Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 26-30

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 26-30 "Banyak terima kasih atas uraian Ti-kong Taysu sehingga kita semua dapat mengikuti duduknya perkara dari awal,” kata Ci-tianglo.
Jilid 26
"Banyak terima kasih atas uraian Ti-kong Taysu sehingga kita semua dapat mengikuti duduknya perkara dari awal,” kata Ci-tianglo. Lalu ia unjuk surat yang dipegangnya tadi, "Dan surat ini adalah kiriman pendekar Toako Pemimpin itu kepada Ong-pangcu, isinya berusaha mencegah Ong-pangcu agar jangan mengangkat engkau sebagai gantinya. Nah, silakan baca sendiri, Kiau-pangcu.”

"Coba kulihat dulu, apakah surat itu asli atau bukan,” kata Ti-kong tiba-tiba sambil menerima surat itu dari tangan Ci-tianglo. Setelah membaca, katanya pula, "Ya, memang betul adalah tulisan tangan Toako Pemimpin.”

Sembari berkata, diam-diam ia gunakan jari tangan kiri untuk robek bagian yang ada tanda tangan penulis surat itu, lalu dimasukkan ke mulut terus ditelan.

Tatkala itu hari sudah gelap, di tengah hutan hanya remang-remang oleh cahaya bintang yang berkedip, waktu Ti-kong merobek surat itu ia pura-pura kurang jelas membacanya, maka surat itu diangkat ke atas, pada saat itulah ia robek ujung surat dan ditelan.

Sudah tentu Kiau Hong tidak menduga padri saleh itu bisa berbuat selicik itu, sambil membentak terus saja sebelah tangan menabok ke depan, dari jauh ia tepuk hiat-to padri itu, berbareng tangan lain hendak merebut surat itu. Namun tetap terlambat, sobekan kertas surat itu sudah masuk ke perut Ti-kong.

"Kau ... kau berbuat apa?” bentak Kiau Hong dengan gusar, menyusul ia menabok pula untuk membuka hiat-to orang.

Ti-kong tersenyum, sahutnya, "Kiau-pangcu, jika engkau sudah mengetahui asal usul dirimu sendiri, tentu engkau akan membalas sakit hati ayah-bundamu. Karena Ong-pangcu sudah meninggal, dia tidak perlu dibicarakan lagi, tapi siapa Toako Pemimpin justru tidak boleh diketahui olehmu. Dahulu pernah kuikut serta menyerang kedua orang tuamu itu, maka segala dosa dan kesalahan biar aku menanggungnya, hendak kau bunuh atau digantung terserahlah padamu untuk melakukannya sekarang.”

Melihat sikap padri yang sungguh-sungguh itu, wajah tersenyum welas asih, meski berduka dan penasaran, mau tak mau Kiau Hong menaruh hormat juga padanya, maka katanya, "Hal ini benar atau tidak, saat ini aku sendiri belum yakin. Hendak membunuhmu juga tidak perlu terburu-buru pada saat demikian.”

Habis berkata, ia melirik sekejap pada Tio-ci-sun.

"Benar, termasuk juga aku,” kata Tio-ci-sun sambil mengangkat pundak seakan-akan menghadapi urusan sepele saja, "utang itu aku pun mempunyai bagian, kapan-kapan saja engkau suka, setiap saat engkau boleh turun tangan.”

"Kiau-pangcu,” seru Tam-poh tiba-tiba, "setiap tindakan harus dipikirkan masak-masak sebelumnya. Bila sampai menimbulkan persengketaan antarbangsa, maka setiap pahlawan di Tionggoan pasti akan memusuhimu.”

Kiau Hong hanya tertawa dingin, perasaannya sangat kusut, ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya.

Ia coba membaca surat, isinya sebagai berikut:

Saudaraku Kiam-yan.

Setelah pembicaraan selama beberapa hari, maksud mewariskan kedudukanmu ternyata tidak berubah. Setelah beberapa hari kupikirkan, aku pun tetap tidak menyetujui maksudmu itu. Kepandaian pemuda she Kiau itu memang lain daripada yang lain, jasanya juga sangat besar, berjiwa kesatria dan patriotik, bukan saja menjadi tokoh kebanggaan Kay-pang, bahkan setiap kawan persilatan sebangsa juga merasa kagum padanya. Dengan tokoh sehebat itu untuk menggantikan kedudukanmu, perkembangan Kay-pang kelak sudah dapat diduga pasti akan membubung ....

Membaca sampai di sini, Kiau Hong merasa cianpwe ini sangat menghargai dirinya, ia merasa sangat berterima kasih, ia membaca lagi:

Namun pertarungan sengit di luar Gan-bun-koan dahulu itu betapa menggetarkan sukma keadaan waktu itu, sampai kini sehari pun tidak pernah kulupakan. Anak itu bukan bangsa kita, ayah bundanya terbinasa di tangan kita. Takkan menjadi soal bila anak ini tidak tahu asal usul sendiri, tetapi bila kelak ia tahu, bukan saja Kaypang akan musnah di tangannya, bahkan dunia persilatan di Tionggoan juga akan mengalami malapetaka. Orang yang berkepandaian setinggi anak ini pada zaman ini sesungguhnya dapat dihitung dengan jari.

Sebenarnya sebagai orang luar tidaklah pantas aku ikut campur urusan Kay-pang kalian, tapi hubungan kita lain daripada yang lain, urusan ini sangat luas pula akibatnya. Maka sebelum ambil keputusan, haraplah dipikirkan lebih masak lagi.

Tanda tangan penulis surat itu sudah tidak terbaca lagi karena telah dirobek oleh Ti-kong tadi.

Melihat Kiau Hong termangu-mangu setelah membaca surat itu, segera Ci-tianglo mengangsurkan sehelai surat yang lain, katanya, "Dan ini adalah tulisan Ong-pangcu, engkau tentu kenal tulisan tangannya.”

Setelah menerima surat itu, Kiau Hong melihat isinya adalah:

Kepada Be-hupangcu, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan para tianglo yang lain untuk dilaksanakan.

Apabila Kiau Hong bertindak mengkhianati bangsa dan berhubungan dengan musuh, harus segera membunuhnya dan jangan ayal. Cara bagaimana pelaksanaannya terserah kepada kalian menurut keadaan, siapa yang melaksanakan tugas ini dia berjasa dan tidak bersalah.

Tertanda Ong Kiam-thong.

Surat wasiat itu tertanggal tujuh bulan lima tahun keenam Goan Hong. Kiau Hong coba menghitung, ternyata hari itu persis adalah hari dirinya diangkat menjadi Pangcu Kay-pang.

Kiau Hong kenal baik tulisan tangan gurunya yang berbudi itu, maka tentang asal usul dirinya kini tidak perlu disangsikan lagi. Terkenang dahulu betapa Insu mencintai diriku bagai putra sendiri, siapa tahu pada hari aku menjadi pangcu itu diam-diam beliau menulis juga secarik surat wasiat ini. Saking pilunya air mata lantas bercucuran dan menetes di atas surat wasiat tinggalan Ong-pangcu itu hingga basah seketika.

Dalam pada itu Ci-tianglo berkata pula, "Harap Pangcu jangan marah kepada kekurangajaran kami. Adapun surat wasiat Ong-pangcu ini sebenarnya cuma diketahui oleh Be-hupangcu seorang dan selama ini disimpannya dengan rapi, tidak pernah ia katakan kepada siapa pun. Selama beberapa tahun ini tindak tanduk Pangcu cukup bijaksana dan terpuji, sekali-kali tidak mungkin bersekongkol dengan musuh untuk menindas bangsa Han.

"Tentang pesan tinggalan Ong-pangcu ini sudah tentu tidak perlu dijalankan. Ketika Be-hupangcu mendadak tewas barulah surat wasiat ini diketemukan Be-hujin. Sebenarnya semua orang bercuriga Be-hupangcu dibunuh oleh Buyung-kongcu dari Koh-soh, bila Pangcu dapat membalaskan sakit hati Tay-goan, tentang asal usul Pangcu mestinya tidak perlu diumumkan pula, demi untuk kepentingan umum, kupikir surat wasiat Ongpangcu ini sebaiknya dibakar saja. Tapi ... tapi ....”

Sampai di sini ia berpaling ke arah Be-hujin, lalu melanjutkan, "Pertama Be-hujin tidak mungkin mengesampingkan sakit hati terbunuhnya Tay-goan tanpa membalas. Kedua, Kiau-pangcu sengaja melindungi bangsa lain, tindak tanduknya membahayakan kesatuan Kay-pang kita ....”

"Aku membela orang asing? Dari mana bisa dikatakan demikian?” tanya Kiau Hong bingung.

"Perkataan ‘Buyung’ adalah nama keluarga ‘asing’,” sahut Ci-tianglo. "Buyung-si adalah keturunan bangsa Sianbi, seperti bangsa Cidan, sama-sama merupakan bangsa asing di luar perbatasan.”

"O, kiranya begitu, aku benar-benar tidak tahu,” kata Kiau Hong.

"Dan ketiga, tentang Pangcu adalah keturunan Cidan, anggota kita sudah banyak yang tahu sekarang, kekacauan sudah terjadi, untuk menutupi juga tiada faedahnya,” kata Ci-tianglo akhirnya.

Tiba-tiba Kiau Hong menengadah sambil menarik napas panjang, tanda tanya yang sejak tadi mencekam hatinya baru sekarang terjawab semua. Lalu katanya kepada Coan Koan-jing, "Coan-thocu, jadi kau tahu aku ini keturunan Cidan, makanya memberontak, begitu bukan?”

"Benar,” jawab Koan-jing tegas.

"Dan sebabnya Song, Ge, Tan, dan Go berempat tianglo bersepakat melawan aku, apa juga disebabkan hal ini?” tanya Kiau Hong pula.

"Benar,” sahut Koan-jing. "Cuma mereka masih ragu dan belum berani bertindak, bahkan setiba waktunya, mereka ketakutan malah.”

"Tentang asal usul diriku, dari mana kau mendapat tahu?” desak Kiau Hong.

"Urusan ini menyangkut orang lain lagi, maafkan tak dapat kuberi tahu,” sahut Koan-jing. "Maklum, kertas tak dapat membungkus api, betapa pun engkau merahasiakannya, akhirnya pasti juga akan ketahuan.”

Sesaat itu pikiran Kiau Hong bergolak hebat, sebentar ia berpendapat, "Tentu mereka iri pada kedudukanku,

maka sengaja mengarang berbagai dongengan untuk memfitnah diriku. Sekalipun aku seorang diri juga harus melawan sampai detik penghabisan, tidak boleh menyerah.”

Tapi lain saat terpikir pula, "Namun tulisan tangan Insu itu tidak mungkin dipalsukan. Ti-kong Taysu juga seorang padri berilmu, selamanya tiada dendam permusuhan apa-apa denganku, guna apa dia ikut mengatur tipu muslihat ini? Sedang Ci-tianglo adalah tokoh yang paling tua, mana mungkin dia merencanakan pengacauan pada pang sendiri. Begitu pula Tiat-bin-poan-koan Tan Cing, suami-istri Tam-si dan lain-lain adalah tokoh-tokoh Bu-lim yang terhormat, Tio-ci-sun ini meski angin-anginan, tapi juga bukan sembarangan orang, bila mereka pun bersatu pendapat, masakah hal ini perlu disangsikan pula?”

Di lain pihak, demi mendengar ucapan Ci-tianglo tadi, para anggota Kay-pang juga merasa bingung. Biasanya Kiau Hong sangat berbudi kepada bawahannya, baik ilmu silatnya maupun tindak tanduknya sangat dikagumi mereka. Siapa duga sang pangcu justru adalah keturunan Cidan.

Padahal permusuhan kerajaan Song dengan Cidan semakin hebat, selama bertahun-tahun anggota Kay-pang yang menjadi korban keganasan musuh itu entah berapa jumlahnya, kini Kay-pang dikepalai seorang keturunan musuh, hal ini benar-benar tak dapat dipercaya oleh siapa pun dan dengan sendirinya tidak boleh terjadi.

Tapi bicara memecat Kiau Hong keluar Kay-pang secara terang-terangan, ternyata tiada seorang pun yang sanggup buka suara.

Seketika itu suasana di tengah hutan menjadi hening, yang terdengar cuma suara napas orang yang tertekan.

Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang nyaring menggema, "Para paman dan hadirin sekalian, sungguh malang suamiku telah tewas, sebenarnya siapakah pembunuhnya, sampai saat ini masih sukar dikatakan. Tapi mengingat masa hidupnya tindak tanduk suamiku cukup jujur dan prihatin, rasanya tidak pernah bermusuhan dengan siapa-siapa, maka sesungguhnya aku tidak mengerti siapakah gerangan yang begitu tega mengambil jiwanya. Aku khawatir jangan-jangan pada diri suamiku terdapat sesuatu yang mahapenting dan ingin diperoleh orang lain. Bukan mustahil orang lain khawatir suamiku akan membongkar rahasianya dengan bukti yang berada padanya itu, maka suamiku harus dibunuh olehnya untuk menghilangkan saksi hidup.”

Yang bicara ini ternyata Be-hujin adanya, nyonya janda Be Tay-goan.

Ucapannya cukup jelas, secara langsung ia telah menuduh Kiau Hong adalah pembunuh Be Tay-goan dan tujuan pembunuhan itu adalah untuk menghilangkan bukti-bukti tentang Kiau Hong adalah keturunan Cidan.

Perlahan Kiau Hong berpaling, ia menatap tajam wanita yang berperawakan kecil dan lemah gemulai dengan pakaian berkabung itu, katanya, "Jadi engkau mencurigai aku sebagai pembunuh Be-hupangcu?”

Be-hujin sejak tadi berdiri mungkur dengan menunduk, kini mendadak mengangkat kepalanya dan memandang Kiau Hong. Tertampak biji matanya yang bening bersinar bagai batu permata berkelip di malam gelap. Hati Kiau Hong tergetar.

"Aku hanya seorang perempuan yang tidak tahu apa-apa,” demikian Be-hujin berkata pula, "sebenarnya tidak pantas tampil di depan umum seperti ini, apalagi kalau secara serampangan menuduh kesalahan orang. Cuma kematian suamiku sesungguhnya terlalu penasaran, maka dengan sangat kumohon bantuan para paman sudilah mengingat sesama saudara sendiri, sukalah menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya untuk membalas sakit hati suamiku itu.”

Sembari berkata, terus saja ia berlutut dan ternyata Kiau Hong yang disembah olehnya.

Selama hidup Kiau Hong suka mengalah kepada kehalusan dan pantang mundur terhadap kekerasan. Maka terhadap tindakan Be-hujin itu, ia menjadi tak berdaya.

Nyonya janda itu tidak mengucapkan sesuatu kalimat yang mengatakan Kiau Hong adalah pembunuhnya, tapi setiap kalimat ditujukan kepadanya. Kini nyonya muda itu menyembah pula kepadanya, biarpun gusar di dalam hati, namun tidak dapat ia umbar lagi. Terpaksa ia balas hormat dan berkata, "Harap Enso suka bangunlah!”

"Be-hujin,” tiba-tiba suara seorang wanita lain berseru di pojok kiri sana, "ada suatu soal yang kusangsikan, apakah boleh kutanya?”

Waktu semua orang memandang ke arah suara itu, kiranya pembicara adalah seorang gadis jelita berbaju hijau pupus, itulah Ong Giok-yan adanya.

"Soal apakah yang hendak nona tanyakan padaku?” sahut Be-hujin.

"Tadi kudengar Hujin bilang surat wasiat Be-cianpwe itu masih tertutup rapat dengan segel, begitu pula waktu surat itu dibuka Ci-tianglo segalanya juga masih baik-baik. Jika begitu, pada sebelum Ci-tianglo membuka surat itu, seharusnya tiada seorang pun yang pernah membaca surat itu, bukan?” demikian tanya Giok-yan.

"Ya, benar,” sahut Be-hujin.

"Jika begitu, surat wasiat Ong-pangcu dan surat pendekar pemimpin itu kecuali Be-cianpwe sendiri, orang lain kan tiada yang tahu. Maka tuduhan Hujin tadi bahwa ada orang ingin membunuh suamimu untuk menghilangkan bukti, terang tidak masuk di akal,” ujar Giok-yan.

"Siapakah nona? Mengapa ikut campur urusan dalam Kay-pang kami?” tanya Be-hujin dengan aseran.

"Urusan dalam Kay-pang kalian dengan sendirinya tidak boleh kuikut campur,” sahut Giok-yan. "Tapi kalian hendak memfitnah Piaukoku, hal ini tidak boleh jadi.”

"Siapakah Piauko nona? Apakah Kiau-pangcu?” tanya Be-hujin.

"Bukan,” sahut Giok-yan dengan tersenyum sambil menggeleng kepala, "tapi Buyung-kongcu.”

"O, kiranya begitu,” kata Be-hujin, dan ia pun tidak urus Giok-yan lagi melainkan terus berpaling kepada Cithoat Tianglo dan berkata, "Pek-tianglo, menurut undang-undang pang kita, bila umpamanya tianglo melanggar peraturan organisasi, bagaimana kiranya harus ditindak?”

"Tahu aturan tapi melanggarnya sendiri, hukumannya ditambah sekali lebih berat,” sahut Cit-hoat Tianglo tegas.

"Tapi bila kedudukan pelanggar itu lebih tinggi daripada tianglo, lantas bagaimana?” desak Be-hujin.

Pek Si-kia tahu ke mana kata-kata itu hendak ditujukan, maka tanpa terasa ia memandang sekejap ke arah Kiau Hong, lalu jawabnya, "Undang-undang pang kita ditetapkan sejak leluhur kita dan tidak memedulikan tinggirendahnya kedudukan si pelanggar, barang siapa berdosa dia harus dihukum, sama berjasa, sama hukuman, selamanya tidak pandang bulu.”

"Baiklah jika begitu,” ujar Be-hujin. "Tentang kecurigaan nona itu memang beralasan, semula aku pun berpikir begitu. Tapi sehari sebelum kuterima berita kematian suamiku, tiba-tiba rumahku digerayangi orang pada malam harinya.”

Semua orang terkejut oleh cerita itu, tanya mereka beramai-ramai, "Digerayangi orang? Adakah sesuatu yang

dicuri? Melukai orang atau tidak?”

"Tiada seorang pun yang dilukai,” sahut Be-hujin. "Maling itu telah memakai dupa penidur untuk membius diriku bersama dua orang pelayanku. Lalu isi rumahku diubrak-abrik dan kecurian belasan tahil perak. Esok paginya lantas kuterima berita duka tentang tewasnya suamiku, dengan sendirinya aku tiada waktu untuk mengurusi peristiwa pencurian itu. Untunglah sebelumnya suamiku telah menyimpan surat wasiat itu di tempat yang sangat dirahasiakan sehingga tidak sampai diketemukan dan dimusnahkan si pencuri.”

Jelas sekali uraian Be-hujin ini hendak menuduh Kiau Hong sendiri atau paling tidak telah mengirim orang ke rumah Be Tay-goan untuk mencuri dokumen penting itu. Dan kalau berani mengincar surat wasiat itu dengan sendirinya sebelumnya tentu sudah tahu isi surat itu. Maka tuduhannya tentang membunuh orang untuk menghilangkan bukti boleh dikatakan cukup beralasan.

Tujuan Giok-yan adalah membela nama baik Buyung Hok dan tidak ingin Kiau Hong tersangkut di dalamnya, maka segera ia menyela pula, "Kalau kemalingan sedikit barang atau uang juga kejadian yang biasa saja, cuma secara kebetulan terjadi berbarengan dengan soal lain, kenapa mesti diributkan?”

"Perkataan nona memang benar, semula aku pun berpikir demikian,” sahut Be-hujin. "Tapi kemudian di bawah jendela tempat maling itu masuk-keluar telah kutemukan sesuatu benda, rupanya tinggalan maling itu dalam keadaan tergesa-gesa. Dan begitu melihat benda itu, aku kaget dan tahu urusannya tidaklah sembarangan urusan.”

"Barang apakah itu? Mengapa bukan sembarangan urusan?” tanya Song-tianglo.

Perlahan Be-hujin mengeluarkan sesuatu benda dari dalam bungkusan, benda itu sepanjang belasan senti, ia serahkan kepada Ci-tianglo dan berkata, "Mohon para paman suka memberi keadilan!”

Habis menyerahkan benda itu kepada Ci-tianglo ia mendeprok ke tanah dan menangis dengan sedih.

Waktu semua orang memandang ke arah Ci-tianglo, orang tua itu sedang membuka benda itu dengan perlahan, kiranya adalah sebuah kipas lempit. Dengan suara tertahan Ci-tianglo lantas membacakan syair di atas kipas yang penuh semangat pahlawan itu.

Sungguh kejut Kiau Hong tidak kepalang demi mendengar syair itu. Waktu ia perhatikan, ia lihat di balik kipas itu terlukis gambar seorang pahlawan sedang menyerbu keluar perbatasan untuk membunuh musuh. Terang kipas itu adalah miliknya sendiri, syair itu ditulis oleh gurunya yang berbudi, Ong Kiam-thong, dan lukisan itu adalah buah tangan Ci-tianglo malah. Kipas itu biasanya sangat disayangnya dan disimpannya dengan baikbaik, mengapa kini bisa jatuh di rumah Be Tay-goan?

Ketika Ci-tianglo membalik kipas itu dan melihat lukisan karya sendiri, ia menghela napas panjang dan bergumam, "Bukan bangsa sendiri, tentu pikirannya berbeda. Wahai, Ong-pangcu, engkau benar-benar salah besar dalam urusan ini!”

Mendadak mengetahui asal usul sendiri adalah keturunan Cidan, hati Kiau Hong menjadi cemas tak keruan. Padahal selama belasan tahun ini setiap hari yang dipikir olehnya hanya cara bagaimana agar dapat membasmi musuh dan lebih banyak membunuh kaum penjajah, sekalipun biasanya ia sangat tenang, mau tak mau ia menjadi bingung juga.

Tapi sesudah kipas lempit itu dikeluarkan dan Be-hujin menuduh dirinya adalah pembunuh Be Tay-goan, hal ini malah membuat hati Kiau Hong lebih tenang, sesaat itu terkilas sesuatu pikiran bahwa ada orang telah mencuri kipas lempitnya itu untuk memfitnah dirinya, hal ini betapa pun takkan berhasil. Maka tanpa ditanya segera ia berkata, "Ci-tianglo, kipas ini adalah milikku!”

Orang Kay-pang yang berkedudukan sedikit tinggi sama tahu bahwa kipas itu adalah milik sang pangcu, hanya sebagian anak buah Kay-pang rendahan yang tidak mengetahui hal itu, maka mereka sama terkesiap demi mendengar pengakuan Kiau Hong itu.

Perasaan Ci-tianglo sendiri pun sangat terguncang, ia bergumam, "Dalam segala urusan Ong-pangcu selalu menganggap aku sebagai orang kepercayaannya, tapi urusan ini ternyata tidak diberitahukan padaku.”

"Ci-tianglo, sebabnya Ong-pangcu tidak memberitahukan padamu adalah demi kebaikanmu sendiri,” tiba-tiba Be-hujin berkata.

"Apa? Demi kebaikanku?” Ci-tianglo menegas.

"Ya, buktinya Tay-goan, hanya dia yang tahu urusan ini dan dia pun tertimpa bencana, maka ... maka bila engkau juga tahu, pasti juga takkan terhindar dari malapetaka,” ujar Be-hujin dengan sedih.

"Sekarang apa lagi yang akan kalian katakan?” tiba-tiba Kiau Hong berseru dengan lantang, sinar matanya menatap tajam dimulai dari Be-hujin terus Ci-tianglo, Pek Si-kia, Thoan-kong Tianglo dan lain-lain. Tapi tiada seorang pun berani buka suara lagi, semuanya diam.

Setelah menunggu sampai sekian lama tetap tiada jawaban seorang pun, Kiau Hong lantas berkata pula,

"Tentang asal usulku sungguh harus disesalkan karena aku sendiri pun belum tahu dengan pasti. Tapi karena sekian banyak kaum cianpwe berani menjadi saksi, betapa pun aku tidak berani sembarangan menyangkal. Maka jabatanku sebagai Pangcu Kay-pang ini sepantasnya aku harus mengundurkan diri.”

Sembari berkata ia mengeluarkan sebatang pentung bambu hijau mengilat. Itulah Pak-kau-pang atau pentung penggebuk anjing, tanda pengenal pangcu yang sangat diagungkan anggota Kay-pang.

Kedua tangan Kiau Hong angkat tinggi-tinggi pentung bambu itu dan berseru, "Pentung ini kuterima dari Ongpangcu, selama ini meski aku tiada berjasa apa-apa bagi Kay-pang, namun syukur juga tidak pernah berbuat sesuatu kesalahan besar. Hari ini aku meletakkan jabatan, siapakah di antara para saudara yang bijaksana mau menerima tanggung jawab jabatanku ini, silakan maju menerima pentung ini.”

Menurut peraturan Kay-pang, tatkala pangcu baru menerima jabatan harus dilakukan upacara penyerahan Pakkau-pang dari pangcu lama. Upacara ini tidak dilakukan kalau pangcu lama meninggal dunia.

Padahal Kiau Hong sekarang masih muda, ilmu silatnya dapat dibanggakan, betapa pun tiada orang kedua di dalam Kay-pang yang dapat memadainya. Sejak dia menjadi pangcu, biarpun ada juga oknum-oknum yang memusuhinya, tapi tiada seorang pun berani mengincar jabatan pangcu. Apalagi sekarang Kiau Hong berdiri gagah perkasa di situ, siapa yang berani maju mencalonkan diri untuk menerima pentung bambu itu?

Setelah tanya tiga kali dan tetap tiada seorang pun yang menyahut, lalu Kiau Hong berkata lagi, "Karena asal usulku masih belum terang, maka jabatan pangcu ini betapa pun tidak berani kupegang lagi. Ci-tianglo, Thoankong dan Cit-hoat Tianglo, Pak-kau-pang yang merupakan pusaka utama Kay-pang kita ini silakan kalian bertiga menjaganya bersama. Kelak bila pangcu baru sudah ditetapkan, bolehlah kalian menyerahkan pentung ini kepadanya.”

"Benar juga ucapanmu,” sahut Ci-tianglo terus hendak menerima pentung bambu keramat itu.

"Nanti dulu!” mendadak Song-tianglo membentak.

Ci-tianglo tertegun dan urung menerima pentung itu, tanyanya, "Apa yang hendak Song-hiante katakan?”

"Menurut penglihatanku, Kiau-pangcu bukan bangsa Cidan,” ujar Song-tianglo.

"Dari mana kau tahu?” tanya Ci-tianglo.

"Kulihat dia tidak mirip,” sahut Song-tianglo.

"Mengapa tidak mirip,” desak Ci-tianglo.

"Umumnya bangsa Cidan sangat kejam dan ganas, sebaliknya Kiau-pangcu seorang kesatria yang berbudi luhur,” sahut Song-tianglo. "Tadi kami telah memberontak padanya, tapi ia rela mengorbankan dirinya demi keselamatan kami dan mengampuni dosa kami. Kalau bangsa Cidan, tidak mungkin mau berbuat demikian.”

"Sejak kecil ia telah mendapat didikan Ong-pangcu, dengan sendirinya watak aslinya sebagai bangsa Cidan yang jahat telah berubah,” ujar Ci-tianglo.

"Jika wataknya sudah berubah, itu berarti bukan orang jahat lagi, kalau dia menjadi pangcu kita, masa kurang pantas?” debat Song-tianglo. "Menurut pendapatku tiada seorang pun di antara kita yang dapat memadai kejantanan dan kebesaran jiwanya. Kalau ada orang lain ingin menjadi pangcu, akulah orang she Song yang pertama-tama akan membangkang.”

Sebenarnya banyak juga di antara anggota Kay-pang yang mempunyai pikiran sama dengan Song-tianglo. Karena itu, segera terdengarlah suara ramai yang menyokong pendapat Song-tianglo itu. Beramai-ramai mereka berseru, "Bukan mustahil ada orang hendak memfitnah Kiau-pangcu, kita jangan mudah memercayai omongan orang!”

"Ya, urusan yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, siapa yang mau percaya?”

"Jabatan pangcu yang penting ini tidak boleh sembarangan diganti!”

"Aku sudah bertekad bulat berdiri di belakang Kiau-pangcu, orang lain yang menjadi pangcu, aku tidak mau terima.”

"Ayo, siapa yang ingin ikut Kiau-pangcu, silakan berdiri di sisiku sini,” seru Ge-tianglo tiba-tiba. Dengan tangan kiri ia tarik Song-tianglo dan tangan kanan menyeret Ge-tianglo serentak mereka menyisih ke sebelah timur.

Menyusul Tay-jin-hun-tho dan Tay-gi-hun-tho, ketiga thocu itu pun menyusul ke sisi timur. Dan karena ketiga thocu itu sudah memberi contoh, dengan sendirinya anak buah ketiga Tho itu pun ikut berdiri ke sisi timur.

Sebaliknya Coan Koan-jing, Tan-tianglo, Thoan-kong Tianglo dan para Thocu Tay-ti dan Tay-sin-hun-tho masih tetap berdiri di tempat semula.

Dengan demikian anggota Kay-pang sekarang jadi terpecah belah dan terbagi menjadi dua pihak, yang berdiri di sisi timur kira-kira ada separuh, sebaliknya yang tetap berdiri di tempat semula ada tiga bagian, sisanya masih ragu entah mesti ikut pihak mana? Cit-hoat Tianglo biasanya sangat tegas dalam tindak tanduknya, tapi menghadapi persoalan pelik mau tak mau ia jadi ragu juga.

"Para saudara,” demikian Coan Koan-jing buka suara, "memang benar Kiau-pangcu adalah seorang kesatria, seorang pintar dan perkasa, siapa pun tentu kagum padanya. Namun kita adalah rakyat kerajaan Song, mana boleh tunduk di bawah perintah seorang Cidan? Justru semakin besar kepandaian Kiau Hong, semakin berbahaya pula bagi kita.”

"Kentut, kentut makmu!” segera Ge-tianglo memaki. "Kulihat tampangmu justru lebih mirip orang Cidan!”

Namun Coan Koan-jing tidak menggubrisnya, serunya pula, "Kita semua adalah pahlawan berjiwa patriot, masakah terima diperbudak oleh bangsa asing!”

Perkataan Coan Koan-jing ini ternyata sangat besar pengaruhnya, seketika ada belasan orang yang tadinya ikut berdiri ke sisi timur segera kembali ke sisi barat.

Karena itu anggota Kay-pang di sisi timur itu menjadi geger, ada yang memaki dan ada yang main tarik, keadaan menjadi kacau, seketika terjadilah pertarungan serabutan di antara berpuluh orang itu.

Para tianglo cepat membentak hendak menguasai keadaan, tapi masing-masing tetap membela anak buah sendiri-sendiri. Go-tianglo dan Tan-tianglo juga saling memaki dan tampaknya akan terjadi juga pertarungan sengit.

Syukur pada saat genting itulah Kiau Hong berseru keras-keras, "Harap berhenti, saudara-saudara, dengarkan perkataanku!”

Suaranya keras dan berwibawa membuat para anggota Kay-pang sama melengak, mereka berhenti serentak dan menoleh memandang Kiau Hong.

"Tentang jabatan pangcu ini, sudah pasti akan kutinggalkan ....”

Belum selesai ucapan Kiau Hong itu, mendadak Song-tianglo menyela, "Pangcu, engkau jangan putus asa ....”

"Aku tidak putus asa,” sahut Kiau Hong sambil menggeleng. "Urusan lain mungkin aku bisa difitnah, tapi bukti-bukti tulisan tangan guruku Ong-pangcu yang berbudi itu tidak mungkin dapat dipalsukan orang lain.”

Lalu ia perkeras suaranya dan menyambung, "Kay-pang adalah pang terbesar di kalangan Kangouw, namanya berkumandang ke segenap pelosok jagat ini, siapa orang Bu-lim yang tidak merasa kagum padanya? Bila sekarang terjadi saling membunuh, apakah takkan dibuat tertawaan orang? Maka sebelum aku pergi, ada sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian, barang siapa saling berhantam di antara sesama saudara pang kita, maka dia itulah yang berdosa terbesar kepada pang kita.”

Dasar persaudaraan anggota Kay-pang memang paling mengutamakan keluhuran budi antarkawan. Maka mereka menjadi malu sendiri demi mendengar ucapan Kiau Hong itu.

"Dan bagaimana kalau ada yang membunuh saudara sesama pang kita?” tiba-tiba suara seorang wanita bertanya. Ia bukan lain adalah Be-hujin.

"Membunuh orang harus ganti nyawa, lebih-lebih membunuh sesama saudara pang, ia harus dikutuk habishabisan,” sahut Kiau Hong tanpa ragu.

"Baiklah jika begitu,” ujar Be-hujin.

"Orang she Kiau ini selamanya suka blakblakan, selama hidup tidak pernah ada sesuatu rahasia bagi orang lain,” seru Kiau Hong pula. "Tentang tewasnya Be-hupangcu sebenarnya siapakah pembunuhnya, dan siapakah yang telah mencuri kipasku untuk memfitnah diriku, pada akhirnya kelak pasti akan kubikin terang urusan ini. Be-hujin, dengan kepandaianku orang she Kiau ini, kalau ingin mengambil sesuatu benda ke tempat tinggalmu, rasanya tidak sampai kembali dengan tangan hampa, lebih-lebih tidak mungkin kehilangan sesuatu barang sendiri. Jangankan kediamanmu cuma tinggal dua-tiga orang kaum wanita, sekalipun di tengah istana keraton atau di markas besar panglima jenderal, kalau orang she Kiau ini ingin mengincar sesuatu barang, rasanya dengan mudah juga akan dapat diperoleh.”

Ucapan Kiau Hong ini sangat perkasa dan bangga, namun para anggota Kay-pang cukup kenal betapa tinggi kepandaiannya, mereka merasa apa yang dikatakan itu memang beralasan dan bukan bualan belaka. Begitu pula Be-hujin lantas menunduk juga dan tidak berani buka suara lagi.

Lalu Kiau Hong memberi hormat kepada semua orang sekeliling, katanya pula, "Gunung tetap menghijau, sungai tetap mengalir, para saudara-saudara, selamat tinggal, sampai berjumpa pula kelak. Baiklah apakah aku orang she Kiau ini bangsa Han maupun bangsa Cidan, pendek kata selama hidupku ini pasti tidak akan mencelakai jiwa seorang pun bangsa Han, apabila melanggar sumpah ini, biarlah seperti golok ini.”

Habis berkata, mendadak tangan kirinya menjulur cepat ke arah Tan Cing. Seketika Tan Cing merasa tangannya bergetar, golok yang terpegang di tangannya tak tertahan lagi, sedikit kendur cekalannya, golok itu tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Kiau Hong.

Ketika jari Kiau Hong menjelentik sekali ke batang golok itu, "trang”, kontan golok itu patah menjadi dua, bagian ujung golok terpental beberapa meter jauhnya, sedangkan tangkai golok masih terpegang di tangan Kiau Hong.

"Maaf!” katanya kepada Tan Cing sambil membuang tangkai golok itu dan bertindak pergi dengan cepat.

Di tengah rasa kaget para anggota Kay-pang yang sedang saling pandang dengan bingung itu, menyusul lantas ada orang berseru, "He, jangan pergi, Pangcu!” — "Kembalilah Pangcu, Kay-pang kita masih membutuhkan pimpinanmu!”

Tiba-tiba terdengar suara mendesir keras, dari udara tampak jatuh sebatang pentung bambu, itulah Pak-kaupang yang ditimpukkan kembali oleh Kiau Hong dari jauh.

Cepat Ci-tianglo ulur tangan hendak menangkap pentung itu, tapi baru saja tangan menyentuh pentung bambu sekonyong-konyong terasa lengan hingga bahu dan seluruh tubuh tergetar seakan-akan kena aliran listrik. Lekas-lekas ia lepas tangan, begitu keras sambaran pentung itu hingga menancap tegak di tanah.

Para pengemis itu berseru kaget, seketika pikiran mereka pun bimbang demi melihat pentung simbol pangcu mereka itu.

"Toako, tunggu, aku ikut!” seru Toan Ki mendadak. Mestinya ia bermaksud menyusul Kiau Hong, tapi baru dua-tiga langkah, betapa pun ia merasa berat meninggalkan Ong Giok-yan, tanpa merasa, ia menoleh.

Dan sekali pandang itulah tidak dapat lagi ia tinggal pergi. Otomatis timbul semacam rasa ikatan yang erat, segera ia putar kembali ke hadapan Giok-yan dan berkata, "Nona Ong, sekarang kalian hendak ke mana?”

"Piauko telah difitnah orang, boleh jadi ia sendiri masih belum tahu, maka aku harus pergi memberitahukan kepadanya,” sahut si gadis.

Kecut rasa hati Toan Ki oleh jawaban itu, namun katanya juga, "Tapi kalian bertiga adalah nona muda belia, di tengah perjalanan tentu kurang bebas, biarlah aku mengantar kalian ke sana.”

Dan segera ia menambahkan lagi sebagai penjelasan, "Aku pun sudah sering mendengar nama kebesaran Buyung-kongcu, sesungguhnya aku memang ingin sekali berkenalan dengan dia.”

Dalam pada itu terdengar Ci-tianglo telah berkata kepada para pengemis, "Cara bagaimana kita harus menuntut balas bagi Be-hupangcu, biarlah kita nanti rundingkan secara saksama. Sekarang pang kita tidak boleh tanpa pimpinan, sesudah Kiau ... Kiau Hong pergi, pengganti jabatan pangcu ini adalah urusan mahapenting yang tidak boleh ditunda. Mumpung kita telah berkumpul semua di sini, marilah kita lantas merundingkannya segera.”

Segera Song-tianglo menanggapi, "Menurut pendapatku, marilah kita mencari kembali Kiau-pangcu dan mohon dia suka berpikir panjang dan membatalkan maksudnya mengundurkan diri ....”

Belum habis ucapannya, kontan di sebelah sana ada yang menyela, "Kiau Hong adalah bangsa Cidan, mana boleh dia menjadi pemimpin kita? Hari ini kita mengingat baik hubungan selama ini, lain kali kalau bertemu lagi berarti ia musuh kita, harus kita adu jiwa dengan dia.”

"Hm, masa kau ada harganya buat mengadu jiwa dengan Kiau-pangcu?” jengek Song-tianglo.

"Aku sendiri tentu tak mampu melawannya,” sahut orang itu dengan gusar, "tapi apakah kita cuma satu orang, kita dapat maju sepuluh orang sekaligus, sepuluh orang tidak cukup, maju serentak seratus orang. Kay-pang kita selamanya siap berjuang bagi nusa dan bangsa, masakah jeri kepada seorang musuh?”

Karena ucapan yang gagah bersemangat ini, seketika banyak anggota Kay-pang bersorak memuji.

Belum lenyap suara sorakan itu, tiba-tiba terdengar suara seorang yang seram tajam berkata di arah barat-laut sana, "Kay-pang telah berjanji dengan orang untuk bertemu di Hui-san, tapi ingkar janji, tahu-tahu main sembunyi di sini seperti kura-kura! Hehe, sungguh menggelikan!”

Suara itu tajam menusuk telinga, tapi lafal kata-katanya tidak tepat, seperti suara orang pilek atau bindeng hingga kedengarannya tidak menyedapkan.

Mendengar teguran suara itu, seketika berserulah Cio-thocu dari Tay-gi-hun-tho dan Pui-thocu dari Tay-yonghun-tho, "Haya, Ci-tianglo, memang kita telah ingkar janji dengan orang, maka sekarang musuh telah mencari kemari:”

Segera Toan Ki teringat juga waktu bertemu dengan Kiau Hong siang tadi, mendengar anak buah Kay-pang melapor kepada sang toako bahwa mereka telah berjanji untuk bertemu dengan orang di atas Hui-san tengah malam ini. Kini rembulan telah mendoyong ke barat, terang sudah jauh lewat tengah malam.

Anggota Kay-pang sendiri sebagian besar tidak tahu adanya perjanjian itu, andaikan tahu juga mereka lebih mementingkan peristiwa penting dalam pang sendiri dan menyampingkan urusan perjanjian dengan orang itu. Kini demi mendengar olok-olok pihak lawan baru mendadak mereka sadar telah ingkar janji.

Segera Ci-tianglo bertanya, "Janji pertemuan apa? Siapakah lawan?”

Ia sendiri memang sudah lama tidak ikut campur urusan organisasi, maka sama sekali tidak mengetahui apaapa.

"Apakah Kiau-pangcu yang berjanji akan bertemu dengan orang?” Cit-hoat Tianglo coba tanya Cio-thocu dengan suara tertahan.

"Ya, cuma tadi Kiau-pangcu sudah mengirim utusan ke Hui-san untuk minta kepada pihak lawan agar menunda perjanjian ini sampai tujuh hari lagi,” tutur Cio-thocu.

Rupanya orang yang bersuara melengking tadi pun sangat tajam telinganya, meski ucapan Cio-thocu itu sangat perlahan, namun dapat didengarnya juga, segera berkata pula, "Sekali sudah berjanji, masakah pakai tunda segala? Biarpun tunda satu jam juga tidak boleh.”

"Hm, Kay-pang adalah organisasi terkemuka, masakah takut kepada bangsa asing Se He seperti kalian ini?” sahut Pek Si-kia dengan gusar. "Soalnya kami sendiri urusan penting di dalam pang hingga tiada tempo untuk menggubris pada kaum keroco seperti kalian ini. Tentang menunda perjanjian adalah urusan biasa, kenapa mesti diributkan?”

"Bluk”, mendadak dari balik pohon sana melayang keluar seorang dan terbanting di tanah tanpa berkutik. Waktu Pek Si-kia memerhatikan, ia lihat muka orang sudah hancur tak keruan, leher sudah putus tergorok, nyata sudah mati agak lama, segera ia pun dapat mengenali korban itu adalah wakil Thocu Tay-sin-hun-tho.

Keruan Cio-thocu terkejut dan gusar, serunya, "Cia-hengte inilah yang diutus oleh Kiau-pangcu untuk menyampaikan berita penundaan pertemuan dengan musuh itu.”

"Ci-tianglo,” kata Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia, "Pangcu tidak ada, harap engkau suka bertindak sementara sebagai pimpinan.”

Ia tidak ingin musuh mengetahui Kay-pang sedang menghadapi krisis, agar tidak diremehkan oleh musuh.

Ci-tianglo dapat memahami maksud Pek Si-kia itu, ia pikir kalau dirinya tidak tampil ke muka, memang tiada orang kedua lagi yang cocok untuk memegang pimpinan. Maka dengan suara lantang ia berseru, "Menurut kelaziman pertengkaran di antara kedua negara, tidak boleh membunuh utusan pihak lawan. Mengapa pihak kalian membunuh utusan yang menyampaikan berita penundaan perjanjian ini?

"Sikap orangmu ini terlalu angkuh, kata-katanya tidak sopan, di hadapan Ciangkun kami juga tidak mau berlutut, kalau tidak dibunuh, mau diapakan?” sahut suara seram melengking itu.

Kata-kata ini seketika menimbulkan rasa gusar anggota Kay-pang, beramai-ramai mereka lantas mencaci maki keganasan musuh.

Ci-tianglo masih belum tahu macam apakah musuh, tadi didengarnya Pek Si-kia bilang musuh itu bangsa Se He, sedang orang itu mengatakan "ciangkun” (jenderal) segala, hal ini semakin membingungkannya. Maka ia berkata pula, "Mengapa kau main sembunyi-sembunyi, kenapa tidak terang-terangan unjuk diri saja? Hm, ngaco-belo, jangan coba omong besar di sini!”

Tiba-tiba orang itu terbahak-bahak, laku berkata, "Ciangkun, sekarang silakan keluarlah!”

Sekonyong-konyong terdengar suara trompet berbunyi di tempat jauh, menyusul lamat-lamat terdengar suara tindakan orang banyak dari tempat beberapa li jauhnya.

"Mereka itu orang macam apakah? Mengenai urusan apa mereka memusuhi kita?” demikian Ci-tianglo tanya Si-kia dengan bisik-bisik.

"Mereka itu bangsa Se He,” sahut Pek Si-kia dengan perlahan, "di negeri mereka telah didirikan suatu lembaga persilatan yang disebut ‘It-bin-tong’ (ruang kelas satu), konon pendirinya adalah maharaja mereka untuk mengundang jago-jago silat dari segenap pelosok, mereka yang memenuhi undangan akan diberi gaji besar dan mendapat kedudukan terhormat, kewajiban mereka hanya mengajar ilmu silat kepada perwira negeri Se He.”

"Ehm, negeri Se He selama ini memupuk kekuatan dan pergiat latihan silat, tujuannya bukankah akan mengganggu kerajaan Song kita?” ujar Ci-tianglo.

"Memang begitulah tujuan mereka,” sahut Pek Si-kia mengangguk. "Setiap orang yang dapat memasuki ‘Itbin-tong’ itu, katanya ilmu silatnya pasti golongan kelas satu. Ketua It-bin-tong itu konon seorang ongya (pangeran) dengan pangkat Ceng-tang-tay-ciangkun (jenderal besar penggempur ke timur), namanya Helian Tiat-si. Paling akhir ini dia pimpin jago-jagonya itu dan diutus ke kota raja kita untuk menemui Hongsiang dan ibu suri. Padahal maksud yang sesungguhnya adalah untuk memata-matai kekuatan negeri kita.

"Di kota raja, Helian Tiat-si telah pamer kekuatan dan bersikap sombong, ia menantang agar perwira kerajaan Song kita coba-coba bertanding dengan jago-jago yang dia bawa. Kita tahu tiada seorang jago kelas tinggi di antara perwira pasukan kita itu, dengan sendirinya tidak mungkin diajukan sebagai jago aduan. Untunglah So Tong-po, So-haksu telah mengusulkan suatu akal kepada ibu suri agar tantangan orang Se He yang kurang ajar itu dilakukan pada tahun depan di kota raja kita.”

"Ehm, akal ulur tempo yang bagus,” ujar Ci-tianglo perlahan, "selama setahun ini kita dapat mengundang jagojago silat dari seluruh negeri untuk menghadapi musuh pada tahun depan.”

"Malahan sebelum menginjak negeri kita, orang-orang Se He ini sudah cukup mengetahui situasi dunia persilatan kita,” tutur Pek Si-kia, "Mereka tahu pang kita adalah salah satu saka guru dunia persilatan Tionggoan, maka bermaksud sekaligus menghancurkan kita dahulu untuk memupuk nama baik, dan tahun depan mereka yakin akan mendapat kemenangan total pula.

"Bila rakyat kita sudah jeri dan ketakutan kepada kepandaian bangsa Se He mereka, lalu mereka akan mengerahkan pasukan tentaranya untuk menyerbu dan dengan mudah akan dapat merebut negeri kita.”

Diam-diam Ci-tianglo terperanjat oleh rencana keji musuh, bisiknya perlahan, "Ehm, tipu muslihat mereka ini benar-benar sangat keji.”

"Dan begitu Helian Tiat-si meninggalkan kota raja segera mereka mendatangi markas besar kita di Lokyang,” tutur Pek Si-kia lebih jauh. "Kebetulan waktu itu Kiau-pangcu bersama kami sekaligus telah menuju Kanglam sini hendak menuntut balas bagi Be-hupangcu, maka orang Se He telah menubruk tempat kosong. Dan mereka

benar-benar terlalu kurang ajar, mereka menyusul ke Kanglam sini dan akhirnya mengadakan perjanjian dengan Kiau-pangcu untuk bertemu malam ini di Hui-san.”

Ci-tianglo berpikir sejenak, lalu katanya dengan berbisik, "Perhitungan mereka sungguh seenaknya, pertama Kay-pang kita akan dihancurkan, boleh jadi mereka akan maju setindak pula untuk menggempur Siau-lim-si, lalu membasmi Hoa-san-pay dan aliran persilatan lain di Tionggoan hingga kocar-kacir, dengan demikian tahun depan kemenangan pasti di tangan mereka.”

Dalam pada itu suara derapan kuda yang ramai tadi sudah mendekat, mendadak terdengar trompet berbunyi tiga kali, delapan ekor kuda tampak muncul dengan terbagi menjadi dua barisan. Penunggang kuda itu semuanya bertombak panjang, di atas tombak masing-masing berkibar panji kecil. Ujung tombak bersinar mengilap, lamat-lamat kelihatan keempat panji kecil di sisi barat tersulam dua huruf "Se He”, sedangkan empat panji kecil di sebelah lain tersulam dua huruf "Helian.”

Menyusul mana muncul delapan ekor kuda yang lain dan berlari cepat ke tengah hutan. Empat penunggangnya segera meniup trompet yang dibawa dan empat orang lainnya menabuh genderang.

Diam-diam para pengemis berkerut kening, pikir mereka, "Ini kan pasukan tentara di medan perang terbuka, masa dipakai dalam pertemuan dengan kaum persilatan?”

Setelah bunyi trompet dan genderang tadi, segera muncul pula delapan busu (jago silat) negeri Se He.

Di antara kedelapan orang itu, Ci-tianglo melihat enam orang di antaranya adalah kakek-kakek yang rambut dan jenggotnya sudah ubanan semua, badan mereka pun kurus kering dan reyot.

Diam-diam Ci-tianglo membatin, "Agaknya inilah tokoh-tokoh dari apa yang disebut It-bin-tong itu?

Segera kedelapan busu itu membagi diri ke sisi kanan dan kiri, lalu seorang penunggang kuda masuk ke tengah hutan situ dengan perlahan.

Penunggang kuda ini berjubah merah, berusia antara 34-35 tahun, hidungnya besar membetet, tampaknya sangat tangkas dan cerdik. Di belakangnya mengikut seorang laki-laki bertubuh sangat tinggi dan berhidung besar.

Begitu masuk ke tengah hutan, segera laki-laki hidung besar itu berseru, "Ceng-tang-tay-ciangkun dari Se He tiba, silakan Pangcu dari Kay-pang maju menyambut.”

Dari suaranya yang melengking seram ini, jelas dia inilah yang bicara tadi.

"Pangcu kami tidak berada di sini, sementara ini aku yang mewakilkan jabatannya,” sahut Ci-tianglo. "Para saudara dalam Kay-pang adalah orang Kangouw yang kasar dan rendah, jika Ciangkun dari negeri Se He hendak bertemu dengan kami secara terhormat, rasanya kami tidak berani terima, lebih baik silakan Ciangkun pergi bertemu dengan kaum ningrat kerajaan Song kita saja dan tidak perlu menemui kaum jembel yang kerjanya cuma minta-minta ini. Sebaliknya kalau ingin bertemu secara orang Bu-lim, Ciangkun datang dari jauh, dengan sendirinya adalah tamu, maka silakan turun untuk bicara.”

Ucapan Ci-tianglo ini sangat tegas, tidak merendah juga tidak kaku, cukup menjaga harga diri pula. Maka diam-diam para pengemis merasa kagum terhadap orang tua itu.

"Jika Pangcu kalian tidak di sini, Ciangkun kami tidak dapat bicara dengan kalian,” sahut laki-laki hidung besar itu.

Tiba-tiba ia melihat Pak-kau-pang yang menancap di tanah itu sangat menarik, segera ia berkata, "Eh, pentung bambu hijau kemilau ini sangat bagus, biarlah kuambil untuk dijadikan tangkai sapu!”

Dan begitu tangannya bergerak, segera ia ayun cambuknya hendak membelit pentung bambu itu.

Keruan para pengemis menjadi gusar, beramai-ramai mereka memaki, "Keparat!” — "Anjing buduk!” — "Enyahlah kau, bangsat!”

Namun ujung cambuk orang itu tampaknya sudah hampir melilit di batang pentung bambu itu, sekonyongkonyong bayangan orang melesat maju secepat kilat, tiba-tiba ia ulur tangan ke depan pentung bambu hingga ujung cambuk kena melilit di tangannya. Dan sekali ia tekuk lengannya, laki-laki hidung besar itu tidak kuat lagi bertahan di atas kudanya, ia terseret turun dari kudanya dan berdiri di tanah. Berbareng kedua orang sama menarik pula sekuatnya, "prak”, cambuk itu putus bagian tengah.

Menyusul orang itu lantas mencabut pentung bambu itu dan mengundurkan diri tanpa berkata. Waktu semua orang memerhatikan, orang itu rada bungkuk, itulah Thoan-kong Tianglo. Ia pendiam, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, bila Kay-pang menghadapi kesulitan, tanpa bicara ia lantas turun tangan. Dan sekali gebrak tadi ia berhasil menyeret laki-laki hidung besar itu turun dari kudanya, pecutnya terbetot putus pula, hal ini boleh dikatakan Thoan-kong Tianglo sudah menang satu babak.

Ternyata laki-laki hidung besar itu sangat sabar, biarpun kecundang, sedikit pun ia tidak unjuk sikap lesu, bahkan ia berseru, "Hah, kaum pengemis memang pelit, cuma sebatang bambu juga tidak boleh diambil orang.”

"Sebenarnya ada urusan apakah para tokoh dan pahlawan Se He mengadakan janji pertemuan dengan Kaypang kami?” tanya Ci-tianglo kemudian.

"Sebab Ciangkun kami mendengar bahwa Kay-pang mempunyai dua macam kepandaian istimewa, yang semacam katanya bernama Pak-niau-pang-hoat dan yang lain Hang-coa-cap-pek-ciang, sebab itulah kami ingin coba-coba belajar kenal,” demikian sahut laki-laki hidung besar.

Mendengar ejekan itu, seketika gusarlah para pengemis. Kurang ajar benar pikir mereka, masakah Pak-kaupang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing) sengaja dikatakan sebagai Pak-niau-pang-hoat (ilmu pentung penghajar kucing) dan Hang-liong-sip-pat-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) diubah menjadi Hangcoa-cap-pek-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk ular), terang sengaja menghina, maka pertemuan sekarang ini sudah pasti akan diakhiri dengan suatu pertarungan yang menentukan mati dan hidup.

Di tengah caci maki para pengemis itu, sebaliknya diam-diam Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan lain-lain merasa khawatir pula, pikir mereka, "Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang ini selamanya cuma pangcu yang mahir menggunakannya, jika lawan sudah kenal kedua macam ilmu ini dan masih berani menantang secara terang-terangan, rasanya mereka pasti bukan sembarangan jago silat dan boleh jadi akan susah dilawan.”

Maka Ci-tianglo lantas menjawab, "Kalian ingin belajar kenal dengan Pak-niau-pang-hoat dan Hang-coa-cappek-ciang kami, hal ini tidak sulit. Asal ada kucing buduk dan ular belang kesasar ke sini, sudah pasti kaum pengemis mampu menghajarnya. Dan saudara apakah ingin belajar menjadi kucing atau ular, silakan pilih!”

"Hahaha, kalau dia ingin menjadi ular, itulah kebetulan, kaum pengemis paling suka tangkap ular, tanggung cek-gemol, datang satu tangkap satu, datang sepuluh bekuk sepuluh, tidak terbukti, uang kembali!” demikian Go-tianglo ikut menjawab dengan terbahak-bahak.

Adu kepandaian kalah sebabak, adu mulut, mati kutu pula, keruan laki-laki hidung besar itu menjadi runyam. Dan selagi ia pikir apa yang hendak dikatakan pula, sekonyong-konyong di belakangnya seorang berteriak dengan suaranya yang kasar dan keras, "Biar ular maupun kucing, ayolah, siapa yang berani maju bertempur dulu denganku?”

Sembari berkata orang itu terus menyelinap keluar dari rombongannya dan berdiri tegak di tengah kalangan dengan bertolak pinggang. Muka orang ini sangat jelek dan menakutkan.

Semua orang terkesiap dan ragu menghadapi orang yang bengis dan galak dengan mukanya yang jelek ini, sebaliknya tiba-tiba terdengar Toan Ki lantas berseru, "Hei, muridku, kiranya kau juga datang ke sini? Ayo, ketemu Suhu mengapa tidak lekas menjura?”

Kiranya laki-laki muka jelek ini tak-lain-tak-bukan adalah Lam-hay-gok-sin Gak-losam, si jahat ketiga dari "Su-ok”.

Mendadak tampak Toan Ki juga berada di situ, Gak-losam terkejut, ia merasa kikuk dan serbasalah, sahutnya dengan gelagapan, "Engkau ....”

"Murid baik,” segera Toan Ki menyela, "Pangcu Kay-pang adalah saudara-angkatku, orang-orang ini adalah Supek dan Susiokmu pula, maka jangan kurang ajar, lekas pulang saja.”

Mendadak Lam-hay-gok-sin mengerang keras hingga pohon sama tergetar, ia memaki, "Keparat, jahanam, haram jadah!”

"Kau memaki siapa haram jadah?” tegur Toan Ki.

Seperti diketahui, Lam-hay-gok-sin ini meski kejam dan ganas, tapi apa yang pernah ia ucapkan selamanya pasti ditepati dan tidak dijilat kembali. Ia pernah menyembah kepada Toan Ki dan mengaku guru padanya, hal ini tidak pernah disangkalnya. Maka ia lantas menjawab, "Aku suka memaki, peduli apa denganmu? Aku kan tidak memaki engkau.”

"Ehm, dan mengapa ketemu Suhu tidak menjura dan menyampaikan salam? Di manakah letak aturanmu, hah?” tegur Toan Ki pula.

Dengan menahan gusar terpaksa Lam-hay-gok-sin melangkah maju dan berlutut memberi hormat sambil berkata, "Suhu, baik-baikkah engkau?”

Dan saking mengkalnya, begitu berdiri kembali terus saja ia berlari pergi dengan cepat sambil mengerang dengan suaranya yang keras dan mendengung-dengung.

Begitu keras suaranya bagaikan air bah yang surut dengan cepat. Hanya dari suaranya ini saja setiap orang

akan tahu betapa tinggi lwekangnya, di antara tokoh-tokoh Kay-pang hanya Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo dan beberapa tertua lain yang mampu menandinginya. Tapi seorang pelajar yang lemah sebagai Toan Ki itu ternyata adalah gurunya, hal ini benar-benar membikin mereka tidak habis heran.

Tertampak dari rombongan jago Se He melompat pula seorang yang bertubuh tinggi bagai galah bambu, gaya lompatnya ternyata cepat luar biasa, kedua tangan masing-masing memegang sebatang senjata yang berbentuk aneh, panjangnya kira-kira satu meter, ujungnya berbentuk lima jari buatan baja. Cakar baja itu mengilat tersorot sinar rembulan.

Segera Toan Ki mengenali orang ini adalah In Tiong-ho yang bergilir Kiong-hiong-kek-ok (terlalu ganas dan mahajahat), yaitu orang keempat Thian-he-su-ok (empat mahadurjana dunia). Diam-diam ia heran mengapa keempat tokoh itu telah mengabdikan diri kepada kerajaan Se He?

Waktu Toan Ki memandang pula ke arah rombongan jago-jago Se He, benar juga lantas dilihatnya "Bu-ok-putcok” (tiada kejahatan yang tak dilakukan) Yap Ji-nio sedang berdiri di situ dengan tersenyum simpul membopong seorang bayi. Hanya si jahat pertama "Ok-koan-boan-eng” (kejahatan sudah melebihi takaran) Yan-king Taycu yang tidak kelihatan.

Diam-diam Toan Ki bersyukur si jahat utama itu tidak berada di situ, kalau cuma Ji-ok (si jahat kedua) dan Siok (si jahat keempat) saja, tentu jago-jago Kay-pang masih mampu melawannya.

Kiranya sesudah "Thian-he-su-ok” itu meninggalkan negeri Tayli, dalam perjalanan mereka ke utara, mereka bertemu dengan utusan It-bin-tong dari negeri Se He yang ditugaskan mencari jago-jago kosen.

Dasar Su-ok itu memang terlalu iseng, terus saja mereka menggabungkan diri ke dalam It-bin-tong. Betapa tinggi ilmu silat mereka, dengan sendirinya hanya sedikit demonstrasi saja mereka sudah lantas diterima sebagai jago pilihan oleh Helian Tiat-si. Dalam perjalanan ke Tionggoan kali ini Helian Tiat-si telah membawa serta keempat durjana itu dan menganggap mereka sebagai tangan kanan-kirinya.

Begitulah sesudah In Tiong-ho melompat maju ke tengah, segera ia berseru, "Ciangkun kami ingin belajar kenal dengan kedua macam kungfu Kay-pang. Sebenarnya pengemis seperti kalian ini mempunyai kepandaian sejati atau cuma bualan belaka, ayolah, silakan maju untuk coba-coba dengan aku!”

"Biarkan aku yang maju dulu,” tiba-tiba Ge-tianglo berkata.

"Baiklah!” sahut Ci-tianglo. "Tapi ginkang orang ini sangat hebat, Ge-heng harus hati-hati.”

Ge-tianglo mengiakan dan maju ke tengah kalangan sambil menyeret tongkat bajanya yang panjang itu, katanya, "Ilmu silat Kay-pang kami hanya digunakan menurut keperluan saja, terhadap Bu-beng-siau-cut (kaum keroco) macammu ini masakah perlu pakai Pak-kau-pang-hoat segala? Ini, rasakan dulu toyaku ini!”

Segera tongkatnya mengemplang ke atas kepala lawan.

Badan Ge-tianglo itu gemuk buntak, jadi terbalik daripada tubuh In Tiong-ho yang jangkung lencir. Tapi tongkatnya yang sangat panjang itu masih dapat digunakan menghantam dari atas ke bawah.

Dahulu guru Ge-tianglo waktu mengajarkan permainan senjata panjang ini kepadanya, maksud tujuannya memang guna menambal perawakan yang pendek itu, agar dengan tongkat panjang itu dapat dipakai melawan musuh yang lebih tinggi.

Begitulah maka cepat In Tiong-ho berkelit ke samping, "blang”, tongkat baja Ge-tianglo menghantam tanah hingga debu pasir bertebaran, ujung tongkat sampai ambles belasan senti ke dalam tanah. Betapa hebat tenaganya sungguh mengejutkan.

In Tiong-ho insaf tenaganya jauh di bawah lawan, maka ia tidak berani menangkis dari depan, tapi terus melompat ke sini dan melesat ke sana, dengan ginkang yang tinggi ia tempur Ge-tianglo dengan main kucingkucingan.

Ge-tianglo putar tongkatnya sedemikian kencang hingga berwujud segulung kabut putih, tapi tetap tidak dapat menyenggol badan In Tiong-ho.

Selagi Toan Ki terpesona menyaksikan pertarungan itu, tiba-tiba suara seorang yang merdu berkata di tepi telinganya, "Toan-toako, sebaiknya kita membantu siapa?”

Waktu Toan Ki berpaling, ia lihat yang bicara itu adalah Giok-yan, seketika hatinya terguncang, sahutnya, "Membantu apa maksudmu?”

"Bukankah si jangkung itu adalah kawan muridmu? Dan si pengemis pendek gemuk ini adalah anak buah saudara angkatmu, pertarungan mereka makin lama makin sengit, apakah kita mesti membantu atau menjadi juru pisah saja?” sahut Giok-yan.

"Muridku adalah seorang jahat, si jangkung ini lebih-lebih ganas, maka tidak perlu membantu dia,” sahut Toan Ki.

"O!” kata Giok-yan berpikir sejenak. "Tapi para pengemis itu telah mengusir Gihengmu dan tidak sudi mengaku dia sebagai pangcu lagi, malahan sembarangan menuduh Piaukoku, maka aku tidak suka kepada mereka.”

Menurut jalan pikiran gadis itu, siapa yang tidak baik kepada piaukonya, maka orang itu dianggapnya sebagai orang paling jahat di dunia ini. Lalu ia menyambung pula, "Si pengemis buntak ini memainkan Hok-mo-theng dari aliran Ngo-tay-san, tapi karena badannya pendek, maka jurus ‘Cin-ong-pian-ciok’ (Raja Cin mencambuk batu) yang dimainkan itu kurang tepat. Asal si jangkung menyerang bagian kakinya, pasti dia akan kewalahan. Cuma si kurus itu tidak tahu, ia sangka si pendek tentu sangat kuat kuda-kudanya, padahal tidak demikian.”

Meski suara Giok-yan ini sangat perlahan, tapi kebanyakan jago yang hadir di situ adalah ahli lwekang terkemuka, mereka dapat mendengar juga ucapan Giok-yan itu. Walaupun banyak juga di antaranya kenal asal usul ilmu silat Ge-tianglo, tapi sekali pandang hendak mengetahui di mana letak kelemahan tokoh Kay-pang itu sebenarnya sedikit yang mampu. Dan memang benar juga, demi mereka memerhatikan jurus serangan Getianglo yang disebut Giok-yan tadi yang kelihatannya sangat hebat, namun kuda-kuda kakinya memang kurang kuat.

Dengan sendirinya In Tiong-ho juga mendengar komentar Giok-yan itu, ia melirik gadis itu dan memuji, "Wah, cantik amat anak dara ini, lebih-lebih pandangannya yang tajam, kalau mau ikut aku dan menjadi istriku masih boleh juga.”

Sambil berkata, senjata cakar bajanya tidak pernah kendur, ia turut petunjuk Giok-yan tadi dan beruntun tiga kali menyerang bagian bawah Ge-tianglo.

Karena hal itu memang benar merupakan kelemahan Ge-tianglo, maka jurus ketiga tak dapat ditangkisnya, "cret”, pahanya tergurat cukup parah oleh cakar baja musuh hingga darah bercucuran.

Dasar sifat Giok-yan memang masih kekanak-kanakan dan hijau, mendengar pujian In Tiong-ho akan kecantikannya, ia merasa senang hingga kata-kata yang bernada rendah itu tidak terpikir olehnya. Dengan tersenyum ia malah menjawab, "Huh, tidak kenal malu. Apamu yang dapat dipilih, aku tidak mau menjadi istrimu.”

"Mengapa tidak mau?” tanya In Tiong-ho. "Ehm, tentu kau sudah punya pacar bukan? Biarlah kubunuh dulu buah hatimu itu, masakah kau takkan menjadi istriku nanti?”

Perkataan terakhir ini benar-benar telah menusuk perasaan Giok-yan, maka dengan muka merengut ia tidak gubris orang lagi.

Selagi In Tiong-ho hendak menggoda dengan kata-kata pula, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang telah melompat keluar seorang kakek lain, itulah Go-tianglo dengan senjatanya yang berupa kui-thau-to, golok yang ujungnya berbentuk kepala setan. Tanpa bicara lagi Go-tianglo terus membabat ke kanan empat kali dan menebas ke kiri empat kali, memotong ke atas empat kali dan membacok ke bawah empat kali, 4 kali 4 sama dengan 16 kali, daya serangannya sangat hebat.

Karena tidak kenal ilmu permainan golok lawan itu, In Tiong-ho cuma dapat berkelit ke sini dan menghindar ke sana dengan kelabakan.

Segera Giok-yan mengemukakan komentarnya lagi, "Su-siang-liok-hap-to-hoat yang dimainkan Go-tianglo ini di dalamnya membawa perubahan menurut perhitungan pat-kwa, pastilah si jangkung itu tak kenal ilmu goloknya ini. Entah apakah dia paham tidak permainan ‘Ho-coa-pat-tah’ (delapan kali menghantam ular dan bangau), kalau dapat, dengan mudah pasti Go-tianglo akan dikalahkan pula.”

Mendengar gadis itu memberi petunjuk pula kepada In Tiong-ho, para pengemis menjadi gusar dan sama melotot padanya.

Dalam pada itu In Tiong-ho sudah mengubah serangannya, kakinya yang panjang itu melangkah lebar, cakar bajanya menyapu dari samping hingga mirip seekor bangau sedang pentang sayap.

"Hihi, si jangkung itu telah tertipu olehku, boleh jadi tangan kirinya akan segera tertebas kutung,” bisik Giokyan pada Toan Ki dengan tertawa perlahan.

"Apa betul?” sahut Toan Ki dengan heran.

Dan belum lagi Giok-yan menjawab, tertampak serangan golok Go-tianglo sudah mulai kacau, gayanya semakin lambat, tapi mendadak ia menyerang tiga kali dengan cepat, di mana sinar golok berkelebat, sekonyong-konyong In Tiong-ho menjerit kaget, punggung tangan kirinya telah keserempet oleh golok Gotianglo hingga cakar bajanya jatuh ke tanah. Masih untung juga baginya karena ginkangnya sangat lihai, dengan cepat ia sempat melompat mundur hingga dapat menghindarkan serangan-serangan susulan Go-tianglo yang hebat.

Setelah mengalahkan musuh, segera Go-tianglo mendekati Giok-yan, ia mengucap terima kasih kepada nona

itu.

Giok-yan tersenyum, katanya, "Sungguh ‘Ki-bun-sam-cay-to’ yang hebat!”

Go-tianglo terkejut, tak tersangka olehnya bahwa gadis itu ternyata kenal ilmu goloknya yang sebenarnya.

Kiranya sejak tadi Giok-yan sudah kenal ilmu golok Go-tianglo itu adalah "Ki-bun-sam-cay-to,” tapi ia sengaja bilang "Su-siang-liok-hap-to” untuk menyesatkan In Tiong-ho, bahkan ia dapat melihat In Tiong-ho pasti mahir menggunakan serangan "Ho-coa-pat-tah”, dengan demikian ia sengaja pancing durjana itu masuk perangkap hingga dicecar oleh serangan Go-tianglo, sampai tangan kirinya hampir tertebas kutung.

Itu orang yang berdiri di samping Helian Tiat-si dan suaranya melengking seram tadi namanya Nurhai. Walaupun mukanya tidak menarik, tapi orangnya sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, pengetahuannya juga sangat luas.

Demi melihat mula-mula Giok-yan membantu In Tiong-ho mengalahkan Ge-tianglo, kemudian gadis itu bersuara pula dan membikin In Tiong-ho dilukai Go-tianglo, maka ia lantas berkata kepada Helian Tiat-si, "Ciangkun, nona cilik bangsa Han ini sangat aneh, kalau kita dapat menawannya ke It-bin-tong dan suruh dia mengatakan segala apa yang dia ketahui, pasti akan sangat besar manfaatnya bagi kita.”

"Ehm, bagus, bolehlah kau tawan dia,” sahut Helian Tiat-si.

Nurhai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, pikirnya, "Sifat Ciangkun benar-benar membikin runyam, setiap kali aku mengusulkan sesuatu akal padanya, selalu ia menjawab, ‘Ehm, bagus, kerjakanlah!’ Padahal untuk melaksanakan sesuatu tugas tidaklah mudah, apalagi nona cilik ini tampaknya berilmu silat sangat tinggi dan sukar dijajaki, jangan-jangan aku sendiri akan terjungkal dari dibikin malu di depan orang banyak. Urusan hari ini sudah jelas harus membasmi habis kaum pengemis ini, maka lebih baik aku mendahului turun tangan saja.”

Sesudah ambil keputusan demikian, segera ia melangkah maju, katanya, "Ci-tianglo, Ciangkun kami cuma ingin belajar kenal Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang, jika kalian mahir, lekas unjukkan, bila tidak becus, kami tiada tempo buat banyak urusan, maka sekarang juga kami mohon diri saja.”

"Hm, jago-jago It-bin-tong negeri kalian itu ternyata juga cuma begini saja kualitasnya, untuk bisa belajar kenal dengan Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang rasanya belum sesuai kalau hanya kerocokeroco seperti ini saja,” sahut Ci-tianglo.

"Habis, cara bagaimana untuk bisa sesuai,” tanya Nurhai.

"Lebih dulu harus dapat mengalahkan semua pengemis-pengemis tak becus seperti kami ini, habis itu barulah pimpinan Kay-pang sudi maju sendiri ....” belum habis ucapannya, sekonyong-konyong ia terbatuk-batuk hebat, menyusul matanya terasa sakit pedas dan tak dapat dibuka, air mata pun bercucuran tak tertahankan. Dalam kagetnya, tanpa pikir lagi ia terus melompat ke atas.

Sebagai seorang Kangouw yang ulung, begitu merasa matanya tidak beres, segera Ci-tianglo tahu musuh telah main gila, dan begitu badannya terapung di udara, kedua tangan siap menjaga diri sambil menahan napas, sedang kaki kanan beruntun-runtun menerjang tiga kali.

Sama sekali Nurhai tidak menduga bahwa seorang kakek-kakek yang sudah ubanan itu begitu tangkas dan cepat, untung dirinya masih sempat berkelit, namun hanya tempat-tempat berbahaya saja dapat dihindarkan, sebaliknya pundaknya juga kena terdepak sekali oleh Ci-tianglo hingga ia sempoyongan dan cepat-cepat melompat mundur.

Dalam pada itu para anggota Kay-pang sudah lantas berteriak-teriak, "Celaka! Musuh main gila!” — "Hei, mataku kena apa ini?” — "Wah, mataku tak dapat dibuka!” — Begitulah semuanya merasa mata sakit pedas dan mengucurkan air mata.

Giok-yan, A Cu, dan A Pik juga mengalami kejadian yang sama, mata mereka terasa panas dan susah dibuka. Kiranya ini adalah semacam kabut beracun yang tanpa warna dan tiada bau apa-apa yang disebarkan orangorang Se He. Racun kabut itu adalah buatan dari kabut beracun yang terdapat di pegunungan Se He, mereka isi di dalam botol, waktu menggunakan, lebih dulu mereka minum obat penawarnya, lalu sumbat botol dibuka dan kabut berbisa itu menguar keluar perlahan-lahan. Dengan begitu biarpun orang yang paling cerdik juga takkan merasa, bila matanya sudah mulai sakit pedas dan mengucurkan air mata, saat itu racun sudah masuk kepala.

Maka terdengarlah suara gedebak-gedebuk dan jeritan kaget yang riuh, para pengemis beruntun-runtun terguling semua.

Di antara semua orang itu hanya Toan Ki yang tidak roboh. Ia pernah makan Bong-koh-cu-hap, katak merah yang bisa menguak seperti kerbau, binatang itu antisegala racun, maka kabut berbisa itu pun tidak mempan baginya.

Ia menjadi bingung ketika melihat para pengemis, Giok-yan dan kedua dayangnya roboh semua dengan keadaan mengenaskan. Ia lihat Ci-tianglo dengan mata merem masih menghantam dan menendang untuk

menjaga diri, tapi untuk kedua kalinya ketika melompat lagi ke atas, mendadak tangan-kaki terasa kaku linu, tanpa kuasa lagi orang tua itu terbanting jatuh.

Sambil membentak Nurhai segera pimpin jago-jago Se He meringkus para pengemis. Ia sendiri lantas mendekati Giok-yan dan hendak menarik tangan gadis itu.

"Apa yang hendak kau lakukan?” bentak Toan Ki mendadak. Dalam gugupnya jari telunjuk kanan terus menuding hingga satu arus hawa murni terpancar kuat ke depan, itulah "Lak-meh-sin-kiam” yang sakti dari keluarga Toan di Tayli.

Nurhai tidak kenal betapa lihainya ilmu pedang tanpa wujud itu, sama sekali ia tidak gubris dan masih ulur tangan hendak memegang Giok-yan, sekonyong-konyong "krek” sekali, tahu-tahu tulang tangan kanannya patah dan menggantung ke bawah dengan lemas.

Saking kagetnya Nurhai menjerit dan berhenti. Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk merangkul pinggang Giok-yan terus dibawa lari dengan ilmu langkah "Leng-po-wi-poh” yang aneh, ia mengisar ke sini dan menyusur ke sana, dengan mudah saja ia tinggal pergi.

Sekali Yap Ji-nio menyambitkan sebatang jarum berbisa ke punggung Toan Ki, sambitan itu sangat pesat menyambarnya dan sangat jitu pula, sebenarnya tidak mungkin Toan Ki sanggup menghindarnya.

Tapi karena ilmu langkahnya yang aneh itu, tiba-tiba Toan Ki mengisar ke kanan dan tahu-tahu membelok ke kiri, terkadang mundur pula, maka ketika jarum berbisa Yap Ji-nio menyambar tiba, tahu-tahu Toan Ki sudah berada beberapa meter jauhnya di samping sana.

Ada tiga busu pilihan dari Se He segera melompat turun dari kuda mereka terus mengudak. Tapi tahu-tahu Toan Ki mengisar mundur malah ke samping kuda yang ditinggalkan mereka itu, lebih dulu ia taruh Giok-yan di atas kuda dengan melintang, lalu ia sendiri mencemplak dan dilarikan secepatnya ke tempat yang sepi.

Sekitar hutan itu sudah dijaga oleh jago-jago Se He, ketika melihat Toan Ki melarikan diri dengan menunggang kuda, segera mereka menghujani pemuda itu dengan panah. Tapi hutan itu sangat lebat, di mana-mana hanya pohon belaka, maka anak panah itu menancap semua di batang pohon tanpa mengenai sasarannya.

Dalam kegelapan Toan Ki terus melarikan kudanya, ia tepuk-tepuk kuda itu dan berkata, "Kuda baik, kuda manis, ayolah cepat, nanti kuberi minum arak!”

Sudah beberapa lama kuda itu mencongklang, sementara itu musuh sudah ketinggalan jauh.

"Nona Ong, bagaimanakah keadaanmu?” tanya Toan Ki.

"Aku keracunan, tenagaku hilang sama sekali,” sahut Giok-yan.

Toan Ki kaget mendengar nona itu keracunan, cepat ia tanya pula, "Wah, berbahaya tidak? Cara bagaimana agar bisa memperoleh obat penawarnya?”

"Entahlah, aku tidak tahu, lekas larikan kudamu lebih cepat, carilah suatu tempat yang aman dan kita bisa berunding nanti,” ujar Giok-yan.

"Ke mana menurut pendapatmu akan lebih aman?” tanya Toan Ki.

"Ke Thay-oh saja!” sahut si gadis.

Toan Ki coba membedakan arah, agaknya Thay-oh (telaga besar) itu berada di jurusan barat-laut, segera ia larikan kuda ke sana. Tiada satu jam kemudian, kuda yang dibebani dua orang itu sudah terlalu lelah, menyusul turun hujan pula rintik-rintik.

Selang tak lama, Toan Ki coba tanya, "Nona Ong, bagaimana keadaanmu?”

Dapat menunggang kuda bersama gadis cantik, sudah tentu rasa Toan Ki sangat senang, tapi ia khawatir pula kalau racun yang mengenai Giok-yan itu teramat jahat hingga membahayakan jiwanya. Maka sebentar ia tersenyum dan lain saat khawatir.

Jilid 27
Untung waktu itu adalah malam dan di tempat sepi hingga tiada orang yang melihat sikapnya yang aneh itu, kalau tidak, tentu orang akan menyangka dia sudah gila.

Hujan itu semakin deras, Toan Ki menanggalkan jubahnya untuk menutup badan Giok-yan. Tapi hanya sebentar saja baju kedua orang telah sama-sama basah kuyup lagi.

"Bagaimana keadaanmu, nona Ong?” kembali Toan Ki menanya.

"Ai, basah dan dingin, sebaiknya cari suatu tempat untuk berteduh,” sahut Giok-yan.

Segala apa yang dikatakan Giok-yan itu bagi pendengaran Toan Ki adalah serupa titah sang ratu. Sekarang gadis itu minta dicarikan tempat meneduh, meski pemuda itu tahu keadaan masih berbahaya, setiap waktu dapat disusul musuh, tapi mau tak mau ia terus mengia. Tiba-tiba timbul pula semacam pikirannya yang ketolol-tololan, "Orang yang selalu terbayang-bayang dalam benak nona Ong hanya Buyung-kongcu seorang, maka terang tiada harapan selama hidupku untuk mempersunting si cantik. Hari ini aku sama-sama menghadapi bahaya dengan dia, biarlah aku berusaha sepenuh tenaga untuk melindunginya, bila akhirnya aku mati baginya, mungkin di kemudian hari pada masa tuanya secara kebetulan tentu dia akan terkenang juga kepada aku si Toan Ki. Kelak setelah dia menikah dengan Buyung Hok tentu akan punya putra-putri, dan bila mereka sedang bicara di antara anak-cucu sendiri atas kejadian-kejadian di masa lalu, mungkin juga ia akan teringat kepada kejadian hari ini. Tatkala mana ia sudah nenek-nenek yang ubanan, ketika bicara tentang ‘Toan-kongcu’, air matanya lantas bercucuran ....” — begitulah dalam melamunnya itu tanpa merasa matanya menjadi memberambang sendiri.

Melihat pemuda itu termangu-mangu sambil menengadah dan tidak lantas mencari tempat meneduh seperti permintaannya tadi, segera Giok-yan menanya, "Hei, kenapakah kau? Apakah susah diperoleh suatu tempat berteduh?”

"Tatkala itu engkau tentu akan berkata pada anakmu ....”

"Anakku apa katamu?” tegur Giok-yan dengan heran sebelum lanjut perkataan pemuda itu.

Keruan Toan Ki kaget dan sadar kembali dari lamunannya, cepat ia menyahut dengan tertawa ewa, "Ah, maaf, aku lagi melamun sendiri.”

Segera ia celingukan kian kemari untuk mencari sesuatu tempat bernaung, tiba-tiba dilihatnya di arah timur laut sana ada sebuah rumah gilingan, air sungai kecil di samping rumah gilingan itu mengalir cepat hingga roda gilingan itu berputar terdorong oleh arus air, nyata gilingan itu sedang bekerja.

"Di sanalah kita dapat berteduh,” ujar Toan Ki. Segera ia keprak kudanya ke arah sana, tidak lama, sampailah di depan rumah gilingan itu.

Segera Toan Ki melompat turun dari kuda, demi dilihatnya wajah Giok-yan pucat pasi, sungguh betapa rasa kasih sayangnya pemuda itu. Dengan khawatir ia menanya pula, "Nona Ong, apakah perutmu sakit? Atau barangkali kepalamu pusing? Badanmu panas?”

"Tidak, tidak apa-apa,” sahut Giok-yan sambil menggeleng.

"Ai, entah racun apa yang digunakan orang Se He itu, kalau aku dapat memperoleh obat penawarnya, tentu segalanya akan beres,” ujar Toan Ki.

"Eh, mengapa engkau tidak memayang aku turun, hujan begini derasnya?” tegur si gadis.

Dan baru Toan Ki ingat akan hal itu, dengan gugup ia menjawab, "Eh, ya, ya, aku menjadi linglung ini.”

Giok-yan tersenyum, ia geli melihat kelakuan si pemuda yang memang mirip orang linglung itu.

Melihat senyuman manis si gadis yang menggiurkan itu, semangat Toan Ki seakan-akan kabur ke awangawang, hampir ia lupa apa yang harus dilakukannya. Segera ia membukakan dulu pintu rumah gilingan itu, habis itu, ia putar balik hendak menurunkan Giok-yan dari atas kuda. Tapi karena matanya tidak pernah meninggalkan wajah si gadis yang ayu itu, ia menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa di depan titian rumah gilingan itu ada sebuah selokan. Begitu ia melangkah kembali, sebelah kakinya tepat kejeblos ke dalam selokan.

"Hei, awas!” cepat Giok-yan memperingatkan.

Namun sudah telat, Toan Ki sudah kehilangan imbangan badan, disertai jeritan kagetnya, terus saja ia ngusrup jatuh ke dalam pecomberan. Cepat ia merangkak bangun pula, namun mukanya, tangannya, dadanya, antero tubuhnya sudah basah kuyup dan kotor oleh tanah lumpur, bahkan ada beberapa tetes air kotor itu menciprat ke

dalam mulutnya.

Keruan Toan Ki kelabakan dan meludah-ludah tiada habis-habis, katanya kemudian, "Ah, maaf, kau ... kau tak apa-apa, bukan?”

"Ai, akulah harus menanya engkau tidak apa-apa, bukan? Mengapa malah aku yang ditanya?” sahut Giok-yan. "Sakit tidak kau? Apa terluka?”

Mendengar si gadis sudi memerhatikan keselamatan dirinya, girang Toan Ki melebihi orang yang dapat "buntut”. Cepat ia menjawab, "O, tidak, tidak apa-apa. Sekalipun terbanting patah kakiku juga tidak apa-apa.”

Habis itu segera ia ulur tangan hendak memayang Giok-yan turun dari kudanya, tapi demi tampak tangan sendiri penuh lumpur, cepat ia tarik kembali lagi dan berkata, "Nanti dulu, biar kucuci tangan dulu supaya tidak bikin kotor padamu.”

"Ai, engkau ini benar-benar suka bertele-tele,” ujar Giok-yan. "Sedangkan seluruh badanku juga sudah basah kuyup, kenapa mesti takut pada sedikit lumpur kotor itu?”

Tapi Toan Ki toh masih mencuci dulu tangannya di dalam air selokan itu, kemudian barulah menurunkan Giokyan.

Setelah mereka melangkah masuk ke rumah gilingan itu, tertampaklah sebuah alu batu yang digerakkan roda air sedang naik-turun menumbuk padi di dalam lumpang. Tapi tidak tampak seorang pun yang menjaga di situ.

"Adakah orang di sini?” segera Toan Ki berseru.

Karena itu, mendadak terdengarlah seruan kaget dua orang di onggok jerami di pojok rumah sana, menyusul berdirilah seorang pemuda dan satu dara. Semuanya baru berusia belasan tahun. Baju kedua muda-mudi itu tampak kumal tak teratur, rambut mereka kusut dan muka merah jengah, sikapnya sangat kikuk.

Kiranya kedua muda-mudi itu adalah sepasang kekasih yang sedang bercumbu-cumbuan di situ. Si gadis itu sebenarnya lagi menunggui lumpang padi, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh si pemuda, apalagi hari hujan pula, mereka yakin takkan ada orang datang ke situ, maka dengan bebas mereka sedang main patgulipat. E-eh, siapa sangka mendadak datang Toan Ki dan Giok-yan hingga mengganggu kesenangan mereka.

Maka Toan Ki lantas memberi kiongchiu sambil menyapa, "Ah, maaf, maaf, banyak mengganggu. Kalian sedang kerja apa, silakan terus, tidak usah mengurus kami.”

"Kembali pelajar tolol seperti kau ini mengaco-belo lagi,” omel Giok-yan. "Di hadapan kita masakah mereka bisa bebas bermesra-mesraan?” — Sebagai seorang gadis, demi tampak kelakuan kedua muda-mudi itu, seketika muka Giok-yan sudah lantas merah dan tidak berani memandang mereka lagi.

Sebaliknya antero perhatian Toan Ki hanya tercurahkan atas diri Giok-yan, maka sama sekali ia tidak perhatikan apakah sebenarnya yang sedang dilakukan kedua muda-mudi itu tadi.

Begitulah segera ia memayang Giok-yan berduduk ke atas bangku yang berada di situ dan menanya, "Badanmu basah kuyup semua. Bagaimana baiknya sekarang?”

Tiba-Tiba pikiran Giok-yan tergerak, ia cabut sebuah tusuk kondenya yang berhias dua butir mutiara dan berkata kepada gadis petani tadi, "Cici, ini kuberi sebuah tusuk konde emas kepadamu, harap engkau suka meminjamkan seperangkat pakaian padaku.”

Sudah tentu gadis petani itu tidak kenal betapa berharganya kedua butir mutiara besar itu, yang dia ketahui hanya tusuk konde emas itu memang bernilai, maka ia menjadi ragu-ragu akan tawaran Giok-yan itu, sahutnya kemudian, "Biarlah aku mengambilkan pakaian untukmu, tentang tusuk ... tusuk konde itu aku tidak mau.” — Habis berkata ia terus naik ke atas loteng rumah gilingan itu dengan sebuah tangga kayu di pinggir situ.

"Cici, harap engkau kemari dulu,” pinta Giok-yan.

Gadis petani itu sebenarnya sudah naik lima-enam tingkat ke atas tangga itu, tapi ia menurut dan kembali ke hadapan Giok-yan.

Segera Giok-yan serahkan tusuk konde emas itu ke dalam tangan si gadis petani dan berkata, "Tusuk konde ini paling sedikit bernilai seratus tahil perak, aku benar-benar menghadiahkan kepadamu. Permintaanku ialah sudilah Cici membawa aku untuk mengganti pakaian.”

Hati gadis petani itu sangat baik, dilihatnya pula Giok-yan sangat cantik menyenangkan, apalagi mendapat persen sebuah tusuk konde berharga pula, keruan ia sangat girang. Segera ia membawa Giok-yan ke atas loteng untuk menukar pakaian.

Di atas loteng penuh tertaruh alat-alat pertanian serta timbunan padi, banyak pula terdapat tampah, tenggok, ayakan bambu dan sebagainya.

Sebenarnya gadis itu sedang tambal sulam pakaian sambil menunggu lumpang padi, tapi kemudian datang si pemuda kekasihnya itu, maka pekerjaan tangan itu ditinggalkannya. Dan kini kebetulan pakaiannya dapat diberikan kepada Giok-yan.

Dalam pada itu si pemuda desa tadi sedang memandang Toan Ki dengan sikap canggung dan tidak berani bersuara. Maka dengan tertawa Toan Ki lantas menyapa, "Toako, she apakah engkau?”

"O, aku ... aku she Kim,” sahut pemuda desa itu.

"Ehm, Kim-toako kiranya,” kata Toan Ki. Dan belum lagi lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang dilarikan dengan sangat cepat sedang mendatangi, dari suaranya itu dapat diduga ada belasan orang banyaknya.

Toan Ki terkejut dan khawatir, cepat ia berbangkit dan berseru, "He, nona Ong, musuh mengejar kemari!”

Dibantu oleh gadis petani tadi, saat itu Giok-yan baru melepaskan baju dan diperas hingga kering serta sedang mengelap badannya yang basah, ia pun sudah mendengar derap kuda dan sedang khawatir. Tapi karena dalam keadaan kepalang tanggung, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu datangnya kuda-kuda itu ternyata sangat cepat, tahu-tahu sudah sampai di depan rumah, segera terdengar suara orang berseru, "He, itulah kuda kita, kedua bocah itu tentu sembunyi di sini.”

Toan Ki dan Giok-yan menjadi khawatir, mereka masing-masing berada di bawah dan atas loteng, diam-diam mereka menyesal tadi kuda itu tidak dibawa masuk sekalian ke dalam rumah.

Sejenak kemudian, terdengarlah suara gedubrakan keras, daun pintu terpentang didobrak orang, menyusul tigaempat orang busu bangsa Se He lantas menerobos masuk.

Yang dipikir Toan Ki hanya keselamatan Giok-yan, tanpa pikir lagi ia terus berlari ke atas loteng. Waktu itu Giok-yan masih belum sempat pakai baju, terpaksa ia gunakan pakaian yang basah itu untuk menutupi dadanya.

Keruan Toan Ki kaget demi mengetahui keadaan gadis itu, cepat ia berkata, "Ah, maaf, maaf, aku tidak tahu!”

"Wah, bagaimana baiknya ini?” tanya Giok-yan dengan gugup.

Dalam pada itu terdengar salah seorang busu di bawah loteng sedang tanya Kim A-toa, yaitu si pemuda desa, "Apakah anak dara itu berada di atas?”

"Buat apa engkau tanya anak gadis orang?” sahut Kim A-toa dengan kaku.

"Blang,” tanpa bicara lagi busu itu hantam Kim A-toa hingga pemuda desa itu terguling. Namun watak pemuda itu ternyata sangat keras, segera ia mencaci maki.

"Kim-toako, jangan bertengkar dengan orang!” demikian si gadis tani tadi berseru kepada kekasihnya dengan khawatir, segera ia turun ke bawah loteng untuk mencegahnya,

Siapa duga busu tadi lantas ayun golok hingga buah kepala Kim A-toa terbelah menjadi dua. Saking kagetnya sampai gadis tani itu pun jatuh terjungkal dari atas tangga.

Segera busu yang lain membangunkannya dan dipeluk sambil menggoda, "Ini dia si manis datang sendiri padaku!”

"Bret”, segera baju gadis itu dirobeknya.

Di luar dugaan, mendadak gadis itu mencakar muka busu itu hingga seketika berwujud lima jalur luka dengan darah bercucuran. Keruan busu itu menjadi murka, ia menghantam sekuatnya dada si gadis hingga tulang iganya remuk dan binasa seketika.

Ketika mendengar jeritan ngeri di bawah loteng, Toan Ki menoleh dan melihat kedua muda-mudi itu sudah terbinasa dengan mengenaskan, ia menjadi pedih dan menyesal, "Gara-garaku hingga kalian ikut menjadi korban!”

Dalam pada itu dilihatnya busu pertama tadi sedang memanjat ke atas loteng. Cepat Toan Ki mendorong tangga kayu itu ke depan. Karena tangga itu cuma melekat di papan loteng, sekali didorong lantas roboh ke

sana.

Namun busu itu keburu melompat turun, ia pegang tangga yang mendoyong itu dan dipasang kembali ke atas loteng.

Dan baru Toan Ki hendak mendorong tangga pula, tiba-tiba busu yang lain menyerangnya dengan sebatang panah. Karena tidak pandai berkelit, "crat”, panah itu menancap di pundak kirinya. Ketika Toan Ki kesakitan dan memegang bahunya, kesempatan itu digunakan oleh busu yang lain untuk memperbaiki tangga terus melompat ke atas.

Giok-yan sedang duduk di atas onggok padi di samping Toan Ki, ia menyaksikan cara bagaimana busu itu menghantam mati si gadis tani dan kini melompat ke atas loteng, maka cepat katanya kepada Toan Ki, "Lekas gunakan jari telunjukmu untuk menutuk ‘He-wan-hiat’ bagian perutnya.”

Waktu Toan Ki mempelajari It-yang-sin-kang, dan Lak-meh-sin-kiam di Tayli, dalam hal hiat-to di tubuh manusia telah dihafalkannya dengan baik. Kini demi mendengar petunjuk Giok-yan itu, sementara itu sebelah kaki busu itu sudah melangkah ke atas loteng, tanpa pikir lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke depan, ia tutuk arah "He-wan-hiat” di perut orang.

Dalam keadaan melompat ke atas, dengan sendirinya perut busu itu tidak terlindung, maka terdengarlah jeritan sekali, busu itu terjungkal ke bawah dan terbanting mati.

Toan Ki sama sekali tidak menduga bahu tenaga jarinya itu ternyata begitu sakti, ia sampai melenggong sendiri.

Dalam pada itu tertampak seorang busu berewok telah menyerbu ke atas loteng sambil putar senjatanya yang berupa golok besar.

"Tutuk mana, tutuk mana?” tanya Toan Ki dengan khawatir.

"Ai, celaka!” tiba-tiba Giok-yan mengeluh.

"Celaka apa?” tanya Toan Ki gugup.

"Dia putar golok untuk melindungi tubuhnya, jika kau gunakan jari untuk menutuk ‘Tan-tiong-hiat’ di dadanya, sebelum jarimu mengenai sasarannya tentu tanganmu sudah tertebas lebih dulu oleh goloknya,” ujar Giok-yan.

Namun keadaan sudah mendesak, baru selesai Giok-yan berkata, sementara busu itu sudah melangkah sampai di ujung tangga. Oleh karena yang terpikir hanya keselamatan Giok-yan, maka Toan Ki tidak pikir apakah tangannya bakal terkutung oleh golok lawan atau tidak, begitu jari telunjuk menuding, ia kerahkan tenaga murni, ia tonjok "Tan-tiong-hiat” di dada musuh.

Waktu itu si busu sedang angkat golok hendak membacok, mendadak ia menjerit lalu terjungkal ke belakang dan terguling ke bawah loteng dengan dada berlubang kecil, darah menyembur keluar bagai air mancur.

Sungguh girang dan kejut pula Toan Ki dan Giok-yan, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa tenaga tutukan itu bisa begitu lihai.

Harus diketahui bahwa lwekang yang dimiliki Toan Ki sekarang boleh dikatakan tiada bandingannya lagi, sedangkan "Lak-meh-sin-kiam” keturunan Toan-si di Tayli merupakan kungfu kelas utama di Bu-lim, yang masih kurang bagi Toan Ki hanya mengenai cara menggunakannya, tapi dengan petunjuk Giok-yan, daya serang yang dilontarkan itu bahkan lebih hebat daripada jago kelas satu seperti Koh-eng Taysu, Ciumoti, Yanking Taycu dan lain-lain.

Begitulah hanya sekejap saja dua orang sudah binasa oleh tutukannya, busu yang lain menjadi jeri tidak berani naik ke atas loteng lagi, mereka berkumpul di bawah untuk berunding.

"Toan-kongcu, panah yang menancap di pundakmu itu harus dicabut keluar,” kata Giok-yan.

Sungguh girang Toan Ki tak terkatakan karena mendapat perhatian si cantik, segera ia cabut keluar panah itu.

Padahal panah itu menancap beberapa senti dalamnya, dengan mencabut begitu saja sebenarnya sangat sakit, tapi saking senangnya ia menjadi lupa sakit. Kemudian katanya, "Nona Ong, kembali mereka akan menyerang lagi, cara bagaimana harus kulayani mereka?”

Sembari berkata ia terus menoleh, tapi sekonyong-konyong dilihatnya pakaian Giok-yan belum lagi teratur, lekas ia berpaling kembali sambil minta maaf.

Muka Giok-yan merah jengah, celakanya untuk berpakaian juga tidak kuat, sungguh ia kehilangan akal. Tibatiba pikirannya tergerak, ia menyusup ke tengah onggok padi, ia tarik ikatan padi hingga menutup sebatas

pundaknya, hanya kepalanya yang menongol keluar tumpukan padi itu, lalu katanya dengan tertawa, "Sudahlah sekarang, boleh kau berpaling ke sini.”

Tapi Toan Ki masih khawatir, perlahan ia menggeser kepalanya, ia bersiap-siap bila pakaian si nona masih belum rapi, secepatnya ia akan berpaling pula.

Tak terduga baru saja ia menoleh separuh, sekilas dilihatnya di luar jendela loteng sana ada seorang busu bangsa Se He berdiri di atas pelana kuda dan sedang melongok dan hendak melompat ke loteng. Cepat Toan Ki berseru, "He, di situ ada musuh!”

"Coba kau sambit dia dengan panah tadi,” kata Giok-yan.

Toan Ki menurut, segera ia timpuk panah yang dia cabut dari bahu sendiri itu. Sudah tentu ia bukan ahli menyambit panah, maka panah yang melayang keluar itu paling sedikit selisih satu meter jauhnya daripada sasarannya,

Busu itu sebenarnya tidak perlu berkelit. Tapi karena tenaga sambitan Toan Ki sangat hebat hingga panah itu bersuara mendenging. Busu itu terkejut dan cepat mendekam di atas kudanya untuk menghindar.

Hanya sedikit gerakan busu itu sudah dapat dilihat jelas oleh Giok-yan, segera katanya kepada Toan Ki, "Dia adalah jago gulat dari Se He, tak perlu kau takut, biarkan dia menyikap dirimu, lalu kau tabok batok kepalanya, sekali tabok tentu akan menang.”

"O, gampang kalau begitu,” kata Toan Ki, perlahan ia lantas mendekati jendela.

Dalam pada itu si busu sudah menjebol jendela dan menyerbu ke atas loteng.

"Mau apa naik sini?” bentak Toan Ki.

Busu itu tidak paham bahasa Han, maka ia hanya melotot saja, begitu tangan terjulur, segera dada Toan Ki kena dijambret. Gerakan busu itu amat cepat, sekali dapat menjambret lawan, segera ia angkat badan Toan Ki ke atas dengan maksud hendak membanting pemuda itu.

Di luar dugaan, baru saja Toan Ki terangkat ke udara, mendadak tangan pemuda itu menggaplok ke bawah dan

tepat mengenai batok kepalanya hingga pecah berantakan.

Selama hidup Toan Ki tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh, tapi kini demi untuk membela Giokyan, hanya sebentar saja sudah tiga nyawa melayang di tangannya.

Keruan ia mengirik, semakin dipikir semakin takut, cepat ia berteriak, "Aku tidak ingin membunuh orang lagi, suruh aku membunuh lagi terang aku tidak tega, ayolah lekas kalian enyah dari sini!”

Habis berkata, ia terus dorong mayat jago gulat Se He itu ke bawah.

Jago-jago Se He yang mengejar kemari itu seluruhnya ada 15 orang, kini telah mati tiga, sisanya masih 12 orang. Di antara ke-12 orang ini ada empat adalah jago pilihan It-bin-tong, sedang kedelapan orang lainnya hanya jago tempur biasa saja.

Keempat jago It-bin-tong itu dua antaranya adalah bangsa Han, seorang bangsa Se-ek (asing barat) dan seorang lagi bangsa Se He.

Keempat jago It-bin-tong itu merasa heran dan bingung juga oleh kepandaian Toan Ki yang sebentar lihai dan sebentar lagi lucu hingga sukar dijajaki. Mereka menjadi tidak berani sembarangan menyerang lagi, segera mereka berunding cara bagaimana baiknya.

Sebaliknya kedelapan busu biasa itu mempunyai pendapat lain, mereka terus mengumpulkan jerami di rumah gilingan itu dengan maksud akan membakarnya.

"Wah, celaka, mereka hendak menyalakan api!” kata Giok-yan dengan khawatir.

"Ya, bagaimana baiknya kini?” sahut Toan Ki kelabakan.

Ia lihat roda air raksasa rumah gilingan itu masih terus berputar terdorong oleh arus air sungai, serupa pikirannya yang juga berputar terus tanpa berdaya.

Dalam pada itu terdengar salah seorang jago bangsa Han tadi sedang berseru, "Menurut perintah Ciangkun, nona cilik itu sangat pintar, harus ditawannya hidup-hidup dan jiwanya tidak boleh diganggu, maka kalian jangan membakar dulu ....”

Lalu ia berteriak pula, "Hai, anak jadah dan nona cilik itu, lekas kalian turun kemari dan menyerahkan diri, kalau tidak, terpaksa kami menyalakan api biar kalian berdua terbakar hidup-hidup bagai babi panggang.”

Berulang ia berteriak tiga kali, tapi Toan Ki dan Giok-yan tetap tidak menggubris, segera orang itu menyalakan api, ia menyulut segebung jerami dan diangkat tinggi ke atas, lalu mengancam pula, "Kalian mau menyerah atau tidak? Jika tidak, terpaksa aku mulai membakar.”

Sembari berkata, ia ayun obornya dengan gaya hendak melempar ke onggok jerami.

Melihat keadaan sudah gawat, segera Toan Ki berbisik kepada Giok-yan, "Biar kuturun untuk melabrak mereka.”

Segera ia melangkah ke atas roda air yang sedang berputar itu.

Roda air itu terbuat dari kayu, besarnya tidak kepalang, bulat tengahnya paling sedikit ada tiga meter. Begitu Toan Ki melangkah ke ujung gigi roda air itu, tangannya lantas memegang ruji roda dan mengikuti putaran roda untuk turun ke bawah.

Jago Se He berbangsa Han tadi masih berteriak-teriak menyuruh Toan Ki dan Giok-yan menyerahkan diri saja, tak terduga diam-diam Toan Ki sudah turun dari loteng sebelah sana, tanpa berkata lagi pemuda itu lantas tudingkan jarinya dan menutuk punggung orang itu.

Yang digunakan Toan Ki adalah gaya ilmu pedang Siau-yang-kiam dari Lak-meh-sin-kiam yang lihai, maksudnya sekaligus merobohkan musuh. Siapa tahu serangan ini dilakukan secara membokong, lebih dulu ia sendiri sudah kebat-kebit, tenaga kurang dan semangat tak ada, tenaga dalam dan hawa murni tak dapat dikerahkan.

Hal ini disebabkan dia tidak paham dasar ilmu silat, maka permainan Lak-meh-sin-kiam itu selalu tergantung keadaan secara kebetulan saja. Sebaliknya sekarang ia sengaja hendak menyerang, tapi justru tenaga murni susah dikerahkan. Meski dia ulangi tutukannya beberapa kali, namun hasilnya tetap nihil.

Ketika mendadak merasa punggungnya seperti disenggol sesuatu dengan perlahan, dengan kaget orang Han itu menoleh, maka dilihatnya Toan Ki yang disangkanya masih di atas loteng itu kini sudah di belakangnya sambil menuding ke arahnya.

Karena sudah menyaksikan cara Toan Ki membinasakan ketiga orang tadi, ia sangka pemuda itu tentu sedang main ilmu sihir apa lagi untuk menyerang dirinya, maka dengan cepat ia melompat ke samping.

Dalam pada itu Toan Ki coba-coba menutuk pula sekali, tapi tetap tiada sesuatu suara dan tenaga, sebaliknya orang itu sudah lantas membentak, "Anak kurang ajar, tanganmu tuding-tuding apa?”

Berbareng tangan kanannya terus mencengkeram kepala Toan Ki.

Cepat Toan Ki mengkeret mundur sambil memegangi ruji roda air, maka ia terangkat ke atas oleh roda itu hingga cengkeraman orang salah hantam di atas gigi roda, "crat” remukan kayu bertebaran, satu sayap gigi roda itu rompal kena cengkeramannya yang kuat itu.

"Jika kau tempur dia lagi, asal mengisar ke belakangnya dan menyerang ‘Ci-yang-hiat’ di bagian punggungnya, tentu dia akan celaka,” demikian Giok-yan memberi petunjuk lagi. "Orang ini adalah murid Hou-jiau-bun (silat cakar harimau) di Cinlam, kepandaiannya masih belum cukup masak untuk melindungi Ci-yang-hiat.”

"Bagus jika begitu!” seru Toan Ki dengan girang. Segera ia membonceng putaran roda air dan turun pula ke ruangan rumah gilingan itu.

Tapi sekali ini mereka sudah berjaga lebih dulu, belum lagi Toan Ki menginjak tanah, segera ada tiga orang mendahului menyerbu maju hendak menangkapnya.

"He, he, jangan, jangan! Cayhe hanya sendirian, dengan sendirinya tak dapat melawan orang banyak, aku cuma ingin menempur dia seorang saja,” seru Toan Ki sambil goyang-goyang kedua tangannya. Berbareng ia mengegos ke samping dengan langkah "Leng-po-wi-poh” yang lincah, hanya beberapa kali menyelinap saja ia sudah memutar sampai di belakang laki-laki tadi, segera ia membentak, "Kena!”

Dan sekali ia menutuk, "crit”, cepat Ci-yang-hiat orang itu tertutuk, tanpa bersuara orang itu terus roboh dan tak berkutik lagi.

Habis membunuh seorang, maksud Toan Ki hendak membonceng roda air untuk naik ke atas loteng lagi, namun sudah terlambat, tahu-tahu jalan mundurnya telah dicegat oleh seorang jago Se He, bahkan goloknya terus membacok ke arah Toan Ki.

"Ai, celaka!” seru Toan Ki. "Musuh telah memotong jalan mundurku, kini aku terkepung di tengah, tamatlah riwayatku!”

Berbareng ia terus melangkah ke kiri hingga bacokan musuh mengenai tempat kosong.

Pada lain saat, ke-11 orang di dalam rumah gilingan itu sudah mengepung rapat di sekeliling Toan Ki, senjata mereka terus bekerja berbareng, lebih-lebih ketiga tokoh It-bin-tong yang lihai itu, asal terkena pukulan atau tendangannya, betapa pun jiwa Toan Ki pasti akan melayang.

Keruan pemuda itu berkelit kian kemari dengan kelabakan sambil berteriak-teriak, "Wah, celaka nona Ong, sampai berjumpa pada jelmaan yang akan datang! Aku sendiri tentu akan terbinasa, biarlah aku menantikan engkau di pintu gerbang akhirat saja!”

Walaupun mulutnya berteriak-teriak, tapi langkahnya tidak pernah kendur, jalannya sangat cepat dan gayanya indah hingga Giok-yan yang mengikuti ilmu langkahnya itu sampai termangu-mangu kesima.

"Hei, Toan-kongcu, apakah caramu melangkah itu adalah ‘Leng-po-wi-poh’? Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi tidak tahu caranya,” seru Giok-yan tiba-tiba.

"Ya, ya, benar, inilah Leng-po-wi-poh!” sahut Toan Ki dengan girang. "Jika nona ingin lihat, biarlah kumulai lagi dari awal. Tapi apakah dapat berlangsung hingga selesai atau tidak, hal ini tergantung nasib buah kepalaku ini.”

Habis itu, terus saja ia mulai dengan langkah pertama dari ilmu langkah yang pernah dipelajarinya dari cermin perunggu di dalam gua di dasar sungai itu. Dan meski ke-11 orang itu masih terus menghujani dia dengan pukulan, tendangan, dan serangan-serangan senjata, toh tetap tiada mampu menyenggol ujung bajunya sekalipun.

Oleh karena sampai sekian saat masih belum dapat membekuk Toan Ki, ke-11 orang itu menjadi kelabakan sendiri dan berkaok-kaok di antara mereka sendiri, "Hai, kau cegat sebelah sana!” — "Awas, kau jaga sebelah timur, jangan memberi ampun padanya!” — Dan lain saat lantas terdengar teriakan seorang, "Wah, celaka, lolos lagi!”

Begitulah selangkah demi selangkah Toan Ki terus berputar-putar di samping roda air dan lumpang padi. Dan biarpun Giok-yan seorang gadis pintar, tetap ia tidak dapat memahami ilmu langkah itu, serunya kemudian, "Sudahlah, lebih penting kau hindarkan serangan musuh, tak usah mempertunjukkan kepadaku lagi.”

"Tapi kalau sekarang aku tidak pertunjukkan, bila jiwaku melayang, tentu engkau takkan dapat melihatnya lagi,” sahut Toan Ki. Dan tanpa menghiraukan mati-hidup sendiri ia terus melanjutkan Leng-po-wi-poh itu hingga langkah terakhir.

Di luar perhitungannya, justru karena ketolol-tololannya itulah malah menyelamatkan jiwanya. Kalau Toan Ki umpamanya berkelit dengan sengaja ketika diserang, pertama ia tidak paham ilmu silat, kedua, jumlah musuh ada 11 orang, ia tentu tidak dapat mengelakkan diri. Tapi kini ia tidak gubris dari mana datangnya serangan, ia melainkan terus melangkah menurutkan iramanya sendiri, dengan demikian menjadi seperti ke-11 orang itu sedang menguber untuk menyerang bersama. Dan "Leng-po-wi-poh” itu justru sangat aneh, setiap langkahnya selalu menuju ke arah yang sama sekali tak terduga oleh orang, tampaknya ia melangkah ke kiri, tapi tahu-tahu di sebelah lain. Semakin cepat ke-11 orang itu menyerang, namun sebagian besar serangan mereka mengenai kawan sendiri malah dan sebagian lain selalu mengenai tempat kosong.

Setelah mengikuti sejenak, segera Giok-yan tahu akan sebab musababnya, serunya, "Toan-kongcu, langkahmu itu sangat bagus dan ruwet pula, seketika aku masih belum jelas, paling baik kalau habis itu engkau suka mengulangi sekali lagi.”

"Baiklah, apa yang kau inginkan, pasti kuturuti,” sahut Toan Ki. Dan habis menjalankan 8 kali 8 sama dengan 64 langkah itu, benar juga ia lantas memulai kembali.

Diam-diam Giok-yan pikir sendiri, "Sementara ini jiwa Toan-kongcu takkan berhalangan, tapi cara bagaimana supaya kami bisa lolos dari sini? Aku belum lagi memakai baju, mana aku dapat keluar begini saja? Setelah keracunan, tenagaku sedikit pun tidak ada, untuk memegang baju saja lemas rasanya, jalan satu-satunya adalah memberi petunjuk kepada Toan-kongcu untuk membinasakan ke-11 musuh itu.”

Sebab itulah ia tidak memerhatikan langkah Toan Ki lagi, tapi menyelami kepandaian ke-11 orang musuh. Ia lihat kedelapan busu Se He itu ilmu silatnya terbagi dua aliran, semuanya berasal dari ilmu silat Tionggoan, sedang kepandaian asli jago bangsa Han itu pun dapat diketahuinya, hanya orang Se-ek itulah tampaknya kaku gerak-geriknya, tapi mendadak bisa lincah dan gesit hingga sukar diketahui sumber asli kepandaiannya.

Dan selagi Giok-yan memerhatikan gerakan orang Se-ek itu dengan harapan dapat mengetahui sumber ilmu silatnya, sekonyong-konyong terdengar suara "keletak” sekali, ada orang sedang pasang tangga kayu tadi dan hendak naik ke atas loteng.

Kiranya sesudah sekian lama Toan Ki masih susah dibekuk, segera jago Se He yang merupakan pimpinan rombongan itu memberi perintah kepada salah seorang bawahannya agar menangkap dulu si gadis. Keruan Giok-yan menjerit kaget.

Waktu Toan Ki mendongak, ia lihat busu bangsa Se He itu sudah mulai naik ke atas tangga. Cepat ia tanya, "Serang tempat mana, nona Ong?”

"Paling baik cengkeram bagian ‘Ci-sit-hiat’!” sahut Giok-yan.

Toan Ki menurut, dengan langkah lebar ia mendekati busu yang naik tangga itu, sekali cengkeram "Ci-sit-hiat” bagian punggung, kontan orang itu kena dipegangnya, tapi karena tidak tahu harus diapakan tubuh orang, segera ia lemparkannya ke samping sekenanya. Dan sungguh sangat kebetulan, lemparan itu dengan tepat menjebloskan kepala busu itu ke dalam lumpang batu.

Rumah gilingan itu terdiri dari sebuah lumpang batu yang besar dengan alu batu pula yang digerakkan oleh roda air, sejak tadi lumpang itu ditumbuk oleh alu dan butiran padi di dalam lumpang sebenarnya sudah menjadi bubuk, tapi karena tiada yang mengurus, antan batu itu masih terus menumbuk tiada hentinya. Kebetulan tubuh busu itu dilemparkan Toan Ki ke dalam lumpang, ketika antan batu menumbuk pula ke bawah, "prak”, tanpa ampun lagi kepala busu itu tertumbuk hancur luluh bagai pepesan.

Di lain pihak tanpa peduli nasib kawannya itu, jago Se He tadi kembali mendesak anak buahnya lagi hingga ada tiga orang menyusul naik ke tangga.

"Bereskan dengan cara yang sama!” seru Giok-yan khawatir.

Benar juga, sekali cengkeram, kembali Toan Ki dapat memegang "Ci-sit-hiat” salah seorang terus dilemparkan pula ke dalam lumpang. Tapi sekali ini dengan sengaja hingga lemparannya itu malah kurang jitu, badan kaki busu itu yang terjeblos ke tengah lumpang, dan ketika antan batu menumbuk, terdengarlah jeritan ngeri busu itu, kakinya remuk, tapi tidak lantas mati,

Dan pada saat Toan Ki melengak oleh kejadian itu, sementara itu dua busu yang lain sudah mulai melangkah ke atas loteng.

"E-eh, tidak boleh, lekas turun!” seru Toan Ki dan jari terus menuding dan menutuk serabutan. Tak terduga, karena gugupnya, hawa murni dalam tubuh ikut bergolak, daya Lak-meh-sin-kiam lantas bekerja lagi, "critcrit” dua kali, dengan tepat punggung kedua busu itu, kena tertusuk dan kontan terjungkal ke bawah.

Melihat Toan Ki hanya tuding-tuding dari jauh lantas dapat membunuh orang, kepandaian demikian dengar pun tidak pernah, keruan jago-jago Se He itu ketakutan. Tapi suruh mereka melarikan diri, mereka pun penasaran, manakah jago It-bin-tong seperti mereka mengeroyok seorang pemuda ingusan saja tidak mampu menang, hal ini kalau diketahui orang, ke mana muka mereka akan ditaruh?

Dalam pada itu Giok-yan tetap mengikuti pertarungan di bawah loteng dengan jelas, ia lihat musuh tinggal tujuh orang, tapi tiga di antaranya sangat lihai, lebih-lebih jago Se He yang membentak-bentak dan memberi perintah itu agaknya merupakan pimpinan rombongan, segera serunya, "Toan-kongcu, lebih dulu bunuh orang berbaju kuning dan bertopi kulit itu, carilah jalan untuk menghantam ‘Giok-cim’ dan ‘Thian-cu-hiat’ di belakang kepalanya.”

"Baik,” sahut Toan Ki terus menerjang ke arah jago Se He itu.

Diam-diam orang Se He itu terperanjat, ia heran dari mana nona cilik itu tahu kedua hiat-to yang memang menjadi ciri kematiannya itu? Sementara itu dilihatnya Toan Ki telah menerjang tiba, cepat ia tebas dulu dengan goloknya agar pemuda itu tidak berani mendekat.

Beberapa kali Toan Ki menggeser tempat dan menerjang maju, tapi selalu teralang, bahkan hampir terluka oleh senjata lawan. Segera ia berteriak, "Nona Ong, orang ini sangat lihai, aku tidak dapat mencapai belakangnya.”

Tapi Giok-yan lantas memberi petunjuk lagi, "Dan tempat kelemahan orang yang berbaju kelabu itu, adalah ‘Jin-ging-hiat’ di tenggorokannya. Adapun si orang berbaju hijau itu aku belum dapat menyelami sumber kepandaiannya, boleh coba-coba kau tutuk dadanya.”

"Baik,” sahut Toan Ki. Dan benar juga ia terus menuding ke dada orang.

Meski gaya tutukannya itu tepat, namun sedikit pun tidak bertenaga dalam, dan sudah tentu hal ini tak diketahui orang Se-ek yang berbaju hijau itu, cepat ia mendak untuk menghindarkan tiga kali tutukan Toan Ki.

Ketika pemuda itu menutuk pula untuk keempat kalinya, mendadak ia meloncat tinggi ke atas, habis itu bagai elang menyambar anak ayam ia terus menukik ke bawah, dengan tenaga hantaman yang hebat, antero tubuh Toan Ki terkurung di bawah pukulan mautnya.

Seketika Toan Ki merasa napasnya sesak dan kepala pening, saking ngeri membayangkan nasibnya jika kena serangan musuh, Toan Ki pejamkan mata dengan tangan menutuk serabutan ke atas, maka terdengarlah suara "cit-cit” berulang, Lak-meh-sin-kiam yang terdiri dari Siau-siang-kiam, Siang-yang-kiam, Tiong-ciong-kiam, Koan-ciong-kiam, Siau-ciong-kiam, dan Siau-tik-kiam, sekaligus telah dilontarkan seluruhnya.

Dalam keadaan kepepet dan khawatir, tenaga dalam Toan Ki sekali ini benar-benar bekerja dengan hebat.

Maka tidak ampun lagi badan orang Se-ek itu terluka enam lubang, dan karena hantamannya ke bawah itu tak dapat ditahan, "plak”, pundak Toan Ki juga kena digebuk sekali. Tatkala itu hawa murni dalam tubuh pemuda itu lagi bergolak dengan hebat, biarpun hantaman itu sangat keras namun daya tolak badan Toan Ki telah mematahkan serangan itu hingga tidak terluka apa-apa.

Sudah tentu Giok-yan tidak tahu apakah pemuda itu terluka atau tidak, maka dengan khawatir ia tanya, "Toankongcu, bagaimana, terluka tidak?”

Waktu Toan Ki membuka mata, ia lihat jago Se-ek itu sudah menggeletak, enam lubang kecil di dada dan perutnya memancurkan darah, mukanya beringas, matanya mendelik, napasnya masih kempas-kempis belum lagi mati. Hati Toan Ki berdebar saking ketakutan, serunya, "Bukan maksudku hendak membunuhmu, tapi engkau sendiri yang menyerang diriku.”

Sembari berkata, langkahnya tidak pernah berhenti, ia masih terus berlari ke sini dan menyusup ke sana sambil kedua tangan berulang memberi salam kepada sisa ketujuh orang itu, "Para saudara yang gagah, sejak dulu aku tidak bermusuhan dengan kalian, kelak juga tidak akan dendam, maka haraplah kalian bermurah hati, pergilah sekarang juga. Aku ... aku ... sungguh tidak berani membunuh orang lagi. Sudah ... sudah sekian banyak orang mati, hati ... hatiku sangat sedih. Ai, benar-benar terlalu kejam. Sudahlah lekas kalian pergi saja, aku Toan Ki mengaku kalah, harap kalian bermurah hati.”

Ketika mendadak ia berputar ke sana, tiba-tiba dilihatnya di samping pintu telah berdiri mula seorang jago Se He yang entah kapan sudah masuk ke situ. Perawakan orang ini sedang, pakaiannya serupa jago Se He yang lain, anehnya parasnya ternyata kuning pucat, sedikit pun tidak berperasaan hingga mirip wajah mayat.

Hati Toan Ki terkesiap, pikirnya, "Manusia atau setankah dia? Jangan-jangan dia adalah ... adalah arwah jago Se He yang kubinasakan tadi dan kini gentayangan kemari?”

Berpikir demikian, ia mengirik, dengan suara gemetar ia tanya, "Siapa ... siapakah kau? Mau apa datang ke ... ke sini?!”

Namun jago Se He itu hanya berdiri tegak saja tanpa menjawab dan tidak bergerak.

Sambil menghindarkan serangan seorang lawan, segera Toan Ki pegang "Ci-sit-hiat” seorang busu terus dilemparkan ke arah orang aneh itu. Namun sedikit mengegos, "blang”, kepala busu yang dilemparkan itu tertumbuk pada dinding hingga pecah berantakan.

Melihat orang itu dapat bergerak, Toan Ki menarik napas lega, katanya, "Ehm, engkau adalah manusia dan bukan setan.”

Melihat kawannya makin lama makin sedikit, ketiga busu bangsa Se He mulai mengkeret nyalinya, segera mereka bermaksud melarikan diri, seorang di antaranya lantas mendekati pintu hendak mendorong daun pintu.

"Mau apa kau?” bentak jago Se He pilihan It-bin-tong tadi. Berbareng ia serang tiga kali kepada Toan Ki.

Toan Ki sendiri sudah tiada nafsu berkelahi lagi, ketika sinar golok musuh berkilauan di depan matanya dan setiap saat mungkin akan berkenalan dengan tubuhnya, ia menjadi ketakutan dan berteriak-teriak, "Hai, hai, mengapa engkau begini kejam, awas kalau sebentar kuhantam Giok-cim-hiat dan Thian-cu-hiat di badanmu, tentu kau akan celaka, ayolah lekas berhenti dan pergi saja demi kebaikan bersama!”

Tapi bukannya menurut, sebaliknya orang itu semakin nekat, serangannya semakin bertubi-tubi dan selalu mengancam tempat berbahaya di tubuh Toan Ki. Untung kaki pemuda itu pun cukup cepat menggeser hingga setiap serangan dapat dihindarkan.

Jago bangsa Han itu paling licin, tadi waktu keadaan terdesak, ia selalu berada di belakang. Kini demi mendengar Toan Ki berulang memohon damai, kecuali menghindar belaka, untuk balas menyerang sudah tidak mampu.

Maka timbul segera akal licik jago bangsa Han itu, ia mendekati lumpang batu dan meraup dua genggam bubuk beras yang sudah tertumbuk halus terus dihamburkan ke muka Toan Ki.

Berkat langkah Toan Ki yang cepat dan aneh itu, dengan sendirinya taburan itu tidak kena sasarannya. Tapi menyusul orang Han itu menghamburkan dua genggam lagi, bahkan ia tambahi pula dua genggam lain hingga seketika ruangan penuh debu bubuk beras bagai kabut tebal.

"Wah, celaka, celaka! Mataku tidak dapat memandang lagi!” demikian Toan Ki berteriak-teriak.

Giok-yan juga tahu keadaan berbahaya. Hal ini dapat dimengerti, jika Toan Ki diserang oleh jago-jago silat kelas tinggi, ia justru dapat menghindarkan diri dengan Leng-po-wi-poh yang aneh. Tapi kini ruangan itu penuh debu beras, jika terjadi serangan serabutan dari musuh-musuh itu tentu Toan Ki akan celaka malah.

Padahal sejak tadi kalau musuh menyerang dengan mata tertutup umpamanya, boleh jadi hanya beberapa kali

gebrak saja Toan Ki sudah dirobohkan.

Begitulah karena pandangan Toan Ki kabur, tanpa pikir lagi ia melompat ke tepi roda air, ia pegang ruji roda dan membonceng putaran ke atas.

Maka terdengarlah suara jeritan ngeri dua kali, dua busu bangsa Se He tadi telah salah terbunuh oleh kawan sendiri. Menyusul terdengar pula "trang-tring” dua kali, lantas ada orang berseru, "Hai, ini akulah!”

Menyusul yang lain pun berteriak, "Awas, kawan sendiri.”

Kiranya senjata antara jago-jago bangsa Han dan Se He itu telah saling beradu, untung mereka masih sempat mengerem. Tapi menyusul lantas terdengar lagi jeritan ngeri yang panjang, busu terakhir entah kena tendangan siapa hingga mencelat keluar jendela, jeritan ngeri sebelum ajalnya itu membuat Toan Ki bergidik hingga gemetar. Dengan suara terputus-putus ia berseru pula, "Hei ... hei, kalian hanya tinggal dua orang, buat apa mesti berkelahi lagi? Orang kalah paling-paling minta ampun, biarlah aku menyembah padamu dan minta ampun, harap kalian pergi saja.”

Dengan mengincar tempat datangnya suara Toan Ki itu, segera jago bangsa Han menimpukkan sebatang piau, namun Toan Ki sudah turun pula terbawa oleh roda air. Karena itu sasaran piau jadi meleset, "plok”, hanya ujung lengan baju Toan Ki yang terpantek pada rangka roda kayu itu.

Toan Ki terkejut, ia pikir bisa celaka kalau musuh terus menghujani dirinya dengan am-gi, ia pasti tak sanggup berkelit. Dan karena rasa jerinya itu, ia menjadi lemas, tubuh yang masih menggelantung di rangka roda itu lantas terperosot ke bawah, lengan baju yang terpantek piau itu sobek dan ia pun terbanting ke lantai.

Di antara kabut tebal itu samar-samar orang Han itu dapat melihat apa yang terjadi, maka cepat ia menubruk maju untuk menangkap Toan Ki.

Toan Ki masih ingat petunjuk Giok-yan tadi agar menutuk "Jin-ging-hiat” orang. Tapi pertama karena dalam keadaan gugup, kedua, walaupun tempat-tempat hiat-to sudah pernah dihafalkannya namun tidak pernah dilatihnya dengan baik, dalam keadaan bingung tutukannya menjadi kurang jitu, agak ke kiri dan jauh menceng ke bawah pula, maka yang tertutuk adalah "Khi-koh-hiat” di bagian pinggang.

"Khi-koh-hiat” itu adalah hiat-to yang membikin orang tertawa, maka begitu tertutuk, tak tertahan lagi orang Han itu terus terbahak-bahak. Namun pedangnya berturut-turut masih menyerang pula walaupun mulutnya tiada hentinya tertawa.

"Yong-heng, apa yang kau tertawakan?” segera jago Se He itu menegur.

Sudah tentu orang Han itu tak dapat menjawab, sebaliknya tertawa lebih keras.

Karena tidak tahu duduknya perkara, orang Se He itu menjadi gusar, dampratnya, "Di hadapan musuh, kau main gila apa?”

"Hahaha ... aku ... hahaha ... ini ... hahahaha ....” begitulah orang Han itu masih terus tertawa, berbareng pedangnya menusuk pula.

Lekas Toan Ki mengisar ke kiri untuk menghindar. Di luar dugaan, karena kabut yang tebal itu, jago Se He itu pun tidak dapat memandang dengan terang, kebetulan ia pun sedang menubruk ke arah sini, maka terjadilah tabrakan di antara mereka berdua.

Jago Se He itu adalah ahli kim-na-jiu, mahir ilmu menangkap. Maka begitu menubruk badan Toan Ki, reaksinya sangat cepat, sekali tangannya bergerak, segera dada Toan Ki kena dijambret olehnya. Ia tahu kepandaian Toan Ki yang diandalkan adalah langkah kakinya, sekali ia dapat memegangnya, kesempatan ini tidak disia-siakan lagi, segera ia membuang senjatanya dan tangan lain hendak dipakai mencengkeram lengan Toan Ki sekuat-kuatnya.

Keruan Toan Ki mengeluh dan meringis kesakitan. Ia coba meronta, namun cengkeraman orang itu bagaikan tanggam kuatnya, semakin ia meronta, semakin kencang pegangan orang Se He itu.

Melihat kesempatan baik, terus saja jago bangsa Han tadi angkat pedangnya menusuk ke punggung Toan Ki sambil tetap tertawa.

Diam-Diam orang Se He itu berpikir jangan-jangan kawannya itu bermaksud tidak baik, kalau tusukannya menembus badan Toan Ki dan didorong terus, bukankah badan sendiri yang merapat pemuda itu juga akan ikut terluka? Karena itu cepat ia seret Toan Ki mundur selangkah.

Sambil masih terbahak-bahak orang Han itu mendesak maju dan hendak menusuk pula, tapi mendadak terdengar suara "plok” sekali, sayap roda air itu tepat menghantam belakang kepalanya hingga ia jatuh kelengar. Bahkan waktu robohnya, kembali dadanya tertumbuk sekali lagi oleh gigi roda hingga terbinasa seketika.

Sementara itu orang Se He itu masih terus menyikap kencang-kencang badan Toan Ki. Ia pikir kalau pemuda ini digencet hingga sesak napasnya, tentu sebentar akan menyerah tanpa berkutik. Sebaliknya tangan Toan Ki yang masih bisa bergerak itu terus menuding dan menutuk serabutan, tapi semuanya mengenai tempat kosong.

Giok-yan menjadi khawatir melihat Toan Ki tak dapat meloloskan diri dari pegangan lawan. Ada maksudnya hendak maju membantu, tapi setelah keracunan, anggota badannya sudah tidak mau menurut perintah lagi, bahkan tangannya pun susah diangkat, jangankan lagi hendak menolong orang. Lagi pula di samping pintu masih berdiri seorang jago Se He dengan wajahnya yang menyeramkan itu, asal dia turun tangan sekali pasti jiwa Toan Ki akan melayang segera.

Karena tak berdaya, akhirnya Giok-yan berteriak-teriak, "Sudahlah, jangan kalian bikin susah Toan-kongcu, aku ... aku menyerah dan akan ikut pergi bersama kalian.”

Waktu itu Toan Ki sendiri sangat ketakutan, tangannya menuding dan menutuk tak keruan, padahal kalau dia bisa berlaku tenang dan mengendurkan badannya, tentu Cu-hap-sin-kang yang mengeram di dalam badannya pasti akan menyedot tenaga jago Se He itu, dan tanpa dia mencapekkan diri, tentu musuh akan lemas sendiri. Tapi karena ketakutan hingga tenaga dalamnya telah terhimpun di antara jari-jarinya, sedangkan tutukannya selalu mengenai tempat kosong.

Begitulah dalam keadaan bahaya dan napasnya terasa semakin sesak, sekonyong-konyong terdengar suara "crit-crit” beberapa kali, tiba-tiba jago Se He itu menjerit perlahan, tangannya lantas mengendur dan akhirnya melambai ke bawah, badannya menjadi lemas juga dan bersandar di dinding dengan kepala terkulai.

Keruan Toan Ki sangat heran, ia coba periksa keadaan orang, ia lihat tepat di "Giok-cim-hiat” di belakang kepalanya ada sebuah lubang kecil dan dari situ memancurkan darah segar. Lukanya itu terang adalah akibat kena serangan Lak-meh-sin-kiamnya.

Toan Ki menjadi bingung, ia tidak tahu bahwa di saat gawat tadi, ketika jarinya menuding ke atas, hingga tenaga murninya yang bergolak itu telah menerjang dinding terus membalik dan secara kebetulan mengenai belakang kepala lawan, sebab Giok-cim-hiat di belakang kepala itu memang merupakan tempat paling lemah bagi jago Se He itu, walaupun cuma tenaga membalik juga telah membikin jiwanya melayang. Giok-cim-hiat di belakang kepala memang merupakan tempat lemah bagi Se He itu, walaupun cuma tenaga membalik juga telah membikin jiwanya melayang.

Dengan heran dan girang segera Toan Ki berteriak, "Aha, nona Ong, semua musuh sudah terbinasa!”

Nyata ia lupa bahwa di samping pintu sana masih berdiri seorang musuh.

Maka tiba-tiba ia dengar suara dingin menyahut, "Hm, belum tentu telah mati semua!”

Dalam kagetnya segera Toan Ki menoleh, ia lihat pembicara itu adalah jago Se He yang mukanya membeku tanpa perasaan itu. Ia pikir kalau orang berani maju, tentu juga akan terbinasa percuma, maka dengan tertawa ia berkata, "Sudahlah, lekas kau pulang saja, aku takkan membunuhmu.”

"Hm, apakah engkau mempunyai kepandaian yang cukup untuk membunuh aku?” sahut orang itu dengan angkuh.

Sesungguhnya Toan Ki memang tidak ingin membunuh lagi, maka sahutnya dengan rendah hati, "Ya, mungkin aku bukan tandinganmu, maka sudilah engkau bermurah hati, ampunilah aku ini.”

"Ucapanmu ini sedikit pun tidak ada maksud minta ampun dengan sungguh-sungguh,” ujar orang itu. "Padahal It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Tayli tersohor di seluruh jagat, ditambah lagi petunjukpetunjuk nona ini, bukankah engkau sudah terhitung jago nomor satu di dunia ini? Biarlah paku belajar kenal juga dengan kepandaianmu.”

Namun watak Toan Ki memang tidak suka ilmu silat, kalau ada sekian banyak orang terbunuh olehnya, soalnya adalah karena terpaksa, kalau bicara tentang berkelahi sungguh-sungguh, sedapat mungkin ia ingin menghindari, apalagi ia dengar kata-kata orang ini agak lain daripada yang lain, tentu bukan sembarangan jago silat, sebaiknya jangan lagi bertempur dengan dia.

Maka cepat ia menjawab dengan sungguh-sungguh sambil memberi hormat, "Teguran saudara memang benar, maksud permintaan ampunku kurang hormat dan tidak jujur, biarlah di sini aku minta diberi maaf. Selamanya aku tidak pernah belajar silat, tadi dapat kurobohkan lawan, sesungguhnya hanya secara kebetulan saja, mana aku berani menantang padamu pula.”

"Hehe, engkau mengaku tidak pernah belajar silat, tapi mampu membinasakan empat jago It-bin-tong negeri Se He dan membunuh pula 11 orang busu kami,” demikian jengek orang aneh itu. "Dan bila engkau belajar ilmu silat, bukankah tiada seorang jago silat lagi di kolong langit ini mampu menandingimu?”

Melihat di sekitarnya bergelimpangan mayat, semuanya berlumuran darah, hati Toan Ki menjadi pedih, katanya sambil tersendat, "Ai, mengapa aku mem ... membunuh sebanyak ini? Padahal sebenarnya aku tidak ... tidak ingin membunuh orang, bagaimana baiknya ini?”

Orang aneh itu hanya tertawa dingin saja sambil melirik hina kepada Toan Ki untuk menjajaki apakah ucapan pemuda itu benar-benar timbul dari hati nuraninya?

Toan Ki lantas berkata pula sambil mencucurkan air mata, "Ai, di rumah orang-orang ini tentu punya anak-istri, tadinya mereka semua sehat dan kuat, tapi sekarang kubinasakan, bagaimana aku harus ... harus bertanggung jawab kepada keluarga mereka?”

Berkata sampai di sini, bukan saja ia menangis tersedu-sedu, bahkan sambil memukul dada sendiri dan menyambung pula dengan terguguk-guguk, "Belum tentu mereka bermaksud membunuh diriku, mereka cuma menurut perintah atasan tutuk menangkapku, selamanya aku pun tidak kenal mereka, mengapa aku turun tangan keji?”

"Hm, jangan pura-pura seperti kucing menangisi tikus, apakah dosamu akan terhapus begini saja?” jengek jago Se He itu pula.

"Ya, memang benar,” kata Toan Ki sambil mengusap air mata, "orangnya kan sudah terbunuh, dosaku juga sudah terang, apa gunanya menangis pula? Aku harus mengubur secara baik-baik jenazah mereka ini.”

Mendengar pemuda itu hendak mengubur belasan jenazah itu, Giok-yan menjadi tidak sabar menunggu, segera ia berseru, "Toan-kongcu, mungkin musuh akan memburu kemari lagi, sebaiknya kita berusaha meninggalkan tempat ini selekasnya.”

"Ya, benar,” sahut Toan Ki terus putar tubuh hendak naik tangga.

"Kau belum lagi membunuh aku, mengapa akan pergi begini saja,” tanya orang aneh itu tiba-tiba.

"Tidak, aku tak boleh membunuhmu, lagi pula aku pun bukan tandinganmu,” sahut Toan Ki sambil menggeleng kepala.

"Kita kan belum lagi bergebrak, dari mana kau tahu bukan tandinganku?” ujar orang itu. "Nona Ong telah mengajarkan ‘Leng-po-wi-poh’ padamu, hehe, langkah itu memang sangat hebat.”

Sebenarnya Toan Ki hendak menerangkan bahwa Leng-po-wi-poh itu bukan ajaran Giok-yan, tapi segera terpikir olehnya tidak perlu beri tahukan hal itu pada orang luar, maka jawabnya, "Ya, aku tidak mengerti ilmu silat apa segala, tapi berkat petunjuk nona Ong, maka aku bisa menyelamatkan diri.”

"Dan bila kau hendak membunuh aku, terpaksa aku yang akan membunuhmu,” kata orang itu sambil menjemput sebatang golok dari lantai, sekonyong-konyong ruangan situ penuh gulungan sinar, dalam lingkaran seluas dua-tiga meter melulu sinar golok belaka. Baru saja Toan Ki mulai melangkah, tahu-tahu pundak kena diketuk punggung golok orang hingga ia menjerit kesakitan sambil sempoyongan.

Dan selagi kacau langkahnya, kesempatan itu segera digunakan jago Se He untuk memburu maju, ia ancam kuduk Toan Ki dengan golok, tapi sebagai gantinya sebelah kaki lantas mendepak hingga Toan Ki terjungkal ke depan, batok kepala menumbuk sebuah tong kayu, seketika jidatnya bocor.

"Lekas naik kemari, Toan-kongcu,” seru Giok-yan.

Toan Ki mengiakan terus merayap ke atas melalui tangga. Waktu ia menoleh ke bawah, ia lihat orang aneh itu sudah duduk di lantai sambil memegangi goloknya, mukanya masih tetap kaku tanpa perasaan. Nyata sekali ia sengaja membiarkan Toan Ki naik ke atas loteng dan tidak memburu untuk menyerangnya dari belakang.

"Wah, nona Ong, aku tak dapat menandingi dia, marilah kita lekas mencari akal untuk melarikan diri,” demikian desis Toan Ki sesudah berada di atas loteng.

"Dia menunggu di bawah, kita tidak dapat melarikan diri,” sahut Giok-yan. "Eh, ambilkan dulu baju itu.”

Toan Ki mengiakan, segera ia ambilkan baju yang ditinggalkan si gadis tani tadi.

"Tutup matamu dan berjalan kemari,” pinta Giok-yan. "Nah, baiklah, berhenti. Sampirkan baju itu ke atas badanku, tidak boleh membuka mata!”

Semua perintah itu dituruti dengan baik oleh Toan Ki. Ia adalah seorang pemuda jujur dan polos, ia pandang Giok-yan seakan-akan malaikat dewata pula, dengan sendirinya tidak berani membangkang. Tapi bila teringat gadis itu dalam keadaan tak berbaju, tanpa terasa hatinya berdebur keras.

Habis pemuda itu mengenakan baju baginya, kemudian Giok-yan berkata pula, "Sudahlah sekarang, bangunkanlah diriku!”

Oleh karena tidak mendengar perintah agar buka mata, maka Toan Ki masih terus pejamkan kedua matanya,

sedikit pun ia tidak berani mengintip. Ketika dengar si gadis bilang "bangunkanlah diriku” terus saja ia ulur tangan ke depan.

Di luar dugaan mendadak muka Giok-yan terpegang olehnya, karena merasa tangan menyentuh sesuatu yang halus licin, Toan Ki terperanjat dan berseru gugup, "O, maaf, maafkan!”

Sejak tadi muka Giok-yan sudah merah jengah ketika minta pemuda itu mengenakan baju untuknya, kiri mukanya teraba pula oleh tangan Toan Ki, keruan ia tambah malu, cepat ia berkata, "Hei, aku minta engkau membangunkan aku!”

"Ya, ya!” sahut Toan Ki, tapi tetap dalam keadaan mata terpejam, karena itu ia menjadi bingung dan serbasalah, sebab tidak tahu ke mana tangannya harus meraba, ia khawatir jangan-jangan salah menyenggol badan si gadis pula hingga makin menambah dosanya.

Dengan rasa tegang Giok-yan menantikan Toan Ki membangunkannya dari onggok padi itu. Tapi sampai sekian saat pemuda itu masih mematung di tempatnya, akhirnya barulah ia ingat kedua mata Toan Ki harus disuruh buka dulu, maka segera katanya, "Eh, mengapa engkau tidak membuka matamu?”

Dalam pada itu jago Se He di bawah loteng sedang tertawa dingin mengejek mereka, "Hehehe, aku suruh kau belajar ilmu silat dulu kepada gurumu untuk kemudian buat membunuh aku. Kan tidak kuminta kalian naik pantas dengan lakon gandrung di situ. Huh, sungguh memuakkan.”

Dan waktu Toan Ki membuka matanya, ia lihat wajah Giok-yan bersemu merah dan kemalu-maluan, seketika ia terkesima dan memandang gadis itu dengan terpesona hingga apa yang dikatakan orang Se He itu sama sekali tak masuk telinganya.

"Lekas bangunkan aku!” pinta si gadis pula.

"Ya, ya!” sahut Toan Ki, dengan gugup ia memayang bangun si gadis untuk duduk di atas sebuah bangku butut.

Setelah membetulkan baju sendiri dengan sebisanya, lalu Giok-yan menunduk sambil berpikir. Selang agak lama barulah ia membuka suara, "Ia sengaja tidak mau mengunjukkan ilmu silatnya yang asli, maka aku tidak ... tidak tahu cara bagaimana agar dapat mengalahkan dia.”

"Dia terlalu lihai, bukan!” tanya Toan Ki.

"Ya, ketika dia bergebrak tadi, sekaligus ia telah mengeluarkan 17 macam gerakan ilmu silat dari aliran yang berbeda-beda,” sahut Giok-yan.

"Ha? Apa? Hanya sekejapan itu, sekaligus ia mengeluarkan 17 macam gerakan yang tidak sama?” Toan Ki menegas dengan terheran-heran.

"Ya, macam-macam kepandaian yang dia mainkan, mula-mula ia keluarkan ilmu golok dari Siau-lim-pay, lalu ada pula ilmu golok Lay-lo-han di Kwisay, serta aliran-aliran lain,” ujar Giok-yan. "Kemudian waktu ia putar punggung goloknya untuk mengetok pundakmu, gayanya adalah ‘Cu-pi-to’ ciptaan Sim-koan Hwesio di Lengpo Thian-tong-si, ilmu golok itu cuma untuk membikin musuh tak berkutik dan tidak digunakan untuk membunuh. Lalu ia ancam lehermu dengan goloknya, itu adalah tipu gerakan ilmu golok ciptaan Nyo-jinkong yang terkenal. Dan paling akhir ketika ia mendepak engkau hingga terguling, gaya itu mengambil cara bergulat orang Se He.”

Ternyata setiap gerak tipu serangan orang Se He itu telah dapat diuraikan satu per satu secara jelas oleh Giokyan. Sebaliknya bagi Toan Ki sudah tentu penjelasan itu tiada artinya, sebab memang dia tidak paham ilmu silat.

Setelah Giok-yan memikir pula agak lama, akhirnya ia berkata, "Sudah terang engkau tak dapat melawannya, sudahlah, engkau mengaku kalah saja.”

"Memangnya sejak tadi aku sudah mengaku kalah,” sahut Toan Ki. Maka segera ia berseru kepada orang Se He itu, "Hai, betapa pun aku tidak dapat melawan kau lagi, engkau mau berdamai tidak?”

"Untuk mengampuni jiwamu juga tidak sulit, asal engkau menurut sesuatu syaratku,” sahut jago Se He itu dengan tertawa dingin.

"Apakah syaratmu itu?” tanya Toan Ki.

"Sejak kini, apabila engkau ketemu aku, harus segera merangkak di tanah dan menyembah padaku sambil meminta ‘ampun tuan’,” kata orang itu.

Sungguh gusar Toan Ki tidak kepalang, sahutnya, "Seorang laki-laki lebih baik terbunuh daripada dihina, engkau ingin aku menyembah dan minta ampun padamu, hm, jangan harap. Jika mau bunuh, silakan sekarang bunuhlah!”

"Kau benar-benar tidak takut mati?” tanya orang itu.

"Takut sih memang takut,” sahut Toan Ki, "tetapi kalau setiap kali bertemu mesti berlutut dan minta ampun padamu, lebih baik aku pilih mati saja.”

"Hm, berlutut dan minta ampun padaku, apakah hal ini merendahkan derajatmu?” jengek orang itu. "Bila suatu ketika aku menjadi raja di Tionggoan, dan kau ketemu aku, kau akan berlutut dan menyembah tidak?”

"Ketemu raja dan menyembah, hal ini adalah soal lain,” sahut Toan Ki. "Cara itu namanya memberi hormat dan bukan minta ampun.”

Mendengar jago Se He itu bicara tentang "bila suatu ketika aku menjadi raja Tionggoan” segala, hati Giok-yan terkesiap, ia heran, "Mengapa ia bicara serupa angan-angan Piaukoku?”

Dalam pada itu terdengar orang Se He itu berkata pula, "Jika begitu, jadi syaratku tak dapat kau terima?”

Toan Ki menggeleng kepala, sahutnya tegas, "Maaf, aku tak dapat menurut.”

"Baiklah, sekarang boleh kau turun, biar sekali tebas kubunuhmu,” ujar orang itu.

Toan Ki memandang sekejap pada Giok-yan dengan perasaan cemas, katanya kemudian, "Jika engkau bertekad ingin membunuh diriku, ya, apa boleh buat! Cuma ada suatu permintaanku padamu.”

"Tentang apa?” tanya orang itu.

"Nona ini keracunan aneh, badannya lemas dan tak ada tenaga hingga tidak dapat berjalan, maka harap engkau suka mengantarkannya pulang ke Man-to-san-ceng di tepi Thay-oh sana,” pinta Toan Ki.

"Haha, guna apa aku mesti berbuat begitu?” seru orang itu dengan tertawa. "Telah ada perintah dari Ciangkun kami, barang siapa dapat menangkap si gadis cendekia ini akan diberi hadiah emas murni seribu tahil dan diberi pangkat menteri.”

"Jika engkau kemaruk harta dan pangkat, baiklah begini saja, aku akan menulis sepucuk surat, sesudah kau antar pulang nona ini, engkau boleh membawa suratku ke negeri Tayli untuk menerima lima ribu tahil emas, tentang pangkat menteri juga tetap diberikan padamu,” ujar Toan Ki.

"Hahaha, apa kau anggap aku anak umur tiga, ya?” sahut orang itu dengan terbahak. "Kau ini kutu macam apa hingga melulu sepucuk suratmu lantas aku dapat menerima ribu tahil emas dan diberi pangkat?”

Toan Ki tahu orang tidak percaya omongannya, seketika ia menjadi tidak berdaya lagi, katanya, "Habis, apa yang dapat kulakukan? Kematianku tidak perlu dibuat sayang, tapi kalau Siocia telantar di sini dan jatuh di bawah cengkeraman musuh, bukankah dosaku tak terampunkan?”

Giok-yan terharu mendengar kata-kata Toan Ki yang tulus itu, segera ia berseru pada jago Se He itu, "Hai, jika kau berani kurang ajar padaku, tentu Piaukoku akan membalaskan sakit hatiku, negeri Se He kalian pasti akan diubrak-abrik habis-habisan olehnya.”

"Siapakah gerangan Piaukomu?” tanya orang itu.

"Piaukoku adalah Buyung-kongcu yang namanya mengguncangkan dunia persilatan Tionggoan, nama ‘Kohsoh Buyung-si’ tentu pernah kau dengar juga,” demikian sahut Giok-yan. "Dan bila engkau tidak suka ‘Ih-pi-cito, hoan-si-pi-sin’ baiknya engkau jangan mengganggu aku, kalau engkau berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, Piaukoku tentu akan membalas engkau dengan sepuluh kali lebih jahat.”

"Hm, Buyung-kongcu dari Koh-soh hanya seorang bocah ingusan yang masih berbau pupuk, namanya cuma nama kosong belaka, kepandaian sejati apa yang dia miliki?” ejek orang itu. "Andaikan dia tidak datang mencariku, memang sudah lama juga aku ingin mencarinya untuk menjajalnya.”

"Engkau sekali-kali bukan tandingan Piaukoku, maka aku nasihatkan padamu lebih baik pulang kandang ke negerimu saja,” ujar Giok-yan. "Pula, bila jiwa Toan-kongcu ini diganggu olehmu, pasti aku akan minta Piauko menuntut balas padamu. Sebab Toan-kongcu sendiri sebenarnya dapat meloloskan diri, tapi demi untuk melindungi aku, maka ia ikut terkurung di sini. Eh, tuan besar, siapakah namamu yang mulia? Beranikah kau beri tahukan padaku?”

"Kenapa tidak berani? Li Yan-cong, inilah namaku,” sahut orang itu.

"O, jadi engkau she Li, itu kan nama keluarga kerajaan Se He?” Giok-yan menegas.

"Ya, tidak hanya nama keluarga kerajaan, bahkan setia membela negara dan siap berbakti bagi tanah air. Negara Song akan kami hancurkan, Liau akan kami caplok, ke barat membasmi Turfan, ke selatan meratakan Tayli,” kata orang yang bernama Li Yan-cong itu.

"Haha, cita-citamu ternyata setinggi bintang di langit,” seru Toan Ki. "Wahai Li Yan-cong, biarlah kukatakan terus terang padamu, bahwasanya engkau mahir berbagai macam ilmu silat dari setiap aliran, kalau hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu di jagat ini mungkin tidak sulit, tapi kalau engkau bercita-cita menyatakan dunia di bawah kekuasaanmu, hal ini rasanya takkan terjadi bila melulu mengandalkan ilmu silat nomor satu di dunia ini.”

"Hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu di dunia juga engkau tidak mungkin mampu,” tukas Giok-yan.

"Apa yang menjadi dasar pendapatmu? Coba memberi penjelasan,” tanya Li Yan-cong.

"Pada zaman ini, kalau menurut penglihatanku, paling sedikit sudah ada dua orang yang berilmu lebih tinggi daripadamu,” sahut Giok-yan,

"Siapa kedua orang itu? tanya Li Yan-cong sambil melangkah maju setindak dan menengadah.

"Pertama, ialah Kiau Hong, Kiau-pangcu dari Kay-pang,” kata Giok-yan.

"Hm, meski terkenal namanya, belum tentu sesuai dengan kenyataannya,” jengek Li Yan-cong. "Dan siapa lagi yang kedua itu?”

"Orang kedua adalah Piaukoku. Buyung Hok, Buyung-kongcu dari Koh-soh,” sahut si gadis.

"Huh, juga belum tentu benar,” kata Li Yan-cong sambil geleng kepala. "Kau sengaja menyebut nama Kiau Hong di depan Buyung Hok, hal ini demi kepentingan pribadimu atau demi kepentingan umum?”

"Kepentingan umum dan pribadi apa maksudmu? tanya Giok-yan.

"Jika demi kepentingan umum, tentu dasarnya karena kau anggap ilmu silat Kiau Hong memang berada di atas Buyung Hok,” sahut Li Yan-cong. "Dan bila demi kepentingan pribadi, tentu disebabkan Buyung Hok itu ada hubungan famili denganmu, maka kau biarkan nama orang luar di depan nama orang sendiri.”

Untuk sejenak Giok-yan berpikir, lalu jawabnya, "Demi kepentingan umum atau pribadi kan sama saja. Sudah tentu kuharap ilmu silat Piaukoku bisa lebih tinggi daripada Kiau-pangcu, tapi pada saat ini belum dapat.”

"Sekarang belum dapat? Hm, jadi maksudmu bila ilmu silat Piaukomu setiap hari dapat maju dengan pesat, kelak pasti akan menjadi jago nomor satu di dunia ini?” jengek Li Yan-cong.

"Ai, itu pun belum pasti,” sahut Giok-yan sambil menghela napas. "Sampai akhirnya kelak, mungkin jago silat nomor satu di dunia ini tak-lain-tak-bukan adalah Toan-kongcu inilah.”

"Hahaha, benar-benar pandai berkelakar,” seru Li Yan-cong sambil tertawa. "Pelajar tolol ini hanya mendapat petunjukmu hingga dapat memainkan ‘Leng-po-wi-poh’ sehingga jiwanya untuk sementara dapat selamat, tapi dengan kepandaian angkat langkah seribu dan lari terbirit-birit itu masakah dapat disebut sebagai jago silat nomor satu di dunia?”

Sebenarnya Giok-yan bermaksud menjelaskan bahwa Leng-po-wi-poh itu bukan dia yang mengajarkan, hanya lwekang Toan Ki memang hebat luar biasa. Tapi demi dipikir pula bahwa musuh mungkin berjiwa sempit, bila mengetahui rahasia itu, bukan mustahil Toan Ki akan dibunuhnya. Maka segera ia berkata, "Jika dia mau menurut petunjukku dan belajar tiga tahun, sesudah itu untuk menjadi jago nomor satu di dunia ini mungkin belum cukup, namun untuk mengalahkanmu dapat dipastikan semudah membalik telapak tangan sendiri.”

"Jika begitu, baiklah, aku percaya omonganmu, dan daripada menanam bibit bencana, lebih baik sekarang kubasmi dulu. Nah, Toan-kongcu, silakan turun, aku akan membunuhmu saja,” demikian kata Li Yan-cong.

Keruan Giok-yan kaget, sungguh di luar dugaan bahwa bandingannya justru membikin urusan menjadi runyam malah, terpaksa ia berkata pula dengan tertawa dingin, "Huh, kiranya engkau sudah jeri lebih dulu, sebab khawatir tiga tahun lagi engkau tak mampu menangkan dia.”

"Hehe, kau sengaja mengumpak aku dengan kata-kata pancingan, masakah orang she Li ini mudah tertipu?” jengek Li Yan-cong. "Sudahlah, pendek kata, ingin minta aku mengampuni jiwanya juga boleh, asal seperti kataku tadi, setiap kali bertemu dengan aku dia harus berlutut dan minta ampun, dengan demikian pasti aku tidak akan membunuhmu.”

Giok-yan tidak bersuara lagi, ia pandang Toan Ki, ia pikir tidak mungkin pemuda itu sudi berlutut dan minta

ampun. Jalan paling baik sekarang biar coba melawan dengan mati-matian. Maka segera ia berbisik, "Toankongcu, kiam-gi (hawa pedang) pada jarimu itu mengapa adakalanya manjur, tapi terkadang macet, apa sebabnya?”

"Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu,” sahut Toan Ki.

"Paling baik kau coba sekali lagi sekuat tenaga,” ujar si nona. "Engkau boleh menusuk pergelangan tangan orang she Li itu dengan hawa pedang, lebih dulu rampas senjatanya, kemudian dekap dia sekencangkencangnya untuk mengadu jiwa dengan dia. Tempo hari waktu di Man-to-san-ceng, secara mudah Peng-mama dapat kau taklukkan, sekarang bolehlah kau gunakan cara yang sama.”

Kiranya Giok-yan tahu tidak mungkin dalam waktu sesingkat Toan Ki dapat diberi petunjuk cara mengalahkan Li Yan-cong yang lihai itu. Tapi ia ingat cara Toan Ki menaklukkan Peng-mama tempo hari, yaitu dengan semacam tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan, asal pemuda itu dapat menyikap Li Yan-cong, tentu ilmu sakti itu dapat dipakai menyedot tenaga lawan.

Begitulah Toan Ki lantas mengangguk tanda setuju, memang kecuali cara itu ia pun tidak berdaya lain, biarpun risiko celaka lebih besar daripada selamatnya, namun terpaksa ia harus mencobanya juga.

Maka sesudah membetulkan baju sendiri, segera Toan Ki berkata dengan tertawa, "Nona Ong, sungguh aku harus malu karena tak becus melindungi nona. Bila nanti nona dapat lolos dengan selamat dan kelak menikah dengan Piaukomu, harap jangan lupa menyiram beberapa tetes arak pada tangkai bunga kamelia yang kutanam di Man-to-san-ceng itu dan anggaplah aku yang telak minum arak bahagiamu.”

Jilid 28
Mendengar pemuda itu berdoa agar dirinya menikah dengan sang piauko, Giok-yan sangat senang, ia menjadi tidak tega pula menyaksikan pemuda baik hati itu akan dibunuh orang, maka dengan sedih ia berkata, "Toankongcu, budi pertolonganmu, aku Ong Giok-yan takkan lupa untuk selamanya.”

Sebaliknya Toan Ki memang sudah nekat, ia pikir daripada nanti menyaksikan engkau dipersunting piaukomu, lebih baik sekarang juga aku mati di hadapanmu saja. Maka perlahan ia mulai melangkah ke bawah loteng, sebelum itu ia masih sempat menoleh sekejap dan tersenyum kepada Giok-yan.

Diam-diam gadis itu merasa heran, sebentar lagi jiwanya akan melayang, tapi pemuda itu masih bisa tertawa.

Setelah berada di lantai bawah, Toan Ki melotot kepada Li Yan-cong dan menegur, "Nah, aku sudah turun sekarang. Li-ciangkun, katanya engkau sudah pasti akan membunuh aku, silakan turun tangan. Lekas!”

Sambil berkata ia terus melangkah maju pula, langkahnya itu bukan lain adalah "Leng-po-wi-poh”.

Tanpa bicara lagi segera Li Yan-cong putar goloknya dan membacok tiga kali beruntun-runtun. Setiap kali tidak sama ilmu goloknya. Tapi langkah Toan Ki itu benar-benar ajaib dan aneh sekali perubahannya, beberapa kali Li Yan-cong hendak mengurungnya dengan tipu ilmu goloknya yang berganti-ganti itu, tapi entah mengapa pemuda itu dapat lolos keluar.

Melihat sekali ini Toan Ki dapat bertahan dengan baik, diam-diam Giok-yan merasa lega, ia harap pemuda itu mendadak dapat mengeluarkan serangan aneh untuk merobohkan lawannya.

Diam-diam Toan Ki juga sedang berusaha mengerahkan tenaga dalam dengan maksud menyalurkan ke ujung jari, tapi hawa murni itu selalu mogok di tengah jalan, kalau sampai tangan entah mengapa lantas menyurut kembali. Maklum, ia memang tidak pernah belajar silat sehingga tidak mudah melancarkan hawa murni.

Untunglah "Leng-po-wi-poh” cukup hebat, pula sudah sangat hafal, betapa pun cepat Li Yan-cong menyerang, selalu luput mengenai sasarannya.

Tadi Li Yan-cong sendiri sudah menyaksikan cara Toan Ki membinasakan jago-jago Se He, kini melihat

pemuda itu bertuding-tuding pula entah sedang main sulap apa, diam-diam ia merinding jangan-jangan pemuda itu mahir ilmu sihir. Segera ia ambil keputusan harus berusaha membunuhnya lebih dulu sebelum pemuda itu sempat mengeluarkan ilmu sihirnya. Tapi apa daya, serangan selalu mengenai tempat kosong.

Dasar pikiran Li Yan-cong memang cerdas, dengan cepat ia mendapat akal, mendadak ia membalik tangan dan menghantam roda air hingga sayap roda sempal, segera ia sambar sempalan kayu terus dilemparkan ke kaki Toan Ki.

Tapi langkah pemuda itu cepat sekali, sudah tentu timpukan itu tidak kena. Namun Li Yan-cong terus menghantam dan memukul serabutan hingga segala alat perabot di dalam ruangan seperti tenggok, tampah, dan sebagainya berjungkir balik tersampuk ke tepi kaki Toan Ki.

Ruangan itu memang sudah penuh menggeletak belasan mayat, ditambah lagi alat-alat perabot itu, sudah tentu tiada tempat luang lagi bagi kaki Toan Ki, setiap tindakannya tentu tersenggol atau kesandung sesuatu benda di lantai itu.

Namun Toan Ki tahu keadaan sangat berbahaya, bila lambat sedikit saja langkahnya pasti jiwa bisa melayang. Maka ia menjadi nekat, ia tidak memandang ke lantai dan tetap menurutkan ilmu langkah ajaib itu, tetap mengisar kian kemari dengan cepat walaupun terkadang mesti naik-turun karena kakinya menginjak sesuatu, entah mayat, entah bakul, dan entah apa lagi, semuanya tak dipedulikannya.

Rupanya Giok-yan juga tahu gelagat jelek, segera ia berseru, "Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu dan menyelamatkan diri sendiri saja, kalau melawan lebih lama lagi tentu jiwamu berbahaya.”

"Biarlah, kecuali dia dapat membunuh aku, kalau tidak, asal aku masih bisa bernapas, pasti akan kubela keselamatan nona,” sahut Toan Ki.

"Hm, kau tidak becus ilmu silat, tapi ternyata seorang sok baik hati dan berbudi, begitu mendalam kasih sayangmu kepada nona Ong, ha?” ejek Li Yan-cong.

"Bukan, bukan!” demikian Toan Ki menirukan lagu Pau-samsiansing. "Nona Ong adalah manusia dewata, sebaliknya aku cuma seorang biasa saja, mana aku berani bicara tentang kasih dan budi? Soalnya Nona Ong mau menghargai aku dan sudi ikut aku keluar untuk mencari piaukonya, dengan sendirinya aku harus membalas penghargaannya kepadaku ini.”

"O, jadi dia ikut kau keluar dengan tujuan ingin mencari piaukonya si Buyung-kongcu, jika begitu, hakikatnya dalam hatinya tidak pernah terlintas orang macammu ini, tapi kau sendiri yang melamun seperti katak buduk

mengimpikan bidadari! Haha, hahaha! Sungguh menggelikan!”

Tapi Toan Ki tidak gusar, sebaliknya menjawab dengan sungguh-sungguh, "Perumpamaan itu memang sangat tepat. Ong-kohnio memang benar laksana bidadari. Cuma katak buduk seperti aku ini juga lain daripada yang lain, asal dapat memandang beberapa kejap kepada sang bidadari rasanya sudah puas dan tiada pikiran lain lagi.”

Mendengar pemuda itu mengaku dirinya seperti katak buduk yang lain daripada yang lain, Li Yan-cong bertambah geli hingga tertawa terbahak-bahak. Anehnya, biarpun begitu keras ia tertawa, tapi kulit daging air mukanya itu tetap kaku tanpa perasaan.

Toan Ki sudah pernah melihat orang aneh seperti Yan-king Taycu, tanpa gerak bibir, tapi bisa bicara. Maka air muka Li Yan-cong yang aneh itu tidak membuatnya heran. Katanya malah, "Kalau bicara tentang air muka kaku tanpa perasaan, kau masih selisih jauh kalau dibandingkan Yan-king Taycu, untuk menjadi muridnya mungkin juga belum sesuai.”

"Siapa itu Yan-king Taycu? Tidak pernah kudengar,” tanya Li Yan-cong.

"Dia adalah tokoh terkemuka negeri Tayli, ilmu silatmu jauh di bawahnya,” sahut Toan Ki.

Padahal mengenai tinggi-rendahnya ilmu silat orang lain, hakikatnya sama sekali Toan Ki tak dapat membedakan, tapi ia sengaja mengucapkan kata-kata yang menilai rendah lawannya, ia pikir daripada mati konyol, paling tidak aku sudah balas mengolok-olok lebih dulu.

Maka Li Yan-cong menjengek, "Hm, betapa tinggi atau rendah ilmu silatku, masakah bocah seperti dirimu mampu menjajaki?”

Sembari berkata, ia putar goloknya semakin kencang.

Sudah tentu sejak semula Toan Ki tidak tahu betapa tinggi kepandaian lawan itu. Tapi bagi Giok-yan, semakin dilihat semakin khawatir. Pikir gadis itu, "Kepintaran orang ini boleh dikatakan sangat luas dan hampir memadai kepintaranku, apalagi lwekangnya sangat tinggi pula, sungguh tidak nyana di negeri Se He terdapat seorang tokoh pilihan seperti ini dan aku justru kepergok di sini, sedangkan Piauko tiada di sini hingga tidak ada yang mampu melindungi keselamatanku, hanya seorang pelajar tolol yang terus main kucing-kucingan dengan dia. Ai, nasibku benar-benar teramat buruk.”

Pada saat lain, ketika dilihatnya Toan Ki agak sempoyongan, keadaan cukup berbahaya, tanpa terasa timbul juga rasa kasih sayangnya, segera ia berseru, "Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu, bertempur di luar sana juga boleh.”

"Tidak,” sahut Toan Ki, "engkau tak dapat bergerak, kalau tinggal sendirian di sini, betapa pun aku merasa khawatir. Apalagi, mayat berserakan sekian banyak di sini, tentu engkau akan merasa seram, maka lebih baik aku tinggal di sini untuk mengawanimu saja.”

Diam-diam Giok-yan tidak habis gegetun akan ketolol-tololan pemuda pelajar itu, mana jiwa sendiri terancam maut masih dapat pusingkan orang lain takut pada mayat segala.

Dalam pada itu beberapa kali Toan Ki kesandung dan keserimpet, golok musuh terkadang menyambar lewat di atas kepalanya, cuma selisih satu-dua senti jauhnya, keruan pemuda itu ketakutan setengah mati, berulang timbul pikiran, "Wah, celaka, kalau buah kepalaku ini tertebas separuh, tentu aku tak bisa hidup lagi. Seorang laki-laki harus bisa mulur-mengkeret, berani menang dan berani kalah, demi nona Ong, biarlah aku berlutut dan minta ampun padanya saja.”

Namun demikian pikirnya, toh tetap enggan diucapkannya.

"Hm, kulihat engkau pasti ketakutan setengah mati dan ingin lari terbirit-birit,” demikian Li Yan-cong mengejek.

"Mati adalah urusan mahapenting setiap orang, siapa yang tidak takut mati?” sahut Toan Ki. "Tentang lari sih memang ada maksudku, namun aku tak dapat melarikan diri.”

"Sebab apa?” tanya Yan-cong.

"Sudahlah, tidak perlu banyak omong,” ujar Toan Ki. "Akan kuhitung satu sampai sepuluh, bila engkau tak dapat membunuh aku, terpaksa aku tak mau mengiringimu lagi.”

Dan tanpa menunggu jawaban apakah Li Yan-cong setuju atau tidak, terus saja ia mulai menghitung, "Satu, dua, tiga ....”

"Apa kau sudah gila?” ujar Li Yan-cong.

Tapi Toan Ki masih terus menghitung, "Empat, lima, enam ....”

"Hahaha, masakah di dunia ini ada orang tolol semacam kau, sungguh bikin malu kaum persilatan saja,” seru Li Yan-cong dengan terbahak-bahak. Berbareng goloknya susul-menyusul membabat ke kanan dan menebas ke kiri.

Namun dengan cepat Toan Ki menggeser kian kemari sambil mulut menghitung makin cepat mengikuti gaya serangan lawan, "Tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, tiga belas ... sudah, sudah, sudah lebih dari sepuluh kali dan kau tetap tidak mampu membunuh aku, huh, engkau sungguh tidak kenal malu, masakah tidak mau mengaku kalah, ha?”

Sungguh geli dan mendongkol Li Yan-cong melihat kelakuan Toan Ki itu. Dikatakan tolol, toh pemuda itu tidak tolol, bilang dia pintar, nyatanya juga tidak pintar, benar-benar seorang aneh yang tidak pernah diketemukannya. Kalau sampai terlibat lebih lama, entah bagaimana akhirnya nanti, jangan-jangan sedikit lengah awak sendiri akan terjungkal malah di bawah ilmu sihirnya, demikian pikiran Yan-cong.

Dasar dia memang seorang yang sangat cerdik, ia tahu Toan Ki sangat memerhatikan keselamatan Giok-yan, tiba-tiba ia mendapat akal, ia mendongak ke atas loteng dan berteriak, "Hah, bagus, boleh kalian bunuh dulu nona itu, lalu turun kemari dan membantu padaku!”

Keruan Toan Ki kaget, disangkanya benar-benar ada musuh naik ke atas loteng dan jiwa Giok-yan sedang terancam. tanpa pikir lagi ia terus menengadah ke loteng. Dan karena sedikit meleng itulah, kesempatan itu digunakan Li Yan-cong untuk mengayun kakinya, sekali tendang ia bikin Toan Ki terjungkal, menyusul goloknya lantas mengancam leher pemuda itu sambil sebelah kaki menginjak pada dadanya.

Toan Ki masih bermaksud angkat jarinya untuk menutuk, tapi sedikit Li Yan-cong tahan goloknya, segera mata golok melekuk beberapa mili ke leher Toan Ki.

"Jangan bergerak, sekali bergerak, segera kupotong kepalamu!” ancam Yan-cong.

Dalam pada itu Toan Ki telah melihat jelas bahwa di atas loteng sebenarnya tiada musuh. Hatinya menjadi lega, katanya dengan tertawa, "Ah, kiranya engkau cuma menggertak saja!”

Menyusul ia menyambung pula dengan gegetun, "Ai, sayang, sungguh sayang!”

"Sayang apa?” tanya Li Yan-cong.

"Jika aku mati di tangan jago silat kelas satu seperti dirimu, sebenarnya masih cukup berharga bagiku,” sahut Toan Ki. "Siapa nyana engkau tidak mampu menangkan aku dengan ilmu silat, lalu main licik dan menipu, perbuatan rendah dan memalukan ini sungguh membikin aku mati penasaran.”

"Jika kau merasa penasaran, nanti boleh kau mengadu pada Giam-lo-ong (raja akhirat) saja,” ujar Yan-cong.

"Tahan dulu, Li-ciangkun,” tiba-tiba Giok-yan berseru.

"Ada apa?” tanya Li Yan-cong.

"Jika engkau membunuh dia, kecuali aku dibunuh pula, kalau tidak, pada suatu hari aku pasti akan membunuhmu juga untuk membalas sakit hati Toan-kongcu,” kata Giok-yan.

Li Yan-cong melengak. "Bukankah engkau telah mengatakan piaukomu yang akan membunuh aku?” tanyanya.

"Ilmu silat piaukoku belum tentu bisa menangkan engkau, sebaliknya aku pasti dapat,” sahut Giok-yan.

"Hm, apa dasar perhitunganmu?” jengek Yan-cong.

"Sudah sekian banyak tipu seranganmu, tapi ternyata juga cuma sekian saja, terang apa yang kau ketahui dan pelajari belum ada separuhnya dari apa yang kuketahui,” demikian sahut si gadis. "Buktinya caramu menyerang Toan-kongcu sudah banyak lubang kelemahannya, menurut perhitunganku, dengan mudah mestinya Toan-kongcu dapat kau bunuh, tapi ilmu golok yang kau keluarkan selalu salah. Padahal ada juga ilmu golok dari kalangan To-kau (agama Tao) yang dapat kau gunakan. Tapi nyatanya engkau tidak tahu atau mungkin sama sekali asing dalam hal ilmu silat golongan To-kau.”

"Huh, sombong benar kau,” sahut Li Yan-cong dengan ragu. "Engkau bersedia membalaskan sakit hati Toankongcu, apakah karena cintamu kepadanya sudah terlalu mendalam?”

Muka Giok-yan menjadi merah, sahutnya, "Mendalam apa? Hakikatnya tiada istilah cinta antara diriku dengan dia. Soalnya karena dia mati untukku, dengan sendirinya aku harus membalaskan sakit hatinya.”

Ternyata Li Yan-cong tidak menjawabnya lagi, tapi hanya tertawa dingin, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah botol porselen kecil dan dilemparkan ke atas badan Toan Ki, lalu ia simpan kembali goloknya, sekali lompat, cepat ia melompat keluar pintu. Maka terdengarlah suara kuda meringkik, menyusul kuda dilarikan, makin lama makin jauh.

Segera Toan Ki merangkak bangun, ia meraba lehernya yang masih kesakitan bekas diancam golok musuh tadi, ia merasa seperti habis sadar dari mimpi buruk saja. Begitu pula Giok-yan juga tidak menduga akan kejadian itu, untuk sejenak mereka hanya saling pandang dengan bingung dan bergirang pula.

"He, dia sudah pergi,” kata Toan Ki selang sekian lama dan dibalas Giok-yan dengan mengangguk.

"Bagus, bagus! Ternyata aku tidak jadi dibunuh olehnya!” seru Toan Ki pula. "Nona Ong, nyata pengetahuan ilmu silatmu jauh di atasnya, makanya dia jeri padamu.”

"Bukan begitu soalnya, kalau tadi dia membunuhmu, lalu aku pun dibunuhnya pula, bukankah segala urusan sudah beres?” ujar Giok-yan.

"Ehm, benar juga,” kata Toan Ki sambil garuk-garuk kepala dengan bingung. "Tapi, tapi ... mungkin dia kesengsem kepada kecantikanmu bagai bidadari, makanya tidak berani membunuh engkau.”

Diam-Diam Giok-yan geli karena pelajar tolol itu memandangnya seakan-akan bidadari dari kahyangan, tapi senang juga hatinya oleh pujian itu.

Melihat gadis itu tidak bersuara, air mukanya merah jengah, keruan Toan Ki kegirangan dan melangkah maju. Tiba-tiba terdengar suara nyaring jatuhnya sesuatu benda, kiranya botol porselen yang ditinggalkan Li Yancong tadi.

Cepat Toan Ki pungut botol itu, ia lihat di atas botol itu tertulis keterangan: "Bila terkena kabut wangi bunga merah, ciumlah botol ini dan segera punah.”

Sungguh girang Toan Ki tidak kepalang, serunya segera, "He, inilah obat penawarnya, inilah obat penawar!”

Dan segera ia membuka tutup botol itu dan menciumnya, tapi seketika kepalanya pusing dan mata berkunangkunang, hampir saja ia jatuh kelengar oleh bau bacin isi botol itu. Cepat ia tutup kembali botol itu dan

berteriak-teriak, "Wah, tertipu! Baunya tidak kepalang!”

"Coba kulihat, boleh jadi racun menyerang racun akan membawa khasiat di luar dugaan,” ujar Giok-yan.

Segera Toan Ki mengangsurkan botol itu dan berkata, "Tapi baunya terlalu bacin, apakah engkau tahan?”

"Biarlah kucoba dulu,” ujar si gadis.

Toan Ki mengiakan dan membuka tutup botol itu serta diangkat ke depan hidung si nona. Ketika Giok-yan mencium sekali isi botol itu, seketika berteriak, "Ai, benar-benar sangat bacin.”

"Nah, kau percaya sekarang?” ujar Toan Ki. "Boleh coba mengendus sekali lagi jika engkau masih tidak percaya.”

Namun Giok-yan rupanya sudah kapok, ia melengos sambil pencet hidung dan berkata, "Ai, bacinnya tidak hilang-hilang, biar bagaimanapun aku tidak mau lagi mencium barang bau begini, ha ... tanganku ... tanganku sudah dapat bergerak!”

Demikian teriaknya ketika tanpa terasa ia dapat mengangkat tangannya untuk memegang hidung sendiri. Padahal sebesar itu, untuk membetulkan baju saja rasanya tidak kuat.

Saking girangnya terus saja ia rebut botol itu dari tangan Toan Ki dan menciumnya berulang-ulang dengan keras-keras, sekarang ia tidak takut bau bacin lagi, ia tahu semakin busuk bau obat itu, semakin manjur pula khasiatnya.

Maka sebentar saja badan yang tadinya lemas lunglai telah pulih kembali. Lalu katanya kepada Toan Ki, "Turunlah kau, aku hendak ganti pakaian.”

Toan Ki mengiakan dan cepat melangkah turun ke bawah loteng. Ketika dilihatnya mayat bergelimpangan memenuhi ruangan, tanpa terasa timbul rasa menyesalnya. Dengan kesima ia berdiri terpaku di situ.

Setelah salin baju, perlahan Giok-yan turun juga ke bawah. Ia heran melihat Toan Ki berdiri termangu-mangu di situ, segera tegurnya, "He, apa yang sedang kau pikirkan?”

"Aku merasa menyesal dan terharu karena telah membunuh orang sebanyak ini,” sahut Toan Ki.

"Toan-kongcu, menurut pendapatmu, sebab apa jago Se He she Li itu memberikan obat penawar ini kepadaku?” tanya Giok-yan tiba-tiba.

"Tentang ini ... ini aku tidak tahu ... ah, tahulah aku, sebab ... sebab ... ehm, entahlah ....” sebenarnya Toan Ki hendak berkata, "sebab dia suka padamu”, tapi urung diucapkannya.

"Toan-kongcu,” kata Giok-yan pula, "tempat ini masih berbahaya, kita harus lekas pergi dari sini. Tapi kita harus pergi ke mana?”

Meski nona itu serbatahu mengenai segala aliran ilmu silat, tapi pengalamannya di luar rumah sedikit pun tidak punya. Sebenarnya ia sangat ingin pergi mencari sang piauko, cuma tidak enak untuk berkata terus terang.

Sebaliknya Toan Ki meski seorang Su-tay-cu (pelajar tolol), tapi ia cukup paham apa yang dipikirkan si gadis. Maka sengaja balas tanya, "Habis kau ingin pergi ke mana?”

"Aku ... aku ....” sahut Giok-yan dengan muka merah sambil memainkan botol porselen yang masih dipegangnya itu, dan sejenak kemudian baru ia menyambung, "Kukira para pahlawan dan kesatria Kay-pang juga terkena racun ‘Ang-hoa-hiang-hu’ (kabut wangi bunga merah), kalau piaukoku berada di sini, dia tentu dapat membantu membawakan obat penawar ini kepada mereka. Pula A Cu dan A Pik mungkin juga tertawan musuh, maka ... maka ....”

Sebenarnya ia hendak mengajak Toan Ki mencari piauko dulu, kemudian mencari akal untuk menolong mereka.

Siapa duga Toan Ki terus berjingkrak sambil berseru, "Hai, benar, nona A Cu dan A Pik ada kesulitan, kita harus lekas-lekas menolong mereka!”

Walaupun agak kecewa karena bukan itu yang dipikirkan, namun terpaksa Giok-yan mengiakan.

"Dan bagaimana dengan mayat sebanyak ini, apakah tidak perlu aku mengubur mereka dahulu?” tanya Toan Ki.

"Kenapa mesti susah-susah, nyalakan api dan bakar saja rumah ini, kan beres segalanya?” ujar si gadis.

"Tapi ... tapi ....” sebenarnya Toan Ki tidak tega, apalagi mesti mengorbankan rumah gilingan penduduk itu. Namun jalan lain memang tiada lagi, terpaksa ia membuat lelatu api dan menyalakan rumput jerami yang ada di situ.

Sambil menyalakan api, Toan Ki berkomat-kamit memanjatkan doa agar arwah para korban itu lekas naik ke surga. Habis itu ia mencemplak kudanya dua dilarikan pergi bersama Giok-yan. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara gembreng bertalu-talu dan riuh ramai berisik suara orang-orang. Mungkin petani di sekitar rumah gilingan itu beramai-ramai sedang berusaha memadamkan kebakaran.

"Sungguh aku menyesal harus membakar rumah gilingan orang,” kata Toan Ki sambil melarikan kudanya.

"Kau ini memang suka omong bertele-tele,” ujar Giok-yan. "Seorang laki-laki seperti dirimu masakah kalah daripada wanita seperti ibuku yang setiap tindak tanduknya selalu tegas dan cepat.”

Diam-diam Toan Ki tidak dapat menerima perbandingan itu, ia pikir ibumu sedikit-sedikit suka membunuh orang, daging manusia dijadikan rabuk, mana aku sudi dipersamakan dengan dia. Tapi ia lantas menjawab, "Karena baru pertama kali ini aku membunuh orang dan membakar rumah, dengan sendirinya hatiku tidak tenteram.”

"Benar juga alasanmu,” ujar Giok-yan. "Kelak kalau sudah biasa, tentu kau takkan merasakannya lagi.”

"He, mana boleh, mana boleh!” seru Toan Ki berulang-ulang sambil goyang-goyang kedua tangannya. "Berbuat sekali saja berdosa, mana boleh diulangi lagi? Tentang membunuh orang dan membakar rumah, sebaiknya jangan dibicarakan pula.”

Giok-yan berpaling dengan rasa heran ke arah pemuda di sebelahnya itu, katanya pula, "Bagi orang Kangouw, membunuh dan dibunuh adalah soal biasa. Jika engkau takut, mengapa engkau tidak cuci tangan dan jangan berkecimpung lagi di dunia Kangouw?

"Ai, urusan ini memang susah dikatakan,” ujar Toan Ki. "Ayah dan paman memaksa aku belajar silat dan aku tetap tidak mau. Siapa duga dalam keadaan terpaksa, akhirnya aku kebentur pada kenyataan begini. Sungguh aku tidak tahu bagaimana baiknya?”

"Apakah cita-citamu adalah giat belajar sastra untuk kelak akan menjadi pembesar atau menteri, bukan?” tanya Giok-yan dengan tersenyum.

"Bukan, menjadi pembesar juga tiada artinya bagiku,” sahut si pemuda.

"Habis, apa cita-citamu?” tanya si gadis. "Masakah engkau juga seperti piaukoku yang setiap hari mengimpikan menjadi Hongte (kaisar)?”

"Ha, Buyung-kongcu ingin menjadi Hongte?” tanya Toan Ki dengan heran.

Muka si gadis menjadi merah karena tanpa sengaja telah membocorkan rahasia sang piauko. Cepat ia menjawab, "Ah, aku cuma bergurau saja, tapi sekali-kali engkau jangan katakan kepada orang lain, lebih-lebih jangan membicarakan hal ini di depan piaukoku, sebab aku pasti akan didamprat habis-habisan olehnya.”

Kembali hati Toan Ki tertusuk oleh sikap si gadis yang begitu kesengsem kepada sang piauko itu. Tapi terpaksa ia menjawab, "Baiklah, tidak nanti aku ikut campur urusan tetek bengek piaukomu itu. Apakah dia menjadi Hongte atau akan menjadi pengemis, semuanya aku tidak peduli.”

Lagi maka Giok-yan marah jengah, ia dengar nada ucapan Toan Ki itu agak kurang senang, segera ia tanya dengan suara lembut, "Toan-kongcu, apakah engkau marah padaku?”

Selama berkenalan dengan gadis itu, yang selalu dipikir dan dikatakan melulu Buyung-kongcu seorang, tapi sekali ini dia bicara secara halus dan mesra padanya, keruan Toan Ki kegirangan, saking senangnya, hampir ia terperosot dari pelana kuda. Lekas ia betulkan duduknya dan menjawab dengan tertawa, "O, tidak, tidak, kenapa aku mesti marah? Nona Ong, selama hidup ini aku pasti takkan marah padamu.”

Antero cinta-kasih Giok-yan memang cuma tercurahkan kepada Buyung-kongcu seorang, meski tanpa menghiraukan jiwa sendiri Toan Ki telah menolongnya, tapi tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa perbuatan pemuda itu disebabkan jatuh cinta padanya, ia sangka pemuda itu terlalu jujur dan tulus, berhati bajik, dan berjiwa kesatria, maka menolongnya seperti halnya Toan Ki juga akan menolong orang lain.

Tapi kini demi mendengar pernyataan yang serius dan penuh ikhlas bagai bersumpah itu, barulah Giok-yan sadar, "He, jangan-jangan dia ... dia mencintai diriku?”

Berpikir demikian, ia menjadi malu dan menunduk.

Dalam senangnya Toan Ki menjadi bingung apa yang harus dikatakan lagi. Pikirnya, "Aku adalah putra pangeran kerajaan Tayli, paman baginda tidak punya putra, akhirnya pasti aku yang akan menggantikan takhtanya. Tapi takhta kerajaan saja aku tidak kepingin, masakah mencita-citakan menjadi menteri apa segala seperti sangkanya tadi?”

Segera agak lama, dapatlah ia membuka suara pula, "Aku tidak mempunyai cita-cita apa-apa. Yang kuharap, bila selamanya bisa seperti saat ini maka puaslah hatiku.”

Apa yang dia maksudkan "seperti saat ini” adalah agar senantiasa dapat berdampingan dengan si nona.

Sudah tentu Giok-yan paham maksud itu, tapi ia tidak suka pemuda itu mengemukakan hal itu lagi, dengan air muka rada masam ia menjawab dengan sungguh-sungguh, "Toan-kongcu, budi pertolonganmu ini, betapa pun Giok-yan takkan melupakannya. Tetapi hatiku sudah ... sudah lama terisi orang lain, maka kuharap ucapanmu hendaklah pakai aturan, agar kelak kita masih dapat bertemu secara baik-baik.”

Jawaban itu benar-benar merupakan kemplangan keras bagi Toan Ki hingga mata pemuda itu seakan-akan berkunang-kunang dan hampir-hampir jatuh kelengar.

Apa yang dikatakan Giok-yan itu cukup terang dan gamblang, secara tegas gadis itu telah menyatakan hatinya sudah diisi oleh Buyung-kongcu, maka Toan Ki dilarang mengutarakan perasaan cintanya, kalau tidak, si gadis tidak ingin berkawan lagi dengan dia.

Sudah tentu pernyataan Giok-yan itu sebenarnya tidak berlebihan, tapi bagi pendengaran Toan Ki sungguh sangat menusuk.

Ia coba melirik wajah si gadis, ia lihat sikap Giok-yan sangat prihatin dan agung, mirip benar dengan patung dewi yang pernah disembahnya dalam gua di dasar sungai itu. Tanpa terasa timbal semacam firasat seakanakan dirinya bakal tertimpa bencana besar. Katanya di dalam hati, "Wahai Toan Ki, engkau justru jatuh cinta kepada seorang nona yang hatinya lebih dulu telah diisi orang lain, hidupmu ini agaknya sudah suratan nasib akan merana.”

Begitulah kedua orang melanjutkan perjalanan dengan sama-sama bungkam, siapa pun tidak membuka suara lagi.

Dalam hati Giok-yan berpikir, "Tentu dia sangat gusar di dalam hati. Tapi lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja. Bila sekali ini aku minta maaf padanya, selanjutnya tentu dia akan lebih berani dan bicara yang tidaktidak padaku, jika hal ini sampai diketahui Piauko, tentu Piauko akan merasa tidak senang.”

Sebaliknya Toan Ki juga sedang membatin, "Jika aku bicara lagi tentang rasa cintaku padanya, itu berarti martabatku terlalu rendah dan tidak menghormati dia. Maka sejak kini biarpun mati juga aku tidak akan bicara tentang itu lagi.”

Dan Giok-yan sedang berpikir pula, "Dia diam saja, tentu dia mengetahui tempat yang harus didatangi untuk menolong A Cu dan A Pik.”

Begitu pula Toan Ki juga sedang berpikir sama seperti si gadis. Maka sesudah setengah jam kemudian, ketika sampai di suatu jalan simpang tiga, tanpa berjanji kedua orang sama-sama menanya, "Belok ke kiri atau ke kanan?”

Dan sesudah saling mengunjuk rasa ragu-ragu, kembali sama-sama saling menanya lagi, "Eh, jadi kau tidak kenal jalan? Ai, kusangka kau sudah tahu.”

Dasar kedua orang adalah anak muda, dengan terjadinya saling tanya serupa itu, seketika terbahak-bahaklah mereka, awan mendung yang meliputi perasaan mereka tadi seketika tersapu bersih.

Tapi mereka berdua memang masih hijau mengenai urusan Kangouw, biarpun sudah saling runding sampai lama juga tidak tahu harus menuju ke mana untuk menolong A Cu dan A Pik. Akhirnya Toan Ki yang berkata, "Musuh telah menawan anggota Kay-pang sebanyak itu, untuk mencari jejak mereka tentu tidak terlalu susah, maka bolehlah kita kembali ke tengah rimba itu untuk melihat-lihat dulu.”

"Kembali ke rimba sana?” Giok-yan menegas. "Dan bila kawanan orang Se He itu masih di situ, bukankah kita seperti ular mencari gebuk?”

"Setelah hujan lebat tadi, kukira mereka tentu sudah berangkat pergi,” ujar Toan Ki. "Boleh begini saja, engkau menunggu saja di luar rimba, biar aku yang masuk ke sana untuk mengintai, bila benar musuh masih berada di sana, segera kita melarikan diri.”

"Tidak, tidak boleh selalu engkau sendiri yang menyerempet bahaya,” ujar Giok-yan. "Jika kita berangkat berdua ke sana, bila ada bahaya, biarlah kita tanggung bersama.”

Mendengar si gadis bersedia "enteng sama dijinjing, berat sama dipikul” dalam menyerempet bahaya nanti, keruan Toan Ki sangat girang. Katanya, "Untuk berkelahi terang aku tidak sanggup, tapi untuk lari masakah tidak bisa?”

Segera mereka berunding cara bagaimana nanti harus menolong si A Cu dan A Pik. Maka diambil keputusan Toan Ki akan mengeluarkan "Leng-po-wi-poh” untuk mendekati kedua dayang itu dan mengenduskan obat bacin itu kepada mereka, sesudah racun punah, baru berdaya pula untuk membebaskan mereka.

Begitulah mereka lantas melarikan kuda ke arah Heng-cu-lim atau hutan pohon jeruk itu. Sesudah dekat, mereka turun dan menambat kuda di pohon, Toan Ki siapkan obat di tangan, lalu mereka lari ke tengah hutan dengan berjinjit-jinjit, mereka saling pandang sekejap dengan geli melihat kelakuan masing-masing.

Tanah di tengah hutan itu basah dan becek, semak rumput penuh butiran air. Setiba di tengah hutan, ternyata keadaan sunyi senyap dan kosong melompong, tiada seorang pun terlihat.

"Benar juga mereka sudah pergi, marilah kita mencari kabar mereka ke kota Bu-sik, saja,” ajak Giok-yan.

Tanpa pikir, Toan Ki mengiakan. Mengingat akan dapat jalan berendeng lagi dengan si cantik, saking senangnya tanpa terasa wajah Toan Ki berseri-seri.

"Adakah aku salah omong?” tanya Giok-yan heran.

"Tidak, tidak!” sahut Toan Ki cepat. "Marilah sekarang juga kita berangkat.”

"Habis, mengapa engkau tersenyum?” desak Giok-yan.

"O, aku ... aku memang terkadang suka ... suka angin-anginan, tak perlu engkau pusingkan aku,” sahut Toan Ki dengan gelagapan.

Jawaban itu membuat Giok-yan merasa geli juga, ia tertawa mengikik. Karena itu Toan Ki ikut tertawa mengakak.

Mereka meneruskan perjalanan ke Bu-sik. Beberapa li lagi, tiba-tiba tertampak di dahan pohon, di tepi jalan tergantung sesosok mayat busu bangsa Se He. Mereka terheran-heran sebab tidak tahu perbuatan siapakah itu?

Beberapa puluh meter pula, kembali di tepi jalan ada dua mayat orang Se He, bahkan darah pada lukanya masih belum kering, suatu tanda matinya belum seberapa lama.

"Orang-orang Se He itu telah ketemu musuh, menurut pendapatmu, siapakah yang membunuh mereka, nona Ong?” tanya Toan Ki.

"Ilmu silat pembunuh itu sangat tinggi, cara membunuh jago-jago Se He ini dilakukan dengan sangat mudah, sungguh hebat kepandaiannya!” demikian puji Giok-yan. "Eh, siapakah yang datang itu?”

Ternyata dari arah sana tertampak dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat, penunggangnya masing-masing berbaju merah dan hijau. Kiranya mereka adalah A Cu dan A Pik.

"Hai, A Cu, A Pik! Kalian berhasil lolos dari bahaya?” seru Giok-yan dengan girang.

Sudah tentu keempat orang sama-sama bergirang karena dapat berkumpul kembali.

Segera A Cu berkata, "Ong-kohnio, Toan-kongcu, mengapa kalian kembali ke sini lagi? Kami justru ingin mencari kalian.”

"Cara bagaimana kalian meloloskan diri? Apakah kalian mencium botol berbau busuk itu?” tanya Giok-yan.

"Ya, benar, sungguh bacin sekali baunya,” sahut A Cu tertawa, "Apakah engkau juga sudah mengendusnya, nona? Juga Kiau-pangcu yang menolong kalian, bukan?”

"Kiau-pangcu apa maksudmu?” tanya Giok-yan. "Jadi lolosnya kalian adalah berkat pertolongan Kiaupangcu?”

"Ya,” sahut A Cu. "Tatkala itu kami dalam keadaan tak berkutik karena keracunan, bersama orang Kay-pang kami diringkus oleh orang-orang Se He dan dinaikkan ke atas kuda. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan hingga rombongan terpencar ada yang ke timur dan ada yang ke barat, masing-masing mencari tempat berteduh sendiri-sendiri. Aku dan A Pik dibawa meneduh ke suatu gardu oleh beberapa busu dan baru berangkat lagi sesudah hujan berhenti.

"Pada saat kami hendak digiring pergi pula itulah tiba-tiba dari belakang menyusul datang seorang penunggang kuda, itulah dia Kiau-pangcu. Melihat kami berdua ditawan orang Se He, beliau tampak terheran-heran dan belum lagi beliau tanya segera A Pik berseru minta tolong padanya.

"Mendengar ‘Kiau-pangcu’, seketika beberapa jago Se He itu gugup, berbareng mereka lolos senjata dan menyerbu Kiau-pangcu. Hasilnya orang-orang Se He itu ada yang terjungkir ke selokan di tepi jalan, ada yang mencelat hingga terkatung-katung di atas pohon, dan semuanya terbinasa.”

"Hal itu baru saja terjadi, bukan?” tanya Giok-yan dengan tertawa.

"Benar,” sahut A Cu. "Aku berkata kepada Kiau-pangcu, ‘Kami berdua tak dapat berkutik karena keracunan, harap Kiau-pangcu sudi mencarikan obat penawar racun di tubuh musuh yang terbinasa itu.’ — Segera Kiaupangcu menggeledah mayat seorang Se He yang berpangkat cukup tinggi tampaknya, ia mendapatkan sebuah botol kecil, tentang isi botol itu berbau wangi atau bacin rasanya tidak perlu hamba tuturkan lagi.”

"Dan di manakah Kiau-pangcu sekarang?” tanya Giok-yan pula.

"Ketika mendengar orang-orang Kay-pang juga keracunan dan tertawan, beliau sangat khawatir dan mengatakan hendak pergi menolong mereka, lalu beliau berangkat dengan tergesa-gesa,” tutur A Cu. "Beliau juga menanyakan Toan-kongcu dan memerhatikan keselamatan Siocia pula.”

"Ai, gihengku itu sungguh seorang yang sangat berbudi,” ujar Toan Ki dengan gegetun.

"Memang,” kata A Cu. "Padahal orang-orang Kay-pang itu sangat keterlaluan, seorang pangcu baik-baik mereka usir begitu saja dan kini mereka harus menerima hasil perbuatan mereka sendiri, biarkan mereka tahu rasa. Kalau aku menjadi Kiau-pangcu tentu aku takkan menolong mereka, biarkan mereka lebih banyak tersiksa supaya kelak tidak sembarangan mengusir orang secara semena-mena.”

"Tapi gihengku adalah orang yang berbudi luhur, orang boleh mengkhianati dia, tidak nanti ia mengingkar orang,” ujar Toan Ki.

"Dan sekarang kita harus pergi ke mana, nona?” tanya A Pik.

"Semula aku dan Toan-kongcu bermaksud menolong kalian, tapi kini kita berempat sudah dalam keadaan selamat, maka kita pun tidak perlu ikut campur urusan Kay-pang yang tiada sangkut paut dengan kita itu. Marilah kita pergi ke Siau-lim-si saja untuk mencari Kongcu kalian,” demikian sahut Giok-yan.

Memang kedua dara A Cu dan A Pik itu sangat mengkhawatirkan kongcu mereka, yaitu Buyung-kongcu, maka demi mendengar usul Giok-yan itu, serentak mereka menyatakan setuju.

Sudah tentu yang paling kecut rasanya adalah hati Toan Ki. Tapi terpaksa ia pun menyatakan, "Baiklah, Kongcu kalian itu memang juga sangat kukagumi dan ingin kubelajar kenal dengan dia. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, biarlah aku ikut kalian ke Siau-lim-si.”

Segera mereka putar kuda dan berangkat menuju jurusan utara. Di tengah jalan Giok-yan ceritakan kepada A Cu dan A Pik tentang pengalamannya di rumah gilingan itu, di mana Toan Ki telah banyak membunuh musuh dan akhirnya Li Yan-cong juga dienyahkan serta mendapatkan obat penawar racun. A Cu dan A Pik terlongong-longong mendengar pengalaman yang aneh itu.

Bila mereka geli pada suatu bagian dari cerita itu, ketiga gadis itu tertawa cekikikan sambil memandang Toan Ki, sudah tentu mereka tidak berani tertawa lepas, tapi menutup mulut mereka dengan lengan baju.

Sebodoh-bodohnya Toan Ki juga tahu bahwa ketiga gadis itu sedang membicarakan kelakuannya yang ketololtololan itu. Tapi bila mengingat awak sendiri meski ketolol-tololan, paling tidak akhirnya toh dapat melindungi Giok-yan tanpa kurang suatu apa pun, maka biarpun agak malu-malu juga ia merasa bangga.

Namun bila melihat asyiknya ketiga anak dara itu berbicara hingga dirinya seakan-akan terlupakan, apalagi nanti kalau sudah berkumpul dengan Buyung-kongcu, mungkin dirinya lebih tidak diberi tempat lagi, terpikir demikian, hati Toan Ki menjadi hampa.

Setelah beberapa li pula dan menyusur sebuah hutan arbei, tiba-tiba mereka mendengar suara tangisan dua pemuda yang sangat memilukan. Cepat mereka melarikan kuda ke depan untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata pemuda-pemuda itu adalah dua hwesio cilik belasan tahun, baju padri mereka berlepotan darah, satu di antaranya malah terluka jidatnya.

"Siausuhu, kenapa kalian menangis? Siapa yang menganiaya kalian?” tanya A Pik yang berhati welas asih.

Sambil menangis, hwesio cilik yang jidat terluka itu menjawab, "Kuil kami telah kedatangan segerombolan orang asing yang jahat, guru kami terbunuh dan kami didepak keluar.”

Mendengar kata-kata "orang asing jahat” itu, Giok-yan berempat saling pandang sekejap dan sama-sama berpikir, "Apakah mereka itu orang Se He?”

Segera A Cu tanya, "Di manakah letak kuil kalian? Orang asing jahat macam apakah mereka itu?”

"Kuil kami bernama Thian-leng-si, itu, di sebelah sana ....” sahut si hwesio cilik sambil menuding ke arah timur laut, lalu menyambung, "Orang-orang asing itu membawa tawanan kira-kira seratusan orang pengemis dan berteduh ke kuil kami karena hujan. Mereka minta arak dan minta daging, minta disembelihkan ayam dan suruh memotong kerbau segala. Sudah tentu Suhu keberatan kuil kami dibikin kotor, dan mereka lantas membunuh Suhu beserta belasan orang suheng kami. Huk-huk ... huk-huk-huk ... huk!”

"Sudahlah, jangan menangis,” kata A Cu. "Dan sekarang orang-orang jahat itu sudah pergi belum?”

"Belum,” sahut padri kecil itu sambil menuding kepulan asap di balik hutan sana. "Itu, mereka lagi sibuk memasak daging kerbau, benar-benar berdosa, Buddha Mahaasih, biarlah mereka kelak dimasukkan neraka.”

"Kalian lekas lari saja, jangan-jangan sebentar kalian akan ditangkap kawanan penjahat itu dan disembelih sekalian untuk dimakan,” ujar A Cu.

Keruan kedua padri kecil itu ketakutan, segera mereka angkat kaki dan berlari pergi.

"Ai, mereka sedang bingung, mengapa Enci A Cu malah menakuti mereka?” ujar Toan Ki kurang senang.

"Aku tidak menakuti mereka, tapi aku berkata sungguh-sungguh,” sahut A Cu tertawa.

"Wah, orang-orang Kay-pang katanya terkurung di dalam Thian-leng-si situ, jika demikian, tentu Kiau-pangcu akan menubruk tempat kosong bila mencari ke kota Bu-sik,” ujar A Pik tiba-tiba.

Mendadak A Cu memperoleh suatu akal aneh, katanya, "Ong-kohnio, aku ingin menyamar sebagai Kiaupangcu dan menyelundup ke dalam kuil itu untuk mengenduskan bau botol yang bacin itu kepada kawanan pengemis. Setelah mereka terlolos dari bahaya, tentu mereka akan sangat berterima kasih kepada Kiaupangcu.”

Giok-yan tersenyum, sahutnya, "Tapi perawakan Kiau-pangcu tinggi besar, dia adalah seorang laki-laki tegap, masakah kau dapat menyaru sebagai dia?”

"Semakin sulit menyamar, semakin kelihatan kepandaian A Cu, boleh lihat nanti,” ujar A Cu dengan bangga.

"Walaupun kau dapat menyaru dengan persis, tapi tidak dapat memalsukan ilmu saktinya yang tiada bandingannya itu,” ujar Giok-yan. "Padahal di dalam Thian-leng-si itu penuh jago pilihan It-bin-tong dan negeri Se He, mana dapat kau masuk-keluar dengan bebas? Maka kurasa lebih baik engkau menyamar sebagai seorang tukang api atau seorang nenek desa penjual sayur, mungkin akan lebih mudah untuk menyusup ke dalam kuil.”

"Kalau mesti menyamar sebagai nenek-nenek penjual sayur, rasanya kurang menarik, aku tak mau menyusup ke dalam kuil.”

Giok-yan memandang sekejap ke arah Toan Ki, bibirnya bergerak, tapi urung bicara.

"Apakah yang hendak nona katakan?” tanya Toan Ki.

"Sebenarnya aku ingin engkau juga menyaru seseorang dan ikut pergi ke Thian-leng-si bersama A Cu, tapi setelah kupikir pula, agaknya kurang sempurna,” ujar Giok-yan.

"Ingin aku menyamar sebagai siapa?” tanya Toan Ki.

"Sebab para tokoh Kay-pang itu punya penyakit mencurigai orang dan menuduh piaukoku bersekongkol dengan Kiau-pangcu untuk membunuh Be-hupangcu mereka, maka ... maka bila Piauko dan Kiau-pangcu pergi bersama ke sana untuk membebaskan mereka dari bahaya, tentu mereka takkan ... takkan sembarangan mencurigai orang lain.”

"Jadi maksudmu ingin aku menyamar sebagai piaukomu?” tanya Toan Ki dengan rasa cemburu.

Wajah Giok-yan berubah merah, sahutnya, "Tapi musuh di Thian-leng-si itu terlalu kuat, jika kalian berdua pergi ke sana, mungkin sangat berbahaya, mungkin lebih baik jangan pergi saja.”

Tiba-tiba Toan Ki memikir, "Bila aku menyamar sebagai piaukonya, boleh jadi sikapnya kepadaku akan

berbeda daripada biasanya. Walaupun cuma sebentar saja aku menikmati rasa bahagia juga lumayan.”

Berpikir demikian, seketika semangatnya menyala-nyala, segera katanya, "Masakan khawatir bahaya apa segala? Paling-paling angkat kaki melarikan diri, dan cara itu justru adalah kepandaianku yang utama.”

"Tapi kurasa tidak baik, sebab selamanya piaukoku membunuh musuh semudah membalik tangan sendiri, tidak pernah dia melarikan diri,” ujar Giok-yan.

"Nyes”, seketika Toan Ki seperti digebyur air es demi mendengar kata-kata itu, pikirnya, "Ya, ya, memangnya piaukomu adalah seorang kesatria, seorang pahlawan perkasa, memangnya aku tidak sesuai untuk menyamar sebagai dia. Kalau memalsukan dia hingga memalukan di depan orang banyak, bukankah akan menodai nama kebesarannya?”

Melihat pemuda itu termenung-menung kurang senang, cepat A Pik menghiburnya, "Toan-kongcu, kita menghadapi musuh lebih banyak jumlahnya, kalau sementara kita mengalah juga tidak mengapa. Toh tujuan kita hanya untuk menolong orang dan bukan bertanding kepandaian dengan mereka.”

Dalam pada itu A Cu lagi mengamat-amati Toan Ki dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata, "Toan-kongcu, untuk menyamar sebagai Kongcu kami sebenarnya tidak mudah, untung orang-orang Kay-pang tiada yang kenal Kongcu kami, maka tentang wajah dan suara beliau asal dapat mendekati saja sudah cukup mengelabui mereka.”

"Buyung-kongcu adalah manusia pilihan di antara manusia, orang lain mana dapat sembarangan menyamar sebagai dia?” ujar Toan Ki. "Tapi kukira ada baiknya juga samaranku nanti tidak terlalu mirip beliau, dengan begitu, jika nanti mesti angkat langkah seribu melarikan diri, sedikitnya nama baik Buyung-kongcu tidak sampai ternoda.”

Muka Giok-yan menjadi merah, dengan perlahan ia tanya, "Tadi aku telah salah omong, apakah Toan-kongcu marah padaku?”

"Ah, tidak, tidak, mana aku berani marah?” sahut Toan Ki cepat.

Maka tersenyumlah Giok-yan. Tanyanya kemudian, "Lantas di manakah kalian hendak menyamar?”

"Kita harus mendatangi kota kecil di sana barulah dapat membeli alat-alat keperluan menyamar,” sahut A Cu.

Segera mereka berempat melarikan kuda ke barat, kira-kira beberapa li jauhnya, tibalah mereka di suatu kota kecil bernama Ma-long-kio. Kota itu terlampau kecil dan tiada rumah penginapan segala, hanya di tepi kota ada sebuah sungai kecil.

Setelah membeli pakaian dan alat-alat menyamar lain yang diperlukan, mereka menyewa sebuah perahu dan berdandan di dalam kendaraan air itu. Lebih dulu A Cu mendandani Toan Ki, memberinya sebuah kipas lempit, pakaiannya berwarna hijau mulus, pada jari kiri memakai sebentuk cincin.

"Kongcu kami suka memakai cincin bermata batu kemala, tapi susah dicari di sini, maka bolehlah memakai batu akik sebagai ganti sekadarnya,” ujar A Cu.

Toan Ki hanya tersenyum getir saja, pikirnya, "Memangnya Buyung-kongcu ibarat batu kemala yang berharga dan aku cuma batu akik yang tak bernilai. Memang begitulah harga diriku dalam pandangan ketiga gadis ini.”

Selesai A Cu mendandani Toan Ki, lalu katanya kepada Giok-yan, "Siocia, adakah sesuatu tempat yang kurang mirip?”

Tapi Giok-yan tidak menjawab, ia sedang memandang Toan Ki dengan termangu-mangu, dengan sorot mata penuh arti seakan-akan lagi berhadapan dengan Buyung Hok.

Perasaan Toan Ki ikut terguncang ketika sinar matanya kebentrok dengan sorot mata si gadis. Tapi segera terpikir olehnya, "Ah, terang yang terbayang olehnya adalah Buyung Hok dan bukan aku si Toan Ki.”

Begitulah perasaan Toan Ki, sebentar suka dan sebentar lagi duka. Kedua muda-mudi itu pandang-memandang dengan perasaan yang berbeda-beda sehingga kepergian A Cu dan A Pik ke buritan perahu untuk ganti pakaian terlupakan oleh mereka.

Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki sedang menegur, "Ai, kiranya Toan-hiante berada di sini, sudah lama kucari engkau.”

Toan Ki terkejut dan cepat mendongak. Ia lihat pembicara itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong. Keruan ia kegirangan dan cepat menyahut, "Hai, kiranya Toako! Memangnya kami sedang bermaksud menyamar sebagai Toako untuk menolong kawan-kawan Kay-pang, sekarang engkau sendiri sudah datang, maka Enci A Cu tidak perlu menyamar lagi.”

"Orang-orang Kay-pang telah pecat aku dari keanggotaan mereka, biarkan mereka mati atau hidup tak kupeduli lagi,” sahut Kiau Hong. "Adik yang baik, marilah kita pergi ke kota saja untuk mengadu minum, paling sedikit kita harus menghabiskan 50 mangkuk setiap orang.”

"Toako,” kata Toan Ki, "para saudara Kay-pang adalah laki-laki yang berjiwa patriot, harap engkau sudi pergi menolong mereka.”

"Engkau adalah pelajar yang masih hijau, apa yang kau ketahui,” sahut Kiau Hong dengan marah. "Ayolah, tak perlu urus mereka, marilah pergi minum arak paling perlu.”

Habis berkata, terus saja ia pegang tangan Toan Ki dan hendak menyeretnya pergi.

Terpaksa Toan Ki berkata, "Baiklah, sesudah kita minum arak, engkau harus pergi menolong mereka.”

Di luar dugaan, mendadak "Kiau Hong” terkikik-kikik, suaranya nyaring genit, tidak mungkin seorang laki-laki kekar sebagai Kiau Hong dapat mengeluarkan suara tertawa yang mirip anak dara.

Keruan Toan Ki tercengang. Tapi segera ia pun paham duduknya perkara, terus saja ia memberi hormat sambil berkata, "Ai, Enci A Cu, kepandaianmu menyamar sesungguhnya teramat tinggi, sampai suara Toakoku yang kasar itu pun dapat engkau tiru sedemikian miripnya.”

Memang tidak salah "Kiau Hong” itu adalah samaran si A Cu, begitu persis hingga Toan Ki tidak dapat mengenalnya lagi.

Maka dengan nada suara Kiau Hong yang kasar, A Cu lantas berkata pula, "Toan-hiante, marilah sekarang juga kita berangkat, bawalah botol yang berbau busuk itu.”

Lalu ia pun berkata kepada Giok-yan dan A Pik, "Harap kedua nona suka menanti sementara di sini.”

Habis berkata, ia tarik tangan Toan Ki terus diajak mendarat. Entah tangannya dilumuri barang apa, tangan yang halus sebagaimana lazimnya tangan anak dara itu kini telah berubah menjadi kasap dan kehitam-hitaman, meski tidak sebesar tangan Kiau Hong tapi seketika juga susah diketahui orang lain.

Begitulah dengan meninggalkan Giok-yan yang masih termenung-menung mengenangkan sang piauko itu, A Cu dan Toan Ki telah menunggang kuda menuju ke Thian-leng-si. Sesudah dekat dengan kuil itu, khawatir kalau suara kuda mereka didengar musuh, mereka lantas tambat kuda-kuda itu di kandang sapi seorang petani di tepi jalan, lalu berjalan menuju ke kuil itu.

"Saudara Buyung,” demikian kata si "Kiau Hong” tiruan alias A Cu, "setiba di dalam kuil nanti, aku lantas buka mulut besar dan membual setinggi langit, kesempatan itu harus engkau gunakan dengan cepat untuk mengenduskan obat penawar di dalam botol itu kepada orang-orang Kay-pang.”

Dengan menahan perasaan geli, Toan Ki telah mengiakan. Dan mereka pun lantas mendekati pintu kuil yang dijaga oleh belasan busu bangsa Se He yang bersenjata lengkap.

Melihat keadaan itu, hati Toan Ki dan A Cu mulai kebat-kebit dan tanpa terasa menjadi jeri.

"Toan-kongcu, sebentar harap engkau menyeret aku lari keluar. Kalau tidak, bila aku ditantang bertanding silat dengan mereka, tentu aku bisa celaka,” kata A Cu.

"Baiklah,” sahut Toan Ki dengan suara agak gemetar, nyata ia pun ketakutan.

Begitulah selagi mereka berunding sambil melongak-longok, hal itu segera dapat dilihat oleh seorang busu penjaga itu, terdengar bentakannya, "Hai, kalian lagi berbuat apa? Mata-mata musuh, tentu!”

Berbondong-bondong keempat busu lantas mendekati Toan Ki berdua sambil membentak-bentak.

Terpaksa A Cu membusungkan dada dan memapak maju, katanya dengan suara keras, "Hai, lekas beri tahukan kepada Ciangkun kalian, katakan bahwa Kiau Hong dari Kay-pang dan Buyung Hok dari Kanglam ingin bertemu dengan Helian-tayciangkun dari Se He.”

Rupanya nama Buyung Hok tidak dikenal oleh orang-orang Se He, tapi nama Kiau Hong telah mereka kenal sebagai pangcu dari Kay-pang. Maka mereka agak terkejut demi mendengar teguran A Cu itu, cepat busu yang menjadi kepala jaga itu memberi hormat dan menyapa, "O, kiranya Kiau-pangcu berkunjung kemari. Maaf, silakan menunggu sebentar, segera kulaporkan kepada Ciangkun.”

Habis berkata, ia terus putar tubuh berlari ke dalam kuil dengan cepat.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara trompet berbunyi, pintu kuil terbuka lebar, pemimpin It-bintong dari Se He, Helian Tiat-si tampak menyambut keluar bersama Nurhai dan jago-jago lainnya, di antaranya terdapat Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho.

Hati Toan Ki agak kebat-kebit, sedapat mungkin ia melengos ke arah lain dan tidak berani saling pandang dengan kenalan-kenalan lama itu.

Maka terdengarlah Helian Tiat-si mulai berkata, "Sudah lama kami mendengar nama besar ‘Koh-soh Buyung’ yang terkenal dengan filsafatnya ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’. Untung hari ini dapatlah berjumpa, sungguh kami merasa sangat bahagia.”

Sembari berkata ia terus merangkap tangannya untuk memberi hormat kepada Toan Ki.

Lekas-lekas Toan Ki membalas hormat dan menjawab, "Nama kebesaran Helian-ciangkun sudah lama kami kagumi, terutama para kesatria yang terhimpun di dalam It-bin-tong di negeri Se He. Jikalau kedatangan kami ini agak gegabah, harap sukalah dimaafkan.”

Dasarnya Toan Ki memang seorang pelajar yang lemah lembut, maka cara bicaranya pun menjadi ramah tamah, sedikit pun tidak mencurigakan.

"Orang Bu-lim suka berkata ‘Pak Kiau Hong, Lam Buyung’ (di utara ada Kiau Hong dan di selatan ada Buyung), katanya kesatria Tionggoan kalian berdua inilah yang tiada bandingannya, maka sungguh berbahagia sekali hari ini kalian sudi berkunjung ke sini. Silakan masuk, silakan!”

Dengan tabahkan hati A Cu dan Toan Ki ikut Helian Tiat-si ke dalam kuil itu. Diam-diam Toan Ki berpikir, "Dari sikap dan kata-kata jenderal Se He ini, agaknya ia lebih segan terhadap Buyung-kongcu daripada Kiautoako. Apakah disebabkan pribadi dan ilmu silat Buyung Hok itu memang benar lebih hebat daripada Kiautoako? Tapi kukira belum tentu.”

Selagi Toan Ki tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara seruan orang yang melengking tajam, "Haha, belum tentu, belum tentu!”

Toan Ki terkejut, ia menoleh dan melihat yang bersuara itu adalah Lam-hay-gok-sin. Si jahat ketiga itu sedang mengincar ke arahnya dengan matanya yang kecil bagai kacang itu sambil goyang-goyang kepala.

"Wah, celaka, jangan-jangan dia mengenali diriku?” demikian diam-diam Toan Ki berdebar-debar.

Terdengar Lam-hay-gok-sin sedang berkata pula, "Melihat potongannya ini, bobotnya paling banyak 50 kati, masakah tahan sekali genjot? Eh, aku ingin tanya padamu. Orang bilang engkau suka ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pisin’, tapi aku Gak-loji justru tidak percaya. Aku pun tidak perlu engkau bergerak tangan, cukup asal dapat kau katakan kepandaian khas apa yang menjadi andalan Gak-loji ini? Dengan ilmu apa kau mampu menggunakan cara Locu untuk digunakan atas diri Locu ini?”

Sambil bicara, Lam-hay-gok-sin pakai bertolak pinggang segala, sikapnya sombong dan kasar. Sebenarnya Helian Tiat-si hendak mencegahnya, tapi demi dipikir bahwa nama Buyung Hok sangat tersohor, apakah kepandaiannya sesuai dengan namanya, mengapa tidak membiarkan Lam-hay-gok-sin yang angin-anginan itu coba mengujinya. Sebab itulah ia diam saja dan tidak merintangi.

Tengah bicara, sementara itu mereka sudah berada di ruangan besar. Helian Tiat-si menyilakan Toan Ki duduk di tempat utama, tapi pemuda itu malah mengalah kepada A Cu.

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, segera ia berteriak, "Hai, Buyung-siaucu, coba katakan sekarang, kepandaian apa yang menjadi kemahiranku?”

Toan Ki tersenyum, pikirnya, "Kalau orang lain yang tanya demikian padaku tentu aku akan melongo dan tak dapat menjawab, tapi sekarang engkau yang tanya, itulah sangat kebetulan sekali.”

Maka dengan tenang buka kipas dan mengebas perlahan sambil menjawab, "Lam-hay-gok-sin Gak-losam, julukanmu pakai ‘buaya’, dan kelakuanmu memang mirip buaya. Boleh jadi kedudukanmu dalam urut-urutan Su-ok segera akan merosot menjadi Losi (si keempat). Tentang kepandaianmu yang masih hijau itu, masakah perlu tanya padaku? Mungkin anak kemarin juga tahu. Semua orang tahu kau telah menyembah pada Toankongcu dari Tayli sebagai guru dan sedikit pun kau belum mendapat ajaran ilmu sakti apa-apa dari dia. Kepandaianmu cetek, yang sok kau agulkan sekarang tidak lain cuma Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian (ruyung ekor buaya dan gunting congor buaya) saja.”

Sekaligus Toan Ki dapat menyebutkan senjata andalan orang, yaitu Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian, bukan saja Lam-hay-gok-sin melengak tidak habis kejutnya, bahkan Yap Ji-nio dan In Tiong-ho juga tidak terkatakan herannya.

Maklum, kedua macam senjata itu baru saja berhasil diyakinkan Lam-hay-gok-sin dan selama ini belum pernah dipertunjukkan di depan umum. Hanya tempo hari waktu bergebrak dengan In Tiong-ho di Tayli pernah digunakannya satu kali, tatkala mana kecuali Bok Wan-jing boleh dikatakan tiada orang luar lagi yang

melihatnya. Siapa duga kemudian Bok Wan-jing telah menceritakan kejadian itu kepada Toan Ki, sedangkan Buyung Hok yang ada di depannya sekarang justru adalah samaran Toan Ki.

Begitulah Lam-hay-gok-sin coba mengamat-amati Toan Ki dengan kepala miring ke kanan dan ke kiri. Biarpun wataknya sangat jahat, tapi dia juga punya perasaan kagum kepada kaum kesatria yang gagah perkasa. Lewat sejenak, tanpa ragu lagi ia acungkan jempolnya dan memuji, "Bagus! Memang hebat kau!”

"Terima kasih,” sahut Toan Ki dengan tertawa.

Tapi segera Lam-hay-gok-sin mendapatkan akal lain, tiba-tiba ia berkata pula, "Buyung-kongcu, tidaklah mengherankan jika engkau dapat memainkan ilmu silatku. Tapi kalau guruku berada di sini, tentu engkau tidak paham ilmu kepandaiannya.”

"Kutahu kau adalah murid capcai, gurumu tidak cuma seorang saja, coba katakan gurumu yang mana dan ilmu kepandaian apa yang dia miliki?” sahut Toan Ki dengan senyum ejek.

Lam-hay-gok-sin tidak marah atas olok-olok itu, sebaliknya ia menyahut dengan berseri-seri, "Guruku yang pertama sudah lama meninggal, maka tidak perlu dibicarakan. Namun guruku yang baru saja kuangkat, ilmu kepandaiannya sungguh luar biar, melulu semacam ilmu langkahnya yang disebut ‘Leng-po-wi-poh’ saja kuyakin tiada seorang pun yang paham, termasuk pula engkau.”

Toan Ki pura-pura termenung sejenak, lalu berkata, "Maksudmu ‘Leng-po-wi-poh’? Ehm, itu memang ilmu silat yang luar biasa. Dengan kepandaiannya yang sakti itu Toan-kongcu sudi menerima dirimu sebagai murid, sungguh hal ini sangat meragukan aku.”

"Buat apa aku bohong padamu?” kata Lam-hay-gok-sin cepat. "Banyak hadirin yang berada di sini dapat menjadi saksi, beliau sendiri memanggil aku sebagai murid.”

Diam-diam Toan Ki tertawa geli. Kalau semula si jahat ini ngotot tidak mau menyembah dan mengaku guru padanya, sekarang si jahat ini inilah khawatir dirinya tidak mau mengakui dia sebagai murid. Maka katanya kemudian, "Jika begitu, tentu kau sudah berhasil meyakinkan ilmu khas gurumu itu, bukan?”

Lam-hay-gok-sin menggeleng kepalanya bagaikan kelontong goyang cepatnya, sahutnya, "Tidak, tidak! Jangankan meyakinkan, belajar saja belum pernah. Tapi bila engkau mengaku paham segala macam ilmu silat di dunia ini, asal engkau mahir berjalan tiga langkah ‘Leng-po-wi-poh’ saja, aku Gak-loji lantas menyerah padamu.”

"Leng-po-wi-poh meski sulit, namun pernah juga kupelajari beberapa langkah di antaranya,” sahut Toan Ki. "Nah, Gak-losam, boleh coba-coba menangkap diriku.”

Sembari berkata terus saja ia terbangkit dan berdiri di tengah ruangan.

Para jago Se He itu tiada seorang pun yang pernah melihat ilmu silat macam apakah "Leng-po-wi-poh” itu. Tapi karena Lam-hay-gok-sin memuji ilmu sakti itu setinggi langit, maka mereka pun ingin melihatnya untuk menambah pengalaman. Segera mereka menyingkir ke pinggir ruangan dan membiarkan Toan Ki mempertunjukkan kepandaiannya itu.

Tanpa bicara lagi Lam-hay-gok-sin terus menubruk maju sambil mengerang, tangan kiri menjulur ke depan, mendadak tangan kanan mencengkeram dari bawah tangan kiri. Namun cepat sekali Toan Ki menggeser ke samping dua langkah dan mundur satu tindak, dengan enteng sebagai daun teratai tertiup angin, dengan gaya yang indah ia dapat menghindarkan serangan lawan itu.

"Crat”, karena tidak sempat menahan serangannya, kelima kuku jari kanan Lam-hay-gok-sin menancap di atas pilar kayu di tengah ruangan itu.

Melihat begitu hebat tenaga si jahat ketiga itu, seketika semua orang terkesiap. Seharusnya mereka bersorak memuji, tapi saking kejutnya sampai mereka lupa bersorak.

Sekali menyerang tidak kena, suara erangan Lam-hay-gok-sin semakin keras. Mendadak ia meloncat ke atas, bagaikan elang menyambar anak ayam, ia menubruk ke bawah.

Namun Toan Ki sama sekali tidak ambil pusing akan tingkah musuh, biarpun orang berjungkir balik juga ia tidak peduli, ia tetap jalan berlenggang kian kemari menurut ilmu langkah yang telah dipelajarinya dengan baik itu.

Semakin serang Lam-hay-gok-sin semakin kalap, suara erangannya juga bertambah keras laksana binatang buas.

Melihat wajah orang yang memang jelek ditambah beringas seperti sekarang, Toan Ki mulai jeri, ia tidak berani memandang muka orang, bahkan ia terus keluarkan saputangan untuk menutupi matanya dan berkata, "Biarpun kedua mataku tertutup juga tidak nanti kau mampu menangkap diriku.”

Benar juga, biar bagaimanapun cara Lam-hay-gok-sin menubruk dan menyeruduk, selalu ia menubruk tempat kosong dan menangkap angin. Terkadang tangannya cuma selisih beberapa senti saja dari tubuh Toan Ki, namun toh tetap susah untuk menjamah pemuda itu.

Kalau penonton sampai berdebar-debar dan menahan napas, adalah sebaliknya Toan Ki malah enak-enak dan tetap berjalan dengan berlenggang kangkung. Dan tatkala Lam-hay-gok-sin semakin kalap dan menubruk serabutan, terpaksa Toan Ki harus mempercepat juga langkahnya, ia tidak dapat berlenggang lagi, tapi terpaksa main serampang 12 dengan irama cepat.

Mau tak mau A Cu ikut berdebar-debar menyaksikan permainan kucing-kucingan di tengah ruangan itu, ia khawatir jangan-jangan pada suatu saat Toan Ki akan meleng hingga kena ditangkap Lam-hay-gok-sin, hal ini berarti akan bikin runyam mereka. Maka cepat ia keraskan suaranya dan membentak, "Lam-hay-gok-sin, apakah kau belum kapok dan hendak menguber Buyung-kongcu? Bagaimana Leng-po-wi-poh itu dibandingkan dengan gurumu?”

Lam-hay-gok-sin melengak, ia tertegun di tempatnya bagai balon gembos, mau tak mau ia memuji, "Bagus, bagus! Memang hebat! Mungkin guruku juga tidak mampu melangkah seperti engkau dengan mata tertutup. Baik, memang Koh-soh Buyung tidak bernama kosong, aku Lam-hay-gok-sin mengaku kalah padamu.”

Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk menanggalkan tutup matanya serta kembali ke tempat duduknya. Maka bergemuruhlah sorak-sorai orang banyak.

Kemudian Helian Tiat-si menyilakan kedua tamunya minum, katanya, "Atas kunjungan kedua kesatria besar, entah ada keperluan apakah?”

"Karena beberapa saudara kami entah sebab apa berbuat salah kepada Ciangkun, maka Ciangkun telah mengirim jago pilihan dan menangkap mereka ke sini, sebab itulah dengan memberanikan diri ingin kumohon Ciangkun suka membebaskan mereka,” sahut A Cu.

Sudah tentu ucapan A Cu itu sengaja dipakai untuk menyindir orang Se He yang telah menangkap orang dengan cara rendah dan memalukan.

Namun Helian Tiat-si tidak risi sedikit pun, dengan tersenyum ia berkata, "Memang benar. Tapi setelah menyaksikan demonstrasi Buyung-kongcu yang hebat barusan, nyata memang bukan nama kosong belaka. Kiau-pangcu mempunyai nama kebesaran sejajar dengan Buyung-kongcu, hendaklah juga suka unjuk sejurusdua supaya kami bisa kagum benar-benar, dengan begitu pula agar ada alasan untuk membebaskan para kesatria dari pang kalian.”

Keruan A Cu agak gugup, pikirnya, "Untuk menyaru sebagai Kiau-pangcu dan menirukan lagak lagunya tidak susah bagiku. Tapi bila aku disuruh menirukan ilmu silatnya yang hebat itu, bukankah segera rahasia penyamaranku ini akan terbongkar?”

Selagi dia hendak mencari alasan untuk menutupi rasa serbasusahnya itu, tiba-tiba terasa tangan dan kaki lemas linu, bahkan gerak jari pun tak bisa. Keadaan demikian persis seperti terkena kabut berbisa semalam.

Keruan ia khawatir, keluhnya dalam hati, "Wah, celaka, sungguh tidak nyana bahwa jahanam orang Se He ini akan menggunakan akal licik pula, bagaimana baiknya sekarang?”

Di lain pihak Toan Ki yang kebal terhadap segala macam racun sedikit pun tidak merasa terjadi hal-hal yang ganjil itu. Cuma tiba-tiba dilihatnya A Cu lemas lunglai di tempat duduknya, segera ia tahu gadis itu tentu terkena kabut racun lagi, maka cepat ia mengeluarkan botol berbau busuk itu, ia buka sumbat botol dan disodorkan ke ujung hidung A Cu.

Segera A Cu menyedotnya beberapa kali, karena keracunan belum lama, segera ia dapat bergerak kembali. Ia pegang botol yang diangsurkan Toan Ki itu dan mencium pula dengan rasa heran mengapa musuh tidak turun tangan untuk menangkapnya?

Waktu ia perhatikan orang-orang Se He itu, ia lihat mereka pun menggeletak semua di atas kursi tanpa berkutik, hanya biji mata mereka yang tertampak terbelalak lebar seperti terheran-heran.

"Aneh, mengapa orang-orang ini keracunan sendiri, benar-benar senjata makan tuan,” demikian ujar Toan Ki.

Segera A Cu mendekati Helian Tiat-si, ia coba dorong-dorong panglima Se He itu, tapi Helian Tiat-si benarbenar lemas lunglai, tidak salah lagi memang keracunan. Tapi badan lemas kan mulut masih dapat bicara, segera ia membentak, "Hai, siapakah yang mengeluarkan kabut wangi ini? Lekas ambilkan obat penawar, cepat!”

Meski sudah beberapa kali ia membentak, tapi anak buahnya tetap diam saja dengan lemas, semuanya berkata, "Lapor Ciangkun, hamba sekalian juga tak dapat berkutik.”

"Pasti ada pengkhianat, kalau tidak, masakah lawan tahu cara penggunaan kabut wangi kita yang rumit itu,” kata Nurhai.

"Siapa pengkhianatnya, siapa? Lekas cari dan cencang dia hingga hancur lebur,” teriak Helian Tiat-si dengan murka.

"Ya, paling penting sekarang harus mendapatkan obat penawar kita,” sahut Nurhai. Ia melirik dan melihat A Cu memegang sebuah botol kecil, segera katanya, "Kiau-pangcu, sudilah engkau enduskan obat penawar itu kepada kami, nanti Ciangkun kami pasti akan membalas jasamu ini.”

"Aku harus menolong saudara-saudara pang kami, siapa ingin kepada balas jasa apa segala dari Ciangkun kalian?” sahut A Cu dengan tertawa.

Terpaksa Nurhai berkata kepada Toan Ki, "Buyung-kongcu, di bajuku juga ada sebuah botol, tolonglah keluarkan untuk dicium kami.”

Toan Ki tidak menolak, ia merogoh baju Nurhai dan benar juga dikeluarkannya sebuah botol kecil. Katanya kemudian dengan tertawa, "Obat penawar memang perlu, tapi takkan kuberikan kepadamu.”

Habis berkata, ia terus menuju ke ruangan belakang bersama A Cu. Maka tertampaklah di serambi timur sana penuh berjubel orang, semuanya adalah anggota Kay-pang yang tertawan. Dan begitu A Cu masuk ke situ, segera Go-tianglo berseru, "Aha, kiranya engkau yang datang, Kiau-pangcu, lekas tolong kami!”

Segera A Cu mengenduskan obat penawar itu kepada Go-tianglo dan berkata, "Ini adalah obat penawar, boleh dienduskan kepada para saudara untuk memunahkan racun mereka.”

Go-tianglo sangat girang, setelah kaki-tangannya dapat bergerak, segera ia bergantian memunahkan racun Song-tianglo. Di sebelah sana Toan Ki juga telah menyembuhkan racun Ci-tianglo dan begitu seterusnya.

"Kawan-kawan kita terlalu banyak, kalau satu per satu dipunahkan racunnya seperti tentu akan maka waktu terlalu lama,” ujar A Cu. "Go-tianglo, cobalah geledah orang-orang Se He itu, carilah obat penawar serupa ini.”

Go-tianglo mengiakan dan segera berlari ke ruangan depan untuk menggeledah obat. Maka terdengarlah suara makian dan teriakan disertai suara "plak-plok” berulang-ulang.

Nyata sembari menggeledah obat, Go-tianglo tidak lupa memberi persen gamparan kepada orang-orang Se He itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya.

Tidak lama kemudian, kembalilah Go-tianglo dengan membawa lima-enam buah botol porselen kecil, katanya dengan tertawa, "Yang kupilih adalah musuh yang berpakaian perlente, kedudukan mereka tentu lebih tinggi dan benar juga mereka membawa obat penawar seperti ini. Hahaha, baru sekarang mereka tahu rasa!”

"Tahu rasa apa?” tanya Toan Ki heran.

"Setiap orang mereka telah kupersen dua kali tamparan, yang memiliki obat penawar sengaja kugampar lebih keras,” tutur Go-tianglo dengan tertawa. Dan tiba-tiba ia merasa belum pernah kenal Toan Ki dalam samaran itu, segera ia tanya, "Siapakah nama terhormat saudara ini? Terima kasih banyak atas budi pertolonganmu.”

"Cayhe she Buyung,” sahut Toan Ki. "Maafkan kedatangan kami agak terlambat sehingga kalian tersiksa sekian lamanya.”

Mendengar orang mengaku she "Buyung”, maka tahulah orang-orang Kay-pang tentu pemuda inilah "Koh-soh Buyung” yang terkenal itu.

"Ai, kita benar-benar sudah buta semua sehingga sembarangan mendakwa Buyung-kongcu telah membunuh Be-hupangcu, hari ini kalau bukan Buyung-kongcu dan Kiau-pangcu yang menolong kita, tentu kita akan celaka di tangan anjing-anjing Se He yang jahat itu,” demikian seru Song-tianglo.

"Ya, orang tua tentu suka mengampuni kesalahan kaum hamba, Kiau-pangcu, mohon engkau sudi kembali menjadi pangcu kita saja,” segera Go-tianglo ikut berkata.

"Huh, Kiau-ya dan Buyung-kongcu ternyata benar bersahabat baik,” tiba-tiba Coan Koan-jing menjengek dengan dingin. Ia belum mengendus obat penawar, maka tubuhnya masih belum bisa berkutik.

Ia sebut Kiau Hong sebagai "Kiau-ya” (tuan Kiau) dan tidak menyebutnya sebagai "Kiau-pangcu”, itu berarti ia tidak mengakui dia lagi sebagai pangcu. Sebaliknya ia bilang Kiau Hong ternyata bersahabat dengan Buyung-kongcu, kata-kata itu pun sangat licin.

Sebab, hendaklah diketahui bahwa orang-orang Kay-pang sama mencurigai Kiau Hong sebagai pembunuh Be Tay-goan secara tidak langsung, yaitu dengan meminjam tangan Buyung Hok. Padahal Kiau Hong selalu menyangkal kenal Buyung Hok. Sebaliknya sekarang kedua orang ini sama-sama datang ke Thian-leng-si, dilihat dari sikap mereka berdua yang akrab itu pastilah mereka bukan kenalan baru saja.

Jilid 29
A Cu merasa kurang enak bila tinggal lama-lama di situ mengingat orang-orang itu adalah kawan Kiau Hong, kalau pemalsuannya ketahuan, tentu urusan bisa runyam. Maka cepat katanya, "Urusan pang kita boleh dirundingkan nanti saja, sekarang aku akan pergi melihat kawanan anjing Se He itu.”

Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas kembali ke ruangan depan dengan diikuti Toan Ki.

Di sana mereka mendengar Helian Tiat-si sedang mencaci maki, "Lekas suruh periksa siapakah bangsat orang Se He itu, berani dia main gila pada Ciangkunmu ini. Bila kita sudah pulang nanti pasti akan kusikat bersih antero anggota keluarganya tua-muda maupun laki-perempuan. Bangsat, orang Se He malah membantu bangsa lain, mencuri kabut wangi kita untuk merobohkan bangsa sendiri.”

Toan Ki melengak, ia heran orang Se He mana yang dimakinya itu.

Dalam pada itu Nurhai cuma mengiakan belaka dan tidak berani menimbrung. Terdengar Helian Tiat-si lagi memaki pula, "Bangsat keparat, coba lihat, apa yang dia tulis itu bukankah sindiran terang-terangan kepada kita?”

Waktu Toan Ki dan A Cu mendongaki terlihatlah di dinding ruangan itu ada dua baris tulisan, masing-masing baris terdiri dari empat huruf, bunyinya, "Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin”.

Toan Ki sampai bersuara heran, bukankah itu istilah khas Buyung Hok yang disamarnya sekarang? Melihat tinta tulisan yang belum lagi kering itu, terang penulisnya belum lama perginya.

Melihat pemuda itu agak gugup, lekas A Cu memperingatkannya, "Toan-kongcu, jangan lupa bahwa engkau sekarang adalah Buyung-kongcu. Aku sendiri tidak dapat memastikan apakah tulisan itu benar buah tangan kongcu kami atau bukan, sebab beliau memang mahir menulis dalam berbagai macam gaya yang indah.”

Dalam pada itu terdengar Nurhai sedang tertawa dingin dan berkata, "Hehe, benar-benar kepandaian yang lihai, baru hari ini dapat kami saksikan sendiri ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’.”

Namun begitu, dalam hati sebenarnya ia sangat khawatir entah cara bagaimana orang Kay-pang hendak

memperlakukan mereka, sebab waktu orang-orang Kay-pang tertawan, mereka telah menyiksa kawanan pengemis itu dengan macam-macam cara, kalau sekarang pengemis-pengemis itu pun membalas ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’, kan bisa celaka mereka?

Sebenarnya Toan Ki agak cemburu kepada Buyung Hok, tapi kini demi merasa pasti tokoh muda itu telah merobohkan orang-orang Se He itu, mau tak mau ia rada kagum juga.

"Urusan sudah beres, marilah kita tinggal pergi saja,” tiba-tiba A Cu membisikinya ketika melihat orang-orang Kay-pang sudah banyak yang dapat bergerak dan datang ke ruangan depan itu. Segera ia berseru, "Para Tianglo, aku masih ada urusan lain yang harus diselesaikan bersama Buyung-kongcu, sampai berjumpa lagi pada lain hari.”

"Nanti dulu, Pangcu, nanti dulu!” cepat Go-tianglo menahannya.

Namun A Cu tidak berani tinggal lebih lama lagi di situ, bahkan jalannya bertambah cepat bersama Toan Ki. Umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat segan kepada sang pangcu, maka tiada seorang pun berani menahan mereka.

Setelah beberapa li jauhnya, dengan tertawa berkatalah A Cu, "Toan-kongcu, benar-benar sangat kebetulan sekali, muridmu yang jelek seperti siluman itu justru ingin menjajal kepandaianmu Leng-po-wi-poh, bahkan memuji engkau lebih lihai daripada gurunya. Hahaha, sungguh lucu!”

Lalu katanya pula, "Dan aneh juga, entah siapakah gerangan yang diam-diam menyebarkan kabut racun itu? Orang-orang Se He itu mencaci maki, katanya ada pengkhianat, kukira bukan mustahil memang benar perbuatan seorang Se He.”

Mendadak Toan Ki teringat akan seorang, cepat katanya, "He, jangan-jangan perbuatan Li Yan-cong? Yaitu jago Se He yang kutemukan di rumah penggilingan itu?”

Karena A Cu tidak pernah melihat Li Yan-cong, maka ia tidak berani memberi pendapat, katanya, "Marilah kita bicarakan dengan Ong-kohnio saja dan minta pendapatnya.”

Tadinya Toan Ki sangsi penulis di dinding itu adalah Buyung Hok sendiri, dan kalau benar, tentu Buyung Hok berada di sekitar sini, bahkan mungkin sudah berjumpa dengan Giok-yan, hal ini membuatnya sangat masygul. Tapi kini demi teringat orang itu boleh jadi adalah Li Yan-cong seketika lega hatinya dan dapat bicara dengan bergurau lagi.

Tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari depan, seorang penunggang kuda sedang datang dengan cepat. Waktu Toan Ki memerhatikan, segera ia mengenali orang itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong.

"Itulah dia Kiau-toako!” serunya dengan girang terus hendak memapak maju.

Namun A Cu lantas menahannya, "Jangan bersuara, nanti sandiwara kita terbongkar!”

Habis berkata, ia sendiri lantas berdiri mungkur.

Tidak lama kemudian, Kiau Hong sudah mendekat dan memandang Toan Ki dan A Cu.

Karena dicegah A Cu tadi, barulah Toan Ki ingat mereka sedang menyamar sebagai orang lain. A Cu justru menyaru sebagai Kiau-toako itu, kalau dilihat orang yang asli, tentu urusan bisa runyam. Maka waktu Kiau Hong sudah dekat, Toan Ki juga tidak berani memandang padanya, sebaliknya ia melengos ke samping.

Kiranya setelah Kiau Hong membebaskan A Cu dan A Pik dari cengkeraman musuh, ia menjadi khawatir ketika mengetahui orang-orang Kay-pang juga ditawan oleh orang-orang Se He. Ia telah mencari kian kemari, akhirnya dapat diketemukan juga kedua hwesio cilik dari Thian-leng-si itu. Sesudah menanyakan tempatnya, segera ia memburu ke kuil itu.

Ketika dilihatnya wajah Toan Ki yang gagah dan ganteng dalam samarannya sebagai Buyung Hok itu, diamdiam Kiau Hong berpendapat, "Kongcu ini benar-benar tampannya seperti saudaraku Toan Ki itu.

Sedangkan A Cu yang berdiri mungkur itu tidak diperhatikannya, karena mengkhawatirkan keselamatan orangorang Kay-pang, segera ia mencambuk kudanya melanjutkan perjalanan ke depan dengan cepat.

Setiba di Thian-leng-si, ia lihat belasan anggota Kay-pang sedang menggelandang orang-orang Se He satu per satu keluar dari kuil itu. Sudah tentu Kiau Hong sangat girang dan bangga. Memang orang-orang Kay-pang adalah kesatria yang gagah perkasa, betapa pun dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan.

Sebaliknya demi melihat sang pangcu yang sudah pergi telah kembali lagi, para anggota Kay-pang berbondong-bondong lantas menyambutnya, "Pangcu, cara bagaimana para tawanan ini harus diatur, harap engkau suka memberi petunjuk.”

"Aku sudah bukan anggota Kay-pang lagi, maka jangan kalian sebut aku sebagai pangcu,” sahut Kiau Hong. "Kalian baik-baik saja dan tidak kurang apa-apa, bukan?”

Sementara itu Ci-tianglo dan lain-lain sudah mendapat laporan dan menyambut keluar.

Go-tianglo adalah orang tulus, terus saja ia menyapa, "Pangcu, begitu engkau meninggalkan kami, seketika kami masuk perangkap musuh. Untung engkau datang tepat pada waktunya bersama Buyung-kongcu sehingga Kay-pang tidak sampai terjungkal habis-habisan. Jika engkau tidak kembali memegang tampuk pimpinan, pasti pang kita akan kacau-balau tak keruan.”

"Buyung-kongcu apa maksudmu?” tanya Kiau Hong dengan heran.

"Ah, orang-orang seperti Coan Koan-jing itu cuma mengaco-belo, jangan engkau peduli,” ujar Go-tianglo. "Untuk mencari sahabat apa susahnya? Aku percaya engkau juga baru hari ini berkenalan dengan Buyungkongcu.”

"Buyung-kongcu? Apakah maksudmu Buyung Hok?” Kiau Hong menegas. "Tapi selamanya aku tidak pernah kenal dia.”

Seketika Ci, Song, Ge, Tan, dan Go-tianglo saling pandang dengan bingung. Pikir mereka, "Bukankah baru saja dia datang bersama Buyung-kongcu hingga kita tertolong, mengapa sekarang dia menyatakan tidak kenal Buyung-kongcu?”

Go-tianglo pikir sejenak, tiba-tiba ia seperti mengerti duduknya perkara, serunya, "Aha, tahulah aku! Pemuda tampan tadi itu mengaku she Buyung, tapi dia bukanlah Buyung Hok. Memangnya di dunia ini cuma ada seratus-dua ratus orang she Buyung? Kenapa mesti heran?”

"Tapi dia menulis tanda pengenal yang khas di dinding itu, kalau bukan Buyung Hok lantas siapa lagi?” ujar Ci-tianglo.

"Memang pasti dia, habis siapa lagi?” tiba-tiba suara seorang melengking aneh menimbrung. "Bocah itu serbapandai dalam berbagai ilmu silat, bahkan setiap macam kepandaiannya lebih lihai daripada pemilik asalnya. Kalau dia bukan Buyung Hok, siapa yang mampu berbuat demikian? Sudah tentu dia, pasti dia!”

Waktu semua orang memandang ke arah suara itu tertampak mata orang itu kecil sempit dan penuh berewok, itulah dia Lam-hay-gok-sin.

"Jadi Buyung Hok tadi telah datang kemari?” demikian Kiau Hong menegas dengan heran.

"Kentut anjingmu!” maki Lam-hay-gok-sin mendadak. "Tadi kau sendiri datang bersama Buyung-siaucu itu, dan entah dengan ilmu sihir apa kalian telah membikin kami tidak dapat berkutik, tapi sekarang kau malah berlagak pilon? Ayo, lekas lepaskan Locu, kalau tidak, hm, hm ....”

Meski dia "hm, hm” segala, tapi apa yang dapat dia perbuat?

Maka berkatalah Kiau Hong, "Tampaknya engkau juga seorang tokoh pilihan dalam Bu-lim, tapi mengapa sembarangan ngoceh tak keruan? Bilakah aku datang kemari? Apalagi bersama Buyung-kongcu, haha, lucu, sungguh lucu!”

"Bagus kau, Kiau Hong! Sia-sia engkau jadi pemimpin Kay-pang, tapi di siang hari bolong kau berani coba membohongi orang!” teriak Lam-hay-gok-sin dengan marah. "Nah, para sobat, katakanlah, bukankah tadi Kiau Hong sudah pernah datang ke sini? Bukankah Ciangkun kami telah menyilakan dia duduk dan minum bersama?”

"Memang benar,” sahut orang-orang Se He serentak. "Malahan waktu Buyung Hok mempertunjukkan kepandaian ‘Leng-po-wi-poh’, Kiau Hong sendiri memberi sorak pujian tiada habis-habis, katanya ‘Pak Kiau Hong dan Lam Buyung’ apa segala, masakah hal itu dapat dipalsukan?”

Diam-diam Go-tianglo juga menjawil Kiau Hong dan membisikinya, "Pangcu, orang terang tidak perlu berbuat gelap, kejadian tadi betapa pun memang tak dapat disangkal.”

Sudah tentu Kiau Hong merasa serbasusah, dengan tersenyum pahit ia tanya, "Go-siko, apakah tadi engkau pun melihat aku datang kemari?”

Go-tianglo tidak menjawab, tapi ia lantas menyodorkan botol porselen kecil wadah obat penawar itu kepada Kiau Hong dan berkata, "Pangcu, botol ini kukembalikan padamu, mungkin kelak masih dapat dipergunakan.”

"Kembalikan padaku? Mengapa dikembalikan kepadaku?” Kiau Hong, menegas dengan terheran-heran.

"Obat penawar ini adalah pemberianmu tadi, masakah engkau sudah lupa?” ujar Go-tianglo.

"Masa bisa bagian? Jadi engkau juga mengatakan tadi telah melihat kudatang ke sini?” Kiau Hong menegas pula.

Biasanya Kiau Hong sangat cerdik, namun betapa pun tak tersangka olehnya bahwa ada orang telah memalsukan dirinya. Bahkan belum lama berselang pemalsu itu telah datang ke Thian-leng-si. Segera terpikir olehnya di balik kejadian itu pasti tersembunyi suatu muslihat mahakeji.

Ia lihat air muka orang-orang Kay-pang itu berbeda-beda, Ada yang merasa terima kasih karena telah diselamatkan olehnya, tapi merasa sangsi juga demi mendengar Kiau Hong tetap menyangkal. Ada yang mengira pikiran bekas pangcu itu lagi kusut karena mengalami macam-macam pukulan batin selama beberapa hari ini. Ada yang menduga pasti dia yang telah membunuh Be Tay-goan dengan menggunakan Buyung Hok, tapi khawatir muslihatnya ketahuan, maka sengaja menyangkal kenal dengan Buyung Hok. Bahkan ada yang percaya penuh dia adalah orang Cidan yang sengaja melawan orang Se He dan memusuhi orang Song pula.

Menghadapi keadaan yang membingungkan itu, akhirnya Kiau Hong menghela napas panjang, katanya, "Jika saudara-saudara ternyata baik-baik saja, biarlah sekarang juga Kiau Hong mohon diri.”

Habis berkata, ia memberi salam sekali, segera ia cemplak kudanya dan dilarikan pergi dengan cepat.

"Kiau Hong, tinggalkan Pak-kau-pang dahulu!” seru Ci-tianglo mendadak.

Sekonyong-konyong Kiau Hong menghentikan kudanya serta menyahut, "Pak-kau-pang? Bukankah sudah kukembalikan di tengah hutan sana?

"Tapi sesudah kami tertawan, Pak-kau-pang telah jatuh di tangan anjing-anjing Se He itu, kami telah mencarinya dengan teliti dan tetap tidak ketemu, maka kami menduga pasti telah kau ambil lagi,” kata Citianglo.

"Hahahaha!” mendadak Kiau Hong terbahak-bahak sambil menengadah, suaranya pedih memilukan. Lalu serunya, "Aku Kiau Hong sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan Kay-pang, guna apa aku memiliki Pak-kau-pang itu? Ci-tianglo, agaknya engkau terlalu rendah menilai diriku.”

Habis berkata, ia kempit kudanya dan dilarikan secepat terbang ke utara.

Sejak kecil Kiau Hong sangat disayang kedua orang tuanya. Kemudian ia mendapat didikan guru dari Siaulim-si, akhirnya menjadi murid Ong-pangcu dari Kay-pang. Ia telah banyak mengalami gemblengan dalam pengembaraan, baik guru maupun sahabat, semuanya sangat baik dan jujur padanya. Tapi apa yang dialaminya selama dua hari ini benar-benar merupakan pukulan keras bagi kehidupannya. Pangcu yang terkenal mahajujur dan berbudi ini kini telah dituduh sebagai seorang pengkhianat, seorang penjual kawan yang rendah.

Ia membiarkan kudanya berjalan perlahan, hatinya sangat kusut, pikirnya, "Andaikan aku benar keturunan Cidan, padahal selama ini tidak sedikit jago Cidan yang telah kubunuh, banyak pula rencana penyerbuan negeri Cidan telah kugagalkan, bukankah aku benar-benar seorang yang tidak setia? Bila benar ayah-bundaku dibunuh oleh bangsa Han di Gan-bun-koan, sebaliknya aku malah mengangkat pembunuh orang tua sebagai guru dan selama 30 tahun ini mengaku orang asing sebagai ayah-bunda, bukankah hal ini benar-benar sangat tidak berbakti? Wahai, Kiau Hong, sedemikianlah engkau tidak setia pada negeri asal dan tidak berbakti pada orang tua, mengapa engkau masih ada muka untuk hidup di dunia ini? Jika Kiau Sam-hoay bukan ayahku yang sebenarnya, itu berarti aku juga bukan Kiau Hong yang sebenarnya? Lantas aku she apa? Siapakah namaku yang asli pemberian orang tua? Hehe, bukan saja aku tidak setia dan tidak berbakti, bahkan aku tidak punya she dan tidak bernama.”

Tapi segera terpikir pula olehnya. Namun bukan mustahil ada seorang yang mahajahat dan mahadurjana yang sengaja memfitnah diriku. Sebagai seorang laki-laki sejati, masakah aku manda dipermainkan orang sehingga nama runtuh dan badan merana? Kalau aku tinggal diam, tentu durjana itu akan berhasil intriknya yang keji itu. Ya, pendek kata, aku harus menyelidiki urusan ini hingga jelas.”

Setelah ambil keputusan itu, langkah pertama ia harus menuju ke Siau-sit-san di Holam untuk menanyakan asal usul diri sendiri kepada ayah Kiau Sam-hoay, dan langkah kedua ialah datang ke Siau-lim-si untuk minta petunjuk duduk perkara yang sebenarnya kepada gurunya, Hian-koh Taysu.

Kedua orang tua itu biasanya sangat sayang padanya, rasanya tidak nanti menutupi sesuatu rahasianya. Sebagai seorang kesatria yang bijaksana dan dapat berpikir panjang maka Kiau Hong tidak merasa kesal lagi. Yang masih dirasakannya agak canggung adalah dahulu dengan kedudukannya sebagai pangcu dari Kay-pang, ke mana pun ia pergi, di situ pula adalah rumahnya.

Tapi kini ia telah dipecat dari Kay-pang, ia tidak dapat mendatangi cabang-cabang Kay-pang lagi untuk bermalam atau minta makan, bahkan demi untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang tak diinginkan, ia malah mencari jalan yang sepi saja supaya tidak kepergok oleh anggota Kay-pang bekas bawahannya.

Sesudah dua hari, sangu yang dia bekal sudah habis terpakai, terpaksa ia menjual kuda yang dirampasnya dari orang Se He itu sekadar sebagai biaya perjalanan.

Tidak lama kemudian, tibalah dia sampai di kaki gunung Siong-san, segera ia menuju ke Siau-sit-san yang merupakan lereng Gunung Siong itu. Pegunungan ini adalah tempat tinggal masa kecilnya, ia merasa suasana lereng gunung itu masih tetap menghijau seperti sediakala.

Sejak ia diangkat sebagai pangcu Kay-pang, karena Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar di kalangan Kangouw, sebaliknya Siau-lim-pay adalah suatu aliran persilatan paling besar dalam Bu-lim, bila pangcu dari Kay-pang diketahui mengunjungi Siau-lim-si, pastilah hal ini akan bikin gempar kalangan Bu-lim.

Sebab itulah selamanya dia belum pernah pulang menjenguk kedua orang tua itu. Hanya setiap tahun ia suruh dua orang anak buahnya menyampaikan salam hormat dan membawa sekadar oleh-oleh kepada ayah bunda serta sang guru.

Kini seorang diri ia pulang ke tempat asalnya, teringat teka-teki yang meliputi sejarah hidup sendiri akan segera dapat diketahui dalam waktu tidak lama lagi, betapa pun biasanya ia adalah seorang yang tenang dan sabar, mau tak mau sekarang ia pun merasa bimbang.

Tempat tinggal yang ditinggalkannya itu terletak lereng gunung sebelah timur Siau-sit-san. Dengan cepat Kiau Hong melintasi lereng gunung itu, dari jauh terlihat olehnya di bawah pohon di tepi kebun sayur sana terletak sebuah caping dan sebuah teko. Pegangan teko itu sudah putus. Kiau Hong masih kenal itulah benda milik sang ayah, Kiau Sam-hoay.

Melihat benda-benda itu, seketika timbul rasa haru Kiau Hong, "Ayah benar-benar seorang yang rajin dan jujur, sudah belasan tahun teko bobrok itu dipakainya dan sampai sekarang masih tak dibuangnya.”

Melihat pohon kurma itu, Kiau Hong terkenang pada masa kanak-kanak, tatkala buah ang-co sudah masak, sering kali Kiau Sam-hoay mengajaknya memetik buah yang manis dan enak itu.

Sejak dia meninggalkan kampung halamannya tidak pernah lagi ia merasakan buah ang-co. Diam-diam ia berpikir, "Andaikan mereka bukan ayah-bunda kandungku, namun budi peliharaan mereka padaku sedari kecil betapa pun sukar kubalas. Maka bagaimanapun tentang asal-usul diriku, aku tetap akan memanggil mereka sebagai ayah dan ibu.”

Segera ia mendekati tiga petak rumah atap di depan sana, ia lihat di luar rumah terbentang sehelai tikar yang penuh jemuran sayuran kering. Seekor induk ayam dengan beberapa ekor anaknya sedang mencari makan di tanah rumput pinggir rumah sana.

Tanpa terasa tersenyumlah Kiau Hong. Pikirnya, "Malam ini ibu pasti akan sembelih ayam dan masak yang enak-enak untuk menjamu putranya yang sudah lama meninggalkan rumah ini.”

Segera ia berteriak-teriak memanggil, "Tia, Nio (ayah, ibu), anak sudah pulang!”

Namun meski dia mengulangi seruannya keadaan tetap sepi saja tanpa sesuatu jawaban. Ia pikir, "Ah, mengapa aku begini bodoh, kedua orang tua sekarang tentu telah lanjut usianya, telinga mereka tentu juga sudah tuli.”

Segera ia mendorong daun pintu dan melangkah masuk ke dalam. Ia lihat keadaan di dalam rumah masih tetap seperti dulu. Meja kursi sudah butut, pacul, luku, arit, dan sebagainya masih tetap berada di tempatnya. Hanya tiada tampak bayangan seorang pun.

Kembali Kiau Hong berseru memanggil dua kali, tapi tetap tiada jawaban apa-apa. Ia agak heran dan bergumam sendiri, "Ai, ke manakah perginya mereka?”

Waktu ia melongok ke dalam kamar, seketika ia terkejut. Ia lihat Kiau Sam-hoay suami-istri menggeletak semua di lantai tanpa berkutik.

Cepat Kiau Hong melompat ke dalam kamar. Lebih dulu ia bangunkan sang ibu, ia merasa napas orang tua itu sudah putus, tapi badannya masih rada hangat, suatu tanda belum terlalu lama meninggalnya. Waktu ia membangunkan sang ayah juga, keadaannya ternyata serupa.

Sungguh kaget dan sedih Kiau Hong tak terkatakan. Ia coba membawa jenazah sang ayah keluar rumah, ia coba periksa keadaan mayat itu di bawah sinar matahari. Segera dapat diketahuinya antero tulang iga orang tua itu telah patah semua, nyata tewasnya disebabkan semacam pukulan yang mahadahsyat. Waktu ia periksa pula mayat sang ibu, keadaannya sami mawon alias sama.

Kau Hong benar-tenar dihadapkan kepada suatu persoalan yang mahapelik. Ia tidak habis mengerti, "Ayah-ibu adalah kaum petani yang jujur tulus, mengapa ada orang Bu-lim yang begini tega turun tangan keji pada mereka? Tentu urusan ini berpangkal pada persoalan diriku.”

Ia coba mengelilingi ketiga petak rumah itu, ia periksa dengan teliti bagian depan, samping dan belakang rumah-rumah itu, ia ingin tahu macam apakah pembunuh itu. Namun pembunuh itu ternyata sangat cerdik, bahkan bekas tapak kaki tidak sedikit pun tertinggal.

Semakin dipikir semakin pedih hati Kiau Hong, air mata tak tertahan lagi bercucuran, sampai akhirnya ia tak dapat lagi menahan gelora perasaannya, ia menangis tergerung-gerung dengan keras.

Tapi baru saja ia mulai menangis, tiba-tiba terdengar suara orang berkata di belakang, "Ai, sayang, sayang kita terlambat datang!”

Cepat Kiau Hong berpaling, ia lihat empat hwesio setengah umur sudah berdiri di situ. Dari dandanan mereka segera Kiau Hong dapat menduga mereka adalah padri Siau-lim-si.

Walaupun ilmu silat Kiau Hong semula diperoleh dari Siau-lim-pay, tapi guru yang mengajar dia, yaitu Hiankoh Taysu, hanya datang di tengah malam setiap hari, tentang dia belajar silat bahkan kedua orang tua sendiri tidak tahu, maka dengan padri Siau-lim-si pun ia tidak kenal.

Oleh karena hati sedang sedih, biarpun di depannya berdiri empat orang tak dikenal, namun seketika Kiau Hong tak dapat menahan tangisnya.

Tiba-tiba salah satu padri di antaranya yang bertubuh tinggi menegurnya dengan suara kasar, "Kiau Hong, perbuatanmu ini benar-benar melebihi binatang. Kiau Sam-hoay suami-istri meski bukan ayah-bunda kandungmu, namun budi membesarkanmu selama belasan tahun juga tidak kecil, mengapa kau tega turun tangan keji untuk membunuhnya?”

"Cayhe juga baru saja sampai rumah dan mendapatkan ayah dan ibu sudah terbunuh, aku justru lagi ingin mencari tahu siapa pengganas itu untuk membalas sakit hati orang tua, mengapa Taysu mengucapkan kata-kata demikian?” sahut Kiau Hong dengan menangis.

"Huh, orang Cidan memang berhati buas seperti binatang, kau sendiri yang telah membinasakan ayah-ibu angkatmu, tapi kau masih pura-pura tidak tahu,” bentak padri itu dengan gusar. "Orang she Kiau, memang salah kami karena terlambat datang. Tapi bila kau kira Siau-sit-san boleh sembarangan dibuat main gila, terang kau salah hitung besar.”

Habis berkata, tanpa ampun lagi ia terus menghantam dada Kiau Hong.

Selagi Kiau Hong hendak mengelak, tiba-tiba dari belakang juga ada kesiur angin perlahan, segera ia tahu ada orang membokong dari belakang. Tapi ia tidak ingin bertempur dengan padri Siau-lim-si itu tanpa mengetahui duduknya perkara. Maka sekali kakinya mengentak, bagaikan burung ia melayang pergi sejauh beberapa meter. Waktu ia menoleh, benar juga padri yang berdiri di belakangnya itu telah menendang tempat kosong.

Melihat cara begitu mudah Kiau Hong menghindarkan serangan mereka dari muka dan belakang, mau tak mau para padri itu terkejut dan heran pula.

"Biarpun ilmu silatmu tinggi juga jangan coba bertingkah di sini,” damprat si padri jangkung tadi. "Engkau sengaja membunuh kedua orang tua untuk menutupi rahasia asal-usul dirimu, cuma sayang tentang dirimu yang keturunan bangsa Cidan itu sudah tersiar luas di Kangouw, siapakah orang Bu-lim yang tidak tahu akan hal ini sekarang? Sekarang kau melakukan perbuatan durhaka sebesar ini, hal ini jelas semakin menambah dosamu yang tak dapat diampuni.”

"Lebih dulu engkau membunuh Be Tay-goan, sekarang kau bunuh pula Kiau Sam-hoay berdua, hm, apakah perbuatanmu yang terkutuk ini dapat kau tutupi?” demikian padri yang lain ikut mendamprat.

Dalam keadaan berduka, meski mendengar caci maki padri itu sangat menyakitkan hati, namun tak dapat Kiau Hong mengumbar kemarahannya. Selama hidup sudah banyak persoalan besar dan kejadian hebat yang dialaminya, maka kini ia tetap dapat bersabar, ia memberi hormat, lalu katanya, "Numpang tanya siapakah gelaran suci para Taysu? Bukankah kalian adalah padri saleh Siau-lim-si?”

Watak salah satu hwesio itu cukup ramah tamah, maka dengan suara tenang ia menjawab, "Benar, kami adalah anak murid Siau-lim-si. Ai, suami-istri Kiau Sam-hoay selamanya sangat jujur dan baik, tapi toh mendapatkan ganjaran mengenaskan seperti ini. Kiau Hong, bangsa Cidan sungguh teramat keji.”

Melihat orang tidak sudi memberitahukan gelar mereka, Kiau Hong pikir percuma saja bertanya lagi. Tapi ia mendengar si padri jangkung menyatakan mereka datang terlambat untuk menolong, agaknya mereka telah diberi tahu seseorang, lalu buru-buru datang kemari, tapi siapakah pemberi kabar itu? Siapakah yang sebelumnya sudah mengetahui ayah-bundaku bakal tertimpa malang?

Maka katanya segera, "Keempat Taysu berhati welas asih dan sengaja buru-buru datang ke sini untuk menolong ayah-bundaku, cuma sayang agak terlambat sedikit ....”

Mendadak si padri jangkung yang berwatak keras itu menghantam dengan kepalan sebesar mangkuk sambil membentak, "Kami datang terlambat, makanya kau dapat berbuat durhaka dengan bebas, ya? Hm, tentu kau merasa senang dan sengaja mengejek kami?”

Kiau Hong tahu maksud baik kawanan hwesio itu, maka tidak ingin bertempur dengan mereka. Tapi untuk mengetahui duduknya perkara, kalau mereka tidak diberi tahu rasa, tentu urusan ini takkan selesai untuk selamanya. Maka katanya segera, "Cayhe sangat berterima kasih atas maksud baik keempat Taysu, tapi karena terpaksa, harap suka dimaafkan!”

Sembari berkata, ia bergerak secepat kilat, pundak padri ketiga segera ditepuknya sekali.

"Apakah kau ajak bergebrak?” bentak padri itu. Namun tahu-tahu pundaknya kena ditabok Kiau Hong pula, tubuhnya menjadi lemas dan duduk mendeprok di tanah.

Kiau Hong pernah meyakinkan ilmu silat Siau-lim-pay, meski tidak saling kenal dengan keempat padri itu, tapi dasar ilmu silat mereka cukup dipahaminya, maka beruntun Kiau Hong menepuk empat kali, kontan keempat padri itu pun dirobohkan.

"Maafkan,” kata Kiau Hong kemudian, "numpang tanya, Taysu tadi bilang terlambat datang ke sini, dari manakah kalian mengetahui ayah-bundaku akan tertimpa bahaya? Siapakah gerangan orang yang mengirim kabar kepada para Taysu itu?”

"Hehe, apa maksudmu si pengirim kabar itu pun kan kau bunuh bila kau tahu nama dia ya?” sahut padri jangkung tadi dengan gusar. "Anak murid Siau-lim-pay bukanlah manusia pengecut hingga dapat dipaksa mengaku oleh anjing buduk Cidan seperti dirimu ini. Biarpun kau siksa kami dengan cara paling keji juga jangan harap memperoleh sesuatu pengakuan dari mulut kami.”

Diam-diam Kiau Hong gegetun, "Sungguh celaka, kesalahpahaman ini menjadi semakin mendalam sekarang, kalau kutanya lagi, pasti mereka akan anggap aku hendak memaksa pengakuan mereka.”

Maka ia tidak tanya lebih jauh, sebaliknya ia pijat beberapa kali punggung keempat padri itu untuk membuka hiat-to mereka, katanya, "Jika aku hendak membunuh kalian untuk menutupi perbuatanku, saat ini juga jiwa kalian tentu sudah melayang. Tapi aku tidak nanti berbuat demikian, adapun duduk perkara yang sebenarnya kelak pasti akan kubikin terang.”

"Hendak membunuh orang untuk menutupi perbuatanmu yang keji? Hm, belum tentu begitu mudah!” demikian tiba-tiba suara seorang menjengek dari samping lereng bukit.

Waktu Kiau Hong mendongak, ia lihat di lereng sana berdiri belasan padri Siau-lim-si yang bersenjata lengkap, ada yang membawa tongkat padri, ada yang membawa golok suci, tiada seorang pun yang bertangan kosong.

Selintas pandang saja Kiau Hong lihat padri-padri itu dipimpin oleh dua hwesio berumur setengah abad, masing-masing padri itu membawa senjata hong-pian-jan (sekop yang berbentuk bulan sabit), ujung senjata itu hijau kemilau, sinar mata kedua padri itu pun berkilat-kilat, sekali pandang segera orang akan tahu mereka

pasti mempunyai lwekang yang sangat tinggi.

Meski Kiau Hong tidak jeri menghadapi musuh macam pun, tapi ia belasan tahu padri ini pasti jauh lebih lihai daripada keempat hwesio yang duluan. Asal sekali sudah bergebrak, sebelum membunuh beberapa di antaranya pasti susah untuk melepaskan diri.

Dengan cepat Kiau Hong dapat menghadapi segala kesulitan dan mengatasi segala kesangsian. Segera ia memberi hormat sambil berkata, "Kiau Hong telah berlaku kurang ajar, harap para Taysu suka memaafkan!”

Mendadak tubuhnya melayang mundur ke belakang, punggung membentur daun pintu dan menghilang ke dalam rumah.

Perubahan itu sangat cepat terjadinya, padri Siau-lim-pay sama berteriak kaget dan segera ada 5-6 orang menerjang ke dalam rumah itu. Tapi baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba mereka merasa dipapak oleh serangkum angin mahadahsyat. Lekas mereka angkat sebelah tangan untuk bertahan sekuatnya.

Sambaran angin itu sangat hebat hingga debu berhamburan, para padri itu sampai terentak mundur beberapa tindak dan dada pun terasa sesak, dengan muka pucat mereka saling pandang dengan terkejut. Mereka tahu bila Kiau Hong serentak menyerang pula untuk kedua kalinya, pasti mereka tidak mampu bertahan dan bukan mustahil akan binasa, tapi hal itu tidak dilakukan Kiau Hong. Padahal mereka menyangka bekas ketua Kaypang itu adalah orang jahat.

Selang sejenak, tiba-tiba kedua hwesio yang memimpin itu angkat senjata mereka dan menyerbu ke dalam rumah dengan gerakan "Siang-liong-jip-tong” atau dua ekor naga menyusup ke gua. Mereka putar tongkat sedemikian kencangnya hingga terbentuk selapis jaringan sinar untuk melindungi mereka.

Namun sesudah di dalam rumah, mereka lihat keadaan sunyi senyap tiada suatu bayangan pun. Yang lebih aneh adalah jenazah suami-istri Kiau Sam-hoay juga sudah lenyap.

Kedua padri bersenjata tongkat itu adalah hwesio ruang "Kay-lut-ih” Siau-lim-si, yaitu bagian pengawasan dan perundang-undangan, tugas mereka adalah mengawasi kelakuan anak murid Siau-lim-si dan ketaatan mereka. Ilmu silat mereka dengan sendirinya sangat tinggi, bahkan pengalaman mereka juga sangat luas.

Keruan mereka ternganga heran melihat dalam sekejap itu Kiau Hong sudah menghilang bahkan menggondol pula mayat suami-istri Kiau Sam-hoay. Tapi mereka tidak percaya Kiau Hong mampu lari jauh, tentu masih bersembunyi di sekitar situ. Maka cepat mereka mencari di sekitar rumah, namun tiada sesuatu yang

ditemukan.

Segera kedua padri Kay-lut-ih itu menguber ke bawah gunung, mereka yakin Kiau Hong pasti melarikan diri ke jurusan sana. Tapi meski belasan li mereka mengejar tetap tidak tampak suatu bayangan pun.

Sudah tentu mereka tidak menyangka bukannya Kiau Hong melarikan diri ke bawah gunung, sebaliknya ia malah berlari ke arah Siau-sit-san. Ia mencari suatu tempat yang terjal dan sukar didatangi orang, di situ ia kubur dulu ayah-bundanya, ia memberi penghormatan terakhir kepada tempat semayam abadi kedua orang tua itu sambil berdoa, "Tia, Nio, siapakah gerangan pembunuh kalian berdua, anak berjanji pasti akan menangkapnya untuk kemudian dikorek hatinya sebagai sesajen kalian.”

Ia menyesal pulangnya terlambat sebentar saja hingga tidak dapat bertemu lagi dengan ayah-bundanya yang sangat dicintainya itu. Coba kalau dapat berjumpa, tentu kedua orang tua akan betapa senangnya melihat putranya yang kini sudah demikian gagah perkasanya. Alangkah bahagianya bila antara ayah-bunda dan sang putra dapat berkumpul untuk sehari-dua untuk mengenyam sekadar kesenangan orang hidup.

Teringat akan semua itu, tak tertahan lagi air mata Kiau Hong bercucuran, ia menangis terguguk dengan sedih. Sejak kecil wataknya memang sangat keras, jarang sekali ia menangis, sesudah dewasa, lebih-lebih ia tidak pernah meneteskan sebutir air mata pun. Tapi hari ini, saking duka dan pilunya ia tak dapat menguasai perasaannya hingga mengucurkan air mata.

Mendadak terpikir pula olehnya, "Wah, celaka, guruku yang berbudi Hian-koh Taysu jangan-jangan akan mengalami nasib malang juga! Pembunuh itu telah membinasakan ayah-bundaku, waktunya ternyata begini cepat, yaitu setengah jam sebelum aku pulang. Nyata hal ini memang sudah direncanakan lebih dulu, dan sesudah dia turun tangan, segera ia pergi ke Siau-lim-si untuk memberitahukan kepada para padri di sana. Ya, tentu para padri itu tertipu hingga datang kemari hendak menolong ayah-bunda, tapi kepergok dengan aku. Di dunia ini yang mengetahui asal-usul diriku masih ada pula guruku Hian-koh Taysu, maka aku harus berjagajaga pengganas itu akan turun tangan keji pula terhadap guruku itu dan aku lagi yang mesti menanggung dosa perbuatan musuh itu.”

Demi ingat bisa jadi Hian-koh Taysu juga akan tertimpa malang, perasaan Kiau Hong menjadi seperti terbakar, tanpa pikir lagi ia berlari ke arah Siau-lim-si.

Ia tahu di dalam Siau-lim-si itu penuh orang-orang kosen, beberapa padri tua di Tat-mo-ih lebih-lebih bukan main ilmu silatnya, bila dirinya kepergok hingga dikerubut, tentu sukar sekali untuk meloloskan diri. Sebab itulah meski dia berlari secepatnya, namun yang dipilih selalu jalan kecil yang sepi dan lebih jauh.

Sesudah lebih satu jam, akhirnya tibalah dia di belakang Siau-lim-si. Tatkala itu hari sudah remang-remang, ia merasa girang dan khawatir. Girangnya karena hari sudah gelap dan menguntungkan baginya untuk

bersembunyi. Khawatirnya kalau-kalau musuh juga menggunakan kesempatan malam gelap itu untuk menyergap, tentu susah mengetahui jejak musuh.

Selama beberapa tahun akhir ini Kiau Hong malang melintang di dunia Kangouw dan jarang ketemu tandingan, tapi sekali ini bukan saja ilmu silat musuh sangat tinggi, bahkan tipu muslihatnya yang licin itu pun tidak pernah dialaminya.

Meski sekarang ia harus menyerempet bahaya masuk ke Siau-lim-si yang penuh jago kosen itu, tapi mengingat gurunya, Hian-koh Taysu bukan mustahil juga akan mengalami sergapan musuh di luar dugaan, malahan kalau dirinya kepergok menyelundup ke dalam kuil itu tentu susah baginya untuk cuci tangan. Padahal kalau dia mau cari selamat sendiri, ia dapat meninggalkan Siau-lim-si sejauh mungkin. Tapi karena dia khawatirkan keselamatan Hian-koh Taysu, pula ingin mencari kesempatan untuk menangkap pembunuh yang sebenarnya guna membalas sakit hati ayah-bundanya, maka akibat apa yang bakal dihadapinya nanti sudah tak terpikir olehnya.

Meski dia pernah tinggal belasan tahun di pegunungan Siau-sit-san, tapi tidak pernah ia masuk ke Siau-lim-si, maka terhadap keadaan biara yang besar dan banyak ruangan itu, terutama tempat tinggal Hian-koh Taysu, sama sekali tak diketahui olehnya. Ia pikir, "Semoga Insu (guru berbudi) baik-baik saja tak kurang satu pun apa, mungkin beliau akan dapat memberi penjelasan asal-usul diriku serta mengetahui siapa pembunuh yang sebenarnya.”

Namun biara Siau-lim-si yang ruangan dan gedungnya tersebar di lereng gunung itu sangat luas, pula Hian-koh Taysu tidak memegang tugas tertentu di biara itu, ia pun bukan padri angkatan tua Tat-mo-ih, sedangkan padri angkatan yang pakai gelar "Hian” sedikitnya ada 20 orang lebih, dandanannya serupa pula, lantas ke mana ia harus mencarinya di tengah malam gelap?

Ia pikir, "Jalan satu-satunya sekarang aku harus menangkap seorang padri dan paksa dia membawaku pergi menemui Suhu. Sesudah bertemu akan kuminta dia memaafkan tindakanku itu. Tapi kalau menuruti watak padri Siau-lim-si yang mengutamakan setia kawan, bila aku disangkanya akan berbuat tidak baik terhadap Hian-koh Taysu biarpun mati tak nanti ia mau mengatakan tempatnya. Ai, jika begitu, lebih baik aku mencari seorang tukang api atau tukang sapu di bagian dapur saja. Namun orang-orang demikian juga belum tentu tahu tempat tinggal guruku.”

Begitulah ia menjadi serbasusah tapi ia terus menggerayangi ruangan biara itu, setiap kamar dan setiap ruangan diintainya dengan harapan dapat memperoleh sedikit keterangan.

Berkat gerakannya yang gesit, meski tubuhnya tinggi besar, namun ia dapat melompat dan melejit dengan lincah hingga tidak mengeluarkan sesuatu suara dan diketahui orang.

Ia meneruskan penyelidikannya itu, ketika sampai di suatu ruangan samping, tiba-tiba didengarnya di dalam kamar ada suara orang sedang bicara, "Hongtiang ada urusan penting ingin berunding dengan Susiok, maka Susiok diharap datang ke ‘Cin-to-ih’.”

Lalu suara seorang tua menjawab, "Baiklah, segera kudatang ke sana!”

"Hongtiang sedang mengumpulkan kerabat untuk berunding urusan penting, tentu guruku juga akan hadir di sana, biarlah kukuntit di belakang orang ini ke sana, tentu akan dapat kujumpai Suhu,” demikian pikir Kiau Hong.

Maka terdengarlah suara berkeriutnya pintu didorong, keluarlah dua padri dari kamar itu. Padri yang tua menuju ke arah barat, sedangkan yang muda buru-buru menuju ke jurusan lain, mungkin hendak mengundang padri lain lagi.

Kiau Hong menduga padri tua yang diundang hongtiang itu tentu mempunyai kedudukan tinggi dan dengan sendirinya ilmu silatnya sangat tinggi juga. Maka ia tidak berani menguntit terlalu dekat melainkan mengintilnya dari jauh. Ia lihat padri itu menuju ke barat sana hingga sampai di suatu rumah ujung.

Kiau Hong menunggu padri itu masuk ke dalam rumah, lalu ia mengitar ke belakang rumah itu, ia dengarkan dulu keadaan di sekitar situ, setelah yakin tiada orang lain lagi barulah ia mendekam di bawah jendela untuk mendengarkan.

Mengingat kelakuannya sendiri itu, diam-diam Kiau Hong berduka dan menyesal pula, pikirnya, "Aku Kiau Hong selamanya menghadapi segala urusan dengan secara terang-terangan, tapi hari ini terpaksa aku harus main sembunyi-sembunyi. Bila perbuatanku ini dipergoki, lenyaplah nama baikku selama ini dan tiada muka untuk berkecimpung di kalangan Kangouw lagi.”

Namun bila terkenang kepada jasa sang guru waktu mengajar ilmu silat padanya, biarpun hujan badai sekalipun juga tidak pernah absen barang semalam, budi sebesar itu biar hancur lebur tubuhnya juga perlu dibalas, apalagi cuma menderita malu dan ternoda namanya saja?

Dalam pada itu ia dengar ada suara tindakan orang di depan rumah sana, berturut-turut ada empat orang masuk ke situ pula. Tidak lama kemudian, kembali datang lagi dua orang. Dengan demikian, dari bayangan orang yang tertampak dari luar jendela, sudah ada belasan orang yang berkumpul di dalam rumah.

Diam-diam Kiau Hong berpikir pula, "Jika urusan yang mereka rundingkan adalah rahasia Siau-lim-pay, dan kini aku mengintipnya, meski tiada maksud jahat, jelas hal ini pun tidak pantas. Maka lebih baik aku sembunyi

di tempat agak jauh dan jangan mendengarkan rahasia yang hendak mereka rundingkan ini. Jika Suhu memang berada di dalam kamar, dengan berkumpulnya tokoh-tokoh Siau-lim-pay sebanyak ini di sini, betapa pun lihainya musuh juga tidak mampu mengganggu seujung rambutnya. Dan nanti kalau perundingan mereka sudah selesai, setelah padri-padri itu bubar, barulah aku mencari akal untuk menemui Suhu dan melaporkan segala apa yang terjadi.”

Selagi ia hendak menyingkir, tiba-tiba didengarnya suara belasan hwesio di dalam kamar itu serentak membaca kitab. Kiau Hong tidak paham kitab apa yang sedang dibaca mereka itu, tapi suaranya sangat khidmat dan sendu, bahkan suara beberapa orang di antaranya mengandung rasa duka.

Lama sekali padri-padri itu berdoa, lama-kelamaan Kiau Hong merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pikirnya, "Apakah mereka sedang sembahyang? Atau sedang mengadakan sesuatu khotbah? Mungkin Suhu tidak berada di sini.”

Waktu ia dengarkan dengan cermat, benar juga tiada terdengar suara Hian-koh Taysu yang sangat dikenalnya itu.

Seketika ia menjadi bingung apakah mesti menunggu lagi di situ. Tiba-tiba terdengar suara pembacaan kitab di dalam kamar telah berhenti, lalu suara seorang yang kereng sedang bicara, "Hian-koh Sute, apa yang hendak kau katakan pula?”

Mendengar nama gurunya disebut, sungguh girang Kiau Hong tidak kepalang, ternyata orang tua itu pun berada di situ dan dalam keadaan baik-naik tanpa kurang suatu pun apa.

Lalu didengarnya suara gurunya yang dikenalnya sedang menjawab, "Waktu Siaute diberi nama sebagai Hiankoh oleh Siansu (mendiang guru), maksudnya agar Siaute dapat membebaskan diri dari sengsara dan penderitaan. Akan tetapi untuk ini masih diharapkan bantuan para Suheng dan Sute.”

Mendengar suara sang Suhu sangat tenang dan penuh tenaga dalam, nyata selama belasan tahun ini lwekang sang guru semakin hebat, diam-diam Kiau Hong bergirang bagi orang tua itu. Cuma apa yang diucapkan itu adalah kata-kata dalam agama Buddha yang dalam artinya, seketika Kiau Hong tidak paham maksudnya.

Lalu terdengar suara kereng tadi berkata, "Beberapa bulan yang lalu Hian-pi Sute terbinasa di tangan orang jahat, kita sudah menyelidiki si pembunuh dengan sepenuh tenaga, hal ini agak melampaui batas pantangan Buddha yang menghendaki jangan suka marah dan jangan suka murka. Namun membasmi kaum jahat untuk menolong sesamanya adalah menjadi asas utama kaum persilatan kita ....”

Mendengar sampai di sini, Kiau Hong menduga pembicara yang bersuara kereng ini tentulah ketua Siau-lim-si, Hian-cu Taysu.

Ia dengar suara itu sedang melanjutkan, "Setiap gembong iblis yang dapat kita basmi akan besar artinya bagi keselamatan orang banyak. Maka, sudilah Sute memberi tahu, apakah pengganas itu Koh-soh Buyung atau bukan?”

Kiau Hong terkesiap, "Kembali menyangkut nama Koh-soh Buyung-si lagi. Sudah lama kudengar bahwa Hianpi Taysu dari Siau-lim-si telah tewas disergap orang, apakah barangkali mereka pun mencurigai Buyungkongcu yang berbuat?”

Dalam pada itu terdengar Hian-koh Taysu sedang menjawab, "Hongtiang-suheng, Siaute tidak ingin menambah dosa, hingga membikin Suheng, dan para Sute banyak membuang tenaga bagiku. Bila orang itu dapat meninggalkan golok jagalnya, dengan sendirinya masih belum terlambat untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi kalau tetap sesat tak mau sadar, ai, itu pun akan ditanggung sendiri sengsaranya. Tentang bagaimana wujud orang itu, biarlah tak perlu dikatakan saja.”

"Kesadaran Sute memang lebih tinggi, Suhengmu ini terlalu bodoh, jauh tak dapat mengimbangi Sute,” ujar Hian-cu Taysu, ketua Siau-lim-si.

"Kini Siaute ingin duduk tenang sebentar untuk mengenangkan dosa,” ujar Hian-koh.

"Baiklah, harap Sute menjaga diri dengan baik,” sahut Hian-cu. Lalu terdengar pintu dibuka, seorang padri tinggi kurus dan berjubah merah berjalan keluar dengan merangkap tangan sambil berdoa perlahan. Menyusul keluar pula 17 padri yang lain, semuanya juga berkasa merah dan sama menunduk sambil berdoa dengan khidmat.

Sesudah padri-padri itu pergi jauh dan di dalam kamar sunyi senyap, Kiau Hong masih ragu-ragu untuk masuk ke situ mengingat suasana yang khidmat tadi. Tapi tiba-tiba terdengar Hian-koh berkata, "Jauh-jauh tamu agung berkunjung kemari, mengapa tidak sudi masuk saja?”

Sungguh kejut Kiau Hong tidak kepalang. Padahal ia sudah sangat hati-hati, sekalipun bernapas juga tidak berani keras, orang berada satu meter di sebelahnya juga belum tentu mengetahui. Tapi kini gurunya seakanakan orang memiliki telinga sakti, biarpun teraling-aling dinding masih dapat mengetahui kedatangannya. Maka dengan sangat hormat segera Kiau Hong mendekati pintu sambil berkata, "Baik-baikkah Suhu, Tecu Kiau Hong menyampaikan sembah hormat kepada Suhu.”

"Hah, kiranya Hong-ji?” seru Hian-koh. "Saat ini aku justru lagi terkenang padamu dan berharap dapat berjumpa denganmu, marilah lekas masuk.”

Dari suara sang guru yang penuh rasa girang itu, Kiau Hong menjadi terharu, cepat ia lari masuk dan berlutut memberi hormat sambil berkata, "Tecu tidak dapat selalu mendampingi Suhu sehingga membikin Suhu senantiasa terkenang. Kini melihat Suhu dalam keadaan sehat walafiat, sungguh murid merasa sangat girang.”

Habis berkata ia lantas mendongak untuk memandang Hian-koh.

Sebenarnya wajah Hian-koh tersenyum simpul. Tapi di bawah sinar pelita demi dilihatnya muka Kiau Hong itu, mendadak air mukanya berubah hebat, ia berbangkit sambil berkata dengan suara gemetar, "Jadi kau ... kau inilah Kiau Hong, murid ... murid yang kudidik sejak kecil itu?”

Melihat perubahan air muka gurunya yang terkejut, menyesal tercampur rasa kasih sayang itu, seketika Kiau Hong juga melongo heran, sahutnya bingung, "Ya, Suhu, anak inilah Kiau Hong adanya.”

"Bagus, bagus, bagus!” berturut Hian-koh Taysu mengucapkan tiga kali "bagus”, lalu tidak bicara lagi.

Kiau Hong tidak berani tanya pula, dengan tenang ia menunggu apa yang hendak dikatakan sang guru. Siapa duga, tunggu punya tunggu, tetap Hian-koh Taysu tidak buka suara. Waktu Kiau Hong memandang wajah padri itu, ia lihat sikapnya masih tetap seperti tadi, tapi air mukanya tiada sesuatu perasaan.

Kiau Hong terkejut, cepat ia meraba tangan sang guru, ia merasa tangan yang kurus itu sudah dingin, waktu ia memeriksa pernapasan hidungnya, ternyata napasnya sudah berhenti sejak tadi.

Kejadian ini benar-benar membikin Kiau Hong terperanjat tidak kepalang, pikirnya dengan bingung, "Masakah demi lihat diriku lantas Suhu mati ketakutan? Tidak, tidak mungkin! Apa yang menakutkan beliau? Ah, sebelum melihat diriku besar kemungkinan lebih dulu ia sudah terluka parah.”

Akan tetapi ia tidak berani memeriksa tubuh orang tua itu, setelah tenangkan diri, ia ambil keputusan, "Jika aku tinggal pergi begini saja, apakah ini perbuatan seorang laki-laki sejati? Urusan hari ini biarpun betapa bahayanya juga harus kuselidiki hingga jelas duduknya perkara.”

Segera ia keluar dari kamar itu, dengan suara lantang ia berseru, "Hongtiang Taysu, Hian-koh Suhu telah wafat! Hian-koh Suhu wafat!”

Suara Kiau Hong sangat keras, tenaga dalamnya sangat kuat, maka suaranya berkumandang hingga jauh sampai lembah pegunungan mendengung-dengung seakan-akan terguncang. Dan sudah tentu antero penghuni Siau-lim-si mendengar seruannya yang keras tapi mengandung rasa nestapa itu.

Rombongan Hian-cu tadi malahan belum sampai di kamarnya masing-masing, maka demi mendengar suara Kiau Hong itu, serentak mereka berlari kembali ke Cin-to-ih tadi. Maka tertampaklah oleh mereka seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri di depan pintu kamar sambil mengusap air mata dengan lengan baju. Keruan padri-padri Siau-lim-si itu sangat heran.

"Siapakah Sicu?” tanya Hian-cu sambil memberi hormat. Karena khawatirkan keselamatan Hian-koh, maka tanpa menunggu jawaban Kiau Hong terus saja ia mendahului masuk ke dalam kamar. Ia lihat Hian-koh berdiri kaku di situ tanpa roboh. Keruan ia tambah terkejut.

Sementara itu padri yang lain juga sudah ikut masuk, mereka menunduk dan memanjatkan doa. Kiau Hong paling akhir masuk ke dalam, ia berlutut dan diam-diam berdoa, "Suhu, Tecu terlambat membawa berita ke sini hingga engkau akhirnya dicelakai juga oleh musuh. Sakit hati Tecu kepada musuh itu setinggi langit dan sedalam lautan, betapa pun Tecu berjanji akan menuntut balas.”

Selesai membaca kitab, kemudian Hian-cu mengamat-amati Kiau Hong, lalu tanyanya, "Siapakah Sicu? Apakah seruan tadi dilakukan olehmu?”

"Tecu Kiau Hong adanya, waktu Tecu mengetahui Suhu wafat, saking dukanya hingga terpaksa membikin kaget Hongtiang.”

Hian-cu terkejut mendengar nama Kiau Hong, ia menegas, "Jadi Sicu adalah ... adalah bekas Pangcu Kaypang?”

"Benar,” sahut Kiau Hong. Diam-diam ia kagum betapa cepat berita yang diterima Siau-lim-si itu. Dan kalau sudah tahu dirinya adalah "bekas pangcu”, tentu orang tahu juga sebab musabab dia dipecat Kay-pang.

"Mengapa tengah malam buta Sicu menggerayangi biara kami? Dan mengapa dapat menyaksikan wafatnya Hian-koh Sute?” tanya Hian-cu pula.

Seketika Kiau Hong tidak tahu cara bagaimana harus menceritakan perasaannya waktu itu, terpaksa ia jawab, "Hian-koh Taysu adalah guru pengajar Tecu, waktu Tecu mengetahui ....”

Belum lanjut ucapannya, segera Hian-cu memotong, "Apa katamu? Hian-koh Sute adalah gurumu? Jadi Sicu ini anak murid Siau-lim-si? Ini sungguh ... sungguh aneh.”

Perlu diketahui bahwasanya nama Kiau Hong tersohor di seluruh jagat dan terkenal sebagai murid ahli waris Ong-pangcu, ilmu silatnya juga tiada sangkut paut dengan Siau-lim-pay. Tapi kini ia mengaku sendiri sebagai anak murid Siau-lim-pay, sudah tentu Hian-cu Taysu tidak percaya dan hampir-hampir menyemprotnya karena dianggap sembarangan mengoceh.

Tapi Kiau Hong lantas menjawab, "Cerita ini cukup panjang, entah luka apakah yang diderita Insu dan siapa gerangan pengganasnya?”

"Hian-koh Sute disergap orang, dadanya terkena pukulan dahsyat musuh, tulang iganya patah semua, isi perutnya juga hancur,” demikian tutur Hian-cu Hongtiang. "Tapi berkat lwekangnya yang tinggi ia dapat bertahan sampai tadi. Kami telah tanya dia siapakah gerangan musuh itu, namun ia menyatakan tidak kenal dan juga tidak mau menjelaskan bagaimana macam orang itu.”

Baru sekarang Kiau Hong paham perkataan Hian-koh sebelum meninggal tadi. Katanya dengan mengembeng air mata, "Para Taysu mengutamakan welas asih, maka tidak ingin mengikat permusuhan lebih dalam. Sebaliknya Tecu adalah orang biasa, harus berusaha menangkap pengganas itu untuk dicencang guna membalas sakit hati Suhu. Padahal biara kalian terjaga sangat ketat, entah cara bagaimana pembunuh itu mampu menyelundup ke sini?”

Selagi Hian-cu termenung belum menjawab, tiba-tiba seorang hwesio tua pendek di sebelah berkata dengan dingin, "Hm, Sicu sendiri mampu menyusup ke sini tanpa rintangan apa-apa, dengan sendirinya pembunuh itu pun mampu pergi-datang dengan bebas seakan-akan mendatangi tempat yang tiada manusianya.”

Kiau Hong membungkuk minta maaf, sahutnya, "Tecu terpaksa oleh keadaan hingga tidak sempat permisi dulu di luar, atas kelancanganku ini mohon para Taysu suka memberi maaf. Hubungan Tecu dengan Siau-lim-pay sangat erat, sekali-kali tidak berani memandang rendah dan menghina.”

Dengan kata-katanya yang terakhir itu ia hendak memberi penjelasan bahwasanya bila Siau-lim-pay dibikin malu, hal itu pun berarti dia ikut malu.

Pada saat itulah, tiba-tiba seorang hwesio cilik membawakan semangkuk obat yang masih mengepul dan masuk ke situ dengan tergesa-gesa, ia berkata kepada jenazah Hian-koh yang disangkanya hidup itu, "Suhu, silakan minum obat.”

Kiranya hwesio cilik ini adalah pelayan Hian-koh yang tadi disuruh pergi menyeduh obat luka Siau-lim-si, yaitu "Kiu-coan-kim-kong-theng”, maka tentang kematian Hian-koh belum lagi diketahuinya.

Saking pilunya Kiau Hong lantas berkata padanya dengan suara terguguk, "Suhu ... Suhu sudah ....”

Hwesio cilik itu berpaling ke arahnya dan mendadak menjerit kaget, "Hai, kiranya kau ... kau kembali lagi ke sini!”

Maka terdengarlah suara jatuhnya mangkuk hingga pecah berantakan, air obat muncrat ke mana-mana, hwesio cilik itu pun melompat mundur dengan ketakutan sambil berteriak, "Dia ... dia inilah yang menyerang Suhu!”

Karena teriakan hwesio cilik itu, semua orang terkejut. Lebih-lebih Kiau Hong menjadi gugup dibuatnya. "Apa katamu?” serunya keras-keras.

Usia padri kecil itu kira-kira baru 12-13 tahun, ia sangat ketakutan melihat Kiau Hong, ia sembunyi di belakang Hian-cu sambil menarik-narik lengan ketua Siau-lim-si itu dan meratap, "Hongtiang! Hongtiang!”

"Jangan takut, Ceng-siong!” sahut Hian-cu. "Katakanlah yang terang, kau bilang dia yang menyerang suhumu tadi?”

"Ya ... ya!” sahut hwesio cilik yang bernama Ceng-siong itu. "Dengan telapak tangannya ia pukul dada Suhu, Tecu sendiri menyaksikan di luar jendela. Suhu, Suhu, ayolah balas hantam dia, mengapa engkau diam saja?”

Ternyata sampai saat ini ia belum lagi tahu Hian-koh sudah meninggal.

"Ceng-siong, cobalah kau lihat lagi yang jelas, jangan-jangan kau salah mengenali orang?” ujar Hian-cu Hongtiang.

"Tidak, tidak salah lagi!” seru Ceng-siong. "Telah kulihat dengan jelas, beginilah pakaiannya, begini pula mukanya yang lebar dan alisnya yang tebal itu, mulutnya lebar dan telinganya besar, memang tidak salah lagi dia ini. Suhu, ayolah balas serang dia, lekas!”

Saat itu Kiau Hong merasa merinding bulu romanya, tiba-tiba ia sadar, "Ya, tidak salah lagi. Pembunuh itu telah menyaru sebagai diriku untuk memfitnah aku. Tadi waktu Suhu mendengar aku datang, beliau sangat girang. Tapi begitu melihat wajahku, melihat aku serupa penjahat itu, seketika beliau terkesiap dan menyesalkan karena murid didiknya ternyata adalah orang yang telah menyerangnya pula. Ya, maklum, aku sudahi belasan tahun berpisah dengan Suhu, dari anak cilik kini berubah dewasa, dengan sendirinya wajahku sudah banyak berubah daripada masa kanak-kanak dulu.”

Waktu Kiau Hong kenangkan kembali kata "bagus” tiga kali yang diucapkan Hian-koh Taysu sebelum ajalnya itu, sungguh hatinya pedih bagai disayat-sayat. Pikirnya, "Suhu telah kena serangan maut musuh, tapi tak diketahui siapa nama musuh itu. Ketika aku datang dan tahu wajahku serupa dengan penyerang itu, maka beliau sangat menyesal dan berduka hingga tewas. Memang luka Suhu sudah terlalu parah, dalam keadaan payah dengan sendirinya tidak dapat berpikir dengan saksama, jika benar aku yang menyerang dia, mengapa untuk kedua kalinya aku menemuinya lagi?”

Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara berisik orang banyak, serombongan padri tampak berlari datang, setiba di luar mereka lantas berhenti, hanya dua padri di antaranya dengan membungkuk tubuh melangkah masuk dengan hormat. Ternyata mereka adalah kedua hwesio bersenjata tongkat yang mengerubut Kiau Hong di kaki gunung itu.

Segera satu di antaranya menutur, "Lapor Hongtiang ....”

Tapi baru sekian ucapannya, sekilas ia lihat Kiau Hong juga berada di situ, seketika wajahnya menampilkan rasa kaget dan gusar. Ia mendelik dengan termangu-mangu lantaran heran mengapa Kiau Hong tahu-tahu sudah berada di situ.

Dengan kereng Hian-cu bersuara, "Sicu sudah tidak di dalam Kay-pang lagi, tapi apa pun juga kau seorang tokoh Bu-lim yang terkenal. Hari ini sengaja berkunjung ke biara kami dan membinasakan Hian-koh Sute, entah apa maksud tujuanmu, silakan memberi penjelasan.”

Namun Kiau Hong tidak menjawab, mendadak ia menghela napas panjang sekali, lalu menyembah kepada Hian-koh dan meratap, "Suhu, O, Suhu, sebelum engkau mengembuskan napas penghabisan, engkau juga mengatakan Tecu yang mencelakai dirimu dan meninggal dengan menanggung penasaran Meski Tecu sekalikali tidak nanti berani terhadap Suhu, meski karena difitnah musuh sebab musababnya dengan sendirinya berpangkal pada diriku. Umpama Tecu sekarang rela mati untuk membalas budi Suhu, namun sakit hati Suhu selanjutnya menjadi tak terbalas. Adapun Tecu telah membikin rusuh di sini hingga melanggar ketertiban Siaulim-si, untuk ini harap Suhu suka memaafkan.”

Selesai berdoa, sekonyong-konyong ia mengembuskan napas dua kali, dua rangkum angin keras menyambar, seketika dua pelita minyak di dalam kamar tertiup padam hingga keadaan lantas gelap gulita.

Kiranya waktu Kiau Hong berdoa tadi, diam-diam ia sudah mempunyai akal untuk meloloskan diri. Begitu pelita minyak tertiup padam, menyusul tangan kirinya menghantam ke depan dan tepat kena punggung siu-lutceng, padri pengawas yang pernah ditempurnya di kaki gunung itu.

Cuma hantamannya ini melulu menggunakan tenaga luar yang kuat, maka isi perut padri itu tidak sampai terluka melainkan tubuhnya yang besar itu mencelat ke luar pintu.

Dalam keadaan gelap para hwesio Siau-lim-si itu menyangka Kiau Hong hendak melarikan diri. Tanpa pikir lagi mereka serentak mengeluarkan kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) dan mencengkeram tubuh siu-lut-ceng itu.

Padri itu pun mempunyai pikiran yang sama, yaitu tidak ingin menggunakan pukulan berat untuk membinasakan Kiau Hong, tapi ingin menawannya hidup-hidup untuk ditanyai mengapa membunuh Hian-koh Taysu, muslihat keji apa di balik perbuatannya itu.

Para padri itu adalah jago pilihan Siau-lim-si, dengan sendirinya adalah jago silat terkemuka pula dalam Bulim, kim-na-jiu-hoat mereka pun berbeda-beda, semuanya mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Maka kontan siu-lut-ceng itu kena dicengkeram oleh berbagai macam kim-na-jiu-hoat Siau-lim-pay yang lihai seperti Kimliong-jiu (cengkeraman cakar naga), Eng-jiau-jiu (cakar elang), Hou-jian-kang (cakar harimau), dan lain-lain lagi.

Keruan yang paling sial adalah siu-lut-ceng itu, dalam sekejap hiat-to penting antero tubuhnya kena dicengkeram padri-padri lihai itu, seketika tubuhnya terkatung-katung di udara. Pengalaman demikian mungkin sejak dahulu hingga kini belum pernah dialami siapa pun juga.

Oleh karena berada dalam biara sendiri padri-padri itu tiada yang membawa alat ketikan api segala. Tapi kepandaian mereka tinggi, pengalaman mereka banyak, begitu merasa gelagat tidak beres, segera ada orang melompat ke atas rumah untuk berjaga di sana, begitu pula semua jalan keluar di sekitar situ segera dijaga dengan ketat.

Dalam keadaan begitu, jangankan Kiau Hong bertubuh tinggi besar, sekalipun dia berubah menjadi seekor burung juga sukar mengelabui mata telinga penjaga-penjaga itu.

Tidak lama kemudian, si padri cilik Ceng-siong telah memperoleh batu api, ia menyalakan pelita minyak, dan baru kawanan hwesio Siau-lim-si itu mengetahui mereka telah salah tangkap kawan sendiri.

Segera Hian-lan Taysu, kepala Tat-mo-ih, memerintahkan agar setiap padri jaga di tempatnya masing-masing dan tidak boleh sembarangan bergerak. Mereka khawatir jangan-jangan Kiau Hong membawa bala bantuan dan ada rencana pengacauan lain.

Dalam pada itu padri lain yang dipimpin ji-kay-ceng masih terus mencari dan menggeledah di sekitar Cin-to-ih itu, hampir setiap tempat dan setiap pelosok telah diperiksanya, namun tetap tiada menampak suatu bayangan pun.

Setelah sibuk hampir satu jam, mereka sangat heran, sebab Kiau Hong tetap menghilang. Lalu jenazah Hiankoh diusung ke ruang Sik-li-ih untuk dibakar. Sedang siu-lut-ceng diantar ke Yok-ong-tian untuk diberi obat. Para padri Siau-lim-si itu sama lesu dan cemas, mereka merasa sekali ini benar-benar kehilangan muka.

Di antara jago-jago Siau-lim-pay itu, belasan padri agung yang berkumpul di Cin-to-ih itu semuanya sangat tinggi ilmu silatnya, nama setiap orang tersohor dan disegani di dunia Kangouw. Tapi kini Kiau Hong mampu pergi-datang dengan bebas, jangankan menangkapnya, cara bagaimana Kiau Hong lolos pun mereka tidak tahu.

Lantas lolos ke mana atau sembunyi di manakah Kiau Hong?

Kalau dijelaskan sebenarnya tidaklah mengherankan dan juga tidak aneh. Kiranya Kiau Hong sudah menduga para padri itu akan menguber dan mencarinya keluar. Terhadap tempat yang baru saja dibuat berkumpul itu sebaliknya takkan diperhatikan.

Sebab itulah begitu ia hantam siu-lut-ceng, segera ia mengkeret mundur malah dan diam-diam ia menyusup ke kolong tempat tidur Hian-koh Taysu.

Dengan sepuluh jarinya ia cengkeram papan ranjang, tubuhnya menempel rapat di bawah kolong. Meski tadi ada juga salah seorang memeriksa sekadarnya ke bawah ranjang, tapi cuma sekilas saja dan tidak menemukannya. Apalagi sesudah jenazah Hian-koh Taysu dipindah dan para padri petugas merapatkan pintu kamar itu, keadaan menjadi sepi dan lebih-lebih tiada yang menduga Kiau Hong masih bersembunyi di situ.

Tapi Kiau Hong belum berani sembarangan bergerak, ia dengar para padri itu masih sibuk mencarinya, setelah tengah malam, barulah keadaan mereda. Pikirnya, "Jika menunggu sampai pagi tentu lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Agaknya sekarang inilah kesempatan paling baik untuk angkat kaki.”

Maka diam-diam ia menerobos keluar dari kolong ranjang, perlahan ia membuka pintu dan menyelinap ke belakang sebatang pohon besar.

Cin-to-ih adalah ruang ujung barat Siau-lim-si, asal dia berlari ke barat lebih jauh, tentu akan mencapai lereng gunung.

Namun Kiau Hong memang seorang kesatria lihai, biarpun lahirnya tampak kasar, namun pikirannya sangat cerdik. Ia pikir suasana Siau-lim-si sementara ini meski sudah sepi, tapi padri Siau-lim-si bukanlah sembarangan orang, mana mereka sudahi kejadian itu mengendurkan penjagaan? Ia menghilang di barat biara itu, para padri tentu akan menjaga keras jalan di sebelah barat yang menjurus ke lereng Siau-sit-san.

Sebenarnya kalau Kiau Hong mau, asal dia sudah keluar dari Siau-lim-si, setelah kekuatan para padri terpencar, tentu susah untuk merintanginya, apalagi hendak menangkapnya. Tapi ia tidak ingin bertempur dengan padri Siau-lim-si, ia berharap kelak dapat menangkap pembunuh yang sebenarnya untuk dibawa ke Siau-lim-si agar duduk perkasa yang sebenarnya dapat diketahui oleh padri-padri itu.

Memangnya ia pun tidak ingin melawan padri Siau-lim-si itu, semakin banyak bergebrak dengan padri semakin banyak pula musuhnya. Apalagi kalau dirinya kalah, celaka, dan runyamlah segala urusan.

Sebab itulah sesudah berpikir sejenak, ia taksir jalan paling selamat harus menyusup ke tengah biara dan meninggalkan Siau-lim-si dari jurusan yang berlawanan, yaitu sebelah timur.

Segera ia merunduk maju ke bawah aling-aling pohon dan tetumbuhan lain. Ia menyeberangi empat ruang rumah, ketika ia sembunyi di balik pohon beringin lagi, tiba-tiba dilihatnya di belakang pohon di depan sana juga bersembunyi dua orang padri.

Kedua padri itu tidak bergerak sedikit pun, dalam keadaan gelap sebenarnya sangat sukar diketahui. Tapi mata Kiau Hong sangat tajam, sekilas saja ia sudah melihat kemilau senjata yang dipegang salah seorang padri itu. Pikirnya, "Wah, hampir saja aku kepergok!”

Dengan tenang ia menunggu di balik pohon itu. Tapi kedua padri itu pun tetap tidak pergi. Cara berjaga secara sembunyi ini benar-benar sangat lihai, asal dirinya sedikit bergerak saja pasti akan segera diketahui, sebaliknya ia juga tidak dapat berdiam terlalu lama situ tanpa berusaha meloloskan diri.

Setelah pikir sebentar, segera Kiau Hong menjemput sepotong batu kecil, ia selentik batu kecil itu dengan kuat.

Cara selentikannya itu sangat bagus, mula-mula lambat, kemudian cepat. Waktu batu mulai melayang ke depan tiada terdengar sesuatu suara, tapi sesudah jauh mendadak timbul suara mendenging yang keras dari angin

sambaran batu itu. "Plok” batu itu akhirnya menimpuk pada batang pohon.

Dengan sendirinya kedua padri tadi terkejut. Perlahan mereka mendekati pohon itu, menunggu sesudah kedua padri itu melalui tempat sembunyinya, segera Kiau Hong melayang ke depan dan melompat ke dalam ruangan di samping.

Di bawah sinar bulan dapat dilihatnya dengan jelas papan ruangan itu tertulis tiga huruf "Po-te-ih”.

Ia tahu bila kedua padri tadi tidak menemukan apa-apa tentu akan segera kembali, maka cepat Kiau Hong berlari ke ruangan belakang.

Sesudah menyusur ruangan depan Po-te-ih itu, akhirnya ia sampai di ruang belakang. Sekilas mendadak terlihat sesosok bayangan orang laki-laki tinggi besar berkelebat lewat di belakangnya dengan kecepatan luar biasa, begitu cepat gerak bayangan itu sungguh tidak pernah dilihatnya.

"Betapa cepat orang itu, siapakah dia?!” demikian Kiau Hong terkejut. Sambil siap siaga cepat ia menoleh. Tapi ia lantas tertawa sendiri ketika dilihatnya yang berhadapan dengan dirinya juga seorang laki-laki tegap dan mengambil sikap siap siaga dengan penuh waspada.

Kiranya di ruang belakang, di depan arca Buddha terdapat sebaris pintu angin dan pintu angin itu terpasang sebuah cermin perunggu yang sangat besar dan bundar cermin itu tergosok sedemikian bersih dan mengilap hingga bayangan tertampak jelas dalam cermin itu.

Di atas cermin perunggu itu terpasang sebuah pigura yang bertuliskan kata-kata mutiara sang Buddha:

Badan kuat seperti pohon bodhi

hati bersih laksana cermin

setiap saat rajinlah mengurusnya

jangan ternoda karena debu

Selagi Kiau Hong hendak melanjutkan, sekonyong-konyong hatinya seperti terpukul oleh sesuatu apa. Seketika ia tertegun, dalam sekejap itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu yang mahaaneh dan penting. Tapi mengenai urusan apa, ia pun tak dapat memberi penjelasan.

Ia termangu sejenak di tempatnya. Tanpa terasa ia menoleh ke arah cermin perunggu lagi, melihat bayangan sendiri, mendadak ia sadar, "He, baru saja aku telah melihat bayanganku sendiri, di manakah itu? Aku tidak pernah melihat cermin sebesar ini, mengapa bisa melihat bayanganku sendiri dengan begitu jelas?”

Selagi Kiau Hong termenung, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan beberapa orang sedang mendatang.

Karena tiada tempat sembunyi lain, Kiau Hong melihat di ruangan itu terdapat tiga arca Buddha besar, tanpa pikir lagi ia melompat ke altar dan bersembunyi di belakang arca Buddha ketiga.

Dari suara tindakan orang-orang itu dapat diketahui seluruhnya ada enam orang, sesudah masuk ke ruangan pendopo situ, masing-masing lantas duduk di atas tikar.

Dari belakang arca Kiau Hong coba mengintip keluar, ia lihat keenam orang itu semuanya adalah padri setengah umur, terdengar yang sebelah kiri sedang berkata, "Suhu memberi perintah agar memeriksa dan mengawasi kitab-kitab di ruang Po-te-ih ini untuk menjaga kalau-kalau dicuri musuh.”

Habis padri itu berkata, kawan-kawannya yang lain tiada yang bersuara, semuanya diam saja. Kiau Hong pikir kalau saat itu mau melarikan diri, mungkin tidaklah terlalu susah. Tapi tiba-tiba ia ingin tahu penjagaan kitab apa yang hendak dilakukan padri-padri itu, ia pikir biarlah aku menunggu lagi sebentar.

Maka terdengar padri yang sebelah kanan sedang berkata, "Suheng, di ruang Po-te-ih kosong melompong tiada sesuatu benda apa pun, masakah ada kitab pusaka segala? Apa yang Suhu suruh kita jaga di sini?

"Itu mengenai urusan Po-te-ih ini, tidak perlu banyak bicara,” sahut padri yang sebelah kiri tadi dengan tersenyum.

"Ah, kukira engkau sendiri pun tidak tahu,” ujar padri sebelah kanan.

Karena kata-kata pancingan itu, si padri sebelah kiri lantas berseru, "Mengapa aku tidak tahu? ‘Sin-ju-hud-tim’ ....”

Hanya kalimat itu saja yang dia ucapkan, mendadak ia sadar dan cepat bungkam.

"Apa maksudnya Sin-ju-hud-tim?” si padri sebelah kanan ingin tahu.

"Ti-jing Sute,” mendadak padri kedua yang duduk sebelah kiri menyela, "biasanya engkau tidak suka ceriwis, mengapa hari ini terus-menerus bertanya saja? Jika kau ingin tahu rahasia Po-te-ih ini, silakan kau tanya kepada gurumu sendiri saja.”

Maka padri yang bernama Ti-jing itu tidak tanya pula. Selang agak lama, tiba-tiba ia berkata, "Aku akan ke kamar kecil.”

Lalu ia berbangkit menuju ke pintu samping sebelah kiri.

Tapi baru saja ia mengitar ke belakang, mendadak kakinya menendang punggung padri kedua dari kanan yaitu yang duduk tepat di sisinya tadi. Tendangan itu tepat mengenai "koan-ki-hiat” di tulang punggung. Padri itu sedang duduk bersila di atas tikarnya, dengan sendirinya ia tidak menyangka akan diserang oleh kawan sendiri. Maka tanpa ampun lagi ia roboh perlahan ke samping.

Oleh karena tendangan Ti-jing itu dilakukan dengan sangat cepat, pula tanpa suara. Setelah merobohkan padri itu, menyusul padri di sisinya lagi juga didepak dengan cara yang sama, habis itu padri ketiga. Hanya dalam sekejap saja tiga padri sudah dirobohkan.

Dengan jelas Kiau Hong dapat mengikuti kejadian itu di tempat sembunyinya. Ia menjadi terheran-heran mengapa padri Siau-lim-si itu bertarung antara kawan sendiri? Ia lihat Ti-jing sedang menendang padri yang kedua dihitung dari sisi kanan. Dan baru ujung kaki kena sasarannya sementara itu ketiga padri yang ditendang jalan darahnya itu pun menggeletak, kepala membentur lantai hingga mengeluarkan suara.

Jilid 30
Mendengar suara itu, padri di ujung kiri tadi terkejut, cepat ia membuka mata sambil melompat bangun, sekilas ia lihat kawan yang duduk di sebelahnya juga sudah ditendang roboh oleh Ti-jing. Keruan ia terperanjat dan berteriak, "Hai, Ti-jing, apa yang kau lakukan?”

"Lihatlah, siapa yang datang itu?” tiba-tiba Ti-jing menuding keluar. Selagi padri kawannya itu menoleh, tanpa ayal lagi kaki Ti-jing bekerja pula ke punggung orang.

Tendangan itu sangat cepat dan seharusnya tepat pula mengenai sasarannya. Tapi tempat mereka itu tepat menghadapi cermin perunggu yang besar itu hingga apa yang terjadi dapat dilihat yang bersangkutan dengan jelas. Segera padri pertama tadi berkelit sambil balas menghantam sekali.

"Ti-jing, apa kau sudah gila?” bentaknya gusar.

Tapi Ti-jing tidak memberi kesempatan pada lawannya, ia menyerang secara bertubi-tubi. Sampai jurus kedelapan, perut padri itu kena dihantamnya sekali, menyusul kena didepak sekali lagi.

Kiau Hong bertambah heran menyaksikan itu. Cara Ti-jing menyerang itu adalah jurus silat yang ganas tanpa kenal ampun yang tidak layak digunakan terhadap sesama saudara perguruan sendiri.

Rupanya padri pertama tadi juga tahu gelagat tidak beres, segera ia berteriak-teriak, "Ada mata-mata musuh, ada….”

Tapi sebelum ia berseru lebih lanjut, dadanya sudah kena digenjot sekali lagi oleh Ti-jing, kontan padri itu jatuh pingsan.

Setelah merobohkan kelima padri itu, cepat Ti-jing berlari ke depan cermin perunggu besar itu. Dengan jari telunjuk kanan segera ia pencet beberapa kali pada huruf "sin”, yaitu huruf pertama dari 20 huruf kata-kata Buddha yang terpancang di samping cermin itu.

Dari bayangan cermin Kiau Hong dapat melihat wajah Ti-jing menampilkan rasa girang. Menyusul dilihatnya hwesio itu memijat lagi huruf ketujuh, yaitu huruf "ju”.

"Tadi hwesio itu mengatakan ’sin-ju-hud-tim’ apa segala, jika demikian, menyusul huruf yang akan dipijat Tijing tentu adalah ‘hud’ dan ‘tim’,” demikian Kiau Hong membatin.

Dan memang benar, habis itu Ti-jing berturut-turut telah pencet huruf tersebut. Lalu terdengar suara keriangkeriut, perlahan cermin perunggu itu dapat membalik sendiri.

Dalam saat begitu kalau Kiau Hong melarikan diri boleh dikatakan sangat mudah dan pasti takkan diketahui oleh siapa pun juga. Tapi karena ia tertarik oleh kejadian ini, ia ingin tahu apa sebenarnya maksud tujuan Tijing, mengapa hwesio itu merobohkan kawan sendiri dan barang apa pula yang terdapat di balik cermin itu. Bisa jadi apa yang akan dilihatnya ada sangkut pautnya dengan kematian Hian-koh Taysu.

Begitulah karena suara teriakan si padri pertama tadi, maka dari jauh hwesio-hwesio yang sedang ronda segera ribut mencari dari mana tempat datangnya suara teriakan itu. Segera terdengar di sana-sini ramai dengan suara orang berlari.

"Jika hwesio yang ronda itu datang kemari, jangan-jangan jejakku akan ketahuan nanti?” diam-diam Kiau Hong menjadi ragu.

Tapi demi teringat kedatangan hwesio-hwesio itu nanti perhatiannya tentu akan terpusat pada Ti-jing seorang, kesempatan untuk dirinya lolos masih sangat besar, biarlah sementara ini aku tunggu dulu.

Dalam pada itu ia lihat Ti-jing sedang sibuk sendirian, tangan hwesio itu lagi merogoh ke belakang cermin perunggu itu seperti sedang mencari sesuatu, tapi tiada sesuatu yang diperolehnya.

Dan pada saat itulah suara tindakan orang banyak terdengar mendekati pintu Po-te-ih itu.

Wajah Ti-jing tampak mengunjuk rasa kecewa, segera ia bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, ia mendak dan melongok ke balik cermin, menyusul terdengar ia berseru tertahan, "Hah, ini dia!”

Habis itu, tangannya merogoh ke belakang cermin dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Cepat ia masukkan bungkusan itu ke dalam baju, lalu bermaksud melarikan diri. Namun sudah terlambat sedikit, para padri yang ronda sudah berkerumun tiba, segala jalan keluar sudah ditutup.

Ti-jing tampak bingung dan celingukan kian-kemari. Mendadak berlari ke pintu depan.

"Cara demikian ia keluar ke sana, tidak bisa tidak pasti dia akan tertangkap,” demikian Kiau Hong membatin.

Dan pada saat itu juga sekonyong-konyong terasa sambaran angin, ada orang menubruk ke tempat sembunyinya. Dengan ilmu "Thing-hong-pian-gi” atau mendengarkan angin membedakan benda, tanpa berpaling tangan kirinya terus menangkap hingga tepat urat nadi pergelangan penyergap itu kena dicengkeramnya. Menyusul tangan kanan menahan ke atas, tepat "leng-tay-hiat” di punggung orang itu kena disodok, tanpa ampun lagi orang itu kaku linu serta tak dapat berkutik.

Setelah musuh tertangkap, barulah Kiau Hong hendak memeriksa wajah orang. Saat itu di ruangan situ cuma terpasang beberapa pelita minyak, sinarnya agak guram, namun begitu dengan sinar mata Kiau Hong yang tajam dapat dikenali tawanan itu tak-lain-tak-bukan adalah… Ti-jing.

Untuk sejenak Kiau Hong melengak, tapi ia pun paham duduknya perkara, "Ya, tahulah aku. Seperti aku, orang ini juga bermaksud bersembunyi ke belakang arca Buddha ini. Kebetulan ia pun menjatuhkan pilihan pada arca ketiga yang terbangun lebih besar dan gemuk ini. Tapi mengapa ia berlari ke pintu depan dulu, lalu masuk kembali dari pintu belakang secara diam-diam? Ehm, tentu ini adalah akalnya. Ia tahu di dalam ruangan masih menggeletak lima padri, sebentar kalau ada orang datang dan tanya mereka, tentu mereka akan mengatakan Tijing telah lari melalui pintu depan, dengan demikian ruangan Po-te-ih tentu takkan digeledah lagi. Ai, orang ini benar-benar licin dan banyak tipu akalnya.”

Sembari berpikir, Kiau Hong tetap pegang Ti-jing dengan kencang. Ia coba tempelkan mulutnya ke telinga padri itu dan membisikinya, "Jika kau berani bersuara, sekali hantam tentu kumampuskan kau!”

Ti-jing tidak bersuara, ia hanya mengangguk saja.

Dan pada saat itulah dari pintu depan telah menerobos masuk 7-8 orang hwesio. Tiga di antaranya membawa obor pula hingga seluruh ruangan pendopo itu menjadi terang benderang.

Melihat ada lima orang kawanan mereka menggeletak di situ, seketika gemparlah kawanan hwesio itu, segera ada yang berteriak, "Hai, kembali bangsat Kiau Hong itu mengganas lagi!” - "Eh, kiranya Ti-kong, Ti-yan Suheng dan lain-lain!” - "Wah, celaka! Kenapa cermin perunggu ini terjungkat? Kiau Hong telah mencuri kitab di dalam Po-te-ih ini!” - "Hayo, lekas lapor kepada Hongtiang!”

Begitulah Kiau Hong mendengar suara ribut-ribut kawanan padri Siau-lim-si itu, ia hanya dapat tersenyum getir saja dan membatin, "Kembali dosa ini dicatat atas utangku lagi.”

Sebentar kemudian, hwesio-hwesio yang berkerumun di Po-te-ih bertambah banyak. Kiau Hong merasa Ti-jing meronta-ronta beberapa kali, mungkin bermaksud melarikan diri. Segera ia paham maksud orang, "Ya, saat ini para hwesio berkumpul di sini, penjagaan di luar tentu agak kendur, pula Ti-kong, Ti-yan, dan lain-lain belum sadar, kesempatan ini memang sangat baik untuk melarikan diri bagi Ti-jing ini, biarpun dia berjalan terangterangan di dalam ruangan ini juga tiada orang mencurigai dia, sebab setiap orang telah menyangka akulah pengganasnya.”

Segera pikirannya tergerak pula, "Tampaknya Ti-jing ini juga tidak cukup cerdik, mengapa tadi ia bersembunyi ke sini? Kalau dia berjalan keluar ke sana, masakah ada orang akan menegurnya?”

Dalam pada itu suasana mendadak menjadi sepi, tiada seorang pun yang berani membuka suara. Kiranya Hiancu Hongtiang dan hwesio-hwesio pimpinan dari berbagai ruangan telah datang semua.

Lebih dulu Hian-cit Taysu, kepala ruang Liong-si-ih, membuka jalan darah Ti-kong berlima untuk menyadarkan mereka, lalu ditanya, "Apakah kalian dirobohkan Kiau Hong? Dari mana dia mendapat tahu rahasia di dalam cermin perunggu ini?”

"Bukan Kiau Hong, tapi adalah… adalah….” demikian sahut Ti-kong, dan belum lagi menyebut nama Ti-jing, sekonyong-konyong ia menubruk ke arah seorang padri di samping Hian-cu Hongtiang, ia jambret dada padri itu sambil mendamprat, "Bagus, bagus! Mengapa kau mendadak membokong kami?”

Sebenarnya Kiau Hong ingin sekali mengintip siapakah gerangan yang dituduh Ti-kong itu, tapi ia pun khawatir kalau-kalau dipergoki hwesio-hwesio yang banyak berkumpul di situ, maka ia tidak berani sembarangan melongok ke luar.

Maka terdengarlah seorang berseru dengan terkejut, "Apa? Ti-kong Suheng, ada apa engkau menarik diriku?”

"Engkau telah menendang roboh kami berlima dan mencuri kitab pusaka, sungguh besar sekali nyalimu!” seru Ti-kong pula. "Lapor Hongtiang, pengkhianat Ti-jing inilah yang menyerang kami dan membuka cermin rahasia itu serta mencuri kitab pusaka.”

"Apa? Ap… apa?” teriak yang didakwa itu dengan kaget. "Sejak tadi aku selalu mendampingi Hongtiang, cara bagaimana aku dapat datang ke sini untuk mencuri kitab segala?”

"Tutup dulu cermin perunggu itu, tentang kejadian tadi, coba ceritakan dengan jelas,” sela Hian-cit tiba-tiba

dengan kereng.

Segera Ti-yan membenarkan cermin perunggu itu ke tempatnya semula. Dengan demikian, keadaan di ruangan itu kembali dapat dilihat oleh Kiau Hong melalui cermin itu. Ia lihat seorang hwesio sedang mencak-mencak dengan penasaran oleh karena tanpa berdosa telah dituduh menyerang kawan sendiri.

Waktu Kiau Hong memerhatikan mukanya, ia menjadi terkejut. Kiranya hwesio itu tak-lain-tak-bukan memang Ti-jing adanya.

Dalam herannya, dengan sendirinya Kiau Hong memandang juga kepada Ti-jing yang tertawan olehnya itu. Ia lihat air muka kedua orang itu memang mirip benar, kalau diperhatikan mungkin ada sedikit berlainan, tapi kalau dipandang sepintas lalu, tidak mungkin orang dapat membedakan mereka.

Diam-diam Kiau Hong berpikir, "Di dunia ini, sedikit sekali orang yang berwajah semirip begini satu sama lain. Ya, ya, tentu mereka adalah saudara kembar. Tipu mereka ini sangat bagus, yang satu menjadi hwesio di Siau-lim-si, yang lain menunggu di luar, begitu ada kesempatan bagus, segera yang satu itu pun menyamar sebagai hwesio untuk mencuri kitab ke dalam biara. Sedangkan Ti-jing itu selalu berdampingan dengan Hongtiang, sudah tentu tiada orang yang berani mencurigai dia.”

Dalam pada itu terdengar Ti-kong sedang menguraikan apa yang terjadi tadi, ia ceritakan tentang bagaimana Ti-jing memancing rahasia cermin perunggu itu serta tanpa sadar dia telah mengatakan empat huruf kunci rahasia itu, lalu Ti-jing pura-pura hendak pergi ke kamar kecil dan mendadak membokong mereka dari belakang serta saling gebrak dengan dia, tapi akhirnya ia sendiri dirobohkan. Semuanya ia tuturkan dengan jelas.

Pada waktu Ti-kong melaporkan apa yang terjadi itu, Ti-yan berempat juga tiada hentinya membenarkan apa yang dikatakan kawannya itu untuk memberi kesaksian bahwa cerita itu bukanlah karangan.

Sebaliknya Hian-cu Hongtiang yang menerima laporan itu, wajahnya tampak mengunjuk rasa tidak membenarkan. Ia tunggu sehabis Ti-kong menutur, kemudian barulah ia menanya dengan perlahan, "Apa yang kau ceritakan itu, apakah engkau sudah melihatnya dengan jelas? Benar-benar engkau yakin adalah perbuatan Ti-jing?”

"Lapor Hongtiang, apa yang terjadi itu telah kami lihat dengan jelas,” sahut Ti-kong dan Ti-yan beramai-ramai. "Selamanya kami tiada dendam apa-apa dengan Ti-jing, mengapa kami mesti mengarang cerita yang tak benar untuk memfitnahnya?”

"Ai, urusan ini tentu ada apa-apa yang tidak beres. Sebab selama dua jam ini, Ti-jing selalu berada di sampingku, sejengkal pun ia tidak pernah meninggalkan aku,” ujar Hian-cu kemudian dengan menghela napas.

Ucapan sang hongtiang ini benar-benar membikin semua padri yang hadir di situ tercengang, mereka saling pandang dengan bungkam. Begitu pula Ti-kong dan lain-lain juga tidak berani membuka suara lagi. Maklum, apa yang dikatakan sang ketua ini masakah mungkin omong kosong?

"Ya, memang aku pun menyaksikan sendiri selama itu Ti-jing selalu berada di samping Hongtiang Suheng, masakah ia dapat datang ke Po-te-ih sini untuk mencuri kitab?” demikian kata Hian-lan, salah satu tokoh tertinggi dari anak murid Siau-lim-si angkatan "Hian”, yaitu setingkat dengan Hian-cu.

"Ti-kong,” Hian-cit ikut bertanya, "waktu Ti-jing itu bergebrak dengan kau, apakah di antara permainan silatnya itu ada sesuatu yang mencurigakan?”

"Ai, memang benar! Mengapa aku melupakan hal itu?” seru Ti-kong. "Tadi waktu aku bergebrak dengan dia, terang sekali tipu-tipu serangan yang dia gunakan itu bukanlah ilmu silat dari golongan kita.”

"Habis, ilmu silat dari golongan atau aliran mana? Dapatkah engkau melihatnya?” Hian-cit menegas.

Tapi Ti-kong tampak bingung, ia tidak mampu menjawab.

"Apakah dia menggunakan pukulan Tiang-kun? Atau kim-na-jiu? Te-tong-kun? Liok-hap-kun atau Theng-pikun?” demikian Hian-cit menanya pula dengan serentetan nama ilmu silat dari golongan lain.

Tapi Ti-kong menggeleng, sahutnya, "Bu…. bukan. Ilmu silatnya itu sangat keji, beberapa kali Tecu tanpa sadar kena serangannya.”

Maka Hian-cit, Hian-lan dan beberapa padri agung lainnya tidak tanya lebih jauh, mereka saling memberi isyarat mata dengan Hongtiang. Mereka tahu hari ini biara mereka telah kedatangan seorang musuh yang berkepandaian sangat tinggi dan telah mempermainkan mereka dengan akal-akal licik. Jalan satu-satunya sekarang adalah melakukan penggeledahan dan penggerebekan secara serentak di samping harus berlaku tenang, supaya suasana dalam biara tidak menjadi kacau.

Kemudian berkatalah Hian-cu sambil merangkap tangan, "Kitab yang tersimpan dalam Po-te-ih ini adalah buah tangan padri saleh angkatan tua biara kita, jika kitab-kitab itu diperoleh anak murid Buddha, kalau dapat

membaca dan memperdalam ajaran dalam kitab itu, dengan sendirinya besar manfaatnya. Tapi kalau orang luar yang memperolehnya tanpa memberi penghargaan sebagaimana mestinya, itu berarti suatu dosa. Para Sute dan para Sutit, sekarang silakan kembali ke tempatnya masing-masing.”

Mendengar perintah sang ketua itu, para padri lantas bubar dan pergi. Hanya Ti-kong, Ti-yan dan lain-lain masih penasaran dan masih mengomeli Ti-jing. Tapi ketika Hian-cit mendelik, Ti-kong dan lain-lain terkejut, seketika mereka bungkam dan cepat pergi bersama Ti-jing.

Sesudah padri lain pergi semua, kini di ruangan situ hanya tertinggal Hian-cu, Hian-lan dan Hian-cit bertiga. Ketiga saudara seperguruan itu duduk di atas tikar di depan arca Buddha. Mendadak Hian-cu berseru, "Omitohud! Dosa, dosa!”

Begitu selesai ucapannya, sekonyong-konyong ketiga padri itu melompat ke atas, tahu-tahu mereka mengitar ke belakang arca Buddha dan berbareng menghantam ke arah Kiau Hong dari tiga jurusan yang berlainan.

Sungguh Kiau Hong sana sekali tidak menduga bahwa jejaknya telah diketahui oleh ketiga padri itu. Lebihlebih tidak menyangka bahwa ketiga padri yang tampaknya sudah tua dan reyot itu, tahu-tahu lantas menyerang, serangannya juga begitu cepat dan lihai.

Dalam sekejap itu Kiau Hong merata napasnya sesak, dada tertekan tiga arus tenaga yang mahadahsyat. Nyata serangan berbareng ketiga hwesio Siau-lim-si itu bukan main hebatnya. Ia merasa tenaga serangan lawan sudah mengurungnya dari atas, bawah, belakang dan kanan-kiri, lima jurusan sudah tertutup oleh tenaga pukulan ketiga padri, kalau mesti melawannya, itu berarti harus keras lawan, kalau lawan tidak roboh, dirinya sendiri yang pasti celaka.

Namun keadaan sudah tidak memungkinkan dia berpikir lagi, terpaksa ia hantamkan telapak tangan ke depan, "prak, bruk”, arca Buddha yang dipakai aling-aling tadi kena dihantam hingga roboh.

Kiau Hong tidak berani ayal, sekalian ia jinjing tubuh "Ti-jing” terus melompat ke depan sana. Pada saat itu pula ia merasa punggung disambar oleh tenaga pukulan yang dahsyat, terang orang telah menyerangnya dengan Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) yang merupakan kungfu khas Siau-lim-pay. Bila terkena pukulan itu, bukan mustahil badan akan hancur dan perut akan lebur.

Tapi sedapat mungkin Kiau Hong tidak mau mengadu pukulan dengan padri Siau-lim-si. Dalam keadaan melayang ke depan, cepat tangan terjulur untuk memegang cermin perunggu yang sangat besar itu.

Begitu hebat tenaga sakti Kiau Hong, sekali pegang, kontan cermin perunggu itu kena diangkatnya, dan sekali

ia putar, bagaikan perisai saja cermin perunggu itu dipakainya untuk menahan ke belakang.

Maka terdengarlah "brang” yang sangat keras, pukulan dahsyat yang dilontarkan oleh Hian-lan tepat kena di atas cermin perunggu, begitu hebat tenaga hantaman itu hingga lengan Kiau Hong seakan-akan patah oleh getaran tenaga itu. Tapi dengan meminjam getaran tenaga pukulan Hian-lan itu, berbareng Kiau Hong dapat melompat beberapa meter lebih jauh ke depan.

Tiba-tiba ia dengar di belakang ada suara orang menarik napas panjang. Suara pernapasan itu jauh berbeda daripada orang biasa. Dari pengalamannya yang luas serta pengetahuannya yang tinggi, segera Kiau Hong tahu pernapasan aneh itu dilakukan oleh seorang jago Siau-lim-pay yang sakti dan segera akan melancarkan serangan sebangsa "Bik-khong-sin-kun” (pukulan sakti dari jauh).

Meski dirinya tidak gentar terhadap pukulan apa pun, tapi juga tiada berguna melawannya keras sama keras. Maka cepat ia menggunakan cermin perunggu sebagai tameng pula, sekaligus tenaganya ia pusatkan di tangan kanan itu.

Dan pada saat yang sama itulah ia merasakan angin pukulan orang sudah menyambar tiba. Tapi aneh, arah yang dituju agak janggal. Kiau Hong terkesiap, tapi segera ia pun sadar apa yang terjadi. Pukulan padri itu bukan ditujukan ke punggungnya, tapi yang diincar adalah punggung "Ti-jing” yang dibawanya itu.

Sebenarnya Kiau Hong tidak kenal "Ti-jing”, dengan sendirinya bukan tujuannya hendak menolong dia. Tapi sekali ia sudah jinjing orang, otomatis timbul rasa kewajibannya untuk melindunginya. Tanpa pikir lagi ia sorong cermin perunggu ke depan. "Brak”, suara cermin itu tidak nyaring lagi, tapi suaranya berubah parau, cermin itu dihantam hancur oleh padri tua itu.

Tadi waktu ia putar cermin ke belakang untuk menahan serangan, berbareng Kiau Hong terus melompat ke atas rumah sambil menjinjing Ti-jing. Ia merasa tubuh Ti-jing itu sangat enteng, sama sekali tidak sepadan dengan perawakannya yang kekar dan tegap itu. Dan selagi dia merasa syukur dapat menyelamatkan diri, ketika terdengar suara cermin pecah, tahu-tahu berdirinya di atas emper rumah terasa kurang kuat, sekali kaki terasa lemas, kembali ia terbanting ke bawah.

Keruan kejutnya bukan buatan. Sejak ia malang melintang di Kangouw, belum pernah ia ketemu lawan setangguh itu. Cepat ia melompat bangun dan berdiri tegak dengan siap siaga, dengan tenang ia menghadap ke punggung tiga lawan itu.

"Omitohud!” demikian kata Hian-cu pula. "Kiau-sicu, sesudah kau datang ke Siau-lim-si tanpa permisi dan membunuh orang, kembali kau rusak arca Buddha pula. Nah, rasakan dulu pukulanku ini.”

Sehabis mengucapkan kata-kata itu dengan kalem, lalu kedua tangannya terpentang dan memutar hingga berwujud sebuah lingkaran, kemudian didorongkan ke depan dengan perlahan. Belum lagi pukulan Hian-cu itu dilontarkan, lebih dulu Kiau Hong sudah merasa napas sesak, dalam sekejap saja tenaga pukulan Hian-cu sudah membanjir tiba bagai gelombang ombak mendampar.

Kiau Hong tidak berani ayal, cepat ia buang cermin perunggu yang sudah bobrok itu sedangkan tangan kanan balas menghantam dengan gerak tipu "Hang-liong-yu-hwe”, yaitu salah satu pukulan sakti "Hang-liong-sippat-ciang”, delapan belas jurus ilmu pukulan penakluk naga, ilmu pukulan mahasakti andalan Kay-pang.

Maka terdengarlah suara mencicit benturan kedua arus tenaga yang tak kelihatan. Meski suara itu sangat lirih, tapi Hian-cu dan Kiau Hong sama-sama terentak mundur tiga tindak.

Sesaat Kiau Hong merasa antero tubuh menjadi lemas seakan-akan tak bertenaga pula, terpaksa ia lepaskan Tijing dari pegangannya. Namun dasar lwekangnya memang sangat tinggi, sekali ia kerahkan tenaga murni pula, cepat sekali tenaga pulih kembali. Belum lagi pukulan kedua dari Hian-cu tiba, segera ia berseru, "Maaf, aku tak dapat mengawani kalian lagi!”

Berbareng ia angkat Ti-jing dan melompat ke atas rumah.

Sayup-sayup Kiau Hong masih mendengar suara heran Hian-lan dan Hian-cit oleh karena melihat ketangkasannya itu.

Maklum, pukulan Hian-cu tadi telah menggunakan segenap tenaga dalam yang terpupuk selama hidupnya ini. Gerak serangan itu disebut "It-bik-liang-san” atau sekali tabok, dua kali buyar. Yang dimaksudkan buyar ialah, bila tubuh manusia terkena pukulan itu, seketika jiwa melayang dan badan hancur lebur.

Ilmu pukulan itu memang melulu terdiri satu jurus itu saja, soalnya karena memakai tenaga dalam yang mahasakti, tatkala menyerang musuh hakikatnya tidak perlu digunakan untuk kedua kalinya, sebab sekali saja musuh pasti akan terbinasa.

Siapa duga, sesudah Kiau Hong menerima pukulan "It-bik-liang-san” itu, bukan saja ia tidak mati, sebaliknya dalam waktu singkat sudah dapat memulihkan tenaganya serta melarikan diri pula sambil menggondol seorang lagi. Sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit terheran-heran sekali.

"Ilmu silat orang sekali-kali tidak di bawah kita, bila dia membikin rusuh di dunia Kangouw, sejak kini celakalah kaum bu-lim,” demikian kata Hian-cu dengan gegetun.

"Makanya harus lekas dibasmi, supaya tidak menimbulkan bahaya di kemudian hari,” ujar Hian-cit.

Hian-lan mengangguk-angguk tanda setuju, tapi Hian-cu Hongtiang diam saja, ia hanya termangu-mangu memandang jauh ke arah perginya Kiau Hong tadi.

Pada waktu lari tadi Kiau Hong masih sempat menoleh ke arah padri-padri itu, ia melihat cermin perunggu tadi sudah pecah berkeping-keping kena hantaman Hian-cit, dari setiap kepingan cermin itu tertampak bayangan belakangnya. Tanpa sebab hati Kiau Hong kembali tergetar. Ia tidak habis heran, "Mengapa setiap kali aku melihat bayanganku sendiri selalu aku merasa tidak enak? Apa sebabnya?”

Tapi waktu itu ia terburu-buru berusaha meninggalkan Siau-lim-si, perasaan sangsi yang timbul itu segera lenyap terbawa oleh larinya yang cepat itu.

Jalan di lereng Siau-sit-san itu sangat hafal bagi Kiau Hong, boleh dikatakan mata tertutup juga takkan kesasar. Maka sesudah menyusur ke balik gunung itu, selalu ia pilih jalan yang terjal, yang sulit ditempuh.

Sesudah beberapa li jauhnya, ia tidak mendengar suara kejaran hwesio Siau-lim-si lagi, legalah hatinya. Ia taruh Ti-jing ke tanah dan membentaknya, "Boleh kau jalan sendiri! Tapi jangan coba melarikan diri!”

Tak terduga, begitu kaki Ti-jing menyentuh tanah, seketika badan lemas lunglai dan terkulai ke tanah seakanakan cacing mati.

Kiau Hong terkesiap. Ia coba periksa napasnya, ia merasa napas orang sangat lemas, seperti ada seperti hilang. Waktu pegang urat nadinya pula, denyutnya juga sangat lambat seolah-olah orang sudah dekat ajalnya.

Pikir Kiau Hong, "Banyak persoalan yang belum terjawab bagiku, aku justru hendak menanyai dia, mana boleh dia mati secara begini mudah? Sekali kau jatuh di tanganku, pasti tipu muslihatmu akan terbongkar. Tapi, ya, mungkin khawatir rahasianya ketahuan, maka dia lantas telan racun untuk membunuh diri.”

Ia coba meraba dada orang untuk memeriksa denyut jantungnya. Tapi Kiau Hong menjadi kaget ketika merasa tempat yang teraba tangannya itu lunak empuk, nyata itu bukan dada seorang laki-laki, hwesio itu ternyata seorang perempuan.

Maka cepat Kiau Hong menarik kembali tangannya, ia semakin heran, "Jadi dia… dia samaran seorang

wanita?”

Segera ia keluarkan ketikan api untuk menerangi muka Ti-jing, ia lihat pada dagu hwesio itu penuh tutul-tutul hitam, yaitu akar jenggot, tenggorokan juga terdapat biji leher, terang itu tanda kelakian yang tak dapat dipalsukan.

Hal ini benar-benar membuat Kiau Hong semakin bingung. Ia coba meraba kepala gundul orang, jelas halus kelimis, sedikit pun tidak palsu. Apakah dia banci? Demikian pikirnya.

Kiau Hong adalah seorang yang berjiwa terbuka dan bebas, tidak pikirkan adat istiadat kolot segala, lain daripada Toan Ki yang masih kukuh kepada tata krama yang kolot. Muka segera ia seret Ti-jing serta membentaknya lagi, "Sebenarnya kau laki-laki atau perempuan? Lekas mengaku sebelum aku membelejeti bajumu untuk diperiksa!”

Bibir Ti-jing tampak bergerak-gerak seperti ingin bicara, tapi tiada sesuatu suara yang keluar, nyata jiwanya sudah tergantung di ujung rambut saja, keadaannya sudah sangat payah.

Kiau Hong pikir tidak peduli orang ini laki-laki atau perempuan, yang pasti tidak boleh dia mati begitu saja. Maka cepat ia gunakan tangan kanan untuk menahan punggung Ti-jing. Ia kerahkan tenaga dalamnya, melalui tangannya ia salurkan hawa murni ke dalam tubuh Ti-jing.

Sebab apakah mendadak keadaan Ti-jing menjadi begitu payah?

Kiranya tadi waktu Kiau Hong mengadu pukulan dengan Hian-cu, tenaga pukulan "It-bik-liang-san” dari Hiancu itu sungguh tidak kepalang hebatnya, tatkala itu sebelah tangan Kiau Hong mengangkat Ti-jing sehingga getaran tenaga pukulan lawan menembus ke badan Ti-jing dan melukainya.

Begitulah Kiau Hong telah salurkan hawa murninya ke dalam tubuh Ti-jing, semula ia berharap untuk sementara dapat mempertahankannya. Di luar dugaan tenaga dalamnya yang mahahebat itu justru tepat merupakan obat mujarab bagi luka Ti-jing itu. Berangsur-angsur hawa murninya mengalir masuk ke tubuhnya, keadaan Ti-jing menjadi berubah, bagaikan pelita minyak diberi tambah minyak, denyut nadinya mulai kuat dan ucapannya mulai lancar.

Melihat jiwa orang tidak berbahaya lagi, Kiau Hong merasa lega. Ia pikir tidak boleh tinggal lama di tempat yang berdekatan dengan Siau-lim-si ini. Segera ia pondong Ti-jing dengan kedua tangannya, dengan langkah lebar berjalan menuju ke barat laut.

Tapi segera ia rasakan sesuatu kejanggalan lagi, terasa bobot badan Ti-jing itu sangat enteng tidak seimbang dengan perawakannya yang kekar. Ia pikir, "Untuk membuka bajumu memang kurang sopan, tapi kalau membuka sepatu dan kaus kakimu masakan tidak boleh?”

Segera ia copot sepatu padri orang sebelah kanan, lalu meremas telapak kakinya, terasa apa yang tergenggam di tangannya itu sangat keras, terang bukan anggota badan manusia hidup. Ia coba menarik sedikit keras, di luar dugaan, sepotong benda kena dibetotnya. Waktu ia perhatikan kiranya sebuah kaki palsu buatan dari kayu.

Ketika raba kaki Ti-jing pula, baru sekarang ia merasakan itulah kaki manusia yang sungguh-sungguh, kaki itu halus lemas dan kecil mungil.

"Hm, memang benar seorang perempuan,” jengek Kiau Hong diam-diam.

Segera ia keluarkan ginkangnya yang tinggi, ia berlari dengan cepat. Satu jam kemudian, ia taksir sudah lebih 50 li meninggalkan Siau-lim-si, ufuk timur pun mulai terang, fajar sudah menyingsing.

Dengan membawa Ti-jing sampailah Kiau Hong di suatu hutan kecil, ia melihat sebuah sungai kecil dengan air gunungnya yang jernih. Ia mendekati sungai itu dan meraup sedikit air untuk menyiram muka Ti-jing, lalu menggunakan lengan baju orang untuk mengusap mukanya.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu perubahan aneh. Kulit daging pada muka "Ti-jing” itu mulai rontok sekeping demi sekeping. Keruan Kiau Hong kaget mengapa kulit daging orang bisa membusuk sedemikian rupa?

Tapi demi diperhatikan pula, ia lihat di bawah kulit muka yang busuk itu tertampaklah kulit daging lapisan bawah yang putih halus bagai kaca.

Waktu dibawa lari oleh Kiau Hong tadi, sebenarnya Ti-jing dalam keadaan tak sadar. Tapi kini karena mukanya disiram air, segera ia siuman, ketika membuka mata dan melihat Kiau Hong, ia bersenyum dan menyapa dengan perlahan, "Kiau-pangcu!”

Saking lemahnya, sesudah bersuara, kembali ia pejamkan mata pula.

Melihat muka orang masih belang-bonteng dan lekak-lekuk belum bersih hingga tidak jelas bagaimana wajah

aslinya, segera Kiau Hong mencelup lengan baju Ti-jing ke dalam air sungai, lalu dipakai mengusap muka orang dengan agak keras. Maka tertampaklah bubuk tepung rontok berhamburan hingga berwujudlah sebuah wajah anak dara yang jelita.

"Hai, engkau Nona A Cu!” seru Kiau Hong tercengang.

Kiranya yang menyaru sebagai Ti-jing dan menyelundup ke Siau-lim-si itu bukan lain daripada A Cu, si dayang pribadi Buyung Hok.

Dasar ilmu menyamar A Cu memang sangat pandai, ia gunakan kaki palsu pula untuk meninggikan perawakannya, memakai kapas untuk menambah kemontokan perutnya, mukanya ditambal dengan adukan tepung terigu dan telur, begitu mirip samarannya hingga siapa pun tidak mengenalnya lagi.

Dalam keadaan sadar-tak-sadar A Cu mendengar seruan Kiau Hong yang menyebut namanya sebenarnya ia ingin menyahut, pula ingin memberi penjelasan mengapa dia menyelundup ke Siau-lim-si. Namun sayang tenaganya sangat lemah, sampai mulut pun tak menurut perintah lagi, sepatah kata pun tak sanggup bicara. Dalam gugupnya ia jatuh pingsan lagi.

Pada waktu membawa lari "Ti-jing” tadi, sebenarnya Kiau Hong anggap orang pasti manusia yang mahakeji dan licik, tentu besar sangkut pautnya dengan terbunuhnya ayah-bunda dan Suhu, maka dengan mati-matian ia berusaha menyelamatkan jiwa hwesio itu dengan harapan dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, bahkan ia sudah ambil keputusan, bila hwesio ini tidak mau mengaku, ia tidak segan-segan memberi siksaan yang setimpal untuk mengorek pengakuannya.

Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mimpi pun tak tersangka olehnya. Tawanannya itu bukan lagi Tijing melainkan si nona A Cu yang kecil mungil dan cantik manis itu.

Biarpun Kiau Hong sudah beberapa kali bertemu dengan A Cu dan A Pik, tapi ia tidak tahu bahwa A Cu pandai menyamar dan A Pik mahir seni suara. Coba kalau Toan Ki, tentu sudah dapat menerkanya sejak tadi.

Ia lihat A Cu dalam keadaan pingsan pula, cepat ia menyalurkan tenaga murninya untuk merawat lukanya lagi. Kini ia sudah tahu gadis itu bukan keracunan, tapi disebabkan terluka tenaga pukulan.

Sedikit pikir saja Kiau Hong lantas tahu duduknya perkara. Diam-diam ia menyesal, "Sebabnya dia terluka oleh tenaga pukulan Hian-cu itu adalah disebabkan dia terpegang di tanganku. Coba, bila aku tidak ikut campur urusannya dan membiarkan dia pergi-datang sesukanya, tentu sejak tadi ia lolos dan tidak nanti terluka separah ini.”

Oleh karena dalam hati Kiau Hong sudah sangat menghargai Buyung Hok, otomatis terhadap dayangnya juga timbul rasa sayangnya. Karena gadis itu terluka akibat dirinya, maka ia ambil keputusan harus menyembuhkannya. Segera katanya pula, "Nona A Cu, terpaksa harus kupondongmu ke kota untuk mencari tabib, harap engkau jangan marah.”

Habis berkata, kembali ia pondong anak dara itu dan berjalan cepat ke utara.

Tidak lama kemudian hari sudah terang benderang, agar tidak menimbulkan curiga orang, ia gunakan lengan baju si A Cu untuk menutupi muka gadis itu.

Setelah belasan li lagi, akhirnya tibalah mereka di suatu kota cukup besar dan ramai. Waktu Kiau Hong tanya orang di pinggir jalan, diketahui kota itu bernama Kho-keh-cip, suatu kota makmur dengan macam-macam hasil palawijanya. Ia mendapatkan sebuah hotel terbesar di kota itu, ia minta dua kamar kelas satu dan merebahkan A Cu di atas ranjang.

Pelayan hotel agak curiga juga melihat keadaan Kiau Hong dan A Cu yang tidak mirip suami-istri dan tidak memper kakak-beradik pula. Tapi karena melihat sikap Kiau Hong yang gagah berwibawa, pelayan itu tidak berani bertanya.

Kiau Hong lantas dihadapkan pada kesulitan pula karena tidak membawa sangu, ia berkerut kening dengan sedih.

"Di… di dalam bajuku ada sebuah… sebuah bandul kalung emas….” demikian A Cu berkata dengan suara lemah.

"Baiklah, boleh kau keluarkan, nanti kujual,” ujar Kiau Hong.

A Cu ingin menurut, tapi ia terlalu lemah untuk bisa bergerak. Terpaksa Kiau Hong tidak pikirkan adat istiadat lagi, segera ia keluarkan benda yang dimaksudkan itu. Ia lihat mainan kalung itu terbuat sangat indah, sebuah bandul kalung dengan untiran emas yang halus. Di atas mainan itu terdapat pula ukiran tulisan yang berbunyi: "Anak Si genap 10 tahun, semakin besar semakin nakal.”

Kiau Hong tersenyum, ia pikir mainan itu tentu pemberian orang tua si A Cu ketika anak dara itu berulang tahun kesepuluh, kalau mesti dijual sesungguhnya terlalu sayang. Maka ia taruh mainan kalung itu ke bawah bantal A Cu, hanya rantai emas itu saja yang dibawanya pergi untuk dijual. Ia mendapatkan 18 tahil perak, lalu

mengundang seorang tabib untuk memeriksa luka A Cu.

Sesudah tabib itu memegang nadi A Cu, dia menggeleng kepala tiada hentinya. Setelah berpikir sejenak, membuka resep obat pun tidak tabib itu lantas berbangkit sambil berkata, "Sayang, sayang! Maaf, maaf!”

Lalu permisi dan angkat kaki tanpa minta honorarium lagi.

Kiranya tabib itu merasa denyut nadi A Cu sangat lemah dan menaksir sekejap lagi pasti akan putus nyawanya. Ia khawatir kalau tidak lekas tinggal pergi mungkin akan tersangkut dalam utusan jiwa itu.

Sudah tentu Kiau Hong ikut khawatir, kembali ia mengundang seorang tabib lain. Sekali ini si tabib berani membuka resep dan menyatakan penyakit si nona susah disembuhkan lagi, resep obat itu hanya sekadar sebagai suatu kewajiban saja.

Kiau Hong melihat resep obat yang dibuka itu berisi obat sebangsa kamcho (kayu manis), menthol, jeruk purut, dan sebagainya. Ramuan obat ini dipakai untuk menyembuhkan sakit perut saja belum tentu manjur.

Dalam dongkolnya Kiau Hong tidak beli obat itu, segera ia kerahkan tenaga murni sendiri dan disalurkan ke tubuh A Cu. Hanya sebentar saja air muka A Cu yang pucat telah berubah merah bercahaya.

"Kiau-pangcu,” dapatlah gadis itu membuka suara, "syukurlah engkau telah menyelamatkan aku. Jika tertangkap oleh tawanan keledai gundul itu, tentu melayang jiwaku.”

Mendengar suara orang penuh tenaga, Kiau Hong sangat girang, sahutnya, "Nona A Cu, sungguh aku sangat khawatir penyakitmu ini tak dapat disembuhkan, tapi kini engkau sudah baik.”

"Jangan panggil aku nona apa segala, langsung panggil namaku saja,” ujar A Cu. "Kiau-pangcu, untuk apakah engkau datang ke Siau-lim-si sana?”

"Sudah lama aku bukan pangcu lagi, selanjutnya jangan kau panggil aku sebagai pangcu,” kata Kiau Hong.

"Ah, maaf, untuk selanjutnya akan kupanggil Kiau-toaya saja,” ujar A Cu.

"Sekarang aku ingin tanya lebih dulu,” kata Kiau Hong pula. "Apa maksud tujuanmu datang ke Siau-lim-si?”

"Ai, kalau kukatakan, janganlah aku ditertawai,” ujar A Cu. "Oleh karena kudengar Kongcu kami telah pergi ke Siau-lim-si, maka aku ingin mencarinya untuk menceritakan urusan nona Ong. Siapa duga waktu aku permisi hendak masuk ke biara itu, hwesio penjaganya dengan bengis melarang aku masuk, alasannya karena aku adalah kaum wanita. Aku berdebat padanya, tapi malah didamprat olehnya. Aku justru hendak masuk ke sana, ingin kulihat apakah dia mampu melarang aku.”

"Pantas, Si-ji genap 10 tahun, makin besar makin nakal.” kata Kiau Hong dengan tersenyum. "Siapakah yang mengukir kalimat itu di atas bandul mainan kalungmu?”

"Ayahku,” sahut A Cu. Menyebut ayahnya, air muka si gadis tampak berduka.

Kiau Hong taksir mungkin ayahnya sudah meninggal dunia, maka ia pun tidak tanya lebih jauh, tapi katanya pula, "Sesudah menyelundup ke Siau-lim-si, padri-padri di situ tentu saja sangat gusar, tapi tak bisa berbuat apa-apa padamu, terutama bila engkau lantas perlihatkan dirimu yang sebenarnya, tentu mereka akan runyam.”

"Ya, memang,” sahut A Cu sambil tertawa dan bangun berduduk. "Sesudah kesehatanku pulih, aku akan menyamar sebagai laki-laki untuk masuk ke biara itu, lalu keluar pula dengan dandanan sebagai wanita, biar hwesio-hwesio itu meledak perutnya saking gusar. Hahaha, sungguh permainan yang menyenangkan, haha….”

Mendadak suara tertawanya putus, badan lantas terkulai di atas ranjang dengan lemas dan tak bergerak lagi.

Kiau Hong terkejut, ia coba periksa napas si gadis, ia merasa pernapasannya seperti sudah terhenti sama sekali. Dalam khawatirnya cepat Kiau Hong tempelkan telapak tangannya ke "leng-tay-hiat” di punggung A Cu, ia salurkan hawa murni sendiri ke dalam badan si gadis.

Tidak lama kemudian, perlahan dapatlah A Cu mengangkat tubuhnya, katanya dengan penuh menyesal, "Ai, tadi kita sedang bicara, mengapa aku lantas tertidur? Maafkan, Kiau-toaya.”

Kiau Hong tahu keadaan gadis itu agak payah, jawabnya, "Badanmu masih kurang kuat, silakan tidur saja untuk memulihkan semangat.”

"Aku tidak letih, sebaliknya telah bikin susah Kiau-toaya semalaman, engkau yang perlu mengaso sebentar,” sahut A Cu.

"Baiklah, sebentar lagi akan kujenguk kau lagi,” kata Kiau Hong.

Lalu ia keluar ke ruangan makan, ia pesan lima kati arak dan dua kati daging masak, ia makan dan minum sendiri. Sebenarnya dalam hal minum arak Kiau Hong boleh dikata tanpa takaran dan tiada bandingan, tapi kini dalam keadaan masygul, habis lima kati arak itu, ia merasa agak sedikit pening kepala. Ia beli pula dua biji bakpao dan dibawa ke kamar untuk A Cu.

Ia menjadi kaget ketika A Cu dipanggil-panggil tidak menyahut. Waktu ia periksa, ia lihat gadis itu merebah dengan mata terpejam, muka pucat dan pipi melekuk sebagai mayat. Ketika ia meraba jidatnya, syukurlah masih terasa hangat. Cepat ia menolongnya dengan hawa murni sendiri dan perlahan barulah A Cu sadar. Dengan gembira ria kemudian gadis itu makan kedua biji bakpao.

Dengan demikian maka tahulah Kiau Hong bahwa saat itu A Cu hanya bisa hidup jikalau ada saluran tenaga murninya sebagai penyambung nyawa, tapi bila tanpa saluran hawa murni itu, tiada sejam kemudian tentu gadis itu akan mati lemas. Ia menjadi sedih tanpa berdaya.

Melihat Kiau Hong termenung-menung dengan air muka sedih, sebagai seorang gadis cerdik, segera A Cu dapat menduga sebab musababnya. Segera ia tanya, "Kiau-toaya, lukaku sangat parah dan tabib bilang susah disembuhkan, bukan?”

"O, ti… tidak! Tidak apa-apa, mengasolah beberapa hari lagi tentu engkau akan sembuh kembali,” sahut Kiau Hong. "Asal kau mengaso dengan tenang, tentu aku dapat menyembuhkan penyakitmu.”

Dari nada perkataan orang, A Cu tahu luka sendiri sesungguhnya sangat parah, mau tak mau ia menjadi khawatir, dan sekali tangan gemetar, setengah potong bakpao yang belum habis termakan itu lantas jatuh ke lantai. Menyangka tenaga si gadis kembali lemas, segera Kiau Hong mengulur tangan untuk menahan leng-tayhiat lagi di punggung A Cu.

Tapi sekali ini pikiran A Cu masih jernih, maka dapat dirasakannya satu arus hawa hangat telah menyalur dari tangan Kiau Hong ke dalam tubuh sendiri dan rasa badannya menjadi enak dan segar. Setelah memikir sejenak, segera A Cu mengerti keadaan sendiri sebenarnya sangat berbahaya, tapi berkat hawa murni yang dikorbankan oleh Kiau Hong itulah jiwanya dapat direnggut dari tangan elmaut. Sungguh terima kasihnya tak terhingga dan berkhawatir pula.

Meski A Cu adalah seorang gadis cerdik, tapi apa pun juga ia masih terlalu muda, tiba-tiba air matanya berlinang-linang, katanya, "Kiau-toaya, aku tidak mau mati, jangan engkau meninggalkan aku di sini tanpa urus lagi.”

Mendengar ucapan yang harus dikasihani itu, segera Kiau Hong menghiburnya, "Tidak, pasti tidak, aku Kiau Hong tidak nanti meninggalkan seorang kawan yang tertimpa malang tanpa menolongnya!”

"Aku akan mati tidak, Kiau-toaya?” tanya A Cu dengan berduka. "Engkau adalah kesatria terpuja di bu-lim, orang menyatakan ‘Pak Kiau Hong dan Lam Buyung’, jadi engkau mempunyai nama besar sejajar dengan kongcu kami, tentu selama hidupmu tidak pernah omong kosong, bukan? Engkau mengatakan lukaku tidak berat, engkau tidak mendustai aku, bukan?”

Demi kebaikan gadis itu, terpaksa Kiau Hong menjawab, "Aku tidak mendustai kau. Dahulu waktu masih kanak-kanak aku suka bohong, tapi sesudah besar dan berkelana di Kangouw, aku tidak pernah mendustai orang lagi.”

"Jika begitu, dapatlah aku merasa lega,” kata A Cu. "Kiau-toaya, aku ingin memohon sesuatu padamu.”

"Tentang apa?” tanya Kiau Hong.

"Malam ini harap kau sudi mendampingi aku di sini, janganlah meninggalkan aku,” pinta si gadis. Ia menduga bila ditinggal pergi Kiau Hong, mungkin jiwanya takkan tahan sampai besok pagi.

"Tentu saja,” sahut Kiau Hong dengan tertawa. "Biarpun kau tak omong juga aku akan mengawani kau di sini. Sudahlah, jangan bicara lagi, tidurlah yang tenang.”

A Cu lantas pejamkan mata, tapi selang sejenak, kembali ia membuka mata dan berkata, "Kiau-toaya, aku tak bisa tidur. Aku ingin mohon sesuatu padamu, bolehkah?”

"Boleh saja, tentang apa?”

"Dahulu waktu aku masih kecil, selalu ibuku meninabobokan aku di tepi ranjang. Asal beliau menyanyi duatiga lagu, aku lantas terpulas.”

"Dan berada di sini, ke mana dapat mencari ibumu? Susah tentunya.”

"Ibuku sudah lama meninggal dunia,” kata A Cu. "Kiau-toaya, sudilah engkau menyanyikan beberapa lagu untukku?”

Keruan Kiau Hong serbarunyam, laki-laki setua dia masakah disuruh menyanyi apa segala, kan lucu? Maka jawabnya, "Aku tidak pintar menyanyi.”

"Ya, apa boleh buat, engkau tidak sudi menyanyi,” kata si gadis.

"Bukan aku tidak sudi menyanyi, sesungguhnya aku tidak bisa,” sahut Kiau Hong.

"Eh, ya, ada sesuatu lagi, sekali ini hendaklah engkau jangan menolak lagi,” tiba-tiba A Cu berseru girang.

Diam-diam Kiau Hong merasa kewalahan terhadap dara cilik yang kekanak-kanakan dan serbaaneh pikirannya ini, entah permintaan apa lagi yang hendak dikemukakan anak dara itu. Terpaksa ia menjawab, "Cobalah katakan, asal bisa tentu akan kulakukan.”

"Bisa, pasti engkau bisa,” ujar A Cu tertawa. "Begini, boleh engkau mendongeng, baik dongengan tentang si kelinci maupun cerita tentang si kucing. Setelah mendengar dongengan itu tentu aku akan dapat tidur.”

Sungguh Kiau Hong serbasusah. Belum lama berselang ia adalah seorang tokoh Kangouw terkemuka, seorang pangcu yang terpuja, tapi dalam waktu singkat saja kedudukannya sudah hilang dan dipecat dari keanggotaan Kay-pang, bahkan tiga orang yang dicintainya di dalam dunia ini, yaitu kedua orang tua dan seorang gurunya telah tewas semua dalam waktu sehari saja, malahan mengenai asal usul sendiri sebenarnya keturunan bangsa asing atau bangsa Han asli juga belum diketahui, sebaliknya malah menanggung dosa pendurhakaan kepada orang tua sebagaimana orang mendakwanya.

Belum lagi pukulan-pukulan batin itu terhibur, kini ia mesti mendampingi seorang nona kecil yang merengekrengek minta dia menyanyi dan mendongeng apa segala. Sebagai seorang kesatria, seorang pahlawan sejati, sudah tentu hal-hal tetek bengek itu tidak menarik baginya. Tapi sekilas dilihatnya sorot mata A Cu itu memancarkan sinar yang memohon dengan sangat, air mukanya tampak pucat dan lesu pula, ia menjadi tidak tega, akhirnya ia berkata, "Baiklah, aku akan mendongeng suatu cerita padamu, tapi entah menarik tidak bagimu?”

"Tentu sangat menarik, silakan mulai, lekas,” seru A Cu kegirangan.

Walaupun sudah menyanggupi, tapi dasar Kiau Hong memang bukan seorang pendongeng, dengan sendirinya susah baginya untuk mulai.

Setelah pikir sebentar, kemudian katanya, "Baiklah, aku akan bercerita tentang seekor serigala. Dahulu ada seorang kakek, waktu dia mencari kayu di gunung, tiba-tiba dilihatnya seekor serigala terjebak di dalam perangkap pemburu. Serigala itu mohon dengan sangat agar si kakek suka menolongnya. Maka kakak itu lantas berdaya upaya mengeluarkan serigala itu dari perangkap. Tapi….”

"Tapi sesudah serigala ditolong si kakek, serigala itu berbalik hendak menerkam si kakek, bukan?” sela A Cu.

"Ai, cerita ini ternyata sudah pernah kau dengar,” ujar Kiau Hong.

"Ya, itulah cerita tentang serigala gunung yang pernah kubaca,” kata A Cu. "Aku tidak suka dongengan dalam buku, tapi aku minta engkau bercerita tentang kisah nyata di kampung.”

"Kisah nyata di kampung?” Kiau Hong bergumam sendiri. Dan setelah berpikir, katanya kemudian, "Baiklah, aku akan bercerita tentang pengalaman satu anak desa.”

Lalu ia pun mulai, "Dahulu di suatu pegunungan tinggal satu keluarga miskin. Kecuali ayah, ibu dan anak itu, mereka tiada anggota keluarga lain lagi. Ketika anak itu berumur tujuh tahun, perawakannya sudah sangat besar dan dapat membantu sang ayah mencari kayu di pegunungan. Suatu hari, ayah jatuh sakit, karena keluarga mereka terlalu miskin, mereka tidak mampu mengundang tabib dan membeli obat. Namun penyakit ayah makin hari makin berat, terpaksa ibu membawa kekayaan yang ada, yaitu berupa empat ekor ayam dan satu bakul telur ayam untuk dijual di kota.

"Dengan uang penjualan ayam dan telur sebanyak delapan gobang itu ibu pergi mengundang tabib. Tapi tabib menolak, katanya jalan pegunungan terlalu jauh dan susah ditempuh, meski ibu memohon dengan sangat, tetap tabib itu menolak. Ibu menyembah dan memohon dengan menangis, tetap tabib itu tidak mau, bahkan menghina, katanya kaum miskin berbau apak. Waktu ibu memohon lagi sambil menarik ujung baju tabib itu hingga robek. Dalam gusarnya tabib itu dorong ibu hingga terjungkal, bahkan mendepaknya pula serta minta ganti kerugian, katanya baju itu baru saja dibuatnya, harganya tiga tahil perak.”

"Tabib itu benar-benar keterlaluan,” kata A Cu perlahan.

Kiau Hong diam sejenak, ia lihat cuaca di luar sudah remang-remang, lalu sambungnya, "Waktu itu si anak juga berada di samping ibunya, melihat sang ibu dianiaya orang segera ia menerjang maju untuk menggeluti si tabib. Tapi ia cuma seorang anak kecil, dengan mudah saja tabib itu mengangkatnya dan melemparkannya

keluar pintu. Oleh karena khawatir akan terjadi apa-apa atas diri anaknya, sang ibu berlari keluar pintu untuk memeriksa keadaan bocah itu. Dan kesempatan itu lantas digunakan oleh si tabib untuk menutup pintu.

"Jidat bocah itu terluka lecet dan mengeluarkan darah. Sebagai kaum wanita yang lemah, sang ibu tidak berani bikin ribut lagi pada si tabib, segera ia membawa anaknya pulang ke rumah sambil menangis. Waktu lewat sebuah toko besi, si bocah melihat di dasaran toko itu tertaruh banyak pisau jagal yang lancip lagi tajam. Penjualnya sedang sibuk melayani pembeli di dalam toko, kesempatan itu digunakan oleh si bocah untuk mencuri sebuah pisau jagal itu. Ibunya tidak tahu perbuatan anaknya itu.

"Setiba di rumah, ibu tidak berani menceritakan pengalamannya kepada ayah, sebab khawatir ayah akan gusar dan sedih hingga menambah berat penyakitnya. Waktu ibu hendak mengeluarkan uang hasil penjualan ayam dan telurnya itu, ia menjadi kaget ketika merasa uang itu sudah hilang. Dengan terkejut dan heran ibu keluar untuk tanya si anak, ia lihat bocah itu sedang mengasah sebilah pisau baru pada batu asah, segera ibunya tanya dari mana mendapatkan pisau lancip itu. Si anak tidak berani bilang mencuri, maka membohong pemberian orang. Dengan sendirinya ibunya tidak percaya, pisau jagal itu di pasar sedikitnya berharga empat-lima gobang, mana mungkin ada orang sembarangan memberi pisau mahal pada seorang bocah?

"Waktu ditanya siapa yang memberi, sudah tentu si anak tak dapat menjelaskan. Maka berkatalah ibunya dengan menghela napas, ‘Nak, ayah dan ibu sangat miskin, biasanya tidak dapat membelikan mainan apa pun untukmu, jika sekarang kau ingin mainan pisau, sebagai anak laki-laki dengan sendirinya boleh saja. Cuma uang kelebihan itu hendaklah kau kembalikan pada ibu, ayah sedang sakit, biarlah kita membeli satu-dua tahil daging untuk dibuatkan kaldu bagi ayahmu!’

"Anak itu merasa bingung, dengan mata terbelalak ia menjawab, ‘Uang kelebihan apa maksud ibu?’ - ‘Yaitu kedelapan gobang hasil penjualan telur dan ayam itu, telah kau gunakan membeli pisau itu, bukan?’

"Bocah itu menjadi gugup dan menyangkal, ‘Tidak, aku tidak ambil uang itu, aku tidak ambil uang itu!’ Kedua orang tua itu selamanya tidak pernah menghajar anaknya, biarpun bocah itu baru berusia beberapa tahun, tapi mereka pandang si anak seperti tamu di rumahnya….”

Bercerita sampai di sini, diam-diam Kiau Hong sendiri merasa heran mengapa kedua orang tua itu sedemikian baik dan ramah tamahnya kepada si anak, tidak lazim ayah-ibu begitu menghargai anaknya biar bagaimanapun kasih sayangnya. Karena pikiran itu, tanpa terasa ia bergumam sendiri, "Ya, aneh, mengapa bisa begitu?”

"Aneh tentang apa?” tanya A Cu tiba-tiba.

Habis mengucapkan kalimat itu, napas anak dara itu sudah sangat lemah. Kiau Hong tahu tenaga murni dalam tubuh si gadis telah habis lagi, cepat ia tempelkan tangannya lagi ke punggung A Cu dan menyalurkan tenaga murni.

Lambat laun semangat A Cu pulih kembali, katanya dengan gegetun, "Ai, Kiau-toaya, setiap kali kau salurkan tenagamu kepadaku, setiap kali tenagamu sendiri lantas berkurang, padahal tenaga murni bagi seorang tokoh persilatan adalah mahapenting. Engkau sedemikian baik kepadaku, sungguh entah cara bagaimana aku… aku harus membalasmu?”

"Untuk mana cukup aku bersemadi satu-dua jam saja tentu tenaga murniku akan pulih, masakah berkata tentang belas budi segala?” sahut Kiau Hong tertawa. "Biarpun aku tidak kenal majikanmu Buyung-kongcu tapi dalam hatiku dia sudah kuanggap sebagai sahabat. Kau adalah orangnya, mengapa sungkan padaku?”

"Tapi setiap sejam-dua jam tenagaku lantas habis, masakah engkau harus membantuku dengan cara demikian?” ujar A Cu dengan muram.

"Kau jangan khawatir, kita pasti akan mendapatkan seorang tabib pandai untuk menyembuhkanmu,” hibur Kiau Hong.

"Hihi, mungkin tabib itu juga akan menolak karena aku adalah kaum miskin yang berbau apak,” ucap A Cu dengan tersenyum. "Eh, Kiau-toaya, ceritamu tadi belum lagi habis, tadi engkau bilang aneh tentang apa?”

"O, tiada apa-apa, aku melantur tak keruan,” sahut Kiau Hong. Lalu ia menyambung ceritanya, "Melihat anaknya tidak mengaku, maka sang ibu juga tidak mendesak lebih jauh dan tinggal masuk ke rumah. Selang tak lama, selesai mengasah pisaunya, anak itu pun masuk ke rumah, sayup-sayup ia mendengar ayah dan ibunya sedang mempercakapkan dia mencuri uang untuk membeli pisau, tapi tidak mau mengaku. Namun sang ayah menyatakan kerelaannya agar bocah itu jangan ditegur lagi karena selama ini kepada anak itu tidak pernah diberi mainan apa-apa.

"Dan ketika melihat anak itu masuk ke rumah, percakapan kedua orang tua itu lantas berhenti, malahan dengan ramah ayahnya berkata kepada si anak sambil meraba jidatnya yang terluka itu, ‘Anak yang baik, selanjutnya jangan berlari-lari, ya, supaya tidak jatuh lagi!’

"Ternyata orang tua itu sama sekali tidak menyinggung tentang kehilangan uang dan tentang pembelian pisau itu. Bahkan nada suaranya sama sekali tidak mengunjuk rasa kurang senang sedikit pun.

"Meski umur bocah itu baru tujuh tahun, tapi ia sudah pintar, diam-diam ia pikir, ‘Aku dicurigai ibu mencuri uang untuk membeli pisau, bila mereka menghajar aku atau mendamprat habis-habisan, betapa pun aku rela. Tapi mereka justru sedemikian baik padaku, sedikit pun tidak mengusut lebih jauh.’

"Namun disebabkan hatinya tidak tenteram, segera ia berkata kepada sang ayah, ‘Ayah, aku tidak mencuri uang, pisau ini pun bukannya kubeli’.

"Segera ayahnya menyela, ‘Sudahlah, sudahlah! Ibumu memang suka geger, cuma kehilangan sedikit uang, kenapa mesti diributkan? Dasar orang perempuan suka urus tetek bengek. Anak baik, jidatmu masih sakit tidak?’

"Terpaksa bocah itu menjawab, ‘Tidak sakit, tidak apa-apa!’ - Sebenarnya ia ingin membela diri dari sangkaan jelek itu, tapi terpaksa tidak jadi. Dengan kesal bocah itu lantas pergi tidur tanpa makan malam lagi.

"Namun bocah itu tergulang-guling di atas pembaringan tanpa bisa pulas. Ia dengar pula suara keluh-kesah dan tangisan perlahan sang ibu, mungkin sedih karena penyakit sang suami dan penasaran oleh hinaan dan penganiayaan siang hari itu.

"Perasaan anak itu bergolak, diam-diam ia bangun, ia merayap keluar melalui jendela, malam itu juga ia masuk ke kota lagi dan mendatangi rumah tabib itu. Tapi gedung kediaman tabib itu tertutup rapat, betapa pun bocah itu tidak mampu masuk ke sana.

"Namun ia tidak kurang akal, badannya masih kecil dan cukup menerobos masuk melalui lubang anjing di pojok pagar tembok. Ia melihat kamar tabib itu masih terang, suatu tanda tabib itu belum tidur dan sedang memasak obat. Perlahan-lahan anak itu mendorong pintu kamar, dan rupanya suara keriutan pintu dapat didengar si tabib yang segera menegur siapa yang datang?

"Tapi bocah itu tidak bersuara, cepat ia mendekati tabib yang lagi asyik memasak obat, sekali belatinya dicabut, kontan ia tikam perut tabib itu. Tabib itu hanya merintih beberapa kali, lalu menggeletak tak bernyawa lagi.”

"Hah, sekali tikam bocah itu membunuh tabib itu?” seru A Cu terkejut.

"Ya,” sahut Kiau Hong sambil mengangguk. "Kemudian bocah itu merayap keluar lagi melalui lubang anjing dan pulang ke rumah. Seorang bocah cilik dalam waktu singkat dan di tengah malam buta mesti menempuh perjalanan tergesa-gesa sejauh puluhan li, sudah tentu bocah itu kepayahan. Dan esok paginya, keluarga si tabib mendapatkan majikan mereka sudah mati dengan perut sobek dan usus keluar, tapi pintu rumah tetap tertutup rapat hingga tiada tanda-tanda keluar-masuknya pembunuh.

"Maka orang sama mencurigai jangan-jangan pembunuhan itu dilakukan oleh orang dalam sendiri. Guna pengusutan itu, istri dan saudara tabib itu ditangkap pembesar negeri, mereka ditahan dan diusut hingga bertahun-tahun lamanya, maka keluarga tabib itu menjadi berantakan sejak itu. Dan peristiwa pembunuhan itu sampai sekarang masih tetap merupakan teka-teki bagi penduduk Kho-keh-cip.”

"Kau bilang Kho-keh-cip? Jadi kota inilah tempat kediaman tabib yang terbunuh itu?” A Cu menegas.

"Benar,” sahut Kiau Hong. "Tabib itu she Ting. Sebenarnya adalah tabib paling terkenal dan terpandai di kota ini. Rumah tinggalnya di barat kota sana, tapi gedungnya sekarang sudah tak terawat dan bobrok.”

"Tabib itu suka menghina kaum miskin dan anggap jiwa orang miskin sama sekali tak berharga, pribadinya itu benar-benar tercela, tapi dosanya itu juga tidak mesti dibunuh,” demikian kata A Cu dengan menyesal. "Dan anak itu sesungguhnya juga terlalu kejam, sungguh aku tidak percaya bahwa seorang anak umur tujuh tahun berani membunuh orang. Kiau-toaya, ceritamu ini hanya dongengan belaka atau benar-benar kisah nyata?”

"Benar-benar kisah nyata,” sahut Kiau Hong.

A Cu menghela napas gegetun, katanya, "Ai, anak kejam begitu mirip benar dengan kaum pengganas orang Cidan!”

"Kau… kau bilang apa?” tanya Kiau Hong mendadak sambil melonjak bangun dengan badan gemetar.

Melihat perubahan air muka orang yang hebat itu, A Cu terkesiap, mendadak ia paham duduknya perkara, katanya kemudian, "O, maaf, Kiau… Kiau-toaya, aku tidak… tidak sengaja menyinggung perasaanmu.”

Kiau Hong berdiri termangu-mangu sejenak, lalu duduk dengan lesu, katanya, "Jadi… jadi engkau sudah dapat menerkanya?”

A Cu mengangguk, diam-diam ia dapat menebak si bocah dalam cerita Kiau Hong itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong sendiri.

"Ucapan yang tidak disengaja terkadang malah kena dengan jitu,” kata Kiau Hong. "Dan sebabnya aku turun tangan secara tak kenal ampun itu apakah lantaran aku keturunan Cidan?”

"Kiau-toaya, A Cu sembarangan omong, harap engkau jangan pikirkan lagi,” hibur A Cu dengan suara lembut. "Adapun engkau membunuh tabib jahat itu adalah karena jiwa kesatriaanmu yang ingin membalas sakit hati ibumu.”

"Sebenarnya tidak melulu sakit hati ibuku, tapi disebabkan pula aku dituduh tanpa berdosa,” kata Kiau Hong sambil pegang kepala sendiri dengan kedua tangannya yang lebar. "Padahal kedelapan gobang uang ibu itu tentu tercecer waktu si tabib mengiprat dan mendorongnya, tapi aku… aku yang disangka mencuri uang itu, selama hidupku paling tidak tahan bila dituduh tanpa berdosa.”

Namun demikian dalam waktu satu hari ini ia susah menanggung tiga peristiwa aneh. Tentang dia orang Cidan atau bukan, belum dapat dipastikan sekarang, tapi kematian Kiau Sam-hoay suami-istri dan Hian-koh Taysu sudah jelas bukan perbuatannya, namun ketiga dosa besar itu justru ditimpakan atas namanya. Padahal siapakah gerangan pembunuh yang sebenarnya? Siapa pula gerangan yang sengaja memfitnahnya itu?

Pada saat itulah tiba-tiba Kiau Hong teringat sesuatu lagi, "Mengapa ayah dan ibu selalu mengatakan mereka tidak pernah memberikan apa-apa yang bagus padaku? Jika aku adalah putra mereka yang sebenarnya, dengan sendirinya sang putra mesti ikut hidup miskin dengan orang tua yang miskin, mengapa perlu perlakuan yang baik segala? Jika demikian, terang aku memang bukan anak kandung mereka, tapi adalah anak titipan orang lain. Mungkin orang yang menitipkan aku itu sangat dihormati dan disegani oleh ayah dan ibuku. Lantas siapakah gerangan orang yang menitipkan aku kepada ayah dan ibu itu? Besar kemungkinan adalah Ongpangcu.”

Berpikir begitu, ia bandingkan pula sifat sendiri yang jauh berbeda daripada kedua orang tua yang welas asih itu, ia menjadi lebih yakin lagi bahwa dirinya pasti keturunan orang Cidan.

Rupanya A Cu dapat meraba perasaan Kiau Hong itu, maka ia coba menghiburnya, "Kiau-toaya, mereka mengatakan engkau adalah keturunan Cidan, kukira mereka sengaja hendak memfitnah engkau. Jangankan engkau berbudi luhur dan berjiwa kesatria, hal ini tersohor di segenap penjuru dan pelosok, bahkan terhadap seorang budak rendahan seperti aku ini juga engkau sedemikian baiknya. Sebaliknya orang Cidan umumnya sebuas binatang, bedanya dengan engkau seperti langit dan bumi, mana dapat engkau dipersamakan dengan mereka.”

"A Cu, jika aku benar-benar orang Cidan, apakah engkau masih sudi menerima perawatanku ini?” tanya Kiau Hong.

A Cu serbasusah untuk menjawab. Maklum, waktu itu bangsa Han teramat benci kepada bangsa Cidan dan memandangnya sebuas binatang dan sekejam ular berbisa, dianggapnya tiada orang Cidan yang mempunyai rasa perikemanusiaan, semuanya kejam.

Sesudah tertegun sejenak, kemudian jawabnya, "Sudahlah, jangan kau pikir yang tidak-tidak, betapa pun tidak mungkin engkau adalah orang Cidan. Jika di antara orang Cidan ada yang baik budi seperti engkau, tentu kita pun tidak akan membenci mereka.”

Kiau Hong termenung diam, ia pikir kalau benar dirinya adalah keturunan orang Cidan, sampai seorang budak kecil seperti A Cu juga tidak sudi gubris padanya lagi. Sesaat ia merasa dunia seakan-akan sempit baginya, pikirannya bergolak hebat, darah seolah-olah mendidih di dalam rongga dadanya.

Ia tahu tenaga dalam sendiri telah banyak terbuang karena beberapa kali mesti menolong A Cu untuk melancarkan tenaga dan mengatur napas. A Cu juga pejamkan mata untuk mengaso.

Selang tak lama, selesailah Kiau Hong melatih diri. Ia khawatir keadaan A Cu payah lagi, ia hendak memeriksa nadi gadis itu. Tiba-tiba didengarnya di tempat tinggi sebelah barat sana ada suara kletek perlahan dua kali.

Sebagai seorang Kangouw ulung segera Kiau Hong tahu itu adalah suara loncatan orang bu-lim dari atap rumah ke atap rumah yang lain. Menyusul di arah timur sana juga ada suara serupa dua kali, bahkan suara yang belakangan ini lebih lirih, suatu tanda ginkang pendatang itu lebih tinggi daripada yang duluan.

Sekaligus dari beberapa jurusan datang orang Kangouw, Kiau Hong menduga besar kemungkinan dirinya yang sedang dicari. Segera ia bisiki A Cu, "Aku akan keluar sebentar dan segera kembali lagi, jangan takut.”

A Cu mengangguk. Lalu Kiau Hong menyelinap keluar dari pintu yang setengah tertutup itu. Dengan enteng ia putar ke belakang rumah dan berdiri mepet dinding luar.

Baru dia berdiri di situ, tiba-tiba dari kamar hotel sebelah timur sana ada suara seorang sedang berkata, "Apakah Hiang-patya di situ? Silakan turun saja!”

Lalu terdengar pendatang sebelah barat tadi tertawa dan menjawab, "Ki-loliok dari Kwansay juga datang!”

"Bagus, bagus! Silakan masuk semua!” ujar orang di dalam kamar itu.

Maka berturut-turut kedua orang di atas atap rumah tadi melompat turun dan masuk ke dalam kamar.

Kiau Hong kenal Ki-loliok dari Kwansay itu berjuluk "Goay-to Ki Liok”, Si Golok Kilat, seorang jagoan

terkenal di daerah Kwansay (di luar tembok besar bagian barat). Sedang Hiang-patya yang disebut tadi diduganya pasti Hiang Bong-thian dari Siantang, konon orang berbudi dan dermawan, ilmu silatnya juga sangat hebat.

Kedua orang itu bukan manusia jahat, kedatangan mereka tentu tiada sangkut pautnya denganku, kenapa aku mesti curiga? Demikian pikir Kiau Hong.

Dan selagi dia hendak kembali ke kamar, tiba-tiba terdengar Hiang Bong-thian tadi berkata, "Mendadak ‘Giam-ong-tek’ Sih-sin-ih menyebar enghiong-tiap (kartu undangan kesatria dan mengundang para kesatria Kangouw), apakah Pau-toako tahu sebab musababnya?”

Mendengar nama "Giam-ong-tek” Sih-sin-ih disebut, Kiau Hong terkejut dan bergirang, pikirnya, "Mengapa Sih-sin-ih berada di sekitar sini? Jika demikian, si budak A Cu dapatlah tertolong.”

Kiranya Sih-sin-ih atau Si Tabib Sakti she Sih itu adalah tabib nomor satu pada zaman itu, oleh karena sebutan "sin-ih” (tabib sakti) sangat terkenal sehingga nama asalnya dilupakan orang.

Menurut cerita orang Kangouw yang mungkin berlebih-lebihan, katanya orang mati pun dapat dia hidupkan kembali dengan obatnya. Maka bila orang hidup, betapa parah penyakit atau luka yang diderita pasti akan dapat disembuhkan olehnya.

Oleh karena pengobatannya yang tidak pernah gagal itu hingga tiada orang sakit yang mati di bawah perawatannya, maka orang anggap dia seakan-akan bermusuhan dengan Giam-lo-ong (raja akhirat) sehingga dia julukan "Giam-ong-tek” atau musuh raja akhirat.

Sih-sin-ih itu tidak melulu lihai pengobatannya, bahkan ilmu silatnya juga sangat hebat. Ia suka bergaul dengan kawan Kangouw, setiap kali dia mengobati orang, sering ia minta belajar sejurus-dua dari pasiennya itu. Oleh karena merasa utang budi, yang diminta dengan sendirinya memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh dan yang diajarkan selalu adalah ilmu silat kebanggaan si pasien.

Begitulah kemudian terdengar Goay-to Ki Liok juga menegur, "Pau-lopan (Juragan Pau), selama ini ada terjadi jual-beli apa?”

Diam-diam Kiau Hong mengangguk, "Pantas, suara orang di dalam kamar itu seperti sudah kukenal, kiranya dia ‘Bo-pun-ci’ Pau Jian-leng. Orang ini suka mencuri dari si kaya untuk membantu kaum miskin, namanya cukup harum. Dahulu waktu aku diangkat menjadi pangcu, dia juga datang hadir pada upacara itu.”

Setelah mengetahui orang di dalam kamar itu adalah "Bo-pun-ci” (Tanpa Modal) Pau Jian-leng, seorang maling yang terkenal budiman, maka Kiau Hong tidak ingin mendengarkan lagi pembicaraan mereka. Ia pikir biar besok saja akan kutanya Pau Jian-leng di mana beradanya Sih-sin-ih.

Tapi belum lagi ia putar langkah, sekonyong-konyong terdengar Pau Jian-leng menghela napas dan berkata, "Ai, selama beberapa hari ini perasaanku lagi kesal, tiada semangat buat jual-beli apa-apa. Malahan hari ini kudengar dia membunuh ayah-ibu sendiri dan membinasakan gurunya pula, sungguh rasa hatiku sangat pedih.”

Habis berkata, terdengar ia menghantam meja dengan keras.

Mendengar itu, tahulah Kiau Hong bahwa dirinya yang sedang dipercakapkan. Benar juga, terdengar Hiang Bong-thian menanggapi, "Nama keparat Kiau Hong itu sangat disegani, ia pura-pura berbudi dan baik hati sehingga selama ini banyak yang tertipu, siapa duga dia akan berbuat durhaka seperti itu?”

"Dahulu waktu dia diangkat menjadi Pangcu Kay-pang aku pun hadir pada upacara itu dan kenal baik padanya,” demikian Pau Jian-leng berkata pula. "Maka waktu mula-mula aku diberi tahu orang bahwa Kiau Hong adalah keturunan Cidan dengan tegas kudamprat ocehan yang sembrono itu, bahkan karena itu aku bertengkar dengan Tio-losam hingga hampir-hampir baku jotos. Ai, orang Cidan memang mirip binatang, untuk sementara ia dapat menutupi sifat aslinya, akhirnya wataknya yang buas lantas kelihatan.”

"Lebih-lebih tak tersangka kalau dia keluaran Siau-lim-pay, Hian-koh Taysu ternyata adalah gurunya,” kata Ki Liok, Si Golok Kilat.

"Urusan itu sangat dirahasiakan rupanya, sebab ketua Siau-lim-si sendiri juga tidak tahu,” ujar Pau Jian-leng. "Coba kalau Kiau Hong sendiri tidak omong dan disiarkan orang Kay-pang sendiri, mungkin tiada seorang pun yang tahu. Setelah membunuh kedua orang tua dan gurunya, orang she Kiau itu mengira dapatlah menutupi asal-usul dirinya, dengan demikian ia dapat menyangkal mati-matian tanpa saksi. Tak terduga kejadiannya malah berbalik tidak menguntungkan dia, dosanya juga makin bertambah.”

Kiau Hong cukup kenal jiwa kesatria "Bo-pun-ci” Pau Jian-leng, persahabatan mereka pun cukup akrab. Jika sekarang maling agung itu pun mencerca dirinya, maka dapatlah dibayangkan bagaimana orang lain akan memaki dan mengutuknya.

Teringat demikian, hati Kiau Hong menjadi hampa dan putus asa. Tanpa dosa telah tertimpa tuduhan yang susah membela diri, apakah akhirnya ia mampu mencuci bersih fitnahan itu? Tidakkah lebih baik mengasingkan diri saja, setelah bertahun-tahun, tentu orang Kangouw akan melupakan manusia seperti aku.

Demikian pikirnya dengan hampa.

Dalam pada itu terdengar Hiang Bong-thian sedang berkata pula, "Menurut dugaanku, sebabnya Giam-ong-tek menyebar enghiong-tiap, maksudnya apakah untuk menghadapi Kiau Hong. Selama hidup Giam-ong-tek paling benci pada kejahatan, asal dia mendengar ada kejadian tidak adil di kalangan Kangouw, tanpa disuruh dia pasti ikut campur urusan itu. Apalagi persahabatannya dengan Hian-lan dan Hian-cit Taysu dari Siau-lim-si itu sangat kekal, sudah tentu dia tidak dapat tinggal diam urusan yang menyangkut Siau-lim-pay itu.”

"Kukira betul dugaanmu itu, memang paling akhir ini di kalangan Kangouw juga tiada terjadi geger apa-apa selain perbuatan orang she Kiau itu,” kata Pau Jian-leng. "Hiang-heng, Ki-heng, marilah kita habiskan 20 kati arak ini, malam ini kita bicara sepuas-puasnya.”

Kiau Hong pikir apa yang akan dibicarakan mereka itu sampai semalam suntuk juga dirinya yang akan dicaci maki habis-habisan dengan dibumbu-bumbui. Maka ia tidak ingin mendengarkan lagi, segera ia pulang ke kamar A Cu.

Melihat air muka Kiau Hong muram durja dan pucat, dengan khawatir A Cu tanya, "Kiau-toaya, apakah engkau ketemukan musuh?”

Namun Kiau Hong hanya menggeleng kepala saja.

A Cu masih khawatir, tanyanya pula, "Engkau tidak terluka apa-apa, bukan? Kiau-toaya?”

Padahal sejak Kiau Hong berkecimpung di dunia Kangouw, selalu ia dihormati kawan dan disegani lawan, belum pernah ia dihina dan dimaki secara rendah oleh orang seperti beberapa hari ini. Kini demi mendengar pertanyaan A Cu itu, mendadak sifat angkuhnya berkobar-kobar, sahutnya keras-keras, "Tidak, aku tidak apaapa. Memang tidak sulit manusia rendah itu hendak menghina dan memfitnah diriku, tapi untuk melukai orang she Kiau, huh, tidaklah gampang.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar