Jilid 26
"Banyak terima kasih atas
uraian Ti-kong Taysu sehingga kita semua dapat mengikuti duduknya perkara dari
awal,” kata Ci-tianglo. Lalu ia unjuk surat yang dipegangnya tadi, "Dan
surat ini adalah kiriman pendekar Toako Pemimpin itu kepada Ong-pangcu, isinya
berusaha mencegah Ong-pangcu agar jangan mengangkat engkau sebagai gantinya.
Nah, silakan baca sendiri, Kiau-pangcu.”
"Coba kulihat dulu,
apakah surat itu asli atau bukan,” kata Ti-kong tiba-tiba sambil menerima surat
itu dari tangan Ci-tianglo. Setelah membaca, katanya pula, "Ya, memang
betul adalah tulisan tangan Toako Pemimpin.”
Sembari berkata, diam-diam ia
gunakan jari tangan kiri untuk robek bagian yang ada tanda tangan penulis surat
itu, lalu dimasukkan ke mulut terus ditelan.
Tatkala itu hari sudah gelap,
di tengah hutan hanya remang-remang oleh cahaya bintang yang berkedip, waktu
Ti-kong merobek surat itu ia pura-pura kurang jelas membacanya, maka surat itu
diangkat ke atas, pada saat itulah ia robek ujung surat dan ditelan.
Sudah tentu Kiau Hong tidak
menduga padri saleh itu bisa berbuat selicik itu, sambil membentak terus saja
sebelah tangan menabok ke depan, dari jauh ia tepuk hiat-to padri itu,
berbareng tangan lain hendak merebut surat itu. Namun tetap terlambat, sobekan
kertas surat itu sudah masuk ke perut Ti-kong.
"Kau ... kau berbuat
apa?” bentak Kiau Hong dengan gusar, menyusul ia menabok pula untuk membuka
hiat-to orang.
Ti-kong tersenyum, sahutnya,
"Kiau-pangcu, jika engkau sudah mengetahui asal usul dirimu sendiri, tentu
engkau akan membalas sakit hati ayah-bundamu. Karena Ong-pangcu sudah
meninggal, dia tidak perlu dibicarakan lagi, tapi siapa Toako Pemimpin justru
tidak boleh diketahui olehmu. Dahulu pernah kuikut serta menyerang kedua orang
tuamu itu, maka segala dosa dan kesalahan biar aku menanggungnya, hendak kau
bunuh atau digantung terserahlah padamu untuk melakukannya sekarang.”
Melihat sikap padri yang
sungguh-sungguh itu, wajah tersenyum welas asih, meski berduka dan penasaran,
mau tak mau Kiau Hong menaruh hormat juga padanya, maka katanya, "Hal ini
benar atau tidak, saat ini aku sendiri belum yakin. Hendak membunuhmu juga
tidak perlu terburu-buru pada saat demikian.”
Habis berkata, ia melirik
sekejap pada Tio-ci-sun.
"Benar, termasuk juga
aku,” kata Tio-ci-sun sambil mengangkat pundak seakan-akan menghadapi urusan
sepele saja, "utang itu aku pun mempunyai bagian, kapan-kapan saja engkau
suka, setiap saat engkau boleh turun tangan.”
"Kiau-pangcu,” seru
Tam-poh tiba-tiba, "setiap tindakan harus dipikirkan masak-masak
sebelumnya. Bila sampai menimbulkan persengketaan antarbangsa, maka setiap
pahlawan di Tionggoan pasti akan memusuhimu.”
Kiau Hong hanya tertawa
dingin, perasaannya sangat kusut, ia tidak tahu cara bagaimana harus
menjawabnya.
Ia coba membaca surat, isinya
sebagai berikut:
Saudaraku Kiam-yan.
Setelah pembicaraan selama
beberapa hari, maksud mewariskan kedudukanmu ternyata tidak berubah. Setelah
beberapa hari kupikirkan, aku pun tetap tidak menyetujui maksudmu itu.
Kepandaian pemuda she Kiau itu memang lain daripada yang lain, jasanya juga
sangat besar, berjiwa kesatria dan patriotik, bukan saja menjadi tokoh
kebanggaan Kay-pang, bahkan setiap kawan persilatan sebangsa juga merasa kagum
padanya. Dengan tokoh sehebat itu untuk menggantikan kedudukanmu, perkembangan
Kay-pang kelak sudah dapat diduga pasti akan membubung ....
Membaca sampai di sini, Kiau
Hong merasa cianpwe ini sangat menghargai dirinya, ia merasa sangat berterima
kasih, ia membaca lagi:
Namun pertarungan sengit di
luar Gan-bun-koan dahulu itu betapa menggetarkan sukma keadaan waktu itu,
sampai kini sehari pun tidak pernah kulupakan. Anak itu bukan bangsa kita, ayah
bundanya terbinasa di tangan kita. Takkan menjadi soal bila anak ini tidak tahu
asal usul sendiri, tetapi bila kelak ia tahu, bukan saja Kaypang akan musnah di
tangannya, bahkan dunia persilatan di Tionggoan juga akan mengalami malapetaka.
Orang yang berkepandaian setinggi anak ini pada zaman ini sesungguhnya dapat
dihitung dengan jari.
Sebenarnya sebagai orang luar
tidaklah pantas aku ikut campur urusan Kay-pang kalian, tapi hubungan kita lain
daripada yang lain, urusan ini sangat luas pula akibatnya. Maka sebelum ambil
keputusan, haraplah dipikirkan lebih masak lagi.
Tanda tangan penulis surat itu
sudah tidak terbaca lagi karena telah dirobek oleh Ti-kong tadi.
Melihat Kiau Hong
termangu-mangu setelah membaca surat itu, segera Ci-tianglo mengangsurkan
sehelai surat yang lain, katanya, "Dan ini adalah tulisan Ong-pangcu,
engkau tentu kenal tulisan tangannya.”
Setelah menerima surat itu,
Kiau Hong melihat isinya adalah:
Kepada Be-hupangcu, Thoan-kong
Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan para tianglo yang lain untuk dilaksanakan.
Apabila Kiau Hong bertindak
mengkhianati bangsa dan berhubungan dengan musuh, harus segera membunuhnya dan
jangan ayal. Cara bagaimana pelaksanaannya terserah kepada kalian menurut
keadaan, siapa yang melaksanakan tugas ini dia berjasa dan tidak bersalah.
Tertanda Ong Kiam-thong.
Surat wasiat itu tertanggal
tujuh bulan lima tahun keenam Goan Hong. Kiau Hong coba menghitung, ternyata
hari itu persis adalah hari dirinya diangkat menjadi Pangcu Kay-pang.
Kiau Hong kenal baik tulisan
tangan gurunya yang berbudi itu, maka tentang asal usul dirinya kini tidak
perlu disangsikan lagi. Terkenang dahulu betapa Insu mencintai diriku bagai
putra sendiri, siapa tahu pada hari aku menjadi pangcu itu diam-diam beliau menulis
juga secarik surat wasiat ini. Saking pilunya air mata lantas bercucuran dan
menetes di atas surat wasiat tinggalan Ong-pangcu itu hingga basah seketika.
Dalam pada itu Ci-tianglo
berkata pula, "Harap Pangcu jangan marah kepada kekurangajaran kami.
Adapun surat wasiat Ong-pangcu ini sebenarnya cuma diketahui oleh Be-hupangcu
seorang dan selama ini disimpannya dengan rapi, tidak pernah ia katakan kepada
siapa pun. Selama beberapa tahun ini tindak tanduk Pangcu cukup bijaksana dan
terpuji, sekali-kali tidak mungkin bersekongkol dengan musuh untuk menindas
bangsa Han.
"Tentang pesan tinggalan
Ong-pangcu ini sudah tentu tidak perlu dijalankan. Ketika Be-hupangcu mendadak
tewas barulah surat wasiat ini diketemukan Be-hujin. Sebenarnya semua orang
bercuriga Be-hupangcu dibunuh oleh Buyung-kongcu dari Koh-soh, bila Pangcu
dapat membalaskan sakit hati Tay-goan, tentang asal usul Pangcu mestinya tidak
perlu diumumkan pula, demi untuk kepentingan umum, kupikir surat wasiat
Ongpangcu ini sebaiknya dibakar saja. Tapi ... tapi ....”
Sampai di sini ia berpaling ke
arah Be-hujin, lalu melanjutkan, "Pertama Be-hujin tidak mungkin
mengesampingkan sakit hati terbunuhnya Tay-goan tanpa membalas. Kedua,
Kiau-pangcu sengaja melindungi bangsa lain, tindak tanduknya membahayakan
kesatuan Kay-pang kita ....”
"Aku membela orang asing?
Dari mana bisa dikatakan demikian?” tanya Kiau Hong bingung.
"Perkataan ‘Buyung’
adalah nama keluarga ‘asing’,” sahut Ci-tianglo. "Buyung-si adalah
keturunan bangsa Sianbi, seperti bangsa Cidan, sama-sama merupakan bangsa asing
di luar perbatasan.”
"O, kiranya begitu, aku
benar-benar tidak tahu,” kata Kiau Hong.
"Dan ketiga, tentang
Pangcu adalah keturunan Cidan, anggota kita sudah banyak yang tahu sekarang,
kekacauan sudah terjadi, untuk menutupi juga tiada faedahnya,” kata Ci-tianglo
akhirnya.
Tiba-tiba Kiau Hong menengadah
sambil menarik napas panjang, tanda tanya yang sejak tadi mencekam hatinya baru
sekarang terjawab semua. Lalu katanya kepada Coan Koan-jing, "Coan-thocu,
jadi kau tahu aku ini keturunan Cidan, makanya memberontak, begitu bukan?”
"Benar,” jawab Koan-jing
tegas.
"Dan sebabnya Song, Ge,
Tan, dan Go berempat tianglo bersepakat melawan aku, apa juga disebabkan hal
ini?” tanya Kiau Hong pula.
"Benar,” sahut Koan-jing.
"Cuma mereka masih ragu dan belum berani bertindak, bahkan setiba
waktunya, mereka ketakutan malah.”
"Tentang asal usul
diriku, dari mana kau mendapat tahu?” desak Kiau Hong.
"Urusan ini menyangkut
orang lain lagi, maafkan tak dapat kuberi tahu,” sahut Koan-jing. "Maklum,
kertas tak dapat membungkus api, betapa pun engkau merahasiakannya, akhirnya
pasti juga akan ketahuan.”
Sesaat itu pikiran Kiau Hong
bergolak hebat, sebentar ia berpendapat, "Tentu mereka iri pada
kedudukanku,
maka sengaja mengarang
berbagai dongengan untuk memfitnah diriku. Sekalipun aku seorang diri juga
harus melawan sampai detik penghabisan, tidak boleh menyerah.”
Tapi lain saat terpikir pula,
"Namun tulisan tangan Insu itu tidak mungkin dipalsukan. Ti-kong Taysu
juga seorang padri berilmu, selamanya tiada dendam permusuhan apa-apa denganku,
guna apa dia ikut mengatur tipu muslihat ini? Sedang Ci-tianglo adalah tokoh
yang paling tua, mana mungkin dia merencanakan pengacauan pada pang sendiri.
Begitu pula Tiat-bin-poan-koan Tan Cing, suami-istri Tam-si dan lain-lain
adalah tokoh-tokoh Bu-lim yang terhormat, Tio-ci-sun ini meski angin-anginan,
tapi juga bukan sembarangan orang, bila mereka pun bersatu pendapat, masakah
hal ini perlu disangsikan pula?”
Di lain pihak, demi mendengar
ucapan Ci-tianglo tadi, para anggota Kay-pang juga merasa bingung. Biasanya
Kiau Hong sangat berbudi kepada bawahannya, baik ilmu silatnya maupun tindak
tanduknya sangat dikagumi mereka. Siapa duga sang pangcu justru adalah keturunan
Cidan.
Padahal permusuhan kerajaan
Song dengan Cidan semakin hebat, selama bertahun-tahun anggota Kay-pang yang
menjadi korban keganasan musuh itu entah berapa jumlahnya, kini Kay-pang
dikepalai seorang keturunan musuh, hal ini benar-benar tak dapat dipercaya oleh
siapa pun dan dengan sendirinya tidak boleh terjadi.
Tapi bicara memecat Kiau Hong
keluar Kay-pang secara terang-terangan, ternyata tiada seorang pun yang sanggup
buka suara.
Seketika itu suasana di tengah
hutan menjadi hening, yang terdengar cuma suara napas orang yang tertekan.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang perempuan yang nyaring menggema, "Para paman dan hadirin sekalian,
sungguh malang suamiku telah tewas, sebenarnya siapakah pembunuhnya, sampai
saat ini masih sukar dikatakan. Tapi mengingat masa hidupnya tindak tanduk
suamiku cukup jujur dan prihatin, rasanya tidak pernah bermusuhan dengan
siapa-siapa, maka sesungguhnya aku tidak mengerti siapakah gerangan yang begitu
tega mengambil jiwanya. Aku khawatir jangan-jangan pada diri suamiku terdapat
sesuatu yang mahapenting dan ingin diperoleh orang lain. Bukan mustahil orang
lain khawatir suamiku akan membongkar rahasianya dengan bukti yang berada
padanya itu, maka suamiku harus dibunuh olehnya untuk menghilangkan saksi
hidup.”
Yang bicara ini ternyata
Be-hujin adanya, nyonya janda Be Tay-goan.
Ucapannya cukup jelas, secara
langsung ia telah menuduh Kiau Hong adalah pembunuh Be Tay-goan dan tujuan
pembunuhan itu adalah untuk menghilangkan bukti-bukti tentang Kiau Hong adalah
keturunan Cidan.
Perlahan Kiau Hong berpaling,
ia menatap tajam wanita yang berperawakan kecil dan lemah gemulai dengan
pakaian berkabung itu, katanya, "Jadi engkau mencurigai aku sebagai
pembunuh Be-hupangcu?”
Be-hujin sejak tadi berdiri
mungkur dengan menunduk, kini mendadak mengangkat kepalanya dan memandang Kiau
Hong. Tertampak biji matanya yang bening bersinar bagai batu permata berkelip
di malam gelap. Hati Kiau Hong tergetar.
"Aku hanya seorang
perempuan yang tidak tahu apa-apa,” demikian Be-hujin berkata pula, "sebenarnya
tidak pantas tampil di depan umum seperti ini, apalagi kalau secara serampangan
menuduh kesalahan orang. Cuma kematian suamiku sesungguhnya terlalu penasaran,
maka dengan sangat kumohon bantuan para paman sudilah mengingat sesama saudara
sendiri, sukalah menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya untuk membalas sakit
hati suamiku itu.”
Sembari berkata, terus saja ia
berlutut dan ternyata Kiau Hong yang disembah olehnya.
Selama hidup Kiau Hong suka
mengalah kepada kehalusan dan pantang mundur terhadap kekerasan. Maka terhadap
tindakan Be-hujin itu, ia menjadi tak berdaya.
Nyonya janda itu tidak
mengucapkan sesuatu kalimat yang mengatakan Kiau Hong adalah pembunuhnya, tapi
setiap kalimat ditujukan kepadanya. Kini nyonya muda itu menyembah pula
kepadanya, biarpun gusar di dalam hati, namun tidak dapat ia umbar lagi.
Terpaksa ia balas hormat dan berkata, "Harap Enso suka bangunlah!”
"Be-hujin,” tiba-tiba
suara seorang wanita lain berseru di pojok kiri sana, "ada suatu soal yang
kusangsikan, apakah boleh kutanya?”
Waktu semua orang memandang ke
arah suara itu, kiranya pembicara adalah seorang gadis jelita berbaju hijau
pupus, itulah Ong Giok-yan adanya.
"Soal apakah yang hendak
nona tanyakan padaku?” sahut Be-hujin.
"Tadi kudengar Hujin
bilang surat wasiat Be-cianpwe itu masih tertutup rapat dengan segel, begitu
pula waktu surat itu dibuka Ci-tianglo segalanya juga masih baik-baik. Jika
begitu, pada sebelum Ci-tianglo membuka surat itu, seharusnya tiada seorang pun
yang pernah membaca surat itu, bukan?” demikian tanya Giok-yan.
"Ya, benar,” sahut
Be-hujin.
"Jika begitu, surat
wasiat Ong-pangcu dan surat pendekar pemimpin itu kecuali Be-cianpwe sendiri,
orang lain kan tiada yang tahu. Maka tuduhan Hujin tadi bahwa ada orang ingin
membunuh suamimu untuk menghilangkan bukti, terang tidak masuk di akal,” ujar
Giok-yan.
"Siapakah nona? Mengapa
ikut campur urusan dalam Kay-pang kami?” tanya Be-hujin dengan aseran.
"Urusan dalam Kay-pang
kalian dengan sendirinya tidak boleh kuikut campur,” sahut Giok-yan. "Tapi
kalian hendak memfitnah Piaukoku, hal ini tidak boleh jadi.”
"Siapakah Piauko nona?
Apakah Kiau-pangcu?” tanya Be-hujin.
"Bukan,” sahut Giok-yan
dengan tersenyum sambil menggeleng kepala, "tapi Buyung-kongcu.”
"O, kiranya begitu,” kata
Be-hujin, dan ia pun tidak urus Giok-yan lagi melainkan terus berpaling kepada
Cithoat Tianglo dan berkata, "Pek-tianglo, menurut undang-undang pang
kita, bila umpamanya tianglo melanggar peraturan organisasi, bagaimana kiranya
harus ditindak?”
"Tahu aturan tapi
melanggarnya sendiri, hukumannya ditambah sekali lebih berat,” sahut Cit-hoat
Tianglo tegas.
"Tapi bila kedudukan
pelanggar itu lebih tinggi daripada tianglo, lantas bagaimana?” desak Be-hujin.
Pek Si-kia tahu ke mana
kata-kata itu hendak ditujukan, maka tanpa terasa ia memandang sekejap ke arah
Kiau Hong, lalu jawabnya, "Undang-undang pang kita ditetapkan sejak
leluhur kita dan tidak memedulikan tinggirendahnya kedudukan si pelanggar, barang
siapa berdosa dia harus dihukum, sama berjasa, sama hukuman, selamanya tidak
pandang bulu.”
"Baiklah jika begitu,”
ujar Be-hujin. "Tentang kecurigaan nona itu memang beralasan, semula aku
pun berpikir begitu. Tapi sehari sebelum kuterima berita kematian suamiku,
tiba-tiba rumahku digerayangi orang pada malam harinya.”
Semua orang terkejut oleh
cerita itu, tanya mereka beramai-ramai, "Digerayangi orang? Adakah sesuatu
yang
dicuri? Melukai orang atau
tidak?”
"Tiada seorang pun yang
dilukai,” sahut Be-hujin. "Maling itu telah memakai dupa penidur untuk
membius diriku bersama dua orang pelayanku. Lalu isi rumahku diubrak-abrik dan
kecurian belasan tahil perak. Esok paginya lantas kuterima berita duka tentang
tewasnya suamiku, dengan sendirinya aku tiada waktu untuk mengurusi peristiwa
pencurian itu. Untunglah sebelumnya suamiku telah menyimpan surat wasiat itu di
tempat yang sangat dirahasiakan sehingga tidak sampai diketemukan dan
dimusnahkan si pencuri.”
Jelas sekali uraian Be-hujin
ini hendak menuduh Kiau Hong sendiri atau paling tidak telah mengirim orang ke
rumah Be Tay-goan untuk mencuri dokumen penting itu. Dan kalau berani mengincar
surat wasiat itu dengan sendirinya sebelumnya tentu sudah tahu isi surat itu.
Maka tuduhannya tentang membunuh orang untuk menghilangkan bukti boleh
dikatakan cukup beralasan.
Tujuan Giok-yan adalah membela
nama baik Buyung Hok dan tidak ingin Kiau Hong tersangkut di dalamnya, maka
segera ia menyela pula, "Kalau kemalingan sedikit barang atau uang juga
kejadian yang biasa saja, cuma secara kebetulan terjadi berbarengan dengan soal
lain, kenapa mesti diributkan?”
"Perkataan nona memang
benar, semula aku pun berpikir demikian,” sahut Be-hujin. "Tapi kemudian
di bawah jendela tempat maling itu masuk-keluar telah kutemukan sesuatu benda,
rupanya tinggalan maling itu dalam keadaan tergesa-gesa. Dan begitu melihat
benda itu, aku kaget dan tahu urusannya tidaklah sembarangan urusan.”
"Barang apakah itu?
Mengapa bukan sembarangan urusan?” tanya Song-tianglo.
Perlahan Be-hujin mengeluarkan
sesuatu benda dari dalam bungkusan, benda itu sepanjang belasan senti, ia
serahkan kepada Ci-tianglo dan berkata, "Mohon para paman suka memberi
keadilan!”
Habis menyerahkan benda itu
kepada Ci-tianglo ia mendeprok ke tanah dan menangis dengan sedih.
Waktu semua orang memandang ke
arah Ci-tianglo, orang tua itu sedang membuka benda itu dengan perlahan,
kiranya adalah sebuah kipas lempit. Dengan suara tertahan Ci-tianglo lantas
membacakan syair di atas kipas yang penuh semangat pahlawan itu.
Sungguh kejut Kiau Hong tidak
kepalang demi mendengar syair itu. Waktu ia perhatikan, ia lihat di balik kipas
itu terlukis gambar seorang pahlawan sedang menyerbu keluar perbatasan untuk
membunuh musuh. Terang kipas itu adalah miliknya sendiri, syair itu ditulis
oleh gurunya yang berbudi, Ong Kiam-thong, dan lukisan itu adalah buah tangan
Ci-tianglo malah. Kipas itu biasanya sangat disayangnya dan disimpannya dengan
baikbaik, mengapa kini bisa jatuh di rumah Be Tay-goan?
Ketika Ci-tianglo membalik
kipas itu dan melihat lukisan karya sendiri, ia menghela napas panjang dan
bergumam, "Bukan bangsa sendiri, tentu pikirannya berbeda. Wahai,
Ong-pangcu, engkau benar-benar salah besar dalam urusan ini!”
Mendadak mengetahui asal usul
sendiri adalah keturunan Cidan, hati Kiau Hong menjadi cemas tak keruan.
Padahal selama belasan tahun ini setiap hari yang dipikir olehnya hanya cara
bagaimana agar dapat membasmi musuh dan lebih banyak membunuh kaum penjajah,
sekalipun biasanya ia sangat tenang, mau tak mau ia menjadi bingung juga.
Tapi sesudah kipas lempit itu
dikeluarkan dan Be-hujin menuduh dirinya adalah pembunuh Be Tay-goan, hal ini
malah membuat hati Kiau Hong lebih tenang, sesaat itu terkilas sesuatu pikiran
bahwa ada orang telah mencuri kipas lempitnya itu untuk memfitnah dirinya, hal
ini betapa pun takkan berhasil. Maka tanpa ditanya segera ia berkata,
"Ci-tianglo, kipas ini adalah milikku!”
Orang Kay-pang yang
berkedudukan sedikit tinggi sama tahu bahwa kipas itu adalah milik sang pangcu,
hanya sebagian anak buah Kay-pang rendahan yang tidak mengetahui hal itu, maka
mereka sama terkesiap demi mendengar pengakuan Kiau Hong itu.
Perasaan Ci-tianglo sendiri
pun sangat terguncang, ia bergumam, "Dalam segala urusan Ong-pangcu selalu
menganggap aku sebagai orang kepercayaannya, tapi urusan ini ternyata tidak
diberitahukan padaku.”
"Ci-tianglo, sebabnya
Ong-pangcu tidak memberitahukan padamu adalah demi kebaikanmu sendiri,”
tiba-tiba Be-hujin berkata.
"Apa? Demi kebaikanku?”
Ci-tianglo menegas.
"Ya, buktinya Tay-goan,
hanya dia yang tahu urusan ini dan dia pun tertimpa bencana, maka ... maka bila
engkau juga tahu, pasti juga takkan terhindar dari malapetaka,” ujar Be-hujin
dengan sedih.
"Sekarang apa lagi yang
akan kalian katakan?” tiba-tiba Kiau Hong berseru dengan lantang, sinar matanya
menatap tajam dimulai dari Be-hujin terus Ci-tianglo, Pek Si-kia, Thoan-kong
Tianglo dan lain-lain. Tapi tiada seorang pun berani buka suara lagi, semuanya
diam.
Setelah menunggu sampai sekian
lama tetap tiada jawaban seorang pun, Kiau Hong lantas berkata pula,
"Tentang asal usulku
sungguh harus disesalkan karena aku sendiri pun belum tahu dengan pasti. Tapi
karena sekian banyak kaum cianpwe berani menjadi saksi, betapa pun aku tidak
berani sembarangan menyangkal. Maka jabatanku sebagai Pangcu Kay-pang ini
sepantasnya aku harus mengundurkan diri.”
Sembari berkata ia
mengeluarkan sebatang pentung bambu hijau mengilat. Itulah Pak-kau-pang atau
pentung penggebuk anjing, tanda pengenal pangcu yang sangat diagungkan anggota
Kay-pang.
Kedua tangan Kiau Hong angkat
tinggi-tinggi pentung bambu itu dan berseru, "Pentung ini kuterima dari
Ongpangcu, selama ini meski aku tiada berjasa apa-apa bagi Kay-pang, namun
syukur juga tidak pernah berbuat sesuatu kesalahan besar. Hari ini aku
meletakkan jabatan, siapakah di antara para saudara yang bijaksana mau menerima
tanggung jawab jabatanku ini, silakan maju menerima pentung ini.”
Menurut peraturan Kay-pang,
tatkala pangcu baru menerima jabatan harus dilakukan upacara penyerahan
Pakkau-pang dari pangcu lama. Upacara ini tidak dilakukan kalau pangcu lama
meninggal dunia.
Padahal Kiau Hong sekarang
masih muda, ilmu silatnya dapat dibanggakan, betapa pun tiada orang kedua di
dalam Kay-pang yang dapat memadainya. Sejak dia menjadi pangcu, biarpun ada
juga oknum-oknum yang memusuhinya, tapi tiada seorang pun berani mengincar
jabatan pangcu. Apalagi sekarang Kiau Hong berdiri gagah perkasa di situ, siapa
yang berani maju mencalonkan diri untuk menerima pentung bambu itu?
Setelah tanya tiga kali dan
tetap tiada seorang pun yang menyahut, lalu Kiau Hong berkata lagi,
"Karena asal usulku masih belum terang, maka jabatan pangcu ini betapa pun
tidak berani kupegang lagi. Ci-tianglo, Thoankong dan Cit-hoat Tianglo,
Pak-kau-pang yang merupakan pusaka utama Kay-pang kita ini silakan kalian
bertiga menjaganya bersama. Kelak bila pangcu baru sudah ditetapkan, bolehlah
kalian menyerahkan pentung ini kepadanya.”
"Benar juga ucapanmu,”
sahut Ci-tianglo terus hendak menerima pentung bambu keramat itu.
"Nanti dulu!” mendadak
Song-tianglo membentak.
Ci-tianglo tertegun dan urung
menerima pentung itu, tanyanya, "Apa yang hendak Song-hiante katakan?”
"Menurut penglihatanku,
Kiau-pangcu bukan bangsa Cidan,” ujar Song-tianglo.
"Dari mana kau tahu?”
tanya Ci-tianglo.
"Kulihat dia tidak
mirip,” sahut Song-tianglo.
"Mengapa tidak mirip,”
desak Ci-tianglo.
"Umumnya bangsa Cidan
sangat kejam dan ganas, sebaliknya Kiau-pangcu seorang kesatria yang berbudi
luhur,” sahut Song-tianglo. "Tadi kami telah memberontak padanya, tapi ia
rela mengorbankan dirinya demi keselamatan kami dan mengampuni dosa kami. Kalau
bangsa Cidan, tidak mungkin mau berbuat demikian.”
"Sejak kecil ia telah
mendapat didikan Ong-pangcu, dengan sendirinya watak aslinya sebagai bangsa
Cidan yang jahat telah berubah,” ujar Ci-tianglo.
"Jika wataknya sudah
berubah, itu berarti bukan orang jahat lagi, kalau dia menjadi pangcu kita,
masa kurang pantas?” debat Song-tianglo. "Menurut pendapatku tiada seorang
pun di antara kita yang dapat memadai kejantanan dan kebesaran jiwanya. Kalau
ada orang lain ingin menjadi pangcu, akulah orang she Song yang pertama-tama
akan membangkang.”
Sebenarnya banyak juga di
antara anggota Kay-pang yang mempunyai pikiran sama dengan Song-tianglo. Karena
itu, segera terdengarlah suara ramai yang menyokong pendapat Song-tianglo itu.
Beramai-ramai mereka berseru, "Bukan mustahil ada orang hendak memfitnah
Kiau-pangcu, kita jangan mudah memercayai omongan orang!”
"Ya, urusan yang sudah
terjadi puluhan tahun yang lalu, siapa yang mau percaya?”
"Jabatan pangcu yang
penting ini tidak boleh sembarangan diganti!”
"Aku sudah bertekad bulat
berdiri di belakang Kiau-pangcu, orang lain yang menjadi pangcu, aku tidak mau
terima.”
"Ayo, siapa yang ingin
ikut Kiau-pangcu, silakan berdiri di sisiku sini,” seru Ge-tianglo tiba-tiba.
Dengan tangan kiri ia tarik Song-tianglo dan tangan kanan menyeret Ge-tianglo
serentak mereka menyisih ke sebelah timur.
Menyusul Tay-jin-hun-tho dan
Tay-gi-hun-tho, ketiga thocu itu pun menyusul ke sisi timur. Dan karena ketiga
thocu itu sudah memberi contoh, dengan sendirinya anak buah ketiga Tho itu pun
ikut berdiri ke sisi timur.
Sebaliknya Coan Koan-jing,
Tan-tianglo, Thoan-kong Tianglo dan para Thocu Tay-ti dan Tay-sin-hun-tho masih
tetap berdiri di tempat semula.
Dengan demikian anggota
Kay-pang sekarang jadi terpecah belah dan terbagi menjadi dua pihak, yang
berdiri di sisi timur kira-kira ada separuh, sebaliknya yang tetap berdiri di
tempat semula ada tiga bagian, sisanya masih ragu entah mesti ikut pihak mana?
Cit-hoat Tianglo biasanya sangat tegas dalam tindak tanduknya, tapi menghadapi
persoalan pelik mau tak mau ia jadi ragu juga.
"Para saudara,” demikian
Coan Koan-jing buka suara, "memang benar Kiau-pangcu adalah seorang
kesatria, seorang pintar dan perkasa, siapa pun tentu kagum padanya. Namun kita
adalah rakyat kerajaan Song, mana boleh tunduk di bawah perintah seorang Cidan?
Justru semakin besar kepandaian Kiau Hong, semakin berbahaya pula bagi kita.”
"Kentut, kentut makmu!”
segera Ge-tianglo memaki. "Kulihat tampangmu justru lebih mirip orang
Cidan!”
Namun Coan Koan-jing tidak
menggubrisnya, serunya pula, "Kita semua adalah pahlawan berjiwa patriot,
masakah terima diperbudak oleh bangsa asing!”
Perkataan Coan Koan-jing ini
ternyata sangat besar pengaruhnya, seketika ada belasan orang yang tadinya ikut
berdiri ke sisi timur segera kembali ke sisi barat.
Karena itu anggota Kay-pang di
sisi timur itu menjadi geger, ada yang memaki dan ada yang main tarik, keadaan
menjadi kacau, seketika terjadilah pertarungan serabutan di antara berpuluh
orang itu.
Para tianglo cepat membentak
hendak menguasai keadaan, tapi masing-masing tetap membela anak buah
sendiri-sendiri. Go-tianglo dan Tan-tianglo juga saling memaki dan tampaknya
akan terjadi juga pertarungan sengit.
Syukur pada saat genting
itulah Kiau Hong berseru keras-keras, "Harap berhenti, saudara-saudara,
dengarkan perkataanku!”
Suaranya keras dan berwibawa
membuat para anggota Kay-pang sama melengak, mereka berhenti serentak dan
menoleh memandang Kiau Hong.
"Tentang jabatan pangcu
ini, sudah pasti akan kutinggalkan ....”
Belum selesai ucapan Kiau Hong
itu, mendadak Song-tianglo menyela, "Pangcu, engkau jangan putus asa ....”
"Aku tidak putus asa,”
sahut Kiau Hong sambil menggeleng. "Urusan lain mungkin aku bisa difitnah,
tapi bukti-bukti tulisan tangan guruku Ong-pangcu yang berbudi itu tidak
mungkin dapat dipalsukan orang lain.”
Lalu ia perkeras suaranya dan
menyambung, "Kay-pang adalah pang terbesar di kalangan Kangouw, namanya
berkumandang ke segenap pelosok jagat ini, siapa orang Bu-lim yang tidak merasa
kagum padanya? Bila sekarang terjadi saling membunuh, apakah takkan dibuat
tertawaan orang? Maka sebelum aku pergi, ada sesuatu yang ingin kukatakan pada
kalian, barang siapa saling berhantam di antara sesama saudara pang kita, maka
dia itulah yang berdosa terbesar kepada pang kita.”
Dasar persaudaraan anggota
Kay-pang memang paling mengutamakan keluhuran budi antarkawan. Maka mereka
menjadi malu sendiri demi mendengar ucapan Kiau Hong itu.
"Dan bagaimana kalau ada
yang membunuh saudara sesama pang kita?” tiba-tiba suara seorang wanita
bertanya. Ia bukan lain adalah Be-hujin.
"Membunuh orang harus
ganti nyawa, lebih-lebih membunuh sesama saudara pang, ia harus dikutuk
habishabisan,” sahut Kiau Hong tanpa ragu.
"Baiklah jika begitu,”
ujar Be-hujin.
"Orang she Kiau ini
selamanya suka blakblakan, selama hidup tidak pernah ada sesuatu rahasia bagi
orang lain,” seru Kiau Hong pula. "Tentang tewasnya Be-hupangcu sebenarnya
siapakah pembunuhnya, dan siapakah yang telah mencuri kipasku untuk memfitnah
diriku, pada akhirnya kelak pasti akan kubikin terang urusan ini. Be-hujin, dengan
kepandaianku orang she Kiau ini, kalau ingin mengambil sesuatu benda ke tempat
tinggalmu, rasanya tidak sampai kembali dengan tangan hampa, lebih-lebih tidak
mungkin kehilangan sesuatu barang sendiri. Jangankan kediamanmu cuma tinggal
dua-tiga orang kaum wanita, sekalipun di tengah istana keraton atau di markas
besar panglima jenderal, kalau orang she Kiau ini ingin mengincar sesuatu
barang, rasanya dengan mudah juga akan dapat diperoleh.”
Ucapan Kiau Hong ini sangat
perkasa dan bangga, namun para anggota Kay-pang cukup kenal betapa tinggi
kepandaiannya, mereka merasa apa yang dikatakan itu memang beralasan dan bukan
bualan belaka. Begitu pula Be-hujin lantas menunduk juga dan tidak berani buka
suara lagi.
Lalu Kiau Hong memberi hormat
kepada semua orang sekeliling, katanya pula, "Gunung tetap menghijau,
sungai tetap mengalir, para saudara-saudara, selamat tinggal, sampai berjumpa
pula kelak. Baiklah apakah aku orang she Kiau ini bangsa Han maupun bangsa
Cidan, pendek kata selama hidupku ini pasti tidak akan mencelakai jiwa seorang
pun bangsa Han, apabila melanggar sumpah ini, biarlah seperti golok ini.”
Habis berkata, mendadak tangan
kirinya menjulur cepat ke arah Tan Cing. Seketika Tan Cing merasa tangannya
bergetar, golok yang terpegang di tangannya tak tertahan lagi, sedikit kendur
cekalannya, golok itu tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Kiau Hong.
Ketika jari Kiau Hong
menjelentik sekali ke batang golok itu, "trang”, kontan golok itu patah
menjadi dua, bagian ujung golok terpental beberapa meter jauhnya, sedangkan
tangkai golok masih terpegang di tangan Kiau Hong.
"Maaf!” katanya kepada
Tan Cing sambil membuang tangkai golok itu dan bertindak pergi dengan cepat.
Di tengah rasa kaget para
anggota Kay-pang yang sedang saling pandang dengan bingung itu, menyusul lantas
ada orang berseru, "He, jangan pergi, Pangcu!” — "Kembalilah Pangcu,
Kay-pang kita masih membutuhkan pimpinanmu!”
Tiba-tiba terdengar suara
mendesir keras, dari udara tampak jatuh sebatang pentung bambu, itulah
Pak-kaupang yang ditimpukkan kembali oleh Kiau Hong dari jauh.
Cepat Ci-tianglo ulur tangan
hendak menangkap pentung itu, tapi baru saja tangan menyentuh pentung bambu
sekonyong-konyong terasa lengan hingga bahu dan seluruh tubuh tergetar
seakan-akan kena aliran listrik. Lekas-lekas ia lepas tangan, begitu keras
sambaran pentung itu hingga menancap tegak di tanah.
Para pengemis itu berseru
kaget, seketika pikiran mereka pun bimbang demi melihat pentung simbol pangcu
mereka itu.
"Toako, tunggu, aku
ikut!” seru Toan Ki mendadak. Mestinya ia bermaksud menyusul Kiau Hong, tapi
baru dua-tiga langkah, betapa pun ia merasa berat meninggalkan Ong Giok-yan,
tanpa merasa, ia menoleh.
Dan sekali pandang itulah
tidak dapat lagi ia tinggal pergi. Otomatis timbul semacam rasa ikatan yang
erat, segera ia putar kembali ke hadapan Giok-yan dan berkata, "Nona Ong,
sekarang kalian hendak ke mana?”
"Piauko telah difitnah
orang, boleh jadi ia sendiri masih belum tahu, maka aku harus pergi memberitahukan
kepadanya,” sahut si gadis.
Kecut rasa hati Toan Ki oleh
jawaban itu, namun katanya juga, "Tapi kalian bertiga adalah nona muda
belia, di tengah perjalanan tentu kurang bebas, biarlah aku mengantar kalian ke
sana.”
Dan segera ia menambahkan lagi
sebagai penjelasan, "Aku pun sudah sering mendengar nama kebesaran
Buyung-kongcu, sesungguhnya aku memang ingin sekali berkenalan dengan dia.”
Dalam pada itu terdengar
Ci-tianglo telah berkata kepada para pengemis, "Cara bagaimana kita harus
menuntut balas bagi Be-hupangcu, biarlah kita nanti rundingkan secara saksama.
Sekarang pang kita tidak boleh tanpa pimpinan, sesudah Kiau ... Kiau Hong
pergi, pengganti jabatan pangcu ini adalah urusan mahapenting yang tidak boleh
ditunda. Mumpung kita telah berkumpul semua di sini, marilah kita lantas
merundingkannya segera.”
Segera Song-tianglo
menanggapi, "Menurut pendapatku, marilah kita mencari kembali Kiau-pangcu
dan mohon dia suka berpikir panjang dan membatalkan maksudnya mengundurkan diri
....”
Belum habis ucapannya, kontan
di sebelah sana ada yang menyela, "Kiau Hong adalah bangsa Cidan, mana
boleh dia menjadi pemimpin kita? Hari ini kita mengingat baik hubungan selama
ini, lain kali kalau bertemu lagi berarti ia musuh kita, harus kita adu jiwa
dengan dia.”
"Hm, masa kau ada
harganya buat mengadu jiwa dengan Kiau-pangcu?” jengek Song-tianglo.
"Aku sendiri tentu tak
mampu melawannya,” sahut orang itu dengan gusar, "tapi apakah kita cuma
satu orang, kita dapat maju sepuluh orang sekaligus, sepuluh orang tidak cukup,
maju serentak seratus orang. Kay-pang kita selamanya siap berjuang bagi nusa
dan bangsa, masakah jeri kepada seorang musuh?”
Karena ucapan yang gagah
bersemangat ini, seketika banyak anggota Kay-pang bersorak memuji.
Belum lenyap suara sorakan
itu, tiba-tiba terdengar suara seorang yang seram tajam berkata di arah
barat-laut sana, "Kay-pang telah berjanji dengan orang untuk bertemu di
Hui-san, tapi ingkar janji, tahu-tahu main sembunyi di sini seperti kura-kura!
Hehe, sungguh menggelikan!”
Suara itu tajam menusuk
telinga, tapi lafal kata-katanya tidak tepat, seperti suara orang pilek atau
bindeng hingga kedengarannya tidak menyedapkan.
Mendengar teguran suara itu,
seketika berserulah Cio-thocu dari Tay-gi-hun-tho dan Pui-thocu dari
Tay-yonghun-tho, "Haya, Ci-tianglo, memang kita telah ingkar janji dengan
orang, maka sekarang musuh telah mencari kemari:”
Segera Toan Ki teringat juga
waktu bertemu dengan Kiau Hong siang tadi, mendengar anak buah Kay-pang melapor
kepada sang toako bahwa mereka telah berjanji untuk bertemu dengan orang di
atas Hui-san tengah malam ini. Kini rembulan telah mendoyong ke barat, terang
sudah jauh lewat tengah malam.
Anggota Kay-pang sendiri
sebagian besar tidak tahu adanya perjanjian itu, andaikan tahu juga mereka
lebih mementingkan peristiwa penting dalam pang sendiri dan menyampingkan
urusan perjanjian dengan orang itu. Kini demi mendengar olok-olok pihak lawan
baru mendadak mereka sadar telah ingkar janji.
Segera Ci-tianglo bertanya,
"Janji pertemuan apa? Siapakah lawan?”
Ia sendiri memang sudah lama
tidak ikut campur urusan organisasi, maka sama sekali tidak mengetahui apaapa.
"Apakah Kiau-pangcu yang
berjanji akan bertemu dengan orang?” Cit-hoat Tianglo coba tanya Cio-thocu
dengan suara tertahan.
"Ya, cuma tadi
Kiau-pangcu sudah mengirim utusan ke Hui-san untuk minta kepada pihak lawan
agar menunda perjanjian ini sampai tujuh hari lagi,” tutur Cio-thocu.
Rupanya orang yang bersuara
melengking tadi pun sangat tajam telinganya, meski ucapan Cio-thocu itu sangat
perlahan, namun dapat didengarnya juga, segera berkata pula, "Sekali sudah
berjanji, masakah pakai tunda segala? Biarpun tunda satu jam juga tidak boleh.”
"Hm, Kay-pang adalah
organisasi terkemuka, masakah takut kepada bangsa asing Se He seperti kalian
ini?” sahut Pek Si-kia dengan gusar. "Soalnya kami sendiri urusan penting
di dalam pang hingga tiada tempo untuk menggubris pada kaum keroco seperti
kalian ini. Tentang menunda perjanjian adalah urusan biasa, kenapa mesti
diributkan?”
"Bluk”, mendadak dari
balik pohon sana melayang keluar seorang dan terbanting di tanah tanpa
berkutik. Waktu Pek Si-kia memerhatikan, ia lihat muka orang sudah hancur tak
keruan, leher sudah putus tergorok, nyata sudah mati agak lama, segera ia pun
dapat mengenali korban itu adalah wakil Thocu Tay-sin-hun-tho.
Keruan Cio-thocu terkejut dan
gusar, serunya, "Cia-hengte inilah yang diutus oleh Kiau-pangcu untuk
menyampaikan berita penundaan pertemuan dengan musuh itu.”
"Ci-tianglo,” kata
Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia, "Pangcu tidak ada, harap engkau suka
bertindak sementara sebagai pimpinan.”
Ia tidak ingin musuh
mengetahui Kay-pang sedang menghadapi krisis, agar tidak diremehkan oleh musuh.
Ci-tianglo dapat memahami
maksud Pek Si-kia itu, ia pikir kalau dirinya tidak tampil ke muka, memang
tiada orang kedua lagi yang cocok untuk memegang pimpinan. Maka dengan suara
lantang ia berseru, "Menurut kelaziman pertengkaran di antara kedua
negara, tidak boleh membunuh utusan pihak lawan. Mengapa pihak kalian membunuh
utusan yang menyampaikan berita penundaan perjanjian ini?
"Sikap orangmu ini
terlalu angkuh, kata-katanya tidak sopan, di hadapan Ciangkun kami juga tidak
mau berlutut, kalau tidak dibunuh, mau diapakan?” sahut suara seram melengking
itu.
Kata-kata ini seketika
menimbulkan rasa gusar anggota Kay-pang, beramai-ramai mereka lantas mencaci
maki keganasan musuh.
Ci-tianglo masih belum tahu
macam apakah musuh, tadi didengarnya Pek Si-kia bilang musuh itu bangsa Se He,
sedang orang itu mengatakan "ciangkun” (jenderal) segala, hal ini semakin
membingungkannya. Maka ia berkata pula, "Mengapa kau main sembunyi-sembunyi,
kenapa tidak terang-terangan unjuk diri saja? Hm, ngaco-belo, jangan coba omong
besar di sini!”
Tiba-tiba orang itu
terbahak-bahak, laku berkata, "Ciangkun, sekarang silakan keluarlah!”
Sekonyong-konyong terdengar
suara trompet berbunyi di tempat jauh, menyusul lamat-lamat terdengar suara
tindakan orang banyak dari tempat beberapa li jauhnya.
"Mereka itu orang macam
apakah? Mengenai urusan apa mereka memusuhi kita?” demikian Ci-tianglo tanya
Si-kia dengan bisik-bisik.
"Mereka itu bangsa Se
He,” sahut Pek Si-kia dengan perlahan, "di negeri mereka telah didirikan
suatu lembaga persilatan yang disebut ‘It-bin-tong’ (ruang kelas satu), konon
pendirinya adalah maharaja mereka untuk mengundang jago-jago silat dari segenap
pelosok, mereka yang memenuhi undangan akan diberi gaji besar dan mendapat
kedudukan terhormat, kewajiban mereka hanya mengajar ilmu silat kepada perwira
negeri Se He.”
"Ehm, negeri Se He selama
ini memupuk kekuatan dan pergiat latihan silat, tujuannya bukankah akan
mengganggu kerajaan Song kita?” ujar Ci-tianglo.
"Memang begitulah tujuan
mereka,” sahut Pek Si-kia mengangguk. "Setiap orang yang dapat memasuki
‘Itbin-tong’ itu, katanya ilmu silatnya pasti golongan kelas satu. Ketua
It-bin-tong itu konon seorang ongya (pangeran) dengan pangkat
Ceng-tang-tay-ciangkun (jenderal besar penggempur ke timur), namanya Helian
Tiat-si. Paling akhir ini dia pimpin jago-jagonya itu dan diutus ke kota raja
kita untuk menemui Hongsiang dan ibu suri. Padahal maksud yang sesungguhnya
adalah untuk memata-matai kekuatan negeri kita.
"Di kota raja, Helian
Tiat-si telah pamer kekuatan dan bersikap sombong, ia menantang agar perwira
kerajaan Song kita coba-coba bertanding dengan jago-jago yang dia bawa. Kita
tahu tiada seorang jago kelas tinggi di antara perwira pasukan kita itu, dengan
sendirinya tidak mungkin diajukan sebagai jago aduan. Untunglah So Tong-po,
So-haksu telah mengusulkan suatu akal kepada ibu suri agar tantangan orang Se
He yang kurang ajar itu dilakukan pada tahun depan di kota raja kita.”
"Ehm, akal ulur tempo
yang bagus,” ujar Ci-tianglo perlahan, "selama setahun ini kita dapat
mengundang jagojago silat dari seluruh negeri untuk menghadapi musuh pada tahun
depan.”
"Malahan sebelum
menginjak negeri kita, orang-orang Se He ini sudah cukup mengetahui situasi
dunia persilatan kita,” tutur Pek Si-kia, "Mereka tahu pang kita adalah
salah satu saka guru dunia persilatan Tionggoan, maka bermaksud sekaligus
menghancurkan kita dahulu untuk memupuk nama baik, dan tahun depan mereka yakin
akan mendapat kemenangan total pula.
"Bila rakyat kita sudah
jeri dan ketakutan kepada kepandaian bangsa Se He mereka, lalu mereka akan
mengerahkan pasukan tentaranya untuk menyerbu dan dengan mudah akan dapat
merebut negeri kita.”
Diam-diam Ci-tianglo
terperanjat oleh rencana keji musuh, bisiknya perlahan, "Ehm, tipu
muslihat mereka ini benar-benar sangat keji.”
"Dan begitu Helian
Tiat-si meninggalkan kota raja segera mereka mendatangi markas besar kita di
Lokyang,” tutur Pek Si-kia lebih jauh. "Kebetulan waktu itu Kiau-pangcu
bersama kami sekaligus telah menuju Kanglam sini hendak menuntut balas bagi
Be-hupangcu, maka orang Se He telah menubruk tempat kosong. Dan mereka
benar-benar terlalu kurang
ajar, mereka menyusul ke Kanglam sini dan akhirnya mengadakan perjanjian dengan
Kiau-pangcu untuk bertemu malam ini di Hui-san.”
Ci-tianglo berpikir sejenak,
lalu katanya dengan berbisik, "Perhitungan mereka sungguh seenaknya,
pertama Kay-pang kita akan dihancurkan, boleh jadi mereka akan maju setindak
pula untuk menggempur Siau-lim-si, lalu membasmi Hoa-san-pay dan aliran persilatan
lain di Tionggoan hingga kocar-kacir, dengan demikian tahun depan kemenangan
pasti di tangan mereka.”
Dalam pada itu suara derapan
kuda yang ramai tadi sudah mendekat, mendadak terdengar trompet berbunyi tiga
kali, delapan ekor kuda tampak muncul dengan terbagi menjadi dua barisan.
Penunggang kuda itu semuanya bertombak panjang, di atas tombak masing-masing
berkibar panji kecil. Ujung tombak bersinar mengilap, lamat-lamat kelihatan
keempat panji kecil di sisi barat tersulam dua huruf "Se He”, sedangkan empat
panji kecil di sebelah lain tersulam dua huruf "Helian.”
Menyusul mana muncul delapan
ekor kuda yang lain dan berlari cepat ke tengah hutan. Empat penunggangnya
segera meniup trompet yang dibawa dan empat orang lainnya menabuh genderang.
Diam-diam para pengemis
berkerut kening, pikir mereka, "Ini kan pasukan tentara di medan perang
terbuka, masa dipakai dalam pertemuan dengan kaum persilatan?”
Setelah bunyi trompet dan
genderang tadi, segera muncul pula delapan busu (jago silat) negeri Se He.
Di antara kedelapan orang itu,
Ci-tianglo melihat enam orang di antaranya adalah kakek-kakek yang rambut dan
jenggotnya sudah ubanan semua, badan mereka pun kurus kering dan reyot.
Diam-diam Ci-tianglo membatin,
"Agaknya inilah tokoh-tokoh dari apa yang disebut It-bin-tong itu?
Segera kedelapan busu itu
membagi diri ke sisi kanan dan kiri, lalu seorang penunggang kuda masuk ke
tengah hutan situ dengan perlahan.
Penunggang kuda ini berjubah
merah, berusia antara 34-35 tahun, hidungnya besar membetet, tampaknya sangat
tangkas dan cerdik. Di belakangnya mengikut seorang laki-laki bertubuh sangat
tinggi dan berhidung besar.
Begitu masuk ke tengah hutan,
segera laki-laki hidung besar itu berseru, "Ceng-tang-tay-ciangkun dari Se
He tiba, silakan Pangcu dari Kay-pang maju menyambut.”
Dari suaranya yang melengking
seram ini, jelas dia inilah yang bicara tadi.
"Pangcu kami tidak berada
di sini, sementara ini aku yang mewakilkan jabatannya,” sahut Ci-tianglo.
"Para saudara dalam Kay-pang adalah orang Kangouw yang kasar dan rendah,
jika Ciangkun dari negeri Se He hendak bertemu dengan kami secara terhormat,
rasanya kami tidak berani terima, lebih baik silakan Ciangkun pergi bertemu
dengan kaum ningrat kerajaan Song kita saja dan tidak perlu menemui kaum jembel
yang kerjanya cuma minta-minta ini. Sebaliknya kalau ingin bertemu secara orang
Bu-lim, Ciangkun datang dari jauh, dengan sendirinya adalah tamu, maka silakan
turun untuk bicara.”
Ucapan Ci-tianglo ini sangat
tegas, tidak merendah juga tidak kaku, cukup menjaga harga diri pula. Maka
diam-diam para pengemis merasa kagum terhadap orang tua itu.
"Jika Pangcu kalian tidak
di sini, Ciangkun kami tidak dapat bicara dengan kalian,” sahut laki-laki
hidung besar itu.
Tiba-tiba ia melihat
Pak-kau-pang yang menancap di tanah itu sangat menarik, segera ia berkata,
"Eh, pentung bambu hijau kemilau ini sangat bagus, biarlah kuambil untuk
dijadikan tangkai sapu!”
Dan begitu tangannya bergerak,
segera ia ayun cambuknya hendak membelit pentung bambu itu.
Keruan para pengemis menjadi
gusar, beramai-ramai mereka memaki, "Keparat!” — "Anjing buduk!” —
"Enyahlah kau, bangsat!”
Namun ujung cambuk orang itu
tampaknya sudah hampir melilit di batang pentung bambu itu, sekonyongkonyong
bayangan orang melesat maju secepat kilat, tiba-tiba ia ulur tangan ke depan
pentung bambu hingga ujung cambuk kena melilit di tangannya. Dan sekali ia
tekuk lengannya, laki-laki hidung besar itu tidak kuat lagi bertahan di atas
kudanya, ia terseret turun dari kudanya dan berdiri di tanah. Berbareng kedua
orang sama menarik pula sekuatnya, "prak”, cambuk itu putus bagian tengah.
Menyusul orang itu lantas
mencabut pentung bambu itu dan mengundurkan diri tanpa berkata. Waktu semua
orang memerhatikan, orang itu rada bungkuk, itulah Thoan-kong Tianglo. Ia
pendiam, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, bila Kay-pang menghadapi kesulitan,
tanpa bicara ia lantas turun tangan. Dan sekali gebrak tadi ia berhasil
menyeret laki-laki hidung besar itu turun dari kudanya, pecutnya terbetot putus
pula, hal ini boleh dikatakan Thoan-kong Tianglo sudah menang satu babak.
Ternyata laki-laki hidung
besar itu sangat sabar, biarpun kecundang, sedikit pun ia tidak unjuk sikap
lesu, bahkan ia berseru, "Hah, kaum pengemis memang pelit, cuma sebatang
bambu juga tidak boleh diambil orang.”
"Sebenarnya ada urusan
apakah para tokoh dan pahlawan Se He mengadakan janji pertemuan dengan Kaypang
kami?” tanya Ci-tianglo kemudian.
"Sebab Ciangkun kami
mendengar bahwa Kay-pang mempunyai dua macam kepandaian istimewa, yang semacam
katanya bernama Pak-niau-pang-hoat dan yang lain Hang-coa-cap-pek-ciang, sebab
itulah kami ingin coba-coba belajar kenal,” demikian sahut laki-laki hidung
besar.
Mendengar ejekan itu, seketika
gusarlah para pengemis. Kurang ajar benar pikir mereka, masakah
Pak-kaupang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing) sengaja dikatakan sebagai
Pak-niau-pang-hoat (ilmu pentung penghajar kucing) dan Hang-liong-sip-pat-ciang
(18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) diubah menjadi Hangcoa-cap-pek-ciang (18
jurus ilmu pukulan penakluk ular), terang sengaja menghina, maka pertemuan
sekarang ini sudah pasti akan diakhiri dengan suatu pertarungan yang menentukan
mati dan hidup.
Di tengah caci maki para
pengemis itu, sebaliknya diam-diam Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat
Tianglo dan lain-lain merasa khawatir pula, pikir mereka,
"Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang ini selamanya cuma pangcu
yang mahir menggunakannya, jika lawan sudah kenal kedua macam ilmu ini dan
masih berani menantang secara terang-terangan, rasanya mereka pasti bukan
sembarangan jago silat dan boleh jadi akan susah dilawan.”
Maka Ci-tianglo lantas
menjawab, "Kalian ingin belajar kenal dengan Pak-niau-pang-hoat dan
Hang-coa-cappek-ciang kami, hal ini tidak sulit. Asal ada kucing buduk dan ular
belang kesasar ke sini, sudah pasti kaum pengemis mampu menghajarnya. Dan
saudara apakah ingin belajar menjadi kucing atau ular, silakan pilih!”
"Hahaha, kalau dia ingin
menjadi ular, itulah kebetulan, kaum pengemis paling suka tangkap ular,
tanggung cek-gemol, datang satu tangkap satu, datang sepuluh bekuk sepuluh,
tidak terbukti, uang kembali!” demikian Go-tianglo ikut menjawab dengan
terbahak-bahak.
Adu kepandaian kalah sebabak,
adu mulut, mati kutu pula, keruan laki-laki hidung besar itu menjadi runyam.
Dan selagi ia pikir apa yang hendak dikatakan pula, sekonyong-konyong di
belakangnya seorang berteriak dengan suaranya yang kasar dan keras, "Biar
ular maupun kucing, ayolah, siapa yang berani maju bertempur dulu denganku?”
Sembari berkata orang itu
terus menyelinap keluar dari rombongannya dan berdiri tegak di tengah kalangan
dengan bertolak pinggang. Muka orang ini sangat jelek dan menakutkan.
Semua orang terkesiap dan ragu
menghadapi orang yang bengis dan galak dengan mukanya yang jelek ini,
sebaliknya tiba-tiba terdengar Toan Ki lantas berseru, "Hei, muridku,
kiranya kau juga datang ke sini? Ayo, ketemu Suhu mengapa tidak lekas menjura?”
Kiranya laki-laki muka jelek
ini tak-lain-tak-bukan adalah Lam-hay-gok-sin Gak-losam, si jahat ketiga dari
"Su-ok”.
Mendadak tampak Toan Ki juga
berada di situ, Gak-losam terkejut, ia merasa kikuk dan serbasalah, sahutnya
dengan gelagapan, "Engkau ....”
"Murid baik,” segera Toan
Ki menyela, "Pangcu Kay-pang adalah saudara-angkatku, orang-orang ini
adalah Supek dan Susiokmu pula, maka jangan kurang ajar, lekas pulang saja.”
Mendadak Lam-hay-gok-sin
mengerang keras hingga pohon sama tergetar, ia memaki, "Keparat, jahanam,
haram jadah!”
"Kau memaki siapa haram
jadah?” tegur Toan Ki.
Seperti diketahui,
Lam-hay-gok-sin ini meski kejam dan ganas, tapi apa yang pernah ia ucapkan
selamanya pasti ditepati dan tidak dijilat kembali. Ia pernah menyembah kepada
Toan Ki dan mengaku guru padanya, hal ini tidak pernah disangkalnya. Maka ia
lantas menjawab, "Aku suka memaki, peduli apa denganmu? Aku kan tidak
memaki engkau.”
"Ehm, dan mengapa ketemu
Suhu tidak menjura dan menyampaikan salam? Di manakah letak aturanmu, hah?”
tegur Toan Ki pula.
Dengan menahan gusar terpaksa
Lam-hay-gok-sin melangkah maju dan berlutut memberi hormat sambil berkata,
"Suhu, baik-baikkah engkau?”
Dan saking mengkalnya, begitu
berdiri kembali terus saja ia berlari pergi dengan cepat sambil mengerang
dengan suaranya yang keras dan mendengung-dengung.
Begitu keras suaranya bagaikan
air bah yang surut dengan cepat. Hanya dari suaranya ini saja setiap orang
akan tahu betapa tinggi
lwekangnya, di antara tokoh-tokoh Kay-pang hanya Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo
dan beberapa tertua lain yang mampu menandinginya. Tapi seorang pelajar yang
lemah sebagai Toan Ki itu ternyata adalah gurunya, hal ini benar-benar membikin
mereka tidak habis heran.
Tertampak dari rombongan jago
Se He melompat pula seorang yang bertubuh tinggi bagai galah bambu, gaya
lompatnya ternyata cepat luar biasa, kedua tangan masing-masing memegang
sebatang senjata yang berbentuk aneh, panjangnya kira-kira satu meter, ujungnya
berbentuk lima jari buatan baja. Cakar baja itu mengilat tersorot sinar
rembulan.
Segera Toan Ki mengenali orang
ini adalah In Tiong-ho yang bergilir Kiong-hiong-kek-ok (terlalu ganas dan
mahajahat), yaitu orang keempat Thian-he-su-ok (empat mahadurjana dunia).
Diam-diam ia heran mengapa keempat tokoh itu telah mengabdikan diri kepada
kerajaan Se He?
Waktu Toan Ki memandang pula
ke arah rombongan jago-jago Se He, benar juga lantas dilihatnya
"Bu-ok-putcok” (tiada kejahatan yang tak dilakukan) Yap Ji-nio sedang
berdiri di situ dengan tersenyum simpul membopong seorang bayi. Hanya si jahat
pertama "Ok-koan-boan-eng” (kejahatan sudah melebihi takaran) Yan-king
Taycu yang tidak kelihatan.
Diam-diam Toan Ki bersyukur si
jahat utama itu tidak berada di situ, kalau cuma Ji-ok (si jahat kedua) dan
Siok (si jahat keempat) saja, tentu jago-jago Kay-pang masih mampu melawannya.
Kiranya sesudah
"Thian-he-su-ok” itu meninggalkan negeri Tayli, dalam perjalanan mereka ke
utara, mereka bertemu dengan utusan It-bin-tong dari negeri Se He yang
ditugaskan mencari jago-jago kosen.
Dasar Su-ok itu memang terlalu
iseng, terus saja mereka menggabungkan diri ke dalam It-bin-tong. Betapa tinggi
ilmu silat mereka, dengan sendirinya hanya sedikit demonstrasi saja mereka
sudah lantas diterima sebagai jago pilihan oleh Helian Tiat-si. Dalam
perjalanan ke Tionggoan kali ini Helian Tiat-si telah membawa serta keempat
durjana itu dan menganggap mereka sebagai tangan kanan-kirinya.
Begitulah sesudah In Tiong-ho
melompat maju ke tengah, segera ia berseru, "Ciangkun kami ingin belajar
kenal dengan kedua macam kungfu Kay-pang. Sebenarnya pengemis seperti kalian
ini mempunyai kepandaian sejati atau cuma bualan belaka, ayolah, silakan maju
untuk coba-coba dengan aku!”
"Biarkan aku yang maju
dulu,” tiba-tiba Ge-tianglo berkata.
"Baiklah!” sahut
Ci-tianglo. "Tapi ginkang orang ini sangat hebat, Ge-heng harus
hati-hati.”
Ge-tianglo mengiakan dan maju
ke tengah kalangan sambil menyeret tongkat bajanya yang panjang itu, katanya,
"Ilmu silat Kay-pang kami hanya digunakan menurut keperluan saja, terhadap
Bu-beng-siau-cut (kaum keroco) macammu ini masakah perlu pakai
Pak-kau-pang-hoat segala? Ini, rasakan dulu toyaku ini!”
Segera tongkatnya mengemplang
ke atas kepala lawan.
Badan Ge-tianglo itu gemuk
buntak, jadi terbalik daripada tubuh In Tiong-ho yang jangkung lencir. Tapi
tongkatnya yang sangat panjang itu masih dapat digunakan menghantam dari atas
ke bawah.
Dahulu guru Ge-tianglo waktu
mengajarkan permainan senjata panjang ini kepadanya, maksud tujuannya memang
guna menambal perawakan yang pendek itu, agar dengan tongkat panjang itu dapat
dipakai melawan musuh yang lebih tinggi.
Begitulah maka cepat In
Tiong-ho berkelit ke samping, "blang”, tongkat baja Ge-tianglo menghantam
tanah hingga debu pasir bertebaran, ujung tongkat sampai ambles belasan senti
ke dalam tanah. Betapa hebat tenaganya sungguh mengejutkan.
In Tiong-ho insaf tenaganya
jauh di bawah lawan, maka ia tidak berani menangkis dari depan, tapi terus
melompat ke sini dan melesat ke sana, dengan ginkang yang tinggi ia tempur
Ge-tianglo dengan main kucingkucingan.
Ge-tianglo putar tongkatnya
sedemikian kencang hingga berwujud segulung kabut putih, tapi tetap tidak dapat
menyenggol badan In Tiong-ho.
Selagi Toan Ki terpesona
menyaksikan pertarungan itu, tiba-tiba suara seorang yang merdu berkata di tepi
telinganya, "Toan-toako, sebaiknya kita membantu siapa?”
Waktu Toan Ki berpaling, ia
lihat yang bicara itu adalah Giok-yan, seketika hatinya terguncang, sahutnya,
"Membantu apa maksudmu?”
"Bukankah si jangkung itu
adalah kawan muridmu? Dan si pengemis pendek gemuk ini adalah anak buah saudara
angkatmu, pertarungan mereka makin lama makin sengit, apakah kita mesti
membantu atau menjadi juru pisah saja?” sahut Giok-yan.
"Muridku adalah seorang
jahat, si jangkung ini lebih-lebih ganas, maka tidak perlu membantu dia,” sahut
Toan Ki.
"O!” kata Giok-yan
berpikir sejenak. "Tapi para pengemis itu telah mengusir Gihengmu dan
tidak sudi mengaku dia sebagai pangcu lagi, malahan sembarangan menuduh Piaukoku,
maka aku tidak suka kepada mereka.”
Menurut jalan pikiran gadis
itu, siapa yang tidak baik kepada piaukonya, maka orang itu dianggapnya sebagai
orang paling jahat di dunia ini. Lalu ia menyambung pula, "Si pengemis
buntak ini memainkan Hok-mo-theng dari aliran Ngo-tay-san, tapi karena badannya
pendek, maka jurus ‘Cin-ong-pian-ciok’ (Raja Cin mencambuk batu) yang dimainkan
itu kurang tepat. Asal si jangkung menyerang bagian kakinya, pasti dia akan
kewalahan. Cuma si kurus itu tidak tahu, ia sangka si pendek tentu sangat kuat
kuda-kudanya, padahal tidak demikian.”
Meski suara Giok-yan ini
sangat perlahan, tapi kebanyakan jago yang hadir di situ adalah ahli lwekang
terkemuka, mereka dapat mendengar juga ucapan Giok-yan itu. Walaupun banyak
juga di antaranya kenal asal usul ilmu silat Ge-tianglo, tapi sekali pandang
hendak mengetahui di mana letak kelemahan tokoh Kay-pang itu sebenarnya sedikit
yang mampu. Dan memang benar juga, demi mereka memerhatikan jurus serangan
Getianglo yang disebut Giok-yan tadi yang kelihatannya sangat hebat, namun
kuda-kuda kakinya memang kurang kuat.
Dengan sendirinya In Tiong-ho
juga mendengar komentar Giok-yan itu, ia melirik gadis itu dan memuji,
"Wah, cantik amat anak dara ini, lebih-lebih pandangannya yang tajam,
kalau mau ikut aku dan menjadi istriku masih boleh juga.”
Sambil berkata, senjata cakar
bajanya tidak pernah kendur, ia turut petunjuk Giok-yan tadi dan beruntun tiga
kali menyerang bagian bawah Ge-tianglo.
Karena hal itu memang benar
merupakan kelemahan Ge-tianglo, maka jurus ketiga tak dapat ditangkisnya,
"cret”, pahanya tergurat cukup parah oleh cakar baja musuh hingga darah
bercucuran.
Dasar sifat Giok-yan memang
masih kekanak-kanakan dan hijau, mendengar pujian In Tiong-ho akan
kecantikannya, ia merasa senang hingga kata-kata yang bernada rendah itu tidak
terpikir olehnya. Dengan tersenyum ia malah menjawab, "Huh, tidak kenal
malu. Apamu yang dapat dipilih, aku tidak mau menjadi istrimu.”
"Mengapa tidak mau?”
tanya In Tiong-ho. "Ehm, tentu kau sudah punya pacar bukan? Biarlah
kubunuh dulu buah hatimu itu, masakah kau takkan menjadi istriku nanti?”
Perkataan terakhir ini
benar-benar telah menusuk perasaan Giok-yan, maka dengan muka merengut ia tidak
gubris orang lagi.
Selagi In Tiong-ho hendak
menggoda dengan kata-kata pula, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang telah
melompat keluar seorang kakek lain, itulah Go-tianglo dengan senjatanya yang
berupa kui-thau-to, golok yang ujungnya berbentuk kepala setan. Tanpa bicara
lagi Go-tianglo terus membabat ke kanan empat kali dan menebas ke kiri empat
kali, memotong ke atas empat kali dan membacok ke bawah empat kali, 4 kali 4
sama dengan 16 kali, daya serangannya sangat hebat.
Karena tidak kenal ilmu
permainan golok lawan itu, In Tiong-ho cuma dapat berkelit ke sini dan
menghindar ke sana dengan kelabakan.
Segera Giok-yan mengemukakan
komentarnya lagi, "Su-siang-liok-hap-to-hoat yang dimainkan Go-tianglo ini
di dalamnya membawa perubahan menurut perhitungan pat-kwa, pastilah si jangkung
itu tak kenal ilmu goloknya ini. Entah apakah dia paham tidak permainan
‘Ho-coa-pat-tah’ (delapan kali menghantam ular dan bangau), kalau dapat, dengan
mudah pasti Go-tianglo akan dikalahkan pula.”
Mendengar gadis itu memberi
petunjuk pula kepada In Tiong-ho, para pengemis menjadi gusar dan sama melotot
padanya.
Dalam pada itu In Tiong-ho
sudah mengubah serangannya, kakinya yang panjang itu melangkah lebar, cakar
bajanya menyapu dari samping hingga mirip seekor bangau sedang pentang sayap.
"Hihi, si jangkung itu
telah tertipu olehku, boleh jadi tangan kirinya akan segera tertebas kutung,”
bisik Giokyan pada Toan Ki dengan tertawa perlahan.
"Apa betul?” sahut Toan
Ki dengan heran.
Dan belum lagi Giok-yan
menjawab, tertampak serangan golok Go-tianglo sudah mulai kacau, gayanya
semakin lambat, tapi mendadak ia menyerang tiga kali dengan cepat, di mana
sinar golok berkelebat, sekonyong-konyong In Tiong-ho menjerit kaget, punggung
tangan kirinya telah keserempet oleh golok Gotianglo hingga cakar bajanya jatuh
ke tanah. Masih untung juga baginya karena ginkangnya sangat lihai, dengan
cepat ia sempat melompat mundur hingga dapat menghindarkan serangan-serangan
susulan Go-tianglo yang hebat.
Setelah mengalahkan musuh,
segera Go-tianglo mendekati Giok-yan, ia mengucap terima kasih kepada nona
itu.
Giok-yan tersenyum, katanya,
"Sungguh ‘Ki-bun-sam-cay-to’ yang hebat!”
Go-tianglo terkejut, tak
tersangka olehnya bahwa gadis itu ternyata kenal ilmu goloknya yang sebenarnya.
Kiranya sejak tadi Giok-yan
sudah kenal ilmu golok Go-tianglo itu adalah "Ki-bun-sam-cay-to,” tapi ia
sengaja bilang "Su-siang-liok-hap-to” untuk menyesatkan In Tiong-ho,
bahkan ia dapat melihat In Tiong-ho pasti mahir menggunakan serangan
"Ho-coa-pat-tah”, dengan demikian ia sengaja pancing durjana itu masuk
perangkap hingga dicecar oleh serangan Go-tianglo, sampai tangan kirinya hampir
tertebas kutung.
Itu orang yang berdiri di
samping Helian Tiat-si dan suaranya melengking seram tadi namanya Nurhai.
Walaupun mukanya tidak menarik, tapi orangnya sangat cerdik dan banyak tipu
akalnya, pengetahuannya juga sangat luas.
Demi melihat mula-mula
Giok-yan membantu In Tiong-ho mengalahkan Ge-tianglo, kemudian gadis itu
bersuara pula dan membikin In Tiong-ho dilukai Go-tianglo, maka ia lantas
berkata kepada Helian Tiat-si, "Ciangkun, nona cilik bangsa Han ini sangat
aneh, kalau kita dapat menawannya ke It-bin-tong dan suruh dia mengatakan
segala apa yang dia ketahui, pasti akan sangat besar manfaatnya bagi kita.”
"Ehm, bagus, bolehlah kau
tawan dia,” sahut Helian Tiat-si.
Nurhai garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal, pikirnya, "Sifat Ciangkun benar-benar membikin runyam,
setiap kali aku mengusulkan sesuatu akal padanya, selalu ia menjawab, ‘Ehm, bagus,
kerjakanlah!’ Padahal untuk melaksanakan sesuatu tugas tidaklah mudah, apalagi
nona cilik ini tampaknya berilmu silat sangat tinggi dan sukar dijajaki,
jangan-jangan aku sendiri akan terjungkal dari dibikin malu di depan orang
banyak. Urusan hari ini sudah jelas harus membasmi habis kaum pengemis ini,
maka lebih baik aku mendahului turun tangan saja.”
Sesudah ambil keputusan
demikian, segera ia melangkah maju, katanya, "Ci-tianglo, Ciangkun kami
cuma ingin belajar kenal Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang, jika
kalian mahir, lekas unjukkan, bila tidak becus, kami tiada tempo buat banyak
urusan, maka sekarang juga kami mohon diri saja.”
"Hm, jago-jago
It-bin-tong negeri kalian itu ternyata juga cuma begini saja kualitasnya, untuk
bisa belajar kenal dengan Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang
rasanya belum sesuai kalau hanya kerocokeroco seperti ini saja,” sahut
Ci-tianglo.
"Habis, cara bagaimana
untuk bisa sesuai,” tanya Nurhai.
"Lebih dulu harus dapat
mengalahkan semua pengemis-pengemis tak becus seperti kami ini, habis itu
barulah pimpinan Kay-pang sudi maju sendiri ....” belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong ia terbatuk-batuk hebat, menyusul matanya terasa sakit pedas
dan tak dapat dibuka, air mata pun bercucuran tak tertahankan. Dalam kagetnya,
tanpa pikir lagi ia terus melompat ke atas.
Sebagai seorang Kangouw yang
ulung, begitu merasa matanya tidak beres, segera Ci-tianglo tahu musuh telah
main gila, dan begitu badannya terapung di udara, kedua tangan siap menjaga
diri sambil menahan napas, sedang kaki kanan beruntun-runtun menerjang tiga
kali.
Sama sekali Nurhai tidak
menduga bahwa seorang kakek-kakek yang sudah ubanan itu begitu tangkas dan
cepat, untung dirinya masih sempat berkelit, namun hanya tempat-tempat
berbahaya saja dapat dihindarkan, sebaliknya pundaknya juga kena terdepak
sekali oleh Ci-tianglo hingga ia sempoyongan dan cepat-cepat melompat mundur.
Dalam pada itu para anggota
Kay-pang sudah lantas berteriak-teriak, "Celaka! Musuh main gila!” —
"Hei, mataku kena apa ini?” — "Wah, mataku tak dapat dibuka!” —
Begitulah semuanya merasa mata sakit pedas dan mengucurkan air mata.
Giok-yan, A Cu, dan A Pik juga
mengalami kejadian yang sama, mata mereka terasa panas dan susah dibuka.
Kiranya ini adalah semacam kabut beracun yang tanpa warna dan tiada bau apa-apa
yang disebarkan orangorang Se He. Racun kabut itu adalah buatan dari kabut
beracun yang terdapat di pegunungan Se He, mereka isi di dalam botol, waktu
menggunakan, lebih dulu mereka minum obat penawarnya, lalu sumbat botol dibuka
dan kabut berbisa itu menguar keluar perlahan-lahan. Dengan begitu biarpun
orang yang paling cerdik juga takkan merasa, bila matanya sudah mulai sakit
pedas dan mengucurkan air mata, saat itu racun sudah masuk kepala.
Maka terdengarlah suara
gedebak-gedebuk dan jeritan kaget yang riuh, para pengemis beruntun-runtun
terguling semua.
Di antara semua orang itu
hanya Toan Ki yang tidak roboh. Ia pernah makan Bong-koh-cu-hap, katak merah
yang bisa menguak seperti kerbau, binatang itu antisegala racun, maka kabut
berbisa itu pun tidak mempan baginya.
Ia menjadi bingung ketika
melihat para pengemis, Giok-yan dan kedua dayangnya roboh semua dengan keadaan
mengenaskan. Ia lihat Ci-tianglo dengan mata merem masih menghantam dan
menendang untuk
menjaga diri, tapi untuk kedua
kalinya ketika melompat lagi ke atas, mendadak tangan-kaki terasa kaku linu,
tanpa kuasa lagi orang tua itu terbanting jatuh.
Sambil membentak Nurhai segera
pimpin jago-jago Se He meringkus para pengemis. Ia sendiri lantas mendekati
Giok-yan dan hendak menarik tangan gadis itu.
"Apa yang hendak kau
lakukan?” bentak Toan Ki mendadak. Dalam gugupnya jari telunjuk kanan terus
menuding hingga satu arus hawa murni terpancar kuat ke depan, itulah
"Lak-meh-sin-kiam” yang sakti dari keluarga Toan di Tayli.
Nurhai tidak kenal betapa
lihainya ilmu pedang tanpa wujud itu, sama sekali ia tidak gubris dan masih
ulur tangan hendak memegang Giok-yan, sekonyong-konyong "krek” sekali,
tahu-tahu tulang tangan kanannya patah dan menggantung ke bawah dengan lemas.
Saking kagetnya Nurhai
menjerit dan berhenti. Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk merangkul
pinggang Giok-yan terus dibawa lari dengan ilmu langkah "Leng-po-wi-poh”
yang aneh, ia mengisar ke sini dan menyusur ke sana, dengan mudah saja ia tinggal
pergi.
Sekali Yap Ji-nio menyambitkan
sebatang jarum berbisa ke punggung Toan Ki, sambitan itu sangat pesat
menyambarnya dan sangat jitu pula, sebenarnya tidak mungkin Toan Ki sanggup
menghindarnya.
Tapi karena ilmu langkahnya
yang aneh itu, tiba-tiba Toan Ki mengisar ke kanan dan tahu-tahu membelok ke
kiri, terkadang mundur pula, maka ketika jarum berbisa Yap Ji-nio menyambar
tiba, tahu-tahu Toan Ki sudah berada beberapa meter jauhnya di samping sana.
Ada tiga busu pilihan dari Se
He segera melompat turun dari kuda mereka terus mengudak. Tapi tahu-tahu Toan
Ki mengisar mundur malah ke samping kuda yang ditinggalkan mereka itu, lebih
dulu ia taruh Giok-yan di atas kuda dengan melintang, lalu ia sendiri
mencemplak dan dilarikan secepatnya ke tempat yang sepi.
Sekitar hutan itu sudah dijaga
oleh jago-jago Se He, ketika melihat Toan Ki melarikan diri dengan menunggang
kuda, segera mereka menghujani pemuda itu dengan panah. Tapi hutan itu sangat
lebat, di mana-mana hanya pohon belaka, maka anak panah itu menancap semua di
batang pohon tanpa mengenai sasarannya.
Dalam kegelapan Toan Ki terus
melarikan kudanya, ia tepuk-tepuk kuda itu dan berkata, "Kuda baik, kuda
manis, ayolah cepat, nanti kuberi minum arak!”
Sudah beberapa lama kuda itu
mencongklang, sementara itu musuh sudah ketinggalan jauh.
"Nona Ong, bagaimanakah
keadaanmu?” tanya Toan Ki.
"Aku keracunan, tenagaku
hilang sama sekali,” sahut Giok-yan.
Toan Ki kaget mendengar nona
itu keracunan, cepat ia tanya pula, "Wah, berbahaya tidak? Cara bagaimana
agar bisa memperoleh obat penawarnya?”
"Entahlah, aku tidak
tahu, lekas larikan kudamu lebih cepat, carilah suatu tempat yang aman dan kita
bisa berunding nanti,” ujar Giok-yan.
"Ke mana menurut
pendapatmu akan lebih aman?” tanya Toan Ki.
"Ke Thay-oh saja!” sahut
si gadis.
Toan Ki coba membedakan arah,
agaknya Thay-oh (telaga besar) itu berada di jurusan barat-laut, segera ia
larikan kuda ke sana. Tiada satu jam kemudian, kuda yang dibebani dua orang itu
sudah terlalu lelah, menyusul turun hujan pula rintik-rintik.
Selang tak lama, Toan Ki coba
tanya, "Nona Ong, bagaimana keadaanmu?”
Dapat menunggang kuda bersama
gadis cantik, sudah tentu rasa Toan Ki sangat senang, tapi ia khawatir pula
kalau racun yang mengenai Giok-yan itu teramat jahat hingga membahayakan
jiwanya. Maka sebentar ia tersenyum dan lain saat khawatir.
Jilid 27
Untung waktu itu adalah malam
dan di tempat sepi hingga tiada orang yang melihat sikapnya yang aneh itu,
kalau tidak, tentu orang akan menyangka dia sudah gila.
Hujan itu semakin deras, Toan
Ki menanggalkan jubahnya untuk menutup badan Giok-yan. Tapi hanya sebentar saja
baju kedua orang telah sama-sama basah kuyup lagi.
"Bagaimana keadaanmu,
nona Ong?” kembali Toan Ki menanya.
"Ai, basah dan dingin,
sebaiknya cari suatu tempat untuk berteduh,” sahut Giok-yan.
Segala apa yang dikatakan
Giok-yan itu bagi pendengaran Toan Ki adalah serupa titah sang ratu. Sekarang
gadis itu minta dicarikan tempat meneduh, meski pemuda itu tahu keadaan masih
berbahaya, setiap waktu dapat disusul musuh, tapi mau tak mau ia terus mengia.
Tiba-tiba timbul pula semacam pikirannya yang ketolol-tololan, "Orang yang
selalu terbayang-bayang dalam benak nona Ong hanya Buyung-kongcu seorang, maka
terang tiada harapan selama hidupku untuk mempersunting si cantik. Hari ini aku
sama-sama menghadapi bahaya dengan dia, biarlah aku berusaha sepenuh tenaga
untuk melindunginya, bila akhirnya aku mati baginya, mungkin di kemudian hari
pada masa tuanya secara kebetulan tentu dia akan terkenang juga kepada aku si
Toan Ki. Kelak setelah dia menikah dengan Buyung Hok tentu akan punya
putra-putri, dan bila mereka sedang bicara di antara anak-cucu sendiri atas
kejadian-kejadian di masa lalu, mungkin juga ia akan teringat kepada kejadian
hari ini. Tatkala mana ia sudah nenek-nenek yang ubanan, ketika bicara tentang
‘Toan-kongcu’, air matanya lantas bercucuran ....” — begitulah dalam melamunnya
itu tanpa merasa matanya menjadi memberambang sendiri.
Melihat pemuda itu
termangu-mangu sambil menengadah dan tidak lantas mencari tempat meneduh
seperti permintaannya tadi, segera Giok-yan menanya, "Hei, kenapakah kau?
Apakah susah diperoleh suatu tempat berteduh?”
"Tatkala itu engkau tentu
akan berkata pada anakmu ....”
"Anakku apa katamu?”
tegur Giok-yan dengan heran sebelum lanjut perkataan pemuda itu.
Keruan Toan Ki kaget dan sadar
kembali dari lamunannya, cepat ia menyahut dengan tertawa ewa, "Ah, maaf,
aku lagi melamun sendiri.”
Segera ia celingukan kian
kemari untuk mencari sesuatu tempat bernaung, tiba-tiba dilihatnya di arah
timur laut sana ada sebuah rumah gilingan, air sungai kecil di samping rumah
gilingan itu mengalir cepat hingga roda gilingan itu berputar terdorong oleh
arus air, nyata gilingan itu sedang bekerja.
"Di sanalah kita dapat
berteduh,” ujar Toan Ki. Segera ia keprak kudanya ke arah sana, tidak lama,
sampailah di depan rumah gilingan itu.
Segera Toan Ki melompat turun
dari kuda, demi dilihatnya wajah Giok-yan pucat pasi, sungguh betapa rasa kasih
sayangnya pemuda itu. Dengan khawatir ia menanya pula, "Nona Ong, apakah
perutmu sakit? Atau barangkali kepalamu pusing? Badanmu panas?”
"Tidak, tidak apa-apa,”
sahut Giok-yan sambil menggeleng.
"Ai, entah racun apa yang
digunakan orang Se He itu, kalau aku dapat memperoleh obat penawarnya, tentu
segalanya akan beres,” ujar Toan Ki.
"Eh, mengapa engkau tidak
memayang aku turun, hujan begini derasnya?” tegur si gadis.
Dan baru Toan Ki ingat akan
hal itu, dengan gugup ia menjawab, "Eh, ya, ya, aku menjadi linglung ini.”
Giok-yan tersenyum, ia geli
melihat kelakuan si pemuda yang memang mirip orang linglung itu.
Melihat senyuman manis si
gadis yang menggiurkan itu, semangat Toan Ki seakan-akan kabur ke awangawang,
hampir ia lupa apa yang harus dilakukannya. Segera ia membukakan dulu pintu
rumah gilingan itu, habis itu, ia putar balik hendak menurunkan Giok-yan dari
atas kuda. Tapi karena matanya tidak pernah meninggalkan wajah si gadis yang
ayu itu, ia menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa di depan titian rumah
gilingan itu ada sebuah selokan. Begitu ia melangkah kembali, sebelah kakinya
tepat kejeblos ke dalam selokan.
"Hei, awas!” cepat
Giok-yan memperingatkan.
Namun sudah telat, Toan Ki
sudah kehilangan imbangan badan, disertai jeritan kagetnya, terus saja ia
ngusrup jatuh ke dalam pecomberan. Cepat ia merangkak bangun pula, namun
mukanya, tangannya, dadanya, antero tubuhnya sudah basah kuyup dan kotor oleh
tanah lumpur, bahkan ada beberapa tetes air kotor itu menciprat ke
dalam mulutnya.
Keruan Toan Ki kelabakan dan
meludah-ludah tiada habis-habis, katanya kemudian, "Ah, maaf, kau ... kau
tak apa-apa, bukan?”
"Ai, akulah harus menanya
engkau tidak apa-apa, bukan? Mengapa malah aku yang ditanya?” sahut Giok-yan.
"Sakit tidak kau? Apa terluka?”
Mendengar si gadis sudi
memerhatikan keselamatan dirinya, girang Toan Ki melebihi orang yang dapat
"buntut”. Cepat ia menjawab, "O, tidak, tidak apa-apa. Sekalipun
terbanting patah kakiku juga tidak apa-apa.”
Habis itu segera ia ulur
tangan hendak memayang Giok-yan turun dari kudanya, tapi demi tampak tangan
sendiri penuh lumpur, cepat ia tarik kembali lagi dan berkata, "Nanti
dulu, biar kucuci tangan dulu supaya tidak bikin kotor padamu.”
"Ai, engkau ini
benar-benar suka bertele-tele,” ujar Giok-yan. "Sedangkan seluruh badanku
juga sudah basah kuyup, kenapa mesti takut pada sedikit lumpur kotor itu?”
Tapi Toan Ki toh masih mencuci
dulu tangannya di dalam air selokan itu, kemudian barulah menurunkan Giokyan.
Setelah mereka melangkah masuk
ke rumah gilingan itu, tertampaklah sebuah alu batu yang digerakkan roda air
sedang naik-turun menumbuk padi di dalam lumpang. Tapi tidak tampak seorang pun
yang menjaga di situ.
"Adakah orang di sini?”
segera Toan Ki berseru.
Karena itu, mendadak
terdengarlah seruan kaget dua orang di onggok jerami di pojok rumah sana,
menyusul berdirilah seorang pemuda dan satu dara. Semuanya baru berusia belasan
tahun. Baju kedua muda-mudi itu tampak kumal tak teratur, rambut mereka kusut
dan muka merah jengah, sikapnya sangat kikuk.
Kiranya kedua muda-mudi itu
adalah sepasang kekasih yang sedang bercumbu-cumbuan di situ. Si gadis itu
sebenarnya lagi menunggui lumpang padi, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh
si pemuda, apalagi hari hujan pula, mereka yakin takkan ada orang datang ke
situ, maka dengan bebas mereka sedang main patgulipat. E-eh, siapa sangka
mendadak datang Toan Ki dan Giok-yan hingga mengganggu kesenangan mereka.
Maka Toan Ki lantas memberi
kiongchiu sambil menyapa, "Ah, maaf, maaf, banyak mengganggu. Kalian
sedang kerja apa, silakan terus, tidak usah mengurus kami.”
"Kembali pelajar tolol
seperti kau ini mengaco-belo lagi,” omel Giok-yan. "Di hadapan kita
masakah mereka bisa bebas bermesra-mesraan?” — Sebagai seorang gadis, demi
tampak kelakuan kedua muda-mudi itu, seketika muka Giok-yan sudah lantas merah
dan tidak berani memandang mereka lagi.
Sebaliknya antero perhatian
Toan Ki hanya tercurahkan atas diri Giok-yan, maka sama sekali ia tidak
perhatikan apakah sebenarnya yang sedang dilakukan kedua muda-mudi itu tadi.
Begitulah segera ia memayang
Giok-yan berduduk ke atas bangku yang berada di situ dan menanya, "Badanmu
basah kuyup semua. Bagaimana baiknya sekarang?”
Tiba-Tiba pikiran Giok-yan
tergerak, ia cabut sebuah tusuk kondenya yang berhias dua butir mutiara dan
berkata kepada gadis petani tadi, "Cici, ini kuberi sebuah tusuk konde
emas kepadamu, harap engkau suka meminjamkan seperangkat pakaian padaku.”
Sudah tentu gadis petani itu
tidak kenal betapa berharganya kedua butir mutiara besar itu, yang dia ketahui
hanya tusuk konde emas itu memang bernilai, maka ia menjadi ragu-ragu akan
tawaran Giok-yan itu, sahutnya kemudian, "Biarlah aku mengambilkan pakaian
untukmu, tentang tusuk ... tusuk konde itu aku tidak mau.” — Habis berkata ia
terus naik ke atas loteng rumah gilingan itu dengan sebuah tangga kayu di
pinggir situ.
"Cici, harap engkau
kemari dulu,” pinta Giok-yan.
Gadis petani itu sebenarnya
sudah naik lima-enam tingkat ke atas tangga itu, tapi ia menurut dan kembali ke
hadapan Giok-yan.
Segera Giok-yan serahkan tusuk
konde emas itu ke dalam tangan si gadis petani dan berkata, "Tusuk konde
ini paling sedikit bernilai seratus tahil perak, aku benar-benar menghadiahkan
kepadamu. Permintaanku ialah sudilah Cici membawa aku untuk mengganti pakaian.”
Hati gadis petani itu sangat
baik, dilihatnya pula Giok-yan sangat cantik menyenangkan, apalagi mendapat
persen sebuah tusuk konde berharga pula, keruan ia sangat girang. Segera ia
membawa Giok-yan ke atas loteng untuk menukar pakaian.
Di atas loteng penuh tertaruh
alat-alat pertanian serta timbunan padi, banyak pula terdapat tampah, tenggok,
ayakan bambu dan sebagainya.
Sebenarnya gadis itu sedang
tambal sulam pakaian sambil menunggu lumpang padi, tapi kemudian datang si
pemuda kekasihnya itu, maka pekerjaan tangan itu ditinggalkannya. Dan kini
kebetulan pakaiannya dapat diberikan kepada Giok-yan.
Dalam pada itu si pemuda desa
tadi sedang memandang Toan Ki dengan sikap canggung dan tidak berani bersuara.
Maka dengan tertawa Toan Ki lantas menyapa, "Toako, she apakah engkau?”
"O, aku ... aku she Kim,”
sahut pemuda desa itu.
"Ehm, Kim-toako kiranya,”
kata Toan Ki. Dan belum lagi lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara derap
kuda yang dilarikan dengan sangat cepat sedang mendatangi, dari suaranya itu
dapat diduga ada belasan orang banyaknya.
Toan Ki terkejut dan khawatir,
cepat ia berbangkit dan berseru, "He, nona Ong, musuh mengejar kemari!”
Dibantu oleh gadis petani
tadi, saat itu Giok-yan baru melepaskan baju dan diperas hingga kering serta sedang
mengelap badannya yang basah, ia pun sudah mendengar derap kuda dan sedang
khawatir. Tapi karena dalam keadaan kepalang tanggung, maka ia tidak dapat
berbuat apa-apa.
Dalam pada itu datangnya
kuda-kuda itu ternyata sangat cepat, tahu-tahu sudah sampai di depan rumah,
segera terdengar suara orang berseru, "He, itulah kuda kita, kedua bocah
itu tentu sembunyi di sini.”
Toan Ki dan Giok-yan menjadi
khawatir, mereka masing-masing berada di bawah dan atas loteng, diam-diam
mereka menyesal tadi kuda itu tidak dibawa masuk sekalian ke dalam rumah.
Sejenak kemudian, terdengarlah
suara gedubrakan keras, daun pintu terpentang didobrak orang, menyusul
tigaempat orang busu bangsa Se He lantas menerobos masuk.
Yang dipikir Toan Ki hanya
keselamatan Giok-yan, tanpa pikir lagi ia terus berlari ke atas loteng. Waktu
itu Giok-yan masih belum sempat pakai baju, terpaksa ia gunakan pakaian yang
basah itu untuk menutupi dadanya.
Keruan Toan Ki kaget demi
mengetahui keadaan gadis itu, cepat ia berkata, "Ah, maaf, maaf, aku tidak
tahu!”
"Wah, bagaimana baiknya
ini?” tanya Giok-yan dengan gugup.
Dalam pada itu terdengar salah
seorang busu di bawah loteng sedang tanya Kim A-toa, yaitu si pemuda desa,
"Apakah anak dara itu berada di atas?”
"Buat apa engkau tanya
anak gadis orang?” sahut Kim A-toa dengan kaku.
"Blang,” tanpa bicara
lagi busu itu hantam Kim A-toa hingga pemuda desa itu terguling. Namun watak
pemuda itu ternyata sangat keras, segera ia mencaci maki.
"Kim-toako, jangan
bertengkar dengan orang!” demikian si gadis tani tadi berseru kepada kekasihnya
dengan khawatir, segera ia turun ke bawah loteng untuk mencegahnya,
Siapa duga busu tadi lantas
ayun golok hingga buah kepala Kim A-toa terbelah menjadi dua. Saking kagetnya
sampai gadis tani itu pun jatuh terjungkal dari atas tangga.
Segera busu yang lain
membangunkannya dan dipeluk sambil menggoda, "Ini dia si manis datang
sendiri padaku!”
"Bret”, segera baju gadis
itu dirobeknya.
Di luar dugaan, mendadak gadis
itu mencakar muka busu itu hingga seketika berwujud lima jalur luka dengan
darah bercucuran. Keruan busu itu menjadi murka, ia menghantam sekuatnya dada
si gadis hingga tulang iganya remuk dan binasa seketika.
Ketika mendengar jeritan ngeri
di bawah loteng, Toan Ki menoleh dan melihat kedua muda-mudi itu sudah
terbinasa dengan mengenaskan, ia menjadi pedih dan menyesal, "Gara-garaku
hingga kalian ikut menjadi korban!”
Dalam pada itu dilihatnya busu
pertama tadi sedang memanjat ke atas loteng. Cepat Toan Ki mendorong tangga
kayu itu ke depan. Karena tangga itu cuma melekat di papan loteng, sekali
didorong lantas roboh ke
sana.
Namun busu itu keburu melompat
turun, ia pegang tangga yang mendoyong itu dan dipasang kembali ke atas loteng.
Dan baru Toan Ki hendak
mendorong tangga pula, tiba-tiba busu yang lain menyerangnya dengan sebatang
panah. Karena tidak pandai berkelit, "crat”, panah itu menancap di pundak
kirinya. Ketika Toan Ki kesakitan dan memegang bahunya, kesempatan itu digunakan
oleh busu yang lain untuk memperbaiki tangga terus melompat ke atas.
Giok-yan sedang duduk di atas
onggok padi di samping Toan Ki, ia menyaksikan cara bagaimana busu itu
menghantam mati si gadis tani dan kini melompat ke atas loteng, maka cepat
katanya kepada Toan Ki, "Lekas gunakan jari telunjukmu untuk menutuk
‘He-wan-hiat’ bagian perutnya.”
Waktu Toan Ki mempelajari
It-yang-sin-kang, dan Lak-meh-sin-kiam di Tayli, dalam hal hiat-to di tubuh
manusia telah dihafalkannya dengan baik. Kini demi mendengar petunjuk Giok-yan
itu, sementara itu sebelah kaki busu itu sudah melangkah ke atas loteng, tanpa
pikir lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke depan, ia tutuk arah
"He-wan-hiat” di perut orang.
Dalam keadaan melompat ke
atas, dengan sendirinya perut busu itu tidak terlindung, maka terdengarlah
jeritan sekali, busu itu terjungkal ke bawah dan terbanting mati.
Toan Ki sama sekali tidak
menduga bahu tenaga jarinya itu ternyata begitu sakti, ia sampai melenggong
sendiri.
Dalam pada itu tertampak
seorang busu berewok telah menyerbu ke atas loteng sambil putar senjatanya yang
berupa golok besar.
"Tutuk mana, tutuk mana?”
tanya Toan Ki dengan khawatir.
"Ai, celaka!” tiba-tiba
Giok-yan mengeluh.
"Celaka apa?” tanya Toan
Ki gugup.
"Dia putar golok untuk
melindungi tubuhnya, jika kau gunakan jari untuk menutuk ‘Tan-tiong-hiat’ di
dadanya, sebelum jarimu mengenai sasarannya tentu tanganmu sudah tertebas lebih
dulu oleh goloknya,” ujar Giok-yan.
Namun keadaan sudah mendesak,
baru selesai Giok-yan berkata, sementara busu itu sudah melangkah sampai di
ujung tangga. Oleh karena yang terpikir hanya keselamatan Giok-yan, maka Toan
Ki tidak pikir apakah tangannya bakal terkutung oleh golok lawan atau tidak,
begitu jari telunjuk menuding, ia kerahkan tenaga murni, ia tonjok
"Tan-tiong-hiat” di dada musuh.
Waktu itu si busu sedang
angkat golok hendak membacok, mendadak ia menjerit lalu terjungkal ke belakang
dan terguling ke bawah loteng dengan dada berlubang kecil, darah menyembur
keluar bagai air mancur.
Sungguh girang dan kejut pula
Toan Ki dan Giok-yan, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa tenaga tutukan
itu bisa begitu lihai.
Harus diketahui bahwa lwekang
yang dimiliki Toan Ki sekarang boleh dikatakan tiada bandingannya lagi,
sedangkan "Lak-meh-sin-kiam” keturunan Toan-si di Tayli merupakan kungfu
kelas utama di Bu-lim, yang masih kurang bagi Toan Ki hanya mengenai cara
menggunakannya, tapi dengan petunjuk Giok-yan, daya serang yang dilontarkan itu
bahkan lebih hebat daripada jago kelas satu seperti Koh-eng Taysu, Ciumoti,
Yanking Taycu dan lain-lain.
Begitulah hanya sekejap saja
dua orang sudah binasa oleh tutukannya, busu yang lain menjadi jeri tidak
berani naik ke atas loteng lagi, mereka berkumpul di bawah untuk berunding.
"Toan-kongcu, panah yang
menancap di pundakmu itu harus dicabut keluar,” kata Giok-yan.
Sungguh girang Toan Ki tak
terkatakan karena mendapat perhatian si cantik, segera ia cabut keluar panah
itu.
Padahal panah itu menancap
beberapa senti dalamnya, dengan mencabut begitu saja sebenarnya sangat sakit,
tapi saking senangnya ia menjadi lupa sakit. Kemudian katanya, "Nona Ong,
kembali mereka akan menyerang lagi, cara bagaimana harus kulayani mereka?”
Sembari berkata ia terus
menoleh, tapi sekonyong-konyong dilihatnya pakaian Giok-yan belum lagi teratur,
lekas ia berpaling kembali sambil minta maaf.
Muka Giok-yan merah jengah,
celakanya untuk berpakaian juga tidak kuat, sungguh ia kehilangan akal.
Tibatiba pikirannya tergerak, ia menyusup ke tengah onggok padi, ia tarik
ikatan padi hingga menutup sebatas
pundaknya, hanya kepalanya
yang menongol keluar tumpukan padi itu, lalu katanya dengan tertawa,
"Sudahlah sekarang, boleh kau berpaling ke sini.”
Tapi Toan Ki masih khawatir,
perlahan ia menggeser kepalanya, ia bersiap-siap bila pakaian si nona masih
belum rapi, secepatnya ia akan berpaling pula.
Tak terduga baru saja ia
menoleh separuh, sekilas dilihatnya di luar jendela loteng sana ada seorang
busu bangsa Se He berdiri di atas pelana kuda dan sedang melongok dan hendak
melompat ke loteng. Cepat Toan Ki berseru, "He, di situ ada musuh!”
"Coba kau sambit dia
dengan panah tadi,” kata Giok-yan.
Toan Ki menurut, segera ia
timpuk panah yang dia cabut dari bahu sendiri itu. Sudah tentu ia bukan ahli
menyambit panah, maka panah yang melayang keluar itu paling sedikit selisih
satu meter jauhnya daripada sasarannya,
Busu itu sebenarnya tidak
perlu berkelit. Tapi karena tenaga sambitan Toan Ki sangat hebat hingga panah
itu bersuara mendenging. Busu itu terkejut dan cepat mendekam di atas kudanya
untuk menghindar.
Hanya sedikit gerakan busu itu
sudah dapat dilihat jelas oleh Giok-yan, segera katanya kepada Toan Ki,
"Dia adalah jago gulat dari Se He, tak perlu kau takut, biarkan dia
menyikap dirimu, lalu kau tabok batok kepalanya, sekali tabok tentu akan
menang.”
"O, gampang kalau
begitu,” kata Toan Ki, perlahan ia lantas mendekati jendela.
Dalam pada itu si busu sudah
menjebol jendela dan menyerbu ke atas loteng.
"Mau apa naik sini?”
bentak Toan Ki.
Busu itu tidak paham bahasa
Han, maka ia hanya melotot saja, begitu tangan terjulur, segera dada Toan Ki
kena dijambret. Gerakan busu itu amat cepat, sekali dapat menjambret lawan,
segera ia angkat badan Toan Ki ke atas dengan maksud hendak membanting pemuda
itu.
Di luar dugaan, baru saja Toan
Ki terangkat ke udara, mendadak tangan pemuda itu menggaplok ke bawah dan
tepat mengenai batok kepalanya
hingga pecah berantakan.
Selama hidup Toan Ki tidak
pernah melukai orang, apalagi membunuh, tapi kini demi untuk membela Giokyan,
hanya sebentar saja sudah tiga nyawa melayang di tangannya.
Keruan ia mengirik, semakin
dipikir semakin takut, cepat ia berteriak, "Aku tidak ingin membunuh orang
lagi, suruh aku membunuh lagi terang aku tidak tega, ayolah lekas kalian enyah
dari sini!”
Habis berkata, ia terus dorong
mayat jago gulat Se He itu ke bawah.
Jago-jago Se He yang mengejar
kemari itu seluruhnya ada 15 orang, kini telah mati tiga, sisanya masih 12
orang. Di antara ke-12 orang ini ada empat adalah jago pilihan It-bin-tong,
sedang kedelapan orang lainnya hanya jago tempur biasa saja.
Keempat jago It-bin-tong itu
dua antaranya adalah bangsa Han, seorang bangsa Se-ek (asing barat) dan seorang
lagi bangsa Se He.
Keempat jago It-bin-tong itu
merasa heran dan bingung juga oleh kepandaian Toan Ki yang sebentar lihai dan
sebentar lagi lucu hingga sukar dijajaki. Mereka menjadi tidak berani
sembarangan menyerang lagi, segera mereka berunding cara bagaimana baiknya.
Sebaliknya kedelapan busu
biasa itu mempunyai pendapat lain, mereka terus mengumpulkan jerami di rumah
gilingan itu dengan maksud akan membakarnya.
"Wah, celaka, mereka
hendak menyalakan api!” kata Giok-yan dengan khawatir.
"Ya, bagaimana baiknya
kini?” sahut Toan Ki kelabakan.
Ia lihat roda air raksasa rumah
gilingan itu masih terus berputar terdorong oleh arus air sungai, serupa
pikirannya yang juga berputar terus tanpa berdaya.
Dalam pada itu terdengar salah
seorang jago bangsa Han tadi sedang berseru, "Menurut perintah Ciangkun,
nona cilik itu sangat pintar, harus ditawannya hidup-hidup dan jiwanya tidak
boleh diganggu, maka kalian jangan membakar dulu ....”
Lalu ia berteriak pula,
"Hai, anak jadah dan nona cilik itu, lekas kalian turun kemari dan
menyerahkan diri, kalau tidak, terpaksa kami menyalakan api biar kalian berdua
terbakar hidup-hidup bagai babi panggang.”
Berulang ia berteriak tiga
kali, tapi Toan Ki dan Giok-yan tetap tidak menggubris, segera orang itu
menyalakan api, ia menyulut segebung jerami dan diangkat tinggi ke atas, lalu
mengancam pula, "Kalian mau menyerah atau tidak? Jika tidak, terpaksa aku
mulai membakar.”
Sembari berkata, ia ayun obornya
dengan gaya hendak melempar ke onggok jerami.
Melihat keadaan sudah gawat,
segera Toan Ki berbisik kepada Giok-yan, "Biar kuturun untuk melabrak
mereka.”
Segera ia melangkah ke atas
roda air yang sedang berputar itu.
Roda air itu terbuat dari
kayu, besarnya tidak kepalang, bulat tengahnya paling sedikit ada tiga meter.
Begitu Toan Ki melangkah ke ujung gigi roda air itu, tangannya lantas memegang
ruji roda dan mengikuti putaran roda untuk turun ke bawah.
Jago Se He berbangsa Han tadi
masih berteriak-teriak menyuruh Toan Ki dan Giok-yan menyerahkan diri saja, tak
terduga diam-diam Toan Ki sudah turun dari loteng sebelah sana, tanpa berkata
lagi pemuda itu lantas tudingkan jarinya dan menutuk punggung orang itu.
Yang digunakan Toan Ki adalah
gaya ilmu pedang Siau-yang-kiam dari Lak-meh-sin-kiam yang lihai, maksudnya
sekaligus merobohkan musuh. Siapa tahu serangan ini dilakukan secara membokong,
lebih dulu ia sendiri sudah kebat-kebit, tenaga kurang dan semangat tak ada,
tenaga dalam dan hawa murni tak dapat dikerahkan.
Hal ini disebabkan dia tidak
paham dasar ilmu silat, maka permainan Lak-meh-sin-kiam itu selalu tergantung
keadaan secara kebetulan saja. Sebaliknya sekarang ia sengaja hendak menyerang,
tapi justru tenaga murni susah dikerahkan. Meski dia ulangi tutukannya beberapa
kali, namun hasilnya tetap nihil.
Ketika mendadak merasa
punggungnya seperti disenggol sesuatu dengan perlahan, dengan kaget orang Han
itu menoleh, maka dilihatnya Toan Ki yang disangkanya masih di atas loteng itu
kini sudah di belakangnya sambil menuding ke arahnya.
Karena sudah menyaksikan cara
Toan Ki membinasakan ketiga orang tadi, ia sangka pemuda itu tentu sedang main
ilmu sihir apa lagi untuk menyerang dirinya, maka dengan cepat ia melompat ke
samping.
Dalam pada itu Toan Ki
coba-coba menutuk pula sekali, tapi tetap tiada sesuatu suara dan tenaga,
sebaliknya orang itu sudah lantas membentak, "Anak kurang ajar, tanganmu
tuding-tuding apa?”
Berbareng tangan kanannya
terus mencengkeram kepala Toan Ki.
Cepat Toan Ki mengkeret mundur
sambil memegangi ruji roda air, maka ia terangkat ke atas oleh roda itu hingga
cengkeraman orang salah hantam di atas gigi roda, "crat” remukan kayu
bertebaran, satu sayap gigi roda itu rompal kena cengkeramannya yang kuat itu.
"Jika kau tempur dia
lagi, asal mengisar ke belakangnya dan menyerang ‘Ci-yang-hiat’ di bagian
punggungnya, tentu dia akan celaka,” demikian Giok-yan memberi petunjuk lagi.
"Orang ini adalah murid Hou-jiau-bun (silat cakar harimau) di Cinlam, kepandaiannya
masih belum cukup masak untuk melindungi Ci-yang-hiat.”
"Bagus jika begitu!” seru
Toan Ki dengan girang. Segera ia membonceng putaran roda air dan turun pula ke
ruangan rumah gilingan itu.
Tapi sekali ini mereka sudah
berjaga lebih dulu, belum lagi Toan Ki menginjak tanah, segera ada tiga orang
mendahului menyerbu maju hendak menangkapnya.
"He, he, jangan, jangan!
Cayhe hanya sendirian, dengan sendirinya tak dapat melawan orang banyak, aku
cuma ingin menempur dia seorang saja,” seru Toan Ki sambil goyang-goyang kedua
tangannya. Berbareng ia mengegos ke samping dengan langkah
"Leng-po-wi-poh” yang lincah, hanya beberapa kali menyelinap saja ia sudah
memutar sampai di belakang laki-laki tadi, segera ia membentak, "Kena!”
Dan sekali ia menutuk,
"crit”, cepat Ci-yang-hiat orang itu tertutuk, tanpa bersuara orang itu
terus roboh dan tak berkutik lagi.
Habis membunuh seorang, maksud
Toan Ki hendak membonceng roda air untuk naik ke atas loteng lagi, namun sudah
terlambat, tahu-tahu jalan mundurnya telah dicegat oleh seorang jago Se He,
bahkan goloknya terus membacok ke arah Toan Ki.
"Ai, celaka!” seru Toan
Ki. "Musuh telah memotong jalan mundurku, kini aku terkepung di tengah,
tamatlah riwayatku!”
Berbareng ia terus melangkah
ke kiri hingga bacokan musuh mengenai tempat kosong.
Pada lain saat, ke-11 orang di
dalam rumah gilingan itu sudah mengepung rapat di sekeliling Toan Ki, senjata
mereka terus bekerja berbareng, lebih-lebih ketiga tokoh It-bin-tong yang lihai
itu, asal terkena pukulan atau tendangannya, betapa pun jiwa Toan Ki pasti akan
melayang.
Keruan pemuda itu berkelit
kian kemari dengan kelabakan sambil berteriak-teriak, "Wah, celaka nona
Ong, sampai berjumpa pada jelmaan yang akan datang! Aku sendiri tentu akan
terbinasa, biarlah aku menantikan engkau di pintu gerbang akhirat saja!”
Walaupun mulutnya
berteriak-teriak, tapi langkahnya tidak pernah kendur, jalannya sangat cepat
dan gayanya indah hingga Giok-yan yang mengikuti ilmu langkahnya itu sampai
termangu-mangu kesima.
"Hei, Toan-kongcu, apakah
caramu melangkah itu adalah ‘Leng-po-wi-poh’? Aku hanya pernah mendengar
namanya, tapi tidak tahu caranya,” seru Giok-yan tiba-tiba.
"Ya, ya, benar, inilah
Leng-po-wi-poh!” sahut Toan Ki dengan girang. "Jika nona ingin lihat,
biarlah kumulai lagi dari awal. Tapi apakah dapat berlangsung hingga selesai
atau tidak, hal ini tergantung nasib buah kepalaku ini.”
Habis itu, terus saja ia mulai
dengan langkah pertama dari ilmu langkah yang pernah dipelajarinya dari cermin
perunggu di dalam gua di dasar sungai itu. Dan meski ke-11 orang itu masih
terus menghujani dia dengan pukulan, tendangan, dan serangan-serangan senjata,
toh tetap tiada mampu menyenggol ujung bajunya sekalipun.
Oleh karena sampai sekian saat
masih belum dapat membekuk Toan Ki, ke-11 orang itu menjadi kelabakan sendiri
dan berkaok-kaok di antara mereka sendiri, "Hai, kau cegat sebelah sana!”
— "Awas, kau jaga sebelah timur, jangan memberi ampun padanya!” — Dan lain
saat lantas terdengar teriakan seorang, "Wah, celaka, lolos lagi!”
Begitulah selangkah demi
selangkah Toan Ki terus berputar-putar di samping roda air dan lumpang padi.
Dan biarpun Giok-yan seorang gadis pintar, tetap ia tidak dapat memahami ilmu
langkah itu, serunya kemudian, "Sudahlah, lebih penting kau hindarkan
serangan musuh, tak usah mempertunjukkan kepadaku lagi.”
"Tapi kalau sekarang aku
tidak pertunjukkan, bila jiwaku melayang, tentu engkau takkan dapat melihatnya
lagi,” sahut Toan Ki. Dan tanpa menghiraukan mati-hidup sendiri ia terus
melanjutkan Leng-po-wi-poh itu hingga langkah terakhir.
Di luar perhitungannya, justru
karena ketolol-tololannya itulah malah menyelamatkan jiwanya. Kalau Toan Ki
umpamanya berkelit dengan sengaja ketika diserang, pertama ia tidak paham ilmu
silat, kedua, jumlah musuh ada 11 orang, ia tentu tidak dapat mengelakkan diri.
Tapi kini ia tidak gubris dari mana datangnya serangan, ia melainkan terus
melangkah menurutkan iramanya sendiri, dengan demikian menjadi seperti ke-11
orang itu sedang menguber untuk menyerang bersama. Dan "Leng-po-wi-poh”
itu justru sangat aneh, setiap langkahnya selalu menuju ke arah yang sama
sekali tak terduga oleh orang, tampaknya ia melangkah ke kiri, tapi tahu-tahu
di sebelah lain. Semakin cepat ke-11 orang itu menyerang, namun sebagian besar
serangan mereka mengenai kawan sendiri malah dan sebagian lain selalu mengenai
tempat kosong.
Setelah mengikuti sejenak,
segera Giok-yan tahu akan sebab musababnya, serunya, "Toan-kongcu,
langkahmu itu sangat bagus dan ruwet pula, seketika aku masih belum jelas,
paling baik kalau habis itu engkau suka mengulangi sekali lagi.”
"Baiklah, apa yang kau
inginkan, pasti kuturuti,” sahut Toan Ki. Dan habis menjalankan 8 kali 8 sama
dengan 64 langkah itu, benar juga ia lantas memulai kembali.
Diam-diam Giok-yan pikir
sendiri, "Sementara ini jiwa Toan-kongcu takkan berhalangan, tapi cara
bagaimana supaya kami bisa lolos dari sini? Aku belum lagi memakai baju, mana
aku dapat keluar begini saja? Setelah keracunan, tenagaku sedikit pun tidak
ada, untuk memegang baju saja lemas rasanya, jalan satu-satunya adalah memberi
petunjuk kepada Toan-kongcu untuk membinasakan ke-11 musuh itu.”
Sebab itulah ia tidak
memerhatikan langkah Toan Ki lagi, tapi menyelami kepandaian ke-11 orang musuh.
Ia lihat kedelapan busu Se He itu ilmu silatnya terbagi dua aliran, semuanya
berasal dari ilmu silat Tionggoan, sedang kepandaian asli jago bangsa Han itu
pun dapat diketahuinya, hanya orang Se-ek itulah tampaknya kaku gerak-geriknya,
tapi mendadak bisa lincah dan gesit hingga sukar diketahui sumber asli kepandaiannya.
Dan selagi Giok-yan
memerhatikan gerakan orang Se-ek itu dengan harapan dapat mengetahui sumber
ilmu silatnya, sekonyong-konyong terdengar suara "keletak” sekali, ada
orang sedang pasang tangga kayu tadi dan hendak naik ke atas loteng.
Kiranya sesudah sekian lama
Toan Ki masih susah dibekuk, segera jago Se He yang merupakan pimpinan
rombongan itu memberi perintah kepada salah seorang bawahannya agar menangkap
dulu si gadis. Keruan Giok-yan menjerit kaget.
Waktu Toan Ki mendongak, ia
lihat busu bangsa Se He itu sudah mulai naik ke atas tangga. Cepat ia tanya,
"Serang tempat mana, nona Ong?”
"Paling baik cengkeram
bagian ‘Ci-sit-hiat’!” sahut Giok-yan.
Toan Ki menurut, dengan
langkah lebar ia mendekati busu yang naik tangga itu, sekali cengkeram
"Ci-sit-hiat” bagian punggung, kontan orang itu kena dipegangnya, tapi
karena tidak tahu harus diapakan tubuh orang, segera ia lemparkannya ke samping
sekenanya. Dan sungguh sangat kebetulan, lemparan itu dengan tepat menjebloskan
kepala busu itu ke dalam lumpang batu.
Rumah gilingan itu terdiri
dari sebuah lumpang batu yang besar dengan alu batu pula yang digerakkan oleh
roda air, sejak tadi lumpang itu ditumbuk oleh alu dan butiran padi di dalam
lumpang sebenarnya sudah menjadi bubuk, tapi karena tiada yang mengurus, antan
batu itu masih terus menumbuk tiada hentinya. Kebetulan tubuh busu itu
dilemparkan Toan Ki ke dalam lumpang, ketika antan batu menumbuk pula ke bawah,
"prak”, tanpa ampun lagi kepala busu itu tertumbuk hancur luluh bagai pepesan.
Di lain pihak tanpa peduli
nasib kawannya itu, jago Se He tadi kembali mendesak anak buahnya lagi hingga
ada tiga orang menyusul naik ke tangga.
"Bereskan dengan cara
yang sama!” seru Giok-yan khawatir.
Benar juga, sekali cengkeram,
kembali Toan Ki dapat memegang "Ci-sit-hiat” salah seorang terus
dilemparkan pula ke dalam lumpang. Tapi sekali ini dengan sengaja hingga
lemparannya itu malah kurang jitu, badan kaki busu itu yang terjeblos ke tengah
lumpang, dan ketika antan batu menumbuk, terdengarlah jeritan ngeri busu itu,
kakinya remuk, tapi tidak lantas mati,
Dan pada saat Toan Ki melengak
oleh kejadian itu, sementara itu dua busu yang lain sudah mulai melangkah ke
atas loteng.
"E-eh, tidak boleh, lekas
turun!” seru Toan Ki dan jari terus menuding dan menutuk serabutan. Tak
terduga, karena gugupnya, hawa murni dalam tubuh ikut bergolak, daya
Lak-meh-sin-kiam lantas bekerja lagi, "critcrit” dua kali, dengan tepat
punggung kedua busu itu, kena tertusuk dan kontan terjungkal ke bawah.
Melihat Toan Ki hanya
tuding-tuding dari jauh lantas dapat membunuh orang, kepandaian demikian dengar
pun tidak pernah, keruan jago-jago Se He itu ketakutan. Tapi suruh mereka
melarikan diri, mereka pun penasaran, manakah jago It-bin-tong seperti mereka
mengeroyok seorang pemuda ingusan saja tidak mampu menang, hal ini kalau
diketahui orang, ke mana muka mereka akan ditaruh?
Dalam pada itu Giok-yan tetap
mengikuti pertarungan di bawah loteng dengan jelas, ia lihat musuh tinggal
tujuh orang, tapi tiga di antaranya sangat lihai, lebih-lebih jago Se He yang
membentak-bentak dan memberi perintah itu agaknya merupakan pimpinan rombongan,
segera serunya, "Toan-kongcu, lebih dulu bunuh orang berbaju kuning dan
bertopi kulit itu, carilah jalan untuk menghantam ‘Giok-cim’ dan
‘Thian-cu-hiat’ di belakang kepalanya.”
"Baik,” sahut Toan Ki
terus menerjang ke arah jago Se He itu.
Diam-diam orang Se He itu
terperanjat, ia heran dari mana nona cilik itu tahu kedua hiat-to yang memang
menjadi ciri kematiannya itu? Sementara itu dilihatnya Toan Ki telah menerjang
tiba, cepat ia tebas dulu dengan goloknya agar pemuda itu tidak berani
mendekat.
Beberapa kali Toan Ki
menggeser tempat dan menerjang maju, tapi selalu teralang, bahkan hampir terluka
oleh senjata lawan. Segera ia berteriak, "Nona Ong, orang ini sangat
lihai, aku tidak dapat mencapai belakangnya.”
Tapi Giok-yan lantas memberi
petunjuk lagi, "Dan tempat kelemahan orang yang berbaju kelabu itu, adalah
‘Jin-ging-hiat’ di tenggorokannya. Adapun si orang berbaju hijau itu aku belum
dapat menyelami sumber kepandaiannya, boleh coba-coba kau tutuk dadanya.”
"Baik,” sahut Toan Ki.
Dan benar juga ia terus menuding ke dada orang.
Meski gaya tutukannya itu
tepat, namun sedikit pun tidak bertenaga dalam, dan sudah tentu hal ini tak
diketahui orang Se-ek yang berbaju hijau itu, cepat ia mendak untuk
menghindarkan tiga kali tutukan Toan Ki.
Ketika pemuda itu menutuk pula
untuk keempat kalinya, mendadak ia meloncat tinggi ke atas, habis itu bagai elang
menyambar anak ayam ia terus menukik ke bawah, dengan tenaga hantaman yang
hebat, antero tubuh Toan Ki terkurung di bawah pukulan mautnya.
Seketika Toan Ki merasa
napasnya sesak dan kepala pening, saking ngeri membayangkan nasibnya jika kena
serangan musuh, Toan Ki pejamkan mata dengan tangan menutuk serabutan ke atas,
maka terdengarlah suara "cit-cit” berulang, Lak-meh-sin-kiam yang terdiri
dari Siau-siang-kiam, Siang-yang-kiam, Tiong-ciong-kiam, Koan-ciong-kiam,
Siau-ciong-kiam, dan Siau-tik-kiam, sekaligus telah dilontarkan seluruhnya.
Dalam keadaan kepepet dan
khawatir, tenaga dalam Toan Ki sekali ini benar-benar bekerja dengan hebat.
Maka tidak ampun lagi badan
orang Se-ek itu terluka enam lubang, dan karena hantamannya ke bawah itu tak
dapat ditahan, "plak”, pundak Toan Ki juga kena digebuk sekali. Tatkala
itu hawa murni dalam tubuh pemuda itu lagi bergolak dengan hebat, biarpun hantaman
itu sangat keras namun daya tolak badan Toan Ki telah mematahkan serangan itu
hingga tidak terluka apa-apa.
Sudah tentu Giok-yan tidak
tahu apakah pemuda itu terluka atau tidak, maka dengan khawatir ia tanya,
"Toankongcu, bagaimana, terluka tidak?”
Waktu Toan Ki membuka mata, ia
lihat jago Se-ek itu sudah menggeletak, enam lubang kecil di dada dan perutnya
memancurkan darah, mukanya beringas, matanya mendelik, napasnya masih
kempas-kempis belum lagi mati. Hati Toan Ki berdebar saking ketakutan, serunya,
"Bukan maksudku hendak membunuhmu, tapi engkau sendiri yang menyerang
diriku.”
Sembari berkata, langkahnya
tidak pernah berhenti, ia masih terus berlari ke sini dan menyusup ke sana
sambil kedua tangan berulang memberi salam kepada sisa ketujuh orang itu,
"Para saudara yang gagah, sejak dulu aku tidak bermusuhan dengan kalian,
kelak juga tidak akan dendam, maka haraplah kalian bermurah hati, pergilah
sekarang juga. Aku ... aku ... sungguh tidak berani membunuh orang lagi. Sudah
... sudah sekian banyak orang mati, hati ... hatiku sangat sedih. Ai,
benar-benar terlalu kejam. Sudahlah lekas kalian pergi saja, aku Toan Ki
mengaku kalah, harap kalian bermurah hati.”
Ketika mendadak ia berputar ke
sana, tiba-tiba dilihatnya di samping pintu telah berdiri mula seorang jago Se
He yang entah kapan sudah masuk ke situ. Perawakan orang ini sedang, pakaiannya
serupa jago Se He yang lain, anehnya parasnya ternyata kuning pucat, sedikit
pun tidak berperasaan hingga mirip wajah mayat.
Hati Toan Ki terkesiap,
pikirnya, "Manusia atau setankah dia? Jangan-jangan dia adalah ... adalah
arwah jago Se He yang kubinasakan tadi dan kini gentayangan kemari?”
Berpikir demikian, ia
mengirik, dengan suara gemetar ia tanya, "Siapa ... siapakah kau? Mau apa
datang ke ... ke sini?!”
Namun jago Se He itu hanya
berdiri tegak saja tanpa menjawab dan tidak bergerak.
Sambil menghindarkan serangan
seorang lawan, segera Toan Ki pegang "Ci-sit-hiat” seorang busu terus
dilemparkan ke arah orang aneh itu. Namun sedikit mengegos, "blang”, kepala
busu yang dilemparkan itu tertumbuk pada dinding hingga pecah berantakan.
Melihat orang itu dapat
bergerak, Toan Ki menarik napas lega, katanya, "Ehm, engkau adalah manusia
dan bukan setan.”
Melihat kawannya makin lama
makin sedikit, ketiga busu bangsa Se He mulai mengkeret nyalinya, segera mereka
bermaksud melarikan diri, seorang di antaranya lantas mendekati pintu hendak
mendorong daun pintu.
"Mau apa kau?” bentak
jago Se He pilihan It-bin-tong tadi. Berbareng ia serang tiga kali kepada Toan
Ki.
Toan Ki sendiri sudah tiada
nafsu berkelahi lagi, ketika sinar golok musuh berkilauan di depan matanya dan
setiap saat mungkin akan berkenalan dengan tubuhnya, ia menjadi ketakutan dan
berteriak-teriak, "Hai, hai, mengapa engkau begini kejam, awas kalau sebentar
kuhantam Giok-cim-hiat dan Thian-cu-hiat di badanmu, tentu kau akan celaka,
ayolah lekas berhenti dan pergi saja demi kebaikan bersama!”
Tapi bukannya menurut,
sebaliknya orang itu semakin nekat, serangannya semakin bertubi-tubi dan selalu
mengancam tempat berbahaya di tubuh Toan Ki. Untung kaki pemuda itu pun cukup
cepat menggeser hingga setiap serangan dapat dihindarkan.
Jago bangsa Han itu paling
licin, tadi waktu keadaan terdesak, ia selalu berada di belakang. Kini demi
mendengar Toan Ki berulang memohon damai, kecuali menghindar belaka, untuk
balas menyerang sudah tidak mampu.
Maka timbul segera akal licik
jago bangsa Han itu, ia mendekati lumpang batu dan meraup dua genggam bubuk
beras yang sudah tertumbuk halus terus dihamburkan ke muka Toan Ki.
Berkat langkah Toan Ki yang
cepat dan aneh itu, dengan sendirinya taburan itu tidak kena sasarannya. Tapi
menyusul orang Han itu menghamburkan dua genggam lagi, bahkan ia tambahi pula
dua genggam lain hingga seketika ruangan penuh debu bubuk beras bagai kabut
tebal.
"Wah, celaka, celaka!
Mataku tidak dapat memandang lagi!” demikian Toan Ki berteriak-teriak.
Giok-yan juga tahu keadaan
berbahaya. Hal ini dapat dimengerti, jika Toan Ki diserang oleh jago-jago silat
kelas tinggi, ia justru dapat menghindarkan diri dengan Leng-po-wi-poh yang
aneh. Tapi kini ruangan itu penuh debu beras, jika terjadi serangan serabutan
dari musuh-musuh itu tentu Toan Ki akan celaka malah.
Padahal sejak tadi kalau musuh
menyerang dengan mata tertutup umpamanya, boleh jadi hanya beberapa kali
gebrak saja Toan Ki sudah
dirobohkan.
Begitulah karena pandangan
Toan Ki kabur, tanpa pikir lagi ia melompat ke tepi roda air, ia pegang ruji
roda dan membonceng putaran ke atas.
Maka terdengarlah suara
jeritan ngeri dua kali, dua busu bangsa Se He tadi telah salah terbunuh oleh
kawan sendiri. Menyusul terdengar pula "trang-tring” dua kali, lantas ada
orang berseru, "Hai, ini akulah!”
Menyusul yang lain pun
berteriak, "Awas, kawan sendiri.”
Kiranya senjata antara
jago-jago bangsa Han dan Se He itu telah saling beradu, untung mereka masih
sempat mengerem. Tapi menyusul lantas terdengar lagi jeritan ngeri yang panjang,
busu terakhir entah kena tendangan siapa hingga mencelat keluar jendela,
jeritan ngeri sebelum ajalnya itu membuat Toan Ki bergidik hingga gemetar.
Dengan suara terputus-putus ia berseru pula, "Hei ... hei, kalian hanya
tinggal dua orang, buat apa mesti berkelahi lagi? Orang kalah paling-paling
minta ampun, biarlah aku menyembah padamu dan minta ampun, harap kalian pergi
saja.”
Dengan mengincar tempat
datangnya suara Toan Ki itu, segera jago bangsa Han menimpukkan sebatang piau,
namun Toan Ki sudah turun pula terbawa oleh roda air. Karena itu sasaran piau
jadi meleset, "plok”, hanya ujung lengan baju Toan Ki yang terpantek pada
rangka roda kayu itu.
Toan Ki terkejut, ia pikir
bisa celaka kalau musuh terus menghujani dirinya dengan am-gi, ia pasti tak
sanggup berkelit. Dan karena rasa jerinya itu, ia menjadi lemas, tubuh yang
masih menggelantung di rangka roda itu lantas terperosot ke bawah, lengan baju
yang terpantek piau itu sobek dan ia pun terbanting ke lantai.
Di antara kabut tebal itu
samar-samar orang Han itu dapat melihat apa yang terjadi, maka cepat ia
menubruk maju untuk menangkap Toan Ki.
Toan Ki masih ingat petunjuk
Giok-yan tadi agar menutuk "Jin-ging-hiat” orang. Tapi pertama karena
dalam keadaan gugup, kedua, walaupun tempat-tempat hiat-to sudah pernah
dihafalkannya namun tidak pernah dilatihnya dengan baik, dalam keadaan bingung
tutukannya menjadi kurang jitu, agak ke kiri dan jauh menceng ke bawah pula,
maka yang tertutuk adalah "Khi-koh-hiat” di bagian pinggang.
"Khi-koh-hiat” itu adalah
hiat-to yang membikin orang tertawa, maka begitu tertutuk, tak tertahan lagi
orang Han itu terus terbahak-bahak. Namun pedangnya berturut-turut masih
menyerang pula walaupun mulutnya tiada hentinya tertawa.
"Yong-heng, apa yang kau
tertawakan?” segera jago Se He itu menegur.
Sudah tentu orang Han itu tak
dapat menjawab, sebaliknya tertawa lebih keras.
Karena tidak tahu duduknya
perkara, orang Se He itu menjadi gusar, dampratnya, "Di hadapan musuh, kau
main gila apa?”
"Hahaha ... aku ...
hahaha ... ini ... hahahaha ....” begitulah orang Han itu masih terus tertawa,
berbareng pedangnya menusuk pula.
Lekas Toan Ki mengisar ke kiri
untuk menghindar. Di luar dugaan, karena kabut yang tebal itu, jago Se He itu
pun tidak dapat memandang dengan terang, kebetulan ia pun sedang menubruk ke
arah sini, maka terjadilah tabrakan di antara mereka berdua.
Jago Se He itu adalah ahli
kim-na-jiu, mahir ilmu menangkap. Maka begitu menubruk badan Toan Ki, reaksinya
sangat cepat, sekali tangannya bergerak, segera dada Toan Ki kena dijambret
olehnya. Ia tahu kepandaian Toan Ki yang diandalkan adalah langkah kakinya,
sekali ia dapat memegangnya, kesempatan ini tidak disia-siakan lagi, segera ia
membuang senjatanya dan tangan lain hendak dipakai mencengkeram lengan Toan Ki
sekuat-kuatnya.
Keruan Toan Ki mengeluh dan
meringis kesakitan. Ia coba meronta, namun cengkeraman orang itu bagaikan
tanggam kuatnya, semakin ia meronta, semakin kencang pegangan orang Se He itu.
Melihat kesempatan baik, terus
saja jago bangsa Han tadi angkat pedangnya menusuk ke punggung Toan Ki sambil
tetap tertawa.
Diam-Diam orang Se He itu
berpikir jangan-jangan kawannya itu bermaksud tidak baik, kalau tusukannya
menembus badan Toan Ki dan didorong terus, bukankah badan sendiri yang merapat
pemuda itu juga akan ikut terluka? Karena itu cepat ia seret Toan Ki mundur
selangkah.
Sambil masih terbahak-bahak
orang Han itu mendesak maju dan hendak menusuk pula, tapi mendadak terdengar
suara "plok” sekali, sayap roda air itu tepat menghantam belakang
kepalanya hingga ia jatuh kelengar. Bahkan waktu robohnya, kembali dadanya
tertumbuk sekali lagi oleh gigi roda hingga terbinasa seketika.
Sementara itu orang Se He itu
masih terus menyikap kencang-kencang badan Toan Ki. Ia pikir kalau pemuda ini
digencet hingga sesak napasnya, tentu sebentar akan menyerah tanpa berkutik.
Sebaliknya tangan Toan Ki yang masih bisa bergerak itu terus menuding dan
menutuk serabutan, tapi semuanya mengenai tempat kosong.
Giok-yan menjadi khawatir
melihat Toan Ki tak dapat meloloskan diri dari pegangan lawan. Ada maksudnya
hendak maju membantu, tapi setelah keracunan, anggota badannya sudah tidak mau
menurut perintah lagi, bahkan tangannya pun susah diangkat, jangankan lagi
hendak menolong orang. Lagi pula di samping pintu masih berdiri seorang jago Se
He dengan wajahnya yang menyeramkan itu, asal dia turun tangan sekali pasti
jiwa Toan Ki akan melayang segera.
Karena tak berdaya, akhirnya
Giok-yan berteriak-teriak, "Sudahlah, jangan kalian bikin susah Toan-kongcu,
aku ... aku menyerah dan akan ikut pergi bersama kalian.”
Waktu itu Toan Ki sendiri
sangat ketakutan, tangannya menuding dan menutuk tak keruan, padahal kalau dia
bisa berlaku tenang dan mengendurkan badannya, tentu Cu-hap-sin-kang yang
mengeram di dalam badannya pasti akan menyedot tenaga jago Se He itu, dan tanpa
dia mencapekkan diri, tentu musuh akan lemas sendiri. Tapi karena ketakutan
hingga tenaga dalamnya telah terhimpun di antara jari-jarinya, sedangkan
tutukannya selalu mengenai tempat kosong.
Begitulah dalam keadaan bahaya
dan napasnya terasa semakin sesak, sekonyong-konyong terdengar suara
"crit-crit” beberapa kali, tiba-tiba jago Se He itu menjerit perlahan,
tangannya lantas mengendur dan akhirnya melambai ke bawah, badannya menjadi
lemas juga dan bersandar di dinding dengan kepala terkulai.
Keruan Toan Ki sangat heran,
ia coba periksa keadaan orang, ia lihat tepat di "Giok-cim-hiat” di
belakang kepalanya ada sebuah lubang kecil dan dari situ memancurkan darah
segar. Lukanya itu terang adalah akibat kena serangan Lak-meh-sin-kiamnya.
Toan Ki menjadi bingung, ia
tidak tahu bahwa di saat gawat tadi, ketika jarinya menuding ke atas, hingga
tenaga murninya yang bergolak itu telah menerjang dinding terus membalik dan
secara kebetulan mengenai belakang kepala lawan, sebab Giok-cim-hiat di
belakang kepala itu memang merupakan tempat paling lemah bagi jago Se He itu,
walaupun cuma tenaga membalik juga telah membikin jiwanya melayang.
Giok-cim-hiat di belakang kepala memang merupakan tempat lemah bagi Se He itu,
walaupun cuma tenaga membalik juga telah membikin jiwanya melayang.
Dengan heran dan girang segera
Toan Ki berteriak, "Aha, nona Ong, semua musuh sudah terbinasa!”
Nyata ia lupa bahwa di samping
pintu sana masih berdiri seorang musuh.
Maka tiba-tiba ia dengar suara
dingin menyahut, "Hm, belum tentu telah mati semua!”
Dalam kagetnya segera Toan Ki
menoleh, ia lihat pembicara itu adalah jago Se He yang mukanya membeku tanpa
perasaan itu. Ia pikir kalau orang berani maju, tentu juga akan terbinasa
percuma, maka dengan tertawa ia berkata, "Sudahlah, lekas kau pulang saja,
aku takkan membunuhmu.”
"Hm, apakah engkau
mempunyai kepandaian yang cukup untuk membunuh aku?” sahut orang itu dengan
angkuh.
Sesungguhnya Toan Ki memang
tidak ingin membunuh lagi, maka sahutnya dengan rendah hati, "Ya, mungkin
aku bukan tandinganmu, maka sudilah engkau bermurah hati, ampunilah aku ini.”
"Ucapanmu ini sedikit pun
tidak ada maksud minta ampun dengan sungguh-sungguh,” ujar orang itu.
"Padahal It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Tayli tersohor
di seluruh jagat, ditambah lagi petunjukpetunjuk nona ini, bukankah engkau
sudah terhitung jago nomor satu di dunia ini? Biarlah paku belajar kenal juga
dengan kepandaianmu.”
Namun watak Toan Ki memang
tidak suka ilmu silat, kalau ada sekian banyak orang terbunuh olehnya, soalnya
adalah karena terpaksa, kalau bicara tentang berkelahi sungguh-sungguh, sedapat
mungkin ia ingin menghindari, apalagi ia dengar kata-kata orang ini agak lain
daripada yang lain, tentu bukan sembarangan jago silat, sebaiknya jangan lagi
bertempur dengan dia.
Maka cepat ia menjawab dengan
sungguh-sungguh sambil memberi hormat, "Teguran saudara memang benar,
maksud permintaan ampunku kurang hormat dan tidak jujur, biarlah di sini aku
minta diberi maaf. Selamanya aku tidak pernah belajar silat, tadi dapat
kurobohkan lawan, sesungguhnya hanya secara kebetulan saja, mana aku berani
menantang padamu pula.”
"Hehe, engkau mengaku
tidak pernah belajar silat, tapi mampu membinasakan empat jago It-bin-tong
negeri Se He dan membunuh pula 11 orang busu kami,” demikian jengek orang aneh
itu. "Dan bila engkau belajar ilmu silat, bukankah tiada seorang jago
silat lagi di kolong langit ini mampu menandingimu?”
Melihat di sekitarnya
bergelimpangan mayat, semuanya berlumuran darah, hati Toan Ki menjadi pedih,
katanya sambil tersendat, "Ai, mengapa aku mem ... membunuh sebanyak ini?
Padahal sebenarnya aku tidak ... tidak ingin membunuh orang, bagaimana baiknya
ini?”
Orang aneh itu hanya tertawa
dingin saja sambil melirik hina kepada Toan Ki untuk menjajaki apakah ucapan
pemuda itu benar-benar timbul dari hati nuraninya?
Toan Ki lantas berkata pula
sambil mencucurkan air mata, "Ai, di rumah orang-orang ini tentu punya
anak-istri, tadinya mereka semua sehat dan kuat, tapi sekarang kubinasakan,
bagaimana aku harus ... harus bertanggung jawab kepada keluarga mereka?”
Berkata sampai di sini, bukan
saja ia menangis tersedu-sedu, bahkan sambil memukul dada sendiri dan menyambung
pula dengan terguguk-guguk, "Belum tentu mereka bermaksud membunuh diriku,
mereka cuma menurut perintah atasan tutuk menangkapku, selamanya aku pun tidak
kenal mereka, mengapa aku turun tangan keji?”
"Hm, jangan pura-pura
seperti kucing menangisi tikus, apakah dosamu akan terhapus begini saja?”
jengek jago Se He itu pula.
"Ya, memang benar,” kata
Toan Ki sambil mengusap air mata, "orangnya kan sudah terbunuh, dosaku
juga sudah terang, apa gunanya menangis pula? Aku harus mengubur secara
baik-baik jenazah mereka ini.”
Mendengar pemuda itu hendak
mengubur belasan jenazah itu, Giok-yan menjadi tidak sabar menunggu, segera ia
berseru, "Toan-kongcu, mungkin musuh akan memburu kemari lagi, sebaiknya
kita berusaha meninggalkan tempat ini selekasnya.”
"Ya, benar,” sahut Toan
Ki terus putar tubuh hendak naik tangga.
"Kau belum lagi membunuh
aku, mengapa akan pergi begini saja,” tanya orang aneh itu tiba-tiba.
"Tidak, aku tak boleh
membunuhmu, lagi pula aku pun bukan tandinganmu,” sahut Toan Ki sambil menggeleng
kepala.
"Kita kan belum lagi
bergebrak, dari mana kau tahu bukan tandinganku?” ujar orang itu. "Nona
Ong telah mengajarkan ‘Leng-po-wi-poh’ padamu, hehe, langkah itu memang sangat
hebat.”
Sebenarnya Toan Ki hendak
menerangkan bahwa Leng-po-wi-poh itu bukan ajaran Giok-yan, tapi segera
terpikir olehnya tidak perlu beri tahukan hal itu pada orang luar, maka
jawabnya, "Ya, aku tidak mengerti ilmu silat apa segala, tapi berkat
petunjuk nona Ong, maka aku bisa menyelamatkan diri.”
"Dan bila kau hendak membunuh
aku, terpaksa aku yang akan membunuhmu,” kata orang itu sambil menjemput
sebatang golok dari lantai, sekonyong-konyong ruangan situ penuh gulungan
sinar, dalam lingkaran seluas dua-tiga meter melulu sinar golok belaka. Baru
saja Toan Ki mulai melangkah, tahu-tahu pundak kena diketuk punggung golok
orang hingga ia menjerit kesakitan sambil sempoyongan.
Dan selagi kacau langkahnya,
kesempatan itu segera digunakan jago Se He untuk memburu maju, ia ancam kuduk
Toan Ki dengan golok, tapi sebagai gantinya sebelah kaki lantas mendepak hingga
Toan Ki terjungkal ke depan, batok kepala menumbuk sebuah tong kayu, seketika
jidatnya bocor.
"Lekas naik kemari,
Toan-kongcu,” seru Giok-yan.
Toan Ki mengiakan terus
merayap ke atas melalui tangga. Waktu ia menoleh ke bawah, ia lihat orang aneh
itu sudah duduk di lantai sambil memegangi goloknya, mukanya masih tetap kaku
tanpa perasaan. Nyata sekali ia sengaja membiarkan Toan Ki naik ke atas loteng
dan tidak memburu untuk menyerangnya dari belakang.
"Wah, nona Ong, aku tak
dapat menandingi dia, marilah kita lekas mencari akal untuk melarikan diri,”
demikian desis Toan Ki sesudah berada di atas loteng.
"Dia menunggu di bawah,
kita tidak dapat melarikan diri,” sahut Giok-yan. "Eh, ambilkan dulu baju
itu.”
Toan Ki mengiakan, segera ia
ambilkan baju yang ditinggalkan si gadis tani tadi.
"Tutup matamu dan
berjalan kemari,” pinta Giok-yan. "Nah, baiklah, berhenti. Sampirkan baju
itu ke atas badanku, tidak boleh membuka mata!”
Semua perintah itu dituruti
dengan baik oleh Toan Ki. Ia adalah seorang pemuda jujur dan polos, ia pandang
Giok-yan seakan-akan malaikat dewata pula, dengan sendirinya tidak berani
membangkang. Tapi bila teringat gadis itu dalam keadaan tak berbaju, tanpa
terasa hatinya berdebur keras.
Habis pemuda itu mengenakan
baju baginya, kemudian Giok-yan berkata pula, "Sudahlah sekarang,
bangunkanlah diriku!”
Oleh karena tidak mendengar
perintah agar buka mata, maka Toan Ki masih terus pejamkan kedua matanya,
sedikit pun ia tidak berani
mengintip. Ketika dengar si gadis bilang "bangunkanlah diriku” terus saja
ia ulur tangan ke depan.
Di luar dugaan mendadak muka
Giok-yan terpegang olehnya, karena merasa tangan menyentuh sesuatu yang halus
licin, Toan Ki terperanjat dan berseru gugup, "O, maaf, maafkan!”
Sejak tadi muka Giok-yan sudah
merah jengah ketika minta pemuda itu mengenakan baju untuknya, kiri mukanya
teraba pula oleh tangan Toan Ki, keruan ia tambah malu, cepat ia berkata,
"Hei, aku minta engkau membangunkan aku!”
"Ya, ya!” sahut Toan Ki,
tapi tetap dalam keadaan mata terpejam, karena itu ia menjadi bingung dan
serbasalah, sebab tidak tahu ke mana tangannya harus meraba, ia khawatir
jangan-jangan salah menyenggol badan si gadis pula hingga makin menambah
dosanya.
Dengan rasa tegang Giok-yan
menantikan Toan Ki membangunkannya dari onggok padi itu. Tapi sampai sekian
saat pemuda itu masih mematung di tempatnya, akhirnya barulah ia ingat kedua
mata Toan Ki harus disuruh buka dulu, maka segera katanya, "Eh, mengapa
engkau tidak membuka matamu?”
Dalam pada itu jago Se He di
bawah loteng sedang tertawa dingin mengejek mereka, "Hehehe, aku suruh kau
belajar ilmu silat dulu kepada gurumu untuk kemudian buat membunuh aku. Kan
tidak kuminta kalian naik pantas dengan lakon gandrung di situ. Huh, sungguh
memuakkan.”
Dan waktu Toan Ki membuka
matanya, ia lihat wajah Giok-yan bersemu merah dan kemalu-maluan, seketika ia
terkesima dan memandang gadis itu dengan terpesona hingga apa yang dikatakan
orang Se He itu sama sekali tak masuk telinganya.
"Lekas bangunkan aku!”
pinta si gadis pula.
"Ya, ya!” sahut Toan Ki,
dengan gugup ia memayang bangun si gadis untuk duduk di atas sebuah bangku
butut.
Setelah membetulkan baju
sendiri dengan sebisanya, lalu Giok-yan menunduk sambil berpikir. Selang agak
lama barulah ia membuka suara, "Ia sengaja tidak mau mengunjukkan ilmu
silatnya yang asli, maka aku tidak ... tidak tahu cara bagaimana agar dapat
mengalahkan dia.”
"Dia terlalu lihai,
bukan!” tanya Toan Ki.
"Ya, ketika dia bergebrak
tadi, sekaligus ia telah mengeluarkan 17 macam gerakan ilmu silat dari aliran
yang berbeda-beda,” sahut Giok-yan.
"Ha? Apa? Hanya sekejapan
itu, sekaligus ia mengeluarkan 17 macam gerakan yang tidak sama?” Toan Ki
menegas dengan terheran-heran.
"Ya, macam-macam
kepandaian yang dia mainkan, mula-mula ia keluarkan ilmu golok dari
Siau-lim-pay, lalu ada pula ilmu golok Lay-lo-han di Kwisay, serta
aliran-aliran lain,” ujar Giok-yan. "Kemudian waktu ia putar punggung
goloknya untuk mengetok pundakmu, gayanya adalah ‘Cu-pi-to’ ciptaan Sim-koan
Hwesio di Lengpo Thian-tong-si, ilmu golok itu cuma untuk membikin musuh tak
berkutik dan tidak digunakan untuk membunuh. Lalu ia ancam lehermu dengan
goloknya, itu adalah tipu gerakan ilmu golok ciptaan Nyo-jinkong yang terkenal.
Dan paling akhir ketika ia mendepak engkau hingga terguling, gaya itu mengambil
cara bergulat orang Se He.”
Ternyata setiap gerak tipu
serangan orang Se He itu telah dapat diuraikan satu per satu secara jelas oleh
Giokyan. Sebaliknya bagi Toan Ki sudah tentu penjelasan itu tiada artinya,
sebab memang dia tidak paham ilmu silat.
Setelah Giok-yan memikir pula
agak lama, akhirnya ia berkata, "Sudah terang engkau tak dapat melawannya,
sudahlah, engkau mengaku kalah saja.”
"Memangnya sejak tadi aku
sudah mengaku kalah,” sahut Toan Ki. Maka segera ia berseru kepada orang Se He
itu, "Hai, betapa pun aku tidak dapat melawan kau lagi, engkau mau
berdamai tidak?”
"Untuk mengampuni jiwamu
juga tidak sulit, asal engkau menurut sesuatu syaratku,” sahut jago Se He itu
dengan tertawa dingin.
"Apakah syaratmu itu?”
tanya Toan Ki.
"Sejak kini, apabila
engkau ketemu aku, harus segera merangkak di tanah dan menyembah padaku sambil meminta
‘ampun tuan’,” kata orang itu.
Sungguh gusar Toan Ki tidak
kepalang, sahutnya, "Seorang laki-laki lebih baik terbunuh daripada
dihina, engkau ingin aku menyembah dan minta ampun padamu, hm, jangan harap.
Jika mau bunuh, silakan sekarang bunuhlah!”
"Kau benar-benar tidak
takut mati?” tanya orang itu.
"Takut sih memang takut,”
sahut Toan Ki, "tetapi kalau setiap kali bertemu mesti berlutut dan minta
ampun padamu, lebih baik aku pilih mati saja.”
"Hm, berlutut dan minta
ampun padaku, apakah hal ini merendahkan derajatmu?” jengek orang itu.
"Bila suatu ketika aku menjadi raja di Tionggoan, dan kau ketemu aku, kau
akan berlutut dan menyembah tidak?”
"Ketemu raja dan
menyembah, hal ini adalah soal lain,” sahut Toan Ki. "Cara itu namanya
memberi hormat dan bukan minta ampun.”
Mendengar jago Se He itu
bicara tentang "bila suatu ketika aku menjadi raja Tionggoan” segala, hati
Giok-yan terkesiap, ia heran, "Mengapa ia bicara serupa angan-angan
Piaukoku?”
Dalam pada itu terdengar orang
Se He itu berkata pula, "Jika begitu, jadi syaratku tak dapat kau terima?”
Toan Ki menggeleng kepala,
sahutnya tegas, "Maaf, aku tak dapat menurut.”
"Baiklah, sekarang boleh
kau turun, biar sekali tebas kubunuhmu,” ujar orang itu.
Toan Ki memandang sekejap pada
Giok-yan dengan perasaan cemas, katanya kemudian, "Jika engkau bertekad
ingin membunuh diriku, ya, apa boleh buat! Cuma ada suatu permintaanku padamu.”
"Tentang apa?” tanya
orang itu.
"Nona ini keracunan aneh,
badannya lemas dan tak ada tenaga hingga tidak dapat berjalan, maka harap
engkau suka mengantarkannya pulang ke Man-to-san-ceng di tepi Thay-oh sana,”
pinta Toan Ki.
"Haha, guna apa aku mesti
berbuat begitu?” seru orang itu dengan tertawa. "Telah ada perintah dari
Ciangkun kami, barang siapa dapat menangkap si gadis cendekia ini akan diberi
hadiah emas murni seribu tahil dan diberi pangkat menteri.”
"Jika engkau kemaruk
harta dan pangkat, baiklah begini saja, aku akan menulis sepucuk surat, sesudah
kau antar pulang nona ini, engkau boleh membawa suratku ke negeri Tayli untuk
menerima lima ribu tahil emas, tentang pangkat menteri juga tetap diberikan
padamu,” ujar Toan Ki.
"Hahaha, apa kau anggap
aku anak umur tiga, ya?” sahut orang itu dengan terbahak. "Kau ini kutu
macam apa hingga melulu sepucuk suratmu lantas aku dapat menerima ribu tahil
emas dan diberi pangkat?”
Toan Ki tahu orang tidak
percaya omongannya, seketika ia menjadi tidak berdaya lagi, katanya,
"Habis, apa yang dapat kulakukan? Kematianku tidak perlu dibuat sayang,
tapi kalau Siocia telantar di sini dan jatuh di bawah cengkeraman musuh,
bukankah dosaku tak terampunkan?”
Giok-yan terharu mendengar
kata-kata Toan Ki yang tulus itu, segera ia berseru pada jago Se He itu,
"Hai, jika kau berani kurang ajar padaku, tentu Piaukoku akan membalaskan
sakit hatiku, negeri Se He kalian pasti akan diubrak-abrik habis-habisan olehnya.”
"Siapakah gerangan
Piaukomu?” tanya orang itu.
"Piaukoku adalah
Buyung-kongcu yang namanya mengguncangkan dunia persilatan Tionggoan, nama
‘Kohsoh Buyung-si’ tentu pernah kau dengar juga,” demikian sahut Giok-yan.
"Dan bila engkau tidak suka ‘Ih-pi-cito, hoan-si-pi-sin’ baiknya engkau
jangan mengganggu aku, kalau engkau berbuat sesuatu yang tidak baik padaku,
Piaukoku tentu akan membalas engkau dengan sepuluh kali lebih jahat.”
"Hm, Buyung-kongcu dari
Koh-soh hanya seorang bocah ingusan yang masih berbau pupuk, namanya cuma nama
kosong belaka, kepandaian sejati apa yang dia miliki?” ejek orang itu.
"Andaikan dia tidak datang mencariku, memang sudah lama juga aku ingin
mencarinya untuk menjajalnya.”
"Engkau sekali-kali bukan
tandingan Piaukoku, maka aku nasihatkan padamu lebih baik pulang kandang ke
negerimu saja,” ujar Giok-yan. "Pula, bila jiwa Toan-kongcu ini diganggu
olehmu, pasti aku akan minta Piauko menuntut balas padamu. Sebab Toan-kongcu
sendiri sebenarnya dapat meloloskan diri, tapi demi untuk melindungi aku, maka
ia ikut terkurung di sini. Eh, tuan besar, siapakah namamu yang mulia?
Beranikah kau beri tahukan padaku?”
"Kenapa tidak berani? Li
Yan-cong, inilah namaku,” sahut orang itu.
"O, jadi engkau she Li,
itu kan nama keluarga kerajaan Se He?” Giok-yan menegas.
"Ya, tidak hanya nama
keluarga kerajaan, bahkan setia membela negara dan siap berbakti bagi tanah
air. Negara Song akan kami hancurkan, Liau akan kami caplok, ke barat membasmi
Turfan, ke selatan meratakan Tayli,” kata orang yang bernama Li Yan-cong itu.
"Haha, cita-citamu
ternyata setinggi bintang di langit,” seru Toan Ki. "Wahai Li Yan-cong,
biarlah kukatakan terus terang padamu, bahwasanya engkau mahir berbagai macam
ilmu silat dari setiap aliran, kalau hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu
di jagat ini mungkin tidak sulit, tapi kalau engkau bercita-cita menyatakan
dunia di bawah kekuasaanmu, hal ini rasanya takkan terjadi bila melulu
mengandalkan ilmu silat nomor satu di dunia ini.”
"Hendak menjadikan ilmu
silatmu nomor satu di dunia juga engkau tidak mungkin mampu,” tukas Giok-yan.
"Apa yang menjadi dasar
pendapatmu? Coba memberi penjelasan,” tanya Li Yan-cong.
"Pada zaman ini, kalau
menurut penglihatanku, paling sedikit sudah ada dua orang yang berilmu lebih
tinggi daripadamu,” sahut Giok-yan,
"Siapa kedua orang itu?
tanya Li Yan-cong sambil melangkah maju setindak dan menengadah.
"Pertama, ialah Kiau
Hong, Kiau-pangcu dari Kay-pang,” kata Giok-yan.
"Hm, meski terkenal
namanya, belum tentu sesuai dengan kenyataannya,” jengek Li Yan-cong. "Dan
siapa lagi yang kedua itu?”
"Orang kedua adalah
Piaukoku. Buyung Hok, Buyung-kongcu dari Koh-soh,” sahut si gadis.
"Huh, juga belum tentu
benar,” kata Li Yan-cong sambil geleng kepala. "Kau sengaja menyebut nama
Kiau Hong di depan Buyung Hok, hal ini demi kepentingan pribadimu atau demi
kepentingan umum?”
"Kepentingan umum dan
pribadi apa maksudmu? tanya Giok-yan.
"Jika demi kepentingan
umum, tentu dasarnya karena kau anggap ilmu silat Kiau Hong memang berada di
atas Buyung Hok,” sahut Li Yan-cong. "Dan bila demi kepentingan pribadi,
tentu disebabkan Buyung Hok itu ada hubungan famili denganmu, maka kau biarkan
nama orang luar di depan nama orang sendiri.”
Untuk sejenak Giok-yan
berpikir, lalu jawabnya, "Demi kepentingan umum atau pribadi kan sama
saja. Sudah tentu kuharap ilmu silat Piaukoku bisa lebih tinggi daripada
Kiau-pangcu, tapi pada saat ini belum dapat.”
"Sekarang belum dapat?
Hm, jadi maksudmu bila ilmu silat Piaukomu setiap hari dapat maju dengan pesat,
kelak pasti akan menjadi jago nomor satu di dunia ini?” jengek Li Yan-cong.
"Ai, itu pun belum
pasti,” sahut Giok-yan sambil menghela napas. "Sampai akhirnya kelak,
mungkin jago silat nomor satu di dunia ini tak-lain-tak-bukan adalah
Toan-kongcu inilah.”
"Hahaha, benar-benar
pandai berkelakar,” seru Li Yan-cong sambil tertawa. "Pelajar tolol ini
hanya mendapat petunjukmu hingga dapat memainkan ‘Leng-po-wi-poh’ sehingga
jiwanya untuk sementara dapat selamat, tapi dengan kepandaian angkat langkah
seribu dan lari terbirit-birit itu masakah dapat disebut sebagai jago silat
nomor satu di dunia?”
Sebenarnya Giok-yan bermaksud
menjelaskan bahwa Leng-po-wi-poh itu bukan dia yang mengajarkan, hanya lwekang
Toan Ki memang hebat luar biasa. Tapi demi dipikir pula bahwa musuh mungkin
berjiwa sempit, bila mengetahui rahasia itu, bukan mustahil Toan Ki akan
dibunuhnya. Maka segera ia berkata, "Jika dia mau menurut petunjukku dan
belajar tiga tahun, sesudah itu untuk menjadi jago nomor satu di dunia ini
mungkin belum cukup, namun untuk mengalahkanmu dapat dipastikan semudah
membalik telapak tangan sendiri.”
"Jika begitu, baiklah,
aku percaya omonganmu, dan daripada menanam bibit bencana, lebih baik sekarang
kubasmi dulu. Nah, Toan-kongcu, silakan turun, aku akan membunuhmu saja,”
demikian kata Li Yan-cong.
Keruan Giok-yan kaget, sungguh
di luar dugaan bahwa bandingannya justru membikin urusan menjadi runyam malah,
terpaksa ia berkata pula dengan tertawa dingin, "Huh, kiranya engkau sudah
jeri lebih dulu, sebab khawatir tiga tahun lagi engkau tak mampu menangkan
dia.”
"Hehe, kau sengaja
mengumpak aku dengan kata-kata pancingan, masakah orang she Li ini mudah
tertipu?” jengek Li Yan-cong. "Sudahlah, pendek kata, ingin minta aku
mengampuni jiwanya juga boleh, asal seperti kataku tadi, setiap kali bertemu
dengan aku dia harus berlutut dan minta ampun, dengan demikian pasti aku tidak
akan membunuhmu.”
Giok-yan tidak bersuara lagi,
ia pandang Toan Ki, ia pikir tidak mungkin pemuda itu sudi berlutut dan minta
ampun. Jalan paling baik
sekarang biar coba melawan dengan mati-matian. Maka segera ia berbisik,
"Toankongcu, kiam-gi (hawa pedang) pada jarimu itu mengapa adakalanya
manjur, tapi terkadang macet, apa sebabnya?”
"Entahlah, aku sendiri
pun tidak tahu,” sahut Toan Ki.
"Paling baik kau coba
sekali lagi sekuat tenaga,” ujar si nona. "Engkau boleh menusuk
pergelangan tangan orang she Li itu dengan hawa pedang, lebih dulu rampas
senjatanya, kemudian dekap dia sekencangkencangnya untuk mengadu jiwa dengan
dia. Tempo hari waktu di Man-to-san-ceng, secara mudah Peng-mama dapat kau
taklukkan, sekarang bolehlah kau gunakan cara yang sama.”
Kiranya Giok-yan tahu tidak
mungkin dalam waktu sesingkat Toan Ki dapat diberi petunjuk cara mengalahkan Li
Yan-cong yang lihai itu. Tapi ia ingat cara Toan Ki menaklukkan Peng-mama tempo
hari, yaitu dengan semacam tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan,
asal pemuda itu dapat menyikap Li Yan-cong, tentu ilmu sakti itu dapat dipakai
menyedot tenaga lawan.
Begitulah Toan Ki lantas
mengangguk tanda setuju, memang kecuali cara itu ia pun tidak berdaya lain,
biarpun risiko celaka lebih besar daripada selamatnya, namun terpaksa ia harus
mencobanya juga.
Maka sesudah membetulkan baju sendiri,
segera Toan Ki berkata dengan tertawa, "Nona Ong, sungguh aku harus malu
karena tak becus melindungi nona. Bila nanti nona dapat lolos dengan selamat
dan kelak menikah dengan Piaukomu, harap jangan lupa menyiram beberapa tetes
arak pada tangkai bunga kamelia yang kutanam di Man-to-san-ceng itu dan
anggaplah aku yang telak minum arak bahagiamu.”
Jilid 28
Mendengar pemuda itu berdoa
agar dirinya menikah dengan sang piauko, Giok-yan sangat senang, ia menjadi
tidak tega pula menyaksikan pemuda baik hati itu akan dibunuh orang, maka
dengan sedih ia berkata, "Toankongcu, budi pertolonganmu, aku Ong Giok-yan
takkan lupa untuk selamanya.”
Sebaliknya Toan Ki memang
sudah nekat, ia pikir daripada nanti menyaksikan engkau dipersunting piaukomu,
lebih baik sekarang juga aku mati di hadapanmu saja. Maka perlahan ia mulai
melangkah ke bawah loteng, sebelum itu ia masih sempat menoleh sekejap dan tersenyum
kepada Giok-yan.
Diam-diam gadis itu merasa
heran, sebentar lagi jiwanya akan melayang, tapi pemuda itu masih bisa tertawa.
Setelah berada di lantai
bawah, Toan Ki melotot kepada Li Yan-cong dan menegur, "Nah, aku sudah
turun sekarang. Li-ciangkun, katanya engkau sudah pasti akan membunuh aku,
silakan turun tangan. Lekas!”
Sambil berkata ia terus
melangkah maju pula, langkahnya itu bukan lain adalah "Leng-po-wi-poh”.
Tanpa bicara lagi segera Li
Yan-cong putar goloknya dan membacok tiga kali beruntun-runtun. Setiap kali
tidak sama ilmu goloknya. Tapi langkah Toan Ki itu benar-benar ajaib dan aneh
sekali perubahannya, beberapa kali Li Yan-cong hendak mengurungnya dengan tipu
ilmu goloknya yang berganti-ganti itu, tapi entah mengapa pemuda itu dapat
lolos keluar.
Melihat sekali ini Toan Ki
dapat bertahan dengan baik, diam-diam Giok-yan merasa lega, ia harap pemuda itu
mendadak dapat mengeluarkan serangan aneh untuk merobohkan lawannya.
Diam-diam Toan Ki juga sedang
berusaha mengerahkan tenaga dalam dengan maksud menyalurkan ke ujung jari, tapi
hawa murni itu selalu mogok di tengah jalan, kalau sampai tangan entah mengapa
lantas menyurut kembali. Maklum, ia memang tidak pernah belajar silat sehingga
tidak mudah melancarkan hawa murni.
Untunglah "Leng-po-wi-poh”
cukup hebat, pula sudah sangat hafal, betapa pun cepat Li Yan-cong menyerang,
selalu luput mengenai sasarannya.
Tadi Li Yan-cong sendiri sudah
menyaksikan cara Toan Ki membinasakan jago-jago Se He, kini melihat
pemuda itu bertuding-tuding pula
entah sedang main sulap apa, diam-diam ia merinding jangan-jangan pemuda itu
mahir ilmu sihir. Segera ia ambil keputusan harus berusaha membunuhnya lebih
dulu sebelum pemuda itu sempat mengeluarkan ilmu sihirnya. Tapi apa daya,
serangan selalu mengenai tempat kosong.
Dasar pikiran Li Yan-cong
memang cerdas, dengan cepat ia mendapat akal, mendadak ia membalik tangan dan
menghantam roda air hingga sayap roda sempal, segera ia sambar sempalan kayu
terus dilemparkan ke kaki Toan Ki.
Tapi langkah pemuda itu cepat
sekali, sudah tentu timpukan itu tidak kena. Namun Li Yan-cong terus menghantam
dan memukul serabutan hingga segala alat perabot di dalam ruangan seperti
tenggok, tampah, dan sebagainya berjungkir balik tersampuk ke tepi kaki Toan
Ki.
Ruangan itu memang sudah penuh
menggeletak belasan mayat, ditambah lagi alat-alat perabot itu, sudah tentu
tiada tempat luang lagi bagi kaki Toan Ki, setiap tindakannya tentu tersenggol
atau kesandung sesuatu benda di lantai itu.
Namun Toan Ki tahu keadaan
sangat berbahaya, bila lambat sedikit saja langkahnya pasti jiwa bisa melayang.
Maka ia menjadi nekat, ia tidak memandang ke lantai dan tetap menurutkan ilmu
langkah ajaib itu, tetap mengisar kian kemari dengan cepat walaupun terkadang
mesti naik-turun karena kakinya menginjak sesuatu, entah mayat, entah bakul,
dan entah apa lagi, semuanya tak dipedulikannya.
Rupanya Giok-yan juga tahu
gelagat jelek, segera ia berseru, "Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu
dan menyelamatkan diri sendiri saja, kalau melawan lebih lama lagi tentu jiwamu
berbahaya.”
"Biarlah, kecuali dia
dapat membunuh aku, kalau tidak, asal aku masih bisa bernapas, pasti akan
kubela keselamatan nona,” sahut Toan Ki.
"Hm, kau tidak becus ilmu
silat, tapi ternyata seorang sok baik hati dan berbudi, begitu mendalam kasih
sayangmu kepada nona Ong, ha?” ejek Li Yan-cong.
"Bukan, bukan!” demikian
Toan Ki menirukan lagu Pau-samsiansing. "Nona Ong adalah manusia dewata,
sebaliknya aku cuma seorang biasa saja, mana aku berani bicara tentang kasih
dan budi? Soalnya Nona Ong mau menghargai aku dan sudi ikut aku keluar untuk
mencari piaukonya, dengan sendirinya aku harus membalas penghargaannya kepadaku
ini.”
"O, jadi dia ikut kau
keluar dengan tujuan ingin mencari piaukonya si Buyung-kongcu, jika begitu,
hakikatnya dalam hatinya tidak pernah terlintas orang macammu ini, tapi kau
sendiri yang melamun seperti katak buduk
mengimpikan bidadari! Haha,
hahaha! Sungguh menggelikan!”
Tapi Toan Ki tidak gusar,
sebaliknya menjawab dengan sungguh-sungguh, "Perumpamaan itu memang sangat
tepat. Ong-kohnio memang benar laksana bidadari. Cuma katak buduk seperti aku
ini juga lain daripada yang lain, asal dapat memandang beberapa kejap kepada
sang bidadari rasanya sudah puas dan tiada pikiran lain lagi.”
Mendengar pemuda itu mengaku
dirinya seperti katak buduk yang lain daripada yang lain, Li Yan-cong bertambah
geli hingga tertawa terbahak-bahak. Anehnya, biarpun begitu keras ia tertawa,
tapi kulit daging air mukanya itu tetap kaku tanpa perasaan.
Toan Ki sudah pernah melihat
orang aneh seperti Yan-king Taycu, tanpa gerak bibir, tapi bisa bicara. Maka
air muka Li Yan-cong yang aneh itu tidak membuatnya heran. Katanya malah,
"Kalau bicara tentang air muka kaku tanpa perasaan, kau masih selisih jauh
kalau dibandingkan Yan-king Taycu, untuk menjadi muridnya mungkin juga belum
sesuai.”
"Siapa itu Yan-king
Taycu? Tidak pernah kudengar,” tanya Li Yan-cong.
"Dia adalah tokoh
terkemuka negeri Tayli, ilmu silatmu jauh di bawahnya,” sahut Toan Ki.
Padahal mengenai
tinggi-rendahnya ilmu silat orang lain, hakikatnya sama sekali Toan Ki tak
dapat membedakan, tapi ia sengaja mengucapkan kata-kata yang menilai rendah
lawannya, ia pikir daripada mati konyol, paling tidak aku sudah balas
mengolok-olok lebih dulu.
Maka Li Yan-cong menjengek,
"Hm, betapa tinggi atau rendah ilmu silatku, masakah bocah seperti dirimu
mampu menjajaki?”
Sembari berkata, ia putar
goloknya semakin kencang.
Sudah tentu sejak semula Toan
Ki tidak tahu betapa tinggi kepandaian lawan itu. Tapi bagi Giok-yan, semakin
dilihat semakin khawatir. Pikir gadis itu, "Kepintaran orang ini boleh
dikatakan sangat luas dan hampir memadai kepintaranku, apalagi lwekangnya
sangat tinggi pula, sungguh tidak nyana di negeri Se He terdapat seorang tokoh
pilihan seperti ini dan aku justru kepergok di sini, sedangkan Piauko tiada di
sini hingga tidak ada yang mampu melindungi keselamatanku, hanya seorang
pelajar tolol yang terus main kucing-kucingan dengan dia. Ai, nasibku
benar-benar teramat buruk.”
Pada saat lain, ketika
dilihatnya Toan Ki agak sempoyongan, keadaan cukup berbahaya, tanpa terasa
timbul juga rasa kasih sayangnya, segera ia berseru, "Toan-kongcu, lekas
lari keluar pintu, bertempur di luar sana juga boleh.”
"Tidak,” sahut Toan Ki,
"engkau tak dapat bergerak, kalau tinggal sendirian di sini, betapa pun
aku merasa khawatir. Apalagi, mayat berserakan sekian banyak di sini, tentu
engkau akan merasa seram, maka lebih baik aku tinggal di sini untuk mengawanimu
saja.”
Diam-diam Giok-yan tidak habis
gegetun akan ketolol-tololan pemuda pelajar itu, mana jiwa sendiri terancam
maut masih dapat pusingkan orang lain takut pada mayat segala.
Dalam pada itu beberapa kali
Toan Ki kesandung dan keserimpet, golok musuh terkadang menyambar lewat di atas
kepalanya, cuma selisih satu-dua senti jauhnya, keruan pemuda itu ketakutan
setengah mati, berulang timbul pikiran, "Wah, celaka, kalau buah kepalaku
ini tertebas separuh, tentu aku tak bisa hidup lagi. Seorang laki-laki harus
bisa mulur-mengkeret, berani menang dan berani kalah, demi nona Ong, biarlah
aku berlutut dan minta ampun padanya saja.”
Namun demikian pikirnya, toh
tetap enggan diucapkannya.
"Hm, kulihat engkau pasti
ketakutan setengah mati dan ingin lari terbirit-birit,” demikian Li Yan-cong
mengejek.
"Mati adalah urusan
mahapenting setiap orang, siapa yang tidak takut mati?” sahut Toan Ki.
"Tentang lari sih memang ada maksudku, namun aku tak dapat melarikan
diri.”
"Sebab apa?” tanya
Yan-cong.
"Sudahlah, tidak perlu
banyak omong,” ujar Toan Ki. "Akan kuhitung satu sampai sepuluh, bila
engkau tak dapat membunuh aku, terpaksa aku tak mau mengiringimu lagi.”
Dan tanpa menunggu jawaban
apakah Li Yan-cong setuju atau tidak, terus saja ia mulai menghitung,
"Satu, dua, tiga ....”
"Apa kau sudah gila?”
ujar Li Yan-cong.
Tapi Toan Ki masih terus
menghitung, "Empat, lima, enam ....”
"Hahaha, masakah di dunia
ini ada orang tolol semacam kau, sungguh bikin malu kaum persilatan saja,” seru
Li Yan-cong dengan terbahak-bahak. Berbareng goloknya susul-menyusul membabat
ke kanan dan menebas ke kiri.
Namun dengan cepat Toan Ki
menggeser kian kemari sambil mulut menghitung makin cepat mengikuti gaya
serangan lawan, "Tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, tiga belas
... sudah, sudah, sudah lebih dari sepuluh kali dan kau tetap tidak mampu
membunuh aku, huh, engkau sungguh tidak kenal malu, masakah tidak mau mengaku
kalah, ha?”
Sungguh geli dan mendongkol Li
Yan-cong melihat kelakuan Toan Ki itu. Dikatakan tolol, toh pemuda itu tidak
tolol, bilang dia pintar, nyatanya juga tidak pintar, benar-benar seorang aneh
yang tidak pernah diketemukannya. Kalau sampai terlibat lebih lama, entah
bagaimana akhirnya nanti, jangan-jangan sedikit lengah awak sendiri akan
terjungkal malah di bawah ilmu sihirnya, demikian pikiran Yan-cong.
Dasar dia memang seorang yang
sangat cerdik, ia tahu Toan Ki sangat memerhatikan keselamatan Giok-yan, tiba-tiba
ia mendapat akal, ia mendongak ke atas loteng dan berteriak, "Hah, bagus,
boleh kalian bunuh dulu nona itu, lalu turun kemari dan membantu padaku!”
Keruan Toan Ki kaget,
disangkanya benar-benar ada musuh naik ke atas loteng dan jiwa Giok-yan sedang
terancam. tanpa pikir lagi ia terus menengadah ke loteng. Dan karena sedikit
meleng itulah, kesempatan itu digunakan Li Yan-cong untuk mengayun kakinya,
sekali tendang ia bikin Toan Ki terjungkal, menyusul goloknya lantas mengancam
leher pemuda itu sambil sebelah kaki menginjak pada dadanya.
Toan Ki masih bermaksud angkat
jarinya untuk menutuk, tapi sedikit Li Yan-cong tahan goloknya, segera mata
golok melekuk beberapa mili ke leher Toan Ki.
"Jangan bergerak, sekali
bergerak, segera kupotong kepalamu!” ancam Yan-cong.
Dalam pada itu Toan Ki telah
melihat jelas bahwa di atas loteng sebenarnya tiada musuh. Hatinya menjadi
lega, katanya dengan tertawa, "Ah, kiranya engkau cuma menggertak saja!”
Menyusul ia menyambung pula
dengan gegetun, "Ai, sayang, sungguh sayang!”
"Sayang apa?” tanya Li
Yan-cong.
"Jika aku mati di tangan
jago silat kelas satu seperti dirimu, sebenarnya masih cukup berharga bagiku,”
sahut Toan Ki. "Siapa nyana engkau tidak mampu menangkan aku dengan ilmu
silat, lalu main licik dan menipu, perbuatan rendah dan memalukan ini sungguh
membikin aku mati penasaran.”
"Jika kau merasa
penasaran, nanti boleh kau mengadu pada Giam-lo-ong (raja akhirat) saja,” ujar
Yan-cong.
"Tahan dulu,
Li-ciangkun,” tiba-tiba Giok-yan berseru.
"Ada apa?” tanya Li
Yan-cong.
"Jika engkau membunuh
dia, kecuali aku dibunuh pula, kalau tidak, pada suatu hari aku pasti akan
membunuhmu juga untuk membalas sakit hati Toan-kongcu,” kata Giok-yan.
Li Yan-cong melengak.
"Bukankah engkau telah mengatakan piaukomu yang akan membunuh aku?”
tanyanya.
"Ilmu silat piaukoku
belum tentu bisa menangkan engkau, sebaliknya aku pasti dapat,” sahut Giok-yan.
"Hm, apa dasar
perhitunganmu?” jengek Yan-cong.
"Sudah sekian banyak tipu
seranganmu, tapi ternyata juga cuma sekian saja, terang apa yang kau ketahui
dan pelajari belum ada separuhnya dari apa yang kuketahui,” demikian sahut si
gadis. "Buktinya caramu menyerang Toan-kongcu sudah banyak lubang
kelemahannya, menurut perhitunganku, dengan mudah mestinya Toan-kongcu dapat
kau bunuh, tapi ilmu golok yang kau keluarkan selalu salah. Padahal ada juga
ilmu golok dari kalangan To-kau (agama Tao) yang dapat kau gunakan. Tapi
nyatanya engkau tidak tahu atau mungkin sama sekali asing dalam hal ilmu silat
golongan To-kau.”
"Huh, sombong benar kau,”
sahut Li Yan-cong dengan ragu. "Engkau bersedia membalaskan sakit hati
Toankongcu, apakah karena cintamu kepadanya sudah terlalu mendalam?”
Muka Giok-yan menjadi merah, sahutnya,
"Mendalam apa? Hakikatnya tiada istilah cinta antara diriku dengan dia.
Soalnya karena dia mati untukku, dengan sendirinya aku harus membalaskan sakit
hatinya.”
Ternyata Li Yan-cong tidak
menjawabnya lagi, tapi hanya tertawa dingin, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah
botol porselen kecil dan dilemparkan ke atas badan Toan Ki, lalu ia simpan
kembali goloknya, sekali lompat, cepat ia melompat keluar pintu. Maka
terdengarlah suara kuda meringkik, menyusul kuda dilarikan, makin lama makin
jauh.
Segera Toan Ki merangkak
bangun, ia meraba lehernya yang masih kesakitan bekas diancam golok musuh tadi,
ia merasa seperti habis sadar dari mimpi buruk saja. Begitu pula Giok-yan juga
tidak menduga akan kejadian itu, untuk sejenak mereka hanya saling pandang dengan
bingung dan bergirang pula.
"He, dia sudah pergi,”
kata Toan Ki selang sekian lama dan dibalas Giok-yan dengan mengangguk.
"Bagus, bagus! Ternyata
aku tidak jadi dibunuh olehnya!” seru Toan Ki pula. "Nona Ong, nyata
pengetahuan ilmu silatmu jauh di atasnya, makanya dia jeri padamu.”
"Bukan begitu soalnya,
kalau tadi dia membunuhmu, lalu aku pun dibunuhnya pula, bukankah segala urusan
sudah beres?” ujar Giok-yan.
"Ehm, benar juga,” kata
Toan Ki sambil garuk-garuk kepala dengan bingung. "Tapi, tapi ... mungkin
dia kesengsem kepada kecantikanmu bagai bidadari, makanya tidak berani membunuh
engkau.”
Diam-Diam Giok-yan geli karena
pelajar tolol itu memandangnya seakan-akan bidadari dari kahyangan, tapi senang
juga hatinya oleh pujian itu.
Melihat gadis itu tidak
bersuara, air mukanya merah jengah, keruan Toan Ki kegirangan dan melangkah
maju. Tiba-tiba terdengar suara nyaring jatuhnya sesuatu benda, kiranya botol
porselen yang ditinggalkan Li Yancong tadi.
Cepat Toan Ki pungut botol
itu, ia lihat di atas botol itu tertulis keterangan: "Bila terkena kabut
wangi bunga merah, ciumlah botol ini dan segera punah.”
Sungguh girang Toan Ki tidak
kepalang, serunya segera, "He, inilah obat penawarnya, inilah obat
penawar!”
Dan segera ia membuka tutup
botol itu dan menciumnya, tapi seketika kepalanya pusing dan mata
berkunangkunang, hampir saja ia jatuh kelengar oleh bau bacin isi botol itu.
Cepat ia tutup kembali botol itu dan
berteriak-teriak, "Wah,
tertipu! Baunya tidak kepalang!”
"Coba kulihat, boleh jadi
racun menyerang racun akan membawa khasiat di luar dugaan,” ujar Giok-yan.
Segera Toan Ki mengangsurkan
botol itu dan berkata, "Tapi baunya terlalu bacin, apakah engkau tahan?”
"Biarlah kucoba dulu,”
ujar si gadis.
Toan Ki mengiakan dan membuka
tutup botol itu serta diangkat ke depan hidung si nona. Ketika Giok-yan mencium
sekali isi botol itu, seketika berteriak, "Ai, benar-benar sangat bacin.”
"Nah, kau percaya
sekarang?” ujar Toan Ki. "Boleh coba mengendus sekali lagi jika engkau
masih tidak percaya.”
Namun Giok-yan rupanya sudah
kapok, ia melengos sambil pencet hidung dan berkata, "Ai, bacinnya tidak
hilang-hilang, biar bagaimanapun aku tidak mau lagi mencium barang bau begini,
ha ... tanganku ... tanganku sudah dapat bergerak!”
Demikian teriaknya ketika
tanpa terasa ia dapat mengangkat tangannya untuk memegang hidung sendiri.
Padahal sebesar itu, untuk membetulkan baju saja rasanya tidak kuat.
Saking girangnya terus saja ia
rebut botol itu dari tangan Toan Ki dan menciumnya berulang-ulang dengan
keras-keras, sekarang ia tidak takut bau bacin lagi, ia tahu semakin busuk bau
obat itu, semakin manjur pula khasiatnya.
Maka sebentar saja badan yang
tadinya lemas lunglai telah pulih kembali. Lalu katanya kepada Toan Ki,
"Turunlah kau, aku hendak ganti pakaian.”
Toan Ki mengiakan dan cepat
melangkah turun ke bawah loteng. Ketika dilihatnya mayat bergelimpangan
memenuhi ruangan, tanpa terasa timbul rasa menyesalnya. Dengan kesima ia
berdiri terpaku di situ.
Setelah salin baju, perlahan
Giok-yan turun juga ke bawah. Ia heran melihat Toan Ki berdiri termangu-mangu
di situ, segera tegurnya, "He, apa yang sedang kau pikirkan?”
"Aku merasa menyesal dan
terharu karena telah membunuh orang sebanyak ini,” sahut Toan Ki.
"Toan-kongcu, menurut
pendapatmu, sebab apa jago Se He she Li itu memberikan obat penawar ini
kepadaku?” tanya Giok-yan tiba-tiba.
"Tentang ini ... ini aku
tidak tahu ... ah, tahulah aku, sebab ... sebab ... ehm, entahlah ....”
sebenarnya Toan Ki hendak berkata, "sebab dia suka padamu”, tapi urung
diucapkannya.
"Toan-kongcu,” kata
Giok-yan pula, "tempat ini masih berbahaya, kita harus lekas pergi dari
sini. Tapi kita harus pergi ke mana?”
Meski nona itu serbatahu
mengenai segala aliran ilmu silat, tapi pengalamannya di luar rumah sedikit pun
tidak punya. Sebenarnya ia sangat ingin pergi mencari sang piauko, cuma tidak
enak untuk berkata terus terang.
Sebaliknya Toan Ki meski
seorang Su-tay-cu (pelajar tolol), tapi ia cukup paham apa yang dipikirkan si
gadis. Maka sengaja balas tanya, "Habis kau ingin pergi ke mana?”
"Aku ... aku ....” sahut
Giok-yan dengan muka merah sambil memainkan botol porselen yang masih
dipegangnya itu, dan sejenak kemudian baru ia menyambung, "Kukira para
pahlawan dan kesatria Kay-pang juga terkena racun ‘Ang-hoa-hiang-hu’ (kabut
wangi bunga merah), kalau piaukoku berada di sini, dia tentu dapat membantu
membawakan obat penawar ini kepada mereka. Pula A Cu dan A Pik mungkin juga
tertawan musuh, maka ... maka ....”
Sebenarnya ia hendak mengajak
Toan Ki mencari piauko dulu, kemudian mencari akal untuk menolong mereka.
Siapa duga Toan Ki terus
berjingkrak sambil berseru, "Hai, benar, nona A Cu dan A Pik ada
kesulitan, kita harus lekas-lekas menolong mereka!”
Walaupun agak kecewa karena
bukan itu yang dipikirkan, namun terpaksa Giok-yan mengiakan.
"Dan bagaimana dengan
mayat sebanyak ini, apakah tidak perlu aku mengubur mereka dahulu?” tanya Toan
Ki.
"Kenapa mesti
susah-susah, nyalakan api dan bakar saja rumah ini, kan beres segalanya?” ujar
si gadis.
"Tapi ... tapi ....”
sebenarnya Toan Ki tidak tega, apalagi mesti mengorbankan rumah gilingan
penduduk itu. Namun jalan lain memang tiada lagi, terpaksa ia membuat lelatu
api dan menyalakan rumput jerami yang ada di situ.
Sambil menyalakan api, Toan Ki
berkomat-kamit memanjatkan doa agar arwah para korban itu lekas naik ke surga.
Habis itu ia mencemplak kudanya dua dilarikan pergi bersama Giok-yan.
Sayup-sayup dari jauh terdengar suara gembreng bertalu-talu dan riuh ramai
berisik suara orang-orang. Mungkin petani di sekitar rumah gilingan itu
beramai-ramai sedang berusaha memadamkan kebakaran.
"Sungguh aku menyesal
harus membakar rumah gilingan orang,” kata Toan Ki sambil melarikan kudanya.
"Kau ini memang suka
omong bertele-tele,” ujar Giok-yan. "Seorang laki-laki seperti dirimu
masakah kalah daripada wanita seperti ibuku yang setiap tindak tanduknya selalu
tegas dan cepat.”
Diam-diam Toan Ki tidak dapat
menerima perbandingan itu, ia pikir ibumu sedikit-sedikit suka membunuh orang,
daging manusia dijadikan rabuk, mana aku sudi dipersamakan dengan dia. Tapi ia
lantas menjawab, "Karena baru pertama kali ini aku membunuh orang dan
membakar rumah, dengan sendirinya hatiku tidak tenteram.”
"Benar juga alasanmu,”
ujar Giok-yan. "Kelak kalau sudah biasa, tentu kau takkan merasakannya
lagi.”
"He, mana boleh, mana
boleh!” seru Toan Ki berulang-ulang sambil goyang-goyang kedua tangannya.
"Berbuat sekali saja berdosa, mana boleh diulangi lagi? Tentang membunuh
orang dan membakar rumah, sebaiknya jangan dibicarakan pula.”
Giok-yan berpaling dengan rasa
heran ke arah pemuda di sebelahnya itu, katanya pula, "Bagi orang Kangouw,
membunuh dan dibunuh adalah soal biasa. Jika engkau takut, mengapa engkau tidak
cuci tangan dan jangan berkecimpung lagi di dunia Kangouw?
"Ai, urusan ini memang
susah dikatakan,” ujar Toan Ki. "Ayah dan paman memaksa aku belajar silat
dan aku tetap tidak mau. Siapa duga dalam keadaan terpaksa, akhirnya aku
kebentur pada kenyataan begini. Sungguh aku tidak tahu bagaimana baiknya?”
"Apakah cita-citamu
adalah giat belajar sastra untuk kelak akan menjadi pembesar atau menteri,
bukan?” tanya Giok-yan dengan tersenyum.
"Bukan, menjadi pembesar
juga tiada artinya bagiku,” sahut si pemuda.
"Habis, apa cita-citamu?”
tanya si gadis. "Masakah engkau juga seperti piaukoku yang setiap hari
mengimpikan menjadi Hongte (kaisar)?”
"Ha, Buyung-kongcu ingin
menjadi Hongte?” tanya Toan Ki dengan heran.
Muka si gadis menjadi merah
karena tanpa sengaja telah membocorkan rahasia sang piauko. Cepat ia menjawab,
"Ah, aku cuma bergurau saja, tapi sekali-kali engkau jangan katakan kepada
orang lain, lebih-lebih jangan membicarakan hal ini di depan piaukoku, sebab
aku pasti akan didamprat habis-habisan olehnya.”
Kembali hati Toan Ki tertusuk
oleh sikap si gadis yang begitu kesengsem kepada sang piauko itu. Tapi terpaksa
ia menjawab, "Baiklah, tidak nanti aku ikut campur urusan tetek bengek piaukomu
itu. Apakah dia menjadi Hongte atau akan menjadi pengemis, semuanya aku tidak
peduli.”
Lagi maka Giok-yan marah
jengah, ia dengar nada ucapan Toan Ki itu agak kurang senang, segera ia tanya
dengan suara lembut, "Toan-kongcu, apakah engkau marah padaku?”
Selama berkenalan dengan gadis
itu, yang selalu dipikir dan dikatakan melulu Buyung-kongcu seorang, tapi
sekali ini dia bicara secara halus dan mesra padanya, keruan Toan Ki
kegirangan, saking senangnya, hampir ia terperosot dari pelana kuda. Lekas ia
betulkan duduknya dan menjawab dengan tertawa, "O, tidak, tidak, kenapa
aku mesti marah? Nona Ong, selama hidup ini aku pasti takkan marah padamu.”
Antero cinta-kasih Giok-yan
memang cuma tercurahkan kepada Buyung-kongcu seorang, meski tanpa menghiraukan
jiwa sendiri Toan Ki telah menolongnya, tapi tidak pernah terlintas dalam
benaknya bahwa perbuatan pemuda itu disebabkan jatuh cinta padanya, ia sangka
pemuda itu terlalu jujur dan tulus, berhati bajik, dan berjiwa kesatria, maka
menolongnya seperti halnya Toan Ki juga akan menolong orang lain.
Tapi kini demi mendengar
pernyataan yang serius dan penuh ikhlas bagai bersumpah itu, barulah Giok-yan
sadar, "He, jangan-jangan dia ... dia mencintai diriku?”
Berpikir demikian, ia menjadi
malu dan menunduk.
Dalam senangnya Toan Ki
menjadi bingung apa yang harus dikatakan lagi. Pikirnya, "Aku adalah putra
pangeran kerajaan Tayli, paman baginda tidak punya putra, akhirnya pasti aku
yang akan menggantikan takhtanya. Tapi takhta kerajaan saja aku tidak kepingin,
masakah mencita-citakan menjadi menteri apa segala seperti sangkanya tadi?”
Segera agak lama, dapatlah ia
membuka suara pula, "Aku tidak mempunyai cita-cita apa-apa. Yang kuharap,
bila selamanya bisa seperti saat ini maka puaslah hatiku.”
Apa yang dia maksudkan
"seperti saat ini” adalah agar senantiasa dapat berdampingan dengan si
nona.
Sudah tentu Giok-yan paham
maksud itu, tapi ia tidak suka pemuda itu mengemukakan hal itu lagi, dengan air
muka rada masam ia menjawab dengan sungguh-sungguh, "Toan-kongcu, budi
pertolonganmu ini, betapa pun Giok-yan takkan melupakannya. Tetapi hatiku sudah
... sudah lama terisi orang lain, maka kuharap ucapanmu hendaklah pakai aturan,
agar kelak kita masih dapat bertemu secara baik-baik.”
Jawaban itu benar-benar
merupakan kemplangan keras bagi Toan Ki hingga mata pemuda itu seakan-akan
berkunang-kunang dan hampir-hampir jatuh kelengar.
Apa yang dikatakan Giok-yan
itu cukup terang dan gamblang, secara tegas gadis itu telah menyatakan hatinya
sudah diisi oleh Buyung-kongcu, maka Toan Ki dilarang mengutarakan perasaan
cintanya, kalau tidak, si gadis tidak ingin berkawan lagi dengan dia.
Sudah tentu pernyataan
Giok-yan itu sebenarnya tidak berlebihan, tapi bagi pendengaran Toan Ki sungguh
sangat menusuk.
Ia coba melirik wajah si
gadis, ia lihat sikap Giok-yan sangat prihatin dan agung, mirip benar dengan
patung dewi yang pernah disembahnya dalam gua di dasar sungai itu. Tanpa terasa
timbal semacam firasat seakanakan dirinya bakal tertimpa bencana besar. Katanya
di dalam hati, "Wahai Toan Ki, engkau justru jatuh cinta kepada seorang
nona yang hatinya lebih dulu telah diisi orang lain, hidupmu ini agaknya sudah
suratan nasib akan merana.”
Begitulah kedua orang
melanjutkan perjalanan dengan sama-sama bungkam, siapa pun tidak membuka suara
lagi.
Dalam hati Giok-yan berpikir,
"Tentu dia sangat gusar di dalam hati. Tapi lebih baik aku pura-pura tidak
tahu saja. Bila sekali ini aku minta maaf padanya, selanjutnya tentu dia akan
lebih berani dan bicara yang tidaktidak padaku, jika hal ini sampai diketahui
Piauko, tentu Piauko akan merasa tidak senang.”
Sebaliknya Toan Ki juga sedang
membatin, "Jika aku bicara lagi tentang rasa cintaku padanya, itu berarti
martabatku terlalu rendah dan tidak menghormati dia. Maka sejak kini biarpun mati
juga aku tidak akan bicara tentang itu lagi.”
Dan Giok-yan sedang berpikir
pula, "Dia diam saja, tentu dia mengetahui tempat yang harus didatangi
untuk menolong A Cu dan A Pik.”
Begitu pula Toan Ki juga
sedang berpikir sama seperti si gadis. Maka sesudah setengah jam kemudian,
ketika sampai di suatu jalan simpang tiga, tanpa berjanji kedua orang sama-sama
menanya, "Belok ke kiri atau ke kanan?”
Dan sesudah saling mengunjuk
rasa ragu-ragu, kembali sama-sama saling menanya lagi, "Eh, jadi kau tidak
kenal jalan? Ai, kusangka kau sudah tahu.”
Dasar kedua orang adalah anak
muda, dengan terjadinya saling tanya serupa itu, seketika terbahak-bahaklah mereka,
awan mendung yang meliputi perasaan mereka tadi seketika tersapu bersih.
Tapi mereka berdua memang
masih hijau mengenai urusan Kangouw, biarpun sudah saling runding sampai lama
juga tidak tahu harus menuju ke mana untuk menolong A Cu dan A Pik. Akhirnya
Toan Ki yang berkata, "Musuh telah menawan anggota Kay-pang sebanyak itu,
untuk mencari jejak mereka tentu tidak terlalu susah, maka bolehlah kita
kembali ke tengah rimba itu untuk melihat-lihat dulu.”
"Kembali ke rimba sana?”
Giok-yan menegas. "Dan bila kawanan orang Se He itu masih di situ,
bukankah kita seperti ular mencari gebuk?”
"Setelah hujan lebat
tadi, kukira mereka tentu sudah berangkat pergi,” ujar Toan Ki. "Boleh
begini saja, engkau menunggu saja di luar rimba, biar aku yang masuk ke sana
untuk mengintai, bila benar musuh masih berada di sana, segera kita melarikan
diri.”
"Tidak, tidak boleh
selalu engkau sendiri yang menyerempet bahaya,” ujar Giok-yan. "Jika kita
berangkat berdua ke sana, bila ada bahaya, biarlah kita tanggung bersama.”
Mendengar si gadis bersedia
"enteng sama dijinjing, berat sama dipikul” dalam menyerempet bahaya
nanti, keruan Toan Ki sangat girang. Katanya, "Untuk berkelahi terang aku
tidak sanggup, tapi untuk lari masakah tidak bisa?”
Segera mereka berunding cara
bagaimana nanti harus menolong si A Cu dan A Pik. Maka diambil keputusan Toan
Ki akan mengeluarkan "Leng-po-wi-poh” untuk mendekati kedua dayang itu dan
mengenduskan obat bacin itu kepada mereka, sesudah racun punah, baru berdaya
pula untuk membebaskan mereka.
Begitulah mereka lantas
melarikan kuda ke arah Heng-cu-lim atau hutan pohon jeruk itu. Sesudah dekat,
mereka turun dan menambat kuda di pohon, Toan Ki siapkan obat di tangan, lalu
mereka lari ke tengah hutan dengan berjinjit-jinjit, mereka saling pandang
sekejap dengan geli melihat kelakuan masing-masing.
Tanah di tengah hutan itu
basah dan becek, semak rumput penuh butiran air. Setiba di tengah hutan,
ternyata keadaan sunyi senyap dan kosong melompong, tiada seorang pun terlihat.
"Benar juga mereka sudah
pergi, marilah kita mencari kabar mereka ke kota Bu-sik, saja,” ajak Giok-yan.
Tanpa pikir, Toan Ki
mengiakan. Mengingat akan dapat jalan berendeng lagi dengan si cantik, saking
senangnya tanpa terasa wajah Toan Ki berseri-seri.
"Adakah aku salah omong?”
tanya Giok-yan heran.
"Tidak, tidak!” sahut
Toan Ki cepat. "Marilah sekarang juga kita berangkat.”
"Habis, mengapa engkau
tersenyum?” desak Giok-yan.
"O, aku ... aku memang
terkadang suka ... suka angin-anginan, tak perlu engkau pusingkan aku,” sahut
Toan Ki dengan gelagapan.
Jawaban itu membuat Giok-yan
merasa geli juga, ia tertawa mengikik. Karena itu Toan Ki ikut tertawa
mengakak.
Mereka meneruskan perjalanan
ke Bu-sik. Beberapa li lagi, tiba-tiba tertampak di dahan pohon, di tepi jalan
tergantung sesosok mayat busu bangsa Se He. Mereka terheran-heran sebab tidak
tahu perbuatan siapakah itu?
Beberapa puluh meter pula,
kembali di tepi jalan ada dua mayat orang Se He, bahkan darah pada lukanya
masih belum kering, suatu tanda matinya belum seberapa lama.
"Orang-orang Se He itu
telah ketemu musuh, menurut pendapatmu, siapakah yang membunuh mereka, nona
Ong?” tanya Toan Ki.
"Ilmu silat pembunuh itu
sangat tinggi, cara membunuh jago-jago Se He ini dilakukan dengan sangat mudah,
sungguh hebat kepandaiannya!” demikian puji Giok-yan. "Eh, siapakah yang
datang itu?”
Ternyata dari arah sana
tertampak dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat, penunggangnya
masing-masing berbaju merah dan hijau. Kiranya mereka adalah A Cu dan A Pik.
"Hai, A Cu, A Pik! Kalian
berhasil lolos dari bahaya?” seru Giok-yan dengan girang.
Sudah tentu keempat orang
sama-sama bergirang karena dapat berkumpul kembali.
Segera A Cu berkata,
"Ong-kohnio, Toan-kongcu, mengapa kalian kembali ke sini lagi? Kami justru
ingin mencari kalian.”
"Cara bagaimana kalian
meloloskan diri? Apakah kalian mencium botol berbau busuk itu?” tanya Giok-yan.
"Ya, benar, sungguh bacin
sekali baunya,” sahut A Cu tertawa, "Apakah engkau juga sudah
mengendusnya, nona? Juga Kiau-pangcu yang menolong kalian, bukan?”
"Kiau-pangcu apa
maksudmu?” tanya Giok-yan. "Jadi lolosnya kalian adalah berkat pertolongan
Kiaupangcu?”
"Ya,” sahut A Cu.
"Tatkala itu kami dalam keadaan tak berkutik karena keracunan, bersama
orang Kay-pang kami diringkus oleh orang-orang Se He dan dinaikkan ke atas
kuda. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan hingga rombongan terpencar ada yang
ke timur dan ada yang ke barat, masing-masing mencari tempat berteduh
sendiri-sendiri. Aku dan A Pik dibawa meneduh ke suatu gardu oleh beberapa busu
dan baru berangkat lagi sesudah hujan berhenti.
"Pada saat kami hendak
digiring pergi pula itulah tiba-tiba dari belakang menyusul datang seorang
penunggang kuda, itulah dia Kiau-pangcu. Melihat kami berdua ditawan orang Se
He, beliau tampak terheran-heran dan belum lagi beliau tanya segera A Pik
berseru minta tolong padanya.
"Mendengar ‘Kiau-pangcu’,
seketika beberapa jago Se He itu gugup, berbareng mereka lolos senjata dan
menyerbu Kiau-pangcu. Hasilnya orang-orang Se He itu ada yang terjungkir ke
selokan di tepi jalan, ada yang mencelat hingga terkatung-katung di atas pohon,
dan semuanya terbinasa.”
"Hal itu baru saja
terjadi, bukan?” tanya Giok-yan dengan tertawa.
"Benar,” sahut A Cu.
"Aku berkata kepada Kiau-pangcu, ‘Kami berdua tak dapat berkutik karena
keracunan, harap Kiau-pangcu sudi mencarikan obat penawar racun di tubuh musuh
yang terbinasa itu.’ — Segera Kiaupangcu menggeledah mayat seorang Se He yang
berpangkat cukup tinggi tampaknya, ia mendapatkan sebuah botol kecil, tentang
isi botol itu berbau wangi atau bacin rasanya tidak perlu hamba tuturkan lagi.”
"Dan di manakah
Kiau-pangcu sekarang?” tanya Giok-yan pula.
"Ketika mendengar
orang-orang Kay-pang juga keracunan dan tertawan, beliau sangat khawatir dan
mengatakan hendak pergi menolong mereka, lalu beliau berangkat dengan
tergesa-gesa,” tutur A Cu. "Beliau juga menanyakan Toan-kongcu dan
memerhatikan keselamatan Siocia pula.”
"Ai, gihengku itu sungguh
seorang yang sangat berbudi,” ujar Toan Ki dengan gegetun.
"Memang,” kata A Cu.
"Padahal orang-orang Kay-pang itu sangat keterlaluan, seorang pangcu
baik-baik mereka usir begitu saja dan kini mereka harus menerima hasil
perbuatan mereka sendiri, biarkan mereka tahu rasa. Kalau aku menjadi
Kiau-pangcu tentu aku takkan menolong mereka, biarkan mereka lebih banyak
tersiksa supaya kelak tidak sembarangan mengusir orang secara semena-mena.”
"Tapi gihengku adalah
orang yang berbudi luhur, orang boleh mengkhianati dia, tidak nanti ia
mengingkar orang,” ujar Toan Ki.
"Dan sekarang kita harus
pergi ke mana, nona?” tanya A Pik.
"Semula aku dan Toan-kongcu
bermaksud menolong kalian, tapi kini kita berempat sudah dalam keadaan selamat,
maka kita pun tidak perlu ikut campur urusan Kay-pang yang tiada sangkut paut
dengan kita itu. Marilah kita pergi ke Siau-lim-si saja untuk mencari Kongcu
kalian,” demikian sahut Giok-yan.
Memang kedua dara A Cu dan A
Pik itu sangat mengkhawatirkan kongcu mereka, yaitu Buyung-kongcu, maka demi
mendengar usul Giok-yan itu, serentak mereka menyatakan setuju.
Sudah tentu yang paling kecut
rasanya adalah hati Toan Ki. Tapi terpaksa ia pun menyatakan, "Baiklah,
Kongcu kalian itu memang juga sangat kukagumi dan ingin kubelajar kenal dengan
dia. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, biarlah aku ikut kalian ke
Siau-lim-si.”
Segera mereka putar kuda dan
berangkat menuju jurusan utara. Di tengah jalan Giok-yan ceritakan kepada A Cu
dan A Pik tentang pengalamannya di rumah gilingan itu, di mana Toan Ki telah
banyak membunuh musuh dan akhirnya Li Yan-cong juga dienyahkan serta
mendapatkan obat penawar racun. A Cu dan A Pik terlongong-longong mendengar
pengalaman yang aneh itu.
Bila mereka geli pada suatu
bagian dari cerita itu, ketiga gadis itu tertawa cekikikan sambil memandang
Toan Ki, sudah tentu mereka tidak berani tertawa lepas, tapi menutup mulut
mereka dengan lengan baju.
Sebodoh-bodohnya Toan Ki juga
tahu bahwa ketiga gadis itu sedang membicarakan kelakuannya yang ketololtololan
itu. Tapi bila mengingat awak sendiri meski ketolol-tololan, paling tidak
akhirnya toh dapat melindungi Giok-yan tanpa kurang suatu apa pun, maka biarpun
agak malu-malu juga ia merasa bangga.
Namun bila melihat asyiknya
ketiga anak dara itu berbicara hingga dirinya seakan-akan terlupakan, apalagi
nanti kalau sudah berkumpul dengan Buyung-kongcu, mungkin dirinya lebih tidak
diberi tempat lagi, terpikir demikian, hati Toan Ki menjadi hampa.
Setelah beberapa li pula dan
menyusur sebuah hutan arbei, tiba-tiba mereka mendengar suara tangisan dua
pemuda yang sangat memilukan. Cepat mereka melarikan kuda ke depan untuk
melihat apa yang terjadi. Ternyata pemuda-pemuda itu adalah dua hwesio cilik
belasan tahun, baju padri mereka berlepotan darah, satu di antaranya malah
terluka jidatnya.
"Siausuhu, kenapa kalian
menangis? Siapa yang menganiaya kalian?” tanya A Pik yang berhati welas asih.
Sambil menangis, hwesio cilik
yang jidat terluka itu menjawab, "Kuil kami telah kedatangan segerombolan
orang asing yang jahat, guru kami terbunuh dan kami didepak keluar.”
Mendengar kata-kata
"orang asing jahat” itu, Giok-yan berempat saling pandang sekejap dan
sama-sama berpikir, "Apakah mereka itu orang Se He?”
Segera A Cu tanya, "Di
manakah letak kuil kalian? Orang asing jahat macam apakah mereka itu?”
"Kuil kami bernama
Thian-leng-si, itu, di sebelah sana ....” sahut si hwesio cilik sambil menuding
ke arah timur laut, lalu menyambung, "Orang-orang asing itu membawa
tawanan kira-kira seratusan orang pengemis dan berteduh ke kuil kami karena
hujan. Mereka minta arak dan minta daging, minta disembelihkan ayam dan suruh
memotong kerbau segala. Sudah tentu Suhu keberatan kuil kami dibikin kotor, dan
mereka lantas membunuh Suhu beserta belasan orang suheng kami. Huk-huk ...
huk-huk-huk ... huk!”
"Sudahlah, jangan
menangis,” kata A Cu. "Dan sekarang orang-orang jahat itu sudah pergi
belum?”
"Belum,” sahut padri
kecil itu sambil menuding kepulan asap di balik hutan sana. "Itu, mereka
lagi sibuk memasak daging kerbau, benar-benar berdosa, Buddha Mahaasih, biarlah
mereka kelak dimasukkan neraka.”
"Kalian lekas lari saja,
jangan-jangan sebentar kalian akan ditangkap kawanan penjahat itu dan
disembelih sekalian untuk dimakan,” ujar A Cu.
Keruan kedua padri kecil itu
ketakutan, segera mereka angkat kaki dan berlari pergi.
"Ai, mereka sedang
bingung, mengapa Enci A Cu malah menakuti mereka?” ujar Toan Ki kurang senang.
"Aku tidak menakuti
mereka, tapi aku berkata sungguh-sungguh,” sahut A Cu tertawa.
"Wah, orang-orang
Kay-pang katanya terkurung di dalam Thian-leng-si situ, jika demikian, tentu
Kiau-pangcu akan menubruk tempat kosong bila mencari ke kota Bu-sik,” ujar A
Pik tiba-tiba.
Mendadak A Cu memperoleh suatu
akal aneh, katanya, "Ong-kohnio, aku ingin menyamar sebagai Kiaupangcu dan
menyelundup ke dalam kuil itu untuk mengenduskan bau botol yang bacin itu
kepada kawanan pengemis. Setelah mereka terlolos dari bahaya, tentu mereka akan
sangat berterima kasih kepada Kiaupangcu.”
Giok-yan tersenyum, sahutnya,
"Tapi perawakan Kiau-pangcu tinggi besar, dia adalah seorang laki-laki
tegap, masakah kau dapat menyaru sebagai dia?”
"Semakin sulit menyamar,
semakin kelihatan kepandaian A Cu, boleh lihat nanti,” ujar A Cu dengan bangga.
"Walaupun kau dapat menyaru
dengan persis, tapi tidak dapat memalsukan ilmu saktinya yang tiada
bandingannya itu,” ujar Giok-yan. "Padahal di dalam Thian-leng-si itu
penuh jago pilihan It-bin-tong dan negeri Se He, mana dapat kau masuk-keluar
dengan bebas? Maka kurasa lebih baik engkau menyamar sebagai seorang tukang api
atau seorang nenek desa penjual sayur, mungkin akan lebih mudah untuk menyusup
ke dalam kuil.”
"Kalau mesti menyamar
sebagai nenek-nenek penjual sayur, rasanya kurang menarik, aku tak mau menyusup
ke dalam kuil.”
Giok-yan memandang sekejap ke
arah Toan Ki, bibirnya bergerak, tapi urung bicara.
"Apakah yang hendak nona
katakan?” tanya Toan Ki.
"Sebenarnya aku ingin
engkau juga menyaru seseorang dan ikut pergi ke Thian-leng-si bersama A Cu,
tapi setelah kupikir pula, agaknya kurang sempurna,” ujar Giok-yan.
"Ingin aku menyamar
sebagai siapa?” tanya Toan Ki.
"Sebab para tokoh
Kay-pang itu punya penyakit mencurigai orang dan menuduh piaukoku bersekongkol
dengan Kiau-pangcu untuk membunuh Be-hupangcu mereka, maka ... maka bila Piauko
dan Kiau-pangcu pergi bersama ke sana untuk membebaskan mereka dari bahaya,
tentu mereka takkan ... takkan sembarangan mencurigai orang lain.”
"Jadi maksudmu ingin aku
menyamar sebagai piaukomu?” tanya Toan Ki dengan rasa cemburu.
Wajah Giok-yan berubah merah,
sahutnya, "Tapi musuh di Thian-leng-si itu terlalu kuat, jika kalian
berdua pergi ke sana, mungkin sangat berbahaya, mungkin lebih baik jangan pergi
saja.”
Tiba-tiba Toan Ki memikir,
"Bila aku menyamar sebagai piaukonya, boleh jadi sikapnya kepadaku akan
berbeda daripada biasanya.
Walaupun cuma sebentar saja aku menikmati rasa bahagia juga lumayan.”
Berpikir demikian, seketika
semangatnya menyala-nyala, segera katanya, "Masakan khawatir bahaya apa
segala? Paling-paling angkat kaki melarikan diri, dan cara itu justru adalah
kepandaianku yang utama.”
"Tapi kurasa tidak baik,
sebab selamanya piaukoku membunuh musuh semudah membalik tangan sendiri, tidak
pernah dia melarikan diri,” ujar Giok-yan.
"Nyes”, seketika Toan Ki
seperti digebyur air es demi mendengar kata-kata itu, pikirnya, "Ya, ya,
memangnya piaukomu adalah seorang kesatria, seorang pahlawan perkasa, memangnya
aku tidak sesuai untuk menyamar sebagai dia. Kalau memalsukan dia hingga
memalukan di depan orang banyak, bukankah akan menodai nama kebesarannya?”
Melihat pemuda itu
termenung-menung kurang senang, cepat A Pik menghiburnya, "Toan-kongcu,
kita menghadapi musuh lebih banyak jumlahnya, kalau sementara kita mengalah
juga tidak mengapa. Toh tujuan kita hanya untuk menolong orang dan bukan
bertanding kepandaian dengan mereka.”
Dalam pada itu A Cu lagi
mengamat-amati Toan Ki dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu
ia mengangguk-angguk dan berkata, "Toan-kongcu, untuk menyamar sebagai
Kongcu kami sebenarnya tidak mudah, untung orang-orang Kay-pang tiada yang
kenal Kongcu kami, maka tentang wajah dan suara beliau asal dapat mendekati
saja sudah cukup mengelabui mereka.”
"Buyung-kongcu adalah
manusia pilihan di antara manusia, orang lain mana dapat sembarangan menyamar
sebagai dia?” ujar Toan Ki. "Tapi kukira ada baiknya juga samaranku nanti
tidak terlalu mirip beliau, dengan begitu, jika nanti mesti angkat langkah
seribu melarikan diri, sedikitnya nama baik Buyung-kongcu tidak sampai
ternoda.”
Muka Giok-yan menjadi merah,
dengan perlahan ia tanya, "Tadi aku telah salah omong, apakah Toan-kongcu
marah padaku?”
"Ah, tidak, tidak, mana
aku berani marah?” sahut Toan Ki cepat.
Maka tersenyumlah Giok-yan.
Tanyanya kemudian, "Lantas di manakah kalian hendak menyamar?”
"Kita harus mendatangi
kota kecil di sana barulah dapat membeli alat-alat keperluan menyamar,” sahut A
Cu.
Segera mereka berempat
melarikan kuda ke barat, kira-kira beberapa li jauhnya, tibalah mereka di suatu
kota kecil bernama Ma-long-kio. Kota itu terlampau kecil dan tiada rumah
penginapan segala, hanya di tepi kota ada sebuah sungai kecil.
Setelah membeli pakaian dan
alat-alat menyamar lain yang diperlukan, mereka menyewa sebuah perahu dan
berdandan di dalam kendaraan air itu. Lebih dulu A Cu mendandani Toan Ki,
memberinya sebuah kipas lempit, pakaiannya berwarna hijau mulus, pada jari kiri
memakai sebentuk cincin.
"Kongcu kami suka memakai
cincin bermata batu kemala, tapi susah dicari di sini, maka bolehlah memakai
batu akik sebagai ganti sekadarnya,” ujar A Cu.
Toan Ki hanya tersenyum getir
saja, pikirnya, "Memangnya Buyung-kongcu ibarat batu kemala yang berharga
dan aku cuma batu akik yang tak bernilai. Memang begitulah harga diriku dalam
pandangan ketiga gadis ini.”
Selesai A Cu mendandani Toan
Ki, lalu katanya kepada Giok-yan, "Siocia, adakah sesuatu tempat yang
kurang mirip?”
Tapi Giok-yan tidak menjawab,
ia sedang memandang Toan Ki dengan termangu-mangu, dengan sorot mata penuh arti
seakan-akan lagi berhadapan dengan Buyung Hok.
Perasaan Toan Ki ikut
terguncang ketika sinar matanya kebentrok dengan sorot mata si gadis. Tapi segera
terpikir olehnya, "Ah, terang yang terbayang olehnya adalah Buyung Hok dan
bukan aku si Toan Ki.”
Begitulah perasaan Toan Ki,
sebentar suka dan sebentar lagi duka. Kedua muda-mudi itu pandang-memandang
dengan perasaan yang berbeda-beda sehingga kepergian A Cu dan A Pik ke buritan
perahu untuk ganti pakaian terlupakan oleh mereka.
Selang agak lama, tiba-tiba
terdengar suara seorang laki-laki sedang menegur, "Ai, kiranya Toan-hiante
berada di sini, sudah lama kucari engkau.”
Toan Ki terkejut dan cepat
mendongak. Ia lihat pembicara itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong. Keruan
ia kegirangan dan cepat menyahut, "Hai, kiranya Toako! Memangnya kami
sedang bermaksud menyamar sebagai Toako untuk menolong kawan-kawan Kay-pang,
sekarang engkau sendiri sudah datang, maka Enci A Cu tidak perlu menyamar
lagi.”
"Orang-orang Kay-pang
telah pecat aku dari keanggotaan mereka, biarkan mereka mati atau hidup tak
kupeduli lagi,” sahut Kiau Hong. "Adik yang baik, marilah kita pergi ke
kota saja untuk mengadu minum, paling sedikit kita harus menghabiskan 50
mangkuk setiap orang.”
"Toako,” kata Toan Ki,
"para saudara Kay-pang adalah laki-laki yang berjiwa patriot, harap engkau
sudi pergi menolong mereka.”
"Engkau adalah pelajar
yang masih hijau, apa yang kau ketahui,” sahut Kiau Hong dengan marah.
"Ayolah, tak perlu urus mereka, marilah pergi minum arak paling perlu.”
Habis berkata, terus saja ia
pegang tangan Toan Ki dan hendak menyeretnya pergi.
Terpaksa Toan Ki berkata,
"Baiklah, sesudah kita minum arak, engkau harus pergi menolong mereka.”
Di luar dugaan, mendadak
"Kiau Hong” terkikik-kikik, suaranya nyaring genit, tidak mungkin seorang
laki-laki kekar sebagai Kiau Hong dapat mengeluarkan suara tertawa yang mirip
anak dara.
Keruan Toan Ki tercengang.
Tapi segera ia pun paham duduknya perkara, terus saja ia memberi hormat sambil
berkata, "Ai, Enci A Cu, kepandaianmu menyamar sesungguhnya teramat
tinggi, sampai suara Toakoku yang kasar itu pun dapat engkau tiru sedemikian
miripnya.”
Memang tidak salah "Kiau
Hong” itu adalah samaran si A Cu, begitu persis hingga Toan Ki tidak dapat
mengenalnya lagi.
Maka dengan nada suara Kiau
Hong yang kasar, A Cu lantas berkata pula, "Toan-hiante, marilah sekarang
juga kita berangkat, bawalah botol yang berbau busuk itu.”
Lalu ia pun berkata kepada
Giok-yan dan A Pik, "Harap kedua nona suka menanti sementara di sini.”
Habis berkata, ia tarik tangan
Toan Ki terus diajak mendarat. Entah tangannya dilumuri barang apa, tangan yang
halus sebagaimana lazimnya tangan anak dara itu kini telah berubah menjadi
kasap dan kehitam-hitaman, meski tidak sebesar tangan Kiau Hong tapi seketika
juga susah diketahui orang lain.
Begitulah dengan meninggalkan
Giok-yan yang masih termenung-menung mengenangkan sang piauko itu, A Cu dan
Toan Ki telah menunggang kuda menuju ke Thian-leng-si. Sesudah dekat dengan
kuil itu, khawatir kalau suara kuda mereka didengar musuh, mereka lantas tambat
kuda-kuda itu di kandang sapi seorang petani di tepi jalan, lalu berjalan
menuju ke kuil itu.
"Saudara Buyung,”
demikian kata si "Kiau Hong” tiruan alias A Cu, "setiba di dalam kuil
nanti, aku lantas buka mulut besar dan membual setinggi langit, kesempatan itu
harus engkau gunakan dengan cepat untuk mengenduskan obat penawar di dalam
botol itu kepada orang-orang Kay-pang.”
Dengan menahan perasaan geli,
Toan Ki telah mengiakan. Dan mereka pun lantas mendekati pintu kuil yang dijaga
oleh belasan busu bangsa Se He yang bersenjata lengkap.
Melihat keadaan itu, hati Toan
Ki dan A Cu mulai kebat-kebit dan tanpa terasa menjadi jeri.
"Toan-kongcu, sebentar
harap engkau menyeret aku lari keluar. Kalau tidak, bila aku ditantang
bertanding silat dengan mereka, tentu aku bisa celaka,” kata A Cu.
"Baiklah,” sahut Toan Ki
dengan suara agak gemetar, nyata ia pun ketakutan.
Begitulah selagi mereka
berunding sambil melongak-longok, hal itu segera dapat dilihat oleh seorang
busu penjaga itu, terdengar bentakannya, "Hai, kalian lagi berbuat apa?
Mata-mata musuh, tentu!”
Berbondong-bondong keempat
busu lantas mendekati Toan Ki berdua sambil membentak-bentak.
Terpaksa A Cu membusungkan
dada dan memapak maju, katanya dengan suara keras, "Hai, lekas beri
tahukan kepada Ciangkun kalian, katakan bahwa Kiau Hong dari Kay-pang dan
Buyung Hok dari Kanglam ingin bertemu dengan Helian-tayciangkun dari Se He.”
Rupanya nama Buyung Hok tidak
dikenal oleh orang-orang Se He, tapi nama Kiau Hong telah mereka kenal sebagai
pangcu dari Kay-pang. Maka mereka agak terkejut demi mendengar teguran A Cu
itu, cepat busu yang menjadi kepala jaga itu memberi hormat dan menyapa,
"O, kiranya Kiau-pangcu berkunjung kemari. Maaf, silakan menunggu
sebentar, segera kulaporkan kepada Ciangkun.”
Habis berkata, ia terus putar
tubuh berlari ke dalam kuil dengan cepat.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
terdengar suara trompet berbunyi, pintu kuil terbuka lebar, pemimpin It-bintong
dari Se He, Helian Tiat-si tampak menyambut keluar bersama Nurhai dan jago-jago
lainnya, di antaranya terdapat Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho.
Hati Toan Ki agak kebat-kebit,
sedapat mungkin ia melengos ke arah lain dan tidak berani saling pandang dengan
kenalan-kenalan lama itu.
Maka terdengarlah Helian
Tiat-si mulai berkata, "Sudah lama kami mendengar nama besar ‘Koh-soh
Buyung’ yang terkenal dengan filsafatnya ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’. Untung
hari ini dapatlah berjumpa, sungguh kami merasa sangat bahagia.”
Sembari berkata ia terus
merangkap tangannya untuk memberi hormat kepada Toan Ki.
Lekas-lekas Toan Ki membalas
hormat dan menjawab, "Nama kebesaran Helian-ciangkun sudah lama kami
kagumi, terutama para kesatria yang terhimpun di dalam It-bin-tong di negeri Se
He. Jikalau kedatangan kami ini agak gegabah, harap sukalah dimaafkan.”
Dasarnya Toan Ki memang
seorang pelajar yang lemah lembut, maka cara bicaranya pun menjadi ramah tamah,
sedikit pun tidak mencurigakan.
"Orang Bu-lim suka
berkata ‘Pak Kiau Hong, Lam Buyung’ (di utara ada Kiau Hong dan di selatan ada
Buyung), katanya kesatria Tionggoan kalian berdua inilah yang tiada bandingannya,
maka sungguh berbahagia sekali hari ini kalian sudi berkunjung ke sini. Silakan
masuk, silakan!”
Dengan tabahkan hati A Cu dan
Toan Ki ikut Helian Tiat-si ke dalam kuil itu. Diam-diam Toan Ki berpikir,
"Dari sikap dan kata-kata jenderal Se He ini, agaknya ia lebih segan
terhadap Buyung-kongcu daripada Kiautoako. Apakah disebabkan pribadi dan ilmu
silat Buyung Hok itu memang benar lebih hebat daripada Kiautoako? Tapi kukira
belum tentu.”
Selagi Toan Ki tenggelam dalam
lamunannya, tiba-tiba terdengar suara seruan orang yang melengking tajam,
"Haha, belum tentu, belum tentu!”
Toan Ki terkejut, ia menoleh
dan melihat yang bersuara itu adalah Lam-hay-gok-sin. Si jahat ketiga itu
sedang mengincar ke arahnya dengan matanya yang kecil bagai kacang itu sambil
goyang-goyang kepala.
"Wah, celaka,
jangan-jangan dia mengenali diriku?” demikian diam-diam Toan Ki berdebar-debar.
Terdengar Lam-hay-gok-sin
sedang berkata pula, "Melihat potongannya ini, bobotnya paling banyak 50
kati, masakah tahan sekali genjot? Eh, aku ingin tanya padamu. Orang bilang
engkau suka ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pisin’, tapi aku Gak-loji justru tidak
percaya. Aku pun tidak perlu engkau bergerak tangan, cukup asal dapat kau
katakan kepandaian khas apa yang menjadi andalan Gak-loji ini? Dengan ilmu apa
kau mampu menggunakan cara Locu untuk digunakan atas diri Locu ini?”
Sambil bicara, Lam-hay-gok-sin
pakai bertolak pinggang segala, sikapnya sombong dan kasar. Sebenarnya Helian
Tiat-si hendak mencegahnya, tapi demi dipikir bahwa nama Buyung Hok sangat
tersohor, apakah kepandaiannya sesuai dengan namanya, mengapa tidak membiarkan
Lam-hay-gok-sin yang angin-anginan itu coba mengujinya. Sebab itulah ia diam
saja dan tidak merintangi.
Tengah bicara, sementara itu
mereka sudah berada di ruangan besar. Helian Tiat-si menyilakan Toan Ki duduk
di tempat utama, tapi pemuda itu malah mengalah kepada A Cu.
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin
sudah tidak sabar lagi, segera ia berteriak, "Hai, Buyung-siaucu, coba
katakan sekarang, kepandaian apa yang menjadi kemahiranku?”
Toan Ki tersenyum, pikirnya,
"Kalau orang lain yang tanya demikian padaku tentu aku akan melongo dan
tak dapat menjawab, tapi sekarang engkau yang tanya, itulah sangat kebetulan
sekali.”
Maka dengan tenang buka kipas
dan mengebas perlahan sambil menjawab, "Lam-hay-gok-sin Gak-losam,
julukanmu pakai ‘buaya’, dan kelakuanmu memang mirip buaya. Boleh jadi
kedudukanmu dalam urut-urutan Su-ok segera akan merosot menjadi Losi (si
keempat). Tentang kepandaianmu yang masih hijau itu, masakah perlu tanya
padaku? Mungkin anak kemarin juga tahu. Semua orang tahu kau telah menyembah
pada Toankongcu dari Tayli sebagai guru dan sedikit pun kau belum mendapat
ajaran ilmu sakti apa-apa dari dia. Kepandaianmu cetek, yang sok kau agulkan
sekarang tidak lain cuma Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian (ruyung ekor buaya dan
gunting congor buaya) saja.”
Sekaligus Toan Ki dapat
menyebutkan senjata andalan orang, yaitu Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian, bukan
saja Lam-hay-gok-sin melengak tidak habis kejutnya, bahkan Yap Ji-nio dan In
Tiong-ho juga tidak terkatakan herannya.
Maklum, kedua macam senjata
itu baru saja berhasil diyakinkan Lam-hay-gok-sin dan selama ini belum pernah
dipertunjukkan di depan umum. Hanya tempo hari waktu bergebrak dengan In
Tiong-ho di Tayli pernah digunakannya satu kali, tatkala mana kecuali Bok
Wan-jing boleh dikatakan tiada orang luar lagi yang
melihatnya. Siapa duga
kemudian Bok Wan-jing telah menceritakan kejadian itu kepada Toan Ki, sedangkan
Buyung Hok yang ada di depannya sekarang justru adalah samaran Toan Ki.
Begitulah Lam-hay-gok-sin coba
mengamat-amati Toan Ki dengan kepala miring ke kanan dan ke kiri. Biarpun
wataknya sangat jahat, tapi dia juga punya perasaan kagum kepada kaum kesatria
yang gagah perkasa. Lewat sejenak, tanpa ragu lagi ia acungkan jempolnya dan
memuji, "Bagus! Memang hebat kau!”
"Terima kasih,” sahut
Toan Ki dengan tertawa.
Tapi segera Lam-hay-gok-sin
mendapatkan akal lain, tiba-tiba ia berkata pula, "Buyung-kongcu, tidaklah
mengherankan jika engkau dapat memainkan ilmu silatku. Tapi kalau guruku berada
di sini, tentu engkau tidak paham ilmu kepandaiannya.”
"Kutahu kau adalah murid
capcai, gurumu tidak cuma seorang saja, coba katakan gurumu yang mana dan ilmu
kepandaian apa yang dia miliki?” sahut Toan Ki dengan senyum ejek.
Lam-hay-gok-sin tidak marah
atas olok-olok itu, sebaliknya ia menyahut dengan berseri-seri, "Guruku
yang pertama sudah lama meninggal, maka tidak perlu dibicarakan. Namun guruku
yang baru saja kuangkat, ilmu kepandaiannya sungguh luar biar, melulu semacam
ilmu langkahnya yang disebut ‘Leng-po-wi-poh’ saja kuyakin tiada seorang pun
yang paham, termasuk pula engkau.”
Toan Ki pura-pura termenung
sejenak, lalu berkata, "Maksudmu ‘Leng-po-wi-poh’? Ehm, itu memang ilmu
silat yang luar biasa. Dengan kepandaiannya yang sakti itu Toan-kongcu sudi
menerima dirimu sebagai murid, sungguh hal ini sangat meragukan aku.”
"Buat apa aku bohong
padamu?” kata Lam-hay-gok-sin cepat. "Banyak hadirin yang berada di sini
dapat menjadi saksi, beliau sendiri memanggil aku sebagai murid.”
Diam-diam Toan Ki tertawa
geli. Kalau semula si jahat ini ngotot tidak mau menyembah dan mengaku guru
padanya, sekarang si jahat ini inilah khawatir dirinya tidak mau mengakui dia
sebagai murid. Maka katanya kemudian, "Jika begitu, tentu kau sudah
berhasil meyakinkan ilmu khas gurumu itu, bukan?”
Lam-hay-gok-sin menggeleng
kepalanya bagaikan kelontong goyang cepatnya, sahutnya, "Tidak, tidak!
Jangankan meyakinkan, belajar saja belum pernah. Tapi bila engkau mengaku paham
segala macam ilmu silat di dunia ini, asal engkau mahir berjalan tiga langkah
‘Leng-po-wi-poh’ saja, aku Gak-loji lantas menyerah padamu.”
"Leng-po-wi-poh meski
sulit, namun pernah juga kupelajari beberapa langkah di antaranya,” sahut Toan
Ki. "Nah, Gak-losam, boleh coba-coba menangkap diriku.”
Sembari berkata terus saja ia
terbangkit dan berdiri di tengah ruangan.
Para jago Se He itu tiada
seorang pun yang pernah melihat ilmu silat macam apakah "Leng-po-wi-poh”
itu. Tapi karena Lam-hay-gok-sin memuji ilmu sakti itu setinggi langit, maka
mereka pun ingin melihatnya untuk menambah pengalaman. Segera mereka menyingkir
ke pinggir ruangan dan membiarkan Toan Ki mempertunjukkan kepandaiannya itu.
Tanpa bicara lagi
Lam-hay-gok-sin terus menubruk maju sambil mengerang, tangan kiri menjulur ke
depan, mendadak tangan kanan mencengkeram dari bawah tangan kiri. Namun cepat
sekali Toan Ki menggeser ke samping dua langkah dan mundur satu tindak, dengan
enteng sebagai daun teratai tertiup angin, dengan gaya yang indah ia dapat
menghindarkan serangan lawan itu.
"Crat”, karena tidak
sempat menahan serangannya, kelima kuku jari kanan Lam-hay-gok-sin menancap di
atas pilar kayu di tengah ruangan itu.
Melihat begitu hebat tenaga si
jahat ketiga itu, seketika semua orang terkesiap. Seharusnya mereka bersorak
memuji, tapi saking kejutnya sampai mereka lupa bersorak.
Sekali menyerang tidak kena,
suara erangan Lam-hay-gok-sin semakin keras. Mendadak ia meloncat ke atas,
bagaikan elang menyambar anak ayam, ia menubruk ke bawah.
Namun Toan Ki sama sekali
tidak ambil pusing akan tingkah musuh, biarpun orang berjungkir balik juga ia
tidak peduli, ia tetap jalan berlenggang kian kemari menurut ilmu langkah yang
telah dipelajarinya dengan baik itu.
Semakin serang Lam-hay-gok-sin
semakin kalap, suara erangannya juga bertambah keras laksana binatang buas.
Melihat wajah orang yang
memang jelek ditambah beringas seperti sekarang, Toan Ki mulai jeri, ia tidak
berani memandang muka orang, bahkan ia terus keluarkan saputangan untuk
menutupi matanya dan berkata, "Biarpun kedua mataku tertutup juga tidak
nanti kau mampu menangkap diriku.”
Benar juga, biar bagaimanapun
cara Lam-hay-gok-sin menubruk dan menyeruduk, selalu ia menubruk tempat kosong
dan menangkap angin. Terkadang tangannya cuma selisih beberapa senti saja dari
tubuh Toan Ki, namun toh tetap susah untuk menjamah pemuda itu.
Kalau penonton sampai
berdebar-debar dan menahan napas, adalah sebaliknya Toan Ki malah enak-enak dan
tetap berjalan dengan berlenggang kangkung. Dan tatkala Lam-hay-gok-sin semakin
kalap dan menubruk serabutan, terpaksa Toan Ki harus mempercepat juga
langkahnya, ia tidak dapat berlenggang lagi, tapi terpaksa main serampang 12
dengan irama cepat.
Mau tak mau A Cu ikut
berdebar-debar menyaksikan permainan kucing-kucingan di tengah ruangan itu, ia
khawatir jangan-jangan pada suatu saat Toan Ki akan meleng hingga kena ditangkap
Lam-hay-gok-sin, hal ini berarti akan bikin runyam mereka. Maka cepat ia
keraskan suaranya dan membentak, "Lam-hay-gok-sin, apakah kau belum kapok
dan hendak menguber Buyung-kongcu? Bagaimana Leng-po-wi-poh itu dibandingkan
dengan gurumu?”
Lam-hay-gok-sin melengak, ia
tertegun di tempatnya bagai balon gembos, mau tak mau ia memuji, "Bagus,
bagus! Memang hebat! Mungkin guruku juga tidak mampu melangkah seperti engkau
dengan mata tertutup. Baik, memang Koh-soh Buyung tidak bernama kosong, aku
Lam-hay-gok-sin mengaku kalah padamu.”
Kesempatan itu segera
digunakan Toan Ki untuk menanggalkan tutup matanya serta kembali ke tempat
duduknya. Maka bergemuruhlah sorak-sorai orang banyak.
Kemudian Helian Tiat-si
menyilakan kedua tamunya minum, katanya, "Atas kunjungan kedua kesatria
besar, entah ada keperluan apakah?”
"Karena beberapa saudara
kami entah sebab apa berbuat salah kepada Ciangkun, maka Ciangkun telah
mengirim jago pilihan dan menangkap mereka ke sini, sebab itulah dengan
memberanikan diri ingin kumohon Ciangkun suka membebaskan mereka,” sahut A Cu.
Sudah tentu ucapan A Cu itu
sengaja dipakai untuk menyindir orang Se He yang telah menangkap orang dengan
cara rendah dan memalukan.
Namun Helian Tiat-si tidak
risi sedikit pun, dengan tersenyum ia berkata, "Memang benar. Tapi setelah
menyaksikan demonstrasi Buyung-kongcu yang hebat barusan, nyata memang bukan
nama kosong belaka. Kiau-pangcu mempunyai nama kebesaran sejajar dengan
Buyung-kongcu, hendaklah juga suka unjuk sejurusdua supaya kami bisa kagum
benar-benar, dengan begitu pula agar ada alasan untuk membebaskan para kesatria
dari pang kalian.”
Keruan A Cu agak gugup,
pikirnya, "Untuk menyaru sebagai Kiau-pangcu dan menirukan lagak lagunya
tidak susah bagiku. Tapi bila aku disuruh menirukan ilmu silatnya yang hebat
itu, bukankah segera rahasia penyamaranku ini akan terbongkar?”
Selagi dia hendak mencari
alasan untuk menutupi rasa serbasusahnya itu, tiba-tiba terasa tangan dan kaki
lemas linu, bahkan gerak jari pun tak bisa. Keadaan demikian persis seperti
terkena kabut berbisa semalam.
Keruan ia khawatir, keluhnya
dalam hati, "Wah, celaka, sungguh tidak nyana bahwa jahanam orang Se He
ini akan menggunakan akal licik pula, bagaimana baiknya sekarang?”
Di lain pihak Toan Ki yang
kebal terhadap segala macam racun sedikit pun tidak merasa terjadi hal-hal yang
ganjil itu. Cuma tiba-tiba dilihatnya A Cu lemas lunglai di tempat duduknya,
segera ia tahu gadis itu tentu terkena kabut racun lagi, maka cepat ia
mengeluarkan botol berbau busuk itu, ia buka sumbat botol dan disodorkan ke
ujung hidung A Cu.
Segera A Cu menyedotnya
beberapa kali, karena keracunan belum lama, segera ia dapat bergerak kembali.
Ia pegang botol yang diangsurkan Toan Ki itu dan mencium pula dengan rasa heran
mengapa musuh tidak turun tangan untuk menangkapnya?
Waktu ia perhatikan
orang-orang Se He itu, ia lihat mereka pun menggeletak semua di atas kursi
tanpa berkutik, hanya biji mata mereka yang tertampak terbelalak lebar seperti
terheran-heran.
"Aneh, mengapa
orang-orang ini keracunan sendiri, benar-benar senjata makan tuan,” demikian
ujar Toan Ki.
Segera A Cu mendekati Helian
Tiat-si, ia coba dorong-dorong panglima Se He itu, tapi Helian Tiat-si
benarbenar lemas lunglai, tidak salah lagi memang keracunan. Tapi badan lemas
kan mulut masih dapat bicara, segera ia membentak, "Hai, siapakah yang
mengeluarkan kabut wangi ini? Lekas ambilkan obat penawar, cepat!”
Meski sudah beberapa kali ia
membentak, tapi anak buahnya tetap diam saja dengan lemas, semuanya berkata,
"Lapor Ciangkun, hamba sekalian juga tak dapat berkutik.”
"Pasti ada pengkhianat,
kalau tidak, masakah lawan tahu cara penggunaan kabut wangi kita yang rumit
itu,” kata Nurhai.
"Siapa pengkhianatnya,
siapa? Lekas cari dan cencang dia hingga hancur lebur,” teriak Helian Tiat-si
dengan murka.
"Ya, paling penting
sekarang harus mendapatkan obat penawar kita,” sahut Nurhai. Ia melirik dan
melihat A Cu memegang sebuah botol kecil, segera katanya, "Kiau-pangcu,
sudilah engkau enduskan obat penawar itu kepada kami, nanti Ciangkun kami pasti
akan membalas jasamu ini.”
"Aku harus menolong
saudara-saudara pang kami, siapa ingin kepada balas jasa apa segala dari
Ciangkun kalian?” sahut A Cu dengan tertawa.
Terpaksa Nurhai berkata kepada
Toan Ki, "Buyung-kongcu, di bajuku juga ada sebuah botol, tolonglah
keluarkan untuk dicium kami.”
Toan Ki tidak menolak, ia
merogoh baju Nurhai dan benar juga dikeluarkannya sebuah botol kecil. Katanya
kemudian dengan tertawa, "Obat penawar memang perlu, tapi takkan kuberikan
kepadamu.”
Habis berkata, ia terus menuju
ke ruangan belakang bersama A Cu. Maka tertampaklah di serambi timur sana penuh
berjubel orang, semuanya adalah anggota Kay-pang yang tertawan. Dan begitu A Cu
masuk ke situ, segera Go-tianglo berseru, "Aha, kiranya engkau yang
datang, Kiau-pangcu, lekas tolong kami!”
Segera A Cu mengenduskan obat
penawar itu kepada Go-tianglo dan berkata, "Ini adalah obat penawar, boleh
dienduskan kepada para saudara untuk memunahkan racun mereka.”
Go-tianglo sangat girang,
setelah kaki-tangannya dapat bergerak, segera ia bergantian memunahkan racun
Song-tianglo. Di sebelah sana Toan Ki juga telah menyembuhkan racun Ci-tianglo
dan begitu seterusnya.
"Kawan-kawan kita terlalu
banyak, kalau satu per satu dipunahkan racunnya seperti tentu akan maka waktu
terlalu lama,” ujar A Cu. "Go-tianglo, cobalah geledah orang-orang Se He
itu, carilah obat penawar serupa ini.”
Go-tianglo mengiakan dan
segera berlari ke ruangan depan untuk menggeledah obat. Maka terdengarlah suara
makian dan teriakan disertai suara "plak-plok” berulang-ulang.
Nyata sembari menggeledah
obat, Go-tianglo tidak lupa memberi persen gamparan kepada orang-orang Se He
itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Tidak lama kemudian,
kembalilah Go-tianglo dengan membawa lima-enam buah botol porselen kecil,
katanya dengan tertawa, "Yang kupilih adalah musuh yang berpakaian
perlente, kedudukan mereka tentu lebih tinggi dan benar juga mereka membawa
obat penawar seperti ini. Hahaha, baru sekarang mereka tahu rasa!”
"Tahu rasa apa?” tanya
Toan Ki heran.
"Setiap orang mereka
telah kupersen dua kali tamparan, yang memiliki obat penawar sengaja kugampar
lebih keras,” tutur Go-tianglo dengan tertawa. Dan tiba-tiba ia merasa belum
pernah kenal Toan Ki dalam samaran itu, segera ia tanya, "Siapakah nama
terhormat saudara ini? Terima kasih banyak atas budi pertolonganmu.”
"Cayhe she Buyung,” sahut
Toan Ki. "Maafkan kedatangan kami agak terlambat sehingga kalian tersiksa
sekian lamanya.”
Mendengar orang mengaku she
"Buyung”, maka tahulah orang-orang Kay-pang tentu pemuda inilah "Koh-soh
Buyung” yang terkenal itu.
"Ai, kita benar-benar
sudah buta semua sehingga sembarangan mendakwa Buyung-kongcu telah membunuh
Be-hupangcu, hari ini kalau bukan Buyung-kongcu dan Kiau-pangcu yang menolong
kita, tentu kita akan celaka di tangan anjing-anjing Se He yang jahat itu,”
demikian seru Song-tianglo.
"Ya, orang tua tentu suka
mengampuni kesalahan kaum hamba, Kiau-pangcu, mohon engkau sudi kembali menjadi
pangcu kita saja,” segera Go-tianglo ikut berkata.
"Huh, Kiau-ya dan
Buyung-kongcu ternyata benar bersahabat baik,” tiba-tiba Coan Koan-jing
menjengek dengan dingin. Ia belum mengendus obat penawar, maka tubuhnya masih
belum bisa berkutik.
Ia sebut Kiau Hong sebagai
"Kiau-ya” (tuan Kiau) dan tidak menyebutnya sebagai "Kiau-pangcu”,
itu berarti ia tidak mengakui dia lagi sebagai pangcu. Sebaliknya ia bilang
Kiau Hong ternyata bersahabat dengan Buyung-kongcu, kata-kata itu pun sangat
licin.
Sebab, hendaklah diketahui
bahwa orang-orang Kay-pang sama mencurigai Kiau Hong sebagai pembunuh Be
Tay-goan secara tidak langsung, yaitu dengan meminjam tangan Buyung Hok.
Padahal Kiau Hong selalu menyangkal kenal Buyung Hok. Sebaliknya sekarang kedua
orang ini sama-sama datang ke Thian-leng-si, dilihat dari sikap mereka berdua
yang akrab itu pastilah mereka bukan kenalan baru saja.
Jilid 29
A Cu merasa kurang enak bila
tinggal lama-lama di situ mengingat orang-orang itu adalah kawan Kiau Hong,
kalau pemalsuannya ketahuan, tentu urusan bisa runyam. Maka cepat katanya,
"Urusan pang kita boleh dirundingkan nanti saja, sekarang aku akan pergi
melihat kawanan anjing Se He itu.”
Habis berkata, dengan langkah
lebar ia lantas kembali ke ruangan depan dengan diikuti Toan Ki.
Di sana mereka mendengar
Helian Tiat-si sedang mencaci maki, "Lekas suruh periksa siapakah bangsat
orang Se He itu, berani dia main gila pada Ciangkunmu ini. Bila kita sudah
pulang nanti pasti akan kusikat bersih antero anggota keluarganya tua-muda maupun
laki-perempuan. Bangsat, orang Se He malah membantu bangsa lain, mencuri kabut
wangi kita untuk merobohkan bangsa sendiri.”
Toan Ki melengak, ia heran
orang Se He mana yang dimakinya itu.
Dalam pada itu Nurhai cuma
mengiakan belaka dan tidak berani menimbrung. Terdengar Helian Tiat-si lagi
memaki pula, "Bangsat keparat, coba lihat, apa yang dia tulis itu bukankah
sindiran terang-terangan kepada kita?”
Waktu Toan Ki dan A Cu
mendongaki terlihatlah di dinding ruangan itu ada dua baris tulisan,
masing-masing baris terdiri dari empat huruf, bunyinya, "Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin”.
Toan Ki sampai bersuara heran,
bukankah itu istilah khas Buyung Hok yang disamarnya sekarang? Melihat tinta
tulisan yang belum lagi kering itu, terang penulisnya belum lama perginya.
Melihat pemuda itu agak gugup,
lekas A Cu memperingatkannya, "Toan-kongcu, jangan lupa bahwa engkau
sekarang adalah Buyung-kongcu. Aku sendiri tidak dapat memastikan apakah
tulisan itu benar buah tangan kongcu kami atau bukan, sebab beliau memang mahir
menulis dalam berbagai macam gaya yang indah.”
Dalam pada itu terdengar
Nurhai sedang tertawa dingin dan berkata, "Hehe, benar-benar kepandaian
yang lihai, baru hari ini dapat kami saksikan sendiri ‘Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin’.”
Namun begitu, dalam hati
sebenarnya ia sangat khawatir entah cara bagaimana orang Kay-pang hendak
memperlakukan mereka, sebab
waktu orang-orang Kay-pang tertawan, mereka telah menyiksa kawanan pengemis itu
dengan macam-macam cara, kalau sekarang pengemis-pengemis itu pun membalas
‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’, kan bisa celaka mereka?
Sebenarnya Toan Ki agak
cemburu kepada Buyung Hok, tapi kini demi merasa pasti tokoh muda itu telah
merobohkan orang-orang Se He itu, mau tak mau ia rada kagum juga.
"Urusan sudah beres,
marilah kita tinggal pergi saja,” tiba-tiba A Cu membisikinya ketika melihat
orang-orang Kay-pang sudah banyak yang dapat bergerak dan datang ke ruangan
depan itu. Segera ia berseru, "Para Tianglo, aku masih ada urusan lain
yang harus diselesaikan bersama Buyung-kongcu, sampai berjumpa lagi pada lain
hari.”
"Nanti dulu, Pangcu,
nanti dulu!” cepat Go-tianglo menahannya.
Namun A Cu tidak berani
tinggal lebih lama lagi di situ, bahkan jalannya bertambah cepat bersama Toan
Ki. Umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat segan kepada sang pangcu, maka
tiada seorang pun berani menahan mereka.
Setelah beberapa li jauhnya,
dengan tertawa berkatalah A Cu, "Toan-kongcu, benar-benar sangat kebetulan
sekali, muridmu yang jelek seperti siluman itu justru ingin menjajal
kepandaianmu Leng-po-wi-poh, bahkan memuji engkau lebih lihai daripada gurunya.
Hahaha, sungguh lucu!”
Lalu katanya pula, "Dan
aneh juga, entah siapakah gerangan yang diam-diam menyebarkan kabut racun itu?
Orang-orang Se He itu mencaci maki, katanya ada pengkhianat, kukira bukan
mustahil memang benar perbuatan seorang Se He.”
Mendadak Toan Ki teringat akan
seorang, cepat katanya, "He, jangan-jangan perbuatan Li Yan-cong? Yaitu
jago Se He yang kutemukan di rumah penggilingan itu?”
Karena A Cu tidak pernah
melihat Li Yan-cong, maka ia tidak berani memberi pendapat, katanya,
"Marilah kita bicarakan dengan Ong-kohnio saja dan minta pendapatnya.”
Tadinya Toan Ki sangsi penulis
di dinding itu adalah Buyung Hok sendiri, dan kalau benar, tentu Buyung Hok
berada di sekitar sini, bahkan mungkin sudah berjumpa dengan Giok-yan, hal ini
membuatnya sangat masygul. Tapi kini demi teringat orang itu boleh jadi adalah
Li Yan-cong seketika lega hatinya dan dapat bicara dengan bergurau lagi.
Tengah berjalan, tiba-tiba
terdengar suara derap kuda dari depan, seorang penunggang kuda sedang datang
dengan cepat. Waktu Toan Ki memerhatikan, segera ia mengenali orang itu
tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong.
"Itulah dia Kiau-toako!”
serunya dengan girang terus hendak memapak maju.
Namun A Cu lantas menahannya,
"Jangan bersuara, nanti sandiwara kita terbongkar!”
Habis berkata, ia sendiri
lantas berdiri mungkur.
Tidak lama kemudian, Kiau Hong
sudah mendekat dan memandang Toan Ki dan A Cu.
Karena dicegah A Cu tadi,
barulah Toan Ki ingat mereka sedang menyamar sebagai orang lain. A Cu justru
menyaru sebagai Kiau-toako itu, kalau dilihat orang yang asli, tentu urusan
bisa runyam. Maka waktu Kiau Hong sudah dekat, Toan Ki juga tidak berani
memandang padanya, sebaliknya ia melengos ke samping.
Kiranya setelah Kiau Hong
membebaskan A Cu dan A Pik dari cengkeraman musuh, ia menjadi khawatir ketika
mengetahui orang-orang Kay-pang juga ditawan oleh orang-orang Se He. Ia telah
mencari kian kemari, akhirnya dapat diketemukan juga kedua hwesio cilik dari
Thian-leng-si itu. Sesudah menanyakan tempatnya, segera ia memburu ke kuil itu.
Ketika dilihatnya wajah Toan
Ki yang gagah dan ganteng dalam samarannya sebagai Buyung Hok itu, diamdiam
Kiau Hong berpendapat, "Kongcu ini benar-benar tampannya seperti saudaraku
Toan Ki itu.
Sedangkan A Cu yang berdiri
mungkur itu tidak diperhatikannya, karena mengkhawatirkan keselamatan
orangorang Kay-pang, segera ia mencambuk kudanya melanjutkan perjalanan ke
depan dengan cepat.
Setiba di Thian-leng-si, ia
lihat belasan anggota Kay-pang sedang menggelandang orang-orang Se He satu per
satu keluar dari kuil itu. Sudah tentu Kiau Hong sangat girang dan bangga.
Memang orang-orang Kay-pang adalah kesatria yang gagah perkasa, betapa pun dapat
mengubah kekalahan menjadi kemenangan.
Sebaliknya demi melihat sang
pangcu yang sudah pergi telah kembali lagi, para anggota Kay-pang
berbondong-bondong lantas menyambutnya, "Pangcu, cara bagaimana para
tawanan ini harus diatur, harap engkau suka memberi petunjuk.”
"Aku sudah bukan anggota
Kay-pang lagi, maka jangan kalian sebut aku sebagai pangcu,” sahut Kiau Hong.
"Kalian baik-baik saja dan tidak kurang apa-apa, bukan?”
Sementara itu Ci-tianglo dan
lain-lain sudah mendapat laporan dan menyambut keluar.
Go-tianglo adalah orang tulus,
terus saja ia menyapa, "Pangcu, begitu engkau meninggalkan kami, seketika
kami masuk perangkap musuh. Untung engkau datang tepat pada waktunya bersama
Buyung-kongcu sehingga Kay-pang tidak sampai terjungkal habis-habisan. Jika
engkau tidak kembali memegang tampuk pimpinan, pasti pang kita akan kacau-balau
tak keruan.”
"Buyung-kongcu apa
maksudmu?” tanya Kiau Hong dengan heran.
"Ah, orang-orang seperti
Coan Koan-jing itu cuma mengaco-belo, jangan engkau peduli,” ujar Go-tianglo.
"Untuk mencari sahabat apa susahnya? Aku percaya engkau juga baru hari ini
berkenalan dengan Buyungkongcu.”
"Buyung-kongcu? Apakah
maksudmu Buyung Hok?” Kiau Hong menegas. "Tapi selamanya aku tidak pernah
kenal dia.”
Seketika Ci, Song, Ge, Tan,
dan Go-tianglo saling pandang dengan bingung. Pikir mereka, "Bukankah baru
saja dia datang bersama Buyung-kongcu hingga kita tertolong, mengapa sekarang
dia menyatakan tidak kenal Buyung-kongcu?”
Go-tianglo pikir sejenak,
tiba-tiba ia seperti mengerti duduknya perkara, serunya, "Aha, tahulah
aku! Pemuda tampan tadi itu mengaku she Buyung, tapi dia bukanlah Buyung Hok.
Memangnya di dunia ini cuma ada seratus-dua ratus orang she Buyung? Kenapa
mesti heran?”
"Tapi dia menulis tanda
pengenal yang khas di dinding itu, kalau bukan Buyung Hok lantas siapa lagi?”
ujar Ci-tianglo.
"Memang pasti dia, habis
siapa lagi?” tiba-tiba suara seorang melengking aneh menimbrung. "Bocah
itu serbapandai dalam berbagai ilmu silat, bahkan setiap macam kepandaiannya
lebih lihai daripada pemilik asalnya. Kalau dia bukan Buyung Hok, siapa yang
mampu berbuat demikian? Sudah tentu dia, pasti dia!”
Waktu semua orang memandang ke
arah suara itu tertampak mata orang itu kecil sempit dan penuh berewok, itulah
dia Lam-hay-gok-sin.
"Jadi Buyung Hok tadi
telah datang kemari?” demikian Kiau Hong menegas dengan heran.
"Kentut anjingmu!” maki
Lam-hay-gok-sin mendadak. "Tadi kau sendiri datang bersama Buyung-siaucu
itu, dan entah dengan ilmu sihir apa kalian telah membikin kami tidak dapat
berkutik, tapi sekarang kau malah berlagak pilon? Ayo, lekas lepaskan Locu,
kalau tidak, hm, hm ....”
Meski dia "hm, hm”
segala, tapi apa yang dapat dia perbuat?
Maka berkatalah Kiau Hong,
"Tampaknya engkau juga seorang tokoh pilihan dalam Bu-lim, tapi mengapa
sembarangan ngoceh tak keruan? Bilakah aku datang kemari? Apalagi bersama
Buyung-kongcu, haha, lucu, sungguh lucu!”
"Bagus kau, Kiau Hong!
Sia-sia engkau jadi pemimpin Kay-pang, tapi di siang hari bolong kau berani
coba membohongi orang!” teriak Lam-hay-gok-sin dengan marah. "Nah, para
sobat, katakanlah, bukankah tadi Kiau Hong sudah pernah datang ke sini? Bukankah
Ciangkun kami telah menyilakan dia duduk dan minum bersama?”
"Memang benar,” sahut
orang-orang Se He serentak. "Malahan waktu Buyung Hok mempertunjukkan
kepandaian ‘Leng-po-wi-poh’, Kiau Hong sendiri memberi sorak pujian tiada
habis-habis, katanya ‘Pak Kiau Hong dan Lam Buyung’ apa segala, masakah hal itu
dapat dipalsukan?”
Diam-diam Go-tianglo juga
menjawil Kiau Hong dan membisikinya, "Pangcu, orang terang tidak perlu
berbuat gelap, kejadian tadi betapa pun memang tak dapat disangkal.”
Sudah tentu Kiau Hong merasa
serbasusah, dengan tersenyum pahit ia tanya, "Go-siko, apakah tadi engkau
pun melihat aku datang kemari?”
Go-tianglo tidak menjawab,
tapi ia lantas menyodorkan botol porselen kecil wadah obat penawar itu kepada
Kiau Hong dan berkata, "Pangcu, botol ini kukembalikan padamu, mungkin
kelak masih dapat dipergunakan.”
"Kembalikan padaku?
Mengapa dikembalikan kepadaku?” Kiau Hong, menegas dengan terheran-heran.
"Obat penawar ini adalah
pemberianmu tadi, masakah engkau sudah lupa?” ujar Go-tianglo.
"Masa bisa bagian? Jadi
engkau juga mengatakan tadi telah melihat kudatang ke sini?” Kiau Hong menegas
pula.
Biasanya Kiau Hong sangat
cerdik, namun betapa pun tak tersangka olehnya bahwa ada orang telah memalsukan
dirinya. Bahkan belum lama berselang pemalsu itu telah datang ke Thian-leng-si.
Segera terpikir olehnya di balik kejadian itu pasti tersembunyi suatu muslihat
mahakeji.
Ia lihat air muka orang-orang
Kay-pang itu berbeda-beda, Ada yang merasa terima kasih karena telah
diselamatkan olehnya, tapi merasa sangsi juga demi mendengar Kiau Hong tetap
menyangkal. Ada yang mengira pikiran bekas pangcu itu lagi kusut karena
mengalami macam-macam pukulan batin selama beberapa hari ini. Ada yang menduga
pasti dia yang telah membunuh Be Tay-goan dengan menggunakan Buyung Hok, tapi
khawatir muslihatnya ketahuan, maka sengaja menyangkal kenal dengan Buyung Hok.
Bahkan ada yang percaya penuh dia adalah orang Cidan yang sengaja melawan orang
Se He dan memusuhi orang Song pula.
Menghadapi keadaan yang
membingungkan itu, akhirnya Kiau Hong menghela napas panjang, katanya,
"Jika saudara-saudara ternyata baik-baik saja, biarlah sekarang juga Kiau
Hong mohon diri.”
Habis berkata, ia memberi
salam sekali, segera ia cemplak kudanya dan dilarikan pergi dengan cepat.
"Kiau Hong, tinggalkan
Pak-kau-pang dahulu!” seru Ci-tianglo mendadak.
Sekonyong-konyong Kiau Hong
menghentikan kudanya serta menyahut, "Pak-kau-pang? Bukankah sudah
kukembalikan di tengah hutan sana?
"Tapi sesudah kami
tertawan, Pak-kau-pang telah jatuh di tangan anjing-anjing Se He itu, kami
telah mencarinya dengan teliti dan tetap tidak ketemu, maka kami menduga pasti
telah kau ambil lagi,” kata Citianglo.
"Hahahaha!” mendadak Kiau
Hong terbahak-bahak sambil menengadah, suaranya pedih memilukan. Lalu serunya,
"Aku Kiau Hong sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan
Kay-pang, guna apa aku memiliki Pak-kau-pang itu? Ci-tianglo, agaknya engkau
terlalu rendah menilai diriku.”
Habis berkata, ia kempit
kudanya dan dilarikan secepat terbang ke utara.
Sejak kecil Kiau Hong sangat
disayang kedua orang tuanya. Kemudian ia mendapat didikan guru dari Siaulim-si,
akhirnya menjadi murid Ong-pangcu dari Kay-pang. Ia telah banyak mengalami
gemblengan dalam pengembaraan, baik guru maupun sahabat, semuanya sangat baik
dan jujur padanya. Tapi apa yang dialaminya selama dua hari ini benar-benar
merupakan pukulan keras bagi kehidupannya. Pangcu yang terkenal mahajujur dan
berbudi ini kini telah dituduh sebagai seorang pengkhianat, seorang penjual
kawan yang rendah.
Ia membiarkan kudanya berjalan
perlahan, hatinya sangat kusut, pikirnya, "Andaikan aku benar keturunan
Cidan, padahal selama ini tidak sedikit jago Cidan yang telah kubunuh, banyak
pula rencana penyerbuan negeri Cidan telah kugagalkan, bukankah aku benar-benar
seorang yang tidak setia? Bila benar ayah-bundaku dibunuh oleh bangsa Han di
Gan-bun-koan, sebaliknya aku malah mengangkat pembunuh orang tua sebagai guru
dan selama 30 tahun ini mengaku orang asing sebagai ayah-bunda, bukankah hal
ini benar-benar sangat tidak berbakti? Wahai, Kiau Hong, sedemikianlah engkau
tidak setia pada negeri asal dan tidak berbakti pada orang tua, mengapa engkau
masih ada muka untuk hidup di dunia ini? Jika Kiau Sam-hoay bukan ayahku yang
sebenarnya, itu berarti aku juga bukan Kiau Hong yang sebenarnya? Lantas aku
she apa? Siapakah namaku yang asli pemberian orang tua? Hehe, bukan saja aku
tidak setia dan tidak berbakti, bahkan aku tidak punya she dan tidak bernama.”
Tapi segera terpikir pula
olehnya. Namun bukan mustahil ada seorang yang mahajahat dan mahadurjana yang
sengaja memfitnah diriku. Sebagai seorang laki-laki sejati, masakah aku manda
dipermainkan orang sehingga nama runtuh dan badan merana? Kalau aku tinggal diam,
tentu durjana itu akan berhasil intriknya yang keji itu. Ya, pendek kata, aku
harus menyelidiki urusan ini hingga jelas.”
Setelah ambil keputusan itu,
langkah pertama ia harus menuju ke Siau-sit-san di Holam untuk menanyakan asal
usul diri sendiri kepada ayah Kiau Sam-hoay, dan langkah kedua ialah datang ke
Siau-lim-si untuk minta petunjuk duduk perkara yang sebenarnya kepada gurunya,
Hian-koh Taysu.
Kedua orang tua itu biasanya
sangat sayang padanya, rasanya tidak nanti menutupi sesuatu rahasianya. Sebagai
seorang kesatria yang bijaksana dan dapat berpikir panjang maka Kiau Hong tidak
merasa kesal lagi. Yang masih dirasakannya agak canggung adalah dahulu dengan
kedudukannya sebagai pangcu dari Kay-pang, ke mana pun ia pergi, di situ pula
adalah rumahnya.
Tapi kini ia telah dipecat
dari Kay-pang, ia tidak dapat mendatangi cabang-cabang Kay-pang lagi untuk
bermalam atau minta makan, bahkan demi untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan
yang tak diinginkan, ia malah mencari jalan yang sepi saja supaya tidak kepergok
oleh anggota Kay-pang bekas bawahannya.
Sesudah dua hari, sangu yang
dia bekal sudah habis terpakai, terpaksa ia menjual kuda yang dirampasnya dari
orang Se He itu sekadar sebagai biaya perjalanan.
Tidak lama kemudian, tibalah
dia sampai di kaki gunung Siong-san, segera ia menuju ke Siau-sit-san yang
merupakan lereng Gunung Siong itu. Pegunungan ini adalah tempat tinggal masa
kecilnya, ia merasa suasana lereng gunung itu masih tetap menghijau seperti
sediakala.
Sejak ia diangkat sebagai
pangcu Kay-pang, karena Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar di kalangan
Kangouw, sebaliknya Siau-lim-pay adalah suatu aliran persilatan paling besar
dalam Bu-lim, bila pangcu dari Kay-pang diketahui mengunjungi Siau-lim-si,
pastilah hal ini akan bikin gempar kalangan Bu-lim.
Sebab itulah selamanya dia
belum pernah pulang menjenguk kedua orang tua itu. Hanya setiap tahun ia suruh
dua orang anak buahnya menyampaikan salam hormat dan membawa sekadar oleh-oleh
kepada ayah bunda serta sang guru.
Kini seorang diri ia pulang ke
tempat asalnya, teringat teka-teki yang meliputi sejarah hidup sendiri akan
segera dapat diketahui dalam waktu tidak lama lagi, betapa pun biasanya ia
adalah seorang yang tenang dan sabar, mau tak mau sekarang ia pun merasa
bimbang.
Tempat tinggal yang
ditinggalkannya itu terletak lereng gunung sebelah timur Siau-sit-san. Dengan
cepat Kiau Hong melintasi lereng gunung itu, dari jauh terlihat olehnya di
bawah pohon di tepi kebun sayur sana terletak sebuah caping dan sebuah teko.
Pegangan teko itu sudah putus. Kiau Hong masih kenal itulah benda milik sang
ayah, Kiau Sam-hoay.
Melihat benda-benda itu,
seketika timbul rasa haru Kiau Hong, "Ayah benar-benar seorang yang rajin
dan jujur, sudah belasan tahun teko bobrok itu dipakainya dan sampai sekarang
masih tak dibuangnya.”
Melihat pohon kurma itu, Kiau
Hong terkenang pada masa kanak-kanak, tatkala buah ang-co sudah masak, sering
kali Kiau Sam-hoay mengajaknya memetik buah yang manis dan enak itu.
Sejak dia meninggalkan kampung
halamannya tidak pernah lagi ia merasakan buah ang-co. Diam-diam ia berpikir,
"Andaikan mereka bukan ayah-bunda kandungku, namun budi peliharaan mereka
padaku sedari kecil betapa pun sukar kubalas. Maka bagaimanapun tentang
asal-usul diriku, aku tetap akan memanggil mereka sebagai ayah dan ibu.”
Segera ia mendekati tiga petak
rumah atap di depan sana, ia lihat di luar rumah terbentang sehelai tikar yang
penuh jemuran sayuran kering. Seekor induk ayam dengan beberapa ekor anaknya
sedang mencari makan di tanah rumput pinggir rumah sana.
Tanpa terasa tersenyumlah Kiau
Hong. Pikirnya, "Malam ini ibu pasti akan sembelih ayam dan masak yang
enak-enak untuk menjamu putranya yang sudah lama meninggalkan rumah ini.”
Segera ia berteriak-teriak
memanggil, "Tia, Nio (ayah, ibu), anak sudah pulang!”
Namun meski dia mengulangi
seruannya keadaan tetap sepi saja tanpa sesuatu jawaban. Ia pikir, "Ah,
mengapa aku begini bodoh, kedua orang tua sekarang tentu telah lanjut usianya,
telinga mereka tentu juga sudah tuli.”
Segera ia mendorong daun pintu
dan melangkah masuk ke dalam. Ia lihat keadaan di dalam rumah masih tetap seperti
dulu. Meja kursi sudah butut, pacul, luku, arit, dan sebagainya masih tetap
berada di tempatnya. Hanya tiada tampak bayangan seorang pun.
Kembali Kiau Hong berseru
memanggil dua kali, tapi tetap tiada jawaban apa-apa. Ia agak heran dan
bergumam sendiri, "Ai, ke manakah perginya mereka?”
Waktu ia melongok ke dalam
kamar, seketika ia terkejut. Ia lihat Kiau Sam-hoay suami-istri menggeletak
semua di lantai tanpa berkutik.
Cepat Kiau Hong melompat ke
dalam kamar. Lebih dulu ia bangunkan sang ibu, ia merasa napas orang tua itu
sudah putus, tapi badannya masih rada hangat, suatu tanda belum terlalu lama
meninggalnya. Waktu ia membangunkan sang ayah juga, keadaannya ternyata serupa.
Sungguh kaget dan sedih Kiau
Hong tak terkatakan. Ia coba membawa jenazah sang ayah keluar rumah, ia coba
periksa keadaan mayat itu di bawah sinar matahari. Segera dapat diketahuinya
antero tulang iga orang tua itu telah patah semua, nyata tewasnya disebabkan
semacam pukulan yang mahadahsyat. Waktu ia periksa pula mayat sang ibu,
keadaannya sami mawon alias sama.
Kau Hong benar-tenar
dihadapkan kepada suatu persoalan yang mahapelik. Ia tidak habis mengerti,
"Ayah-ibu adalah kaum petani yang jujur tulus, mengapa ada orang Bu-lim
yang begini tega turun tangan keji pada mereka? Tentu urusan ini berpangkal
pada persoalan diriku.”
Ia coba mengelilingi ketiga
petak rumah itu, ia periksa dengan teliti bagian depan, samping dan belakang
rumah-rumah itu, ia ingin tahu macam apakah pembunuh itu. Namun pembunuh itu
ternyata sangat cerdik, bahkan bekas tapak kaki tidak sedikit pun tertinggal.
Semakin dipikir semakin pedih
hati Kiau Hong, air mata tak tertahan lagi bercucuran, sampai akhirnya ia tak
dapat lagi menahan gelora perasaannya, ia menangis tergerung-gerung dengan
keras.
Tapi baru saja ia mulai
menangis, tiba-tiba terdengar suara orang berkata di belakang, "Ai,
sayang, sayang kita terlambat datang!”
Cepat Kiau Hong berpaling, ia
lihat empat hwesio setengah umur sudah berdiri di situ. Dari dandanan mereka
segera Kiau Hong dapat menduga mereka adalah padri Siau-lim-si.
Walaupun ilmu silat Kiau Hong
semula diperoleh dari Siau-lim-pay, tapi guru yang mengajar dia, yaitu Hiankoh
Taysu, hanya datang di tengah malam setiap hari, tentang dia belajar silat
bahkan kedua orang tua sendiri tidak tahu, maka dengan padri Siau-lim-si pun ia
tidak kenal.
Oleh karena hati sedang sedih,
biarpun di depannya berdiri empat orang tak dikenal, namun seketika Kiau Hong
tak dapat menahan tangisnya.
Tiba-tiba salah satu padri di
antaranya yang bertubuh tinggi menegurnya dengan suara kasar, "Kiau Hong,
perbuatanmu ini benar-benar melebihi binatang. Kiau Sam-hoay suami-istri meski
bukan ayah-bunda kandungmu, namun budi membesarkanmu selama belasan tahun juga
tidak kecil, mengapa kau tega turun tangan keji untuk membunuhnya?”
"Cayhe juga baru saja
sampai rumah dan mendapatkan ayah dan ibu sudah terbunuh, aku justru lagi ingin
mencari tahu siapa pengganas itu untuk membalas sakit hati orang tua, mengapa
Taysu mengucapkan kata-kata demikian?” sahut Kiau Hong dengan menangis.
"Huh, orang Cidan memang
berhati buas seperti binatang, kau sendiri yang telah membinasakan ayah-ibu
angkatmu, tapi kau masih pura-pura tidak tahu,” bentak padri itu dengan gusar.
"Orang she Kiau, memang salah kami karena terlambat datang. Tapi bila kau
kira Siau-sit-san boleh sembarangan dibuat main gila, terang kau salah hitung
besar.”
Habis berkata, tanpa ampun
lagi ia terus menghantam dada Kiau Hong.
Selagi Kiau Hong hendak
mengelak, tiba-tiba dari belakang juga ada kesiur angin perlahan, segera ia
tahu ada orang membokong dari belakang. Tapi ia tidak ingin bertempur dengan
padri Siau-lim-si itu tanpa mengetahui duduknya perkara. Maka sekali kakinya
mengentak, bagaikan burung ia melayang pergi sejauh beberapa meter. Waktu ia menoleh,
benar juga padri yang berdiri di belakangnya itu telah menendang tempat kosong.
Melihat cara begitu mudah Kiau
Hong menghindarkan serangan mereka dari muka dan belakang, mau tak mau para
padri itu terkejut dan heran pula.
"Biarpun ilmu silatmu tinggi
juga jangan coba bertingkah di sini,” damprat si padri jangkung tadi.
"Engkau sengaja membunuh kedua orang tua untuk menutupi rahasia asal-usul
dirimu, cuma sayang tentang dirimu yang keturunan bangsa Cidan itu sudah
tersiar luas di Kangouw, siapakah orang Bu-lim yang tidak tahu akan hal ini
sekarang? Sekarang kau melakukan perbuatan durhaka sebesar ini, hal ini jelas
semakin menambah dosamu yang tak dapat diampuni.”
"Lebih dulu engkau
membunuh Be Tay-goan, sekarang kau bunuh pula Kiau Sam-hoay berdua, hm, apakah
perbuatanmu yang terkutuk ini dapat kau tutupi?” demikian padri yang lain ikut
mendamprat.
Dalam keadaan berduka, meski
mendengar caci maki padri itu sangat menyakitkan hati, namun tak dapat Kiau
Hong mengumbar kemarahannya. Selama hidup sudah banyak persoalan besar dan
kejadian hebat yang dialaminya, maka kini ia tetap dapat bersabar, ia memberi
hormat, lalu katanya, "Numpang tanya siapakah gelaran suci para Taysu?
Bukankah kalian adalah padri saleh Siau-lim-si?”
Watak salah satu hwesio itu cukup
ramah tamah, maka dengan suara tenang ia menjawab, "Benar, kami adalah
anak murid Siau-lim-si. Ai, suami-istri Kiau Sam-hoay selamanya sangat jujur
dan baik, tapi toh mendapatkan ganjaran mengenaskan seperti ini. Kiau Hong,
bangsa Cidan sungguh teramat keji.”
Melihat orang tidak sudi
memberitahukan gelar mereka, Kiau Hong pikir percuma saja bertanya lagi. Tapi
ia mendengar si padri jangkung menyatakan mereka datang terlambat untuk
menolong, agaknya mereka telah diberi tahu seseorang, lalu buru-buru datang kemari,
tapi siapakah pemberi kabar itu? Siapakah yang sebelumnya sudah mengetahui
ayah-bundaku bakal tertimpa malang?
Maka katanya segera,
"Keempat Taysu berhati welas asih dan sengaja buru-buru datang ke sini
untuk menolong ayah-bundaku, cuma sayang agak terlambat sedikit ....”
Mendadak si padri jangkung
yang berwatak keras itu menghantam dengan kepalan sebesar mangkuk sambil
membentak, "Kami datang terlambat, makanya kau dapat berbuat durhaka
dengan bebas, ya? Hm, tentu kau merasa senang dan sengaja mengejek kami?”
Kiau Hong tahu maksud baik
kawanan hwesio itu, maka tidak ingin bertempur dengan mereka. Tapi untuk
mengetahui duduknya perkara, kalau mereka tidak diberi tahu rasa, tentu urusan
ini takkan selesai untuk selamanya. Maka katanya segera, "Cayhe sangat
berterima kasih atas maksud baik keempat Taysu, tapi karena terpaksa, harap
suka dimaafkan!”
Sembari berkata, ia bergerak
secepat kilat, pundak padri ketiga segera ditepuknya sekali.
"Apakah kau ajak
bergebrak?” bentak padri itu. Namun tahu-tahu pundaknya kena ditabok Kiau Hong
pula, tubuhnya menjadi lemas dan duduk mendeprok di tanah.
Kiau Hong pernah meyakinkan
ilmu silat Siau-lim-pay, meski tidak saling kenal dengan keempat padri itu,
tapi dasar ilmu silat mereka cukup dipahaminya, maka beruntun Kiau Hong menepuk
empat kali, kontan keempat padri itu pun dirobohkan.
"Maafkan,” kata Kiau Hong
kemudian, "numpang tanya, Taysu tadi bilang terlambat datang ke sini, dari
manakah kalian mengetahui ayah-bundaku akan tertimpa bahaya? Siapakah gerangan
orang yang mengirim kabar kepada para Taysu itu?”
"Hehe, apa maksudmu si
pengirim kabar itu pun kan kau bunuh bila kau tahu nama dia ya?” sahut padri
jangkung tadi dengan gusar. "Anak murid Siau-lim-pay bukanlah manusia
pengecut hingga dapat dipaksa mengaku oleh anjing buduk Cidan seperti dirimu
ini. Biarpun kau siksa kami dengan cara paling keji juga jangan harap
memperoleh sesuatu pengakuan dari mulut kami.”
Diam-diam Kiau Hong gegetun,
"Sungguh celaka, kesalahpahaman ini menjadi semakin mendalam sekarang, kalau
kutanya lagi, pasti mereka akan anggap aku hendak memaksa pengakuan mereka.”
Maka ia tidak tanya lebih
jauh, sebaliknya ia pijat beberapa kali punggung keempat padri itu untuk
membuka hiat-to mereka, katanya, "Jika aku hendak membunuh kalian untuk menutupi
perbuatanku, saat ini juga jiwa kalian tentu sudah melayang. Tapi aku tidak
nanti berbuat demikian, adapun duduk perkara yang sebenarnya kelak pasti akan
kubikin terang.”
"Hendak membunuh orang
untuk menutupi perbuatanmu yang keji? Hm, belum tentu begitu mudah!” demikian
tiba-tiba suara seorang menjengek dari samping lereng bukit.
Waktu Kiau Hong mendongak, ia
lihat di lereng sana berdiri belasan padri Siau-lim-si yang bersenjata lengkap,
ada yang membawa tongkat padri, ada yang membawa golok suci, tiada seorang pun
yang bertangan kosong.
Selintas pandang saja Kiau
Hong lihat padri-padri itu dipimpin oleh dua hwesio berumur setengah abad,
masing-masing padri itu membawa senjata hong-pian-jan (sekop yang berbentuk
bulan sabit), ujung senjata itu hijau kemilau, sinar mata kedua padri itu pun
berkilat-kilat, sekali pandang segera orang akan tahu mereka
pasti mempunyai lwekang yang
sangat tinggi.
Meski Kiau Hong tidak jeri
menghadapi musuh macam pun, tapi ia belasan tahu padri ini pasti jauh lebih
lihai daripada keempat hwesio yang duluan. Asal sekali sudah bergebrak, sebelum
membunuh beberapa di antaranya pasti susah untuk melepaskan diri.
Dengan cepat Kiau Hong dapat
menghadapi segala kesulitan dan mengatasi segala kesangsian. Segera ia memberi
hormat sambil berkata, "Kiau Hong telah berlaku kurang ajar, harap para
Taysu suka memaafkan!”
Mendadak tubuhnya melayang
mundur ke belakang, punggung membentur daun pintu dan menghilang ke dalam
rumah.
Perubahan itu sangat cepat
terjadinya, padri Siau-lim-pay sama berteriak kaget dan segera ada 5-6 orang
menerjang ke dalam rumah itu. Tapi baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba
mereka merasa dipapak oleh serangkum angin mahadahsyat. Lekas mereka angkat
sebelah tangan untuk bertahan sekuatnya.
Sambaran angin itu sangat
hebat hingga debu berhamburan, para padri itu sampai terentak mundur beberapa
tindak dan dada pun terasa sesak, dengan muka pucat mereka saling pandang
dengan terkejut. Mereka tahu bila Kiau Hong serentak menyerang pula untuk kedua
kalinya, pasti mereka tidak mampu bertahan dan bukan mustahil akan binasa, tapi
hal itu tidak dilakukan Kiau Hong. Padahal mereka menyangka bekas ketua Kaypang
itu adalah orang jahat.
Selang sejenak, tiba-tiba
kedua hwesio yang memimpin itu angkat senjata mereka dan menyerbu ke dalam
rumah dengan gerakan "Siang-liong-jip-tong” atau dua ekor naga menyusup ke
gua. Mereka putar tongkat sedemikian kencangnya hingga terbentuk selapis
jaringan sinar untuk melindungi mereka.
Namun sesudah di dalam rumah,
mereka lihat keadaan sunyi senyap tiada suatu bayangan pun. Yang lebih aneh
adalah jenazah suami-istri Kiau Sam-hoay juga sudah lenyap.
Kedua padri bersenjata tongkat
itu adalah hwesio ruang "Kay-lut-ih” Siau-lim-si, yaitu bagian pengawasan
dan perundang-undangan, tugas mereka adalah mengawasi kelakuan anak murid
Siau-lim-si dan ketaatan mereka. Ilmu silat mereka dengan sendirinya sangat
tinggi, bahkan pengalaman mereka juga sangat luas.
Keruan mereka ternganga heran
melihat dalam sekejap itu Kiau Hong sudah menghilang bahkan menggondol pula
mayat suami-istri Kiau Sam-hoay. Tapi mereka tidak percaya Kiau Hong mampu lari
jauh, tentu masih bersembunyi di sekitar situ. Maka cepat mereka mencari di
sekitar rumah, namun tiada sesuatu yang
ditemukan.
Segera kedua padri Kay-lut-ih
itu menguber ke bawah gunung, mereka yakin Kiau Hong pasti melarikan diri ke
jurusan sana. Tapi meski belasan li mereka mengejar tetap tidak tampak suatu
bayangan pun.
Sudah tentu mereka tidak
menyangka bukannya Kiau Hong melarikan diri ke bawah gunung, sebaliknya ia
malah berlari ke arah Siau-sit-san. Ia mencari suatu tempat yang terjal dan
sukar didatangi orang, di situ ia kubur dulu ayah-bundanya, ia memberi
penghormatan terakhir kepada tempat semayam abadi kedua orang tua itu sambil
berdoa, "Tia, Nio, siapakah gerangan pembunuh kalian berdua, anak berjanji
pasti akan menangkapnya untuk kemudian dikorek hatinya sebagai sesajen kalian.”
Ia menyesal pulangnya
terlambat sebentar saja hingga tidak dapat bertemu lagi dengan ayah-bundanya
yang sangat dicintainya itu. Coba kalau dapat berjumpa, tentu kedua orang tua
akan betapa senangnya melihat putranya yang kini sudah demikian gagah
perkasanya. Alangkah bahagianya bila antara ayah-bunda dan sang putra dapat
berkumpul untuk sehari-dua untuk mengenyam sekadar kesenangan orang hidup.
Teringat akan semua itu, tak
tertahan lagi air mata Kiau Hong bercucuran, ia menangis terguguk dengan sedih.
Sejak kecil wataknya memang sangat keras, jarang sekali ia menangis, sesudah
dewasa, lebih-lebih ia tidak pernah meneteskan sebutir air mata pun. Tapi hari
ini, saking duka dan pilunya ia tak dapat menguasai perasaannya hingga
mengucurkan air mata.
Mendadak terpikir pula
olehnya, "Wah, celaka, guruku yang berbudi Hian-koh Taysu jangan-jangan
akan mengalami nasib malang juga! Pembunuh itu telah membinasakan ayah-bundaku,
waktunya ternyata begini cepat, yaitu setengah jam sebelum aku pulang. Nyata
hal ini memang sudah direncanakan lebih dulu, dan sesudah dia turun tangan,
segera ia pergi ke Siau-lim-si untuk memberitahukan kepada para padri di sana.
Ya, tentu para padri itu tertipu hingga datang kemari hendak menolong
ayah-bunda, tapi kepergok dengan aku. Di dunia ini yang mengetahui asal-usul
diriku masih ada pula guruku Hian-koh Taysu, maka aku harus berjagajaga
pengganas itu akan turun tangan keji pula terhadap guruku itu dan aku lagi yang
mesti menanggung dosa perbuatan musuh itu.”
Demi ingat bisa jadi Hian-koh
Taysu juga akan tertimpa malang, perasaan Kiau Hong menjadi seperti terbakar,
tanpa pikir lagi ia berlari ke arah Siau-lim-si.
Ia tahu di dalam Siau-lim-si
itu penuh orang-orang kosen, beberapa padri tua di Tat-mo-ih lebih-lebih bukan
main ilmu silatnya, bila dirinya kepergok hingga dikerubut, tentu sukar sekali
untuk meloloskan diri. Sebab itulah meski dia berlari secepatnya, namun yang
dipilih selalu jalan kecil yang sepi dan lebih jauh.
Sesudah lebih satu jam,
akhirnya tibalah dia di belakang Siau-lim-si. Tatkala itu hari sudah
remang-remang, ia merasa girang dan khawatir. Girangnya karena hari sudah gelap
dan menguntungkan baginya untuk
bersembunyi. Khawatirnya
kalau-kalau musuh juga menggunakan kesempatan malam gelap itu untuk menyergap,
tentu susah mengetahui jejak musuh.
Selama beberapa tahun akhir
ini Kiau Hong malang melintang di dunia Kangouw dan jarang ketemu tandingan,
tapi sekali ini bukan saja ilmu silat musuh sangat tinggi, bahkan tipu
muslihatnya yang licin itu pun tidak pernah dialaminya.
Meski sekarang ia harus
menyerempet bahaya masuk ke Siau-lim-si yang penuh jago kosen itu, tapi
mengingat gurunya, Hian-koh Taysu bukan mustahil juga akan mengalami sergapan
musuh di luar dugaan, malahan kalau dirinya kepergok menyelundup ke dalam kuil
itu tentu susah baginya untuk cuci tangan. Padahal kalau dia mau cari selamat
sendiri, ia dapat meninggalkan Siau-lim-si sejauh mungkin. Tapi karena dia
khawatirkan keselamatan Hian-koh Taysu, pula ingin mencari kesempatan untuk
menangkap pembunuh yang sebenarnya guna membalas sakit hati ayah-bundanya, maka
akibat apa yang bakal dihadapinya nanti sudah tak terpikir olehnya.
Meski dia pernah tinggal
belasan tahun di pegunungan Siau-sit-san, tapi tidak pernah ia masuk ke
Siau-lim-si, maka terhadap keadaan biara yang besar dan banyak ruangan itu,
terutama tempat tinggal Hian-koh Taysu, sama sekali tak diketahui olehnya. Ia
pikir, "Semoga Insu (guru berbudi) baik-baik saja tak kurang satu pun apa,
mungkin beliau akan dapat memberi penjelasan asal-usul diriku serta mengetahui
siapa pembunuh yang sebenarnya.”
Namun biara Siau-lim-si yang
ruangan dan gedungnya tersebar di lereng gunung itu sangat luas, pula Hian-koh
Taysu tidak memegang tugas tertentu di biara itu, ia pun bukan padri angkatan
tua Tat-mo-ih, sedangkan padri angkatan yang pakai gelar "Hian” sedikitnya
ada 20 orang lebih, dandanannya serupa pula, lantas ke mana ia harus mencarinya
di tengah malam gelap?
Ia pikir, "Jalan
satu-satunya sekarang aku harus menangkap seorang padri dan paksa dia membawaku
pergi menemui Suhu. Sesudah bertemu akan kuminta dia memaafkan tindakanku itu.
Tapi kalau menuruti watak padri Siau-lim-si yang mengutamakan setia kawan, bila
aku disangkanya akan berbuat tidak baik terhadap Hian-koh Taysu biarpun mati
tak nanti ia mau mengatakan tempatnya. Ai, jika begitu, lebih baik aku mencari
seorang tukang api atau tukang sapu di bagian dapur saja. Namun orang-orang
demikian juga belum tentu tahu tempat tinggal guruku.”
Begitulah ia menjadi
serbasusah tapi ia terus menggerayangi ruangan biara itu, setiap kamar dan
setiap ruangan diintainya dengan harapan dapat memperoleh sedikit keterangan.
Berkat gerakannya yang gesit,
meski tubuhnya tinggi besar, namun ia dapat melompat dan melejit dengan lincah
hingga tidak mengeluarkan sesuatu suara dan diketahui orang.
Ia meneruskan penyelidikannya
itu, ketika sampai di suatu ruangan samping, tiba-tiba didengarnya di dalam
kamar ada suara orang sedang bicara, "Hongtiang ada urusan penting ingin
berunding dengan Susiok, maka Susiok diharap datang ke ‘Cin-to-ih’.”
Lalu suara seorang tua
menjawab, "Baiklah, segera kudatang ke sana!”
"Hongtiang sedang
mengumpulkan kerabat untuk berunding urusan penting, tentu guruku juga akan
hadir di sana, biarlah kukuntit di belakang orang ini ke sana, tentu akan dapat
kujumpai Suhu,” demikian pikir Kiau Hong.
Maka terdengarlah suara
berkeriutnya pintu didorong, keluarlah dua padri dari kamar itu. Padri yang tua
menuju ke arah barat, sedangkan yang muda buru-buru menuju ke jurusan lain,
mungkin hendak mengundang padri lain lagi.
Kiau Hong menduga padri tua
yang diundang hongtiang itu tentu mempunyai kedudukan tinggi dan dengan
sendirinya ilmu silatnya sangat tinggi juga. Maka ia tidak berani menguntit
terlalu dekat melainkan mengintilnya dari jauh. Ia lihat padri itu menuju ke
barat sana hingga sampai di suatu rumah ujung.
Kiau Hong menunggu padri itu
masuk ke dalam rumah, lalu ia mengitar ke belakang rumah itu, ia dengarkan dulu
keadaan di sekitar situ, setelah yakin tiada orang lain lagi barulah ia
mendekam di bawah jendela untuk mendengarkan.
Mengingat kelakuannya sendiri
itu, diam-diam Kiau Hong berduka dan menyesal pula, pikirnya, "Aku Kiau
Hong selamanya menghadapi segala urusan dengan secara terang-terangan, tapi
hari ini terpaksa aku harus main sembunyi-sembunyi. Bila perbuatanku ini
dipergoki, lenyaplah nama baikku selama ini dan tiada muka untuk berkecimpung
di kalangan Kangouw lagi.”
Namun bila terkenang kepada
jasa sang guru waktu mengajar ilmu silat padanya, biarpun hujan badai sekalipun
juga tidak pernah absen barang semalam, budi sebesar itu biar hancur lebur
tubuhnya juga perlu dibalas, apalagi cuma menderita malu dan ternoda namanya
saja?
Dalam pada itu ia dengar ada
suara tindakan orang di depan rumah sana, berturut-turut ada empat orang masuk
ke situ pula. Tidak lama kemudian, kembali datang lagi dua orang. Dengan
demikian, dari bayangan orang yang tertampak dari luar jendela, sudah ada
belasan orang yang berkumpul di dalam rumah.
Diam-diam Kiau Hong berpikir
pula, "Jika urusan yang mereka rundingkan adalah rahasia Siau-lim-pay, dan
kini aku mengintipnya, meski tiada maksud jahat, jelas hal ini pun tidak
pantas. Maka lebih baik aku sembunyi
di tempat agak jauh dan jangan
mendengarkan rahasia yang hendak mereka rundingkan ini. Jika Suhu memang berada
di dalam kamar, dengan berkumpulnya tokoh-tokoh Siau-lim-pay sebanyak ini di
sini, betapa pun lihainya musuh juga tidak mampu mengganggu seujung rambutnya.
Dan nanti kalau perundingan mereka sudah selesai, setelah padri-padri itu
bubar, barulah aku mencari akal untuk menemui Suhu dan melaporkan segala apa
yang terjadi.”
Selagi ia hendak menyingkir,
tiba-tiba didengarnya suara belasan hwesio di dalam kamar itu serentak membaca
kitab. Kiau Hong tidak paham kitab apa yang sedang dibaca mereka itu, tapi
suaranya sangat khidmat dan sendu, bahkan suara beberapa orang di antaranya
mengandung rasa duka.
Lama sekali padri-padri itu
berdoa, lama-kelamaan Kiau Hong merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pikirnya,
"Apakah mereka sedang sembahyang? Atau sedang mengadakan sesuatu khotbah?
Mungkin Suhu tidak berada di sini.”
Waktu ia dengarkan dengan cermat,
benar juga tiada terdengar suara Hian-koh Taysu yang sangat dikenalnya itu.
Seketika ia menjadi bingung
apakah mesti menunggu lagi di situ. Tiba-tiba terdengar suara pembacaan kitab
di dalam kamar telah berhenti, lalu suara seorang yang kereng sedang bicara,
"Hian-koh Sute, apa yang hendak kau katakan pula?”
Mendengar nama gurunya
disebut, sungguh girang Kiau Hong tidak kepalang, ternyata orang tua itu pun
berada di situ dan dalam keadaan baik-naik tanpa kurang suatu pun apa.
Lalu didengarnya suara gurunya
yang dikenalnya sedang menjawab, "Waktu Siaute diberi nama sebagai Hiankoh
oleh Siansu (mendiang guru), maksudnya agar Siaute dapat membebaskan diri dari
sengsara dan penderitaan. Akan tetapi untuk ini masih diharapkan bantuan para
Suheng dan Sute.”
Mendengar suara sang Suhu
sangat tenang dan penuh tenaga dalam, nyata selama belasan tahun ini lwekang
sang guru semakin hebat, diam-diam Kiau Hong bergirang bagi orang tua itu. Cuma
apa yang diucapkan itu adalah kata-kata dalam agama Buddha yang dalam artinya,
seketika Kiau Hong tidak paham maksudnya.
Lalu terdengar suara kereng
tadi berkata, "Beberapa bulan yang lalu Hian-pi Sute terbinasa di tangan
orang jahat, kita sudah menyelidiki si pembunuh dengan sepenuh tenaga, hal ini
agak melampaui batas pantangan Buddha yang menghendaki jangan suka marah dan
jangan suka murka. Namun membasmi kaum jahat untuk menolong sesamanya adalah
menjadi asas utama kaum persilatan kita ....”
Mendengar sampai di sini, Kiau
Hong menduga pembicara yang bersuara kereng ini tentulah ketua Siau-lim-si,
Hian-cu Taysu.
Ia dengar suara itu sedang
melanjutkan, "Setiap gembong iblis yang dapat kita basmi akan besar
artinya bagi keselamatan orang banyak. Maka, sudilah Sute memberi tahu, apakah
pengganas itu Koh-soh Buyung atau bukan?”
Kiau Hong terkesiap,
"Kembali menyangkut nama Koh-soh Buyung-si lagi. Sudah lama kudengar bahwa
Hianpi Taysu dari Siau-lim-si telah tewas disergap orang, apakah barangkali
mereka pun mencurigai Buyungkongcu yang berbuat?”
Dalam pada itu terdengar
Hian-koh Taysu sedang menjawab, "Hongtiang-suheng, Siaute tidak ingin
menambah dosa, hingga membikin Suheng, dan para Sute banyak membuang tenaga
bagiku. Bila orang itu dapat meninggalkan golok jagalnya, dengan sendirinya
masih belum terlambat untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi kalau tetap sesat
tak mau sadar, ai, itu pun akan ditanggung sendiri sengsaranya. Tentang
bagaimana wujud orang itu, biarlah tak perlu dikatakan saja.”
"Kesadaran Sute memang
lebih tinggi, Suhengmu ini terlalu bodoh, jauh tak dapat mengimbangi Sute,”
ujar Hian-cu Taysu, ketua Siau-lim-si.
"Kini Siaute ingin duduk
tenang sebentar untuk mengenangkan dosa,” ujar Hian-koh.
"Baiklah, harap Sute
menjaga diri dengan baik,” sahut Hian-cu. Lalu terdengar pintu dibuka, seorang
padri tinggi kurus dan berjubah merah berjalan keluar dengan merangkap tangan
sambil berdoa perlahan. Menyusul keluar pula 17 padri yang lain, semuanya juga
berkasa merah dan sama menunduk sambil berdoa dengan khidmat.
Sesudah padri-padri itu pergi
jauh dan di dalam kamar sunyi senyap, Kiau Hong masih ragu-ragu untuk masuk ke
situ mengingat suasana yang khidmat tadi. Tapi tiba-tiba terdengar Hian-koh
berkata, "Jauh-jauh tamu agung berkunjung kemari, mengapa tidak sudi masuk
saja?”
Sungguh kejut Kiau Hong tidak
kepalang. Padahal ia sudah sangat hati-hati, sekalipun bernapas juga tidak
berani keras, orang berada satu meter di sebelahnya juga belum tentu
mengetahui. Tapi kini gurunya seakanakan orang memiliki telinga sakti, biarpun
teraling-aling dinding masih dapat mengetahui kedatangannya. Maka dengan sangat
hormat segera Kiau Hong mendekati pintu sambil berkata, "Baik-baikkah
Suhu, Tecu Kiau Hong menyampaikan sembah hormat kepada Suhu.”
"Hah, kiranya Hong-ji?”
seru Hian-koh. "Saat ini aku justru lagi terkenang padamu dan berharap
dapat berjumpa denganmu, marilah lekas masuk.”
Dari suara sang guru yang
penuh rasa girang itu, Kiau Hong menjadi terharu, cepat ia lari masuk dan
berlutut memberi hormat sambil berkata, "Tecu tidak dapat selalu
mendampingi Suhu sehingga membikin Suhu senantiasa terkenang. Kini melihat Suhu
dalam keadaan sehat walafiat, sungguh murid merasa sangat girang.”
Habis berkata ia lantas
mendongak untuk memandang Hian-koh.
Sebenarnya wajah Hian-koh
tersenyum simpul. Tapi di bawah sinar pelita demi dilihatnya muka Kiau Hong
itu, mendadak air mukanya berubah hebat, ia berbangkit sambil berkata dengan
suara gemetar, "Jadi kau ... kau inilah Kiau Hong, murid ... murid yang
kudidik sejak kecil itu?”
Melihat perubahan air muka
gurunya yang terkejut, menyesal tercampur rasa kasih sayang itu, seketika Kiau
Hong juga melongo heran, sahutnya bingung, "Ya, Suhu, anak inilah Kiau
Hong adanya.”
"Bagus, bagus, bagus!”
berturut Hian-koh Taysu mengucapkan tiga kali "bagus”, lalu tidak bicara
lagi.
Kiau Hong tidak berani tanya
pula, dengan tenang ia menunggu apa yang hendak dikatakan sang guru. Siapa
duga, tunggu punya tunggu, tetap Hian-koh Taysu tidak buka suara. Waktu Kiau
Hong memandang wajah padri itu, ia lihat sikapnya masih tetap seperti tadi,
tapi air mukanya tiada sesuatu perasaan.
Kiau Hong terkejut, cepat ia
meraba tangan sang guru, ia merasa tangan yang kurus itu sudah dingin, waktu ia
memeriksa pernapasan hidungnya, ternyata napasnya sudah berhenti sejak tadi.
Kejadian ini benar-benar
membikin Kiau Hong terperanjat tidak kepalang, pikirnya dengan bingung,
"Masakah demi lihat diriku lantas Suhu mati ketakutan? Tidak, tidak
mungkin! Apa yang menakutkan beliau? Ah, sebelum melihat diriku besar
kemungkinan lebih dulu ia sudah terluka parah.”
Akan tetapi ia tidak berani
memeriksa tubuh orang tua itu, setelah tenangkan diri, ia ambil keputusan,
"Jika aku tinggal pergi begini saja, apakah ini perbuatan seorang
laki-laki sejati? Urusan hari ini biarpun betapa bahayanya juga harus
kuselidiki hingga jelas duduknya perkara.”
Segera ia keluar dari kamar
itu, dengan suara lantang ia berseru, "Hongtiang Taysu, Hian-koh Suhu
telah wafat! Hian-koh Suhu wafat!”
Suara Kiau Hong sangat keras,
tenaga dalamnya sangat kuat, maka suaranya berkumandang hingga jauh sampai
lembah pegunungan mendengung-dengung seakan-akan terguncang. Dan sudah tentu
antero penghuni Siau-lim-si mendengar seruannya yang keras tapi mengandung rasa
nestapa itu.
Rombongan Hian-cu tadi malahan
belum sampai di kamarnya masing-masing, maka demi mendengar suara Kiau Hong
itu, serentak mereka berlari kembali ke Cin-to-ih tadi. Maka tertampaklah oleh
mereka seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri di depan pintu kamar
sambil mengusap air mata dengan lengan baju. Keruan padri-padri Siau-lim-si itu
sangat heran.
"Siapakah Sicu?” tanya
Hian-cu sambil memberi hormat. Karena khawatirkan keselamatan Hian-koh, maka
tanpa menunggu jawaban Kiau Hong terus saja ia mendahului masuk ke dalam kamar.
Ia lihat Hian-koh berdiri kaku di situ tanpa roboh. Keruan ia tambah terkejut.
Sementara itu padri yang lain
juga sudah ikut masuk, mereka menunduk dan memanjatkan doa. Kiau Hong paling
akhir masuk ke dalam, ia berlutut dan diam-diam berdoa, "Suhu, Tecu
terlambat membawa berita ke sini hingga engkau akhirnya dicelakai juga oleh
musuh. Sakit hati Tecu kepada musuh itu setinggi langit dan sedalam lautan,
betapa pun Tecu berjanji akan menuntut balas.”
Selesai membaca kitab,
kemudian Hian-cu mengamat-amati Kiau Hong, lalu tanyanya, "Siapakah Sicu?
Apakah seruan tadi dilakukan olehmu?”
"Tecu Kiau Hong adanya,
waktu Tecu mengetahui Suhu wafat, saking dukanya hingga terpaksa membikin kaget
Hongtiang.”
Hian-cu terkejut mendengar
nama Kiau Hong, ia menegas, "Jadi Sicu adalah ... adalah bekas Pangcu
Kaypang?”
"Benar,” sahut Kiau Hong.
Diam-diam ia kagum betapa cepat berita yang diterima Siau-lim-si itu. Dan kalau
sudah tahu dirinya adalah "bekas pangcu”, tentu orang tahu juga sebab
musabab dia dipecat Kay-pang.
"Mengapa tengah malam
buta Sicu menggerayangi biara kami? Dan mengapa dapat menyaksikan wafatnya
Hian-koh Sute?” tanya Hian-cu pula.
Seketika Kiau Hong tidak tahu
cara bagaimana harus menceritakan perasaannya waktu itu, terpaksa ia jawab,
"Hian-koh Taysu adalah guru pengajar Tecu, waktu Tecu mengetahui ....”
Belum lanjut ucapannya, segera
Hian-cu memotong, "Apa katamu? Hian-koh Sute adalah gurumu? Jadi Sicu ini
anak murid Siau-lim-si? Ini sungguh ... sungguh aneh.”
Perlu diketahui bahwasanya
nama Kiau Hong tersohor di seluruh jagat dan terkenal sebagai murid ahli waris
Ong-pangcu, ilmu silatnya juga tiada sangkut paut dengan Siau-lim-pay. Tapi
kini ia mengaku sendiri sebagai anak murid Siau-lim-pay, sudah tentu Hian-cu
Taysu tidak percaya dan hampir-hampir menyemprotnya karena dianggap sembarangan
mengoceh.
Tapi Kiau Hong lantas
menjawab, "Cerita ini cukup panjang, entah luka apakah yang diderita Insu
dan siapa gerangan pengganasnya?”
"Hian-koh Sute disergap
orang, dadanya terkena pukulan dahsyat musuh, tulang iganya patah semua, isi
perutnya juga hancur,” demikian tutur Hian-cu Hongtiang. "Tapi berkat
lwekangnya yang tinggi ia dapat bertahan sampai tadi. Kami telah tanya dia
siapakah gerangan musuh itu, namun ia menyatakan tidak kenal dan juga tidak mau
menjelaskan bagaimana macam orang itu.”
Baru sekarang Kiau Hong paham
perkataan Hian-koh sebelum meninggal tadi. Katanya dengan mengembeng air mata,
"Para Taysu mengutamakan welas asih, maka tidak ingin mengikat permusuhan
lebih dalam. Sebaliknya Tecu adalah orang biasa, harus berusaha menangkap pengganas
itu untuk dicencang guna membalas sakit hati Suhu. Padahal biara kalian terjaga
sangat ketat, entah cara bagaimana pembunuh itu mampu menyelundup ke sini?”
Selagi Hian-cu termenung belum
menjawab, tiba-tiba seorang hwesio tua pendek di sebelah berkata dengan dingin,
"Hm, Sicu sendiri mampu menyusup ke sini tanpa rintangan apa-apa, dengan
sendirinya pembunuh itu pun mampu pergi-datang dengan bebas seakan-akan
mendatangi tempat yang tiada manusianya.”
Kiau Hong membungkuk minta
maaf, sahutnya, "Tecu terpaksa oleh keadaan hingga tidak sempat permisi
dulu di luar, atas kelancanganku ini mohon para Taysu suka memberi maaf.
Hubungan Tecu dengan Siau-lim-pay sangat erat, sekali-kali tidak berani
memandang rendah dan menghina.”
Dengan kata-katanya yang
terakhir itu ia hendak memberi penjelasan bahwasanya bila Siau-lim-pay dibikin
malu, hal itu pun berarti dia ikut malu.
Pada saat itulah, tiba-tiba
seorang hwesio cilik membawakan semangkuk obat yang masih mengepul dan masuk ke
situ dengan tergesa-gesa, ia berkata kepada jenazah Hian-koh yang disangkanya
hidup itu, "Suhu, silakan minum obat.”
Kiranya hwesio cilik ini
adalah pelayan Hian-koh yang tadi disuruh pergi menyeduh obat luka Siau-lim-si,
yaitu "Kiu-coan-kim-kong-theng”, maka tentang kematian Hian-koh belum lagi
diketahuinya.
Saking pilunya Kiau Hong
lantas berkata padanya dengan suara terguguk, "Suhu ... Suhu sudah ....”
Hwesio cilik itu berpaling ke
arahnya dan mendadak menjerit kaget, "Hai, kiranya kau ... kau kembali
lagi ke sini!”
Maka terdengarlah suara
jatuhnya mangkuk hingga pecah berantakan, air obat muncrat ke mana-mana, hwesio
cilik itu pun melompat mundur dengan ketakutan sambil berteriak, "Dia ...
dia inilah yang menyerang Suhu!”
Karena teriakan hwesio cilik
itu, semua orang terkejut. Lebih-lebih Kiau Hong menjadi gugup dibuatnya.
"Apa katamu?” serunya keras-keras.
Usia padri kecil itu kira-kira
baru 12-13 tahun, ia sangat ketakutan melihat Kiau Hong, ia sembunyi di
belakang Hian-cu sambil menarik-narik lengan ketua Siau-lim-si itu dan meratap,
"Hongtiang! Hongtiang!”
"Jangan takut,
Ceng-siong!” sahut Hian-cu. "Katakanlah yang terang, kau bilang dia yang
menyerang suhumu tadi?”
"Ya ... ya!” sahut hwesio
cilik yang bernama Ceng-siong itu. "Dengan telapak tangannya ia pukul dada
Suhu, Tecu sendiri menyaksikan di luar jendela. Suhu, Suhu, ayolah balas hantam
dia, mengapa engkau diam saja?”
Ternyata sampai saat ini ia
belum lagi tahu Hian-koh sudah meninggal.
"Ceng-siong, cobalah kau
lihat lagi yang jelas, jangan-jangan kau salah mengenali orang?” ujar Hian-cu
Hongtiang.
"Tidak, tidak salah
lagi!” seru Ceng-siong. "Telah kulihat dengan jelas, beginilah pakaiannya,
begini pula mukanya yang lebar dan alisnya yang tebal itu, mulutnya lebar dan
telinganya besar, memang tidak salah lagi dia ini. Suhu, ayolah balas serang
dia, lekas!”
Saat itu Kiau Hong merasa
merinding bulu romanya, tiba-tiba ia sadar, "Ya, tidak salah lagi.
Pembunuh itu telah menyaru sebagai diriku untuk memfitnah aku. Tadi waktu Suhu
mendengar aku datang, beliau sangat girang. Tapi begitu melihat wajahku,
melihat aku serupa penjahat itu, seketika beliau terkesiap dan menyesalkan
karena murid didiknya ternyata adalah orang yang telah menyerangnya pula. Ya,
maklum, aku sudahi belasan tahun berpisah dengan Suhu, dari anak cilik kini
berubah dewasa, dengan sendirinya wajahku sudah banyak berubah daripada masa
kanak-kanak dulu.”
Waktu Kiau Hong kenangkan
kembali kata "bagus” tiga kali yang diucapkan Hian-koh Taysu sebelum
ajalnya itu, sungguh hatinya pedih bagai disayat-sayat. Pikirnya, "Suhu
telah kena serangan maut musuh, tapi tak diketahui siapa nama musuh itu. Ketika
aku datang dan tahu wajahku serupa dengan penyerang itu, maka beliau sangat
menyesal dan berduka hingga tewas. Memang luka Suhu sudah terlalu parah, dalam
keadaan payah dengan sendirinya tidak dapat berpikir dengan saksama, jika benar
aku yang menyerang dia, mengapa untuk kedua kalinya aku menemuinya lagi?”
Pada saat itu juga, tiba-tiba
terdengar suara berisik orang banyak, serombongan padri tampak berlari datang,
setiba di luar mereka lantas berhenti, hanya dua padri di antaranya dengan
membungkuk tubuh melangkah masuk dengan hormat. Ternyata mereka adalah kedua
hwesio bersenjata tongkat yang mengerubut Kiau Hong di kaki gunung itu.
Segera satu di antaranya
menutur, "Lapor Hongtiang ....”
Tapi baru sekian ucapannya,
sekilas ia lihat Kiau Hong juga berada di situ, seketika wajahnya menampilkan
rasa kaget dan gusar. Ia mendelik dengan termangu-mangu lantaran heran mengapa
Kiau Hong tahu-tahu sudah berada di situ.
Dengan kereng Hian-cu
bersuara, "Sicu sudah tidak di dalam Kay-pang lagi, tapi apa pun juga kau
seorang tokoh Bu-lim yang terkenal. Hari ini sengaja berkunjung ke biara kami
dan membinasakan Hian-koh Sute, entah apa maksud tujuanmu, silakan memberi
penjelasan.”
Namun Kiau Hong tidak
menjawab, mendadak ia menghela napas panjang sekali, lalu menyembah kepada
Hian-koh dan meratap, "Suhu, O, Suhu, sebelum engkau mengembuskan napas
penghabisan, engkau juga mengatakan Tecu yang mencelakai dirimu dan meninggal
dengan menanggung penasaran Meski Tecu sekalikali tidak nanti berani terhadap
Suhu, meski karena difitnah musuh sebab musababnya dengan sendirinya berpangkal
pada diriku. Umpama Tecu sekarang rela mati untuk membalas budi Suhu, namun
sakit hati Suhu selanjutnya menjadi tak terbalas. Adapun Tecu telah membikin
rusuh di sini hingga melanggar ketertiban Siaulim-si, untuk ini harap Suhu suka
memaafkan.”
Selesai berdoa,
sekonyong-konyong ia mengembuskan napas dua kali, dua rangkum angin keras
menyambar, seketika dua pelita minyak di dalam kamar tertiup padam hingga
keadaan lantas gelap gulita.
Kiranya waktu Kiau Hong berdoa
tadi, diam-diam ia sudah mempunyai akal untuk meloloskan diri. Begitu pelita
minyak tertiup padam, menyusul tangan kirinya menghantam ke depan dan tepat
kena punggung siu-lutceng, padri pengawas yang pernah ditempurnya di kaki
gunung itu.
Cuma hantamannya ini melulu
menggunakan tenaga luar yang kuat, maka isi perut padri itu tidak sampai
terluka melainkan tubuhnya yang besar itu mencelat ke luar pintu.
Dalam keadaan gelap para
hwesio Siau-lim-si itu menyangka Kiau Hong hendak melarikan diri. Tanpa pikir
lagi mereka serentak mengeluarkan kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang)
dan mencengkeram tubuh siu-lut-ceng itu.
Padri itu pun mempunyai pikiran
yang sama, yaitu tidak ingin menggunakan pukulan berat untuk membinasakan Kiau
Hong, tapi ingin menawannya hidup-hidup untuk ditanyai mengapa membunuh
Hian-koh Taysu, muslihat keji apa di balik perbuatannya itu.
Para padri itu adalah jago
pilihan Siau-lim-si, dengan sendirinya adalah jago silat terkemuka pula dalam
Bulim, kim-na-jiu-hoat mereka pun berbeda-beda, semuanya mempunyai ciri khas
sendiri-sendiri. Maka kontan siu-lut-ceng itu kena dicengkeram oleh berbagai
macam kim-na-jiu-hoat Siau-lim-pay yang lihai seperti Kimliong-jiu (cengkeraman
cakar naga), Eng-jiau-jiu (cakar elang), Hou-jian-kang (cakar harimau), dan
lain-lain lagi.
Keruan yang paling sial adalah
siu-lut-ceng itu, dalam sekejap hiat-to penting antero tubuhnya kena
dicengkeram padri-padri lihai itu, seketika tubuhnya terkatung-katung di udara.
Pengalaman demikian mungkin sejak dahulu hingga kini belum pernah dialami siapa
pun juga.
Oleh karena berada dalam biara
sendiri padri-padri itu tiada yang membawa alat ketikan api segala. Tapi
kepandaian mereka tinggi, pengalaman mereka banyak, begitu merasa gelagat tidak
beres, segera ada orang melompat ke atas rumah untuk berjaga di sana, begitu
pula semua jalan keluar di sekitar situ segera dijaga dengan ketat.
Dalam keadaan begitu, jangankan
Kiau Hong bertubuh tinggi besar, sekalipun dia berubah menjadi seekor burung
juga sukar mengelabui mata telinga penjaga-penjaga itu.
Tidak lama kemudian, si padri
cilik Ceng-siong telah memperoleh batu api, ia menyalakan pelita minyak, dan
baru kawanan hwesio Siau-lim-si itu mengetahui mereka telah salah tangkap kawan
sendiri.
Segera Hian-lan Taysu, kepala
Tat-mo-ih, memerintahkan agar setiap padri jaga di tempatnya masing-masing dan
tidak boleh sembarangan bergerak. Mereka khawatir jangan-jangan Kiau Hong
membawa bala bantuan dan ada rencana pengacauan lain.
Dalam pada itu padri lain yang
dipimpin ji-kay-ceng masih terus mencari dan menggeledah di sekitar Cin-to-ih
itu, hampir setiap tempat dan setiap pelosok telah diperiksanya, namun tetap
tiada menampak suatu bayangan pun.
Setelah sibuk hampir satu jam,
mereka sangat heran, sebab Kiau Hong tetap menghilang. Lalu jenazah Hiankoh
diusung ke ruang Sik-li-ih untuk dibakar. Sedang siu-lut-ceng diantar ke
Yok-ong-tian untuk diberi obat. Para padri Siau-lim-si itu sama lesu dan cemas,
mereka merasa sekali ini benar-benar kehilangan muka.
Di antara jago-jago
Siau-lim-pay itu, belasan padri agung yang berkumpul di Cin-to-ih itu semuanya
sangat tinggi ilmu silatnya, nama setiap orang tersohor dan disegani di dunia
Kangouw. Tapi kini Kiau Hong mampu pergi-datang dengan bebas, jangankan menangkapnya,
cara bagaimana Kiau Hong lolos pun mereka tidak tahu.
Lantas lolos ke mana atau
sembunyi di manakah Kiau Hong?
Kalau dijelaskan sebenarnya
tidaklah mengherankan dan juga tidak aneh. Kiranya Kiau Hong sudah menduga para
padri itu akan menguber dan mencarinya keluar. Terhadap tempat yang baru saja
dibuat berkumpul itu sebaliknya takkan diperhatikan.
Sebab itulah begitu ia hantam
siu-lut-ceng, segera ia mengkeret mundur malah dan diam-diam ia menyusup ke
kolong tempat tidur Hian-koh Taysu.
Dengan sepuluh jarinya ia
cengkeram papan ranjang, tubuhnya menempel rapat di bawah kolong. Meski tadi
ada juga salah seorang memeriksa sekadarnya ke bawah ranjang, tapi cuma sekilas
saja dan tidak menemukannya. Apalagi sesudah jenazah Hian-koh Taysu dipindah
dan para padri petugas merapatkan pintu kamar itu, keadaan menjadi sepi dan
lebih-lebih tiada yang menduga Kiau Hong masih bersembunyi di situ.
Tapi Kiau Hong belum berani
sembarangan bergerak, ia dengar para padri itu masih sibuk mencarinya, setelah
tengah malam, barulah keadaan mereda. Pikirnya, "Jika menunggu sampai pagi
tentu lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Agaknya sekarang inilah
kesempatan paling baik untuk angkat kaki.”
Maka diam-diam ia menerobos
keluar dari kolong ranjang, perlahan ia membuka pintu dan menyelinap ke
belakang sebatang pohon besar.
Cin-to-ih adalah ruang ujung
barat Siau-lim-si, asal dia berlari ke barat lebih jauh, tentu akan mencapai
lereng gunung.
Namun Kiau Hong memang seorang
kesatria lihai, biarpun lahirnya tampak kasar, namun pikirannya sangat cerdik.
Ia pikir suasana Siau-lim-si sementara ini meski sudah sepi, tapi padri
Siau-lim-si bukanlah sembarangan orang, mana mereka sudahi kejadian itu
mengendurkan penjagaan? Ia menghilang di barat biara itu, para padri tentu akan
menjaga keras jalan di sebelah barat yang menjurus ke lereng Siau-sit-san.
Sebenarnya kalau Kiau Hong
mau, asal dia sudah keluar dari Siau-lim-si, setelah kekuatan para padri
terpencar, tentu susah untuk merintanginya, apalagi hendak menangkapnya. Tapi
ia tidak ingin bertempur dengan padri Siau-lim-si, ia berharap kelak dapat
menangkap pembunuh yang sebenarnya untuk dibawa ke Siau-lim-si agar duduk
perkasa yang sebenarnya dapat diketahui oleh padri-padri itu.
Memangnya ia pun tidak ingin
melawan padri Siau-lim-si itu, semakin banyak bergebrak dengan padri semakin
banyak pula musuhnya. Apalagi kalau dirinya kalah, celaka, dan runyamlah segala
urusan.
Sebab itulah sesudah berpikir
sejenak, ia taksir jalan paling selamat harus menyusup ke tengah biara dan meninggalkan
Siau-lim-si dari jurusan yang berlawanan, yaitu sebelah timur.
Segera ia merunduk maju ke
bawah aling-aling pohon dan tetumbuhan lain. Ia menyeberangi empat ruang rumah,
ketika ia sembunyi di balik pohon beringin lagi, tiba-tiba dilihatnya di belakang
pohon di depan sana juga bersembunyi dua orang padri.
Kedua padri itu tidak bergerak
sedikit pun, dalam keadaan gelap sebenarnya sangat sukar diketahui. Tapi mata
Kiau Hong sangat tajam, sekilas saja ia sudah melihat kemilau senjata yang
dipegang salah seorang padri itu. Pikirnya, "Wah, hampir saja aku
kepergok!”
Dengan tenang ia menunggu di
balik pohon itu. Tapi kedua padri itu pun tetap tidak pergi. Cara berjaga
secara sembunyi ini benar-benar sangat lihai, asal dirinya sedikit bergerak
saja pasti akan segera diketahui, sebaliknya ia juga tidak dapat berdiam
terlalu lama situ tanpa berusaha meloloskan diri.
Setelah pikir sebentar, segera
Kiau Hong menjemput sepotong batu kecil, ia selentik batu kecil itu dengan
kuat.
Cara selentikannya itu sangat
bagus, mula-mula lambat, kemudian cepat. Waktu batu mulai melayang ke depan
tiada terdengar sesuatu suara, tapi sesudah jauh mendadak timbul suara
mendenging yang keras dari angin
sambaran batu itu. "Plok”
batu itu akhirnya menimpuk pada batang pohon.
Dengan sendirinya kedua padri
tadi terkejut. Perlahan mereka mendekati pohon itu, menunggu sesudah kedua
padri itu melalui tempat sembunyinya, segera Kiau Hong melayang ke depan dan
melompat ke dalam ruangan di samping.
Di bawah sinar bulan dapat
dilihatnya dengan jelas papan ruangan itu tertulis tiga huruf "Po-te-ih”.
Ia tahu bila kedua padri tadi
tidak menemukan apa-apa tentu akan segera kembali, maka cepat Kiau Hong berlari
ke ruangan belakang.
Sesudah menyusur ruangan depan
Po-te-ih itu, akhirnya ia sampai di ruang belakang. Sekilas mendadak terlihat
sesosok bayangan orang laki-laki tinggi besar berkelebat lewat di belakangnya
dengan kecepatan luar biasa, begitu cepat gerak bayangan itu sungguh tidak
pernah dilihatnya.
"Betapa cepat orang itu,
siapakah dia?!” demikian Kiau Hong terkejut. Sambil siap siaga cepat ia
menoleh. Tapi ia lantas tertawa sendiri ketika dilihatnya yang berhadapan
dengan dirinya juga seorang laki-laki tegap dan mengambil sikap siap siaga
dengan penuh waspada.
Kiranya di ruang belakang, di
depan arca Buddha terdapat sebaris pintu angin dan pintu angin itu terpasang
sebuah cermin perunggu yang sangat besar dan bundar cermin itu tergosok
sedemikian bersih dan mengilap hingga bayangan tertampak jelas dalam cermin
itu.
Di atas cermin perunggu itu
terpasang sebuah pigura yang bertuliskan kata-kata mutiara sang Buddha:
Badan kuat seperti pohon bodhi
hati bersih laksana cermin
setiap saat rajinlah
mengurusnya
jangan ternoda karena debu
Selagi Kiau Hong hendak
melanjutkan, sekonyong-konyong hatinya seperti terpukul oleh sesuatu apa.
Seketika ia tertegun, dalam sekejap itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu yang
mahaaneh dan penting. Tapi mengenai urusan apa, ia pun tak dapat memberi penjelasan.
Ia termangu sejenak di
tempatnya. Tanpa terasa ia menoleh ke arah cermin perunggu lagi, melihat
bayangan sendiri, mendadak ia sadar, "He, baru saja aku telah melihat
bayanganku sendiri, di manakah itu? Aku tidak pernah melihat cermin sebesar
ini, mengapa bisa melihat bayanganku sendiri dengan begitu jelas?”
Selagi Kiau Hong termenung,
tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan beberapa orang sedang mendatang.
Karena tiada tempat sembunyi
lain, Kiau Hong melihat di ruangan itu terdapat tiga arca Buddha besar, tanpa
pikir lagi ia melompat ke altar dan bersembunyi di belakang arca Buddha ketiga.
Dari suara tindakan
orang-orang itu dapat diketahui seluruhnya ada enam orang, sesudah masuk ke
ruangan pendopo situ, masing-masing lantas duduk di atas tikar.
Dari belakang arca Kiau Hong
coba mengintip keluar, ia lihat keenam orang itu semuanya adalah padri setengah
umur, terdengar yang sebelah kiri sedang berkata, "Suhu memberi perintah
agar memeriksa dan mengawasi kitab-kitab di ruang Po-te-ih ini untuk menjaga
kalau-kalau dicuri musuh.”
Habis padri itu berkata,
kawan-kawannya yang lain tiada yang bersuara, semuanya diam saja. Kiau Hong
pikir kalau saat itu mau melarikan diri, mungkin tidaklah terlalu susah. Tapi
tiba-tiba ia ingin tahu penjagaan kitab apa yang hendak dilakukan padri-padri
itu, ia pikir biarlah aku menunggu lagi sebentar.
Maka terdengar padri yang
sebelah kanan sedang berkata, "Suheng, di ruang Po-te-ih kosong melompong
tiada sesuatu benda apa pun, masakah ada kitab pusaka segala? Apa yang Suhu
suruh kita jaga di sini?
"Itu mengenai urusan
Po-te-ih ini, tidak perlu banyak bicara,” sahut padri yang sebelah kiri tadi
dengan tersenyum.
"Ah, kukira engkau
sendiri pun tidak tahu,” ujar padri sebelah kanan.
Karena kata-kata pancingan
itu, si padri sebelah kiri lantas berseru, "Mengapa aku tidak tahu?
‘Sin-ju-hud-tim’ ....”
Hanya kalimat itu saja yang
dia ucapkan, mendadak ia sadar dan cepat bungkam.
"Apa maksudnya
Sin-ju-hud-tim?” si padri sebelah kanan ingin tahu.
"Ti-jing Sute,” mendadak padri
kedua yang duduk sebelah kiri menyela, "biasanya engkau tidak suka
ceriwis, mengapa hari ini terus-menerus bertanya saja? Jika kau ingin tahu
rahasia Po-te-ih ini, silakan kau tanya kepada gurumu sendiri saja.”
Maka padri yang bernama
Ti-jing itu tidak tanya pula. Selang agak lama, tiba-tiba ia berkata, "Aku
akan ke kamar kecil.”
Lalu ia berbangkit menuju ke
pintu samping sebelah kiri.
Tapi baru saja ia mengitar ke
belakang, mendadak kakinya menendang punggung padri kedua dari kanan yaitu yang
duduk tepat di sisinya tadi. Tendangan itu tepat mengenai "koan-ki-hiat”
di tulang punggung. Padri itu sedang duduk bersila di atas tikarnya, dengan
sendirinya ia tidak menyangka akan diserang oleh kawan sendiri. Maka tanpa
ampun lagi ia roboh perlahan ke samping.
Oleh karena tendangan Ti-jing
itu dilakukan dengan sangat cepat, pula tanpa suara. Setelah merobohkan padri
itu, menyusul padri di sisinya lagi juga didepak dengan cara yang sama, habis
itu padri ketiga. Hanya dalam sekejap saja tiga padri sudah dirobohkan.
Dengan jelas Kiau Hong dapat
mengikuti kejadian itu di tempat sembunyinya. Ia menjadi terheran-heran mengapa
padri Siau-lim-si itu bertarung antara kawan sendiri? Ia lihat Ti-jing sedang
menendang padri yang kedua dihitung dari sisi kanan. Dan baru ujung kaki kena
sasarannya sementara itu ketiga padri yang ditendang jalan darahnya itu pun
menggeletak, kepala membentur lantai hingga mengeluarkan suara.
Jilid 30
Mendengar suara itu, padri di
ujung kiri tadi terkejut, cepat ia membuka mata sambil melompat bangun, sekilas
ia lihat kawan yang duduk di sebelahnya juga sudah ditendang roboh oleh
Ti-jing. Keruan ia terperanjat dan berteriak, "Hai, Ti-jing, apa yang kau
lakukan?”
"Lihatlah, siapa yang
datang itu?” tiba-tiba Ti-jing menuding keluar. Selagi padri kawannya itu
menoleh, tanpa ayal lagi kaki Ti-jing bekerja pula ke punggung orang.
Tendangan itu sangat cepat dan
seharusnya tepat pula mengenai sasarannya. Tapi tempat mereka itu tepat
menghadapi cermin perunggu yang besar itu hingga apa yang terjadi dapat dilihat
yang bersangkutan dengan jelas. Segera padri pertama tadi berkelit sambil balas
menghantam sekali.
"Ti-jing, apa kau sudah
gila?” bentaknya gusar.
Tapi Ti-jing tidak memberi
kesempatan pada lawannya, ia menyerang secara bertubi-tubi. Sampai jurus
kedelapan, perut padri itu kena dihantamnya sekali, menyusul kena didepak
sekali lagi.
Kiau Hong bertambah heran
menyaksikan itu. Cara Ti-jing menyerang itu adalah jurus silat yang ganas tanpa
kenal ampun yang tidak layak digunakan terhadap sesama saudara perguruan
sendiri.
Rupanya padri pertama tadi
juga tahu gelagat tidak beres, segera ia berteriak-teriak, "Ada mata-mata
musuh, ada….”
Tapi sebelum ia berseru lebih
lanjut, dadanya sudah kena digenjot sekali lagi oleh Ti-jing, kontan padri itu
jatuh pingsan.
Setelah merobohkan kelima
padri itu, cepat Ti-jing berlari ke depan cermin perunggu besar itu. Dengan
jari telunjuk kanan segera ia pencet beberapa kali pada huruf "sin”, yaitu
huruf pertama dari 20 huruf kata-kata Buddha yang terpancang di samping cermin
itu.
Dari bayangan cermin Kiau Hong
dapat melihat wajah Ti-jing menampilkan rasa girang. Menyusul dilihatnya hwesio
itu memijat lagi huruf ketujuh, yaitu huruf "ju”.
"Tadi hwesio itu
mengatakan ’sin-ju-hud-tim’ apa segala, jika demikian, menyusul huruf yang akan
dipijat Tijing tentu adalah ‘hud’ dan ‘tim’,” demikian Kiau Hong membatin.
Dan memang benar, habis itu
Ti-jing berturut-turut telah pencet huruf tersebut. Lalu terdengar suara
keriangkeriut, perlahan cermin perunggu itu dapat membalik sendiri.
Dalam saat begitu kalau Kiau
Hong melarikan diri boleh dikatakan sangat mudah dan pasti takkan diketahui
oleh siapa pun juga. Tapi karena ia tertarik oleh kejadian ini, ia ingin tahu
apa sebenarnya maksud tujuan Tijing, mengapa hwesio itu merobohkan kawan
sendiri dan barang apa pula yang terdapat di balik cermin itu. Bisa jadi apa
yang akan dilihatnya ada sangkut pautnya dengan kematian Hian-koh Taysu.
Begitulah karena suara
teriakan si padri pertama tadi, maka dari jauh hwesio-hwesio yang sedang ronda
segera ribut mencari dari mana tempat datangnya suara teriakan itu. Segera
terdengar di sana-sini ramai dengan suara orang berlari.
"Jika hwesio yang ronda
itu datang kemari, jangan-jangan jejakku akan ketahuan nanti?” diam-diam Kiau
Hong menjadi ragu.
Tapi demi teringat kedatangan
hwesio-hwesio itu nanti perhatiannya tentu akan terpusat pada Ti-jing seorang,
kesempatan untuk dirinya lolos masih sangat besar, biarlah sementara ini aku
tunggu dulu.
Dalam pada itu ia lihat
Ti-jing sedang sibuk sendirian, tangan hwesio itu lagi merogoh ke belakang
cermin perunggu itu seperti sedang mencari sesuatu, tapi tiada sesuatu yang
diperolehnya.
Dan pada saat itulah suara
tindakan orang banyak terdengar mendekati pintu Po-te-ih itu.
Wajah Ti-jing tampak mengunjuk
rasa kecewa, segera ia bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba
teringat sesuatu olehnya, ia mendak dan melongok ke balik cermin, menyusul
terdengar ia berseru tertahan, "Hah, ini dia!”
Habis itu, tangannya merogoh
ke belakang cermin dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Cepat ia masukkan
bungkusan itu ke dalam baju, lalu bermaksud melarikan diri. Namun sudah
terlambat sedikit, para padri yang ronda sudah berkerumun tiba, segala jalan
keluar sudah ditutup.
Ti-jing tampak bingung dan
celingukan kian-kemari. Mendadak berlari ke pintu depan.
"Cara demikian ia keluar
ke sana, tidak bisa tidak pasti dia akan tertangkap,” demikian Kiau Hong
membatin.
Dan pada saat itu juga
sekonyong-konyong terasa sambaran angin, ada orang menubruk ke tempat
sembunyinya. Dengan ilmu "Thing-hong-pian-gi” atau mendengarkan angin
membedakan benda, tanpa berpaling tangan kirinya terus menangkap hingga tepat
urat nadi pergelangan penyergap itu kena dicengkeramnya. Menyusul tangan kanan
menahan ke atas, tepat "leng-tay-hiat” di punggung orang itu kena disodok,
tanpa ampun lagi orang itu kaku linu serta tak dapat berkutik.
Setelah musuh tertangkap,
barulah Kiau Hong hendak memeriksa wajah orang. Saat itu di ruangan situ cuma
terpasang beberapa pelita minyak, sinarnya agak guram, namun begitu dengan
sinar mata Kiau Hong yang tajam dapat dikenali tawanan itu tak-lain-tak-bukan
adalah… Ti-jing.
Untuk sejenak Kiau Hong
melengak, tapi ia pun paham duduknya perkara, "Ya, tahulah aku. Seperti
aku, orang ini juga bermaksud bersembunyi ke belakang arca Buddha ini.
Kebetulan ia pun menjatuhkan pilihan pada arca ketiga yang terbangun lebih
besar dan gemuk ini. Tapi mengapa ia berlari ke pintu depan dulu, lalu masuk
kembali dari pintu belakang secara diam-diam? Ehm, tentu ini adalah akalnya. Ia
tahu di dalam ruangan masih menggeletak lima padri, sebentar kalau ada orang
datang dan tanya mereka, tentu mereka akan mengatakan Tijing telah lari melalui
pintu depan, dengan demikian ruangan Po-te-ih tentu takkan digeledah lagi. Ai,
orang ini benar-benar licin dan banyak tipu akalnya.”
Sembari berpikir, Kiau Hong
tetap pegang Ti-jing dengan kencang. Ia coba tempelkan mulutnya ke telinga
padri itu dan membisikinya, "Jika kau berani bersuara, sekali hantam tentu
kumampuskan kau!”
Ti-jing tidak bersuara, ia
hanya mengangguk saja.
Dan pada saat itulah dari
pintu depan telah menerobos masuk 7-8 orang hwesio. Tiga di antaranya membawa
obor pula hingga seluruh ruangan pendopo itu menjadi terang benderang.
Melihat ada lima orang kawanan
mereka menggeletak di situ, seketika gemparlah kawanan hwesio itu, segera ada
yang berteriak, "Hai, kembali bangsat Kiau Hong itu mengganas lagi!” -
"Eh, kiranya Ti-kong, Ti-yan Suheng dan lain-lain!” - "Wah, celaka!
Kenapa cermin perunggu ini terjungkat? Kiau Hong telah mencuri kitab di dalam
Po-te-ih ini!” - "Hayo, lekas lapor kepada Hongtiang!”
Begitulah Kiau Hong mendengar
suara ribut-ribut kawanan padri Siau-lim-si itu, ia hanya dapat tersenyum getir
saja dan membatin, "Kembali dosa ini dicatat atas utangku lagi.”
Sebentar kemudian,
hwesio-hwesio yang berkerumun di Po-te-ih bertambah banyak. Kiau Hong merasa
Ti-jing meronta-ronta beberapa kali, mungkin bermaksud melarikan diri. Segera
ia paham maksud orang, "Ya, saat ini para hwesio berkumpul di sini,
penjagaan di luar tentu agak kendur, pula Ti-kong, Ti-yan, dan lain-lain belum
sadar, kesempatan ini memang sangat baik untuk melarikan diri bagi Ti-jing ini,
biarpun dia berjalan terangterangan di dalam ruangan ini juga tiada orang
mencurigai dia, sebab setiap orang telah menyangka akulah pengganasnya.”
Segera pikirannya tergerak
pula, "Tampaknya Ti-jing ini juga tidak cukup cerdik, mengapa tadi ia
bersembunyi ke sini? Kalau dia berjalan keluar ke sana, masakah ada orang akan
menegurnya?”
Dalam pada itu suasana
mendadak menjadi sepi, tiada seorang pun yang berani membuka suara. Kiranya
Hiancu Hongtiang dan hwesio-hwesio pimpinan dari berbagai ruangan telah datang
semua.
Lebih dulu Hian-cit Taysu,
kepala ruang Liong-si-ih, membuka jalan darah Ti-kong berlima untuk menyadarkan
mereka, lalu ditanya, "Apakah kalian dirobohkan Kiau Hong? Dari mana dia
mendapat tahu rahasia di dalam cermin perunggu ini?”
"Bukan Kiau Hong, tapi
adalah… adalah….” demikian sahut Ti-kong, dan belum lagi menyebut nama Ti-jing,
sekonyong-konyong ia menubruk ke arah seorang padri di samping Hian-cu
Hongtiang, ia jambret dada padri itu sambil mendamprat, "Bagus, bagus!
Mengapa kau mendadak membokong kami?”
Sebenarnya Kiau Hong ingin
sekali mengintip siapakah gerangan yang dituduh Ti-kong itu, tapi ia pun
khawatir kalau-kalau dipergoki hwesio-hwesio yang banyak berkumpul di situ,
maka ia tidak berani sembarangan melongok ke luar.
Maka terdengarlah seorang
berseru dengan terkejut, "Apa? Ti-kong Suheng, ada apa engkau menarik
diriku?”
"Engkau telah menendang
roboh kami berlima dan mencuri kitab pusaka, sungguh besar sekali nyalimu!”
seru Ti-kong pula. "Lapor Hongtiang, pengkhianat Ti-jing inilah yang
menyerang kami dan membuka cermin rahasia itu serta mencuri kitab pusaka.”
"Apa? Ap… apa?” teriak
yang didakwa itu dengan kaget. "Sejak tadi aku selalu mendampingi
Hongtiang, cara bagaimana aku dapat datang ke sini untuk mencuri kitab segala?”
"Tutup dulu cermin
perunggu itu, tentang kejadian tadi, coba ceritakan dengan jelas,” sela
Hian-cit tiba-tiba
dengan kereng.
Segera Ti-yan membenarkan
cermin perunggu itu ke tempatnya semula. Dengan demikian, keadaan di ruangan
itu kembali dapat dilihat oleh Kiau Hong melalui cermin itu. Ia lihat seorang
hwesio sedang mencak-mencak dengan penasaran oleh karena tanpa berdosa telah
dituduh menyerang kawan sendiri.
Waktu Kiau Hong memerhatikan
mukanya, ia menjadi terkejut. Kiranya hwesio itu tak-lain-tak-bukan memang
Ti-jing adanya.
Dalam herannya, dengan
sendirinya Kiau Hong memandang juga kepada Ti-jing yang tertawan olehnya itu.
Ia lihat air muka kedua orang itu memang mirip benar, kalau diperhatikan
mungkin ada sedikit berlainan, tapi kalau dipandang sepintas lalu, tidak
mungkin orang dapat membedakan mereka.
Diam-diam Kiau Hong berpikir,
"Di dunia ini, sedikit sekali orang yang berwajah semirip begini satu sama
lain. Ya, ya, tentu mereka adalah saudara kembar. Tipu mereka ini sangat bagus,
yang satu menjadi hwesio di Siau-lim-si, yang lain menunggu di luar, begitu ada
kesempatan bagus, segera yang satu itu pun menyamar sebagai hwesio untuk
mencuri kitab ke dalam biara. Sedangkan Ti-jing itu selalu berdampingan dengan
Hongtiang, sudah tentu tiada orang yang berani mencurigai dia.”
Dalam pada itu terdengar
Ti-kong sedang menguraikan apa yang terjadi tadi, ia ceritakan tentang
bagaimana Ti-jing memancing rahasia cermin perunggu itu serta tanpa sadar dia
telah mengatakan empat huruf kunci rahasia itu, lalu Ti-jing pura-pura hendak
pergi ke kamar kecil dan mendadak membokong mereka dari belakang serta saling
gebrak dengan dia, tapi akhirnya ia sendiri dirobohkan. Semuanya ia tuturkan
dengan jelas.
Pada waktu Ti-kong melaporkan
apa yang terjadi itu, Ti-yan berempat juga tiada hentinya membenarkan apa yang
dikatakan kawannya itu untuk memberi kesaksian bahwa cerita itu bukanlah
karangan.
Sebaliknya Hian-cu Hongtiang
yang menerima laporan itu, wajahnya tampak mengunjuk rasa tidak membenarkan. Ia
tunggu sehabis Ti-kong menutur, kemudian barulah ia menanya dengan perlahan,
"Apa yang kau ceritakan itu, apakah engkau sudah melihatnya dengan jelas?
Benar-benar engkau yakin adalah perbuatan Ti-jing?”
"Lapor Hongtiang, apa
yang terjadi itu telah kami lihat dengan jelas,” sahut Ti-kong dan Ti-yan
beramai-ramai. "Selamanya kami tiada dendam apa-apa dengan Ti-jing,
mengapa kami mesti mengarang cerita yang tak benar untuk memfitnahnya?”
"Ai, urusan ini tentu ada
apa-apa yang tidak beres. Sebab selama dua jam ini, Ti-jing selalu berada di
sampingku, sejengkal pun ia tidak pernah meninggalkan aku,” ujar Hian-cu
kemudian dengan menghela napas.
Ucapan sang hongtiang ini
benar-benar membikin semua padri yang hadir di situ tercengang, mereka saling
pandang dengan bungkam. Begitu pula Ti-kong dan lain-lain juga tidak berani
membuka suara lagi. Maklum, apa yang dikatakan sang ketua ini masakah mungkin
omong kosong?
"Ya, memang aku pun
menyaksikan sendiri selama itu Ti-jing selalu berada di samping Hongtiang
Suheng, masakah ia dapat datang ke Po-te-ih sini untuk mencuri kitab?” demikian
kata Hian-lan, salah satu tokoh tertinggi dari anak murid Siau-lim-si angkatan
"Hian”, yaitu setingkat dengan Hian-cu.
"Ti-kong,” Hian-cit ikut
bertanya, "waktu Ti-jing itu bergebrak dengan kau, apakah di antara
permainan silatnya itu ada sesuatu yang mencurigakan?”
"Ai, memang benar!
Mengapa aku melupakan hal itu?” seru Ti-kong. "Tadi waktu aku bergebrak
dengan dia, terang sekali tipu-tipu serangan yang dia gunakan itu bukanlah ilmu
silat dari golongan kita.”
"Habis, ilmu silat dari
golongan atau aliran mana? Dapatkah engkau melihatnya?” Hian-cit menegas.
Tapi Ti-kong tampak bingung,
ia tidak mampu menjawab.
"Apakah dia menggunakan
pukulan Tiang-kun? Atau kim-na-jiu? Te-tong-kun? Liok-hap-kun atau
Theng-pikun?” demikian Hian-cit menanya pula dengan serentetan nama ilmu silat
dari golongan lain.
Tapi Ti-kong menggeleng,
sahutnya, "Bu…. bukan. Ilmu silatnya itu sangat keji, beberapa kali Tecu
tanpa sadar kena serangannya.”
Maka Hian-cit, Hian-lan dan
beberapa padri agung lainnya tidak tanya lebih jauh, mereka saling memberi
isyarat mata dengan Hongtiang. Mereka tahu hari ini biara mereka telah
kedatangan seorang musuh yang berkepandaian sangat tinggi dan telah
mempermainkan mereka dengan akal-akal licik. Jalan satu-satunya sekarang adalah
melakukan penggeledahan dan penggerebekan secara serentak di samping harus
berlaku tenang, supaya suasana dalam biara tidak menjadi kacau.
Kemudian berkatalah Hian-cu
sambil merangkap tangan, "Kitab yang tersimpan dalam Po-te-ih ini adalah
buah tangan padri saleh angkatan tua biara kita, jika kitab-kitab itu diperoleh
anak murid Buddha, kalau dapat
membaca dan memperdalam ajaran
dalam kitab itu, dengan sendirinya besar manfaatnya. Tapi kalau orang luar yang
memperolehnya tanpa memberi penghargaan sebagaimana mestinya, itu berarti suatu
dosa. Para Sute dan para Sutit, sekarang silakan kembali ke tempatnya
masing-masing.”
Mendengar perintah sang ketua
itu, para padri lantas bubar dan pergi. Hanya Ti-kong, Ti-yan dan lain-lain
masih penasaran dan masih mengomeli Ti-jing. Tapi ketika Hian-cit mendelik,
Ti-kong dan lain-lain terkejut, seketika mereka bungkam dan cepat pergi bersama
Ti-jing.
Sesudah padri lain pergi
semua, kini di ruangan situ hanya tertinggal Hian-cu, Hian-lan dan Hian-cit
bertiga. Ketiga saudara seperguruan itu duduk di atas tikar di depan arca
Buddha. Mendadak Hian-cu berseru, "Omitohud! Dosa, dosa!”
Begitu selesai ucapannya,
sekonyong-konyong ketiga padri itu melompat ke atas, tahu-tahu mereka mengitar
ke belakang arca Buddha dan berbareng menghantam ke arah Kiau Hong dari tiga
jurusan yang berlainan.
Sungguh Kiau Hong sana sekali
tidak menduga bahwa jejaknya telah diketahui oleh ketiga padri itu. Lebihlebih
tidak menyangka bahwa ketiga padri yang tampaknya sudah tua dan reyot itu,
tahu-tahu lantas menyerang, serangannya juga begitu cepat dan lihai.
Dalam sekejap itu Kiau Hong
merata napasnya sesak, dada tertekan tiga arus tenaga yang mahadahsyat. Nyata
serangan berbareng ketiga hwesio Siau-lim-si itu bukan main hebatnya. Ia merasa
tenaga serangan lawan sudah mengurungnya dari atas, bawah, belakang dan
kanan-kiri, lima jurusan sudah tertutup oleh tenaga pukulan ketiga padri, kalau
mesti melawannya, itu berarti harus keras lawan, kalau lawan tidak roboh,
dirinya sendiri yang pasti celaka.
Namun keadaan sudah tidak
memungkinkan dia berpikir lagi, terpaksa ia hantamkan telapak tangan ke depan,
"prak, bruk”, arca Buddha yang dipakai aling-aling tadi kena dihantam
hingga roboh.
Kiau Hong tidak berani ayal,
sekalian ia jinjing tubuh "Ti-jing” terus melompat ke depan sana. Pada
saat itu pula ia merasa punggung disambar oleh tenaga pukulan yang dahsyat,
terang orang telah menyerangnya dengan Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa)
yang merupakan kungfu khas Siau-lim-pay. Bila terkena pukulan itu, bukan
mustahil badan akan hancur dan perut akan lebur.
Tapi sedapat mungkin Kiau Hong
tidak mau mengadu pukulan dengan padri Siau-lim-si. Dalam keadaan melayang ke
depan, cepat tangan terjulur untuk memegang cermin perunggu yang sangat besar
itu.
Begitu hebat tenaga sakti Kiau
Hong, sekali pegang, kontan cermin perunggu itu kena diangkatnya, dan sekali
ia putar, bagaikan perisai
saja cermin perunggu itu dipakainya untuk menahan ke belakang.
Maka terdengarlah "brang”
yang sangat keras, pukulan dahsyat yang dilontarkan oleh Hian-lan tepat kena di
atas cermin perunggu, begitu hebat tenaga hantaman itu hingga lengan Kiau Hong
seakan-akan patah oleh getaran tenaga itu. Tapi dengan meminjam getaran tenaga
pukulan Hian-lan itu, berbareng Kiau Hong dapat melompat beberapa meter lebih
jauh ke depan.
Tiba-tiba ia dengar di belakang
ada suara orang menarik napas panjang. Suara pernapasan itu jauh berbeda
daripada orang biasa. Dari pengalamannya yang luas serta pengetahuannya yang
tinggi, segera Kiau Hong tahu pernapasan aneh itu dilakukan oleh seorang jago
Siau-lim-pay yang sakti dan segera akan melancarkan serangan sebangsa
"Bik-khong-sin-kun” (pukulan sakti dari jauh).
Meski dirinya tidak gentar
terhadap pukulan apa pun, tapi juga tiada berguna melawannya keras sama keras.
Maka cepat ia menggunakan cermin perunggu sebagai tameng pula, sekaligus
tenaganya ia pusatkan di tangan kanan itu.
Dan pada saat yang sama itulah
ia merasakan angin pukulan orang sudah menyambar tiba. Tapi aneh, arah yang
dituju agak janggal. Kiau Hong terkesiap, tapi segera ia pun sadar apa yang
terjadi. Pukulan padri itu bukan ditujukan ke punggungnya, tapi yang diincar
adalah punggung "Ti-jing” yang dibawanya itu.
Sebenarnya Kiau Hong tidak
kenal "Ti-jing”, dengan sendirinya bukan tujuannya hendak menolong dia.
Tapi sekali ia sudah jinjing orang, otomatis timbul rasa kewajibannya untuk
melindunginya. Tanpa pikir lagi ia sorong cermin perunggu ke depan.
"Brak”, suara cermin itu tidak nyaring lagi, tapi suaranya berubah parau,
cermin itu dihantam hancur oleh padri tua itu.
Tadi waktu ia putar cermin ke
belakang untuk menahan serangan, berbareng Kiau Hong terus melompat ke atas
rumah sambil menjinjing Ti-jing. Ia merasa tubuh Ti-jing itu sangat enteng,
sama sekali tidak sepadan dengan perawakannya yang kekar dan tegap itu. Dan
selagi dia merasa syukur dapat menyelamatkan diri, ketika terdengar suara
cermin pecah, tahu-tahu berdirinya di atas emper rumah terasa kurang kuat,
sekali kaki terasa lemas, kembali ia terbanting ke bawah.
Keruan kejutnya bukan buatan.
Sejak ia malang melintang di Kangouw, belum pernah ia ketemu lawan setangguh
itu. Cepat ia melompat bangun dan berdiri tegak dengan siap siaga, dengan
tenang ia menghadap ke punggung tiga lawan itu.
"Omitohud!” demikian kata
Hian-cu pula. "Kiau-sicu, sesudah kau datang ke Siau-lim-si tanpa permisi
dan membunuh orang, kembali kau rusak arca Buddha pula. Nah, rasakan dulu
pukulanku ini.”
Sehabis mengucapkan kata-kata
itu dengan kalem, lalu kedua tangannya terpentang dan memutar hingga berwujud
sebuah lingkaran, kemudian didorongkan ke depan dengan perlahan. Belum lagi
pukulan Hian-cu itu dilontarkan, lebih dulu Kiau Hong sudah merasa napas sesak,
dalam sekejap saja tenaga pukulan Hian-cu sudah membanjir tiba bagai gelombang
ombak mendampar.
Kiau Hong tidak berani ayal,
cepat ia buang cermin perunggu yang sudah bobrok itu sedangkan tangan kanan
balas menghantam dengan gerak tipu "Hang-liong-yu-hwe”, yaitu salah satu
pukulan sakti "Hang-liong-sippat-ciang”, delapan belas jurus ilmu pukulan
penakluk naga, ilmu pukulan mahasakti andalan Kay-pang.
Maka terdengarlah suara
mencicit benturan kedua arus tenaga yang tak kelihatan. Meski suara itu sangat
lirih, tapi Hian-cu dan Kiau Hong sama-sama terentak mundur tiga tindak.
Sesaat Kiau Hong merasa antero
tubuh menjadi lemas seakan-akan tak bertenaga pula, terpaksa ia lepaskan Tijing
dari pegangannya. Namun dasar lwekangnya memang sangat tinggi, sekali ia
kerahkan tenaga murni pula, cepat sekali tenaga pulih kembali. Belum lagi
pukulan kedua dari Hian-cu tiba, segera ia berseru, "Maaf, aku tak dapat
mengawani kalian lagi!”
Berbareng ia angkat Ti-jing
dan melompat ke atas rumah.
Sayup-sayup Kiau Hong masih
mendengar suara heran Hian-lan dan Hian-cit oleh karena melihat ketangkasannya
itu.
Maklum, pukulan Hian-cu tadi
telah menggunakan segenap tenaga dalam yang terpupuk selama hidupnya ini. Gerak
serangan itu disebut "It-bik-liang-san” atau sekali tabok, dua kali buyar.
Yang dimaksudkan buyar ialah, bila tubuh manusia terkena pukulan itu, seketika
jiwa melayang dan badan hancur lebur.
Ilmu pukulan itu memang melulu
terdiri satu jurus itu saja, soalnya karena memakai tenaga dalam yang
mahasakti, tatkala menyerang musuh hakikatnya tidak perlu digunakan untuk kedua
kalinya, sebab sekali saja musuh pasti akan terbinasa.
Siapa duga, sesudah Kiau Hong
menerima pukulan "It-bik-liang-san” itu, bukan saja ia tidak mati,
sebaliknya dalam waktu singkat sudah dapat memulihkan tenaganya serta melarikan
diri pula sambil menggondol seorang lagi. Sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit
terheran-heran sekali.
"Ilmu silat orang
sekali-kali tidak di bawah kita, bila dia membikin rusuh di dunia Kangouw,
sejak kini celakalah kaum bu-lim,” demikian kata Hian-cu dengan gegetun.
"Makanya harus lekas
dibasmi, supaya tidak menimbulkan bahaya di kemudian hari,” ujar Hian-cit.
Hian-lan mengangguk-angguk
tanda setuju, tapi Hian-cu Hongtiang diam saja, ia hanya termangu-mangu
memandang jauh ke arah perginya Kiau Hong tadi.
Pada waktu lari tadi Kiau Hong
masih sempat menoleh ke arah padri-padri itu, ia melihat cermin perunggu tadi
sudah pecah berkeping-keping kena hantaman Hian-cit, dari setiap kepingan
cermin itu tertampak bayangan belakangnya. Tanpa sebab hati Kiau Hong kembali
tergetar. Ia tidak habis heran, "Mengapa setiap kali aku melihat
bayanganku sendiri selalu aku merasa tidak enak? Apa sebabnya?”
Tapi waktu itu ia terburu-buru
berusaha meninggalkan Siau-lim-si, perasaan sangsi yang timbul itu segera
lenyap terbawa oleh larinya yang cepat itu.
Jalan di lereng Siau-sit-san
itu sangat hafal bagi Kiau Hong, boleh dikatakan mata tertutup juga takkan
kesasar. Maka sesudah menyusur ke balik gunung itu, selalu ia pilih jalan yang
terjal, yang sulit ditempuh.
Sesudah beberapa li jauhnya,
ia tidak mendengar suara kejaran hwesio Siau-lim-si lagi, legalah hatinya. Ia
taruh Ti-jing ke tanah dan membentaknya, "Boleh kau jalan sendiri! Tapi
jangan coba melarikan diri!”
Tak terduga, begitu kaki
Ti-jing menyentuh tanah, seketika badan lemas lunglai dan terkulai ke tanah
seakanakan cacing mati.
Kiau Hong terkesiap. Ia coba
periksa napasnya, ia merasa napas orang sangat lemas, seperti ada seperti
hilang. Waktu pegang urat nadinya pula, denyutnya juga sangat lambat seolah-olah
orang sudah dekat ajalnya.
Pikir Kiau Hong, "Banyak
persoalan yang belum terjawab bagiku, aku justru hendak menanyai dia, mana
boleh dia mati secara begini mudah? Sekali kau jatuh di tanganku, pasti tipu
muslihatmu akan terbongkar. Tapi, ya, mungkin khawatir rahasianya ketahuan,
maka dia lantas telan racun untuk membunuh diri.”
Ia coba meraba dada orang
untuk memeriksa denyut jantungnya. Tapi Kiau Hong menjadi kaget ketika merasa
tempat yang teraba tangannya itu lunak empuk, nyata itu bukan dada seorang
laki-laki, hwesio itu ternyata seorang perempuan.
Maka cepat Kiau Hong menarik
kembali tangannya, ia semakin heran, "Jadi dia… dia samaran seorang
wanita?”
Segera ia keluarkan ketikan
api untuk menerangi muka Ti-jing, ia lihat pada dagu hwesio itu penuh
tutul-tutul hitam, yaitu akar jenggot, tenggorokan juga terdapat biji leher,
terang itu tanda kelakian yang tak dapat dipalsukan.
Hal ini benar-benar membuat
Kiau Hong semakin bingung. Ia coba meraba kepala gundul orang, jelas halus
kelimis, sedikit pun tidak palsu. Apakah dia banci? Demikian pikirnya.
Kiau Hong adalah seorang yang
berjiwa terbuka dan bebas, tidak pikirkan adat istiadat kolot segala, lain
daripada Toan Ki yang masih kukuh kepada tata krama yang kolot. Muka segera ia
seret Ti-jing serta membentaknya lagi, "Sebenarnya kau laki-laki atau
perempuan? Lekas mengaku sebelum aku membelejeti bajumu untuk diperiksa!”
Bibir Ti-jing tampak
bergerak-gerak seperti ingin bicara, tapi tiada sesuatu suara yang keluar,
nyata jiwanya sudah tergantung di ujung rambut saja, keadaannya sudah sangat
payah.
Kiau Hong pikir tidak peduli
orang ini laki-laki atau perempuan, yang pasti tidak boleh dia mati begitu
saja. Maka cepat ia gunakan tangan kanan untuk menahan punggung Ti-jing. Ia
kerahkan tenaga dalamnya, melalui tangannya ia salurkan hawa murni ke dalam
tubuh Ti-jing.
Sebab apakah mendadak keadaan
Ti-jing menjadi begitu payah?
Kiranya tadi waktu Kiau Hong
mengadu pukulan dengan Hian-cu, tenaga pukulan "It-bik-liang-san” dari
Hiancu itu sungguh tidak kepalang hebatnya, tatkala itu sebelah tangan Kiau
Hong mengangkat Ti-jing sehingga getaran tenaga pukulan lawan menembus ke badan
Ti-jing dan melukainya.
Begitulah Kiau Hong telah
salurkan hawa murninya ke dalam tubuh Ti-jing, semula ia berharap untuk sementara
dapat mempertahankannya. Di luar dugaan tenaga dalamnya yang mahahebat itu
justru tepat merupakan obat mujarab bagi luka Ti-jing itu. Berangsur-angsur
hawa murninya mengalir masuk ke tubuhnya, keadaan Ti-jing menjadi berubah,
bagaikan pelita minyak diberi tambah minyak, denyut nadinya mulai kuat dan
ucapannya mulai lancar.
Melihat jiwa orang tidak
berbahaya lagi, Kiau Hong merasa lega. Ia pikir tidak boleh tinggal lama di
tempat yang berdekatan dengan Siau-lim-si ini. Segera ia pondong Ti-jing dengan
kedua tangannya, dengan langkah lebar berjalan menuju ke barat laut.
Tapi segera ia rasakan sesuatu
kejanggalan lagi, terasa bobot badan Ti-jing itu sangat enteng tidak seimbang
dengan perawakannya yang kekar. Ia pikir, "Untuk membuka bajumu memang
kurang sopan, tapi kalau membuka sepatu dan kaus kakimu masakan tidak boleh?”
Segera ia copot sepatu padri
orang sebelah kanan, lalu meremas telapak kakinya, terasa apa yang tergenggam
di tangannya itu sangat keras, terang bukan anggota badan manusia hidup. Ia
coba menarik sedikit keras, di luar dugaan, sepotong benda kena dibetotnya.
Waktu ia perhatikan kiranya sebuah kaki palsu buatan dari kayu.
Ketika raba kaki Ti-jing pula,
baru sekarang ia merasakan itulah kaki manusia yang sungguh-sungguh, kaki itu
halus lemas dan kecil mungil.
"Hm, memang benar seorang
perempuan,” jengek Kiau Hong diam-diam.
Segera ia keluarkan ginkangnya
yang tinggi, ia berlari dengan cepat. Satu jam kemudian, ia taksir sudah lebih
50 li meninggalkan Siau-lim-si, ufuk timur pun mulai terang, fajar sudah
menyingsing.
Dengan membawa Ti-jing
sampailah Kiau Hong di suatu hutan kecil, ia melihat sebuah sungai kecil dengan
air gunungnya yang jernih. Ia mendekati sungai itu dan meraup sedikit air untuk
menyiram muka Ti-jing, lalu menggunakan lengan baju orang untuk mengusap
mukanya.
Tiba-tiba ia melihat sesuatu
perubahan aneh. Kulit daging pada muka "Ti-jing” itu mulai rontok sekeping
demi sekeping. Keruan Kiau Hong kaget mengapa kulit daging orang bisa membusuk
sedemikian rupa?
Tapi demi diperhatikan pula,
ia lihat di bawah kulit muka yang busuk itu tertampaklah kulit daging lapisan
bawah yang putih halus bagai kaca.
Waktu dibawa lari oleh Kiau
Hong tadi, sebenarnya Ti-jing dalam keadaan tak sadar. Tapi kini karena mukanya
disiram air, segera ia siuman, ketika membuka mata dan melihat Kiau Hong, ia
bersenyum dan menyapa dengan perlahan, "Kiau-pangcu!”
Saking lemahnya, sesudah
bersuara, kembali ia pejamkan mata pula.
Melihat muka orang masih
belang-bonteng dan lekak-lekuk belum bersih hingga tidak jelas bagaimana wajah
aslinya, segera Kiau Hong
mencelup lengan baju Ti-jing ke dalam air sungai, lalu dipakai mengusap muka
orang dengan agak keras. Maka tertampaklah bubuk tepung rontok berhamburan
hingga berwujudlah sebuah wajah anak dara yang jelita.
"Hai, engkau Nona A Cu!”
seru Kiau Hong tercengang.
Kiranya yang menyaru sebagai
Ti-jing dan menyelundup ke Siau-lim-si itu bukan lain daripada A Cu, si dayang
pribadi Buyung Hok.
Dasar ilmu menyamar A Cu
memang sangat pandai, ia gunakan kaki palsu pula untuk meninggikan
perawakannya, memakai kapas untuk menambah kemontokan perutnya, mukanya
ditambal dengan adukan tepung terigu dan telur, begitu mirip samarannya hingga
siapa pun tidak mengenalnya lagi.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar
A Cu mendengar seruan Kiau Hong yang menyebut namanya sebenarnya ia ingin menyahut,
pula ingin memberi penjelasan mengapa dia menyelundup ke Siau-lim-si. Namun
sayang tenaganya sangat lemah, sampai mulut pun tak menurut perintah lagi,
sepatah kata pun tak sanggup bicara. Dalam gugupnya ia jatuh pingsan lagi.
Pada waktu membawa lari
"Ti-jing” tadi, sebenarnya Kiau Hong anggap orang pasti manusia yang
mahakeji dan licik, tentu besar sangkut pautnya dengan terbunuhnya ayah-bunda
dan Suhu, maka dengan mati-matian ia berusaha menyelamatkan jiwa hwesio itu
dengan harapan dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, bahkan ia sudah
ambil keputusan, bila hwesio ini tidak mau mengaku, ia tidak segan-segan
memberi siksaan yang setimpal untuk mengorek pengakuannya.
Tapi apa yang terjadi kemudian
benar-benar mimpi pun tak tersangka olehnya. Tawanannya itu bukan lagi Tijing
melainkan si nona A Cu yang kecil mungil dan cantik manis itu.
Biarpun Kiau Hong sudah
beberapa kali bertemu dengan A Cu dan A Pik, tapi ia tidak tahu bahwa A Cu
pandai menyamar dan A Pik mahir seni suara. Coba kalau Toan Ki, tentu sudah
dapat menerkanya sejak tadi.
Ia lihat A Cu dalam keadaan
pingsan pula, cepat ia menyalurkan tenaga murninya untuk merawat lukanya lagi.
Kini ia sudah tahu gadis itu bukan keracunan, tapi disebabkan terluka tenaga
pukulan.
Sedikit pikir saja Kiau Hong
lantas tahu duduknya perkara. Diam-diam ia menyesal, "Sebabnya dia terluka
oleh tenaga pukulan Hian-cu itu adalah disebabkan dia terpegang di tanganku.
Coba, bila aku tidak ikut campur urusannya dan membiarkan dia pergi-datang
sesukanya, tentu sejak tadi ia lolos dan tidak nanti terluka separah ini.”
Oleh karena dalam hati Kiau
Hong sudah sangat menghargai Buyung Hok, otomatis terhadap dayangnya juga
timbul rasa sayangnya. Karena gadis itu terluka akibat dirinya, maka ia ambil
keputusan harus menyembuhkannya. Segera katanya pula, "Nona A Cu, terpaksa
harus kupondongmu ke kota untuk mencari tabib, harap engkau jangan marah.”
Habis berkata, kembali ia
pondong anak dara itu dan berjalan cepat ke utara.
Tidak lama kemudian hari sudah
terang benderang, agar tidak menimbulkan curiga orang, ia gunakan lengan baju
si A Cu untuk menutupi muka gadis itu.
Setelah belasan li lagi,
akhirnya tibalah mereka di suatu kota cukup besar dan ramai. Waktu Kiau Hong
tanya orang di pinggir jalan, diketahui kota itu bernama Kho-keh-cip, suatu
kota makmur dengan macam-macam hasil palawijanya. Ia mendapatkan sebuah hotel
terbesar di kota itu, ia minta dua kamar kelas satu dan merebahkan A Cu di atas
ranjang.
Pelayan hotel agak curiga juga
melihat keadaan Kiau Hong dan A Cu yang tidak mirip suami-istri dan tidak
memper kakak-beradik pula. Tapi karena melihat sikap Kiau Hong yang gagah
berwibawa, pelayan itu tidak berani bertanya.
Kiau Hong lantas dihadapkan
pada kesulitan pula karena tidak membawa sangu, ia berkerut kening dengan
sedih.
"Di… di dalam bajuku ada
sebuah… sebuah bandul kalung emas….” demikian A Cu berkata dengan suara lemah.
"Baiklah, boleh kau
keluarkan, nanti kujual,” ujar Kiau Hong.
A Cu ingin menurut, tapi ia
terlalu lemah untuk bisa bergerak. Terpaksa Kiau Hong tidak pikirkan adat
istiadat lagi, segera ia keluarkan benda yang dimaksudkan itu. Ia lihat mainan
kalung itu terbuat sangat indah, sebuah bandul kalung dengan untiran emas yang
halus. Di atas mainan itu terdapat pula ukiran tulisan yang berbunyi:
"Anak Si genap 10 tahun, semakin besar semakin nakal.”
Kiau Hong tersenyum, ia pikir
mainan itu tentu pemberian orang tua si A Cu ketika anak dara itu berulang
tahun kesepuluh, kalau mesti dijual sesungguhnya terlalu sayang. Maka ia taruh
mainan kalung itu ke bawah bantal A Cu, hanya rantai emas itu saja yang
dibawanya pergi untuk dijual. Ia mendapatkan 18 tahil perak, lalu
mengundang seorang tabib untuk
memeriksa luka A Cu.
Sesudah tabib itu memegang
nadi A Cu, dia menggeleng kepala tiada hentinya. Setelah berpikir sejenak,
membuka resep obat pun tidak tabib itu lantas berbangkit sambil berkata,
"Sayang, sayang! Maaf, maaf!”
Lalu permisi dan angkat kaki
tanpa minta honorarium lagi.
Kiranya tabib itu merasa
denyut nadi A Cu sangat lemah dan menaksir sekejap lagi pasti akan putus
nyawanya. Ia khawatir kalau tidak lekas tinggal pergi mungkin akan tersangkut
dalam utusan jiwa itu.
Sudah tentu Kiau Hong ikut
khawatir, kembali ia mengundang seorang tabib lain. Sekali ini si tabib berani
membuka resep dan menyatakan penyakit si nona susah disembuhkan lagi, resep
obat itu hanya sekadar sebagai suatu kewajiban saja.
Kiau Hong melihat resep obat
yang dibuka itu berisi obat sebangsa kamcho (kayu manis), menthol, jeruk purut,
dan sebagainya. Ramuan obat ini dipakai untuk menyembuhkan sakit perut saja
belum tentu manjur.
Dalam dongkolnya Kiau Hong
tidak beli obat itu, segera ia kerahkan tenaga murni sendiri dan disalurkan ke
tubuh A Cu. Hanya sebentar saja air muka A Cu yang pucat telah berubah merah
bercahaya.
"Kiau-pangcu,” dapatlah
gadis itu membuka suara, "syukurlah engkau telah menyelamatkan aku. Jika
tertangkap oleh tawanan keledai gundul itu, tentu melayang jiwaku.”
Mendengar suara orang penuh
tenaga, Kiau Hong sangat girang, sahutnya, "Nona A Cu, sungguh aku sangat
khawatir penyakitmu ini tak dapat disembuhkan, tapi kini engkau sudah baik.”
"Jangan panggil aku nona
apa segala, langsung panggil namaku saja,” ujar A Cu. "Kiau-pangcu, untuk
apakah engkau datang ke Siau-lim-si sana?”
"Sudah lama aku bukan
pangcu lagi, selanjutnya jangan kau panggil aku sebagai pangcu,” kata Kiau
Hong.
"Ah, maaf, untuk
selanjutnya akan kupanggil Kiau-toaya saja,” ujar A Cu.
"Sekarang aku ingin tanya
lebih dulu,” kata Kiau Hong pula. "Apa maksud tujuanmu datang ke
Siau-lim-si?”
"Ai, kalau kukatakan,
janganlah aku ditertawai,” ujar A Cu. "Oleh karena kudengar Kongcu kami
telah pergi ke Siau-lim-si, maka aku ingin mencarinya untuk menceritakan urusan
nona Ong. Siapa duga waktu aku permisi hendak masuk ke biara itu, hwesio
penjaganya dengan bengis melarang aku masuk, alasannya karena aku adalah kaum
wanita. Aku berdebat padanya, tapi malah didamprat olehnya. Aku justru hendak masuk
ke sana, ingin kulihat apakah dia mampu melarang aku.”
"Pantas, Si-ji genap 10
tahun, makin besar makin nakal.” kata Kiau Hong dengan tersenyum.
"Siapakah yang mengukir kalimat itu di atas bandul mainan kalungmu?”
"Ayahku,” sahut A Cu.
Menyebut ayahnya, air muka si gadis tampak berduka.
Kiau Hong taksir mungkin
ayahnya sudah meninggal dunia, maka ia pun tidak tanya lebih jauh, tapi katanya
pula, "Sesudah menyelundup ke Siau-lim-si, padri-padri di situ tentu saja
sangat gusar, tapi tak bisa berbuat apa-apa padamu, terutama bila engkau lantas
perlihatkan dirimu yang sebenarnya, tentu mereka akan runyam.”
"Ya, memang,” sahut A Cu
sambil tertawa dan bangun berduduk. "Sesudah kesehatanku pulih, aku akan
menyamar sebagai laki-laki untuk masuk ke biara itu, lalu keluar pula dengan
dandanan sebagai wanita, biar hwesio-hwesio itu meledak perutnya saking gusar.
Hahaha, sungguh permainan yang menyenangkan, haha….”
Mendadak suara tertawanya
putus, badan lantas terkulai di atas ranjang dengan lemas dan tak bergerak
lagi.
Kiau Hong terkejut, ia coba
periksa napas si gadis, ia merasa pernapasannya seperti sudah terhenti sama
sekali. Dalam khawatirnya cepat Kiau Hong tempelkan telapak tangannya ke
"leng-tay-hiat” di punggung A Cu, ia salurkan hawa murni sendiri ke dalam
badan si gadis.
Tidak lama kemudian, perlahan
dapatlah A Cu mengangkat tubuhnya, katanya dengan penuh menyesal, "Ai,
tadi kita sedang bicara, mengapa aku lantas tertidur? Maafkan, Kiau-toaya.”
Kiau Hong tahu keadaan gadis
itu agak payah, jawabnya, "Badanmu masih kurang kuat, silakan tidur saja
untuk memulihkan semangat.”
"Aku tidak letih,
sebaliknya telah bikin susah Kiau-toaya semalaman, engkau yang perlu mengaso
sebentar,” sahut A Cu.
"Baiklah, sebentar lagi
akan kujenguk kau lagi,” kata Kiau Hong.
Lalu ia keluar ke ruangan
makan, ia pesan lima kati arak dan dua kati daging masak, ia makan dan minum
sendiri. Sebenarnya dalam hal minum arak Kiau Hong boleh dikata tanpa takaran
dan tiada bandingan, tapi kini dalam keadaan masygul, habis lima kati arak itu,
ia merasa agak sedikit pening kepala. Ia beli pula dua biji bakpao dan dibawa
ke kamar untuk A Cu.
Ia menjadi kaget ketika A Cu
dipanggil-panggil tidak menyahut. Waktu ia periksa, ia lihat gadis itu merebah
dengan mata terpejam, muka pucat dan pipi melekuk sebagai mayat. Ketika ia
meraba jidatnya, syukurlah masih terasa hangat. Cepat ia menolongnya dengan
hawa murni sendiri dan perlahan barulah A Cu sadar. Dengan gembira ria kemudian
gadis itu makan kedua biji bakpao.
Dengan demikian maka tahulah
Kiau Hong bahwa saat itu A Cu hanya bisa hidup jikalau ada saluran tenaga
murninya sebagai penyambung nyawa, tapi bila tanpa saluran hawa murni itu,
tiada sejam kemudian tentu gadis itu akan mati lemas. Ia menjadi sedih tanpa berdaya.
Melihat Kiau Hong
termenung-menung dengan air muka sedih, sebagai seorang gadis cerdik, segera A
Cu dapat menduga sebab musababnya. Segera ia tanya, "Kiau-toaya, lukaku
sangat parah dan tabib bilang susah disembuhkan, bukan?”
"O, ti… tidak! Tidak
apa-apa, mengasolah beberapa hari lagi tentu engkau akan sembuh kembali,” sahut
Kiau Hong. "Asal kau mengaso dengan tenang, tentu aku dapat menyembuhkan
penyakitmu.”
Dari nada perkataan orang, A
Cu tahu luka sendiri sesungguhnya sangat parah, mau tak mau ia menjadi
khawatir, dan sekali tangan gemetar, setengah potong bakpao yang belum habis
termakan itu lantas jatuh ke lantai. Menyangka tenaga si gadis kembali lemas,
segera Kiau Hong mengulur tangan untuk menahan leng-tayhiat lagi di punggung A
Cu.
Tapi sekali ini pikiran A Cu
masih jernih, maka dapat dirasakannya satu arus hawa hangat telah menyalur dari
tangan Kiau Hong ke dalam tubuh sendiri dan rasa badannya menjadi enak dan
segar. Setelah memikir sejenak, segera A Cu mengerti keadaan sendiri sebenarnya
sangat berbahaya, tapi berkat hawa murni yang dikorbankan oleh Kiau Hong itulah
jiwanya dapat direnggut dari tangan elmaut. Sungguh terima kasihnya tak
terhingga dan berkhawatir pula.
Meski A Cu adalah seorang
gadis cerdik, tapi apa pun juga ia masih terlalu muda, tiba-tiba air matanya
berlinang-linang, katanya, "Kiau-toaya, aku tidak mau mati, jangan engkau
meninggalkan aku di sini tanpa urus lagi.”
Mendengar ucapan yang harus
dikasihani itu, segera Kiau Hong menghiburnya, "Tidak, pasti tidak, aku
Kiau Hong tidak nanti meninggalkan seorang kawan yang tertimpa malang tanpa
menolongnya!”
"Aku akan mati tidak,
Kiau-toaya?” tanya A Cu dengan berduka. "Engkau adalah kesatria terpuja di
bu-lim, orang menyatakan ‘Pak Kiau Hong dan Lam Buyung’, jadi engkau mempunyai
nama besar sejajar dengan kongcu kami, tentu selama hidupmu tidak pernah omong
kosong, bukan? Engkau mengatakan lukaku tidak berat, engkau tidak mendustai
aku, bukan?”
Demi kebaikan gadis itu,
terpaksa Kiau Hong menjawab, "Aku tidak mendustai kau. Dahulu waktu masih
kanak-kanak aku suka bohong, tapi sesudah besar dan berkelana di Kangouw, aku
tidak pernah mendustai orang lagi.”
"Jika begitu, dapatlah
aku merasa lega,” kata A Cu. "Kiau-toaya, aku ingin memohon sesuatu
padamu.”
"Tentang apa?” tanya Kiau
Hong.
"Malam ini harap kau sudi
mendampingi aku di sini, janganlah meninggalkan aku,” pinta si gadis. Ia
menduga bila ditinggal pergi Kiau Hong, mungkin jiwanya takkan tahan sampai
besok pagi.
"Tentu saja,” sahut Kiau
Hong dengan tertawa. "Biarpun kau tak omong juga aku akan mengawani kau di
sini. Sudahlah, jangan bicara lagi, tidurlah yang tenang.”
A Cu lantas pejamkan mata,
tapi selang sejenak, kembali ia membuka mata dan berkata, "Kiau-toaya, aku
tak bisa tidur. Aku ingin mohon sesuatu padamu, bolehkah?”
"Boleh saja, tentang
apa?”
"Dahulu waktu aku masih
kecil, selalu ibuku meninabobokan aku di tepi ranjang. Asal beliau menyanyi
duatiga lagu, aku lantas terpulas.”
"Dan berada di sini, ke
mana dapat mencari ibumu? Susah tentunya.”
"Ibuku sudah lama
meninggal dunia,” kata A Cu. "Kiau-toaya, sudilah engkau menyanyikan
beberapa lagu untukku?”
Keruan Kiau Hong serbarunyam,
laki-laki setua dia masakah disuruh menyanyi apa segala, kan lucu? Maka
jawabnya, "Aku tidak pintar menyanyi.”
"Ya, apa boleh buat,
engkau tidak sudi menyanyi,” kata si gadis.
"Bukan aku tidak sudi
menyanyi, sesungguhnya aku tidak bisa,” sahut Kiau Hong.
"Eh, ya, ada sesuatu
lagi, sekali ini hendaklah engkau jangan menolak lagi,” tiba-tiba A Cu berseru
girang.
Diam-diam Kiau Hong merasa
kewalahan terhadap dara cilik yang kekanak-kanakan dan serbaaneh pikirannya
ini, entah permintaan apa lagi yang hendak dikemukakan anak dara itu. Terpaksa
ia menjawab, "Cobalah katakan, asal bisa tentu akan kulakukan.”
"Bisa, pasti engkau
bisa,” ujar A Cu tertawa. "Begini, boleh engkau mendongeng, baik dongengan
tentang si kelinci maupun cerita tentang si kucing. Setelah mendengar dongengan
itu tentu aku akan dapat tidur.”
Sungguh Kiau Hong serbasusah.
Belum lama berselang ia adalah seorang tokoh Kangouw terkemuka, seorang pangcu
yang terpuja, tapi dalam waktu singkat saja kedudukannya sudah hilang dan
dipecat dari keanggotaan Kay-pang, bahkan tiga orang yang dicintainya di dalam
dunia ini, yaitu kedua orang tua dan seorang gurunya telah tewas semua dalam
waktu sehari saja, malahan mengenai asal usul sendiri sebenarnya keturunan
bangsa asing atau bangsa Han asli juga belum diketahui, sebaliknya malah
menanggung dosa pendurhakaan kepada orang tua sebagaimana orang mendakwanya.
Belum lagi pukulan-pukulan
batin itu terhibur, kini ia mesti mendampingi seorang nona kecil yang
merengekrengek minta dia menyanyi dan mendongeng apa segala. Sebagai seorang
kesatria, seorang pahlawan sejati, sudah tentu hal-hal tetek bengek itu tidak
menarik baginya. Tapi sekilas dilihatnya sorot mata A Cu itu memancarkan sinar
yang memohon dengan sangat, air mukanya tampak pucat dan lesu pula, ia menjadi
tidak tega, akhirnya ia berkata, "Baiklah, aku akan mendongeng suatu
cerita padamu, tapi entah menarik tidak bagimu?”
"Tentu sangat menarik,
silakan mulai, lekas,” seru A Cu kegirangan.
Walaupun sudah menyanggupi,
tapi dasar Kiau Hong memang bukan seorang pendongeng, dengan sendirinya susah
baginya untuk mulai.
Setelah pikir sebentar,
kemudian katanya, "Baiklah, aku akan bercerita tentang seekor serigala.
Dahulu ada seorang kakek, waktu dia mencari kayu di gunung, tiba-tiba
dilihatnya seekor serigala terjebak di dalam perangkap pemburu. Serigala itu
mohon dengan sangat agar si kakek suka menolongnya. Maka kakak itu lantas
berdaya upaya mengeluarkan serigala itu dari perangkap. Tapi….”
"Tapi sesudah serigala
ditolong si kakek, serigala itu berbalik hendak menerkam si kakek, bukan?” sela
A Cu.
"Ai, cerita ini ternyata
sudah pernah kau dengar,” ujar Kiau Hong.
"Ya, itulah cerita
tentang serigala gunung yang pernah kubaca,” kata A Cu. "Aku tidak suka
dongengan dalam buku, tapi aku minta engkau bercerita tentang kisah nyata di
kampung.”
"Kisah nyata di kampung?”
Kiau Hong bergumam sendiri. Dan setelah berpikir, katanya kemudian,
"Baiklah, aku akan bercerita tentang pengalaman satu anak desa.”
Lalu ia pun mulai,
"Dahulu di suatu pegunungan tinggal satu keluarga miskin. Kecuali ayah,
ibu dan anak itu, mereka tiada anggota keluarga lain lagi. Ketika anak itu
berumur tujuh tahun, perawakannya sudah sangat besar dan dapat membantu sang
ayah mencari kayu di pegunungan. Suatu hari, ayah jatuh sakit, karena keluarga
mereka terlalu miskin, mereka tidak mampu mengundang tabib dan membeli obat.
Namun penyakit ayah makin hari makin berat, terpaksa ibu membawa kekayaan yang
ada, yaitu berupa empat ekor ayam dan satu bakul telur ayam untuk dijual di
kota.
"Dengan uang penjualan
ayam dan telur sebanyak delapan gobang itu ibu pergi mengundang tabib. Tapi
tabib menolak, katanya jalan pegunungan terlalu jauh dan susah ditempuh, meski
ibu memohon dengan sangat, tetap tabib itu menolak. Ibu menyembah dan memohon
dengan menangis, tetap tabib itu tidak mau, bahkan menghina, katanya kaum
miskin berbau apak. Waktu ibu memohon lagi sambil menarik ujung baju tabib itu
hingga robek. Dalam gusarnya tabib itu dorong ibu hingga terjungkal, bahkan
mendepaknya pula serta minta ganti kerugian, katanya baju itu baru saja
dibuatnya, harganya tiga tahil perak.”
"Tabib itu benar-benar
keterlaluan,” kata A Cu perlahan.
Kiau Hong diam sejenak, ia
lihat cuaca di luar sudah remang-remang, lalu sambungnya, "Waktu itu si
anak juga berada di samping ibunya, melihat sang ibu dianiaya orang segera ia
menerjang maju untuk menggeluti si tabib. Tapi ia cuma seorang anak kecil,
dengan mudah saja tabib itu mengangkatnya dan melemparkannya
keluar pintu. Oleh karena
khawatir akan terjadi apa-apa atas diri anaknya, sang ibu berlari keluar pintu
untuk memeriksa keadaan bocah itu. Dan kesempatan itu lantas digunakan oleh si
tabib untuk menutup pintu.
"Jidat bocah itu terluka
lecet dan mengeluarkan darah. Sebagai kaum wanita yang lemah, sang ibu tidak
berani bikin ribut lagi pada si tabib, segera ia membawa anaknya pulang ke
rumah sambil menangis. Waktu lewat sebuah toko besi, si bocah melihat di
dasaran toko itu tertaruh banyak pisau jagal yang lancip lagi tajam. Penjualnya
sedang sibuk melayani pembeli di dalam toko, kesempatan itu digunakan oleh si
bocah untuk mencuri sebuah pisau jagal itu. Ibunya tidak tahu perbuatan anaknya
itu.
"Setiba di rumah, ibu
tidak berani menceritakan pengalamannya kepada ayah, sebab khawatir ayah akan
gusar dan sedih hingga menambah berat penyakitnya. Waktu ibu hendak
mengeluarkan uang hasil penjualan ayam dan telurnya itu, ia menjadi kaget
ketika merasa uang itu sudah hilang. Dengan terkejut dan heran ibu keluar untuk
tanya si anak, ia lihat bocah itu sedang mengasah sebilah pisau baru pada batu
asah, segera ibunya tanya dari mana mendapatkan pisau lancip itu. Si anak tidak
berani bilang mencuri, maka membohong pemberian orang. Dengan sendirinya ibunya
tidak percaya, pisau jagal itu di pasar sedikitnya berharga empat-lima gobang,
mana mungkin ada orang sembarangan memberi pisau mahal pada seorang bocah?
"Waktu ditanya siapa yang
memberi, sudah tentu si anak tak dapat menjelaskan. Maka berkatalah ibunya
dengan menghela napas, ‘Nak, ayah dan ibu sangat miskin, biasanya tidak dapat
membelikan mainan apa pun untukmu, jika sekarang kau ingin mainan pisau,
sebagai anak laki-laki dengan sendirinya boleh saja. Cuma uang kelebihan itu
hendaklah kau kembalikan pada ibu, ayah sedang sakit, biarlah kita membeli
satu-dua tahil daging untuk dibuatkan kaldu bagi ayahmu!’
"Anak itu merasa bingung,
dengan mata terbelalak ia menjawab, ‘Uang kelebihan apa maksud ibu?’ - ‘Yaitu
kedelapan gobang hasil penjualan telur dan ayam itu, telah kau gunakan membeli
pisau itu, bukan?’
"Bocah itu menjadi gugup
dan menyangkal, ‘Tidak, aku tidak ambil uang itu, aku tidak ambil uang itu!’
Kedua orang tua itu selamanya tidak pernah menghajar anaknya, biarpun bocah itu
baru berusia beberapa tahun, tapi mereka pandang si anak seperti tamu di
rumahnya….”
Bercerita sampai di sini,
diam-diam Kiau Hong sendiri merasa heran mengapa kedua orang tua itu sedemikian
baik dan ramah tamahnya kepada si anak, tidak lazim ayah-ibu begitu menghargai
anaknya biar bagaimanapun kasih sayangnya. Karena pikiran itu, tanpa terasa ia
bergumam sendiri, "Ya, aneh, mengapa bisa begitu?”
"Aneh tentang apa?” tanya
A Cu tiba-tiba.
Habis mengucapkan kalimat itu,
napas anak dara itu sudah sangat lemah. Kiau Hong tahu tenaga murni dalam tubuh
si gadis telah habis lagi, cepat ia tempelkan tangannya lagi ke punggung A Cu
dan menyalurkan tenaga murni.
Lambat laun semangat A Cu
pulih kembali, katanya dengan gegetun, "Ai, Kiau-toaya, setiap kali kau
salurkan tenagamu kepadaku, setiap kali tenagamu sendiri lantas berkurang,
padahal tenaga murni bagi seorang tokoh persilatan adalah mahapenting. Engkau
sedemikian baik kepadaku, sungguh entah cara bagaimana aku… aku harus
membalasmu?”
"Untuk mana cukup aku
bersemadi satu-dua jam saja tentu tenaga murniku akan pulih, masakah berkata
tentang belas budi segala?” sahut Kiau Hong tertawa. "Biarpun aku tidak
kenal majikanmu Buyung-kongcu tapi dalam hatiku dia sudah kuanggap sebagai
sahabat. Kau adalah orangnya, mengapa sungkan padaku?”
"Tapi setiap sejam-dua
jam tenagaku lantas habis, masakah engkau harus membantuku dengan cara
demikian?” ujar A Cu dengan muram.
"Kau jangan khawatir,
kita pasti akan mendapatkan seorang tabib pandai untuk menyembuhkanmu,” hibur
Kiau Hong.
"Hihi, mungkin tabib itu
juga akan menolak karena aku adalah kaum miskin yang berbau apak,” ucap A Cu
dengan tersenyum. "Eh, Kiau-toaya, ceritamu tadi belum lagi habis, tadi
engkau bilang aneh tentang apa?”
"O, tiada apa-apa, aku
melantur tak keruan,” sahut Kiau Hong. Lalu ia menyambung ceritanya,
"Melihat anaknya tidak mengaku, maka sang ibu juga tidak mendesak lebih
jauh dan tinggal masuk ke rumah. Selang tak lama, selesai mengasah pisaunya,
anak itu pun masuk ke rumah, sayup-sayup ia mendengar ayah dan ibunya sedang
mempercakapkan dia mencuri uang untuk membeli pisau, tapi tidak mau mengaku.
Namun sang ayah menyatakan kerelaannya agar bocah itu jangan ditegur lagi
karena selama ini kepada anak itu tidak pernah diberi mainan apa-apa.
"Dan ketika melihat anak
itu masuk ke rumah, percakapan kedua orang tua itu lantas berhenti, malahan
dengan ramah ayahnya berkata kepada si anak sambil meraba jidatnya yang terluka
itu, ‘Anak yang baik, selanjutnya jangan berlari-lari, ya, supaya tidak jatuh
lagi!’
"Ternyata orang tua itu
sama sekali tidak menyinggung tentang kehilangan uang dan tentang pembelian
pisau itu. Bahkan nada suaranya sama sekali tidak mengunjuk rasa kurang senang
sedikit pun.
"Meski umur bocah itu
baru tujuh tahun, tapi ia sudah pintar, diam-diam ia pikir, ‘Aku dicurigai ibu
mencuri uang untuk membeli pisau, bila mereka menghajar aku atau mendamprat
habis-habisan, betapa pun aku rela. Tapi mereka justru sedemikian baik padaku,
sedikit pun tidak mengusut lebih jauh.’
"Namun disebabkan hatinya
tidak tenteram, segera ia berkata kepada sang ayah, ‘Ayah, aku tidak mencuri
uang, pisau ini pun bukannya kubeli’.
"Segera ayahnya menyela,
‘Sudahlah, sudahlah! Ibumu memang suka geger, cuma kehilangan sedikit uang,
kenapa mesti diributkan? Dasar orang perempuan suka urus tetek bengek. Anak
baik, jidatmu masih sakit tidak?’
"Terpaksa bocah itu
menjawab, ‘Tidak sakit, tidak apa-apa!’ - Sebenarnya ia ingin membela diri dari
sangkaan jelek itu, tapi terpaksa tidak jadi. Dengan kesal bocah itu lantas
pergi tidur tanpa makan malam lagi.
"Namun bocah itu
tergulang-guling di atas pembaringan tanpa bisa pulas. Ia dengar pula suara
keluh-kesah dan tangisan perlahan sang ibu, mungkin sedih karena penyakit sang
suami dan penasaran oleh hinaan dan penganiayaan siang hari itu.
"Perasaan anak itu
bergolak, diam-diam ia bangun, ia merayap keluar melalui jendela, malam itu
juga ia masuk ke kota lagi dan mendatangi rumah tabib itu. Tapi gedung kediaman
tabib itu tertutup rapat, betapa pun bocah itu tidak mampu masuk ke sana.
"Namun ia tidak kurang akal,
badannya masih kecil dan cukup menerobos masuk melalui lubang anjing di pojok
pagar tembok. Ia melihat kamar tabib itu masih terang, suatu tanda tabib itu
belum tidur dan sedang memasak obat. Perlahan-lahan anak itu mendorong pintu
kamar, dan rupanya suara keriutan pintu dapat didengar si tabib yang segera
menegur siapa yang datang?
"Tapi bocah itu tidak
bersuara, cepat ia mendekati tabib yang lagi asyik memasak obat, sekali
belatinya dicabut, kontan ia tikam perut tabib itu. Tabib itu hanya merintih beberapa
kali, lalu menggeletak tak bernyawa lagi.”
"Hah, sekali tikam bocah
itu membunuh tabib itu?” seru A Cu terkejut.
"Ya,” sahut Kiau Hong
sambil mengangguk. "Kemudian bocah itu merayap keluar lagi melalui lubang
anjing dan pulang ke rumah. Seorang bocah cilik dalam waktu singkat dan di
tengah malam buta mesti menempuh perjalanan tergesa-gesa sejauh puluhan li,
sudah tentu bocah itu kepayahan. Dan esok paginya, keluarga si tabib
mendapatkan majikan mereka sudah mati dengan perut sobek dan usus keluar, tapi
pintu rumah tetap tertutup rapat hingga tiada tanda-tanda keluar-masuknya
pembunuh.
"Maka orang sama
mencurigai jangan-jangan pembunuhan itu dilakukan oleh orang dalam sendiri.
Guna pengusutan itu, istri dan saudara tabib itu ditangkap pembesar negeri,
mereka ditahan dan diusut hingga bertahun-tahun lamanya, maka keluarga tabib
itu menjadi berantakan sejak itu. Dan peristiwa pembunuhan itu sampai sekarang
masih tetap merupakan teka-teki bagi penduduk Kho-keh-cip.”
"Kau bilang Kho-keh-cip?
Jadi kota inilah tempat kediaman tabib yang terbunuh itu?” A Cu menegas.
"Benar,” sahut Kiau Hong.
"Tabib itu she Ting. Sebenarnya adalah tabib paling terkenal dan terpandai
di kota ini. Rumah tinggalnya di barat kota sana, tapi gedungnya sekarang sudah
tak terawat dan bobrok.”
"Tabib itu suka menghina
kaum miskin dan anggap jiwa orang miskin sama sekali tak berharga, pribadinya
itu benar-benar tercela, tapi dosanya itu juga tidak mesti dibunuh,” demikian
kata A Cu dengan menyesal. "Dan anak itu sesungguhnya juga terlalu kejam,
sungguh aku tidak percaya bahwa seorang anak umur tujuh tahun berani membunuh
orang. Kiau-toaya, ceritamu ini hanya dongengan belaka atau benar-benar kisah
nyata?”
"Benar-benar kisah
nyata,” sahut Kiau Hong.
A Cu menghela napas gegetun,
katanya, "Ai, anak kejam begitu mirip benar dengan kaum pengganas orang
Cidan!”
"Kau… kau bilang apa?”
tanya Kiau Hong mendadak sambil melonjak bangun dengan badan gemetar.
Melihat perubahan air muka
orang yang hebat itu, A Cu terkesiap, mendadak ia paham duduknya perkara,
katanya kemudian, "O, maaf, Kiau… Kiau-toaya, aku tidak… tidak sengaja
menyinggung perasaanmu.”
Kiau Hong berdiri
termangu-mangu sejenak, lalu duduk dengan lesu, katanya, "Jadi… jadi
engkau sudah dapat menerkanya?”
A Cu mengangguk, diam-diam ia
dapat menebak si bocah dalam cerita Kiau Hong itu tak-lain-tak-bukan adalah
Kiau Hong sendiri.
"Ucapan yang tidak
disengaja terkadang malah kena dengan jitu,” kata Kiau Hong. "Dan sebabnya
aku turun tangan secara tak kenal ampun itu apakah lantaran aku keturunan
Cidan?”
"Kiau-toaya, A Cu
sembarangan omong, harap engkau jangan pikirkan lagi,” hibur A Cu dengan suara
lembut. "Adapun engkau membunuh tabib jahat itu adalah karena jiwa
kesatriaanmu yang ingin membalas sakit hati ibumu.”
"Sebenarnya tidak melulu
sakit hati ibuku, tapi disebabkan pula aku dituduh tanpa berdosa,” kata Kiau
Hong sambil pegang kepala sendiri dengan kedua tangannya yang lebar.
"Padahal kedelapan gobang uang ibu itu tentu tercecer waktu si tabib mengiprat
dan mendorongnya, tapi aku… aku yang disangka mencuri uang itu, selama hidupku
paling tidak tahan bila dituduh tanpa berdosa.”
Namun demikian dalam waktu
satu hari ini ia susah menanggung tiga peristiwa aneh. Tentang dia orang Cidan
atau bukan, belum dapat dipastikan sekarang, tapi kematian Kiau Sam-hoay
suami-istri dan Hian-koh Taysu sudah jelas bukan perbuatannya, namun ketiga
dosa besar itu justru ditimpakan atas namanya. Padahal siapakah gerangan
pembunuh yang sebenarnya? Siapa pula gerangan yang sengaja memfitnahnya itu?
Pada saat itulah tiba-tiba
Kiau Hong teringat sesuatu lagi, "Mengapa ayah dan ibu selalu mengatakan
mereka tidak pernah memberikan apa-apa yang bagus padaku? Jika aku adalah putra
mereka yang sebenarnya, dengan sendirinya sang putra mesti ikut hidup miskin
dengan orang tua yang miskin, mengapa perlu perlakuan yang baik segala? Jika
demikian, terang aku memang bukan anak kandung mereka, tapi adalah anak titipan
orang lain. Mungkin orang yang menitipkan aku itu sangat dihormati dan disegani
oleh ayah dan ibuku. Lantas siapakah gerangan orang yang menitipkan aku kepada
ayah dan ibu itu? Besar kemungkinan adalah Ongpangcu.”
Berpikir begitu, ia bandingkan
pula sifat sendiri yang jauh berbeda daripada kedua orang tua yang welas asih
itu, ia menjadi lebih yakin lagi bahwa dirinya pasti keturunan orang Cidan.
Rupanya A Cu dapat meraba
perasaan Kiau Hong itu, maka ia coba menghiburnya, "Kiau-toaya, mereka
mengatakan engkau adalah keturunan Cidan, kukira mereka sengaja hendak
memfitnah engkau. Jangankan engkau berbudi luhur dan berjiwa kesatria, hal ini
tersohor di segenap penjuru dan pelosok, bahkan terhadap seorang budak rendahan
seperti aku ini juga engkau sedemikian baiknya. Sebaliknya orang Cidan umumnya
sebuas binatang, bedanya dengan engkau seperti langit dan bumi, mana dapat
engkau dipersamakan dengan mereka.”
"A Cu, jika aku
benar-benar orang Cidan, apakah engkau masih sudi menerima perawatanku ini?”
tanya Kiau Hong.
A Cu serbasusah untuk
menjawab. Maklum, waktu itu bangsa Han teramat benci kepada bangsa Cidan dan
memandangnya sebuas binatang dan sekejam ular berbisa, dianggapnya tiada orang
Cidan yang mempunyai rasa perikemanusiaan, semuanya kejam.
Sesudah tertegun sejenak,
kemudian jawabnya, "Sudahlah, jangan kau pikir yang tidak-tidak, betapa
pun tidak mungkin engkau adalah orang Cidan. Jika di antara orang Cidan ada
yang baik budi seperti engkau, tentu kita pun tidak akan membenci mereka.”
Kiau Hong termenung diam, ia
pikir kalau benar dirinya adalah keturunan orang Cidan, sampai seorang budak
kecil seperti A Cu juga tidak sudi gubris padanya lagi. Sesaat ia merasa dunia
seakan-akan sempit baginya, pikirannya bergolak hebat, darah seolah-olah
mendidih di dalam rongga dadanya.
Ia tahu tenaga dalam sendiri
telah banyak terbuang karena beberapa kali mesti menolong A Cu untuk
melancarkan tenaga dan mengatur napas. A Cu juga pejamkan mata untuk mengaso.
Selang tak lama, selesailah
Kiau Hong melatih diri. Ia khawatir keadaan A Cu payah lagi, ia hendak
memeriksa nadi gadis itu. Tiba-tiba didengarnya di tempat tinggi sebelah barat
sana ada suara kletek perlahan dua kali.
Sebagai seorang Kangouw ulung
segera Kiau Hong tahu itu adalah suara loncatan orang bu-lim dari atap rumah ke
atap rumah yang lain. Menyusul di arah timur sana juga ada suara serupa dua
kali, bahkan suara yang belakangan ini lebih lirih, suatu tanda ginkang
pendatang itu lebih tinggi daripada yang duluan.
Sekaligus dari beberapa
jurusan datang orang Kangouw, Kiau Hong menduga besar kemungkinan dirinya yang
sedang dicari. Segera ia bisiki A Cu, "Aku akan keluar sebentar dan segera
kembali lagi, jangan takut.”
A Cu mengangguk. Lalu Kiau
Hong menyelinap keluar dari pintu yang setengah tertutup itu. Dengan enteng ia
putar ke belakang rumah dan berdiri mepet dinding luar.
Baru dia berdiri di situ,
tiba-tiba dari kamar hotel sebelah timur sana ada suara seorang sedang berkata,
"Apakah Hiang-patya di situ? Silakan turun saja!”
Lalu terdengar pendatang
sebelah barat tadi tertawa dan menjawab, "Ki-loliok dari Kwansay juga
datang!”
"Bagus, bagus! Silakan
masuk semua!” ujar orang di dalam kamar itu.
Maka berturut-turut kedua
orang di atas atap rumah tadi melompat turun dan masuk ke dalam kamar.
Kiau Hong kenal Ki-loliok dari
Kwansay itu berjuluk "Goay-to Ki Liok”, Si Golok Kilat, seorang jagoan
terkenal di daerah Kwansay (di
luar tembok besar bagian barat). Sedang Hiang-patya yang disebut tadi diduganya
pasti Hiang Bong-thian dari Siantang, konon orang berbudi dan dermawan, ilmu
silatnya juga sangat hebat.
Kedua orang itu bukan manusia
jahat, kedatangan mereka tentu tiada sangkut pautnya denganku, kenapa aku mesti
curiga? Demikian pikir Kiau Hong.
Dan selagi dia hendak kembali
ke kamar, tiba-tiba terdengar Hiang Bong-thian tadi berkata, "Mendadak
‘Giam-ong-tek’ Sih-sin-ih menyebar enghiong-tiap (kartu undangan kesatria dan
mengundang para kesatria Kangouw), apakah Pau-toako tahu sebab musababnya?”
Mendengar nama
"Giam-ong-tek” Sih-sin-ih disebut, Kiau Hong terkejut dan bergirang,
pikirnya, "Mengapa Sih-sin-ih berada di sekitar sini? Jika demikian, si
budak A Cu dapatlah tertolong.”
Kiranya Sih-sin-ih atau Si Tabib
Sakti she Sih itu adalah tabib nomor satu pada zaman itu, oleh karena sebutan
"sin-ih” (tabib sakti) sangat terkenal sehingga nama asalnya dilupakan
orang.
Menurut cerita orang Kangouw
yang mungkin berlebih-lebihan, katanya orang mati pun dapat dia hidupkan
kembali dengan obatnya. Maka bila orang hidup, betapa parah penyakit atau luka
yang diderita pasti akan dapat disembuhkan olehnya.
Oleh karena pengobatannya yang
tidak pernah gagal itu hingga tiada orang sakit yang mati di bawah
perawatannya, maka orang anggap dia seakan-akan bermusuhan dengan Giam-lo-ong
(raja akhirat) sehingga dia julukan "Giam-ong-tek” atau musuh raja akhirat.
Sih-sin-ih itu tidak melulu
lihai pengobatannya, bahkan ilmu silatnya juga sangat hebat. Ia suka bergaul
dengan kawan Kangouw, setiap kali dia mengobati orang, sering ia minta belajar
sejurus-dua dari pasiennya itu. Oleh karena merasa utang budi, yang diminta
dengan sendirinya memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh dan yang diajarkan
selalu adalah ilmu silat kebanggaan si pasien.
Begitulah kemudian terdengar
Goay-to Ki Liok juga menegur, "Pau-lopan (Juragan Pau), selama ini ada
terjadi jual-beli apa?”
Diam-diam Kiau Hong
mengangguk, "Pantas, suara orang di dalam kamar itu seperti sudah kukenal,
kiranya dia ‘Bo-pun-ci’ Pau Jian-leng. Orang ini suka mencuri dari si kaya
untuk membantu kaum miskin, namanya cukup harum. Dahulu waktu aku diangkat
menjadi pangcu, dia juga datang hadir pada upacara itu.”
Setelah mengetahui orang di
dalam kamar itu adalah "Bo-pun-ci” (Tanpa Modal) Pau Jian-leng, seorang
maling yang terkenal budiman, maka Kiau Hong tidak ingin mendengarkan lagi
pembicaraan mereka. Ia pikir biar besok saja akan kutanya Pau Jian-leng di mana
beradanya Sih-sin-ih.
Tapi belum lagi ia putar
langkah, sekonyong-konyong terdengar Pau Jian-leng menghela napas dan berkata,
"Ai, selama beberapa hari ini perasaanku lagi kesal, tiada semangat buat
jual-beli apa-apa. Malahan hari ini kudengar dia membunuh ayah-ibu sendiri dan
membinasakan gurunya pula, sungguh rasa hatiku sangat pedih.”
Habis berkata, terdengar ia
menghantam meja dengan keras.
Mendengar itu, tahulah Kiau
Hong bahwa dirinya yang sedang dipercakapkan. Benar juga, terdengar Hiang
Bong-thian menanggapi, "Nama keparat Kiau Hong itu sangat disegani, ia
pura-pura berbudi dan baik hati sehingga selama ini banyak yang tertipu, siapa
duga dia akan berbuat durhaka seperti itu?”
"Dahulu waktu dia
diangkat menjadi Pangcu Kay-pang aku pun hadir pada upacara itu dan kenal baik
padanya,” demikian Pau Jian-leng berkata pula. "Maka waktu mula-mula aku
diberi tahu orang bahwa Kiau Hong adalah keturunan Cidan dengan tegas kudamprat
ocehan yang sembrono itu, bahkan karena itu aku bertengkar dengan Tio-losam
hingga hampir-hampir baku jotos. Ai, orang Cidan memang mirip binatang, untuk
sementara ia dapat menutupi sifat aslinya, akhirnya wataknya yang buas lantas
kelihatan.”
"Lebih-lebih tak
tersangka kalau dia keluaran Siau-lim-pay, Hian-koh Taysu ternyata adalah
gurunya,” kata Ki Liok, Si Golok Kilat.
"Urusan itu sangat
dirahasiakan rupanya, sebab ketua Siau-lim-si sendiri juga tidak tahu,” ujar
Pau Jian-leng. "Coba kalau Kiau Hong sendiri tidak omong dan disiarkan orang
Kay-pang sendiri, mungkin tiada seorang pun yang tahu. Setelah membunuh kedua
orang tua dan gurunya, orang she Kiau itu mengira dapatlah menutupi asal-usul
dirinya, dengan demikian ia dapat menyangkal mati-matian tanpa saksi. Tak
terduga kejadiannya malah berbalik tidak menguntungkan dia, dosanya juga makin
bertambah.”
Kiau Hong cukup kenal jiwa
kesatria "Bo-pun-ci” Pau Jian-leng, persahabatan mereka pun cukup akrab.
Jika sekarang maling agung itu pun mencerca dirinya, maka dapatlah dibayangkan
bagaimana orang lain akan memaki dan mengutuknya.
Teringat demikian, hati Kiau
Hong menjadi hampa dan putus asa. Tanpa dosa telah tertimpa tuduhan yang susah
membela diri, apakah akhirnya ia mampu mencuci bersih fitnahan itu? Tidakkah
lebih baik mengasingkan diri saja, setelah bertahun-tahun, tentu orang Kangouw
akan melupakan manusia seperti aku.
Demikian pikirnya dengan
hampa.
Dalam pada itu terdengar Hiang
Bong-thian sedang berkata pula, "Menurut dugaanku, sebabnya Giam-ong-tek
menyebar enghiong-tiap, maksudnya apakah untuk menghadapi Kiau Hong. Selama
hidup Giam-ong-tek paling benci pada kejahatan, asal dia mendengar ada kejadian
tidak adil di kalangan Kangouw, tanpa disuruh dia pasti ikut campur urusan itu.
Apalagi persahabatannya dengan Hian-lan dan Hian-cit Taysu dari Siau-lim-si itu
sangat kekal, sudah tentu dia tidak dapat tinggal diam urusan yang menyangkut
Siau-lim-pay itu.”
"Kukira betul dugaanmu
itu, memang paling akhir ini di kalangan Kangouw juga tiada terjadi geger
apa-apa selain perbuatan orang she Kiau itu,” kata Pau Jian-leng.
"Hiang-heng, Ki-heng, marilah kita habiskan 20 kati arak ini, malam ini
kita bicara sepuas-puasnya.”
Kiau Hong pikir apa yang akan
dibicarakan mereka itu sampai semalam suntuk juga dirinya yang akan dicaci maki
habis-habisan dengan dibumbu-bumbui. Maka ia tidak ingin mendengarkan lagi,
segera ia pulang ke kamar A Cu.
Melihat air muka Kiau Hong muram
durja dan pucat, dengan khawatir A Cu tanya, "Kiau-toaya, apakah engkau
ketemukan musuh?”
Namun Kiau Hong hanya
menggeleng kepala saja.
A Cu masih khawatir, tanyanya
pula, "Engkau tidak terluka apa-apa, bukan? Kiau-toaya?”
Padahal sejak Kiau Hong berkecimpung
di dunia Kangouw, selalu ia dihormati kawan dan disegani lawan, belum pernah ia
dihina dan dimaki secara rendah oleh orang seperti beberapa hari ini. Kini demi
mendengar pertanyaan A Cu itu, mendadak sifat angkuhnya berkobar-kobar,
sahutnya keras-keras, "Tidak, aku tidak apaapa. Memang tidak sulit manusia
rendah itu hendak menghina dan memfitnah diriku, tapi untuk melukai orang she
Kiau, huh, tidaklah gampang.”