapa ?” tanya A Cu
terkesiap.
"Bukankah waktu di tengah
hutan tempo hari Tan Cing pernah mengucapkan apa-apa yang telah kau dengar
juga. Ia menyatakan, ‘Di rumahku juga tersimpan beberapa pucuk surat dari Toako
pemimpin ini, sesudah kucocokan gaya tulisannya nyata memang betul adalah
tulisan tangannya’.”
"Ya, Tai-ok-jin itu
kuatir surat di rumah Tan Cing itu akan kau temukan dan mendapat tahu nama
Toako pemimpin itu, makanya ia sengaja membakar rumah Tan Cing agar surat-surat
itu hilang tak berbekas lagi,” kata A Cu dengan gegetun.
Dalam pada itu penduduk yang
datang menolong kebakaran itu semakin banyak, tapi api sedang mengamuk dengan
dahsyatnya, siraman air berember-ember itu ternyata tidak berguna sama sekali.
Di antara penonton itu banyak
yang menyesalkan kebakaran itu di samping mencaci maki keganasan Kiau Hong yang
dituduh yang membakar. Caci maki orang desa sudah tentu kasar dan kotor, A Cu
menjadi kuatir jangan-jangan Kiau Hong tidak tahan oleh caci maki yang ngawur
itu dan mendadak mengamuk sehingga orang-orang desa akan menjadi korban.
Tapi demi diliriknya, ia lihat
bekas Pangcu itu menampilkan air muka yang sangat aneh, seperti berduka dan
seperti menyesal pula, tapi yang paling kentara adalah rasa kasihan, orang desa
itu dianggapnya terlalu bodoh, dan tiada harganya untuk dilabrak.
Akhirnya dengan menghela
napas, berkatalah Kiau Hong, "Marilah kita pergi ke Thian-tai-san !”
Dengan keputusannya akan pergi
ke Thian-tai-san, itu menandakan ia sesungguhnya sangat terpaksa. Benar Tikong
Taysu dari Thian-tai-san itu dahulu pernah ikut serta dalam pembunuhan ayah
bundanya, tapi selama 20 tahun terakhir ini padri saleh itu telah banyak
berbuat kebajikan bagi sesamanya, jauh ia pergi ke negeri lain untuk
mengumpulkan obat-obatan guna menyembuhkan penyakit malaria yang diderita
rakyat jelata di wilayah propinsi daerah selatan seperti Hokkian, Ciatkang,
Kuitang dan Kuisai, hingga banyak jiwa orang tertolong olehnya, sebaliknya
padri itu sendiri jatuh sakit payah, sesudah sembuh ilmu silatnya jadi punah.
Perbuatan menolong sesamanya
tanpa memikirkan kepentingan sendiri itu sungguh sangat sihormati oleh kawanan
Kangouw dan sama menyebutnya sebagai ‘Budha hidup penolong manusia’. Maka
sesungguhnya kalau tidak terpaksa, tidak nanti Kiau Hong mau membikin susah
padri saleh itu.
Begitulah mereka lantas
meninggalkan Thai-an dan menuju ke selatan. Sekali ini Kiau Hong tidak mau
buruburu menempuh perjalanan lagi, ia pikir kalau terburu-buru, boleh jadi
setiba di Thian-tai-san, mungkin yang tertampak kembali adalah mayat Ti-kong
Taysu, bisa jadi kuilnya juga terbakar menjadi puing.
Maka ia sengaja menempuh
perjalanan seenaknya, dengan demikian mungkin jiwa Ti-kong Taysu dapat
diselamatkan malah. Apalagi jejak padri itu pun tidak menentu, biasanya suka
mengembara, bukan mustahil waktu itu orangnya tidak berada di kuilnya di
Thian-tai-san.
Pegunungan Thian-tai-san si
Ciatkang timur, sepanjang jalan Kiau Hong berlaku seperti pelancong saja sambil
mempercakapkan peristiwa menarik di kalangan Kangouw dengan A Cu.
Suatu hari, tibalah mereka di
Tinkang. Kedua orang lantas pesiar ke Kim-san-si yang terkenal itu. Sambil
memandangi air sungai yang berdebur-debur mengalir ke timur itu, mendadak Kiau
Hong ingat sesuatu, katanya, "Itu ‘Toako pemimpin’ bukan mustahil adalah
orang yang sama dengan ‘Tai-ok-jin’ itu.”
"Ya, mengapa sebegitu
jauh kita tidak pikir ke situ ?” ujar A Cu seperti orang yang baru sadar.
"Tapi, bisa jadi memang
terdiri dari dua orang yang berlainan,” kata Kiau Hong pula. "Namun kedua
orang itu tentu mempunyai hubungan yang sangat erat. Kalau tidak, masakah
Tai-ok-jin itu berusaha mati-matian hendak menutupi siapakah gerangan Toako
pemimpin itu ?”
"Kiau-toaya,” sahut A Cu.
"aku jadi ingat juga waktu kalian membicarakan peristiwa masa lalu itu,
janganjangan……,”
Berkata sampai di sini, tanpa
terasa suaranya menjadi agak gemetar.
"Jangan-jangan Tai-ok-jin
itu juga berada di dalam hutan itu, demikiankah maksudmu ?” tukas Kiau Hong.
"Benar,” sahut A Cu,
"di sanalah Tiat-bin-boan-koan mengatakan bahwa di rumahnya tersimpan
surat yang pernah diterimanya dari Toako pemimpin itu dan sekarang rumahnya
terbakar menjadi puing……Ai, aku jadi takut bila ingat hal itu.”
Dengan badan agak gemetar ia
menggelendot di samping Kiau Hong.
"Dan masih ada sesuatu
pula yang aneh.” Kata Kiau Hong.
"Tentang apa ?” tanya A
Cu.
Sambil memandang perahu layar
di tengah sungai, berkatalah Kiau Hong, "Kepintaran dan kecerdikan
Tai-okjin itu jauh di atas diriku, bicara tentang ilmu silat juga mungkin tidak
dibawahku, jika dia mau mencabut nyawaku sebenarnya sangat mudah. Tapi mengapa
ia takut bila kutahu nama musuhku itu ?”
A Cu merasa apa yang dibahas
Kiau Hong itu cukup beralasan, sambil memegang tangan bekas Pangcu itu,
katanya, "Kiau-toaya, kukira sesudah Tai-ok-jin itu membunuh ayah bundamu,
tentunya ia merasa menyesal sekali, maka tidak tega membikin celaka dirimu
lagi. Sudah tentu ia pun tidak ingin engkau manuntut balas padanya hingga
jiwanya akan melayang di tanganmu.”
Kiau Hong mengangguk.
"Ya, besar kemungkinan demikianlah !” katanya dengan tersenyum. "Dan
bila dia tidak tega mencelakaiku, dengan sendirinya juga tidak mau mengganggu
dirimu, maka kamu jangan takut lagi.”
Sejenak kemudian, ia menghela
napas dan berkata pula, "Percumalah aku mengaku sebagai Engkiong
(ksatria), tapi kinidipermainkan orang sedemikian tanpa dapat berbuat apa-apa.”
Begitulah, sesudah menyebrang
sungai Tiang-kang, tidak lama mereka menyebrangi Ci-tong-kang pula, akhirnya
sampai di Thian-tai-koan, kota di kaki pegunungan Thian-tai.
Mereka mendapatkan sebuah
hotel untuk menginap. Esok paginya ketika mereka ingin tanya pelayan tentang
jalan menuju ke Thian-tai-san, tiba-tiba masuk tergesa-gesa seorang pegawai
kantor hotel dan memberitahu, "Kiau-toaya, ada seorang Suhu dari
Siang-koan-sian-si di Thian-tai-san ingin bertemu denganmu.”
Sudah tentu Kiau Hong
terkejut, padahal waktu menginap di hotel ini ia mengaku she Koan, maka cepat
ia tanya, "Mengapa kau panggil Kiau-toaya padaku ?”
"Suhu dari Thian-tai-san
itu menjelaskan bangun tubuh dan wajah Kiau-toaya, terang tidak salah lagi,”
sahut pegawai hotel.
Kiau Hong saling pandang
dengan A Cu, keduanya sama heran. Padahal mereka menyamar lagi, tidak serupa
pula dengan seperti waktu di Thai-an, tapi setiba di Thai-tai-koan segera
dikenali orang.
Terpaksa Kiau Hong berkata,
"Baiklah, silahkan dia masuk.”
Sesudah pegawai hotel itu
keluar, tidak lama kemudian ia bawa datang padri berumur 30-an dan berbadan
gemuk. Sesudah memberi hormat kepada Kiau Hong, padri itu lantas berkata,
"Guruku Ti-kong Taysu adanya, Siauceng Koh-teh disuruh mengundang
Kiau-toaya dan Wi-kohnio sudilah mampir ke kuil kami.”
Sahut Koh-teh Hwesio,
"Menurut pesan Suhu katanya di hotel sini tinggal seorang Kiau-enghiong,
dan seorang Wi-kohnio, maka Siauceng disuruh memapak kemari. Kiranya tuan
sendirilah Kiau-toaya, entah Wi-kohnio itu berada di mana ?”
Jilid 34
Kiranya A Cu sudah menyaru
lagi sebagai laki-laki setengah umur, dengan sendirinya Koh-teh Hwesio tidak
tahu dan menyangka nona Wi yang dicari itu tidak berada di situ.
Segera Kiau Hong tanya pula,
"Semalam kami baru tiba di sini, entah darimana gurumu mendapat tahu?
Apakah beliau dapat meramal apa yang belum terjadi?"
Belum lagi Koh-teh menjawab,
pengurus hotel tadi lantas menyela, "Ti-kong Taisu dari Thian-tai-san
adalah seorang padri sakti, jangankan Kiau toaya baru tiba kemarin, sekalipun
apa yang akan terjadi 500 tahun yang akan datang juga dapat dihitungnya."
Kiau Hong tahu Ti-kong Taisu
itu sangat dipuja oleh rakyat setempat bagaikan malaikat dewata, maka ia pun
tidak tanya lagi, katanya,"Baiklah, segera Wi-kohnio akan menyusul,
silahkan kaubawa kami berangkat lebih dulu."
Koh-teh Hwesio mengiakan dan
segera mendahului keluar. ketika Kiau Hong hendak membayar rekening hotel,
namun pengurus telah mencegah, "Jika kalian adalah tetamu padri sakti
Thian-tai-san, betapapun uang hotel ini tidak daat kami terima."
Terpakasa Kiau Hong
membatalkan niatnya itu, diam-diam ia kagum atas nama baik Ti-kong Taisu yang
dihormati dan sangat dicintai rakyat setempat itu, maka tentang tersangkutnya dalam
peristiwa pembunuhan orang tuaku biarlah kuhapus sama sekali dan takkan kubalas
dendam padanya. Asal dia memberitahukan nama Tai-ok-jin itu kepadaku sudah
puaslah hatiku, demikian Kiau Hong mengambil keputusan.
Begitulah mereka lantas
berangkat ke Thian-tai-san mengikuti Koh-teh Hwesio.
Pemandang Thian-tai-san sangat
indah permai, cuma jalan pegunungan itu sangat terjal dan berliku-liku hingga
sukar ditempuh. Dari belakang Kiau Hong melihat cara berjalan Koh-teh Hwesio
itu sangat cepat dan tangkas, tapi kentara sekali tidak mahir ilmu silat.
Namun begitu ia tahu hati
manusia kebanyakan palsu, ia tidak menjadi lengah karena itu, Diam0diam
pikirnya, "sekali lawan sudah tahu jejakku, mustahil dia tidak mengatur
penjagaan yang kuat? Meski Ti-kong Taisu adalah padri saleh yang terpuja, tapi
orang lain di sekitarnya belum tentu sepikiran dengan dia."
Jalan pegunungan itu makin
lama makin sulit ditempuh, tapi senantiasa Kiau Hong pasang mata telinga untuk
menjaga kalau-kalau disergap musuh.
Tak tersangka sepanjang jalan
ternyata aman tentram saja, akhirnya sampai juga diluar Siang-koan-si. Kuil itu
sangat terkenal di kalangan Kang-ouw, tapi wujudnya ternyata sebuah kelenteng
kecil saja, bahkan keadaannya sudah tak begitu terawat.
Sampai di luar kuil, tanpa
melapor dulu atau diadakan penyambutan segala, Koh-teh terus mendorong pintu
kuil sambil berseru, "Suhu, Kiau-toaya suda tiba!"
Maka terdengarlah suara
Ti-Kong menyahut, "Selamat datang! Sediakan teh untuk tamu agung
kita!"
Sembari bicara, padri itu
lantas menyambut keluar.
Sebelum bertemu dengan
Ti-kong, selalu Kiau Hong merasa kuatir akan didahului lagi oleh Tai-ok-jin
hingga Ti-kong terbunuh, tapi demi melihat padri itu baik-baik saja, barulah
Kiau Hong merasa lega. Segera mereka mengusap muka masing-masing hingga wajah
asli mereka pulih kembali untuk menemu Ti-Kong, lebih dahulu Kiau Hong memberi
hormat.
"Siancai! Siancai!"
demikian Ti-kong bersabda, "Kia-sicu, sebenarnya engkau she Siau, apakah
engkau sendiri sudah tahu?"
Seketika Kiau Hong tergetar,
meski kini sudah diketahui dirinya adalah orang Cidan, tapi apa she ayahnya
sebegitu jauh masih gelap baginya. Kini untuk pertama kalinya mendengar Ti-Kong
menyatakan dia she "Siau", tanpa terasa keringat dingin lantas
mengucur.
Ia tahu bahwa rahasia
asal-usul sendiri sekarang tersingkap sedikit mulai sedikit, segera ia
membungkuk tubuh dengan hormat dan menjawab, "Cayhe terlalu bodoh,
kedatangan ini justru ingin minta petunjuk kepada Taisu."
Ti-Kong mengangguk, katanya,
"Silahkan kalian duduk!"
Dan sesudah mereka mengambil
tempat duduk masing-masing, Koh-teh Hwesio lantas menyuguhkan teh. Ketika
melihat wajah kedua orang sudah berubah, bahkan A Cu berubah menjadi wanita,
Koh-teh jadi terheran-heran. Tapi di hadapan sang guru terpaksa ia tidak berani
bertanya.
"Tentang
asal-usulmu," demikian Ti-kong memulai, "menurut ukiran di dinding
batu yang ditinggalkan ayahmu itu, beliau mengaku she Siau dan bernama Wan-san.
Dalam tulisannya itu beliau menyebut engkau sebagai anak 'Hong'. Karena itu
kami mempertahankan nama aslimu, cuma she-mu telah kami ganti mengikuti she
Kiau Sam-hoat yang membesarkanmu itu."
Seketika air mata Kiau Hong
bercucuran, tiba-tiba ia berdiri dan berkata, "Baru sekarang kutahu nama
ayahku, atas budi kebaikan Taisu, terimalah hormatku ini!"
Habis berkata, terus saja ia
menjura.
Cepat Ti-kong membalas hormat
dan berkata pula, "Budi kebaikan yang kaunyatakan itu mana berani
kuterima?"
Kiau Hong berpaling kepada A
Cu dan mengumumkan dengan suara lantang, "Sejak kini aku bernama Siau Hong
dan bukan Kiau Honglagi."
"Ya, Siau-toaya,"
sahut A Cu.
Waktu itu, nama keluarga
kerajaan Liau adalah Yalu dan permaisurinya selalu dipilih dari keluarga Siau.
Sebab itu turun temurun keluarga Siau sangat berpengaruh di negara Liau. Kini
mendadak Siau Hong mengetahui dirinya adalah keturunan keluarga bangsawan Cidan
(suku bangsa negari Liau), seketika tak keruan rasa hatinya.
"Siau-tayhiap, tulisan di
dinding batu di luar Gan-bun-koan itu tentu sudah kaulihat bukan?" kata
Ti-kong kemudian.
"Tidak," sahut Siau
Hong sambil menggeleng. "Setiba di sana, tulisan itu sudah dihapus orang,
hanya tinggal bekas yang tak terbaca lagi."
"Urusan sudah terjadi,
huruf di dinding batu itu pun sudah dihapus, tapi belasan jiwa yang sudah
menjadi korban apakah dapat dihidupkan kembali?" kata Ti-kong sambil
menghela napas. Lalu ia keluarkan secarik kertas kuning yang sangat lebar,
katanya pula, "Siau-sicu, inilah cetakan tulisan di atas dinding
itu."
Tergetar tubuh Siau Hong.
Cepat ia terima kertas kuning itu dan dibentang, ia lihat di atas kertas itu
banyak
terdapat huruf cetak yang
aneh, satu huruf pun tak dikenalnya. Ia tahu itu pasti huruf Cidan yang ditulis
mendiang ayahnya sebelum terjun ke jurang, tak tertahan lagi air matanya
bercucuran, katanya kemudian, "Mohon Taisu suka menjelaskan artinya."
"Sesudah mencetak tulisan
di dinding ini, kemudian kami tanya kepada beberapa orang yang paham huruf
Cidan, menurut keterangan mereka, bunyinya adalah : 'Hong-ji genap berusia
setahun, bersama istriku kami berkunjung ke rumah ibu mertua, di tengah jalan
mendadak kepergok bandit dari selatan. Karena sergapan tibatiba itu, istriku
tercinta terbunuh oleh musuh, sungguh aku pun tidak ingin hidup di dunia ini.
Tapi guruku yang berbudi adalah bangsa Han di selatan, di hadapan guru aku
telah bersumpah takkan membunuh orang Han, siapa duga hari ini sekaligus
kubunuh belasan orang, aku telah melanggar sumpahku dan bersedih atas kematia
istri pula, di alam baka aku pun tiada muka untuk bertemu dengan Insu (guru
berbudi) lagi. Sekian pesan terakhir dari Siau Wan-San."
Selesai mendengar uraian
Ti-kong itu, dengan penuh hormat Siau Hong melempit kembali kertas cetak itu,
katanya, "Ini adalah surat wasiat ayah-ku, mohon Taisu suka memberikannya
padaku."
"Memang sepantasnya
diserahkan padamu," sahut Ti-kong.
Sungguh pedih dan kusut sekali
perasaan Siau Hong pada saat itu. Ia dapat menahan betapa rasa duka dan sesal
sang ayah pada waktu itu, sebabnya beliau terjun ke jurang bukan melulu karena
berduka atas terbunuhnya ibunda, tapi juga disebabkan beliau meresa melanggar
sumpah sendiri karena telah membunuh orang Han sebanyak itu, maka beliau rela
membunuh diri untuk menebus dosanya.
Dalam pada itu Ti-kong berkata
pula, "Semula kami menyangka ayahmu yang memimpin jago Cidan dan menyerbu
Siau-lim-si, tapi sesudah membaca tulisan itu barulah kami tahu telag terjadi
salah paham yang besar, Jika ayahmu bertekad membunuh diri, rasanya tidak
mungkin beliau menulis hal yang tdak benar ini untuk membohongi orang lain. Dan
jika beliau bertujuan menyerbu Siau-lim-si, mengapa membawa seorang istri yang
tidak paham ilmu silat dan membawa anaknya yang masih bayi? Sesudah peristiwa
itu, ketika kami menyelidiki sumber berita tentang musuh akan menyerbu
Siau-lim-si segala kiranya kabar berita itu berasal dari seorang pembual besar,
orang itu sengaja hendak mengoda Toako pemimpin kami untuk olok-olok padanya
apabila beliau dibikin kecele."
"Oh, kiranya cuma untuk
berkelakar saja, dan bagaimana dengan pembual itu?" tanya Siau Hong.
"Sesudah Toako pemimpin
tahu duduknya perkara, sudah tentu beliau sangat marah, tapi pembual itu sudah
lari entah kemana perginya, sejak itu tidak diketahui bayangannya lagi. Setelah
berpuluh tahun mungkin sekarang orang-nya sudah mampus," kata Ti-Kong.
"Banyak terima kasih atas
keterangan Taius hingga aku dapat mengetahui seluk-beluk iradan aku ini,"
kata
Siau Hong. "Tapi ingin
kutanya pula suatu hal padamu."
"Apa yang Siau-sicu ingin
tanya?"
"Toako pemimpin yang
kaukatakan itu sebenarnya gerangan siapakah?"
"Telah kudengar bahwa
untuk mencari tahu hal itu Siau-sicu telah membunuh Tam-kong, Tam-poh dan
Tio-cisun. kemudian antero keluarga Tan-Cing beserta kediamannya telah
kaumusnahkan, sudah kuduga lambat atau cepat Siau-sicu pasti akan datang
kemari, maka silahkan Sicu menunggu sebentar, akan kupertunjukkan sesuatu
padamu."
"Habis berkata ia lantas
berbangkit dan menuju ke ruangan belakang. Selang tak lama, Koh-teh Hwesio
datang pada Siau Hong dan berkata, "Suhu menyilakan kalian masuk ke kamar
dalam."
Segera Siau Hong dan A Cu ikut
padri itu melalui sebuah jalanan serambi yang panjang akhirnya tibalah di depan
sebuah pavilliun, Koh-teh mendorong pintu dan berkata, "Silahkan
masuk."
Waktu Siau Hong melangkah ke
dalam rumah itu, ia lihat Ti-kong duduk bersila di atas tikar. Padri saleh itu
tidak menyapa, hanya tersenyum dan tiba-tiba menjulurkan jari tangan untuk
menulis di lantai.
Kamar itu rupanya tidak pernah
dibersihkan maka debu kotoran memenuhi lantai. Tertampak Ti-kong menulis
delapan baris huruf di situ. Habis menulis dengan tersenyum Ti-kong lantas
pejamkan mata.
Waktu Siau membaca tulisan di
lantai itu, ia jadi termenung-menung. Kiranya tulisan TI-kong itu adalah sabda
Budha yang menasehatkan manusia supaya anggap segala apa di dunia fana ini cuma
khayal belaka, sebab akhirnya segala apa akan sirna menjadi abu.
"Sangkut paut apa dengan
persoalan yang kutanyakan padanya tadi?" demikian Siau Hong merasa
bingung, maka kembali ia tanya, "Taisu, sebenarnya siapakah gerangan Toako
pemimpin itu, sudilah memberitahu?"
Tapi meski ia ulangi lagi
pertanyaannya, Ti-kong tetap tersenyum tanpa menjawab. Waktu Siau Hong
mengawasi, ia jadi terkejut. Ia lihat air muka padri itu meski masih tersenyum,
tapi sudah kaku tanpa bergerak lagi.
"Taisu! Taisu!"
berulang Siau Hong berseru, tetapi padri itu tetap tidak bergerak sedikitpun.
Waktu ia periksa pernapasannya, ternyata sejak tadi sudah berhenti. Jadi sejak
tadi padri itu sudah wafat.
Dengan rasa pedih Siau Hong
menjura beberapa kali sebagai tanda penghormatan terakhir, lalu mengajak A Cu
untuk meninggalkan biara itu dengan lesu.
Sesudah belasan li jauhnya,
berkatalah Siau Hong, "A Cu, hakikatnya aku tidak bermaksud membikin susah
pada Ti-kong Taysu, mengapa dia berlakunekat begitu? Menurut pendapatmu, dari
mana dia mengetahui kita akan datang ke biaranya?"
"Kukira ... kukira atas
perbuatan Tai-ok-jin itu pula," sahut A Cu.
"Aku pun berpikir
begitu," kata Siau Hong. "Tentu Tai-ok-jin itu mendahului memberi
kabar kepada Ti-kong Taisu bahwa aku akan menuntut balas padanya. Karena merasa
takkan mampu lolos dari tanganku, maka Tikong Taisu jadi nekat dan menghabiskan
nyawa sendiri."
"Begitulah mereka hanya
saling pandang belaka tanpa berdaya lagi.
"Siau-toaya,"
tiba-tiba A Cu membuka suara,"ada sesuatu pendapatku yang kurang wajar,
jika kukatakan, harap engkau jangan marah."
"Kenapa kamu jadi sungkan
padaku? Sudah tentu aku takkan marah," ujar Siau Hong.
"Kukira sabda Budha yang
ditulis Ti-kong itu pun ada benarnya," demikian tutur A Cu. "Peduli
apa dia orang Han atau Cidan, apa benar atau khayal, segala budi atau sakit
hati, kaya atau miskin,semuanya itu akhirnya akan sirna. Padahal apakah engkau
bangsa Han atau orang Cidan, apa sih bedanya? Penghidupan merana di kalangan
kangouw juga sudah membosankan, tidaklah lebih baik kita pergi saja ke luar
Gan-bun-koan untuk berburu dan mengangon domba, segala suka-duka penghidupan
Bu-lim di Tionggoan jangan dipeduli lagi."
"Ya, penghidupan yang
selalu menyerempet bahaya di ujung senjata memang sudah membosankan aku,"
sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Di luar perbatasan, di gurun yang
luas, di padang rumput yang menghijau, di sanalah jauh lebih aman dan tentram.
A Cu, jika aku tinggal jauh di luar perbatasan sana, sudilah engkau menjenguk
aku di sana?"
"Bukankah kukatakan
berburu dan angon domba, engkau berburu dan aku yang angon domba," sahut A
Cu
dengan suara perlahan dan muka
merah sambil menunduk.
Meski Siau Hong adalah seorang
laki-laki gagah kasar, tapi maksud yang dikandung dalam ucapan A Cu itu dapat
ditangkapnya juga. Ia tahu si gadis menyatakan bersedia hidup berdampingan
dengan dirinya di gurun luas sana dan takkan kembali ke Tionggoan lagi.
Waktu Siau Hong menolong gadis
itu dulu hanya didorong oleh rasa kagum kepada Buyung Hok sebagai sesama
ksatria. Kemudian setelah jauh-jauh A Cu menyusulnya ke Gan-bun-Koan, lalu
berangkat bersama ke Thai-san dan Thian-tai pula, dalam perjalanan jauh itu
setiap hari hdup berdekatan, di situlah baru Siau Hong merasakan betapa halus
budi si gadis jelita ini, kini mendengar A Cu mengutarakan isi hatinya secara
terus terang pula, perasaan Siau Hong terguncang hebat, ia pegang tangan nona
itu dan berkata, "A Cu, engkau sangat baik padaku, apa kamu tidak mencela
diriku sebagai keturuna Cidan yang rendah?"
"Cidan juga manusia,
kenapa mesti dibeda-bedakan," sahut A Cu, "Aku senang menjadi orang
Cidan, ini timbul dari hatiku yang sungguh-sungguh sedikitpun tidak
dipaksakan."
Sungguh girang Siau Hong tidak
kepalang mendadak ia pegang tubuh A Cu terus dilemparkan ke atas, ketika jatu
ke bawah lagi, dengan perlahan ia tangkap badan si gadis dan diletakkan ke
tanah, dengan tersenyum mesra ia pandang A Cu lekat-lekat dan berseru,
"Dapatkan seorang teman sepaham, puaslah hidupku ini. A Cu selanjutnya
kamu akan ikut aku berburu dan mengembala, kamu takkan menyesal?"
"Biarpun apa yang akan
terjadi, tidak nanti aku menyesal" sahut A Cu tegas, "Sekalipun akan
menderita dan tersiksa juga aku akan merasa senang.
"Aku dapat hidup seperti
sekarang ini, sungguh jangankan disuruh menjadi Pangcu Kai-pang lagi, sekalipun
diangkat menjadi raja Song juga aku tidak mau, " kata Siau Hong.
"Baiklah A Cu, sekarang juga kita berangkat ke Sin-yang untuk mencari
Be-hujin, apakah ia mau menerangkan atau tidak, dia adalah orang terakhir yang
akan kita cari, sesudah tanya dia segera kita keluar perbatasan utara untuk
melewatkan penghidupan sebagai pemburu dan penggembala."
"Siau-toaya ....."
"Selanjutnya jangan
kaupanggil Toaya apa segala, panggil Toako saja!"
Wajah A Cu menjadi merah,
sahutnya, "Mana ... mana aku ada harganya memanggil demikian padamu?"
"Kausudi tidak?"
tanya Siau Hong.
"Sudi, seribu kali sudi,
cuma tidak berani."
"Cobalah kaupanggil
sekali."
"Ya, Toa ....
Toako?" demikian A Cu memanggil dengan lirih.
"Hahahahaha!" Siau
Hong terbahak-bahak senang. "Sejak kini aku tidak lagi sebatang kara,
bukan lagi keturunan asing yang dipandang rendah dan hina oleh orang lain,
paling tidak di dunia ini masih ada seorang yang ... yang ...."
Seketika ia menjadi bingung
apa yang baru diucapkannya.
Maka A Cu lantas menyambung,
"Masih ada seprang yang menghormatimu, yang mengagumimu, yang berterima
kasih padamu dan selama hidup ini, bahkan sepanjang masa bersedia hidup di
sampingmu, derita sama dipikul susah sama dirasa."
Sungguh Siau Hong sangat
terharu, terutama ucapan A Cu tentang "derita sama dipikul dan susah sama
dirasa" itu, memang sudah jelas bahwa banyak sekali rintangan dan
penderitaan pada waktu yang akan datang, tapi gadus itu toh rela menghadapinya
tanpa menyesal, saking terharunya sampai air mata Siau Hong bercucuran.
Tempat kediaman wakil Pangcu
Kai-pang yaitu Be Tai-goan, terletak di Sin-yang, propinsi Holam. Sudah tentu
perjalanan dari Thian-tai ke Sinyang itu memakan tempo cukup lama pula. Tapi
sejak adanya ikatan jiwa antara mereka yang mesra, sepanjang jalan mereka tidak
masgul lagi, dalam pandangan mereka pemandangan di mana-mana menjadi tambah
indah permai dan memabukkan.
Sebenarnya A Cu tidak gemar
minum arak, tapi demi untuk membikin senang Siau Hong, terkadang ia paksakan
diri mengiringi minum satu dua cawan. Dan mukanya yang kemerah-merahan itu
semakin menambah kecantikannya yang mengiurkan.
Suatu hari tibalah mereka di
kota Kong ciu, dari situ ke Sin-yang hanya diperlukan kira-kira dua hari saja.
"Toako," kata A Cu,
"menurut pendapatmu, cara bagaimana kita harus menanyai Be-hujin?"
Siau Hong menjadi ragu oleh
pertanyaan itu. Ia masih ingat sikap Be-hujin itu sangat benci padanya karena
yakin suaminya telah dibunuh olehnya. Sedangkan terhadap seorang janda yang
tidak mahir ilmu silat, kalau pakai cara paksaan dan gertakan, terang cara ini
tidak sesuai dengan kedudukan dirinya sebagai ksatria terkemuka.
Sesudah pikir sejenak,
akhirnya ia menjawab,"Kukira kita harus memohonnya secara baik-baik agar
dia dapat memahami duduknya perkara dan tidak mendakwa aku sebagai pembunuh
suaminya. Eh, A Cu, kamu saja yang bicara padanya, Kau pandai bicara, sama-sama
wanita pula, segala sesuatu akan lebih mudah dirundingkan."
"Sebenarnya aku ada suatu
akal, entah Toako setuju tidak?" sahut A Cu dengan tersenyum.
"Akal apa? Coba
katakan," tanya Siau Hong.
"Engkau adalah laki-laki
sejati dan seorang ksatria, dengan sendirinya tidak dapat memaksa pengakuan
seorang janda, biarlah aku yang membujuk dan menipu dia, bagaimana
pendapatmu?"
"Jika dia dapat dibujuk
hingga mengaku, itulah paling baik." kata Siau Hong dengan girang. "A
Cu, engkau tahu, siang dan malam yang kuharapkan adalah selekasnya dapat
kubunuh dengan tanganku sendiri atas pembunuh ayahku itu. Hm, sebabnya aku
merana seperti sekarang ini dan bermusuhan dengan para ksatria sejagat bahkan
para jago Tionggoan itu bertekad harus membunuh diriku, semua ini adalah akibat
perbuatan Tai-ok-jin itu. Jika aku tidak mencincang dia hingga hancur luluh,
cara bagaimana aku bisa hidup tentram untuk berburu dan mengangon domba
denganmu?"
Makin bicara makin keras dan
tegas suaranya suatu tanda betapa berguncangnya perasaan Siau Hong. Paling
akhir ini sebenarnya pikirannya tidak murung lagi seperti dulu, tapi rasa
dendamnya kepada Tai-ok-jin itu tidak menjadi berkurang sedikut pun.
"Sudah tentu aku paham
perasaanmu," sahut A Cu. "Begitu keji cara Tai-ok-jin itu membikin
susah padamu, bahkan aku pun ingin membacoknya beberapa kali untuk bantu
melampiaskan rasa dendammu. Kelak kalau kita dapat menawan dia, kita harus
mengadakan juga suatu Eng-Hiong-tai-hwe, kita akan mengundang seluruh ksatria
di jagat ini, di hadapan mereka itulah kita akan menjelaskan duduknya perkara
dan membongkar tuduhan tak benar atas dirimu selama ini, dengan demikian nama
baikmu dapat dipulihkan."
"Tidak perlu
begitu," sahut Siay Hong dengan menghela napas. "Sudah terlalu banyak
orang yang kubunuh di Cip-hiau-ceng tempo hari, permusuhanku dengan para
ksatria sudah terlalu mendalam, aku tidak ingin mohon
orang lain memahami urusanku
lagi. Yang kuharap asal urusan ini bisa dibikin terang, hatiku bisa tentram,
lalu kita akan hidup di padang luas di utara sana, selama hidup kita akan
berkawankan domba dan tidak perlu bertemu dengan para ksatria dan
pahlawan-pahlawan lagi."
"Jika benar dapat
terlaksana seperti harapanmu, itulah jauh melebihi apa yang kuinginkan,"
kata A Cu dengan tersenyum. "Toako, aku ingin menyamar sebagai seorang
untuk membujuk Be-hujin agar mau mengatakan nama Tai-ok-jin yang kita
cari."
"Bagus, bagus! Kenapa aku
lupa pada kepandaianmu ini," seru Siau Hong dengan girang. "Kauingin
menamar sebagai siapa?"
"Itulah yang ingin
kutanya padamu," sahut A Cu. "Pada masa hidup Be-hupangcu, di antara
orang Kai-pang siapakah yang paling rapat berhubungan dengan dia? Jika aku
menyamar sebagai orang itu, mengingat sebagai sahabat karib mendiang suaminya,
tentu Be-hujin akan bicara terus terang."
"Tentang kawan yang
berhubungan erat dengan Be-hupangcu antara lain ialah Ong-thocu, Coan Koan-jing
dan ada pula Tan-tianglo. Ya, Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia juga sangat akrab
dengan dia."
A Cu tidak tanya lagi, ia
termenung-menung membayangkan wajah dan gerak gerik orang yang disebut itu.
"Watak Be-hupangcu sangat
pendiam, berbeda denganku yang suka minum arak dan gemar bicara. Sebab itulah
jarang dia bergaul dengan aku. Sebaliknya Coan Koan-jing, Pek Si-kia dan
lain-lain itu wataknya lebih cocok dengan dia, maka mereka sering berada
bersama untuk saling tukar pikiran tentang ilmu silat."
"Siapakah Ong-thocu yang
kaukatakan itu, tidak kukenal," demikian A Cu berkata. "Sedang
Tan-tianglo itu suka tangkap ular dan piara kelabang, melihat binatang berbisa
begitu aku jadi takut, maka sukar untuk menyaru sebagai dia. Perawakan Coan
Koan-jing tinggi besar, untuk menyaru dia tidaklah mudah, kalau tinggal terlalu
lama di hadapan Be-hujin, mungkin rahasia kita akan ketahuan. Maka paling baik
kukira menyamar sebagai Pek-tianglo saja. Pernah beberapa kali ia bicara
denganku di Cip-hian-ceng, untuk menyaru sebagai dia adalah paling
gampang."
"Pada waktu kamu terluka,
bukankah Pek-tianglo sangat baik kepadamu, dia yang paksa Sih-sin-ih
mengobatimu, dan sekarang kamu malah menyamar sebagai dia untuk menipu orang,
apakah tidak terasa kurang pantas?"
"Setelah menyamar sebagai
Pek-tianglo, aku cuma berbuat baik dan tidak berbuat jaha, dengan demikian nama
baiknya takkan tercemar," ujar A Cu dengan tertawa.
Begitulah ia lantas menyamar
sebagai Pek Si-kia, ia mendandani Siau Hong pula sebagai seorang anggota
Kaipang berkantung enam dan terhitung sebagai "ajudan" Pek-tianglo,
cuma Siau Hong dilarang banyak bicara agar tidak diketahui Be-hujin yang cerdik
dan cermat itu.
Mereka melanjutkan perjalanan
ke Sin-yang, sepanjang jalan tampak banyak anggota Kai-pang yang berlalulalang
dan sering mengajak bicara dengan mereka dengan kode Kai-pang untuk tanya
gerak-gerik tokoh pimpinan Kai-pang, lalu mereka sengaja memberitahukan
kedatangan "Pek-tianglo" di Sin-yang, agar Be-hujin mendapat kabar
lebih dulu. Dengan demikian, penyamaran A Cu akan lebih aman dan Be-hujin pun
tidak curiga.
Kediaman Be Tai-goan itu
terletak di pedusunan sebelah barat Sin-yang, kira-kira lebih 30 li dari kota.
Sesudah tanya keterangan pada anggota Kai-pang segera Siau Hong mengajak A Cu
ke rumah Be-hujin itu.
Mereka sengaja berjalan lambat
untuk membuang waktu, menjelang petang baru mereka tiba di sana. Maklum, jika
siang hari tentu penyamaran A Cu akan lebih mudah diketahui orang, bila malam,
segala sesuatu menjadi samar-samar dan sukar diketahui.
Sampai di luar rumah keluarga
Be, tertampak sebuah sungai kecil mengitari tiga petak rumah penting yang
mungil, di samping rumah terdapat beberapa pohon Yangliu, di depan rumah ada
tanah lapang culup lega. Siau Hong kenal aliran ilmu silat Be Tai-goan, melihat
keadaan lapangan itu, tahulah dia bekas wakilnya itu pasti sering berlatih
silat di lapangan itu. Tapi kini yang satu sudah di alam baka, ia menjadi pilu
mengingat itu.
Dan baru dia hendak mengetuk
pintu, mendadak terdengar suara keriut pntu dibuka, dari dalam rumah muncul
seorang perempuan berbaju putih mulus, yaitu pakaian berkabung, terang itulah
Be-hujin adanya.
Be-hujin mengerling sekejap ke
arah Siau Hong, lalu memberi hormat kepada A Cu dan menyapa," Sungguh
tidak dinyana Pek-tianglo sudi berkunjung ke tempatku ini, silahkan masuk
setadar dulu."
"Ada sesuatu urusan ingin
kurundingkan dengan Hujin, makanya tanpa diundang tahu-tahu dah datang, harap
Hujin suka memaafkan," sahut A Cu.
Air muka Be-hujin seperti
senyum tapi tak senyum, malahan di antara senyum tak senyum itu tampak menahan
rasa sedih, sungguh sangat serasi dengan dandanannya yang putih berkabung itu.
Sesudah dekat, Siau Hong dapat
melihat jelas usia Be-hujin antara 35-36 tahun, raut mukanya agak lonjong, tapi
sangat cantik. Setelah masuk di dalam rumah, tertampak ruang tamu itu sangat
sederhana dan agak sempit, di tengah sebuah meja dengan empat kursi, perabot
lain tiada lagi.
Segera seorang pelayan tua
menyuguhkan teh lalu Be-hujin menanyakan nama Siau Hong, maka A Cu sembarangan
menjawab dengan sebuah nama palsu.
Kemudian Be-hujin bertanya
lagi," Atas kunjungan Pek-tianglo ini, entah ada petnjuk apakah?"
"Ci-tianglo telah
meninggal di Wi-hui, tentu Hujin sudah tahu?" tanya A Cu.
Sekonyong-konyong Be-hujin
mendongak dengan sorot mata yang terheran-heran, lalu sahutnya, "Ya, sudah
tentu kutahu."
Dan A Cu segera berkata lagi,
"Kita sama mencurigai Kiau Hong yang membunuh Ci-tianglo itu, kemudian
Tam-kong dan Tam-poh, Tio-ci-sun dan Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga menjadi
korban keganasan musuh. Belum lama ini ketika aku menjalankan tugas pemeriksaan
seorang anak murid Pang kita yang melanggar disiplin di daerah Kanglam, di
sanapun kudapat kabar bahwa Ti-kong Taisu di Thian-tai-san juga mendadak
wafat."
"Ap .. apakah itu pun
perbuatan keparat Kiau Hong itu?" seru Be-hujin dengan badan agak gemetar
dan suara terputus-putus.
"Tapi tiada sesuatu tanda
mencurigakan yang ditemukan di kuil Ti-kong Tais itu," tutur A Cu.
"Mengingat bahwa langkah selanjutnya mungkin Hujin yang akan menjadi
sasarannya, maka lekas aku memburu kemari untuk menyarankan pada Hujin agar
suka berpindah tempat dulu untuk sementara waktu agar tidak dicelakai durjana
Kiau Hong itu."
Begitulah ia sengaja
membesar-besarkan kesalahan Kiau Hong dengan harapan nyonya janda itu tidak
menaruh curiga padanya.
Maka Be-hujin menjawab dengan
sedih, "Sejak Tai-goan tewas memangnya tiada berguna juga kuhidup di dunia
ini, jika orang she Kiau itu hendak membunuh diriku, itulah yang kuharapkan
malah."
"Eh, mana boleh nyonya
bicara begitu? Sakit hati Be-hiante belum terbalas, pembunuhnya belum lagi
tertangkap, padamu masih
terbeban tanggung jawab yang tidak ringan, mana boleh Hujin putus asa,"
ujar A Cu. "Ehm, di manakah letak tempat perabuan Be-hianpwe aku ingin
memberi hormat kepadanya."
"Terima kasuh," kata
Be-hujin. Lalu ia membawa kedua orang ke ruangan belakang.
Sesudah A Cu memberi hormat, kemudian
Siau Hong juga menjura di hadapan perabuan bekas wakilnya itu sambil diam-diam
berdoa, "Be-toako, semoga arwahmu melindungi aku supaya istrimu suka
mengatakan padaku tentang nama penjahat yang sebenarnya itu, dengan demikian
akan kubalaskan sakit hatimu."
Dalam pada itu Be-hujin juga
berlutut di samping untuk membalas hormat sambil bercucuran air matanya.
Selesai menjura, waktu Siau
Hong berdiri kembali, ia lihat ruangan berkabung itu banyak terpasang
"lian" berduka cita sumbangan dari Ci-tianglo, Pek-tianglo dan lain
lain, tapi Lian yang dikirim olehnya ternyata tidak dipasang di siitu. Tirai putih
di ruang berkabung itu sudah mulai berdebu hingga makin menambah kehampaan
suasana. Pikir Siau Hong, "Be-hujin tidak punya anak setiap hari cuma
didampingi seorang pelayan tua, penghidupannya yang sunyi ini, benar-benar
menyedihkan juga."
Sementara itu A Cu sedang
menghibur Be-hujin dengan macam-macam perkataan, katanya kalau nyonya janda itu
ada kesulitan apa apa boleh memberitahukan kepadanya dan lain-lain pesan lagi
dengan lagak orang tua.
Diam-diam Siau Hong memuji
cara anak dara itu menjalankan peranan dengan sangat mirip sekali. Sesudah
Pangcu dalam Pang diusir. Hupangcu meninggal juga. Ci-tianglo telah dibunuh
orang, Thoan-kong Tianglo juga telah terbunuh, sisanya yang masih hidup hanya
kedudukan Pek-tianglo yang paling tinggi. Kini A Cu bicara dengan lagak pejabat
Pangcu, nadanya memang cocok juga.
Begitulah muka Be-hujin telah
mengucapkan terima kasih, tapi sikapnya tetap dingin saja.
Diam-diam Siau Hong kuatir
bagi janda muda itu. Hidup dalam keadaan sunyi dan sedih, wanita yang berwatak
keras seperti itu bukan mustahi akan mengambil pikiran pendek dengan membunuh
diri untuk menyusul sang suami di alam baka.
Kemudian Be-hujin membawa
kedua tamunya ke ruangan depan lagi, tidak lama daharan malam pun disuguhkan
secara sederhana, yaitu terdiri dari sayur-mayur belaka dan tiada daging, pula
tanpa arak.
A Cu melirik sekejap pada Siau
Hong, maksudnya malam ini terpaksa engkau tidak minum arak lagi. Tapi Siau Hong
tidak ambil pusing, terus saja ia dahar seadanya.
Habis dahar, berkatalah
Be-hujin,"Pek-tianglo datang dari jauh, seharusnya kami menyilakan para
tamu bermalam dulu, cuma tempat tinggal seorang janda, tidak enak untuk memberi
menginap orang, entah Pektianglo apakah masih ada pesan lain?"
Dengan ucapannya itu, terang
secara halus ia menyilakan tetamunya lekas pergi.
Maka A Cu menjawab,
"Kedatanganku ini tiada lain ialah ingin mengusulkan agar Hujin suka
menyingkir dulu dari sini, entah bagaimana keputusan Hujin?"
Be-hujin menghela napas,
katanya, "Kiau Hong sudah membunuh suamiku, jika aku dibunuh pula, aku
akan lebih cepat menyusul Tai-goan di alam baka. Meski aku hanya seorang wanita
lemah, tidak nanti aku takut mati."
"Jadi tegasnya Hujin
sudah bertekad takkan meninggalkan tempat ini?" tanya A Cu.
"Banyak terima kasih atas
maksud baik Pek-tianglo, memang begitulah keputusanku," sahut Be-hujin.
A Cu menghela napas gegetun,
katanya kemudian," Sebenarnya aku harus tinggal beberapa hari di sekitar
sini sekedar menjaga keselamatan Hujin. Walaupun benar aku bukan tandingan
keparat Kiau Hong itu, tapi pada saat genting paling tidak akan bertambah
seorang pembantu. Cuma di tengah jalan tadi kembali akui mendapat sesuatu
berita yang sangat rahasia."
"O, tentunya sangat
penting." ujar Be-hujin.
Pada umumnya kaum wanita
paling suka mencari tahu sesuatu, biarpun urusan itu tiada sangkut-paut dengan
diri sendiri sedapatnya ingin tahu juga, apalagi kalau urusan itu dikatakan
sangat penting dan penuh rahasia. Tapi aneh, sikap Be-hujin ternyata dingin saja
tanpa tertarik oleh obrolan A Cu itu.
Diam-diam Siau Hong merasa
heran oleh sikap janda itu. Dalam pada itu A Cu telah memberi tanda kepadanya
dan berkata, "Kamu keluar dulu, tunggu di luar saja, ada urusan rahasia
yang ingin kubicarakan dengan Hujin."
Siau Hong mengangguk, segera
ia bertindak keluar. Diam diam ia memuji kecerdikan A Cu.
Maklum, jika kita ingin tahu
rahasia orang lain, maka lebih dulu perlu memberitahukan sesuatu yang penting
juga padanya, dengan demikian pihak sana akan menaruh kepercayaan padamu.
Pada umumnya, seorang yang
mengetahui sesuatu rahasia, biasanya sukar disuruh tutup mulut, sebab ia akan
merasa bangga jika dapat memberitahukan rahasia itu kepada orang ketiga,
asalkan kamu dapat menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang dapat dipercaya,
maka besar kemungkinan kamu akan diberitahu rahasia itu.
Begitu pula letak kecerdikan A
Cu. Ia sengaja menyingkirkan Siau Hong untuk mendapatkan kepercayaan Behujin
sebagai tanda bahwa rahasia yang dia ketahui itu benar-benar sangat penting,
sebab pengikutnya yang dipercaya pun tidak boleh ikut mendengarkan.
Tapi setiba di luar rumah,
segera Siau Hong mengitar pula ke sisi rumah, ia mendekam di bawah jendela
ruang tamu itu untuk mendengarkan siapakah nama musuh besarnya itu jika
sebentar Be-hujin kena dipancing oleh A Cu.
Tapi sampai sekian lamanya
keadaan dalam ruangan ternyata sepi-sepi saja. Siau Hong mendekam di luar
jendela dengan sendirinya tidak mengetahui keadaan di dalam. Dan sesudah
sejenak kemudian, barulah terdengar Be-hujin membuka mata dengan menghela napas
perlahan, "Untuk apa kaudatang kemari lagi?"
Siau Hong mnenjadi heran apa
maksud pertanyaan itu. Baru sekali ini A Cu datang ke situ dengan menyamar,
mengapa ditegur "untuk apa datang lagi?"
Ia dengar A Cu sedang menjawab,
"Aku benar-benar mendapat kabar bahwa Kiau Hong bermaksud mencelakaimu,
maka jauh-jauh sengaja datang kemari untuk memberitahukan padamu."
"Oh, te ...terima kasih
atas maksud baik Pek-tianglo," sahut Be-hujin.
"Be-hujin," demikian
tiba-tiba A Cu menahan suaranya, "sejak Be-hiante meninggal, banyak
diantara para Tianglo kita ingin memperingati jasa-jasanya dahulu, maka ada
maksud mengundang engkau sudi menjabat kedudukan Tianglo di dalam Pang
kita."
Ucapan A Cu itu bernada
sungguh-sungguh, sebaiknya diam-diam Siau Hong merasa geli. Tapi mau-tak-mau ia
pun memuji kepintaran A Cu. Tak peduli Be-hujin akan terima atau tidak atas
tawaran itu, paling sedikit janda muda itu akan dibikin senang dulu hatinya.
Maka terdengar Be-hujin
menjawab, "Ah, aku mempunyai kepandaian apa sehingga ada harganya diangkat
menjadi Tianglo Pang kita? Padahal aku pun tidak menjadi anggota Kai-pang, apa
kedudukan 'Tianglo' itu tidak selisih terlalu jauh dengan diriku?"
"Tapi aku bersama
Song-tianglo, Go-tianglo dan lain-lain mendukung dengan sepenuh tenaga dan soal
ini mungkin segera akan menjadi kenyataan," kata A Cu. "Selain itu,
aku mendapat pula suatu berita maha penting, yaitu ada sangkut-pautnya dengan
terbunuhnya Be-hiante."
"Oh, ya?" sahut
Be-hujin dengan nada tetap dingin.
"Tempo hari waktu melawat
Ci-tianglo di kota Wi-hui, aku bertemu dengan Tio-ci-sun, dia memberitahukan
sesuatu padaku bahwa dia mengetahui siapa pembunuh Be-hiante."
Mendadak terdengar suara
nyaring pecahnya cangkir jatuh, Be-hujin berseru kaget, lalu berkata,
"Engkau ber ... berkelakar?"
Suaranya kedengaran sangat
marah, tapi juga ada gugup dan kuatir.
"Sungguh, begitulah
Tio-ci-sun katakan padaku, " demikian A Cu menegaskan. "Dia mengetahui
pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."
"Omong kosong, omong
kosong! Dari mana dia tahu? Engkau ngaco belo belaka!" seru Be-hujin
dengan suara gemetar.
"Tapi memang benar
begitu, Hujin jangan kuatir, dengarkan yang jelas," demikian A Cu menjawab
pula. "Kata Tio-ci-sun : 'Pada hari Tiongchiu tahun lalu .... "
Belum selesai ucapannya,
kembali terdengar Be-hujin menjerit kaget sekali, menyusul orangnya lantas
jatuh pingsan.
"Be-hujin,
Be-hujin!" cepat A Cu berusaha menyadarkannya dengan memijat Jin-tiong-hiat,
yaitu tempat di bawah hidung dan di atas bibir nyonya janda itu.
Maka perlahan Be-hujin siuman
kembali, katanya segera, "Ken ... kenapa engkau menakut-nakuti aku?"
"Bukan menakut-nakutimu,
tapi benar-benar Tio-ci-sn berkata begitu padaku," sahut A Cu. "Cuma
sayang dia sudah mati sekarang, kalau tidak tentu dapat dijadikan saksi. Dia
menceritakan bahwa pada hari Tiongchiu tahun yang lalu, Kiau Hong, Tam-kong,
Tam-poh dan ada lagi pembunuh Be-hiante itu, meraka bersama-sama merayakan hari
Tiongchiu di rumahj 'Toako pemimpin' itu."
"Apa benar dia mengatakan
begitu?" terdengar Be-hujin menarik napas lega.
"Memang begitu,"
sahut A Cu. "Semula aku juga tidak percaya, maka telah kutanya Tam-kong,
tapi kakek itu hanya mendelik dan tidak mau mengatakan, sebaliknya Tam-poh
lantas membenarkan keterangan Tio-ci-sun itu, sebab dia sendirilah yang
mengatakan kejadian itu kepada Tio-ci-sun. Pantas saja Tam-kong marah, sebab
sang istri dianggap suka memberitahukan segala apa kepada Tio-ci-sun?"
"Oh, lalu
bagaimana?" tanya Be-hujin.
"Lalu urusan menjadi
mudah diselidiki bukan?" sahut A Cu. "Yang berkumpul di rumah 'Toako
pemimpin' itu terbatas dari beberapa orang saja. Cuma sayang Tam-kong dan
Tam-poh sudah mati, Kiau Hong adalah musuh kita, tidak mungkin dia mau
mengatakan, maka terpaksa kita harus tanya sendiri kepada Toako pemimpin
itu."
"Ehm, boleh juga, memang
harus kautanya padanya." ujar Be-hujin.
"Tapi, sesungguhnya juga
mentertawakan sebab siapa gerangan Toako pemimpin itu, di mana tempat
tinggalnya, aku sendiri pun tidak tahu."
"Hm, kaubicara
berputar-putar, ternyata tujuanmu adalah ingin memancing nama Toako pemimpin
itu." kata Be-hujin.
"Ya, jika kurang bebas,
tak usah hujin katakan padaku. Hujin sendiri boleh menyelidiki dulu hingga
terang, lalu kita akan bikin perhitungan pada pembunuh itu," sahut A Cu.
Siau Hong tahu siasat A Cu itu
adalah 'mundur dulu untuk kemudian mendesak maju'. Pura-pura tidak menaruh
perhatian agar tidak menimbulkan curiga Be-hujin, tapi di dalam hati sebenarnya
sangat gelisah.
Maka terdengar Be-hujin
menjawab dengan dingin, "Tentang nama Toako pemimpin itu seharusnya
dirahasiakan agar tidak
diketahui Kiau Hong, tapi Pek-tianglo adalah orang sendiri, buat apa aku
membohongimu? Dia adalah .... "
Tapi sampai di sini, ia tidak
melanjutkan lagi.
Keruan Siau Hong sangat
tertarik oleh ucapan terakhir itu, ia sedang pasang kuping dengan menahan napas
hingga debaran jantung sendiripun kedengaran. Tapi sampai sekian lama Be-hujin
tidak menyebut nama "Toako pemimpin" itu.
Agak lama kemudian, dengan
menghela napas pelahan barulah Be-hujin membuka suara pula, "Kedudukan
Toako pemimpin itu sangat agung, pengaruhnya besar, sekali dia memberi perintah
akan dapat mengerahlan berpuluh ribu tenaga. Dia ... dia paling suka membela
kawan, jika kautanya dia tentang nama pembunuh Taigoan, betapa pun takkan dia
katakan."
Walaupun mendongkol karena
Be-hujin tetap merahasiakan nama Toako pemimpin itu, tapi diam-diam Siau Hong
dapat merasa lega, pikirnya ,"Bagaimanapun juga perjalananku ini tidak
sia-sia lagi. Biarpun nyonya Be tidak mengatakan nama orang itu, tapi dengan
keterangan 'berkedudukan agung, berpengaruh besar, sekali perintah dapat
mengerahkan berpuluh ribu tenaga', dari sini dapat kuraba siapa gerangannya.
Tokoh hebat seperti itu di dalam Bu-lim tentu dapat dihitung dengan jari."
Sedang Siau Hong
mengingat-ingat siapa gerangan tokoh yang dimaksudkan itu, sementara itu
terdengar A Cu berkata, "Dalam Bu-lim sekarang tokoh yang sekali perintah
dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga, antara lain Pangcu dari Kai-pang memang
mempunyai wibawa sebesar itu, begitu pula Ciangbun Hongtiang dari Siau-lim-pai
mungkin juga dapat, dan .... dan ....."
"sudahlah, engkau tidak
perlu menerka secara ngawur, biarlah kutunjukkan lebih jelas lagi," kata
Be-hujin. "Coba arahkan terkaanmu ke jurusan barat daya."
"Barat daya? Masakah di
daerah sana ada manusia tokoh besar? agaknya tidak ada." demikian A Cu
bergumam sendiri.
Tiba-tiba Be-hujin mengulur
jarinya. "plok", mendadak kertas jendela kena ditoblosnya hingga
pecah, tempat toblosan jari itu tepat di atas kepala Siau Hong, keruan ia
terkejut dan lekas-lekas mengkeret ke bawah.
Maka terdengar Be-hujin sedang
berkata, "Aku tidak paham ilmu silat, tapi Pek-tianglo, tentu tahu,
siapakah di dunia ini yang paling mahir menggunakan ilmu demikian?"
"Ilmu demikian, ilmu
Tiam-hiat dengan jari?" A Cu menegas, "Ah, kukira yang paling lihai
antara lain adalah Kim-kong-ci dari Siau-lim-pay, Toat-hun-ci dari keluarga The
di Jongcu juga sangat hebat, dan masih ada pula ..."
Diam-diam Siau Hong
berteriak-teriak di dalam hati, "Salah, salah! Dalam hal ilmu Tiam-hiat,
di jagad ini tiada yang dapat menandingi It-yang-ci keluarga Toan di Tayli,
apalaagi nyonya itu sudah menandaskan letaknya di daerah barat daya."
Benar juga lantas terdengar
Be-hujin berkata, "Pengalaman Pek-tianglo sangat luas, tapi mengapa soal
kecil ini tidak kauingat lagi? Apa barangkali karena terlalu letih menempuh perjalanan
jauh atau karena otakmu tibatiba menjadi puntul hingga It-yang-ci yang maha
tersohor dari keluarga Toan juga terlupa?"
Ucapan nyonya itu bernada
olok-olok, tapi A Cu menjawab, "It-yang-ci keluarga Toan sudah tentu
kutahu, tapi keluarga Toan selamanya merajai daerah Tayli, sudah lama tiada
hubungan dengan dunia persilatan di Tionggoan. Jika dikatakan Toako pemimpin
itu ada sangkut-paut dengan keluarga Toan, kukira ada kesalahan dalam
pemberitaan orang."
"Meski keluarga Toan
adalah raja Tayli, tapi anggota keluarga mereka kan tidak cuma satu orang
saja," sahut Be-hujin. "Dan orang yang tidak menjadi raja dapat pula
sering datang ke Tionggoan sini. Inilah jika kauingin tahu, Toako pemimpin itu
tak lain tak bukan adalah adik baginda raja Tayli sekarang, she Toan bernama
Cingsun. bergelar Tin-lam-0ng dengan jabatan sebagai Po-kek-tai-ciangkun.
Sebagaimana diketahui, Siau
Hong dan A Cu kenal baik dengan Toan Ki dan tahu pula pemuda itu berasal dari
Tayli. Tapi "Toan" adalah keluarga raja Tayli, yaitu sama halnya
kerajaan Song she Tio, keluarga kerajaan Se He she Li, keluarga kerajaan Liau
she Yaliu, banyak sekali di antara rakyat jelata memiliki she kerajaan itu.
Sedangkan Toan Ki sendiri tidak pernah menyatakan dirinya adalah anak raja,
dengan sendirinya Siau Hong dan A Cu tidak pernah menduga pemuda itu adalah
keturunan raja.
Tapi nama Toan-cing-beng dan
Toan Cing-sun sangat tenar sekali di dunia persilatan, demi mendengar Behujin
menyebut nama "Toan Cing-sun" tadi, seketika badan Siau Hong
tergetar. Diam-diam ia pun merasa bersyukur bahwa usahanya selama beberapa
bulan ini ternyata tidak sia-sia belaka, akhirnya dapat juga mengetahui nama
orang yang dicarinya itu.
Dalam pada itu A Cu lagi
berkata, "Kedudukan Toan-ongya itu sangat agung, kenapa dia ikut campur
bunuh membunuh di antara orang kangouw?"
"Bunuh membunuh dalam
pertarungan biasa di kalangan kangouw sudah tentu Toako pemimpin itu tidak sudi
ikut campur, tapi jika menyangkut mati hidup negeri Tayli mereka, apakah dia
mau tinggal diam?" ujar Behujin.
"Sudah tentu dia akan
ikut campur," kata A Cu.
"Menurut cerita
Ci-tianglo dahulu, katanya kerajaan Song kita adalah penghalang di depan negeri
Tayli, bila orang Cidan berhasil mencaplok Song, langkah berikutnya adalah
Tayli yang akan ditelan pula, " demikian Behujin bercerita. "Sebab
itulah sebagai dua negara yang berdampingan laksana antara gigi dan bibir,
sudah tentu negeri Tayli tak ingin Song kita musnah di tangan orang
Cidan."
"Ya, benar juga,"
sahut A Cu.
lalu Be-hujin melanjutkan,
"Menurut cerita Ci-tianglo, waktu itu kebetulan Toan-ongya sedang bertamu
di markas pusat Kai-pang, tengah Ong-pangcu menjamu Toan-ongya, tiba-tiba
mendapat kabar bahwa jago Cidan akan menyerbu Siau-lim-si untuk merampok kitab
pusaka biara bersejarah itu. Tanpa pikir lagi Toako pemimpin lantas mengerahkan
para ksatria, menuju Gan-bun-koan untuk mencegat kedatangan musuh. Padahal
tindakan ini lebih tepat dikatakan demi keselamatan negeri Tayli sendiri. Konon
ilmu silat Toan-ongya itu sangat tinggi, orangnya sangat baik budi pula.
Kedudukannya sangat diagungkan di negeri Tayli, dia berani membuang uang
seperti membuang sampah, asal ada orang membuka mulut padanya, biarpun beratus
atau beribu tahil perak juga tidak menjadi soal baginya. Coba, orang yang royal
seperti dia, kalau bukan dia yang diangkat menjadi Toako pemimpin dari
jago-jago silat Tionggoa, habis siapa lagi?"
"Kiranya Toako pemimpin
itu tak-lain-tak-bukan adalah Tin-lam-ong dari negeri Tayli, dan semua orang
sampai mati juga tak mau mengaku, kiranya demi untuk membela dia," kata A
Cu.
"Pek-tianglo, rahasia ini
jangan sekali-kali kau katakan lagi kepada orang ketiga, hubungan Toan-ongya
dengan Kai-pang kita adalah lain daripada yang lain, jika rahasia ini tersiar
tidak sedikit bahayanya," demikian pinta Be-hujin.
"Ya, sudah tentu takkan
kubocorkan rahasia ini," sahut A Cu.
"Pek-tianglo, paling baik
engkau bersumpah agar aku tidak ragu," kata janda muda itu.
"Baiklah," jawab A
Cu tanpa pikir. "Bila Pek Si-kia memberitahukan pada orang lain tentang
rahasia 'Toako pemimpin' itu adalah Toan Cing-sun, biarlah Pek Si-kia mengalami
nasib dicencang tubuhnya, badan Pek Sikia akan hancur dan nama busuk, selamanya
Pek Si-kia akan dikutuk oleh sesama kawan Bu-lim."
Demikianlah kelicikan A Cu.
Sumpahnya itu kedengarannya sangat berat, tapi sebenarnya sangat licin. Setiap
kata ia uruk semua dosa atas diri Pek Si-kia, orang yang akan dicencang hingga
luluh adalah Pek Si-kia, yang akan busuk namanya dan dikutuk adalah Pek Si-kia
dan tiada sangkut paut apa-apa dengan A Cu.
Namun Be-hujin ternyata sangat
puas mendengar sumpah itu.
Lalu A Cu berkata
pula,"Jika nantu aku bertemu dengan Tin-lam-ong dari Tayli itu, aku akan
berusaha memancing dia menceritakan siapa-siapa lagi yang ikut hadir di
rumahnya waktu merayakan hari Tiongciu tahun yang lalu, dari siru tentu aku
dapat mengetahui siapa pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."
Dengan terharu lalu Be-hujin
mengucapkan terima kasihnya.
"Harap Hujin menjaga diri
baik-baik, Caihe ingin mohon diri saja," demikian A Cu lantas pamit.
"Siulicu baru menjadi
janda, maafkan kalau tidak dapat mengantar jauh-jauh," ujar Be-hujin.
"Ah, Hujin jangan
sungkan," sahut A Cu sambil mengundurkan diri. Sampai di luar, ia lihat
Siau Hong sudah menanti di kejauhan. Mereka hanya saling pandang sekejap, tanpa
berkata lagi mereka lantas menuju ke arah datangnya tadi.
"Suasana sunyi senyap,
rembulan sabit remang-remang menyinari jalan ranya Sin-yang itu. Siau Hong
jalan berendeng dengan A Cu. Sesudah belasan li jauhnya, dengan menghela napas
kemudian Siau Hong berkata, "Terima kasih, A Cu."
Tapi A Cu cuma tersenyum tawar
saja, tanpa menjawab. Meski muka A Cu penuh keriput karena dalam penyamarannya
sekbagai Pek Si-kia, tapi dari sorot matanya Siau Hong dapat menyelami perasaan
A Cu yang menanggung rasa kuatir, ragu dan cemas.
Segera Siau Hong tanya,
"Usaha kita telah berhasil dengan baik, mengapa engkau malah murung?"
"Kupikir keluarga Toan di
Tayli itu, bukanlah sembarangan orang, jika engkau pergi ke sana seorang diri
untuk menuntut balas, sungguh besar sekali resikonya bagimu," demikian sahut
A Cu.
"O, kiranya kamu merasa
kuatir bagiku," ujar Siau Hong. "Tapi tak perlu kaukuatirkan, sama
sekali aku takkan bertindak secara gegabah. Seperti apa yang dikatakan
Be-hujin, andaikan tiga tahun atau lima tahun belum berhasil membalas dendam,
biarlah aku menanti hingga delapan tahun atau sepuluh tahun. Pada akhirnya
pasti akan datang suatu hari, di mana aku akan mencacah badan Toan Cing-sun
untuk umpan anjing liar."
Bicara sampai di sini, tak
tertahan lagi ia mengertak gigi dengan penuh rasa dendam kesumat.
"Toako, betapapun engkau
harus bertindak secara hati-hati," kata A Cu.
"Sudah tentu, jiwaku
tidak menjadi soal, tapi sakit hati ayah bundaku kalau tidak terbalas, matipun
aku takkan tentran," sahut Siau Hong. Perlahan ia pegang tangan A Cu yang
halus itu, lalu sambungnya,"A Cu, jika aku terbinasa di tangan Toan
Cing-sun, lalu siapakah yang akan mengawalmu berburu dan mengembala domba di
luar Gan-bun-koan?"
"Ai, aku justru sangat
takut, aku merasa dalam urusan ini ada sesuatu yang tidak beres," sahut A
Cu. "Be-hujin ... Be-hujin yang berwujud cantik molek itu, entah mengapa,
asal dipandang dia lantas timbul rasa takut dan jemu dalam diriku."
"Janda muda itu sangat
pintar dan cerdik, karena kau kuatir penyamaranmu diketahui, dengan sendirinya
kautakut padanya." ujar Siau Hong.
Dan sesudah mereka sampai di
hotel dalam kota Sin-yang, segera Siau Hong minta pelayan membawakan arak, ia
minum sepuasnya tanpa batas sambil memeras otak bagaimana jalan paling baik
untuk menuntut balas.
Demi teringat keluarga Toan di
Tayli, dengan sendirinya ia lantas teringat pula kepada saudara angkatnya yang
baru, Toan Ki. Tiba-tiba ia terkesiap, dengan termangu-mangu ia angkat mangkuk
araknya tanpa meminumnya, air mukanya seketika berubah hebat.
Melihat itu, A Cu mengira sang
Toako telah melihat sesuatu apa, ia coba memandang sekitar situ, tapi tiada
sesuatu yang mencurigakan. Segera ia tanya dengan perlahan," Toako, ada
apakah?"
Karena itu, Siau Hong kaget
dan sadar dari lamunannya, sahutnya tergagap-gagap," Oh. ti ... tiada
apa-apa."
Lalu ia angkat mangkuk araknya
dan sekaligus ditenggaknya hingga habis. Tapi mendadak Siau Hong keselak dan
terbatuk-batuk hingga arak yang sudah masuk kerongkongan itu tersembur keluar,
baju bagian dada menjadi basah lepek.
Padahal biasanya kekuatan
minum arak Siau Hong boleh dikatakan tanpa takaran, betapa tinggi lwekangnya
sungguh tiada taranya. Tapi kini minum semangkuk arak saja sudah lantas
terselak, hal ini benar-benar sangat luar biasa.
Diam-diam A Cu merasa kuatir,
tapi iapun tidak suka banyak bertanya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pada
waktu minum tadi mendadak Siau Hong teringat pada saat mengadu minum dengan
Toan Ki di kota Bu-sik tempo hari, di mana Toan Ki telah menggunakan Khikang
yang maha hebat dari "Lak-meh-sin-kiam" untuk memeras air arak yang
diminumnya itu hingga mengucur keluar lagi melalu jari tangan. Ilmu sakti
semacam itu saja Siau Hong sendiri harus mengaku kalah, apalagi Toan Ki
diketahuinya sama sekali tak mahir ilmu silat dan lwekangnya toh sudah begitu
lihai.
Kini musuh besarnya, yaitu
Toan Cing-sun adalah seorag tokoh terkemuka dari keluarga Toan di Tayli, kalau
dibandingkan Toan Ki, tidak perlu diragukan lagi pasti berpuluh kali lebih
lihai.
Dan jika begitu, dendam
kesumat ayah-bunda itu apakah dapat dibalasnya?
Dengan sendirinya Siau Hong
tidak tahu bahwa dapatnya Toan Ki memiliki tenaga dalam sehebat itu, hanya
secara kebetulan saja karena dia telah makan katak merah hingga timbul tenaga
sakti Cu-hap-sin-kang dalam badannya. Kalau melulu bicaraa tentang tenaga
dalam. memang entah berpuluh kali Toan Ki lebih kuat daripada ayahnya. Tapi
dala, hal "Lak-meh-sin-kiam," di dunia ini, selain Toan Ki hakikatnya
tiada orang kedua lagi yang mampu memainkannya secara lengkap. Walaupun A Cu tidak
tahu persis apa yang sedang dipikirkan sang Toako, tapi ia dapat menduga pasti
mengenai urusan membalas dendam. Maka hiburnya, "Toako, soal menuntut
balas tidak perlu terlalu tergesa-gesa. Kita harus menyiapkan rencanya untuk
kemudian bertindak. Andaikan jumlah musuh lebih banyak daripada kita, kalau
kita tak bisa menang dengan kekuatan, apakah kita tak dapat mengalahkan mereka
dengan akal?"
Siau Hong menjadi girang,
teringat olehnya gadis itu sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, sungguh
merupakan seorang pembantu terpercaya.
Segera ia menuang arak pula
semangkuk penug dan ditenggaknya habis, lalu katanya, "Ya, benar. Tak bisa
menang dengan kekuatan, biarlah kita melawannya dengan akal. Sakit hati ayah
bunda setinggi langit, dendam kesumat ini harus kubalas, maka tentang peraturan
dan etika kangouw tak perlu lagi digubris, segala cara keji pun boleh
dipakai."
"Toako, selain dendam
ayah-ibu kandungmu, ada pula sakit hati pembunuhan ayah-bunda angkat dan dendam
kesumat gurum Hian-koh
Taisu," kata A Cu.
"Benar!" seru Siau
Hong mendadak sambil mengebrak meja. "Sakit hati berganda itu masakah cuma
sekali urus dapat selesai?"
"Toako, dahulu waktu
engkau belajar silat dengan padri saleh dari Siau-lim-su itu, mungkin karena
usiamu masih terlalu muda hingga lwekang yang paling hebat dari Siau-lim-si itu
tidak lengkap kaupelajari. Coba kalau engkau mempelajarinya, betapa lihai
It-yang-ci dari keluarga Toan di Tayli juga bukan tandingan 'Ih-kinkeng'
ciptaan Dharma Cosu dari Siau-lim-si." demikian kara A Cu. "Aku
pernah dengar cerita Buyung-loya tentang berbagai aliran ilmu silat di dunia
ini, beliau mengatakan ilmu silat andalan keluarga Toan di Tayli yang paling
lihai bukanlah It-yang-ci, tapi semacam ilmu yang disebut
Lak-meh-sin-kiam."
"Benar," kata Siau
Hong sambil berkerut kening. "Buyung-cianpwe itu adalah orang kosen
Bu-lim, setiap pandangannya memang tepat sekali. Sebabnya aku merasa sedih tadi
justru sedang memikirkan Lak-meh-sinkiam yang lihai itu."
"Dahulu waktu Buyung-loya
membicarakan ilmu silat di dunia ini dengan Kongcu, selalu aku berdiri di
samping untuk melayani mereka, dengan sendirinya aku dapat mendengar
sedikit-banyak apa yang mereka percakapkan." demikian A Cu menutur lebih
jauh."Menurut Buyung-loya, ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si yang
terkenal itu sebenarnya cuma ciasa saja, selain dapat memainkan, bahkan beliau
dapat mematahkan setiap ilmu silat itu!"
"ai, sungguh Cianpwe yang
hebat, sungguh menyesal aku tidak dapat berkenalan dengan beliau," kata
Siau Hong dengan gegetun.
Maka A Cu menyambung pula
ceritanya,
"Waktu itu Buyung-kongcu
telah menjawab, 'Ayah, Kohbo (bibi) dari keluarga Ong dan Piaumoay justru suka
mengagulkan pengetahuan mereka yang luas dalam hal ilmu silat di jagat ini,
tapi kalau cuma luas pengetahuannya tanpa mempelajari dengan mahir, apa gunanya?'dan
Buyung-loya menjawab, "Bicara tentang mahir tidak gampang soalnya? Padahal
ilmu silat sejati Siau-lim-pai terletak pada kitab Ih-kin-keng, asal kitab itu
dapat dibaca dan dilatih hingga sempurna, maka segala ilmu silat yang biasa
jika dimainkan pasti akan berubah menjadi maha sakti dan tiada terkatakan daya
gunanya!"
"Siau Hong
mengangguk-angguk tanda sependapat dengan cerita itu. Memang, asal dasarnya tak
terkatakan. Itulah makanya tempo hari ia menolong A Cu tanpa memikirkan sebab
dan akibatnya.
Maka A Cu berkata pula,
"Tatkala mana Buyung-loya telah menguraikan kitab Ih-kin-keng dari
Siau-lim-pai
secara jelas kepada Kongcu.
Kata beliau, 'Ih-kin-keng dari Dharma Cosu itu meski tidak pernah kulihat, tapi
kalau dilihat secara ilmiah dalam ilmu silat, sebabnya Siau-lim-pai dapat
tersohor sebenarnya adalah jasa Ihkin-keng itu. Ke-72 macam ilmu silat yang
hebat itu meski masing-masing ada kebagusan sendiri-sendiri, tapi kalau melulu
mengandalkan ke-72 macam ilmu itu rasanya masih belum cukup untuk memimpin
dunia persilatan dan dipuja sebagai pusat ilmu silat dunia.
"Walaupun demikian, Loya
lantas memberi petua kepada Kongcu agar jangan dumeh ilmu silat warisan leluhur
sendiri sangat hebat, lalu memandang enteng anak murid Siau-lim-pai. Dengan
memiliki Ih-kin-keng, bukan mustahil dalam Siau-lim-si itu terdapat padri yang
berbakat kuat hingga dapat memahami isi kitab pusaka itu.
"Pandangan
Buyung-siansing itu memang benar dan sangat tepat," ujar Siau Hong.
"Dan sesudah Loya
meninggal dunia, terkadang Kongcu suka membicarakan pesan Loya, katanya selama
hidup beliau boleh dibilang sudah pernah melihat segala macam ilmu silat di
dunia ini, cuma sayang 'Lak-mehsin-kiam-keng' dari keluarga Toan di Tayli dan
'Ih-kin-keng' dari Siau-lim-pai, hanya dua macam kitab itulah yang belum pernah
dilihatnya.
"Dalam pembicaraan Loya
kedua kitab ilmu silat itu telah disinggung bersama, maka dapat diduga, jika
ingin melawan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Tayli, agaknya orang harus
menggunakan Ih-kin-keng dari Siaulim-pai itu. Maka bila orang dapat mencuri
Ih-kin-keng yang disimpan di Po-te-ih dalam Siau-lim-si itu, lalu melatihnya
selama beberapa tahun, maka terhadap Lak-meh-sin-kiam atau Chit-meh-im-to apa
segala kuyakin tidak perlu takut lagi."
"Bicara sampai di sini,
wajah A Cu menampilkan sikap senyum tak senyum yang aneh.
Mendadak Siau Hong melonjak,
teringat sesuatu olehnya, serunya dengan tertawa, "Hah, kiranya engkau ...
engkau setan cilik ini ...."
"Toako," sahut A Cu
dengan tertawa, "dengan mencuri kitab ini sebenarnya maksudku akan
kupersembahkan kepada Buyung-kongcu, dan sesudah dibacanya akan kubakar di
depan makam Loya untuk memenuhi harapannya yang belum tercapai pada masa
hidupnya. Tapi kini, sudah tentu kupersembahkan kitab ini kepadamu."
Habis berkata, terus saja ia
mengeluarkan satu bungkusan kecil dan diserahkan pada Siau Hong.
Seperti diketahui, malam itu
dengan mata kepala sendiri Siau Hong menyaksikan A Cu menyamar menjadi Tijing
Hwesio dan berhasil mencuri sesuatu dari balik cermin perunggu di ruang
Po-te-ih di Siau-lim-si itu,
sungguh tak tersangka bahwa
barang curian it adalah Ih-kin-keng yang merupakan Lwekang-pit-kip atau kitap
pusaka berlatih lwekang yang paling hebat dari Siau-lim-pai.
Waktu A Cu tertawan di
Cip-hian-ceng, karena dia adalah kaum wanita, para ksatria tidak menggeledah
badannya, dengan sendirinya Hian-cit dan Hian-lan Taisu dari Siau-lim-si itu
mimpipun tidak menyangka bahwa kitab pusaka biara mereka justru berada pada gadis
itu.
Begitulah maka Siau Hong
geleng-geleng kepala, katanya, "Kamu telah menyerempet bahaya dan akhirnya
berhasil mencuri kitab ini, jika maksud tujuanmu sebenarnya hendak
dipersembahkan kepada Buyung-kongcu, mana boleh sekarang aku menerimanya?"
"Toako," kata A Cu,
"Engkau salah!"
Siau Hong menjadi heran,
sahutnya,"Mengapa aku salah?"
"Habis kitab ini kucuri
bukan atas perintah Buyung-kongcu, tapi adalah maksud yang timbul dari
pikiranku sendiri. Sekarang ingin kuserahkan kitab ini kepada siapa saja kan
tiada yang dapat melarang aku? Apalagi jika kitab ini sudah kaubaca, kita masih
dapat menyerahkan pula kepada Buyung-kongcu. Dendam kesumat ayahbundamu harus
dibalas, maka segala jalan baik yang terang-terangan, maupun yang sembunyi,
baik yang keji maupun yang kotor juga harus kita tempuh, mengapa soal pinjam
lihat satu jilid kitab seperti ini mesti main sungkan?"
Ucapan A Cu benar-benar telah
menggugah semangat Siau Hong, dengan sungguh-sungguh ia memberi hormat kepada
si gadis, katanya, "Memang benar teguran Hianmoay, demi urusan besar
masakah mesti pikirkan soal kecil?"
A Cu tertawa, sahutnya,
"Apalagi engkau sendiri asalnya juga anak murip Siau-lim-pai, dengan
memakai ilmu Siau-lim-pai untuk membalas sakit hati Hian-koh Taisu justru suatu
tindakan yang tepat dan masuk diakal, masakah keliru perbuatan kita ini?"
Sungguh girang dan terima
kasih Siau Hong tak terhingga. Segera ia membuka buntalan kertas minyak tadi,
ia lihat isinya adalah satu jilid buku kecil berwarna kuning. Di atas kulit
buku tertulis beberapa huruf aneh yang tak dikenalnya.
Diam-diam Siau Hong mengeluh.
Ia coba membalik halaman pertama kitab itu, ia lihat di situ penuh tertulis
huruf yang mencang-mencong ada yang melingkar-lingkar, ada yang serabutan
seperti cakar ayam, satu huruf
pun tak dikenalnya.
"Ai, kiranya tulisan
Hindu kuno, sialan!" demikian seru A Cu. "Waktu aku menyaru sebagai
Ti-jing Hwesio, di sana aku dapat menyelidiki dengan jelas, bahwa kitab asli
Ih-kin-keng tersimpan di suatu tempat rahasia di ruang Po-te-ih. Dan hasilnya
apa yang kucuri ini memang benar adalah kitab dalam naskah aslinya, tahu
begini, lebih baik aku mencari kitab salinannya saja dalam bahasa kita. Ai,
pantas saja padri-padri itu tidak begitu pusing karena kitab pusaka mereka
dicuri, kiranya disebabkan kitab ini tiada seorangpun diantara mereka yang
dapat membacanya ...."
Sambil berkata, berulang-ulang
ia menghela napas dengan menyesal dan lesu.
Siau Hong menuangi mangkuknya
pula hingga penuh, lalu katanya, "Hianmoay, urusan ini tidak perlu dipikirkan
lagi ...."
"Hai, ada akal!"
mendadak A Cu berseru sambil melonjak girang. "Aku yakin ada seorang yang
kenal tulisan Hindu kuno ini. Ialah seorang Hoanceng (padri asing), kepandaian
padri itu pun sangat hebat."
"Lalu ia ceritakan
kejadian Toan Ki ditawan oleh Cumoti, yaitu padri sakti negeri Turfan, dan
mengondolnya ke Koh soh hendak mencari Buyung-siangsing, tapi tak bertemu.
Cerita ini baru pertama kali
didengar Siau Hong, keruan ia sangat heran bahwa ada seorang padri asing yang
begitu lihai. Cuma ia pun ragu, sebab ilmu silat A Cu sendiri tidak terlalu
tinggi, untuk menilai kepandaian orang lain mungkin tidak tepat menurut kenyataannya,
apalagi Cumoti itu juga tidak pernah bergebrak sungguh dengan jago kelas satu
di hadapan A Cu, maka cerita itu tidak terlalu dalam berkesan di dalam hati
Siau Hong,ia pikir sesudah padri itu tidak menemukan orang yang dicarinya,
mungkin kini sudah pulang ke Turfan.
Segera ia bungkus kembali
kitab Ih-kin-keng itu dan diserahkan kepada A Cu.
"Simpanlah di tempatmu
kan sama saja? Masakah di antara kita masih ada perbedaan antara punyamu dan
punyaku?" ujar A Cu.
Siau Hong tersenyum, lalu ia
masukkan bungkusan itu ke dalam bajunya. Segera ia tenggak habis lagi semangkuk
araknya.
Dan selagi ia hendak minum
pula, tiba-tiba terdengar suara ramai orang bertindak di luar pintu, mendadak
muncul seorang laki-laki tegap
yang sekujur badannya berlumuran darah, tangannya membawa sebatang kapak besar
sambil mengabat-abitkan senjata itu ke udara dengan serabutan.
Laki-laki tegap itu penuh
berewok, sikapnya gagah dan tangkas, tapi sinar matanya tampak buram,
kelakuannya seperti orang kurang waras, terang seorang gila.
Siau Hong melihat kapak yang
dibawa orang itu buatan dari baja murni, mantap sekali bobotnya, tapi ketika
diputar orang itu, bukan saja gerak-geriknya sangat teratur, bahkan serangannya
tangkas dan penjagaannya rapat, terang bukanlah sembarangan orang gila.
Banyak tokoh Tiongoan yang
dikenal Siau Hong, tapi laki-laki ini ternyata tidak dikenalnya,
pikirnya,"Pohhoat (ilmu permainan kapak) orang ini terang sangat hebat
tapi mengapa tidak pernah kudengar ada seorang jago selihai ini?"
Dalam pada itu laki-laki itu
memainkan kapaknya semakin kencang sambil berteriak-teriak, "Lekas, lekas
memberi lapor kepada Cukong, katakan musuh sudah datang!"
Karena dia mengabit-abitkan
kapaknya di tengah jalan, dengan sendirinya orang yang ingin lewat menjadi takut.
Dari sikap orang yang cemas dan kuatir itu, Siau Hong menduga laki-laki itu
pasti mengalami sesuatu kejadian yang menakutkan, dari permainan kapaknya itu
dapat dilihat pula tenaganya mulai lemah, tapi lakilaki itu masih terus
bertahan sekuatnya sambil berteriak-teriak pula, "Cu-hiante, lekas mundur,
tak usah urus diriku, lekas memberi kabar kepada Cukong(majikan) lebih
penting!"
"Orang ini membela
majikannya dengan setia, nyata seorang laki-laki yang harus dipuji, caranya
memainkan kapaknya ini sangat memakan tenaga, luka dalam yang akan dideritanya
tentu sangat parah." demikian pikir Siau Hong. Segera ia melangkah keluar
kedai dan mendekati laki-laki itu, katanya ,"Lauhia (saudara), apakah suka
kuajak minum barang secawan dulu?"
Tapi laki-laki itu menjawabnya
dengan mata mendelik, mendadak ia berteriak. "Tai-ok-jin, jangan kaulukai
Cukongku!"
Berbareng itu kapaknya terus
membacok ke atas kepala Siau Hong.
Keruan orang-orang yang
menonton di pinggir jalan sama berteriak kaget.
"Siau Hong juga terkesiap
ketika mendengar kata "Tai-ok-jin". Pikirnya, "Aku dan A Cu
justru ingin mencari Tai-ok-jin untuk menuntut balas, kiranya musuh laki-laki
ini pun Tai-ok-jin. Meski Tai-ok-jin yang dimaksudkan belum tentu orang yang
sama daripada Tai-ok-jin yang hendak kami cari itu, tapi betapapun biarlah
kutolong dulu orang ini."
Karena itu, bukannya dia
mundur untuk menghindarkan serangan laki-laki gila itu, sebaliknya ia mendesak
maju terus menutuk hiat-to di iga orang.
Tak tersangka, meski pikiran
laki-laki itu kurang waras, tapi ilmu silatnya ternyata sangat hebat. Kapak
yang luput mengenai sasarannya tadi terus diayun naik ke atas untuk menjojoh
perut Siau Hong.
Coba kalau ilmu silat Siau
Hong tidak jauh lebih tinggi daripada laki-laki itu, pasti serangan ini akan
melukainya. Maka cepat Siau Hong ulur tangan kirinya dan tahu-tahu orang itu
kena dipegang olehnya terus ditariknya.
Tarikan itu mengandung tenaga
dalam yang sangat kuat, memangnya laki-laki itu sudah dalam keadaan payah,
dengan sendirinya ia tidak tahan. Badan tergetar dan mendadak ia menubruk ke
arah Siau Hong. Rupanya ia menjadi nekat dan bermaksud gugur bersama dengan
lawan.
Tapi tangan Siau Hong sangat
panjang dan kuat, sekali ia rangkul, tepat laki-laki itu kena disikapnya, sedikit
ia kerahkan tenaga, orang itu tidak bisa berkutik lagi.
Jilid 35
Dalam pada itu di tepi jalan
sudah banyak berkerumun penonton, demi menyaksikan Siau Hong dapat menaklukkan
orang gila itu, serentak mereka bersorak memuji.
Lalu sambil merangkul dan
setengah mennyeret Siau Hong membawa laki-laki itu ke dalam kedai arak serta
dipaksanya berduduk, katanya, "Silahkan minum arak dulu, saudara!"
Sambil berkata, ia terus
menuangkan semangkuk arak dan disodorkan ke hadapan laki-laki itu.
Dengan mata tak berkedip
laki-laki itu melototii Siau Hong hingga lama, akhirnya ia
bertanya,"Engkau ini orang ... orang baik atau orang jahat?"
Pertanyaan itu membikin Siau
Hong melengak hingga susah untuk menjawabnya. Syukur A Cu lantas menyambut
dengan tertawa,"Sudah tentu dia orang baik. Aku pun orang baik dan engkau
juga orang baik. Kita adalah kawan, marilah kita pergi untuk menghajar
Tai-ok-jin."
Orang itu tampak bingung
sebentar. ia pandang Siau Hong dan pandang A cu pula, seperti percaya dan
seperti tidak, selang sejenak baru ia berkata pula, "Dan ke manakah
Tai-ok-jin itu?"
"Kita adalah kawan, mari
kita pergi menghajar Tai-ok-jin," kata A Cu pula.
Mendadak laki-laki itu
berbangkit dan berseru,"Tidak, tidak! Tai-ok-jin itu terlampau lihai,
lekas beritahukan kepada Cukong agar beliau cepat mencari jalan untuk
menghindarinya. Biar aku merintangi Tai-ok-jin dan lekas kau pergi memberi
kabar kepada Cukong."
Habis berkata, segera ia
pegang kapaknya pula dan hendak melangkah pergi.
Namun Siau Hong lantas tahan
pundak orang, katanya," Sabar dulu, saudara. Tai-ok-jin belum datang.
Jangan kuatir. Siapakah Cukongmu? dia berada di mana?"
Tapi mendadak orang itu
berteriak malah,"Marilah Tai-ok-jin, ayo boleh kita coba-coba, biar Locu
menempurmu 300 jurus, jangan
harap kamu mampu mencelakai majikanku!"
Siau Hong dan A Cu kewalahan,
mereka saling pandang dan tak berdaya.
Sejenak kemudian, tiba-tiba A
Cu berseru, "Ai, celaka, kita harus lekas memberi kabar kepada Cukong.
Tapi di manakah Cukong berada sekarang? ke manakah perginya, jangan sampai
Tai-ok-jin dapat mencarinya."
"Ya, benar, lekas kauberi
kabar padanya!" seru laki-laki itu. "CUkong sedang pergi ke rumah
keluarga Wi di Hong-tiok-lim di Siau-keng-oh. Ayolah lekas pergi ke sana dan
memberi kabar padanya.
Lalu berulang-ulang ia
mendesak pula dengan penuh rasa kuatir.
Wah, Siau-keng-oh? Itu jarak
yang tidak dekar," demikian mendadak si pelayan kedai arak menimbrung.
Mendengar bahwa ada suatu
tempat yang benar bernama "Siau-keng-oh" (danau cermin kecil),segera
Siau Hong bertanya, "Di manakah letak tempat itu? Berapa jauhnya dari
sini?"
"Kalau tanya orang lain
mungkin tak tahu, kebetulan tuan bertemu aku, maka untunglah bagi tuan, sebab
aku berasal dari daerah Siau-keng-oh, sungguh sangat kebetulan.
Kuatir si pelayan bicara
bertele-tele lagi, segera Siau Hong menggebrak meja dan membentak,"Lekas
katakan, jangan melantur!"
Sebenarnya si pelayan
bermaksud mencari persen dengan keterangannya yang akan diberitakan itu, tapi
karena digertak Siau Hong, ia jadi tidak berani jual mahal lagi, segera ia
menutur,"Siau-keng-oh terletak di arah barat laut, dari sini tuan harus
lurus ke jurusan barat, kira-kira tujuh li jauhnya, jika di tepi jalan tuan
melihat empat pohon liu besar berjajar, dari situ tuan harus membelok ke utara,
setelah 10 li lagi, di mana terdapat satu jembatan batu, tapi jangan tuan
menyeberangi jembatan ini jika tuan tidak ingin kesasar, sebaliknya tuan harus
ambil jalan menyeberang melalu sebuah jembatan kayu disebelah kanannya. Lewat
jembatan kayu kecil itu, sebentar belok ke kiri dan sebentar putar ke kanan,
pendek kata, jalan terus mengikuti jalan batu itu, kira-kira 20 li pula,
akhirnya tuan akan melihat sebuah danau yang airnya sangat bening laksana kaca,
itulah yand disebut Siau-keng-oh. Itu pula tempat yang tuan hendak cari."
Sungguh dongkol sekali Siau
Hong oleh cara menutur si pelayan yang bertele-tele itu, tapi dengan sabar ia
berusaha menunggu sampai selesainya penuturan pelayan itu, lalu ia sodorkan
beberapa mata uang kepadanya
sebagai persen jual omongnya
itu.
Dalam pada itu orang tadi
masih terus mendesak, "Ayolah, lekas sampaikan kabar kepada Cukong, jika
terlambat mungkin tidak keburu lagi. Tai-ok-jin itu teramat lihai."
"Siapakah Cukongmu
itu?" tanya Siau Hong.
"Cukong ... Cukong, ah,
tempat perginya itu tidak boleh kuberitahukan kepada siapa pun, maka janganlah
kaupergi ke sana," kata orang itu.
"Kamu she apa?" seru
Siau Hong mendadak.
"Aku she Siau,"
sahut orang itu.
Siau Hong menjadi curiga,
"Aneh, mengapa ia pun she Siau? Jangan-jangan dia bohong dan sengaja
hendak mengolok-olok padaku? Apakah dia sengaja hendak memancing aku pergi ke
Siau-keng-oh?"
Tapi segera terpikir pula
olehnya," Jika dia sengaja memancing aku ke sana atas perintah Tai-ok-jin,
itulah sangat kebetulan, memang aku sendiri juga lagi hendak mencarinya.
Biarpun Siau-keng-oh itu merupakan sarang harimau atau kubangan nagajuga aku
tidak gentar."
Setelah ambil keputusan itu,
segera ia berkata kepada A Cu, "Marilah pergi ke Siau-keng-oh, jika
majikan saudara ini berada di sana, tentu kita dapat mencarinya."
Lalu ia berpaling kepada orang
itu, katanya,"Saudara tentu sudah sangat lelah, silahkan mengaso dulu di
sini, biarlah aku mewakilkanmu mengirim kabar kepada majikanmu bahwa sebentar
lagi Ta-ok-jin itu akan datang."
"Ya, terima kasih, banyak
terima kasih! Aku harus pergi merintangi Tai-ok-jin itu agar dia tak bisa
datang ke sana," kata orang itu, lalu ia berdiri dan bermaksud putar
kapaknya lagi. Tapi rupanya ia sudah kehabisan tenaga, biarpun kapak itu masih
dapat dipegangnya dengan kencang, tapi sudah tidak kuat lagi untuk
mengangkatnya.
"Sudahlah, lebih baik
saudara mengaso saja di sini," ujar Siau Hong. Lalu ia membereskan
rekening minumnya, bersama A Cu segera ia menuju ke barat menurut petunjuk si
pelayan tadi.
Antara tujuh-delapan li
jauhnya, benar juga di tepi jalan terdapat beberapa pohon liu yang rindang. Di
bawah salah satu pohon itu duduk seorang petani. Petani itu duduk bersandar
pohon, kedua kakinya terendam di dalam lumpur sawah di tepi jalan.
Pemandangan seperti itu
sebenarnya adalah sangat umum di pedesaan, tapi muka petani itu ternyata
berlepotan darah, pundaknya memanggul sebatang cangkul yang bentuknya sangat
aneh, mata cangkul itu tajam sekali, setiap orang yang melihatnya pasti segera
akan tahu cangkul itu adalah sejenis senjata yang sangat lihai.
ketika Siau Hong mendekatinya,
didengarnya pernapasan petani itu terengah-engah, itulah tanda orang terluka
dalam yang parah.
Tanpa pikir Siau Hong terus
tanya, "Numpang tanya Toako ini, kami diminta oleh seorang kawan yang
bersenjata kapak agar mengirim berita ke Siau-keng-oh, apakah betul ini jalan
menuju ke Siau-keng-oh?"
Petani itu mendongak,
tiba-tiba ia balas tanya malah,"Sobat berkapak itu mati atau hidup
sekarang?"
"Ia hanya kehabisan
tenaga, rasanya tidak berbahaya bagi jiwanya." sahut Siau Hong.
Petani itu menghela napas lega
dan mengucapkan syukur, lalu katanya, "Harap kalian membelok ke utara
sana, budi pertolongan kalian ini takkan kulupakan."
Mendengar tutur kata orang
bukan sembarangan petani desa, segera Siau Hong tanya pula,"Siapakah she
saudara? Apakah kawan saudara orang berkapak itu?"
"Aku she Tang," sahut
petani itu. "Silakan tuan lekas menuju ke Siau-keng-oh, Tai-ok-jin itu
sudah lewat sejak tadi, sungguh memalukan kalau diceritakan, ternyata aku tidak
sanggup merintanginya."
Melihat orang terluka parah,
Siau Hong pikir apa yang dikatakan itu pasti tidak dusta, apalagi dilihatnya
petani she Tang itu sangat sederhana dan tulus sikapnya, mau-tak-mau
menimbulkan rasa suka Siau Hong, Katanya,"Tang-toako, lukamu tidak enteng,
dengan senjata apakah Tai-ok-jin itu melukaimu?"
"Dengan sebatang pentung
bambu," sahut petani itu.
"Pentung bambu? apakah
Pak-kau-pang yang biasa kugunakan itu?" demikian pikir Siau Hong dengan
terkesiap.
Ia lihat darah mengucur terus
dari dada petani itu, ia coba menyingkap baju orang dan memeriksanya, ternyata
dada orang terluka satu lubang sebesar jari dan cukup dalam. Jika betul lobang
luka itu kena dijojoh oleh pentung bambu maka terang pentung bambu itu jauh
lebih kecil daripada Pak-kau-pang.
Segera Siau Hong menutuk
beberapa hiat-to di sekitar luka petani itu untuk mencegah darah keluar lebih
banyak dan menghilangkan rasa sakit. Sedang A Cu lantas mengeluarkan sebuah
kotak kecil, ia buka kotak itu dan mengorek sedikit salep dari kotak itu untuk
dipoleskan pada luka orang. Katanya kepada Siau Hong, "Obat ini adalah
pemberian Tam kong tempo hari, waktu engkau terluka, mestinya akan kububuhkan
obat muzijat ini pada lukamu, tapi waktu itu aku tak dapat menemukanmu."
Sementara itu si petani telah
berkata pula, "Atas budi kebaikan tuan-tuan, sungguh aku merasa terima
kasih tidak terhingga. Sekarang mohon tuan-tuan suka lekas menyampaikan berita
itu kepada majikanku di Siaukeng-oh."
"Sebenarnya siapakah nama
majikanmu, bagaimana mukanya?" tanya Siau Hong.
"Asal tuan-tuan sampai di
tepi Siau-keng-oh tentu akan melihat di barat danau itu ada hutan bambu, itulah
Hong-tiok-lim (hutan bambu persegi), bambu yang tumbuh di situ berbentuk
persegi semua, di tengah timba bambu itu ada beberapa petak rumah bambu dan
tuan boleh berseru di luar rumah itu,"Thian-he-te-it-ok-jin (orang jahat nomor
satu di dunia) telah datang, lekas sembunyi dan menghindarinya!" dengan
demikian sudah cukuplah dan tuan tidak perlu masuk ke rumah itu. Adapun tentang
nama majikanku biarlah kelak akan kuberitahu," demikian tutur petani ini.
Diam-diam Siau Hong heran, tapi
iapun tahu banyak antangan orang kangouw yang tidak suka diketahui orang luar.
Tapi dengan demikian Siau Hong menjadi tidak ragu-ragu lagi, pikirnya,
"Jika orang sengaja hendak memancing aku ke sana, apa yang dikatakan pasti
akan dikarang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa curigaku. Tapi orang
ini bertutur setengah-setengah dan tidak mau bicara terus terang, hal ini
menandakan dia tidak bermaksud jahat."
Karena pikiran itu, segera
Siau Hong menyatakan baik akan melaksanakan permintaan orang. Maka petani itu
lantas meronta bangun dan berlutut di depan Siau Hong.
"Sudahlah, sekali
berkenalan kita lantas cocok satu sama lain, tidak perlu Tang-heng banyak adat,"
ujar Siau Hong sambil membangunkan orang. Berbareng tangan yang lain ia terus
mengusap muka sendiri hingga hilang
samarannya,ia perkenalkan diri
pada petani itu dengan wajah yang asli, katanya "Caihe adalah Siau Hong,
orang Cidan, sampai berjumpa pula kelak."
Dan tanpa menunggu jawaban
orang lagi segera ia gandeng tangan A Cu dan melanjutkan perjalanan ke arah
utara.
"Apakah kita tidak perlu
menyaru lagi?" tanya A Cu di tengah jalan.
"Ya, entah mengapa aku
menjadi sangat suka kepada laki-laki tulus yang berbentuk orang desa itu, jika
aku berniat berkawan dengan dia, dengan sendirinya tidak pantas aku berkenalan
dengan dia dengan muka palsu," sahut Siau Hong.
"Baiklah jika begitu, aku
pun akan kembali dalam pakaian wanita saja," kata A Cu.
Segera ia menuju ke tepi
sungai, cepat ia cuci mukanya, lalu tanggalkan kopiahnya, maka tertampaklah
rambutnya yang hitam pekat, bila jubahnya yang longgar itu dicopot pula maka
tertampaklah pakaian wanita yang memang sudah dipakainya bagian dalam.
Sesudah hampir 10 li lagi,
dari jauh mereka melihat sebuah jembatan batu melintang di antara ke dua tepi
sungai. Sesudah dekat, tertampaklah di tengah jembatan itu berjongkok seorang
Su-sing (pelajar/sastrawan).
Orang itu lagi membentang
sehelai kertas putih yang sangat lebar di tengah jembatan, di samping kertas
terdapat pula sebuah hi (tempat tinta) yang besar, di atas hi sudah penuh
tergosok tinta hitam. Su-sing itu sedang angkat pit (pensil Tionghoa) dan
menggores-gores di atas kertas.
Siau Hong dan A Cu merasa heran,
masakah ada orang membawa kertas, pit dan hi begitu untuk menulis di atas
jembatan yang terletak di tempat sunyi begini, kan lebih enak menulis di rumah
saja?
Dan sesudah didekati barulah
diketahui bahwa Su-sing itu bukan sedang menulis, tapi lagi melukis. Yang
dilukis adalaha pemandangan alam di sekitar jembatan itu. Dia berjongkok di
tengah jembatan dan menghadap ke arah Siau Hong dan A cu tapi yang paling aneh
adalah lukisan yang digoresnya itu justru menghapad pula ke arah Siau Hong dan
A Cu, jadi cara melukis Su-sing itu terbalik, goresannya menuju ke arah yang
berlawanan daripada pelukisnya.
Siau Hong sendiri tidak paham
seni lukis, sedang A Cu sudah biasa melihat lukisan indah di rumah
Buyungkongcu, aka "lukisan terbalik" karya Su-sing itu dianggapnya
tiada sesuatu yang luar biasa, hanya caranya
melukis secara terbalik itulah
yang rada janggal.
Dan selagi A Cu bermaksud maju
menyapa, tiba-tiba Siau Hong menjawilnya dan mengajaknya ke arah sebuah
jembatan kayu di sebelah kanan sana.
"Kalian sudah melihat
caraku melukis dengan terbalik, mengapa sedikitpun tidak gubris? Apakah
barangkali kepandainku ini sama sekalu tiada harganya untuk dipandang
kalian?" demikian tiba-tiba Su sing itu bersuara.
"Kata Khonghucu, kursi
yang tak tegak tak diduduki, daging yang tak baik tak dimakan. Seorang
laki-laki sejati tidak nanti melihat lukisan terbalik," demikian A Cu
menjawabnya dengan tertawa.
Su-sing itu terbahak, segera
ia lempit kertasnya dan berkata, "Hah, benar juga ucapanmu, Silahkan
lewatlah!"
Siau Hong dapat menduga maksud
tujuan Su-sing itu, ia membentang kertas lebar di tengah jembatan, perlunya
agar orang lain tertarik, pertama tujuannya adalah mengulur waktu, kedua, untuk
memancing dan sengaja menyasarkan orang melalu jembatan batu itu, padahal jalan
yang tepat harus melalui jembatan kayu seperti petunjuk si pelayan kedai arak
itu.
Maka berkatalah Siau Hong,
"Kami hendak pergi ke Siau-keng-oh, jika melalui jembatan batu ini, tentu
kamu akan kesasar."
"Kesasar sih tidak,
paling-paling cuma berjalan putar lebih jauh 50-60 li saja, akhirnya toh akan
sampai juga di sana, maka lebih baik kalian melalui jembatan batu ini saja,
jalannya lebih lebar dan lebih enak ditempuh," demikian kata Su-sing itu.
"Ada jalan yang lebih
dekat, buat apa mesti mengambil jalan yang jauh?" ujar Siau Hong.
"Ingin cepat akhirnya
malah lambat, masakah kalian tidak kenal pepatah ini?" ujar Su-sing itu
dengan tertawa.
Tapi A Cu dapat melihat
kelakuan Su-sing itu sengaja hendak menghambat kepergian dirinya bersama Siau
Hong ke Siau-keng-oh, maka ia tidak mau masuk perangkap, ia tidak gubris ocehan
orang lagi terus melangkah ke jembatan kayu itu bersama Siau Hong.
Di luar dugaan, baru mereka
sampai di tengah-tengah jembatan kayu itu, mendadak kaki mereka terasa
menginjak tempat lunak,
terdengar suara "kreak" beberapa kali, jembatan kayu itu mendadak
patah bagian tengah hingga Siau Hong dan A Cu terjeblos ke dalam sungai.
Untung Siau Hong cukup sigap,
cepat tangan kiriya merangkul pinggang A Cu, berbareng kaki kanan menutul papan
jembatan kayu, dengan tenaga enjotan itulah laksana burung saja ia melayang ke
depan hingga mencapai tepi sungai di seberang sana. Menyusul sebelah tangan
yang lain menyampuk ke belakan untuk menjaga kalau diserang musuh.
Tapi Su-sing itu cuma
terbahak-bahak saja, katanya, "Kepandaian hebat, sungguh hebat! Kalian
berdua buruburu hendak pergi ke Siau-keng-oh, sebenarnya ada urusan
apakah?" dari suara tertawa orang dapat Siau Hong dengar mengandung rasa
kuatir, diam-diam Siau Hong bersangsi jangan-jangan Su-sing itu adalah begundal
Tai-ok-jin, maka ia tak menjawabnya lagi, tapi terus bertindak pergi bersama A
Cu.
Tidak jauh, tiba-tiba dari
belakang ada suara tindakan orang yang cepat, waktu ia menoleh, dilihatnya
Su-sing itu lagi menyusulnya, segera Siau Hong putar tubuh dan menegurnya
dengan wajah kurang senang,"Sebenarnya saudara mau apa?"
"Caihe juga akan pergi ke
Siau-keng-oh, kebetulan satu jurusan dengan kalian," sahut Su-sing itu.
"Bagus jika begitu,"
kata Siau Hong. Dengan tangan kiri ia pegang pinggang A Cu, sekali melangkah,
tahutahu sudah belasan meter jauhnya gadis itu dibawa melayang ke depan, begitu
enteng dan gesit hingga mirip orang main ski cepatnya.
Cepat Su-sing itu lantas
menguber, tati tetap tak bisa menyusul, jaraknya makin jauh tertinggal di
belakang.
Melihat kepandaian Su-sing itu
cuma biasa saja, maka Siau Hong tidak ambil perhatian lagi, ia masih terus
berjalan secepat angin, meski dengan menggondol A Cu, tapi kecepatannya tidak
menjadi berkurang. Kira-kira satu tanakan nasi lamanya, Su-sing itu sudah
ketinggalan hingga hilang dari pandangan mata.
Jalanan itu ternyata sangat
sempit, terkadang cuma cukup dilalui seorang saja, malahan sepanjang jalan
banyak tumbuh rumput alang-alang yang terkadang sebatas pinggang hingga jalan
itu susah dikenali, untung sebelumnya mereka telah diberi keterangan oleh si
pelayan kedai arak hingga tidak sampai kesasar. Kira-kira setengah jam
kemusian, sampailah mereka di tepi sebuah danau, air danau itu tenang dan
jernih, pantas namanya disebut Siau-kong-oh atau danau cermin kecil.
Dan selagi Siau Hong hendak
mencari di mana letak Hong-tiok-lim yang dicari itu, tiba-tiba terdengar di
antara semak-semak bunga sebelah kiri danau sana ada suara tertawa orang
terkikik-kik, menyusul sebutir batu kecil
tampak melayang keluar.
Siau Hong coba memandang ke
arah sambaran batu itu, maka terlihat di tepi danau sedang duduk seorang
nelayan yang memakai caping dan sedang mengail ikan. Saat itu pancingnya sedang
diangkat ke atas karena dapat mengail seekor ikan besar, tapi batu itu tepat
menyambar tiba dan mengenai tali pancingnya, "crit", tibatiba tali
pancing putus menjadi dua dan ikan yang mestinya sudah terkail itu tercemplung
kembali ke dalam danau.
Diam-diam Siau Hong
terkejut,"Cara sambitan orang itu sangat aneh sekali. Tali pancing adalah
benda lemas dan sukar ditimpuk, kau ditimpuk dengan pisau atau panah mungkin
masih dapat memutusnya, tapi batu adalah benda tumpul dan tali pancing itu dapat
ditimpuk putus juga olehnya, terang kepandaian menimpuk senjata rahasia yang
lemas dan aneh ini pasti bukan berasal dari daerah Tiongoan.
Ia yakin ilmu silat penimpuk
batu itu tidak terlalu tinggi, tapi dari kepandaian menimpuk yang tergolong
Siapai itu (aliran jahat) ia menduga besar kemungkinan orang adalah anak murid
atau begundal Tai-ok-jin itu. Cuma kalau didengar dari suara tertawa tadi
agaknya dia seorang gadis.
Dalam pada itu si nelayan
rupanya juga terkejut ketika tali pancingnya putus tertimpuk batu. Serunya
segera, "Siapa yang berkelakar dengan orang she Leng, silakan unjuk diri
saja!"
Di antara suara kresek
tersibaknya semak-semak bunga, maka menongol keluarlah seorang anak dara
berpakaian ungu mulus, usianya kurang lebih 15-16 tahun, lebih muda satu dua
tahun daripada A Cu, kedua matanya hitam besar, sekilas pandang Siau Hong
merasa anak dara ini ada beberapa bagian mirip A Cu.
Sekilas pandang di situ juga
ada seorang dara jelita, yaitu A Cu, segera gadis cilik itu tidak gubris si
nelayan lagi, tapi terus berlari-lari sambil melompat-lompat hingga menerbitkan
suara gemerincing dan menghampiri A Cu. Sesudah dekat ia tarik tangan A Cu dan
berkata dengan tertawa,"Wah, Cici ini sangat cantik, aku suka
padamu!"
Ternyata ucapannya rada pelo,
lafalnya kurang tepat, mirip orang asing baru belajar bicara dalam bahasa
Tiongkok.
Melihat gadis yang lincah itu,
A Cu menjadi suka juga padanya. Ia lihat kaki dan tangan anak dara itu memakai
sepasang gelang emas dan perak, gelang itu pakai kelaningan kecil, maka
menerbitkan suara gemerincing nyaring bila gadis itu bergerak.
Maka berkatalah A Cu,
"Kausendirilah yang cantik, aku pun sangat suka padamu."
Dalam pada itu si nelayan
sebenarnya akan marah, tapi demi tahu orang yang menggodanya itu adalah seorang
anak dara yang lincah dan menyenangkan, rasa gusarnya menjadi hilang sirna,
katanya,"Ai, nona cilik ini benar-benar terlalu nekat. Caramu menimpuk tali
pancing tadi juga sangat hebat."
"Apanya yang menarik
permainan mancing ikan? Bagiku sunnguh tak sabar untuk menunggu ikan makan
umpan, jika kauingin makan ikan, kenapa tidak gunakan kayu pancing untuk
menusuk ikan di dalam air itu?" demikian kata si gadis cilik.
Habis berkata, terus saja ia
ambil pancing si nelayan dan sekenanya ditusukkan ke dalam danau, benar juga
ketika tangkai pancing itu diangkat, tahu-tahu ujung tangkai sudah menancap
seekor ikan yang masih berkelojotan sambil meneteskan darah segar.
Berulang-ulang gadis itu
kerjakan pancing-nya pula naik-turun hingga sekejap saja lima-enam ekor ikan
yang tersunduk tangkai pancing, jadi mirid sujen sate ikan.
Diam-diam Siau Hong heran dan
terkejut oleh gerak tangan anak dara yang aneh dan indah itu, meski gerakan ini
rasanya belum cukup kuat untuk dipakai dalam pertempuran, tapi suatu tanda
kepandaian gadis itu sebenarnya memang lain daripada yang lain.
Sesudah menyunduk sate ikan,
kemudian gadis itu buang ikan-ikan tangkapannya itu ke tengah danau pula.
Melihat itu, si nelayan agak
kurang senang, katanya, "Seorang nona cilik muda belia, tapi tingkah
lakumu sudah begini kejam, kalau ikan itu kautangkap lalu dimakan sih masuk
akal, tapi sudah ditangkap dan dibunuh, lalu dibuang begitu saja, membunuh
secara sewenang-wenang begini sungguh tidak pantas.
"Aku justru ingin
membunuh secara sewenang-wenang, kaumau apa?" demikian gadis itu menjawab
dengan tertawa. Habis itu, terus saja ia menelikung tangkai pancing si nelayan,
maksudnya hendak mematahkannya menjadi dua.
Tak terduga gagang pancing itu
ternyata buatan dari logam yang ringan tapi uler, maka sukar untuk dipatahkan.
"Hm, kauingin mematahkan
gagang pancing-ku, masakah begitu mudah?" demikian si nelayan menjengek.
"he, siapakah itu?"
tiba-tiba gadis itu berseru sambil menuding ke arah sana.
Dengan sendirinya si nelayan
menoleh. Dan ketika tidak melihat apa-apa, segera ia sadar telah tertipu. Cepat
ia berpaling kembali, namun sudah terlambat, tertampak gagang pancing yang
merupakan senjata andalannya itu telah dilemparkan ke tengah danau oleh anak
dara itu, "plung", pancing itu tenggelam ke dasar sungai dan lenyap
tanpa bekas.
Keruan nelayan itu menjadi
gusar, bentaknya murka,"Budak liar dari mana, berani main gila di
sini?"
Berbareng tangannya lantas
mencengkeram bahu si gadus.
"Auuh, tolong!
tolong!" demikian anak dara itu berteriak-teriak sambil tertawa. Berbareng
ia terus sembunyi di belakang Siau Hong.
Segera si nelayan menubruk
maju hendak menangkap si gadis, gerakannya ternyata cepat luar biasa.
Tapi sekilas Siau Hong melihat
tangan anak dara itu telah bertambah semacam benda putih tembus pandang mirip
kain plastik, begitu tipis benda itu hingga hampir-hampir tidak kelihatan.
Ketika si nelayan menubruk ke
arahnya, entah mengapa mendadak kakinya keserimpet, tahu-tahu nelayan itu jauh
tersungkur, lalu meringkuk bagai udang.
Kiranya benda putih tipis yang
dipegang anak dara itu adalah semacam jaring ikan yang dibuat dari benang maha
lembut, meski halus benang itu dan bening pula hingga tembus pandang tapi
kekuatannya sangat ulet dan dapat mulur mengkeret, asal kena jaring sesuatu,
segera jaring mengkeret sendiri. Maka sekali nelayan itu masuk jaring, semakin
ia meronta, semakin kencang jaring itu mengkeret, hanya dalam sekejap saja
nelayan itu tak bisa berkutik lagi. Dengan marah-marah ia mendamprat,
"Budak setan, main gila apa-apaan ini, kamu berani menjebak aku dengan
ilmu sihir?"
Diam-diam Siau Hong terkejut
juga menyaksikan itu. Ia tahu si gadis tidak main ilmu sihir segala, tapi
jaring aneh itu memang rada-rada berbau sihir.
Dalam pada itu si nelayan
masih terus mencaci maki. Akhirnya si gadis berkata dengan tertawa, "Jika
kaumaki lagi, segera akan kupukul bokongmu !"
Keruan si nelayan melengak. Ia
adalah tokoh yang sudah ternama, apabila benar-benar gadis itu menghajar
bokongnya, kan bisa runyam.
Syukur pada saat itu juga,
tiba-tiba dari barat danau sana ada suara orang berseru, "Leng-hiante, ada
apakah di situ?"
Maka tertampaklah dari jalan
kecil di tepi danau sana muncul seorang dengan cepat.
Siau Hong dapat melihat orang
itu bermuka lebar, sikapnya gagah berwibawa, dandanannya sederhana, tapi cukup
ganteng, usianya lebih 40 tapi kurang dari 50 tahun.
Sesudah dekat dan demi melihat
si nelayan tertawan orang, ia heran dan tanya, "Kenapa kau,
Leng-hiante?"
Nona itu menggunakan ilmu ...
ilmu sihir ...." demikian si nelayan menutur dengan tak lancar.
Orang setengah umur itu
memandang ke arah A Cu. Tapi si dara nakal tadi lantas berseru dengan tertawa,
"Bukan dia, tapi aku inilah!"
"O," dengus orang
setengah umur itu, lalu ia angkat tubuh si nelayan yang besar itu dengan enteng
seperti mengangkat anak kecil, dengan teliti ia periksa jaring tipis yang
membungkus tubuh nelayan itu. Ia coba menariknya, tapi jaring itu sangat ulet,
semakin ditarik semakin erat malah, betapapun tak bisa dibuka.
Dengan tertawa anak dara nakal
berkata pula,"Asal dia mau menyebut tiga kali 'aku takluk padamu, nona!'
habis itu segera akan kulepaskan dia."
"Tiada manfaatnya
kaubikin susah Leng-hiante, akibatnya tentu tidak baik bagimu," ujar
laki-laki setengah umur itu.
"Apa benar?" sahut
si dara cilik. "Aku justru ingin tahu akibat jeleknya, semakin tidak baik
akibatnya, semakin senang aku."
Mendadak orang setengah umur
itu mengulur tangan terus hendak memegang bahu si gadis. Tapi dengan cepat
sekali gadis itu sempat
menyurut mundur, lalu ia bermaksud menggeser pergi.
Di luar dugaan gerak orang
setengah umur itu jauh lebih cepat daripada dia, sekali tangan membalik,
tahu-tahu bahu si gadis sudah terpegang.
Dengan mendakkan tubuh dan
miringkan pundak ana dara itu bermaksud melepaskan pegangan orang . Tapi
cengkeraman orang setengah umur itu terlalu kuat dan kencang, menyusul ada arus
hangat mengalir dari tangan masuk ke tubuh si gadis.
"Lekas lepaskan tanganmu!"
bentak dara nakal itu, berbareng tinjunya terus menjotos. Tapi baru tangannya
terangkat sedikit, mendadak lengan terasa lemas, akhirnya kepalan pun
menjulaiturun.
Selama hidup anak dara itu
tidak pernah ketemu musuh selihai ini, keruan ia ketakutan dan
berteriak-teriak, "Kamumain ilmu sihir apa? Lekas lepaskan aku,
lepas!"
"Asal kau omong tiga kali
'Aku takluk tuan', lalu bebaskan saudaraku dari kurungan jaringmu dan segera
kamu akan kulepas," demikian kata orang setengah umur itu dengan
tersenyum.
"Kauberani menganggu
nonamu ini, akibatnya takkan menguntungkanmu," ujar si dara.
"Semakin buruk akibatnya,
semakin senang aku!" demikian orang itu menirukan lagu si gadis tadi.
Sekuatnya anak dara itu
meronta-ronta, tapi tidak dapat melepaskan diri. Akhirnya ia berkata dengan
tertawa, "Huh, tidak malu, menirukan perkataanku! Baiklah, aku takluk
padamu, tuan!"
Maka dengan tersenyum orang
itu lantas melepaskan bahu si gadis yang dipegangnya, katanya, "Sekarang
lekas lepaskan jaringmu itu!"
"Itu sangat
gampang," ujar si gadis dengan tertawa. Segera ia mendekati si nelayan, ia
berjongkok untuk melepaskan ikatan jaring itu tapi menyusul tangan kiri
mengayun perlahan di bawah lengan baju kanan, sekonyong-konyong secomot sinar
hijau menyambar cepat ke arah si orang setengah umur.
A Cu menjerit kaget. Ia tahu
sinar hijau itu adalah sejenis Am gi atau senjata gelap yang berbisa. Cara
serang
anak dara itu sangat licik,
jaraknya dengan orang setengah umur itupun sangat dekat, maka pastilah serangan
itu akan kena sasarannya.
Sebaliknya Siau Hong cuma
menonton dengan tersenyum saja. Ketika laki-laki setengah umur itu menaklukkan
si dara, dari tenaga dalamnya yang kuat itu dapat diketahui oleh Siau Hong
bahwa orang itu pasti seorang tokoh sakti, kalau cuma serangan Am-gi yang
sepele itu sudah tentu takkan mampu mengapa-apakan orang itu.
Benar juga, segera terlihat
orang itu sedikit mengebaskan lengan bajunya, serangkum tenaga tak kelihatan
lantas menolak ke deapan, senjata rahasia si anak dara yang berupa jarum halus
berbisa itu kontan tersampuk ke samping dan jatuh semua ke danau.
Dari warna jarum yang
berwarna-warni itu, terang itulah Am-gi berbisa yang sangat jahat, sungguh tak
terduga olehnya bahwa baru sekali bertemu dengan nona cilik itu, sebelumnya
tiada permusuhan atau sakit hati apaapa, tapi anak dara itu tidak segan turun
tangan keji. Keruan laki-laki setengah umur itu menjadu gusar, ia pikir dara
cilik yang masih hijau itu harus diberi hajaran biar tahu adat.
Maka lengan bajunya yang lain
menyusul mengebas pula, kebasan itu membawa tenaga dalam yang kuat, keruan dara
cilik itu tidak tahan, tubuh ikut "tertiup" ke atas,
"plung", tanpa ampun lagi ia terlempar ke tengah danau.
Segera laki-laki setengah umur
itu melompat ke atas sampan yang tertambat di bawah pohon ia dayung sampan ke
tengah danau, maksudnya bila kepala dara cilik itu menongol keluar permukaan
air, segera ia akan jambak rambutnya untuk diangkat ke atas,
Akan tetapi, tunggu punya
tunggu, tetap gadis itu tidak menongol. Setelah menjerit sekali tadi anak dara
itu terus kecemplung ke dalam danau dan menghilang tanpa bekas.
Umumnya seseorang kalau
kecemplung ke dalam air, sesudah kenyang minum dan perutnya gembung, akhirnya
orang itu pasti akan muncul ke permukaan air. Dan jika perut orang itu sudah
penuh terisi air barulah orang itu akan tenggelam ke dasar danau.
Tapi aneh, sekarang anak dara
itu tidak terjadi seperti lazimnya, sekali dia tercebur, lalu menghilang tanpa
muncul lagi. Sesudah ditunggu agak lama tetap tidak kelihatan batang hidungnya.
Mau-tak-mau orang setengah
umur itu menjadi gugup. Mestinya tiada maksud hendak membunuh si dara nakal
itu, tujuannya cuma hendak memberi hajaran sedikit kepada anak dara yang ringan
tangan dan keji itu. Dan
kini bila dara itu terlanjur mati
kelelap, sungguh ia sangat menyesal.
Sebenarnya si nelayan adalah
tokoh yang mahir selulup, mestinya ia dapat menyelam ke dasar danau untuk
menolong si anak dara, tapi sayang ia masih terbungkus oleh jaring ikan itu,
sedikitpun tak bisa berkutik. Sedangkan Siau Hong dan A Cu tidak pandai
berenang sehingga tidak berdaya.
Maka terdengarlah orang
setengah umur itu berteriak-teriak," A Sing, A Sing! Lekas keluar
sini!"
"Ada urusan apa? Aku tak
mau keluar!" demikian terdengar sahutan seorang wanita dari hutan bambu
yang jauh berada di tepi danau sana.
Dari suara itu Siau Hong dapat
menarik kesimpulan, "Suara wanita itu genit merayu, tapi bersifat keras
hati pula. Meungkin seorang wanita jahil pula hingga akan menjadi tiga
serangkai dengan A Cu dan si dara nakal yang tercemplung ke danau tadi."
Dalam pada itu si orang
setengah umur lagi berseru pula, "Lekas kemari, A Sing! Ada orang mati
kelelep, lekas menolongnya!"
"Apa bukan kamu yang mati
kelelap!" sahut wanita itu.
"Jangan bergurau, A Sing.
Jika aku mati kelelap, masakah aku masih bisa bicara" kata orang itu.
"Ayolah, lekas kemari untuk menolong orang!"
"Jika kamu mati kelelap
barulah aku akan keluar untuk menolong," sahut wanita yang tak kelihatan
itu. "Dan kalau orang lain yang kelelap, biarkanlah, nanti aku menonton
keramaian saja!"
"Ayolah, kau mau kemari
atau tidak?" seru laki-laki itu dengan tak sabar, ia banting-banting kaki
di atas sampan, suatu tanda sangat gugup.
Maka terdengar wanita itu lagi
menjawab,"Jika orang laki-laki, aku akan menolongnya, kalau perempuan,
tidak mau aku menolongnya!"
Sambil bicara, suaranya
terdengar makin dekat, hanya sekejap saja orangnya sudah sampai di tepi danau.
Ketika Siau Hong danA Cu
memandang ke sana, terlihatlah wanita itu berbaju terang warna hijau muda,
usianya antara 35-36 tahun, kata bundar besar dan lincah, wajah cantik molek,
mulut mengulum senyum tak senyum.
Dari suaranya tadi sebenarnya
Siau Hong menduga orang paling banyak baru berumu 20-an tahun. Tak terduga dia
seorang nyonya muda yang sudah tidak muda lagi.
Melihat dandanannya yang serba
ringkas itu dapat diduga ketika mendengar seruan si lelaki setengah umur agar
suka menolong orang kelelap, lalu dia berganti pakaian sembari memberi jawaban
kepada laki-laki itu dan dalam waktu singkat selesailah ganti pakaian renang.
Laki-laki setengah umur itu
merasa girang melihat yang diundang sudah muncul, katanya cepta, "A Sing,
lekas kemari, akulah yang melemparkannya ke danau tanpa sengaja, tak tersangka
ia terus tenggelam."
"Coba terangkan dulu. Dia
pria atau wanita? Jika pria akan kutolong, kalau wanita, persetan!"
demikian wanita itu bertanya.
Siau Hong dang A Cu jadi
heran, pikir mereka, "lazimnya, mestinya dia menolak menolong kaum pria
karena tidak pantas bersentuhan badan antara kedua jenis yang berlainan. Tapi
sekarang ia justru ingin sebaliknya, hanya mau menolong kaum pria dan tidak
sudi menolong sesama kaumnya?"
Maka terdengar laki-laki
setengah umur menjawab tak sabar,"Ai, kamu ini memang suka mengada-ada.
Dia hanya seorang dara cilik belasan tahun, jangan kaupikir yang
tidak-tidak."
"Huh, apa bedanya bagimu
dara cilik belasan tahun atau nenek-nenek reyot? Asal ada semuanya akan
kauterima dengan tutup mata!"
demikian jengek wanita cantik
itu. Tapi ia menjadi merah jengah setelah mengetahui di situ masih ada dua
orang yang tak dikenalnya, yaitu Siau Hong dan A Cu.
Ternyata laki-laki setengah
umur itu tidak marah oleh olok-olok wanita itu, sebaiknya ia memberi hormat di
atas samana dan memohon," Sudahlah, A Sing, lekas kautolong dia, apa yang
kauinginkan, pasti akan kuturut."
"Apa benar segala apa
kaumau menurut padaku?" tanya si wanita cantik.
"Sudah tentu," sahut
orang itu. "Ai, sudah sekian lama nona cilik itu tenggelam, tentu jiwanya
sudah melayang ...."
"Kalau kuminta kautinggal
di sini untuk selamanya, apakah kaupun menurut?" demikian si wanita cantik
bertanya pula.
Laki-laki setengah umur itu
menjadi serba susah, sahutnya tergagap, "tentang ini ... ini ...."
"Nah, apa kataku?"
ujar si wanita cantik, "hanya mulut saja yang manis, baru saja omong,
sekarang sudah mungkir. Memang selamanya engkau tidak pernah menuruti
permintaanku ini."
Bicara sampai di sini,
suaranya kedengaran rada tersendat.
Siau Hong saling pandang
sekejap dengan A Cu, mereka merasa sangat heran atas kelakuan laki-laki
setengah umur dan wanita cantik itu. Usia kedua orang sudah tidak muda lagi,
tapi tingkah laku dan cara bicaranya mirip sepasang kekasih yang sedang memadu
cinta.
Tapi tingkah mereka juga tidak
serupa suami istri, lebih-lebih si wanita cantik, di hadapan orang luar cara
bicaranya sedikit pun tidak pantang,, bahkan pada saat bicara mengenai keselamatan
jiwa seseorang dia justru bicara hal-hal yang tiada sangkut paut dengan urusan
menolong jiwa orang itu.
Begitulah akhirnya laki-laki
setengah umur itu menghela napas, katanya sambil mendayung sampan ke tepi
danau, "Sudahlah, tidak perlu menolongnya lagi. Nona cilik itu menyerang
aku dengan Am-gi berbisa, jika mati juga pantas, marilah kita pulang
saja!"
"Mengapa tidak
menolongnya?" mendadak wanita cantik itu membantah, "Aku justru ingin
menolongnya. Kaubilang diserang Am-gi berbisa olehnya? Itulah bagus, kenapa
kamu tidak mampus kena senjatanya itu? Sayang, sungguh sayang!"
Ia tertawa ngikik sekali, tiba-tiba
ia melompat tinggi ke udara, lalu terjun ke dalam danau.
Kepandaian wanita cantik itu
dalam hal berenang ternyata sangat hebat, "plung", hanya menerbitkan
suara
perlahan saja waktu tubuhnya
menyelam ke bawah air,bahkan membuih pun tidak. Hanya sekejap saja lantas
terdengar suara air tersiak, "byuuur", wanita cantik itu telah
menongol ke permukaan air dengan tangan menyanggah tubuh si dara cilik berbaju
ungu tadi.
Laki-laki setengah umur itu
sangat girang, katanya di dalam hati. "Dia memang suka menggoda padaku.
Aku gugup dan ingin lekas menolong dara itu, dia justru tidak mau menolong
dengan macam-macam alasan. Sesudah aku bilang tidak perlu menolongnya lagi, dia
lantas terjun ke air dan menolongnya."
Maka cepat ia mendayung
sampannya memapak ke tengah danau.
Sesudah dekat, segera
laki-laki setengah umur itu mengulur tangan hendak menyambut badan si gadis
baju ungu yang tak brkutik itu, kedua mata anak dara itu tampak tertutup rapat,
bahkan napasnya seperti sudah berhenti, dengan sendirinya hal ini membikin
laki-laki itu rada menyesal.
Mendadak wanita cantik itu
membentak, "Tarik tanganmu, jangan kausentuh dia. Kamu ini mata keranjang,
tak dapat diercaya!"
"Ngaco balo!"
laki-laki itu pura-pura marah. "Selama hidupku ini tidak pernah mata
keranjang."
Mendadak wanita cantik itu
mengikik tawa, sambil mengangkat si dara baju ungu ia lompat ke atas sampan,
lalu katanya, "Ya, memang selamanya kamu tidak mata keranjang, tapi lebih
suka .... Ai ..."
Ia tidak melanjutkan
kata-katanya karena mendadak diketahuinya denyut jantung anak dara itu sudah
terhenti, napasnya dengan sendirinya juga sudah putus. Cuma perut anak dara itu
tidak kelihatan gembung, agaknya tidak banyak air danau yang diminumnya.
Wanita cantik itu sangat mahir
berenang, ia menduga dalam waktu singkat itu tidak mungkin orang mati terbenam,
siapa duga badan anak dara itu terlalu lemah dan ternyata sudah meninggal.
Wanita itu jadi menyesal,
cepat ia gendong anak dara itu dan melompat ke daratan sambil berseru,
"Cepat, kita harusmencari akal untuk menyelamatkan jiwanya!"
Lalu ia mendahului berlari ke
hutan bambu sana dengan membawa anak dara itu.
Segera laki-laki setengah umur
tadi mengangkat si nelayan yang masih terbungkus di dalam jaring dan bertanya
kepada Siau Hong, "Siapakan nama saudara yang terhormat? Entah ada
keperluan apa berkunjung kemari?"
Melihat sikap orang yang agung
berwibawa, menghadapi kematian si dara baju ungu yang mengenaskan itu ternyata
dapat berlaku tenang sekali, mau-tak-mau Siau Hong merasa kagum juga. Maka
jawabnya, "Caihe Siau Hong, orang Cidan. Karena dipesan oleh dua orang
sahabat, maka ingin menyampaikan sesuatu berita ke sini."
Sebenarnya nama Kiau Hong
boleh dikatakan tiada seorang pun yang tak kenal di kalangan kangouw. Tapi
sejak ia ganti nama menjadi Siau Hong, selalu ia memperkenalkan pula
asal-usulnya sebagai orang Cidan secara blak-blakan.
Biarpun nama Siau Hong rupanya
tidak dikenal oleh laki-laki setengah umur itu, tapi ketika mendengar kata
"orang Cidan", sedikitpun ia tidak merasa heran, ia hanya tanya lagi,
"Siapakah kedua sobat yang minta tolong kepada Siau-heng itu? Entah berita
apa yang Siau-heng bawa?"
"Kedua sobat itu yang
seorang memakai kapak, yang lain berdandan sebagai petani dan membawa cangkul
serta mengaku she Tang, kedua sobat itu terluka semua ....."
Mendengar kedua orang itu
terluka, laki-laki setengah umur itu terkejut dan cepat menyela, "Hah,
bagaimana luka mereka? Di manakah mereka berada sekarang? Siau-heng, kedua
orang itu adalah kawan sehidup sematiku, mohon engkau suka memberi keterangan
agar aku dapat ... dapat segera pergi menolong mereka."
Melihat orang sedemikian setia
kawan, Siau Hong merasa kagum, sahutnya, "Luka kedua sobat itu cukup
parah, tapi tidak membahayakan jiwa mereka, kini mereka berada di kota
sana...."
Belum selesai penuturan Siau
Hong, segera orang itu memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, lalu si
nelayan diangkatnya terus dibawa lari ke arah datangnya Siau Hong tadi.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari hutan bambu sana terdengar suara seruan si wanita cantik tadi, "Lekas
kemari, lekas! Lihatlah ini, ai, lihatlah apa ... apa ini!"
Dari suaranya dapat diketahui
hatinya sangat terguncang dan kuatir.
Maka mendadak laki-laki
setengah umur itu berhenti, ia ragu-ragu, tiba-tiba terlihat dari depan seorang
mendatangi secepat terbang sambil berteriak-teriak, "Cukong, Cukong, ada
orang membikin onar ke sini?"
Waktu Siau Hong perhatikan,
kiranya pendatang itu adalah si Su-sing yang melukis secara terbalik di
jembatan batu itu. Pikirnya, "Semula kusangka dia sengaja merintangi aku,
tak tahunya dia adalah kawan si lelaki gila berkapak dan si petani yang terluka
itu. Dan 'Cukong' yang mereka sebut itu kiranya laki-laki setengah umur
ini."
Dalam pada itu si Su-sing juga
sudah melihat Siau Hong dan A Cu berada di situ, bahkan berdiri di samping sang
"Cukong", ia melengak.
Ketika sudah dekat dan melihat
si nelayan tertawan di dalam jaring ikan, ia terkejut dan gusar pula, segera ia
tanya, "Ada ... ada apakah?"
Sementara itu terdengar seruan
si wanita cantik di tengah hutan bambu sana semakin kuatir, "Hai, mengapa
kamu masih belum kemari? Ai....."
Mau-tak-mau laki-laki setengah
umur itu ikut kuatir juga, cepat katanya,"Biar kupergi melihatnya!"
Sambil mengangkat si nelayan,
terus saja ia berlari ke hutan bambu sana.
Dari langkahnya yang enteng
dan gesit, cepatnya melebihi kuda lari, nyata ilmu silatnya pasti lain daripada
yang lain. Siau Hong jadi tertarik, dengan sebelah tangan menahan pinggang A
Cu, terus saja ia lari sejajar dengan orang itu dengan sama cepatnya.
Orang itu memandang sekejap ke
arah Siau Hong dengan penuh rasa kagum. Sebenarnya ia tidak perbolehkan orang
luar masuk ke hutan bambu itu, tapi demi nampak kepandaian Siau Hong tinggi
sekali, mau-tak-mau timbul rasa sukanya sebagai sesama ksatria, biarpun belum
kenal, namun sudah timbul niatnya buat bersahabat, maka ia tidak pandang Siau
Hong sebagai orang asing lagi.
Sebaliknya Siau Hong dan A Cu
sudah tentu tidak tahu bahwa hutan bambu itu sebenarnya dilarang dimasuki
sembarangan orang. Mereka cuma tertarik oleh suara teriakan si wanita cantik
yang penuh rasa kuatir itu, mereka menduga pasti terjadi sesuatu, maka mereka
ikut ke situ.
Hanya sebentar saja mereka
sudah memasuki hutan bambu itu. Benar juga bambu yang tumbuh di situ bentuknya
tidak bulat, tapi persegi. Kira-kira belasan meter masuk ke dalam hutan itu,
tertampaklah tiga petak
rumah kecil mungil dan indah.
Ketika mendengar suara
tindakan orang, segera wanita cantik itu memapak keluar sambil
berseru,"Coba ... coba lihatlah apakah ini?"
Ternyata yang diunjukkan itu
adalah sebuah mainan kalung emas.
Siau Hong tahu mainan kalung
begitu adalah barang perhiasan kaum wanita yang sangat umum misalnya A Cu juga
mempunyai sebuah yang serupa, yaitu yang tempo hari akan dijual guna biaya
perjalanan, tapi tidak jadi dijual dan kini malahan terpakai di leher A Cu.
Di luar dugaan, mendadak air
muka si lelaki setengah umur berubah hebat demi melihat mainan kalung itu,
serunya dengan suara gemetar, 'Da ...darimana kaudapatkan barang ini?"
"Terpakai di lehernya dan
kuambilnya," demikian sahut si wanita cantik dengan suara tersendat,
"Dulu telah kugores tanda pada lengan mereka, coba kau... kaulihat sendiri
sana!"
Cepat laki-laki setengah umur
itu berlari masuk ke dalam rumah. Mendadak A Cu juga menyelinap masuk ke sana
hingga mendahului si wanita cantik malah. Siau Hong lantas menyusul juga di
belakang si wanita cantik itu.
Sesudah di dalam rumah,
tertampaklah sebuah kamar tidur kaum wanita yang terpajang sangat rajin dan
resik. Di antara rajin dan resik itu tersiar pula ada semacam bau yang aneh,
cuma Siau Hong tidak sempat memikirkan lagi, ia lihat di atas dipan membujur si
dara baju ungu tadi dalam keadaan tak berkutik lagi. Nyatanya orangnya sudah
mati sejak tadi.
Dalam pada itu, si lelaki
setengah umur telah menggulung lengan baju anak dara itu untuk periksa
lengannya, sesudah melihat segera ia tutup kembali lengan bajunya.
Siau Hong berdiri di belakang
laki-laki itu, maka ia tidak tahu tanda apa sebenarnya yang terdapat di lengan
anak dara itu. Hanya dilihatnya punggung laki-laki setengah umur itu rada
tergetar, suatu tanda perasaannya sangat terguncang.
Pada lain saat si wanita
cantik lantas jambret dada baju si lelaki setengah umur sambil menangis dan
berteriakteriak,"Lihatlah itu, putrimu sendiri telah kaubunuh pula, kamu
tidak membesarkan dia, tapi malah membunuhnya, kau ...sungguh seorang ayah yang
kejam!"
Keruan Siau Hong
terheran-heran, pikirnya, "Aneh, ternyata anak dara itu adalah putri
mereka? Ah, tahulah aku. Tentunya sesudah anak dara itu dilahirkan, lalu
dititipkan pada orang lain dan mainan kalung dan tanda di lengan itu adalah
tanda pengenal yang mereka tinggalkan pada anak dara itu."
Mendadak Siau Hong melihat air
mata A Cu bercucuran, badab pun sempoyongan sambil berpegangan tepi tempat
tidur. Keruan ia terkejut, cepat ia memburu maju untuk memayang A Cu. Sekilas
dilihatnya bola mata si anak dara yang sudah mati itu bergerak sekali.
Sebenarnya mata anak dara itu
terpejam rapat, tapi biji matanya bergerak tetap kelihatan dari luar kelopak
mata. Namun Siau Hong sedang kuatirkan keadaan A Cu, segera ia tanya, "Ada
apa A Cu?"
Cepat A Cu berdiri tegak
kembali, ia mengusap air mata dan menjawab dengan senyum ewa, "Ah, tidak
apaapa. Aku merasa sedih melihat ke ...kematian nona yang mengenaskan
ini."
Siau Hong merasa lega oleh
keterangan itu. Sedang si wanita cantik masih menangis sambil berkata,
"Denyut jantungnya sudah berhenti, napasnya juga sudah putus, tak bisa
tertolong lagi!"
Tapi diam-diam Siau Hong
sangsi, ia coba mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan kepada anak dara itu
melalui urat nadi yang dipegangnya, menyusul ia lantas kendurkan tekanan
tenaganya. Benar juga terasa olehnya dari badan anak dara itu tiimbul semacam
tenaga tolakan, nyata anak dara itu juga mengerahkan tenaga dalam untuk menjaga
diri.
Maka tertawalah Siau Hong
dengan terbahak-bahak, katanya, "Nona senakal ini sungguh jarang ada di
dunia ini!"
Si wanita cantik menjadi
gusar, semprotnya," Siapakah engkau ini? Aku kematian anak, tapi kamu
sembarangan mengoceh di sini. Ayo lekas enyah dari sini!"
"Engkau kematian anak,
bagaimana jika kuhidupkan dia kembali?" ujar Siau Hong dengan tertawa. Dan
sekali tangannya bergerak, terus saja ia tutuk hiat-to bagian pinggang anak
dara itu.
Hiat-to yang diarah itu adalah
'keng-bun-hiat' yang merupakan tempat halus yang bisa membuat orang merasa
geli. Karena tak tahan, anak dara itu lantas mengikik tawa sambil melompat
bangun dari tempat tidurnya. Berbareng ia menjulur tangan kiri untuk pegang
pundak Siau Hong.
Orang mati bisa hidup kembali,
keruan hal ini membuat orang merasa heran. Serta merta si wanita cantik
bersorak gembira sambil pentang kedua tangan hendak memeluk si anak dara.
Di luar dugaan, mendadak Siau
Hong kipatkan tangan si anak dara yang hendak memegang pundaknya tadi,
berbareng ia menampar pipinya hingga anak dara itu sempoyongan, tapi Siau Hong
lantas mengulur tangan yang lain untuk menariknya sambil berkata dengan tertawa
dingin,"Hm, anak sekecil ini mengapa sedemikian kejinya?"
"Hah, kenapa kaupukul
anakku?" seru si wanita cantik. Coba kalau tidak mengingat Siau Hong telah
menghidupkan putrinya, boleh jadi ia sudah melabraknya.
Siau Hong lantas puntir tangan
si dara yang dipegangnya itu dan berkata, "Coba lihat!"
Ketika semua orang memandang
tangan anak dara itu, ternyata yang digenggamnya adalah sebatang jarum halus
berwarna hijau mengkilap, sekali lihat saja orang segera tahu itu adalah
senjata rahasia berbisa.
Kiranya dengan pura-pura
hendak memegang pundak Siau Hong tadi diam-diam ia hendak menusuk bekas Pangcu
itu dengan jarum berbisa.
Untung Siau Hong cukup sigap
dan jeli hingga tidak dikerjai nona itu.
Dalam pada itu si nona sedang
meraba-raba pipinya yang merah bengap karena tamparan Siau Hong tadi. Sudah
tentu pukulan Siau Hong cuma perlahan saja, kalau keras, mungkin kepalanya
sudah pecah.
Karena tangannya terpegang
Siau Hong hingga tertangkap bukti, untuk melepaskan diri juga tak bisa karena
badan terasa lemas lantaran urat nadi tangan terpencet Siau Hong. Tapi nona itu
lantas main air mata, ia mewek-mewek dan akhirnya menangis sambil
berseru,"O, kenapa engkau memukul aku, memukul anak kecil!"
"Ai, sudahlah, jangan
menangis!" demikian kata si lelaki setengah umur. "Orang cuma
memukulmu dengan perlahan dan kamu lantas menangis, habis sedikit-sedikit
kauserang orang dengan am-gi berbisa, memang kamu harus diberi hajaran."
"Jarum Pek-lian-ciam ini
toh bukan am-gi paling lihai, aku masih punya am-gi lain yang lebih
hebat," kata si anak dara sambil menangis.
"Ya, mengapa tidak
kaugunakan Bu=hong-hun (bubuk tak berwujud) atau Hu-kut-san(puyer pembusuk
tulang) atau kek-lok-ji (duri maha gembira) atau Coan-sim-ting(paku penembus
hati)?" ujar Siau Hong dengan menjengek.
"Dari mana kautahu?"
mendadak anak dara itu berhenti menangis dan bertanya dengan heran.
"Sudah tentu aku
tahu," sahut Siau Hong, "Aku tahu juga gurumu adalah
Sing-siok-hai-Lomo(Iblis dari Singsiok-hai), maka kutahu pula macam-macam amgi
berbisa yang kaupakai itu."
Mendengar ucapan SIau Hong itu,
semua orang terkejut.
Iblis tua Sing-siok-hai adalah
tokoh persilatan dari sia-pai atau aliran jahat yang disegani setiap orang.
Yang menghormat padanya menyebutnya sebagai "Lojin" atau si kakek,
tapi yang tidak suka lantas menyebutnya sebagai "Lomo" atau si Iblis
tua.
Iblis itu tidak peduli benar
atau salah, segala kejahatan dapat diperbuatnya, dan justru ilmu silatnya
teramat tinggi hingga orang lain tidak berani mengapa-apakan dia. Sukur dia
jarang datang ke daerah Tionggoan hingga tidak banyak bencana yang ditimbulkan
olehnya.
"A Ci, mengapa kamu dapat
mengangkat guru pada Sing-siok-hai Lojin?" tanya si lelaki setengah umur.
Tiba-tiba mata si dara baju
ungu terbelalak lebar sambil mengamat-amat orang itu, tanyanya
kemudian,"Darimana kaukenal namaku?"
Laki-laki setengah umur itu
menghela napas, sahutnya, "Masakah percakapan kami tadi tidak
kaudengar?"
Nona itu menggeleng kepala,
katanya ,"Sekali aku pura-pura mati, maka pancaindraku menjadi mace
semuanya hingga tidak melihat dan tidak mendengar lagi."
"Itu Ku-lok-kang(ilmu
kura-kura mengeram) dari Sing-siok Lojin," kata Siau Hong sambil
melepaskan tangan si dara yang dipegangnya itu.
"Huh, sok tahu," A
Ci atau si ungu melotot padanya.
Lalu si wanita cantik
memegangi A Ci dan mengamat-amatinya dengan tertawa, sungguh rasa girangnya tak
terkatakan.
Siau Hong tahu mereka adalah
ibu dan anak, sebaliknya A Ci yaitu si anak dara berbaju ungu belum lagi tahu.
"Mengapa kamu pura-pura
mati hingga membikin kuatir kami," kata si lelaki setengah umur tadi.
"Habis, siapa suruh
kaulemparkan aku ke danau?" sahut A Ci dengan sangat senang, "Huh,
engkau ini bukan manusia baik-baik."
Laki-laki itu berpaling
sekejap kepada Siau Hong dengan air muka yang serba kikuk, katanya dengan
tersenyum getir, "Ai, nakal, sungguh nakal!"
Siau Hong tahu pasti banyak
yang hendak dibicarakan di antara ayah-bunda dan anak yang telah bertemu
kembali itu, maka ia menarik A Cu keluar hutan bambu. Di sana dilihatnya kedua
mata A Cu merah bendul, badan gemetar terus, cepat tanyanya dengan kuatir,"He,
apa kamu tidak enak badan, A Cu?"
Segera ia pegang nadi tangan
si gadis dan terasa denyutnya sangat cepat, suatu tanda hatinya terguncang.
A Cu menggeleng kepala sambil
menyatakan tidak apa-apa. Kedua orang menikmati sebentar bambu yang berbentuk
persegi dan indah itu.
Sekonyong-konyong terdengar
suara tindakan orang yang cepat, ada tiga orang tampak berlari ke arah sini,
satu di antaranya memiliki ginkang yang hebat sekali. Tergerak hati Siau Hong,
"Jangan-jangan Tai-ok-jin itu sudah datang?"
Segera ia keluar hutan bambu,
ia lihat ketiga orang itu berlari datang menyusur jalan kecil di tepi danau,
dan di antaranya masing-masing memanggul seorang lagi. Seorang lagi bertubuh
pendek kecil dan jalannya secepat terbang seakan-akan kaki tidak menyentuh
tanah. Begitu cepat larinya hingga sering ia berhenti dulu untuk menunggu kedua
kawannya yang tertinggal di belakang.
Sesudah dekat, dapatlah Siau
Hong melihat kedua orang yang dipanggul itu adalah si lelaki gila berkapak yang
dilihatnya di kota itu, sedang
seorang lagi adalah si petani yang membawa cangkul.
Terdengar orang yang pendek
kecil itu berteriak-teriak,"Cukong! cukong! Tai-ok-jin telah datang, mari
lekas kita pergi saja!"
Baru dua kali ia berseru,
tertampak si lelaki setengah umur tadi sudah keluar dari hutan bambu sambil
menggandeng si wanita cantik dan si anak dara yang bernama A Ci itu.
Muka mereka tampak ada bekas
air mata. Cepat laki-laki itu melepaskan kedua orang yang digandengnya terus
memburu ke samping orang-orang yang terluka itu, ia periksa urat nadi mereka,
ketika mengetahui tidak membahayakan jiwa mereka, ia menampilkan rasa lega,
lalu katanya,"Ketiga saudara tentu lelah, untung luka Siau dan Tang-hiante
tidak gawat, maka legalah hatiku."
Segera ketiga orang yang baru
datang itu memberi hormat. Diam-diam Siau Hong heran,"Dari ilmu silat dan
lagak mereka, terang mereka bukanlah sembarangan tokoh, tapi mengapa terhadap
laki-laki setengah umur ini mereka begini menghormat, sungguh sukar
dimengerti."
Dalam pada itu orang yang pendek
kecil tadi telah berkata,"Lapor Cukong, dengan memakai sedikit siasat
Taiok-jin dapat hamba merintangi untuk sementara. Tapi mungkin dia sudah
melampaui rintangan itu, harap Cukong lekas pergi dari sini saja."
"Sungguh tidak beruntung
keluarga kami terdapat keturunan durhaka seperti dia itu," demikian kata
laki-laki setengah umur. "Jika sekarang sudah kepergok di sini, jalan lain
tidak ada lagi kecuali menghadapinya."
"Soal menghadapi musuh
dan membasmi kejahatan adalah tugas kewajiban hamba sekalian. Cukong harus
mengutamakan kepentingan negara dan lekas pulang ke Tayli agar Hongsiang tidak
merasa kuatir." kata seorang di antaranya yang bermata besar dan beralis
tebal.
Siau Hong terkesiap mendengar
pembicaraan itu, pikirnya, "Aneh, mengapa pakai sebutan 'hamba' dan
'Cukong', lalu suruh dia lekas pulang Tayli apa segala? Masakah laki-laki
setengah umur ini adalah orang dari keluarga Toan di Tayli?"
Begitulah diam-diam hati Siau
Hong berdebar-debar, ia membatin,"Jangan-jangan sudah ditakdirkan bahwa
keparat Toan Cing-sun ini secara kebetulan kepergok olehku sekarang?"
Sedang Siau Hong merasa
sangsi, tiba-tiba dari jauh terdengar orang bersuit panjang nyaring, menyusul
terdengar seorang yang mirip gesekan benda logam berkata,"Anak kura-kura
she Toan, sekarang kamu tak bisa lari lagi, boleh kauterima nasib saja dan
mungkin Locu menaruh belas kasihan dan jiwamu akan kuampuni!"
Lalu suara seorang wanita
menangapi,"Mengampuni jiwanya atau tidak bukan hakmu, masakah Lotoa
sendiri tak bisa mengambil keputusan?"
"Ya, biarkan anak
kura-kura she Toan itu tahu gelagat dulu daripada berlagak gagah." ujar
seorang lagi dengan suara melengking aneh, tapi nadanya kurang tenaga
seakan-akan orang yang baru sembuh dari sakit berat atau masih terluka dalam.
Siau Hong bertambah curiga
mendengar laki-laki setengah umur itu berulang-ulang disebut she Toan oleh para
pendatang itu. Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang kecil halus menggenggam
tangannya, waktu ia melirik, kiranya A Cu, wajah gadis itu tampak pucat lesu,
tangan dingin pula. Segera ia tanya dengan perlaha,"A Cu, apa kamu tidak
enak badan?"
"Tidak, tapi ... tapi aku
sangat takut, Toako," sahut A Cu dengan tak lancar.
Siau Hong tersenyum, katanya,
"Berada di samping Toakomu ini, masakah perlu merasa takut kepada siapa
pun?"
Lalu ia merotkan mulut ke arah
laki-laki setengah umur tadi dan membisiki A Cu,"Orang ini agaknya anggota
keluarga Toan dari Tayli."
A Cu tidak menjawab, tidak
membenarkan juga tidak membantah, hanya bibirnya tampak sedikit gemetar.
Dalam pada itu seorang yang
berperawakan sedang di antara ketiga orang yang baru datang tadi
berkata,"Cukong, urusan hari ini janganlah gegabah, jika terjadi apa-apa
atas diri Cukong, bagaimana kami ada muka untuk menghadap Hongsiang kelak, maka
tekad kami adalah membunuh diri."
Kiranya laki-laki setengah
umur itu memang benar adalah adik baginda raja Tayli, Toan Cing-sun bergelar
Tinlam-ong. Oleh karena waktu mudanya ia memang seorang "Arjuna",
seorang romantis, maka di mana-mana ia main roman dengan kaum wanita.
Dasar perawakannya gagah,
tampang cakap, pangeran pula, dengan sendirinya di mana-mana banyak wanita
cantik yang kepincut padanya.
Pula sebagai pangeran, soal punya empat istri atau lima selir adalah soal
lumrah.
Keluarga Toan mereka berasal
dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, walupun kemudian menjadi raja di Tayli, tapi
penghidupan mereka masih menurunkan ajaran leluhur dan tidak berani terlalu
mewah dan berlebihlebihan. Di tambah lagi istri kawin Toan Cing-sun yaitu Si
Pek-hong yang suka cemburu, bagaimanapun ia keberatan kalau Toan Cing-sun
mengambil istri kedua. Tapi karena pangeran bangor itu masih suka main gila
dengan wanita lain, saking jengkelnya Si Pek-hong cukur rambut menjadi Nikoh
dengan gelar Yan-toan-siancu (baca jilid 3).
Memang banyak juga kekasih
Toan Cing-sun seperti Cin Ang-bun yaitu ibu Bok Wan-jing. A Po istri Ciong
Ban-siu dan Wi Sing-tiok, ibu A Ci yang tinggal di hutan bambu ini, semuanya
adalah bekas gula-gulanya dan mempunyai kisah roman sendiri sendiri.
Kedatangan Toan Cing-sun kali
ini tujuan adalah Siau-lim-si, tapi kesempatan ini telah dipergunakan untuk
menyambangi Wi Sing-tiok yang tinggal mengasingkan diri di Siau-keng-oh yang
indah ini.
Selama beberapa hari ini kedua
kekasih lamasedang tenggelam dalam lautan madu yang memabukkan, sama sekali tak
terduga oleh mereka bahwa putri kandung mereka mendadak bisa pulang dan
berkumpul kembali dengan mereka. Dan selagi mereka merasa senang, mendadak
diketahui pula musuh besar sedang mencarinya.
Tatkala Toan Cing-sun mengeram
di tempat tinggal Wi Sing-tiok, jago-jago pengawal yang dia bawa yaitu
Sam-kong, Su-un, tiga kong (gelar pahlawan) dan empat jago terpendam masing
masing berjaga di sekeliling Siau-keng-oh.
Tak terkira musuh terlalu
lihai, Jai-sin-khek Siau Tok-sing, si tukang kayu dan Tiam-jong-san-long Tang
Sukui, si petani berturut-turut dilukai musuh besar itu. Sedangkan Pit-bi-seng
Cu Tan-sin, si sastrawan, salah sangka Siau Hong sebagai musuh dan berusaha
menyesatkannya di jembatang batu itu, tapi gagal. Dan Bosian-tio-toh Leng
Jian-li si nelayan atau si tukang mancing malahan kena ditawan oleh jaring A
Ci.
Ketiga orang tersebut
belakangan itu adalah Tayli Sam-kong, yaitu Su-khonh Po Thian-sik, Su-ma Hoan
Hoa dan Su-to Hoa Hik-kim.
'Tiatia, hadiah apa yang akan
kauberikan padaku?" sahut A Ci dengan tertawa.
Cing-sun berkerut kening,
katanya, "Kamu tidak menurut, kusuruh ibu menghajarmu. Kau berani menggoda
Leng-sioksiok, ayo lekas minta maaf?"
"Jika begitu, engkau
telah melemparkanku ke danau hingga aku mesti pura-pura mati, kenapa engkau
tidak minta maaf juga padaku? Biar akupun minta ibu menghajarmu!" sahut A
Ci.
Diam-diam Pa Thian-sik dan
lain-lain terkesiap, karena muncul pula seorang putri TIn-lam-ong yang nakal
dan bandel, sedikitpun tidak kenal aturan kepada orang tua.
Walaupun nona cilik itu bukan
putri Tin-lam-ong yang resmi, tapi jelek-jelek adalah putri pangeran, jika
digoda olehnya seperti Leng Jian-li, wah, terpaksa menganggap diri sendiri yang
sial.
Sedang Cing-sun hendak omong
pula, tiba-tiba Wi Sing-tiok, si wanita cantik membuka suara,"A Ci
mestikaku, ayolah lekas, lepaskan Leng-sioksiok, nanti ibu memberi hadiah bagus
padamu."
"Berikan dula hadiahnya,
akan kulihat apakah baik atau tidak?" sahut A Ci sambil menyodorkan
tangannya.
Sungguh Siau Hong sangat
mendongkol melihat kenakalan anak dara itu. Ia menghormati Leng Jian-li sebagai
seorang gagah, segera ia angkat tubuh si tukang mancing itu dan
berkata,"Leng-heng, jaring ini akan kendur bila terkena air, biarlah kurendam
sebentar ke dalam air."
"Lagi-lagi kaucampur
tangan urusan orang!" seru A Ci dengan gusar. Tapi tadi dia telah ditampar
sekali oleh Siau Hong, ia sudah kapok dan tak berani merintangi.
Segera Siau Hong membawa Leng
Jian-li ke tepi dananu, ia rendam sebentar di dalam air, benar juga jaring dari
benang halus itu lantas kendur dan mulur. Maka dapatlah Siau Hong membuka
jaring ikan itu untuk membebaskan Leng Jian-li.
"Banyak terima kasih atas
pertolongamu, Siau-heng," kata Leng Jian-li dengan suara perlahan.
"Bocah itu terlalu nakal,
tapi tadi sudah kugampar dia sekali untuk melampiaskan rasa dongkol
Leng-heng," ujar Siau Hong dengan tersenyum.
Leng Jian-li hanya
geleng-geleng kepala saja dengan lesu.
Segera Siau Hong menggulung
jaring halus itu, ia kepal jaring itu hingga menjadi bola sebesar cangkir.
"Kembalikan padaku!"
tiba-tiba A Ci mendekatinya hendak meminta kembali jaring itu.
Tapi ketika Siau Hong
mengangkat tangannya pura-pura hendak menghajarnya, A Ci menjadi ketakutan dan
melompat mundur. Ia jawil ujung baju Toan Cing-sun dan
merengek-rengek,"Ayah, dia merampas jaringku, mintakan kembali!"
Melihat tindak-tanduk Siau
Hong agak aneh, Cing-sun yakin orang tiada maksud jahat, tapi hanya sekadar
memberi hukuman saja kepada A Ci. Tidak mungkin seorang tokoh demikian ingin
mengangkangi barang anak kecil.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar Pa Thian-sik berserum,"Selamat datang, In-heng! Sungguh
aneh,ilmu silat orang lain makin dilatih makin tinggi, mengapa In-heng justru
terbalik, makin berlatih makin mundur? Ayolah turun kemari!"
Habis berkata, terus saja ia
menghantam pohon di sampingnya, "krek", ranting pohon terhantam
patah, berbareng dengan jatuhnya ranting kayu itu ikut melompat turun pula
seorang yang sangat tinggi, tapi kurus kering, itulah dia
"Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, satu di antara Su-ok yang maha
jahat itu.
Waktu di Cip-hian-ceng tempo
hari In Tiong-ho kena dihantam sekali oleh Siau Hong dan jiwanya hampir
melayang, untung luka itu dapat disembuhkannya, tapi lwekangnya jauh mundur
daripada dulu.
Tempo hari ketika dia
bertanding ginkang dengan Pa Thian-sik di Tayli, kepandaian kedua orang boleh
dikatakan seimbang, tapi kini demi mendengar suara gerakan lawan itu, segera Pa
Thian-sik tahu kepandaian lawan itu benyak lebih mundur daripada dulu.
Ketika mendadak nampak Siau
Hong juga berada di situ, In Tiong-ho terkejut, cepat ia putar balik memapak
ketiga orang yang sedang mendatang dari jalan kecil di tepi danau sana.
Ketiga orang itu yang berada
paling kiri berkapala batok dan berpakaian cokak, itulah
"Hiong-sin-ok-sat" alias Lam-hai-gok-sin. Yang sebelah kanan
membopong seorang bayi, itulah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio. Dan orang
yang berada di tengah, berjubah hijau dan memakai dua batang tonkat bambu hitam
gelap, mukanya kaku seperti mayat hidup, itulah dia kapala Su ok bergelar
"Ok-koan-boan-eng" Toan Yan-khing adanya.
Su-ok jarang datang ke
Tionggoan, lebih-lebih Toan Yan-khing, dia jarang tampil ke muka umum, maka
Siau Hong tidak kenal padanya.
Tapi Toan Cing-sun pernah
bertemu dengan Su-ok di Tayli, ia tahu Yap Ji-nio dan Gal-losam meski cukup
lihai, namun masih dapat dilawan, sebaliknya Toan Yan-khing inilah yang lain
daripada yang lain, sudah mahir It-yang-ci dari keluarga Toan, berhasil melatih
pula ilmu Sia-pai yang sangat lihai, tempo hari sampai Ui-biceng dan Po-ting-to
Toan Cing-beng juga kewalahan melawannya.
Dengan sendirinya Toan
Cing-sun insaf dirinya bukan tandingan Yan-khing Taicu itu.
Seperti telah diceritakan
bahwa Toan Yan-khing sebenarnya adalah putra mahkota raja Tayli yang dulu.
Ayahnya yaitu Toan Lim-gi dengan gelar Siang-tel-te, telah dibunuh oleh menteri
dorna, dalam keadaan kacau Yan-khing Taicu telah menghilang. Maka tahta kerajaan
Tayli akhirnya terturun sampai di tangan Toan Cingbeng.
Kini munculnya Yan-khing Taicu
justru ingin menagih kembali tahta ayah bagindanya itu. Ia tahu Toan Cingsun
adalah adik baginda raja Tayli sekarang, raja Tayli sekarang tidak punya
keturunan, tahta tentu akan diteruskan oleh Toan Cing-sun, kalau sekarang Toan
Cing-sun dapat dibunuh lebih dulu, itu berarti sudah hilang suatu rintangan
bagi maksud tujuannya.
Sebab itulah, demi didengarnya
Toan Cing-sun datang ke Tionggoan, ia terus mencari dan menguntitnya hingga
sampai di Siau-keng-oh.
Di tengah jalan Siau Tok-sing
dan Teng Su-Kui tidak berhasil merintangi kedatangan Yan-khing Taicu itu,
bahkan mereka dilukai, yang satu terkena Liap-hun-tai-hoat hingga hilang
ingatan dan yang lain dada terjojoh oleh tongkat bambu hingga berlubang.
Begitulah maka Su-ma Hoan Hoa
yang banyak tipu akalnya itu segera memberi usul,"Cukong,Toan Yan-khing
itu bermaksud jahat atas dirir Cukong, demi kepentingan negara, hendaklah
Cukong lekas pulang ke Thianliong-si untuk mengundang para padri saleh di sana
guna melawan durjana ini!."
Dengan usul ini, maksudnya
minta Toan Cing-sun suka pulang ke Tayli, di samping itu jika Yan-khing berada
di di dekat situ, ia sengaja perkeras ucapannya itu agar musuh merasa sangsi
jangan-jangan para padri yang lihai dari Thian-liong-si juga berada di situ.