Pendekar Laknat Jilid 1-10
1. Pusar Bumi
MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA?
Demikian pertanyaan yang
selalu menghuni dalam benak Siau-liong, jejaka berumur 16 tahun yang sedang
belajar pada Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsin To.
Mengapa gurunya melarang ia
untuk menuntut balas atas kematian ayahnya....? Kata gurunya, larangan itu
adalah pesan terakhir dari ayahnya, pada saat hendak menghembuskan napas
terakhir.
Mengapa mendiang ayahnya
berpesan begitu? Dan mengapa pula gurunya melarang ia berkeliaran ke balik
gunung? Sudah 10 tahun lamanya, pertanyaan itu mencengkam pikirannya, tanpa
penyelesaian.
Saat itu gurunya sedang pergi
memetik daun obat kelain tempat. Sebelumnya, Siau-liong telah dipesan supaya
jangan berkeliaran ke balik gunung dan supaya tiap hari giat berlatih silat
saja. Entah bagaimana saat itu, timbullah keinginan Siau-liong untuk mengetahui
apakah dibalik rahasia dari larangan gurunya itu.
Tentang kematian ayahnya,
menurut keterangan gurunya, telah dibunuh oleh To Hun-ki, ketua partai
Kong-tong-pay. Tong Gun-liong, demikian nama ayah Siau-liong, adalah murid
kesayangan To Hun-ki. Demikian keterangan sekedar yang diberikan gurunya
Siau-liong, mengenai kematian ayahnya.
Tetapi mengapa ayah Siau-liong
sampai dibunuh oleh gurunya sendiri, Kongsun Sin-to tak tahu. Diam-diam
Siau-liong, berjanji dalam hati, kelak akan menyelidiki rahasia pembunuhan
ayahnya itu sampai jelas.
Rupanya memang sudah menjadi
sifat manusia. Makin dilarang makin ingin tahu. Dan pada usia menjenjang dewasa
itu, darah Siau-liong memang panas-panasnya. Serentak ia memutuskan untuk meninjau
tempat dibalik gunung itu.
Ternyata jalan di bagian
belakang gunung yang didiami itu, merupakan sebuah jalan buntu. Terputus oleh
sebuah jurang yang curam.
Setelah puas meninjau keadaan
sekeliling tempat itu, karena hari sudah sore, iapun pulang.
Pada keesokan harinya, barulah
ia datang lagi dan mulai melakukan penyelidikan. Disitu terdapat sebuah mulut
gua. Bentuknya macam kerucut, atas sempit bawah lebar. Ketika mengamati, ia
terkejut. Di atas mulut gua terdapat tiga buah ukiran huruf:
"Lembah penasaran"
Kini Siau-liong menyadari apa
sebab gurunya melarangnya kesitu. Tetapi Siau-liong makin tertarik. Adakah gua
itu dihuni orang?
Ia hendak memasuki gua itu.
Tiba diambang mulut gua, sehembus angin dingin meniup sehingga ia menggigil.
Teringat akan pesan gurunya, ia bergegas hendak keluar. Tetapi ia tertegun
ketika melihat kedua sisi pintu gua terdapat beberapa ukiran huruf, berbunyi:
"Laut dendam, sukar
ditimbuni.
Siapa masuk tentu mati".
Sesaat ia gemetar tetapi pada
lain saat bangkitlah kepanasan hatinya. Sombong dan kejam benar orang itu.
Demikian anggapannya.
Sekonyong-konyong ia
dikejutkan oleh gelak tawa yang menggeledek. Serentak angin kuat menabur
Siau-liong sehingga anak itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Buru-buru
ia berusaha untuk menenangkan darahnya yang mendebur keras.
Setelah tenang ia memandang
kemuka. Ah, ternyata gua itu mempunyai penghuni. Setombak di atas mulut gua,
terdapat sebuah lubang besar. Ditengah lubang duduk seorang tua aneh tengah
tertawa. Tangannya mencekal sekerat daging yang masih berlumur darah. Tampak ia
menikmati daging itu dengan lahapnya....
Orang aneh itu berbangkit dan
menghampiri kepintu gua. Siau-liong makin menggigil. Perwujutan orang itu amat
menyeramkan sekali. Manusia tetapi menyerupai iblis. Iblis tetapi ternyata
manusia. Mungkin di dunia tiada manusia yang lebih seram dari dia.
Dan Walaupun berdiri, tetapi
orang aneh itu hanya setinggi orang biasa sedang duduk. Pahanya pendek sekali
tetapi telapak kakinya amat lebar. Sepasang tangannya menjulur ke bawah sampai
hampir mencapai lutut. Dadanya bidang, leher pendek dan kepala besar. Sepasang
matanya berkilat-kilat tajam hampir tertutup oleh rambutnya yang kusut masai.
"Uh, sial, lebih baik
pulang saja," gerutu Siau-liong seraya hendak ayunkan langkah.
Tiba-tiba orang aneh itu
menampar dan setiup angin keras melanda Siau-liong sehingga ia terdampar ke
belakang lagi. Punggungnya terasa sakit. Sebelum ia sempat berdiri tegak, orang
aneh itu sudah melayang kehadapannya.
“Ha .. ha .. ha Seorang
penghuni baru lagi! Sekali Raja Akhirat datang, jangan harap dapat minta tempo.
Budak, lihatlah tanganku!"
Orang aneh itu julurkan
sepasang tangannya. Bermula warnanya putih tetapi segera berobah merah lalu
didorongkan. Setiup angin berbau anyir, menghambur ke arah Siau-liong.
Siau-liong menghindar ke
samping. Dess.... tiba-tiba batu yang berada di belakang, mendesus seperti
hangus terbakar api dan pecah berantakan.
"Heh, heh....” orang aneh
itu tertawa mengekeh. Lalu lepaskan empat buah pukulan lagi.
Siau-liong terpaksa mundur dan
tanpa disadari ia telah masuk ke dalam lingkungan batu-batu yang berserakan.
“Dar, dar, dar ......,”
delapan buah pukulan dilepaskan orang aneh itu lagi.
Untunglah Siau-liong dapat
menghindari. Tetapi batu-batu yang tak menentu bentuknya itu pecah berhamburan
ke segenap penjuru!
Jelas orang aneh itu memang
tak bermaksud menghancurkan Siau-liong. Setiap kali tentu memberi kesempatan
supaya anak itu dapat menghindar. Siau-liong menyadari juga hal itu. Tetapi
lama kelamaan, marah ia. Diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam, siap mengadu
kekerasan.
Rupanya orang aneh itu
mengetahui maksud Siau-liong. Diluar dugaan, ia berhenti memukul dan tertawa
memanjang....
Siau-liong makin marah. Tetapi
ketika memandang ke muka, ia terkejut, “Celaka, mati aku sekarang!"
Ternyata dalam pandangannya,
orang aneh itu telah pecah menjadi empat orang yang berdiri diempat penjuru.
Tangannya yang merah, mengacung ke atas dalam sikap hendak memukul.
Tetapi anak itu sudah bertekad
mengadu jiwa. Dihantamnya orang aneh itu. Hai.... ia terlongong-longong. Hampir
ia tak percaya apa yang dilihatnya. Hantamannya itu mengenai segunduk batu
besar dan batu itu pecah berantakan. Dan orang aneh itupun lenyap.
Sebelum tahu apa yang terjadi,
tahu-tahu bahunya sebelah kanan terasa panas sekali. Cepat ia mengendap lalu
berputar mundur ke belakang. Ah. kiranya orang aneh itu sudah berada di
belakang!
"Budak, engkau adalah
calon setan. Kematianmu sudah hampir tiba. Tetapi rupanya engkau masih
penasaran kalau belum mengadu pukulan!" seru orang aneh itu tertawa
menyeringai.
Lalu pelahan-lahan ulurkan
tangan kiri. Telapak tangannya yang berwarna hitam, menimbulkan rasa ngeri.
Siau-liong menggigil. Tetapi
Kenekatannya pun bangkit. Dess.... ia menghantam. Tetapi pukulannya itu seperti
jatuh ke dalam laut. Hilang lenyap dayanya.
Siau-liong terkejut. Tiba-tiba
setiup angin keras melanda dirinya. Angin itu ternyata berasal-asal dari
refleksi pukulannya tadi. Uh, uh, uh.... mulutnya mendesus ketika tubuhnya,
terpental beberapa langkah ke belakang. "Bluk", ia jatuh terduduk dan
muntah darah.
Orang aneh itu tertawa
mengukuk, “Budak, mengapa engkau tak berguna sekali? Hayo, bangunlah!"
Siau-liong membulatkan tekad.
Kalau mati, ia harus mati secara kesatria. "Wut", sekali tangannya
menekan tanah, ia melenting ke udara. Hai.... ia merasa tentu menderita luka
tetapi mengapa sedikitpun tak merasa sakit?
Orang aneh itu maju
menghampiri dan Siau-liong terpaksa mundur. Tetapi saat itu ia sudah terdesak
sampai di tepi telaga yang terbentang di belakang lembah itu.
"Laut Penasaran"
Demikian bunyi tiga huruf yang
terbentang di tepi telaga itu. Siau-liong terbeliak kaget. Teringat ia akan
kata-kata orang aneh itu, “Laut Penasaran, sukar ditimbuni....”
"Adakah dia hendak
lemparkan aku ke dalam telaga ini?" pikirnya.
Orang aneh itu tertawa
mengekeh, “Hai, budak, engkau ingin mati atau tidak?"
Menyadari bahwa dirinya takkan
terluput dari kematian, semangat Siau-liong malah menyala. Dia tak takut mati.
Dengan berani ia menatap orang aneh itu, serunya, “Setan tua, engkau ingin mati
atau tidak?"
Jawaban Siau-liong itu membuat
si orang aneh tertawa gelak-gelak, “ Bagus, bagus, tepat sekali jawabanmu
itu!"
Siau-liong terkesiap.
"Budak, engkau berbakat
hebat sekali. Jika tidak, engkau tentu sudah mampus termakan pukulanku
tadi....” seru orang aneh pula, "pukulanku Bu-kek-sin-kang tadi,
mengandung tenaga keras campur lunak. Jika engkau bukan seorang perjaka tulen,
jangan harap engkau mampu menerimanya!"
"Aku benci semua manusia
di dunia!" seru orang itu lagi, “tetapi hari ini aku benar-benar bingung.
Betapapun halnya engkau tak boleh merusak peraturan lembah ini. Ya, engkau
harus mati satu kali!"
Melihat sinar mata orang aneh
itu agak ramah, nyali Siau-liong makin bertambah. Serunya,
“Setan tua, aku benci kepada
orang yang telah membunuh ayahku! Katakanlah, bukankah engkau juga harus ku
benci "
"Jangan bermulut
tajam!" hardik orang aneh itu, “kusuka akan perangaimu yang baik. Engkau
dengar tidak? Aku hanya menyuruhmu mati satu kali saja!"
"Setan tua, masakan aku
dapat mati beberapa kali?" teriak Siau-liong.
"Bagus! Engkau memanggil
aku setan tua dan kupanggilmu budak kecil. Kita sama-sama tidak
merugikan," kata orang aneh itu, “budak kecil, sudah tentu orang hanya
mati satu kali saja."
"Sekali mati, habislah
riwayatnya!" seru Siau-liong.
"Belum tentu," sahut
si orang aneh, "mungkin masih mempunyai kesempatan hidup lagi!"
"Aku tak mengerti
ucapanmu." Siau-liong kurang senang.
Sejenak orang aneh itu
merenung, lalu berkata, “Pertama, engkau harus terjun ke dalam Laut Penasaran
itu. Bukan untuk menimbuni karena kupercaya engkau dapat muncul kembali. Kedua,
akan kuberimu ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang. Dan ketiga, engkau tak boleh
menanyakan diriku siapa. Dan jangan menceritakan diriku kepada siapapun juga,
bahkan kepada gurumu!"
"Locianpwe," karena
melihat orangtua aneh itu ternyata tidak buas, maka Siau-liong pun berganti
dengan menyebut locianpwe, "yang pertama aku dapat menerima. Tetapi yang
kedua, aku tak sanggup!"
Orang aneh itu kerutkan kening
lalu tertawa lebar, “Hm, sekarang engkau berganti nada. Memang tak salah
penilaianku bahwa engkau ini seorang anak muda yang berguna. Kusenang akan
kejujuranmu. Kutahu si tua Kongsun itu gurumu. Maka engkau segan berguru pada
lain orang. Jangan kuatir, akupun tak ingin mengambil murid engkau. Melainkan
hendak memberimu sebuah ilmu pukulan sakti!"
"Tetapi itu berarti suatu
ikatan guru dan murid. Ah, tak mau!" Siau-liong menolak.
"Bagus, aku suka akan
kekerasan kepalamu!" seru si orang aneh, “aku sendiri seorang yang keras
kepala. Sekarang bertemu dengan seorang budak yang keras kepala. Apakah ini
bukan jodoh namanya."
Orang aneh itu sebenarnya
seorang momok durjana yang terkenal. Ia membunuh jiwa manusia seperti memitas
nyamuk-nyamuk saja. Tetapi anehnya, berhadapan dengan seorang anak yang berani,
cerdik dan berbakat bagus, seketika timbullah rasa suka.
"Baiklah," katanya,
“kita tinggalkan dulu syarat kedua itu. Sekarang kita laksanakan syarat yang
pertama!"
Entah bagaimana, Siau-liong
berganti kesan kepada orang aneh itu. Segera ia hendak membuka baju.
Tetapi orang aneh itu cepat
mencegahnya, “Tunggu dulu Akan kusaluri tenaga dalam dulu kepadamu. Jika tidak,
jangan harap engkau dapat muncul ke daratan lagi!"
"Tidak." Siau-liong
menolak, “beritahukan saja apa yang harus kulakukan dalam telaga itu. Segera
aku hendak mencebur kesana."
"Budak, engkau ingin mati
tidak?" tegur orang aneh itu dengan mata memberingas.
"Setan tua, engkau
benar-benar menusuk perasaanku. Lebih baik aku mati dari pada dihina."
"Jangan
tergesa-gesa," kata orang aneh itu, "Laut itu merupakan mulut sebuah
gunung berapi yang sudah padam. Lahar yang membeku selama ratusan tahun, telah
memancarkan sumber air yang luar biasa dinginnya. Orang pasti kaku seketika
apabila menyilam disitu.”
"Aku?"
"Banyak perjaka tetapi
jarang yang tubuhnya mengandung hawa Tun-yang seperti engkau. Bagimu, tidaklah
sukar untuk menghadapi tempat semacam itu. Tetapi dengan kepandaian yang engkau
miliki sekarang ini, jangan harap engkau mampu ke dasar bumi untuk mengambil
pusaka yang tak ada tandingannya di dunia persilatan!"
"Pusaka?"
"Berpuluh tahun aku
bersembunyi disini, hanyalah karena hendak menunggu pusaka itu. Sejenis
binatang bersisik, mirip dengan Kilin (warak) dan naga. Aku sendiri belum
jelas. Binatang itu telah menerima sari sinar matahari dan rembulan, ditambah
pula dengan menghisap hawa Im dan Yang dalam kerak bumi. Apabila muncul,
binatang itu memancarkan sinar pelangi yang menyilaukan, Tetapi dia gesit
sekali hingga aku selalu gagal menangkapnya!"
"Benarkah?"
Siau-liong menegas.
"Benar! Apa engkau pernah
melihat juga?"
"Sepuluh hari yang lalu,
kulihatnya sinar kemilau itu memancar dari kawah gunung!"
Orang aneh itu menghela napas,
“Ah, saat itu dia terlalu cepat sekali. Begitu muncul terus lenyap lagi. Ah,
jika aku berhasil memperoleh mustika dalam mulutnya, di dunia tentu tiada yang
dapat menandingi aku lagi. Akan kutumpas semua manusia yang kubenci!"
"Ah, lebih baik kalau
engkau jangan menemukannya!"
"Mengapa?" orang
aneh itu heran.
"Aku tak mau mencarinya
" sahut Siau-liong.
"Heh, engkau lupa?"
orang aneh itu menggeram buas.
"Lupa apa?"
"Siapa masuk lembah ini
harus mati!"
Siau-liong tertawa, “Sama
sekali tidak lupa. Tetapi lebih baik aku yang mati seorang daripada menelan
banyak korban."
"Engkau seorang budak
kecil tetapi nyalimu besar sekali. Baiklah. aku mengalah. Turunlah ke dalam
laut itu. Berhasil mendapatkan mustika itu atau tidak, aku takkan menyesalimu.
Nah, bagaimana?"
Siau-liong setuju. Orang aneh
itu segera menyuruhnya duduk bersila Kemudian ia lekatkan tangannya kepunggung
Siau-liong. Seketika itu Siau-liong rasakan sekujur tubuhnya dijalari hawa
hangat. Makin lama makin panas sampai mandi keringat.
Tiba-tiba orang aneh itu
menyepak pinggangnya. Huak.... Siau-liong muntah darah dan pingsan.
Orang aneh itu cepat mengurut
dan menyalurkan hawa murni ke tubuh Siau-liong. Lebih kurang sejam lamanya,
baru ia berhenti. Tubuhnya mandi keringat, napas terengah-engah. Duduklah ia
bersemedhi.
Ketika sadar, Siau-liong
terkejut melihat keadaan orang aneh itu. Tak lama kemudian orang aneh itupan
membuka mata. Ia tampak lelah.
"Seumur hidup, baru kali
ini aku melakukan kebaikan. Sejak saat ini, matipun aku takkan penasaran,"
ujar orang itu pelahan.
"Cianpwe, engkau
mengapa?" Siau-liong heran.
"Sekarang pergilah engkau
mengambil mustika itu. Walaupun berhasil mendapatkan, tetapi akupun bukan tokoh
yang tiada tandingannya di dunia "
Mendadak timbul rasa iba
dihati Siau-liong. Serunya rawan, “Cianpwe, apakah maksud ucapanmu itu?"
"Tadi telah kusalurkan
hawa sakti ke dalam tubuh sehingga jalan-darah Tok-djinmu terbuka. Tak kepalang
tanggung, kuberimu ilmu sakti Bu-kek-sin-kang juga."
Siau-liong terbeliak kaget.
Sesaat ia termenung-menung. Baru saat itu ia menemukan pribadi yang
sesungguhnya dari orang aneh itu. Ternyata baik dan luhur budi. Serta-merta ia
berlutut memberi hormat, “Suhu, Siau-liong akan mencari mustika itu."
Orang aneh itu mengangguk
puas.
Siau-liong segera loncat ke
dalam Laut Penasaran, "blung" ia menggigil. Andaikata ia belum
mendapat saluran tenaga-sakti orang aneh itu, pasti ia akan mati kedinginan.
Air dalam telaga yang dinamakan Laut Penasaran itu, memang luar biasa dinginnya.
Pertama-tama matanya tertumbuk
akan suatu pemandangan yang ngeri. Berpuluh tengkorak manusia berserakan di
dalam telaga.... Adakah mereka mati sendiri atau dilempar kesitu oleh si orang
aneh?
Telaga itu hanya dua tiga
puluh tombak lebarnya. Tetapi amat dalam sekali. Makin ke bawah, makin sempit,
Kira-kira 100 tombak dalamnya, terdapat sebuah gua. Aneh! Gua itu kering tiada
airnya sama sekali....
Siau-liong menghampiri gua
itu. Hawanya dingin sekali dan terdapat penerangannya pula. Beberapa
tumbuh-tumbuhan terdapat hidup digua itu. Menilik susunannya. tentulah ditanam
orang. Jenis tanaman yang tumbuh disitu, jarang terdapat di dunia. Daunnya ada
yang biru kehijau-hijauan seperti batu kumala. Batangnya seperti jenggot naga
dan bentuk daunnya menyerupai ekor burung cenderawasih. Bunganya seperti
butir-butir mutiara....
Tampak sebuah cekung berisi
air jernih. Penuh dengan benda-benda warna merah zamrud yang tak henti-hentinya
lalu lalang kian kemari.
Siau-liong teruskan langkah
kemuka. Tak berapa jauh, ia tiba disebuah gua lagi. ia makin terkejut. Dalam
gua itu penuh dengan lentera yang bergerak-gerak naik turun, mendekat dan
menjauh. Siau-liong menyambar lentera yang kebetulan menghampiri ke arahnya.
Tetapi selalu luput. Lentera-lentera itu bagaikan jinak-jinak merpati.
Dihampiri, menjauh. Dijauhi, mendekat....
Gua makin menanjak ke atas.
Setelah berjalan agak lama, ia memperhitungkan, tentu sudah berada diluar
Lembah Penasaran.
Tiba-tiba suasana terang
benderang. Ia tiba di sebuah ruangan yang terang. Begitu masuk ia terbeliak
kaget. Di atas sebuah ranjang batu duduk bersemedhi sesosok ....... tengkorak.
Lehernya terlingkar seutas rantai perak dengan sebuah tong-pay (lencana)
berukir tengkorak bersemadhi.
Pada dinding di belakang
tengkorak itu terdapat empat buah huruf:
"Ilmu pukulan
Thay-siang-ciang."
Dibawahnya tertera lima buah
gurat-gurat lukisan. Kemudian ditengah ruangan, tampak sebuah tambur batu yang
besar. Permukaan tambur batu penuh dengan guratan huruf yang bersembunyi:
"Barang siapa masuk
kemari, tanda berjodoh. Selain tong-pay dan ilmu pukulan Thay-siang ciang, pun
di atas permukaan batu ini tumbuh sebiji buah Im-yang-som. Dapat menambah
panjang umur dan tenaga-sakti. Buah itu tak boleh dibiarkan sampai masak. Harus
cepat dimakan. Dan hanya diperuntukkan orang yang benar-benar berjodoh".
Terlintas dalam benak
Siau-liong. Andaikata tak berhasil memperoleh mustika, asal mendapat buah ajaib
itu, iapun dapat menolong memulihkan tenaga si orang aneh.
Tambur batu tak kurang dari
seribu kati beratnya. Dengan kerahkan tenaga, ia mendorong. Terdengar bunyi
gemuruh menggetarkan bumi dan tiba-tiba pintu gua itu tertutup rapat. Ternyata
tambur batu itu merupakan alat penutup dan pembuka pintu gua.
Dibawah tambur terdapat pula
beberapa tulisan:
"Pintu gua telah
tertutup. Tetapi jangan takut. Gua ini penuh persedian makanan. Yakinkanlah
ilmu pukulan Thay-siang-ciang sampai sempurna, tentu dapat membuka lantai batu
ini dan dapatkan buah Im-yang-som. Setelah makan, tenagamu tentu bertambah sakti.
Hancurkan pintu gua dan engkau pasti akan menjagoi dunia"
Siau-liong gelisah sekali.
Sampai beberapa lamakah ia harus tinggal dalam gua situ? Tetapi apa daya.
Satu-satunya jalan, ia harus menurut apa yang tertera dalam tulisan itu.
2. Siapa Bu-kek Gong-mo .....
?
360 hari lamanya, Siau-liong
tinggal dalam gua. Tak disangkanya bahwa walaupun hanya terdiri dari lima
jurus, tetapi ternyata ilmu pukulan Thay-siang-ciang itu memerlukan waktu
setahun untuk meyakinkan.
Untung sebelumnya ia sudah
mendapat saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dari orang aneh itu. Kalau tidak,
entah berapa tahun lagi ia baru berhasil mempelajarinya.
Kini ia meningkat 16 tahun
umurnya. Bertubuh tinggi besar, sehat dan kuat. Pada hari terakhir setelah
mengerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, ia melenting dan lontarkan pukulan
Thay-lok-im-kong. "Pyur", amblonglah lantai batu yang menutupi buah
ajaib itu.
Lubang dibawah lantai hanya
beberapa meter dalamnya. Tampak sebuah benda menyerupai pohon Sian-jin-ciang
atau Telapak Dewa. Daunnya hanya dua helai, berwarna biru kehijau-hijauan.
Pada batang pohon terdapat dua
biji buah sebesar telur burung. Satu merah, satu putih. Buah itu memancarkan
sinar gemilang dan bau yang harum sekali.
Buah yang merah mengandung
tenaga Yang dan buah yang putih tenaga Im. Hanya ditempat yang disaluri air
pusar bumi, barulah buah itu dapat tumbuh.
Segera dipetiknya terus
dimakan. Seketika ia rasakan tubuhnya hangat dan semangat segar. Kemudian ia
duduk bersemadhi menyalurkan darah.
Beberapa waktu kemudian, ia
loncat bangun dan menghantam pintu gua. Dar.... pintu jebol dan terbukalah
sebuah lubang. Girangnya bukan kepalang.
"Suhu!" serta-merta
ia berlutut memberi hormat kepada tengkorak yang duduk di ranjang batu itu.
Setelah itu baru ia menerobos
keluar. Ia terkejut ketika melihat seekor makhluk yang berkemilau dan
menyiarkan bau luar biasa wanginya.
Cepat ia memburu keluar.
Seekor binatang yang agak lebih kecil dari kuda, bersisik dan bertanduk satu,
menyerupai binatang Kilin, tengah muncul dan menyadap butr-butir mutiara dalam
air.
"Wut". Siau-liong
cepat ayunkan tubuh kepunggung. Tetapi binatang itupun luar biasa gesitnya.
Secepat kilat binatang itupun menyusup ke dalam pusar bumi....
Siau-liong terus mengejar
sampai disebuah tempat yang dindingnya gilang gemilang. Tetapi hampir setengah
hari ia berputar-putar menjelajahi sekeliling tempat itu, tetap tak dapat
menemukan binatang aneh tadi.
Ia memutuskan harus dapat
memperoleh binatang itu. Kalau gagal, orang aneh yang telah melepas budi
kepadanya itu tentu tetap sengsara. Mati atau hidup, binatang itu harus dapat
ditangkapnya.
Dengan kerahkan tenaga ia
mulai menghantam. Dinding yang mengkilap macam es hancur berantakan, tetapi
sebelum ia memukul lagi, tiba-tiba binatang aneh itu muncul terus menyerbunya.
Siau-liong cepat menghindar seraya menyambar tanduk binatang itu. Binatang itu
berontak sekuat-kuatnya. Kedua kakinya melentik-lentik tubuh orang.
Terpaksa Siau-liong lepaskan
tanduk dan berputar menyambar ekor binatang itu. Tetapi sekali kibas, ekor itu
menghilang dan tahu-tahu binatang itu menyepakkan kaki ke belakang kepunggung
lawan.
Pertempuran seorang manusia
dengan seekor binatang aneh dalam kerak bumi, telah berlangsung seru sekali.
Binatang itu memiliki tanduk dan gigi yang runcing. Begitu pula kaki dan
ekornya. Merupakan senjata yang berbahaya. Sekali kena, orang tentu hancur
tubuhnya.
Tiba-tiba Siau-liong mendapat
akal. Cara bertempur semacam itu, tak mungkin ia dapat menundukkan lawan. Ia
berganti siasat.
Tiba-tiba ia menyelundup ke
bawah perut binatang lalu menjepit perut binatang itu dengan kedua kakinya.
Binatang itu terkejut dan meronta melepaskan diri. Tetapi tak mampu. Akhirnya
binatang itu gulinglan diri ke tanah.
Tetapi Siau-liong tak mau
kalah pintar. Dengan gunakan jurus Ikan-melenting-ke udara, ia melambung ke
udara terus hendak menginjak binatang itu. Tetapi ternyata binatang itu luar
biasa gesit dan cekatannya. Sesaat kemudian Siau-liong lepaskan cekalannya,
secepat itu pula ia menggeliat bangun dan menyusup ke dalam ruang es....
Siau-liong mengejarnya. Lorong
makin lama makin sulit dilalui. Naik turun, berkeluk-keluk. Dan ketika ia
hampir berhasil menyusul, tiba-tiba binatang itu kibaskan ekor menyabat dinding
ruang.
“Pyur....!" dinding
hancur dan Siau-liong terpaksa hentikan larinya.
Tiba-tiba binatang itu
mengangakan mulut sebutir benda merah meluncur keluar. Warnanya gilang gemilang
indah sekali!
Itulah mustika yang dikatakan
si orang aneh tempo hari. Siau-liong putar otak untuk merancang siasat.
Tiba-tiba serangkum angin panas dan mustika itu melayang ke arahnya.
Siau-liong menyongsong dengan
jurus Thay-lo-kim-kang. Hendak disambarnya mustika itu tetapi ternyata benda itu
seolah-olah mempunyai mata. Hantaman Siau-liong bahkan menambah kedahsyatan
mustika itu yang melaju pesat sekali ke arah Siau-liong.
Siau-liong cepat mengganti
dengan jadi pukulan. Setelah mustika itu agak pelahan, ia loncat kesamping.
"Bum....” sebuah tiang ruangan hancur terkena pukuluan Siau-liong. Langit
ruangan berhamburan gugur dan binatang aneh itupun loncat ke belakang.
Dan ketika Siau-liong menukik
turun, mustika menyambarnya lagi. Siau-liong menggeram dan menamparnya.
"Bum", mustika mengendap ke bawah menghantam lantai. Lantai hancur
berlubang dan mustika itu membal ke atas dan melanda Siau-liong yang saat itu
masih berada di udara.
Sudah tentu Siau-liong sukar
menghindar. Cepat ia menghantam dengan jurus ilmu pukulan Thay-siang-ciang.
Mustika itu jatuh membentur lantai lagi dan membal ke atas lagi.
Celaka sekali binatang aneh
itu. Karena mustika beberapa kali kena hantaman Siau-liong, binatang itupun
meringkik-ringkik kesakitan. Cepat ia menyedot kembali mustikanya dan
menyelinap keluar.
Terjadi kejar mengejar yang
tegang. Tetapi akhirnya Siau-liong ketinggalan berpuluh tombak dibelakang.
Binatang aneh itu lari ke Laut Penasaran.
"Blung....” baru
Siau-liong muncul dipermukaan telaga, sesosok tubuh meluncur jatuh ke dalam
telaga.
Siau-liong terkejut karena air
berobah merah warnanya. Ah, tentu seorang persilatan dijadikan korban
penimbunan Laut Penasaran!
Tetapi Siau-liong tak dapat
menghiraukan nasib orang itu karena dari arah Lembah Penasaran terdengar
jeritan seram. Rupanya di Lembah Penasaran terdjadi pertempuran dahsyat.
"Blung"........ lagi
sesosok tubuh terlempar jatuh ke dalam laut. Mayatnya meluncur ke dasar air.
Setelah pandang matanya biasa
mengadapi cahaya matahari, barulah Siau-liong dapat melihat jelas. Dalam lembah
tampak tiga empat puluh jago-jago silat tengah mengepung binatang itu.
Diantaranya terdapat paderi,
imam dan jago-jago silat. Mereka tengah bersiap menunggu kesempatan untuk
menyergap binatang aneh itu, Dua orang yang tak dapat mengendalikan nafsu,
segera loncat menerjang. Tetapi binatang aneh itu segera merangsangnya sehingga
mereka terlempar ke dalam Laut Penasaran.
Binatang itu segera meliar di
dalam lembah. Puluhan jago silat itu tengah mengepung dengan senjata
masing-masing. Seluruh perhatian mereka tercurah pada binatang aneh itu
sehingga tak mengetahui kehadiran Siau-liong.
Tiba-tiba binatang itu lari ke
dinding karang gunung. Beberapa jago silat segera gunakan ilmu Cicak merayap
atau Pik-hou-kang. Punggung dilekatkan pada dinding karang lalu meluncur ke
atas dan taburkan senjata rahasia kemata binatang aneh itu.
Tetapi binatang itu tak
mengacuhkan. Semua senjata rahasia, terpental dan jatuh ke dalam air.
Dua orang yang hebat ilmu
meringankan tubuh atau ginkang, mereka melambung ke udara dan coba membacok
ekor binatang itu Tetapi binatang itu teramat gesit. Sekali menggeliat ia dapat
lolos dari kepungan. Kedua jago silat yang loncat ke udara untuk membacok ekor
binatang itu.
Tetapi luput....
Terpaksa mereka meluncur turun
ke bumi lagi. Begitu tiba di tanah, binatang aneh itu sudah menanduknya.
"Blung....” salah seorang
terpelanting jatuh ke dalam telaga Penasaran lagi.
Rupanya binatang itu masih
belum puas. Ia menyerang lagi pada seorang lain. Siau-liong cepat loncat dari
permukaan air seraya menghantam. Karena pernah dikalahkan, rupanya binatang itu
jeri. Ia hendak melarikan diri tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah
loncat di punggungnya dan memeluknya erat-erat.
Gemparlah tokoh-tokoh yang
berada dalam lembah situ. Mereka mengira kalau siluman air, tetapi ternyata
hanya seorang pemuda.
Mereka datang ke Lembah
Penasaran, bukan berombongan, melainkan perseorangan dan tak kenal satu sama
lain. Mereka datang untuk memburu binatang aneh yang memiliki mustika.
Melihat Siau-liong menguasai
binatang itu, timbullah kekuatiran mereka. Pemuda itu harus dihancurkan!
Delapan jago silat segera
menyerbu Siau-liong dengan senjata dan pukulan. Karena sedang memeluk binatang
itu, terpaksa Siau-liong harus menderita luka-luka berdarah akibat serangan
itu.
Anehnya, binatang itu
mempunyai perasaan kasihan terhadap Siau-liong. Tak mau ia meronta.
Siau-liong mengira kedelapan
penyerangnya itu tentu salah turun tangan. Yang di arah si binatang tetapi
mengenai dirinya. Maka ia memberi isyarat agar mereka berhati-hati jangan
sampai menyerang dirinya lagi.
Sudah tentu mereka tak mau
menghiraukan. Bagaikan delapan ekor harimau, mereka menyerang Siau-liong.
"Wut....” tiba-tiba
binatang aneh itu sapukan ekornya sehingga beberapa penyerang itu loncat
mundur. Masih ada beberapa orang yang berhasil menyusup, dapat memberi beberapa
tusukan kepada Siau-liong. Darah makin deras, sakitnya bukan kepalang.
Namun ia seorang anak yang
keras hati. Bukan melepaskan sebaliknya ia malah memeluk tubuh binatang itu
makin kencang. Mulutnya menggigit tanduk. Rupanya binatang itu marah. Ia hendak
membela Siau-liong. Dengan beringas, diterjangnya kawanan penyerangnya itu.
Siau-liong marah juga. Ia
kerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang. Begitu mengangkat tangan telapaknya yang
berwarna merah. Seketika menjeritlah sekalian jago-jago itu, “Bu-kek-sin-kang!
Bukek-sin-kang....”
Siau-liong terkejut sendiri.
Ia tak menduga kalau pukulannya begitu dahsyat. Sembilan sosok tubuh kecemplung
ke dalam telaga!
Siau-liong kesima. Bukankah
ketika bertempur dengan binatang aneh tadi, ia belum memiliki pukulan sedahsyat
itu?
Memang hal itu terjadi diluar
pengetahuannya. Ketika menghadapi serbuan jago-jago silat tadi, ia terpaksa
menelungkup memeluk binatang itu erat-erat. Untuk menjaga keseimbangan tubuh,
mulutnya menggigit tanduk binatang itu. Tanpa disadari, ia telah menghisap
darah kepala binatang itu.
Darah itu disebut Ceng-hiat.
Merupakan obat luar biasa yang terdapat di dunia. Khasiatnya dapat menambah
tenaga-dalam.
Setelah sekalian penyerangnya
lari, Siau-liong teringat sesuatu. Cepat-cepat ia meluncur turun dari punggung
binatang itu. Binatang aneh itupun segera meluncur ke dalam Laut Penasaran
lagi.
Kiranya Siau-liong teringat
akan Koay suhu atau orang aneh yang secara tak resmi telah menjadi gurunya. Ia
bergegas lari ke gua tempat kediaman orang aneh itu.
Tetapi ketika melintasi
gunduk-gunduk batu yang bertebaran di halaman gua, ia terkejut menyaksikan
pemandangan yang mengerikan. Batu-batu berlumuran darah, disana-sini bertebaran
kerat-kerat kecil daging manusia dan sesosok tubuh membujur di atas tanah....
"Suhu!" Siau-liong
menjerit serentak.
Ia bersimpuh dihadapan mayat
itu yang ternyata memang si orang aneh yang disebut Siau-liong sebagai Koay
suhu.
Siau-liong menangis
tersedu-sedu. Hatinya pilu sekali. Jika Koay suhu tak menyalurkan tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang kepadanya, dia tentu tak sampai kehabisan tenaga dan musuh
tentu tak mungkin dapat membunuhnya. Dengan demikian walaupun dia yang bukan
turun tangan membunuh tetapi secara tak langsung, dialah yang menyebabkan
kematian orang aneh itu.
Puas menangis, Siau-liong
memeriksa keadaan mayat Koay suhu. Pada bagian dadanya hancur, berlubang besar
sampai kepunggung.
Hanya pukulan sakti atau
cengkeraman maut Ngo-ci-tong-joang yang mampu meninggalkan luka semacam itu!
"Hm, sudah mengasingkan
diri dalam gua yang terpencil seperti ini, ternyata orang masih mengejar dan
membunuhnya secara ganas. Sungguh tak dapat dimaafkan perbuatan itu,”
Siau-liong menggeram.
Dan rasa sesalnya karena
membunuh beberapa orang tadi lenyap seketika.
Ia mengubur jenazah Koay suhu
baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir dihadapan kuburan Koay suhu, ia
ayunkan langkah dengan tekad yang bulat. Ia pasti akan menuntut balas atas
kematian Koay suhu.
Lebih dulu ia menuju kegua
kediaman Koay suhu untuk mengemasi barang-barang peninggalan suhu itu. Di atas
tempat tidur batu, terdapat dua buah topeng terbuat daripada kulit manusia.
Ketika hendak mengambilnya, tiba-tiba ia melihat pada kedua samping dinding,
terdapat beberapa guratan huruf yang berbunyi,
“Anak! Seumur hidup baru satu
kali ini aku melakukan kebaikan menurunkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
kepadamu. Tetapipun juga mencelakakan dirimu. Karena engkau tentu takkan
kembali lagi. Adakah memang Tuhan tak mengijinkan aku berbuat kebaikan....?
Nak, kulihat wajahmu bukan
orang yang bernasib malang. Tetapi, ah, hampir setahun kuhanya kutunggu,
mayatmu tak terapung dipermukaan air. Tetapi kutetap percaya engkau takkan
mati. Dalam beberapa hari ini sudah mondar-mandir disekeliling tempat ini. Maut
rupanya sudah menjenguk di guaku....”
Kemudian Siau-liong membaca
tulisan di dinding sebelah kiri,
“Nak, aku mempunyai firasat bahwa
kematianku sudah datang. Jika aku mati, engkau harus melakukan tiga buah
pesanku ini:
Pertama: jangan mengatakan
tentang diriku kepada siapapun juga. Dan engkau pun telah menyanggupi.
Kedua: Bunuhlah semua orang
yang kubenci dan engkau benci!
Ketiga: Besok tahun muka pada
malam Tiong-Chiu, pergilah ke gunung Bu-san, mewakili aku dalam pertempuran. Si
tua Kongsun beberapa kali tampak dipuncak gunung, rupanya dia mencarimu....”
Sampai disitu, tulisan tak
lanjut. Rupanya musuh sudah datang dan orang aneh itu terpaksa harus hentikan
tulisannya.
Berderai-derai air mata
Siau-liong membanjir karena mengenang budi orang aneh itu. Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara letupan dahsyat. Lembah terasa tergelar keras. Siau-liong
terkejut sekali ketika memandang keluar gua. Lembah telah berobah menjadi
lautan api. Ledakan dahsyat susul menyusul memekakkan telinga.
Segera ia lari keluar.
Ternyata tokoh persilatan yang gagal menangkap binatang aneh tadi telah
menumpahkan kemarahannya. Dari puncak lembah mereka lontarkan potongan batang
pohon untuk umpan api. Potongan kayu itu makin lama makin dekat pada gua.
Siau-liong terkejut jika mulut
gua sampai tertutup api, tak mungkin ia dapat keluar lagi. Cepat ia bertindak.
Menyambar sehelai baju peninggalan Koay suhu, ia terus menerjang keluar. Sekali
loncat ia hinggap pada sebatang pohon. Dengan baju, ia menghalau api. Kemudian
ia melayang ke atas sebuah cekung karang lalu untuk yang terakhir kalinya, ia
melayang kepuncak lembah....
Jago-jago persilatan yang
berada di atas puncak lembah, terkejut melihat anak itu dapat menerobos dari
lautan api. Mereka hentikan lontaran kayu dan berganti menghujani anak itu dan
senjata rahasia.
Siau-liong sedang melayang ke
atas. Tak mungkin ia dapat menghindari serangan itu. Dalam gugupnya ia putar
baju Koay-suhu laksana kitiran. Diluar dugaan, putaran baju itu menimbulkan
tenaga yang dapat menampar jatuh berpuluh-puluh buah senjata rahasia.
Ia marah sekali kepada mereka.
Selekas kakinya menginjak tepi puncak, ia lemparkan baju dan lontarkan sebuah
pukulan yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Melihat telapak tangan anak
itu merah membara, sekalian orang menjerit kaget dan lari tunggang langgang.
Enam orang yang terlambat lari, menjerit ngeri dan rubuh tak bernyawa. Sisanya
lari ke dalam hutan.
Siau-liong menanggalkan kedok
muka. Ia menghela napas. Ia menyesal telah membunuh orang. Tetapi ia tak dapat
berbuat lain karena kemarahannya atas tindakan tokoh-tokoh persilatan yang
begitu ganas.
Setelah beberapa saat
termenung-menung, akhirnya ia pulang ketempat kediamannya. Hampir setahun, ia
tak berjumpa dengan Kongsun Sin-tho. Ia merasa rindu kepada suhunya itu.
"Suhu!" serta-merta
ia karena tak mengindahkan berseru penuh rasa menyesal nasihat suhunya supaya
jangan berjalan-jalan ke belakang gunung.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika didapatinya gua itu kosong. Masih ada menyangka tentulah suhunya sedang
keluar untuk mencarinya. Tiba-tiba ia melihat beberapa guratan huruf pada
dinding gua. Jelas itu tulisan suhunya yang berbunyi,
“Liong-ji, aku sudah pulang
beberapa bulan. Sia-sia kucarimu kemana-mana. Lebih cemas pula hatiku karena
dewasa ini dunia persilatan telah timbul desas-desus bahwa ibumu telah muncul
kembali. Dunia persilatan terancam pertumpahan darah lagi. Kuputuskan turun
gunung mencarimu, sekalian untuk mencari ibumu. Berhasil atau tidak, setengah
tahun kemudian aku pasti kembali kesini"
Dari tanggal yang tertera
dibawahnya, jelas bahwa kepergian Kongsun sin-to itu baru lebih 10 hari yang
lalu. Siau-liong berkemas-kemas untuk mencari suhunya.
Keesokan harinya, ia menuju
kemakam ayahnya untuk minta diri. Tengah ia berlutut mengucapkan doa, tiba-tiba
didengarnya suara orang berbicara. Gunung Hong-san jarang dikunjungi orang. Dan
peristiwa berdarah kemarin, menyebabkan Siau-liong harus berhati-hati terhadap
orang. Cepat ia menyembunyikan diri.
Tak berapa lama muncullah
empat orang tua dari dalam hutan. Salah seorang berkata,
“Menurut pendapat kalian, yang
manakah sesungguhnya Bu-tek Gong-mo itu? Lelaki tua yang dibunuh
Soh-beng-kiu-su atau orang yang muncul dari Laut Penasaran?"
Mendengar itu, Siau-liong
hampir menjerit. Kiranya orang aneh yang menurunkan tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang itu adalah Bu-Kek-Gong-Mo atau PENDEKAR LAKNAT yang termasyhur.
Dan yang membunuhnya adalah Soh-beng Ki-su!
"Mungkin kedua-duanya,
mungkin bukan semua," sahut kawannya.
"Maksudmu?" orang
pertama yang bicara itu menegas.
"Memang lelaki tua yang
dibunuh itu mirip dengan Pendekar Laknat. Tetapi anehnya dia tak memiliki ilmu
sakti Bu-kek-sin-kang. Sedang yang muncul dari dalam laut itu, gerak-geriknya
tidak menyerupai Pendekar Laknat tetapi dapat melepaskan pukulan
Bu-kek-sin-kang. Maka kesimpulanku, keduanya mungkin Pendekar Laknat tetapi
mungkin bukan semua," jawab orang yang kedua.
Dari pembicaraan itu dapatlah
Siau-liong menarik kesimpulan bahwa tokoh-tokoh yang datang ke Lembah Penasaran
itu belum tahu pasti tentang mati-hidupnya Pendekar Laknat.
Mengintai dari cela-cela
tempat persembunyiannya, Siau-liong terperanjat. Keempat orang tua itu tengah
berdiri tegak dihadapan makam ayahnya.
"Uh, mengapa mereka tegak
didepan makam ayah? Apakah mereka itu sahabat-sahabat ayah?" tanya
Siau-liong dalam hati.
Dugaan anak itu memang tepat.
Keempat lelaki tua itu memang paman guru dari Tong Gunliong, ayah Siau-liong.
Yang paling tua bergelar Tang
Siau-seng. Kedua, Se Ki-su. Ketiga, Lam Kek-ong. Mereka dikenal sebagai Kong-tong
Su-lo atau empat tokoh tua dari partay Kong-tong-pay.
Mereka tegak berdiri dimakam
Tong Gun-liong dengan dengan penuh pertanyaan. Mengapa Tong Gun-liong, murid
kemenakan mereka mati. Siapakah pembunuhnya dan siapa pulalah yang membuatkan
batu nisan disitu? Apakah Siau-liong, putera Tong Gun-liong itu, masih hidup?
Isteri Tong Gun-liong yang
bergelar Coa-sik Se-si atau sicantik Se-si yang berbisa, muncul kembali di
dunia persilatan. Apabila wanita itu mengetahui suaminya telah dibunuh orang
dan dikubur dipuncak Hong-san, tentulah ia akan makin mendendam kepada partay
Kong-tong-pay.
Tiba-tiba keempat jago tua itu
berpaling dan tersiraplah darah mereka seketika. Beberapa langkah di belakang
mereka, tegak seorang tua yang berwajah buruk amat menyeramkan sekali.
Rambutnya memanjang sampai kebahu. Sepasang alis menggumpal lebat sekali.
Hidung merah, sepasang matanya menonjol keluar. Mulut merekah darah. Berpakaian
jubah berlengan besar yang compang-camping.
Walaupun hanya setombak di
belakang keempat jago-jago tua itu, namun mereka sama sekali tak mengetahui
kedatangan orang aneh itu. Inilah yang mengejutkan Kong-tong Su-lo!
"Siapakah nama
tuan-tuan!" tiba-tiba orang berwajah buruk itu sambil memberi hormat.
Tokoh kesatu dari
Kong-tong-pay, Tang Siau-seng sejenak berusaha menenangkan diri lalu menyahut
dengan tertawa nyaring, “Kami yang rendah Kong-tong Su-lo dan siapakah tuan
ini?"
Tubuh orang berwajah buruk itu
menggigil. Kedua tangan yang diangkat untuk memberi hormat tadi, dilepaskan ke
bawah. Seketika serangkum angin tajam menyambar keempat jago Kong-tong.
3. Kisah Sang Ayah Dan Ibu
Kong-tong Su-lo terkejut
melihat orang berwajah buruk itu bersikap bermusuhan. Mereka siap sedia untuk
beramai-ramai menghadapinya. Tiba-tiba kepalan tangan orang yang berwajah buruk
yang sudah siap dilontarkan itu ditarik kembali. Berputar tubuh ia
meraung-raung dan lari menuruni gunung!
Keempat Kong-tong Su-lo
terkejut heran. Siapakah gerangan orang berwajah buruk itu? Mengapa orang aneh
itu hendak menerjang mereka?
Tak mungkin keempat jago tua
itu tak mampu mengetahui rahasia orang aneh itu. Karena setitikpun mereka tentu
tak menyangka bahwa orang berwajah buruk itu ternyata hanya seorang bocah yang
baru berumur 15 tahun. Ya, memang benar. Siau-liong lah yang menyaru sebagai
orang tua berwajah seram itu.
Karena melihat keempat orang
tua itu lama sekali tegak dihadapan makam ayahnya, Siau-liong ingin tahu
siapakah mereka itu. Ia segera mengenakan kedok dan pakaian peninggalan
Koay-suhunya lalu melangkah keluar.
Dikala mendapat jawaban bahwa
mereka adalah Kong-tong Su-lo, seketika meluaplah amarah Siau-liong. Sedianya
ia sudah mengerahkan tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang hendak menghabiskan mereka.
Tetapi tiba-tiba matanya
tertumbuk pada gunduk tanah makam ayahnya.... Seketika ia teringat akan pesan
ayahnya yang disampaikan oleh Kongsun Sin-tho. Terpaksa ia batalkan pukulannya.
Untuk melampiaskan nafsu kemarahan yang telah membakar rongga dadanya, ia
meraung-raung lari menuruni gunung ....
Mengapa ayahnya melarang ia
menuntut balas kepada musuh yang telah membinasakanya? Tentu tersembunyi suatu
rahasia dibalik larangan ayahnya itu. Ia memutuskan untuk turun gunung dan
mengembara di dunia persilatan. Ia hendak mencari ibunya. Ia hendak meminta
penjelasan kepada ibunya. Iapun hendak mencari Kong-tong Sin-tho, guru berbudi
yang telah merawat dan mendidiknya selama belasan tahun.
Ya, hanya dengan demikian baru
ia dapat memecahkan rasa dendam kegelisahan yang selalu mencengkam hatinya.
◄
Y ►
GUNUNG HONGSAN terletak dihulu
sungai Kim-set-kiang. Ombak sungai itu deras sekali sehingga tiada tukang
perahu yang berani mengusahakan penyeberangan. Maka daerah perairan disitu
jarang dikunjungi orang.
Berhari-hari Siau-liong
menyusur tepi sungai. Jika lelah ia duduk di tepi sungai. Dikala
termenung-menung memandang deras arus sungai, pikirannya melayang. Ia teringat
akan nasibnya, terkenang akan kehidupan manusia. Kehidupan tak ubah seperti
arus sungai. Mengalir, terus mengalir tanpa mengetahui apa yang akan
dihadapinya....
Apabila tiba pada lamunan itu
maka berkesanlah ia pada suatu kesimpulan. Tanpa rintangan, air takkan
mengerahkan kekuatannya. Tanpa aral rintangan, manusia takkan kuat
lahir-batinnya. Kesimpulan itu merupakan pelajaran berharga bagi Siau-liong.
Tiba-tiba ia mendengar derap
kaki orang. Kemudian sesosok tubuh yang roboh ke tanah dan suara erang
kesakitan. Datangnya dari dalam hutan tak jauh dari tempatnya. Cepat-cepat ia
loncat bangun dan lari ke dalam hutan itu.
Tak berapa lama ia melihat
seorang gadis menggeletak di tanah. Disisinya terdapat sebilah pedang,
Siau-liong cepat menghampiri. Baru saja ia menjemput pedang dan mengangkat
tubuh gadis itu, tiba-tiba terdengar derap kaki orang berlari menghampiri. Ia
duga mereka tentulah musuh-musuh yang hendak mengejar gadis itu. Tanpa ayal, ia
membawa lari gadis itu.
Kira-kira sepuluh li jauhnya,
ia melihat sebuah biara kecil. Gadis itu pucat wajahnya dan pejamkan mata.
Siau-liong tahu bahwa ia tentu menderita luka berat. Harus ditolong secepatnya.
Cepat-cepat ia lari kebiara
kecil itu.
Ruang depan biara sempit
sekali. Terpaksa Siau-liong menuju keruang belakang. Tetapi disitu pun tak
cukup untuk tempat orang dua. Apa boleh buat, Siau-liong letakkan gadis itu
dipangkuannya.
Selama ikut pada Kong-sun
Sin-tho, selain ilmu silat.... Siau-liong pun mendapat pelajaran tentang ilmu
pengobatan. Menurut pemeriksaannya, jalan darah gadis itu sudah tak normal
lagi. Ia membekal pil mujarab tetapi ia kuatir pil itu tak dapat menyembuhkan
si nona. Jalan satu-satunya untuk menyembuhkan nona itu. Penyaluran itu harus
dilakukan empat kali. Setiap kali memerlukan waktu empat jam. Selama pengobatan
berlangsung, tak boleh diganggu orang.
Sedikit saja terganggu, nona
itu pasti akan cacad seumur hidup. Bahkan bisa juga, keduanya mati semua!
Demi menolong jiwa nona itu,
Siau-liong tak menghiraukan segala resiko. Ia mengambil 9 butir pil, disusupkan
kemulut si nona. Karena mulut nona itu terkancing, terpaksa Siau-liong
tempelkan bibirnya kemulut si nona lalu meniup pil itu.
Setelah berhasil memasukkan
pil kemulut si nona, Siau-liong mulai mengurut seluruh jalan darah ditubuh si
nona. Untunglah dalam usianya yang sudah menjenjang kedewasaan itu, Siau-liong
belum mengerti tentang hubungan wanita dan pria. Pokok, ia sungguh-sungguh dan
wajar.
Tak berapa lama, nona itu
sadar. Ia menggeliat dan merintih pelahan.
"Jangan takut, harap nona
kerahkan semangat. Kubantu mengobati luka nona," buru-buru Siau-liong
memberi penjelasan.
Saat itu si nona masih letih
sekali. Ia tak dapat bicara melainkan mendengus. Dan Siau-liong segera lekatkan
kedua tangannya pada perut nona itu. Ia mulai menyalurkan tenaga murni ke tubuh
nona itu.
Karena peredaran darah nona
itu tidak normal, maka Siau-liong harus bekerja keras. Dua jam lamanya, baru ia
berhasil dapat menggabungkan darah nona itu dengan tenaga murninya dan
berhasillah ia mengembalikan peredaran darah si nona.
Tiba-tiba nona itu menjerit,
suatu tanda bahwa perasaannya sudah hidup kembali. Siau-liong makin memperkeras
penyalurannya. Dua jam lagi barulah ia hentikan penyaluran. Saat itu hari mulai
petang. Keadaan si nona bertambah baik.
"Siapakah nama nona yang
mulia?" kini Siau-liong mulai mengajak bicara.
Dengan suara lemah, nona itu
menyahut, “Namaku Tiau Bok-kun, tuan siapa....”
Siau-liong menyadari bahwa
kini ibunya sudah muncul kembali di dunia persilatan. Jika ia memberitahukan
namanya yang asli, dikuatirkan kesulitan yang tak diinginkan. Maka ia menjawab
sekenanya, “Namaku Kongsun Liong, panggil saja aku Siau-liong?"
Dikala mereka asyik
bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap langkah orang berhenti dimuka biara.
Siau-liong terkejut.... Ia memandang kepintu dengan penuh perhatian.
Tak berapa lama, muncullah
lima orang tua, yang empat, Siau-liong mengenali sebagai Kongtong Su-lo. Tetapi
yang seorang, ia tak tahu.
Rupanya kelima orang itu habis
melakukan pertempuran seru. Napas mereka terengah-engah, dahinya penuh
keringat. Begitu masuk, mereka terus duduk bersemadhi. Rupanya mereka hendak
memulangkan tenaga untuk menghadapi musuh lagi.
Saat itu hari makin malam.
Siau-liong terkejut.
Didapatinya peredaran darah nona itu yang sudah mulai berjalan normal. Tentulah
nona itu terganggu pikirannya karena kedatangan kelima orang itu. Apabila
dibiarkan jiwa nona itu pasti terancam. Buru-buru Siau-liong memberi isyarat
supaya nona itu tenangkan pikiran. Sedang iapun segera menyalurkan tenaga murni
lagi.
Sejam kemudian, kelima orang
tua itupun membuka mata. Dalam ruang yang gelap, tampak sinar mata mereka itu
memancar tajam sekali.
"Suheng, Tang Gun-liong
yang terlempar ke dalam lembah Hok-liong-koh, tentu mati atau terluka berat.
Tetapi entah siapa yang menolongnya dan membawanya ke gunung Hong-san. Kini dia
telah meninggal dan dikubur dipuncak Hong-san dan Siau-liong anaknya itu, entah
berada dimana," kata Tang Siu-seng, jago kesatu dari Kong-tong Su-lo.
Orang tua kelima yang tak
dikenal Siau-liong itu, kedengaran menjawab, “Kalau Gun-liong sudah mati,
anaknya tentu sudah mati juga."
Karena Tang Siu-seng memanggil
orang itu dengan sebutan suheng, Siau-liong menduga orang itu tentulah suhu
dari ayahnya yang bernama Toh Hun-ki gelar Kian-thian-ih-soh!
Dari nadanya, jelas bahwa
Kian-thian-ih-soh Toh Hun-ki sama sekali tak berduka atas kematian Tang
Gun-liong dan lenyapnya Siau-liong. Padahal Tang Gun-liong adalah murid
pewarisnya. Seharusnya Toh Hun-ki menyelidiki atau sekurang-kurangnya berduka
atas kematian sang murid.
Sesungguhnya Toh Hun ki bukan
jahat. Adalah karena ia fanatik sekali terhadap gengsi maka ia meminta kematian
Tang Gun-liong dan melukai isteri muridnya itu.
Kong-tong-pay termasuk salah
sebuah partai persilatan yang besar. Coa-sek Se-si Ki Ih, isteri Tang Gun-liong
itu, berasal dari seberang laut. Wanita itu gemar membunuh sehingga menimbulkan
bentrokan dengan partai-partai persilatan lain.
Dan sebelum resmi menikah
dengan Tang Gun-liong, ia sudah melahirkan anak. Sebagai ketua Kong-tong-pay,
Toh Hun-ki malu terhadap perbuatan muridnya. Terpaksa ia membunuh Tang Gun-liong
dan melukai isterinya.
Siapa tahu, tindakan itu telah
menimbulkan salah faham besar. Karena tak tahu persoalannya, sudah tentu
Siau-liong mendendam sekali atas kematian ayahnya, Tetapi karena ayahnya telah
memesan supaya ia jangan menuntut balas, Siau-liong tak mau meminta
bertanggungan jawab partai Kong-tong-pay.
Selang dua jam lamanya,
Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalam. Ia menduga nona Tiau Bok-kun itu
tentu hendak dibunuh Toh Hun-ki dan Su-lo dari Kong tong-pay.
Ia tak tahu apa persoalannya
tetapi yang jelas tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu bertindak kejam terhadap
seorang nona. Seketika meluaplah kemarahan Siau-liong terhadap partai itu.
Hutang jiwa, bayar jiwa. Demikian ketetapan hatinya. Tetapi karena amarahnya
meluap. Darahnya bergolak keras. Maka sampai beberapa saat ia belum dapat
melanjutkan pengobatannya kepada nona itu.
Memandang kepintu muka,
Siau-liong terkesiap kaget. Entah kapan, tahu-tahu diambang pintu muncul
seorang lelaki bertubuh kurus kering. Raut wajahnya seperti muka kuda,
memelihara kuncir. Pakaiannya mirip paderi bukan paderi, orang biasa bukan
orang biasa. Punggungnya menyanggul sebuah senjata.
"Ho, ho," orang itu
tertawa meloroh, “Toh tua, lekas serahkan barang yang hendak engkau jual itu.
Ingat dibawah tangan Ki-su tiada makhluk yang bernyawa lagi!"
Kian-thian-it-soh Toh Hun-ki
tetap duduk tenang.
"Setan tua, bukankah
engkau Soh-beng Ki-su? Kalau engkau menghendaki jiwa, disini tersedia lima
lembar. Tetapi kalau menginginkan barang penjualan, jangan mimpi!"
Soh-beng Ki-su atau Pertapa
pencabut nyawa tertawa kering, “Jika tak mengingat engkau seorang ketua partai
persilatan, tentu sudah kucabut nyawamu. Kalau tak mau menyerahkan barang itu,
jangan salahkan aku seorang ganas!"
Soh-beng Ki-su inilah yang
telah membunuh Koay suhu atau Bu-kek-gong-mo.
Siau-liong hendak menerjang
keluar dan menghajar orang itu. Tetapi karena ia sedang menenangkan darahnya
yang bergolak, terpaksa ia tahan sabar.
Toh Hun-ki keempat Su-lo
serempak bersiap-siap. Mereka merencanakan barisan Ngo-heng-tin untuk
menghadapi tokoh ganas itu.
Ngo-heng-tin, merupakan
barisan yang rapat ketat, dahsyat dan sukar diduga gerak perobahannya. Di dalam
menyerang, pun menjaga. Dalam bertahan, juga menyerang.
Tetapi Toh Hun-ki dan keempat
Su-lo bergerak, Soh-beng Ki-su sudah mendahului melesat dan mencengkeram Toh
Hun-ki. Tetapi diapun kenal akan kehebatan barisan itu. Tiba-tiba
cengkeramannya ditarik tengah jalan karena dia harus melindungi diri dari
serangan kelima musuh. Dengan demikian, pertempuran berjalan seru dan dahsyat.
Biara kecil itu seolah-olah tergetar karena angin pukulan mereka.
Siau-liong terkejut ketika
Tiau Bok-kun terdengar mengerang. Cepat-cepat didekapnya mulut si nona itu.
Tetapi terlambat. Tokoh-tokoh yang bertempur telah mendengarnya.
Soh-beng Ki-su loncat keluar
dari kepungan, Ia tertawa aneh,
“Bagus. Budak perempuan itu
ternyata berada disini. Jika kalian tetap tak mau menyerahkan, tentu dia segera
kubunuh. Mendapat separoh dulu, baru kita bicara lagi."
Dengan menggerung keras,
kelima tokoh Kong-tong-pay itu loncat berbaris dimuka biara, menghadang
Soh-beng Ki-su. Tetapi dengan bertempur cara berhadap-hadapan itu, posisi
kelima tokoh Kong-tong-pay itu lebih tak menguntungkan.
Soh-beng Ki-su perdengarkan
ketawanya yang mirip dengan burung hantu merintih-rintih ditengah malam.
Tiba-tiba ia mengangkat kedua tinjunya. Tulang-tulang jarinya yang panjang
runcing, mirip dengan cakar burung garuda.
Sesaat terdengar suara
mendesis-desis. Jari-jarinya seperti mengeluarkan asap dingin. Ternyata tokoh
aneh itu telah mengerahkan ilmu tenaga dalam Pek-kut-kang. Secepat kilat ia
menghantam kelima musuhnya.
"Dess....” kelima tokoh
Kong-tong-pay serempak memukul untuk menangkis. Terjadi benturan tenaga dalam
dan hasilnya segera dapat diketahui siapa yang lebih unggul. Soh-beng Ki-su
tetap tenang tetapi kelima jago Kong-tong-pay itu mengerang tertahan. Jelas
mereka menderita tekanan yang hebat.
“Tring, tring....,” terdengar
senjata berdering-dering. Kelima jago Kong-tong-pay telah mencabut pedangnya.
"Bagus, bagus, hayo
majulah semua!" Soh-beng Ki-su tertawa meringkik. Iapun mencabut senjata
yang berada dipunggung.
Orangnya aneh, senjatapun
aneh. Mirip dengan cempuling, mirip pula dengan pisau terbang. Sekali
dikibaskan, senjata meluncur ke udara. Dan sekali tangannya mengacung, senjata
itupun meluncur kembali ke dalam tangannya. Pertempuran dengan senjata segera
berlangsung seru. Untung mereka bertempur diluar, andaikata di dalam tentulah
biara kecil itu akan ambruk.
Saat itu hari mulai terang
tanah. Karena sudah dua jam, Siau-liong hentikan penyaluran tenaga dalamnya. Ia
menghela napas panjang. Keadaan Tiau Bok-kun sudah banyak kemajuan. Ia hendak
mengangkat kepala tetapi Siau-liong mencegahnya dan minta nona itu beristirahat
lagi.
"Toh tua, diruang depan
ini sempit sekali. Hayo kita bertempur diluar saja.... Jika kalian menang,
budak perempuan itu boleh kalian ambil separoh. Tetapi kalau kalah, hm, hm,
lima lembar jiwamu pun menjadi milikku!" seru Soh-beng Ki-su.
Kelima tokoh-tokoh
Kong-tong-pay itu segera mengikuti Soh-beng Ki-su keluar.
Karena masih memerlukan empat
jam lagi, maka Siau-liong segera mulai menyalurkan tenaga dalam lagi. Karena
sudah dapat menerima penyaluran, Tiau Bok-kun pun segera menyalurkannnya keseluruh
tubuh.
Dari sinar matahari yang
menyusup dicelah-celah dinding. barulah Siau-liong melihat jelas muka gadis
itu. Seorang nona yang memiliki wajah cantik dan riang.
Tiau Bok-kunpun sempat juga
untuk memandang penolongnya. Seorang pemuda yang gagah dan jujur. Tiba-tiba
sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan cepat palingkan muka.
"In-jin," beberapa
saat kemudian Tiau Bok-kun dapat berseru pelahan. In-jin artinya orang yang
melepas budi.
"Nona Tiau," sahut
Siau-liong.
Hanya dua patah kata terluncur
dari mulut kedua muda-mudi itu. Namun sudah melebihi ribuan kata-kata yang
penuh arti ......
Setiba diluar, Soh-beng Ki-su
bertempur lagi dengan kelima tokoh Kong-tong-pay. Gemerincing senjata beradu,
mengejutkan kedua anak muda itu. Ia memandang keluar. Tampak kelima pedang
bercampur-baur dengan sinar cempuling.
Diam-diam Siau-liong
menyesalkan cara bertempur dari kelima orang itu. Jelas kelima tokoh
Kong-tong-pay itu kalah tinggi tenaga dalamnya dengan Soh-beng Ki-su, mengapa
mereka berani mengadu kekerasan?
Tiba-tiba Siau-liong teringat
sesuatu dan bertanyalah ia kepada Tiau Bok-kun, “Benda apakah yang dikatakan
oleh Soh-beng Ki-su itu?"
Sekonyong-konyong nona itu
mencekal tangan kiri Siau-liong lalu dilekatkan kedada, ujarnya,
“Rabahlah Giok-pwe ini."
Ternyata nona itu menyimpan
sebuah Giok-pwe atau Lencana-kumala didadanya. Menjamah dada si nona, jengahlah
muka Siau-liong. Buru-buru ia menarik tangannya.
"Untuk apakah benda
itu?" tanyanya.
"Entahlah, aku sendiri
tak mengerti. Tetapi yang jelas, separoh bagian kusimpan dan yang separoh
bagian ada pada Toh Hun-ki. Maka mereka hendak merebut milikku ini!"
"Kalau begitu, siapapun
dari mereka yang menang, tak menguntungkan engkau?"
Tiau Bok-kun hanya mendengus.
"Siapakah yang melukai
engkau?" tanya Siau-liong pula.
"Soh-beng Ki-su....”
Alangkah inginnya Siau-liong
saat itu keluar untuk membunuh Soh-beng Ki-su, orang yang telah membunuh Koay
suhu dan melukai nona itu. Tetapi ia tak dapat meninggalkan si nona begitu
saja.
Ia memandang keluar.
Tokoh-tokoh itu masih bertempur gigih sekali. Tetapi jarak tempat pertempuran
makin menjauh dari biara.
"Mudah-mudahan mereka
bertempur terus saja," diam-diam Siau-liong mengharap.
Kini untuk yang terakhir, ia
harus memberi penyaluran tenaga dalam lagi. Ketika memandang Tiau-Bok-kun, ia
heran. Wajah nona itu tampak merah. Pada hal tadi sewaktu diberi penyaluran
tenaga-dalam, wajahnya tak sedemikian merahnya.
"Bagaimana lukamu?"
tanya cemas.
Tiau Bok-kun mendesis pelahan.
“Mengapa engkau, nona
Tiau?" tanya Siau-liong.
Nona itu makin merah wajahnya
dan tersipu-sipu tundukan kepala.
"Kita.... laksana air
bertemu telaga. Ini....” serunya pelahan dan tak lanjut.
"Ini bagaimana?"
desak Siau-liong.
Setelah lukanya berangsur
baik, kesadaran nona itupun mulai kembali lagi. Duduk merapat dengan seorang
pemuda yang tak dikenal, mau tak mau sebagai seorang gadis yang masih suci,
Tiau Bok-kun merasa malu sekali.
"Besok saja
kuterangkan," sahut nona itu.
"Tetapi apakah yang
hendak engkau katakan?" Siau-liong mendesak lagi.
Buru-buru Tiau Bok-kun
melengos. Setelah cukup beristirahat, Siau-liongpun menyalurkan tenaga dalam
lagi ke tubuh si nona. Penyaluran itu merupakan pengobatan yang terakhir.
Karenanya merupakan detik-detik berbahaya.
Tiba-tiba tokoh-tokoh yang
bertempur tadi, terdengar diluar pintu biara lagi. Dengan pendengarannya yang
tajam, Siau-liong dapat memperhitungkan mereka tentu dapat bertempur sampai dua
jam lagi.
Tetapi ia menyadari bahwa setiap
saat, pertempuran akan mengalami perobahan. Maka iapun tingkatkan kewaspadaan
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Selama pertempuran berjalan
seru, Tiau Bok-kun pun makin bertambah baik keadaannya. Wajahnya mulai berseri
makin segar laksana kuntum mekar dihari pagi.
Tiba-tiba Siau-liong
dikejutkan oleh sebuah jeritan ngeri. Ketika memandang keluar, dilihatnya sinar
pedang mulai kacau-balau. Jelas bahwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu sudah mulai
terancam bahaya. Asal salah satu ada yang rubuh maka berantakan barisan mereka.
“Tring....,” terdengar
gemerincing senjata beradu keras. Serempak dengan letikan bunga api, sebuah
pedang telah terpental jatuh ke dalam biara.
Dari keempat Su-lo, yang dua
jakni Lam-kek-sian dan Pak-kek-ong sudah duduk bersemadhi di tanah. Tentulah
mereka terluka. Yang masih bertahan tinggal dua orang Su-lo dan Toh Hun-ki.
Dalam pada itu, Siau-liong
masih memerlukan setengah jam lagi untuk menyalurkan tenaga dalam. Asal
setengah jam itu dapat berlangsung tanpa gangguan, Tiau Bok kun pasti akan
sembuh sama sekali. Tetapi kalau sampai terganggu, sia-sia sajalah jerih
payahnya selama enam belas jam itu.
Tiba-tiba terdengar sebuah
jeritan ngeri lagi!
"Celaka! Kong-tong-pay
tinggal seorang saja.... Tentu tak dapat bertahan lagi," diam-diam
Siau-liong mengeluh.
Tempo amat berharga sekali.
Buru-buru ia kerahkan seluruh tenaga dalam untuk mempercepat penyaluran tenaga
dalamnya. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia mendengar Soh-beng Ki-su tertawa
nyaring....
Pada lain saat terdengarlah
suara senjata jatuh bergerontangan disusul dengan suara orang menahan
kesakitan.
"Celaka, habislah sudah
jerih payahku selama sehari semalam," Siau-liong mengeluh.
Kiranya suara orang itu
berasal dari Toh Hun-ki. Pedangnya terlepas dan dadanya menerima sebuah pukulan
maka rubuhlah ketua Kong-tong-pay itu di tanah ......
Melihat itu dengan teriakan
mendengkung-dengkung macam katak, jari tangan Soh-beng Ki-su yang tajam
mencengkeram Toh Hun-ki....
Pada detik-detik maut hendak merenggut
jiwa ketua Kong-tong-pay itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
nyaring, “Bangsat tua, lihat senjataku!"
"Hai, apakah engkau bukan
Coa-sik Se-si....!" Soh-beng Ki-su berteriak kaget.
4. Cousu-ya Partai Pengemis
Mendengar itu terkejutlah
Siau-liong. Ingin sekali ia memanggil ibunya itu tetapi karena sedang mengobati
si nona terpaksa ia tahankan hati.
Memang pendatang itu adalah Ki
Ih atau yang digelari orang sebagai Coa-sik Se-si (si cantik Se-si yang
berbisa).
"Ah, kiranya engkau belum
pikun, Seharusnya engkau tahu bahwa kelima bangsat tua dari Kong-tong-pay itu
adalah musuhku besar. Mengapa engkau berani lancang hendak membunuhnya? Biarkan
mereka beristirahat memulihkan tenaga dulu baru nanti kujadikan setan-setan
tanpa kepala! Nah, selagi mereka beristirahat, marilah kita isi kekosongan ini
untuk membereskan perhitungan kita tempo dahulu!"
"Bagus, memang aku belum
puas hanya mencabut lima orang. Perempuan siluman, lihat seranganku!" seru
Soh-beng Ki-su.
Sinar pedang berhamburan,
angin menderu-deru. Pertempuran kali ini lebih dahsyat dari tadi. Kedua tokoh
itu makin lama kian jauh dari biara dan akhirnya tiada kedengaran suaranya
lagi.
Saat itu Siau-liong berhasil
menyelesaikan penyaluran tenaga dalam yang terakhir. Bergegas-gegas ia memberi
pil kepada nona itu, “Minumlah dan setelah beristirahat beberapa waktu,
tenagamu tentu pulih.... Sampai jumpa lagi, selamat tinggal....”
"In-jin....!" Tiau
Bok-kun memanggil. Tetapi pemuda itu sudah lenyap. Berlinang-linang airmata
nona itu. Ingin ia menyusul In-jin atau Penolongnya itu, tetapi tenaganya masih
belum mengijinkan.
Begitu keluar dari biara,
Siau-liong tak menghiraukan kelima tokoh Kong-tong-pay yang masih duduk
bersemadhi itu. Ia lari menuju ke arah tempat ibunya. Tetapi seratus li telah
ditempuh, tetap ia tak berhasil menemukan ibunya dan Soh-beng Ki-su.
Dua hari lamanya Siau-liong
berkeliaran mencari ibunya. Karena lupa makan lupa tidur dan habis menyalurkan
tenaga dalam kepada si nona, Siau-liong merasa letih sekali, Maka ketika tiba
di kota Siok-ciu, ia segera mencari sebuah rumah makan. Rencananya, setelah
makan ia hendak membeli pakaian baru.
Suasana dalam kota
terang-benderang, rumah dihias dengan lampu tenglong warna-warni. Jalan penuh
orang pesiar. Ah, tiba-tiba ia teringat bahwa malam itu adalah malam Tiong-ciu
atau pertengahan musim rontok. Rembulan purnama-sidhi. Rumah-rumah mengadakan
sesaji dengan kuweh Tiong-jiu-pia.
Tengah ia berjalan,
serombongan anak-anak laki segera mengerumuni, menyoraki dan melempari tali
serta menggodanya.
Siok-ciu termasuk wilayah
Su-jwan. Menurut adat kebiasaan daerah itu, pada malam Tiong-ciu anak-anak
diberi kebebasan untuk bersuka-ria bahkan berkelahi. Mereka menggunakan tali
dan bandringan. Benda itu berat tetapi tak melukai.
Siau-liong menyambar seutas
tali yang dilempar seorang anak. Anak itu segera menarik sekuat-kuatnya tetapi
sampai mukanya merah padam dan menangis, tetap tak mampu. Karena hendak
lekas-lekas melanjutkan perjalanan, Siau-liong lepaskan tali itu.
“Uh, uh....,” bocah itu
pontang-panting jatuh terjerembab. Kepalanya benjul terbentur tanah dan
menangislah ia gerung-gerung ……
Melihat itu kawanan anak-anak
nakal segera mengepung Siau-liong. Siau-liong jengkel. Kalau didiamkan mereka
makin liar.
Siau-liong tak mau cari
perkara. Ia diam saja dan akhirnya anak-anak itu kesal sendiri. Pada saat itu
Siau-liong menyiak dua anak lalu menerobos keluar. Walaupun tak menggunakan
tenaga tetapi gerakan Siau-liong itu membuat kedua anak terpelanting jatuh.
“Hu, hu, huuu....,”
menangislah mereka.
"Tangkap penjahat!
Tangkap penjahat!" hiruk-pikuk kawanan anak nakal itu berteriak-teriak
sambil mengejar.
Tetapi Siau-liong sudah jauh.
Ia terhindar dari gangguan anak-anak nakal tetapi ia gagal membeli makanan dan
pakaian.
Saat itu ia duduk disebuah
batu dalam hutan. Sambil melepaskan lelah, ia mengusap-usap lencana Tengkorak
didadanya dengan menyeringai. Lencana itu berasal dari leher Tengkorak yang
berada dalam gua tempo hari.
Siau-liong termenung-menung
memikirkan nasibnya. Jika lain orang pada malam purnama itu duduk menikmati
kuweh Tiong-ciu-pia, adalah dia duduk seorang diri dalam hutan!
Tetapi perutnya
merintih-rintih minta isi. Memandang jauh kemuka, tampak dikaki gunung sebuah
bangunan besar yang terang-benderang penerangannya. Segera ia menuju kesana.
Tiba ditempat itu ia terkejut
dan ragu-ragu memasuki. Papan nama yang tergantung pada pintu rumah itu
bertuliskan Tay-hud-si atau gereja Buddha besar.
Pada kedua samping titian
dihalaman gereja itu tampak empat orang lelaki berdiri tegak tanpa baju. Pada
leher mereka melingkar kalung Lencana Tengkorak.
Melihat mereka tak berbaju,
hilanglah rasa malu Siau-liong yang bajunya compang camping. Tanpa banyak
pikir, ia segera naik ketitian....
Sebenarnya keempat penjaga itu
tentu melihatnya tetapi entah bagaimana mereka diam saja. Dan Siau-liong pun
juga tak mempedulikan mereka. Ia terus melangkah ke dalam pintu.
Di belakang pintu ternyata
merupakan sebuah halaman luas. Ujung halaman terdapat sebuah bangunan gedung
besar. Beratus-ratus orang memenuhi halaman dan gedung. Rupanya disitu sedang
diselenggarakan perjamuan besar.
Yang mengherankan Siau-liong
ialah semua orang yang hadir disitu sama tidak mengenakan baju dan sama
berkalung lencana tengkorak. Pada umumnya mereka bertubuh kurus kering, celana
kumal dan baunya busuk.
Siau-liong tak menghiraukan
siapa mereka. Paling penting ia hendak ikut duduk menyantap hidangan. Tiba-tiba
dua lelaki pincang muncul. Dengan mencekal tongkat, mereka menghampiri
Siau-liong. Muka mereka kotor, rambut kusut masai dan tubuh kurus sekali. Hanya
kedua matanya yang bersinar tajam. Yang seorang kakinya kiri yang pincang. Yang
seorang, kakinya kanan yang pincang.
"Budak, darimana
engkau?" tegur mereka.
Siau-liong terkesiap. Tak tahu
ia siapa mereka dan tempat apa itu. Dengan singkat ia menyahut,
“Hong-san!"
Kedua lelaki pincang itu
tertegun. Mata mereka berkilat-kilat memandang Siau-liong, tanyanya pula,
“Hendak kemana?"
"Mencari.... , "
baru Siau-liong hendak mengatakan 'Mencari ibu', ia merasa kelepasan omong dan
cepat mengganti dengan ucapan, “Menuju ketempat tujuan."
Kedua lelaki pincang itu
terkesiap heran.
Pertanyaan pertama, dijawab
salah. Tetapi pertanyaan kedua dijawab betul.
"Dari mana engkau
mendapat petunjuk?" tanya mereka.
"Dari dalam laut!"
"Kapan susou-ya
datang?" tanya mereka lagi.
Siau-liong sebal mendengar
pertanyaan yang tiada artinya itu. Cepat ia menukas, “Entah! Aku lapar, jangan
bertanya lagi!"
"Silahkan!" diluar
dugaan kedua lelaki pincang itu berputar tubuh dan berjalan lebih dulu.
Pucuk dicinta ulam tiba. Perut
lapar, malah diundang makan. Demikian anggapan Siau-liong. Segera ia mengikuti
kedua lelaki pincang itu menuju ke dalam gedung besar.
Semua hadirin diam saja. Beratus-ratus
mata mencurah ke arah Siau-liong. Tiba diujung ruangan kedua lelaki pincang itu
berlutut didepan seorang tua yang rambut dan alisnya sudah putih semua.
Jenggotnya yang berkilat-kilat seperti perak, menjulai sampai keperut. Tetapi
wajahnya masih segar seperti kanak-kanak.
"Seorang budak liar telah
menyelundup dengan menyamar sebagai anggauta kita. Harap bapak ketua
memeriksanya," kata lelaki yang pincang kaki kiri.
Orang tua yang disebut bapak
ketua atau pangcu itu, mendengus. Kedua lelaki pincang bangun dan berdiri
disampingnya.
Mata orang tua itu
berkilat-kilat menatap Siau-liong. Akan tetapi ketika pandang matanya tertumbuk
pada lencana Tengkorak yang melingkar dileher Siau-liong, ia terbeliak kaget!
Serentak berbangkitlah ia
pelahan-lahan. Dengan mencekal sebatang tongkat kumala hijau, ia menghampiri
Siau-liong. Pemuda itu terkesiap. Orang tua itu ditaksir sudah 80 tahun umurnya
tetapi masih gagah.... Tetapi mengapa sikapnya seperti bermusuhan?
Begitu dekat, orang tua itu
segera putar tongkatnya. Seketika tubuh Siau-liong dikurung oleh ribuan sinar
hijau kemilau.
Seluruh hadirin terkejut.
Mereka tak mengerti mengapa bapak ketua tiba-tiba menyerang seorang bocah liar
dengan jurus sakti Ciong-lo-ban-jio?
Semula Siau-liong terkejut.
Tetapi diam-diam ia merasa agak paham juga tentang jurus serangan itu. Dalam
taburan hujan sinar tongkat, ia dapat mengetahui dimana letak kelemahannya.
Maka bergeraklah ia dengan langkah yang aneh dan tahu-tahu ia sudah menerobos
keluar dari lingkaran sinar tongkat.
Pak tua itu tertegun sejenak.
Tetapi pada lain saat ia lancarkan lagi dua buah serangan dahsyat. Tetapi
lagi-lagi Siau-liong dapat meloloskan diri.
Kini sekalian hadirin
benar-benar terperanjat. Setelah tiga kali serangannya gagal, tiba-tiba pak tua
itu membungkuk badan memberi hormat kepada Siau-liong. Kemudian
mempersilahkannya masuk ke dalam ruangan besar.
Tiba-tiba orang tua itu
mengacungkan tongkat kumala ke atas dan serempak sekalian hadirin berlutut dengan
khidmat.
"Cousu-ya telah datang!
Dirgahayu! Dirgahayu!" teriak orang tua itu dengan nyaring.
"Dirgahayu! Semoga
panjang usia!" bergemuruhlah ruang gedung dan halaman menyambut pernyataan
pak tua itu.
Tiba-tiba pak tua itu berlutut
di tanah. Suasana hening seketika. Tiada seorangpun yang berani mengangkat
muka.
Sambil mencekal tongkat kumaia
dengan kedua tangan, pak tua itu berseru pula, “Ketua partai Kay-pang dari
Kanglam, Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong serta seluruh anak murid, mohon
maaf karena tak mengetahui akan kunjungan causu-ya!"
Diperlakukan sedemikian hormat
dan disebut-sebut sebagai causu-ya atau kakek guru, bukan kepalang kejut
Siau-liong. Masakan dirinya dianggap sebagai causu dari Kay-pang atau partai
kaum pengemis!
Namun sia-sialah Siau-liong
hendak memberi penjelasan. Mereka tentu tak percaya. Apa boleh buat, terpaksa
ia berseru, “Bangunlah! Bangunlah!"
Pengemis-jenggot-perak To
Kiu-kong ternyata ketua partai Kay-pang cabang Kanglam Dia memberi hormat lalu
bangun. Ia mengumumkan kepada hadirin bahwa Cousu-ya dari partai Kaypang yang
sudah berpuluh tahun tak muncul, sekarang berkunjung kesitu.
Seketika terdengar sambutan
para hadirin, bersorak dengan gegap gempita....
Tetapi diam-diam mereka kurang
yakin. Benarkah cousu-ya dari partai Kay-pang yang disohorkan sakti itu hanya
seorang pemuda yang baru berumur belasan tahun?
Perjamuan berjalan terus.
Pengemis-jenggot-perak duduk menemani Siau-liong. Kedua pengemis pincang
tadipun diperkenalkan kepada Siau-liong. Yang pincang kakinya kiri bernama Tio
Thou bergelar Thiat-koay-co atau Tongkat-besi-kiri. Sedang yang pincang kakinya
kanan bernama Li Ji gelar Thiat-koay-yu atau Tongkat-besi-kanan. Keduanya
menjabat pengurus besar
partai Kay-pang wilayah
Kanglam.
Selesai perjamuan, To Kiu-kong
menuturkan keadaan dan pergolakan dunia persilatan selama ini. Terutama hal
perkembangan partai Kay-pang.
Kay-pang termasuk Ceng-pay
atau partai golongan Putih. Merupakan sebuah partai yang kemasyhurannya sejajar
dengan lain-lain partai persilatan.
Kay-pang didirikan oleh
Kiu-ci-sin-kay atau Pengemis-sakti-jari-sembilan Ang Jit-kong pada akhir ahala
Song. Tetapi kemudian partai itu pecah menjadi dua. Yang satu didaerah selatan
dan menamakan diri sebagai Kanglam Kay-pang. Yang satu didaerah utara dengan
nama Kangpak Kay-pang.
Kedua partay Kay-pang itu
bentrok dan saling bermusuhan. Akhirnya dicapai persetujuan, mengajukan calon
ketua. Tiap tiga tahun bertemu dipuncak Lok-gan-hong gunung Hoasan, untuk
bertanding memperebutkan kedudukan ketua Kay-pang dari Kanglam dan Kangpak.
Yang kalah harus tunduk pada perintahnya.
Tokoh pertama yang menjabat
sebagai ketua Kanglam Kay-pang adalah Song Thian-kun bergelar Ko-lo-sin-kay
atau Pengemis Tengkorak-sakti. Dalam pertandingan di Hoasan, dia berhasil
mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang yang bernama Yong Jim.
Gelar Tengkorak-sakti itu
diberikan kepada Song Thian-kun karena tubuhnya yang kurus kering seperti
tulang terbungkus kulit. Setelah menjabat ketua umum kedua golongan partay
Kay-pang itu, ia membuat lencana tengkorak sebagai tanda pengenal diri. Lencana
pengenal itu diperuntukkan apabila ia mengeluarkan pengumuman, memanggil rapat,
memanggil seorang pengurus partai dan lain-lain yang menyangkut kepentingan
organisasi Kay-pang.
Berkat kesaktiannya, Song
Thian-kun telah berhasil tiga kali mengalahkan calon dari Kangpak Kay-pang.
Dengan begitu, ia dapat menjabat sebagai ketua umum selama 9 tahun.
Pada tahun kedua dalam
jabatannya yang ketiga kali sebagai ketua umum partai Kay-pang, di dunia
persilatan muncullah lima orang durjana besar. Dunia persilatan menggelari
mereka dengan istilah singkat: Thian, Te, Liong, Hou dan Bu-kek-gong-mo. Mereka
berlima memusuhi partai-partai persilatan yang ternama.
"Huh, partai-partai
persilatan yang membanggakan diri sebagai golongan Putih itu tak lain tak bukan
hanya gerombolan manusia-manusia busuk!" demikian ejekan yang dilontarkan
kelima durjana itu.
Pada saat partai-partai besar
sedang kewalahan menghadapi gangguan keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou,
tiba-tiba muncul pula Bu-kek-gong-mo atau si Pendekar Laknat!
Pendekar Laknat ini lebih gila
lagi. Dia gemar membunuh. Jiwa manusia dianggap seperti jiwa ayam saja. Oleh
karena tak mampu mengatasi, akhirnya partai-partai besar itu tak mampu
bertindak lagi. Mereka menutup diri, masing-masing menjaga keselamatan
tempatnya sendiri-sendiri.
Hanya Pengemis Tengkorak-sakti
Song Thay-kun satu-satunya tokoh yang berani menentang kawanan durjana ganas
itu. Ia mencari Pendekar Laknat dan bertempur selama tiga hari tiga malam.
Tetapi tetap tak ada yang menang dan kalah.
Keunggulan Pendekar Laknat terletak
pada ilmu tenaga-sakti Bu-kek-sin-kang. Sedang keistimewaan
Pengemis-tengkorak-sakti pada ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang sakti.
Akhirnya karena agak lengah,
Pengemis Tengkorak-sakti tersapu oleh sebuah pukulan Pendekar Laknat. Tetapi
durjana itupun terhunjam sebuah hantaman dari Pengemis Tengkorak-sakti.
Kedua-duanya sama-sama terluka
parah!
Sejak itu Pengemis
Tengkorak-sakti Song Thay-kun melenyapkan diri.... Sedang Pendekar Laknat
kabarnya pun dikeroyok oleh keempat durjana Thian, Te, Liong, Hou. Tetapi
keempat durjana itu gagal membunuh Pendekar Laknat. Mereka menderita luka dan
menyembunyikan diri.
Demi mengenangkan jasa
Pengemis Tengkorak-sakti. Song Thay-kun, partai Kay-pang wilayah Kanglam telah
menyempurnakan susunan organisasinya. Menurut tinggi rendahnya kedudukan,
setiap anggauta mengenakan lencana Tengkorak yang bentuknya berlainan.
Menentukan sandi-sandi pertanyaan rahasia untuk menghadapi orang yang tak
dikenal.
Sandi pertanyaan itu diajukan
kedua pengemis pincang tadi ketika menyambul Siau-liong. Dan pada saat melihat
anak itu berkalung lencana tengkorak, To Kiu-kong segera mengenalinya, sebagai
benda keramat peninggalan Pengemis Tengkorak-sakti Song Thay-kun. Kemudian
untuk menguji benarkah anak itu murid pewaris dari Song Thay-kun maka To
Kiu-kong telah gunakan jurus Ciong-lo-ban-jio menyerangnya........
Lenyapnya Pengemis
Tengkorak-sakti Song Thay-kun dari dunia persilatan, ikut hilang pula ilmu
pukulan sakti Thay-siang-ciang yang menjadi kebanggaan partai Kay-pang di
Kanglam. Kini hanya tinggal ilmu tongkat Ji-thau-ciang hwat saja yang turun
temurun diajarkan dikalangan anak murid
Kay-pang.
Jurus Ciong-lo-ban-jio atau
Ribuan-gajah-menginjak, merupakan jurus yang paling istimewa dalam ilmu tongkat
Ji-thau-ciang-hwat atau Pengemis-minta-tongkat. Tetapi jurus itu masih kalah
unggul dengan jurus Thay-siang-bu-kek, salah satu jurus dari pukulan sakti
Thay-siang-ciang.
Maka tadi begitu diserang,
Siau-liong segera tahu gerakan lawan dan terus gunakan jurus Thay-siang-bu-kek.
Dengan mudah ia dapat menghindari ketiga buah serangan To Kiu-kong.
Pada saat itulah
Pengemis-jenggot-perak To Kiu-kong baru benar-benar memastikan bahwa Siau-liong
adalah pewaris dari cousu-ya Kay-pang. Dengan begitu berarti Pengemis Tengkorak
sakti Song-thay-kun muncul kembali.
Girang To Kiu-kong sukar
dilukiskan!
Tahun ini Hoasan akan
dilangsungkan pertandingan untuk merebut kedudukan Ketua Umum Kay-pang. Maka
berkumpullah seluruh tokoh-tokoh penting dari murid-murid Kay-pang didaerah
Kanglam.
Mereka hendak merundingkan dan
menentukan jago yang hendak diajukan ke Hoasan. Untuk menghadang penyelundupan
orang luar maka setiap anggauta yang datang harus buka baju dan mengenakan
kalung berlencana tengkorak.
Demikian To Kiu-kong
mengakhiri penuturannya.
Saat itu Siau-liong
benar-benar tercengkam oleh berbagai perasaan. Heran, terkejut, girang, sedih,
cemas campur-aduk memenuhi rongga kalbunya.
Dia menjadi pewaris dari
Pengemis Tengkorak-sakti Song Thian-kun. Tetapi pun menjadi murid dari Koay
suhu atau si Pendekar Laknat. Padahal kedua tokoh itu semasa hidupnya, saling
bermusuhan.
Diapun ternyata putera dari si
wanita cantik Ki Ih yang dimusuhi oleh partay-partai persilatan. Lalu sebagai
pewaris Pengemis Tengkorak sakti Song Thay-kun, dia dianggap sebagai ketua
partai Kay-pang daerah Kanglam. Ia bersahabat dengan partai-partai persilatan
dan bermusuhan dengan partai Kay-pang daerah Kangpak.
Tetapi sebagai murid dari
Pendekar Laknat dan putera dari Ki Ih, ia harus memusuhi semua manusia di
dunia!
Ah, bagaimanakah ia harus
bertindak....?
Kepada orang-orang Kay-pang,
ia mengaku bernama Kongsun Liong. Ia menuturkan juga pengalamannya masuk ke
dalam perut bumi dan memperoleh ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang.... Hanya
mengenai pertemuannya dengan Koay suhu si Pendekar Laknat, ia tak menceritakan
kepada mereka.
Kini sekalian anggauta
Kay-pang menyadari bahwa ketua mereka yang sakti Pengemis Tengkorak-sakti Song
Thian-kun sudah meninggal. Dan percaya pula bahwa pemuda itu memang benar-benar
menerima ilmu warisan dari Song Thay-kun. Dengan demikian partai Kay-pang
daerah Kang-lam akan jaya kembali. Mereka telah memperoleh pengganti ketua yang
baru!
Sejak bertahun-tahun belum
pernah pesta pertemuan anggauta Kay-pang wilayah Kanglam, semeriah dan
segembira seperti saat itu. Hiruk pikuk kegembiraan berkumandang jauh sampai
diluar biara....
Sekonyong-konyong dari luar
pintu biara terdengar sebuah tertawa gemercik. Sebuah nada yang berciri khas
tersendiri.
"Ah, dia datang," To
Kiu-kong tertawa.
"Siapa?" tanya Siau-liong.
"Salah seorang anggauta
pengurus besar partai kita Siau-kay To Tay-tong."
Siau-kay atau Pengemis tertawa
Tio Tay-tong melangkah masuk dan memberi hormat kepada To Kiu-kong lalu
tiba-tiba berseru, “Dunia kacau! Dunia kacau balau."
"Memang kuduga engkau
membawa berita luar biasa. Hayo, cepat beri hormat kepada cousu-ya dulu!"
seru To Kui-kong.
Memandang Siau-liong,
Pengemis-tertawa itu terbeliak. Tetapi ketika melihat lencana tengkorak didada
Siau-liong, cepat ia berlutut memberi hormat.
Siau-liong merasa kikuk. Ia
minta jangan dipanggil Cousu-ya atau kakek guru. Tetapi To Kiu-kong mengatakan
bahwa sebutan itu memang diberikan kepada mendiang Pengemis Tengkorak sakti.
Karena Siau-liong dianggap sebagai penggantinya maka harus menerima sebutan
itu.
Kemudian To Kiu-kong minta
penjelasan kepada Pengemis-tertawa, “Apa maksudmu, mengatakan dunia kacau-balau
tadi?"
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong
tertawa nyaring sekali, sahutnya, “Dengan munculnya Cousu-ya, pasti akan lebih
ramai lagi!"
"Lekas katakanlah!"
tukas To Kiu-kong.
"Semua
dedongkot-dedongkot persilatan sama muncul lagi. Dunia persilatan pasti akan
dilanda banjir darah pula! Bukankah dunia kacau-balau?" seru
Pengemis-tertawa itu.
Sekalian orang terperanjat.
Bahkan ada yang menggigil gemetar.
"Konon kabarnya si
Cantik-beracun Ki Ih muncul didaerah Siok-ciu. Kelima durjana besar pada jaman
20-an tahun berselang yakni Thian, Te, Liong, Hou dan Pendekar Laknat muncul
lagi. Kay-se Thian-mo dan Te-gak Lo-sat kabarnya tampakkan diri digunung Thian-san.
Keng-san Siat-liong dan Hou-pik Kau-hun, unjuk diri di Se-pak. Lalu Pendekar
Laknat timbul digunung Hoa-san. Menurut kabar, begitu muncul Pendekar Laknat
dengan dua kali pukulan saja telah menghancurkan belasan tokoh-tokoh lihay.
Coba katakanlah, apakah dunia takkan kacau-balau?"
"Hongsan? Bukankah
Cousu-ya juga datang dari gunung itu? Apakah cousu-ya mengetahui hal itu?"
tanya To Kiu-kong kepada Siau-liong.
"Hal ini.... karena
hampir setahun aku berada dibawah gunung maka tak pernah kudengar apa-apa,"
jawab Siau-liong.
Suasana perjamuan yang
gembira-ria, mendadak berobah menjadi tegang regang, cemas gelisah. Tengah
sekalian orang gelisah, tiba-tiba di udara menggema lagi sebuah tertawa
gelak-gelak yang amat nyaring.
Sekalian orang terkejut. Mereka
memandang kesekeliling penjuru tetapi tak tampak suatu apa. Siau-liong dan
beberapa tokoh Kay-pang segera melangkah keluar.
Dibawah sinar bulan purnama,
tampak seorang aneh berdiri di atas puncak rumah. Orang itu mengenakan pakaian
warna biru. Mukanya ditutup kain selubung hitam.
Siau-liong cepat loncat
kewuwungan disusul To Kiu-kong, Pengemis-tertawa, Tongkat-besi-kiri Tio Thau,
Tongkat-besi-kanan Li Ji dan lain-lain.
Siau-liong terkejut melihat
pendatang yang serba misterius itu. Pada saat ia hendak menegur, tiba-tiba
orang aneh itu sudah lancarkan dua buah pukulan kepadanya. Tangan kiri memukul
dengan jurus Toh-beng-han-kong atau Sinar-dingin-merenggut-nyawa. Tangan kanan
menghantam dengan jurus Kian-gun-it-biat atau pukulan Panglebur-jagad!
Siau-liong terpaksa mundur
selangkah, Melihat serangan itu begitu hebat, ia duga orang itu tentu bukan
tokoh sembarangan. Ingin ia menyapa tetapi kembali orang itu menyerangnya lagi.
Dua buah tangannya susul
menyusul melontarkan hantaman dengan jurus yang aneh dan dahsyat. Dalam sekejab
saja, sembilan buah pukulan berantai dan enam buah tendangan, telah
diserangkan.
Siau-liong tak sempat bertanya
lagi. Ia mengkal sekali kepada keberandalan orang itu. Segera ia balas
menyerang dengan ilmu pukulan Gun-go-ciang ajaran gurunya Kongsun Sin-to yang
terdiri dari 36 jurus.
Namun orang misterius itu
memiliki kelincahan yang mengagumkan sekali. Jurus-jurus pukulannya sangat
aneh, penuh perobahan yang sukar diduga.
Baru lebih kurang sejam
dinobatkan sebagai ketua Kay-pang, Siau-liong sudah mendapat ujian berat.
Diam-diam ia mengagumi kesaktian orang itu.
Tetapi diam-diam ia malu
terhadap anak buah Kay-pang karena sudah bertempur seratus jurus masih belum
dapat mengalahkan lawan. Rasa malu itu membangkitkan kemarahan Siau-liong
......
5. Barisan Tengkorak
TO KIU-KONG terkesiap.
Dahulu ilmu pukulan
Thay-siang-ciang yang dimainkan mendiang Pengemis Tengkorak, tidaklah sedahsyat
yang dilancarkan Siau-liong saat itu.
Tetapi kesaktian orang
berkerudung itupun bukan olah-olah. Memang pada saat menghadapi taburan
Thay-lo-kim-kong-ciang, ia terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Tetapi
setelah itu, ia loncat menerjang maju lagi.
Siau-liong marah. Cepat ia
melambung ke udara. Setelah berputar-putar, ia menukik dan siap lancarkan jurus
kedua: Siu-lo-pan-cha.
Ketika melihat sepasang
telapak tangan Siau-liong berkilat-kilat merah, To Kiu-kong dan kawan-kawannya
memekik kaget: Bu-kek-sin-kang!
Sebenarnya Siau-liong tak mau
menggunakan ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang itu. Karena hal itu akan mengakibatkan
dirinya diketahui orang. Tetapi karena musuh terlampau sakti, terpaksa ia
mengeluarkan pukulan tenaga sakti itu.
To Kiu-kong terkejut. Ia duga
orang berkerudung itu tentu hancur. Tetapi diluar dugaan orang misterius itu
malah tertawa melengking menghindar kesamping dan menyongsong pukulan
Siau-liong dari samping.
“Dess....,” kembali terjadi
benturan antara tenaga sakti keras lawan tenaga sakti lunak. Dan pukulan
Siau-liong itupun buyar....
Siau-liong makin heran.
Alangkah hebatnya kepandaian orang itu! Diam-diam Siau-liong seperti pernah
mengenal ketawa dan gerak-gerik orang itu. Tetapi entah dimana, ia lupa. Dan
yang terutama membuat Siau-liong terpukau ialah tenaga-lunak yang dimiliki
orang itu. Benar-benar ia belum pernah menyaksikan.
To Kiu-kong dan rombongannya
terkejut karena melihat Siau-liong tertegun diam. Tetapi sebelum mereka
bertindak, orang aneh itu sudah buang diri berjumpalitan beberapa tombak ke
belakang. Kemudian dengan tiga kali locatan, ia sudah lolos.
Siau-liong cepat mengejar.
To Kiu-kong gelagapan. Sungguh
berbahaya membiarkan ketua mereka mengejar seorang diri. Segera ia ajak anak
buahnya menyusul. Tetapi walaupun menyusup hutan melintasi gunung, mereka tak
dapat menemukan ketua mereka dan orang aneh itu.
Tiba-tiba dari arah tenggara
terdengar suitan nyaring. To Kiu-kong dan anak buahnya segera menuju kesana.
Mereka tiba di sebuah kuil kecil dipinggir kaki gunung. Sekelilingnya penuh
pohon cemara dan hutan bambu. Rakyat menamakan Thing-si-poh atau kuil Penyimpan
Peti mati. Suitan tadi jelas berasal dari kuil itu.
Saat itu rembulan sudah
condong kebarat. Suasana disekeliling kuil, amat seram. Bahkan seorang jago
sakti seperti To Kiu-kong, diam-diam pun menggigil dalam hati.
Tetapi rasa seram itu segera
lenyap ketika menyadari bahwa suitan nyaring tadi jelas tentu dari jago silat
yang memiliki lwekang sakti. To Kiu-kong segera menghampiri kuil itu. Dan
ketika mengintai ke dalam kuil, hampir saja To Kiu-kong dan anak buahnya
terkejut pingsan.... Soh-beng Ki-su yang berwajah seperti mayat, tengah
berputar-putar diantara peti mati karena hendak menerkam si dara cantik Tiau
Bok-kun!
Dalam ruang kuil itu terdapat
tak kurang dari duaratus buah peti mati. Tiau Bok-kun termasyhur memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sakti. Karena itu kaum persilatan menyanjungnya dengan
gelar Dewi Kilat.
Entah bagaimana mulanya Tiau
Bok-kun dikejar-kejar Soh-beng Ki-su dalam kuil situ. Untung berkat ginkangnya
yang sakti, nona itu dapat berlincahan menyelundup diantara sela-sela peti mati
sehingga Soh beng Ki-su meraung-raung seperti singa kelaparan.
Seharusnya To Kiu kong tak
dapat berpeluk tangan mengawasi nona itu diancam Soh-beng Ki-su yang termasyhur
sebagai Hwat-giam-lo-ong atau Giam-lo-ong hidup (Raja Akhirat). Tetapi ketua
Kay-pang itupun menyadari bahwa jika sekali pukul tak dapat membinasakan
Soh-beng Ki-su, akibatnya berbahaya. Kay-pang tentu akan tambah mendapat
seorang musuh yang ganas.
Tampak Soh-beng Ki-su mengamuk
sekali. Kesepuluh jarinya yang runcing macam cakar garuda, mendesis-desis mengeluarkan
asap Pek-kut-kang atau ilmu sakti Tulang-putih mulai dilancarkan!
Dibawah taburan ilmu-sakti
Pek-kut-kang itulah dahulu Tiau Bok-kun pernah menderita luka. Untung pada
waktu itu ia ketemu dan ditolong Siau-liong.
Seketika pucatlah wajah Tiau
Bok-kun.
“Cress....,” tiba-tiba Soh
beng Ki-su mencengkeram. Dan serempak dengan itu, To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa segera hendak loncat menerjang untuk menolong Tiau Bok-kun. Tetapi,
uh.... terpaksa mereka hentikan gerakannya.
Ternyata cengkeraman Soh-beng
Ki-su itu tidak ditujukan pada Tiau Bok-kun tetapi kesebuah peti mati yang
berada di samping kanannya.
“Krak....,” kayu penutup peti
hancur lebur beterbangan keempat penjuru....
Kiranya tujuan Soh-beng Ki-su
hanya hendak memamerkan betapa dahsyat tenaga cengkeramannya itu agar si nona
menyerah saja. Demikian dugaan To Kiu-kong. Tetapi ternyata dugaan itu meleset.
Setelah menghancurkan tutup
peti, jari Soh-beng Ki-su tetap memancarkan aliran tenaga sakti ke dalam peti.
Tiba-tiba mayat dalam peti itu pun bangun.
Dalam kuil di tengah hutan
dengan berisi duaratus buah peti mati, sudah cukup membuat nyali copot. Apalagi
sesosok mayat dapat bangun dan duduk. To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa hampir
jatuh kelenger....
Karena takutnya Tiau Bok-kun
menjerit. Tetapi karena Soh-beng Ki-su menghadang dimuka, terpaksa ia
menyelinap mundur ke belakang dua buah peti mati.
Soh-beng Ki-su mengangkat
tangan dan tengkorak itupun berdiri lalu loncat keluar dari peti matinya.
Hai! Adakah Soh-beng Ki-su
memiliki ilmu sihir?
Tidak! Ilmu itu disebut tenaga
sakti Pek-kut-kang atau ilmu Tulang Putih. Ilmu tersebut didasarkan pada
latihan menyedot hawa phosporus mayat-mayat yang sudah menjadi tengkorak.
Dengan latihan itu dapatlah Soh-beng Ki-su menggerakkan mayat dan diperintah
menurut sekehendak hatinya. Antara lain disuruh bersilat dan menyerang orang!
Berturut-turut Soh-beng Ki-su
menghidupkan tengkorak-tengkorak lalu diperintahkannya mengepung Tiau Bok-kun.
Diantara mayat-mayat yang dihidupkan itu, terdapat beberapa kerangka tengkorak
yang masih belum hancur dagingnya. Selain ujutnya mengerikan, pun baunya bukan
alang kepalang....
Tiau Bok-kun menggigil.
Gerahamnya berkerenyut keras. Sambil kepalkan tinju dan memegang pedang
erat-erat, ia bersiap-siap.
Setelah menghidupkan
tengkorak-tengkorak itu, Soh-beng Ki-su pun segera berseru memberi perintah.
Sesosok tengkorak segera mainkan kedua tulang tangannya menyerang Tiau Bok-kun.
Nona itu tak gentar. Ia mainkan pedangnya dalam jurus Angin-puyuh. Tetapi pada
saat sepasang tulang lengan tengkorak itu akan tertabas, tiba-tiba Soh-beng
Ki-su gerakkan tangan kiri dan berseru memberi komando, “Si-heng pian-yap....”
Tengkorak disebelah kiri yang
kerat dagingnya masih melekat, segera menyerang Tiau Bok-kun. Bau busuk
berhamburan memenuhi ruang.
Hebat dan ngeri sekali!
Dibawah perintah gerakan tangan Soh-beng Ki-su, tengkorak yang masih berdaging
itu dapat menyerang dengan ilmu pukulan Pek-kut-kang yang hebat.
Nona itu tak keburu menangkis.
Untung ia memiliki ginkang yang hebat dan otak yang tajam. Sekonyong konyong ia
bertekuk tubuh ke belakang sampai punggung mendatar dengan tanah. Pedang dilintangkan
untuk menjaga tubuh. Kemudian dengan sebuah gerakan yang luar biasa, ia
melenting kemuka dan menerobos kepungan, melalui celah dua sosok tengkorak.
Tetapi usaha nona itu tak
banyak menolong. Hanya beberapa detik ia dapat bernapas legah atau ia terkejut
karena dapatkan dibelakangnya itu merupakan dinding kuil. Tak mungkin ia dapat
loncat mundur lagi. Sedang kelima tengkorak itu hanya dengan dua tiga kali
loncatan, sudah berjajar menghadang Tiau Bok-kun. Walaupun tengkorak-tengkorak
itu sudah tak bermata lagi tetapi muka mereka yang tertuju kepada si nona, tak
ubah seperti orang yang dapat melihat.
Pada saat Tiau Bok-kun sedang
terpojok, Soh beng Ki-su pun giat menghancurkan tutup beberapa peti mati lagi.
Berpuluh-puluh tengkorak loncat keluar dari peti masing-masing. Ada yang
mukanya hancur tetapi hidungnya complong tetapi mulut masih melekat dengan
jenggot yang memanjang lebat. Pendek kata, barang siapa menyaksikan pemandangan
saat itu, tentu akan pingsan atau mati kaku!
Berpuluh-puluh mayat dan tengkorak
yang tak keruan ujutnya itu, berkerumun mengepung Tiau Bok-kun. Betapapun hebat
ilmu ginkang nona itu, namun kiranya tak mungkin ia mampu lolos dari kepungan
barisan Si-mo-tin atau barisan Tengk-rak itu.
To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa mempunyai rencana sama. Satu-satunya jalan untuk menolong si nona.
hanyalah dengan meringkus Soh-beng Ki-su.
Namun keduanya menyadari bahwa
sekalipun keduanya maju serempak, belum tentu dapat mengalahkan Soh-beng Ki-su.
To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa benar-benar tersiksa batinnya. Tidak menolong, tak sampai hati. Namun
menolong pun belum tentu berhasil. Dan kegagalan itu berakibat besar bagi
partai Kay-pang.
Namun dapatkah mereka hanya
berpeluk tangan saja? Ah, perbuatan itu berlawanan dengan jiwa seorang ksatrya!
Tetapi sebelum keduanya
bertindak, tiba-tiba lima sosok bayangan melayang masuk dari atas tembok dan
berjajar di belakang Soh-beng Ki-su. Mereka bukan lain adalah ketua
Kong-tong-pay To Hun-ki dan keempat Kong-tong Su-lo.
Serentak Soh-beng Ki-su
berputar tubuh, “Oho, disurga terbentang jalan lebar, kamu malah pilih masuk ke
Neraka. Bangsat tua, serahkan jiwamu!"
Soh-beng Ki-su atau Pertapa
Pencabut-nyawa itu gerakkan sepasang jari tangannya yang runcing. Seketika
ribuan cakar putih berhamburan ke arah kelima tokoh partai Kong-tong-pay itu.
Kui-ing-tong-tong atau Bayangan-setan-lalu-lalang, demikian jurus yang
dimainkan pertapa gila itu.
Tiau Bok-kun tak mau
mensia-siakan kesempatan sebagus itu. Pada saat Soh-beng Ki-su sibuk menghadapi
kelima tokoh Kong-tong-pay, nona itu segera mainkan pedang dalam jurus
Sip-hong-sip-u atau Sepuluh-angin-sepuluh-hujan untuk membobol kepungan barisan
tengkorak yang tak berkomando.
Tetapi gerak gerik nona itu
tak luput dari pengawasan si pertapa ganas. Seperti tumbuh mata pada
punggungnya, Soh-beng Ki-su segera memberi perintah kepada barisan Tengkorak,
“Cui-si-kui-gok."
Mendengar perintah
Cui-si-kui-gok atau Mayat hancur-iblis-menangis itu, barisan Tengkorak segera
menyerbu Tiau Bok-kun lagi. Dan anehnya, tengkorak yang mempelopori penyerangan
itu dapat menghindar apabila Tiau Bok-kun menabasnya. Mereka tetap merangsang
maju.
Tiau Bok-kun makin gugup. Ia
mainkan jurus Hong-u-put-thou atau tak-tembus-hujan-angin untuk melindungi
diri....
Dalam pada itu To Hun-ki dan
keempat Su-lo, dengan susah payah dapat menghindari serangan pertapa ganas itu.
Tetapi belum sempat balas menyerang, Soh-beng Ki-su sudah menyerangnya sambil
memberi komando kepada barisan Tengkorak. Tetapi karena perhatiannya agak
terpecah dalam memberi komando dan menyerang sendiri, mala berkuranglah
kedahsyatan serangan barisan Tengkorak maupun Soh-beng Ki-su sendiri. Dengan
begitu Tiau Bok-kun dapat bertahan beberapa saat.
Seperti telah dituturkan
dibagian muka, pada saat menghadapi si wanita cantik Ki Ih, Soh-beng Ki-su
terpaksa mundur dan melarikan diri ke dalam kuil itu. Sebenarnya ia hendak
mempersiapkan barisan Tengkorak untuk membunuh wanita itu. Tetapi tak
terduga-duga, Tiau-Bok-kun melangkah masuk. Melihat itu iapun terus menerkam si
nona....
Mendiang ayah nona itu telah
meninggalkan sebuah Giok-pwe atau Pending Kumala. Nona itu tak menyangka sama
sekali bahwa Giok-pwe itu ternyata sebuah tempat penyimpanan pusaka. To Hun-ki
sudah memperoleh separoh bagian. Jika ia dapat merebut separoh bagian yang
menjadi milik Tiau Bok-kun, tentulah ia dapat menemukan tempat penyimpanan
pusaka itu. Apabila berhasil, bukan saja wanita cantik Ki Ih, bahkan kelima
durjana yang termasyhur itu, pun dapat ditundukkan.
Demi membangun pamor kejayaan
Kong-tong-pay dan nasib dunia persilatan maka To Hun-ki berusaha keras untuk
memperoleh Giok-pwe itu. Apabila benda itu sampai jatuh ketangan si Pertapa
Pencabut-nyawa, akibatnya ngeri sekali. Soh-beng Ki-su seperti harimau tumbuh
sayap.
Tetapi Tiau Bok-kun pun
mati-matian mempertahankan peninggalan orangtuanya. Maka terjadilah peristiwa
kejar mengejar yang seru itu.
Pertempuran antara Tiau
Bok-kun lawan barisan Tengkorak dan kelima tokoh Kong-tong-pay lawan Pertapa
Pencabut-nyawa, telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus To Hun-ki tak
mungkin menang dan Tiau Bok-kun pun tak mungkin lari. Adakah To Hun-ki tak
menyadari kedudukaannya?
Tidak! To Hun-ki tahu bahwa ia
tak mungkin menang. Tetapi ia tetap bertempur karena supaya dapat memberi
kesempatan Tiau Bok-kun lolos. Apabila nona itu lolos, kelak ia tentu masih
mempunyai kesempatan untuk merebut Giok-pwe.
Untuk memberi kesempatan lari
kepada si nona, To Hun-ki memancing lawan supaya bertanding diluar kuil. Tetapi
pertapa ganas itu tak mau disiasati. Ia tertawa mengekeh dan tetap merangsang
kelima tokoh Kong-tong-pay.
To Hun-ki teringat tempo
bertempur seorang diri melawan pertapa itu, ia dapat bertahan sampai 30 jurus.
Segera ia mengambil keputusan. Keempat Su-lo disuruh membantu si nona
meloloskan diri dari kepungan barisan Tengkorak. Sedang Soh-beng Ki-su hendak
dihadapinya sendiri.
Tetapi berhadapan dengan
manusia licin macam Soh beng Ki-su, To Hun-ki benar-benar mati kutu. Sebelum
sempat menjalankan rencananya, Soh-beng Ki-su sudah mendesak kelima tokoh
Kong-tong-pay itu dengan gencar dan menggiring mereka ke dalam barisan
Tengkorak.
Melihat suasana pertempuran,
To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa tak dapat tinggal diam lagi. Tetapi sebelum
mereka bertindak, lagi-lagi muncul pula seorang wanita baju putih, memakai
kerudung warna hitam dan mencekal sebatang pedang San-tiam-kiam.
"Ki Ih si Ular
cantik!" serentak sekalian orang berteriak kaget dalam hati. Hanya Tiau
Bok-kun yang tak kenal siapa wanita aneh itu.
Belum wanita itu berdiri
tegak, pedangnya sudah menghambur ke arah barisan Tengkorak. Dua tiga sosok
tengkorak, hancur berantakan....
Soh-beng Ki-su cepat mencabut
senjatanya yang berbentuk piau atau passer untuk menyambut.
Sepuluh tahun yang lalu, ilmu
pedang San-tiam-kiam atau Pedang Kilat dari Ki Ih sudah termasyhur. Kini
setelah berselang 10 tahun, tentulah jauh lebih hebat lagi. Ilmu pedang itu
selalu berlawanan geraknya dengan ilmu pedang biasa. Gerakan yang kosong
ternyata gerakan sesungguhnya dan gerakan yang tampak sungguh kiranya kosong.
Gelombang sinar pedang dan
deru angin yang dahsyat makin menguasai sinar senjata Soh-beng Ki-su. Namun
pertapa itu bukanlah lawan yang empuk. Dengan ilmu Pek-kut-kang, ia dapat
memberi perintah kepada barisan Tengkorak supaya memecah diri dalam kelompok
kecil untuk mengurung setiap lawan. Dengan mendapat bantuan barisan Tengkorak
itu, Soh-beng Ki-su dapat memperbaiki kedudukannya yang terdesak.
Ki Ih memang lihay tetapi
betapa pun ia seorang wanita. Berhadapan dengan tengkorak-tengkorak yang amat
menyeramkan, hatinya ngeri juga sehingga mengakibatkan permainan pedangnya agak
lamban.
Melihat permainan pedang Ki Ih
tak begitu mantap lagi, Soh-beng Ki-su segera pergencar serangannya dan
berhasil menguasai permainan lawan.
Ki Ih terdesak tetapi di sana,
Tiau Bok-kun dan kelima tokoh Kong-tong-pay berhasil merubuhkan tujuh delapan
sosok tengkorak.
Soh-beng Ki-su mulai cemas.
Kalau Tiau Bok-kun sampai lolos, berantakanlah rencananya. Memikirkan hal itu,
perhatiannya agak terpecah. Keadaan itu tak lepas dari pengamatan Ki Ih. Dengan
beberapa serangan dapatlah ia merobah kedudukannya. Dari yang diserang menjadi
penyerang.
Soh-beng Ki-su benar-benar
gelisah. Buru-buru ia bolang-balingkan cakarnya ke arah deretan peti mati. Tak
kurang dari 30 buah peti mati hancur tutupnya dan mayat-mayat di dalamnya
segera berloncatan keluar menyerbu musuh.
Pertapa Pencabut-nyawa itu
tertawa seram dan barisan Tengkorak lalu meraung-raung, menangis macam iblis
merintih-rintih....
Dengan munculnya barisan
bantuan itu, Ki Ih dan rombongan Kong-tong-pay terdesak lagi. Mereka lebih
banyak bertahan daripada menyerang....
Sekonyong konyong terdengar
suara tertawa menggeledek. Dikala sekalian orang terkesiap, sesosok tubuh dalam
jubah gerombyongan, melayang masuk ke dalam ruang. Gerakannya gesit dan tak
mengeluarkan suara apa-apa....
Sekalian orang terkejut dan
yang paling terperanjat sendiri adalah Soh-beng Ki-su. Hampir ia tak percaya
pada apa yang dilihatnya.
"Ah, tak mungkin!
Bukankah dia sudah kuhantam mati di lembah gunung Hong-san? Mustahil orang mati
dapat hidup kembali," bantahnya dalam hati.
"Siapakah engkau,
hai!" tegurnya bengis untuk menenangkan getar hatinya.
Wut.... orang aneh itu
menjawab dengan kebutkan lengan jubahnya. Secercah sinar merah berkilat dan dua
tiga puluh tengkorak segera hancur menjadi abu....
"Pendekar Laknat!"
seru Soh-beng Ki-su terkejut.
"Hm, benar! Memang orang
yang kau bunuh itu tidak mati!" sahut orang aneh itu.
"Lalu siapa yang mati
itu?"
Orang aneh itu tertegun
sejenak, sahutnya, “seorang tua yang tak berdosa!"
Soh-beng Ki-su makin gentar.
Akhirnya ia berseru kalap, “Mau apa engkau kemari?"
Orang aneh itu tertawa
nyaring. Ruang kuil bergetaran.
"Aku hendak menuntut
balas atas kematian orang tua itu!" katanya seraya mendorong dengan kedua
tangannya. Segulung hawa panas melanda dan hancurlah sisa-sisa barisan
Tengkorak....
Tiau Bok-kun tak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Cepat ia menyelinap keluar. To Hun-ki dan keempat
Su-lo mengikuti lolos. Melihat ketua Kong-tong-pay kabur, Ki Ih cepat
mengejar....
To Kiu-kong dan Pengemis
Tertawa yang menyaksikan di atas tembok kuil, diam-diam merasa heran. Rasanya
dahulu Pendekar Laknat itu tidak sedemikian tinggi besar. Namun kalau menilik
ilmu pukulan Bu-kek-sin-kang yang dilancarkan itu, memang benar Pendekar
Laknat.
Memang hal itu dapat
dimengerti karena kedua tokoh pengemis itu tentu tak dapat membayangkan bahwa
Pendekar Laknat yang muncul saat itu bukan lain adalah Siau-liong sendiri.
Itulah yang kedua kalinya ia
menyamar sebagai Pendekar Laknat. Dan untuk yang kedua kalinya pula berjumpa
dengan ibunya. Sayang ia tak tahu bahwa wanita berkerudung muka adalah Ki Ih,
ibunya sendiri. Tetapi andaikata tahu, pun ia tentu tak leluasa bicara karena
masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.
Setelah mereka pergi, barulah
Siau-liong terkesiap. Ia curiga akan gerak-gerik wanita berkerudung tadi. Cepat
ia memutuskan, bunuh dulu Pertapa Pencabut-nyawa itu, baru mengejar wanita
berkerudung yang diduga tentulah ibunya.
Diserangnya Soh-beng Ki-su
dengan jurus Sin-liong-thay-san atau Naga-sakti-gunung-Thaysan. Tetapi Pertapa
itu bukan tokoh lemah. Tak mau ia gunakan senjata melainkan dengan tangannya
yang mirip cakar burung garuda. Ia menakar pukulan lawan dengan sepuluh jari
yang disaluri tenaga sakti Pek-kut-kang atau Tulang-putih.
Siau-liong masih belum dapat
menguasai lwekang Bu-kek-sin-kang. Ia hanya tahu menggunakan tenaga sakti itu
dengan cara keras. Akibatnya ia menderita. Ia terhuyung-huyung mundur sampai
empat langkah. Darahnya bergolak keras.
Soh-beng Ki-su juga terserut
mundur selangkah. Hanya penderitaannya lebih kecil dari lawan.
Setelah tenangkan diri,
Siau-liong mengatur siasat. Tubuhnya bergerak ke kanan kiri lalu tangannya
mengendap ke bawah. Tiba-tiba tangannya dibalikkan menampar kekiri. Ah,
ternyata dia lancarkan jurus pukulan Membalik-langit. Dari delapan penjuru,
melandalah angin lwekang panas ke arah Soh beng Ki-su....
Soh-beng Ki-su cepat menyurut
mundur. Ia tahu bahwa ilmu pukulan Pek-kut-kang tak berguna terhadap Pendekar
Laknat. Segera ia gunakan jurus Yang-kek-im-seng atau Hawa-positip-berganti
Negatip. Jurus itu merupakan salah satu jurus hebat dari ilmu pukulan
Thay-im-ki-bun-sip-pat-hoan yang terdiri dari delapan belas jurus.
Terdengar letupan keras ketika
dua buah pukulan yang berlawanan sifatnya itu, saling berbentur....
Tamparan dari sebelah kiri tak
berhasil, Siau-liong cepat mengganti dengan tamparan sebelah kanan. Gejolak
angin menghambur lebih dahsyat. Memang tamparan kiri itu berbeda sifatnya
dengan tamparan kekanan. Lebih mantap dan lebih berat.
Tetapi Soh-beng Ki-su tetap
gunakan salah sebuah jurus dari ilmu Thay-im-ki bun-sip-pat-hoan untuk
menghalau serangan pemuda itu.
Siau-liong marah. Ia
rangkapkan kedua tangan lalu mendorong kemuka. Itulah yang disebut pukulan
To-sia-san-ho atau Menjungkir-balikkan-gunung-dan-sungai. Perobahannya paling
banyak dan perbawanya paling dahsyat.
Tetapi Soh-beng Ki-su dapat
tetap menangkis.
Akhirnya tersadarlah
Siau-liong. Hanya diimbangi dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang ajaran
mendiang Pengemis Tengkorak Song Thian-kun. Barulah pukulan lwekang-sakti
Bu-kek-sin-kang itu benar-benar dapat mengembang kedahsyatannya. Tetapi, ah,
jika ia gunakan pukulan Thay-siang-ciang, tentulah dirinya akan dikenal To
Kiu-kong dan Pengemis Tertawa yang bersembunyi diluar kuil. Padahal ia tak
menghendaki hal itu.
Karena keseganan itu maka
walaupun sudah bertempur berpuluh jurus, tetap ia tak mampu mengalahkan
Soh-beng Ki-su. Namun ia tak mau memberi ampun kepada musuh yang telah membunuh
Koay suhu atau Pengemis Tengkorak itu.
Akhirnya ia mendapat akal.
Sengaja ia pura-pura kalah dan mundur, ketika ia mundur sampai diambang pintu,
Soh-beng Ki-su menghunjamnya dengan sepasang pukulan dahsyat dan Siau-liong
membiarkan dirinya dilanda angin pukulan lawan. Begitu malayang turun diluar
kuil, cepat ia kebutkan lengan jubah ke arah To Kiu-kong dan Pengemis Tertawa.
Sudah tentu kedua tokoh pengemis itu terkejut bukan kepalang. Jika tak cepat
lari, tentulah tubuh mereka hangus dilanda lwekang panas Bu-kek-sin-kang.
Sekali loncat kedua tokoh itu kaburlah.
Tepat pada saat mereka lari,
terdengarlah jeritan ngeri dan rubuhnya tembok kuil. Tetapi tokoh-tokoh
pengemis itu tak berani berpaling muka. Mereka lari terbirit-birit.
Siasat Siau-liong berhasil.
Setelah dapat menghalau kedua tokoh Kay-pang itu, ia segera lepaskan pukulan
Thay-siang-ciang disertai lwekang Bu-kek sin-kang. Jurus yang dipilih
Siau-liong adalah jurus Siu-lo-pan-cha. Jurus yang paling dahsyat dan tepat
untuk menghancurkan segala macam iblis laknat termasuk seorang durjana besar
seperti Soh-beng Ki-su.
6. Mawar Putih dari Luar
Lautan
Pertapa itu menjerit ngeri. Ia
terluka parah Tembok kuil yang berada dibelakangnya ambruk. Tetapi sebagai rase
tua, walaupun dalam keadaan terluka, ia masih dapat menggunakan tipu siasat.
Darah yang hendak menyembur dari mulut ditekan sekuatnya. Dan ia masih tetap
melayani serangan Siau-liong dengan tenang. Begitu memperoleh kesempatan,
tiba-tiba ia semburkan darahnya kemuka lawan.
Siau-liong terkejut.
Setitikpun ia tak menyangka akan menerima serangan yang begitu luar biasa.
Darah yang disemburkan mulut Soh-beng Ki-su itu jauh lebih berbahaya dari
segala macam senjata rahasia. Jika kena, muka Siau-liong tentu hancur lebur!
Cepat pemuda itu loncat
menghindar.... Serempak dengan itu, Soh-beng Ki-su pun lolos keluar dari
reruntuhan tembok. Siau-liong mengejarnya.
Menilik sudah terluka parah
tentu Soh-beng Ki-su tak dapat lolos. Tetapi dasar belum takdirnya mati.
Setelah melintas lamping gunung, pertapa itu menyusup ke dalam hutan. Berkat
malam gelap dan hutan lebat, pertapa itu dapat melenyapkan diri. Siau-liong terpaksa
hentikan pengejarannya.
Ia berjalan lesu. Tiba-tiba ia
teringat waktu menolong Tiau Bok-kun dalam biara, diluar biara ia mendengar
Soh-beng Ki-su berteriak, “Hai, Ki Ih, perlu apa engkau berkerudung muka....
"Hai!" serentak
Siau-liong tersadar bahwa wanita berkerudung muka tadi tentulah ibunya. Tetapi,
ah.... kembali ia menghilangkan kesempatan baik untuk menemui ibunya itu.
Segera ia lari mencari wanita
berkerudung tadi. Tetapi ia kehilangan arah dan tak tahu jalan keluar dari
pegunungan situ. Akhirnya ia lari ke arah timur. Tak berapa lama ia berhadapan
dengan sebuah karang buntu. Jauh dibawah karang itu, terhampar sebuah jalan
yang merentang ke dalam hutan. Terpaksa ia menuruni karang yang curam itu.
Pada saat tiba di bawah, dari
dalam hutan disebelah muka, terdengar suara senjata beradu. Cepat ia lari
memburu. Betapa kejutnya ketika melihat Ki Ih sedang dikeroyok To Hun-ki dan
rombongan To Kiu-kong yang berjumlah sembilan orang.
Ki Ih berhasil mengejar Toh
Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay. Sebenarnya ia dapat membunuh
musuh-musuh suaminya itu. Sayang To Hun-ki dan ketiga tokoh Pengemis muncul.
Kay-pang memang baik
hubungannya dengan partai-partai persilatan. Dan Ki Ih memang tak disuka orang.
Selain berasal dari seberang lautan, pun wanita itu banyak mengikat permusuhan
dengan kaum persilatan di Tiong-goan.
To Kiu-kong, Pengemis Tertawa,
si Pincang kiri Tio Thau dan si Pincang kanan Li Ji, segera bantu menyerang Ki
Ih. Kedudukan segera berobah. Ki Ih yang semula menang angin, kini berbalik
terdesak.
Namun wanita sakti itu tak mau
menyerah mentah-mentah. Ia mainkan pedangnya lebih gencar. Salah sebuah jurus
ilmu Pedang Kilat yang disebut Guruh-dan-halilintar-menyambar, segera memburu
ke sembilan pengeroyoknya. Mereka jeri dan terpaksa mundur. Kesempatan itu
digunakan Ki Ih untuk menabur sembilan buah senjatan rahasia Hwe-hun-tui ke
arah To Hun-ki dan keempat Su-lo.
Hwe-hun-tui atau
Gumpalan-awan-api, merupakan senjata rahasia yang telah mengangkat nama Ki Ih.
Apabila kelima orang itu binasa, mudahlah ia membereskan keempat tokoh
pengemis.
To Kiu-kong terkejut tetapi
tak keburu menolong kelima tokoh Kong-tong-pay. Pada saat maut hendak merenggut
jiwa tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu, tiba-tiba Siau-liong muncul dalam
penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Sambil loncat ke udara, ia kebutkan kedua
lengan bajunya. Dua buah gelombang sinar merah melanda dan sembilan buah
senjata rahasia Hwe-hun-tui itupun hancur lebur.
Sesuai dengan namanya,
senjata-rahasia Gumpalan-awan-api itu memancarkan hawa panas. Hanya tenaga
sakti Bu-kek-sin-kang yang bersifat panas, dapat menghancurkan senjata rahasia
itu. Dan selamatlah jiwa kelima tokoh Kong-tong-pay!
Sekalian orang terkejut.
Selain tak menduga akan kemunculan Pendekar Laknat, pun mereka heran, mengapa
tokoh gila itu membantu orang-orang Kong-tong-pay.
Dan Ki Ih pun tak kurang
kagetnya. Menghadapi sembilan musuh tadi, ia sudah kewalahan. Apa lagi ditambah
dengan seorang Pendekar Laknat. Cepat wanita itu melarikan diri.
Pada saat meluncur turun ke
bumi, Siau-liong berputar diri dan lepaskan pukulan dahsyat ke arah sembilan
jago pengeroyok itu!
Gila! Bukankah tadi Pendekar
Laknat menghancurkan senjata rahasia dari Ki Ih? Mengapa sekarang ia berbalik
menyerang ke sembilan tokoh-tokoh yang mengeroyok wanita itu?
Kesembilan jago itu menghindar
ke samping lalu menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong lebih cepat. Segera ia
lancarkan pukulan yang kedua yakni To-sia-san-ho atau Membalikkan gunung dan
sungai.
Kesembilan jago itu terpental
mundur sampai empat langkah. Mereka berputar diri terus lari masuk ke hutan.
Kiranya Siau-liong memang
bermaksud hendak menghalau kesembilan orang itu. Kemudian ia akan menghadap
ibunya dan minta maaf. Ia hendak menjelaskan bahwa dia adalah puteranya yang
terpisah selama 16 tahun itu!
Tetapi ketika berpaling,
alangkah kejutnya. Ki Ih siwanita berkerudung, sudah lenyap!
Siau-liong terpukau. Enam
belas tahun lamanya ia berpisah dari ibunya. Dua kali ia mendapat kesempatan
berjumpa tetapi dua kali itu pula ia tak berhasil bicara dengan ibunya. Air
mata pemuda itu berlinang-linang. Akhirnya ia duduk bersemadhi memulangkan
tenaga.
Ketika membuka mata, ia
terkejut. Di hutan jauh disebelah muka, tampak berkelebat sesosok tubuh wanita.
Menduga kalau ibunya, cepat ia loncat dan lari menghampiri.... Ah, hampir ia
berteriak girang ketika bayangan itu benar Ki Ih. Tetapi pada lain kejap ia
tertegun ketika menyadari bahwa saat itu dirinya masih menyamar sebagai
Pendekar Laknat. Tak mungkin ibunya akan percaya!
Hanya beberapa detik ia
tertegun. wanita itupun sudah lenyap lagi dari pandangan. Cepat Siau-liong
mengejar tetapi tak berhasil. Akhirnya ia membuka kedok dan pakaian
penyamarannya. Lalu ia duduk melepaskan lelah di tepi sungai.
"Ma, apakah engkau tahu
bahwa puteramu Siau-liong masih hidup dan sekarang sudah begini besar? Ah,
mama, betapalah rindu hatiku kepadamu....” dalam termenung mengenangkan nasib,
ia menangis meratapi ibunya.
Kemudian ia bertanya pada
dirinya, “Mama, apakah engkau setuju atas tindakanku? Ma, jika engkau
mengetahui maksudku, tentulah engkau dapat menyetujui.... hai!" tiba-tiba
ia memekik kaget.
Matanya yang tengah memandang
permukaan air, tiba-tiba tertumbuk pada wajah seorang gadis. Cepat ia berpaling
ke belakang dan ah.... si cantik Tiau Bok-kun.
"Nona Tiau!" serunya
tersipu-sipu menghapus air mata.
Tetapi gadis itu diam saja.
Siau-liong mengulang lagi tegurannya namun tiada penyahutan. Siau-liong
memandangnya lekat-lekat. Dan terpukaulah ia....
Nona itu benar-benar
menyerupai Tiau Bok-kun tetapi bukan Tiau Bok-kun!
"Siapa engkau?"
akhirnya nona itu menegur.
Siau-liong terkesiap. Nada
nona itu wajar tetapi galak. Ia tak puas atas sikap si nona yang tak sopan itu.
"Apa pedulimu aku siapa?
" sahutnya.
"Siapa yang panggil Tiau
Bok-kun itu?"
"Aku salah sangka,"
muka Siau-liong merah.
"Dan mengapa engkau
menangis?"
"Karena aku suka
menangis!" sahut Siau-liong dengan nada yang tak kurang getas.
Dara itu hendak mencabut
pedang tetapi tak jadi. Sambil tertawa mengikik ia menggagah dimuka Siau-liong,
“Ih, jangan marah, bung. Aku memang tak dapat bicara halus tetapi aku ingin
berkenalan dengan engkau. Keberatan?"
"Engkau terlalu bengis,
aku tak suka berkenalan."
“Hm, jika menolak, lebih baik
kita berkelahi.
"Boleh saja akupun tidak
takut!"
Baru Siau-liong berkata
begitu, si nona galak sudah merangsang dengan kedua tangannya ke arah dada dan
perut Siau-liong.
Siau-liong merasa serba salah.
Berkelahi dengan seorang anak perempuan, sesungguhnya ia malu. Tetapi kalau
diam saja, dara itu menyerang dengan liar. Terpaksa ia menghindar saja. Dua
jurus kemudian, timbullah pikirannya untuk lolos. Ia anggap tak berguna
berkelahi dengan seorang anak perempuan yang tak dikenal.
Setelah berhasil memaksa dara
itu mundur, Siau-liong terus melarikan diri. Ia menuju ke tepi sungai. Tetapi
ketika berpaling, ah.... nona itu tetap mengejarnya Siau-liong loncat ke sebuah
perahu sampan, terus meluncur ke tengah menuju kota Siok-ciu.
Astaga.... dara itupun loncat
ke sebuah perahu dan mengejar. Ia memiliki lwekang yang hebat sehingga
perahunya dapat meluncur pesat.
Tetapi betapapun halnya,
Siau-liong tetap menang cepat. Begitu tiba di pantai, ia terus masuk kota dan
mencari sebuah rumah penginapan. Habis makan, ia terus masuk tidur.
Menjelang mahgrib, baru ia
bangun. Tepat pada saat itu, dua orang pelayan masuk membawa seperangkat
pakaian dan senampan hidangan.
"Tuan, nona yang
bertempat di kamar sebelah depan, mengirim pakaian ini untuk tuan," kata
pelayan itu.
Siau-liong mendengus. Ia malu
kalau mengatakan tak kenal dengan nona itu.... Setelah pelayan pergi, ia
bimbang sendiri. Menerima pemberian itu atau tidak.
Ia mengintai di jendela. Kamar
disebelah depan, tampak sepi. Ia duduk kembali, memandang hidangan itu. Ah,
mungkin nona itu salah paham. Jelas ia tak kenal padanya. Akhirnya ia
berbangkit dan melangkah keluar. Tetapi baru menyingkap tirai pintu, sesosok
tubuh menerobos masuk. Karena tak keburu menarik pulang tangannya, tersentuhlah
ia pada dua buah benda yang lunak ......
Tersipu-sipu ia menyurut
kesamping pintu. Seorang dara melangkah masuk dengan berisak tangis Siau-liong
tercengang. Itulah nona yang mengejarnya tadi.
“Engkau menghina aku! Engkau
menghina aku!" sambil menangis, kedua tangan nona itu mencakari dada
Siau-liong. Siau-liong biarkan saja agar nona itu jangan semakin kalap. Tetapi
ia hampir geli karena dadanya seperti di kitik-kitik.
Tiba-tiba tangan nona itu
menusuk jalan darah didadanya. Siau-liong terkejut tetapi diam saja.
Nona itu menjerit kaget dan
menarik pulang tangannya sambil mendekap tangan kiri dengan tangan kanannya.
“Setan, jahat benar
engkau!" nona itu meninju dada Siau-liong.
Ternyata dalam diam tadi,
Siau-liong kerahkan lwekang Bu-kek-sin-kang kedadanya. Itulah sebabnya si nona
menjerit kesakitan. Jika tak lekas menarik pulang, tentu tangan nona itu akan
cacad.
Sambil tertawa, Siau-liong
menyurut mundur dan memberi hormat, “Harap jangan marah dan maafkan
kesalahanku!"
“Huh, mengapa tak mempersilahkan
aku masuk!"
“Hidangan itu adalah pemberian
nona, silahkan nona menyantapnya " kata Siau-liong.
“Bukankah engkau
menerimanya?"
“Tanpa jasa apa-apa, tak
pantas menerima hadiah, aku ......”
“Ah, apa artinya hidangan
semacam itu?" tukas si nona.
Siau-liong tetap menolak.
Tetapi nona itupun tetap memaksanya. Ia terus melangkah masuk, duduk dan suruh
Siau-liong duduk juga lalu diajak makan.
Sambil makan mereka
bercakap-cakap. Nona itu mengatakan bahwa ia berasal dari seberang lautan.
Namanya Pek Ciang-wi atau Mawar Putih. Memang ia gemar berpakaian serba putih.
Lebih lanjut ia menerangkan
bahwa gurunya berpesan. Apabila di daerah Tiong-goan supaya mencari seorang
sahabat yang baik. Ketika berjumpa dengan Siau-liong, ia anggap pemuda itu
seorang baik yang tepat dijadikan sahabat. Maka makin Siau-liong jual mahal,
nona itu makin mengejarnya.
Atas pertanyaan Siau-liong, si
nona memberi jawaban yang indah, “Rumahku diseberang lautan, dibawah gunung
Dewa. Gunung itu terletak di atas angin. Eh, apa perlumu mengetahui nama tempat
itu!"
Dan ketika Siau-liong
menanyakan tentang gurunya, nona itu gelengkan kepala. Siau-liong tak mau
mendesak. Ia sendiripun tak mau mengatakan tentang gurunya kepada lain orang.
Ketika pertama kali bertemu,
Siau-liong tak senang melihat tingkah si nona yang liar itu. Tetapi entah
bagaimana, kini ia merasa tak marah dengan cara-cara liar nona itu. Mungkin hal
itu disebabkan, karena ia putera dari Ki Ih yang juga berasal dari seberang
lautan.
Kepada si nona, Siau-liong
mengaku bernama Kongsun Liong dan minta nona itu memanggilnya Siau-liong.
Mawar Putih terkesiap.
Dipandangnya pemuda itu lekat-lekat, dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Ia
geleng-geleng kepala dan berseru lembut, “Siau-liong....”
Panggilan itu amat menyentuh
hati Siau-liong. Dalam sikap kewajaran, kejujuran dan keliarannya, Mawar Putih
memiliki sifat ke Ibuan yang mesra. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Siau-liong rasakan indahnya kehidupan ......
Mereka makan dan minum dengan
gembira. Habis makan, Mawar Putih suruh Siau-liong berganti pakaian yang
dikirimkan tadi.
Setelah ganti pakaian baru,
Siau-liong tampak lebih cakap dan gagah. Nona itu tertawa gembira. Mereka
menuju ke kebun belakang, menikmati kolam yang menghias taman.
"Siau-liong!"
“Nona Pek!"
Nona itu menggeliat, “Ih,
janggal benar panggilanmu itu,"
“Habis?"
"Panggil saja Mawar
Putih"
“Mawar.... Putih," suara
Siau-liong agak sember. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu
si nona sandarkan tubuh ke dadanya.
Siau-liong seorang perjaka
yang belum pernah bergaul sedemikian mesranya dengan gadis. Sejak kecil, ia
hanya bergaul dengan pohon-pohon hijau dan burung-burung hutan. Sudah tentu ia
terlongong-longong melihat tingkah Mawar Putih. Ketika hidungnya terbaur hawa
harum dari tubuh sidara, semangat Siau-liong serasa melayang-layang....
Tiba-tiba terdengar derap
langkah orang bergegas datang. Keduanya cepat meluruskan duduknya dan
memperhatikan pendatang itu. Ah, ternyata pelayan hotel.
"Tuan, ada tetamu mencari
tuan!" katanya.
Siau-liong cepat kembali
kekamarnya. Ia terkejut melihat beberapa anak buah Kay-pang berkerumun
diserambi kamarnya. Mereka tampak tegang.
"Cousu-ya datang!"
anak buah Kay-pang serempak berseru ketika Siau-liong muncul.
Mawar Putih terperanjat. Ia
tak menyangka bahwa pemuda yang bernama Kongsun Liong itu ternyata seorang
ketua partai Kay-pang.
To Kiu-kong muncul dari kamar
Siau-liong dan mempersilahkan Siau-liong berdua masuk. Siau-liong terkejut
ketika melihat Tiau Bok-kun berbaring ditempat tidurnya dalam keadaan pingsan.
Bajunya koyak-koyak dan berlumuran darah.
Untunglah nona itu tak begitu
parah lukanya. Siau-liong segera minumkan beberapa butir pil kemulut nona itu.
Melihat Siau-liong begitu
memperhatikan Tiau Bok-kun, serentak timbullah rasa tak senang dalam hati Mawar
Putih. Ia duga nona itu tentulah yang dipanggil Siau-liong ketika berjumpa di
tepi sungai tadi pagi.
Setelah memeriksa luka Tiau
Bok-kun tak berbahaya. Siau-liong meminta keterangan kepada To Kiu-kong.
Kiranya setelah melarikan diri
dari serangan Siau-liong sebagai Pendekar Laknat, To Kiu-kong dan rombongan To
Hun-ki lalu berpisah. Menjelang malam, To Kiu-kong mendapat laporan dari anak
buah Kay-pang, bahwa Siau-liong tinggal dirumah penginapan Gun-hian-can To
Kiu-kong diminta Toh Hun-ki supaya suka mengundang Kongsun Liong agar membantu
partai Kong-tong-pay menghadapi Soh-beng Ki-su, Ki Ih dan Pendekar Laknat.
Dalam rangka membasmi durjana
itu, pertama harus mendapatkan Pending Kumala yang berada ditangan Tiau
Bok-kun. Pending Kumala itu merupakan kunci untuk memperoleh tempat penyimpanan
pusaka sakti yang dapat menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran.
Malam itu juga To Kiu-kong
berserta beberapa jago Kay-pang berangkat mencari Siau-liong ke Siok-ciu.
Tetapi ditengah jalan mereka berpapasan dengan Soh-beng Ki-su yang berhasil
melukai Tiau Bok-kun dan merebut Pending Kumala.
To Kiu-kong dan kawan-kawan
segera menyerang pertapa itu. Tetapi pertapa itu keliwat sakti bagi mereka.
Soh-beng Ki-su berhasil lolos dan To Kiu-kong hanya dapat menolong Tiau
Bok-kun.
Pada saat masih dapat ditanya,
Tiau Bok-kun menyebut-nyebut nama Kongsun Liong maka To Kiu-kong segera
membawanya kerumah penginapan itu.
“Mana To Hun-ki
sekarang?" tanya Siau-liong
“Di biara Ji-long-bio di
gunung Pit-ka-san," To Kiu-kong menerangkan.
Karena tak dipedulikan, Mawar
Putih merasa terhina. Pada saat Siau-liong tengah merenung, diam-diam nona itu
menyelinap keluar.
Setelah To Kiu-kong dan anak
buahnya minta diri, barulah Siau-liong mengetahui kalau Mawar Putih lenyap.
Tetapi ia tak menghiraukan. Ia lebih mementingkan untuk mengurut jalan-darah
Tiau Bok-kun. Tak berapa lama nona itupun tersadar.
Tetapi sebelum nona itu
tersadar benar-benar, Siau-liong mengambil pakaiannya yang lama lalu menyelinap
pergi ......
◄
Y ►
Gunung Pit-ka-san terletak
dihulu sungai Kim-sat-kiang. Gunung itu mempunyai tiga buah puncak. Kedua
puncak di kanan kiri, dapat dicapai orang. Tetapi puncak ditengah, lurus
melandai seperti sebuah tiang penyanggah langit. Empat penjuru dikelilingi
jurang yang curam. Jika tak memiliki ilmu ginkang yang tinggi, tak mungkin
dapat mencapai puncak itu.
Di puncak tersebut terdapat
sebidang tanah datar seluas sepuluh tombak. Di belakang tanah datar, didirikan
sebuah biara yang disebut Ji-liong-bio. Kepala biara Liau Liau taysu, seorang
paderi dari partai Go-bi-pay.
Pada saat mengurut Tiau
Bok-kun, pikiran Siau-liong menimang. Setelah mendapat separoh Pending Kumala
yang dimiliki nona itu, Soh-beng Ki-su tentu akan mencari To Hun-ki untuk
mendapatkan Pending Kumala yang separoh bagian lagi. Maka ia harus cepat-cepat
mendahului ke Pit-ka-san. Soh-beng Ki-su pasti akan datang kesitu.
Kembali Siau-liong menyaru
sebagai Pendekar Laknat.
Tiba di kaki gunung, tampak
biara Ji-liong-bio terang benderang, penuh orang. Ia menyembunyikan diri. Tak
berapa lama, muncul beberapa orang. Berkelompok kecil terdiri dari dua tiga
orang, kemudian rombongan dari tujuh delapan orang. Mereka adalah jago-jago
silat yang sakti. Hal itu terbukti dari gerakan mereka yang amat tangkas ketika
berloncatan mendaki puncak.
Beberapa saat kemudian, dari
puncak terdengar suara orang bertempur seru. Siau-liong terkejut. Apakah To
Hun-ki dan orang-orang Kong-tong-pay diserang musuh? Siapakah musuh itu?
Karena tertarik perhatiannya,
Siau-liong hendak menghampiri puncak. Saat itu rembulan remang. Sekeliling
penjuru gelap pekat. Ia gunakan gerak Burung-hong-menghadap-matahari.
Dalam tiga empat kali
melambung, ia dapat mencapai separoh bagian puncak gunung itu. Tetapi pada saat
ia hendak melayang ke atas lagi, tiba-tiba ia diserang gelombang angin yang
hebat. Dan seketika itu juga ia meluncur ke bawah lagi. Ia amat terkejut dan
berusaha menyambar dahan pohon yang tumbuh disana sini. Tetapi tak berhasil.
Minilik kepandaian yang
dimiliki saat itu, tak mungkin ia harus menderita kecelakaan semacam itu.
Benar, memang itu bukan kecelakaan, tetapi sebuah serangan gelap dari seseorang
yang berada di puncak.
Meluncur dari ketinggian 60-an
tombak, tentu hancur lebur. Tetapi untunglah Siau-liong sudah memiliki ginkang
yang disebut Naga-melingkar-18 putaran. Ia berputar-putar dan melayang ke
karang buntung disisi kanan puncak. Dengan meminjam tenaga tekanan pada dahan
pohon, ia melambung lagi ke atas puncak. Setelah memperhitungkan telah mencapai
ketinggian yang diduga menjadi tempat persembunyian penyerang gelap tadi, ia
terus melayang ke karang di sebelah kiri. Ia hendak mencari penyerang itu.
Ternyata penyerang gelap itu
adalah Soh-beng Ki-su sendiri. Tepat yang diduga Siau-liong, Soh-beng Ki-su
mencari Toh Hun-ki. Dan ia lebih dulu tiba di gunung Pit-ka-san. Tetapi ketika
melihat di biara Ji-liong-bio berlangsung pertempuran, ia batalkan rencananya.
Pada waktu ia melayang turun sampai di tengah gunung, ia melihat Pendekar
Laknat bergegas mendaki ke atas. Segera ia lontarkan pukulan dahsyat. Setelah
Siau-liong tenggelam ke bawah, ia melarikan diri.
Itulah sebabnya maka
Siau-liong tak dapat menemukan Soh-beng Ki-su. Akhirnya pemuda itu lanjutkan
pendakiannya lagi ke atas puncak. Ia bersembunyi dibalik gunduk karang. Ketika
melongok pertempuran di tanah datar, kejutnya bukan kepalang.
Kiranya lebih dari enam lelaki
dan wanita, tegak berjajar di depan biara. Dan yang bertempur di lapangan datar
adalah Ki Ih lawan keempat Kong-tong Su-lo serta Liau Liau taysu bersama empat
orang muridnya.
Siau-liong duga ibunya tentu
hendak mencari balas kepada Toh Hun-kin dan keempat Sulo. Diam-diam ia bangga
dan girang mempunyai seorang ibu yang setia kepada suaminya.
Ki Ih memang sakti. Menghadapi
keroyokan belasan jago-jago sakti. ia tak gentar, Ilmu pedang Kilat, dimainkan
laksana ular naga bergeliatan di permukaan laut. Cepat bagaikan kilat menyambar
dan gesit seperti ular menyusup ke dalam liang.
Tetapi Siau-liong tetap
mencemaskan keselamatan ibunya. Ternyata rombongan paderi yang berjajar diluar
biara itu terdiri dari jago-jago persilatan yang ternama. Antara lain, Ki Ceng
siansu ketua Go-bi-pay. It Kiau ketua Tiam-jong-pay, tokoh Kun-lun Sam-cu dari
Kun-lun-pay. Thian-san It-soh dari Thian-san-pay, paderi-paderi sakti dari
Siau-lim-pay serta tokoh-tokoh Bu-tong-pay dan Hoa-san-pay ......
Dalam menghadapi kelima
Durjana dan Ki Ih, partai-partai persilatan itu telah mengirim jagonya yang
tangguh, mencari pusaka yang telah tersiar luas di dunia persilatan. Hanya
dengan memperoleh pusaka itulah kelima durjana dan Ki Ih dapat diberantas.
Saat itu mereka berhadapan
dengan Ki Ih. Mengingat Ki Ih itu seorang wanita, jago-jago itu sama pegang
gengsi. Mereka tak mau mengeroyok melainkan mengajukan beberapa jago saja.
Siau-liong bingung bagaimana
harus bertindak. Jika muncul sebagai Pendekar Laknat, berpuluh jago persilatan
tentu akan menyerangnya. Selain sukar menolong ibunya, ia sendiri terancam
bahaya.
7. Lembah Musim Semi
Kalau muncul sebagai ketua
partai Kay-pang, ia tentu harus memusuhi ibunya, karena Kaypang bersahabat baik
dengan partai-partai persilatan.
Sedang ia belum dapat
memutuskan tindakan apa yang akan diambil, keadaan Ki Ih makin payah. Tiba-tiba
To Hun-ki mendesak dan menyabet pinggang wanita itu dengan cepat dan tak
terduga-duga. Siau-liong terkejut sekali dan hampir berteriak. Untung sebelum
membuka mulut, dengan jurus Kilat-membelah-halilintar, Ki Ih dapat menghapus
serangan maut itu.
Siau-liong kucurkan keringat
dingin. Belum sempat ia menghela napas, tiba-tiba Ki Ih terancam bahaya lagi.
Karena sedang menghindari serangan To Hun-ki, ke sembilan tokoh-tokoh lawannya
segera menyerbu. Ki Ih alihkan perhatiannya untuk menghalau serangan
orang-orang itu tetapi sudah terlambat. Kini ia dikuasai oleh kesembilan musuh
itu dan tak mampu melancarkan serangan balasan.
Walaupun tak dapat diketahui
perobahan muka wanita itu karena ditutup kain kerudung, namun dari tubuhnya
yang menggigil, teranglah kalau keadaannya makin payah. Ada tanda-tanda ia
hendak meloloskan diri.
Toh Hun-ki dan kawan-kawannya
tahu juga rencana wanita itu. Mereka mendesak lebih gencar sehingga tubuh
wanita seperti tertabur sinar pedang. Keempat Su-lo dari Kong-tong-pay tak
henti-hentinya tertawa mengejek.
Pada lain saat Ki Ih menjerit
keras. Bahunya kiri terpapas pedang Toh Hun-ki. Darah membasahi lengan
bajunya....
Wanita itu kerahkan seluruh
semangat. Sekaligus ia lancarkan tiga jurus serangan pedang yang dahsyat,
khusus ditujukan pada lawan yang membelakangi jurang. Hendak ia desak orang itu
supaya menyurut mundur dan jatuh ke dalam jurang! Tetapi kalau orang itu tahu
bahaya dan hanya menghindar.... Ki Ih hendak menggunakan kesempatan itu untuk
loncat ke dalam jurang. Ia lebih suka mati di dasar jurang daripada mati
ditangan musuh-musuh yang dibencinya itu!
Dalam sekejap mata saja,
tigaratus jurus telah berlangsung. Berkat kenekadannya, dapatlah Ki Ih
mendekati tepi karang. Dua tiga jurus lagi, ia tentu dapat menghalau musuh yang
menghadang dimuka dan akan terbukalah kesempatan untuk lolos.
Tetapi untuk mencapai tujuan
itu bukanlah hal yang mudah. Tiga ratus jurus tadi benar-benar telah
menghabiskan tenaganya. Tubuhnya bersimbah keringat. Ia paksakan diri
mengerahkan sisa tenaga yang masih dimilikinya. Tetapi ternyata tenaganya sudah
habis. Pedangnya mulai lambat, tubuh berguncang-guncang dan pandang matanya pun
berbinar-binar. Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri campur gelak tawa
mengejek. Toh Hun-ki mendahului kawan-kawannya menusuk dada wanita itu.
Pada detik maut hendak
merenggut jiwa Ki Ih, sekonyong-konyong sesosok tubuh dalam jubah hitam
melayang di udara. Dan serempak dengan itu segelombang sinar merah melanda dan
tahu-tahu senjata kesepuluh tokoh yang mengeroyok Ki Ih itu, jatuh berhamburan
ke tanah ......
Siau-liong melayang turun dan
memandang kesekeliling. Melihat Pendekar Laknat muncul, Ki Ih segera sarungkan
pedang dan duduk bersemadhi memulangkan tenaga.
Tahu bahwa ibunya tak terluka,
Siau-liong tak mau mengganggunya. Kini ia menghadapi berpuluh jago silat yang
saat itu sama menghunus senjata dan menghampiri.
"Hai, setan Laknat,
engkau menolong aku tetapi mengapa menolong wanita ganas itu!" tegur Toh
Hun-ki.
Diam-diam Siau-liong girang.
Ia hendak mengulur waktu. Maka tertawalah ia senyaring-nyaringnya.
"Toh tua salah engkau.
Seharus memanggil aku Pendekar Laknat yang gila. Gila, ya memang gila! Apakah
engkau perlu tahu alasanku?" serunya.
Siau-liong tertawa lagi, “Aku
dapat menolong, pun dapat membunuhmu. Aku dapat menolong Ki Ih, tetapi dapat
membunuhnya juga. Bukan si gila Pendekar Laknat kalau tidak bertindak segila
ini!"
Tiba-tiba ia berputar tubuh
dan "bum....” empat orang murid Liau Liau taysu yang menyerang dari
belakang, telah disongsong dengan sebuah pukulan. Tubuh keempat orang itu
terlempar ke dalam jurang.
Sekalian orang terkejut
melihat kesaktian Pendekar Laknat yang jauh lebih sakti dari duapuluh tahun
berselang. Liau Liau taysu walaupun marah, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
"Pendekar Laknat mengapa
engkau mengganas orang secara begitu kejam? Apakah engkau yakin mampu turun
dari gunung Pit-ka-san ini?" bentak Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay.
Siau-liong tertawa dingin,
“Menyerang secara gelap, apakah kalian anggap benar? Aku bebas datang dan
pergi. Apakah engkau yakin merintangi aku? Hm, jangan gegabah!"
Tokoh-tokoh yang pernah
berjumpa dengan Pendekar Laknat pada duapuluh tahun yang lalu, diam-diam heran.
Mengapa sekarang nada tertawa momok itu sedemikian menggerincing dan jauh
sekali bedanya dengan tertawa Pendekar Laknat yang dulu? Sikap dan kata-katanya
juga tak seliar dahulu.
"Suheng, jangan termakan
siasatnya yang hendak mengulur waktu!" tiba-tiba keempat Sulo dari
Kong-tong-pay berseru kepada Toh Hun-ki.
Bersama Liau Liau taysu,
keempat Su-lo itu segera maju menyerang. Toh Hun-ki cepat mencegah keempat
Su-lo tetapi tak keburu merintangi Liau Liau taysu. Karena marah kehilangan
empat orang muridnya, Liau Liau taysu menyerang dengan cepat sekali.
Namun Siau-liong acuh tak
acuh. Tak mau ia melayani serangan paderi itu dengan sungguh-sungguh.
Tetapi Liau Liau taysu makin
kalap. serangan pertama luput, ia susuli lagi dengan serangan kedua yang
dilancarkan dengan sepenuh tenaga.
Sesungguhnya tadi Siau-liong
gunakan tenaga dalam untuk menyedot serangan Liau Liau taysu. Pada saat paderi
itu menyerang yang kedua kali, saat itu juga Siau-liong pentalkan kembali
sedotan tenaga-dalamnya. Seketika terdengar letupan keras Liau Liau taysu
terhuyung beberapa langkah. Mulutnya menyembur darah dan jatuhlah ia terduduk
di tanah. Wajahnya pucat lesi. Buru-buru ia pejamkan mata untuk mengatur
peredaran darahnya.
Menyaksikan peristiwa itu, Toh
Hun-ki dan rombongannya terlongong-longong. Dan pada saat itulah Ki Ih loncat
bangun dan terus lari lenyap dalam kegelapan malam!
Siau-liong terkejut. Diam-diam
ia siap untuk memberi bantuan kepada ibunya apabila musuh hendak merintangi.
Tetapi ia pun merasa kecewa sekali. Kesempatan untuk berjumpa dengan ibunya,
kembali hilang. Kini ia tumpahkan kemarahannya kepada orang-orang itu. Sambil
kerahkan tenaga dalam, ia maju menghampiri mereka.
Toh Hun-ki, ketua
Kong-tong-pay, menginsyafi bahwa saat itu akan meletus pertempuran maut. Suatu
pertempuran yang akan menggoncangkan dan berakibat besar dalam dunia
persilatan. Ia ambil posisi ditengah. Tokoh-tokoh yang lain pun serentak
berbaris dibelakangnya.
Tahu betapa penting arti pertempuran
itu, Toh Hun-ki tak berani bertindak gegabah. Setelah dahulu mendesak murid
kesayangannya, Tong Gun-liong supaya bunuh diri, ketua Kong-tong-pay itu amat
menyesal. Karena kematian Tong Gun-liong itu telah membangkitkan kemarahan si
cantik Ki Ih. Jika saat itu tambah lagi seorang Pendekar Laknat, ah.... partai
Kong-tong-pay tentu hancur....!
Diam-diam ketua Kong-tong-pay
itu sudah menyiapkan rencana, serunya, “Pendekar Laknat, apakah kemunculanmu
sekarang ini hendak mengganas ....... membunuh ....... dan menjagal
orang?"
Siau-liong tak menyahut. Ia
kehilangan paham bagaimana hendak menyelesaikan dendam kematian ayahnya serta
pesan mendiang Koay suhu.
Kesempatan itu tak
disia-siakan Toh Hun-ki. Ketua Kong-tong-pay itu melanjutkan pula, “Semua ketua
partai persilatan dan para tiang-lo yang berada disini, mempersilahkan saudara
turun gunung."
Habis berkata ketua
Kong-tong-pay itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh. Sekalian tokoh pun
mengikuti tindakannya.
Detik-detik itu amat tegang
sekali. Sekalian tokoh tak tahu apakah tawaran berdamai itu akan disambut baik
oleh Pendekar Laknat.
Sekonyong-konyong Siau-liong
bersuit nyaring lalu melenting tinggi ke udara. Berjumpalitan dua kali lalu
meluncur turun terus meluncur ke bawah gunung. Dalam sekejap, ia lenyap dalam
kegelapan.
Siau-liong hendak menyusul
ibunya. Tetapi wanita itu sudah lenyap. Dalam beberapa kejap saja, ia sudah
lari belasan li. Tiba-tiba tampak tiga sosok bayangan hitam terapung-apung di
permukaan sungai Kim-sat-kiang.
Ketika dekat, kejut Siau-liong
bukan kepalang. Ketiga sosok bayangan hitam itu adalah Tiau Bok-kun yang tengah
diserang Soh-beng Ki-su, si Pertapa pencabut nyawa. Dan yang seorang lagi,
bukan lain Ki Ih, ibu Siau-liong.
Kiranya setelah sadar, Tiau
Bok-kun masih perlu bersemadhi memulihkan tenaga. Setelah sembuh, ia segera
keluar mencari jongos penginapan. Dari keterangan pelayan itu, barulah ia
mengetahui bahwa yang menolongnya adalah Siau-liong. Tetapi ia heran, mengapa
Siau-liong tinggalkan dirinya dalam rumah penginapan situ?
Kemudian setelah mendengar
keterangan si pelayan bahwa Siau-liong bersama seorang nona yang menginap di
kamar sebelah, seketika timbullah rasa cemburu dalam hati Tiau Bok-kun. Ah,
Siau-liong telah melupakan dirinya karena terpikat seorang gadis lain!
Segera Tiau Bok-kun lari
menuju ke sungai Kim-sat-kiang. Ia tidak mencari Siau-liong dan merebutnya lagi
dari tangan gadis itu. Dengan ilmu lari cepat, Tiau Bok-kun tiba di kaki gunung
Pit-ka-san. Tepat pada saat itu, Soh-beng Ki-su pun turun dari gunung. Dan
bertemulah keduanya.
Walaupun sadar bahwa tak dapat
menandingi Soh-beng Ki-su, namun Tiau Bok-kun tetap hendak merebut kembali
separoh bagian dari Pending Kumala yang dirampas pertapa itu. Setelah dua tiga
kali bertempur dengan Soh-beng Ki-su, Tiau Bok-kun sudah mempunyai pengalaman.
Ia harus mengembangkan kelebihannya dalam ilmu ginkang, untuk menutupi
kekurangannya dalam tenaga dalam.
Kebalikannya Soh-beng Ki-su
tak bersemangat untuk bertempur. Ia kuatir akan dikejar Pendekar Laknat atau Ki
Ih. Tetapi karena tak bersemangat, kebalikannya ia sukar untuk meloloskan diri.
Dan memang yang dicemaskan
itu, ternyata terbukti. Saat itu muncullah Ki Ih yang terus menyerangnya.
Dengan demikian Soh-beng Ki-su makin kelabakan. Sesaat membayangkan kemungkinan
munculnya Pendekar Laknat, semangat Soh-beng Ki-su makin kacau. Ia terus
menerus main mundur saja.
Siasat main mundur itu
dimaksud untuk menjauhkan diri dari Pit-ka-san serta menghindari Pendekar
Laknat. Tetapi diluar dugaan, karena lari tanpa tujuan, Siau-liong malah
memergoki mereka.
Siau-liong amat girang sekali.
Wanita yang satu, adalah ibunya sendiri. Dan yang menjadi lawannya adalah musuh
besar Siau-liong. Diam-diam ia membulatkan tekad untuk meringkus pertapa itu.
Segera ia mencari alat untuk
meluncur di air. Ia berhasil memperoleh dua keping kayu. Dengan berdiri di atas
keping kayu itu, ia meluncur ketempat pertempuran.
Melihat kemunculan orang yang
paling ditakuti, serasa terbanglah semangat Soh-beng Ki-su. Satu-satunya jalan
yang paling selamat, hanyalah melarikan diri.
Saat itu Siau-liong hanya
terpisah tiga empat tombak. Ia sudah siapkan pukulan maut. Pertapa
itu pasti hancur lebur. Tetapi
se-konyong-konyong ketiga orang yang bertempur itu bubar dan lari, Ki Ih
meluncur ke tepi sungai.
“Ibu!" diam-diam
Siau-liong menjerit kaget. Diantara dua pillhan: ibu atau musuh, ternyata ia
memilih ibu. Dan segeralah ia melesat mengejar Ki Ih.
Tetapi wanita itu terkejut
karena Pendekar Laknat mengejarnya. Ia batalkan lari ke tepi sungai dan
berputar arah, menuju ke tengah sungai lagi. Ia berasal dari Seberang Laut,
kepandaiannya berjalan di atas air, amat mengagumkan. Dipermukaan laut yang
berombak besar, ia dapat berlari-lari seperti di tanah datar. Apalagi hanya
permukaan sebuah sungai.
Tetapi Siau-liong pun ngotot.
Ia tak mau lepaskan kesempatan untuk menemui ibunya itu.
Ki Ih menggunakan dahan pohon,
sedang Siau-liong memakai keping kayu. Yang satu seorang wanita berkerudung
muka. Yang seorang, seorang tua buruk muka. Mereka saling berkejaran di atas
permukaan bengawan Kim-sat-kiang.
Akhirnya melihat pengejarnya
makin dekat, Ki Ih berputar tubuh dan menyerang dengan ilmu Pedang Kilat.
Siau-liong terkejut. Betapapun
ia tak berani melawan ibunya sendiri. Tetapi serangan Pedang Kilat itu
benar-benar luar biasa cepatnya. Terpaksa ia apungkan tubuh melayang melampaui
kepala ibunya. Tetapi dengan tindakan itu, keping papan yang dibuat pijakan
tadi, terdampar air dan tenggelam.
Untung Siau-liong masih dapat
gunakan ilmu meringankan tubuh ketika ia meluncur ke pemukaan air, sehingga ia
tak sampai tenggelam. Tetapi ketika memandang kemuka, ternyata ibunya sudah
meluncur jauh. Tiba-tiba ia melihat keping papan pinjakannya tadi dibawa arus.
Cepat ia memburu dan memakainya lagi.
Ketika hendak mengejar,
ibunyapun sudah melarikan diri. Tetapi wanita itu tak mau lari jauh. Ia berdiri
dengan sebelah kaki pada dahan kayu sehingga dapat meluncur pesat. Ia tetap
mondar-mandir di sepanjang permukaan sungai karena kuatir akan keselamatan Tiau
Bok-kun. Kalau nona itu kalah ia segera membantunya.
Kepandaian berjalan di atas
air, Siau-liong kalah jauh dengan ibunya. Diam-diam Siau-liong kagum melihat
ibunya dapat meluncur dengan sebelah kaki.
Pemuda itu lupa bahwa saat itu
ia masih dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat sehingga ibunya melarikan
diri. Siau-liong meniru menginjak papan kayu dengan sebelah kaki mengejar.
Seharusnya Soh-beng Ki-su
melarikan diri. Tetapi ternyata ia masih bertempur dengan Tiau Bok-kun. Terang
dia tentu mempunyai rencana.
Tepat pada saat Ki Ih berhasil
lolos dari sergapan Siau-liong, tiba-tiba Tiau Bok-kun menjerit. Bahu nona itu
kena ditutuk oleh Soh-beng Ki-su. Dan secepat rubuh, tubuh nona itu terus
disambar dan dibawa lari oleh pertapa itu.
Mendengar jeritan itu,
Siau-liong berpaling. Ketika melihat apa yang terjadi, ia lepaskan ibunya dan
terus mengejar Soh-beng Ki-su. Tetapi ketika tiba di daratan, ternyata Soh-beng
Ki-su sudah hampir mencapai daerah gunung. Cepat Siau-liong mengejar terus.
Soh-beng Ki-su benar-benar
seorang tua yang licin. Ia gunakan siasat menyusup kesana, menyelinap kemari
sehingga Siau-liong kehilangan jejak.
Entah sudah berselang berapa
lama mereka berkejaran itu, tahu-tahu saat itu matahari sudah mulai condong ke
barat lagi.
Karena mengepit tubuh orang,
akhirnya letih juga Soh-beng Ki-su sehingga larinya pun kurang cepat. Melihat
itu Siau-liong percepat larinya.
Saat itu Siau-liong sudah
hampir berhasil menyusul tetapi tiba-tiba Soh-beng Ki-su melesat ke dalam
gerumbul dan lenyap!
Siau-liong gunakan jurus
Naga-melingkar-delapan-kali untuk berloncatan di udara dan melayang ketempat
Soh-beng Ki-su lenyap tadi.
Ternyata di dekat situ
terdapat sebuah saluran air seluas dua li. Saluran sungai itu menjurus loncatan
diantara gugusan batu yang bertaburan disepanjang saluran. Dan saat itu hampir
mencapai ujung terakhir.
Siau-liong girang karena ujung
saluran itu buntu. Cepat ia apungkan tubuh ke atas segunduk batu besar. Tetapi
ia terkejut ketika tiba-tiba batu itu bergerak.... Cepat ia loncat kembali
ketempatnya tadi.
Batu besar itu berguguran,
menghamburkan tanah lumpur ke udara. Setelah lumpur lenyap, kejut Siau-liong
bukan alang kepalang. Ternyata batu yang diinjaknya tadi adalah kepala seekor
ular besar.
Binatang itu mengangkat
kepalanya ke atas lalu menyerang Siau-liong. Tetapi Siau-liong dapat
menghindari. Setelah dua tiga kali serangannya tak berhasil, ular itu marah dan
menyemburkan segumpal asap beracun.
Siau-liong menjerit kaget.
Sambil salurkan tenaga dalam Bu-kek-sin-kang ketelapak tangan, ia berjumpalitan
dengan gerak Naga-berputar-18-kali, lepaskan hantaman lalu meluncur ke atas
sebatang pohon disebelah kiri.
Tetapi pukulan sakti
Bu-kek-sin-kang tak mampu menghalau uap beracun yang tetap melayang ketempat
Siau-liong. Siau-liong makin kaget. Tak mungkin ia dapat menghindar kelain
tempat lagi.
Akhirnya ia nekad, apungkan
tubuh melayang ke atas badan ular raksasa. Tetapi tiba-tiba sisik ular itu
bertebaran menyerangnya. Setiap helai sisik, merupakan seperti sebatang badik
tipis.
Untunglah Siau-liong dapat menghalau
sisik maut itu. Kemudian ia berjumpalitan menyerang punggung ular. Rupanya ular
itu jeri juga. Sambil menyerang dengan kepala dan ekor, binatang itu siap-siap
melarikan diri.
Kejut Siau-liong makin besar.
Ternyata ular raksasa itu bukan ular sesungguhnya tetapi sebuah ular tiruan
yang digerakkan dengan alat.
Setelah mengetahui rahasianya,
Siau-liong segera lancarkan serangan hebat dengan tangan kanan dan kiri.
Terdengar ledakan dahsyat dan ular itu pun hancur berkeping-keping.
Siau-liong menghela napas
longgar. Memandang kesekeliling, hanya karang dan batu-batu berserakan yang
menabur seluruh permukaan sungai itu. Tetapi ketika memperhatikan dengan
seksama ternyata batu-batu itu seperti diatur orang dengan rapi.
Siau-liong termenung. Ia harus
menolong Tiau Bok-kun tetapi keadaan tempat disitu amatlah misterius dan
berbahaya. Tiba-tiba entah darimana, air meluap dan mengalir deras sekali dan
cepat merendam batu-batu dipermukaannya.
Sungai meluap, bukan soal.
Tetapi ia kuatir batu-batu itu merupakan alat rahasia yang berbahaya. Akhirnya
ia gunakan gerak Naga-berputar-18-kali melayang kekarang sebelah muka. Tetapi
baru kaki menginjak karang itu, ia segera mengeluh, “Celaka!"
Batu karang menonjol itu
menyurut ke dalam dan berbareng itu dari kedua samping, berhamburanlah panah
beracun serta bermacam senjata rahasia.
Untunglah Siau-liong tak
gugup. Ia gunakan ilmu berat tubuh Cian-kin-tui, meluncur kepermukaan air
dibawah. Tetapi segera ia menyadari bahwa ilmu kepandaiannya meringankan tubuh,
belum mencapai tingkat dapat berjalan di atas air.
Namun ia tak putus asa. Cepat
ia dapat menemukan akal. Ratusan batang anak panah dan lain-lain senjata
rahasia yang terapung di atas air itu, dapat digunakan sebagai alat berjalan di
air. Dan ternyata memang benar.
Dengan menginjak di atas
ratusan batang anak panah, dapatlah ia meluncur kemulut saluran sungai. Tiba di
ujung saluran, cepat ia loncat kekarang sebelah samping. Karena ujung saluran
itu meluncur ke bawah, merupakan suatu air terjun yang berpuluh tombak tingginya.
"Pertapa itu tentu
mengambil jalan kecil ini,” pikirnya sambil mengamati jalan kecil yang terdapat
dikarang situ. Sejenak meragu. ia terus melangkah maju. Berjalan beberapa
langkah, terdengar gumpalan karang berguguran jatuh. Setelah tenangkan diri, ia
lanjutkan langkah lagi. Dan sampai sekian lama, ia tak mendapat gangguan suatu
apa lagi.
Ujung penghabisan dari jalan
itu, merupakan sebuah lembah. Disitu terdapat sebuah pintu raksasa dari batu
yang penuh guratan hurup Jun atau musim Semi. Ia tak menyadari bahwa saat itu
ia tengah berada di lembah ”Ban-jun-koh atau lembah Musim-semi. "
Siau -liong tak menghiraukah
suatu apa. Ia terus maju. Ah, serasa ia memasuki sebuah dunia baru. Dunia yang
beralam keindahan musim Semi. Penuh bunga-bunga mekar, rumput-rumput hijau dan
alam nan segar berseri. Hembusan angin sepoi mengantar bau bunga, membuat
semangat Siau-liong sedap segar.
Lembah Musim-semi itu
merupakan akibat dari gempa bumi sehingga karang dan batu-batu merekah, jaluran
air malang melintang bagaikan jaring labah-labah.
Siau-liong amat gembira.
Setelah membuka baju luarnya yang basah, ia menyusur jalan kecil ditengah
padang bunga. Tiba-tiba ia mendengar orang menyanyi lagu 'Keindahan alam dan
Kehidupan' Ia terkejut dan cepat memandang kesekeliling. Tetapi tak menemukan
apa-apa.
Ia berhenti. Jelas suara
nyanyian itu berasal dari seorang wanita.
Kembali terdengar nyanyian itu
mengalun. Nadanya melengking tinggi macam orang merintih.
Siau-liong terkesiap.
Sekonyong-konyong muncul
seekor burung kakak tua besar. Dan hampir saja Siau-liong melonjak kaget ketika
burung itu dapat berseru seperti manusia, “Ada tamu! Ada tetamu....!"
Belum Siau-liong mengambil
suatu tindakan tiba-tiba muncul seekor burung gagak hitam terbang melayang di
udara dan berbunyi beberapa kali.
Siau-liong tersirap dan
seketika ingat bahwa saat itu ia sedang mengejar Soh-beng Ki-su.
Cepat-cepat ia ayunkan langkah
lagi. Tetapi jalan disebelah depan penuh dengan lingkaran saluran air kecil
yang melingkar-lingkar seperti jaring labah-labah. Hutanpun makin lebat
sehingga ia kehilangan arah.
Tiba-tiba burung kakak tua
tadi melonjak-lonjak di atas dahan pohon lalu melayang kemuka dengan pelahan.
Seketika timbullah pikiran
Siau-liong. Jika burung itu dapat bicara, tentulah burung piaraan orang. Ia
memutuskan untuk mengikuti arah terbangnya kakak tua itu.
Ternyata pemandangan dalam
lembah itu makin lama makin mengagumkan. Penuh dengan pohon-pohon bunga dan
rumput-rumput hijau serta desir air mengalir disaluran. Angin pun menebarkan
bau yang harum.
Setelah dua kali membelok
tikungan dan melintasi beberapa hutan, tiba-tiba kakak tua itu terbang cepat,
masuk ke dalam hutan lebat.
Siau-liong tertegun. Saat itu
ia tiba dimuka sebuah lembah yang sempit. Sebuah batu besar menggunduk ditengah
mulut lembah. Mirip dengan pintu.
Tengah ia bersangsi, tiba-tiba
dendang nyanyian itu kembali terdengar melantang dari dalam lembah.
“Masakan nyanyian itu suara
burung kakak tua?" diam-diam ia meragu setelah mendengar jelas lagu yang
dinyanyikan.
Ia terus maju memasuki mulut
lembah. Tetapi apa yang terbentang dihadapannya, benar-benar membuatnya
terkejut bukan kepalang.
Di dalam lembah itu ternyata
merupakan sebuah tanah datar yang seluas sepuluh tombak. Ditengahnya terdapat
sebuah empang. Di atas empang tertutup oleh asap putih menyerupai awan. Dalam
kabut putih itu samar-samar tampak duapuluh lebih wanita cantik yang rambutnya
terurai kebahu. Mereka tengah bermain-main dalam empang itu. Seorang dara yang
tengah bersandar pada sebatang pohon liu tengah berdendang lagu. Kiranya
nyanyian tadi, adalah dara itu yang mendendangkan.
Siau-liong ter-longong-longong
mengawasi pemandangan disitu.
“Kongcu datang!"
tiba-tiba seorang gadis cantik berpakaian kuning berteriak.
Rombongan dara yang tengah
bermain-main diempang itu serentak tertegun. Cepat mereka pencarkan diri dalam
dua rombongan dan tegak dengan khidmat.
Tak berapa lama dari dalam
hutan muncul delapan gadis dengan membawa semacam selendang. Mereka menghampiri
empang dan berdiri dalam dua rombongan.
8. Wanita Cantik Pemilik
Lembah
Sesaat kemudian muncullah
seorang wanita yang amat cantik, dalam pakaian yang gilang gemilang. Serentak
barisan gadis-gadis itupun berdiri memberi hormat.
Sejenak wanita cantik itu
memandang kesekeliling lalu bertanya, “Mana Siau-jui!"
Seorang bujang yang mengawal
disamping, segera berteriak, “Siau-jui! Siau-jui....!"
Dari arah hutan terdengar
suara penyahutan. Dan seekor burung kakak tua segera terbang melayang hinggap
di atas bahu wanita cantik itu. Ah, kiranya burung kakak tua yang diikuti
Siau-liong tadi.
Sambil tertawa wanita itu
mengelus-elus kepala kakak tua lalu menyerahkan kepada seorang bujang. Kemudian
ia membuka pakaian hendak mandi.
"Jangan! Jangan mandi ada
orang asing!" tiba-tiba kakak tua itu berbunyi nyaring.
Nona cantik itu tertegun. Ia
tak jadi membuka pakaian. Dan Siau-liong pun terkejut. Cepat ia bersembunyi
tetapi terlambat. Dua orang bujang menjerit kaget.
"Mundur!" bentak
nona cantik seraya loncat kemulut lembah.
Karena sudah kepergok,
terpaksa Siau-liong unjuk diri sekali. Ia memberi hormat dan menjelaskan,
“Karena tersesat jalan. aku keliru masuk kemari. Harap nona maafkan!"
Si cantik terkejut mundur
selangkah. Ditatapnya Siau-liong dengan tajam. Rambut Siau-liong yang kusut
masai terurai kebahu, mata besar, hidung dan mulut lebar serta muka kotor,
membuat si cantik tertawa.
"Nona menertawakan aku
......”
Lama sekali nona cantik itu
tertawa. Kemudian berseru, “Kalau tak salah tuan tentulah Pendekar Laknat yang
termasyhur diseluruh jagad itu?"
Siau-liong terkesiap. Ia
menyadari bahwa saat itu ia masih menyamar sebagai Pendekar Laknat.
Maka ia mengiakan.
Nona itu juga tertegun.
Rupanya ia heran melihat perobahan sikap dan ucapan Pendekar Laknat.
Rupanya Siau-liong menyadari.
Buru-buru ia berganti dengan nada parau seperti orang tua,
“Jika tak salah, nona tentulah
pemilik lembah Musim-semi ini."
Si cantik tertawa mengikikik,
“Engkau menduga tepat. Konon kabarnya locianpwe disohorkan congkak, angkuh dan
ganas. Tetapi kenyataannya locianpwe seorang yang amat ramah!"
Dipanggil 'locianpwe'
Siau-liong terpaksa hanya meringis lalu tertawa gelak-gelak.
Si cantik memainkan biji
matanya yang indah beberapa jenak, lalu berkata pula, “Kabarnya locianpwe sudah
mengasingkan diri di gunung selama duapuluh tahun. Entah mengapa locianpwe
mendadak mengunjungi lembah yang sunyi ini ......”
Siau-liong hendak menyahut
tetapi nona itu cepat mendahului lagi, “Sungguh suatu kehormatan besar sekali
locianpwe sudi berkunjung kemari. Silahkan masuk ke dalam lembah. Kami hendak
menghormat dengan mempersembahkan minuman sekedarnya!"
Nona itu lalu menyisih
kesamping mempersilahkan tetamunya. Siau-liong terpaksa masuk ke dalam lembah.
Ia mempunyai dua alasan. Pertama, kemungkinan Soh-beng Ki-su tentu mempunyai
hubungan dengan nona itu. Kedua, ia ingin tahu apakah sebenarnya yang disebut
lembah Musim semi itu!
Ternyata ditengah hutan terdapat
sebuah jalan yang bersih, menuju kesebuah bangunan gedung besar dan megah.
Pintunya bercat warna emas dan dihias dengan ukir-ukiran yang indah.
Empat orang bujang cepat
menyambut kedatangan si nona dengan hormat. Si nona suruh mereka pergi. Kemudian
ia mengajak Siau-liong masuk dan duduk dimeja yang penuh hidangan dan minuman.
Tak lama, terdengar bunyi tetabuhan harpa yang merdu.
Siau-liong terkesiap.
Tiba-tiba nona itu berbangkit
mengangsurkan secangkir teh wangi kepada Siau-liong, “Silahkan minum."
Siau-liong tertawa menyambut
tetapi ia letakkan lagi di meja. Lengan baju si nona bergetar dan setiup hawa
wangi menabur hidung Siau-liong. Seketika bergeloralah darah Siau-liong, nafsu
berkobar. Berpaling ke arah pemilik lembah, didapatinya si nona tengah
menyungging senyum manis, mata mengicupkan sinar kecabulan ......
Saat itu hampir Siau-liong tak
kuat menahan diri lagi. Ia hendak memeluk nona cantik itu. Tetapi
sekonyong-konyong ia terkesiap ketika telinganya serasa mendengar bentakan,
“Jangan!"
Cepat ia tenangkan pikiran,
katanya: ”Aku sudah tua, mungkin tak dapat memenuhi harapan nona!"
Diam-diam ia pancarkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke arah nona itu.
Nona itu terkejut dan
terhuyung mundur sampai 5-6 langkah.
“Kuperlakukan engkau sebagai
seorang cianpwe, tetapi engkau ......”
“Ha, ha," Siau-liong
menukas tertawa, "Jangan banyak omong. Aku akan pergi!"
Pada saat Siau-liong melangkah
muncullah duapuluh orang gadis dengan menghunus pedang. Siau-liong tertawa,
“Jika nona tahu siapa diriku, mengapa suruh anak-anak perempuan mengantar
jiwa?"
Nona cantik itu menghela napas
dan suruh gadis-gadis itu menyingkir. Kemudian ia berkata kepada Siau-liong, “Jika
locianpwe hendak pergi, silahkanlah....” tiba-tiba nadanya berobah rawan.
”Rupanya kita tak dapat keluar dari lembah ini!"
"Mengapa?"
Siau-liong terkejut.
Kembali nona itu menghela
napas, “Ah, apakah locianpwe tak tahu? Seluruh tahun lembah ini beriklim hangat
seperti musim Semi. Sumber air disini mendidih panas. Hal ini akibat dari hawa
panas dari kerak bumi. Dan tanah lembah ini mengandung tambang belirang. Kami
yang sejak kecil hidup disini. memiliki jasmani yang beda dengan orang
kebanyakan. Apabila kami keluar dari
lembah ini, dalam waktu
setahun saja, semua ilmu kepandaian kami tentu lenyap dan kami pun mati!"
Siau-liong tergerak hatinya.
“Apakah kalian hendak
tinggalkan lembah ini?" tanyanya.
Nona itu kerutkan dahi,
“Sebagai wanita persilatan, kami ingin mencari pengalaman dan melakukan dharma
kebaikan. Sudah tentu kami ingin sekali keluar dari tempat ini."
Siau-liong mengangguk, “Lalu
dengan cara bagaimana kalian hendak keluar dari lembah ini?"
Tiba-tiba nona itu berlutut
dan bercucuran air mata, “Justeru itulah kami hendak minta locianpwe
menolong."
"Ah, tetapi aku seorang
tiada berguna," Siau-liong tersipu-sipu.
Nona itu menangis, “Locianpwe
seorang sakti tiada tanding. Jika tak mau memberi pertolongan, lebih baik kami
mati saja!"
“Nanti dulu," buru-buru
Siau-liong mencegah, asal dapat saja, aku tentu mau membantu!"
"Asal locianpwe mau,
tentu dapat menolong kami," nona itu tertawa. Ia memberi hormat,
berbangkit lalu duduk di depan meja.
Siau-liong-pun terpaksa duduk
lagi.
“Kami telah mendapat bantuan
Soh-beng Ki-su untuk mencari peta pusaka. Dengan peta pusaka itu kami akan
menemukan penyimpanan pusaka. Diantaranya terdapat semacam pil Hian-ki-tan yang
berkhasiat membikin tulang-tulang kita seperti baru tumbuh lagi. Dengan begitu
dapatlah kami memiliki jasmani seperti orang biasa. Separoh bagian dari peta
itu berhasil direbut Soh-beng Ki-su. Tetapi yang separoh bagian masih berada
pada locianpwe. Maka sudilah locianpwe memberikan kepada kami, sesuai dengan
kesediaan locianpwe hendak menolong kami tadi!"
Siau-liong terkejut ketika
mendengar kata-kata si nona. Ternyata dugaannya benar. Soh-beng Ki-su
bersembunyi dalam lembah situ. Tetapi dia seorang pemuda yang berhati
welas-asih. Ia kasihan kepada nasib gadis-gadis itu.
"Tetapi benda itu tak
berada padaku. Desas-desus dalam dunia persilatan itu tidak benar ......,”
katanya.
Seketika berobahlah wajah si
nona. Ia tertawa sinis, “Benar, memang separoh dari Pending Kumala itu berada
ditangan ketua Kong-tong-pay.... Tetapi locianpwe sudah berulang kali
menempurnya. Menilik kesaktian locianpwe, tentulah peta itu sudah ditangan
locianpwe....” nona itu berhenti sejenak lalu berkata lagi, “Apabila kedua peta
disatukan, tentulah mudah mencari pusaka itu. Terus terang, pusaka itu disimpan
dalam gunung ini. Aku hanya menghendaki pil Hian-ki-tan saja. Lain-lain
kuserahkan kepada locianpwe semua!"
"Tetapi benda itu
benar-benar tak berada padaku. Jika tak percaya, terserah!"
Tetapi nona itu makin ngotot.
“Sudah duapuluh tahun locianpwe mengasingkan diri. Jika bukan karena pusaka
itu, tak mungkin locianpwe akan muncul lagi!"
Saat itu barulah Siau-liong
menyadari kalau Giok-pwe atau Pending Kumala merupakan penyebab dari kehebohan
besar. Dan teringat jugalah ia akan kata-kata Pengemis Tertawa dalam rapat
Kay-pang di biara tempo hari. Pengemis itu mengatakan bahwa dunia kacau-balau.
Keempat durjana Thian, Te, Liong dan Hou bermunculan di dunia persilatan.
Tentulah mereka juga terpikat oleh peta pusaka itu.
Siau-liong tertegun.
“Lalu apakah tujuan locianpwe
mengejar Soh-beng Ki-su itu?" tanya nona itu pula.
“Untuk menolong nona Tiau
Bok-kun!"
“Bukan untuk menolong Pending
Kumalanya?" nona itu menyindir.
Siau-liong mengkal sekali,
sahutnya, “Ya, anggaplah begitu karena benda itu warisan keluarganya."
Nona itu tertawa mengejek.
Tiba-tiba wajahnya berobah bengis lalu membentak, “Rusa tua, sudah kuketahui
kelicikanmu."
Siau-liong terkesiap. Wanita
memang aneh. Beberapa saat berselang masih merengek-rengek menyebut locianpwe.
Sekarang berbalik memaki-maki!
"Tak perlu bersilat lidah
menutupi maksudmu. Aku adalah seorang pembohong besar. Tak mungkin engkau dapat
mengelabuhi aku!" Maka tiba-tiba nona itu menghambur ejek.
"Memang kenyataan begitu,
apakah yang harus kukatakan? Jika tak percaya. akan kuserahkan separoh Giok-pwe
yang berada pada Toh Hun-ki tetapi nona harus melepaskan nona Tiau!"
Nona cantik itu tertegun. Ia
heran mengapa sekarang Pendekar Laknat berubah menjadi manusia yang menjunjung
budi kebaikan?
Tetapi ia tak mudah percaya,
serunya, “Kalau engkau hendak menolong Tiau Bok-kun, apakah engkau mau
menemuinya? Dia berada disini!"
Sebelum Siau-liong menjawab,
nona itu sudah bertepuk tangan tiga kali. Dinding ruang yang semula merupakan
batu marmar hijau, tiba-tiba berderak-derak merekah dan terbukalah sebuah
pintu. Seorang nenek tinggi besar, memapah keluar seorang gadis yang rambutnya
kusut masai.
Siau-liong terkejut. Gadis itu
adalah Tiau Bok-kun. Menilik wajah dan semangatnya yang sayu lunglai, tentulah
gadis itu telah ditutuk jalan darahnya. Serentak Siau-liong hendak menghampiri.
Tetapi nona pemilik lembah
mengancamnya, “Selangkah lagi engkau berani maju, nona itu tentu
kuhancurkan!"
Siau-liong tertegun.
“Serahkan!" nona itu
tertawa.
“Apa yang harus
kuserahkan?" Siau-liong heran.
“Jangan pura-pura! Serahkan
Giok-pwe itu."
“Apakah nona tak percaya
kepadaku?" tanya Siau-liong.
"Mengapa aku harus
percaya?"
Siau-liong mendengus, “Ho,
kiranya engkau juga pembohong."
Nona itu tertawa ejek, “Tadi
berbohong sekarang, tukar menukar. Separoh Giok-pwe itu dapat ditukar dengan
jiwa nona Tiau ini. Bagaimana kehendakmu "
Sejenak Siau-liong kehilangan
paham. Akhirnya ia tertawa, “Aha, kita sama-sama bermain sandiwara. Engkau
menipu aku, aku menipumu. Aku hendak menipu Giok-pwemu, engkau hendak menipu
Giok-pweku ......”
“Sekarang baru engkau bicara
benar!" dengus nona itu.
Siau-liong gelengkan kepala,
“Soal ini tiada sangkut pautnya dengan nasib nona Tiau. Menurut hematku,
baiklah kita bertaruh. Siapa yang menang, akan memperoleh kedua potong Giok-pwe
itu. Setuju?"
Nona itu merenung. Memang
benar. Membunuh Tiau Bok-kun pun tiada sangkut pautnya dengan kepentingan
Pendekar Laknat.
“Rusa tua, katakanlah
bagaimana pertaruhan itu?" katanya.
“Seorang lelaki takkan
berkelahi dengan orang perempuan. Orang tua takkan menghina orang muda. Baiklah
kita bertaruh dalam soal kepandaian masing-masing dan tidak saling
bertempur."
“Caranya?” tanya si nona.
Pendekar Laknat mengusulkan
untuk mengadu kepandaian melempar gundu ke dalam mangkuk. Nona itu terpaksa
menyadari karena ia merasa tak menang dengan momok itu.
Nona itu menyediakan 4 biji
benda bundar dan sebuah mangkuk. Setelah menaruh benda-benda itu di atas meja,
Siau-liong mempersilahkan si nona yang melempar lebih dulu.
Diam-diam nona itu tertawa
dalam hati. Ia yakin tentu akan menang. Dengan gaya yang indah, ia lemparkan ke
empat gundu itu ke dalam mangkuk. Gundu berputar-putar dan melingkar-lingkar
membentuk sepasang huruf ji (dua).
“Menang!" teriak si nona.
“Nanti dulu, aku belum,"
seru Siau-liong terus mengambil gundu dan dilemparkan ke dalam Mangkuk. Gundu
berputar-putar kemudian berhenti dalam bentuk huruf Liok (enam).
“Ha, ha, akulah yang menang!"
serunya.
“Tidak, tidak! Gunduku dapat
berputar lebih cepat." teriak si nona.
“Tetapi gunduku dapat
membentuk jumlah yang lebih banyak!" sahut Siau-liong.
“Baiklah, engkau yang menang.
Tetapi masih dua kali lagi bertanding," akhirnya nona itu mengakui. Ia
menjeput gundu lalu dilemparkan lagi. Gundu-gundu itu berhenti berjajar-jajar
rapi di tengah mangkuk.
Nona itu tertawa bangga.
“Jangan tertawa dulu,"
tukas Siau-liong seraya menjemput gundu lalu dilemparkan ke udara.
"Klotek"....
gundu-gundu itu berhamburan jatuh dan serentak berhenti ditengah mangkuk.
“Engkau kalah lagi!"
serunya.
Tiba-tiba nona itu menuding
muka Siau-liong dan memaki, “Ho, bagus benar muslihatmu, rubah tua! Engkau
sengaja menantang pertandingan bermain gundu ini supaya aku kalah. Tidak! Jika
tak mau menyerahkan separoh Giok-pwe itu, jangan harap engkau dapat keluar dari
lembah ini!"
Siau-liong tertawa mengejek.
“Jika dengan kepandaian,
engkau mampu mengalahkan aku, tentu takkan ingkar. Tetapi caramu tidak jujur.
Kalau menang, engkau meminta Giok-pwe. Tetapi kalau kalah, engkau cari alasan
ini itu. Memang kalau aku sudah mati disini, tentu tak dapat keluar. Tetapi
untuk membunuh Pendekar Laknat, lebih sukar daripada mendaki tangga ke
langit!"
Nona itu marah dan malu.
Wajahnya sebentar pucat sebentar merah padam. Serentak ia mencabut pedang.
Dengan jurus Bianglala-menutup-matahari. ia menusuk dada Siau-liong.
Siau-liong mengendap dan
menyurut mundur, Rombongan gadis yang terdiri dari duapuluh orang itupun
serentak pecah diri membentuk sebuah barisan. Kemudian mereka menghunus pedang
dan maju menghampiri Siau-liong.
Karena tak mencelakai
gadis-gadis itu, Siau-liong menyurut mundur.
Serangan pertama gagal, gadis
pemilik lembah menyusuli lagi dengan serangan kedua dalam jurus
Ular-putih-menjulur lidah. Ia menusuk dada Siau-liong sekuat-kuatnya.
Saat itu Siau-liong sudah
mundur kira-kira terpisah dua meter dari tempat Tiau Bok-kun. Dengan gesit, ia
mengisar dan menendang tangan si nona. Nona itu cepat merobah gerakan
pedangnya.
Tetapi diluar dugaan,
tendangan Siau-liong itu hanya ancaman kosong. Begitu si nona menghindar,
secepat kilat pemuda itu berputar diri kesamping sinenek tua dan menutuk
punggungnya. Dan serempak dengan gerakan menutuk itu, tangan kiri pun menyambar
bahu Tiau Bok-kun. Ia hendak menerobos keluar dari kepungan.
“Tubuh tua yang licin!"
nona pemilik lembah memekik seraya menyerang dan memberi isyarat agar barisan
gadis itu pun ikut menyerbu.
Dalam keadaan seperti itu,
terpaksa Siau-liong harus membela diri. Sebuah ayunan tangan kiri, membuat tiga
orang gadis tersurut mundur, muntah darah dan terkapar di tanah ......
Siau-liong terkejut. Ia
menyadari bahwa pukulan yang diayunkan itu adalah ajaran pengemis
Tengkorak-sakti Song Thay-kun. Pukulan Thay-siang-ciang yang amat sakti!
“Ha, ha, jangan mengantar jiwa
sia-sia!" serunya memberi peringatan.
Pada saat si nona pemilik
lembah tertegun, Siau-liong lepaskan lagi sebuah pukulan. Nona itu terkejut dan
cepat loncat menghindar. Kesempatan itu tak disia-siakan Siau-liong. Dengan
gerak Harimau-buas-tinggalkan-gunung, sambil mengepit tubuh Tiau Bok-kun, ia
loncat keluar pintu.
Tetapi pintupun tertutup. Siau-liong
menghantamnya dengan pukulan Bu-kek-sin-kang.
"Bum....” terdengar
ledakan keras tetapi pintu itu tak kurang suatu apa. Siau-liong heran.
Dalam pada itu rombongan gadis
yang dipimpin nona cantik tadi pun tiba. Tetapi agaknya nona pemilik lembah itu
gentar terhadap Pendekar Laknat. Ia tak berani segera menyerang melainkan
memaki-maki dari kejauhan.
Siau-liong cepat memutuskan.
Kalau tak dapat menembus pintu muka mengapa ia tak mau coba menerjang pintu
belakang?
Sambil mendukung Tiau Bok-kun,
ia loncat melayang keruang besar. Ternyata di belakang ruang itu, merupakan
sebuah hutan lebat. Siau-liong menerobos ke dalam hutan. Ia kira, ujung hutan
itu tentu merupakan jalan belakang keluar dari lembah. Tetapi ternyata, hutan
itu gelap sekali. Melintas kian kemari, ia tetap hanya berputar-putar dalam
hutan itu saja.
Siau-liong gelisah. Ia
memandang kesekeliling dengan seksama. Sejauh mata memandang, hanya pohon-pohon
bunga yang tampak. Jarak pohon itu satu dengan lain hampir sama, sukar
dibedakan.
Sejenak tertegun, mulailah
Siau-liong berjalan lagi dengan pelahan. Setiap tiga batang pohon diberinya
tanda. Setelah lebih empatpuluh pohon, ia telah mencapai dua li jauhnya. Tetapi
ah.... ternyata ia balik lagi pada jalan semula atau pohon pertama yang telah
diberinya tanda tadi.
Akhirnya ia menghela napas,
meletakkan Tiau Bok-kun lalu bersandar pada pohon. Nona itu masih meram, tiga
buah jalan darahnya ditutuk orang. Sekalipun sudah ditolong Siau-liong tetapi
nona itu tetap belum sadar. Terpaksa Siau-liong mengurutnya. Beberapa waktu
kemudian barulah nona itu menguak dan tersadar.
Begitu melihat Siau-liong,
nona itu menjerit dan meronta hendak lari.
“Nona Tiau, mengapa engkau
ini?" tegur Siau-liong.
Dengan wajah pucat, nona itu
menyurut mundur, “Engkau.... engkau bukan pendekar Lak....”
“Jangan kuatir, aku takkan
mencelakaimu!" buru-buru Siau-liong menukas setelah menyadari dirinya
masih sebagai Pendekar Laknat.
Tiau Bok-kun berhenti,
memandang kesekeliling penjuru. Dengan tertawa, Siau-liong duduk dan berkata,
“Silahkan duduk, nona."
Dengan ragu-ragu nona, itu
ikut duduk. Tiba-tiba ia teringat, serunya, “Tadi aku seperti ditutuk oleh
Soh-beng Ki-su.... locianpwekah yang menolong?"
Diam-diam Siau-liong geli.
Sahutnya, “Benar, memang aku yang menolongmu. Tetapi saat ini kita masih
terbenam dalam barisan musuh. Entah kita dapat atau tidak keluar dari lembah
ini!"
Buru-buru Tiau Bok-kun
menghaturkan terima kasih, ujarnya, “Ah, kiranya locianpwe seorang yang berbudi
luhur. Desas-desus dalam dunia persilatan itu ternyata tidak benar!"
“Desas desus bagaimana?"
"Kabarnya duapuluh tahun
yang lalu locianpwe amat ganas gemar membunuh, congkak, dingin, tak suka
bersahabat dan kejam sekali ......”
"Adakah aku sesuai dengan
desas-desus itu?"
Tiau Bok-kun tertawa kecil dan
tundukkan kepala. “Ku.... rasa tidak sesuai. Locianpwe seorang baik. Aku tak
percaya segala omongan orang itu!"
Diam-diam Siau-liong merasa
bahagia. Selebat hutan dalam lembah Musim-semi, hatinya terasa pekat sekali
hingga tak dapat berkata-kata.
Setelah beberapa saat, Tiau
Bok-kun rasakan tenaganya pulih kembali. Melihat Pendekar Laknat diam saja, ia
bertanya, “Locianpwe, apakah kita tak berangkat lagi?"
"Mungkin kita terpaksa
bermalam disini," Siau-liong tertawa hambar.
Tiau Bok-kun terbeliak. Ia
heran mengapa seorang tokoh yang sedemikian sakti, tak berdaya keluar dari
hutan itu.
Sekonyong-konyong terdengar
suara ketawa keras. Dan melengkinglah teriakan garang dari nona pemilik lembah,
“Rubah tua, sepandai-pandai tupai melompat, sesekali tergelincir juga.
Betapapun saktimu, tetapi kali ini jangan harap engkau mampu keluar dari lembah
ini!"
Tiau Bok-kun berpaling
memandang keseluruh penjuru, Tetapi ia tak dapat menentukan arah datangnya
suara itu.
Siau-liong murka. Dengan
menggembor keras ia menghamburkan lima buah pukulan Bu-kek-sin-kang keempat
penjuru. Pohon-pohon berderak-derak putus dahannya. Ranting dan daun
bertebaran.
"Ibiis tua! Pohon
berjumlah duaribu batang. Kecuali engkau mampu menghantam habis, barulah engkau
mampu keluar dari lembah ini. Tetapi masih ada pula Pagar Harimau, Pagar Singa,
Pari Beracun dan lain-lain....” tiba-tiba terdengar lengking suara mirip hantu
merintih.
Tiau Bok-kun pucat, Siau-liong
pun tertegun. Itulah suara Soh-beng Ki-su, manusia yang dibencinya. Tetapi apa
daya. Ia hanya termenung.
Saat itu hari mulai petang.
Tiba-tiba segumpal kabut tipis bertebaran melayang-layang. Makin lama makin
tebal, baunya mengandung belirang. Jelas bukan kabut sewajarnya melainkan
ditaburkan orang.
"Locianpwe, mereka
melepas api!" seru Tiau Bok-kun makin cemas.
Tetapi Siau-liong tertawa
tenang, “Api tak jadi soal, tetapi ini ......” ia tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena batuk-batuk terserang bau belirang.
Tiau Bok-kun pun ikut
batuk-batuk.
"Iblis tua! Jangan
lama-lama, lekaslah engkau ke Neraka!" seru Soh-beng Ki-su pula.
Siau-liong tertawa nyaring,
serunya, “Ha, tahukah engkau bahwa separoh Giok-pwe itu berada dalam
tanganku?"
"Bagus, setelah engkau
mati, tentu dapat kita ambil!" seru Soh-beng Ki-su dan nona pemilik
lembah.
Siau-liong tertawa mengejek,
“Ho, di dunia tak ada hal yang seenak bayanganmu itu! Jika aku mati, tentu
lebih dulu Giok-pwe itu akan kuhancurkan ......”
Kata-kata Siau-liong itu
ternyata membawa pengaruh. Soh-beng Ki-su dan si nona pemilik lembah berdiam
diri. Tetapi dalam pada itu kabut pun mlai menipis dan akhirnya lenyap sama
sekali.
Andaikata Siau-liong tak
menggunakan siasat tadi, tentulah ia dan Tiau Bok-kun sudah binasa.
Hari makin malam. Hutan makin
gelap gulita.
Tiba-liba Tiau Bok-kun
terhuyung-huyung dan berbargkit, “Locianpwe ......”
"Nona Tiau, mengapa
engkau!" Siau-liong terkejut.
Tiau Bok-kun rubuh ......
9. Keluarga Iblis
Siau-liong terkejut tetapi
gadis itu sudah rubuh. Buru-buru ia menolongnya. Dahi nona itu mengerut gelap,
kaki tangan lunglai dan bibirnya gemetar.
Siau-liong menyadari bahwa
kabut belirang tadi tentu mengandung racun. Karena ia sudah mendapat saluran
tenaga murni dari Koay-suhu si manusia dari gua dan minum darah makhluk aneh
serta makan buah Im-yang-som maka ia memiliki daya tahan yang kebal terhadap
kabut beracun itu.
Beda dengan Tiau Bok-kun yang
lebih rendah kepandaiannya sehingga tak tahan diserang kabut itu.
Sejak kecil ikut pada gurunya,
tabib sakti Kongsun Liong, Siau-liong pun paham akan ilmu pengobatan. Karena
tak membekal obat, tak dapat ia menyembuhkan nona itu.
Akhirnya ia hanya dapat
melakukan cara mengurut untuk menekan racun dalam tubuh gadis itu supaya jangan
mengembang luas.
Tak berapa lama Tiau Bok-kun
tersadar. Memandang Siau-liong, nona itu mengeluh, “Locianpwe, aku benci
......”
"Siapa?"
Tiau Bok-kun menghela napas
panjang, “Aku benci diriku yang bernasib malang ini ......”
Siau-liong tertawa lalu
menghela napas.
“Locianpwe," kata nona
itu pula, “dengan kepandaian yang sakti engkau tentu dapat keluar dari lembah
ini. Janganlah karena diriku, engkau akan mendapat kesusahan ......”
Siau-liong tertawa, “Orang
menjuluki diriku Pendekar Laknat. Kegemaranku mengurus hal-hal yang tak adil.
Sekali campur tangan, tak pernah aku mundur lagi."
Tiau Bok-kun gelengkan kepala,
“Nasibku memang malang. Hidupku selalu dirundung kesusahan dan keputus-asaan.
Andaikata dapat keluar dari lembah ini, bagiku pun tiada manfaatnya hidup di
dunia!"
Sejenak berhenti, nona itu
berkata pula, “Locianpwe, apakah engkau mau meluluskan sebuah
permintaanku?"
Siau-liong buru-buru
mengiakan.
Sesaat tampak Tiau Bok-kun
meragu tetapi akhirnya ia berkata juga, “Ada seorang pemuda gagah bernama
Kongsun Liong. Adakah locianpwe kenal padanya?"
Jantung Siau-liong mendebur
keras. Cepat ia menyahut, “Dia adalah ketua partai Kay-pang yang termasyhur.
Masakan aku tak kenal?"
Tiau Bok-kun menghela napas.
"Tolonglah locianpwe suka
menyerahkan suratku ini kepadanya. Katakan .,.... katakanlah, bahwa aku sudah
meninggal dunia. Budi pertolongannya kepadaku, terpaksa kelak pada penitisan
yang akan datang, baru dapat kubalas!"
Habis berkata nona itu
menangis tersedu-sedu. Siau-liong terpaksa ikut mengucurkan air mata. Untunglah
karena gelap, tiada yang mengetahui keadaannya saat itu.
Sesungguhnya sudah berulang
kali Siau-liong hendak menyingkap kedoknya agar Tiau Bok-kun terkejut girang.
Tetapi setiap kali, ia batalkan niatnya.
Kini baru ia mengetahui betapa
besar cinta Tiau Bok-kun kepadanya. Pikiran Siau-liong mulai melayang-layang
jauh ......
Dari keterangan gurunya, yakni
tabib sakti Kongsun Sin-tho, Siau-liong mengetahui bahwa pembunuh ayahnya
adalah ketua Kong-tong-pay yang bernama Toh Hun-ki serta keempat tokoh tua dan
partai itu. Dan Toh Hun-ki itu sesungguhnya adalah guru dari ayah Siau-liong.
Selama ini beberapa kali ia
mempunyai kesempatan untuk membunuh musuh ayahnya itu. Tetapi setiap kali
teringat akan pesan gurunya bahwa mendiang ayahnya meninggalkan pesan supaya
jangan membalas sakit hati itu. Terpaksa Siau-liong lepaskan musuhnya.
Mengenai ibunya, Siau-liong
sudah beberapa kali berjumpa tetapi setiap kali tentu kehilangan kesempatan
untuk bicara.
Kemudian pikiran Siau-liong
melayang jauh pada manusia aneh Pendekar Laknat yang memberinya ilmu kesaktian.
Menurut pesan Pendekar Laknat, ia harus membenci semua manusia di dunia.
Apabila ia tak dapat memenuhi pesan itu, sekurang-kurangnya ia harus dapat
membunuh Soh-beng Ki-su, pertapa yang berhutang darah Pendekar Laknat.
Kemudian masih ada seorang
lagi yakni Ko-lo-sin-kay atau Pengemis Tengkorak Song Thay-kun. Walaupun tokoh
itu hanya berupa tengkorak tetapi dari petunjuknyalah ia dapat mempelajari ilmu
pukulan Thay-siang-ciang-hwat yang sakti, makan buah Im-yang-som dan minum
darah ular naga.
Dan kini setelah dirinya
dinobatkan sebagai Cousu-ya atau ketua dari partai Kay-pang, demi membalas budi
Pengemis Tengkorak, ia harus berusaha keras untuk mengharumkan nama baik partai
itu.
Peristiwa-peristiwa itu
melalu-lalang dibenak Siau-liong. Ia menginsyafi, betapa berat beban yang
terletak pada bahunya. Kini ia telah memiliki berbagai kepandaian sakti. Tetapi
sejauh itu, satu pun dari beban-beban itu belum ada yang berhasil ia
laksanakan. Bagaimana yang akan terjadi, masih gelap baginya.
Ah ...... tugas kewajiban
masih menumpuk. Mengapa ia harus menjerumuskan diri dalam jerat asmara?
Demikian ia melamun.
Tengah ia terbenam dalam
lamunan itu, tiba-tiba sebuah suara halus mendesing di udara dan menyambar
belakangnya. Siau-liong terkejut, Cepat ia mengunakan dua buah jari tangan
untuk menjepit senjata gelap itu. Ah, kejutnya bukan kepalang ketika
pendapatkan bahwa yang dijepit itu bukan senjata rahasia, melainkan hanya
secarik lipatan kertas!
Hebat! Hanya ahli menutuk
jalan darah dari jauh, yang mampu menjentikkan surat itu kepadanya. Cepat ia
berbangkit dan memandang keseluruh penjuru. Tetapi kecuali derak halus dari
ranting dan daun-daun tertiup angin malam, tiada tampak suatu apa lagi.
Terpaksa ia duduk kembali
serta diam-diam menghela napas, “Ah, memang benar, di atas gunung masih terdapat
langit yang tinggi. Yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Kesaktian orang
itu tak dibawah kepandaianku ......”
Tiau Bok-kun hanya
terlongong-longong memandang Siau-liong. Tetapi pemuda itu tak sempat lagi
memberi keterangan karena ia terus membuka surat lipatan itu. Dan membacanya:
“Ilmu silat tiada batasnya.
Harus paham tenaga luar-dalam, ilmu pukulan dan senjata, mengetahui barisan
Pat-kwa-kiu-kiong, Ki-bun-ngo-heng, ilmu pengobatan, perbintangan dan pemakaian
racun, barulah dia dapat menguasai dunia persilatan. Kepandaianmu tinggi tetapi
kurang pengalaman dan kurang cermat hingga terjebak dalam barisan pohon bunga.
Ingat dan hati-hatilah! Dunia persilatan itu penuh tipu muslihat yang ganas
......”
Siau-liong terkejut. Jelas
orang itu memberi peringatan kepadanya. Walaupun nadanya congkak tetapi
maksudnya baik. Siau-liong lanjutkan membaca lagi,
“Soh-beng Ki-su adalah murid
dari si Iblis penakluk-dunia. Dan nona pemilik Lembah Semi itu anak perempuan
dari Dewi Neraka. Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan sepasang
suami isteri yang selalu kumpul-cerai. Saat ini mereka masuk ke dalam lembah.
Lekas tinggalkan tempat ini!"
Karena tiada tanda siapa
penulisnya, Siau-liong bingung.
"Locianpwe, apakah surat
itu ......” baru Tiau Bok-kun bertanya, Siau-liong cepat menukas, “Ah, dari
seorang sahabat pada empatpuluh tahun yang lalu!"
Tepat Siau-liong mengucap
begitu, tiba-tiba dari belakang terdengar orang tertawa dingin dan pada lain
saat sesosok bayangan hitam loncat menyelinap ke dalam gerumbul.
Siau-liong terkejut. Kiranya
orang itu bukan lain adalah orang berpakaian hitam yang pernah bertempur
dengannya tempo hari. Cepat ia mengajak Tiau Bok-kun pergi. Tetapi nona
menolak,
“Silahkan locianpwe pergi
sendiri, jangan pedulikan diriku."
Siau-liong tak mau banyak
bicara. Cepat ia menyambar Tiau Bok-kun terus dibawa lari mengejar orang
berpakaian hitam tadi.
Orang itu menyusup ke kanan
dan ke kiri. Kira-kira dua li jauhnya, dia sudah berhasil keluar dari barisan
pohon bunga. Mau tak mau Siau-liong harus mengagumi orang itu. Diam-diam ia
memutuskan hendak menyingkap rahasia si baju hitam itu. Sekali enjot tubuh, ia
menubruk orang itu seraya membentak, “Siapakah sesungguhnya saudara ini!"
Tetapi rupanya orang misterius
itu sudah memperhitungkan hal itu. Pada saat Siau-liong bergerak, iapun sudah
melambung ke udara dan dengan gerak Burung-walet-menembus-awan, ia melayang ke
balik sebuah batu besar.
Diluar daerah barisan pohon
bunga itu, merupakan sebuah tanah lapang. Dan tak jauh disebelah muka,
merupakan sebuah lamping gunung yang melandai curam. Karena mengepit tubuh Tiau
Bok-kun, gerakan Siau-liong kurang leluasa.
Pada saat ia hendak layangkan
diri mengejar orang aneh itu, tiba-tiba tampak beberapa orang terhuyung-huyung
lari di atas lamping gunung. Cepat sekali mereka sudah mendekati ketempat
Siau-liong.
Walaupun malam gelap tetapi
Siau-liong dapat mengetahui bahwa kawanan orang yang datang itu adalah ketua
Kong-tong-pay yakni Toh Hun-ki bersama keempat tetua Kong-tong-pay atau
Kong-tong-su-lo.
Menilik pakaian dan keadaan
mereka, rupanya mereka kalah bertempur dan sedang dikejar musuh. Mereka lari
pontang-panting menuju barisan pohon bunga. Dalam keadaan ketakutan mereka tak
melihat Siau-liong.
Melihat rombongan orang
Kong-tong-pay, Tiau Bok-kun tampak jeri. Ia menjerit pelahan dan cepat
bersembunyi di belakang Siau-liong. Mendengar jeritan itu, rombongan Toh Hun-ki
berhenti. Mereka tertegun melihat Siau-liong dalam penyamaran sebagai Pendekar
Laknat, berada diluar hutan.
Geraham Siau-liong
berderuk-deruk menahan kemarahan. Tak pernah sedetikpun ia melupakan dendam
kematian ayahnya. Diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Tetapi pada lain kilas,
terngiang pula pesan mendiang ayahnya bahwa ia tak boleh menuntut balas.
Apalagi melihat keadaan Toh Hun-ki saat itu, pemuda Siau-liong tak sampai hati
turun tangan.
"Pendekar
Laknat....!" seru Tok Hun-ki.
Siau-liong melirik ke arah
orang itu. Tampak pakaiannya berlubang beberapa beberapa tusukan senjata. Tubuh
penuh bintik-bintik noda darah, rambut kusut masai terurai kedada. Sedang
keempat Kong-tong su-lo dibelakangnya dengan kepala menunduk.
"Menyerang orang yang
sedang terluka, bukanlah laku seorang kesatrya. Aku masih dapat mencari lain
kesempatan untuk membalas dendam padanya," diam-diam Siau-liong menimang
dalam hati. Dan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang pun diredakan.
"Kali ini kuampuni jiwa
kalian. Tetapi kalau bertemu lagi, jangan harap kalian mendapat kemurahan
seperti saat ini lagi!" serunya.
Walaupun heran atas tindakan
Pendekar Laknat, tetapi Toh Hun-ki tak mau membuang waktu lagi. Ia menghaturkan
terima kasih dan terus lari menuju ke dalam hutan.
"Hai, apakah kalian
benar-benar hendak mencari kematian!" tiba-tiba Siau-liong berseru seraya
ayunkan pukulan. Serangkum angin menderu menghadang lari rombongan orang-orang
Kong-tong-pay itu.
Toh Hun-ki terkejut. Ia kira
Pendekar Laknat merubah keputusan.
"Hutan itu merupakan
barisan pohon bunga dari Lembah Semi. Aku sendiri tadi hampir celaka, apa lagi
kalian!" seru Siau-liong dengan tertawa dingin.
Toh Hun-ki berhenti dan
memandang ke arah hutan. Ia berterima kasih sekali atas peringatan momok itu.
Sebagai seorang ketua sebuah partai persilatan, ia berilmu tinggi dan
berpengalaman luas. Apa yang dikatakan Pendekar Laknat itu memang benar.
Diam-diam ia malu pada dirinya sendiri dan timbullah rasa mengindahkan kepada
momok itu.
Beberapa saat kemudian,
belasan orang bersenjata muncul. Mereka hendak mengejar rombongan Toh Hun-ki.
Tetapi terkejut ketika melihat Pendekar Laknat berada disitu. Mereka tak berani
sembarangan bertindak dan hanya pecah diri mengepung.
Siau-liong tertawa.
Ternyata kawanan pengejar itu
adalah Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik Lembah Semi sendiri bersama anak
buahnya.
Adalah karena Pendekar Laknat
menggunakan siasat untuk menghancurkan separoh dari Giok-pwe yang berada
ditangannya, maka Soh-beng Ki-su dan gadis pemilik lembah itu terpaksa hentikan
serangannya dengan kabut beracun. Giok-pwe itu adalah benda milik Iblis
Penakluk dunia dan Dewi Neraka. Lebih baik mereka tunggu kedatangan guru dan
ibu guru itu.
Soh-beng Ki-su dan gadis
pemilik Lembah Semi mengetahui bahwa guru dan ibu guru mereka itu sukar diraba
sepak terjangnya. Tetapi mereka yakin dalam beberapa hari ini, kedua tokoh itu
tentu akan kambali ke dalam lembah lagi.
Kedatangan Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo itu tak lain hendak mengikuti Siau-liong yang tengah mengejar
Soh-beng Ki-su. Ketua Kong-tong-pay itu tak pernah melepaskan hasratnya untuk
mendapatkan separoh Giok-pwe yang dirampas Soh-beng Ki-su dari Tangan Tiau
Bok-kun. Yang separoh bagian sudah berada ditangannya.
Apabila berhasil mendapat yang
separoh dari tangan Soh-beng Ki-su, akan lengkaplah peta untuk mencari kitab
pusaka berisi ilmu kesaktian yang tiada taranya di dunia. Dengan demikian
partai Kong-tong-pay pasti dapat mengangkat diri dan menguasai dunia
persilatan.
Dengan harapan itulah maka Toh
Hun-ki memberanikan diri untuk memasuki sarang harimau atau Lembah Semi-abadi
yang amat berbahaya itu.
Tetapi gerak-gerik Soh-beng
Ki-su dan Siau-liong cepat sekali. Mereka menghilang dari pandangan Toh Hun-ki.
Dan ketua Kong-tong-pay itu kehilangan arah akhirnya tersesat ke belakang
lembah. Disitu mereka dipergoki Soh-beng Ki-su dan wanita pemilik Lembah
Semi-abadi terus diserang.
Toh Hun-ki adalah ketua partai
Kong-tong-pay dan keempat Su-lo itu merupakan jago-jago sakti dari partai
tersebut. Tetapi Soh-beng Ki-su dan wanita pemilik Lembah Semi-abadi adalah
murid dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang termasyhur.
Ilmu Pek-kut-kang (tulang
putih) dari Soh-beng Ki-su dan ilmu Yong-kut-kang (pelelah tulang) dari wanita
pemilik lembah, merupakan ilmu sakti yang ganas sekali. Maka tak berapa lama,
Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu dapat dilukai dan melarikan diri.
Soh-beng Ki-su dan si nona
pemilik lembah memimpin anak buahnya mengejar. Pada saat rombongan Toh Hun-ki
dapat digiring memasuki barisan pohon bunga, tiba-tiba Pendekar Laknat
menolong.
"Setan tua, rupanya
umurmu memang panjang!" seru nona pemilik lembah seraya tertawa mengejek
Siau-liong.
Siau-liong marah sekali.
Soh-beng-ki-su adalah pembunuh dari Koay suhu. Sepak terjang pertapa itupun
amat ganas. Nona pemilik Lembah Semi, cabul dan ganas. Jika kedua manusia itu
tak dilenyapkan, dunia persilatan tentu menderita.
Siau-liong tertawa keras
seraya melangkah maju. Karena sudah beberapa kali menderita pil pahit dari
Pendekar Laknat, Soh-beng Ki-su gentar dan cepat kerahkan tenaga sakti
Pek-kut-kang. Dari jari pertapa itu meluncur sinar putih menyerang Siau-liong.
Pemuda itu tak mengacuhkan. Ia
tetap tertawa nyaring. Nadanya menyerupai singa mengaum.
Melihat itu, Son beng Ki-su
makin ketakutan. Ia perhebat lagi tenaga sakti Pek-kut-kang sampai beberapa
bagian.
Sesungguhnya dalam tertawa
tadi, diam-diam Siau-liong pun sudah kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Pada saat sinar putih Pek-kut-kang tiba, Siau-liong menggembor keras dan
lepaskan pukulan Tay-lo-kim-kong, sebuah jurus dari ilmu pukulan
Tay-siang-ciang yang amat dahsyat.
Terdengar suara menggelegar
keras ketika kedua jenis tenaga sakti itu saling beradu. Hasilnya segera dapat
diketahui. Sinar putih Pek-kut-kang berantakan lenyap dan Soh-beng Ki-su pun
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Ia terluka.
"Serahkan jiwamu,
jahanam!" Siau-liong maju menghampiri dan hendak menghantamnya lagi.
Tetapi si nona pemilik lembah
segera mengajak anak buahnya menyerbu.
Siau-liong hanya membenci
Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah itu. Ia tak mau mengorbankan banyak jiwa
yang tak berdosa. Belasan anak buah yang terdiri dari lelaki dan perempuan itu,
seolah-olah tak mengacuhkan pukulan Siau-liong. Mereka seperti manusia-manusia
patung yang tak bernyawa. Siau-liong tak sampai hati dan terpaksa menarik
pulang pukulannya.
Setelah hantamkan tangan kiri
ke arah nona pemilik lembah Siau-liong pun enjot tubuh melambung melampaui
kepala orang-orang itu lalu melayang ke arah Soh-beng Ki-su.
Soh-beng Ki-su yang sudah
menderita luka itu makin ketakutan. Wajahnya pucat seketika.
Siau-liong tak peduli dan
terus hendak menghantamnya.
"Tahan!" tiba-tiba
dari samping terdengar suara orang membentak dan serangkum angin bertenaga
lunak mendampar punggungnya.
Siau-liong terkejut seraya
cepat loncat menghindar. Ketika bepaling, tampaklah sepasang kakek-nenek
berdiri setombak jauhnya. Kedatangan kedua orang itu sama sekali tak bersuara.
Siau-liong terkesiap.
Kedua kakek-nenek itu sudah
lanjut usianya. Dahi mereka penuh berhias keriput tetapi mukanya masih berseri
segar. Sepasang matanya bersinar tajam.
Yang lelaki bertubuh jangkung
tetapi punggungnya bungkuk. Jenggotnya menjulai panjang sampai ke lutut.
Rambutnya yang putih terurai lepas pada kedua bahu. Alisnya pun panjang
sehingga hampir bersambung satu sama lain. Hidung bengkok macam burung kukuk
beluk. Mulutnya aneh, karena bibir bagian atas lebar tetapi yang bawah kecil
sehingga tampak baris giginya yang putih. Sepintas pandang menyerupai orang
hutan.
Sedang yang perempuan,
bertubuh pendek kecil. Tingginya hanya sebatas perut si kakek. Alisnya tebal,
mata besar dan hidung membiak lebar, menaungi mulutnya yang besar. Nenek itu
mencekal sebatang tongkat Liong-thau-ciang atau tongkat Kepala naga. Tongkat
lebih tinggi dari orangnya.
Siau-liong tertegun melihat
keadaan kedua manusia aneh itu.
“Suhu," tiba-tiba
Soh-beng Ki-su berteriak girang seraya lari menghampiri dan berlutut dihadapan
kakek yang mirip orang hutan itu.
“Ayah, ibu....!" nona
pemilik lembah pun berseru dan lari terus memeluk dada wanita kate.
Sambil membelai rambut
puterinya dengan mesra, nenek kate itu menghibur, “Jangan takut, anakku. Ibumu
tentu akan menghimpas penasaranmu!"
Kemudian nenek itu melangkah
maju. Saat itu barulah Siau-liong menyadari akan surat peringatan dari orang
baju hitam yang mengatakan bahwa kedua momok suami isteri itu sudah datang ke
dalam lembah. Tak salah lagi, mereka tentulah suami-isteri Iblis Penaluk-dunia
dan Dewi Neraka.
Nenek Dewi Neraka berhenti
lima langkah di hadapan Siau-liong dan memandangnya dengan berapi-api.
Tiba-tiba Dewi Neraka tertawa mengekeh.
"Heh, heh, setan tua
Bu-kek, mengapa duapuluh tahun tak ketemu, engkau sekarang bertambah tinggi
......” tegurnya.
Siau-liong teringat bahwa
kedua suami-isteri durjana itu adalah musuh bebuyutan dari Koay suhu atau
Pendekar Laknat. Beberapa kali Koay suhu kalah oleh kedua momok itu.
Diam-diam ia menimang.
Walaupun sekarang ia sudah memiliki tenaga sakti dari Koay suhu dan paham ilmu
pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak, tetapi kedua momok itu tentulah
juga sudah jauh lebih maju dalam ilmu kesaktiannya. Maka Siau-liong tak berani
memandang rendah. Sambil kerahkan tenaga sakti, ia tertawa nyaring.
“Sekalipun berpisah hanya tiga
hari tetapi harus meneliti lagi. Selama duapuluh tahun ini aku telah berhasil
mempelajari semacam ilmu ajaib. Tubuhku dapat kupanjang-surutkan, kurus
gemukkan menurut sekehendak hatiku. Pula aku dapat memperpanjang umurku sampai
seribu tahun!" sahut Siau-liong.
Dewi Neraka terperanjat.
Tetapi cepat ia tenang kembali. Ujarnya, “Hanya sayang makin tua engkau makin
tak kenal malu. Buktinya, mengapa engkau tak malu menghina kedua muridku
ini?"
Nenek itu mengguncangkan
tongkatnya seperti hendak menyerang. Tetapi Iblis Penaluk-dunia cepat loncat
mencegah. Lalu berkata kepada Siau-liong, “Setan tua Bu-kek, kuucapkan selamat
engkau masih tetap awet muda dan tambah tinggi!"
'Ho, tak perlu memuji!"
Siau-liong tertawa tawar.
Iblis Penaluk dunia dan Dewi
Neraka saling berpandangan. Agaknya mereka curiga atas sikap dan kata-kata
Siau-liong.
Iblis Penaluk dunia kerutkan
alis, tertawa sinis, “Dua puluh tahun tak ketemu, engkau banyak berubah.
Kabarnya engkau punya sebuah ilmu baru lagi?"
"Ilmu jenis
Bubuk-makan-kayu saja, masakan pantas dibanggakan," Siau-liong tertawa.
Sambil mengurut jenggot, Iblis
Penaluk dunia berkata pula, “Isteriku telah mengundang seluruh kesatrya dunia
persilatan supaya datang ke lembah sini untuk mengadu kepandaian. Rupanya
engkau merupakan tetamu paling terhormat dari isteriku!"
"Jika isterimu yang
mengundang, tiada alasan aku tak datang," sahut Siau-liong.
Iblis itu tertawa sinis,
“Dapat atau tidaknya engkau hadir, tergantung bagaimana hasil peyakinanmu
selama duapuluh tahun ini. Mungkin sejak saat ini, dunia akan kehilangan seorang
momok yang disebut Pendekar Laknat!"
Tiba-tiba iblis tua itu
menutup kata-kata dengan dorongkan kedua tangannya ke arah Siau-liong.
10. Persimpang Jalan …….
Siau-liong memang sudah
menduga kemungkinan itu. Iapun sudah siap sedia. Cepat ia dorongkan kedua
tangannya menyongsong.
Dahulu iblis Penakluk-dunia
termasyhur dengan pukulan sakti Thay-kek-bu-wi-kangnya. Setelah memperdalam
lagi selama duapuluh tahun, sudah tentu tenaga saktinya makin sempurna.
Dess ...... terdengar ledakan
keras. Debu dan batu seluas beberapa meter, berhamburan keempat penjuru ......
Tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
dan ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang dilancarkan Siau-liong berlandas
kekerasan dahsyat. Sedang tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-kang dari iblis Penaluk
dunia mengutamakan tenaga lunak.
Keduanya paling menggunakan
delapan bagian tenaganya. Kesudahannya, mereka sama-sama terkejut. Ternyata
tenaga sakti keduanya sama-sama lenyap. Tiada yang kalah dan menang.
Iblis Penaluk dunia paksakan
tertawa, “Setan tua Bu-kek, dalam duapuluh tahun ini, hebat sekali
kemajuanmu!"
Dalam berkata-kata itu, iblis
Penaluk-dunia tetap pancarkan tenaga sakti ke arah tangannya dan menyerang.
"Bagus, bagus," seru
Siau-liong seraya balikkan kedua tangannya menyambut.
Mereka saling adu tenaga dalam
melalui sepasang tangan masing-masing. Sampai sepeminum teh lamanya, keduanya
tetap tak bergerak. Tiba-tiba iblis Penaluk-dunia menggembor keras. Ia deliki
mata. Tulang-tulang tubuhnya berderak-derak dan ia tambahkan lagi penyaluran
tenaga dalamnya untuk mendesak Siau-liong.
Tampaknya Siau-liong tak kuat
bertahan. Kedua lengannya pun sudah menjuntai ke bawah dan tubuhnya mulai
condong ke belakang.
Toh Hun-ki dan keempat Su-lo
serta Tiau Bok-kun menyaksikan pertempuran maut itu dengan berdebar-debar.
Mereka mencemaskan keadaan Siau-liong. Jika Siau-liong kalah, merekapun takkan
lolos dari tangan maut si iblis Penaluk-dunia.
Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara tertawa Siau-liong. Tubuh Pendekar Laknat itu tegak kembali dan
bahkan dapat mendesak lawan ke belakang.
Sepeminum teh lamanya, wajah
iblis yang semula merah segar, mulai tampak pucat lesi. Keningnya basah dengan
keringat. Jelas tokoh itu hampir kehabisan tenaga.
Karena mengenakan kedok
penyamaran sebagai Pendekar Laknat, maka perobahan air muka Siau-liong tak
terlihat. Tetapi jelas, diapun berjuang mati-matian untuk bertahan.
Sekonyong-konyong terdengar
getaran menggelegar dan tahu-tahu iblis Penakluk dunia serta Siau-liong
sama-sama menyurut mundur sampai tujuh langkah. Debu dan pasir berhamburan
hebat.
Kedua musuh itu tegak berdiri
tak kurang suatu apa. Beberapa saat kemudian, barulah iblis Penakluk dunia
berseru, “Setan tua Bu-kek, duapuluh tahun berselang, engkau menghalangi
cita-citaku menguasai dunia persilatan. Kini duapuluh tahun kemudian, engkau
tetap merupakan penghalangku yang utama ......”
Ia berhenti sejenak. lalu,
“Tetapi keadaan sekarang berbeda dengan dulu. Asal engkau berani datang
menghadiri pertempuran di dalam lembah, aku sudah sedia cara untuk
menguburmu!"
Siau-liong tertawa nyaring,
“Dalam hidupku tak pernah kutakut pada manusia siapa saja. Aku tentu
datang."
Tiba-tiba tubuh iblis Penakluk
dunia condong kemuka seperti mau rubuh tetapi segera tegak lagi. Setelah
tertawa terkekeh-kekeh beberapa saat, ia ajak Dewi Neraka dan puteri serta
muridnya masuk ke dalam lembah. Tak berapa lama mereka lenyap dari pandangan.
Saat itu hampir menjelang
tengah malam. Siau-liong memandang rembulan cekung. Ia menghela napas dalam.
"Locianpwe....” Tiau
Bok-kun lari menghampiri.
"Pendekar....
Laknat," Toh Hun-ki pun bersama keempat Su-lo menghampiri kemuka
Siau-liong.
Siau-liong tak mengacuhkan. Ia
duduk di tanah pejamkan mata.
Toh Hun-ki, Tiau Bok-kun dan
keempat Su-lo tak berani mengganggu. Mereka tahu Pendekar Laknat seorang manusia
aneh. Sukar diraba sepak terjangnya. Walaupun tadi telah menolong tetapi belum
tentu dia tak berpaling haluan.
Beberapa waktu kemudian,
tiba-tiba Siau-liong mengangkat kepala dan muntah darah.
"Locianpwe, apakah engkau
terluka ......” Tiau Bok-kun berseru cemas.
Siau-liong mengiakan, “Ya,
tetapi si iblis dunia itupun lebih berat dari aku!"
Toh Hun-ki buru-buru mengambil
dua butir pil merah lalu diberikan kepadanya, “Pil buatan partai Kong-tong-pay
ini. mempunyai khasiat mengembalikan ketenangan darah dan hawa murni ......”
“Plak....” tiba-tiba
Siau-liong menampar jatuh pil itu dan membentak, “Siapa sudi makan pil
pemberianmu"
Toh Hun-ki tersentak kaget.
Bersama keempat Su-lo, ia mundur beberapa langkah. Ia duga momok itu tentu
sedang kumat gilanya.
Tiau Bok-kun pun mengira
demikian. Ia juga mundur dua langkah.
Tak berapa lama terdengar
Siau-liong menghela napas pula.
Mendengar itu Toh Hun-ki
memberi hormat seraya menghaturkan terima kasih, “Pemberian pil tadi
berdasarkan rasa terima kasih kami yang tak terhingga kepada saudara."
"Pergi kau!" bentak
Siau-liong, “aku tak butuh terima kasihmu. Jika saat ini kalian tak terluka,
mungkin kalian sudah jadi mayat!"
"Silahkan saudara berkata
apa saja. Tetapi karena merasa menerima budi, aku tak dapat tinggalkan saudara
dalam keadaan terluka," sahut Toh Hun-ki, terus duduk di tanah diikuti
keempat Su-lo.
Siau-liong pejamkan mata.
Beberapa saat kemudian ia membentak bengis, “Toh Hun-ki!"
Ketua Kong-tong-pay itu
mengiakan.
"Aku hendak minta engkau
menyelidiki berita seseorang ......”
"Asal tenagaku mampu,
tentu akan kulaksanakan," sahut Toh Hun-ki.
Siau-liong mengangguk,
katanya, “Apakah pada sepuluh tahun yang lalu engkau kenal akan seorang lelaki
yang bernama Tong Gun-liong?"
Toh Hun-ki terbeliak. Tong
Gun-liong dikubur di gunung Hong-san. Dan ternyata Pendekar Laknat bersembunyi
dibalik gunung itu. Mungkinkah mayat Tong Gun-liong itu Pendekar Laknat yang
menguburnya? Demikian Toh Hun-ki mulai membayang kecemasan.
Tetapi Pendekar Laknat seorang
iblis yang gila dan pendendam. Dia tak punya seorang sahabat pun juga. Tak
mungkin dia mempunyai hubungan apa-apa dengan Tong Gun-liong. Mustahil dia mau
mengubur mayat Tong Gun-liong.
"Lekas bilang, kenal atau
tidak!" Siau-liong mengulang pertanyaannya.
"Tong Gun-liong adalah
muridku ......” Toh Hun-ki tergagap lalu menghela napas. Sambil menghitung jari
tangan, ia berkata pula, “Tetapi pada belasan tahun berselang, dia telah binasa
di lembah Hok-liong-koh di gunung Hong-san."
"Mengapa?"
Siau-liong tahankan air matanya.
Toh Hun-ki menghela napas
panjang, “Memang kelalaianku sendiri sehingga tak mengetahui bahwa Tong
Gun-liong diam-diam telah jatuh cinta kepada Ki Ih. Dari hubungan gelap, mereka
melahirkan seorang anak lelaki dan....”
Toh Hun-ki terpaksa hentikan
keterangannya karena mendadak Siau-liong menggembor keras dan muntah darah.
"Lanjutkan!" teriak
Siau-liong.
Terpaksa Toh Hun-ki bercerita
lagi, “Demi menjaga peraturan perguruan, kuputuskan tak mengakui pernikahan itu.
Tetapi diluar dugaan Ki Ih marah dan mengamuk di Kong-tong-pay .......”
Ia berhenti sejenak untuk
mengenangkan peristiwa itu lalu melanjutkan, “Pada saat itu, salju mulai turun
dengan deras. Jalanan gunung penuh bertutupkan salju. Dalam kebingungan,
Gun-liong membawa anaknya yang baru berumur belum cukup seratus hari itu melarikan
diri. Tetapi dia tergelincir jatuh ke bawah karang yang curam dan binasa. Ki Ih
menyusul lari dan tak ketahuan beritanya lagi .......”
"Kemunculan Ki Ih ke
daerah Tiong-goan itu, tentu mencari balas pada kalian, bukan?" tukas
Siau-liong.
"Benar," sahut Toh
Hun-ki. Serentak ia teringat akan peristiwa digunung Tay-lian-san tempo hari.
Bersama tokoh-tokoh Kay-pang, rombongan Toh Hun-ki berhasil mengepung dan
melukai Ki Ih.
Tetapi tiba-tiba pada saat itu
Pendekar Laknat muncul menolong Ki Ih. Diam-diam Toh Hun-ki menatap Siau-liong
dengan rasa heran.
Siau-liong menggeram, “Jika
putera Tong Gun-liong masih hidup, pantaskah dia menuntut balas kepadamu?"
Toh Hun-ki mengangguk, “Sudah
tentu....”
Tiba-tiba Siau-liong
tengadahkan kepala tertawa keras, “Toh Hun-ki, engkau telah membunuh jiwa
seseorang. Apakah engkau tak menyesal atas peristiwa enambelas tahun yang lalu
itu?"
Ketua Kong-tong-pay menghela
napas, “Sebagai guru dan murid, sudah tentu aku bersedih. Tetapi dalam
kedudukan sebagai seorang ketua perguruan yang menjaga ketertiban peraturan,
aku tak menyesal sama sekali!"
Nada jawaban itu mengunjuk
kewibawaan sebagai seorang ketua partai persilatan yang termasyhur.
Siau-liong merenung diam.
Setelah menghela napas, ia berpaling ke arah Tiau Bok-kun, “Nona Tiau itu
menderita terkena racun. Saat ini aku tak sempat merawatnya ......”
"Serahkan kepadaku yang
mengobatinya," cepat Toh Hun-ki menanggapi.
"Tidak! Aku dapat merawat
diriku sendiri.... mereka.... mungkin akan membunuhku!" cepat-cepat Tiau
Bok-kun berseru.
Siau-liong tertawa hambar,
“Mereka tak dapat dan tak mungkin berani berbuat begitu .......” berpaling
kepada Toh Hun-ki, Siau-liong berkata lebih jauh, “Asal kalian mengantar nona
itu kekota Siok-ciu dan dapat menyembuhkan lukanya, barulah kuanggap kalian
telah membalas budiku tadi....” habis berkata Siau-liong terus berbangkit dan
melangkah pergi.
Tiba-tiba berhamburan air mata
Tiau Bok-kun, serunya, “Locianpwe....”
Siau-liong berhenti dan
menanyakan.
"Apakah lukamu tak
mengapa?" tanya nona itu penuh cemas.
Siau-liong paksakan tertawa,
“Mati hidup sudah suratan takdir. Harap nona jangan kuatir ......” berkata
sampai disitu, meluaplah rasa haru dalam hati Siau-liong sehingga air matanya
hampir mencucur keluar. Buru-buru ia berpaling muka dan berjalan lagi.
"Harap tunggu dulu, aku
masih hendak bicara kepada saudara," baru beberapa langkah Siau-liong
berjalan, Toh Hun-ki sudah menghadangnya.
Siau-liong tertegun.
Toh Hun-ki mengeluarkan sebuah
bungkusan kecil dari kain warna biru, katanya, “Bungkusan ini berisi separoh
bagian dari Giok-pwe, sebuah pusaka yang menjadi milik Kong-tong-pay....”
Ia berhenti sejenak, melirik
ke arah Tiau Bok kun, lalu melanjutkan pula, “Dan yang separoh bagian adalah
milik nona Tiau itu.... Tetapi sayang telah dirampas Soh-beng Ki-su. Saat ini
tentu sudah diserahkan kepada gurunya si iblis Penaluk dunia. Apabila kedua
Giok-pwe dipersatukan, akan merupakan sebuah peta rahasia penyimpanan pusaka
yang selama ini dikejar-kejar oleh kaum persilatan ......"
Kembali ia berhenti sejenak
lagi lalu meneruskan, “Pusaka itu merupakan simpanan harta karun dan kitab
pusaka yang tak ternilai harganya."
"Semut mati karena
manisan, manusia karena harta. Aku tak ingin sama sekali pada harta dunia!"
Siau-liong tertawa hina.
"Aku sendiri juga tak
mementingkan harta," buru-buru Toh Hun-ki menerangkan, "tetapi dalam
tempat penyimpanan pusaka itu, terdapat sebuah kitab. Konon kitab itu adalah
karya dari Tio Sam-hong Cousu. Jika berhasil memperolehnya, tentu akan mendapat
kesaktian yang hebat dan dapat membasmi kawanan durjana, membantu mengamankan
dunia persilatan ......”
Ketua Kong-tong-pay itu
berhenti sejenak, memandang Siau-liong lalu berkata pula, “Terus terang aku tak
mampu mendapatkan separoh bagian dari Giok-pwe yang dirampas Soh-beng Ki-su
itu. Maka hendak kuhaturkan separoh bagian giok-pwe itu kepadamu ......”
"Sebagai pembalas
budi?" tukas Siau-liong.
"Aku hidup untuk
kepentingan umat manusia dan bekerja demi amanat sesama kaum persilatan.
Kumohon engkau muncul lagi dalam dunia persilatan untuk menyelamatkan bencana
darah!" habis berkata ia angsurkan bungkusan berisi separoh Giok-pwe itu
kepada Siau-liong.
Tetapi Siau-liong tak mau
tergesa-gesa menyambuti. Katanya tertawa, “Apakah engkau percaya kepadaku?
Mengapa engkau yakin aku takkan mencelakai dunia persilatan?"
Sambil menatap Siau-liong, Toh
Hun-ki tertawa nyaring, “Mataku tak buta. Kupercaya penuh engkau pasti takkan
mengecewakan tugas suci dunia persilatan ini!"
Namun Siau-liong masih
bersangsi. Jika menerima pemberian Toh Hun-ki, musuh besarnya yang membunuh
ayahnya, kelak ia tentu sulit untuk membalas dendam. Tetapi ucapan Toh Hun-ki
itu memang menarik perhatiannya.
Ia tak menghiraukan segala
harta karun. Hanya kalau, kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan
manusia-manusia durjana, tentulah dunia persilatan akan terancam bencana
kehancuran! Setelah meragu beberapa saat, akhirnya ia menerima juga pemberian
itu.
"Semoga anda diberkahi
keselamatan dan selamat jalan!" serasa lapanglah dada Toh Hun-ki setelah
Siau-liong mau menerima.
Ia memberi hormat lalu
memanggul Tiau Bok-kun yang masih pingsan dan terus pergi. Keempat Su-lo
mengiring dibelakang.
Siau-liong tegak
termenung-menung. Hatinya pepat sekali. Ingin ia tumpahkan air mata untuk
melonggarkan kesesakan dadanya. Beberapa kali berjumpa dengan Toh Hun-ki tetapi
setiap kali tentu tak dapat membalas dendam. Dan beberapa kali bersua dengan
ibunya tetapi tentu terpisah lagi .......
Ia merasa kalau kepandaiannya
sekarang sudah tinggi. Siapa tahu dalam pertempuran dengan iblis Penaluk dunia,
ia telah menderita luka berat.
Dan teringat pula ia akan
manusia aneh baju hitam. Jika orang itu tidak muncul memberi bantuan.
kemungkinan saat itu ia sudah mati dalam kurungan barisan pohon bunga.
Siau-liong memandang ke balik
batu besar. Setelah tak melihat suatu apa, ia berjalan menuruni lamping gunung.
Melintasi lamping gunung itu, tibalah ia disebuah tanah datar. Sebuah anak
sungai mengalir keluar gunung. Ia menurutkan aliran sungai kecil itu.
Beberapa saat kemudian,
tiba-tiba ia teringat. Buru-buru ia membuka kedok muka sebagai Pendekar Laknat
dan jubah hitamnya. Saat itu, ia menjadi Kongsun Liong lagi, ketua partai
Kay-pang.
Lebih kurang dua jam lamanya,
fajar mulai tiba. Yang tampak di empat penjuru hanya jajaran gunung. Ternyata
ia tersesat jalan dan tak dapat keluar dari daerah belantara. Luka dalam
tubuhnya mulai bekerja. Hampir ia tak kuat menahan tubuhnya yang
terhuyung-huyung itu. Beberapa kali hampir rubuh.
Tiba-tiba ia ia melihat sebuah
biara pada jarak sepuluh tombak disebelah muka. Dengan langkah terhuyung ia
menuju biara itu. Ternyata sebuah biara yang rusak. Pada papan yang tergantung
di atas pintu terdapat tulisan Ke-beng-si atau biara Ayam-berkokok.
Biara itu penuh dengan sarang
gelagasi. Tembok bengkah-bengkah dan arca-arca berserakan di ujung ruang.
Keadaannya mengenaskan sekali. Siau-liong harus lekas-lekas menyalurkan darah
untuk mengobati luka dalamnya. Kalau terlambat ia pasti akan cacad selama-lamanya.
Tetapi Siau-liong meragu.
Biara itu hanya terpisah sepuluhan li dari lembah Semi. Kedua suami isteri
durjana itu setiap saat tentu dapat mencarinya kesitu. Apabila musuh mengetahui
tempat persembunyiannya, tentu celakalah ia.
Dalam kegelisahan tiba-tiba
Siau-liong melihat sebuah tempat yang tepat untuk bersembunyi. Ialah di ruang
samping. Separoh wuwungan ruang samping itu rubuh. Tetapi separoh bagian
belakangnya masih utuh. Tertutup oleh runtuhan tembok dan wuwungan, dibagian
belakang ruang itu terdapat sebuah lubang berbentuk segi tiga.
Setelah yakin orang tentu
sukar menduga tempat itu dipakai tempat bersembunyi, ia segera menyusup,
menutup liang itu dengan keping papan dan tembok bengkah. Setelah rapat, ia
mulai duduk bersemadhi menyalurkan darah. Berkat dasar tenaga dalamnya yang
kokoh ditambah pula minum darah naga dipusar bumi serta buah som, dalam waktu
sejam saja, darahnya yang bergolak itu dapat ditenangkan.
Cepat sekali delapan jam telah
lewat. Empat jam lagi, lukanja tentu sembuh. Saat itu hari petang. Angin reda
dan turunlah hujan. Tak berapa lama tiba-tiba ia mendengar langkah kaki yang
halus masuk ke dalam ruang situ. Ia duga tentulah pemburu yang meneduh. Selekas
hujan berhenti, orang itu tentu pergi.
Diluar dugaan, setelah
mondar-mandir beberapa saat, orang itu berseru kaget dan terus menuju ke ruang
samping. Langkah kaki orang itu makin lama makin dekat dan masuk ke dalam ruang
samping. Siau-liong terkejut sekali.
Saat itu penyaluran tenaga
dalamnya sedang mencapai puncak ketegangan. Dalam keadaan seperti itu, cukup
seorang biasa saja, sekali dorong tentu dapat merubuhkan Siau-liong. Dia akan
cacad bahkan bisa mati.
Akhirnya ia menyerah pada
nasib. Jika memang ditakdirkan mati, apa boleh buat. Dengan kebulatan pikiran
itu, ia mulai tenang dan menjalankan penyaluran darah lagi.
Pendatang itu agaknya tertegun
lalu tertawa pelahan seraya menghampiri ke tempat Siau-liong.
Siau-liong pun merasa bahwa
orang itu telah berada dibelakangnya.
“Tring....” orang itu mencabut
pedang. Seketika terdengar keping-keping papan dan tembok berhamburan tertabas
pedang.
"Habislah riwayatku....”
diam-diam Siau-liong mengeluh.
Saat itu ia tak dapat berbuat
apa-apa. Ia hanya pasrah nasib saja, Tetapi heran. Sampai sekian saat belum
juga terjadi sesuatu. Rupanya orang itu batalkan maksudnya membunuh.
Lebih kurang sepeminum teh
lamanya, Siau-liong mendengar orang itu menyarungkan pedang kembali. Dan
menyusul terdengar suara celana wanita berteliku duduk tak jauh dari tempatnya.
Ketegangan Siau-liong mereda. Jelas pendatang itu tiada bermaksud jahat
kepadanya.
Selang empat jam kemudian,
selesailah penyaluran Siau-liong. Lukanya hampir sembuh sama sekali. Begitu
membuka mata, pertama-tama ia ingin mengetahui siapakah gerangan pendatang itu.
Cepat ia berpaling dan ...... astaga! Orang itu sudah lenyap.
Setelah menghela napas
panjang, ia berbangkit. Ternyata hujan sudah berhenti. Ruang penuh air,
tubuhnya pun penuh kotoran debu. Tiba-tiba hidungnya terbau daging bakar yang
wangi.
Buru-buru ia berpaling. Dimeja
sembahyang tampak seonggok api yang belum padam. Di atas api terdapat segumpal
daging rusa. Karena sehari suntuk tak makan, air liurnya pun menitik keluar.
Ketika hendak mengambil daging
rusa itu, tiba-tiba sesosok tubuh langsing menerobos masuk. Girang Siau-liong
bukan kepalang. Orang itu bukan lain Pek Ciang-wi atau si Mawar Putih. Dara itu
tengah membawa sebuah tempat dupa yang diisi air. Buru-buru Siau-liong menghampiri
dan menyambutinya, “Ah, kiranya engkau....”
"Sudah sembuh?"
tanya dara itu.
Siau-liong mengiakan.
"Mengapa engkau
terluka?"
Siau-liong tergugu tak dapat
menerangkan. Waktu bertempur dengan iblis Penakluk dunia, ia menyamar sebagai
Pendekar Laknat. Tetapi sekarang ia sudah kembali menjadi Kongsun Liong lagi.
Sulit ia menuturkan peristiwa itu. Karena tak biasa bohong, merah padamlah muka
pemuda itu.
Untung dara itu tak mau
mendesaknya. Sambil menuding ujung hidung Siau-liong, ia berkata, “Sungguh
besar nian nyalimu. Jika semalam yang datang bukan aku ...... tentu jiwamu
sudah melayang!"
Siau-liong tertawa meringis.
Buru-buru ia alihkan pembicaraan menanyakan tentang daging rusa bakar.
"Bagaimana?" Mawar
Putih tersenyum manis.
"Sungguh harum sekali!
Tak kira engkau pandai sekali masak," Siau-liong memuji.
Rupanya dara itu senang
hatinya. Ia segera ajak Siau-liong duduk dimuka meja dan menikmati daging rusa
bakar. Siau-liong makan dengan lahap. Selesai makan, haripun sudah fajar.
Mawar Putih memandang
Siau-liong lalu memandang dirinya sendiri. kemudian tertawa geli,
“Ah, engkau ketua Kay-pang,
sudah tentu seorang pengemis tua. Tetapi aku ......”
Kiranya karena menemani
Siau-liong makan dan mengobrol sampai setengah malam, muka dan pakaian si dara
berlumuran kotoran.
"Makan daging bakar dan
minum air kotor sekalipun bukan pengemis tetapi tentu bangsa manusia liar
......” Siau-liong tertawa.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu
dan buru-buru berpaling. Mawar Putih pun tertawa. Tiba-tiba ia juga hentikan
tertawanya dan menghela napas panjang.
Sudah tentu Siau-liong heran,
tegurnya, “Mengapa engkau tiba-tiba bermuram durja?"
Sejenak menatap Siau-liong,
dara itu gelengkan kepala, “Ah, aku teringat kalau suhuku sudah datang. Belasan
tahun aku tak pernah berpisah dengan beliau. Sekarang tak tahu bilakah aku
dapat berjumpa lagi dengan suhu ......”