Pendekar Hina Kelana Jilid 106-110

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 106-110 Meskipun Yue Lingshan mampu memainkan kedua jurus itu secara tepat, namun gagasan di dalamnya belum benar-benar ia pahami. Maka,
Meskipun Yue Lingshan mampu memainkan kedua jurus itu secara tepat, namun gagasan di dalamnya belum benar-benar ia pahami. Maka, Tuan Besar Mo pun dapat mengatasinya dengan baik. Pada jurus selanjutnya, pedang Yue Lingshan tampak bergoyang-goyang. Tuan Besar Mo mengenali bahwa itu adalah jurus Shilin Shuseng, disusul dengan jurus Tianzhu Yunqi. Gagasan di dalam rumpun Jurus Pedang Tianzhu diambil dari aneka perubahan awan dan kabut di angkasa.

Begitu melihat Yue Lingshan menggunakan jurus yang susah ditebak tersebut, Tuan Besar Mo memilih untuk menghindar daripada menangkisnya. Namun demikian, ia tetap memutar pedangnya secepat kilat ke barat dan ke timur, demi untuk mengaburkan pandangan para penonton bahwa dirinya sedang berusaha melarikan diri dari serangan si nyonya muda.

Tuan Besar Mo sadar, selain jurus Quanming Furong, Hexiang Zige, Shilin Shuseng, dan Tianzhu Yunqi, masih terdapat lagi jurus ampuh Perguruan Hengshan yang bernama Yanhui Zhurong. Di antara kelima puncak utama Gunung Hengshan, Zhurong merupakan puncak yang paling tinggi. Jurus Yanhui Zhurong juga merupakan jurus pedang paling hebat dari sekian banyak ilmu silat Perguruan Hengshan. Tuan Besar Mo sendiri hanya menerima penjelasan samar-samar dari gurunya karena sang guru sendiri juga kurang terlalu memahami jurus ini dengan jelas. Membayangkan jika Yue Lingshan tiba-tiba memainkannya seketika Tuan Besar Mo menjadi gentar dan khawatir. Meskipun nyawanya mungkin tidak sampai melayang, namun hal itu tentu akan sangat memalukan. Jika sampai kalah oleh ilmu pedang perguruan sendiri, tentu tidak ada lagi alasan baginya untuk tetap berkecimpung di dunia persilatan selamanya.

Akan tetapi, begitu melihat gaya Yue Lingshan yang menyerang dengan ragu-ragu dan kurang yakin, Tuan Besar Mo segera paham bahwa lawannya ini kurang berpengalaman dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. “Rupanya Nyonya Muda masih perlu banyak belajar lagi,” ujarnya setengah bergumam.

Dengan menggunakan jurus Tianzhu Yanqui, Yue Lingshan sebenarnya telah berhasil membuat Tuan Besar Mo terdesak mundur. Meskipun Tuan Besar Mo mampu menutupi kekalahannya dengan mengayunkan pedangnya ke segala arah, namun para tokoh papan atas seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, Yue Buqun, dan Linghu Chong masih tetap bisa melihat gerakan pura-puranya itu. Andai saja Yue Lingshan memahami apa yang terjadi dan segera menarik pedangnya sambil berkata, “Terima kasih, Paman Guru Mo sudi mengalah!” tentu keadaan di antara mereka akan jelas terlihat, siapa yang kalah, siapa yang menang. Bagaimanapun juga Tuan Besar Mo adalah kaum sepuh berkedudukan tinggi, tidak pantas baginya tetap menyerang setelah kalah satu jurus melawan angkatan yang lebih muda. Namun sayangnya, Yue Lingshan tidak menyadari hal itu dan ia tetap bertarung meskipun dengan gerakan yang ragu-ragu.

Karena pihak lawan menunjukkan betapa pengalaman bertarungnya masih dangkal, kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh Tuan Besar Mo. Begitu melihat bibir mungil Yue Lingshan yang berwarna merah delima tersenyum merekah seolah hendak mengatakan sesuatu, seketika itu pula pedang tipis Tuan Besar Mo bergerak dengan cepat. Ini merupakan puncak dari hasil latihannya selama berpuluh-puluh tahun. Gerakannya yang sangat cepat membuat Yue Lingshan terkurung dalam kilatan sinar pedangnya. Suara pedangnya menderu-deru sampai terdengar seperti alunan suara rebab yang menyayat hati.

Yue Lingshan berseru kaget dan mundur beberapa langkah. Akan tetapi, Tuan Besar Mo terus saja mendesaknya agar tidak sempat mengerahkan jurus Yanhui Zhurong. Kali ini Tuan Besar Mo mengerahkan Jurus Tiga Belas Hantu Kabut Hengshan yang dulu digunakannya untuk membunuh Fei Bin di Gunung Hengshan. Para hadirin ikut pusing melihat kecepatan gerak tubuh Tuan Besar Mo itu. Dalam hati mereka ikut kasihan melihat keadaan Yue Lingshan yang terdesak tanpa ampun. Jangankan untuk menyerang, bertahan saja tampak kesulitan. Andai saja ini bukan pertarungan antara laki-laki dan perempuan, atau pertarungan antara sesepuh melawan angkatan muda, tentu para hadirin sudah bertepuk tangan sejak tadi memuji kehebatan Tuan Besar Mo.

Begitu melihat Yue Lingshan menggunakan Jurus Quanming Furong tadi, Linghu Chong tidak ragu lagi bahwa sang adik kecil telah mempelajarinya dari ukiran pada dinding gua rahasia di Tebing Perenungan, di Puncak Huashan. Sambil termenung-menung ia berpikir, “Mengapa Adik Kecil bisa berada di Tebing Perenungan? Guru dan Ibu Guru sangat sayang kepadanya, tidak mungkin Beliau berdua menghukum Adik Kecil. Apa pun kesalahan yang diperbuat Adik Kecil, Guru dan Ibu Guru pasti hanya memarahinya, kemudian memaafkannya. Jarak antara Tebing Perenungan dengan markas Perguruan Huashan lumayan jauh, serta jalan yang menghubungkannya sangat terjal dan berbahaya. Meskipun bukan Adik Kecil yang berbuat salah, murid perempuan lainnya juga tidak sepantasnya dikirim ke sana.”

Sejenak kemudian Linghu Chong kembali melamun, “Apakah mungkin Adik Lin yang telah berbuat kesalahan sehingga dihukum di Tebing Perenungan? Apakah setiap hari Adik Kecil lantas datang menjenguk dan mengantar makanan kepadanya? Tapi, ah, tidak mungkin kalau Adik Lin sampai melanggar peraturan perguruan. Ia seorang pemuda yang santun, dan patuh terhadap aturan. Cepat atau lambat, ia pasti dijuluki Si Pedang Budiman Kecil. Tidak mungkin ... tidak mungkin Adik Lin sampai dihukum di Tebing Perenungan.”

“Jangan-jangan Adik Kecil ... jangan-jangan Adik Kecil ….” tiba-tiba suatu pikiran terlintas di dalam benaknya. Akan tetapi, pikiran ini sangat mustahil dan ia pun berusaha menekannya kembali. Untuk sesaat ia termangu-mangu mengapa memiliki pemikiran seperti itu. Namun ia sendiri juga tidak tahu dengan jelas pikiran macam apa yang terlintas dalam benaknya tadi. Kembali ia berusaha memikirkan hal tersebut, namun semakin dipikirkan justru semakin terkubur dalam-dalam.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan Yue Lingshan membuyarkan lamunan Linghu Chong. Pedangnya lepas dari tangan dan terlempar ke udara. Sebelah kakinya terpeleset dan ia pun jatuh terduduk. Sementara itu, Tuan Besar Mo tampak mengarahkan pedang tipis di tangannya menodong ke arah bahu kiri Yue Lingshan sambil berkata, “Jangan khawatir, silakan bangun!”

Namun sekejap kemudian terdengar suara benturan satu kali. Tampak pedang pendek Tuan Besar Mo itu patah menjadi dua pada bagian tengah. Ternyata Yue Lingshan telah memungut dua buah batu dan melemparkannya ke arah lawan. Satu mengenai pedang pendek yang tipis itu, dan satunya lagi melayang ke samping kiri.

Tuan Besar Mo tersentak kaget bercampur bingung melihat Yue Lingshan melemparkan batunya ke tempat kosong. Tak disangka tiba-tiba iganya terasa sakit. Rupanya batu yang dilemparkan ke samping kiri itu mendadak berputar balik dan secara tepat mematahkan tulang iga sebelah kanan laki-laki tua berbadan kurus itu. Seketika darah pun tersembur keluar dari mulutnya.

Kejadian ini sungguh teramat cepat luar biasa. Mula-mula pedang Yue Lingshan terlempar, orangnya jatuh terduduk, batu melayang, pedang patah, kemudian Tuan Besar Mo muntah darah seolah terjadi dalam sekejap mata. Para penonton ternganga karena kejadian-kejadian ini sungguh sulit untuk diikuti dengan pandangan mata. Menyusul kemudian pedang Yue Lingshan yang terlempar ke atas tadi jatuh pula dan menancap di samping Tuan Besar Mo dan hampir-hampir melukai tubuh Ketua Perguruan Hengshan tersebut

Para hadirin menyaksikan bahwa setelah Tuan Besar Mo menjatuhkan Yue Lingshan, ia tidak lagi melancarkan serangan, tapi menyuruh Yue Lingshan untuk tidak takut dan bangun kembali. Hal ini lazim terjadi manakala seorang tua mengalahkan lawan yang lebih muda. Akan tetapi, serangan Yue Lingshan menggunakan dua potong batu yang seketika membuat lawan terluka parah itulah yang benar-benar sukar diduga sebelumnya.

Hanya Linghu Chong seorang yang mengetahui bahwa kedua serangan pamungkas Yue Lingshan tersebut juga diperoleh dari ukiran pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Dalam gua tersebut, terukir lukisan seorang gembong Sekte Iblis mematahkan pedang tokoh Perguruan Hengshan menggunakan sepasang bandul tembaga. Kali ini Yue Lingshan telah menggunakan batu sebagai pengganti bandul untuk melumpuhkan Tuan Besar Mo. Rupanya Yue Lingshan telah berlatih keras untuk ini, di mana ia bisa memperlakukan sepotong batu bagaikan bandul tembaga seperti milik gembong Sekte Iblis tersebut, yaitu dilemparkan ke samping kiri kemudian berputar balik mengenai sasaran di sebelah kanan.

Tiba-tiba Yue Buqun melesat menghampiri Yue Lingshan dan menampar pipi putrinya itu sambil membentak, “Kurang ajar! Jelas-jelas Paman Guru Mo sengaja mengalah padamu, tapi mengapa kau malah berbuat kasar kepada Beliau?”

Ia kemudian memapah Tuan Besar Mo ke pinggir dan berkata, “Kakak Mo, harap dimaafkan kesalahan anak perempuanku yang tidak kenal adat itu. Sungguh aku sangat menyesal.”

Tuan Besar Mo menjawab sambil meringis, “Seekor harimau melahirkan anak harimau, sungguh perempuan muda yang luar biasa.” Usai berbicara kembali darah tersembur dari mulutnya. Segera dua orang murid Hengshan berlari mendekati dan memapahnya kembali ke tengah rombongan.

Dengan mata melotot Yue Buqun memandang tajam ke arah Yue Lingshan, lalu mengundurkan diri kembali ke dalam rombongan Huashan.

Linghu Chong melihat pipi Yue Lingshan merah membekas gambar lima jari, jelas tamparan sang ayah cukup keras. Air mata perempuan itu tampak meleleh pula, namun giginya berkerut-kerut menunjukkan sikap membantah membuat Linghu Chong teringat kembali kenangan di masa lalu. “Dahulu apabila Adik Kecil berbuat nakal dan dimarahi ayah-ibunya, seringkali ia memperlihatkan sikap yang sama seperti sekarang ini. Lalu untuk menyenangkan hati Adik Kecil, aku sering mengajaknya bertanding pedang. Hal yang bisa membuat hatinya senang kembali adalah jika menang bertanding melawanku. Untuk itu, aku sengaja pura-pura kalah kepadanya.”

Berpikir sampai di sini, kembali terpikir olehnya suatu kemungkinan bagaimana Yue Lingshan bisa menemukan gua rahasia di Puncak Huashan tersebut. Pikirannya yang tadi terkubur dalam-dalam tiba-tiba saja terlintas kembali dengan sangat jelas. “Jangan-jangan Adik Kecil masih merindukan aku meski ia sudah menikah dengan Adik Lin. Kemungkinan besar ia merindukan hubungan baik denganku di masa lampau, lalu secara diam-diam sengaja naik ke puncak untuk mengenang kembali pengalaman-pengalaman bersamaku. Padahal gua rahasia itu sudah kututup kembali sehingga sulit untuk ditemukan kecuali kalau ada orang yang tinggal di sana cukup lama. Apakah Adik Kecil telah menginap di sana cukup lama? Rasanya tidak mungkin. Tidak mungkin kalau Adik Kecil tinggal di sana beberapa malam demi mengenang diriku dan menemukan gua rahasia tersebut. Ataukah mungkin ia datang beberapa kali dan akhirnya berhasil menemukannya?”

Perlahan Linghu Chong menoleh ke arah Lin Pingzhi, dan kembali berpikir, “Adik Lin baru saja menikah dengan Adik Kecil. Seharusnya ia bergembira, tapi mengapa wajahnya tampak bermuram durja? Sebagai suami pun ia tidak menunjukkan perhatian terhadap istrinya ketika Adik Kecil ditampar oleh Guru di depan umum tadi. Sungguh keterlaluan!”

Membayangkan Yue Lingshan naik ke Puncak Huashan untuk mengenang hubungan dengannya di masa lalu – meskipun ini hanya dugaan sendiri – namun dalam benak Linghu Chong sudah timbul gambaran bahwa sang adik kecil pasti di sana sedang menangis sedih karena salah menikah dengan Lin Pingzhi, serta menyesal mengapa dulu menolak cintanya yang mendalam.

Melihat Yue Lingshan kini membungkuk untuk memungut kembali pedangnya dengan air mata bercucuran membasahi tanah berumput, seketika darah pun bergolak di rongga dada Linghu Chong. Ia lantas bertekad di dalam hati, “Aku akan menghiburnya, dan mengubah tangisannya menjadi senyuman.”

Dalam pandangan Linghu Chong saat ini Panggung Fengshan di Puncak Songshan telah berubah bagaikan Puncak Gadis Kumala di Gunung Huashan. Beribu-ribu hadirin yang sedang menonton dianggapnya seperti pepohonan belaka, dan yang ia pikirkan melulu hanyalah si jantung hati yang ia rindukan kini sedang menangis sedih lantaran dipukul ayahnya. Seumur hidup entah sudah berapa kali ia membujuk dan melucu sehingga sang pujaan hati terhibur dan kembali tertawa, mana boleh saat ini hanya diam berpangku tangan?

Maka Linghu Chong pun melangkah maju dan berseru, “Adik … Adik ….” tiba-tiba terpikir olehnya bahwa untuk menyenangkan si jantung hati ia harus bertanding sungguh-sungguh untuk kemudian mengalah. Maka dengan nada menantang ia mengganti suara, “Kau telah mengalahkan ketua-ketua dari Perguruan Taishan dan Hengshan, sudah tentu ilmu pedangmu tidak sembarangan. Perguruan Henshan kami tidak dapat menerima begitu saja. Apakah kau juga sanggup bertanding dengnku menggunakan ilmu pedang Henshan?”

Perlahan-lahan Yue Lingshan menoleh namun tidak berani mengangkat kepala seperti sedang memikirkan sesuatu. Sejenak kemudian barulah ia mendongak dengan raut muka tampak merona merah menahan malu.

Linghu Chong menyambung, “Meskipun ilmu silat Tuan Yue sangat tinggi, namun aku tidak yakin Beliau telah mendalami semua ilmu pedang dari empat perguruan lain dengan sempurna.”

Yue Lingshan menjawab, “Kau sendiri bukan orang Henshan asli, meskipun sekarang telah menjadi ketua di sana. Apakah kau sendiri sudah mahir ilmu pedang Perguruan Henshan yang kau pimpin itu?” Tampak air mata di pipinya sudah berhenti mengalir.

Sejak diusir dari Perguruan Huashan, baru kali ini sang adik kecil bersikap ramah kepadanya. Seketika timbul rasa gembira di hati Linghu Chong. Ia pun berpikir, “Aku harus berkelahi dengan teliti, supaya dia tidak tahu kalau aku sengaja mengalah kepadanya.”

Maka ia kemudian menjawab, “Dikatakan mahir aku sama sekali tidak berani. Tapi sudah sekian lamanya aku berada di Gunung Henshan, dengan sendirinya sudah cukup banyak berlatih ilmu pedang perguruan kami. Sekarang kita harus sama-sama menggunakan ilmu pedang Henshan. Kalau bukan ilmu pedang Henshan maka dianggap kalah, bagaimana?”

Bahwasanya ilmu pedang Linghu Chong jauh lebih tinggi daripada Yue Lingshan cukup banyak diketahui orang. Jika ia mengalah tentu para hadirin dapat dengan mudah mengetahuinya. Maka, ia pun mengucapkan tantangan seperti tadi, sehingga dalam pertandingan nanti ia akan menyelipkan ilmu Sembilan Pedang Dugu atau mungkin jurus pedang Perguruan Huashan, supaya kemenangannya dianggap batal dan ia memiliki alasan untuk mengaku kalah. Dengan demikian tentu hal ini tidak akan menimbulkan keraguan banyak orang bahwa kekalahannya sengaja dibuat-buat.

Terdengar Yue Lingshan menjawab, “Baik, kita bertarung sekarang!” Pedangnya lantas berputar setengah lingkaran dan segera menusuk miring ke arah Linghu Chong.

Serentak terdengar jerit heran murid-murid Henshan melihat gaya serangan Yue Lingshan itu. Meskipun para hadirin jarang mengetahui bagaimana bentuk ilmu pedang Henshan, namun dari jeritan heran para murid perempuan tadi sudah cukup membuktikan bahwa apa yang digunakan Yue Lingshan memang benar-benar ilmu pedang perguruan tersebut. Jurus serangan ini adalah ilmu pedang yang pernah dipelajari Linghu Chong dari dinding gua rahasia itu, dan juga telah diajarkannya kepada murid-murid Henshan pula. Itulah sebabnya mengapa mereka berteriak kaget begitu menyaksikan serangan Yue Lingshan tersebut.

Linghu Chong menahan serangan lawan dengan pedangnya. Ia paham ilmu pedang Henshan memiliki ciri khas banyak gerakan berputar dan melingkar tiada henti serta sangat rapat. Setiap gerakan pedang Perguruan Henshan terlihat lembut tapi mengandung kekuatan dahsyat. Begitu berhadapan dengan musuh, sembilan puluh persen gerakannya adalah untuk bertahan, dan yang sepuluh persen bersifat menyerang. Namun serangan ini seringkali bersifat tiba-tiba dan sangat mengejutkan, serta mengarah pada titik kelemahan lawan.

Linghu Chong telah cukup lama hidup bersama murid-murid Perguruan Henshan, serta pernah melihat pula Biksuni Dingjing ataupun Biksuni Dingxian bertempur melawan musuh. Maka dalam pertandingan ini ia dapat menampilkan jurus-jurus pedang Perguruan Henshan dengan sangat cermat dan teliti. Jelas ia telah menguasai intisari ilmu pedang Henshan secara mendalam. Para pesilat papan atas seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Xie Feng, Zuo Lengchan, dan Yue Buqun dapat menilai kalau Linghu Chong telah berhasil memainkan ilmu pedang Henshan dengan sangat baik. Bahkan, gagasan umum dalam ilmu pedang Henshan yang terkenal dengan istilah “jarum dalam segumpal kapas” telah dipahami secara seksama oleh Linghu Chong. Diam-diam para hadirin berwawasan luas tersebut memberikan pujian dalam hati kepadanya.

Selama ratusan tahun terakhir ini Perguruan Henshan hanya beranggotakan kaum perempuan, dan hampir sebagian besar adalah para biksuni. Bagi penganut ajaran Buddha, sifat welas asih adalah dasar bagi segalanya. Lebih-lebih bagi kaum wanita tentu tidak sepantasnya memainkan jurus pedang yang kasar dan keras. Maka itu, gagasan utama ilmu silat Perguruan Henshan adalah untuk membela diri, bukan untuk menyerang. Prinsip utama ilmu silat perguruan ini adalah menyembunyikan jarum dalam segumpal kapas. Jika ada seseorang yang memegang kapas tersebut dengan lembut maka ia tidak akan terluka. Namun jika ia mencengkeram dengan keras, maka jarum dalam gumpalan tersebut akan menusuk tangannya. Jadi, luka yang tercipta bukan karena tajamnya jarum tetapi karena kuatnya genggaman si tangan. Gagasan ilmu silat Henshan ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha, “Kau menciptakan nasibmu sendiri. Seberapa besar karma baik dan buruk berasal dari perbuatanmu sendiri”.

Setelah menguasai Ilmu Sembilan Pedang Dugu, kecerdasan Linghu Chong dalam memahami berbagai macam intisari ilmu pedang meningkat pesat. Ia memainkan ilmu pedang lebih kepada intisari gagasannya, bukan terjebak pada salah atau benar gerakannya. Maka, begitu memainkan jurus-jurus pedang Perguruan Henshan pun gerakannya cenderung berbeda dengan aslinya, namun maksud dan tujuannya tetap tersampaikan. Pada umumnya ilmu silat Henshan jarang tampil dan jarang dikenali orang, sehingga para hadirin yang berwawasan luas pun kebanyakan hanya mengetahui gagasan utamanya saja, tanpa mengetahui apakah gerakan Linghu Chong itu sudah benar atau tidak. Maka, begitu melihat permainan Linghu Chong yang sudah sesuai dengan prinsip dasar ilmu pedang Henshan, diam-diam mereka memuji, “Pendekar muda ini ternyata bukan secara kebetulan dipilih menjadi Ketua Perguruan Henshan, tetapi ia memang benar-benar menguasai ilmu silat perguruan ini. Rupanya Biksuni Dingxian tidak salah pilih orang.”

Di sisi lain, murid-murid Perguruan Henshan yang paling pandai seperti Yihe dan Yiqing jelas mengetahui kalau gerakan Linghu Chong berbeda dengan apa yang telah diajarkan guru mereka. Namun demikian, mereka tetap dapat menilai bahwa intisari dan gagasan dalam ilmu pedang Henshan telah dikuasai dengan baik oleh Linghu Chong, bahkan lebih mendalam.

Linghu Chong dan Yue Lingshan sama-sama mempelajari jurus pedang Perguruan Henshan dari lukisan para gembong Sekte Iblis yang terukir pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Namun dalam hal ini Linghu Chong memainkannya lebih baik daripada Yue Lingshan. Ditambah lagi Linghu Chong telah lama tinggal bersama kaum biksuni di Gunung Henshan sehingga intisari ilmu silat perguruan ini telah dikuasainya dengan baik. Andai saja bukan karena ingin mengalah untuk menghibur hati sang adik kecil, tentu Yue Lingshan sudah roboh pada awal pertarungan tadi.

Setelah melewati lebih dari tiga puluh jurus, Yue Lingshan mulai kehabisan gerakan karena jumlah jurus yang ia pelajari dari dinding gua rahasia cukup terbatas. Maka, untuk serangan selanjutnya ia pun mengulangi kembali gerakan dari awal. Untung saja jurus-jurus dalam ilmu pedang Henshan memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu gerakan-gerakan melingkar dan serangan tiba-tiba. Itulah sebabnya para hadirin tidak menyadari kalau Yue Lingshan telah mengulangi lagi jurus serangannya mulai dari awal. Apalagi permainan pedang Yue Lingshan sangat rapi dan berkesinambungan, sehingga selain Linghu Chong boleh dikata tidak ada lagi orang lain yang mengetahui kalau jurus-jurus yang dilancarkan kali ini adalah ulangan belaka.

Jurus pedang yang digunakan Yue Lingshan sangat rapat, sementara Linghu Chong mengatasinya dengan gerakan yang sama. Keduanya memainkan jurus-jurus yang sama dan mengandung intisari ilmu pedang Perguruan Henshan pula. Pertandingan kali ini terlihat sangat rumit tapi indah, sedap dipandang mata, sehingga para penonton pun bersorak-sorak memuji dan banyak yang bertepuk tangan.

Seorang penonton berkata, “Linghu Chong adalah Ketua Perguruan Henshan. Wajar kalau ia bisa memainkan jurus pedang Henshan dengan bagus. Tapi Nona Yue adalah orang Perguruan Huashan, mengapa ia juga mahir ilmu pedang Henshan?”

Penonton lain menjawab, “Apa kau lupa kalau Linghu Chong adalah murid pertama Tuan Yue? Tentu saja Tuan Yue sendiri yang telah mengajarkan ilmu pedang ini kepadanya. Kalau tidak, mana mungkin mereka berdua bisa bertanding sedemikian serasi?”

Penonton yang lain menyahut, “Benar, Tuan Yue sudah mahir ilmu pedang Huashan, Taishan, Hengshan, dan Henshan. Sepertinya ia juga mahir ilmu pedang Perguruan Songshan. Aku yakin jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung hanya pantas dijabat olehnya. Tidak ada pilihan yang lain!”

“Ah, belum tentu,” sahut seorang lagi. “Ilmu pedang Ketua Zuo dari Perguruan Songshan masih jauh lebih hebat daripada Tuan Yue. Dalam pertarungan, kualitas ilmu silat lebih penting daripada kuantitas. Sekalipun kau mampu memainkan segala macam ilmu silat di dunia ini, tapi kalau pengetahuanmu hanya beberapa jurus saja apa gunanya? Tentu akan seperti kucing berkaki tiga. Maka, aku yakin Ketua Zuo yang hanya mengandalkan ilmu pedang Songshan saja sudah sanggup untuk mengalahkan ilmu pedang empat perguruan yang dipelajari Tuan Yue.”

“Huh, dari mana kau tahu? Berani sekali omong kosong tak tahu malu?” gerutu orang yang berbicara sebelumnya.

“Omong kosong tak tahu malu bagaimana? Jika berani, mari kita bertaruh lima puluh tahil perak,” jawab yang satunya.

“Kenapa tidak berani?” teriak orang yang pertama. “Aku bayar seratus tahil perak, kontan! Siapa yang kalah menjadi murid Perguruan Henshan.”

“Boleh! Seratus tahil juga boleh,” seru yang lain tak mau kalah. “Tapi, apa maksudmu dengan menjadi murid Perguruan Henshan?”

“Siapa yang kalah menjadi biksuni!” ejek yang pertama.

“Sialan!” maki lawan bicaranya sambil meludah ke tanah.

Sementara itu serangan Yue Lingshan sudah bertambah cepat. Linghu Chong melihatnya begitu cantik dan lincah, membuat ia terkenang saat berlatih bersama di Gunung Huashan pada masa silam. Tanpa terasa pikirannya pun terbuai melayang-layang. Maka, ketika Yue Lingshan menusuknya, segera ia balas menyerang sekenanya. Tak terasa jurus yang dipakainya ini bukan lagi ilmu pedang Perguruan Henshan.

Yue Lingshan mengelak dan berkata lirih, “Mundu Hijau Laksana Kacang!” Menyusul kemudian ia pun membalas dengan suatu jurus, menebas ke arah dahi Linghu Chong.

Linghu Chong mengelak dan menggumam, “Daun Willow Lentik Alis!”

Mundu Hijau Laksana Kacang dan Daun Willow Lentik Alis adalah jurus-jurus dalam rangkaian ilmu pedang Chong Ling, yakni ilmu pedang hasil ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan saat bersama dulu. Nama ilmu pedang Chong Ling ini diambil dari singkatan nama diri masing-masing, yaitu “Chong” dan “Lingshan”. Ilmu pedang ini sebenarnya tidak memiliki sesuatu yang istimewa, namun telah mereka latih dengan sangat matang. Tanpa terasa mereka kini telah memainkannya di hadapan banyak orang.

Linghu Chong jauh lebih cerdas daripada sang adik kecil. Apa pun yang ia kerjakan, pasti dilakukannya dengan riang gembira, tanpa rasa keterikatan terhadap aturan dan norma. Itu sebabnya ia selalu tampil dengan gagasan-gagasan baru. Meskipun ilmu pedang Chong Ling ini adalah gabungan nama mereka, namun hampir sembilan puluh persen lahir dari pikiran Linghu Chong. Saat itu ilmu silat keduanya masih terhitung rendah sehingga tidak ada yang istimewa dalam jurus-jurus yang mereka ciptakan itu. Namun keduanya sangat sering berlatih bersama di tempat tersembunyi sehingga sudah hafal luar kepala terhadap ilmu pedang tersebut.

Maka dalam pertandingan kali ini, Linghu Chong tanpa sadar sudah memainkan jurus Mundu Hijau Laksana Kacang, dan Yue Lingshan langsung menghadapinya dengan jurus Daun Willow Lentik Alis. Meskipun kedua jurus ini biasa-biasa saja, namun raut muka mereka berdua tampak merona merah. Linghu Chong lantas memainkan jurus Memandang dalam Kabut, sementara Yue Lingshan mengimbangi dengan jurus Pertemuan Pertama Hujan Reda.

Linghu Chong dan Yue Lingshan telah melatih ilmu pedang ciptaan mereka ini dalam waktu yang cukup lama, namun tidak berani terang-terangan karena takut mendapat teguran dari Guru dan Ibu Guru. Akan tetapi, kali ini keduanya tidak mampu menahan diri lagi dan memainkan jurus-jurus ciptaan mereka itu di hadapan banyak pendekar. Dalam waktu singkat mereka telah memainkan sekitar sepuluh jurus. Tidak hanya Linghu Chong yang tiba-tiba terkenang pemandangan alam Gunung Huashan, ternyata Yue Lingshan juga sudah tidak ingat kalau dirinya kini telah menikah dan menjadi istri orang lain. Mereka benar-benar lupa daratan bahwa kini sedang berada di hadapan beribu-ribu kaum persilatan. Yue Lingshan tidak ingat lagi kalau dirinya sedang bertanding demi nama baik sang ayah. Yang ada dalam pandangannya hanyalah sosok sang kakak seperguruan yang selalu riang gembira dan melayaninya memainkan ilmu pedang ciptaan bersama.

Linghu Chong melihat raut muka sang adik kecil semakin lembut dan semakin lunak. Tampak kilatan sinar bahagia terpancar pada sorot mata Yue Lingshan. Jelas si nyonya muda ini telah melupakan perlakuan kasar ayahnya tadi. Diam-diam Linghu Chong pun berpikir, “Saat aku melihatnya tadi pagi, ia tampak murung dan tidak bahagia. Namun kini ia terlihat begitu senang dan gembira. Aih, kalau jurus Pedang Chong Ling adalah sumber kebahagiaannya, rasanya aku tidak ingin menghentikan permainan ini seumur hidup.” Sejak mendengar sang adik kecil menyanyikan lagu rakyat Fujian di Tebing Perenungan waktu itu, baru kali ini Linghu Chong merasa diperlakukan dengan baik seperti dulu kala. Sungguh hatinya merasa sangat bahagia tiada terkira.

Setelah melewati dua puluh jurus berikutnya, pedang Yue Lingshan menebas ke arah kaki kiri Linghu Chong. Segera Linghu Chong mengangkat kakinya untuk kemudian mendepak batang pedang lawan. Namun Yue Lingshan segera menekan pedangnya ke bawah kemudian menebas telapak kaki sang kakak. Pedang Linghu Chong segera menusuk pula ke pinggang Yue Lingshan sehingga terpaksa si nyonya muda memutar pedangnya ke atas untuk menangkis. Maka kedua pedang itu pun beradu sehingga sama-sama tergetar ke atas. Keduanya kemudian sama-sama menusukkan pedang masing-masing ke depan mengarah ke tenggorokan lawan dengan kecepatan luar biasa.

Melihat arah pedang keduanya, dapat dibayangkan masing-masing dari mereka sukar untuk menghindarkan diri dan pasti akan gugur bersama. Tanpa terasa para penonton ikut menjerit khawatir. Namun mendadak terdengar suara benturan logam perlahan yang diikuti dengan percikan kembang api. Tidak hanya itu, batang pedang masing-masing sampai melengkung dan saling mendorong. Kemudian keduanya sama-sama menjulurkan tangan kiri dan saling meminjam tenaga lawan untuk mendarat di tanah.

Sungguh apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, bahwa akhir dari serangan maut keduanya itu bisa saling berbenturan ringan pada saat tubuh masing-masing melayang di udara. Kemungkinan terjadinya peristiwa ini sungguh sangat kecil. Dalam ribuan pertarungan, tidak pernah ada ceritanya pada saat-saat yang menentukan antara hidup dan mati tiba-tiba saja kedua ujung pedang bisa bertemu dan berbenturan hingga melengkung dengan sedemikian tepat.

Orang lain tidak tahu bahwa Linghu Chong dan Yue Lingshan dulu telah berlatih ribuan kali tanpa mengenal lelah untuk bisa membenturkan ujung pedang masing-masing, sehingga gerakan yang sulit dan berbahaya itu berhasil mereka mainkan dengan baik. Dalam memainkan jurus ini mereka berdua harus dalam posisi yang tepat. Tenaga mereka juga harus seimbang, sehingga begitu kedua ujung pedang bertemu dan saling dorong, seketika batang kedua pedang itu ikut melengkung oleh tenaga masing-masing. Ilmu pedang semacam ini tidak lazim digunakan untuk menyerang musuh, namun Linghu Chong dan Yue Lingshan merasa tertarik dan terhibur jika dapat melakukannya meskipun ini akan sulit luar biasa. Tidak hanya itu, mereka juga berlatih mempertemukan ujung pedang saat tubuh melayang di udara.

Setelah menciptakan jurus aneh ini, Yue Lingshan pernah bertanya, “Jurus ini kita beri nama apa?”

Linghu Chong balik bertanya, “Menurutmu bagaimana?”

Yue Lingshan menjawab, “Bagaimana kalau ‘Kehancuran Besar’?”

Linghu Chong menanggapi, “Kehancuran Besar? Rasanya ini seperti pertarungan antara musuh bebuyutan. Bagaimana kalau diberi nama ‘Jurus Kau Hidup Aku Mati’?”

Yue Lingshan keberatan, “Tidak setuju, tidak setuju! Harusnya kau yang mati, aku yang hidup!”

Linghu Chong berkata, “Memangnya aku tadi berkata apa? Kau yang hidup, aku yang mati, bukan?”

Yue Lingshan menanggapi, “Perjataan ‘kau’ dan ‘aku’ itu membingungkan. Dalam jurus ini tidak seorang pun dari kita yang mati. Lebih baik diberi nama ‘Jurus Sehidup Semati’ saja.”

“Bagus sekali! Aku setuju!” seru Linghu Chong sambil bertepuk tangan.

Namun saat itu Yue Lingshan tiba-tiba merasa malu karena nama jurus usulannya terdengar mesra. Ia pun membuang pedangnya lantas berlari pulang.

Kini di Puncak Songshan para hadirin melihat mereka berdua berada di ambang kematian namun kemudian berhasil lolos dari lubang jarum. Keringat dingin pun membasahi tangan mereka sampai-sampai lupa untuk bersorak-sorai seperti sebelumnya. Tempo hari di Biara Shaolin ketika terjadi pertandingan antara Linghu Chong melawan sang guru, waktu itu Yue Buqun memang memainkan jurus-jurus ilmu pedang Chong Ling, namun tidak sampai menggunakan Jurus Sehidup Semati ini. Yue Buqun memang pernah mengintip saat Linghu Chong dan Yue Lingshan berlatih bersama namun ia merasa tidak perlu menggunakan jurus yang konyol dan tidak berguna itu. Itulah sebabnya para tokoh seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, dan yang lain sangat terkejut menyaksikan pemandangan tadi.

Sementara itu Ren Yingying dalam penyamarannya merasa khawatir juga tidak nyaman saat melihat pemandangan di tengah gelanggang itu. Ia melihat Linghu Chong dan Yue Lingshan melayang turun sambil bibir saling tersenyum mesra saat kedua mata saling berpandangan. Dari sikap dan gerak tubuh mereka, tampaknya masing-masing bagaikan sedang diselimuti suasana hangat angin sepoi-sepoi musim semi.

Keduanya kini mengangkat pedang dan bertarung kembali. Ketika menciptakan ilmu pedang ini dulu, mereka adalah sepasang kakak beradik yang sangat akrab dan enggan untuk berpisah. Itulah sebabnya jurus-jurus ciptaan mereka pun lebih banyak bersifat suka cita, dan bukan gerakan untuk membunuh. Sekarang dalam pertandingan ini tanpa disadari kenangan lama pun terulang kembali. Pedang mereka bergerak lemah gemulai, alis mereka sama-sama terangkat, dan kenangan terpendam ketika masih bersama dulu pun kembali menggelora. Tanpa terasa mereka pun saling mengungkapkan perasaan kasih sayang semasa kanak-kanak dulu. “Pertandingan pedang” di atas Puncak Songshan yang mereka lakukan ini lebih pantas disebut “menari dengan pedang”, atau lebih tepatnya lagi, “tarian pedang”. Akan tetapi tarian pedang ini bukan untuk menghibur penonton, melainkan untuk menghibur diri sendiri.

Tiba-tiba di tengah para penonton terdengar seseorang bersuara dingin, “Hei!”.

Kontan saja Yue Lingshan terkejut sebab suara itu tidak lain adalah suara Lin Pingzhi, suaminya. Seketika ia pun berpikir, “Caraku bertarung dengan Kakak Pertama memang tidak sepantasnya.”

Segera ia pun mengayunkan pedangnya membentuk setengah lingkaran dan menyerang dengan kekuatan penuh dan bertenaga. Ternyata yang ia mainkan kali ini adalah salah satu jurus indah dari Perguruan Huashan yang tergabung dalam rumpun Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala.

Linghu Chong juga mendengar suara Lin Pingzhi tadi dan gara-gara itu Yue Lingshan mengganti permainannya dengan melancarkan jurus serangan tanpa ampun. Kali ini si nyonya muda sudah tidak lagi memperlihatkan sikap mesra sebagaimana saat menggunakan Jurus Pedang Chong Ling tadi.

Seketika hati Linghu Chong menjadi pilu. Segala macam kenangan masa lalu lantas terbayang-bayang di benaknya. Saat itu ia kembali terkenang saat-saat menjalani hukuman di Tebing Perenungan, setiap hari sang adik kecil selalu mengantarkan makanan untuknya. Pernah juga Yue Lingshan bermalam bersamanya di dalam gua. Setelah kejadian itu sang adik kecil jatuh sakit dan entah kenapa dan entah bagaimana Lin Pingzhi berhasil merebut perhatiannya. Sejak itu hubungan Linghu Chong dengan Yue Lingshan pun menjadi renggang karena lebih sering terjadi kesalahpahaman di antara mereka.

Linghu Chong juga teringat pada hari berikutnya Yue Lingshan datang lagi ke puncak setelah berlatih Jurus Pedang Gadis Kumala dari ibunya. Di Puncak Huashan itu Yue Lingshan menguji kehebatan ilmu pedang barunya dengan melawan Linghu Chong. Namun saat itu Linghu Chong sedang dirasuki rasa cemburu sehingga tanpa sengaja ....

Seketika Linghu Chong tersentak dari lamunannya karena pedang Yue Lingshan ternyata telah berada dua senti di depan dadanya. Tanpa pikir panjang Linghu Chong langsung menyentil batang pedang Yue Lingshan itu hingga terlepas dari pegangan dan terlempar jauh ke angkasa.

“Oh, tidak!” seru Linghu Chong menyesal melihat raut muka Yue Lingshan yang bersemu merah, dengan mulut ingin tersenyum tapi tidak bisa tersenyum. Seketika Linghu Chong kembali teringat pada kejadian saat Yue Lingshan menguji Jurus Pedang Gadis Kumala di Tebing Perenungan dulu. Saat itu Linghu Chong yang sedang cemburu kepada Lin Pingzhi tanpa sengaja menyentil pedang Yue Lingshan sehingga jatuh ke dasar jurang yang tak terkira dalamnya. Padahal pedang tersebut adalah pedang pusaka bernama Pedang Telaga Hijau, hadiah ulang tahun pemberian sang ayah. Sejak kejadian itulah tercipta dinding pemisah di antara mereka berdua. Tak disangka kejadian yang sama kini terulang kembali. Saat mendengar suara Lin Pingzhi berseru sinis, dan saat melihat raut muka Yue Lingshan berubah tanpa belas kasih, seketika penyakit cemburu Linghu Chong kambuh kembali. Jika dulu saja ia dapat menyentil pedang Yue Lingshan hingga jatuh terpental ke dasar jurang, apalagi sekarang ini saat tenaga dalamnya sudah jauh melimpah ruah. Maka, pedang Yue Lingshan yang terlempar ke udara itu pun tadi sampai sekian lamanya baru terlihat jatuh kembali ke bawah.

Dalam keadaan serbasalah itu Linghu Chong berpikir, “Sebenarnya aku masuk ke dalam gelanggang ini hanyalah untuk menyenangkan hati Adik Kecil. Apalagi tadi ia mau bersikap ramah kembali padaku. Tapi mengapa, aku justru membuat pedangnya terlempar dan mempermalukan dirinya di hadapan banyak orang? Sungguh tidak patut aku membalas keramahannya dengan cara seperti ini.”

Tampak pedang Yue Lingshan sudah meluncur ke bawah. Tanpa pikir panjang Linghu Chong mengajukan diri sambil berseru, “Jurus pedang Henshan yang sangat bagus!” Usai berteriak demikian ia belagak seolah hendak menghindar, namun sebenarnya sengaja mengajukan diri menyambut pedang yang meluncur jatuh itu. Maka sekejap kemudian, pedang tersebut langsung menancap di belakang bahu kanannya, dan seketika tubuhnya pun tersungkur ke depan seakan-akan terpaku di tanah oleh pedang Yue Lingshan itu.

Kejadian ini benar-benar terlalu cepat sehingga para penonton menjerit kaget dan ternganga melihatnya.

Yue Lingshan juga terkejut dan berseru, “Ka… Kakak Pertama, kenapa ….” segera dilihatnya seorang laki-laki berewok bertubuh gemuk melompat maju mendekati dan membangunkan Linghu Chong. Pedang yang menancap di pundak belakangnya itu dicabut, lalu ia pun memapah tubuh Linghu Chong menepi ke pinggir gelanggang.

Darah segar mengucur deras dari luka di bahu Linghu Chong itu. Belasan murid Perguruan Henshan menyongsong maju pula untuk memberikan pertolongan kepada sang ketua. Beberapa di antara mereka segera menaburkan obat di tempat luka. Yue Lingshan yang merasa khawatir bermaksud mendekat untuk melihat. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat mengarah kepadanya. Disusul kemudian terdengar seorang biksuni berseru sambil merintanginya, “Perempuan keji!” Yue Lingshan tersentak dan mundur beberapa langkah. Seketika ia merasa serbasalah dan tidak tahu apa yang harus diperbuat lagi.

Pada saat itulah terdengar suara Yue Buqun tertawa nyaring dan berseru, “Shan’er, kau telah menggunakan jurus pedang Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan untuk mengalahkan para ketua mereka masing-masing. Sungguh pekerjaan yang tidak ringan.”

Bahwasanya jurus terakhir yang digunakan Yue Lingshan itu apakah termasuk ilmu pedang Henshan atau bukan, sebenarnya para penonton juga tidak tahu dengan jelas. Mereka hanya teringat kedua orang yang bertanding tadi sama-sama memainkan tarian pedang yang tidak istimewa namun sangat indah itu. Kemudian mereka melihat pedang Yue Lingshan terlempar ke udara dan jatuh kembali mengenai pundak Linghu Chong. Kenyataan yang pasti ialah, Linghu Chong terluka oleh pedang Yue Lingshan. Mengenai luka itu apakah akibat jurus Perguruan Henshan atau bukan, tiada yang tahu secara pasti. Memang ada sebagian hadirin yang dapat melihat jurus pedang tersebut tidak mengandung ciri khas ilmu pedang Henshan, namun mereka juga tidak memiliki pengetahuan dari aliran manakah jurus pedang tadi berasal. Maka itu, tiada seorang pun yang berani menanggapi ucapan Yue Buqun tersebut.

Dengan perasaan bingung Yue Lingshan memungut kembali pedangnya yang tergeletak di tanah dan berlumuran darah. Seketika hatinya menjadi khawatir dan bertanya-tanya, “Bagaimanakah keadaannya? Asalkan dia tidak mati, aku akan … aku akan .…”

Pada saat itu terdengar suara seorang yang berseru lantang, “Tuan Yue tidak cuma menguasai ilmu pedang Perguruan Huashan sendiri, bahkan ilmu pedang Taishan, Hengshan, dan Henshan juga dikuasainya dengan sempurna. Sungguh sangat mengagumkan dan patut dipuji. Maka itu, jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung rasanya sangat pantas untuk diduduki Tuan Yue dan tiada pilihan lain lagi.” Orang yang berbicara ini adalah Xie Feng, Ketua Partai Pengemis. Baik dirinya ataupun Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sama-sama berpikiran bahwa kekacauan di dunia persilatan akan segera terjadi setelah Zuo Lengchan berhasil melebur lima perguruan pedang menjadi satu. Maka, ia pun berusaha ikut serta menggagalkan ambisi Zuo Lengchan itu melalui kata-kata dengan cara menaikkan wibawa Yue Buqun dan menjadikannya pantas menjabat sebagai ketua.

Sejak ratusan tahun yang lalu Partai Pengemis memiliki pengaruh besar di dunia persilatan. Tentu saja apa yang diucapkan Xie Feng ini tidak sembarangan orang berani menanggapinya.

Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dengan nada dingin, “Nona Yue ternyata mahir ilmu pedang dari keempat perguruan, sungguh bukan hal yang mudah dan pantas untuk dipuji. Sekarang aku ingin lihat apakah kau dapat mengalahkan diriku dengan menggunakan ilmu pedang Perguruan Songshan. Jika benar demikian, maka seluruh Perguruan Songshan akan mendukung Tuan Yue sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung tanpa syarat.” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Zuo Lengchan. Sambil berbicara ia terus melangkah maju ke tengah gelanggang. Tangan kirinya menekan sarung pedang, seketika pedangnya pun meloncat keluar dengan sendirinya. Tampak sinar pedang berkilauan melesat ke udara dan secepat kilat tangan kanannya pun menangkap gagang pedang tersebut.

Kejadian ini sungguh indah dipandang mata. Zuo Lengchan mampu melemparkan pedang keluar dari sarungnya hanya dengan sekali tekan menggunakan tangan kiri. Keahlian seperti ini sungguh jarang terjadi dan jarang terdengar pula. Melihat itu serentak murid-murid Songshan bertepuk tangan memuji sang ketua. Tidak hanya itu, sebagian para hadirin juga ikut bersorak memuji.

Terdengar Yue Lingshan menjawab, “Aku … aku hanya akan memainkan tiga belas jurus saja. Jika dalam tiga belas jurus tidak bisa mengalahkan Paman Guru Zuo ….”

Zuo Lengchan menanggapi dalam hati, “Kau bocah perempuan tidak hanya berani menerima tantanganku, tapi juga berani membatasi dalam tiga belas jurus saja. Huh, kau pikir diriku ini siapa?” Ia kemudian berkata dengan nada dingin, “Bagus sekali, kalau dalam tiga belas jurus kau tidak bisa mengalahkanku, lantas bagaimana?”

“Bagaimana … bagaimana mungkin aku mampu menandingi Paman Guru Zuo?” ujar Yue Lingshan. “Ayah hanya mengajariku ilmu pedang Perguruan Songshan sebanyak tiga belas jurus saja. Paman Guru Zuo bisa membuktikan kalau tidak percaya.”

Zuo Lengchan hanya mendengus tanpa menjawab.

Yue Lingshan melanjutkan, “Ayah berkata, meskipun ketiga belas jurus pedang Songshan yang telah kupelajari ini merupakan jurus-jurus paling hebat dalam Perguruan Songshan, tapi dalam pertandingan nanti mungkin baru satu jurus saja pedangku sudah terlempar menghadapi kehebatan Paman Guru Zuo. Bagaimana mungkin aku bisa memainkan jurus kedua?”

Kembali Zuo Lengchan mendengus tanpa menanggapi.

Ketika pertama kali berbicara tadi suara Yue Lingshan terdengar gemetar. Tidak jelas apakah itu karena ia sedang kehabisan tenaga, ataukah karena sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar di dunia persilatan. Namun kini ucapannya terdengar lebih tenang. “Aku lantas berkata kepada Ayah, ‘Sekalipun Paman Guru Zuo adalah jago nomor satu di Perguruan Songshan, tapi belum tentu menjadi yang nomor satu dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Bagaimanapun juga ia tidak mahir memainkan ilmu pedang dari kelima perguruan seperti Ayah.’ Namun, dengan rendah hati Ayah menjawab, ‘Dikatakan mahir sepertinya terlalu berlebihan. Yang aku tahu hanya dasar-dasar ilmu pedang kelima perguruan saja. Jika kau tidak percaya padaku boleh saja kau mencoba bertanding melawan ilmu pedang Paman Guru Zuo-mu yang lihai itu. Bila kau sanggup bertarung tiga jurus saja melawannya, maka kau memang anak perempuanku yang tersayang.”

Zuo Lengchan tertawa dingin dan berkata, “Hm, jika dalam tiga jurus ternyata kau dapat mengalahkan aku, tentu kau lebih disayang lagi oleh ayahmu, bukan?”

“Ilmu pedang Paman Guru Zuo mahasakti dan jarang ada di sepanjang sejarah Perguruan Songshan, sedangkan aku hanya belajar sedikit ilmu pedang Songshan. Jadi, mana berani aku bermimpi mengalahkan Paman Guru Zuo segala?” kata Yue Lingshan. “Ayah berkata kalau aku bisa bertahan dalam tiga jurus saja sudah termasuk hebat. Tapi aku berharap bisa bertahan sampai tiga belas jurus. Entah harapanku ini bisa terkabul atau tidak?”

Perasaan Zuo Lengchan semakin kesal. Ia berpikir, “Jangankan tiga belas jurus, jika kau mampu menahan tiga jurus seranganku saja sudah terhitung hebat dan aku tentu tidak punya muka lagi berkecimpung di dunia persilatan.”

Tanpa berkata lagi ia lantas memegang ujung pedangnya menggunakan tiga jari tangan kiri, yaitu ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, kemudian tangan kanannya melepaskan genggaman. Seketika, gagang pedang itu pun berputar sehingga menghadap ke depan. “Ayo mulai!” serunya kemudian.

Cara Zuo Lengchan memegang senjata ini benar-benar menggemparkan para hadirin. Memegang pedang dengan tangan kiri saja sudah luar biasa, apalagi memegang ujungnya menggunakan tiga jari dengan posisi gagang menghadap musuh. Dibandingkan dengan pertarungan tangan kosong melawan senjata musuh, memegang ujung pedang dengan gagang menghadap lawan jelas lebih sulit. Gagang pedang yang lebih berat daripada ujung pedang sudah pasti akan bergoyang-goyang jika diayunkan. Maka, salah gerak sedikit saja bisa-bisa jarinya akan terpotong oleh pedang sendiri.

Jelas-jelas Zuo Lengchan sedang kesal dan ingin merendahkan Yue Lingshan di hadapan umum dengan cara seperti ini. Disamping itu, cara ini juga sengaja dilakukan untuk memamerkan kepandaian dan menimbulkan kekaguman banyak orang. Melihat sikap lawan yang seperti itu, mau tidak mau Yue Lingshan merasa gentar juga. Ia berpikir, “Ilmu silat macam apa yang ia gunakan? Ayah tidak pernah mengajarkan ini padaku. Tapi, urusan sudah sejauh ini, untuk apa aku harus takut?”

Sekilas Yue Lingshan melirik ke arah rombongan Perguruan Henshan. Para biksuni terlihat masih sibuk dan mengerumuni Linghu Chong, namun tidak terdengar suara tangisan, sehingga dapat diduga nyawa kakak pertama dapat diselamatkan meskipun lukanya cukup parah. Seketika Yue Lingshan merasa agak lega. Segera ia mengangkat pedang dan membungkuk dengan memainkan Jurus Berlaksa Gunung Menghadap Pusat, yakni salah satu jurus pedang Perguruan Songshan yang diwariskan turun-temurun.

Melihat itu, murid-murid Perguruan Songshan menjadi gempar namun juga merasa senang, karena jurus tersebut adalah jurus pernghormatan yang biasa digunakan angkatan muda jika bertanding melawan angkatan yang lebih tua dalam Perguruan Songshan. Dengan jurus pembukaan seperti itu, maka si muda ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya tidak ingin bertarung, tetapi hanya meminta petunjuk saja. Zuo Lengchan sendiri tampak mengangguk perlahan dan berpikir, “Ternyata kau juga mengetahui jurus ini. Dengan memandang penghormatanmu ini, maka aku tidak akan membuatmu malu di depan banyak orang.”

Setelah Yue Lingshan memainkan jurus penghormatan tersebut, segera pedangnya berkelebat seperti pelangi berwarna putih menusuk ke arah Zuo Lengchan. Jurus ini terlihat sangat agung, juga mengandung intisari ilmu pedang Perguruan Songshan. Meskipun Zuo Lengchan menguasai semua jenis ilmu pedang Songshan yang berjumlah tujuh belas rumpun – Delapan Jalan Dalam, Sembilan Jalan Luar – namun ia belum pernah melihat jurus yang dipakai Yue Lingshan tersebut. Maka, lagi-lagi ia berpikir, “Jurus apa ini? Dari tujuh belas rumpun ilmu pedang Songshan rasanya jurus ini lebih hebat. Ini sungguh aneh.”

Zuo Lengchan bukan hanya guru besar di Perguruan Songshan, tapi pada zaman sekarang ia dapat dikatakan sebagai sarjana dunia persilatan. Maka, begitu melihat jurus perguruan sendiri yang agung dan misterius dimainkan oleh lawan, segera hatinya penasaran dan ingin melihat sampai tuntas. Tampak olehnya serangan Yue Lingshan itu semakin mendekat ke dadanya, namun kekuatan tenaga dalamnya terlalu lemah. Jika pedang nyonya muda itu tinggal berjarak beberapa senti saja, tentu ia tinggal menyentil satu kali dan pedang tersebut pasti akan langsung terlempar. Namun cara ini membuat jurus pedang lawan berakhir dan bagaimana kelanjutannya tidak bisa diketahui lagi.

Tak disangka, begitu serangan Yue Lingshan semakin mendekati dada Zuo Lengchan, tiba-tiba saja nyonya muda itu menarik pedangnya, memiringkan tubuhnya, dan memutar senjatanya, serta menebas bahu kiri lawan. Serangan ini mirip Jurus Orang Bijak Sepanjang Zaman milik Perguruan Songshan, namun tidak secepat itu. Serangan ini juga mirip Jurus Burung Pekakak Mengapung, namun terlihat lebih ringan. Serangan ini juga mirip Jurus Sumur Kumala Telaga Surga, namun juga tidak seindah itu. Pada intinya, jurus yang digunakan Yue Lingshan mengandung intisari ilmu pedang Songshan namun berbeda rincian gerakannya.

Zuo Lengchan memiliki pandangan tajam dan juga telah mempelajari semua ilmu silat Perguruan Songshan secara mendalam sejak masih kecil. Rincian gerakan setiap jurus bahkan sampai bagian yang paling rumit sekalipun tercatat dalam ingatannya. Kini begitu melihat jurus yang dimainkan Yue Lingshan begitu aneh dan lain daripada yang lain, seperti menggabungkan beberapa gerakan untuk menutupi setiap kelemahan, seketika membuat hatinya heran sekaligus gembira. Ia merasa saat ini seperti melihat harta karun jatuh dari langit.

Dahulu ketika Serikat Pedang Lima Gunung bertempur melawan sepuluh gembong Sekte Iblis di Gunung Huashan, sejumlah pesilat tangguh tewas dalam peristiwa itu bersama ilmu pedang andalan mereka yang ikut punah tanpa sempat diwariskan. Pada masa kepemimpinannya, Zuo Lengchan sibuk mengumpulkan dan mencatat berbagai jenis jurus pedang dari para sesepuh yang tersisa demi menyelamatkan ilmu pedang Perguruan Songshan. Tidak peduli jurus-jurus tersebut ganas atau tidak, ia tetap mengumpulkannya dan kemudian mengambil intisarinya. Selama beberapa puluh tahun belakangan, ia memperbaiki jurus-jurus yang sudah lemah menjadi lebih kuat, serta mengelompokkan ilmu pedang Perguruan Songshan menjadi tujuh belas rumpun. Meskipun ia sama sekali tidak menciptakan sebuah jurus baru, namun jasa-jasanya dalam mengembangkan ilmu silat Perguruan Songshan sungguh luar biasa.

Kini, melihat Yue Lingshan menggunakan jurus pedang Songshan yang ternyata tidak terdapat dalam catatannya dan sepertinya memiliki kehebatan lebih mendalam, tentu saja membuat hati Zuo Lengchan dipenuhi rasa gembira. Jika ilmu pedang ini dimainkan oleh Ren Woxing atau Linghu Chong, atau mungkin Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, tentu ia akan memusatkan perhatian untuk menghadapinya dan mana mungkin memiliki kesempatan untuk mengamati semua gerakan lawan? Namun karena tenaga dalam Yue Lingshan tergolong rendah maka ia merasa tidak perlu khawatir. Pada detik-detik yang berbahaya, ia yakin dirinya masih sanggup menggetar jatuh pedang dari tangan lawan apabila diperlukan.

Para penonton merasa heran menyaksikan cara bertanding mereka itu. Setiap saat Yue Lingshan selalu menarik kembali serangannya sebelum mencapai sasaran, tidak jelas apakah ia sengaja mengalah atau mungkin merasa gentar. Sebaliknya, Zuo Lengchan seolah tidak peduli terhadap serangan yang datang. Raut mukanya sebentar heran sebentar senang seperti orang linglung. Pertandingan seperti ini benar-benar jarang terjadi. Sementara itu, orang-orang Perguruan Songshan juga tampak memperhatikan pertarungan ini dengan seksama, seolah mereka takut tertinggal satu atau dua gerakan jurus pedang Yue Lingshan.

Jurus-jurus pedang Perguruan Songshan yang dipelajari Yue Lingshan ini jelas berasal dari ukiran di dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Pada dinding tersebut terukir sekitar enam puluh atau tujuh puluh jurus pedang Perguruan Songshan. Setelah Yue Buqun mengamatinya dengan seksama, ternyata ada sekitar empat puluh jurus yang sudah sering dipakai Zuo Lengchan, dan ada tiga belas jurus yang masih asing baginya. Jika ketiga belas jurus ini dipelajari dan dimainkan, tentu akan sangat menggemparkan. Jurus-jurus yang terukir di dinding itu hanyalah benda mati, sehingga Yue Lingshan pun memainkannya secara terbatas pada gerakan-gerakannya saja. Di lain pihak, Zuo Lengchan yang sangat cerdas dapat merangkai gerakan-gerakan tersebut di dalam benaknya, dan membayangkan itu semua bisa digunakan dalam waktu yang bersamaan dan menyimpan daya tempur yang luar biasa besar.

Yue Lingshan sendiri hanya memainkan tiga belas jurus dan setelah berakhir ia segera mengulangi jurus pertama kembali dari awal. Melihat ini pikiran Zuo Lengchan tergerak, “Apakah aku harus mengamati serangannya lagi, ataukah harus menjatuhkan pedangnya sekarang juga?” Ia benar-benar berada dalam pilihan yang sulit. Dalam sekejap bermacam-macam pikiran terlintas dalam benaknya, “Ilmu pedang Songshan yang dimainkannya sangat aneh dan bagus. Mungkin setelah ini tiada kesempatan lagi untuk melihatnya. Untuk membunuh anak perempuan ini terlalu mudah, namun mendapatkan ilmu pedangnya, inilah yang sulit. Rasanya juga tidak mungkin aku meminta-minta kepada Yue Buqun untuk memperlihatkan ilmu pedang Songshan ini padaku. Sebaliknya, kalau kubiarkan dia mengulangi kembali permainannya hanya membuatku terlihat tidak becus melawan seorang anak perempuan. Hm, akan ke mana wajahku ini harus kutaruh? Ah, mungkin sudah lebih dari tiga belas jurus yang berlalu.”

Begitu teringat pada “tiga belas jurus”, seketika ambisinya menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung mengalahkan pikiran-pikiran yang lain. Segera ia memutar pedangnya ke atas, dan terdengarlah suara benturan nyaring. Rupanya pedang Yue Lingshan telah tergetar patah menjadi beberapa bagian dan jatuh ke tanah.

Yue Lingshan melompat mundur dan berseru nyaring, “Paman Guru Zuo, sudah berapa jurus pedang Songshan yang kumainkan tadi?”

Zuo Lengchan diam sejenak sambil memejamkan mata, lalu menjawab, “Benar, sudah kau memainkan tiga belas jurus lebih. Sungguh hebat!”

Yue Lingshan memberi hormat lalu berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Paman Guru Zuo sehingga keponakanmu ini bisa unjuk kebodohan memainkan tiga belas jurus pedang Perguruan Songshan dengan lancar.”

Para hadirin menghela napas lega mengagumi kehebatan ilmu silat Zuo Lengchan yang mampu menghancurkan pedang di tangan lawan. Namun di awal tadi Yue Lingshan sudah sesumbar dirinya akan memainkan tiga belas jurus pedang Songshan. Para hadirin membayangkan jangankan memainkan tiga belas jurus menghadapi Zuo Lengchan, bahkan tiga jurus saja sudah pasti sangat susah. Tak disangka, Zuo Lengchan justru terlihat seperti orang linglung saat menghadapi ketiga belas jurus tersebut, bahkan pihak lawan sampai mengulangi jurus pertama dari awal. Namun demikian, ada juga sebagian hadirin yang berpikiran liar mengira Zuo Lengchan suka main perempuan, sehingga saat menghadapi seorang nyonya muda yang cantik jelita, pikirannya menjadi linglung dan mengembara ke mana-mana.

Seorang tua berbadan kurus dari Perguruan Songshan segera tampil ke muka. Ia tidak lain adalah Lu Bai si Tapak Bangau yang kemudian berseru, “Ilmu silat Ketua Zuo yang tiada tanding telah kita saksikan bersama, bahkan Beliau juga sangat bijaksana telah bermurah hati. Sebaliknya, putri keluarga Yue ini baru memahami sedikit ilmu pedang Perguruan Songshan sudah berani unjuk gigi di hadapan Ketua Zuo. Setelah dia kehabisan jurus, barulah Ketua Zuo melumpuhkannya hanya dengan satu gebrakan saja. Ini sudah cukup membuktikan bahwa ilmu silat lebih mengutamakan kemahiran khusus. Kualitas lebih penting daripada kuantitas. Tidak peduli ilmu silat dari aliran mana pun, asalkan kita mendalaminya dengan baik maka dapat berjaya dunia persilatan ….”

Sudah tentu para penonton sepakat dengan ucapan orang tua kurus ini. Di antara mereka yang hadir, boleh dikata hanya sedikit orang yang mahir bermacam-macam ilmu silat. Rata-rata dari mereka hanyalah menguasai ilmu silat perguruan sendiri. Bahkan, dibilang benar-benar menguasai juga tidak sepenuhnya tepat.

Lu Bai melanjutkan, “Rupanya Nona Yue ini sungguh pintar. Saat perguruan lain berlatih pedang, entah bagaimana ia berhasil mengintip dan mencuri lihat. Kemudian dia berani sesumbar di sini, bahwa ia telah mahir semua ilmu silat kelima perguruan. Padahal, ilmu pedang dari aliran masing-masing mempunyai intisari sendiri-sendiri. Kalau hanya paham sedikit kulit luarnya saja mana bisa dikatakan sudah mahir? Kalau kau boleh mencuri ilmu perguruanku dan aku boleh mencuri ilmu perguruanmu, bukankah ini bisa mendatangkan kekacauan?”

Kembali para penonton mengangguk setuju dan sama-sama berpikir bahwa Yue Buqun harus bertanggung jawab karena telah melanggar pantangan besar kaum persilatan, yaitu mengintip dan mencuri pelajaran ilmu silat golongan lain.

Ucapan Lu Bai ini memang ada benarnya. Linghu Chong telah kalah di tangan Yue Lingshan karena ia sengaja mengalah, sedangkan Tuan Besar Mo kalah karena sedang lengah. Sementara itu, Yuyinzi dan Yuqingzi kalah karena mereka terlalu meremehkan Yue Lingshan sehingga kurang persiapan menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba. Selain itu, jurus pedang Taishan yang dimainkan Yue Lingshan juga jauh lebih hebat daripada yang dimainkan kedua pendeta tua itu. Meskipun jurus Pedang Daizhong yang dimainkannya tidaklah murni, namun hal ini tetap dianggap sebagai pencurian oleh para hadirin. Maka, ketika apa yang diucapkan Lu Bai sesuai dengan isi hati mereka, mereka pun segera ikut bersuara memberikan dukungan.

Melihat sebagian besar hadirin setuju dengan ucapannya, Lu Bai merasa senang dan kembali berkata, “Maka dari itu, tentang jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung aku rasa tiada pilihan lain kecuali Ketua Zuo yang pantas mendudukinya. Dari sini sudah terbukti bahwa mendalami satu jenis ilmu silat secara sempurna jelas lebih baik daripada mencuri bermacam-macam ilmu silat perguruan lain secara tidak sah.” Kata-kata terakhir itu jelas menyindir Yue Buqun, sehingga ratusan murid Songshan lainnya serentak ikut bersorak membenarkan.

“Nah, apabila ada di antara para anggota Perguruan Lima Gunung yang merasa kepandaiannya melebihi Ketua Zuo, silakan maju untuk mengukur kekuatan,” kata Lu Bai melanjutkan. Meski ia mengulangi lagi tantangannya, tetap saja tiada terdengar jawaban.

Sementara itu, Enam Dewa Lembah Persik yang pada awal tadi banyak mengoceh, saat itu hanya bisa terdiam karena Ren Yingying sedang sibuk merawat luka Linghu Chong bersama murid-murid Henshan, sehingga tidak ada yang menyampaikan pikiran kepada mereka. Oleh karena itu, mereka berenam hanya bisa saling pandang dan tidak tahu harus berkata apa untuk mendebat pihak Songshan.

Kemudian terdengar Ding Mian si Tapak Penahan Menara ikut bicara, “Kalau tidak ada seorang pun yang berani menantang Ketua Zuo, maka dengan sendirinya kita menyetujui Ketua Zuo sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Tapi, entah bagaimana pendapat Beliau?”

Zuo Lengchan menjawab dengan gaya pura-pura menolak, “Ah, masih banyak tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang lebih baik. Aku sendiri merasa tidak sanggup menerima tanggung jawab seberat ini.”

Adik seperguruannya yang nomor enam, yaitu Tang Ying’e menyahut, “Menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung memang tugas yang sangat berat dan penuh tanggung jawab. Namun bagaimanapun juga hanya Ketua Zuo yang pantas memimpin kita semua menuju kejayaan aliran lurus bersih. Oleh karena itu, kami memohon sudilah kiranya Ketua Zuo naik ke atas panggung untuk dilantik sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Maka bergemuruhlah suara genderang dan tambur disertai petasan yang riuh. Rupanya semua ini telah dipersiapkan sebelumnya oleh pihak Perguruan Songshan. Menyusul kemudian terdengar teriakan orang-orang Songshan bersorak-sorai, “Silakan Ketua Zuo naik panggung, silakan naik panggung!”

Tanpa bicara lagi Zuo Lengchan lantas melompat ke atas Panggung Fengshan. Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik gunung. Sinarnya yang kuning kemerah-merahan membuat jubah Zuo Lengchan yang berwarna kuning keemasan tampak berkilauan menambah besar wibawa Ketua Perguruan Songshan tersebut. Lalu dengan memberi hormat ia berkata kepada para hadirin di bawah panggung, “Karena desakan kawan-kawan sekalian, jika aku tidak menerima tanggung jawab ini tentu akan terlihat mementingkan diri sendiri dan menolak berjuang demi kejayaan aliran lurus bersih.”

Mendengar itu ratusan orang Songshan serentak bertepuk tangan dan memberi pujian.

Namun tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan berseru, “Paman Guru Zuo, kau memang telah mematahkan pedangku. Tapi apakah dengan demikian kau sudah pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?” Yang berbicara ini tidak lain adalah Yue Lingshan.

Zuo Lengchan menjawab, “Bukankah semua orang di sini menyaksikan bahwa kita bertanding pedang untuk merebut kedudukan? Apabila Nona Yue yang berhasil mematahkan pedangku, dengan sendirinya kita pun setuju mengangkat Nona Yue sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Yue Lingshan menjawab, “Untuk mengalahkan Paman Guru Zuo sudah tentu aku tidak mampu. Tapi di antara jago-jago Perguruan Lima Gunung kurasa masih cukup banyak orang yang dapat mengalahkan Paman Guru Zuo.”

Padahal di antara tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang paling ditakuti Zuo Lengchan hanyalah Linghu Chong seorang. Sekarang Linghu Chong sudah terluka parah sehingga hati Zuo Lengchan merasa lega. Maka, ia pun menjawab, “Kalau menurut penilaian Nona Yue, apakah jago-jago yang mampu mengalahkan aku adalah ayahmu, ibumu, atau mungkin suamimu?”

Seketika orang-orang Songshan tertawa bergemuruh bernada mengejek.

Yue Lingshan menjawab tenang, “Suamiku hanya seorang angkatan muda, kepandaiannya masih setingkat di bawah Paman Guru Zuo. Kalau ilmu pedang ibuku tentu sama kuat jika bertanding dengan Paman Guru Zuo. Mengenai ayahku, ilmu pedang Beliau sudah pasti lebih hebat daripada Paman Guru Zuo.”

Kembali terdengar suara riuh ramai menggelegar dari kelompok orang-orang Songshan. Ada yang bersuit mengejek, ada yang tertawa sambil menghentak-hentakkan kaki, namun ada pula yang berteriak-teriak marah.

Zuo Lengchan lantas berpaling kepada Yue Buqun dan berkata, “Tuan Yue, putrimu telah memuji bahwa ilmu silatmu sangat tinggi.”

“Ah, anak perempuanku memang suka membual,” sahut Yue Buqun. “Harap Saudara Zuo jangan menganggapinya sungguh-sungguh. Ilmu silatku masih ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang, atau Ketua Xie dari Partai Pengemis.”

Raut muka Zuo Lengchan seketika berubah mendengar Yue Buqun tidak menyebut dirinya dalam daftar para tokoh yang dianggap sakti itu. Jelas Yue Buqun menganggap kepandaiannya memang lebih tinggi daripada dirinya.

Ding Mian menyahut, “Lantas bagaimana kalau dibandingkan dengan Ketua Zuo?”

“Aku sudah cukup lama bersahabat dengan Saudara Zuo dan kami saling menghormati,” jawab Yue Buqun. “Selama ratusan tahun ilmu pedang Perguruan Songshan dan Huashan memiliki ciri khas masing-masing dan belum pernah diketahui pihak mana yang lebih unggul. Maka pertanyaan Saudara Ding sungguh membuatku sukar untuk menjawabnya.”

“Dari nada ucapan Tuan Yue agaknya kau merasa kepandaianmu memang lebih hebat daripada Ketua Zuo?” desak Ding Mian.

Yue Buqun menjawab, “Kong Fuzi berkata, ‘Seorang budiman tidak suka berkelahi, namun jika harus berkelahi maka ia pun berkelahi.’ Sejak zaman dulu antara kedua pihak selalu hidup berdampingan sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang lebih unggul. Sebenarnya sudah lama aku ingin meminta petunjuk kepada Saudara Zuo. Hari ini pun kita baru saja mendirikan Perguruan Lima Gunung. Siapa yang akan menjadi ketua juga belum ditentukan. Kalau aku harus bertanding melawan Saudara Zuo rasanya tidak enak juga, karena orang lain tentu akan mengatakan diriku sengaja hendak berebut kedudukan dengan Saudara Zuo.”

Zuo Lengchan menyahut, “Tapi kalau Saudara Yue memang benar-benar dapat mengalahkan pedang di tanganku ini, maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung dengan sendirinya akan kuserahkan kepada Saudara Yue.”

“Ah, jangan bicara demikian, sebab orang yang berilmu silat tinggi belum tentu martabatnya juga tinggi,” ujar Yue Buqun. “Meskipun aku dapat mengalahkan Saudara Zuo, belum tentu aku sanggup mengalahkan tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang lainnya.” Nada ucapannya memang terdengar rendah hati, namun setiap kata-katanya ternyata sangat menyinggung, menganggap dirinya lebih hebat daripada Zuo Lengchan.

Zuo Lengchan semakin gusar tak terlukiskan. Dengan dingin ia menjawab, “Saudara Yue bergelar Si Pedang Budiman yang termasyhur di seluruh jagad. Sampai di mana sifat ‘budiman’ Saudara Yue kurasa tidak perlu dijelaskan lagi. Namun bagaimana kehebatan ‘pedang’ dalam gelarmu itu jarang diketahui banyak orang. Kurasa tiada jeleknya jika ilmu pedangmu diuji sekarang juga agar para hadirin bisa ikut menyaksikan.”

Serentak para hadirin berteriak ramai, “Benar, benar! Lekas bertarung saja di atas panggung!”

“Dari tadi hanya bicara saja, kesatria macam apa ini?”

“Segera bertarung saja, biar kita tahu siapa yang lebih unggul!”

Namun Yue Buqun tenang-tenang saja tidak menjawab.

Sewaktu merencanakan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, Zuo Lengchan sudah memperkirakan sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh saingannya. Ia yakin kepandaian dirinya cukup mampu untuk mengatasi keempat ketua perguruan yang lain. Apabila ada tokoh selain dirinya yang berilmu lebih tinggi, mana mungkin ia begitu giat mengusahakan terlaksananya peleburan ini? Bukankah itu artinya akan menguntungkan pihak lain, di mana ia berusaha mendorong peleburan namun ada orang yang begitu saja menduduki jabatan ketua?

Mengenai kepandaian Yue Buqun yang paling diandalkan adalah ilmu tenaga dalam Awan Lembayung yang telah dipelajarinya sampai tingkat tinggi, dan hal ini juga sudah diketahui oleh Zuo Lengchan dengan baik. Oleh sebab itu, beberapa waktu yang lalu Zuo Lengchan telah bersekutu dengan tokoh-tokoh Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan yang dipimpin Feng Buping untuk menyerang Yue Buqun dan merebut kedudukannya. Meskipun serangan itu gagal, namun dari sana Zuo Lengchan dapat mengetahui sampai di mana kehebatan ilmu silat Yue Buqun. Kemudian ketika di Biara Shaolin, Zuo Lengchan dapat menyaksikan secara langsung pertarungan antara Yue Buqun melawan Linghu Chong. Meskipun ilmu pedang Yue Buqun sangat bagus, namun Zuo Lengchan merasa masih dapat mengatasinya. Apalagi ketika menendang Linghu Chong sampai pingsan, ternyata kaki Yue Buqun ikut tergetar sampai patah sendiri. Dari sini pun dapat diketahui ternyata tenaga dalam Ketua Perguruan Huashan itu hanya sekian saja, karena kalau orang yang memiliki tenaga dalam sempurna, sekalipun tidak dapat mencelakai lawan, tentu tidak pula mencelakai diri sendiri.

Mengenai ilmu pedang Linghu Chong yang tiba-tiba maju pesat itu, Zuo Lengchan juga sempat merasa gentar. Maka, ia pun berusaha membatalkan pelantikan pemuda itu sebagai Ketua Perguruan Henshan namun justru usahanya yang mengalami kegagalan. Meskipun demikian, rencana yang sudah disusunnya bertahun-tahun tidak mungkin ia biarkan kandas begitu saja karena kemunculan si berandal ini. Lagipula ia juga mengetahui kalau kepandaian Linghu Chong hanya sebatas ilmu pedang saja. Untuk mengatasinya, maka Zuo Lengchan harus mengajaknya bertarung tangan kosong. Dengan demikian, nyawa Ketua Perguruan Henshan itu dapat dibinasakannya. Akan tetapi, saat ini Linghu Chong bersedia terluka parah di tangan Yue Lingshan, sehingga Zuo Lengchan merasa sangat beruntung.

Kini, begitu mendengar Yue Buqun dan putrinya telah berkata dengan sangat sombong, Zuo Lengchan pun berpikir, ”Aku tidak tahu bagaimana kehebatanmu sekarang namun yang jelas kau telah mempelajari berbagai ilmu pedang perguruan lain yang sudah lama punah. Jika kau menggunakan jurus-jurus itu untuk bertarung denganku, mungkin aku akan terdesak oleh seranganmu. Akan tetapi, menyuruh putrimu maju lebih dulu adalah suatu kesalahan besar. Kini aku telah mempelajari semua gerakan putrimu sehingga semua seranganmu nanti pasti akan sia-sia belaka.” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Yue Buqun sangat licik. Jika aku dapat mengalahkannya di depan umum, tentu ia tidak akan bisa sombong lagi. Sebaliknya, jika aku sampai gagal tentu dia akan menjadi orang yang paling berbahaya dalam Perguruan Lima Gunung.”

Maka dengan nada menghina Zuo Lengchan lantas berkata, “Saudara Yue, para hadirin banyak yang ingin melihat kepandaianmu, mengapa kau tidak menunjukkannya sekarang saja?”

“Jika demikian kehendak Saudara Zuo, apa boleh buat, terpaksa aku menurut saja,” jawab Yue Buqun. Selangkah demi selangkah ia pun naik ke atas Panggung Fengshan melalui undak-undakan batu. Padahal kalau mau, dalam sekali lompat saja ia dapat naik ke sana dengan mudah seperti apa yang dilakukan Zuo Lengchan tadi.

Membayangkan akan terjadi pertunjukan seru, serentak para hadirin pun bersorak gembira.

Setibanya di atas panggung batu tersebut, Yue Buqun memberi hormat dan berkata, “Saudara Zuo, kita sekarang sudah berada di bawah perguruan yang sama, namun para hadirin memintaku melemaskan otot, terpaksa akan kulakukan sebisanya. Kita hanya saling belajar, tidak perlu saling melukai. Cukup bila sudah terkena lalu kita menghentikannya, bagaimana pendapatmu?”

“Sudah tentu aku akan berhati-hati dan berusaha semampuku agar tidak melukai Saudara Yue,” jawab Zuo Lengchan.

Serentak orang-orang Songshan berteriak mengejek, “Huh, belum dihajar sudah minta ampun. Lebih baik mengaku kalah saja, tidak perlu bertanding!”

“Benar, kalau takut mampus, lekas turun kembali saja!”

“Senjata tak punya mata. Begitu pertarungan dimulai, siapa yang berani tanggung takkan terluka atau binasa?”

Namun Yue Buqun hanya tersenyum-senyum dan berkata lantang, “Senjata memang tidak bermata, memang sulit dijamin takkan terluka atau mati.” Sampai di sini ia lantas berpaling ke arah rombongan Huashan dan berseru, “Dengarkanlah, para murid Huashan! Aku hanya saling belajar dengan Kakak Zuo dan sama sekali di antara kami tidak ada permusuhan apa-apa. Bila nanti secara kebetulan aku terbunuh oleh Kakak Zuo atau terluka parah, ini semua adalah salahku sendiri dan kalian tidak boleh menaruh dendam atau menuntut balas kepadanya. Yang penting semangat persatuan dalam Perguruan Lima Gunung kita harus tetap dipegang teguh.”

Yue Lingshan dan yang lainnya serentak mengiakan.

Perkataan ini sungguh di luar dugaan Zuo Lengchan. “Saudara Yue ternyata sangat bijaksana dan mengutamakan kepentingan Perguruan Lima Gunung kita, sungguh sangat baik,” katanya kemudian.

“Peleburan kelima perguruan kita adalah urusan yang mahapenting dan butuh perjuangan berat untuk mewujudkannya,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Kalau sekarang disebabkan persoalan kita berdua sehingga terjadi pertengkaran di antara sesama anggota Perguruan Lima Gunung, maka ini jelas mengingkari asas tujuan penggabungan kelima perguruan kita.”

“Benar, sungguh tidak salah,” kata Zuo Lengchan. Di dalam hati ia berpikir Yue Buqun sudah gentar kepadanya. Ia merasa untuk mengalahkannya harus dilakukan secepat mungkin demi menegakkan wibawa.

Dalam sebuah pertarungan kekuatan tenaga dalam dan kecepatan gerak serangan memang sangat penting. Akan tetapi, kalah dan menang seringkali ditentukan oleh besarnya semangat. Zuo Lengchan gembira melihat Yue Buqun belum apa-apa sudah menunjukkan kelemahannya. Maka dengan penuh keyakinan, ia lantas melolos pedangnya. Rupanya Ketua Perguruan Songshan ini sengaja menggunakan tenaga dalam untuk mencabut keluar pedangnya, sehingga ketika batang pedang bergesekan dengan sarungnya langsung mengeluarkan suara nyaring melengking. Penonton yang tidak tahu sebab musababnya tercengang heran, sementara orang-orang Songshan kembali bersorak memberi pujian.

Di sisi lain, Yue Buqun juga mengeluarkan pedangnya, namun dengan cara yang berbeda. Mula-mula ia melepaskan senjatanya yang tergantung di pinggang, lalu menaruhnya di sudut panggung. Dari situ barulah ia perlahan-lahan melolos pedang keluar dari sarungnya. Dilihat dari cara mencabut pedang masing-masing para penonton sudah bisa menduga-duga pihak mana yang lebih kuat dan akan menjadi pemenang pertandingan ini.

Sementara itu, Linghu Chong yang tertusuk pedang bahu kanannya kini terlihat masih sangat lemah. Ren Yingying tidak peduli lagi dengan penyamarannya saat menyaksikan sang kekasih terluka dalam pertandingan tadi. Segera ia maju ke tengah gelanggang, mencabut pedang Yue Lingshan, lalu memapah Linghu Chong berjalan ke pinggir. Murid-murid Henshan serentak mengerumuni sang ketua. Yihe segera memasukkan beberapa Pil Empedu Beruang Putih ke dalam mulut Linghu Chong, sementara Ren Yingying memberikan totokan pada dada dan punggungnya agar darah berhenti mengalir keluar dari luka yang menganga itu. Yiqing dan Zheng E secara bergantian mengoleskan Salep Penyambung Kahyangan pada luka tersebut. Saat sang ketua terluka, para murid tidak segan-segan mengoleskan obat mujarab yang begitu berharga. Mereka menghabiskan banyak obat seperti membuang lumpur saja.

Walaupun terluka parah, tapi pikiran Linghu Chong tetap jernih. Ketika melihat betapa sibuk Ren Yingying dan murid-murid Henshan merawat lukanya yang parah itu, diam-diam ia merasakan penyesalan. Dalam hati ia berkata, ”Hanya karena ingin menyenangkan hati Adik Kecil, aku malah membuat Yingying dan para saudari Henshan sedemikian cemas.”

Sekuat tenaga ia mencoba tersenyum dan berkata, “Entah bagaimana, aku tadi kurang hati-hati, sehingga ter… terluka oleh pedang ini. Kukira tidak … tidak apa-apa, tidak perlu ….”

“Jangan bicara!” sahut Ren Yingying menukas. Meskipun ia berusaha membesarkan suaranya, namun sulit juga menutupi suara perempuannya yang lembut. Kontan para murid Henshan terheran-heran mendengar seorang laki-laki berewok bersuara sedemikian aneh.

“Aku ingin melihat … aku ingin melihat ….” kata Linghu Chong sambil memandang ke arah gelanggang.

Yiqing mengiakan dan segera menarik minggir dua orang adik seperguruannya yang menghalangi penglihatan Linghu Chong. Saat itu Yue Lingshan sedang bertanding melawan Zuo Lengchan, dan kemudian disusul dengan pertandingan Zuo Lengchan melawan Yue Buqun. Semua yang terjadi hanya dapat diikutinya dengan samar-samar.

Dengan ujung pedang menghadap ke bawah, Yue Buqun berdiri tegak dan bibirnya tersenyum memandang ke arah Zuo Lengchan. Saat itu hampir semua penonton menahan napas masing-masing menantikan terjadinya pertarungan dahsyat. Suasana di Puncak Songshan seketika menjadi sunyi senyap.

Namun demikian, sayup-sayup Linghu Chong dapat mendengar suara perempuan membaca kitab Buddha dengan sangat lirih. “Jika binatang buas mengelilingi dirimu dan engkau takut akan taring dan cakarnya, berdoalah kepada Dewi Guanyin yang welas asih. Segenap binatang buas akan menyingkir. Jika kau melihat ular dan hewan berbisa, kau dapat berdoa kepada Dewi Guanyin dan mendapatkan kekuatan sucinya, maka mereka akan segera kembali ke sarang masing-masing. Jika halilintar dan guntur datang menyambar, serta hujan badai turun dengan lebatnya, kau dapat berdoa kepada Dewi Guanyin dan dengan kekuatan sucinya segala macam cuaca buruk dapat tersapu bersih. Bagi semua makhluk hidup, di alam dunia ini memang penuh dengan kesulitan dan kesukaran. Namun, dengan berdoa kepada Dewi Guanyin maka semua kesulitan pasti akan dapat dilewati ….”

Suara ini begitu lembut dan penuh kesungguhan hati saat membaca doa. Mendengar itu, Linghu Chong langsung yakin bahwa yang sedang berdoa tidak lain pasti Yilin orangnya.

Dahulu Yilin pernah membaca kitab suci dan berdoa untuknya yang sedang terluka saat berada di luar Kota Hengshan. Kali ini ia tidak berpaling untuk memandangnya, namun sorot mata Yilin yang mesra serta wajahnya yang cantik dengan jelas terbayang dalam benaknya. Seketika timbul perasaan syukur di dalam hatinya yang sulit untuk dilukiskan, “Tidak hanya Yingying, bahkan Adik Yilin juga sangat memperhatikan diriku. Mereka lebih mementingkan keselamatanku daripada jiwa mereka sendiri. Sekalipun badanku hancur lebur juga sukar rasanya untuk membalas kebaikan budi mereka.”

Di atas panggung Yue Buqun melintangkan pedang di depan dada, tangan kirinya bergaya seperti sedang memegang pena hendak menulis. Zuo Lengchan paham ini adalah jurus pedang Perguruan Huashan yang bernama Jurus Syair Pedang Menyambut Sahabat. Jurus ini adalah jurus pembukaan apabila pihak Huashan bertarung dengan teman sesama kaum lurus bersih. Maksudnya ialah, jurus ini mengandung makna bahwa pertandingan akan dilakukan secara persahabatan dan tidak perlu mengadu nyawa, seperti pertemuan dua orang sastrawan yang masing-masing akan saling membaca puisi.

Zuo Lengchan tersenyum dan berkata, “Ah, tidak perlu sungkan-sungkan.” Namun dalam hati ia berpikir, ”Yue Buqun dijuluki Si Pedang Budiman, namun menurutku dia seorang munafik. Seolah-olah dia hendak bertanding secara persahabatan denganku. Bisa jadi dia merasa takut, namun sengaja bersikap demikian agar aku tidak menaruh curiga kepadanya. Kemudian saat aku lengah dia lantas menggunakan serangan maut untuk merobohkan diriku.”

Segera tangan kirinya terpentang ke samping, pedang di tangan kanan pun lurus ke depan. Yang ia gunakan adalah Jurus Membuka Gerbang Tampak Gunung, salah satu ilmu pedang Perguruan Songshan. Jurus ini mengandung makna, kalau mau berkelahi silakan mulai saja, tidak perlu pura-pura segala. Dengan jurus ini Zuo Lengchan hendak menyindir bahwa pihak lawan seorang budiman palsu.

Sudah tentu Yue Buqun paham arti yang terkandung dalam jurus pembukaan Zuo Lengchan itu. Segera ia menarik napas panjang, kemudian pedangnya menjulur ke tengah dan bergetar. Namun sampai di tengah jalan mendadak ujung pedang mengungkit ke atas. Ini yang disebut Jurus Gunung Menghijau Samar-samar, suatu jurus yang gerakannya samar-samar, penuh dengan perubahan-perubahan lihai yang tidak bisa ditebak.

Segera pedang Zuo Lengchan membelah dari atas ke bawah dengan tenaga yang dahsyat. Banyak di antara para penonton memekik terkejut. Gerakan Zuo Lengchan ini tidak terdapat dalam daftar ilmu pedang Songshan, karena yang ia gunakan sesungguhnya adalah ilmu pukulan yang dimainkan menggunakan pedang. Gerakan ini disebut Jurus Membelah Gunung Huashan, suatu jurus pukulan yang umum dipelajari setiap orang yang berlatih ilmu silat tangan kosong. Selama ini semua orang pun tahu tidak terdapat jurus demikian dalam rumpun ilmu pedang Songshan. Seandainya ada, demi memandang Perguruan Huashan tentu pihak Songshan akan mengubah gerakannya atau bahkan berusaha tidak menggunakannya. Tapi sekarang Zuo Lengchan justru sengaja menggunakan pedangnya untuk memainkan jurus pukulan ini. Jelas ia bermaksud memancing amarah Yue Buqun supaya berkurang kecermatannya dalam pertarungan nanti.

Ciri khas ilmu pedang Songshan adalah terlihat megah dan gagah. Meskipun Jurus Membelah Gunung Huashan ini tergolong jurus sederhana dan tidak memiliki keistimewaan, namun ketika Zuo Lengchan mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah tadi telah menimbulkan suara berdesir sehingga nampak begitu gagah, bagaikan benar-benar bisa membelah gunung.

Di luar dugaan, Yue Buqun ternyata tenang-tenang saja. Ia mengelak ke samping menghindari serangan tersebut, kemudian balas menusuk dengan Jurus Cemara Tua Rindang Rimbun. Sikapnya terlihat teratur, jelas tidak berusaha menyerang titik kelemahan lawan, melainkan hanya memainkan jurus-jurusnya dengan rapat tanpa celah kesalahan. Ini menunjukkan bahwa ia telah merencanakan sebuah pertarungan jangka lama dan sama sekali tidak terpancing kemarahannya oleh jurus-jurus sindiran Zuo Lengchan, yaitu Jurus Membuka Gerbang Tampak Gunung dan Jurus Membelah Gunung Huashan tadi.

Menyadari hal itu, Zuo Lengchan tidak berani gegabah lagi. Ia merasa Yue Buqun memang seorang musuh yang tangguh dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Segera ia pun melancarkan serangan lagi dengan lebih berhati-hati, karena jika tidak, maka serangannya yang seenaknya justru akan memberi kesempatan bagi Yue Buqun untuk berada di atas angin. Kali ini yang ia mainkan adalah jurus asli Perguruan Songshan, bernama Naga Kumala Keluar Kahyangan.

Murid-murid Songshan memang sudah mempelajari jurus ini, namun tidak seorang pun yang bisa memainkannya seperti Zuo Lengchan. Melihat kehebatan sang guru besar membuat mereka sama-sama tercengang takjub. Tampak pedang Zuo Lengchan menerjang seperti naga yang meliuk-liuk, kadang lurus kadang bengkok, membuat para murid tak henti-hentinya bersorak memuji.

Sementara itu, para hadirin dari golongan lain sejak tadi banyak yang muak melihat murid-murid Perguruan Songshan yang bersorak-sorak memuji setiap perkataan Zuo Lengchan, menyalakan petasan, atau menabuh genderang, serta merendahkan pihak lain. Namun, begitu menyaksikan sorak-sorai mereka saat mengiringi pertandingan ini, banyak di antara para hadirin yang akhirnya menjadi maklum bahwa kehebatan Zuo Lengchan memang pantas untuk dipuji. Tanpa terasa mereka pun ikut bersorak-sorak seperti apa yang dilakukan murid-murid Songshan tersebut.

Jurus Naga Kumala Keluar Kahyangan di tangan Zuo Lengchan memang benar-benar tampak sempurna. Pedangnya seolah berubah menjadi seekor ular besar yang benar-benar hidup. Para hadirin baik yang bersenjata pedang ataupun senjata jenis lainnya sama-sama terkagum-kagum. Bahkan, para sesepuh dari Perguruan Taishan dan Hengshan banyak yang berpikir, “Untung yang berada di atas panggung itu Yue Buqun, bukan aku.”

Zuo Lengchan dan Yue Buqun menggunakan ilmu pedang perguruan masing-masing untuk saling menyerang. Ilmu pedang Songshan dialiri tenaga dalam yang keras dan dahsyat penuh wibawa, bagaikan ribuan prajurit bertombak menunggang kuda berpacu di padang luas. Sementara itu, ilmu pedang Huashan dialiri tenaga dalam yang lembut dan ringan, bagaikan sepasang burung walet terbang di angkasa, melayang-layang naik turun, dan menyelinap di antara ranting pohon liu. Begitu seru pertarungan mereka sehingga dalam sekejap saja keduanya seakan-akan terbungkus rapat oleh sinar pedang yang berkelebatan. Meskipun pada diri Yue Buqun tidak terlihat adanya tanda-tanda kekalahan, tapi tampak jelas bahwa ilmu pedang Songshan di tangan Zuo Lengchan lebih banyak menyerang daripada bertahan.

Yue Buqun sendiri lebih banyak berusaha menghindari serangan dahsyat Zuo Lengchan daripada menangkisnya. Sebisa-bisanya ia berusaha agar pedangnya tidak bersentuhan dengan pedang lawan. Meskipun ilmu silatnya tinggi, namun ia lebih banyak mengandalkan kelincahan untuk menghadapi kekuatan pedang Zuo Lengchan itu.

Mereka berdua sama-sama ahli silat papan atas, terutama dalam hal ilmu pedang. Maka, ketika bertanding mereka sama-sama tidak terikat aturan yang baku. Zuo Lengchan tampak menggunakan ketujuh belas rumpun ilmu pedang Songshan yang dicampur menjadi satu, sedangkan Yue Buqun menggunakan jumlah jurus yang lebih sedikit namun penuh dengan perubahan-perubahan yang rumit dan mengejutkan.

Setelah melewati lebih dari dua puluh jurus, Zuo Lengchan tiba-tiba mengangkat pedangnya ke atas, menyusul kemudian tangan kirinya menghantam ke depan. Pukulan telapak tangannya ini mengancam tiga puluh enam titik penting pada tubuh lawan bagian atas. Apabila Yue Buqun menghindar tentu ia akan terluka oleh pedang Zuo Lengchan di tangan kanan. Namun, Yue Buqun memilih untuk menyambut pukulan tersebut. Seketika raut mukanya mendadak berubah keungu-unguan, dan ia pun menggunakan telapak tangan kiri untuk menyambut pukulan Zuo Lengchan. Begitu kedua tangan mereka beradu, seketika terdengar suara keras membelah angkasa. Sekejap kemudian Yue Buqun melompat mundur, sementara Zuo Lengchan tetap berdiri tegak.

“Aih!” seru Linghu Chong khawatir saat menyaksikan adu pukulan tersebut. Dalam hati ia sangat mencemaskan keselamatan Sang Guru. Ia tahu pukulan Zuo Lengchan tadi dialiri tenaga dalam mahadingin yang mematikan. Tempo hari Ren Woxing yang memiliki tenaga dalam melimpah saja berhasil dipecundanginya, sehingga menyebabkan dirinya bersama tiga orang yang lain termasuk Linghu Chong berubah menjadi manusia salju. Sementara itu, meski Yue Buqun memiliki tenaga dalam bagus, namun tingkatannya masih di bawah Ren Woxing. Memang adu pukulan tadi hanya sebentar, tetapi paling tidak bisa membuatnya menggigil kedinginan.

Akan tetapi, Yue Buqun sepertinya mampu bertahan. Dengan tenang ia berseru, “Apakah pukulanmu ini adalah ilmu silat asli Perguruan Songshan?”

Zuo Lengchan menjawab, “Ini adalah ilmu ciptaanku sendiri. Kelak akan kuajarkan hanya kepada murid pilihan dalam Perguruan Lima Gunung kita.”

“Ternyata begitu. Biarlah aku minta beberapa petunjuk lebih banyak dari Saudara Zuo,” ujar Yue Buqun.

“Bagus,” jawab Zuo Lengchan. Diam-diam ia mengakui kehebatan Ilmu Awan Lembayung yang dikuasai Yue Buqun, karena ketua Perguruan Huashan itu sedikit pun tidak menggigil kedinginan, bahkan sanggup bersuara dengan tenang tanpa gemetar. Namun, ia yakin kalau Yue Buqun berani menyambut lagi beberapa Jurus Tapak Es Mahadingin miliknya, pada akhirnya pasti akan membeku kedinginan.

Segera Zuo Lengchan memutar pedangnya untuk menusuk. Yue Buqun menangkis serangan itu dengan pedangnya. Beberapa jurus berikutnya, kembali Zuo Lengchan menghantamkan tangan kirinya dan disambut dengan tangan kiri Yue Buqun pula. Kedua tangan mereka pun bertemu. Kali ini Yue Buqun tidak menghindar pergi, sebaliknya pedangnya terus menebas ke arah pinggang lawan.

Giliran Zuo Lengchan yang menangkis dengan pedangnya, bersamaan itu telapak tangan kirinya kembali menghantam. Kali ini ia memukul sekeras-kerasnya ke arah batok kepala Yue Buqun. Sungguh tidak terbayangkan betapa keras pukulan dari atas ke bawah ini. Namun, Yue Buqun kembali mengangkat tangan kiri untuk menyambutnya. Untuk ketiga kalinya kedua telapak tangan mereka beradu. Sambil merendahkan tubuh, Yue Buqun lantas melompat ke samping, sementara Zuo Lengchan tiba-tiba memaki, “Bangsat! Tidak tahu malu!”

Jelas-jelas para penonton menyaksikan Yue Buqun terdesak, karena sewaktu melompat ke samping ia tampak agak sempoyongan. Namun mereka bingung juga mengapa Zuo Lengchan memaki dengan nada gusar? Rupanya pada adu pukulan yang ketiga itu tiba-tiba Zuo Lengchan merasakan sakit pada telapak tangannya. Sesudah Yue Buqun melompat pergi, sekilas Zuo Lengchan melihat pada tangannya itu terdapat suatu titik lubang kecil yang mengeluarkan darah kehitam-hitaman.

Kontan saja Zuo Lengchan terkejut dan sangat marah. Ia menduga Yue Buqun tentu secara licik telah menusukkan jarum pada tangannya saat menangkis pukulannya yang keras itu. Dari warna darah yang kehitam-hitaman, jelas jarum Yue Buqun mengandung racun. Sungguh tak disangka, seorang tokoh yang berjuluk “Si Pedang Budiman” ternyata begitu rendah perbuatannya. Dengan cepat Zuo Lengchan menghirup napas panjang-panjang, lalu menotok tiga kali pada bahu kirinya untuk menahan menjalarnya racun. Kali ini ia tidak mau lagi memberi angin kepada Yue Buqun. Segera ia memutar pedangnya untuk melancarkan serangan dengan lebih gencar dan dahsyat demi untuk mempercepat kemenangan.

Yue Buqun segera menangkis dan balas menyerang dengan ganas pula. Keadaan saat ini sudah remang-remang karena matahari baru saja terbenam. Pertandingan kedua tokoh di atas Panggung Fengshan itu kini bukan lagi pertandingan persaudaraan, tapi sudah menjadi pertarungan mati-matian. Hal ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton.

“Amitabha, shantih, shantih,” ujar Mahabiksu Fangzheng, “mengapa kalian jadi sekasar ini?”

Setelah berlalu belasan jurus berikutnya, Zuo Lengchan melihat pertahanan lawannya sangat rapat sulit ditembus. Karena khawatir racun di tangannya menyebar, ia pun semakin kuat mengerahkan tenaga dalam untuk memainkan pedangnya menyerang musuh bagaikan badai topan.

Yue Buqun terlihat mulai kewalahan. Tiba-tiba saja ilmu pedangnya berubah. Gerak pedangnya tampak sangat aneh, sebentar menjulur sebentar mengerut. Para penonton terheran-heran melihatnya. “Ilmu pedang macam apa ini?” demikian terdengar ada yang bertanya dengan suara perlahan. Tapi yang bertanya hanya bertanya, yang menjawab sama sekali tidak ada. Masing-masing hanya menggelengkan kepala menyaksikan pemandangan itu.

Linghu Chong yang menyaksikan pertarungan tersebut sambil dengan bersandar pada bahu Ren Yingying juga sangat terkejut. Ketika melihat ilmu pedang Sang Guru mendadak berubah aneh dan cepat luar biasa, serta berbeda sama sekali dengan ilmu pedang Huashan pada umumnya, ia langsung terheran-heran. Dalam sekejap dilihatnya ilmu pedang yang dimainkan Zuo Lengchan ikut berubah pula, yaitu hampir mirip dengan yang dimainkan Yue Buqun. Keduanya menyerang dan bertahan dengan sangat cepat dan rapat. Gerak serangan masing-masing juga sangat mirip, bagaikan sepasang saudara seperguruan yang berlatih bersama. Belasan jurus kemudian, Zuo Lengchan kembali melangkah maju, sementara Yue Buqun hanya bertahan dan terdesak mundur.

Linghu Chong yang sudah terlatih dalam mengamati jurus pedang merasa khawatir dan gelisah melihat celah kelemahan Sang Guru yang semakin bertambah besar, sedangkan keadaan semakin gawat dan berbahaya. Di lain pihak, begitu melihat kemenangan Zuo Lengchan sudah tampak di depan mata, serentak murid-murid Perguruan Songshan kembali bersorak memberikan pujian.

Zuo Lengchan semakin bersemangat menyerang dengan gencar. Diam-diam ia merasa senang melihat ilmu pedang Yue Buqun mulai kacau dan tidak teratur. Segera ia pun menyerang dengan tenaga lebih kuat. Tidak lama kemudian, ketika kedua pedang mereka beradu, dan dengan gerakan mengungkit, Zuo Lengchan berhasil membuat pedang Yue Buqun terlepas dari genggaman dan melayang di udara. Serentak murid-murid Songshan semakin gembira bersorak-sorai.

Tak disangka Yue Buqun tidak menyerah, tetapi nekat menubruk maju dengan tangan kosong. Kedua tangannya bergerak melancarkan segala jenis serangan, baik itu dengan cara menotok, mencengkeram, atau gaya-gaya yang lain. Gerak tubuhnya terlihat sangat lincah dan enteng bagaikan hantu, sebentar di sini, tahu-tahu sudah berada di sana. Betapa cepat dan aneh gerakannya sungguh sukar diikuti mata.

Kontan saja Zuo Lengchan terperanjat luar biasa. Ia pun berteriak ngeri, “Kau … kau ….” namun untuk bicara saja tidak sempat, terpaksa ia harus bertahan sebisanya.

Begitu tegang perubahan pertarungan itu sehingga pedang Yue Buqun yang terlempar ke udara dan kemudian jatuh menancap di atas batu tiada seorang pun yang memperhatikannya.

Tiba-tiba Ren Yingying berseru dengan suara tertahan, “Dongfang Bubai! Dongfang Bubai!”

Linghu Chong terkesiap karena ia juga memikirkan hal yang sama, bahwa ilmu silat yang kini dimainkan gurunya sama persis dengan ilmu silat Dongfang Bubai ketika bertempur di Tebing Kayu Hitam tempo hari. Begitu heran rasa hatinya, sampai-sampai ia pun bangkit berdiri dan melupakan luka parah di bahunya. Untung dari samping sebuah tangan mungil menjulur dan memapahnya, namun ia masih juga tidak merasakannya. Bahkan sepasang mata jelita yang sedang memandanginya dengan penuh perhatian juga tidak dihiraukannya.

Pada saat itu, beribu-ribu pasang mata di Puncak Songshan semua tertuju ke arah Panggung Fengshan, tempat Zuo Lengchan dan Yue Buqun bertarung habis-habisan. Namun demikian, ada sepasang mata yang sejak tadi tidak pernah memerhatikan apa yang terjadi di sana, yaitu mata Yilin. Sekejap pun sorot mata biksuni muda itu tidak pernah meninggalkan pandangannya dari arah Linghu Chong. Bahkan, meski dunia kiamat sekalipun juga tak dihiraukan olehnya.

Tiba-tiba terdengar Zuo Lengchan menjerit, sementara Yue Buqun melompat mundur dan berdiri tepat di ujung panggung. Rupanya hanya satu kakinya saja yang menapak di atas panggung, sehingga badannya tampak bergoyang-goyang seperti hendak tergelincir ke bawah.

Di sisi lain, Zuo Lengchan tampak masih terus memutar dan mengayunkan pedangnya dengan sangat kencang. Yang ia mainkan adalah ilmu pedang Songshan yang paling ganas. Begitu rapat senjatanya berputar sehingga seluruh tubuhnya seperti terbungkus oleh sinar pedangnya sendiri. Para penonton menjerit ngeri melihat jurus maut itu. Anehnya, ilmu pedang yang hebat ini hanyalah gerakan bertahan saja, sama sekali bukan gerakan menyerang seperti sebelumnya. Kedua kaki Zuo Lengchan juga sama sekali tidak melangkah maju ke arah Yue Buqun yang sudah berdiri terpojok di sudut panggung. Pemandangan yang terjadi seolah-olah Zuo Lengchan sedang berlatih sendiri dengan memainkan jurus-jurus pedang yang paling hebat. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.

Sejenak kemudian, Zuo Lengchan tiba-tiba menghentikan pedangnya dalam keadaan menusuk ke depan, lalu kepalanya terlihat agak miring seperti sedang mendengarkan sesuatu. Pada saat itulah para hadirin yang berpenglihatan tajam dapat melihat ada dua tetes aliran darah mengucur keluar dari sepasang mata Zuo Lengchan. Serentak di antara para penonton ada yang berkata, “Hei, matanya buta!”

Ucapan orang itu tidak terlalu keras, namun cukup jelas didengar oleh Zuo Lengchan. Ia menjadi gusar dan berteriak, “Aku tidak buta! Aku tidak buta! Bangsat mana yang bilang aku buta? Yue Buqun keparat, pengecut kau! Dasar bangsat! Kalau berani majulah dan bergebrak tiga ratus jurus lagi dengan majikanmu ini!” Ia berteriak semakin keras dengan nada marah, rasa sakit, serta putus asa laksana seekor binatang liar yang terluka parah sedang meronta-ronta menanti ajal.

Yue Buqun tetap berdiri di ujung panggung dengan mulut tersenyum.

Kini semua orang dapat melihat dengan jelas bahwa kedua mata Zuo Lengchan memang benar-benar telah tertusuk oleh serangan tangan Yue Buqun. Semuanya tercengang heran, kecuali Linghu Chong dan Ren Yingying yang tidak merasa aneh atas kejadian ini. Melihat jurus-jurus yang dimainkan Yue Buqun tadi, mereka langsung teringat pada ilmu silat Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari yang luar biasa dahsyat. Untung saja waktu itu Ren Yingying sengaja menyakiti Yang Lianting sehingga perhatian Dongfang Bubai terpecah dan pada akhirnya ia dapat dibinasakan. Walaupun demikian, sebelah mata Ren Woxing tetap saja tertusuk oleh jarum sulam Dongfang Bubai.

Kali ini gerakan Yue Buqun juga sangat gesit, meskipun tidak secepat Dongfang Bubai. Namun demikian, dalam pertarungan satu lawan satu tentu saja Zuo Lengchan bukan tandingan ilmu silat semacam ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam sekejap saja kedua mata ketua Perguruan Songshan itu sudah tertusuk buta oleh semacam jarum di tangan Yue Buqun.

Melihat Sang Guru meraih kemenangan, seharusnya Linghu Chong merasa senang. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kemenangan Yue Buqun telah membuatnya merasa takut yang tak terlukiskan, bahkan bercampur rasa muak pula. Sejak dulu ia sangat menghormati dan kagum terhadap Sang Guru yang lembut tapi tegas itu. Sewaktu dirinya dikeluarkan dari Perguruan Huashan juga tidak menimbulkan rasa dendam di hatinya, karena ia menyadari bahwa itu semua adalah karena kesalahannya sendiri. Hukuman terhadapnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan sudah sepantasnya, karena ia memang suka bertindak sesuka hati dan melanggar peraturan dunia persilatan. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam adalah harapan bahwa suatu hari nanti Sang Guru dan Ibu Guru sudi mengampuninya dan menerimanya kembali di Perguruan Huashan.

Kini, begitu melihat Sang Guru berdiri di sudut panggung dengan jubah berkibar-kibar dan raut wajah berseri-seri, seketika timbul perasaan benci teramat sangat di dalam hatinya. Mungkin itu disebabkan karena ilmu silat Yue Buqun mirip dengan Dongfang Bubai, atau mungkin karena kemenangan Sang Guru diperoleh dengan cara licik dan tidak mengindahkan aturan.

Untuk sesaat Linghu Chong tertegun, kemudian luka pada bahunya tiba-tiba kembali terasa sakit. Ia pun segera duduk dengan perasaan lesu dan kecewa.

“Kenapa? Ada masalah apa?” serentak Ren Yingying dan Yilin memegang bahunya masing-masing dan bertanya dengan khawatir.

“Tidak … tidak apa-apa,” jawab Linghu Chong dengan senyum yang dipaksakan.

Kembali terdengar Zuo Lengchan berteriak-teriak, “Yue Buqun, bangsat kau! Kalau berani hayo maju lagi! Kenapa main sembunyi-sembunyi, pengecut kau … hayo maju!”

Tang Ying’e segera berkata kepada murid-murid Songshan, “Lekas kalian pergi memapah Ketua turun!”

“Baik, Paman Guru!” sahut dua orang murid Zuo Lengchan yang bernama Shi Dengda dan Di Xiuying. Keduanya lantas meloncat ke atas panggung dan berseru, “Guru, mari kita turun saja!”

Namun Zuo Lengchan masih terus menantang, “Yue Buqun, apa kau takut, hah?”

Shi Dengda maju dan mengulurkan tangannya, lalu berkata, “Gur...”

Belum selesai ia berbicara tiba-tiba pedang Zuo Lengchan berkelebat, dan tahu-tahu tubuhnya telah terpotong menjadi dua, mulai dari bahu sebelah kanan sampai ke pinggang sebelah kiri. Di Xiuying juga mengalami hal yang sama. Tubuhnya terpotong menjadi dua oleh pedang Sang Guru sebatas dada. Sungguh dahsyat kekuatan ilmu pedang Zuo Lengchan membuat para penonton menjerit ngeri.

Perlahan-lahan Yue Buqun melangkah ke tengah panggung lalu berkata, “Saudara Zuo, karena kau sudah cacat maka kita tidak perlu bertarung lagi. Dalam keadaan demikian apakah kau masih ingin berebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung denganku?”

Zuo Lengchan mengangkat pedangnya perlahan-lahan dan ujungnya kemudian mengarah ke suara Yue Buqun, tepat mengarah di depan dada lawan. Yue Buqun mendekatinya dengan tenang meski tanpa senjata sama sekali. Pedangnya yang masih menancap pada sebongkah batu tampak bergoyang-goyang tertiup angin. Kedua tangannya pun masuk ke dalam lengan baju masing-masing, sementara kedua matanya memandang tajam ujung pedang Zuo Lengchan yang hanya berjarak beberapa jengkal dari dadanya. Darah tampak menetes jatuh dari batang pedang tersebut. Lengan baju sebelah kanan Zuo Lengchan terlihat mengembang seperti layar kapal, sedangkan yang kiri tampak biasa, pertanda ia sedang mengumpulkan tenaga dalam yang sangat dahsyat di tangan kanannya untuk menyerang Yue Buqun.

Tiba-tiba sekelebat bayangan bergerak secepat kilat. Rupanya Yue Buqun melesat mundur sejauh belasan meter, lalu meluncur lagi ke tempat semula dalam waktu sekejap. Gerakan mundur dan maju ini dilakukannya dalam waktu sangat singkat dan sulit dilukiskan kecepatannya. Setiap mata menyaksikan Yue Buqun tiba-tiba berada di pinggir panggung, dan sekejap kemudian sudah kembali berada di depan pedang Zuo Lengchan. Melihat itu para penonton tercengang tak percaya. Masing-masing yakin bagaimanapun hebatnya tusukan Zuo Lengchan pasti dapat dihindari oleh Yue Buqun.

Zuo Lengchan sendiri dalam keadaan sangat bingung dan pikirannya bermacam-macam pula. Jika tusukannya ini tidak mampu membinasakan Yue Buqun atau dapat ditangkis oleh lawan, tentu keadaannya yang sudah cacat akan bertambah runyam. Ini berarti buyar sudah semua jerih payahnya dalam upaya menguasai Perguruan Lima Gunung yang telah direncanakannya bertahun-tahun. Sungguh tak disangka, usahanya selama ini akan berakhir sia-sia dan ia pun merasa gagal ketika keberhasilan sudah ada di depan mata. Karena pikiran yang bergolak ini, mendadak dadanya terasa panas, dan darah segar pun menyembur keluar dari mulutnya.

Yue Buqun yang berdiri tepat di hadapannya secepat kilat bergeser ke samping menghindari semburan darah tersebut. Bibirnya tampak tak kuasa menyembunyikan senyuman. Tiba-tiba Zuo Lengchan menyendal pedangnya sehingga patah menjadi beberapa potong, kemudian ia menengadah ke angkasa dan bergelak tawa. Begitu keras suara tertawanya hingga berkumandang jauh dan menggema di angkasa pegunungan.

Sambil tetap tertawa ia pun berbalik dan melangkah menuju ke bawah. Ketika sampai di tepi panggung kaki kirinya terasa menginjak tempat kosong. Karena sudah siap sebelumnya, maka kaki kanan lantas melayang ke depan sehingga tubuhnya pun turun ke tanah dalam keadaan tegak. Setibanya di bawah, murid-murid Songshan segera mengerumuninya dan berkata, “Guru, mari kita terjang dan babat habis semua orang Huashan.”

Namun Zuo Lengchan berseru lantang, “Seorang laki-laki sejati harus memegang janji. Sebelumnya sudah ditentukan bahwa pertandingan ini adalah untuk menentukan kedudukan ketua. Tuan Yue jelas lebih unggul dibanding aku. Kita semua harus mengangkatnya sebagai ketua, mana boleh ingkar janji?”

Ketika kedua matanya tiba-tiba ditusuk Yue Buqun hingga buta, ia menjadi sangat marah dan mencaci maki lawannya itu dengan kata-kata kotor. Namun, sesudah hatinya tenang kembali, sikapnya sebagai seorang guru besar dunia persilatan kembali pulih dan wibawanya kembali memancar.

Para hadirin merasa kagum melihat sikap kesatria Zuo Lengchan yang berani mengakui kekalahan itu. Andaikan sampai terjadi pertempuran besar, pihak Songshan yang berjumlah lebih banyak dan juga lebih mengenal medan pasti dapat menumpas orang-orang Huashan, meskipun ilmu silat Yue Buqun setinggi langit.

Di antara para hadirin sudah tentu banyak pula yang merupakan manusia-manusia picik tak punya pendirian yang hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Maka, begitu mendengar ucapan Zuo Lengchan itu, serentak mereka pun bersorak-sorai, “Hidup Tuan Yue! Selamat untuk Tuan Yue yang menjadi ketua Perguruan Lima Gunung!” Tentu saja murid-murid Huashan adalah yang paling bergembira dan berteriak paling lantang. Kemenangan Sang Guru yang luar biasa itu sesungguhnya terjadi sangat cepat dan sama sekali di luar dugaan mereka, membuat mereka hampir-hampir tidak percaya.

Yue Buqun lantas bergeser ke tepi panggung. Sambil kedua tangannya memberi hormat kepada para hadirin, ia berseru, “Pertandinganku dengan Kakak Zuo sebenarnya hanya untuk mengukur kemampuan masing-masing. Tadinya aku berharap di antara kami cukup saling sentuh saja untuk mengetahui siapa yang lebih unggul. Namun kepandaian Kakak Zuo ternyata sangat hebat sampai-sampai pedangku tergetar dan lepas dari genggaman. Pada saat yang berbahaya itu aku terpaksa harus menyelamatkan nyawa sebisa-bisaku. Akan tetapi, tindakanku agak berlebihan sehingga kedua mata Kakak Zuo menjadi korban. Sungguh dalam hal ini aku merasa tidak enak hati. Semoga ada tabib yang bisa memulihkan penglihatan Kakak Zuo.”

Terdengar seorang penonton berseru, “Senjata tidak bermata. Siapa orangnya yang bisa menjamin takkan cedera dalam suatu pertarungan sengit?”

“Sudah untung Tuan Yue tidak membunuhnya. Tuan Yue sudah cukup bermurah hati,” sahut yang lain.

“Aku tidak berani,” jawab Yue Buqun sambil memberi hormat. Kakinya tetap berdiri di tepi panggung, sama sekali tidak melangkah turun.

Terdengar seorang penonton lainnya berseru, “Sekarang kalau ada yang ingin menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, silakan naik ke atas untuk bertanding melawan Tuan Yue!”

Penonton yang lain menanggapi, “Daripada menantang Tuan Yue untuk bertanding lebih baik memintanya untuk menggalikan kubur saja.”

Maka, beratus-ratus orang pun berteriak pula, “Hanya Tuan Yue yang pantas menjadi ketua Perguruan Lima Gunung! Silakan Tuan Yue menjadi ketua!”

Yue Buqun menunggu para hadirin kembali tenang, barulah ia berkata dengan suara lantang, “Karena dukungan Saudara-Saudara, terpaksa aku tidak bisa menolak tanggung jawab ini. Perguruan Lima Gunung hari ini baru saja didirikan, sedangkan segala macam urusan perlu diatur. Aku hanya dapat mengatur masalah yang umum saja. Maka, untuk urusan-urusan di Perguruan Hengshan hendaknya tetap ditangani Tuan Besar Mo, dan urusan-urusan di Perguruan Henshan hendaknya tetap ditangani oleh Adik Linghu. Sementara itu, untuk urusan-urusan di Perguruan Taishan, aku mohon bantuan Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin beserta para murid tertua untuk menanganinya. Adapun urusan Perguruan Songshan, karena pandangan Kakak Zuo kurang leluasa .…” Yue Buqun kemudian berpaling ke arah kalangan orang-orang Songshan, kemudian berkata, “Menurutku, hendaknya Saudara Ding Mian, Saudara Lu Bai, dan Saudara Tang Ying’e sudi membantu Kakak Zuo menangani urusan Perguruan Songshan sehari-hari.”

Ucapan Yue Buqun ini sungguh di luar dugaan Lu Bai, sehingga ia sampai tergagap-gagap, “Ini … ini .…” Orang-orang Songshan dan para hadirin dari golongan lain juga ikut heran mendengarnya.

Ding Mian memang orang nomor dua di Perguruan Songshan, sedangkan Tang Ying’e juga sudah lama menjadi kepercayaan Zuo Lengchan, sehingga wajar kalau mereka ditujuk Yue Buqun sebagai pejabat ketua. Namun, Lu Bai jelas-jelas sejak tadi sangat memusuhi Yue Buqun dengan mengucapkan beberapa perkataan kasar dan menyudutkan, sehingga penunjukannya sebagai wakil Zuo Lengchan benar-benar di luar dugaan. Sementara itu, murid-murid Perguruan Songshan pada awalnya sangat gusar dan berniat membalas dendam atas pemimpin mereka yang telah kehilangan penglihatan. Namun, begitu mendengar Zuo Lengchan, Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e tetap dihormati dan dihargai oleh Yue Buqun, dan urusan di Perguruan Songshan juga masih seperti sediakala, seketika rasa kesal mereka pun agak berkurang.

Kemudian terdengar Yue Buqun kembali berkata, “Mulai hari ini, Serikat Pedang Lima Gunung telah dilebur menjadi satu. Untuk itu kita harus bersatu padu, karena jika tidak, maka peleburan ini tidak memiliki arti lagi. Kita tidak boleh membeda-bedakan lagi. Aku sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa, namun untuk sementara ini dipercaya memegang pimpinan. Oleh karena itu, banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang masih harus dirundingkan dengan Saudara-Saudara sekalian dan aku tidak berani mengambil keputusan secara sepihak. Sekarang hari sudah mulai gelap, silakan Saudara-Saudara menuju halaman utama Perguruan Songshan untuk beristirahat dan makan minum bersama!”

Maka para hadirin pun serentak bersorak-sorak senang dan beramai-ramai mereka turun menuju ke halaman markas Perguruan Songshan. Ketika Yue Buqun turun dari panggung, beramai-ramai Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Ketua Xie, dan yang lain melangkah maju memberikan ucapan selamat kepadanya. Semula tokoh-tokoh besar ini khawatir Perguruan Lima Gunung akan dikuasai oleh Zuo Lengchan yang kejam dan culas, sehingga untuk selanjutnya perguruan dan partai mereka pasti menjadi sasaran pencaplokan. Namun, ternyata secara tak terduga yang berhasil memenangkan persaingan adalah Yue Buqun. Semua orang mengetahui dan mengenal nama besar Yue Buqun sebagai seorang budiman yang halus pekertinya dan mendapat julukan Si Pedang Budiman, sehingga hati mereka pun merasa lega. Maka, ucapan selamat ini mereka sampaikan secara tulus dari lubuk hati yang terdalam.

“Tuan Yue,” dengan ramah Mahabiksu Fangzheng menyapa perlahan. “Menurut pendapatku, tidak mustahil pihak Perguruan Songshan masih akan mencari perkara denganmu. Seorang bijak tidak suka menjalin permusuhan, tetapi bersikap waspada tiada salahnya. Sebaiknya Tuan Yue selalu berjaga-jaga dan hati-hati.”

“Terima kasih atas petunjuk Mahabiksu,” jawab Yue Buqun.

“Gunung Shaoshi tidak terlalu jauh dari sini. Bila memerlukan apa-apa silakan memberi kabar,” lanjut Fangzheng kemudian.

“Maksud baik Mahabiksu sungguh kuterima dengan rasa terima kasih yang tidak terhingga,” jawab Yue Buqun sambil memberi hormat. Setelah beramah tamah sejenak dengan Chongxu, Xie Feng, dan yang lain, ia lantas mendekati Linghu Chong dan menyapa, “Chong’er, apakah lukamu tidak menjadi halangan?”

Sejak dikeluarkan dari Perguruan Huashan, baru kali ini Linghu Chong mendengar Yue Buqun memanggil “Chong’er” seramah ini kepadanya. Namun, perasaannya kini telah berubah. Bukannya merasa senang, sebaliknya ia justru merasa ngeri. Maka, dengan suara tidak lancar ia menjawab, “Ti… tidak apa-apa.”

“Maukah kau ikut aku pulang ke Gunung Huashan untuk merawat lukamu dan tinggal beberapa hari di sana dengan ibu-gurumu?” tanya Yue Buqun kemudian.

Andai saja Yue Buqun bertanya seperti ini beberapa jam yang lalu, tentu Linghu Chong akan sangat gembira dan menerima ajakan tersebut tanpa pikir panjang. Namun, sekarang ia menjadi ragu-ragu dan bercampur takut pula.

“Bagaimana?” tanya Yue Buqun menegas.

Linghu Chong menjawab, “Perguruan Henshan memiliki obat yang lumayan manjur. Biarlah sesudah luka murid sem… sembuh baru mengunjungi Guru dan Ibu Guru.”

Yue Buqun memiringkan kepalanya dan memandang tajam wajah Linghu Chong seakan-akan ingin membaca isi hati muridnya itu. Selang agak lama barulah ia berkata, “Begitu juga boleh. Hendaknya kau merawat dirimu dengan baik dan segera berkunjung ke Huashan.”

“Baik!” jawab Linghu Chong sambil kemudian meronta bangun dengan maksud hendak memberi hormat.

“Sudahlah, tidak perlu,” kata Yue Buqun ramah sambil mengulurkan tangan untuk memapah lengan kanan muridnya itu. Namun, Linghu Chong justru mengelakkan tubuhnya dengan raut muka yang tanpa terasa memperlihatkan rasa takut.

Yue Buqun mendengus perlahan. Alisnya menegak dan wajahnya terlihat gusar. Namun, dalam waktu singkat ia sudah tersenyum kembali dan berkata, “Adik kecilmu sungguh keterlaluan, sejak dulu tidak bisa mengendalikan diri kalau bertarung. Untung saja tidak mengenai titik yang berbahaya.” Usai berkata demikian ia lantas mengangguk kepada Yihe dan Yiqing selaku murid-murid tertua Perguruan Henshan, kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi.

Pada jarak beberapa meter di depan, ratusan hadirin sudah menunggunya. Serentak mereka pun mengerumuni Yue Buqun dengan mengucapkan selamat serta menyampaikan berbagai pujian. Ada yang memuji ilmu silatnya, ada pula yang memuji keluhuran budinya. Di tengah suara sanjung puji itu, perlahan-lahan sosok Yue Buqun menghilang di balik lereng gunung dengan diikuti para penjilatnya itu. Pandangan mata Linghu Chong mengikuti setiap langkah Sang Guru sampai tak terlihat lagi. Tiba-tiba kemudian terdengar suara seorang perempuan memaki lirih di belakangnya, “Munafik!”

Perkataan ini entah diucapkan oleh murid Henshan yang mana, tapi yang jelas benar-benar mengena di lubuk hati Linghu Chong. Ia merasa dadanya seperti dihantam palu godam. Dalam keadaan sekarang ini memang tiada istilah lain yang lebih cocok untuk mencerminkan apa yang ia rasakan. Seorang guru berbudi yang paling dihormati dan dikasihinya tiba-tiba telah terbuka kedoknya, sehingga terlihat sudah wajah aslinya yang bengis dan menyeramkan, serta licik dan keji pula.

Sementara itu, hari sudah semakin gelap. Di samping Panggung Fengshan yang tertinggal hanyalah orang-orang Perguruan Henshan saja, sedangkan yang lain sudah pergi semua.

“Kakak Ketua, apakah kita juga akan turun ke bawah?” tanya Yihe. Ia tetap memanggil “Kakak Ketua” menunjukkan bahwa dirinya memang tidak peduli dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, lebih-lebih mengakui Yue Buqun sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.

“Bagaimana kalau kita bermalam di sini saja?” ujar Linghu Chong yang di dalam hatinya merasa lebih baik jika berada jauh dari Yue Buqun yang saat itu bermalam di markas Perguruan Songshan bersama para hadirin lainnya.

Ternyata ucapan Linghu Chong ini sangat cocok dengan pikiran murid-murid Perguruan Henshan. Serentak mereka pun bersorak setuju, karena masing-masing juga tidak suka pada Yue Buqun. Seperti diketahui sebelumnya, ketika di Kota Fuzhou dulu mereka pernah meminta bantuan Perguruan Huashan untuk menolong Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi yang sedang dikepung musuh. Namun, Yue Buqun telah menolak permintaan itu tanpa memandang hubungan baik di antara sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Kali ini Linghu Chong telah dilukai pula oleh Yue Lingshan, bahkan kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung juga dapat direbut oleh Yue Buqun, sudah tentu menambah rasa kesal mereka. Akibatnya, mereka pun lebih suka bermalam di samping Panggung Fengshan daripada harus berkumpul dengan Yue Buqun dan para begundalnya.

Terdengar Yiqing berkata pula, “Kakak Ketua sedang terluka. Memang yang paling baik adalah kita tetap tinggal di sini daripada banyak bergerak. Hanya saja, saudara ini ….” Berkata demikian matanya lantas melirik ke arah si laki-laki berewok.

“Dia bukan saudara, tapi Nona Besar Ren,” sahut Linghu Chong dengan tertawa.

Sejak tadi Ren Yingying masih saja memapah bahu Linghu Chong. Begitu mendengar Linghu Chong membongkar rahasia penyamarannya, seketika ia langsung tersipu malu. Tanpa sadar ia pun buru-buru melepaskan tangan dan melangkah mundur.

Karena tidak menduga sebelumnya, tubuh Linghu Chong pun terhuyung-huyung ke belakang hendak jatuh telentang. Untung saja Yilin yang berdiri di sebelahnya dengan cekatan memegangi bahu kirinya sambil berseru, “Eh, hati-hati!”

Yihe, Yiqing, dan yang lain sudah lama mengetahui kisah cinta antara Ren Yingying dan Linghu Chong. Kisah asmara mereka memang sangat unik dan lain daripada yang lain. Yang satu pernah mendatangi Biara Shaolin, rela mengorbankan jiwa demi menyelamatkan sang kekasih, dan yang lain kemudian memimpin beribu-ribu orang persilatan menyerbu biara itu untuk menolongnya. Juga ketika Linghu Chong dilantik sebagai ketua Perguruan Henshan, Ren Yingying datang secara pribadi untuk mengucapkan selamat, serta menolong nyawa sang ketua baru dari niat jahat pasukan Sekte Iblis di Kuil Gantung. Kini, begitu mengetahui bahwa lelaki berewok di depan mereka itu ternyata Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan yang termasyhur, banyak di antara mereka yang berseru kaget sekaligus senang. Lagipula dalam pandangan mereka, Nona Besar Ren ini sudah dianggap sebagai calon istri sang ketua, sehingga pada pertemuan mereka ini langsung terjalin suasana akrab dan menyenangkan.

Yihe, Yiqing, dan yang lain segera mengeluarkan perbekalan semacam ransum kering dan air untuk dibagi-bagikan. Usai makan mereka lantas merebahkan diri di samping Panggung Fengshan. Linghu Chong sendiri sedang terluka, dengan sendirinya badannya sangat lelah dan lemah. Oleh karena itu, tidak lama kemudian ia pun tertidur pulas.

Ketika malam semakin larut, tiba-tiba di kejauhan terdengar suara wanita membentak, “Siapa itu?”

Meskipun terluka parah, namun berkat tenaga dalamnya yang tinggi Linghu Chong langsung terjaga mendengar suara itu. Suara bentakan tersebut berasal dari murid-murid Henshan yang bertugas jaga yang sedang menegur seseorang.

Maka terdengarlah seorang pria menjawab, “Kita sesama anggota Perguruan Lima Gunung. Aku murid Tuan Yue dari Huashan. Namaku Lin Pingzhi.”

“Ada urusan apa malam-malam datang ke sini?” tanya murid Henshan tadi

“Aku ada janji bertemu dengan seseorang di bawah Panggung Fengshan ini. Sebelumnya aku tidak tahu kalau para kakak beristirahat di sini. Mohon dimaafkan jika mengganggu,” jawab Lin Pingzhi sopan.

Pada saat itulah dari arah barat berkumandang suara seorang tua, “Bocah bermarga Lin, kau telah menyiapkan teman-temanmu dari Perguruan Lima Gunung di sini. Apakah kau ingin main kerubut dan mencari perkara dengan si pendeta tua ini?”

Linghu Chong dengan jelas dapat mengenali orang yang baru datang itu yang tidak lain adalah Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng. Ia agak terkejut dan berpikir, “Adik Lin telah bermusuhan dengan Yu Canghai sejak hancurnya Biro Ekspedisi Fuwei, lebih-lebih sejak kedua orang tuanya terbunuh. Sekarang mereka berjanji bertemu di sini tentu untuk membereskan hutang darah itu.”

Terdengar Lin Pingzhi menjawab teguran Yu Canghai tadi, “Aku juga tidak tahu kalau para kakak dari Perguruan Henshan bermalam di sini. Biarlah kita mencari tempat lain saja agar tidak mengganggu tidur mereka.”

“Hahahaha! Kau sudah mengganggu tidur mereka, tapi masih bicara muluk-muluk dan pura-pura baik hati,” sahut Yu Canghai dengan wajah menghina. “Ada bapak mertua seperti itu, tentu ada juga menantu seperti ini. Nah, apa yang mau kau katakan lekas katakan saja agar sama-sama bisa tidur nyenyak.”

“Hm, kau masih ingin tidur nyenyak? Jangan harap itu bisa terjadi lagi selama sisa hidupmu,” sahut Lin Pingzhi. “Orang-orang Perguruan Qingcheng macam kalian yang datang seluruhnya hanya berjumlah tiga puluh empat termasuk dirimu. Aku mengundang kalian semua datang ke sini, mengapa yang datang hanya tiga orang?”

“Huh, kau ini kunyuk macam apa? Memangnya kau berani menyuruhku begini begitu?” jawab Yu Canghai dengan tertawa bengis. “Hanya karena memandang bapak mertuamu yang baru saja dilantik sebagai ketua Perguruan Lima Gunung, maka aku sudi memenuhi undanganmu. Nah, kalau mau kentut lekas keluarkan, kalau mau berkelahi lekas cabut senjata. Biar kulihat apakah Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kalian sudah ada kemajuan atau tidak.”

Perlahan-lahan Linghu Chong bangkit untuk duduk. Di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya Lin Pingzhi berdiri berhadapan dengan Yu Canghai dalam jarak hanya beberapa meter. Ia masih ingat Lin Pingzhi dulu pernah muncul menolong saat dirinya hendak dibunuh Yu Canghai di Kota Hengshan.

“Waktu itu aku sedang terluka parah dan dirawat di sebuah rumah pelacuran. Si pendek Yu menemukanku dan hendak memukulku sampai mati. Untung saja Adik Lin muncul dan berteriak mengejek sehingga Yu Canghai membatalkan pukulannya. Jika tidak, mungkin aku sudah kehilangan nyawa pada malam itu juga. Setelah masuk Perguruan Huashan, ilmu silat Adik Lin banyak mengalami kemajuan, tapi tetap masih kalah jauh dibandingkan Yu Canghai. Kalau sekarang Adik Lin berani menantang Yu Canghai di sini, kemungkinan ia mendapat dukungan dari Guru dan Ibu Guru. Tapi Guru dan Ibu Guru belum juga datang, aku tidak boleh tinggal diam,” demikian pikir Linghu Chong.

Terdengar Yu Canghai mengolok-olok, “Hm, kalau kau punya nyali untuk balas dendam, seharusnya kau datang sendiri ke Gunung Qingcheng. Namun, kalau kau menantangku ke sini dan secara licik menyiapkan serombongan kaum biksuni untuk ikut mengeroyok aku, huh, sungguh tak tahu malu. Benar-benar menggelikan.”

Yihe tersinggung dan segera menyahut, “Persetan dengan dendam bocah bermarga Lin ini! Kalau kalian mau berkelahi hingga mampus juga Perguruan Henshan kami tidak akan ambil pusing. Huh, kau pendeta pendek sebaiknya jangan omong kosong melulu. Kalau memang takut silakan lari saja, tapi Perguruan Henshan kami jangan dibawa-bawa!” Ia tidak tahu kalau Linghu Chong pernah berhutang nyawa kepada Lin Pingzhi. Yang ia tahu hanya satu, Lin Pingzhi adalah suami Yue Lingshan, dan ia sangat membenci putri Yue Buqun itu.

Yu Canghai sendiri memiliki hubungan akrab dengan Zuo Lengchan. Secara pribadi Zuo Lengchan telah mengundang ketua Perguruan Qingcheng itu untuk hadir di Gunung Songshan sebagai pendukungnya. Sejak berangkat meninggalkan Gunung Qingcheng, Yu Canghai sudah yakin bahwa Zuo Lengchan pasti akan menduduki jabatan ketua Perguruan Lima Gunung. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak ambil pusing terhadap orang-orang Perguruan Huashan yang memusuhinya.

Tak disangka, jabatan ketua Perguruan Lima Gunung ternyata dapat direbut oleh Yue Buqun. Menyadari perubahan yang sangat mendadak ini, Yu Canghai bermaksud meninggalkan Gunung Songshan malam itu juga. Namun sewaktu hendak turun gunung, tiba-tiba Lin Pingzhi menghampirinya. Dengan suara lirih pemuda itu mengajaknya bertemu di pelataran Panggung Fengshan nanti malam. Meskipun suaranya lirih, tapi sikapnya sangat angkuh dan kasar sehingga Yu Canghai merasa gusar melihatnya. Saat itu Yu Canghai berpikir, “Perguruan Huashan baru saja merebut kedudukan, tapi kau sudah bersikap begini sombong. Huh, kau ini masih hijau dan aku tidak takut padamu. Tapi aku tetap harus berhati-hati kalau-kalau kau membawa bala bantuan dan main keroyok.”

Maka, Yu Canghai sengaja datang terlambat ke Panggung Fengshan malam itu untuk memastikan apakah Lin Pingzhi membawa bala bantuan atau tidak. Di luar dugaan, Lin Pingzhi ternyata benar-benar berangkat sendiri ke tempat yang dijanjikan itu, sehingga dalam hati Yu Canghai merasa senang. Maka, ia hanya mengajak dua orang murid saja untuk menemaninya menuju Panggung Fengshan agar tidak dipandang rendah oleh pihak lawan. Murid-murid yang lain lantas menyebar ke sekeliling Puncak Songshan untuk memberikan bantuan jika dianggap perlu.

Ketika sampai di puncak, ternyata di samping Panggung Fengshan banyak orang yang berbaring di situ. Bukan hanya Lin Pingzhi saja yang terkejut, bahkan Yu Canghai juga merasa telah tertipu. Ia merasa seperti seorang ibu berumur tiga puluh tahun yang ditipu bayi kecil. Memang benar ilmu silat Perguruan Qingcheng belum tentu kalah hebat jika dibandingkan dengan ilmu silat Perguruan Henshan. Selain itu, Linghu Chong masih terluka parah akibat pertandingan siang tadi dan ketiga biksuni sepuh juga sudah lama meninggal, sehingga tidak ada jago hebat yang menjadi andalan perguruan ini. Akan tetapi, jumlah orang-orang Henshan di tepi panggung itu jauh lebih banyak, dan sewaktu-waktu mereka dapat membentuk beberapa Formasi Tujuh Pedang yang membuat Yu Canghai merasa agak gentar juga. Untung saja, meskipun secara kasar Yihe menyebutnya sebagai “pendeta pendek”, namun dengan jelas ia menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun, sehingga dengan sendirinya perasaan Yu Canghai menjadi lega.

“Baik sekali jika kalian takkan membantu pihak mana pun,” kata Yu Canghai kemudian. “Silakan kalian saksikan bagaimana hasilnya nanti, pertandingan antara ilmu pedang Qingcheng melawan ilmu pedang Huashan.” Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Jangan kalian kira dengan kekalahan Kakak Zuo lantas ilmu pedang Yue Buqun sudah dianggap jempolan. Andaikan benar ilmu pedangnya memang nomor satu di dalam Perguruan Lima Gunung, namun ilmu silat tiap-tiap golongan dan aliran di dunia persilatan mempunyai keistimewaan masing-masing. Bagaimanapun tingginya ilmu pedang Perguruaan Huashan juga belum tentu terhitung nomor satu di muka bumi. Menurut pandanganku, ilmu pedang Perguruan Henshan saja sudah jelas lebih bagus.”

Dengan ucapannya itu, pertama ia bermaksud mengadu domba, kedua bertujuan menyenangkan hati murid-murid Henshan agar mereka benar-benar tidak ikut campur dan tidak membantu Lin Pingzhi. Maka, jika bertarung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan bocah bermarga Lin itu dapat dikalahkannya dengan mudah.

Menanggapi ucapan Yu Canghai tersebut tak disangka Yihe malah menjawab, “Jika kalian mau berkelahi silakan berkelahi saja sesukamu. Kenapa harus mengganggu ketenangan orang yang hendak tidur? Hm, kau ini tahu aturan atau tidak?”

Diam-diam Yu Canghai sangat gusar. Ia berpikir, “Kurang ajar kaum biksuni busuk ini. Saat ini aku tidak sempat membuat perhitungan dengan kalian. Tapi kelak, jika aku bertemu orang Henshan macam kalian di tempat lain, barulah kalian tahu rasa.” Dasar Yu Canghai memang berjiwa sempit, sudah biasa menganggap dirinya paling hebat, dan angkatan muda kalau tidak menghormatinya tentu akan mendapat kesulitan. Andaikan kata-kata kasar Yihe tadi diucapkan di waktu lain tentu Yu Canghai sudah marah-marah dan mendampratnya.

Sementara itu, Lin Pingzhi bergerak maju dua-tiga langkah, lalu berkata, “Yu Canghai, demi mengincar kitab pedang pusaka keluarga kami, kau telah membunuh ayah dan ibuku, serta membantai puluhan anggota Biro Ekspedisi Fuwei kami. Hutang atas darah ini sekarang juga harus kau bayar.”

Yu Canghai bertambah gusar dan membentak, “Putraku juga mati di tanganmu, binatang! Andaikan kau tidak mencariku, maka aku yang akan mencarimu dan mencincangmu sampai hancur luluh. Dasar anjing kecil, apa kau kira berlindung di bawah kolong Perguruan Huashan lantas bisa menyelamatkan jiwamu?” Usai berkata demikian ia lantas mencabut pedangnya. Meskipun tubuhnya pendek namun pedangnya sangat panjang dan tampak berkilat-kilat diterpa sinar bulan purnama.

Melihat itu, para murid Henshan berpikir, “Pendeta pendek ini sudah lama terkenal di dunia persilatan. Ternyata nama besarnya bukan omong kosong.”

Lin Pingzhi sendiri tidak mengeluarkan senjatanya, namun maju dua langkah sehingga jaraknya dengan Yu Canghai hanya tinggal dua-tiga meter saja. Dengan kepala agak miring, ia pun melotot ke arah pendeta berbadan pendek itu.

Sungguh gusar hati Yu Canghai melihat lawannya belum juga melolos senjata. Ia berpikir, “Berani sekali kau memandang rendah kepadaku? Huh, aku tinggal menggunakan Jurus Naga Terbang dari Telaga Hijau, maka paling tidak perutmu hingga ke tenggorokan akan robek membentuk mulut baru. Yang jadi masalah, kau terhitung angkatan muda, sehingga tidak pantas jika aku menyerang lebih dulu.” Maka ia pun membentak, “Hayo, keluarkan pedangmu!”

Sambil berteriak demikian, Yu Canghai tampak bersiap-siap pula. Rencananya, begitu Lin Pingzhi menyentuh gagang pedang dan menariknya, maka ia akan mendahului membedah perut pemuda itu dengan segera. Dengan demikian, murid-murid Henshan hanya akan memuji kecepatan pedangnya, tetapi tidak akan memakinya berbuat licik.

Melihat gelagat seperti itu, Linghu Chong segera berteriak memperingatkan Lin Pingzhi, “Awas, Adik Lin, dia akan menusuk perutmu!”

Namun Lin Pingzhi hanya tertawa dingin. Tiba-tiba saja ia menerjang ke depan, dan hanya dalam waktu sekejap jaraknya dengan Yu Canghai hanya tinggal beberapa senti saja. Begitu dekat jarak mereka sehingga hidung masing-masing nyaris saling bersentuhan.

Gerakan Lin Pingzhi ini sama sekali tidak terduga sebelumnya. Betapa cepat dan ringan tubuhnya sukar untuk dilukiskan. Karena terjangan Lin Pingzhi yang tiba-tiba merapat dengan cepat, kedua tangan dan pedang yang dipegang Yu Canghai sekarang justru berada di belakang punggung pemuda itu.

Tentu saja Yu Canghai tidak dapat membelokkan pedangnya untuk menusuk punggung Lin Pingzhi. Pada saat itu kedua tangan Lin Pingzhi juga telah bekerja. Tangan kirinya mencengkeram bahu Yu Canghai, sedangkan tangan kanannya menekan ulu hati pendeta pendek itu. Seketika Yu Canghai merasa titik Jianjing di bahunya lemas dan linu, serta lengan kanan pun lumpuh tak bertenaga, sehingga pedangnya terlepas dari genggaman. Hanya sekali gebrak saja Lin Pingzhi sudah menguasai lawan. Gerakannya yang aneh terlihat sama persis dengan gaya serangan Yue Buqun sewaktu mengalahkan Zuo Lengchan tadi sore.

“Dongfang Bubai!” tanpa terasa Linghu Chong dan Ren Yingying saling pandang dan mengucap bersama. Sorot mata mereka sama-sama memancarkan rasa terkejut dan bingung luar biasa, karena jurus yang dipakai Lin Pingzhi ini jelas-jelas sama persis dengan ilmu silat yang digunakan Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari.

Sepertinya Lin Pingzhi tidak mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya yang menekan ulu hati lawan. Di bawah sinar rembulan tampak sorot mata Yu Canghai memancarkan rasa takut luar biasa. Lin Pingzhi sangat senang melihat musuh bebuyutannya itu telah jatuh ke tangannya hanya dalam sekali gebrak. Namun, ia merasa apabila Yu Canghai langsung dibunuh begitu saja tentu tidak akan setimpal dengan dosa-dosanya.

Pada saat itulah dari jauh terdengar suara Yue Lingshan memanggil-manggil, “Adik Ping, Adik Ping! Ayah menyuruhmu untuk mengampuninya malam ini!” Sambil berseru ia pun berlari-lari menuju ke puncak.

Sesampainya di atas, Yue Lingshan tertegun ngeri ketika tiba-tiba melihat Lin Pingzhi berdiri berhadapan dengan Yu Canghai dalam jarak begitu dekat. Dengan khawatir ia pun memburu maju, namun seketika menjadi lega setelah melihat sebelah tangan Lin Pingzhi sedang mencengkeram titik penting di bahu Yu Canghai, sedangkan tangan yang lain menekan di depan dada musuhnya itu.

“Ayah berkata, bagaimanapun juga hari ini Pendeta Yu adalah tamu kita. Janganlah kita membuat susah kepadanya,” lanjut Yue Lingshan pula.

Lin Pingzhi hanya mendengus. Tangan kirinya yang mencengkeram titik di bahu Yu Canghai itu mencengkeram lebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.

Yu Canghai bertambah kesakitan dan merasa linu pada bahunya itu. Namun, ia lantas dapat mengukur ternyata tenaga dalam pemuda itu hanya sedemikian saja. Yang menjadi masalah baginya adalah saat ini bahunya itu sedang kesakitan dan tidak dapat berkutik karena dicengkeram Lin Pingzhi. Kalau tidak, ia pasti bisa melawan dengan tenaga dalam yang jauh lebih kuat. Seketika hatinya menjadi gemas bercampur kecewa, karena tertangkap oleh musuh yang ilmu silatnya jauh lebih rendah. Bahkan, jika seandainya Lin Pingzhi berlatih sepuluh tahun lagi juga tetap bukan tandingannya.

Begitulah, hanya karena sedikit lengah saja Yu Canghai dapat dibekuk lebih dulu. Hancur sudah nama baiknya selama ini, bahkan kemungkinan besar Lin Pingzhi tidak peduli pada perintah Yue Buqun karena sudah sedemikian berhasrat ingin membalas dendam dendam atas kematian ayah dan ibunya.

Terdengar Yue Lingshan melanjutkan, “Ayah menyuruhmu mengampuni jiwanya hari ini. Untuk menuntut balas bisa dilakukan lain waktu. Tak perlu khawatir dia bisa terbang ke langit.”

Mendadak Lin Pingzhi mengangkat tangan kirinya, kemudian menampar pipi Yu Canghai dua kali. Sungguh gusar hati Yu Canghai tidak kepalang. Namun apa daya, tangan kanan pemuda itu masih menekan ulu hatinya. Meskipun tenaga dalam Lin Pingzhi tidak seberapa, tapi dengan sedikit menambah kekuatan saja sudah cukup untuk membuat jantungnya tergetar pecah. Bila langsung mati rasanya tidak terlalu mengerikan. Yang membuat Yu Canghai khawatir adalah tenaga dalam Lin Pingzhi yang tanggung itu hanya membuat dirinya setengah mati dan setengah hidup. Lantaran berpikir demikian, Yu Canghai pun tidak berani meronta sama sekali.

Setelah menampar dua kali, Lin Pingzhi tertawa panjang sambil melompat mundur beberapa meter jauhnya. Ia kemudian memiringkan wajah dan melotot ke arah Yu Canghai, sedang mulutnya tidak bersuara lagi.

Sebenarnya Yu Canghai bermaksud melabrak musuhnya itu. Namun, mengingat dalam sekali gebrak saja dirinya sudah dapat dibekuk oleh angkatan muda, serta kejadian ini juga disaksikan banyak orang, mau tidak mau ia harus mengurungkan niatnya tersebut. Kalau sekarang dirinya melakukan serangan lagi, ini jauh lebih memalukan daripada kalah dalam sebuah pertarungan. Cara rendah seperti ini bagaimanapun juga tidak boleh dilakukannya.

Di lain pihak, Lin Pingzhi terlihat hanya mendengus, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa memedulikan sang istri. Yue Lingshan membanting kaki mencerminkan hatinya yang sangat kesal. Sekilas ia melihat Linghu Chong duduk di pinggir Panggung Fengshan. Segera ia pun melangkah mendekat dan menyapa, “Kakak Pertama, apakah lukamu sudah … sudah lebih baik?”

“Aku … aku ….” begitu melihat sang adik kecil, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang sehingga mulutnya sukar berbicara.

“Jangan khawatir, dia tidak akan mati!” sahut Yihe ketus.

Yue Lingshan pura-pura tidak mendengar ucapan itu. Matanya memandang Linghu Chong sambil berkata lirih, “Ketika pedangku terlempar, tanpa sengaja ... aku telah melukaimu.”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Tentu saja aku tahu ... tentu aku tahu ... tentu aku tahu ….” Biasanya ia selalu periang namun kini di hadapan sang adik kecil seketika menjadi salah tingkah dan tergagap-gagap. Ia seperti orang bodoh yang mengulangi tiga kali perkataannya, namun sama sekali tidak paham apa yang sedang ia bicarakan.

“Lukamu sangat parah. Aku benar-benar meminta maaf. Tapi tolong, jangan dendam kepadaku,” ujar Yue Lingshan memohon.

“Tidak mungkin ... tidak mungkin aku menyalahkanmu,” jawab Linghu Chong seketika.

Yue Lingshan menghirup napas panjang, kemudian wajahnya menunduk. Perlahan ia berkata, “Aku pergi dulu.”

“Kau sudah mau pergi?” sahut Linghu Chong seperti kehilangan sesuatu.

Dengan kepala tetap menunduk, perlahan-lahan Yue Lingshan melangkah pergi. Ketika hendak turun ke bawah, tiba-tiba ia menoleh dan berkata, “Kakak Pertama, mengenai kedua kakak yang diutus Perguruan Henshan dan yang sekarang masih tertahan di Gunung Huashan akan segera kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami memang kurang sopan. Untuk itu harap dimaafkan.”

“Ya, baik, baik!” sahut Linghu Chong tergagap-gagap. Matanya terus memandang ke arah Yue Lingshan sampai sosok adik kecilnya itu menghilang di balik bebatuan gunung. Seketika ia pun terkenang saat-saat menjalani masa hukuman di Puncak Huashan dulu. Setiap hari Yue Lingshan datang dan pergi mengantarkan makanan untuknya, dan ia selalu memandangi kepergiannya seperti ini. Namun, pada akhirnya perasaan sang adik kecil berpindah kepada Lin Pingzhi.

Tiba-tiba terdengar Yihe mengejek, “Huh, di mana letak kebaikan perempuan seperti dia? Hatinya mendua dan gampang beralih. Ia suka memperlakukan orang lain tanpa ketulusan. Dibandingkan dengan Nona Besar Ren kita masih kalah jauh. Ia bahkan tidak pantas menjadi tukang gosok sepatu Nona Besar Ren.”

Linghu Chong terkejut dan baru sekarang ia teringat kalau Ren Yingying juga berada di tempat itu. Padahal, ia tadi telah bersikap linglung saat berhadapan dengan Yue Lingshan. Seketika wajah Linghu Chong menjadi merah. Perlahan-lahan ia melirik ke arah Ren Yingying yang tampak bersandar pada dinding Panggung Fengshan dalam keadaan mengantuk. Diam-diam ia berharap semoga gadis itu benar-benar tertidur sehingga tidak menyaksikan kejadian-kejadian tadi. Namun, Ren Yingying seorang gadis yang cerdik dan cermat, mana mungkin dalam keadaan seperti ini ia tertidur?

Linghu Chong merasa serbasalah namun ia juga sadar tidak ada gunanya berbicara mengada-ada untuk menghibur perasaan Ren Yingying. Benaknya pun bekerja mencari akal. Sungguh aneh, saat menghadapi Yue Lingshan ia menjadi gugup, tapi saat menghadapi Ren Yingying seketika pikirannya menjadi pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan, maka cara yang paling baik adalah tidak berbicara apa-apa, tetapi mengalihkan perhatian Ren Yingying ke urusan lain. Maka, perlahan-lahan Linghu Chong pun menyandarkan dirinya pada dinding panggung, kemudian ia merintih perlahan seakan-akan lukanya terbentur sesuatu dan kembali terasa sakit.

Benar juga, Ren Yingying seketika menjadi khawatir. Gadis itu segera mendekat dan bertanya dengan suara lirih, “Apakah lukamu kembali sakit?”

“Tidak apa, tidak apa,” sahut Linghu Chong sambil memegangi tangan si nona. Ren Yingying bermaksud melepaskan tangannya tapi genggaman Linghu Chong terasa sangat kencang. Khawatir kalau gerak tangannya justru membuat luka Linghu Chong kambuh, terpaksa Ren Yingying membiarkan tangannya digenggam erat-erat.

Rupanya Linghu Chong sangat letih karena terlalu banyak kehilangan darah. Tidak lama kemudian ia pun kembali tertidur pulas. Esok paginya ketika terbangun, ternyata sinar matahari sudah memenuhi puncak pegunungan itu. Entah berapa lama ia tertidur, tak seorang pun berani bersuara, apalagi membangunkannya. Ternyata tangan Ren Yingying juga telah lepas dari genggamannya, namun sepasang mata gadis itu tetap memandanginya dengan sorot penuh perhatian. Linghu Chong tersenyum kepadanya, kemudian perlahan-lahan bangkit untuk duduk.

“Mari kita pulang ke Henshan saja!” seru Linghu Chong.

Sementara itu, Tian Boguang telah menyiapkan sebuah usungan kayu, lalu bersama dengan Biksu Bujie, mereka menggotong tubuh Linghu Chong turun dari Puncak Songshan tersebut.

Ketika melewati halaman utama markas Perguruan Songshan, tampak Yue Buqun dan beberapa murid berdiri di depan pintu, sedangkan Ning Zhongze dan Yue Lingshan tidak ada di antara mereka. Dengan muka berseri-seri, Yue Buqun tersenyum mengantarkan kepergian rombongan Perguruan Henshan itu.

“Murid tidak dapat memberi hormat kepada Guru, mohon dimaafkan” ujar Linghu Chong.

“Tidak perlu, tidak perlu,” jawab Yue Buqun. “Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berbicara lebih lanjut. Sebagai ketua Perguruan Lima Gunung, tidak ada yang dapat kuandalkan selain dirimu. Mulai saat ini aku akan banyak membutuhkan bantuanmu.”

Linghu Chong tidak menjawab, hanya bibirnya berusaha tersenyum untuk menanggapinya.

Rombongan Perguruan Henshan itu kembali melanjutkan perjalanan turun gunung. Tian Boguang dan Biksu Bujie mengusung sang ketua dengan langkah sangat cepat. Dalam sekejap saja mereka sudah jauh meninggalkan Puncak Songshan tersebut. Sesampainya di kaki gunung barulah mereka menyewa dua buah kereta keledai dan kemudian mempersilakan Linghu Chong dan Ren Yingying masuk ke dalamnya. Masing-masing duduk dalam kereta yang berbeda. Di dalam kereta itu, Ren Yingying melepas penyamarannya dan kembali tampil sebagai wanita.

Ketika malam tiba sampailah mereka di sebuah kota kecil. Di sana mereka melihat sebuah kedai minuman beratap bambu yang penuh dengan tamu sedang beristirahat. Para tamu itu ternyata orang-orang Perguruan Qingcheng, di mana Yu Canghai tampak berada di dalamnya.

Melihat kedatangan rombongan orang-orang Henshan tersebut, raut muka Yu Canghai berubah seketika. Buru-buri ia sengaja berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.

Karena di kota kecil itu tiada kedai lain, terpaksa orang-orang Henshan pun mencari tempat duduk di teras rumah penduduk di seberang jalan. Zheng E dan Qin Juan lantas masuk ke dalam kedai untuk memesan beberapa poci teh hangat, terutama untuk Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda melaju dari kejauhan. Debu mengepul tinggi dan tak lama kemudian terlihat dua orang penunggang melaju dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di depan kedai, tiba-tiba keduanya menarik tali kendali untuk menghentikan laju kuda masing-masing. Ternyata kedua penunggang yang datang itu adalah pasangan suami-istri Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Lin Pingzhi pun berteriak, “Yu Canghai, kau pasti sadar kalau aku tidak akan memberimu kesempatan untukmu beristirahat. Mengapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?”

Linghu Chong yang masih duduk di dalam kereta dapat mengenali suara itu. Ia pun bertanya, “Apakah Adik Lin yang datang?”

Qin Juan yang duduk di sampingnya sambil menghidangkan teh segera menyingkap tirai kereta agar Linghu Chong dapat melihat ke luar. Tampak Yu Canghai duduk di atas bangku sedang meneguk secangkir teh panas. Mula-mula ia berlagak tidak memperhatikan, dan setelah isi cawannya habis barulah ia menjawab, “Hm, aku memang sedang menunggumu di sini kalau-kalau kau ingin mengantarkan nyawa.”

“Baik!” sahut Lin Pingzhi. Begitu kata itu terucapkan, tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan ia pun melompat turun dari kudanya. Pedangnya menusuk sekali ke samping, kemudian ia hinggap kembali ke atas punggung kudanya. Sekali menghentak, kudanya pun kembali melaju kencang bersama Yue Lingshan. Tahu-tahu seorang murid Qingcheng yang berdiri di tepi jalan sudah roboh terkulai. Darah segar pun menyembur keluar dari dadanya.

Serangan Lin Pingzhi tadi sungguh tak terduga sebelumnya. Sambil menjawab “baik” ia telah melolos pedang dan melompat turun dari kuda, sepertinya hendak melabrak Yu Canghai. Hal ini sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Perguruan Qingcheng itu, sebab ia tahu kalau ilmu silat maupun tenaga dalam musuhnya ini sangat rendah. Diam-diam Yu Canghai gembira. Ia yakin dalam sekali gebrak, tentu nyawa Lin Pingzhi akan melayang di tangannya, sehingga rasa malu di depan Panggung Fengshan tadi malam akan terbalas sudah. Apabila kelak Yue Buqun datang menuntut balas kepadanya adalah urusan belakang, demikian pikirnya.

Sungguh tak disangka, serangan Lin Pingzhi itu ternyata tidak ditujukan kepadanya, melainkan secara mendadak berganti sasaran di tengah jalan. Dengan kecepatan luar biasa, tahu-tahu seorang murid Qingcheng telah ditusuk mati olehnya, kemudian ia hinggap kembali di atas punggung kudanya dan pergi begitu saja. Sungguh terkejut dan gusar bukan kepalang perasaan Yu Canghai melihat itu semua. Dengan cepat ia bangkit dari bangku untuk mengejar, namun laju kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan terlalu cepat dan jarak mereka sudah sangat jauh.

Serangan Lin Pingzhi yang luar biasa tadi membuat Linghu Chong tercengang juga. Ia pun merenung, “Kalau serangan demikian tadi ditujukan kepadaku pada saat aku tidak memegang senjata, mungkin aku juga tidak bisa menangkis dan mati konyol begitu saja.” Sebenarnya Linghu Chong merasa ilmu pedangnya masih jauh di atas Lin Pingzhi, namun menghadapi tipuan secepat tadi benar-benar membuatnya bingung dan kesulitan mencari bagaimana cara mematahkan serangan tersebut.

Saat itu Yu Canghai sedang mencaci maki sambil menunjuk-nunjuk Lin Pingzhi yang sudah pergi jauh meninggalkan kepulan debu. Tentu saja caci makinya itu tak terdengar oleh lawan. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Yu Canghai berbalik lantas memaki orang-orang Henshan, “Kalian kawanan biksuni busuk! Pasti kalian sudah tahu kalau bocah sial bermarga Lin itu mau datang. Maka, kalian pun datang lebih dulu ke sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari, kalau berani marilah kita saja yang bertempur!”

Yu Canghai yang biasanya penuh perhitungan, kali ini tidak bisa mengendalikan amarah dan berani menantang rombongan Perguruan Henshan. Padahal, jumlah orang-orang Henshan di tempat itu jauh lebih banyak daripada pihak Qingcheng. Ditambah lagi di dalam rombongan juga teradapat Biksu Bujie, Tian Boguang, Ren Yingying, dan Enam Dewa Lembah Persik. Kalau benar-benar terjadi pertempuran jelas pihak Qingcheng akan kalah telak.

Di antara murid-murid Henshan, Yihe adalah yang paling berangasan. Segera ia pun melolos pedang dan menjawab, “Kalau mau berkelahi, ayo maju saja! Siapa juga yang takut padamu?”

Untungnya Linghu Chong segera mencegah, “Kakak Yihe, jangan hiraukan dia!”

Ren Yingying lantas berbisik kepada Enam Dewa Lembah Persik. Secepat kilat Dewa Akar Persik, Dewa Daun Persik, Dewa Dahan Persik, dan Dewa Bunga Persik melompat maju dan menubruk seekor kuda yang tertambat di tepi kedai. Kuda itu adalah kuda tunggangan Yu Canghai. Sekejap kemudian terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu tubuh kuda itu telah robek menjadi empat bagian dengan isi perut berceceran dan darah berhamburan.

Kuda tersebut berbadan tinggi besar, tapi keempat orang tua aneh itu telah merobeknya menjadi empat potong dengan tangan kosong. Masing-masing dari mereka menarik kaki kuda malang itu keempat arah yang berlawanan. Betapa kuat tenaga mereka sungguh luar biasa. Seketika murid-murid Qingcheng pun terkejut ngeri, bahkan murid-murid Henshan juga merasa gemetar, sampai-sampai jantung mereka berdebar kencang.

Ren Yingying berkata, “Pendeta Yu, orang bermarga Lin punya permusuhan denganmu, tapi kami tidak memihak siapa-siapa dan hanya menonton di pinggir saja. Jangan lantas kau membawa-bawa kami! Kalau kami benar-benar menjawab tantanganmu, maka kalian tidak mungkin bisa menang. Sebaiknya kau tahu diri sedikit dan menghemat tenaga.”

Setelah menyaksikan betapa cepat dan kuat keempat Dewa Lembah Persik tadi, seketika lagak angkuh Yu Canghai berangsur lenyap. Pedangnya kembali disimpan dan ia pun berkata, “Jika kita tidak saling mengganggu, maka kita bisa mengambil jalan masing-masing. Silakan kalian jalan lebih dulu!”

“Itu tidak bisa. Kami harus mengikuti kalian,” kata Ren Yingying.

“Mengapa?” Yu Canghai bertanya dengan mengerutkan kening.

“Terus terang, ilmu pedang orang bermarga Lin itu sungguh aneh. Kami jadi penasaran ingin melihatnya secara jelas,” ujar Ren Yingying.

Linghu Chong terkesiap mendengarnya. Apa yang dikatakan Ren Yingying ternyata sama persis dengan isi hatinya. Begitu aneh ilmu pedang Lin Pingzhi sampai-sampai Sembilan Jurus Pedang Dugu juga sukar untuk mematahkannya. Maka itu, ia ingin sekali mengetahui secara rinci gerak ilmu pedang Lin Pingzhi tersebut sampai jelas.

Terdengar Yu Canghai menjawab, “Kalau kau ingin tahu ilmu pedang bocah bermarga Lin itu, lantas ada hubungan apa denganku?” Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup sadar bahwa permusuhan antara dirinya dengan Keluarga Lin terlalu mendalam. Tidak mungkin Lin Pingzhi akan puas hanya dengan membunuh satu-dua orang muridnya saja. Tentu pemuda itu masih akan datang lagi untuk mencari perkara dengannya. Di lain pihak, orang-orang Henshan justru ingin menonton bagaimana cara Lin Pingzhi memainkan ilmu pedangnya untuk membunuh orang-orang Qingcheng satu per satu.

Bagi kaum persilatan, apabila melihat sebuah ilmu silat baru yang dahsyat tentu akan menimbulkan rasa penasaran ingin melihatnya sampai tuntas. Ini memang suatu hal yang wajar. Namun, cara orang-orang Henshan mengikuti rombongan Qingcheng seperti mengikuti domba-domba yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, demi untuk menyaksikan bagaimana cara si penjagal menyembelih, sungguh ini suatu perbuatan yang terlalu menghina.

Yu Canghai gusar dan bermaksud mencaci-maki Ren Yingying. Untung saja ia masih sanggup menguasai perasaan, sehingga hanya mendengus sekali saja. Ia lantas berpikir, “Bocah bermarga Lin itu menyerangku dua kali secara tiba-tiba. Apakah dia benar-benar memperoleh kesaktian, atau jangan-jangan dia hanya mengandalkan tipu muslihat di saat aku tidak siaga? Kalau benar demikian, baiklah, kalian orang-orang Henshan boleh mengikutiku agar kalian bisa melihat dengan jelas bagaimana aku mencincang anjing kecil itu hingga luluh.”

Usai berpikir demikian, ia pun kembali ke dalam kedai untuk melanjutkan minum. Akan tetapi, mendadak poci teh yang dipegangnya berbunyi, ternyata tutup poci itu tergetar oleh tangannya yang gemetar. Padahal, tadi sewaktu Lin Pingzhi datang ia masih bisa minum dengan tenang tanpa memedulikan kehadirannya. Namun kini ia hanya bisa bertanya-tanya sendiri, “Mengapa tanganku gemetar? Mengapa tanganku gemetar?” Sekuat tenaga ia berusaha menenangkan diri, namun suara getaran tutup poci itu tetap saja terdengar oleh para murid.

Murid-murid Qingcheng mengira tangan Sang Guru gemetar karena terlalu gusar menahan amarah, padahal saat ini yang ada di lubuk hati Yu Canghai adalah perasaan takut luar biasa. Ia sadar bahwa serangan Lin Pingzhi yang aneh dan cepat tadi kalau ditujukan kepadanya tentu ia juga tidak mampu menangkisnya.

Usai minum, perasaan Yu Canghai ternyata belum tenang juga. Segera ia memerintahkan beberapa muridnya untuk mengubur mayat kawan mereka yang mati itu di hutan luar kota. Ia bersama murid-murid yang lain lantas bermalam di halaman kedai makan tersebut. Melihat adanya pertarungan dan pembunuhan tadi, penduduk setempat menjadi ketakutan dan mereka pun menutup pintu masing-masing tidak berani keluar lagi.

Sementara itu, murid-murid Henshan beristirahat di teras-teras rumah penduduk. Ren Yingying tetap berada di dalam keretanya dan seperti menjaga jarak dengan Linghu Chong di kereta yang lain. Meskipun semua orang telah mengetahui kisah cinta di antara mereka, namun sifat Ren Yingying yang pemalu tetap saja tidak berkurang. Bahkan, ketika murid-murid Henshan mengganti perban dan menambah obat pada luka Linghu Chong, ia pura-pura tidak melihat dan memandang ke arah lain. Zheng E, Qin Juan, dan yang lain mengenal watak putri ketua Sekte Iblis tersebut. Mereka pun senantiasa memberitahukan perkembangan luka Linghu Chong, tetapi Ren Yingying hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.

Linghu Chong sendiri tampak sibuk memikirkan ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi tadi. Ia merasa jurus serangan tersebut biasa-biasa saja, dan yang membuatnya istimewa hanyalah kecepatannya yang luar biasa, serta sebelumnya juga tiada tanda-tanda akan ke mana arah serangan itu menuju. Begitu serangan semacam itu dilancarkan, seorang tokoh paling lihai sekalipun juga sukar untuk menahannya.

Dalam pertempuran di Tebing Kayu Hitam tempo hari, senjata yang dipakai Dongfang Bubai hanya sebatang jarum sulam saja, tapi Linghu Chong dan ketiga jago lainnya tidak mampu melawan. Kalau dipikir secara cermat ternyata itu semua bukan karena tenaga dalam atau jurus serangan Dongfang Bubai yang hebat, namun karena gerak-geriknya yang secepat kilat. Setiap serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, sehingga selalu di luar perhitungan lawan.

Cara Lin Pingzhi membekuk Yu Canghai tadi malam serta bagaimana ia membunuh seorang murid Qingcheng di kedai barusan juga benar-benar mirip dengan ilmu silat Dongfang Bubai. Sementara itu, cara Yue Buqun membutakan kedua mata Zuo Lengchan jelas juga menggunakan ilmu silat yang sama. Karena Kitab Bunga Mentari yang dipelajari Dongfang Bubai memiliki sumber yang sama dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis, maka ia pun menyimpulkan bahwa ilmu aneh yang telah dipelajari mertua dan menantu itu pasti Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut.

Berpikir sampai di sini ia lantas menggeleng-geleng sendiri sambil menggumam, “Jurus Pedang Penakluk Iblis? Jurus Pedang Penakluk Iblis? Huh, penakluk iblis yang bagaimana? Justru ilmu ini sangat jahat bagaikan iblis.”

Ia kemudian berpikir lagi, “Mungkin satu-satunya orang yang bisa menghadapi ilmu pedang aneh mereka hanyalah Kakek Guru Feng seorang. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku perlu berkunjung ke Gunung Huashan untuk meminta petunjuk kepada Beliau tentang cara-cara mematahkan ilmu pedang yang aneh ini. Kakek Guru Feng memang bersumpah tidak ingin bertemu orang-orang Huashan, tapi bukankah aku sudah dikeluarkan dari sana?” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Dongfang Bubai sudah mati, Yue Buqun adalah guruku, Lin Pingzhi adalah adik seperguruanku. Mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat ini terhadapku, lalu untuk apa aku harus mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka?” Membayangkan itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu, sehingga tubuhnya pun gemetar. Segera ia bangkit untuk duduk. Karena gerakannya mendadak, lukanya pun terasa sakit kembali. Tanpa terasa ia merintih perlahan.

“Apakah kau ingin minum?” sahut Qin Juan yang berdiri di samping keretanya.

“Tidak,” jawab Linghu Chong. “Adik, tolong kau undang Nona Ren kemari.”

Qin Juan mengiakan kemudian pergi. Tidak lama kemudian gadis belia itu kembali lagi dengan bersama Ren Yingying yang langsung bertanya. “Ada masalah apa?”

“Tiba-tiba aku teringat sesuatu,” jawab Linghu Chong. “Tempo hari ayahmu pernah bercerita telah memberikan Kitab Bunga Mentari milik kalian kepada Dongfang Bubai. Waktu itu aku mengira ilmu silat yang terdapat dalam Kitab Bunga Mentari itu tidak lebih bagus daripada ilmu sakti yang dipelajari oleh ayahmu sendiri, sehingga ayahmu sudi menurunkan kitab pusaka tersebut kepada Dongfang Bubai. Akan tetapi ….”

“Akan tetapi, ilmu silat ayahku ternyata tidak sehebat Dongfang Bubai, bukan?” sahut Ren Yingying.

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Apa yang menjadi alasannya benar-benar tak kumengerti.”

Pada umumnya seorang jago silat bila melihat sebuah kitab hebat tentu mustahil kalau tidak ingin memilikinya sendiri. Seandainya ia tidak ingin mempelajarinya juga akan diberikan kepada orang terdekat, misalnya kepada istri, anak, guru, murid, atau kerabat lainnya. Akan tetapi, dalam hal ini Ren Woxing justru sengaja memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai yang bukan siapa-siapa baginya. Sungguh kejadian ini benar-benar lain daripada yang lain.

“Aku pun pernah bertanya kepada Ayah tentang hal ini,” ujar Ren Yingying. “Ayah bilang, pertama, ilmu silat yang tertera dalam kitab itu tidak boleh dipelajari dan kalau memaksakan diri untuk mempelajarinya tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Kedua, Ayah sendiri tidak tahu bahwa setelah berhasil mendalami Kitab Bunga Mentari ternyata Dongfang Bubai menjadi sedemikian sakti melebihi dirinya.”

“Jadi, menurut Beliau, kitab tersebut tidak boleh dipelajari? Kalau tidak boleh apa sebabnya?” sahut Linghu Chong menegas.

Tiba-tiba raut muka Ren Yingying berubah merah, kemudian ia menyahut, “Mengapa tidak boleh dipelajari, aku sendiri juga tidak tahu.” Setelah diam sejenak, ia lalu menyambung, “Apa baiknya kalau bernasib seperti Dongfang Bubai?”

Linghu Chong mendehem, samar-samar dalam hatinya ia merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh Sang Guru seolah sedang menuju ke arah yang sama dengan Dongfang Bubai. Kini, Yue Buqun telah mengalahkan Zuo Lengchan dan menguasai Perguruan Lima Gunung. Linghu Chong khawatir jangan-jangan gurunya kelak juga akan memanjakan diri dengan sanjung puji menjijikkan seperti yang dilakukan orang-orang Sekte Iblis di Tebing Kayu Hitam.

“Kau harus merawat lukamu dengan tenang. Jangan berpikir macam-macam,” kata Ren Yingying menukas. “Aku ingin tidur.”

“Silakan,” jawab Linghu Chong. Ia kemudian menyingkap tirai kereta sehingga sinar rembulan yang lembut menyoroti wajah Ren Yingying yang cantik itu. Seketika Linghu Chong merasa sangat bersalah karena belum bisa membalas cinta gadis itu kepadanya.

Ren Yingying kemudian berkata, “Baju yang dipakai Adik Lin-mu itu bermotif bunga-bunga.” Usai berkata demikian ia lantas melangkah kembali menuju keretanya.

Seketika Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Dia berkata baju Adik Lin bermotif bunga-bunga? Apa yang aneh? Adik Lin baru saja menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai baju-baju baru yang mewah. Dasar perempuan, bukannya memperhatikan ilmu pedang, tapi malah melihat baju yang dipakai, sungguh lucu.” Sambil memejamkan mata ia membayangkan keadaan Lin Pingzhi sewaktu melabrak Yu Canghai, namun baju motif bunga bagaimana yang tadi dipakai pemuda itu sudah dilupakan olehnya.

Sampai tengah malam, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derap laju kaki kuda. Dua sosok penunggang kuda kembali datang. Linghu Chong lantas bangkit dari tidur dan menyingkap tirai kereta. Dilihatnya murid-murid Henshan dan Qingcheng juga sudah bangun semua. Murid-murid Henshan segera membagi diri ke dalam beberapa kelompok yang terdiri atas tujuh orang, yang masing-masing kemudian membentuk Formasi Tujuh Pedang untuk menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, murid-murid Qingcheng juga sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Ada yang berjaga di tepi jalan, ada pula yang bersandar pada tembok rumah. Keadaan mereka jauh lebih tegang dan gelisah daripada murid-murid Henshan yang terlihat tenang.

Tak lama kemudian tampak dua penunggang kuda datang mendekat dengan cepat. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat dengan jelas, bahwa yang datang itu tidak lain tidak bukan adalah Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Begitu mendekat, Lin Pingzhi segera berteriak, “Yu Canghai, demi untuk menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, kau telah membunuh ayah dan ibuku. Sekarang biarlah aku memperlihatkan ilmu pedang yang kau incar ini sejurus demi sejurus. Hendaknya kau memperhatikan dengan seksama.” Ia lantas menahan kudanya, lalu melompat turun. Sebilah pedang tampak tersandang di balik punggungnya. Dengan langkah cepat ia lantas mendekati orang-orang Qingcheng.

Linghu Chong memperhatikan semua yang terjadi. Tampak Lin Pingzhi mengenakan baju berwarna hijau kumala, dengan ujung lengan bersulamkan motif bunga-bunga berwarna kuning emas. Pinggiran baju tampak dilapisi dengan renda kuning pula, sementara pinggangnya memakai sabuk berwarna kuning emas. Penampilannya begitu mewah. Menyaksikan itu Linghu Chong berpikir, “Biasanya Adik Lin berpakaian sederhana, tapi sesudah menjadi pengantin sifatnya lantas berubah seketika. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan dia. Seorang pemuda tampan mendapatkan jodoh yang serasi sudah tentu merasa gembira. Pantas kalau dia berdandan secakap mungkin.”

Kemarin malam ketika Lin Pingzhi membekuk Yu Canghai dalam sekali gebrak di samping Panggung Fengshan, lagaknya juga sama seperti saat ini. Sudah tentu pihak Qingcheng tidak mau memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk mengulangi serangan yang licik seperti itu. Maka, begitu Yu Canghai membentak memberikan perintah, seketika empat orang muridnya pun menerjang maju dengan pedang terhunus. Dua pedang menusuk ke arah dada Lin Pingzhi dari kiri dan kanan, sedangkan dua pedang yang lain menebas ke arah sepasang kakinya pula.

Enam Dewa Lembah Persik ikut khawatir melihatnya. Seketika mereka pun berteriak memperingatkan Lin Pingzhi, “Awas, Nak!” seru tiga di antaranya, dan “Nak, awas!” seru tiga yang lain.

Tak disangka Lin Pingzhi tetap tenang-tenang saja. Dengan kecepatan luar biasa mendadak kedua tangannya menjulur ke depan, kemudian mengibas ke samping sehingga tangan kedua lawan yang menusuk dadanya itu pun terdorong pula. Sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan ngeri empat orang. Dua di antara mereka seketika roboh terkulai, sedangkan dua lainnya yang bermaksud menusuk dada Lin Pingzhi tedi berputar balik karena tangan mereka terkena kibasan lengan pemuda itu. Akibatnya, mereka pun saling menusuk perut teman sendiri.

“Itu tadi adalah jurus kedua dan ketiga ilmu Pedang Penakluk Iblis. Apa kau sudah melihatnya dengan jelas?” seru Lin Pingzhi. Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan hinggap di atas kudanya, kemudian melaju pergi.

Orang-orang Qingcheng sampai terkesima sehingga tiada seorang pun yang berangkat mengejar. Ketika mereka memperhatikan kedua kawan yang masih berdiri, ternyata keduanya dalam posisi saling tusuk perut sampai ke dada kawan dari bawah. Kedua kaki masing-masing masih berdiri tegak, padahal sebenarnya mereka sudah kehilangan nyawa.

Cara Lin Pingzhi menjulurkan tangan dan mengibas sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh Linghu Chong. Hal itu membuatnya terkejut sekaligus kagum pula. “Sungguh bagus, sungguh bagus. Yang ia lakukan tadi bukan ilmu silat tangan kosong, tetapi sebuah ilmu pedang meski tanpa pedang di tangannya,” demikian ia berpikir.

Di bawah sinar bulan tampak bayangan Yu Canghai yang pendek itu berdiri terkesima di samping keempat mayat muridnya. Murid-murid Qingcheng berkeliling di sekitar Sang Guru, tapi dari jarak yang agak jauh. Tiada seorang pun yang berani membuka suara.

Selang agak lama, Linghu Chong kembali memandang ke luar kereta. Dilihatnya Yu Canghai masih tetap berdiri tegak di tempat semula tanpa bergerak sedikit pun, sementara bayangannya sudah bertambah panjang, pertanda sudah sekian lama ia termangu-mangu di situ. Sebagian murid-murid Qingcheng juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah menyingkir pergi, sebagian lagi sudah mengambil duduk. Namun Yu Canghai sendiri masih juga berdiri kaku di situ.

Dalam hati Linghu Chong merasa kasihan juga kepada Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng yang terkenal itu ternyata kehabisan akal dan sama sekali tak berdaya menghadapi ajal di tangan seorang lawan yang jauh lebih muda.

Karena sudah mengantuk, Linghu Chong lantas memejamkan mata untuk tidur. Dalam lelapnya itu tiba-tiba terasa keretanya seperti berguncang, menyusul terdengar suara bentakan sang kusir. Ternyata hari sudah terang, sementara rombongan telah berangkat kembali.

Ia kemudian melongok keluar. Dilihatnya pada jalan raya banyak orang berlalu lalang. Rombongan Perguruan Qingcheng berjalan di depan. Ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki. Memandangi bayangan mereka mau tidak mau ada perasaan haru yang sukar untuk dikatakan, seolah-olah menyaksikan serombongan domba sedang digiring menuju tempat pejagalan.

Kembali Linghu Chong berpikir, “Mereka cukup sadar bahwa Lin Pingzhi pasti akan datang lagi. Mereka pun tahu bahwa mereka sama sekali tidak sanggup untuk menghadapinya. Kalau mereka melarikan diri dengan cara berpencar, maka itu berarti tamat sudah nama besar Perguruan Qingcheng. Tapi kalau Lin Pingzhi sampai datang ke Gunung Qingcheng, apakah di Kuil Angin Cemara tiada tokoh lagi yang sanggup melawannya?”

Menjelang tengah hari sampailah rombongan dua perguruan itu di suatu kota agak besar. Rombongan Qingcheng lantas memasuki sebuah rumah makan besar untuk makan minum sepuasnya di dalam. Sementara itu, orang-orang Henshan hanya beristirahat di kedai sederhana di depan rumah makan besar tersebut. Menyaksikan orang-orang Qingcheng menikmati makan dan minum, para biksuni Henshan hanya terdiam. Mereka sadar orang-orang Qingcheng sedang menghadapi maut. Maka, selagi masih hidup, sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan sepuas-puasnya.

Sore harinya sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kembali Lin Pingzhi dan Yue Lingshan memburu tiba.

Yihe bersuit menghentikan rombongannya. Saat itu sinar matahari masih memancar terang. Tampak dua penunggang kuda datang menyusur di tepi sungai. Sesudah dekat, Yue Lingshan menahan kudanya, sedangkan Lin Pingzhi terus saja maju ke depan. Mendadak Yu Canghai memberi tanda. Bersama murid-muridnya mereka lantas memutar tubuh dan lari menyusur di tepi sungai.

“Yu Pendek, hendak lari ke mana kau?” seru Lin Pingzhi sambil bergelak tawa. Segera ia pun memacu kudanya mengejar.

Tiba-tiba Yu Canghai berbalik. Secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lin Pingzhi. Sama sekali Lin Pingzhi tidak menduga akan serangan lawan yang mendadak itu, namun dengan cepat ia melolos pedangnya untuk menangkis. Susul-menyusul Yu Canghai melancarkan serangan kilat. Mendadak ia melompat ke atas, dan di lain saat ia merendah ke bawah. Tak disangka, seorang tua berusia enam puluhan masih juga lincah seperti anak muda. Gerak pedangnya selalu mengambil posisi menyerang secara cepat. Murid-murid Qingcheng segera mengelilingi kuda Lin Pingzhi dan ikut mengerubut pula. Namun demikian, yang mereka serang adalah orangnya, dan jangan sampai melukai kudanya.

Hanya mengikuti beberapa saat saja Linghu Chong sudah tahu maksud dan tujuan Yu Canghai. Kehebatan Lin Pingzhi terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan sukar diduga. Sekarang pemuda itu berada di atas punggung kuda, dengan sendirinya keunggulannya pun menjadi berkurang. Sebab, kalau mau menyerang ia terpaksa harus mendoyongkan tubuhnya ke depan. Sambil menunggangi kuda tentu tidak selincah kalau ia berdiri di atas kaki sendiri. Maka, murid-murid Qingcheng pun sengaja mengepungnya di tengah agar ia tidak sempat turun dari kudanya itu. Asalkan Lin Pingzhi tetap berada di atas kuda belum tentu ia mampu melawan Yu Canghai.

Diam-diam Linghu Chong mengakui kecerdikan ketua Perguruan Qingcheng itu. Cara yang ia gunakan benar-benar cerdik. Kemudian ia memperhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi. Gerak perubahannya memang aneh dan bagus, namun Yu Canghai masih dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa pandangannya beralih ke arah Yue Lingshan yang berada di tempat agak jauh. Seketika Linghu Chong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa murid Qingcheng lainnya telah mengepung adik kecilnya itu dan sedang mendesaknya ke tepi sungai.

Pada saat itu pula mendadak terdengar kuda tunggangan Yue Lingshan meringkik dan berjingkrak sehingga nyonya muda itu terbanting ke bawah. Rupanya perut kuda itu telah terkena tusukan pedang. Dengan cepat Yue Lingshan melompat bangun sambil mengelak untuk menghindari serangan seorang lawan. Namun, murid-murid Qingcheng itu terus menyerangnya sekuat tenaga.

Enam murid Qingcheng ini terhitung jago-jago pilihan. Linghu Chong dapat melihat Hou Renying dan Hong Renxiong ada di antara mereka. Meskipun Yue Lingshan telah berhasil mempelajari ilmu pedang yang terukir pada gua rahasia di Puncak Huashan dan telah mengalahkan para ketua dari Perguruan Taishan dan Hengshan, namun ilmu pedang lihai itu tidak ada gunanya jika menghadapi ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Lagipula, pada dasarnya Yue Lingshan hanya mempelajari gerakan-gerakan ilmu pedang rahasia tersebut, dan belum benar-benar memahami intisarinya.

Linghu Chong dapat melihat sang adik kecil tidak mampu melawan serangan murid-murid Qingcheng yang nekat itu. Sementara ia khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang murid Qingcheng yang sebelah lengannya tertebas buntung oleh Yue Lingshan yang menggunakan jurus pedang Hengshan.

Linghu Chong merasa gembira dan berharap orang-orang Qingcheng yang lain tentu akan ngeri dan mundur teratur. Tak disangka, kelima orang yang lain tidak mundur selangkah pun, bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang sudah buntung sebelah lengannya tadi. Melihat lawan yang bermandi darah dengan serangan kalap laksana kerbau gila itu, justru Yue Lingshan sendiri yang merasa ngeri. Ia pun terdesak mundur. Tiba-tiba sebelah kakinya terpeleset karena menginjak batu kali berlumut, dan seketika ia pun jatuh ke dalam air.

“Celaka!” Linghu Chong berseru khawatir.

“Beginilah cara kita menghadapi Dongfang Bubai tempo hari,” tiba-tiba terdengar suara Ren Yingying menyahut.

Linghu Chong tidak sadar sejak kapan gadis itu berada di sampingnya. Ucapan Ren Yingying memang tidak salah. Pada pertempuran di Tebing Kayu Hitam tempo hari jelas-jelas ia dan ketiga lainnya tidak sanggup melawan Dongfang Bubai. Untung saja waktu itu Ren Yingying mengganti haluan dan menyerang Yang Lianting sehingga perhatian Dongfang Bubai pun terbagi. Akhirnya, pendekar mahasakti itu menjadi lengah dan binasa pula. Sekarang ini cara yang dipakai Yu Canghai memang mirip dengan siasat Ren Yingying waktu itu. Tentu saja Yu Canghai tidak menyaksikan bagaimana Linghu Chong dan Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai, namun pikirannya yang cerdik membuatnya melakukan hal yang sama pada saat sedang terdesak oleh lawan tangguh.

Linghu Chong menduga Lin Pingzhi tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak disangka, pemuda itu masih terus bertempur melawan Yu Canghai, sama sekali ia tidak ambil pusing terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu.

Yue Lingshan sendiri segera melompat bangun setelah tercebur ke dalam air dangkal tadi. Di lain pihak, murid-murid Qingcheng juga menyadari bahwa hidup-mati perguruan mereka dan keselamatan diri sendiri hanya tergantung pada pertempuran yang menentukan sekarang ini. Maka, mereka pun bertempur dengan nekat dan mengerahkan segenap kemampuan. Tiba-tiba murid yang buntung lengannya tadi telah membuang pedangnya dan kemudian menjatuhkan diri untuk menggelinding ke arah Yue Lingshan. Segera ia memeluk kaki nyonya muda itu dengan menariknya kencang-kencang.

“Adik Ping, lekas bantu aku, lekas bantu aku!” seru Yue Lingshan khawatir.

“Yu Pendek ingin melihat kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka biar dia melihat secara jelas agar mati pun tidak penasaran,” kata Lin Pingzhi sambil menyerang lebih cepat sehingga Yu Canghai hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh hebat Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkan Lin Pingzhi itu. Meski sambil duduk di atas kuda, namun pedangnya yang menari-nari sudah cukup untuk membuat Yu Canghai terdesak kelabakan.

Yu Canghai pernah mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis dari gurunya dan tidak melihat ada yang istimewa pada jurus-jurus tersebut. Akan tetapi, jurus-jurus yang sederhana itu saat berada di tangan Lin Pingzhi ternyata mengandung banyak gerak perubahan di sana-sini yang membuatnya terdesak kewalahan dan hanya bisa berteriak-teriak gusar. Harapan satu-satunya adalah menggetar jatuh pedang pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi, sejak jurus pertama tadi Yu Canghai sama sekali tidak pernah adu senjata dengan Lin Pingzhi. Sungguh cepat gerak pedang pemuda itu yang menerjang ke arahnya tanpa bisa ditangkis sedikit pun.

“Hei, kau … kau ….” bentak Linghu Chong gusar. Tadinya ia mengira Lin Pingzhi tidak mampu melepaskan diri dari kepungan Yu Canghai dan murid-muridnya untuk menolong sang istri. Namun, dari ucapannya itu terdengar jelas bahwa Lin Pingzhi sama sekali tidak menghiraukan keadaan Yue Lingshan. Yang dianggapnya penting hanyalah bagaimana mempermainkan Yu Canghai yang sudah tak berdaya sampai putus asa.

Sementara itu matahari sudah mulai terbit. Linghu Chong dapat melihat bibir Lin Pingzhi menyeringai penuh rasa gembira. Ia bagaikan seekor kucing yang berhasil menangkap tikus dan mempermainkan mangsanya itu sebelum dibunuh. Padahal, seekor kucing saja tidak mempermainkan mangsanya dengan penuh perasaan dendam dan kebencian sebagaimana yang dilakukan Lin Pingzhi terhadap Yu Canghai itu.

“Adik Ping, Adik Ping, lekas kemari tolong aku!” seru Yue Lingshan kembali memanggil suaminya. Suaranya terdengar serak pertanda rasa takut dan ngeri di hatinya telah memuncak.

“Sebentar lagi aku datang! Kau bertahanlah dulu! Aku harus menuntaskan semua Jurus Pedang Penakluk Iblis. Sebenarnya antara keluargaku dengan Yu Pendek tidak ada permusuhan apa-apa. Dia membantai keluargaku hanya karena ingin menguasai ilmu pedang leluhur kami. Sekarang akan kuperagakan semua jurus keluargaku agar dia tidak mati penasaran. Bagaimana menurutmu?” Ucapannya ini terdengar santai pertanda ia memang sama sekali tidak peduli pada keselamatan sang istri. Pertanyaannya yang terakhir pun bukan ditujukan kepada Yue Lingshan, tetapi kepada Yu Canghai. Karena Yu Canghai tidak memahami maksud perkataannya itu, Lin Pingzhi pun menegas, “Bagaimana menurutmu, Yu Pendek?”

Gerak serangan Lin Pingzhi ini sungguh anggun dan gemulai, mirip dengan Jurus Pedang Gadis Kumala andalan Ning Zhongze, istri Yue Buqun. Yang menjadi perbedaan ialah, gerak serangan Lin Pingzhi ini memancarkan hawa jahat luar biasa.

Sebenarnya Linghu Chong ingin sekali menyaksikan seluruh Jurus Pedang Penakluk Iblis dimainkan oleh Lin Pingzhi sampai tuntas. Namun, di sisi lain ia mengkhawatirkan keadaan Yue Lingshan yang sedang dalam bahaya itu. Maka, begitu mendengar Yue Lingshan kembali berteriak-teriak minta tolong, ia pun tidak tahan lagi dan segera berkata, “Kakak Yihe, Kakak Yiqing, tolong kalian membantu Nona Yue. Dia … dia dalam bahaya!”

Yiqing menjawab, “Kita sudah menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun juga. Rasanya tidak enak bila kita ikut turun tangan.”

Kaum persilatan memang sangat mengutamakan “pegang janji”. Seorang maling cabul seperti Tian Boguang saja memegang perkataannya, apalagi para anggota perguruan lurus bersih ternama.

Mendengar jawaban Yiqing itu, Linghu Chong merasa apa yang dikatakannya memang benar. Malam sebelumnya Yihe sudah menyatakan dengan tegas kepada Yu Canghai bahwa Perguruan Henshan sama sekali tidak akan membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu Yue Lingshan, itu berarti merusak nama baik Perguruan Henshan. Menyadari hal ini, Linghu Chong merasa sangat gelisah dan tak berdaya.

“Ini … ini .…” ujarnya semakin cemas. Tiba-tiba ia berteriak, “Mana Biksu Bujie, Tian Boguang, dan Enam Dewa Lembah Persik? Di mana mereka?”

Qin Juan menjawab, “Mereka semua sudah pergi karena bosan melihat wajah Yu Canghai yang bermuram durja. Konon Biksu Bujie mengajak mereka pergi mencari arak. Lagipula … mereka berdelapan juga orang-orang Perguruan Henshan.”

Tiba-tiba Ren Yingying melompat dengan kedua tangannya melolos sepasang pedang pendek dari balik pinggang. “Hei, lihatlah dengan jelas! Aku adalah Ren Yingying, putri kesayangan Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Aku bukan anggota Perguruan Henshan. Kalian enam lelaki tak tahu malu mengeroyok seorang perempuan, bagaimanapun juga membuatku sangat muak. Karena melihat ketidakadilan ini, terpaksa Nona Ren harus ikut campur.”

Sungguh senang rasa hati Linghu Chong melihat Ren Yingying telah maju ke sana. Karena menghela napas lega, tiba-tiba lukanya kembali terasa sakit, dan ia pun jatuh terduduk di dalam kereta.

Meskipun keenam murid Qingcheng itu melihat kedatangan Ren Yingying, namun mereka seolah tidak peduli dan terus saja menyerang Yue Lingshan secara kalap. Sebelumnya Yue Lingshan telah terdesak mundur beberapa langkah. Tiba-tiba kakinya menginjak air sungai sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, nyonya muda itu menjadi gugup, permainan pedangnya pun ikut kacau. Pada saat itulah pundak kirinya terasa sakit, rupanya sebilah pedang musuh berhasil menusuknya. Kesempatan itu segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju untuk memeluk kakinya seperti diceritakan tadi. Segera Yue Lingshan mengayun pedangnya untuk membabat tepat mengenai punggung si buntung. Namun orang itu sudah nekat dan terus saja merangkul dengan kencang. Sedikit pun ia tidak mau melepas pelukannya.

Yue Lingshan yang sangat cemas membuat pandangannya menjadi gelap. “Apa aku akan mati di sini? Apa aku akan mati seperti ini?” keluhnya gugup. Samar-samar dilihatnya Lin Pingzhi sedang memainkan ilmu pedangnya yang hebat melawan Yu Canghai. Gerakannya sangat teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus seakan-akan ingin memamerkan ilmu pedang belaka. Terdesak oleh rasa kesal, hampir-hampir Yue Lingshan jatuh lunglai. Untung saja tiba-tiba serangan musuh menjadi kendur, dua pedang mereka pun terlempar ke atas, menyusul kemudian terdengar suara air mendebur. Rupanya dua orang murid Qingcheng itu telah terjungkal ke dalam sungai.

Karena pikirannya sudah kacau, Yue Lingshan juga ikut terbanting jatuh. Untungnya, Ren Yingying telah memutar sepasang pedang pendeknya pula. Dalam beberapa jurus saja sisa tiga murid Qingcheng juga telah berhasil dilukainya. Senjata mereka terlepas dari pegangan, sehingga terpaksa para pengeroyok itu melarikan diri. Kemudian dengan sekali tendang Ren Yingying membuat si lengan buntung terpental sehingga rangkulannya pada kaki Yue Lingshan terlepas pula. Segera ia menarik bangun Yue Lingshan yang sudah basah kuyup itu. Pakaian nyonya muda itu tampak berlumuran darah, dan perlahan-lahan Ren Yingying memapahnya naik ke tepi sungai.

Sementara itu terdengar Lin Pingzhi berseru, “Nah, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami sudah kau lihat dengan jelas, bukan?” Menyusul sinar pedangnya lantas berkelebat. Seketika seorang murid Qingcheng yang ikut mengerubut di samping kudanya pun jatuh terguling. Kepalanya terbelah di antara kedua mata.

Yang baru saja roboh itu tidak lain adalah Fang Renzhi, yang dulu berhasil menangkap Lin Zhennan suami-istri dan menyerahkan mereka kepada Yu Canghai di Kota Hengshan. Terdengar Lin Pingzhi berseru, “Fang Renzhi, kau manusia licik dan hina! Kematian seperti ini terlalu enak bagimu.” Sekali menarik tali kendali, dengan cekatan kudanya pun melompat melintasi mayat Fang Renzhi itu. Keadaan Yu Canghai sendiri sudah sangat payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.

Lin Pingzhi memacu kudanya dan ia melihat seorang murid Qingcheng yang dulu menyaksikan dirinya membunuh anak Yu Canghai. “Kau pasti Jia Renda!” teriaknya kepada orang itu. Sejak tadi Jia Renda yang terkenal berjiwa pengecut memilih untuk berada jauh dari amukan Lin Pingzhi. Kini begitu melihat pemuda itu tiba-tiba memburunya, ia menjadi kalap dan berniat melarikan diri. Namun, pedang Lin Pingzhi lebih dulu menusuk kaki kanannya. Jia Renda pun terbanting jatuh di tanah. Lin Pingzhi bergelak tawa seperti orang sinting. Ia lantas mengarahkan kudanya untuk menginjak-injak tubuh pria itu. Seketika terdengar jeritan ngeri dan memilukan. Lin Pingzhi terlihat semakin kesetanan. Ia membalikkan kudanya dan kembali menginjak-injak tubuh Jia Renda. Suara jeritan pria itu semakin lama semakin pelan, dan akhirnya tidak terdengar lagi untuk selamanya.

Lin Pingzhi lantas memacu kudanya ke arah Yue Lingshan dan Ren Yingying. “Naik kemari!” serunya kepada sang istri.

Namun, Yue Lingshan memandangnya dengan penuh rasa benci. Ia kemudian berkata dengan gigi gemertak, “Kau pergi sendiri saja.”

“Dan kau?” tanya Lin Pingzhi.

“Untuk apa kau mengurusi aku?” jawab Yue Lingshan ketus.

Lin Pingzhi memandang sekejap ke arah murid-murid Henshan, lalu tertawa sinis. Ia kemudian memacu kudanya dan melarikan hewan tunggangannya itu secepat terbang.

Ren Yingying sama sekali tidak menduga bahwa Lin Pingzhi akan bersikap sedingin itu terhadap istrinya. Padahal mereka masih terhitung pengantin baru. “Nyonya Lin, silakan kau beristirahat ke dalam keretaku saja,” katanya kemudian.

Kelopak mata Yue Lingshan sudah penuh dengan air mata. Sedapat mungkin ia menahan agar air matanya tidak sampai menetes keluar. Maka, dengan terbata-bata ia menjawab, “Aku … aku tidak mau. Kenapa … kenapa kau menolong aku?”

“Bukan aku yang menolongmu, tapi kakak pertamamu yang ingin menolong,” jawab Ren Yingying jujur.

Yue Lingshan merasa hatinya sangat pilu. Tak tertahankan lagi air matanya pun menetes bercucuran. “Dapatkah kau … me… meminjamkan seekor kuda padaku?” ujarnya kemudian.

“Baik,” jawab Ren Yingying lalu pergi mengambil seekor kuda.

“Terima kasih banyak. Kau … kau ….” kata Yue Lingshan lirih. Segera ia melompat dan hinggap di atas punggung kuda itu kemudian memacunya kencang-kencang. Arah yang ditempuh ternyata berlawanan dengan Lin Pingzhi. Sepertinya ia memutuskan untuk kembali ke Gunung Songshan.

Yu Canghai juga heran melihat kepergian Yue Lingshan itu, tapi sama sekali tidak mau menghalanginya. Dalam hati ia berpikir, “Malam nanti atau esok tentu binatang bermarga Lin itu akan datang lagi membunuh kami. Aku yakin dia hendak membunuh habis muridku satu per satu agar tertinggal diriku sebatang kara. Habis itu barulah giliranku dikerjai olehnya.”

Linghu Chong tidak tega menyaksikan keadaan Yu Canghai yang mengenaskan itu. Kepada Yihe dan yang lain ia pun berkata, “Marilah kita berangkat!”

Begitu kusir-kusir kereta membentak dan melecutkan cambuknya, segera keledai-keledai pun menarik kereta maju ke depan.

Linghu Chong terperanjat heran ketika melihat Yue Lingshan ternyata menuju ke arah yang berlainan dengan rombongannya. Sebenarnya ia ingin mengikuti arah yang ditempuh sang adik kecil, namun keretanya ternyata berjalan menuju ke arah lain. Bimbang juga rasa hatinya. Rasanya tidak enak untuk memerintahkan kereta berputar haluan, hanya tirai bagian belakang saja yang disingkapnya untuk memandang ke luar. Namun, bayangan Yue Lingshan sudah tidak tampak lagi. Seketika perasaannya sangat tertekan. “Adik Kecil sudah terluka. Sendirian dia menuju ke sana. Apakah dia akan baik-baik saja?”

Tiba-tiba terdengar Qin Juan berkata di sampingnya, “Dia kembali ke Gunung Songshan. Dia tentu aman berada di samping ayah-ibunya. Kakak Ketua tidak perlu khawatir.”

Agak lega hati Linghu Chong mendengarnya. Ia pun mengiakan, kemudian berpikir, “Adik Qin sungguh cermat. Dia selalu dapat menerka apa yang ada di pikiranku.”

Hari berikutnya ketika matahari sudah berada di atas kepala, rombongan Perguruan Henshan itu berhenti di sebuah kedai makan kecil. Sebenarnya tidak bisa dikatakan kedai makan, sebab hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan. Gubuk-gubuk itu tanpa dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang sekadar tempat makan-minum orang yang berlalu-lalang. Maka, begitu dibanjiri oleh rombongan Perguruan Henshan, seketika rumah makan itu kewalahan, kurang beras dan kurang lauk. Untungnya rombongan ini membawa perbekalan yang cukup, sampai alat-alat masak pun dibawa pula. Segera mereka menanak nasi dan memasak sayur di samping gubuk-gubuk tersebut.

Terlalu lama duduk di dalam kereta membuat Linghu Chong merasa jemu. Untung lukanya sudah lumayan pulih setelah berkali-kali dibubuhi obat-obatan Perguruan Henshan yang mujarab. Zheng E dan Qin Juan lantas memapahnya turun untuk kemudian duduk bersantai di dalam gubuk. Matanya memandang ke timur dan hatinya berpikir, “Entah Adik Kecil akan datang kemari atau tidak?”

Ia lantas melihat debu mengepul tinggi dari jauh. Satu rombongan lagi sedang menuju ke tempat mereka. Ternyata rombongan Perguruan Qingcheng yang tiba. Sesampainya di gubuk itu, mereka juga berhenti untuk menanak nasi. Yu Canghai tampak duduk sendiri menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.

Sepertinya Yu Canghai menyadari ajalnya sudah dekat, sehingga ia merasa tidak perlu sirik dan menghindari rombongan Perguruan Henshan lagi. “Hari ini aku paling-paling hanya mati saja. Persetan apakah orang-orang Henshan menyaksikan bagaimana aku mati atau tidak,” pikirnya dalam hati.

Benar juga, tak lama kemudian dari arah barat terdengar suara derap kaki kuda. Tampak seorang pria muda memacu kudanya makin mendekat dengan perlahan. Penunggang kuda itu memakai baju sulam bunga-bunga, siapa lagi kalau bukan Lin Pingzhi?

Sesampainya di depan gubuk, Lin Pingzhi lantas menghentikan kudanya. Orang-orang Qingcheng ternyata tidak ambil pusing kepadanya, bahkan melirik saja tidak. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yang menanak nasi tetap menanak nasi, yang minum tetap enak-enak minum.

Hal ini benar-benar di luar dugaan Lin Pingzhi. Segera ia bergelak tawa dan berkata, “Tidak peduli kalian menyerang lebih dulu atau tidak, tapi aku akan tetap membunuh kalian semua.” Usai berkata ia lantas melompat turun. Sekali menepuk pantat kuda, hewan itu pun menyingkir mencari rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih terdapat bangku yang kosong. Segera ia pun melangkah dan duduk di situ.

Begitu Lin Pingzhi memasuki gubuk, Linghu Chong langsung mencium bau harum yang sangat menusuk hidung. Ternyata bau harum tersebut berasal dari pakaian yang dikenakan pemuda itu. Penampilannya sangat rapih dan rajin. Kopiah yang ia pakai juga dihiasi sebutir batu zamrud, sementara jarinya memakai cincin bermata mirah delima, serta sepatunya juga berhiaskan mutiara. Penampilan seperti ini jelas bukan lagi dandanan kaum persilatan, tapi lebih mirip seorang majikan muda dari keluarga hartawan kaya raya.

Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, “Keluarganya adalah pemilik Biro Ekspedisi Fuwei, sudah tentu sejak kecil ia dibesarkan dalam lingkungan kaya raya. Sekian lamanya ia hidup menderita di dunia persilatan, dan kini setelah mendapatkan kepandaian tinggi, sungguh pantas kalau ia kembali menikmati kekayaan seperti dulu lagi.”

Kemudian tampak Lin Pingzhi mengeluarkan selembar saputangan dari kain sutra berwarna putih bersih. Dengan gaya anggun dan lembut ia mengusap wajahnya pelan-pelan, serta mengibaskan lengan bajunya. Tingkah lakunya bagaikan seorang pemain sandiwara yang lemah gemulai.

Setelah mengambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Lin Pingzhi menyapa, “Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu?”

“Baik-baik saja,” sahut Linghu Chong sambil mengangguk.

Lin Pingzhi lantas berpaling ke arah musuh-musuhnya. Dilihatnya seorang murid Perguruan Qingcheng sedang menuangkan teh hangat ke dalam cawan Yu Canghai. Tiba-tiba ia menegur dengan suara keras, “Hei, kau ini bernama Yu Renhao, bukan? Dulu sewaktu terjadi pembantaian di rumahku, kau ikut terlibat di sana. Huh, meskipun tubuhmu hancur menjadi abu juga aku tetap mengenalmu.”

Yu Renhao memang terlibat pembantaian para pegawai Biro Ekspedisi Fuwei di kantor pusat Kota Fuzhou. Ia juga ikut menangkap ayah-ibu Lin Pingzhi bersama Fang Renzhi dan Jia Renda. Kedua rekannya itu telah tewas tadi malam. Begitu mendengar teguran Lin Pingzhi, ia langsung meletakkan poci teh di atas meja dengan keras, kemudian berbalik dan mundur dua langkah sambil memegangi gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. “Aku memang Yu Renhao, kau mau apa?” Walaupun jawabannya kasar, namun suaranya terdengar agak gemetar dan mukanya berubah pucat pula.

Lin Pingzhi tersenyum dan berkata, “Ying Xiong Hao Jie, empat kesatria muda Perguruan Qingcheng. Kau ini yang nomor tiga, tapi sama sekali tidak memancarkan wibawa kesatria. Hehe, sungguh menggelikan.”

Ying Xiong Hao Jie adalah singkatan dari nama keempat murid terhebat Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao, dan Luo Renjie. Di antara mereka, satu orang telah tewas dibunuh Linghu Chong saat di Kota Hengshan dahulu, yaitu Luo Renjie, sementara tiga yang lainnya saat ini berada di samping Yu Canghai.

Kembali Lin Pingzhi mengejek, “Saudara Linghu itu pernah menyebut kalian sebagai empat binatang bodoh dari Qingcheng. Huh, sebutan itu masih terlalu bagus untuk kalian. Padahal, kalau menurut penilaianku, hehe, kalian bahkan lebih rendah daripada binatang.”

Yu Renhao bertambah gusar. Wajahnya merah membara sementara tangannya semakin erat memegang gagang pedang, namun tidak juga melolos keluar senjatanya itu.

Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara derap kaki kuda berlari. Tampak dua ekor kuda datang dengan sangat cepat. Sesampainya di depan gubuk, penunggang yang berada di depan lantas menghentikan kudanya. Begitu semua orang berpaling, segera terdengar sebagian berseru kaget. Ternyata penunggang kuda yang berada di depan itu seorang bungkuk bertubuh gemuk pendek. Ia tidak lain adalah Mu Gaofeng, Si Bungkuk dari Utara. Sungguh tidak disangka-sangka, penunggang kuda yang di belakang ternyata Yue Lingshan.

Melihat Yue Lingshan datang, seketika dada Linghu Chong terasa hangat dan hatinya senang. Namun, dilihatnya kedua tangan adik kecilnya itu tampak ditelikung ke belakang, dan tali kendali kudanya juga dipegang oleh Mu Gaofeng. Jelas ia telah tertangkap dan ditawan oleh pendekar bungkuk itu. Segera Linghu Chong bermaksud turun tangan, namun lantas terpikir olehnya, “Suaminya berada di sini, untuk apa orang luar sepertiku harus bertindak? Jika suaminya sudah tidak peduli barulah nanti aku mencari akal untuk bisa menolongnya.”

Di lain pihak, Lin Pingzhi ternyata senang bukan kepalang melihat kedatangan Mu Gaofeng. Ia berkata dalam hati, “Orang bungkuk ini ikut menyiksa ayah-ibuku sampai meninggal. Sungguh tak kusangka, hari ini dia datang sendiri mengantar nyawa kemari. Langit memang mahaadil.”

Sementara itu, Mu Gaofeng ternyata tidak mengenali Lin Pingzhi. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Kota Hengshan, tapi waktu itu Lin Pingzhi menyamar sebagai seorang bungkuk dengan wajah ditutup koyo. Memang selanjutnya Mu Gaofeng dapat membongkar kalau bungkuk tersebut adalah palsu, namun tetap saja ia tidak mengetahui bagaimana wajah Lin Pingzhi yang sebenarnya.

Mu Gaofeng lantas berpaling kepada Yue Lingshan dan berkata, “Karena ada teman sebanyak ini berkumpul di sini, seharusnya kita juga berhenti untuk minum teh. Tapi kakekmu ini sedang ada urusan penting. Untuk itu, marilah kita berangkat saja.” Diam-diam ia merasa gentar melihat orang-orang Perguruan Henshan dan Qingcheng. Daripada mereka turun tangan menolong Yue Lingshan, tentu lebih baik ia segera menyingkir pergi. Maka ia pun membentak hendak melarikan kudanya kembali.

Rupanya kemarin sewaktu Yue Lingshan terluka dan ingin kembali ke Gunung Songshan untuk bergabung dengan ayah-ibunya, di tengah jalan ia disergap Mu Gaofeng. Si bungkuk ini menyimpan dendam kepada Yue Buqun yang telah mengalahkannya saat adu tenaga dalam di Kota Hengshan dulu. Kemudian didengarnya pula bahwa putra Lin Zhennan telah bergabung dengan Perguruan Huashan, serta menjadi menantu Yue Buqun. Oleh karena itu, ia pun menyimpulkan bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis pasti juga jatuh ke tangan Yue Buqun.

Kebanyakan kaum Serikat Pedang Lima Gunung tidak menyukai sifat buruk Mu Gaofeng, sehingga Zuo Lengchan pun tidak mengundangnya dalam acara pendirian Perguruan Lima Gunung. Hal ini membuat Mu Gaofeng sangat gusar dan merasa direndahkan. Diam-diam ia datang dan bersembunyi di sekitar Gunung Songshan untuk mengganggu orang-orang kelima perguruan yang turun gunung. Apabila yang lewat seorang guru atau murid angkatan tua, ia memilih bersembunyi. Sebaliknya, jika yang melintas adalah murid-murid muda, ia bermaksud menghajar mereka sebagai pelampiasan kebencian. Akan tetapi, setelah acara berakhir, orang-orang kelima perguruan itu turun gunung dalam kelompok-kelompok berjumlah belasan atau puluhan, sehingga si bungkuk merasa tidak bisa berbuat apa-apa.

Maka, ketika melihat Yue Lingshan berkuda sendirian menuju ke atas Gunung Songshan, Mu Gaofeng merasa sangat kebetulan. Meskipun ilmu silat nyonya muda ini maju pesat, namun ia tetap bukan tandingan Si Bungkuk dari Utara. Apalagi ia sendiri baru saja terluka dan langsung disergap secara tiba-tiba oleh Mu Gaofeng, sehingga dapat dengan mudah tertangkap oleh manusia bungkuk itu.

Yue Lingshan pun menggertaknya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah putri Yue Buqun. Di luar dugaan, Mu Gaofeng justru bertambah senang. Otaknya langsung menyusun rencana hendak menjadikan Yue Lingshan sebagai sandera untuk ditukar dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Tak disangka, dalam perjalanan menyembunyikan nyonya muda itu, ia justru bertemu rombongan Perguruan Qingcheng dan Henshan.

Yue Lingshan sendiri berpikir kalau dirinya sampai dibawa lari, maka tipis sudah harapannya untuk selamat. Maka tanpa menghiraukan luka di bahunya, ia pun sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.

“Ada apa?” teriak Mu Gaofeng sambil melompat turun dari kudanya dan mencengkeram punggung nyonya muda itu.

Linghu Chong mengira Lin Pingzhi tentu takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Namun di luar dugaan ternyata Lin Pingzhi tampak tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas kertas dengan gagang berwarna keemasan dari balik bajunya. Dengan gaya anggun ia mengipasi diri sendiri perlahan-lahan. Padahal saat itu baru masuk musim semi, bahkan salju di daerah utara belum mencair, jelas udara masih terasa dingin. Sikapnya yang dibuat-buat itu menunjukkan bahwa Lin Pingzhi sengaja ingin menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap apa yang sedang terjadi.

Sementara itu, Yue Lingshan sudah dicengkeram bangun oleh Mu Gaofeng dan dinaikkan kembali ke atas kuda. “Hati-hati jangan sampai jatuh lagi!” ujarnya. Rupanya ia tidak tahu kalau tawanannya itu sengaja menjatuhkan diri. Ia sendiri lantas melompat ke atas punggung kuda dan hinggap tepat di atas pelana, siap untuk melaju kembali.

“Orang bermarga Mu,” tiba-tiba Lin Pingzhi menyapa, “di sini ada yang mengatakan bahwa ilmu silatmu sangat rendah tak berharga. Apakah memang demikian adanya?”

Mu Gaofeng tercengang. Ia melihat Lin Pingzhi duduk sendiri, tampaknya bukan orang Perguruan Qingcheng, juga bukan orang Perguruan Henshan. Seketika ia menjadi ragu-ragu dan bertanya, “Kau ini siapa?”

Lin Pingzhi tersenyum menjawab, “Untuk apa kau tanya siapa diriku? Yang mengtatakan ilmu silatmu rendah jelas-jelas bukan aku.”

“Siapa yang bilang?” tanya Mu Gaofeng.

Lin Pingzhi melipat kipasnya dan menunjuk ke arah Yu Canghai. “Yang bilang adalah Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan suatu jurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia. Kalau tidak salah namanya Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Begitu mendengar nama “Jurus Pedang Penakluk Iblis”, seketika semangat Mu Gaofeng langsung menyala. Diliriknya Yu Canghai, tampak ketua Perguruan Qingcheng itu sedang termenung-menung sambil memegangi sebuah cawan teh. Terhadap apa yang diucapkan Lin Pingzhi tadi ia seperti tidak mendengar.

Seketika Mu Gaofeng menjadi ragu-ragu dan bertanya, “Hai, Yu Pendek, selamat untukmu yang beruntung dapat menyaksikan permainan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa yang kau lihat bukan jurus palsu?”

“Sama sekali bukan palsu,” jawab Yu Canghai. “Aku memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal sampai akhir.”

Mu Gaofeng terkejut bercampur senang. Dengan cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Yu Canghai lalu bertanya, “Kabarnya kitab pedang itu telah jatuh ke tangan Yue Buqun dari Perguruan Huashan. Lantas bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?”

“Yang kulihat bukan kitab pedang, tapi orang yang benar-benar mahir memainkan jurus tersebut,” sahut Yu Canghai.

“Oh, ternyata demikian,” ujar Mu Gaofeng. “Tapi Jurus Pedang Penakluk Iblis ada yang asli dan ada yang palsu. Misalnya, Keluarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei di Fuzhou juga pernah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi siapa yang melihatnya pasti akan rontok gigi karena terlalu banyak tertawa. Ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat itu tentu yang asli, bukan?”

“Aku sendiri juga tidak tahu apakah asli atau palsu. Yang jelas orang yang mahir ilmu pedang ini adalah keturunan Biro Ekspedisi Fuwei dari Kota Fuzhou juga,” jawab Yu Canghai.

Mu Gaofeng bergelak tawa menjawab, “Hahaha. Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampai-sampai suatu ilmu pedang asli atau palsu pun kau tidak bisa membedakan. Bukankah Lin Zhennan dari Biro Ekspedisi Fuwei itu sudah tewas di tanganmu?”

“Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkannya itu asli atau palsu memang aku tidak bisa membedakannya,” jawab Yu Canghai. “Pendekar Mu lebih pandai dan berpengalaman, tentu dapat membedakannya.”

Mu Gaofeng sadar pendeta pendek di depannya ini terhitung tokoh papan atas di dunia persilatan, baik itu soal kepandaian ataupun wawasannya. Kini ia berkata demikian jelas mengandung maksud yang dalam. Maka, Mu Gaofeng hanya menyeringai sambil memandang ke sekeliling. Dilihatnya semua orang sedang memandang ke arahnya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah bicara. Dengan perasaan ragu terpaksa ia berkata, “Kalau aku melihatnya sendiri, tentu dapat kubedakan mana yang asli dan yang palsu.”

“Kalau Pendekar Mu ingin melihat, aku rasa tidak susah. Orang yang mahir memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis itu justru berada di sini,” kata Yu Canghai.

Seketika Mu Gaofeng terkesiap. Sorot matanya kembali menatap orang-orang di sekelilingnya. Dilihatnya Lin Pingzhi bersikap paling tak acuh. Segera ia pun bertanya, “Apakah pemuda ini yang kau maksud?”

“Hebat, sungguh hebat! Aku sangat kagum dengan pandangan Pendekar Mu yang tajam. Sekali pandang langsung tahu,” kata Yu Canghai.

Baru sekarang Mu Gaofeng mengamat-amati Lin Pingzhi dari ujung kaki sampai kepala. Dilihatnya penampilan Lin Pingzhi sangat mewah, seperti dandanan seorang putra keluarga hartawan. Ia berpikir, “Ucapan Yu Pendek itu tentu mengandung suatu tipu muslihat. Untuk apa aku terlibat dalam perselisihan mereka? Paling baik aku lekas-lekas berangkat saja. Asalkan Nona Yue ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Yue Buqun takkan menebusnya dengan kitab pedang yang kuinginkan itu.”

Maka, dengan tertawa ia pun berkata, “Hahaha, Yu Pendek, rupanya kau memang suka bercanda denganku. Tapi hari ini Si Bungkuk sedang sibuk, terpaksa aku harus mohon diri lebih dulu. Tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis itu apakah benar asli atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa lagi.” Usai berkata, sekali loncat tahu-tahu ia sudah hinggap kembali di atas punggung kudanya. Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi gerakannya itu sangat gesit dan lincah.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar