Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 31-35

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 31-35 Mendadak timbul pula semangat kesatrianya yang tak gentar pada apa pun juga, ia jadi nekat untuk menghadapi segala kemungkinan, katanya pula,
Jilid 31
Mendadak timbul pula semangat kesatrianya yang tak gentar pada apa pun juga, ia jadi nekat untuk menghadapi segala kemungkinan, katanya pula, "A Cu, besok akan kucarikan seorang tabib sakti untuk mengobati lukamu, sekarang boleh kau tidur dengan tenang.”

Melihat sikap bekas pangcu yang gagah perkasa dan angkuh tak gentar itu, A Cu merasa kagum, hormat, dan takut pula. Ia merasa tokoh di hadapannya itu sama sekali berbeda daripada Buyung-kongcu, tapi banyak persamaannya pula. Keduanya sama-sama tidak gentar pada langit dan tidak takut pada bumi, sama-sama angkuh dan berwibawa. Tapi Kiau Hong mirip seekor singa jantan dan Buyung Hok seperti burung hong, yang satu kasar dan yang lain halus.

Begitulah demi sudah ambil kebulatan tekad itu, Kiau Hong dapat tidur nyenyak, walaupun hanya duduk di atas kursi.

Di bawah sinar pelita yang remang-remang A Cu dapat melihat muka Kiau Hong. Selang tak lama, ia dengar Kiau Hong mulai mendengkur perlahan, ia lihat daging muka laki-laki gagah itu berkerut-kerut sedikit sambil mengertak gigi, tulang pipi yang lebar itu agak menonjol. Tiba-tiba timbul semacam rasa kasihan dalam hati A Cu, ia merasa batin laki-laki gagah di depan itu pasti sangat tertekan, sangat menderita, jauh lebih malang daripada nasibnya sendiri.

Esok paginya Kiau Hong menyalurkan tenaga murninya pula untuk menyegarkan A Cu, lalu mengeluarkan uang dan suruh pelayan hotel menyewakan sebuah kereta keledai. Ia payang A Cu ke atas kereta lalu datang ke kamar Pau Jian-leng, dan luar ia berseru, "Pau-heng, Siaute Kiau Hong memberi salam hormat!”

Waktu itu Pau Jian-leng, Hiang Bong-thian, dan Ki Liok bertiga belum lagi bangun, mereka kaget demi mendengar seruan Kiau Hong itu. Cepat mereka melompat bangun dan menyambar senjata dengan kelabakan. Tapi mereka menjadi terperanjat demi tampak di atas senjata masing-masing tertempel secarik kertas kecil yang tertulis: "Salam dari Kiau Hong”.

Mereka saling pandang dengan melongo, mereka sadar bahwa semalam tanpa terasa Kiau Hong telah kerjai mereka, jika mau, jiwa mereka dengan gampang sudah ditamatkan oleh Kiau Hong. Di antara mereka Pau Jianleng yang merasa paling malu, dia berjuluk "Bo-pun-ci” atau tanpa modal, artinya pekerjaannya ialah maling, mencuri tanpa memakai modal, dan sebagai pencuri, sudah tentu kepandaian menggerayangi rumah orang merupakan kemahirannya yang paling diandalkan, tapi kini ia sendiri telah digerayangi Kiau Hong dan baru sekarang ketahuan.

Segera Pau Jian-leng mengikat senjatanya yang berupa ruyung lemas itu di pinggang, lalu ia ke luar kamar, ia tahu bila Kiau Hong bermaksud membunuhnya tentu sudah dilakukannya semalam, maka tanpa takut-takut lagi ia berkata, "Buah kepala Pau Jian-leng ini setiap saat silakan Kiau-heng mengambilnya bila engkau suka, selamanya orang she Pau ini bekerja tanpa modal, kalau kini aku mesti bangkrut di tangan Kiau-heng rasanya juga masih berharga. Sedang ayah-bunda dan gurumu sendiri juga kau tega membunuhnya, apalagi terhadap orang she Pau yang tiada artinya ini, mengapa engkau bermurah hati segala?”

Namun Kiau Hong tidak pusingkan olok-olok itu, sebaliknya ia menjawab secara biasa saja, "Selamat bertemu, Pau-heng, sejak perpisahan di Tong-ting-oh dahulu, ternyata Pau-heng semakin gagah dan kuat.”

"Haha, untunglah jiwaku ini belum lagi amblas, maka sampai sekarang masih sehat walafiat,” sahut Pau Jianleng dengan terbahak.

"Kabarnya ‘Giam-ong-tek’ Sih-sin-ih telah menyebarkan kartu undangan, maka aku tertarik untuk hadir ke sana, bagaimana kalau kupergi ke sana bersama kalian bertiga?” kata Kiau Hong pula.

Diam-diam Jian-leng sangat heran, pikirnya, "Bukankah maksud tujuan Sih-sin-ih menyebarkan kartu undangan justru hendak menghadapimu. Apa barangkali kau sudah bosan hidup, maka berani datang ke sana seorang diri? Tapi biasanya Kiau-pangcu terkenal pemberani dan cerdik pula, baik ketangkasan maupun kecerdasan serbakomplet, jika dia tidak punya pegangan apa-apa, tidak nanti dia masuk jaring sendiri, maka aku tidak boleh tertipu olehnya.”

Melihat Pau Jian-leng hanya diam saja tanpa menjawab, segera Kiau Hong berkata pula, "Aku ada urusan penting perlu minta tolong pada Sih-sin-ih, kuharap Pau-heng suka memberitahukan tempatnya, untuk mana aku takkan melupakan pada kebaikanmu.”

Kebetulan pikir Pau Jian-leng, jika kau berani hadir pada pertemuan besar para kesatria itu, sekali dikerubut, biarpun kau punya tiga kepala dan enam tangan juga takkan mampu lolos.

Dengan keputusan itu, segera ia menjawab, "Tentang tempat pertemuan itu adalah di Cip-hian-ceng yang terletak kurang lebih 70 li di timur laut sana. Jika Kiau-heng sudi hadir ke sana, itulah paling baik. Cuma ingin kukatakan di muka, pertemuan ini tidak mungkin pertemuan yang baik, kehadiran Kiau-heng ke sana nanti banyak celakanya daripada selamatnya, untuk mana janganlah menyalahkan aku tidak memperingatkanmu sebelumnya.”

"Terima kasih atas kebaikan Pau-heng,” sahut Kiau Hong dengan tersenyum tawar. "Jika enghiong-yan itu diadakan di Cip-hian-ceng, jadi tuan rumahnya adalah Yu-si-siang-hiong, bukan? Jika demikian, jalan ke sana sudah kukenal, maka kalian boleh silakan berangkat dulu, mungkin sejam lagi baru dapat kuberangkat, dengan demikian agar mereka dapat bersiap-siap pula lebih dulu.”

Pau Jian-leng menoleh dan saling pandang sekejap dengan Ki Liok dan Hiang Bong-thian. Kedua kawan itu tampak mengangguk perlahan. Lalu Pau Jian-leng berkata, "Jika demikian, Cayhe akan menunggu kehadiran Kiau-heng di Cip-hian-ceng.”

Begitulah dengan tergesa-gesa mereka bertiga lantas membereskan rekening hotel dan berangkat ke Cip-hianceng dengan menunggang kuda. Sepanjang jalan mereka melarikan kuda secepatnya, berulang-ulang mereka menoleh, khawatir kalau-kalau Kiau Hong mendadak menyusul dari belakang dan mendahului mereka.

Sekalipun Pau Jian-leng adalah seorang cerdik pandai, Ki Liok dan Hiang Bong-thian juga jago Kangouw yang berpengalaman luas, sepanjang jalan mereka menerka ini dan menebak itu, namun tetap tidak dapat meraba apa maksud tujuan Kiau Hong sengaja hadir dalam enghiong-yan itu.

"Pau-toako,” tiba-tiba Ki Liok berkata, "apakah engkau melihat kereta yang disewa Kiau Hong itu. Mungkin di dalam kereta itu ada apa-apanya?”

"Jangan-jangan di dalam kereta itu terdapat jago-jago lihai begundalnya?” ujar Hiang Bong-thian.

"Andaikan kereta itu tumplak penuh dengan begundalnya, paling-paling cuma muat beberapa orang, katakanlah seluruhnya ada sepuluh orang bersama Kiau Hong, tapi dalam pertemuan besar nanti, paling-paling mereka cuma mirip sebuah sampan yang terombang-ambing di tengah samudra raya, apa yang dapat mereka perbuat?” kata Pau Jian-leng.

Tengah bicara, sepanjang jalan sudah banyak bertemu dengan jago-jago persilatan yang juga hendak hadir pada enghiong-yan di Cip-hian-ceng.

Karena pertemuan itu diadakan secara mendadak dan mendesak, maka setiap orang yang menerima kartu undangan segera berangkat siang dan malam sambil menghampiri sesama kawan bu-lim, maka hanya dalam waktu sehari semalam saja kartu undangan yang disebarkan Giam-ong-tek itu sudah hampir merata. Cuma waktunya terlalu mendesak, maka yang sudah tiba di Cip-hian-ceng itu baru tokoh-tokoh yang bertempat tinggal ratusan li di sekitar Siau-lim-si di Provinsi Holam.

Sebenarnya Siau-lim-si sendiri sudah menyebarkan kartu undangan kepada para kesatria untuk berunding cara menghadapi Buyung Hok. Tapi waktu yang ditentukan itu masih ada 20 hari lebih, sebagian besar kesatria yang diundang itu masih dalam perjalanan, seperti ayah Toan Ki, yaitu Tin-lam-ong dari negeri Tayli, Toan Cing-sun, dan jago-jago silat yang dipimpinnya saat itu juga belum tiba di Siau-lim-si. Namun begitu sudah banyak juga kaum kesatria yang berada di daerah Holam untuk pesiar atau menyambangi sobat-andai. Mereka inilah yang telah menerima kartu undangan Yu-si-siang-hiong dan "Giam-ong-tek” Sih-sin-ih.

Kalau undangan melulu datang dari Yu-si-siang-hiong saja mungkin tidak diperhatikan oleh para kesatria itu. Tapi nama Giam-ong-tek juga tercantum sebagai pengundang, keruan mereka merasa mendapat kehormatan besar dan buru-buru hadir.

Maklum, nama Si Tabib Sakti she Sih dan Musuh Raja Akhirat itu terlalu tenar, setiap orang persilatan sangat mengharapkan bisa berkenalan atau bersahabat dengan dia. Sebab, sebagai orang persilatan, bukan mustahil setiap saat bisa terluka parah atau terbinasa, tapi kalau kenal dan bersahabat dengan Giam-ong-tek, maka boleh dikatakan jiwa mereka telah diasuransikan kepada tabib sakti itu.

Begitulah, ketika Pau Jian-leng bertiga sampai di Cip-hian-ceng, mereka telah disambut sendiri oleh Yu-sisiang-hiong.

Sesudah berada di dalam rumah, ternyata, tetamu sudah memenuhi ruangan luar dan dalam. Banyak yang dikenal Pau Jian-leng, banyak pula yang tidak kenal. Yang kenal segera saling menyapa, sedapatnya Pau Jianleng membalas hormati kepada setiap kenalan secara merata. Ia khawatir kalau ada yang terlupa dan kelompatan balas menghormat, bukan mustahil akan menimbulkan rasa dendam hingga berakibat permusuhan di belakang hari.

Setelah Yu Ki, yaitu orang kedua dari Yu-si-siang-hiong (Dua Jago she Yu) mengajak mereka ke meja tuan rumah, di situ sudah menunggu Si Tabib Sakti she Sih, ia sambut kedatangan tamunya sambil memberi hormat, "Atas kesudian hadirnya Pau-heng bertiga, sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga.”

"Haha, masakah undangan Sih-loyacu berani kutolak, biarpun aku sedang sakit tak bisa berjalan juga aku akan datang kemari meski harus digotong,” sahut Pau Jian-leng dengan terbahak.

"Tentu saja,” sela Yu Ek, si tua dari kedua saudara Yu itu. "Jika kau sakit payah, tanpa diundang juga kau akan cari Sih-loyacu.”

Mendengar percakapan itu, banyak tetamu lain ikut bergelak tertawa.

"Kalian bertiga baru tiba, tentu sangat lelah, silakan ke belakang dulu untuk dahar sekadarnya,” ujar Yu Ki.

"Lelah sih tidak, lapar pun belum, sebaliknya kubawa suatu berita penting yang perlu kukatakan dengan segera,” sahut Pau Jian-leng. "Numpang tanya dulu, kartu undangan yang Sih-loyacu dan kedua saudara Yu sebarkan itu apakah di antaranya terdapat undangan kepada Kiau Hong?”

Mendengar nama Kiau Hong disebut, wajah Sih-sin-ih agak berubah. Sebaliknya Yu Ek lantas tanya, "Apa maksud Pau-heng sebenarnya, kenapa menyinggung tentang Kiau Hong? Apakah disebabkan Pau-heng bersahabat karib dengan orang she Kiau itu?”

"Harap Yu-heng jangan salah paham,” cepat Pau Jian-leng menjelaskan. "Sebaliknya aku justru hendak menyampaikan berita penting ini, Kiau Hong menyatakan akan hadir dalam pertemuan besar kaum kesatria ini.”

Seketika gemparlah suasana ruangan tamu itu, sejenak kemudian keadaan menjadi hening, semuanya diam ingin mendengarkan berita itu lebih lanjut. Yang terdengar hanya suara obrolan dan tertawa tamu-tamu di ruangan belakang dan samping karena mereka tidak tahu suasana di ruangan depan itu.

"Dari mana Pau-heng tahu Kiau Hong akan datang ke sini?” tanya Si Tabib Sakti.

"Cayhe bersama Ki-heng dan Hiang-heng mendengar dengan telinga sendiri,” sahut Jian-leng. "Sungguh memalukan kalau diceritakan, kami bertiga semalam telah terjungkal habis-habisan.”

Berulang Hiang Bong-thian mengedipi kawan itu agar jangan menguraikan kejadian semalam yang memalukan itu. Tapi Pau Jian-leng cerdik orangnya, ia pikir bila sedikit ia dusta hingga menimbulkan rasa curiga Si Tabib Sakti dan tokoh-tokoh lain, kelak pasti akan mendatangkan banyak kesukaran.

Maka ia tidak peduli isyarat Hiang Bong-thian itu, sebaliknya perlahan ia lepaskan ruyungnya dari pinggang dan diperlihatkan kepada Sih-sin-ih tulisan di atas kertas yang masih menempel pada senjatanya itu, katanya, "Kiau Hong suruh kami bertiga menyampaikan pesannya, katanya dalam waktu singkat ia akan datang ke Ciphian-ceng ini.”

Lalu ia ceritakan pengalamannya tanpa dusta sedikit pun. Sudah tentu yang runyam adalah Hiang Bong-thian, ia merasa malu dan membanting-banting kaki.

Namun tanpa tedeng aling-aling Pau Jian-leng menghabiskan ceritanya itu, akhirnya ia berkata, "Kiau Hong itu adalah keturunan anjing bangsa Cidan, andaikan dia cukup baik dan berbudi juga kita mesti membasminya, apalagi sekarang ia sudah umbar kebuasannya, mara bahaya di kemudian hari tentu tak terkirakan, sebenarnya untuk menangkapnya tidaklah mudah, syukur sekarang ia masuk jeratan sendiri, rupanya ajalnya sudah tiba saatnya.”

Yu Ki berkerut kening mendengar laporan itu, ia pikir sejenak, lalu berkata, "Konon Kiau Hong itu seorang yang serbapintar dan tangkas, sekali-kali bulan seorang laki-laki kasar dan sembarang bertindak, masakah ia benar-benar berani hadir dalam pertemuan ini?”

"Mungkin ada tipu muslihat di balik kehadirannya nanti, untuk mana kita harus waspada,” ujar Pau Jian-leng. "Marilah kita berunding cara bagaimana harus menghadapinya nanti.”

Tengah bicara, dari luar sudah masuk lagi banyak kesatria lain, di antaranya "Tiat-bin-poan-koan” Tan Cing dan kelima putranya. Tam-kong dan Tam-poh serta Tio-ci-sun, Kim Tay-peng dan Oh-pek-kiam Su An, Naukang-ong Cin Goan-cun, dan lain-lain. Tidak lama kemudian, tiba pula Hian-lan dan Hian-cit berdua padri saleh dari Siau-lim-si.

Meski ada juga di antara mereka tidak menerima kartu undangan, tapi karena merasa diri mereka cukup memenuhi syarat untuk disebut sebagai kesatria, maka tanpa diundang juga mereka hadir sendiri.

Dengan hormat Yu-si-siang-hiong dan Giam-ong-tek menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Ketika bicara tentang kejahatan yang diperbuat Kiau Hong, semua orang merasa gusar dan bertekad akan membasmi durjana yang kejam itu.

Tiba-tiba pelayan penyambut tamu masuk memberi lapor bahwa Ci-tianglo dari Kay-pang bersama Cit-hoat dan Thoan-kong Tianglo serta keempat tianglo lain juga tiba. Tamu-tamu yang sudah berada di situ sama terkesiap. Ujar Hiang Bong-thian, "Orang Kay-pang datang ke sini secara berbondong-bondong, jelas mereka hendak memberi bantuan kepada Kiau Hong.”

"Tidak mungkin,” kata Tan Cing. "Kiau Hong sudah dipecat dari keanggotaan Kay-pang dan bukan pangcu mereka lagi, kejadian itu kami ikut menyaksikan sendiri, malahan di antara mereka sudah saling bermusuhan.”

"Tapi hubungan lama belum tentu dilupakan begitu saja,” kata Hiang Bong-thian.

"Kukira para tianglo dari Kay-pang adalah kesatria sejati dan patriot tulen, kalau mereka membantu Kiau Hong, bukankah berarti mereka pun pengkhianat bangsa dan penjual negara?” ujar Yu Ek.

"Ya, manusia yang paling rendah sekalipun tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan penjual negara,” demikian dukung tetamu yang lain.

Maka Yu-si-siang-hiong bersama Sih-sin-ih lantas menyambut keluar. Mereka merasa lega ketika melihat orang Kay-pang yang hadir itu cuma belasan tianglo saja, andaikan mereka hendak membela Kiau Hong juga takkan dapat melawan kesatria lain yang lebih banyak jumlahnya.

Tapi Yu-loji, Yu Ki, orangnya cukup hati-hati, diam-diam ia kirim anak buahnya pasang mata di sekitar pedusunan untuk melihat apakah orang Kay-pang menyembunyikan bala bantuan atau tidak. Setelah itu barulah ia menyilakan Ci-tianglo dan rombongan masuk ke dalam. Wajah para tokoh Kay-pang tampak masam, nyata mereka sedang menanggung sesuatu urusan yang memusingkan.

Sesudah tuan rumah dan para tamu mengambil tempat duduk, segera Ci-tianglo membuka suara lebih dulu, "Sih-heng, dan kedua saudara Yu, hari ini para kesatria kalian undang ke sini, apakah maksudnya hendak menghadapi bibit bencana bu-lim yang ditimbulkan Kiau Hong itu?”

Mendengar tokoh Kay-pang itu menyebut Kiau Hong sebagai bibit bencana bu-lim, semua orang saling pandang sekejap dengan hati lega. Segera Yu Ek menjawab, "Memang demikianlah halnya. Maka atas kunjungan Ci-tianglo sekalian kami merasa sangat beruntung, sebab untuk membasmi pengganas itu, perlu sekali kami mendapat bantuan dan izin para Tianglo, kalau tidak, jangan-jangan akan timbul salah paham hingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.”

Ci-tianglo menghela napas panjang, sahutnya, "Orang itu sudah tidak punya hati nurani lagi, tindak tanduknya kejam. Sepantasnya, karena ia pernah banyak berjasa bagi pang kami, paling akhir juga telah menolong saudara-saudara kami dari jebakan musuh. Akan tetapi seorang laki-laki harus dapat memandang jauh, segala apa mesti berpikir pada kepentingan orang banyak, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Kini Kiau Hong adalah musuh besar bangsa Song kita, meski para tianglo dari pang kami pernah mendapatkan kebaikannya, tapi tidak nanti kami mengutamakan kepentingan pribadi dan melalaikan kepentingan umum. Apalagi sekarang ia sudah bukan orang kami.”

Ucapan Ci-tianglo segera mendapat pujian orang banyak. Menyusul Yu Ek lantas beri tahu tentang Kiau Hong telah menyatakan akan hadir dalam pertemuan ini. Berita ini membuat para Tianglo Kay-pang terperanjat dan heran. Sebagai bekas anak buah Kiau Hong, mereka cukup kenal pribadi bekas pangcu mereka yang tangkas lagi cerdik itu, kalau dikatakan Kiau Hong akan datang ke Cip-hian-ceng seorang diri, hal ini benar-benar sangat mengherankan mereka.

Tiba-tiba Hiang Bong-thian berseru, "Kukira pernyataan Kiau Hong itu hanya tipu muslihat belaka, ia sengaja membikin kita menunggu percuma di sini, sebaliknya ia angkat langkah seribu entah kabur ke mana, itu namanya ‘tonggeret melepaskan kulit’!”

"Melepas kulit makmu!” mendadak Go-tianglo memaki sambil menggebrak meja. "Tokoh macam apakah Kiau Hong itu, apa yang telah dikatakannya masakah kau kira cuma omong kosong?”

Muka Hiang Bong-thian menjadi merah padam oleh makian itu, segera ia menyahut, "Kau mau bela Kiau Hong, bukan? Hm, aku orang she Hiang inilah orang pertama yang penasaran, marilah, boleh kita coba-coba dulu.”

Selama hidup Go-tianglo paling kagum kepada Kiau Hong, ia memang lagi mendongkol sepanjang jalan ketika mendengar berita tentang bekas pangcu itu membunuh kedua orang tua serta gurunya.

Oleh karena seorang saudara Go-tianglo juga telah menjadi korban keganasan bangsa Cidan, selama hidupnya ia sangat benci pada orang Cidan. Kini mendadak diketahuinya Kiau-pangcu yang dihormati dan dicintainya itu ternyata adalah orang Cidan, keruan kesal dan sesalnya tak terlukiskan.

Dalam keadaan sedih itulah tiba-tiba Hiang Bong-thian berani menantang padanya, keruan tanpa tawar lagi ia tandangi tantangan itu. Sekali lompat ia melesat ke tengah pelataran dan berseru, "Apakah Kiau Hong itu keturunan anjing Cidan atau bukan, saat ini masih belum dapat dipastikan oleh siapa pun juga. Tapi bila dia benar-benar bangsa Cidan, aku orang she Go inilah yang pertama-tama akan mengadu jiwa padanya. Dan untuk membunuh Kiau Hong, biarpun nomor urut keseribu juga belum sampai pada giliranmu. Hm, kau ini kutu busuk macam apa hingga berani mengoceh di sini? Ayolah maju, biar kuhajar adat dulu padamu.”

Sudah tentu Hiang Bong-thian jadi murka juga, "sret”, segera ia lolos goloknya dan hendak tandangi Gotianglo. Tapi begitu golok terlolos, segera kertas yang ditempel Kiau Hong di atas senjatanya itu lantas terbaca. Seketika ia tertegun.

"Sudahlah, kalian sama-sama tetamu kami, harap suka memandang muka kami, janganlah ribut dulu,” demikian Yu Ek berusaha memisah.

"Ya, Go-hiati, janganlah kita bertindak sembrono, betapa pun nama baik pang kita harus dijaga,” ujar Citianglo.

"Huh, Kay-pang mempunyai seorang tokoh besar macam Kiau Hong, nama baiknya sangat tersohor, memang kudu dijaga sebaik-baiknya,” demikian tiba-tiba suara seorang aneh dingin dan lirih menanggapi ucapan Citianglo itu.

Keruan para tokoh Kay-pang yang hadir di situ menjadi gusar, beramai-ramai mereka membentak, "Siapa itu yang bicara?” - "Ayolah, kalau berani tampil ke muka sini!” - "Huh, pengecut, bicara secara sembunyisembunyi! Haram jadah!”

Namun pembicara itu diam saja sesudah mengucapkan kata-kata tadi hingga tiada seorang pun tahu siapa gerangannya.

Sungguh dongkol tokoh-tokoh Kay-pang itu tidak kepalang karena disindir tanpa mengetahui siapa orangnya, tentu saja mereka mati kutu. Tapi beberapa di antaranya yang berwatak berangasan dan kasar, tanpa pikir lagi terus balas mencaci maki hingga kakek-moyang ke-18 keturunan pembicara itu pun dimaki habis-habisan.

Sih-sin-ih berkerut kening oleh caci maki yang kotor itu, segera katanya, "Harap para Tianglo suka sabar, dengarkan kataku ini.”

Maka perlahan para pengemis itu tenang kembali.

Di luar dugaan, kembali suara orang tadi bergema pula di tengah orang banyak sana, "Bagus, bagus! Kiau Hong sengaja mengirim mata-mata sebanyak ini, sebentar tentu ada permainan sandiwara yang menarik.”

Mendengar ucapan itu, Go-tianglo semakin murka, segera terdengar suara gemerencing senjata dilolos, para tokoh pengemis itu siapkan senjata mereka yang gemerlapan. Tamu lain mengira kawanan pengemis itu akan turun tangan, beramai mereka pun lolos senjata hingga keadaan menjadi kacau-balau.

Cepat Sih-sin-ih dan Yu-si-siang-hiong berusaha menenangkan suasana ribut itu, tapi suara mereka ternyata tidak cukup untuk bikin tenteram suasana yang panas itu.

Pada saat kacau itulah, tiba-tiba seorang penjaga berlari masuk dan membisiki telinga Yu Ek. Air muka Yu Ek tampak berubah hebat, ia tanya sesuatu pada pelayan itu dan hamba itu tampak menuding ke luar pintu dengan rasa takut.

Segera tampak Yu Ek bisik-bisik juga pada Sih-sin-ih dan air muka tabib sakti itu pun kelihatan gelisah. Waktu Yu Ki mendekati saudaranya dan menanyakan apa yang terjadi, sesudah Yu Ek berbisik perlahan, mendadak air muka Yu Ki juga berubah kaget. Lalu Yu Ki membisiki kawannya yang lain.

Begitulah seorang demi seorang meneruskan bisik-bisik itu hingga akhirnya merata dan semua orang mengetahui apa yang terjadi. Seketika suasana gaduh menjadi sunyi, sebab setiap orang yang hadir di situ sama mendapat bisikan, "Kiau Hong sudah datang!”

Setelah saling pandang sekejap antara Sih-sin-ih dan kedua saudara Yu, mereka memandang pula pada Hian-

lan dan Hian-cit berdua, akhirnya Sih-sin-ih berkata, "Silakan dia masuk!”

Segera pelayan tadi keluar. Sedangkan hati semua kesatria sama berdebar dengan hebat. Walaupun jelas jumlah orang pihak sini jauh lebih banyak, sekali Kiau Hong bertindak, seketika semua orang mengerubut maju, tentu bekas Pangcu Kay-pang itu akan dapat dicacah menjadi perkedel. Tapi nama Kiau Hong itu terlalu disegani, kalau dia sudah berani hadir seorang diri, terang dia sudah punya sesuatu pegangan, siapa pun tidak dapat menerka tipu muslihat apa yang telah diatur olehnya.

Di tengah suasana yang hening itu, tiba-tiba terdengar suara keledai lari berdetak-detak diselingi suara kelotakan roda kereta yang menggelinding di atas batu. Sebuah kereta terdengar sudah sampai di depan pintu. Malahan kereta itu tidak berhenti di situ, bahkan terus melintasi gerbang pintu dan langsung masuk ke dalam pekarangan. Kereta keledai itu tampak dikusiri seorang laki-laki tegap dengan cambuk di tangan, kerai kereta tertutup hingga tidak jelas apa isi kendaraan itu.

Seketika perhatian semua orang terarah kepada laki-laki tegap yang mengemudi kereta itu. Tertampak badannya tinggi besar, dada lebar dan lengan kasar, mukanya kereng, siapa lagi dia kalau bukan bekas Pangcu Kay-pang, Kiau Hong adanya.

Setelah taruh cambuknya di atas kereta, segera Kiau Hong melompat turun dan berkata, "Kudengar Sih-sin-ih dan Yu-si-hengte sedang mengadakan pertemuan besar dengan para kesatria di Cip-hian-ceng ini, Kiau Hong sudah merasa dibenci oleh para kesatria Tionggoan, masakah aku berani ikut hadir ke sini tanpa kenal malu? Cuma hari aku ada urusan penting yang mesti minta tolong kepada Sih-sin-ih, maka kedatanganku secara sembrono ini hendaklah dimaafkan.”

Habis berkata, ia membungkuk dengan laku sangat hormat.

Tapi semakin Kiau Hong berlaku sopan, semakin Sih-sin-ih dan lain-lain curiga mungkin di balik kehalusan ini ada sesuatu tipu keji. Maka diam-diam Yu Ek memberi tanda kepada anak buahnya agar meronda keluar untuk berjaga segala kemungkinan di samping untuk merintangi larinya Kiau Hong bila bekas pangcu itu hendak kabur.

Lalu Sih-sin-ih membalas hormat dan berkata, "Ada urusan penting apa yang Kiau-heng ingin minta tolong padaku?”

Kiau Hong tidak lantas menyahut, tapi ia melangkah mundur ke samping kereta, ia singkap tirai kereta keledai itu dan memayang A Cu turun ke bawah. Lalu katanya, "Disebabkan aku suka bertindak gegabah, maka nona cilik ini ikut menjadi korban tenaga pukulan orang hingga terluka parah. Di zaman ini selain Sih-sin-ih tiada orang lain lagi yang mampu menyembuhkannya, maka secara sembrono kudatang kemari untuk mohon Sihsin-ih agar suka menolong jiwanya.”

Waktu melihat kereta keledai itu tadi sebenarnya semua orang sangat curiga, sebab tidak tahu apa isi kereta yang dibawa datang Kiau Hong. Kini demi tampak dari dalam kereta diturunkan seorang nona cilik berumur 16-17 tahun, kembali mereka heran lagi, lebih-lebih setelah mendengar Kiau Hong menyatakan kedatangannya itu hendak mohon pengobatan kepada Si Tabib Sakti.

Sih-sin-ih sendiri juga sama sekali tidak menduga akan hal itu. Sudah biasa baginya menerima tamu dari jauh yang ingin minta tolong padanya, tapi kini mereka sedang berunding cara bagaimana menawan dan membunuh Kiau Hong, siapa tahu "durjana” yang dipandang mahajahat itu justru datang sendiri, sungguh hal ini sukar untuk dipercaya oleh siapa pun.

Ia coba mengamat-amati A Cu dari atas ke bawah dan sebaliknya, ia lihat anak dara itu cukup cantik, tapi tidak luar biasa, apalagi usianya masih muda, tidak mungkin Kiau Hong tergoda oleh kecantikan seorang dara ingusan. Tapi ia lantas berpikir, "Jangan-jangan anak dara ini adalah adik perempuannya? Tapi, hal ini tidak mungkin terjadi, sedangkan orang tua dan gurunya saja dibunuhnya, masakah dia sudi mengambil risiko sebesar ini demi untuk adik perempuan. Jika demikian, apakah putrinya? Tapi toh tidak pernah kudengar Kiau Hong pernah menikah?”

Sebagai seorang tabib sakti, dengan sendirinya Sih-sin-ih pandai membedakan ciri-ciri setiap orang. Ia lihat Kiau Hong sangat kekar, sebaliknya A Cu kecil mungil, tiada sesuatu persamaan di antara mereka, maka dapat dipastikan tiada hubungan darah apa-apa. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia tanya, "Siapakah nona ini, dia pernah apa dengan kau?”

Kiau Hong melengak oleh pertanyaan itu, sejak kenal A Cu, yang diketahui cuma panggilan anak dara itu adalah "A Cu”, apakah dia she Cu atau bukan tidaklah diketahui. Maka ia coba tanya gadis itu, "A Cu, apakah kau memang she Cu?”

"Bukan,” sahut A Cu dengan tersenyum. "Aku she Wi dan bernama Si. Cuma aku cuka pakai baju merah, maka Kongcu memanggilku A Cu (Si Merah).”

"O, jadi dia she Wi, Sih-sin-ih, aku pun baru tahu sekarang,” ujar Kiau Hong.

Keruan Si Tabib Sakti semakin heran, tanyanya pula, "Jika begitu, jadi engkau tiada persahabatan apa-apa dengan dia?”

"Dia adalah dayang seorang sobatku, sedikit banyak ada sangkut pautnya,” ujar Kiau Hong.

"Siapakah sobatmu itu, tentu hubungan kalian sebaik saudara sekandung, bukan?” tanya Sih-sin-ih.

"Tidak, sobatku itu juga cuma kukenal namanya saja, selamanya belum pernah bertemu,” sahut Kiau Hong.

Keruan jawabannya membikin gempar pula. Sebagian besar orang tidak percaya pada pengakuannya itu, mereka menyangka itu cuma suatu tipu muslihat Kiau Hong saja. Tapi banyak pula yang kenal watak Kiau Hong tidak pernah berdusta, biarpun segala kejahatan mungkin dapat dilakukannya, tapi untuk menjaga harga diri, tidak nanti ia bohong untuk menipu orang.

Sih-sin-ih tidak tanya lagi, tiba-tiba ia melangkah maju, ia pegang nadi pergelangan tangan A Cu, ia merasa denyut nadi sangat lemah, tenaga murni dalam tubuh bergolak hebat, keduanya itu satu sama lain tidak seimbang. Waktu ia periksa nadi lain pula, maka dapatlah ia menentukan penyakitnya. Katanya, "Jika Kiauheng tidak menyambung jiwanya dengan tenaga dalam, mungkin nona ini sudah lama terbinasa di bawah pukulan Kim-kong-ciang Hian-cu Taysu.”

Sudah tentu ucapan Si Tabib Sakti ini sekali lagi membikin gempar para kesatria, lebih-lebih Hian-lan dan Hian-cit, mereka merasa aneh bilakah suheng mereka pernah memukul seorang nona cilik dengan Kim-kongciang? Jika dara cilik ini benar-benar diserang Kim-kong-ciang yang mahahebat itu, tidak mungkin jiwanya bisa dipertahankan sampai sekarang.

Maka Hian-lan lantas berkata, "Sih-kisu, Hongtiang Suheng kami selama beberapa tahun tidak pernah keluar dari biara, selamanya Siau-lim-si tidak pernah dimasuki kaum wanita, mungkin pukulan Kim-kong-ciang itu bukan dilakukan oleh suheng kami.”

"Habis, di dunia ini siapa lagi yang mampu menggunakan Kim-kong-ciang dari kalangan Buddha ini?” ujar Sih-sin-ih.

Hian-lan dan Hian-cit menjadi bungkam dan saling pandang. Mereka berdua belajar bersama dengan Hian-cu dari satu guru, mereka giat berlatih, tapi karena terbatas oleh bakat mereka, maka Tay-pan-yak-kim-kong-ciang itu tak berhasil diyakinkan mereka. Hal ini pun tidak membuat menyesal mereka, sebab mereka maklum orang Siau-lim-pay mereka jarang yang berhasil meyakinkan ilmu silat golongannya sendiri walaupun inti rahasia setiap ilmu pusaka mereka selalu dapat diturunkan dengan baik oleh padri-padri sakti angkatan yang lebih tua. Tapi untuk bisa melatihnya dengan sempurna terkadang sampai ratusan tahun baru terdapat seorang genius di antara padri yang berjumlah ratusan itu.

Sebenarnya Hian-cit ingin tanya apakah benar nona itu terkena "Tay-pan-yak-kim-kong-ciang”, tapi urung diucapkannya, sebab bila ia tanya begitu, itu berarti ia ragukan kepandaian Sih-sin-ih, hal ini akan dianggap kurang hormat.

Hian-lan lantas berkata, "Di balik kejadian ini tentu ada sesuatu yang ganjil. Suhengku adalah padri yang alim, sebagai seorang ketua suatu mazhab persilatan terkemuka, tidak mungkin ia menyerang seorang nona cilik? Sekalipun nona ini berbuat sesuatu yang salah juga Hongtiang Suheng kami takkan bertindak seganas ini padanya.”

Semua orang menyatakan benar ucapan itu, mereka pun sependapat bahwa di balik urusan ini pasti ada sesuatu muslihat tertentu.

Karena itu banyak di antara mereka sama melototi Kiau Hong, maksud mereka sudah terang yaitu bila ada orang yang main gila dalam peristiwa itu, terang dia pastilah Kiau Hong.

Namun Kiau Hong anggap kebetulan malah jika kedua padri Siau-lim-si itu tidak mengakui A Cu dilukai ketua mereka, sebab kalau mereka mengakui hal itu, mungkin Sih-sin-ih akan tidak enak malah untuk mengobati luka A Cu.

Supaya menurut arah angin, segera ia berkata, "Ya, Hian-cu Hongtiang adalah padri welas kasih, tidak mungkin beliau sembarangan menyerang seorang gadis cilik. Besar kemungkinan ada orang sengaja memalsukan padri saleh untuk merusak nama baik Siau-lim-pay.”

Hian-lan dan Hian-cit saling pandang, mereka anggap ucapan Kiau Hong yang durhaka itu beralasan juga.

Sebaliknya diam-diam A Cu merasa geli, memang benar juga ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, tapi bukan memalsukan Hian-cu Hongtiang, melainkan Ti-jing Hwesio. Dan sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit tidak mengetahui maksud ganda kata-kata Kiau Hong itu.

Mendengar apa yang dikemukakan Hian-lan dan Hian-cit tadi, Sih-sin-ih yakin diagnosis yang dikatakannya tadi tidak salah lagi, maka katanya pula, "Jika begitu halnya, ternyata di dunia ini ada orang lain lagi yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang dari Siau-lim-si. Cuma waktu orang ini menyerang, entah teralang apa, maka daya pukulannya telah terhapus 7-8 badan hingga Nona Wi ini tidak terbinasa. Tapi betapa hebat tenaga pukulan orang itu mungkin tidak lebih lemah daripada Hian-cu Hongtiang, di jagat ini terang tiada orang ketiga lagi yang dapat menandingi mereka.”

Alangkah kagumnya Kiau Hong, pikirnya diam-diam, "Sungguh mahasakti kepandaian Sih-sin-ih ini. Dia hanya memegang nadi A Cu sebentar, segera ia dapat menguraikan apa yang terjadi pada pertarungan itu dengan tepat. Tampaknya dia pasti dapat juga menyembuhkan A Cu.”

Maka dengan rasa girang segera ia berkata, "Jika nona ini terbinasa di bawah pukulan Tay-pan-yak-kim-kongciang, tentu Siau-lim-pay akan ikut tersangkut, maka sudilah Sih-sin-ih menaruh belas kasihan dan suka mengobatinya.”

Sembari berkata, kembali ia memberi hormat.

Tapi belum lagi Si Tabib Sakti menjawab, tiba-tiba Hian-cit tanya A Cu, "Siapakah orang yang melukai Nona? Di manakah kau diserang olehnya dan sekarang penyerang itu berada di mana?”

Karena urusan menyangkut nama baik Siau-lim-pay mereka, pula tidak disangka bahwa di dunia ini ternyata masih ada golongan lain yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, maka betapa pun ia ingin mengusut urusan ini hingga terang.

Sebaliknya sifat A Cu memang nakal dan jahil, tiba-tiba tergerak pikirannya, "Kawanan hwesio ini gentar kepada kongcu kami, biarlah aku sengaja menakuti-nakuti mereka.

Maka ia lantas menjawab, "Penyerang itu adalah seorang pemuda cendekia, wajahnya cakap dan potongannya ganteng. Waktu itu aku sedang minum dengan Kiau-toaya di suatu kedai arak sambil mempercakapkan kepandaian Sih-sin-ih yang mahasakti dan tiada bandingannya sepanjang sejarah ….”

Manusia mana yang tidak suka dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Sih-sin-ih. Apalagi kata-kata itu diucapkan oleh seorang dara jelita, maka tanpa terasa tabib sakti itu sangat senang, ia mengelus jenggotnya dengan tersenyum sambil mendengarkan pujian-pujian setinggi langit itu.

Sebaliknya Kiau Hong berkerut kening, sebab apa yang dikatakan A Cu itu sudah terang omong kosong belaka.

Terdengar A Cu mencerocos lagi, "Waktu itu aku berkata, ‘Adanya Sih-sin-ih itu di dunia, sebenarnya orang lain tidak perlu belajar silat lagi.’ Maka Kiau-toaya tanya padaku apa sebabnya? Aku menjawab, ‘Jika setiap orang yang dipukul mati toh akan dihidupkan kembali oleh Sih-sin-ih, lalu apa gunanya orang belajar ilmu silat segala, bukankah sia-sia? Bila kau bunuh seorang, beliau sanggup hidupkan dua orang, kau bunuh dua orang, beliau malahan hidupkan empat orang. Nah, kan sia-sia orang belajar silat?’”

Dasar A Cu memang pandai bicara dan pintar mengarang, lagu suaranya enak didengar pula tidak membosankan pendengarnya. Saking tertariknya bahkan ada yang bergelak tertawa.

Namun A Cu sendiri sedikit pun tidak tertawa, ia sambung lagi, "Di luar dugaan di meja sebelah waktu itu pun duduk seorang kongcuya, rupanya percakapan kami dapat didengarnya, tiba-tiba ia mendengus dan berkata, ‘Hah, segala pukulan di dunia ini pada umumnya enteng tak bertenaga, karena itulah tabib she Sih bisa mendapatkan nama kosong. Coba kalau tenaga pukulanku ini, apakah dia mampu menyembuhkan?’”

Habis berucap begitu dari tempat duduknya ia terus menghantam ke arahku dari jauh. Tadinya kukira dia hanya bergurau saja, maka tidak kuambil pusing, Tapi Kiau-toaya inilah yang terkejut ….”

"Apakah dia yang menangkiskan pukulan itu?” tanya Hian-cit.

"Bukan,” sahut A Cu dengan menggeleng kepala. "Jika Kiau-toaya menangkis pukulan itu, tentu aku takkan terluka. Justru karena jarak Kiau-toaya dengan aku agak jauh, maka tanpa pikir ia angkat sebuah kursi dan ditimpukkan dari samping. Syukurlah pertolongan Kiau-toaya itu tepat datangnya hingga kursi itu hancur kena tenaga pukulan kongcu muda itu, aku sendiri merasa sekujur badan enteng bagai terbang ke awang-awang, sedikit pun tidak bertenaga lagi. Lalu kongcuya itu berkata padaku, ‘Nah, sekarang boleh kau pergi pada Sihsin-ih, suruh dia latihan dulu atas lukamu ini, supaya kelak dia takkan repot jika mesti mengobati Hian-cu Taysu.’.”

"Apa maksud perkataannya itu?” tanya Hian-lan dengan kening bekernyit.

"Agaknya ia maksudkan kelak akan menggunakan Tay-pan-yak-kim-kong-ciang untuk melukai Hian-cu Taysu,” sahut A Cu.

Seketika para kesatria dibikin gempar pula, banyak di antaranya berseru, "He, Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin, ternyata betul, itulah dia Koh-soh Buyung!”

Mereka pakai kalimat "ternyata betul”, maksudnya mereka sudah menduga sebelumnya akan keterangan A Cu itu.

Begitulah oleh karena A Cu sudah tahu Buyung Hok bakal cari setori pada orang Siau-lim-pay, maka sekarang ia sengaja membual untuk menggertak lawan dulu, sekalian untuk mengangkat derajat dan meninggikan perbawa Buyung-kongcu.

"He, bukankah Kiau Hong tadi bilang ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, mengapa nona ini sekarang mengatakan penyerangnya itu adalah seorang muda, sebenarnya manakah yang betul?” tiba-tiba Yu Ek menegas.

"Orang yang memalsukan padri Siau-lim-si memang bukan karangan, aku sendiri menyaksikan dua hwesio yang mengaku dari Siau-lim-si, tapi diam-diam mencuri anjing orang untuk disembelih,” sahut A Cu. Ia sadar bualannya tadi agak tidak cocok dengan keterangan Kiau Hong, maka ia sengaja omong yang tidak-tidak untuk membelokkan pokok pertanyaan mereka.

Dengan sendirinya Sih-sin-ih lantas tahu juga apa yang diceritakan A Cu itu agak ganjil, seketika ia menjadi ragu apakah mesti mengobati luka gadis ini atau tidak. Ia coba pandang Hian-lan dan Hian-cit berdua, lalu memandang Yu-si-siang-hiong dan memandang pula Kiau Hong dan A Cu.

"Hari ini jika Sih-siansing sudi menolong Nona Wi, budi kebaikan ini pasti takkan kulupakan di kemudian hari,” ujar Kiau Hong.

"Hehe, takkan melupakan kebaikanku di kemudian hari? Memangnya kau kira kau dapat keluar dari sini dengan hidup?” jengek Sih-sin-ih.

"Keluar dari sini dengan hidup atau akan mati di sini, hal ini tak dapat kupikirkan lagi,” kata Kiau Hong. "Yang terang, luka nona ini betapa pun harus kau obati.”

"Untuk apa aku harus mengobati dia?” sahut Sih-sin-ih dengan ketus.

"Kota Buddha, menolong jiwa seorang melebihi membangun tujuh tingkat candi,” ujar Kiau Hong. "Sebagai seorang bu-lim yang wajib berlaku bajik, rasanya tidak mungkin Sih-siansing tega menyaksikan nona ini mati begitu saja tanpa berdosa.”

"Sebenarnya siapa pun yang membawa nona ini kemari, pasti akan kusembuhkan dia,” sahut Sih-sin-ih. "Tapi, hm, karena kau yang membawanya kemari, maka aku tidak mau menolong dia.”

Air muka Kiau Hong berubah mendadak, katanya dengan dingin, "Kalian berkumpul di Cip-hian-ceng tujuan kalian memang hendak menghadapi orang she Kiau, masakah aku tidak tahu?”

"Ai, Kiau-toaya, jika begitu, tidak seharusnya engkau menempuh bahaya dan membawa aku ke sini,” sela A Cu mendadak.

Namun Kiau Hong menyambung lagi, "Tapi kupikir kalian adalah kaum kesatria sejati, tentu dapat

membedakan yang benar dan yang salah, yang ingin kalian bunuh juga cuma aku seorang dan tiada sangkut paut apa-apa dengan nona cilik ini. Sekarang rasa benci Sih-siansing kepadaku ikut merembet atas diri Nona Wi ini, bukankah itu tidak patut?”

Sih-sin-ih menjadi bungkam. Sejenak barulah ia menjawab, "Apakah aku akan mengobati seseorang atau tidak bergantung kepada keputusanku, hal ini tak dapat dimohon oleh siapa pun dan tak bisa dipaksakan padaku. Kiau Hong, dosamu, sudah kelewat takaran, kami justru lagi berunding hendak membekuk batang lehermu untuk mencencangmu guna sesajen ayah-bunda dan gurumu yang telah menjadi korban keganasanmu itu. Jika sekarang kau sendiri sudah datang kemari, itulah paling bagus. Nah, boleh kau bereskan nyawamu sendiri saja.”

Habis berkata, sekali ia memberi tanda, serentak para kesatria berteriak sekali sambil melolos senjata masingmasing, seluruh ruangan itu penuh sinar kemilau dari berbagai jenis senjata. Menyusul di tempat tinggi juga terdengar suara seruan, di atap rumah, emper, dan pagar tembok sudah penuh berdiri jago-jago silat dengan senjata siap di tangan.

Meski sudah banyak pertempuran besar yang dialami Kiau Hong, tapi biasanya anggota Kay-pang yang dipimpinnya itu selalu berjumlah lebih banyak daripada pihak musuh, tidak pernah seorang diri terkepung di tengah musuh banyak seperti sekarang ini, bahkan ia masih harus melindungi seorang nona cilik yang terluka parah, sungguh ia menjadi bingung juga cara bagaimana mesti meloloskan diri dari kepungan musuh yang ketat ini.

Yang paling khawatir adalah A Cu. "Kiau-toaya, lekas engkau melarikan diri saja dan tidak perlu urus diriku! Mereka tiada permusuhan apa-apa denganku, tentu aku takkan dibikin susah oleh mereka,” demikian seru A Cu sambil menangis.

Tergerak pikiran Kiau Hong, ia pikir para kesatria tentu takkan bikin susah seorang gadis tak berdosa, biarlah lekas kutinggalkan tempat ini saja. Tapi segera terpikir pula, "Seorang laki-laki sejati sekali menolong orang harus menolong sampai akhirnya, sedangkan Sih-sin-ih belum lagi menyanggupi akan mengobati lukanya, sebelum tahu pasti bagaimana nasib nona cilik ini, mana boleh aku tamak hidup dan takut mati, lalu tinggal pergi begini saja?”

Ia coba pandang sekitar ruangan tamu itu, ia lihat banyak tokoh terkemuka di antara hadirin itu adalah kenalan lama.

Melihat jago-jago terkemuka sebanyak itu, sekonyong-konyong semangat jantannya berkobar-kobar, rasa jeri tersapu bersih semua. Katanya di dalam hati, "Andaikan darahku akan membasahi Cip-hian-ceng ini dan badanku akan dicencang mereka, apa artinya lagi bagiku? Seorang laki-laki kenapa mesti girang hidup dan takut mati?”

Berpikir begitu, segera ia terbahak dan berkata, "Sih-sin-ih, kalian menuduh aku adalah orang Cidan dan ingin membunuhku. Hehehe, apakah aku sebenarnya orang Cidan atau orang Han, sampai saat ini aku sendiri pun tidak pasti ….”

"Benar, memang kau anak keturunan capcai, dengan sendirinya kau tidak tahu keturunan jenis apa!” tiba-tiba suara orang yang dingin aneh tadi bergema lagi di antara orang banyak. Sejak tadi semua orang ingin tahu siapakah gerangan pembicara itu, tapi meski sudah dicari dan diperhatikan arah datangnya suara itu, tetap tak diketahui bibir siapa yang bergerak dan bicara itu. Jika perawakan orang itu sangat pendek, toh di antara hadirin itu tiada seorang pun yang berperawakan katai.

Semula Kiau Hong juga celingukan mencari si pembicara itu, tapi sesudah memerhatikan sejenak kemudian ia manggut-manggut, ia tidak gubris orang dan melanjutkan perkataannya kepada Sih-sin-ih, "Dan bila aku ternyata bangsa Han adanya, hari ini engkau telah menghinaku secara terbuka begini, tidak nanti aku tinggal diam atas perbuatanmu ini. Sebaliknya kalau aku adalah bangsa Cidan dan bertekad akan memusuhi para kesatria Tionggoan, maka orang pertama yang akan kubunuh adalah dirimu, dengan demikian supaya setiap kesatria Tionggoan yang kulukai akan binasa dan tak dapat tertolong lagi olehmu.”

"Memang, betapa pun kau pasti akan membunuhku,” sahut Sih-sin-ih.

"Tapi aku mohon sukalah engkau menolong nona ini, satu jiwa kubayar kembali dengan satu jiwa, selamanya aku takkan mengganggu seujung rambutmu,” ujar Kiau Hong.

"Hehehe,” Sih-sin-ih tertawa dingin, "selama hidupku bila mengobati orang hanya kalau dimohon, tapi tidak pernah dipaksa atau diancam.”

"Kan kutukar jiwamu dengan satu jiwa secara adil, tak dapat dikatakan aku mengancam atau memaksa,” sahut Kiau Hong.

Tiba-tiba suara dingin dan aneh tadi berkata pula, "Huh, apakah kau tidak malu? Padahal sekejap lagi kau sendiri akan dicencang mereka menjadi perkedel, tapi kau masih bicara tentang mengampuni jiwa orang segala? Kau ….”

Belum selesai ia berkata, mendadak Kiau Hong membentak, "Gelinding keluar!”

Begitu hebat bentakannya hingga atap rumah seakan-akan terguncang, debu kotoran pun bertebaran dari atas, telinga setiap orang seakan-akan pekak dan jantung berdebar.

Pada saat lain tertampaklah di antara orang banyak ada seorang laki-laki terhuyung-huyung menumbuk kiankemari pada orang-orang di sekitarnya. Hanya sekejap saja di situ lantas berwujud suatu tempat luang, orangorang lain sama menyingkir dan laki-laki itu tampak sempoyongan bagai orang mabuk.

Para kesatria lantas dapat melihat jelas laki-laki itu berjubah hijau, muka pucat kaku, perawakannya sangat kekar dan tegap, tapi tiada yang kenal siapakah dia.

"Ah, tahulah aku, dia ini Tui-hun-tiang Tam-ceng. Ya, dia inilah murid Yan-king Taycu,” demikian tiba-tiba Oh-pek-kiam Su An berseru.

Tui-hun-tiang Tam-ceng, Si Tongkat Pencabut Nyawa, mukanya waktu itu tampak berkerut-kerut, terang sedang menderita kesakitan yang luar biasa sambil kedua tangan tiada berhenti-henti memukul dan mencakar dada sendiri. Dari dalam badannya terdengar suara perkataan, "Aku … aku tiada permusuhan apa-apa dengan … denganmu, mengapa kau musnahkan ilmuku?”

Suaranya tetap lirih, dingin dan aneh, tapi kini terdengar lemah dan terputus-putus, sedang bibirnya sedikit pun tidak bergerak.

Keruan banyak di antara hadirin terkejut dan heran. Hanya beberapa di antaranya yang mengetahui bahwa ilmu kemahiran Tam-ceng itu disebut "Hok-lwe-gi” (ilmu bicara dengan perut), dengan ilmu mukjizat itu ditambah lwekang yang tinggi, sering pihak lawan bisa dipermainkan hingga semangat kabur dan sukma hilang, akhirnya terbinasa.

Rupanya Tam-ceng sudah memperoleh kepandaian gurunya, yaitu, Yan-king Taycu dan telah menjadi seorang pembicara dengan perut yang ulung.

Tapi sial baginya, ia ketanggor sekali ini, karena lwekang Kiau Hong jauh lebih tinggi daripadanya, maka ilmu sihirnya itu tidak mempan, sebaliknya ia kena digertak Kiau Hong dan ia celaka sendiri.

Maka dengan gusar Sih-sin-ih lantas mendamprat Tam-ceng, "Jadi kau inilah murid ‘Ok-koan-boan-eng’ Toan Yan-king? Pertemuan besar kaum kesatria yang kuadakan ini hanya disediakan untuk para pahlawan. Manusia rendah dan sampah masyarakat macammu ini juga berani menyelundup ke sini?”

"Huh, pertemuan kesatria apa segala, kulihat lebih tepat dikatakan pertemuan antara kawanan babi celeng!” tiba-tiba dari tempat tinggi di kejauhan berkumandang suara seorang. Dan begitu selesai ucapannya, tahu-tahu

sesosok bayangan orang melayang turun dari atas pagar tembok yang tinggi.

Perawakan orang ini tampak lencir dan tinggi sekali dengan gerak-geriknya yang sangat cepat. Banyak di antara penjaga di atas rumah telah berusaha merintanginya, tapi semuanya terlambat sedikit hingga orang jangkung ini sempat menerobos lewat.

Segera banyak juga di antara hadirin mengenal si jangkung ini tak-lain-tak-bukan adalah "Kiong-hiong-kekok” In Tiong-ho alias Si Ganas dan Mahajahat.

Dan begitu In Tiong-ho melayang turun ke tengah ruangan, dengan cepat ia jambret Tam-ceng terus menerjang ke arah Sih-sin-ih malah.

Karena khawatir tabib sakti itu diserang, dengan sendirinya tokoh-tokoh di sekitarnya serentak berusaha melindunginya. Tak tersangka tindakan In Tiong-ho itu melulu tipu belaka, pura-pura maju tapi sebenarnya akan mundur. Begitu lawan mengerubut maju, cepat sekali ia melompat mundur dan melompat ke atas pagar tembok lagi.

Sebenarnya tidak sedikit di antara kesatria yang hadir itu berilmu silat lebih tinggi daripada In Tiong-ho, tapi karena didahului oleh durjana itu, ditambah lagi ginkang Tiong-ho memang lain daripada yang lain, sekali dia sudah naik ke pagar tembok, sukarlah untuk disusul oleh siapa pun.

Segera banyak di antara jago-jago itu bermaksud menyerang dengan senjata rahasia, penjaga di atas atap rumah juga membentak dan hendak mencegat, tapi Kiau Hong sudah mendahului bertindak, mendadak ia membentak, "Tinggal sajalah di sini!”

Berbareng sebelah tangan terus memukul dari jauh, kontan suatu arus tenaga mahadahsyat bagaikan senjata tanpa wujud mengenai punggung In Tiong-ho.

Tanpa ampun lagi mahadurjana itu bersuara tertahan sekali, lalu terbanting jatuh ke belakang. Begitu terjungkal ke bawah, terus saja mulutnya menyemburkan darah segar bagai air mancur.

Sebaliknya Tam-ceng yang ikut terjungkal kembali itu masih dapat merangkak bangun, namun tetap terhuyung-huyung ke sana dan kemari sambil mulutnya menggumam seperti orang gila, keadaannya sangat lucu. Namun tiada seorang pun di antara hadirin geli oleh kelakuan Tam-ceng itu, sebaliknya mereka merasa keadaan di depan mata itu sangat seram.

Sih-sin-ih tahu luka In Tiong-ho sangat parah, tapi masih dapat ditolong, sebaliknya semangat Tam-ceng sudah runtuh, pikiran sehatnya sudah hilang, tiada obat mukjizat di dunia ini yang dapat menolong jiwanya. Terbayang olehnya Kiau Hong hanya sekali menggertak dan sekali menghantam dari jauh saja sudah memiliki daya selihai itu, bila bekas pangcu itu mau ambil jiwanya, rasanya tiada yang mampu merintanginya.

Tengah Sih-sin-ih termenung itu, tertampak Tam-ceng tidak bergerak lagi, tapi berdiri terpatung di tempatnya tanpa bersuara lagi. Kedua matanya mendelik, napasnya sudah putus.

Tadi Tam-ceng telah menghina Kay-pang, sebenarnya anggota-anggota Kay-pang sangat murka, tapi waktu itu tiada diketemukan siapa pembicaranya, maka mereka cuma gusar tanpa ada sasarannya. Kini, sekali Kiau Hong datang ke situ, segera orang itu dapat dimampuskan, tentu saja mereka merasa sangat senang dan puas. Kesatria-kesatria yang jujur tulus sebagai Go-tianglo dan Song-tianglo sampai hampir-hampir bersorak memuji, cuma teringat oleh mereka bahwa Kiau Hong sekarang bukan pangcu mereka lagi, pula dituduh sebagai keturunan Cidan, maka mereka urung bersorak. Tapi lapat-lapat dalam hati kecil mereka toh merasa menyesal bila Kiau Hong tidak menjadi pangcu mereka, maka kejayaan Kay-pang yang telah lalu tentu susah dibangun kembali.

"Kedua Yu-heng,” demikian Kiau Hong berkata. "Hari ini Cayhe dapat bersua dengan kenalan-kenalan lama di sini, tapi untuk selanjutnya kita akan menjadi lawan dan bukan kawan lagi, sungguh aku merasa sangat menyesal, maka aku ingin mohon beberapa mangkuk arak padamu.”

Semua orang menjadi heran menyaksikan ketenangan Kiau Hong ini, di bawah kepungan lawan sebanyak ini toh dia masih sempat minta minum arak apa segala. Diam-diam Yu Ek pikir, "Biarlah kita lihat cara bagaimana ia akan bertingkah?”

Maka ia lantas perintahkan centeng menyediakan arak yang diminta.

Cip-hian-ceng sedang mengadakan pertemuan, dengan sendirinya arak dan daharan sudah tersedia lebih dari cukup. Hanya sekejap pelayan sudah sediakan poci dan cawan arak seperlunya.

Tapi Kiau Hong berkata pula, "Cawan sekecil ini mana dapat memuaskan, harap ambilkan mangkuk yang besar.”

Segera dua centeng membawakan beberapa buah mangkuk besar dan satu guci arak simpanan, mereka menaruh semua itu di atas meja di depan Kiau Hong dan menuangkan satu mangkuk penuh.

"Harap setiap mangkuk diisi semua,” pinta Kiau Hong, dan sesudah hal itu dipenuhi kedua pelayan, lalu Kiau Hong angkat mangkuk dan berkata, "Para enghiong-hohan dari segenap penjuru yang hadir di sini sebagian besar adalah kawan lama Kiau Hong, tapi sekarang karena aku dicurigai kalian, marilah, silakan, kita habiskan semangkuk arak ini sekadar tanda putusnya persaudaraan. Siapa yang ingin membunuh diriku harap minum dulu semangkuk. Selanjutnya putuslah hubungan baik kita, apakah aku akan terbunuh oleh kalian atau kalian akan kubinasakan, masing-masing tidak perlu sungkan-sungkan. Nah, silakan siapa yang akan maju lebih dulu.”

Seketika ruangan tamu itu menjadi sunyi senyap, semuanya berpikir dengan khawatir, "Jika aku maju dulu, jangan-jangan akan tertipu olehnya. Pukulan sakti dari jauh seperti tadi mana aku sanggup menangkisnya?”

Dalam keadaan hening itulah, tiba-tiba tampil ke muka seorang perempuan berpakaian putih berkabung. Itulah janda Be Tay-goan.

Be-hujin mengangkat mangkuk arak dan berkata dengan dingin, "Suamiku dibinasakan olehmu, di antara kita tiada soal persaudaraan lagi!”

Lalu ia tempelkan mangkuk arak ke bibir, ia cicip sedikit dan berkata pula, "Aku tidak sanggup minum habis arak ini, tapi sakit hati kematian suami yang harus kubalas adalah mirip arak ini.”

Habis berkata, ia siram sisa arak ke lantai.

Waktu Kiau Hong perhatikan janda muda itu, ia lihat Be-hujin itu cantik molek. Tempo hari waktu bertemu di tengah hutan, karena cuaca sudah gelap, maka wajahnya tidak jelas kelihatan, sungguh tak tersangka wanita yang lihai itu ternyata mempunyai wujud secantik ini. Tanpa bicara ia pun angkat mangkuknya, sekali tenggak ia habiskan isi mangkuk. Ia memberi tanda agar pelayan memenuhi mangkuknya lagi.

Sesudah Be-hujin undurkan diri, lalu maju Ci-tianglo, ia pun tanpa bicara mengeringkan semangkuk arak diiringi Kiau Hong.

Dan setelah Thoan-kong Tianglo, lalu majulah Cit-hoat Tianglo. Selagi tokoh Kay-pang itu angkat mangkuknya hendak ditenggak, mendadak Kiau Hong berkata, "Nanti dulu!”

"Kiau-heng ada pesan apa?” tanya Cit-hoat Tianglo. Biasanya ia sangat hormat kepada Kiau Hong, maka nada suaranya sekarang tetap merendah seperti biasanya, bedanya cuma tidak memanggil "pangcu” lagi.

Maka berkatalah Kiau Hong, "Kita adalah saudara selama sepuluh tahun, sungguh tidak nyana hari ini mesti menjadi musuh.”

Air mata Cit-hoat Tianglo berlinang-linang di kelopak matanya, sahutnya, "Jika tidak menyangkut kepentingan nusa dan bangsa, Pek Si-kia lebih suka mati daripada bermusuhan dengan Kiau-heng.”

"Aku paham hal ini,” kata Kiau Hong sambil mengangguk, "Sebentar lagi kita akan menjadi lawan, rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit. Maka Kiau Hong ingin minta tolong sesuatu urusan.”

"Asal tidak menyangkut pengkhianatan pada negara, pasti akan kuterima,” sahut Pek Si-kia.

Kiau Hong tersenyum, katanya sambil menunjuk A Cu, "Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang, harap suka jaga keselamatan nona cilik ini.”

Mendengar pesan itu tahulah semua orang bahwa Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria sampai titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan sebanyak biarpun dia mampu membinasakan beberapa puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu juga akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria terharu juga oleh semangat jantan dan jiwa kesatria Kiau Hong itu.

Sebagai seorang tokoh terkemuka serta kedudukan yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang, dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria yang berjiwa besar, apalagi hubungannya dengan Kiau Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir bekas pangcu itu segera dijawabnya, "Harap Kiau-heng jangan khawatir, Pek Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka menyembuhkan nona itu, bila terjadi apa-apa atas diri Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini.”

Janji Cit-hoat Tianglo ini cukup tegas, apakah nanti Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti ia akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim selamanya berani berkata berani berbuat, apalagi ia telah berjanji di depan orang banyak, maka janji pasti akan ditepati olehnya.

Kiau Hong percaya sepenuhnya, katanya, "Banyak terima kasih atas kebaikan Tianglo ini.”

"Dan dalam pertarungan nanti Kiau-heng tidak perlu berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan menggantikan aku menjaga Nona Wi.”

Habis bicara, ia angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong lantas

mengiringi dengan minum semangkuk.

Lalu giliran maju Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh Kay-pang yang lain. Kemudian majulah jago-jago bu-lim dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu mengadu mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi sudah habis terminum, malahan centeng sudah mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong masih segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak merah, hanya perutnya tampak sedikit gembung, tiada sesuatu tanda lain yang luar biasa.

Keruan semua orang ternganga heran, pikir mereka, "Jika minum terus cara begini, jangankan mesti bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup bangun lagi.”

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa semakin banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin tambah. Apalagi selama beberapa hari ini Kiau Hong selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan dan membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan semua itu dan sengaja hendak melabrak mereka sepuasnya.

Setelah lebih 60 mangkuk arak masuk perut Kiau Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk dengan dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat sebuah mangkuk dan berkata, "Orang she Kiau, biarlah aku pun minum semangkuk denganmu!”

Mendengar ucapan orang yang kurang hormat itu, Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada Hiang Bong-thian dan menyahut, "Orang she Kiau minum arak putus hubungan ini dengan para kesatria bulim, maksudnya menghapuskan segala kebaikan persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam apa? Macam dirimu juga tidak ada harganya untuk bicara tentang persaudaraan denganku dan mengajak minum ‘coat-kay-ciu’ (arak putus hubungan) padaku?”

Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah maju setindak, sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu dada baju Hiang Bong-thian kena dijambretnya, menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang Bong-thian yang besar itu terlempar keluar ruangan, "bluk,” dengan keras badan Hiang Bong-thian tertumbuk dinding dan seketika menggeletak kelengar.

Suasana menjadi kacau dan tegang. Segera Kiau Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, "Ayolah, siapa yang berani maju dulu untuk menempur aku!”

Melihat betapa gagah dan tangkasnya Kiau Hong, seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga tiada seorang pun berani maju.

"Kalian tidak berani maju, biarlah aku yang mulai dulu!” bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia terus menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang terkapar di tanah oleh angin pukulan jarak jauh itu.

Bahkan Kiau Hong terus menerjang maju, di mana kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang dan telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja kembali beberapa orang dirobohkan pula.

"Lekas mundur mepet dinding, jangan sembarangan menyerang!” teriak Yu Ek cepat.

Seruan Yu Wk memang tepat. Jumlah orang yang berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut maju begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong juga tak mampu melawan. Tapi tempatnya kecil dan orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga cuma lima-enam orang saja, dan di bawah hujan pukulan dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan Yu Ek itu, seketika terluanglah di bagian tengah hingga cukup luas.

"Marilah, biar kubelajar kenal dulu kepandaian Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng,” seru Kiau Hong pula. Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di atas meja tadi terbang melayang ke arah Yu Ek.

Cepat Yu Ek dorong kedua tangannya ke depan, maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar dugaan, Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman dengan tangan kanan, "prak”, guci hancur dan beratus beling pecahan guci bertebaran.

Beling dari remukan guci itu sudah tentu sangat tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau Hong yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip beratus senjata rahasia seperti piau, hui-to (pisau terbang), dan lain-lain.

Seketika muka Yu Ek terkena tiga potong beling hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya juga ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan itu, suara caci maki bercampur dengan suara jerit riuh.

Dalam pada itu sebelah kaki Kiau Hong menendang pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi dia hendak menambahi sekali hantaman pula, sekonyong-konyong dari belakang terasa menyambar tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi sebenarnya mengandung tenaga dalam yang sangat kuat.

Kiau Hong tahu pukulan itu dilontarkan oleh seorang jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia menangkis ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam yang kuat.

Waktu Kiau Hong memerhatikan penyerang itu, ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si "badut” yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai "Tio-ci-sun” itu.

Diam-diam Kiau Hong tidak berani memandang enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik napas panjang-panjang, pukulan kedua segera dilancarkan bagaikan gugur gunung dahsyatnya.

Rupanya Tio-ci-sun juga tahu melulu dengan sebelah tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong itu, maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia berusaha menangkis.

"Apakah kau cari mampus!” mendadak suara seorang wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga serangan Kiau Hong itu terhindarkan.

Namun begitu toh tenaga pukulan Kiau Hong itu masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga orang di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa malang. Terdengarlah suara gedebukan tiga kali, ketiga orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan keras, begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding rontok bertebaran.

Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia lihat orang yang menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang, katanya, "Terima kasih atas pertolonganmu!”

"Kau serang bagian kiri dan aku akan menyerang dari kanan,” kata Tam-poh.

Dan baru Tio-ci-sun mengiakan, tahu-tahu sesosok bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului menerjang ke arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah Tam-kong, si kakek Tam.

Jangan sangka perawakan Tam-kong itu kurus kecil, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan kiri menghantam ke depan, menyusul serangan tangan kanan dilontarkan lagi. Dan sedikit tangan kiri ditarik kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada tangan kanan.

Serangan tiga kali secara berantai ini menjadi mirip damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tam-kong ini beberapa kali lipat lebih kuat.

"Pukulan ‘Tiang-kang-sam-tiap-long’ (Ombak Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang hebat!” puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri.

Benturan kedua arus tenaga dalam yang hebat itu memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan pada saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut maju, menyusul Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Tantianglo dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan pertarungan sengit itu.

"Kiau-hengte, Cidan tidak dapat hidup berdampingan dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan umum terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan pribadi, maafkan bila aku akan berlaku kasar padamu!” demikian Thoan-kong Tianglo berseru.

"Sedangkan coat-kay-ciu juga sudah kita minum, buat apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas serangan!” demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah tokoh Kay-pang itu.

Namun begitu omongnya, toh terhadap tokoh Kay-pang mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja tiada niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin malu mereka di depan orang banyak juga tidak. Maka depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah, "bluk”, tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi sasarannya hingga tertendang mencelat.

Rupanya Ki Liok, Si Golok Kilat itu sama sekali tidak menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit kaget ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan badannya mencelat ke atas. Goloknya sebenarnya sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena badannya mumbul ke udara, dan goloknya tetap dibacokkan, maka terdengarlah "crat”, golok itu tepat kena membacok belandar utama ruangan besar itu.

Gedung utama Cip-hian-ceng yang dibangun Yu-si-siang-hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat kuat. Maka sekali kena bacok dengan kuat, golok Ki Liok itu lantas ambles belasan senti dalamnya hingga senjata itu tergigit dengan kencang dalam belandar.

Golok Ki Liok itu adalah senjata andalan yang membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh tangguh, mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka sekuatnya ia memegangi golok itu dengan tangan kanan. Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap orang di tengah ruangan itu sedang menghadapi detik antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada seorang pun sempat menertawainya.

Kiau Hong sendiri meski sudah banyak menghadapi pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah, tapi kini harus bertempur dengan jago sebanyak dan selihai ini, hal ini pun selama hidupnya tidak pernah dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua tangannya naik-turun hingga lawan-lawan tangguh sukar mendekatinya.

Sih-sin-ih memang sakti dalam ilmu pengobatan, tapi ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan dan pengalaman yang mendalam. Dalam hal ilmu silat

ia pun sangat luas pengetahuannya, tapi luas pengetahuan tidak berarti pandai pula menggunakannya. Oleh karena terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka tiada sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya hingga sempurna. Jadi hanya sepintas lalu saja ia mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya.

Sebelumnya ia suka bergirang dan puas akan pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi kini demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau Hong melawan orang banyak itu, betapa hebat dan lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar membuatnya terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya ada ilmu silat begini lihai. Saking takjubnya hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak maju bertempur.

Begitulah ia berdiri mepet tembok dengan rasa takut, cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri malah kabur lebih dulu? Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hian-lan berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya, maka katanya perlahan, "Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan, harap Taysu suka memaafkan.”

Sebenarnya Hian-lan asyik mengikuti pertarungan sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan Sihsin-ih itu, segera ia tanya, "Ucapan apa maksudmu?”

"Tadi aku menyatakan heran mengapa Kiau Hong mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan sekarang, nyata dia memang cukup mampu untuk berbuat begitu,” kata Sih-sin-ih.

Keruan Hian-lan kurang senang mendengar demikian, sahutnya dengan mendengus, "Hm, Sih-sin-ih ingin menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan?”

Belum lagi Sih-sin-ih menjawab, terus saja ia melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang itu mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul suara menderu yang keras, angin pukulan yang dahsyat lantas menyambar ke arah Kiau Hong.

Jilid 32
Ilmu silat yang dikeluarkan ini adalah satu diantara 72 macam ilmu silat pusaka Siau-lim-si, namanya "Siu-likian-gun” (menyekap jagat dalam lengan baju), sekali ia kebas lengan jubahnya, seketika tenaga pukulannya menyambar keluar dari dalam jubah. Jadi lengan jubah itu hanya sebagai tameng pukulan saja agar musuh tidak dapat membedakan arah datangnya serangan, tapi tahu-tahu diserang hingga kelabakan.

Namun Kiau Hong sudah lebih dulu melihat kedua lengan baju Hian-lan itu melembung bagai goni penuh angin, segera ia tahu serangan apa yang akan dilakukan padri sakti itu, bentaknya cepat, "Siu-li-kian-gun, nyata memang hebat !”

Berbareng itu sebelah tangannya segera dipukulkan ke arah lengan baju lawan dengan kuat. Tenaga yang terhimpun dalam lengan baju Hian-lan itu menggembung, sebaliknya tenaga pukulan yang dilontarkan itu terpusat keras, maka terdengarlah suara "bret-bret” beberapa kali, ditengah goncangan arus tenaga yang maha dahsyat itu, sekonyong-koyong ditengah ruangan itu bertebaran beberapa puluh ekor "kupu-kupu”.

Keruan semua orang terperanjat, waktu mereka perhatikan, ternyata "kupu-kupu” itu bukan lain adalah robekan kain lengan baju Hian-lan. Waktu perhatian mereka beralih atas diri padri itu, tertampaklah kedua lengannya sudah telanjang hingga kelihatan jelas tulang lengannya yang kurus kering.

Rupanya di bawah tekanan dua arus tenaga dalam yang maha kuat, maka lengan baju padri yang gondrong itu tidak tahan dan seketika tergilas hancur. Dengan demikian, tanpa lengan baju Hian-lan menjadi mati kutu dan tidak bisa menggunakan Siu-li-kian-gun lagi.

Saking gusarnya sampai muka Hian-lan merah padam, cara Kiau Hong mematahkan serangannya itu dirasakan jauh lebih menderita daripada membunuhnya. Tanpa omong lagi kedua lengannya yang telanjang itu susul menyusul menghantam serabutan dengan dahsyat luar biasa.

Waktu semua orang memperhatikan, ternyata yang dimainkan Hian-lan sekarang adalah ilmu pukulan yang tersebar luas di dunia kangouw, yaitu "Thio-co-tiang-tin” atau ilmu pukulan ciptaan Song-thai-co.

Song-thai-co Tio Kong-in, cikal bakal dinasti Song, sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam dua jenis ilmu silat, yaitu "Thai-co-tiang-kun” dan "Thai-co-pang”, ilmu pukulan dan ilmu permainan toya dari Songthai-co.

Saking populernya kedua jenis ilmu silat itu hingga pada jaman itu setiap orang Bu-lim hampir setiap orang bisa, paling tidak juga pernah melihatnya.

Maka semua orang menjadi heran demi nampak padri sakti Siau-lim-si yang terkenal itu ternyata memainkan ilmu silat yang umum itu.

Tapi sesudah Hian-lan menyerang tiga kali, mau tak mau timbul juga perasaan kagum mereka, "Pantas saja Siau-lim-si memperoleh nama harum. Sama-sama sejurus Hoa-san-tio-ki (main catur diatas Hoa-san), tapi di bawah permainannya ternyata mempunyai daya serang selihat ini.”

Dan karena rasa kagum mereka kepada ketangkasan Hian-lan, mereka jadi lupa pada wujud si padri yang sebenarnya tak keruan dan lucu itu.

Tadi sebenarnya ada berpuluh orang yang mengerubut Kiau Hong, tapi kini demi Hian-lan sudah turun tangan, yang lain merasa akan mengganggu malah jika ikut mengeroyok, maka satu persatu mereka mengundurkan diri, semuanya hanya menonton saja sambil merubung rapat di pinggir untuk berjaga kalau Kiau Hong kewalahan dan ingin kabur.

Melihat pengeroyok lain sudah mundur, hati Kiau Hong tergerak, mendadak ia menghantam ke depan dengan tipu "Ciong-hong-cam-ciang” atau menyerbu maju membunuh panglima musuh, tipu ini pun termasuk salah satu pukulan "Thai-co-tiang-kun”.

Tipu ini sebenarnya sangat umum, tapi di bawah pukulan Kiau Hong ternyata membawa tenaga maha dahsyat dengan gaya yang indah.

Setiap hadirin ini boleh dikatakan adalah jago silat pilihan semua, dengan sendirinya mereka kenal di mana letak kebagusan setiap ilmu silat. Maka demi nampak serangan Kiau Hong yang indah itu, tanpa terasa mereka sama bersorak memuji.

Dan sesudah sorakan mereka tercetus barulah mereka merasa salah. Bukankah Kiau Hong adalah musuh yang harus mereka bunuh, tapi mengapa malah bersorak untuk menambah semangat musuh?

Namun sudah terlanjur, suara sorakan mereka sudah lalu. Bahkan serangan kedua Kiau Hong dalam tipu "Hosiok-lip-wi” (memperlihatkan pengaruh di Ho-siok) tampaknya lebih bagus lagi daripada jurus pertama, maka tidak sedikit di antara para hadirin itu masih bersorak, urung ketika sadar kelakuan mereka yang keliru. Namun hal mana jelas mengunjuk betapa rasa kagum dan gegetun mereka atas kepandaian Kiau Hong itu.

Begitulah, jika tadi malam keadaan dikeroyok Kiau Hong tidak dapat memperlihatkan ketangkasannya, adalah sekarang sesuah Kiau Hong bertempur satu lawan satu dan para pengeroyok tadi menjadi penonton, barulah semua orang menyadari di mana kelebihan ilmu silat Kiau Hong daripada orang lain.

Maka sesudah beberapa jurus lagi, jelas kelihatan siapa lebih unggul dan siapa asor.

Ilmu pukulan yang dimainkan kedua orang sama-sama kungfu yang sangat umum, tapi setiap serangan Kiau Hong selalu lebih lambat sedikit dan membiarkan Hian-lan melancarkan serangan lebih dulu. Dan sekali serangan Hian-lan dilontarkan, menyusul Kiau Hong lantas menyerang juga.

Ilmu pukulan ciptaan Song-thai-to itu seluruhnya meliputi 72 jurus. Tapi setiap jurus merupakan lawan daripada jurus lain. Maka Kiau Hong sengaja incar baik-baik tipu serangan lawan. Lalu ia keluarkan tipu serangan yang tepat untuk mengatasinya.

Dengan demikian, tentu saja Hian-lan dibikin kewalahan. Teori itu sebenarnya diketahui oleh setiap penonton, yang susah adalah kepandaian "serang belakang tapi tiba lebih dulu” itulah yang tidak mungkin dimiliki sembarang orang.

Melihat kawannya kewalahan, terang sudah kalah, segera Hian-cit berseru, "Huh, kamu anjing Cidan ini, caramu sesungguhnya terlalu rendah !”

"Apa yang kumainkan adalah ilmu pukulan Thai-co dinasti kita, mengapa aku dituduh rendah ?” sahut Kiau Hong tertawa.

Mendengar demikian, seketika pahamlah semua orang maksud Kiau Hong memainkan "Thai-co-tiang-kun” itu.

Jika Kiau Hong menggunakan ilmu silat jenis lain untuk menangkan "Thai-co-tiang-kun” yang dimainkan Hian-lan tentu orang lain takkan mengatakan dia lebih kuat dan ulet, sebaliknya akan menyalahkan dia dengaja menghina ilmu silat ciptaan cikal bakal dinasti Song yang jaya itu. Dan hal ini tentu akan menambah sentimen kebangsaan orang banyak itu. Tapi sekarang kedua pihak sama menggunakan "Thai-co-tiang-kun”, dalam pertandingan ini hanya mengadu ilmu silat belakan, Kiau Hong takbisa lagi dituduh kurang ajar atau tuduhan lain.

Begitulah maka Hian-cit tak dapat tinggal diam lagi melihat Hian-lan dalam sekejap lagi akan terancam bahaya. Tanpa bicara ia terus menuding ke "Soan-ki-hiat” di dada Kiau Hong. Ilmu yang dia pakai adalah

"Thian-tiok-hud-ci” atau jari Budha dari Thian-tiok, semacam ilmu tiam-hiat yang hebat dari Siau-lim-si.

Mendengar tutukan orang itu membawa suara mencicit perlahan, segera Kiau Hong berkata, "Sudah lama kudengar betapa hebat Thian-tiok-hud-ci, ternyata memang bukan omong kosong belaka. Tapi bila kau gunakan ilmu silat bangsa asing Thian-tiok itu untuk mengalahkan ilmu pukulan cikal bakal dinasti kita bukankah engkau akan dituduh menghianat dan menghina dinasti kita sendiri ?”

Hian-cit terkesiap sebab ilmu silat Siau-lim-si memang berasal dari Budhi Dharma yang aslinya orang asing dari Thian-tiok (kini India).

Sebabnya Kiau Hong sekarang dikeroyok adalah disebabkan bekas Pangcu itu dituduh keturunan Cidan. Tapi karena sejarah Siau-lim-si sudah terlalu tua, ilmu silatnya sudah tersebar luas dikalangan Bu-lim hingga berbagai aliran dan mazhab sedikit banyak ada tersangkut hubungan hingga semua orang sama melupakan asal usul Siau-lim-si yang ada sangkut pautnya dengan bangsa asing itu.

Kini demi mendengar teguran Kiau Hong itu, segera banyak di antara hadirin yang berpandangan jauh dan berjiwa terbuka itu berpikir, "Terhadap Budhi Dharma kita memuja sebagai malaikat dewata, sebaliknya mengapa membenci orang Cidan sampai ke tulang sumsumnya? Bukankah mereka sama-sama bangsa asing? Ya, sudah tentu diantara kedua bangsa itu ada bedanya, bangsa Thian-tiok tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa Han kita, sebaliknya bangsa Cidan adalah penjajah yang ganas dan kejam. Jadi antara bangsa asing pada hakikatnya juga ada perbedaannya dan tidak boleh disamaratakan, harus dibedakan antara yang baik dan yang jahat, antara kawan dan lawan, antara penjajah dan dijajah. Dan apakah orang Cidan itu semua jahat? Apakah tidak ada yang baik ?”

Begitulah di tengah pertarungan sengit itu banyak di antara pengeroyok terdapat kaum pikiran sempit, berjiwa dangkal dan dengan sendirinya takkan berpikir tentang perbedaan itu, tapi sebagian yang tergolong cendikia, dalam benak mereka lantas terlintas pikiran seperti itu, mereka merasa Kiau Hong belum tentu adalah manusia yang harus dibunuh, sebaliknya kita sendiri juga belum pasti di pihak yang benar.

Dalam pada itu, meski Hian-lan dan Hian-cit berdua melawan Kiau Hong seorang, mereka lebih banyak menagkis daripada menyerang.

Sementara itu karena ilmu pukulan pertama telah dipatahkan sama sekali oleh lawan, maka Hian-lan telah ganti ilmu silat "Lo-han-kun” yang lihai dari Siau-lim-pai.

"Huh, bukankah Lo-han-kun juga berasal dari ajaran bangsa asing dari Thian-tiok ?” demikian Kiau Hong mengejek. "Baiklah, akan kulihat apakah ilmu silat asal luar negeri itu lebih lihai ataukah ilmu silat dalam negeri Song sendiri lebih hebat ?”

Sembari bicara, "Thai-co-tiang-kun” terus dilancarkan susul menyusul.

Keruan semua orang merasa tersinggung oleh ucapan Kiau Hong itu. Mereka mengeroyok Kiau Hong, alasannya karena dia bangsa asing. Tapi sekarang ilmu silat yang dipakai pihak sendiri justru adalah ilmu silat "impor”, sebaliknya ilmu silat pukulan yang dimainkan Kiau Hong adalah "produksi dalam negeri” asli, yaitu ciptaan cikal bakal dinasti Song yang tersohor itu.

Begitulah selagi banyak di antara mereka merasa ragu-ragu dan rikuh, tiba-tiba terdengar Tio-cit-sun berseru, "Peduli kita memakai ilmu silat berasal dari mana, yang terang keparat ini telah membunuh ayah bundanya dan gurunya sendiri, kejahatannya jauh lebih pantas dihukum mati. Ayolah saudara, kerubut maju bersama !”

Sambil berseru, segera ia mendahului menerjang maju.

Menyusul Tam-kong, Tam-poh, para Tianglo dari Kay-pang. Tiat-bin poan-koan Tan Cing bersama putranya, semuanya berjumlah puluhan orang terus ikut menyerbu maju.

Ilmu silat para pengerubut ini semua pilihan, meski banyak jumlah mereka, tapi posisi mereka tidak kacau, yang satu maju, yang lain mundur, yang lain maju, yang satu mundur lagi.

Sambil berkata menghantam dan menangkis, Kiau Hong berkata pula, "Kalian mengatakan aku orang Cidan, jika betul, maka Kiau Sam-hoai Lokongkong dan Lopohpoh tentu bukan ayah ibuku. Jangankan kedua orang tua itu adalah orang yang paling kuhormati selama hidup dan tiada maksud mencelakainya sedikitpun, andaikan benar akulah yang membunuh mereka, toh tuduhan membunuh ayah bunda sendiri juga tidak dapat ditimpakan atas diriku? Sedangkan Hian-koh Taisu adalah guruku yang kupuja, jika Siau-lim-pai mengakui Hian-koh Taysu adalah guruku, maka aku orang she Kiau menjadi terhitung anak murid Siau-lim, lantas apa alasan kalian mengerubut seorang anak murid Siau-lim-pai cara begini ?”

"Hm, bicara seperti pokrol bambu, mau menang sendiri,” jengek Hian-cit dengan mendongkol.

"Habis, kalau kalian tidak anggap aku sebagai anak murid Siau-lim-pai, dengan sendirinya ‘tuduhan membunuh guru’ itu tak terbukti,” sahut Kiau Hong, "Memangnya kalau mau menyalahkan orang masakan kuatir kurang alasan? Tapi bila kalian ingin membunuhku, mestinya bicaralah terus terang dan bunuhlah kalau mampu, mengapa mesti cari alasan yang tidak dapat dibuktikan ?”

Biarpun mulutnya bicara mencerocos, namun serangannya tidak pernah berhenti, tinjunya menjotos Tan Siok-

san, kakinya menendang Tio ci-sun sukutnya menyikut Cin Goan-cun, telapak tangan menghantam Pau Jianleng. Hanya sekejap saja beruntun empat orang sudah dirobohkan olehnya.

Kiau Hong tahu bahwa lawan-lawannya itu bukan kaum penjahat, maka serangannya selalu seringan mungkin. Yang dirobohkan sampai saat itu sudah ada belasan orang, tapi tiada satu jiwa pun yang dicelakai olehnya. Namun pengeroyok itu terlalu banyak, belasan orang roboh, berpuluh orang segera menggantikannya.

Maka tidak lama kemudian, mau-tak-mau Kiau Hong mengeluh, "Jika pertepuran begini diteruskan, akhirnya aku pasti akan kepayahan, rasanya jalan paling baik adalah kabur saja.”

Maka sambil bertempur segera ia mencari jalan untuk meloloskan diri.

Tio ci-sun yang dirobohkan itu menggeletak di lantai dengan sebelah tangan patah. Tapi ia tahu maksud Kiau Hong akan melarikan diri, segera ia berseru, "Awas, kawan-kawan !Kepung dia dengan rapat, anjing keparat ini hendak melarikan diri !”

Dalam pertarungan sengit itu memang Kiau Hong sudah agak terpengaruh oleh bekerjanya arak yang banyak diminumnya tadi, kini mendengar caci maki Tio ci-sun, keruan amarahnya tak tertahankan lagi, bentaknya dengan gusar, "Ya, anjing keparat ini akan pakai dirimu sebagai korban pembunuhan pertama ?”

Sambil berkata, sekuatnya ia memukul dari jauh.

"Celaka !” seru Hian-lian dan Hian-cit berbareng. Kedua tangan mereka sama memapak kedepan untuk menolong Tio ci-sun.

Di tengah gencetan arus tenaga yang hebat itu, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri seorang, dada orang itu tersodok oleh tenaga pukulan Hian-lan dan Hian-cit, sebaliknya punggung kena dihantam oleh pukulan Kiau Hong dari jauh.

Di tengah gencetan tiga arus tenaga maha dahsyat itu, keruan tulang iga orang itu seketika patah dan remuk, isi perutnya hancur, darah menyembur keluar dari mulutnya, badan terkulai lemas bagai cacing di lantai.

Kejadian di luar dugaan ini tidak hanya mengejutkan Hian-lan dan Hian-cit, bahkan Kiau Hong juga terkesiap. Orang yang sial itu ternyata Goai-to Ki Liok adanya.

Sebagaimana diketahui Ki Liok tadi terkatung-katung di atas belandar dengan menggandul pada goloknya yang terjepit belandar itu. Oleh karena sudah sekian lamanya, setelah tergontai-gontai kian kemari, akhirnya golok yang terjepit belandar itu mulai mengendur dan akhirnya jatuh ke bawah.

Seungguh kebetulan juga, dengan tepat Ki Liok jatuh di tengah-tengah gelombang tenaga yang sedang dilontarkan oleh ketiga orang yang bertempur itu. Keruan Ki Liok mirip digencet di tengah peres yang maha kuat, seketika jiwanya melayang.

"Omitohud !Siancai, Siancai !Kiau Hong, dosamu bertambah besar lagi !” demikian kata Hian-lan menyebut Budha.

Kiau Hong menjadi gusar, sahutnya, "Orang ini tidak seluruhnya terbinasa di tanganku, kalian berdua juga mempunyai saham atas kematiannya, mengapa kau tumplek semua kesalahan atas namaku ?”

"Omitohud ! Kalau sebelumnya tiada gara-garamu, masakah terjadi pertempuran seperti sekarang ini ?” sahut Hian-lan.

Kiau Hong semakin murka, "Baiklah, semua boleh kau catat atas rekeningku, lantas mau apa ?”

Setelah mengalami pertarungan sengit itu, watak liar dalam darah Kiau Hong menjadi kumat, sekejap itu ia berubah beringas bagaikan seekor binatang buas. Sekali tangannya membalik, tepat seorang lawan kena cengkramannya, ternyata orang ini adalah Tan Tiong-san, putra kedua Tan Cing.

Menyusul Kiau Hong terus rampas golok Tan Tiong-san, ketika tangan kanan menggaplok, tanpa ampun lagi batok kepala Tan Tiong-san hancur dan mati seketika. Maka gegerlah para ksatria, mereka menjerit kaget, berteriak kuatir dan mencaci-maki dengan gusar.

Setelah membunuh orang, Kiau Hong bertambah kalap, golok rampasannya berputar dengan cepat, tangan kanan mendadak menjotos dan terkadang memukul dengan telapakan, sedang golok di tangan kiri membacok dan menebas, dahsyatnya tak tertahankan.

Hanya sekejap saja tertampaklah dinding di sekitar sudah penuh titik noda darah, di tengah kalangan sudah bergelimpangan belasan mayat, ada yang kepala berpisah dengan badannya, ada yang dada pecah dan pinggang putus.

Dalam mengamuk itu, Kiau Hong sudah tidak pandang bulu lagi, dengan mata merah membara ia membunuh setiap orang yang diketemukan, Thoan-kong Tianglo dan Ge-tianglo telah binasa semua di bawah goloknya.

Di antara ksatria yang hadir itu kebanyakan tentu pernah membunuh orang. Maklum, membunuh orang bagi orang persilatan boleh dikatakan terlalu jinak. Andaikan tidak pernah membunuh orang dengan tenaga sendiri, paling sedikit juga sudah biasa menyaksikan pembunuhan.

Tapi pertarungan sengit seperti sekarang sungguh tidak pernah dilihat mereka selama hidup. Lawan mereka hanya satu orang, tapi Kiau Hong justru bertempur seperti binatang buas dan hantu iblis yang mendadak berada disana, sekejap kemudian tahu-tahu sudah berada di sini, banyak jago terkemuka yang maju melabraknya berbalik terbunuh oleh cara Kiau Hong yang lebih cepat, lebih ganas dan lebih tangkas.

Sebenarnya para ksatria yang hadir itu bukanlah manusia pengecut, tapi di bawah terjangan Kiau Hong yang kalap bagai banteng ketaton itu, segera banyak di antaranya timbul rasa takut dan ingin melarikan diri, mereka berharap bisa lekas tinggalkan gelanggang pertempuran, apakah Kiau Hong berdosa atau tidak, mereka tidak mau ikut campur lagi.

Dalam pada itu Yu-si-siang-hong, kedua jago bersaudara she Yu, berbareng menerjang dari kanan dan kiri, tangan kiri mereka sama memegang tameng bundar, hanya tangan kanan yang berbeda persenjataannya, Yu Ek memakai tombak pendek, sebaliknya Yu Ki menggunakan golok.

Walaupun Kiau Hong melabrak para pengeroyok itu dengan kalap dan tak kenal ampun, tapi terhadap setiap gerak serangan lawan selalu diperhatikan dengan baik, pikirannya tetap dalam keadaan jernih, maka sejauh ini ia tidak terluka sedikit pun.

Ketika dilihatnya kedua saudara she Yu itu menerjang maju dengan senjata aneh, cepat ia mainkan goloknya ke kanan kiri, lebih dulu ia robohkan dua lawan di sampingnya, habis itu ia mendahului memapak ke arah Yu Ek dan menyerang.

Tapi bacokannya ditangkis oleh tameng Yu Ek, "trang”, golok Kiau Hong malah mendal keatas. Waktu diperiksa, ternyata mata goloknya melingkar dan tak bisa dipakai lagi.

Ternyata tameng kedua jago bersaudara itu adalah buatan dari baja murni, biarpun dibacok dengan pedang atau golok mestika juga tak mempan, apalagi golok yang dipakai Kiau Hong itu hanya golok biasa yang dirampasnya dari Tan Tiong-san.

Begitulah sekali perisainya menangkis, secepat kilat tombak pendek di tangan Yu Ek yang lain lantas menusuk

dengan tipu "tok-coa-cut-tong” (ular berbisa keluar dari gua), tombak itu menyambar dari bawah perisai dan mengarah perut Kiau Hong.

Pada saat itu juga Kiau Hong melihat berkelebatnya senjata, perisai Yu Ki mendadak memotong pinggangnya. Mata Kiau Hong cukup awas, sekilas pandang ia sudah tahu pinggir tameng itu sangat tajam, bila kena pinggang bukan mustahil akan terpotong putus menjadi dua, sungguh lihainya tidak kepalang.

"Bagus !” bentak Kiau Hong sambil buang goloknya, menyusul tinju kiri terus menghantam sekuatnya, maka terdengarlah suara "blang” yang keras, bagian tengah tameng Yu Ki tepat kena digenjot, menyusul kepalan tanagan kanan Kiau Hong menghantam lagi, "blang”, tameng Yu Ek juga kena digempurnya dengan tepat.

Kontan Yu-si-siang-hiong merasa separuh tubuh mereka seakan-akan kaku dan lumpuh, pukulan-pukulan Kiau Hong yang maha dahsyat itu meski tidak langsung mengenai mereka, tapi sudah cukup membuat mata mereka berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling seketika tangan mereka menjadi lemas. Tameng, tombak dan golok tidak kuat dipegang lagi, terdengar suara gemerentang nyaring, senjata mereka semua jatuh ke lantai.

"Bagus, boleh berikan padaku saja senjata kalian itu !” seru Kiau Hong dengan tertawa. Cepat ia jemput perisai kedua saudara Yu itu, segera ia putar dengan kencang.

Kedua perisai baja yang bundar itu sungguh merupakan senjata serba guna yang ampuh, kemana senjata itu menyambar, disitu lantas terdengar jeritan ngeri. Hanya sekejap saja sudah empat orang menjadi korban perisai baja itu.

Wajah Yu-si-siang-hiong tampak pucat dan semangat lesu. Kata Yu Ek, "Jite, bukankah Suhu pernah mengatakankepada kita, perisai ada orang ada, perisai hilang orangnya gugur ?”

"Benar twako,” sahut Yu Ki dengan muram. "Hari ini kita telah kecundang sedemikian rupa, masakah kita masih ada muka untuk hidup lebih lama di dunia ini ?”

Segera mereka menjemput kembali senjata masing-masing, yaitu tombak dan golok, berbareng mereka tikam perut sendiri dengan senjata itu, maka binasalah mereka seketika.

Keruan banyak ksatria menjerit kaget. Tapi mereka sedang dicecar oleh Kiau Hong dengan hebat, maka tiada seorang pun sempat mencegah perbuatan nekat kedua saudara Yu itu.

Kiau Hong melengak juga. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa sebagai tuan rumah kedua saudara Yu itu bisa ambil pikiran pendek begitu? Karena kejutnya itu pengaruh arak tadi menjadi hilang sebagian besar, hati pun agak menyesal.

"Yu-si-siang-hiong, guna apa ambil keputusan demikian ?” seru Kiau Hong dengan terharu, "Tentang kedua perisai ini, biarlah kukembalikan saja !”

Sambil berkata, dengan khidmat dan hormat ia taruh kedua perisai itu disamping jenazah Yu-si-siang-hiong. Tapi belum lagi ia tegak kembali dari berjongkok, tiba-tiba didengarnya jerita kuatir seorang gadis, "Awas !”

Kiau Hong cukup cerdas dan tangkas, sedikit menggeser ke samping, maka menyambar lewatlah sebilah pedang tajam. Jeritan itu ternyata berasal dari A Cu. Dan penyerang gelap itu adalah Tam-kong.Sekali membokong tidak kena, segera jago tua itu menyingkir jauh.

Tam-poh menjadi gusar, serunya, "Bagus, kamu budak setan ini, kami tidak membunuhmu, tapi kamu malah bersuara membantu dia !”

Mendadak ia melompat ke sana, sekali gaplok, segera kepala A Cu hendak dipecahkannya.

Waktu Kiau Hong menempur para ksatria itu, sejak tadi A Cu meringkuk di sudut ruangan, tenaga murninya perlahan mulai lenyap, badan menjadi lemas. Ia melihat Kiau Hong dikeroyok orang banyak, walaupun tahu bakal banyak menghadapi bahaya toh bekas Pangcu itu bersedia mengantar dirinya untuk mencari tabib sakti, budi kebaikan ini biar tubuhnya hancur lebur juga susah dibalas.

Sebab itulah A Cu merasa sangat berterima kasih dan kuatir pula. Maka ketika mendadak Kiau Hong disergap Tam-kong tadi, segera ia bersuara memperingatkan.

Untung sebelum Tam-poh mencapai sasarannya, secepat kilat Kiau Hong menyusul tiba, dari belakang ia jambret punggung nenek itu dan ditarik sekuat tenaga serta dilemparkan ke samping. "Brak”, sebuah kursi tertabrak hancur oleh badan. Tam-poh yang gede mirip kuda teji itu.

Meski tidak kena serangan nenek itu, namun A Cu ketakutan hingga muka pucat dan badan lemas terkulai. Kiau Hong terkejut, pikirnya, "Hawa murninya sudah mulai kering, namun dalam keadaan begini mana dapat kutolong dia ?”

Sementara itu terdengar Sih-sin-ih berkata dengan nada dingin, "Tenaga nona itu sekejap lagi akan habis, akan

kau tolong jiwnya tidak dengan tenaga dalammu? Jika napasnya putus, terpaksa aku tak dapat menolongnya lagi.”

Kiau Hong menjadi serba susah. Ia tahu perkataan Sih-sin-ih itu bukan omong kosong belaka tapi sekali awak sendiri menolong A Cu, segera dirinya akan dihujani pukulan dan senjata oleh lawan yang sudah merumbung di sekitarnya itu.

Sudah banyak jatuh korban di pihak kdatria itu, mana mau mereka menyudahi pertempuran ini? Lalu, apakah mesti menyaksikan A Cu mati begitu saja? Padahal dengan menyerempet bahaya ini ia membawa A Cu ke Ciphian-ceng ini tujuannya adalah minta pengobatan pada Sih-sin-ih. Sesudah tiba di tempat dan berhadapan dengan tabib sakti, lalu membiarkan nona itu mati kehabisan tanaga, bukankah sangat sayang?

Tapi kalau sekarang ia salurkan hawa murni padanya, itu berarti ia mengantikan jiwa nona itu dengan jiwa sendiri. Padahal A Cu hanya seorang budak cilik yang baru dikenalnya di tengah jalan, pada hakikatnya tiada sesuatu hubungan bai apa-apa, soal menolong sesamanya adalah perbuatan biasa bagi seorang pendekar dan ksatria tapi kalau mesti menggunakan jiwa sendiri yang berharga untuk menggantikan nyawa nona cilik itu, betapapun juga tidak masuk diakal. Aku sudah berusaha sedapatnya membawanya ke tempat si tabib sakti, kewajibanku boleh dikatakan sudah jauh lebih dari cukup. Biarlah sekarang juga kutinggal pergi saja dan terserah Sih-sin-ih mau menolong jiwanya atau tidak.

Setelah ambil keputusan itu, segera Kiau Hong jemput kembali kedua perisai tadi, dengan gerakan "Tai-pengtian-ih” atau garuda raksasa pentang sayap, mendadak ia putar perisai itu dengan kencang hingga berwujud dua bola, berbareng ia terus terjang keluar.

Karena orang di dalam ruangan itu terlalu sesak, pula gerakan Kiau Hong teramat lihai, seketika tiada seorangpun yang berani merintanginya.

Setiba di ambang pintu, baru Kiau Hong hendak angkat kaki seribu, sekonyong-konyong terdengar suara seorang yang parau, "Bunuh dulu budak itu, baru kita balas sakit hati pula !”

Pembicara ini ternyata Tiat-bin-poan-koan Tan Cing adanya.

Putranya yang tertua, Tan Pek-san segera mengiakan dan ayun goloknya membacok kepala A Cu.

Keruan Kiau Hong terkejut dan kuatir tidak jadi melangkah pergi, tanpa pikir, ia sambitkan sebelah perisainya. Bagaikan "piring terbang” perisai itu menyambar secepat kilat ke depan.

"Awas !” dengan kuatir beberapa orang memperingatkan. Dengan cepat Tan Pek-san juga angkat goloknya hendak menyampuk.

Namun betapa hebat tenaga Kiau Hong tepi perisai itu sangat tajam pula, "krak…cret”, tahu-tahu golok tertabas patah, bahkan Tan Pek-san sendiri terpotong putus sebatas pinggang. Malahan perisai itu masih terus menyambar ke depan hingga menancap di pilar.

Kematian Tan Pek-san itu benar-benar sangat mengenaskan, hal ini membuat semua orang ikut murka, bukan saja Tan Cing dan putranya, Tan Ki-san, menubruk berbareng ke arah A Cu, bahkan beberapa ksatria lain juga menghujani A Cu dengan senjata.

"Manusia pengecut !” maki Kiau Hong. Cepat ia bertindak, dari jauh ia memukul empat kali berturut-turut hingga semua orang itu dipaksa menyingkir, menyusul ia lari maju, ia angkat A Cu dan dikempit dengan tangan kiri, ia gunakan perisai yang masih ada untuk melindungi badan si gadis.

"Kiau-toaya, aku percuma, jangan kau pikirkan aku lagi, lekas engkau menyelamatkan diri saja !” seru A Cu dengan suara lemah.

Namun pertarungan sengit itu sudah mengobarkan semangat jantan Kiau Hong yang angkuh dan tinggi hati, serunya, "Urusan sudah terlanjur begini, sudah terang mereka takkan mengampuni jiwamu, biarlah kita mati bersama saja !”

Dan sekali tangan kanan bergerak, kembali ia berhasil merebut sebatang pedang, dengan senjata rampasan itu ia terus menerjang keluar.

Karena tangan kiri mengempit A Cu, gerak-geriknya menjadi kurang leluasa, perisai pun kurang rapat untuk melindungi badan si gadis. Namun Kiau Hong sudah tidak pikirkan mati hidup sendiri, ia putar pedang sedemikian kencangnya.

Tapi baru saja dia hendak menerobos keluar, sekonyong-konyong punggung terasa sakit, nyata telah kena dibacok sekali oleh orang.

Tanpa pikir lagi ia mendepak ke belakang, kontan penyerang itu kena ditendang dan binasa seketika. Dan pada saat hampir bersamaan itu pundak Kiau Hong kena hantam sekali pula oleh Hian-lan, menyusul dada kanan juga kena ditusuk pedang musuh.

Mendadak Kiau hong mengerang sekali, begitu keras suaranya hingga seperti bunyi halilintar, bentaknya, "Kiau Hong akan bereskan diri sendiri dan tidak mau mati di tangan kaum keroco dan bangsa pengecut !”

Namun para pengeroyok itu sudah kadung nekat, mereka tidak mau memberi kesempatan kepada Kiau Hong untuk membunuh diri lagi. Segera belasan orang menubruk maju.

Tapi dengan tangkasnya mendadak Kiau Hong mencengkram, kontan "tan-tiong-hiat” di dada Hian-cit kena dipegang olehnya terus diangkat tinggi ke atas. Dalam kagetnya semua orang sama menjerit dan beramai melompat mundur.

Karena "tan-tiong-hiat” terpegang, betapapun lihai Hian-cit juga tak berguna, sama sekali ia tak bisa berkutik, tampaknya pinggir perisai yang tajam itu tinggal belasan senti saja di depan tenggorokannya, asal sedikit Kiau Hong sodok senjata itu, seketika kepala Hian-cit bisa kuntung. Tak tertahankan lagi padri itu menghela napas panjang, ia pejamkan mata menunggu ajal.

Tapi Kiau Hong sendiri merasa luka di punggung, dada dan pundak sakitnya tidak kepalang, maka berkatalah dia, "Ilmu silatku ini asalnya juga dari Siau-lim-pai, minum air harus ingat pada sumbernya, mana boleh kubunuh padri saleh Siau-lim-pai? Hari ini aku sudah pasti akan mati, kalau membunuh seorang lagi apa manfaatnya ?”

Habis berkata, cekalannya menjadi kendur, ia lepaskan Hian-cit ke lantai dan berkata, "Silahkan kalian turun tangan !”

Di tantang begitu, semua orang menjadi tertegun dan saling pandang malah, mereka terpengaruh oleh perbawa Kiau Hong yang gagah berani itu, sebaliknya Tan Cing sudah terlalu sakit hati karena kedua putranya dibunuh oleh Kiau Hong, dengan kalap terus ia menerjang maju, golok lantas membacok dada Kiau Hong.

Kiau Hong tahu betapapun ia menerjang toh takkan mampu membobol kepungan orang banyak. Maka ia hanya berdiri tegak tanpa menangkis. Sesaat itu terkilas macam-macam pikiran dalam benaknya, "Sebenarnya aku orang Cidan atau bangsa Han? Siapakah gerangan yang membunuh ayah bunda dan guruku itu? Selama hidupku selalu berbuat bajik dan membela keadilan, mengapa hari ini tanpa sebab aku menewaskan pendekar sebanyak ini? Dengan nekat aku menolong jiwa A Cu hingga aku sendiri malah binasa ditangan para ksatria ini bukankah aku ini terlalu bodoh san akan ditertawai orang ?”

Dalam pada itu ia lihat wajah Tan Cing yang merah padam saking murka itu tampak berkerut-kerut, mata mendelik, goloknya sudah menyambar ke arah dadanya.

Tampaknya dalam sekejap lagi Kiau Hong pasti akan menggeletak tanpa bernyawa oleh serangan Tan Cing itu.

Go-tianglo, Cit-hoat-tianglo dan lain-lain sama pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan kejadian tragis itu.

Sekonyong-konyong dari udara melayang turun seorang dengan cepat luar biasa dan tepat membentur golok Tan Cing. Karena tidak tahan oleh tenaga tumbukan itu, golok Tan Cing terpental ke samping.

Di tengah jerit kaget semua orang, mendadak dari udara melayang turun seorang lain. Sekali ini orang itu terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, jadi lebih tepat di katakan terjun, "prak”, kepala orang itu tepat menumbuk kepala Tan Cing, keruan kepala kedua orang sama-sama hancur luluh seketika.

Dan baru saja sekarang semua orang dapat melihat jelas kedua orang yang melayang turun dari udara itu adalah penjaga di atas rumah, terang mereka dipegang orang dan dilemparkan ke bawah sebagai senjata rahasia.

Selagi keadaan kacau-balau, mendadak dari ujung wuwungan sana membuai turun seutas tambang yang panjang, dengan keras sekali tambang itu menyambar kepala orang banyak. Cepat para ksatria angkat senjata hendak menangkis, tapi ujung tambang itu tahu-tahu berganti arah terus melilit pinggang Kiau Hong, pada lain saat mendadak tambang itu sudah terangkat keatas.

Waktu itu darah sudah bercucuran dari luka Kiau hong, tangan kirinya yang mengempit A Cu itu sudah tak bertenaga, maka ketika ia dikerek keatas oleh tambang itu, A Cu lantas jatuh ke tanah.

Kemudian dapatlah semua orang melihat orang yang memegangi ujung tambang sebelah sana adalah seorang laki-laki berbaju hitam mulus, perawakannya tegap, tapi mukanya berkedok kain hitam, hanya kedua matanya yang kelihatan.

Setelah mengerek Kiau Hong ke atas, segera laki-laki itu mengempitnya dengan tangan kiri, menyusul tambang panjang itu diayunkan hingga tergubat pada tiang bendera di depan Cip-hian-ceng.

Pada saat para Ksatria berteriak dan membentak disertai hujan berbagai macam senjata rahasia ke arah Kiau Hong dan laki-laki baju hitam itu tarik kencang tambangnya, sekali melayang ke depan, tahu-tahu badannya terangkat ke atas dan hinggap di balkon di pucuk tiang bendera itu. Maka terdengarlah suara plak-plok yang riuh, berpuluh macam senjata rahasia itu sama menancap di balkon tiang bendera.

Sementara itu tambang lelaki baju hitam itu diayun ke depan lagi hingga ujungnya tepat mengubat pucuk pohon besar yang berada puluhan meter jauhnya, lalu orang itu mengempit Kiau Hong dan membuai keatas pohon di sebelah sana lagi dan begitu seterusnya, hanya sekejap saja laki-laki baju hitam itu sudah menghilang, yang terdengar kemudian hanya suara derap lari kuda yang berdetak-detak dan semakin jauh. Tertinggal para ksatria hanya saling pandang dengan bingung.

Meski Kiau Hong terluka parah, tapi pikiran jernihnya masih belum lenyap. Cara bagaimana lelaki baju hitam itu menolongnya, semuanya dapat diikuti dengan jelas. Sudah tahu ia sangat berterima kasih. Pikirnya, "Cara main tambang demikian aku pun bisa, tapi kepandaiannya sekaligus menyerang berpuluh lawan dengan tambang, lalu ganti arah untuk menolong diriku, inilah yang aku tidak mampu menirunya.”

Setelah menyelamatkan Kiau Hong, orang baju hitam itu lantas angkat Kiau Hong ke atas kuda, dua orang setunggangan mereka menuju ke utara. Di atas kuda juga orang itu mengeluarkan obat untuk dibubuhkan pada luka Kiau Hong.

Saking banyak mengeluarkan darah, beberapa kali Kiau Hong hampir pingsan, syukur setiap kali ia sempat mengerahkan tenaga dalam hingga kejernihan pikirannya masih dapat dipertahankan.

Laki-laki itu larikan kudanya melalui jalan yang berliku-liku, sampai akhirnya, kuda itu melulu naik turun di antara batu padas belaka. Lebih satu jam kemudian, kuda itu tidak meneruskan perjalanan lagi.

Laki-laki itu lantas menurunkan Kiau Hong dan memondongnya ke atas puncak, makin jauh makin tinggi. Badan Kiau Hong sebenarnya sangat berat, tapi orang itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan dapat lari secepat terbangdi tebing karang yang terjal itu.

Suatu ketika, jalan di depan terhalang oleh selat jurang yang dalam, orang itu lantas menggunakan tambangnya lagi untuk menggubat pohon di seberang selat, lalu melayang ke seberang sana.

Diam-diam Kiau Hong terperanjat dan heran, "Cara menyebrangi jurang melintasi selat aku pun bisa jika bertangan kosong, tapi bila memondong seorang seperti dia, tak dapatlah aku.”

Setelah melalui tebing karang dan banyak selat jurang yang berbahaya, kemudian jalanan lantas menurun ke bawah, lalu masuk ke suatu lembah jurang yang dalam sekali hingga langit hampir tak kelihatan. Akhirnya berhentilah orang itu, dan taruh Kiau Hong di tanah.

Sesudah berdiri tegak, segera Kiau Hong berkata, "Sungguh terima kasih atas pertolongan In-heng (saudara

berbudi) ini, dapatkah Kiau Hong mohon melihat wajah asli In-heng ?”

Sinar mata orang berbaju hitam itu berkilat-kilat membayang kian kemari di muka Kiau Hong, sejenak kemudian barulah dia membuka suara, "Di dalam goa situ terdapat rangsum yang cukup untuk setengah bulan, boleh kau rawat lukamu di sini, musuh pasti tidak dapat menyusul kemari.”

Kiau Hong mengiakan sekali, ia pikir, "Dari suaranya ini, agaknya dia bukan orang muda lagi.”

Orang itu juga sedang mengamat-amati Kiau Hong, pada saat lain mendadak tangan kanannya bergerak, "plak”, tahu-tahu Kiau Hong digamparnya sekali.

Keruan Kiau Hong kaget. Tempelengan itu dilakukan dengan cepat luar biasa, pula Kiau Hong sama sekali tidak menduga orang akan menghajarnya, ketiga, cara memukul itu pun sangat pintar, maka Kiau Hong tidak sempat menghindar.

Tapi ketika orang itu hendak menempelengnya untuk kedua kalinya, walau pun pukulan susulan ini cepat luar biasa, tapi Kiau Hong sudah sempat berjaga-jaga, tidak nanti ia kena digampar lagi. Cuma mengingat orang adalah tuan penolong kiwanya, ia tidak ingin mengadu telapak tangan dengan orang itu.

Tempat yang diarah jari Kiau Hong adalah "lau-kiong-hiat” di tengah telapak tangan laki-laki itu. Jika pukulannya diteruskan, itu berarti telapak tangannya sengaja diberikan kepada jari Kiau Hong.

Ilmu silat orang itu sangat tinggi, dengan sendirinya gerak geriknya juga sangat cekatan. Sebelum telapak tangan tertutuk, mendadak tangannya membalik, yang dibuat menggampar berubah menjadi punggung tangan orang itu.

Tapi Kiau Hong juga cepat sekali menggeser jarinya, ia incar arah datangnya punggung tangan lawan, jarinya tepat memapak "ji-kan-hiat” di punggung tangan orang itu.

Terdengarlah laki-laki itu tertawa panjang, ia tarik kembali tangannya yang sudah mendekati sasrannya itu, sebaliknya tangan kiri terus menabas. Tapi Kiau Hong mendadak juga julurkan jari tangan kiri, ujung jari tepat mengincar "au-ka-hiat” di tepi telapak tangan orang…

Begitulah dalam sekejap saja kedua tangan laki-laki berbaju hitam itu naik turun bagaikan orang menari dan sekaligus sudah belasan serangan dilancarkan, namun Kiau Hong juga tidak kalah tangkasnya, ia melulu bertahan saja tanpa balas menyerang. Selalu ia pasang jarinya untuk melancarkan hiat-to di telapak tangan

orang yang hendak menyerangnya itu.

Kalau pertama kali tadi laki-laki itu dapat menghajar Kiau Hong adalah disebabkan bekas Pangcu itu tidak menduga sama sekali, tapi serangan selanjutnya tidak mungkin dapat mengenainya lagi. Maka serangan dan tangkisan itu berlangsung dengan cepat, ilmu silat yang mereka gunakan sama-sama kelas wahid yang jarang ada di dunia.

Setelah genap menyerang dua puluh kali, mesti Kiau Hong dalam keadaan terluka, namun gerak-gerik dan jitunya menangkis sedikitpun tidak menjadi kendur dan meleset. Mendadak laki-laki baju hitam itu menarik kembali tangannya dan melompat mundur. Katanya, "Kamu benar-benar seorang tolol, seharusnya aku tidak perlu menolongmu.”

"Dengan hormat aku bersedia menerima nasihat Inkong (tuan penolong),” kata Kiau Hong dengan rendah hati.

"Kamu ini sungguh keledai tolol,” omel laki-laki baju hitam itu. "Kau sendiri meyakinkan ilmu silat yang tiada bandingannya di dunia ini, tapi mengapa rela mengorbankan jiwa secara sia-sia bagi seorang anak dara yang kurus kecil begitu? Dia bukan sanak kandangmu, tiada budi tiada kasih, cantik tidak, manis tidak, masakah di dunia ini ada seorang tolol seperti dirimu dan bersedia berkorban jiwa baginya ?”

"Petuah Inkong memang benar,” sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Perbuatanku yang tidak mendatangkan manfaat ini memang tidak tepat. Soalnya karena terdorong oleh nafsu yang murka, lalu bertindak tanpa pikirkan akibatnya.”

Tiba-tiba laki-laki baju hitam menengadah sambil terbahak-bahak. Suara ketawanya terasa agak memilukan, Kiau Hong menjadi bingung. Mendadak orang itu melompat pergi hingga jauh, sekali melesat lagi, segera orangnya menghilang di balik batu karang sana.

"Inkong !Inkong !” seru Kiau Hong.

Namun orang itu tidak menyahut juga tidak balik lagi. Maksud Kiau Hong hendak mengejarnya, tapi baru bertindak selangkah, segera ia terhuyung-huyung akan roboh. Cepat ia pegang dinding karang di sampingnya dan tenangkan diri.

Waktu ia menoleh, ia lihat di balik dinding karang itu ada sebuah gua, ia merembet dinding dan masuk gua itu dengan perlahan. Ia lihat dalam gua sudah banyak tersedia rangsum kering sebangsa ikan asin, dendeng, kacang, beras goreng dan sebagainya. Yang paling menarik adalah tersedia pula seguci arak.

Segera Kiau Hong membuka tutup guci arak itu, seketika bau arak yang semerbak menusuk hidung. Terus saja ia gunakan tangannya untuk meraup arak dan diminum, ternyata arak itu adalah arak pilihan yang sangat sedap. Sungguh terima kasihnya tak terhingga. Pikirnya, "Inkong itu benar-benar seorang yang pintar, ia tahu aku gemar minum arak, maka sengaja menyediakan minuman enak ini untukku.”

Obat luka yang dibubuhkan laki-laki baju hitam itu ternyata sangat mujarab, hanya beberapa jam saja darah sudah mampet. Ditambah Lwekang Kiau Hong sangat tinggi, walau pun lukanya cukup parah, namun sembuhnya ternyata sangat cepat. Baru 6-7 hari ia tinggal di dalam gua itu dan luka pun hampir sembuh seluruhnya. Selama beberapa hari itu yang selalu terpikir olehnya hanya dua soal, "Siapakah musuh yang memfitnah diriku itu? Dan siapakah Inkong yang menolong aku itu ?”

Ilmu silat kedua orang itu, baik musuh yang tak dikenal maupun Inkong, tuan penolongnya semuanya sangat tinggi dan agaknya tidak di bawah Kiau Hong sendiri. Padahal tokoh Bu-lim yang memiliki kepandaian setinggi itu sedikit sekali, boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari. Tapi meski Kiau Hong coba berpikir dan mengingat-ingat toh tiada seorang tokoh Bu-lim yang menyerupai kedua orang itu.

Bahwa musuh itu susah diterka, itu memang masuk diakal. Tapi tuan penolong yang telah bergebrak 20 jurus dengan dirinya itu seharusnya dapat diduga gaya permainan silatnya itu dari aliran mana dan golongan apa, namun sedikitpun ia tetap tidak dapat menerkanya, sebab setiap jurus serangan yang dilontarkan tuan penolong tadi semuanya silat biasa saja, yaitu terdiri dari ilmu pukulan yang sangat umum, mirip seperti dirinya waktu melawan Hian-lan Taisu dengan ilmu pukulan "Thai-co-tiang-kun”, sedikitpun Inkong itu tidak memakai ilmu silat golongan sendiri hingga asal-usulnya susah diketahui.

Sebagai seorang ksatria, meski kedua soal penting itu tak bisa dipecahkan, namun segera di kesampingkannya dan tak dipikir lagi.

Seguci arak itu tidak cukup dua hari sudah habis diminum olehnya. Sedang lukanya setengah bulan kemudian juga hampir sembuh seluruhnya. Selama belasan hari tidak minum arak, ia menjadi ketagihan. Ia tidak tahan lagi. Ia menduga untuk melompati selat lebar dan jurang dalam sudah cukup kuat, maka ia lantas meninggalkan gua tempat istirahat itu dan berkecimpung di dunia kangouw lagi.

Pikirnya di tengah jalan, "Sesuah A Cu jatuh di bawah cengkraman mereka, kalau dibunuh tentu sudah mati, sebaliknya kalau masih hidup tentu tidak perlu aku mengurusnya lagi. Urusan paling penting sekarang adalah harus kuselidiki hingga jelas siapakah sebenarnya diriku ini? Tapi ayah ibu dan Suhu dalam waktu sehari saja telah dibunuh musuh, rahasia tentang asal-usulku ini menjadi lebih susah dipecahkan. Jalan satu-satunya sekarang harus kupergi keluar perbatasan Gan-bun-koan untuk membaca tulisan yang terukir di dinding batu sana.”

Setelah ambil keputusan demikian, segera ia menuju ke arah barat laut. Setiba di kota, terus saja ia minum arak sepuasnya. Tapi sekali minum sangu yang dibawanya telah dihabiskan.

Waktu itu ia berada di kota Liong-koan. Malamnya ia lantas menggerayangi kantor residen, ia ambil beberapa puluh tail perak dari kas negara. Dengan begitu ia dapat makan minum besar lagi sepanjang jalan dengan biaya negara.

Beberapa hari kemudian sampailah dia di Taiciu, Gan-bun-koan itu terletak antara 30 li di utara Taiciu. Dahulu waktu Kiau Hong mengembara juga pernah datang ke kota ini. Cuma tatkala itu dia ada urusan penting, maka hanya sepintas lalu saja kota itu dikenalnya.

Menjelang lohor ia sampai di Taiciu, maka lebih dulu ia makan minum sekenyangnya, lalu keluar kota dan menuju ke utara.

Dengan kecepatan larinya, jarak 30 li itu tiada setengah jam sudah dicapainya. Sesudah mendaki lereng bukit, ia lihat di kanan kiri jalan dinding karang berdiri tegak menyempit, jalan di tengah selat bukit itu berliku-liku. Memang benar tempat yang berbahaya dalam ilmu militer.

Sebabnya tempat itu diberi nama "Gan-bun-koan” atau pintu gerbang burung belibis, ialah untuk melukiskan betapa terjalnya dinding karang di situ, bahwasanya setelah musim dingin, burung belibis yang mengungsi ke selatan waktu kembali ke utara mesti melalui selat gunung yang terjal itu, tapi saking tingginya puncak pegunungan di situ terpaksa burung belibis harus terbang lewat melalui selat di tengah apitan dinding karang, sebab itu tempat ini diberi nama Gan-bun-koan.

Diam-diam Kiau Hong pikir, "Hari ini aku datang dari selatan. Bila tulisan dinding karang itu menyatakan aku Kiau Hong memang benar adalah keturunan Cidan, maka sekeluar dari Gan-bun-koan ini, selamanya aku akan menjadi orang utara Gan-bun-koan dan takkan pernah kembali ke selatan lagi. Dibandingkan burung belibis yang tiap tahun sekali mesti pulang pergi ke utara dan selatan, terang burung itu jauh lebih bebas dan merdeka daripada diriku.”

Berpikir demikian, mau-tak-mau ia jadi berduka dan pedih.

Gan-bun-koan itu terhitung salah satu benteng penting dalam pertahanan negara Song pada waktu itu, di antara lebih 40 koan (benteng atau pos penjagaan Ban-ti-tiang-sia atau Tembok Besar) di wilayah Soasai, Gan-bunkoan itu termasuk yang paling kuat dan megah. Beberapa puluh li di luar benteng pertahanan itu adalah batas negeri kerajaan Liau. Karena itulah di Gan-bun-koan ada pasukan penjaga yang kuat.

Kalau meneruskan perjalanan melalui pintu benteng penjagaan, tentu Kiau Hong akan ditanya penjaga di situ. Maka ia sengaja berputar ke arah barat, ia ambil jalan lereng bukit dan sampai di Coat-nia (bukit buntu).

Ia pandang sekeliling bukit itu. Ia lihat jauhdi timur sana Ngo-tai-san menjulang tinggi mencakar langit, arah lain juga penuh lereng bukit yang menghijau kebiruan tak berujung, suasana sunyi senyap.

Kiau Hong teringat pada masa dahulu pernah mendengar cerita tentang sejarah Gan-bun-koan yang merupakan benteng pertahanan dalam melawan serbuan bangsa Tartar, bangsa Hun dan lain-lain yang seringkali mengganggu wilayah Tiongkok. Apabila sekarang ternyata benar dirinya adalah keturunan bangsa asing Cidan, maka boleh dikatakan dirinya adalah keturunan bangsa yang suka menyerbu ke wilayah Tiongkok selama beratus tahun ini.

Ia memandang jauh ke utara dan berpikir, "Tatkala Ong-pangcu, Tio-ci-sun dan lain-lain menyergap musuh bangsa Cidan di luar Gan-bun-koan dulu, tentu mereka pilih suatu tempat yang paling baik di lereng bukit. Melihat keadaan sekitar tempat ini, rasanya tempat yang paling tepat adalah lereng sebelah barat laut ini. Ya, besar kemungkinan di situlah mereka menyergap musuh.”

Segera ia berlari ke bawah bukit dan sampai di sana. Tiba-tiba hatinya merasakan semacam tekanan batin yang memilukan. Ia lihat di situ terdapat sepotong batu karang raksasa. Menurut cerita Ti-kong Taisu, katanya dahulu para ksatria Tionggoan sana bersembunyi di balik sebuah batu karang, lalu menghamburkan senjata gelap berbisa ke arah musuh. Melihat gelagatnya, sekarang mungkin batu karang raksasa inilah yang dimaksudkan.

Kira-kira beberapa meter disisi jalan sana ada jurang yang sangat dalam, dipermukaan jurang tertutup kabut tebal hingga betapa dalamnya jurang itu sukar dijajaki.

Diam-diam Kiau Hong berpikir, "Bila cerita Ti-kong Taisu itu memang benar, maka sesudah ibuku dibunuh mereka, lalu ayahku membunuh diri dengan terjun ke jurang ini. Tapi begitu terjun ke bawah, beliau tidak tega aku ikut menjadi korban, maka aku telah dilemparkan ke atas dan tepat jatuh di atas tubuh Ong-pangcu. Dan……tulisan apakah yang ditulisnya di dinding batu yang dimaksudkan itu ?”

Ketika ia berpaling dan memandang dinding karang yang berada di sisi kanan, ia lihat dinding gunung di situ halus licin dan cukup lebar, tapi tepat di bagian tengah dinding itu tampak penuh bekas bacokan kapak. Terang ada seorang yang sengaja menghilangkan tulisan yang katanya terukir di dinding itu.

Kiau Hong berdiri termangu-mangu di depan dinding batu itu dengan perasaan bergolak, sungguh ia ingin putar senjata dan mengangkat kepalan untuk menghantam dan membunuh sepuas-puasnya. Tapi mendadak teringat sesuatu olehnya, "Waktu aku keluar dari Kay-pang, pernah aku bersumpah dengan mematahkan golok

Tan-cing, aku menyatakan selama hidup ini takkan membunuh seorang pun bangsa Han, baik aku terbukti orang Cidan atau bukan. Akan tetapi, dengan pertarungan sengit di Cip-hian-ceng itu, sekaligus entah sudah berapa orang yang telah ku bunuh, dan sekarang timbul pula keinginanku hendak membunuh, bukankah perbuatanku ini telah melanggar sumpahku sendiri? Ai, urusan sudah terlanjur begini, biarpun aku tak mengganggu orang, toh orang yang akan mengusik diriku, jika aku diam-diam saja pasrah nasib untuk di bunuh orang, apakah sikap demikian cukup bijaksana sebagai seorang ksatria ?”

Padahal jauh-jauh ia datang keluar Gan-bun-koan ini, tujuannya adalah ingin membaca tulisan di dinding batu ini untuk menyelidiki asal-usul nya sendiri yang sebenarnya. Akan tetapi usaha nya sekarang ternyata sia-sia belaka. Perangainya makin lama semakin gopoh dan suka aseran, tiba-tiba ia berteriak-teriak, "Aku bukan orang Han, aku bukan orang Han !Aku adalah orang Cidan !Ya, aku orang Cidan !”

Dan tangannya terus menghantam susul menyusul kearah dinding batu itu.

Maka terdengarlah suara kumandang yang riuh gemuruh menirukan teriakan akibat hantaman Kiau Hong pada dinding batu itu. Karena tekanan batinnya yang tak terlampiaskan itu, maka pukulan Kiau Hong itu masih terus dilontarkan tanpa berhenti.

Kesehatannya memang sudah lama sembuh, ditambah tenaga dalamnya sangat kuat, maka setiap pukulannya semakin keras daripada pukulan yang lain, begitu hebat caranya mengamuk hingga seakan-akan segala duka derita yang dirasakannya selama ini hendak dilampiaskan atas dinding batu itu.

Tengah ia menggempur dinding batu itu, tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita yang nyaring merdu berkata, "Kiau-toaya, jika engkau memukul terus, sebentar gunung ini tentu akan kau bikin gugur !”

Kiau Hong melengak oleh teguran itu. Waktu ia menoleh, ia lihat di balik batu sana, di bawah sebatang pohon berdiri seorang gadis jelita dengan mengulum senyum. Siapa lagi dia kalau bukan si A Cu.

Heran dan girang juga Kiau Hong, cepat ia mendekati dan menyapa dengan tertawa, "Hei, A Cu kamu selamat dan tidak apa-apa ?”

Tapi karena dia habis marah-marah, maka tertawanya itu dengan sendirinya rada dipaksakan dan kurang wajar.

"Kiau-toaya, engkau sendiri juga baik-baik, bukan ?” sahut A Cu. Ia pandang Kiau Hong sejenak, mendadak ia menubruk ke dalam pelukan bekas Pangcu itu sambil meratap, "O, Kiau-toaya, aku sudah……sudah menunggu lima hari lima malam di sini, kukuatir engkau takkan datang, tapi sekarang ter……ternyata datang juga. Dan

syukurlah engkau ternyata selamat tak kurang suatu apa pun.”

Meski ucapan A Cu itu terputus-putus, tapi penuh rasa girang dan lega, dengan sendirinya Kiau Hong dapat merasakan betapa gadis itu memperhatikan keselamatannya, hatinya tergerak segera bertanya, "Mengapa kau tunggu aku di sini selama lima hari lima malam? Dan dari……dari mana kau tahu aku akan datang kemari ?”

Perlahan A Cu mendongak, tiba-tiba ia ingat dirinya berada di dalam pelukan seorang laki-laki, wajahnya menjadi merah, cepat ia melepaskan dari dan melangkah mundur, ia merasa malu dirinya tadi telah lupa daratan dan tanpa sadar menyusup dalam pelukan orang. Mendadak ia membalik tubuh dengan kepala menunduk.

"He, kenapakah A Cu ?” tanya Kiau Hong bingung.

Namun A Cu tidak menjawab, ia merasa hati berdebar-debar. Selang sejenak, ia berpaling sedikit sambil melirik, tapi lantas membalik ke sana lagi dengan malu-malu.

Melihat sikap si gadis yang aneh itu, Kiau Hong lantas tanya, "A Cu, adakah sesuatu yang akan kau katakan? Jika ada, katakanlah terus terang. Kita pernah sama-sama menghadapi kesukaran dan merupakan kawan sehidup semati, apa yang kau pantangkan lagi ?”

Muka A Cu merah jengah lagi, sahutnya lirih, "Ti…tidak !”

Perlahan Kiau Hong pegang pundak gadis itu dan diputar ke arah matahari, maka jelas terlihat wajah gadis itu meski masih pucat dan agak kurus, tapi air muka yang kepucat-pucatan itu bersemu merah pula dan bukan lagi muka pucat pasi waktu terluka parah tempo hari. Segera Kiau Hong pegang tangan A Cu untuk memeriksa nadinya.

Ketika pergelangan tangan A Cu tersentuh jari Kiau Hong, tanpa terasa badan gadis itu tergetar bagai kena aliran listrik.

Kiau Hong menjadi heran, ia tanya, "Kenapa? Apa badanmu kurang enak ?”

Kembali wajah A Cu merah dadu, sahutnya cepat, "O, ti…tidak, tak apa-apa !”

Sesudah Kiau Hong periksa nadi A Cu, ia merasa denyut nadi itu tenang dan kuat, sedikitpun tiada tanda luar biasa, maka katanya, "Kepandaian Sih-sin-ih benar-benar sakti, pengobatannya selalu ‘ces-pleng’, sungguh tidak bernama kosong.”

"Ya, beruntung sobatmu Pek Si-kia Tianglo telah mengancam tabib sakti itu dengan golok di dada, karena terpaksa, barulah ia mengobati aku.” tutur A Cu.

"Dan sesudah kau sembuh, ternyata mereka mau juga membebaskanmu.” ujar Kiau Hong.

"Huh, masakah mereka begitu baik ?” jengek A Cu dengan tertawa. "Justru mereka selalu merecoki aku, baru kesehatanku sedikit pulih, setiap hari paling sedikit ada belasan orang yang mengajukan macam-macam pertanyaan dan gertakan padaku. Meraka tanya Kiau-toaya pernah hubungan apa dengan aku? Ada yang tanya siapakah gerangan laki-laki berbaju hitam yang menolongmu itu? Dan ke manakah engkau digondol? Sudah tentu aku tidak tahu, maka aku menjawab dengan sejujurnya. Tapi mereka tidak percaya padaku dan mengancam takkan memberi makan, akan menyiksa padaku dan lain-lain gertakan lagi. Terpaksa aku mengarang pengakuan yang tidak betul, aku sengaja bilang laki-laki berbaju hitam itu datang dari Kun-lun-san, lain hari kukatakan dia datang dari pulau di Tanghai dan macam-macam dongengan lain yang lucu.”

Bercerita sampai di sini, ia jadi teringat pada para ksatria Tionggoan yang dibohongi dan dipermainkan olehnya itu, saking gelinya ia tertawa cekikikan.

"Dan mereka percaya tidak pada obrolanmu ?” tanya Kiau Hong ikut geli.

"Ada yang percaya, ada yang tidak, dan ada yang setengah percaya dan setengah tidak.” sahut A Cu. "Ku yakin di antara mereka tiada seorangpun yang kenal dengan tokoh berbaju hitam itu, maka aku sengaja mengarang cerita yang aneh dan khayal, biar mereka curiga dan ketakutan serta selalu kebat-kebit.”

"Padahal siapakah tuan penolong berbaju hitam itu, sampai kini aku sendiri pun tidak kenal,” ujar Kiau Hong. "Coba bila kudengar dongenganmu itu, mungkin aku pun percaya.”

"Eh, jadi engkau sendiri pun tidak kenal dia? Habis, mengapa beliau sudi menyerempet bahaya untuk menolongmu ?” tanya A Cu heran. "Tapi memang begitulah perbuatan seorang pendekar sejati, seorang ksatria yang suka menolong sesamanya.”

"Ai, entah cara bagaimana harus kubalas budi tuan penolong itu dan entah bagaimana pula harus kutuntut balas pada musuh yang belum kukenal,” kata Kiau Hong dengan penuh menyesal. "Apalagi aku pun belum tahu apakah aku bangsa Han atau Cidan, juga tidak tahu perbuatanku sendiri selama hidup ini betul atau salah? O,

Kiau Hong wahai, Kiau Hong! Percumalah kau jadi manusia !”

Melihat Kiau Hong sangat sedih, tanpa terasa A Cu memegang tangan bekas Pangcu itu, hibur nya dengan suara lembut, "Kiau -toaya, buat apa mencari susah sendiri? Segala kejadian pada akhirnya tentu akan terang. Asal engkau merasa tidak berdosa, segala perbuatanmu dapat dipertanggung jawabkan kepada siapapun juga, maka engkau tidak perlu gentar lagi.”

"Benar, aku justru merasa berdosa, makanya sedih,” sahut Kiau Hong. "Tempo hari aku telah bersumpah takkan membunuh seorang pun bangsa Han, tetapi sekarang……”

"Engkau terpaksa membela diri, kalau tidak balas menyerang, tentu engkau sendiri sudah binasa dikeroyok mereka,” ujar A Cu.

Sebagai seorang laki-laki yang bisa berpikir panjang, cepat juga Kiau Hong kesampingkan tekanan batinnya itu. Katanya kemudian, "Menurut Ti-kong Taysu dan orang yang mengaku bernama Tio-ci-sun itu katanya pada dinding batu ini ada tulisannya, entah mengapa sekarang telah dihapus orang ?”

"Ya, memang sudah kuduga engkau pasti akan memeriksa tulisan di dinding ini, makanya aku menantimu di sini sesudah lolos dari bahaya,” kata A Cu.

"Cara bagaimana kau lolos dari bahaya, apakah ditolong pula oleh Pek Si-kia ?” tanya Kiau Hong.

"Bukan,” sahut A Cu dengan tersenyum, "Bukankah engkau masih ingat aku pernah menyamar sebagai hwesio untuk mengelabui padri Siau-lim-si ?”

"Ya, kepandaianmu yang nakal itu memang hebat, "sahut Kiau Hong.

"Dan setelah lukaku agak sembuh, menurut Sih-sin-ih, katanya tidak perlu diobati lagi, cukup tetirah beberapa hari lagi tentu akan sehat kembali. Dalam pada itu dongeng yang kukarang untuk menipu mereka itu makin lama makin banyak dan macam-macam hingga aku sendiri pun bosan, pula merasa kuatir atas dirimu, maka pada suatu malam, kembali aku menyaru sebagai seorang tokoh untuk meloloskan diri.”

"Kamu menyaru lagi? Menyaru siapa ?” tanya Kiau Hong.

"Aku menyaru sebagai Sih-sin-ih,” sahut A Cu.

"Menyaru sebagai Sih-sin-ih? Dapat menyaru dengan percis ?” Kiau Hong menegas dengan terheran-heran.

"Tentu saja dapat,” sahut A Cu. "Setiap hari aku bertemu dan paling sering pula bicara dengan dia, maka sikapnya dan gerak-geriknya sangat apal bagiku. Lagi pula hanya dia seorang yang paling sering berada bersamaku. Malam itu aku pura-pura pingsan, segera ia memeriksa nadiku, kesempatan itu kugunakan untuk pencet urat nadinya secara mendadak sehingga dia tidak berani berkutik dan mau-tak-mau pasrah nasib padaku.”

Diam-diam Kiau Hong geli di dalam hati, sungguh sial tabib sakti itu, yang dipikirkan oleh tabib itu hanya mengobati orang, sudah tentu tak diduganya bahwa budak setan ini bisa main gila padanya.

"Begitulah aku lantas tutuk jalan darahnya,” demikian A Cu menyambung. "Tapi ilmu tutukanku kurang pandai, kukuatir dalam waktu singkat dia akan bergerak lagi, maka kutambahi dia dengan ringkusan kain sobekan seprei, kaki tangan nya kuikat dan mulutnya kusumbat, lalu kugusur dia ke atas ranjang sesudah kucopot dulu baju dan sepatunya. Kututupi dia dengan selimut hingga kalau dipandang dari luar tentu orang akan menyangka aku yang tidur di situ tanpa curiga. Kemudian kupakai baju dan sepatu serta kopiahnya. Aku coret mukaku dengan garis-garis keriput hingga mirip tabib sakti itu, yang masih kurang hanya tinggal jenggotnya saja.”

"Kurang jenggot ?” Kiau Hong menegas. "Ehm, jenggotnya yang panjang dan sudah mulai ubanan itu agak sulit dipalsukan.”

"Tak bisa memalsu, terpaksa aku memakai yang asli,” ujar A Cu.

"Pakai yang asli ?” Kiau Hong menegas dengan heran.

"Ya, kupakai yang asli. Kuambil pisau dari peti obat dan mencukur jenggotnya, lalu kutempelkan jenggot pinjaman itu di mukaku, dengan demikian jenggot si tabib sakti itu kupindahkan tanpa memalsunya. Sudah tentu tabib itu keki setengah mati, tapi apa yang bisa dia perbuat? Ia mengobati aku karena terpaksa, aku mencukur jenggotnya juga tak dapat dikatakan membalas susu dengan air tuba. Apalagi sesudah kucukur jenggotnya, ia menjadi jauh lebih muda tampaknya dan lebih tampan dari biasanya.”

Bercerita sampai sini, tertawalah kedua orang dengan geli.

"Dan sesudah menyaru sebagai Sih-sin-ih, dengan lagak tuan besar aku lantas keluar dari Cip-hian-ceng dan dengan sendirinya tiada seorang pun berani menegur padaku. Malahan kuperintahkan orang-orang di situ menyediakan kuda dan sangu seperlunya, lalu kuangkat kaki,” demikian A Cu meneruskan. "Sesudah jauh dari Cip-hian-ceng, segera kububut bersih jenggot tempelan itu dan berubah menjadi laki-laki muda. Orang-orang di Cip-hian-ceng itu baru akan mengetahui lolosnya diriku pada esok paginya. Tapi sepanjang jalan aku menyamar orang lain lagi secara berganti-ganti hingga takkan dapat mereka temukan.”

"Bagus, sungguh bagus !” sorak Kiau Hong sambil bertepuk tangan. Tapi mendadak ia ingat pernah melihat bayangan belakang diri sendiri dalam cermin perunggu di ruang po-te-ih di Siau-lim-si tempo hari, tatkala itu ia terkesiap, lamat-lamat ia merasakan ada sesuatu yang kurang beres. Kini demi mendengar cerita A Cu tentang menyaru orang lain untuk menipu, kembali ia merasakan ketidak beresan seperti dulu itu, maka segera ia berkata, "A Cu, coba kau putar tubuhmu !”

Sudah tentu A Cu bingung akan maksud Kiau Hong, tapi ia menurut juga dan memutar tubuh.

Kiau Hong termenung sejenak memandangi belakang tubuh gadis itu. Tiba-tiba ia lepaskan baju luar sendiri dan dikenakan pada badan A Cu.

Dengan muka kemerah-merahan A Cu menoleh, ia pandang bekas pangcu itu dengan sorot mata yang lembut dan melekat, katanya lirih, "Aku tidak dingin.”

Tapi setelah memandangi bentuk tubuh A Cu dengan mengenakan bajunya itu, mendadak Kiau Hong menjadi terang seluk beluk ketidak beresan yang mencengkam perasaannya itu. Sekali tangannya bergerak, cepat ia pegang tangan si gadis sambil bertanya dengan suara bengis, "Hah, kiranya kau inilah! Kau lakukan atas suruhan siapa? Lekas mengaku terus terang!”

Keruan A Cu kaget, tanyanya dengan gelagapan, "Kiau…Kiau-toaya, ada…ada apa ?”

"Kau pernah menyaru sebagai diriku dan pernah memalsukan aku bukan ?” tanya Kiau Hong.

Baru sekarang ia ingat pada kejadian tempo hari waktu ia terburu-buru hendak pergi menolong kawan Kaypang yang ditawan orang Sehe, di tengah jalan ia pernah melihat bayangan belakang seseorang. Tatkala itu ia tidak menaruh perhatian apa-apa, kemudian sesudah melihat bayangan belakang sendiri pada cermin perunggu di Siau-lim-si, barulah ia ingat bentuk tubuh belakang yang pernah dilihatnya itu mirip sekali dengan dirinya.

Padahal waktu dia tiba di tempat yang dituju lebih dulu orang-orang Kay-pang sudah bebas dari bahaya dan semua orang mengucapkan terima kasih atas pertolongannya yang pada hakikatnya bukan dia yang

melakukannya. Tatkala itu ia pun merasa bingung dan menduga pasti ada seorang lain yang telah memalsukan dirinya.

Kini setelah melihat bangun tubuh A Cu sesudah mengenakan bajunya itu, sesudah dicek satu sama lain, mengertilah Kiau Hong akan duduknya perkara, terang gadis inilah yang telah memalsukan dirinya dan tidak mungkin orang lain.

A Cu ternyata tidak heran dan kuatir lagi, sebaliknya ia mengaku terus terang dengan tertawa, "Ya, baiklah, aku mengaku pernah menyamar sebagai engkau.”

Lalu ia pun ceritakan pengalamannya menyaru sebagai Kiau Hong untuk menolong anggota Kay-pang dengan obat penawar racun itu.

"Apa tujuanmu menyaru diriku untuk menolong orang Kay-pang ?” bentak Kiau Hong dengan bengis sambil melepaskan tangannya.

A Cu terkesiap, sahutnya cepat, "Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya untuk kelakar saja. Kupikir mereka memperlakukan engkau kurang baik, sebaliknya engkau malah menolong mereka, tentu mereka akan merasa malu dan berterima kasih. Ai, siapa duga ketika di Cip-hian-ceng mereka tetap begitu kejam padamu, sama sekali tidak ingat budi kebaikanmu masa lalu.”

Air muka Kiau Hong makin kereng, mendadak ia tanya pula dengan menggertak gigi, "Habis, mengapa kau palsukan aku pula untuk membunuh ayah bundaku dan membinasakan Suhu ku di Siau-lim-si ?”

Seketika A Cu melonjak kaget, serunya, "Hah, mana bisa jadi? Siapa bilang aku memalsukan dirimu untuk membunuh ayah bunda dan gurumu ?”

"Suhuku kena serangan musuh hingga terluka dalam, begitu melihat diriku beliau lantas menuduh aku yang turun tangan keji itu, masakah bukan perbuatanmu ?” kata Kiau Hong. Sampai di sini sebelah tangannya perlahan diangkat dengan nafsu membunuh, asal jawaban A Cu kurang memuaskan, seketika gadis itu akan binasa di bawah gaplokannya.

Melihat sikap Kiau Hong yang kereng itu, A Cu merasa takut, tanpa terasa ia mundur dua tindak. Dan ia mundur lagi beberapa tindak, tentu gadis itu akan terjerumus ke dalam jurang di belakangnya itu.

"Jangan bergerak, berdiri di situ !” cepat Kiau Hong membentak.

Saking ketakutannya hingga air mata A Cu bercucuran, sahutnya dengan gemetar, "Aku…aku…tid…tidak membunuh ayah bundamu dan tidak…tidak membinasakan Suhumu. Masakah aku mampu membunuh… membunuh gurumu yang berkepandaian tinggi itu ?”

Ucapan terakhir itu ternyata sangat tepat hingga hati Kiau Hong terketuk. Gurunya, Hian-koh Taysu, tewas oleh semacam ilmu pukulan dahsyat dari Lwekang yang tinggi, hal ini mana tidak mungkin dapat dilakukan A Cu yang berkepandaian tak seberapa tinggi ini.

Segera ia sadar telah salah menuduh A Cu. Secepat kilat tangannya menyambar ke depan, ia tarik tangan gadis itu ke dekat dinding batu agar gadis itu tidak terpeleset ke bawah jurang. Lalu katanya, "Ya, benar, bukan kamu yang membunuh suhuku !”

Baru sekarang A Cu bisa tertawa, ia tepuk dada sendiri tanda lega, katanya, "Ai, hampir aku mati ketakutan. Mengapa engkau begini sembrono, jika aku mempunyai kepandaian membunuh gurumu, masakah aku tidak membantumu menghajar orang-orang di Cip-hian-ceng itu ?”

Melihat gadis itu Cuma mengomel sekadarnya saja, Kiau Hong merasa menyesal, katanya pula, "Akhir-akhir ini pikiranku memang sedang kusut dan suka sembarangan omong, harap nona jangan marah padaku.”

"Jika aku marah, sejak tadi aku tak sudi bicara padamu lagi,” sahut A Cu tertawa.

Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu, tiba-tiba tanyanya pula, "A Cu, kepandaianmu menyamar itu dipelajari dari siapa? Apakah gurumu masih mempunyai murid lain lagi ?”

"Tiada yang mengajar padaku,” sahut A Cu. "Sejak kecil aku suka menirukan gerak-gerik orang lain, semakin meniru semakin pintar, mengapa harus belajar pada guru segala ?”

"Inilah aneh sekali, ternyata di dunia ini masih ada seorang lain lagi yang sangat mirip diriku hingga Suhu salah sangka sebagai diriku yang sebenarnya,” ujar Kiau hong dengan menyesal.

"Jika ada titik terang demikian, urusan menjadi mudah diselidiki,” kata A Cu. "Marilah kita pergi mencari orang itu untuk memaksanya mengaku duduknya perkara.”

"Benar,” sahut Kiau Hong. "Tapi, dunia seluas ini, ke mana dapat mencari orang itu ?”

Ia coba memperhatikan tulisan pada dinding yang sudah terhapus itu guna mencari sesuatu tanda yang mungkin berguna, tapi meski sudah dipandang dari sini dan diperiksa dari sana, tetap tiada sehuruf pun yang dikenalnya. Katanya kemudian, "A Cu untuk mengetahui apa yang ditulis di dinding ini, aku bermaksud mencari Ti-kong Taysu untuk minta keterangan padanya. Sebelum membikin terang urusan ini, sungguh aku tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur.”

"Tapi mungkin dia tidak mau menerangkan padamu,” ujar A Cu.

Jilid 33
"Ya, memang besar kemungkinan dia tak mau mengatakan, tapi akan kupaksa secara keras atau halus agar dia mengaku, sebelum dia menjelaskan tidak nanti aku mau sudahi urusan ini,” kata Kiau Hong.

"Tapi Ti-kong Taysu itu tampaknya sangat keras wataknya dan tidak gentar mati, biarpun kita pancing dengan halus maupun paksa secara kasar, mungkin takkan membuatnya mengaku. Kukira lebih baik….”

"Ya, memang lebih baik kita pergi mencari Tio-cin-sun saja,” sela Kiau Hong. "Tio-cin-sun itu besar kemungkinan juga takkan mengaku biarpun mati, tapi aku sudah mempunyai akal untuk menghadapinya.”

Sampai di sini, ia pandang arah jurang di sebelahnya, lalu katanya pula, "A Cu, aku ingin turun ke bawah jurang itu.”

Keruan A Cu terperanjat, ia melongok sekejap ke jurang yang tertutup kabut tebal itu, kemudian berkata, "Ai, mana boleh jadi! Jangan kau turun ke sana. Apa sih yang ingin kau lakukan ?”

"Sebenarnya aku bangsa Han atau orang Cidan, hal ini yang selalu menekan perasaanku, maka ingin kuturun ke sana untuk memeriksa mayat orang Cidan itu.”

"Sudah lebih 30 tahun orang itu terjun ke jurang itu mungkin yang tertinggal sekarang hanya tulang belulang belaka, apa yang dapat kau…periksa ?”

"Aku justru ingin melihat tulang belulangnya. Kupikir jika…jika benar dia adalah ayahku sendiri maka harus kukumpulkan tulang jenazahnya untuk dikebumikan sebagaimana mestinya.”

"Ai, mana bisa, mana mungkin !” seru A Cu melengking. "Engkau adalah ksatria berbudi, mana mungkin keturunan orang Cidan yang buas dan kejam ?”

"Sudahlah, harap kau tunggu sehari saja di sini, bila besok pada waktu yang sama aku belum naik kembali, maka bolehlah kau tinggal pergi saja.”

Keruan A Cu kuatir, sekonyong-konyong ia menagis dan berseru, "Jangan, Kiau-toaya, jangan engkau turun ke bawah jurang !”

Tapi watak Kiau Hong sangat keras, apa yang menjadi ketetapan hatinya tidak mungkin mengubahnya. Dengan tersenyum ia menjawab, "Dikeroyok jago-jago sebanyak itu di Cip-hian-ceng pun aku tak terbinasa, masakan jurang yang tiada artinya ini dapat merenggut jiwaku ?”

Habis berkata, ia pandang sekitar jurang itu untuk mencari sesuatu tempat berpijak yang sekedar dapat dipakai sebagai batu loncatan ke bawah.

Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur laut sana sayup-sayup terdengar suara derap kuda lari yang ramai menuju ke arah selatan. Dari suaranya dapat ditaksir sedikitnya ada lebih 20 penunggang kuda.

Cepat Kiau Hong lari melintasi bukit sana dan memandang jauh ke arah datangnya suara itu. Maka jelas tertampak olehnya 20-an penunggang kuda itu berpakaian seragam kuning, semuanya adalah prajurit kerajaan Song.

Setelah mengetahui siapa pendatang itu, sebenarnya Kiau Hong tidak taruh perhatian apa-apa. Tapi tempat dia dan A Cu berada itu justru adalah jalan penting yang pasti akan dilalui oleh orang-orang dari luar perbatasan yang akan memasuki Gan-bun-koan sebagai mana dahulu jago silat Tionggoan telah memilih tempat ini untuk mencegat orang Cidan.

Kiau Hong pikir dari pada nanti kepergok prajurit Song itu hingga mungkin akan menimbulkan kerewelan, lebih baik menghindari saja. Maka cepat ia kembali ketempat semula dan mengajak A Cu bersembunyi di balik sebuah batu karang raksasa. Bisiknya pada si gadis, "Rombongan prajurit Song !”

Tidak lama, prajurit Song itu telah muncul di atas bukit situ. Dari belakang batu Kiau Hong dapat melihat perwira yang memimpin pasukan itu, terkenanglah olehnya cerita Ti-kong Taysu tentang peristiwa penghadangan di bukit ini dahulu. Suasana bukit karang itu masih tenang seperti dulu, tapi jago silat dari kedua pihak sudah banyak yang jatuh menjadi korban dan tinggal tulang belulang belaka.

Tengah Kiau Hong termenung, tiba-tiba di dengarnya suara jerit tangis anak kecil. Ia terkejut seakan-akan di alam mimpi.

"Dari manakah suara tangisan anak kecil itu ?” pikirnya heran.

Tiba-tiba terdengar pula beberapa kali suara jeritan tajam kaum wanita. Waktu itu ia melongok ke depan, jelas terlihat olehnya di antara prajurit-prajurit Song itu terdapat tawanan wanita dan anak-anak. Wanita dan anakanak itu mengenakan baju kaum gembala orang Cidan. Banyak di antara prajurit Song itu main raba dan main comot pada tawanan wanita mereka, tingkah laku mereka itu rendah dan memuakkan. Ada di antara wanita itu melawan perlakuan tidak senonoh itu, tapi segera mereka dipersen dengan gamparan dan hajaran kejam oleh prajurit dan perwira Song.

Kiau Hong terheran-heran dan tidak mengerti apa yang telah terjadi itu.

Pasukan Song itu sebentar saja sudah lalu dan menuju ke arah Gan-bun-koan.

"Kiau-toaya, apa yang akan dikerjakan mereka itu ?” tanya A Cu.

Kiau Hong menggeleng kepala tanpa menjawab, hanya dalam hati ia membatin, "Mengapa pasukan penjaga perbatasan sedemikian bejat kelakukannya ?”

Dalam pada itu A Cu telah berkata pula, "Huh, prajurit seperti itu pada hakikatnya lebih mirip kawanan bandit !”

Tengah bicara, dari arah tadi kembali muncul lagi satu regu pasukan Song yang lain sambil menggiring beratus ekor ternak sebangsa domba dan sapi, di samping itu ada pula belasan wanita Cidan.

Terdengar seorang perwira di antaranya sedang berkata, "Operasi kita ini tidak banyak membawa hasil, entah Tai-swe (komandan) bakal marah atau tidak ?”

Maka perwira yang lain menjawab, "Tidak banyak ternak musuh yang dapat kita rampas, tapi beberapa orang di antara tawanan wanita ini parasnya cukup lumayan dan dapat menghibur Tai-swe, dengan demikian tentu beliau takkan marah.”

"Cuma belasan orang perempuan hasil ‘panenan’ kita kali ini hingga tidak cukup memenuhi ‘jatah’ orang banyak, biarlah besok kita berusaha lagi mencari tambahan lain,” demikian perwira yang pertama tadi.

"Tidak gampang lagi, pak !” demikian timbrung seorang prajurit. "Setelah mengalami kejadian tadi, kawanan anjing Cidan itu tentu sudah lari sejauh-jauhnya. Untuk bisa ‘panen’ lagi sedikitnya tunggu beberapa bulan pula.”

Mendengar sampai sini, dada Kiau Hong sudah hampir meledak. Sungguh kelakuan prajurit itu jauh lebih jahat daripada kawanan bandit yang paling kejam sekalipun.

Sekonyong-konyong terdengar suara orok di dalam pelukan seorang wanita menjerit-jerit. Maka wanita Cidan itu mengipatkan tangan seorang perwira yang sedang menggerayangi tubuhnya untuk menimang orok dalam pelukannya itu.

Perwira itu menjadi marah. Mendadak ia jambret orok dalam pangkuan ibundanya terus dibanting ke tanah. Menyusul ia larikan kudanya ke depan hingga bayi itu terinjak kuda, seketika perut pecah dan usus keluar. Saking ketakutan wanita Cidan itu sampai tak dapat menangis lagi. Sebaliknya prajurit Song yang lain sama tertawa malah dan sebentar saja lantas berlalu.

Selama hidup Kiau Hong sudah banyak menyaksikan keganasan orang, tapi perbuatan membunuh anak kecil secara keji tanpa kenal kasihan sedikitpun baru sekarang dilihatnya. Sungguh gusarnya tak terkatakan, tapi dasar dia memang cukup sabar, sedapatnya ia tenangkan diri untuk melihat bagaimana kelanjutannya.

Sebentar kemudian, kembali muncul lagi belasan prajurit yang lain. Prajurit-prajurit ini berkuda dan bertombak. Pada ujung tombak masing-masing tampak menyunduk sebuah kepala manusia dengan darah masih bertetes-tetes. Di belakang kuda mereka menyeret lima orang laki-laki Cidan yang terikat tali panjang.

Dari dandanan orang-orang Cidan itu Kiau Hong dapat menarik kesimpulan mereka adalah kaum gembala biasa. Dua di antaranya berusia sangat tua, tiga lagi adalah pemuda tanggung. Maka tahulah Kiau Hong duduknya perkara. Prajurit-prajurit Song ini telah mendatangi tempat orang-orang Cidan untuk merampok dan membunuh, penggembala Cidan yang muda dan kuat sudah sama melarikan diri, hanya tertinggal kaum wanita, anak-anak dan orang tua yang ditawan.

Ia dengar seorang perwira di antaranya sedang berkata dengan tertawa, "Kita dapat memenggal 14 buah kepala dan menawan hidup lima anjing Cidan, jasa ini dibilang besar memang kurang besar, dikatakan kecil juga tidak kecil, untuk naik pangkat setingkat dan mendapat hadiah seratus tahil perak rasanya tidak perlu disangsikanlagi.”

"He, Lau Tio,” tiba-tiba seorang kawanan menimbrung, "Kira-kira lima puluh li di sebalah barat sana ada suatu tempat pemukiman orang Cidan, apa kau berani mengaduk ke sana ?”

"Kenapa tidak berani ?” sahut Lau Tio yang ditegur itu, "Memangnya kau kira aku baru datang kemari, maka tidak berani? Hm, justru karena aku orang baru, maka perlu lebih banyak mengumpulkan jasa.”

Tengah bicara, sementara itu rombongan mereka sudah sampai di dekat batu karang tempat sembunyi Kiau Hong berdua itu. Ketika melihat di tengah jalan situ terdapat sosok mayat anak bayi, seketika salah seorang tua Cidan itu menjerit keras-keras.

Meski Kiau Hong tidak paham bahasa Cidan, tapi dapat juga menyelami betapa pedih dan gusar suara itu. Boleh jadi bayi yang diinjak kuda itu adalah anak keluarganya.

Mendadak prajurit yang menyeretnya dengan tali itu menarik sekuatnya agar orang itu berjalan cepat. Tapi orang tua Cidan itu menjadi murka, tiba-tiba ia menubruk ke arah prajurit itu.

Keruan prajurit itu terkejut, cepat ia ayun goloknya untuk membacok. Tapi orang Cidan itu lantas menarik sekuatnya hingga prajurit itu terseret jatuh ke bawah kuda. Menyusul orang Cidan terus mengigit leher prajurit itu dengan kalap.

Pada saat itulah seorang perwira pasukan Song ayun golok panjangnya dari atas hingga punggung orang tua Cidan itu terbacok. Dengan demikian dapatlah prajurit tadi meronta bangun, saking gemasnya prajurit itu terus membacok beberapa kali lagi atas tubuh orang Cidan itu.

Tiba-tiba orang tua itu putar tubuh ke arah utara, ia lepas baju atasnya dan membusungkan dada, mendadak ia menggerung keras, suaranya sedih memilukan bagaikan lolong srigala.

Seketika air muka prajurit Song itu berubah ketakutan. Diam-diam Kiau Hong juga terkesip. Tiba-tiba merasa olehnya seolah-olah ada ikatan batin dengan orang tua Cidan itu. Suara lolong srigala tatkala mendekati ajalnya itu pernah juga ingin disuarakan olehnya dahulu, yaitu pada waktu dirinya berulang-ulang terluka di Cip-hianceng dan merasa ajalnya sudah hampir tiba, Cuma teringat teriakan yang menyamai binatang itu sesungguhnya akan merosotkan pamornya sebagai ksatria yang terpuja selama ini, maka sedapat mungkin telah ditahannya. Tapi bila kemudian tak tertolong oleh laki-laki berbaju hitam, boleh jadi pada saat akan binasa toh lolong srigala itu akan disuarakan juga olehnya.

Begitulah demi mendengar suara melolong itu, otomatis timbul semacam rasa persaudaraan dalam benak Kiau Hong. Tanpa pikir lagi segera ia melompat keluar dari belakang batu, sekali pegang satu orang, prajurit Song itu satu per satu dilemparkannya ke bawah jurang.

Dalam hal menindas rakyat jelata prajurit-prajurit itu memang tangkas dan gagah berani, tapi menghadapi Kiau Hong mereka jadi mirip tikus ketemu kucing. Hanya sekejap saja mereka sudah disapu bersih ke dalam jurang.

Saking nafsunya sampai kuda tunggangan prajurit-prajurit itu pun didepak ke dalam jurang oleh Kiau Hong. Maka riuh ramailah suara jeritan manusia dan ringkik kuda yang bercampur aduk.

Tapi hanya sebentar saja suara itu lantas lenyap, suasana kembali hening lagi.

Melihat betapa tangkasnya Kiau Hong, seketika A Cu dan keempat orang Cidan yang lain sama termangumangu terkesima.

Habis membasmi habis kawanan prajurit penindas itu, Kiau Hong terus bersuit panjang hingga suaranya menggetar lembah pegunungan. Ia lihat orang tua Cidan yang terluka parah itu masih tetap berdiri tegak, diamdiam ia kagum pada keperwiraannya, segera ia mendekatinya. Ia lihat dada orang tua itu terbuka dan tepat menghadap keutara ternyata orangnya sudah tak bernapas lagi.

Tiba-tiba Kiau Hong berseru kaget demi melihat dada orang Cidan itu, ia menyurut mundur beberapa tindak dengan sempoyongan seakan akan roboh.

Keruan A Cu kuatir, cepat serunya, "Kiau-toaya, ada…ada apa ?”

Segera terdengar suara "bret-bret” beberap akali, mendadak Kiau Hong merobek baju sendiri hingga tertampak simbar didada yang hitam pekat.

Waktu A Cu mengawasi, ia lihat pada dada Kiau Hong bercacah sebuah gambar kepala serigala yang pentang mulut dan kelihatan siungnya bentuk kepala serigala itu sangat menakutkan. Ketika A Cu memandang si orang tua Cidan, di lihatnya pada dadanya juga bercacahkan gambar kepala serigala yang percis dengan gambar di dada Kiau Hong itu. Pasa saat lain, tiba-tiba terdengar keempat orang Cidan pun berseru serentak.

Segera mereka merubungi Kiau Hong sambil bicara dalam bahasa Cidan dan berulang-ulang menuding gambar kepala serigala di dada Kiau Hong.

Sudah tentu Kiau Hong tidak paham maksud mereka. Cacahan gambar kepala serigala di dadanya sejak kecil sudah ada. Pernah ia tanya kepada suami-istri Kiau Sam-hoai tentang gambar cacah itu, tapi kedua orang tua itu Cuma mengatakan untuk hiasan saja agar indah dipandang lebih dari itu tak mau menerangkan lagi.

Pada jaman Pak Song (dinasti Song utara) itu soal mencacah gambar di badan (tatto) adalah sangat umum, bahkan ada yang sekujur badan penuh dicacah beraneka ragam gambar yang aneh-aneh. Malahan banyak di

antara anggota Kai-pang juga mempunyai gambar cacah di lengan, dada, punggung dan bagian tubuh lain, makanya selama itu Kiau Hong tidak pernah curiga apa-apa. Tapi kini demi melihat di dada orang tua Cidan itu pun tercacah gambar kepala serigala seperti di dadanya sendiri, sedangkan keempat orang Cidan yang lain terus mengoceh tiada hentinya padanya sambil menunjuk gambar cacah itu, bahkan mendadak laki-laki tua itu pun membuka bajunya hingga kelihatan didadanya jug aterdapat gambar cacah kepala serigala yang sama.

Sesaat itu teranglah duduknya perkara bagi Kiau Hong, kini ia yakin benar-benar dirinya memang betul adalah orang Cidan. Gambar kepala serigala di dada itu tentulah tanda kelompok suku mereka, mungkin sejak bayi sudah harus di cacah gambar seperti itu.

Padahal sejak kecil Kiau Hong sangat benci pada orang Cidan dan tahu suku bangsa itu suku mengganas secara kejam dan tidak pegang janji, masakah sekarang ia harus mengaku diri sendiri sebagai bangsa yang dipandangnya serendah binatang itu, sungguh kesalnya tidak kepalang, jiwanya benar-benar tertekan sekali. Ia termangu-mangu sejenak, sekonyong-konyong ia berteriak terus berlari ke arah lereng bukit bagai orang gila.

"Kiau-toaya, Kiau-toaya !” cepat A Cu berseru dan menyusulnya.

Sesudah belasan li A Cu mengejar barulah ia lihat Kiau Hong duduk di bawah sebuah pohon rindang sambil mendekap kepala sendiri, air mukanya tampak muram, otot hijau di kening sampai menonjol besar-besar, suatu tanda betapa pedih perasaan bekas Pangcu itu.

A Cu mendekatinya dan duduk sejajar dengan dia. Namun Kiau Hong lantas menyurutkan tubuh dan berkata, "Aku adalah bangsa asing yang kotor dan rendah sebagai babi dan anjing, sejak kini lebih baik jangan kau temui aku lagi.”

Seperti juga bangsa Han yang lain, sebenarnya A Cu sangat benci pada orang Cidan. Tapi dalam pandangannya Kiau Hong adalah tokoh yang dipujanya melebihi malaikat dewata, jangankan cuma manusia Cidan, sekalipun setan iblis atau binatang buas juga takkan ditinggalnya pergi. Pikir gadis itu, "Saat ini perasaannya lagi sedih, sedapatnya aku harus menghiburnya.”

Maka katanya dengan tertawa, "Di antara bangsa Han juga ada orang baik dan orang jahat begitu pula dalam bangsa Cidan tentu juga ada yang baik dan ada yang jahat. Kiau-toaya, harap janganlah kau pikirkan urusan ini. Jiwa A Cu ini engkaulah yang menyelamatkan, biarpun engkau orang Han ataupun orang Cidan, sama sekali tiada perbedaannya lagi bagi A Cu.”

"Aku tidak perlu belas kasihanmu,” sahut Kiau Hong dengan dingin. "Di dalam hati tentu kau pandang rendah padaku, maka kamu tidak perlu pura-pura bermulut manis. Aku menolong jiwamu juga bukan timbul dari maksudku yang sebenarnya, hanya terdorong oleh nafsu ingin menang saja. Maka tentang peristiwa itu biarlah ku hapus untuk selamanya dan bolehlah kau pergi saja.”

A Cu jadi kuatir, sesudah mengetahui dirinya adalah bangsa Cidan, boleh jadi Kiau Hong akan terus pulang ke utara dan untuk selamanya tak akan menginjak selangkah pun negeri Tiongkok demikian pikirnya.

Saking tak tahan oleh gelora kalbunya, terus saja ia berkata, "Kiau-toaya, bila engkau tega meninggalkan aku tanpa peduli lagi, segera aku akan terjun ke dalam jurang itu. Selamanya A Cu berani berkata berani berbuat, tentu engkau anggap dirimu adalah ksatria gagah perwira bangsa Cidan, maka memandang hina pada kaum budak yang rendah seperti diriku, biarlah lebih baik aku mati saja.”

Kiau Hong jadi terharu oleh ucapan A Cu yang tulus itu. Tadinya ia mengira setiap orang pasti akan menjauhi bangsa kejam sebagai dirinya ini, tak sangka A Cu ternyata tidak pandang bulu, tetap menghargai dirinya tanpa ada kecualinya. Segera ia pegang tangan gadis itu dan berkata dengan suara lembut, "A Cu, kamu adalah pelayan Buyung-kongcu dan bukan budakku, masakah aku memandang hina padamu ?”

"Huh, aku tidak perlu belas kasihanmu! Di dalam hati tentu kau pandang rendah padaku, tidak perlu pura-pura bermulut manis !” demikian A Cu menirukan lagu Kiau Hong tadi dengan sorot mata yang menggoda.

Tak tertahankan lagi Kiau Hong terbahak-bahak, pada saat susah bisa terhibur oleh seorang gadis jelita sebagai A Cu yang pandai bicara dan pintar berkelakar, sudah tentu rasa kesalnya lantas banyak berkurang.

"Kiau-toaya,” tiba-tiba A Cu berkata pula dengan kereng, "Aku memang pelayan Buyung-kongcu, tapi itu tidak berarti aku telah menjual diriku padanya. Soalnya karena keluarga kami suatu waktu mendapat kesulitan, ada seorang musuh yang lihai mendatangi ayah buat menuntut balas dendam. Ayahku merasa tak dapat melawan musuh itu, maka aku lantas dititipkan pada Buyung-loya, yaitu ayah Buyung-kongcu sekarang, katanya untuk dijadikan budaknya, tapi sebenarnya lebih tepat dikatakan untuk menyelamatkan diriku di rumah keluarga Buyung. Maka selanjutnya akan kulayanimu dan menjadi dayangmu, pasti Buyung-kongcu takkan marah.”

"Tidak, tidak! Mana boleh jadi !” seru Kiau Hong sambil goyang kedua tangannya. "Aku adalah bangsa Cidan, masakah punya budak apa segala? Kamu sudah biasa tinggal di tengah keluarga mampu di daerah Kanglam, apa faedahnya ikut aku terlunta-lunta dan menderita? Lihatlah laki-laki kasar seperti aku ini apa ada harganya untuk mendapat pelayananmu ?”

A Cu tertawa manis, sahutnya, "Baik begitu saja, anggaplah aku sebagai budak tawananmu, bila engkau senang, engkau boleh tertawa padaku, jika tidak suka, boleh engkau hajar diriku. Nah, jadi bukan ?”

"Hah, mungkin sekali hantam dapat kuhancurkan tubuhmu,” ujar Kiau Hong.

"Ya jangan keras-keras, dong! Pelahan saja,” sahut A Cu.

Kiau Hong terbahak, katanya, "Pelahan? Kan lebih baik tidak menghajar saja, pula aku pun tidak menginginkan budak apa segala.”

"Engkau adalah ksatria Cidan, kalau menawan beberapa wanita Han untuk dijadikan budak, apa salahnya ?” ujar A Cu. "Bukankah prajurit Song itu juga banyak menawan orang Cidan ?”

Kiau Hong terdiam tanpa menjawab.

Melihat bekas Pangcu itu berkerut kening, sorot matanya sayu, A Cu menjadi kuatir salah omong hingga membuatnya kurang senang.

Syukurlah tidak antara lama Kiau Hong membuka suara pula dengan pelahan, "Selama ini kusangka orang Cidan adalah bangsa yang paling kejam dan ganas, tapi dengan mata kepalaku tadi kulihat kawanan prajurit Song juga mengganas pada orang Cidan, bahkan kaum wanita dan anak-anak juga tidak terhindar dari siksaan mereka. A Cu, aku adalah orang……orang Cidan, sejak kini aku tidak merasa malu lagi sebagai bangsa Cidan dan takkan bangga sebagai bangsa Han. Ayah bundaku dibunuh tanpa berdosa, maka aku harus menuntut balas sakit hati itu.”

A Cu menganggu. Tapi diam-diam ia merasa takut, terbayang-bayang olehnya "menuntut balas” yang ditegaskan oleh Kiau Hong itu pasti akan mengakibatkan banjir darah di kalangan Bu-lim.

"Dahulu ibuku dibunuh mereka,” demikian Kiau Hong berkata pula sambil menunjuk jurang, "Saking berduka ayahku lantas terjun juga ke dalam jurang itu. Tapi mendadak beliau tidak tega aku ikut mati bersama mereka, maka aku dilemparkan ke atas selagi ayah masih terapung di udara, dengan demikian barulah aku dapat hidup sampai hari ini. A Cu, hal ini menandakan betapa cintanya ayahku kepadaku, bukan ?”

Dengan air mata meleleh A Cu mengiakan.

"Dan sakit hati sedalam lautan itu masakan tidak kutuntut balas ?” kata Kiau Hong. "Dahulu aku tidak tahu hingga mengaku musuh sebagai kawan, jika sekarang aku tidak menuntut balas, apakah aku ada harganya untuk hidup lebih lama di dunia ini? Itu ‘Toako pemimpin’ yang mereka sebut itu entah siapa sebenarnya? Pada surat yang ditulisnya kepada Ong-pangcu terdapat namanya, tapi Ti-kong Taysu sengaja menyobek bagian yang tertulis nama itu dan ditelan ke dalam perut. Terang ‘Toako pemimpin’ masih hidup dengan baik, kalau tidak, mestinya mereka tidak perlu merahasiakan dia.”

Begitulah ia bertanya dan menjawab sendiri untuk meraba seluk-beluk perkara itu. Kemudian katanya lagi, "Toako pemimpin itu dapat memimpin para ksatria Tionggoan, dengan sendirinya dia seorang tokoh yang berilmu silat sangat tinggi dan sangat dihormati. Dalam suratnya ia sebut Ong-pangcu sebagai ‘Laute’ (saudara), maka dapat diduga usianya sudah lanjut kini, sedikitnya sudah lebih 60 tahun, boleh jadi di antara 70 tahun malah. Untuk mencari seorang tokoh seperti itu sebenarnya tidak susah. Ehm, orang yang pernah membaca surat itu di antara lain adalah Ti-kong Taysu, Ci-tianglo dari Kay-pang, Be-hujin, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing. Dan masih ada pula Tio-cit-sun, sudah tentu ia pun tahu siapa gerangan Toako pemimpin itu. Hm, aku……aku harus membunuhnya, menghabisi pula antero keluarganya, dari tua sampai muda, satu pun tidak boleh diberi ampun !”

A Cu bergidik mendengar nada yang seram itu. Tapi ia tidak berani menimbrung demi melihat sikap gagah berwibawa Kiau Hong pada saat itu.

Kiau Hong melanjutkan lagi, "Ti-kong Taysu suka berkelana, Tio-ci-sun juga tiada tempat tinggal yang tetap, untuk mencari kedua orang tua itu tidaklah mudah, maka marilah A Cu, lebih baik kita pergi mencari Ci-tinglo saja.”

Sungguh girang A Cu tidak kepalang demi mendengar ucapan "kita” itu, sebab itu berarti dirinya juga diajak serta. Diam-diam ia berkata di dalam hati, "Biarpun ke ujung langit juga aku akan ikut serta padamu.”

Segera mereka putar balik ke selatan, setelah melintasi Gan-bun-koan, melalui lereng bukit, tibalah mereka di suatu kota kecil, mereka mendapatkan sebuah hotel. Tanpa disuruh segera A Cu pesan pelayan membawakan 20 kati arak.

Pelayan hotel memang sedang curiga karena melihat kedua orang tidak mirip sebagai suami istri, dibilang saudara juga tidak sama, kini demi mendengar permintaan 20 kati arak lagi, keruan tambah heran hingga terkesima memandangi A Cu berdua.

Pelayan itu sangat terkejut ketika mendadak Kiau Hong melotot padanya, cepat ia lari pergi sambil menggerutu, "Masakah minta arak 20 kati? Apa barangkali akan digunakan untuk mandi?”

Kemudian A Cu berkata pada Kiau Hong dengan tertawa, "Kiau-toaya, keberangkatan kita untuk mencari Citianglo ini, kukira dua hari lagi jejak kita tentu akan diketahui orang. Dan kalau sepanjang jalan kita mesti bertempur, meski menarik juga permainan ini, mungkin lebih dulu Ci-tianglo akan melarikan diri dan sembunyi, dan untuk mencarinya tentu susah.”

"Habis, menurut pendapatmu bagaimana kita harus bertindak ?” tanya Kiau Hong. "Apa kita mengaso pada siang hari dan berjalan waktu malam hari ?”

"Untuk mengelabui mereka sebenarnya tidak sulit,” ujar A Cu dengan tersenyum. "Cuma entah Kiau-toaya yang namanya disegani di seluruh jagat ini sudi menyamar atau tidak ?”

"Aku bukan bangsa Han lagi, memangnya pakaian orang Han ini aku tidak ingin pakai lagi,” sahut Kiau Hong dengan tertawa. "Lalu, aku harus menyamar sebagai siapa, A Cu ?”

"Perawakanmu tinggi besar, mudah menarik perhatian orang, sebaiknya menyaru seorang yang berwajah biasa tanpa sesuatu tanda orang Kangouw yang menarik. Dengan demikian perjalanan kita tentu akan aman.”

"Bagus, bagus! Habis minum arak segera kita mulai menyamar ?” seru Kiau Hong dengan senang.

Setelah menghabiskan 20 kati arak, segera A Cu membelikan tepung kanji, pensil, tinta dan lain-lain yang diperlukan. Setalah "bersolek”, lenyaplah banyak ciri-ciri khas di muka Kiau Hong. Waktu A Cu menambahi pula bibir Kiau Hong dengan selapis kumis yang tipis, ketika bercermin, sampai Kiau Hong pun pangling pada diri sendiri.

Menyusul A Cu juga menyamar sebagai laki-laki setengah umur dan berkata, "Lahirmu sekarang sudah berubah sama sekali, tapi suaramu dan kegemaranmu akan minum arak mudah dikenali orang.”

"Ehm, aku akan sedikit bicara dan sedikit minum,” sahut Kiau Hong.

Benar juga perjalanan selanjutnya jarang Kiau Hong buka mulut, setiap kali dahar cuma minum dua-tiga kati arak saja sekedar menghilangkan rasa dahaga.

Suatu hari, sampailah mereka di Sam-ka-tin, propinsi Soasai selatan, tengah Kiau Hong dan A Cu asik makan bakmi di suatu kedai, tiba-tiba mereka dengar percakapan dua orang pengemis di luar kedai. Katayang seorang, "Kematian Ci-tianglo benar-benar sangat mengenaskan, besar kemungkinan bangsat Kiau Hong itu yang membunuhnya.”

Keruan Kiau Hong terperanjat. "Jadi Ci-tianglo telah mati ?” demikian batinnya. Ia saling pandang sekejap dengan A Cu.

Dalam pada itu pengemis yang lain telah mendesis pada kawannya sambil memperingatkan dengan kata-kata rahasia Kay-pang agar jangan sembarangan bicara, sebab mungkin di situ terdapat begundal bangsat she Kiau, kita harus lekas menyusul ke Wi-hui di Holam, di sana para Tianglo kita akan mengadakan sembahyang bagi arwah Ci-tianglo dan akan berunding cara bagaimana untuk menangkap Kiau Hong.

Mendengar itu, dengan cepat Kiau Hong dan A Cu habiskan bakmi mereka dan meninggalkan Sam-ka-tin itu. Kata Kiau Hong, "Marilah kita pergi ke Wi-hui, bisa jadi di sana kita dapat memperoleh sesuatu kabar.”

"Ya, sudah tentu kita harus ke sana,” sahut A Cu. "Tapi engkau harus hati-hati Kiau -toaya, ingat bahwa orangorang yang akan hadir di sana hampir semuanya adalah bekas anak buahmu yang sangat kenal gerak-gerikmu, maka jangan sampai engkau dapat dikenali.”

"Aku tahu,” sahut Kiau Hong mengangguk. Segera mereka putar ke arah timur, menuju kota Wi-hui.

Esok paginya sampailah mereka di kota itu. Ternyata di dalam kota sudah penuh kawanan pengemis anggota Kay-pang. Ada yang nongkrong di kedai arak, yang potong anjing dan sembelih babi di gang yang sepi, ada pula yang minta-minta sepanjang jalan, kalau tak diberi lantas main paksa dan mencaci-maki.

Pedih hati Kiau Hong menyaksikan kelakuan anak buah Kai-pang yang dihormat sebagai Pang terbesar di Kangouw itu, sejak ditinggalkan olehnya ternyata sudah berubah sedemikian buruk disiplinnya. Walaupun sekarang Kai-pang telah menjadi lawan dan bukan kawan baginya, tapi mengingat jerih payah sendiri dahulu waktu membina kesatuan Kay-pang yang jaya itu, mau-tak mau Kiau Hong merasa menyesal juga.

Tempat layon Ci-tianglo itu terletak di sebuah taman bobrok di barat kota. Sesudah membeli lilin, dupa dan lain-lain keperluan, segera Kiau Hong dan A Cu menuju ke sana. Mereka mengikuti banyak orang untuk sembahyang di depan layon Ci-tianglo.

Di atas meja sembahyang itu penuh berlumuran darah, itu adalah peraturan Kay-pang yang menandaskan bahwa orang yang meninggal itu mati dibunuh musuh, maka saudara Pang harus menuntut balas baginya.

Di tengah ruangan sembahyang itu orang ramai membicarakan dan mencaci maki Kiau Hong, tapi tiada yang tahu bahwa yang dicaci-maki itu justru berada di situ.

Melihat orang yang jaga layon itu adalah tokoh-tokoh terkemuka Kay-pang, Kiau Hong kuatir akan dikenali, maka selekasnya ia mohon diri bersama A Cu. Sambil berjalan keluar, diam-diam ia membatin, "Dengan

matinya Ci-tianglo, orang yang kenal siapa gerangan Toako pemimpin di dunia ini menjadi berkurang pula satu orang.”

Pada saat itulah tiba-tiba di ujung jalan sana berkelebat bayangan orang, dari perawakannya tertampak jelas adalah seorang wanita yang tinggi besar. Dengan kejelian mata Kiau Hong, segera orang itu dapat dikenalnya sebagai Tam-poh, si nenek Tam. Pikirnya, "Hah, sangat kebetulan. Tentu ia pun datang untuk melayat kematian Ci-tianglo, aku justru lagi ingin cari dia.”

Pada saat lain kembali ada lagi seorang melayang ke sana dengan ginkang yang tinggi, tertanya orang kedua ini adalah Tio-ci-sun.

Kiau Hong menjadi heran, "Ada urusan apa kedua orang ini main sembunyi-sembunyi seperti maling kuatir kepergok ?”

Ia pun tahu kedua orang itu adalah saudara seperguruan dan pernah saling cinta, bahkan cinta asmara itu sampai tua juga belum lenyap, jangan-jangan sekarang mereka hendak mengadakan pertemuan gelap dan main patpat-gulipat.

Sebenarnya Kiau Hong tidak suka mencari tahu urusan pribadi orang lain, tapi mengingat Tio-ci-sun dan Tampoh itu adalah orang yang mengetahui siapakah Toako pemimpin yang dimaksud itu, jika ada sesuatu ciri rahasia mereka terpegang olehnya, bisa jadi hal itu akan dapat dipakai sebagai alat penekan agar mereka mau menceritakan apa yang mereka ketahui tentang Toako pimimpin. Maka ia lantas membisiki A Cu agar pulang dulu dan menunggudi hotel.

A Cu mengangguk. Segera Kiau Hong mengejar ke jurusan larinya Tio-ci-sun. Ia lihat kakek aneh itu sebentarsebentar sembunyi di pojok jalan sana dan lain saat mengumpet di balik pohon, kelakuannya penuh rahasia dan kuatir dipergoki orang, jurusan yang dituju adalah timur kota.

Kiau Hong terus menguntit dari jauh dan selama itu tak diketahui oleh Tio-ci-sun. Dari jauh tertampak kakek itu lari sampai di tepi sungai, lalu menyusup ke dalam sebuah perahu beratap.

Cepat Kiau Hong memburu ke sana, dengan beberapa kali lompatan saja ia dapat menyusul sampai di samping perahu, dengan pelahan ia melompat ke atas atap perahu dan menempelkan telinganya untuk mendengarkan.

Didengarnya suara Tam-poh sedang berkata, "Suko, usia kita sudah selanjut ini, hubungan masa muda dahulu sudah terlambat untuk desesalkan, buat apa mesti diungkat-ungkit lagi ?”

"Hidupku ini sudah kukorbankan bagimu, maksudku mengajakmu ke sini tiada keinginan lain, Siau Koan, hanya kumohon sudilah kau nyanyikan lagi beberapa lagu waktu dahulu itu,” demikian pinta Tio-ci-sun.

"Ai, engkau ini sungguh ketolol-tololan,” ujar Tam-poh, "Ketika kita sama-sama datang di Wu-hai ini, suamiku telah melihat mau juga, hatinya sudah merasa kurang senang. Wataknya juga suka curiga, maka hendaknya jangan kau ganggu diriku lagi.”

"Takut apa ?” sahut Tio-ci-sun. "Perbuatan kita cukup terang dan dapat dipertanggung jawabkan, kita Cuma omong-omong kejadian dahulu apa salahnya ?”

"Tapi, ai, nyanyian masa dahulu itu……”

Melihat Tam-poh sudah goyah pikirannya, segera Tio-ci-sun memohon dengan sangat lagi, katanya, "Siau Koan, pertemuan kita hari ini entah sampai kapan baru dapat terjadi pula. Mungkin juga usiaku sudah tidak panjang lagi, tiada banyak kesempatan untuk mendengarkan nyanyianmu.”

"Suko, janganlah berkata demikian. Jika engkau berkeras ingin mendengar, bolehlah aku menyanyi satu lagu.”

"Bagus, bagus !” sorak Tio-ci-sun dengan gembira.

Lali terdengar Tam-poh mulai tarik suara, "Terkenang dahulu kakanda lalu di atas jembatan, dinda asik mencuci pakaian di tepi sungai……”

Baru sekian dinyanyikan, mendadak terdengar suara gedubrakan, pintu rumah perahu itu didobrak orang hingga terpentang, menyusul seorang laki-laki menerjang ke dalam. Itulah dia Kiau Hong. Cuma ia sudah menyamar, maka Tio-ci-sun dan Tam-poh tidak mengenalnya lagi.

Dan karena pendatang itu bukan Tam-kong, legalah hati kedua kakek dan nenek itu, segera mereka membentak, "Siapa Kau ?”

Dengan sorot mata dingin menghina Kiau Hong memandang mereka, sahutnya, "Yang satu adalah lelaki bangor dan suka memikat wanita bersuami, yang lain adalah perempuan jalang tak kenal malu yang berani mendurhakai suami sendiri dan bergendak dengan laki-laki lain……”

Belum habis ucapannya, serentak Tam-poh dan Tio-ci-sun menyerang dari kanan dan kiri. Namun sedikit Kiau Hong mengengos, tangan membalik terus mencengkram pergelangan tangan Tam-poh, berbareng sikunya juga menyikut, ia mendahului menyerang iga kiri Tio-ci-sun.

Sebagai jago kelas satu dalam Bu-lim, Tio-ci-sun dan Tam-poh mengira dalam sejurus saja pasti dapat membekuk lawannya. Siapa duga laki-laki yang tidak ada sesuatu tanda luar biasa itu ternyata memiliki kepandaian yang sukar diukur, hanya sejurus saja pihak terserang telah berubah menjadi pihak penyerang.

Ruangan perahu sebenarnya sangat sempit, tapi bagi Kiau Hong keadaan itu tidak menjadi halangan, ia menghantam dan menyerang dengan gesit dalam ruangan sempit itu sama lincahnya seperti di tempat luas.

Sampai jurus ketujuh, tahu-tahu pinggang Tio-ci-sun tertutuk. Keruan Tam-poh terkejut, dan sedikit ayal punggung lantas kena digaplok juga oleh Kiau Hong hingga keduanya roboh terkulai.

"Nah, kalian boleh mengaso sebentar di sini, di dalam kota sedang berkumpul para ksatria biarlah kupergi mengundang mereka untuk menimbang atas perbuatan kalian ini,” demikian kata Kiau Hong.

Tentu saja Tio-ci-sun dan Tam-poh sangat kuatir, mereka coba mengerahkan Lwekang untuk melepaskan tutukan musuh, tapi ternyata tak bisa berkutik sama sekali, bahkan satu jari pun sukar bergerak.

Sebenarnya usia mereka sudah lanjut, pertemuan gelap yang mereka adakan ini bukan karena dirangsang oleh nafsu berahi, tapi cuma sekedar omong-omong untuk mengenang cinta kasih masa lalu saja, sama sekali tidak melampau batas-batas kesopanan.

Tapi tatkala itu adalah dinasti Song yang sangat mengutamakan tata tertib kesopanan, pelanggaran mengenai urusan perempuan adalah sesuatu yang tak bisa diampuni pada masa itu. Kalau sekarang mereka mengaku mengadakan pertemuan gelap dalam perahu hanya sekedar omong-omong dan nyanyi-nyanyi mengenang masa lalu, sudah tentu tiada seorang pun yang mau percaya. Terutama Tam-kong sudah tentu akan kehilangan muka.

Maka cepat Tam-poh berseru, "Kami tidak berbuat sesuatu kesalahan apa padamu, jika tuan dapat berlaku murah hati pada kami, tentu aku akan……akan membalas kebaikanmu ini.”

"Membalas kebaikan sih tidak perlu,” sahut Kiau Hong. "Aku hanya ingin tanya satu soal padamu, cukup asal kau jawab tiga huruf saja dengan sebenarnya, segera akan kubebaskan kalian, kejadian sekarang pun takkan kukatakan pada siapa pun juga.”

"Asal aku tahu, tentu akan kukatakan,” sahut Tam-poh.

"Begini, pernah ada orang mengirim surat kepada Ong-pangcu dari Kay-pang untuk membicarakan persoalan Kiau Hong, pengirim surat itu disebut sebagai ‘Toako pemimpin’. Nah, siapakah dia itu ?”

"Siau Koan, jangan kau katakan, jangan katakan !” cepat Tio-ci-sun berteriak.

Dengan mata mendelik Kiau Hong pandang kakek itu, katanya, "Jadi kamu lebih suka badan hancur dan nama buruk daripada menerangkan ?”

"Locu tidak gentar mati. Toako pemimpin yang berbudi padaku itu tidak nanti kujual padamu,” sahut Tio-cisun dengan angkuh.

"Tapi Siau Koan juga akan ikut menjadi korban, apa kamu tidak pikirkan dia lagi ?” tanya Kiau Hong.

"Jika kejadian ini diketahui Tam-kong, segera akan kubunuh diri di hadapannya untuk menebus dosaku,” sahut Tio-ci-sun.

Terpaksa Kiau Hong mengalihkan pembicaraannya kepada Tam-poh, "Tapi Toako pemimpin itu belum tentu ada budi padamu, bolehlah kamu yang menerangkan, dengan demikian kita akan sama-sama baik, kehormatan Tam-kong juga dapat dijaga, jiwa Sukomu pun dapat diselamatkan.”

Diam-diam Tam-poh merasa seram oleh ancaman itu, segera katanya, "Baik akan kukatakan padamu. Orang itu bernama……”

"Siau Koan, jangan kau katakan padanya,” seru Tio-ci-sun dengan suara melengking kuatir. "O, Siau Koan, kumohon dengan sangat, janganlah kau katakan padanya. Orang ini besar kemungkinan adalah begundal Kiau Hong, sekali kamu mengaku, pasti jiwa Twako pemimpin akan terancam.”

"Aku sendiri inilah Kiau Hong, jika kalian tidak mau mengaku, celakalah kalian !” kata Kiau Hong.

Keruan Tio-ci-sun terperanjat, sahutnya, "Pantas, maka ilmu silatmu sedemikian tinggi. Siau Koan, selama

hidup ini tidak pernah kumohon sesuatu apa padamu, maka sekarang ini adalah satu-satunya permintaanku, janganlah kau katakan nama Toako pemimpin padanya. Betapa pun permintaanku ini harus kau terima.”

Teringat selama berpuluh tahun ini betapa bekas kekasihnya itu mencintai dan merindukan dirinya, selamanya memang tidak pernah memohon sesuatu apapun padanya kini demi untuk membela keselamatan Toako pemimpin yang berbudi itu ia rela berkorban jiwa pula, maka bagaimanapun juga dirinya tidak boleh mengecewakan perbuatannya yang gagah perkasa ini.

Maka Tam-poh lantas menjawab, "Kiau Hong apakah kamu akan berbuat jahat atau berlaku bajik, semuanya terserah padamu. Kami berdua asal tidak merasa berdosa, apa yang mesti kami takutkan? Maka apa yang ingin kau ketahui, maafkan, tidak bisa kuberitahu.”

"Terima kasih, Siau Koan, terima kasih !” seru Tio-ci-sun dengan girang.

Melihat jawaban si nenek yang tegas itu, Kiau Hong tahu percuma juga memaksanya. Ia mendengus sekali, tiba-tiba ia cabut sebuah tusuk kundai dari rambut Tam-poh, lalu melompat ke gili-gili dan pulang ke kota Wihui untuk mencari tempat tinggal Tam-kong, si kakek Tam.

Karena dalam penyamaran, dengan sendirinya tiada seorang pun yang kenal Kiau Hong. Sedangkan "Ji-kuikhek-tiam”, yaitu nama hotel tempat Tam-kong dan Tam-poh menginap juga bukan tempat yang dirahasiakan, maka dengan mudah saja Kiau Hong dapat mengetahui letak hotel itu.

Sampai di hotel itu, ia lihat Tam-kong sedang mondar-mandir di dalam kamar dengan menggendong tangan, sikapnya sangat gelisah dan air mukanya bersengut.

Tanpa bicara apa-apa Kiau Hong mendekati kakek itu dan sodorkan tangannya, maka tertampaklah tusuk kundai milik Tam-poh itu.

Tam-kong memang lagi murung dan merasa tidak tentram sejak melihat Tio-ci-sun juga datang di kota Wi-hui, sementara itu istrinya menghilang setengah harian, ia sedang kuatir dan curiga. Kini mendadak nampak tusuk kundai milik sang istri itu, ia terkejut dan girang, cepat ia tanya, "Siapa saudara? Apakah kamu disuruh istriku ke sini. Ada urusan apakah ?”

Sembari bicara ia terus ambil tusuk kundai di tangan Kiau Hong itu.

Kiau Hong membiarkan tusuk kundai diambil si kakek, lalu katanya, "Istrimu telah ditawan orang, jiwanya terancam.”

Keruan Tam-kong terperanjat, cepat tanyanya, "Ilmu silat istriku sangat hebat, masakah begitu gampang ditawan orang ?”

"Kiau Hong yang menawannya !”

"Hah, Kiau Hong ?” seru Tam-kong. Kalau orang lain boleh jadi ia tidak percaya, tapi bekas Pangcu itu cukup dikenalnya, maka tidak heran istrinya dapat ditawan dengan mudah. "Jika demikian, sulitlah urusan ini. Dan di……di manakah istriku sekarang ?”

"Apakah kau inginkan hidupnya istrimu, itulah sangat mudah. Dan jika inginkan dia mati, itu pun sangat gampang !” kata Kiau Hong.

Sifat Tam-kong sangat pendiam dan sabar, meski dalam hati sebenarnya sangat gugup, tapi lahirnya tetap tenang-tenang saja. Ia tanya malah, "Apa maksudmu, coba katakan !”

"Ada suatu pertanyaan ingin kutanya Tam-kong, asal kau jawab terus terang, maka istrimu segera akan pulang dengan selamat tanpa terganggu seujung rambut pun,” kata Kiau Hong. "Tapi bila Tam-kong tidak mau menerangkan, terpaksa istrimu akan dibunuh, mayatnya akan dikubur satu liang dengan mayat Tio-ci-sun.”

Sampai disini Tam-kong tidak dapat tahan perasaannya lagi, bentaknya murka dan menghantam muka Kiau Hong. Tapi sedikit Kiau Hong mengengos ke samping, serangan Tam-kong itu lantas luput.

Diam-diam kakek itu terkejut, padahal pukulan geledek itu adalah ilmu andalannya, tapi dengan gampang lawan dapat menghindar. Ia tidak berani ayal lagi, telapak tangan kanan mengisar ke samping, telapak tangan kiri lantas menghantam pula.

Melihat ruangan kamar hotel itu kurang luas untuk menghindar lagi agak susah, terpaksa Kiau Hong menangkis. "Plok”, hantaman Tam-kong itu, tepat mengenai tangan Kiau Hong, tapi sama sekali Kiau Hong tidak bergeming, sebaliknya tangan terus terjulur ke depan dan meraih ke bawah hingga pundak Tam-kong terpegang.

Seketika Tam-kong merasa pundaknya seperti dibebani beribu kati beratnya, begitu antap sehingga tulang punggung seakan-akan patah, hampir ia bertekuk lutut saking tak tahan. Tapi sekuatnya ia menegak, betapa

pun ia tidak sudi menyerah, tapi akhirnya lemas juga kakinya, "bluk”, terpaksa ia tekuk lutut ke bawah.

Hal ini bukan dia menyerah dan minta ampun, tapi disebabkan tenaga tidak kuat menahan, maklum, kekuatan tulang manusia ada batasnya, pada saat ruas tulang sudah tertekan sedemikian rupa, tanpa kuasa lagi ia berlutut ke bawah, jalan lain tidak ada.

Kiau Hong memang sengaja hendak mematahkan keangkuhan kakek itu, maka ia tetap tindih pundaknya hingga akhirnya punggung ikut membungkuk seakan-akan orang hendak menjura. Tapi Tam-kong benar-benar sangat kepala batu, mati-matian ia masih terus bertahan, ia kerahkan segenap tenaganya untuk melawan dan bertahan sekuatnya.

Sekonyong-konyong Kiau Hong melepaskan tangannya. Saat itu Tam-kong yang ditekan ke bawah itu lagi bertahan sekuatnya ke atas dan karena mendadak Kiau Hong lepas tangan, tanpa kuasa lagi Tam-kong menjembul ke atas setinggi beberapa meter, "blang”, kepalanya menubruk belandar rumah, hampir belandar itu patah tertumbuk olehnya.

Ketika jatuh kembali dari atas, sebelum kedua kakinya menyentuh tanah, lebih dulu Kiau Hong sudah ulur tangan kanan untuk mencengkram dadanya. Perawakan Tam-kong yang pendek kecil, sebaliknya tangan Kiau Hong panjang dan kuat, betapapun Tam-kong hendak menghantam dan menendang, selalu tak bisa mengenai sasarannya apalagi kedua kaki terapung di udara, percuma saja ia berilmu silat tinggi, sedikit pun tidak bisa digunakan.

Dalam gugupnya, seketika Tam-kong jadi sadar, bentaknya, "Kamu inilah Kiau Hong !”

"Memang !” sahut Kiau Hong.

"Keparat, meng……mengapa kau sangkut pautkan istriku dengan Tio-ci-sun ?” bentak Tam-kong pula dengan gusar karena tadi Kiau Hong menyatakan akan membunuh Tam-poh dan akan menguburnya bersama Tio-cisun.

"Habis, istrimu sendiri yang suka menyangkut-pautkan dia, peduli apa dengan aku ?” sahut Kiau Hong. "Apakah kau ingin tahu saat ini Tam-poh berada di mana? Ingin tahu dia sedang menyanyi dan bercumbu dengan siapa ?”

Mendengar ini, sudah tentu Tam-kong dapat menduga sang istri bersama Tio-ci-sun, dengan sendirinya ia sangat ingin tahu keadaan itu, maka cepat sahutnya, "Di mana dia? Harap bawa aku ke sana.”

"Kebaikan apa yang kau berikan padaku? Mengapa harus kubawa ke sana ?” jengek Kiau Hong.

Tam-kong ingat apa yang dikatakan Kiau Hong tadi, segera tanyanya, "Kau bilang ingin tanya sesuatu padaku, soal apakah itu ?”

"Tempo hari waktu berkumpul di tengah hutan di luar kota Bu-sik, Ci-tianglo membawa sepucuk surat yang dikirim orang kepada mendiang Ong-pangcu dari Kay-pang, siapakah penulis surat itu ?”

Seketika Tam-kong tergetar, tapi saat itu ia diangkat oleh Kiau Hong dan terkatung di udara, asal Kiau Hong mengerahkan tenaga dalamnya, kontan jiwanya bisa melayang. Tapi sedikitpun kakek itu tidak gentar, sahutnya tegas, "Orang itu adalah pembunuh ayah bundamu, sama sekali tidak boleh kukatakan namanya, kalau kukatakan, tentu kamu akan menuntut balas padanya dan itu berarti aku yang bikin susah dia.”

"Jika kamu tidak mengaku, jiwamu sendiri segera akan melayang lebih dulu,” ancam Kiau Hong.

"Hahahaha !” tiba-tiba Tam-kong bergelak tertawa. "Memangnya kau anggap aku ini manusia pengecut hingga perlu menjual kawan untuk mencari hidup sendiri ?”

Melihat ketegasan kakek itu, mau-tak-mau Kiau Hong kagum juga akan jiwa ksatrianya. Coba kalau urusan lain, tentu ia tidak sudi mendesak lebih jauh, namun kini urusannya menyangkut sakit hati ayah bundanya, terpaksa ia tanya pula, "Kau sendiri tidak gentar mati, tapi apa jiwa istrimu tidak kau sayangkan lagi? Nama baik Tam-kong dan Tam-poh segera akan tersapu runtuh selamanya dan ditertawai ksatria sejagat apakah hal ini tak kau pikirkan ?”

Pada umumnya orang Bu-lim paling sayang pada nama baik atau kehormatan. Tapi sikap Tam-kong sekarang sangat tegas, sahutnya, "Asal tindak-tandukku dapat kupertanggung jawabkan, mengapa kukuatir dipandang rendah dan ditertawai orang ?”

"Tapi bagaimana dengan istrimu? Bagaimana dengan Tio-ci-sun ?” tanya Kiau Hong.

Seketika air muka Tam-kong berubah merah padam, dengan mata mendelik ia pandang Kiau Hong.

Tanpa bicara lagi Kiau Hong taruh kakek itu ke tanah, lalu melangkah ke luar. Dengan bungkam Tam-kong

lantas ikut di belakangnya.

Begitulah mereka lantas keluar kota Wi-hui. Banyak juga kawan Kangouw yang diketemukan di tengah jalan, mereka sama memberi hormat kepada Tam-kong yang dijawabnya dengan tawar saja.

Tidak lama, sampailah mereka di tepi sungai tempat berlabuh perahu itu. Sekali lompat, Kiau Hong melayang ke haluan perahu, ia tuding ke dalam perahu dan berkata, "Nah, boleh kau periksa sendiri !”

Segera Tam-kong ikut melompat ke atas perahu dan melongok ke dalam, ia lihat sang istri meringkuk di pojok ruangan saling bersandaran dengan Tio-ci-sun. Sungguh gusar Tam-kong tak tertahan lagi, kontan ia menghantam kepala Tio-ci-sun.

"Prak”, badan Tio-ci-sun bergerak sekali, tidak menangkis juga tidak berkelit. Begitu tangan Tam-kong menyentuh kepala Tio-ci-sun segera ia merasakan keadaan agak aneh, cepat ia meraba pipi sang istri, ternyata sudah dingin, sudah lama sang istri meninggal.

Badan Tam-kong mengigil, ia masih belum percaya, ia coba periksa pernapasan hidung sang istri dan memang benar sudah tidak bernapas lagi. Begitu pula keadaan Tio-ci-sun ketika diperiksa.

Tam-kong tertegun sejenak dengan rasa duka dan gusar tak terhingga, mendadak ia putar rubuh dan melotot pada Kiau Hong dengan mata membara.

Kiau Hong sendiri juga terheran-heran ketika mengetahui Tam-poh dan Tio-ci-sun sudah mati dalam waktu singkat setelah ditinggal pergi tadi. Padahal ia cuma menutuk hiat-to kedua orang itu, mengapa mendadak kedua jago kelas tinggi itu bisa mati begitu saja.

Segera ia tarik jenazah Tio-ci-sun untuk di periksa, tapi ia tidak melihat sesuatu luka senjata dan noda darah. Ia coba buka baju dada orang maka tertampaklah dada Tio-ci-sun ada satu bagian berwarna matang biru, itulah tanda terkena pukulan berat. Dan yang paling aneh adalah bekas telapak tangan yang memukul itu ternyata mirip dengan tangan Kiau Hong sendiri.

Sementara itu Tam-kong juga telah putar jenazah Tam-poh ke hadapannya, lalu juga diperiksa dada sang istri, ternyata luka yang diderita itu serupa dengan Tio-ci-sun. Sungguh pedih Tam-kong tak terkeatakan, hendak menangis juga tiada air mata. Dengan suara geram ia maki Kiau Hong, "Kau manusia berhati binatang, kamu demikian keji !”

Dalam heran dan kejutnya Kiau Hong tidak sanggup menjawab. Dalam benaknya timbul macam-macam pikiran, "Siapakah gerangan yang menyerang sehebat ini kepada Tam-poh dan Tio-ci-sun? Tenaga dan kepandaian penyerang itu luar biasa, jangan-jangan perbuatan musuhku yang tak terkenal itu pula? Tapi dari mana ia tahu kedua orang ini berada di dalam perahu ini ?”

Saking berduka atas kematian istrinya itu, tanpa bicara lagi Tam-kong kerahkan antero tenaganya dan menghantam Kiau Hong dengan kedua tangan. Tapi sedikit Kiau Hong berkelit, terdengarlah suara gedubrakan yang gemuruh, atap perahu itu rompal sebagian kena pukulannya.

Tiba-tiba Kiau Hong menjulur tangan kanan ke depan dan tahu-tahu pundak Tam-kong kena terpegang, katanya, "Tam-kong, aku tidak membunuh istrimu, kau percaya tidak ?”

"Jika bukan kamu, habis siapa lagi ?” sahut Tam-kong dengan gemas.

"Saat ini jiwamu tergantung di tanganku, jika aku mau membunuhmu, sungguh terlalu mudah bagiku, untuk apa aku bohong padamu ?” ujar Kiau Hong.

"Tujuanmu ingin mengetahui siapa pembunuh orang tuamu, biar ilmu silat orang she Tam ini jauh di bawahmu juga tidak nanti dibodohi oleh mu.”

"Baiklah, asal kau katakan nama orang yang membunuh orang tuaku, aku berjanji akan menuntut balas sakit hati istrimu ini,” bujuk Kiau Hong.

Tapi mendadak Tam-kong bergelak tertawa pedih, berulang-ulang ia mengerahkan tenaga dengan maksud melepaskan cengkraman Kiau Hong. Tapi tangan Kiau Hong yang menahan pelahan di pundaknya itu dapat bergerak menurut keadaan, lebih keras Tam-kong meronta, lebihberat pula tekanannya hingga selama itu tetap Tam-kong tak sanggup melepaskan diri.

Sampai akhirnya Tam-kong menjadi nekat. Mendadak ia gigit lidah sendiri, sekumur darah segar lantas disemburkan ke arah Kiau Hong. Terpaksa Kiau Hong lepas tangan untuk menghindar. Kesempatan itu segera digunakan oleh Tam-kong untuk berlari ke sana, sekali depak ia tendang mayat Tio-ci-sun ke pinggir, lalu ia rangkul jenazah sang istri, pada saat lain, tahu-tahu kepala nya terkulai, kakek itu pun menghembuskan napas yang terakhir.

Menyaksikan adegan mengerikan itu, mau-tak-mau terharu dan menyesal juga Kiau Hong. Meski kedua suamiistri she Tam dan Tio-ci-sun itu tidak dibunuh olehnya, tapi sebab musabab kematiannya adalah karena garagara Kiau Hong. Jika dia mau menghilangkan jenazah untuk menghapus jejak, sebenarnya cukup ia banting

kaki sekerasnya hingga dasar perahu itu berlubang, maka perahu itu akan tenggelam ke sungai dan hilanglah segala bukti peristiwa menyedihkan itu. Tapi Kiau Hong pikir, "Jika aku menghapuskan jenazah-jenazah ini tentu akan kentara seakan-akan aku yang bersalah dan ketakutan.”

Segera ia meninggalkan perahu itu, ia coba berusaha menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan di sekitar situ, tapi tiada sesuatu apa yang dilihatnya. Buru-buru ia kembali ke hotel.

Sejak tadi A Cu sudah menunggu di luar pintu, melihat Kiau Hong pulang tanpa kurang apa-apa, gadis itu sangat girang. Tapi demi nempak Kiau Hong agak lesu, ia lantas tahu pasti penguntitan Kiau Hong atas Tampoh dan Tio-ci-sun itu tidak mendatangkan sesuatu hasil yang baik. Dengan suara lembut ia tanya, "Bagaimana ?”

"Sudah mati semua,” sahut Kiau Hong singkat.

"Hah, mati semua? Tam-poh dan Tio-ci-sun ?” A Cu menegas dengan kaget.

"Ya, ditambah lagi Tam-kong menjadi tiga,” kata Kiau Hong.

Mengira Kiau Hong yang membunuh ketiga korbannya itu, meski merasa tidak tentram, tapi A Cu tidak berani menegur, hanya katanya, "Tio-ci-sun itu ikut serta dalam pembunuhan ayahmu, adalah setimpal jika dia terima ganjarannya.”

"Tapi bukan aku yang membunuhnya,” kata Kiau Hong sambil menggeleng. Lalu ia hitung-hitung dengan jari dan menyambung. "Kini orang yang mengetahui nama biang keladi daripada durjana pembunuh ayahku itu hanya tinggal tiga orang saja di dunia ini. A Cu, berbuat sesuatu harus dilakukan dengan cepat, kita jangan didahului musuh lagi hingga selalu kita ketinggalan.”

"Benar,” sahut A Cu. "Be-hujin sudah terlampau benci padamu, betapapun tidak mungkin dia mau mengaku, apalagi tidak pantas jika kita mesti paksa pengakuan seorang janda. Marilah kita berangkat ke tempat orang she Tan di Soatang saja.”

Lalu ia berseru, "Pelayan, pelayan! Selesaikan rekening kami.”

Sungguh Kiau Hong sangat terharu, dengan sorot mata kasih sayang ia pandang gadis itu, katanya, "A Cu, selama beberapa hari ini sudah terlalu melelahkanmu, biarlah kita berangkat besok saja.”

"Tidak, kita harus berangkat malam ini juga agar tidak didahului musuh,” ujar A Cu.

Terima kasih Kiau Hong tak terhingga, maka menggangguklah dia.

Malam itu juga mereka lantas keluar kota Wi-hui, sepanjang jalan terdengar orang ramai membicarakan "iblis Cidan Kiau Hong” mengganas lagi dengan membunuh Tam-kong suami-istri dan Tio-ci-sun. Waktu bicara orang-orang itu suka celingukan kian kemari seakan-akan kuatir mendadak Kiau Hong berada di situ hingga jiwanya bisa celaka. Tak terduga bahwa memang benar Kiau Hong berada di sisi mereka, jika ia mau membunuh boleh dikatakan tidak sukar sedikit pun.

Begitulah Kiau Hong dan A Cu terus melanjutkan perjalanan siang dan malam tanpa berhenti dengan menunggang kuda dan secara berganti-ganti binatang tunggangan itu.

Tiga hari kemudian, Kiau Hong tahu A Cu pasti sangat lelah walaupun tidak diucapkan gadis itu. Maka ia ganti kuda dengan menumpang kereta, dalam kereta kuda mereka dapat mengaso untuk beberap ajam lamanya, sesudah tenaga pulih, segera menunggang kuda pula dan dilarikan secepatnya.

"Sekali ini biar bagaimana pun kita harus dapat mendahului Tai-ok-jin itu,” ujar A Cu dengan girang.

Kiau Hong tidak menjawab, tapi diam-diam hatinya merasa pedih. "Tai-ok-jin” (manusia paling jahat), yaitu sebutan A Cu dan Kiau Hong kepada pembunuh yang sampai kini belum dikenal itu, setiap kali selalu mendahului usaha penyelidikannya, dan jika sekali ini lagi-lagi Tiat-bin-boan-koan Tan Cing juga terbunuh, mungkin penyelidikan selanjutnya akan tambah sulit dan sakit hati sedalam lautan itu akan sukar terbalas.

Setiba di kota Thai-an di Soatang, rumah tinggal Tan Cing itu ternyata sangat terkenal, sekali tanya saja lantas tahu, yaitu di timur kota.

Tatkala itu sudah magrib, sampailah mereka di luar pintu timur kota. Tidak jauh pula, sekonyong-konyong tampak asap mengepul bergulung-gulung dan api menjilat-jilat tinggi, entah tempat mana yang kebakaran. Menyusul terdengar riuh ramai suara gembreng dan kentongan bertalu-talu disertai teriakan orang, "Kebakaran! Kebakaran !”

Kiau Hong tidak menaruh perhatian apa-apa, ia tetap melarikan kuda ke depan bersama A Cu dan akhirnya dekat juga dengan tempat kebakaran itu.

"Lekas padamkan api, lekas! Itulah rumah keluarga Tiat-bin-boan-koan !” demikian terdengar seruan orang.

Keruan Kiau Hong dan A Cu terkejut. Mereka berhentikan kuda dan saling pandang sekejap, mereka sama berpikir, "Jangan-jangan didahului lagi oleh Tai-ok-jin itu ?”

"Keluarga Tan tentu banyak penghuninya, kalau rumahnya terbakar, orangnya belum tentu ikut terbakar,” demikian A Cu coba menghibur.

"Tahu begini, tempo hari seharusnya jangan kubunuh Tan Pek-san dan Tan Tiong-san,” ujar Kiau Hong dengan menyesal.

Sejak kedua saudara she Tan itu dibunuh Kiau Hong, permusuhan kedua pihak boleh dikatakan tak dapat didamaikan lagi. Walaupun kedatangannya ke Thai-an ini tiada maksud membunuh orang pula, tapi pihak Tan Cing pasti tidak mau menyudahi permusuhan itu, maka ia sudah siap untuk menempur mereka. Siapa duga baru sampai di tempat tujuan, pihak yang dicari itu sudah mengalami musibah.

Kebakaran itu ternyata sangat hebat, sebentar saja sudah berwujud lautan api. Sementara itu penduduk di sekitar beramai ramai sudah datang hendak memadamkan kebakaran itu, ada yang membawa ember dan menyiramkan air, ada yang menghamburkan pasir. Untung juga di sekeliling Tan-keh-ceng (perkampungan keluarga Tan) itu ada sungai yang cukup dalam, sekitar itu juga tiada rumah penduduk lain, maka api tidak sampai menjalar. Secara gotong-royong penduduk berusaha memadamkan api dengan perkasa.

Kiau Hong dan A Cu turun dari kuda serta mendekati tempat kebakaran itu untuk menonton. Terdengar suara seorang laki-laki di sebelah mereka sedang berkata, "Sungguh sayang, Tan-loya yang baik hati mengapa tertimpa bencana begini, sudah terbakar rumahnya, anggota keluarganya sebanyak lebih 30 jiwa tiada seorang pun yang berhasil menyelamatkan diri ?”

"Tentu musuh yang membakar rumah dan menutup pintu supaya tiada yang bisa lolos,” demikian sahut seorang. "Padahal anak kecil umur tiga keluarga Tan juga pandai silat, mustahil tiada seorang pun yang berhasil menyelamatkan diri ?”

"Kabarnya Tan-toaya dan Tan-jiya telah dibunuh orang jahat bernama Kiau Hong di Holam, jangan-jangan yang membakar rumahnya sekarang juga Tai-ok-jin itu lagi ?” ujar laki-laki yang duluan.

Bila Kiau Hong bicara dengan A Cu, musuh yang tak dikenal itupun disebutnya sebagai "Tai-ok-jin”, kini

mendengar kedua orang desa itu pun menyinggung "Tai-ok-jin”, tanpa terasa mereka saling pandang sekejap.

Dalam pada itu terdengar orang tadi lagi menjawab, "Ya, pasti perbuatan Kiau Hong keparat itu!”

Sampai di sini, tiba-tiba ia tahan suaranya dan berbisik, "pasti Tai-ok-jin itu ada begundalnya menyerbu ke Tan-keh-ceng hingga keluarga Tan terbunuh semua. Ai, di mana letak keadilan ini.”

"Kiau Hong itu terlalu banyak berbuat kejahatan, pada akhirnya dia pasti akan diganjar secara setimpal dan matinya pasti akan lebih mengenaskan daripada Tan-loya yang baik budi itu,” demikian laki-laki yang satu menanggapi.

Mendengar mereka mengutuk Kiau Hong, A Cu jadi mendongkol. Mendadak ia tepuk lebar kudanya hingga binatang itu kaget dan berjingkrak, sekali kaki kuda mendepak, tepat punggung orang yang ceriwis itu tertendang, sambil menjerit, tanpa ampun lagi orang itu jatuh terguling.

"Kalian sedari tadi mengoceh apa ?” damprat A Cu.

Meski terdepak kuda, tapi demi ingat "Tai-ok-jin” Kiau Hong banyak begundalnya, orang itu jadi ketakutan dan tidak berani bersuara lagi cepat ia menyingkir pergi.

Kiau Hong tersenyum pedih, ia dapat merasakan betapa jelek kesan dirinya dalam pandangan khalayak ramai terbukti dari percakapan kedua orang desa itu. Ia coba pindah ke sebelah lain dari tempat kebakaran, di sana juga orang ramai membicarakan keluarga Tan yang berjumlah lebih dari 30 jiwa itu tiada seorang pun yang selamat. Dari bau sangit yang terendus Kiau Hong dari gumpalan asap kebakaran itu, ia tahu apa yang dikatakan orang-orang itu tentu tidak salah, segenap anggota keluarga Tan memang benar telah terkubur di tengah lautan api.

"Tai-ok-jin itu benar-benar sangat keji, tidak cukup membunuh Tan Cing dan putra-putranya, bahkan antero keluarganya juga dibunuh, dan mengapa mesti membakar pula rumahnya ?” kata A Cu dengan suara pelahan.

"Ini namanya membabat rumput harus sampai akar-akarnya,” sahut Kiau Hong. "Andaikan aku, pasti juga akan kubakar rumahnya.”

"Mengapa ?” tanya A Cu terkesiap.

"Bukankah waktu di tengah hutan tempo hari Tan Cing pernah mengucapkan apa-apa yang telah kau dengar juga. Ia menyatakan, ‘Di rumahku juga tersimpan beberapa pucuk surat dari Toako pemimpin ini, sesudah kucocokan gaya tulisannya nyata memang betul adalah tulisan tangannya’.”

"Ya, Tai-ok-jin itu kuatir surat di rumah Tan Cing itu akan kau temukan dan mendapat tahu nama Toako pemimpin itu, makanya ia sengaja membakar rumah Tan Cing agar surat-surat itu hilang tak berbekas lagi,” kata A Cu dengan gegetun.

Dalam pada itu penduduk yang datang menolong kebakaran itu semakin banyak, tapi api sedang mengamuk dengan dahsyatnya, siraman air berember-ember itu ternyata tidak berguna sama sekali.

Di antara penonton itu banyak yang menyesalkan kebakaran itu di samping mencaci maki keganasan Kiau Hong yang dituduh yang membakar. Caci maki orang desa sudah tentu kasar dan kotor, A Cu menjadi kuatir jangan-jangan Kiau Hong tidak tahan oleh caci maki yang ngawur itu dan mendadak mengamuk sehingga orang-orang desa akan menjadi korban.

Tapi demi diliriknya, ia lihat bekas Pangcu itu menampilkan air muka yang sangat aneh, seperti berduka dan seperti menyesal pula, tapi yang paling kentara adalah rasa kasihan, orang desa itu dianggapnya terlalu bodoh, dan tiada harganya untuk dilabrak.

Akhirnya dengan menghela napas, berkatalah Kiau Hong, "Marilah kita pergi ke Thian-tai-san !”

Dengan keputusannya akan pergi ke Thian-tai-san, itu menandakan ia sesungguhnya sangat terpaksa. Benar Tikong Taysu dari Thian-tai-san itu dahulu pernah ikut serta dalam pembunuhan ayah bundanya, tapi selama 20 tahun terakhir ini padri saleh itu telah banyak berbuat kebajikan bagi sesamanya, jauh ia pergi ke negeri lain untuk mengumpulkan obat-obatan guna menyembuhkan penyakit malaria yang diderita rakyat jelata di wilayah propinsi daerah selatan seperti Hokkian, Ciatkang, Kuitang dan Kuisai, hingga banyak jiwa orang tertolong olehnya, sebaliknya padri itu sendiri jatuh sakit payah, sesudah sembuh ilmu silatnya jadi punah.

Perbuatan menolong sesamanya tanpa memikirkan kepentingan sendiri itu sungguh sangat sihormati oleh kawanan Kangouw dan sama menyebutnya sebagai ‘Budha hidup penolong manusia’. Maka sesungguhnya kalau tidak terpaksa, tidak nanti Kiau Hong mau membikin susah padri saleh itu.

Begitulah mereka lantas meninggalkan Thai-an dan menuju ke selatan. Sekali ini Kiau Hong tidak mau buruburu menempuh perjalanan lagi, ia pikir kalau terburu-buru, boleh jadi setiba di Thian-tai-san, mungkin yang tertampak kembali adalah mayat Ti-kong Taysu, bisa jadi kuilnya juga terbakar menjadi puing.

Maka ia sengaja menempuh perjalanan seenaknya, dengan demikian mungkin jiwa Ti-kong Taysu dapat diselamatkan malah. Apalagi jejak padri itu pun tidak menentu, biasanya suka mengembara, bukan mustahil waktu itu orangnya tidak berada di kuilnya di Thian-tai-san.

Pegunungan Thian-tai-san si Ciatkang timur, sepanjang jalan Kiau Hong berlaku seperti pelancong saja sambil mempercakapkan peristiwa menarik di kalangan Kangouw dengan A Cu.

Suatu hari, tibalah mereka di Tinkang. Kedua orang lantas pesiar ke Kim-san-si yang terkenal itu. Sambil memandangi air sungai yang berdebur-debur mengalir ke timur itu, mendadak Kiau Hong ingat sesuatu, katanya, "Itu ‘Toako pemimpin’ bukan mustahil adalah orang yang sama dengan ‘Tai-ok-jin’ itu.”

"Ya, mengapa sebegitu jauh kita tidak pikir ke situ ?” ujar A Cu seperti orang yang baru sadar.

"Tapi, bisa jadi memang terdiri dari dua orang yang berlainan,” kata Kiau Hong pula. "Namun kedua orang itu tentu mempunyai hubungan yang sangat erat. Kalau tidak, masakah Tai-ok-jin itu berusaha mati-matian hendak menutupi siapakah gerangan Toako pemimpin itu ?”

"Kiau-toaya,” sahut A Cu. "aku jadi ingat juga waktu kalian membicarakan peristiwa masa lalu itu, janganjangan……,”

Berkata sampai di sini, tanpa terasa suaranya menjadi agak gemetar.

"Jangan-jangan Tai-ok-jin itu juga berada di dalam hutan itu, demikiankah maksudmu ?” tukas Kiau Hong.

"Benar,” sahut A Cu, "di sanalah Tiat-bin-boan-koan mengatakan bahwa di rumahnya tersimpan surat yang pernah diterimanya dari Toako pemimpin itu dan sekarang rumahnya terbakar menjadi puing……Ai, aku jadi takut bila ingat hal itu.”

Dengan badan agak gemetar ia menggelendot di samping Kiau Hong.

"Dan masih ada sesuatu pula yang aneh.” Kata Kiau Hong.

"Tentang apa ?” tanya A Cu.

Sambil memandang perahu layar di tengah sungai, berkatalah Kiau Hong, "Kepintaran dan kecerdikan Tai-okjin itu jauh di atas diriku, bicara tentang ilmu silat juga mungkin tidak dibawahku, jika dia mau mencabut nyawaku sebenarnya sangat mudah. Tapi mengapa ia takut bila kutahu nama musuhku itu ?”

A Cu merasa apa yang dibahas Kiau Hong itu cukup beralasan, sambil memegang tangan bekas Pangcu itu, katanya, "Kiau-toaya, kukira sesudah Tai-ok-jin itu membunuh ayah bundamu, tentunya ia merasa menyesal sekali, maka tidak tega membikin celaka dirimu lagi. Sudah tentu ia pun tidak ingin engkau manuntut balas padanya hingga jiwanya akan melayang di tanganmu.”

Kiau Hong mengangguk. "Ya, besar kemungkinan demikianlah !” katanya dengan tersenyum. "Dan bila dia tidak tega mencelakaiku, dengan sendirinya juga tidak mau mengganggu dirimu, maka kamu jangan takut lagi.”

Sejenak kemudian, ia menghela napas dan berkata pula, "Percumalah aku mengaku sebagai Engkiong (ksatria), tapi kinidipermainkan orang sedemikian tanpa dapat berbuat apa-apa.”

Begitulah, sesudah menyebrang sungai Tiang-kang, tidak lama mereka menyebrangi Ci-tong-kang pula, akhirnya sampai di Thian-tai-koan, kota di kaki pegunungan Thian-tai.

Mereka mendapatkan sebuah hotel untuk menginap. Esok paginya ketika mereka ingin tanya pelayan tentang jalan menuju ke Thian-tai-san, tiba-tiba masuk tergesa-gesa seorang pegawai kantor hotel dan memberitahu, "Kiau-toaya, ada seorang Suhu dari Siang-koan-sian-si di Thian-tai-san ingin bertemu denganmu.”

Sudah tentu Kiau Hong terkejut, padahal waktu menginap di hotel ini ia mengaku she Koan, maka cepat ia tanya, "Mengapa kau panggil Kiau-toaya padaku ?”

"Suhu dari Thian-tai-san itu menjelaskan bangun tubuh dan wajah Kiau-toaya, terang tidak salah lagi,” sahut pegawai hotel.

Kiau Hong saling pandang dengan A Cu, keduanya sama heran. Padahal mereka menyamar lagi, tidak serupa pula dengan seperti waktu di Thai-an, tapi setiba di Thai-tai-koan segera dikenali orang.

Terpaksa Kiau Hong berkata, "Baiklah, silahkan dia masuk.”

Sesudah pegawai hotel itu keluar, tidak lama kemudian ia bawa datang padri berumur 30-an dan berbadan gemuk. Sesudah memberi hormat kepada Kiau Hong, padri itu lantas berkata, "Guruku Ti-kong Taysu adanya, Siauceng Koh-teh disuruh mengundang Kiau-toaya dan Wi-kohnio sudilah mampir ke kuil kami.”

Sahut Koh-teh Hwesio, "Menurut pesan Suhu katanya di hotel sini tinggal seorang Kiau-enghiong, dan seorang Wi-kohnio, maka Siauceng disuruh memapak kemari. Kiranya tuan sendirilah Kiau-toaya, entah Wi-kohnio itu berada di mana ?”

Jilid 34
Kiranya A Cu sudah menyaru lagi sebagai laki-laki setengah umur, dengan sendirinya Koh-teh Hwesio tidak tahu dan menyangka nona Wi yang dicari itu tidak berada di situ.

Segera Kiau Hong tanya pula, "Semalam kami baru tiba di sini, entah darimana gurumu mendapat tahu? Apakah beliau dapat meramal apa yang belum terjadi?"

Belum lagi Koh-teh menjawab, pengurus hotel tadi lantas menyela, "Ti-kong Taisu dari Thian-tai-san adalah seorang padri sakti, jangankan Kiau toaya baru tiba kemarin, sekalipun apa yang akan terjadi 500 tahun yang akan datang juga dapat dihitungnya."

Kiau Hong tahu Ti-kong Taisu itu sangat dipuja oleh rakyat setempat bagaikan malaikat dewata, maka ia pun tidak tanya lagi, katanya,"Baiklah, segera Wi-kohnio akan menyusul, silahkan kaubawa kami berangkat lebih dulu."

Koh-teh Hwesio mengiakan dan segera mendahului keluar. ketika Kiau Hong hendak membayar rekening hotel, namun pengurus telah mencegah, "Jika kalian adalah tetamu padri sakti Thian-tai-san, betapapun uang hotel ini tidak daat kami terima."

Terpakasa Kiau Hong membatalkan niatnya itu, diam-diam ia kagum atas nama baik Ti-kong Taisu yang dihormati dan sangat dicintai rakyat setempat itu, maka tentang tersangkutnya dalam peristiwa pembunuhan orang tuaku biarlah kuhapus sama sekali dan takkan kubalas dendam padanya. Asal dia memberitahukan nama Tai-ok-jin itu kepadaku sudah puaslah hatiku, demikian Kiau Hong mengambil keputusan.

Begitulah mereka lantas berangkat ke Thian-tai-san mengikuti Koh-teh Hwesio.

Pemandang Thian-tai-san sangat indah permai, cuma jalan pegunungan itu sangat terjal dan berliku-liku hingga sukar ditempuh. Dari belakang Kiau Hong melihat cara berjalan Koh-teh Hwesio itu sangat cepat dan tangkas, tapi kentara sekali tidak mahir ilmu silat.

Namun begitu ia tahu hati manusia kebanyakan palsu, ia tidak menjadi lengah karena itu, Diam0diam pikirnya, "sekali lawan sudah tahu jejakku, mustahil dia tidak mengatur penjagaan yang kuat? Meski Ti-kong Taisu adalah padri saleh yang terpuja, tapi orang lain di sekitarnya belum tentu sepikiran dengan dia."

Jalan pegunungan itu makin lama makin sulit ditempuh, tapi senantiasa Kiau Hong pasang mata telinga untuk menjaga kalau-kalau disergap musuh.

Tak tersangka sepanjang jalan ternyata aman tentram saja, akhirnya sampai juga diluar Siang-koan-si. Kuil itu sangat terkenal di kalangan Kang-ouw, tapi wujudnya ternyata sebuah kelenteng kecil saja, bahkan keadaannya sudah tak begitu terawat.

Sampai di luar kuil, tanpa melapor dulu atau diadakan penyambutan segala, Koh-teh terus mendorong pintu kuil sambil berseru, "Suhu, Kiau-toaya suda tiba!"

Maka terdengarlah suara Ti-Kong menyahut, "Selamat datang! Sediakan teh untuk tamu agung kita!"

Sembari bicara, padri itu lantas menyambut keluar.

Sebelum bertemu dengan Ti-kong, selalu Kiau Hong merasa kuatir akan didahului lagi oleh Tai-ok-jin hingga Ti-kong terbunuh, tapi demi melihat padri itu baik-baik saja, barulah Kiau Hong merasa lega. Segera mereka mengusap muka masing-masing hingga wajah asli mereka pulih kembali untuk menemu Ti-Kong, lebih dahulu Kiau Hong memberi hormat.

"Siancai! Siancai!" demikian Ti-kong bersabda, "Kia-sicu, sebenarnya engkau she Siau, apakah engkau sendiri sudah tahu?"

Seketika Kiau Hong tergetar, meski kini sudah diketahui dirinya adalah orang Cidan, tapi apa she ayahnya sebegitu jauh masih gelap baginya. Kini untuk pertama kalinya mendengar Ti-Kong menyatakan dia she "Siau", tanpa terasa keringat dingin lantas mengucur.

Ia tahu bahwa rahasia asal-usul sendiri sekarang tersingkap sedikit mulai sedikit, segera ia membungkuk tubuh dengan hormat dan menjawab, "Cayhe terlalu bodoh, kedatangan ini justru ingin minta petunjuk kepada Taisu."

Ti-Kong mengangguk, katanya, "Silahkan kalian duduk!"

Dan sesudah mereka mengambil tempat duduk masing-masing, Koh-teh Hwesio lantas menyuguhkan teh. Ketika melihat wajah kedua orang sudah berubah, bahkan A Cu berubah menjadi wanita, Koh-teh jadi terheran-heran. Tapi di hadapan sang guru terpaksa ia tidak berani bertanya.

"Tentang asal-usulmu," demikian Ti-kong memulai, "menurut ukiran di dinding batu yang ditinggalkan ayahmu itu, beliau mengaku she Siau dan bernama Wan-san. Dalam tulisannya itu beliau menyebut engkau sebagai anak 'Hong'. Karena itu kami mempertahankan nama aslimu, cuma she-mu telah kami ganti mengikuti she Kiau Sam-hoat yang membesarkanmu itu."

Seketika air mata Kiau Hong bercucuran, tiba-tiba ia berdiri dan berkata, "Baru sekarang kutahu nama ayahku, atas budi kebaikan Taisu, terimalah hormatku ini!"

Habis berkata, terus saja ia menjura.

Cepat Ti-kong membalas hormat dan berkata pula, "Budi kebaikan yang kaunyatakan itu mana berani kuterima?"

Kiau Hong berpaling kepada A Cu dan mengumumkan dengan suara lantang, "Sejak kini aku bernama Siau Hong dan bukan Kiau Honglagi."

"Ya, Siau-toaya," sahut A Cu.

Waktu itu, nama keluarga kerajaan Liau adalah Yalu dan permaisurinya selalu dipilih dari keluarga Siau. Sebab itu turun temurun keluarga Siau sangat berpengaruh di negara Liau. Kini mendadak Siau Hong mengetahui dirinya adalah keturunan keluarga bangsawan Cidan (suku bangsa negari Liau), seketika tak keruan rasa hatinya.

"Siau-tayhiap, tulisan di dinding batu di luar Gan-bun-koan itu tentu sudah kaulihat bukan?" kata Ti-kong kemudian.

"Tidak," sahut Siau Hong sambil menggeleng. "Setiba di sana, tulisan itu sudah dihapus orang, hanya tinggal bekas yang tak terbaca lagi."

"Urusan sudah terjadi, huruf di dinding batu itu pun sudah dihapus, tapi belasan jiwa yang sudah menjadi korban apakah dapat dihidupkan kembali?" kata Ti-kong sambil menghela napas. Lalu ia keluarkan secarik kertas kuning yang sangat lebar, katanya pula, "Siau-sicu, inilah cetakan tulisan di atas dinding itu."

Tergetar tubuh Siau Hong. Cepat ia terima kertas kuning itu dan dibentang, ia lihat di atas kertas itu banyak

terdapat huruf cetak yang aneh, satu huruf pun tak dikenalnya. Ia tahu itu pasti huruf Cidan yang ditulis mendiang ayahnya sebelum terjun ke jurang, tak tertahan lagi air matanya bercucuran, katanya kemudian, "Mohon Taisu suka menjelaskan artinya."

"Sesudah mencetak tulisan di dinding ini, kemudian kami tanya kepada beberapa orang yang paham huruf Cidan, menurut keterangan mereka, bunyinya adalah : 'Hong-ji genap berusia setahun, bersama istriku kami berkunjung ke rumah ibu mertua, di tengah jalan mendadak kepergok bandit dari selatan. Karena sergapan tibatiba itu, istriku tercinta terbunuh oleh musuh, sungguh aku pun tidak ingin hidup di dunia ini. Tapi guruku yang berbudi adalah bangsa Han di selatan, di hadapan guru aku telah bersumpah takkan membunuh orang Han, siapa duga hari ini sekaligus kubunuh belasan orang, aku telah melanggar sumpahku dan bersedih atas kematia istri pula, di alam baka aku pun tiada muka untuk bertemu dengan Insu (guru berbudi) lagi. Sekian pesan terakhir dari Siau Wan-San."

Selesai mendengar uraian Ti-kong itu, dengan penuh hormat Siau Hong melempit kembali kertas cetak itu, katanya, "Ini adalah surat wasiat ayah-ku, mohon Taisu suka memberikannya padaku."

"Memang sepantasnya diserahkan padamu," sahut Ti-kong.

Sungguh pedih dan kusut sekali perasaan Siau Hong pada saat itu. Ia dapat menahan betapa rasa duka dan sesal sang ayah pada waktu itu, sebabnya beliau terjun ke jurang bukan melulu karena berduka atas terbunuhnya ibunda, tapi juga disebabkan beliau meresa melanggar sumpah sendiri karena telah membunuh orang Han sebanyak itu, maka beliau rela membunuh diri untuk menebus dosanya.

Dalam pada itu Ti-kong berkata pula, "Semula kami menyangka ayahmu yang memimpin jago Cidan dan menyerbu Siau-lim-si, tapi sesudah membaca tulisan itu barulah kami tahu telag terjadi salah paham yang besar, Jika ayahmu bertekad membunuh diri, rasanya tidak mungkin beliau menulis hal yang tdak benar ini untuk membohongi orang lain. Dan jika beliau bertujuan menyerbu Siau-lim-si, mengapa membawa seorang istri yang tidak paham ilmu silat dan membawa anaknya yang masih bayi? Sesudah peristiwa itu, ketika kami menyelidiki sumber berita tentang musuh akan menyerbu Siau-lim-si segala kiranya kabar berita itu berasal dari seorang pembual besar, orang itu sengaja hendak mengoda Toako pemimpin kami untuk olok-olok padanya apabila beliau dibikin kecele."

"Oh, kiranya cuma untuk berkelakar saja, dan bagaimana dengan pembual itu?" tanya Siau Hong.

"Sesudah Toako pemimpin tahu duduknya perkara, sudah tentu beliau sangat marah, tapi pembual itu sudah lari entah kemana perginya, sejak itu tidak diketahui bayangannya lagi. Setelah berpuluh tahun mungkin sekarang orang-nya sudah mampus," kata Ti-Kong.

"Banyak terima kasih atas keterangan Taius hingga aku dapat mengetahui seluk-beluk iradan aku ini," kata

Siau Hong. "Tapi ingin kutanya pula suatu hal padamu."

"Apa yang Siau-sicu ingin tanya?"

"Toako pemimpin yang kaukatakan itu sebenarnya gerangan siapakah?"

"Telah kudengar bahwa untuk mencari tahu hal itu Siau-sicu telah membunuh Tam-kong, Tam-poh dan Tio-cisun. kemudian antero keluarga Tan-Cing beserta kediamannya telah kaumusnahkan, sudah kuduga lambat atau cepat Siau-sicu pasti akan datang kemari, maka silahkan Sicu menunggu sebentar, akan kupertunjukkan sesuatu padamu."

"Habis berkata ia lantas berbangkit dan menuju ke ruangan belakang. Selang tak lama, Koh-teh Hwesio datang pada Siau Hong dan berkata, "Suhu menyilakan kalian masuk ke kamar dalam."

Segera Siau Hong dan A Cu ikut padri itu melalui sebuah jalanan serambi yang panjang akhirnya tibalah di depan sebuah pavilliun, Koh-teh mendorong pintu dan berkata, "Silahkan masuk."

Waktu Siau Hong melangkah ke dalam rumah itu, ia lihat Ti-kong duduk bersila di atas tikar. Padri saleh itu tidak menyapa, hanya tersenyum dan tiba-tiba menjulurkan jari tangan untuk menulis di lantai.

Kamar itu rupanya tidak pernah dibersihkan maka debu kotoran memenuhi lantai. Tertampak Ti-kong menulis delapan baris huruf di situ. Habis menulis dengan tersenyum Ti-kong lantas pejamkan mata.

Waktu Siau membaca tulisan di lantai itu, ia jadi termenung-menung. Kiranya tulisan TI-kong itu adalah sabda Budha yang menasehatkan manusia supaya anggap segala apa di dunia fana ini cuma khayal belaka, sebab akhirnya segala apa akan sirna menjadi abu.

"Sangkut paut apa dengan persoalan yang kutanyakan padanya tadi?" demikian Siau Hong merasa bingung, maka kembali ia tanya, "Taisu, sebenarnya siapakah gerangan Toako pemimpin itu, sudilah memberitahu?"

Tapi meski ia ulangi lagi pertanyaannya, Ti-kong tetap tersenyum tanpa menjawab. Waktu Siau Hong mengawasi, ia jadi terkejut. Ia lihat air muka padri itu meski masih tersenyum, tapi sudah kaku tanpa bergerak lagi.

"Taisu! Taisu!" berulang Siau Hong berseru, tetapi padri itu tetap tidak bergerak sedikitpun. Waktu ia periksa pernapasannya, ternyata sejak tadi sudah berhenti. Jadi sejak tadi padri itu sudah wafat.

Dengan rasa pedih Siau Hong menjura beberapa kali sebagai tanda penghormatan terakhir, lalu mengajak A Cu untuk meninggalkan biara itu dengan lesu.

Sesudah belasan li jauhnya, berkatalah Siau Hong, "A Cu, hakikatnya aku tidak bermaksud membikin susah pada Ti-kong Taysu, mengapa dia berlakunekat begitu? Menurut pendapatmu, dari mana dia mengetahui kita akan datang ke biaranya?"

"Kukira ... kukira atas perbuatan Tai-ok-jin itu pula," sahut A Cu.

"Aku pun berpikir begitu," kata Siau Hong. "Tentu Tai-ok-jin itu mendahului memberi kabar kepada Ti-kong Taisu bahwa aku akan menuntut balas padanya. Karena merasa takkan mampu lolos dari tanganku, maka Tikong Taisu jadi nekat dan menghabiskan nyawa sendiri."

"Begitulah mereka hanya saling pandang belaka tanpa berdaya lagi.

"Siau-toaya," tiba-tiba A Cu membuka suara,"ada sesuatu pendapatku yang kurang wajar, jika kukatakan, harap engkau jangan marah."

"Kenapa kamu jadi sungkan padaku? Sudah tentu aku takkan marah," ujar Siau Hong.

"Kukira sabda Budha yang ditulis Ti-kong itu pun ada benarnya," demikian tutur A Cu. "Peduli apa dia orang Han atau Cidan, apa benar atau khayal, segala budi atau sakit hati, kaya atau miskin,semuanya itu akhirnya akan sirna. Padahal apakah engkau bangsa Han atau orang Cidan, apa sih bedanya? Penghidupan merana di kalangan kangouw juga sudah membosankan, tidaklah lebih baik kita pergi saja ke luar Gan-bun-koan untuk berburu dan mengangon domba, segala suka-duka penghidupan Bu-lim di Tionggoan jangan dipeduli lagi."

"Ya, penghidupan yang selalu menyerempet bahaya di ujung senjata memang sudah membosankan aku," sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Di luar perbatasan, di gurun yang luas, di padang rumput yang menghijau, di sanalah jauh lebih aman dan tentram. A Cu, jika aku tinggal jauh di luar perbatasan sana, sudilah engkau menjenguk aku di sana?"

"Bukankah kukatakan berburu dan angon domba, engkau berburu dan aku yang angon domba," sahut A Cu

dengan suara perlahan dan muka merah sambil menunduk.

Meski Siau Hong adalah seorang laki-laki gagah kasar, tapi maksud yang dikandung dalam ucapan A Cu itu dapat ditangkapnya juga. Ia tahu si gadis menyatakan bersedia hidup berdampingan dengan dirinya di gurun luas sana dan takkan kembali ke Tionggoan lagi.

Waktu Siau Hong menolong gadis itu dulu hanya didorong oleh rasa kagum kepada Buyung Hok sebagai sesama ksatria. Kemudian setelah jauh-jauh A Cu menyusulnya ke Gan-bun-Koan, lalu berangkat bersama ke Thai-san dan Thian-tai pula, dalam perjalanan jauh itu setiap hari hdup berdekatan, di situlah baru Siau Hong merasakan betapa halus budi si gadis jelita ini, kini mendengar A Cu mengutarakan isi hatinya secara terus terang pula, perasaan Siau Hong terguncang hebat, ia pegang tangan nona itu dan berkata, "A Cu, engkau sangat baik padaku, apa kamu tidak mencela diriku sebagai keturuna Cidan yang rendah?"

"Cidan juga manusia, kenapa mesti dibeda-bedakan," sahut A Cu, "Aku senang menjadi orang Cidan, ini timbul dari hatiku yang sungguh-sungguh sedikitpun tidak dipaksakan."

Sungguh girang Siau Hong tidak kepalang mendadak ia pegang tubuh A Cu terus dilemparkan ke atas, ketika jatu ke bawah lagi, dengan perlahan ia tangkap badan si gadis dan diletakkan ke tanah, dengan tersenyum mesra ia pandang A Cu lekat-lekat dan berseru, "Dapatkan seorang teman sepaham, puaslah hidupku ini. A Cu selanjutnya kamu akan ikut aku berburu dan mengembala, kamu takkan menyesal?"

"Biarpun apa yang akan terjadi, tidak nanti aku menyesal" sahut A Cu tegas, "Sekalipun akan menderita dan tersiksa juga aku akan merasa senang.

"Aku dapat hidup seperti sekarang ini, sungguh jangankan disuruh menjadi Pangcu Kai-pang lagi, sekalipun diangkat menjadi raja Song juga aku tidak mau, " kata Siau Hong. "Baiklah A Cu, sekarang juga kita berangkat ke Sin-yang untuk mencari Be-hujin, apakah ia mau menerangkan atau tidak, dia adalah orang terakhir yang akan kita cari, sesudah tanya dia segera kita keluar perbatasan utara untuk melewatkan penghidupan sebagai pemburu dan penggembala."

"Siau-toaya ....."

"Selanjutnya jangan kaupanggil Toaya apa segala, panggil Toako saja!"

Wajah A Cu menjadi merah, sahutnya, "Mana ... mana aku ada harganya memanggil demikian padamu?"

"Kausudi tidak?" tanya Siau Hong.

"Sudi, seribu kali sudi, cuma tidak berani."

"Cobalah kaupanggil sekali."

"Ya, Toa .... Toako?" demikian A Cu memanggil dengan lirih.

"Hahahahaha!" Siau Hong terbahak-bahak senang. "Sejak kini aku tidak lagi sebatang kara, bukan lagi keturunan asing yang dipandang rendah dan hina oleh orang lain, paling tidak di dunia ini masih ada seorang yang ... yang ...."

Seketika ia menjadi bingung apa yang baru diucapkannya.

Maka A Cu lantas menyambung, "Masih ada seprang yang menghormatimu, yang mengagumimu, yang berterima kasih padamu dan selama hidup ini, bahkan sepanjang masa bersedia hidup di sampingmu, derita sama dipikul susah sama dirasa."

Sungguh Siau Hong sangat terharu, terutama ucapan A Cu tentang "derita sama dipikul dan susah sama dirasa" itu, memang sudah jelas bahwa banyak sekali rintangan dan penderitaan pada waktu yang akan datang, tapi gadus itu toh rela menghadapinya tanpa menyesal, saking terharunya sampai air mata Siau Hong bercucuran.

Tempat kediaman wakil Pangcu Kai-pang yaitu Be Tai-goan, terletak di Sin-yang, propinsi Holam. Sudah tentu perjalanan dari Thian-tai ke Sinyang itu memakan tempo cukup lama pula. Tapi sejak adanya ikatan jiwa antara mereka yang mesra, sepanjang jalan mereka tidak masgul lagi, dalam pandangan mereka pemandangan di mana-mana menjadi tambah indah permai dan memabukkan.

Sebenarnya A Cu tidak gemar minum arak, tapi demi untuk membikin senang Siau Hong, terkadang ia paksakan diri mengiringi minum satu dua cawan. Dan mukanya yang kemerah-merahan itu semakin menambah kecantikannya yang mengiurkan.

Suatu hari tibalah mereka di kota Kong ciu, dari situ ke Sin-yang hanya diperlukan kira-kira dua hari saja.

"Toako," kata A Cu, "menurut pendapatmu, cara bagaimana kita harus menanyai Be-hujin?"

Siau Hong menjadi ragu oleh pertanyaan itu. Ia masih ingat sikap Be-hujin itu sangat benci padanya karena yakin suaminya telah dibunuh olehnya. Sedangkan terhadap seorang janda yang tidak mahir ilmu silat, kalau pakai cara paksaan dan gertakan, terang cara ini tidak sesuai dengan kedudukan dirinya sebagai ksatria terkemuka.

Sesudah pikir sejenak, akhirnya ia menjawab,"Kukira kita harus memohonnya secara baik-baik agar dia dapat memahami duduknya perkara dan tidak mendakwa aku sebagai pembunuh suaminya. Eh, A Cu, kamu saja yang bicara padanya, Kau pandai bicara, sama-sama wanita pula, segala sesuatu akan lebih mudah dirundingkan."

"Sebenarnya aku ada suatu akal, entah Toako setuju tidak?" sahut A Cu dengan tersenyum.

"Akal apa? Coba katakan," tanya Siau Hong.

"Engkau adalah laki-laki sejati dan seorang ksatria, dengan sendirinya tidak dapat memaksa pengakuan seorang janda, biarlah aku yang membujuk dan menipu dia, bagaimana pendapatmu?"

"Jika dia dapat dibujuk hingga mengaku, itulah paling baik." kata Siau Hong dengan girang. "A Cu, engkau tahu, siang dan malam yang kuharapkan adalah selekasnya dapat kubunuh dengan tanganku sendiri atas pembunuh ayahku itu. Hm, sebabnya aku merana seperti sekarang ini dan bermusuhan dengan para ksatria sejagat bahkan para jago Tionggoan itu bertekad harus membunuh diriku, semua ini adalah akibat perbuatan Tai-ok-jin itu. Jika aku tidak mencincang dia hingga hancur luluh, cara bagaimana aku bisa hidup tentram untuk berburu dan mengangon domba denganmu?"

Makin bicara makin keras dan tegas suaranya suatu tanda betapa berguncangnya perasaan Siau Hong. Paling akhir ini sebenarnya pikirannya tidak murung lagi seperti dulu, tapi rasa dendamnya kepada Tai-ok-jin itu tidak menjadi berkurang sedikut pun.

"Sudah tentu aku paham perasaanmu," sahut A Cu. "Begitu keji cara Tai-ok-jin itu membikin susah padamu, bahkan aku pun ingin membacoknya beberapa kali untuk bantu melampiaskan rasa dendammu. Kelak kalau kita dapat menawan dia, kita harus mengadakan juga suatu Eng-Hiong-tai-hwe, kita akan mengundang seluruh ksatria di jagat ini, di hadapan mereka itulah kita akan menjelaskan duduknya perkara dan membongkar tuduhan tak benar atas dirimu selama ini, dengan demikian nama baikmu dapat dipulihkan."

"Tidak perlu begitu," sahut Siay Hong dengan menghela napas. "Sudah terlalu banyak orang yang kubunuh di Cip-hiau-ceng tempo hari, permusuhanku dengan para ksatria sudah terlalu mendalam, aku tidak ingin mohon

orang lain memahami urusanku lagi. Yang kuharap asal urusan ini bisa dibikin terang, hatiku bisa tentram, lalu kita akan hidup di padang luas di utara sana, selama hidup kita akan berkawankan domba dan tidak perlu bertemu dengan para ksatria dan pahlawan-pahlawan lagi."

"Jika benar dapat terlaksana seperti harapanmu, itulah jauh melebihi apa yang kuinginkan," kata A Cu dengan tersenyum. "Toako, aku ingin menyamar sebagai seorang untuk membujuk Be-hujin agar mau mengatakan nama Tai-ok-jin yang kita cari."

"Bagus, bagus! Kenapa aku lupa pada kepandaianmu ini," seru Siau Hong dengan girang. "Kauingin menamar sebagai siapa?"

"Itulah yang ingin kutanya padamu," sahut A Cu. "Pada masa hidup Be-hupangcu, di antara orang Kai-pang siapakah yang paling rapat berhubungan dengan dia? Jika aku menyamar sebagai orang itu, mengingat sebagai sahabat karib mendiang suaminya, tentu Be-hujin akan bicara terus terang."

"Tentang kawan yang berhubungan erat dengan Be-hupangcu antara lain ialah Ong-thocu, Coan Koan-jing dan ada pula Tan-tianglo. Ya, Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia juga sangat akrab dengan dia."

A Cu tidak tanya lagi, ia termenung-menung membayangkan wajah dan gerak gerik orang yang disebut itu.

"Watak Be-hupangcu sangat pendiam, berbeda denganku yang suka minum arak dan gemar bicara. Sebab itulah jarang dia bergaul dengan aku. Sebaliknya Coan Koan-jing, Pek Si-kia dan lain-lain itu wataknya lebih cocok dengan dia, maka mereka sering berada bersama untuk saling tukar pikiran tentang ilmu silat."

"Siapakah Ong-thocu yang kaukatakan itu, tidak kukenal," demikian A Cu berkata. "Sedang Tan-tianglo itu suka tangkap ular dan piara kelabang, melihat binatang berbisa begitu aku jadi takut, maka sukar untuk menyaru sebagai dia. Perawakan Coan Koan-jing tinggi besar, untuk menyaru dia tidaklah mudah, kalau tinggal terlalu lama di hadapan Be-hujin, mungkin rahasia kita akan ketahuan. Maka paling baik kukira menyamar sebagai Pek-tianglo saja. Pernah beberapa kali ia bicara denganku di Cip-hian-ceng, untuk menyaru sebagai dia adalah paling gampang."

"Pada waktu kamu terluka, bukankah Pek-tianglo sangat baik kepadamu, dia yang paksa Sih-sin-ih mengobatimu, dan sekarang kamu malah menyamar sebagai dia untuk menipu orang, apakah tidak terasa kurang pantas?"

"Setelah menyamar sebagai Pek-tianglo, aku cuma berbuat baik dan tidak berbuat jaha, dengan demikian nama baiknya takkan tercemar," ujar A Cu dengan tertawa.

Begitulah ia lantas menyamar sebagai Pek Si-kia, ia mendandani Siau Hong pula sebagai seorang anggota Kaipang berkantung enam dan terhitung sebagai "ajudan" Pek-tianglo, cuma Siau Hong dilarang banyak bicara agar tidak diketahui Be-hujin yang cerdik dan cermat itu.

Mereka melanjutkan perjalanan ke Sin-yang, sepanjang jalan tampak banyak anggota Kai-pang yang berlalulalang dan sering mengajak bicara dengan mereka dengan kode Kai-pang untuk tanya gerak-gerik tokoh pimpinan Kai-pang, lalu mereka sengaja memberitahukan kedatangan "Pek-tianglo" di Sin-yang, agar Be-hujin mendapat kabar lebih dulu. Dengan demikian, penyamaran A Cu akan lebih aman dan Be-hujin pun tidak curiga.

Kediaman Be Tai-goan itu terletak di pedusunan sebelah barat Sin-yang, kira-kira lebih 30 li dari kota. Sesudah tanya keterangan pada anggota Kai-pang segera Siau Hong mengajak A Cu ke rumah Be-hujin itu.

Mereka sengaja berjalan lambat untuk membuang waktu, menjelang petang baru mereka tiba di sana. Maklum, jika siang hari tentu penyamaran A Cu akan lebih mudah diketahui orang, bila malam, segala sesuatu menjadi samar-samar dan sukar diketahui.

Sampai di luar rumah keluarga Be, tertampak sebuah sungai kecil mengitari tiga petak rumah penting yang mungil, di samping rumah terdapat beberapa pohon Yangliu, di depan rumah ada tanah lapang culup lega. Siau Hong kenal aliran ilmu silat Be Tai-goan, melihat keadaan lapangan itu, tahulah dia bekas wakilnya itu pasti sering berlatih silat di lapangan itu. Tapi kini yang satu sudah di alam baka, ia menjadi pilu mengingat itu.

Dan baru dia hendak mengetuk pintu, mendadak terdengar suara keriut pntu dibuka, dari dalam rumah muncul seorang perempuan berbaju putih mulus, yaitu pakaian berkabung, terang itulah Be-hujin adanya.

Be-hujin mengerling sekejap ke arah Siau Hong, lalu memberi hormat kepada A Cu dan menyapa," Sungguh tidak dinyana Pek-tianglo sudi berkunjung ke tempatku ini, silahkan masuk setadar dulu."

"Ada sesuatu urusan ingin kurundingkan dengan Hujin, makanya tanpa diundang tahu-tahu dah datang, harap Hujin suka memaafkan," sahut A Cu.

Air muka Be-hujin seperti senyum tapi tak senyum, malahan di antara senyum tak senyum itu tampak menahan rasa sedih, sungguh sangat serasi dengan dandanannya yang putih berkabung itu.

Sesudah dekat, Siau Hong dapat melihat jelas usia Be-hujin antara 35-36 tahun, raut mukanya agak lonjong, tapi sangat cantik. Setelah masuk di dalam rumah, tertampak ruang tamu itu sangat sederhana dan agak sempit, di tengah sebuah meja dengan empat kursi, perabot lain tiada lagi.

Segera seorang pelayan tua menyuguhkan teh lalu Be-hujin menanyakan nama Siau Hong, maka A Cu sembarangan menjawab dengan sebuah nama palsu.

Kemudian Be-hujin bertanya lagi," Atas kunjungan Pek-tianglo ini, entah ada petnjuk apakah?"

"Ci-tianglo telah meninggal di Wi-hui, tentu Hujin sudah tahu?" tanya A Cu.

Sekonyong-konyong Be-hujin mendongak dengan sorot mata yang terheran-heran, lalu sahutnya, "Ya, sudah tentu kutahu."

Dan A Cu segera berkata lagi, "Kita sama mencurigai Kiau Hong yang membunuh Ci-tianglo itu, kemudian Tam-kong dan Tam-poh, Tio-ci-sun dan Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga menjadi korban keganasan musuh. Belum lama ini ketika aku menjalankan tugas pemeriksaan seorang anak murid Pang kita yang melanggar disiplin di daerah Kanglam, di sanapun kudapat kabar bahwa Ti-kong Taisu di Thian-tai-san juga mendadak wafat."

"Ap .. apakah itu pun perbuatan keparat Kiau Hong itu?" seru Be-hujin dengan badan agak gemetar dan suara terputus-putus.

"Tapi tiada sesuatu tanda mencurigakan yang ditemukan di kuil Ti-kong Tais itu," tutur A Cu. "Mengingat bahwa langkah selanjutnya mungkin Hujin yang akan menjadi sasarannya, maka lekas aku memburu kemari untuk menyarankan pada Hujin agar suka berpindah tempat dulu untuk sementara waktu agar tidak dicelakai durjana Kiau Hong itu."

Begitulah ia sengaja membesar-besarkan kesalahan Kiau Hong dengan harapan nyonya janda itu tidak menaruh curiga padanya.

Maka Be-hujin menjawab dengan sedih, "Sejak Tai-goan tewas memangnya tiada berguna juga kuhidup di dunia ini, jika orang she Kiau itu hendak membunuh diriku, itulah yang kuharapkan malah."

"Eh, mana boleh nyonya bicara begitu? Sakit hati Be-hiante belum terbalas, pembunuhnya belum lagi

tertangkap, padamu masih terbeban tanggung jawab yang tidak ringan, mana boleh Hujin putus asa," ujar A Cu. "Ehm, di manakah letak tempat perabuan Be-hianpwe aku ingin memberi hormat kepadanya."

"Terima kasuh," kata Be-hujin. Lalu ia membawa kedua orang ke ruangan belakang.

Sesudah A Cu memberi hormat, kemudian Siau Hong juga menjura di hadapan perabuan bekas wakilnya itu sambil diam-diam berdoa, "Be-toako, semoga arwahmu melindungi aku supaya istrimu suka mengatakan padaku tentang nama penjahat yang sebenarnya itu, dengan demikian akan kubalaskan sakit hatimu."

Dalam pada itu Be-hujin juga berlutut di samping untuk membalas hormat sambil bercucuran air matanya.

Selesai menjura, waktu Siau Hong berdiri kembali, ia lihat ruangan berkabung itu banyak terpasang "lian" berduka cita sumbangan dari Ci-tianglo, Pek-tianglo dan lain lain, tapi Lian yang dikirim olehnya ternyata tidak dipasang di siitu. Tirai putih di ruang berkabung itu sudah mulai berdebu hingga makin menambah kehampaan suasana. Pikir Siau Hong, "Be-hujin tidak punya anak setiap hari cuma didampingi seorang pelayan tua, penghidupannya yang sunyi ini, benar-benar menyedihkan juga."

Sementara itu A Cu sedang menghibur Be-hujin dengan macam-macam perkataan, katanya kalau nyonya janda itu ada kesulitan apa apa boleh memberitahukan kepadanya dan lain-lain pesan lagi dengan lagak orang tua.

Diam-diam Siau Hong memuji cara anak dara itu menjalankan peranan dengan sangat mirip sekali. Sesudah Pangcu dalam Pang diusir. Hupangcu meninggal juga. Ci-tianglo telah dibunuh orang, Thoan-kong Tianglo juga telah terbunuh, sisanya yang masih hidup hanya kedudukan Pek-tianglo yang paling tinggi. Kini A Cu bicara dengan lagak pejabat Pangcu, nadanya memang cocok juga.

Begitulah muka Be-hujin telah mengucapkan terima kasih, tapi sikapnya tetap dingin saja.

Diam-diam Siau Hong kuatir bagi janda muda itu. Hidup dalam keadaan sunyi dan sedih, wanita yang berwatak keras seperti itu bukan mustahi akan mengambil pikiran pendek dengan membunuh diri untuk menyusul sang suami di alam baka.

Kemudian Be-hujin membawa kedua tamunya ke ruangan depan lagi, tidak lama daharan malam pun disuguhkan secara sederhana, yaitu terdiri dari sayur-mayur belaka dan tiada daging, pula tanpa arak.

A Cu melirik sekejap pada Siau Hong, maksudnya malam ini terpaksa engkau tidak minum arak lagi. Tapi Siau Hong tidak ambil pusing, terus saja ia dahar seadanya.

Habis dahar, berkatalah Be-hujin,"Pek-tianglo datang dari jauh, seharusnya kami menyilakan para tamu bermalam dulu, cuma tempat tinggal seorang janda, tidak enak untuk memberi menginap orang, entah Pektianglo apakah masih ada pesan lain?"

Dengan ucapannya itu, terang secara halus ia menyilakan tetamunya lekas pergi.

Maka A Cu menjawab, "Kedatanganku ini tiada lain ialah ingin mengusulkan agar Hujin suka menyingkir dulu dari sini, entah bagaimana keputusan Hujin?"

Be-hujin menghela napas, katanya, "Kiau Hong sudah membunuh suamiku, jika aku dibunuh pula, aku akan lebih cepat menyusul Tai-goan di alam baka. Meski aku hanya seorang wanita lemah, tidak nanti aku takut mati."

"Jadi tegasnya Hujin sudah bertekad takkan meninggalkan tempat ini?" tanya A Cu.

"Banyak terima kasih atas maksud baik Pek-tianglo, memang begitulah keputusanku," sahut Be-hujin.

A Cu menghela napas gegetun, katanya kemudian," Sebenarnya aku harus tinggal beberapa hari di sekitar sini sekedar menjaga keselamatan Hujin. Walaupun benar aku bukan tandingan keparat Kiau Hong itu, tapi pada saat genting paling tidak akan bertambah seorang pembantu. Cuma di tengah jalan tadi kembali akui mendapat sesuatu berita yang sangat rahasia."

"O, tentunya sangat penting." ujar Be-hujin.

Pada umumnya kaum wanita paling suka mencari tahu sesuatu, biarpun urusan itu tiada sangkut-paut dengan diri sendiri sedapatnya ingin tahu juga, apalagi kalau urusan itu dikatakan sangat penting dan penuh rahasia. Tapi aneh, sikap Be-hujin ternyata dingin saja tanpa tertarik oleh obrolan A Cu itu.

Diam-diam Siau Hong merasa heran oleh sikap janda itu. Dalam pada itu A Cu telah memberi tanda kepadanya dan berkata, "Kamu keluar dulu, tunggu di luar saja, ada urusan rahasia yang ingin kubicarakan dengan Hujin."

Siau Hong mengangguk, segera ia bertindak keluar. Diam diam ia memuji kecerdikan A Cu.

Maklum, jika kita ingin tahu rahasia orang lain, maka lebih dulu perlu memberitahukan sesuatu yang penting juga padanya, dengan demikian pihak sana akan menaruh kepercayaan padamu.

Pada umumnya, seorang yang mengetahui sesuatu rahasia, biasanya sukar disuruh tutup mulut, sebab ia akan merasa bangga jika dapat memberitahukan rahasia itu kepada orang ketiga, asalkan kamu dapat menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang dapat dipercaya, maka besar kemungkinan kamu akan diberitahu rahasia itu.

Begitu pula letak kecerdikan A Cu. Ia sengaja menyingkirkan Siau Hong untuk mendapatkan kepercayaan Behujin sebagai tanda bahwa rahasia yang dia ketahui itu benar-benar sangat penting, sebab pengikutnya yang dipercaya pun tidak boleh ikut mendengarkan.

Tapi setiba di luar rumah, segera Siau Hong mengitar pula ke sisi rumah, ia mendekam di bawah jendela ruang tamu itu untuk mendengarkan siapakah nama musuh besarnya itu jika sebentar Be-hujin kena dipancing oleh A Cu.

Tapi sampai sekian lamanya keadaan dalam ruangan ternyata sepi-sepi saja. Siau Hong mendekam di luar jendela dengan sendirinya tidak mengetahui keadaan di dalam. Dan sesudah sejenak kemudian, barulah terdengar Be-hujin membuka mata dengan menghela napas perlahan, "Untuk apa kaudatang kemari lagi?"

Siau Hong mnenjadi heran apa maksud pertanyaan itu. Baru sekali ini A Cu datang ke situ dengan menyamar, mengapa ditegur "untuk apa datang lagi?"

Ia dengar A Cu sedang menjawab, "Aku benar-benar mendapat kabar bahwa Kiau Hong bermaksud mencelakaimu, maka jauh-jauh sengaja datang kemari untuk memberitahukan padamu."

"Oh, te ...terima kasih atas maksud baik Pek-tianglo," sahut Be-hujin.

"Be-hujin," demikian tiba-tiba A Cu menahan suaranya, "sejak Be-hiante meninggal, banyak diantara para Tianglo kita ingin memperingati jasa-jasanya dahulu, maka ada maksud mengundang engkau sudi menjabat kedudukan Tianglo di dalam Pang kita."

Ucapan A Cu itu bernada sungguh-sungguh, sebaiknya diam-diam Siau Hong merasa geli. Tapi mau-tak-mau ia pun memuji kepintaran A Cu. Tak peduli Be-hujin akan terima atau tidak atas tawaran itu, paling sedikit janda muda itu akan dibikin senang dulu hatinya.

Maka terdengar Be-hujin menjawab, "Ah, aku mempunyai kepandaian apa sehingga ada harganya diangkat menjadi Tianglo Pang kita? Padahal aku pun tidak menjadi anggota Kai-pang, apa kedudukan 'Tianglo' itu tidak selisih terlalu jauh dengan diriku?"

"Tapi aku bersama Song-tianglo, Go-tianglo dan lain-lain mendukung dengan sepenuh tenaga dan soal ini mungkin segera akan menjadi kenyataan," kata A Cu. "Selain itu, aku mendapat pula suatu berita maha penting, yaitu ada sangkut-pautnya dengan terbunuhnya Be-hiante."

"Oh, ya?" sahut Be-hujin dengan nada tetap dingin.

"Tempo hari waktu melawat Ci-tianglo di kota Wi-hui, aku bertemu dengan Tio-ci-sun, dia memberitahukan sesuatu padaku bahwa dia mengetahui siapa pembunuh Be-hiante."

Mendadak terdengar suara nyaring pecahnya cangkir jatuh, Be-hujin berseru kaget, lalu berkata, "Engkau ber ... berkelakar?"

Suaranya kedengaran sangat marah, tapi juga ada gugup dan kuatir.

"Sungguh, begitulah Tio-ci-sun katakan padaku, " demikian A Cu menegaskan. "Dia mengetahui pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."

"Omong kosong, omong kosong! Dari mana dia tahu? Engkau ngaco belo belaka!" seru Be-hujin dengan suara gemetar.

"Tapi memang benar begitu, Hujin jangan kuatir, dengarkan yang jelas," demikian A Cu menjawab pula. "Kata Tio-ci-sun : 'Pada hari Tiongchiu tahun lalu .... "

Belum selesai ucapannya, kembali terdengar Be-hujin menjerit kaget sekali, menyusul orangnya lantas jatuh pingsan.

"Be-hujin, Be-hujin!" cepat A Cu berusaha menyadarkannya dengan memijat Jin-tiong-hiat, yaitu tempat di bawah hidung dan di atas bibir nyonya janda itu.

Maka perlahan Be-hujin siuman kembali, katanya segera, "Ken ... kenapa engkau menakut-nakuti aku?"

"Bukan menakut-nakutimu, tapi benar-benar Tio-ci-sn berkata begitu padaku," sahut A Cu. "Cuma sayang dia sudah mati sekarang, kalau tidak tentu dapat dijadikan saksi. Dia menceritakan bahwa pada hari Tiongchiu tahun yang lalu, Kiau Hong, Tam-kong, Tam-poh dan ada lagi pembunuh Be-hiante itu, meraka bersama-sama merayakan hari Tiongchiu di rumahj 'Toako pemimpin' itu."

"Apa benar dia mengatakan begitu?" terdengar Be-hujin menarik napas lega.

"Memang begitu," sahut A Cu. "Semula aku juga tidak percaya, maka telah kutanya Tam-kong, tapi kakek itu hanya mendelik dan tidak mau mengatakan, sebaliknya Tam-poh lantas membenarkan keterangan Tio-ci-sun itu, sebab dia sendirilah yang mengatakan kejadian itu kepada Tio-ci-sun. Pantas saja Tam-kong marah, sebab sang istri dianggap suka memberitahukan segala apa kepada Tio-ci-sun?"

"Oh, lalu bagaimana?" tanya Be-hujin.

"Lalu urusan menjadi mudah diselidiki bukan?" sahut A Cu. "Yang berkumpul di rumah 'Toako pemimpin' itu terbatas dari beberapa orang saja. Cuma sayang Tam-kong dan Tam-poh sudah mati, Kiau Hong adalah musuh kita, tidak mungkin dia mau mengatakan, maka terpaksa kita harus tanya sendiri kepada Toako pemimpin itu."

"Ehm, boleh juga, memang harus kautanya padanya." ujar Be-hujin.

"Tapi, sesungguhnya juga mentertawakan sebab siapa gerangan Toako pemimpin itu, di mana tempat tinggalnya, aku sendiri pun tidak tahu."

"Hm, kaubicara berputar-putar, ternyata tujuanmu adalah ingin memancing nama Toako pemimpin itu." kata Be-hujin.

"Ya, jika kurang bebas, tak usah hujin katakan padaku. Hujin sendiri boleh menyelidiki dulu hingga terang, lalu kita akan bikin perhitungan pada pembunuh itu," sahut A Cu.

Siau Hong tahu siasat A Cu itu adalah 'mundur dulu untuk kemudian mendesak maju'. Pura-pura tidak menaruh perhatian agar tidak menimbulkan curiga Be-hujin, tapi di dalam hati sebenarnya sangat gelisah.

Maka terdengar Be-hujin menjawab dengan dingin, "Tentang nama Toako pemimpin itu seharusnya

dirahasiakan agar tidak diketahui Kiau Hong, tapi Pek-tianglo adalah orang sendiri, buat apa aku membohongimu? Dia adalah .... "

Tapi sampai di sini, ia tidak melanjutkan lagi.

Keruan Siau Hong sangat tertarik oleh ucapan terakhir itu, ia sedang pasang kuping dengan menahan napas hingga debaran jantung sendiripun kedengaran. Tapi sampai sekian lama Be-hujin tidak menyebut nama "Toako pemimpin" itu.

Agak lama kemudian, dengan menghela napas pelahan barulah Be-hujin membuka suara pula, "Kedudukan Toako pemimpin itu sangat agung, pengaruhnya besar, sekali dia memberi perintah akan dapat mengerahlan berpuluh ribu tenaga. Dia ... dia paling suka membela kawan, jika kautanya dia tentang nama pembunuh Taigoan, betapa pun takkan dia katakan."

Walaupun mendongkol karena Be-hujin tetap merahasiakan nama Toako pemimpin itu, tapi diam-diam Siau Hong dapat merasa lega, pikirnya ,"Bagaimanapun juga perjalananku ini tidak sia-sia lagi. Biarpun nyonya Be tidak mengatakan nama orang itu, tapi dengan keterangan 'berkedudukan agung, berpengaruh besar, sekali perintah dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga', dari sini dapat kuraba siapa gerangannya. Tokoh hebat seperti itu di dalam Bu-lim tentu dapat dihitung dengan jari."

Sedang Siau Hong mengingat-ingat siapa gerangan tokoh yang dimaksudkan itu, sementara itu terdengar A Cu berkata, "Dalam Bu-lim sekarang tokoh yang sekali perintah dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga, antara lain Pangcu dari Kai-pang memang mempunyai wibawa sebesar itu, begitu pula Ciangbun Hongtiang dari Siau-lim-pai mungkin juga dapat, dan .... dan ....."

"sudahlah, engkau tidak perlu menerka secara ngawur, biarlah kutunjukkan lebih jelas lagi," kata Be-hujin. "Coba arahkan terkaanmu ke jurusan barat daya."

"Barat daya? Masakah di daerah sana ada manusia tokoh besar? agaknya tidak ada." demikian A Cu bergumam sendiri.

Tiba-tiba Be-hujin mengulur jarinya. "plok", mendadak kertas jendela kena ditoblosnya hingga pecah, tempat toblosan jari itu tepat di atas kepala Siau Hong, keruan ia terkejut dan lekas-lekas mengkeret ke bawah.

Maka terdengar Be-hujin sedang berkata, "Aku tidak paham ilmu silat, tapi Pek-tianglo, tentu tahu, siapakah di dunia ini yang paling mahir menggunakan ilmu demikian?"

"Ilmu demikian, ilmu Tiam-hiat dengan jari?" A Cu menegas, "Ah, kukira yang paling lihai antara lain adalah Kim-kong-ci dari Siau-lim-pay, Toat-hun-ci dari keluarga The di Jongcu juga sangat hebat, dan masih ada pula ..."

Diam-diam Siau Hong berteriak-teriak di dalam hati, "Salah, salah! Dalam hal ilmu Tiam-hiat, di jagad ini tiada yang dapat menandingi It-yang-ci keluarga Toan di Tayli, apalaagi nyonya itu sudah menandaskan letaknya di daerah barat daya."

Benar juga lantas terdengar Be-hujin berkata, "Pengalaman Pek-tianglo sangat luas, tapi mengapa soal kecil ini tidak kauingat lagi? Apa barangkali karena terlalu letih menempuh perjalanan jauh atau karena otakmu tibatiba menjadi puntul hingga It-yang-ci yang maha tersohor dari keluarga Toan juga terlupa?"

Ucapan nyonya itu bernada olok-olok, tapi A Cu menjawab, "It-yang-ci keluarga Toan sudah tentu kutahu, tapi keluarga Toan selamanya merajai daerah Tayli, sudah lama tiada hubungan dengan dunia persilatan di Tionggoan. Jika dikatakan Toako pemimpin itu ada sangkut-paut dengan keluarga Toan, kukira ada kesalahan dalam pemberitaan orang."

"Meski keluarga Toan adalah raja Tayli, tapi anggota keluarga mereka kan tidak cuma satu orang saja," sahut Be-hujin. "Dan orang yang tidak menjadi raja dapat pula sering datang ke Tionggoan sini. Inilah jika kauingin tahu, Toako pemimpin itu tak lain tak bukan adalah adik baginda raja Tayli sekarang, she Toan bernama Cingsun. bergelar Tin-lam-0ng dengan jabatan sebagai Po-kek-tai-ciangkun.

Sebagaimana diketahui, Siau Hong dan A Cu kenal baik dengan Toan Ki dan tahu pula pemuda itu berasal dari Tayli. Tapi "Toan" adalah keluarga raja Tayli, yaitu sama halnya kerajaan Song she Tio, keluarga kerajaan Se He she Li, keluarga kerajaan Liau she Yaliu, banyak sekali di antara rakyat jelata memiliki she kerajaan itu. Sedangkan Toan Ki sendiri tidak pernah menyatakan dirinya adalah anak raja, dengan sendirinya Siau Hong dan A Cu tidak pernah menduga pemuda itu adalah keturunan raja.

Tapi nama Toan-cing-beng dan Toan Cing-sun sangat tenar sekali di dunia persilatan, demi mendengar Behujin menyebut nama "Toan Cing-sun" tadi, seketika badan Siau Hong tergetar. Diam-diam ia pun merasa bersyukur bahwa usahanya selama beberapa bulan ini ternyata tidak sia-sia belaka, akhirnya dapat juga mengetahui nama orang yang dicarinya itu.

Dalam pada itu A Cu lagi berkata, "Kedudukan Toan-ongya itu sangat agung, kenapa dia ikut campur bunuh membunuh di antara orang kangouw?"

"Bunuh membunuh dalam pertarungan biasa di kalangan kangouw sudah tentu Toako pemimpin itu tidak sudi ikut campur, tapi jika menyangkut mati hidup negeri Tayli mereka, apakah dia mau tinggal diam?" ujar Behujin.

"Sudah tentu dia akan ikut campur," kata A Cu.

"Menurut cerita Ci-tianglo dahulu, katanya kerajaan Song kita adalah penghalang di depan negeri Tayli, bila orang Cidan berhasil mencaplok Song, langkah berikutnya adalah Tayli yang akan ditelan pula, " demikian Behujin bercerita. "Sebab itulah sebagai dua negara yang berdampingan laksana antara gigi dan bibir, sudah tentu negeri Tayli tak ingin Song kita musnah di tangan orang Cidan."

"Ya, benar juga," sahut A Cu.

lalu Be-hujin melanjutkan, "Menurut cerita Ci-tianglo, waktu itu kebetulan Toan-ongya sedang bertamu di markas pusat Kai-pang, tengah Ong-pangcu menjamu Toan-ongya, tiba-tiba mendapat kabar bahwa jago Cidan akan menyerbu Siau-lim-si untuk merampok kitab pusaka biara bersejarah itu. Tanpa pikir lagi Toako pemimpin lantas mengerahkan para ksatria, menuju Gan-bun-koan untuk mencegat kedatangan musuh. Padahal tindakan ini lebih tepat dikatakan demi keselamatan negeri Tayli sendiri. Konon ilmu silat Toan-ongya itu sangat tinggi, orangnya sangat baik budi pula. Kedudukannya sangat diagungkan di negeri Tayli, dia berani membuang uang seperti membuang sampah, asal ada orang membuka mulut padanya, biarpun beratus atau beribu tahil perak juga tidak menjadi soal baginya. Coba, orang yang royal seperti dia, kalau bukan dia yang diangkat menjadi Toako pemimpin dari jago-jago silat Tionggoa, habis siapa lagi?"

"Kiranya Toako pemimpin itu tak-lain-tak-bukan adalah Tin-lam-ong dari negeri Tayli, dan semua orang sampai mati juga tak mau mengaku, kiranya demi untuk membela dia," kata A Cu.

"Pek-tianglo, rahasia ini jangan sekali-kali kau katakan lagi kepada orang ketiga, hubungan Toan-ongya dengan Kai-pang kita adalah lain daripada yang lain, jika rahasia ini tersiar tidak sedikit bahayanya," demikian pinta Be-hujin.

"Ya, sudah tentu takkan kubocorkan rahasia ini," sahut A Cu.

"Pek-tianglo, paling baik engkau bersumpah agar aku tidak ragu," kata janda muda itu.

"Baiklah," jawab A Cu tanpa pikir. "Bila Pek Si-kia memberitahukan pada orang lain tentang rahasia 'Toako pemimpin' itu adalah Toan Cing-sun, biarlah Pek Si-kia mengalami nasib dicencang tubuhnya, badan Pek Sikia akan hancur dan nama busuk, selamanya Pek Si-kia akan dikutuk oleh sesama kawan Bu-lim."

Demikianlah kelicikan A Cu. Sumpahnya itu kedengarannya sangat berat, tapi sebenarnya sangat licin. Setiap kata ia uruk semua dosa atas diri Pek Si-kia, orang yang akan dicencang hingga luluh adalah Pek Si-kia, yang akan busuk namanya dan dikutuk adalah Pek Si-kia dan tiada sangkut paut apa-apa dengan A Cu.

Namun Be-hujin ternyata sangat puas mendengar sumpah itu.

Lalu A Cu berkata pula,"Jika nantu aku bertemu dengan Tin-lam-ong dari Tayli itu, aku akan berusaha memancing dia menceritakan siapa-siapa lagi yang ikut hadir di rumahnya waktu merayakan hari Tiongciu tahun yang lalu, dari siru tentu aku dapat mengetahui siapa pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."

Dengan terharu lalu Be-hujin mengucapkan terima kasihnya.

"Harap Hujin menjaga diri baik-baik, Caihe ingin mohon diri saja," demikian A Cu lantas pamit.

"Siulicu baru menjadi janda, maafkan kalau tidak dapat mengantar jauh-jauh," ujar Be-hujin.

"Ah, Hujin jangan sungkan," sahut A Cu sambil mengundurkan diri. Sampai di luar, ia lihat Siau Hong sudah menanti di kejauhan. Mereka hanya saling pandang sekejap, tanpa berkata lagi mereka lantas menuju ke arah datangnya tadi.

"Suasana sunyi senyap, rembulan sabit remang-remang menyinari jalan ranya Sin-yang itu. Siau Hong jalan berendeng dengan A Cu. Sesudah belasan li jauhnya, dengan menghela napas kemudian Siau Hong berkata, "Terima kasih, A Cu."

Tapi A Cu cuma tersenyum tawar saja, tanpa menjawab. Meski muka A Cu penuh keriput karena dalam penyamarannya sekbagai Pek Si-kia, tapi dari sorot matanya Siau Hong dapat menyelami perasaan A Cu yang menanggung rasa kuatir, ragu dan cemas.

Segera Siau Hong tanya, "Usaha kita telah berhasil dengan baik, mengapa engkau malah murung?"

"Kupikir keluarga Toan di Tayli itu, bukanlah sembarangan orang, jika engkau pergi ke sana seorang diri untuk menuntut balas, sungguh besar sekali resikonya bagimu," demikian sahut A Cu.

"O, kiranya kamu merasa kuatir bagiku," ujar Siau Hong. "Tapi tak perlu kaukuatirkan, sama sekali aku takkan bertindak secara gegabah. Seperti apa yang dikatakan Be-hujin, andaikan tiga tahun atau lima tahun belum berhasil membalas dendam, biarlah aku menanti hingga delapan tahun atau sepuluh tahun. Pada akhirnya pasti akan datang suatu hari, di mana aku akan mencacah badan Toan Cing-sun untuk umpan anjing liar."

Bicara sampai di sini, tak tertahan lagi ia mengertak gigi dengan penuh rasa dendam kesumat.

"Toako, betapapun engkau harus bertindak secara hati-hati," kata A Cu.

"Sudah tentu, jiwaku tidak menjadi soal, tapi sakit hati ayah bundaku kalau tidak terbalas, matipun aku takkan tentran," sahut Siau Hong. Perlahan ia pegang tangan A Cu yang halus itu, lalu sambungnya,"A Cu, jika aku terbinasa di tangan Toan Cing-sun, lalu siapakah yang akan mengawalmu berburu dan mengembala domba di luar Gan-bun-koan?"

"Ai, aku justru sangat takut, aku merasa dalam urusan ini ada sesuatu yang tidak beres," sahut A Cu. "Be-hujin ... Be-hujin yang berwujud cantik molek itu, entah mengapa, asal dipandang dia lantas timbul rasa takut dan jemu dalam diriku."

"Janda muda itu sangat pintar dan cerdik, karena kau kuatir penyamaranmu diketahui, dengan sendirinya kautakut padanya." ujar Siau Hong.

Dan sesudah mereka sampai di hotel dalam kota Sin-yang, segera Siau Hong minta pelayan membawakan arak, ia minum sepuasnya tanpa batas sambil memeras otak bagaimana jalan paling baik untuk menuntut balas.

Demi teringat keluarga Toan di Tayli, dengan sendirinya ia lantas teringat pula kepada saudara angkatnya yang baru, Toan Ki. Tiba-tiba ia terkesiap, dengan termangu-mangu ia angkat mangkuk araknya tanpa meminumnya, air mukanya seketika berubah hebat.

Melihat itu, A Cu mengira sang Toako telah melihat sesuatu apa, ia coba memandang sekitar situ, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan. Segera ia tanya dengan perlahan," Toako, ada apakah?"

Karena itu, Siau Hong kaget dan sadar dari lamunannya, sahutnya tergagap-gagap," Oh. ti ... tiada apa-apa."

Lalu ia angkat mangkuk araknya dan sekaligus ditenggaknya hingga habis. Tapi mendadak Siau Hong keselak dan terbatuk-batuk hingga arak yang sudah masuk kerongkongan itu tersembur keluar, baju bagian dada menjadi basah lepek.

Padahal biasanya kekuatan minum arak Siau Hong boleh dikatakan tanpa takaran, betapa tinggi lwekangnya sungguh tiada taranya. Tapi kini minum semangkuk arak saja sudah lantas terselak, hal ini benar-benar sangat luar biasa.

Diam-diam A Cu merasa kuatir, tapi iapun tidak suka banyak bertanya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pada waktu minum tadi mendadak Siau Hong teringat pada saat mengadu minum dengan Toan Ki di kota Bu-sik tempo hari, di mana Toan Ki telah menggunakan Khikang yang maha hebat dari "Lak-meh-sin-kiam" untuk memeras air arak yang diminumnya itu hingga mengucur keluar lagi melalu jari tangan. Ilmu sakti semacam itu saja Siau Hong sendiri harus mengaku kalah, apalagi Toan Ki diketahuinya sama sekali tak mahir ilmu silat dan lwekangnya toh sudah begitu lihai.

Kini musuh besarnya, yaitu Toan Cing-sun adalah seorag tokoh terkemuka dari keluarga Toan di Tayli, kalau dibandingkan Toan Ki, tidak perlu diragukan lagi pasti berpuluh kali lebih lihai.

Dan jika begitu, dendam kesumat ayah-bunda itu apakah dapat dibalasnya?

Dengan sendirinya Siau Hong tidak tahu bahwa dapatnya Toan Ki memiliki tenaga dalam sehebat itu, hanya secara kebetulan saja karena dia telah makan katak merah hingga timbul tenaga sakti Cu-hap-sin-kang dalam badannya. Kalau melulu bicaraa tentang tenaga dalam. memang entah berpuluh kali Toan Ki lebih kuat daripada ayahnya. Tapi dala, hal "Lak-meh-sin-kiam," di dunia ini, selain Toan Ki hakikatnya tiada orang kedua lagi yang mampu memainkannya secara lengkap. Walaupun A Cu tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkan sang Toako, tapi ia dapat menduga pasti mengenai urusan membalas dendam. Maka hiburnya, "Toako, soal menuntut balas tidak perlu terlalu tergesa-gesa. Kita harus menyiapkan rencanya untuk kemudian bertindak. Andaikan jumlah musuh lebih banyak daripada kita, kalau kita tak bisa menang dengan kekuatan, apakah kita tak dapat mengalahkan mereka dengan akal?"

Siau Hong menjadi girang, teringat olehnya gadis itu sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, sungguh merupakan seorang pembantu terpercaya.

Segera ia menuang arak pula semangkuk penug dan ditenggaknya habis, lalu katanya, "Ya, benar. Tak bisa menang dengan kekuatan, biarlah kita melawannya dengan akal. Sakit hati ayah bunda setinggi langit, dendam kesumat ini harus kubalas, maka tentang peraturan dan etika kangouw tak perlu lagi digubris, segala cara keji pun boleh dipakai."

"Toako, selain dendam ayah-ibu kandungmu, ada pula sakit hati pembunuhan ayah-bunda angkat dan dendam

kesumat gurum Hian-koh Taisu," kata A Cu.

"Benar!" seru Siau Hong mendadak sambil mengebrak meja. "Sakit hati berganda itu masakah cuma sekali urus dapat selesai?"

"Toako, dahulu waktu engkau belajar silat dengan padri saleh dari Siau-lim-su itu, mungkin karena usiamu masih terlalu muda hingga lwekang yang paling hebat dari Siau-lim-si itu tidak lengkap kaupelajari. Coba kalau engkau mempelajarinya, betapa lihai It-yang-ci dari keluarga Toan di Tayli juga bukan tandingan 'Ih-kinkeng' ciptaan Dharma Cosu dari Siau-lim-si." demikian kara A Cu. "Aku pernah dengar cerita Buyung-loya tentang berbagai aliran ilmu silat di dunia ini, beliau mengatakan ilmu silat andalan keluarga Toan di Tayli yang paling lihai bukanlah It-yang-ci, tapi semacam ilmu yang disebut Lak-meh-sin-kiam."

"Benar," kata Siau Hong sambil berkerut kening. "Buyung-cianpwe itu adalah orang kosen Bu-lim, setiap pandangannya memang tepat sekali. Sebabnya aku merasa sedih tadi justru sedang memikirkan Lak-meh-sinkiam yang lihai itu."

"Dahulu waktu Buyung-loya membicarakan ilmu silat di dunia ini dengan Kongcu, selalu aku berdiri di samping untuk melayani mereka, dengan sendirinya aku dapat mendengar sedikit-banyak apa yang mereka percakapkan." demikian A Cu menutur lebih jauh."Menurut Buyung-loya, ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si yang terkenal itu sebenarnya cuma ciasa saja, selain dapat memainkan, bahkan beliau dapat mematahkan setiap ilmu silat itu!"

"ai, sungguh Cianpwe yang hebat, sungguh menyesal aku tidak dapat berkenalan dengan beliau," kata Siau Hong dengan gegetun.

Maka A Cu menyambung pula ceritanya,

"Waktu itu Buyung-kongcu telah menjawab, 'Ayah, Kohbo (bibi) dari keluarga Ong dan Piaumoay justru suka mengagulkan pengetahuan mereka yang luas dalam hal ilmu silat di jagat ini, tapi kalau cuma luas pengetahuannya tanpa mempelajari dengan mahir, apa gunanya?'dan Buyung-loya menjawab, "Bicara tentang mahir tidak gampang soalnya? Padahal ilmu silat sejati Siau-lim-pai terletak pada kitab Ih-kin-keng, asal kitab itu dapat dibaca dan dilatih hingga sempurna, maka segala ilmu silat yang biasa jika dimainkan pasti akan berubah menjadi maha sakti dan tiada terkatakan daya gunanya!"

"Siau Hong mengangguk-angguk tanda sependapat dengan cerita itu. Memang, asal dasarnya tak terkatakan. Itulah makanya tempo hari ia menolong A Cu tanpa memikirkan sebab dan akibatnya.

Maka A Cu berkata pula, "Tatkala mana Buyung-loya telah menguraikan kitab Ih-kin-keng dari Siau-lim-pai

secara jelas kepada Kongcu. Kata beliau, 'Ih-kin-keng dari Dharma Cosu itu meski tidak pernah kulihat, tapi kalau dilihat secara ilmiah dalam ilmu silat, sebabnya Siau-lim-pai dapat tersohor sebenarnya adalah jasa Ihkin-keng itu. Ke-72 macam ilmu silat yang hebat itu meski masing-masing ada kebagusan sendiri-sendiri, tapi kalau melulu mengandalkan ke-72 macam ilmu itu rasanya masih belum cukup untuk memimpin dunia persilatan dan dipuja sebagai pusat ilmu silat dunia.

"Walaupun demikian, Loya lantas memberi petua kepada Kongcu agar jangan dumeh ilmu silat warisan leluhur sendiri sangat hebat, lalu memandang enteng anak murid Siau-lim-pai. Dengan memiliki Ih-kin-keng, bukan mustahil dalam Siau-lim-si itu terdapat padri yang berbakat kuat hingga dapat memahami isi kitab pusaka itu.

"Pandangan Buyung-siansing itu memang benar dan sangat tepat," ujar Siau Hong.

"Dan sesudah Loya meninggal dunia, terkadang Kongcu suka membicarakan pesan Loya, katanya selama hidup beliau boleh dibilang sudah pernah melihat segala macam ilmu silat di dunia ini, cuma sayang 'Lak-mehsin-kiam-keng' dari keluarga Toan di Tayli dan 'Ih-kin-keng' dari Siau-lim-pai, hanya dua macam kitab itulah yang belum pernah dilihatnya.

"Dalam pembicaraan Loya kedua kitab ilmu silat itu telah disinggung bersama, maka dapat diduga, jika ingin melawan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Tayli, agaknya orang harus menggunakan Ih-kin-keng dari Siaulim-pai itu. Maka bila orang dapat mencuri Ih-kin-keng yang disimpan di Po-te-ih dalam Siau-lim-si itu, lalu melatihnya selama beberapa tahun, maka terhadap Lak-meh-sin-kiam atau Chit-meh-im-to apa segala kuyakin tidak perlu takut lagi."

"Bicara sampai di sini, wajah A Cu menampilkan sikap senyum tak senyum yang aneh.

Mendadak Siau Hong melonjak, teringat sesuatu olehnya, serunya dengan tertawa, "Hah, kiranya engkau ... engkau setan cilik ini ...."

"Toako," sahut A Cu dengan tertawa, "dengan mencuri kitab ini sebenarnya maksudku akan kupersembahkan kepada Buyung-kongcu, dan sesudah dibacanya akan kubakar di depan makam Loya untuk memenuhi harapannya yang belum tercapai pada masa hidupnya. Tapi kini, sudah tentu kupersembahkan kitab ini kepadamu."

Habis berkata, terus saja ia mengeluarkan satu bungkusan kecil dan diserahkan pada Siau Hong.

Seperti diketahui, malam itu dengan mata kepala sendiri Siau Hong menyaksikan A Cu menyamar menjadi Tijing Hwesio dan berhasil mencuri sesuatu dari balik cermin perunggu di ruang Po-te-ih di Siau-lim-si itu,

sungguh tak tersangka bahwa barang curian it adalah Ih-kin-keng yang merupakan Lwekang-pit-kip atau kitap pusaka berlatih lwekang yang paling hebat dari Siau-lim-pai.

Waktu A Cu tertawan di Cip-hian-ceng, karena dia adalah kaum wanita, para ksatria tidak menggeledah badannya, dengan sendirinya Hian-cit dan Hian-lan Taisu dari Siau-lim-si itu mimpipun tidak menyangka bahwa kitab pusaka biara mereka justru berada pada gadis itu.

Begitulah maka Siau Hong geleng-geleng kepala, katanya, "Kamu telah menyerempet bahaya dan akhirnya berhasil mencuri kitab ini, jika maksud tujuanmu sebenarnya hendak dipersembahkan kepada Buyung-kongcu, mana boleh sekarang aku menerimanya?"

"Toako," kata A Cu, "Engkau salah!"

Siau Hong menjadi heran, sahutnya,"Mengapa aku salah?"

"Habis kitab ini kucuri bukan atas perintah Buyung-kongcu, tapi adalah maksud yang timbul dari pikiranku sendiri. Sekarang ingin kuserahkan kitab ini kepada siapa saja kan tiada yang dapat melarang aku? Apalagi jika kitab ini sudah kaubaca, kita masih dapat menyerahkan pula kepada Buyung-kongcu. Dendam kesumat ayahbundamu harus dibalas, maka segala jalan baik yang terang-terangan, maupun yang sembunyi, baik yang keji maupun yang kotor juga harus kita tempuh, mengapa soal pinjam lihat satu jilid kitab seperti ini mesti main sungkan?"

Ucapan A Cu benar-benar telah menggugah semangat Siau Hong, dengan sungguh-sungguh ia memberi hormat kepada si gadis, katanya, "Memang benar teguran Hianmoay, demi urusan besar masakah mesti pikirkan soal kecil?"

A Cu tertawa, sahutnya, "Apalagi engkau sendiri asalnya juga anak murip Siau-lim-pai, dengan memakai ilmu Siau-lim-pai untuk membalas sakit hati Hian-koh Taisu justru suatu tindakan yang tepat dan masuk diakal, masakah keliru perbuatan kita ini?"

Sungguh girang dan terima kasih Siau Hong tak terhingga. Segera ia membuka buntalan kertas minyak tadi, ia lihat isinya adalah satu jilid buku kecil berwarna kuning. Di atas kulit buku tertulis beberapa huruf aneh yang tak dikenalnya.

Diam-diam Siau Hong mengeluh. Ia coba membalik halaman pertama kitab itu, ia lihat di situ penuh tertulis huruf yang mencang-mencong ada yang melingkar-lingkar, ada yang serabutan seperti cakar ayam, satu huruf

pun tak dikenalnya.

"Ai, kiranya tulisan Hindu kuno, sialan!" demikian seru A Cu. "Waktu aku menyaru sebagai Ti-jing Hwesio, di sana aku dapat menyelidiki dengan jelas, bahwa kitab asli Ih-kin-keng tersimpan di suatu tempat rahasia di ruang Po-te-ih. Dan hasilnya apa yang kucuri ini memang benar adalah kitab dalam naskah aslinya, tahu begini, lebih baik aku mencari kitab salinannya saja dalam bahasa kita. Ai, pantas saja padri-padri itu tidak begitu pusing karena kitab pusaka mereka dicuri, kiranya disebabkan kitab ini tiada seorangpun diantara mereka yang dapat membacanya ...."

Sambil berkata, berulang-ulang ia menghela napas dengan menyesal dan lesu.

Siau Hong menuangi mangkuknya pula hingga penuh, lalu katanya, "Hianmoay, urusan ini tidak perlu dipikirkan lagi ...."

"Hai, ada akal!" mendadak A Cu berseru sambil melonjak girang. "Aku yakin ada seorang yang kenal tulisan Hindu kuno ini. Ialah seorang Hoanceng (padri asing), kepandaian padri itu pun sangat hebat."

"Lalu ia ceritakan kejadian Toan Ki ditawan oleh Cumoti, yaitu padri sakti negeri Turfan, dan mengondolnya ke Koh soh hendak mencari Buyung-siangsing, tapi tak bertemu.

Cerita ini baru pertama kali didengar Siau Hong, keruan ia sangat heran bahwa ada seorang padri asing yang begitu lihai. Cuma ia pun ragu, sebab ilmu silat A Cu sendiri tidak terlalu tinggi, untuk menilai kepandaian orang lain mungkin tidak tepat menurut kenyataannya, apalagi Cumoti itu juga tidak pernah bergebrak sungguh dengan jago kelas satu di hadapan A Cu, maka cerita itu tidak terlalu dalam berkesan di dalam hati Siau Hong,ia pikir sesudah padri itu tidak menemukan orang yang dicarinya, mungkin kini sudah pulang ke Turfan.

Segera ia bungkus kembali kitab Ih-kin-keng itu dan diserahkan kepada A Cu.

"Simpanlah di tempatmu kan sama saja? Masakah di antara kita masih ada perbedaan antara punyamu dan punyaku?" ujar A Cu.

Siau Hong tersenyum, lalu ia masukkan bungkusan itu ke dalam bajunya. Segera ia tenggak habis lagi semangkuk araknya.

Dan selagi ia hendak minum pula, tiba-tiba terdengar suara ramai orang bertindak di luar pintu, mendadak

muncul seorang laki-laki tegap yang sekujur badannya berlumuran darah, tangannya membawa sebatang kapak besar sambil mengabat-abitkan senjata itu ke udara dengan serabutan.

Laki-laki tegap itu penuh berewok, sikapnya gagah dan tangkas, tapi sinar matanya tampak buram, kelakuannya seperti orang kurang waras, terang seorang gila.

Siau Hong melihat kapak yang dibawa orang itu buatan dari baja murni, mantap sekali bobotnya, tapi ketika diputar orang itu, bukan saja gerak-geriknya sangat teratur, bahkan serangannya tangkas dan penjagaannya rapat, terang bukanlah sembarangan orang gila.

Banyak tokoh Tiongoan yang dikenal Siau Hong, tapi laki-laki ini ternyata tidak dikenalnya, pikirnya,"Pohhoat (ilmu permainan kapak) orang ini terang sangat hebat tapi mengapa tidak pernah kudengar ada seorang jago selihai ini?"

Dalam pada itu laki-laki itu memainkan kapaknya semakin kencang sambil berteriak-teriak, "Lekas, lekas memberi lapor kepada Cukong, katakan musuh sudah datang!"

Karena dia mengabit-abitkan kapaknya di tengah jalan, dengan sendirinya orang yang ingin lewat menjadi takut. Dari sikap orang yang cemas dan kuatir itu, Siau Hong menduga laki-laki itu pasti mengalami sesuatu kejadian yang menakutkan, dari permainan kapaknya itu dapat dilihat pula tenaganya mulai lemah, tapi lakilaki itu masih terus bertahan sekuatnya sambil berteriak-teriak pula, "Cu-hiante, lekas mundur, tak usah urus diriku, lekas memberi kabar kepada Cukong(majikan) lebih penting!"

"Orang ini membela majikannya dengan setia, nyata seorang laki-laki yang harus dipuji, caranya memainkan kapaknya ini sangat memakan tenaga, luka dalam yang akan dideritanya tentu sangat parah." demikian pikir Siau Hong. Segera ia melangkah keluar kedai dan mendekati laki-laki itu, katanya ,"Lauhia (saudara), apakah suka kuajak minum barang secawan dulu?"

Tapi laki-laki itu menjawabnya dengan mata mendelik, mendadak ia berteriak. "Tai-ok-jin, jangan kaulukai Cukongku!"

Berbareng itu kapaknya terus membacok ke atas kepala Siau Hong.

Keruan orang-orang yang menonton di pinggir jalan sama berteriak kaget.

"Siau Hong juga terkesiap ketika mendengar kata "Tai-ok-jin". Pikirnya, "Aku dan A Cu justru ingin mencari Tai-ok-jin untuk menuntut balas, kiranya musuh laki-laki ini pun Tai-ok-jin. Meski Tai-ok-jin yang dimaksudkan belum tentu orang yang sama daripada Tai-ok-jin yang hendak kami cari itu, tapi betapapun biarlah kutolong dulu orang ini."

Karena itu, bukannya dia mundur untuk menghindarkan serangan laki-laki gila itu, sebaliknya ia mendesak maju terus menutuk hiat-to di iga orang.

Tak tersangka, meski pikiran laki-laki itu kurang waras, tapi ilmu silatnya ternyata sangat hebat. Kapak yang luput mengenai sasarannya tadi terus diayun naik ke atas untuk menjojoh perut Siau Hong.

Coba kalau ilmu silat Siau Hong tidak jauh lebih tinggi daripada laki-laki itu, pasti serangan ini akan melukainya. Maka cepat Siau Hong ulur tangan kirinya dan tahu-tahu orang itu kena dipegang olehnya terus ditariknya.

Tarikan itu mengandung tenaga dalam yang sangat kuat, memangnya laki-laki itu sudah dalam keadaan payah, dengan sendirinya ia tidak tahan. Badan tergetar dan mendadak ia menubruk ke arah Siau Hong. Rupanya ia menjadi nekat dan bermaksud gugur bersama dengan lawan.

Tapi tangan Siau Hong sangat panjang dan kuat, sekali ia rangkul, tepat laki-laki itu kena disikapnya, sedikit ia kerahkan tenaga, orang itu tidak bisa berkutik lagi.

Jilid 35
Dalam pada itu di tepi jalan sudah banyak berkerumun penonton, demi menyaksikan Siau Hong dapat menaklukkan orang gila itu, serentak mereka bersorak memuji.

Lalu sambil merangkul dan setengah mennyeret Siau Hong membawa laki-laki itu ke dalam kedai arak serta dipaksanya berduduk, katanya, "Silahkan minum arak dulu, saudara!"

Sambil berkata, ia terus menuangkan semangkuk arak dan disodorkan ke hadapan laki-laki itu.

Dengan mata tak berkedip laki-laki itu melototii Siau Hong hingga lama, akhirnya ia bertanya,"Engkau ini orang ... orang baik atau orang jahat?"

Pertanyaan itu membikin Siau Hong melengak hingga susah untuk menjawabnya. Syukur A Cu lantas menyambut dengan tertawa,"Sudah tentu dia orang baik. Aku pun orang baik dan engkau juga orang baik. Kita adalah kawan, marilah kita pergi untuk menghajar Tai-ok-jin."

Orang itu tampak bingung sebentar. ia pandang Siau Hong dan pandang A cu pula, seperti percaya dan seperti tidak, selang sejenak baru ia berkata pula, "Dan ke manakah Tai-ok-jin itu?"

"Kita adalah kawan, mari kita pergi menghajar Tai-ok-jin," kata A Cu pula.

Mendadak laki-laki itu berbangkit dan berseru,"Tidak, tidak! Tai-ok-jin itu terlampau lihai, lekas beritahukan kepada Cukong agar beliau cepat mencari jalan untuk menghindarinya. Biar aku merintangi Tai-ok-jin dan lekas kau pergi memberi kabar kepada Cukong."

Habis berkata, segera ia pegang kapaknya pula dan hendak melangkah pergi.

Namun Siau Hong lantas tahan pundak orang, katanya," Sabar dulu, saudara. Tai-ok-jin belum datang. Jangan kuatir. Siapakah Cukongmu? dia berada di mana?"

Tapi mendadak orang itu berteriak malah,"Marilah Tai-ok-jin, ayo boleh kita coba-coba, biar Locu

menempurmu 300 jurus, jangan harap kamu mampu mencelakai majikanku!"

Siau Hong dan A Cu kewalahan, mereka saling pandang dan tak berdaya.

Sejenak kemudian, tiba-tiba A Cu berseru, "Ai, celaka, kita harus lekas memberi kabar kepada Cukong. Tapi di manakah Cukong berada sekarang? ke manakah perginya, jangan sampai Tai-ok-jin dapat mencarinya."

"Ya, benar, lekas kauberi kabar padanya!" seru laki-laki itu. "CUkong sedang pergi ke rumah keluarga Wi di Hong-tiok-lim di Siau-keng-oh. Ayolah lekas pergi ke sana dan memberi kabar padanya.

Lalu berulang-ulang ia mendesak pula dengan penuh rasa kuatir.

Wah, Siau-keng-oh? Itu jarak yang tidak dekar," demikian mendadak si pelayan kedai arak menimbrung.

Mendengar bahwa ada suatu tempat yang benar bernama "Siau-keng-oh" (danau cermin kecil),segera Siau Hong bertanya, "Di manakah letak tempat itu? Berapa jauhnya dari sini?"

"Kalau tanya orang lain mungkin tak tahu, kebetulan tuan bertemu aku, maka untunglah bagi tuan, sebab aku berasal dari daerah Siau-keng-oh, sungguh sangat kebetulan.

Kuatir si pelayan bicara bertele-tele lagi, segera Siau Hong menggebrak meja dan membentak,"Lekas katakan, jangan melantur!"

Sebenarnya si pelayan bermaksud mencari persen dengan keterangannya yang akan diberitakan itu, tapi karena digertak Siau Hong, ia jadi tidak berani jual mahal lagi, segera ia menutur,"Siau-keng-oh terletak di arah barat laut, dari sini tuan harus lurus ke jurusan barat, kira-kira tujuh li jauhnya, jika di tepi jalan tuan melihat empat pohon liu besar berjajar, dari situ tuan harus membelok ke utara, setelah 10 li lagi, di mana terdapat satu jembatan batu, tapi jangan tuan menyeberangi jembatan ini jika tuan tidak ingin kesasar, sebaliknya tuan harus ambil jalan menyeberang melalu sebuah jembatan kayu disebelah kanannya. Lewat jembatan kayu kecil itu, sebentar belok ke kiri dan sebentar putar ke kanan, pendek kata, jalan terus mengikuti jalan batu itu, kira-kira 20 li pula, akhirnya tuan akan melihat sebuah danau yang airnya sangat bening laksana kaca, itulah yand disebut Siau-keng-oh. Itu pula tempat yang tuan hendak cari."

Sungguh dongkol sekali Siau Hong oleh cara menutur si pelayan yang bertele-tele itu, tapi dengan sabar ia berusaha menunggu sampai selesainya penuturan pelayan itu, lalu ia sodorkan beberapa mata uang kepadanya

sebagai persen jual omongnya itu.

Dalam pada itu orang tadi masih terus mendesak, "Ayolah, lekas sampaikan kabar kepada Cukong, jika terlambat mungkin tidak keburu lagi. Tai-ok-jin itu teramat lihai."

"Siapakah Cukongmu itu?" tanya Siau Hong.

"Cukong ... Cukong, ah, tempat perginya itu tidak boleh kuberitahukan kepada siapa pun, maka janganlah kaupergi ke sana," kata orang itu.

"Kamu she apa?" seru Siau Hong mendadak.

"Aku she Siau," sahut orang itu.

Siau Hong menjadi curiga, "Aneh, mengapa ia pun she Siau? Jangan-jangan dia bohong dan sengaja hendak mengolok-olok padaku? Apakah dia sengaja hendak memancing aku pergi ke Siau-keng-oh?"

Tapi segera terpikir pula olehnya," Jika dia sengaja memancing aku ke sana atas perintah Tai-ok-jin, itulah sangat kebetulan, memang aku sendiri juga lagi hendak mencarinya. Biarpun Siau-keng-oh itu merupakan sarang harimau atau kubangan nagajuga aku tidak gentar."

Setelah ambil keputusan itu, segera ia berkata kepada A Cu, "Marilah pergi ke Siau-keng-oh, jika majikan saudara ini berada di sana, tentu kita dapat mencarinya."

Lalu ia berpaling kepada orang itu, katanya,"Saudara tentu sudah sangat lelah, silahkan mengaso dulu di sini, biarlah aku mewakilkanmu mengirim kabar kepada majikanmu bahwa sebentar lagi Ta-ok-jin itu akan datang."

"Ya, terima kasih, banyak terima kasih! Aku harus pergi merintangi Tai-ok-jin itu agar dia tak bisa datang ke sana," kata orang itu, lalu ia berdiri dan bermaksud putar kapaknya lagi. Tapi rupanya ia sudah kehabisan tenaga, biarpun kapak itu masih dapat dipegangnya dengan kencang, tapi sudah tidak kuat lagi untuk mengangkatnya.

"Sudahlah, lebih baik saudara mengaso saja di sini," ujar Siau Hong. Lalu ia membereskan rekening minumnya, bersama A Cu segera ia menuju ke barat menurut petunjuk si pelayan tadi.

Antara tujuh-delapan li jauhnya, benar juga di tepi jalan terdapat beberapa pohon liu yang rindang. Di bawah salah satu pohon itu duduk seorang petani. Petani itu duduk bersandar pohon, kedua kakinya terendam di dalam lumpur sawah di tepi jalan.

Pemandangan seperti itu sebenarnya adalah sangat umum di pedesaan, tapi muka petani itu ternyata berlepotan darah, pundaknya memanggul sebatang cangkul yang bentuknya sangat aneh, mata cangkul itu tajam sekali, setiap orang yang melihatnya pasti segera akan tahu cangkul itu adalah sejenis senjata yang sangat lihai.

ketika Siau Hong mendekatinya, didengarnya pernapasan petani itu terengah-engah, itulah tanda orang terluka dalam yang parah.

Tanpa pikir Siau Hong terus tanya, "Numpang tanya Toako ini, kami diminta oleh seorang kawan yang bersenjata kapak agar mengirim berita ke Siau-keng-oh, apakah betul ini jalan menuju ke Siau-keng-oh?"

Petani itu mendongak, tiba-tiba ia balas tanya malah,"Sobat berkapak itu mati atau hidup sekarang?"

"Ia hanya kehabisan tenaga, rasanya tidak berbahaya bagi jiwanya." sahut Siau Hong.

Petani itu menghela napas lega dan mengucapkan syukur, lalu katanya, "Harap kalian membelok ke utara sana, budi pertolongan kalian ini takkan kulupakan."

Mendengar tutur kata orang bukan sembarangan petani desa, segera Siau Hong tanya pula,"Siapakah she saudara? Apakah kawan saudara orang berkapak itu?"

"Aku she Tang," sahut petani itu. "Silakan tuan lekas menuju ke Siau-keng-oh, Tai-ok-jin itu sudah lewat sejak tadi, sungguh memalukan kalau diceritakan, ternyata aku tidak sanggup merintanginya."

Melihat orang terluka parah, Siau Hong pikir apa yang dikatakan itu pasti tidak dusta, apalagi dilihatnya petani she Tang itu sangat sederhana dan tulus sikapnya, mau-tak-mau menimbulkan rasa suka Siau Hong, Katanya,"Tang-toako, lukamu tidak enteng, dengan senjata apakah Tai-ok-jin itu melukaimu?"

"Dengan sebatang pentung bambu," sahut petani itu.

"Pentung bambu? apakah Pak-kau-pang yang biasa kugunakan itu?" demikian pikir Siau Hong dengan terkesiap.

Ia lihat darah mengucur terus dari dada petani itu, ia coba menyingkap baju orang dan memeriksanya, ternyata dada orang terluka satu lubang sebesar jari dan cukup dalam. Jika betul lobang luka itu kena dijojoh oleh pentung bambu maka terang pentung bambu itu jauh lebih kecil daripada Pak-kau-pang.

Segera Siau Hong menutuk beberapa hiat-to di sekitar luka petani itu untuk mencegah darah keluar lebih banyak dan menghilangkan rasa sakit. Sedang A Cu lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia buka kotak itu dan mengorek sedikit salep dari kotak itu untuk dipoleskan pada luka orang. Katanya kepada Siau Hong, "Obat ini adalah pemberian Tam kong tempo hari, waktu engkau terluka, mestinya akan kububuhkan obat muzijat ini pada lukamu, tapi waktu itu aku tak dapat menemukanmu."

Sementara itu si petani telah berkata pula, "Atas budi kebaikan tuan-tuan, sungguh aku merasa terima kasih tidak terhingga. Sekarang mohon tuan-tuan suka lekas menyampaikan berita itu kepada majikanku di Siaukeng-oh."

"Sebenarnya siapakah nama majikanmu, bagaimana mukanya?" tanya Siau Hong.

"Asal tuan-tuan sampai di tepi Siau-keng-oh tentu akan melihat di barat danau itu ada hutan bambu, itulah Hong-tiok-lim (hutan bambu persegi), bambu yang tumbuh di situ berbentuk persegi semua, di tengah timba bambu itu ada beberapa petak rumah bambu dan tuan boleh berseru di luar rumah itu,"Thian-he-te-it-ok-jin (orang jahat nomor satu di dunia) telah datang, lekas sembunyi dan menghindarinya!" dengan demikian sudah cukuplah dan tuan tidak perlu masuk ke rumah itu. Adapun tentang nama majikanku biarlah kelak akan kuberitahu," demikian tutur petani ini.

Diam-diam Siau Hong heran, tapi iapun tahu banyak antangan orang kangouw yang tidak suka diketahui orang luar. Tapi dengan demikian Siau Hong menjadi tidak ragu-ragu lagi, pikirnya, "Jika orang sengaja hendak memancing aku ke sana, apa yang dikatakan pasti akan dikarang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa curigaku. Tapi orang ini bertutur setengah-setengah dan tidak mau bicara terus terang, hal ini menandakan dia tidak bermaksud jahat."

Karena pikiran itu, segera Siau Hong menyatakan baik akan melaksanakan permintaan orang. Maka petani itu lantas meronta bangun dan berlutut di depan Siau Hong.

"Sudahlah, sekali berkenalan kita lantas cocok satu sama lain, tidak perlu Tang-heng banyak adat," ujar Siau Hong sambil membangunkan orang. Berbareng tangan yang lain ia terus mengusap muka sendiri hingga hilang

samarannya,ia perkenalkan diri pada petani itu dengan wajah yang asli, katanya "Caihe adalah Siau Hong, orang Cidan, sampai berjumpa pula kelak."

Dan tanpa menunggu jawaban orang lagi segera ia gandeng tangan A Cu dan melanjutkan perjalanan ke arah utara.

"Apakah kita tidak perlu menyaru lagi?" tanya A Cu di tengah jalan.

"Ya, entah mengapa aku menjadi sangat suka kepada laki-laki tulus yang berbentuk orang desa itu, jika aku berniat berkawan dengan dia, dengan sendirinya tidak pantas aku berkenalan dengan dia dengan muka palsu," sahut Siau Hong.

"Baiklah jika begitu, aku pun akan kembali dalam pakaian wanita saja," kata A Cu.

Segera ia menuju ke tepi sungai, cepat ia cuci mukanya, lalu tanggalkan kopiahnya, maka tertampaklah rambutnya yang hitam pekat, bila jubahnya yang longgar itu dicopot pula maka tertampaklah pakaian wanita yang memang sudah dipakainya bagian dalam.

Sesudah hampir 10 li lagi, dari jauh mereka melihat sebuah jembatan batu melintang di antara ke dua tepi sungai. Sesudah dekat, tertampaklah di tengah jembatan itu berjongkok seorang Su-sing (pelajar/sastrawan).

Orang itu lagi membentang sehelai kertas putih yang sangat lebar di tengah jembatan, di samping kertas terdapat pula sebuah hi (tempat tinta) yang besar, di atas hi sudah penuh tergosok tinta hitam. Su-sing itu sedang angkat pit (pensil Tionghoa) dan menggores-gores di atas kertas.

Siau Hong dan A Cu merasa heran, masakah ada orang membawa kertas, pit dan hi begitu untuk menulis di atas jembatan yang terletak di tempat sunyi begini, kan lebih enak menulis di rumah saja?

Dan sesudah didekati barulah diketahui bahwa Su-sing itu bukan sedang menulis, tapi lagi melukis. Yang dilukis adalaha pemandangan alam di sekitar jembatan itu. Dia berjongkok di tengah jembatan dan menghadap ke arah Siau Hong dan A cu tapi yang paling aneh adalah lukisan yang digoresnya itu justru menghapad pula ke arah Siau Hong dan A Cu, jadi cara melukis Su-sing itu terbalik, goresannya menuju ke arah yang berlawanan daripada pelukisnya.

Siau Hong sendiri tidak paham seni lukis, sedang A Cu sudah biasa melihat lukisan indah di rumah Buyungkongcu, aka "lukisan terbalik" karya Su-sing itu dianggapnya tiada sesuatu yang luar biasa, hanya caranya

melukis secara terbalik itulah yang rada janggal.

Dan selagi A Cu bermaksud maju menyapa, tiba-tiba Siau Hong menjawilnya dan mengajaknya ke arah sebuah jembatan kayu di sebelah kanan sana.

"Kalian sudah melihat caraku melukis dengan terbalik, mengapa sedikitpun tidak gubris? Apakah barangkali kepandainku ini sama sekalu tiada harganya untuk dipandang kalian?" demikian tiba-tiba Su sing itu bersuara.

"Kata Khonghucu, kursi yang tak tegak tak diduduki, daging yang tak baik tak dimakan. Seorang laki-laki sejati tidak nanti melihat lukisan terbalik," demikian A Cu menjawabnya dengan tertawa.

Su-sing itu terbahak, segera ia lempit kertasnya dan berkata, "Hah, benar juga ucapanmu, Silahkan lewatlah!"

Siau Hong dapat menduga maksud tujuan Su-sing itu, ia membentang kertas lebar di tengah jembatan, perlunya agar orang lain tertarik, pertama tujuannya adalah mengulur waktu, kedua, untuk memancing dan sengaja menyasarkan orang melalu jembatan batu itu, padahal jalan yang tepat harus melalui jembatan kayu seperti petunjuk si pelayan kedai arak itu.

Maka berkatalah Siau Hong, "Kami hendak pergi ke Siau-keng-oh, jika melalui jembatan batu ini, tentu kamu akan kesasar."

"Kesasar sih tidak, paling-paling cuma berjalan putar lebih jauh 50-60 li saja, akhirnya toh akan sampai juga di sana, maka lebih baik kalian melalui jembatan batu ini saja, jalannya lebih lebar dan lebih enak ditempuh," demikian kata Su-sing itu.

"Ada jalan yang lebih dekat, buat apa mesti mengambil jalan yang jauh?" ujar Siau Hong.

"Ingin cepat akhirnya malah lambat, masakah kalian tidak kenal pepatah ini?" ujar Su-sing itu dengan tertawa.

Tapi A Cu dapat melihat kelakuan Su-sing itu sengaja hendak menghambat kepergian dirinya bersama Siau Hong ke Siau-keng-oh, maka ia tidak mau masuk perangkap, ia tidak gubris ocehan orang lagi terus melangkah ke jembatan kayu itu bersama Siau Hong.

Di luar dugaan, baru mereka sampai di tengah-tengah jembatan kayu itu, mendadak kaki mereka terasa

menginjak tempat lunak, terdengar suara "kreak" beberapa kali, jembatan kayu itu mendadak patah bagian tengah hingga Siau Hong dan A Cu terjeblos ke dalam sungai.

Untung Siau Hong cukup sigap, cepat tangan kiriya merangkul pinggang A Cu, berbareng kaki kanan menutul papan jembatan kayu, dengan tenaga enjotan itulah laksana burung saja ia melayang ke depan hingga mencapai tepi sungai di seberang sana. Menyusul sebelah tangan yang lain menyampuk ke belakan untuk menjaga kalau diserang musuh.

Tapi Su-sing itu cuma terbahak-bahak saja, katanya, "Kepandaian hebat, sungguh hebat! Kalian berdua buruburu hendak pergi ke Siau-keng-oh, sebenarnya ada urusan apakah?" dari suara tertawa orang dapat Siau Hong dengar mengandung rasa kuatir, diam-diam Siau Hong bersangsi jangan-jangan Su-sing itu adalah begundal Tai-ok-jin, maka ia tak menjawabnya lagi, tapi terus bertindak pergi bersama A Cu.

Tidak jauh, tiba-tiba dari belakang ada suara tindakan orang yang cepat, waktu ia menoleh, dilihatnya Su-sing itu lagi menyusulnya, segera Siau Hong putar tubuh dan menegurnya dengan wajah kurang senang,"Sebenarnya saudara mau apa?"

"Caihe juga akan pergi ke Siau-keng-oh, kebetulan satu jurusan dengan kalian," sahut Su-sing itu.

"Bagus jika begitu," kata Siau Hong. Dengan tangan kiri ia pegang pinggang A Cu, sekali melangkah, tahutahu sudah belasan meter jauhnya gadis itu dibawa melayang ke depan, begitu enteng dan gesit hingga mirip orang main ski cepatnya.

Cepat Su-sing itu lantas menguber, tati tetap tak bisa menyusul, jaraknya makin jauh tertinggal di belakang.

Melihat kepandaian Su-sing itu cuma biasa saja, maka Siau Hong tidak ambil perhatian lagi, ia masih terus berjalan secepat angin, meski dengan menggondol A Cu, tapi kecepatannya tidak menjadi berkurang. Kira-kira satu tanakan nasi lamanya, Su-sing itu sudah ketinggalan hingga hilang dari pandangan mata.

Jalanan itu ternyata sangat sempit, terkadang cuma cukup dilalui seorang saja, malahan sepanjang jalan banyak tumbuh rumput alang-alang yang terkadang sebatas pinggang hingga jalan itu susah dikenali, untung sebelumnya mereka telah diberi keterangan oleh si pelayan kedai arak hingga tidak sampai kesasar. Kira-kira setengah jam kemusian, sampailah mereka di tepi sebuah danau, air danau itu tenang dan jernih, pantas namanya disebut Siau-kong-oh atau danau cermin kecil.

Dan selagi Siau Hong hendak mencari di mana letak Hong-tiok-lim yang dicari itu, tiba-tiba terdengar di antara semak-semak bunga sebelah kiri danau sana ada suara tertawa orang terkikik-kik, menyusul sebutir batu kecil

tampak melayang keluar.

Siau Hong coba memandang ke arah sambaran batu itu, maka terlihat di tepi danau sedang duduk seorang nelayan yang memakai caping dan sedang mengail ikan. Saat itu pancingnya sedang diangkat ke atas karena dapat mengail seekor ikan besar, tapi batu itu tepat menyambar tiba dan mengenai tali pancingnya, "crit", tibatiba tali pancing putus menjadi dua dan ikan yang mestinya sudah terkail itu tercemplung kembali ke dalam danau.

Diam-diam Siau Hong terkejut,"Cara sambitan orang itu sangat aneh sekali. Tali pancing adalah benda lemas dan sukar ditimpuk, kau ditimpuk dengan pisau atau panah mungkin masih dapat memutusnya, tapi batu adalah benda tumpul dan tali pancing itu dapat ditimpuk putus juga olehnya, terang kepandaian menimpuk senjata rahasia yang lemas dan aneh ini pasti bukan berasal dari daerah Tiongoan.

Ia yakin ilmu silat penimpuk batu itu tidak terlalu tinggi, tapi dari kepandaian menimpuk yang tergolong Siapai itu (aliran jahat) ia menduga besar kemungkinan orang adalah anak murid atau begundal Tai-ok-jin itu. Cuma kalau didengar dari suara tertawa tadi agaknya dia seorang gadis.

Dalam pada itu si nelayan rupanya juga terkejut ketika tali pancingnya putus tertimpuk batu. Serunya segera, "Siapa yang berkelakar dengan orang she Leng, silakan unjuk diri saja!"

Di antara suara kresek tersibaknya semak-semak bunga, maka menongol keluarlah seorang anak dara berpakaian ungu mulus, usianya kurang lebih 15-16 tahun, lebih muda satu dua tahun daripada A Cu, kedua matanya hitam besar, sekilas pandang Siau Hong merasa anak dara ini ada beberapa bagian mirip A Cu.

Sekilas pandang di situ juga ada seorang dara jelita, yaitu A Cu, segera gadis cilik itu tidak gubris si nelayan lagi, tapi terus berlari-lari sambil melompat-lompat hingga menerbitkan suara gemerincing dan menghampiri A Cu. Sesudah dekat ia tarik tangan A Cu dan berkata dengan tertawa,"Wah, Cici ini sangat cantik, aku suka padamu!"

Ternyata ucapannya rada pelo, lafalnya kurang tepat, mirip orang asing baru belajar bicara dalam bahasa Tiongkok.

Melihat gadis yang lincah itu, A Cu menjadi suka juga padanya. Ia lihat kaki dan tangan anak dara itu memakai sepasang gelang emas dan perak, gelang itu pakai kelaningan kecil, maka menerbitkan suara gemerincing nyaring bila gadis itu bergerak.

Maka berkatalah A Cu, "Kausendirilah yang cantik, aku pun sangat suka padamu."

Dalam pada itu si nelayan sebenarnya akan marah, tapi demi tahu orang yang menggodanya itu adalah seorang anak dara yang lincah dan menyenangkan, rasa gusarnya menjadi hilang sirna, katanya,"Ai, nona cilik ini benar-benar terlalu nekat. Caramu menimpuk tali pancing tadi juga sangat hebat."

"Apanya yang menarik permainan mancing ikan? Bagiku sunnguh tak sabar untuk menunggu ikan makan umpan, jika kauingin makan ikan, kenapa tidak gunakan kayu pancing untuk menusuk ikan di dalam air itu?" demikian kata si gadis cilik.

Habis berkata, terus saja ia ambil pancing si nelayan dan sekenanya ditusukkan ke dalam danau, benar juga ketika tangkai pancing itu diangkat, tahu-tahu ujung tangkai sudah menancap seekor ikan yang masih berkelojotan sambil meneteskan darah segar.

Berulang-ulang gadis itu kerjakan pancing-nya pula naik-turun hingga sekejap saja lima-enam ekor ikan yang tersunduk tangkai pancing, jadi mirid sujen sate ikan.

Diam-diam Siau Hong heran dan terkejut oleh gerak tangan anak dara yang aneh dan indah itu, meski gerakan ini rasanya belum cukup kuat untuk dipakai dalam pertempuran, tapi suatu tanda kepandaian gadis itu sebenarnya memang lain daripada yang lain.

Sesudah menyunduk sate ikan, kemudian gadis itu buang ikan-ikan tangkapannya itu ke tengah danau pula.

Melihat itu, si nelayan agak kurang senang, katanya, "Seorang nona cilik muda belia, tapi tingkah lakumu sudah begini kejam, kalau ikan itu kautangkap lalu dimakan sih masuk akal, tapi sudah ditangkap dan dibunuh, lalu dibuang begitu saja, membunuh secara sewenang-wenang begini sungguh tidak pantas.

"Aku justru ingin membunuh secara sewenang-wenang, kaumau apa?" demikian gadis itu menjawab dengan tertawa. Habis itu, terus saja ia menelikung tangkai pancing si nelayan, maksudnya hendak mematahkannya menjadi dua.

Tak terduga gagang pancing itu ternyata buatan dari logam yang ringan tapi uler, maka sukar untuk dipatahkan.

"Hm, kauingin mematahkan gagang pancing-ku, masakah begitu mudah?" demikian si nelayan menjengek.

"he, siapakah itu?" tiba-tiba gadis itu berseru sambil menuding ke arah sana.

Dengan sendirinya si nelayan menoleh. Dan ketika tidak melihat apa-apa, segera ia sadar telah tertipu. Cepat ia berpaling kembali, namun sudah terlambat, tertampak gagang pancing yang merupakan senjata andalannya itu telah dilemparkan ke tengah danau oleh anak dara itu, "plung", pancing itu tenggelam ke dasar sungai dan lenyap tanpa bekas.

Keruan nelayan itu menjadi gusar, bentaknya murka,"Budak liar dari mana, berani main gila di sini?"

Berbareng tangannya lantas mencengkeram bahu si gadus.

"Auuh, tolong! tolong!" demikian anak dara itu berteriak-teriak sambil tertawa. Berbareng ia terus sembunyi di belakang Siau Hong.

Segera si nelayan menubruk maju hendak menangkap si gadis, gerakannya ternyata cepat luar biasa.

Tapi sekilas Siau Hong melihat tangan anak dara itu telah bertambah semacam benda putih tembus pandang mirip kain plastik, begitu tipis benda itu hingga hampir-hampir tidak kelihatan.

Ketika si nelayan menubruk ke arahnya, entah mengapa mendadak kakinya keserimpet, tahu-tahu nelayan itu jauh tersungkur, lalu meringkuk bagai udang.

Kiranya benda putih tipis yang dipegang anak dara itu adalah semacam jaring ikan yang dibuat dari benang maha lembut, meski halus benang itu dan bening pula hingga tembus pandang tapi kekuatannya sangat ulet dan dapat mulur mengkeret, asal kena jaring sesuatu, segera jaring mengkeret sendiri. Maka sekali nelayan itu masuk jaring, semakin ia meronta, semakin kencang jaring itu mengkeret, hanya dalam sekejap saja nelayan itu tak bisa berkutik lagi. Dengan marah-marah ia mendamprat, "Budak setan, main gila apa-apaan ini, kamu berani menjebak aku dengan ilmu sihir?"

Diam-diam Siau Hong terkejut juga menyaksikan itu. Ia tahu si gadis tidak main ilmu sihir segala, tapi jaring aneh itu memang rada-rada berbau sihir.

Dalam pada itu si nelayan masih terus mencaci maki. Akhirnya si gadis berkata dengan tertawa, "Jika kaumaki lagi, segera akan kupukul bokongmu !"

Keruan si nelayan melengak. Ia adalah tokoh yang sudah ternama, apabila benar-benar gadis itu menghajar bokongnya, kan bisa runyam.

Syukur pada saat itu juga, tiba-tiba dari barat danau sana ada suara orang berseru, "Leng-hiante, ada apakah di situ?"

Maka tertampaklah dari jalan kecil di tepi danau sana muncul seorang dengan cepat.

Siau Hong dapat melihat orang itu bermuka lebar, sikapnya gagah berwibawa, dandanannya sederhana, tapi cukup ganteng, usianya lebih 40 tapi kurang dari 50 tahun.

Sesudah dekat dan demi melihat si nelayan tertawan orang, ia heran dan tanya, "Kenapa kau, Leng-hiante?"

Nona itu menggunakan ilmu ... ilmu sihir ...." demikian si nelayan menutur dengan tak lancar.

Orang setengah umur itu memandang ke arah A Cu. Tapi si dara nakal tadi lantas berseru dengan tertawa, "Bukan dia, tapi aku inilah!"

"O," dengus orang setengah umur itu, lalu ia angkat tubuh si nelayan yang besar itu dengan enteng seperti mengangkat anak kecil, dengan teliti ia periksa jaring tipis yang membungkus tubuh nelayan itu. Ia coba menariknya, tapi jaring itu sangat ulet, semakin ditarik semakin erat malah, betapapun tak bisa dibuka.

Dengan tertawa anak dara nakal berkata pula,"Asal dia mau menyebut tiga kali 'aku takluk padamu, nona!' habis itu segera akan kulepaskan dia."

"Tiada manfaatnya kaubikin susah Leng-hiante, akibatnya tentu tidak baik bagimu," ujar laki-laki setengah umur itu.

"Apa benar?" sahut si dara cilik. "Aku justru ingin tahu akibat jeleknya, semakin tidak baik akibatnya, semakin senang aku."

Mendadak orang setengah umur itu mengulur tangan terus hendak memegang bahu si gadis. Tapi dengan cepat

sekali gadis itu sempat menyurut mundur, lalu ia bermaksud menggeser pergi.

Di luar dugaan gerak orang setengah umur itu jauh lebih cepat daripada dia, sekali tangan membalik, tahu-tahu bahu si gadis sudah terpegang.

Dengan mendakkan tubuh dan miringkan pundak ana dara itu bermaksud melepaskan pegangan orang . Tapi cengkeraman orang setengah umur itu terlalu kuat dan kencang, menyusul ada arus hangat mengalir dari tangan masuk ke tubuh si gadis.

"Lekas lepaskan tanganmu!" bentak dara nakal itu, berbareng tinjunya terus menjotos. Tapi baru tangannya terangkat sedikit, mendadak lengan terasa lemas, akhirnya kepalan pun menjulaiturun.

Selama hidup anak dara itu tidak pernah ketemu musuh selihai ini, keruan ia ketakutan dan berteriak-teriak, "Kamumain ilmu sihir apa? Lekas lepaskan aku, lepas!"

"Asal kau omong tiga kali 'Aku takluk tuan', lalu bebaskan saudaraku dari kurungan jaringmu dan segera kamu akan kulepas," demikian kata orang setengah umur itu dengan tersenyum.

"Kauberani menganggu nonamu ini, akibatnya takkan menguntungkanmu," ujar si dara.

"Semakin buruk akibatnya, semakin senang aku!" demikian orang itu menirukan lagu si gadis tadi.

Sekuatnya anak dara itu meronta-ronta, tapi tidak dapat melepaskan diri. Akhirnya ia berkata dengan tertawa, "Huh, tidak malu, menirukan perkataanku! Baiklah, aku takluk padamu, tuan!"

Maka dengan tersenyum orang itu lantas melepaskan bahu si gadis yang dipegangnya, katanya, "Sekarang lekas lepaskan jaringmu itu!"

"Itu sangat gampang," ujar si gadis dengan tertawa. Segera ia mendekati si nelayan, ia berjongkok untuk melepaskan ikatan jaring itu tapi menyusul tangan kiri mengayun perlahan di bawah lengan baju kanan, sekonyong-konyong secomot sinar hijau menyambar cepat ke arah si orang setengah umur.

A Cu menjerit kaget. Ia tahu sinar hijau itu adalah sejenis Am gi atau senjata gelap yang berbisa. Cara serang

anak dara itu sangat licik, jaraknya dengan orang setengah umur itupun sangat dekat, maka pastilah serangan itu akan kena sasarannya.

Sebaliknya Siau Hong cuma menonton dengan tersenyum saja. Ketika laki-laki setengah umur itu menaklukkan si dara, dari tenaga dalamnya yang kuat itu dapat diketahui oleh Siau Hong bahwa orang itu pasti seorang tokoh sakti, kalau cuma serangan Am-gi yang sepele itu sudah tentu takkan mampu mengapa-apakan orang itu.

Benar juga, segera terlihat orang itu sedikit mengebaskan lengan bajunya, serangkum tenaga tak kelihatan lantas menolak ke deapan, senjata rahasia si anak dara yang berupa jarum halus berbisa itu kontan tersampuk ke samping dan jatuh semua ke danau.

Dari warna jarum yang berwarna-warni itu, terang itulah Am-gi berbisa yang sangat jahat, sungguh tak terduga olehnya bahwa baru sekali bertemu dengan nona cilik itu, sebelumnya tiada permusuhan atau sakit hati apaapa, tapi anak dara itu tidak segan turun tangan keji. Keruan laki-laki setengah umur itu menjadu gusar, ia pikir dara cilik yang masih hijau itu harus diberi hajaran biar tahu adat.

Maka lengan bajunya yang lain menyusul mengebas pula, kebasan itu membawa tenaga dalam yang kuat, keruan dara cilik itu tidak tahan, tubuh ikut "tertiup" ke atas, "plung", tanpa ampun lagi ia terlempar ke tengah danau.

Segera laki-laki setengah umur itu melompat ke atas sampan yang tertambat di bawah pohon ia dayung sampan ke tengah danau, maksudnya bila kepala dara cilik itu menongol keluar permukaan air, segera ia akan jambak rambutnya untuk diangkat ke atas,

Akan tetapi, tunggu punya tunggu, tetap gadis itu tidak menongol. Setelah menjerit sekali tadi anak dara itu terus kecemplung ke dalam danau dan menghilang tanpa bekas.

Umumnya seseorang kalau kecemplung ke dalam air, sesudah kenyang minum dan perutnya gembung, akhirnya orang itu pasti akan muncul ke permukaan air. Dan jika perut orang itu sudah penuh terisi air barulah orang itu akan tenggelam ke dasar danau.

Tapi aneh, sekarang anak dara itu tidak terjadi seperti lazimnya, sekali dia tercebur, lalu menghilang tanpa muncul lagi. Sesudah ditunggu agak lama tetap tidak kelihatan batang hidungnya.

Mau-tak-mau orang setengah umur itu menjadi gugup. Mestinya tiada maksud hendak membunuh si dara nakal itu, tujuannya cuma hendak memberi hajaran sedikit kepada anak dara yang ringan tangan dan keji itu. Dan

kini bila dara itu terlanjur mati kelelap, sungguh ia sangat menyesal.

Sebenarnya si nelayan adalah tokoh yang mahir selulup, mestinya ia dapat menyelam ke dasar danau untuk menolong si anak dara, tapi sayang ia masih terbungkus oleh jaring ikan itu, sedikitpun tak bisa berkutik. Sedangkan Siau Hong dan A Cu tidak pandai berenang sehingga tidak berdaya.

Maka terdengarlah orang setengah umur itu berteriak-teriak," A Sing, A Sing! Lekas keluar sini!"

"Ada urusan apa? Aku tak mau keluar!" demikian terdengar sahutan seorang wanita dari hutan bambu yang jauh berada di tepi danau sana.

Dari suara itu Siau Hong dapat menarik kesimpulan, "Suara wanita itu genit merayu, tapi bersifat keras hati pula. Meungkin seorang wanita jahil pula hingga akan menjadi tiga serangkai dengan A Cu dan si dara nakal yang tercemplung ke danau tadi."

Dalam pada itu si orang setengah umur lagi berseru pula, "Lekas kemari, A Sing! Ada orang mati kelelep, lekas menolongnya!"

"Apa bukan kamu yang mati kelelap!" sahut wanita itu.

"Jangan bergurau, A Sing. Jika aku mati kelelap, masakah aku masih bisa bicara" kata orang itu. "Ayolah, lekas kemari untuk menolong orang!"

"Jika kamu mati kelelap barulah aku akan keluar untuk menolong," sahut wanita yang tak kelihatan itu. "Dan kalau orang lain yang kelelap, biarkanlah, nanti aku menonton keramaian saja!"

"Ayolah, kau mau kemari atau tidak?" seru laki-laki itu dengan tak sabar, ia banting-banting kaki di atas sampan, suatu tanda sangat gugup.

Maka terdengar wanita itu lagi menjawab,"Jika orang laki-laki, aku akan menolongnya, kalau perempuan, tidak mau aku menolongnya!"

Sambil bicara, suaranya terdengar makin dekat, hanya sekejap saja orangnya sudah sampai di tepi danau.

Ketika Siau Hong danA Cu memandang ke sana, terlihatlah wanita itu berbaju terang warna hijau muda, usianya antara 35-36 tahun, kata bundar besar dan lincah, wajah cantik molek, mulut mengulum senyum tak senyum.

Dari suaranya tadi sebenarnya Siau Hong menduga orang paling banyak baru berumu 20-an tahun. Tak terduga dia seorang nyonya muda yang sudah tidak muda lagi.

Melihat dandanannya yang serba ringkas itu dapat diduga ketika mendengar seruan si lelaki setengah umur agar suka menolong orang kelelap, lalu dia berganti pakaian sembari memberi jawaban kepada laki-laki itu dan dalam waktu singkat selesailah ganti pakaian renang.

Laki-laki setengah umur itu merasa girang melihat yang diundang sudah muncul, katanya cepta, "A Sing, lekas kemari, akulah yang melemparkannya ke danau tanpa sengaja, tak tersangka ia terus tenggelam."

"Coba terangkan dulu. Dia pria atau wanita? Jika pria akan kutolong, kalau wanita, persetan!" demikian wanita itu bertanya.

Siau Hong dang A Cu jadi heran, pikir mereka, "lazimnya, mestinya dia menolak menolong kaum pria karena tidak pantas bersentuhan badan antara kedua jenis yang berlainan. Tapi sekarang ia justru ingin sebaliknya, hanya mau menolong kaum pria dan tidak sudi menolong sesama kaumnya?"

Maka terdengar laki-laki setengah umur menjawab tak sabar,"Ai, kamu ini memang suka mengada-ada. Dia hanya seorang dara cilik belasan tahun, jangan kaupikir yang tidak-tidak."

"Huh, apa bedanya bagimu dara cilik belasan tahun atau nenek-nenek reyot? Asal ada semuanya akan kauterima dengan tutup mata!"

demikian jengek wanita cantik itu. Tapi ia menjadi merah jengah setelah mengetahui di situ masih ada dua orang yang tak dikenalnya, yaitu Siau Hong dan A Cu.

Ternyata laki-laki setengah umur itu tidak marah oleh olok-olok wanita itu, sebaiknya ia memberi hormat di atas samana dan memohon," Sudahlah, A Sing, lekas kautolong dia, apa yang kauinginkan, pasti akan kuturut."

"Apa benar segala apa kaumau menurut padaku?" tanya si wanita cantik.

"Sudah tentu," sahut orang itu. "Ai, sudah sekian lama nona cilik itu tenggelam, tentu jiwanya sudah melayang ...."

"Kalau kuminta kautinggal di sini untuk selamanya, apakah kaupun menurut?" demikian si wanita cantik bertanya pula.

Laki-laki setengah umur itu menjadi serba susah, sahutnya tergagap, "tentang ini ... ini ...."

"Nah, apa kataku?" ujar si wanita cantik, "hanya mulut saja yang manis, baru saja omong, sekarang sudah mungkir. Memang selamanya engkau tidak pernah menuruti permintaanku ini."

Bicara sampai di sini, suaranya kedengaran rada tersendat.

Siau Hong saling pandang sekejap dengan A Cu, mereka merasa sangat heran atas kelakuan laki-laki setengah umur dan wanita cantik itu. Usia kedua orang sudah tidak muda lagi, tapi tingkah laku dan cara bicaranya mirip sepasang kekasih yang sedang memadu cinta.

Tapi tingkah mereka juga tidak serupa suami istri, lebih-lebih si wanita cantik, di hadapan orang luar cara bicaranya sedikit pun tidak pantang,, bahkan pada saat bicara mengenai keselamatan jiwa seseorang dia justru bicara hal-hal yang tiada sangkut paut dengan urusan menolong jiwa orang itu.

Begitulah akhirnya laki-laki setengah umur itu menghela napas, katanya sambil mendayung sampan ke tepi danau, "Sudahlah, tidak perlu menolongnya lagi. Nona cilik itu menyerang aku dengan Am-gi berbisa, jika mati juga pantas, marilah kita pulang saja!"

"Mengapa tidak menolongnya?" mendadak wanita cantik itu membantah, "Aku justru ingin menolongnya. Kaubilang diserang Am-gi berbisa olehnya? Itulah bagus, kenapa kamu tidak mampus kena senjatanya itu? Sayang, sungguh sayang!"

Ia tertawa ngikik sekali, tiba-tiba ia melompat tinggi ke udara, lalu terjun ke dalam danau.

Kepandaian wanita cantik itu dalam hal berenang ternyata sangat hebat, "plung", hanya menerbitkan suara

perlahan saja waktu tubuhnya menyelam ke bawah air,bahkan membuih pun tidak. Hanya sekejap saja lantas terdengar suara air tersiak, "byuuur", wanita cantik itu telah menongol ke permukaan air dengan tangan menyanggah tubuh si dara cilik berbaju ungu tadi.

Laki-laki setengah umur itu sangat girang, katanya di dalam hati. "Dia memang suka menggoda padaku. Aku gugup dan ingin lekas menolong dara itu, dia justru tidak mau menolong dengan macam-macam alasan. Sesudah aku bilang tidak perlu menolongnya lagi, dia lantas terjun ke air dan menolongnya."

Maka cepat ia mendayung sampannya memapak ke tengah danau.

Sesudah dekat, segera laki-laki setengah umur itu mengulur tangan hendak menyambut badan si gadis baju ungu yang tak brkutik itu, kedua mata anak dara itu tampak tertutup rapat, bahkan napasnya seperti sudah berhenti, dengan sendirinya hal ini membikin laki-laki itu rada menyesal.

Mendadak wanita cantik itu membentak, "Tarik tanganmu, jangan kausentuh dia. Kamu ini mata keranjang, tak dapat diercaya!"

"Ngaco balo!" laki-laki itu pura-pura marah. "Selama hidupku ini tidak pernah mata keranjang."

Mendadak wanita cantik itu mengikik tawa, sambil mengangkat si dara baju ungu ia lompat ke atas sampan, lalu katanya, "Ya, memang selamanya kamu tidak mata keranjang, tapi lebih suka .... Ai ..."

Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena mendadak diketahuinya denyut jantung anak dara itu sudah terhenti, napasnya dengan sendirinya juga sudah putus. Cuma perut anak dara itu tidak kelihatan gembung, agaknya tidak banyak air danau yang diminumnya.

Wanita cantik itu sangat mahir berenang, ia menduga dalam waktu singkat itu tidak mungkin orang mati terbenam, siapa duga badan anak dara itu terlalu lemah dan ternyata sudah meninggal.

Wanita itu jadi menyesal, cepat ia gendong anak dara itu dan melompat ke daratan sambil berseru, "Cepat, kita harusmencari akal untuk menyelamatkan jiwanya!"

Lalu ia mendahului berlari ke hutan bambu sana dengan membawa anak dara itu.

Segera laki-laki setengah umur tadi mengangkat si nelayan yang masih terbungkus di dalam jaring dan bertanya kepada Siau Hong, "Siapakan nama saudara yang terhormat? Entah ada keperluan apa berkunjung kemari?"

Melihat sikap orang yang agung berwibawa, menghadapi kematian si dara baju ungu yang mengenaskan itu ternyata dapat berlaku tenang sekali, mau-tak-mau Siau Hong merasa kagum juga. Maka jawabnya, "Caihe Siau Hong, orang Cidan. Karena dipesan oleh dua orang sahabat, maka ingin menyampaikan sesuatu berita ke sini."

Sebenarnya nama Kiau Hong boleh dikatakan tiada seorang pun yang tak kenal di kalangan kangouw. Tapi sejak ia ganti nama menjadi Siau Hong, selalu ia memperkenalkan pula asal-usulnya sebagai orang Cidan secara blak-blakan.

Biarpun nama Siau Hong rupanya tidak dikenal oleh laki-laki setengah umur itu, tapi ketika mendengar kata "orang Cidan", sedikitpun ia tidak merasa heran, ia hanya tanya lagi, "Siapakah kedua sobat yang minta tolong kepada Siau-heng itu? Entah berita apa yang Siau-heng bawa?"

"Kedua sobat itu yang seorang memakai kapak, yang lain berdandan sebagai petani dan membawa cangkul serta mengaku she Tang, kedua sobat itu terluka semua ....."

Mendengar kedua orang itu terluka, laki-laki setengah umur itu terkejut dan cepat menyela, "Hah, bagaimana luka mereka? Di manakah mereka berada sekarang? Siau-heng, kedua orang itu adalah kawan sehidup sematiku, mohon engkau suka memberi keterangan agar aku dapat ... dapat segera pergi menolong mereka."

Melihat orang sedemikian setia kawan, Siau Hong merasa kagum, sahutnya, "Luka kedua sobat itu cukup parah, tapi tidak membahayakan jiwa mereka, kini mereka berada di kota sana...."

Belum selesai penuturan Siau Hong, segera orang itu memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, lalu si nelayan diangkatnya terus dibawa lari ke arah datangnya Siau Hong tadi.

Pada saat itulah tiba-tiba dari hutan bambu sana terdengar suara seruan si wanita cantik tadi, "Lekas kemari, lekas! Lihatlah ini, ai, lihatlah apa ... apa ini!"

Dari suaranya dapat diketahui hatinya sangat terguncang dan kuatir.

Maka mendadak laki-laki setengah umur itu berhenti, ia ragu-ragu, tiba-tiba terlihat dari depan seorang mendatangi secepat terbang sambil berteriak-teriak, "Cukong, Cukong, ada orang membikin onar ke sini?"

Waktu Siau Hong perhatikan, kiranya pendatang itu adalah si Su-sing yang melukis secara terbalik di jembatan batu itu. Pikirnya, "Semula kusangka dia sengaja merintangi aku, tak tahunya dia adalah kawan si lelaki gila berkapak dan si petani yang terluka itu. Dan 'Cukong' yang mereka sebut itu kiranya laki-laki setengah umur ini."

Dalam pada itu si Su-sing juga sudah melihat Siau Hong dan A Cu berada di situ, bahkan berdiri di samping sang "Cukong", ia melengak.

Ketika sudah dekat dan melihat si nelayan tertawan di dalam jaring ikan, ia terkejut dan gusar pula, segera ia tanya, "Ada ... ada apakah?"

Sementara itu terdengar seruan si wanita cantik di tengah hutan bambu sana semakin kuatir, "Hai, mengapa kamu masih belum kemari? Ai....."

Mau-tak-mau laki-laki setengah umur itu ikut kuatir juga, cepat katanya,"Biar kupergi melihatnya!"

Sambil mengangkat si nelayan, terus saja ia berlari ke hutan bambu sana.

Dari langkahnya yang enteng dan gesit, cepatnya melebihi kuda lari, nyata ilmu silatnya pasti lain daripada yang lain. Siau Hong jadi tertarik, dengan sebelah tangan menahan pinggang A Cu, terus saja ia lari sejajar dengan orang itu dengan sama cepatnya.

Orang itu memandang sekejap ke arah Siau Hong dengan penuh rasa kagum. Sebenarnya ia tidak perbolehkan orang luar masuk ke hutan bambu itu, tapi demi nampak kepandaian Siau Hong tinggi sekali, mau-tak-mau timbul rasa sukanya sebagai sesama ksatria, biarpun belum kenal, namun sudah timbul niatnya buat bersahabat, maka ia tidak pandang Siau Hong sebagai orang asing lagi.

Sebaliknya Siau Hong dan A Cu sudah tentu tidak tahu bahwa hutan bambu itu sebenarnya dilarang dimasuki sembarangan orang. Mereka cuma tertarik oleh suara teriakan si wanita cantik yang penuh rasa kuatir itu, mereka menduga pasti terjadi sesuatu, maka mereka ikut ke situ.

Hanya sebentar saja mereka sudah memasuki hutan bambu itu. Benar juga bambu yang tumbuh di situ bentuknya tidak bulat, tapi persegi. Kira-kira belasan meter masuk ke dalam hutan itu, tertampaklah tiga petak

rumah kecil mungil dan indah.

Ketika mendengar suara tindakan orang, segera wanita cantik itu memapak keluar sambil berseru,"Coba ... coba lihatlah apakah ini?"

Ternyata yang diunjukkan itu adalah sebuah mainan kalung emas.

Siau Hong tahu mainan kalung begitu adalah barang perhiasan kaum wanita yang sangat umum misalnya A Cu juga mempunyai sebuah yang serupa, yaitu yang tempo hari akan dijual guna biaya perjalanan, tapi tidak jadi dijual dan kini malahan terpakai di leher A Cu.

Di luar dugaan, mendadak air muka si lelaki setengah umur berubah hebat demi melihat mainan kalung itu, serunya dengan suara gemetar, 'Da ...darimana kaudapatkan barang ini?"

"Terpakai di lehernya dan kuambilnya," demikian sahut si wanita cantik dengan suara tersendat, "Dulu telah kugores tanda pada lengan mereka, coba kau... kaulihat sendiri sana!"

Cepat laki-laki setengah umur itu berlari masuk ke dalam rumah. Mendadak A Cu juga menyelinap masuk ke sana hingga mendahului si wanita cantik malah. Siau Hong lantas menyusul juga di belakang si wanita cantik itu.

Sesudah di dalam rumah, tertampaklah sebuah kamar tidur kaum wanita yang terpajang sangat rajin dan resik. Di antara rajin dan resik itu tersiar pula ada semacam bau yang aneh, cuma Siau Hong tidak sempat memikirkan lagi, ia lihat di atas dipan membujur si dara baju ungu tadi dalam keadaan tak berkutik lagi. Nyatanya orangnya sudah mati sejak tadi.

Dalam pada itu, si lelaki setengah umur telah menggulung lengan baju anak dara itu untuk periksa lengannya, sesudah melihat segera ia tutup kembali lengan bajunya.

Siau Hong berdiri di belakang laki-laki itu, maka ia tidak tahu tanda apa sebenarnya yang terdapat di lengan anak dara itu. Hanya dilihatnya punggung laki-laki setengah umur itu rada tergetar, suatu tanda perasaannya sangat terguncang.

Pada lain saat si wanita cantik lantas jambret dada baju si lelaki setengah umur sambil menangis dan berteriakteriak,"Lihatlah itu, putrimu sendiri telah kaubunuh pula, kamu tidak membesarkan dia, tapi malah membunuhnya, kau ...sungguh seorang ayah yang kejam!"

Keruan Siau Hong terheran-heran, pikirnya, "Aneh, ternyata anak dara itu adalah putri mereka? Ah, tahulah aku. Tentunya sesudah anak dara itu dilahirkan, lalu dititipkan pada orang lain dan mainan kalung dan tanda di lengan itu adalah tanda pengenal yang mereka tinggalkan pada anak dara itu."

Mendadak Siau Hong melihat air mata A Cu bercucuran, badab pun sempoyongan sambil berpegangan tepi tempat tidur. Keruan ia terkejut, cepat ia memburu maju untuk memayang A Cu. Sekilas dilihatnya bola mata si anak dara yang sudah mati itu bergerak sekali.

Sebenarnya mata anak dara itu terpejam rapat, tapi biji matanya bergerak tetap kelihatan dari luar kelopak mata. Namun Siau Hong sedang kuatirkan keadaan A Cu, segera ia tanya, "Ada apa A Cu?"

Cepat A Cu berdiri tegak kembali, ia mengusap air mata dan menjawab dengan senyum ewa, "Ah, tidak apaapa. Aku merasa sedih melihat ke ...kematian nona yang mengenaskan ini."

Siau Hong merasa lega oleh keterangan itu. Sedang si wanita cantik masih menangis sambil berkata, "Denyut jantungnya sudah berhenti, napasnya juga sudah putus, tak bisa tertolong lagi!"

Tapi diam-diam Siau Hong sangsi, ia coba mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan kepada anak dara itu melalui urat nadi yang dipegangnya, menyusul ia lantas kendurkan tekanan tenaganya. Benar juga terasa olehnya dari badan anak dara itu tiimbul semacam tenaga tolakan, nyata anak dara itu juga mengerahkan tenaga dalam untuk menjaga diri.

Maka tertawalah Siau Hong dengan terbahak-bahak, katanya, "Nona senakal ini sungguh jarang ada di dunia ini!"

Si wanita cantik menjadi gusar, semprotnya," Siapakah engkau ini? Aku kematian anak, tapi kamu sembarangan mengoceh di sini. Ayo lekas enyah dari sini!"

"Engkau kematian anak, bagaimana jika kuhidupkan dia kembali?" ujar Siau Hong dengan tertawa. Dan sekali tangannya bergerak, terus saja ia tutuk hiat-to bagian pinggang anak dara itu.

Hiat-to yang diarah itu adalah 'keng-bun-hiat' yang merupakan tempat halus yang bisa membuat orang merasa geli. Karena tak tahan, anak dara itu lantas mengikik tawa sambil melompat bangun dari tempat tidurnya. Berbareng ia menjulur tangan kiri untuk pegang pundak Siau Hong.

Orang mati bisa hidup kembali, keruan hal ini membuat orang merasa heran. Serta merta si wanita cantik bersorak gembira sambil pentang kedua tangan hendak memeluk si anak dara.

Di luar dugaan, mendadak Siau Hong kipatkan tangan si anak dara yang hendak memegang pundaknya tadi, berbareng ia menampar pipinya hingga anak dara itu sempoyongan, tapi Siau Hong lantas mengulur tangan yang lain untuk menariknya sambil berkata dengan tertawa dingin,"Hm, anak sekecil ini mengapa sedemikian kejinya?"

"Hah, kenapa kaupukul anakku?" seru si wanita cantik. Coba kalau tidak mengingat Siau Hong telah menghidupkan putrinya, boleh jadi ia sudah melabraknya.

Siau Hong lantas puntir tangan si dara yang dipegangnya itu dan berkata, "Coba lihat!"

Ketika semua orang memandang tangan anak dara itu, ternyata yang digenggamnya adalah sebatang jarum halus berwarna hijau mengkilap, sekali lihat saja orang segera tahu itu adalah senjata rahasia berbisa.

Kiranya dengan pura-pura hendak memegang pundak Siau Hong tadi diam-diam ia hendak menusuk bekas Pangcu itu dengan jarum berbisa.

Untung Siau Hong cukup sigap dan jeli hingga tidak dikerjai nona itu.

Dalam pada itu si nona sedang meraba-raba pipinya yang merah bengap karena tamparan Siau Hong tadi. Sudah tentu pukulan Siau Hong cuma perlahan saja, kalau keras, mungkin kepalanya sudah pecah.

Karena tangannya terpegang Siau Hong hingga tertangkap bukti, untuk melepaskan diri juga tak bisa karena badan terasa lemas lantaran urat nadi tangan terpencet Siau Hong. Tapi nona itu lantas main air mata, ia mewek-mewek dan akhirnya menangis sambil berseru,"O, kenapa engkau memukul aku, memukul anak kecil!"

"Ai, sudahlah, jangan menangis!" demikian kata si lelaki setengah umur. "Orang cuma memukulmu dengan perlahan dan kamu lantas menangis, habis sedikit-sedikit kauserang orang dengan am-gi berbisa, memang kamu harus diberi hajaran."

"Jarum Pek-lian-ciam ini toh bukan am-gi paling lihai, aku masih punya am-gi lain yang lebih hebat," kata si anak dara sambil menangis.

"Ya, mengapa tidak kaugunakan Bu=hong-hun (bubuk tak berwujud) atau Hu-kut-san(puyer pembusuk tulang) atau kek-lok-ji (duri maha gembira) atau Coan-sim-ting(paku penembus hati)?" ujar Siau Hong dengan menjengek.

"Dari mana kautahu?" mendadak anak dara itu berhenti menangis dan bertanya dengan heran.

"Sudah tentu aku tahu," sahut Siau Hong, "Aku tahu juga gurumu adalah Sing-siok-hai-Lomo(Iblis dari Singsiok-hai), maka kutahu pula macam-macam amgi berbisa yang kaupakai itu."

Mendengar ucapan SIau Hong itu, semua orang terkejut.

Iblis tua Sing-siok-hai adalah tokoh persilatan dari sia-pai atau aliran jahat yang disegani setiap orang. Yang menghormat padanya menyebutnya sebagai "Lojin" atau si kakek, tapi yang tidak suka lantas menyebutnya sebagai "Lomo" atau si Iblis tua.

Iblis itu tidak peduli benar atau salah, segala kejahatan dapat diperbuatnya, dan justru ilmu silatnya teramat tinggi hingga orang lain tidak berani mengapa-apakan dia. Sukur dia jarang datang ke daerah Tionggoan hingga tidak banyak bencana yang ditimbulkan olehnya.

"A Ci, mengapa kamu dapat mengangkat guru pada Sing-siok-hai Lojin?" tanya si lelaki setengah umur.

Tiba-tiba mata si dara baju ungu terbelalak lebar sambil mengamat-amat orang itu, tanyanya kemudian,"Darimana kaukenal namaku?"

Laki-laki setengah umur itu menghela napas, sahutnya, "Masakah percakapan kami tadi tidak kaudengar?"

Nona itu menggeleng kepala, katanya ,"Sekali aku pura-pura mati, maka pancaindraku menjadi mace semuanya hingga tidak melihat dan tidak mendengar lagi."

"Itu Ku-lok-kang(ilmu kura-kura mengeram) dari Sing-siok Lojin," kata Siau Hong sambil melepaskan tangan si dara yang dipegangnya itu.

"Huh, sok tahu," A Ci atau si ungu melotot padanya.

Lalu si wanita cantik memegangi A Ci dan mengamat-amatinya dengan tertawa, sungguh rasa girangnya tak terkatakan.

Siau Hong tahu mereka adalah ibu dan anak, sebaliknya A Ci yaitu si anak dara berbaju ungu belum lagi tahu.

"Mengapa kamu pura-pura mati hingga membikin kuatir kami," kata si lelaki setengah umur tadi.

"Habis, siapa suruh kaulemparkan aku ke danau?" sahut A Ci dengan sangat senang, "Huh, engkau ini bukan manusia baik-baik."

Laki-laki itu berpaling sekejap kepada Siau Hong dengan air muka yang serba kikuk, katanya dengan tersenyum getir, "Ai, nakal, sungguh nakal!"

Siau Hong tahu pasti banyak yang hendak dibicarakan di antara ayah-bunda dan anak yang telah bertemu kembali itu, maka ia menarik A Cu keluar hutan bambu. Di sana dilihatnya kedua mata A Cu merah bendul, badan gemetar terus, cepat tanyanya dengan kuatir,"He, apa kamu tidak enak badan, A Cu?"

Segera ia pegang nadi tangan si gadis dan terasa denyutnya sangat cepat, suatu tanda hatinya terguncang.

A Cu menggeleng kepala sambil menyatakan tidak apa-apa. Kedua orang menikmati sebentar bambu yang berbentuk persegi dan indah itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara tindakan orang yang cepat, ada tiga orang tampak berlari ke arah sini, satu di antaranya memiliki ginkang yang hebat sekali. Tergerak hati Siau Hong, "Jangan-jangan Tai-ok-jin itu sudah datang?"

Segera ia keluar hutan bambu, ia lihat ketiga orang itu berlari datang menyusur jalan kecil di tepi danau, dan di antaranya masing-masing memanggul seorang lagi. Seorang lagi bertubuh pendek kecil dan jalannya secepat terbang seakan-akan kaki tidak menyentuh tanah. Begitu cepat larinya hingga sering ia berhenti dulu untuk menunggu kedua kawannya yang tertinggal di belakang.

Sesudah dekat, dapatlah Siau Hong melihat kedua orang yang dipanggul itu adalah si lelaki gila berkapak yang

dilihatnya di kota itu, sedang seorang lagi adalah si petani yang membawa cangkul.

Terdengar orang yang pendek kecil itu berteriak-teriak,"Cukong! cukong! Tai-ok-jin telah datang, mari lekas kita pergi saja!"

Baru dua kali ia berseru, tertampak si lelaki setengah umur tadi sudah keluar dari hutan bambu sambil menggandeng si wanita cantik dan si anak dara yang bernama A Ci itu.

Muka mereka tampak ada bekas air mata. Cepat laki-laki itu melepaskan kedua orang yang digandengnya terus memburu ke samping orang-orang yang terluka itu, ia periksa urat nadi mereka, ketika mengetahui tidak membahayakan jiwa mereka, ia menampilkan rasa lega, lalu katanya,"Ketiga saudara tentu lelah, untung luka Siau dan Tang-hiante tidak gawat, maka legalah hatiku."

Segera ketiga orang yang baru datang itu memberi hormat. Diam-diam Siau Hong heran,"Dari ilmu silat dan lagak mereka, terang mereka bukanlah sembarangan tokoh, tapi mengapa terhadap laki-laki setengah umur ini mereka begini menghormat, sungguh sukar dimengerti."

Dalam pada itu orang yang pendek kecil tadi telah berkata,"Lapor Cukong, dengan memakai sedikit siasat Taiok-jin dapat hamba merintangi untuk sementara. Tapi mungkin dia sudah melampaui rintangan itu, harap Cukong lekas pergi dari sini saja."

"Sungguh tidak beruntung keluarga kami terdapat keturunan durhaka seperti dia itu," demikian kata laki-laki setengah umur. "Jika sekarang sudah kepergok di sini, jalan lain tidak ada lagi kecuali menghadapinya."

"Soal menghadapi musuh dan membasmi kejahatan adalah tugas kewajiban hamba sekalian. Cukong harus mengutamakan kepentingan negara dan lekas pulang ke Tayli agar Hongsiang tidak merasa kuatir." kata seorang di antaranya yang bermata besar dan beralis tebal.

Siau Hong terkesiap mendengar pembicaraan itu, pikirnya, "Aneh, mengapa pakai sebutan 'hamba' dan 'Cukong', lalu suruh dia lekas pulang Tayli apa segala? Masakah laki-laki setengah umur ini adalah orang dari keluarga Toan di Tayli?"

Begitulah diam-diam hati Siau Hong berdebar-debar, ia membatin,"Jangan-jangan sudah ditakdirkan bahwa keparat Toan Cing-sun ini secara kebetulan kepergok olehku sekarang?"

Sedang Siau Hong merasa sangsi, tiba-tiba dari jauh terdengar orang bersuit panjang nyaring, menyusul terdengar seorang yang mirip gesekan benda logam berkata,"Anak kura-kura she Toan, sekarang kamu tak bisa lari lagi, boleh kauterima nasib saja dan mungkin Locu menaruh belas kasihan dan jiwamu akan kuampuni!"

Lalu suara seorang wanita menangapi,"Mengampuni jiwanya atau tidak bukan hakmu, masakah Lotoa sendiri tak bisa mengambil keputusan?"

"Ya, biarkan anak kura-kura she Toan itu tahu gelagat dulu daripada berlagak gagah." ujar seorang lagi dengan suara melengking aneh, tapi nadanya kurang tenaga seakan-akan orang yang baru sembuh dari sakit berat atau masih terluka dalam.

Siau Hong bertambah curiga mendengar laki-laki setengah umur itu berulang-ulang disebut she Toan oleh para pendatang itu. Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang kecil halus menggenggam tangannya, waktu ia melirik, kiranya A Cu, wajah gadis itu tampak pucat lesu, tangan dingin pula. Segera ia tanya dengan perlaha,"A Cu, apa kamu tidak enak badan?"

"Tidak, tapi ... tapi aku sangat takut, Toako," sahut A Cu dengan tak lancar.

Siau Hong tersenyum, katanya, "Berada di samping Toakomu ini, masakah perlu merasa takut kepada siapa pun?"

Lalu ia merotkan mulut ke arah laki-laki setengah umur tadi dan membisiki A Cu,"Orang ini agaknya anggota keluarga Toan dari Tayli."

A Cu tidak menjawab, tidak membenarkan juga tidak membantah, hanya bibirnya tampak sedikit gemetar.

Dalam pada itu seorang yang berperawakan sedang di antara ketiga orang yang baru datang tadi berkata,"Cukong, urusan hari ini janganlah gegabah, jika terjadi apa-apa atas diri Cukong, bagaimana kami ada muka untuk menghadap Hongsiang kelak, maka tekad kami adalah membunuh diri."

Kiranya laki-laki setengah umur itu memang benar adalah adik baginda raja Tayli, Toan Cing-sun bergelar Tinlam-ong. Oleh karena waktu mudanya ia memang seorang "Arjuna", seorang romantis, maka di mana-mana ia main roman dengan kaum wanita.

Dasar perawakannya gagah, tampang cakap, pangeran pula, dengan sendirinya di mana-mana banyak wanita

cantik yang kepincut padanya. Pula sebagai pangeran, soal punya empat istri atau lima selir adalah soal lumrah.

Keluarga Toan mereka berasal dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, walupun kemudian menjadi raja di Tayli, tapi penghidupan mereka masih menurunkan ajaran leluhur dan tidak berani terlalu mewah dan berlebihlebihan. Di tambah lagi istri kawin Toan Cing-sun yaitu Si Pek-hong yang suka cemburu, bagaimanapun ia keberatan kalau Toan Cing-sun mengambil istri kedua. Tapi karena pangeran bangor itu masih suka main gila dengan wanita lain, saking jengkelnya Si Pek-hong cukur rambut menjadi Nikoh dengan gelar Yan-toan-siancu (baca jilid 3).

Memang banyak juga kekasih Toan Cing-sun seperti Cin Ang-bun yaitu ibu Bok Wan-jing. A Po istri Ciong Ban-siu dan Wi Sing-tiok, ibu A Ci yang tinggal di hutan bambu ini, semuanya adalah bekas gula-gulanya dan mempunyai kisah roman sendiri sendiri.

Kedatangan Toan Cing-sun kali ini tujuan adalah Siau-lim-si, tapi kesempatan ini telah dipergunakan untuk menyambangi Wi Sing-tiok yang tinggal mengasingkan diri di Siau-keng-oh yang indah ini.

Selama beberapa hari ini kedua kekasih lamasedang tenggelam dalam lautan madu yang memabukkan, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa putri kandung mereka mendadak bisa pulang dan berkumpul kembali dengan mereka. Dan selagi mereka merasa senang, mendadak diketahui pula musuh besar sedang mencarinya.

Tatkala Toan Cing-sun mengeram di tempat tinggal Wi Sing-tiok, jago-jago pengawal yang dia bawa yaitu Sam-kong, Su-un, tiga kong (gelar pahlawan) dan empat jago terpendam masing masing berjaga di sekeliling Siau-keng-oh.

Tak terkira musuh terlalu lihai, Jai-sin-khek Siau Tok-sing, si tukang kayu dan Tiam-jong-san-long Tang Sukui, si petani berturut-turut dilukai musuh besar itu. Sedangkan Pit-bi-seng Cu Tan-sin, si sastrawan, salah sangka Siau Hong sebagai musuh dan berusaha menyesatkannya di jembatang batu itu, tapi gagal. Dan Bosian-tio-toh Leng Jian-li si nelayan atau si tukang mancing malahan kena ditawan oleh jaring A Ci.

Ketiga orang tersebut belakangan itu adalah Tayli Sam-kong, yaitu Su-khonh Po Thian-sik, Su-ma Hoan Hoa dan Su-to Hoa Hik-kim.

'Tiatia, hadiah apa yang akan kauberikan padaku?" sahut A Ci dengan tertawa.

Cing-sun berkerut kening, katanya, "Kamu tidak menurut, kusuruh ibu menghajarmu. Kau berani menggoda Leng-sioksiok, ayo lekas minta maaf?"

"Jika begitu, engkau telah melemparkanku ke danau hingga aku mesti pura-pura mati, kenapa engkau tidak minta maaf juga padaku? Biar akupun minta ibu menghajarmu!" sahut A Ci.

Diam-diam Pa Thian-sik dan lain-lain terkesiap, karena muncul pula seorang putri TIn-lam-ong yang nakal dan bandel, sedikitpun tidak kenal aturan kepada orang tua.

Walaupun nona cilik itu bukan putri Tin-lam-ong yang resmi, tapi jelek-jelek adalah putri pangeran, jika digoda olehnya seperti Leng Jian-li, wah, terpaksa menganggap diri sendiri yang sial.

Sedang Cing-sun hendak omong pula, tiba-tiba Wi Sing-tiok, si wanita cantik membuka suara,"A Ci mestikaku, ayolah lekas, lepaskan Leng-sioksiok, nanti ibu memberi hadiah bagus padamu."

"Berikan dula hadiahnya, akan kulihat apakah baik atau tidak?" sahut A Ci sambil menyodorkan tangannya.

Sungguh Siau Hong sangat mendongkol melihat kenakalan anak dara itu. Ia menghormati Leng Jian-li sebagai seorang gagah, segera ia angkat tubuh si tukang mancing itu dan berkata,"Leng-heng, jaring ini akan kendur bila terkena air, biarlah kurendam sebentar ke dalam air."

"Lagi-lagi kaucampur tangan urusan orang!" seru A Ci dengan gusar. Tapi tadi dia telah ditampar sekali oleh Siau Hong, ia sudah kapok dan tak berani merintangi.

Segera Siau Hong membawa Leng Jian-li ke tepi dananu, ia rendam sebentar di dalam air, benar juga jaring dari benang halus itu lantas kendur dan mulur. Maka dapatlah Siau Hong membuka jaring ikan itu untuk membebaskan Leng Jian-li.

"Banyak terima kasih atas pertolongamu, Siau-heng," kata Leng Jian-li dengan suara perlahan.

"Bocah itu terlalu nakal, tapi tadi sudah kugampar dia sekali untuk melampiaskan rasa dongkol Leng-heng," ujar Siau Hong dengan tersenyum.

Leng Jian-li hanya geleng-geleng kepala saja dengan lesu.

Segera Siau Hong menggulung jaring halus itu, ia kepal jaring itu hingga menjadi bola sebesar cangkir.

"Kembalikan padaku!" tiba-tiba A Ci mendekatinya hendak meminta kembali jaring itu.

Tapi ketika Siau Hong mengangkat tangannya pura-pura hendak menghajarnya, A Ci menjadi ketakutan dan melompat mundur. Ia jawil ujung baju Toan Cing-sun dan merengek-rengek,"Ayah, dia merampas jaringku, mintakan kembali!"

Melihat tindak-tanduk Siau Hong agak aneh, Cing-sun yakin orang tiada maksud jahat, tapi hanya sekadar memberi hukuman saja kepada A Ci. Tidak mungkin seorang tokoh demikian ingin mengangkangi barang anak kecil.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pa Thian-sik berserum,"Selamat datang, In-heng! Sungguh aneh,ilmu silat orang lain makin dilatih makin tinggi, mengapa In-heng justru terbalik, makin berlatih makin mundur? Ayolah turun kemari!"

Habis berkata, terus saja ia menghantam pohon di sampingnya, "krek", ranting pohon terhantam patah, berbareng dengan jatuhnya ranting kayu itu ikut melompat turun pula seorang yang sangat tinggi, tapi kurus kering, itulah dia "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, satu di antara Su-ok yang maha jahat itu.

Waktu di Cip-hian-ceng tempo hari In Tiong-ho kena dihantam sekali oleh Siau Hong dan jiwanya hampir melayang, untung luka itu dapat disembuhkannya, tapi lwekangnya jauh mundur daripada dulu.

Tempo hari ketika dia bertanding ginkang dengan Pa Thian-sik di Tayli, kepandaian kedua orang boleh dikatakan seimbang, tapi kini demi mendengar suara gerakan lawan itu, segera Pa Thian-sik tahu kepandaian lawan itu benyak lebih mundur daripada dulu.

Ketika mendadak nampak Siau Hong juga berada di situ, In Tiong-ho terkejut, cepat ia putar balik memapak ketiga orang yang sedang mendatang dari jalan kecil di tepi danau sana.

Ketiga orang itu yang berada paling kiri berkapala batok dan berpakaian cokak, itulah "Hiong-sin-ok-sat" alias Lam-hai-gok-sin. Yang sebelah kanan membopong seorang bayi, itulah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio. Dan orang yang berada di tengah, berjubah hijau dan memakai dua batang tonkat bambu hitam gelap, mukanya kaku seperti mayat hidup, itulah dia kapala Su ok bergelar "Ok-koan-boan-eng" Toan Yan-khing adanya.

Su-ok jarang datang ke Tionggoan, lebih-lebih Toan Yan-khing, dia jarang tampil ke muka umum, maka Siau Hong tidak kenal padanya.

Tapi Toan Cing-sun pernah bertemu dengan Su-ok di Tayli, ia tahu Yap Ji-nio dan Gal-losam meski cukup lihai, namun masih dapat dilawan, sebaliknya Toan Yan-khing inilah yang lain daripada yang lain, sudah mahir It-yang-ci dari keluarga Toan, berhasil melatih pula ilmu Sia-pai yang sangat lihai, tempo hari sampai Ui-biceng dan Po-ting-to Toan Cing-beng juga kewalahan melawannya.

Dengan sendirinya Toan Cing-sun insaf dirinya bukan tandingan Yan-khing Taicu itu.

Seperti telah diceritakan bahwa Toan Yan-khing sebenarnya adalah putra mahkota raja Tayli yang dulu. Ayahnya yaitu Toan Lim-gi dengan gelar Siang-tel-te, telah dibunuh oleh menteri dorna, dalam keadaan kacau Yan-khing Taicu telah menghilang. Maka tahta kerajaan Tayli akhirnya terturun sampai di tangan Toan Cingbeng.

Kini munculnya Yan-khing Taicu justru ingin menagih kembali tahta ayah bagindanya itu. Ia tahu Toan Cingsun adalah adik baginda raja Tayli sekarang, raja Tayli sekarang tidak punya keturunan, tahta tentu akan diteruskan oleh Toan Cing-sun, kalau sekarang Toan Cing-sun dapat dibunuh lebih dulu, itu berarti sudah hilang suatu rintangan bagi maksud tujuannya.

Sebab itulah, demi didengarnya Toan Cing-sun datang ke Tionggoan, ia terus mencari dan menguntitnya hingga sampai di Siau-keng-oh.

Di tengah jalan Siau Tok-sing dan Teng Su-Kui tidak berhasil merintangi kedatangan Yan-khing Taicu itu, bahkan mereka dilukai, yang satu terkena Liap-hun-tai-hoat hingga hilang ingatan dan yang lain dada terjojoh oleh tongkat bambu hingga berlubang.

Begitulah maka Su-ma Hoan Hoa yang banyak tipu akalnya itu segera memberi usul,"Cukong,Toan Yan-khing itu bermaksud jahat atas dirir Cukong, demi kepentingan negara, hendaklah Cukong lekas pulang ke Thianliong-si untuk mengundang para padri saleh di sana guna melawan durjana ini!."

Dengan usul ini, maksudnya minta Toan Cing-sun suka pulang ke Tayli, di samping itu jika Yan-khing berada di di dekat situ, ia sengaja perkeras ucapannya itu agar musuh merasa sangsi jangan-jangan para padri yang lihai dari Thian-liong-si juga berada di situ.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar