Meskipun Yue Lingshan mampu
memainkan kedua jurus itu secara tepat, namun gagasan di dalamnya belum
benar-benar ia pahami. Maka, Tuan Besar Mo pun dapat mengatasinya dengan baik.
Pada jurus selanjutnya, pedang Yue Lingshan tampak bergoyang-goyang. Tuan Besar
Mo mengenali bahwa itu adalah jurus Shilin Shuseng, disusul dengan jurus
Tianzhu Yunqi. Gagasan di dalam rumpun Jurus Pedang Tianzhu diambil dari aneka
perubahan awan dan kabut di angkasa.
Begitu melihat Yue Lingshan
menggunakan jurus yang susah ditebak tersebut, Tuan Besar Mo memilih untuk
menghindar daripada menangkisnya. Namun demikian, ia tetap memutar pedangnya
secepat kilat ke barat dan ke timur, demi untuk mengaburkan pandangan para
penonton bahwa dirinya sedang berusaha melarikan diri dari serangan si nyonya
muda.
Tuan Besar Mo sadar, selain
jurus Quanming Furong, Hexiang Zige, Shilin Shuseng, dan Tianzhu Yunqi, masih
terdapat lagi jurus ampuh Perguruan Hengshan yang bernama Yanhui Zhurong. Di
antara kelima puncak utama Gunung Hengshan, Zhurong merupakan puncak yang
paling tinggi. Jurus Yanhui Zhurong juga merupakan jurus pedang paling hebat
dari sekian banyak ilmu silat Perguruan Hengshan. Tuan Besar Mo sendiri hanya
menerima penjelasan samar-samar dari gurunya karena sang guru sendiri juga kurang
terlalu memahami jurus ini dengan jelas. Membayangkan jika Yue Lingshan
tiba-tiba memainkannya seketika Tuan Besar Mo menjadi gentar dan khawatir.
Meskipun nyawanya mungkin tidak sampai melayang, namun hal itu tentu akan
sangat memalukan. Jika sampai kalah oleh ilmu pedang perguruan sendiri, tentu
tidak ada lagi alasan baginya untuk tetap berkecimpung di dunia persilatan
selamanya.
Akan tetapi, begitu melihat
gaya Yue Lingshan yang menyerang dengan ragu-ragu dan kurang yakin, Tuan Besar
Mo segera paham bahwa lawannya ini kurang berpengalaman dan tidak tahu apa yang
harus diperbuat. “Rupanya Nyonya Muda masih perlu banyak belajar lagi,” ujarnya
setengah bergumam.
Dengan menggunakan jurus
Tianzhu Yanqui, Yue Lingshan sebenarnya telah berhasil membuat Tuan Besar Mo
terdesak mundur. Meskipun Tuan Besar Mo mampu menutupi kekalahannya dengan
mengayunkan pedangnya ke segala arah, namun para tokoh papan atas seperti
Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, Yue Buqun, dan Linghu Chong
masih tetap bisa melihat gerakan pura-puranya itu. Andai saja Yue Lingshan
memahami apa yang terjadi dan segera menarik pedangnya sambil berkata, “Terima
kasih, Paman Guru Mo sudi mengalah!” tentu keadaan di antara mereka akan jelas
terlihat, siapa yang kalah, siapa yang menang. Bagaimanapun juga Tuan Besar Mo
adalah kaum sepuh berkedudukan tinggi, tidak pantas baginya tetap menyerang
setelah kalah satu jurus melawan angkatan yang lebih muda. Namun sayangnya, Yue
Lingshan tidak menyadari hal itu dan ia tetap bertarung meskipun dengan gerakan
yang ragu-ragu.
Karena pihak lawan menunjukkan
betapa pengalaman bertarungnya masih dangkal, kesempatan ini pun tidak
disia-siakan oleh Tuan Besar Mo. Begitu melihat bibir mungil Yue Lingshan yang
berwarna merah delima tersenyum merekah seolah hendak mengatakan sesuatu,
seketika itu pula pedang tipis Tuan Besar Mo bergerak dengan cepat. Ini
merupakan puncak dari hasil latihannya selama berpuluh-puluh tahun. Gerakannya
yang sangat cepat membuat Yue Lingshan terkurung dalam kilatan sinar pedangnya.
Suara pedangnya menderu-deru sampai terdengar seperti alunan suara rebab yang
menyayat hati.
Yue Lingshan berseru kaget dan
mundur beberapa langkah. Akan tetapi, Tuan Besar Mo terus saja mendesaknya agar
tidak sempat mengerahkan jurus Yanhui Zhurong. Kali ini Tuan Besar Mo
mengerahkan Jurus Tiga Belas Hantu Kabut Hengshan yang dulu digunakannya untuk
membunuh Fei Bin di Gunung Hengshan. Para hadirin ikut pusing melihat kecepatan
gerak tubuh Tuan Besar Mo itu. Dalam hati mereka ikut kasihan melihat keadaan
Yue Lingshan yang terdesak tanpa ampun. Jangankan untuk menyerang, bertahan
saja tampak kesulitan. Andai saja ini bukan pertarungan antara laki-laki dan
perempuan, atau pertarungan antara sesepuh melawan angkatan muda, tentu para
hadirin sudah bertepuk tangan sejak tadi memuji kehebatan Tuan Besar Mo.
Begitu melihat Yue Lingshan
menggunakan Jurus Quanming Furong tadi, Linghu Chong tidak ragu lagi bahwa sang
adik kecil telah mempelajarinya dari ukiran pada dinding gua rahasia di Tebing
Perenungan, di Puncak Huashan. Sambil termenung-menung ia berpikir, “Mengapa
Adik Kecil bisa berada di Tebing Perenungan? Guru dan Ibu Guru sangat sayang
kepadanya, tidak mungkin Beliau berdua menghukum Adik Kecil. Apa pun kesalahan
yang diperbuat Adik Kecil, Guru dan Ibu Guru pasti hanya memarahinya, kemudian
memaafkannya. Jarak antara Tebing Perenungan dengan markas Perguruan Huashan
lumayan jauh, serta jalan yang menghubungkannya sangat terjal dan berbahaya.
Meskipun bukan Adik Kecil yang berbuat salah, murid perempuan lainnya juga
tidak sepantasnya dikirim ke sana.”
Sejenak kemudian Linghu Chong
kembali melamun, “Apakah mungkin Adik Lin yang telah berbuat kesalahan sehingga
dihukum di Tebing Perenungan? Apakah setiap hari Adik Kecil lantas datang
menjenguk dan mengantar makanan kepadanya? Tapi, ah, tidak mungkin kalau Adik
Lin sampai melanggar peraturan perguruan. Ia seorang pemuda yang santun, dan
patuh terhadap aturan. Cepat atau lambat, ia pasti dijuluki Si Pedang Budiman
Kecil. Tidak mungkin ... tidak mungkin Adik Lin sampai dihukum di Tebing
Perenungan.”
“Jangan-jangan Adik Kecil ...
jangan-jangan Adik Kecil ….” tiba-tiba suatu pikiran terlintas di dalam
benaknya. Akan tetapi, pikiran ini sangat mustahil dan ia pun berusaha
menekannya kembali. Untuk sesaat ia termangu-mangu mengapa memiliki pemikiran
seperti itu. Namun ia sendiri juga tidak tahu dengan jelas pikiran macam apa
yang terlintas dalam benaknya tadi. Kembali ia berusaha memikirkan hal
tersebut, namun semakin dipikirkan justru semakin terkubur dalam-dalam.
Tiba-tiba terdengar suara
jeritan Yue Lingshan membuyarkan lamunan Linghu Chong. Pedangnya lepas dari
tangan dan terlempar ke udara. Sebelah kakinya terpeleset dan ia pun jatuh
terduduk. Sementara itu, Tuan Besar Mo tampak mengarahkan pedang tipis di
tangannya menodong ke arah bahu kiri Yue Lingshan sambil berkata, “Jangan
khawatir, silakan bangun!”
Namun sekejap kemudian
terdengar suara benturan satu kali. Tampak pedang pendek Tuan Besar Mo itu
patah menjadi dua pada bagian tengah. Ternyata Yue Lingshan telah memungut dua
buah batu dan melemparkannya ke arah lawan. Satu mengenai pedang pendek yang
tipis itu, dan satunya lagi melayang ke samping kiri.
Tuan Besar Mo tersentak kaget
bercampur bingung melihat Yue Lingshan melemparkan batunya ke tempat kosong.
Tak disangka tiba-tiba iganya terasa sakit. Rupanya batu yang dilemparkan ke
samping kiri itu mendadak berputar balik dan secara tepat mematahkan tulang iga
sebelah kanan laki-laki tua berbadan kurus itu. Seketika darah pun tersembur
keluar dari mulutnya.
Kejadian ini sungguh teramat
cepat luar biasa. Mula-mula pedang Yue Lingshan terlempar, orangnya jatuh
terduduk, batu melayang, pedang patah, kemudian Tuan Besar Mo muntah darah
seolah terjadi dalam sekejap mata. Para penonton ternganga karena kejadian-kejadian
ini sungguh sulit untuk diikuti dengan pandangan mata. Menyusul kemudian pedang
Yue Lingshan yang terlempar ke atas tadi jatuh pula dan menancap di samping
Tuan Besar Mo dan hampir-hampir melukai tubuh Ketua Perguruan Hengshan tersebut
Para hadirin menyaksikan bahwa
setelah Tuan Besar Mo menjatuhkan Yue Lingshan, ia tidak lagi melancarkan
serangan, tapi menyuruh Yue Lingshan untuk tidak takut dan bangun kembali. Hal
ini lazim terjadi manakala seorang tua mengalahkan lawan yang lebih muda. Akan
tetapi, serangan Yue Lingshan menggunakan dua potong batu yang seketika membuat
lawan terluka parah itulah yang benar-benar sukar diduga sebelumnya.
Hanya Linghu Chong seorang
yang mengetahui bahwa kedua serangan pamungkas Yue Lingshan tersebut juga
diperoleh dari ukiran pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Dalam gua
tersebut, terukir lukisan seorang gembong Sekte Iblis mematahkan pedang tokoh
Perguruan Hengshan menggunakan sepasang bandul tembaga. Kali ini Yue Lingshan
telah menggunakan batu sebagai pengganti bandul untuk melumpuhkan Tuan Besar
Mo. Rupanya Yue Lingshan telah berlatih keras untuk ini, di mana ia bisa
memperlakukan sepotong batu bagaikan bandul tembaga seperti milik gembong Sekte
Iblis tersebut, yaitu dilemparkan ke samping kiri kemudian berputar balik
mengenai sasaran di sebelah kanan.
Tiba-tiba Yue Buqun melesat
menghampiri Yue Lingshan dan menampar pipi putrinya itu sambil membentak,
“Kurang ajar! Jelas-jelas Paman Guru Mo sengaja mengalah padamu, tapi mengapa
kau malah berbuat kasar kepada Beliau?”
Ia kemudian memapah Tuan Besar
Mo ke pinggir dan berkata, “Kakak Mo, harap dimaafkan kesalahan anak
perempuanku yang tidak kenal adat itu. Sungguh aku sangat menyesal.”
Tuan Besar Mo menjawab sambil
meringis, “Seekor harimau melahirkan anak harimau, sungguh perempuan muda yang
luar biasa.” Usai berbicara kembali darah tersembur dari mulutnya. Segera dua
orang murid Hengshan berlari mendekati dan memapahnya kembali ke tengah
rombongan.
Dengan mata melotot Yue Buqun
memandang tajam ke arah Yue Lingshan, lalu mengundurkan diri kembali ke dalam
rombongan Huashan.
Linghu Chong melihat pipi Yue
Lingshan merah membekas gambar lima jari, jelas tamparan sang ayah cukup keras.
Air mata perempuan itu tampak meleleh pula, namun giginya berkerut-kerut
menunjukkan sikap membantah membuat Linghu Chong teringat kembali kenangan di
masa lalu. “Dahulu apabila Adik Kecil berbuat nakal dan dimarahi ayah-ibunya,
seringkali ia memperlihatkan sikap yang sama seperti sekarang ini. Lalu untuk
menyenangkan hati Adik Kecil, aku sering mengajaknya bertanding pedang. Hal
yang bisa membuat hatinya senang kembali adalah jika menang bertanding
melawanku. Untuk itu, aku sengaja pura-pura kalah kepadanya.”
Berpikir sampai di sini,
kembali terpikir olehnya suatu kemungkinan bagaimana Yue Lingshan bisa
menemukan gua rahasia di Puncak Huashan tersebut. Pikirannya yang tadi terkubur
dalam-dalam tiba-tiba saja terlintas kembali dengan sangat jelas.
“Jangan-jangan Adik Kecil masih merindukan aku meski ia sudah menikah dengan
Adik Lin. Kemungkinan besar ia merindukan hubungan baik denganku di masa
lampau, lalu secara diam-diam sengaja naik ke puncak untuk mengenang kembali
pengalaman-pengalaman bersamaku. Padahal gua rahasia itu sudah kututup kembali
sehingga sulit untuk ditemukan kecuali kalau ada orang yang tinggal di sana
cukup lama. Apakah Adik Kecil telah menginap di sana cukup lama? Rasanya tidak
mungkin. Tidak mungkin kalau Adik Kecil tinggal di sana beberapa malam demi
mengenang diriku dan menemukan gua rahasia tersebut. Ataukah mungkin ia datang
beberapa kali dan akhirnya berhasil menemukannya?”
Perlahan Linghu Chong menoleh
ke arah Lin Pingzhi, dan kembali berpikir, “Adik Lin baru saja menikah dengan
Adik Kecil. Seharusnya ia bergembira, tapi mengapa wajahnya tampak bermuram
durja? Sebagai suami pun ia tidak menunjukkan perhatian terhadap istrinya
ketika Adik Kecil ditampar oleh Guru di depan umum tadi. Sungguh keterlaluan!”
Membayangkan Yue Lingshan naik
ke Puncak Huashan untuk mengenang hubungan dengannya di masa lalu – meskipun
ini hanya dugaan sendiri – namun dalam benak Linghu Chong sudah timbul gambaran
bahwa sang adik kecil pasti di sana sedang menangis sedih karena salah menikah
dengan Lin Pingzhi, serta menyesal mengapa dulu menolak cintanya yang mendalam.
Melihat Yue Lingshan kini
membungkuk untuk memungut kembali pedangnya dengan air mata bercucuran
membasahi tanah berumput, seketika darah pun bergolak di rongga dada Linghu
Chong. Ia lantas bertekad di dalam hati, “Aku akan menghiburnya, dan mengubah
tangisannya menjadi senyuman.”
Dalam pandangan Linghu Chong
saat ini Panggung Fengshan di Puncak Songshan telah berubah bagaikan Puncak
Gadis Kumala di Gunung Huashan. Beribu-ribu hadirin yang sedang menonton
dianggapnya seperti pepohonan belaka, dan yang ia pikirkan melulu hanyalah si
jantung hati yang ia rindukan kini sedang menangis sedih lantaran dipukul
ayahnya. Seumur hidup entah sudah berapa kali ia membujuk dan melucu sehingga
sang pujaan hati terhibur dan kembali tertawa, mana boleh saat ini hanya diam
berpangku tangan?
Maka Linghu Chong pun
melangkah maju dan berseru, “Adik … Adik ….” tiba-tiba terpikir olehnya bahwa
untuk menyenangkan si jantung hati ia harus bertanding sungguh-sungguh untuk
kemudian mengalah. Maka dengan nada menantang ia mengganti suara, “Kau telah
mengalahkan ketua-ketua dari Perguruan Taishan dan Hengshan, sudah tentu ilmu
pedangmu tidak sembarangan. Perguruan Henshan kami tidak dapat menerima begitu
saja. Apakah kau juga sanggup bertanding dengnku menggunakan ilmu pedang Henshan?”
Perlahan-lahan Yue Lingshan
menoleh namun tidak berani mengangkat kepala seperti sedang memikirkan sesuatu.
Sejenak kemudian barulah ia mendongak dengan raut muka tampak merona merah
menahan malu.
Linghu Chong menyambung,
“Meskipun ilmu silat Tuan Yue sangat tinggi, namun aku tidak yakin Beliau telah
mendalami semua ilmu pedang dari empat perguruan lain dengan sempurna.”
Yue Lingshan menjawab, “Kau
sendiri bukan orang Henshan asli, meskipun sekarang telah menjadi ketua di
sana. Apakah kau sendiri sudah mahir ilmu pedang Perguruan Henshan yang kau
pimpin itu?” Tampak air mata di pipinya sudah berhenti mengalir.
Sejak diusir dari Perguruan
Huashan, baru kali ini sang adik kecil bersikap ramah kepadanya. Seketika
timbul rasa gembira di hati Linghu Chong. Ia pun berpikir, “Aku harus berkelahi
dengan teliti, supaya dia tidak tahu kalau aku sengaja mengalah kepadanya.”
Maka ia kemudian menjawab,
“Dikatakan mahir aku sama sekali tidak berani. Tapi sudah sekian lamanya aku
berada di Gunung Henshan, dengan sendirinya sudah cukup banyak berlatih ilmu
pedang perguruan kami. Sekarang kita harus sama-sama menggunakan ilmu pedang
Henshan. Kalau bukan ilmu pedang Henshan maka dianggap kalah, bagaimana?”
Bahwasanya ilmu pedang Linghu
Chong jauh lebih tinggi daripada Yue Lingshan cukup banyak diketahui orang.
Jika ia mengalah tentu para hadirin dapat dengan mudah mengetahuinya. Maka, ia
pun mengucapkan tantangan seperti tadi, sehingga dalam pertandingan nanti ia
akan menyelipkan ilmu Sembilan Pedang Dugu atau mungkin jurus pedang Perguruan
Huashan, supaya kemenangannya dianggap batal dan ia memiliki alasan untuk
mengaku kalah. Dengan demikian tentu hal ini tidak akan menimbulkan keraguan
banyak orang bahwa kekalahannya sengaja dibuat-buat.
Terdengar Yue Lingshan menjawab,
“Baik, kita bertarung sekarang!” Pedangnya lantas berputar setengah lingkaran
dan segera menusuk miring ke arah Linghu Chong.
Serentak terdengar jerit heran
murid-murid Henshan melihat gaya serangan Yue Lingshan itu. Meskipun para
hadirin jarang mengetahui bagaimana bentuk ilmu pedang Henshan, namun dari
jeritan heran para murid perempuan tadi sudah cukup membuktikan bahwa apa yang
digunakan Yue Lingshan memang benar-benar ilmu pedang perguruan tersebut. Jurus
serangan ini adalah ilmu pedang yang pernah dipelajari Linghu Chong dari
dinding gua rahasia itu, dan juga telah diajarkannya kepada murid-murid Henshan
pula. Itulah sebabnya mengapa mereka berteriak kaget begitu menyaksikan
serangan Yue Lingshan tersebut.
Linghu Chong menahan serangan
lawan dengan pedangnya. Ia paham ilmu pedang Henshan memiliki ciri khas banyak
gerakan berputar dan melingkar tiada henti serta sangat rapat. Setiap gerakan
pedang Perguruan Henshan terlihat lembut tapi mengandung kekuatan dahsyat.
Begitu berhadapan dengan musuh, sembilan puluh persen gerakannya adalah untuk
bertahan, dan yang sepuluh persen bersifat menyerang. Namun serangan ini
seringkali bersifat tiba-tiba dan sangat mengejutkan, serta mengarah pada titik
kelemahan lawan.
Linghu Chong telah cukup lama
hidup bersama murid-murid Perguruan Henshan, serta pernah melihat pula Biksuni
Dingjing ataupun Biksuni Dingxian bertempur melawan musuh. Maka dalam
pertandingan ini ia dapat menampilkan jurus-jurus pedang Perguruan Henshan
dengan sangat cermat dan teliti. Jelas ia telah menguasai intisari ilmu pedang
Henshan secara mendalam. Para pesilat papan atas seperti Mahabiksu Fangzheng,
Pendeta Chongxu, Xie Feng, Zuo Lengchan, dan Yue Buqun dapat menilai kalau
Linghu Chong telah berhasil memainkan ilmu pedang Henshan dengan sangat baik.
Bahkan, gagasan umum dalam ilmu pedang Henshan yang terkenal dengan istilah
“jarum dalam segumpal kapas” telah dipahami secara seksama oleh Linghu Chong.
Diam-diam para hadirin berwawasan luas tersebut memberikan pujian dalam hati
kepadanya.
Selama ratusan tahun terakhir
ini Perguruan Henshan hanya beranggotakan kaum perempuan, dan hampir sebagian
besar adalah para biksuni. Bagi penganut ajaran Buddha, sifat welas asih adalah
dasar bagi segalanya. Lebih-lebih bagi kaum wanita tentu tidak sepantasnya
memainkan jurus pedang yang kasar dan keras. Maka itu, gagasan utama ilmu silat
Perguruan Henshan adalah untuk membela diri, bukan untuk menyerang. Prinsip
utama ilmu silat perguruan ini adalah menyembunyikan jarum dalam segumpal
kapas. Jika ada seseorang yang memegang kapas tersebut dengan lembut maka ia
tidak akan terluka. Namun jika ia mencengkeram dengan keras, maka jarum dalam
gumpalan tersebut akan menusuk tangannya. Jadi, luka yang tercipta bukan karena
tajamnya jarum tetapi karena kuatnya genggaman si tangan. Gagasan ilmu silat
Henshan ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha, “Kau menciptakan nasibmu sendiri.
Seberapa besar karma baik dan buruk berasal dari perbuatanmu sendiri”.
Setelah menguasai Ilmu
Sembilan Pedang Dugu, kecerdasan Linghu Chong dalam memahami berbagai macam
intisari ilmu pedang meningkat pesat. Ia memainkan ilmu pedang lebih kepada
intisari gagasannya, bukan terjebak pada salah atau benar gerakannya. Maka,
begitu memainkan jurus-jurus pedang Perguruan Henshan pun gerakannya cenderung
berbeda dengan aslinya, namun maksud dan tujuannya tetap tersampaikan. Pada
umumnya ilmu silat Henshan jarang tampil dan jarang dikenali orang, sehingga
para hadirin yang berwawasan luas pun kebanyakan hanya mengetahui gagasan
utamanya saja, tanpa mengetahui apakah gerakan Linghu Chong itu sudah benar
atau tidak. Maka, begitu melihat permainan Linghu Chong yang sudah sesuai
dengan prinsip dasar ilmu pedang Henshan, diam-diam mereka memuji, “Pendekar
muda ini ternyata bukan secara kebetulan dipilih menjadi Ketua Perguruan
Henshan, tetapi ia memang benar-benar menguasai ilmu silat perguruan ini.
Rupanya Biksuni Dingxian tidak salah pilih orang.”
Di sisi lain, murid-murid
Perguruan Henshan yang paling pandai seperti Yihe dan Yiqing jelas mengetahui
kalau gerakan Linghu Chong berbeda dengan apa yang telah diajarkan guru mereka.
Namun demikian, mereka tetap dapat menilai bahwa intisari dan gagasan dalam
ilmu pedang Henshan telah dikuasai dengan baik oleh Linghu Chong, bahkan lebih
mendalam.
Linghu Chong dan Yue Lingshan
sama-sama mempelajari jurus pedang Perguruan Henshan dari lukisan para gembong
Sekte Iblis yang terukir pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan. Namun
dalam hal ini Linghu Chong memainkannya lebih baik daripada Yue Lingshan.
Ditambah lagi Linghu Chong telah lama tinggal bersama kaum biksuni di Gunung
Henshan sehingga intisari ilmu silat perguruan ini telah dikuasainya dengan
baik. Andai saja bukan karena ingin mengalah untuk menghibur hati sang adik
kecil, tentu Yue Lingshan sudah roboh pada awal pertarungan tadi.
Setelah melewati lebih dari
tiga puluh jurus, Yue Lingshan mulai kehabisan gerakan karena jumlah jurus yang
ia pelajari dari dinding gua rahasia cukup terbatas. Maka, untuk serangan
selanjutnya ia pun mengulangi kembali gerakan dari awal. Untung saja
jurus-jurus dalam ilmu pedang Henshan memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu
gerakan-gerakan melingkar dan serangan tiba-tiba. Itulah sebabnya para hadirin
tidak menyadari kalau Yue Lingshan telah mengulangi lagi jurus serangannya mulai
dari awal. Apalagi permainan pedang Yue Lingshan sangat rapi dan
berkesinambungan, sehingga selain Linghu Chong boleh dikata tidak ada lagi
orang lain yang mengetahui kalau jurus-jurus yang dilancarkan kali ini adalah
ulangan belaka.
Jurus pedang yang digunakan
Yue Lingshan sangat rapat, sementara Linghu Chong mengatasinya dengan gerakan
yang sama. Keduanya memainkan jurus-jurus yang sama dan mengandung intisari
ilmu pedang Perguruan Henshan pula. Pertandingan kali ini terlihat sangat rumit
tapi indah, sedap dipandang mata, sehingga para penonton pun bersorak-sorak
memuji dan banyak yang bertepuk tangan.
Seorang penonton berkata,
“Linghu Chong adalah Ketua Perguruan Henshan. Wajar kalau ia bisa memainkan
jurus pedang Henshan dengan bagus. Tapi Nona Yue adalah orang Perguruan
Huashan, mengapa ia juga mahir ilmu pedang Henshan?”
Penonton lain menjawab, “Apa
kau lupa kalau Linghu Chong adalah murid pertama Tuan Yue? Tentu saja Tuan Yue
sendiri yang telah mengajarkan ilmu pedang ini kepadanya. Kalau tidak, mana
mungkin mereka berdua bisa bertanding sedemikian serasi?”
Penonton yang lain menyahut,
“Benar, Tuan Yue sudah mahir ilmu pedang Huashan, Taishan, Hengshan, dan
Henshan. Sepertinya ia juga mahir ilmu pedang Perguruan Songshan. Aku yakin
jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung hanya pantas dijabat olehnya. Tidak ada
pilihan yang lain!”
“Ah, belum tentu,” sahut
seorang lagi. “Ilmu pedang Ketua Zuo dari Perguruan Songshan masih jauh lebih
hebat daripada Tuan Yue. Dalam pertarungan, kualitas ilmu silat lebih penting
daripada kuantitas. Sekalipun kau mampu memainkan segala macam ilmu silat di
dunia ini, tapi kalau pengetahuanmu hanya beberapa jurus saja apa gunanya?
Tentu akan seperti kucing berkaki tiga. Maka, aku yakin Ketua Zuo yang hanya
mengandalkan ilmu pedang Songshan saja sudah sanggup untuk mengalahkan ilmu
pedang empat perguruan yang dipelajari Tuan Yue.”
“Huh, dari mana kau tahu?
Berani sekali omong kosong tak tahu malu?” gerutu orang yang berbicara
sebelumnya.
“Omong kosong tak tahu malu
bagaimana? Jika berani, mari kita bertaruh lima puluh tahil perak,” jawab yang
satunya.
“Kenapa tidak berani?” teriak
orang yang pertama. “Aku bayar seratus tahil perak, kontan! Siapa yang kalah
menjadi murid Perguruan Henshan.”
“Boleh! Seratus tahil juga
boleh,” seru yang lain tak mau kalah. “Tapi, apa maksudmu dengan menjadi murid
Perguruan Henshan?”
“Siapa yang kalah menjadi
biksuni!” ejek yang pertama.
“Sialan!” maki lawan bicaranya
sambil meludah ke tanah.
Sementara itu serangan Yue
Lingshan sudah bertambah cepat. Linghu Chong melihatnya begitu cantik dan
lincah, membuat ia terkenang saat berlatih bersama di Gunung Huashan pada masa
silam. Tanpa terasa pikirannya pun terbuai melayang-layang. Maka, ketika Yue
Lingshan menusuknya, segera ia balas menyerang sekenanya. Tak terasa jurus yang
dipakainya ini bukan lagi ilmu pedang Perguruan Henshan.
Yue Lingshan mengelak dan
berkata lirih, “Mundu Hijau Laksana Kacang!” Menyusul kemudian ia pun membalas
dengan suatu jurus, menebas ke arah dahi Linghu Chong.
Linghu Chong mengelak dan
menggumam, “Daun Willow Lentik Alis!”
Mundu Hijau Laksana Kacang dan
Daun Willow Lentik Alis adalah jurus-jurus dalam rangkaian ilmu pedang Chong
Ling, yakni ilmu pedang hasil ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan saat
bersama dulu. Nama ilmu pedang Chong Ling ini diambil dari singkatan nama diri
masing-masing, yaitu “Chong” dan “Lingshan”. Ilmu pedang ini sebenarnya tidak
memiliki sesuatu yang istimewa, namun telah mereka latih dengan sangat matang.
Tanpa terasa mereka kini telah memainkannya di hadapan banyak orang.
Linghu Chong jauh lebih cerdas
daripada sang adik kecil. Apa pun yang ia kerjakan, pasti dilakukannya dengan
riang gembira, tanpa rasa keterikatan terhadap aturan dan norma. Itu sebabnya
ia selalu tampil dengan gagasan-gagasan baru. Meskipun ilmu pedang Chong Ling
ini adalah gabungan nama mereka, namun hampir sembilan puluh persen lahir dari
pikiran Linghu Chong. Saat itu ilmu silat keduanya masih terhitung rendah
sehingga tidak ada yang istimewa dalam jurus-jurus yang mereka ciptakan itu.
Namun keduanya sangat sering berlatih bersama di tempat tersembunyi sehingga
sudah hafal luar kepala terhadap ilmu pedang tersebut.
Maka dalam pertandingan kali
ini, Linghu Chong tanpa sadar sudah memainkan jurus Mundu Hijau Laksana Kacang,
dan Yue Lingshan langsung menghadapinya dengan jurus Daun Willow Lentik Alis.
Meskipun kedua jurus ini biasa-biasa saja, namun raut muka mereka berdua tampak
merona merah. Linghu Chong lantas memainkan jurus Memandang dalam Kabut,
sementara Yue Lingshan mengimbangi dengan jurus Pertemuan Pertama Hujan Reda.
Linghu Chong dan Yue Lingshan
telah melatih ilmu pedang ciptaan mereka ini dalam waktu yang cukup lama, namun
tidak berani terang-terangan karena takut mendapat teguran dari Guru dan Ibu
Guru. Akan tetapi, kali ini keduanya tidak mampu menahan diri lagi dan
memainkan jurus-jurus ciptaan mereka itu di hadapan banyak pendekar. Dalam
waktu singkat mereka telah memainkan sekitar sepuluh jurus. Tidak hanya Linghu
Chong yang tiba-tiba terkenang pemandangan alam Gunung Huashan, ternyata Yue
Lingshan juga sudah tidak ingat kalau dirinya kini telah menikah dan menjadi
istri orang lain. Mereka benar-benar lupa daratan bahwa kini sedang berada di
hadapan beribu-ribu kaum persilatan. Yue Lingshan tidak ingat lagi kalau
dirinya sedang bertanding demi nama baik sang ayah. Yang ada dalam pandangannya
hanyalah sosok sang kakak seperguruan yang selalu riang gembira dan melayaninya
memainkan ilmu pedang ciptaan bersama.
Linghu Chong melihat raut muka
sang adik kecil semakin lembut dan semakin lunak. Tampak kilatan sinar bahagia
terpancar pada sorot mata Yue Lingshan. Jelas si nyonya muda ini telah
melupakan perlakuan kasar ayahnya tadi. Diam-diam Linghu Chong pun berpikir,
“Saat aku melihatnya tadi pagi, ia tampak murung dan tidak bahagia. Namun kini
ia terlihat begitu senang dan gembira. Aih, kalau jurus Pedang Chong Ling
adalah sumber kebahagiaannya, rasanya aku tidak ingin menghentikan permainan
ini seumur hidup.” Sejak mendengar sang adik kecil menyanyikan lagu rakyat
Fujian di Tebing Perenungan waktu itu, baru kali ini Linghu Chong merasa
diperlakukan dengan baik seperti dulu kala. Sungguh hatinya merasa sangat
bahagia tiada terkira.
Setelah melewati dua puluh
jurus berikutnya, pedang Yue Lingshan menebas ke arah kaki kiri Linghu Chong.
Segera Linghu Chong mengangkat kakinya untuk kemudian mendepak batang pedang
lawan. Namun Yue Lingshan segera menekan pedangnya ke bawah kemudian menebas
telapak kaki sang kakak. Pedang Linghu Chong segera menusuk pula ke pinggang Yue
Lingshan sehingga terpaksa si nyonya muda memutar pedangnya ke atas untuk
menangkis. Maka kedua pedang itu pun beradu sehingga sama-sama tergetar ke
atas. Keduanya kemudian sama-sama menusukkan pedang masing-masing ke depan
mengarah ke tenggorokan lawan dengan kecepatan luar biasa.
Melihat arah pedang keduanya,
dapat dibayangkan masing-masing dari mereka sukar untuk menghindarkan diri dan
pasti akan gugur bersama. Tanpa terasa para penonton ikut menjerit khawatir.
Namun mendadak terdengar suara benturan logam perlahan yang diikuti dengan
percikan kembang api. Tidak hanya itu, batang pedang masing-masing sampai
melengkung dan saling mendorong. Kemudian keduanya sama-sama menjulurkan tangan
kiri dan saling meminjam tenaga lawan untuk mendarat di tanah.
Sungguh apa yang terjadi
benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, bahwa akhir dari serangan maut
keduanya itu bisa saling berbenturan ringan pada saat tubuh masing-masing
melayang di udara. Kemungkinan terjadinya peristiwa ini sungguh sangat kecil.
Dalam ribuan pertarungan, tidak pernah ada ceritanya pada saat-saat yang
menentukan antara hidup dan mati tiba-tiba saja kedua ujung pedang bisa bertemu
dan berbenturan hingga melengkung dengan sedemikian tepat.
Orang lain tidak tahu bahwa
Linghu Chong dan Yue Lingshan dulu telah berlatih ribuan kali tanpa mengenal
lelah untuk bisa membenturkan ujung pedang masing-masing, sehingga gerakan yang
sulit dan berbahaya itu berhasil mereka mainkan dengan baik. Dalam memainkan
jurus ini mereka berdua harus dalam posisi yang tepat. Tenaga mereka juga harus
seimbang, sehingga begitu kedua ujung pedang bertemu dan saling dorong,
seketika batang kedua pedang itu ikut melengkung oleh tenaga masing-masing.
Ilmu pedang semacam ini tidak lazim digunakan untuk menyerang musuh, namun
Linghu Chong dan Yue Lingshan merasa tertarik dan terhibur jika dapat
melakukannya meskipun ini akan sulit luar biasa. Tidak hanya itu, mereka juga
berlatih mempertemukan ujung pedang saat tubuh melayang di udara.
Setelah menciptakan jurus aneh
ini, Yue Lingshan pernah bertanya, “Jurus ini kita beri nama apa?”
Linghu Chong balik bertanya,
“Menurutmu bagaimana?”
Yue Lingshan menjawab,
“Bagaimana kalau ‘Kehancuran Besar’?”
Linghu Chong menanggapi,
“Kehancuran Besar? Rasanya ini seperti pertarungan antara musuh bebuyutan.
Bagaimana kalau diberi nama ‘Jurus Kau Hidup Aku Mati’?”
Yue Lingshan keberatan, “Tidak
setuju, tidak setuju! Harusnya kau yang mati, aku yang hidup!”
Linghu Chong berkata,
“Memangnya aku tadi berkata apa? Kau yang hidup, aku yang mati, bukan?”
Yue Lingshan menanggapi,
“Perjataan ‘kau’ dan ‘aku’ itu membingungkan. Dalam jurus ini tidak seorang pun
dari kita yang mati. Lebih baik diberi nama ‘Jurus Sehidup Semati’ saja.”
“Bagus sekali! Aku setuju!”
seru Linghu Chong sambil bertepuk tangan.
Namun saat itu Yue Lingshan
tiba-tiba merasa malu karena nama jurus usulannya terdengar mesra. Ia pun
membuang pedangnya lantas berlari pulang.
Kini di Puncak Songshan para
hadirin melihat mereka berdua berada di ambang kematian namun kemudian berhasil
lolos dari lubang jarum. Keringat dingin pun membasahi tangan mereka
sampai-sampai lupa untuk bersorak-sorai seperti sebelumnya. Tempo hari di Biara
Shaolin ketika terjadi pertandingan antara Linghu Chong melawan sang guru,
waktu itu Yue Buqun memang memainkan jurus-jurus ilmu pedang Chong Ling, namun
tidak sampai menggunakan Jurus Sehidup Semati ini. Yue Buqun memang pernah
mengintip saat Linghu Chong dan Yue Lingshan berlatih bersama namun ia merasa
tidak perlu menggunakan jurus yang konyol dan tidak berguna itu. Itulah
sebabnya para tokoh seperti Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan,
dan yang lain sangat terkejut menyaksikan pemandangan tadi.
Sementara itu Ren Yingying
dalam penyamarannya merasa khawatir juga tidak nyaman saat melihat pemandangan
di tengah gelanggang itu. Ia melihat Linghu Chong dan Yue Lingshan melayang
turun sambil bibir saling tersenyum mesra saat kedua mata saling berpandangan.
Dari sikap dan gerak tubuh mereka, tampaknya masing-masing bagaikan sedang
diselimuti suasana hangat angin sepoi-sepoi musim semi.
Keduanya kini mengangkat
pedang dan bertarung kembali. Ketika menciptakan ilmu pedang ini dulu, mereka
adalah sepasang kakak beradik yang sangat akrab dan enggan untuk berpisah.
Itulah sebabnya jurus-jurus ciptaan mereka pun lebih banyak bersifat suka cita,
dan bukan gerakan untuk membunuh. Sekarang dalam pertandingan ini tanpa
disadari kenangan lama pun terulang kembali. Pedang mereka bergerak lemah
gemulai, alis mereka sama-sama terangkat, dan kenangan terpendam ketika masih
bersama dulu pun kembali menggelora. Tanpa terasa mereka pun saling
mengungkapkan perasaan kasih sayang semasa kanak-kanak dulu. “Pertandingan
pedang” di atas Puncak Songshan yang mereka lakukan ini lebih pantas disebut
“menari dengan pedang”, atau lebih tepatnya lagi, “tarian pedang”. Akan tetapi
tarian pedang ini bukan untuk menghibur penonton, melainkan untuk menghibur
diri sendiri.
Tiba-tiba di tengah para
penonton terdengar seseorang bersuara dingin, “Hei!”.
Kontan saja Yue Lingshan terkejut
sebab suara itu tidak lain adalah suara Lin Pingzhi, suaminya. Seketika ia pun
berpikir, “Caraku bertarung dengan Kakak Pertama memang tidak sepantasnya.”
Segera ia pun mengayunkan
pedangnya membentuk setengah lingkaran dan menyerang dengan kekuatan penuh dan
bertenaga. Ternyata yang ia mainkan kali ini adalah salah satu jurus indah dari
Perguruan Huashan yang tergabung dalam rumpun Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis
Kumala.
Linghu Chong juga mendengar
suara Lin Pingzhi tadi dan gara-gara itu Yue Lingshan mengganti permainannya
dengan melancarkan jurus serangan tanpa ampun. Kali ini si nyonya muda sudah
tidak lagi memperlihatkan sikap mesra sebagaimana saat menggunakan Jurus Pedang
Chong Ling tadi.
Seketika hati Linghu Chong
menjadi pilu. Segala macam kenangan masa lalu lantas terbayang-bayang di
benaknya. Saat itu ia kembali terkenang saat-saat menjalani hukuman di Tebing
Perenungan, setiap hari sang adik kecil selalu mengantarkan makanan untuknya.
Pernah juga Yue Lingshan bermalam bersamanya di dalam gua. Setelah kejadian itu
sang adik kecil jatuh sakit dan entah kenapa dan entah bagaimana Lin Pingzhi
berhasil merebut perhatiannya. Sejak itu hubungan Linghu Chong dengan Yue
Lingshan pun menjadi renggang karena lebih sering terjadi kesalahpahaman di
antara mereka.
Linghu Chong juga teringat
pada hari berikutnya Yue Lingshan datang lagi ke puncak setelah berlatih Jurus
Pedang Gadis Kumala dari ibunya. Di Puncak Huashan itu Yue Lingshan menguji
kehebatan ilmu pedang barunya dengan melawan Linghu Chong. Namun saat itu
Linghu Chong sedang dirasuki rasa cemburu sehingga tanpa sengaja ....
Seketika Linghu Chong
tersentak dari lamunannya karena pedang Yue Lingshan ternyata telah berada dua
senti di depan dadanya. Tanpa pikir panjang Linghu Chong langsung menyentil
batang pedang Yue Lingshan itu hingga terlepas dari pegangan dan terlempar jauh
ke angkasa.
“Oh, tidak!” seru Linghu Chong
menyesal melihat raut muka Yue Lingshan yang bersemu merah, dengan mulut ingin
tersenyum tapi tidak bisa tersenyum. Seketika Linghu Chong kembali teringat
pada kejadian saat Yue Lingshan menguji Jurus Pedang Gadis Kumala di Tebing
Perenungan dulu. Saat itu Linghu Chong yang sedang cemburu kepada Lin Pingzhi
tanpa sengaja menyentil pedang Yue Lingshan sehingga jatuh ke dasar jurang yang
tak terkira dalamnya. Padahal pedang tersebut adalah pedang pusaka bernama
Pedang Telaga Hijau, hadiah ulang tahun pemberian sang ayah. Sejak kejadian
itulah tercipta dinding pemisah di antara mereka berdua. Tak disangka kejadian
yang sama kini terulang kembali. Saat mendengar suara Lin Pingzhi berseru
sinis, dan saat melihat raut muka Yue Lingshan berubah tanpa belas kasih,
seketika penyakit cemburu Linghu Chong kambuh kembali. Jika dulu saja ia dapat
menyentil pedang Yue Lingshan hingga jatuh terpental ke dasar jurang, apalagi
sekarang ini saat tenaga dalamnya sudah jauh melimpah ruah. Maka, pedang Yue
Lingshan yang terlempar ke udara itu pun tadi sampai sekian lamanya baru
terlihat jatuh kembali ke bawah.
Dalam keadaan serbasalah itu
Linghu Chong berpikir, “Sebenarnya aku masuk ke dalam gelanggang ini hanyalah
untuk menyenangkan hati Adik Kecil. Apalagi tadi ia mau bersikap ramah kembali
padaku. Tapi mengapa, aku justru membuat pedangnya terlempar dan mempermalukan
dirinya di hadapan banyak orang? Sungguh tidak patut aku membalas keramahannya
dengan cara seperti ini.”
Tampak pedang Yue Lingshan
sudah meluncur ke bawah. Tanpa pikir panjang Linghu Chong mengajukan diri
sambil berseru, “Jurus pedang Henshan yang sangat bagus!” Usai berteriak
demikian ia belagak seolah hendak menghindar, namun sebenarnya sengaja
mengajukan diri menyambut pedang yang meluncur jatuh itu. Maka sekejap
kemudian, pedang tersebut langsung menancap di belakang bahu kanannya, dan
seketika tubuhnya pun tersungkur ke depan seakan-akan terpaku di tanah oleh
pedang Yue Lingshan itu.
Kejadian ini benar-benar
terlalu cepat sehingga para penonton menjerit kaget dan ternganga melihatnya.
Yue Lingshan juga terkejut dan
berseru, “Ka… Kakak Pertama, kenapa ….” segera dilihatnya seorang laki-laki
berewok bertubuh gemuk melompat maju mendekati dan membangunkan Linghu Chong.
Pedang yang menancap di pundak belakangnya itu dicabut, lalu ia pun memapah
tubuh Linghu Chong menepi ke pinggir gelanggang.
Darah segar mengucur deras
dari luka di bahu Linghu Chong itu. Belasan murid Perguruan Henshan menyongsong
maju pula untuk memberikan pertolongan kepada sang ketua. Beberapa di antara
mereka segera menaburkan obat di tempat luka. Yue Lingshan yang merasa khawatir
bermaksud mendekat untuk melihat. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat
mengarah kepadanya. Disusul kemudian terdengar seorang biksuni berseru sambil
merintanginya, “Perempuan keji!” Yue Lingshan tersentak dan mundur beberapa
langkah. Seketika ia merasa serbasalah dan tidak tahu apa yang harus diperbuat
lagi.
Pada saat itulah terdengar
suara Yue Buqun tertawa nyaring dan berseru, “Shan’er, kau telah menggunakan
jurus pedang Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan untuk mengalahkan para
ketua mereka masing-masing. Sungguh pekerjaan yang tidak ringan.”
Bahwasanya jurus terakhir yang
digunakan Yue Lingshan itu apakah termasuk ilmu pedang Henshan atau bukan,
sebenarnya para penonton juga tidak tahu dengan jelas. Mereka hanya teringat
kedua orang yang bertanding tadi sama-sama memainkan tarian pedang yang tidak
istimewa namun sangat indah itu. Kemudian mereka melihat pedang Yue Lingshan terlempar
ke udara dan jatuh kembali mengenai pundak Linghu Chong. Kenyataan yang pasti
ialah, Linghu Chong terluka oleh pedang Yue Lingshan. Mengenai luka itu apakah
akibat jurus Perguruan Henshan atau bukan, tiada yang tahu secara pasti. Memang
ada sebagian hadirin yang dapat melihat jurus pedang tersebut tidak mengandung
ciri khas ilmu pedang Henshan, namun mereka juga tidak memiliki pengetahuan
dari aliran manakah jurus pedang tadi berasal. Maka itu, tiada seorang pun yang
berani menanggapi ucapan Yue Buqun tersebut.
Dengan perasaan bingung Yue
Lingshan memungut kembali pedangnya yang tergeletak di tanah dan berlumuran
darah. Seketika hatinya menjadi khawatir dan bertanya-tanya, “Bagaimanakah
keadaannya? Asalkan dia tidak mati, aku akan … aku akan .…”
Pada saat itu terdengar suara
seorang yang berseru lantang, “Tuan Yue tidak cuma menguasai ilmu pedang
Perguruan Huashan sendiri, bahkan ilmu pedang Taishan, Hengshan, dan Henshan
juga dikuasainya dengan sempurna. Sungguh sangat mengagumkan dan patut dipuji.
Maka itu, jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung rasanya sangat pantas untuk
diduduki Tuan Yue dan tiada pilihan lain lagi.” Orang yang berbicara ini adalah
Xie Feng, Ketua Partai Pengemis. Baik dirinya ataupun Mahabiksu Fangzheng dan
Pendeta Chongxu sama-sama berpikiran bahwa kekacauan di dunia persilatan akan
segera terjadi setelah Zuo Lengchan berhasil melebur lima perguruan pedang
menjadi satu. Maka, ia pun berusaha ikut serta menggagalkan ambisi Zuo Lengchan
itu melalui kata-kata dengan cara menaikkan wibawa Yue Buqun dan menjadikannya
pantas menjabat sebagai ketua.
Sejak ratusan tahun yang lalu
Partai Pengemis memiliki pengaruh besar di dunia persilatan. Tentu saja apa
yang diucapkan Xie Feng ini tidak sembarangan orang berani menanggapinya.
Tiba-tiba terdengar seseorang
berkata dengan nada dingin, “Nona Yue ternyata mahir ilmu pedang dari keempat
perguruan, sungguh bukan hal yang mudah dan pantas untuk dipuji. Sekarang aku
ingin lihat apakah kau dapat mengalahkan diriku dengan menggunakan ilmu pedang
Perguruan Songshan. Jika benar demikian, maka seluruh Perguruan Songshan akan
mendukung Tuan Yue sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung tanpa syarat.” Orang
yang berbicara ini tidak lain adalah Zuo Lengchan. Sambil berbicara ia terus
melangkah maju ke tengah gelanggang. Tangan kirinya menekan sarung pedang,
seketika pedangnya pun meloncat keluar dengan sendirinya. Tampak sinar pedang
berkilauan melesat ke udara dan secepat kilat tangan kanannya pun menangkap
gagang pedang tersebut.
Kejadian ini sungguh indah dipandang
mata. Zuo Lengchan mampu melemparkan pedang keluar dari sarungnya hanya dengan
sekali tekan menggunakan tangan kiri. Keahlian seperti ini sungguh jarang
terjadi dan jarang terdengar pula. Melihat itu serentak murid-murid Songshan
bertepuk tangan memuji sang ketua. Tidak hanya itu, sebagian para hadirin juga
ikut bersorak memuji.
Terdengar Yue Lingshan
menjawab, “Aku … aku hanya akan memainkan tiga belas jurus saja. Jika dalam
tiga belas jurus tidak bisa mengalahkan Paman Guru Zuo ….”
Zuo Lengchan menanggapi dalam
hati, “Kau bocah perempuan tidak hanya berani menerima tantanganku, tapi juga
berani membatasi dalam tiga belas jurus saja. Huh, kau pikir diriku ini siapa?”
Ia kemudian berkata dengan nada dingin, “Bagus sekali, kalau dalam tiga belas jurus
kau tidak bisa mengalahkanku, lantas bagaimana?”
“Bagaimana … bagaimana mungkin
aku mampu menandingi Paman Guru Zuo?” ujar Yue Lingshan. “Ayah hanya
mengajariku ilmu pedang Perguruan Songshan sebanyak tiga belas jurus saja.
Paman Guru Zuo bisa membuktikan kalau tidak percaya.”
Zuo Lengchan hanya mendengus
tanpa menjawab.
Yue Lingshan melanjutkan,
“Ayah berkata, meskipun ketiga belas jurus pedang Songshan yang telah
kupelajari ini merupakan jurus-jurus paling hebat dalam Perguruan Songshan,
tapi dalam pertandingan nanti mungkin baru satu jurus saja pedangku sudah
terlempar menghadapi kehebatan Paman Guru Zuo. Bagaimana mungkin aku bisa
memainkan jurus kedua?”
Kembali Zuo Lengchan mendengus
tanpa menanggapi.
Ketika pertama kali berbicara
tadi suara Yue Lingshan terdengar gemetar. Tidak jelas apakah itu karena ia
sedang kehabisan tenaga, ataukah karena sedang berhadapan dengan seorang
pendekar besar di dunia persilatan. Namun kini ucapannya terdengar lebih
tenang. “Aku lantas berkata kepada Ayah, ‘Sekalipun Paman Guru Zuo adalah jago
nomor satu di Perguruan Songshan, tapi belum tentu menjadi yang nomor satu
dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Bagaimanapun juga ia tidak mahir
memainkan ilmu pedang dari kelima perguruan seperti Ayah.’ Namun, dengan rendah
hati Ayah menjawab, ‘Dikatakan mahir sepertinya terlalu berlebihan. Yang aku
tahu hanya dasar-dasar ilmu pedang kelima perguruan saja. Jika kau tidak
percaya padaku boleh saja kau mencoba bertanding melawan ilmu pedang Paman Guru
Zuo-mu yang lihai itu. Bila kau sanggup bertarung tiga jurus saja melawannya,
maka kau memang anak perempuanku yang tersayang.”
Zuo Lengchan tertawa dingin
dan berkata, “Hm, jika dalam tiga jurus ternyata kau dapat mengalahkan aku,
tentu kau lebih disayang lagi oleh ayahmu, bukan?”
“Ilmu pedang Paman Guru Zuo
mahasakti dan jarang ada di sepanjang sejarah Perguruan Songshan, sedangkan aku
hanya belajar sedikit ilmu pedang Songshan. Jadi, mana berani aku bermimpi
mengalahkan Paman Guru Zuo segala?” kata Yue Lingshan. “Ayah berkata kalau aku
bisa bertahan dalam tiga jurus saja sudah termasuk hebat. Tapi aku berharap
bisa bertahan sampai tiga belas jurus. Entah harapanku ini bisa terkabul atau
tidak?”
Perasaan Zuo Lengchan semakin
kesal. Ia berpikir, “Jangankan tiga belas jurus, jika kau mampu menahan tiga
jurus seranganku saja sudah terhitung hebat dan aku tentu tidak punya muka lagi
berkecimpung di dunia persilatan.”
Tanpa berkata lagi ia lantas
memegang ujung pedangnya menggunakan tiga jari tangan kiri, yaitu ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, kemudian tangan kanannya melepaskan genggaman.
Seketika, gagang pedang itu pun berputar sehingga menghadap ke depan. “Ayo
mulai!” serunya kemudian.
Cara Zuo Lengchan memegang
senjata ini benar-benar menggemparkan para hadirin. Memegang pedang dengan
tangan kiri saja sudah luar biasa, apalagi memegang ujungnya menggunakan tiga
jari dengan posisi gagang menghadap musuh. Dibandingkan dengan pertarungan
tangan kosong melawan senjata musuh, memegang ujung pedang dengan gagang
menghadap lawan jelas lebih sulit. Gagang pedang yang lebih berat daripada
ujung pedang sudah pasti akan bergoyang-goyang jika diayunkan. Maka, salah
gerak sedikit saja bisa-bisa jarinya akan terpotong oleh pedang sendiri.
Jelas-jelas Zuo Lengchan
sedang kesal dan ingin merendahkan Yue Lingshan di hadapan umum dengan cara
seperti ini. Disamping itu, cara ini juga sengaja dilakukan untuk memamerkan
kepandaian dan menimbulkan kekaguman banyak orang. Melihat sikap lawan yang
seperti itu, mau tidak mau Yue Lingshan merasa gentar juga. Ia berpikir, “Ilmu
silat macam apa yang ia gunakan? Ayah tidak pernah mengajarkan ini padaku.
Tapi, urusan sudah sejauh ini, untuk apa aku harus takut?”
Sekilas Yue Lingshan melirik
ke arah rombongan Perguruan Henshan. Para biksuni terlihat masih sibuk dan
mengerumuni Linghu Chong, namun tidak terdengar suara tangisan, sehingga dapat
diduga nyawa kakak pertama dapat diselamatkan meskipun lukanya cukup parah.
Seketika Yue Lingshan merasa agak lega. Segera ia mengangkat pedang dan
membungkuk dengan memainkan Jurus Berlaksa Gunung Menghadap Pusat, yakni salah
satu jurus pedang Perguruan Songshan yang diwariskan turun-temurun.
Melihat itu, murid-murid
Perguruan Songshan menjadi gempar namun juga merasa senang, karena jurus
tersebut adalah jurus pernghormatan yang biasa digunakan angkatan muda jika
bertanding melawan angkatan yang lebih tua dalam Perguruan Songshan. Dengan
jurus pembukaan seperti itu, maka si muda ingin menyampaikan pesan bahwa
dirinya tidak ingin bertarung, tetapi hanya meminta petunjuk saja. Zuo Lengchan
sendiri tampak mengangguk perlahan dan berpikir, “Ternyata kau juga mengetahui
jurus ini. Dengan memandang penghormatanmu ini, maka aku tidak akan membuatmu
malu di depan banyak orang.”
Setelah Yue Lingshan memainkan
jurus penghormatan tersebut, segera pedangnya berkelebat seperti pelangi
berwarna putih menusuk ke arah Zuo Lengchan. Jurus ini terlihat sangat agung,
juga mengandung intisari ilmu pedang Perguruan Songshan. Meskipun Zuo Lengchan
menguasai semua jenis ilmu pedang Songshan yang berjumlah tujuh belas rumpun –
Delapan Jalan Dalam, Sembilan Jalan Luar – namun ia belum pernah melihat jurus
yang dipakai Yue Lingshan tersebut. Maka, lagi-lagi ia berpikir, “Jurus apa
ini? Dari tujuh belas rumpun ilmu pedang Songshan rasanya jurus ini lebih
hebat. Ini sungguh aneh.”
Zuo Lengchan bukan hanya guru
besar di Perguruan Songshan, tapi pada zaman sekarang ia dapat dikatakan
sebagai sarjana dunia persilatan. Maka, begitu melihat jurus perguruan sendiri
yang agung dan misterius dimainkan oleh lawan, segera hatinya penasaran dan
ingin melihat sampai tuntas. Tampak olehnya serangan Yue Lingshan itu semakin
mendekat ke dadanya, namun kekuatan tenaga dalamnya terlalu lemah. Jika pedang
nyonya muda itu tinggal berjarak beberapa senti saja, tentu ia tinggal
menyentil satu kali dan pedang tersebut pasti akan langsung terlempar. Namun
cara ini membuat jurus pedang lawan berakhir dan bagaimana kelanjutannya tidak
bisa diketahui lagi.
Tak disangka, begitu serangan
Yue Lingshan semakin mendekati dada Zuo Lengchan, tiba-tiba saja nyonya muda
itu menarik pedangnya, memiringkan tubuhnya, dan memutar senjatanya, serta
menebas bahu kiri lawan. Serangan ini mirip Jurus Orang Bijak Sepanjang Zaman
milik Perguruan Songshan, namun tidak secepat itu. Serangan ini juga mirip
Jurus Burung Pekakak Mengapung, namun terlihat lebih ringan. Serangan ini juga
mirip Jurus Sumur Kumala Telaga Surga, namun juga tidak seindah itu. Pada
intinya, jurus yang digunakan Yue Lingshan mengandung intisari ilmu pedang Songshan
namun berbeda rincian gerakannya.
Zuo Lengchan memiliki
pandangan tajam dan juga telah mempelajari semua ilmu silat Perguruan Songshan
secara mendalam sejak masih kecil. Rincian gerakan setiap jurus bahkan sampai
bagian yang paling rumit sekalipun tercatat dalam ingatannya. Kini begitu
melihat jurus yang dimainkan Yue Lingshan begitu aneh dan lain daripada yang
lain, seperti menggabungkan beberapa gerakan untuk menutupi setiap kelemahan,
seketika membuat hatinya heran sekaligus gembira. Ia merasa saat ini seperti
melihat harta karun jatuh dari langit.
Dahulu ketika Serikat Pedang
Lima Gunung bertempur melawan sepuluh gembong Sekte Iblis di Gunung Huashan,
sejumlah pesilat tangguh tewas dalam peristiwa itu bersama ilmu pedang andalan
mereka yang ikut punah tanpa sempat diwariskan. Pada masa kepemimpinannya, Zuo
Lengchan sibuk mengumpulkan dan mencatat berbagai jenis jurus pedang dari para
sesepuh yang tersisa demi menyelamatkan ilmu pedang Perguruan Songshan. Tidak
peduli jurus-jurus tersebut ganas atau tidak, ia tetap mengumpulkannya dan
kemudian mengambil intisarinya. Selama beberapa puluh tahun belakangan, ia
memperbaiki jurus-jurus yang sudah lemah menjadi lebih kuat, serta
mengelompokkan ilmu pedang Perguruan Songshan menjadi tujuh belas rumpun. Meskipun
ia sama sekali tidak menciptakan sebuah jurus baru, namun jasa-jasanya dalam
mengembangkan ilmu silat Perguruan Songshan sungguh luar biasa.
Kini, melihat Yue Lingshan
menggunakan jurus pedang Songshan yang ternyata tidak terdapat dalam catatannya
dan sepertinya memiliki kehebatan lebih mendalam, tentu saja membuat hati Zuo
Lengchan dipenuhi rasa gembira. Jika ilmu pedang ini dimainkan oleh Ren Woxing
atau Linghu Chong, atau mungkin Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, tentu
ia akan memusatkan perhatian untuk menghadapinya dan mana mungkin memiliki
kesempatan untuk mengamati semua gerakan lawan? Namun karena tenaga dalam Yue
Lingshan tergolong rendah maka ia merasa tidak perlu khawatir. Pada detik-detik
yang berbahaya, ia yakin dirinya masih sanggup menggetar jatuh pedang dari
tangan lawan apabila diperlukan.
Para penonton merasa heran
menyaksikan cara bertanding mereka itu. Setiap saat Yue Lingshan selalu menarik
kembali serangannya sebelum mencapai sasaran, tidak jelas apakah ia sengaja
mengalah atau mungkin merasa gentar. Sebaliknya, Zuo Lengchan seolah tidak
peduli terhadap serangan yang datang. Raut mukanya sebentar heran sebentar
senang seperti orang linglung. Pertandingan seperti ini benar-benar jarang
terjadi. Sementara itu, orang-orang Perguruan Songshan juga tampak
memperhatikan pertarungan ini dengan seksama, seolah mereka takut tertinggal
satu atau dua gerakan jurus pedang Yue Lingshan.
Jurus-jurus pedang Perguruan
Songshan yang dipelajari Yue Lingshan ini jelas berasal dari ukiran di dinding
gua rahasia di Puncak Huashan. Pada dinding tersebut terukir sekitar enam puluh
atau tujuh puluh jurus pedang Perguruan Songshan. Setelah Yue Buqun
mengamatinya dengan seksama, ternyata ada sekitar empat puluh jurus yang sudah
sering dipakai Zuo Lengchan, dan ada tiga belas jurus yang masih asing baginya.
Jika ketiga belas jurus ini dipelajari dan dimainkan, tentu akan sangat
menggemparkan. Jurus-jurus yang terukir di dinding itu hanyalah benda mati,
sehingga Yue Lingshan pun memainkannya secara terbatas pada gerakan-gerakannya
saja. Di lain pihak, Zuo Lengchan yang sangat cerdas dapat merangkai
gerakan-gerakan tersebut di dalam benaknya, dan membayangkan itu semua bisa
digunakan dalam waktu yang bersamaan dan menyimpan daya tempur yang luar biasa
besar.
Yue Lingshan sendiri hanya
memainkan tiga belas jurus dan setelah berakhir ia segera mengulangi jurus
pertama kembali dari awal. Melihat ini pikiran Zuo Lengchan tergerak, “Apakah
aku harus mengamati serangannya lagi, ataukah harus menjatuhkan pedangnya
sekarang juga?” Ia benar-benar berada dalam pilihan yang sulit. Dalam sekejap
bermacam-macam pikiran terlintas dalam benaknya, “Ilmu pedang Songshan yang
dimainkannya sangat aneh dan bagus. Mungkin setelah ini tiada kesempatan lagi
untuk melihatnya. Untuk membunuh anak perempuan ini terlalu mudah, namun
mendapatkan ilmu pedangnya, inilah yang sulit. Rasanya juga tidak mungkin aku
meminta-minta kepada Yue Buqun untuk memperlihatkan ilmu pedang Songshan ini
padaku. Sebaliknya, kalau kubiarkan dia mengulangi kembali permainannya hanya
membuatku terlihat tidak becus melawan seorang anak perempuan. Hm, akan ke mana
wajahku ini harus kutaruh? Ah, mungkin sudah lebih dari tiga belas jurus yang
berlalu.”
Begitu teringat pada “tiga
belas jurus”, seketika ambisinya menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung
mengalahkan pikiran-pikiran yang lain. Segera ia memutar pedangnya ke atas, dan
terdengarlah suara benturan nyaring. Rupanya pedang Yue Lingshan telah tergetar
patah menjadi beberapa bagian dan jatuh ke tanah.
Yue Lingshan melompat mundur
dan berseru nyaring, “Paman Guru Zuo, sudah berapa jurus pedang Songshan yang
kumainkan tadi?”
Zuo Lengchan diam sejenak
sambil memejamkan mata, lalu menjawab, “Benar, sudah kau memainkan tiga belas
jurus lebih. Sungguh hebat!”
Yue Lingshan memberi hormat
lalu berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Paman Guru Zuo sehingga
keponakanmu ini bisa unjuk kebodohan memainkan tiga belas jurus pedang
Perguruan Songshan dengan lancar.”
Para hadirin menghela napas
lega mengagumi kehebatan ilmu silat Zuo Lengchan yang mampu menghancurkan
pedang di tangan lawan. Namun di awal tadi Yue Lingshan sudah sesumbar dirinya
akan memainkan tiga belas jurus pedang Songshan. Para hadirin membayangkan
jangankan memainkan tiga belas jurus menghadapi Zuo Lengchan, bahkan tiga jurus
saja sudah pasti sangat susah. Tak disangka, Zuo Lengchan justru terlihat
seperti orang linglung saat menghadapi ketiga belas jurus tersebut, bahkan
pihak lawan sampai mengulangi jurus pertama dari awal. Namun demikian, ada juga
sebagian hadirin yang berpikiran liar mengira Zuo Lengchan suka main perempuan,
sehingga saat menghadapi seorang nyonya muda yang cantik jelita, pikirannya
menjadi linglung dan mengembara ke mana-mana.
Seorang tua berbadan kurus
dari Perguruan Songshan segera tampil ke muka. Ia tidak lain adalah Lu Bai si
Tapak Bangau yang kemudian berseru, “Ilmu silat Ketua Zuo yang tiada tanding
telah kita saksikan bersama, bahkan Beliau juga sangat bijaksana telah bermurah
hati. Sebaliknya, putri keluarga Yue ini baru memahami sedikit ilmu pedang
Perguruan Songshan sudah berani unjuk gigi di hadapan Ketua Zuo. Setelah dia
kehabisan jurus, barulah Ketua Zuo melumpuhkannya hanya dengan satu gebrakan
saja. Ini sudah cukup membuktikan bahwa ilmu silat lebih mengutamakan kemahiran
khusus. Kualitas lebih penting daripada kuantitas. Tidak peduli ilmu silat dari
aliran mana pun, asalkan kita mendalaminya dengan baik maka dapat berjaya dunia
persilatan ….”
Sudah tentu para penonton
sepakat dengan ucapan orang tua kurus ini. Di antara mereka yang hadir, boleh
dikata hanya sedikit orang yang mahir bermacam-macam ilmu silat. Rata-rata dari
mereka hanyalah menguasai ilmu silat perguruan sendiri. Bahkan, dibilang
benar-benar menguasai juga tidak sepenuhnya tepat.
Lu Bai melanjutkan, “Rupanya
Nona Yue ini sungguh pintar. Saat perguruan lain berlatih pedang, entah
bagaimana ia berhasil mengintip dan mencuri lihat. Kemudian dia berani sesumbar
di sini, bahwa ia telah mahir semua ilmu silat kelima perguruan. Padahal, ilmu
pedang dari aliran masing-masing mempunyai intisari sendiri-sendiri. Kalau
hanya paham sedikit kulit luarnya saja mana bisa dikatakan sudah mahir? Kalau
kau boleh mencuri ilmu perguruanku dan aku boleh mencuri ilmu perguruanmu,
bukankah ini bisa mendatangkan kekacauan?”
Kembali para penonton
mengangguk setuju dan sama-sama berpikir bahwa Yue Buqun harus bertanggung
jawab karena telah melanggar pantangan besar kaum persilatan, yaitu mengintip
dan mencuri pelajaran ilmu silat golongan lain.
Ucapan Lu Bai ini memang ada
benarnya. Linghu Chong telah kalah di tangan Yue Lingshan karena ia sengaja
mengalah, sedangkan Tuan Besar Mo kalah karena sedang lengah. Sementara itu,
Yuyinzi dan Yuqingzi kalah karena mereka terlalu meremehkan Yue Lingshan
sehingga kurang persiapan menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba. Selain
itu, jurus pedang Taishan yang dimainkan Yue Lingshan juga jauh lebih hebat
daripada yang dimainkan kedua pendeta tua itu. Meskipun jurus Pedang Daizhong
yang dimainkannya tidaklah murni, namun hal ini tetap dianggap sebagai
pencurian oleh para hadirin. Maka, ketika apa yang diucapkan Lu Bai sesuai
dengan isi hati mereka, mereka pun segera ikut bersuara memberikan dukungan.
Melihat sebagian besar hadirin
setuju dengan ucapannya, Lu Bai merasa senang dan kembali berkata, “Maka dari
itu, tentang jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung aku rasa tiada pilihan lain
kecuali Ketua Zuo yang pantas mendudukinya. Dari sini sudah terbukti bahwa
mendalami satu jenis ilmu silat secara sempurna jelas lebih baik daripada
mencuri bermacam-macam ilmu silat perguruan lain secara tidak sah.” Kata-kata
terakhir itu jelas menyindir Yue Buqun, sehingga ratusan murid Songshan lainnya
serentak ikut bersorak membenarkan.
“Nah, apabila ada di antara
para anggota Perguruan Lima Gunung yang merasa kepandaiannya melebihi Ketua
Zuo, silakan maju untuk mengukur kekuatan,” kata Lu Bai melanjutkan. Meski ia
mengulangi lagi tantangannya, tetap saja tiada terdengar jawaban.
Sementara itu, Enam Dewa
Lembah Persik yang pada awal tadi banyak mengoceh, saat itu hanya bisa terdiam
karena Ren Yingying sedang sibuk merawat luka Linghu Chong bersama murid-murid
Henshan, sehingga tidak ada yang menyampaikan pikiran kepada mereka. Oleh
karena itu, mereka berenam hanya bisa saling pandang dan tidak tahu harus berkata
apa untuk mendebat pihak Songshan.
Kemudian terdengar Ding Mian
si Tapak Penahan Menara ikut bicara, “Kalau tidak ada seorang pun yang berani
menantang Ketua Zuo, maka dengan sendirinya kita menyetujui Ketua Zuo sebagai
Ketua Perguruan Lima Gunung. Tapi, entah bagaimana pendapat Beliau?”
Zuo Lengchan menjawab dengan
gaya pura-pura menolak, “Ah, masih banyak tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung
yang lebih baik. Aku sendiri merasa tidak sanggup menerima tanggung jawab
seberat ini.”
Adik seperguruannya yang nomor
enam, yaitu Tang Ying’e menyahut, “Menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung memang
tugas yang sangat berat dan penuh tanggung jawab. Namun bagaimanapun juga hanya
Ketua Zuo yang pantas memimpin kita semua menuju kejayaan aliran lurus bersih.
Oleh karena itu, kami memohon sudilah kiranya Ketua Zuo naik ke atas panggung
untuk dilantik sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”
Maka bergemuruhlah suara
genderang dan tambur disertai petasan yang riuh. Rupanya semua ini telah
dipersiapkan sebelumnya oleh pihak Perguruan Songshan. Menyusul kemudian
terdengar teriakan orang-orang Songshan bersorak-sorai, “Silakan Ketua Zuo naik
panggung, silakan naik panggung!”
Tanpa bicara lagi Zuo Lengchan
lantas melompat ke atas Panggung Fengshan. Saat itu matahari sudah hampir tenggelam
di balik gunung. Sinarnya yang kuning kemerah-merahan membuat jubah Zuo
Lengchan yang berwarna kuning keemasan tampak berkilauan menambah besar wibawa
Ketua Perguruan Songshan tersebut. Lalu dengan memberi hormat ia berkata kepada
para hadirin di bawah panggung, “Karena desakan kawan-kawan sekalian, jika aku
tidak menerima tanggung jawab ini tentu akan terlihat mementingkan diri sendiri
dan menolak berjuang demi kejayaan aliran lurus bersih.”
Mendengar itu ratusan orang
Songshan serentak bertepuk tangan dan memberi pujian.
Namun tiba-tiba terdengar
suara seorang perempuan berseru, “Paman Guru Zuo, kau memang telah mematahkan
pedangku. Tapi apakah dengan demikian kau sudah pantas menjadi Ketua Perguruan
Lima Gunung?” Yang berbicara ini tidak lain adalah Yue Lingshan.
Zuo Lengchan menjawab,
“Bukankah semua orang di sini menyaksikan bahwa kita bertanding pedang untuk
merebut kedudukan? Apabila Nona Yue yang berhasil mematahkan pedangku, dengan
sendirinya kita pun setuju mengangkat Nona Yue sebagai Ketua Perguruan Lima
Gunung.”
Yue Lingshan menjawab, “Untuk
mengalahkan Paman Guru Zuo sudah tentu aku tidak mampu. Tapi di antara
jago-jago Perguruan Lima Gunung kurasa masih cukup banyak orang yang dapat
mengalahkan Paman Guru Zuo.”
Padahal di antara tokoh-tokoh
Perguruan Lima Gunung yang paling ditakuti Zuo Lengchan hanyalah Linghu Chong
seorang. Sekarang Linghu Chong sudah terluka parah sehingga hati Zuo Lengchan
merasa lega. Maka, ia pun menjawab, “Kalau menurut penilaian Nona Yue, apakah
jago-jago yang mampu mengalahkan aku adalah ayahmu, ibumu, atau mungkin
suamimu?”
Seketika orang-orang Songshan
tertawa bergemuruh bernada mengejek.
Yue Lingshan menjawab tenang,
“Suamiku hanya seorang angkatan muda, kepandaiannya masih setingkat di bawah
Paman Guru Zuo. Kalau ilmu pedang ibuku tentu sama kuat jika bertanding dengan
Paman Guru Zuo. Mengenai ayahku, ilmu pedang Beliau sudah pasti lebih hebat
daripada Paman Guru Zuo.”
Kembali terdengar suara riuh
ramai menggelegar dari kelompok orang-orang Songshan. Ada yang bersuit
mengejek, ada yang tertawa sambil menghentak-hentakkan kaki, namun ada pula
yang berteriak-teriak marah.
Zuo Lengchan lantas berpaling
kepada Yue Buqun dan berkata, “Tuan Yue, putrimu telah memuji bahwa ilmu
silatmu sangat tinggi.”
“Ah, anak perempuanku memang
suka membual,” sahut Yue Buqun. “Harap Saudara Zuo jangan menganggapinya
sungguh-sungguh. Ilmu silatku masih ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan
Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang,
atau Ketua Xie dari Partai Pengemis.”
Raut muka Zuo Lengchan
seketika berubah mendengar Yue Buqun tidak menyebut dirinya dalam daftar para
tokoh yang dianggap sakti itu. Jelas Yue Buqun menganggap kepandaiannya memang
lebih tinggi daripada dirinya.
Ding Mian menyahut, “Lantas
bagaimana kalau dibandingkan dengan Ketua Zuo?”
“Aku sudah cukup lama
bersahabat dengan Saudara Zuo dan kami saling menghormati,” jawab Yue Buqun.
“Selama ratusan tahun ilmu pedang Perguruan Songshan dan Huashan memiliki ciri
khas masing-masing dan belum pernah diketahui pihak mana yang lebih unggul.
Maka pertanyaan Saudara Ding sungguh membuatku sukar untuk menjawabnya.”
“Dari nada ucapan Tuan Yue
agaknya kau merasa kepandaianmu memang lebih hebat daripada Ketua Zuo?” desak
Ding Mian.
Yue Buqun menjawab, “Kong Fuzi
berkata, ‘Seorang budiman tidak suka berkelahi, namun jika harus berkelahi maka
ia pun berkelahi.’ Sejak zaman dulu antara kedua pihak selalu hidup
berdampingan sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang lebih unggul. Sebenarnya
sudah lama aku ingin meminta petunjuk kepada Saudara Zuo. Hari ini pun kita
baru saja mendirikan Perguruan Lima Gunung. Siapa yang akan menjadi ketua juga
belum ditentukan. Kalau aku harus bertanding melawan Saudara Zuo rasanya tidak
enak juga, karena orang lain tentu akan mengatakan diriku sengaja hendak
berebut kedudukan dengan Saudara Zuo.”
Zuo Lengchan menyahut, “Tapi
kalau Saudara Yue memang benar-benar dapat mengalahkan pedang di tanganku ini,
maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung dengan sendirinya akan kuserahkan
kepada Saudara Yue.”
“Ah, jangan bicara demikian,
sebab orang yang berilmu silat tinggi belum tentu martabatnya juga tinggi,”
ujar Yue Buqun. “Meskipun aku dapat mengalahkan Saudara Zuo, belum tentu aku
sanggup mengalahkan tokoh-tokoh Perguruan Lima Gunung yang lainnya.” Nada
ucapannya memang terdengar rendah hati, namun setiap kata-katanya ternyata
sangat menyinggung, menganggap dirinya lebih hebat daripada Zuo Lengchan.
Zuo Lengchan semakin gusar tak
terlukiskan. Dengan dingin ia menjawab, “Saudara Yue bergelar Si Pedang Budiman
yang termasyhur di seluruh jagad. Sampai di mana sifat ‘budiman’ Saudara Yue
kurasa tidak perlu dijelaskan lagi. Namun bagaimana kehebatan ‘pedang’ dalam
gelarmu itu jarang diketahui banyak orang. Kurasa tiada jeleknya jika ilmu
pedangmu diuji sekarang juga agar para hadirin bisa ikut menyaksikan.”
Serentak para hadirin
berteriak ramai, “Benar, benar! Lekas bertarung saja di atas panggung!”
“Dari tadi hanya bicara saja,
kesatria macam apa ini?”
“Segera bertarung saja, biar
kita tahu siapa yang lebih unggul!”
Namun Yue Buqun tenang-tenang
saja tidak menjawab.
Sewaktu merencanakan peleburan
Serikat Pedang Lima Gunung, Zuo Lengchan sudah memperkirakan sampai di mana
kepandaian tokoh-tokoh saingannya. Ia yakin kepandaian dirinya cukup mampu
untuk mengatasi keempat ketua perguruan yang lain. Apabila ada tokoh selain
dirinya yang berilmu lebih tinggi, mana mungkin ia begitu giat mengusahakan
terlaksananya peleburan ini? Bukankah itu artinya akan menguntungkan pihak
lain, di mana ia berusaha mendorong peleburan namun ada orang yang begitu saja
menduduki jabatan ketua?
Mengenai kepandaian Yue Buqun
yang paling diandalkan adalah ilmu tenaga dalam Awan Lembayung yang telah
dipelajarinya sampai tingkat tinggi, dan hal ini juga sudah diketahui oleh Zuo
Lengchan dengan baik. Oleh sebab itu, beberapa waktu yang lalu Zuo Lengchan
telah bersekutu dengan tokoh-tokoh Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan
yang dipimpin Feng Buping untuk menyerang Yue Buqun dan merebut kedudukannya.
Meskipun serangan itu gagal, namun dari sana Zuo Lengchan dapat mengetahui
sampai di mana kehebatan ilmu silat Yue Buqun. Kemudian ketika di Biara
Shaolin, Zuo Lengchan dapat menyaksikan secara langsung pertarungan antara Yue
Buqun melawan Linghu Chong. Meskipun ilmu pedang Yue Buqun sangat bagus, namun
Zuo Lengchan merasa masih dapat mengatasinya. Apalagi ketika menendang Linghu
Chong sampai pingsan, ternyata kaki Yue Buqun ikut tergetar sampai patah
sendiri. Dari sini pun dapat diketahui ternyata tenaga dalam Ketua Perguruan
Huashan itu hanya sekian saja, karena kalau orang yang memiliki tenaga dalam
sempurna, sekalipun tidak dapat mencelakai lawan, tentu tidak pula mencelakai
diri sendiri.
Mengenai ilmu pedang Linghu
Chong yang tiba-tiba maju pesat itu, Zuo Lengchan juga sempat merasa gentar.
Maka, ia pun berusaha membatalkan pelantikan pemuda itu sebagai Ketua Perguruan
Henshan namun justru usahanya yang mengalami kegagalan. Meskipun demikian,
rencana yang sudah disusunnya bertahun-tahun tidak mungkin ia biarkan kandas
begitu saja karena kemunculan si berandal ini. Lagipula ia juga mengetahui
kalau kepandaian Linghu Chong hanya sebatas ilmu pedang saja. Untuk
mengatasinya, maka Zuo Lengchan harus mengajaknya bertarung tangan kosong.
Dengan demikian, nyawa Ketua Perguruan Henshan itu dapat dibinasakannya. Akan
tetapi, saat ini Linghu Chong bersedia terluka parah di tangan Yue Lingshan,
sehingga Zuo Lengchan merasa sangat beruntung.
Kini, begitu mendengar Yue
Buqun dan putrinya telah berkata dengan sangat sombong, Zuo Lengchan pun
berpikir, ”Aku tidak tahu bagaimana kehebatanmu sekarang namun yang jelas kau
telah mempelajari berbagai ilmu pedang perguruan lain yang sudah lama punah.
Jika kau menggunakan jurus-jurus itu untuk bertarung denganku, mungkin aku akan
terdesak oleh seranganmu. Akan tetapi, menyuruh putrimu maju lebih dulu adalah
suatu kesalahan besar. Kini aku telah mempelajari semua gerakan putrimu
sehingga semua seranganmu nanti pasti akan sia-sia belaka.” Sejenak kemudian ia
kembali berpikir, “Yue Buqun sangat licik. Jika aku dapat mengalahkannya di
depan umum, tentu ia tidak akan bisa sombong lagi. Sebaliknya, jika aku sampai
gagal tentu dia akan menjadi orang yang paling berbahaya dalam Perguruan Lima
Gunung.”
Maka dengan nada menghina Zuo
Lengchan lantas berkata, “Saudara Yue, para hadirin banyak yang ingin melihat
kepandaianmu, mengapa kau tidak menunjukkannya sekarang saja?”
“Jika demikian kehendak
Saudara Zuo, apa boleh buat, terpaksa aku menurut saja,” jawab Yue Buqun. Selangkah
demi selangkah ia pun naik ke atas Panggung Fengshan melalui undak-undakan
batu. Padahal kalau mau, dalam sekali lompat saja ia dapat naik ke sana dengan
mudah seperti apa yang dilakukan Zuo Lengchan tadi.
Membayangkan akan terjadi
pertunjukan seru, serentak para hadirin pun bersorak gembira.
Setibanya di atas panggung
batu tersebut, Yue Buqun memberi hormat dan berkata, “Saudara Zuo, kita
sekarang sudah berada di bawah perguruan yang sama, namun para hadirin
memintaku melemaskan otot, terpaksa akan kulakukan sebisanya. Kita hanya saling
belajar, tidak perlu saling melukai. Cukup bila sudah terkena lalu kita
menghentikannya, bagaimana pendapatmu?”
“Sudah tentu aku akan
berhati-hati dan berusaha semampuku agar tidak melukai Saudara Yue,” jawab Zuo
Lengchan.
Serentak orang-orang Songshan
berteriak mengejek, “Huh, belum dihajar sudah minta ampun. Lebih baik mengaku
kalah saja, tidak perlu bertanding!”
“Benar, kalau takut mampus,
lekas turun kembali saja!”
“Senjata tak punya mata.
Begitu pertarungan dimulai, siapa yang berani tanggung takkan terluka atau
binasa?”
Namun Yue Buqun hanya
tersenyum-senyum dan berkata lantang, “Senjata memang tidak bermata, memang
sulit dijamin takkan terluka atau mati.” Sampai di sini ia lantas berpaling ke
arah rombongan Huashan dan berseru, “Dengarkanlah, para murid Huashan! Aku
hanya saling belajar dengan Kakak Zuo dan sama sekali di antara kami tidak ada
permusuhan apa-apa. Bila nanti secara kebetulan aku terbunuh oleh Kakak Zuo
atau terluka parah, ini semua adalah salahku sendiri dan kalian tidak boleh
menaruh dendam atau menuntut balas kepadanya. Yang penting semangat persatuan
dalam Perguruan Lima Gunung kita harus tetap dipegang teguh.”
Yue Lingshan dan yang lainnya
serentak mengiakan.
Perkataan ini sungguh di luar
dugaan Zuo Lengchan. “Saudara Yue ternyata sangat bijaksana dan mengutamakan
kepentingan Perguruan Lima Gunung kita, sungguh sangat baik,” katanya kemudian.
“Peleburan kelima perguruan
kita adalah urusan yang mahapenting dan butuh perjuangan berat untuk mewujudkannya,”
ujar Yue Buqun tersenyum. “Kalau sekarang disebabkan persoalan kita berdua
sehingga terjadi pertengkaran di antara sesama anggota Perguruan Lima Gunung,
maka ini jelas mengingkari asas tujuan penggabungan kelima perguruan kita.”
“Benar, sungguh tidak salah,”
kata Zuo Lengchan. Di dalam hati ia berpikir Yue Buqun sudah gentar kepadanya.
Ia merasa untuk mengalahkannya harus dilakukan secepat mungkin demi menegakkan
wibawa.
Dalam sebuah pertarungan
kekuatan tenaga dalam dan kecepatan gerak serangan memang sangat penting. Akan
tetapi, kalah dan menang seringkali ditentukan oleh besarnya semangat. Zuo
Lengchan gembira melihat Yue Buqun belum apa-apa sudah menunjukkan
kelemahannya. Maka dengan penuh keyakinan, ia lantas melolos pedangnya. Rupanya
Ketua Perguruan Songshan ini sengaja menggunakan tenaga dalam untuk mencabut
keluar pedangnya, sehingga ketika batang pedang bergesekan dengan sarungnya
langsung mengeluarkan suara nyaring melengking. Penonton yang tidak tahu sebab
musababnya tercengang heran, sementara orang-orang Songshan kembali bersorak
memberi pujian.
Di sisi lain, Yue Buqun juga
mengeluarkan pedangnya, namun dengan cara yang berbeda. Mula-mula ia melepaskan
senjatanya yang tergantung di pinggang, lalu menaruhnya di sudut panggung. Dari
situ barulah ia perlahan-lahan melolos pedang keluar dari sarungnya. Dilihat
dari cara mencabut pedang masing-masing para penonton sudah bisa menduga-duga
pihak mana yang lebih kuat dan akan menjadi pemenang pertandingan ini.
Sementara itu, Linghu Chong
yang tertusuk pedang bahu kanannya kini terlihat masih sangat lemah. Ren
Yingying tidak peduli lagi dengan penyamarannya saat menyaksikan sang kekasih
terluka dalam pertandingan tadi. Segera ia maju ke tengah gelanggang, mencabut
pedang Yue Lingshan, lalu memapah Linghu Chong berjalan ke pinggir. Murid-murid
Henshan serentak mengerumuni sang ketua. Yihe segera memasukkan beberapa Pil
Empedu Beruang Putih ke dalam mulut Linghu Chong, sementara Ren Yingying
memberikan totokan pada dada dan punggungnya agar darah berhenti mengalir
keluar dari luka yang menganga itu. Yiqing dan Zheng E secara bergantian
mengoleskan Salep Penyambung Kahyangan pada luka tersebut. Saat sang ketua
terluka, para murid tidak segan-segan mengoleskan obat mujarab yang begitu
berharga. Mereka menghabiskan banyak obat seperti membuang lumpur saja.
Walaupun terluka parah, tapi
pikiran Linghu Chong tetap jernih. Ketika melihat betapa sibuk Ren Yingying dan
murid-murid Henshan merawat lukanya yang parah itu, diam-diam ia merasakan
penyesalan. Dalam hati ia berkata, ”Hanya karena ingin menyenangkan hati Adik
Kecil, aku malah membuat Yingying dan para saudari Henshan sedemikian cemas.”
Sekuat tenaga ia mencoba
tersenyum dan berkata, “Entah bagaimana, aku tadi kurang hati-hati, sehingga
ter… terluka oleh pedang ini. Kukira tidak … tidak apa-apa, tidak perlu ….”
“Jangan bicara!” sahut Ren
Yingying menukas. Meskipun ia berusaha membesarkan suaranya, namun sulit juga
menutupi suara perempuannya yang lembut. Kontan para murid Henshan terheran-heran
mendengar seorang laki-laki berewok bersuara sedemikian aneh.
“Aku ingin melihat … aku ingin
melihat ….” kata Linghu Chong sambil memandang ke arah gelanggang.
Yiqing mengiakan dan segera
menarik minggir dua orang adik seperguruannya yang menghalangi penglihatan
Linghu Chong. Saat itu Yue Lingshan sedang bertanding melawan Zuo Lengchan, dan
kemudian disusul dengan pertandingan Zuo Lengchan melawan Yue Buqun. Semua yang
terjadi hanya dapat diikutinya dengan samar-samar.
Dengan ujung pedang menghadap
ke bawah, Yue Buqun berdiri tegak dan bibirnya tersenyum memandang ke arah Zuo
Lengchan. Saat itu hampir semua penonton menahan napas masing-masing menantikan
terjadinya pertarungan dahsyat. Suasana di Puncak Songshan seketika menjadi
sunyi senyap.
Namun demikian, sayup-sayup
Linghu Chong dapat mendengar suara perempuan membaca kitab Buddha dengan sangat
lirih. “Jika binatang buas mengelilingi dirimu dan engkau takut akan taring dan
cakarnya, berdoalah kepada Dewi Guanyin yang welas asih. Segenap binatang buas
akan menyingkir. Jika kau melihat ular dan hewan berbisa, kau dapat berdoa
kepada Dewi Guanyin dan mendapatkan kekuatan sucinya, maka mereka akan segera
kembali ke sarang masing-masing. Jika halilintar dan guntur datang menyambar,
serta hujan badai turun dengan lebatnya, kau dapat berdoa kepada Dewi Guanyin
dan dengan kekuatan sucinya segala macam cuaca buruk dapat tersapu bersih. Bagi
semua makhluk hidup, di alam dunia ini memang penuh dengan kesulitan dan
kesukaran. Namun, dengan berdoa kepada Dewi Guanyin maka semua kesulitan pasti
akan dapat dilewati ….”
Suara ini begitu lembut dan
penuh kesungguhan hati saat membaca doa. Mendengar itu, Linghu Chong langsung
yakin bahwa yang sedang berdoa tidak lain pasti Yilin orangnya.
Dahulu Yilin pernah membaca
kitab suci dan berdoa untuknya yang sedang terluka saat berada di luar Kota
Hengshan. Kali ini ia tidak berpaling untuk memandangnya, namun sorot mata
Yilin yang mesra serta wajahnya yang cantik dengan jelas terbayang dalam
benaknya. Seketika timbul perasaan syukur di dalam hatinya yang sulit untuk
dilukiskan, “Tidak hanya Yingying, bahkan Adik Yilin juga sangat memperhatikan
diriku. Mereka lebih mementingkan keselamatanku daripada jiwa mereka sendiri.
Sekalipun badanku hancur lebur juga sukar rasanya untuk membalas kebaikan budi
mereka.”
Di atas panggung Yue Buqun
melintangkan pedang di depan dada, tangan kirinya bergaya seperti sedang
memegang pena hendak menulis. Zuo Lengchan paham ini adalah jurus pedang
Perguruan Huashan yang bernama Jurus Syair Pedang Menyambut Sahabat. Jurus ini
adalah jurus pembukaan apabila pihak Huashan bertarung dengan teman sesama kaum
lurus bersih. Maksudnya ialah, jurus ini mengandung makna bahwa pertandingan
akan dilakukan secara persahabatan dan tidak perlu mengadu nyawa, seperti
pertemuan dua orang sastrawan yang masing-masing akan saling membaca puisi.
Zuo Lengchan tersenyum dan
berkata, “Ah, tidak perlu sungkan-sungkan.” Namun dalam hati ia berpikir, ”Yue
Buqun dijuluki Si Pedang Budiman, namun menurutku dia seorang munafik.
Seolah-olah dia hendak bertanding secara persahabatan denganku. Bisa jadi dia
merasa takut, namun sengaja bersikap demikian agar aku tidak menaruh curiga
kepadanya. Kemudian saat aku lengah dia lantas menggunakan serangan maut untuk
merobohkan diriku.”
Segera tangan kirinya
terpentang ke samping, pedang di tangan kanan pun lurus ke depan. Yang ia
gunakan adalah Jurus Membuka Gerbang Tampak Gunung, salah satu ilmu pedang
Perguruan Songshan. Jurus ini mengandung makna, kalau mau berkelahi silakan
mulai saja, tidak perlu pura-pura segala. Dengan jurus ini Zuo Lengchan hendak
menyindir bahwa pihak lawan seorang budiman palsu.
Sudah tentu Yue Buqun paham
arti yang terkandung dalam jurus pembukaan Zuo Lengchan itu. Segera ia menarik
napas panjang, kemudian pedangnya menjulur ke tengah dan bergetar. Namun sampai
di tengah jalan mendadak ujung pedang mengungkit ke atas. Ini yang disebut
Jurus Gunung Menghijau Samar-samar, suatu jurus yang gerakannya samar-samar,
penuh dengan perubahan-perubahan lihai yang tidak bisa ditebak.
Segera pedang Zuo Lengchan
membelah dari atas ke bawah dengan tenaga yang dahsyat. Banyak di antara para
penonton memekik terkejut. Gerakan Zuo Lengchan ini tidak terdapat dalam daftar
ilmu pedang Songshan, karena yang ia gunakan sesungguhnya adalah ilmu pukulan
yang dimainkan menggunakan pedang. Gerakan ini disebut Jurus Membelah Gunung
Huashan, suatu jurus pukulan yang umum dipelajari setiap orang yang berlatih
ilmu silat tangan kosong. Selama ini semua orang pun tahu tidak terdapat jurus demikian
dalam rumpun ilmu pedang Songshan. Seandainya ada, demi memandang Perguruan
Huashan tentu pihak Songshan akan mengubah gerakannya atau bahkan berusaha
tidak menggunakannya. Tapi sekarang Zuo Lengchan justru sengaja menggunakan
pedangnya untuk memainkan jurus pukulan ini. Jelas ia bermaksud memancing
amarah Yue Buqun supaya berkurang kecermatannya dalam pertarungan nanti.
Ciri khas ilmu pedang Songshan
adalah terlihat megah dan gagah. Meskipun Jurus Membelah Gunung Huashan ini
tergolong jurus sederhana dan tidak memiliki keistimewaan, namun ketika Zuo
Lengchan mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah tadi telah menimbulkan suara
berdesir sehingga nampak begitu gagah, bagaikan benar-benar bisa membelah
gunung.
Di luar dugaan, Yue Buqun
ternyata tenang-tenang saja. Ia mengelak ke samping menghindari serangan
tersebut, kemudian balas menusuk dengan Jurus Cemara Tua Rindang Rimbun.
Sikapnya terlihat teratur, jelas tidak berusaha menyerang titik kelemahan
lawan, melainkan hanya memainkan jurus-jurusnya dengan rapat tanpa celah
kesalahan. Ini menunjukkan bahwa ia telah merencanakan sebuah pertarungan
jangka lama dan sama sekali tidak terpancing kemarahannya oleh jurus-jurus
sindiran Zuo Lengchan, yaitu Jurus Membuka Gerbang Tampak Gunung dan Jurus
Membelah Gunung Huashan tadi.
Menyadari hal itu, Zuo
Lengchan tidak berani gegabah lagi. Ia merasa Yue Buqun memang seorang musuh
yang tangguh dan tidak bisa disepelekan begitu saja. Segera ia pun melancarkan
serangan lagi dengan lebih berhati-hati, karena jika tidak, maka serangannya
yang seenaknya justru akan memberi kesempatan bagi Yue Buqun untuk berada di
atas angin. Kali ini yang ia mainkan adalah jurus asli Perguruan Songshan,
bernama Naga Kumala Keluar Kahyangan.
Murid-murid Songshan memang
sudah mempelajari jurus ini, namun tidak seorang pun yang bisa memainkannya
seperti Zuo Lengchan. Melihat kehebatan sang guru besar membuat mereka
sama-sama tercengang takjub. Tampak pedang Zuo Lengchan menerjang seperti naga
yang meliuk-liuk, kadang lurus kadang bengkok, membuat para murid tak
henti-hentinya bersorak memuji.
Sementara itu, para hadirin
dari golongan lain sejak tadi banyak yang muak melihat murid-murid Perguruan
Songshan yang bersorak-sorak memuji setiap perkataan Zuo Lengchan, menyalakan
petasan, atau menabuh genderang, serta merendahkan pihak lain. Namun, begitu
menyaksikan sorak-sorai mereka saat mengiringi pertandingan ini, banyak di
antara para hadirin yang akhirnya menjadi maklum bahwa kehebatan Zuo Lengchan memang
pantas untuk dipuji. Tanpa terasa mereka pun ikut bersorak-sorak seperti apa
yang dilakukan murid-murid Songshan tersebut.
Jurus Naga Kumala Keluar
Kahyangan di tangan Zuo Lengchan memang benar-benar tampak sempurna. Pedangnya
seolah berubah menjadi seekor ular besar yang benar-benar hidup. Para hadirin
baik yang bersenjata pedang ataupun senjata jenis lainnya sama-sama
terkagum-kagum. Bahkan, para sesepuh dari Perguruan Taishan dan Hengshan banyak
yang berpikir, “Untung yang berada di atas panggung itu Yue Buqun, bukan aku.”
Zuo Lengchan dan Yue Buqun
menggunakan ilmu pedang perguruan masing-masing untuk saling menyerang. Ilmu
pedang Songshan dialiri tenaga dalam yang keras dan dahsyat penuh wibawa,
bagaikan ribuan prajurit bertombak menunggang kuda berpacu di padang luas.
Sementara itu, ilmu pedang Huashan dialiri tenaga dalam yang lembut dan ringan,
bagaikan sepasang burung walet terbang di angkasa, melayang-layang naik turun,
dan menyelinap di antara ranting pohon liu. Begitu seru pertarungan mereka
sehingga dalam sekejap saja keduanya seakan-akan terbungkus rapat oleh sinar
pedang yang berkelebatan. Meskipun pada diri Yue Buqun tidak terlihat adanya
tanda-tanda kekalahan, tapi tampak jelas bahwa ilmu pedang Songshan di tangan
Zuo Lengchan lebih banyak menyerang daripada bertahan.
Yue Buqun sendiri lebih banyak
berusaha menghindari serangan dahsyat Zuo Lengchan daripada menangkisnya.
Sebisa-bisanya ia berusaha agar pedangnya tidak bersentuhan dengan pedang
lawan. Meskipun ilmu silatnya tinggi, namun ia lebih banyak mengandalkan
kelincahan untuk menghadapi kekuatan pedang Zuo Lengchan itu.
Mereka berdua sama-sama ahli
silat papan atas, terutama dalam hal ilmu pedang. Maka, ketika bertanding
mereka sama-sama tidak terikat aturan yang baku. Zuo Lengchan tampak
menggunakan ketujuh belas rumpun ilmu pedang Songshan yang dicampur menjadi
satu, sedangkan Yue Buqun menggunakan jumlah jurus yang lebih sedikit namun
penuh dengan perubahan-perubahan yang rumit dan mengejutkan.
Setelah melewati lebih dari
dua puluh jurus, Zuo Lengchan tiba-tiba mengangkat pedangnya ke atas, menyusul
kemudian tangan kirinya menghantam ke depan. Pukulan telapak tangannya ini
mengancam tiga puluh enam titik penting pada tubuh lawan bagian atas. Apabila
Yue Buqun menghindar tentu ia akan terluka oleh pedang Zuo Lengchan di tangan
kanan. Namun, Yue Buqun memilih untuk menyambut pukulan tersebut. Seketika raut
mukanya mendadak berubah keungu-unguan, dan ia pun menggunakan telapak tangan
kiri untuk menyambut pukulan Zuo Lengchan. Begitu kedua tangan mereka beradu,
seketika terdengar suara keras membelah angkasa. Sekejap kemudian Yue Buqun
melompat mundur, sementara Zuo Lengchan tetap berdiri tegak.
“Aih!” seru Linghu Chong
khawatir saat menyaksikan adu pukulan tersebut. Dalam hati ia sangat
mencemaskan keselamatan Sang Guru. Ia tahu pukulan Zuo Lengchan tadi dialiri
tenaga dalam mahadingin yang mematikan. Tempo hari Ren Woxing yang memiliki
tenaga dalam melimpah saja berhasil dipecundanginya, sehingga menyebabkan
dirinya bersama tiga orang yang lain termasuk Linghu Chong berubah menjadi
manusia salju. Sementara itu, meski Yue Buqun memiliki tenaga dalam bagus,
namun tingkatannya masih di bawah Ren Woxing. Memang adu pukulan tadi hanya
sebentar, tetapi paling tidak bisa membuatnya menggigil kedinginan.
Akan tetapi, Yue Buqun
sepertinya mampu bertahan. Dengan tenang ia berseru, “Apakah pukulanmu ini
adalah ilmu silat asli Perguruan Songshan?”
Zuo Lengchan menjawab, “Ini
adalah ilmu ciptaanku sendiri. Kelak akan kuajarkan hanya kepada murid pilihan
dalam Perguruan Lima Gunung kita.”
“Ternyata begitu. Biarlah aku
minta beberapa petunjuk lebih banyak dari Saudara Zuo,” ujar Yue Buqun.
“Bagus,” jawab Zuo Lengchan.
Diam-diam ia mengakui kehebatan Ilmu Awan Lembayung yang dikuasai Yue Buqun, karena
ketua Perguruan Huashan itu sedikit pun tidak menggigil kedinginan, bahkan
sanggup bersuara dengan tenang tanpa gemetar. Namun, ia yakin kalau Yue Buqun
berani menyambut lagi beberapa Jurus Tapak Es Mahadingin miliknya, pada
akhirnya pasti akan membeku kedinginan.
Segera Zuo Lengchan memutar
pedangnya untuk menusuk. Yue Buqun menangkis serangan itu dengan pedangnya.
Beberapa jurus berikutnya, kembali Zuo Lengchan menghantamkan tangan kirinya
dan disambut dengan tangan kiri Yue Buqun pula. Kedua tangan mereka pun
bertemu. Kali ini Yue Buqun tidak menghindar pergi, sebaliknya pedangnya terus
menebas ke arah pinggang lawan.
Giliran Zuo Lengchan yang
menangkis dengan pedangnya, bersamaan itu telapak tangan kirinya kembali
menghantam. Kali ini ia memukul sekeras-kerasnya ke arah batok kepala Yue
Buqun. Sungguh tidak terbayangkan betapa keras pukulan dari atas ke bawah ini.
Namun, Yue Buqun kembali mengangkat tangan kiri untuk menyambutnya. Untuk
ketiga kalinya kedua telapak tangan mereka beradu. Sambil merendahkan tubuh,
Yue Buqun lantas melompat ke samping, sementara Zuo Lengchan tiba-tiba memaki,
“Bangsat! Tidak tahu malu!”
Jelas-jelas para penonton
menyaksikan Yue Buqun terdesak, karena sewaktu melompat ke samping ia tampak
agak sempoyongan. Namun mereka bingung juga mengapa Zuo Lengchan memaki dengan
nada gusar? Rupanya pada adu pukulan yang ketiga itu tiba-tiba Zuo Lengchan
merasakan sakit pada telapak tangannya. Sesudah Yue Buqun melompat pergi,
sekilas Zuo Lengchan melihat pada tangannya itu terdapat suatu titik lubang
kecil yang mengeluarkan darah kehitam-hitaman.
Kontan saja Zuo Lengchan
terkejut dan sangat marah. Ia menduga Yue Buqun tentu secara licik telah
menusukkan jarum pada tangannya saat menangkis pukulannya yang keras itu. Dari
warna darah yang kehitam-hitaman, jelas jarum Yue Buqun mengandung racun.
Sungguh tak disangka, seorang tokoh yang berjuluk “Si Pedang Budiman” ternyata
begitu rendah perbuatannya. Dengan cepat Zuo Lengchan menghirup napas
panjang-panjang, lalu menotok tiga kali pada bahu kirinya untuk menahan
menjalarnya racun. Kali ini ia tidak mau lagi memberi angin kepada Yue Buqun.
Segera ia memutar pedangnya untuk melancarkan serangan dengan lebih gencar dan
dahsyat demi untuk mempercepat kemenangan.
Yue Buqun segera menangkis dan
balas menyerang dengan ganas pula. Keadaan saat ini sudah remang-remang karena
matahari baru saja terbenam. Pertandingan kedua tokoh di atas Panggung Fengshan
itu kini bukan lagi pertandingan persaudaraan, tapi sudah menjadi pertarungan
mati-matian. Hal ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton.
“Amitabha, shantih, shantih,”
ujar Mahabiksu Fangzheng, “mengapa kalian jadi sekasar ini?”
Setelah berlalu belasan jurus
berikutnya, Zuo Lengchan melihat pertahanan lawannya sangat rapat sulit ditembus.
Karena khawatir racun di tangannya menyebar, ia pun semakin kuat mengerahkan
tenaga dalam untuk memainkan pedangnya menyerang musuh bagaikan badai topan.
Yue Buqun terlihat mulai
kewalahan. Tiba-tiba saja ilmu pedangnya berubah. Gerak pedangnya tampak sangat
aneh, sebentar menjulur sebentar mengerut. Para penonton terheran-heran
melihatnya. “Ilmu pedang macam apa ini?” demikian terdengar ada yang bertanya
dengan suara perlahan. Tapi yang bertanya hanya bertanya, yang menjawab sama
sekali tidak ada. Masing-masing hanya menggelengkan kepala menyaksikan
pemandangan itu.
Linghu Chong yang menyaksikan
pertarungan tersebut sambil dengan bersandar pada bahu Ren Yingying juga sangat
terkejut. Ketika melihat ilmu pedang Sang Guru mendadak berubah aneh dan cepat
luar biasa, serta berbeda sama sekali dengan ilmu pedang Huashan pada umumnya,
ia langsung terheran-heran. Dalam sekejap dilihatnya ilmu pedang yang dimainkan
Zuo Lengchan ikut berubah pula, yaitu hampir mirip dengan yang dimainkan Yue
Buqun. Keduanya menyerang dan bertahan dengan sangat cepat dan rapat. Gerak
serangan masing-masing juga sangat mirip, bagaikan sepasang saudara seperguruan
yang berlatih bersama. Belasan jurus kemudian, Zuo Lengchan kembali melangkah
maju, sementara Yue Buqun hanya bertahan dan terdesak mundur.
Linghu Chong yang sudah
terlatih dalam mengamati jurus pedang merasa khawatir dan gelisah melihat celah
kelemahan Sang Guru yang semakin bertambah besar, sedangkan keadaan semakin
gawat dan berbahaya. Di lain pihak, begitu melihat kemenangan Zuo Lengchan
sudah tampak di depan mata, serentak murid-murid Perguruan Songshan kembali
bersorak memberikan pujian.
Zuo Lengchan semakin
bersemangat menyerang dengan gencar. Diam-diam ia merasa senang melihat ilmu
pedang Yue Buqun mulai kacau dan tidak teratur. Segera ia pun menyerang dengan
tenaga lebih kuat. Tidak lama kemudian, ketika kedua pedang mereka beradu, dan
dengan gerakan mengungkit, Zuo Lengchan berhasil membuat pedang Yue Buqun
terlepas dari genggaman dan melayang di udara. Serentak murid-murid Songshan
semakin gembira bersorak-sorai.
Tak disangka Yue Buqun tidak
menyerah, tetapi nekat menubruk maju dengan tangan kosong. Kedua tangannya
bergerak melancarkan segala jenis serangan, baik itu dengan cara menotok,
mencengkeram, atau gaya-gaya yang lain. Gerak tubuhnya terlihat sangat lincah
dan enteng bagaikan hantu, sebentar di sini, tahu-tahu sudah berada di sana.
Betapa cepat dan aneh gerakannya sungguh sukar diikuti mata.
Kontan saja Zuo Lengchan
terperanjat luar biasa. Ia pun berteriak ngeri, “Kau … kau ….” namun untuk
bicara saja tidak sempat, terpaksa ia harus bertahan sebisanya.
Begitu tegang perubahan
pertarungan itu sehingga pedang Yue Buqun yang terlempar ke udara dan kemudian
jatuh menancap di atas batu tiada seorang pun yang memperhatikannya.
Tiba-tiba Ren Yingying berseru
dengan suara tertahan, “Dongfang Bubai! Dongfang Bubai!”
Linghu Chong terkesiap karena
ia juga memikirkan hal yang sama, bahwa ilmu silat yang kini dimainkan gurunya
sama persis dengan ilmu silat Dongfang Bubai ketika bertempur di Tebing Kayu
Hitam tempo hari. Begitu heran rasa hatinya, sampai-sampai ia pun bangkit
berdiri dan melupakan luka parah di bahunya. Untung dari samping sebuah tangan
mungil menjulur dan memapahnya, namun ia masih juga tidak merasakannya. Bahkan
sepasang mata jelita yang sedang memandanginya dengan penuh perhatian juga
tidak dihiraukannya.
Pada saat itu, beribu-ribu
pasang mata di Puncak Songshan semua tertuju ke arah Panggung Fengshan, tempat
Zuo Lengchan dan Yue Buqun bertarung habis-habisan. Namun demikian, ada
sepasang mata yang sejak tadi tidak pernah memerhatikan apa yang terjadi di
sana, yaitu mata Yilin. Sekejap pun sorot mata biksuni muda itu tidak pernah
meninggalkan pandangannya dari arah Linghu Chong. Bahkan, meski dunia kiamat
sekalipun juga tak dihiraukan olehnya.
Tiba-tiba terdengar Zuo
Lengchan menjerit, sementara Yue Buqun melompat mundur dan berdiri tepat di
ujung panggung. Rupanya hanya satu kakinya saja yang menapak di atas panggung,
sehingga badannya tampak bergoyang-goyang seperti hendak tergelincir ke bawah.
Di sisi lain, Zuo Lengchan
tampak masih terus memutar dan mengayunkan pedangnya dengan sangat kencang.
Yang ia mainkan adalah ilmu pedang Songshan yang paling ganas. Begitu rapat
senjatanya berputar sehingga seluruh tubuhnya seperti terbungkus oleh sinar
pedangnya sendiri. Para penonton menjerit ngeri melihat jurus maut itu.
Anehnya, ilmu pedang yang hebat ini hanyalah gerakan bertahan saja, sama sekali
bukan gerakan menyerang seperti sebelumnya. Kedua kaki Zuo Lengchan juga sama
sekali tidak melangkah maju ke arah Yue Buqun yang sudah berdiri terpojok di
sudut panggung. Pemandangan yang terjadi seolah-olah Zuo Lengchan sedang
berlatih sendiri dengan memainkan jurus-jurus pedang yang paling hebat. Sepertinya
ada sesuatu yang tidak beres di sini.
Sejenak kemudian, Zuo Lengchan
tiba-tiba menghentikan pedangnya dalam keadaan menusuk ke depan, lalu kepalanya
terlihat agak miring seperti sedang mendengarkan sesuatu. Pada saat itulah para
hadirin yang berpenglihatan tajam dapat melihat ada dua tetes aliran darah
mengucur keluar dari sepasang mata Zuo Lengchan. Serentak di antara para
penonton ada yang berkata, “Hei, matanya buta!”
Ucapan orang itu tidak terlalu
keras, namun cukup jelas didengar oleh Zuo Lengchan. Ia menjadi gusar dan
berteriak, “Aku tidak buta! Aku tidak buta! Bangsat mana yang bilang aku buta?
Yue Buqun keparat, pengecut kau! Dasar bangsat! Kalau berani majulah dan
bergebrak tiga ratus jurus lagi dengan majikanmu ini!” Ia berteriak semakin
keras dengan nada marah, rasa sakit, serta putus asa laksana seekor binatang
liar yang terluka parah sedang meronta-ronta menanti ajal.
Yue Buqun tetap berdiri di
ujung panggung dengan mulut tersenyum.
Kini semua orang dapat melihat
dengan jelas bahwa kedua mata Zuo Lengchan memang benar-benar telah tertusuk
oleh serangan tangan Yue Buqun. Semuanya tercengang heran, kecuali Linghu Chong
dan Ren Yingying yang tidak merasa aneh atas kejadian ini. Melihat jurus-jurus
yang dimainkan Yue Buqun tadi, mereka langsung teringat pada ilmu silat
Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari yang luar biasa dahsyat. Untung
saja waktu itu Ren Yingying sengaja menyakiti Yang Lianting sehingga perhatian
Dongfang Bubai terpecah dan pada akhirnya ia dapat dibinasakan. Walaupun
demikian, sebelah mata Ren Woxing tetap saja tertusuk oleh jarum sulam Dongfang
Bubai.
Kali ini gerakan Yue Buqun
juga sangat gesit, meskipun tidak secepat Dongfang Bubai. Namun demikian, dalam
pertarungan satu lawan satu tentu saja Zuo Lengchan bukan tandingan ilmu silat
semacam ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam sekejap saja kedua
mata ketua Perguruan Songshan itu sudah tertusuk buta oleh semacam jarum di
tangan Yue Buqun.
Melihat Sang Guru meraih
kemenangan, seharusnya Linghu Chong merasa senang. Akan tetapi, yang terjadi
justru sebaliknya. Kemenangan Yue Buqun telah membuatnya merasa takut yang tak
terlukiskan, bahkan bercampur rasa muak pula. Sejak dulu ia sangat menghormati
dan kagum terhadap Sang Guru yang lembut tapi tegas itu. Sewaktu dirinya
dikeluarkan dari Perguruan Huashan juga tidak menimbulkan rasa dendam di
hatinya, karena ia menyadari bahwa itu semua adalah karena kesalahannya
sendiri. Hukuman terhadapnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan sudah
sepantasnya, karena ia memang suka bertindak sesuka hati dan melanggar
peraturan dunia persilatan. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam adalah
harapan bahwa suatu hari nanti Sang Guru dan Ibu Guru sudi mengampuninya dan
menerimanya kembali di Perguruan Huashan.
Kini, begitu melihat Sang Guru
berdiri di sudut panggung dengan jubah berkibar-kibar dan raut wajah
berseri-seri, seketika timbul perasaan benci teramat sangat di dalam hatinya.
Mungkin itu disebabkan karena ilmu silat Yue Buqun mirip dengan Dongfang Bubai,
atau mungkin karena kemenangan Sang Guru diperoleh dengan cara licik dan tidak
mengindahkan aturan.
Untuk sesaat Linghu Chong
tertegun, kemudian luka pada bahunya tiba-tiba kembali terasa sakit. Ia pun
segera duduk dengan perasaan lesu dan kecewa.
“Kenapa? Ada masalah apa?”
serentak Ren Yingying dan Yilin memegang bahunya masing-masing dan bertanya
dengan khawatir.
“Tidak … tidak apa-apa,” jawab
Linghu Chong dengan senyum yang dipaksakan.
Kembali terdengar Zuo Lengchan
berteriak-teriak, “Yue Buqun, bangsat kau! Kalau berani hayo maju lagi! Kenapa
main sembunyi-sembunyi, pengecut kau … hayo maju!”
Tang Ying’e segera berkata
kepada murid-murid Songshan, “Lekas kalian pergi memapah Ketua turun!”
“Baik, Paman Guru!” sahut dua
orang murid Zuo Lengchan yang bernama Shi Dengda dan Di Xiuying. Keduanya
lantas meloncat ke atas panggung dan berseru, “Guru, mari kita turun saja!”
Namun Zuo Lengchan masih terus
menantang, “Yue Buqun, apa kau takut, hah?”
Shi Dengda maju dan
mengulurkan tangannya, lalu berkata, “Gur...”
Belum selesai ia berbicara
tiba-tiba pedang Zuo Lengchan berkelebat, dan tahu-tahu tubuhnya telah
terpotong menjadi dua, mulai dari bahu sebelah kanan sampai ke pinggang sebelah
kiri. Di Xiuying juga mengalami hal yang sama. Tubuhnya terpotong menjadi dua
oleh pedang Sang Guru sebatas dada. Sungguh dahsyat kekuatan ilmu pedang Zuo
Lengchan membuat para penonton menjerit ngeri.
Perlahan-lahan Yue Buqun
melangkah ke tengah panggung lalu berkata, “Saudara Zuo, karena kau sudah cacat
maka kita tidak perlu bertarung lagi. Dalam keadaan demikian apakah kau masih
ingin berebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung denganku?”
Zuo Lengchan mengangkat
pedangnya perlahan-lahan dan ujungnya kemudian mengarah ke suara Yue Buqun,
tepat mengarah di depan dada lawan. Yue Buqun mendekatinya dengan tenang meski
tanpa senjata sama sekali. Pedangnya yang masih menancap pada sebongkah batu
tampak bergoyang-goyang tertiup angin. Kedua tangannya pun masuk ke dalam
lengan baju masing-masing, sementara kedua matanya memandang tajam ujung pedang
Zuo Lengchan yang hanya berjarak beberapa jengkal dari dadanya. Darah tampak
menetes jatuh dari batang pedang tersebut. Lengan baju sebelah kanan Zuo
Lengchan terlihat mengembang seperti layar kapal, sedangkan yang kiri tampak
biasa, pertanda ia sedang mengumpulkan tenaga dalam yang sangat dahsyat di
tangan kanannya untuk menyerang Yue Buqun.
Tiba-tiba sekelebat bayangan
bergerak secepat kilat. Rupanya Yue Buqun melesat mundur sejauh belasan meter,
lalu meluncur lagi ke tempat semula dalam waktu sekejap. Gerakan mundur dan
maju ini dilakukannya dalam waktu sangat singkat dan sulit dilukiskan
kecepatannya. Setiap mata menyaksikan Yue Buqun tiba-tiba berada di pinggir
panggung, dan sekejap kemudian sudah kembali berada di depan pedang Zuo Lengchan.
Melihat itu para penonton tercengang tak percaya. Masing-masing yakin
bagaimanapun hebatnya tusukan Zuo Lengchan pasti dapat dihindari oleh Yue
Buqun.
Zuo Lengchan sendiri dalam
keadaan sangat bingung dan pikirannya bermacam-macam pula. Jika tusukannya ini
tidak mampu membinasakan Yue Buqun atau dapat ditangkis oleh lawan, tentu
keadaannya yang sudah cacat akan bertambah runyam. Ini berarti buyar sudah
semua jerih payahnya dalam upaya menguasai Perguruan Lima Gunung yang telah
direncanakannya bertahun-tahun. Sungguh tak disangka, usahanya selama ini akan
berakhir sia-sia dan ia pun merasa gagal ketika keberhasilan sudah ada di depan
mata. Karena pikiran yang bergolak ini, mendadak dadanya terasa panas, dan
darah segar pun menyembur keluar dari mulutnya.
Yue Buqun yang berdiri tepat
di hadapannya secepat kilat bergeser ke samping menghindari semburan darah
tersebut. Bibirnya tampak tak kuasa menyembunyikan senyuman. Tiba-tiba Zuo
Lengchan menyendal pedangnya sehingga patah menjadi beberapa potong, kemudian
ia menengadah ke angkasa dan bergelak tawa. Begitu keras suara tertawanya
hingga berkumandang jauh dan menggema di angkasa pegunungan.
Sambil tetap tertawa ia pun
berbalik dan melangkah menuju ke bawah. Ketika sampai di tepi panggung kaki
kirinya terasa menginjak tempat kosong. Karena sudah siap sebelumnya, maka kaki
kanan lantas melayang ke depan sehingga tubuhnya pun turun ke tanah dalam
keadaan tegak. Setibanya di bawah, murid-murid Songshan segera mengerumuninya
dan berkata, “Guru, mari kita terjang dan babat habis semua orang Huashan.”
Namun Zuo Lengchan berseru
lantang, “Seorang laki-laki sejati harus memegang janji. Sebelumnya sudah
ditentukan bahwa pertandingan ini adalah untuk menentukan kedudukan ketua. Tuan
Yue jelas lebih unggul dibanding aku. Kita semua harus mengangkatnya sebagai
ketua, mana boleh ingkar janji?”
Ketika kedua matanya tiba-tiba
ditusuk Yue Buqun hingga buta, ia menjadi sangat marah dan mencaci maki
lawannya itu dengan kata-kata kotor. Namun, sesudah hatinya tenang kembali,
sikapnya sebagai seorang guru besar dunia persilatan kembali pulih dan
wibawanya kembali memancar.
Para hadirin merasa kagum
melihat sikap kesatria Zuo Lengchan yang berani mengakui kekalahan itu.
Andaikan sampai terjadi pertempuran besar, pihak Songshan yang berjumlah lebih
banyak dan juga lebih mengenal medan pasti dapat menumpas orang-orang Huashan,
meskipun ilmu silat Yue Buqun setinggi langit.
Di antara para hadirin sudah
tentu banyak pula yang merupakan manusia-manusia picik tak punya pendirian yang
hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Maka, begitu mendengar ucapan Zuo
Lengchan itu, serentak mereka pun bersorak-sorai, “Hidup Tuan Yue! Selamat
untuk Tuan Yue yang menjadi ketua Perguruan Lima Gunung!” Tentu saja
murid-murid Huashan adalah yang paling bergembira dan berteriak paling lantang.
Kemenangan Sang Guru yang luar biasa itu sesungguhnya terjadi sangat cepat dan
sama sekali di luar dugaan mereka, membuat mereka hampir-hampir tidak percaya.
Yue Buqun lantas bergeser ke
tepi panggung. Sambil kedua tangannya memberi hormat kepada para hadirin, ia
berseru, “Pertandinganku dengan Kakak Zuo sebenarnya hanya untuk mengukur
kemampuan masing-masing. Tadinya aku berharap di antara kami cukup saling
sentuh saja untuk mengetahui siapa yang lebih unggul. Namun kepandaian Kakak
Zuo ternyata sangat hebat sampai-sampai pedangku tergetar dan lepas dari
genggaman. Pada saat yang berbahaya itu aku terpaksa harus menyelamatkan nyawa
sebisa-bisaku. Akan tetapi, tindakanku agak berlebihan sehingga kedua mata
Kakak Zuo menjadi korban. Sungguh dalam hal ini aku merasa tidak enak hati.
Semoga ada tabib yang bisa memulihkan penglihatan Kakak Zuo.”
Terdengar seorang penonton
berseru, “Senjata tidak bermata. Siapa orangnya yang bisa menjamin takkan
cedera dalam suatu pertarungan sengit?”
“Sudah untung Tuan Yue tidak
membunuhnya. Tuan Yue sudah cukup bermurah hati,” sahut yang lain.
“Aku tidak berani,” jawab Yue
Buqun sambil memberi hormat. Kakinya tetap berdiri di tepi panggung, sama
sekali tidak melangkah turun.
Terdengar seorang penonton
lainnya berseru, “Sekarang kalau ada yang ingin menjadi ketua Perguruan Lima
Gunung, silakan naik ke atas untuk bertanding melawan Tuan Yue!”
Penonton yang lain menanggapi,
“Daripada menantang Tuan Yue untuk bertanding lebih baik memintanya untuk
menggalikan kubur saja.”
Maka, beratus-ratus orang pun
berteriak pula, “Hanya Tuan Yue yang pantas menjadi ketua Perguruan Lima
Gunung! Silakan Tuan Yue menjadi ketua!”
Yue Buqun menunggu para
hadirin kembali tenang, barulah ia berkata dengan suara lantang, “Karena
dukungan Saudara-Saudara, terpaksa aku tidak bisa menolak tanggung jawab ini.
Perguruan Lima Gunung hari ini baru saja didirikan, sedangkan segala macam
urusan perlu diatur. Aku hanya dapat mengatur masalah yang umum saja. Maka, untuk
urusan-urusan di Perguruan Hengshan hendaknya tetap ditangani Tuan Besar Mo,
dan urusan-urusan di Perguruan Henshan hendaknya tetap ditangani oleh Adik
Linghu. Sementara itu, untuk urusan-urusan di Perguruan Taishan, aku mohon
bantuan Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin beserta para murid tertua untuk
menanganinya. Adapun urusan Perguruan Songshan, karena pandangan Kakak Zuo
kurang leluasa .…” Yue Buqun kemudian berpaling ke arah kalangan orang-orang
Songshan, kemudian berkata, “Menurutku, hendaknya Saudara Ding Mian, Saudara Lu
Bai, dan Saudara Tang Ying’e sudi membantu Kakak Zuo menangani urusan Perguruan
Songshan sehari-hari.”
Ucapan Yue Buqun ini sungguh
di luar dugaan Lu Bai, sehingga ia sampai tergagap-gagap, “Ini … ini .…”
Orang-orang Songshan dan para hadirin dari golongan lain juga ikut heran
mendengarnya.
Ding Mian memang orang nomor
dua di Perguruan Songshan, sedangkan Tang Ying’e juga sudah lama menjadi
kepercayaan Zuo Lengchan, sehingga wajar kalau mereka ditujuk Yue Buqun sebagai
pejabat ketua. Namun, Lu Bai jelas-jelas sejak tadi sangat memusuhi Yue Buqun
dengan mengucapkan beberapa perkataan kasar dan menyudutkan, sehingga
penunjukannya sebagai wakil Zuo Lengchan benar-benar di luar dugaan. Sementara
itu, murid-murid Perguruan Songshan pada awalnya sangat gusar dan berniat
membalas dendam atas pemimpin mereka yang telah kehilangan penglihatan. Namun,
begitu mendengar Zuo Lengchan, Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e tetap
dihormati dan dihargai oleh Yue Buqun, dan urusan di Perguruan Songshan juga
masih seperti sediakala, seketika rasa kesal mereka pun agak berkurang.
Kemudian terdengar Yue Buqun
kembali berkata, “Mulai hari ini, Serikat Pedang Lima Gunung telah dilebur
menjadi satu. Untuk itu kita harus bersatu padu, karena jika tidak, maka peleburan
ini tidak memiliki arti lagi. Kita tidak boleh membeda-bedakan lagi. Aku
sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa, namun untuk sementara ini dipercaya
memegang pimpinan. Oleh karena itu, banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang
masih harus dirundingkan dengan Saudara-Saudara sekalian dan aku tidak berani
mengambil keputusan secara sepihak. Sekarang hari sudah mulai gelap, silakan
Saudara-Saudara menuju halaman utama Perguruan Songshan untuk beristirahat dan
makan minum bersama!”
Maka para hadirin pun serentak
bersorak-sorak senang dan beramai-ramai mereka turun menuju ke halaman markas
Perguruan Songshan. Ketika Yue Buqun turun dari panggung, beramai-ramai
Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, Ketua Xie, dan yang lain melangkah maju
memberikan ucapan selamat kepadanya. Semula tokoh-tokoh besar ini khawatir
Perguruan Lima Gunung akan dikuasai oleh Zuo Lengchan yang kejam dan culas,
sehingga untuk selanjutnya perguruan dan partai mereka pasti menjadi sasaran
pencaplokan. Namun, ternyata secara tak terduga yang berhasil memenangkan
persaingan adalah Yue Buqun. Semua orang mengetahui dan mengenal nama besar Yue
Buqun sebagai seorang budiman yang halus pekertinya dan mendapat julukan Si
Pedang Budiman, sehingga hati mereka pun merasa lega. Maka, ucapan selamat ini
mereka sampaikan secara tulus dari lubuk hati yang terdalam.
“Tuan Yue,” dengan ramah
Mahabiksu Fangzheng menyapa perlahan. “Menurut pendapatku, tidak mustahil pihak
Perguruan Songshan masih akan mencari perkara denganmu. Seorang bijak tidak suka
menjalin permusuhan, tetapi bersikap waspada tiada salahnya. Sebaiknya Tuan Yue
selalu berjaga-jaga dan hati-hati.”
“Terima kasih atas petunjuk
Mahabiksu,” jawab Yue Buqun.
“Gunung Shaoshi tidak terlalu
jauh dari sini. Bila memerlukan apa-apa silakan memberi kabar,” lanjut
Fangzheng kemudian.
“Maksud baik Mahabiksu sungguh
kuterima dengan rasa terima kasih yang tidak terhingga,” jawab Yue Buqun sambil
memberi hormat. Setelah beramah tamah sejenak dengan Chongxu, Xie Feng, dan
yang lain, ia lantas mendekati Linghu Chong dan menyapa, “Chong’er, apakah
lukamu tidak menjadi halangan?”
Sejak dikeluarkan dari
Perguruan Huashan, baru kali ini Linghu Chong mendengar Yue Buqun memanggil
“Chong’er” seramah ini kepadanya. Namun, perasaannya kini telah berubah. Bukannya
merasa senang, sebaliknya ia justru merasa ngeri. Maka, dengan suara tidak
lancar ia menjawab, “Ti… tidak apa-apa.”
“Maukah kau ikut aku pulang ke
Gunung Huashan untuk merawat lukamu dan tinggal beberapa hari di sana dengan
ibu-gurumu?” tanya Yue Buqun kemudian.
Andai saja Yue Buqun bertanya
seperti ini beberapa jam yang lalu, tentu Linghu Chong akan sangat gembira dan
menerima ajakan tersebut tanpa pikir panjang. Namun, sekarang ia menjadi
ragu-ragu dan bercampur takut pula.
“Bagaimana?” tanya Yue Buqun
menegas.
Linghu Chong menjawab,
“Perguruan Henshan memiliki obat yang lumayan manjur. Biarlah sesudah luka
murid sem… sembuh baru mengunjungi Guru dan Ibu Guru.”
Yue Buqun memiringkan
kepalanya dan memandang tajam wajah Linghu Chong seakan-akan ingin membaca isi
hati muridnya itu. Selang agak lama barulah ia berkata, “Begitu juga boleh.
Hendaknya kau merawat dirimu dengan baik dan segera berkunjung ke Huashan.”
“Baik!” jawab Linghu Chong
sambil kemudian meronta bangun dengan maksud hendak memberi hormat.
“Sudahlah, tidak perlu,” kata
Yue Buqun ramah sambil mengulurkan tangan untuk memapah lengan kanan muridnya
itu. Namun, Linghu Chong justru mengelakkan tubuhnya dengan raut muka yang
tanpa terasa memperlihatkan rasa takut.
Yue Buqun mendengus perlahan.
Alisnya menegak dan wajahnya terlihat gusar. Namun, dalam waktu singkat ia
sudah tersenyum kembali dan berkata, “Adik kecilmu sungguh keterlaluan, sejak
dulu tidak bisa mengendalikan diri kalau bertarung. Untung saja tidak mengenai
titik yang berbahaya.” Usai berkata demikian ia lantas mengangguk kepada Yihe
dan Yiqing selaku murid-murid tertua Perguruan Henshan, kemudian memutar tubuh
dan melangkah pergi.
Pada jarak beberapa meter di
depan, ratusan hadirin sudah menunggunya. Serentak mereka pun mengerumuni Yue
Buqun dengan mengucapkan selamat serta menyampaikan berbagai pujian. Ada yang
memuji ilmu silatnya, ada pula yang memuji keluhuran budinya. Di tengah suara
sanjung puji itu, perlahan-lahan sosok Yue Buqun menghilang di balik lereng
gunung dengan diikuti para penjilatnya itu. Pandangan mata Linghu Chong
mengikuti setiap langkah Sang Guru sampai tak terlihat lagi. Tiba-tiba kemudian
terdengar suara seorang perempuan memaki lirih di belakangnya, “Munafik!”
Perkataan ini entah diucapkan
oleh murid Henshan yang mana, tapi yang jelas benar-benar mengena di lubuk hati
Linghu Chong. Ia merasa dadanya seperti dihantam palu godam. Dalam keadaan
sekarang ini memang tiada istilah lain yang lebih cocok untuk mencerminkan apa
yang ia rasakan. Seorang guru berbudi yang paling dihormati dan dikasihinya
tiba-tiba telah terbuka kedoknya, sehingga terlihat sudah wajah aslinya yang
bengis dan menyeramkan, serta licik dan keji pula.
Sementara itu, hari sudah
semakin gelap. Di samping Panggung Fengshan yang tertinggal hanyalah
orang-orang Perguruan Henshan saja, sedangkan yang lain sudah pergi semua.
“Kakak Ketua, apakah kita juga
akan turun ke bawah?” tanya Yihe. Ia tetap memanggil “Kakak Ketua” menunjukkan
bahwa dirinya memang tidak peduli dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung,
lebih-lebih mengakui Yue Buqun sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.
“Bagaimana kalau kita bermalam
di sini saja?” ujar Linghu Chong yang di dalam hatinya merasa lebih baik jika
berada jauh dari Yue Buqun yang saat itu bermalam di markas Perguruan Songshan
bersama para hadirin lainnya.
Ternyata ucapan Linghu Chong
ini sangat cocok dengan pikiran murid-murid Perguruan Henshan. Serentak mereka
pun bersorak setuju, karena masing-masing juga tidak suka pada Yue Buqun.
Seperti diketahui sebelumnya, ketika di Kota Fuzhou dulu mereka pernah meminta
bantuan Perguruan Huashan untuk menolong Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi
yang sedang dikepung musuh. Namun, Yue Buqun telah menolak permintaan itu tanpa
memandang hubungan baik di antara sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung.
Kali ini Linghu Chong telah dilukai pula oleh Yue Lingshan, bahkan kedudukan
ketua Perguruan Lima Gunung juga dapat direbut oleh Yue Buqun, sudah tentu
menambah rasa kesal mereka. Akibatnya, mereka pun lebih suka bermalam di
samping Panggung Fengshan daripada harus berkumpul dengan Yue Buqun dan para
begundalnya.
Terdengar Yiqing berkata pula,
“Kakak Ketua sedang terluka. Memang yang paling baik adalah kita tetap tinggal
di sini daripada banyak bergerak. Hanya saja, saudara ini ….” Berkata demikian
matanya lantas melirik ke arah si laki-laki berewok.
“Dia bukan saudara, tapi Nona
Besar Ren,” sahut Linghu Chong dengan tertawa.
Sejak tadi Ren Yingying masih
saja memapah bahu Linghu Chong. Begitu mendengar Linghu Chong membongkar
rahasia penyamarannya, seketika ia langsung tersipu malu. Tanpa sadar ia pun
buru-buru melepaskan tangan dan melangkah mundur.
Karena tidak menduga
sebelumnya, tubuh Linghu Chong pun terhuyung-huyung ke belakang hendak jatuh
telentang. Untung saja Yilin yang berdiri di sebelahnya dengan cekatan
memegangi bahu kirinya sambil berseru, “Eh, hati-hati!”
Yihe, Yiqing, dan yang lain
sudah lama mengetahui kisah cinta antara Ren Yingying dan Linghu Chong. Kisah
asmara mereka memang sangat unik dan lain daripada yang lain. Yang satu pernah
mendatangi Biara Shaolin, rela mengorbankan jiwa demi menyelamatkan sang
kekasih, dan yang lain kemudian memimpin beribu-ribu orang persilatan menyerbu
biara itu untuk menolongnya. Juga ketika Linghu Chong dilantik sebagai ketua
Perguruan Henshan, Ren Yingying datang secara pribadi untuk mengucapkan
selamat, serta menolong nyawa sang ketua baru dari niat jahat pasukan Sekte
Iblis di Kuil Gantung. Kini, begitu mengetahui bahwa lelaki berewok di depan
mereka itu ternyata Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan yang
termasyhur, banyak di antara mereka yang berseru kaget sekaligus senang.
Lagipula dalam pandangan mereka, Nona Besar Ren ini sudah dianggap sebagai
calon istri sang ketua, sehingga pada pertemuan mereka ini langsung terjalin
suasana akrab dan menyenangkan.
Yihe, Yiqing, dan yang lain
segera mengeluarkan perbekalan semacam ransum kering dan air untuk
dibagi-bagikan. Usai makan mereka lantas merebahkan diri di samping Panggung
Fengshan. Linghu Chong sendiri sedang terluka, dengan sendirinya badannya
sangat lelah dan lemah. Oleh karena itu, tidak lama kemudian ia pun tertidur
pulas.
Ketika malam semakin larut,
tiba-tiba di kejauhan terdengar suara wanita membentak, “Siapa itu?”
Meskipun terluka parah, namun
berkat tenaga dalamnya yang tinggi Linghu Chong langsung terjaga mendengar
suara itu. Suara bentakan tersebut berasal dari murid-murid Henshan yang
bertugas jaga yang sedang menegur seseorang.
Maka terdengarlah seorang pria
menjawab, “Kita sesama anggota Perguruan Lima Gunung. Aku murid Tuan Yue dari
Huashan. Namaku Lin Pingzhi.”
“Ada urusan apa malam-malam
datang ke sini?” tanya murid Henshan tadi
“Aku ada janji bertemu dengan
seseorang di bawah Panggung Fengshan ini. Sebelumnya aku tidak tahu kalau para
kakak beristirahat di sini. Mohon dimaafkan jika mengganggu,” jawab Lin Pingzhi
sopan.
Pada saat itulah dari arah
barat berkumandang suara seorang tua, “Bocah bermarga Lin, kau telah menyiapkan
teman-temanmu dari Perguruan Lima Gunung di sini. Apakah kau ingin main kerubut
dan mencari perkara dengan si pendeta tua ini?”
Linghu Chong dengan jelas
dapat mengenali orang yang baru datang itu yang tidak lain adalah Yu Canghai,
ketua Perguruan Qingcheng. Ia agak terkejut dan berpikir, “Adik Lin telah
bermusuhan dengan Yu Canghai sejak hancurnya Biro Ekspedisi Fuwei, lebih-lebih
sejak kedua orang tuanya terbunuh. Sekarang mereka berjanji bertemu di sini
tentu untuk membereskan hutang darah itu.”
Terdengar Lin Pingzhi menjawab
teguran Yu Canghai tadi, “Aku juga tidak tahu kalau para kakak dari Perguruan
Henshan bermalam di sini. Biarlah kita mencari tempat lain saja agar tidak
mengganggu tidur mereka.”
“Hahahaha! Kau sudah
mengganggu tidur mereka, tapi masih bicara muluk-muluk dan pura-pura baik
hati,” sahut Yu Canghai dengan wajah menghina. “Ada bapak mertua seperti itu,
tentu ada juga menantu seperti ini. Nah, apa yang mau kau katakan lekas katakan
saja agar sama-sama bisa tidur nyenyak.”
“Hm, kau masih ingin tidur
nyenyak? Jangan harap itu bisa terjadi lagi selama sisa hidupmu,” sahut Lin
Pingzhi. “Orang-orang Perguruan Qingcheng macam kalian yang datang seluruhnya
hanya berjumlah tiga puluh empat termasuk dirimu. Aku mengundang kalian semua
datang ke sini, mengapa yang datang hanya tiga orang?”
“Huh, kau ini kunyuk macam
apa? Memangnya kau berani menyuruhku begini begitu?” jawab Yu Canghai dengan
tertawa bengis. “Hanya karena memandang bapak mertuamu yang baru saja dilantik
sebagai ketua Perguruan Lima Gunung, maka aku sudi memenuhi undanganmu. Nah,
kalau mau kentut lekas keluarkan, kalau mau berkelahi lekas cabut senjata. Biar
kulihat apakah Jurus Pedang Penakluk Iblis keluarga Lin kalian sudah ada
kemajuan atau tidak.”
Perlahan-lahan Linghu Chong
bangkit untuk duduk. Di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya Lin
Pingzhi berdiri berhadapan dengan Yu Canghai dalam jarak hanya beberapa meter.
Ia masih ingat Lin Pingzhi dulu pernah muncul menolong saat dirinya hendak
dibunuh Yu Canghai di Kota Hengshan.
“Waktu itu aku sedang terluka
parah dan dirawat di sebuah rumah pelacuran. Si pendek Yu menemukanku dan
hendak memukulku sampai mati. Untung saja Adik Lin muncul dan berteriak
mengejek sehingga Yu Canghai membatalkan pukulannya. Jika tidak, mungkin aku
sudah kehilangan nyawa pada malam itu juga. Setelah masuk Perguruan Huashan,
ilmu silat Adik Lin banyak mengalami kemajuan, tapi tetap masih kalah jauh
dibandingkan Yu Canghai. Kalau sekarang Adik Lin berani menantang Yu Canghai di
sini, kemungkinan ia mendapat dukungan dari Guru dan Ibu Guru. Tapi Guru dan
Ibu Guru belum juga datang, aku tidak boleh tinggal diam,” demikian pikir
Linghu Chong.
Terdengar Yu Canghai
mengolok-olok, “Hm, kalau kau punya nyali untuk balas dendam, seharusnya kau
datang sendiri ke Gunung Qingcheng. Namun, kalau kau menantangku ke sini dan
secara licik menyiapkan serombongan kaum biksuni untuk ikut mengeroyok aku,
huh, sungguh tak tahu malu. Benar-benar menggelikan.”
Yihe tersinggung dan segera
menyahut, “Persetan dengan dendam bocah bermarga Lin ini! Kalau kalian mau
berkelahi hingga mampus juga Perguruan Henshan kami tidak akan ambil pusing.
Huh, kau pendeta pendek sebaiknya jangan omong kosong melulu. Kalau memang
takut silakan lari saja, tapi Perguruan Henshan kami jangan dibawa-bawa!” Ia
tidak tahu kalau Linghu Chong pernah berhutang nyawa kepada Lin Pingzhi. Yang
ia tahu hanya satu, Lin Pingzhi adalah suami Yue Lingshan, dan ia sangat
membenci putri Yue Buqun itu.
Yu Canghai sendiri memiliki
hubungan akrab dengan Zuo Lengchan. Secara pribadi Zuo Lengchan telah
mengundang ketua Perguruan Qingcheng itu untuk hadir di Gunung Songshan sebagai
pendukungnya. Sejak berangkat meninggalkan Gunung Qingcheng, Yu Canghai sudah
yakin bahwa Zuo Lengchan pasti akan menduduki jabatan ketua Perguruan Lima
Gunung. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak ambil pusing terhadap orang-orang
Perguruan Huashan yang memusuhinya.
Tak disangka, jabatan ketua
Perguruan Lima Gunung ternyata dapat direbut oleh Yue Buqun. Menyadari
perubahan yang sangat mendadak ini, Yu Canghai bermaksud meninggalkan Gunung Songshan
malam itu juga. Namun sewaktu hendak turun gunung, tiba-tiba Lin Pingzhi
menghampirinya. Dengan suara lirih pemuda itu mengajaknya bertemu di pelataran
Panggung Fengshan nanti malam. Meskipun suaranya lirih, tapi sikapnya sangat
angkuh dan kasar sehingga Yu Canghai merasa gusar melihatnya. Saat itu Yu
Canghai berpikir, “Perguruan Huashan baru saja merebut kedudukan, tapi kau
sudah bersikap begini sombong. Huh, kau ini masih hijau dan aku tidak takut
padamu. Tapi aku tetap harus berhati-hati kalau-kalau kau membawa bala bantuan
dan main keroyok.”
Maka, Yu Canghai sengaja
datang terlambat ke Panggung Fengshan malam itu untuk memastikan apakah Lin
Pingzhi membawa bala bantuan atau tidak. Di luar dugaan, Lin Pingzhi ternyata
benar-benar berangkat sendiri ke tempat yang dijanjikan itu, sehingga dalam
hati Yu Canghai merasa senang. Maka, ia hanya mengajak dua orang murid saja
untuk menemaninya menuju Panggung Fengshan agar tidak dipandang rendah oleh
pihak lawan. Murid-murid yang lain lantas menyebar ke sekeliling Puncak
Songshan untuk memberikan bantuan jika dianggap perlu.
Ketika sampai di puncak,
ternyata di samping Panggung Fengshan banyak orang yang berbaring di situ.
Bukan hanya Lin Pingzhi saja yang terkejut, bahkan Yu Canghai juga merasa telah
tertipu. Ia merasa seperti seorang ibu berumur tiga puluh tahun yang ditipu
bayi kecil. Memang benar ilmu silat Perguruan Qingcheng belum tentu kalah hebat
jika dibandingkan dengan ilmu silat Perguruan Henshan. Selain itu, Linghu Chong
masih terluka parah akibat pertandingan siang tadi dan ketiga biksuni sepuh
juga sudah lama meninggal, sehingga tidak ada jago hebat yang menjadi andalan
perguruan ini. Akan tetapi, jumlah orang-orang Henshan di tepi panggung itu
jauh lebih banyak, dan sewaktu-waktu mereka dapat membentuk beberapa Formasi
Tujuh Pedang yang membuat Yu Canghai merasa agak gentar juga. Untung saja,
meskipun secara kasar Yihe menyebutnya sebagai “pendeta pendek”, namun dengan
jelas ia menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun, sehingga dengan sendirinya
perasaan Yu Canghai menjadi lega.
“Baik sekali jika kalian
takkan membantu pihak mana pun,” kata Yu Canghai kemudian. “Silakan kalian
saksikan bagaimana hasilnya nanti, pertandingan antara ilmu pedang Qingcheng
melawan ilmu pedang Huashan.” Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Jangan kalian
kira dengan kekalahan Kakak Zuo lantas ilmu pedang Yue Buqun sudah dianggap
jempolan. Andaikan benar ilmu pedangnya memang nomor satu di dalam Perguruan
Lima Gunung, namun ilmu silat tiap-tiap golongan dan aliran di dunia persilatan
mempunyai keistimewaan masing-masing. Bagaimanapun tingginya ilmu pedang
Perguruaan Huashan juga belum tentu terhitung nomor satu di muka bumi. Menurut
pandanganku, ilmu pedang Perguruan Henshan saja sudah jelas lebih bagus.”
Dengan ucapannya itu, pertama
ia bermaksud mengadu domba, kedua bertujuan menyenangkan hati murid-murid
Henshan agar mereka benar-benar tidak ikut campur dan tidak membantu Lin
Pingzhi. Maka, jika bertarung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan bocah
bermarga Lin itu dapat dikalahkannya dengan mudah.
Menanggapi ucapan Yu Canghai
tersebut tak disangka Yihe malah menjawab, “Jika kalian mau berkelahi silakan
berkelahi saja sesukamu. Kenapa harus mengganggu ketenangan orang yang hendak
tidur? Hm, kau ini tahu aturan atau tidak?”
Diam-diam Yu Canghai sangat
gusar. Ia berpikir, “Kurang ajar kaum biksuni busuk ini. Saat ini aku tidak
sempat membuat perhitungan dengan kalian. Tapi kelak, jika aku bertemu orang
Henshan macam kalian di tempat lain, barulah kalian tahu rasa.” Dasar Yu
Canghai memang berjiwa sempit, sudah biasa menganggap dirinya paling hebat, dan
angkatan muda kalau tidak menghormatinya tentu akan mendapat kesulitan.
Andaikan kata-kata kasar Yihe tadi diucapkan di waktu lain tentu Yu Canghai
sudah marah-marah dan mendampratnya.
Sementara itu, Lin Pingzhi
bergerak maju dua-tiga langkah, lalu berkata, “Yu Canghai, demi mengincar kitab
pedang pusaka keluarga kami, kau telah membunuh ayah dan ibuku, serta membantai
puluhan anggota Biro Ekspedisi Fuwei kami. Hutang atas darah ini sekarang juga
harus kau bayar.”
Yu Canghai bertambah gusar dan
membentak, “Putraku juga mati di tanganmu, binatang! Andaikan kau tidak
mencariku, maka aku yang akan mencarimu dan mencincangmu sampai hancur luluh.
Dasar anjing kecil, apa kau kira berlindung di bawah kolong Perguruan Huashan
lantas bisa menyelamatkan jiwamu?” Usai berkata demikian ia lantas mencabut
pedangnya. Meskipun tubuhnya pendek namun pedangnya sangat panjang dan tampak
berkilat-kilat diterpa sinar bulan purnama.
Melihat itu, para murid
Henshan berpikir, “Pendeta pendek ini sudah lama terkenal di dunia persilatan.
Ternyata nama besarnya bukan omong kosong.”
Lin Pingzhi sendiri tidak
mengeluarkan senjatanya, namun maju dua langkah sehingga jaraknya dengan Yu
Canghai hanya tinggal dua-tiga meter saja. Dengan kepala agak miring, ia pun
melotot ke arah pendeta berbadan pendek itu.
Sungguh gusar hati Yu Canghai
melihat lawannya belum juga melolos senjata. Ia berpikir, “Berani sekali kau
memandang rendah kepadaku? Huh, aku tinggal menggunakan Jurus Naga Terbang dari
Telaga Hijau, maka paling tidak perutmu hingga ke tenggorokan akan robek
membentuk mulut baru. Yang jadi masalah, kau terhitung angkatan muda, sehingga
tidak pantas jika aku menyerang lebih dulu.” Maka ia pun membentak, “Hayo,
keluarkan pedangmu!”
Sambil berteriak demikian, Yu
Canghai tampak bersiap-siap pula. Rencananya, begitu Lin Pingzhi menyentuh
gagang pedang dan menariknya, maka ia akan mendahului membedah perut pemuda itu
dengan segera. Dengan demikian, murid-murid Henshan hanya akan memuji kecepatan
pedangnya, tetapi tidak akan memakinya berbuat licik.
Melihat gelagat seperti itu,
Linghu Chong segera berteriak memperingatkan Lin Pingzhi, “Awas, Adik Lin, dia
akan menusuk perutmu!”
Namun Lin Pingzhi hanya
tertawa dingin. Tiba-tiba saja ia menerjang ke depan, dan hanya dalam waktu
sekejap jaraknya dengan Yu Canghai hanya tinggal beberapa senti saja. Begitu
dekat jarak mereka sehingga hidung masing-masing nyaris saling bersentuhan.
Gerakan Lin Pingzhi ini sama
sekali tidak terduga sebelumnya. Betapa cepat dan ringan tubuhnya sukar untuk
dilukiskan. Karena terjangan Lin Pingzhi yang tiba-tiba merapat dengan cepat,
kedua tangan dan pedang yang dipegang Yu Canghai sekarang justru berada di
belakang punggung pemuda itu.
Tentu saja Yu Canghai tidak
dapat membelokkan pedangnya untuk menusuk punggung Lin Pingzhi. Pada saat itu
kedua tangan Lin Pingzhi juga telah bekerja. Tangan kirinya mencengkeram bahu
Yu Canghai, sedangkan tangan kanannya menekan ulu hati pendeta pendek itu.
Seketika Yu Canghai merasa titik Jianjing di bahunya lemas dan linu, serta
lengan kanan pun lumpuh tak bertenaga, sehingga pedangnya terlepas dari
genggaman. Hanya sekali gebrak saja Lin Pingzhi sudah menguasai lawan.
Gerakannya yang aneh terlihat sama persis dengan gaya serangan Yue Buqun
sewaktu mengalahkan Zuo Lengchan tadi sore.
“Dongfang Bubai!” tanpa terasa
Linghu Chong dan Ren Yingying saling pandang dan mengucap bersama. Sorot mata
mereka sama-sama memancarkan rasa terkejut dan bingung luar biasa, karena jurus
yang dipakai Lin Pingzhi ini jelas-jelas sama persis dengan ilmu silat yang
digunakan Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari.
Sepertinya Lin Pingzhi tidak
mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya yang menekan ulu hati lawan. Di
bawah sinar rembulan tampak sorot mata Yu Canghai memancarkan rasa takut luar
biasa. Lin Pingzhi sangat senang melihat musuh bebuyutannya itu telah jatuh ke
tangannya hanya dalam sekali gebrak. Namun, ia merasa apabila Yu Canghai
langsung dibunuh begitu saja tentu tidak akan setimpal dengan dosa-dosanya.
Pada saat itulah dari jauh
terdengar suara Yue Lingshan memanggil-manggil, “Adik Ping, Adik Ping! Ayah
menyuruhmu untuk mengampuninya malam ini!” Sambil berseru ia pun berlari-lari
menuju ke puncak.
Sesampainya di atas, Yue
Lingshan tertegun ngeri ketika tiba-tiba melihat Lin Pingzhi berdiri berhadapan
dengan Yu Canghai dalam jarak begitu dekat. Dengan khawatir ia pun memburu
maju, namun seketika menjadi lega setelah melihat sebelah tangan Lin Pingzhi
sedang mencengkeram titik penting di bahu Yu Canghai, sedangkan tangan yang
lain menekan di depan dada musuhnya itu.
“Ayah berkata, bagaimanapun
juga hari ini Pendeta Yu adalah tamu kita. Janganlah kita membuat susah
kepadanya,” lanjut Yue Lingshan pula.
Lin Pingzhi hanya mendengus.
Tangan kirinya yang mencengkeram titik di bahu Yu Canghai itu mencengkeram
lebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.
Yu Canghai bertambah kesakitan
dan merasa linu pada bahunya itu. Namun, ia lantas dapat mengukur ternyata
tenaga dalam pemuda itu hanya sedemikian saja. Yang menjadi masalah baginya
adalah saat ini bahunya itu sedang kesakitan dan tidak dapat berkutik karena
dicengkeram Lin Pingzhi. Kalau tidak, ia pasti bisa melawan dengan tenaga dalam
yang jauh lebih kuat. Seketika hatinya menjadi gemas bercampur kecewa, karena
tertangkap oleh musuh yang ilmu silatnya jauh lebih rendah. Bahkan, jika
seandainya Lin Pingzhi berlatih sepuluh tahun lagi juga tetap bukan
tandingannya.
Begitulah, hanya karena
sedikit lengah saja Yu Canghai dapat dibekuk lebih dulu. Hancur sudah nama
baiknya selama ini, bahkan kemungkinan besar Lin Pingzhi tidak peduli pada
perintah Yue Buqun karena sudah sedemikian berhasrat ingin membalas dendam
dendam atas kematian ayah dan ibunya.
Terdengar Yue Lingshan
melanjutkan, “Ayah menyuruhmu mengampuni jiwanya hari ini. Untuk menuntut balas
bisa dilakukan lain waktu. Tak perlu khawatir dia bisa terbang ke langit.”
Mendadak Lin Pingzhi
mengangkat tangan kirinya, kemudian menampar pipi Yu Canghai dua kali. Sungguh
gusar hati Yu Canghai tidak kepalang. Namun apa daya, tangan kanan pemuda itu
masih menekan ulu hatinya. Meskipun tenaga dalam Lin Pingzhi tidak seberapa,
tapi dengan sedikit menambah kekuatan saja sudah cukup untuk membuat jantungnya
tergetar pecah. Bila langsung mati rasanya tidak terlalu mengerikan. Yang
membuat Yu Canghai khawatir adalah tenaga dalam Lin Pingzhi yang tanggung itu
hanya membuat dirinya setengah mati dan setengah hidup. Lantaran berpikir
demikian, Yu Canghai pun tidak berani meronta sama sekali.
Setelah menampar dua kali, Lin
Pingzhi tertawa panjang sambil melompat mundur beberapa meter jauhnya. Ia
kemudian memiringkan wajah dan melotot ke arah Yu Canghai, sedang mulutnya
tidak bersuara lagi.
Sebenarnya Yu Canghai
bermaksud melabrak musuhnya itu. Namun, mengingat dalam sekali gebrak saja
dirinya sudah dapat dibekuk oleh angkatan muda, serta kejadian ini juga
disaksikan banyak orang, mau tidak mau ia harus mengurungkan niatnya tersebut.
Kalau sekarang dirinya melakukan serangan lagi, ini jauh lebih memalukan
daripada kalah dalam sebuah pertarungan. Cara rendah seperti ini bagaimanapun
juga tidak boleh dilakukannya.
Di lain pihak, Lin Pingzhi
terlihat hanya mendengus, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa
memedulikan sang istri. Yue Lingshan membanting kaki mencerminkan hatinya yang
sangat kesal. Sekilas ia melihat Linghu Chong duduk di pinggir Panggung
Fengshan. Segera ia pun melangkah mendekat dan menyapa, “Kakak Pertama, apakah
lukamu sudah … sudah lebih baik?”
“Aku … aku ….” begitu melihat
sang adik kecil, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang sehingga
mulutnya sukar berbicara.
“Jangan khawatir, dia tidak
akan mati!” sahut Yihe ketus.
Yue Lingshan pura-pura tidak
mendengar ucapan itu. Matanya memandang Linghu Chong sambil berkata lirih,
“Ketika pedangku terlempar, tanpa sengaja ... aku telah melukaimu.”
“Ya,” jawab Linghu Chong.
“Tentu saja aku tahu ... tentu aku tahu ... tentu aku tahu ….” Biasanya ia
selalu periang namun kini di hadapan sang adik kecil seketika menjadi salah
tingkah dan tergagap-gagap. Ia seperti orang bodoh yang mengulangi tiga kali
perkataannya, namun sama sekali tidak paham apa yang sedang ia bicarakan.
“Lukamu sangat parah. Aku
benar-benar meminta maaf. Tapi tolong, jangan dendam kepadaku,” ujar Yue
Lingshan memohon.
“Tidak mungkin ... tidak
mungkin aku menyalahkanmu,” jawab Linghu Chong seketika.
Yue Lingshan menghirup napas
panjang, kemudian wajahnya menunduk. Perlahan ia berkata, “Aku pergi dulu.”
“Kau sudah mau pergi?” sahut
Linghu Chong seperti kehilangan sesuatu.
Dengan kepala tetap menunduk,
perlahan-lahan Yue Lingshan melangkah pergi. Ketika hendak turun ke bawah,
tiba-tiba ia menoleh dan berkata, “Kakak Pertama, mengenai kedua kakak yang
diutus Perguruan Henshan dan yang sekarang masih tertahan di Gunung Huashan
akan segera kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami memang kurang
sopan. Untuk itu harap dimaafkan.”
“Ya, baik, baik!” sahut Linghu
Chong tergagap-gagap. Matanya terus memandang ke arah Yue Lingshan sampai sosok
adik kecilnya itu menghilang di balik bebatuan gunung. Seketika ia pun
terkenang saat-saat menjalani masa hukuman di Puncak Huashan dulu. Setiap hari
Yue Lingshan datang dan pergi mengantarkan makanan untuknya, dan ia selalu
memandangi kepergiannya seperti ini. Namun, pada akhirnya perasaan sang adik
kecil berpindah kepada Lin Pingzhi.
Tiba-tiba terdengar Yihe
mengejek, “Huh, di mana letak kebaikan perempuan seperti dia? Hatinya mendua
dan gampang beralih. Ia suka memperlakukan orang lain tanpa ketulusan.
Dibandingkan dengan Nona Besar Ren kita masih kalah jauh. Ia bahkan tidak
pantas menjadi tukang gosok sepatu Nona Besar Ren.”
Linghu Chong terkejut dan baru
sekarang ia teringat kalau Ren Yingying juga berada di tempat itu. Padahal, ia
tadi telah bersikap linglung saat berhadapan dengan Yue Lingshan. Seketika
wajah Linghu Chong menjadi merah. Perlahan-lahan ia melirik ke arah Ren
Yingying yang tampak bersandar pada dinding Panggung Fengshan dalam keadaan
mengantuk. Diam-diam ia berharap semoga gadis itu benar-benar tertidur sehingga
tidak menyaksikan kejadian-kejadian tadi. Namun, Ren Yingying seorang gadis
yang cerdik dan cermat, mana mungkin dalam keadaan seperti ini ia tertidur?
Linghu Chong merasa serbasalah
namun ia juga sadar tidak ada gunanya berbicara mengada-ada untuk menghibur
perasaan Ren Yingying. Benaknya pun bekerja mencari akal. Sungguh aneh, saat
menghadapi Yue Lingshan ia menjadi gugup, tapi saat menghadapi Ren Yingying
seketika pikirannya menjadi pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan,
maka cara yang paling baik adalah tidak berbicara apa-apa, tetapi mengalihkan
perhatian Ren Yingying ke urusan lain. Maka, perlahan-lahan Linghu Chong pun
menyandarkan dirinya pada dinding panggung, kemudian ia merintih perlahan
seakan-akan lukanya terbentur sesuatu dan kembali terasa sakit.
Benar juga, Ren Yingying
seketika menjadi khawatir. Gadis itu segera mendekat dan bertanya dengan suara
lirih, “Apakah lukamu kembali sakit?”
“Tidak apa, tidak apa,” sahut
Linghu Chong sambil memegangi tangan si nona. Ren Yingying bermaksud melepaskan
tangannya tapi genggaman Linghu Chong terasa sangat kencang. Khawatir kalau
gerak tangannya justru membuat luka Linghu Chong kambuh, terpaksa Ren Yingying
membiarkan tangannya digenggam erat-erat.
Rupanya Linghu Chong sangat
letih karena terlalu banyak kehilangan darah. Tidak lama kemudian ia pun
kembali tertidur pulas. Esok paginya ketika terbangun, ternyata sinar matahari
sudah memenuhi puncak pegunungan itu. Entah berapa lama ia tertidur, tak
seorang pun berani bersuara, apalagi membangunkannya. Ternyata tangan Ren
Yingying juga telah lepas dari genggamannya, namun sepasang mata gadis itu
tetap memandanginya dengan sorot penuh perhatian. Linghu Chong tersenyum
kepadanya, kemudian perlahan-lahan bangkit untuk duduk.
“Mari kita pulang ke Henshan
saja!” seru Linghu Chong.
Sementara itu, Tian Boguang
telah menyiapkan sebuah usungan kayu, lalu bersama dengan Biksu Bujie, mereka
menggotong tubuh Linghu Chong turun dari Puncak Songshan tersebut.
Ketika melewati halaman utama
markas Perguruan Songshan, tampak Yue Buqun dan beberapa murid berdiri di depan
pintu, sedangkan Ning Zhongze dan Yue Lingshan tidak ada di antara mereka.
Dengan muka berseri-seri, Yue Buqun tersenyum mengantarkan kepergian rombongan
Perguruan Henshan itu.
“Murid tidak dapat memberi
hormat kepada Guru, mohon dimaafkan” ujar Linghu Chong.
“Tidak perlu, tidak perlu,”
jawab Yue Buqun. “Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berbicara lebih
lanjut. Sebagai ketua Perguruan Lima Gunung, tidak ada yang dapat kuandalkan
selain dirimu. Mulai saat ini aku akan banyak membutuhkan bantuanmu.”
Linghu Chong tidak menjawab,
hanya bibirnya berusaha tersenyum untuk menanggapinya.
Rombongan Perguruan Henshan
itu kembali melanjutkan perjalanan turun gunung. Tian Boguang dan Biksu Bujie
mengusung sang ketua dengan langkah sangat cepat. Dalam sekejap saja mereka
sudah jauh meninggalkan Puncak Songshan tersebut. Sesampainya di kaki gunung
barulah mereka menyewa dua buah kereta keledai dan kemudian mempersilakan
Linghu Chong dan Ren Yingying masuk ke dalamnya. Masing-masing duduk dalam
kereta yang berbeda. Di dalam kereta itu, Ren Yingying melepas penyamarannya
dan kembali tampil sebagai wanita.
Ketika malam tiba sampailah mereka
di sebuah kota kecil. Di sana mereka melihat sebuah kedai minuman beratap bambu
yang penuh dengan tamu sedang beristirahat. Para tamu itu ternyata orang-orang
Perguruan Qingcheng, di mana Yu Canghai tampak berada di dalamnya.
Melihat kedatangan rombongan
orang-orang Henshan tersebut, raut muka Yu Canghai berubah seketika. Buru-buri
ia sengaja berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.
Karena di kota kecil itu tiada
kedai lain, terpaksa orang-orang Henshan pun mencari tempat duduk di teras rumah
penduduk di seberang jalan. Zheng E dan Qin Juan lantas masuk ke dalam kedai
untuk memesan beberapa poci teh hangat, terutama untuk Linghu Chong.
Tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda melaju dari kejauhan. Debu mengepul tinggi dan tak lama
kemudian terlihat dua orang penunggang melaju dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya di depan kedai, tiba-tiba keduanya menarik tali kendali untuk
menghentikan laju kuda masing-masing. Ternyata kedua penunggang yang datang itu
adalah pasangan suami-istri Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.
Lin Pingzhi pun berteriak, “Yu
Canghai, kau pasti sadar kalau aku tidak akan memberimu kesempatan untukmu
beristirahat. Mengapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?”
Linghu Chong yang masih duduk
di dalam kereta dapat mengenali suara itu. Ia pun bertanya, “Apakah Adik Lin
yang datang?”
Qin Juan yang duduk di
sampingnya sambil menghidangkan teh segera menyingkap tirai kereta agar Linghu
Chong dapat melihat ke luar. Tampak Yu Canghai duduk di atas bangku sedang
meneguk secangkir teh panas. Mula-mula ia berlagak tidak memperhatikan, dan
setelah isi cawannya habis barulah ia menjawab, “Hm, aku memang sedang
menunggumu di sini kalau-kalau kau ingin mengantarkan nyawa.”
“Baik!” sahut Lin Pingzhi.
Begitu kata itu terucapkan, tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan ia pun
melompat turun dari kudanya. Pedangnya menusuk sekali ke samping, kemudian ia
hinggap kembali ke atas punggung kudanya. Sekali menghentak, kudanya pun
kembali melaju kencang bersama Yue Lingshan. Tahu-tahu seorang murid Qingcheng
yang berdiri di tepi jalan sudah roboh terkulai. Darah segar pun menyembur
keluar dari dadanya.
Serangan Lin Pingzhi tadi
sungguh tak terduga sebelumnya. Sambil menjawab “baik” ia telah melolos pedang
dan melompat turun dari kuda, sepertinya hendak melabrak Yu Canghai. Hal ini
sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Perguruan Qingcheng itu, sebab ia tahu
kalau ilmu silat maupun tenaga dalam musuhnya ini sangat rendah. Diam-diam Yu
Canghai gembira. Ia yakin dalam sekali gebrak, tentu nyawa Lin Pingzhi akan
melayang di tangannya, sehingga rasa malu di depan Panggung Fengshan tadi malam
akan terbalas sudah. Apabila kelak Yue Buqun datang menuntut balas kepadanya
adalah urusan belakang, demikian pikirnya.
Sungguh tak disangka, serangan
Lin Pingzhi itu ternyata tidak ditujukan kepadanya, melainkan secara mendadak
berganti sasaran di tengah jalan. Dengan kecepatan luar biasa, tahu-tahu
seorang murid Qingcheng telah ditusuk mati olehnya, kemudian ia hinggap kembali
di atas punggung kudanya dan pergi begitu saja. Sungguh terkejut dan gusar
bukan kepalang perasaan Yu Canghai melihat itu semua. Dengan cepat ia bangkit
dari bangku untuk mengejar, namun laju kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan
terlalu cepat dan jarak mereka sudah sangat jauh.
Serangan Lin Pingzhi yang luar
biasa tadi membuat Linghu Chong tercengang juga. Ia pun merenung, “Kalau
serangan demikian tadi ditujukan kepadaku pada saat aku tidak memegang senjata,
mungkin aku juga tidak bisa menangkis dan mati konyol begitu saja.” Sebenarnya
Linghu Chong merasa ilmu pedangnya masih jauh di atas Lin Pingzhi, namun
menghadapi tipuan secepat tadi benar-benar membuatnya bingung dan kesulitan
mencari bagaimana cara mematahkan serangan tersebut.
Saat itu Yu Canghai sedang
mencaci maki sambil menunjuk-nunjuk Lin Pingzhi yang sudah pergi jauh
meninggalkan kepulan debu. Tentu saja caci makinya itu tak terdengar oleh
lawan. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Yu Canghai
berbalik lantas memaki orang-orang Henshan, “Kalian kawanan biksuni busuk! Pasti
kalian sudah tahu kalau bocah sial bermarga Lin itu mau datang. Maka, kalian
pun datang lebih dulu ke sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari, kalau
berani marilah kita saja yang bertempur!”
Yu Canghai yang biasanya penuh
perhitungan, kali ini tidak bisa mengendalikan amarah dan berani menantang
rombongan Perguruan Henshan. Padahal, jumlah orang-orang Henshan di tempat itu
jauh lebih banyak daripada pihak Qingcheng. Ditambah lagi di dalam rombongan
juga teradapat Biksu Bujie, Tian Boguang, Ren Yingying, dan Enam Dewa Lembah
Persik. Kalau benar-benar terjadi pertempuran jelas pihak Qingcheng akan kalah
telak.
Di antara murid-murid Henshan,
Yihe adalah yang paling berangasan. Segera ia pun melolos pedang dan menjawab,
“Kalau mau berkelahi, ayo maju saja! Siapa juga yang takut padamu?”
Untungnya Linghu Chong segera
mencegah, “Kakak Yihe, jangan hiraukan dia!”
Ren Yingying lantas berbisik
kepada Enam Dewa Lembah Persik. Secepat kilat Dewa Akar Persik, Dewa Daun
Persik, Dewa Dahan Persik, dan Dewa Bunga Persik melompat maju dan menubruk
seekor kuda yang tertambat di tepi kedai. Kuda itu adalah kuda tunggangan Yu
Canghai. Sekejap kemudian terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu tubuh kuda
itu telah robek menjadi empat bagian dengan isi perut berceceran dan darah
berhamburan.
Kuda tersebut berbadan tinggi
besar, tapi keempat orang tua aneh itu telah merobeknya menjadi empat potong
dengan tangan kosong. Masing-masing dari mereka menarik kaki kuda malang itu
keempat arah yang berlawanan. Betapa kuat tenaga mereka sungguh luar biasa.
Seketika murid-murid Qingcheng pun terkejut ngeri, bahkan murid-murid Henshan
juga merasa gemetar, sampai-sampai jantung mereka berdebar kencang.
Ren Yingying berkata, “Pendeta
Yu, orang bermarga Lin punya permusuhan denganmu, tapi kami tidak memihak
siapa-siapa dan hanya menonton di pinggir saja. Jangan lantas kau membawa-bawa
kami! Kalau kami benar-benar menjawab tantanganmu, maka kalian tidak mungkin
bisa menang. Sebaiknya kau tahu diri sedikit dan menghemat tenaga.”
Setelah menyaksikan betapa
cepat dan kuat keempat Dewa Lembah Persik tadi, seketika lagak angkuh Yu
Canghai berangsur lenyap. Pedangnya kembali disimpan dan ia pun berkata, “Jika
kita tidak saling mengganggu, maka kita bisa mengambil jalan masing-masing.
Silakan kalian jalan lebih dulu!”
“Itu tidak bisa. Kami harus
mengikuti kalian,” kata Ren Yingying.
“Mengapa?” Yu Canghai bertanya
dengan mengerutkan kening.
“Terus terang, ilmu pedang
orang bermarga Lin itu sungguh aneh. Kami jadi penasaran ingin melihatnya
secara jelas,” ujar Ren Yingying.
Linghu Chong terkesiap
mendengarnya. Apa yang dikatakan Ren Yingying ternyata sama persis dengan isi
hatinya. Begitu aneh ilmu pedang Lin Pingzhi sampai-sampai Sembilan Jurus
Pedang Dugu juga sukar untuk mematahkannya. Maka itu, ia ingin sekali
mengetahui secara rinci gerak ilmu pedang Lin Pingzhi tersebut sampai jelas.
Terdengar Yu Canghai menjawab,
“Kalau kau ingin tahu ilmu pedang bocah bermarga Lin itu, lantas ada hubungan
apa denganku?” Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup
sadar bahwa permusuhan antara dirinya dengan Keluarga Lin terlalu mendalam.
Tidak mungkin Lin Pingzhi akan puas hanya dengan membunuh satu-dua orang
muridnya saja. Tentu pemuda itu masih akan datang lagi untuk mencari perkara dengannya.
Di lain pihak, orang-orang Henshan justru ingin menonton bagaimana cara Lin
Pingzhi memainkan ilmu pedangnya untuk membunuh orang-orang Qingcheng satu per
satu.
Bagi kaum persilatan, apabila
melihat sebuah ilmu silat baru yang dahsyat tentu akan menimbulkan rasa
penasaran ingin melihatnya sampai tuntas. Ini memang suatu hal yang wajar.
Namun, cara orang-orang Henshan mengikuti rombongan Qingcheng seperti mengikuti
domba-domba yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, demi untuk
menyaksikan bagaimana cara si penjagal menyembelih, sungguh ini suatu perbuatan
yang terlalu menghina.
Yu Canghai gusar dan bermaksud
mencaci-maki Ren Yingying. Untung saja ia masih sanggup menguasai perasaan,
sehingga hanya mendengus sekali saja. Ia lantas berpikir, “Bocah bermarga Lin
itu menyerangku dua kali secara tiba-tiba. Apakah dia benar-benar memperoleh
kesaktian, atau jangan-jangan dia hanya mengandalkan tipu muslihat di saat aku
tidak siaga? Kalau benar demikian, baiklah, kalian orang-orang Henshan boleh mengikutiku
agar kalian bisa melihat dengan jelas bagaimana aku mencincang anjing kecil itu
hingga luluh.”
Usai berpikir demikian, ia pun
kembali ke dalam kedai untuk melanjutkan minum. Akan tetapi, mendadak poci teh
yang dipegangnya berbunyi, ternyata tutup poci itu tergetar oleh tangannya yang
gemetar. Padahal, tadi sewaktu Lin Pingzhi datang ia masih bisa minum dengan
tenang tanpa memedulikan kehadirannya. Namun kini ia hanya bisa bertanya-tanya
sendiri, “Mengapa tanganku gemetar? Mengapa tanganku gemetar?” Sekuat tenaga ia
berusaha menenangkan diri, namun suara getaran tutup poci itu tetap saja
terdengar oleh para murid.
Murid-murid Qingcheng mengira
tangan Sang Guru gemetar karena terlalu gusar menahan amarah, padahal saat ini
yang ada di lubuk hati Yu Canghai adalah perasaan takut luar biasa. Ia sadar
bahwa serangan Lin Pingzhi yang aneh dan cepat tadi kalau ditujukan kepadanya
tentu ia juga tidak mampu menangkisnya.
Usai minum, perasaan Yu
Canghai ternyata belum tenang juga. Segera ia memerintahkan beberapa muridnya
untuk mengubur mayat kawan mereka yang mati itu di hutan luar kota. Ia bersama
murid-murid yang lain lantas bermalam di halaman kedai makan tersebut. Melihat
adanya pertarungan dan pembunuhan tadi, penduduk setempat menjadi ketakutan dan
mereka pun menutup pintu masing-masing tidak berani keluar lagi.
Sementara itu, murid-murid
Henshan beristirahat di teras-teras rumah penduduk. Ren Yingying tetap berada
di dalam keretanya dan seperti menjaga jarak dengan Linghu Chong di kereta yang
lain. Meskipun semua orang telah mengetahui kisah cinta di antara mereka, namun
sifat Ren Yingying yang pemalu tetap saja tidak berkurang. Bahkan, ketika
murid-murid Henshan mengganti perban dan menambah obat pada luka Linghu Chong,
ia pura-pura tidak melihat dan memandang ke arah lain. Zheng E, Qin Juan, dan
yang lain mengenal watak putri ketua Sekte Iblis tersebut. Mereka pun
senantiasa memberitahukan perkembangan luka Linghu Chong, tetapi Ren Yingying
hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.
Linghu Chong sendiri tampak
sibuk memikirkan ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi tadi. Ia merasa jurus
serangan tersebut biasa-biasa saja, dan yang membuatnya istimewa hanyalah
kecepatannya yang luar biasa, serta sebelumnya juga tiada tanda-tanda akan ke
mana arah serangan itu menuju. Begitu serangan semacam itu dilancarkan, seorang
tokoh paling lihai sekalipun juga sukar untuk menahannya.
Dalam pertempuran di Tebing
Kayu Hitam tempo hari, senjata yang dipakai Dongfang Bubai hanya sebatang jarum
sulam saja, tapi Linghu Chong dan ketiga jago lainnya tidak mampu melawan.
Kalau dipikir secara cermat ternyata itu semua bukan karena tenaga dalam atau
jurus serangan Dongfang Bubai yang hebat, namun karena gerak-geriknya yang
secepat kilat. Setiap serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya,
sehingga selalu di luar perhitungan lawan.
Cara Lin Pingzhi membekuk Yu
Canghai tadi malam serta bagaimana ia membunuh seorang murid Qingcheng di kedai
barusan juga benar-benar mirip dengan ilmu silat Dongfang Bubai. Sementara itu,
cara Yue Buqun membutakan kedua mata Zuo Lengchan jelas juga menggunakan ilmu
silat yang sama. Karena Kitab Bunga Mentari yang dipelajari Dongfang Bubai
memiliki sumber yang sama dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis, maka ia pun
menyimpulkan bahwa ilmu aneh yang telah dipelajari mertua dan menantu itu pasti
Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut.
Berpikir sampai di sini ia
lantas menggeleng-geleng sendiri sambil menggumam, “Jurus Pedang Penakluk
Iblis? Jurus Pedang Penakluk Iblis? Huh, penakluk iblis yang bagaimana? Justru
ilmu ini sangat jahat bagaikan iblis.”
Ia kemudian berpikir lagi,
“Mungkin satu-satunya orang yang bisa menghadapi ilmu pedang aneh mereka
hanyalah Kakek Guru Feng seorang. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku
perlu berkunjung ke Gunung Huashan untuk meminta petunjuk kepada Beliau tentang
cara-cara mematahkan ilmu pedang yang aneh ini. Kakek Guru Feng memang
bersumpah tidak ingin bertemu orang-orang Huashan, tapi bukankah aku sudah
dikeluarkan dari sana?” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Dongfang Bubai
sudah mati, Yue Buqun adalah guruku, Lin Pingzhi adalah adik seperguruanku.
Mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat ini terhadapku, lalu
untuk apa aku harus mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka?” Membayangkan
itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu, sehingga tubuhnya pun gemetar. Segera
ia bangkit untuk duduk. Karena gerakannya mendadak, lukanya pun terasa sakit
kembali. Tanpa terasa ia merintih perlahan.
“Apakah kau ingin minum?”
sahut Qin Juan yang berdiri di samping keretanya.
“Tidak,” jawab Linghu Chong.
“Adik, tolong kau undang Nona Ren kemari.”
Qin Juan mengiakan kemudian
pergi. Tidak lama kemudian gadis belia itu kembali lagi dengan bersama Ren
Yingying yang langsung bertanya. “Ada masalah apa?”
“Tiba-tiba aku teringat
sesuatu,” jawab Linghu Chong. “Tempo hari ayahmu pernah bercerita telah
memberikan Kitab Bunga Mentari milik kalian kepada Dongfang Bubai. Waktu itu
aku mengira ilmu silat yang terdapat dalam Kitab Bunga Mentari itu tidak lebih
bagus daripada ilmu sakti yang dipelajari oleh ayahmu sendiri, sehingga ayahmu
sudi menurunkan kitab pusaka tersebut kepada Dongfang Bubai. Akan tetapi ….”
“Akan tetapi, ilmu silat
ayahku ternyata tidak sehebat Dongfang Bubai, bukan?” sahut Ren Yingying.
“Benar,” jawab Linghu Chong.
“Apa yang menjadi alasannya benar-benar tak kumengerti.”
Pada umumnya seorang jago
silat bila melihat sebuah kitab hebat tentu mustahil kalau tidak ingin
memilikinya sendiri. Seandainya ia tidak ingin mempelajarinya juga akan
diberikan kepada orang terdekat, misalnya kepada istri, anak, guru, murid, atau
kerabat lainnya. Akan tetapi, dalam hal ini Ren Woxing justru sengaja
memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai yang bukan siapa-siapa
baginya. Sungguh kejadian ini benar-benar lain daripada yang lain.
“Aku pun pernah bertanya
kepada Ayah tentang hal ini,” ujar Ren Yingying. “Ayah bilang, pertama, ilmu
silat yang tertera dalam kitab itu tidak boleh dipelajari dan kalau memaksakan
diri untuk mempelajarinya tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri.
Kedua, Ayah sendiri tidak tahu bahwa setelah berhasil mendalami Kitab Bunga
Mentari ternyata Dongfang Bubai menjadi sedemikian sakti melebihi dirinya.”
“Jadi, menurut Beliau, kitab
tersebut tidak boleh dipelajari? Kalau tidak boleh apa sebabnya?” sahut Linghu
Chong menegas.
Tiba-tiba raut muka Ren
Yingying berubah merah, kemudian ia menyahut, “Mengapa tidak boleh dipelajari,
aku sendiri juga tidak tahu.” Setelah diam sejenak, ia lalu menyambung, “Apa
baiknya kalau bernasib seperti Dongfang Bubai?”
Linghu Chong mendehem,
samar-samar dalam hatinya ia merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh Sang Guru
seolah sedang menuju ke arah yang sama dengan Dongfang Bubai. Kini, Yue Buqun
telah mengalahkan Zuo Lengchan dan menguasai Perguruan Lima Gunung. Linghu
Chong khawatir jangan-jangan gurunya kelak juga akan memanjakan diri dengan
sanjung puji menjijikkan seperti yang dilakukan orang-orang Sekte Iblis di
Tebing Kayu Hitam.
“Kau harus merawat lukamu
dengan tenang. Jangan berpikir macam-macam,” kata Ren Yingying menukas. “Aku
ingin tidur.”
“Silakan,” jawab Linghu Chong.
Ia kemudian menyingkap tirai kereta sehingga sinar rembulan yang lembut
menyoroti wajah Ren Yingying yang cantik itu. Seketika Linghu Chong merasa
sangat bersalah karena belum bisa membalas cinta gadis itu kepadanya.
Ren Yingying kemudian berkata,
“Baju yang dipakai Adik Lin-mu itu bermotif bunga-bunga.” Usai berkata demikian
ia lantas melangkah kembali menuju keretanya.
Seketika Linghu Chong merasa
heran dan berpikir, “Dia berkata baju Adik Lin bermotif bunga-bunga? Apa yang
aneh? Adik Lin baru saja menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai
baju-baju baru yang mewah. Dasar perempuan, bukannya memperhatikan ilmu pedang,
tapi malah melihat baju yang dipakai, sungguh lucu.” Sambil memejamkan mata ia
membayangkan keadaan Lin Pingzhi sewaktu melabrak Yu Canghai, namun baju motif
bunga bagaimana yang tadi dipakai pemuda itu sudah dilupakan olehnya.
Sampai tengah malam, tiba-tiba
dari jauh berkumandang suara derap laju kaki kuda. Dua sosok penunggang kuda
kembali datang. Linghu Chong lantas bangkit dari tidur dan menyingkap tirai
kereta. Dilihatnya murid-murid Henshan dan Qingcheng juga sudah bangun semua.
Murid-murid Henshan segera membagi diri ke dalam beberapa kelompok yang terdiri
atas tujuh orang, yang masing-masing kemudian membentuk Formasi Tujuh Pedang
untuk menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, murid-murid Qingcheng juga
sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Ada yang berjaga di tepi jalan, ada
pula yang bersandar pada tembok rumah. Keadaan mereka jauh lebih tegang dan
gelisah daripada murid-murid Henshan yang terlihat tenang.
Tak lama kemudian tampak dua
penunggang kuda datang mendekat dengan cepat. Di bawah sinar rembulan dapat
terlihat dengan jelas, bahwa yang datang itu tidak lain tidak bukan adalah Lin
Pingzhi dan Yue Lingshan.
Begitu mendekat, Lin Pingzhi
segera berteriak, “Yu Canghai, demi untuk menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis
milik keluarga kami, kau telah membunuh ayah dan ibuku. Sekarang biarlah aku
memperlihatkan ilmu pedang yang kau incar ini sejurus demi sejurus. Hendaknya
kau memperhatikan dengan seksama.” Ia lantas menahan kudanya, lalu melompat
turun. Sebilah pedang tampak tersandang di balik punggungnya. Dengan langkah
cepat ia lantas mendekati orang-orang Qingcheng.
Linghu Chong memperhatikan
semua yang terjadi. Tampak Lin Pingzhi mengenakan baju berwarna hijau kumala,
dengan ujung lengan bersulamkan motif bunga-bunga berwarna kuning emas.
Pinggiran baju tampak dilapisi dengan renda kuning pula, sementara pinggangnya
memakai sabuk berwarna kuning emas. Penampilannya begitu mewah. Menyaksikan itu
Linghu Chong berpikir, “Biasanya Adik Lin berpakaian sederhana, tapi sesudah
menjadi pengantin sifatnya lantas berubah seketika. Tapi aku juga tidak bisa
menyalahkan dia. Seorang pemuda tampan mendapatkan jodoh yang serasi sudah
tentu merasa gembira. Pantas kalau dia berdandan secakap mungkin.”
Kemarin malam ketika Lin
Pingzhi membekuk Yu Canghai dalam sekali gebrak di samping Panggung Fengshan,
lagaknya juga sama seperti saat ini. Sudah tentu pihak Qingcheng tidak mau
memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk mengulangi serangan yang licik
seperti itu. Maka, begitu Yu Canghai membentak memberikan perintah, seketika
empat orang muridnya pun menerjang maju dengan pedang terhunus. Dua pedang
menusuk ke arah dada Lin Pingzhi dari kiri dan kanan, sedangkan dua pedang yang
lain menebas ke arah sepasang kakinya pula.
Enam Dewa Lembah Persik ikut
khawatir melihatnya. Seketika mereka pun berteriak memperingatkan Lin Pingzhi,
“Awas, Nak!” seru tiga di antaranya, dan “Nak, awas!” seru tiga yang lain.
Tak disangka Lin Pingzhi tetap
tenang-tenang saja. Dengan kecepatan luar biasa mendadak kedua tangannya
menjulur ke depan, kemudian mengibas ke samping sehingga tangan kedua lawan
yang menusuk dadanya itu pun terdorong pula. Sekejap kemudian terdengarlah
suara jeritan ngeri empat orang. Dua di antara mereka seketika roboh terkulai,
sedangkan dua lainnya yang bermaksud menusuk dada Lin Pingzhi tedi berputar
balik karena tangan mereka terkena kibasan lengan pemuda itu. Akibatnya, mereka
pun saling menusuk perut teman sendiri.
“Itu tadi adalah jurus kedua
dan ketiga ilmu Pedang Penakluk Iblis. Apa kau sudah melihatnya dengan jelas?”
seru Lin Pingzhi. Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan hinggap di atas
kudanya, kemudian melaju pergi.
Orang-orang Qingcheng sampai
terkesima sehingga tiada seorang pun yang berangkat mengejar. Ketika mereka
memperhatikan kedua kawan yang masih berdiri, ternyata keduanya dalam posisi
saling tusuk perut sampai ke dada kawan dari bawah. Kedua kaki masing-masing
masih berdiri tegak, padahal sebenarnya mereka sudah kehilangan nyawa.
Cara Lin Pingzhi menjulurkan
tangan dan mengibas sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh
Linghu Chong. Hal itu membuatnya terkejut sekaligus kagum pula. “Sungguh bagus,
sungguh bagus. Yang ia lakukan tadi bukan ilmu silat tangan kosong, tetapi
sebuah ilmu pedang meski tanpa pedang di tangannya,” demikian ia berpikir.
Di bawah sinar bulan tampak
bayangan Yu Canghai yang pendek itu berdiri terkesima di samping keempat mayat
muridnya. Murid-murid Qingcheng berkeliling di sekitar Sang Guru, tapi dari
jarak yang agak jauh. Tiada seorang pun yang berani membuka suara.
Selang agak lama, Linghu Chong
kembali memandang ke luar kereta. Dilihatnya Yu Canghai masih tetap berdiri
tegak di tempat semula tanpa bergerak sedikit pun, sementara bayangannya sudah
bertambah panjang, pertanda sudah sekian lama ia termangu-mangu di situ. Sebagian
murid-murid Qingcheng juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah menyingkir
pergi, sebagian lagi sudah mengambil duduk. Namun Yu Canghai sendiri masih juga
berdiri kaku di situ.
Dalam hati Linghu Chong merasa
kasihan juga kepada Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng yang terkenal itu
ternyata kehabisan akal dan sama sekali tak berdaya menghadapi ajal di tangan
seorang lawan yang jauh lebih muda.
Karena sudah mengantuk, Linghu
Chong lantas memejamkan mata untuk tidur. Dalam lelapnya itu tiba-tiba terasa
keretanya seperti berguncang, menyusul terdengar suara bentakan sang kusir.
Ternyata hari sudah terang, sementara rombongan telah berangkat kembali.
Ia kemudian melongok keluar.
Dilihatnya pada jalan raya banyak orang berlalu lalang. Rombongan Perguruan
Qingcheng berjalan di depan. Ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki.
Memandangi bayangan mereka mau tidak mau ada perasaan haru yang sukar untuk
dikatakan, seolah-olah menyaksikan serombongan domba sedang digiring menuju
tempat pejagalan.
Kembali Linghu Chong berpikir,
“Mereka cukup sadar bahwa Lin Pingzhi pasti akan datang lagi. Mereka pun tahu
bahwa mereka sama sekali tidak sanggup untuk menghadapinya. Kalau mereka
melarikan diri dengan cara berpencar, maka itu berarti tamat sudah nama besar
Perguruan Qingcheng. Tapi kalau Lin Pingzhi sampai datang ke Gunung Qingcheng,
apakah di Kuil Angin Cemara tiada tokoh lagi yang sanggup melawannya?”
Menjelang tengah hari
sampailah rombongan dua perguruan itu di suatu kota agak besar. Rombongan
Qingcheng lantas memasuki sebuah rumah makan besar untuk makan minum sepuasnya
di dalam. Sementara itu, orang-orang Henshan hanya beristirahat di kedai
sederhana di depan rumah makan besar tersebut. Menyaksikan orang-orang
Qingcheng menikmati makan dan minum, para biksuni Henshan hanya terdiam. Mereka
sadar orang-orang Qingcheng sedang menghadapi maut. Maka, selagi masih hidup,
sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan sepuas-puasnya.
Sore harinya sampailah mereka
di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kembali Lin Pingzhi
dan Yue Lingshan memburu tiba.
Yihe bersuit menghentikan
rombongannya. Saat itu sinar matahari masih memancar terang. Tampak dua
penunggang kuda datang menyusur di tepi sungai. Sesudah dekat, Yue Lingshan
menahan kudanya, sedangkan Lin Pingzhi terus saja maju ke depan. Mendadak Yu
Canghai memberi tanda. Bersama murid-muridnya mereka lantas memutar tubuh dan
lari menyusur di tepi sungai.
“Yu Pendek, hendak lari ke
mana kau?” seru Lin Pingzhi sambil bergelak tawa. Segera ia pun memacu kudanya
mengejar.
Tiba-tiba Yu Canghai berbalik.
Secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lin Pingzhi. Sama sekali Lin
Pingzhi tidak menduga akan serangan lawan yang mendadak itu, namun dengan cepat
ia melolos pedangnya untuk menangkis. Susul-menyusul Yu Canghai melancarkan
serangan kilat. Mendadak ia melompat ke atas, dan di lain saat ia merendah ke
bawah. Tak disangka, seorang tua berusia enam puluhan masih juga lincah seperti
anak muda. Gerak pedangnya selalu mengambil posisi menyerang secara cepat.
Murid-murid Qingcheng segera mengelilingi kuda Lin Pingzhi dan ikut mengerubut
pula. Namun demikian, yang mereka serang adalah orangnya, dan jangan sampai
melukai kudanya.
Hanya mengikuti beberapa saat
saja Linghu Chong sudah tahu maksud dan tujuan Yu Canghai. Kehebatan Lin
Pingzhi terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan
sukar diduga. Sekarang pemuda itu berada di atas punggung kuda, dengan
sendirinya keunggulannya pun menjadi berkurang. Sebab, kalau mau menyerang ia
terpaksa harus mendoyongkan tubuhnya ke depan. Sambil menunggangi kuda tentu
tidak selincah kalau ia berdiri di atas kaki sendiri. Maka, murid-murid
Qingcheng pun sengaja mengepungnya di tengah agar ia tidak sempat turun dari
kudanya itu. Asalkan Lin Pingzhi tetap berada di atas kuda belum tentu ia mampu
melawan Yu Canghai.
Diam-diam Linghu Chong
mengakui kecerdikan ketua Perguruan Qingcheng itu. Cara yang ia gunakan
benar-benar cerdik. Kemudian ia memperhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan
Lin Pingzhi. Gerak perubahannya memang aneh dan bagus, namun Yu Canghai masih
dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa
pandangannya beralih ke arah Yue Lingshan yang berada di tempat agak jauh.
Seketika Linghu Chong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa murid
Qingcheng lainnya telah mengepung adik kecilnya itu dan sedang mendesaknya ke
tepi sungai.
Pada saat itu pula mendadak
terdengar kuda tunggangan Yue Lingshan meringkik dan berjingkrak sehingga
nyonya muda itu terbanting ke bawah. Rupanya perut kuda itu telah terkena
tusukan pedang. Dengan cepat Yue Lingshan melompat bangun sambil mengelak untuk
menghindari serangan seorang lawan. Namun, murid-murid Qingcheng itu terus
menyerangnya sekuat tenaga.
Enam murid Qingcheng ini
terhitung jago-jago pilihan. Linghu Chong dapat melihat Hou Renying dan Hong
Renxiong ada di antara mereka. Meskipun Yue Lingshan telah berhasil mempelajari
ilmu pedang yang terukir pada gua rahasia di Puncak Huashan dan telah
mengalahkan para ketua dari Perguruan Taishan dan Hengshan, namun ilmu pedang
lihai itu tidak ada gunanya jika menghadapi ilmu pedang Perguruan Qingcheng.
Lagipula, pada dasarnya Yue Lingshan hanya mempelajari gerakan-gerakan ilmu
pedang rahasia tersebut, dan belum benar-benar memahami intisarinya.
Linghu Chong dapat melihat
sang adik kecil tidak mampu melawan serangan murid-murid Qingcheng yang nekat
itu. Sementara ia khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang murid
Qingcheng yang sebelah lengannya tertebas buntung oleh Yue Lingshan yang
menggunakan jurus pedang Hengshan.
Linghu Chong merasa gembira
dan berharap orang-orang Qingcheng yang lain tentu akan ngeri dan mundur
teratur. Tak disangka, kelima orang yang lain tidak mundur selangkah pun,
bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang sudah buntung sebelah
lengannya tadi. Melihat lawan yang bermandi darah dengan serangan kalap laksana
kerbau gila itu, justru Yue Lingshan sendiri yang merasa ngeri. Ia pun terdesak
mundur. Tiba-tiba sebelah kakinya terpeleset karena menginjak batu kali
berlumut, dan seketika ia pun jatuh ke dalam air.
“Celaka!” Linghu Chong berseru
khawatir.
“Beginilah cara kita
menghadapi Dongfang Bubai tempo hari,” tiba-tiba terdengar suara Ren Yingying
menyahut.
Linghu Chong tidak sadar sejak
kapan gadis itu berada di sampingnya. Ucapan Ren Yingying memang tidak salah.
Pada pertempuran di Tebing Kayu Hitam tempo hari jelas-jelas ia dan ketiga
lainnya tidak sanggup melawan Dongfang Bubai. Untung saja waktu itu Ren
Yingying mengganti haluan dan menyerang Yang Lianting sehingga perhatian
Dongfang Bubai pun terbagi. Akhirnya, pendekar mahasakti itu menjadi lengah dan
binasa pula. Sekarang ini cara yang dipakai Yu Canghai memang mirip dengan
siasat Ren Yingying waktu itu. Tentu saja Yu Canghai tidak menyaksikan
bagaimana Linghu Chong dan Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai, namun pikirannya
yang cerdik membuatnya melakukan hal yang sama pada saat sedang terdesak oleh
lawan tangguh.
Linghu Chong menduga Lin
Pingzhi tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak
disangka, pemuda itu masih terus bertempur melawan Yu Canghai, sama sekali ia
tidak ambil pusing terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu.
Yue Lingshan sendiri segera
melompat bangun setelah tercebur ke dalam air dangkal tadi. Di lain pihak,
murid-murid Qingcheng juga menyadari bahwa hidup-mati perguruan mereka dan
keselamatan diri sendiri hanya tergantung pada pertempuran yang menentukan
sekarang ini. Maka, mereka pun bertempur dengan nekat dan mengerahkan segenap
kemampuan. Tiba-tiba murid yang buntung lengannya tadi telah membuang pedangnya
dan kemudian menjatuhkan diri untuk menggelinding ke arah Yue Lingshan. Segera
ia memeluk kaki nyonya muda itu dengan menariknya kencang-kencang.
“Adik Ping, lekas bantu aku,
lekas bantu aku!” seru Yue Lingshan khawatir.
“Yu Pendek ingin melihat
kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka biar dia melihat secara jelas agar
mati pun tidak penasaran,” kata Lin Pingzhi sambil menyerang lebih cepat
sehingga Yu Canghai hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh hebat Jurus
Pedang Penakluk Iblis yang dimainkan Lin Pingzhi itu. Meski sambil duduk di
atas kuda, namun pedangnya yang menari-nari sudah cukup untuk membuat Yu
Canghai terdesak kelabakan.
Yu Canghai pernah mempelajari
Ilmu Pedang Penakluk Iblis dari gurunya dan tidak melihat ada yang istimewa
pada jurus-jurus tersebut. Akan tetapi, jurus-jurus yang sederhana itu saat
berada di tangan Lin Pingzhi ternyata mengandung banyak gerak perubahan di
sana-sini yang membuatnya terdesak kewalahan dan hanya bisa berteriak-teriak
gusar. Harapan satu-satunya adalah menggetar jatuh pedang pemuda itu
menggunakan tenaga dalamnya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi, sejak jurus
pertama tadi Yu Canghai sama sekali tidak pernah adu senjata dengan Lin
Pingzhi. Sungguh cepat gerak pedang pemuda itu yang menerjang ke arahnya tanpa
bisa ditangkis sedikit pun.
“Hei, kau … kau ….” bentak
Linghu Chong gusar. Tadinya ia mengira Lin Pingzhi tidak mampu melepaskan diri
dari kepungan Yu Canghai dan murid-muridnya untuk menolong sang istri. Namun,
dari ucapannya itu terdengar jelas bahwa Lin Pingzhi sama sekali tidak
menghiraukan keadaan Yue Lingshan. Yang dianggapnya penting hanyalah bagaimana
mempermainkan Yu Canghai yang sudah tak berdaya sampai putus asa.
Sementara itu matahari sudah
mulai terbit. Linghu Chong dapat melihat bibir Lin Pingzhi menyeringai penuh
rasa gembira. Ia bagaikan seekor kucing yang berhasil menangkap tikus dan
mempermainkan mangsanya itu sebelum dibunuh. Padahal, seekor kucing saja tidak
mempermainkan mangsanya dengan penuh perasaan dendam dan kebencian sebagaimana
yang dilakukan Lin Pingzhi terhadap Yu Canghai itu.
“Adik Ping, Adik Ping, lekas
kemari tolong aku!” seru Yue Lingshan kembali memanggil suaminya. Suaranya
terdengar serak pertanda rasa takut dan ngeri di hatinya telah memuncak.
“Sebentar lagi aku datang! Kau
bertahanlah dulu! Aku harus menuntaskan semua Jurus Pedang Penakluk Iblis.
Sebenarnya antara keluargaku dengan Yu Pendek tidak ada permusuhan apa-apa. Dia
membantai keluargaku hanya karena ingin menguasai ilmu pedang leluhur kami.
Sekarang akan kuperagakan semua jurus keluargaku agar dia tidak mati penasaran.
Bagaimana menurutmu?” Ucapannya ini terdengar santai pertanda ia memang sama
sekali tidak peduli pada keselamatan sang istri. Pertanyaannya yang terakhir
pun bukan ditujukan kepada Yue Lingshan, tetapi kepada Yu Canghai. Karena Yu
Canghai tidak memahami maksud perkataannya itu, Lin Pingzhi pun menegas,
“Bagaimana menurutmu, Yu Pendek?”
Gerak serangan Lin Pingzhi ini
sungguh anggun dan gemulai, mirip dengan Jurus Pedang Gadis Kumala andalan Ning
Zhongze, istri Yue Buqun. Yang menjadi perbedaan ialah, gerak serangan Lin
Pingzhi ini memancarkan hawa jahat luar biasa.
Sebenarnya Linghu Chong ingin
sekali menyaksikan seluruh Jurus Pedang Penakluk Iblis dimainkan oleh Lin
Pingzhi sampai tuntas. Namun, di sisi lain ia mengkhawatirkan keadaan Yue
Lingshan yang sedang dalam bahaya itu. Maka, begitu mendengar Yue Lingshan
kembali berteriak-teriak minta tolong, ia pun tidak tahan lagi dan segera
berkata, “Kakak Yihe, Kakak Yiqing, tolong kalian membantu Nona Yue. Dia … dia
dalam bahaya!”
Yiqing menjawab, “Kita sudah
menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun juga. Rasanya tidak enak bila
kita ikut turun tangan.”
Kaum persilatan memang sangat
mengutamakan “pegang janji”. Seorang maling cabul seperti Tian Boguang saja
memegang perkataannya, apalagi para anggota perguruan lurus bersih ternama.
Mendengar jawaban Yiqing itu,
Linghu Chong merasa apa yang dikatakannya memang benar. Malam sebelumnya Yihe
sudah menyatakan dengan tegas kepada Yu Canghai bahwa Perguruan Henshan sama
sekali tidak akan membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu
Yue Lingshan, itu berarti merusak nama baik Perguruan Henshan. Menyadari hal
ini, Linghu Chong merasa sangat gelisah dan tak berdaya.
“Ini … ini .…” ujarnya semakin
cemas. Tiba-tiba ia berteriak, “Mana Biksu Bujie, Tian Boguang, dan Enam Dewa
Lembah Persik? Di mana mereka?”
Qin Juan menjawab, “Mereka semua
sudah pergi karena bosan melihat wajah Yu Canghai yang bermuram durja. Konon
Biksu Bujie mengajak mereka pergi mencari arak. Lagipula … mereka berdelapan
juga orang-orang Perguruan Henshan.”
Tiba-tiba Ren Yingying
melompat dengan kedua tangannya melolos sepasang pedang pendek dari balik
pinggang. “Hei, lihatlah dengan jelas! Aku adalah Ren Yingying, putri
kesayangan Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Aku bukan anggota Perguruan
Henshan. Kalian enam lelaki tak tahu malu mengeroyok seorang perempuan,
bagaimanapun juga membuatku sangat muak. Karena melihat ketidakadilan ini,
terpaksa Nona Ren harus ikut campur.”
Sungguh senang rasa hati
Linghu Chong melihat Ren Yingying telah maju ke sana. Karena menghela napas
lega, tiba-tiba lukanya kembali terasa sakit, dan ia pun jatuh terduduk di
dalam kereta.
Meskipun keenam murid
Qingcheng itu melihat kedatangan Ren Yingying, namun mereka seolah tidak peduli
dan terus saja menyerang Yue Lingshan secara kalap. Sebelumnya Yue Lingshan
telah terdesak mundur beberapa langkah. Tiba-tiba kakinya menginjak air sungai
sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, nyonya muda itu menjadi
gugup, permainan pedangnya pun ikut kacau. Pada saat itulah pundak kirinya
terasa sakit, rupanya sebilah pedang musuh berhasil menusuknya. Kesempatan itu
segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju untuk memeluk
kakinya seperti diceritakan tadi. Segera Yue Lingshan mengayun pedangnya untuk
membabat tepat mengenai punggung si buntung. Namun orang itu sudah nekat dan terus
saja merangkul dengan kencang. Sedikit pun ia tidak mau melepas pelukannya.
Yue Lingshan yang sangat cemas
membuat pandangannya menjadi gelap. “Apa aku akan mati di sini? Apa aku akan
mati seperti ini?” keluhnya gugup. Samar-samar dilihatnya Lin Pingzhi sedang
memainkan ilmu pedangnya yang hebat melawan Yu Canghai. Gerakannya sangat
teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus seakan-akan ingin memamerkan
ilmu pedang belaka. Terdesak oleh rasa kesal, hampir-hampir Yue Lingshan jatuh
lunglai. Untung saja tiba-tiba serangan musuh menjadi kendur, dua pedang mereka
pun terlempar ke atas, menyusul kemudian terdengar suara air mendebur. Rupanya
dua orang murid Qingcheng itu telah terjungkal ke dalam sungai.
Karena pikirannya sudah kacau,
Yue Lingshan juga ikut terbanting jatuh. Untungnya, Ren Yingying telah memutar
sepasang pedang pendeknya pula. Dalam beberapa jurus saja sisa tiga murid
Qingcheng juga telah berhasil dilukainya. Senjata mereka terlepas dari
pegangan, sehingga terpaksa para pengeroyok itu melarikan diri. Kemudian dengan
sekali tendang Ren Yingying membuat si lengan buntung terpental sehingga
rangkulannya pada kaki Yue Lingshan terlepas pula. Segera ia menarik bangun Yue
Lingshan yang sudah basah kuyup itu. Pakaian nyonya muda itu tampak berlumuran
darah, dan perlahan-lahan Ren Yingying memapahnya naik ke tepi sungai.
Sementara itu terdengar Lin
Pingzhi berseru, “Nah, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami
sudah kau lihat dengan jelas, bukan?” Menyusul sinar pedangnya lantas berkelebat.
Seketika seorang murid Qingcheng yang ikut mengerubut di samping kudanya pun
jatuh terguling. Kepalanya terbelah di antara kedua mata.
Yang baru saja roboh itu tidak
lain adalah Fang Renzhi, yang dulu berhasil menangkap Lin Zhennan suami-istri
dan menyerahkan mereka kepada Yu Canghai di Kota Hengshan. Terdengar Lin
Pingzhi berseru, “Fang Renzhi, kau manusia licik dan hina! Kematian seperti ini
terlalu enak bagimu.” Sekali menarik tali kendali, dengan cekatan kudanya pun
melompat melintasi mayat Fang Renzhi itu. Keadaan Yu Canghai sendiri sudah
sangat payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.
Lin Pingzhi memacu kudanya dan
ia melihat seorang murid Qingcheng yang dulu menyaksikan dirinya membunuh anak
Yu Canghai. “Kau pasti Jia Renda!” teriaknya kepada orang itu. Sejak tadi Jia
Renda yang terkenal berjiwa pengecut memilih untuk berada jauh dari amukan Lin
Pingzhi. Kini begitu melihat pemuda itu tiba-tiba memburunya, ia menjadi kalap
dan berniat melarikan diri. Namun, pedang Lin Pingzhi lebih dulu menusuk kaki
kanannya. Jia Renda pun terbanting jatuh di tanah. Lin Pingzhi bergelak tawa
seperti orang sinting. Ia lantas mengarahkan kudanya untuk menginjak-injak
tubuh pria itu. Seketika terdengar jeritan ngeri dan memilukan. Lin Pingzhi
terlihat semakin kesetanan. Ia membalikkan kudanya dan kembali menginjak-injak
tubuh Jia Renda. Suara jeritan pria itu semakin lama semakin pelan, dan
akhirnya tidak terdengar lagi untuk selamanya.
Lin Pingzhi lantas memacu
kudanya ke arah Yue Lingshan dan Ren Yingying. “Naik kemari!” serunya kepada
sang istri.
Namun, Yue Lingshan
memandangnya dengan penuh rasa benci. Ia kemudian berkata dengan gigi gemertak,
“Kau pergi sendiri saja.”
“Dan kau?” tanya Lin Pingzhi.
“Untuk apa kau mengurusi aku?”
jawab Yue Lingshan ketus.
Lin Pingzhi memandang sekejap
ke arah murid-murid Henshan, lalu tertawa sinis. Ia kemudian memacu kudanya dan
melarikan hewan tunggangannya itu secepat terbang.
Ren Yingying sama sekali tidak
menduga bahwa Lin Pingzhi akan bersikap sedingin itu terhadap istrinya. Padahal
mereka masih terhitung pengantin baru. “Nyonya Lin, silakan kau beristirahat ke
dalam keretaku saja,” katanya kemudian.
Kelopak mata Yue Lingshan
sudah penuh dengan air mata. Sedapat mungkin ia menahan agar air matanya tidak
sampai menetes keluar. Maka, dengan terbata-bata ia menjawab, “Aku … aku tidak
mau. Kenapa … kenapa kau menolong aku?”
“Bukan aku yang menolongmu,
tapi kakak pertamamu yang ingin menolong,” jawab Ren Yingying jujur.
Yue Lingshan merasa hatinya
sangat pilu. Tak tertahankan lagi air matanya pun menetes bercucuran. “Dapatkah
kau … me… meminjamkan seekor kuda padaku?” ujarnya kemudian.
“Baik,” jawab Ren Yingying
lalu pergi mengambil seekor kuda.
“Terima kasih banyak. Kau …
kau ….” kata Yue Lingshan lirih. Segera ia melompat dan hinggap di atas
punggung kuda itu kemudian memacunya kencang-kencang. Arah yang ditempuh
ternyata berlawanan dengan Lin Pingzhi. Sepertinya ia memutuskan untuk kembali
ke Gunung Songshan.
Yu Canghai juga heran melihat
kepergian Yue Lingshan itu, tapi sama sekali tidak mau menghalanginya. Dalam
hati ia berpikir, “Malam nanti atau esok tentu binatang bermarga Lin itu akan
datang lagi membunuh kami. Aku yakin dia hendak membunuh habis muridku satu per
satu agar tertinggal diriku sebatang kara. Habis itu barulah giliranku dikerjai
olehnya.”
Linghu Chong tidak tega
menyaksikan keadaan Yu Canghai yang mengenaskan itu. Kepada Yihe dan yang lain
ia pun berkata, “Marilah kita berangkat!”
Begitu kusir-kusir kereta
membentak dan melecutkan cambuknya, segera keledai-keledai pun menarik kereta
maju ke depan.
Linghu Chong terperanjat heran
ketika melihat Yue Lingshan ternyata menuju ke arah yang berlainan dengan
rombongannya. Sebenarnya ia ingin mengikuti arah yang ditempuh sang adik kecil,
namun keretanya ternyata berjalan menuju ke arah lain. Bimbang juga rasa
hatinya. Rasanya tidak enak untuk memerintahkan kereta berputar haluan, hanya
tirai bagian belakang saja yang disingkapnya untuk memandang ke luar. Namun,
bayangan Yue Lingshan sudah tidak tampak lagi. Seketika perasaannya sangat
tertekan. “Adik Kecil sudah terluka. Sendirian dia menuju ke sana. Apakah dia
akan baik-baik saja?”
Tiba-tiba terdengar Qin Juan
berkata di sampingnya, “Dia kembali ke Gunung Songshan. Dia tentu aman berada
di samping ayah-ibunya. Kakak Ketua tidak perlu khawatir.”
Agak lega hati Linghu Chong
mendengarnya. Ia pun mengiakan, kemudian berpikir, “Adik Qin sungguh cermat.
Dia selalu dapat menerka apa yang ada di pikiranku.”
Hari berikutnya ketika
matahari sudah berada di atas kepala, rombongan Perguruan Henshan itu berhenti
di sebuah kedai makan kecil. Sebenarnya tidak bisa dikatakan kedai makan, sebab
hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan. Gubuk-gubuk itu
tanpa dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang
sekadar tempat makan-minum orang yang berlalu-lalang. Maka, begitu dibanjiri
oleh rombongan Perguruan Henshan, seketika rumah makan itu kewalahan, kurang
beras dan kurang lauk. Untungnya rombongan ini membawa perbekalan yang cukup,
sampai alat-alat masak pun dibawa pula. Segera mereka menanak nasi dan memasak
sayur di samping gubuk-gubuk tersebut.
Terlalu lama duduk di dalam
kereta membuat Linghu Chong merasa jemu. Untung lukanya sudah lumayan pulih
setelah berkali-kali dibubuhi obat-obatan Perguruan Henshan yang mujarab. Zheng
E dan Qin Juan lantas memapahnya turun untuk kemudian duduk bersantai di dalam
gubuk. Matanya memandang ke timur dan hatinya berpikir, “Entah Adik Kecil akan
datang kemari atau tidak?”
Ia lantas melihat debu
mengepul tinggi dari jauh. Satu rombongan lagi sedang menuju ke tempat mereka.
Ternyata rombongan Perguruan Qingcheng yang tiba. Sesampainya di gubuk itu,
mereka juga berhenti untuk menanak nasi. Yu Canghai tampak duduk sendiri
menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.
Sepertinya Yu Canghai
menyadari ajalnya sudah dekat, sehingga ia merasa tidak perlu sirik dan
menghindari rombongan Perguruan Henshan lagi. “Hari ini aku paling-paling hanya
mati saja. Persetan apakah orang-orang Henshan menyaksikan bagaimana aku mati
atau tidak,” pikirnya dalam hati.
Benar juga, tak lama kemudian
dari arah barat terdengar suara derap kaki kuda. Tampak seorang pria muda
memacu kudanya makin mendekat dengan perlahan. Penunggang kuda itu memakai baju
sulam bunga-bunga, siapa lagi kalau bukan Lin Pingzhi?
Sesampainya di depan gubuk,
Lin Pingzhi lantas menghentikan kudanya. Orang-orang Qingcheng ternyata tidak
ambil pusing kepadanya, bahkan melirik saja tidak. Semuanya sibuk dengan
pekerjaan masing-masing. Yang menanak nasi tetap menanak nasi, yang minum tetap
enak-enak minum.
Hal ini benar-benar di luar
dugaan Lin Pingzhi. Segera ia bergelak tawa dan berkata, “Tidak peduli kalian
menyerang lebih dulu atau tidak, tapi aku akan tetap membunuh kalian semua.”
Usai berkata ia lantas melompat turun. Sekali menepuk pantat kuda, hewan itu
pun menyingkir mencari rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih terdapat
bangku yang kosong. Segera ia pun melangkah dan duduk di situ.
Begitu Lin Pingzhi memasuki
gubuk, Linghu Chong langsung mencium bau harum yang sangat menusuk hidung.
Ternyata bau harum tersebut berasal dari pakaian yang dikenakan pemuda itu.
Penampilannya sangat rapih dan rajin. Kopiah yang ia pakai juga dihiasi sebutir
batu zamrud, sementara jarinya memakai cincin bermata mirah delima, serta
sepatunya juga berhiaskan mutiara. Penampilan seperti ini jelas bukan lagi
dandanan kaum persilatan, tapi lebih mirip seorang majikan muda dari keluarga
hartawan kaya raya.
Menyaksikan itu Linghu Chong
termenung, “Keluarganya adalah pemilik Biro Ekspedisi Fuwei, sudah tentu sejak
kecil ia dibesarkan dalam lingkungan kaya raya. Sekian lamanya ia hidup
menderita di dunia persilatan, dan kini setelah mendapatkan kepandaian tinggi,
sungguh pantas kalau ia kembali menikmati kekayaan seperti dulu lagi.”
Kemudian tampak Lin Pingzhi
mengeluarkan selembar saputangan dari kain sutra berwarna putih bersih. Dengan
gaya anggun dan lembut ia mengusap wajahnya pelan-pelan, serta mengibaskan
lengan bajunya. Tingkah lakunya bagaikan seorang pemain sandiwara yang lemah
gemulai.
Setelah mengambil tempat
duduk, dengan acuh tak acuh Lin Pingzhi menyapa, “Saudara Linghu, bagaimana
keadaanmu?”
“Baik-baik saja,” sahut Linghu
Chong sambil mengangguk.
Lin Pingzhi lantas berpaling
ke arah musuh-musuhnya. Dilihatnya seorang murid Perguruan Qingcheng sedang
menuangkan teh hangat ke dalam cawan Yu Canghai. Tiba-tiba ia menegur dengan
suara keras, “Hei, kau ini bernama Yu Renhao, bukan? Dulu sewaktu terjadi
pembantaian di rumahku, kau ikut terlibat di sana. Huh, meskipun tubuhmu hancur
menjadi abu juga aku tetap mengenalmu.”
Yu Renhao memang terlibat
pembantaian para pegawai Biro Ekspedisi Fuwei di kantor pusat Kota Fuzhou. Ia
juga ikut menangkap ayah-ibu Lin Pingzhi bersama Fang Renzhi dan Jia Renda.
Kedua rekannya itu telah tewas tadi malam. Begitu mendengar teguran Lin
Pingzhi, ia langsung meletakkan poci teh di atas meja dengan keras, kemudian
berbalik dan mundur dua langkah sambil memegangi gagang pedang yang tergantung
di pinggangnya. “Aku memang Yu Renhao, kau mau apa?” Walaupun jawabannya kasar,
namun suaranya terdengar agak gemetar dan mukanya berubah pucat pula.
Lin Pingzhi tersenyum dan
berkata, “Ying Xiong Hao Jie, empat kesatria muda Perguruan Qingcheng. Kau ini
yang nomor tiga, tapi sama sekali tidak memancarkan wibawa kesatria. Hehe,
sungguh menggelikan.”
Ying Xiong Hao Jie adalah
singkatan dari nama keempat murid terhebat Perguruan Qingcheng. Mereka adalah
Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao, dan Luo Renjie. Di antara mereka, satu
orang telah tewas dibunuh Linghu Chong saat di Kota Hengshan dahulu, yaitu Luo
Renjie, sementara tiga yang lainnya saat ini berada di samping Yu Canghai.
Kembali Lin Pingzhi mengejek,
“Saudara Linghu itu pernah menyebut kalian sebagai empat binatang bodoh dari
Qingcheng. Huh, sebutan itu masih terlalu bagus untuk kalian. Padahal, kalau
menurut penilaianku, hehe, kalian bahkan lebih rendah daripada binatang.”
Yu Renhao bertambah gusar.
Wajahnya merah membara sementara tangannya semakin erat memegang gagang pedang,
namun tidak juga melolos keluar senjatanya itu.
Tiba-tiba dari arah timur
terdengar suara derap kaki kuda berlari. Tampak dua ekor kuda datang dengan
sangat cepat. Sesampainya di depan gubuk, penunggang yang berada di depan
lantas menghentikan kudanya. Begitu semua orang berpaling, segera terdengar
sebagian berseru kaget. Ternyata penunggang kuda yang berada di depan itu
seorang bungkuk bertubuh gemuk pendek. Ia tidak lain adalah Mu Gaofeng, Si
Bungkuk dari Utara. Sungguh tidak disangka-sangka, penunggang kuda yang di
belakang ternyata Yue Lingshan.
Melihat Yue Lingshan datang,
seketika dada Linghu Chong terasa hangat dan hatinya senang. Namun, dilihatnya
kedua tangan adik kecilnya itu tampak ditelikung ke belakang, dan tali kendali
kudanya juga dipegang oleh Mu Gaofeng. Jelas ia telah tertangkap dan ditawan
oleh pendekar bungkuk itu. Segera Linghu Chong bermaksud turun tangan, namun
lantas terpikir olehnya, “Suaminya berada di sini, untuk apa orang luar
sepertiku harus bertindak? Jika suaminya sudah tidak peduli barulah nanti aku
mencari akal untuk bisa menolongnya.”
Di lain pihak, Lin Pingzhi
ternyata senang bukan kepalang melihat kedatangan Mu Gaofeng. Ia berkata dalam
hati, “Orang bungkuk ini ikut menyiksa ayah-ibuku sampai meninggal. Sungguh tak
kusangka, hari ini dia datang sendiri mengantar nyawa kemari. Langit memang
mahaadil.”
Sementara itu, Mu Gaofeng
ternyata tidak mengenali Lin Pingzhi. Dahulu mereka memang pernah bertemu di
Kota Hengshan, tapi waktu itu Lin Pingzhi menyamar sebagai seorang bungkuk
dengan wajah ditutup koyo. Memang selanjutnya Mu Gaofeng dapat membongkar kalau
bungkuk tersebut adalah palsu, namun tetap saja ia tidak mengetahui bagaimana
wajah Lin Pingzhi yang sebenarnya.
Mu Gaofeng lantas berpaling
kepada Yue Lingshan dan berkata, “Karena ada teman sebanyak ini berkumpul di
sini, seharusnya kita juga berhenti untuk minum teh. Tapi kakekmu ini sedang
ada urusan penting. Untuk itu, marilah kita berangkat saja.” Diam-diam ia
merasa gentar melihat orang-orang Perguruan Henshan dan Qingcheng. Daripada
mereka turun tangan menolong Yue Lingshan, tentu lebih baik ia segera
menyingkir pergi. Maka ia pun membentak hendak melarikan kudanya kembali.
Rupanya kemarin sewaktu Yue
Lingshan terluka dan ingin kembali ke Gunung Songshan untuk bergabung dengan
ayah-ibunya, di tengah jalan ia disergap Mu Gaofeng. Si bungkuk ini menyimpan
dendam kepada Yue Buqun yang telah mengalahkannya saat adu tenaga dalam di Kota
Hengshan dulu. Kemudian didengarnya pula bahwa putra Lin Zhennan telah
bergabung dengan Perguruan Huashan, serta menjadi menantu Yue Buqun. Oleh
karena itu, ia pun menyimpulkan bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis pasti juga
jatuh ke tangan Yue Buqun.
Kebanyakan kaum Serikat Pedang
Lima Gunung tidak menyukai sifat buruk Mu Gaofeng, sehingga Zuo Lengchan pun
tidak mengundangnya dalam acara pendirian Perguruan Lima Gunung. Hal ini
membuat Mu Gaofeng sangat gusar dan merasa direndahkan. Diam-diam ia datang dan
bersembunyi di sekitar Gunung Songshan untuk mengganggu orang-orang kelima
perguruan yang turun gunung. Apabila yang lewat seorang guru atau murid
angkatan tua, ia memilih bersembunyi. Sebaliknya, jika yang melintas adalah
murid-murid muda, ia bermaksud menghajar mereka sebagai pelampiasan kebencian.
Akan tetapi, setelah acara berakhir, orang-orang kelima perguruan itu turun
gunung dalam kelompok-kelompok berjumlah belasan atau puluhan, sehingga si
bungkuk merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Maka, ketika melihat Yue
Lingshan berkuda sendirian menuju ke atas Gunung Songshan, Mu Gaofeng merasa
sangat kebetulan. Meskipun ilmu silat nyonya muda ini maju pesat, namun ia
tetap bukan tandingan Si Bungkuk dari Utara. Apalagi ia sendiri baru saja
terluka dan langsung disergap secara tiba-tiba oleh Mu Gaofeng, sehingga dapat
dengan mudah tertangkap oleh manusia bungkuk itu.
Yue Lingshan pun menggertaknya
dengan mengatakan bahwa dirinya adalah putri Yue Buqun. Di luar dugaan, Mu
Gaofeng justru bertambah senang. Otaknya langsung menyusun rencana hendak
menjadikan Yue Lingshan sebagai sandera untuk ditukar dengan Kitab Pedang
Penakluk Iblis. Tak disangka, dalam perjalanan menyembunyikan nyonya muda itu,
ia justru bertemu rombongan Perguruan Qingcheng dan Henshan.
Yue Lingshan sendiri berpikir
kalau dirinya sampai dibawa lari, maka tipis sudah harapannya untuk selamat.
Maka tanpa menghiraukan luka di bahunya, ia pun sengaja menjatuhkan diri ke
bawah kuda.
“Ada apa?” teriak Mu Gaofeng
sambil melompat turun dari kudanya dan mencengkeram punggung nyonya muda itu.
Linghu Chong mengira Lin Pingzhi
tentu takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Namun di luar
dugaan ternyata Lin Pingzhi tampak tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan
kipas kertas dengan gagang berwarna keemasan dari balik bajunya. Dengan gaya
anggun ia mengipasi diri sendiri perlahan-lahan. Padahal saat itu baru masuk
musim semi, bahkan salju di daerah utara belum mencair, jelas udara masih
terasa dingin. Sikapnya yang dibuat-buat itu menunjukkan bahwa Lin Pingzhi
sengaja ingin menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap apa yang sedang terjadi.
Sementara itu, Yue Lingshan
sudah dicengkeram bangun oleh Mu Gaofeng dan dinaikkan kembali ke atas kuda.
“Hati-hati jangan sampai jatuh lagi!” ujarnya. Rupanya ia tidak tahu kalau
tawanannya itu sengaja menjatuhkan diri. Ia sendiri lantas melompat ke atas
punggung kuda dan hinggap tepat di atas pelana, siap untuk melaju kembali.
“Orang bermarga Mu,” tiba-tiba
Lin Pingzhi menyapa, “di sini ada yang mengatakan bahwa ilmu silatmu sangat
rendah tak berharga. Apakah memang demikian adanya?”
Mu Gaofeng tercengang. Ia
melihat Lin Pingzhi duduk sendiri, tampaknya bukan orang Perguruan Qingcheng,
juga bukan orang Perguruan Henshan. Seketika ia menjadi ragu-ragu dan bertanya,
“Kau ini siapa?”
Lin Pingzhi tersenyum
menjawab, “Untuk apa kau tanya siapa diriku? Yang mengtatakan ilmu silatmu
rendah jelas-jelas bukan aku.”
“Siapa yang bilang?” tanya Mu
Gaofeng.
Lin Pingzhi melipat kipasnya
dan menunjuk ke arah Yu Canghai. “Yang bilang adalah Pendeta Yu dari Perguruan
Qingcheng ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan suatu jurus ilmu pedang yang
mahahebat di dunia. Kalau tidak salah namanya Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
Begitu mendengar nama “Jurus
Pedang Penakluk Iblis”, seketika semangat Mu Gaofeng langsung menyala.
Diliriknya Yu Canghai, tampak ketua Perguruan Qingcheng itu sedang
termenung-menung sambil memegangi sebuah cawan teh. Terhadap apa yang diucapkan
Lin Pingzhi tadi ia seperti tidak mendengar.
Seketika Mu Gaofeng menjadi
ragu-ragu dan bertanya, “Hai, Yu Pendek, selamat untukmu yang beruntung dapat
menyaksikan permainan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa yang kau lihat bukan
jurus palsu?”
“Sama sekali bukan palsu,”
jawab Yu Canghai. “Aku memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari
awal sampai akhir.”
Mu Gaofeng terkejut bercampur
senang. Dengan cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja
Yu Canghai lalu bertanya, “Kabarnya kitab pedang itu telah jatuh ke tangan Yue
Buqun dari Perguruan Huashan. Lantas bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?”
“Yang kulihat bukan kitab
pedang, tapi orang yang benar-benar mahir memainkan jurus tersebut,” sahut Yu
Canghai.
“Oh, ternyata demikian,” ujar
Mu Gaofeng. “Tapi Jurus Pedang Penakluk Iblis ada yang asli dan ada yang palsu.
Misalnya, Keluarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei di Fuzhou juga pernah
mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi siapa yang melihatnya pasti akan
rontok gigi karena terlalu banyak tertawa. Ilmu pedang yang mereka mainkan
ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat itu tentu yang
asli, bukan?”
“Aku sendiri juga tidak tahu
apakah asli atau palsu. Yang jelas orang yang mahir ilmu pedang ini adalah
keturunan Biro Ekspedisi Fuwei dari Kota Fuzhou juga,” jawab Yu Canghai.
Mu Gaofeng bergelak tawa
menjawab, “Hahaha. Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan,
sampai-sampai suatu ilmu pedang asli atau palsu pun kau tidak bisa membedakan.
Bukankah Lin Zhennan dari Biro Ekspedisi Fuwei itu sudah tewas di tanganmu?”
“Jurus Pedang Penakluk Iblis
yang dimainkannya itu asli atau palsu memang aku tidak bisa membedakannya,”
jawab Yu Canghai. “Pendekar Mu lebih pandai dan berpengalaman, tentu dapat
membedakannya.”
Mu Gaofeng sadar pendeta
pendek di depannya ini terhitung tokoh papan atas di dunia persilatan, baik itu
soal kepandaian ataupun wawasannya. Kini ia berkata demikian jelas mengandung
maksud yang dalam. Maka, Mu Gaofeng hanya menyeringai sambil memandang ke
sekeliling. Dilihatnya semua orang sedang memandang ke arahnya dengan sikap
yang aneh seakan-akan dirinya telah salah bicara. Dengan perasaan ragu terpaksa
ia berkata, “Kalau aku melihatnya sendiri, tentu dapat kubedakan mana yang asli
dan yang palsu.”
“Kalau Pendekar Mu ingin
melihat, aku rasa tidak susah. Orang yang mahir memainkan Jurus Pedang Penakluk
Iblis itu justru berada di sini,” kata Yu Canghai.
Seketika Mu Gaofeng terkesiap.
Sorot matanya kembali menatap orang-orang di sekelilingnya. Dilihatnya Lin
Pingzhi bersikap paling tak acuh. Segera ia pun bertanya, “Apakah pemuda ini
yang kau maksud?”
“Hebat, sungguh hebat! Aku
sangat kagum dengan pandangan Pendekar Mu yang tajam. Sekali pandang langsung
tahu,” kata Yu Canghai.
Baru sekarang Mu Gaofeng
mengamat-amati Lin Pingzhi dari ujung kaki sampai kepala. Dilihatnya penampilan
Lin Pingzhi sangat mewah, seperti dandanan seorang putra keluarga hartawan. Ia
berpikir, “Ucapan Yu Pendek itu tentu mengandung suatu tipu muslihat. Untuk apa
aku terlibat dalam perselisihan mereka? Paling baik aku lekas-lekas berangkat
saja. Asalkan Nona Yue ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Yue
Buqun takkan menebusnya dengan kitab pedang yang kuinginkan itu.”
Maka, dengan tertawa ia pun
berkata, “Hahaha, Yu Pendek, rupanya kau memang suka bercanda denganku. Tapi
hari ini Si Bungkuk sedang sibuk, terpaksa aku harus mohon diri lebih dulu.
Tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis itu apakah benar asli atau palsu tidak
penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa lagi.” Usai berkata, sekali
loncat tahu-tahu ia sudah hinggap kembali di atas punggung kudanya. Meski bungkuk
dan gemuk pula, tapi gerakannya itu sangat gesit dan lincah.