Pendekar Laknat Jilid 1-10

Sin Liong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Laknat Jilid 1-10 Demikian pertanyaan yang selalu menghuni dalam benak Siau-liong, jejaka berumur 16 tahun yang sedang belajar pada Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsin To.
Pendekar Laknat Jilid 1-10
1. Pusar Bumi

MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA?

Demikian pertanyaan yang selalu menghuni dalam benak Siau-liong, jejaka berumur 16 tahun yang sedang belajar pada Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsin To.

Mengapa gurunya melarang ia untuk menuntut balas atas kematian ayahnya....? Kata gurunya, larangan itu adalah pesan terakhir dari ayahnya, pada saat hendak menghembuskan napas terakhir.

Mengapa mendiang ayahnya berpesan begitu? Dan mengapa pula gurunya melarang ia berkeliaran ke balik gunung? Sudah 10 tahun lamanya, pertanyaan itu mencengkam pikirannya, tanpa penyelesaian.

Saat itu gurunya sedang pergi memetik daun obat kelain tempat. Sebelumnya, Siau-liong telah dipesan supaya jangan berkeliaran ke balik gunung dan supaya tiap hari giat berlatih silat saja. Entah bagaimana saat itu, timbullah keinginan Siau-liong untuk mengetahui apakah dibalik rahasia dari larangan gurunya itu.

Tentang kematian ayahnya, menurut keterangan gurunya, telah dibunuh oleh To Hun-ki, ketua partai Kong-tong-pay. Tong Gun-liong, demikian nama ayah Siau-liong, adalah murid kesayangan To Hun-ki. Demikian keterangan sekedar yang diberikan gurunya Siau-liong, mengenai kematian ayahnya.

Tetapi mengapa ayah Siau-liong sampai dibunuh oleh gurunya sendiri, Kongsun Sin-to tak tahu. Diam-diam Siau-liong, berjanji dalam hati, kelak akan menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya itu sampai jelas.

Rupanya memang sudah menjadi sifat manusia. Makin dilarang makin ingin tahu. Dan pada usia menjenjang dewasa itu, darah Siau-liong memang panas-panasnya. Serentak ia memutuskan untuk meninjau tempat dibalik gunung itu.

Ternyata jalan di bagian belakang gunung yang didiami itu, merupakan sebuah jalan buntu. Terputus oleh sebuah jurang yang curam.

Setelah puas meninjau keadaan sekeliling tempat itu, karena hari sudah sore, iapun pulang.

Pada keesokan harinya, barulah ia datang lagi dan mulai melakukan penyelidikan. Disitu terdapat sebuah mulut gua. Bentuknya macam kerucut, atas sempit bawah lebar. Ketika mengamati, ia terkejut. Di atas mulut gua terdapat tiga buah ukiran huruf:

"Lembah penasaran"

Kini Siau-liong menyadari apa sebab gurunya melarangnya kesitu. Tetapi Siau-liong makin tertarik. Adakah gua itu dihuni orang?

Ia hendak memasuki gua itu. Tiba diambang mulut gua, sehembus angin dingin meniup sehingga ia menggigil. Teringat akan pesan gurunya, ia bergegas hendak keluar. Tetapi ia tertegun ketika melihat kedua sisi pintu gua terdapat beberapa ukiran huruf, berbunyi:

"Laut dendam, sukar ditimbuni.
Siapa masuk tentu mati".

Sesaat ia gemetar tetapi pada lain saat bangkitlah kepanasan hatinya. Sombong dan kejam benar orang itu. Demikian anggapannya.

Sekonyong-konyong ia dikejutkan oleh gelak tawa yang menggeledek. Serentak angin kuat menabur Siau-liong sehingga anak itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Buru-buru ia berusaha untuk menenangkan darahnya yang mendebur keras.

Setelah tenang ia memandang kemuka. Ah, ternyata gua itu mempunyai penghuni. Setombak di atas mulut gua, terdapat sebuah lubang besar. Ditengah lubang duduk seorang tua aneh tengah tertawa. Tangannya mencekal sekerat daging yang masih berlumur darah. Tampak ia menikmati daging itu dengan lahapnya....

Orang aneh itu berbangkit dan menghampiri kepintu gua. Siau-liong makin menggigil. Perwujutan orang itu amat menyeramkan sekali. Manusia tetapi menyerupai iblis. Iblis tetapi ternyata manusia. Mungkin di dunia tiada manusia yang lebih seram dari dia.
Dan Walaupun berdiri, tetapi orang aneh itu hanya setinggi orang biasa sedang duduk. Pahanya pendek sekali tetapi telapak kakinya amat lebar. Sepasang tangannya menjulur ke bawah sampai hampir mencapai lutut. Dadanya bidang, leher pendek dan kepala besar. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam hampir tertutup oleh rambutnya yang kusut masai.

"Uh, sial, lebih baik pulang saja," gerutu Siau-liong seraya hendak ayunkan langkah.

Tiba-tiba orang aneh itu menampar dan setiup angin keras melanda Siau-liong sehingga ia terdampar ke belakang lagi. Punggungnya terasa sakit. Sebelum ia sempat berdiri tegak, orang aneh itu sudah melayang kehadapannya.

“Ha .. ha .. ha Seorang penghuni baru lagi! Sekali Raja Akhirat datang, jangan harap dapat minta tempo. Budak, lihatlah tanganku!"

Orang aneh itu julurkan sepasang tangannya. Bermula warnanya putih tetapi segera berobah merah lalu didorongkan. Setiup angin berbau anyir, menghambur ke arah Siau-liong.

Siau-liong menghindar ke samping. Dess.... tiba-tiba batu yang berada di belakang, mendesus seperti hangus terbakar api dan pecah berantakan.

"Heh, heh....” orang aneh itu tertawa mengekeh. Lalu lepaskan empat buah pukulan lagi.

Siau-liong terpaksa mundur dan tanpa disadari ia telah masuk ke dalam lingkungan batu-batu yang berserakan.

“Dar, dar, dar ......,” delapan buah pukulan dilepaskan orang aneh itu lagi.

Untunglah Siau-liong dapat menghindari. Tetapi batu-batu yang tak menentu bentuknya itu pecah berhamburan ke segenap penjuru!

Jelas orang aneh itu memang tak bermaksud menghancurkan Siau-liong. Setiap kali tentu memberi kesempatan supaya anak itu dapat menghindar. Siau-liong menyadari juga hal itu. Tetapi lama kelamaan, marah ia. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap mengadu kekerasan.

Rupanya orang aneh itu mengetahui maksud Siau-liong. Diluar dugaan, ia berhenti memukul dan tertawa memanjang....

Siau-liong makin marah. Tetapi ketika memandang ke muka, ia terkejut, “Celaka, mati aku sekarang!"

Ternyata dalam pandangannya, orang aneh itu telah pecah menjadi empat orang yang berdiri diempat penjuru. Tangannya yang merah, mengacung ke atas dalam sikap hendak memukul.

Tetapi anak itu sudah bertekad mengadu jiwa. Dihantamnya orang aneh itu. Hai.... ia terlongong-longong. Hampir ia tak percaya apa yang dilihatnya. Hantamannya itu mengenai segunduk batu besar dan batu itu pecah berantakan. Dan orang aneh itupun lenyap.

Sebelum tahu apa yang terjadi, tahu-tahu bahunya sebelah kanan terasa panas sekali. Cepat ia mengendap lalu berputar mundur ke belakang. Ah. kiranya orang aneh itu sudah berada di belakang!

"Budak, engkau adalah calon setan. Kematianmu sudah hampir tiba. Tetapi rupanya engkau masih penasaran kalau belum mengadu pukulan!" seru orang aneh itu tertawa menyeringai.

Lalu pelahan-lahan ulurkan tangan kiri. Telapak tangannya yang berwarna hitam, menimbulkan rasa ngeri.

Siau-liong menggigil. Tetapi Kenekatannya pun bangkit. Dess.... ia menghantam. Tetapi pukulannya itu seperti jatuh ke dalam laut. Hilang lenyap dayanya.

Siau-liong terkejut. Tiba-tiba setiup angin keras melanda dirinya. Angin itu ternyata berasal-asal dari refleksi pukulannya tadi. Uh, uh, uh.... mulutnya mendesus ketika tubuhnya, terpental beberapa langkah ke belakang. "Bluk", ia jatuh terduduk dan muntah darah.

Orang aneh itu tertawa mengukuk, “Budak, mengapa engkau tak berguna sekali? Hayo, bangunlah!"

Siau-liong membulatkan tekad. Kalau mati, ia harus mati secara kesatria. "Wut", sekali tangannya menekan tanah, ia melenting ke udara. Hai.... ia merasa tentu menderita luka tetapi mengapa sedikitpun tak merasa sakit?

Orang aneh itu maju menghampiri dan Siau-liong terpaksa mundur. Tetapi saat itu ia sudah terdesak sampai di tepi telaga yang terbentang di belakang lembah itu.

"Laut Penasaran"

Demikian bunyi tiga huruf yang terbentang di tepi telaga itu. Siau-liong terbeliak kaget. Teringat ia akan kata-kata orang aneh itu, “Laut Penasaran, sukar ditimbuni....”

"Adakah dia hendak lemparkan aku ke dalam telaga ini?" pikirnya.

Orang aneh itu tertawa mengekeh, “Hai, budak, engkau ingin mati atau tidak?"

Menyadari bahwa dirinya takkan terluput dari kematian, semangat Siau-liong malah menyala. Dia tak takut mati. Dengan berani ia menatap orang aneh itu, serunya, “Setan tua, engkau ingin mati atau tidak?"

Jawaban Siau-liong itu membuat si orang aneh tertawa gelak-gelak, “ Bagus, bagus, tepat sekali jawabanmu itu!"

Siau-liong terkesiap.

"Budak, engkau berbakat hebat sekali. Jika tidak, engkau tentu sudah mampus termakan pukulanku tadi....” seru orang aneh pula, "pukulanku Bu-kek-sin-kang tadi, mengandung tenaga keras campur lunak. Jika engkau bukan seorang perjaka tulen, jangan harap engkau mampu menerimanya!"

"Aku benci semua manusia di dunia!" seru orang itu lagi, “tetapi hari ini aku benar-benar bingung. Betapapun halnya engkau tak boleh merusak peraturan lembah ini. Ya, engkau harus mati satu kali!"

Melihat sinar mata orang aneh itu agak ramah, nyali Siau-liong makin bertambah. Serunya,

“Setan tua, aku benci kepada orang yang telah membunuh ayahku! Katakanlah, bukankah engkau juga harus ku benci "

"Jangan bermulut tajam!" hardik orang aneh itu, “kusuka akan perangaimu yang baik. Engkau dengar tidak? Aku hanya menyuruhmu mati satu kali saja!"

"Setan tua, masakan aku dapat mati beberapa kali?" teriak Siau-liong.

"Bagus! Engkau memanggil aku setan tua dan kupanggilmu budak kecil. Kita sama-sama tidak merugikan," kata orang aneh itu, “budak kecil, sudah tentu orang hanya mati satu kali saja."

"Sekali mati, habislah riwayatnya!" seru Siau-liong.

"Belum tentu," sahut si orang aneh, "mungkin masih mempunyai kesempatan hidup lagi!"

"Aku tak mengerti ucapanmu." Siau-liong kurang senang.

Sejenak orang aneh itu merenung, lalu berkata, “Pertama, engkau harus terjun ke dalam Laut Penasaran itu. Bukan untuk menimbuni karena kupercaya engkau dapat muncul kembali. Kedua, akan kuberimu ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang. Dan ketiga, engkau tak boleh menanyakan diriku siapa. Dan jangan menceritakan diriku kepada siapapun juga, bahkan kepada gurumu!"

"Locianpwe," karena melihat orangtua aneh itu ternyata tidak buas, maka Siau-liong pun berganti dengan menyebut locianpwe, "yang pertama aku dapat menerima. Tetapi yang kedua, aku tak sanggup!"

Orang aneh itu kerutkan kening lalu tertawa lebar, “Hm, sekarang engkau berganti nada. Memang tak salah penilaianku bahwa engkau ini seorang anak muda yang berguna. Kusenang akan kejujuranmu. Kutahu si tua Kongsun itu gurumu. Maka engkau segan berguru pada lain orang. Jangan kuatir, akupun tak ingin mengambil murid engkau. Melainkan hendak memberimu sebuah ilmu pukulan sakti!"

"Tetapi itu berarti suatu ikatan guru dan murid. Ah, tak mau!" Siau-liong menolak.

"Bagus, aku suka akan kekerasan kepalamu!" seru si orang aneh, “aku sendiri seorang yang keras kepala. Sekarang bertemu dengan seorang budak yang keras kepala. Apakah ini bukan jodoh namanya."

Orang aneh itu sebenarnya seorang momok durjana yang terkenal. Ia membunuh jiwa manusia seperti memitas nyamuk-nyamuk saja. Tetapi anehnya, berhadapan dengan seorang anak yang berani, cerdik dan berbakat bagus, seketika timbullah rasa suka.

"Baiklah," katanya, “kita tinggalkan dulu syarat kedua itu. Sekarang kita laksanakan syarat yang pertama!"

Entah bagaimana, Siau-liong berganti kesan kepada orang aneh itu. Segera ia hendak membuka baju.

Tetapi orang aneh itu cepat mencegahnya, “Tunggu dulu Akan kusaluri tenaga dalam dulu kepadamu. Jika tidak, jangan harap engkau dapat muncul ke daratan lagi!"

"Tidak." Siau-liong menolak, “beritahukan saja apa yang harus kulakukan dalam telaga itu. Segera aku hendak mencebur kesana."

"Budak, engkau ingin mati tidak?" tegur orang aneh itu dengan mata memberingas.

"Setan tua, engkau benar-benar menusuk perasaanku. Lebih baik aku mati dari pada dihina."

"Jangan tergesa-gesa," kata orang aneh itu, "Laut itu merupakan mulut sebuah gunung berapi yang sudah padam. Lahar yang membeku selama ratusan tahun, telah memancarkan sumber air yang luar biasa dinginnya. Orang pasti kaku seketika apabila menyilam disitu.”

"Aku?"

"Banyak perjaka tetapi jarang yang tubuhnya mengandung hawa Tun-yang seperti engkau. Bagimu, tidaklah sukar untuk menghadapi tempat semacam itu. Tetapi dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini, jangan harap engkau mampu ke dasar bumi untuk mengambil pusaka yang tak ada tandingannya di dunia persilatan!"

"Pusaka?"

"Berpuluh tahun aku bersembunyi disini, hanyalah karena hendak menunggu pusaka itu. Sejenis binatang bersisik, mirip dengan Kilin (warak) dan naga. Aku sendiri belum jelas. Binatang itu telah menerima sari sinar matahari dan rembulan, ditambah pula dengan menghisap hawa Im dan Yang dalam kerak bumi. Apabila muncul, binatang itu memancarkan sinar pelangi yang menyilaukan, Tetapi dia gesit sekali hingga aku selalu gagal menangkapnya!"

"Benarkah?" Siau-liong menegas.

"Benar! Apa engkau pernah melihat juga?"

"Sepuluh hari yang lalu, kulihatnya sinar kemilau itu memancar dari kawah gunung!"

Orang aneh itu menghela napas, “Ah, saat itu dia terlalu cepat sekali. Begitu muncul terus lenyap lagi. Ah, jika aku berhasil memperoleh mustika dalam mulutnya, di dunia tentu tiada yang dapat menandingi aku lagi. Akan kutumpas semua manusia yang kubenci!"

"Ah, lebih baik kalau engkau jangan menemukannya!"

"Mengapa?" orang aneh itu heran.

"Aku tak mau mencarinya " sahut Siau-liong.

"Heh, engkau lupa?" orang aneh itu menggeram buas.

"Lupa apa?"

"Siapa masuk lembah ini harus mati!"

Siau-liong tertawa, “Sama sekali tidak lupa. Tetapi lebih baik aku yang mati seorang daripada menelan banyak korban."

"Engkau seorang budak kecil tetapi nyalimu besar sekali. Baiklah. aku mengalah. Turunlah ke dalam laut itu. Berhasil mendapatkan mustika itu atau tidak, aku takkan menyesalimu. Nah, bagaimana?"

Siau-liong setuju. Orang aneh itu segera menyuruhnya duduk bersila Kemudian ia lekatkan tangannya kepunggung Siau-liong. Seketika itu Siau-liong rasakan sekujur tubuhnya dijalari hawa hangat. Makin lama makin panas sampai mandi keringat.

Tiba-tiba orang aneh itu menyepak pinggangnya. Huak.... Siau-liong muntah darah dan pingsan.

Orang aneh itu cepat mengurut dan menyalurkan hawa murni ke tubuh Siau-liong. Lebih kurang sejam lamanya, baru ia berhenti. Tubuhnya mandi keringat, napas terengah-engah. Duduklah ia bersemedhi.

Ketika sadar, Siau-liong terkejut melihat keadaan orang aneh itu. Tak lama kemudian orang aneh itupan membuka mata. Ia tampak lelah.

"Seumur hidup, baru kali ini aku melakukan kebaikan. Sejak saat ini, matipun aku takkan penasaran," ujar orang itu pelahan.

"Cianpwe, engkau mengapa?" Siau-liong heran.

"Sekarang pergilah engkau mengambil mustika itu. Walaupun berhasil mendapatkan, tetapi akupun bukan tokoh yang tiada tandingannya di dunia "

Mendadak timbul rasa iba dihati Siau-liong. Serunya rawan, “Cianpwe, apakah maksud ucapanmu itu?"

"Tadi telah kusalurkan hawa sakti ke dalam tubuh sehingga jalan-darah Tok-djinmu terbuka. Tak kepalang tanggung, kuberimu ilmu sakti Bu-kek-sin-kang juga."

Siau-liong terbeliak kaget. Sesaat ia termenung-menung. Baru saat itu ia menemukan pribadi yang sesungguhnya dari orang aneh itu. Ternyata baik dan luhur budi. Serta-merta ia berlutut memberi hormat, “Suhu, Siau-liong akan mencari mustika itu."

Orang aneh itu mengangguk puas.

Siau-liong segera loncat ke dalam Laut Penasaran, "blung" ia menggigil. Andaikata ia belum mendapat saluran tenaga-sakti orang aneh itu, pasti ia akan mati kedinginan. Air dalam telaga yang dinamakan Laut Penasaran itu, memang luar biasa dinginnya.

Pertama-tama matanya tertumbuk akan suatu pemandangan yang ngeri. Berpuluh tengkorak manusia berserakan di dalam telaga.... Adakah mereka mati sendiri atau dilempar kesitu oleh si orang aneh?

Telaga itu hanya dua tiga puluh tombak lebarnya. Tetapi amat dalam sekali. Makin ke bawah, makin sempit, Kira-kira 100 tombak dalamnya, terdapat sebuah gua. Aneh! Gua itu kering tiada airnya sama sekali....

Siau-liong menghampiri gua itu. Hawanya dingin sekali dan terdapat penerangannya pula. Beberapa tumbuh-tumbuhan terdapat hidup digua itu. Menilik susunannya. tentulah ditanam orang. Jenis tanaman yang tumbuh disitu, jarang terdapat di dunia. Daunnya ada yang biru kehijau-hijauan seperti batu kumala. Batangnya seperti jenggot naga dan bentuk daunnya menyerupai ekor burung cenderawasih. Bunganya seperti butir-butir mutiara....

Tampak sebuah cekung berisi air jernih. Penuh dengan benda-benda warna merah zamrud yang tak henti-hentinya lalu lalang kian kemari.

Siau-liong teruskan langkah kemuka. Tak berapa jauh, ia tiba disebuah gua lagi. ia makin terkejut. Dalam gua itu penuh dengan lentera yang bergerak-gerak naik turun, mendekat dan menjauh. Siau-liong menyambar lentera yang kebetulan menghampiri ke arahnya. Tetapi selalu luput. Lentera-lentera itu bagaikan jinak-jinak merpati. Dihampiri, menjauh. Dijauhi, mendekat....

Gua makin menanjak ke atas. Setelah berjalan agak lama, ia memperhitungkan, tentu sudah berada diluar Lembah Penasaran.

Tiba-tiba suasana terang benderang. Ia tiba di sebuah ruangan yang terang. Begitu masuk ia terbeliak kaget. Di atas sebuah ranjang batu duduk bersemedhi sesosok ....... tengkorak. Lehernya terlingkar seutas rantai perak dengan sebuah tong-pay (lencana) berukir tengkorak bersemadhi.

Pada dinding di belakang tengkorak itu terdapat empat buah huruf:

"Ilmu pukulan Thay-siang-ciang."

Dibawahnya tertera lima buah gurat-gurat lukisan. Kemudian ditengah ruangan, tampak sebuah tambur batu yang besar. Permukaan tambur batu penuh dengan guratan huruf yang bersembunyi:

"Barang siapa masuk kemari, tanda berjodoh. Selain tong-pay dan ilmu pukulan Thay-siang ciang, pun di atas permukaan batu ini tumbuh sebiji buah Im-yang-som. Dapat menambah panjang umur dan tenaga-sakti. Buah itu tak boleh dibiarkan sampai masak. Harus cepat dimakan. Dan hanya diperuntukkan orang yang benar-benar berjodoh".

Terlintas dalam benak Siau-liong. Andaikata tak berhasil memperoleh mustika, asal mendapat buah ajaib itu, iapun dapat menolong memulihkan tenaga si orang aneh.

Tambur batu tak kurang dari seribu kati beratnya. Dengan kerahkan tenaga, ia mendorong. Terdengar bunyi gemuruh menggetarkan bumi dan tiba-tiba pintu gua itu tertutup rapat. Ternyata tambur batu itu merupakan alat penutup dan pembuka pintu gua.

Dibawah tambur terdapat pula beberapa tulisan:

"Pintu gua telah tertutup. Tetapi jangan takut. Gua ini penuh persedian makanan. Yakinkanlah ilmu pukulan Thay-siang-ciang sampai sempurna, tentu dapat membuka lantai batu ini dan dapatkan buah Im-yang-som. Setelah makan, tenagamu tentu bertambah sakti. Hancurkan pintu gua dan engkau pasti akan menjagoi dunia"

Siau-liong gelisah sekali. Sampai beberapa lamakah ia harus tinggal dalam gua situ? Tetapi apa daya. Satu-satunya jalan, ia harus menurut apa yang tertera dalam tulisan itu.

2. Siapa Bu-kek Gong-mo ..... ?

360 hari lamanya, Siau-liong tinggal dalam gua. Tak disangkanya bahwa walaupun hanya terdiri dari lima jurus, tetapi ternyata ilmu pukulan Thay-siang-ciang itu memerlukan waktu setahun untuk meyakinkan.

Untung sebelumnya ia sudah mendapat saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dari orang aneh itu. Kalau tidak, entah berapa tahun lagi ia baru berhasil mempelajarinya.

Kini ia meningkat 16 tahun umurnya. Bertubuh tinggi besar, sehat dan kuat. Pada hari terakhir setelah mengerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, ia melenting dan lontarkan pukulan Thay-lok-im-kong. "Pyur", amblonglah lantai batu yang menutupi buah ajaib itu.

Lubang dibawah lantai hanya beberapa meter dalamnya. Tampak sebuah benda menyerupai pohon Sian-jin-ciang atau Telapak Dewa. Daunnya hanya dua helai, berwarna biru kehijau-hijauan.

Pada batang pohon terdapat dua biji buah sebesar telur burung. Satu merah, satu putih. Buah itu memancarkan sinar gemilang dan bau yang harum sekali.

Buah yang merah mengandung tenaga Yang dan buah yang putih tenaga Im. Hanya ditempat yang disaluri air pusar bumi, barulah buah itu dapat tumbuh.

Segera dipetiknya terus dimakan. Seketika ia rasakan tubuhnya hangat dan semangat segar. Kemudian ia duduk bersemadhi menyalurkan darah.

Beberapa waktu kemudian, ia loncat bangun dan menghantam pintu gua. Dar.... pintu jebol dan terbukalah sebuah lubang. Girangnya bukan kepalang.

"Suhu!" serta-merta ia berlutut memberi hormat kepada tengkorak yang duduk di ranjang batu itu.

Setelah itu baru ia menerobos keluar. Ia terkejut ketika melihat seekor makhluk yang berkemilau dan menyiarkan bau luar biasa wanginya.

Cepat ia memburu keluar. Seekor binatang yang agak lebih kecil dari kuda, bersisik dan bertanduk satu, menyerupai binatang Kilin, tengah muncul dan menyadap butr-butir mutiara dalam air.

"Wut". Siau-liong cepat ayunkan tubuh kepunggung. Tetapi binatang itupun luar biasa gesitnya. Secepat kilat binatang itupun menyusup ke dalam pusar bumi....

Siau-liong terus mengejar sampai disebuah tempat yang dindingnya gilang gemilang. Tetapi hampir setengah hari ia berputar-putar menjelajahi sekeliling tempat itu, tetap tak dapat menemukan binatang aneh tadi.

Ia memutuskan harus dapat memperoleh binatang itu. Kalau gagal, orang aneh yang telah melepas budi kepadanya itu tentu tetap sengsara. Mati atau hidup, binatang itu harus dapat ditangkapnya.

Dengan kerahkan tenaga ia mulai menghantam. Dinding yang mengkilap macam es hancur berantakan, tetapi sebelum ia memukul lagi, tiba-tiba binatang aneh itu muncul terus menyerbunya. Siau-liong cepat menghindar seraya menyambar tanduk binatang itu. Binatang itu berontak sekuat-kuatnya. Kedua kakinya melentik-lentik tubuh orang.

Terpaksa Siau-liong lepaskan tanduk dan berputar menyambar ekor binatang itu. Tetapi sekali kibas, ekor itu menghilang dan tahu-tahu binatang itu menyepakkan kaki ke belakang kepunggung lawan.

Pertempuran seorang manusia dengan seekor binatang aneh dalam kerak bumi, telah berlangsung seru sekali. Binatang itu memiliki tanduk dan gigi yang runcing. Begitu pula kaki dan ekornya. Merupakan senjata yang berbahaya. Sekali kena, orang tentu hancur tubuhnya.

Tiba-tiba Siau-liong mendapat akal. Cara bertempur semacam itu, tak mungkin ia dapat menundukkan lawan. Ia berganti siasat.
Tiba-tiba ia menyelundup ke bawah perut binatang lalu menjepit perut binatang itu dengan kedua kakinya. Binatang itu terkejut dan meronta melepaskan diri. Tetapi tak mampu. Akhirnya binatang itu gulinglan diri ke tanah.

Tetapi Siau-liong tak mau kalah pintar. Dengan gunakan jurus Ikan-melenting-ke udara, ia melambung ke udara terus hendak menginjak binatang itu. Tetapi ternyata binatang itu luar biasa gesit dan cekatannya. Sesaat kemudian Siau-liong lepaskan cekalannya, secepat itu pula ia menggeliat bangun dan menyusup ke dalam ruang es....

Siau-liong mengejarnya. Lorong makin lama makin sulit dilalui. Naik turun, berkeluk-keluk. Dan ketika ia hampir berhasil menyusul, tiba-tiba binatang itu kibaskan ekor menyabat dinding ruang.

“Pyur....!" dinding hancur dan Siau-liong terpaksa hentikan larinya.

Tiba-tiba binatang itu mengangakan mulut sebutir benda merah meluncur keluar. Warnanya gilang gemilang indah sekali!

Itulah mustika yang dikatakan si orang aneh tempo hari. Siau-liong putar otak untuk merancang siasat. Tiba-tiba serangkum angin panas dan mustika itu melayang ke arahnya.

Siau-liong menyongsong dengan jurus Thay-lo-kim-kang. Hendak disambarnya mustika itu tetapi ternyata benda itu seolah-olah mempunyai mata. Hantaman Siau-liong bahkan menambah kedahsyatan mustika itu yang melaju pesat sekali ke arah Siau-liong.

Siau-liong cepat mengganti dengan jadi pukulan. Setelah mustika itu agak pelahan, ia loncat kesamping. "Bum....” sebuah tiang ruangan hancur terkena pukuluan Siau-liong. Langit ruangan berhamburan gugur dan binatang aneh itupun loncat ke belakang.

Dan ketika Siau-liong menukik turun, mustika menyambarnya lagi. Siau-liong menggeram dan menamparnya. "Bum", mustika mengendap ke bawah menghantam lantai. Lantai hancur berlubang dan mustika itu membal ke atas dan melanda Siau-liong yang saat itu masih berada di udara.

Sudah tentu Siau-liong sukar menghindar. Cepat ia menghantam dengan jurus ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Mustika itu jatuh membentur lantai lagi dan membal ke atas lagi.

Celaka sekali binatang aneh itu. Karena mustika beberapa kali kena hantaman Siau-liong, binatang itupun meringkik-ringkik kesakitan. Cepat ia menyedot kembali mustikanya dan menyelinap keluar.

Terjadi kejar mengejar yang tegang. Tetapi akhirnya Siau-liong ketinggalan berpuluh tombak dibelakang. Binatang aneh itu lari ke Laut Penasaran.

"Blung....” baru Siau-liong muncul dipermukaan telaga, sesosok tubuh meluncur jatuh ke dalam telaga.

Siau-liong terkejut karena air berobah merah warnanya. Ah, tentu seorang persilatan dijadikan korban penimbunan Laut Penasaran!

Tetapi Siau-liong tak dapat menghiraukan nasib orang itu karena dari arah Lembah Penasaran terdengar jeritan seram. Rupanya di Lembah Penasaran terdjadi pertempuran dahsyat.

"Blung"........ lagi sesosok tubuh terlempar jatuh ke dalam laut. Mayatnya meluncur ke dasar air.

Setelah pandang matanya biasa mengadapi cahaya matahari, barulah Siau-liong dapat melihat jelas. Dalam lembah tampak tiga empat puluh jago-jago silat tengah mengepung binatang itu.
Diantaranya terdapat paderi, imam dan jago-jago silat. Mereka tengah bersiap menunggu kesempatan untuk menyergap binatang aneh itu, Dua orang yang tak dapat mengendalikan nafsu, segera loncat menerjang. Tetapi binatang aneh itu segera merangsangnya sehingga mereka terlempar ke dalam Laut Penasaran.

Binatang itu segera meliar di dalam lembah. Puluhan jago silat itu tengah mengepung dengan senjata masing-masing. Seluruh perhatian mereka tercurah pada binatang aneh itu sehingga tak mengetahui kehadiran Siau-liong.

Tiba-tiba binatang itu lari ke dinding karang gunung. Beberapa jago silat segera gunakan ilmu Cicak merayap atau Pik-hou-kang. Punggung dilekatkan pada dinding karang lalu meluncur ke atas dan taburkan senjata rahasia kemata binatang aneh itu.

Tetapi binatang itu tak mengacuhkan. Semua senjata rahasia, terpental dan jatuh ke dalam air.

Dua orang yang hebat ilmu meringankan tubuh atau ginkang, mereka melambung ke udara dan coba membacok ekor binatang itu Tetapi binatang itu teramat gesit. Sekali menggeliat ia dapat lolos dari kepungan. Kedua jago silat yang loncat ke udara untuk membacok ekor binatang itu.

Tetapi luput....

Terpaksa mereka meluncur turun ke bumi lagi. Begitu tiba di tanah, binatang aneh itu sudah menanduknya.

"Blung....” salah seorang terpelanting jatuh ke dalam telaga Penasaran lagi.

Rupanya binatang itu masih belum puas. Ia menyerang lagi pada seorang lain. Siau-liong cepat loncat dari permukaan air seraya menghantam. Karena pernah dikalahkan, rupanya binatang itu jeri. Ia hendak melarikan diri tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah loncat di punggungnya dan memeluknya erat-erat.

Gemparlah tokoh-tokoh yang berada dalam lembah situ. Mereka mengira kalau siluman air, tetapi ternyata hanya seorang pemuda.

Mereka datang ke Lembah Penasaran, bukan berombongan, melainkan perseorangan dan tak kenal satu sama lain. Mereka datang untuk memburu binatang aneh yang memiliki mustika.

Melihat Siau-liong menguasai binatang itu, timbullah kekuatiran mereka. Pemuda itu harus dihancurkan!

Delapan jago silat segera menyerbu Siau-liong dengan senjata dan pukulan. Karena sedang memeluk binatang itu, terpaksa Siau-liong harus menderita luka-luka berdarah akibat serangan itu.

Anehnya, binatang itu mempunyai perasaan kasihan terhadap Siau-liong. Tak mau ia meronta.

Siau-liong mengira kedelapan penyerangnya itu tentu salah turun tangan. Yang di arah si binatang tetapi mengenai dirinya. Maka ia memberi isyarat agar mereka berhati-hati jangan sampai menyerang dirinya lagi.

Sudah tentu mereka tak mau menghiraukan. Bagaikan delapan ekor harimau, mereka menyerang Siau-liong.

"Wut....” tiba-tiba binatang aneh itu sapukan ekornya sehingga beberapa penyerang itu loncat mundur. Masih ada beberapa orang yang berhasil menyusup, dapat memberi beberapa tusukan kepada Siau-liong. Darah makin deras, sakitnya bukan kepalang.

Namun ia seorang anak yang keras hati. Bukan melepaskan sebaliknya ia malah memeluk tubuh binatang itu makin kencang. Mulutnya menggigit tanduk. Rupanya binatang itu marah. Ia hendak membela Siau-liong. Dengan beringas, diterjangnya kawanan penyerangnya itu.

Siau-liong marah juga. Ia kerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang. Begitu mengangkat tangan telapaknya yang berwarna merah. Seketika menjeritlah sekalian jago-jago itu, “Bu-kek-sin-kang! Bukek-sin-kang....”

Siau-liong terkejut sendiri. Ia tak menduga kalau pukulannya begitu dahsyat. Sembilan sosok tubuh kecemplung ke dalam telaga!

Siau-liong kesima. Bukankah ketika bertempur dengan binatang aneh tadi, ia belum memiliki pukulan sedahsyat itu?

Memang hal itu terjadi diluar pengetahuannya. Ketika menghadapi serbuan jago-jago silat tadi, ia terpaksa menelungkup memeluk binatang itu erat-erat. Untuk menjaga keseimbangan tubuh, mulutnya menggigit tanduk binatang itu. Tanpa disadari, ia telah menghisap darah kepala binatang itu.

Darah itu disebut Ceng-hiat. Merupakan obat luar biasa yang terdapat di dunia. Khasiatnya dapat menambah tenaga-dalam.

Setelah sekalian penyerangnya lari, Siau-liong teringat sesuatu. Cepat-cepat ia meluncur turun dari punggung binatang itu. Binatang aneh itupun segera meluncur ke dalam Laut Penasaran lagi.

Kiranya Siau-liong teringat akan Koay suhu atau orang aneh yang secara tak resmi telah menjadi gurunya. Ia bergegas lari ke gua tempat kediaman orang aneh itu.

Tetapi ketika melintasi gunduk-gunduk batu yang bertebaran di halaman gua, ia terkejut menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Batu-batu berlumuran darah, disana-sini bertebaran kerat-kerat kecil daging manusia dan sesosok tubuh membujur di atas tanah....

"Suhu!" Siau-liong menjerit serentak.

Ia bersimpuh dihadapan mayat itu yang ternyata memang si orang aneh yang disebut Siau-liong sebagai Koay suhu.

Siau-liong menangis tersedu-sedu. Hatinya pilu sekali. Jika Koay suhu tak menyalurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang kepadanya, dia tentu tak sampai kehabisan tenaga dan musuh tentu tak mungkin dapat membunuhnya. Dengan demikian walaupun dia yang bukan turun tangan membunuh tetapi secara tak langsung, dialah yang menyebabkan kematian orang aneh itu.

Puas menangis, Siau-liong memeriksa keadaan mayat Koay suhu. Pada bagian dadanya hancur, berlubang besar sampai kepunggung.

Hanya pukulan sakti atau cengkeraman maut Ngo-ci-tong-joang yang mampu meninggalkan luka semacam itu!

"Hm, sudah mengasingkan diri dalam gua yang terpencil seperti ini, ternyata orang masih mengejar dan membunuhnya secara ganas. Sungguh tak dapat dimaafkan perbuatan itu,” Siau-liong menggeram.

Dan rasa sesalnya karena membunuh beberapa orang tadi lenyap seketika.

Ia mengubur jenazah Koay suhu baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir dihadapan kuburan Koay suhu, ia ayunkan langkah dengan tekad yang bulat. Ia pasti akan menuntut balas atas kematian Koay suhu.

Lebih dulu ia menuju kegua kediaman Koay suhu untuk mengemasi barang-barang peninggalan suhu itu. Di atas tempat tidur batu, terdapat dua buah topeng terbuat daripada kulit manusia. Ketika hendak mengambilnya, tiba-tiba ia melihat pada kedua samping dinding, terdapat beberapa guratan huruf yang berbunyi,

“Anak! Seumur hidup baru satu kali ini aku melakukan kebaikan menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang kepadamu. Tetapipun juga mencelakakan dirimu. Karena engkau tentu takkan kembali lagi. Adakah memang Tuhan tak mengijinkan aku berbuat kebaikan....?

Nak, kulihat wajahmu bukan orang yang bernasib malang. Tetapi, ah, hampir setahun kuhanya kutunggu, mayatmu tak terapung dipermukaan air. Tetapi kutetap percaya engkau takkan mati. Dalam beberapa hari ini sudah mondar-mandir disekeliling tempat ini. Maut rupanya sudah menjenguk di guaku....”

Kemudian Siau-liong membaca tulisan di dinding sebelah kiri,

“Nak, aku mempunyai firasat bahwa kematianku sudah datang. Jika aku mati, engkau harus melakukan tiga buah pesanku ini:
Pertama: jangan mengatakan tentang diriku kepada siapapun juga. Dan engkau pun telah menyanggupi.
Kedua: Bunuhlah semua orang yang kubenci dan engkau benci!
Ketiga: Besok tahun muka pada malam Tiong-Chiu, pergilah ke gunung Bu-san, mewakili aku dalam pertempuran. Si tua Kongsun beberapa kali tampak dipuncak gunung, rupanya dia mencarimu....”

Sampai disitu, tulisan tak lanjut. Rupanya musuh sudah datang dan orang aneh itu terpaksa harus hentikan tulisannya.

Berderai-derai air mata Siau-liong membanjir karena mengenang budi orang aneh itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara letupan dahsyat. Lembah terasa tergelar keras. Siau-liong terkejut sekali ketika memandang keluar gua. Lembah telah berobah menjadi lautan api. Ledakan dahsyat susul menyusul memekakkan telinga.

Segera ia lari keluar. Ternyata tokoh persilatan yang gagal menangkap binatang aneh tadi telah menumpahkan kemarahannya. Dari puncak lembah mereka lontarkan potongan batang pohon untuk umpan api. Potongan kayu itu makin lama makin dekat pada gua.

Siau-liong terkejut jika mulut gua sampai tertutup api, tak mungkin ia dapat keluar lagi. Cepat ia bertindak. Menyambar sehelai baju peninggalan Koay suhu, ia terus menerjang keluar. Sekali loncat ia hinggap pada sebatang pohon. Dengan baju, ia menghalau api. Kemudian ia melayang ke atas sebuah cekung karang lalu untuk yang terakhir kalinya, ia melayang kepuncak lembah....

Jago-jago persilatan yang berada di atas puncak lembah, terkejut melihat anak itu dapat menerobos dari lautan api. Mereka hentikan lontaran kayu dan berganti menghujani anak itu dan senjata rahasia.

Siau-liong sedang melayang ke atas. Tak mungkin ia dapat menghindari serangan itu. Dalam gugupnya ia putar baju Koay-suhu laksana kitiran. Diluar dugaan, putaran baju itu menimbulkan tenaga yang dapat menampar jatuh berpuluh-puluh buah senjata rahasia.

Ia marah sekali kepada mereka. Selekas kakinya menginjak tepi puncak, ia lemparkan baju dan lontarkan sebuah pukulan yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

Melihat telapak tangan anak itu merah membara, sekalian orang menjerit kaget dan lari tunggang langgang. Enam orang yang terlambat lari, menjerit ngeri dan rubuh tak bernyawa. Sisanya lari ke dalam hutan.

Siau-liong menanggalkan kedok muka. Ia menghela napas. Ia menyesal telah membunuh orang. Tetapi ia tak dapat berbuat lain karena kemarahannya atas tindakan tokoh-tokoh persilatan yang begitu ganas.

Setelah beberapa saat termenung-menung, akhirnya ia pulang ketempat kediamannya. Hampir setahun, ia tak berjumpa dengan Kongsun Sin-tho. Ia merasa rindu kepada suhunya itu.

"Suhu!" serta-merta ia karena tak mengindahkan berseru penuh rasa menyesal nasihat suhunya supaya jangan berjalan-jalan ke belakang gunung.

Tetapi alangkah kejutnya ketika didapatinya gua itu kosong. Masih ada menyangka tentulah suhunya sedang keluar untuk mencarinya. Tiba-tiba ia melihat beberapa guratan huruf pada dinding gua. Jelas itu tulisan suhunya yang berbunyi,

“Liong-ji, aku sudah pulang beberapa bulan. Sia-sia kucarimu kemana-mana. Lebih cemas pula hatiku karena dewasa ini dunia persilatan telah timbul desas-desus bahwa ibumu telah muncul kembali. Dunia persilatan terancam pertumpahan darah lagi. Kuputuskan turun gunung mencarimu, sekalian untuk mencari ibumu. Berhasil atau tidak, setengah tahun kemudian aku pasti kembali kesini"

Dari tanggal yang tertera dibawahnya, jelas bahwa kepergian Kongsun sin-to itu baru lebih 10 hari yang lalu. Siau-liong berkemas-kemas untuk mencari suhunya.

Keesokan harinya, ia menuju kemakam ayahnya untuk minta diri. Tengah ia berlutut mengucapkan doa, tiba-tiba didengarnya suara orang berbicara. Gunung Hong-san jarang dikunjungi orang. Dan peristiwa berdarah kemarin, menyebabkan Siau-liong harus berhati-hati terhadap orang. Cepat ia menyembunyikan diri.

Tak berapa lama muncullah empat orang tua dari dalam hutan. Salah seorang berkata,

“Menurut pendapat kalian, yang manakah sesungguhnya Bu-tek Gong-mo itu? Lelaki tua yang dibunuh Soh-beng-kiu-su atau orang yang muncul dari Laut Penasaran?"

Mendengar itu, Siau-liong hampir menjerit. Kiranya orang aneh yang menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu adalah Bu-Kek-Gong-Mo atau PENDEKAR LAKNAT yang termasyhur. Dan yang membunuhnya adalah Soh-beng Ki-su!

"Mungkin kedua-duanya, mungkin bukan semua," sahut kawannya.

"Maksudmu?" orang pertama yang bicara itu menegas.

"Memang lelaki tua yang dibunuh itu mirip dengan Pendekar Laknat. Tetapi anehnya dia tak memiliki ilmu sakti Bu-kek-sin-kang. Sedang yang muncul dari dalam laut itu, gerak-geriknya tidak menyerupai Pendekar Laknat tetapi dapat melepaskan pukulan Bu-kek-sin-kang. Maka kesimpulanku, keduanya mungkin Pendekar Laknat tetapi mungkin bukan semua," jawab orang yang kedua.

Dari pembicaraan itu dapatlah Siau-liong menarik kesimpulan bahwa tokoh-tokoh yang datang ke Lembah Penasaran itu belum tahu pasti tentang mati-hidupnya Pendekar Laknat.

Mengintai dari cela-cela tempat persembunyiannya, Siau-liong terperanjat. Keempat orang tua itu tengah berdiri tegak dihadapan makam ayahnya.

"Uh, mengapa mereka tegak didepan makam ayah? Apakah mereka itu sahabat-sahabat ayah?" tanya Siau-liong dalam hati.

Dugaan anak itu memang tepat. Keempat lelaki tua itu memang paman guru dari Tong Gunliong, ayah Siau-liong.

Yang paling tua bergelar Tang Siau-seng. Kedua, Se Ki-su. Ketiga, Lam Kek-ong. Mereka dikenal sebagai Kong-tong Su-lo atau empat tokoh tua dari partay Kong-tong-pay.

Mereka tegak berdiri dimakam Tong Gun-liong dengan dengan penuh pertanyaan. Mengapa Tong Gun-liong, murid kemenakan mereka mati. Siapakah pembunuhnya dan siapa pulalah yang membuatkan batu nisan disitu? Apakah Siau-liong, putera Tong Gun-liong itu, masih hidup?

Isteri Tong Gun-liong yang bergelar Coa-sik Se-si atau sicantik Se-si yang berbisa, muncul kembali di dunia persilatan. Apabila wanita itu mengetahui suaminya telah dibunuh orang dan dikubur dipuncak Hong-san, tentulah ia akan makin mendendam kepada partay Kong-tong-pay.

Tiba-tiba keempat jago tua itu berpaling dan tersiraplah darah mereka seketika. Beberapa langkah di belakang mereka, tegak seorang tua yang berwajah buruk amat menyeramkan sekali. Rambutnya memanjang sampai kebahu. Sepasang alis menggumpal lebat sekali. Hidung merah, sepasang matanya menonjol keluar. Mulut merekah darah. Berpakaian jubah berlengan besar yang compang-camping.

Walaupun hanya setombak di belakang keempat jago-jago tua itu, namun mereka sama sekali tak mengetahui kedatangan orang aneh itu. Inilah yang mengejutkan Kong-tong Su-lo!

"Siapakah nama tuan-tuan!" tiba-tiba orang berwajah buruk itu sambil memberi hormat.

Tokoh kesatu dari Kong-tong-pay, Tang Siau-seng sejenak berusaha menenangkan diri lalu menyahut dengan tertawa nyaring, “Kami yang rendah Kong-tong Su-lo dan siapakah tuan ini?"

Tubuh orang berwajah buruk itu menggigil. Kedua tangan yang diangkat untuk memberi hormat tadi, dilepaskan ke bawah. Seketika serangkum angin tajam menyambar keempat jago Kong-tong.

3. Kisah Sang Ayah Dan Ibu

Kong-tong Su-lo terkejut melihat orang berwajah buruk itu bersikap bermusuhan. Mereka siap sedia untuk beramai-ramai menghadapinya. Tiba-tiba kepalan tangan orang yang berwajah buruk yang sudah siap dilontarkan itu ditarik kembali. Berputar tubuh ia meraung-raung dan lari menuruni gunung!

Keempat Kong-tong Su-lo terkejut heran. Siapakah gerangan orang berwajah buruk itu? Mengapa orang aneh itu hendak menerjang mereka?

Tak mungkin keempat jago tua itu tak mampu mengetahui rahasia orang aneh itu. Karena setitikpun mereka tentu tak menyangka bahwa orang berwajah buruk itu ternyata hanya seorang bocah yang baru berumur 15 tahun. Ya, memang benar. Siau-liong lah yang menyaru sebagai orang tua berwajah seram itu.

Karena melihat keempat orang tua itu lama sekali tegak dihadapan makam ayahnya, Siau-liong ingin tahu siapakah mereka itu. Ia segera mengenakan kedok dan pakaian peninggalan Koay-suhunya lalu melangkah keluar.

Dikala mendapat jawaban bahwa mereka adalah Kong-tong Su-lo, seketika meluaplah amarah Siau-liong. Sedianya ia sudah mengerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang hendak menghabiskan mereka.

Tetapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada gunduk tanah makam ayahnya.... Seketika ia teringat akan pesan ayahnya yang disampaikan oleh Kongsun Sin-tho. Terpaksa ia batalkan pukulannya. Untuk melampiaskan nafsu kemarahan yang telah membakar rongga dadanya, ia meraung-raung lari menuruni gunung ....

Mengapa ayahnya melarang ia menuntut balas kepada musuh yang telah membinasakanya? Tentu tersembunyi suatu rahasia dibalik larangan ayahnya itu. Ia memutuskan untuk turun gunung dan mengembara di dunia persilatan. Ia hendak mencari ibunya. Ia hendak meminta penjelasan kepada ibunya. Iapun hendak mencari Kong-tong Sin-tho, guru berbudi yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan tahun.

Ya, hanya dengan demikian baru ia dapat memecahkan rasa dendam kegelisahan yang selalu mencengkam hatinya.
Y

GUNUNG HONGSAN terletak dihulu sungai Kim-set-kiang. Ombak sungai itu deras sekali sehingga tiada tukang perahu yang berani mengusahakan penyeberangan. Maka daerah perairan disitu jarang dikunjungi orang.

Berhari-hari Siau-liong menyusur tepi sungai. Jika lelah ia duduk di tepi sungai. Dikala termenung-menung memandang deras arus sungai, pikirannya melayang. Ia teringat akan nasibnya, terkenang akan kehidupan manusia. Kehidupan tak ubah seperti arus sungai. Mengalir, terus mengalir tanpa mengetahui apa yang akan dihadapinya....

Apabila tiba pada lamunan itu maka berkesanlah ia pada suatu kesimpulan. Tanpa rintangan, air takkan mengerahkan kekuatannya. Tanpa aral rintangan, manusia takkan kuat lahir-batinnya. Kesimpulan itu merupakan pelajaran berharga bagi Siau-liong.

Tiba-tiba ia mendengar derap kaki orang. Kemudian sesosok tubuh yang roboh ke tanah dan suara erang kesakitan. Datangnya dari dalam hutan tak jauh dari tempatnya. Cepat-cepat ia loncat bangun dan lari ke dalam hutan itu.

Tak berapa lama ia melihat seorang gadis menggeletak di tanah. Disisinya terdapat sebilah pedang, Siau-liong cepat menghampiri. Baru saja ia menjemput pedang dan mengangkat tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar derap kaki orang berlari menghampiri. Ia duga mereka tentulah musuh-musuh yang hendak mengejar gadis itu. Tanpa ayal, ia membawa lari gadis itu.

Kira-kira sepuluh li jauhnya, ia melihat sebuah biara kecil. Gadis itu pucat wajahnya dan pejamkan mata. Siau-liong tahu bahwa ia tentu menderita luka berat. Harus ditolong secepatnya.

Cepat-cepat ia lari kebiara kecil itu.

Ruang depan biara sempit sekali. Terpaksa Siau-liong menuju keruang belakang. Tetapi disitu pun tak cukup untuk tempat orang dua. Apa boleh buat, Siau-liong letakkan gadis itu dipangkuannya.

Selama ikut pada Kong-sun Sin-tho, selain ilmu silat.... Siau-liong pun mendapat pelajaran tentang ilmu pengobatan. Menurut pemeriksaannya, jalan darah gadis itu sudah tak normal lagi. Ia membekal pil mujarab tetapi ia kuatir pil itu tak dapat menyembuhkan si nona. Jalan satu-satunya untuk menyembuhkan nona itu. Penyaluran itu harus dilakukan empat kali. Setiap kali memerlukan waktu empat jam. Selama pengobatan berlangsung, tak boleh diganggu orang.

Sedikit saja terganggu, nona itu pasti akan cacad seumur hidup. Bahkan bisa juga, keduanya mati semua!

Demi menolong jiwa nona itu, Siau-liong tak menghiraukan segala resiko. Ia mengambil 9 butir pil, disusupkan kemulut si nona. Karena mulut nona itu terkancing, terpaksa Siau-liong tempelkan bibirnya kemulut si nona lalu meniup pil itu.

Setelah berhasil memasukkan pil kemulut si nona, Siau-liong mulai mengurut seluruh jalan darah ditubuh si nona. Untunglah dalam usianya yang sudah menjenjang kedewasaan itu, Siau-liong belum mengerti tentang hubungan wanita dan pria. Pokok, ia sungguh-sungguh dan wajar.

Tak berapa lama, nona itu sadar. Ia menggeliat dan merintih pelahan.

"Jangan takut, harap nona kerahkan semangat. Kubantu mengobati luka nona," buru-buru Siau-liong memberi penjelasan.

Saat itu si nona masih letih sekali. Ia tak dapat bicara melainkan mendengus. Dan Siau-liong segera lekatkan kedua tangannya pada perut nona itu. Ia mulai menyalurkan tenaga murni ke tubuh nona itu.

Karena peredaran darah nona itu tidak normal, maka Siau-liong harus bekerja keras. Dua jam lamanya, baru ia berhasil dapat menggabungkan darah nona itu dengan tenaga murninya dan berhasillah ia mengembalikan peredaran darah si nona.

Tiba-tiba nona itu menjerit, suatu tanda bahwa perasaannya sudah hidup kembali. Siau-liong makin memperkeras penyalurannya. Dua jam lagi barulah ia hentikan penyaluran. Saat itu hari mulai petang. Keadaan si nona bertambah baik.

"Siapakah nama nona yang mulia?" kini Siau-liong mulai mengajak bicara.

Dengan suara lemah, nona itu menyahut, “Namaku Tiau Bok-kun, tuan siapa....”

Siau-liong menyadari bahwa kini ibunya sudah muncul kembali di dunia persilatan. Jika ia memberitahukan namanya yang asli, dikuatirkan kesulitan yang tak diinginkan. Maka ia menjawab sekenanya, “Namaku Kongsun Liong, panggil saja aku Siau-liong?"

Dikala mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap langkah orang berhenti dimuka biara. Siau-liong terkejut.... Ia memandang kepintu dengan penuh perhatian.

Tak berapa lama, muncullah lima orang tua, yang empat, Siau-liong mengenali sebagai Kongtong Su-lo. Tetapi yang seorang, ia tak tahu.

Rupanya kelima orang itu habis melakukan pertempuran seru. Napas mereka terengah-engah, dahinya penuh keringat. Begitu masuk, mereka terus duduk bersemadhi. Rupanya mereka hendak memulangkan tenaga untuk menghadapi musuh lagi.

Saat itu hari makin malam.

Siau-liong terkejut. Didapatinya peredaran darah nona itu yang sudah mulai berjalan normal. Tentulah nona itu terganggu pikirannya karena kedatangan kelima orang itu. Apabila dibiarkan jiwa nona itu pasti terancam. Buru-buru Siau-liong memberi isyarat supaya nona itu tenangkan pikiran. Sedang iapun segera menyalurkan tenaga murni lagi.

Sejam kemudian, kelima orang tua itupun membuka mata. Dalam ruang yang gelap, tampak sinar mata mereka itu memancar tajam sekali.

"Suheng, Tang Gun-liong yang terlempar ke dalam lembah Hok-liong-koh, tentu mati atau terluka berat. Tetapi entah siapa yang menolongnya dan membawanya ke gunung Hong-san. Kini dia telah meninggal dan dikubur dipuncak Hong-san dan Siau-liong anaknya itu, entah berada dimana," kata Tang Siu-seng, jago kesatu dari Kong-tong Su-lo.

Orang tua kelima yang tak dikenal Siau-liong itu, kedengaran menjawab, “Kalau Gun-liong sudah mati, anaknya tentu sudah mati juga."

Karena Tang Siu-seng memanggil orang itu dengan sebutan suheng, Siau-liong menduga orang itu tentulah suhu dari ayahnya yang bernama Toh Hun-ki gelar Kian-thian-ih-soh!

Dari nadanya, jelas bahwa Kian-thian-ih-soh Toh Hun-ki sama sekali tak berduka atas kematian Tang Gun-liong dan lenyapnya Siau-liong. Padahal Tang Gun-liong adalah murid pewarisnya. Seharusnya Toh Hun-ki menyelidiki atau sekurang-kurangnya berduka atas kematian sang murid.

Sesungguhnya Toh Hun ki bukan jahat. Adalah karena ia fanatik sekali terhadap gengsi maka ia meminta kematian Tang Gun-liong dan melukai isteri muridnya itu.

Kong-tong-pay termasuk salah sebuah partai persilatan yang besar. Coa-sek Se-si Ki Ih, isteri Tang Gun-liong itu, berasal dari seberang laut. Wanita itu gemar membunuh sehingga menimbulkan bentrokan dengan partai-partai persilatan lain.

Dan sebelum resmi menikah dengan Tang Gun-liong, ia sudah melahirkan anak. Sebagai ketua Kong-tong-pay, Toh Hun-ki malu terhadap perbuatan muridnya. Terpaksa ia membunuh Tang Gun-liong dan melukai isterinya.

Siapa tahu, tindakan itu telah menimbulkan salah faham besar. Karena tak tahu persoalannya, sudah tentu Siau-liong mendendam sekali atas kematian ayahnya, Tetapi karena ayahnya telah memesan supaya ia jangan menuntut balas, Siau-liong tak mau meminta bertanggungan jawab partai Kong-tong-pay.

Selang dua jam lamanya, Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalam. Ia menduga nona Tiau Bok-kun itu tentu hendak dibunuh Toh Hun-ki dan Su-lo dari Kong tong-pay.

Ia tak tahu apa persoalannya tetapi yang jelas tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu bertindak kejam terhadap seorang nona. Seketika meluaplah kemarahan Siau-liong terhadap partai itu. Hutang jiwa, bayar jiwa. Demikian ketetapan hatinya. Tetapi karena amarahnya meluap. Darahnya bergolak keras. Maka sampai beberapa saat ia belum dapat melanjutkan pengobatannya kepada nona itu.

Memandang kepintu muka, Siau-liong terkesiap kaget. Entah kapan, tahu-tahu diambang pintu muncul seorang lelaki bertubuh kurus kering. Raut wajahnya seperti muka kuda, memelihara kuncir. Pakaiannya mirip paderi bukan paderi, orang biasa bukan orang biasa. Punggungnya menyanggul sebuah senjata.

"Ho, ho," orang itu tertawa meloroh, “Toh tua, lekas serahkan barang yang hendak engkau jual itu. Ingat dibawah tangan Ki-su tiada makhluk yang bernyawa lagi!"

Kian-thian-it-soh Toh Hun-ki tetap duduk tenang.

"Setan tua, bukankah engkau Soh-beng Ki-su? Kalau engkau menghendaki jiwa, disini tersedia lima lembar. Tetapi kalau menginginkan barang penjualan, jangan mimpi!"

Soh-beng Ki-su atau Pertapa pencabut nyawa tertawa kering, “Jika tak mengingat engkau seorang ketua partai persilatan, tentu sudah kucabut nyawamu. Kalau tak mau menyerahkan barang itu, jangan salahkan aku seorang ganas!"

Soh-beng Ki-su inilah yang telah membunuh Koay suhu atau Bu-kek-gong-mo.

Siau-liong hendak menerjang keluar dan menghajar orang itu. Tetapi karena ia sedang menenangkan darahnya yang bergolak, terpaksa ia tahan sabar.

Toh Hun-ki keempat Su-lo serempak bersiap-siap. Mereka merencanakan barisan Ngo-heng-tin untuk menghadapi tokoh ganas itu.

Ngo-heng-tin, merupakan barisan yang rapat ketat, dahsyat dan sukar diduga gerak perobahannya. Di dalam menyerang, pun menjaga. Dalam bertahan, juga menyerang.

Tetapi Toh Hun-ki dan keempat Su-lo bergerak, Soh-beng Ki-su sudah mendahului melesat dan mencengkeram Toh Hun-ki. Tetapi diapun kenal akan kehebatan barisan itu. Tiba-tiba cengkeramannya ditarik tengah jalan karena dia harus melindungi diri dari serangan kelima musuh. Dengan demikian, pertempuran berjalan seru dan dahsyat. Biara kecil itu seolah-olah tergetar karena angin pukulan mereka.

Siau-liong terkejut ketika Tiau Bok-kun terdengar mengerang. Cepat-cepat didekapnya mulut si nona itu. Tetapi terlambat. Tokoh-tokoh yang bertempur telah mendengarnya.

Soh-beng Ki-su loncat keluar dari kepungan, Ia tertawa aneh,

“Bagus. Budak perempuan itu ternyata berada disini. Jika kalian tetap tak mau menyerahkan, tentu dia segera kubunuh. Mendapat separoh dulu, baru kita bicara lagi."

Dengan menggerung keras, kelima tokoh Kong-tong-pay itu loncat berbaris dimuka biara, menghadang Soh-beng Ki-su. Tetapi dengan bertempur cara berhadap-hadapan itu, posisi kelima tokoh Kong-tong-pay itu lebih tak menguntungkan.

Soh-beng Ki-su perdengarkan ketawanya yang mirip dengan burung hantu merintih-rintih ditengah malam. Tiba-tiba ia mengangkat kedua tinjunya. Tulang-tulang jarinya yang panjang runcing, mirip dengan cakar burung garuda.

Sesaat terdengar suara mendesis-desis. Jari-jarinya seperti mengeluarkan asap dingin. Ternyata tokoh aneh itu telah mengerahkan ilmu tenaga dalam Pek-kut-kang. Secepat kilat ia menghantam kelima musuhnya.

"Dess....” kelima tokoh Kong-tong-pay serempak memukul untuk menangkis. Terjadi benturan tenaga dalam dan hasilnya segera dapat diketahui siapa yang lebih unggul. Soh-beng Ki-su tetap tenang tetapi kelima jago Kong-tong-pay itu mengerang tertahan. Jelas mereka menderita tekanan yang hebat.

“Tring, tring....,” terdengar senjata berdering-dering. Kelima jago Kong-tong-pay telah mencabut pedangnya.

"Bagus, bagus, hayo majulah semua!" Soh-beng Ki-su tertawa meringkik. Iapun mencabut senjata yang berada dipunggung.

Orangnya aneh, senjatapun aneh. Mirip dengan cempuling, mirip pula dengan pisau terbang. Sekali dikibaskan, senjata meluncur ke udara. Dan sekali tangannya mengacung, senjata itupun meluncur kembali ke dalam tangannya. Pertempuran dengan senjata segera berlangsung seru. Untung mereka bertempur diluar, andaikata di dalam tentulah biara kecil itu akan ambruk.

Saat itu hari mulai terang tanah. Karena sudah dua jam, Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalamnya. Ia menghela napas panjang. Keadaan Tiau Bok-kun sudah banyak kemajuan. Ia hendak mengangkat kepala tetapi Siau-liong mencegahnya dan minta nona itu beristirahat lagi.

"Toh tua, diruang depan ini sempit sekali. Hayo kita bertempur diluar saja.... Jika kalian menang, budak perempuan itu boleh kalian ambil separoh. Tetapi kalau kalah, hm, hm, lima lembar jiwamu pun menjadi milikku!" seru Soh-beng Ki-su.

Kelima tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu segera mengikuti Soh-beng Ki-su keluar.

Karena masih memerlukan empat jam lagi, maka Siau-liong segera mulai menyalurkan tenaga dalam lagi. Karena sudah dapat menerima penyaluran, Tiau Bok-kun pun segera menyalurkannnya keseluruh tubuh.

Dari sinar matahari yang menyusup dicelah-celah dinding. barulah Siau-liong melihat jelas muka gadis itu. Seorang nona yang memiliki wajah cantik dan riang.

Tiau Bok-kunpun sempat juga untuk memandang penolongnya. Seorang pemuda yang gagah dan jujur. Tiba-tiba sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan cepat palingkan muka.

"In-jin," beberapa saat kemudian Tiau Bok-kun dapat berseru pelahan. In-jin artinya orang yang melepas budi.

"Nona Tiau," sahut Siau-liong.

Hanya dua patah kata terluncur dari mulut kedua muda-mudi itu. Namun sudah melebihi ribuan kata-kata yang penuh arti ......

Setiba diluar, Soh-beng Ki-su bertempur lagi dengan kelima tokoh Kong-tong-pay. Gemerincing senjata beradu, mengejutkan kedua anak muda itu. Ia memandang keluar. Tampak kelima pedang bercampur-baur dengan sinar cempuling.

Diam-diam Siau-liong menyesalkan cara bertempur dari kelima orang itu. Jelas kelima tokoh Kong-tong-pay itu kalah tinggi tenaga dalamnya dengan Soh-beng Ki-su, mengapa mereka berani mengadu kekerasan?

Tiba-tiba Siau-liong teringat sesuatu dan bertanyalah ia kepada Tiau Bok-kun, “Benda apakah yang dikatakan oleh Soh-beng Ki-su itu?"

Sekonyong-konyong nona itu mencekal tangan kiri Siau-liong lalu dilekatkan kedada, ujarnya,

“Rabahlah Giok-pwe ini."

Ternyata nona itu menyimpan sebuah Giok-pwe atau Lencana-kumala didadanya. Menjamah dada si nona, jengahlah muka Siau-liong. Buru-buru ia menarik tangannya.

"Untuk apakah benda itu?" tanyanya.

"Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Tetapi yang jelas, separoh bagian kusimpan dan yang separoh bagian ada pada Toh Hun-ki. Maka mereka hendak merebut milikku ini!"

"Kalau begitu, siapapun dari mereka yang menang, tak menguntungkan engkau?"

Tiau Bok-kun hanya mendengus.

"Siapakah yang melukai engkau?" tanya Siau-liong pula.

"Soh-beng Ki-su....”

Alangkah inginnya Siau-liong saat itu keluar untuk membunuh Soh-beng Ki-su, orang yang telah membunuh Koay suhu dan melukai nona itu. Tetapi ia tak dapat meninggalkan si nona begitu saja.

Ia memandang keluar. Tokoh-tokoh itu masih bertempur gigih sekali. Tetapi jarak tempat pertempuran makin menjauh dari biara.

"Mudah-mudahan mereka bertempur terus saja," diam-diam Siau-liong mengharap.

Kini untuk yang terakhir, ia harus memberi penyaluran tenaga dalam lagi. Ketika memandang Tiau-Bok-kun, ia heran. Wajah nona itu tampak merah. Pada hal tadi sewaktu diberi penyaluran tenaga-dalam, wajahnya tak sedemikian merahnya.

"Bagaimana lukamu?" tanya cemas.

Tiau Bok-kun mendesis pelahan.

“Mengapa engkau, nona Tiau?" tanya Siau-liong.

Nona itu makin merah wajahnya dan tersipu-sipu tundukan kepala.

"Kita.... laksana air bertemu telaga. Ini....” serunya pelahan dan tak lanjut.

"Ini bagaimana?" desak Siau-liong.

Setelah lukanya berangsur baik, kesadaran nona itupun mulai kembali lagi. Duduk merapat dengan seorang pemuda yang tak dikenal, mau tak mau sebagai seorang gadis yang masih suci, Tiau Bok-kun merasa malu sekali.

"Besok saja kuterangkan," sahut nona itu.

"Tetapi apakah yang hendak engkau katakan?" Siau-liong mendesak lagi.

Buru-buru Tiau Bok-kun melengos. Setelah cukup beristirahat, Siau-liongpun menyalurkan tenaga dalam lagi ke tubuh si nona. Penyaluran itu merupakan pengobatan yang terakhir. Karenanya merupakan detik-detik berbahaya.

Tiba-tiba tokoh-tokoh yang bertempur tadi, terdengar diluar pintu biara lagi. Dengan pendengarannya yang tajam, Siau-liong dapat memperhitungkan mereka tentu dapat bertempur sampai dua jam lagi.

Tetapi ia menyadari bahwa setiap saat, pertempuran akan mengalami perobahan. Maka iapun tingkatkan kewaspadaan untuk menghadapi segala kemungkinan.

Selama pertempuran berjalan seru, Tiau Bok-kun pun makin bertambah baik keadaannya. Wajahnya mulai berseri makin segar laksana kuntum mekar dihari pagi.

Tiba-tiba Siau-liong dikejutkan oleh sebuah jeritan ngeri. Ketika memandang keluar, dilihatnya sinar pedang mulai kacau-balau. Jelas bahwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu sudah mulai terancam bahaya. Asal salah satu ada yang rubuh maka berantakan barisan mereka.

“Tring....,” terdengar gemerincing senjata beradu keras. Serempak dengan letikan bunga api, sebuah pedang telah terpental jatuh ke dalam biara.

Dari keempat Su-lo, yang dua jakni Lam-kek-sian dan Pak-kek-ong sudah duduk bersemadhi di tanah. Tentulah mereka terluka. Yang masih bertahan tinggal dua orang Su-lo dan Toh Hun-ki.

Dalam pada itu, Siau-liong masih memerlukan setengah jam lagi untuk menyalurkan tenaga dalam. Asal setengah jam itu dapat berlangsung tanpa gangguan, Tiau Bok kun pasti akan sembuh sama sekali. Tetapi kalau sampai terganggu, sia-sia sajalah jerih payahnya selama enam belas jam itu.

Tiba-tiba terdengar sebuah jeritan ngeri lagi!

"Celaka! Kong-tong-pay tinggal seorang saja.... Tentu tak dapat bertahan lagi," diam-diam Siau-liong mengeluh.

Tempo amat berharga sekali. Buru-buru ia kerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempercepat penyaluran tenaga dalamnya. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia mendengar Soh-beng Ki-su tertawa nyaring....

Pada lain saat terdengarlah suara senjata jatuh bergerontangan disusul dengan suara orang menahan kesakitan.

"Celaka, habislah sudah jerih payahku selama sehari semalam," Siau-liong mengeluh.

Kiranya suara orang itu berasal dari Toh Hun-ki. Pedangnya terlepas dan dadanya menerima sebuah pukulan maka rubuhlah ketua Kong-tong-pay itu di tanah ......

Melihat itu dengan teriakan mendengkung-dengkung macam katak, jari tangan Soh-beng Ki-su yang tajam mencengkeram Toh Hun-ki....

Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa ketua Kong-tong-pay itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring, “Bangsat tua, lihat senjataku!"

"Hai, apakah engkau bukan Coa-sik Se-si....!" Soh-beng Ki-su berteriak kaget.

4. Cousu-ya Partai Pengemis

Mendengar itu terkejutlah Siau-liong. Ingin sekali ia memanggil ibunya itu tetapi karena sedang mengobati si nona terpaksa ia tahankan hati.

Memang pendatang itu adalah Ki Ih atau yang digelari orang sebagai Coa-sik Se-si (si cantik Se-si yang berbisa).

"Ah, kiranya engkau belum pikun, Seharusnya engkau tahu bahwa kelima bangsat tua dari Kong-tong-pay itu adalah musuhku besar. Mengapa engkau berani lancang hendak membunuhnya? Biarkan mereka beristirahat memulihkan tenaga dulu baru nanti kujadikan setan-setan tanpa kepala! Nah, selagi mereka beristirahat, marilah kita isi kekosongan ini untuk membereskan perhitungan kita tempo dahulu!"

"Bagus, memang aku belum puas hanya mencabut lima orang. Perempuan siluman, lihat seranganku!" seru Soh-beng Ki-su.

Sinar pedang berhamburan, angin menderu-deru. Pertempuran kali ini lebih dahsyat dari tadi. Kedua tokoh itu makin lama kian jauh dari biara dan akhirnya tiada kedengaran suaranya lagi.

Saat itu Siau-liong berhasil menyelesaikan penyaluran tenaga dalam yang terakhir. Bergegas-gegas ia memberi pil kepada nona itu, “Minumlah dan setelah beristirahat beberapa waktu, tenagamu tentu pulih.... Sampai jumpa lagi, selamat tinggal....”

"In-jin....!" Tiau Bok-kun memanggil. Tetapi pemuda itu sudah lenyap. Berlinang-linang airmata nona itu. Ingin ia menyusul In-jin atau Penolongnya itu, tetapi tenaganya masih belum mengijinkan.

Begitu keluar dari biara, Siau-liong tak menghiraukan kelima tokoh Kong-tong-pay yang masih duduk bersemadhi itu. Ia lari menuju ke arah tempat ibunya. Tetapi seratus li telah ditempuh, tetap ia tak berhasil menemukan ibunya dan Soh-beng Ki-su.

Dua hari lamanya Siau-liong berkeliaran mencari ibunya. Karena lupa makan lupa tidur dan habis menyalurkan tenaga dalam kepada si nona, Siau-liong merasa letih sekali, Maka ketika tiba di kota Siok-ciu, ia segera mencari sebuah rumah makan. Rencananya, setelah makan ia hendak membeli pakaian baru.

Suasana dalam kota terang-benderang, rumah dihias dengan lampu tenglong warna-warni. Jalan penuh orang pesiar. Ah, tiba-tiba ia teringat bahwa malam itu adalah malam Tiong-ciu atau pertengahan musim rontok. Rembulan purnama-sidhi. Rumah-rumah mengadakan sesaji dengan kuweh Tiong-jiu-pia.

Tengah ia berjalan, serombongan anak-anak laki segera mengerumuni, menyoraki dan melempari tali serta menggodanya.

Siok-ciu termasuk wilayah Su-jwan. Menurut adat kebiasaan daerah itu, pada malam Tiong-ciu anak-anak diberi kebebasan untuk bersuka-ria bahkan berkelahi. Mereka menggunakan tali dan bandringan. Benda itu berat tetapi tak melukai.

Siau-liong menyambar seutas tali yang dilempar seorang anak. Anak itu segera menarik sekuat-kuatnya tetapi sampai mukanya merah padam dan menangis, tetap tak mampu. Karena hendak lekas-lekas melanjutkan perjalanan, Siau-liong lepaskan tali itu.

“Uh, uh....,” bocah itu pontang-panting jatuh terjerembab. Kepalanya benjul terbentur tanah dan menangislah ia gerung-gerung ……

Melihat itu kawanan anak-anak nakal segera mengepung Siau-liong. Siau-liong jengkel. Kalau didiamkan mereka makin liar.

Siau-liong tak mau cari perkara. Ia diam saja dan akhirnya anak-anak itu kesal sendiri. Pada saat itu Siau-liong menyiak dua anak lalu menerobos keluar. Walaupun tak menggunakan tenaga tetapi gerakan Siau-liong itu membuat kedua anak terpelanting jatuh.

“Hu, hu, huuu....,” menangislah mereka.

"Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!" hiruk-pikuk kawanan anak nakal itu berteriak-teriak sambil mengejar.

Tetapi Siau-liong sudah jauh. Ia terhindar dari gangguan anak-anak nakal tetapi ia gagal membeli makanan dan pakaian.

Saat itu ia duduk disebuah batu dalam hutan. Sambil melepaskan lelah, ia mengusap-usap lencana Tengkorak didadanya dengan menyeringai. Lencana itu berasal dari leher Tengkorak yang berada dalam gua tempo hari.

Siau-liong termenung-menung memikirkan nasibnya. Jika lain orang pada malam purnama itu duduk menikmati kuweh Tiong-ciu-pia, adalah dia duduk seorang diri dalam hutan!

Tetapi perutnya merintih-rintih minta isi. Memandang jauh kemuka, tampak dikaki gunung sebuah bangunan besar yang terang-benderang penerangannya. Segera ia menuju kesana.

Tiba ditempat itu ia terkejut dan ragu-ragu memasuki. Papan nama yang tergantung pada pintu rumah itu bertuliskan Tay-hud-si atau gereja Buddha besar.

Pada kedua samping titian dihalaman gereja itu tampak empat orang lelaki berdiri tegak tanpa baju. Pada leher mereka melingkar kalung Lencana Tengkorak.

Melihat mereka tak berbaju, hilanglah rasa malu Siau-liong yang bajunya compang camping. Tanpa banyak pikir, ia segera naik ketitian....

Sebenarnya keempat penjaga itu tentu melihatnya tetapi entah bagaimana mereka diam saja. Dan Siau-liong pun juga tak mempedulikan mereka. Ia terus melangkah ke dalam pintu.

Di belakang pintu ternyata merupakan sebuah halaman luas. Ujung halaman terdapat sebuah bangunan gedung besar. Beratus-ratus orang memenuhi halaman dan gedung. Rupanya disitu sedang diselenggarakan perjamuan besar.

Yang mengherankan Siau-liong ialah semua orang yang hadir disitu sama tidak mengenakan baju dan sama berkalung lencana tengkorak. Pada umumnya mereka bertubuh kurus kering, celana kumal dan baunya busuk.

Siau-liong tak menghiraukan siapa mereka. Paling penting ia hendak ikut duduk menyantap hidangan. Tiba-tiba dua lelaki pincang muncul. Dengan mencekal tongkat, mereka menghampiri Siau-liong. Muka mereka kotor, rambut kusut masai dan tubuh kurus sekali. Hanya kedua matanya yang bersinar tajam. Yang seorang kakinya kiri yang pincang. Yang seorang, kakinya kanan yang pincang.

"Budak, darimana engkau?" tegur mereka.

Siau-liong terkesiap. Tak tahu ia siapa mereka dan tempat apa itu. Dengan singkat ia menyahut, “Hong-san!"

Kedua lelaki pincang itu tertegun. Mata mereka berkilat-kilat memandang Siau-liong, tanyanya pula, “Hendak kemana?"

"Mencari.... , " baru Siau-liong hendak mengatakan 'Mencari ibu', ia merasa kelepasan omong dan cepat mengganti dengan ucapan, “Menuju ketempat tujuan."

Kedua lelaki pincang itu terkesiap heran.

Pertanyaan pertama, dijawab salah. Tetapi pertanyaan kedua dijawab betul.

"Dari mana engkau mendapat petunjuk?" tanya mereka.

"Dari dalam laut!"

"Kapan susou-ya datang?" tanya mereka lagi.

Siau-liong sebal mendengar pertanyaan yang tiada artinya itu. Cepat ia menukas, “Entah! Aku lapar, jangan bertanya lagi!"

"Silahkan!" diluar dugaan kedua lelaki pincang itu berputar tubuh dan berjalan lebih dulu.

Pucuk dicinta ulam tiba. Perut lapar, malah diundang makan. Demikian anggapan Siau-liong. Segera ia mengikuti kedua lelaki pincang itu menuju ke dalam gedung besar.

Semua hadirin diam saja. Beratus-ratus mata mencurah ke arah Siau-liong. Tiba diujung ruangan kedua lelaki pincang itu berlutut didepan seorang tua yang rambut dan alisnya sudah putih semua. Jenggotnya yang berkilat-kilat seperti perak, menjulai sampai keperut. Tetapi wajahnya masih segar seperti kanak-kanak.

"Seorang budak liar telah menyelundup dengan menyamar sebagai anggauta kita. Harap bapak ketua memeriksanya," kata lelaki yang pincang kaki kiri.

Orang tua yang disebut bapak ketua atau pangcu itu, mendengus. Kedua lelaki pincang bangun dan berdiri disampingnya.

Mata orang tua itu berkilat-kilat menatap Siau-liong. Akan tetapi ketika pandang matanya tertumbuk pada lencana Tengkorak yang melingkar dileher Siau-liong, ia terbeliak kaget!

Serentak berbangkitlah ia pelahan-lahan. Dengan mencekal sebatang tongkat kumala hijau, ia menghampiri Siau-liong. Pemuda itu terkesiap. Orang tua itu ditaksir sudah 80 tahun umurnya tetapi masih gagah.... Tetapi mengapa sikapnya seperti bermusuhan?

Begitu dekat, orang tua itu segera putar tongkatnya. Seketika tubuh Siau-liong dikurung oleh ribuan sinar hijau kemilau.

Seluruh hadirin terkejut. Mereka tak mengerti mengapa bapak ketua tiba-tiba menyerang seorang bocah liar dengan jurus sakti Ciong-lo-ban-jio?

Semula Siau-liong terkejut. Tetapi diam-diam ia merasa agak paham juga tentang jurus serangan itu. Dalam taburan hujan sinar tongkat, ia dapat mengetahui dimana letak kelemahannya. Maka bergeraklah ia dengan langkah yang aneh dan tahu-tahu ia sudah menerobos keluar dari lingkaran sinar tongkat.

Pak tua itu tertegun sejenak. Tetapi pada lain saat ia lancarkan lagi dua buah serangan dahsyat. Tetapi lagi-lagi Siau-liong dapat meloloskan diri.

Kini sekalian hadirin benar-benar terperanjat. Setelah tiga kali serangannya gagal, tiba-tiba pak tua itu membungkuk badan memberi hormat kepada Siau-liong. Kemudian mempersilahkannya masuk ke dalam ruangan besar.

Tiba-tiba orang tua itu mengacungkan tongkat kumala ke atas dan serempak sekalian hadirin berlutut dengan khidmat.

"Cousu-ya telah datang! Dirgahayu! Dirgahayu!" teriak orang tua itu dengan nyaring.

"Dirgahayu! Semoga panjang usia!" bergemuruhlah ruang gedung dan halaman menyambut pernyataan pak tua itu.

Tiba-tiba pak tua itu berlutut di tanah. Suasana hening seketika. Tiada seorangpun yang berani mengangkat muka.

Sambil mencekal tongkat kumaia dengan kedua tangan, pak tua itu berseru pula, “Ketua partai Kay-pang dari Kanglam, Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong serta seluruh anak murid, mohon maaf karena tak mengetahui akan kunjungan causu-ya!"

Diperlakukan sedemikian hormat dan disebut-sebut sebagai causu-ya atau kakek guru, bukan kepalang kejut Siau-liong. Masakan dirinya dianggap sebagai causu dari Kay-pang atau partai kaum pengemis!

Namun sia-sialah Siau-liong hendak memberi penjelasan. Mereka tentu tak percaya. Apa boleh buat, terpaksa ia berseru, “Bangunlah! Bangunlah!"

Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong ternyata ketua partai Kay-pang cabang Kanglam Dia memberi hormat lalu bangun. Ia mengumumkan kepada hadirin bahwa Cousu-ya dari partai Kaypang yang sudah berpuluh tahun tak muncul, sekarang berkunjung kesitu.

Seketika terdengar sambutan para hadirin, bersorak dengan gegap gempita....

Tetapi diam-diam mereka kurang yakin. Benarkah cousu-ya dari partai Kay-pang yang disohorkan sakti itu hanya seorang pemuda yang baru berumur belasan tahun?

Perjamuan berjalan terus. Pengemis-jenggot-perak duduk menemani Siau-liong. Kedua pengemis pincang tadipun diperkenalkan kepada Siau-liong. Yang pincang kakinya kiri bernama Tio Thou bergelar Thiat-koay-co atau Tongkat-besi-kiri. Sedang yang pincang kakinya kanan bernama Li Ji gelar Thiat-koay-yu atau Tongkat-besi-kanan. Keduanya menjabat pengurus besar
partai Kay-pang wilayah Kanglam.

Selesai perjamuan, To Kiu-kong menuturkan keadaan dan pergolakan dunia persilatan selama ini. Terutama hal perkembangan partai Kay-pang.

Kay-pang termasuk Ceng-pay atau partai golongan Putih. Merupakan sebuah partai yang kemasyhurannya sejajar dengan lain-lain partai persilatan.

Kay-pang didirikan oleh Kiu-ci-sin-kay atau Pengemis-sakti-jari-sembilan Ang Jit-kong pada akhir ahala Song. Tetapi kemudian partai itu pecah menjadi dua. Yang satu didaerah selatan dan menamakan diri sebagai Kanglam Kay-pang. Yang satu didaerah utara dengan nama Kangpak Kay-pang.

Kedua partay Kay-pang itu bentrok dan saling bermusuhan. Akhirnya dicapai persetujuan, mengajukan calon ketua. Tiap tiga tahun bertemu dipuncak Lok-gan-hong gunung Hoasan, untuk bertanding memperebutkan kedudukan ketua Kay-pang dari Kanglam dan Kangpak. Yang kalah harus tunduk pada perintahnya.

Tokoh pertama yang menjabat sebagai ketua Kanglam Kay-pang adalah Song Thian-kun bergelar Ko-lo-sin-kay atau Pengemis Tengkorak-sakti. Dalam pertandingan di Hoasan, dia berhasil mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang yang bernama Yong Jim.

Gelar Tengkorak-sakti itu diberikan kepada Song Thian-kun karena tubuhnya yang kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. Setelah menjabat ketua umum kedua golongan partay Kay-pang itu, ia membuat lencana tengkorak sebagai tanda pengenal diri. Lencana pengenal itu diperuntukkan apabila ia mengeluarkan pengumuman, memanggil rapat, memanggil seorang pengurus partai dan lain-lain yang menyangkut kepentingan organisasi Kay-pang.

Berkat kesaktiannya, Song Thian-kun telah berhasil tiga kali mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang. Dengan begitu, ia dapat menjabat sebagai ketua umum selama 9 tahun.

Pada tahun kedua dalam jabatannya yang ketiga kali sebagai ketua umum partai Kay-pang, di dunia persilatan muncullah lima orang durjana besar. Dunia persilatan menggelari mereka dengan istilah singkat: Thian, Te, Liong, Hou dan Bu-kek-gong-mo. Mereka berlima memusuhi partai-partai persilatan yang ternama.

"Huh, partai-partai persilatan yang membanggakan diri sebagai golongan Putih itu tak lain tak bukan hanya gerombolan manusia-manusia busuk!" demikian ejekan yang dilontarkan kelima durjana itu.

Pada saat partai-partai besar sedang kewalahan menghadapi gangguan keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou, tiba-tiba muncul pula Bu-kek-gong-mo atau si Pendekar Laknat!

Pendekar Laknat ini lebih gila lagi. Dia gemar membunuh. Jiwa manusia dianggap seperti jiwa ayam saja. Oleh karena tak mampu mengatasi, akhirnya partai-partai besar itu tak mampu bertindak lagi. Mereka menutup diri, masing-masing menjaga keselamatan tempatnya sendiri-sendiri.

Hanya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun satu-satunya tokoh yang berani menentang kawanan durjana ganas itu. Ia mencari Pendekar Laknat dan bertempur selama tiga hari tiga malam. Tetapi tetap tak ada yang menang dan kalah.

Keunggulan Pendekar Laknat terletak pada ilmu tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang. Sedang keistimewaan Pengemis-tengkorak-sakti pada ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang sakti.

Akhirnya karena agak lengah, Pengemis Tengkorak-sakti tersapu oleh sebuah pukulan Pendekar Laknat. Tetapi durjana itupun terhunjam sebuah hantaman dari Pengemis Tengkorak-sakti.

Kedua-duanya sama-sama terluka parah!

Sejak itu Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun melenyapkan diri.... Sedang Pendekar Laknat kabarnya pun dikeroyok oleh keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou. Tetapi keempat durjana itu gagal membunuh Pendekar Laknat. Mereka menderita luka dan menyembunyikan diri.

Demi mengenangkan jasa Pengemis Tengkorak-sakti. Song Thay-kun, partai Kay-pang wilayah Kanglam telah menyempurnakan susunan organisasinya. Menurut tinggi rendahnya kedudukan, setiap anggauta mengenakan lencana Tengkorak yang bentuknya berlainan. Menentukan sandi-sandi pertanyaan rahasia untuk menghadapi orang yang tak dikenal.

Sandi pertanyaan itu diajukan kedua pengemis pincang tadi ketika menyambul Siau-liong. Dan pada saat melihat anak itu berkalung lencana tengkorak, To Kiu-kong segera mengenalinya, sebagai benda keramat peninggalan Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun. Kemudian untuk menguji benarkah anak itu murid pewaris dari Song Thay-kun maka To Kiu-kong telah gunakan jurus Ciong-lo-ban-jio menyerangnya........

Lenyapnya Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun dari dunia persilatan, ikut hilang pula ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang yang menjadi kebanggaan partai Kay-pang di Kanglam. Kini hanya tinggal ilmu tongkat Ji-thau-ciang hwat saja yang turun temurun diajarkan dikalangan anak murid
Kay-pang.

Jurus Ciong-lo-ban-jio atau Ribuan-gajah-menginjak, merupakan jurus yang paling istimewa dalam ilmu tongkat Ji-thau-ciang-hwat atau Pengemis-minta-tongkat. Tetapi jurus itu masih kalah unggul dengan jurus Thay-siang-bu-kek, salah satu jurus dari pukulan sakti Thay-siang-ciang.

Maka tadi begitu diserang, Siau-liong segera tahu gerakan lawan dan terus gunakan jurus Thay-siang-bu-kek. Dengan mudah ia dapat menghindari ketiga buah serangan To Kiu-kong.

Pada saat itulah Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong baru benar-benar memastikan bahwa Siau-liong adalah pewaris dari cousu-ya Kay-pang. Dengan begitu berarti Pengemis Tengkorak sakti Song-thay-kun muncul kembali.

Girang To Kiu-kong sukar dilukiskan!

Tahun ini Hoasan akan dilangsungkan pertandingan untuk merebut kedudukan Ketua Umum Kay-pang. Maka berkumpullah seluruh tokoh-tokoh penting dari murid-murid Kay-pang didaerah Kanglam.

Mereka hendak merundingkan dan menentukan jago yang hendak diajukan ke Hoasan. Untuk menghadang penyelundupan orang luar maka setiap anggauta yang datang harus buka baju dan mengenakan kalung berlencana tengkorak.

Demikian To Kiu-kong mengakhiri penuturannya.

Saat itu Siau-liong benar-benar tercengkam oleh berbagai perasaan. Heran, terkejut, girang, sedih, cemas campur-aduk memenuhi rongga kalbunya.

Dia menjadi pewaris dari Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun. Tetapi pun menjadi murid dari Koay suhu atau si Pendekar Laknat. Padahal kedua tokoh itu semasa hidupnya, saling bermusuhan.

Diapun ternyata putera dari si wanita cantik Ki Ih yang dimusuhi oleh partay-partai persilatan. Lalu sebagai pewaris Pengemis Tengkorak sakti Song Thay-kun, dia dianggap sebagai ketua partai Kay-pang daerah Kanglam. Ia bersahabat dengan partai-partai persilatan dan bermusuhan dengan partai Kay-pang daerah Kangpak.

Tetapi sebagai murid dari Pendekar Laknat dan putera dari Ki Ih, ia harus memusuhi semua manusia di dunia!

Ah, bagaimanakah ia harus bertindak....?

Kepada orang-orang Kay-pang, ia mengaku bernama Kongsun Liong. Ia menuturkan juga pengalamannya masuk ke dalam perut bumi dan memperoleh ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang.... Hanya mengenai pertemuannya dengan Koay suhu si Pendekar Laknat, ia tak menceritakan kepada mereka.

Kini sekalian anggauta Kay-pang menyadari bahwa ketua mereka yang sakti Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun sudah meninggal. Dan percaya pula bahwa pemuda itu memang benar-benar menerima ilmu warisan dari Song Thay-kun. Dengan demikian partai Kay-pang daerah Kang-lam akan jaya kembali. Mereka telah memperoleh pengganti ketua yang baru!

Sejak bertahun-tahun belum pernah pesta pertemuan anggauta Kay-pang wilayah Kanglam, semeriah dan segembira seperti saat itu. Hiruk pikuk kegembiraan berkumandang jauh sampai diluar biara....

Sekonyong-konyong dari luar pintu biara terdengar sebuah tertawa gemercik. Sebuah nada yang berciri khas tersendiri.

"Ah, dia datang," To Kiu-kong tertawa.

"Siapa?" tanya Siau-liong.

"Salah seorang anggauta pengurus besar partai kita Siau-kay To Tay-tong."

Siau-kay atau Pengemis tertawa Tio Tay-tong melangkah masuk dan memberi hormat kepada To Kiu-kong lalu tiba-tiba berseru, “Dunia kacau! Dunia kacau balau."

"Memang kuduga engkau membawa berita luar biasa. Hayo, cepat beri hormat kepada cousu-ya dulu!" seru To Kui-kong.

Memandang Siau-liong, Pengemis-tertawa itu terbeliak. Tetapi ketika melihat lencana tengkorak didada Siau-liong, cepat ia berlutut memberi hormat.

Siau-liong merasa kikuk. Ia minta jangan dipanggil Cousu-ya atau kakek guru. Tetapi To Kiu-kong mengatakan bahwa sebutan itu memang diberikan kepada mendiang Pengemis Tengkorak sakti. Karena Siau-liong dianggap sebagai penggantinya maka harus menerima sebutan itu.

Kemudian To Kiu-kong minta penjelasan kepada Pengemis-tertawa, “Apa maksudmu, mengatakan dunia kacau-balau tadi?"

Pengemis-tertawa Tio Tay-tong tertawa nyaring sekali, sahutnya, “Dengan munculnya Cousu-ya, pasti akan lebih ramai lagi!"

"Lekas katakanlah!" tukas To Kiu-kong.

"Semua dedongkot-dedongkot persilatan sama muncul lagi. Dunia persilatan pasti akan dilanda banjir darah pula! Bukankah dunia kacau-balau?" seru Pengemis-tertawa itu.

Sekalian orang terperanjat. Bahkan ada yang menggigil gemetar.

"Konon kabarnya si Cantik-beracun Ki Ih muncul didaerah Siok-ciu. Kelima durjana besar pada jaman 20-an tahun berselang yakni Thian, Te, Liong, Hou dan Pendekar Laknat muncul lagi. Kay-se Thian-mo dan Te-gak Lo-sat kabarnya tampakkan diri digunung Thian-san. Keng-san Siat-liong dan Hou-pik Kau-hun, unjuk diri di Se-pak. Lalu Pendekar Laknat timbul digunung Hoa-san. Menurut kabar, begitu muncul Pendekar Laknat dengan dua kali pukulan saja telah menghancurkan belasan tokoh-tokoh lihay. Coba katakanlah, apakah dunia takkan kacau-balau?"

"Hongsan? Bukankah Cousu-ya juga datang dari gunung itu? Apakah cousu-ya mengetahui hal itu?" tanya To Kiu-kong kepada Siau-liong.

"Hal ini.... karena hampir setahun aku berada dibawah gunung maka tak pernah kudengar apa-apa," jawab Siau-liong.

Suasana perjamuan yang gembira-ria, mendadak berobah menjadi tegang regang, cemas gelisah. Tengah sekalian orang gelisah, tiba-tiba di udara menggema lagi sebuah tertawa gelak-gelak yang amat nyaring.

Sekalian orang terkejut. Mereka memandang kesekeliling penjuru tetapi tak tampak suatu apa. Siau-liong dan beberapa tokoh Kay-pang segera melangkah keluar.

Dibawah sinar bulan purnama, tampak seorang aneh berdiri di atas puncak rumah. Orang itu mengenakan pakaian warna biru. Mukanya ditutup kain selubung hitam.

Siau-liong cepat loncat kewuwungan disusul To Kiu-kong, Pengemis-tertawa, Tongkat-besi-kiri Tio Thau, Tongkat-besi-kanan Li Ji dan lain-lain.

Siau-liong terkejut melihat pendatang yang serba misterius itu. Pada saat ia hendak menegur, tiba-tiba orang aneh itu sudah lancarkan dua buah pukulan kepadanya. Tangan kiri memukul dengan jurus Toh-beng-han-kong atau Sinar-dingin-merenggut-nyawa. Tangan kanan menghantam dengan jurus Kian-gun-it-biat atau pukulan Panglebur-jagad!

Siau-liong terpaksa mundur selangkah, Melihat serangan itu begitu hebat, ia duga orang itu tentu bukan tokoh sembarangan. Ingin ia menyapa tetapi kembali orang itu menyerangnya lagi.

Dua buah tangannya susul menyusul melontarkan hantaman dengan jurus yang aneh dan dahsyat. Dalam sekejab saja, sembilan buah pukulan berantai dan enam buah tendangan, telah diserangkan.

Siau-liong tak sempat bertanya lagi. Ia mengkal sekali kepada keberandalan orang itu. Segera ia balas menyerang dengan ilmu pukulan Gun-go-ciang ajaran gurunya Kongsun Sin-to yang terdiri dari 36 jurus.

Namun orang misterius itu memiliki kelincahan yang mengagumkan sekali. Jurus-jurus pukulannya sangat aneh, penuh perobahan yang sukar diduga.

Baru lebih kurang sejam dinobatkan sebagai ketua Kay-pang, Siau-liong sudah mendapat ujian berat. Diam-diam ia mengagumi kesaktian orang itu.
Tetapi diam-diam ia malu terhadap anak buah Kay-pang karena sudah bertempur seratus jurus masih belum dapat mengalahkan lawan. Rasa malu itu membangkitkan kemarahan Siau-liong ......

5. Barisan Tengkorak

TO KIU-KONG terkesiap.

Dahulu ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang dimainkan mendiang Pengemis Tengkorak, tidaklah sedahsyat yang dilancarkan Siau-liong saat itu.

Tetapi kesaktian orang berkerudung itupun bukan olah-olah. Memang pada saat menghadapi taburan Thay-lo-kim-kong-ciang, ia terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Tetapi setelah itu, ia loncat menerjang maju lagi.

Siau-liong marah. Cepat ia melambung ke udara. Setelah berputar-putar, ia menukik dan siap lancarkan jurus kedua: Siu-lo-pan-cha.

Ketika melihat sepasang telapak tangan Siau-liong berkilat-kilat merah, To Kiu-kong dan kawan-kawannya memekik kaget: Bu-kek-sin-kang!

Sebenarnya Siau-liong tak mau menggunakan ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang itu. Karena hal itu akan mengakibatkan dirinya diketahui orang. Tetapi karena musuh terlampau sakti, terpaksa ia mengeluarkan pukulan tenaga sakti itu.

To Kiu-kong terkejut. Ia duga orang berkerudung itu tentu hancur. Tetapi diluar dugaan orang misterius itu malah tertawa melengking menghindar kesamping dan menyongsong pukulan Siau-liong dari samping.

“Dess....,” kembali terjadi benturan antara tenaga sakti keras lawan tenaga sakti lunak. Dan pukulan Siau-liong itupun buyar....

Siau-liong makin heran. Alangkah hebatnya kepandaian orang itu! Diam-diam Siau-liong seperti pernah mengenal ketawa dan gerak-gerik orang itu. Tetapi entah dimana, ia lupa. Dan yang terutama membuat Siau-liong terpukau ialah tenaga-lunak yang dimiliki orang itu. Benar-benar ia belum pernah menyaksikan.

To Kiu-kong dan rombongannya terkejut karena melihat Siau-liong tertegun diam. Tetapi sebelum mereka bertindak, orang aneh itu sudah buang diri berjumpalitan beberapa tombak ke belakang. Kemudian dengan tiga kali locatan, ia sudah lolos.

Siau-liong cepat mengejar.

To Kiu-kong gelagapan. Sungguh berbahaya membiarkan ketua mereka mengejar seorang diri. Segera ia ajak anak buahnya menyusul. Tetapi walaupun menyusup hutan melintasi gunung, mereka tak dapat menemukan ketua mereka dan orang aneh itu.

Tiba-tiba dari arah tenggara terdengar suitan nyaring. To Kiu-kong dan anak buahnya segera menuju kesana. Mereka tiba di sebuah kuil kecil dipinggir kaki gunung. Sekelilingnya penuh pohon cemara dan hutan bambu. Rakyat menamakan Thing-si-poh atau kuil Penyimpan Peti mati. Suitan tadi jelas berasal dari kuil itu.

Saat itu rembulan sudah condong kebarat. Suasana disekeliling kuil, amat seram. Bahkan seorang jago sakti seperti To Kiu-kong, diam-diam pun menggigil dalam hati.

Tetapi rasa seram itu segera lenyap ketika menyadari bahwa suitan nyaring tadi jelas tentu dari jago silat yang memiliki lwekang sakti. To Kiu-kong segera menghampiri kuil itu. Dan ketika mengintai ke dalam kuil, hampir saja To Kiu-kong dan anak buahnya terkejut pingsan.... Soh-beng Ki-su yang berwajah seperti mayat, tengah berputar-putar diantara peti mati karena hendak menerkam si dara cantik Tiau Bok-kun!

Dalam ruang kuil itu terdapat tak kurang dari duaratus buah peti mati. Tiau Bok-kun termasyhur memiliki ilmu meringankan tubuh yang sakti. Karena itu kaum persilatan menyanjungnya dengan gelar Dewi Kilat.

Entah bagaimana mulanya Tiau Bok-kun dikejar-kejar Soh-beng Ki-su dalam kuil situ. Untung berkat ginkangnya yang sakti, nona itu dapat berlincahan menyelundup diantara sela-sela peti mati sehingga Soh beng Ki-su meraung-raung seperti singa kelaparan.

Seharusnya To Kiu kong tak dapat berpeluk tangan mengawasi nona itu diancam Soh-beng Ki-su yang termasyhur sebagai Hwat-giam-lo-ong atau Giam-lo-ong hidup (Raja Akhirat). Tetapi ketua Kay-pang itupun menyadari bahwa jika sekali pukul tak dapat membinasakan Soh-beng Ki-su, akibatnya berbahaya. Kay-pang tentu akan tambah mendapat seorang musuh yang ganas.

Tampak Soh-beng Ki-su mengamuk sekali. Kesepuluh jarinya yang runcing macam cakar garuda, mendesis-desis mengeluarkan asap Pek-kut-kang atau ilmu sakti Tulang-putih mulai dilancarkan!

Dibawah taburan ilmu-sakti Pek-kut-kang itulah dahulu Tiau Bok-kun pernah menderita luka. Untung pada waktu itu ia ketemu dan ditolong Siau-liong.

Seketika pucatlah wajah Tiau Bok-kun.

“Cress....,” tiba-tiba Soh beng Ki-su mencengkeram. Dan serempak dengan itu, To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa segera hendak loncat menerjang untuk menolong Tiau Bok-kun. Tetapi, uh.... terpaksa mereka hentikan gerakannya.

Ternyata cengkeraman Soh-beng Ki-su itu tidak ditujukan pada Tiau Bok-kun tetapi kesebuah peti mati yang berada di samping kanannya.

“Krak....,” kayu penutup peti hancur lebur beterbangan keempat penjuru....

Kiranya tujuan Soh-beng Ki-su hanya hendak memamerkan betapa dahsyat tenaga cengkeramannya itu agar si nona menyerah saja. Demikian dugaan To Kiu-kong. Tetapi ternyata dugaan itu meleset.

Setelah menghancurkan tutup peti, jari Soh-beng Ki-su tetap memancarkan aliran tenaga sakti ke dalam peti. Tiba-tiba mayat dalam peti itu pun bangun.

Dalam kuil di tengah hutan dengan berisi duaratus buah peti mati, sudah cukup membuat nyali copot. Apalagi sesosok mayat dapat bangun dan duduk. To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa hampir jatuh kelenger....

Karena takutnya Tiau Bok-kun menjerit. Tetapi karena Soh-beng Ki-su menghadang dimuka, terpaksa ia menyelinap mundur ke belakang dua buah peti mati.

Soh-beng Ki-su mengangkat tangan dan tengkorak itupun berdiri lalu loncat keluar dari peti matinya.

Hai! Adakah Soh-beng Ki-su memiliki ilmu sihir?

Tidak! Ilmu itu disebut tenaga sakti Pek-kut-kang atau ilmu Tulang Putih. Ilmu tersebut didasarkan pada latihan menyedot hawa phosporus mayat-mayat yang sudah menjadi tengkorak. Dengan latihan itu dapatlah Soh-beng Ki-su menggerakkan mayat dan diperintah menurut sekehendak hatinya. Antara lain disuruh bersilat dan menyerang orang!

Berturut-turut Soh-beng Ki-su menghidupkan tengkorak-tengkorak lalu diperintahkannya mengepung Tiau Bok-kun. Diantara mayat-mayat yang dihidupkan itu, terdapat beberapa kerangka tengkorak yang masih belum hancur dagingnya. Selain ujutnya mengerikan, pun baunya bukan alang kepalang....

Tiau Bok-kun menggigil. Gerahamnya berkerenyut keras. Sambil kepalkan tinju dan memegang pedang erat-erat, ia bersiap-siap.

Setelah menghidupkan tengkorak-tengkorak itu, Soh-beng Ki-su pun segera berseru memberi perintah. Sesosok tengkorak segera mainkan kedua tulang tangannya menyerang Tiau Bok-kun. Nona itu tak gentar. Ia mainkan pedangnya dalam jurus Angin-puyuh. Tetapi pada saat sepasang tulang lengan tengkorak itu akan tertabas, tiba-tiba Soh-beng Ki-su gerakkan tangan kiri dan berseru memberi komando, “Si-heng pian-yap....”

Tengkorak disebelah kiri yang kerat dagingnya masih melekat, segera menyerang Tiau Bok-kun. Bau busuk berhamburan memenuhi ruang.

Hebat dan ngeri sekali! Dibawah perintah gerakan tangan Soh-beng Ki-su, tengkorak yang masih berdaging itu dapat menyerang dengan ilmu pukulan Pek-kut-kang yang hebat.

Nona itu tak keburu menangkis. Untung ia memiliki ginkang yang hebat dan otak yang tajam. Sekonyong konyong ia bertekuk tubuh ke belakang sampai punggung mendatar dengan tanah. Pedang dilintangkan untuk menjaga tubuh. Kemudian dengan sebuah gerakan yang luar biasa, ia melenting kemuka dan menerobos kepungan, melalui celah dua sosok tengkorak.

Tetapi usaha nona itu tak banyak menolong. Hanya beberapa detik ia dapat bernapas legah atau ia terkejut karena dapatkan dibelakangnya itu merupakan dinding kuil. Tak mungkin ia dapat loncat mundur lagi. Sedang kelima tengkorak itu hanya dengan dua tiga kali loncatan, sudah berjajar menghadang Tiau Bok-kun. Walaupun tengkorak-tengkorak itu sudah tak bermata lagi tetapi muka mereka yang tertuju kepada si nona, tak ubah seperti orang yang dapat melihat.

Pada saat Tiau Bok-kun sedang terpojok, Soh beng Ki-su pun giat menghancurkan tutup beberapa peti mati lagi. Berpuluh-puluh tengkorak loncat keluar dari peti masing-masing. Ada yang mukanya hancur tetapi hidungnya complong tetapi mulut masih melekat dengan jenggot yang memanjang lebat. Pendek kata, barang siapa menyaksikan pemandangan saat itu, tentu akan pingsan atau mati kaku!

Berpuluh-puluh mayat dan tengkorak yang tak keruan ujutnya itu, berkerumun mengepung Tiau Bok-kun. Betapapun hebat ilmu ginkang nona itu, namun kiranya tak mungkin ia mampu lolos dari kepungan barisan Si-mo-tin atau barisan Tengk-rak itu.

To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa mempunyai rencana sama. Satu-satunya jalan untuk menolong si nona. hanyalah dengan meringkus Soh-beng Ki-su.

Namun keduanya menyadari bahwa sekalipun keduanya maju serempak, belum tentu dapat mengalahkan Soh-beng Ki-su.

To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa benar-benar tersiksa batinnya. Tidak menolong, tak sampai hati. Namun menolong pun belum tentu berhasil. Dan kegagalan itu berakibat besar bagi partai Kay-pang.

Namun dapatkah mereka hanya berpeluk tangan saja? Ah, perbuatan itu berlawanan dengan jiwa seorang ksatrya!

Tetapi sebelum keduanya bertindak, tiba-tiba lima sosok bayangan melayang masuk dari atas tembok dan berjajar di belakang Soh-beng Ki-su. Mereka bukan lain adalah ketua Kong-tong-pay To Hun-ki dan keempat Kong-tong Su-lo.

Serentak Soh-beng Ki-su berputar tubuh, “Oho, disurga terbentang jalan lebar, kamu malah pilih masuk ke Neraka. Bangsat tua, serahkan jiwamu!"

Soh-beng Ki-su atau Pertapa Pencabut-nyawa itu gerakkan sepasang jari tangannya yang runcing. Seketika ribuan cakar putih berhamburan ke arah kelima tokoh partai Kong-tong-pay itu. Kui-ing-tong-tong atau Bayangan-setan-lalu-lalang, demikian jurus yang dimainkan pertapa gila itu.

Tiau Bok-kun tak mau mensia-siakan kesempatan sebagus itu. Pada saat Soh-beng Ki-su sibuk menghadapi kelima tokoh Kong-tong-pay, nona itu segera mainkan pedang dalam jurus Sip-hong-sip-u atau Sepuluh-angin-sepuluh-hujan untuk membobol kepungan barisan tengkorak yang tak berkomando.

Tetapi gerak gerik nona itu tak luput dari pengawasan si pertapa ganas. Seperti tumbuh mata pada punggungnya, Soh-beng Ki-su segera memberi perintah kepada barisan Tengkorak, “Cui-si-kui-gok."

Mendengar perintah Cui-si-kui-gok atau Mayat hancur-iblis-menangis itu, barisan Tengkorak segera menyerbu Tiau Bok-kun lagi. Dan anehnya, tengkorak yang mempelopori penyerangan itu dapat menghindar apabila Tiau Bok-kun menabasnya. Mereka tetap merangsang maju.

Tiau Bok-kun makin gugup. Ia mainkan jurus Hong-u-put-thou atau tak-tembus-hujan-angin untuk melindungi diri....

Dalam pada itu To Hun-ki dan keempat Su-lo, dengan susah payah dapat menghindari serangan pertapa ganas itu. Tetapi belum sempat balas menyerang, Soh-beng Ki-su sudah menyerangnya sambil memberi komando kepada barisan Tengkorak. Tetapi karena perhatiannya agak terpecah dalam memberi komando dan menyerang sendiri, mala berkuranglah kedahsyatan serangan barisan Tengkorak maupun Soh-beng Ki-su sendiri. Dengan begitu Tiau Bok-kun dapat bertahan beberapa saat.

Seperti telah dituturkan dibagian muka, pada saat menghadapi si wanita cantik Ki Ih, Soh-beng Ki-su terpaksa mundur dan melarikan diri ke dalam kuil itu. Sebenarnya ia hendak mempersiapkan barisan Tengkorak untuk membunuh wanita itu. Tetapi tak terduga-duga, Tiau-Bok-kun melangkah masuk. Melihat itu iapun terus menerkam si nona....

Mendiang ayah nona itu telah meninggalkan sebuah Giok-pwe atau Pending Kumala. Nona itu tak menyangka sama sekali bahwa Giok-pwe itu ternyata sebuah tempat penyimpanan pusaka. To Hun-ki sudah memperoleh separoh bagian. Jika ia dapat merebut separoh bagian yang menjadi milik Tiau Bok-kun, tentulah ia dapat menemukan tempat penyimpanan pusaka itu. Apabila berhasil, bukan saja wanita cantik Ki Ih, bahkan kelima durjana yang termasyhur itu, pun dapat ditundukkan.

Demi membangun pamor kejayaan Kong-tong-pay dan nasib dunia persilatan maka To Hun-ki berusaha keras untuk memperoleh Giok-pwe itu. Apabila benda itu sampai jatuh ketangan si Pertapa Pencabut-nyawa, akibatnya ngeri sekali. Soh-beng Ki-su seperti harimau tumbuh sayap.

Tetapi Tiau Bok-kun pun mati-matian mempertahankan peninggalan orangtuanya. Maka terjadilah peristiwa kejar mengejar yang seru itu.

Pertempuran antara Tiau Bok-kun lawan barisan Tengkorak dan kelima tokoh Kong-tong-pay lawan Pertapa Pencabut-nyawa, telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus To Hun-ki tak mungkin menang dan Tiau Bok-kun pun tak mungkin lari. Adakah To Hun-ki tak menyadari kedudukaannya?

Tidak! To Hun-ki tahu bahwa ia tak mungkin menang. Tetapi ia tetap bertempur karena supaya dapat memberi kesempatan Tiau Bok-kun lolos. Apabila nona itu lolos, kelak ia tentu masih mempunyai kesempatan untuk merebut Giok-pwe.

Untuk memberi kesempatan lari kepada si nona, To Hun-ki memancing lawan supaya bertanding diluar kuil. Tetapi pertapa ganas itu tak mau disiasati. Ia tertawa mengekeh dan tetap merangsang kelima tokoh Kong-tong-pay.

To Hun-ki teringat tempo bertempur seorang diri melawan pertapa itu, ia dapat bertahan sampai 30 jurus. Segera ia mengambil keputusan. Keempat Su-lo disuruh membantu si nona meloloskan diri dari kepungan barisan Tengkorak. Sedang Soh-beng Ki-su hendak dihadapinya sendiri.

Tetapi berhadapan dengan manusia licin macam Soh beng Ki-su, To Hun-ki benar-benar mati kutu. Sebelum sempat menjalankan rencananya, Soh-beng Ki-su sudah mendesak kelima tokoh Kong-tong-pay itu dengan gencar dan menggiring mereka ke dalam barisan Tengkorak.

Melihat suasana pertempuran, To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa tak dapat tinggal diam lagi. Tetapi sebelum mereka bertindak, lagi-lagi muncul pula seorang wanita baju putih, memakai kerudung warna hitam dan mencekal sebatang pedang San-tiam-kiam.

"Ki Ih si Ular cantik!" serentak sekalian orang berteriak kaget dalam hati. Hanya Tiau Bok-kun yang tak kenal siapa wanita aneh itu.

Belum wanita itu berdiri tegak, pedangnya sudah menghambur ke arah barisan Tengkorak. Dua tiga sosok tengkorak, hancur berantakan....

Soh-beng Ki-su cepat mencabut senjatanya yang berbentuk piau atau passer untuk menyambut.

Sepuluh tahun yang lalu, ilmu pedang San-tiam-kiam atau Pedang Kilat dari Ki Ih sudah termasyhur. Kini setelah berselang 10 tahun, tentulah jauh lebih hebat lagi. Ilmu pedang itu selalu berlawanan geraknya dengan ilmu pedang biasa. Gerakan yang kosong ternyata gerakan sesungguhnya dan gerakan yang tampak sungguh kiranya kosong.

Gelombang sinar pedang dan deru angin yang dahsyat makin menguasai sinar senjata Soh-beng Ki-su. Namun pertapa itu bukanlah lawan yang empuk. Dengan ilmu Pek-kut-kang, ia dapat memberi perintah kepada barisan Tengkorak supaya memecah diri dalam kelompok kecil untuk mengurung setiap lawan. Dengan mendapat bantuan barisan Tengkorak itu, Soh-beng Ki-su dapat memperbaiki kedudukannya yang terdesak.

Ki Ih memang lihay tetapi betapa pun ia seorang wanita. Berhadapan dengan tengkorak-tengkorak yang amat menyeramkan, hatinya ngeri juga sehingga mengakibatkan permainan pedangnya agak lamban.

Melihat permainan pedang Ki Ih tak begitu mantap lagi, Soh-beng Ki-su segera pergencar serangannya dan berhasil menguasai permainan lawan.

Ki Ih terdesak tetapi di sana, Tiau Bok-kun dan kelima tokoh Kong-tong-pay berhasil merubuhkan tujuh delapan sosok tengkorak.

Soh-beng Ki-su mulai cemas. Kalau Tiau Bok-kun sampai lolos, berantakanlah rencananya. Memikirkan hal itu, perhatiannya agak terpecah. Keadaan itu tak lepas dari pengamatan Ki Ih. Dengan beberapa serangan dapatlah ia merobah kedudukannya. Dari yang diserang menjadi penyerang.

Soh-beng Ki-su benar-benar gelisah. Buru-buru ia bolang-balingkan cakarnya ke arah deretan peti mati. Tak kurang dari 30 buah peti mati hancur tutupnya dan mayat-mayat di dalamnya segera berloncatan keluar menyerbu musuh.

Pertapa Pencabut-nyawa itu tertawa seram dan barisan Tengkorak lalu meraung-raung, menangis macam iblis merintih-rintih....

Dengan munculnya barisan bantuan itu, Ki Ih dan rombongan Kong-tong-pay terdesak lagi. Mereka lebih banyak bertahan daripada menyerang....

Sekonyong konyong terdengar suara tertawa menggeledek. Dikala sekalian orang terkesiap, sesosok tubuh dalam jubah gerombyongan, melayang masuk ke dalam ruang. Gerakannya gesit dan tak mengeluarkan suara apa-apa....

Sekalian orang terkejut dan yang paling terperanjat sendiri adalah Soh-beng Ki-su. Hampir ia tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Ah, tak mungkin! Bukankah dia sudah kuhantam mati di lembah gunung Hong-san? Mustahil orang mati dapat hidup kembali," bantahnya dalam hati.

"Siapakah engkau, hai!" tegurnya bengis untuk menenangkan getar hatinya.

Wut.... orang aneh itu menjawab dengan kebutkan lengan jubahnya. Secercah sinar merah berkilat dan dua tiga puluh tengkorak segera hancur menjadi abu....

"Pendekar Laknat!" seru Soh-beng Ki-su terkejut.

"Hm, benar! Memang orang yang kau bunuh itu tidak mati!" sahut orang aneh itu.

"Lalu siapa yang mati itu?"

Orang aneh itu tertegun sejenak, sahutnya, “seorang tua yang tak berdosa!"

Soh-beng Ki-su makin gentar. Akhirnya ia berseru kalap, “Mau apa engkau kemari?"

Orang aneh itu tertawa nyaring. Ruang kuil bergetaran.

"Aku hendak menuntut balas atas kematian orang tua itu!" katanya seraya mendorong dengan kedua tangannya. Segulung hawa panas melanda dan hancurlah sisa-sisa barisan Tengkorak....

Tiau Bok-kun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat ia menyelinap keluar. To Hun-ki dan keempat Su-lo mengikuti lolos. Melihat ketua Kong-tong-pay kabur, Ki Ih cepat mengejar....

To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang menyaksikan di atas tembok kuil, diam-diam merasa heran. Rasanya dahulu Pendekar Laknat itu tidak sedemikian tinggi besar. Namun kalau menilik ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang yang dilancarkan itu, memang benar Pendekar Laknat.

Memang hal itu dapat dimengerti karena kedua tokoh pengemis itu tentu tak dapat membayangkan bahwa Pendekar Laknat yang muncul saat itu bukan lain adalah Siau-liong sendiri.

Itulah yang kedua kalinya ia menyamar sebagai Pendekar Laknat. Dan untuk yang kedua kalinya pula berjumpa dengan ibunya. Sayang ia tak tahu bahwa wanita berkerudung muka adalah Ki Ih, ibunya sendiri. Tetapi andaikata tahu, pun ia tentu tak leluasa bicara karena masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.

Setelah mereka pergi, barulah Siau-liong terkesiap. Ia curiga akan gerak-gerik wanita berkerudung tadi. Cepat ia memutuskan, bunuh dulu Pertapa Pencabut-nyawa itu, baru mengejar wanita berkerudung yang diduga tentulah ibunya.

Diserangnya Soh-beng Ki-su dengan jurus Sin-liong-thay-san atau Naga-sakti-gunung-Thaysan. Tetapi Pertapa itu bukan tokoh lemah. Tak mau ia gunakan senjata melainkan dengan tangannya yang mirip cakar burung garuda. Ia menakar pukulan lawan dengan sepuluh jari yang disaluri tenaga sakti Pek-kut-kang atau Tulang-putih.

Siau-liong masih belum dapat menguasai lwekang Bu-kek-sin-kang. Ia hanya tahu menggunakan tenaga sakti itu dengan cara keras. Akibatnya ia menderita. Ia terhuyung-huyung mundur sampai empat langkah. Darahnya bergolak keras.

Soh-beng Ki-su juga terserut mundur selangkah. Hanya penderitaannya lebih kecil dari lawan.

Setelah tenangkan diri, Siau-liong mengatur siasat. Tubuhnya bergerak ke kanan kiri lalu tangannya mengendap ke bawah. Tiba-tiba tangannya dibalikkan menampar kekiri. Ah, ternyata dia lancarkan jurus pukulan Membalik-langit. Dari delapan penjuru, melandalah angin lwekang panas ke arah Soh beng Ki-su....

Soh-beng Ki-su cepat menyurut mundur. Ia tahu bahwa ilmu pukulan Pek-kut-kang tak berguna terhadap Pendekar Laknat. Segera ia gunakan jurus Yang-kek-im-seng atau Hawa-positip-berganti Negatip. Jurus itu merupakan salah satu jurus hebat dari ilmu pukulan Thay-im-ki-bun-sip-pat-hoan yang terdiri dari delapan belas jurus.

Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan yang berlawanan sifatnya itu, saling berbentur....

Tamparan dari sebelah kiri tak berhasil, Siau-liong cepat mengganti dengan tamparan sebelah kanan. Gejolak angin menghambur lebih dahsyat. Memang tamparan kiri itu berbeda sifatnya dengan tamparan kekanan. Lebih mantap dan lebih berat.

Tetapi Soh-beng Ki-su tetap gunakan salah sebuah jurus dari ilmu Thay-im-ki bun-sip-pat-hoan untuk menghalau serangan pemuda itu.

Siau-liong marah. Ia rangkapkan kedua tangan lalu mendorong kemuka. Itulah yang disebut pukulan To-sia-san-ho atau Menjungkir-balikkan-gunung-dan-sungai. Perobahannya paling banyak dan perbawanya paling dahsyat.
Tetapi Soh-beng Ki-su dapat tetap menangkis.

Akhirnya tersadarlah Siau-liong. Hanya diimbangi dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang ajaran mendiang Pengemis Tengkorak Song Thian-kun. Barulah pukulan lwekang-sakti Bu-kek-sin-kang itu benar-benar dapat mengembang kedahsyatannya. Tetapi, ah, jika ia gunakan pukulan Thay-siang-ciang, tentulah dirinya akan dikenal To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang bersembunyi diluar kuil. Padahal ia tak menghendaki hal itu.

Karena keseganan itu maka walaupun sudah bertempur berpuluh jurus, tetap ia tak mampu mengalahkan Soh-beng Ki-su. Namun ia tak mau memberi ampun kepada musuh yang telah membunuh Koay suhu atau Pengemis Tengkorak itu.

Akhirnya ia mendapat akal. Sengaja ia pura-pura kalah dan mundur, ketika ia mundur sampai diambang pintu, Soh-beng Ki-su menghunjamnya dengan sepasang pukulan dahsyat dan Siau-liong membiarkan dirinya dilanda angin pukulan lawan. Begitu malayang turun diluar kuil, cepat ia kebutkan lengan jubah ke arah To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa. Sudah tentu kedua tokoh pengemis itu terkejut bukan kepalang. Jika tak cepat lari, tentulah tubuh mereka hangus dilanda lwekang panas Bu-kek-sin-kang. Sekali loncat kedua tokoh itu kaburlah.

Tepat pada saat mereka lari, terdengarlah jeritan ngeri dan rubuhnya tembok kuil. Tetapi tokoh-tokoh pengemis itu tak berani berpaling muka. Mereka lari terbirit-birit.

Siasat Siau-liong berhasil. Setelah dapat menghalau kedua tokoh Kay-pang itu, ia segera lepaskan pukulan Thay-siang-ciang disertai lwekang Bu-kek sin-kang. Jurus yang dipilih Siau-liong adalah jurus Siu-lo-pan-cha. Jurus yang paling dahsyat dan tepat untuk menghancurkan segala macam iblis laknat termasuk seorang durjana besar seperti Soh-beng Ki-su.

6. Mawar Putih dari Luar Lautan

Pertapa itu menjerit ngeri. Ia terluka parah Tembok kuil yang berada dibelakangnya ambruk. Tetapi sebagai rase tua, walaupun dalam keadaan terluka, ia masih dapat menggunakan tipu siasat. Darah yang hendak menyembur dari mulut ditekan sekuatnya. Dan ia masih tetap melayani serangan Siau-liong dengan tenang. Begitu memperoleh kesempatan, tiba-tiba ia semburkan darahnya kemuka lawan.

Siau-liong terkejut. Setitikpun ia tak menyangka akan menerima serangan yang begitu luar biasa. Darah yang disemburkan mulut Soh-beng Ki-su itu jauh lebih berbahaya dari segala macam senjata rahasia. Jika kena, muka Siau-liong tentu hancur lebur!

Cepat pemuda itu loncat menghindar.... Serempak dengan itu, Soh-beng Ki-su pun lolos keluar dari reruntuhan tembok. Siau-liong mengejarnya.

Menilik sudah terluka parah tentu Soh-beng Ki-su tak dapat lolos. Tetapi dasar belum takdirnya mati. Setelah melintas lamping gunung, pertapa itu menyusup ke dalam hutan. Berkat malam gelap dan hutan lebat, pertapa itu dapat melenyapkan diri. Siau-liong terpaksa hentikan pengejarannya.

Ia berjalan lesu. Tiba-tiba ia teringat waktu menolong Tiau Bok-kun dalam biara, diluar biara ia mendengar Soh-beng Ki-su berteriak, “Hai, Ki Ih, perlu apa engkau berkerudung muka....

"Hai!" serentak Siau-liong tersadar bahwa wanita berkerudung muka tadi tentulah ibunya. Tetapi, ah.... kembali ia menghilangkan kesempatan baik untuk menemui ibunya itu.

Segera ia lari mencari wanita berkerudung tadi. Tetapi ia kehilangan arah dan tak tahu jalan keluar dari pegunungan situ. Akhirnya ia lari ke arah timur. Tak berapa lama ia berhadapan dengan sebuah karang buntu. Jauh dibawah karang itu, terhampar sebuah jalan yang merentang ke dalam hutan. Terpaksa ia menuruni karang yang curam itu.

Pada saat tiba di bawah, dari dalam hutan disebelah muka, terdengar suara senjata beradu. Cepat ia lari memburu. Betapa kejutnya ketika melihat Ki Ih sedang dikeroyok To Hun-ki dan rombongan To Kiu-kong yang berjumlah sembilan orang.
Ki Ih berhasil mengejar Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay. Sebenarnya ia dapat membunuh musuh-musuh suaminya itu. Sayang To Hun-ki dan ketiga tokoh Pengemis muncul.

Kay-pang memang baik hubungannya dengan partai-partai persilatan. Dan Ki Ih memang tak disuka orang. Selain berasal dari seberang lautan, pun wanita itu banyak mengikat permusuhan dengan kaum persilatan di Tiong-goan.

To Kiu-kong, Pengemis Tertawa, si Pincang kiri Tio Thau dan si Pincang kanan Li Ji, segera bantu menyerang Ki Ih. Kedudukan segera berobah. Ki Ih yang semula menang angin, kini berbalik terdesak.

Namun wanita sakti itu tak mau menyerah mentah-mentah. Ia mainkan pedangnya lebih gencar. Salah sebuah jurus ilmu Pedang Kilat yang disebut Guruh-dan-halilintar-menyambar, segera memburu ke sembilan pengeroyoknya. Mereka jeri dan terpaksa mundur. Kesempatan itu digunakan Ki Ih untuk menabur sembilan buah senjatan rahasia Hwe-hun-tui ke arah To Hun-ki dan keempat Su-lo.

Hwe-hun-tui atau Gumpalan-awan-api, merupakan senjata rahasia yang telah mengangkat nama Ki Ih. Apabila kelima orang itu binasa, mudahlah ia membereskan keempat tokoh pengemis.

To Kiu-kong terkejut tetapi tak keburu menolong kelima tokoh Kong-tong-pay. Pada saat maut hendak merenggut jiwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu, tiba-tiba Siau-liong muncul dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Sambil loncat ke udara, ia kebutkan kedua lengan bajunya. Dua buah gelombang sinar merah melanda dan sembilan buah senjata rahasia Hwe-hun-tui itupun hancur lebur.

Sesuai dengan namanya, senjata-rahasia Gumpalan-awan-api itu memancarkan hawa panas. Hanya tenaga sakti Bu-kek-sin-kang yang bersifat panas, dapat menghancurkan senjata rahasia itu. Dan selamatlah jiwa kelima tokoh Kong-tong-pay!

Sekalian orang terkejut. Selain tak menduga akan kemunculan Pendekar Laknat, pun mereka heran, mengapa tokoh gila itu membantu orang-orang Kong-tong-pay.

Dan Ki Ih pun tak kurang kagetnya. Menghadapi sembilan musuh tadi, ia sudah kewalahan. Apa lagi ditambah dengan seorang Pendekar Laknat. Cepat wanita itu melarikan diri.

Pada saat meluncur turun ke bumi, Siau-liong berputar diri dan lepaskan pukulan dahsyat ke arah sembilan jago pengeroyok itu!

Gila! Bukankah tadi Pendekar Laknat menghancurkan senjata rahasia dari Ki Ih? Mengapa sekarang ia berbalik menyerang ke sembilan tokoh-tokoh yang mengeroyok wanita itu?

Kesembilan jago itu menghindar ke samping lalu menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong lebih cepat. Segera ia lancarkan pukulan yang kedua yakni To-sia-san-ho atau Membalikkan gunung dan sungai.

Kesembilan jago itu terpental mundur sampai empat langkah. Mereka berputar diri terus lari masuk ke hutan.

Kiranya Siau-liong memang bermaksud hendak menghalau kesembilan orang itu. Kemudian ia akan menghadap ibunya dan minta maaf. Ia hendak menjelaskan bahwa dia adalah puteranya yang terpisah selama 16 tahun itu!

Tetapi ketika berpaling, alangkah kejutnya. Ki Ih siwanita berkerudung, sudah lenyap!

Siau-liong terpukau. Enam belas tahun lamanya ia berpisah dari ibunya. Dua kali ia mendapat kesempatan berjumpa tetapi dua kali itu pula ia tak berhasil bicara dengan ibunya. Air mata pemuda itu berlinang-linang. Akhirnya ia duduk bersemadhi memulangkan tenaga.

Ketika membuka mata, ia terkejut. Di hutan jauh disebelah muka, tampak berkelebat sesosok tubuh wanita. Menduga kalau ibunya, cepat ia loncat dan lari menghampiri.... Ah, hampir ia berteriak girang ketika bayangan itu benar Ki Ih. Tetapi pada lain kejap ia tertegun ketika menyadari bahwa saat itu dirinya masih menyamar sebagai Pendekar Laknat. Tak mungkin ibunya akan percaya!

Hanya beberapa detik ia tertegun. wanita itupun sudah lenyap lagi dari pandangan. Cepat Siau-liong mengejar tetapi tak berhasil. Akhirnya ia membuka kedok dan pakaian penyamarannya. Lalu ia duduk melepaskan lelah di tepi sungai.

"Ma, apakah engkau tahu bahwa puteramu Siau-liong masih hidup dan sekarang sudah begini besar? Ah, mama, betapalah rindu hatiku kepadamu....” dalam termenung mengenangkan nasib, ia menangis meratapi ibunya.

Kemudian ia bertanya pada dirinya, “Mama, apakah engkau setuju atas tindakanku? Ma, jika engkau mengetahui maksudku, tentulah engkau dapat menyetujui.... hai!" tiba-tiba ia memekik kaget.

Matanya yang tengah memandang permukaan air, tiba-tiba tertumbuk pada wajah seorang gadis. Cepat ia berpaling ke belakang dan ah.... si cantik Tiau Bok-kun.

"Nona Tiau!" serunya tersipu-sipu menghapus air mata.

Tetapi gadis itu diam saja. Siau-liong mengulang lagi tegurannya namun tiada penyahutan. Siau-liong memandangnya lekat-lekat. Dan terpukaulah ia....

Nona itu benar-benar menyerupai Tiau Bok-kun tetapi bukan Tiau Bok-kun!

"Siapa engkau?" akhirnya nona itu menegur.

Siau-liong terkesiap. Nada nona itu wajar tetapi galak. Ia tak puas atas sikap si nona yang tak sopan itu.

"Apa pedulimu aku siapa? " sahutnya.

"Siapa yang panggil Tiau Bok-kun itu?"

"Aku salah sangka," muka Siau-liong merah.

"Dan mengapa engkau menangis?"

"Karena aku suka menangis!" sahut Siau-liong dengan nada yang tak kurang getas.

Dara itu hendak mencabut pedang tetapi tak jadi. Sambil tertawa mengikik ia menggagah dimuka Siau-liong, “Ih, jangan marah, bung. Aku memang tak dapat bicara halus tetapi aku ingin berkenalan dengan engkau. Keberatan?"

"Engkau terlalu bengis, aku tak suka berkenalan."

“Hm, jika menolak, lebih baik kita berkelahi.

"Boleh saja akupun tidak takut!"

Baru Siau-liong berkata begitu, si nona galak sudah merangsang dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut Siau-liong.

Siau-liong merasa serba salah. Berkelahi dengan seorang anak perempuan, sesungguhnya ia malu. Tetapi kalau diam saja, dara itu menyerang dengan liar. Terpaksa ia menghindar saja. Dua jurus kemudian, timbullah pikirannya untuk lolos. Ia anggap tak berguna berkelahi dengan seorang anak perempuan yang tak dikenal.

Setelah berhasil memaksa dara itu mundur, Siau-liong terus melarikan diri. Ia menuju ke tepi sungai. Tetapi ketika berpaling, ah.... nona itu tetap mengejarnya Siau-liong loncat ke sebuah perahu sampan, terus meluncur ke tengah menuju kota Siok-ciu.

Astaga.... dara itupun loncat ke sebuah perahu dan mengejar. Ia memiliki lwekang yang hebat sehingga perahunya dapat meluncur pesat.

Tetapi betapapun halnya, Siau-liong tetap menang cepat. Begitu tiba di pantai, ia terus masuk kota dan mencari sebuah rumah penginapan. Habis makan, ia terus masuk tidur.

Menjelang mahgrib, baru ia bangun. Tepat pada saat itu, dua orang pelayan masuk membawa seperangkat pakaian dan senampan hidangan.

"Tuan, nona yang bertempat di kamar sebelah depan, mengirim pakaian ini untuk tuan," kata pelayan itu.

Siau-liong mendengus. Ia malu kalau mengatakan tak kenal dengan nona itu.... Setelah pelayan pergi, ia bimbang sendiri. Menerima pemberian itu atau tidak.

Ia mengintai di jendela. Kamar disebelah depan, tampak sepi. Ia duduk kembali, memandang hidangan itu. Ah, mungkin nona itu salah paham. Jelas ia tak kenal padanya. Akhirnya ia berbangkit dan melangkah keluar. Tetapi baru menyingkap tirai pintu, sesosok tubuh menerobos masuk. Karena tak keburu menarik pulang tangannya, tersentuhlah ia pada dua buah benda yang lunak ......

Tersipu-sipu ia menyurut kesamping pintu. Seorang dara melangkah masuk dengan berisak tangis Siau-liong tercengang. Itulah nona yang mengejarnya tadi.

“Engkau menghina aku! Engkau menghina aku!" sambil menangis, kedua tangan nona itu mencakari dada Siau-liong. Siau-liong biarkan saja agar nona itu jangan semakin kalap. Tetapi ia hampir geli karena dadanya seperti di kitik-kitik.

Tiba-tiba tangan nona itu menusuk jalan darah didadanya. Siau-liong terkejut tetapi diam saja.

Nona itu menjerit kaget dan menarik pulang tangannya sambil mendekap tangan kiri dengan tangan kanannya.

“Setan, jahat benar engkau!" nona itu meninju dada Siau-liong.

Ternyata dalam diam tadi, Siau-liong kerahkan lwekang Bu-kek-sin-kang kedadanya. Itulah sebabnya si nona menjerit kesakitan. Jika tak lekas menarik pulang, tentu tangan nona itu akan cacad.

Sambil tertawa, Siau-liong menyurut mundur dan memberi hormat, “Harap jangan marah dan maafkan kesalahanku!"

“Huh, mengapa tak mempersilahkan aku masuk!"

“Hidangan itu adalah pemberian nona, silahkan nona menyantapnya " kata Siau-liong.

“Bukankah engkau menerimanya?"

“Tanpa jasa apa-apa, tak pantas menerima hadiah, aku ......”

“Ah, apa artinya hidangan semacam itu?" tukas si nona.

Siau-liong tetap menolak. Tetapi nona itupun tetap memaksanya. Ia terus melangkah masuk, duduk dan suruh Siau-liong duduk juga lalu diajak makan.

Sambil makan mereka bercakap-cakap. Nona itu mengatakan bahwa ia berasal dari seberang lautan. Namanya Pek Ciang-wi atau Mawar Putih. Memang ia gemar berpakaian serba putih.

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa gurunya berpesan. Apabila di daerah Tiong-goan supaya mencari seorang sahabat yang baik. Ketika berjumpa dengan Siau-liong, ia anggap pemuda itu seorang baik yang tepat dijadikan sahabat. Maka makin Siau-liong jual mahal, nona itu makin mengejarnya.

Atas pertanyaan Siau-liong, si nona memberi jawaban yang indah, “Rumahku diseberang lautan, dibawah gunung Dewa. Gunung itu terletak di atas angin. Eh, apa perlumu mengetahui nama tempat itu!"

Dan ketika Siau-liong menanyakan tentang gurunya, nona itu gelengkan kepala. Siau-liong tak mau mendesak. Ia sendiripun tak mau mengatakan tentang gurunya kepada lain orang.

Ketika pertama kali bertemu, Siau-liong tak senang melihat tingkah si nona yang liar itu. Tetapi entah bagaimana, kini ia merasa tak marah dengan cara-cara liar nona itu. Mungkin hal itu disebabkan, karena ia putera dari Ki Ih yang juga berasal dari seberang lautan.

Kepada si nona, Siau-liong mengaku bernama Kongsun Liong dan minta nona itu memanggilnya Siau-liong.

Mawar Putih terkesiap. Dipandangnya pemuda itu lekat-lekat, dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Ia geleng-geleng kepala dan berseru lembut, “Siau-liong....”

Panggilan itu amat menyentuh hati Siau-liong. Dalam sikap kewajaran, kejujuran dan keliarannya, Mawar Putih memiliki sifat ke Ibuan yang mesra. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Siau-liong rasakan indahnya kehidupan ......

Mereka makan dan minum dengan gembira. Habis makan, Mawar Putih suruh Siau-liong berganti pakaian yang dikirimkan tadi.

Setelah ganti pakaian baru, Siau-liong tampak lebih cakap dan gagah. Nona itu tertawa gembira. Mereka menuju ke kebun belakang, menikmati kolam yang menghias taman.

"Siau-liong!"

“Nona Pek!"

Nona itu menggeliat, “Ih, janggal benar panggilanmu itu,"

“Habis?"

"Panggil saja Mawar Putih"

“Mawar.... Putih," suara Siau-liong agak sember. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu si nona sandarkan tubuh ke dadanya.

Siau-liong seorang perjaka yang belum pernah bergaul sedemikian mesranya dengan gadis. Sejak kecil, ia hanya bergaul dengan pohon-pohon hijau dan burung-burung hutan. Sudah tentu ia terlongong-longong melihat tingkah Mawar Putih. Ketika hidungnya terbaur hawa harum dari tubuh sidara, semangat Siau-liong serasa melayang-layang....

Tiba-tiba terdengar derap langkah orang bergegas datang. Keduanya cepat meluruskan duduknya dan memperhatikan pendatang itu. Ah, ternyata pelayan hotel.

"Tuan, ada tetamu mencari tuan!" katanya.

Siau-liong cepat kembali kekamarnya. Ia terkejut melihat beberapa anak buah Kay-pang berkerumun diserambi kamarnya. Mereka tampak tegang.

"Cousu-ya datang!" anak buah Kay-pang serempak berseru ketika Siau-liong muncul.

Mawar Putih terperanjat. Ia tak menyangka bahwa pemuda yang bernama Kongsun Liong itu ternyata seorang ketua partai Kay-pang.

To Kiu-kong muncul dari kamar Siau-liong dan mempersilahkan Siau-liong berdua masuk. Siau-liong terkejut ketika melihat Tiau Bok-kun berbaring ditempat tidurnya dalam keadaan pingsan. Bajunya koyak-koyak dan berlumuran darah.

Untunglah nona itu tak begitu parah lukanya. Siau-liong segera minumkan beberapa butir pil kemulut nona itu.

Melihat Siau-liong begitu memperhatikan Tiau Bok-kun, serentak timbullah rasa tak senang dalam hati Mawar Putih. Ia duga nona itu tentulah yang dipanggil Siau-liong ketika berjumpa di tepi sungai tadi pagi.

Setelah memeriksa luka Tiau Bok-kun tak berbahaya. Siau-liong meminta keterangan kepada To Kiu-kong.

Kiranya setelah melarikan diri dari serangan Siau-liong sebagai Pendekar Laknat, To Kiu-kong dan rombongan To Hun-ki lalu berpisah. Menjelang malam, To Kiu-kong mendapat laporan dari anak buah Kay-pang, bahwa Siau-liong tinggal dirumah penginapan Gun-hian-can To Kiu-kong diminta Toh Hun-ki supaya suka mengundang Kongsun Liong agar membantu partai Kong-tong-pay menghadapi Soh-beng Ki-su, Ki Ih dan Pendekar Laknat.

Dalam rangka membasmi durjana itu, pertama harus mendapatkan Pending Kumala yang berada ditangan Tiau Bok-kun. Pending Kumala itu merupakan kunci untuk memperoleh tempat penyimpanan pusaka sakti yang dapat menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran.

Malam itu juga To Kiu-kong berserta beberapa jago Kay-pang berangkat mencari Siau-liong ke Siok-ciu. Tetapi ditengah jalan mereka berpapasan dengan Soh-beng Ki-su yang berhasil melukai Tiau Bok-kun dan merebut Pending Kumala.

To Kiu-kong dan kawan-kawan segera menyerang pertapa itu. Tetapi pertapa itu keliwat sakti bagi mereka. Soh-beng Ki-su berhasil lolos dan To Kiu-kong hanya dapat menolong Tiau Bok-kun.

Pada saat masih dapat ditanya, Tiau Bok-kun menyebut-nyebut nama Kongsun Liong maka To Kiu-kong segera membawanya kerumah penginapan itu.

“Mana To Hun-ki sekarang?" tanya Siau-liong

“Di biara Ji-long-bio di gunung Pit-ka-san," To Kiu-kong menerangkan.

Karena tak dipedulikan, Mawar Putih merasa terhina. Pada saat Siau-liong tengah merenung, diam-diam nona itu menyelinap keluar.

Setelah To Kiu-kong dan anak buahnya minta diri, barulah Siau-liong mengetahui kalau Mawar Putih lenyap. Tetapi ia tak menghiraukan. Ia lebih mementingkan untuk mengurut jalan-darah Tiau Bok-kun. Tak berapa lama nona itupun tersadar.

Tetapi sebelum nona itu tersadar benar-benar, Siau-liong mengambil pakaiannya yang lama lalu menyelinap pergi ......

Y

Gunung Pit-ka-san terletak dihulu sungai Kim-sat-kiang. Gunung itu mempunyai tiga buah puncak. Kedua puncak di kanan kiri, dapat dicapai orang. Tetapi puncak ditengah, lurus melandai seperti sebuah tiang penyanggah langit. Empat penjuru dikelilingi jurang yang curam. Jika tak memiliki ilmu ginkang yang tinggi, tak mungkin dapat mencapai puncak itu.

Di puncak tersebut terdapat sebidang tanah datar seluas sepuluh tombak. Di belakang tanah datar, didirikan sebuah biara yang disebut Ji-liong-bio. Kepala biara Liau Liau taysu, seorang paderi dari partai Go-bi-pay.

Pada saat mengurut Tiau Bok-kun, pikiran Siau-liong menimang. Setelah mendapat separoh Pending Kumala yang dimiliki nona itu, Soh-beng Ki-su tentu akan mencari To Hun-ki untuk mendapatkan Pending Kumala yang separoh bagian lagi. Maka ia harus cepat-cepat mendahului ke Pit-ka-san. Soh-beng Ki-su pasti akan datang kesitu.

Kembali Siau-liong menyaru sebagai Pendekar Laknat.

Tiba di kaki gunung, tampak biara Ji-liong-bio terang benderang, penuh orang. Ia menyembunyikan diri. Tak berapa lama, muncul beberapa orang. Berkelompok kecil terdiri dari dua tiga orang, kemudian rombongan dari tujuh delapan orang. Mereka adalah jago-jago silat yang sakti. Hal itu terbukti dari gerakan mereka yang amat tangkas ketika berloncatan mendaki puncak.

Beberapa saat kemudian, dari puncak terdengar suara orang bertempur seru. Siau-liong terkejut. Apakah To Hun-ki dan orang-orang Kong-tong-pay diserang musuh? Siapakah musuh itu?

Karena tertarik perhatiannya, Siau-liong hendak menghampiri puncak. Saat itu rembulan remang. Sekeliling penjuru gelap pekat. Ia gunakan gerak Burung-hong-menghadap-matahari.

Dalam tiga empat kali melambung, ia dapat mencapai separoh bagian puncak gunung itu. Tetapi pada saat ia hendak melayang ke atas lagi, tiba-tiba ia diserang gelombang angin yang hebat. Dan seketika itu juga ia meluncur ke bawah lagi. Ia amat terkejut dan berusaha menyambar dahan pohon yang tumbuh disana sini. Tetapi tak berhasil.

Minilik kepandaian yang dimiliki saat itu, tak mungkin ia harus menderita kecelakaan semacam itu. Benar, memang itu bukan kecelakaan, tetapi sebuah serangan gelap dari seseorang yang berada di puncak.

Meluncur dari ketinggian 60-an tombak, tentu hancur lebur. Tetapi untunglah Siau-liong sudah memiliki ginkang yang disebut Naga-melingkar-18 putaran. Ia berputar-putar dan melayang ke karang buntung disisi kanan puncak. Dengan meminjam tenaga tekanan pada dahan pohon, ia melambung lagi ke atas puncak. Setelah memperhitungkan telah mencapai ketinggian yang diduga menjadi tempat persembunyian penyerang gelap tadi, ia terus melayang ke karang di sebelah kiri. Ia hendak mencari penyerang itu.

Ternyata penyerang gelap itu adalah Soh-beng Ki-su sendiri. Tepat yang diduga Siau-liong, Soh-beng Ki-su mencari Toh Hun-ki. Dan ia lebih dulu tiba di gunung Pit-ka-san. Tetapi ketika melihat di biara Ji-liong-bio berlangsung pertempuran, ia batalkan rencananya. Pada waktu ia melayang turun sampai di tengah gunung, ia melihat Pendekar Laknat bergegas mendaki ke atas. Segera ia lontarkan pukulan dahsyat. Setelah Siau-liong tenggelam ke bawah, ia melarikan diri.

Itulah sebabnya maka Siau-liong tak dapat menemukan Soh-beng Ki-su. Akhirnya pemuda itu lanjutkan pendakiannya lagi ke atas puncak. Ia bersembunyi dibalik gunduk karang. Ketika melongok pertempuran di tanah datar, kejutnya bukan kepalang.

Kiranya lebih dari enam lelaki dan wanita, tegak berjajar di depan biara. Dan yang bertempur di lapangan datar adalah Ki Ih lawan keempat Kong-tong Su-lo serta Liau Liau taysu bersama empat orang muridnya.

Siau-liong duga ibunya tentu hendak mencari balas kepada Toh Hun-kin dan keempat Sulo. Diam-diam ia bangga dan girang mempunyai seorang ibu yang setia kepada suaminya.

Ki Ih memang sakti. Menghadapi keroyokan belasan jago-jago sakti. ia tak gentar, Ilmu pedang Kilat, dimainkan laksana ular naga bergeliatan di permukaan laut. Cepat bagaikan kilat menyambar dan gesit seperti ular menyusup ke dalam liang.

Tetapi Siau-liong tetap mencemaskan keselamatan ibunya. Ternyata rombongan paderi yang berjajar diluar biara itu terdiri dari jago-jago persilatan yang ternama. Antara lain, Ki Ceng siansu ketua Go-bi-pay. It Kiau ketua Tiam-jong-pay, tokoh Kun-lun Sam-cu dari Kun-lun-pay. Thian-san It-soh dari Thian-san-pay, paderi-paderi sakti dari Siau-lim-pay serta tokoh-tokoh Bu-tong-pay dan Hoa-san-pay ......

Dalam menghadapi kelima Durjana dan Ki Ih, partai-partai persilatan itu telah mengirim jagonya yang tangguh, mencari pusaka yang telah tersiar luas di dunia persilatan. Hanya dengan memperoleh pusaka itulah kelima durjana dan Ki Ih dapat diberantas.

Saat itu mereka berhadapan dengan Ki Ih. Mengingat Ki Ih itu seorang wanita, jago-jago itu sama pegang gengsi. Mereka tak mau mengeroyok melainkan mengajukan beberapa jago saja.

Siau-liong bingung bagaimana harus bertindak. Jika muncul sebagai Pendekar Laknat, berpuluh jago persilatan tentu akan menyerangnya. Selain sukar menolong ibunya, ia sendiri terancam bahaya.

7. Lembah Musim Semi

Kalau muncul sebagai ketua partai Kay-pang, ia tentu harus memusuhi ibunya, karena Kaypang bersahabat baik dengan partai-partai persilatan.

Sedang ia belum dapat memutuskan tindakan apa yang akan diambil, keadaan Ki Ih makin payah. Tiba-tiba To Hun-ki mendesak dan menyabet pinggang wanita itu dengan cepat dan tak terduga-duga. Siau-liong terkejut sekali dan hampir berteriak. Untung sebelum membuka mulut, dengan jurus Kilat-membelah-halilintar, Ki Ih dapat menghapus serangan maut itu.

Siau-liong kucurkan keringat dingin. Belum sempat ia menghela napas, tiba-tiba Ki Ih terancam bahaya lagi. Karena sedang menghindari serangan To Hun-ki, ke sembilan tokoh-tokoh lawannya segera menyerbu. Ki Ih alihkan perhatiannya untuk menghalau serangan orang-orang itu tetapi sudah terlambat. Kini ia dikuasai oleh kesembilan musuh itu dan tak mampu melancarkan serangan balasan.

Walaupun tak dapat diketahui perobahan muka wanita itu karena ditutup kain kerudung, namun dari tubuhnya yang menggigil, teranglah kalau keadaannya makin payah. Ada tanda-tanda ia hendak meloloskan diri.

Toh Hun-ki dan kawan-kawannya tahu juga rencana wanita itu. Mereka mendesak lebih gencar sehingga tubuh wanita seperti tertabur sinar pedang. Keempat Su-lo dari Kong-tong-pay tak henti-hentinya tertawa mengejek.

Pada lain saat Ki Ih menjerit keras. Bahunya kiri terpapas pedang Toh Hun-ki. Darah membasahi lengan bajunya....

Wanita itu kerahkan seluruh semangat. Sekaligus ia lancarkan tiga jurus serangan pedang yang dahsyat, khusus ditujukan pada lawan yang membelakangi jurang. Hendak ia desak orang itu supaya menyurut mundur dan jatuh ke dalam jurang! Tetapi kalau orang itu tahu bahaya dan hanya menghindar.... Ki Ih hendak menggunakan kesempatan itu untuk loncat ke dalam jurang. Ia lebih suka mati di dasar jurang daripada mati ditangan musuh-musuh yang dibencinya itu!

Dalam sekejap mata saja, tigaratus jurus telah berlangsung. Berkat kenekadannya, dapatlah Ki Ih mendekati tepi karang. Dua tiga jurus lagi, ia tentu dapat menghalau musuh yang menghadang dimuka dan akan terbukalah kesempatan untuk lolos.

Tetapi untuk mencapai tujuan itu bukanlah hal yang mudah. Tiga ratus jurus tadi benar-benar telah menghabiskan tenaganya. Tubuhnya bersimbah keringat. Ia paksakan diri mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya. Tetapi ternyata tenaganya sudah habis. Pedangnya mulai lambat, tubuh berguncang-guncang dan pandang matanya pun berbinar-binar. Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri campur gelak tawa mengejek. Toh Hun-ki mendahului kawan-kawannya menusuk dada wanita itu.

Pada detik maut hendak merenggut jiwa Ki Ih, sekonyong-konyong sesosok tubuh dalam jubah hitam melayang di udara. Dan serempak dengan itu segelombang sinar merah melanda dan tahu-tahu senjata kesepuluh tokoh yang mengeroyok Ki Ih itu, jatuh berhamburan ke tanah ......

Siau-liong melayang turun dan memandang kesekeliling. Melihat Pendekar Laknat muncul, Ki Ih segera sarungkan pedang dan duduk bersemadhi memulangkan tenaga.

Tahu bahwa ibunya tak terluka, Siau-liong tak mau mengganggunya. Kini ia menghadapi berpuluh jago silat yang saat itu sama menghunus senjata dan menghampiri.

"Hai, setan Laknat, engkau menolong aku tetapi mengapa menolong wanita ganas itu!" tegur Toh Hun-ki.

Diam-diam Siau-liong girang. Ia hendak mengulur waktu. Maka tertawalah ia senyaring-nyaringnya.

"Toh tua salah engkau. Seharus memanggil aku Pendekar Laknat yang gila. Gila, ya memang gila! Apakah engkau perlu tahu alasanku?" serunya.

Siau-liong tertawa lagi, “Aku dapat menolong, pun dapat membunuhmu. Aku dapat menolong Ki Ih, tetapi dapat membunuhnya juga. Bukan si gila Pendekar Laknat kalau tidak bertindak segila ini!"

Tiba-tiba ia berputar tubuh dan "bum....” empat orang murid Liau Liau taysu yang menyerang dari belakang, telah disongsong dengan sebuah pukulan. Tubuh keempat orang itu terlempar ke dalam jurang.

Sekalian orang terkejut melihat kesaktian Pendekar Laknat yang jauh lebih sakti dari duapuluh tahun berselang. Liau Liau taysu walaupun marah, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

"Pendekar Laknat mengapa engkau mengganas orang secara begitu kejam? Apakah engkau yakin mampu turun dari gunung Pit-ka-san ini?" bentak Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay.

Siau-liong tertawa dingin, “Menyerang secara gelap, apakah kalian anggap benar? Aku bebas datang dan pergi. Apakah engkau yakin merintangi aku? Hm, jangan gegabah!"

Tokoh-tokoh yang pernah berjumpa dengan Pendekar Laknat pada duapuluh tahun yang lalu, diam-diam heran. Mengapa sekarang nada tertawa momok itu sedemikian menggerincing dan jauh sekali bedanya dengan tertawa Pendekar Laknat yang dulu? Sikap dan kata-katanya juga tak seliar dahulu.

"Suheng, jangan termakan siasatnya yang hendak mengulur waktu!" tiba-tiba keempat Sulo dari Kong-tong-pay berseru kepada Toh Hun-ki.

Bersama Liau Liau taysu, keempat Su-lo itu segera maju menyerang. Toh Hun-ki cepat mencegah keempat Su-lo tetapi tak keburu merintangi Liau Liau taysu. Karena marah kehilangan empat orang muridnya, Liau Liau taysu menyerang dengan cepat sekali.

Namun Siau-liong acuh tak acuh. Tak mau ia melayani serangan paderi itu dengan sungguh-sungguh.

Tetapi Liau Liau taysu makin kalap. serangan pertama luput, ia susuli lagi dengan serangan kedua yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga.

Sesungguhnya tadi Siau-liong gunakan tenaga dalam untuk menyedot serangan Liau Liau taysu. Pada saat paderi itu menyerang yang kedua kali, saat itu juga Siau-liong pentalkan kembali sedotan tenaga-dalamnya. Seketika terdengar letupan keras Liau Liau taysu terhuyung beberapa langkah. Mulutnya menyembur darah dan jatuhlah ia terduduk di tanah. Wajahnya pucat lesi. Buru-buru ia pejamkan mata untuk mengatur peredaran darahnya.

Menyaksikan peristiwa itu, Toh Hun-ki dan rombongannya terlongong-longong. Dan pada saat itulah Ki Ih loncat bangun dan terus lari lenyap dalam kegelapan malam!

Siau-liong terkejut. Diam-diam ia siap untuk memberi bantuan kepada ibunya apabila musuh hendak merintangi. Tetapi ia pun merasa kecewa sekali. Kesempatan untuk berjumpa dengan ibunya, kembali hilang. Kini ia tumpahkan kemarahannya kepada orang-orang itu. Sambil kerahkan tenaga dalam, ia maju menghampiri mereka.

Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay, menginsyafi bahwa saat itu akan meletus pertempuran maut. Suatu pertempuran yang akan menggoncangkan dan berakibat besar dalam dunia persilatan. Ia ambil posisi ditengah. Tokoh-tokoh yang lain pun serentak berbaris dibelakangnya.

Tahu betapa penting arti pertempuran itu, Toh Hun-ki tak berani bertindak gegabah. Setelah dahulu mendesak murid kesayangannya, Tong Gun-liong supaya bunuh diri, ketua Kong-tong-pay itu amat menyesal. Karena kematian Tong Gun-liong itu telah membangkitkan kemarahan si cantik Ki Ih. Jika saat itu tambah lagi seorang Pendekar Laknat, ah.... partai Kong-tong-pay tentu hancur....!

Diam-diam ketua Kong-tong-pay itu sudah menyiapkan rencana, serunya, “Pendekar Laknat, apakah kemunculanmu sekarang ini hendak mengganas ....... membunuh ....... dan menjagal orang?"

Siau-liong tak menyahut. Ia kehilangan paham bagaimana hendak menyelesaikan dendam kematian ayahnya serta pesan mendiang Koay suhu.

Kesempatan itu tak disia-siakan Toh Hun-ki. Ketua Kong-tong-pay itu melanjutkan pula, “Semua ketua partai persilatan dan para tiang-lo yang berada disini, mempersilahkan saudara turun gunung."

Habis berkata ketua Kong-tong-pay itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh. Sekalian tokoh pun mengikuti tindakannya.

Detik-detik itu amat tegang sekali. Sekalian tokoh tak tahu apakah tawaran berdamai itu akan disambut baik oleh Pendekar Laknat.

Sekonyong-konyong Siau-liong bersuit nyaring lalu melenting tinggi ke udara. Berjumpalitan dua kali lalu meluncur turun terus meluncur ke bawah gunung. Dalam sekejap, ia lenyap dalam kegelapan.

Siau-liong hendak menyusul ibunya. Tetapi wanita itu sudah lenyap. Dalam beberapa kejap saja, ia sudah lari belasan li. Tiba-tiba tampak tiga sosok bayangan hitam terapung-apung di permukaan sungai Kim-sat-kiang.

Ketika dekat, kejut Siau-liong bukan kepalang. Ketiga sosok bayangan hitam itu adalah Tiau Bok-kun yang tengah diserang Soh-beng Ki-su, si Pertapa pencabut nyawa. Dan yang seorang lagi, bukan lain Ki Ih, ibu Siau-liong.

Kiranya setelah sadar, Tiau Bok-kun masih perlu bersemadhi memulihkan tenaga. Setelah sembuh, ia segera keluar mencari jongos penginapan. Dari keterangan pelayan itu, barulah ia mengetahui bahwa yang menolongnya adalah Siau-liong. Tetapi ia heran, mengapa Siau-liong tinggalkan dirinya dalam rumah penginapan situ?

Kemudian setelah mendengar keterangan si pelayan bahwa Siau-liong bersama seorang nona yang menginap di kamar sebelah, seketika timbullah rasa cemburu dalam hati Tiau Bok-kun. Ah, Siau-liong telah melupakan dirinya karena terpikat seorang gadis lain!

Segera Tiau Bok-kun lari menuju ke sungai Kim-sat-kiang. Ia tidak mencari Siau-liong dan merebutnya lagi dari tangan gadis itu. Dengan ilmu lari cepat, Tiau Bok-kun tiba di kaki gunung Pit-ka-san. Tepat pada saat itu, Soh-beng Ki-su pun turun dari gunung. Dan bertemulah keduanya.

Walaupun sadar bahwa tak dapat menandingi Soh-beng Ki-su, namun Tiau Bok-kun tetap hendak merebut kembali separoh bagian dari Pending Kumala yang dirampas pertapa itu. Setelah dua tiga kali bertempur dengan Soh-beng Ki-su, Tiau Bok-kun sudah mempunyai pengalaman. Ia harus mengembangkan kelebihannya dalam ilmu ginkang, untuk menutupi kekurangannya dalam tenaga dalam.

Kebalikannya Soh-beng Ki-su tak bersemangat untuk bertempur. Ia kuatir akan dikejar Pendekar Laknat atau Ki Ih. Tetapi karena tak bersemangat, kebalikannya ia sukar untuk meloloskan diri.

Dan memang yang dicemaskan itu, ternyata terbukti. Saat itu muncullah Ki Ih yang terus menyerangnya. Dengan demikian Soh-beng Ki-su makin kelabakan. Sesaat membayangkan kemungkinan munculnya Pendekar Laknat, semangat Soh-beng Ki-su makin kacau. Ia terus menerus main mundur saja.

Siasat main mundur itu dimaksud untuk menjauhkan diri dari Pit-ka-san serta menghindari Pendekar Laknat. Tetapi diluar dugaan, karena lari tanpa tujuan, Siau-liong malah memergoki mereka.

Siau-liong amat girang sekali. Wanita yang satu, adalah ibunya sendiri. Dan yang menjadi lawannya adalah musuh besar Siau-liong. Diam-diam ia membulatkan tekad untuk meringkus pertapa itu.

Segera ia mencari alat untuk meluncur di air. Ia berhasil memperoleh dua keping kayu. Dengan berdiri di atas keping kayu itu, ia meluncur ketempat pertempuran.

Melihat kemunculan orang yang paling ditakuti, serasa terbanglah semangat Soh-beng Ki-su. Satu-satunya jalan yang paling selamat, hanyalah melarikan diri.

Saat itu Siau-liong hanya terpisah tiga empat tombak. Ia sudah siapkan pukulan maut. Pertapa

itu pasti hancur lebur. Tetapi se-konyong-konyong ketiga orang yang bertempur itu bubar dan lari, Ki Ih meluncur ke tepi sungai.

“Ibu!" diam-diam Siau-liong menjerit kaget. Diantara dua pillhan: ibu atau musuh, ternyata ia memilih ibu. Dan segeralah ia melesat mengejar Ki Ih.

Tetapi wanita itu terkejut karena Pendekar Laknat mengejarnya. Ia batalkan lari ke tepi sungai dan berputar arah, menuju ke tengah sungai lagi. Ia berasal dari Seberang Laut, kepandaiannya berjalan di atas air, amat mengagumkan. Dipermukaan laut yang berombak besar, ia dapat berlari-lari seperti di tanah datar. Apalagi hanya permukaan sebuah sungai.

Tetapi Siau-liong pun ngotot. Ia tak mau lepaskan kesempatan untuk menemui ibunya itu.

Ki Ih menggunakan dahan pohon, sedang Siau-liong memakai keping kayu. Yang satu seorang wanita berkerudung muka. Yang seorang, seorang tua buruk muka. Mereka saling berkejaran di atas permukaan bengawan Kim-sat-kiang.

Akhirnya melihat pengejarnya makin dekat, Ki Ih berputar tubuh dan menyerang dengan ilmu Pedang Kilat.

Siau-liong terkejut. Betapapun ia tak berani melawan ibunya sendiri. Tetapi serangan Pedang Kilat itu benar-benar luar biasa cepatnya. Terpaksa ia apungkan tubuh melayang melampaui kepala ibunya. Tetapi dengan tindakan itu, keping papan yang dibuat pijakan tadi, terdampar air dan tenggelam.

Untung Siau-liong masih dapat gunakan ilmu meringankan tubuh ketika ia meluncur ke pemukaan air, sehingga ia tak sampai tenggelam. Tetapi ketika memandang kemuka, ternyata ibunya sudah meluncur jauh. Tiba-tiba ia melihat keping papan pinjakannya tadi dibawa arus. Cepat ia memburu dan memakainya lagi.

Ketika hendak mengejar, ibunyapun sudah melarikan diri. Tetapi wanita itu tak mau lari jauh. Ia berdiri dengan sebelah kaki pada dahan kayu sehingga dapat meluncur pesat. Ia tetap mondar-mandir di sepanjang permukaan sungai karena kuatir akan keselamatan Tiau Bok-kun. Kalau nona itu kalah ia segera membantunya.

Kepandaian berjalan di atas air, Siau-liong kalah jauh dengan ibunya. Diam-diam Siau-liong kagum melihat ibunya dapat meluncur dengan sebelah kaki.

Pemuda itu lupa bahwa saat itu ia masih dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat sehingga ibunya melarikan diri. Siau-liong meniru menginjak papan kayu dengan sebelah kaki mengejar.

Seharusnya Soh-beng Ki-su melarikan diri. Tetapi ternyata ia masih bertempur dengan Tiau Bok-kun. Terang dia tentu mempunyai rencana.

Tepat pada saat Ki Ih berhasil lolos dari sergapan Siau-liong, tiba-tiba Tiau Bok-kun menjerit. Bahu nona itu kena ditutuk oleh Soh-beng Ki-su. Dan secepat rubuh, tubuh nona itu terus disambar dan dibawa lari oleh pertapa itu.

Mendengar jeritan itu, Siau-liong berpaling. Ketika melihat apa yang terjadi, ia lepaskan ibunya dan terus mengejar Soh-beng Ki-su. Tetapi ketika tiba di daratan, ternyata Soh-beng Ki-su sudah hampir mencapai daerah gunung. Cepat Siau-liong mengejar terus.

Soh-beng Ki-su benar-benar seorang tua yang licin. Ia gunakan siasat menyusup kesana, menyelinap kemari sehingga Siau-liong kehilangan jejak.

Entah sudah berselang berapa lama mereka berkejaran itu, tahu-tahu saat itu matahari sudah mulai condong ke barat lagi.

Karena mengepit tubuh orang, akhirnya letih juga Soh-beng Ki-su sehingga larinya pun kurang cepat. Melihat itu Siau-liong percepat larinya.

Saat itu Siau-liong sudah hampir berhasil menyusul tetapi tiba-tiba Soh-beng Ki-su melesat ke dalam gerumbul dan lenyap!

Siau-liong gunakan jurus Naga-melingkar-delapan-kali untuk berloncatan di udara dan melayang ketempat Soh-beng Ki-su lenyap tadi.

Ternyata di dekat situ terdapat sebuah saluran air seluas dua li. Saluran sungai itu menjurus loncatan diantara gugusan batu yang bertaburan disepanjang saluran. Dan saat itu hampir mencapai ujung terakhir.

Siau-liong girang karena ujung saluran itu buntu. Cepat ia apungkan tubuh ke atas segunduk batu besar. Tetapi ia terkejut ketika tiba-tiba batu itu bergerak.... Cepat ia loncat kembali ketempatnya tadi.

Batu besar itu berguguran, menghamburkan tanah lumpur ke udara. Setelah lumpur lenyap, kejut Siau-liong bukan alang kepalang. Ternyata batu yang diinjaknya tadi adalah kepala seekor ular besar.

Binatang itu mengangkat kepalanya ke atas lalu menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong dapat menghindari. Setelah dua tiga kali serangannya tak berhasil, ular itu marah dan menyemburkan segumpal asap beracun.

Siau-liong menjerit kaget. Sambil salurkan tenaga dalam Bu-kek-sin-kang ketelapak tangan, ia berjumpalitan dengan gerak Naga-berputar-18-kali, lepaskan hantaman lalu meluncur ke atas sebatang pohon disebelah kiri.

Tetapi pukulan sakti Bu-kek-sin-kang tak mampu menghalau uap beracun yang tetap melayang ketempat Siau-liong. Siau-liong makin kaget. Tak mungkin ia dapat menghindar kelain tempat lagi.

Akhirnya ia nekad, apungkan tubuh melayang ke atas badan ular raksasa. Tetapi tiba-tiba sisik ular itu bertebaran menyerangnya. Setiap helai sisik, merupakan seperti sebatang badik tipis.

Untunglah Siau-liong dapat menghalau sisik maut itu. Kemudian ia berjumpalitan menyerang punggung ular. Rupanya ular itu jeri juga. Sambil menyerang dengan kepala dan ekor, binatang itu siap-siap melarikan diri.

Kejut Siau-liong makin besar. Ternyata ular raksasa itu bukan ular sesungguhnya tetapi sebuah ular tiruan yang digerakkan dengan alat.

Setelah mengetahui rahasianya, Siau-liong segera lancarkan serangan hebat dengan tangan kanan dan kiri. Terdengar ledakan dahsyat dan ular itu pun hancur berkeping-keping.

Siau-liong menghela napas longgar. Memandang kesekeliling, hanya karang dan batu-batu berserakan yang menabur seluruh permukaan sungai itu. Tetapi ketika memperhatikan dengan seksama ternyata batu-batu itu seperti diatur orang dengan rapi.

Siau-liong termenung. Ia harus menolong Tiau Bok-kun tetapi keadaan tempat disitu amatlah misterius dan berbahaya. Tiba-tiba entah darimana, air meluap dan mengalir deras sekali dan cepat merendam batu-batu dipermukaannya.

Sungai meluap, bukan soal. Tetapi ia kuatir batu-batu itu merupakan alat rahasia yang berbahaya. Akhirnya ia gunakan gerak Naga-berputar-18-kali melayang kekarang sebelah muka. Tetapi baru kaki menginjak karang itu, ia segera mengeluh, “Celaka!"

Batu karang menonjol itu menyurut ke dalam dan berbareng itu dari kedua samping, berhamburanlah panah beracun serta bermacam senjata rahasia.

Untunglah Siau-liong tak gugup. Ia gunakan ilmu berat tubuh Cian-kin-tui, meluncur kepermukaan air dibawah. Tetapi segera ia menyadari bahwa ilmu kepandaiannya meringankan tubuh, belum mencapai tingkat dapat berjalan di atas air.

Namun ia tak putus asa. Cepat ia dapat menemukan akal. Ratusan batang anak panah dan lain-lain senjata rahasia yang terapung di atas air itu, dapat digunakan sebagai alat berjalan di air. Dan ternyata memang benar.

Dengan menginjak di atas ratusan batang anak panah, dapatlah ia meluncur kemulut saluran sungai. Tiba di ujung saluran, cepat ia loncat kekarang sebelah samping. Karena ujung saluran itu meluncur ke bawah, merupakan suatu air terjun yang berpuluh tombak tingginya.

"Pertapa itu tentu mengambil jalan kecil ini,” pikirnya sambil mengamati jalan kecil yang terdapat dikarang situ. Sejenak meragu. ia terus melangkah maju. Berjalan beberapa langkah, terdengar gumpalan karang berguguran jatuh. Setelah tenangkan diri, ia lanjutkan langkah lagi. Dan sampai sekian lama, ia tak mendapat gangguan suatu apa lagi.

Ujung penghabisan dari jalan itu, merupakan sebuah lembah. Disitu terdapat sebuah pintu raksasa dari batu yang penuh guratan hurup Jun atau musim Semi. Ia tak menyadari bahwa saat itu ia tengah berada di lembah ”Ban-jun-koh atau lembah Musim-semi. "

Siau -liong tak menghiraukah suatu apa. Ia terus maju. Ah, serasa ia memasuki sebuah dunia baru. Dunia yang beralam keindahan musim Semi. Penuh bunga-bunga mekar, rumput-rumput hijau dan alam nan segar berseri. Hembusan angin sepoi mengantar bau bunga, membuat semangat Siau-liong sedap segar.

Lembah Musim-semi itu merupakan akibat dari gempa bumi sehingga karang dan batu-batu merekah, jaluran air malang melintang bagaikan jaring labah-labah.

Siau-liong amat gembira. Setelah membuka baju luarnya yang basah, ia menyusur jalan kecil ditengah padang bunga. Tiba-tiba ia mendengar orang menyanyi lagu 'Keindahan alam dan Kehidupan' Ia terkejut dan cepat memandang kesekeliling. Tetapi tak menemukan apa-apa.

Ia berhenti. Jelas suara nyanyian itu berasal dari seorang wanita.

Kembali terdengar nyanyian itu mengalun. Nadanya melengking tinggi macam orang merintih.

Siau-liong terkesiap.

Sekonyong-konyong muncul seekor burung kakak tua besar. Dan hampir saja Siau-liong melonjak kaget ketika burung itu dapat berseru seperti manusia, “Ada tamu! Ada tetamu....!"

Belum Siau-liong mengambil suatu tindakan tiba-tiba muncul seekor burung gagak hitam terbang melayang di udara dan berbunyi beberapa kali.

Siau-liong tersirap dan seketika ingat bahwa saat itu ia sedang mengejar Soh-beng Ki-su.

Cepat-cepat ia ayunkan langkah lagi. Tetapi jalan disebelah depan penuh dengan lingkaran saluran air kecil yang melingkar-lingkar seperti jaring labah-labah. Hutanpun makin lebat sehingga ia kehilangan arah.

Tiba-tiba burung kakak tua tadi melonjak-lonjak di atas dahan pohon lalu melayang kemuka dengan pelahan.

Seketika timbullah pikiran Siau-liong. Jika burung itu dapat bicara, tentulah burung piaraan orang. Ia memutuskan untuk mengikuti arah terbangnya kakak tua itu.

Ternyata pemandangan dalam lembah itu makin lama makin mengagumkan. Penuh dengan pohon-pohon bunga dan rumput-rumput hijau serta desir air mengalir disaluran. Angin pun menebarkan bau yang harum.

Setelah dua kali membelok tikungan dan melintasi beberapa hutan, tiba-tiba kakak tua itu terbang cepat, masuk ke dalam hutan lebat.

Siau-liong tertegun. Saat itu ia tiba dimuka sebuah lembah yang sempit. Sebuah batu besar menggunduk ditengah mulut lembah. Mirip dengan pintu.

Tengah ia bersangsi, tiba-tiba dendang nyanyian itu kembali terdengar melantang dari dalam lembah.

“Masakan nyanyian itu suara burung kakak tua?" diam-diam ia meragu setelah mendengar jelas lagu yang dinyanyikan.

Ia terus maju memasuki mulut lembah. Tetapi apa yang terbentang dihadapannya, benar-benar membuatnya terkejut bukan kepalang.

Di dalam lembah itu ternyata merupakan sebuah tanah datar yang seluas sepuluh tombak. Ditengahnya terdapat sebuah empang. Di atas empang tertutup oleh asap putih menyerupai awan. Dalam kabut putih itu samar-samar tampak duapuluh lebih wanita cantik yang rambutnya terurai kebahu. Mereka tengah bermain-main dalam empang itu. Seorang dara yang tengah bersandar pada sebatang pohon liu tengah berdendang lagu. Kiranya nyanyian tadi, adalah dara itu yang mendendangkan.

Siau-liong ter-longong-longong mengawasi pemandangan disitu.

“Kongcu datang!" tiba-tiba seorang gadis cantik berpakaian kuning berteriak.

Rombongan dara yang tengah bermain-main diempang itu serentak tertegun. Cepat mereka pencarkan diri dalam dua rombongan dan tegak dengan khidmat.

Tak berapa lama dari dalam hutan muncul delapan gadis dengan membawa semacam selendang. Mereka menghampiri empang dan berdiri dalam dua rombongan.

8. Wanita Cantik Pemilik Lembah

Sesaat kemudian muncullah seorang wanita yang amat cantik, dalam pakaian yang gilang gemilang. Serentak barisan gadis-gadis itupun berdiri memberi hormat.

Sejenak wanita cantik itu memandang kesekeliling lalu bertanya, “Mana Siau-jui!"

Seorang bujang yang mengawal disamping, segera berteriak, “Siau-jui! Siau-jui....!"

Dari arah hutan terdengar suara penyahutan. Dan seekor burung kakak tua segera terbang melayang hinggap di atas bahu wanita cantik itu. Ah, kiranya burung kakak tua yang diikuti Siau-liong tadi.

Sambil tertawa wanita itu mengelus-elus kepala kakak tua lalu menyerahkan kepada seorang bujang. Kemudian ia membuka pakaian hendak mandi.

"Jangan! Jangan mandi ada orang asing!" tiba-tiba kakak tua itu berbunyi nyaring.

Nona cantik itu tertegun. Ia tak jadi membuka pakaian. Dan Siau-liong pun terkejut. Cepat ia bersembunyi tetapi terlambat. Dua orang bujang menjerit kaget.

"Mundur!" bentak nona cantik seraya loncat kemulut lembah.

Karena sudah kepergok, terpaksa Siau-liong unjuk diri sekali. Ia memberi hormat dan menjelaskan, “Karena tersesat jalan. aku keliru masuk kemari. Harap nona maafkan!"

Si cantik terkejut mundur selangkah. Ditatapnya Siau-liong dengan tajam. Rambut Siau-liong yang kusut masai terurai kebahu, mata besar, hidung dan mulut lebar serta muka kotor, membuat si cantik tertawa.

"Nona menertawakan aku ......”

Lama sekali nona cantik itu tertawa. Kemudian berseru, “Kalau tak salah tuan tentulah Pendekar Laknat yang termasyhur diseluruh jagad itu?"

Siau-liong terkesiap. Ia menyadari bahwa saat itu ia masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.

Maka ia mengiakan.

Nona itu juga tertegun. Rupanya ia heran melihat perobahan sikap dan ucapan Pendekar Laknat.

Rupanya Siau-liong menyadari. Buru-buru ia berganti dengan nada parau seperti orang tua,

“Jika tak salah, nona tentulah pemilik lembah Musim-semi ini."

Si cantik tertawa mengikikik, “Engkau menduga tepat. Konon kabarnya locianpwe disohorkan congkak, angkuh dan ganas. Tetapi kenyataannya locianpwe seorang yang amat ramah!"

Dipanggil 'locianpwe' Siau-liong terpaksa hanya meringis lalu tertawa gelak-gelak.

Si cantik memainkan biji matanya yang indah beberapa jenak, lalu berkata pula, “Kabarnya locianpwe sudah mengasingkan diri di gunung selama duapuluh tahun. Entah mengapa locianpwe mendadak mengunjungi lembah yang sunyi ini ......”

Siau-liong hendak menyahut tetapi nona itu cepat mendahului lagi, “Sungguh suatu kehormatan besar sekali locianpwe sudi berkunjung kemari. Silahkan masuk ke dalam lembah. Kami hendak menghormat dengan mempersembahkan minuman sekedarnya!"

Nona itu lalu menyisih kesamping mempersilahkan tetamunya. Siau-liong terpaksa masuk ke dalam lembah. Ia mempunyai dua alasan. Pertama, kemungkinan Soh-beng Ki-su tentu mempunyai hubungan dengan nona itu. Kedua, ia ingin tahu apakah sebenarnya yang disebut lembah Musim semi itu!

Ternyata ditengah hutan terdapat sebuah jalan yang bersih, menuju kesebuah bangunan gedung besar dan megah. Pintunya bercat warna emas dan dihias dengan ukir-ukiran yang indah.

Empat orang bujang cepat menyambut kedatangan si nona dengan hormat. Si nona suruh mereka pergi. Kemudian ia mengajak Siau-liong masuk dan duduk dimeja yang penuh hidangan dan minuman. Tak lama, terdengar bunyi tetabuhan harpa yang merdu.

Siau-liong terkesiap.

Tiba-tiba nona itu berbangkit mengangsurkan secangkir teh wangi kepada Siau-liong, “Silahkan minum."

Siau-liong tertawa menyambut tetapi ia letakkan lagi di meja. Lengan baju si nona bergetar dan setiup hawa wangi menabur hidung Siau-liong. Seketika bergeloralah darah Siau-liong, nafsu berkobar. Berpaling ke arah pemilik lembah, didapatinya si nona tengah menyungging senyum manis, mata mengicupkan sinar kecabulan ......

Saat itu hampir Siau-liong tak kuat menahan diri lagi. Ia hendak memeluk nona cantik itu. Tetapi sekonyong-konyong ia terkesiap ketika telinganya serasa mendengar bentakan, “Jangan!"

Cepat ia tenangkan pikiran, katanya: ”Aku sudah tua, mungkin tak dapat memenuhi harapan nona!" Diam-diam ia pancarkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke arah nona itu.

Nona itu terkejut dan terhuyung mundur sampai 5-6 langkah.

“Kuperlakukan engkau sebagai seorang cianpwe, tetapi engkau ......”

“Ha, ha," Siau-liong menukas tertawa, "Jangan banyak omong. Aku akan pergi!"

Pada saat Siau-liong melangkah muncullah duapuluh orang gadis dengan menghunus pedang. Siau-liong tertawa, “Jika nona tahu siapa diriku, mengapa suruh anak-anak perempuan mengantar jiwa?"

Nona cantik itu menghela napas dan suruh gadis-gadis itu menyingkir. Kemudian ia berkata kepada Siau-liong, “Jika locianpwe hendak pergi, silahkanlah....” tiba-tiba nadanya berobah rawan. ”Rupanya kita tak dapat keluar dari lembah ini!"

"Mengapa?" Siau-liong terkejut.

Kembali nona itu menghela napas, “Ah, apakah locianpwe tak tahu? Seluruh tahun lembah ini beriklim hangat seperti musim Semi. Sumber air disini mendidih panas. Hal ini akibat dari hawa panas dari kerak bumi. Dan tanah lembah ini mengandung tambang belirang. Kami yang sejak kecil hidup disini. memiliki jasmani yang beda dengan orang kebanyakan. Apabila kami keluar dari

lembah ini, dalam waktu setahun saja, semua ilmu kepandaian kami tentu lenyap dan kami pun mati!"

Siau-liong tergerak hatinya.

“Apakah kalian hendak tinggalkan lembah ini?" tanyanya.

Nona itu kerutkan dahi, “Sebagai wanita persilatan, kami ingin mencari pengalaman dan melakukan dharma kebaikan. Sudah tentu kami ingin sekali keluar dari tempat ini."

Siau-liong mengangguk, “Lalu dengan cara bagaimana kalian hendak keluar dari lembah ini?"

Tiba-tiba nona itu berlutut dan bercucuran air mata, “Justeru itulah kami hendak minta locianpwe menolong."

"Ah, tetapi aku seorang tiada berguna," Siau-liong tersipu-sipu.

Nona itu menangis, “Locianpwe seorang sakti tiada tanding. Jika tak mau memberi pertolongan, lebih baik kami mati saja!"

“Nanti dulu," buru-buru Siau-liong mencegah, asal dapat saja, aku tentu mau membantu!"

"Asal locianpwe mau, tentu dapat menolong kami," nona itu tertawa. Ia memberi hormat, berbangkit lalu duduk di depan meja.

Siau-liong-pun terpaksa duduk lagi.

“Kami telah mendapat bantuan Soh-beng Ki-su untuk mencari peta pusaka. Dengan peta pusaka itu kami akan menemukan penyimpanan pusaka. Diantaranya terdapat semacam pil Hian-ki-tan yang berkhasiat membikin tulang-tulang kita seperti baru tumbuh lagi. Dengan begitu dapatlah kami memiliki jasmani seperti orang biasa. Separoh bagian dari peta itu berhasil direbut Soh-beng Ki-su. Tetapi yang separoh bagian masih berada pada locianpwe. Maka sudilah locianpwe memberikan kepada kami, sesuai dengan kesediaan locianpwe hendak menolong kami tadi!"

Siau-liong terkejut ketika mendengar kata-kata si nona. Ternyata dugaannya benar. Soh-beng Ki-su bersembunyi dalam lembah situ. Tetapi dia seorang pemuda yang berhati welas-asih. Ia kasihan kepada nasib gadis-gadis itu.

"Tetapi benda itu tak berada padaku. Desas-desus dalam dunia persilatan itu tidak benar ......,” katanya.

Seketika berobahlah wajah si nona. Ia tertawa sinis, “Benar, memang separoh dari Pending Kumala itu berada ditangan ketua Kong-tong-pay.... Tetapi locianpwe sudah berulang kali menempurnya. Menilik kesaktian locianpwe, tentulah peta itu sudah ditangan locianpwe....” nona itu berhenti sejenak lalu berkata lagi, “Apabila kedua peta disatukan, tentulah mudah mencari pusaka itu. Terus terang, pusaka itu disimpan dalam gunung ini. Aku hanya menghendaki pil Hian-ki-tan saja. Lain-lain kuserahkan kepada locianpwe semua!"

"Tetapi benda itu benar-benar tak berada padaku. Jika tak percaya, terserah!"

Tetapi nona itu makin ngotot. “Sudah duapuluh tahun locianpwe mengasingkan diri. Jika bukan karena pusaka itu, tak mungkin locianpwe akan muncul lagi!"

Saat itu barulah Siau-liong menyadari kalau Giok-pwe atau Pending Kumala merupakan penyebab dari kehebohan besar. Dan teringat jugalah ia akan kata-kata Pengemis Tertawa dalam rapat Kay-pang di biara tempo hari. Pengemis itu mengatakan bahwa dunia kacau-balau. Keempat durjana Thian, Te, Liong dan Hou bermunculan di dunia persilatan. Tentulah mereka juga terpikat oleh peta pusaka itu.

Siau-liong tertegun.

“Lalu apakah tujuan locianpwe mengejar Soh-beng Ki-su itu?" tanya nona itu pula.

“Untuk menolong nona Tiau Bok-kun!"

“Bukan untuk menolong Pending Kumalanya?" nona itu menyindir.

Siau-liong mengkal sekali, sahutnya, “Ya, anggaplah begitu karena benda itu warisan keluarganya."

Nona itu tertawa mengejek. Tiba-tiba wajahnya berobah bengis lalu membentak, “Rusa tua, sudah kuketahui kelicikanmu."

Siau-liong terkesiap. Wanita memang aneh. Beberapa saat berselang masih merengek-rengek menyebut locianpwe. Sekarang berbalik memaki-maki!

"Tak perlu bersilat lidah menutupi maksudmu. Aku adalah seorang pembohong besar. Tak mungkin engkau dapat mengelabuhi aku!" Maka tiba-tiba nona itu menghambur ejek.

"Memang kenyataan begitu, apakah yang harus kukatakan? Jika tak percaya. akan kuserahkan separoh Giok-pwe yang berada pada Toh Hun-ki tetapi nona harus melepaskan nona Tiau!"

Nona cantik itu tertegun. Ia heran mengapa sekarang Pendekar Laknat berubah menjadi manusia yang menjunjung budi kebaikan?

Tetapi ia tak mudah percaya, serunya, “Kalau engkau hendak menolong Tiau Bok-kun, apakah engkau mau menemuinya? Dia berada disini!"

Sebelum Siau-liong menjawab, nona itu sudah bertepuk tangan tiga kali. Dinding ruang yang semula merupakan batu marmar hijau, tiba-tiba berderak-derak merekah dan terbukalah sebuah pintu. Seorang nenek tinggi besar, memapah keluar seorang gadis yang rambutnya kusut masai.

Siau-liong terkejut. Gadis itu adalah Tiau Bok-kun. Menilik wajah dan semangatnya yang sayu lunglai, tentulah gadis itu telah ditutuk jalan darahnya. Serentak Siau-liong hendak menghampiri.

Tetapi nona pemilik lembah mengancamnya, “Selangkah lagi engkau berani maju, nona itu tentu kuhancurkan!"

Siau-liong tertegun.

“Serahkan!" nona itu tertawa.

“Apa yang harus kuserahkan?" Siau-liong heran.

“Jangan pura-pura! Serahkan Giok-pwe itu."

“Apakah nona tak percaya kepadaku?" tanya Siau-liong.

"Mengapa aku harus percaya?"

Siau-liong mendengus, “Ho, kiranya engkau juga pembohong."

Nona itu tertawa ejek, “Tadi berbohong sekarang, tukar menukar. Separoh Giok-pwe itu dapat ditukar dengan jiwa nona Tiau ini. Bagaimana kehendakmu "

Sejenak Siau-liong kehilangan paham. Akhirnya ia tertawa, “Aha, kita sama-sama bermain sandiwara. Engkau menipu aku, aku menipumu. Aku hendak menipu Giok-pwemu, engkau hendak menipu Giok-pweku ......”

“Sekarang baru engkau bicara benar!" dengus nona itu.

Siau-liong gelengkan kepala, “Soal ini tiada sangkut pautnya dengan nasib nona Tiau. Menurut hematku, baiklah kita bertaruh. Siapa yang menang, akan memperoleh kedua potong Giok-pwe itu. Setuju?"

Nona itu merenung. Memang benar. Membunuh Tiau Bok-kun pun tiada sangkut pautnya dengan kepentingan Pendekar Laknat.

“Rusa tua, katakanlah bagaimana pertaruhan itu?" katanya.

“Seorang lelaki takkan berkelahi dengan orang perempuan. Orang tua takkan menghina orang muda. Baiklah kita bertaruh dalam soal kepandaian masing-masing dan tidak saling bertempur."

“Caranya?” tanya si nona.

Pendekar Laknat mengusulkan untuk mengadu kepandaian melempar gundu ke dalam mangkuk. Nona itu terpaksa menyadari karena ia merasa tak menang dengan momok itu.

Nona itu menyediakan 4 biji benda bundar dan sebuah mangkuk. Setelah menaruh benda-benda itu di atas meja, Siau-liong mempersilahkan si nona yang melempar lebih dulu.

Diam-diam nona itu tertawa dalam hati. Ia yakin tentu akan menang. Dengan gaya yang indah, ia lemparkan ke empat gundu itu ke dalam mangkuk. Gundu berputar-putar dan melingkar-lingkar membentuk sepasang huruf ji (dua).

“Menang!" teriak si nona.

“Nanti dulu, aku belum," seru Siau-liong terus mengambil gundu dan dilemparkan ke dalam Mangkuk. Gundu berputar-putar kemudian berhenti dalam bentuk huruf Liok (enam).

“Ha, ha, akulah yang menang!" serunya.

“Tidak, tidak! Gunduku dapat berputar lebih cepat." teriak si nona.

“Tetapi gunduku dapat membentuk jumlah yang lebih banyak!" sahut Siau-liong.

“Baiklah, engkau yang menang. Tetapi masih dua kali lagi bertanding," akhirnya nona itu mengakui. Ia menjeput gundu lalu dilemparkan lagi. Gundu-gundu itu berhenti berjajar-jajar rapi di tengah mangkuk.

Nona itu tertawa bangga.

“Jangan tertawa dulu," tukas Siau-liong seraya menjemput gundu lalu dilemparkan ke udara.

"Klotek".... gundu-gundu itu berhamburan jatuh dan serentak berhenti ditengah mangkuk.

“Engkau kalah lagi!" serunya.

Tiba-tiba nona itu menuding muka Siau-liong dan memaki, “Ho, bagus benar muslihatmu, rubah tua! Engkau sengaja menantang pertandingan bermain gundu ini supaya aku kalah. Tidak! Jika tak mau menyerahkan separoh Giok-pwe itu, jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini!"

Siau-liong tertawa mengejek.

“Jika dengan kepandaian, engkau mampu mengalahkan aku, tentu takkan ingkar. Tetapi caramu tidak jujur. Kalau menang, engkau meminta Giok-pwe. Tetapi kalau kalah, engkau cari alasan ini itu. Memang kalau aku sudah mati disini, tentu tak dapat keluar. Tetapi untuk membunuh Pendekar Laknat, lebih sukar daripada mendaki tangga ke langit!"

Nona itu marah dan malu. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah padam. Serentak ia mencabut pedang. Dengan jurus Bianglala-menutup-matahari. ia menusuk dada Siau-liong.

Siau-liong mengendap dan menyurut mundur, Rombongan gadis yang terdiri dari duapuluh orang itupun serentak pecah diri membentuk sebuah barisan. Kemudian mereka menghunus pedang dan maju menghampiri Siau-liong.

Karena tak mencelakai gadis-gadis itu, Siau-liong menyurut mundur.

Serangan pertama gagal, gadis pemilik lembah menyusuli lagi dengan serangan kedua dalam jurus Ular-putih-menjulur lidah. Ia menusuk dada Siau-liong sekuat-kuatnya.

Saat itu Siau-liong sudah mundur kira-kira terpisah dua meter dari tempat Tiau Bok-kun. Dengan gesit, ia mengisar dan menendang tangan si nona. Nona itu cepat merobah gerakan pedangnya.

Tetapi diluar dugaan, tendangan Siau-liong itu hanya ancaman kosong. Begitu si nona menghindar, secepat kilat pemuda itu berputar diri kesamping sinenek tua dan menutuk punggungnya. Dan serempak dengan gerakan menutuk itu, tangan kiri pun menyambar bahu Tiau Bok-kun. Ia hendak menerobos keluar dari kepungan.

“Tubuh tua yang licin!" nona pemilik lembah memekik seraya menyerang dan memberi isyarat agar barisan gadis itu pun ikut menyerbu.

Dalam keadaan seperti itu, terpaksa Siau-liong harus membela diri. Sebuah ayunan tangan kiri, membuat tiga orang gadis tersurut mundur, muntah darah dan terkapar di tanah ......

Siau-liong terkejut. Ia menyadari bahwa pukulan yang diayunkan itu adalah ajaran pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun. Pukulan Thay-siang-ciang yang amat sakti!

“Ha, ha, jangan mengantar jiwa sia-sia!" serunya memberi peringatan.

Pada saat si nona pemilik lembah tertegun, Siau-liong lepaskan lagi sebuah pukulan. Nona itu terkejut dan cepat loncat menghindar. Kesempatan itu tak disia-siakan Siau-liong. Dengan gerak Harimau-buas-tinggalkan-gunung, sambil mengepit tubuh Tiau Bok-kun, ia loncat keluar pintu.

Tetapi pintupun tertutup. Siau-liong menghantamnya dengan pukulan Bu-kek-sin-kang.

"Bum....” terdengar ledakan keras tetapi pintu itu tak kurang suatu apa. Siau-liong heran.

Dalam pada itu rombongan gadis yang dipimpin nona cantik tadi pun tiba. Tetapi agaknya nona pemilik lembah itu gentar terhadap Pendekar Laknat. Ia tak berani segera menyerang melainkan memaki-maki dari kejauhan.

Siau-liong cepat memutuskan. Kalau tak dapat menembus pintu muka mengapa ia tak mau coba menerjang pintu belakang?

Sambil mendukung Tiau Bok-kun, ia loncat melayang keruang besar. Ternyata di belakang ruang itu, merupakan sebuah hutan lebat. Siau-liong menerobos ke dalam hutan. Ia kira, ujung hutan itu tentu merupakan jalan belakang keluar dari lembah. Tetapi ternyata, hutan itu gelap sekali. Melintas kian kemari, ia tetap hanya berputar-putar dalam hutan itu saja.

Siau-liong gelisah. Ia memandang kesekeliling dengan seksama. Sejauh mata memandang, hanya pohon-pohon bunga yang tampak. Jarak pohon itu satu dengan lain hampir sama, sukar dibedakan.

Sejenak tertegun, mulailah Siau-liong berjalan lagi dengan pelahan. Setiap tiga batang pohon diberinya tanda. Setelah lebih empatpuluh pohon, ia telah mencapai dua li jauhnya. Tetapi ah.... ternyata ia balik lagi pada jalan semula atau pohon pertama yang telah diberinya tanda tadi.

Akhirnya ia menghela napas, meletakkan Tiau Bok-kun lalu bersandar pada pohon. Nona itu masih meram, tiga buah jalan darahnya ditutuk orang. Sekalipun sudah ditolong Siau-liong tetapi nona itu tetap belum sadar. Terpaksa Siau-liong mengurutnya. Beberapa waktu kemudian barulah nona itu menguak dan tersadar.

Begitu melihat Siau-liong, nona itu menjerit dan meronta hendak lari.

“Nona Tiau, mengapa engkau ini?" tegur Siau-liong.

Dengan wajah pucat, nona itu menyurut mundur, “Engkau.... engkau bukan pendekar Lak....”

“Jangan kuatir, aku takkan mencelakaimu!" buru-buru Siau-liong menukas setelah menyadari dirinya masih sebagai Pendekar Laknat.

Tiau Bok-kun berhenti, memandang kesekeliling penjuru. Dengan tertawa, Siau-liong duduk dan berkata, “Silahkan duduk, nona."

Dengan ragu-ragu nona, itu ikut duduk. Tiba-tiba ia teringat, serunya, “Tadi aku seperti ditutuk oleh Soh-beng Ki-su.... locianpwekah yang menolong?"

Diam-diam Siau-liong geli. Sahutnya, “Benar, memang aku yang menolongmu. Tetapi saat ini kita masih terbenam dalam barisan musuh. Entah kita dapat atau tidak keluar dari lembah ini!"

Buru-buru Tiau Bok-kun menghaturkan terima kasih, ujarnya, “Ah, kiranya locianpwe seorang yang berbudi luhur. Desas-desus dalam dunia persilatan itu ternyata tidak benar!"

“Desas desus bagaimana?"

"Kabarnya duapuluh tahun yang lalu locianpwe amat ganas gemar membunuh, congkak, dingin, tak suka bersahabat dan kejam sekali ......”

"Adakah aku sesuai dengan desas-desus itu?"

Tiau Bok-kun tertawa kecil dan tundukkan kepala. “Ku.... rasa tidak sesuai. Locianpwe seorang baik. Aku tak percaya segala omongan orang itu!"

Diam-diam Siau-liong merasa bahagia. Selebat hutan dalam lembah Musim-semi, hatinya terasa pekat sekali hingga tak dapat berkata-kata.

Setelah beberapa saat, Tiau Bok-kun rasakan tenaganya pulih kembali. Melihat Pendekar Laknat diam saja, ia bertanya, “Locianpwe, apakah kita tak berangkat lagi?"

"Mungkin kita terpaksa bermalam disini," Siau-liong tertawa hambar.

Tiau Bok-kun terbeliak. Ia heran mengapa seorang tokoh yang sedemikian sakti, tak berdaya keluar dari hutan itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa keras. Dan melengkinglah teriakan garang dari nona pemilik lembah, “Rubah tua, sepandai-pandai tupai melompat, sesekali tergelincir juga. Betapapun saktimu, tetapi kali ini jangan harap engkau mampu keluar dari lembah ini!"

Tiau Bok-kun berpaling memandang keseluruh penjuru, Tetapi ia tak dapat menentukan arah datangnya suara itu.

Siau-liong murka. Dengan menggembor keras ia menghamburkan lima buah pukulan Bu-kek-sin-kang keempat penjuru. Pohon-pohon berderak-derak putus dahannya. Ranting dan daun bertebaran.

"Ibiis tua! Pohon berjumlah duaribu batang. Kecuali engkau mampu menghantam habis, barulah engkau mampu keluar dari lembah ini. Tetapi masih ada pula Pagar Harimau, Pagar Singa, Pari Beracun dan lain-lain....” tiba-tiba terdengar lengking suara mirip hantu merintih.

Tiau Bok-kun pucat, Siau-liong pun tertegun. Itulah suara Soh-beng Ki-su, manusia yang dibencinya. Tetapi apa daya. Ia hanya termenung.

Saat itu hari mulai petang. Tiba-tiba segumpal kabut tipis bertebaran melayang-layang. Makin lama makin tebal, baunya mengandung belirang. Jelas bukan kabut sewajarnya melainkan ditaburkan orang.

"Locianpwe, mereka melepas api!" seru Tiau Bok-kun makin cemas.

Tetapi Siau-liong tertawa tenang, “Api tak jadi soal, tetapi ini ......” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena batuk-batuk terserang bau belirang.

Tiau Bok-kun pun ikut batuk-batuk.

"Iblis tua! Jangan lama-lama, lekaslah engkau ke Neraka!" seru Soh-beng Ki-su pula.

Siau-liong tertawa nyaring, serunya, “Ha, tahukah engkau bahwa separoh Giok-pwe itu berada dalam tanganku?"

"Bagus, setelah engkau mati, tentu dapat kita ambil!" seru Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah.

Siau-liong tertawa mengejek, “Ho, di dunia tak ada hal yang seenak bayanganmu itu! Jika aku mati, tentu lebih dulu Giok-pwe itu akan kuhancurkan ......”

Kata-kata Siau-liong itu ternyata membawa pengaruh. Soh-beng Ki-su dan si nona pemilik lembah berdiam diri. Tetapi dalam pada itu kabut pun mlai menipis dan akhirnya lenyap sama sekali.

Andaikata Siau-liong tak menggunakan siasat tadi, tentulah ia dan Tiau Bok-kun sudah binasa.

Hari makin malam. Hutan makin gelap gulita.

Tiba-liba Tiau Bok-kun terhuyung-huyung dan berbargkit, “Locianpwe ......”

"Nona Tiau, mengapa engkau!" Siau-liong terkejut.

Tiau Bok-kun rubuh ......

9. Keluarga Iblis

Siau-liong terkejut tetapi gadis itu sudah rubuh. Buru-buru ia menolongnya. Dahi nona itu mengerut gelap, kaki tangan lunglai dan bibirnya gemetar.

Siau-liong menyadari bahwa kabut belirang tadi tentu mengandung racun. Karena ia sudah mendapat saluran tenaga murni dari Koay-suhu si manusia dari gua dan minum darah makhluk aneh serta makan buah Im-yang-som maka ia memiliki daya tahan yang kebal terhadap kabut beracun itu.

Beda dengan Tiau Bok-kun yang lebih rendah kepandaiannya sehingga tak tahan diserang kabut itu.

Sejak kecil ikut pada gurunya, tabib sakti Kongsun Liong, Siau-liong pun paham akan ilmu pengobatan. Karena tak membekal obat, tak dapat ia menyembuhkan nona itu.

Akhirnya ia hanya dapat melakukan cara mengurut untuk menekan racun dalam tubuh gadis itu supaya jangan mengembang luas.

Tak berapa lama Tiau Bok-kun tersadar. Memandang Siau-liong, nona itu mengeluh, “Locianpwe, aku benci ......”

"Siapa?"

Tiau Bok-kun menghela napas panjang, “Aku benci diriku yang bernasib malang ini ......”

Siau-liong tertawa lalu menghela napas.

“Locianpwe," kata nona itu pula, “dengan kepandaian yang sakti engkau tentu dapat keluar dari lembah ini. Janganlah karena diriku, engkau akan mendapat kesusahan ......”

Siau-liong tertawa, “Orang menjuluki diriku Pendekar Laknat. Kegemaranku mengurus hal-hal yang tak adil. Sekali campur tangan, tak pernah aku mundur lagi."

Tiau Bok-kun gelengkan kepala, “Nasibku memang malang. Hidupku selalu dirundung kesusahan dan keputus-asaan. Andaikata dapat keluar dari lembah ini, bagiku pun tiada manfaatnya hidup di dunia!"

Sejenak berhenti, nona itu berkata pula, “Locianpwe, apakah engkau mau meluluskan sebuah permintaanku?"

Siau-liong buru-buru mengiakan.

Sesaat tampak Tiau Bok-kun meragu tetapi akhirnya ia berkata juga, “Ada seorang pemuda gagah bernama Kongsun Liong. Adakah locianpwe kenal padanya?"

Jantung Siau-liong mendebur keras. Cepat ia menyahut, “Dia adalah ketua partai Kay-pang yang termasyhur. Masakan aku tak kenal?"

Tiau Bok-kun menghela napas.

"Tolonglah locianpwe suka menyerahkan suratku ini kepadanya. Katakan .,.... katakanlah, bahwa aku sudah meninggal dunia. Budi pertolongannya kepadaku, terpaksa kelak pada penitisan yang akan datang, baru dapat kubalas!"

Habis berkata nona itu menangis tersedu-sedu. Siau-liong terpaksa ikut mengucurkan air mata. Untunglah karena gelap, tiada yang mengetahui keadaannya saat itu.

Sesungguhnya sudah berulang kali Siau-liong hendak menyingkap kedoknya agar Tiau Bok-kun terkejut girang. Tetapi setiap kali, ia batalkan niatnya.

Kini baru ia mengetahui betapa besar cinta Tiau Bok-kun kepadanya. Pikiran Siau-liong mulai melayang-layang jauh ......

Dari keterangan gurunya, yakni tabib sakti Kongsun Sin-tho, Siau-liong mengetahui bahwa pembunuh ayahnya adalah ketua Kong-tong-pay yang bernama Toh Hun-ki serta keempat tokoh tua dan partai itu. Dan Toh Hun-ki itu sesungguhnya adalah guru dari ayah Siau-liong.

Selama ini beberapa kali ia mempunyai kesempatan untuk membunuh musuh ayahnya itu. Tetapi setiap kali teringat akan pesan gurunya bahwa mendiang ayahnya meninggalkan pesan supaya jangan membalas sakit hati itu. Terpaksa Siau-liong lepaskan musuhnya.

Mengenai ibunya, Siau-liong sudah beberapa kali berjumpa tetapi setiap kali tentu kehilangan kesempatan untuk bicara.

Kemudian pikiran Siau-liong melayang jauh pada manusia aneh Pendekar Laknat yang memberinya ilmu kesaktian. Menurut pesan Pendekar Laknat, ia harus membenci semua manusia di dunia. Apabila ia tak dapat memenuhi pesan itu, sekurang-kurangnya ia harus dapat membunuh Soh-beng Ki-su, pertapa yang berhutang darah Pendekar Laknat.

Kemudian masih ada seorang lagi yakni Ko-lo-sin-kay atau Pengemis Tengkorak Song Thay-kun. Walaupun tokoh itu hanya berupa tengkorak tetapi dari petunjuknyalah ia dapat mempelajari ilmu pukulan Thay-siang-ciang-hwat yang sakti, makan buah Im-yang-som dan minum darah ular naga.

Dan kini setelah dirinya dinobatkan sebagai Cousu-ya atau ketua dari partai Kay-pang, demi membalas budi Pengemis Tengkorak, ia harus berusaha keras untuk mengharumkan nama baik partai itu.

Peristiwa-peristiwa itu melalu-lalang dibenak Siau-liong. Ia menginsyafi, betapa berat beban yang terletak pada bahunya. Kini ia telah memiliki berbagai kepandaian sakti. Tetapi sejauh itu, satu pun dari beban-beban itu belum ada yang berhasil ia laksanakan. Bagaimana yang akan terjadi, masih gelap baginya.

Ah ...... tugas kewajiban masih menumpuk. Mengapa ia harus menjerumuskan diri dalam jerat asmara? Demikian ia melamun.

Tengah ia terbenam dalam lamunan itu, tiba-tiba sebuah suara halus mendesing di udara dan menyambar belakangnya. Siau-liong terkejut, Cepat ia mengunakan dua buah jari tangan untuk menjepit senjata gelap itu. Ah, kejutnya bukan kepalang ketika pendapatkan bahwa yang dijepit itu bukan senjata rahasia, melainkan hanya secarik lipatan kertas!

Hebat! Hanya ahli menutuk jalan darah dari jauh, yang mampu menjentikkan surat itu kepadanya. Cepat ia berbangkit dan memandang keseluruh penjuru. Tetapi kecuali derak halus dari ranting dan daun-daun tertiup angin malam, tiada tampak suatu apa lagi.

Terpaksa ia duduk kembali serta diam-diam menghela napas, “Ah, memang benar, di atas gunung masih terdapat langit yang tinggi. Yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Kesaktian orang itu tak dibawah kepandaianku ......”

Tiau Bok-kun hanya terlongong-longong memandang Siau-liong. Tetapi pemuda itu tak sempat lagi memberi keterangan karena ia terus membuka surat lipatan itu. Dan membacanya:

“Ilmu silat tiada batasnya. Harus paham tenaga luar-dalam, ilmu pukulan dan senjata, mengetahui barisan Pat-kwa-kiu-kiong, Ki-bun-ngo-heng, ilmu pengobatan, perbintangan dan pemakaian racun, barulah dia dapat menguasai dunia persilatan. Kepandaianmu tinggi tetapi kurang pengalaman dan kurang cermat hingga terjebak dalam barisan pohon bunga. Ingat dan hati-hatilah! Dunia persilatan itu penuh tipu muslihat yang ganas ......”

Siau-liong terkejut. Jelas orang itu memberi peringatan kepadanya. Walaupun nadanya congkak tetapi maksudnya baik. Siau-liong lanjutkan membaca lagi,

“Soh-beng Ki-su adalah murid dari si Iblis penakluk-dunia. Dan nona pemilik Lembah Semi itu anak perempuan dari Dewi Neraka. Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan sepasang suami isteri yang selalu kumpul-cerai. Saat ini mereka masuk ke dalam lembah. Lekas tinggalkan tempat ini!"

Karena tiada tanda siapa penulisnya, Siau-liong bingung.

"Locianpwe, apakah surat itu ......” baru Tiau Bok-kun bertanya, Siau-liong cepat menukas, “Ah, dari seorang sahabat pada empatpuluh tahun yang lalu!"

Tepat Siau-liong mengucap begitu, tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa dingin dan pada lain saat sesosok bayangan hitam loncat menyelinap ke dalam gerumbul.

Siau-liong terkejut. Kiranya orang itu bukan lain adalah orang berpakaian hitam yang pernah bertempur dengannya tempo hari. Cepat ia mengajak Tiau Bok-kun pergi. Tetapi nona menolak,

“Silahkan locianpwe pergi sendiri, jangan pedulikan diriku."

Siau-liong tak mau banyak bicara. Cepat ia menyambar Tiau Bok-kun terus dibawa lari mengejar orang berpakaian hitam tadi.

Orang itu menyusup ke kanan dan ke kiri. Kira-kira dua li jauhnya, dia sudah berhasil keluar dari barisan pohon bunga. Mau tak mau Siau-liong harus mengagumi orang itu. Diam-diam ia memutuskan hendak menyingkap rahasia si baju hitam itu. Sekali enjot tubuh, ia menubruk orang itu seraya membentak, “Siapakah sesungguhnya saudara ini!"

Tetapi rupanya orang misterius itu sudah memperhitungkan hal itu. Pada saat Siau-liong bergerak, iapun sudah melambung ke udara dan dengan gerak Burung-walet-menembus-awan, ia melayang ke balik sebuah batu besar.

Diluar daerah barisan pohon bunga itu, merupakan sebuah tanah lapang. Dan tak jauh disebelah muka, merupakan sebuah lamping gunung yang melandai curam. Karena mengepit tubuh Tiau Bok-kun, gerakan Siau-liong kurang leluasa.

Pada saat ia hendak layangkan diri mengejar orang aneh itu, tiba-tiba tampak beberapa orang terhuyung-huyung lari di atas lamping gunung. Cepat sekali mereka sudah mendekati ketempat Siau-liong.

Walaupun malam gelap tetapi Siau-liong dapat mengetahui bahwa kawanan orang yang datang itu adalah ketua Kong-tong-pay yakni Toh Hun-ki bersama keempat tetua Kong-tong-pay atau Kong-tong-su-lo.

Menilik pakaian dan keadaan mereka, rupanya mereka kalah bertempur dan sedang dikejar musuh. Mereka lari pontang-panting menuju barisan pohon bunga. Dalam keadaan ketakutan mereka tak melihat Siau-liong.

Melihat rombongan orang Kong-tong-pay, Tiau Bok-kun tampak jeri. Ia menjerit pelahan dan cepat bersembunyi di belakang Siau-liong. Mendengar jeritan itu, rombongan Toh Hun-ki berhenti. Mereka tertegun melihat Siau-liong dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat, berada diluar hutan.

Geraham Siau-liong berderuk-deruk menahan kemarahan. Tak pernah sedetikpun ia melupakan dendam kematian ayahnya. Diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

Tetapi pada lain kilas, terngiang pula pesan mendiang ayahnya bahwa ia tak boleh menuntut balas. Apalagi melihat keadaan Toh Hun-ki saat itu, pemuda Siau-liong tak sampai hati turun tangan.

"Pendekar Laknat....!" seru Tok Hun-ki.

Siau-liong melirik ke arah orang itu. Tampak pakaiannya berlubang beberapa beberapa tusukan senjata. Tubuh penuh bintik-bintik noda darah, rambut kusut masai terurai kedada. Sedang keempat Kong-tong su-lo dibelakangnya dengan kepala menunduk.

"Menyerang orang yang sedang terluka, bukanlah laku seorang kesatrya. Aku masih dapat mencari lain kesempatan untuk membalas dendam padanya," diam-diam Siau-liong menimang dalam hati. Dan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang pun diredakan.

"Kali ini kuampuni jiwa kalian. Tetapi kalau bertemu lagi, jangan harap kalian mendapat kemurahan seperti saat ini lagi!" serunya.

Walaupun heran atas tindakan Pendekar Laknat, tetapi Toh Hun-ki tak mau membuang waktu lagi. Ia menghaturkan terima kasih dan terus lari menuju ke dalam hutan.

"Hai, apakah kalian benar-benar hendak mencari kematian!" tiba-tiba Siau-liong berseru seraya ayunkan pukulan. Serangkum angin menderu menghadang lari rombongan orang-orang Kong-tong-pay itu.

Toh Hun-ki terkejut. Ia kira Pendekar Laknat merubah keputusan.

"Hutan itu merupakan barisan pohon bunga dari Lembah Semi. Aku sendiri tadi hampir celaka, apa lagi kalian!" seru Siau-liong dengan tertawa dingin.

Toh Hun-ki berhenti dan memandang ke arah hutan. Ia berterima kasih sekali atas peringatan momok itu. Sebagai seorang ketua sebuah partai persilatan, ia berilmu tinggi dan berpengalaman luas. Apa yang dikatakan Pendekar Laknat itu memang benar. Diam-diam ia malu pada dirinya sendiri dan timbullah rasa mengindahkan kepada momok itu.

Beberapa saat kemudian, belasan orang bersenjata muncul. Mereka hendak mengejar rombongan Toh Hun-ki. Tetapi terkejut ketika melihat Pendekar Laknat berada disitu. Mereka tak berani sembarangan bertindak dan hanya pecah diri mengepung.

Siau-liong tertawa.

Ternyata kawanan pengejar itu adalah Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi sendiri bersama anak buahnya.

Adalah karena Pendekar Laknat menggunakan siasat untuk menghancurkan separoh dari Giok-pwe yang berada ditangannya, maka Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik lembah itu terpaksa hentikan serangannya dengan kabut beracun. Giok-pwe itu adalah benda milik Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka. Lebih baik mereka tunggu kedatangan guru dan ibu guru itu.

Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi mengetahui bahwa guru dan ibu guru mereka itu sukar diraba sepak terjangnya. Tetapi mereka yakin dalam beberapa hari ini, kedua tokoh itu tentu akan kambali ke dalam lembah lagi.

Kedatangan Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu tak lain hendak mengikuti Siau-liong yang tengah mengejar Soh-beng Ki-su. Ketua Kong-tong-pay itu tak pernah melepaskan hasratnya untuk mendapatkan separoh Giok-pwe yang dirampas Soh-beng Ki-su dari Tangan Tiau Bok-kun. Yang separoh bagian sudah berada ditangannya.

Apabila berhasil mendapat yang separoh dari tangan Soh-beng Ki-su, akan lengkaplah peta untuk mencari kitab pusaka berisi ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia. Dengan demikian partai Kong-tong-pay pasti dapat mengangkat diri dan menguasai dunia persilatan.

Dengan harapan itulah maka Toh Hun-ki memberanikan diri untuk memasuki sarang harimau atau Lembah Semi-abadi yang amat berbahaya itu.

Tetapi gerak-gerik Soh-beng Ki-su dan Siau-liong cepat sekali. Mereka menghilang dari pandangan Toh Hun-ki. Dan ketua Kong-tong-pay itu kehilangan arah akhirnya tersesat ke belakang lembah. Disitu mereka dipergoki Soh-beng Ki-su dan wanita pemilik Lembah Semi-abadi terus diserang.

Toh Hun-ki adalah ketua partai Kong-tong-pay dan keempat Su-lo itu merupakan jago-jago sakti dari partai tersebut. Tetapi Soh-beng Ki-su dan wanita pemilik Lembah Semi-abadi adalah murid dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang termasyhur.

Ilmu Pek-kut-kang (tulang putih) dari Soh-beng Ki-su dan ilmu Yong-kut-kang (pelelah tulang) dari wanita pemilik lembah, merupakan ilmu sakti yang ganas sekali. Maka tak berapa lama, Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu dapat dilukai dan melarikan diri.

Soh-beng Ki-su dan si nona pemilik lembah memimpin anak buahnya mengejar. Pada saat rombongan Toh Hun-ki dapat digiring memasuki barisan pohon bunga, tiba-tiba Pendekar Laknat menolong.

"Setan tua, rupanya umurmu memang panjang!" seru nona pemilik lembah seraya tertawa mengejek Siau-liong.

Siau-liong marah sekali. Soh-beng-ki-su adalah pembunuh dari Koay suhu. Sepak terjang pertapa itupun amat ganas. Nona pemilik Lembah Semi, cabul dan ganas. Jika kedua manusia itu tak dilenyapkan, dunia persilatan tentu menderita.

Siau-liong tertawa keras seraya melangkah maju. Karena sudah beberapa kali menderita pil pahit dari Pendekar Laknat, Soh-beng Ki-su gentar dan cepat kerahkan tenaga sakti Pek-kut-kang. Dari jari pertapa itu meluncur sinar putih menyerang Siau-liong.

Pemuda itu tak mengacuhkan. Ia tetap tertawa nyaring. Nadanya menyerupai singa mengaum.

Melihat itu, Son beng Ki-su makin ketakutan. Ia perhebat lagi tenaga sakti Pek-kut-kang sampai beberapa bagian.

Sesungguhnya dalam tertawa tadi, diam-diam Siau-liong pun sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Pada saat sinar putih Pek-kut-kang tiba, Siau-liong menggembor keras dan lepaskan pukulan Tay-lo-kim-kong, sebuah jurus dari ilmu pukulan Tay-siang-ciang yang amat dahsyat.

Terdengar suara menggelegar keras ketika kedua jenis tenaga sakti itu saling beradu. Hasilnya segera dapat diketahui. Sinar putih Pek-kut-kang berantakan lenyap dan Soh-beng Ki-su pun terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Ia terluka.

"Serahkan jiwamu, jahanam!" Siau-liong maju menghampiri dan hendak menghantamnya lagi.

Tetapi si nona pemilik lembah segera mengajak anak buahnya menyerbu.

Siau-liong hanya membenci Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah itu. Ia tak mau mengorbankan banyak jiwa yang tak berdosa. Belasan anak buah yang terdiri dari lelaki dan perempuan itu, seolah-olah tak mengacuhkan pukulan Siau-liong. Mereka seperti manusia-manusia patung yang tak bernyawa. Siau-liong tak sampai hati dan terpaksa menarik pulang pukulannya.

Setelah hantamkan tangan kiri ke arah nona pemilik lembah Siau-liong pun enjot tubuh melambung melampaui kepala orang-orang itu lalu melayang ke arah Soh-beng Ki-su.

Soh-beng Ki-su yang sudah menderita luka itu makin ketakutan. Wajahnya pucat seketika.

Siau-liong tak peduli dan terus hendak menghantamnya.

"Tahan!" tiba-tiba dari samping terdengar suara orang membentak dan serangkum angin bertenaga lunak mendampar punggungnya.

Siau-liong terkejut seraya cepat loncat menghindar. Ketika bepaling, tampaklah sepasang kakek-nenek berdiri setombak jauhnya. Kedatangan kedua orang itu sama sekali tak bersuara.

Siau-liong terkesiap.

Kedua kakek-nenek itu sudah lanjut usianya. Dahi mereka penuh berhias keriput tetapi mukanya masih berseri segar. Sepasang matanya bersinar tajam.

Yang lelaki bertubuh jangkung tetapi punggungnya bungkuk. Jenggotnya menjulai panjang sampai ke lutut. Rambutnya yang putih terurai lepas pada kedua bahu. Alisnya pun panjang sehingga hampir bersambung satu sama lain. Hidung bengkok macam burung kukuk beluk. Mulutnya aneh, karena bibir bagian atas lebar tetapi yang bawah kecil sehingga tampak baris giginya yang putih. Sepintas pandang menyerupai orang hutan.

Sedang yang perempuan, bertubuh pendek kecil. Tingginya hanya sebatas perut si kakek. Alisnya tebal, mata besar dan hidung membiak lebar, menaungi mulutnya yang besar. Nenek itu mencekal sebatang tongkat Liong-thau-ciang atau tongkat Kepala naga. Tongkat lebih tinggi dari orangnya.

Siau-liong tertegun melihat keadaan kedua manusia aneh itu.

“Suhu," tiba-tiba Soh-beng Ki-su berteriak girang seraya lari menghampiri dan berlutut dihadapan kakek yang mirip orang hutan itu.

“Ayah, ibu....!" nona pemilik lembah pun berseru dan lari terus memeluk dada wanita kate.

Sambil membelai rambut puterinya dengan mesra, nenek kate itu menghibur, “Jangan takut, anakku. Ibumu tentu akan menghimpas penasaranmu!"

Kemudian nenek itu melangkah maju. Saat itu barulah Siau-liong menyadari akan surat peringatan dari orang baju hitam yang mengatakan bahwa kedua momok suami isteri itu sudah datang ke dalam lembah. Tak salah lagi, mereka tentulah suami-isteri Iblis Penaluk-dunia dan Dewi Neraka.

Nenek Dewi Neraka berhenti lima langkah di hadapan Siau-liong dan memandangnya dengan berapi-api. Tiba-tiba Dewi Neraka tertawa mengekeh.

"Heh, heh, setan tua Bu-kek, mengapa duapuluh tahun tak ketemu, engkau sekarang bertambah tinggi ......” tegurnya.

Siau-liong teringat bahwa kedua suami-isteri durjana itu adalah musuh bebuyutan dari Koay suhu atau Pendekar Laknat. Beberapa kali Koay suhu kalah oleh kedua momok itu.

Diam-diam ia menimang. Walaupun sekarang ia sudah memiliki tenaga sakti dari Koay suhu dan paham ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak, tetapi kedua momok itu tentulah juga sudah jauh lebih maju dalam ilmu kesaktiannya. Maka Siau-liong tak berani memandang rendah. Sambil kerahkan tenaga sakti, ia tertawa nyaring.

“Sekalipun berpisah hanya tiga hari tetapi harus meneliti lagi. Selama duapuluh tahun ini aku telah berhasil mempelajari semacam ilmu ajaib. Tubuhku dapat kupanjang-surutkan, kurus gemukkan menurut sekehendak hatiku. Pula aku dapat memperpanjang umurku sampai seribu tahun!" sahut Siau-liong.

Dewi Neraka terperanjat. Tetapi cepat ia tenang kembali. Ujarnya, “Hanya sayang makin tua engkau makin tak kenal malu. Buktinya, mengapa engkau tak malu menghina kedua muridku ini?"

Nenek itu mengguncangkan tongkatnya seperti hendak menyerang. Tetapi Iblis Penaluk-dunia cepat loncat mencegah. Lalu berkata kepada Siau-liong, “Setan tua Bu-kek, kuucapkan selamat engkau masih tetap awet muda dan tambah tinggi!"

'Ho, tak perlu memuji!" Siau-liong tertawa tawar.

Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka saling berpandangan. Agaknya mereka curiga atas sikap dan kata-kata Siau-liong.

Iblis Penaluk dunia kerutkan alis, tertawa sinis, “Dua puluh tahun tak ketemu, engkau banyak berubah. Kabarnya engkau punya sebuah ilmu baru lagi?"

"Ilmu jenis Bubuk-makan-kayu saja, masakan pantas dibanggakan," Siau-liong tertawa.

Sambil mengurut jenggot, Iblis Penaluk dunia berkata pula, “Isteriku telah mengundang seluruh kesatrya dunia persilatan supaya datang ke lembah sini untuk mengadu kepandaian. Rupanya engkau merupakan tetamu paling terhormat dari isteriku!"

"Jika isterimu yang mengundang, tiada alasan aku tak datang," sahut Siau-liong.

Iblis itu tertawa sinis, “Dapat atau tidaknya engkau hadir, tergantung bagaimana hasil peyakinanmu selama duapuluh tahun ini. Mungkin sejak saat ini, dunia akan kehilangan seorang momok yang disebut Pendekar Laknat!"

Tiba-tiba iblis tua itu menutup kata-kata dengan dorongkan kedua tangannya ke arah Siau-liong.

10. Persimpang Jalan …….

Siau-liong memang sudah menduga kemungkinan itu. Iapun sudah siap sedia. Cepat ia dorongkan kedua tangannya menyongsong.

Dahulu iblis Penakluk-dunia termasyhur dengan pukulan sakti Thay-kek-bu-wi-kangnya. Setelah memperdalam lagi selama duapuluh tahun, sudah tentu tenaga saktinya makin sempurna.

Dess ...... terdengar ledakan keras. Debu dan batu seluas beberapa meter, berhamburan keempat penjuru ......

Tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang dilancarkan Siau-liong berlandas kekerasan dahsyat. Sedang tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-kang dari iblis Penaluk dunia mengutamakan tenaga lunak.

Keduanya paling menggunakan delapan bagian tenaganya. Kesudahannya, mereka sama-sama terkejut. Ternyata tenaga sakti keduanya sama-sama lenyap. Tiada yang kalah dan menang.

Iblis Penaluk dunia paksakan tertawa, “Setan tua Bu-kek, dalam duapuluh tahun ini, hebat sekali kemajuanmu!"

Dalam berkata-kata itu, iblis Penaluk-dunia tetap pancarkan tenaga sakti ke arah tangannya dan menyerang.

"Bagus, bagus," seru Siau-liong seraya balikkan kedua tangannya menyambut.

Mereka saling adu tenaga dalam melalui sepasang tangan masing-masing. Sampai sepeminum teh lamanya, keduanya tetap tak bergerak. Tiba-tiba iblis Penaluk-dunia menggembor keras. Ia deliki mata. Tulang-tulang tubuhnya berderak-derak dan ia tambahkan lagi penyaluran tenaga dalamnya untuk mendesak Siau-liong.

Tampaknya Siau-liong tak kuat bertahan. Kedua lengannya pun sudah menjuntai ke bawah dan tubuhnya mulai condong ke belakang.

Toh Hun-ki dan keempat Su-lo serta Tiau Bok-kun menyaksikan pertempuran maut itu dengan berdebar-debar. Mereka mencemaskan keadaan Siau-liong. Jika Siau-liong kalah, merekapun takkan lolos dari tangan maut si iblis Penaluk-dunia.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa Siau-liong. Tubuh Pendekar Laknat itu tegak kembali dan bahkan dapat mendesak lawan ke belakang.
Sepeminum teh lamanya, wajah iblis yang semula merah segar, mulai tampak pucat lesi. Keningnya basah dengan keringat. Jelas tokoh itu hampir kehabisan tenaga.

Karena mengenakan kedok penyamaran sebagai Pendekar Laknat, maka perobahan air muka Siau-liong tak terlihat. Tetapi jelas, diapun berjuang mati-matian untuk bertahan.

Sekonyong-konyong terdengar getaran menggelegar dan tahu-tahu iblis Penakluk dunia serta Siau-liong sama-sama menyurut mundur sampai tujuh langkah. Debu dan pasir berhamburan hebat.

Kedua musuh itu tegak berdiri tak kurang suatu apa. Beberapa saat kemudian, barulah iblis Penakluk dunia berseru, “Setan tua Bu-kek, duapuluh tahun berselang, engkau menghalangi cita-citaku menguasai dunia persilatan. Kini duapuluh tahun kemudian, engkau tetap merupakan penghalangku yang utama ......”

Ia berhenti sejenak. lalu, “Tetapi keadaan sekarang berbeda dengan dulu. Asal engkau berani datang menghadiri pertempuran di dalam lembah, aku sudah sedia cara untuk menguburmu!"

Siau-liong tertawa nyaring, “Dalam hidupku tak pernah kutakut pada manusia siapa saja. Aku tentu datang."

Tiba-tiba tubuh iblis Penakluk dunia condong kemuka seperti mau rubuh tetapi segera tegak lagi. Setelah tertawa terkekeh-kekeh beberapa saat, ia ajak Dewi Neraka dan puteri serta muridnya masuk ke dalam lembah. Tak berapa lama mereka lenyap dari pandangan.

Saat itu hampir menjelang tengah malam. Siau-liong memandang rembulan cekung. Ia menghela napas dalam.

"Locianpwe....” Tiau Bok-kun lari menghampiri.

"Pendekar.... Laknat," Toh Hun-ki pun bersama keempat Su-lo menghampiri kemuka Siau-liong.

Siau-liong tak mengacuhkan. Ia duduk di tanah pejamkan mata.

Toh Hun-ki, Tiau Bok-kun dan keempat Su-lo tak berani mengganggu. Mereka tahu Pendekar Laknat seorang manusia aneh. Sukar diraba sepak terjangnya. Walaupun tadi telah menolong tetapi belum tentu dia tak berpaling haluan.

Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Siau-liong mengangkat kepala dan muntah darah.

"Locianpwe, apakah engkau terluka ......” Tiau Bok-kun berseru cemas.

Siau-liong mengiakan, “Ya, tetapi si iblis dunia itupun lebih berat dari aku!"

Toh Hun-ki buru-buru mengambil dua butir pil merah lalu diberikan kepadanya, “Pil buatan partai Kong-tong-pay ini. mempunyai khasiat mengembalikan ketenangan darah dan hawa murni ......”

“Plak....” tiba-tiba Siau-liong menampar jatuh pil itu dan membentak, “Siapa sudi makan pil pemberianmu"

Toh Hun-ki tersentak kaget. Bersama keempat Su-lo, ia mundur beberapa langkah. Ia duga momok itu tentu sedang kumat gilanya.

Tiau Bok-kun pun mengira demikian. Ia juga mundur dua langkah.

Tak berapa lama terdengar Siau-liong menghela napas pula.

Mendengar itu Toh Hun-ki memberi hormat seraya menghaturkan terima kasih, “Pemberian pil tadi berdasarkan rasa terima kasih kami yang tak terhingga kepada saudara."

"Pergi kau!" bentak Siau-liong, “aku tak butuh terima kasihmu. Jika saat ini kalian tak terluka, mungkin kalian sudah jadi mayat!"

"Silahkan saudara berkata apa saja. Tetapi karena merasa menerima budi, aku tak dapat tinggalkan saudara dalam keadaan terluka," sahut Toh Hun-ki, terus duduk di tanah diikuti keempat Su-lo.

Siau-liong pejamkan mata. Beberapa saat kemudian ia membentak bengis, “Toh Hun-ki!"

Ketua Kong-tong-pay itu mengiakan.

"Aku hendak minta engkau menyelidiki berita seseorang ......”

"Asal tenagaku mampu, tentu akan kulaksanakan," sahut Toh Hun-ki.

Siau-liong mengangguk, katanya, “Apakah pada sepuluh tahun yang lalu engkau kenal akan seorang lelaki yang bernama Tong Gun-liong?"

Toh Hun-ki terbeliak. Tong Gun-liong dikubur di gunung Hong-san. Dan ternyata Pendekar Laknat bersembunyi dibalik gunung itu. Mungkinkah mayat Tong Gun-liong itu Pendekar Laknat yang menguburnya? Demikian Toh Hun-ki mulai membayang kecemasan.

Tetapi Pendekar Laknat seorang iblis yang gila dan pendendam. Dia tak punya seorang sahabat pun juga. Tak mungkin dia mempunyai hubungan apa-apa dengan Tong Gun-liong. Mustahil dia mau mengubur mayat Tong Gun-liong.

"Lekas bilang, kenal atau tidak!" Siau-liong mengulang pertanyaannya.

"Tong Gun-liong adalah muridku ......” Toh Hun-ki tergagap lalu menghela napas. Sambil menghitung jari tangan, ia berkata pula, “Tetapi pada belasan tahun berselang, dia telah binasa di lembah Hok-liong-koh di gunung Hong-san."

"Mengapa?" Siau-liong tahankan air matanya.

Toh Hun-ki menghela napas panjang, “Memang kelalaianku sendiri sehingga tak mengetahui bahwa Tong Gun-liong diam-diam telah jatuh cinta kepada Ki Ih. Dari hubungan gelap, mereka melahirkan seorang anak lelaki dan....”

Toh Hun-ki terpaksa hentikan keterangannya karena mendadak Siau-liong menggembor keras dan muntah darah.

"Lanjutkan!" teriak Siau-liong.

Terpaksa Toh Hun-ki bercerita lagi, “Demi menjaga peraturan perguruan, kuputuskan tak mengakui pernikahan itu. Tetapi diluar dugaan Ki Ih marah dan mengamuk di Kong-tong-pay .......”

Ia berhenti sejenak untuk mengenangkan peristiwa itu lalu melanjutkan, “Pada saat itu, salju mulai turun dengan deras. Jalanan gunung penuh bertutupkan salju. Dalam kebingungan, Gun-liong membawa anaknya yang baru berumur belum cukup seratus hari itu melarikan diri. Tetapi dia tergelincir jatuh ke bawah karang yang curam dan binasa. Ki Ih menyusul lari dan tak ketahuan beritanya lagi .......”

"Kemunculan Ki Ih ke daerah Tiong-goan itu, tentu mencari balas pada kalian, bukan?" tukas Siau-liong.

"Benar," sahut Toh Hun-ki. Serentak ia teringat akan peristiwa digunung Tay-lian-san tempo hari. Bersama tokoh-tokoh Kay-pang, rombongan Toh Hun-ki berhasil mengepung dan melukai Ki Ih.

Tetapi tiba-tiba pada saat itu Pendekar Laknat muncul menolong Ki Ih. Diam-diam Toh Hun-ki menatap Siau-liong dengan rasa heran.

Siau-liong menggeram, “Jika putera Tong Gun-liong masih hidup, pantaskah dia menuntut balas kepadamu?"

Toh Hun-ki mengangguk, “Sudah tentu....”

Tiba-tiba Siau-liong tengadahkan kepala tertawa keras, “Toh Hun-ki, engkau telah membunuh jiwa seseorang. Apakah engkau tak menyesal atas peristiwa enambelas tahun yang lalu itu?"

Ketua Kong-tong-pay menghela napas, “Sebagai guru dan murid, sudah tentu aku bersedih. Tetapi dalam kedudukan sebagai seorang ketua perguruan yang menjaga ketertiban peraturan, aku tak menyesal sama sekali!"

Nada jawaban itu mengunjuk kewibawaan sebagai seorang ketua partai persilatan yang termasyhur.

Siau-liong merenung diam. Setelah menghela napas, ia berpaling ke arah Tiau Bok-kun, “Nona Tiau itu menderita terkena racun. Saat ini aku tak sempat merawatnya ......”

"Serahkan kepadaku yang mengobatinya," cepat Toh Hun-ki menanggapi.

"Tidak! Aku dapat merawat diriku sendiri.... mereka.... mungkin akan membunuhku!" cepat-cepat Tiau Bok-kun berseru.

Siau-liong tertawa hambar, “Mereka tak dapat dan tak mungkin berani berbuat begitu .......” berpaling kepada Toh Hun-ki, Siau-liong berkata lebih jauh, “Asal kalian mengantar nona itu kekota Siok-ciu dan dapat menyembuhkan lukanya, barulah kuanggap kalian telah membalas budiku tadi....” habis berkata Siau-liong terus berbangkit dan melangkah pergi.

Tiba-tiba berhamburan air mata Tiau Bok-kun, serunya, “Locianpwe....”

Siau-liong berhenti dan menanyakan.

"Apakah lukamu tak mengapa?" tanya nona itu penuh cemas.

Siau-liong paksakan tertawa, “Mati hidup sudah suratan takdir. Harap nona jangan kuatir ......” berkata sampai disitu, meluaplah rasa haru dalam hati Siau-liong sehingga air matanya hampir mencucur keluar. Buru-buru ia berpaling muka dan berjalan lagi.

"Harap tunggu dulu, aku masih hendak bicara kepada saudara," baru beberapa langkah Siau-liong berjalan, Toh Hun-ki sudah menghadangnya.

Siau-liong tertegun.

Toh Hun-ki mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain warna biru, katanya, “Bungkusan ini berisi separoh bagian dari Giok-pwe, sebuah pusaka yang menjadi milik Kong-tong-pay....”

Ia berhenti sejenak, melirik ke arah Tiau Bok kun, lalu melanjutkan pula, “Dan yang separoh bagian adalah milik nona Tiau itu.... Tetapi sayang telah dirampas Soh-beng Ki-su. Saat ini tentu sudah diserahkan kepada gurunya si iblis Penaluk dunia. Apabila kedua Giok-pwe dipersatukan, akan merupakan sebuah peta rahasia penyimpanan pusaka yang selama ini dikejar-kejar oleh kaum persilatan ......"

Kembali ia berhenti sejenak lagi lalu meneruskan, “Pusaka itu merupakan simpanan harta karun dan kitab pusaka yang tak ternilai harganya."

"Semut mati karena manisan, manusia karena harta. Aku tak ingin sama sekali pada harta dunia!" Siau-liong tertawa hina.

"Aku sendiri juga tak mementingkan harta," buru-buru Toh Hun-ki menerangkan, "tetapi dalam tempat penyimpanan pusaka itu, terdapat sebuah kitab. Konon kitab itu adalah karya dari Tio Sam-hong Cousu. Jika berhasil memperolehnya, tentu akan mendapat kesaktian yang hebat dan dapat membasmi kawanan durjana, membantu mengamankan dunia persilatan ......”

Ketua Kong-tong-pay itu berhenti sejenak, memandang Siau-liong lalu berkata pula, “Terus terang aku tak mampu mendapatkan separoh bagian dari Giok-pwe yang dirampas Soh-beng Ki-su itu. Maka hendak kuhaturkan separoh bagian giok-pwe itu kepadamu ......”

"Sebagai pembalas budi?" tukas Siau-liong.

"Aku hidup untuk kepentingan umat manusia dan bekerja demi amanat sesama kaum persilatan. Kumohon engkau muncul lagi dalam dunia persilatan untuk menyelamatkan bencana darah!" habis berkata ia angsurkan bungkusan berisi separoh Giok-pwe itu kepada Siau-liong.

Tetapi Siau-liong tak mau tergesa-gesa menyambuti. Katanya tertawa, “Apakah engkau percaya kepadaku? Mengapa engkau yakin aku takkan mencelakai dunia persilatan?"

Sambil menatap Siau-liong, Toh Hun-ki tertawa nyaring, “Mataku tak buta. Kupercaya penuh engkau pasti takkan mengecewakan tugas suci dunia persilatan ini!"

Namun Siau-liong masih bersangsi. Jika menerima pemberian Toh Hun-ki, musuh besarnya yang membunuh ayahnya, kelak ia tentu sulit untuk membalas dendam. Tetapi ucapan Toh Hun-ki itu memang menarik perhatiannya.

Ia tak menghiraukan segala harta karun. Hanya kalau, kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan manusia-manusia durjana, tentulah dunia persilatan akan terancam bencana kehancuran! Setelah meragu beberapa saat, akhirnya ia menerima juga pemberian itu.

"Semoga anda diberkahi keselamatan dan selamat jalan!" serasa lapanglah dada Toh Hun-ki setelah Siau-liong mau menerima.

Ia memberi hormat lalu memanggul Tiau Bok-kun yang masih pingsan dan terus pergi. Keempat Su-lo mengiring dibelakang.

Siau-liong tegak termenung-menung. Hatinya pepat sekali. Ingin ia tumpahkan air mata untuk melonggarkan kesesakan dadanya. Beberapa kali berjumpa dengan Toh Hun-ki tetapi setiap kali tentu tak dapat membalas dendam. Dan beberapa kali bersua dengan ibunya tetapi tentu terpisah lagi .......

Ia merasa kalau kepandaiannya sekarang sudah tinggi. Siapa tahu dalam pertempuran dengan iblis Penaluk dunia, ia telah menderita luka berat.

Dan teringat pula ia akan manusia aneh baju hitam. Jika orang itu tidak muncul memberi bantuan. kemungkinan saat itu ia sudah mati dalam kurungan barisan pohon bunga.

Siau-liong memandang ke balik batu besar. Setelah tak melihat suatu apa, ia berjalan menuruni lamping gunung. Melintasi lamping gunung itu, tibalah ia disebuah tanah datar. Sebuah anak sungai mengalir keluar gunung. Ia menurutkan aliran sungai kecil itu.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia teringat. Buru-buru ia membuka kedok muka sebagai Pendekar Laknat dan jubah hitamnya. Saat itu, ia menjadi Kongsun Liong lagi, ketua partai Kay-pang.

Lebih kurang dua jam lamanya, fajar mulai tiba. Yang tampak di empat penjuru hanya jajaran gunung. Ternyata ia tersesat jalan dan tak dapat keluar dari daerah belantara. Luka dalam tubuhnya mulai bekerja. Hampir ia tak kuat menahan tubuhnya yang terhuyung-huyung itu. Beberapa kali hampir rubuh.

Tiba-tiba ia ia melihat sebuah biara pada jarak sepuluh tombak disebelah muka. Dengan langkah terhuyung ia menuju biara itu. Ternyata sebuah biara yang rusak. Pada papan yang tergantung di atas pintu terdapat tulisan Ke-beng-si atau biara Ayam-berkokok.

Biara itu penuh dengan sarang gelagasi. Tembok bengkah-bengkah dan arca-arca berserakan di ujung ruang. Keadaannya mengenaskan sekali. Siau-liong harus lekas-lekas menyalurkan darah untuk mengobati luka dalamnya. Kalau terlambat ia pasti akan cacad selama-lamanya.

Tetapi Siau-liong meragu. Biara itu hanya terpisah sepuluhan li dari lembah Semi. Kedua suami isteri durjana itu setiap saat tentu dapat mencarinya kesitu. Apabila musuh mengetahui tempat persembunyiannya, tentu celakalah ia.

Dalam kegelisahan tiba-tiba Siau-liong melihat sebuah tempat yang tepat untuk bersembunyi. Ialah di ruang samping. Separoh wuwungan ruang samping itu rubuh. Tetapi separoh bagian belakangnya masih utuh. Tertutup oleh runtuhan tembok dan wuwungan, dibagian belakang ruang itu terdapat sebuah lubang berbentuk segi tiga.

Setelah yakin orang tentu sukar menduga tempat itu dipakai tempat bersembunyi, ia segera menyusup, menutup liang itu dengan keping papan dan tembok bengkah. Setelah rapat, ia mulai duduk bersemadhi menyalurkan darah. Berkat dasar tenaga dalamnya yang kokoh ditambah pula minum darah naga dipusar bumi serta buah som, dalam waktu sejam saja, darahnya yang bergolak itu dapat ditenangkan.

Cepat sekali delapan jam telah lewat. Empat jam lagi, lukanja tentu sembuh. Saat itu hari petang. Angin reda dan turunlah hujan. Tak berapa lama tiba-tiba ia mendengar langkah kaki yang halus masuk ke dalam ruang situ. Ia duga tentulah pemburu yang meneduh. Selekas hujan berhenti, orang itu tentu pergi.

Diluar dugaan, setelah mondar-mandir beberapa saat, orang itu berseru kaget dan terus menuju ke ruang samping. Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat dan masuk ke dalam ruang samping. Siau-liong terkejut sekali.

Saat itu penyaluran tenaga dalamnya sedang mencapai puncak ketegangan. Dalam keadaan seperti itu, cukup seorang biasa saja, sekali dorong tentu dapat merubuhkan Siau-liong. Dia akan cacad bahkan bisa mati.

Akhirnya ia menyerah pada nasib. Jika memang ditakdirkan mati, apa boleh buat. Dengan kebulatan pikiran itu, ia mulai tenang dan menjalankan penyaluran darah lagi.

Pendatang itu agaknya tertegun lalu tertawa pelahan seraya menghampiri ke tempat Siau-liong.

Siau-liong pun merasa bahwa orang itu telah berada dibelakangnya.

“Tring....” orang itu mencabut pedang. Seketika terdengar keping-keping papan dan tembok berhamburan tertabas pedang.

"Habislah riwayatku....” diam-diam Siau-liong mengeluh.

Saat itu ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah nasib saja, Tetapi heran. Sampai sekian saat belum juga terjadi sesuatu. Rupanya orang itu batalkan maksudnya membunuh.

Lebih kurang sepeminum teh lamanya, Siau-liong mendengar orang itu menyarungkan pedang kembali. Dan menyusul terdengar suara celana wanita berteliku duduk tak jauh dari tempatnya. Ketegangan Siau-liong mereda. Jelas pendatang itu tiada bermaksud jahat kepadanya.

Selang empat jam kemudian, selesailah penyaluran Siau-liong. Lukanya hampir sembuh sama sekali. Begitu membuka mata, pertama-tama ia ingin mengetahui siapakah gerangan pendatang itu. Cepat ia berpaling dan ...... astaga! Orang itu sudah lenyap.

Setelah menghela napas panjang, ia berbangkit. Ternyata hujan sudah berhenti. Ruang penuh air, tubuhnya pun penuh kotoran debu. Tiba-tiba hidungnya terbau daging bakar yang wangi.

Buru-buru ia berpaling. Dimeja sembahyang tampak seonggok api yang belum padam. Di atas api terdapat segumpal daging rusa. Karena sehari suntuk tak makan, air liurnya pun menitik keluar.

Ketika hendak mengambil daging rusa itu, tiba-tiba sesosok tubuh langsing menerobos masuk. Girang Siau-liong bukan kepalang. Orang itu bukan lain Pek Ciang-wi atau si Mawar Putih. Dara itu tengah membawa sebuah tempat dupa yang diisi air. Buru-buru Siau-liong menghampiri dan menyambutinya, “Ah, kiranya engkau....”

"Sudah sembuh?" tanya dara itu.

Siau-liong mengiakan.

"Mengapa engkau terluka?"

Siau-liong tergugu tak dapat menerangkan. Waktu bertempur dengan iblis Penakluk dunia, ia menyamar sebagai Pendekar Laknat. Tetapi sekarang ia sudah kembali menjadi Kongsun Liong lagi. Sulit ia menuturkan peristiwa itu. Karena tak biasa bohong, merah padamlah muka pemuda itu.

Untung dara itu tak mau mendesaknya. Sambil menuding ujung hidung Siau-liong, ia berkata, “Sungguh besar nian nyalimu. Jika semalam yang datang bukan aku ...... tentu jiwamu sudah melayang!"

Siau-liong tertawa meringis. Buru-buru ia alihkan pembicaraan menanyakan tentang daging rusa bakar.

"Bagaimana?" Mawar Putih tersenyum manis.

"Sungguh harum sekali! Tak kira engkau pandai sekali masak," Siau-liong memuji.

Rupanya dara itu senang hatinya. Ia segera ajak Siau-liong duduk dimuka meja dan menikmati daging rusa bakar. Siau-liong makan dengan lahap. Selesai makan, haripun sudah fajar.

Mawar Putih memandang Siau-liong lalu memandang dirinya sendiri. kemudian tertawa geli,

“Ah, engkau ketua Kay-pang, sudah tentu seorang pengemis tua. Tetapi aku ......”

Kiranya karena menemani Siau-liong makan dan mengobrol sampai setengah malam, muka dan pakaian si dara berlumuran kotoran.

"Makan daging bakar dan minum air kotor sekalipun bukan pengemis tetapi tentu bangsa manusia liar ......” Siau-liong tertawa.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan buru-buru berpaling. Mawar Putih pun tertawa. Tiba-tiba ia juga hentikan tertawanya dan menghela napas panjang.

Sudah tentu Siau-liong heran, tegurnya, “Mengapa engkau tiba-tiba bermuram durja?"

Sejenak menatap Siau-liong, dara itu gelengkan kepala, “Ah, aku teringat kalau suhuku sudah datang. Belasan tahun aku tak pernah berpisah dengan beliau. Sekarang tak tahu bilakah aku dapat berjumpa lagi dengan suhu ......”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar