Jilid : 1
PENDAHULUAN
Setelah Bu Lim Sam Mo mati di
tangan Pek Ih Sin Hiap. Tio Cie Hiong, maka para ketua tujuh partai besar dan
kaum rimba persilatan lainnya, yakin bahwa dunia persilatan pasti aman, tentram
dan damai.
Sedangkan Tio Cie Hiong, Lim Ceng
im, Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa melangsungkan pernikahan di pulau Hong Hoang
To.
Para ketua tujuh partai besar
dan para jago silat lainnya hadir semua dalam pesta pernikahan itu, sehingga
pesta pernikahan tersebut menjadi meriah dan semarak.Sejak itu, Tio Cie Hiong
sama sekali tidak mencampuri urusan rimba persilatan lagi. ia hidup tenang,
damai dan bahagia sepanjang masa bersama Lim Ceng Im di pulau itu.
Bagaimana keadaan rimba
persilatan setelah Tio Cie Hiong menetap di pulau Hong Hoang To? Betulkah
kematian Bu Lim Sam Mo membawa kedamaian dalam rimba persilatan?
Justru sungguh di luar dugaan.
Karena di saat Tao Cie Hiong hidup tenang, damai dan bahagia di pulau itu, di
rimba persilatan telah muncui Hiat Ih Hwe (Perkumpulan Baju Berdarah).
Siapa ketua perkumpulan itu
tiada seorangpun yang mengetahuinya, sebab perkumpulan tersebut sangat
misterius, lagi pula para anggotanya rata-rata berkepandaian tinggi Dimana Hiat
ih Huie muncul, di situ pasti banjir darah,
Semula Hiat Ih Huie cuma
membantai para pembesar yang jujur dan setia, juga membasmi para pemberontak-
Akan
tetapi, lambat laun
perkumpulan tersebut mulai mengarah pada kaum rimba persilatan golongan putih-
Tak lama setetah itu, muncul
pula Tiong Ngie Pay (Partai Keadilan) dan Seng Huiee Kauw (Agama Api Suci),
sebingga timbul pula berbagai pertikaian dan bencana dalam rimba persilatan.
---ooo0dw0ooo---
Bagian Kesatu
Penyakit Aneh yang mencemaskan
Pulau Hong Hoang To (Pulau
Burung Phoenix) terletak di Pak Hai (Laut Utara). Panorama di pulau tersebut
sangat indah menakjubkan, tampak pula belasan ekor burung phoenix berterbangan,
bunga-bunga liar pun memekar segar menambah keindahan pulau tersebut,
Pagi ini, terlihat seorang
bocah laki-laki sedang berlatih ilmu pukulan dan ilmu pedang di tempat terbuka.
Bocah laki-laki itu berusia sepuluh tahun, bukan main tampannya, siapa yang
melihatnya pasti akan timbul rasa suka kepadanya.
Siapa bocah laki-laki itu?
Ternyata putra Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im bernama Tio Bun Yang. Sejak anak
itu berusia tiga tahun, Tio Cie Hiong mulai mengajarnya pan Yok Hian Thian Sin
Kang (Tenaga Sakti Pelindung Badan) dan Kan Kun Taylo Sin Kang (Tenaga Sakti
Alam Semesta).
Setelah Tio Bun Yang berusia
tujuh tahun, mulailah Tio Cie Hiong mengajarnya Tujuh Jurus Giok Siauui Bit
Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian), Tujuh Jurus Bit Ciat
Sin Ci (Ilmu Jan Sakti pemusnah Kepandaian) dan Kan Kun Taylo Ciang Hoat (Ilmu
Pukulan Alam Semesta).
Kini Tio Bun Yang telah
menguasai semua ilmu itu, hanya saja luieekangnya masih belum begitu tinggi.
Sedangkan monyet bulu putih pun tidak mau ketinggalan. Monyet sakti itu juga
mengajarnya berbagai ilmu pukulan, Di saat Tio Bun Yang berlatih, monyet bulu
putih terus memperhatikannya bagaikan seorang guru.
Berselang beberapa saat,
muncullah Tio Cie Hiong bersama
Lim Ceng Im. Mereka berdua
lalu duduk di bawah sebuah
Pohon sambil memperhatikan
latihan Putra mereka.
"Adik Im," Ujar Tio
Cie hong sambil tersenyum, "Aku tidak menyangka, Bun Yang baru berusia
sepuluh tahun tapi telah dapat menguasai semua ilmu yang kita turunkan
kepadanya. ”
"Benar, memang sungguh di
luar dugaan," sahut Lim Ceng Im dengan tersenyum, namun kemudian wajahnya
berubah murung.
"Adik Im____" Tio
Cie Hiong menatapnya seraya berkata, "Engkau tidak perlu cemas.”
"Kakak Hioong...."
Lim Ceng Im menghela nafas panjang,
"Dia mengidap penyakit. ”
"Tidak Perlu cemas,"
ujar Tio Cie Hiong. "Itu memang Penyakit aneh, tapi engkau tidak Perlu
cemas. ”
"Bagaimana mungkin aku
tidak cemas?" Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala "Penyakit itu
mungkin akan mempengaruhi dirinya.”
"Tidak mungkin,"
sahut Tio Cie Hiong "Aku mahir ilmu Pengobatan, tentunya tahu jelas akan
penyakit itu.”
”Kakak Hiong, kenapa dia bisa
mengidap penyakit itu?”
"Yaaah" Tio Cie Hiong
menghela nafas panjang, "Mungkin sudah nasibnya.”
"Hingga saat ini engkau
tidak mampu mengobatinya?”
"Aku telah berusaha
mengobatinya, namun belum menemukan obat mujarab untuk menyembuhkan
penyakitnya”
"Apakah selamanya dia
akan begitu?”
"Menurutku, kalau sudah
waktunya penyakit itu akan lenyap dengan sendirinya. ”
"Bagaimana mungkin?”
"Percayalah!" Tio
Cie Hiong menggenggam tangan isterinya dengan penuh cinta kasih.
"Adik Im, sejak dia
berusia tiga tahun, aku telah mengajarnya pula dengan pendidikan moral, akal
budi wejangan dan lain sebagainya. Karena itu, aku yakin, dia pasti seperti
diriku. Tidak mau membunuh dan berbuat dosa maupun melakukan hal-hal yang
cenderung jahat. Lagi pula Pada dasarnya dia berhati bajik dan berwatak luhur,
jadi aku tidak begitu cemas. ”
"Tapi____" Lim Ceng
Im menggeleng-gelengkan kepala, "Aku... aku khawatir dia akan sembarangan
membunuh orang. ”
"Tidak mungkin." Tio
Cie Hiong tersenyum dan menjelaskan, "penyakitnya timbul hanya di saat ia
marah besar, sehingga peredaran darahnya berjalan lebih cepat menerjang ke arah
syaraf otak, maka kesadarannya akan tertutup. Apabila ia masih dapat menekan
hawa amarahnya, tidak akan terjadi apa-apa. Seandainya tidak bisa, Ia pasti
mengamuk atau akan membunuh orang yang membuatnya marah besar itu.”
"Itulah yang
kukhawatirkan." Lim Ceng Im menghela nafas panjang, "Kakak Hiong,
sebetulnya penyakit apa itu? ”
"Semacam tekanan darah
tinggi." Tio Cie Hiong memberitahukan, "Akan tetapi, kasih sayang dan
kelembutan dapat menjernihkan pikirannya disaat kesadarannya tertutup
oleh hawa kemarahan. Oleh
karena itu, penyakitnya tersebut dapat disembuhkan dengan kasih sayang dan
kelembutan.”
"Ngmmml" Lim Ceng Im
manggut-manggut dan melanjutkan, "Aku masih ingat, setahun lalu ketika ia
dipagut ular, seketika itu juga ia membunuh ular itu saking marahnya, bahkan
mencincang-cincangnya pula. ”
"Itu dikarenakan ia
merasa dirinya disakiti, padahal Ia tidak mengganggu ular. Karena itu. Maka,
timbullah kemarahannya hingga ular itu dibunuhnya sekaligus dicincangnya.”
"Bagaimana kelak kalau
ada orang menyakiti bukankah ia akan langsung membunuh orang itu?”
"Maka, aku memberikannya
pelajaran moral, akal budi dan lain sebagainya agar pikirannya selalu terbuka,
tidak terpengaruh oleh hawa kemarahannya," ujar Tio Cie Hiong dan
menambahkan, " Aku pun akan mulai mengajarnya ilmu pengobatan dan Ilmu
Penakiuk Iblis. Sebab Ilmu Penakiuk Iblis dapat memperkuat imannya, bahkan
tidak akan terpengaruh oleh ilmu hitam dan ilmu sihir lainnya.”
"Kakak Hiong!" Lim
Ceng Im menatapnya, "Anak kita itu... tidak akan berubah jadi penjahat,
kan? ”
"Aku yakin tidak,"
sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum, "Karena watakku yang baik pasti
menurun padanya, ”
"Ooohl" Lim Ceng im
manggut-manggut.
Sementara Tio Bun Yang yang
telah usai berlatih, ketika melihat kedua orang tuanya, ia langsung mengkampiri
sambil tersenyum.
"Ayah, Ibu!"
panggilnya sambil duduk,
"Nak!" Lim Ceng Im
tersenyum lembut, ”Masih pagi kok sudah berlatih?”
"Ibu, Ayah bilang
berlatih ilmu silat pagi-pagi, akan menyegarkan tubuh kita," jawab Tio Bun
Yang.
"Benar, Nak." Tio
Cie hong membelainya.
"Oh ya, tahukah engkau
apa tujuan seseorang belajar ilmu silat?”
”Untuk memperkuat tubuh,
membela diri dan untuk menolong sesama manusia. itu tujuan utama belajar ilmu
silat," jawab Tio Bun Yang
"Nak," tanya Lim
ceng Im " Setelah engkau berkepandaian tinggi, bolehkah engkau membunuh
orang di saat engkau disakiti orang?a”
"Ibu!" Tio Bun Yang
menatapnya dengan mata bening, "Kita tidak menyakiti orang, kenapa orang
lain akan menyakiti kita?”
"Karena orang lain itu
berhati jahat, maka suka menyakiti orang," jawab Lim Ceng Im menjelaskan,
"Di saat engkau disakiti orang, haruslah tetap bersabar, tidak boleh marah
sama sekali. ”
"Ibu, bagaimana kalau ada
orang ingin membunuh Bun Yang?" tanya anak itu mendadak.
”Engkau harus mengampuninya,
tidak boleh membunuhnya," sahut Lim Ceng im dengan tersenyum lembut "
Cukup memusnahkan kepandaiannya saja?”
”Ibu....” Tio Bun Yang tampak
berpikir keras, kemudian
bertanya, ”Kalau orang itu
jahat sekali, apakah Bun Yang boleh membunuhnya?”
"Tidak boleh." Lim
Ceng Im menggelengkan kepala, "Biar bagaimanapun engkau harus
mengampuninya. Namun engkau boleh memusnahkan kepandaiannya agar dia tidak bisa
melakukan kejahatan lagi?”
Tio Bun Yang mengerutkan
kening "Ibu, kenapa orang jahat tidak boleh dibunuh?”
"Nak," sahut Tio Cie
Hiong sambil menatapnya lembut, "Membunuh orang adalah perbuatan yang
sangat berdosa. Sebagai orang yang berhati bajik, luhur dan mulia, tidak boleh
membunuh orang. Siapa yang pernah membunuh orang, kelak dia sendiri atau anak
cucunya pasti dibunuh orang pula. Sebab merupakan hukum karma yang tak dapat
dielakkan, jadi engkau harus ingat baik-baik!”
"Ya, Ayah" Tio Bun
Yang mengangguk.
"Nak!" Tio Cie hong
tersenyum sambil mengalihkan pembicaraan "Engkau masih mempunyai paman
Toan dan paman Lam Kiong di Tayii. Kalau mereka punya anak, tentunya telah
sebesar engkau.”
"Oh?" Tio Bun Yang
tertawa kecil "Kenapa ayah dan ibu tidak pernah mengajak Bun Yang ke Tayli
menemui mereka?”
"Tayli sangat jauh, lagi
Pula ayah dan ibu telah bersumpah tidak akan meninggalkan pulau ini,” sahut Tio
Cie Hiong dan menambahkan, "Tapi kelak engkau boleh pergi seorang diri ke
Tayli.”
Tio Bun Yang tampak girang
sekali, "Kapan Bun Yang boleh berangkat ke Tayli?”
"Tentunya harus menunggu
engkau dewasa dulu,” ujar Lim Ceng Im dan melanjutkan, "Jadi sekarang
engkau harus giat berlatih, agar memiliki kepandaian tinggi kelak.”
"Ibu, kalau Bun Yang
sudah besar, bolehkah Bun Yang pergi mengembara?" tanya anak itu.
"Tentu boleh.
Tapi----" Lim Ceng im melirik Tio Cie Hiong
"Kalau engkau pergi
mengembara, sudah barang tentu akan berkecimpung dalam rimba persilatan,"
ujar Tio Cie Hiong cepat " Engkau harus tahu, bahwa banyak orang jahat
dalam rimba persilatan. Orang jahat pasti berhati licik, busuk dan tak segan
membunuh orang. Karena itu, engkau harus berhati-hati dan harus bersabar
menghadapi urusan apa Pun.
ingat, engkau tidak boleh
marah agar tidak sembarangan membunuh orang.”
"Ya, Ayah." Tio Bun
Yang mengangguk, "Bun Yang pasti selalu ingat akan semua nasihat Ayah.”
"Bagus!" Tio Cie
hong membelainya, "Bun Yang adalah anak baik, penuh kesabaran, pengertian
dan berhati bajik, luhur serta mulia.”
"Ayah!" Tio Bun Yang
tersenyum, "Bun Yang tidak akan mengecewakan Ayah dan ibu.”
"Bagus, bagus!" Lim
Ceng Im tertawa gembira dan sekaligus memeluknya erat-erat dengan penuh kasih
sayang.
"Kakak Bun Yang! Kakak
Bun Yang!" Terdengar suara seruan merdu, kemudian muncul seorang anak gadis
berusia sekitar sembilan tahun, cantik, manis dan lincah. Siapa anak gadis itu?
Tidak lain Lie Ai Ling, putri Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa.
"Adik Ai Ling!"
sahut Tio Bun Yang tersenyum, "Paman, Bibi!” panggit Lie Ai Ling.
"Ai Ling, di mana ayah
dan ibumu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Mereka sedang
sarapan," jawab Lie Ai Ling dan memberitahukan, "Kakek dan kakek
pengemis telah mulai main catur.”
"Ooohl" Tio Cie hong
manggut-manggut.
"Kauw heng!" Lie Ai
Ling membelai monyet bulu putih, "Ai Ling mencari ke sana ke mari,
ternyata kauw heng berada di sini!”
Monyet bulu putih bercuit-cuit
kemudian sepasang tangannya bergerak-gerak seakan memberitahukan sesuatu.
"Oh, kauw heng berlatih
di sini bersama Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling tersenyum, "Kakak Bun
Yang, mari kita berlatih!”
"Baik, Adik Ai
Ling!" Tio Bun Yang mengangguk. Mereka berdua lalu mulai benlatih.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im
menyaksikannya dengan penuh perhatian, kemudian manggut-manggut.
"Kakak Hiong," bisik
Lim Ceng Im. "Kelihatannya kecerdasan Bun Yang tidak di bawah
kecerdasanmu. „
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk sambil tersenyum, „Menurutku, dia lebih cerdas dariku. Itu sungguh
di luar dugaan, lagi pula----„
"Kenapa?“
"Adik im!" Tio Cie
Hiong serius. "Tahukah engkau suatu hal mengenai diri Bun Yang?“
"Hal apa?“
"Dia pun kebal terhadap
berbagai macam racun sepertiku” "Oh?" Terbetalak Lim Ceng Im.
"Kok bisa begitu?"
”Dua kali aku makan buah Kiu
Yap Ling Che, sedangkan dia darah dagingku, maka dia pun kebal terhadap racun
apa pun." Tio Cie Hiong memberitahukan,
"Syukurlah!" ucap
Lim Ceng Im dengan wajah berseri,
"Bun Yang memang anak,
yang luar biasa. Walau baru berusia sepuluh tahun, tapi telah menguasai semua
ilmuku, termasuk ginkang (Ilmu Meringankan Badan).”
"Memang." Lim Ceng
Im manggut-manggut. "Hanya saja lweekangnya masih dangkali
"Kalau dia terus
berlatih, pasti Iweekangnya akan bertambah tinggi”
"Kakak Hiong!" Lim
ceng Im menatapnya, "Engkau akan memperbolehkannya pergi berkelana kelak?”
"Itu memang sudah harus, tidak
mungkin dia terus diam di pulau ini. Dia barus pergi mencari Pengalaman“
"Tapi----" Lim Ceng
Im menggeleng-gelengkan kepala, "Otomatis dia akan berkecimpung dalam
rimba persilatan, dan itu akan membahayakan dirinya.”
"Adik Im!" Tio Cie
hong tersenyum lembut. Satu bahaya justru akan menambah pengalamannya,
sekaligus menggembleng ketabahan hatinya. Kita pun tidak usah
mengkhawatirkannya, sebab dia telah berbekal kepandaian tinggi yang kita
turunkan kepadanya.“
"Ya." Lim Ceng im
manggut-manggut.
"Yang kusayangkan...." Tio Cie Hiong menghela nafas
panjang, "Nenek telah
wafat dua tahun yang lalu----”
"Nenek memang sudah tua,
sebelumnya nenek pun telah menurunkan kepandaiannya kepada Kakak Suan Hiang.”
"Sudah sepuluh tahun
lebih Adik Suan Hiang belajar ilmu silat di pulau ini, mungkin tidak lama lagi
dia akan ke Tionggoan untuk menuntut balas kematian ayahnya.“
"Kasihan dia----"
Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala, "Kini usianya sudah tiga puluh
lebih, namun belum menikah!“
"Mudah-mudahan dia akan
bertemu lelaki yang baik, jadi dia pun akan hidup bahagia!“
"Kelihatannya dia sudah
tiada niat untuk menikah, hanya ingin menuntut balas kematian ayahnya saja“.
"Ngmm!“ Tio Cie hong
manggut-manggut.
"Oh ya, belum lama ini
Man Chiu kelihatan agak aneh” "Oh?" Lim Ceng Im menatapnya.
„Bagaimana anehnya?“
"Dia seling melamun,
bahkan hatinya seakan terganjel sesuatu" Tio Cie Hiong mengerutkan kening,
"Aku khawatir suatu yang buruk akan terjadi....“
Lim Ceng Im juga mengerutkan
kening, "Menurutmu apa yang akan terjadi atas dirinya?“
„Entah?“ Tio Cie Hbong
menggelengkan kepala, „Pokoknya suatu yang buruk, sebab dia kelihatan sedang
mempertimbangkan suatu kePutusan. Terus terang, aku cemas akan itu.“
"Kalau begitu, engkau
harus memberitahukan kepada Kakak Hong Hoa." ujar Lim Ceng Im mengusulkan.
"Tidak bisa." Tio
Cie Hiong menghela nafas, "Karena aku tidak tahu jelas, melainkan cuma
berfirasat dan juga itu kan urusan Man Chiu dengan Kakak Hong Hoa, aku tidak
boleh turut campur.“
„Ya“ Lim Ceng Im mengangguk,
„Oh ya, Kakak Hiong! Setelah Bu Lim Sam Mo mati, apakah rimba persilatan sudah
aman, tenang dan damai?”
"Adik Im!" Tio cie
Hbong menghela nafas panjang, "Rimba persilatan bagaikan laut yang selalu
bergelombang, hanya bisa tenang sejenak lalu bergelombang lagi.“
"Maksudmu rimba
persilatan tidak bisa tenang selama-iamanya?" tanya Lim Ceng Im sambil
menatapnya.
"Adakah laut yang tenang
selama-lamanya?“ Cie Hiong balik bertanya, "Tidak ada." Lim Ceng Im
menggelengkan
"Nah begitu Pula rimba
persilatan," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum getir, "Sebab kaum
rimba persilatan tidak terlepas dan keserakahan, kelicikan dan lain sebagainya.
Karena itu, bagaimana mungkin rimba persilatan bisa tenang seiama-iamanya?”
"Kalau begitu----"
Lim Ceng im mengerutkan kening, "Bun Yang berkelana kelak...."
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong tersenyum sambil membelainya, "Engkau Pun pernah berkecimpung dalam
rimba persilatan, jadi jangan terlampau mengkhawatirkan Bun Yang!”
"Kakak Hiong...,"
tanya Lim Ceng im dengan suara rendah, "Perlukah kita menemaninya
berkelana?”
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong tertawa, "Dia pergi berkelana berarti dia telah dewasa, kenapa kita
masih harus menemaninya? Bukankah engkau pernah mengembara seorang diri
kemudian bertemu aku yang sedang mandi telanjang di sungai?!”
"Kakak Hiong...."
Wajah Lim Ceng im langsung kemerah-
merahan, "Kenapa kau
ungkit lagi kejadian itu, bahkan sering pula memberitahukan kepada Bun Yang,
sehingga membuatnya tertawa geii?”
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong membelainya dengan penuh cinta kasih, "Itu merupakan kenangan yang
sangat indah dan manis lho!”
"Dasar...." Lim Ceng
Im cemberut "Kakak Hiong, kita...
selamanya tidak akan ke
Tionggoan iagi?”
"Tentu harus ke sana,
sebab kita harus mengunjungi ayahmu," jawab Tio Cie Hiong. "Sudah dua
tahun ayahmu tidak ke mari.”
"Kakak Hiong, kapan kita
akan ke markas pusat Kay Pang mengunjungi ayahku?" tanya Lim Ceng Im
mendadak.
"Setelah Bun Yang besar”
"Yaahi" Lim Ceng Im
menarik nafas dalam-dalam, "Itu masih lama! Bagaimana kalau tahun depan
kita ke markas pusat Kau Pang?”
"Lihat saja nanti!"
Tio Cie thong tersenyum.
"Oh ya, entah bagaimana
keadaan Toan Wie Kie, Lam Kiong Bie Liong dan isteri mereka? Sudah sepuluh
tahun lebih kita berpisah dengan mereka, apakah mereka sudah mempunyai anak?”
"Aku yakin mereka sudah
mempunyai anak," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum" Kakak Hiong,
yang kupikirkan adalah Kim Siau Suseng dan Kou Hun Bijin- Sudah sepuluh tahun
lebih mereka menjadi suami isteri, mungkinkah mereka bisa mempunyai anak?”
"Mereka pasti bisa
mempunyai anak?” "Apakah mereka akan tetap awet muda?”
"Tidak bisa" Tio Cie
Hiong menjelaskan "Setelah menikah, mereka pun akan tua. Karena melakukan
hubungan intim, sehingga mempengaruhi tubuh mereka. ”
"Kakak Hiong!" Lim
Ceng Im tersenyum. Entah bagaimana anak mereka?”
"Kalau anak mereka
laki-laki, tentunya tampan luar biasa. Kalau perempuan, otomatis cantik bukan
main," sahut Tio cie Hiong sambil tertawa,
"Eh? Kakak Hiong!"
Wajah Lim Ceng im serius, "Kalau mereka mempunyai anak perempuan yang
cantik bukan main, kelak entah berapa banyak kaum pemuda akan bertekuk lutut
dihadapannya. Ibunya adalah Kou Hun Bijin (Wanita Cantik Pembetot Sukma), maka
anak perempuannya"
"Tidak akan seperti
ibunya," sambung Cie Hiong. "Kalau mereka mempunyai anak perempuan,
aku yakin anak perempuan itu pasti lemah lembut dan kalem”
Lim Ceng Im tersenyum,
"Kakak Hiong, entah gadis mana yang akan menjadi jodoh Bun Yang!”
"Adik im!" Tio Cie
Hiong tertawa, " un Yang belum dewasa, kenapa engkau telah memikirkan
jodohnya?”
"Kita adalah orang
tuanya, tentunya harus memikirkannya, bukan?”
"Benar,” Tio Cie Hiong
mengangguk, " Pokoknya iyu terserah dia, yang penting adalah gadis yang
baik.”
"Betul!" Lim Ceng Im
manggut-manggut dan berbisik, "Harus seperti kita berdua.”
"Ha ha ha!" Tio Cie
Hiong tertawa gembira.
"Saling mencinta dengan
penuh kasih sayang Selama-lamanya!”
--ooo0dw0ooo--
Seusai berlatih ilmu pedang
Hong Hoang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix) dan Lui Tian Kiam Hoat (Ilmu
Pedang Petir Kilat), Yo Suan Hiang lalu duduk di bawah sebuah pohon,
Berselang sesaat, wajah gadis
itu tampak berubah murung. Ternyata ia teringat akan kematian ayahnya. Mendadak
sepasang matanya memancarkan sinar berapi~api, kemudian bergumam sambil
mengepalkan tinju, "Aku harus menuntut balas! Aku harus menuntut balas....
“
"Suan Hiang!" Muncul
Tio Tay Seng, majikan pulau Hong Hoang To menatapnya lembut,
"Guru!” Yo Suan Hiang
segera bangkit berdiri, sekaligus memberi hormat,
"Guru tahu bagaimana
perasaanmu." Tio Tay Seng mengheia nafas panjang seraya berkata,
"Sudah sepuluh tahun lebih engkau belajar ilmu silat di sini, dan kini
ilmu silatmu boleh dikatakan sudah tinggi. Kalau ingin menuntut balas kematian
ayahmu, engkau boleh berangkat ke Tionggoan.”
"Guru. ." Yo suan
Hiang menundukkan kepala.
Tio Tay Seng tersenyum,
”Memang sudah waktunya engkau ke Tionggoan, karena kepandaianmu sudah tinggi.
Tapi biar bagaimanapun engkau harus berhati~hati”
"Guru, kapan aku boleh ke
Tionggoan?"
"Besok pun boleh. ”
"Guru.." Yo Suan
Hiang mulai terisak-isak
"Guru tahu. . ." Tio
Tay Seng menatapnya dalam-dalam, "Engkau merasa berat meninggalkan guru
dan pulau ini. Tapi biar bagaimanapun engkau harus ke Tionggoan. Karena itu,
guru izinkan engkau berangkat esok”
"Ya, Guru" Yo Suan
Hiang mengangguk,
"Kakak Suan Hiang!"
Muncul Lim Ceng Im dan Tio Cie Hiong.
"Paman, Adik Suan
Hiang!" panggil Tio Cien Hiong, yang kemudian memandang Yo Suan Hiang.
"Engkau akan ke Tionggoan esok?”
"Ya, Kakak Cie
Hiong"" Yo Suan Hiang mengangguk.
"Kepandaianmu memang
sudah cukup tinggi, namun aku pernah menyaksikan lweekang ketua perkumpulan
Hiat Ih Huie. Kelihatannya dia memiliki iweekang yang sangat tinggi. Engkau
harus berhati-hati menghadapinya, jangan berlaku ceroboh!”
"Ya, Kakak Cie
Hiong." Yo Suan Hiang mengangguk,
"Begini..." Tio Cie
Hiong menatapnya serius seraya berkata, „Berhubung ketua Hiat Ih Huie
berkepandaian sangat tinggi, maka alangkah baiknya engkau kuajari Kiu Kiong San
Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat). Apabila engkau bertemu ketua itu dan tidak
sanggup melawannya, engkau masih bisa meloloskan diri dengan ilmu Kiu Kiong San
Tian Pou.“
"Betul," ujar Tio
Tay Seng. "Cie Hiong, ajarkan kepadanya Ilmu Langkah Kilat! Setelah itu,
barulah dia pergi ke Tionggoan.”
"Ya, Paman." Tio Cie
Hiong mengangguk lalu berkata kepada Yo SUan Hiang. "Adik Suan Hiang, aku
akan mulai mengajarmu Kiu Kiong San Tian Pou.”
"Terima kasih, Kakak Cie
Hiong!" Yo Suan Hiang girang bukan main.
"Tio Tocu!"
Terdengar suara seruan dan kejauhan, yang tidak lain suara seruan Sam Gan Sin
Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga), Tetua Kay Pang. "Cepat kemari main catur!”
“Baik! Hari ini engkau pasti
kalah!” sahut Tio Tay seng lalu sekaligus melesat Pergi.
Sedangkan Tio Cie hong telah
mulai mengajarkan Hiang Kiu Kiong San Tian Pou kepada Yo Suan Hiang. Gadis itu
mempelajari ilmu tersebut dengan penuh semangat dan bersungguh.
Dua hari kemudian, barulah Yo
Suan Hiang dapat menguasai ilmu itu. Tio Cie hong manggut-manggut gembira,
sedangkan Yo Suan Hiang tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
"Kakak Cie Hiong, terima
kasih! Terima kasih.... ”
"Tidak perlu berterima
kasih," sahut Tio cie Hiong lembut, "Kita boleh dikatakan sebagai
kakak adik”
"Kakak Hiong." sela
Lim Ceng Im mendadak, "lebih baik engkau mengajarnya semacam ilmu pedang
untuk melindungi diri, karena engkau bilang ketua perkumpulan Hiat Ih Huie
berkepandaian sangat tinggi, Aku khawatir----”
"Adik Im, ilmu pedang
Hong Hoang Kiam Hoat dan Lui Tian Kiam Hoat merupakan ilmu Pedang tingkat
tinggi yang amat lihay.”
"Tapi belum tentu dapat
mengalahkan ketua perkumpulan. Jadi alangkah baiknya engkau mengajar Kakak Suan
Hiang semacam ilmu pedang,” usul Lim Ceng Im.
Tio Cie hong berpikir lama
sekali, kemudian barulah mengangguk.
"Baiklah. Aku akan
ajarkan adik Suan Hiang semacam ilmu pedang," ujar Tio cie Hiong
sungguh-sungguh, "Kebetulan aku baru menciptakan ilmu pedang tersebut.”
”Terima kasih, Kakak Cie
Hiong!" ucap Yo Suan Hiang terharu "Terima kasih adik Ceng Im!”
"Kakak Suan Hiang, engkau
tidak usah mengucapkan terima kasih." Lim Ceng im tersenyum lembut lalu
bertanya pada Tio Cie Hiong. " Ilmu pedang apa yang akan engkau ajarkan
kepada Kakak Suan Hiang?”
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong memberitahukan, ”Selama berada di pulau ini, aku terus memikirkan ilmu pedang
Im sie Hong Mo-Ku Tek Cun dan ilmu pedang Pek Ih Hong Li-Yap In Nio. itu
membuat kepalaku menjadi pusing sekali, namun akhirnya aku berhasil menciptakan
semacam ilmu pedang berdasarkan ilmu pedang mereka”
"Oh?" Lim ceng im
terbelalak, "Engkau menciptakan ilmu pedang apa?”
"Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu
Pedang Fusing Tujuh Keliling)," Tio Cie Hiong memberitahukan
"Apa?" Lim Ceng Im,
tertegun, lalu tertawa geli seraya berkata, "itu pasti ilmu pedang yang
kacau balaul ”
"Benar?" Tio Cie
Hiong mengangguk dan berkata kepada Yo Suan Hiang. "Engkau harus ingat,
bahwa ilmu pedang tersebut sangat lihay, dahsyat dan ganas, dan setiap jurusnya
Pasti memutuskan urat di tubuh lawan. Karena itu, kalau tidak terpaksa,
janganlah engkau mengeluarkan ilmu pedang tersebut!"
"Ya." Yo Suan hang
mengangguk
"Cit Loan Kiam Hoat
terdiri dan tujuh jurus.” Tio Cie Hiong memberitahukan, ”Setiap jurusnya
mempunyai tujuh perubahan, jadi tujuh jupus berarti mempunyai empat puluh
sembilan perubahan, yang tak terduga. Oleh karena itu, ilmu Pedang tersebut
sangat lihay. Engkau harus belajar dengan segenap hati, kalau tidak, sulit
bagimu menguasainya,”
"Kakak Cie Hiong!"
ujar Yo Suan Hiang berjanji, "Aku pasti belajar dengan segenap hati,
pokoknya tidak akan mengecewakanmu”
"Bagus!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut, kemudian meminjam pedang yang di tangan Yo Suan Hiang.
"Aku akan memperlihatkan ilmu pedang itu.”
Tio Cie Hiong mulai memainkan
ilmu pedang cit Loan Kiam Hoat. Yo suan Hiang dan Lim Ceng Im menyaksikannya
dengan penuh perhatian. Tak seberapa lama kemudian, mereka berdua merasa
berkunang-kunang dan kepala mereka pun menjadi pusing sekali,
Ketika Tio Cie Hiong berhenti,
Yo Suan Hiang dan Lim Ceng Im jatuh terduduk dengan wajah pucat pias.
"Adik Im, Adik Suan
Hiang!" panggil Tio Cie Hiong dengan tersenyum, "Kenapa kalian?”
"Tidak tahan, Pusing
sekali," sahut mereka berdua serentak, "Sungguh dan luar biasa sekali
ilmu pedang itu! Pantas dinamai Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling!”
"Karena itu...." Tio Cie Hiong mengingatkan, "Jangan
sembarangan mengeluarkan ilmu
pedang tersebut!”
"Kakak Cie Hiong,
mampukah aku mempelajari ilmu pedang itu?" tanya Yo Suan Hiang mendadak.
"Adik Suan Hiang!"
Tio Cie Hiong tersenyum, "Kalau ada kemauan keras, tentu akan berhasil”
"Ya." Yo Suan hang
mengangguk
"Nah, kini aku akan mulai
mengajarmu," ujar Tio Cie Hiong dan mulai mengajar Yo Suan Hiang.
Walau hanya tujuh jurus, tapi
yo Suan Hiang mempelajarinya membutuhkan waktu sebulan lebih, barulah dapat
menguasai ilmu pedang tersebut. Setelah itu, ia mohon pamit kepada Tio Tay
Seng, Sam Gan Sin Kay, Tio Cie hong, Lim Ceng Im dan lainnya,
”Bibi, kapan kita akan
berjumpa lagi?” tanya Tio Bun Yang dengan mata bersimbah air.
"Bun Yang!" Yo Suan
Hiang membelainya, "Kita akan berjumpa dalam rimba persilatan kelak,”
”Bibi,” sahut Tio Bun Yang
sungguh-sungguh, ”Bun Yang tidak mau berkecimpung dalam rimba persilatan.”
"Kenapa?" tanya Yo
Suan Hiang heran.
"Kata ayah, banyak orang
jahat dalam rimba silatan.” Tio Bun Yang memberitahukan, "Jadi Bun Yang
lebih senang tinggal di pulau ini.”
"Bun Yang____" Yo
Suan Hiang tersenyum lembut "Kalau bisa, memang lebih baik tidak
berkecimpung dalam rimba persilatan.”
"Ya, Bibi" Tio Bun
Yang mengangguk-
"Bibi," tanya Lie Ai
Ling, putri Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa sambil terisak-isak. "Kapan
Bibi akan kemari menengok Ai
Ling dan Kakak Bun Yang? A
"Ai Ling!" Yo Suan
Hiang membelainya, "Kalau urusan bibi sudah beres, bibi pasti kemari
menengok kalian. Nah, selamat tinggal!”
"Adik Suan Hiang, selamat
jalan!" ucap Tio Cie Hiong.
"Kakak Cie
Hiong____" Mata Yo Suan Hiang sudah basah, kemudian berlutut di hadapan
Tio Tay Seng "Guru, aku
mohon pamit."
"Berangkatlah!" Tio
Tay Seng menatapnya lembut dan melanjutkan, "Kapan pun engkau boleh
kemari.”
"Ya, Guru." Yo Suan
Hiang mengangguk lalu bertutut di hadapan Sam Gan Sin Kay.
"Kakek, aku mohon pamit!”
"Ha ha ha! Suan Hiang!”
Sam Gan Sin Kay tertawa getak. "Jangan cengeng, hapusiah air matamu!”
"Kakek.." Yo Suan
Hiang terisak-isak.
"Suan Hiang!" Tio Tay
Seng tersenyum, "Bangunlah, jangan terus berlutut! Engkau boleh berangkat
sekarang.”
"Ya, Guru" Yo Suan
Hiang bangkit berdiri "Adik Ceng Im, sampai jumpa!”
"Sampai jumpa, Kakak Suan
Hiang!" sahut Lim Ceng im dengan mata bersimbah air. "Hati-hati setelah
sampai di Tionggoan!”
Yo Suan Hiang mengangguk,
kemudian mendadak melesat pergi. Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay saling
memandang sambil menghela nafas Panjang, setelah itu Sam Gan Sin Kay tertawa.
"Tio Tocu, mari kita main
catur!”
"Baik. Hari ini engkau
Pasti kalah!" sahut Tio Tay Seng sambil tersenyum dan menambahkan.
"Pokoknya sepuluh
kosong...”
Mereka berdua melesat pergi,
Lie Man Chiu, Tio Hong Hoa dan Lie Ai Ling juga meninggalkan tempat itu
Sedangkan Tio
Cie Hiong dan Lim Ceng im
saling memandang, kemudian mereka menggeleng-gelengkan kepala,
"Kakak Hiong, dia mulai
bergelut dengan bahaya," ujar Lim Ceng Im sambil menghela nafas.
"Mudah-mudahan dia
berhasil menuntut balas! Kalau tidak...." Tio Cie Hiong diam, berselang
sesaat baru melanjutkan, "Dia pula yang akan celaka.”
"Ayah, bibi mau pergi
menuntut balas apa?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Nak!" Tio Cie Hiong
membelainya. "Ayah bibimu itu dibunuh orang jahat, maka dia mau pergi
menuntut balas.”
"Jadi... bibi mau pergi
membunuh orang jahat?" tanya Tio Bun Yang lagi.
"Ya" Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Ayah...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening. "Kata ayah
harus mengampuni orang, kenapa
bibi tidak mau mengampuni orang, yang memhunuh ayahnya?"
"Nak," Tio cie Hiong
tersenyum. "Sifat, watak dan hati orang tidak akan sama. Ada yang
pendendam dan pembenci, ada pula yang uielas asih dan mau mengampuni orang
lain. Jadi, bibi itu masih tercekam oleh rasa dendam dan benci, maka dia tidak
bisa mengampuni pembunuh ayahnya.”
"Ayah," ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. "Seandainya Ayah dan ibu dibunuh orang, Bun yang
juga pasti membalas dendam, paling tidak harus memusnahkan kepadaian penjahat
itu.”
"Nak!" Tio Cie hong
tersenyum lembut " Engkau memang tidak salah, namun cukup memusnahkan
kepandaian penjahat itu saja.”
"Kalau begitu bibi. .
."
"Dia pun akan memusnahkan
kepandaian pembunuh ayahnya," sahut Lim Ceng Im. sambil membelainya,
"Membunuh itu tidak perlu, cukup memusnahkan kepandaian para penjahat
saja”
"Ya, Ibu." Tio Bun
Yang mengangguk. "Bun Yang pasti selalu ingat akan nasihat Ibu.”
"Engkau memang anakku
yang baik" Lim Ceng Im memeluknya erat-erat dengan penuh kasih sayang,
"Anakku, engkau tidak boleh membunuh siapa pun kelak. Jangan membuat suatu
karma yang buruk untuk dirimu sendirit Camkanlah baik-baik nasihat ibu!”
”Ya, Ibu!” Tio Bun Yang
mengangguk, ”Bun Yang pasti menurut semua nasihat Ayab dan Ibu, Bun Yang tidak
mau jadi anak durhaka, dan tidak mau jadi penjahat. Bun Yang berjanji kepada
Ayah dan Ibu!”
"Nak!" Tio Cie Hiong
dan Lim Ceng im membelai-beiainya dengan penuh kasih sayang.
-ooo0dw0ooo-
Bagian Kedua
Kejadian yang tak terduga.
Lie Man Chiu, suami Tio Hong
Hoa duduk diatas sebuah batu. Sepasang matanya terus mengarah ke laut yang
membiru itu- Sayup-sayup terdengar suara deruan ombak, diiringi pula oleh suara
desiran angin laut.
Kelihatannya ia sedang
mempertimbangkan suatu keputusan. Hal itu dapat diketahui dan keningnya yang
terus menerus berkerut-
"Benar." gumamnya
dengan suara rendah, "Aku harus mengambil keputusan itu, tidak boleh ragu
lagi”
Pada waktu bersamaan, Ia
mendengar suara langkah di belakangnya. Tanpa menoleh ia sudah tahu, bahwa itu
suara langkah Tio Hong Hoa, isterinya.
"Kakak Chiu..."
panggil Tio Hong Hoa, kemudian duduk di sisinya, "Kenapa engkau duduk
melamun di sini?”
"Adik Hoa," sahut
Lie Man Chiu sambil tersenyum, " Aku sedang menikmati keindahan laut.”
"Oh?" Tio Hong boa
menatapnya dalam-dalam, " Tapi kelihatannya engkau sedang memikirkan
sesuatu. Apa yang engkau pikirkan? Bolehkah aku tahu?"
"Adik Hoa!" Lie Man
Chiu mengambil sebuah batu kecil, lalu dilemparkannya ke laut seraya berkata,
"Aku tidak memikirkan apa-apa, percayalah!”
"Kalau begitu, legalah
hatiku!" Tio Hong Hoa tersenyum dan menambahkan, "Aku justru
khawatir, ada sesuatu yang terganjel dalam hatimu.”
"Tentu tidak” Lie Man
Chiu juga tersenyum.
"Oh ya, Yo Suan Hiang
telah pergi ke Tionggoan. Entah bagaimana dia, berhasilkah dia menuntut balas?”
"Kasihan dia!" Tio
Hong Hooa menghela nafas." Mudah-mudahan dia akan berbasil membalas
dendam!”
"Adik HoaI " Lie Man
Chiu menatapnya dalam-dalam. "Engkau tidak berniat sama sekali pergi ke
Tionggoan?”
”Kakak Chiu!" Tio Hong
Hoa tersenyum lembut ”Bukankah lebih tenang hidup di pulau ini Kita sudah
mempunyai anak dan hidup bahagia, jadi untuk apa pergi ke Tionggoan?”
"Tapi anak kita "
Lie Man Chiu memandang jauh ke depan, "Apakah dia juga harus terus tinggal
di sini?”
"Setelah dia dewasa
kelak, tentunya dia harus pergi mengembara mencari pengalaman. Engkau tidak
mengijinkannya mengembara dalam rimba persilatan?”
"Mengembara cari
pengalaman memang harus, namun dunia persilatan penuh berbagai kejahatan dan
kelicikan, maka aku kuatir....”
"Ai Ling memiliki sifat
baik dan periang Lagi pula____" Tio Hong Hoa memandang lurus ke depan dan
melanjutkan, "Dia memang harus mencari pengalaman di luar”
"Ngmmm!" Lie Man
Chiu mengangguk "Oh ya, Cie Hiong begitu terkenal dalam rimba persilatan,
namun dia malah hidup menyendiri di pulau ini bersama anak isterinya. Bukankah
itu sayang sekali?"
"Cie Hiong dan Ceng im
memang telah bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan lagi Namun
Ceng Im pernah memberitahukan kepadaku, bahwa mereka memperbolehkan Bun Yang
berkelana untuk cari pengalaman."
Lie Man Chiu manggut-manggut
dan berkata. „Bun Yang memang sangat cerdas dan baik, aku yakin dia akan
menjadi seorang Pendekar gagah kelak“
"Benar." Tio Hong
Hoa manggut-manggUt. "Aku sangat menyukainya, dan Ai Ling pun cocok sekali
dengan dia”
"Oh?" Lie Man Chiu
tertawa, "Aku yakin ada sesuatu di batik ucapanmu itu,” bukanya
"Ya?" Tio Hong boa
tersenyum, "Kakak Chiu, alangkah baiknya kita menjodohkan mereka.”
"Adik Hoa!" Lie Man
Chiu menggeleng-gelengkan kepala, "Kita tidak boleh menjodohkan
mereka",
"Kenapa?”
"Mereka berdua memang sangat
cocok dan akur, namun hubungan mereka kini merupakan hubungan kakak adik. Oleh
karena itu, kita tidak boleh menjodohkan mereka. Lagi pula mereka masih kecil,
belum mengenal cinta. Apabila mereka saling mencinta kelak, barulah kita
menjodohkan mereka”
"Baiklah." Tio Hong
Hoa mengangguk, ”Aku mengusulkan begitu karena aku sangat menyukai Bun Yang.”
"Engkau boleh
menyukainya, tapi jangan dikaitkan dengan perjodohannya." ujar Lie Man
Chiu sungguh-sungguh "Mereka masih kecil, maka jangan membuat suatu beban
yang menekan pikiran mereka.”
"Ya" Tio Hong Hoa
mengangguk, kemudian tersenyum seraya berkata, "Kakak Chiu, mungkin Lam
Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie sudah mempunyai anak. Bagaimana kalau suatu
hari nanti kita ajak Ai Ling ke Tayli?”
"Boleh." Lie Man
Chiu mengangguk, "Tapi harus menunggu Ai Ling dewasa dulu.”
"Tunggu dia dewasa?"
Tio Hong Hoa terbelajak. "Bukankah itu masih lama sekali?"
"Tidak apa-apa,
kan?" Lie Man Chiu tersenyum. Tio Hong Hoa menghela nafas panjang.
"Baiklah."
Pada waktu bersamaan, muncuj
Lie Ai Ling menghampiri mereka dengan wajah cerah ceria, Ayah dan ibu ternyata
berada di sini! Ai Ling tadi mencari ke mana-mana tapi tidak ada Tidak tahunya
ayah dan Ibu mengobrol di sini" ujar Lie AiLing sambil duduk.
"Nak!" Tio Hong Hoa membelainya,
" Di mana Bun Yang?”
"Kakak Bun Yang sedang
berlatih ilmu pedang." Lie Ai Ling memberitahukan, "Ibu, kepandaian
Kakak Bun Yang semakin tinggi lho!”
"Oh, ya?" Tio Hong
Hoa menatapnya lembut.
"Kenapa engkau tidak
berlatih bersamanya?”
"Ai Ling ingin menemani
Ayah dan Ibu," sahut Lie Ai Ling lalu menatap Lie Man Chiu. "Ayah
dari tadi duduk di sini?”
"Ya." Lie Man Chiu
manggut-manggut.
"Ayah...." Lie Ai
Ling menundukkan kepala seraya bertanya,
"Kenapa Ayah sering
melamun? Ada sesuatu terganjel di dalam hati Ayah?”
"Tidak." Lie Man
Chiu tersenyum sambil membelainya, "Oh ya, paman Cie hong berkepandaian
sangat tinggi, engkau harus banyak belajar kepadanya.“
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk,
Lie Man Chiu bangkit berdiri,
Ia memandang Tio Hong Hoa sepaya berkata, "Adik Hoa. aku mau ke rumah,
Engkau mau menemani Ai Ling berlatih bersama Bun Yang?“
"Baiklah." Tio Hong
Hoa mengangguk.
"Ai Ling!" Lie Man
Chiu menatapnya lembut. "Engkau boleh pergi menemui Bun Yang, ayah ingin
pergi beristirahat.”
"Ya, Ayah." Lie Ai
Ling tersenyum.
Lie Man Chiu melangkah Pergi,
sedangkan Tio Bong Hoa menggandeng putrinya ke tempat latihan Tio Bun Yang.
Tio Cie Hiong terus memberi
petunjuk kepada putranya mengenai Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh
Keliling). Setelah itu, Tio Bun Yang mulai berlatih. Anak itu tidak menggunakan
Pedang, melainkan menggunakan suling kumala, pemberian ayahnya.
"Lweekangnya masih agak
dangkal, maka kalau menghadapi lawan yang memiliki tenaga dalam yang tinggi,
maka dia akan kewalahan.”
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
menyaksikannya dengan penuh perhatian, kemudian mereka saling memandang dengan
penuh rasa kagum.
”Kakak Hiong...,” bisik Lim
Ceng Im. ”Anak kita memang luar biasa, baru tiga hari telah menguasai Cit Loan Kiam
Hoat.”
"Dia memiliki daya ingat
yang kuat sekali," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum, "Bahkan juga
memiliki bakat alam, maka tidak sulit baginya untuk mempelajari ilmu silat
tingkat tinggi.”
"Ng!" Lim Ceng Im
mengangguk, "Kakak Hiong, kita harus menjadikannya seorang pendekar
berkepandaian tinggi, berhati bajik, bijaksana dan adil”
"Benar.” Tio Cie Hiong
manggut-manggut. "Hanya saja....”
"Kenapa?”
"Kini dia telah memiliki
Pan Yak Hian Thian Sin Kang, Kan Kun Taylo Sin Kang, Giok Li Sin Kang dan Kiu
Yang Sin Kang. Apabila dia terus bersemedi, beberapa tahun kemudian,
lweekangnya pasti tinggi.”
"Benar." Tio Cie
Hiong manggut-manggut sambil tersenyum, "Dia memang harus menjadi pendekar
gagah, berhati bajik, bijaksana dan adil”
"Oh, ya, kupikir. . ."
"Adik Im?" Tio Cie
Hiong menatapnya mesra.
"Apa yang engkau
pikirkan?”
"Entah siapa jodohnya
kelak?" sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum,
"Yang jelas harus gadis
yang bersifat iemah lembut dengan tatapan sejuk, itu dapat menyejukkan
hatinya," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh,
"Ooohl" Lim Ceng im
manggut-manggut. "Aku tahu, tatapan sejuk itu dapat menghilangkan rasa
emosinya di saat marah, bukan?“
"Betul." Tio Cie
hong mengangguk,
"Adik cie Hiong!"
panggil Tio Hong Hoa dengan tersenyum.
"Oh, Kakak!" sahut
Tio Cie Hiong. Kemudian ia membelai Lie Ai Ling. "Engkau ke mana? Kok
tidak berlatih bersama Bun Yang?”
"Ai Ling pergi mencari
Ayah dan Ibu." Lie Ai Ling memberitahukan, "Ternyata Ayah Ibu
mengobrol dekat pantai.”
"Oh!" Tio cie hong
tersenyum sambil memandang Tio Hong Hoa. "Apa yang kalian obrolkan di
sana?”
"Tidak mengobrol
apa-apa," jawab Tio Hong Hoa dan menghela nafas panjang, "Aku melihat
dia duduk melamun di dekat pantai, maka aku mendekatinya...”
"Man Chiu duduk melamun
dekat pantai?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening, "Apakah dia sedang
memikirkan sesuatu?”
"Katanya tidak, tapi...." Tio Hong Hoa menundukkan
kepala, "Kelihatannya dia
memang sedang memikirkan sesuatu.”
"Engkau tidak bertanya
kepadanya apa yang sedang dipikirkannya?" tanya Lim Ceng Im.
"Aku sudah bertanya
kepadanya, namun dia menjawab tidak. Kemudian kami mengalihkan pembicaraan....
”
"Mengenai apa?"
tanya Tio Cie Hiong.
"Itu..." Tio Hong
Hoa tersenyum. "Mengenai Ai Ling dan Bun Yang.”
"Kenapa mereka
berdua?" tanya Lim Ceng im.
"Aku suka sekali kepada
Bun Yang, maka ingin menjodohkan Ai Ling padanya."Tio Hong Hoa
memberitahukan, "Tapi Man Chiu bilang jangan.”
"Kenapa?" Lim Ceng
Im menatapnya.
"Man Chiu bilang, mereka
masih kecil, jadi belum tahu tentang cinta, Karena itu, tidak boleh membebani
pikiran mereka dengan suatu urusan," ujar Tio Hong Hoa memberitahukan.
”Benar apa yang dikatakan Man
Chiu” Tio Cie Hiong manggut-manggut. ”Kita sebagai orang tua, tidak boleh
menjodohkan anak, Namun boleh menjodohkan pilihan mereka, jadi orang tua tidak
akan dipersalahkan oleh anak,"
"Ya." Tio Hong Hoa
mengangguk, "Oh ya, Adik Cie Hiong! Entah bagaimana keadaan Lam Kiong Bie
Liong dan Toan Ulie Kie, mungkin mereka pun sudah mempunyai anak. Entah kapan
kita akan ke sana atau mereka akan ke mari? Aku ingin mengajak Man Chiu ke
Tayli, tapi dia bilang harus menunggu Ai Ling dewasa dulu.”
"Kakak!" Tio Cie
Hiong tersenyum, "Kami juga rindu sekali kepada mereka, karena sudah
sepuluh tahun lebih tidak bertemu”
"Oh, ya!" Mendadak
Tio Hong Hoa tertawa geli. "Entah bagaimana dengan Kim Siauw Suseng dan
Kou Hun Bijin? Mungkinkah mereka telah dikaruniai anak?”
"Tentu mungkin.g Tio Cie
Hiong mengangguk dan menambahkan, "Bahkan aku Pun yakin anak mereka pasti
tampan atau cantik.”
"Yaaah!" Tio Hong
Hoa menghela nafas. Entah kapan kita akan bertemu mereka lagi!”
"Sudah sepuluh tahun
lebih tiada kabar berita mengenaj mereka, yang di Tayli dan yang di Kwan Gwa
(Luar Perbatasan)!" ujar Tio Cie Hiong sambil menggeleng-
gelengkan kepala, "
Rasanya gembira sekali apabila bisa berkumpul kembali!”
"Benar." Tio Hong
Hoa mengangguk, "Oh, ya, bagaimana kepandaian Bun Yang? Apakah telah
mengalami kemajuan?”
"Memang mengalami
kemajuan pesat, hanya saja lweekangnya masih belum begitu tinggi.” Tio Cie hong
memberitahukan "Kini aku sedang mengajarnya Cit Loan Kiam Hoat."
"Cit Loan Kiam
Hoat?" Tio Hong Hoa tertegun, "Setahuku, engkau tidak memiliki ilmu
pedang itu.”
"Baru kuciptakan belum
lama ini," ujar Tio Cie Hiong. "Dan telah kuajarkan kepada Suan
Hiang.”
"Oooh!" Tio Hong Hoa
manggut-manggut kagum, "Pasti lihay sekali ilmu pedang itu!”
"Memang lihay sekali
sebab kuciptakan berdasarkan ilmu pedang, yang dimiliki Im Sie Hong Mo dan Pek
Ih Hong Li. Namun tidak mudah mempelajarinya"
”Eeeeh?” Tio Hong Hoa
terbelalak ketika menyaksikan Tio Bun Yang sedang berlatih, dan kemudian ia pun
merasa pusing "Ilmu itu. ..."
"Itu adalah Cit Loan Kiam
Hoat." Tio Cie Hiong memberitahukan "Tapi Bun Yang menggunakan
seruling kumala”
"Bukan main!" Tio
Hong Hoa menghela nafas saking kagumnya “aku jadi pusing menyaksikan ilmu
Pedang itu!”
"Maka ilmu pedang Itu
dinamai Ilmu Pedang Pusingng Tujuh Keliling,” sahut Lim Ceng Im sambil
tersenyum.
"Adik Cie Hiong!"
Tio Hong Hoa menatapnya, "Maukah engkau mengajarkan ilmu pedang itu kepada
Ai Ling?”
"Tentu boleh" Tio
Cie Hiong tersenyum. "Mulai hari ini aku akan mengajarkan kepadanya.”
"Terimakasih, Adik Cie
Hiong" ucap Tio Hong Hoa.
"Eh?" Tio Cie Hiong
tersenyum geli "Kok kakak jadi berlaku sungkan kepadaku sih? Tidak usah
mengucapkan terima kasih”
"Oh, ya" sela Lim
Ceng Im mendadak "Aku pun akan menurunkan Giok Li Sin Kang kepada Ai Ling”
"Bagus!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut setuju "Ai Ling memang harus belajar Sin Kang itu,
sebab sangat bermanfaat bagi dirinya.”
"Adik Ceng Im," ucap
Tio Hong Hoa. ”Aku berterima kasih kepadamu!”
"Kakak Hong
Hoa....." Lim Ceng Im tertawa geli. "Kok jadi
begitu sungkan? Kita bukan
orang lain, lho.”
"Terus terang..."
Tio Hong Hoa menghela nafas panjang, "Kalian berdua memang sangat baik
terhadapku, maka aku....”
"Kak!' Tio Cie Hiong
menggenggam tangan Tio Hong Hoa erat-erat. "Engkau kakakku, tentunya kami
harus baik terhadapmu.”
"Terima kasih!" ucap
Tio Cie Hiong terharu, "Oh, ya, apakah kalian memperbolehkan Bun Yang
berkelana kelak?”
”Itu memang harus,” sahut Tio
Cie Hiong. ”Tidak mungkin Bun Yang terus tinggal di pulau ini sampai tua,
karena dia harus ke Tionggoan mencari Pengalaman”
"Adik Cie Hiong,
bagaimana kalau Ai Ling ikut Bun Yang berkelana kelak?" tanya Tio Hong Hoa
mendadak.
”Itu tidak jadi masalah,”
sahut Tio Cie Hiong. ”Tapi harus ada persetujuan dan Man Chiu dulu.”
"Ya." Tio Hong Hoa
mengangguk, "Oh, ya, entah bagaimana keadaan Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin di Tayli? ”
”Mereka pasti segar bugar,”
ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum, a Paman Gouw Han Tiong telah lama
bergabung dengan Kay Pang, mungkin kini sudah menjadi Tetua di sana”
"Mungkin." Tio Hong
Hoa manggut-manggut, "Yang paling senang adalah Sam Gan Sin Kay, setiap
hari main catur dengan ayah”
"Memang
menggelikan," ujar Lim Ceng Im dengan tersenyum, "Dulu kakek sering
ribut dan saling mencaci dengan Kim Siauw Suseng. Kinipun begitu, sering ribut
dan sating mencaci dengan ayahmu.”
"Itu pertanda mereka
akrab sekali." Tio Hong Hoa memberitahukan, "Rupanya kakekmu tidak
mau meninggalkan pulau ini.”
"Benar." Lim Ceng Im
mengangguk, "Kakek sudah tua sekali, bagaimana mungkin akan meninggalkan
pulau ini.”
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong menatapnya lembut seraya bertanya, "Entah bagaimana keadaan Kay Pang
sekarang?”
"Aku yakin bertambah
maju," sahut Lim Ceng Im. "Sebab Paman Gouw Han Tiong berada disana”
"Adik Cie Hiong,"
ujar Tio Hong Hoa. "Aku mau pulang dulu, karena Man Chiu berada dirumah.”
"Baiklah." Tio Cie
Hiong mengangguk.
Tio Hong Hoa melangkah Pergi.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im memandang punggung wanita itu sambil menghela
nafas panjang.
"Adik im," ujar Tio
Cie Hiong dengan kening berkerut, "Kakak Hong Hoa bilang, bahwa tadi Man
Chiu duduk
melamun di dekat pantai, Aku
yakin dia sedang memikirkan sesuatu,”
”Kira-kira apa yang
dipikirkannya?”
”Entahlah Tio Cie Hiong”
menggelengkan kepala ”Mudah-mudahan dia memikirkan yang baik jadi tidak akan
terjadi sesuatu”
--ooo0dw0ooo--
Pagi ini, mendadak Tio Hong
Hoa berlari kesana ke mari sambil berteriak-teriak. tangannya menggenggam
sepucuk surat.
”Kakak chiu Kakak chiu. . . .”
”Ayah Ayah. . . .” Lie Ai Ling
juga ikut berlari ke sana ke mari sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya.
”Ada apa, ada apa?"
Betapa terkejutnya Tio Tay Seng. ”Apa yang terjadi?”
”Ayah. . . ”Tio Hong Hoa
menangis ”Kakak chiu. . . ."
”Kenapa dia?” Wajah Tio Tay
Seng berubah pucat ”Beritahukan kepada ayah, kenapa dia?"
”Dia... dia... telah pergi.”
Tio Hong Hoa memberitahukan sambil menangis ”Dia meninggalkan sepucuk surat.”
”Coba ayah baca” Tio Tay seng
menyambar surat dan tangan putrinya, lalu membacanya dengan kening
berkerut-kerut.
Adik Hoa:
Sebelumnya aku minta maaf
karena meninggalkanmu dan Ai Ling, aku terpaksa. Telah lama kupertimbangkan,
akhirnya aku mengambil keputusan untuk meninggalkan kalian, sebab aku ingin
prgi berkelana demi mengorbitkan namaku. Maka
dalam hal ini, sekali lagi aku
mohon maaf kepadamu, juga mohon maaf kepada ayahmu.
Adik Hoa, tentunya engkau
tahu. setelah aku memiliki kepandaian tinggi, aku tidak pernah berkelana.
Begitu , mulai berkecimpung dalam rimba persilatan, aku bertemu denganmu lalu
kita menikah di pulau Hong Hoang To. sejak itu aku tidak pernah kemana-mana.
Terus terang, itu sungguh menyiksa hati dan perasaanku. Akhirnya aku mengambil
keputusan meninggalkan kalian, demi mengorbitkan namaku dalam rimba persilatan.
Aku harap engkau maklum dan bersedia memaafkan diriku, kita pasti berjumpa
kembali kelak selamat tinggal dan jagalah Ai Ling baik-baik
Lie Man chiu
”Kurang ajar. Dasar tak tahu
diri” Caci Tio Tay seng setelah membaca surat itu, ”Dia betul-betul menyusahkan
anak isteri”
Lim Tocu sam Gan sin Kay
menepuk bahunya. ”Tenang lah. Jangan terus emosi”
”Pengemis bau” sahut Tin Tay
Seng. ”Mantuku itu sungguh kejam, dia meninggalkan anak isteri hanya demi
mengorbitkan namanya dalam rimba persilatan Aku tidak menyangka murid Tayli Lo
Ceng akan berubah jadi begitu”
”Kakak....” Tio Cie Hiong, Lim
Ceng Im dan Tio Bun Yang
menghampiri mereka dengan
perasaan tercekam. ”Apa yang terjadi, Kak?”
”Man chiu telah pergi,” sahut
Tio Hong Hoa dengan air mata berderai-derai. ”Dia hanya meninggalkan sepucuk
surat.”
”Oh?” Kening Tio Cie Hiong
berkerut-kerut.
”Cie Hiong, bacalah suratnya
ini” Tio Tay seng menyerahkan surat tersebut kepada Tio Cie Hiong.
Setelah membaca surat itu, Tio
Cie Hiong langsung melesat pergi seraya berseru, ”Aku akan mencoba mencari dia”
Sementara Lie Ai Ling terus
menangis dengan air mata bercucuran, dan Tio Bun Yang memegang bahunya.
”Adik Ai Ling, jangan terus
menangis Engkau akan sakit nanti....”
Kakak Bun Yang Lie Ai Ling
memeluknya.
”Ayahku begitu tega
meninggalkan kami, dia... dia kejam”
”Adik Ai Ling, tenang lah” Tin
Bun Yang membelainya. ”Ayahku sudab pergi mencari ayahmu, mudah-mudahan ayahmu
akan pulang bersama ayahku Kakak Bun Yang....” Lie Ai Ling terus menangis.
”Ayoh mari kita ke ruang depan
menunggu Cie Hiong” ajak Tio Tay seng, yang wajahnya masih tampak merah padam
saking gusarnya.
Mereka semua menuju ruang
depan. Tio Hong Hoa dan Lie Ai Ling masih terus menangis. Berselang beberapa
saat kemudian, Tio Cie Hiong pulang dengan wajah muram.
”Bagaimana?” tanya Tio Hong
Hoa kepada Tio Cie Hiong.
”Tiada jejaknya,” sahut Tio
Cie Hiong sambil menggeleng gelengkan kepala. ”Aku yakin dia
telah berlayar ke Tionggoan.”
”Lie Man chiu” suara Tio Tay
seng mengguntur. ”Binatang kau. Demi mencari nama dirimba persilatan engkau
tega meninggalkan anak isteri”
”Tio Tocu” ujar sam Gan sin
Kay. ”Dia pergi tidak akan lama, mungkin sebulan dua bulan dia akan pulang.”
”Tidak mungkin.” Tio Tay seng
menggeleng kepala, kemudian memandang Tio Hong Hoa seraya bertanya, ”Apakah
kalian pernah ribut baru-baru ini?”
”Tidak pernah sama sekali,”
sahut Tio Hong Hoa dan menambahkan, ”Tapi belum lama ini dia sering melamun
seorang diri”
Tio Tay seng mengerutkan
kening. ”Engkau tidak bertanya kepadanya kenapa melamun?"
"Aku sudah bertanya, tapi
dia menjawab tidak...” Tio Hong Hoa terisak-isak.
”Aaaakh,., keluh Tio Tay seng.
”Kalau memang dia ingin mencari nama di rimba persilatan, tidak seharusnya dia
menikah denganku sepuluh tahun yang lalu Dia... telah membuat kalian menderita
kini heran, kenapa Tayli La ceng tidak bisa meramalkan tentang ini?"
"Ayah,” ujar Tia Hong Hoa
mendadak. "Aku mau menyusulnya ke Tionggoan.”
"Hoa ji....” Tio Tay seng
menghela napas panjang.
Kak Tio Cie Hiong menatapnya.
”Percuma engkau menyusulnya, sebab dia telah mengambil keputusan itu Lagi pula
dia pasti tidak akan menemuimu, maka lebih baik engkau tetap tenang di pulau
ini"
”Adik Cie Hiong...” Tio Hong
Hoa menatapnya penuh harap. ”Bersediakah engkau pergi menyusulnya?”
“Sebetulnya tidak
jadi masalah. Tapi....
“Tio Cie Hiong
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?"
”Kalaupun aku berhasil
menyusul, dia pasti tidak mau ikut aku pulang.” Tio Cie Hiong menjelaskan.
”sebab dia telah membulatkan tekadnya. seandainya dia mau ikut pulang, tentunya
dia tidak akan meninggalkan kalian. Kakak harus mengerti itu".
”Lalu bagaimana aku dan Ai
Ling?" Tio Hong Hoa mulai menangis lagi.
"Masih ada aku, Adik Ceng
im, Paman dan Kakek pengemis di sisimu Jadi engkau tidak usah terlampau
berduka.” sahut Tio Cie Hiong terus menasihatinya.
Sam Gan Sin Kay dan Tio Tay
seng saling memandang, kemudian manggut-manggut seakan saling memberi isyarat.
”Cie Hiong, hiburlah dia Paman
dan pengemis bau mau pergi main catur,” ujar Tio Tay seng, dan mereka berdua
lalu pergi.
”Aaaakh...” keluh Tio Hong
Hoa. ”Aku tidak menyangka”
”Ibu..” Lie Ai Ling
memandangnya dengan air mata bercucuran. ”Ayah tidak akan pulang lagi?”
”Ai Ling,” sahut Lim Ceng Im
cepat. ”Ayahmu pasti pulang, engkau tidak usah terus bertanya kepada ibumu.”
”Ya.” Lie Ai Ling mengangguk.
”Adik Cie hong, maaf” ucap Tio
Hong Hoa. ”Aku mau ke kamar untuk beristirahat.”
”Baiklah.” Tio Cie Hiong
mengangguk.
Tio Hong Hoa berjalan ke
dalam, dan Lie Ai Ling segera mengikutinya. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im
memandang mereka sambil menghela nafas panjang.
”Bun Yang,” ujar Tio Cie Hiong
berpesan. ”engkau harus sering-sering menghibur Ai Ling, tidak boleh membuatnya
kesal”
”Ya, Ayah.” Tio Bun Yang
mengangguk. kemudian menatap Tio Cie Hiong seraya bertanya, ”Ayah, kenapa Paman
Man chiu begitu tega meninggalkan Bibi dan Ai Ling?”
”Karena Paman Man Chiu masih
punya suatu ambisi.” Tio Cie Hiong menjelaskan. ”Dia tidak memikirkan anak
isteri, sebaliknya malah ingin mengorbitkan namanya di rimba persilatan.”
”Ayah, kalau begitu Paman Man
chiu berhati kejam, karena sudah tidak sayang Bibi dan Ling,” ujar Tio Bun Yang
dan menambahkan, ”Bahkan Paman Man chiu pun tidak mempunyai perasaan, begitu
tega meninggalkan Ai Ling yang masih kecil. padahal Ai Ling sangat membutuhkan
kasih sayangnya.”
”Nak” Lim Ceng Im membelainya.
”Engkau telah melihat itu, maka kelak engkau tidak boleh seperti Paman Man
chiu. Ingat baik-baik itu”
”Ibu..” Tio Bun Yang
tersenyum. ”Ayah tidak seperti itu, dan Bun Yang pun tidak akan seperti itu
pula. Ayah merupakan contoh yang baik bagi Bun Yang, lagipula Bun Yang tidak
berhati kejam.”
”Bagus, Nak.” Lim CengIm
membelainya lagi. ”ibu merasa puas dan bangga padamu, engkau memang anak baik”
"Bun Yang harus menjadi
anak baik, tidak mau mengecewakan Ayah dan ibu,” ujar anak itu sungguh-sungguh
.
”Nak. ayah gembira sekali.”
Tio Cie Hiong membelainya. ”Nah, sekarang engkau harus mengajak Ai Ling main,
agar dia tidak terus menangis memikirkan ayahnya”
”Ya, Ayah”. Tio Bun Yang
berjalan ke dalam. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im manggut-manggut sambil
tersenyum.
Sam Gan sin Kay dan Tio Tay
seng duduk di bawah sebuah pohon. Mereka tidak main catur, melainkan terus
memperbincangkan tentang kepergian Lie Man chiu, wajah Tio Tay seng tampak
muram sekali.
”Yaaah” sam Gan sin Kay
menarik nafas. ”Memang tidak disangka sama sekali mengenai kejadian ini. Man
chiu begitu tega meninggalkan anak isteri hanya demi mengejar nama di rimba
persilatan.”
”Padahal dia adalah murid
kesayangan Tayli Lo Ceng, tapi kenapa....” Tio Tay seng menggeleng-gelengkan
kepala.
”Aku yakin Tayli Lo Ceng tahu,
namun dia diam saja?"
”Kalau Lo Ceng tua itu tahu,
tidak mungkin tidak memperdulikannya. Kukira..." Tio Tay seng mengerutkan
kening dan melanjutkan,” Lo Ceng itu tidak mengetahui watak asli muridnya
itu."
”Menurutku, itu tidak mungkin.
Lo Ceng itu pasti tahu, hanya saja... mungkin ada sebab lain,” ujar sam Gan sin
Kay dan menambahkan, ”Kita tidak tahu berada di mana Lo Ceng itu.."
”Yah, sudahlah” Tio Tay seng
menggeleng-gelengkan kepala. ”Mungkin sudah nasib putriku".
Pada waktu bersamaan,
muncullah Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im menghampiri mereka, lalu duduk dengan
kening berkerut-kerut.
”Kakek pengemis, Paman”
panggil Tio Cie Hiong. Cie Hiong, ”bagaimana Hong Hoa?” tanya Tio Tay seng. Dia
masih terus menangis?”
”Biarlah dia menangis, karena
bisa membuat hatinya lega,” jawab Tio Cie Hiong. ”Bun Yang berusaha menghibur
Ai Ling.”
”Aaakh....” Keluh Tio Tay
seng. ”Paman tidak menyangka
akan terjadi itu, padahal Hong
Hoa dan Man chiu saling mencinta”
”Ambisi ”ujar Tio Cie hong
menggeleng-gelengkan kepala. ”Ambisi telah menutup rasa sayang dan cintanya
terhadap Kakak Hoa serta anaknya.”
Cie Hiong Tio Tay seng
menatapnya seraya bertanya. ”Bagaimana menurut pendapatmu, apakah Man chiu akan
pulang”
”Dia pasti pulang, tapi...
tidak begitu cepat,” sahut Tio Cie Hiong. ”sebab dia ingin membuat dirinya
terkenal.”
”Aku justru mengkhawatirkan
itu,” sela sam Gan sin Kay sambil menghela nafas panjang. ”Dia begitu tega
meninggalkan anak isteri, pertanda hatinya sangat kejam dan tak berperasaan.
Kemungkinan besar... dia pun akan berubah jahat. Kakek.” ujar Lim Ceng im.
”Mungkin tidak serius tentang itu.”
”Dia ingin mengorbitkan
namanya, sudah barang tentu harus melakukan sesuatu yang menggemparkan rimba
persilatan. Menggemparkan dengan perbuatan baik memang tidak masalah,
sebaliknya apabila dia....” sam Gan sin Kay menghela nafas.
Kakek pengemis Tio Cie Hiong
tersenyum. ”Tidak mungkin dia akan melakukan kejahatan, sebab dia pasti masih
ingat kepada gurunya.”
”Hm” dengus Tio Tay seng
dingin. “Kalau dia masih ingat kepada gurunya, tentunya dia tidak berani
meninggalkan anak isterinya dengan cara begitu seharusnYa dia berunding dengan
kita.”
Tio Tocu sam Gan sin Kay
menggeleng-gelengkan kepala. ”Kalau dia berunding dengan kita, tentunya kita
tidak mengijinkannya pergi. Karena itu, dia pergi secara diam-diam.”
”Yaah, tidak disangka nasib
putriku menjadi begini” Wajah Tio Tay seng bertambah murung, kemudian
melanjutkan, “Kalau dia memang ingin mencari nama dalam rimba persilatan,
bukankah dia boleh mengajak putriku?”
Tio Tocu sam Gan sin Kay
tersenyum getir. ”Engkau pasti tidak memperbolehkan mereka pergi berkelana,
maka dia tidak mau mengajak Hong Hoa.”
“Takdir” gumam Tio Tay seng.
”Mungkin ini merupakan suatu takdir bagi putriku Aaaakh...”
--ooo0dw0ooo--
Lie Ai Ling duduk melamun di
bawah sebuah pohon. Tanpa sadar tangannya terus mencabut rumput-rumput di
sekitarnya.
”Adik Ai Ling ”Tio Bun Yang
menghampirinya sambil tersenyum lembut. ”Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata
engkau duduk melamun di sini Kakak Bun Yang....” Mata Lie Ai Ling mulai basah.
”Adik Ai Ling” Tio Bun Yang
memegang bahunya lalu duduk.”Jangan terus berduka, beberapa hari ini engkau
tampak agak kurus, lho”
”Kakak Bun Yang....” Lie Ai
Ling mulai menangis terisak-
isak. ”Ai Ling tidak
menyangka, ayah begitu kejam.”
”Adik Ai Ling” Tio Bun Yang
menghapus air matanya. ”sesungguhnya ayahmu tidak kejam, hanya saja dia tidak
bisa menekan ambisinya, sehingga meninggalkan engkau dan bibi.”
”Kakak Bun Yang, bolehkah
seorang ayah meninggalkan anak isterinya hanya demi suatu ambisi? tanya Lie Ai
Ling mendadak.”
”Seharusnya tidak boleh,”
jawab Tio Bun Yang. "Ayah yang baik harus bertanggung jawab, dan ada
apa-apa harus berunding dengan yang bersangkutan. Tapi. kesadaran ayahmu telah
tertutup oleh ambisinya, sehingga membuatnya tidak berpikir panjang lagi.”
Bukan main Padahal Tio Bun
Yang baru berusia sepuluh tahun, sedangkan Lie Ai Ling baru sembilan tahun,
namun mereka berdua justru bisa saling tukar pikiran dan
memperbincangkan suatu
masalah. Bukankah itu luar biasa sekali?
”Kakak Bun Yang sungguh
beruntung, mempunyai ayah yang begitu baik. sebaliknya Ai Ling..” Air mata Lie
Ai Ling mulai meleleh.
”Adik Ai Ling” Tio Bun Yang
menatapnya lembut. ”Ayahku dan ibumu adalah kakak beradik, maka ayahku boleh
dikatakan ayahmu juga. sedangkan Bun Yang adalah kakakmu. Ya, kan?”
”Ng..“ Lie Ai Ling menganggu.
„Terima kasih Kakak Bun Yang selalu menghibur Ai Ling“
"Bun Yang memang harus
menghiburmu, sebab engkau adikku.“ Tio Bun Yang tersenyum.
”Kakak Bun Yang....“ Lie Ai Ling menatapnya seraya
bertanya. ”Kenapa ayah Ai Ling
tidak seperti ayahmu?"
”Adik Ai Ling,” jawab Tio Bun
Yang menjelaskan.” itu tergantung pada sifat dan watak. karena semua orang
tidak memiliki sifat dan watak yang sama. Karena itu, terdapatlah orang baik
dan orang jahat.”
”Oooh” Lie Ai Ling
manggut-manggut.” Kalau begitu, ayah Ai Ling termasuk orang jahat, kan?”
”Tidak juga.” Tio Bun Yang
tersenyum. ”Ayah mu terlampau berambisi, sehingga membuatnya jadi begitu”
”Kakak Bun Yang” Mendadak Lie
Ai Ling menatapnya dalam-dalam. ”Apakah kelak Kakak Bun Yang akan seperti ayah
Ai Ling?”
”Tentu tidak.” ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. ”Bun Yang harus seperti ayah, tidak mau membunuh dan
tidak mau menyakiti orang lain. Bun Yang harus menjadi orang baik, bijaksana
dan adil,”
”Bagus” Lie Ai Ling tertawa.
Ai Ling gembira dan bangga memcunyai kakak yang begini.
Di saat mereka berdua
bercakap-cakap, tampak sepasang mata mengintip ke arah mereka. Ternyata Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im. Betapa kagum dan gembiranya hati mereka ketika mendengar
percakapan itu, dan mereka pun saling memandang sambil manggut-manggut.
”Ayah, ibu” seru Tio Bun Yang
mendadak.”Jangan terus bersembunyi di balik pohon, tidak baik mencuri dengar
pembicaraan orang”
Seketika juga Tio Cie Hiong
dan Lim Ceng im melesat ke hadapan mereka, tentunya Lie Ai Ling terkejut
sekali.
”Paman, Bibi” panggilnya.
”Ai Ling” Lim Ceng Im
membelainya dengan penuh kasih sayang.
”Nak” Tio Cie Hiong menatap
putranya. ”Bagaimana engkau tahu bahwa kami bersembunyi dibalik pohon?”
”Karena kaki ibu menimbulkan
suara, maka Bun Yang tahu kehadiran ibu dan Ayah,” jawab Tio Bun Yang sambil
tersenyum. ”Kalau kaki ibu tidak menimbulkan suara, Bun Yang pasti tidak akan
mengetahuinya”
”Nak” Tio Cie Hiong menatapnya
kagum. ”sungguh tajam pendengaranmu, ayah kagum kepadamu”
”Nak“ Lim Ceng im
tersenyum-senyum. „Padahal kaki ibu hanya bergerak sedikit, tapi engkau dapat
mendengarnya. Lagipula... engkau sedang bercakap-cakap dengan Ai Ling,
kenapa....”
”ibu” Tio Bun Yang tersenyum. ”Ayah
pernah pesan, di mana pun kita berada, harus waspada terhadap tempat
sekelilingnya".
"oooh" Lim Ceng Im
manggut-manggut. „Tapi ini adalah pulau Hong Hoang To, tidak mungking akan
muncul musuh.“
„ibu, Bun Yang harus
membiasakan begini.Kalau sudah terbiasa, tentu tidak akann melalaikannya "
.
„Bagus, bagus “Tio Cie Hiong
tertawa gembira. “Itu merupakan kebiasaan yang baik, di manapun kita berada,
haruslah waspada. ini sangat penting dan berlaku dalam rimba persilatan”
“Ya, Ayah.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Nak” Lim Ceng im menatapnya
sambil tersenyum. “sudah lama ibu tidak mendengar suara sulingmu, sekarang ibu
ingin mendengarnya.”
”Ya, ibu.” Tio Bun Yang
mengangguk lagi, lalu mulai meniup suling pualam pemberian ayahnya.
Terdengarlah suara suling yang sangat menyentuh hati dan menggetarkan kalbu.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im
saling memandang sambil tersenyum-senyum, sedangkan Lie Ai Ling terus menatap
Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar.
--ooo0dw0ooo--
Bagian ketiga
Kehadiran padri tua
Dua bulan telah berlalu, namun
Lie Man chiu tidak pernah kembali ke pulau Hong Hoang To, tentunya membuat Tio
Hong Hoa jadi putus asa dan stress, sehingga badannya bertambah kurus.
Hari ini mereka semua
berkumpul di ruang depan. wajah
Tio Tay seng tampak murung
sekali, sedangkan sam Gan sin
Kay terus menerus menghela
nafas panjang.
Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im,
Tio Hong Hoa, Tio Bun Yang dan Lie Ai Ling duduk diam ditempat.
”Aku harus pergi ke Tionggoan
mencari Man Chiu,” ujar Tio Tay seng penuh kegusaran. ”Kalau dia tidak mau ikut
aku pulang, apa boleh buat Aku harus membunuhnya Ayah....” Tio Hong Hoa mulai
terisak-isak.
”Hoaji” TioTay seng menghela
nafas panjang ”jangan kau pikirkan dia lagi, anggaplah dia telah mati suami
yang begitu macam buat apa dipikirkan”
”Ayah, kasihan Ai Ling.” Air
mata Tio Hong Hoa meleleh.
”ibu,” ujar Lie Ai Ling cepat
menghiburnya. ”Ai Ling baik-baik saja. ibu yang harus menjaga diri, karena
badan ibu bertambah kurus.”
”Nak....” Tio Hong Hoa menatap putrinya sambil
menggeleng-gejengkan kepala.
”ibu,” ujar Lie Ai Ling
memberitahukan. ”KakakBun Yang bilang, bahwa kita harus tabah menghadapi
kejadian apa pun.”
”Hidup memang banyak cobaan,
maka kita harus tabah.
Nak.... ”Tio Hong Hoa
terisak-isak.
”Bibi,” ujar Tio Bun Yang.
”Paman Man chiu telah melupakan Bibi dan Adik Ai Ling, namun Bibi masih terus
memikirkannya hingga badan Bibi menjadi kurus. Apakah itu berharga bagi Bibi?”
”Bun Yang.... ”Tio Hong Hoa menggeleng-gelengkan
kepala. ”Engkau masih kecil,
jadi belum tahu bagaimana cinta dan sayangnya seorang isteri kepada
suaminya."
”Bun Yang tahu itu,” ujar Tio
Bun Yang. ”Namun Paman Man chiu begitu tega meninggalkan Bibi dan Adik Ai Ling,
lalu apa gunanya bibi terus memikirkannya? Itu sama juga menyiksa diri sendiri,
bahkan akan membuat Adik Ai Ling berduka pula. Apakah Bibi tidak memikirkan
Adik Ai Ling, padahal dia sangat membutuhkan kasih sayang Bibi?”
”Bagus, bagus Masih kecil
sudah bisa menasihati orang” ujar sam Gan sin Kay mendadak dan menambahkan,
”Hong Hoa, sadarlah Yang harus engkau pikirkan sekarang justru Ai Ling,
putrimu. Bukan Man Chiu, yang tak punya perasaan itu. Apa yang dikatakan Bun
Yang memang benar. Dia masih begitu kecil, tapi cara berpikirnya malah begitu
jauh dan luas.”
”Kakek pengemis,
aku.... ”Tio Hong
Hoa menundukkan
kepala.
Di saat bersamaan, tampak Tio
Lo Toa bergegas-gegas berjalan ke dalam dengan wajah serius.
”Tocu Lapor Tio Lo Toa. Tayli
Lo Ceng berkunjung.” ”oh? Cepat undang beliau masuk ”sahut Tio Tay seng. ”Ya”
Tio Lo Toa segera pergi.
Tak seberapa lama,
terdengarlah suara seseorang, yang amat halus.
”omitohud Maaf, kedatanganku
telah mengganggu kalin semua” Kemudian muncul seorang padri tua, dan memang
benar Tayli Lo Ceng.
”selamat datang Lo Ceng” ucap
Tio Tay seng sambil memberi hormat. ”silakan duduk”
”Terima kasih” Tayli Lo Ceng
duduk.
Lo Ceng sam Gan sin Kay
memberi hormat. selamat bertemu
”omitohud" Tayli Lo Ceng
tersenyum. sin Kay, engkau semakin sehat saja tinggal di sini Ha ha ha"
sam Gan sin Kay tertawa gelak. "lo Ceng pun semakin segar bugar lho
omitohud..”
”Lo Ceng" Tio Cie Hiong
dan Lim Ceng Im memberi hormat. selamat bertemu
”Ha ha ha” TayliLo ceng
lertawa. ”Kalau masih hidup, kita pasti akan bertemu. Kelihatannya kalian
bahagia sekali.”
”Lo Ceng" Mendadak Tio
Hong Hoa bersujud di hadapannya. ”Hong Hoa memberi hormat....”
”omitobud” Tayli Lo Ceng
menatapnya lembut. semua Itu adalah takdir, juga merupakan nasibmu. Tabahkanlah
hatimu demi anak. jangan tercekam oleh rasa keputusasaan Lo Ceng....” Air mata
Tio Hong Hoa berderai-derai.
”omitohud” ucap Tayli Lo Ceng.
”Bangunlah”
Tio Hong Hoa bangkit berdiri,
dan di saat bersamaan mendadak Tio Bun Yang bersujud dihadapan Tayli Lo Ceng.
Bun Yang memberi hormat kepada Lo Ceng
”omitohud” Tayli Lo Ceng menatapnya,
kemudian tertawa gelak. ”Bagus, bagus Engkau pasti putra Tio Cie Hiong”
”Betul, Lo Ceng. Tio Bun Yang
mengangguk. lalu berkata kepada Lie Ai Ling. ”Adik Ai Ling, cepatlah bertutut
memberi hormat kepada Lo Ceng”
”Ya”. Lie Ai Ling segera
berlutut di hadapan Tayli Lo Ceng. ”Ai Ling memberi hormat kepada Lo Ceng”
”omitobud” Tayli Lo Ceng
menatapnya dalam-dalam. ”Engkau pasti putri Lie Man Chiu omitohud semua itu
memang takdir, siapa yang melawan takdir? Kecuali dengan perbuatan yang baik”
”Lo Ceng,” tanya Tio Bun Yang
mendadak "Paman Man Chiu meninggalkan Bibi dan Adik Ai Ling, apakah itu
merupakan suatu takdir?”
”omitohud Itu boleh dikatakan
karma,” sahut Tayli La Ceng ”Anak baik, kalian bangunlah”
”Terima kasih, Lo Ceng” ucap
Tio Bun Yang lalu bangkit berdiri Lie Ai Ling juga ikut berdiri dan duduk di
tempat masing-masing.
Lo Ceng Tio Tay seng
menatapnya Tentunya Lo Ceng sudah tahu akan kejadian di sini
”omitohud” sahut Tayli Lo Ceng
Tio Tocu, ”itu boleh d ikatkan suatu karma. Dalam hal tersebut, jangan
mempersalahkan siapa pun”
”Lo Ceng” sela sam Gan sin Kay
"Lie Man chiu meninggalkan anak isterinya hanya demi mengejar nama, itulah
kesalahannya Kenapa Lo Ceng malah bilang jangan mempersalahkan siapa pun?”
”Aku ke mari justru ingin menjelaskan
tentang itu,” ujar Tayli Lo Ceng ”Hidup tidak akan terlepas dari takdir, nasib,
peruntungan, jodoh, musibah dan karma Berhubung dulu Tio Po Thian pernah
meninggalkan isterinya, maka karma itu jatuh pada Tio Hong lion oleh karena
itu, harap Tio Tocu harus paham akan hal tersebut”
”Jadi.... ”Tio Tay seng mengernyitkan kening. ”Yang
bersalah dalam hal tersebut
adalah almarhum ayahku?”
”omitobud ”Tayli Lo Ceng
menghela nafas panjang. ”suatu karma yang diperbuat seseorang, ituakan jatuh
pada anak cucunya.”
”Yaah” Tio Tay seng
menggeleng-gelengkan kepala. ”Kalau kejadian itu merupakan suatu karma, akujuga
tidak bisa bilang apa-apa lagi.”
”Lo Ceng,” tanya sam Gan sin
Kay mendadak. ”selama ini Tio Cie Hiong tidak pernah membunuh dan melakukan suatu
kejahatan, maka tentu tiada karma buruk bagi dirinya.”
”omitohud” Tayli Lo Ceng
tersenyum. ”itu memang tidak salah.”
Lo Ceng Tio Cie Hiong
tersenyum. "Bagaimana perjalanan hidup anakku kelak? Tentunya tidak akan
terlepas dan suatu cobaan.”
Tayli Lo Ceng menatap Tio Bun
Yang. ”Hatinya bajik, imannya kuat dan tidak mudah tergoda maupun terpengaruh.
Mengenai penyakitnya itu, kelak akan sembuh dengan sendirinya.”
”Terima kasih, Lo ceng” ucap
Tio Cie Hiong.
Lo Ceng, tanya Tio Hong Hoa
mendadak. ”Apakah Man chiu akan pulang ke mari?”
”omitohud Kelak engkau akan
mengetahui,” sahut Tayli Lo Ceng. ”Yang pasti putrinya akan hidup bahagia
kelak."
”Lo Ceng....” Tio Hong Hoa
menghela nafas panjang.
”omitohud” Tayli Lo Ceng
tersenyum lembut dan menambahkan, ”suatu karma buruk harus dihabiskan dengan
perbuatan baik, agar tidak membuat sengsara turunan.”
"Lo Ceng,” tanya Lim Ceng
Im. ”Bolehkah putraku pergi berkelana kelak?"
”Boleh. Tayli Lo Ceng
mengangguk. ”sebab kelak rimba persilatan sangat membutuhkan kehadirannya."
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im
saling memandang, mereka tahu bahwa apa yang diucapkan Tayli Lo Ceng mengandung
arti yang dalam. ”Maksud Lo Ceng?” tanya Tio Cie Hiong.
”omitohud ”sahut Tayli Lo
Ceng. ”Itu merupakan suatu rahasia, yang jelas dia tidak akan terjadi apa
pun."
”Terima kasih, Lo Ceng” ucap
Tio Cie hong.
”omitohud” Tayli Lo Ceng
tersenyum sambil bangkit berdiri. ”Aku mau mohon pamit, karena harus berangkat
ke Tayli”
”Lo Ceng,” pesan Tio Cie
Hiong. ”Tolong sampaikan salamku pada Toa n wie Kie, La m Kiong Bie Liong dan
lainnya”
”omitohud Pasti kusampaikan,”
sahut Tayli Lo Ceng sekaligus melesat pergi. ”sampai jumpa”
”Karma Betulkah itu merupakan
suatu karma?” gumam Tio Tay seng sambil menghela nafas panjang. ”Yaah,
sudahlah”
”Ayah,” ujar Tio Hong Hoa
dengan wajah murung. ”Kini aku telah sadar, bahwa segala sesuatu itu memang
merupakan takdir atau karma.Jadi mulai sekarang aku tidak akan memikirkan Man
chiu lagi, dan akan baik-baik mendidik Ai Ling?"
”Benar, Hoa ji. ”Tio Tay seng
manggut-manggut. ”Memang harus begitu dan legalah hatiku kin”i
”Kakak ”Tio Cie hong
memandangnya sambil tersenyum. ”Aku gembira mendengar ucapanmu.”
”Adik Cie Hiong...” Tio Hong
Hoa juga tersenyum, namun senyumnya masih tampak getir. ”Mulai sekarang, aku
akan baik-baik mendidik Ai Ling."
---ooo0dw0ooo---
Di halaman istana Tayli,
tampak beberapa orang sedang duduk sambil bercakap-cakap. Di sana terlihat pula
dua orang anak sedang berlatih ilmu silat. Mereka adalah Toan wie Kie, Gouw
sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan pit Lian-sedangkan kedua anak itu adalah
Toan Beng Kiat, putra Toan wie Kie, dan yang satu lagi adalah putri Lam Kiong
Bie Liong, yang bernama Lam Kiong Soat Lan.
”Mereka berdua telah mengalami
banyak kemajuan,” ujar Toan wie Kie sambil menunjuk kedua anak itu. ”Hanya
saja....”
”Kenapa?” tanya Gouw sian Eng.
”Kepandaian kita terbatas
sekali, maka tidak bisa menurunkan kepandaian tinggi kepada mereka,” jawab Toan
wie Kie sambil menggeleng-gelengkan kepala.
”Ya.” Gouw sian Eng manggut-manggut.
”oh ya, sudah hampir sebelas tahun kita berpisah dengan Tio Cie Hiong, entah
bagaimana keadaan mereka di pulau Hong Hoang To?”
”Ha ha” Lam Kiong Bie Liong
tertawa. ”Mereka pasti hidup bahagia di sana.”
”Entah mereka sudah mempunyai
anak atau belum?" ujar Toan pit Lian mendadak.
”Aku yakin mereka pasti sudah
mempunyai anak.” sahut Lam Kiong Bie Liong dan menambah kan, ”Aku... aku rindu
sekali pada mereka.”
”sama,” ujar Toan wie Kie.
„Entah kapan kita akan berjumpa mereka lagi”
”Bagaimana kalau kita ke
sana?” tanya Lam Kiong Bie Liong mendadak.
„Tidak bisa. Toan wie Kie
menggelengkan kepala. sebab ayah pasti tidak memperbolehkan.
„Yaah Kalau begitu....“ Lam
Kiong Bie Liong menghelakan
nafas panjang.
„oh ya" Tiba-tiba Gouw
sian Eng tertawa geli. Tentunya kalian masih ingat kepada Kim siauw suseng dan
Kou HHun Bijin, bukan? Entah mereka sudah mempunyai anak atau belum?”
“Ha ha ha” Lam Kiong Bie Liong
tertawa gelak. “suami isteri yang awet muda itu, mungkin sudah mempunyai anak.”
“Usia Kou Hun Bijin seratus
lebih, dan usia Kim Siauw suseng hampir seratus. Apakah mereka masih bisa
mempunyai anak?" ujar Toan pit Lian.
”Aku yakin mereka masih bisa
mempunyai anak.” sahut Gouw sian Eng dan melanjutkan, ”Kalau anak mereka
perempuan pasti cantik sekali, dan kalau lelaki, pasti tampan luar biasa.”
”Benar.” Lam Kiong Bie Liong
manggut-manggut. ”sebab mereka awet muda, tentunya anak mereka pasti cantik
atau tampan.”
”setelah mereka mempunyai
anak, apakah mereka akan tetap awet muda?” tanya Toan pit Lian
”Entahlah.” Lam Kiong Bie
Liong menggelengkan kepala.
”Menurutku...” ujar Toan Wie
Kie setelah berpikir sejenak.
”Kemungkinan besar mereka
tidak akan tetap awet muda”.
”Kenapa?” tanya Gouw sian Eng
heran.
”Maaf, Adik sian Eng"
jawab Toan wie Kie sambil tersenyum. ”Aku tidak bisa menjelaskan, karena cuma
menduga saja.”
Ayah Toan Beng Kiat
menghampiri mereka. ”Bagaimana ilmu silat Beng Kiat? Apakah sudah ada
kemajuan?”
”sudah maju pesat, Nak”, sahut
Toan wie Kie sambil tersenyum.
Ayah Lam Kiong Soat Lan
menghampiri mereka dengan wajah berseri. ” ilmu silat Soat Lan? sudah ada
kemajuan seperti Kakak Beng Kiat?”
"Tentu”, sahut Lam Kiong
Bie Liong sambil tertawa. ”Ilmu silatmu telah maju pesat”.
”Ayah”, tanya Toan B eng Kiat
mendadak. ”Kalau kami sudah dewasa kelak. bolehkah kami berkelana ke
Tionggoan?”
"Itu urusan kelak jadi
harus dibicarakan kelak pula”, jawab Toan wie Kie.
”Ibu” Toan Beng Kiat menatap
Gouw sian Eng. ”Kata ibu kepandaian Paman Cie Hiong tinggi sekali, benarkah itu?”
”Benar, Nak”. Gouw sian Eng
mengangguk.
”Kalau begitu, Beng Kiat ingin
belajar kepada Paman Cie Hiong”, ujar Toan B eng Kiat sungguh-sungguh. ”Jadi
Beng Kiat bisa berkepandaian tinggi.”
”Paman Cie Hiong tinggal di
pulau Hong Hoang To, sangat jauh sekali.” Toan wie Kie memberitahukan
”Ayah, kapan kita pergi
menemui Paman Cie Hiong? setelah engkau dewasa kelak."
”Yaah” Toan Beng Kiat
menggeleng-gelengkan kemala. ”Itu masih lama sekali”.
”Nak” Gouw sian Eng menatapnya
dalam-dalam. ”Kenapa engkau ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi?”
”Ibu” Toan Beng Kiat
tersenyum. ”Beng Kiat ingin menjadi pendekar, yang selalu menolong orang, maka
harus memiliki kepandaian tinggi”.
”Ha ha ha” Tiba-tiba muncul
Tui Hun Lojin sambil tertawa gelak. ”Usiamu baru sepuluh tahun,kok sudah ingin
jadi pendekar?”
”Bukan sekarang, Kakek Tua”,
ujar Toan Beng Kiat. ”Melainkan kelak setelah Beng Kiat dewasa, Beng Kiat ingin
berkelana ke Tionggoan”
”oh?” Tui Hun Lojin tersenyum.
”Kalau begitu, engkau harus giat belajar”.
”Ya, Kakek Tua”. Toan Beng
Kiat mengangguk.
”Bagus, bagus” Tiba-tiba
muncul pula Lam Kiong hujin sambil tertawa-tawa. ”Mau menjadi pendekar harus
berhati bajik lho”
”Ya, Nek”. Toan Beng Kiat
mengangguk.
Nenek Lam Kiong Soat Lan
menghampirinya. ”Soat Lan juga ingin menjadi pendekar wanita, boleh kan?”
”Tentu boleh”. Lam Kiong hujin
membelainya. ”oh ya, engkau sudah berlatih ilmu tongkat yang nenek ajarkan
itu?”
”Nenek” Lam Kiong Soat Lan
memberitahukan. ”Setiap hari Soat Lan pasti berlatih ilmu tongkat dan ilmu
selendang.”
”Bagus, bagus” Lam Kiong hujin
tertawa gembira, kemudian memandang Lam Kiong Bie Liong seraya bertanya.
”Engkau sudah ajarkan dia Thay Yang Kiam Hoat (Ilmu Pedang surya)?"
”sudah Lam Kiong Bie Liong
mengangguk dengan wajah berseri, ”Soat Lan telah menguasai ilmu pedang itu.”
”Bagus” Lam Kiong hujin
manggutmanggut.
Di saat bersamaan, mendadak
melayang turun seorang padri tua, membuat mereka girang bukan main.
”omitohud?" Padri tua itu
ternyata Tayli Lo Ceng.
Toan wie Kie, Gouw sian Eng,
Lam Kiong Bie Liong dan Toan pit Lian segera bersujud dihadapan padri tua itu,
”Kami memberi hormat kepada Lo Ceng”
”Ha ha ”Tayli Lo Ceng tertawa.
”Kalian bangunlah”
Mereka bangkit berdiri,
kemudian menyuruh Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan memberi hormat kepada
padri tua itu.
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan langsung menjatuhkan diri di hadapan Tayli Lo Ceng.
”Beng Kiat memberi hormat
kepada Lo Ceng Soat Lan memberi hormat kepada Lo Ceng"
" omitohud" Tayli Lo Ceng tersenyum lembut, kemudian
menatap kedua anak itu dengan tajam dan manggut-manggut. "Kalian
bangunlah”
”Terima kasih”, Lo Ceng Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan bangkit berdiri
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin memberi hormat kepada Tayli Lo Ceng Padri tua itu memandang mereka sambil
tertawa. ”omitohud”
”selamat datang, Lo Ceng” ucap
Tui Hun Lojin- “Angin apa yang membawa Lo Ceng kemari?”
“Ha ha” Tayli Lo Ceng
tertawa.” Bukan angin yang membawaku ke mari, melainkan atas kemauanku
sendiri"
"Lo Ceng” Toan wie Kie memandangnya”
Apakah ada sesuatu penting?”
”Penting dan tidak”. sahutnya
sambil memandang Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan-”Terus terang, aku ingin
memanfaatkan sisa hidupku untuk kedua anak ini.”
”oh?” Toan wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong girang bukan main- "Maksud Lo Ceng ingin menerima mereka
sebagai murid?”
”omitohud Memang begitulah
maksudku”.
”Terima kasih”, Lo Ceng ucap
Toan wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong serentak dengan wajah berseri-seri.
”Tapi masih harus kubicarakan
dengan Toan Hong Ya, ayahmu?" Tayli Lo Ceng memberitahukan- ”sebab aku
akan membawa kedua anak itu ke gunung Thay san, dan akan menggembleng mereka
berdua di sana”
Toan wie Kie, Gouw sian Eng,
Lam Kiong Bie Liong, Toan pit Lian, Tui HHun Lojin dan Lam Kiong hujin saling
memandang, lama sekali barulah Toan wie Kie membuka mulut.
”Lo Ceng, bukankah lebih baik
Lo Ceng tinggal di sini?”
”Kalian berkeberatan?” tanya
Tayli Lo Ceng sambil tersenyum.
”Berkeberatan sih tidak, tapi....” Toan pit Lian
menundukkan kepala dan melanjutkan,
”Jelas kami akan berpisah dengan anak,"
”Tujuh atau delapan tahun
kemudian, mereka pasti kembali ke sini”, ujar Tayli Lo Ceng dan menambahkan,
”Apabila kalian merasa berat berpisah dengan anak, berarti kalian telah
menyia-nyiakan kesempatan."
”Itu...”, ujar Toan wie Kie,
”Bagaimana keputusan ayah kami saja”.
”Ngmm” Tayli Lo Ceng
manggut-manggUt, kemudian mengalihkan pembicaraan. ”oh ya, aku ke mari dari
pulau Hong Hoang To. Tio Cie Hiong mengirim salam untuk kalian,"
”oh, ya?” Toan Wie Kie gembira
sekali. ”Bagaimana keadaan Cie Hiong dan isterinya, apakah mereka sudah
mempunyai anak?”
”Ha ha” Tayli Lo Ceng tertawa.
”Mereka berdua akan hidup rukun dan bahagia hingga di akhir hayat nanti. Mereka
pun sudah mempunyai seorang putra bernama Tio Bun Yang”.
”syukurlah” ucap Toan wie Kie.
„Lo Ceng”, tanya Toan pit
Lian. ”Bagaimana anak itu, apakah seperti ayahnya?”
”Anak itu lebih tampan dan
cerdas dibandingkan dengan Cie hong”. Tayli Lo Ceng memberitahukan. ”Bahkan
berhati
bajik, mulia dan bijaksana.
Kelak dia pasti menjadi seorang pendekar yang luar biasa.”
”oh?” Lam Kiong Bie Liong
tersenyum. „Lo Ceng, bagaimana dengan putri kami ini?“
„omitohud“ Tayli Lo Ceng
tertawa. „Aku tahu maksudmu, tapi putrimu buka n jodoh anak itu."
”Lo Ceng....” Lam Kiong Bie
Liong menghela nafas panjang.
”Aku memang bermaksud
menjodohkan putriku kepada anak itu, namun....”
”Kelak putrimu akan ketemu
jodohnya sendiri” Tayli Lo Ceng tersenyum dan menambahkan, ”Begitu pula Toan
Beng Kiat”.
”Terima kasih”, Lo Ceng ucap
Toan wie Kie.
Mendadak muncul Toan Hong Ya
dan isterinya. Ternyata salah seorang dayang melihat Tayli Lo Ceng, lalu
cepat-cepat melapor.
”selamat datang”, Lo Ceng ucap
Toan Hong Ya, dan kemudian isterinya bersujud di hadapan padri tua itu.
”omitohud Kalian bangunlah”
Toan Hong Ya dan isterinya
bangkit berdiri, kemudian Toan Hong Ya mempersilakan Tayli Lo Ceng masuk ke
dalam.
”Tidak usah ke dalam” tolak
Tayli Lo Ceng. ”Kita bercakap-cakap di sini saja”
”Baiklah.” Toan Hong Ya
mengangguk.
”Ayah” Toan wie Kie
memberitahukan. ”Lo Ceng dari pulau Hong Hoang To”.
“oh? Bagaimana keadaan mereka
di sana, Lo Ceng?” tanya Toan Hong Ya.
“Mereka baik-baik saja”. Tayli
Lo Ceng memberitahukan. “Tio Cie Hiong pun sudah mempunyai seorang putra, bernama
Tio Bun Yang.”
”syukurlah” Toan Hong Ya
tampak girang sekali, kemudian bertanya, ”Murid Lo Ceng dan Tio Hong Hoa juga
sudah punya anak?”
”Mereka dikaruniai seorang
anak perempuan bernama Lie Ai Ling. Tapi....” Tayli Lo Ceng
menggeleng-gelengkan kepala.
”Kenapa?” tanya Toan Hong Ya
heran-
”Lie Man chiu telah
meninggalkan pulau Hong Hoang To”, jawab Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas.
”omitohud ”Itu memang sudah merupakan takdir, maka Tio Hong Hoa harus
menerimanya .”
”Lo Ceng,” tanya Gouw sian
Eng. ”Lie Man chiu pergi ke mana?”
”Dia pergi ke Tionggoan untuk
mencari nama. omitohud itu adalah takdirnya, maka aku pun tidak bisa
melarangnya. Karena aku tidak boleh melawan takdir itu, kalau aku melawan
takdir itu, kelak akan menimbulkan suatu karma lagi bagi mereka.”
”Ituu....” sebetulnya Lam Kiong Bie Liong ingin
menanyakan sesuatu, namun tadi
Tayli Lo Ceng telah mengatakan bahwa itu sudah merupakan takdir, maka Ia
tidakjadi bertanya.
”omitohud” Tayli Lo Ceng
menghela nafas. ”Kejadian itu pun boleh dikatakan merupakan suatu karma. oleh
karena itu, janganlah kalian melakukan sesuatu yang akan menimbulkan karma
buruk.”
”Ya.“ Toan wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong mengangguk.
Hong Ya Tayli Lo Ceng
menatapnya seraya berkata. ”Aku berniat menerima Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan sebagai murid“.
„oh?“ Wajah loan Hong Ya
berseri. ”Terima kasih, Lo Ceng"
„Tapi mereka berdua harus
kubawa ke Gunung Thay San, aku akan menggembleng mereka di sana. Hong Ya
berkeberatan mengenai itu?”
„Tentu tidak.“
„Bagus“ Tayli Lo Ceng
manggut-manggut, kemudian menatap Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan seraya
bertanya, „Kalian berdua mau menjadi muridku?“
„Mau”. sahut kedua anak itu
serentak. Namun mendadak Toan Beng Kiat bertanya, ”Apakah kepandaian Lo Ceng
tinggi sekali?“
Tayli Lo Ceng tersenyum. ”Di
atas gunung masih ada gunung, di atas langit masih ada langit. Artinya
kepandaian itu tiada batasnya, engkau harus tahu itu”. katanya.
„Ya”, Lo Ceng. Toan Beng Kiat
mengangguk. kemudian menarik Lam Kiong Soat Lan diajak berlutut di hadapan
Tayli Lo Ceng. ”Guru, terimalah hormat kami berdua"
„omitohud” Tayli Lo Ceng
tersenyum lembut.“ Kalian berdua bersedia ikut aku ke Gunung Thay san?”
“Bersedia”, sahut Toan Beng
Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak,
”Kalian harus tahu”. Tayli Lo
Ceng memandang mereka. ”Tentunya kalian harus berpisah dengan orang tua, apakah
kalian merasa berkeberatan”
”sebetulnya Beng Kiat merasa
berkeberatan sekali, tapi demi menuntut ilmu, berpisah sementara dengan orang
tua tidak jadi masalah.”
" omitohud” Tayli Lo Ceng manggut-manggut. ”Soat Lan,
bagaimana engkau?”
"seperti Kakak Beng
Kiat”, jawab Lam Kiong Soat Lan-
”Kalian berdua pun harus tahu,
bahwa tujuh atau delapan tahun kemudian, barulah kalian akan berjumpa orang
tua."
”Tidak apa-apa”, ujar Toan
Beng Kiat seakan telah mengambil keputusan- ”Kami berdua pergi menuntut ilmu,
jadi orang tua kami pun pasti merasa girang."
”omitohud” Tayli Lo ceng
tersenyum lembut. ”Bagus, mulai sekarang kalian berdua resmi jadi muridku.”
"Terima kasih, Lo Ceng”
ucap Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak dengan wajah berseri.
”sekarang kalian boleh
bangun-"
”Ya, Guru”. Toan Beng Kiat
menarik Lam Kiong Soat Lan untuk diajak bangun.
"Lo Ceng”, tanya Toan wie
Kie. “Kapan Lo Ceng akan membawa mereka ke Gunung Thay san?”
“Besok pagi”, sahut Tayli Lo
Ceng memberitahukan-
“Beng Kiat”, pesan Toan wie
Kie. “Ayah harap engkau belajar dengan sungguh-sungguh, Jangan mengecewakan Lo
ceng”
“Ya, Ayah”. Toan Beng Kiat
mengangguk.
”Soat Lan”, pesan Lam Kiong
Bie Liong. "Engkau pun harus belajar dengap giat, jangan mengecewakan
kedua orang tuamu”
”Ya, Ayah”. Lam Kiong Soat Lan
tersenyum.
Tujuh atau delapan tahun
kemudian, Soat Lan akan menjadi seorang pendekar wanita.
---ooo0dw0ooo---
Bagian Keempat
Suara suling mengalun di
lembah
Di Kwan Gwa (Luar Perbatasan)
terdapat sebuah lembah, yang sangat indah menakjubkan. Bunga-bunga liar
bermekaran segar dan sayup,sayup terdengar pula suara air terjun yang diiringi
oleh kicauan burung.
Mendadak terdengarlah suara
suling, yang sangat merdu, dan siapa yang mendengar suara suling itu, pasti
akan terbuai.
siapa yang meniup suling di
lembah yang sepi itu? Ternyata seorang anak gadis berusia sembilan tahun duduk
di atas sebuab batu sambil meniup suling.
Bukan main cantiknya gadis itu
Wajahnya mulus kemerah-merahan, hidung mancung dan mulut kecil mungil, sepasang
matanya bersinar terang, lembut dan sejuk.
sebetulnya siapa anak gadis
yang begitu cantik? Tidak lain putri kesayangan Kim siauw suseng dan Kou Hun
Bijin, yang bernama siang Koan Goat Nio.
Pagi ini setelah berlatih Giok
Li Kiam (Ilmu Pedang Gadis Murni) dengan mempergunakan suling emas pemberian
ayahnya, siang Koan Goat Nio lalu duduk di atas batu sambil meniup suling.
Di saat sedang asyik meniup
suling, mendadak gadis itu melihat sesuatu terjatuh dan atas pohon.
segeralah ia melesat ke sana,
sekaligus menyambut benda yang jatuh itu, yang ternyata seekor anak burung.
"ciit ciiiit Anak burung
itu mencicit.
"Ciauji (Anak Burung)”
siang Koan Goat Nio membelainya seraya berkata, ”Kenapa engkau tidak
berhati-hati Kalau tubuhmu membentur tanah, bukankah engkau akan terluka? Lain
kali engkau harus hati-hati. sekarang aku akan menaruhmu kembali ke sarang.”
siang Koan Goat Nio melesat ke
atas pohon, lalu menaruh anak burung itu ke dalam sarangnya.
setelah itu, barulah ia
meloncat turun dan kembali duduk di atas batu, dan mulai meniup suling lagi.
Di saat Ia berhenti meniup
sulingnya, Kim siauw suseng dan Kou Hun Bijin muncul sambil tertawa-tawa.
"Bagus, Nak ujar Kim
siauw suseng. Engkau telah menguasai Toh Hun Mi Im (Suara Pembetot sukma)
"
”Ayah, ibu” siang Koan Goat
Nio tersenyum. Bukan main lembutnYa senyuman anak gadis
”Nak” Kou Hun Bijin
membelainya dengan penuh kasih sayang. ”Engkau tidak melatih Giok Li Ciang Hoat
(Ilmu Pukulan Gadis Murni) dan Giok Li Kiam Hoat (Ilmu Pedang Gadis Murni)?”
”ibu, Goat Nio sudah berlatih
tadi”. siang Koan Goat Nio memberitahukan- ”setelah itu, barulah Goat Nio
meniup suling”.
”oooh” Kou Hun Bijin manggut-nanggut.
”Nak” Kim siauw suseng
menatapnya lembut. ”Engkau tidak berlatih Cap Pwee Kim siauw Ciat bat (Delapan
BelasJurus Maut suling emas)?"
”sudah, Ayah”. siang Koan Goat
Nio mengangguk. ”Goat Nio telah menguasai ilmu itu”.
”Bagus” Kim siauw suseng
tertawa gembira. ”Engkau harus terus berlatih agar berkepandaian tinggi, jadi
kami tidak akan khawatir kalau kelak engkau pergi berkelana”.
”Ayah” siang Koan Goat Nio
tersenyum. ”Kalau tidak salah, Ayah dan ibu pernah memberitahukan pada Goat Nio,
bahwa kepandaian Paman Cie Hiong sangat tinggi sekali. Apakah Paman Cie Hiong
sudah tiada tanding di kolong langit?”
”Kira-kira begitulah” Kim
siauw suseng mengangguk. Tapi... dia sering mengalami cobaan-"
”Ayah pernah menceritakan itu.
Goat Nio sangat kagum dan salut kepada Paman Cie hong, sebab dia begitu setia
kepada Bibi Lim Ceng im."
"Dia pun berhati bajik,
luhur dan mulia”, tambah Kou Hun Bijin "lbu sayang sekali kepadanya.”
”Ayah, ibu," tanya siang
Koan Goat Nio. ”sudah berapa lama tidak bertemu mereka?"
”Hampir sebelas tahun”, jawab
Kou Hun Bijin- ”Entah mereka sudah mempunyai anak atau belum?”
Kim siauw suseng tersenyum.
”Aku yakin mereka sudah mempunyai anak. mungkin sebesar Goat Nio."
suseng Kou Hun Bijin
menatapnya. ”Terus terang, aku berharap dia mempunyai anak laki-laki”
”Kenapa engkau berharap
begitu?” tanya Kim siauw suseng.
”Kalau mereka mempunyai anak
laki-laki, aku percaya merupakan anak yang baik seperti ayahnya,” ujar Kou Hun
Bijin sambil tertawa cekikikan. ”Maksudku ingin menjodohkan Goat Nio pada anak
mereka itu”
”Eh? Bijin Kim siauw suseng
tertawa geli. ”Putri kita baru berusia sembilan tahun, kenapa engkau sudah
kalut tentang jodohnya?”
”Bukan kalut, melainkan
memikirkannya”, sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. Itu sudah merupakan
kebiasaannya, namun siang Koan
Goat Nio justru tidak ketularan kebiasaan ibunya itu.
”Aku sih setuju saja,” ujar
Kim siauw suseng sambil melirik putrinya. ”Tapi itu juga harus tergantung pada
mereka. Apabila mereka saling mencinta, memang tidak ada salahnya kita
menjodohkan mereka.”
”Ayah, ibu” siang Koan Goat
Nio menggeleng-gelengkan kepala. ”Usia Goat Nio baru sembilan tahun, kenapa
sudah membicarakan perjodohan Goat Nio?”
”Kami adalah orang tuamu,
sudah barang tentu harus memikirkan dan membicarakan mengenai perjodohanmu. Ya,
kan?" sahut Kou Hun Bijin-
”Terima kasih, ibu” ucap siang
Koan Goat Nio sambil tertawa kecil. ”Namun terlampau dini membicarakannya”.
”Nak” Kou Hun Bijin menatapnya
dalam-dalam. ”Engkau menyukai anak laki-laki yang bagaimana?”
”ibu....” Wajah siang Koan
Goat Nio kemerah-merahan-
”Tidak apa-apa”, desak Kou Hun
Bijin ”jawab sajaGoat Nio....”
Gadis itu menundukkan kepala
sambil melanjutkan, ”Menyukai anak laki-laki yang lemah lembut, berhati bajik
dan luhur, alim, kalem dan tidak ceriwis. Harus setia dan mencintaiku
selama-lamanya.”
”Nah, itu” Kou Hun Bijin
tertawa gembira.
”ibu....” siang Koan Goat Nio
tercengang. ”Apa itu?”
”Tio Cie hong berhati bajik,
luhur, dan... pokoknya dia serba baik. Begitu pula Lim Ceng Im isterinya,
begitu setia dan sangat mencintai suaminya. Kalau mereka mempunyai anak
laki-laki, tentunya akan seperti Tio Cie Hiong,” sahut Kou Hun Bijin dan
menambahkan, ”Maka....”
Bijin Kim siauw suseng tertawa
gelak. ”Kenapa engkau begitu kalut?”
”Aku tidak kalut, tapi
menghendaki mantu yang baik. Ingat, Goat Nio adalah anak kita satu-satunya,
maka kita harus menaruh perhatian pada perjodohannya.”
”Benar. Kim siauw suseng
manggut-manggut. ”Namun itu juga tergantung dan pilihannya kelak.”
”Nak” Kou Hun Bijin memandang
putrinya sambil tersenyum. ”Tentunya kami tidak akan memaksa, bagaimana engkau
saja kelak.”
”ibu” siang Koan Goat Nio
tersenyum. ”Goat Nio tidak pernah berjumpa dengan mereka, lagi pula belum tentu
Paman Cie Hiong mempunyai anak laki-laki. seandainya Paman Cie Hiong mempunyai
anak perempuan? itu bagaimana?”
”Tidak apa-apa”. Kou Hun Bijin
tertawa. ”Namun ibu yakin mereka mempunyai anak laki-laki, yang sangat tampan”
---ooo0dw0ooo---
“Ibu...." Siang Koan Goat
Nio tertawa geli. “Ayah tidak
salah, ibu meniang kalut
sekali."
“Ibu memang harus kalut.” Kou
Hun Bijin tertawa geli. “Oh ya, masih ada Paman Toan dan Paman Lam Kiong.
Mereka semua tinggal di Tayli, mungkin mereka juga sudah mempunyai anak.”
“Ibu, kalau berjumpa semua,
kita pasti ramai dan gembira sekali,” ujar Siang Koan Goat Nio.
“Benar. Entah kapan kita akan
berjumpa mereka!” ujar Kim Siauw Suseng dan menambahkan,
“Sam Gan Sin Kay tinggal di
pulau Hong Hoang To, Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin tinggal di Tayli,
sedangkan Gouw Han Tiong telah bergabung dengan Kay Pang. Kita sudah sepuluh
tahun lebih tidak menginjak daerah Tionggoan, entah bagaimana keadaan rimba
persilatan disana?”
“Ayah, bukankah di Tionggoan
terdapat tujuh partai besar?" tanya Siang Koan Goat Nio mendadak.
"Partai mana yang paling terkenal?”
“Siauw Lim Pay,” sahut Kim
Siauw Suseng.
“Selain Paman Cie Hiong,
apakah masih ada orang lain berkepandaian tinggi sekali?”
“Ada.” Kou Hun Bijin
memberitahukan. “Tayli Lo Ceng dan It Sim Sin Ni, nenek Paman Cie Hiong!”
“Kepandaian siapa yang paling
tinggi?" “Tio Cie Hiong,” sahut Kim Siauw Suseng.
“Dia memang luar biasa, ilmu
silat aliran manapun dapat dipahaminya hanya sekali pandang!”
“Oh?” Siang Koan Goat Nio
semakin kagum. “Ayah, ingin sekali rasanya Goat Nio bertemu Paman Cie Hiong.”
“Ha ha!” Kim Siauw Suseng
tertawa. “Kalau dia mempunyai anak laki-laki, bukankah lebih baik engkau
menemui anaknya?”
“Ayah..." Wajah Siang
Koan Goat Nio kemerah-merahan. “Heran! Kelihatannya Ayah dan Ibu yakin sekali,
bahwa Goat Nio akan berjodoh dengan anak mereka!”
“Kami memang berharap
begitu?"
“Bagaimana seandainya anak itu
buruk rupa? Apakah Goat Nio juga harus berjodoh dengan dia?”
“Anak mereka tidak mungkin
buruk rupa,” ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa. “Sebab Tio Cie Hiong sangat
tampan, dan
isterinya cantik jelita. Tidak
mungkin akan menghasilkan anak yang buruk rupa.”
“Seandainya buruk rupa?”
“Itu....” Kou Hun Bijin dan Kim Siauw Suseng saling
memandang. “Itu terserah
padamu.”
“Ayah dan Ibu setuju kalau
Goat Nio menikah dengan orang yang buruk rupa?" tanya anak gadis itu
mendadak.
“Tentunya tidak setuju;” sahut
Kou Hun Bijin.
“Namun kalau dia itu adalah
anak Tio Cie Hiong, ibu masih menerimanya.”
“Kalau Goat Nio tidak mau,’
sambung Siang Koan Goat Nio dengan tersenyum.
“Itu terserah engkau saja.”
Kou Hun Bijin tertawa dan melanjutkan. “Seandainya anak mereka itu tampan,
berhati bajik, luhur dan mulia, itu pun terserah engkau, sebab kami sebagai
orang tua hanya merestui, tidak bisa memaksa.”
“Terima kasih atas pengertian
Ibu dan Ayah!” ucap Siang Koan Goat Nio. “Oh ya, Ayah! Kapan kita akan ke pulau
Hong Hoang To?”
“Setelah engkau dewasa nanti,”
jawab Kim Siauw Suseng.
“Ayah....” Siang Koan Goat Nio
tercengang. “Kenapa harus
menunggu Goat Nio dewasa?”
“Karena sekarang engkau harus
giat belajar, untuk bekalmu berkelana kelak.” Kim Siauw Suseng memberitahukan.
“Dulu ayah dan Sam Gan Sin Kay dikenal sebagai Bu Lim Ji Khie, ayah awet muda,
begitu pula ibumu.”
“Tapi....” Siang Koan Goat Nio
menatap mereka. “Kenapa
kini Ayah dan Ibu tampak agak
tua?”
“Karena kami telah menikah,
lagi pula sudah mempunyai anak.” Kim Siauw Suseng menjelaskan. “Setelah
menikah, kami tidak akan awet muda lagi.”
“Oooh!” Siang Koan Goat Nio
manggut-manggut.
“Nak!” Kou Hun Bijin
memandangnya seraya berkata, “Kelak engkau pasti berkecimpung didalam rimba
persilatan. Perlu engkau ketabui, bahwa banyak kelicikan, kebusukan dan
berbagai kejahatan dalam rimba persilatan. Maka, engkau harus berhati-hati, jangan
gampang tergoda dan terpengaruh oleh rayuan manis. Sifat lelaki berbeda-beda,
ada yang pandai bermuka-muka dan merayu, bahkan pandai berdusta dan lain
sebagainya. Engkau harus menjauhi leiaki yang begitu macam."
“Ya, Ibu.” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
“Oh ya!” Kim Siauw Suseng
teringat sesuatu. “Bijin, aku mempunyai suatu ide, entah engkau setuju atau
tidak?”
“Apa idemu?” tanya Kou Hun
Bijin heran.
“Putri kita memang cantik
sekali, tentu banyak pemuda yang berusaha mendekatinya,” jawab Kim Siauw Suseng
sambil tersenyum. “Bagaimana kalau kelak Goat Nio berdandan sebagal anak
laki-laki?"
"Itu....” Kou Hun Bijin
memandang putrinya.
“ide yang bagus, Ayah.” ujar
Siang Koan Goat Nio sambil tertawa kecil. “Goat Nio akan berdandan sebagai anak
lelaki, bahkan berpakaian kumal dan wajahnya pun dibikin kotor. Setelah bertemu
pemuda idaman hati, barulah Goat Nio berdandan biasa."
“Ngmm!” Kim Siauw Suseng
manggut-manggut. “Bagus, bagus! Jadi engkau pun bisa menyelami hati anak
laki-laki.”
“Benar.” Kou Hun Bijin tertawa
gembira. “Ibu akan mengajarmu cara merias wajah, sehingga wajahmu tampak tidak
karuan.”
“Terima kasih, Ibu!” ucap
Siang Koan Goat Nio.
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan.
Kim Siauw Suseng menatapnya
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Untung sifat burukmu ini
tidak menurun kepada Goat Nio!” ujarnya.
“Maklum,” sahut Kou Hun Bijin
dan tertawa lagi. “Itulah ciri khasku, maka aku dijuluki Kou Hun Bijin. Hi hi
hi...!”
-oo0dw0oo-
Kini Siang Koan Goat Nio
bertambah giat berlatih. Hari ini Ia berlatih Giok Li Ciang Hoat, Kiam Hoat,
Cap Pwee Kim Siauw Ciat bat dan ilmu pukulan lain, ajaran Kwan Gwa Siang Koay
dan Lak Kui.
Di saat anak gadis itu sedang
berlatih, muncullah Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui, dan mereka menyaksikannya
dengan penub perhatian, kemudian manggut-manggut.
“Paman, Paman!” seru Siang
Koan Goat Nio ketika berhenti berlatih.
“Nona Goat Nio,” sahut mereka
sambil tertawa gembira. “Kepandaianmu sudah maju pesat.”
“Oh?” Siang Koan Goat Nio
tersenyum lalu duduk di bawah sebuah pohon. “Paman semua sudah tiada kepandaian
lain untuk diajarkan pada Goat Nio?”
“Sebetulnya masih ada, tapi....” Siluman Kurus
menggelengkan kepala. “Tidak
sesuai untuk diajarkan kepadamu.”
“Kenapa?” Siang Koan Goat Nio
tercengang.
“Ilmu andalan kami berdua
adalah Tok Im Ciang (Ilmu Pukulan Dingin Beracun), yang akan merusak sepasang
tanganmu yang putih halus, jadi tidak boleh diajarkan kepadamu,” Siluman Kurus
memberitahukan.
“Apa lagi ilmu andalan kami
berenam,” sambung Kwan Gwa Lak Kui. “Itu adalah Ku Lu Ciang-hoat (Ilmu Pukulan
Tengkorak), juga tidak boleh diajarkan kepadamu.”
“Oooh!” Siang Koan Goat Nio
manggut-manggut. “Paman semua, Goat Nio ingin menanyakan sesuatu, boleh kan?”
“Tentu boleh,” sahut Siluman
Gemuk. “Tanyalah!”
“Betulkah Paman Cie Hiong
berkepandaian tinggi sekali?” Ternyata ini yang ditanyakan Siang Koan Goat Nio
"Betul." Kwan Gwa
Siang Koay mengangguk. "Walau kami semua mengeroyoknya, mungkin kami hanya
bisa bertahan sampai lima puluh jurus.
"Haaah...?" Siang Koan
Goat Nio terbelalak.
“Paman Cie Hiong begitu hebat
sekali?”
“Tidak salah.” Siluman Gemuk
manggut-manggut dan memberitahukan “Bu Lim Sam Mo, yang sangat terkenal itu,
malah mati karena menyerangnya.
“Apa?!” Siang Koan Goat Nio
tertegun. “Kenapa bisa begitu?”
“Karena Cie Hiong memiliki Kan
Kun Taylo Sin Kang.” Siluman Gemuk menjelaskan. “Kan Kun Taylo Sin Kang dapat
membalikkan lweekang orang yang menyerangnya. Sebetulnya pada waktu itu Cie
Hiong tidak berniat membunuh Bu Lim Sam Mo, namun Bu Lim Sam Mo yang cari mati
karena menyerangnya dengan Iweekang sepenuhnya. Maka lweekang itu balik
menyerang diri mereka sendiri, sehingga membuat mereka bertiga luka parah, dan
akhirnya mati.”
“Kalau begitu, Paman Cie Hiong
boleh dikatakan tiada tanding di kolong lagit, bukan?”
“Benar.” Siluman Gemuk
mengangguk. “Namun Tio Cie Hiong tidak pernah memamerkan kepandaiannya bahkan
tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan mereka tinggal di pulau Hong Hoang
To.”
“Goat Nio sudah tahu itu,”
ujar anak gadis itu. “Ayah dan ibu yang memberitahukan.”
“Nona Goat Nio,” ujar Kwan Gwa
Siang Koay sungguh-sungguh. “Tio Cie Hiong memang berhati bajik, luhur dan
mulia. Kami sangat kagum, salut dan menghormatinya. Lagi pula dia sangat setia
terhadap cinta, tidak pernah tergoda oleh gadis lain. Padahal banyak sekali
anak gadis jatuh cinta kepadanya, namun dia hanya mencintai Lim Ceng Im.”
“Paman tahu mereka sudah
mempunyai anak belum?” tanya Siang Koan Goat Nio mendadak.
“Ha ha!” Kwan Gwa Siang Koay
tertawa. “Selama ini kami semua tidak pernah meninggalkan lembah ini, bagaimana
mungkin kami mengetahuinya?”
"Aku yakin mereka sudah
mempunyai anak,” ujar Tiau Am Kui. “Hanya saja tidak tahu anak laki-laki atau
perémpuan.”
“Kalau anak laki-laki, pasti
seperti Tio Cie Hiong,” sambung Siluman Gemuk dengan tertawa. “Apabila anak
perempuan, pasti cantik jelita.”
“Oh ya?” Siang Koan Goat Nio
tersenyum.
“Kalau anak mereka laki-laki,
mungkin berusia sekitar sepuluh tahun, seusia denganmu,” ujar
Siluman Kurus dan menambahkan,
“Nona Goat Nio, mudah-mudahan engkau berjodoh dengan dia!”
"Heran!" Wajah Siang
Koan Goat Nio kemerah-merahan. “Ayah dan Ibu berharap begitu, kalian pun sama!
Kenapa sih begitu?"
"Nona Goat Nio,” ujar
Siluman Gemuk sungguh-sungguh. “Engkau harus tahu, Tio Cie Hiong berhati bajik,
luhur dan mulia, maka anaknya pasti juga begitu. Tio Cie Hiong tampan dan
isterinya cantik jelita, tentunya anaknya pasti ganteng, bahkan... mungkin juga
dia menggunakan suling pualam. Sedangkan engkau menggunakan suling emas. Bukankah
cocok sekali?"
“Paman semua juga harus tahu,
bahwa belum tentu mereka mempunyai anak laki-laki. Seandainya mereka mempunyai
anak perempuan, sudah barang tentU Goat Nio akan jadi kecewa.”
“Benar.” Siluman Gemuk
manggut-manggut. “Mudah2an mereka mempunyai anak laki-laki yang ganteng,
berhati bajik, luhur dan mulia!"
“Oh ya,” ujar Siluman Kurus
sungguh-sungguh. “Kelak engkau berkecimpung dalam rimba persilatan harus
berhati-hati, jauhilah pemuda yang pandai bermuka-mUka dan pandai merayu!
Pemudä yang bertipe semacam itu, kebanyakan suka mempermainkan kaum gadis. Nah,
engkau harus hati-hati.”
“Terima kaSih atas nasihat
Paman!” ucap Siang Koan Goat Nio dan memberitahukan. “Ayah Goat Nio mempunyai
suatu ide....”
“Ide apa?"
“Kelak di saat Goat Nio
berkelana, Goat Nio akan berdandan sebagai anak laki-laki...."
“Menurut aku, itu tidak
perlu,” potong Siluman Kurus.
“Kenapa?" tanya Siang
Koan Goat Nio.
“Kalau engkau berdandan
seperti itu, otomatis engkau tidak bisa menyelami hati kaum pemuda,” jawab
Siluman Kurus. “Namun apabila engkau berdandan seperti kaum gadis umumnya,
tentu banyak pemuda akan mendekatimu. Nah, engkau dapat menyelami hati mereka,
sekaligus tahu pula sifat, watak dan gerak-gerik mereka, bukan?”
“Benar juga.” Siang Koan Goat
Nio manggut-manggut. “Tentang ini akan dirundingkan kelak?"
“Ha ha ha!” Mendadak terdengar
suara tawa, kemudian muncullah Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
Kwan Gwa Siang Koay dan Lak
Kui segera memberi hormat, lalu melangkah ke belakang.
“Kami telah mendengar pembicaraan
kalian,” ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. “Tidak disangka, kalian
bisa memberi nasihat kepada Goat Nio!”
“Bijin,” sahut Kwan Gwa Siang
Koay. “Terus terang, kami sangat menyayangi Goat Nio. Karena itu, kami harus
memberi nasibat kepadanya.”
“Bagus, bagus!” Kou Hun Bijin
tertawa gembira. “Terima kasih atas kasih sayang kalian terhadap Goat Nio!”
“Sama-Sama,” ucap Kwan Gwa
Siang Koay.
“Ilmu andalan kalian adalah
Tok Im Ciang dan Ku Lu Ciang Hoat, itu memang tidak bisa diturunkan kepada Goat
Nio,” ujar Kou Hun Bijin sungguh.sungguh. “Namun setahuku, kalian memiliki
ginkang yang cukup tinggi. Nah, ajarkan ginkang kalian kepada Goat Nio!”
“Benar.’ kwan Gwa Siang Koay
tertawa gembira. “kenapa kami tidak memikirkan itu?”
“Terima kaSih, Paman!” ucap
Siang Koan Goat Nio.
“Ha ha ha!” Kwan Gwa Siang
Koay dan Lak Kui tertawa gelak, “Kalau begitu, mulai besok kami akan mengajarmu
ginkang tingkat tinggi.”
“Terima kasih!” ucap Siang
Koan Goat Nio lagi.
“Goat Nio!” Kou Hun Bijin
menatapnYa sambil tersenyum. “Mereka juga setuju jodohmu adalah anak Tio Cie
Hiong.”
“Ibu....” Siang Koan Goat Nio
cemberut. “Kenapa Ibu terus
kalut karena urusan itu?”
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa nyaring. “Orang tua mana yang tidak kalut akan perjodohan anaknya?”
“Ibu,” ujar Siang Koan Goat
Nio sungguh-sungguh. “Kalau berjodoh, pasti ketemu. Tidak berjodoh, di depan
mata pun tidak akan ketemu.”
”Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng
tertawa gelak. “Kami akan mempertemukan kalian.”
“Maksud Ayah?"
“Setelab engkau dewasa kelak,
akan kami ajak ke pulau Hong Hoang To. Nah, bukankah engkau akan bertemu dia?”
“Ayah!" Siang Koan Goat
Nio tertawa geli. “Siapa tahu anak mereka perempuan, Ayah dan Ibu pasti jatuh
terduduk di pulàu Hong Hoang To!”
“Kami yakin...,” ujar Kwan Gwa
Siang Koay mendadak. “Mereka pasti mempunyai anak laki-laki. Sebab suling
pualam akan berjodoh dengan suling emas, dan itu tidak akan salah.”
“Betu!.” Kou Hun Bijin
tertawa. “Hi hi hi! Tio Cie Hiong memiliki sebatang suling pualam, pasti
diberikan kepada anaknya.”
“Heran?” Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa Ayah, Ibu dan Paman semua terus mendesak
Goat Nio?”
“Kami senang apabila jodohmu
adalah anak Tio Cie Hiong,” sahut Kwan Gwa Siang Koay sambil tertawa. “Ha ha
ha....”
-oo0dw0oo-
Siang Koan Goat Nio terus
ber1atih ginkang, yang diajarkan Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui. Tampak
bayangannya berkelebat kesana-kemari laksana kilat. Itu sangat mengejutkan
burung-burung, yang bertengger di dahan, dan seketika juga burung-burUng itu
berterbangan ke udara. Gadis itu berhenti berlatih, lalu memandang
burung-burung itu sambil berseru.
"Jangan takut, aku cuma
berlatih ginkang! Tidak mengganggU kalian sama sekali! Kalian tidak usah
takut!"
Setelah berseru begitu, ia
lalu duduk di bawah pohon. Mendadak ia teringat akan apa yang dikatakan kedua
orang tuanya, dan seketika wajahnya tampak agak kemerah-merahan.
“Aku masih kecil, namun Ayah
dan Ibu malah terus membicarakan perjodohanku serta agak mendesak pula,” gumam
Siang Koan Goat Nio. “Mungkinkah Paman Cie Hiong mempunyai anak
laki-laki?"
Siang Koan Goat Nio kelihatan
sedang berpikir, lama sekali baru mulai bergumam lagi. "Kalau anak
laki-laki, benarkah tampan dan berhati bajik, luhur serta mulia? Apakah jodohku
benar dia?"
Siang Koan Goat Nio
mengge1eng~gelengkan kepala, kemudian tersenyum sambil menepuk keningnya.
“Usiaku baru sembilan tahun,
kenapa harus memikirkan anak laki-laki? Sungguh menggelikan!”
Siang Koan Goat Nio
mengeluarkan suling emasnya, lalu ditiupnya. Begitu lembut dan menggetarkan
kalbu alunan suara suling itu, sehingga burung-burung yang berterbangan
tadi mulai bertengger lagi di
dahan, lalu berkicau-kicau mengiringi alunan suara suling itu.
Berselang beberapa saat,
barulah ia berhenti meniup suling itu, lalu memandang burung-burung yang
bertengger di dahan.
“Bagaimana? Sedap didengarkan
suara sulingku?”
“Memang sedap didengar.”
Terdengar suara sahutan, yang disusul oleh suara tawa yang cekikikan. Kemudian
muncullah Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
“Ayah, Ibu!” panggil Siang
Koan Goat Nio.
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa nyaring. “Nak, engkau memikirkan apa tadi?”
Wajah gadis itu
kemerah-merahan. “Goat Nio tidak memikirkan apa-apa,” katanya.
“Jangan bohong!” Kou Hun Bijin
menatapnya sambil tersenyum lembut. “Kami telah mendengar apa yang engkau
gumamkan.”
"Itu..." Wajah Siang
Koan Goat Nio bertambah merah.
“Ha ha ha! Hi hi hi!” Kim
Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin tertawa. “Mulai berpikir, kan?”
“Gara-gara Ayah dan Ibu sih!”
Siang Koan Goat Nio cemberut. “Pikiran Goat Nio menjadi terganggu!”
"Tidak apa-apa, tidak
apa-apa." sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa, "Wajar bagi seorang
anak gadis memikirkan anak laki-laki."
”Bijin!" Kim Siauw Suseng
meng-geleng2kan kepala, "Usianya baru sembilan tahun, belum waktunya dia
memikirkan anak laki-laki."
"Sekarang ayah bisa omong
begitu, tapi kenapa tempo hari terus membicarakan jodoh Goat Nio?" tegur
gadis itu.
"Eh? Itu. . . itu. . .
." Kim Siauw Suseng tergagap sambil melirik Kou Hun Bijin.
"Hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa, "Nak, kami hanya membicarakan, namun tidak menyuruhmu
berpikir lho!"
"Ayah dan Ibu terus
membicarakan itu, sudah barang tentu membuat Goat Nio memikirkannya."
"Benar, benar," Kou
Hun Bijin manggut-manggut. "Memang ada baiknya engkau memikirkannya, jadi
ibu dan ayahmu pun punya harapan."
"Harapan apa?" Siang
Koan Goat Nio cemberut.
“Itu tuh!” Kou Hun Bijin
tertawa nyaring. “Hi hi hi. . . ." -oo0dw0oo-
Bagian Kelima
Partai Keadilan
Bagaimana Yo Suan Hiang yang
telah meninggalkan pulau Hong Hoang To menuju ke Tionggoan? Ternyata setibanya
di Tionggoan, ía langsung ke markas pusat Kay Pang menemui Lim Peng Hang, ketua
partai Pengemis.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong menyambut kedatangannya dengan penuh kegembiraan dan kehangatan.
“Silakan duduk, Suan Hiang!”
ucap Lim Peng Hang ramah.
“Terima kasih, Lim Pangcu!” Yo
Suan Hiang duduk.
"Bagaimana kabar mereka,
yang berada dipulau Hong Hoang To?” tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum.
“Semua baik-baik saja.
“Suan Hiang!” Lim Peng Hang
memandangnya. “Bagaimana keadaan ayahku, apakah baik-baik saja?”
“Beliau baik-baik saja.” Yo
Suan Hiang tersenyum. “Setiap hari pasti bermain catur dengan guruku.
“Oooh?” Lim Peng Hang
manggut-manggut gembira.
“Suan Hiang,” tanya Gouw Han
Tiong. “Bagaimana Tio Bun Yang? Apakah kepandaiannya telah maju pesat?”
“Anak itu memang cerdas
sekali” Yo Suan Hiang memberitahukan “Dia telah menguasai Semua kepandaian
ayahnya.”
“Oh?” GouW Han Tiong tertawa.
“Ayahnya begitu cerdas, tentunYa dia pasti cerdas pula.”
“Kakak Cie Hiong mernang luar
biasa,” ujar Yo Suan Hiang. “Sebelum aku berangkat ke mari, dia telah
menciptakan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hiat, yang sangat lihay sekali.
"Oh?” Lim Peng Hang
tertegUn. “Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling?”
“Ya.” Yo Suan Hiang
mengangguk. “Dia mengajarkan ilmU pedang tersebut dan Kiu Kiong San Tian Pou.
“Kalau begitu....” Gouw Han
Tiong tertawa. "Kepandaianmu
pasti sudah tinggi sekali.”
“Tinggi sekali sih tidak,
namun dapat menjaga diri,” ujar Yo Suan Hiang merendah.
“Oh ya!” Lim Peng Hang
tersenyum seraya berkata, “Suan Hiang, maukah engkau perlihatkan ilmu pedang
Cit Loan Kiam bat itu?"
“TentU mau.” Yo Suan Hiang
mengangguk sambil bangkit berdiri. Ia berjalan ketengah-tengah ruangan itu,
lalu menghunus pedangnya dan mulai mempertunjukkan ilmu pedang tersebut.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong menyaksikannya dengan penuh perhatian, namun kemudian merasa
berkunang~kunang dan pusing.
Mereka saling memandang dengan mata terbelalak.
Berselang sesaat, Yo Suan
Hiang berhenti dan kembali ke tempat duduknya seraya bertanya,
“Bagaimana ilmu pedang Cit
Loan Kiam Hoat itu?”
“Sungguh luar biasa!” sabut
Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tidak menyangka, kalau
Tio Cie Hiong mampu menciptakan ilmu pedang, yang begitu dahsyat dan lihay.”
"Bukan main itu!"
Gouw Han Tiong menghela nafas panjang, kemudian menambahkan, “Aku yakin Tio Bun
Yang pasti seperti ayahnya.”
“Menurut Kakak Cie Hiong, anak
itu malah lebih cerdas dan dirinya” Yo Suan Hiang memberitahukan, “Ceng Im pun
bilang begitu.”
“Oh?” Lim Peng Hang tertawa.
“Benarkah cucuku itu lebib cerdas dan Cie Hiong’?”
“itu memang benar.” Yo Suan
Hiang mengangguk. “Kaiau tidak, bagaimana mungkin dia dapat menguasai semua
kepandaian ayahnya? Padahal usianya baru sepuluh tahun.”
“Ha ha ha!” Lim Peng Hang
tertawa gembira. “Kelak dalam rimba persilatan akan muncul Seorang pendekar
yang gagah dan berhati bajik lagi!”
“Tidak salah.” Gouw Han Tiong
manggut-manggut. “Entah bagaimana dengan cucuku, yang di Tayli?”
“Tentunya berkepandaiannya
tinggi juga,” sahut Lim Peng Hang.
“Yaah, sayang sekali!” Gouw
Han Tiong menghela nafas panjang. “Seandainya cucuku itu perempuan....”
“Engkau akan menjodohkannya
pada cucuku?”
“Benar.” Gouw Han Tiong
mengangguk. “Tapi... dia adalah cucu laki-laki, mau bilang apa?”
“Lim Pangcu,” tanya Yo Suan
Hiang mendadak. “Bagaimana keadaan rimba persilatan sekarang?”
“Hiat Ih Hwe (Perkumpulan Baju
Berdarah) mulai unjuk gigi terhadap kaum golongan putih, bahkan ada pula yang
dibunuh,” jawab Lim Peng Hang memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan
kepala. “Setelah Bu Lim Sam Mo mati, kita semua mengira bahwa rimba persilatan
akan aman, tenang dan damai. Tidak tahunya malah muncul Hiat Ih Hwe!”
“Hingga saat ini tiada seorang
pun tahu siapa ketua perkumpulan itu,” ujar Gouw Han Tiong dengan kening
berkerut. “Suan Hiang, menurutmu siapa ketua Hiat Ih Hwe itu?"
“Pasti Lu Thay Kam.”
“Lu Thay Kam?” Kening Gouw Han
Tiong berkerut lagi. “Apakah dia memiliki kepandaian tinggi?”
“Kepandaiannya memang tinggi
sekali.” Yo Suan Hiang memberitahukan. Kalau tidak salah, dia telah menguasai
ilmu Ie Hoa Ciap Bok (Memindahkan Bunga Menyambung Pohon).”
“Ilmu apa itu?” Gouw Han hong
dan Lim Peng Hang tertegun “Kami belum pernah mendengar tentang ilmu tersebut.”
“Kitab Ie Hoa Ciap Bok
disimpan di perpustakaan istana, dan siapa pun tidak tahu bahwa kitab itu
merupakan pelajaran ilmu silat yang sangat tinggi Pada suatu hari, Lu Thay Kam
memeriksa perpustakaan itu. Ia melihat kitab tersebut, dan karena tertarik maka
dibacanya. Setelah itu, ia pun mengambil kitab itu dan terus mempelajarinya.”
“Tahukah engkau berasal dan
mana kitab itu?” tanya Lim Peng Hang.
“Tidak tahu.” Yo Suan Hiang
menggelengkan kepala dan melanjutkan, “Setelah berhasil menguasai ilmu itu,
mungkin Lu Thay Kam mendirikan Hiat Ih Hwe guna membunuh para pembesar, yang
setia dan jujur.”
“Itu memang mungkin.” Lim Peng
Hang manggut-manggut, kemudian menatapnya dalam-dalam seraya bertanya, “Suan
Hiang, apa rencanamu sekarang?"
“Rencanaku adalah membunuh Lu
Thay Kam,” jawab Yo Suan Hiang dengan jujur “Tapi sebelumnya aku harus pergi ke
kota Hay Hong menemui para kenalan ayahku untuk berunding. Karena aku tidak mau
berlaku ceroboh."
“Ngmm!” Lim Peng Hang
mengangguk. “Suatu tindakan memang harus diperhitungkan matang-matang. Kalau
tidak, malah akan mencelakai diri sendiri”
“Terima kasih atas nasihat Lim
Pangcu!” ucap Yo Suan Hiang lalu bangkit berdiri. “Maaf, aku mau mohon diri!”
“Suan Hiang,” pesan Lim Peng
Hang. “Apabila engkau membutuhkan bantuan, beritahukanlah kepada kami!”
“Terima kasih, Lim Pangcu!
Sampai jumpa!” ucap Yo Suan Hiang lalu meninggalkan markas pusat Kay Pang, dan
langsung menuju kota Hay Hong.
-oo0dw0oo-
Beberapa hari kemudian, ketika
Yo Suan Hiang mampir di sebuah kedai teh untuk melepaskan dahaga, muncul
beberapa orang berpakaian merah, dan mereka langsung mendekati Yo Suan Hiang
sambil tertawa-tawa.
“Nona, sendirian nih?” tanya
salah seorang dan pemuda sambil menatapnya kurang ajar “Bagaimana kalau kami
menemanimu?”
“Siapa kalian?” bentak Yo Suan
Hiang dingin.
“Ha ha ha!” Orang-orang
berpakaian merah itu tertawa gelak. “Nona belum kenal kami?”
“Aku memang tidak kenal
kalian!”
“Kalau begitu....” Salah
seorang tadi membusungkan dada
seraya berkata, “Aku
memberitahukan, kami adalab anggota Hiat Ih Hwe.”
“Oh?” Yo Suan Hiang tertawa
dingin. “Bagus, bagus!” “Memang bagus! Nah, biar kami menemanimu! Ha-ha-ha!”
“Jangan di sini!” ujar Yo Suan
Hiang. “Lebih baik kita ke tempat yang sepi.”
“Ke tempat yang sepi?” tanya
orang itu sambil tertawa gembira.
“Ya.” Yo Suan Hiang
mengangguk.
“Bagus!” Orang itu memandang
kawan-kawannya. “Bagaimana? Kalian mau ikut aku ketempat yang sepi menemani
nona ini?”
“Tentu,” sahut kawan-kawannya
sambit tertawa gelak. “Ayo!ah! Mari kita segera ke tempat yang sepi itu!”
“Kalau begitu....” Yo Suan
Hiang bangkit berdiri, sekaligus
membayar minumannya lalu
melangkah pergi.
Orang-orang berpakaian merah
segera mengikutinya dan belakang sambil berbisik-bisik, dan wajah mereka tampak
berseri.
“Karena aku maka dia mau ke
tempat yang sepi, jadi aku yang harus lebih dulu bersenang-senang dengan dia.”
“Tidak apa-apa. Yang penting
kami dapat bagian. Tapi... apakah dia kuat melayani kita semua?”
“Kuat atau tidak, pokoknya dia
harus melayani kita. Ha ha ha!”
Tak seberapa lama kemudian,
mereka sudah sampai di tempat yang sepi. Yo Suan Hiang membalikkan badannya,
lalu menatap mereka dengan dingin sekali.
Tempat ini memang cocok sekali
untuk kalian,” ujarnya sambil menghitung, “Satu, dua tiga, empat, lima! Kalian
berlima boleh maju serentak!”
“Apa?!” Kelima orang itu
tertegun. “Kami maju serentak? Apakah Nona kuat melayani kami?”
"Hm!” dengus Yo Suan
Hiang dingin sekaligus menghunus pedangnya. “Kalian semua harus mampus di
sini!”
“Eh?” Mereka terperanjat.
“Siapa kau?"
“Kalian tidak perlu tahu!”
bentak Yo Suan Hiang. “Cepatlah kalian keluarkan senjata masing-masing!”
Kelima orang itu saling
memandang, kemudian mengeluarkan senjata masing~maSing.
“Lihat serangan!” bentak Yo
Suan Hiang sekaligus menyerang mereka. Ia mengeluarkan ilmu pedang Cit Loan
Kiam Hoat dengan jurus Ban Kiam Hui Thian (Selaksa Pedang Terbang Ke Langit).
Tampak pedangnya berkelebatan laksana kilat, dan seketika juga terdengar suara
jeritan yang menyayat hati.
"Aaakh! Aaaakh!
Aaaakh...!”
Kelima orang itu berlumuran
darah. Mereka memandang Yo Suan Hiang dengan mata terbelalak, kemudian roboh
dan nyawa mereka pun melayang seketika.
Setelah kelima orang itu
roboh, Yo Suan Hiang melesat pergi, dan mayat-mayat itu dibiarkannya tergeletak
begitu saja.
-oo0dw0oo-
Yo Suan Hiang memasuki kota
Hay Hong disaat hari sudah mulai sore. Ketika ia sedang berjalan, tiba-tiba
seseorang menghampirinya seraya berbisik.
"Engkau adalah Nona Yo
Suan Hiang, putri almarhum Yo Huai An?"
"Anda. . .?" Yo Suan
Hiang tersentak.
"Aku kenalan ayahmu. Mari
ikut aku!" bisik orang itu sambil melangkah pergi.
Yo Suan Hiang mengerutkan
kening, namun tetap mengikuti orang tersebut dengan was-was.
Berselang beberapa saat, orang
itu memasuki sebuah bangunan tua, dan Yo Suan Hiang terus mengikutinya.
Setelah berada di dalam
bangunan tersebut, orang itu mendekati dinding lalu menekan sebuah tombol
kecil. Seketika dinding itu terbuka, ternyata sebuah pintu rahasia.
“Nona Yo, mari ikut aku ke
dalam!” ajak orang itu dan melangkah ke dalam.
Yo Suan Hiang mengikutinya,
dan kemudian pintu rahasia itu pun tertutup kembali. Di saat bersamaan,
muncullah belasan orang.
“Paman Tan!” seru Yo Suan
Hiang girang.
Ternyata ia mengenali salah
seorang tua berusia lima puluhan. Orang itu bernama Tan Ju Liang, bekas
pengawal ayahnya.
“Nona Yo!” Tan Ju Liang
memberi hormat. “Silakan duduk!”
“Terima kasih, Paman Tan!”
ucap Yo Suan Hiang sambil duduk. “Oh ya, orang itu....”
“Dia muridku, yang kuutus
jemput Nona.” Tan Ju Liang memberitahukan.
“Kok Paman Tan tahu
kehadiranku di kota ini?” tanya Yo Suan Hiang heran.
“Salah seorang anak buahku
melihatmu, lalu segera ke mari melapor kepadaku, maka kusuruh muridku itu pergi
menjemputmu ke mari.” Tan Ju Liang memberitahukan, kemudian memandangnYa seraya
bertanya, “Engkau ke mana setelah ayahmu meninggal?”
“Aku pergi ke markas pusat Kay
Pang, lalu ke pulau Hong Hoang To belajar ilmu silat, tujuanku untuk membalas
dendam,” jawab Yo Suan Hiang dan menambahkan, “Aku datang di kota ini justru
ingin menemui para kenalan ayahku untuk berunding. Sungguh kebetulan aku
bertemu Paman di sini!”
“Oooh!” Tan Ju Liang
manggut-manggut. “Para kenalan ayahmu tersebar di mana-mana. Kini engkau telah
ke mari, maka akan kusuruh munidku pergi menghubungi mereka.”
“Terima kasih, Paman Tan!”
ucap Yo Suan Hiang.
“Tiang Him,” ujar Tan Ju Liang
kepada muridnya. “Cepatlah engkau pergi menghubungi mereka, malam ini mereka
harus sampai di sini!”
“Ya, Guru.” Cu Tiang Him memberi
hormat lalu meninggalkan ruang itu.
“Nona Yo!” Tan Ju Liang
menatapnya seraya bertanya, “Bagaimana kepandaianmu sekarang, apakah sudah
tinggi sekali?”
“Cukup tinggi,” jawab Yo Suan
Hiang.
“Karena menyangkut urusan yang
sangat penting, maka aku akan menguji kepandaianmu. Eng- kau tidak
berkeberatan, kan?”
“Tentu tidak.”
“Kalau begitu, mari
ketengah-tengah ruangan!” Tan Ju Liang melangkah ke sana, dan Yo Suan Hiang
mengikutinya.
Mereka berdua berdiri
berhadapan. Tan Ju Liang menatapnya sambil tersenyum dan berkata, “Nona Yo,
sebelumnya aku mohon maaf, Sebab aku terpaksa harus menguji kepandaianmu!”
“Tidak apa-apa.” Yo Suan Hiang
tersenyum. “Jadi begini saja, aku berdiri di sini, Paman Tan boleh
menyerangku.”
“Oh?” Tan Ju Liang tertegun.
“Paman Tan, silakan
mengeluarkan senjata, aku akan melayani Paman dengan tangan kosong!” ujar Yo
Suan Hiang.
“Nona Yo!” Tan Ju Liang
menggeleng~gelengkan kepala. “Jangan dianggap main-main lho!”
“Aku tidak main-main.”
“Kalau begitu....” Tan Ju
Liang mengerutkan kening sambil
menghunuS pedangnya. “Nona Yo,
hati-hati!”
Yo Suan Hiang
tersenyum-SenyUm~ dan tetap berdiri tegak di tempat. Itu membuat terbelalak
yang lain, sebab kepandaian Tan Ju Liang cukup tinggi.
“Paman Tan, jangan ragu!
Seranglah aku!” ujar Yo Suan Hiang karena melihat Tan Ju Liang ragu
menyerangnya.
“Baiklah’” Tan Ju Liang
mengangguk, lalu mendadak menyerang Yo Suan Hiang dengan pedangnYa.
“Paman Tan,” ujar Yo Suan
Hiang sambil berkelit. “Pergunakan ilmu pedang andalan Paman, jangan
menggunakan jurus-jurus biasa!”
"Tapi...." Tan Ju
Liang tampak masih ragu.
“Percayalah kepadaku!” ujar Yo
Suan Hiang mendesaknya. “Paman Tan harus menyerangku dengan sungguh~sunggu~
bahkan harus pula mengeluarkan ilmu pedang andalan!”
Tan Ju Liang berpikir sejenak,
kemudian manggut.manggut seraya berkata serius, “Baiklah! Kalau begitu, engkau
barus berhati-hati!”
“Ya.” Yo Suan Hiang tersenyum.
“Seranglah!"
Tan Ju Liang mulai mengerahkan
lweekangnya, lalu mendadak menyerang Yo Suan Hiang dengan Soan-long Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Angin Puyuh), mengeluarkan Jurus Soan Hong Soh Te (Angin Puyuh
Menyapu Bumi)
Pedang itu berkelebatan dan
mengarah ke Yo Suan Hiang, dan menimbulkan suara gemuruh. Sungguh dahsyat dan
lihay ilmu pedang tersebut, sahingga yang menyaksikan menjadi tegang Seketika.
Akan tetapi, tiba-tjba Yo Suan
Hiang lenyap dan pandangan Tan Ju Liang, itu membuatnya terheran-heran
“Paman Tan!” Terdengar suara
Yo Suan Hiang di belakangnya. "Aku berada di sini!”
Kini sadarlah Tan Ju Liang,
bahwa Yo Suan Hiang berkepandaian tinggi. Maka, ia segera membalikkan badannya,
sekaligus menyerang Yo Suan Hiang dengan jurus Soan Hong Loan Hai (Angin Puyuh
Mengaduk Laut).
Mendadak badan Yo Suan Hiang
berputar-putar melambung ke atas, sehingga Tan Ju Liang menyerang tempat
kosong. Jago tua itu penasaran, kemudian bersiul panjang sambil menyerang Yo
Suan Hiang. Kali ini ia mengeluarkan jurus yang paling dahsyat dan lihay, yaitu
jurus Soan Hong Cien San (Angin Puyuh Memindahkan Gunung).
Terdengarlah suara gemuruh,
pedang itu berkelebatan mengurung sekujur badan Yo Suan Hiang.
Pada saat bersamaan, terdengar
pula suara tawa yang amat nyaring, dan tampak badan Yo Suan Hiang berkelebat
laksana kilat. Setelah itu kembali diam di tempat semula, sedangkan Tan Ju Liang
berdiri terperangah dengan mulut
ternganga lebar. Ternyata
pedangnya telah berpindah ke tangan Yo Suan Hiang.
“Nona Yo! Bukan main...,”
ujarnya kagum. Terdengar pula tepuk sorak yang riuh gemuruh.
“Maaf, Paman Tan!” Ucap Yo
Suan Hiang sambil mengembalikan pedang itu.
“Nona Yo!” Tan Ju Liang
menatapnya terbelalak. “Aku tidak menyangka, kalau kepandaianmu begitu tinggi.
Kini legalah hatiku.”
“Paman Tan....” Yo Suan Hiang merendahkan diri.
“Kepandaianku tidak begitu
tinggi, tetapi Paman yang mengalah kepadaku.”
“Ha ha ha!” Tan Ju Liang
tertawa gembira. “Nona Yo, kepandaianmu memang tinggi sekali. Aku kagum
kepadamu.”
“Paman Tan....” Wajah Yo Suan
Hiang kemerah-merahan.
“Nona Yo, mari kita duduk!”
ajak Tan Ju Liang. Kemudian ia pun memperkenalkan kawan-kawannya.
“Nona Yo!” seru kawan-kawan
Tan Ju Liang. “Kami semua pasti setia kepadamu, kita harus menumpas Hiat Ih
Hwe!”
“Terima kasih! Terima
kasih..." ucap Yo Suan Hiang terharu. “Kita semua harus bersatu demi
menumpas Hiat Ih Hwe.”
“Setuju!” seru mereka semua
dengan penuh semangat. “Kita harus menumpas Hiat Ih Hwe!”
-oo0dw0oo-
Setelah larut malam, Cu Tiang
Him pulang bersama belasan orang, yang terdiri dari orang tua, anak muda dan
beberapa wanita berusia empat puluhan.
“Kami memberi hormat pada Nona
Yo!” ucap mereka serentak sambil memberi hormat.
“Jangan sungkan-sungkan!”
sabut Yo Suan Hiang sambil tersenyum. "Silakan duduk!"
“Terima kasih!” Mereka segera
duduk. Ternyata di antara mereka terdapat mantan pengawal almarhum calon mertua
Yo Suan Hiang.
“Kawan-kawan!” Tan Ju Liang
mulai membuka mulut. “Perlu kalian ketahui, bahwa kini Nona Yo sudah
berkepandaian tinggi. Terus terang, aku telah menguji kepandaiannya. Aku
menyerangnya dengan ilmu pedang Soan Hong Kiam Hoat, tapi dengan mudah sekali
dia merebut pedangku.”
Belasan orang itu saling
memandang, kelihatannya mereka tidak begitu percaya. Tan Ju Liang tertawa,
kemudian ujarnya sungguh-sungguh.
“Aku tahu saudara Lim
berkepandaian tinggi, maka kurang percaya akan apa yang kukatakan barusan.
Namun saudara Lim boleh mengujinya.”
“Paman Tan....” Yo Suan Hiang
mengerutkan kening.
“Nona Yo,” ujar Tan Ju Liang.
“Biar bagaimana pun engkau harus memperlihatkan kepandaianmu, agar mereka yakin
dan mempercayaimu.
Yo Suan Hiang berpikir lama sekali,
kemudian dalam hati ia mengakui akan kebenaran ucapan Tan Ju Liang, karena itu
ia segera berjalan ke tengah-tengah ruangan.‘Paman-paman,” ujarnya tanpa
memperlihatkan keangkuhan. “Aku bersedia diuji.”
“Ha ha ha! Bagus!” Lim Cin An
menghampiri Yo Suan Hiang. “Maaf, Nona Yo, aku terpaksa harus menguji
kepandaianmu!”
“Silakan Paman Lim!” sahut Yo
Suan Hiang.
“Baik.” Lim Cin An menghunus
pedangnya.“Nona Yo, engkau menggunakan senjata apa?”
“Pedang,” ujar Yo Suan Hiang
sambil menghunus pedangnya. Apabila ia melayani Lim Cin An dengan tangan
kosong, tentu akan menyinggung perasaan orang tua itu.
“Paman Lim, silakan
menyerang!”
“Hati-hati!” Lim Cin An
mengingatkannya,lalu mulai menyerang Yo Suan Hiang dengan ilmu pedang biasa.Yo
Suan Hiang berkelit tanpa balas menyerang, sedangkan Tan Ju Liang
tersenyum-senyum.
“Saudara Lim! Serang dia
dengan ilmu pedang andalanmu, jangan ragu!” seru Tan Ju Liang.
Lim Cin An mengerutkan kening,
kemudian mulai menyerang Yo Suan Hiang dengan ilmu pedang andalannya, yakni Hui
Yun Kiam Hoat (Ilmu Pedang Lawan Terbang) dengan mengeluarkan jurus Pek Yun
Phiau-Phiau (Awan Putih Berterbangan).Pedang Lim Cin An terus berputar bagaikan
gulungan awan mengarah ke pinggang Yo Suan Hiang jurus itu memang dabsyat dan
lihay. Akan tetapi, mendadak badan Yo Suan Hiang berkelebat laksana kilat,
tahu-tahu sudah berada dibelakang mantan pengawal istana berusia lima puluhan
itu.
Betapa terkejutnya Lim Cin An!
Tanpa melihat ia Iangsung menyerang ke belakang dengan jurus lui Yun Kai Goat (Awan
Terbang Menutupi Bulan), menyusul lagi jurus Pek Yun Te (Awan Putih Menutupi
Bumi). Perlu diketahui, kedua jurus itu merupakan jurus-jurus simpanannya, yang
jarang sekali dikeluarkan, kecuali menghadapi lawan tangguh.
Tentu saja sangat mengejutkan
Tan Ju Liang, Cu Tiang Him dan penonton lainnya.
Namun mendadak Yo Suan Hiang
bersiul panjang, kemudian pedangnya bergerak cepat sekali dan aneh pula. Itu
membuat mata Lim Cin An
berkunang-kunang dan merasa pusing. Ternyata Yo Suan Hiang mengeluarkan Cit
Loan Kiam Hoat dengan jurus Ouw Thian Am Te (Langit Hitam Bumi Gelap).
Serrt! Serrt! Serrrrrt...!
Terdengar suara sobekan.
“Haaah...!” Seru Lim Cin An
kaget dan termundur-mundur. Wajahnya pucat pias dan menatap Yo Suan Hiang
dengan mata terbelalak. Suasana diruang itu pun menjadi hening sekali.
Memang mengejutkan, sebab
pakaian Lim Cin An terdapat belasan lubang. Dapat dibayangkan, betapa dahsyat
dan lihaynya ilmu pedang yang digunakan Yo Suan Hiang.
“Maaf, Paman Lim!” ucap Yo
Suan Hiang.
“Ha ha ha!” Lim Cin An tertawa
gelak setelah hilang rasa kagetnya. “Nona Yo, kepandaianmu memang tinggi
sekali, aku tunduk kepadamu.”
“Paman Lim terlampau mengalah”
ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum.Bukan main kagumnya Cu Tiang Him terhadap
Yo Suan Hiang, Ia sama sekali tidak menduga bahwa wanita muda itu berkepandaian
begitu tinggi, sehingga membuatnya menatap Yo Suan Hiang dengan mata
berbinar-binar.
"Ha ha ha!” Tan Ju Liang
tertawa. “Mari kita duduk semua, karena Nona Yo ingin berunding dengan
kita"
”Semuanya duduk sekaligus
memandang Yo Suan Hiang dengan penuh kekaguman, dan mereka tampak tunduk
kepadanya.
“Nona Yo, kira-kira apa yang
akan dirundingkan?” tanya Lim Cin An.
“Maaf, aku ingin bertanya!
Kegiatan apa yang kalian lakukan selama ini?” Yo Suan Hiang balik bertanya.
“Terus terang, kami melakukan
pemberontakan” Lim Cin An memberitahukan dengan jujur, “Tapi. . . pihak Hiat Ih
Hwe selalu berusaha membunuh kami.”
“Oooh!” Yo Suan Hiang
manggut-manggut. “Kalian semua berjumlah berapa orang?”
“Cuma dua puluh lima orang.”
“Paman Lim, aku mempunyai
suatu ide.”
“Ide apa?” tanya Lim Cin An
dan Tan Ju Liang serentak.
“Bagaimana kalau kita
mendirikan sebuah partai?” Yo Suan Hiang menatap mereka. “Kalian setuju?”
“Tentu setuju.” Lim Cin An
mengangguk.
“Tapi. kita cuma berjumlah dua
puluh lima orang.
“Tidak jadi masalah.” Yo Suan
Hiang tersenyum. “Sebab kelak pasti ada pesilat golongan putih bergabung dengan
kita.”
“Benar.” Tan Ju Liang
manggut.manggut.
“Nona Yo ingin mendirikan
partai apa?"
“Tiong Ngie Pay (Partai
Keadilan),” jawab Yo Suan Hiang sungguh-sungguh dan menambahkan, “Khususnya
menumpas Hiat Ih Hwe, sebab kalau perkumpulan ini tidak ditumpas, nyawa para
pejuang pun terancam?"
“Tidak salah.” Lim Cin An
mengangguk. “Kita tidak berniat menumbangkan Dinasti Beng, hanya membasmi para
Thay Kam jahat dan para menteri, yang bersekongkol dengan bangsa Boan
(Manchuria).”
“Benar.” Tan Ju Liang
manggut-manggut. “Biar bagaimana pun, kita harus mempertahankan Dinasti Beng,
jangan sampai Tionggoan dijajah oleb bangsa Boan.”
“Oleh karena itu...,” ujar Yo
Suan Hiang melanjutkan, “Kita harus memilih seorang ketua dan wakil, aku
memilih Paman Lim dan Paman Tan....”
“Tidak bisa,” sahut Lim Cin An
dan Tan Ju Liang.
“Kenapa?” tanya Yo Suan Hiang
heran.
“Kepandaian kami jauh di bawah
kepandaianmu, maka alangkah baiknya...” Lim Cin An menatap Yo Suan Hiang. “Nona
Yo yang harus menjadi ketua.”
“Benar,” sambung Tan Ju Liang.
“Itu tidak boleh.” Yo Suan
Hiang menggelengkan kepala.
“Justru boleb,” sahut Lim Cin
An sambil tertawa. “Karena Nona Yo putri mantan menteri, yang amat setia, maka
pantas menjadi ketua?"
“Tapi “Yo Suan Hiang tampak
ragu.
“Kawan-kawan” seru Tan Ju
Liang bertanya. “Bagaimana menurut kalian, setuju atau tidak kalau Nona Yo
menjadi ketua Tiong Ngie Pay?”
“Setuju,” sahut mereka semua,
dan suara Cu Tiang Him yang paling kencang “Kami semua mendukung.”
“Nah!” Tan Ju Liang tertawa.
“Nona Yo, jangan menolak lagi!”
“Baiklah” Yo Suan Hiang
mengangguk “Malam ini küresmikan berdirinya Tiong Ngie Pay!"
"Hidup Tiong Ngie Pay!
Hidup Tiong Ngie Pay!” seru semua orang dengan penuh semangat.
Seteláh suara seruan membuka
mulüt dengan bersumpah setia kepada harus kita pikul bersama!”
itu sirna, barulah Yo Suan
Hiang wajah serius. “Kalian semua harus Tiong Ngie Pay, dan senang susah
“Ya.” Mereka mengangguk lalu
mengangkat sumpah “Kami semua bersumpah setia kepada Tiong Ngie Pay, hidup dan
mati demi Tiong Ngie Pay! Apabila kami berkhianat, pasti mati secara
mengenaskan!”
"Bagus!” Yo Suan Hiang
manggut.manggut gembira. “Kalian semua harus ingat! Para anggota Tiong Ngie Pay
dilarang melakukan kejahatan. Siapa yang melakukan kejahatan harus dihukum.”
“Ya,” sahut mereka semua
“Apabila kami melakukan kejahatan, kami bersedia dihukum mati!"
“Terima kasih” ucap Yo Suan
Hiang lalu bertanya kepada Tan Ju Liang. “Paman Tan, apakah tempat ini aman dan
rahasia?"
“Sangat aman dan rahasia,”
jawab Tan Ju Liang dan meñambahkan, “Bahkan di luar pun telah dipasang berbagai
macam jebakan.”
“Bagus!” Yo Suan Hiang
manggut-manggut. "Oh ya, ada berapa ruangan dalam bangunan ini?”
“Lebih dari sepuluh ruangan.”
Tan Ju Liang memberitahukan, “Dan setiap ruangan telah dipasang pintu rahasia
dan jebakan.”
"Luar biasa!” Yo Suan
Hiang kagum sekali. “Paman Tan, siapa yang~ membikin itu semua?"
“Saudara Kim,”sahut Tan Ju
Liang.
"Paman Kim!" seru Yo
Suan Hiang.
Seketika juga seorang tua
berusia enam puluhan, tampil dan memberi hormat kepada Yo Suan Hiang.
“Ada perintah apa, Ketua?”
tanyanya hormat.
Mulai saat ini engkau kuangkat
sebagai pelindung markas!" sahut Yo Süan Hiang. "Sebab bangunan ini
akan dijadikan markas Tiong Ngie Pay.”
"Terima kasih,
Ketua!" ucap Kim Han Siong.
"Paman Kim,si1akan duduk
kembali!” ujar Yo Suan Hiang.
“Terima kasih, Ketua!"
Kim Han Siong duduk kembali.
“Mulai sekarang...,” ujar Yo
Suan Hiang lantang. Paman Tan kuangkat sebagai wakil ketua, sedangkan Paman Lim
sebagai pelaksana hukum.”
“Terima kasih, Ketua!” ucap
kedua orang itu serentak.
“Paman Kim,” pesan Yo Suan
Hiang. “Mulai besok harus memperhatikan tempat-tempat di sekitar bangunan ini.”
“Ya, Ketüa." Kim Han
Siong mengangguk. “Aku pasti memasang berbagai macam jebakan disekitar bangunan
ini, agar tidak gampang diserbu musuh.”
“Bagus!” Yo Suan Hiang
manggut~manggut, kemudian berkata dengan serius. “Terus terang, kepandaian
kalian masih rendah. Oleh karena itu, mulai besok kalian harus giat berlatih.
Untuk sementara ini jangan berurusan dengan pihak ‘Hiat Ih Hwe, sebab kalian
harus memperdalam ilmu silat masing-masing!”
"Terima kasih, Ketua!”
sahut para anggotä itu serentak.
“Paman Tan, Paman Lim dan
Saudara Cu,” ujar Yo Suan Hiang. “Mulai besok aku akan mengajar kalian ilmu
silat tingkat tinggi"
“Terima kasih, Ketua!” ucap
mereka bertiga, dan yang paling gembira adalah Cu Tiang Him.
“Cu Tiang Him!” panggil Yo
Suan Hiang mendadak.
“Ya,” sahut Cu Tiang Him
sambil memberi hormat. “Ada perintah apa, Ketua?"
“Engkau kuangkat sebagai
kepala regu, maka engkau harus mengajar mereka ilmu silat yang kuajarkan
kepadamu,”sahut Yo Suan Hiang.
“Ya, Ketua.” Cu Tiang Him
memberi hormat.
“Paman Tan,” ujar ‘Yo Suan
Hiang. “Harus diatur beberapa ruangan untuk mereka, sebab sementara ini mereka
harus tinggal di sini untuk memperdalam ilmu silat masing-masing.”
“Baik, Ketua.” Tan Ju Liang
mengangguk. “Akan kuatur itu, dan harus ada kamar khusus untuk Ketua.”
“Terima kasih, Paman Tan!”
ucap Yo Suan Hiang sambil tersenyum.
“Tiang Him,” pesan Tan Ju
Liang. “Aturlah mereka ke ruang tengah!”
“Ya, Guru.” Cu Tiang Him
rnengangguk.
“Ketua,” ujar Tan Ju Liang
hormat. “Mari ikut aku ke dalam!”
“Terima kasih, Paman Tan!”
ucap Yo Suan Hiang dan kemudian mengikuti Tan Ju Liang kedalam. Sejak malam
itu, lahirlah Tiong Ngie Pay (Partai Keadilan) dalam rimba persilatan.
-oo0w0oo-
Jilid 2
Bagian Ke Enam
Mengabdi pada Lu Thay Kam.
Lie Man Chiu, yang
meninggalkan anak isteri itu terus melakukan perjalanan. Ia telah melupakan
anak isterinya yang
di Pulau Hong Hoang To, juga
melupakan wejangan-wejangan Tayli Lo Ceng, gurunya.
Sejak Bu Lim Sam Mo mati di
tangan Tio Cie Hiong, hati Lie Man Chiu terganjel sesuatu. Ternyata ia merasa
dengki terhadap Tio Cie Hiong, yang disanjung-sanjung kaum rimba persilatan.
Namun karena pada waktu itu ía sangat mencintai Tio Hong Hoa, maka ikut ke
Pulau Hong Hoang To, sekaligus melangsungkan pernikahan di pulau tersebut.
Akan tetapi, rasa dengkinya
terhadap Tio Cie Hiong semakin menjadi, karena semua orang sangat menghormati
Tió Cie Hiong. Padahal ía sudah mempunyai seorang putri, namun dengkinya justru
membangkitkan ambisinya, yakni harus menyamai Tio Cie Hiong. Karena itulah ía
mengambil keputusan harus meninggalkan anak isteri, demi mengorbitkan namanya
agar tenar dalam rimba persilatan.
Lie Man Chiu melakukan
perjalanan dari desa ke desa, dan kota ke kota, akhirnya tiba di kota, yang
indah dan penuh dengan bangunan mewah. Menyaksikan keadaan itu, ía sangat
tertarik akan kemewahan dan kesenangan hidup.
Ketika ia berjalan santai di
pinggir jalan, tiba-tiba para penduduk ibu kota minggir semua.
Ternyata muncul pasukan
pengawal istana, dan tampak empat pengawal menggotong sebuah tandu mewah.
Seketika para penduduk ibu
kota memberi hormat ke arah tandu itu, tentunya membuat Lie Man Chiu
terheran-heran. Namun ía yakin, bahwa yang duduk di dalam tandu itu pasti pejabat
tinggi. Timbullah suatu perasaan aneh dalam hatinya, yakni ingin rasanya duduk
di dalam tandu mewah itu dan dihormati semua orang.
Di saat bersamaan, mendadak
muncul tiga orang berusaha mendekati tandu mewah itu. Sudah barang tentu mereka
dihadang oleh para pengawal istana itu, sehingga terjadilah pertempuran sengit.
“Kami adalah anggota Tiong
Ngie Pay, harus menumpas Thay Kam jahat!” teriak ketiga orang itu sambil
menyerang para pengawal istana.
Ketiga orang itu memang
berkepandaian tinggi. Terbukti para pengawa! istana itu mulai kewalahan melawan
mereka, bahkan sudah ada yang mati pula.
Sementara Lie Man Chiu
manggut-manggut sambil menyaksikan pertempuran itu, sekaigus membatin.
"Inilah kesempatanku untuk berkenalan dengan para pejabat tinggi itu,
siapa tahu kelak aku Juga akan menjadi pejabat tinggi!”
Seusai membatin, ía tersenyum
sambil melesat ke arah ketiga orang itu. "Sungguh berani kalian ingin
membunuh pejabat kerajaan!” bentaknya.
"Siapa Anda?" tanya
salah seorang dan mereka sambil mengerutkan kening.
“Kalian tidak perlu tahu aku
siapa!” bentak Lie Man Chiu dingin,
"Anda harus tahu, kami
adalah anggota Tiong Ngie Pay!" orang itu memberitahukan.
"Aku tidak perduli!”
sahut Lie Man Chiu dan menambahkan sambil menghunus Thian Liong Po Kiam (Pedang
Pusaka Naga Kahyangan). “Kalian bertiga harus mampus!”
Ketiga orang itu saling
memandang, kemudian menyerang Lie Man Chiu serentak. Lie Man Chiu tertawa
dingin. Ia menangkis sekaligus balas menyerang dengan pedang pusakanya.
Sementara gordyn tandu mewah
itu terbuka sedikit, dan tampak sepasang mata menyorot tajam ke arah Lie Man
Chiu.
“Aaaakh! Aaakh! Aaaakh...!”
Terdengar suara jeritan. Ternyata ketiga orang itu telah roboh bermandi darah,
dan nafas mereka pun putus seketika.
“Terima kasih, hiapsu
(Pendekar)!” ucap komandan pengawal istana sambil memberi hormat.
“Sama-sama,” sahut Lie Man
Chiu dan balas memberi hormat.
“Hiapsu, Anda harus menemui
majikan kami,” ujar komandan pengawal istana sambil tersenyum.
“Terima kasih!” ucap Lie Man
Chiu kemudian mengikutinya.
“Lu Kong Kong!” lapor komandan
pengawal istana sambil memberi hormat ke arah tàndu itu.
“Hiapsu ini tetah membantu
kita membunuh tiga orang Tiong Ngie Pay.”
Lie Man Chiu tersentak ketika
mendengar komandan pengawal istana memanggil Lu Kong Kong kepada orang yang di
dalam tandu. Karena ia telah mengetahui Lu Thay Kam, yang sangat berkuasa itu,
maka segeralah ia memberi bormat. “Hamba memberi hormat kepada Lu Kong Kong!”
“Ha ha ha!” Terdengar suara
tawa gelak didalam tandu. “Bagus, bagus! Engkau telah berjasa, maka engkau
boleh ikut ke tempat tinggalku! Berangkat!”
Para pengawal istana langsung
berjalan, dan Lie Man Chiu berjalan di sisi tandu dengan wajah berseri. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa akan bertemu Lu Thay Kam tersebut, dan timbul pula
suatu harapan dalam hatinya.
-oo0dw0oo-
Mereka telah sampai di tempat
tinggal Lu Thay Kam, yakni istana bagian barat. Tempat tinggal Lu Thay Kam itu
sangat megah. Di halãmannya tampak taman bunga yang indah, sehingga Lie Man Chiu
terpesona begitu melihatnya.
Lu Thay Kam melangkah turun
dan tandu, kemudian menatap tajam ke arah Lie Man Chiu. Setelah itu, barulah ia
melangkah memasuki istana seraya berkata, “Mari ikut aku!”
“Ya, Lu Kong Kong.” Lie Man
Chiu memberi hormat kemudian mengikutinya, dan para pengawal langsung memberi
hormat kepada mereka.
Lu Thay Kam mengajak Lie Man
Chiu ke sebuah ruangan yang sangat besar, kemudian setelah duduk barulah
menyuruh Lie Man Chiu duduk.
“Terima kasih!” ucap Lie Man
Chiu sambil duduk.
“Siapa namamu?” tanya Lu Thay
Kam sambil menatapnya tajam.
“Nama hamba Lie Man Chiu,”
jawabnya memberitahukan. “Hamba sudah yatim piatu.”
“Kenapa engkau mau membantu
para pengawal istana membunuh para anggota Tiong Ngie Pay itu?”
“Karena mereka berniat
coba-coba membunuh Lu Kong Kong, maka hamba harus turun tangan membunuh mereka.
“Bagus, bagus! Ha ha ha!” Lu
Thay Kam tertawa gelak. “Hatimu cukup kejam, sungguh mengagumkan!”
“Terima kasih atas pujian Lu
Kong Kong!” ucap Lie Man Chiu sambil memberi hormat.
“Lie Man Chiu!” panggil Lu
Kong Kong berwibawa.
“Ya, Lu Kong Kong,” sahut Lie
Man Chiu cepat.
“Tentunya engkau ingin hidup
senang dan mewah, bukan?” Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam.
“Hamba berterima kasih sekali,
apabila Lu Kong Kong bersedia mengatur itu untuk bamba.”
“Ha ha ha!” Lu Thay Kam
tertawa gelak. “Jadi engkau ingin mengabdi kepadaku? Terus teranglah!”
“Ya, Lu Kong Kong.”
“Ngmm!” Lu Thay Kam
manggut~manggut. “Kepandaianmu cukup tinggi, kebetulan aku memang membutuhkan seorang
pembantu.”
“Terima kasih, Lu Kong Kong!”
Lie Man Chiu girang bukan main.
“Engkau jangan bergirang
dulu!” tandas Lu Thay Kam dan melanjutkan, “Sebab tidak gampang engkau menjadi
pembantuku.”
“Kenapa?"
“Kalau engkau mampu menyambut
tiga jurus seranganku, barulah kuterima sebagai pembantu?”
“Lu Kong Kong, hamba bersedia
menerima tiga jurus serangan Lu Kong Kong.”
“Ha ha ha!” Lu Thay Kam
.tertawa gelak. “Berhati-hatilah!”
“Ya, Lu Kong Kong.” Lie Man
Chiu mengangguk, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan itu.
Lu Thay Kam bangkit berdiri,
kemudian berjalan perlahan-lahan mendekati Lie Man Chiu. “Aku akan menyerangmu
dengan pukulan, engkau boleh berkelit maupun menangkis.” Lu Thay Kam
memberitahukan. “Apabila engkau sanggup menerima tiga jurus pukulanku, maka
kuterima engkau sebagai pembantu.”
“Ya, Lu Kong Kong.”
“Hati-hati!” Lu Thay Kam
mengingatkannya sambil menyerang. “Jurus pertama!”
Lie Man Chiu segera
mengerahkan Hud Bun Pan Yok Sin Kang, sekaligus berkelit. Akan tetapi, Lu Thay
Kam pun menyerangnya lagi.
Kali ini Lie Man Chiu tidak
sempat berkelit, maka terpaksa menangkis pukulan yang dilancarkan Lu Thay Kam.
“Daaar...? Terdengar suara
benturan keras.
Lu Thay Kam tetap berdiri di
tempat, sedangkan Lie Man Chiu terhuyung~hUyUng ke belakang beberapa langkah.
“Bagus!" Lu Thay Kam
tertawa. “LweekangmU cukup dalam! Coba sambut jurus terakhir ini!”
Betapa terkejutnya Lie Man
Chiu ketika menangkis pukutan Lu Thay Kam, karena ia merasa dadanya sesak Kim
Lu Thay Kam menyerangnya lagi, Lie Man Chiu segera mengerahkan Hud Bun Pan Yok
Sin Kang hingga ke puncaknya, lalu menangkis dan terdengarlah suara benturan
keras.
Daaar...!
Lu Thay Kam terhuyung-huyung
selangkah ke belakang, tapi sebaliknya Lie Man Chiu malah terpental beberapa
depa, namun tidak mengalami luka dalam.
“Ha ha ha!” Lu Thay Kam
tertawa gelak. “Bagus, bagus! Ternyata engkau sanggup menerima tiga jurus
pukulanku, maka kuterima engkau sebagai pembantu.”
“Terima kasih, Lu Kong Kong!”
ucap Lie Man Chiu dengan wajah berseri, tapi terkejut bukan main dalam hati,
karena tidak menyangka kalau Lu Thay Kam berkepandaian begitu tinggi.
“Duduk!ah!” ujar Lu Thay Kam
setelah duduk di kursi kebesarannya.
“Terima kasih, Lu Kong Kong!”
Lie Man Chiu segera duduk.
“Lweekangmu cukup dalam,” ujar
Lu Thay Kam sambil menatapnya tajam. “Tapi engkau harus tahu, bahwa aku cuma
mengerahkan tujuh bagian lweekangku, Apabila kukerahkan seluruhnya, engkau
pasti sudah jadi mayat.”
“Ya.” Lie Man Chiu mengangguk.
“Engkau sebagai pembantuku,
tentunya juga harus berkepandalan tinggi,” ujar Lu Thay Kam sungguh-sungguh.
“Oleh karena itu, mulai besok aku akan mengajarmu Ie Hoa Ciap Bok Sin Kang,
Ciang Hoat dan Kiam Hoat. Setelah engkau menguasai ilmu tersebut, mungkin aku
akan mengangktmu sebagai wakilku.”
"Terima kàsih,
Lu Kong Kong!
Terima kasih....” Dapat
dibayangkan, betapa girangnya
Lie Man Chiu, karena memang ini yang diharapkannya
“Tapi engkau harus ingat!” Lu
Thay Kam menatapnya tajam. “Apabila engkau berani berkhianat, engkau pasti mati
di tanganku!”
“Lu Kong Kong,” ujar Lie Man
Chiu cepát. “Hamba pasti setia kepada Lu Kong Kong.”
“Bagus!” Lu Thay Kam tertawa.
“Tahukah engkau, bahwa di dalam rimba persilatan terdapat Hiat Ih Hwe?”
“Hamba pernah mendengar
tentang itu, namun hamba tidak tahu siapa ketuanya,” sahut Lie Man Chiu dengan
jujur.
“Akulah ketua Hiat Ih Hwe.” Lu
Thay Kam memberitahUkan, “Karena itu, engkau harus menjadi wakilku.”
“Terima kasih, Lu Kong Kong!”
“Engkau juga harus ingat,
tidak boleh berkeluyuran di dalam istana ini!” pesan Lu Thay Kam. “Engkau boleh
jalan-jalan di halaman ruangan ini dan kamarmu. Tetapi tidak boleh ke dalam.”
“Hamba pasti ingat akan pesãn
Lu Kong Kong." Lie Man Chiu berjanji.
“Bagus!” Lu Thay Kam tertawa
gelak, kemudian bertepuk tangan tiga kali.
Tak lama kemudian muncullah
seorang dayang yang cantik manis, lalu memberi hormat kepada Lu Thay Kam dan
Lie Man Chiu,
"Ada perintah apa, Lu
Kong Kong?" tanya dayang itu.
"Mulai sekarang, engkau
dan para dayang lainnya harus memanggil Lie Man Chiu, tuan muda.” Lu Kong Kong
memberitahukan.
“Ya, Lu Kong Kong."
Dayang itu mengangguk.
“Tuan muda, terimalah
hormatku!"
"Ini. . .” Lie Man Chiu
tampak salah tingkah,
“Ha ha ha!" Lu Thay Kam
tertawa terbahak-bahak. "Man Chiu, mulai sekarang engkau adalah tUan muda
disini. Maka engkau boleb bersenang-senang dengan dayang, yang mana pun.!"
"Ya, Lu Kong Kong."
Lie Man Chiu mengangguk.
"Bwee-ji, antar tuan muda
ini kekamar." ujar Lu Thay Kam.
"Ya, Lu Kong Kong."
Dayang yang dipanggil Bwee-ji itu mengangguk. "Tuan muda silakan ikut
aku."
"Lu konng Kong, hamba
mohon diri!” ucap Lie Man Chiu lalu mengikuti dayang itu menuju kamar.
Lu Thay Kam memandang punggung
Lie Man Chiu kemudian manggut-manggut sambil tersenyum, Setelah itu, ia pun
meninggaikan ruangan itu menuju dalam.
0oo0dw0oo0
Seorang gadis cantik manis
sedang berlatih ilmu pukutan di halaman tengah. Anak gadis itu berusia sembi1an
tahunan, namun pukuIan.pukulannya yang dilancarkannya sungguh hebat, bahkan
menimbulkan suara menderu-deru.
Siapa anak gadis itu? Ternyata
putri angkat Lu Thay Kam, yang bernama Lu Hui San. Ketika gadis kecil itu
berusia tiga tahun, Lu Thay Kam membawanya ke istana ini.
"San San!” panggil Lu
Thay Kam sambil mendekatinya.
“Ayah!” sahut Lu Hui San dan
langsung mendekap di dada Lu Thay Kam. “Ayah dari mana? Kok tadi tidak
kelihatan sih?”
“Tadi ayah pergi karena dda
sedikit urusan."
“Ayah....” Lu Hui San
menatapnya. "Ayah pergi membunuh
orang ya?”
“San San!” Lu Thay Kam
menggeleng-gelengkan kepala. “Ayah bukan seorang pembunuh, bagaimana mungkin
selalu membunuh orang?"
“Ayah," ujar Lu Hiu San.
“Tidak baik membunuh orang, Thian (Tuhan) akan marah lho!"
“Ha ha ha!” Lu Thay Kam
tertawa gelak sambil memmbe1ainya. “Ayah tidak sembarangan membunuh orang, yang
ayah bunuh itu adalah para penjahat."
“Oh?” Lu Hui San. tersenyum.
“Ayah...."
“Ada apa?” tanya Lu Thay Kam
lembut..
“Kenapa San San tidak boleh
pergi jalan-jalan? San San merasa bosan sekali terus diam didalam istana,
setiap hari cuma melatih ilmu silat.”
“San San!” Lu Thay Kam
tersenyum. “Setelah engkau dewasa kelak, tentunya engkau boleh pergi
jalan-jalan. Tapi sekarang engkau masih kecil, maka tidak boleh pergi ke
mana-mana. Ayah mengajarmu ilmu silat, agar engkau memiliki kepandaian tinggi,
mungkin bisa membantu ayah kelak.”
“San San mau pergi berkelana,
tidak mau terus diam di dalam istana ini. San San sudah bosan...”
“San San!” Lu Thay Kam
membelainya. “Setelah engkau dewasa, tentunya engkau boleh pergi berkelana.
Tapi sekarang engkau harus giat benlatih.”
“Ya, Ayah.” Lu Hui San
mengangguk.
“San San, engkau terus
berlatih di sini, ayah mau pergi menghadap Kaisar,” ujar Lu Thay Kam
menambahkan, “Oh ya, kini ayah sudah punya seorang pembantu, namanya Lie Man
Chiu!”
“Ayah!” Wajah Lu Hui San
tampak berseri “San San boleh pergi menemuinya?”
“Tunggu ayah kembali, ayah
akan memperkenalkan kalian,” sahut Lu Thay Kam lalu melangkah pergi, sedangkan
Lu Hui San mulai berlatih lagi.
Bwee-ji, dayang yang cantik
manis itu mengantar Lie Man Chiu ke sebuah kamar yang sangat indah dan mewah,
tentunya menggirangkan Lie Man Chiu. Ia menengok ke sana ke mari setelah
memasuki kamar itu, kemudian duduk dengan cèrah ceria.
“Bagaimana?” tanya Bwee-ji
sambit tersenyUm. Tuan muda suka kamar ini?”
"Suka sekali." Lie
Man Chiu mengangguk.
"Oh ya." Bwee ji
menatapnya, "Mulai sekarang semua dayang yang ada di sini pasti mentaati
perintah Tuan muda, jadi Tuan muda mau makan dan minum apa, cukup memesan
kepada kami saja, Apabila Tuan muda mau mendengarkan musik dan menyaksikan tarian,
beritahukan kepadaku!’
“Terima kaSih’” ucap Lie Man
Chiu sambil tertawa gembira. Ia tidak menyangka nasibnya begitu beruntung,
hidup senang dan mewah setelah bertemu Lu Thay Kam.
"Tuan muda!“ Bwee-ji
memberitahUkan dengan wajah ke-merah2an. “Di istana barat ini terdapat puluhan
dayang muda
yang cantik-cantik. Tadi Lu
Kong Kong sudah bilang,kalau Tuan muda menyukai yang mana, boleh
bersenang~senang dengan dia.”
“Artinya bersenang-senang
itu?” tanya Lie Man Chiu.
“Artinya....” Wajah Bwee-ji
bertambah merah.
"Masa Tuan muda tidak
tahu, jangan berpura-pura ah!"
"Aku sungguh tidak
tahu," sahut Lie Man Chui, "Jadi bukan ber-pura2."
"Arti ber-senang2 itu. .
." ujar Bwee-ji sambil menundukkan kepala, "Tuan muda menunjuk dayang
yang mana, dia pasti akan menemani Tuan muda."
"Oooh!' Lie Man Chui
manggut-manggut. "Bukankah saat ini engkau sedang menemaniku?"
"Tuan muda. . ."
Bwee-ji menatapnya sambil tertawa geli, "Kok tidak tahu maksudku
sih?"
"Apa maksudmu?"
"Maksudku. . .
dayang-dayang disini siap menemani Tuan muda tidur. Tuan muda sudah
mengerti?"
"Menemaniku tidur?"
Lie Man Chui terbelalak.
"Ya." Bwee-ji
mengangguk.
"Jadi boleh. . .boleh
berbuat itu pula?" tanya Lie Man Chiu agak tergagap, "Maksudnya
berhubungan intim dengan dayang manapun."
"Karena tadi Lu Kong Kong
telah berpesan begitu, maka. .
.boleh." sahut Bwee-ji
dengan malu-malu.
"Oooh!" Lie Man Chiu
manggut-manggut, namun ia sama sekali tidak bernafsu untuk itu, sebab ia hanya
berambisi mengangkat tinggi namanya.
Disaat bersamaan, muncul
seorang dayang menatap Lie Man Chiu sambil tersenyum manis dan memberitahukan.
"Lu Kong Kong memanggil Tuan muda keruang khusus."
"Ruang khusus?" Lie
Man Chiu tercengang. "Ruang tadi itu." Bwee-ji memberitahukan.
"Mari kuantar Tuan muda kesana." "Terima kasih!" ucap Lie
Man Chiu.
Bwee-ji mengantarnya keruang
khusus itu, lalu meninggalkannya. Lie Man Chiu melangkah kedalam. Ia melihat Lu
Kong Kong duduk disitu, dan disisinya berdiri seorang gadis kecil.
Ketika melihat gadis kecil
itu, Lie Man Chiu teringat pada putrinya, namun hanya sekilas.
"Hamba memberi hormat
kepada Lu Kong Kong!" ucap Lie Man Chiu sambil memberi hormat.
"Duduklah!" sahut Lu
Thay Kam.
"Terima kasih!" Lie
Man Chiu duduk.
Sementara gadis kecil itu
terus memandangnya, kemudian ter-senyum2 seraya bertanya kepada Lu Thay Kam.
"Ayah! Dia adalah Paman
Lie?"
"Ng?" Lu Thay Kam
mengangguk dan memperkenalkan putri angkatnya, "Man Chiu, gadis kecil ini
adalah putriku."
"Nona kecil, terimalah
hormat paman!" Lie Man Chiu memberi hormat kepada Lu Hui San.
"Hi hi!" Gadis kecil
itu tertawa, "Kenapa Paman Lie memberi hormat pada San San? San San masih
kecil lho?"
“Nona kecil adalah putri Lu
Kong Kong," sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum. “Maka paman harus memberi
hormat kepada Nona kecil.”
“Paman Lie!” Lu Hui San
tertawa kecil. “Mulai sekarang, paman tidak usah panggil San San nona kecil,
cukup panggil San San saja.”
“Itu....” Lie Man Chiu
memandang Lu Thay Kam.
“Itu kemauan putriku, turuti
saja!” ujar Lu Thay Kam.
"Ya, Lu Kong Kong.” Lie
Man Chiu mengangguk.
“Baiklah.” Lu Thay Kam bangkit
berdiri. “AkU mau ke kamar, engkau temani putriku!”
“Ya, Lu Kong Kong,” sahut Lie
Man Chiu sambil berdiri, dan setelah Lu Thay Kam meninggalkan ruang itu,
barulah Ia duduk kembali.
“Paman Lie....” Lu Hui San
menatapnya.
“Ada apa, San San?” tanya Lie.
Man chiu lembut.
“Berapa sih usia Paman?”
“Tiga pulub lebih.”
“Kalau begitu....” Lu Hui San
tersenyum. “Paman Lie pasti
sudah punya anak isteri. Ya,
kan?” “Ya."
“Anak laki laki atau anak perempuan?”
"Anak perempuan." . “Berapa usianya?"
“Sembilan tahun.”
“Oh?” Lu Hui San tersenyum.
“Sama dengan San San, dia pasti cantik, kan?”
“Ya."
“Paman Lie tinggal di mana?”
“Di pulau Hong Hoang To.”
“Pulau Hong Hoang To?” Lu Hui
San tampak berpikir. “Tentu jauh sekali dan sini.”
“Memang jauh sekali.” Lie Man
Chiu mengangguk dan menambahkan, “Pulau itu indah sekali, terdapat burung
phoenix, yang langka.”
“Oh?” Wajah Lu Hui San
berseri. “Kalau Paman sempat, bolehkah ajak San San ke sana?”
“San San masih kecil, belum
boleh bepergian jauh."
“Setelah San San dewasa kelak,
maukah Paman ajak San San ke pulau Hong Hoang To itu?”
“Itu adalah urusan kelak,
tidak usah dibicarakan sekarang,” sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum.
“Paman Lie....” Mendadak Lu
Hui San menatapnya dengan
mata tak berkedip. “Isteni
Paman masih hidup?” Lie Man Chiu manggut~manggUt.
“Kalau begitu....” Lu Hui San
mengerutkan kening. “Kenapa
Paman tega meninggalkan
mereka?"
“Aku ingin mencani nama di ibu
kota, maka terpaksa harus meninggalkan mereka. Namun kelak... aku akan
kembaljike pulau itu.”
“Paman Lie “ Lu Hui San
menatapnya lagi, “Tidak rindu pada anak isteri”
“Aku....” Pertanyaan itu sudah
barang tentu membuat Lie
Man Chiu rindu kepada anak
isterinya! Akan tetapi, itu pun hanya sekilas.
“San San yakin... putri Paman
pasti rindu sekali kepada Paman,” ujar Lu Hui San.
“Entahlah. . . .”
“Kelihatannya....” Lu
Hui San menatapnya
dalam-dalam
“Paman berhati kejam.”
“Kenapa San San berkata
begitu?” Lie Man Chiu mengerutkan kening.
“Karena... Pama~ cuma ingin
cari nama, tapi tega meninggalkan anak isteri. Bukankah itu kejam sekali? Jadi
nama yang lebih penting daripada anak isteri?”
“San San....”
Air muka Lie
Man Chiu berubah,
namun
kemudian menghela nafas
panjang. “Engkau masih kecil, tidak tahu urusan orang.”
“Tentu tahu,” sahut Lu Hui
San. “Sebab San San sering membaca buku, orang yang paling kejam di dunia
adalah lelaki yang tega meninggalkan anak isteri. Itu adalah lelaki yang tak
punya perasaan, tak punya nurani dan tak punya... kasih sayang.”
“San San!” Lie Man Chiu
terbelalak. Ia tak menyangka anak sekecil itu dapat mencetuskan ucapan seperti
itu. “Engkau harus tahu, pendirian orang tidak sama. Lagi pula setiap orang
pasti mempunyai ambisi, begitu pula Paman.”
“Sungguh kasihan anak isteri
Paman!” ujar Lu Hui San sambil bangkit berdiri, kemudian menatapnya dingin
seraya berkata, “San San mau kedalam, San San tidak mau mengobrol dengan paman
yang telah melupakan anak isteri”
Lu Hui San meninggalkan ruang
itu. Lie Man Chiu termangu-mangu, akhirnya ia kembali ke kamarnya. Bwee-ji,
dayang yang cantik manis itu menyambutnya dengan senyum lembut, lalu
menyugühkan minuman dan berbagai macam hidangan lezat.
-oo0dw0oo-
Di ruang tengah markas Tiong
Ngie Pay, tampak Yo Suan Hiang duduk dengan wajah serius. Di sisi kiri kanannya
duduk Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Para anggota
berdiri diam dengan kepala
tertunduk, begitu pula tiga anggota yang berdiri di hadapan Yo Suan Hiang,
wajah mereka bertiga tampak berduka.
“Kenapa kalian tidak mencegah
mereka bertiga itu?” tanya Yo Suan Hiang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kami telah berusaha mencegah,
tapi... mereka bertiga bilang itu adalah kesempatan untuk membunuh Lu Thay
Kam,” sahut salah seorang anggota dan menghela nafas panjang. Ternyata mereka
melapor tentang kejadian këtiga teman yang dibunuh Lie Man Chiu.
“Kalian tidak kenal siapa
lelaki itu?” tanya Yo Suan Hiang dengan kening berkerut.
“Tidak kenal sama sekali. Kami
hanya tahu lelaki itu masih muda berusia tiga puluhan, kepandaiannya tinggi
sekali!”
“Kalian memang ceroboh.” Yo
Suan Hiang mengge1eng-gelengkan kepala. “Aku telah berpesan, jangan coba-coba
mencari Lu Thay Kam. Sebab kepandaiannya sangat tinggi sekali, akupun tidak sanggup
melawannya.”
“Kami mengaku salah, mohon
Ketua menghukum kami!”
“Sudahlah" Lain kali
kalian harus hati-hati. Kali ini aku memaafkan kesalahan kalian. Ingat jangan
mati sia-sia!” sahut Yo Suan Hiang.
“Terima kasih, Ketua!” ucap
mereka bertiga sambil memberi hormat.
“Kalian bertiga boleh kembali
ke tempat.”
“Terima kasih, Ketua!” Mereka
bertiga memberi hormat lalu kembali ke tempat masing-masing
“Ketua,” tanya Tan Ju Liang.
“Betulkah Ketua tidak sanggup melawan Lu Thay Kam?’
"Betul? Yo Suan Hiang
mengangguk.
“Ketua,” tanya Lim Cin An.
“Kira-kira siapa yang dapat melawannya?”
“Hanya ada dua orang yang
dapat melawannya," jawab Yo Suan Hiang memberitahukan. “Yaitu Tio Cie
Hiong dan Tayli Lo Ceng.”
“Tio Cie Hiong?” Lim Cin An
agak terbelalak, “Bukankah dia Pek Ih Sin hap yang sangat kesohor itu?”
"Benar. Memang dia.
Tapi... dia tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan lagi, melainkan hidup
tenang dan bahagia di Pulau Hong Hoang To bersama anak isterinya.”
“Lalu bagaimana dengan Tayli Lo
Ceng?” tanya Tan Ju Liang.
“Padri tua itU pun tidak mau
lagi mencampuri urusan persilatan,” sahut Yo Suan Hiang. “Begitu pula guruku.”
“Bagaimana kepandaian gurumu
dibandingkan dengan Lu Thay Kam?” tanya Lim Cin An mendadak.
“Mungkin...,” pikir Yo Suan
Hiang sejenak. “Mungkin... setanding, karena guruku memiliki Kiu Yang Sin
Kang.”
“Kalaü Tio Cie Hiong melawan
Lu Thay Kám? tanya Tan Ju Liang.
“Tio Cie Hiong pasti menang,”
sahut Yo Suan Hiang. “Sebab kepandaiannya sulit diukur berapa tinggi. Terus terang,
Cit Loan Kiam Hoat adalah ilmu pedang ciptaannya.”
“Oh?” Tan Ju Liang terbelalak.
“Berarti dia telah menjadi maha guru, padahal dia masih muda.”
“Dia mempunyai anak?” tanya
Lim Cin An.
“Cuma mempunyai anak satu,
namanya Tio Bun Yang.” Yo Suan Hiang memberitahukan dengan nada kagum. “Anak
itu sungguh cerdas, bahkan melebihi ayahnya.”
“Oh?” Lim Cin An menatap Yo
Suan Hiang.
“Alangkah baiknya dia bersedia
membantu kita kelak!”
“Aku pun telah berpikir
begitu,” ujar Yo Suan Hiang. “Mudah-mudahan dia bersedia membantu kita kelak!”
“Tapi kapan dia akan
berkecimpung dalam rimba persilatan?” tanya Lim Cin An seakan bergumam.
“Masih lama, sebab kini
usianya baru sepuluh tahun.”
Yo Suan Hiang tersenyum.
“Sepuluh tahun lagi, aku yakin kepandaiannya boleh dikatakan tiada tanding?“
Kalau begitu...,” ujar Tan Ju
Liang. “Dia pasti dapat mengalahkan Lu Thay Kam.”
“Aku yakin itu.” Yo Suan Hiang
manggut-manggut. “Oh ya, Paman Tan harus memberi pesan kepada para anggota.”
“Pesan apa?”
"Apabila mereka tidak
sanggup melawan pihakk Hiat Ih Hwe, harus berusaba meloloskan diri jangan mati
sia-sia.”
"Ketua!” Tan Ju Liang
menggeleng~gelengkan kepala, "Apabila mereka tidak sanggup melawan,
tentunya sulit pula untuk meloloskan diri."
“Itu. . ." Yo Suan Hiang mengerutkan
kening, kemudian mendadak teringat sesuatu, yang membuat wajahnya berseri. “Aku
akan mengajar Paman Tan, Paman Lim dan Saudara Cu ilmu Kiu Kiong San Tian
Pou."
“Ilmu apa itu?” tanya Tan Ju
Liang.
“Itu ilmu langkah kilat,”
jawab Yo Suan Hiang memberitahukan. “Tio Cie Hiong menurunkan ilmu tersebut
kepadaku, dan mulai besok akan kuajarkan kepada kalian!”
“Terima kasih, Ketua!” ucap
mereka bertiga serentak.
“Setelah kalian menguasai Kiu
Kiong San Tian Pou, kalian pun harus mengajarkan kepada para anggota kita,”
pesan Yo
Suan Hiang dan menambahkan,
“Itu merupakan ilmu untuk meloloskan diri.”
“Ya, Ketua” Mereka bertiga
mengangguk
“Oh ya’” Yo Suan Hiang menatap
Tan Ju Liang seraya berkata. “Apabila ada kaum pesilat yang ingin bergabung
jadi anggota kita, Paman Tan harus menyeleksi dengan cermat, jangan sembarangan
menenima mereka!"
“Ya, Ketua.” Tan Ju Liang
mengangguk.
"Mulai besok aku akan
mengajar kalian Kiu Kiong San Tian Pou, bahkan juga akan mengajar kalian ilmu
pedang Hong Hoang Kiam Hoat,’ ujar Yo Suan Hiang memberitahukan. “Setelah itu,
kalian pun harus mengajarkan kepada para anggota kita."
“Ya, Ketua.” sahut mereka
bertiga dengan wajah berseri. "Terima kasih atas kebaijaksanaan Ketua!”
“Tidak usah mengucapkan terima
kasih,” sahut Yo Suan Hiang sambil tersenyum lembut. “Kita semua harus bersatu
demi Tiong Ngie Pay.”
-oo0dw0oo-
Bagian Ke Tujuh
Goa bekas markas Bu Tek Pay
Seorang wanita berusia tiga
puluhan duduk termenung dihalaman rumah yang sangat luas. Tampak pula taman
bunga yang sangat indah di situ. Wanita itu kelihatan sedang mengenang sesuatu,
kemudian menghela nafas panjang dan air matanya mulai meleleh.
Wanita itu bernama Lie Siu
Sien, suaminya bernama Kam Pek Kian, namun sudah almarhum.
“Ibu! Ibu....!” Seorang anak
lelaki berusia sebelas tahun
menghampirinya. “Kenapa Ibu
melamun lagi?”
“Nak!” Lie Siu Sien
menggeleng~gelengkan kepala dengan air mata berderai-derai. “Ibu teringat akan
ayahmu.”
“Ibu!” Anak lelaki itu duduk
di sisi ibunya. Ia bernama Kam Hay Thian. “Ibu jangan terus mengingat, sebab
akan membuat Ibu sedih.”
“Nak!” Lie Siu Sien
terisak-isak. “Bagaimana mungkin ibu tidak ingat, sebab ayahmu dibunuh orang.”
“Aku masih ingat akan kejadian
itu.” Mendadak sepasang mata anak itu membara. “Orang itu membunuh ayah dengan
sadis sekali.”
“Pada waktu itu, untung kita
bersembunyi dikolong meja. Kalau tidak, kita pun pasti mati ditangan orang
itu.”
“Ibu....” Kam Hay Thian
menatapnya. “Kenapa orang itu
membunuh ayah?”
“Aaàkh...!” keluh Lie Siu
Sien. “Tanpa sengaja ayahmu menolong seseorang, kemudian orang itu memberikan
ayahmu sebuah kitab. Tapi akhirnya orang itu mati, karena lukanya terlampau
parah.”
“Ibu, kitab apa itu?”
“Kitab Seng Hwee Cin Keng
(Kitab Pusaka Api Suci) yang berisi pelajaran ilmu silat tingkat tinggi.”
“Kenapa ayah tidak mempelajari
kitab itu?”
“Tidak sempat, karena beberapa
hari kemudian, muncullah penjahat itu merebut kitab tersebut, Ayahmu berusaha
mempertahankannya tapi malah dibunuh dan kitab itu dibawa pergi oleb penjahat
itu.”
“ibu bukankah ayah
berkepandaian tinggi? Kenapa tidak mampu melawan penjahat itu?”
"Nak!" Lie Siu Sien
tersenyum getir. “Kepandaian penjabat itu lebih tinggi dari ayahmu Kalau tidak,
bagaimana mungkin pejahat itu mampu membunuh ayahmu?”
“Ibu” ujar Kam Hay Thian
Sungguh..sungguh, “Hay Thian harus membalas dendam.”
“Tidak mungkin, Nak” Lie Siu
Sien menggeleng-gelengkan kepala. “Sebab engkau tidak mengerti ilmu silat, lagi
pula kepandaian penjahat itu tinggi sekali.”
“Ibu biar bagaimana pun aku
harus balas dendam,” ujar anak itu telah membulatkan tekad.
“Aaakh...” keluh Lie Siu Sien.
“Tidak disangka sama sekali, beberapa tahun lalu ayahmu mati dibunuh!”
“ibu Pokoknya aku harus balas
dendam.” tegas Kam Hay Thian. “Aku akan belajar ilmu silat.”
“Sayang sekali....” Lie Siu Sien menggeleng-gelengkan
kepala “Ibu tidak tahu Tio Cie
Hiong berada dimana Kalau tahu, engkau boleh berguru kepadanya."
“Ibu!” Kam Hay Thian
tercengang. “Siapa dia? Bagaimana kepandaiannya?”
“Dia boleh dikatakan saudara
angkat ibu, kepandaiannya sangat tinggi sekali.” Lie Siu Sien memberitatukan.
“Dia pernah menolong kakekmu, dan setetah itu bersama caton isterinya pun
pernah menolong ibu dan ayabmu ketika ditangkap Muh San Ngo Kui (Lima Setan
Gunung Muh San). NamUn mereka lalu pergi, dan hingga kini ibu tidak pernah
bertemU mereka.”
“Ibu!” Kam Hay Thian
menatapnya. “Bolehkah aku pergi mencari Paman Cie Hiong?”
“Engkau masih kecil, lagi pula
belum tentu engkau dapat mencarinya” Lie Siu Sien meng-geleng2kan kepala.
“Ibu, usiaku sudah sebelas
tahun! Aku sudah tidak kecil lagi, maka ibu harus mengijinkan aku untuk pergi
mencari Paman Cie Hiong.”
“Tionggoan sangat luas, tak
mungkin engkau dapat mencarinya.” Lie Siu Sien menggeleng-gelengkan kepala
lagi.
“Kalau begitu, aku akan berguru
kepada orang láin. Setelah berkepandaian tinggi, aku pasti pulang.”
“Nak....” Lie Siu Sien
menghela nafas. “Benarkah engkau
begitu bertekad untuk belajar
ilmu silat?’
“Benar.” Kam Hay Thian
mengangguk, “Sebab akü baruS balas dendam. Karena itu, ibu harus mengijinkan
aku untuk pergi belajar ilmu silat."
“Aaakh...!” keluh Lie Siu
Sien. “Engkau ingin meninggalkan ibu?"
"Hanya sementara waktu,
beberapa tahun kemudian aku pasti pulang,” sahut Kam Hay Thian
Lie Sw Sien diam, kelihatannya
ia sedang berpikir.
“Ibu,” desak Kam Hay Thian
“Kalau Ibu tidak mengijinkan aku untuk pergi belajar ilmu silat, bagaimana
mungkin aku bisa tenang di rumah?”
“Nak Lie Siu Sien menatapnya
dengan màta basah. “Kalau memang engkau bertekad begitu, baiklah, Ibu mengijinkan
engkau untuk pergi belajar ilmu silat.”
“Terima kasih, Ibu!” ucap Kam
Hay Thian girang.
“Nak!” Lie Siu Sien tersenyum.
“Mudah-mudahan engkau berhasil mencari Tio Cie Hiong!”
“Kalau aku tidak berhasil
mencari Paman Cie Hiong, aku akan berguru kepada orang lain, yang berkepandaian
tinggi.”
“Ngmmm!” Lie Siu Sien
manggut-manggut.
“Nak, kapan engkau akan
berangkat?” tanyanya.
“Besok pagi.”
“Nak....” Wajah
Lie Siu Sien
berubah murung. “Kenapa
harus begitu cepat berangkat?”
“Lebih cepat Iebih baik,” ujar
Kam Hay Thian. “Karena aku akan bisa cepat pulang pula.”
“Nak....” Lie Siu Sien
menatapnya dengan lembut sekali.
“Baiklah! Engkau boleh
berangkat besok pagi, namun harus cepat pulang.”
“Ya, Ibu!” Kam Hay Thian
mengangguk.
-oo0dw0oo-
Kam Hay Thian telah berangkat.
Sebuah buntalan bergantung di punggungnya, berisi pakaian dan ratusan tael
perak pemberian ibunya.
Beberapa hari kemudian, ia
telah tiba di kota Leng An yang cukup besar. Tampak sebuah bagunan megah, yang
di atas pintunya bergantung sebuah papan bertulisan ‘Liong San Bu Koan’
(Perguruan Silat Aliran Liong San).
Begitu membaca tulisan itu,
giranglah hati Kam Hay Thian dan Ia langsung menuju bangunan tersebut.
“Anak kecil!” Dua penjaga
menghadangnya. “Mau apa engkau ke mari?”
“Aku mau belajar ilmu silat,”
sahut Kam Hay Thian.
“Oh?” Salah satu penjaga itu
tersenyum. “Kalau begitu, mari ikut aku ke dalam menemUi guru silat Lie!”
“Terima kasih!” ucap Kam Hay
Thian sekaligus mengikuti penjaga itu ke dalam.
Begitu sampai di halaman, Ia
melihat belasan pemuda sedang berlatih dengan penuh semangat. Penjaga itu
mengajak Kam Hay Thian
kesebuah ruangan. Seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di kursi sambil
menghirup teh.
“Guru!” Penjaga itu memberi
hormat dan memberitahukan, “Anak in mau belajar ilmu silat.”
“Oh?” Guru silat Lie menatap
Kam Hay Thian, lalu manggut-manggut seraya bertanya, “Namamu siapa dan di mana
tempat tinggalmu?”
“Namaku Kam Hay Thian, aku
berasal dari kota lain,” jawab anak itu jujur.
“Engkau ingin belajar ilmu
silat di sini?” tanya guru silat Lie sambil tersenyum.
“Ya.” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Engkau boleh
belajar di sini,
namun....” Guru silat
Lie
memberitahukan. “Setiap bulan
engkau harus bayar dua puluh tael perak? „
“Ya!” Kam Hay Thian mengangguk
lagi, kemudian membuka buntalannya. Dikeluarkánnya dua ratus tael perak, lalu
diserahkannya kepada guru silat Lie. “Inilah uangku untuk belajar ilmu silat.”
“Dua ratus tael perak?” guru
silat Lie terbelalak. “Dan mana engkau memperoleh uang sebanyak itu?”
“Dari ibuku."
“Engkau tidak merasa sayang
memberikan semua uang itu kepadaku?"
“Tentu tidak, sebab aku ingin
belajar ilmu silat di sini.
“Kalau begitu....”
Guru silat Lie
mengangguk. “Baiklah!
Engkau boleh belajar ilmu
silat di sini, bahkan boleh tinggal di sini.”
“Terima kasih, Guru!” ucap Kam
Hay Thian dan sekaligus berlutut di hadapan guru silat Lie.
“Hay Thian!” Guru silat Lie
menatapnya. “Berdirilah!” “Ya, Guru!” Kam Hay Thian bangkit berdiri.
“Hay Thian,” ujar guru silat
Lie sungguh-sungguh. “Engkau tidak usah memanggil aku guru, cukup memanggil
paman saja.”
“Kenapa?” tanya Kam Hay Thian
dengan rasa heran.
“Karena....” Guru silat Lie
menghela nafas panjang. “Aku
cuma merupakan guru silat
biasa, jadi tidak dapat mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi Sedangkan engkau
berbakat untuk belajar ilmu silat tingkat tinggi Karena itu, aku merasa malu
kau panggil guru.”
“Kalau begitu, aku memanggil
paman saja?” "Ya."
Di saat bersamaan, muncul
seorang gadis kedil berusia sekitar sepuluh tahun sambil berseru-seru.
“Ayah! Ayah...” gadis kecil
itu terbelalak ketika melihat Kam Hay Thian. “Ayah, siapa dia?”
“Dia bernama Kam Hay Thian,
ingin belajar ilmu silat pada ayah,” sahut guru silat Lie sambil tersenyum.
“Hay Thian, dia putriku bernama
Lie Beng Cu.”
Kam Hay Thian memandang gadis
kecil itu sambil mengangguk, dan Lie Beng Cu pun mengangguk sambil tersenyum.
“Berapa usiamu7’ tanya gadis
kecil itu kepada Kam Hay Thian.
“Sebelas,” jawab Kam Hay
Thian.
“Usiaku sepuluh, jadi aku barus
memanggilmu kakak, dan engkau barus memanggilku adik,” ujar Lie Beng Cu sambil
tertawa.
“Ya!” Kam Hay Thian
manggut-manggut.
“Hay Thian,” ujar guru silat
Lie. “Hari ini engkau boleh beristirabat dulu, besok aku akan mulai mengajarmu
ilmu silat.”
“Terima kasih, Paman!” ucap
Kam Hay Thian girang.
“Beng Cu, antar dia kekamar
kosong itu!” ujar guru silat Lie memberitahukan. “Dia berasal dan kota lain,
maka harus tinggai disini.”
“Ya, Ayah.” Wajah Lie Beng Cu
berseni. “Kakak Hay Thian, mari ikut aku ke dalam!”
“Tenima kasih, Adik Beng Cu!”
ucap Kam Hay Thian lalu mengikuti gadis kecil itu ke dalam.
Lie Beng Cu mengajaknya ke
sebuah kamar kosong, dan begitu sampai di dalam, gadis kecil itu langsung duduk
di kursi.
“Bagaimana? Engkau suka kamar
ini?”
“Suka.” Kam Hay Thian
mengangguk, sekaligus duduk di pinggir tempat tidur.
“Kakak Hay Thian!” Lie Beng Cu
menatapnya. “Kenapa engkau ingin belajar ilmu silat?"
“Karena ingin balas dendam.”
“Balas dendam?” Lie Beng Cu
terbelalak. “Balas dendam siapa?”
“Ayahku dibunuh penjahat, maka
aku harus belajar ilmu silat untuk membalas dendam itu.” Kam Hay Thian
memberitahukan.
“Oh’?” Lie Beng Cu menatapnya
dalam-dalam. “Kenapa penjahat itu membunuh ayahmu?
“Karena sebuah kitab....” Kam
Hay Thian memberitahukan
secara jujur. “Maka ayahku
terbunuh.
“Kalau begitu, kepandaian
penjahat itu tinggi sekali.”
“Ya.” Kam Hay Thian
mengangguk. “Kalau tidak, bagaimana mungkin penjahat itu dapat membunuh ayahku?
Sebab ayahku pun berkepandaian tinggi.
“Ayahmu pernah mengajarmU ilmu
silat?" tanya Lie Beng Cu mendadak.
“Hanya mengajarku dasar-dasar
ilmu lweekang saja,” sahut Kam Hay Thian dan melanjutkan, “Kata ayahku,
lweekang merupakan pokok bagi orang yang ingin belajar ilmu silat tingkat
tinggi.
“Benar.” Lie Beng Cu manggut~manggut.
“Ayahku pun berkata begitu,
maka aku terus berlatih lweekang.”
"Oh ya, ayahmu bilang
kepandaiannya tidak begitu tinggi.
Benarkah itu?" tanya Kam
Hay Thian mendadak.
"Entahtah." Lie ~eng
Cu menggelengkan kepala. "Aku tidak begitu jelas teñtang itu.”
“Adik Beng Cu!" Kam Hay
Thian menatapnya. "Pernahkah engkau mendengar tentang Tio Cie Hiong?’
"Tidak pernah,"
jawab Lie Beng Cu. “Mungkin ayahku tahu. Lebih baik engkau bertanya kepada
ayahku saja.”
“Ya.” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Kakak Hay Thian,” tanya Lie
Beng Cu. “Siapa Tio Cie Hiong itu?”
“Dia saudara angkat ibuku.
Kata ibuku kepandaiannya sangat tinggi sekali. Maka aku harus mencari dia,
namun tidak tahu dia berada dimana.”
“Begini saja,” usul Lie Beng
Cu. “Untuk sementara engkau tinggal di sini sekalian belajar ilmu silat kepada
ayahku, setelah itu barulah engkau pergi mencari orang tersebut.”
“Ya.” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Kakak Hay Thian!” Lie Beng Cu
memandangnya sambil tersenyum. "Aku mau pergi sebentar, nanti malam kita
makan bersama.”
“Terima kasih!" ucap Kam
Hay Thian.
Lie Beng Cu meninggalkan kamar
itu, lalu pergi menemui ayahnya yang masih duduk diruang itu.
“Ayah!” panggilnya.
"Beng Cu di mana Hay
Thian?" tanya guru silat Lie.
“Di dalam kamar.” Lie Beng Cu duduk
disisinya. “Oh ya, Ayah! Kakak Hay Thian ingin belajar ilmu silat karena ingin
balas dendam.”
“Oh?” Guru silat Lie
mengerutkan kening. “Dia yang memberitahukan kepadamu?”
“Ya.” Lie Beng Cu mengangguk.
“Cukup lama kami mengobrol, dan dia memberitahukan secara jujur?
“Ngmm!” Guru silat Lie
manggut-manggut dan bertanya, “Apakah kedua orang tuanya dibunuh orang?”
“Ayahnya dibunuh penjahat.”
“Dia memberitahukan sebab
musababnya?”
“Ayahnya dibunuh karena sebuah
kitab. Padahal ayahnya berkepandaian tinggi, namun masih tidak sanggup melawan
penjahat itu.”
“Kalau begitu....” Kening guru silat Lie berkerut.
“Kepandaian penjahat itu pasti
tinggi sekali”
“Benar, Ayah.” Lie Beng Cu
mengangguk. “Dia mengatakan begitu?
“Ayahnya tidak pernah
mengajarnya ilmu silat?” tanya guru silat Lie mendadak.
“Hanya mengajarnya ilmu
lweekang, tidak pernah mengajarnya ilmü silat,” jawab Lie Beng Cu.
“Kalau begitu...,” ujar guru
silat Lie setelah berpikir sejenak. “Ayah akan mengajarnya Liong
San Kun Hoat (Ilmu Silat
Aliran Liong San), agar dia bisa menjaga diri dan memperkuat daya tahan
tubuhnya.”
“Ayah....” Lie Beng Cu menatapnya seraya bertanya,
“Pernahkah Ayah mendengar
tentang Tio Cie Hiong?”
“Tio Cie Hiong?!” Guru silat
Lie tertegun. “Pernah. Memangnya kenapa?”
“Dia ingin mencari orang itu,
yang katanya adalah saudara angkat ibunya.” Lie Beng Cu memberitahukan
“Beng Cu,” ujar guru silat
Lie. “Kaum rimba persilatan pasti tahu mengenai Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong.
Ayah pun pernah mendengar tentang pendekar, yang gagah dan berhati bajik itu.”
“Oh?” Giranglah hati Lie Beng
Cu. “Ayah tahu orang itu berada di mana?”
“Ayah tidak tahu.” Guru silat
Lie menggelengkan kepala dan menambahkan, “Sejak Bu Lim Sam Mo mati di
tangannya, dia pun menghilang entah ke mana.”
“Kalau begitu, tentunya Kakak
Hay Thian tidak akan berhasil mencarinya,” ujar Lie Beng Cu dengan wajah muram.
“Beng Cu!” Guru silat Lie
tersenyum “Itu tergantung dari peruntungannya”
“Ayah!” Lie Beng Cu tersenyUm.
“Benarkah Ayah ingin mengajar Kakak Hay Thian Liong San Kun Hoat?”
“Benar.” Guru silat Lie
tertawa. “Besok ayah akan mulai mengajarnya. "Oh ya, kenapa engkau begitu
menaruh perhatian kepadanya?”
“Ayah....” Wajah Lie Beng Cu
tampak kemerah-meráhan.
“Dia anak baik.”
“Ayah tahu itu. Ayah tahu
itu.” Guru silat Lie tertawa lagi. “Maka ayah bersedia mengajarnya Liong San
Kun Hoat.”
-oo0dw0oo-
Guru silat Lie mulai mengajar
Kam Hay Thian Liong San Kun Hoat, tujuannya agar anak itu bisa menjaga diri,
sekaligus memperkuat daya tahan tubuhnya, karena guru silat Lie tahu, bahwa
anak itu masih akan melanjutkan perjalanan.
Kam Hay Thian belajar dengan
tekun sekali, dan terus melatih ilmu lweekang yang diajarkan almarhUm ayahnya.
Pagi ini, Kam Hay Thian
berlatih bersama Lie Beng Cu. Seusai ber1atih, mereka duduk untuk beristirahat
“Kakak Hay Thian,” ujar Lie
Beng Cu dengan wajah berseri. “Engkau memang cerdas, begitu gampang menerjma
pelajaran ilmu silat itu.”
“Engkau lebih cerdas,” sahut
Kam Hay Thian sambil tersenyum. "Usiamu masih kecil tapi sudah menguasai
seluruh ilmu silat ayahmu.”
“Tentu.” Lie Beng Cu tertawa
kecil “Sebab sejak aku berusia lima tahun, ayah sudab mulai mengajarku ilmu
silat.”
“Oooh!” Kam Hay Thian
manggut-manggut.
“Kakak Hay Thian!” Lie Beng Cu
memberitahukan. “Ayahku tahu tentang paman Tio Cie Hiongmu itu.”
“Oh?” Kam hay Thian girang
sekali.
“Paman Cie Hiongmu adalah Pek
Ih Sin Hiap, yang sangat terkenal. Kepandaiannya memang tinggi sekali, bahkan
Bu Lim Sam Mo mati ditangannya.”
“Kalau begitu, ayahmu pasti
tahu Paman Cie Hiong berada di mana.”
“Ayahku tidak tahu.” Lie Beng
Cu menggelengkan kepala dan melanjutkan, “Setejah Bu Lim Sam Mo mati di
tangannya, Paman Cie Hiongmu menghilang entah ke mana.”
“Yaah!” Kam Hay Thian tampak
kecewa.
“Kakak Hay Thian’” Lie Beng Cu
tersenyum engkau tidak usah putus harapan. Paman Cie Hiongmu sangat terkenal,
mungkin ada yang tahu dia tinggal di mana.”
“Kalau begitu, aku harus
bertanya kepada kaum rimba persilatan!” ujar Kam Hay Thian.
“Jangan sembarangan bertanya
kepada kaum rimba persi1atan." pesan Lie Beng Cu serius.
“Lho? Kenapa?” tanya Kam Hay
Thian dengan rasa heran.
“Seandainya yang engkau tanya
itu adalah musuh Paman Cie Hiongmu, tentu engkau akan celaka.” Lie Beng Cu
menjelaskan.
“Benar. Lalu aku harus
bagaimana?" Kam Hay Thian menghela nafas.
“Tenang saja!” Lie Beng Cu
tersenyum. “Bukankah engkau bisa bertanya pada ayahku?”
“Betul, betul.” Kam Hay Thian
rnanggut-manggut. “Kenapa aku melupakan itu?”
“Kakak Hay Thian!” Lie Beng Cu
menatapnya. “Setelah berhasil menguasai Liong San Kun Hoat,apakah engkau akan
pergi?”
“Ya. Karena aku harus berusaha
mencari Paman Cie Hiong.”
“Kakak Hay Thian....” Wajah
Lie Beng Cu berubah muram.
“Setelah engkau pergi, engkau
akan ke mari lagi?”
“Tentu.” Kam Hay Thian
mengangguk. “Aku pasti ke mari lagi mengunjungimu dan ayahmu.”
“Engkau tidak boleh melupakan
aku lho!” pesan Lie Beng Cu. “Sebab aku selalu ingat kepadamu."
"Adik Beng Cu!" Kam
Hay Thap tersenyum. n“Aku tidak akan melupakanmu, karena engkau baik sekali
kepadaku, begitu pula ayahmu."
"Terima kasih Kakak Hay
Thian." ucap Lie Beng Cu sambil tersenyum “Ayoh, mari kita berlatih lagi!”
"Baik." Kam Hay
Thian mengangguk.
Mereka berdua mulai berlatih.
Apabila Kam Hay Thian melakukan gerakan salah, Lie Beng Cu pasti memberi petunjuk
kepadanya, maka Kam Hay Thian sangat girang dan sangat berterima kasih
kepadanya.
-oo0dw0oo-
Beberapa bulan kemudian, Kam
Hay Thian telah berhasil menguasai Liong San Kun Hoat. Maka guru silat Lie
menyuruh putrinya memanggil Kam Hay Than
"Paman memanggiku?” tanya
anak itu setelah berada dihadapan guru silat Lie
"Hay Thian!” Guru silat
Lie tersenyum lembut "Kini engkau telah menguasai Liong San Kun Hoat, maka
sudah waktunya engkau pergi mencari Paman Cie Hiongmu.”
“Oh?” Kam Hay Thian
terbelalak. “Paman tahu dia berada di mana?"
“Aku tidak tahu, tapi engkau
boleh ke markas Kay Pang,” sahut guru silat Lie memberi petunjuk. “Mungkin
ketua Kay Pang tahu dia berada di mana?"
“Jadi aku harus bertanya
kepada ketua Kay Pang?”
“Ya.” GUrU silat Lie mengangguk.
“Kalau tidak salah, Pek th Sin Hiap Tio Cie Hiong mempunyai hubungan erat
dengan Kay Pang. Tentunya ketua Kay Pang tahu dia berada di mana.”
“Dimana markas pusat Kay
Pang?”
“Dan sini engkau terus
berjalan ke arah timur. Setelah melewati sebuah lembah, engkau akan sampai di
sebuah desa. Tanyalah kepada penduduk desa itu, mereka akan membenitahukan
kepadamu.”
“Terima kasih, Paman!” ucap
Kam Hay Thian dan bertanya. “Kapan aku berangkat?”
“Engkau boleh berangkat
sekarang,” sahut guru silat Lie.
"Ayah...." Lie Beng Cu tersentak. “Kakak Hay Thian
berangkat besok saja!”
“Baiklah.” Guru silat Lie
mengangguk sambil tersenyum. “Hay Thian, kalau begitu, berangkatlah engkau
besok pagi.”
“Ya, Paman.” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Oh ya!” ujar guru silat Lie.
“Engkau pernah menitip dua ratus tael perak kepadaku, besok pagi uang itu akan
kukembalikan kepadamu.”
“Paman, bukankah...”
“Ha ha ha!" Guru silat
Lie tertawa “Aku tidak akan menerima pembayaranmu, sebab aku mengajarmu ilmu
silat dengan setulus hati Lagi pula engkau membutuhkan uang dalam perjalananmu”
“Terima kasih, Paman’” ucap
Kam Hay Thian dengan rasa haru.
“Ha ha ha!” Guru silat Lie
tertawa gelak, kemudian memandang putrinya seraya berkata, "Beng Cu,
temanilah Hay Thian!”
“Ya, Ayah.” Lie Beng Cu
mengangguk, kemudian mengajak Kam Hay Thian ke halaman belakang.
“Adik Beng Cu,” ujar Kam Hay
Thian begitu berada di halaman belakang. “Bagaimana kalau kita berlatih?”
Lie Beng Cu menggelengkan
kepala, lalu memandangnya dengan wajah agak muram seraya berkata,
“Kakak Hay Thian, besok pagi
kita akan berpisah.”
“Ya.” Kam Hay Thian
mengangguk. “Aku harus pergi mencari Paman Cie Hiong”
“Engkau harus hati-hati dalam
perjalananmu, sebab banyak orang jahat di rimba persilatan,” pesan Lie Beng Cu,
“Aku aku mengkhawatirkanmu,”
“Adik Beng Cu!” Kam Hay Thian
tersenyum, "Engkau jangan mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diri”
“Kakak Hay Thian....” Lie Beng
Cu menundukkan kepala.
“Engkau tidak akan melupakan
aku, bukan?”
“Adik Beng Cu,” sahut Kam Hay
Thian sungguh-sungguh. “Aku tidak akan melupakanmu, percayalah!”
“Terima kasih, Kakak Hay
Thian!” ucap Lie Beng Cu sambil tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah benda,
yang ternyata sebuah cincin giok. Diberikannya cincin itu kepada Kam Hay Thian
seraya berkata, “Cincin giok ini hadiah dari almarhumah, kini kuberikan
kepadamu”
“Adik Beng Cu....” Kam Hay Thian tidak berani
menenimanya.
“Kàkak Hay Thian,” desak Lie
Beng Cu. “Biar bagaimana pun engkau hanus menerima. Kalau tidak, aku... aku
akan marah.”
“Adik Beng
Cu....” Akhirnya Kam
Hay Thian menerima
cincin itu, lalu dipakal
dijari tengahnya.
“Kelak akan kupindahkan ke
jari manis. Terima kasih, Adik Beng Cu!”
“Kakak Hay Thian!” Lie Beng Cu
tersenyum.“Legalah hatiku engkau mau memakai cincin giok itu, pertanda engkau
tidak akan melupakanku!”
“Adik Beng Cu,” ujar Kam Hay
Thian sungguh-sungguh. “Selama-lamanya aku tidak akan melupakanmu”
"Terimakasih, Kakak Hay
Thianl” ucap Lie Beng Cu dan menambahkan, “Aku selalu menanti
kedatanganmu."
“Aku pasti ke mari kelak,”
ujar Kam Hay Thian berjanji. “Pasti ke mari.”
-oo0dw0oo-
Lie Beng Cu mengantar
kepergian Kam Hay Thian dengan air mata bercucunan bahkan setelah Kam Hay Thian
lenyap dan pandangannya tangisnya pun meledak seketika. Guru silat Lie segera
membelainya.
“Jangan menangis Nak! Dia
pasti ke mari kelak.” ujar guru silat Lie sambil tersenyum. “Ayah tahu, engkau
sangat menyukainya."
“Ayah....”
“Kalau engkau tidak
menyukainya bagaimana mungkin cincin giok pemberian almarhumah berada di jari tangannya?"
“Ayah tidak marah?”
“Kenapa ayah harus marah?”
Guru silat Lie tersenyum lembut. “Kam Hay Thian memang anak baik, maka ayah pun
sangat menyukainya. Kalau
tidak, bagaimana mungkin ayah membiarkanmu menghadiahkan cincin giok itu
kepadanya?"
"Ayah...." Lie Beng
Cu menundukkan kepala.
"Engkau tidak usah
berduka, dia pasti ke mari kelak,” ujar guru silat Lie dan menambahkan.
“Ayah tahu, dia pun
menyukaimu.”
“Ayah,“ Wajah Lie Beng Cu
langsung berubah kemerah-merahan, lalu berlari ke dalam.
Sementara Kam Hay Thian terus
melakukan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang sesuai dengan petunjuk guru
silat Lie. Beberapa hari kemudian ta telah tiba di sebuah lembah.
Karena merasa lelah sekali, ia
langsung duduk di atas sebuah batu. Begitu duduk wajahnya tampak berubah
seketika, dan cepat-cepat ia meloncat bangun.
Ternyata batu itu merosot ke
bawah, kemudian terdengar pula suara ‘Kreeek’ dan dinding tebing di tempat
terbuka.
Betapa terkejutnya Kam Hay
Thian, dan ia lalu berdiri termangu-mangu di tempat. Berselang beberapa saat,
barulah ia memberanikan diri mendekati goa itu sambil memandang ke dalam, yang
keadaannya gelap gulita, tak tampak apa pun.
“Goa apa itu?” gumamnya sambil
mengerutkan kening Akhirnya ia melangkah ke dalam, dan setelah ia berada di
dalam, pintu goa itu tertutup kembali.
“Haaah...!" Kam Hay Thian
terkejut bukan main, namun tidak merasa takut lalu berkeluh.
“Celaka, aku akan terkurung di
dalam goa ini!”
Kam Hay Thian berdiri di
tempat sambil memandang ke dalam, tapi tidak tampak apa pun karena gelap
sekali.
Beberapa saat kemudian, ía
memberanikan diri melangkah ke dalam sambi! meraba-raba, Ternyata goa itu
merupakan sebuah terowongan, yang sangat panjang. Entah berapa lama kemudian
tangannya meraba dinding yang sangat dingin, yang ternyata pintu baja.
"Kok ada pintu di sini?”
gumam Kam Hay Thian sambil meraba ke sana ke mari, dan tànpa sengaja menekan
sesuatu.
"Kreeeek! Pintu baja itu
terbuka dan cahaya yang cukup terang menyorot ke luar.
Kam Hay Thian girang bukan main
dan segera masuk. Setelah ia sampai di dalam, pintu baja itu pun tertutup
kembali.
“Tempat apa mi?” gumam Kam Hay
Thian sambil menengok ke sana ke mari. Ternyata ia berada di sebuah ruangan,
yang sangat indah dan agak terang, bahkan terdapat kursi, meja dan perabotan
lainnya.
Di dinding ruangan itu juga
terdapat beberapa buah pintu Karena tertarik ia pun memasuki salah satu pintu
tersebut. Betapa girang hatinya, sebab di ruangan kecil itu tersimpan makanan
kering dan lain sebagainya.
Setelah memeriksa ruang kecil
itu, ia pun memasuki pintu-pintu lainnya. Ternyata semuanya merupakan ruangan,
dan salah satunya menyimpan berbagai macam alat musik. Sesudah memasuki semua
ruangan tersebut, Kam Hay Thian kembali ke ruang depan, yang sangat besar itu.
Saking girangnya, ia terus
meraba-raba Seluruh dinding ruang depan tersebut. Kemudian bersamaan dengan
terdengarnya suara ‘krek’, muncullah sebuah lubang di bagian dinding itu. Kam
Hay Thian terbelalak, karena melihat sebuah kotak yang sangat indah tersimpan
di dalamnya.
Ia menjulurkan tangannya
mengambil kotak tersebut, kemudian ditaruhkannya di atas meja.
“Kotak apa ini?” ujarnya
sambil memperhatikan kotak tersebut. Kemudian dengan hati-hati sekali dibukanya
kotak itu. Ternyata di dalamnya berisi dua buah kitab, yang tentunya membuat
Kam Hay Thian tercengang.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah ia mengambil kedua kitab itu, sekaligus dibacanya.
Ternyata kitab itu adalah
kitab peninggalan Pak Kek Sian Ong dan kitab Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Kitab
Pelajaran Menghimpun Dan Menyatukan Tenaga Murni).
Setelah membacanya, dapat
dibayangkan betapa girangnya hati Kam Hay Thian, karena tahu bahwa kedua kitab
itu merupakan kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi. Tidak salah, kedua
kitab itu memang milik Bu Lim Sam Mo. Kam Hay Thian tidak tahu, tanpa sengaja
ía memasuki tempat tersebut, yang merupakan bekas markas Bu Tek Pay.
Karena ayahnya pernah
mengajarnya dasar-dasar ilmu lweekang, maka terlebih dahulu ía mempelajari
kitab Hian Bun Kui Goan Kang Khi.
-oo0dw0oo-
Bagian Ke Delapan
Sumber penyakit aneh
Kini Tio Bun Yang telah
berusia lima belas tahun. Ia bertambah tampan dan gagah. Kepandaiannya pun
bertambah tinggi, bahkan telah menguasai Ilmu Penakiuk Iblis dan ilmu
pengobatan pula.
Tentunya sangat menggirangkan
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im. Namun kedua orang tuanya masih tercekam rasa
cemas, karena Tio Bun Yang mengidap semacam penyakit aneh. Yakni tidak boleh
marah, apabila marah maka Tio Bun Yang akan kehilangan kesadarannya, sehingga
membuatnya membunuh apa pun yang ada di hadapannya.
Hingga saat ini, Tio Cie Hiong
masih tidak tahu sumber penyakit aneh tersebut. Padahal ia terus menerus
mengobati putranya itu dengan berbagai macam obat, namun tetap tidak dapat
menyembuhkannya.
Pagi ini, Tio Bun Yang duduk
bersemedi dibawah sebuah pohon melatih lweekangnya. Ia menghimpun Pan Yok Hian
Thian Sin Kang, lalu Kan Kun Taylo Sin Kang setelah itu Giok Li Sin Kang.
Di saat menghimpun hawa murni
Giok Li Sin Kang, wajah Tio Bun Yang berubah menjadi pucat. Berselang sesaat,
mulailah Ia menghimpun Kiu Yang Sin Kang. Wajahnya yang pucat pias itu mulai
berubah merah padam, dan keringatnya mulai merembes ke luar dan keningnya.
Makin lama wajahnya makin
bertambah merah, kemudian mendadak ia berteriak keras sambil meloncat bangun,
sekaligus membuka sepasang matanya. Sungguh mengejutkan, karena sepasang
matánya tampak membara.
Ia memukul kesana kemari
seperti orang gila, dan banyak pohon yang hancur terkena pukulannya.
kelihatannya Ia telah kehilangan kesadarannya, dan terus mengamuk memukul
kesana kemari.
Lama sekali barulah ia
berhenti, lalu terkulai dan pingsan. Di saat bersamaan, muncullah Lie Ai Ling
dan monyet bulu putih.
“Kakak Bun Yang! Kakak Bun
Yang!” panggil Lie Ai Ling, sambjl menggoyang~goyangkan bahunya. Monyet bulu
putih pun segera memeriksanya, dan setejah itu bercuit-cuit.
“Kauw heng,” tanya Lie Ai
Ling. Kini gadis itu telah berusia empat belas tahun. “Bagaimana keadaan Kakak
Bun Yang, dia tidak apa-apa?”
Monyet bulu putih mengangguk, dan
karena itu Lie Ai Ling menarik nafas lega.
Berselang beberapa saat
kemudian, badan Tio Bun Yang mulai bergerak, Lie Ai Ling segera memanggilnya.
“Kakak Bun Yang! Kakak Bun
Yang!”
Tio Bun Yang membuka matanya,
lalu menghela nafas panjang sambil duduk dan kelihatan lelah sekali.
"Kakak Bun Yang, kenapa
engkau?” tanya Lie Ai Ling penuh perhatian. “Kok engkau pingSan di Sini?”
"Aku” Tio Bun Yang
menggelengkan kepala.
“Engkau sakit?” Lie Ai Ling
menatapnya.
“Aku tidak sakit, hanya
saja....” Tio Bun Yang mengerutkan
kening, “Berat sekali rasanya
kepalaku.” “Kenapa begitu?"
“Entahlah. Aku pun tidak
mengerti,” sahut Tio Bun Yang dan bergumam. “Aku sedang melatih lweekang....”
"Lalu?”
"Lalu....” Tio Bun Yang
terus berpikir sambil bergumam.
“Aku menghimpun Pak Yok Han
Thian Sin Kang, kemudian Kan Kun Taylo Sin Kang Setelah itu, ketika aku
menghimpun Giok Li Sin Kang, aku merasa peredaran darahku mulai bergejolak.
Lebih-lebih ketika aku menghimpun Kiu Yang Sin Kang, dadaku terasa mau meledak,
sehingga membuatku berteriak keras dan kehilangan kesadaran."
“Oh?” Lie Ai Ling terbelalak,
kemudian menengok ke sana ke mari. “Engkau memukul hancur pohon-pohon
itu?"
“Entahlah.” Tio Bun Yang
menggelengkan kepala. “Aku tidak mengetahuinya?"
“Kakak Bun Yang!” Lie Ai Ling
menatapnya. “Aku melihat engkau tergeletak pingsan disini, maka segera
memanggilmu sambil menggoyang-goyangkan bahumu.”
“Oh?” Tio Bun Yang mengerutkan
kening. Tampaknya ia sedang berpikir lagi. Namun mendadak ia tersentak,
kelihatannya telah menyadari satu hal. “Apakah dikarenakan itu?”
“Dikarenakan apa?” tanya Lie
Ai Ling.
“Adik Ai Ling, Kauw-heng, mari
kita pulang!” Tio Bun Yang bangkit berdiri. “Aku harus memberitahukan kepada
ayah.”
-oo0dw0oo-
Tio Cie Hiong, Lim Ceng im,
Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay di ruang depan dengan wajah serius. Ternyata
Tio Bun Yang membertahukan tentang kejadian itu, bahkan Lie Ai Ling pun
menambahkan.
"Aku melihat kakak Bun
Yang pingsan, dan pohon-pohon di sekitar tempat itu háncur berantakan.”
“Ngmm!” Tio Cie Hiong
manggut-manggut. “Tidak salah lagi, itu pasti sumber penyakit Bun Yang!”
“Maksudmu Cie Hiong?” tanya
Tio Tay Seng.
“Pan Yok Han Thian Sin Kang
dan Kan Kun Taylo Sin Kang berhubungan erat sekali, boleh dikatakan merupakan
saudara kandung,” jawab Tio Cie Hiong menjelaskan “Giok Li Sin Kang bersifat
lembut mengandung hawa im (dingin), sedangkan Kiu Yang Sin Kang bersifat keras
mengandung hawa Yang (panas). Oleb karena itu, terjadilah gejojak hawa murni
yang bertentangan di dalam tubuh Bun Yang, sehingga menyebabkan tekanan
darahnya tidak normal, sekaligus
menyerang syaraf otaknya, maka
menimbulkan penyakit aneh itu.”
“Kalau begitu harus
bagaimanana tanya Lim Ceng im cemas.
“Tidak apa-apa.” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Kini aku sudab tahu sümber penyakit itu, dan aku dapat
menyembuhkannya."
"Bagaimana caranya?”
tanya Tio Tay Seng.
"Aku harus membantunya
mengeluarkan hawa murni Giok Li Sin Kang dan Kiu Yang Sin Kang," jawab Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh. "Kalau tidak, tidak lama lagi dia pasti gila.”
“Haaah...?” Lim Ceng Im dan
Tio Tay Seng terkejut bukan main, begitu pula Sam Gan Sin Kay.
“Untung cepat mengetahuinya,
kalau tidak Bun Yang pasti cetaka.” Tio Cie Hiong menghela nafas lega.
“Itu kesalahanku,” ujar Lim
Ceng Im menyesal. “Karena aku mengajarkannya Giok Li Sin Kang.”
“Aku pun bersalah.” Tio Tay
Seng menggeleng-gelengkan kepala. “Karena menginginkan Bun Yang menjadi
pendekar tanpa tanding, maka aku pun mengajarnya Kiu Yang Sin Kang. Akhirnya
malah jadi begini.”
“Adik Im dan Paman tidak
bersalah.” Tio Cie Hiong tersenyum. “Itu pertanda sangat sayang pada Bun Yang.
Pada waktu itu aku pun tidak tahu akan menjadi begini. Namun masih tidak
terlambat, aku mampu mengeluarkan hawa-hawa murni itu dan tubuh Bun Yang.”
“Syukurlah!” ucap Tio Tay Seng
sambil menarik nafas lega.
“Bun Yang, duduklah bersila di
lantai!” ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan, “Ayah suruh apa, engkau harus
menurut.”
“Ya, Ayah.” Tio Bun Yang
mengangguk, lalu duduk bersila di lantai.
Tio Cie Hiong duduk bersila di
belakangnya, kemudian sepasang telapak tangannya ditempelkan pada punggung Tio
Bun Yang.
“Bun Yang, himpunlah hawa
murni Giok Li Sin Kang!” ujar Tio Cie Hiong.
Tio Bun Yang mengangguk,
kemudian menghimpun hawa murni Giok Li Sin Kang. Tak lama wajahnya mulai
memucat, Tio Cie Hiong segera mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin Kang ke dalam
tubuh Tio Bun Yang, dan berselang sesaat ia berkata. “Buka mulutmu!”
Tio Bun Yang membuka mulutnya.
Sesaat kemudian tampak uap putih mulai keluar dari mulutnya.
“Terus himpun Giok Li Sin
Kang, jangan berhenti!” pesan Tio Cie Hiong dengan suara rendah.
Tio Bun Yang mengangguk
perlahan dan terus menghimpun Giok Li Sin Kang. Berselang beberapa saat, tidak
tampak lagi uap putih ke luar dan mulut Tio Bun Yang.
“Himpun hawa murni Kiu Yang
Sin Kang!” ujar Tio Cie Hiong sambil berhenti mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin
Kang.
Tio Bun Yang mulai menghimpun
hawa murni Kiu Yang Sin Kang, dan tak lama kemudian wajahnya mulai memerah.
Tio Cie Hiong segera
mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya. “Buka mulutmu!"
ujarnya kemudian.
Tio Bun Yang membuka mulutnya,
tampak pula uap putih ke luar dan mulutnya, yang mengandung hawa panas.
“Jangan berhenti menghimpun
hawa murni Kiu Yang Sin Kang!” pesan Tio Cie Hiong, keningnya mulai
berkeringat.
Tio Bun Yang terus menghimpun
hawa murni Kiu Yang Sin Kang, sedangkan Tio Cie Hiong pun terus mengerahkan Pan
Yok Han Thian Sin Kang ke
dalam tubuhnya untuk mendesak ke luar hawa murni Kiu Yang Sin Kang itu.
Berselang beberapa saat kemudian,
mulut Tio Bun Yang tidak mengeluarkan uap lagi, dan wajahnya pun telah normal
kembali. Sebaliknya Wajah Tio Cie Hiong menjadi pucat pias. Ia segera berhenti
mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin Kang, sekaligus menarik kembali tangannya
dari punggung Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang bangkit berdiri,
sedangkan Tio Cie Hiong masih duduk bersemedi. Berselang sesaat, barulah ia
bangkit berdiri sambil menghela nafas panjang dan berkata,
“Untung aku memiliki lweekang
tinggi dan dua kali makan buah Kiu Yap Ling Che! Kalau tidak, aku pasti sudah
tàrluka dalam!”
“Ayah....” Tio Bun Yang segera bersujud dihadapan
ayahnya. “Maafkan Bun Yang
telah menyusahkan Ayah!”
“Nak!” Tio Cie Hiong tersenyum
lembut sambil membangunkannya “Kini ayah, ibu dan lainnya telah berlega hati,
karena engkau telah sembuh.”
“Terima kasih Ayah!” ucap Tio
Bun Yang.
“Nak, duduklah!” Tio Cie Hiong
tersenyum lagi sambil duduk.
“Ya, Ayah.” Tio Bun Yang duduk
di sisi Lim Ceng Im. “Ibu, mulai sekarang Ibu tidak perlu cemas lagi.”
"Nak....” Lim Ceng Im
membelainya dengan penuh kasih
sayang.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak.
“Tio Tocu, urusan in sudah
beres. Maka kita pergi main catur!”
“Baik.” Tio Tay Seng
mengangguk Mereka berdua lalu pergi main catur.
“Adik Im,” ujar Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh. “ini merupakan pengalaman bagiku. Seseorang memang tidak boleb
belajar bermacam-macam ilmu lweekang, sebab akan mencelakai diri sendiri.”
“Benar.” Lim Ceng Im
mengangguk “Untung Bun Yang cepat menyadani hal itu, kalau tidak....”
“Dia pasti gila.” Tio Cie
Hiong menghela nafas Panjang.
“Oh ya!” Lim Ceng Im teringat
sesuatu. "Kini dia telah memiliki Ilmu Penakiuk Iblis, itu tidak akan
mempengaruhinya?"
"Tentu tidak.” Tio Cie
Hiong tersenyum. "Karena Ilmu Penakluk Iblis merupakan semacam ilmu
kebatinan tingkat tinggi, jadi dapat memperkuat batinnya.~’
“Oooh!” Lim Ceng Im
manggut-manggut. “Kakak Hiong, sungguh kasihan Kakak Hong Hoa! Selama lima
tahun ini, dia hidup dengan hati tersiksa."
“Itu karena ulah Lie Man
Chiu.” Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. “Selama lima tahun ini, dia
sama sekali tidak pulang. Entah dia menjadi apa di rimba persilatan?”
“Kakak Hiong....” Lim Ceng Im menatapnya sambil
tersenyum. “Untung engkau
tidak seperti Lie Man Chiu!”
“Adik Im....”
Tio Cie Hiong
menatapnya mesra dengan
penuh cinta kasih. “Bagaimana
mungkin aku akan seperti Lie Man Chiu?”
“Paman, Bibi,” sela Lie Ai
Ling mendadak. “Ayahku memang jahat, tega meninggalkan kami. Aku pun tidak mau
mengakunya sebagai ayah lagi, sebab dia... dia membuat ibu menderita!”
“Ai Ling....” Tio Cie Hiong
terkejut. Ia lupa akan keberadaan
Lie Ai Ling di situ.
“Paman adalah lelaki yang
paling baik didunia, juga sebagai ayah yang paling baik. Sebaliknya ayahku
merupakan lelaki yang paling jahat di dunia. Demi mengangkat namanya dirimba
persilatan, dia begitu tega meninggalkan kami.”
"Ai Ling...,” ujar Lim
Ceng Im dengan suara rendah. “Engkau tidak boleh berkata demikian dihadapan
ibumu, sebab akan membuat ibumu sedih lho!”
"Ya, Bibi!” Lie Ai Ling
mengangguk.
“Adik Ai Ling!” Mendadak Tio
Bun Yang menarik tangannya. “Mari kita pergi berlatih!”
“Ya, Kakak Bun Yang.” Lie Ai
Ling mengangguk. Mereka berdua lalu meninggalkan ruangan itu.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
menghela nafas panjang, sementara monyet bulu putih itu duduk diam saja di
kursi.
“Adik Im!” Tio Cie Hbong
tersenyum. “Kini legalah hati kita, karena Bun Yang telah sembuh.”
“Ya.” Lim Ceng Im mengangguk
dengan wajah berseri, kemudian berkata, “Kakak Hiong, bagaimana menurutmu
mengenai Bun Yang dengan Ai Ling?”
“Maksudmu?” Tio Cie Hiong agak
terbelalak.
“Mereka berdua begitu akrab
dan cocok, mungkinkah mereka berjodoh menjadi suami isteri?” sahut Lini Ceng
Im.
“Adik Im!” Tio Cie Hiong
tertawa. “Mereka berdua memang akrab dan sangat cocok sekali. Bahkan juga
saling mengasihi dan saling mencinta pula.”
“Kalau begitu....” Wajah Lim
Ceng Im berseri. “Aku sangat
menyukai Ai Ling.”
“Adik Im!” Mendadak Tio Cie
Hiong tampak serius. “Engkau jangan salah paham. Mereka saling mencinta bagaikan
kakak adik kandung, bukan merupakan sepasang kekasih lho!”
“Oh?” Lim Ceng Im tertegun.
“Menurutku...” ujar Tio Cie
Hiong. “Mengenai perjodohan Bun Yang, terserah padanya. Kita sebagai orang tua
hanya merestui saja, jangan bantu dia memilih. Sebab dia bisa pilih sendiri,
jadi terserah dia saja.”
“Ya.” Lim Ceng Im mengangguk,
kemudian tersenyum geli. “Kakak Hiong....”
“Ada apa? Kenapa engkau
mendadak tertawa geli?”
“Aku teringat pertemuan kita
pertama kali. Engkau bertelanjang bulat mandi di kali,” sahut
Lim Ceng Im yang masih tertawa
geli. “Mungkinkah Bun Yang akan mengalami hal seperti itu?"
“Mudah-mudahan!” ucap Tio Cie
Hiong samtertawa gelak. “Itu yang kuharapkan.”
“Dasar...!” Lim Ceng Im
mencubit paha suaminya, dan kemudian Tio Cie Hiong memeluknya erat-erat dengan
mesra sekali.
-oo0w0oo-
Tio Hong Hoa duduk melamun di
dekat taman bunga. Matanya terus memandang bulan purnama, yang bersinar terang,
lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang.
“Sudah lima tahun! Sudah lima
tahun...” gumamnya dengan mata basah. “Kakak Chiu, kenapa engkau belum pulang?
Aku... aku rindu sekali kepadamu, begitu pula Ai Ling putri kita itu. Kakak
Chiu, apakah engkau telah melupakan kami? Aaakh..!”
“Ibu! Ibu....” Muncul Ai Ling menghampirinya.
“Al Ling!” Tio Hong Hoa
menatapnya sambil tersenyum getir. “Kenapa engkau belum tidur?”
“Ibu belum tidur, bagaimana
mungkin Ai Ling bisa tidur?” Lie Ai Ling duduk di sisi ibunya.
“Nak....” Tio
Hong Hoa membelainya
lembut. “Sungguh
kasihan engkau....”
“Yang harus dikasihani adalah
Ibu.” Lie Ai Ling menatapnya iba. “Karena Ibu tampak agak tua dan rambut ibu
pun mulai memutih. Ibu, sungguh kejam ayah, Ai Ling benci kepadanya!”
“Nak....” Tio Hong Hoa
menghela nafas panjang. “Tidak
baik engkau membencinya, sebab
biar bagaimana pun dia adalah ayahmu.
"Hmm!” dengus Lie Ai Ling
dingin. “Percuma punya ayah begitu macam, iebih baik anggap dia sudah mati.”
“Nak!” Wajah Tio Hong Hoa
berubah pucat. “Engkau....”
“Hanya demi mengangkat nama,
dia tega meninggalkan kita,” ujar Lie Ai Ling sengit. “Lihatlah Paman Cie
Hiong, dia hidup tenang dan bahagia bersama anak isterinya di pulau ini, tidak
seperti ayah, yang mementingkan dirinya sendiri.”
“Sifat manusia
berbeda....” Tio Hong
Hoa menggeleng-
gelengkan kepala. “Nak, walau
ayahmu begitu tega meninggalkan kita, namun ibu tetap mencintainya, dan
merindukannya pula!”
“Ibu....” Lie Ai Ling
terbelalak. “Ayah begitu jahat, tapi
kenapa ibu masih mencintai dan
merindukannya?”
“Nak, sebetulnya ayahmu tidak
jahat.” Tio Hong Hoa menjelaskan. “Dia cuma terlampau berambisi, lagi pula
mungkin sudah merupakan nasib ibu. Maka... engkau jangan mempersalahkannya.”
“Ibu....” Lie Ai Ling menghela
nafas. “Sungguh besar jiwa
Ibu, tapi, sebaliknya
ayah....”
“Yaah!” Tio Hong Hoa tersenyum
getir. “Mungkin juga merupakan takdir, ibu harus menerima itu dan memaafkan
ayahmu.”
“Ibu,” sahut Lie Ai Ling
sungguh-sungguh. “Pokoknya Ai Ling tidak akan memaafkan ayah.”
“Nak, engkau tidak boleh
begitu.”
“Tidak boleh begitu? Jadi dia
boleh meninggalkan kita sesuka hatinya? Lelaki macam itu lebih baik kita
lupakan saja!”
“Nak, dia ayahmu. Jangan lupa
itu....”
“Ibu, di saat ayah
meninggalkan kita, di saat itu pula Ai Ling sudah tidak punya ayah.”
“Adik Ai Ling....” Mendadak
muncul Tio Bun Yang. Apa yang
dikatakan Lie Ai Ling masuk
kedalam telinganya. “Engkau tidak boleh berkata begitu. Ayahmu memang bersälah,
namun tetap ayahmu, maka engkau harus memaafkannya. Aku yakin suatu hari nanti,
ayahmu pasti menyesal akan perbuatannya itu.”
“Kakak Bun Yang....” Sungguh mengherankan, gadis itu
tidak berani berdebat
dengannya.
“Bagaimana mungkin ayahku akan
menyesal? Itu...tidak mungkin.”
“Adik Ai Ling!” Tio Bun Yang
menatapnya lembut. “Engkau harus tahu, Paman Chiu meninggalkan kalian lantaran
suatu ambisi. Itu bukan berarti dia tidak mencintai kalian. Dia tega
meninggalkan kalian karena nuraninya telah tertutup oleh ambisinya itu. Akan
tetapi, suatu hari nanti pintu nuraninya pasti terbuka kembali, yang akan
membuatnya menyesal dan pasti berlutut dihadapan ibumu untuk memohon
pengampunan. Oleh karena itu,
engkau harus memaafkannya agar pintu nuraninya terbuka. Mengerti?”
“Mengerti, Kakak Bun Yang.”
Lie Ai Ling mengangguk. “Aku pasti menuruti nasihatmu.”
“Bagus!” Tio Bun Yang
tersenyum lembut sambil membelainya. “Aku sangat bersyukur dan legalah hatiku,
karena engkau sudah mengerti dan mau menuruti nasihatku.”
“Kakak Bun Yang!” Lie Ai Ling
menatapnya seraya berkata. “Engkau adalah kakakku yang paling baik di dunia!”
“Terima kasih, adik Ai Ling!”
Tio Bun Yang tersenyum lagi. “Nah, mulai sekarang engkau tidak boleh berdebat
dengan ibumu lagi. Kasihan ibu yang dirundung duka dan sangat menderita.”
“Ya.” Lie Ai Ling mengangguk,
kemudian merangkul Tio Hong Hoa sambil menangis terisak-isak. “Ibu, maafkan Ai
Ling!”
“Nak....” Tio
Hong Hoa membelainya
dengan air mata
berderai-derai, kemudian
berkata kepada Tio Bun Yang. “Terima kasih Bun Yang, engkau dapat menasihati Ai
Ling!”
“Bibi, Bun Yang menyayanginya,
maka harus menasihatinya,” ujar Tio Bun Yang. “Lagi pula Ai Ling boleh
dikatakan sebagai adikku.”
“Bun Yang....” Tio Hong Hoa
terharu bukan main. “Sifatmu
sungguh baik sekali, seperti
sifat ayahmu.
“Bibi!” Tio Bun Yang
menatapnya dalam-dalam. “Bun Yang harap mulai sekarang, Bibi jangan berduka
lagi! Bun Yang yakin suatu hari nanti, Paman Chiu pasti pulang.”
“Mudah-mudahan!” sahut Tio
Hong Hoa. “Memang itu yang bibi harapkan.”
-oo0dw0oo-
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
duduk santai di ruang depan sambil bercakap-cakap, Wajah mereka tampak ceria
dan bahagia.
“Adik Im,” ujar Tio Cie Hiong.
“Bun Yang telah menguasai seluruh kepandaianku, hanya saja lweekangnya masih
dangkal”
“Jadi harus bagaimana agar
lweekangnya mencapai ke tingkatmu?” tanya Lim ceng Im.
“Itu agak sulit.” Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala. “Sebab aku pernah makan buah Kiu Yap Ling
Che, maka lweekangku menjadi tinggi”
“Kalau begitu....”
“Adik Im!” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Itu adalah buah ajaib dan langka, yang lima ratus tahun berbuah
sekali, jadi tidak gampang orang memperoleh buah ajaib itu.”
“Oooh!” Lim Ceng Im
manggut.manggut “Kalau begitu, Bun Yang harus terus melatib lweekangnya,
bukan?”
“Ya.” Tio Cie Hiong
mengangguk.
“Harus melatih berapa lama?”
“Mungkin sepuluh tahun, bahkan
juga dua puluh tahun. Aku tidak begitu jelas.”
“Yaah!” Lim Ceng Im menghela
nafas panjang.
Di saat bersamaan, tampak
sosok bayangan putih melesat ke dalam, lalu duduk di hadapan mereka.
“Kauw-heng!” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Dari mana engkau?”
Monyet bulu putih langsung
manggut-manggut, kemudian bercuit-cuit tampak gembira sekali.
“Kalau begitu, pergilah
panggil Bun Yang kemari!” ujar Tio Cie Hiong kepada monyet bulu putih.
Monyet bulu putih itu
bercuit-cuit sambil menggerak-gerakkan tangannya Tio Cie Hiong manggut-mangggut
dan berkata. “Barusan engkau menyaksikan latihan Tio Bun Yang?”
Monyet bulu putih itu
manggut-manggut, kemudian sepasang tangannya bergerak sekaligus menarik nafas
“Maksudmu lweekangnya masih
dangkal?”
Monyet bulu putih
manggut-manggut lagi, lalu menunjuk ke atas, menunjuk dirinya sendiri dan
menunjuk ke sana ke mari
“Apa?” Tio Cie Hiong
terbelalak
“Kakak Hiong,” tanya Lim Ceng
Im. “Kauw-heng bilang apa?”
"Dia bilang ingin
mengajak Bun Yang pergi ke Gunung Thian San,” jawab Tio Cie Hiong
memberitahUkan “Bun Yang harus berlatih disana, agar lweekangnya bisa mencapai
tingkat tinggi.”
“Oh?” Lim Ceng Im tertegun
“Kakak Hiong, bagaimana menurutmu?”
"Harus kita rundingkan
dengan paman dan kakekmu,” sahut Tio Cie Hiong. “Aku tidak berani mengambil
keputusan sekarang”
“Ada apa?” Mendadak muncul Tio
Tay Seng bersama Sam Gan Sin Kay.
“Paman, Kakek pengemis!”
panggil Tio Cie Hiong.
“Cie Hiong!” Tio Tay Seng
menatapnya. “Kelihatannya engkau sedang merundingkan sesuatu dengan kauw heng.
Apa yang kalian rundingkan?”
“Paman!” Tio Cie thong
memberjtahukan. “Kauw-heng mengajukan suatu usul.”
“Oh?” Tio Tay Seng tersenyum,
“Kauw-heng mengajukan usul apa?”
“Dia ingin mengajak Bun Yang
pergi ke Gunung Thian San.”
“Maksudnya Bun Yang berlati di
tempat tinggalnya, di Gunung Thian San?” tanya Tio Tay Seng.
“Ya.” Tio Cie Hiong
mengangguk, “Bagaimana menurut Paman?”
"Ha ha ha!” Sam Gan Sin
Kay tertawa mendadak. “Itu merupakan suatu kesempatan bagi Bun Yang, maka
kalian harus mengijinkan kauw-heng mengajaknya ke sana.”
“Cie Hiong,” ujar Tio Tay Seng
sungguh-sungguh. “Terus terang, Paman tidak keberatan”
“Tapi “Tio Cie Hiong melirik
Lim Ceng Im.
“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im
tersenyum. “Aku pun tidak berkeberatan, itu memang merupakan suatu kesempatan
bagi Bun Yang. Lagi pula kauw heng sangat sakti, siapa tahu dia akan memetik
buah ajaib Kiu Yap Ling Che untuk Bun Yang.”
Monyet bulu putih bercuit
sekali, lalu melesat pergi. Tak lama kemudian hewan itu telah kembali bersama
Tio Bun Yang.
“Ayah memanggil Bun Yang?”
“Ya.” Tio Cie Hiong
mengangguk. “Bun Yang, kauw-heng ingin mengajakmu pergi ke Gunung Thian San.
Apakah engkau setuju?”
“Mau apa kauw heng mengajak
aku ke sana?” tanya Tio Bun Yang dengan rasa heran.
Monyet bulu putth segera
bercuit-cuit, Sekaligus menggerak-gerakkan tangannya.
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut sambil tersenyum. “Ternyata kauw-heng menghendaki agar aku
berlatih di sana!”
“Bagaimana?” Tio Cie Hiong
menatapnya. “Engkau setuju?”
“Tentu setuju.” Tio Bun Yang
mengangguk. “Karena itu merupakan kesempatan bagiku, maka aku tidak mau
mengecewakan maksud baik kauw-heng.”
“Kalau begitu, kapan engkau
dan Kauw heng akan berangkat?” tanya Lim ceng Im.
“Besok pagi,” sahut Tio Bun
Yang. “Ibu tidak berkeberatan, bukan?”
“Tentu tidak, namun engkau
harus berhati-hati...” Ucapan Lim Ceng Im terputus, karena mendadak monyet bulu
putih bercuit-cuit.
Lim Ceng Im tersenyum
“Kauw-heng bisa menjaganya, bukan?”
Monyet bulu putih
manggut-manggut, dan Tio Bun Yang tersenyum.
“Ibu, aku pun bisa menjaga
diri,” katanya sungguh-sungguh.
“Ngmm!” Lim Ceng Im
manggut-manggut.
“Bun Yang!” Tio Cie Hiong
menatapnya dalam-dalam. “Engkau dan kauw-heng boleh berangkat besok pagi, tapi
begitu usai berlatih dsana engkau dan kauw-heng harus segera pulang. Jangan
berkelana dulu, engkau harus ingat”
“Ya, Ayah." Tio Bun Yang
mengangguk, “Bun Yang pasti mematuhi pesan Ayah."
“Bagus!” Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
“Oh ya!” Tio Bun Yang teringat
sesuatu “Bun Yang harus memberitahu bibi dan adik Ai Ling”
“Mereka berada di ruang
belakang, pergilah menemui mereka!” ujar Tio Cie Hiong.
“Ya, Ayah.” Tio Bun Yang
berjalan ke ruang belakang.