Jilid 21
"Bunuhlah murid durhaka
ini untuk membalaskan sakit hati ayah!” teriak Suma Lim mendadak sambil
menerjang ke depan, palunya lantas mengetuk kepala Cu Po-kun.
Tapi sekali mengegos dapatlah
Po-kun menghindar, menyusul ia pun balas menghantam dengan gurdinya.
"Murid murtad, kau masih
punya muka untuk menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay?” bentak si kakek she
Kiang. Berbareng gurdinya menikam leher Po-kun, sedang palu yang kecil itu
beruntun mengetuk tiga kali.
Karena dikeroyok tiga, Cu
Po-kun menjadi kerepotan, dalam sekejap saja ia sudah menghadapi ancamanancaman
maut. Suma Lim terlalu bernafsu hendak membalas sakit hati ayahnya, maka tipu
serangannya agak kasar, untuk mana Cu Po-kun masih dapat melawannya. Tapi kedua
kakek she Kiang dan Beng itu adalah tokoh tertua Jing-sia-pay, serangan mereka
penuh dengan tipu keji andalan Jing-sia-pay, setiap serangan mereka selalu
mengincar tempat berbahaya di badan Cu Po-kun.
Untungnya setiap serangan
ketiga orang itu sudah hafal bagi Cu Po-kun, ia dapat menduga bagaimana
serangan-serangan berikutnya, dengan demikian barulah ia sanggup satu lawan
tiga untuk sementara.
Setelah belasan jurus pula,
tiba-tiba hatinya merasa pedih, pikirnya, "Sesungguhnya Suma-suhu sangat
baik padaku, buktinya tiada suatu pun jurus serangan Suma-suheng dan kedua
Susiok itu yang tak diketahui olehku, jadi apa yang diajarkan padaku sudah
meliputi semua ilmu silat Jing-sia-pay yang ada, hal ini nyata tertampak dari
jurus serangan Suma-suheng bertiga sekarang, dalam keadaan demikian pasti
mereka mengerahkan segenap kepandaian untuk menyerang aku, tapi setiap tipu
sekarang mereka jelas sudah kukenal. Hal ini pun menandakan ilmu silat
Jing-sia-pay juga memang cuma sekian saja.”
Dan oleh karena rasa terima
kasihnya kepada budi sang guru, segera ia berteriak-teriak lagi,
"Suma-suhu sama sekali bukan aku yang mencelakainya ....”
Sedikit lengah itulah telah
memberi kesempatan kepada Suma Lim untuk menubruk maju. Senjata andalan
Jing-sia-pay sangat kecil dan pendek, dan di sinilah letak kelihaiannya dalam
pertarungan jarak dekat.
Sekali Suma Lim telah mendesak
maju, bila lawannya adalah dari golongan lain, itu berarti ia sudah menang
angin lebih dulu. Tapi kini lawannya adalah Cu Po-kun yang ilmu silatnya serupa
dengan dirinya, maka keuntungan bertarung dari jarak dekat ini berarti sama
diperoleh kedua pihak.
Di bawah cahaya lilin, sesaat
itu pandangan semua orang menjadi silau. Tertampak Suma Lim dan Cu Po-kun
berdua sama cepatnya, tangan mereka sama bergerak cepat, hanya dalam sekejap
saja mereka sudah saling gebrak 7-8 jurus. Tapi karena kedua orang sama paham
serangan masing-masing, maka setiap serangan lawan selalu dapat ditangkis atau
dihindar dengan tepat.
Dengan pertarungan Suma Lim
dan Cu Po-kun dari jarak dekat ini, seketika kelihatanlah di mana letak
kebagusan ilmu silat Jing-sia-pay. Keduanya didikan dari satu guru yang sama,
maka kepandaian masingmasing adalah serupa. Suma Lim menang muda dan tenaga
kuat, sebaliknya Cu Po-kun lebih berpengalaman dan lebih ulet. Maka dalam
pertarungan sengit ini semua orang cuma mendengar suara gemerantang dan
gemerencing yang ramai, tapi cara bagaimana mereka saling serang tidak terlihat
jelas lagi.
Melihat Suma Lim belum dapat
menundukkan lawannya, kedua kakek she Kiang dan Beng itu mendadak bersuit
berbareng, keduanya terus jatuhkan diri ke lantai dan mendadak menggelinding ke
depan untuk menyerang bagian bawah Cu Po-kun.
Pada umumnya orang yang biasa
menggunakan senjata pendek, kecuali kaum wanita, tentu mahir pula kepandaian
"Kun-te-tong” atau main bergelinding di tanah, dengan cara demikian,
terkadang musuh akan menjadi kelabakan.
Sebenarnya Po-kun juga paham
ilmu "Lui-kong-tio-ke-bong” atau beledek menyambar dari bawah tanah itu.
Tapi celakanya kedua tangannya harus dipakai melayani Suma Lim, dengan
sendirinya ia tidak sanggup menghadapi serangan kedua kakek, terpaksa ia hanya
bisa menghindar sambil berloncatan kian kemari.
Mendadak si kakek Kiang
mengetuk dengan palunya dari kiri ke kanan, sebaliknya gurdi si kakek Beng
menikam dari kiri. Terpaksa Po-kun hanya dapat menyerang salah seorang, ia ayun
sebelah kakinya untuk menendang iga kakek Beng.
Kesempatan itu disia-siakan si
kakek Kiang, ia menubruk lebih dekat, palu terus mengetuk. Pada saat yang sama
itulah palu Suma Lim juga menghantam jidat Cu Po-kun.
Dalam keadaan berbahaya itu,
Po-kun terpaksa menangkis serangan yang paling berbahaya, ia angkat palu
sendiri untuk menangkis serangan Suma Lim, "trang”, kedua palu saling
bentur hingga lelatu api meletik. Sebaliknya paha kiri Po-kun kena diketuk
mentah-mentah oleh si kakek Kiang.
Jangan kira palu sekecil itu
tiada berarti, tenaga hantamannya ternyata sangat lihai, saking sakitnya sampai
Cu Po-kun meringis, seketika ia tidak tahu apakah tulang kaki patah atau tidak,
tapi seluruh tenaganya ia pusatkan pada kaki lain yang masih kuat.
Sekali berhasil serangannya,
si kakek Kiang mendapat hati, kembali palunya menghantam untuk kedua kalinya.
Terpaksa Po-kun menangkis dengan palunya, "trang”, kedua palu saling
beradu lagi. Mendadak terdengar Po-kun menjerit kesakitan, kiranya kaki kiri
itu sekarang kena ditikam oleh gurdi si kakek Beng.
Dalam keadaan repot itu
sebenarnya Po-kun masih dapat menghindarkan tikaman gurdi si kakek Beng, tapi
ia pikir kalau serangan itu dielakkan, tentu akan memberi kesempatan kepada
kedua kakek Beng dan Kiang untuk membentuk jaring serangan Lui-kong-hong yang
lebih hebat dan tentu dirinya bisa celaka. Toh kaki kiri sudah kena ketuk dan
tidak diketahui patah atau tidak, maka biarlah tertikam lagi juga tidak menjadi
soal.
Dan karena tikaman yang cukup
dalam itu, seketika darah muncrat ketika ia loncat untuk menempur ketiga
lawannya itu, darah ikut berciprat ke mana-mana hingga dinding di sekitarnya
yang putih bersih itu penuh noda darah.
Melihat A Cu bersungut,
Giok-yan tahu kawannya itu kurang senang terhadap pertarungan orang-orang itu
hingga rumahnya yang indah bersih itu ikut menjadi kotor. Maka berkatalah
Giok-yan dengan tersenyum, "Hai, jangan kalian berkelahi lagi, ada urusan
apa boleh bicara secara baik-baik, mengapa mesti main hantam cara begini?”
Cu Po-kun ada maksud menuruti
keinginan Giok-yan itu, tapi di bawah keroyokan tiga orang, mana dia dapat
berhenti begitu saja?
Sebaliknya Suma Lim bertiga
sudah bertekad akan mematikan Cu Po-kun untuk membalas sakit hati ayahnya,
tentu saja mereka tidak mau gubris seruan si nona.
Melihat anjurannya tidak
dipedulikan orang, terutama pihak Suma Lim bertiga, maka Giok-yan berkata pula,
"Semuanya gara-gara ucapanku tentang ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ hingga
rahasia Cu-siangkong terbongkar. Tapi itu adalah salahku, maka kalian, hai,
Suma-siangkong, lekas kalian berhenti!”
"Sakit hati ayah masa
tidak boleh kubalas? Kenapa engkau ikut cerewet!” bentak Suma Lim gusar.
"Kalian mau berhenti atau
tidak? Jika tidak, awas, akan kubantu dia, lho!” kata Giok-yan.
Terkesiap juga Suma Lim oleh
ancaman gadis itu. Pikirnya, "Pandangan nona cantik sangat tajam dan jitu,
bila
ilmu silatnya juga sama
lihainya, sekali dia membantu lawan, tentu susah untuk menuntut balas.”
Tapi segera terpikir pula
olehnya, "Jago-jago pilihan Jing-sia-pay kami sudah dikerahkan ke sini,
paling-paling kami mengerubut maju sekaligus, masakah terhadap seorang nona
lemah-lembut seperti ini juga mesti takut?”
Karena itu, ia tidak gubris
lagi kepada Giok-yan, sebaliknya serangannya semakin gencar.
"Cu-siangkong,” kata
Giok-yan tiba-tiba kepada Po-kun, "gunakan jurus ‘Li Cun-hau-pak-hou-se’
(gaya Li Cun-hau menghajar harimau), kemudian pakai jurus ‘Thio
Ko-lau-to-ki-lo’ (Thio Ko-lau menunggang keledai dengan mungkur)!”
Cu Po-kun tercengang oleh petunjuk
si gadis. Ia tahu jurus pertama yang dikatakan itu adalah ilmu silat
Jingsia-pay, sebaliknya jurus kedua adalah Kungfu golongan Hong-lay-pay, kedua
jurus dari aliran yang tidak sama itu mana dapat dicampurbaurkan?
Namun demikian, dalam keadaan
kepepet, tiada waktu baginya untuk berpikir lebih jauh, segera ia mainkan jurus
‘Li Cun-hau-pak-hou-se’. Maka terdengarlah suara gemerantang dua kali, tepat
sekali berturut palunya dapat membentur palu Suma Lim dan si kakek Kiang yang
lagi dihantamkan ke arahnya. Menyusul tubuhnya berputar dan menyurut mundur
tiga tindak dengan terincang-incut dan tepat dapat menghindarkan serangan si
kakek Beng.
Padahal serangan berantai si
kakek Beng memakai palu dan gurdi sekaligus, sebenarnya sangat ganas dan sukar
dihindarkan lawan. Bahkan Yau Pek-tong dan jago-jago Cin-keh-ce yang menonton
di samping pun kebat-kebit berkhawatir bagi Cu Po-kun.
Siapa duga setelah Po-kun
membentur pergi palu-palunya Suma Lim dan si kakek Kiang, lalu sekali berputar
dengan gaya "Thio Ko-lau menunggang keledai terbalik”, beruntun-runtun ia
sudah lolos dari ancaman si kakek Beng yang lihai itu. Saking terpesona dan
kagumnya sampai jago-jago Cin-keh-ce ikut bersorak-sorai oleh ketangkasan Cu
Po-kun itu.
Memangnya wajah orang-orang
Jing-sia-pay selalu kaku membesi, kini mereka tambah merengut lagi.
Sebaliknya Toan Ki lantas ikut
bersorak-sorak juga, "Bagus, bagus! Apa yang dikatakan Ong-siocia
lakukanlah menurut perintahnya, tanggung takkan merugikan engkau.”
Waktu Cu Po-kun menghindari
serangan berantai lawan dengan gaya "Thio Ko-lau menunggang keledai
terbalik” tadi, sebenarnya
saat itu ia sendiri merasa bingung, yang terpikir olehnya cuma pasrah nasib
belaka, baik mati maupun hidup masa bodoh.
Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa ilmu silat dari Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay yang berlawanan itu
satusama lain dapat digunakan bersama. Keruan yang paling terperanjat adalah
dia sendiri daripada orang-orang Cin-keh-ce dan Jing-sia-pay.
Dalam pada itu terdengar
Giok-yan telah berkata pula, "Sekarang gunakanlah jurus ‘Han
Siang-cu-swat-yonglam-koan’ (Han Siang-cu memeluk Lam Koan di bawah salju),
lalu mainkan jurus ‘Kok-keng-thong-yu-se’ (sikut ditekuk menjulur perlahan).”
Cu Po-kun tahu jurus-jurus itu
kebalikan daripada jurus duluan tadi, sekarang jurus ilmu silat Hong-lay-pay
dimainkan lebih dulu, menyusul barulah Kungfu Jing-sia-pay. Tanpa pikir segera
ia menurut, ia siapkan palu dan gurdinya di depan dada. Dan pada saat itulah
gurdi si kakek Beng dan Suma Lim telah menikam berbareng ke arahnya.
Gerakan ketiga orang
sebenarnya dilakukan pada saat yang sama, tapi bagi penonton menjadi seperti Cu
Pokun berjaga rapat pada saat sebelumnya, sebaliknya Suma Lim dan si kakek Beng
kelihatan menjadi bodoh benar, sudah tahu lawan telah menjaga diri dengan rapat
toh mereka masih tetap menyerang. Maka terdengarlah suara gemerencing yang
nyaring, kedua gurdi mereka membentur palu Cu Po-kun hingga terpental ke
samping.
Tanpa pikir Po-kun terus mendak
tubuh, gurdinya ikut menikam miring dari samping. Saat itu si kakek Kiang
kebetulan sedang hendak menyerang bagian belakang Cu Po-kun, sama sekali tak
terpikir olehnya bahwa gurdi lawan bisa muncul dari arah yang tak terduga itu.
Karena itulah si kakek Kiang
menjadi seperti orang hendak membunuh diri saja, dengan cepat tubuhnya
disodorkan ke ujung gurdi lawan, tahu juga dia keadaan yang runyam tapi untuk
menghindar sudah telat.
"Cret”, tanpa ampun lagi
pinggangnya tertusuk gurdi hingga darah bercucuran bagai mata air.
Kakek Kiang terhuyung hingga
akhirnya roboh terkulai. Cepat dua orang Jing-sia-pay memburu maju untuk
memayangnya ke pinggir.
"Keparat Cu Po-kun,
dengan tanganmu sendiri kau lukai Kiang-susiok, apa sekarang kau masih berani
menyangkal?” bentak Suma Lim dengan gusar.
"Bukan salahnya, akulah
yang suruh dia melukai Kiang-siansing itu,” sela Giok-yan tiba-tiba.
"Sudahlah, lekas kalian berhenti saja!
"Jika kau mampu, suruhlah
dia membunuh diriku!” teriak Suma Lim murka.
"Apa susahnya untuk itu?”
ujar Giok-yan dengan tersenyum. "Cu-siangkong, boleh gunakan jurus
‘Tiat-koayli-gwat-he-ke-tong-ting’ (Tiat-koay-li menyeberang danau Tong-ting di
bawah sinar bulan purnama), kemudian gunakan jurus
‘Tiat-koay-li-giok-tong-lun-to’ (Tiat-koay-li berkhotbah di gua Giok)!”
Cu Po-kun mengiakan saja
petunjuk Giok-yan itu, tapi diam-diam ia berpikir, "Di dalam ilmu silat
Hong-laypay kami yang ada cuma ‘Lu Sun-yang-gwat-he-ko-tong-ting’ dan
‘Han-ciong-li-giok-tong-lun-to’, mengapa Lu Sun-yang dan Han-ciong-li disebut
sebagai Tiat-koay-li oleh si nona ini? Ah, tentu karena pengetahuannya akan
ilmu silat Hong-lay-pay kami terbatas, maka salah ucap!”
Akan tetapi Suma Lim dan si
kakek Beng tidak memberi kesempatan padanya bertanya atau minta penjelasan pada
si gadis, terpaksa Po-kun mainkan menurut gaya yang dipahaminya, segera ia
mainkan jurus "Lu Sunyang menyeberang danau Tong-ting di bawah sinar bulan
purnama”, jadi bukan lagi Tiat-koay-li seperti yang dikatakan Giok-yan itu.
Lu Sun-yang atau Lu Tong-ping,
Han Ciong-li dan serta Han Siang-cu seperti apa yang disebut Giok-yan itu
adalah nama dewa di antara Pat-sian atau Delapan Dewa.
Tiat-koay-li adalah dewa
pincang yang bertongkat, sebaliknya Lu Sun-yang itu gagah bergas. Maka jurus
menyeberang danau itu seharusnya dilakukan Lu Sun-yang dengan langkah lebar,
gayanya indah dan cepat bagai terbang.
Tapi karena kaki kiri Cu
Po-kun terluka dua kali, ketika hendak melangkah lebar, tanpa terasa menjadi
berincang-incut, dengan sendirinya bukan lagi gaya Lu Sun-yang yang gagah, tapi
mirip benar dengan gaya jalan Tiat-koay-li yang pincang itu.
Dan dengan berjalan pincang
itu ada manfaatnya juga bagi si pincang, sebab serangan Suma Lim dan si kakek
Beng buktinya meleset semua.
Menyusul Po-kun mainkan jurus
"Han Ciong-li-giok-tong-lun-to”. Han Ciong-li adalah dewa yang selalu
membawa kipas dan berbadan kekar kuat. Tapi karena kakinya pincang kembali
Po-kun berincang-incut miring
ke kiri, sedangkan palu di
tangan kanan mengebas dengan gaya seperti sedang mengipas.
Kebetulan sekali saat itu
kepala si kakek Beng sedang menyelonong ke arahnya, keruan kepala kakak itu
menjadi seperti sengaja disodorkan. Tanpa ampun lagi "prak”, mulutnya
tepat kena terketok oleh palu, kontan saja belasan giginya rontok, saking
kesakitan sampai si kakek Beng berteriak-teriak dan melonjak-lonjak, ia buang
senjatanya dan duduk di lantai sambil memegangi mulutnya yang kini menjadi
ompong itu.
Keruan Suma Lim ketakutan,
seketika ia menjadi bingung apa mesti bertempur terus atau berhenti saja untuk
mencari jalan lain menuntut balas di kemudian hari.
Hendaklah diketahui bahwa
kedua jurus yang diajarkan Giok-yan kepada Cu Po-kun tadi sungguh teramat bagus
dan tepat. Sebelumnya si gadis sudah menaksir, setelah si kakek Beng menyerang
tiga kali tidak kena tentu akan menubruk ke samping Cu Po-kun, sebaliknya pada
saat itu palu Po-kun harus mengebas keluar hingga tepat akan mengetuk mulut
kakek itu. Sungguh cara menaksir Giok-yan itu boleh dikatakan dapat mengetahui
apa yang bakal terjadi, seakan-akan cara bagaimana ketiga orang itu akan saling
serang sudah dapat diketahui olehnya, betapa tepat dan jitu cara menaksirnya
itu sungguh sukar dibayangkan orang lain.
Biarpun Suma Lim sangat
bernafsu ingin menuntut balas sakit hati sang ayah, tapi ia bukan orang bodoh,
pikirnya, "Untuk bisa membunuh jahanam Cu Po-kun ini, si nona harus
dicegah agar jangan memberi petunjuk padanya.”
Dan sedang Suma Lim hendak
mencari akal untuk menghadapi Giok-yan, tiba-tiba terdengar si gadis berkata
pula, "Cu-siangkong, engkau adalah orang Hong-lay-pay yang menyelundup ke
dalam Jing-sia-pay dengan maksud tujuan jahat, inilah kesalahanmu yang tidak
pantas. Tapi gurumu Suma Wi besar kemungkinan bukan dibunuh olehnya, namun
engkau telah mencolong ilmu lain, betapa pun kau tetap berdosa, maka lekas kau
minta ampun kepada Ciangbun-suhengmu!”
Po-kun pikir apa yang dikatakan
si nona memang benar juga, apalagi dirinya telah menerima budi pertolongannya
jiwa diselamatkan dari beberapa jurus serangan yang mematikan tadi, apa yang
dianjurkan gadis itu tidaklah enak untuk dibantah. Maka dengus sungguh-sungguh
ia pun memberi hormat kepada Suma Lim sambil berkata, "Ciangbun-suheng,
harap maafkan ....”
"Kau masih ada muka untuk
memanggil Ciangbun-suheng padaku?” bentak Suma Lim gusar sambil mengelak ke
samping.
Sekonyong-konyong Giok-yan
berseru kepada Po-kun, "Lekas! ‘Go-yu-tang-hay’!”
Cu Po-kun terkesiap, tapi
seketika ia pun menurut, cepat ia mengapungkan diri ke atas setinggi dua meter
lebih, maka terdengarlah suara mendesis riuh, belasan batang jarum
Jing-hong-ciam menyambar lewat di bawah tapak kakinya. Selisih waktunya cuma
sekejap saja, sedetik Po-kun terlambat, pasti badannya sudah menjadi sarang
jarum musuh.
Untung pada saat yang tepat
Giok-yan berseru padanya agar menggunakan gerakan "Go-yu-tang-hay” atau
Berpiknik ke Lautan Timur. Coba bila gadis itu cuma memperingatkan, awas Am-gi,
mungkin Po-kun akan celingukan mengawasi gerak-gerik musuh, tak tersangka kalau
Jing-hong-ciam itu justru dihamburkan oleh Suma Lim dari dalam lengan baju yang
tidak tertampak dari luar, maka pasti akan celakalah Cu Po-kun.
Kiranya ilmu Am-gi atau
senjata gelap Suma Lim yang disebut "Siau-lay-kian-gun” atau Dunia
Tergenggam di Dalam Lengan Baju, kepandaian ini benar-benar semacam Kungfu khas
Jing-sia-pay yang cuma diturunkan kepada putra sendiri dan tidak kepada murid.
Hal ini memang sudah menjadi peraturan turun-temurun keluarga Suma, jangankan
Cu Po-kun tidak memperoleh pelajaran ilmu Am-gi itu, sekalipun si kakek Kiang
dan Beng pun tidak.
Cara menghamburkan
Jing-hong-ciam itu juga sangat luar biasa, yaitu dengan diam-diam menarik
jepretan dalam lengan baju. Sungguh di luar dugaan Suma Lim bahwa pada saat
terakhir itu Giok-yan sempat berseru kepada Cu Po-kun untuk menghindarkan
pembokongan itu dengan gerakan yang dapat menyelamatkan diri, yaitu dengan
gerakan tipu "Go-yu-tang-hay” dari Hong-lay-pay.
Serangan yang sudah dipastikan
akan mengenai sasarannya ternyata gagal pula, keruan Suma Lim semakin ketakutan
dan seperti ketemu hantu, ia berteriak-teriak, "Kau ... kau bukan manusia,
tapi ... setan, hantu!”
Dalam pada itu karena belasan
giginya rontok kena digampar oleh palu Cu Po-kun tadi, si kakek Beng sedang
terbatuk-batuk, sebab ada dua-tiga biji gigi rontok itu tertelan ke dalam
perut, dan karena keselak, hampir saja ia mati sesak napas.
Usia si kakek Beng sudah
lanjut, tapi matanya masih tajam, rambutnya hitam gilap, giginya juga masih
rajin, semua ini biasanya merupakan kebanggaannya di antara kaum sebaya. Siapa
duga giginya sekarang rontok sedemikian rupa.
Di zaman dahulu dengan
sendirinya tiada tukang gigi segala, apalagi dokter gigi. Maka bila kehilangan
sebuah gigi, itu berarti berkuranglah satu giginya yang tak dapat ditambal
lagi. Apalagi sekarang si kakek Beng benarbenar telah ompong seluruhnya, keruan
ia sangat menyesal dan murka pula, terus saja ia berteriak-teriak, "Kita
pegang dulu anak dara ini, pegang dulu anak dara ini!”
Tapi disiplin Jing-sia-pay
sangat keras, biarpun si kakek Beng sangat tinggi kedudukannya, tanpa perintah
Ciangbunjin sendiri, tiada
seorang pun jago Jing-sia-pay berani sembarangan bergerak. Maka sinar mata
semua anak murid Jing-sia-pay lantas terarah pada Suma Lim, asal sang ketua
memberi perintah, serentak mereka akan mengerubuti si nona.
Maka berkatalah Suma Lim
dengan dingin, "Nona Ong, ilmu silat golongan kami mengapa engkau sedemikian
hafal?”
"Aku dapat membacanya
dari buku,” sahut Giok-yan. "Ilmu silat Jing-sia-pay mengutamakan serangan
secara mendadak dan memakai tipu muslihat, tapi perubahannya tidak terlalu
ruwet, dengan sendirinya mudah diingat.”
"Buku apa yang telah nona
baca?” tanya Suma Lim.
"Ah, juga bukan buku yang
luar biasa,” sahut Giok-yan. "Buku yang mencatat ilmu silat Jing-sia-pay
itu ada dua jilid, yang satu adalah ‘Jing-ji-cap-pek-tah’ (18 serangan dari
huruf Jing), dan jilid yang lain adalah ‘Sia-sisan-cap-lak-boh’ (36 jenis
gempuran dari huruf Sia). Engkau adalah ketua Jing-sia-pay, dengan sendirinya
pernah membacanya juga.”
Diam-diam Suma Lim jengah
sendiri. Ia menjadi teringat kepada cerita mendiang ayahnya dahulu bahwa di
antara ilmu silat Jing-sia-pay itu memang ada yang disebut 18 serangan dan 36
gempuran. Cuma sayang lamakelamaan ilmu-ilmu itu sebagian tak diwariskan hingga
tidak lengkap jadinya, maka untuk mengalahkan Honglay-pay menjadi agak sulit.
Tapi kalau dapat menemukan kembali ilmu silat leluhur itu dalam keadaan
lengkap, jangankan cuma Hong-lay-pay saja, sekalian untuk merajai dunia
persilatan rasanya juga tidak sulit.
Teringat cerita itu, kini
mendengar pula Giok-yan pernah membaca kitab pusaka mereka itu, tentu saja Suma
Lim sangat tertarik, segera ia tanya lebih jauh, "Apakah nona dapat
meminjamkan buku itu kepadaku untuk membandingkannya dengan ilmu silat yang
kami pelajari sekarang, agar kutahu di mana letak perbedaannya?”
Belum lagi Giok-yan menjawab,
tiba-tiba Yau Pek-tong terbahak-bahak dan menyela, "Awas, nona, jangan
engkau tertipu oleh Jing-sia-pay ini. Ilmu silat mereka sangat rendah dan
jelek, paling-paling cuma beberapa jurus permainan cakar ayam, tapi dia
bermaksud memancing kitab pusakamu, maka jangan sekali-kali kau pinjamkan padanya.”
Karena isi hatinya tepat kena
dikorek, Suma Lim menjadi marah hingga mukanya merah padam, bentaknya gusar,
"Aku lagi bicara sendiri dengan nona ini, apa sangkut pautnya dengan
Cin-keh-ce kalian?”
"Tidak ada sangkut
pautnya? Haha, justru sangat besar sangkut pautnya!” sahut Yau Pek-tong dengan
terbahakbahak. "Nona Ong ini dapat mengingat sekian banyak Kungfu yang
hebat dan aneh-aneh, dengan sendirinya
siapa mendapatkan dia, siapa
pula akan merajai dunia persilatan ini. Aku orang she Yau selamanya kalau
menemukan harta benda atau gadis jelita tentu akan menaruh perhatian
sepenuhnya, apalagi terhadap nona Ong yang merupakan bawang mestika yang sukar
dicari ini, mana dapat kutinggal diam tanpa turun tangan? Makanya, haha, jika
saudara Suma ingin pinjam buku, silakan minta izin dulu padaku. Dan, hahahaha,
cobalah terka, apakah aku mengizinkan atau tidak?”
Perkataan Yau Pek-tong itu
sangat kasar dan sombong, tapi mendadak hati Suma Lim dan kedua Susioknya
tergetar juga, pikir mereka, "Gadis ini meski masih muda belia, tapi dalam
hal ilmu silat ternyata mempunyai pengetahuan sedalam ini. Tampaknya dia lemah
gemulai, siapa pun takkan percaya dia dapat menangkan kami. Tapi sudah jelas
terbukti dia sangat luas pengetahuannya dalam berbagai aliran ilmu silat, bila
kami dapat mengundangnya ke tempat Jing-sia-pay kami, bukan mustahil akan
memperoleh ajaran lengkap 18 serangan dan 36 gempuran Jing-sia-pay asli, bahkan
mungkin akan bertambah lagi ilmu silat dari aliran lain. Namun Cin-keh-ce juga
sudah timbul niat jahatnya, tampaknya hari ini pasti akan terjadi pertarungan
besar-besaran.”
Dalam pada itu terdengar Yau
Pek-tong berkata pula, "Nona, kedatangan kami sebenarnya ingin mencari
setori kepada keluarga Buyung, melihat gelagatnya, agaknya nona adalah anggota
keluarga Buyung, bukan?”
Mendengar dirinya disangka
anggota keluarga Buyung, Giok-yan merasa senang dan malu-malu juga, dengan muka
bersemu merah ia mengomel perlahan, "Aku bukan orang she Buyung, tapi Buyung-kongcu
adalah aku punya Piauko. Ada keperluan apakah engkau mencari dia? Apakah dia
berbuat kesalahan apa-apa padamu?”
"Haha, kiranya nona ini
Piaumoay Buyung-kongcu, itulah lebih bagus lagi,” seru Yau Pek-tong dengan
terbahak-bahak. "Leluhur Koh-soh Buyung telah utang satu juta tahil emas
dan sepuluh juta tahil perak kepada keluarga Yau kami, sampai sekarang sudah
ratusan tahun lamanya, tapi utang itu belum pernah dibayar atau dicicil, belum
lagi ditambah dengan rentenya.”
"Mana bisa jadi begitu?”
ujar Giok-yan dengan tercengang. "Keluarga Kuku terkenal kaya raya, mana
mungkin utang kepada keluargamu?”
"Utang atau tidak masakah
orang semuda nona bisa tahu?” sahut Pek-tong. "Yang pasti kedatanganku ini
ingin menagih utang kepada Buyung Bok, tapi utang itu belum lagi dibayar dan
Buyung Bok ternyata sudah mati. Bapaknya mati, terpaksa menagih kepada anaknya.
Siapa tahu si bocah Buyung Hok itu selalu menghindari setiap penagih utang dan
selalu mengumpat. Dengan sendirinya aku tidak berdaya, ya, terpaksa aku mesti
mencari sandera yang berharga sebagai jaminan utang itu.”
"Piaukoku orangnya sangat
baik, tangannya selalu terbuka, kalau benar-benar keluarganya ada utang padamu,
tentu sudah lama dibayarnya. Seumpama dia tidak utang, tapi engkau kekurangan
uang dan ingin minta bantuan padanya, tentu ia pun takkan mengecewakan
harapanmu. Mana mungkin dia takut menemuimu dan main sembunyi?” demikian kata
Giok-yan.
Pek-tong pura-pura berkerut
kening, katanya pula, "Baiknya begini saja. Urusan ini sukar juga dijelaskan
padamu. Marilah sekarang juga silakan nona ikut kami ke utara untuk tinggal
barang setahun-dua tahun di Cinkeh-ce kami. Di sana kami jamin takkan
mengganggu seujung rambut nona. Apalagi biniku terkenal sebagai macan betina,
dalam hal perempuan, aku orang she Yau sangat prihatin, tidak berani main gila,
maka nona tak perlu khawatir. Dan engkau juga tidak perlu berkemas-kemas,
sekarang juga kita lantas berangkat. Nanti bila Piaukomu sudah cukup
menyediakan uang dan membereskan utang lama itu, dengan sendirinya aku akan
mengantar nona pulang ke Koh-soh sini untuk menikah dengan Piaukomu. Bahkan
Cin-keh-ce pasti akan menyumbang sebagaimana mestinya, dan aku si orang she Yau
akan ikut datang ke sini untuk minum arak nikahmu!”
Habis berkata, kembali Yau Pek-tong
terbahak-bahak.
Sebenarnya ucapan Pek-tong itu
sangat kasar, tapi bagi pendengaran Giok-yan, terutama bagian terakhir itu,
ternyata dirasakan sangat senang dan kena di hatinya.
Maklum, sejak kecil Giok-yan
sudah kesengsem pada sang Piauko, beberapa tahun paling akhir ini, setelah
menginjak remaja dewasa, ia menjadi lebih rindu dan jatuh cinta kepada kakak
misan itu. Namun entah Buyung Hok, memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu,
ia tetap sibuk pada urusannya sendiri dan tiada waktu memikirkan soal cinta,
terhadap sang Piaumoay tetap dianggapnya sebagai adik cilik saja, kecuali
bicara tentang ilmu silat dan ilmu sastra, selamanya tidak pernah menyinggung
sesuatu tentang hubungan antara muda dan mudi.
Akhir-akhir ini karena terjadi
ketegangan di antara hubungan keluarga, Ong-hujin, yaitu ibu Giok-yan, melarang
Buyung Hok datang ke Man-to-san-ceng. Sebab itulah Giok-yan menjadi sedih,
apalagi ia adalah gadis pingitan yang selamanya tidak pernah keluar rumah,
belum pernah dengar orang bicara secara blakblakan padanya tentang urusan
perjodohannya dengan sang Piauko.
Kini apa yang dikatakan Yau
Pek-tong itu meski maksudnya cuma untuk berolok-olok saja, siapa tahu justru
kena di lubuk hati si gadis dan menimbulkan rasa senangnya sebagai seorang yang
tahu perasaannya, sebab itulah di kemudian hari beberapa kali mestinya jiwa Yau
Pek-tong akan melayang, tapi akhirnya menjadi selamat, yaitu berkat
kata-katanya sekarang yang menimbulkan rasa senang Giok-yan itu.
Begitulah karena senang, maka
Giok-yan berkata pula, "Ai, engkau ini suka omong yang tidak-tidak. Guna
apa kuikut ke Cin-keh-ce? Bila betul Kuku utang padamu, hal ini mungkin sudah
terlalu lama dan dia tidak tahu, maka melalaikan kewajibannya. Namun sesudah
kedua pihak mengajukan bukti-bukti yang sah, Piauko pasti sanggup membayar
padamu.”
Sebenarnya maksud Yau Pek-tong
cuma untuk membohongi si gadis saja, yaitu hendak menculiknya ke Cin-
keh-ce untuk dipancing ilmu
silat yang diketahui Giok-yan, tentang utang satu juta tahil emas dan
sebagainya dengan sendirinya cuma bualan belaka.
Tapi Giok-yan masih hijau,
terlalu kekanak-kanakan dan percaya penuh kepada bualannya. Maka cepat Yau
Pek-tong menambahi lagi, "Namun akan lebih baik engkau ikut kami ke Cin-keh-ce
saja. Di sana tempatnya sangat enak, pemandangan indah permai, pada waktu
senggang kami sering berburu, kami ada piara elang dan macan tutul, tanggung
takkan bosan biarpun bermain setahun dua tahun di sana. Dan bila Piaukomu
mendapat kabar, tentu dia akan menyusul ke sana, seandainya dia tidak lantas
membayar utangnya juga kami akan menyerahkan dirimu padanya untuk dibawa pulang
ke Koh-soh sini. Nah, kau mau tidak?”
Propaganda ini benar-benar
sangat menarik hati Giok-yan hingga air mukanya tampak berseri-seri. Cuma ia
tidak lantas menjawab.
Sebagai orang berpengalaman,
segera Suma Lim dapat melihat sikap Giok-yan yang cenderung percaya pada
obrolan Yau Pek-tong itu. Ia pikir kalau si gadis sampai terima baik ajakan
orang dan baru dirintangi, hal itu berarti sudah ketinggalan satu tindak. Maka
belum Giok-yan membuka suara, segera ia menyela, "Cin-keh-ce yang terletak
di Huiciu itu adalah suatu tempat yang tandus dan dingin, sebaliknya Ong-kohnio
adalah seorang nona jelita selemah ini, mana tahan derita kedinginan di sana?
Berbeda dengan Sengtoh kami yang terkenal sebagai kota yang ramai dan megah,
bukan saja hasil satin dan sutranya merajai sutra keluaran tempat lain, bahkan
pemandangan di sana juga tidak kalah daripada daerah Kanglam sini. Seorang nona
cantik sebagai Ong-kohnio kalau dapat pesiar ke Sengtoh serta membeli sedikit
kain sutra yang tersohor itu untuk baju, pasti kecantikan nona akan bertambah
dan tak ada bandingannya. Buyung-kongcu adalah pemuda yang serbapandai, tentu
ia pun akan senang kepada gadis yang cantik ayu.”
"Kentut! Kentut busuk!
Masakah di daerah Sohciu sini kekurangan satin dan sutra, kenapa mata anjingmu
tidak dipentang lebar, lihatlah apakah ketiga gadis di depan matamu ini memakai
kain sutra atau tidak?” demikian maki Yau Pek-tong karena merasa usahanya
disabot.
Namun kontan juga Suma Lim
menjengek, "Ya, memang sangat busuk, teramat busuk!”
"Apa yang busuk? Kau
maksudkan aku?” teriak Yau Pek-tong dengan gusar.
"Mana aku berani
mengatakan dirimu!” sahut Suma Lim. "Tapi kubilang kentut anjing barusan
memang sangat busuk!”
"Sret”, terus saja
Pek-tong lolos goloknya sambil membentak, "Suma Lim, kalau Cin-keh-ce
melawan Jing-siapay kalian bobotnya mungkin satu kati 16 tahil alias sama kuat.
Tapi kalau Cin-keh-ce bergabung dengan Hong-lay-pay, kau bilang Jing-sia-pay
kalian bakal dihancurkan atau tidak?”
Air muka Suma Lim berubah
seketika, pikirnya, "Benar juga ancamannya. Sejak ayahku wafat kekuatan
Jingsia-pay sudah jauh berkurang. Ditambah lagi jahanam Cu Po-kun telah mencolong
ilmu silat golongan sendiri, kalau dia bergabung dengan Cin-keh-ce untuk
mengeroyok kami, hal ini memang perlu dipikirkan. Kata peribahasa, ‘Turun
tangan lebih dulu akan menang, turun tangan kemudian akan celaka’. Urusan hari
ini rasanya harus kudahului menyerang mereka sebelum mereka siap.”
Berpikir demikian, segera
katanya dengan tawar, "Habis apa abamu sekarang?”
Melihat kedua tangannya
dimasukkan ke dalam lengan baju, Pek-tong tahu setiap saat Suma Lim bisa
menyerang dengan senjata gelapnya yang berbisa keji.
Tindak tanduk Yau Pek-tong itu
ternyata berbeda daripada jago silat umumnya. Orangnya kasar, tapi waktu menghadapi
musuh ia justru bisa berlaku cermat.
Maka ia lantas pusatkan
perhatian dengan penuh waspada, jawabnya kemudian, "Aku hendak mengundang
nona Ong pesiar beberapa lama ke Cin-keh-ce dan kelak biar dipapak oleh
Buyung-kongcu, tapi sengaja kau rintangi maksud baikku bukan?”
"Kubilang tempat kalian
itu banyak kekurangannya dan tentu akan bikin susah nona Ong, maka lebih baik
kuundang nona Ong pesiar ke Sengtoh,” sahut Suma Lim ngotot.
"Baik, jika begitu,
marilah kita tentukan menang atau kalah di atas senjata,” tantang Yau Pek-tong.
"Siapa yang menang, dia yang akan menjadi tuan rumah bagi nona Ong.”
"Akur,” seru Suma Lim.
"Memangnya bagi yang kalah juga tidak mungkin mengundang nona Ong ke
akhirat.”
Dengan ucapan itu tegas Suma
Lim menyatakan pertarungan ini bakal dilakukan dengan mati-matian bukan lagi
pertandingan biasa.
Pek-tong terbahak-bahak,
sahutnya, "Hidup orang she Yau selalu berdiri di ujung senjata.
Suma-ciangbun hendak menggertak aku dengan kematian, ha, tidak nanti orang she
Yau jeri!”
"Dan cara bagaimana kita
akan bertanding? Siapa yang menjadi wasit? Memakai senjata atau bertangan
kosong?” tanya Suma Lim.
"Sudah tentu pakai
senjata, siapa sabar bertanding dengan tangan kosong ....” belum habis
ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara mendesis-desis tiga kali.
Padahal pada waktu bicara
pandangan Yau Pek-tong tidak pernah meninggalkan gerak-gerik Suma Lim yang
sangat lihai, terkadang orang yang diserangnya belum lagi merasakan dan
tahu-tahu sudah binasa. Tapi sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ketika
kedua pihak sedang bicara, mendadak lawan terus melakukan pembokongan.
Waktu itu tampaknya pandangan
Suma Lim sedang diarahkan ke samping seakan-akan di sana sidang terjadi
sesuatu, padahal maksudnya cuma untuk memancing perhatian Yau Pek-tong. Dan
ketika Pek-tong sadar telah diserang musuh, namun jarak Am-gi dengan dadanya
sudah tinggal setengah meter jauhnya. Seketika ia cemas dan yakin sekali ini
jiwanya pasti melayang.
Tapi pada detik yang berbahaya
itulah, sekonyong-konyong ada sepotong benda aneh warna hitam-putih menyelip di
depan dadanya hingga beberapa batang jarum berbisa musuh itu terbentur jatuh ke
lantai.
Jarum-jarum itu sebenarnya
sangat cepat menyambarnya, sebagai seorang jagoan Yau Pek-tong sendiri juga
merasa tidak mungkin berkelit lagi. Tapi datangnya benda penangkis itu beberapa
kali lebih cepat daripada sambaran jarum hingga tepat sekali jarum itu
terbentur jatuh, sedangkan macam apa benda aneh itu, putih atau hitam, baik Yau
Pek-tong maupun Suma Lim sama-sama tidak lihat jelas.
Sebaliknya Giok-yan menjadi
girang, terus saja ia bersorak, "Hai, apakah Pau-sioksiok yang datang
itu?”
Maka terdengarlah suara
seorang yang sangat aneh menjawab, "Bukan, bukan! Bukan Pau-sioksiok yang
datang!”
"Masakah engkau bukan
Pau-sioksiok?” kata Giok-yan dengan tertawa. "Engkau belum muncul, tapi
istilahmu ‘bukan, bukan’ sudah terdengar lebih dulu.”
"Bukan, bukan! Aku bukan
Pau-sioksiokmu!” seru suara itu pula.
"Bukan, bukan! Habis
engkau siapa?” tukas Giok-yan dengan menirukan lagu orang.
"Buyung-hiante panggil
aku sebagai Samko, tapi kau panggil aku Sioksiok. Bukan, bukan! Engkau salah
panggil,” demikian suara aneh itu.
Paham akan maksud ucapan
orang, Giok-yan menjadi girang hingga muka pun merah, segera katanya pula,
"Habis aku harus panggil ... panggil apa padamu?”
"Haha, soal itu boleh kau
pikir sendiri!” kata suara itu. "Engkau boleh panggil apa saja, kalau
tepat, aku akan menjadi kawanmu, kalau salah panggil, selamanya aku akan
mengacau padamu, supaya kau tidak jadi istri Buyung-hiante!”
"Cis, ayolah lekas
keluar!” semprot Giok-yan.
Suara itu tidak menjawab lagi.
Selang sejenak tetap tiada sesuatu suara apa-apa, maka Giok-yan berseru pula,
"Hai, keluarlah dan bantulah aku mengenyahkan orang-orang yang tak keruan
macamnya ini!”
Tapi keadaan tetap sunyi
senyap, terang orang she Pau itu sudah pergi jauh. Giok-yan tampak agak kecewa,
katanya, "Dia memang suka begini, selalu bikin orang tak dapat meraba
jejaknya.”
"Memang begitulah tabiat
Pau-samsiansing,” ujar A Cu dengan tertawa. "Waktu nona menyuruhnya keluar
tadi sebenarnya ia sudah akan muncul, tapi demi mendengar ucapanmu, ia justru
sengaja jual mahal padamu. Dan saat ini mungkin dia sudah berada di tempat
jauh, hari ini terang takkan muncul lagi.”
Sebenarnya Giok-yan sangat
ingin bertemu dengan Pau-samsiansing untuk diajak berunding cara bagaimana
harus pergi membantu Buyung-kongcu di Siau-lim-si. Tapi orang she Pau ini
ternyata segera menghilang begitu saja, hal ini membuat Giok-yan merasa kurang
senang.
Di lain pihak diam-diam Suma
Lim dan Yau Pek-tong merasa senang. Tadi waktu Pau-samsiansing bersuara, mereka
berdua celingukan kian kemari hendak mencari di mana tempat sembunyi orang she
Pau itu. Akan tetapi suara itu sangat aneh, tiba-tiba kedengaran sangat dekat,
tahu-tahu lantas menjauh, disangka berada di sebelah timur, ternyata sudah
berpindah ke barat. Maka mereka tetap tak dapat menemukan orang she Pau itu
berada di mana.
Dari perkataan orang aneh itu,
ia sebut saudara kepada Buyung Hok dan sangat baik pula hubungannya dengan
Giok-yan, bila tokoh seperti itu ikut muncul, tentu mereka sukar melawannya.
Kini orang aneh itu telah pergi jauh, sudah tentu mereka sangat senang dan
bersyukur.
Jiwa Yau Pek-tong sendiri
sembilan bagian tadi sudah masuk liang kubur, tapi berkat pertolongan orang she
Pau itu, jiwanya dapat ditarik kembali mentah-mentah Dengan sendirinya timbul
rasa terima kasih kepada tokoh aneh itu. Sebenarnya ia tiada permusuhan apa-apa
dengan Jing-sia-pay, tapi karena tadi diserang dan jiwanya hampir melayang,
kini ia benar-benar dendam dan Suma Lim itu ingin dibunuhnya.
Maka sekali golok diangkat,
segera ia membentak, "Keparat yang tidak kenal malu, main membokong dengan
senjata gelap, apa kau sangka kakekmu she Yau ini mudah diserang begitu saja?”
Habis berkata, segera golok
membacok kepala Suma Lim.
Cepat Suma Lim berkelit, ia
mainkan ilmu silat Jing-sia-pay dengan senjata palu dan gurdi untuk melawan
golok tunggal Yau Pek-tong. Suma Lim memang lincah dan gesit, sebaliknya Yau
Pek-tong unggul dalam hal tenaga, serangan golok juga sangat ganas.
Anak murid Jing-sia-pay belum
pernah bertanding melawan orang Cin-keh-ce. Kini kedua pemimpin masingmasing
saling gebrak sendiri untuk pertama kalinya, menang atau kalah salah satu pihak
pasti akan terbinasa, dan yang lebih penting lagi adalah menyangkut nama baik
masing-masing pihak, maka Yau Pek-tong dan Suma Lim tidak berani ayal sedikit
pun, keduanya bertempur dengan sepenuh tenaga.
Kira-kira 70-an jurus,
tiba-tiba Giok-yan berkata kepada A Cu, "Lihatlah,
"Ngo-hou-hoan-bun-to dari Cin-kehce ternyata jauh lebih buruk daripada
sangkaanku, tadinya kusangka kurang lima jurus, tapi kini tampaknya lebih dari
itu. Buktinya jurus seperti ‘Hu-cu-toh-ho’ (mengutamakan kehormatan dan setia
kawan) entah sebab apa tak dimainkan oleh Yau Pek-tong?”
Sudah tentu A Cu tidak paham
ilmu silat seluas itu seperti Giok-yan, maka ia cuma mengiakan saja. Sebaliknya
Yau Pek-tong yang sedang bertempur itu demi mendengar ucapan Giok-yan, kembali
ia terkejut. Pikirnya, "Mengapa pandangan nona cilik ini sedemikian
tajamnya? Selama berpuluh tahun terakhir ini ke-64 jurus Ngohou-toan-bun-to
kami memang hilang sebagian dan paling akhir tinggal sisa 59 jurus saja, hal
ini memang tepat sebagaimana dikatakan olehnya tadi. Tapi sejak ayahku menjabat
ketua, karena bakatnya kurang dan kecerdasannya puntul, maka dua jurus
‘Hu-cu-toh-ho’ dan ‘Tiong-ciat-siu-gi’ tak berhasil dipelajarinya, sebab itulah
kedua jurus itu pun lenyap dari ajaran perguruan selanjutnya termasuk diriku.
Tapi aku telah mengubah kedua jurus itu sekadar untuk menambal kekosongan ilmu
silat Cin-keh-ce. Siapa duga tetap diketahui juga oleh nona muda ini.”
Dan karena rahasianya
terbongkar, Yau Pek-tong menjadi malu diri dan buru-buru ingin merobohkan Suma
Lim sekadar mempertahankan gengsinya sebagai pemimpin.
Akan tetapi dalam pertandingan
silat sedikit pun tidak boleh gopoh. Sebenarnya kalau Pek-tong bertanding
dengan tenang dan sabar,
semakin lama kemenangan pasti akan diperoleh dia. Tapi karena ingin buru-buru
menjatuhkan lawan, seketika pemusatan perhatiannya menjadi terganggu. Beruntun
Pek-tong melancarkan serangan berbahaya, tapi selalu dapat dihindar oleh Suma
Lim.
Mendadak Pek-tong menggertak
sekali, golok terus membabat dari samping. Ketika Suma Lim melompat ke kiri
untuk menghindar, cepat Pek-tong ayun sebelah kaki untuk menendang.
Dalam keadaan tubuh masih
terapung di udara Suma Lim sukar menghindar, tapi ia cukup cekatan dan dapat
ganti gerakan dengan cepat. Mendadak ia gunakan gurdi untuk menikam kaki orang.
Dengan demikian bila tendangan Pek-tong itu diteruskan berarti kaki akan patah
sendiri.
Benar juga Pek-tong tidak
berani meneruskan tendangannya. Tapi tendangannya itu ternyata tendangan
Wanyang-lian-goan-tui atau tendangan secara berantai, yaitu susul-menyusul
kedua kakinya menendang bergiliran. Begitu kaki kanan ditarik kembali, segera
kaki kiri melayang ke lambung lawan.
Namun palu kecil Suma Lim saat
itu juga sedang menyampuk ke samping, "plok”, dengan tepat batang hidung
Yau Pek-tong kena ketuk lebih dulu, keruan hidungnya lantas bocor dan keluar
kecapnya. Dan pada saat yang sama itulah pinggang Suma Lim juga kena tendangan
Yau Pek-tong.
Cuma karena muka Pek-tong
lebih dulu kena palu, dalam kaget dan sakitnya tendangannya menjadi tak
bertenaga lagi, biarpun kena tertendang, Suma Lim tidak terluka apa-apa, hanya
tulang iganya kesakitan.
Dan justru selisih dua detik
dari serangan masing-masing itulah, kalah-menang kedua pihak menjadi jelas
kelihatan. Dengan mengerang murka Yau Pek-tong bermaksud menerjang maju untuk
mengadu jiwa, namun kepala serasa akan pecah, kaki pun menjadi ampang, jalannya
menjadi sempoyongan dan hampir-hampir roboh.
Kemenangan Suma Lim barusan
sebenarnya diperoleh dengan agak kebetulan. Ia tahu bila jiwa lawan dibiarkan
hidup, kelak pasti akan merupakan bibit bencana baginya, maka timbul niat
jahatnya untuk membunuh lawan. Segera ia lontarkan tipu pancingan, ia ayun palu
ke depan, ketika Yau Pek-tong angkat golok hendak menangkis, sekonyong-konyong
gurdi lantas menjuju ke hulu hati pemimpin Cin-keh-ce itu.
Melihat Cecu mereka terancam
maut, wakil Cecu dari Cin-keh-ce cepat bersuit sekali, mendadak golok
ditimpukkan, begitu pula kawan-kawannya segera menirukannya hingga dalam
sekejap saja belasan golok menyambar berbareng ke atas badan Suma Lim.
Kiranya dalam ilmu silat
Cin-keh-ce itu terdapat sejurus menimpuk golok sebagai senjata gelap yang
lihai.
Tiap-tiap golok bobotnya 8
sampai 10 kati, bila ditimpukkan, daya serangnya menjadi sangat hebat, apalagi
sekaligus belasan golok menghambur bersama, keruan Suma Ling kerepotan baik
untuk menangkis maupun hendak menghindar.
Tampaknya dengan segera Suma
Lim akan menjadi perkedel dihujani golok terbang itu, sekonyong-konyong sesosok
bayangan orang berkelebat, dua tangan orang yang panjang kurus mirip cakar ayam
menyambar ke sini dan meraup ke sana secepat kilat, sekaligus belasan golok
terbang tadi kena ditangkap oleh tangan itu. Lalu terdengarlah suara gelak tawa
orang, tahu-tahu di atas kursi tengah ruangan itu sudah bertambah dengan
seorang aneh. Menyusul lantas terdengar pula suara gemerantang riuh, belasan
golok yang ditangkap orang itu dibuang ke lantai di samping kakinya.
Dengan kaget semua orang
saling pandang dengan melongo. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki
tinggi kurus, mukanya tirus, memakai jubah panjang warna kelabu, sikapnya
menantang dan tidak mau kalah.
Tadi semua orang sudah
menyaksikan betapa tangkasnya orang itu menangkap golok terbang, kepandaian itu
boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan yang susah diukur, semua orang menjadi
kagum dan jeri, tiada seorang pun berani bersuara.
Hanya Toan Ki saja yang tidak
kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, dengan tertawa ia berkata, "Wah,
gerakan Hengtay (saudara terhormat) barusan ini sungguh sangat cepat, tentu
ilmu silatmu juga sangat tinggi. Siapakah nama Anda yang terhormat, bolehkah
kutahu?”
Belum lagi laki-laki jangkung
itu menjawab, tiba-tiba Giok-yan tampil ke depan, katanya dengan tertawa,
"Pau-samko, kukira engkau tidak datang lagi, aku menjadi khawatir. Siapa
tahu akhirnya kau muncul juga, legalah hatiku sekarang.”
"O, kiranya
Pau-samsiansing,” sela Toan Ki.
Pau-samsiansing melotot sekali
kepada Toan Ki, katanya dengan mendongkol, "Siapakah bocah ini? Berani
ceriwis padaku?”
"Cayhe she Toan bernama
Ki, sesama hidup tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa, tapi sudah sekian
lama berkecimpung di Kangouw dan sampai sekarang ternyata tidak mati, rupanya
nasibku memang lagi mujur!” demikian sahut Toan Ki dengan tertawa.
Mata Pau-samsiansing mendelik
lagi, seketika ia tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan terhadap pemuda
itu.
Tiba-tiba Suma Lim maju ke
depan dan memberi hormat, katanya, "Suma Lim dari Jing-sia-pay barusan
mendapat pertolonganmu, budi mahabesar itu selamanya takkan kulupakan. Numpang
tanya siapakah nama Pau-samsiansing yang terhormat, supaya kelak Cayhe dapat selalu
mengingatnya.”
Sekonyong-konyong mata
Pau-samsiansing mendelik kepada Suma Lim, tahu-tahu sebelah kakinya melayang ke
atas, "blang”, kontan Suma Ling ditendangnya hingga terjungkal. Lalu
bentaknya, "Hm, hanya macammu saja berani tanya namaku? Aku toh tidak
sengaja hendak menolong jiwamu, soalnya karena tempat ini rumah adik A Cu yang
indah, kalau jiwamu melayang dan badanmu tercacah menjadi bakso di sini,
bukankah akan bikin kotor tempat adik A Cu ini? Nah, lekas enyah, lekas pergi!”
Ketika kaki orang menendang,
sebenarnya Suma Lim segera bermaksud menghindar, tapi tetap tidak keburu hingga
ia tertendang terjungkal. Keruan ia sangat malu dan serbasusah.
Jika menuruti peraturan
Kangouw, ada dua jalan yang dapat ia pilih. Pertama, segera melabrak orang
untuk menentukan mati atau hidup. Kedua, mengadakan perjanjian waktu untuk
kemudian mengadakan perhitungan terakhir.
Dengan sendirinya Suma Lim
tidak rela menerima hinaan demikian di hadapan orang banyak tanpa unjuk jiwa
kesatrianya. Maka dengan berani ia lantas berkata, "Pau-samsiansing,
barusan jiwaku hampir melayang di bawah keroyokan golok musuh, untung telah
ditolong olehmu. Suma Lim selamanya dapat membedakan budi dan dendam dengan
jelas, kalau terima budi tentu kubalas, kalau dihina pasti kubayar kembali.”
Padahal ia cukup tahu biarpun
belajar sampai tua juga tidak mampu menandingi Pau-samsiansing yang lihai ini.
Terpaksa ia gunakan kata-kata yang samar-samar itu untuk menutupi rasa malunya.
Sebaliknya Pau-samsiansing
ternyata tidak mendengarkan ocehannya, ia asyik bicara sendiri dengan Giok-yan,
"Nah, jika kau panggil aku Pau-samko, inilah tepat. Seterusnya kau harus
panggil Samko padaku.”
"Untuk panggil Samko
padamu juga boleh, tapi engkau harus memenuhi suatu syaratku?” kata Giok-yan
dengan tertawa.
"Eeh, pakai syarat
segala? Nah, coba katakan syarat apa?” tanya Pau-samsiansing dengan mimik wajah
yang lucu.
"Begini,” kata Giok-yan.
"Engkau boleh main gila dengan siapa pun, tapi janganlah menggoda Piauko.”
"Sama sekali aku tidak
boleh menggoda dia? Hah, tak usah ya!?” kata Pau-samsiansing. "Tapi
bagimu, baiklah, boleh kukurangi perbuatanku.”
"Terima kasih, Samko,”
bata Giok-yan dengan tersenyum manis.
Melihat senyuman si gadis yang
menggiurkan itu, hati Toan Ki benar-benar terpukul, kepala terasa pening dan
timbul pula rasa irinya. Pikirnya, "Pau-samsiansing ini cuma berjanji akan
mengurangi main gilanya kepada Buyung-kongcu, lantas dia begitu senang padanya.
Wahai, Buyung Hok! Alangkah bahagia hidupmu ini dapat memperoleh cinta kasih sedalam
ini dari gadis secantik ini?”
Sungguh dongkol Suma Lim tak
terkatakan karena ucapannya tadi sama sekali tak digubris oleh Pausamsiansing.
Sekali ia memberi tanda, segera ia membawa anak buahnya hendak meninggalkan
tempat ini.
"Nanti dulu, dengarlah
pesanku!” tiba-tiba Pau-samsiansing berseru.
"Ada apa?” sahut Suma Lim
sambil putar balik.
"Kabarnya kedatanganmu ke
Koh-soh sini ingin menuntut balas bagi kematian ayahmu?” tanya Pausamsiansing.
"Jika demikian, engkau telah salah alamat. Ayahmu, Suma Wi, bukan dibunuh
oleh Buyungkongcu.”
"Siapa yang bilang? Dari
mana Pau-samsiansing mendapat tahu?” tanya Suma Lim.
Pau-samsiansing menjadi gusar,
bentaknya, "Sekali aku bilang bukan Buyung-kongcu yang membunuhnya, dengan
sendirinya bukan dia. Seumpama benar dia yang bunuh, kalau aku sudah bilang
bukan, ya tetap bukan. Masa ucapanku tidak masuk hitungan?”
Sungguh mendongkol dan
penasaran sekali Suma Lim oleh ucapan orang yang mau menang sendiri itu. Tapi
dengan sabar ia menjawab, "Sakit hati kematian ayah sedalam lautan, meski
ilmu kepandaian Suma Lim terlalu rendah juga ingin menuntut balas biarpun
akhirnya akan hancur lebur. Maka siapakah sebenarnya pembunuh ayahku, mohon
sudilah memberi tahu.”
"Hahaha, ayahmu kan bukan
anakku, dia dibunuh oleh siapa, peduli apa denganku?” sahut Pau-samsiansing
dengan tergelak. "Kan
sudah kukatakan Buyung-kongcu bukan pembunuh ayahmu, barangkali kau masih tidak
percaya, ya? Baiklah, anggaplah aku pembunuhnya, jika kau ingin menuntut balas,
boleh terjang padaku saja.”
"Sakit hati pembunuhan
ayah mana boleh dibuat permainan?” sahut Suma Lim dengan wajah merah padam.
"Pau-samsiansing, kutahu diriku bukan tandinganmu, engkau boleh membunuh
aku, tapi kalau dihina secara demikian, betapa pun aku tidak terima.”
"Aku justru ingin
menghinamu, dan aku justru tidak mau membunuhmu, nah, apa yang dapat kau
lakukan padaku?” ucap Pau-samsiansing dengan tertawa.
Keruan dada Suma Lim
hampir-hampir meledak saking gusarnya. Tapi suruh dia menerjang maju untuk
mengadu jiwa, ia pun tidak berani. Karena itu ia menjadi terpaku di tempatnya
dengan serbasalah.
Maka Pau-samsiansing berkata
pula, "Hanya sedikit kepandaian Suma Wi yang tak berarti itu masakah perlu
Buyung-hiante kami yang turun tangan sendiri? Ilmu silat Buyung-kongcu sepuluh
kali lebih tinggi daripadaku, coba kau pikir, apakah Suma Wi sesuai untuk
dibunuh olehnya?”
Belum lagi Suma Lim menjawab,
tiba-tiba Cu Po-kun lolos senjatanya dan berseru, "Pau-samsiansing, Suma
Wi Losiansing adalah guruku yang berbudi, aku melarang engkau menghina nama
baiknya sesudah beliau meninggal.”
"Haha, engkau ini
mata-mata yang menyelundup ke Jing-sia-pay, peduli apa denganmu?” ujar
Pau-samsiansing dengan tertawa.
"Suma-suhu teramat baik
padaku, aku Cu Po-kun merasa malu tak dapat membalas budi kebaikannya, kini
meski mati demi membela nama baiknya, sedikitnya dapatlah kutebus dosa karena
aku telah menipunya. Pausamsiansing, harap kau minta maaf dan mengaku salah
kepada Suma-siansing.”
Pau-samsiansing cuma
tertawa-tawa saja, sahutnya, "Selama hidup Pau-samsiansing tidak pernah
mengaku salah dan juga tidak nanti minta maaf pada orang, biarpun tahu berbuat
salah juga akan tetap berbuat sampai akhirnya. Pada masa hidupnya Suma Wi juga
tidak punya nama harum, sesudah mati namanya terlebih celaka lagi. Orang macam
begitu memangnya sudah lama harus dibunuh. Maka kematiannya itu adalah pantas,
lebih daripada pantas!!”
"Silakan Pau-samsiansing
keluarkan senjata!” seru Cu Po-kun.
"Hahahaha!” Pau-samsiansing
terbahak-bahak. "Anak murid Suma Wi pintarnya memang cuma main membokong
dengan senjata gelap, selain itu, segala apa tidak becus lagi.”
"Awas serangan!” seru Cu
Po-kun segera. Palu dan gurdi terus menyerang sekaligus.
Sama sekali Pau-samsiansing
tidak berbangkit, lengan baju kiri mendadak mengebas hingga serangkum angin
keras menyambar ke arah musuh.
Seketika Po-kun merasakan
napas sesak, cepat ia mendoyong ke samping. Tak tersangka kaki kiri
Pausamsiansing lantas menjegalnya hingga Po-kun terpelanting, menyusul kaki
Pau-samsiansing yang lain terus mendepak hingga tepat kena bokong Cu Po-kun,
kontan saja tubuhnya yang gede itu mencelat keluar ruangan.
Tapi begitu jatuh segera
Po-kun berbangkit dan berlari balik, kembali palu dan gurdi menyerang lagi dada
Pausamsiansing.
Tak terduga mendadak
Pau-samsiansing ulur kedua tangan hingga tangan Po-kun terpegang, sekenanya ia
lemparkan hingga tubuh Po-kun melambung ke atas, "bluk”, tubuh Po-kun
membentur belandar dan jatuh kembali ke lantai. Terang jatuhnya Cu Po-kun itu
sangat keras dan tentu kesakitan, tapi Po-kun benar-benar sangat bandel, untuk
ketiga kalinya kembali ia menerjang lagi ke arah Pau-samsiansing.
Mau tak mau Pau-samsiansing
berkerut kening oleh kenekatan orang. Katanya, "Kau ini benar-benar tidak
tahu diri? Apa kau sangka tak mampu membunuhmu?”
"Jika berani, lekaslah
bunuh aku!” tantang Po-kun malah.
Tanpa ampun lagi
Pau-samsiansing pegang kedua tangan Cu Po-kun. Mendadak ia tolak tangannya ke
depan, "krak-krek”, kontan lengan Cu Po-kun dipatahkan, bahkan gurdinya
lantas menikam bahu kanan dan palu mengetuk pundak kiri sendiri. Seketika darah
bercucuran dari bahu yang terluka itu dan tulang pundak remuk oleh ketukan
palu, keadaan demikian tepat sekali seperti orang yang dilukai dengan tipu
"Co-yu-hong-goan” (mendapat hadiah dari kanan-kiri alias ketuplek rezeki),
yaitu salah satu jurus lihai Kungfu Jing-sia-pay.
Luka Cu Po-kun sudah sangat
parah, walaupun ada maksudnya hendak mengadu jiwa lagi tapi keinginan ada,
tenaga kurang, apa daya?
Orang-orang Jing-sia-pay hanya
saling pandang belaka dan bingung apa mesti maju untuk menolong Cu Po-
kun atau tidak. Terang
gamblang tipu serangan "Co-yu-hong-goan” itu adalah Kungfu Jing-sia-pay,
entah dari mana Pau-samsiansing juga dapat mempelajarinya?
Maka berkatalah Giok-yan
kepada Cu Po-kun, "Nah, bagaimana Cu-ya? Kataku tadi bahwa tidak cukup dan
percuma, sekarang kau mau percaya tidak?”
Cu Po-kun menggila napas
panjang, jawabnya, "Taksiran nona memang sangat jitu, aku benar-benar
sangat kagum.”
Lalu ia berpaling, kepada Suma
Lim dan berkata, "Ciangbun-suheng, beruntung ilmu silat kedua aliran kita
satu sama lain saling mengatasi dan sama kuatnya, Siaute telah belajar
kepandaian Jing-sia-pay, tapi belum mampu menggunakannya untuk menangkis
serangan Kungfu Jing-sia-pay, sudah dibuktikan oleh serangan Pau-samsiansing
barusan. Ai, percumalah guruku memeras otak, akhirnya toh tidak berhasil apa-apa.”
Suma Lim dapat menerima apa
yang dikatakan Cu Po-kun itu memang benar, meski Po-kun sudah mahir ilmu silat
Jing-sia-pay, tapi tetap terluka oleh tipu serangan Jing-sia-pay sendiri. Hal
ini menandakan betapa tinggi Cu Po-kun mempelajari silat Jing-sia-pay toh belum
mampu mencapai tingkatan yang sempurna, dan dengan sendirinya tidak mungkin ia
mengajarkan pula kepada Hong-lay-pay untuk membunuh ayahnya. Berpikir demikian
hati Suma Lim menjadi banyak terhibur.
A Cu yang sejak tadi diam saja
kini tiba-tiba menyela, "Suma-toaya, Cu-toaya, kalian sudah menyaksikan
sendiri barusan Pau-samsiansing menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay, hal ini
membuktikan orang yang mahir ilmu silat Jing-sia-pay tidak melulu Kongcu kami
saja. Maka sebenarnya siapa gerangan pembunuh Sumalosiansing, lebih baik kalian
pulang saja untuk menyelidiki lebih jauh.”
Tampaknya Suma Lim masih
hendak berkata apa-apa, namun Pau-samsiansing menjadi gusar, bentaknya,
"Tempat ini adalah rumah tinggal adik A Cu, pemilik rumah sudah minta kalian
pergi, apa kalian masih tidak tahu diri?”
"Baiklah kami mohon diri,
sampai berjumpa pula kelak,” kata Cu Po-kun segera. Ia tak dapat memberi hormat
karena kedua lengan terluka, maka ia hanya mengangguk saja lalu bertindak
pergi.
Suma Lim juga tahu gelagat
takkan menguntungkan jika tinggal lebih lama di situ, maka beramai-ramai ia pun
mohon diri bersama anak buahnya.
Melihat ilmu silat
Pau-samsiansing begitu tinggi, tindak tanduknya juga sangat aneh, Yau Pek-tong
menjadi ingin belajar kenal dengan tokoh Kangouw yang sakti ini, ditambah lagi
ia masih mengincar kepandaian Giokyan yang meliputi segala macam ilmu silat
yang tak terhitung banyaknya itu. Maka sesudah orang-orang Jingsia-pay pergi,
segera ia melangkah maju dan ingin bicara dengan Pau-samsiansing.
Di luar dugaan mendadak
Pau-samsiansing mendahului buka suara, "Yau Pek-tong, aku melarang kau
bicara sepatah kata pun, lekas menggelinding pergi dari sini!”
Keruan Yau Pek-tong melengak,
saking malunya wajahnya berubah merah padam, tanpa terasa tangannya lantas
meraba golok.
"Yau Pek-tong,” jengek
Pau-samsiansing, "hanya sedikit kepandaianmu yang tak berarti ini jangan
kau cobacoba main gila di depanku. Sekali kusuruh menggelinding pergi, kau
harus segera menggelinding pergi, tidak ada hak bicara apa-apa bagimu, tahu?!”
Melihat pemimpin mereka dihina
Pau-samsiansing, anak buah Cin-keh-ce menjadi gusar juga dan bermaksud main
kerubut sekuatnya, tapi senjata mereka tadi sudah dirampas Pau-samsiansing
ketika menghujani Suma Lim dengan golok terbang, maka mereka cuma gusar dalam
hati, tapi tiada seorang pun berani sembarangan menerjang maju dengan bertangan
kosong.
Tiba-tiba Pau-samsiansing
terbahak-bahak sambil kaki kanan menendang dan mendepak serabutan, tahu-tahu
belasan batang golok yang berserakan di samping kakinya itu mencelat ke arah
orang-orang Cin-keh-ce. Cuma sambaran golok yang ditendang itu sangat lamban
dan dengan persis dapat ditangkap pemiliknya masingmasing, hal itu menandakan
Pau-samsiansing tidak bermaksud melukai mereka.
Keruan orang-orang Cin-keh-ce
tercengang oleh tindakan Pau-samsiansing itu, mereka sadar bila tokoh itu mau
melukai mereka, rasanya tidak mungkin golok dapat mereka pegang cara begitu
gampang? Sebab itulah mereka hanya berdiri dengan bingung.
"Yau Pek-tong,” kata
Pau-samsiansing kemudian, "kukatakan lekas gelinding pergi, kau mau
gelinding pergi tidak?”
"Pau-samsiansing ada budi
pertolongan jiwa padaku, dengan sendirinya apa yang kau perintahkan pasti
kuturut. Baiklah kumohon diri,” sahut Pek-tong dengan tertawa ewa sambil
membungkuk memberi hormat. Lalu serunya kepada begundalnya, "Mari pergi
semua!”
"Aku suruh kau
menggelinding pergi dan bukan menyuruhmu berjalan keluar!” kata
Pau-samsiansing.
Pek-tong melengak bingung,
tanyanya, "Cayhe tidak paham apa maksud Pau-samsiansing?”
"Kukatakan menggelinding
pergi,” ucap Pau-samsiansing. "Gelinding ya gelinding, masakah gelinding
tidak tahu? Nah, kau mau menggelinding pergi tidak?”
Keruan Yau Pek-tong semakin
tidak mengerti, ia pikir orang ini barangkali gila, lebih baik jangan digubris.
Maka tanpa bicara ia terus putar tubuh dan bertindak pergi dengan langkah
lebar.
"Bukan, bukan,” seru
Pau-samsiansing tiba-tiba. "Kukatakan gelinding, dan caramu itu adalah
berjalan dan bukan menggelinding. Jika kau tidak paham, inilah caranya!”
Habis berkata, mendadak ia
melesat maju, sekali cengkeram, tahu-tahu kuduk Yau Pek-tong kena dipegangnya.
Segera Pek-tong menyikut ke
belakang, tapi sedikit Pau-samsiansing angkat tangannya, tubuh Pek-tong lantas
terkatung-katung hingga sikutannya mengenai tempat kosong. Menyusul
Pau-samsiansing lantas jambret pula bebokong Pek-tong sambil membentak,
"Di rumah adik A Cu mana boleh kau masuk-keluar sesukanya. Hm,
menggelindinglah ke rumah kakek moyangmu!”
Selesai ucapannya ini, sekali
ia ayun tangannya, tubuh Yan Pek-tong segede kerbau itu terus dilemparkan
keluar ruangan hingga terguling-guling seperti bola menggelinding.
Melihat pimpinan mereka
dibuang keluar begitu saja, beramai-ramai begundal Cin-keh-ce itu terus memburu
keluar untuk membangunkan Pek-tong, kemudian bersama lantas melarikan diri
dengan sipat kuping.
Kini menjadi giliran Toan Ki
yang dipelototi oleh Pau-samsiansing, tapi karena tak diketahuinya asal usul
pemuda itu, ia lantas tanya Giok-yan, "Siaumoay, apakah suruh dia juga
enyah atau biarkan dia tinggal?”
"Aku bersama A Cu dan A
Pik tadi telah ditawan oleh Peng-mama, tapi berkat pertolongan Toan-kongcu ini,
dapatlah kami diselamatkan. Pula, ia menyatakan tahu seluk-beluk di
Siau-lim-si, maka kita dapat menanyakan keterangan kepadanya,” demikian sahut
Giok-yan.
"Jika begitu, jadi engkau
ingin dia tinggal di sini?” Pau-samsiansing menegas.
"Benar,” jawab si gadis.
"Apakah engkau tidak
khawatir saudaraku Buyung itu akan minum cuka?” tanya Pau-samsiansing dengan
tertawa.
Giok-yan terbelalak bingung,
balasnya menanya, "Minum cuka apa?”
"Orang ini pintar putar
lidah dan pandai bertingkah, jangan-jangan engkau akan tertipu olehnya,” kata
Pausamsiansing sambil menuding Toan Ki.
"Aku tertipu oleh
apanya?” tanya Giok-yan heran. "Apa mungkin dia sengaja mengarang hal-hal
tidak benar tentang keadaan Siau-lim-si? Ah, rasanya dia juga takkan berani
sembrono.”
Mendengar ucapan gadis itu
yang masih kekanak-kanakan dan sangat polos, sedikit pun belum kenal selukbeluk
hubungan muda-mudi, Pau-samsiansing menjadi tidak enak untuk bicara lagi.
Segera ia tertawa dingin sambil bertanya kepada Toan Ki, "Bagaimana
keadaan saudaraku?”
Keruan Toan Ki menjadi
dongkol, sahutnya dengan ketus, "Memangnya kau sedang menanya pesakitanmu?
Dan kalau aku tidak mau omong, lantas kau akan menyiksa aku, bukan?”
Di dunia ini orang yang berani
mengadu mulut dengan Pau-samsiansing boleh dikata dapat dihitung dengan jari.
Mula-mula Pau-samsiansing tercengang juga, tapi segera ia terbahak-bahak malah,
katanya, "Hahaha, bocah berani, bocah berani!”
Mendadak ia melangkah maju,
sekali cengkeram, ia pencet lengan kiri Toan Ki, dan sedikit ia tambahi tenaga,
seketika Toan Ki meringis kesakitan.
"Hai, hai! Apa-apaan
ini?” seru Toan Ki.
"Aku sedang tanya
pesakitanku dan menggunakan siksaan, tahu?” sahut Pau-samsiansing.
Toan Ki sengaja tersenyum dan
anggap lengan yang dipencet orang itu bukan lengan sendiri lagi, sahutnya
kemudian, "Boleh kau
siksa aku, tapi aku takkan gubris padamu lagi.”
Waktu Pau-samsiansing remas
lebih keras, sakit Toan Ki meresap sampai ke tulang sumsum, bahkan, tulang
lengan sampai berkeriutan seakan-akan hampir patah. Namun pemuda itu
benar-benar sangat kepala batu, ia tetap diam saja.
"Pau-samko,” cepat A Pik
berseru, "Toan-kongcu ini berwatak sangat angkuh, tapi dia adalah tuan
penolong kami. Jangan engkau bikin susah padanya.”
"Bagus, bagus. Wataknya
angkuh, itulah cocok dengan seleraku yang suka dengan ‘bukan, bukan’!” ujar
Pausamsiansing sambil perlahan-lahan melepaskan cekalannya.
"Ya, bicara tentang
selera, kita benar-benar sudah merasa lapar,” kata A Cu dengan tertawa dan segera
ia memanggil si koki, "Hai, Lau Koh! Lau Koh!”
Setelah digembor lagi beberapa
kali, baru kelihatan koki gendut itu melongok dari pintu samping sana. Melihat
kawanan perusuh sudah tiada lagi, dengan gembira ia lantas mendekati sang
majikan.
"Pergilah kau sikat gigi
tiga kali dulu, lalu cuci muka tujuh kali serta cuci tanganmu dua belas kali,
habis itu barulah membuatkan daharan untuk kami,” demikian perintah A Cu.
"Tapi awas, kalau terdapat sedikit kotor saja pasti kau akan dihajar
mampus oleh Pau-samya.”
"Tanggung bersih,
tanggung bersih!” seru Lau Koh berulang-ulang sambil tersenyum.
Maka kaum hamba di dalam
Thing-hiang-cing-sik itu lantas muncul lagi untuk memperbarui jamuan. A Cu
menyilakan Pau-samsiansing berduduk di tempat utama, Toan Ki di tempat kedua
dan Giok-yan ketiga. Ia sendiri bersama A Pik mengiringi di tempat tuan rumah.
Karena buru-buru ingin
mengetahui keadaan Buyung-kongcu, segera Giok-yan menanya, "Samko, dia ...
dia ....”
"Dia katanya sudah pergi
ke Siau-lim-si,” tutur Pau-samsiansing segera, "mendengar berita itu,
malam-malam Hong-sute lantas berangkat pergi membantunya. Tapi aku merasa
urusan ini agak meragukan, lebih baik harus dirundingkan dulu dengan para
kawan.”
"Samko, keadaan sudah
mendesak, seorang diri Piauko telah masuk ke Siau-lim-si yang terkenal sangat
banyak jago-jago pilihan, maka kita harus lekas-lekas pergi membantunya,
mengapa mesti ragu-ragu dan pakai berunding dulu segala?” ujar Giok-yan tak
sabar.
"Bukan, bukan!” demikian
Pau-samsiansing dengan istilahnya yang khas. "Siaumoay, engkau masih
terlalu muda dan tidak kenal betapa palsunya hati manusia. Kepergian
Buyung-hiante ke Siau-lim-si sekali ini agak berbeda daripada tindak tanduk
biasanya. Karena itu aku telah pergi mencari Ting-toako untuk berunding, tapi
rumahnya kosong, lalu aku pergi ke Jik-sia-cheng, tapi Kongya-jiko suami istri
juga tidak di rumah. Coba pikir, bukankah ini agak ganjil?”
"Ting-toasiok ... O,
Ting-toako dan Kongya-jiko mereka sudah biasa pergi keluar rumah, hal ini toh
tidak perlu diherankan?” ujar Giok-yan.
"Bukan, bulan,!” kata
Pau-samsiansing sambil menggeleng. "Menurut para Koankeh di sana, katanya
Toako dan Jiko suami-istri waktu meninggalkan rumah tampaknya sangat
tergesa-gesa dan tidak meninggalkan sesuatu untukku. Bukankah hal ini sangat
aneh dan luar biasa?”
Sudah tentu Toan Ki sama
sekali tidak dapat mengikuti percakapan mereka tentang Ting-toako dan
Kongyajiko apa segala, ia taksir orang-orang itu adalah kaum kerabat mereka dan
merupakan begundal Buyungkongcu.
Tidak lama, dua pelayan
laki-laki mengantarkan masakan yang masih panas. Kata A Cu dengan tertawa,
"Samko, hari ini Siaumoay tak dapat memasak sendiri bagimu, lain kali
tentu akan kuganti kekurangan ini ....”
Baru sekian bicaranya,
tiba-tiba terdengar suara nyaring kelinting-kelinting dua kali di udara.
"Itu dia, Jiko telah
kirim berita kemari,” seru Pau-samsiansing bersama A Cu dan A Pik berbareng.
Serentak mereka lari keluar
rumah dan melihat seekor burung merpati putih sedang mengitar di udara,
mendadak merpati itu menukik ke bawah dan hinggap di pundak A Cu.
Segera A Pik melepaskan sebuah
ikatan di kaki merpati itu, sesudah dibuka bungkusan kecil itu adalah secarik
kertas. Cepat Pau-samsiansing menyambut untuk dilihatnya. Kemudian ia lantas
berseru, "Aha, jika begitu, kita harus lekas berangkat!”
Beramai-ramai mereka lantas
berlari masuk dan berkata kepada Giok-yan, "Engkau mau ikut pergi atau
tidak?”
"Pergi ke mana dan
tentang urusan apa?” tanya si gadis.
"Jiko mengirim surat,
katanya Buyung-hiante sudah mengadakan perjanjian dengan tujuh golongan dan
aliran dari provinsi-provinsi Holam, Hopak, Soatang, dan Soasay, untuk
bertanding di kota Celam pada tanggal 24 bulan tiga. Hari ini adalah tanggal
12, jadi masih ada waktu 12 hari, engkau mau ikut ke Celam atau tidak?”
"Sudah tentu ikut,” sahut
Giok-yan cepat dengan girang. "Dia dalam surat mengatakan apa lagi?”
"Ehm, dalam surat A Cu
disuruh berusaha mencari Ting-toako, Hong-sute dan diriku agar beramai-ramai
pergi ke sana.” Sahut Pau-samsiansing. "Tampaknya pihak musuh sangat kuat
dan susah ditempur.”
"Samko,” sela A Cu
tiba-tiba, "Jiko dan Jiso biasanya sangat angkuh, betapa pun tangguhnya
musuh juga tidak pernah mengirim surat untuk minta bala bantuan. Tapi sekali
ini telah minta kita keluar semua, mungkin pihak lawan benar-benar sangat
lihai.”
"Tabiat Loji memang
seperti apa yang kau katakan,” sahut Pau-samsiansing dengan tertawa, "tapi
kupikir sebabnya dia minta bala bantuan agaknya bukan untuk kepentingannya,
tapi demi kepentingan Buyunghiante.”
Mendengar Buyung-kongcu
disinggung, Giok-yan menjadi ketarik dan cepat menanya, "Sebab apa demi
untuk dia?”
Jilid 22
"Ilmu silat Loji dengan sendirinya
bukan nomor satu di dunia ini,” demikian tutur Pau-sam. "Tapi kalau dia
tak sanggup melawan orang dan ingin melarikan diri, kuyakin di jagat ini juga
tiada seorang pun mampu menahannya. Apalagi mereka suami-istri gabung bersama,
tiada seorang pun yang mereka takuti. Tapi demi keselamatan Buyung-hiante, ia
pikir mendatangkan bala bantuan lebih banyak akan lebih baik.”
"Apa yang dikatakan tujuh
golongan dan aliran keempat provinsi itu entah terdiri dari orang-orang macam
apa?” tanya Giok-yan. Terhadap ilmu silat dari berbagai aliran tiada satu pun
yang tak dikenalnya. Maka asal ia tahu dari golongan atau aliran mana, untuk
menghadapinya menjadi sangat mudah.
Setelah membaca pula surat
itu, Pau-sam menjawab, "Dalam surat Jiko ini tidak diterangkan siapa-siapa
ketujuh aliran dan golongan itu. Agaknya dia sendiri tidak tahu, biasanya Jiko
sangat cermat setiap tindak tanduknya, kalau tahu tentu dia jelaskan di sini.”
Habis ini, mendadak ia
berpaling kepada Toan Ki dan berkata kepadanya, "Hai, orang she Toan,
sekarang silakan kau pergi saja! Kami hendak berunding urusan pribadi, tidak
perlu kau ikut serta. Kami pergi bertanding dengan orang juga tidak perlu
kehadiranmu untuk memberi sorakan.”
Dari tadi Toan Ki memang
sedang merasa sangat tawar karena dirinya hanya mendengarkan percakapan mereka
tentang Buyung-kongcu hendak bertanding dengan orang. Kini secara
terang-terangan Pau-samsiansing menuding pintu pula baginya, keruan ia tambah
tersinggung. Meski rasanya sangat berat meninggalkan Giokyan, namun dia toh
tidak dapat tinggal di situ tanpa kenal malu.
Maka dengan keraskan hati
segera ia berkata, "Baiklah, Ong-kohnio, nona-nona A Cu dan A Pik,
sekarang juga kumohon diri saja, sampai berjumpa pula.”
"Tengah malam buta engkau
hendak pergi ke mana?” tanya Giok-yan. "Apalagi jalanan air di sini engkau
juga tidak paham, lebih baik engkau tinggal semalam di sini, esok pagi engkau
boleh berangkat.”
Ucapan Giok-yan seperti
menahan tamunya agar jangan pergi dulu, tapi Toan Ki dapat menyelami perasaan
gadis itu jelas sudah melayang kepada diri Buyung-kongcu. Mau tak mau Toan Ki
jadi dongkol dan merasa terhina.
Jelek-jelek dia adalah calon
putra mahkota kerajaan Tayli, sejak kecil ia pun biasa disanjung puji, walaupun
sejak berkelana di Kangouw
telah banyak mengalami penderitaan dan bahaya, tapi belum pernah dipandang
rendah sebagai sekarang ini. Maka katanya segera, "Berangkat sekarang atau
besok sama saja, biarlah aku mohon diri.”
"Jika begitu, akan
kusuruh orang mengantar engkau keluar dari danau ini,” kata A Cu.
Melihat A Cu juga tidak
menahannya, Toan Ki tambah kurang senang. Ia semakin iri kepada Buyung-kongcu
yang dipuja berlebih-lebihan itu. Maka jawabnya, "Tidak perlu antar, cukup
pinjamkan sebuah perahu, biar aku mendayung sendiri ke mana saja tibanya
nanti.”
"Engkau kurang paham
jalanan air di danau luas itu, mungkin engkau akan kesasar,” ujar A Pik.
Namun dengan marah-marah Toan
Ki lantas menyahut, "Kalian sudah memperoleh kabar Buyung-kongcu, maka
lekas berunding untuk pergi membantunya. Aku tiada punya perjanjian apa-apa
dengan jago silat segala, pula bukan Piaute kalian, tidak perlu kalian
pikirkan.”
Habis berkata, dengan langkah
lebar ia lantas bertindak keluar.
A Cu dan A Pik terpaksa
mengantar tamunya keluar. Kata A Pik, "Toan-kongcu, kelak kalau bertemu
dengan Kongcu kami, boleh jadi kalian akan menjadi sahabat baik.”
"Ah, mana aku berani
mengharapkan,” sahut Toan Ki dingin.
Mendengar nada perkataan
pemuda itu agak marah, A Pik menjadi heran, ia tanya, "Toan-kongcu, sebab
apakah engkau kurang senang? Apakah pelayanan kami ada yang kurang sempurna?”
"Ya, sifat Pau-samko kami
memang begitulah, jika Toan-kongcu merasa tersinggung, harap dimaafkan,” A Cu
ikut berkata.
Toan Ki tidak bicara lagi,
cepat ia menuju ke tepi danau dan melompat ke dalam perahu, ia angkat
pengayuhnya terus didayung sekuatnya ke tengah danau. Ia merasa dadanya sesak,
apa sebabnya, ia sendiri tidak dapat menerangkan. Yang terpikir olehnya adalah
selekasnya pergi, kalau tinggal lebih lama di situ, boleh jadi air matanya akan
meleleh keluar.
Sudah banyak Toan Ki
menderita. Ia pernah dianiaya orang Bu-liang-kiam dan Sin-long-pang, pernah
disiksa Lam-hay-gok-sin, pernah dikurung oleh Yan-king Taycu dan pernah diculik
Ciumoti dari Hunlam hingga sampai di daerah Koh-soh. Duka derita kesemua itu
belum pernah dirasakannya sehebat sekarang ini.
Padahal di dalam
Thing-hiang-cing-sik itu tiada seorang pun yang menyinggungnya. Pau-samsiansing
walaupun kasar padanya, tapi tidak keterlaluan seperti dia memperlakukan Cu
Po-kun dan Yau Pek-tong. Giokyan juga sudah buka suara minta ia tinggal lagi
semalam, A Cu dan A Pik juga mengantarnya keluar dengan ramah tamah. Akan
tetapi perasaan Toan Ki justru sangat gundah dan kesal tak terkatakan.
Angin malam meniup sepoi-sepoi
di tengah danau dengan harum bunga teratai yang semerbak, Toan Ki mendayung
terus dengan perasaan yang tetap kesal. Sungguh ia tidak tahu apa yang ia
kesalkan dan kepada siapa ia mesti kuras rasa kesalnya itu.
Dahulu ketika ia dianiaya dan
disiksa oleh Lam-hay-gok-sin, Yan-king Taycu dan lain-lain derita waktu itu
sangat hebat, tetapi semuanya itu ia hadapi dengan lapang dada.
Tapi sekarang benar-benar luar
biasa. Lamat-lamat hati kecilnya merasa kesalnya ini disebabkan ia jatuh cinta
kepada Ong Giok-yan, sebaliknya dalam hati si nona ternyata tiada tempat bagi
Toan Ki, bahkan dayangdayang seperti Cu dan A Pik juga pandang sebelah mata
padanya.
Padahal sejak kecil Toan Ki
sudah disanjung sebagai permata hati oleh ayah-bunda, bahkan raja dan ratu
negeri Tayli juga sangat sayang padanya. Malahan musuh sekalipun seperti
Lam-hay-gok-sin melihat dia juga lantas kepincut dan ingin mengambilnya sebagai
murid. Lebih-lebih gadis jelita seperti Ciong Ling dan Bok Wanjing, siapa yang
tidak jatuh hati padanya?
Tapi hari ini benar-benar
untuk pertama kalinya ia dihadapkan pada sikap dingin, meski orang lain cukup
menghormat padanya, tapi hormat itu adalah hormat tanpa perhatian.
Terasa olehnya bahwa dalam
pandangan orang, kedudukan Buyung-kongcu jauh lebih penting daripadanya. Selama
beberapa hari ini, Buyung-kongcu itu seakan-akan menjadi pusat perhatian setiap
orang. Siapa saja asal menyebut Buyung-kongcu seketika menimbulkan perhatian
setiap orang. Giok-yan, A Cu, A Pik, Ong-hujin, Pau-samsiansing dan orang yang
disebut Ting-toaya, Kongya-jiya, Hong-suya segala, semuanya seperti dilahirkan
melulu untuk menjunjung Buyung-kongcu.
Selama hidup Toan Ki tidak
pernah merasa iri dan cemburu, kini seorang diri berada dalam perahu di tengah
danau seluas ini, samar-samar ia seperti melihat bayangan Buyung-kongcu sedang
tertawa ejek padanya, "Toan Ki, wahai Toan Ki. Bukankah engkau ini mirip
si cebol merindukan rembulan? Haha, apa engkau tidak merasa malu?”
Karena kesal hatinya, caranya
mendayung menjadi sekuat-kuatnya. Sampai lebih satu jam lamanya, bukannya ia
merasa lelah, sebaliknya tenaga dalamnya semakin berkobar dan penuh semangat.
Dan karena berkobarnya semangat itu, rasa kesalnya perlahan lenyap juga.
Setelah mendayung pula
satu-dua jam lamanya, fajar sudah mulai menyingsing, ufuk timur mulai terang.
Ia lihat di sisi utara di balik awan yang tebal itu menjulang tinggi sebuah
gunung. Ia coba menaksir kedudukannya waktu itu berada di mana, ia taksir
Thing-hiang-cing-sik dan Khim-im-siau-tiok itu berada di arah timur, maka asal
perahu itu didayungnya ke utara, dengan sendirinya takkan balik kembali ke
tempat semula.
Tapi aneh, setiap ia mendayung
sekali, hatinya bertambah berat rasanya, tanpa terasa terkenang olehnya akan
diri Giok-yan yang semakin jauh ditinggalkan itu.
Sekitar tengah hari, Toan Ki
telah mendayung perahunya sampai di kaki gunung itu. Ia coba mendarat dan tanya
penduduk setempat. Kiranya gunung itu bernama Ma-jik-san atau gunung tapak
kuda, jaraknya dengan kota Bu-sik sudah tak seberapa jauh lagi.
Ketika di Tayli pernah juga
Toan Ki membaca nama Bu-sik itu adalah sebuah kota yang terkenal. Ia pikir toh
tiada pekerjaan apa-apa, biarlah pergi ke kota itu saja.
Segera ia kembali ke atas
perahu dan mendayung pula ke utara, tiada sejam kemudian, tibalah dia di tepi
kota Bu-sik.
Ia tinggalkan perahunya dan
masuk ke kota. Ia lihat orang ramai berlalu-lalang di dalam kota, dibandingkan
kota Tayli, masing-masing memang mempunyai suasana sendiri-sendiri.
Ia berjalan terus sambil
menikmati pemandangan kota. Tiba-tiba ia mengendus bau sedapnya masakan. Sudah
setengah harian ia tidak makan, ditambah mendayung perahu selama beberapa jam,
ia menjadi sangat lapar. Maka ia kegirangan demi mengendus bau makanan lezat
itu.
Cepat ia menuju ke arah bau
sedap itu. Setelah membelok sebuah jalan, ia lihat sebuah restoran besar, papan
mereknya tertulis tiga huruf "Siong-ho-loa” yang sangat besar. Bau sedap
masakan itu ternyata tersiar dari restoran ini. Malahan sesudah dekat, terdengarlah
suara sibuk pelayan restoran itu sedang melayani tetamunya, hal ini menandakan
restoran itu pasti sangat tersohor di kota ini.
Segera Toan Ki masuk dan naik
ke atas loteng restoran, pelayan memapaknya dengan sangat hormat serta
menyilakannya memilih tempat duduk.
Toan Ki minta disediakan
sepoci arak, empat macam makanan. Sambil bersandar di langkan loteng restoran,
ia makan minum sendiri. Mendadak hatinya terasa kesepian dan masygul. Tanpa
merasa ia menghela napas panjang.
Karena itu, tiba-tiba seorang
laki-laki yang duduk di depannya menoleh, sinar matanya yang tajam mengilat itu
mengerling dua kali pada Toan Ki.
Waktu Toan Ki balas pandang
orang, ia lihat perawakan orang itu sangat gagah, usianya kurang lebih 33-34
tahun, berbaju besar beraut muka lebar. Walaupun wajahnya tidak bisa dikatakan
cakap, tapi gagah dan berwibawa.
Diam-diam Toan Ki menanggapi,
"Sungguh seorang yang hebat! Pastilah seorang kesatria pilihan, baik di
Kanglam maupun di Tayli pasti sukar mendapatkan kesatria semacam ini.”
Ia lihat di atas meja
laki-laki itu tertaruh senampan daging masak, semangkuk kuah dan sepoci arak,
kecuali itu tiada masakan lain, suatu tanda cara makan minum orang itu pun
sangat sederhana.
Setelah memandang
sekejap-dua-kejap kepada Toan Ki, tampaknya laki-laki itu merasa agak heran,
tapi ia pun tidak urus lebih jauh dan berpaling pula ke sana untuk makan minum
sendiri.
Toan Ki sedang merasa
kesepian, maka bermaksud mencari sahabat. Segera ia panggil pelayan, katanya
sambil menunjuk bayangan belakang laki-laki itu, "Sebentar rekening tuan
ini sekalian dihitung ke dalam rekeningku.”
Rupanya laki-laki gagah itu
mendengar ucapan Toan Ki, ia menoleh dan tersenyum serta mengangguk perlahan,
tapi tidak berkata apa-apa. Maksud Toan Ki hendak berkenalan untuk
menghilangkan kesepian menjadi belum ada kesempatan.
Setelah minum beberapa cawan
lagi, Toan Ki mendengar tangga loteng berdetak, dari bawah naik pula dua orang.
Seorang yang berjalan di depan sebelah kakinya pincang, maka ia membawa
tongkat, tapi jalannya tetap sangat cepat. Orang kedua adalah seorang kakek
yang bermuka muram durja seperti kebanyakan utang.
Pakaian kedua orang itu pun
berwarna kelabu. Mereka mendekati meja laki-laki tadi dan memberi hormat dengan
membungkuk. Laki-laki muda itu cuma manggut-manggut saja tanpa berdiri atau
membalas hormat.
Maka berkatalah si pincang
dengan hormat, "Lapor Toako, pihak lawan menentukan tengah malam nanti
bertemu di gardu pemandangan di atas Hui-san.”
"Malam ini?” kata
laki-laki muda itu sambil mengangguk. "Apakah tidak terlalu mendesak
waktunya?”
"Sebenarnya kita tetapkan
pertemuan dengan mereka tiga hari lagi,” tutur si kakek. "Tapi pihak lawan
rupanya mengetahui jumlah kita tidak seberapa orang, mereka sengaja
berolok-olok, katanya kalau kita tidak berani menepati janji, malam nanti tidak
usah datang ke sana.”
"Baiklah,” sahut
laki-laki muda itu. "Sekarang juga sampaikan kepada kawan-kawan agar
sebelum tengah malam nanti beramai-ramai kita berkumpul di Hui-san. Kita harus
tiba di sana lebih dulu untuk menunggu kedatangan pihak lawan.”
Kedua orang itu mengiakan dan
turun lagi ke bawah loteng.
Percakapan ketiga orang itu
sebenarnya dilakukan dengan perlahan, tamu lain di atas loteng itu tiada yang
dengar. Tapi Lwekang Toan Ki sekarang sudah sangat tinggi, matanya jeli dan
telinganya tajam, meski dia tidak sengaja mendengarkan percakapan mereka, namun
dengan sendirinya apa yang dibicarakan orang-orang itu terdengar olehnya.
Seperti tidak sengaja
tiba-tiba laki-laki itu berpaling ke arah Toan Ki. Melihat pemuda itu sedang
termangumangu, terang lagi memerhatikan percakapannya mendadak sinar mata
laki-laki itu memancar tajam hingga Toan Ki terkejut, tanpa terasa cawan yang
dipegang tangan kirinya terjatuh dan terbanting hancur.
"Ada urusan apakah
saudara ini menjadi gugup?” kata laki-laki itu sambil tersenyum. "Apa sekiranya
sudi pindah ke meja sini, marilah kita minum bersama?”
"Bagus, bagus sekali!”
sambut Toan Ki dengan gembira. Segera ia minta pelayan memindahkan
mangkukpiringnya ke meja orang itu kemudian ia tanya nama orang.
"Sudah tahu, mengapa
saudara pura-pura tanya?” demikian jawab laki-laki itu dengan tertawa.
"Kita tidak perlu saling tanya, minumlah beberapa mangkuk, bukankah suatu
pertemuan yang menggembirakan? Bila nanti kawan atau lawan sudah menjadi terang
tentu takkan gembira seperti ini.”
Toan Ki rada heran oleh
jawaban itu. Dengan tersenyum ia berkata pula, "Rasanya Hengtay (saudara
terhormat) telah salah mengenali orang dan menyangka aku sebagai musuh. Tapi
kata-kata ‘tidak perlu saling tanya’ menang sangat cocok dengan seleraku.
Marilah minum, silakan!”
Segera ia menuang secawan
penuh dan sekali tenggak dihabiskan.
"Saudara ini ternyata
suka bicara secara blakblakan dan tidak mirip seorang Susing (kaum pelajar)
yang tengik tingkah lakunya,” ujar laki-laki itu dengan tersenyum.
"Rupanya boleh juga kekuatan minum saudara, cuma cawanmu itu terlalu
kecil!”
Segera ia berteriak,
"Hai, pelayan, ambilkan dua mangkuk besar dan bawakan 10 kati
Ko-liang-ciu.”
Mendengar laki-laki itu pesan
10 kati arak Ko-liang-ciu yang terkenal keras, keruan Toan Ki dan si pelayan
kaget semua.
"Tuan besar,” dengan
tertawa si pelayan coba tanya, "sepuluh kati Ko-liang-ciu apakah dapat
habis?”
"Kongcuya ini sudah
menyatakan akan menanggung pembayaranku, kenapa kau menghemat baginya?” kata
laki-laki itu sambil tunjuk Toan Ki. "Ayo, lekas ambilkan, kalau 10 kati
kurang, sebentar ambilkan lagi 20 kati.”
Pelayan itu tidak berani
banyak omong lagi, dengan tertawa segera ia lari pergi menyediakan pesanan itu.
Tidak antara lama, dua mangkuk besar dan satu guci arak sudah tertaruh di atas
meja.
"Tuanglah sepenuhnya
kedua mangkuk itu,” perintah laki-laki itu.
Pelayan menurut membuka guci,
ia isi penuh kedua mangkuk itu dengan arak Ko-liang itu hingga hampir luber.
Seketika hidung Toan Ki
terserengguk oleh bau arak yang keras itu hingga rasanya memabukkan. Waktu
tinggal di rumah sendiri, paling-paling ia cuma terkadang minum secawan dua
cawan bilamana suka dan belum pernah menyaksikan orang minum arak dengan memakai
mangkuk sebesar itu, apalagi isinya adalah Ko-liangciu yang keras. Keruan ia
berkerut kening.
"Ayolah kita
masing-masing minum sepuluh mangkuk, habis itu, anggaplah kita sudah
bersahabat, sudikah engkau?” tanya laki-laki itu tertawa.
Melihat waktu bicara sorot
mata orang mengandung rasa memandang rendah dan menyindir, jika dalam keadaan
biasa, tentu Toan Ki menolaknya dan menyatakan terima kasih, tapi semalam ia
habis dihina dan kenyang diperlakukan dengan kasar di Thing-hiang-cing-sik,
kini melihat sikap orang ini besar kemungkinan adalah sekomplotan dengan
Buyung-kongcu, kalau bukan Ting-toaya, Kongya-jiya, tentulah Hong-siya. Katanya
mereka sudah berjanji akan bertempur melawan jago-jago tujuh aliran besar dari
berbagai provinsi. Hm, Buyung-kongcu itu kutu macam apa? Aku justru tidak sudi
dihina oleh begundalnya, paling-paling mati mabuk, kenapa aku mesti takut.
Karena pikiran itu, segera
Toan Ki membusungkan dada dan menyahut, "Marilah, sudah tentu kuterima
ajakan Hengtay, cuma sebentar bila aku mabuk, tentu akan bikin susah pada
Hengtay.”
Habis berkata, tanpa pikir ia
terus angkat mangkuk di depannya dan sekali tenggak habislah isi mangkuk itu
mengalir ke dalam perutnya.
Sebabnya dia nekat
menghabiskan arak semangkuk penuh itu adalah karena rasa tidak mau kalah,
biarpun Ong Giok-yan tidak di situ, tapi Toan Ki anggap seperti sedang
diperlihatkan kepada nona itu sebagai tanda tidak mau kalah daripada Buyung
Hok. Jangankan cuma semangkuk arak, sekalipun yang harus diminum itu racun juga
tanpa ragu akan diminumnya.
Melihat cara minum Toan Ki
sangat cepat, hal ini rada di luar dugaan laki-laki itu, ia terbahak-bahak dan
berkata, "Sungguh menyenangkan cara minum saudara ini!”
Segera ia pun angkat
mangkuknya dan menenggak habis isinya. Menyusul ia menuang dua mangkuk penuh
pula.
"Ehm, arak bagus, arak
bagus!” seru Toan Ki dengan tertawa. Dan kembali mangkuk diangkatnya dan
ditenggaknya hingga kering.
Laki-laki itu menirukan juga
menghabiskan isi mangkuknya, lalu menuang lagi dua mangkuk.
Semangkuk penuh itu isinya
satu kati arak. Kini dalam perut Toan Ki sudah terisi dua kati arak keras,
keruan
perutnya terasa panas bagai
dibakar, kepalanya juga mulai pusing, tapi masih teringat olehnya, "Hm,
Buyung Hok itu kutu macam apa? Masakah aku kalah daripada begundalnya?”
Karena itu, untuk ketiga
kalinya mangkuk diangkat pula dan diminum habis.
Melihat muka pemuda itu dalam
sekejap saja sudah merah membara, diam-diam laki-laki itu merasa geli, ia yakin
setelah menghabiskan tiga mangkuk arak itu, sebentar lagi pasti Toan Ki akan
menggeletak mabuk.
Setelah minum mangkuk kedua
tadi memang rasa Toan Ki sudah mual dan ingin tumpah, kini ditambahi pula isi
mangkuk ketiga itu, keruan isi perutnya seketika bagai diaduk-aduk dan
berjungkir balik.
Namun ia tutup mulut
rapat-rapat supaya air arak itu tidak tersembur keluar. Sekonyong-konyong
perutnya terasa bergetar, arus hawa murni menerjang ke atas hingga keadaan
badan rasanya seperti dahulu waktu hawa murni dalam tubuh tak dapat dipusatkan,
segera ia menurut ajaran sang paman tempo hari untuk menarik hawa murni ke
"Tay-cui-hiat” di pusatnya.
Tak terduga, karena arak yang
diminumnya terlalu banyak, arak itu ikut terbawa hawa murni itu hingga tidak
dapat terhimpun di Tay-cui-hiat, sebaliknya terus merembes ke Thian-cong-hiat
di bagian bahu, terpaksa Toan Ki membiarkannya, dan arak itu terus menyusur ke
Kok-cin-hiat di lengan kiri, dari situ akhirnya sampai di Siau-tik-hiat di jari
kecil kiri, maka tercurah keluarlah arak itu bagai mata air.
Jalan yang dilalui hawa murni
yang dikerahkannya sekarang tiada ubahnya seperti "Siau-tik-kiam”, yaitu
satu di antara "Lak-meh-sin-kiam” dari keluarga Toan mereka yang hebat
itu. Sebenarnya Siau-tik-kiam itu adalah semacam hawa pedang yang tanpa wujud,
tapi kini dari jari kecilnya itu ternyata menetes keluar air arak dengan
perlahan.
Tantang air arak menetes
keluar dari jari kecilnya, semula Toan Ki sendiri tidak tahu, menyusul
"Koan-cionghiat” di jari manis kiri pun merembes keluar air arak. Maka
sebentar saja pikiran Toan Ki sudah jernih kembali.
Karena tangan kiri Toan Ki itu
dilambaikan ke bawah, maka apa yang terjadi itu tidak diketahui oleh laki-laki
itu.
Ketika dilihatnya muka Toan Ki
yang tadinya merah, sinar matanya buram sebagaimana biasanya orang mabuk, tapi
hanya sekejap saja kembali mukanya bercahaya dan segar penuh semangat, keruan
orang itu terheran-heran, katanya dengan tertawa, "Tampaknya Hengtay ini
lemah gemulai, tapi kekuatan minum arak ternyata sangat hebat.”
Habis berkata, kembali ia
menuang penuh dua mangkuk.
"Kekuatan minumku ini
tergantung dari keadaan,” ujar Toan Ki dengan tertawa. "Kata orang,
‘ketemu sobat sejati, seribu cawan arak pun sedikit’. Menurut perkiraanku, isi
mangkuk ini paling-paling sama banyaknya dengan isi 20 cawan. Maka untuk
mencukupi seribu cawan, sedikitnya harus 50 mangkuk besar ini terisi penuh.
Cuma Siaute mungkin tidak sanggup menghabiskan 50 mangkuk ini.”
Sembari berkata, segera tangan
kanan mengangkat pula mangkuknya dan kembali diminum habis.
Karena tangan kirinya terjulur
ke bawah dan bersandar di langkan jendela, maka air arak yang merembes keluar
dari jari kecil dan manis tangan kiri itu lantas mengalir ke bawah melalui
dinding yang bergandengan dengan langkan jendela itu.
Tentu saja tiada seorang pun
yang tahu akan kejadian itu dan tiada sedikit pun tanda yang mencurigakan. Maka
tidak antara lama empat mangkuk arak yang diminumnya itu merembes keluar semua
melalui jari tangannya itu.
Orang itu sebenarnya yakin
dirinya pasti paling kuat minum arak di seluruh jagat ini, tapi kini melihat
seorang pelajar kurus lemah seperti Toan Ki ternyata sekaligus mampu menghabiskan
empat mangkuk arak keras tanpa sinting sedikit pun, keruan ia terheran-heran.
Katanya kemudian, "Bagus, bagus! Memang seribu cawan terlalu sedikit minum
bersama sobat sejati. Marilah kuminum dulu.”
Segera ia menuang dua mangkuk
penuh dan berturut-turut dihabiskannya. Lalu ia menuangkan dua mangkuk pula
untuk Toan Ki. Sekarang Toan Ki sengaja pamerkan kekuatannya minum arak dengan
acuh tak acuh serta bersenda gurau, ia tenggak pula kedua mangkuk arak itu
seperti orang sedang minum teh saja.
Tentu saja perlombaan minum
arak mereka ini menggemparkan tamu-tamu lain, bahkan tukang api, tukang masak
dan kuasa restoran sama datang merubung untuk menyaksikan cara minum mereka.
"Pelayan,” tiba-tiba
laki-laki itu berseru, "lekas ambilkan pula 20 kati arak!”
Pelayan melelet lidah, tapi ia
tidak berani banyak omong terus berlari ke belakang untuk mengeluarkan pula
satu guci arak yang dua kali lebih besar daripada tadi.
Begitulah satu mangkuk sama
satu mangkuk Toan Ki bergiliran minum dengan laki-laki itu, tampaknya kekuatan
kedua orang setanding, maka tiada setengah jam, masing-masing orang sudah
menghabiskan lebih 30 mangkuk.
Dengan sendirinya Toan Ki tahu
dirinya main sulap dengan jari, arak yang diminumnya itu cuma menyalur ke dalam
tubuh untuk kemudian mengalir keluar lagi dengan cepat, maka kekuatan minumnya
boleh dikatakan tanpa takaran, biarpun seratus atau dua ratus mangkuk juga
bukan apa-apa baginya.
Sebaliknya laki-laki itu
benar-benar minum dengan kepandaian yang sejati. Tampaknya sudah lebih 30
mangkuk arak ditenggaknya, tapi mukanya masih tetap tenang-tenang saja tanpa
ada tanda mabuk sedikit pun, mau tak mau Toan Ki sangat kagum juga.
Dan karena melihat laki-laki
itu sangat gagah perkasa, perasaan permusuhan Toan Ki semula karena menganggap
orang adalah begundal Buyung-kongcu, kini berbalik timbul rasa suka bersahabat
dengan lakilaki itu. Diam-diam Toan Ki pikir, "Jika minum secara begini
dipaksakan terus, sudah tentu aku takkan kalah, tapi bagi orang ini tentu
kesehatannya akan terganggu.”
Karena itu, setelah persis
minum sampai 40 mangkuk, segera Toan Ki buka suara, "Kita masing-masing
sudah minum 40 mangkuk bukan, saudara?”
"Hitungan Hengtay
ternyata tepat,” ujar laki-laki itu dengan tertawa.
"Rupanya kita benar-benar
telah ketemukan tandingan yang setimpal dan sama-sama kuat,” kata Toan Ki
dengan tertawa. "Untuk bisa menentukan kalah atau menang, mungkin tidaklah
mudah. Tapi kalau kita minum terus tanpa batas seperti wah, isi kantongku yang
bakal jebol, pasti tidak cukup untuk membayar.”
Habis berkata, terus saja ia
merogoh saku dan mengeluarkan sebuah dompet sulaman indah dan dilemparkan ke
atas meja. "Tek”, memang benar isi dompetnya itu agak kempis.
Sebagai seorang pangeran,
dengan sendirinya Toan Ki tidak perlu banyak membekal uang, sebab kalau perlu
tentu ada pengawalnya yang akan membayarkan kepentingannya. Apalagi datangnya
ke Kanglam ini karena diculik oleh Ciumoti, dengan sendirinya berangkatnya itu
tiada membawa sangu apa-apa.
Dompet kain sulaman yang
dikeluarkannya ini sangat indah, sekali pandang saja orang akan tahu adalah
benda yang bernilai, tapi isinya memang kempis, hal ini pun sekali pandang saja
orang akan tahu.
Maka tertawalah laki-laki itu,
katanya tiba-tiba kepada salah seorang tamu restoran yang gemuk,
"Thio-toaya, rekening kami ini haraplah suka kau bereskannya.”
Tetamu gemuk itu adalah
seorang saudagar setengah umur, ia menjawab dengan tertawa, "Sudah tentu,
sudah tentu! Jika Kiau-toako sudi memberi muka, pasti Siaute akan menjadi tuan
rumah sekadarnya.”
Habis berkata, ia terus
mengeluarkan serenceng uang perak dan diserahkan kepada pelayan.
"Terima kasih!” kata
laki-laki itu sambil memberi hormat. Lalu Toan Ki digandengnya keluar sambil
berkata, "Sobat baik, marilah kita pergi!”
Sungguh girang Toan Ki tak
terkatakan. Selama tinggal di negeri Tayli ia adalah putra pangeran yang
diagungkan, jarang bisa bergaul dengan kawan-kawan baik sejati. Tapi hari ini tanpa
susah-susah, bukan dengan ilmu sastra atau ilmu silat, tapi hanya dengan cara
yang aneh, yaitu berlomba minum arak, dan dapatlah mengikat persahabatan dengan
seorang laki-laki segagah ini, sungguh kejadian ini dirasakannya sebagai
sesuatu yang paling aneh selama hidupnya.
Sambil menggandeng tangan Toan
Ki, laki-laki itu lantas mengajaknya turun ke bawah loteng dan meninggalkan
restoran itu. Jalan laki-laki itu makin lama makin cepat, hanya sebentar saja
mereka sudah sampai di luar kota.
Langkah laki-laki itu
bertambah cepat lagi mengikuti jalan raya. Toan Ki himpun tenaga dan selalu
berjalan berendeng dengan laki-laki itu, meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi
tenaga dalamnya sangat kuat, kalau cuma berjalan cepat seperti itu, sama sekali
takkan membuatnya lelah atau tersengal-sengal.
Melihat Toan Ki mengikuti
jalannya dengan sama cepatnya, laki-laki itu tersenyum, katanya, "Sobat
baik, marilah kita berlomba lari!”
Toan Ki menjadi ragu, ia
sendiri tidak pernah belajar ilmu silat atau Ginkang segala, cara bagaimana
sanggup berlomba dengan orang. Celakanya, sehabis laki-laki itu berkata tadi,
tanpa tunggu jawaban Toan Ki terus saja orang tarik tangan anak muda itu dan
dilarikan secepat terbang ke depan.
Karena tidak siap sebelumnya,
sesudah ikut lari beberapa langkah, hampir saja ia jatuh tersandung, syukur ia
dapat menggeser kaki kiri ke samping, dengan demikian barulah ia dapat berdiri
tegak lagi. Ternyata langkahnya yang tidak sengaja ini tepat adalah salah satu
ilmu langkah dari "Leng-po-wi-poh” yang pernah diyakinkannya itu.
Dan karena langkah yang tak
sengaja tapi tepat itu, tanpa terasa ia terus dapat mendahului malah hingga
beberapa tindak di muka.
Toan Ki merasa senang, maka
langkah kedua segera pakai "Leng-po-wi-poh” pula. Cuma waktu menjalankan
ilmu langkah ini harus mencurahkan perhatian sepenuhnya dan tidak boleh
berpikir lain.
Tadi ia bergandengan tangan
dengan laki-laki itu sambil menahan tenaga dalamnya menurut ajaran sang paman
hingga Cu-hap-sin-kang dalam tubuh tidak sampai menyedot hawa murni laki-laki
itu. Tapi kini sekali ia menggunakan langkah "Leng-po-wi-poh”, seketika
tubuh laki-laki itu tergetar, kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk
melepaskan tangannya.
Maka kedua orang itu sekarang
berlari berjajar, begitu cepat mereka berlari hingga pohon-pohon di tepi jalan
seakan-akan melayang lewat di samping mereka.
Waktu Toan Ki mempelajari
"Leng-po-wi-poh” itu sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kepandaian itu
akan dipakai untuk berlomba lari dengan orang. Tapi kini sekali dia mainkan
ilmu langkah itu, sebagai anak panah yang sudah terpentang di busurnya, mau tak
mau harus dilepaskannya. Cuma pikiran untuk menangkan lakilaki itu juga tak ada
pada benaknya, ia cuma berlari menurutkan ilmu langkah yang sudah masak
diyakinkannya itu, ditambah Lwekangnya sangat tinggi, tentu saja larinya
melebihi juara marathon. Apakah laki-laki itu sudah mendahului atau masih
ketinggalan di belakang tak sempat dipikirnya lagi.
Dan lari laki-laki itu
ternyata makin lama yakin cepat. Hanya sekejap saja Toan Ki sudah ketinggalan
jauh di belakang. Tapi asal ayal sedikit, segera Toan Ki dapat menyusulnya
lagi. Ia coba melirik pemuda itu, ternyata tindakan Toan Ki tampak berlenggang
seenaknya saja, jadi seperti orang lagi berjalan jalan biasa, sedikit pun tiada
tanda dipaksakan.
Keruan laki-laki itu sangat
heran dan diam-diam bertambah kagum. Segera ia tancap gas hingga Toan Ki
tertinggal lagi di belakang.
Begitulah beberapa kali dicoba
dan laki-laki itu pun tahu tenaga dalam Toan Ki ternyata sangat kuat, untuk
menangkan anak muda itu dalam jarak dekat memang gampang, tapi kalau berlari
jauh, pasti dirinya akan menyerah kalah.
Mendadak ia terbahak-bahak,
lalu berhenti dan berduduk di atas batu di bawah pohon yang rindang, serunya,
"Buyung-kongcu, hari ini Kiau Hong benar-benar menyerah padamu, Koh-soh
Buyung memang bukan omong kosong belaka!”
Cepat Toan Ki berhenti juga,
dan ketika dipanggil sebagai "Buyung-kongcu”, keruan ia terheran-heran.
Segera jawabnya, "Siaute she Toan bernama Ki, berasal dari negeri Tayli,
agaknya Hengtay salah mengenali orang!”
Seketika wajah laki-laki itu
menampilkan rasa heran dan sangsi, katanya dengan tak lancar, "Apa? Kau
... kau ... bukan Buyung Hok, Buyung-kongcu?”
"Sejak Siaute datang di
Kanglam sini, setiap hari selalu mendengar orang menyebut nama Buyung-kongcu,
sungguh Siaute kagum tak terhingga kepada nama itu, cuma sayang sampai saat ini
tidak sempat berkenalan dengan dia,” demikian sahut Toan Ki.
Diam-diam ia pun heran,
laki-laki itu salah sangka dirinya sebagai Buyung Hok, sikapnya itu tampak
bukan pura-pura saja. Jika demikian, dengan sendirinya ia bukan begundal Buyung
Hok itu?
Berpikir demikian, makin besar
rasa sukanya kepada laki-laki itu, maka tanyanya, "Hengtay barusan
menyebut namanya sendiri, apakah benar she Kiau bernama Hong?”
"Benar, Cayhe Kiau Hong
adanya,” sahut laki-laki itu dengan tetap heran.
Toan Ki lantas duduk juga di
atas batu itu, katanya, "Siaute baru saja datang ke Kanglam sini lantas
dapat bersahabat dengan kesatria gagah seperti Kiau-heng, sungguh sangat
beruntung.”
"O, jadi engkau anak
murid keluarga Toan dari Tayli, pantas, pantas!” kata Kiau Hong sesudah
berpikir sejenak. "Toan-heng ada urusan apa datang ke daerah selatan
sini?”
"Sungguh memalukan kalau
diceritakan, kedatanganku ke sini sebenarnya ditawan orang,” tutur Toan Ki.
Lalu ia ceritakan
pengalamannya cara bagaimana Ciumoti menawannya dan menggondolnya ke sini serta
bertemu dengan kedua dayang Buyung Hok, semua itu ia tuturkan secara ringkas.
Namun begitu sedikit pun tidak mengurangi apa yang telah terjadi sebenarnya,
sama sekali ia tidak malu-malu untuk menceritakan tentang dirinya dihina dan
disiksa orang.
Habis mendengar, Kiau Hong
terheran-heran dan senang pula, katanya, "Toan-heng, engkau sungguh
seorang yang berhati jujur dan suka terus terang, biarpun baru kenal, namun
kita sudah bergaul sebagai kawan lama.
Jika engkau sudi, maukah kita
mengangkat saudara?”
Ternyata umur Kiau Hong lebih
tua 12 tahun daripada Toan Ki, dengan sendirinya Toan Ki harus memanggilnya
sebagai Toako dan Kiau Hong memanggilnya Hiante. Begitulah mereka mengadakan
upacara singkat dan sederhana untuk mengangkat saudara.
"Ketika di atas restoran
itu, Siaute dengar bahwa Toako telah berjanji untuk bertemu dengan musuh pada
malam ini,” demikian kata Toan Ki kemudian. "Meski Siaute tidak mahir ilmu
silat tapi juga ingin melihat ramai-ramai ke sana. Dapatkah Toako mengizinkan
Siaute ikut?”
Kiau Hong coba tanya lagi dan
benar-benar mengetahui Toan Ki memang tidak bisa ilmu silat, keruan ia tambah
heran, katanya, "Dengan tenaga dalam Hiante yang hebat ini untuk belajar
silat tingkat tinggi sudah tentu seperti orang merogoh saku mengambil barang
sendiri, sedikit pun tidak sukar. Kalau Hiante ingin menyaksikan pertempuran
malam ini, apa alangannya? Sebentar bolehlah ikut ke sana. Cuma musuh terlalu
ganas dan keji, Hiante sekali-kali jangan unjukkan diri.”
"Sudah tentu Siaute
menurut segala pesan Toako,” kata Toan Ki dengan girang.
"Dan sekarang waktunya
masih cukup, marilah kita kembali ke kota untuk minum arak pula, setelah itu
barulah kita berangkat ke Hui-san untuk menemui musuh,” ajak Kiau Hong.
Mendengar sang Toako ingin
minum arak lagi Toan Ki kaget. Masakan baru habis minum 40 mangkuk besar dan
sekarang sudah ingin minum lagi? Maka sahutnya segera, "Toako, cara Siaute
berlomba minum denganmu tadi sebenarnya cuma tipuan belaka, harap Toako jangan
marah.”
Segera ia acungkan jari kecil
kiri ke depan, "crit”, arus hawa terus muncrat keluar dari Siau-tik-hiat
hingga debu di tanah bertebaran oleh semburan hawa itu.
Keruan Kiau Hong terkejut,
katanya dengan tergegap, "Hiante, apakah ... apakah ini ilmu sakti
‘Lak-meh-sinkiam’?”
"Benar,” sahut Toan Ki,
"belum lama Siaute mempelajarinya, masih sangat hijau.”
Untuk sejenak Kiau Hong
termangu-mangu, katanya kemudian dengan gegetun, "Pernah kudengar cerita
guruku almarhum bahwa keluarga Toan di Tayli memiliki semacam ilmu
‘Lak-meh-sin-kiam’ yang dapat
membunuh orang dengan hawa
pedang tanpa wujud, cuma ilmu sakti itu sudah lama lenyap, maka di zaman ini
tiada seorang yang dapat memainkannya. Tak terduga Hiante ternyata mahir ilmu
sakti itu, sungguh aku tidak pernah menyangka sebelumnya.”
"Ah, Toako terlalu
memuji,” sahut Toan dengan menyesal. "Padahal ilmu ini kecuali dipakai
main licik tatkala berlomba minum arak dengan Toako, toh tiada berguna pula.
Buktinya aku ditawan Ciumoti, sedikit pun aku tidak mampu melawannya. Tentang
Lak-meh-sin-kiam ini sebenarnya terlalu dibesar-besarkan oleh orang luar.
Toako, arak kurang baik bagi kesehatan badan, minum sedikit saja, kita jangan
minum lagi.”
Kiau Hong terbahak-bahak,
katanya, "Nasihat Hiante memang benar. Cuma Engkohmu ini sehat sebagai
kerbau, sejak kecil sudah suka minum arak, semakin banyak minum semakin
bersemangat. Malam ini aku akan menghadapi musuh, maka perlu minum lebih banyak
agar dapat melayani mereka dengan baik.”
Begitulah sambil bicara mereka
kembali ke kota Bu-sik, kini mereka tidak balapan lari lagi, tapi jalan
berendeng dengan perlahan.
Sifat Toan Ki memang suka
bersahabat, maka hatinya sangat gembira dapat mengikat saudara dengan Kiau
Hong. Tapi ia pun tidak pernah lupa pada Buyung Hok dan Ong Giok-yan. Karena
itu kemudian ia lantas tanya Kiau Hong, "Toako, semula engkau salah sangka
Siaute sebagai Buyung-kongcu, jangan-jangan muka Buyung-kongcu itu rada mirip
mukaku?”
"Aku pun tidak pernah
kenal dia, hanya namanya yang tersohor sudah lama kudengar, kedatanganku ke
sini ini justru disebabkan dia,” sahut Kiau Hong. "Kabarnya Buyung Hok itu
baru berusia 25-26 tahun, cakap dan gagah, sebenarnya masih lebih tua daripada
Hiante. Tapi tidak terduga bahwa di selatan sini kecuali Buyung Hok masih
terdapat pula seorang muda dan cakap dengan ilmu silat yang tinggi seperti diri
Hiante, makanya aku salah mengenalimu. Sungguh aku merasa malu.”
Mendengar Buyung Hok itu
"ilmu silatnya tinggi dan mukanya cakap”, mau tak mau Toan Ki merasa iri.
Tanyanya pula, "Dan jauh-jauh Toako datang ke sini untuk mencari dia,
maksudnya hendak berkawan atau menjadi lawannya?”
Kiau Hong menghela napas,
mukanya menjadi muram, sahutnya, "Sebenarnya aku sangat berharap dapat
mengikat persahabatan dengan seorang tokoh muda seperti dia. Tapi mungkin sukar
terkabul cita-citaku ini.”
"Sebab apa?” tanya Toan
Ki.
"Sebab seorang kawanku
yang paling karib, dua bulan yang lalu telah tewas di atas Hui-san di Bu-sik
sini, semua orang mengatakan hal itu adalah perbuatan Buyung Hok,” tutur Kiau
Hong.
"Ai, Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin (gunakan cara orang itu untuk dilakukan atas dia sendiri)!”
tiba-tiba Toan Ki bergumam.
"Benar,” kata Kiau Hong.
"Justru kawanku itu menjagoi dunia Kangouw dengan ‘Soh-au-kim-na-jiu’
(ilmu menangkap dengan mencekik leher), tapi dari mayatnya ternyata tulang
lehernya remuk, tidak salah lagi dia dibinasakan oleh Soh-au-kim-na-jiu
andalannya itu.”
Bicara sampai di sini, suara
Kiau Hong menjadi parau, tenggorokan seakan-akan tersumbat, wajah sangat sedih.
Setelah merandek sejenak, kemudian ia meneruskan, "Tapi kejadian di
Kangouw memang aneh-aneh dan di luar dugaan orang, tidak boleh melulu percaya
kepada berita sepihak lantas sembarangan menuduh kesalahan orang. Sebab itulah
maka kudatang sendiri ke sini untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.”
"Dan bagaimanakah duduk
perkara yang sebenarnya?” tanya Toan Ki.
Kiau Hong menggeleng kepala,
sahutnya, "Masih sulit untuk dikatakan sekarang. Kawanku itu sudah lama
tersohor namanya, tindak tanduknya sangat prihatin, rasanya tanpa sebab tidak
mungkin cekcok dengan Buyung-kongcu. Dan mengapa dia sampai ditewaskan orang,
sungguh hal ini agak membingungkan.”
Toan Ki mengangguk-angguk,
pikirnya, "Meski lahirnya Toako kelihatan kasar, tapi batinnya sebenarnya
sangat cermat, dibanding Ho-siansing, Suma Lim dan lain-lain yang tanpa mencari
tahu lebih dulu lantas menuduh Buyung-kongcu sebagai pembunuh. Nyata cara
bertindak Toako ini lebih hati-hati dan lebih bijaksana.”
Maka ia lantas tanya lagi,
"Dan musuh yang berjanji akan bertemu dengan Toako itu orang macam apa
lagi?”
"Itulah ....” baru sekian
katanya, tiba-tiba terlihat dua orang berdandan mirip pengemis berlari datang
dari depan sana dengan cepat. Rupanya kedua orang itu berlari dengan sekuat
Ginkang mereka, maka hanya sekejap saja sudah sampai di depan Kiau Hong.
Kira-kira beberapa meter di
depan Kiau Hong, kedua orang itu berhenti serta menyingkir ke tepi jalan, lalu
membungkuk memberi hormat sambil menutur, "Lapor Kiau-pangcu, ada empat
orang musuh telah menerjang ke dalam ‘Tay-gi-hun-tho’ (cabang pimpinan bagian Gi),
kepandaian mereka sangat hebat, Cio-thocu sampai
kewalahan, maka hamba
diperintahkan minta bala bantuan kepada ‘Tay-jin-hun-tho’ (cabang pimpinan
Jin).”
Mendengar dua orang itu
menyebut Kiau Hong sebagai "Pangcu”, sikap mereka pun sangat hormat, diam-diam
Toan Ki membatin sang Toako pasti ketua dari sesuatu Pang-hwe (perkumpulan atau
organisasi) dunia Kangouw.
Sementara itu dilihatnya Kiau
Hong telah mengangguk, lalu bertanya, "Macam apakah musuh itu?”
"Terdiri dari tiga wanita
dan seorang laki-laki,” sahut salah seorang pengemis itu. "Laki-laki itu
tinggi kurus dan setengah umur, tapi sangat kasar dan kurang ajar.”
"Hm, Cio-thocu juga
terlalu, masakan melawan seorang saja kewalahan?” jengek Kiau Hong.
"Lapor Pangcu,” demikian
orang itu menutur pula. "Ketiga wanita itu pun sangat lihai.”
"O, ya? Baiklah, coba
kulihat ke sana,” kata Kiau Hong dengan tertawa.
Kedua laki-laki itu mengiakan
dengan girang, lalu membungkuk menyilakan sang Pangcu berjalan dulu.
"Dan kalian tetap pergi
kepada Tay-jin-hun-tho dan minta Sin-thocu mengirim bala bantuan,” ujar Kiau
Hong pula.
Segera laki-laki yang lebih
tua berkata, "Semula Cio-thocu tidak tahu Pangcu berada di sini, maka
hamba disuruh minta bantuan kepada Sin-thocu. Tapi kini Pangcu sendiri sudi
turun tangan, hanya beberapa musuh tak berarti itu sudah tentu dengan mudah
dapat dibekuk.”
"Segala apa harus
bertindak lebih hati-hati,” kata Kiau Hong dengan menarik muka.
Maka kedua laki-laki itu tidak
berani bicara lagi, mereka mengiakan dan memberi hormat pula, lalu berlari
pergi ke arah yang dituju tadi.
"Hiante, apakah engkau
akan ikut ke sana bersamaku?” tanya Kiau Hong.
"Tentu saja,” sahut Toan
Ki tanpa pikir.
Kiau Hong lantas membawa Toan
Ki berangkat, setelah berjalan beberapa li, mereka membelok ke kiri menyusur
gili-gili sawah ladang yang berliku-liku, tidak lama Toan Ki sudah tak dapat
mengenali jalan yang dilaluinya itu.
Kira-kira beberapa li pula,
baru saja mereka melintasi sebuah hutan, maka terdengarlah suara seorang yang
lucu sedang berkata, "Buyung-hiante kami telah pergi ke Lokyang untuk
mencari Pangcu kalian, mengapa orang-orang Kay-pang kalian berbalik datang ke
Bu-sik sini? Bukankah ini sengaja menghindari untuk bertemu? Jika kalian takut,
itulah urusan kalian sendiri, tapi Buyung-hiante kami bukankah akan buang
tenaga percuma pergi ke sana? Huh, benar-benar tidak tahu aturan!”
Mendengar suara orang itu,
seketika hati Toan Ki berdebar. Kiranya itulah suara Pau-samsiansing yang suka
berkata "bukan-bukan” itu. Diam-diam ia pikir apakah nona Ong juga datang
bersama dia?
Lalu terdengar suara seorang
dengan logat utara menjawab, "Apakah Buyung-kongcu sudah lebih dulu
mengadakan perjanjian dengan Kiau-pangcu kami?”
"Berjanji atau tidak sama
saja,” sahut Pau-samsiansing, "kalau Buyung-kongcu sudah pergi ke Lokyang,
betapa pun Pangcu kalian tidak boleh pergi ke lain tempat hingga Buyung-hiante
datang percuma. Sungguh tak tahu aturan, tidak tahu aturan!”
"Jika begitu, apakah
Buyung-kongcu telah mengirim berita kepada Kay-pang kami tentang kunjungannya?”
tanya orang itu.
"Dari mana kutahu? Aku
toh bukan Buyung-kongcu, pertanyaanmu benar-benar terlalu, sungguh tidak tahu
aturan!” demikian sahut Pau-samsiansing.
Sungguh mendongkol Kiau Hong
oleh kata-kata Pau-samsiansing yang suka menang sendiri itu. Dengan langkah
lebar segera ia menuju tempat suara itu. Maka tertampaklah di situ telah
berdiri dua orang berhadapan.
Akan tetapi bagi Toan Ki yang
lantas terlihat olehnya adalah si gadis jelita yang berdiri di belakang
Pausamsiansing itu. Dan sekali sinar matanya kontak dengan sorot mata si nona,
maka tak terpisahkan lagi pandangannya.
Gadis jelita itu memang benar
Giok-yan adanya. Ia bersuara heran perlahan ketika melihat munculnya Toan Ki.
"Engkau juga datang ke sini?” sapanya perlahan.
"Ya, dan engkau pun
berada di sini?” sahut Toan Ki. Terus saja ia pandang si nona dengan
termangu-mangu seperti orang linglung.
Dengan wajah merah lekas
Giok-yan berpaling ke arah lain, pikirnya, "Mengapa orang ini sedemikian
kurang ajar, memandang orang tanpa berkedip?”
Namun demikian, ia tahu Toan
Ki sangat kesengsem pada kecantikannya, hal ini dengan sendirinya menyenangkan
hatinya, maka ia pun tidak menjadi marah oleh kelakuan pemuda itu.
Melihat gadis secantik
Giok-yan, mau tak mau Kiau Hong juga tergetar hatinya. Tapi segera ia pun
memerhatikan ketiga orang yang lain.
Ia lihat kedua gadis yang
lain, yaitu A Cu dan A Pik, yang satu lincah centil dan yang lain ramah halus.
Tapi kedua gadis itu tidak menjadikan pikiran Kiau Hong, yang mendongkolkan dia
adalah sikap Pau-samsiansing yang mentang-mentang, seorang tokoh seperti Cio
Ci-tong, Thocu Kay-pang, ternyata sama sekali dipandang sebelah mata olehnya.
Begitulah Cio Ci-tong menjadi
girang ketika melihat sang Pangcu datang, segera ia menyambut maju dan memberi
hormat diikut oleh anggota-anggota Kay-pang yang berada di belakangnya.
"Hamba sekalian memberi
sembah bakti kepada Pangcu!” seru Cio Ci-tong.
Ternyata sama sekali
Pau-samsiansing tidak ambil pusing atas kedatangan Kiau Hong, seperti tidak
terjadi apaapa kemudian ia pun bertanya, "Ehm, apakah saudara ini
Kiau-pangcu dari Kay-pang? Awak bernama Pau Puttong, tentu pernah kau dengar
namaku.”
"O, kiranya
Pau-samsiansing, memang nyata tingkah lakumu benar-benar Pau-put-tong (tanggung
tidak sama dengan orang lain),” sahut Kiau Hong. "Sudah lama kukagum
kepada namamu yang besar, kini dapat berjumpa, sungguh sangat beruntung.”
"Ah, nama besar apa?”
ujar Pau-samsiansing alias Pau Put-tong. Kalau nama busuk sih memang sudah
terkenal
di Kangouw. Setiap orang juga
tahu aku Pau Put-tong paling suka cari gara-gara dan banyak berbuat kejahatan.
Hehehe, Kiau-pangcu, secara sembarangan kau datang ke Kanglam sini, inilah
terang kesalahanmu.”
Kay-pang adalah suatu
organisasi terbesar pada zaman itu, kedudukan Pangcu sangat diagungkan siapa
pun juga terutama anggota Kay-pang memandang Pangcu mereka seakan-akan malaikat
dewata yang terpuji. Kini melihat Pau Put-tong bersikap kasar terhadap sang
Pangcu, bahkan mengucapkan kata-kata mencela, keruan anggota Kay-pang yang
berada di situ menjadi gusar. Beberapa orang yang berdiri di belakang Cio
Ci-tong lantas gosok-gosok kepalan dan ingin memberi hajaran kepada Pau
Put-tong.
Namun Kiau Hong ternyata
tenang-tenang saja, sahutnya dengan tawar, "Mengapa aku dituduh bersalah,
coba Pau-samsiansing memberi penjelasan.”
"Ya, terang engkau salah,”
seru Pau Put-tong. "Buyung-hiante kami tahu engkau Kiau-pangcu adalah
seorang tokoh, tahu pula dalam Kay-pang tidak banyak jago-jago lain, makanya
dia ke Lokyang dengan maksud berkenalan dengan engkau, tapi mengapa kalian
berlaku senang-senang dan datang ke Kanglam malah? Hehe, sungguh tidak tahu
aturan!”
Kiau Hong hanya tersenyum,
sahutnya, "Buyung-kongcu sudi berkunjung ke tempat kami di Lokyang, bila
sebelumnya kudapat kabar, memang seharusnya kunanti kedatangan tamu agungnya.
Tentang keayalanku menyambut dia, biarlah di sini aku minta dimaafkan.”
Sambil berkata, ia terus
memberi hormat dengan Kiongchiu (kedua kepalan dirangkap di depan dada).
Diam-diam Toan Ki memuji
kebesaran jiwa Toako itu, pikirnya, "Kata-kata Toako ini benar-benar
sangat bijaksana, memang sesuai dengan wibawa seorang Pangcu. Sebaliknya kalau
dia marah kepada Pausamsiansing, hal ini malah akan merosotkan kedudukannya
yang diagungkan itu.”
Tak terduga Pau Put-tong itu
terima mentah-mentah penghormatan Kiau Hong tanpa sungkan-sungkan, ia
manggut-manggut dan berkata, "Ehm, orang salah seharusnya minta maaf. Kata
peribahasa, orang yang tidak tahu, tidak berdosa. Tapi apakah perlu dihukum
atau didenda, hak ini bukanlah kami yang menentukan.”
Begitulah sedang Pau Put-tong
mencerocos dengan senang, tiba-tiba terdengar di balik hutan sana riuh ramai
dengan suara orang terbahak-bahak hingga menggema angkasa, lalu suara seorang
berkata, "Haha, sudah sering kudengar bahwa Pau Put-tong di daerah Kanglam
suka kentut, nyatanya memang bukan omong kosong belaka!”
"Ya, ya, orang bilang
kentut yang berbunyi itu tidak bau, yang bau itu tentu kentut tak berbunyi,”
demikian
kontan Pau-samsiansing
menjawab, "Tapi kentut Kay-pang-su-lo (empat tertua Kay-pang) ini sudah
berbunyi keras lagi berbau busuk, nyata memang tidak omong kosong belaka!”
"Jika Pau-samsiansing
sudah kenal nama Kay-pang-su-lo, mengapa masih jual lagak di sini?” seru suara
di balik pohon itu.
Lenyap suaranya,
sekonyong-konyong dari empat penjuru semak pohon masing-masing muncul seorang
tua, ada yang rambut dan jenggotnya sudah ubanan, ada yang bermuka merah
bergigi rajin, semuanya masih gagah dan kuat.
Begitu muncul, keempat kakek
ini lantas menduduki empat penjuru hingga Pau-samsiansing dan Giok-yan bertiga
terkurung di tengah.
Kakek-kakek itu bersenjata
pula, ada yang berwajah kereng, ada yang tertawa-tawa dengan sikap yang
berbeda-beda.
Pau Put-tong sendiri cukup
tahu Kay-pang adalah suatu perkumpulan terkemuka di kalangan Kangouw, jago
Kay-pang tak terhitung banyaknya, lebih-lebih Kay-pang-su-lo sangat terkenal
dalam Bu-lim, setiap kakek itu memiliki ilmu silat yang lihai. Tapi dasar watak
Pau Put-tong memang angkuh dan tidak mau kalah, sejak kecil sifatnya tidak
gentar kepada siapa pun juga.
Kini melihat Kay-pang-su-lo
muncul sekaligus serta menduduki tempat mengepung, mau tak mau ia mengeluh
juga, "Wah, celaka, hari ini nama baik Pau-samsiansing, mungkin akan
runtuh habis-habisan.”
Namun lahirnya sedikit pun ia
tidak memberi tanda khawatir, segera ia pun berseru, "Kalian berempat
orang tua ini ada urusan apa dengan aku? Akan mengerubut maju sekaligus untuk
berkelahi dengan Pausamsiansing? Silakan jika begitu, memang selama hidup
Pau-samsiansing paling suka berkelahi!”
"Siapakah orang di jagat
ini paling gemar berkelahi? Apakah Pau-samsiansing?” tiba-tiba suara seorang
bergema di udara. "Salah, salah! Bukan dia melainkan Hong Po-ok,
Hong-siya!”
Waktu Toan Ki mendongak,
tertampak di atas pucuk dahan pohon sana berdiri satu orang. Dahan
melambailambai hingga orang itu pun turut bergoyang naik turun dengan gaya
indah. Perawakan orang itu kecil, usianya antara 30 tahun lebih, pipinya
cekung, berkumis mirip ekor tikus, alisnya panjang melambai ke bawah, mukanya
itu lebih mirip setan daripada manusia.
Tapi lantas terdengar A Pik
berseru dengan girang, "He, Hong-siko, apakah engkau sudah mendapat kabar
baik Kongcu?”
Kiranya laki-laki jelek ini
adalah Hong Po-ok berjuluk "It-tin-hong” atau angin lesus. Ia merupakan
salah seorang pembantu kepercayaan Buyung Hok.
Maka terdengar Hong Po-ok
berteriak, "Bagus, bagus! Hari ini dapat menemukan lawan yang baik.
Tentang urusan Kongcu, biarlah tunggu sebentar, kita bicarakan nanti, A Pik!”
Habis berkata, ia terjun ke
bawah dengan berjumpalitan, ketika hampir mendekat tanah, mendadak ia menubruk
ke arah si kakek gemuk yang berdiri di sisi utara sana.
Kakek yang bertubuh potongan
gajah dungkul itu bersenjatakan sebatang tongkat baja. Mendadak tongkatnya
menyodok ke depan mengincar dada Hong Po-ok.
Bulat tengah tongkat itu
kira-kira sebesar telur. Panjangnya dua meter, jadi lebih tinggi daripada tubuh
kakek itu sendiri. Biarpun badannya gemuk pendek, tapi kepandaiannya sangat
hebat, begitu tongkatnya bergerak, seketika menyambar serangkum angin yang
keras.
Tapi Hong Po-ok benar-benar
pemberani, bukannya menghindar atau mundur, sebaliknya ia memapak maju malah
dan hendak merebut tongkat lawan. Tapi mendadak kakek itu menyendal tongkatnya
hingga menjengkit ke atas untuk menyodok muka Hong Po-ok.
"Bagus?” seru Po-ok
sambil mendak ke bawah, menyusul tangannya lantas terulur hendak mencengkeram
iga si kakek.
Sesudah tongkatnya didorong
maju, untuk menarik kembali senjatanya buat menangkis sudah tidak keburu lagi,
sedangkan musuh tampak menerjang maju, terpaksa kakek itu angkat sebelah
kakinya untuk mendahului menendang perut Hong Po-ok.
Namun Po-ok sempat berkelit ke
samping, berbareng si kakek di sebelah timur yang bermuka merah bercahaya itu
lantas diterjang, belum tiba di depan musuh, tahu-tahu sinar putih berkelebat,
tangannya sudah memegang sebatang golok dan lantas digunakan untuk menebas.
Senjata yang dipegang kakek
bermuka merah itu pun sebatang golok yang berkepala setan atau Kui-thau-to,
punggung golok itu tebal dan mata golok tipis, batang golok itu sangat panjang.
Melihat Hong Po-ok menebas
dengan goloknya, cepat kakek
itu tegakkan Kui-thau-to untuk menangkis sambil menyampuk sekeras-kerasnya
untuk mengadu senjata dengan lawan.
"Senjatamu lihai, aku
tidak ingin mengadu golok denganmu!” seru Hong Po-ok mendadak. Segera ia tarik
kembali goloknya dan putar ke arah lain untuk membacok si kakek berjenggot
putih yang berdiri di sebelah selatan.
Senjata kakek berjenggot putih
adalah sebatang gada bersegi banyak (astakona), di atas gada penuh bergigi
tajam melengkung seperti kait. Senjata aneh ini dapat digunakan merampas
senjata lawan.
Melihat Hong Po-ok menyerang
ke arahnya dengan cepat, sedangkan serangan si kakek bermuka merah masih belum
ditarik kembali, maka kakek berjenggot ini tidak ingin bergebrak, sebab dia
ikut menyerang, itu berarti Hong Po-ok digencet dari muka dan belakang, hal
mana akan merosotkan pamor Kay-pang-su-lo yang tidak pernah main keroyok. Maka
ia lantas melompat menyingkir dan mengalah sejurus kepada lawan.
Tak tersangka orang she Hong
itu paling suka berkelahi, semakin ramai semakin memenuhi seleranya. Sedang
mengenai kalah atau menang tidak menjadi soal baginya, bahkan
peraturan-peraturan umum di waktu berkelahi juga tidak ditaati olehnya. Maka
begitu si kakek berjenggot menyingkir, sebaliknya Hong Po-ok lantas merangsang
maju, kesempatan itu digunakan untuk membacok empat kali secara bertubi-tubi,
setiap serangannya cepat dan berbahaya.
Sungguh sama sekali tak terduga
oleh siapa pun bahwa tindakan si kakek yang sengaja mengalah itu lantas
disalahgunakan oleh Hong Po-ok, keruan si kakek sangat mendongkol dan terpaksa
menangkis sambil mundur empat tindak baru dapat berdiri dengan kuat pula, kini
ia sudah membelakangi sebatang pohon, untuk mundur lagi terang tidak mungkin.
Tapi sedikit ia himpun tenaga murni, mendadak gadanya menyabet ke depan.
Serangan ini adalah salah satu serangan mematikan dari kepandaiannya, hanya
dikeluarkan bila dalam kepepet.
"Coba lagi yang lain!”
tiba-tiba Hong Po-ok berseru, dan serangan si kakek ternyata tak ditangkisnya,
tapi terus melompat mundur sambil putar goloknya, tahu-tahu si kakek keempat
dari Kay-pang-su-lo itu yang diserang.
Keruan si kakek berjenggot
yang baru sempat balas menyerang sekali, tapi musuh sudah lantas menyingkir
pergi, sungguh gusarnya tak terkatakan.
Kedua tangan kakek keempat itu
ternyata sangat panjang, sedikitnya lebih panjang belasan senti daripada orang
biasa. Tangan kirinya membawa semacam senjata yang lemas, begitu melihat Hong
Po-ok menyerang tiba, cepat tangan kirinya bergerak, senjata yang dipegangnya
itu dikebas hingga terpentang.
Dan baru sekarang semua orang
dapat melihat jelas, kiranya senjatanya itu adalah sebuah karung beras biasa.
Karena dipentang dan kemasukan angin, mulut karung itu lantas terbuka terus
mengurung ke atas kepala Hong Po-ok.
Kaget dan girang Hong Po-ok,
serunya, "Bagus, bagus! Biar aku berkelahi dengan kau!”
Kiranya selama hidup Hong
Po-ok ini paling suka berkelahi, apabila lawan mempunyai senjata yang berbentuk
aneh, atau ilmu silat luar biasa, maka ia pasti sangat senang untuk
menjajalnya.
Sifat ini mirip orang yang
gemar makan enak misalnya, kalau mendengar koki dari rumah makan mana pandai
menyajikan sesuatu masakan yang aneh dan lezat, maka pasti akan dicobanya.
Kini dilihatnya lawan
bersenjatakan sebuah karung, bahkan mendengar pun belum pernah. Di samping
senang diam-diam ia pun waspada, sebab belum diketahuinya cara bagaimana nanti
harus mematahkan serangan senjata lawan yang aneh itu.
Sebagai percobaan, dengan
hati-hati ia gunakan ujung golok untuk menikam karung lawan apakah benda itu
dapat dilubangi atau tidak.
Tak terduga si kakek tangan
panjang itu cepat pindahkan karung ke tangan kanan, sedang tangan kiri mendadak
menjotos ke depan.
Namun Hong Po-ok sempat dongak
kepala ke belakang, menyusul cepat ia putar golok untuk mengutik selangkangan
kakek itu. Tapi di luar dugaannya, kakek itu ternyata sudah berhasil meyakinkan
"Thong-pi-kun” (ilmu pukulan memulurkan tangan), pukulannya tampaknya
sudah sepenuhnya dilontarkan, namun justru di luar dugaan orang kepalannya
mendadak dapat mulur lebih panjang belasan senti.
Untung selama hidup Hong Po-ok
paling gemar berkelahi, pertempuran besar atau kecil entah sudah berapa ratus
kali dialaminya. Dalam hal pengalaman serta taktik boleh dikata tiada
bandingannya. Maka pada saat tiada jalan lain untuk menghindari jotosan kakek
itu, mendadak mulutnya mengap hendak menggigit kepalan lawan yang mengancam
itu.
Dengan jotosan itu, si kakek
tangan panjang yakin paling sedikit pasti akan bikin rontok beberapa buas gigi
orang, siapa duga ketika kepalan sudah dekat serangannya, sekonyong-konyong
lawan membuka mulut, dengan giginya yang putih gilap itu hendak menggigit. Dalam
kagetnya cepat si kakek menarik kembali tangannya, namun toh terlambat sedetik,
ia menjerit sekali, jarinya kena digigit sekali oleh Hong Po-ok.
Keruan di antara penonton ada
yang gusar dan geli oleh kejadian itu, mereka sama memaki dan tertawa.
Sebaliknya dengan
sungguh-sungguh Pau Put-tong lantas berseru, "Bagus Hong-site, tipu
seranganmu ‘LuTong-pin-kah-kau’ ini benar-benar sudah terlatih sampai puncaknya
sempurna, tidak percumalah engkau berlatih giat selama berpuluh tahun ini,
sudah beratus, bahkan beribu anjing belang hitam, putih, dan warna lain yang
telah kau gigit mampus dan baru dapat mencapai kesempurnaan seperti hari ini.”
Padahal caranya Hong Po-ok
menggigit orang adalah perbuatan yang terpaksa dan licik, seorang yang sedikit
tahu harga diri tentu tidak berkelahi dengan cara begini. Tapi selamanya Hong
Po-ok memang tidak pantang memakai cara apa pun, yang penting baginya cuma
berkelahi.
Justru Pau Put-tong sengaja
membual samping, caranya menggigit yang tidak masuk dalam kamus silat itu
sengaja dikatakan sebagai suatu, tipu silat mahalihai dengan nama
"Lu-Tong-pin-kah-kau” atau Lu Tong-pin menggigit anjing.
Lu Tong-pin adalah dewa
terkenal dalam cerita Pat-sian (delapan dewa), menurut pemeo yang lazim, yang
ada cuma "Kau-kah Lu Tong-pin”, artinya maksud baik orang disangka jelek.
Tapi kini hal itu oleh Pau Put-tong sengaja dibalik hingga menjadi Lu Tong-pin
menggigit anjing.
Begitulah saking gelinya Toan
Ki lantas tanya juga kepada Ong Giok-yan, "Nona Ong, segala macam ilmu
silat di dunia ini, semuanya kau pelajari dengan baik. Tapi cara menggigit
orang ini termasuk kungfu aliran atau golongan mana?”
Giok-yan tersenyum, sahutnya,
"Ilmu ini adalah kepandaian khas Hong-siko, aku sendiri tidak tahu.”
"Haha, kau tidak tahu?”
seru Pau Put-tong dengan tertawa. "Ah, terlalu dangkal pengetahuanmu,
masakah tipu ‘Lu Tong-pin-kah-kau’ juga tidak tahu, tipu ini meliputi 8 kali 9
menjadi 72 jurus perubahan, semacam ilmu silat yang mahatinggi.”
Melihat Giok-yan bergembira
hati, Toan Ki menjadi lupa daratan dan mestinya akan ikut berkelakar dengan Pau
Put-tong, tapi mendadak teringat olehnya bahwa si kakek tangan panjang yang
digigit itu adalah bawahan Kiau Hong, mana boleh dirinya ikut mencemoohkannya?
Maka lekas ia urungkan maksudnya.
Sementara itu pertarungan di
tengah kalangan masih berlangsung dengan seru, tampak si kakek tangan panjang
sedang putar karung dengan kencang hingga berwujud suatu lingkaran bayangan dan
Hong Po-ok seakan-akan
terkurung di tengah-tengah
karung itu. Tapi ia dapat melayani lawan dengan sama kuatnya, sedikit pun tidak
kelihatan kewalahan. Ia sudah merasakan ilmu Thong-pi-kun yang lihai si kakek,
yang masih belum diketahui adalah sampai di mana kehebatan karung lawan itu.
Sedangkan tipu "Lu Tong-pin-kah-kau” tadi cuma digunakan secara kebetulan
saja, terang tidak mungkin dapat diulangi lagi.
Melihat Hong Po-ok ternyata
sanggup menempur si kakek tangan panjang yang terhitung salah satu tokoh
terkemuka dari Kay-pang-su-lo, diam-diam Kiau Hong merasa heran, karena itu
penilaiannya kepada Buyungkongcu menjadi lebih tinggi lagi setingkat.
Ketiga kakek Kay-pang yang
lain sudah mundur ke tempat masing-masing untuk menyaksikan pertempuran
kawannya itu, tapi biarpun si kakek tangan panjang bakal menang atau kalah,
terang mereka tidak mungkin maju membantu, mereka harus menjaga nama baik
mereka, tidak nanti mereka main keroyok hingga diolokolok orang.
Di sebelah sana A Pik menjadi
khawatir melihat sampai sekian lama Hong Po-ok, masih belum dapat mengalahkan
lawannya, tanyanya kepada Giok-yan, "Siocia, permainan karung si kakek itu
berasal dari golongan manakah?”
Giok-yan berkerut kening,
sahutnya, "Ilmu silat begini tidak pernah kubaca dalam buku. Tipu
pukulannya adalah Thong-pi-kun, sedangkan permainan karung itu mendekati 13 jurus
ilmu permainan ruyung dari Hokgu-san dan juga mirip gaya permainan 81 jurus
Sam-ciat-kun (toya tiga ruas) dari keluarga Ui di Oupak.”
Kata-kata Giok-yan itu
sebenarnya tidak keras, tapi bagi pendengaran si kakek tangan panjang bagaikan
halilintar yang memekak telinga. Kiranya ia sendiri memang anak murid keluarga
Ui di Oupak, ilmu Sam-ciatkun adalah ilmu warisan leluhur, tapi kemudian ia
berbuat dosa dan melarikan diri, ia ganti nama dan tukar she serta tidak pernah
menggunakan Sam-ciat-kun lagi, hingga orang lain tidak kenal asal usulnya. Tapi
kini dalam pertarungan sengit itu, tanpa merasa sedikit banyak ia terpaksa
mengeluarkan kepandaian aslinya hingga dapat diketahui oleh Giok-yan. Keruan ia
terkejut dari mana dara jelita itu dapat mengorek asal usulnya.
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa pengetahuan Giok-yan sangat luas, segala ilmu silat dari aliran mana pun
tiada satu pun yang tak diketahuinya. Sebaliknya si kakek lantas menyangka
rahasianya yang sudah berpuluh tahun ini tertutup telah terbongkar oleh gadis
itu. Dan karena sedikit lengah itu, ia menjadi tercecer oleh serangan Hong
Po-ok hingga rada kerepotan.
Berturut-turut ia mundur tiga
langkah, cepat ia melangkah ke samping pula, sementara itu dilihatnya lawan
sedang membacok lagi, segera ia ayun sebelah kaki untuk menendang pergelangan
tangan Hong Po-ok yang memegang senjata itu.
Sudah tentu Hong Po-ok tidak
gampang diserang, mendadak goloknya menyerang, berbalik kaki si kakek hendak
ditebasnya malah. Tapi menyusul sebelah kaki si kakek juga lantas melayang
secara berantai hingga tubuh terapung di udara.
Biarpun sudah tua, tapi
gerak-geriknya tidak di bawah orang muda, mau tak mau Hong Po-ok memuji juga
akan ketangkasan lawan itu.
Mendadak ia pukul dengkul
orang tua itu. Dalam keadaan tubuh terapung di udara, untuk menggeser terang
tidak mudah, asal dengkul kakek itu kena terketuk, andaikan tidak remuk juga
paling sedikit tulang kakinya akan patah.
Melihat pukulannya sudah dekat
dengan dengkul lawan dan si kakek masih belum tampak siap untuk menghindar,
Hong Po-ok menjadi girang.
Tak tersangka mendadak angin
menyambar, tahu-tahu karung orang sudah terpentang, mulut karung yang lebar itu
mengerudung ke atas kepalanya. Dalam keadaan demikian, meski ia berhasil
mematahkan tulang kaki si kakek, tapi kepala sendiri pasti juga akan dikerudung
ke dalam karung orang, andaikan dapat segera meloloskan diri tentu juga akan
ditertawai orang.
Karena itu, pukulannya
mendadak berganti arah untuk menyampuk karung lawan. Tapi sedikit karung si
kakek menggeser, mulut karung yang ternganga itu pun berputar dan tepat
mengerudung kepalan Hong Po-ok.
Perbandingan mulut karung
dengan kepalan dengan sendirinya sangat besar. Meski gampang saja kepalan kena
dikurung, tentu mudah pula terlolos. Maka sekali Hong Po-ok menarik tangannya,
dengan gampang saja sudah lolos dari mulut karung lawan.
Siapa tahu, "cekit”,
mendadak punggung tangan kesakitan seperti tertusuk jarum. Waktu ia periksa, ia
menjadi kaget. Ternyata punggung tangan terantup seekor kalajengking kecil.
Kalajengking itu jauh lebih
kecil daripada kala biasa, tapi badannya berwarna-warni, macamnya sangat
mengerikan. Hong Po-ok tahu bisa celaka, sekuatnya ia kiprat-kipratkan
tangannya, tapi kalajengking itu ternyata menyengat dengan sangat kencang dan
susah terlepas. Namun ia cukup cekatan, ia tepuk kalajengking itu dengan batang
goloknya hingga binatang itu seketika gampang terbinasa.
Sebagai orang yang
berpengalaman, Hong Po-ok tahu kalajengking yang dilepaskan dari karung tokoh
Kaypang itu pasti bukan sembarangan, kalau anak murid Kay-pang biasa saja
sangat lihai menggunakan binatang berbisa apalagi seorang kakek daripada
Kay-pang-su-lo ini?
Dengan wajah berubah cepat ia
melompat ke luar kalangan pertempuran, ia keluarkan sebutir pil penawar racun
dan ditelannya segera.
Tiang-pi-soh atau si kakek
lengan panjang juga tidak mengudak pula, ia simpan kembali karungnya sambil
mengamat-amati Ong Giok-yan, ia heran dari mana dara jelita ini mengetahui asal
usulku?
Dalam pada itu Pau Put-tong
lantas tanya keadaan kawannya itu, "Kenapa, Site?”
Po-ok kebas-kebas tangannya
beberapa kali dan merasa tiada sesuatu yang aneh, tapi ia tetap sangsi,
kalajengking itu mustahil tidak ada sesuatu guna dengan disembunyikan di dalam
karung? Maka ia menjawab, "Tidak apa-apa, tapi ....”
Belum lanjut ucapannya,
mendadak tubuh roboh tersungkur. Lekas Pau Put-tong melompat maju untuk
membangunkannya sambil tanya berulang-ulang, "Kenapa? Kenapa?”
Namun Hong Po-ok tidak sanggup
bicara lagi, mukanya tampak berkerut-kerut dan senyumnya sangat dipaksakan.
Keruan kaget Pau Put-tong tak
terkatakan, lekas ia tutuk beberapa Hiat-to tangan, lengan, dan bahu sang kawan
untuk menahan menjalarnya racun. Di luar dugaan bekerja racun kalajengking berwarna
itu ternyata sangat cepat, walaupun tidak sampai ‘Kian-hiat-hong-au’ atau masuk
ke darah lantas putus napasnya, tapi jahatnya juga tidak kepalang, jauh lebih
lihai daripada racun ular yang paling berbisa.
Pikiran Hong Po-ok masih cukup
jernih, tapi antero tubuh sudah kaku rasanya, mulut terbuka ingin bicara, tapi
yang terdengar cuma suara serak yang tak jelas.
Melihat kawannya begitu hebat
keracunan, Pau Put-tong menjadi khawatir sukar menolong jiwanya lagi, dalam
dukanya ia menjadi murka, sekali menggerung, terus saja ia terjang si kakek
tangan panjang.
Namun si kakek pendek gemuk
dan bersenjata tongkat baja tadi lantas mengadangnya sambil berseru, "Apa
kau juga ingin berkelahi, marilah biar aku si pendek ini berkenalan dengan
kesatria Koh-soh!”
Begitu tongkatnya terangkat,
segera ia sodok ke arah Pau Put-tong.
Tongkatnya sangat antap
bobotnya, tapi bagi si kakek pendek gemuk senjata itu dapat dimainkan dengan
enteng dan cepat sekali. Biarpun Pau Put-tong dalam keadaan murka, namun
menghadapi lawan setangguh itu terpaksa ia tidak berani ayal. Ia pikir asal
dapat menawan salah satu jago musuh sebagai sandera untuk memaksa pihak lawan
menyerahkan obat penawar racun, tentu jiwa Hong-site dapat diselamatkan. Maka
segera ia gunakan "Kim-na-jiu”, ia mencari lubang kelemahan musuh untuk
menangkapnya.
Dalam pada itu A Pik dan A Cu
sedang mengerumuni Hong Po-ok dengan air mata berlinang sambil
memanggil-manggil tanpa berdaya. Ong Giok-yan memang sangat pandai dan luas
pengetahuannya dalam ilmu silat dan kesusastraan, tapi mengenai penggunaan
racun serta cara penyembuhannya, ia sama sekali tidak paham. Karena itu ia jadi
menyesal dahulu waktu membaca kitab ilmu silat dan pertabiban, dalam kitab itu
tidak sedikit dibicarakan tentang penyembuhan racun, tapi karena menganggap
tiada gunanya mempelajari halhal itu, maka sama sekali ia tidak pernah
mempelajarinya. Coba dahulu sedikit-banyak menghafalkan, tentu sekarang takkan
mati kutu seperti ini dan menyaksikan tewasnya Hong-siko tanpa berdaya.
Di lain pihak, ketika melihat
pertarungan Pau Put-tong melawan si pendek semakin lama semakin sengit, untuk
waktu singkat terang sukar menentukan kalah atau menang, maka berkatalah Kiau
Hong kepada si kakek tangan panjang, "Tan-tianglo, harap keluarkan obat
penawarnya, sembuhkanlah racun Hong-siya itu!”
Jilid 23
Keruan Tiang-pi-soh atau si
kakek lengan panjang yang dipanggil sebagai Tan-tianglo itu melengak, sahutnya,
"Pangcu, orang ini terlalu kurang ajar, ilmu silatnya juga tidak rendah,
kalau dibiarkan hidup, kelak tentu akan membahayakan.”
"Benar juga katamu,” ujar
Kiau Hong sambil mengangguk. "Tapi kita belum lagi ketemu lawan utama dan
belum-belum sudah melukai bawahannya, hal ini akan merosotkan pamor kita
sendiri. Maka menurut pendapatku, lebih baik kita jaga nama dan wibawa kita
lebih dulu.”
Namun dengan marah-marah
Tiang-pi-soh menjawab, "Sudah terang Be-hupangcu terbinasa di tangan bocah
she Buyung itu, untuk menuntut balas masakah perlu jaga nama dan peduli tentang
perbawa segala?”
Wajah Kiau Hong mengunjuk
kurang senang, katanya, "Sudahlah, berikan obatmu dahulu, urusan dapat
kita bicarakan belakang.”
Walaupun dalam hati seribu
kali tidak rela, tapi perintah sang pangcu juga tidak berani membangkangnya,
terpaksa Tan-tianglo mengeluarkan sebuah botol kecil dan melangkah maju,
katanya kepada A Cu dan A Pik, "Ini, Pangcu kami mengutamakan budi luhur
dan suruh memberikan obat penawar, lekas ambil ini!”
Dengan girang segera A Pik
berlari maju, lebih dulu ia memberi hormat kepada Kiau Hong, lalu menghormat
pula kepada Tan-tianglo, katanya, "Terima kasih Kiau-pangcu dan terima
kasih Tianglo.”
Dan setelah menerima botol
kecil yang diangsurkan itu, kemudian ia tanya, "Tolong tanya Tianglo, obat
ini cara bagaimana menggunakannya?”
"Isap dulu racun pada
lukanya, kemudian bubuhkan obatnya,” sahut si kakek. Dan setelah merandek, ia
menambahkan pula, "Bila racun belum bersih terisap, percumalah obat yang
dibubuhkan itu, bahkan akan tambah parah. Hal ini penting diketahui.”
A Pik mengiakan pesan itu,
lalu ia mendekati Hong Po-ok, ia angkat tangan yang terantup kalajengking itu,
ia menunduk kepala lantas hendak mengisap racun pada luka itu.
"Nanti dulu!” mendadak si
kakek tangan panjang berteriak.
A Pik jadi kaget. "Ada
apa?” tanyanya tercengang.
"Wanita dilarang
mengisapnya!” seru si kakek.
"Sebab apa?” tanya A Pik
dengan muka merah.
"Racun, kalajengking itu
tergolong racun im-tok, sedangkan wanita adalah jenis im, sudah im ditambah im
lagi, racun itu akan tambah jahat malah,” demikian kata si kakek.
A Pik, A Cu, dan Giok-yan
menjadi ragu, mereka merasa keterangan kakek itu agak janggal, tapi juga bukan
mustahil memang demikian halnya. Dan kalau benar, hingga racunnya tambah jahat,
bukankah jiwa Hong-siko akan lebih konyol? Sedangkan pihak sendiri hanya
tinggal Pau Put-tong yang merupakan satu-satunya lelaki yang saat itu lagi
bertempur mati-matian dengan si kakek pendek, untuk memanggilnya kembali terang
sukar dilaksanakan dalam waktu singkat itu.
Tapi selain Pau Put-tong,
terang tiada kawan lelaki yang lain. Terpaksa A Cu berteriak, "Pau-samko,
berhentilah sementara, kembalilah menolong Siko lebih dulu!”
Namun ilmu silat Pau Put-tong
itu sama kuatnya dengan kakek pendek, sekali mereka sudah bergebrak, untuk
lolos mundur terang sukar terlaksana dalam beberapa jurus saja. Dalam
pertarungan ilmu silat kelas tinggi, sedikit lengah saja pasti akan
mengakibatkan jiwa melayang, maka sangat sulit untuk mengundurkan diri dengan
sesukanya.
Dengan sendirinya Pau Put-tong
khawatir ketika mendengar seruan A Cu, ia tahu keadaan Hong Po-ok pasti
bertambah buruk. Maka mendadak ia menyerang beberapa kali dengan tujuan
melepaskan diri dari rangsakan si kakek pendek.
Tapi sebagai salah satu tokoh
di antara Kay-pang-su-lo, dengan sendirinya si kakek pendek tak dapat dipersamakan
jago-jago sebangsa Suma Lim, Cu Po-kun, Yau Pek-tong, dan lain-lain yang sekali
gebrak mudah terjungkal di bawah tangan atau kaki Pau Put-tong. Walaupun dengan
serangan kilat secara bertubi-tubi itu Pau Put-tong dapat merebut kedudukan di
atas angin, tapi untuk menang satu jurus saja masih bergantung atas keuletan
lawan, dan si kakek pendek itu justru teramat ulet. Maka betapa pun ia
menyerang dari sini-sana, tetap tidak dapat melepaskan diri.
Dalam pada itu Kiau Hong
senantiasa mengikuti wajah Giok-yan bertiga yang penuh rasa khawatir itu. Bila
mengingat racun kalajengking piaraan Tan-tianglo itu jahat luar biasa, pula
tidak diketahui apakah ucapan si kakek bahwa wanita tidak boleh mengisap racun
kalajengking itu benar atau cuma gertakan.
Walaupun anak murid Kay-pang
jumlahnya tidak sedikit, namun pekerjaan mengisap racun adalah suatu risiko
yang mungkin membikin celaka si pengisap sendiri, maka tidak mungkin ia
memerintahkan salah satu anggota Kay-pang untuk mengisapkan racun Hong Po-ok.
Apalagi bawahan diperintahkan mengisap racun untuk menolong jiwa musuh,
perintah demikian terang tidak mungkin dikeluarkannya.
Tapi dasar jiwa Kiau Hong
memang kesatria dan berbudi luhur, tanpa ragu ia lantas berseru, "Aku
orang lakilaki, biar aku yang mengisap racun Hong-siya.”
Habis berkata, segera ia
melangkah ke arah Hong Po-ok.
Waktu melihat wajah Giok-yan
muram sedih, sejak mula sebenarnya sudah timbul niat Toan Ki hendak mengisap
racun bagi Hong Po-ok. Cuma ia pikir Kiau Hong adalah kakak angkat sendiri,
kalau dirinya membantu pihak musuh, hal ini akan merugikan hubungan
persaudaraan.
Meski kemudian ia saksikan
Kiau Hong memerintahkan Tan-tianglo memberikan obat penawar kepada lawan, tapi
Toan Ki masih sangsikan ketulusan hati sang kakak-angkat.
Baru sekarang sesudah melihat
Kiau Hong benar-benar mendekati Hong Po-ok untuk mengisap racun pada tangannya,
yakinlah dia akan kebesaran jiwa kakak-angkat itu. Maka dengan cepat ia
berseru, "Toako, biarkan Siaute saja yang melakukannya!”
Dan sekali melangkah, dengan
sendirinya ia keluarkan ilmu langkah "Leng-po-wi-poh” yang cepat,
tahu-tahu ia sudah menyerobot di depan Kiau Hong. Terus saja ia angkat tangan
Hong Po-ok dan segera hendak dikecupnya.
Tatkala itu seluruh telapak
tangan Hong Po-ok sudah bengkak menghitam, kedua mata melotot, rupanya kelopak
matanya ikut menjadi kaku juga sehingga sukar berkedip. Ketika Toan Ki memegang
tangannya, otomatis daya sakti Cu-hap-sin-kang lantas bekerja. Belum lagi mulut
Toan Ki mengecup tempat luka itu, sekonyong-konyong dari lubang luka merembes
keluar air hitam.
Toan Ki tertegun, ia pikir
biarkan air hitam itu habis merembes keluar baru akan diisapnya. Ia tidak tahu
bahwa Cu-hap, yaitu katak merah yang telah dimakannya dahulu itu adalah
binatang antisegala jenis racun. Maka begitu anggota badan kedua orang saling sentuh,
asal Toan Ki tidak mengerahkan tenaga dalamnya, maka
tenaga murni Hong Po-ok juga
takkan tersedot, sebaliknya karena dia keracunan sangat parah, sekali kebentur
khasiat Cu-hap-sin-kang, terus saja darah berbisa di dalam tubuhnya terdesak
keluar.
Begitulah selagi semua orang
terheran-heran dan sangsi, mendadak badan Hong Po-ok bergerak sekali, lalu
terdengar ia membuka suara, "Terima kasih!”
Keruan Giok-yan bertiga sangat
girang. A Cu lantas berseru, "He, Siko, engkau sudah dapat bicara!”
Maka tertampaklah darah hitam
yang merembes keluar dari luka Hong Po-ok itu mulai berubah menjadi warna ungu,
kemudian memerah.
Dan sesudah warna darah
kembali seperti biasa, tangan Po-ok yang bengkak itu lantas kempis dan dapat
bergerak lagi seperti semula. Segera ia memberi hormat kepada Toan Ki sambil
berkata, "Banyak terima kasih atas pertolongan Kongcuya.”
"Ah, soal kecil, buat apa
dipikirkan?” sahut Toan Ki merendah.
"Jiwaku dalam pandangan
Kongcuya mungkin soal kecil, tapi bagiku sendiri adalah urusan besar,” kata
Hong Po-ok dengan tertawa. Lalu ia ambil botol obat dari tangan A Pik terus
dilemparkan kembali kepada Tantianglo, katanya, "Ini, ambil kembali
obatmu!”
Kemudian ia memberi hormat
kepada Kiau Hong dan berkata, "Kiau-pangcu benar berbudi luhur, Hong Po-ok
sangat kagum. Pangcu tidak malu sebagai pemimpin suatu organisasi terbesar di
Bu-lim ini.”
"Terima kasih atas pujian
Hong-siya,” sahut Kiau Hong sambil membalas hormat.
Sesudah menyatakan terima
kasihnya kepada kedua orang penolongnya, Hong Po-ok lantas jemput kembali
goloknya, ia tuding Tan-tianglo sambil berkata, "Hari ini aku
dikalahkanmu, Hong Po-ok mengaku kalah, lain kali bila ketemu lagi kita akan
coba-coba pula, urusan hari ini kita sudahi saja.”
"Jangan khawatir, setiap
saat aku siap,” sahut Tan-tianglo tertawa.
Mendadak Po-ok berpaling
kepada si kakek yang bersenjatakan gada astakona, serunya, "Biarlah
sekarang kubelajar kenal dengan kepandaianmu!”
Keruan A Cu dan A Pik
terkejut, seru mereka, "Jangan Siko, kesehatanmu belum pulih!”
Namun Hong Po-ok tidak ambil
pusing, serunya, "Mumpung dapat berkelahi, kenapa sia-siakan kesempatan
bagus!”
Menyusul golok terus berputar
dan menerjang ke arah si kakek bergada.
Melihat beberapa saat
sebelumnya keadaan Hong Po-ok sudah sangat payah, siapa tahu hanya sekejap saja
orang aneh itu pulih gagah perkasa pula. Orang sedemikian sungguh jarang
terlihat.
Kakek bersenjata gada itu
sudah ubanan alis dan jenggotnya, usianya terhitung paling tua di antara
Kay-pangsu-lo, sudah berpuluh tahun namanya terkenal, segala macam tokoh
Kangouw juga pernah dihadapinya. Tapi orang yang nekat seperti Hong Po-ok
benar-benar jarang terlihat. Karena itu, mau tak mau ia terkesiap juga.
Sebenarnya permainan gada si
kakek sangat hebat perubahannya, di samping digunakan menyerang bermanfaat pula
untuk merampas senjata lawan. Tapi kini karena rada jeri, permainan gadanya
menjadi agak kacau hingga ia cuma mampu menangkis saja oleh berondongan serangan
Hong Po-ok.
Dalam pada itu Kiau Hong
menjadi kurang senang juga, pikirnya, "Sobat she Hong ini agak keterlaluan
juga. Dengan baik-baik Toan-hiante telah menolong jiwamu, mengapa secara
sembrono mengajak berkelahi lagi?”
Dalam pada itu sambil
menjinjing karung Tan-tianglo sedang memandangi Ong Giok-yan, lalu pandang Toan
Ki pula sembari diam-diam berpikir, "Kedua muda-mudi ini entah dari mana
asal-usulnya, tampaknya kedatangan mereka sangat tidak menguntungkan diriku.”
Kiranya Tan-tianglo ini
aslinya she Ui, yaitu berasal dari keluarga Ui yang terkenal di Oupak, ia
sengaja menyamar sebagai orang she Tan, rahasia ini tiada seorang pun
mengetahui di jagat ini. Maka terhadap ucapan Giok-yan yang menyatakan ilmu
silatnya seperti berasal dari keluarga Ui, mau tak mau timbul rasa curiganya.
Sementara itu pertarungan Pau
Put-tong dan Hong Po-ok melawan kedua kakek Kay-pang itu semakin sengit,
tampaknya Put-tong dan Po-ok sedikit di atas angin, tapi untuk mengalahkan
lawan mereka terang sukar terjadi dalam waktu singkat.
Selagi semua orang asyik
mengikuti pertarungan hebat itu, telinga Toan Ki yang tajam itu tiba-tiba
mendengar
dari arah timur ada suara
tindakan orang yang ramai sedang mendatang ke arah sini dengan cepat. Menyusul
dari jurusan utara juga datang satu rombongan lain, bahkan dari suaranya
kedengaran berjumlah lebih banyak.
"Toako, ada orang banyak
sedang mendatang,” demikian Toan Ki membisiki Kiau Hong.
Kiau Hong sendiri pun sudah
mendengar, ia mengangguk. Ia menduga orang-orang yang datang itu besar
kemungkinan adalah lawan dan bukan kawan. Boleh jadi pengikut Buyung Hok yang
sengaja dipasang di sekitar situ untuk mengepung. Maka diam-diam Kiau Hong rada
menyesal telah diakali musuh.
"Kiranya orang-orang she
Pau dan Hong ini sengaja menggoda kita agar tanpa sadar kita masuk kepungan
mereka,” demikian pikirnya.
Namun Kiau Hong tetap bersikap
tenang, selagi ia hendak memberi isyarat kepada bawahannya agar sebagian
mengundurkan diri ke jurusan selatan dan barat yang tidak dijaga musuh,
tiba-tiba terdengar dari kedua jurusan itu juga ada suara ramai orang berjalan.
Nyata setiap penjuru sudah penuh dengan musuh.
Perlahan Kiau Hong memberi
perintah kepada bawahannya, "Cio-thocu, kekuatan musuh di sebelah selatan
paling lemah, sebentar bila kuberi tanda, segera pimpin para saudara
mengundurkan diri ke jurusan sana.”
Dan baru saja Cio-thocu
mengiakan, tiba-tiba dari jurusan timur hutan itu sudah muncul 30-an orang,
semuanya berbaju compang-camping, rambut kusut, ada yang membawa senjata, ada
yang cuma membawa tongkat dan mangkuk butut, jelas semuanya anggota Kay-pang.
Menyusul dari arah utara juga muncul berpuluh orang Kay-pang, sikap mereka
sangat pongah, melihat Kiau Hong juga tidak memberi hormat, sebaliknya
seakan-akan bersikap bermusuhan.
Ketika mendadak tampak
munculnya anggota Kay-pang sebanyak itu, diam-diam Pau Put-tong dan Hong Pook
menjadi khawatir juga. Pikir mereka, "Wah, celaka, cara bagaimana agar
dapat menyelamatkan nona Ong bertiga?”
Namun di antara orang yang
terkesiap rasanya yang paling terkejut adalah Kiau Hong. Sebab memang dia kenal
pengemis-pengemis yang muncul itu adalah anggota Kay-pang kelas menengah, ada
yang menggendong lima buah kantong dan ada yang membawa tujuh buah kantong.
Biasanya anggota-anggota ini sangat menghormat padanya, asal melihat sang
pangcu, dari jauh mereka pasti akan berlari mendekat untuk memberi hormat. Tapi
mengapa hari ini sikap mereka begini aneh, sudah tidak memberi hormat, bahkan
menyapa pun tidak.
Tengah Kiau Hong sangsi,
sementara itu dari jurusan selatan dan barat juga muncul berpuluh anggota
Kaypang yang lain. Rombongan anggota Kay-pang itu datangnya ternyata
susul-menyusul, di belakang rombongan pertama masih muncul pula rombongan yang
lain sehingga sebentar saja tanah lapang di tengah hutan itu sudah penuh
berjubel dengan kaum pengemis.
Kiau Hong coba menghitung
sekadarnya dan ternyata di antara anggota Kay-pang di kota Bu-sik itu sudah
lebih sembilan bagian yang hadir, hanya ketiga thocu dari kepala bagian
Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong yang tidak kelihatan, di samping itu beberapa
anggota pengurus pusat seperti Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo juga tidak
muncul.
Semakin dipikir Kiau Hong
semakin khawatir hingga diam-diam ia berkeringat dingin. Selamanya Kiau Hong
tidak pernah khawatir seperti sekarang ini biarpun menghadapi musuh yang paling
lihai sekalipun. Sebab mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya, "Wah,
akan terjadi pemberontakan, apakah para anggota akan mengkhianati aku?”
Selaku pangcu, subur atau
runtuhnya Kay-pang dianggap Kiau Hong jauh lebih penting daripada nama baik dan
kedudukan atau mati-hidup sendiri. Kini beratus anggota Kay-pang ini sudah
mengelilingi dirinya dengan tidak bicara apa pun juga, terang di dalam
organisasi telah terjadi sesuatu yang hebat.
Namun di tengah kalangan Pau
Put-tong dan Hong Po-ok masih saling gebrak dengan kedua kakek dengan sengit
dan tak terhentikan, di depan orang luar, Kiau Hong menjadi tidak enak untuk
menegur.
Dalam pada itu tiba-tiba
Tan-tianglo berseru, "Pasang Pak-kau-tin!”
Sekonyong-konyong di antara
anggota Kay-pang dari berbagai penjuru itu masing-masing memburu keluar belasan
orang dengan senjata terhunus, maka Pau Put-tong dan Hong Po-ok jadi terkepung
di tengah bersama kedua kakek lawannya itu.
Melihat jumlah musuh sekaligus
maju sebegitu banyak, apalagi orang-orang Kay-pang sudah terlatih semua, Pau
Put-tong tahu bila musuh mengepung rapat, pasti dirinya bersama Hong Po-ok akan
dicincang menjadi bakso.
Ketika ia melirik pihak lawan,
ternyata kawanan pengemis itu dalam sekejap saja sudah memasang suatu barisan
yang sangat rapat, andaikan harus menerjang keluar kepungan bersama Po-ok, sendiri
mungkin bisa selamat, tapi Po-ok habis keracunan dan tenaga masih lemah, tentu
takkan terhindar dari terluka parah, begitu pula kalau hendak menolong Giok-yan
bertiga, pasti sangat sulit.
Kalau mau, jalan satu-satunya
supaya selamat adalah menyerah alias mengaku kalah. Toh kalah karena dikeroyok,
hal ini takkan merugikan nama baiknya. Tapi tabiat Pau Put-tong justru sangat
kepala batu, cocok seperti namanya, dia memang "Put-tong” atau berbeda
daripada orang lain. Sesuatu urusan yang orang lain anggap lumrah, baginya
justru dianggap sebaliknya. Begitu pula Hong Po-ok paling gemar berkelahi, asal
diberi kesempatan berkelahi, tidak peduli kalah atau menang, bakal mati atau
hidup, benar atau salah, baginya semua itu urusan belakang, berkelahi paling
perlu.
Sebab itulah biarpun kedudukan
di tengah itu sudah jelas pihak mana yang akan menang, namun Pau Put-tong dan
Hong Po-ok masih terus berteriak-teriak sambil menyerang terlebih bersemangat
sedikit pun pantang menyerah.
"Pau-samko, Hong-siko,
terimalah sudah,” demikian tiba-tiba Giok-yan berseru. "Pak-kau-tin dari
Kay-pang ini meski aku pun tahu cara memecahkannya, namun kepandaian kita
terlalu cetek, kita takkan dapat berbuat apa-apa. Di dunia ini hanya Lak-meh-sin-kiam
dan Hang-liong-sip-pat-ciang saja dapat bobol barisan itu. Maka kalian berdua
lebih baik berhenti saja.”
Mendengar Giok-yan bilang
Lak-meh-sin-kiam yang dipelajarinya itu dapat memecahkan Pak-kau-tin, Toan Ki
tercengang, diam-diam ia pun ragu bagaimana harus bertindak nanti, apakah mesti
membela nona Ong bila anak buah Kiau-toako akan menangkapnya?
Sesudah berpikir pula, ia
lantas ambil keputusan, "Jika Pau Put-tong yang berkelahi dengan
orang-orang Kaypang, maka aku takkan ikut campur, tapi bila Ong-kohnio diganggu
mereka terpaksa aku harus melindunginya.”
Dalam pada itu Hong Po-ok
telah menjawab seruan Giok-yan tadi, "Biarlah aku berkelahi sebentar lagi,
bila benar-benar tak tahan barulah aku berhenti.”
Dan karena sedikit ayal itu,
"cret”, pundaknya keserempet sekali oleh gada si kakek yang berkait itu
hingga kulit pecah dan darah bercucuran.
"Keparat, hebat juga
seranganmu ini,” Hong Po-ok memaki. Berbareng goloknya menyerang tiga kali
secara nekat.
Si kakek berjenggot itu
menjadi jeri oleh kekalapan Po-ok, ia pikir toh tiada permusuhan apa-apa,
kenapa mesti bertempur mati-matian begini? Karena itulah ia hanya menjaga diri
dengan rapat dan tiada balas menyerang pula.
Tiba-tiba Tan-tianglo berseru
dengan nada tembang, "Ooi, para saudara sebelah selatan ingin minta nasi,
hayaauuuuh ....”
Yang ditembangkan itu adalah
lagu minta-minta kaum pengemis, tapi sebenarnya adalah tanda perintah kepada
anak-buahnya untuk menyerang.
Maka tertampaklah berpuluh
anggota Kay-pang yang berdiri di sebelah selatan serentak mengangkat senjata
mereka, asal tarikan suara Tan-tianglo itu berhenti, segera mereka akan
menyerbu maju.
Sudah tentu Kiau Hong tahu
betapa lihainya Pak-kau-tin (barisan penghajar anjing) Kay-pang sendiri. Bila
barisan itu sudah dikerahkan, serentak anggota Kay-pang keempat penjuru itu
secara bergiliran akan menyerbu maju tanpa berhenti sampai musuh dibinasakan
atau dirobohkan.
Padahal sebelum bertemu dengan
Buyung Hok dan sebelum duduk perkara yang sebenarnya dibikin terang, ia tidak
ingin mengikat permusuhan dulu dengan orang. Maka cepat ia memberi tanda sambil
membentak, "Nanti dulu!”
Berbareng ia terus
melompat-maju dan tahu-tahu sudah berada di samping Hong Po-ok, dengan tangan
kiri ia cakar muka orang itu.
Keruan Po-ok terkejut, cepat
ia mengegos ke samping, tapi mendadak tangan Kiau Hong terus menurun ke bawah
dan tepat kena tangkap pergelangan tangannya, segera golok Hong Po-ok itu
dirampasnya.
"Bagus Kiau-pangcu dengan
seranganmu ‘Jio-cu-sam-sik’ (tiga gaya merebut mutiara) dari Liong-jiau-cu
(cakar naga) itu,” seru Giok-yan tiba-tiba. Segera ia pun memperingatkan Pau
Put-tong, "Awas Pau-samko, ia hendak menyikut dadamu dengan sikut kiri dan
tangan kanan akan memotong igamu menyusul tangan kiri akan mencengkeram pula
‘Gi-koh-hiat’ pundakmu, serangan itu adalah satu di antara tiga gaya cakar naga
yang disebut ‘Ti-yan-yu-uh’ (mendadak turun hujan)!”
Tapi gerakan Kiau Hong
ternyata cepat luar biasa, baru saja Giok-yan memperingatkan Pau Put-tong bahwa
dadanya akan disikut, tahu-tahu serangan Kiau Hong memang benar seperti apa
yang dikatakan itu dan hampir berbareng pada saat itu pun menyikut hingga Pau
Put-tong tidak sempat berjaga-jaga sebelumnya.
Begitu pula tentang iganya
akan dipotong serta Gi-koh-hiatnya akan dicengkeram, tahu-tahu Pau Put-tong
merasakan tubuhnya menjadi lemas lumpuh tak dapat berkutik.
"Sungguh serangan bagus,”
seru Pau Put-tong dengan penasaran. "Wah, Siaumoay, peringatanmu terlalu
tepat waktunya hingga tiada gunanya. Kalau engkau bilang sedetik lebih dulu,
kan aku dapat berjaga-jaga sebelumnya.”
"Ya, maaflah,” sahut
Giok-yan dengan menyesal. "Karena ilmu silatnya terlalu lihai, maka
sebelumnya sama sekali aku tak dapat mengetahui serangan apa yang akan
dilontarkannya.”
"Maaf apa segala?” seru
Pau Put-tong. "Pendek kata perkelahian hari ini terang kita terjungkal
semua, pamor Yan-cu-oh benar-benar runtuh!”
Waktu ia berpaling ia lihat
keadaan Hong Po-ok lebih runyam lagi, kawan itu tampak terpaku di tempatnya
seperti patung. Rupanya waktu Kiau Hong merampas goloknya sekalian telah tutuk
pula hiat-tonya. Kalau tidak, mana mau dia berhenti dengan begitu saja?
Melihat sang pangcu sudah
dapat mengalahkan kedua lawan, maka Tan-tianglo mengurungkan tembangnya yang
belum selesai tadi.
Diam-diam Kay-pang-su-lo
sangat kagum demi menyaksikan betapa saktinya sang pangcu, hanya sekali gebrak
saja dua lawan tangguh telah ditaklukkan.
Kemudian Kiau Hong melepaskan
tangannya yang mencengkeram Gi-koh-hiat di pundak Pau Put-tong itu. Menyusul
tangannya membalik ke belakang untuk menepuk perlahan di punggung Po-ok dan
membuka hiat-to yang ditutuknya itu, lalu katanya, "Silakan kalian pergi
saja!”
Dalam keadaan demikian, betapa
pun bandelnya Pau Put-tong juga, terpaksa menyerah, ia tahu ilmu silat sendiri
selisih terlalu jauh dengan Kiau Hong. Maka tanpa bicara lagi ia lantas
mengeluyur ke samping Giokyan.
Sebaliknya Hong Po-ok lantas
berkata, "Kiau-pangcu, ilmu silatku memang tak dapat menandingimu, tapi
seranganmu barusan membikin aku penasaran, sebab engkau menyerang pada waktu
aku sama sekali tidak berjaga-jaga.”
"Memang benar aku
menyerang secara mendadak,” sahut Kiau Hong. "Tapi kita boleh coba-coba
beberapa jurus pula, biar kusambut serangan golokmu.”
Habis berkata, mendadak ia
mencengkeram ke depan, suatu arus tenaga menggetar golok Hong Po-ok yang
dibuang ke tanah oleh Kiau Hong tadi bahkan golok itu lantas mencelat ke atas
seakan-akan melompat sendiri ke tangan Kiau Hong. Dan sekali Kiau Hong
menyampuk perlahan, tangkai golok itu terus membalik ke depan seperti
diangsurkan kembali kepada Hong Po-ok.
Hong Po-ok tercengang, katanya
dengan tergegap, "Apakah ini ... Kim-liong-kang (ilmu menangkap naga)? Di
dunia ini ternyata benar ada orang mahir ilmu sakti ini?”
"Aku cuma belajar sedikit
dasarnya saja, lebih jauh masih harus minta petunjuk pihak yang mahir,” Kiau
Hong tertawa sambil memandang ke arah Giok-yan. Ia ingin mengetahui bagaimana
penilaian si nona yang mahir segala macam ilmu silat itu atas ilmu saktinya
yang tiada bandingan itu.
Tak tersangka Giok-yan tampak
lagi termangu-mangu seperti sedang memikirkan sesuatu, maka apa yang dikatakan
Kiau Hong itu seakan-akan tak didengarnya.
Mau tak mau Hong Po-ok harus
menyerah, katanya, "Ya, sudahlah, ilmu silatku memang bukan tandinganmu,
selisih kita terlalu jauh, kalau berkelahi juga kurang menarik. Nah, sampai
berjumpa, Kiau-pangcu!”
Meski lahiriah Hong Po-ok ini
jelek, wajahnya tidak sedap dipandang, tapi jiwanya cukup kesatria, biarpun
kalah berkelahi, sama sekali ia tidak patah semangat. Kalah atau menang
dianggapnya soal lumrah. Baginya sudah senang asal dapat berkelahi.
Segera ia memberi salam
perpisahan kepada Kiau Hong, lalu katanya kepada Pau Put-tong, "Samko,
kabarnya Kongcuya pergi ke Siau-lim-si, di sana sangat banyak orang, kita tentu
dapat berkelahi lagi. Biarlah sekarang juga aku berangkat ke sana dan kalian
boleh menyusul belakangan!”
Begitulah sifat Hong Po-ok
itu, ia tidak pernah sia-siakan setiap kesempatan berkelahi. Maka tanpa
menunggu jawaban Pau Put-tong, terus saja ia mendahului berlari pergi.
"Ya, marilah pergi! Lebih
baik pergi, daripada cari mati! Kalah berkelahi, apa lagi yang dinanti?”
demikian sambil bersenandung Pau Put-tong ikut meninggalkan tempat itu secara
kesatria.
Tinggal Giok-yan bertiga yang
masih di situ, maka tanyanya kepada A Cu dan A Pik, "Samko dan Siko sudah
pergi, lantas kita mesti ke mana?”
"Para pengemis ini
rupanya akan berunding urusan penting, kita lebih baik kembali ke Bu-sik saja,”
demikian
sahut A Cu perlahan. Lalu
katanya kepada Kiau Hong, "Kiau-pangcu, kami juga ingin mohon diri saja!”
"Silakan!” sahut Kiau
Hong sambil mengangguk.
Dan selagi Giok-yan bertiga
hendak berlalu, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang di sebelah timur sana tampil
ke muka seorang pengemis setengah umur berwajah bersih dan berseru,
"Kiau-pangcu, sakit hati kematian Behupangcu yang mengenaskan itu belum
lagi dibalas, mengapa sembarangan melepaskan musuh begini saja?”
Kedengarannya ia bicara dengan
hormat, tapi sikapnya dan nadanya menantang, sedikit pun tidak mirip sebagai
seorang bawahan.
"Kedatangan kita ke sini
memang tujuannya ingin membalas sakit hati Be-jiko,” sahut Kiau Hong.
"Tapi setelah kuselidiki selama beberapa hari ini, aku merasa pembunuh
Be-jiko itu belum pasti Buyung-kongcu.”
Pengemis setengah umur itu
bernama Coan Koan-jing, orang memberi julukan "Sip-hong-siucay” padanya,
artinya si Pelajar Serbatahu. Orangnya memang pintar dan banyak akal, ilmu
silatnya juga tinggi, ia adalah salah satu thocu berkantong delapan, kedudukannya
hanya di bawah para tianglo (tertua) kantong sembilan.
Coan Koan-jing adalah kepala
bagian Tay-ti-hun-tho, kedudukannya sangat terhormat. Tapi betapa tinggi
kedudukannya juga takkan lebih agung daripada sang pangcu. Dalam hal huru-hara
dalam Kay-pang ini meski sebelumnya orang-orang telah banyak mendengar
keterangannya, tapi di bawah sinar mata Kiau Hong yang kereng itu tanpa terasa
semuanya menjadi jeri dan menunduk. Sebaliknya atas keberanian Coan Koan-jing
dengan tegurannya kepada sang pangcu, diam-diam mereka pun berkhawatir.
Maka si Siucay Serbatahu Coan
Koan-jing berkata pula, "Dengan dasar apa hingga Pangcu mengatakan bukan
perbuatan Buyung-kongcu?”
Sebenarnya Giok-yan sudah akan
melangkah pergi, tapi demi didengarnya Be-hupangcu, wakil pemimpin Kaypang itu,
katanya ditewaskan orang dan Buyung-kongcu yang dituduh sebagai pembunuhnya,
sebaliknya Kiau Hong berpendapat pembunuhnya mungkin orang lain, maka Giok-yan
bertiga menjadi urung berangkat pergi, mereka terus tinggal dan diam di situ
untuk mendengarkan perdebatan tadi.
Maka terdengar Kiau Hong
sedang berkata, "Aku sendiri pun cuma menduga saja, dengan sendirinya
tiada dasar bukti apa-apa.”
"Jika begitu, bagaimana
dasar dugaan Pangcu, silakan memberi penjelasan, supaya para kawan dapat ikut
mengetahuinya,” ujar Coan Koan-jing.
"Waktu aku berada di
Lokyang, ketika mendengar Be-jiko dibinasakan orang dengan ilmu
‘Soh-au-kim-na-jiu’ yang andalannya itu, aku lantas teringat kepada orang she
Buyung yang terkenal dengan istilah ‘Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin’ itu. Kupikir
ilmu kepandaian Be-jiko itu tiada tandingannya di jagat ini, kecuali orang dari
keluarga Buyung memang tiada seorang pun yang mampu membunuhnya dengan ilmu
andalan Be-jiko sendiri.”
"Benar!” tukas Coan
Koan-jing.
"Tetapi sesudah aku berada
di Kanglam sini, makin lama makin kurasakan dugaan kita semula jadi tidak
benar, bukan mustahil di balik kejadian ini terdapat pula hal-hal lain yang
berliku-liku.”
"Hal apa yang
berliku-liku? Para kawan siap mendengarkan, silakan Pangcu memberi penjelasan,”
kata Koanjing.
Melihat sikap para anggota
berbeda daripada biasanya, Kiau Hong menduga di dalam organisasi pasti sudah
terjadi apa-apa yang ia sendiri belum mengetahui. Maka ia coba tanya,
"Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo kenapa tidak kelihatan, di manakah mereka
itu?”
"Hari ini Siokhe
(bawahan) belum bertemu dengan kedua Tianglo itu,” sahut Koan-jing.
"Dan para thocu dari
Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong berada di mana pula?” tanya Kiau Hong pula.
"Thio Coan-siang,”
tiba-tiba Koan-jing berpaling dan tanya kepada seorang anggota berkantong
tujuh, "mengapa Thocu kalian tidak hadir ke sini?”
"En ... entahlah, aku ti
... tidak tahu,” demikian orang yang dipanggil Thio Coan-siang itu menjawab
dengan gelagapan.
Biasanya Kiau Hong cukup kenal
Coan Koan-jing. Thocu Tay-ti-hun-tho ini cerdik lagi licin, tindak tanduknya
sukar diraba, sebenarnya terhitung salah seorang bawahan yang boleh diandalkan.
Tapi dalam keadaan tegang begini berbalik merupakan seorang musuh yang lihai.
Maka demi melihat Thio Coan-siang menjawab gelagapan dengan air muka yang penuh
penyesalan serta tidak berani memandang ke arahnya, segera Kiau Hong
membentaknya, "Thio Coan-siang, apa barangkali kau membunuh Thocumu
sendiri, ya?”
Coan-siang menjadi ketakutan
dan cepat menjawab, "O, tidak, ti ... tidak! Pui-thocu masih baik-baik di
sana dan belum ... belum mati. Ini bukan ... bukan urusanku, aku tidak ...
tidak ikut berbuat.”
"Jika begitu perbuatan
siapa?” bentak Kiau Hong dengan bengis.
Walaupun bentakannya tidak
terlalu keras, tapi berwibawa. Sebagai seorang pangcu yang gagah perkasa dan
bijaksana pula, maka biasanya para anggota sangat hormat dan jeri kepadanya.
Karena mendadak ditegur secara
bengis, tanpa terasa Thio Coan-siang menjadi ketakutan hingga gemetar, ia tidak
berani bicara lagi, hanya sinar matanya melirik sekejap ke arah Coan Koan-jing.
Kiau Hong dapat mengambil
tindakan cepat, ia tahu kerusuhan telah terjadi, Thoan-kong, Cit-hoat dan para
tianglo lain berada dalam keadaan bahaya, sang waktu tidak boleh dilewatkan
percuma, tindakan tegas harus segera dilakukan, maka mendadak ia menghela napas
panjang, ia berputar menghadap Su-tay-tianglo (empat tertua) dan berkata,
"Harap para Tianglo suka memberi tahu, sebenarnya apa yang telah terjadi
dalam organisasi kita?”
Tapi keempat kakek itu hanya
saling pandang belaka dan tiada seorang pun berani membuka suara.
Maka tahulah Kiau Hong bahwa
keempat tianglo itu pun pasti tersangkut dalam urusan ini, dengan tersenyum
katanya pula, "Setiap anggota kita, dimulai dari diriku, semuanya
mengutamakan setia kawan ....”
Berkata sampai di sini,
sekonyong-konyong ia melompat mundur dua tindak, setiap tindaknya sejauh lebih
dua meter. Bagi orang lain, biarpun berlompatan ke depan juga tidak secepat dan
sejauh itu.
Dengan lompatan mundur itu,
maka sekarang jarak Kiau Hong dengan Coan Koan-jing sudah tinggal tiada satu
meter jauhnya. Tanpa putar tubuh lagi terus saja tangan kirinya menangkap ke
belakang dan tangan kanan bergerak mencengkeram dari jauh, gerakan ini tepat
mengenai "Tiong-ting-hiat” dan "Kiu-bwe-hiat” di dada sasarannya.
Ilmu silat Coan Koan-jing
sebenarnya tergolong kelas satu di antara jago-jago Kay-pang, hanya selisih
sedikit saja daripada Kay-pang-su-lo. Tapi cukup sejurus saja, sampai berkelit
pun tidak sempat dan tahu-tahu sudah kena dipegang oleh sang pangcu.
Ketika Kiau Hong kerahkan
tenaga dalam hingga menyalur ke tubuh Coan Koan-jing melalui kedua hiat-to yang
tercengkeram, dari urat nadi itu tenaga dalam menyalur ke Tiong-wi-hiat dan
Yang-tay-hiat di dengkul Koan-jing. Seketika Coan Koan-jing merasa dengkul
menjadi lemas dan tanpa terasa terus berlutut.
Melihat Coan Koan-jing tekuk
lutut, keruan anggota Kay-pang yang lain sama terkejut dan khawatir tanpa
berdaya.
Kiranya Kiau Hong darat
melihat gelagat, ia tahu terjadinya kerusuhan biang keladinya
tak-lain-tak-bukan adalah Coan Koan-jing. Kalau orang ini tidak segera dibekuk
tentu akan membawa bencana yang tak terduga. Terutama bila di antara anggota
Kay-pang terjadi pertempuran sendiri, pasti akan sangat melemahkan kekuatan
organisasi yang sudah terpupuk selama seratus tahun ini.
Apalagi di antara anggota
Kay-pang yang hadir ini, kecuali beberapa puluh orang dari Tay-gi-hun-tho,
selebihnya boleh dibilang sudah dipengaruhi oleh hasutan Coan Koan-jing.
Lebih-lebih kalau Kay-pang-su-lo juga berdiri di pihak lawan, pasti dirinya
sukar melawan mereka.
Sebab itu, maka ia pura-pura
bertanya-jawab dengan Kay-pang-su-lo, dan pada waktu Coan Koan-jing tidak
menyangka, mendadak ia melompat mundur dan dapat membekuknya.
Beberapa kali lompatan dan
sergapan Kiau Hong itu tampaknya sepele saja, tapi sebenarnya sudah memakan
seluruh intisari kepandaiannya.
Bila cengkeramannya ke
belakang tadi sedikit meleset, walaupun Coan Koan-jing dapat dibekuknya juga,
tapi tenaga dalamnya akan sukar menyalur ke tubuh orang untuk menyerang hiat-to
di dengkul kaki dan membuatnya berlutut, maka akibatnya tentu kawan-kawan
sekomplotannya akan menerjang maju untuk menolongnya hingga suatu pertarungan
sengit pasti sukar terhindarkan.
Tapi sekarang Coan Koan-jing
telah dipaksa berlutut, bagi kawan-kawannya tentu akan menyangka Coan Koan-jing
telah mendahului menyerah dan mengaku salah. Dengan sendirinya para begundalnya
tiada yang berani berkutik lagi.
Begitulah kemudian Kiau Hong
baru berputar tubuh dan menepuk perlahan pundak Coan Koan-jing sambil berkata,
"Tidak perlu berlutut. Jika kau sudah sadar akan kesalahanmu, tentang
dosamu yang masih harus diperiksa ini biarlah nanti dibicarakan lebih jauh.”
Sambil berkata, perlahan
sikutnya bekerja pula hingga hiat-to bisu di tubuh Coan Koan-jing kena
ditutuknya.
Hendaklah diketahui bahwa Coan
Koan-jing adalah seorang yang pandai bicara dan pintar berdebat. Bila dia
diberi kesempatan membuka suara bukan mustahil anggota Kay-pang yang lain akan
mudah terpengaruh oleh provokasinya. Maka terpaksa Kiau Hong bertindak secara licik,
yaitu membekuk Coan Koan-jing lebih dulu, dengan dibekuknya biang keladi
mereka, terpaksa komplotan yang siap memberontak itu tak berani berkutik.
Dan sesudah dapat membekuk
Coan Koan-jing serta membuatnya berlutut dengan menunduk kemudian Kiau Hong
berseru pula kepada Thio Coan-siang, "Hendaknya tunjukkan tempatnya,
bawalah Tay-gi-thocu pergi mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo ke sini.
Kau harus tunduk pada perintah dengan baik, supaya dapat mengurangi dosamu.
Kawan-kawan yang lain harap duduk menunggu di sini, dilarang sembarangan
bergerak.”
Dengan takut-takut girang,
berulang Thio Coan-siang mengiakan perintah sang pangcu.
Cio Ci-tong, itu Thocu dari
Tay-gi-hun-tho, tidak ikut serta dalam komplotan pemberontakan, maka ia menjadi
sangat gusar demi mendengar Coan Koan-jing dan begundalnya merencanakan
pengkhianatan itu. Saking gusarnya seketika ia tidak sanggup ikut bersuara.
Baru sesudah mendengar perintah Kiau Hong agar menyertai Thio Coan-siang pergi
mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo, dapatlah ia tenangkan pikirannya
yang bergolak tadi. Katanya segera kepada anak buahnya yang berjumlah 20-an
orang itu, "Sungguh celaka bahwa dalam perkumpulan kita terjadi kerusuhan,
maka tibalah saatnya bagi kita harus curahkan sepenuh tenaga kita untuk
membalas budi kebaikan Pangcu. Kita harus taat kepada perintah Pangcu, jangan
lengah!”
Sebabnya ia memberi perintah
begitu adalah khawatir bahwa Su-tay-tianglo juga ikut melawan pangcu, seorang
diri tentu sang pangcu sulit melawan orang banyak. Meski orang Tay-gi-hun-tho
terlalu sedikit dibanding pihak yang memberontak, tapi paling tidak sudah lebih
baik daripada tiada pengikut sama sekali.
Di luar dugaan Kiau Hong
berkata, "Tidak, Cio-thocu, bawalah bersama anak buah bagianmu itu,
menolong para tianglo lebih penting, jangan terlambat.”
Cio Ci-tong tidak berani
membantah, terpaksa mengia. Katanya pula, "Harap Pangcu bertindak secara
hati-hati, selekasnya kami pasti akan kembali.”
"Para saudara yang hadir
di sini adalah kawan-kawan sehidup-semati yang tidak perlu disangsikan lagi,
biarpun untuk sementara mungkin mereka salah pikir, namun mereka pasti akan
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Engkau tidak usah
khawatir, pergilah!” sahut Kiau Hong dengan tersenyum.
Meskipun Kiau Hong bicara
dengan sikap tenang dan sewajarnya, tapi dalam batin sebenarnya sangat
terguncang. Ia saksikan keberangkatan Cio Ci-tong bersama anak buahnya. Di
tengah rimba kini selain Toan
Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A
Pik berempat, selebihnya kira-kira dua ratusan orang semuanya tersangkut di
dalam kerusuhan ini, asal ada di antaranya memberi hasutan dan memberi
perintah, tentu akan terjadi serbuan serentak dan susah dilayani. Kiau Hong
coba memandang sekitarnya, ia lihat macam-macam sikap para pengemis itu, ada
yang kikuk, ada yang berlagak tenang, dan ada yang khawatir, tapi ada juga yang
petantangpetenteng.
Dua ratusan orang di situ
semuanya terdiam, tiada seorang pun yang berani membuka suara. Tapi sekali ada
yang bicara, pasti kerusuhan akan terjadi. Pikir Kiau Hong, "Dalam keadaan
demikian, paling baik kalau suasana tetap dalam keadaan tenang. Kalau dapat
pokok persoalan dikesampingkan dulu, baru sebentar Thoankong Tianglo dan
lain-lain sudah datang, urusan tentu akan menjadi mudah diselesaikan.”
Sekilas terlihat olehnya Toan
Ki berdiri di sampingnya, maka katanya segera, "Para saudara, hari ini aku
sangat gembira karena baru saja dapat berkenalan dengan seorang sobat baru.
Karena kami berdua cocok satu-samalain, maka aku sudah mengangkat saudara
dengan adik Toan Ki ini. Nah, Toan-hiante, marilah kuperkenalkan kepada
tokoh-tokoh utama di dalam Kay-pang kami.”
Lalu ia gandeng tangan Toan Ki
dan mendekati kakek beruban dan bersenjatakan gada bergigi kait itu, katanya,
"Beliau adalah Song-tianglo, usianya sudah lanjut dan namanya dihormati.
Beliau adalah tetua yang dipuja di dalam perkumpulan kami. Senjatanya yang
istimewa ini dahulu pernah malang melintang di Kangouw, tatkala itu Toan-hiante
sendiri mungkin belum lahir.”
"Ah, kiranya Song-tianglo,
sudah lama kukagum, sungguh beruntung hari ini bisa bertemu,” demikian Toan Ki
memberi hormat.
Terpaksa dan dengan kaku
Song-tianglo membalas hormat juga.
Kemudian Kiau Hong
memperkenalkan si kakek pendek gemuk dan bersenjata tongkat baja itu kepada
Toan Ki. Katanya, "Dia Ge-tianglo, ahli gwakang terkemuka dalam
perkumpulan kita. Belasan tahun dulu kakak angkatmu ini sering belajar ilmu
silat padanya. Terhadap diriku Ge-tianglo boleh dikata ya guru ya kawan,
hubungan kami tak dapat diartikecilkan.”
"Ya, tadi aku sudah
menyaksikan Ge-tianglo menempur kedua orang, ilmu silatnya memang benar luar
biasa, sungguh sangat mengagumkan,” ujar Toan Ki.
Watak Ge-tianglo itu sangat
jujur dan tulus, mendengar Kiau Hong toh tidak pernah melupakan hubungan baik
di masa lampau, terutama mengungkap bahwa dirinya pernah memberi petunjuk ilmu
silat, mau tak mau Getianglo merasa lega dan malu hati pula, ia yakin Kiau Hong
pasti takkan mengusut terlalu keras tentang ikut sertanya dalam komplotan
kerusuhan ini, sebaliknya dirinya secara sembrono telah kena dihasut oleh Coan
Koan-jing, hal ini benar-benar sangat tercela.
Dan sesudah Kiau Hong
memperkenalkan Tan-tianglo yang bersenjatakan karung goni itu kepada Toan Ki,
selagi hendak mengenalkan Go-tianglo yang bermuka merah dan bersenjatakan
kui-thau-to itu, tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang yang ramai dari
arah timur laut sana. Menyusul terdengar suara berisik orang banyak yang
berkata, "Bagaimana keadaan Pangcu. Di mana pengkhianatnya?” — "Kita
telah tertipu dan sebal karena dikurung mereka.”
Begitulah suara berisik itu.
Kiau Hong menjadi girang. Tapi ia tidak ingin mengurangi penghormatannya kepada
Go-tianglo hingga menimbulkan dendam, maka ia tetap memperkenalkan juga
kedudukan dan nama baik Go-tianglo kepada Toan Ki.
Ketika ia berpaling, ia lihat
Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo, para thocu dari Tay-jin-hun-tho dan
lainlain sudah datang semua. Dalam hati mereka sebenarnya banyak yang hendak
mereka katakan, tapi di hadapan sang pangcu mereka pun tidak berani sembarangan
membuka suara.
Perlu diketahui bahwa Kay-pang
adalah suatu organisasi terbesar di dalam Bu-lim dengan tata tertib organisasi
yang sangat ketat. Pada umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat patuh pada
disiplin.
Begitulah maka Kiau Hong
lantas berkata sesudah hadirnya para tianglo dan thocu itu, "Silakan para
saudara suka duduk, aku ingin bicara.”
Beramai-ramai semua orang
mengia, lalu mengambil tempat duduk masing-masing menurut urutan-urutan
tingkat, tugas dan usia, ada yang menghadap ke kanan, ada yang ke kiri, ke
depan, atau ke belakang. Tapi semuanya duduk dengan anteng.
Dalam pandangan Toan Ki, cara
duduk pengemis-pengemis itu rada kacau dan tak keruan, tapi sebenarnya mereka
sangat teratur, sedikit pun tidak bingung.
Melihat para anak buah menaati
perintahnya dengan baik, diam-diam Kiau Hong sudah merasa lega lebih dulu.
Lalu dengan tersenyum Kiau
Hong mulai bicara, "Berkat penghargaan kawan-kawan Kangouw, maka Kaypang
kita selama ratusan tahun ini dapat disebut sebagai pang-hwe terbesar di dalam
Bu-lim. Dan karena sudah disebut sebagai yang ‘terbesar’, karena anggota kita
terlalu banyak, pendapat tiap-tiap orang tidak selalu sama, hal ini pun dengan
sendirinya susah dihindarkan. Tapi asal diberi pengertian, ada persoalan,
marilah bermusyawarah, maka selamanya kita akan tetap bersatu dalam
persaudaraan yang saling sayang-menyayangi. Terhadap setiap perbedaan paham dan
perselisihan pendapat, kita pun tidak perlu pandang sebagai sesuatu
yang luar biasa.”
Pada waktu bicara, wajah Kiau
Hong tetap tenang-tenang dan ramah tamah, maka setelah mendengar uraiannya,
suasana yang tadinya agak tegang itu mulai mereda.
"Numpang tanya kepada
Song, Ge, Go, dan Tan-tianglo, kalian telah mengurung kami dalam perahu di tengah
Thay-oh, apakah artinya itu?” demikian tiba-tiba seorang pengemis tua bermuka
kuning dan duduk di sisi Kiau Hong menegur sambil berbangkit.
Kiranya dia ini Cit-hoat
Tianglo, tertua yang memegang tata tertib organisasi, she Pek bernama Si-kia.
Orangnya jujur dan keras, tidak pandang bulu kepada siapa pun juga. Sekalipun
tidak berdosa, anggota Kaypang juga jeri padanya. Sebabnya disiplin Kay-pang
begitu baik, jasa Pek Si-kia boleh dikatakan sangat besar.
Di antara Su-tay-tianglo, usia
Song-tianglo paling tua, sebab itulah ia merupakan simbol dari empat serangkai
itu. Maka wajahnya menjadi merah oleh teguran Pek Si-kia, ia berdehem sekali,
lalu menjawab, "Tentang itu ... itu, kita ... kita adalah saudara
sehidup-semati, dengan sendirinya tiada maksud jahat, maka ... maka harap
mengingat diriku ini, hendaklah ... Pek-cit-hoat suka memaafkan.”
Mendengar itu, semua anggota
merasa Song-tianglo ini benar-benar sudah pikun. Masakah urusan membangkang
kepada pangcu dapat dianggap sepele dan cukup dengan minta maaf begitu saja
lalu urusan menjadi selesai?
Maka Pek Si-kia berkata pula,
"Song-tianglo bilang tiada maksud jahat, kenyataannya tidaklah demikian.
Aku dan Pui-thocu telah dikurung bersama di dalam sebuah perahu, perahu ini
berlabuh di tengah telaga Thay-oh dan di atas perahu itu penuh tertumpuk kayu
dan bahan bakar lain, katanya kalau kami berani melarikan diri, perahu itu
segera akan dibakar. Nah, Song-tianglo, cara demikian itu apakah bukan maksud
jahat?”
"Hal ini me ... memang
benar agak ... agak keterlaluan,” sahut Song-tianglo dengan tergegap-gegap.
"Kita adalah saudara sendiri, mana boleh berlaku sekasar itu? Kelak bila
saling bertemu, bukankah akan merasa tidak enak?”
Kata-katanya yang terakhir itu
jelas ditujukan kepada Tan-tianglo.
"Dan kau,” mendadak Pek
Si-kia menuding salah seorang pengemis di sebelah sana. "Kau telah menipu
kami ke atas perahu itu, katanya Pangcu mengundang kami. Kau memalsukan
perintah Pangcu, apa hukumanmu?”
Laki-laki itu menjadi
ketakutan hingga bergemetaran, sahutnya dengan terputus-putus, "Kedudukan
Tecu sangat ... sangat rendah, mana Tecu berani melakukan perbuatan durhaka?
Soalnya karena ... karena ....”
Berkata sampai di sini, sinar
matanya beralih ke arah Coan Koan-jing seakan-akan hendak bilang Coan-thocu
yang memerintahkan agar menipu kalian ke atas perahu itu.
Pek Si-kia lantas menegas,
"Apakah Coan-thocu yang memberi perintah begitu padamu?”
Laki-laki itu hanya menunduk
saja tanpa berkata, tidak mengiakan juga tidak membantah.
"Kau diperintahkan
Coan-thocu agar memalsukan titah Pangcu untuk menipu kami ke atas perahu itu,
tatkala itu kau tahu tidak bahwa titah itu palsu?” tanya Pek Si-kia pula.
Seketika wajah laki-laki itu
pucat pasi dan tidak berani bersuara.
"Hm, Li Sam-jun,” jenguk
Pek Si-kia, "biasanya kau adalah seorang laki-laki, berani berbuat berani
bertanggung jawab. Kini kenapa menjadi pengecut dan tidak berani mengaku
salah?”
Mendadak Li Sam-jun
membusungkan dada dan melangkah maju, serunya dengan lantang, "Ucapan
Pektianglo memang tepat. Aku Li Sam-jun telah berbuat salah, apakah akan
dibunuh atau digantung terserah keputusanmu, kalau orang she Li ini berkerut
kening sedikit saja bukan laki-laki sejati. Tatkala kusampaikan perintah palsu
Pangcu kepadamu, waktu itu aku sendiri tahu kalau itu perintah palsu.”
"Sebenarnya Pangcu kurang
baik padamu atau aku yang bersalah padamu?” tanya Pek Si-kia.
"Tidak semua,” sahut Li
Sam-jun. "Terhadap Siokhe (hamba), Pangcu selalu sangat berbudi, begitu
pula Pektianglo sangat adil dan jujur, siapa pun tiada yang mengomel.”
"Habis, disebabkan apa?
Urusan apa yang menyebabkan kau berkhianat?” bentak Pek-tianglo dengan bengis.
Li Sam-jun pandang sekejap
pada Coan Koan-jing yang berlutut itu, lalu memandang pula ke arah Kiau Hong,
kemudian katanya dengan suara keras, "Siokhe telah melanggar pang-kui
(tata tertib organisasi), ganjaran yang
setimpal adalah mati, tapi
tentang sebab musababnya, Siokhe tidak berani menerangkan.”
Habis berkata sekali tangannya
bergerak, sinar putih berkelebat, "bles”, tahu-tahu sebilah belati telah
menancap hulu hatinya.
Tikaman sendiri itu sangat
cepat, pula tepat mengenai jantung, ujung belati sampai menembus ke punggung,
keruan Li Sam-jun terjungkal seketika dan binasa.
Dalam kagetnya para pengemis
yang lain sama menjerit, tapi semuanya tetap duduk di tempat masing-masing,
tiada seorang pun berani bergerak.
Dengan wajah yang kereng Pek
Si-kia berkata pula, "Kau tahu perintah Pangcu itu palsu, tapi tidak
melapor pada Pangcu, bahkan menipu aku, hukumanmu memang seharusnya mati.”
Lalu ia berpaling pada
Thoan-kong Tianglo dan berkata, "Hang-heng, siapa pula orang yang menipumu
ke atas perahu?”
Belum lagi Hang-tianglo
menjawab, sekonyong-konyong seorang melompat pergi dari rombongan sana dan
berlari sekencang-kencangnya. Orang ini menyandang lima kantong, terang dia
adalah Go-te-tecu. Melihat larinya itu, jelas dia inilah orang yang
menyampaikan perintah palsu untuk menipu Hang-tianglo ke atas perahu itu.
Thoan-kong dan Cit-hoat
Tianglo saling pandang dengan menghela napas gegetun, keduanya tidak bicara
lagi.
Dalam pada itu tiba-tiba
sesosok bayangan orang melesat dengan cepat sekali dan tahu-tahu sudah
mengadang di depan Go-te-tecu yang hendak melarikan diri itu.
Pengadang itu ternyata bermuka
merah dan bergolok kui-thau-to, ialah Go-tianglo di antara Kay-pang-su-lo itu.
Terdengar kakek itu membentak
dengan bengis, "Lau Tiok-ceng, mengapa kau hendak melarikan diri?”
Melihat dirinya diadang
Go-tianglo, saking ketakutan Go-te-tecu yang dipanggil sebagai Lau Tiok-ceng
itu sampai lemas kakinya, sahutnya dengan tak lancar, "Aku ... aku ....”
Begitulah hampir sepuluh kali
ia mengucapkan "aku” dan tidak sanggup meneruskan lagi.
"Sebagai anggota
Kay-pang, kita harus taat kepada tata tertib yang kita warisi dari leluhur.
Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kalau salah
berani mengaku salah kalau benar, apa lagi yang mesti ditakutkan?”
Demikian seru Go-tianglo. Lalu
ia berpaling ke arah Kiau Hong dan meneruskan, "Pangcu, kami memang
berkomplotan hendak menggulingkan kedudukanmu sebagai pangcu. Dalam komplotan
ini, Ge, Tan, Song dan Go keempat tianglo semuanya tersangkut. Kami khawatir
Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo tidak setuju dengan rencana kami, maka berdaya
mengurungnya. Hal ini demi untuk perkembangan Kay-pang kita di hari depan
terpaksa mesti berani mengambil risiko. Tapi pergerakan kami rupanya kurang
mujur hingga dapat dibongkar oleh kalian. Nah, terserahlah bagaimana kalian
akan mengambil keputusan. Aku Go Tiang-hong sudah lebih 30 tahun menjadi
anggota Kay-pang, siapa pun tahu aku bukan manusia yang takut mati.”
Habis berkata, golok
kui-thau-to mendadak dilemparkannya jauh-jauh, lalu kedua tangannya bersedekap
di depan dada, sikapnya angkuh dan pantang takut.
Dengan terus terang Go-tianglo
mengatakan komplotan hendak menggulingkan sang pangcu, keruan seketika gegerlah
anggota Kay-pang yang lain. Sudah tentu rencana itu diketahui siapa pun yang
ikut dalam komplotan itu, tapi justru untuk mengaku terus terang itulah tiada
yang berani. Kini Go Tiang-hong orang pertama yang berani mengaku terus terang,
mau tak mau semua orang harus mengagumi kejujuran dan keberaniannya.
"Song, Ge, Tan dan Go
berempat tianglo berkomplot hendak menggulingkan Pangcu, perbuatan ini
melanggar pasal satu undang-undang organisasi kita,” demikian Pek Si-kia,
tertua pelaksana hukum, menyatakan keputusannya, "Cit-hoat-tecu (murid
pelaksana hukum), ringkuslah keempat tianglo!”
Segera anak buahnya yang
menerima perintah itu mengeluarkan tali kulit kerbau, lebih dulu Go Tiang-hong
diringkus, tertua itu hanya tersenyum saja dan membiarkan dirinya diikat tanpa
melawan sedikit pun. Menyusul Song-tianglo dan Go-tianglo juga meletakkan
senjata dan menyerah untuk diringkus.
Hanya wajah Tan-tianglo yang
kelihatan penasaran, ia mengomel sendiri, "Pengecut, pengecut semua! Kalau
tadi kita serbu serentak, belum tentu kita dikalahkan, tapi justru setiap orang
jeri kepada Kiau Hong.”
Apa yang dikatakan memang
benar, ketika Coan Koan-jing ditundukkan, bila anggota yang ikut berkomplot itu
serentak menyerbu maju, betapa pun Kiau Hong pasti susah melawannya. Malahan
kemudian dengan datangnya Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan para thocu
dari Tay-jin, Tay-gi, Tay-sin dan Tay-yong, tetap jumlah pengikut komplotan
jauh lebih banyak.
Akan tetapi di hadapan Kiau
Hong yang gagah perkasa dan berwibawa itu, ternyata tiada seorang pun berani
mendahului turun tangan sehingga kesempatan baik berlalu dengan sia-sia,
akhirnya satu per satu kena diringkus malah.
Sekarang biarpun Tan-tianglo
bertekad bertempur mati-matian, namun ia sudah terpencil seorang diri. Maka
dengan menghela napas ia lempar karung goninya dan membiarkan kaki dan
tangannya diikat dengan tali oleh anak buah Cit-hoat Tianglo.
"Lau Tiok-ceng,” seru
Cit-hoat Tianglo kemudian, "cara tindak tandukmu seperti ini apakah kau
masih ada harganya untuk menjadi anggota Kay-pang? Kau akan membereskan diri
sendiri atau perlu bantuan orang lain?”
"Aku ... aku ....” sahut
Lau Tiok-ceng dengan tergegap dan tak dapat melanjutkan lagi, ia melolos golok
dan bermaksud menggorok leher sendiri, tapi tangannya terlalu gemetar hingga
tidak kuat mengangkat goloknya.
"Huh, tak becus seperti
ini juga mengaku sebagai anggota Kay-pang,” jengek salah seorang anak buah
Cithoat-tecu tadi. Segera ia bantu memegang tangan Lau Tiok-ceng yang
bersenjata itu, lalu menggorok sekuatnya untuk memutuskan lehernya.
"Te ... terima kasih
....” kata Lau Tiok-ceng dengan terputus-putus, lalu melayanglah jiwanya.
Kiranya menurut peraturan
Kay-pang, setiap anggota yang berdosa dan harus dihukum mati, kalau pelaksanaan
itu dilakukan dengan tangan sendiri, maka dia masih tetap dianggap sebagai
saudara dalam Kay-pang dan dengan matinya itu berarti dosanya sudah tercuci
bersih. Tapi kalau dilakukan oleh Cit-hoat-tecu, itu berarti dosanya tidak
pernah diampuni selamanya.
Tadi Cit-hoat-tecu itu melihat
Lau Tiok-ceng bermaksud membunuh diri, tapi tenaga kurang, maka telah membantu
melaksanakan keinginannya itu.
Begitulah Toan Ki, Ong
Giok-yan, A Cu dan A Pik berempat tanpa sengaja telah menyaksikan kerusuhan di
dalam Kay-pang, diam-diam mereka merasa menyesal telah ikut-ikut mendengar dan
melihat urusan dalam orang lain yang mestinya tidak boleh diketahui orang luar.
Tapi kalau mereka pergi begitu
saja, tentu akan menimbulkan curiga orang-orang Kay-pang. Terpaksa mereka tetap
duduk tenang di tempatnya dengan lagak seakan-akan tidak ambil pusing apa yang
terjadi itu. Namun bukan mustahil dengan binasanya Lau Tiok-ceng dan Li Sam-jun
serta diringkusnya Su-tay-tianglo yang
tadinya tampak gagah perkasa
itu, mungkin banyak kejadian mengerikan masih akan berlangsung pula.
Maka mereka berempat cuma
saling pandang saja, mereka merasa serbasalah menghadapi keadaan begitu. Toan
Ki sendiri adalah saudara angkat Kiau Hong, sedangkan waktu Hong Po-ok
keracunan, Kiau Hong telah memintakan obat baginya. Hal ini membuat Ong Giok-yan,
A Cu dan A Pik merasa sangat berterima kasih padanya. Kini melihat Kiau Hong
dapat memulihkan kerusuhan di dalam Kay-pang dan berhasil meringkus biang
keladi komplotan pengkhianat, sudah tentu mereka ikut bersyukur bagi Kiau Hong.
Dalam pada itu Kiau Hong
sendiri lagi duduk dengan termangu-mangu di samping sana, meski anggota yang
berkhianat satu per satu telah dapat diringkus, tapi sedikit pun ia tidak
merasa senang sebagai pihak yang menang.
Terkenang olehnya waktu dia
menerima jabatan pangcu dari Ong-pangcu almarhum yang berbudi itu, selama
delapan tahun memegang pimpinan, sudah banyak peristiwa ke luar maupun ke dalam
yang telah diselesaikan dengan baik, sedikit pun tidak pernah memikirkan
kepentingan diri pribadi hingga Kay-pang selama di bawah pimpinannya bertambah
jaya dan makin disegani oleh sesama kawan Kangouw.
Berdasarkan itu, dirinya boleh
dikatakan banyak jasanya dan tidak merasa pernah berbuat sesuatu kesalahan,
mengapa sekarang mendadak ada komplotan seluas ini hendak menggulingkan
dirinya? Kalau melulu Coan Koan-jing yang bernafsu besar hendak menghancurkan
Kay-pang, mengapa Su-tay-tianglo yang dapat dipercaya itu juga ikut dalam
komplotan ini? Apa barangkali tanpa sengaja dan tanpa sadar dirinya telah
berbuat sesuatu kesalahan yang menimbulkan kemarahan para kawan?
Sementara itu terdengar Pek
Si-kia mulai berkata lagi dengan lantang, "Para saudara, Kiau-pangcu
diangkat sebagai pengganti Ong-pangcu almarhum, selama ini beliau menjalankan
tugas dengan baik hingga Kay-pang kita mendapat kemajuan yang tidak sedikit,
waktu ditunjuk sebagai pengganti pangcu, dahulu Ong-pangcu telah banyak
mengujinya lebih dulu dengan soal-soal sulit. Di antaranya ada tiga syarat
berat serta mengharuskan dia melaksanakan tujuh macam pahala besar bagi
Kay-pang habis itu barulah mewariskan Pakkau-pang (pentung penggebuk anjing)
padanya.
"Dahulu waktu diadakan
Thay-san-tay-hwe (pertemuan besar di Thay-san), seorang diri Kiau-pangcu telah
menjatuhkan delapan lawan tangguh, banyak kawan-kawan yang hadir di sini ikut
menyaksikan kejadian itu. Selama delapan tahun ini Kiau-pangcu selalu bertindak
adil dan berbudi, nama baik Kay-pang kita pun semakin membubung tinggi, untuk
mana seharusnya kita berterima kasih dan mencintainya dengan sepenuh jiwa raga
kita, tapi kini ternyata ada orang yang hendak berkhianat. Nah, Coan Koan-jing,
boleh coba kau bicara sendiri di hadapan para kawan!”
Karena Coan Koan-jing ditutuk
bisu oleh Kiau Hong, maka apa yang dikatakan Pek-tianglo itu dapat didengar
dengan jelas, susahnya ia sendiri tak dapat membuka suara untuk menjawabnya.
Maka Kiau Hong mendekatinya
dan menepuk perlahan punggung Coan Koan-jing untuk membuka hiat-to yang
ditutuknya itu, katanya, "Coan-thocu, aku Kiau Hong pernah berbuat sesuatu
dosa apa kepada para saudara, silakan bicara terus terang di sini, tidak perlu
takut dan tidak perlu pantang bicara.”
Karena hiat-to telah lancar
kembali, segera Coan Koan-jing melompat bangun dan berseru, "Dosamu kepada
para saudara belum kau lakukan sekarang, tapi tidak lama lagi tentu akan kau
jalankan.”
"Ngaco-belo!” bentak
Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia. "Pribadi Kiau-pangcu cukup kesatria dan
berjiwa besar, sebelum ini tiada sesuatu kejahatan yang dilakukannya, untuk
selanjutnya juga takkan diperbuatnya.”
"Pek-tianglo,” sela Kiau
Hong, "harap sabarlah, biarkan Coan-thocu bertutur sejelasnya dari awal
sampai akhir duduk perkara. Jika Song-tianglo dan Ge-tianglo berempat juga
menyalahkan diriku, mungkin aku pernah berbuat sesuatu kesalahan.”
"Aku memberontak padamu
adalah salahku,” seru Ge-tianglo mendadak, "maka tidak perlu kau singgung
lagi. Sebentar sesudah urusan selesai aku sendiri akan penggal kepalaku ini
untukmu.”
Walaupun ucapan Ge-tianglo itu
kedengarannya rada lucu namun perasaan setiap orang sedang dirundung kepedihan
karena adanya perpecahan di dalam organisasi, maka tiada seorang pun yang
merasa geli.
Terdengar Pek-tianglo
membenarkan ucapan Kiau Hong tadi, sahutnya, "Baiklah. Nah, uraikanlah,
Coan Koanjing.”
Melihat komplotannya telah
gagal, sekutunya seperti Song-tianglo berempat telah diringkus, terang usahanya
akan sia-sia belaka. Namun ia masih ingin menempuh jalan terakhir, maka serunya
dengan lantang, "Kematian Be-hupangcu dibunuh orang, kuyakin atas suruhan
Kiau Hong!”
Keruan Kiau Hong terguncang
hebat oleh tuduhan itu. "Apa katamu?” serunya.
Saking kejutnya sampai
suaranya agak parau.
"Sebab apa engkau
diam-diam benci kepada Be-hupangcu dan ingin mengenyahkannya, kalau tidak
melenyapkan beliau dirasakan olehmu serupa duri dalam daging, kedudukan pangcu
menjadi tidak teguh bagimu,” demikian kata Coan Koan-jing.
Kiau Hong menggeleng perlahan,
katanya, "Tidak. Hubunganku dengan Be-hupangcu meski tidak begitu rapat,
dalam tutur kata juga tidak cocok, tapi selamanya aku tidak pernah punya maksud
mencelakai dia. Tuhan sebagai saksi, bila aku Kiau Hong ada niat mencelakai
Be-hupangcu, biarlah aku hancur lebur dicencang dan selamanya aku akan dikutuk
setiap kesatria di jagat ini.”
Melihat sikap Kiau Hong yang
sungguh-sungguh dan penuh semangat kesatria itu, maka tiada seorang pun yang
berprasangka lagi padanya.
Tapi Coan Koan-jing lantas
berkata lagi, "Jika begitu, tujuan kita datang ke Koh-soh sini untuk
menuntut balas kepada Buyung-kongcu, mengapa berulang-ulang engkau bersekongkol
dengan musuh?”
Ia tuding Giok-yan bertiga,
lalu melanjutkan, "Ketiga orang ini adalah anak keluarga Buyung Hok dan
engkau malah membelanya.”
Ia tuding Toan Ki pula dan
berkata, "Dan orang ini adalah kawan Buyung Hok, engkau justru mengangkat
saudara dengan dia ....”
"Bukan, bukan!” demikian
seru Toan Ki menirukan lagu Pau Put-tong sambil goyang-goyang kedua tangannya.
"Aku bukan kawan Buyung Hok, sedangkan macam apa Buyung Hok itu, apakah
dia bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu.”
"Pau Put-tong, itu orang
yang suka ‘bukan-bukan’ adalah Cengcu Pek-in-ceng merupakan bawahan Buyung Hok,
‘It-tin-hong’ Hong Po-ok juga pengikut Buyung Hok yang mengepalai
Jik-sia-ceng,” demikian Coan Koan-jing berkata pula. "Kalau mereka tidak
tertolong olehmu, sudah sejak tadi yang satu mati keracunan dan yang lain
binasa tercencang. Kejadian tadi telah disaksikan orang banyak, dalam hal ini
apakah engkau mampu menyangkal?”
"Sudah ratusan tahun
sejarah Kay-pang kita dan selama itu selalu mendapat dukungan dan dihormati
sesama orang Kangouw, sebabnya bukan karena menang pengaruh atau menang pintar,
tapi karena kita senantiasa berbuat kebajikan, suka membela kaum lemah dan
menegakkan keadilan,” kata Kiau Hong dengan perlahan. "Coan-thocu, engkau
menuduh aku membela ketiga nona itu, memang benar aku telah membela mereka, hal
itu disebabkan aku ingin menjaga nama baik Kay-pang yang sudah bersejarah
ratusan tahun ini agar tidak sampai ditertawai kawan Kangouw bahwa para Tianglo
Kay-pang mengeroyok tiga orang nona lemah. Coba pikirkan, Song, Ge. Tan dan Go
berempat tianglo adalah kaum locianpwe yang disegani, masakah nama baik mereka
tidak harus dijaga? Mungkin engkau memang tidak, tapi orang lain tak dapat
membiarkan nama baik mereka tercemar.”
Mendengar jawaban Kiau Hong
ini, semua orang merasa cukup beralasan juga. Bila beramai-ramai mereka
mempersulit ketiga nona seperti Giok-yan dan hal ini tersiar, memang nama baik
Kay-pang pasti akan tercemar.
"Nah, Coan Koan-jing, apa
yang dapat kau katakan lagi?” tanya Pek-tianglo kemudian. Lalu ia berpaling
kepada Kiau Hong dan berkata pula, "Pangcu, manusia yang tidak kenal adat
begini, buat apa banyak bicara dengan dia, biarlah jatuhkan hukuman yang
setimpal menurut peraturan saja.”
"Sabar dulu,” ujar Kiau
Hong. "Menurut dugaanku, sebabnya Coan-thocu dapat memengaruhi orang
sebanyak ini untuk melawan diriku, tentu dia mempunyai alasan yang teguh.
Seorang laki-laki sejati, segala tindakan harus dilakukan secara blakblakan, kalau
salah biar salah, aku Kiau Hong selamanya tidak pernah menyembunyikan sesuatu
perbuatan yang tak boleh diketahui orang lain, andaikan ada kesalahanku,
biarlah para saudara suka katakan terus terang.”
"Pangcu,” tiba-tiba
Go-tianglo menyela dengan menghela napas, "mungkin engkau adalah seorang
durjana besar yang pintar berlagak, boleh jadi engkau adalah seorang kesatria
sejati pula. Tapi aku Go Tiang-hong sudah terang tidak dapat
membeda-bedakannya. Maka lebih baik lekas kau bunuh diriku saja.”
Kiau Hong menjadi heran dan
curiga, tanyanya cepat, "Go-tianglo, mengapa engkau bilang aku mungkin
seorang durjana? Hal apakah yang menyebabkan engkau men ... mencurigai aku?”
Namun Go Tiang-hong menggeleng
kepala, sahutnya, "Kalau diceritakan, urusan ini akan sangat luas sangkutannya,
sebenarnya kami ingin membunuhmu agar selesailah urusannya.”
Keruan Kiau Hong tambah
bingung oleh ucapan kakek itu. "Mengapa? Ada apa?”
Demikian ia bergumam sendiri.
Lalu ia mendongak dan berseru, "Apakah karena aku telah menolong dua pembantu
Buyung Hok, lantas kalian mendakwa aku bersekongkol dengan dia? Soalnya memang
begitu atau tidak, saat ini masih sukar diputuskan. Tapi menurut perasaanku,
aku tetap yakin tewasnya Be-hupangcu bukan dibunuh oleh Buyung Hok.”
"Dari mana kau tahu?”
tanya Coan Koan-jing.
Pertanyaan ini tadi sudah
pernah diajukannya, tapi karena terseling banyak kejadian lain, maka belum
terjawab, dan baru sekarang pertanyaannya dapat diulang lagi.
"Sebab kupikir Buyung Hok
adalah seorang kesatria, seorang laki-laki sejati, tidak nanti dia turun tangan
membunuh Be-jiko,” sahut Kiau Hong kemudian.
Mendengar Kiau Hong memuji
Buyung Hok, hati Giok-yan merasa senang, diam-diam ia pun pikir Kiaupangcu ini
benar-benar seorang yang baik. Sebaliknya Toan Ki berpikir lain, dengan kening
bekernyit ia anggap pujian sang toako ini mungkin tidak benar, belum tentu
Buyung Hok itu seorang kesatria apa segala?
Maka terdengarlah Coan
Koan-jing berkata pula, "Selama dua bulan ini, jago-jago Kangouw yang
terbunuh berjumlah tidak sedikit, dan setiap orang itu selalu terbinasa di
bawah kungfu andalannya sendiri. Hal ini kalau bukan perbuatan Buyung-si dari
Koh-soh, lantas perbuatan siapa?”
Tiba-tiba Kiau Hong berjalan
mondar-mandir perlahan di tengah kalangan sambil bicara dengan suara tenang,
"Saudara-saudara sekalian, kemarin malam ketika aku sedang minum arak di
rumah makan Bong-kan-lau di tepi sungai Tiangkang di kota Kang-im, aku bertemu
dengan seorang sastrawan setengah umur yang ternyata mampu minum sepuluh
mangkuk arak sekaligus tanpa mabuk sedikit pun. Sungguh kuat cara minumnya dan
benar-benar seorang lelaki sejati.”
Diam-diam Toan Ki tersenyum
geli, katanya di dalam hati, "Kiranya kemarin malam Toako sudah berlomba
minum arak dengan orang. Dan karena orang itu sangat kuat minum, cara minumnya
sederhana, lantas dia merasa senang serta memuji orang sebagai lelaki sejati,
padahal semua orang tidak dapat disamaratakan.”
Dalam pada itu Kiau Hong
sedang menyambung ceritanya, "Maka telah kuajak minum tiga mangkuk dengan
dia, ketika berbicara tentang tokoh-tokoh di daerah Kanglam, dia menyombongkan
diri bahwa tenaga pukulannya nomor satu di daerah Kanglam. Maka lantas kuajak
dia bertanding tiga kali pukulan.
"Pukulan pertama dan
kedua dapat dia tangkis dengan sama kuatnya, tapi pukulan ketiga telah membuat
mangkuk yang dipegang tangan kirinya pecah tergetar dan remukan beling mangkuk
melukai mukanya hingga berdarah.
"Tapi dengan tenang
seperti tidak terjadi apa-apa ia berkata, ‘Sayang, sayang semangkuk arak yang
bagus ini!’
"Aku merasa senang
padanya, maka pukulan keempat tidak kulakukan lagi. Kataku, ‘Tenaga pukulan
saudara memang sangat hebat, sebutan ‘Kanglam-te-it’ (nomor satu di Kanglam)
memang sesuai.’
"Ia menjawab,
‘Kanglam-te-it, tapi Thian-he-te-cap (nomor sepuluh di dunia).’
"Ujarku, ‘Hengtay tidak
perlu rendah diri, walaupun bukan nomor satu, tapi nomor lima atau nomor enam
di dunia ini pasti jadi.’
"Tiba-tiba ia berkata,
‘Kiranya Pangcu dari Kay-pang yang tiba, Hang-liong-sip-pat-ciang memang bukan
omong kosong, marilah ingin kuhormati engkau satu mangkuk lagi.’
"Segera kami minum pula
masing-masing tiga mangkuk. Ketika hendak berpisah telah kutanya namanya, ia
mengatakan she Kongya, namanya cuma satu, Kian, artinya kering, kalau minum
pasti kering isi cawannya. Nama aliasnya ialah ‘Lan-cui’ (susah mabuk). Ia
mengaku sebagai pengikut Buyung-kongcu dan menjabat sebagai Cengcu
Hian-siang-ceng, aku telah diundang ke tempat tinggalnya untuk minum lagi. Nah,
coba katakan, saudara-saudara, pribadi laki-laki seperti itu bagaimana menurut
pendapat kalian? Pantas diajak bersahabat tidak?”
Watak Go-tianglo paling jujur
dan suka terus terang, maka segera ia acung jempolnya dan berseru, "Kongya
Kian itu benar-benar seorang laki-laki sejati dan sobat baik. Pangcu,
kapan-kapan harap engkau suka memperkenalkannya kepadaku.”
Ia lupa bahwa dirinya adalah
orang hukuman yang diringkus dan sebentar lagi mungkin akan mendaftarkan diri
kepada raja akhirat. Tapi demi mendengar cerita tentang seorang kesatria,
seorang laki-laki sejati, tanpa terasa ia mengutarakan perasaan kagumnya serta
ingin berkenalan.
Kiau Hong tersenyum, diam-diam
ia merasa gegetun seorang yang polos sebagai Go-tianglo itu ternyata ikut
tersangkut di dalam komplotan pengkhianatan ini. Entah bagaimana nasibnya nanti
di bawah keputusan Pektianglo yang keras dan tidak pandang bulu itu?
"Kemudian bagaimana,
Pangcu?” tiba-tiba Song-tianglo ikut tanya.
"Setelah berpisah dengan
Kongya Kian, aku terus menuju ke Bu-sik sini,” tutur Kiau Hong pula.
"Menjelang petang, tiba-tiba kudengar suara pertengkaran dua orang yang
berdiri di atas sebuah jembatan kecil. Tatkala itu hari sudah mulai gelap, tapi
kedua orang itu masih bertengkar di situ, aku heran dan coba mendekatinya.”
Jilid 24
"Kiranya jembatan itu
adalah sebuah tok-bok-kip (jembatan balok kayu tunggal) yaitu hanya selonjor
balok yang menghubungkan ujung sini dengan seberang sana. Di sebelah sini
berdiri seorang laki-laki berbaju hitam dan sebelah sana berdiri seorang desa
sambil memikul satu pikulan rabuk kotoran.
"Rupanya kedua orang itu
bertengkar karena berebut hak jalan lebih dulu. Si orang desa menyatakan dia
membawa pikulan yang berat, tidak mungkin mundur, maka laki-laki berbaju hitam
itu disuruh memberi jalan dulu.
"Tapi laki-laki baju
hitam itu menjawab, ‘Sejak tadi kita saling ngotot sampai sekarang, biarpun
ngotot lagi sampai besok juga aku takkan mengalah.’
"Si orang desa berkata,
‘Jika kau tahan bau busuk kotoran pikulanku ini, boleh coba kau ngotot terus.’
— ‘Pundakmu dibebani pikulan seantap itu, jika engkau tidak lelah, boleh coba,
kita lihat saja siapa lebih tahan lama,’ demikian sahut si laki-laki baju
hitam.
"Sudah tentu aku merasa
geli menyaksikan peristiwa itu, pikirku watak laki-laki baju hitam ini
benar-benar sangat aneh, asal dia mundur dulu dan memberi jalan kepada orang
desa itu, kan segala urusan menjadi beres, tapi ia justru ngotot berebut jalan
dengan orang desa yang memikul kotoran untuk rabuk sawah itu, apanya yang
menarik sih? Dan dari ucapan mereka itu, nyata mereka sudah saling ngotot lebih
satu jam lamanya.
"Tertarik oleh kejadian
lucu itu, aku menjadi ingin tahu bagaimana akhirnya pertengkaran mereka itu,
apakah akhirnya laki-laki baju hitam itu yang menyerah atau si orang desa yang
mengaku kalah?
"Tapi aku tidak sudi mencium
bau busuk kotoran yang dipikul orang desa itu, maka aku bersembunyi di tempat
agak jauh, kudengar kedua orang itu masih terus bertengkar tak mau kalah. Orang
desa itu benar-benar sangat kuat, kalau capek ia pindahkan pikulannya dari
pundak kiri ke pundak kanan dan sebaliknya secara bergiliran, namun selangkah
pun ia pantang mundur.”
Mendengar sampai di sini, Toan
Ki coba memandang Giok-yan, A Cu, dan A Pik bertiga. Ternyata ketiga nona itu
sedang mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa sangat tertarik.
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Toako ini benar-benar rada aneh tabiatnya, menghadapi suasana yang tegang
di tengah pengkhianatan anggota Kay-pang, ternyata dia masih bisa iseng
menceritakan hal-hal yang tiada
sangkut pautnya dengan
kepentingannya itu. Ceritanya bagi nona Ong bertiga sudah tentu menarik, tapi
Kiautoako yang gagah kesatria seperti ini mengapa juga masih kekanak-kanakan
sifatnya?”
Akan tetapi tidak cuma
Giok-yan bertiga saja yang tertarik oleh cerita Kiau Hong itu, sebab semua
anggota Kay-pang yang hadir di situ tampaknya juga sedang mendengarkan dengan
penuh perhatian, sama sekali tidak merasa cerita Kiau Hong itu sebagai
dongengan kosong.
Maka Kiau Hong telah
melanjutkan, "Setelah mengikuti kejadian itu sebentar, lambat laun aku
terkejut, kulihat laki-laki baju hitam yang berdiri di atas jembatan balok itu
tetap menegak bagai gunung antengnya, terang ia seorang yang memiliki ilmu
silat yang sangat tinggi. Sebaliknya orang desa itu hanya seorang biasa saja,
sedikit pun tidak paham ilmu silat.
"Makin melihat makin
heran aku, kupikir ilmu silat laki-laki baju hitam ini begini hebat, asal dia
gunakan sebuah jarinya saja sudah cukup untuk dorong orang desa berikut
pikulannya terguling ke dalam sungai, akan tetapi ia justru tidak mau
menggunakan ilmu silatnya.
"Pada umumnya jago silat
setinggi itu seharusnya seorang yang sabar dan peramah, umpama tidak mau
mengalah cukup sekali melompat saja sudah dapat lewat ke seberang sana dengan
melintasi kepala orang desa itu, hal ini dengan mudah dapat dilakukannya, tapi
mengapa dia justru cari gara-gara dengan orang desa itu? Sungguh aneh dan
menggelikan!
"Dalam pada itu kudengar
laki-laki baju hitam itu lagi berseru, ‘Ayo, kau mau mengalah atau tidak, kalau
tidak, terpaksa aku memaki!’
"Tapi orang desa itu
tetap ngotot, sahutnya, ‘Mau maki boleh maki. Kau bisa memaki, memangnya aku
tidak bisa?’ — Bahkan ia terus memaki lebih dulu. Maka laki-laki baju hitam itu
pun balas memaki kalang kabut. Ramai sekali mereka saling caci maki, dari yang
halus sampai yang paling kotor, yang lucu dan yang anehaneh, semuanya mereka
keluarkan.
"Kira-kira satu jam pula
perang mulut itu berlangsung, sementara itu si orang desa tampak agak payah,
tenaga habis dan keringat mengucur. Sebaliknya laki-laki baju hitam itu sangat
kuat tenaga dalamnya, ia tetap bertahan dengan penuh semangat. Kulihat badan si
orang desa mulai bergoyang-goyang, tampaknya tidak lama lagi tentu ia akan
kecebur ke dalam sungai.
"Tak tersangka, mendadak
orang desa itu mencelupkan sebelah tangannya ke dalam tong kotoran yang dia
pikul itu, ia meraup satu comot kotoran terus dilemparkan ke arah laki-laki
baju hitam. Sudah tentu laki-laki baju hitam sama sekali tidak menduga akan
perbuatan lawan itu, ia berseru kaget, kontan mukanya dan mulutnya penuh
terciprat air kotoran.
"Diam-diam aku mengeluh
orang desa itu pasti bakal celaka, ia mencari mati sendiri dan tak bisa
menyalahkan laki-laki baju hitam itu. Benar juga laki-laki itu menjadi murka,
sekali angkat tangannya, terus saja menabok ubun-ubun kepala orang desa itu.”
Mendengar sampai di sini,
rupanya saking tertarik oleh cerita Kiau Hong itu hingga mulut Giok-yan yang
kecil mungil itu tampak agak melongo. Sedangkan A Cu dan A Pik tampak saling
pandang dengan tersenyum.
Kiau Hong sedang melanjutkan,
"Kejadian itu datangnya terlalu mendadak, hendak kutolong orang desa itu
pun tidak keburu lagi. Tak terduga ketika tangan laki-laki itu sudah dekat
batok kepala orang desa itu, tiba-tiba ia hentikan serangannya hingga tangan
tertahan di udara. Ia tertawa dan bertanya, ‘Lauhia (saudara), engkau
bertanding ketekunan denganku, sebenarnya siapakah yang menang, ha?’
"Tapi orang desa itu
ternyata sangat bandel, sudah terang ia kalah, namun tetap tidak mau mengaku,
sahutnya, ‘Aku memikul barang berat, sudah tentu kau lebih tahan. Coba kau bawa
pikulan dan aku berdiri dengan bebas, marilah kita boleh coba-coba lagi siapa
yang menang dan siapa yang akan kalah?’ — ‘Benar juga ucapanmu,’ sahut
laki-laki itu. Terus saja dengan tangan kiri ia angkat pikulan dari pundak si
orang desa, ia tidak taruh pikulan itu di pundak sendiri, tapi terus diangkat
tinggi ke atas dengan tangan lurus tegak.
"Meski orang desa itu
tidak paham ilmu silat namun tenaganya sebenarnya sangat besar. Demi tampak
laki-laki itu mampu angkat pikulannya yang berat itu dengan sebelah tangan
tanpa bergoyang sedikit pun, mau tak mau orang desa itu ternganga kaget. ‘Nah,
biar aku angkat pikulanmu ini cara begini dan takkan berganti tangan, marilah
kita coba bertanding lagi, siapa yang kalah nanti harus minum habis kotoran
satu pikul ini!’ demikian kata laki-laki itu dengan tertawa.
"Keruan orang desa itu
tidak berani bertengkar lagi demi menyaksikan betapa hebat tenaga sakti
laki-laki itu, buru-buru ia hendak mundur ke belakang. Tapi saking gugupnya ia
terpeleset hingga tercemplung ke dalam sungai. Syukur laki-laki baju hitam
sempat ulur sebelah tangannya untuk menjambret leher baju orang desa itu.
"Dan sambil sebelah
tangan mengangkat pikulan kotoran dan tangan lain menjinjing orang desa itu,
laki-laki itu terbahak-bahak dan berseru, ‘Hahaha! Sungguh puas!’ — Habis itu
sekali lompat ia sudah sampai di seberang sungai dengan enteng. Ia taruh orang
desa dan pikulannya ke tanah, lalu tinggal pergi dan menghilang di dalam hutan
dengan ginkang yang tinggi.
"Nah, saudara-saudara,
laki-laki baju hitam itu telah dicaci maki oleh orang desa itu, bahkan telah
disiram air kotoran, kalau ia mau membunuhnya boleh dikatakan semudah menggecek
seekor semut. Seumpama dia tidak ingin sembarangan membunuh orang, paling tidak
ia dapat memberi sekali gebukan atau tendangan kepada orang desa itu pun pantas
rasanya. Akan tetapi ia justru tidak mau main kekerasan, tidak mau
mentangmentang lebih pandai, sifat laki-laki itu benar-benar luar biasa,
sungguh sukar dicari bandingannya di kalangan
Bu-lim.
"Saudara-saudara,
kejadian itu telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, jarak tempat
kusembunyi waktu itu agak jauh, rasanya tidak mungkin aku diketahui olehnya
hingga dia sengaja berbuat apa yang terjadi itu untuk mengelabui pikiranku.
Coba katakanlah, saudara-saudara, orang begitu terhitung kawan pilihan tidak?
Termasuk seorang laki-laki sejati bukan?”
Song-tianglo, Ge-tianglo dan
Go-tianglo serentak menjawab, "Benar, dia seorang kawan pilihan, seorang
lakilaki sejati!”
"Tapi sayang Pangcu tidak
tahu siapa namanya,” Tan-tianglo juga berkata, "kalau tahu, tentu kita pun
ingin tahu bahwa di daerah Kanglam sini ternyata ada seorang tokoh sehebat
itu.”
"Kawan itu tadi malahan
sudah saling gebrak dengan Tan-tianglo sendiri,” sahut Kiau Hong perlahan.
"Bahkan tangannya kena diantup oleh kalajengking Tan-tianglo.”
"Hah, dia It-tin-hong
Hong Po-ok?” seru Tan-tianglo terperanjat.
"Benar!” sahut Kiau Hong
sambil mengangguk.
Dan baru sekarang Toan Ki
paham sebabnya Kiau Hong mendongeng, tujuannya adalah ingin melukiskan secara
nyata watak Hong Po-ok yang sejati, bahwa manusia itu tidak boleh dinilai dari
lahirnya, bahwa wajah bagus belum tentu juga berhati baik.
Biarpun muka Hong Po-ok itu
jelek, lebih mirip setan daripada manusia, suka cari gara-gara dan berkelahi
pula, tapi jiwanya ternyata sangat luhur dan bajik.
Dari itu juga Toan Ki paham
mengapa Giok-yan, A Cu dan A Pik begitu tertarik oleh cerita itu, sudah tentu
disebabkan mereka tahu siapa yang dimaksudkan karena kenal watak Hong Po-ok
yang suka bertengkar dengan orang tanpa sebab, tapi juga tidak nanti
sembarangan membikin susah orang.
Dalam pada itu terdengar Kiau
Hong sedang berkata pula, "Nah, Tan-tianglo, kita selalu anggap Kay-pang
kita adalah suatu pang-hwe terbesar di dunia Kangouw, engkau sendiri adalah
tokoh utama Kay-pang kita, kedudukan dan nama baikmu sudah tentu tak dapat
disejajarkan dengan seorang keroco daerah Kanglam seperti Hong Po-ok itu. Tapi
Hong Po-ok sesudah dihina toh masih bisa menjaga harga diri dari tidak mau
sembarangan membikin susah orang lain, masakah tokoh-tokoh Kay-pang kita mesti
kalah daripada dia?”
Muka Tan-tianglo menjadi
merah, sahutnya, "Ajaran Pangcu memang tepat. Engkau suruh aku memberikan
obat penawar padanya, kiranya adalah demi kehormatanku. Untuk itu Tan Put-peng
tidak tahu maksud baik Pangcu, sebaliknya malah merasa tidak senang. Sungguh
aku ini goblok seperti kerbau.”
"Nama baik Kay-pang kita
dan kehormatan Tan-tianglo adalah soal kedua, yang paling utama adalah orang
persilatan seperti kita ini dilarang keras membunuh sesamanya yang tak
berdosa,” ujar Kiau Hong. "Biarpun Tan-tianglo umpamanya bukan tokoh Kay-pang
kita dan bukan jago tersohor di Bu-lim, juga tidak boleh sembarangan mencelakai
orang.”
"Ya, Tan Put-peng
sekarang insaf telah berbuat salah,” sahut Tan-tianglo sambil menunduk.
Melihat uraiannya itu dapat
menundukkan Tan Put-peng yang terhitung paling angkuh di antara Su-tay-tianglo
itu, tentu saja Kiau Hong sangat senang, perlahan katanya pula, "Kongya
Kian sangat kesatria, Hong Po-ok dapat membedakan di antara salah dan benar,
sedangkan Pau Put-tong itu suka terus terang dan bebas, sekalipun ketiga nona
ini pun sangat ramah dan bajik. Mereka ini kalau bukan bawahan Buyung-kongcu
tentu adalah sanak keluarganya. Kata peribahasa, ‘Binatang itu hidup berkumpul
menurut jenis masing-masing, manusia hidup terpisah menurut kelompok
sendiri-sendiri’. Cobalah para saudara mengheningkan cipta dan pikirlah secara
tenang, sedangkan orang-orang yang bergaul setiap hari dengan Buyung-kongcu itu
adalah orang-orang yang telah kita kenal ini, lantas dia sendiri apa mungkin
seorang durjana yang mahajahat, seorang pengecut yang rendah dan kotor?”
Tokoh-tokoh dalam Kay-pang itu
adalah kesatria yang mengutamakan setia kawan dan cinta sahabat, setelah
mendengarkan cerita Kiau Hong, semuanya merasa pendapat sang pangcu yang
membela kehormatan Buyung Hok itu cukup beralasan, maka terdengarlah banyak
suara yang menyatakan persetujuan mereka.
Sebaliknya Coan Koan-jing
lantas berkata, "Pangcu, jadi menurut pendapatmu, pembunuh Be-hupangcu
sudah pasti bukan Buyung Hok?”
"Aku tidak berani
memastikan Buyung Hok adalah pembunuh Be-hupangcu, tetapi juga tidak berani
mengatakan dia pasti bukan pembunuhnya,” sahut Kiau Hong. "Urusan menuntut
balas ini kita tidak boleh bertindak gegabah, tapi harus mengusutnya secara
teliti, bila cuma berdasarkan kepada dugaan saja hingga salah membunuh orang baik,
sebaliknya pembunuh yang sebenarnya hidup bebas, tentu dia akan menertawai
Kay-pang kita terlalu goblok. Dan kalau demikian, bukankah sangat memalukan?”
Sejak tadi Thoan-kong Tianglo
Hang Po-hoa berdiri diam saja, kini ia mengelus-elus jenggotnya yang
jarangjarang itu sambil berkata, "Ehm, ucapan ini memang beralasan, sangat
beralasan. Aku jadi teringat pada pengalamanku dahulu, pernah aku salah
membunuh seorang yang tak berdosa, hal mana senantiasa mengganjal
dalam hatiku sampai sekarang.”
"Pangcu,” tiba-tiba
Go-tianglo berseru, "sebabnya kami mengkhianati engkau adalah disebabkan
mudah percaya ocehan orang, katanya engkau tidak sepaham dengan Be-hupangcu dan
diam-diam bersekongkol dengan begundalnya Buyung Hok untuk membinasakan dia,
ditambah lagi urusan kecil lain-lain sehingga kami percaya begitu saja. Tapi
kini setelah dipikir, memang kami yang terlalu gegabah dan sembrono. Maka
Cit-hoat Tianglo silakan keluarkan hoat-to (golok hukuman) dan membiarkan kami
membereskan diri sendiri menurut undang-undang organisasi kita.”
Dengan air muka membeku
Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia berkata, "Cit-hoat-tecu, keluarkan hoat-to!”
Segera sembilan anak buahnya
mengiakan berbareng. Lalu dari kantong masing-masing dikeluarkannya sebuah
bungkusan kain kuning yang sudah tua. Sembilan bungkusan itu ditaruhnya menjadi
satu, kemudian mereka berseru serentak, "Hoat-to sudah siap, sudah
diperiksa dengan betul!”
Segera mereka membuka
bungkusan masing-masing itu.
Seketika Toan Ki merasa silau
oleh sembilan bilah belati yang gemilapan dan tertaruh sejajar di depan situ.
Belati-belati itu sama panjangnya, mata pisau mengeluarkan sinar gilap bersemu
kebiru-biruan, sekali pandang saja pasti orang akan tahu bahwa belati-belati
itu adalah senjata yang sangat tajam.
Sambil menghela napas,
berkatalah Pek Si-kia, "Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo telah kena
dihasut orang dan berusaha hendak memberontak kepada pimpinan dan membahayakan
kekuatan Kay-pang kita. Dosa mereka harus dihukum mati. Tay-ti-hun-tho Thocu
Coan Koan-jing, menyebarkan cerita bohong dan sengaja menghasut untuk
berkhianat, dosanya juga harus dihukum mati. Tentang anak murid yang ikut serta
dalam komplotan durhaka ini, semuanya akan mendapat hukuman setimpal, untuk itu
kelak akan diusut dan diputuskan tersendiri-sendiri.”
Pada waktu Pek-tianglo
mengumumkan keputusan hukumnya, semua orang diam saja. Hal ini dapat dimengerti
karena komplotan itu bertujuan menggulingkan sang pangcu dan dosa itu pantas
dihukum mati, mata tiada seorang pun berani menyatakan keberatannya atas
keputusan hukuman itu. Bagi yang ikut serta dalam komplotan itu, juga
sebelumnya sudah tahu akan akibat tersebut.
Begitulah Go Tiang-hong segera
mendahului maju ke hadapan Kiau Hong, ia membungkuk memberi hormat, katanya,
"Pangcu, Go Tiang-hong bersalah padamu dan siap membereskan diri sendiri,
mohon engkau suka memaafkan kekurangajaranku.”
Habis itu, ia berjalan ke depan
barisan hoat-to tadi dan berseru, "Go Tiang-hong siap membunuh diri,
silakan Cit-hoat-tecu membuka tali ringkusanku.”
Salah seorang Cit-hoat-tecu
mengiakan sambil bertindak maju hendak membuka tali pengikat Go-tianglo itu,
mendadak Kiau Hong berseru, "Nanti dulu!”
"Pangcu,” kata Go-tianglo
dengan suara lemah dan muka pucat, "dosaku teramat besar dan engkau
melarangku bunuh diri sendiri?”
Kiranya di dalam undang-undang
Kay-pang ada satu pasal yang menentukan bahwasanya bila pelanggar hukum
organisasi itu membunuh diri, sesudah mati dosanya berarti sudah tercuci bersih
dan kehormatannya tetap tak ternoda. Segala dosanya juga disiarkan keluar,
kalau ada orang Kangouw membicarakan dosanya, orang Kay-pang akan bertindak
untuk membelanya malah. Hal ini sesuai dengan jiwa orang Bu-lim yang sangat
mengutamakan nama baik, sesudah mati juga nama baiknya tidak boleh dihina
orang. Sebab itulah maka Go-tianglo merasa gugup ketika melihat Kiau Hong
melarang dia membunuh diri untuk menebus dosanya.
Dan ternyata Kiau Hong tidak
menjawabnya melainkan terus mendekati deretan belati tadi dan berkata,
"Lima belas tahun yang lalu ketika mendadak pasukan berkuda bangsa Cidan
menyerbu Gan-bun-koan, kabar itu diketahui Song-tianglo, selama tiga hari empat
malam beliau tidak makan dan tidur terus menempuh perjalanan pulang ke tanah
air untuk memberitahukan berita genting itu, di tengah jalan ia ganti sembilan
ekor kuda yang mati saking lelah, saking capeknya beliau sampai muntah darah.
Namun begitu, berita yang beliau bawa itu telah memberi kesempatan kepada
tentara Song kita untuk bersiap-siap menghadapi musuh sehingga pasukan Cidan
akhirnya terpaksa mengundurkan diri. Jasa mahabesar bagi nusa dan bangsa itu
meski tidak banyak diketahui orang Kangouw, tapi setiap anggota Kay-pang kita
cukup mengetahuinya. Nah, Cit-hoat Tianglo, atas jasa Song-tianglo itu, mohon
kebijaksanaanmu agar mengizinkan beliau menebus dosanya dengan jasa yang pernah
dia persembahkan itu.”
"Pangcu memintakan ampun
bagi Song-tianglo dengan alasan yang cukup kuat,” ujar Pek Si-kia. "Tetapi
undang-undang Kay-pang kita menyatakan, dosa pengkhianatan betapa pun tidak
dapat diampuni, sekalipun pernah berjasa besar juga tak dapat menebus
kesalahannya itu. Ketetapan ini diadakan demi untuk menjaga agar tiada anggota
yang menganggap dirinya berjasa, lalu membahayakan organisasi kita yang sudah
bersejarah ratusan tahun ini. Sebab itu, permintaan Pangcu tadi tidak dapat
diterima oleh tata tertib organisasi, terpaksa kita tidak dapat merusak
undang-undang warisan pangcu kita yang terdahulu.”
"Ucapan Cit-hoat Tianglo
memang benar,” ujar Song-tianglo sambil bangkit dan tersenyum getir.
"Sebagai tertua dalam pang kita, siapa orangnya yang tidak banyak berjasa?
Bila setiap orang minta ganti jasa, lantas bagaimana jadinya, bukankah setiap
orang boleh berbuat sewenang-wenang untuk kemudian minta dibebaskan karena
pernah berjasa? Dari itu, harap Pangcu suka kasihan pada diriku, izinkanlah
kubunuh diri.”
Habis berkata, mendadak
terdengar suara "prak-prak” dua kali, tali kulit yang mengikat tangan dan
kaki tahutahu putus semua.
Keruan para pengemis
terperanjat melihat sekali bergerak saja Song-tianglo dapat memutuskan tali
kulit yang sangat ulet itu, maka dapat dibayangkan betapa lihai tenaga
dalamnya, dan begitu membebaskan diri, terus saja Song-tianglo hendak ulur
tangan mengambil sebilah belati guna membunuh diri.
Tak terduga baru tubuh
membungkuk sedikit tahu-tahu satu arus tenaga yang halus tapi kuat menolak ke
arahnya hingga ia dirintangi berjongkok. Meski tangannya sudah terulur, tapi
tak dapat memegang belati yang tinggal belasan senti jauhnya itu. Nyata Kiau
Hong yang telah bertindak mencegahnya.
Wajah Song-tianglo berubah
pucat seketika, serunya, "Pangcu, jadi engkau juga ... juga ....”
Tiba-tiba Kiau Hong sambar sebilah
belati di antara deretan hoat-to itu.
"Ya, memangnya salahku
karena timbul niatku hendak membunuhmu, maka sudah sepantasnya sekarang engkau
melaksanakan hukuman atas dosaku itu,” demikian kata Song-tianglo dengan
menghela napas.
Segera sinar belati
berkelebat, "crat”, bukannya Song-tianglo yang menerima hukuman mati,
sebaliknya Kiau Hong tikam bahu kiri sendiri dengan belati itu.
Keruan para pengemis menjerit
kaget, serentak mereka berbangkit. Begitu pula Toan Ki ikut terkejut, "Toako,
kenapa?” serunya.
Bahkan Giok-yan yang merupakan
orang di luar garis juga ikut terperanjat oleh peristiwa di luar dugaan itu,
tanpa terasa ia pun berseru, "Kiau-pangcu, jangan ....”
Namun Kiau Hong lantas bicara,
"Pek-tianglo, undang-undang kita juga ada satu pasal yang menyatakan,
‘Setiap dosa anggota tidak boleh sembarangan diampuni, kalau Pangcu hendak
mengampuni, dia sendiri harus mengalirkan darah dulu untuk mencuci bersih dosa
si anggota’. Ada tidak pasal demikian?”
"Ya, memang ada satu pasal
demikian dalam undang-undang kita,” sahut Pek Si-kia dengan wajah tetap kaku
tanpa perasaan. "Tapi Pangcu perlu juga menimbang dahulu apakah ada
harganya untuk mengalirkan darah buat mencuci dosa orang?”
"Asal tidak melanggar
undang-undang warisan leluhur sudah cukup,” ujar Kiau Hong. Lalu ia berpaling
dan
berkata kepada Ge-tianglo,
"Ge-tianglo dahulu telah mengajar ilmu silat padaku, meski tiada hubungan
perguruan, tapi sesungguhnya seperti guru. Hal ini boleh dikatakan urusan
pribadiku. Lebih dari itu, mengingat dahulu waktu Ong-pangcu ditawan lima jago
terkemuka negeri Cidan, beliau telah dikurung di dalam gua Hekhong-tong, beliau
dipaksa agar menyerah kepada Cidan, tapi berkat Ge-tianglo yang telah rela
menyaru sebagai Ong-pangcu untuk menghadapi segala bahaya hingga Ong-pangcu
sendiri dapat lolos dengan selamat. Jasanya bagi Kay-pang kita dan demi nusa
dan bangsa yang mahabesar itu, betapa pun harus kubebaskan kesalahannya
sekarang ini.”
Sembari berkata, kembali ia
sambar hoat-to kedua, ia potong dulu tali pengikat Ge-tianglo itu, menyusul
belati itu menikam, lagi-lagi belati itu menancap di bahu sendiri.
Dengan tenang sinar mata Kiau
Hong beralih ke arah Tan-tianglo. Tan-tianglo itu biasanya berjiwa sempit,
dahulu telah berbuat sesuatu yang berdosa terhadap keluarga sendiri, maka ia
ganti nama dan masuk ke Kaypang, untuk mana ia paling sirik bila ada yang coba
mengorek-ngorek boroknya itu, maka selama ini ia tiada hubungan rapat dengan
Kiau Hong. Kini melihat sinar mata Kiau Hong memandang kepadanya, segera ia
mendahului berseru, "Kiau-pangcu, aku tiada hubungan baik apa-apa
denganmu, biasanya lebih banyak selisih paham dengan engkau, maka aku pun tidak
berani terima budi pertolonganmu!”
Sekonyong-konyong kedua
tangannya yang terikat di belakang itu terangkat ke atas terus membalik itu
depan dengan tetap terikat tali kulit. Ternyata "Thong-pi-kun-kang” yang
diyakinkan Tan-tianglo sudah mencapai tingkatan yang tiada taranya, kedua
lengannya dapat mulur-mengkeret dengan bebas. Maka begitu tangan menjulur pula,
sebilah hoat-to sudah disambarnya.
Namun Kiau Hong sempat
bergerak, dengan "Kim-liong-kang” (ilmu menangkap naga) yang lihai dan
cepat, dengan mudah saja belati itu dirampasnya. Katanya dengan suara nyaring,
"Tan-tianglo, aku Kiau Hong adalah seorang laki-laki kasar, tidak suka
pada orang yang sok hati-hati tindak tanduknya, juga tidak menyukai orang yang
tidak minum arak dan tidak mau tertawa, tetapi hal ini adalah watak pembawaan
setiap orang, tak dapat disebut baik atau busuk. Watakku sendiri tidak cocok
denganmu, biasanya jarang bicara dengan baik. Aku pun tidak suka pada perilaku
Be-hupangcu, bila berhadapan, sedapat mungkin aku ingin menghindar pergi, aku
lebih suka pergi minum arak dan makan daging anjing bersama anak murid rendahan
yang berkantong satu atau dua.
"Watakku ini telah
dikenal semua orang, untuk mengubah watak sendiri terang tidak mungkin. Tapi
jika sebab itu engkau mengira aku dendam dan ingin melenyapkan engkau dan
Be-hupangcu, sungguh salah besar pikiran kalian ini. Tentang kalian tidak minum
arak dan tidak makan barang berjiwa itu adalah kebaikan kalian, aku Kiau Hong
mengaku tidak dapat menyamai kalian.”
Berkata sampai di sini,
tiba-tiba belati ketiga pun ditikamkan ke bahu sendiri, lalu sambungnya,
"Jasamu membunuh Yalu Puru, itu panglima besar negeri Cidan, mungkin tak
diketahui orang luar, tapi masakah aku tidak tahu?”
Seketika ramailah suara heran
para pengemis tercampur suara memuji dan kagum.
Kiranya tahun yang lalu waktu
negeri Cidan menyerbu ke wilayah Tiongkok secara besar-besaran, mendadak
beberapa panglimanya yang terkemuka telah binasa, karena alamat itu dirasakan
tidak baik, akhirnya pasukan Cidan itu ditarik mundur hingga kerajaan Song
terhindar dari bencana. Dan di antara panglima yang mati mendadak itu terdapat
Yalu Puru yang terkemuka. Kejadian itu kecuali beberapa tokoh tertentu dalam
Kaypang, orang lain tiada yang tahu bahwa jasa itu adalah hasil karya
Tan-tianglo.
Kini dirinya dipuji Kiau Hong
di depan orang banyak, betapa pun siriknya Tan-tianglo kepada sang pangcu, mau
tak mau ia menjadi terhibur.
Hendaklah diketahui bahwa
selama ini Kay-pang menjalankan kewajiban sebagai anak negeri dan membantu
kerajaan Song melawan kaum penjajah dari luar, cuma cara pergerakan mereka
dilakukan dengan diam-diam atau di bawah tanah, baik perjuangan mereka berhasil
atau gagal, selama ini tidak pernah siarkan, sebab itulah jarang orang tahu
perjuangan Kay-pang yang patriotik itu.
Tan-tianglo aslinya bernama
Tan Put-peng, biasanya sangat angkuh, terutama karena usianya lebih tua dan
sejarahnya dalam Kay-pang lebih lama daripada Kiau Hong, maka sikapnya pada
sang pangcu itu tidak terlalu hormat. Hal itu cukup diketahui oleh anggota Kay-pang
yang lain. Tapi kini ternyata Kiau Hong tidak pikirkan perselisihan pribadi,
sebaliknya rela mengalirkan darah sendiri untuk menebus dosa Tan-tianglo, mau
tak mau kawanan pengemis menjadi terharu.
Kemudian Kiau Hong mendekati
Go Tiang-hong, katanya, "Go-tianglo, seorang diri dahulu engkau berjaga di
Eng-jiu-kiap (selat elang) dan sekuat tenaga melawan serbuan musuh dari
kerajaan Se-he hingga usaha musuh hendak membunuh Nyo-keh-ciang sukar
terlaksana, untuk jasamu itu Nyo-goanswe telah menghadiahkan sebuah kim-pay
(medali) tanda jasa padamu. Asal engkau keluarkan medali itu sudah lebih dari
cukup untuk menebus dosamu sekarang ini. Nah, silakan tunjukkan medali itu agar
semua orang dapat melihatnya!”
Mendadak air muka Go-tianglo
berubah merah, sikapnya agak kikuk, sahutnya dengan tak lancar, "E ... eh
... tentang ini ... ini ....”
"Kita sama-sama saudara
sendiri, bila Go-tianglo ada kesulitan apa-apa, silakan berkata terus terang
saja,” ujar Kiau Hong.
"Tentang ... tentang
medali emas itu, sebenarnya ... sebenarnya sudah ... sudah hilang,” sahut
Go-tianglo gelagapan.
Kiau Hong menjadi heran.
"Mengapa hilang?” tanyanya.
"Hi ... hilang sendiri,”
sahut Go-tianglo. Tapi sesudah merandek sejenak, mendadak ia berseru,
"Sebenarnya tidak hilang, tapi sudah kujual. Pada suatu hari, mendadak aku
ketagihan arak, tapi kantongku kempis, terpaksa kujual medali emas itu kepada
sebuah toko emas.”
"Hahaha! Go-tianglo suka
berterus terang, sungguh jujur. Memang hal ini agak kurang enak terhadap
Nyogoanswe yang memberikan tanda jasa padamu itu,” ujar Kiau Hong dengan
terbahak-bahak. Habis itu mendadak ia sambar sebilah hoat-to lagi, ia potong
dulu tali pengikat Go-tianglo, lalu belati itu ditikamkan pula ke bahu kiri
sendiri.
Go-tianglo adalah seorang
laki-laki yang jujur dan suka terus terang, segera katanya, "Pangcu, jiwa
Go Tianghong sejak kini sudah kupasrahkan padamu.”
Perlahan Kiau Hong tepuk
bahunya sambil berkata dengan tertawa, "Pengemis seperti kita kalau ingin
makan atau minum arak, minta saja sedekah orang, tidak perlu mesti menjual
medali emas segala.”
"Minta makan sih gampang,
minta arak itulah susah,” sahut Go-tianglo dengan tertawa. "Sebab semua
orang tentu akan bilang, ‘Pengemis busuk, sudah dapat makan masih minta arak?
Hm, terlalu! Tidak kasih, tidak kasih’!”
Mendengar banyolan itu,
menggelegarlah tawa para pengemis. Sebab minta-minta arak pada orang dan
ditolak atau didamprat, pengalaman ini memang sering dijumpai para pengemis.
Dalam pada itu mereka merasa
lega pula demi menyaksikan sang pangcu suka mengampuni dosa keempat tianglo
itu. Kini perhatian mereka tinggal terpusat ke arah Coan Koan-jing yang
merupakan biang keladi komplotan ini, tentu Kiau Hong tidak mudah mengampuninya
begitu saja.
Tertampak Kiau Hong mendekati
Coan Koan-jing dan berkata, "Dan sekarang apa yang dapat kau katakan lagi,
Coan-thocu?”
"Pangcu,” sahut
Koan-jing, "sebabnya aku berkomplotan hendak menggulingkan engkau adalah
demi untuk kepentingan nusa dan bangsa kerajaan Song kita serta demi
perkembangan Kay-pang kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini. Cuma
sayang, orang yang menceritakan asal usul dirimu itu sampai detik terakhir,
menjadi pengecut dan tidak berani muncul. Maka bolehlah engkau membunuh aku
saja.”
Kiau Hong pikir sejenak oleh
jawaban itu, tanyanya kemudian, "Adakah sesuatu yang mencurigakan mengenal
asal usulku? Coba katakan saja.”
"Betapa pun aku berputar
lidah pada saat ini juga takkan dipercaya, maka lebih baik engkau membunuh aku
saja,” sahut Koan-jing sambil menggeleng.
Kiau Hong menjadi tambah
curiga, katanya dengan suara keras, "Seorang laki-laki sejati, apa yang
ingin dikatakan harus dikatakan dengan blakblakan, kenapa main plintat-plintut
begitu? Coan Koan-jing, bila kau benar seorang laki-laki yang tak gentar mati,
kenapa kau pantang bicara terus terang?”
"Memang benar, mati saja
tak gentar, masakah masih ada hal-hal lain di dunia ini yang lebih menakutkan
daripada mati?” sahut Koan-jing dengan tertawa dingin. "Nah, orang she
Kiau, silakan cepat bereskan nyawaku saja agar aku tidak perlu hidup di dunia
ini dan menyaksikan Kay-pang yang jaya ini jatuh ke dalam cengkeraman bangsa Oh
(asing) dan menyaksikan tanah air sendiri yang indah permai ini diinjak-injak
bangsa lain.”
"Kenapa Kay-pang akan
jatuh ke dalam cengkeraman bangsa asing? Coba katakan terus terang,” tanya Kiau
Hong.
"Biarpun kukatakan
sekarang juga para saudara takkan percaya,” sahut Koan-jing. "Mungkin
malah aku akan dituduh sebagai pengecut yang takut mati dan sengaja putar lidah
untuk memfitnah orang. Memangnya aku sudah bertekad menyabung jiwa, buat apa
mesti menerima kutukan pula sesudah mati?”
"Pangcu,” seru
Pek-tianglo tiba-tiba dengan tak sabar, "orang ini banyak tipu
muslihatnya, dengan obrolannya itu dia berharap engkau akan mengampuni jiwanya.
Cit-hoat-tecu, siapkan hoat-to untuk menjalankan hukuman!”
Segera salah seorang
Cit-hoat-tecu mengiakan sambil melangkah maju dan menjemput sebilah belati
serta mendekati Coan Koan-jing.
Dengan mata tak berkedip Kiau
Hong memandang Coan Koan-jing, ia lihat sikap thocu itu penuh rasa penasaran,
sedikit pun tidak unjuk rasa jeri atau takut, pula tiada tanda kepalsuan yang
licik sebagai umumnya seorang yang berdosa.
Kiau Hong tambah bersangsi,
katanya kepada Cit-hoat-tecu yang siap menjalankan tugas itu, "Berikan
hoat-to kepadaku!”
Dengan sangat hormat segera
Cit-hoat-tecu itu serahkan belati yang dipegangnya itu kepada sang pangcu.
"Coan-thocu,” kata Kiau
Hong sesudah memegang belati itu, "kau menyinggung tentang asal usulku,
pula hal ini besar sangkut pautnya dengan mati dan hidup Kay-pang kita.
Bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya juga kau tidak berani mengaku.”
Berkata sampai di sini, ia
simpan hoat-to itu ke dalam sarungnya dan dimasukkan ke dalam baju sendiri,
lalu katanya pula, "Kau menghasut dan berkomplot hendak memberontak,
dosamu seharusnya dihukum mati, tapi pelaksanaan hukum itu sementara ini ditunda,
biar setelah duduk perkara sudah dibikin terang, aku sendiri kelak yang akan
membunuhmu. Aku Kiau Hong bukan manusia yang sok pura-pura, kalau sudah
bertekad hendak membunuhmu, rasanya kau pun tidak mungkin dapat lolos dari
tanganku. Nah, pergilah sekarang, tinggalkan kantong pada punggungmu itu sejak
kini Kay-pang tiada terdaftar anggota seperti dirimu ini.”
Apa yang dimaksudkan
"tanggalkan kantong pada punggungmu” itu berarti memecatnya dari
keanggotaan Kay-pang. Setiap anggota Kay-pang, kecuali anggota yang baru masuk
atau anggota tanpa tugas, paling tidak tentu menyandang sebuah kantong, dan
yang terbanyak sampai sembilan buah kantong. Tinggi rendahnya kedudukan anggota
juga berdasarkan banyak atau sedikit kantong yang dimiliki mereka.
Begitulah maka ketika
diperintahkan menanggalkan kantong yang digendongnya, mendadak sinar mata Coan
Koan-jing memancarkan nafsu membunuh, sekali sambar sebilah hoat-to lantas
dipegangnya, ujung belati itu lantas diarahkan ke dada sendiri.
Perlu diketahui bahwa setiap
orang Kangouw paling mengutamakan keharuman nama dan kehormatan diri. Kini Coan
Koan-jing dipecat begitu saja dari Kay-pang, hal ini dipandangnya sebagai
sesuatu hinaan dan noda yang tidak mungkin dapat dicuci bersih, jauh lebih
menyakitkan daripada ia dihukum mati seketika. Makanya ia menjadi nekat.
Tapi Kiau Hong ternyata
bersikap dingin saja dan menyaksikan apakah benar-benar Coan Koan-jing berani
menikam dirinya sendiri.
Tangan Coan Koan-jing yang
memegang belati itu ternyata sangat teguh, sedikit pun tidak gemetar. Sambil
mengancam dada sendiri ia berpaling memandang Kiau Hong hingga terjadilah
saling pandang di antara kedua orang itu. Seketika suasana di tengah hutan itu
menjadi sunyi senyap.
"Kiau Hong,” seru
Koan-jing mendadak, "santai benar sikapmu ini, apakah engkau sendiri
benar-benar tidak tahu?”
"Tahu apa?” tanya Kiau
Hong.
Bibir Koan-jing tampak
bergerak sekali, tapi akhirnya urung bicara, sebaliknya perlahan ia taruh
kembali belatinya ke tempat semula, lalu perlahan pula menanggalkan kedelapan
buah kantong yang tergendong di punggungnya itu, satu per satu ditaruhnya di
tanah dengan sikap sangat menghormat.
Toan Ki mengerti Coan
Koan-jing itu pasti seorang yang sangat culas dan lihai, tapi demi melihat
derita batinnya ketika menanggalkan kantong-kantong itu, mau tak mau ia pun
merasa terharu.
Ketika Coan Koan-jing sudah
menanggalkan lima buah kantongnya, tiba-tiba terdengar derapan kuda yang
dilarikan dengan cepat di luar hutan menyusul terdengar pula suara suitan.
Segera ada beberapa orang Kaypang menjawab suara suitan itu, lalu suara derapan
kuda itu makan lama makin mendekat dengan sangat cepat.
"Ada kejadian genting
apakah seperti ini?” demikian Go-tianglo bergumam sendiri.
Dan belum lagi kuda tunggangan
itu datang, sekonyong-konyong dari arah timur sana juga ada suara derapan
seekor kuda sedang menuju ke arah sini. Cuma jaraknya masih jauh, suaranya agak
samar-samar, maka arah yang dituju belum dapat diketahui dengan tepat.
Hanya sekejap saja kuda
pertama dari arah utara itu sudah masuk ke dalam hutan situ. Lalu tampak
seorang melompat turun terus berlari ke tempat orang banyak. Orang itu
berpakaian longgar dan sangat perlente, tapi segera ia menanggalkan baju yang
mewah itu hingga tertampaklah baju dalamnya yang compang-camping penuh tambalan
di sana-sini, yaitu pakaian untuk mengelabui pandangan orang luar supaya
pembawa berita itu tidak menemui alangan di tengah jalan.
Begitulah dengan sangat hormat
kurir itu mendekati Thocu Tay-sin-hun-tho dan menyerahkan sebuah bungkusan
kecil sambil melapor, "Ada urusan militer yang penting ....”
Hanya kata-kata ini saja
sempat diucapkannya, sebab napasnya lantas tersengal-sengal dengan hebat.
Sedangkan kuda tunggangannya itu mendadak meringkik sekali terus roboh ke tanah
dan binasa karena kehabisan tenaga.
Setelah terhuyung-huyung,
mendadak kurir itu pun muntah darah dan terguling ke tanah. Nyata bahwa saking
lelah karena menempuh perjalanan jauh tanpa beristirahat, maka kuda beserta
penunggangnya sama-sama kehabisan tenaga.
Thocu bagian Tay-sin-hun-tho
itu mengenali kurir itu adalah anak buahnya yang dikirim ke negeri Cidan untuk
menjadi mata-mata di sana, pangkatnya tergolong Go-te-tecu atau anak murid
kantong lima, suatu tingkatan yang tidak rendah.
Negeri Cidan pada zaman itu
adalah musuh utama kerajaan Song, kerap kali tanpa sebab mengerahkan pasukannya
mengacau di daerah perbatasan dan menyusahkan rakyat setempat. Sebagai suatu
organisasi yang patriotik, anggota Kay-pang banyak tersebar di antara kedua
negeri dan diam-diam mengumpulkan berita yang berfaedah bagi ibu negeri.
Kini melihat Go-te-tecu itu
pulang membawa berita penting tanpa pikirkan mati-hidup sendiri, terang kabar
berita yang dibawa kembali itu pasti mahapenting dan genting pula. Maka
Tay-sin-thocu juga tidak berani membuka berita laporan itu, bungkusan kecil itu
dipersembahkan kepada Kiau Hong sambil berkata, "Ada berita militer dari
negeri Cidan, Pangcu!”
Waktu Kiau Hong membuka
bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebutir cek-wan atau bola lilin. Sesudah
cek-wan itu dipencet pecah, Kiau Hong mengeluarkan segulung kertas. Dan selagi
ia hendak membuka kertas itu untuk membaca isinya, tiba-tiba terdengar derapan kuda
dari jurusan timur tadi telah mendekat dengan cepat luar biasa.
Baru saja kepala kuda menongol
di balik hutan sana, penunggangnya sudah tidak sabar lagi terus melayang turun
dari binatang tunggangannya sambil membentak, "Kiau Hong, tentang situasi
militer negeri Cidan itu engkau tak boleh membacanya.”
Semua orang terkesiap oleh
ucapan orang yang berani merintangi sang pangcu itu. Waktu dipandang ternyata
orang itu berjenggot putih, pakaiannya juga compang-camping penuh tambalan.
Itulah seorang pengemis yang sudah berusia lanjut.
Melihat pengemis tua itu,
seketika Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo berbangkit untuk menyambut,
"Kiranya Ci-tianglo, entah ada urusan apakah hingga Ci-tianglo memerlukan
berkunjung ke sini?”
Kawanan pengemis itu menjadi
gempar demi mendengar pendatang itu adalah Ci-tianglo mereka.
Kiranya Ci-tianglo itu sangat
tinggi tingkatannya dalam angkatan tokoh-tokoh Kay-pang, usianya kini sudah 87
tahun, bahkan mendiang Ong-pangcu, yaitu pangcu sebelum Kiau Hong, juga
menyebutnya sebagai Supek (paman guru). Di antara tokoh-tokoh Kay-pang sekarang
boleh dikatakan tiada seorang pun lebih tua atau lebih
tinggi angkatannya daripada
Ci-tianglo.
Sudah lama Ci-tianglo
mengundurkan diri dari dunia ramai, tiap tahun Kiau Hong dan para tianglo seperti
biasanya tentu pergi memberi selamat padanya, tapi paling-paling juga cuma
bicara sedikit tentang urusan rumah tangga biasa. Siapa duga sekarang mendadak
tokoh tua ini bisa muncul, bahkan lantas mencegah Kiau Hong membaca laporan
tentang gerakan militer musuh itu. Sudah tentu semua orang terkejut dan
terheranheran.
Maka ketika mendengar seruan
Ci-tianglo tadi, cepat Kiau Hong meremas kembali gulungan kertas itu, lalu
memberi hormat kepada tokoh tua itu. Kemudian ia angsurkan gulungan kertas itu
ke hadapan Ci-tianglo.
Sebagai pangcu, biarpun
menurut urutan angkatan Kiau Hong jauh lebih muda daripada Ci-tianglo, tapi
segala urusan organisasi yang penting, walaupun sang pangcu angkatan yang lebih
dulu dihidupkan kembali juga harus tunduk kepada pangcu yang baru.
Siapa duga datang-datang
Ci-tianglo lantas melarang Kiau Hong membaca laporan tentang gerakan militer
musuh itu dan sedikit pun Kiau Hong tidak membangkang. Keruan hal ini membuat
semua orang heran, bahkan Ci-tianglo sendiri pun melengak.
Rupanya sudah tahu urusannya
sangat penting maka sambil minta maaf Ci-tianglo lantas ambil gulungan kertas
itu dari tangan Kiau Hong dan digenggam di tangan kiri, lalu serunya dengan
lantang, "Be-hujin (nyonya Be), janda saudara Be Tay-goan, sebentar lagi
akan tiba untuk membeberkan sesuatu kepada para hadirin di sini. Untuk mana
haraplah kalian suka menunggunya sebentar lagi.”
Maka pandangan para pengemis
sama terpusat ke arah Kiau Hong untuk mendengarkan bagaimana reaksinya.
"Jika urusan ini sangat
besar sangkut pautnya, tiada alangannya kita menunggu di sini,” ujar Kiau Hong.
"Ya, urusan ini sangat
penting,” kata Ci-tianglo pula. Dan hanya sekian saja ucapannya, lalu ia
melangkah maju untuk memberi hormat kepada Kiau Hong selaku seorang bawahan
kepada sang pangcu, kemudian ia ambil tempat duduk di samping.
Diam-diam Toan Ki heran
menyaksikan itu. Kesempatan digunakannya untuk bicara dengan Ong Giok-yan, ia
membisiki gadis itu, "Nona Ong, urusan di dalam Kay-pang benar-benar
sangat banyak. Apakah kita perlu menyingkir dari sini ataukah tinggal di sini
untuk melihat ramai-ramai?”
Giok-yan berkerut kening,
sahutnya, "Kita adalah orang luar, sebenarnya tidak pantas ikut mencampuri
urusan dalam orang lain. Cuma ... cuma urusan yang akan mereka bicarakan itu
ada sangkut pautnya dengan Piaukoku, maka aku ingin mendengarkannya.”
"Memang benar,” kata Toan
Ki, "katanya Be-hupangcu itu dibunuh oleh Piaukomu hingga tertinggal
seorang janda yang sebatang kara, tentu dia sangat kesepian dan harus
dikasihani.”
"Tidak, tidak!” sahut
Giok-yan cepat. "Be-hupangcu pasti bukan dibunuh oleh Piauko, hal ini kan
juga sudah dikatakan oleh Kiau-pangcu sendiri?”
Bicara sampai di sini,
mendadak terdengar derapan kuda pula, datanglah dua penunggang kuda.
Semua orang mengira di antara
penunggang kuda itu pasti terdapat istri Be Tay-goan. Siapa tahu kedua
penunggang itu terdiri dari seorang kakek dan seorang lagi nenek. Yang kakek
pendek kecil sebaliknya si nenek tinggi besar hingga tampaknya lucu benar.
Melihat kedua orang itu, cepat
Kiau Hong berbangkit menyambut kedatangan mereka sambil berseru, "Kiranya
kedua Locianpwe Tam-kong dan Tam-poh dari Ciong-siau-tong di Hoa-san telah
tiba, maafkan Kiau Hong tidak mengadakan penyambutan dengan baik.”
Perbuatan Kiau Hong itu segera
diturut oleh para tianglo dari Kay-pang.
Melihat gelagat itu, Toan Ki
tahu kedua orang tua yang dipanggil Tam-kong dan Tam-poh (si kakek Tam dan si
nenek Tam) itu tentu tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka.
Maka terdengar Tam-poh atau si
nenek Tam sedang berkata, "Kiau-pangcu, apa-apaan permainan di atas
pundakmu ini?”
Berbareng tangannya lantas
terjulur, sekaligus keempat hoat-to yang menancap di bahu Kiau Hong itu
dicabutnya semua, gerak tangannya cepat luar biasa.
Ternyata tindakan Tam-poh itu
tidak menyendiri, tapi segera disusul oleh Tam-kong yang merogoh keluar sebuah
botol porselen kecil, sumbat botol dibuka, dituangnya sedikit obat bubuk dan
dibubuhkan di atas bahu Kiau Hong.
Begitu obat luka itu dibubuhkan,
darah yang mancur bagai mata air itu lantas mampat seketika.
Betapa cepat cara Tam-poh
mencabut belati yang menancap di pundak Kiau Hong itu sudah jarang dilihat
orang, tapi apa pun juga suatu gerakan ilmu silat, sebaliknya cara Tam-kong
mengambil botol, membuka sumbat botol, menuang obat, membubuhkan obat dan
membikin darah mampat, beberapa tindakan ini sangat lincah dan cepat luar
biasa, namun setiap perbuatannya itu dengan jelas dapat diikuti setiap orang
bagaikan menyaksikan permainan sulap saja. Bahkan khasiat obat luka membikin
mampat darah juga sangat mujarab, boleh dikatakan "cespleng”.
Kiau Hong sendiri cukup kenal
dua sejoli Tam-kong dan Tam-poh adalah tokoh angkatan tua dalam Bu-lim, kini
datang-datang terus mencabut belati dan mengobati lukanya, meski tindakan
mereka itu agak gegabah, namun mau tak mau ia sangat berterima kasih. Dan
tengah dia mengaturkan terima kasihnya itu, rasa sakit di pundaknya sudah mulai
mereda dan akhirnya lenyap.
"Kiau-pangcu, siapakah
yang bernyali sebesar itu hingga berani melukaimu dengan belati?” tanya Tam-poh
kemudian.
"Aku sendirilah yang
menikam diriku sendiri,” sahut Kiau Hong tertawa.
"Kenapa menikam diri
sendiri? Apa barangkali kau sudah bosan hidup?” tanya Tam-poh dengan heran.
Kiau Hong pikir tidak mungkin
menceritakan urusan pengkhianatan dalam Kay-pang kepada orang luar hingga
memalukan para tianglo dan merosotkan nama baik Kay-pang. Maka sahutnya,
"Aku hanya main-main saja, kulit daging pundakku cukup tebal dan kuat, toh
tidak sampai melukai otot dan tulang.”
Diam-diam Song, Ge, Tan dan
Go-tianglo bersyukur dan merasa malu diri pula terhadap kebaikan Kiau Hong yang
menutupi perbuatan mereka yang durhaka hendak menggulingkan sang pangcu itu.
Tapi si nenek Tam lantas
terbahak-bahak dan berkata, "Hahaha, jangan berdusta! Tahulah aku, dasar
engkau memang pintar dan mengetahui Tam-kong dan Tam-poh baru saja memperoleh
peng-jan (ulat sutra es) dan pek-giok-siam-sia (katak kemala putih) serta telah
meraciknya menjadi semacam obat luka yang sangat mujarab, makanya kau ingin
mencobanya bukan?”
Kiau Hong tidak membenarkan
juga tidak menyangkal, ia hanya tersenyum saja, ia pikir nenek ini sungguh
bodoh-bodoh polos, masakah di dunia ini ada orang iseng begitu dengan menikam
badan sendiri untuk
mencoba khasiat obat luka
buatanmu itu?
Maka terdengar Tam-poh tanya
pula, "Dan di manakah nyonya Be? Jauh-jauh ia mengundang kehadiran kami ke
sini, mengapa dia sendiri belum datang?”
Sedang Kiau Hong terkesiap
oleh pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki binatang yang
berdetak-detak, seekor keledai tampak menerobos masuk ke tengah hutan situ, di
atas keledai ada seorang penunggang dengan punggung menghadap kepala keledai
dan mukanya menghadap ekor, jadi menunggang keledai dengan mungkur.
Melihat penunggang keledai
itu, Tam-poh menjadi gusar, bentaknya, "Tio-ci-sun, di hadapan
Tam-kek-popo kau berani kurang ajar? Apa minta kuhajar bokongmu?”
Berbareng sebelah tangan terus
menghantam pantat penunggang keledai itu.
Waktu semua orang memerhatikan
si penunggang keledai, ternyata orang itu mendekam di atas binatang
tunggangannya hingga tubuh mengkeret bagai anak berumur 7-8 tahun. Tapi begitu
hendak digaplok Tam-poh, cepat ia memberosot turun dari keledainya dan berdiri
tegak, tahu-tahu badannya berubah tinggi dan besar.
Semua orang agak terperanjat,
sebaliknya Tam-kong tampak kurang senang, katanya, "Li-heng, apa engkau
akan main gila lagi di sini? Setiap melihatmu tentu hatiku mendongkol!”
Corak penunggang keledai itu
pun agak aneh, dikatakan sudah tua, toh belum tua, dibilang masih muda, toh
juga tidak muda. Usianya mungkin di antara 30 hingga 60 tahun, wajahnya jelek
tidak, bagus pun tidak. Ia tidak gubris pada ucapan Tam-kong tadi, tapi lantas
berkata kepada Tam-poh, "Siau Koan, bagaimana selama ini? Baik-baik dan
senang bukan?”
Perawakan Tam-poh itu tinggi
besar, rambutnya sudah berubah semua dan mukanya penuh keriput, tapi namanya
dipanggil "Siau Koan” atau si Koan cilik yang mengingatkan orang kepada
gadis cilik. Sudah tentu kedengarannya sangat janggal dan menggelikan orang.
Namun setiap nenek tentu pernah muda, Siau Koan itu jelas adalah nama kecil
Tam-poh masa gadisnya.
Tengah Toan Ki pikirkan hal
itu, kembali terdengar derapan kuda pula, ada beberapa penunggang kuda datang
lagi.
Dalam pada itu Kiau Hong
sendiri sedang mengamat-amati si penunggang keledai yang dipanggil sebagai
"Tio-ci-sun” (semuanya
terdiri dari she), ia tidak dapat menerka tokoh macam apakah orang aneh ini.
Tapi mengingat dia kenal Tam-kong dan Tam-poh, pula "Sok-kut-kang” atau
ilmu menyurutkan tulang yang diunjukkan ketika menunggang keledai tadi sudah
sedemikian lihainya maka dapat dipastikan adalah seorang tokoh yang lain
daripada yang lain. Anehnya, kalau orang tergolong jago kelas tinggi, mengapa
dirinya tidak kenal dan tidak pernah mendengar namanya yang aneh, bukankah
sangat mengherankan?
Sementara itu beberapa
penunggang kuda itu sudah sampai di tengah hutan, di bagian depan adalah lima orang
muda, semuanya bermata besar dan beralis tebal, air muka mereka satu sama lain
sangat mirip, usia yang paling kira-kira lebih 30 tahun dan yang paling muda
lebih 20 tahun. Terang kelima orang itu adalah saudara sekandung.
"Aha, kiranya
Thay-san-ngo-hiong yang datang! Bagus, bagus! Angin apakah yang meniup kalian
ke sini?” demikian Go-tianglo, Go Tiang-hong, lantas berseru.
Orang ketiga
Thay-san-ngo-hiong (lima kesatria dari Thay-san) itu bernama Tan Siok-san, ia
adalah sobat kental Go-tianglo, segera ia mendahului menjawab, "Selamat
bertemu Go-siko, baik-baikkah engkau? Ayah juga ikut datang kemari!”
"Apa benar? Ayahmu ....?”
Go-tianglo menegas dengan air muka berubah. Ia telah berbuat salah melanggar
tata tertib organisasi, sebagai orang berdosa, ia menjadi jeri mendadak tahu
kedatangan ayah Thay-san-ngo-hiong, yaitu "Tiat-bin-poan-koan” Tan Cing,
si Hakim Bermuka Besi, artinya orang yang berani bertindak tegas dan tidak
kenal ampun serta tidak pandang bulu.
Selama hidup
Tiat-bin-poan-koan Tan Cing paling benci pada kejahatan, bila tahu ada terjadi
sesuatu ketidakadilan di kalangan Kangouw, pasti dia akan ikut campur tangan.
Ilmu silatnya memang sangat tinggi, kecuali kelima putranya banyak pula murid
dan cucu murid yang jumlahnya lebih ratusan orang. Nama "Thaysan Tan-keh”
atau keluarga Tan dari Thay-san cukup disegani setiap orang Bu-lim.
Dalam pada itu di belakang
Thay-san-ngo-hiong itu tampak menyusul seorang penunggang kuda yang lain,
kelima jago muda Thay-san itu lantas memapak ke belakang untuk menahan kendali
kuda dan menyilakan turun penunggangnya, yaitu seorang kakek yang berbaju satin
panjang.
Begitu turun segera kakek itu
memberi kiongchiu kepada Kiau Hong dan berkata, "Kiau-pangcu, tanpa
diundang Tan Cing berkunjung ke sini, tentu banyak mengganggu engkau.”
Kiau Hong sudah lama kenal
nama Tan Cing, baru sekarang ia dapat bertemu, ia lihat orang tua itu berwajah
merah bercahaya, boleh dikatakan "rambut tua muka muda”, sikapnya ramah
tamah pula, berbeda seperti cerita orang Kangouw bahwa Tan Cing berwatak keras
tanpa kenal ampun.
Maka cepat ia membalas hormat
orang dan berkata, "Maafkan Cayhe tidak tahu kedatangan Tan-locianpwe
hingga tidak diadakan penyambutan sebagaimana mestinya.”
"Bagus, bagus!” mendadak
si orang tua yang menunggang keledai dengan mungkur itu berteriak dengan suara
yang dibuat-buat. "Tiat-bin-poan-koan datang lantas diadakan penyambutan
sebagaimana mestinya. Sebaliknya ketika aku ‘Thi-bi-koh-poan-koan’ datang
mengapa engkau tidak mengadakan penyambutan semestinya?”
Mendengar kata
"Thi-bi-koh-poan-koan” atau si Hakim Pantat Besi, seketika semua orang
bergelak tertawa. Meski Giok-yan, A Cu dan A Pik bertiga merasa kurang sopan
kalau ikut tertawa, tidak urung mereka pun merasa geli.
Thay-san-ngo-hiong mengerti
bahwa kata-kata orang itu sengaja hendak menghina ayah mereka, keruan mereka
menjadi gusar. Cuma disiplin keluarga Tan sangat keras, sebelum sang ayah
membuka suara, betapa pun mereka tidak berani sembarangan mendahului bertindak.
Tan Cing itu ternyata seorang
yang sangat sabar dan dapat menahan perasaannya, pula ia pun belum mengetahui
bagaimana asal usul orang aneh itu, maka ia berlagak pilon saja, pura-pura
tidak mendengar. Katanya pula, "Sekarang silakan Be-hujin kemari untuk
bicara.”
Maka dari balik hutan sana
lantas muncul sebuah joli kecil dengan digotong dua laki-laki kekar dan datang
dengan cepat sekali. Sampai di tengah hutan situ, joli itu ditaruh dan kerai
disingkap, perlahan keluarlah seorang nyonya muda berpakaian putih mulus tanda
orang berkabung.
Dengan kepala menunduk nyonya
muda itu memberi hormat kepada Kiau Hong dan berkata, "Janda keluarga Be
menyampaikan sembah bakti kepada Pangcu.”
Biasanya Kiau Hong juga jarang
berhadapan dengan Be Tay-goan, apalagi dengan nyonya Be yang tidak pernah
keluar rumah, dengan sendirinya ia tidak kenal. Segera ia membalas hormat dan
menjawab, "Soso (atau enso, istri kakak) tidak perlu banyak adat!”
"Sungguh malang suamiku
telah meninggal, atas bantuan para paman yang telah sudi menguruskan layon
suamiku itu, sungguh aku merasa sangat berterima kasih,” demikian kata Be-hujin
pula.
Suara janda itu kedengaran
sangat lembut dan merdu, agaknya masih sangat muda usianya. Cuma sejak mula
matanya selalu menatap ke tanah, maka wajahnya tidak kelihatan jelas.
Dari lagak lagu nyonya muda
itu, Kiau Hong tahu tentu Be-hujin telah menemukan sesuatu tanda bukti kematian
suaminya, maka sekarang datang sendiri menghadap sang pangcu. Tapi urusan dalam
sepenting itu tidak dilaporkan dulu kepada pangcu, sebaliknya Tiat-bin-poan-koan
yang diminta tampil ke muka, hal ini sesungguhnya agak ganjil.
Ketika Kiau Hong berpaling ke
arah Cit-hoat-tianglo Pek Si-kia, ia lihat jago tua itu pun sedang memandang
padanya, sinar mata kedua orang sama mengunjuk rasa heran dan curiga.
Lebih dulu Kiau Hong menyambut
tamu, habis itu baru bicara urusan dalam, maka katanya kepada Tan Cing,
"Tan-locianpwe dan suami-istri Tam-si dari Ciong-siau-tong di Hoa-san
apakah sudah saling kenal?”
"Sudah lama kudengar nama
suami-istri Tam-si yang tersohor, hari ini dapat berjumpa, sungguh beruntung,”
ujar Tan Cing sambil kiongchiu.
"Dan tentang Cianpwe yang
ini, masih diharapkan Tam-loyacu suka memperkenalkannya kepada kami,” ujar Kiau
Hong.
Tapi belum lagi Tam-kong atau
si kakek Tam menjawab, cepat si penunggang keledai sudah mendahului buka suara,
"Aku she Siang, bernama Wai, berjuluk ‘Thi-bi-koh-poan-koan’.”
Mendengar ucapan si penunggang
keledai ini, betapa sabarnya Tan Cing juga naik darah akhirnya. Kurang ajar
benar, demikian pikirnya. Masakah aku she Tan (tunggal, ganjil), kau lantas
mengaku she Siang (sepasang, genap). Aku bernama Cing (benar, lurus), kau
lantas bernama Wai (menceng, bengkok). Bukankah ini sengaja hendak
mengolok-olok diriku?
Dan selagi dia hendak
mengambil tindakan tiba-tiba Tam-poh, si nenek Tam membuka suara,
"Tan-loyacu, engkau jangan gubris ocehan Tio-ci-sun ini, dia orang gila,
jangan kau anggap sungguh-sungguh.”
"Maafkan kalau di sini
tiada tempat duduk, diharap para hadirin sudilah duduk di tanah,” kata Kiau
Hong kemudian. Dan sesudah melihat semua orang telah mengambil tempat duduk
sendiri-sendiri, lalu ia menyambung, "Dalam sehari saja telah dapat
berjumpa dengan tokoh-tokoh locianpwe sebanyak ini, sungguh bahagia dan
beruntung kami ini. Tapi entah ada keperluan apakah kunjungan para Cianpwe ke
sini?”
"Kiau-pangcu,” kata Tan
Cing. "Kay-pang kalian adalah suatu organisasi terbesar di dunia Kangouw,
selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh pelosok, setiap kawan
Bu-lim asal mendengar nama ‘Kay-pang’
tentu menaruh hormat dengan
sungguh-sungguh, aku orang she Tan biasanya juga sangat mengindahkannya.”
"Terima kasih,” kata Kiau
Hong.
Tiba-tiba Tio-ci-sun
menimbrung, "Kiau-pangcu, Kay-pang kalian adalah suatu organisasi terbesar
di kalangan Kangouw, selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh
pelosok dunia, setiap kawan Bu-lim asal mendengar nama Kay-pang tentu menaruh
hormat dengan sungguh-sungguh, aku orang she Siang biasanya juga sangat
mengindahkannya.”
Ucapannya itu sama persis
seperti apa yang dikatakan Tan Cing, hanya she Tan diganti dengan she Siang.
Kiau Hong tahu kaum cianpwe
dalam Bu-lim itu banyak yang mempunyai watak aneh dan sifat istimewa, orang
yang dipanggil sebagai Tio-ci-sun ini selalu menentang Tan Cing, entah apa
maksud tujuannya. Tapi sebagai tuan rumah, ia pikir tidak enak mengeloni salah
satu pihak, maka ia pun mengucapkan terima kasih kepada penunggang keledai yang
aneh itu.
Sebaliknya Tan Cing hanya
tersenyum saja, katanya kepada putranya yang tertua, "Pek-san, lanjutannya
boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu. Jika orang lain ingin menirukan
putraku, biarkan dia menirukan saja.”
Diam-diam semua orang tertawa
dan menganggap Tiat-bin-poan-koan yang tampaknya jujur polos itu ternyata juga
licik. Sebab kalau Tio-ci-sun nanti menirukan cara bicara Tan Pek-san, itu
berarti ikut mengaku menjadi putranya Tan Cing.
Tak terduga Tio-ci-sun lantas
berkata, "Pek-san, lanjutannya boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu.
Jadi orang lain ingin menirukan putraku, biarkan dia menirukan saja.”
Dengan demikian, berbalik
Tio-ci-sun yang menang angin sebab Tan Pek-san juga diakui menjadi putranya.
Tan Siau-san, putra Tan Cing
yang kelima dan paling kecil, berwatak paling berangasan, kontan ia memaki,
"Bajingan, benar-benar-sudah bosan hidup barangkali!”
Tio-ci-sun lantas bergumam
juga, "Bajingan putra semacam ini, punya empat orang juga sudah terlalu
banyak, yang kelima sebenarnya tidak perlu dilahirkan. Hehe, pula entah
keturunan sendiri atau bukan?”
Sudah diolok olok, putranya
dimaki pula seakan-akan anak haram, betapa pun sabarnya Tan Cing juga ada
batasnya. Segera katanya kepada Tio-ci-sun, "Kita adalah tamu Kay-pang,
kalau sampai cekcok di sini tentu akan mempersulit tuan rumahnya. Biarlah kalau
urusan di sini sudah selesai pasti akan kuminta belajar kenal kepandaianmu.
Nah, Pek-san, bicaralah terus!”
Namun Tio-ci-sun tetap
menirukannya, "Kita adalah tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini,
tentu akan mempersulit tuan rumah. Biarlah kalau urusan di sini sudah selesai,
nanti akan kuminta belajar kepandaianmu. Nah, Pek-san, Locu (bapak) suruh kau
bicara, bolehlah bicara terus!”
Sungguh gemas Tan Pek-san tak
terkatakan, kalau bisa ia ingin bacok orang hingga hancur lebur baru puas
rasanya. Maka dengan menahan gusar katanya kepada Kiau Hong, "Kiau-pangcu,
urusan dalam kalian, kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur.
Tapi ayahku bilang, seorang laki-laki sejati harus mencintai sesamanya dengan
kebajikan ....”
Berkata sampai di sini ia
sengaja melirik ke arah Tio-ci-sun untuk melihat apakah orang itu akan
menirukan lagi atau tidak. Kalau meniru, tentu orang akan mengatakan,
"Tapi ayahku bilang”, dan itu berarti akan memanggil Tan Cing sebagai
ayah.
Tak tersangka, benar-benar
Tio-ci-sun menirukan ucapan itu, katanya, "Kiau-pangcu, urusan dalam
kalian, kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur. Tapi anakku
bilang seorang laki-laki sejati harus mencintai sesamanya dengan kebajikan.”
Jadi Tio-ci-sun sengaja
mengubah kata "ayah” menjadi "anak” dan itu berarti suatu kerugian
pula bagi Tan Cing.
Keruan semua orang berkerut kening,
mereka menganggap kelakuan Tio-ci-sun itu sungguh terlalu, mungkin segera akan
terjadi banjir darah di situ.
Maka terdengar Tan Cing
berkata, "Senantiasa saudara menentang diriku, padahal kita selamanya
tidak paling kenal, entah di manakah aku berbuat salah padamu, silakan saudara
memberi penjelasan. Bila memang benar Cayhe bersalah, sekarang juga aku akan
minta maaf padamu.”
Diam-diam semua orang memuji
sikap kesatria Tan Cing yang tidak malu sebagai seorang pendekar besar tersohor
itu.
"Kau tidak berbuat salah
padaku, tapi bersalah kepada Siau Koan, hal ini lebih jahat sepuluh kali
daripada bersalah padaku, tahu?” demikian Tio-ci-sun menjawab.
"Siau Koan? Siapa itu
Siau Koan? Bilakah aku berbuat salah padanya?” tanya Tan Cing heran.
"Dia inilah Siau Koan,”
sahut Tio-ci-sun sambil menunjuk si nenek Tam. "Siau Koan adalah nama
gadisnya, di dunia ini kecuali aku, siapa pun tidak boleh memanggil namanya
itu.”
Mendongkol dan geli pula Tan
Cing, katanya, "O, kiranya nama gadis Tam-popoh, Cayhe tidak tahu hingga
telanjur menyebutnya, harap maaf.”
"Yang tidak tahu tidak
salah, untuk pelanggaranmu yang pertama ini biar kuampuni, tapi lain kali
jangan mengulangi lagi, ya!” kata Tio-ci-sun dengan lagak sebagai seorang bapak
memberi petuah kepada si bocah.
Lalu Tan Cing berkata lagi,
"Meski sudah lama Cayhe kenal nama suami-istri Tam-si yang tersohor dari
Hoasan, tapi sayang selama ini tidak sempat berjumpa. Aku sendiri merasa tidak
pernah mengolok-olok nama baik mereka di depan siapa pun, entah mengapa aku
dituduh bersalah kepada Tam-popoh?”
"Tadi aku sedang tanya
Siau Koan dan dia belum lagi menjawab, tiba-tiba kelima putramu menyerobot
datang hingga mengacaukan pembicaraan kami, malahan sampai sekarang ia masih
belum sempat menjawab pertanyaanku tadi,” demikian sahut Tio-ci-sun. "Nah,
Tan tua, boleh coba kau cari tahu, orang macam apakah Siau Koan? Dan aku si
‘Tio-ci-sun-li-go-tan-ong’ orang macam apa pula? Masakah pada waktu kami sedang
bicara boleh sembarangan dikacau begitu saja?”
Diam-diam Tan Cing geli
mendengar ucapan yang "angin-anginan” itu, tapi lantas katanya pula,
"Masih ada sesuatu yang aku tidak mengerti, tolong suka memberi
penjelasan.”
"Soal apa? Jika aku
senang, tiada alangan juga akan kuberi petunjuk padamu,” sahut Tio-ci-sun dengan
lagak mahaguru.
"Terima kasih,” ujar Tan
Cing. "Tadi Anda bilang nama kecil Tam-popoh hanya boleh dipanggil olehmu
seorang saja, bukan?”
"Ya, sudah tentu!” seru
Tio-ci-sun. "Kalau kau tidak percaya, boleh coba memanggilnya sekali lagi,
lihatlah kalau aku si ‘Tio-ci-sun-li-go-tan-ong-the-sim-nyo’ tidak memberi
hajaran padamu.”
"Sudah tentu aku tidak
berani memanggilnya lagi,” sahut Tan Cing. "Tapi masakah Tam-kong juga
tidak berani memanggilnya?”
Jawaban ini rupanya mengenai
lubuk hati Tio-ci-sun hingga seketika ia bungkam dengan muka merah padam.
Sejenak kemudian mendadak orang aneh itu menangis tergerung-gerung dengan suara
yang sedih memilukan.
Kelakuannya ini benar-benar di
luar dugaan siapa pun, sungguh tiada yang menyangka bahwa seorang yang tidak
takut tingginya langit dan jeri pada tebalnya bumi, sampai Tiat-bin-poan-koan
juga berani ditantangnya, tapi hanya dengan satu kalimat pertanyaan itu sudah
membuatnya menangis begitu rupa.
Melihat seterunya menangis
sedih, Tan Cing menjadi tidak enak malah, api kemarahannya yang semula berkobar
itu seketika sirap, sebaliknya ia malah menghiburnya, "Tio-heng, maafkan
aku ....”
"Aku ... aku tidak she Tio,”
sahut Tio-ci-sun dengan terguguk.
Keruan Tan Cing tambah heran,
"Habis, saudara she apa?”
"Aku tidak she Tio, tidak
she Ci, juga tidak she Sun, aku tidak punya she, tidak perlu tanya,” sahut
Tio-ci-sun.
Mendengar suara tangis
Tio-ci-sun itu begitu sedih, semua jago yang hadir menduga pasti ada sesuatu
yang pernah melukai hatinya. Dan bagaimana urusannya kalau dia sendiri tidak
omong orang lain dengan sendirinya tidak enak untuk bertanya.
Dalam pada itu Tio-ci-sun
masih tetap menangis sedih dengan tersenggak-sengguk tiada hentinya.
"Kembali penyakitmu kumat
lagi, di depan orang banyak, menangis seperti anak kecil, engkau punya kulit
muka atau tidak?” demikian Tam-popoh atau si nenek Tam menyemprotnya.
"Habis engkau ... engkau
rela meninggalkan aku dan menikah dengan tua ... tua bangka seperti Tam-kong
ini, sudah tentu hatiku sedih dan pilu,” demikian sahut dengan sesenggukan.
"Hati sudah remuk, jantungku sudah hancur, ususku sudah putus, tinggal
kulit muka yang tipis ini, apa gunanya?”
Semua orang tersenyum geli
oleh kata-kata lucu itu. Kiranya begitulah duduk perkara yang sebenarnya.
Rupanya Tio-ci-sun dan
Tam-popoh itu pernah terjalin kisah asmara, tapi entah mengapa Tam-poh menikah
dengan Tam-kong. Dan karena sedihnya sampai Tio-ci-sun membuang nama aslinya
dan kelakuannya menjadi gila-gilaan seperti orang sinting. Padahal suami-istri
Tam-si itu usianya lebih dari 60 tahun, entah mengapa cinta Tio-ci-sun itu bisa
sedemikian mendalamnya, selama berpuluh tahun masih belum berkurang dendam
asmaranya.
Si nenek Tam sendiri mukanya
sudah penuh keriput dan kasap seperti kulit ayam, rambutnya ubanan semua, siapa
pun tidak mengira bahwa nenek yang berperawakan tinggi besar potongan
"kuda teji” itu pada masa mudanya mempunyai kecantikan yang menggiurkan orang
hingga sampai tua Tio-ci-sun masih tetap mencintainya.
Begitulah maka tampak sikap
Tam-poh agak kikuk dan malu-malu kucing seperti anak perawan, sahutnya
kemudian, "Suko, buat apa engkau mengungkat kejadian masa lampau? Hari ini
Kay-pang ada urusan penting yang perlu dibicarakan, lekas mendengarkan dan
jangan mengacau pula.”
Ucapan yang lembut dan bernada
nasihat itu besar pengaruh bagi Tio-ci-sun, sebab dia lantas berkata,
"Baiklah, tapi tersenyumlah dahulu kepadaku baru aku akan menurut
perkataanmu.”
Belum lagi Tam-poh tersenyum
atau orang-orang lain sudah mendahului tertawa menggelegar, namun nenek Tam itu
seperti tidak ambil pusing, benar juga ia berpaling dan tersenyum "manis”
sekali kepada Tio-ci-sun.
Sukma Tio-ci-sun seperti
terbang ke awang-awang oleh senyuman itu hingga seketika ia termangu-mangu.
Sudah tentu semua itu
disaksikan pula oleh Tam-kong yang duduk di sebelah dengan rasa gusar, tapi toh
tidak dapat berbuat apa-apa.
Kejadian itu mendadak memengaruhi
pikiran Toan Ki juga, pikirnya, "Cinta ketiga orang ini benar-benar sangat
mendalam hingga orang yang berada di sini sampai tak dipusingkan oleh mereka.
Dan apakah perasaanku kepada nona Ong kelak juga akan berakhir seperti ini? Ah,
tidak, tidak! Sebab Tam-poh juga kelihatan rada mencintai sukonya, sebaliknya
yang selalu dikenang nona Ong adalah Buyung-kongcu, dibandingkan Tio-ci-sun
terang aku bukan apa-apa lagi.”
Dalam pada itu demi mendengar
suka-duka Tio-ci-sun dan suami-istri Tam-si masa lampau, diam-diam Kiau Hong
menimbang-nimbang, "Tio-ci-sun itu sebenarnya tidak she Tio, tapi suheng
Tam-poh. Aku sering mendengar bahwa Tam-kong dan Tam-poh dari Ciong-siau-tong
di Hoa-san terkenal di Bu-lim oleh karena ilmu silat aliran Hoa-san-pay mereka
yang hebat. Tapi dari percakapan mereka tadi, agaknya mereka bertiga bukan
sesama perguruan. Lalu, sebenarnya Tam-kong yang benar orang Hoa-san-pay
ataukah Tam-poh yang berasal dari Hoa-san-pay?”
Tengah Kiau Hong merasa ragu,
tiba-tiba terdengar Tio-ci-sun berkata pula, "Sudah lama Locu tidak datang
ke daerah Kanglam sini, maka tidak tahu bahwa di Koh-soh telah muncul seorang
Buyung Hok yang katanya suka ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ dengan perbuatannya
yang sewenang-wenang. Locu justru ingin bertemu dengan dia untuk melihat cara
bagaimana dia mampu memperlakukan aku si ‘Tio-ci-sun-li-cin-go-the-ong’ ini?”
Baru habis ucapannya
sekonyong-konyong terdengar suara orang menangis dengan sedih sekali, suara
tangisan yang meraung-raung itu sama persis seperti tangisan Tio-ci-sun tadi.
Keruan semua orang melengak.
Bahkan terdengar suara
tangisan itu sedang sesambatan pula, "O, Sumoayku, di manakah Locu pernah
bersalah padamu? Mengapa engkau meninggalkan daku dan menikah dengan si tua
bangka she Tam yang celaka itu? Siang dan malam Locu selalu merindukan dikau.
Teringat masa hidup Suhu kita, beliau pandang kita seperti anak kandung
sendiri, tapi engkau tidak kawin denganku, apakah engkau tidak ingat kebaikan
Suhu?”
Suara dan ucapan itu persis
sekali seperti Tio-ci-sun, kalau semua orang tidak menyaksikan orang aneh itu
termangu-mangu dan melongo dengan penuh keheranan, tentu semua orang akan
percaya suara itu diucapkan dari mulut Tio-ci-sun sendiri. Tapi ketika semua
orang memandang ke arah datangnya suara itu, ternyata suara itu timbul dari
seorang gadis jelita berbaju jambon yang berdiri mungkur.
Kiranya gadis itu adalah A Cu.
Toan Ki, Giok-yan, dan A Pik
cukup kenal kepandaian cara A Cu menirukan tingkah laku dan suara orang, dengan
sendirinya mereka tidak heran. Sebaliknya orang lain menjadi terheran-heran dan
geli pula, mereka menduga pasti Tio-ci-sun akan marah karena suaranya ditirukan
orang.
Tak tersangka bahwa tangisan
dan keluhan A Cu tadi justru tepat mengenai lubuk hati Tio-ci-sun, maka
bukannya marah sebaliknya matanya tampak merah basah, mulutnya mewek-mewek, air
matanya meleleh, akhirnya menangislah dia berpadu dengan suara tangisan A Cu.
Jilid 25
Tan Cing menggeleng-geleng
kepala menyaksikan itu, katanya dengan suara lantang, "Meski aku she Tan
(tunggal), tapi istriku satu dan gundikku empat, anak-cucuku penuh serumah.
Sebaliknya saudara Siang Wai ini, she Siang (genap, banyak) justru hidup
sebatang kara tanpa teman hidup. Peristiwa ini seharusnya engkau sesalkan di
masa dahulu, kalau sekarang baru dibicarakan, rasanya juga sudah terlambat.
Nah, Siang-heng, kita diundang kemari oleh Be-hujin apakah tujuannya ialah
untuk merundingkan urusan perjodohanmu?”
"Bukan,” sahut Tio-ci-sun
sambil menggeleng.
"Jika begitu, seharusnya
kita membicarakan dahulu urusan Kay-pang lebih penting,” ujar Tan Cing.
"Apa katamu?” tiba-tiba
Tio-ci-sun menjadi gusar. "Urusan Kay-pang lebih penting, apakah urusanku
dengan Siau Koan kurang penting?”
Mendengar sampai di sini,
Tam-kong tidak tahan lagi, segera ia berkata, "A Hui, jika kau tidak
lantas suruh dia hentikan penyakit gilanya, terpaksa aku akan turun tangan.”
Mendengar sebutan "A
Hui”, semua orang lantas berpikir, "Kiranya Tam-poh mempunyai nama kecil
yang lain. Dan nama ‘Siau Koan’ itu memang benar adalah monopoli si Tio-ci-sun
sendiri.”
Maka terdengar Tam-poh telah
menjawab dengan membanting kaki, "Dia toh tidak gila, tapi engkau yang
mengakibatkan dia begini, dan kau masih belum puas, ya?”
"Aneh, mengapa aku ...
aku yang mengakibatkan dia begitu?” tanya Tam-kong dengan heran.
"Habis, aku menikah
dengan tua bangka yang celaka seperti kau, dengan sendirinya Suhengku kurang
senang ....”
"Waktu kita menikah toh
aku tidak celaka dan tidak tua pula,” ujar Tam-kong.
"Huh, tidak malu,
memangnya kau ganteng dan bagus?” cemooh Tam-poh.
Ci-tianglo dan Tan Cing hanya
saling pandang dengan geleng-geleng kepala saja. Mereka pikir ketiga tua bangka
ini benar-benar tidak tahu diri, masakah dengan kedudukan mereka bertiga yang
disegani dan dihormati orang Bu-lim sebagai kaum cianpwe, tapi terang-terangan
bercekcok urusan asmara masa lampau di depan orang banyak, sungguh menggelikan.
Maka Ci-tianglo lantas
berdehem sekali, lalu katanya, "Atas kunjungan suami-istri Tam-si dan
saudara ini, kami segenap anggota Kay-pang merasa mendapat kehormatan yang besar.
Sekarang silakan Be-hujin suka bicara perkara pokok dari awal sampai akhir.”
Be-hujin itu sejak tadi hanya
berdiri dengan kepala menunduk sambil mungkur, demi mendengar ucapan Citianglo
itu, perlahan ia putar tubuh ke depan, lalu katanya dengan suara perlahan,
"Sungguh malang suamiku tewas, Siaulicu (aku perempuan yang bodoh) hanya
dapat menyesalkan nasib sendiri, tapi yang paling menyedihkan adalah suamiku
tidak meninggalkan seorang anak pun untuk menyambung abu keluarga Be ....”
Berkata sampai di sini,
suaranya agak tersendat hingga mengharukan bagi para pendengarnya. Sama-sama
menangis, tangis Tio-ci-sun membuat orang merasa geli, tangis A Cu membikin
orang heran, sebaliknya tangis Be-hujin membuat orang pilu.
Maka terdengar nyonya janda
itu sedang meneruskan, "Sesudah Siaulicu mengebumikan layon suami, ketika
berbenah barang-barang tinggalannya, tanpa sengaja di tempat simpanan kitab
pelajaran silat dapat kutemukan suatu sampul surat wasiat yang tertutup rapat,
di atas sampul tertulis: ‘Jika aku meninggal sampai hari tua secara wajar maka
surat ini harus segera dibakar, siapa yang berani membuka surat ini berani
merusak ragaku ini dan membuat aku tidak tenteram di alam baka. Tapi kalau aku
mati secara tidak wajar surat ini harap diserahkan kepada para tianglo untuk
dibuka bersama, soalnya sangat penting, jangan keliru!’”
Berkata sampai di sini,
suasana dalam hutan itu menjadi sunyi senyap, semua orang ingin mendengarkan
bagaimana lanjutan ceritanya.
Setelah merandek sejenak, lalu
Be-hujin menanggalkan sebuah ransel kecil yang dibawa dan mengeluarkan sebuah
kantong surat dari kain minyak, dari dalam kantong surat itu kemudian dilolos
keluar sebuah sampul, lalu katanya, "Inilah surat wasiat suamiku itu.
Sesudah kutemukan surat ini dan melihat pesan suamiku itu sangat penting,
kutahu urusannya pasti bukan urusan biasa, maka segera hendak kutemui Pangcu
untuk mempersembahkan surat wasiat ini. Tapi untung Pangcu telah datang ke
Kanglam sini bersama para Tianglo hendak membalaskan sakit hati suamiku, dan syukurlah
karena itu juga aku belum dapat berjumpa dengan Pangcu.”
Ucapan Be-hujin itu kedengaran
agak janggal, masakah tidak berhasil bertemu dengan sang pangcu dianggapnya
"untung” dan "syukur”? Tanpa terasa sinar mata semua orang sama
beralih ke arah Kiau Hong.
Dari macam-macam kejadian
malam ini, memang Kiau Hong sudah mempunyai firasat bahwa pasti ada sesuatu
muslihat yang mahabesar sedang diarahkan kepadanya, walaupun soal komplotan
Coan Koan-jing yang hendak menggulingkan dirinya sebagai pangcu itu sudah
diamankan, namun kasus ini terang masih belum lagi tamat.
Kini mendengar uraian Be-hujin
itu, perasaannya yang tertekan tadi menjadi ringan malah dan sikapnya tetap
tenang, pikirnya, "Muslihat apa yang telah kalian atur, silakan keluarkan
saja. Seorang laki-laki sejati harus berani menghadapi sesuatu yang menjadi
kewajibannya. Selama hidupku tidak pernah berbuat kesalahan apaapa, biar
bagaimana kalian hendak menjebak dan memfitnah diriku, kenapa aku mesti takut?”
Maka terdengar Be-hujin
menyambung ceritanya lagi, "Karena itulah kutahu surat ini menyangkut
urusan penting organisasi kita, sedangkan Pangcu dan Tianglo tidak berada di
Lokyang, kukhawatir membuang waktu sia-sia, maka kupergi dulu ke Theciu untuk
menghadap Ci-tianglo dan minta beliau mengambil keputusan menurut surat wasiat
itu. Tentang kejadian selanjutnya biarlah Ci-tianglo yang akan memberitahukan
kalian.”
Ci-tianglo batuk beberapa
kali, lalu katanya, "Urusan ini sesungguhnya banyak suka-dukanya, aku
merasa serbasulit untuk bicara.”
Tiba-tiba ia ambil surat
wasiat itu dari tangan Be-hujin, lalu sambungnya, "Sejak kakek-moyangnya
hingga, ayah Be Tay-goan, beberapa keturunan mereka semuanya adalah orang
Kay-pang sendiri, kedudukan mereka kalau bukan tianglo yang berkantong sembilan
tentulah Pat-te-tecu (anak murid berkantong delapan). Sejak kecil hingga besar
aku pun kenal Tay-goan. Gaya tulisannya kukenal. Maka tidak perlu diragukan
lagi tulisan di atas sampul surat wasiat ini memang benar adalah tulisan tangan
Tay-goan sendiri.
"Ketika surat ini
diserahkan padaku oleh Be-hujin, segel di atas sampul surat ini masih tertutup
rapat dan baik. Karena khawatir membikin runyam urusan penting, maka tanpa
menunggu para tianglo yang lain aku lantas membukanya. Waktu kubuka surat ini,
Tiat-bin-poan-koan Tan-heng kebetulan juga berada di situ, untuk mana dia dapat
menjadi saksi.”
"Memang benar, tatkala
itu kebetulan aku bertamu di tempat kediaman Ci-tianglo dan dengan mataku
sendiri kulihat dia membuka dan membaca surat wasiat itu,” tukas Tan Cing.
Segera Ci-tianglo melolos
keluar sehelai surat dari sampul, katanya pula, "Waktu mula-mula aku
membaca gaya tulisan dalam surat ini ternyata bukan tulisan tangan Tay-goan,
aku rada heran. Kulihat pembukaan surat itu tertulis: ‘Kiam-yan saudaraku’. Aku
menjadi heran. Sebab kalian tentu tahu, ‘Kiam-yan’ adalah nama alias mendiang
Ong-pangcu kita, bila bukan orang yang bersahabat kental dengan dia, tidak
mungkin menyebut nama aliasnya itu.
"Padahal sudah lama
Ong-pangcu wafat, mengapa ada orang menulis surat kepadanya? Maka aku tidak
lantas membaca isi surat, tapi membaca nama si penulis surat. Dan begitu lihat,
aku bertambah heran hingga bersuara, ‘He, kiranya dia!’ — Dan karena tertarik,
Tan-heng yang berada di sampingku lantas ikut melongok surat yang kupegang itu
dan serta-merta ia pun bersuara heran, ‘Eh, kiranya dia!’
"Perbuatanmu itu terang
salah, Tan-loji,” tiba-tiba Tio-ci-sun menyela. "Surat itu adalah surat
rahasia Kay-pang mereka. Engkau bukan anggota Kay-pang yang berkantong satu
atau dua, bahkan menjadi pengemis juga tidak pernah, mengapa berani mengintip
surat orang yang penting itu?”
Jangan mengira orang aneh itu
suka "angin-anginan”, ucapannya ternyata sangat tepat. Keruan muka Tan
Cing rada merah, sahutnya, "Aku cuma melongok nama pengirim surat itu, kan
tidak membaca isinya.”
"Apa bedanya melongok
sedikit dan membaca banyak?” sahut Tio-ci-sun. "Engkau mencuri seribu
tahil emas disebut maling, mencuri satu peser juga maling namanya. Bedanya cuma
jumlah uang banyak atau sedikit, maling besar atau maling kecil, tapi kan
sama-sama maling namanya? Maling besar adalah maling, maling kecil juga maling.
Mengintip surat orang lain berarti bukan seorang kuncu (gentleman), dan kalau
bukan kuncu tentu adalah siaujin (orang kecil, tak bermoral), kalau siaujin,
itu berarti rendah kotor. Kalau orang rendah begitu, sepantasnya dibunuh!”
Sungguh gusar Tan Pek-san
berlima tak terkatakan, serentak mereka hendak melabrak orang gila itu. Tapi
cepat Tan Cing memberi tanda agar putra-putranya itu jangan sembarangan
bertindak, biarlah orang itu ngaco-belo sesukanya, nanti saja sekaligus
diadakan perhitungan dengan dia.
Diam-diam ia pun heran dan
bingung, "Begitu bertemu dengan aku, orang ini lantas terus-menerus
mencari perkara padaku, jangan-jangan dia mempunyai dendam apa-apa padaku?
Orang Kangouw yang berani memandang enteng kepada keluarga Tan boleh dikatakan
dapat dihitung dengan jari. Tapi siapakah sebenarnya orang ini, mengapa aku
tidak mengenalnya?”
Di lain pihak karena semua
orang lagi tertarik ingin tahu siapakah sebenarnya nama pengirim surat yang
dimaksudkan Ci-tianglo itu, maka mereka menjadi marah terhadap ocehan
Tio-ci-sun yang mengacau itu. Serentak mereka melotot kepada orang tua itu.
"Kalian melotot apa? Apa
yang dikatakan Sukoku memang sedikit pun tidak salah,” tiba-tiba Tam-poh
membuka suara.
Mendengar dirinya dibela bekas
kekasih itu, Tio-ci-sun menjadi kegirangan, katanya, "Nah, kalian sudah
dengar sendiri, bahkan Siau Koan juga membenarkan perkataanku, masakah aku bisa
salah? Apa yang dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya pasti benar.”
"Benar, apa yang
dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya tak bisa salah. Dia menikah dengan
Tamkong dan tidak kawin denganmu, hal itu pun sekali-kali tidak salah,”
demikian tiba-tiba disela suara seorang yang bernada persis seperti Tio-ci-sun.
Orang yang bicara ini bukan
lain A Cu adanya. Dia gemas terhadap ucapan Tio-ci-sun yang menghina
Buyungkongcu tadi, maka tiada hentinya ia mencari perkara padanya.
Tio-ci-sun menjadi bungkam dan
menyeringai mati kutu demi mendengar ucapan A Cu itu. Sebab cara debat A Cu itu
telah menggunakan dialektika yang tepat, yaitu sesuai dengan kesukaan Buyung-si
dengan istilahnya yang terkenal ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ atau menggunakan
cara orang untuk diperlakukan kembali terhadap orang itu.
Begitulah maka ada orang yang
sangat berterima kasih kepada A Cu, mereka adalah Tam-kong dan Tan Cing. Tapi
pada saat itu juga mendadak sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Tam-poh
sudah melesat ke depan A Cu, "plak”, kontan nenek itu tampar pipi kanan si
gadis sambil membentak, "Aku salah menikah atau tidak, peduli apa dengan
omongan budak busuk macam kau ini?”
Tamparan Tam-poh itu
benar-benar cepat luar biasa, A Cu hendak berkelit juga tidak sempat lagi,
orang lain lebih-lebih tidak keburu untuk menolongnya. Maka lenyap suara
tamparan menyusul pipi A Cu yang putih mulus itu lantas timbul lima jalur merah
biru bekas jari.
Maka terbahak-bahaklah
Tio-ci-sun, serunya, "Tepat benar hajaran itu, biar budak kurang ajar itu
tahu rasa!”
Seketika A Cu memberambang
hendak menangis, tapi belum lagi menangis, tiba-tiba Tam-kong mengeluarkan
sebuah kotak porselen kecil, ia buka tutup kotak itu dan mencolek sedikit salep
dengan ujung jarinya, lalu ia usap-usap beberapa kali di pipi A Cu hingga
tempat yang tertampar itu dibubuhi selapis salep tipis.
Belum sempat A Cu berpikir apa
yang terjadi, tahu-tahu pipi yang tadinya terasa panas pedas kini berubah
menjadi dingin segar, berbareng tangan kiri telah memegang sesuatu benda. Waktu
A Cu memeriksanya, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil yang putih, ia
tahu hadiah dari Tam-kong itu berisi obat luka yang sangat manjur, maka ia
tidak jadi menangis, sebaliknya malah tertawa.
Ci-tianglo tidak pusing cara
bagaimana kedua kakek dan nenek itu akan bertengkar sendiri, tapi ia lantas
bicara pula dengan suaranya yang agak serak, "Saudara-saudara sekalian,
siapakah penulis surat ini sebenarnya saat ini belum waktunya untuk kukatakan.
Aku orang she Ci sudah lebih 70 tahun berada dalam Kay-pang, sisa hidup di
dunia ini juga takkan lama lagi, selama 30 tahun paling akhir ini aku telah
mengasingkan diri dan tidak ikut berkecimpung di dunia Kangouw hingga tidak
pernah lagi bercekcok dan bermusuhan dengan orang.
Aku sendiri tidak punya
anak-cucu, bahkan murid juga tidak punya, aku merasa tiada sedikit pun
mempunyai kepentingan pribadi dalam urusan ini. Maka bila aku ingin bicara
sedikit, entah apakah saudara-saudara dapat memercayai diriku?”
"Perkataan Ci-tianglo,
siapa yang takkan percaya?” sahut para pengemis dengan serentak.
"Bagaimana dengan pendapat
Pangcu?” tanya Ci-tianglo kepada Kiau Hong.
"Selamanya aku sangat
menghormat dan menghargai Ci-tianglo, hal ini Cianpwe sendiri cukup tahu,”
sahut Kiau Hong.
Maka tanpa ragu Ci-tianglo
meneruskan ceritanya, "Sesudah kubaca isi surat, aku benar-benar
dihadapkan pada sesuatu yang mahasulit dan penasaran pula. Tapi kukhawatir ada
sesuatu yang tidak benar, maka surat ini segera kuserahkan pada Tan-heng untuk
dibaca. Sebab hubungan Tan-heng dengan penulis surat ini sangat baik dan pasti
kenal gaya tulisannya dan cukup tahu pula bagaimana asal usul penulis surat
ini. Oleh karena urusan ini mahapenting dan sangat luas sangkut pautnya, maka
aku ingin Tan-heng membuktikan surat ini tulen atau palsu.”
Tiba-tiba Tan Cing melotot
sekali ke arah Tio-ci-sun. Sudah tentu maksudnya mengejek, "Apa abamu
sekarang?”
Siapa duga Tio-ci-sun lantas
berkata, "Ci-tianglo yang minta kau baca, dengan sendirinya boleh kau
baca. Tapi waktu pertama kali kau kan mengintip, itu tidak sah. Misalnya
seorang dahulu pernah menjadi maling, kemudian menjadi kaya raya dan tidak jadi
maling lagi, namun biarpun dia seorang hartawan toh tidak dapat mencuci bersih
riwayat hidupnya yang berasal dari maling.”
Ci-tianglo tidak urus ucapan
Tio-ci-sun itu, katanya kepada Tan Cing, "Tan-heng, silakan katakan kepada
para hadirin, apakah surat ini tulen atau palsu?”
"Cayhe adalah sobat rapat
si penulis surat ini, di rumahku juga banyak tersimpan surat berasal dari
penulis ini,” demikian tutur Tan Cing. "Maka segera aku dan Ci-tianglo
serta Be-hujin kembali ke tempat tinggalku untuk dicocokkan dengan surat
simpananku. Dan nyata gaya tulisannya sama, bahkan sampul suratnya juga serupa,
terang surat ini tulen.”
"Sebagai seorang tua,
setiap tindakan selalu kulakukan dengan cermat, apalagi urusan ini menyangkut
matihidup pang kita dan menyangkut nama baik seorang enghiong-hokiat (kesatria
dan pahlawan), mana boleh aku bertindak secara serampangan,” tutur Ci-tianglo.
Mendengar sampai di sini,
sinar mata semua orang tanpa terasa beralih ke arah Kiau Hong, mereka tahu
"enghiong-hokiat” yang dimaksudkan itu tentulah Kiau Hong. Tapi demi sinar
mata mereka kebentrok dengan sorot mata Kiau Hong, segera mereka menunduk lagi.
"Aku tahu suami-istri
Tam-si dari Hoa-san mempunyai hubungan baik juga dengan penulis surat ini, maka
sengaja kudatangi mereka untuk minta nasihat. Untuk mana Tam-poh telah
bercerita kepadaku seluk-beluk yang berliku-liku dalam urusan ini. Tapi, ai,
sesungguhnya aku tidak tega bicara terus terang, sungguh kasihan, sayang,
menyedihkan dan mengharukan!”
Sampai di sini barulah semua
orang tahu bahwa kedatangan Tan Cing dan suami-istri Tam-si adalah karena
undangan Ci-tianglo yang minta mereka menjadi saksi.
Lalu Ci-tianglo bertutur lagi,
"Tatkala itu Tam-poh bilang padaku bahwa ada seorang suheng yang pernah
ikut melihat dan mengalami sendiri kejadian itu, kalau suhengnya itu diminta
menceritakan duduknya perkara pastilah akan terang persoalannya. Dan suhengnya
itu bukan lain adalah Tio-ci-sun Siansing ini. Sifat Siansing ini rada berbeda
daripada orang biasa, tidak mudah untuk mengundangnya kemari. Tapi berkat
bantuan Tampoh, cukup sehelai surat saja dan Siansing ini sudah sudi berkunjung
kemari ....”
"He, jadi engkau yang
mengundang dia ke sini?” teriak Tam-kong mendadak kepada Tam-poh dengan gusar.
"Mengapa sebelumnya tidak kau beri tahukan padaku? Jadi di luar tahuku kau
berbuat sembunyi-sembunyi?”
"Berbuat
sembunyi-sembunyi apa?” sahut Tam-poh tidak mau kalah. "Aku menulis surat
dan minta Ci-tianglo menyuruh orang mengirimkannya, hal ini dilakukan dengan
terang-terangan, mengapa dikatakan sembunyisembunyi? Dasar memang kau suka
minum cuka, maka tidak kuberi tahukan padamu, sebab kutahu kau pasti akan rewel,
buktinya sekarang!”
"Berbuat sesuatu di luar
tahu sang suami, tidak menjaga susila sebagai seorang wanita, itulah tidak
pantas!” seru Tam-kong.
"Plak”, kontan Tam-poh
menempeleng pipi sang suami.
Sudah jelas ilmu silat
Tam-kong jauh lebih tinggi daripada Tam-poh, tapi ketika dipukul sang istri, ia
tidak menangkis dan juga tidak berkelit, tanpa bergerak ia biarkan dirinya
digampar sekali. Menyusul ia lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil lagi, ia
colek sedikit salep dan dipoles di pipi sendiri hingga merah biru bekas
tamparan itu hilang seketika. Yang satu memukul dengan cepat yang lainnya cepat
mengobati. Dengan demikian rasa gusar kedua orang pun lenyap semua.
Semua orang merasa geli oleh
kejadian itu. Sebaliknya mendadak Tio-ci-sun menghela napas panjang, dengan
suara sedih memilukan ia berkata, "Kiranya demikian, kiranya demikian! Ai,
tahu begini, menyesal aku sekarang. Kalau cuma dipukul beberapa kali seperti
ini apa susahnya?”
Nada suaranya ternyata penuh
rasa penyesalan.
"Setiap kali bila
kupukulmu, selalu kau membalas, selamanya tidak mau mengalah sedikit pun,”
demikian kata Tam-poh dengan suara lembut.
Tio-ci-sun termangu-mangu
seperti patung, terkenang olehnya masa lampau. Sang sumoay itu lincah dan
genit, sedikit-sedikit suka ngambek dan memukul orang, setiap kali tanpa sebab
dirinya dipukul, karena penasaran, maka terjadilah pertengkaran, dan sebab
itulah perjodohan yang sebenarnya amat bahagia itu akhirnya gagal.
Kini menyaksikan sendiri
Tam-kong manda dipukul begitu tanpa membalas, barulah sekarang ia sadar
kesalahannya sendiri. Ia menyesal sifatnya yang tidak mau mengalah itu. Pantas
selama berpuluh tahun ini ia tidak menemukan jawabannya mengapa sang sumoay
bisa jatuh cinta kepada orang lain, kiranya rahasianya cuma satu, yaitu,
"manda dipukul”.
Maka terdengar Ci-tianglo
sedang berkata, "Tio-ci-sun Siansing, harap suka bicara di depan orang
banyak, kejadian yang tertulis dalam surat wasiat ini benar atau tidak?”
Tapi Tio-ci-sun sedang
melayang-layang pikirannya dan bergumam sendiri, "Ai, aku benar-benar
tolol, mengapa waktu itu tidak dapat berpikir? Kusangka belajar silat gunanya
untuk menghajar musuh, untuk memukul orang jahat, mengapa dipakai menghantam
badan sang kekasih? Siapa tahu memukul itu artinya cinta, memaki itu artinya
suka. Ai, ai, jika begitu, apa artinya cuma menerima beberapa kali
tempelengan?”
Semua orang merasa geli dan
merasa cinta buta orang aneh itu pantas dikasihani pula. Orang lain sedang
menghadapi urusan mahapenting dalam Kay-pang, sebaliknya ia sendiri bicara yang
tidak-tidak. Lalu, kebenaran ceritanya apa dapat dipercaya?
Karena tidak mendapat jawaban
sebagaimana mestinya, kembali Ci-tianglo tanya lagi, "Tio-ci-sun Siansing,
kami mengundangmu ke sini hanya ingin minta engkau suka menceritakan bagaimana
isi surat itu.”
"O, ya, benar!” seru
Tio-ci-sun. "Ehm, tentang isi surat itu, meski ringkas saja tulisannya,
tapi cukup mengesankan .... Empat puluh tahun yang lalu kita tinggal dalam
serumah dan makan semeja, suasana itu
seakan-akan baru saja terjadi,
bila terkenang sekarang, tentu kakak pun sudah ubanan, wajah dan senyum pasti
tidak lagi seperti sediakala.”
Buset! Ci-tianglo tanya
bagaimana isi surat wasiat Be Tay-goan itu, sebaliknya ia menguraikan isi surat
cinta yang diterimanya dari Tam-poh.
Karena kewalahan, akhirnya
Ci-tianglo berkata kepada Tam-poh, "Tam-hujin, harap engkau yang minta dia
bicara saja.”
Tak terduga Tam-poh sendiri
juga lagi termangu-mangu ketika mendengar bekas kekasih itu sedemikian
memerhatikan sepucuk suratnya, bahkan isi surat dihafalkan di luar kepala,
suatu tanda surat itu entah berapa kali telah dibacanya. Dan demi mendengar
permintaan Ci-tianglo itu, maka berkatalah dia, "Suko, harap tuturkan
bagaimana kejadian dahulu itu.”
"Kejadian dahulu itu
sampai sekarang masih kuingat dengan baik,” sahut Tio-ci-sun. "Rambutmu
terkepang menjadi dua kucir, ujung kucir berhiaskan dua pita kupu merah. Waktu
Suhu mengajarkan jurus ‘Thau-liongcoan-hong’ itu ....”
Mendengar istilah
"Thau-liong-coan-hong” atau mencuri naga dan menukar burung hong, Giok-yan
seperti sadar akan sesuatu, ia mengangguk perlahan.
Sedangkan Tam-poh lantas
berkata, "Suko, jangan lagi bicara urusan kita masa lampau, tapi
Ci-tianglo sedang tanya padamu tentang banjir darah dalam pertempuran di
Loan-ciok-kok di luar Gan-bun-koan dahulu, di mana engkau sendiri ikut
menyaksikan, maka ceritakanlah kepada hadirin dari apa yang kau lihat itu.”
"Tentang ... tentang
pertempuran di ... di Loan-ciok-kok (lembah batu padas) ... di Gan-bun-koan
....” sahut Tio-ci-sun dengan suara gemetar dan air muka berubah hebat, sekali
putar tubuh, sekonyong-konyong ia melarikan diri ke arah selatan yang lowong
itu dengan cepat luar biasa.
Melihat orang aneh itu dalam
sekejap saja akan lenyap di balik hutan sana, untuk mengejar terang tidak
keburu lagi, maka semua orang cuma dapat berteriak-teriak untuk mencegahnya.
Namun Tio-ci-sun tidak peduli lagi, ia berlari terlebih cepat.
"Rambut kakak kini tentu
sudah ubanan, wajah dan senyummu pastilah tidak lagi seperti sediakala,”
demikian mendadak suara seorang berseru dengan lantang.
Sekonyong-konyong Tio-ci-sun
berhenti lari, ia menoleh dan menegur, "Siapa itu yang bicara?”
"Habis, bila bukan karena
itu, mengapa engkau merasa malu menghadapi Tam-kong dan mesti melarikan diri?”
sahut suara itu.
Waktu semua orang memandang ke
arah suara itu, kiranya yang bicara adalah Coan Koan-jing.
"Siapa yang merasa malu?
Paling-paling dia cuma pandai ‘manda dipukul’, apanya yang mampu mengalahkan
aku?” Tio-ci-sun.
"Manda dipukul tanpa
membalas, itu adalah ilmu nomor satu di dunia ini, masakah gampang dipelajari?”
tibatiba suara seorang tua menyela dari balik hutan sana.
Ketika semua orang berpaling,
tertampaklah dari balik pohon sana muncul seorang hwesio berjubah warna kelabu,
bermuka lebar dan bertelinga besar, wajahnya sangat kereng.
"Hah, kiranya Ti-kong
Taysu dari Thian-tay-san telah tiba, sudah lebih 30 tahun tidak bertemu, Taysu
ternyata masih sehat dan kuat,” segera Ci-tianglo menyapa.
Nama Ti-kong Hwesio tidak
terkenal dalam Bu-lim, maka tokoh-tokoh angkatan muda dari Kay-pang tiada yang
kenal asal usulnya. Tapi Kiau Hong, Coan Koan-jing dan para tianglo seketika
bangkit untuk menyambut kedatangan padri itu.
Mereka kenal padri itu pernah
mengembara ke luar lautan untuk mencari obat-obatan yang tepat untuk
menyembuhkan penyakit malaria yang berjangkit di sekitar provinsi Kwitang dan
Hokkian pada beberapa tahun yang lalu, sebab itulah Ti-kong sendiri sampai
jatuh sakit payah dua kali hingga ilmu silatnya pun punah. Namun jasanya bagi
kesejahteraan rakyat tidak sedikit artinya. Maka semua orang pun berturut-turut
maju untuk memberi hormat padanya.
Segera Ti-kong berkata kepada
Tio-ci-sun dengan tertawa, "Ilmu silat lebih rendah dari lawan dan manda
dihantam tanpa membalas, hal ini saja sukar dicari. Bila ilmu silat lebih
tinggi, dan diserang tetap tidak membalas, hal ini lebih-lebih jarang terdapat orangnya.”
Tio-ci-sun termangu-mangu
menunduk, ia seperti sadar akan sesuatu.
Maka Ti-kong berkata pula,
"Kebetulan kulewat di sini, tidak nyana para pahlawan sedang berkumpul di
sini hingga terganggu, harap dimaafkan, biarlah kumohon diri saja.”
"Ti-kong Taysu adalah
padri saleh yang telah banyak menolong sesamanya, siapa pun tentu menaruh
hormat,” kata Ci-tianglo. "Hari ini Kay-pang kami sedang menghadapi suatu
persoalan mahasulit, kebetulan Taysu berkunjung kemari, sungguh beruntung
Kay-pang kami, sebab kalau sengaja mengundang, belum tentu Taysu sudi datang.
Maka mumpung datang, betapa pun harap Taysu suka mengaso sebentar.”
"Eh, ya, pertempuran di
Loan-ciok-kok itu Ti-kong Hwesio juga ikut ambil bagian. Nah, suruh dia saja
yang bercerita,” tiba-tiba Tio-ci-sun berseru.
Mendengar tentang
"pertempuran di Loan-ciok-kok”, sekilas Ti-kong menampilkan rasa heran,
seperti takuttakut dan merasa ngeri pula, tapi akhirnya wajahnya kembali kepada
perasaan yang welas asih, katanya dengan gegetun, "Terlalu banyak
bunuh-membunuh! Terlalu kejam! Urusan itu kalau diceritakan sungguh sangat
memalukan. Peristiwa Loan-ciok-kok itu adalah kejadian 30 tahun yang lalu,
mengapa para Sicu hari ini kembali mengungkatnya?”
"Lantaran saat
ini-Kay-pang kami sedang menghadapi pergolakan yang menyangkut isi sepucuk
surat ini,” kata Ci-tianglo sambil mengangsurkan surat wasiat tadi.
Setelah membaca dan mengulangi
lagi isi surat itu, Ti-kong geleng kepala dan berkata, "Permusuhan lebih
baik diselesaikan daripada ditambah, urusan yang sudah lalu buat apa diungkat
lagi? Menurut pendapatku, surat ini dibakar saja dan urusan pun selesai!”
"Tapi Be-hupangcu kami
telah ditewaskan orang secara mengenaskan, kalau tidak diusut, kematian
Behupangcu menjadi penasaran dan pang kami pun menghadapi bahaya keretakan,”
ujar Ci-tianglo.
"Benar juga, benar juga!”
kata Ti-kong mengangguk.
Tatkala itu bulan sabit tampak
menghiasi cakrawala dengan sinarnya yang remang-remang menimpa pucuk pohon
hutan itu. Ti-kong memandang sekejap ke arah Tio-ci-sun, lalu berkata pula,
"Baiklah, aku telah berbuat salah, untuk mana juga tidak perlu ditutupi,
biarlah kuceritakan terus terang saja.”
Kita berjuang demi nusa dan
bangsa, tidak dapat dikatakan berbuat salah,” ujar Tio-ci-sun.
"Salah tetap salah, buat
apa mesti pakai alasan,” ujar Ti-kong sambil menggoyang kepala. "Tiga
puluh tahun yang lampau, tiba-tiba para pahlawan Tionggoan mendapat berita,
katanya lebih 200 jago Cidan akan menyerbu ke Siau-lim-si untuk merampok
kitab-kitab suci yang sudah tersimpan beratus tahun dalam biara itu.”
Semua orang merasa heran dan
menganggap ambisi jago Cidan itu benar-benar kelewat batas. Sebab harus
diketahui bahwa ilmu silat Siau-lim-si adalah inti ilmu silat seluruh Tiongkok,
kalau pelajaran silat Siau-lim-si sampai dirampas bangsa Cidan dan disebarkan
dalam pasukan tentara mereka, tentu pasukan Song takkan mampu melawan mereka
lagi di medan perang.
"Sudah tentu urusan itu
sangat penting, bila usaha Cidan itu berhasil, tentu kerajaan Song kita akan
menghadapi bahaya kehancuran dan anak cucu kita pasti akan musnah pula,”
demikian Ti-kong melanjutkan. "Oleh karena urusan sudah mendesak, kami
tidak sempat berunding lebih jauh, ketika mendengar jago-jago Cidan itu akan
lewat Gan-bun-koan, di samping kami mengirim orang menyampaikan kabar itu
kepada Siaulim-si, kami lantas berangkat beramai-ramai ke Gan-bun-koan untuk
mencegat kedatangan musuh dengan maksud akan menghancurkannya lebih dulu ....”
Waktu itu kerajaan Song sering
mendapat gangguan dari Cidan, dalam pertempuran pasukan Song selalu mengalami
kekalahan, harta benda dan jiwa rakyat jelata banyak yang ikut menjadi korban
keganasan musuh. Kini mendengar para pahlawan itu akan melabrak musuh, tanpa
terasa semua orang ikut bersemangat meski kejadian itu sudah lama lampau.
"Kiau-pangcu,” tiba-tiba
Ti-kong tanya Kiau Hong dengan sinar mata tajam, "bila engkau menerima
berita begitu, bagaimana kiranya tindakanmu?”
"Ti-kong Taysu,” sahut
Kiau Hong dengan darah mendidih, "biarpun aku orang she Kiau tidak punya
kepandaian apa-apa hingga sekarang aku dicurigai para saudara anggota, tapi
sekalipun aku tidak becus, paling tidak juga seorang lelaki yang punya keberanian
dan berjiwa patriot, terhadap kewajiban yang menjadi bagian setiap bangsa tidak
nanti aku tinggal diam. Bangsa dan negara kita sudah banyak diganggu musuh,
dendam itu siapa yang tidak ingin membalas? Jika kudengar berita itu, sudah
pasti juga aku akan pimpin anggota pang kami dan serentak berangkat ke sana.”
Semua orang ikut terbangkit
semangatnya demi mendengar ucapan Kiau Hong yang gagah berani itu.
Ti-kong mengangguk-angguk,
katanya, "Jika begitu, jadi keberangkatan kami ke Gan-bun-koan untuk menggempur
musuh itu menurut pendapat Kiau-pangcu adalah tepat bukan?”
Diam-diam Kiau Hong mendongkol
karena pertanyaan itu, masakah jawabannya tadi kurang tegas hingga
perlu ditanya pula? Tapi ia
bersikap tenang saja dan berkata, "Kiau Hong justru sangat kagum terhadap
tindakan para cianpwe yang patriotik itu, sayang aku tidak dilahirkan lebih tua
30 tahun hingga dapat ikut serta dalam rombongan para cianpwe itu untuk
menghajar musuh.”
Ti-kong memandang lekat-lekat
kepada pangcu itu dengan air muka keheran-heranan, lalu katanya pula dengan
perlahan, "Sesudah kami terima pemberitahuan itu, di samping kami mengirim
kabar kepada Siau-lim-si, beramai-ramai kami lantas berangkat ke Gan-bun-koan
dengan membagi diri dalam beberapa kelompok. Kebetulan saudara ini ....”
Ia tuding Tio-ci-sun dan
menyambung, "Dia bersama dalam suatu rombongan kami. Rombongan kami ini
seluruhnya berjumlah 21 orang, betapa tinggi ilmu silat Toako Pemimpin tidak
perlu dikatakan lagi, kecuali itu masih terdapat Ong-pangcu dari Kay-pang,
Koan-in Totiang dari Hoa-san, Ong Hiang-lim, dari Ban-seng-to serta tokoh-tokoh
pilihan lain yang terkenal di Bu-lim pada zaman itu. Tatkala mana aku belum
lagi menjadi padri, sebenarnya tidak sesuai menggabungkan diri di antara para
tokoh terkemuka itu. Cuma terdorong oleh semangat cinta negeri, dalam hal
menghadapi musuh tidak mau ketinggalan di belakang orang lain, makanya aku
berjuang sepenuh tenaga. Umpama saudara ini, ilmu silatnya waktu itu bahkan
jauh di atasku.”
"Memang benar,” kata
Tio-ci-sun tanpa ditanya, "ilmu silatmu waktu itu selisih jauh sekali
denganku, paling sedikit sekian selisihnya.”
Sambil berkata ia terus
pentang kedua tangannya untuk memberi suatu ukuran jarak, tapi ketika merasa
jarak itu kurang jauh, ia pentang tangannya lebih lebar lagi hingga hampir dua
meter jauhnya.
Namun Ti-kong tidak urus lagi
padanya, ia melanjutkan, "Setelah kami melintasi Gan-bun-koan (gerbang
tembok besar ujung barat), waktu itu sudah dekat magrib, sepanjang jalan kami
selalu siap siaga dengan hati berdebar-debar. Setelah belasan li jauhnya, hari
pun mulai remang-remang. Tiba-tiba dari arah barat-laut sana terdengar derap
lari kuda, dari suara itu terang ada belasan jumlahnya. Segera Toako Pemimpin
memberi tanda agar berhenti.
"Rasa hati semua orang waktu
itu bergirang tercampur tegang. Girangnya karena berita yang diterima itu
ternyata benar, untung kami dapat tiba tepat pada waktunya. Tapi semua orang
pun sadar jago-jago Cidan yang datang ini pasti bukan sembarangan jago, kalau
tidak, masakah mereka berani menantang Siau-lim-si yang merupakan tulang
punggung dunia persilatan di Tiongkok itu, maka dapat dipastikan jago-jago
Cidan ini pasti jago pilihan semua. Dalam pertempuran biasanya kerajaan Song
kita selalu mengalami kekalahan melawan Cidan, dan pertarungan kami ini apakah
dapat menang, sungguh sulit untuk diramalkan.
"Ketika Toako pimpinan
memberi tanda pula, segera kami menyembunyikan diri di balik batu-batu karang
di tepi jalan. Sisi kiri lembah pegunungan itu adalah sebuah jurang curam yang
banyak terdapat batu karang dan dalamnya jurang sukar dijajaki. Sementara itu
derap kuda tadi sudah makin dekat, menyusul terdengar suara nyanyi beberapa
orang, lagunya bersemangat, tapi entah apa artinya.
"Aku pegang golokku
dengan erat, saking tegangnya sampai aku mandi keringat. Kebetulan Toako
Pemimpin juga mendekam di sampingku, ia khawatir aku tidak tahan sabar, maka
perlahan menepuk pundakku sambil tersenyum, lalu memberi tanda pula dengan gaya
menghantam, maksudnya membunuh musuh sebentar lagi. Aku menjawabnya dengan
tersenyum mantap.
"Ketika musuh mulai dekat
di tempat sembunyi kami, waktu aku mengintip, kulihat jago-jago Cidan itu
semuanya memakai baju kulit, ada yang membawa tombak, ada yang bergolok dan ada
yang membawa busur dengan panahnya, bahkan ada yang membawa elang pemburu di
pundaknya. Mereka datang dengan tetap bernyanyi-nyanyi, sedikit pun tidak
peduli apakah di depan bakal diadang musuh atau tidak. Hanya sebentar saja,
kulihat berapa orang Cidan yang berada paling depan itu semuanya berwajah
bengis dan penuh berewok. Melihat jarak musuh semakin mendekat, hatiku pun
tambah berdebar dan tegang ....”
Walaupun apa yang diceritakan
Ti-kong itu adalah kejadian pada 30 tahun yang silam, namun semua orang
mengikuti cerita itu dengan berdebar-debar.
"Kiau-pangcu,” kata
Ti-kong kepada Kiau Hong, "berhasil atau gagalnya usaha kami waktu itu
menyangkut nasib negara Song kita dengan berjuta-juta rakyatnya yang tertindas,
tapi kami justru tidak yakin akan dapat menang. Keuntungan kami satu-satunya
waktu itu adalah kami siap menyerang, sebaliknya musuh tidak tahu. Dalam
keadaan begitu, bagaimana kami harus bertindak menurut pendapat Kiau-pangcu?”
"Siasat militer tidak
kenal ampun, bila perlu harus memperdayakan musuh,” sahut Kiau Hong.
"Apalagi dalam pertempuran di antara kedua negara seperti itu, kita tidak
kenal lagi peraturan Bu-lim atau etiket Kangouw. Pula ketika bangsa penjajah
membunuhi bangsa kita, apakah mereka pernah kenal kasihan? Maka menurut
pendapatku kita harus menyerangnya dengan am-gi (senjata gelap), dan am-gi itu
harus berbisa pula.”
"Tepat,” seru Ti-kong
sambil menggaplok paha sendiri. "Pendapat Kiau-pangcu persis seperti apa
yang kami pikirkan waktu itu. Maka ketika Toako Pemimpin melihat musuh sudah
dekat, sekali bersuit, segera ia memerintahkan serangan umum dengan hamburan
am-gi dari macam-macam jenis, ada piau baja, ada panah, ada pisau terbang, ada
peluru besi dan macam-macam lagi, semuanya berbisa. Maka terdengarlah suara jeritan
di sana-sini, musuh menjadi kacau-balau dan tunggang-langgang jatuh dari kuda
mereka.”
Mendengar sampai di sini,
seketika banyak di antara pendengar itu bersorak-sorai.
"Dalam pada itu aku telah
dapat menghitung dengan jelas bahwa penunggang kuda musuh itu berjumlah 18
orang, 11 orang di antaranya telah roboh oleh serangan am-gi kami, sisanya
tinggal tujuh orang saja. Segera kami mengerubut maju, di bawah hujan
macam-macam senjata, hanya sebentar saja ketujuh orang itu pun dapat kami bunuh
semua, satu pun tiada yang lolos.”
Sampai di sini, kembali
orang-orang Kay-pang ada yang bersorak lagi. Tapi Kiau Hong dan Toan Ki justru
berpikir, "Tadi kau bilang jago-jago Cidan itu adalah jago pilihan, tapi
mengapa begitu tak becus, hanya sebentar saja sudah terbunuh semua?”
Maka terdengar Ti-kong berkata
pula dengan menghela napas, "Sekaligus kami dapat membunuh ke-18 jago
Cidan itu, meski bergirang, tapi juga curiga dan merasa jago-jago Cidan itu
mengapa begitu tak berguna, hanya sekali-dua gebrak saja sudah lantas mampus,
sama sekali bukan jago kelas pilihan, jangan-jangan berita yang diterima itu
tidak benar? Dan mungkin pula musuh sengaja mengatur perangkap itu untuk
menjebak kami. Tapi sebelum kami sempat bertukar pikiran, tiba-tiba terdengar
suara berdetaknya kuda pula, dari arah yang sama tampak muncul lagi dua
penunggang kuda.
"Sekali ini kami tidak
bersembunyi lagi, tapi terus memapak maju. Ternyata penunggang kuda itu adalah
sepasang laki perempuan. Yang lelaki bertubuh tinggi besar, gagah berwibawa, dandanannya
juga jauh lebih mentereng daripada ke-18 orang tadi. Yang wanita adalah seorang
nyonya muda dan membopong seorang bayi. Sambil keprak kuda mereka asyik bicara
dengan sangat mesra tampaknya, terang mereka itu adalah pasangan suami-istri.
"Ketika melihat rombongan
kami, mereka merasa heran, demi kemudian melihat pula mayat ke-18 orang tadi,
lelaki itu seketika berubah beringas terus membentak-bentak menanyai kami.
Sudah tentu kami tidak tahu apa yang dikatakannya dalam bahasa Cidan itu. Kawan
Put Tay-hiong dari Soasay yang berjuluk Thi-tha (si Pagoda Besi), yaitu karena
perawakannya tinggi besar dan kuat, segera membentak, ‘Anjing asing, serahkan
nyawamu!’ — berbareng senjatanya yang berwujud toya lantas mengemplang lelaki
itu. Namun Toako Pemimpin kami merasa ragu, cepat bentaknya, ‘Jangan sembrono,
Pui-hiati, jangan membinasakan dia, tangkap saja untuk ditanyai.’
"Tapi belum lenyap suara
Toako Pemimpin, tahu-tahu laki-laki Cidan itu telah ulur tangan kanan hingga
toya Pui Tay-hiong kena ditangkapnya, berbareng ia tarik ke samping terus
dipuntir, ‘krek’, tanpa ampun tulang lengan Pui Tay-hiong dipatahkan.
"Karena kami tidak sempat
lagi penolongnya, maka segera ada beberapa kawan menghamburkan am-gi ke arah
musuh. Tapi sekali orang Cidan itu kebas lengan bajunya, serangkum angin keras
menyampuk senjata gelap ke samping. Tampaknya sekali dia menghantam lagi pasti
jiwa Pui Tay-hiong akan melayang. Tak tersangka dia cuma sedikit angkat toya
yang masih dipegangnya itu hingga tubuh Pui Tay-hiong ikut terangkat ke atas
lalu toya bersama pemiliknya dilemparnya jauh-jauh ke tepi jalan, kemudian ia
mengoceh entah apa lagi yang tidak kami ketahui maksudnya.
"Ilmu kepandaian yang
ditunjukkan orang Cidan itu keruan membuat kami tertegun semua, betapa lihai
ilmu silatnya itu bahkan di Tiongkok sendiri jarang terdapat, nyata berita yang
kami terima tentang jago-jago Cidan yang akan menyerbu Siau-lim-si itu bukanlah
omong kosong, mungkin jago Cidan yang belum muncul bahkan akan lebih lihai.
Kami pikir mumpung menang jumlah orang, biarlah bunuh dulu mereka. Maka
sekaligus ada
beberapa kawan menerjang ke
arah laki-laki itu, sebagian kawan yang lain lantas menyerang si wanita.
"Tak terduga wanita itu
sama sekali tidak mahir ilmu silat, sekali seorang kawan menebas dengan
pedangnya, kontan sebelah lengan wanita itu terkutung dan karena itu bayi yang
dia gendong itu jatuh ke tanah, menyusul golok kawan lain membacok pula hingga
separuh kepala wanita itu terpenggal.
"Meski ilmu silat
laki-laki Cidan itu sangat tinggi, tapi di bawah keroyokan 6-7 orang, betapa
pun sukar melepaskan diri untuk menolong anak-istrinya. Semula ia hanya melawan
dengan gerak tipu yang hebat untuk merampas senjata para kawan dan tidak
melukainya, tapi demi melihat istrinya terbunuh, matanya menjadi merah membara,
air mukanya beringas menyeramkan. Tanpa terasa aku merasa jeri tatkala melihat
sinar matanya yang menakutkan itu.”
"Ya, itu pun tak bisa
menyalahkanmu, tak dapat menyalahkanmu!” tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung dengan
suara yang penuh penyesalan dan berduka, jauh berbeda dengan ucapannya yang
angin-anginan tadi.
"Pertarungan sengit itu
sudah lampau 30 tahun lamanya,” demikian Ti-kong menyambung, "tapi selama
30 tahun ini entah sudah berpuluh kali, bahkan beratus kali dalam mimpiku
seakan-akan kembali pada adegan waktu itu. Sungguh pertarungan yang mahasengit
itu terlalu mendalam berkesan dalam benakku. Entah dengan cara apa, sekali
tangan laki-laki Cidan itu bergerak, tahu-tahu senjata kedua orang kawanku
sudah terampas, menyusul sekali bacok dan sekali tebas, seketika kedua kawan
itu binasa. Terkadang orang itu menubruk turun dari kudanya, lain saat ia
cemplak pula ke atas kudanya, dan hanya dengan pergi-datang begitu secepat
hantu iblis, dalam sekejap saja sudah sembilan orang kawan kami terbinasa di
tangannya.
"Karena itu kami menjadi
kalap juga, Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan lain-lain sama menyerbu maju dengan
mati-matian. Namun ilmu silat lawan itu benar-benar aneh luar biasa. Setiap
serangan, setiap gerakannya selalu sukar diduga, di tengah deru angin keras di
luar Gan-bun-koan itu tercampur jerit ngeri para pahlawan waktu menemui
ajalnya, seketika berjatuhan buah kepala dan anggota badan bertebaran, dalam
keadaan begitu, betapa pun tinggi ilmu silatmu paling-paling juga cuma dapat
menjaga diri saja dan tidak mampu menolong kawan yang lain.
"Menyaksikan pertarungan
sengit itu, hatiku sesungguhnya sangat ketakutan, tapi demi tampak para kawan
satu per satu terbinasa dengan mengenaskan, mau tak mau darahku mendidih juga,
dengan penuh semangat aku menerjang ke arah musuh. Kuangkat golok dan membacok
sekuat tenaga ke kepala lawan. Aku sadar bila seranganku luput, maka jiwakulah
yang bakal melayang. Tampaknya golokku tinggal belasan senti jaraknya di atas
kepalanya, mendadak kulihat tangan orang itu memegang seorang tawanan dan
dengan buah kepala tawanan itu ia papak bacokanku itu.
"Sekilas kulihat kepala
orang itu adalah orang kedua Tho-si-sam-hiong dari Kangsay, keruan aku
terkejut, bila bacokanku itu kena, tentu kepalanya akan berpisah dengan
tuannya. Maka sebisanya kutarik balik golokku, namun menurunnya yang terlalu
keras itu tak dapat kutahan lagi, kepala kuda tungganganku sendiri yang
terbacok. Binatang itu meringkik sekali terus berjingkrak. Dan pada saat itulah
orang Cidan itu juga
menggaplok ke arahku dengan
tangannya. Untung pada saat yang sama kudaku menegak hingga mewakilkan aku
menahan serangannya itu. Kalau tidak, tentu tulangku yang akan remuk dan jiwa
melayang.
"Tenaga gaplokan orang
itu ternyata kuat sekali, seketika aku bersama kudaku mencelat ke belakang,
bahkan aku terpental dan jatuhnya persis kecantol di atas dahan pohon besar.
Dalam keadaan ketakutan dan merasa entah mati atau hidup, dari atas aku masih
sempat menyaksikan kawanku satu per satu disapu roboh oleh orang Cidan itu dan
akhirnya tinggal 5-6 orang saja yang masih bertahan sekuatnya. Kulihat saudara
ini pun tergeliat roboh bermandikan darah, waktu itu aku menyangka dia sudah
mati.”
"Kejadian memalukan itu
kalau dibicarakan juga tetap memalukan,” tukas Tio-ci-sun, "tapi aku juga
tidak perlu berdusta, biar kukatakan terus terang. Waktu itu sebenarnya aku
tidak terluka, tapi aku jatuh pingsan ketakutan. Kulihat kedua kaki Tho-jiko
kena dipegang tangan musuh sekali pentang dan sekali beset, tahu-tahu tubuh
Tho-jiko dirobek menjadi dua, perutnya berhamburan. Melihat itu, mendadak
jantungku serasa berhenti berdenyut, mataku menjadi gelap dan segala apa
selanjutnya tidak tahu lagi. Ya, memang aku pengecut, melihat pembunuhan itu,
saking ketakutan aku jatuh pingsan.”
"Siapa pun bila
menyaksikan cara orang Cidan itu membunuh seganas iblis, mustahil jika bilang
tidak takut,” kata Ti-kong. "Di bawah sinar bulan remang-remang seperti
sekarang ini, kulihat kawan-kawan yang masih menempur orang Cidan itu tinggal
empat orang saja. Toako Pemimpin insaf takkan lolos dari elmaut, maka
berulang-ulang ia membentak, ‘Siapa kau? Siapa kau?’
"Tapi orang itu tidak
menjawab, hanya dua jurus pula, kembali dua orang kawan terbunuh lagi. Mendadak
kakinya mendepak hingga hiat-to di punggung Ong-pangcu tertendang, secara
berantai menyusul kakinya yang lain menendang pula hingga hiat-to bawah iga
Toako Pemimpin kena didepak.
"Tentang ilmu tiam-hiat
sudah pernah kulihat macam-macam caranya, tapi orang itu ternyata dapat
menggunakan ujung kaki untuk menutuk hiat-to, baik jitunya maupun cepatnya
tendangan musuh sukar dibayangkan. Bila waktu itu aku tidak ingat jiwa sendiri
juga terancam elmaut dan kedua korban tendangan itu adalah orang yang paling
kuhormati, mungkin saat itu juga aku bisa bersorak memuji.
"Sesudah semua lawan
dirobohkan, orang Cidan itu terus lari ke samping mayat si wanita, ia menangis
meraung-raung memeluk jenazah itu, tangisnya sangat memilukan, sampai aku
sendiri hampir-hampir ikut meneteskan air mata. Kupikir orang Cidan yang ganas
seperti binatang dan iblis ini kiranya juga mempunyai rasa kemanusiaan, betapa
rasa dukanya ternyata tidak kalah rendah daripada bangsa Han kita.”
"Memangnya bangsa Cidan
juga manusia, sama-sama manusia mengapa bisa lebih rendah dari bangsa Han?
Bedanya mereka adalah kaum penjajah, dan kaum penjajah harus diganyang!” sela
Tio-ci-sun tiba-tiba.
"Setelah menangis
sebentar, kemudian orang Cidan itu mengangkat pula mayat anaknya, ia pandang
sejenak, lalu taruh mayat bayi itu di pangkuan ibundanya. Lalu ia mendekati
Toako Pemimpin, ia membentak-bentak dan mencaci maki. Namun sedikit pun Toako
tidak menyerah, sebaliknya menjawabnya dengan mata mendelik. Celakanya karena
tertutuk, maka ia tidak dapat bicara. Sekonyong-konyong orang Cidan itu
menengadah sambil bersuit panjang, tiba-tiba ia gunakan jarinya untuk menulis
di atas dinding batu, tatkala itu hari sudah gelap, jarakku dengan dia agak
jauh pula, maka aku tidak tahu jelas apa yang ditulisnya itu.”
"Dia menulis dalam bahasa
Cidan, biarpun dekat juga kau tidak paham,” ujar Tio-ci-sun.
"Benar, biarpun dapat
membaca dari dekat juga tidak mengerti maksudnya,” kata Ti-kong. "Sesudah
menulis, kemudian orang itu mengangkat jenazah istri dan anaknya berjalan ke
tepi jurang lalu terjun bertiga. Perbuatannya ini benar-benar di luar dugaanku.
Semula aku pikir orang yang berilmu silat setinggi ini tentu mempunyai
kedudukan terhormat di negeri Cidan, serangan mereka pada Siau-lim-si sekali
ini seumpama dia bukan pemimpinnya, paling tidak juga salah seorang tokoh
terpenting.
"Setelah Toako Pemimpin
dan Ong-pangcu ditawan olehnya, sisanya terbunuh pula, boleh dikata dia telah
memperoleh kemenangan terakhir, siapa tahu dia justru membunuh diri dengan
terjun ke jurang. Padahal jurang itu penuh dilapis kabut tebal hingga dalamnya
sukar dijajaki, betapa pun tinggi ilmu silatnya, sekali sudah terjun ke situ
pasti hancur lebur badannya. Begitulah karena kaget, aku sampai menjerit.
"Siapa duga di dalam
kejadian aneh masih ada yang lebih aneh, justru pada saat aku menjerit,
tiba-tiba terdengar suara menguak tangis bayi yang berkumandang dari dalam
jurang. Menyusul sepotong benda melayang naik dari dalam jurang, ‘bluk’, benda
itu tepat jatuh di atas badan Ong-pangcu. Kudengar suara tangis bayi yang tiada
berhenti-henti, kiranya benda yang jatuh di atas badan Ong-pangcu itu adalah si
orok. Waktu itu rasa takutku sudah lenyap, cepat kulompat turun dari atas pohon
dan berlari ke dekat Ong-pangcu, kulihat anak Cidan itu telentang di atas perut
beliau dan masih menangis. Aku terheran-heran. Sesudah berpikir, akhirnya
kutahulah duduknya perkara.
Kiranya setelah wanita Cidan
itu terbunuh bayinya jatuh ke tanah dan untuk sementara berhenti pernapasannya,
tapi sebenarnya belum mati. Waktu laki-laki Cidan itu merasa napas si orok
sudah berhenti, ia sangka anakistrinya sudah tewas semua, maka ia terjun ke
jurang bersama kedua sosok mayat. Di luar dugaan, karena mengalami guncangan,
mendadak bayi itu siuman kembali terus menangis.
"Laki-laki Cidan itu
sesungguhnya sangat hebat, ia tidak ingin anaknya terkubur hidup-hidup di dasar
jurang, maka begitu mengetahui anaknya belum mati, cepat ia melemparkan anaknya
ke atas. Ia ingat tempat dan jaraknya, dan dengan persis bayi itu dilemparkan
ke atas tubuh Ong-pangcu hingga si orok tidak mengalami cedera apa-apa.
"Kulihat para kawan
hampir seluruhnya binasa dengan mengenaskan, saking duka, bayi itu kupegang dan
hendak kubanting mampus. Tapi baru saja kuangkat, tiba-tiba terdengar tangisnya
yang lebih keras, aku
memandang sekejap mukanya,
kulihat mulutnya yang kecil mungil itu terpentang lebar, air mukanya merah
padam, kedua matanya yang hitam cemerlang juga sedang menatap padaku. Bila aku
tidak memandanginya dan terus membanting mampus dia, mungkin segala urusan
menjadi beres. Tapi demi kulihat mukanya yang menyenangkan, betapa pun aku
tidak tega turun tangan kejam lagi. Diam-diam aku memaki diriku sendiri, ‘Hm,
membunuh seorang orok yang berumur beberapa bulan, terhitung laki-laki gagah
macam apa’?”
"Ti-kong Taysu,”
tiba-tiba ada orang Kay-pang berteriak, "bangsa Han kita tak terhitung
banyaknya telah menjadi korban keganasan penjajah Cidan. Dengan mata kepala
sendiri juga pernah kusaksikan pasukan anjing Cidan menyunduk anak bayi bangsa
kita dengan ujung tombak sebagai satai, bahkan anggap perbuatan itu sebagai
suatu kesenangan. Coba katakan, kalau mereka boleh membunuh, mengapa kita
tidak?”
"Walaupun benar ucapanmu,
tapi manusia tetap manusia, dan setiap manusia tentu mempunyai rasa
perikemanusiaan sendiri-sendiri,” ujar Ti-kong. "Aku sudah menyaksikan kematian
orang begitu banyak, sungguh aku tidak tega membunuh pula seorang bayi yang tak
berdosa. Biarlah, kalian boleh anggap aku keliru, boleh juga katakan aku
pengecut, pendek kata aku tetap memberi kesempatan hidup kepada bayi itu.
"Kemudian aku berusaha
hendak membuka hiat-to Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang tertutuk itu. Tapi
sayang, pertama karena kepandaianku terlalu rendah, kedua, ilmu menendang
hiat-to orang Cidan itu terlalu aneh, biarpun aku sudah berusaha macam-macam
jalan tetap Toako dan Ong-pangcu tak dapat bergerak dan tak bisa bicara.
"Karena tak berdaya,”
demikian Ti-kong melanjutkan, "terpaksa aku mendapatkan tiga ekor kuda dan
mengangkut Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ke atas kuda, cepat-cepat kami
tinggalkan tempat itu. Aku sendiri membopong bayi Cidan itu sambil menuntun
kedua ekor kuda yang lain, malam itu juga kami kembali ke Gan-bun-koan untuk
mencari tabib pandai, tapi tutukan Toako dan Ong-pangcu itu tetap sukar
ditolong. Sampai besok malamnya, setelah genap sehari-semalam, barulah hiat-to
itu terbuka sendiri.”
"Karena masih khawatir
tentang rencana penyerbuan jago Cidan kepada Siau-lim-si, maka begitu hiat-to
mereka terbuka, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu lantas menuju ke luar
Gan-bun-koan untuk memeriksa keadaan. Tertampak mayat bergelimpangan di tempat
kemarin, waktu kulongok ke dalam jurang, namun aku tidak melihat apa-apa, yang
ada cuma kabut belaka. Segera kami bertiga mengubur mereka yang gugur itu. Tapi
ketika kami menghitung jumlahnya, ternyata tinggal 17 sosok mayat saja. Jumlah
kami semula adalah 21 orang, tinggal kami bertiga, seharusnya yang gugur itu
berjumlah 18 orang, mengapa kurang satu?”
Berkata sampai di sini, sorot
matanya lantas menatap ke arah Tio-ci-sun.
"Ya, sebab salah satu
sosok mayat di antaranya telah hidup kembali dan tinggal pergi, sampai sekarang
masih tetap gentayangan kian kemari, ialah diriku si
‘Tio-ci-sun-li-ciu-go-the-ong-tan ini’,” kata Tio-ci-sun dengan senyum pahit.
"Tapi waktu itu kami pun
tidak curiga apa-apa, kami pikir boleh jadi dalam pertarungan sengit itu
saudara ini telah terjerumus dalam jurang, maka tidak mengusutnya lebih jauh.
Tiba-tiba Toako pimpinan berkata kepada Ong-pangcu, ‘Kiam-yan, jika orang Cidan
itu mau membunuh kita sebenarnya terlalu mudah, tapi mengapa dia cuma menutuk
hiat-to kita dan membiarkan kita terus hidup?’ — ‘Hal ini pun membingungkan
aku. Padahal kita berdua terhitung tokoh pimpinan dan telah membunuh
anak-istrinya, pantasnya dia pasti akan membunuh mati kita,’ demikian jawab
Ong-pangcu.”
"Tapi kami bertiga tetap
tidak mengerti, akhirnya Toako Pemimpin berkata, ‘Tulisan yang dia gores di
dinding batu itu boleh jadi mengandung arti yang mendalam.’ — Celakanya kami
bertiga tidak paham tulisan Cidan. Toako Pemimpin mencari sedikit air sungai
untuk mencairkan darah yang sudah membeku di tanah itu, dengan air darah itu
lalu dipoles di atas dinding batu lalu baju sendiri yang putih itu ia robek
untuk mencetak tulisan di atas dinding.”
"Huruf-huruf Cidan yang
ditulis dengan tangan di dinding itu ternyata satu senti dalamnya, melulu
tenaga jari ini saja kuyakin di dunia ini pasti tiada yang mampu menandinginya.
Diam-diam kami merasa ngeri membayangkan pertarungan sengit kemarin malam itu.”
"Setiba kembali di
Gan-bun-koan, Ong-pangcu mendapatkan seorang saudagar peternakan yang sering
membeli kuda dari negeri Cidan, ia perlihatkan huruf darah itu dan minta
saudagar itu menyalinnya ke dalam bahasa Han di atas kertas.” — berkata sampai
di sini, tiba-tiba ia mendongak memandang ke langit sambil menghela napas
panjang, lalu sambungnya, "Sehabis membaca terjemahan dalam bahasa Han
itu, kami bertiga cuma saling pandang belaka, sungguh kami tidak dapat
memercayai apa yang dimaksudkan itu. Dengan rasa tidak puas kami mencari
seorang lain lagi yang mahir tulisan Cidan dan secara bagian-bagian kami minta
dia menerjemahkan artinya. Tapi ternyata maksudnya serupa. Ai, jika duduk
perkaranya memang benar-benar begitu, maka bukan saja kematian ke-17 saudara
itu sangat penasaran, bahkan orang-orang Cidan itu telah menjadi korban tanpa
berdosa, dan terhadap sepasang suami-istri bangsa Cidan itu kami benar-benar
merasa berdosa.”
Karena ingin lekas mengetahui
apa arti tulisan di atas dinding batu itu, sebaliknya Ti-kong belum lagi
menerangkan, maka yang tidak sabar lantas berteriak, "Apa yang dikatakan
tulisan itu?” — "Ya, mengapa merasa berdosa kepada mereka?”
"Para saudara,” sahut
Ti-kong, "bukan aku sengaja merahasiakannya dan tidak mau membeberkan arti
tulisan Cidan itu. Tapi hendaklah diketahui bila apa yang dikatakan tulisan itu
memang benar, maka Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan aku boleh dikata telah
berbuat kesalahan yang mahabesar dan malu untuk hidup di dunia ini. Bagiku,
yang cuma seorang ‘Bu-beng-siau-cut’ (prajurit tak bernama, keroco) dalam
Bu-lim, kesalahan begitu boleh dikatakan tidak mengapa, tapi bagi Toako
Pemimpin dan Ong-pangcu yang mempunyai kedudukan begitu penting, mana boleh
sembarangan kukatakan? Apalagi Ong-pangcu sudah wafat, lebih-lebih aku tidak
boleh menodai nama mereka berdua. Maka maafkanlah bila sementara ini aku tidak
dapat menerangkan.”
Mendengar hal itu menyangkut
nama baik mendiang Ong-pangcu, betapa pun orang-orang Kay-pang, tidak berani
tanya lagi.
Melihat semua orang sudah
diam, kemudian Ti-kong menyambung pula, "Setelah berunding dan tukar
pikiran, sungguh kami bertiga sukar memercayai apa yang dikatakan dalam tulisan
Cidan itu, tapi mau tak mau harus percaya. Maka kami ambil keputusan untuk
memberi hidup pada bayi Cidan itu, lebih dulu kami menuju Siaulim-si untuk
melihat gelagat, bila jago-jago Cidan benar menyerbu dan bila kami tak dapat
melawan barulah bayi Cidan itu akan kami bunuh pula. Maka siang-malam kami
menuju ke Siau-lim-si, kami lihat tidak sedikit kaum kesatria dan pahlawan dari
berbagai daerah telah datang membantu, maklum urusan ini menyangkut nasib dan
kehormatan berjuta rakyat bangsa kita, maka setiap orang yang mendapat berita
bahaya itu semuanya ingin datang membantu.”
Sinar mata Ti-kong menyorot
dari kiri ke kanan, ke arah pendengarnya, katanya pula, "Pertemuan di
Siau-limsi waktu itu mungkin ada di antara hadirin yang berusia sedikit lanjut
juga ikut serta. Maka tidaklah perlu kuuraikan lebih lanjut. Waktu itu semua
orang cuma siap siaga dan penuh waspada untuk menantikan datangnya musuh. Tapi
sejak bulan sembilan hingga akhir tahun, selama tiga bulan itu ternyata tiada
kabar sedikit pun tentang gerak-gerik musuh.
"Ketika orang yang
menyampaikan berita semula hendak ditanya, tapi orangnya sudah menghilang. Kami
baru menduga berita itu pasti tidak benar dan semua orang telah dibodohi.
Korban yang jatuh dalam pertempuran Gan-bun-koan dikatakan terlalu penasaran.
Cuma tidak lama kemudian, pasukan Cidan benar-benar menyerbu wilayah Hopak,
para pahlawan banyak yang ikut dalam perjuangan melawan penjajah itu, tentang
jago Cidan akan menyatroni Siau-lim-si atau tidak sudah tak terpikir lagi oleh
mereka, pendek kata orang Cidan adalah musuh kita bersama.
"Tapi Toako Pemimpin,
Ong-pangcu dan aku bertiga karena merasa berdosa dalam peristiwa Gan-bun-koan
itu, maka kecuali memberitahukan pengalaman itu kepada pihak Siau-lim-si, kami
menyampaikan berita duka itu pula kepada keluarga saudara-saudara yang gugur,
lebih dari itu kami tidak beri tahukan kepada siapa-siapa pula. Sedangkan anak
Cidan itu pun kami titipkan pada suatu keluarga petani di kaki gunung
Siau-sit-san (di sini letak Siau-lim-si). Semula kami dihadapkan pada kesulitan
cara bagaimana mengatur diri bocah itu.
"Kami sudah berdosa
kepada ayah-bundanya dengan sendirinya tidak dapat membunuhnya pula. Tapi
bicara tentang membesarkan anak itu, padahal bangsa Cidan adalah musuh nasional
kita, betapa pun kami bertiga merasa ragu apa takkan terjadi ‘piara harimau
mendatangkan bencana’? Syukur kemudian Toako Pemimpin mengeluarkan seratus
tahil perak kepada petani itu dan minta dia suka merawat anak itu disertai
syarat suamiistri petani itu harus mengakui bocah Cidan itu sebagai anak
sendiri, bila anak sudah besar, sekali-kali jangan diberi tahu tentang
asal-usulnya.
"Memangnya petani itu
tidak punya anak, ia terima dengan kegirangan. Betapa tidak girang, sudah
diberi anak, dapat uang pula. Sudah tentu dia tidak tahu anak itu adalah bangsa
Cidan, sebab sebelumnya kami sudah mengganti baju anak itu dengan pakaian
bangsa Han. Maklum, setiap bangsa kita terlalu benci pada bangsa
Cidan, bila tahu anak itu
keturunan Cidan, tentu dibunuhnya ....”
Mendengar sampai di sini,
dalam hati Kiau Hong sudah dapat menerka siapa anak yang dimaksudkan Ti-kong
itu, dengan suara gemetar ia tanya, "Ti-kong Taysu, siapakah nama petani
... petani di kaki gunung Siau-sit-san itu?”
"Jika engkau sudah
menerkanya, maka aku pun tidak perlu menutupi lagi,” sahut Ti-kong.
"Petani itu she Kiau dan bernama Sam-hoay.”
"Tidak! Ti ... tidak!”
seru Kiau Hong dengan suara terputus-putus. "Engkau sengaja mengarang
cerita yang tidak benar untuk memfitnah diriku. Terang gamblang aku bangsa Han,
mana mungkin aku orang Cidan? Kau be ... berani ngaco-belo? .... Kiau Sam-hoay
itu adalah ayahku yang sebenarnya, kau ... kau berani sembarangan mengoceh?”
Habis berkata, mendadak ia
melompat maju, sekali pegang, dada Ti-kong kena dijambretnya.
"Jangan!” teriak
Ci-tianglo dan Tan Cing berbareng sambil melompat maju hendak menolong Ti-kong.
Tapi Kiau Hong teramat cepat,
sekali mengegos, tahu-tahu ia sudah menggeser ke samping sambil menyeret tubuh
Ti-kong.
Tan Tiong-san, Tan Siok-san
dan Tan Ki-san, ketiga putra Tan Cing, serentak menubruk ke belakang Kiau Hong.
Dalam keadaan gusar dan dongkol, Kiau Hong mengamuk, sekali pegang, Tan
Siok-san kena dilempar pergi, menyusul Tan Tiong-san didepak pula hingga
terguling, ketiga kalinya Tan Ki-san kena dibanting ke tanah, menyusul kakinya
menginjak di atas kepala jago Thay-san itu.
Kelima jago Thay-san itu
sangat disegani di sekitar Soatang, sudah lama nama kelima saudara keluarga Tan
itu tersohor dan bukan lagi bocah yang masih hijau. Tapi sambil menjambret dada
Ti-kong, hanya beberapa kali gerakan saja mereka dirobohkan Kiau Hong tanpa
bisa melawan sedikit pun, keruan semua orang sampai terkesima.
Sudah tentu Tan Cing, Tan
Pek-san dan Tan Siak-san bermaksud menolong anak dan saudara mereka, tapi demi
tampak kepala Tan Ki-san terinjak kaki Kiau Hong, asal sedikit Kiau Hong gunakan
tenaga, seketika kepala Tan Ki-san bisa pecah. Karena itulah mereka menjadi
takut dan tidak berani sembarangan bertindak.
"Kiau-pangcu, ada
persoalan apa, harap bicara secara baik-baik, janganlah pakai kekerasan,
keluarga Tan kami juga tiada permusuhan apa-apa denganmu, lepaskanlah putraku,”
demikian seru Tan Cing dengan nada memohon.
Ci-tianglo juga berkata,
"Kiau-pangcu, Ti-kong Taysu adalah tokoh yang sangat dihormati setiap
orang Kangouw, jangan kau bikin susah padanya.”
"Benar, aku Kiau Hong
memang tiada permusuhan apa-apa dengan keluarga Tan kalian, selamanya aku pun
sangat mengindahkan kepribadian Ti-kong Taysu, jika kalian hendak memecat aku
sebagai pangcu, aku rela mengundurkan diri, tapi mengapa kalian mengarang dongeng
palsu seperti itu untuk menista diriku. Sebenarnya perbuatan jahat apakah yang
pernah kulakukan hingga kalian tega memperlakukan diriku sekeji ini?”
Mendengar suara Kiau Hong itu
agak serak, mau tak mau timbul rasa terharu semua orang. Tapi demi terdengar
tulang tubuh Ti-kong Taysu bekertakan, semua orang pun sadar jiwa padri itu
sudah di tepi jurang, mati atau hidupnya hanya bergantung di tangan Kiau Hong.
Suasana waktu itu menjadi
sunyi senyap. Tiada seorang pun berani buka suara. Sampai agak lama tiba-tiba
Tio-ci-sun tertawa dingin beberapa kali, katanya, "Hehe, benar-benar
menggelikan! Bangsa Han toh tidak lebih terhormat dari bangsa lain, bangsa
Cidan juga belum tentu lebih rendah daripada binatang! Sudah terang orang
Cidan, tapi berkeras mengaku sebagai bangsa Han, memangnya apa sih yang
menarik? Sampai ayah-bunda sendiri juga tidak sudi diakui, masakah masih dapat
disebut seorang laki-laki sejati, seorang kesatria?”
"Jadi engkau juga
mengatakan aku orang Cidan?” tanya Kiau Hong dengan melotot.
"Aku tidak tahu,” sahut
Tio-ci-sun. "Cuma dalam pertempuran di Gan-bun-koan itu, dengan jelas
kulihat jago Cidan itu baik air mukanya maupun perawakannya memang sangat mirip
engkau. Pertempuran itu boleh dikatakan telah membuat nyaliku pecah, maka air
muka orang itu biarpun lewat seabad lagi juga tetap kuingat.”
Perlahan Kiau Hong melepaskan
Ti-kong, ia tarik kembali kakinya pula dan sekali mencukit, tubuh Tan Ki-san
didepaknya pergi dengan enteng. Dan begitu jatuh ke tanah, cepat Tan Ki-san
meloncat bangun tanpa terluka sedikit pun.
Waktu Kiau Hong pandang
Ti-kong, ia lihat padri itu bersikap tenang saja, sedikit pun tiada tanda palsu
dan licik. Maka tanyanya, "Kemudian bagaimana?”
"Kemudian engkau sendiri
pun sudah tahu,” sahut Ti-kong. "Ketika engkau berusia tujuh tahun, waktu
memetik buah-buahan di pegunungan Siau-sit-san, engkau diserang serigala,
untung engkau ditolong padri Siau-lim-si. Selanjutnya tiap-tiap hari padri itu
datang padamu dan memberi pelajaran ilmu silat, benar tidak?”
"Ya, kiranya kau pun tahu
urusan ini,” sahut Kiau Hong.
Maklum, pada waktu padri
Siau-lim-si itu mengajarkan ilmu silat padanya, lebih dulu ia telah berjanji
takkan memberitahukan kepada orang lain. Maka orang Kangouw cuma tahu dia
adalah ahli waris Ong-pangcu dari Kay-pang dan tiada yang tahu bahwa dia ada
hubungan dengan Siau-lim-si.
Maka Ti-kong melanjutkan lagi,
"Tindakan padri Siau-lim-si itu sebenarnya juga atas permintaan Toako
Pemimpin kita untuk memberi ajaran padamu agar engkau tidak sampai sesat jalan.
Bahkan berhubung dengan itu, aku, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu pernah saling
berdebat. Aku berpendapat engkau lebih baik bertani saja dan tidak belajar
silat hingga terlibat pula dalam suka-duka orang Kangouw. Tapi Toako Pemimpin
justru mengatakan kami telah berdosa kepada ayah-bundamu, maka ingin mendidik
dirimu hingga menjadi seorang kesatria sejati.”
"Sebenarnya do ... dosa
apa kalian itu?” kata Kiau Hong. "Toh dalam pertempuran antara dua pihak,
kalau tidak membunuh tentu akan dibunuh?”
"Tentang itu kelak boleh
kau baca sendiri ukiran tulisan di dinding batu di luar Gan-bun-koan itu,”
sahut Tikong. "Akhirnya, waktu engkau berusia 14 tahun, engkau lantas
diterima menjadi murid Ong-pangcu. Dan bagaimana kejadian selanjutnya, meski
semuanya memang berkat rezekimu sendiri yang besar serta bakatmu yang baik
hingga banyak mendapat kemajuan yang luar biasa, namun kalau tiada perhatian
Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang setiap saat mengawasi dirimu, mungkin
tidaklah mudah bagimu untuk mencapai tingkatan seperti sekarang ini.”
Diam-diam Kiau Hong
merenungkan masa silam, banyak sudah bahaya yang pernah dialaminya, tapi segala
kesulitan itu selalu dapat dipecahkannya dengan mudah tanpa mengalami kerugian
yang berarti. Bahkan banyak kesempatan baik selalu datang sendiri seakan-akan
sengaja diantarkan kepadanya tanpa diminta.
Dahulu ia sangka hal itu
adalah berkat rezeki sendiri yang teramat besar, maka selalu beruntung. Tapi
kini demi mendengar cerita Ti-kong itu, ia menjadi ragu apakah mungkin ada
seorang pahlawan besar yang diam-diam telah membantunya di luar tahunya? Ia
merasa bingung oleh cerita Ti-kong itu. Bila benar seperti apa yang dikatakan
maka dirinya adalah bangsa Cidan dan bukan orang Han, begitu pula Ong-pangcu
juga bukan lagi gurunya yang berbudi, sebaliknya adalah musuh yang membunuh
ayah-bundanya.
Juga pahlawan yang diam-diam
membantunya itu bukan lagi sengaja hendak membantunya, tapi karena orang merasa
berdosa, maka berusaha menebus kesalahannya itu. "Tidak, tidak! Bangsa
Cidan terkenal sangat buas
dan kejam serta menjadi musuh
bebuyutan bangsa Han kita, mana boleh aku menjadi bangsa Cidan?” demikian
pikirnya.
Sementara itu Ti-kong telah
menyambung, "Semula Ong-pangcu masih waswas padamu, tapi kemudian demi
melihat pelajaran silatmu maju sangat pesat, tingkah lakumu juga sangat
mencocoki hatinya, terhadap dia kau pun sangat menghormat dan mengindahkan,
maka lambat laun ia pun sayang padamu, lebih jauh sesudah engkau banyak
berjasa, namamu tambah disegani baik di dalam maupun di luar Kay-pang, maka setiap
orang tahu bahwa jabatan ketua Kay-pang selanjutnya pasti akan diserahkan
padamu.
"Namun Ong-pangcu sendiri
masih ragu, yaitu disebabkan engkau adalah keturunan Cidan. Beliau telah
menguji tiga soal padamu dan semuanya dapat kau laksanakan dengan baik, habis
itu dia mengharuskan pula padamu melakukan tujuh tugas besar yang lain,
kemudian barulah dia menurunkan Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk
anjing) padamu.
"Pada tahun diadakan
Thay-san-tay-hwe, engkau seorang diri telah mengalahkan delapan musuh Kay-pang
yang paling tangguh hingga nama Kay-pang menjagoi dunia persilatan, maka tanpa
ragu lagi akhirnya beliau mengangkat dirimu sebagai pengganti pangcu. Dan
setahuku, selama beratus tahun ini, tiada seorang pangcu yang mendapatkan
jabatannya dengan perjuangan sulit seperti engkau ini.”
"Aku hanya mengira Insu
(guru berbudi) Ong-pangcu sengaja menggembleng diriku, setelah menghadapi
berbagai kesulitan tentu aku akan lebih masak dalam menghadapi tugasku kelak,
tapi ternyata ....” sampai di sini, sudah delapan bagian Kiau Hong percaya apa
yang dikatakan Ti-kong tadi.
"Dan hanya sekian saja
yang kutahu,” kata Ti-kong. "Setelah engkau menjabat pangcu, dari kabar
yang kuperoleh di Kangouw, semua orang mengatakan engkau banyak melakukan amal
kebaikan bagi rakyat dan negara, Kay-pang juga bertambah maju di bawah
pimpinanmu, sudah tentu diam-diam aku bergirang bagimu.
"Apalagi kudengar
beberapa kali engkau telah menggagalkan muslihat musuh dan membunuh beberapa
jago Cidan, maka kekhawatiran kami semula tentang ‘memiara harimau mendatangkan
bencana’ itu menjadi tiada beralasan lagi. Sebenarnya urusan dirimu ini tidak
perlu diungkat lagi, tapi entah siapa yang telah menyiarkannya, hal ini rasanya
takkan mendatangkan manfaat baik bagi Kiau-pangcu sendiri maupun bagi
Kay-pang.”