Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 21-25

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 21-25 "Bunuhlah murid durhaka ini untuk membalaskan sakit hati ayah!” teriak Suma Lim mendadak sambil menerjang ke depan, palunya lantas mengetuk kepala Cu Po-kun.
Jilid 21
"Bunuhlah murid durhaka ini untuk membalaskan sakit hati ayah!” teriak Suma Lim mendadak sambil menerjang ke depan, palunya lantas mengetuk kepala Cu Po-kun.

Tapi sekali mengegos dapatlah Po-kun menghindar, menyusul ia pun balas menghantam dengan gurdinya.

"Murid murtad, kau masih punya muka untuk menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay?” bentak si kakek she Kiang. Berbareng gurdinya menikam leher Po-kun, sedang palu yang kecil itu beruntun mengetuk tiga kali.

Karena dikeroyok tiga, Cu Po-kun menjadi kerepotan, dalam sekejap saja ia sudah menghadapi ancamanancaman maut. Suma Lim terlalu bernafsu hendak membalas sakit hati ayahnya, maka tipu serangannya agak kasar, untuk mana Cu Po-kun masih dapat melawannya. Tapi kedua kakek she Kiang dan Beng itu adalah tokoh tertua Jing-sia-pay, serangan mereka penuh dengan tipu keji andalan Jing-sia-pay, setiap serangan mereka selalu mengincar tempat berbahaya di badan Cu Po-kun.

Untungnya setiap serangan ketiga orang itu sudah hafal bagi Cu Po-kun, ia dapat menduga bagaimana serangan-serangan berikutnya, dengan demikian barulah ia sanggup satu lawan tiga untuk sementara.

Setelah belasan jurus pula, tiba-tiba hatinya merasa pedih, pikirnya, "Sesungguhnya Suma-suhu sangat baik padaku, buktinya tiada suatu pun jurus serangan Suma-suheng dan kedua Susiok itu yang tak diketahui olehku, jadi apa yang diajarkan padaku sudah meliputi semua ilmu silat Jing-sia-pay yang ada, hal ini nyata tertampak dari jurus serangan Suma-suheng bertiga sekarang, dalam keadaan demikian pasti mereka mengerahkan segenap kepandaian untuk menyerang aku, tapi setiap tipu sekarang mereka jelas sudah kukenal. Hal ini pun menandakan ilmu silat Jing-sia-pay juga memang cuma sekian saja.”

Dan oleh karena rasa terima kasihnya kepada budi sang guru, segera ia berteriak-teriak lagi, "Suma-suhu sama sekali bukan aku yang mencelakainya ....”

Sedikit lengah itulah telah memberi kesempatan kepada Suma Lim untuk menubruk maju. Senjata andalan Jing-sia-pay sangat kecil dan pendek, dan di sinilah letak kelihaiannya dalam pertarungan jarak dekat.

Sekali Suma Lim telah mendesak maju, bila lawannya adalah dari golongan lain, itu berarti ia sudah menang angin lebih dulu. Tapi kini lawannya adalah Cu Po-kun yang ilmu silatnya serupa dengan dirinya, maka keuntungan bertarung dari jarak dekat ini berarti sama diperoleh kedua pihak.

Di bawah cahaya lilin, sesaat itu pandangan semua orang menjadi silau. Tertampak Suma Lim dan Cu Po-kun berdua sama cepatnya, tangan mereka sama bergerak cepat, hanya dalam sekejap saja mereka sudah saling gebrak 7-8 jurus. Tapi karena kedua orang sama paham serangan masing-masing, maka setiap serangan lawan selalu dapat ditangkis atau dihindar dengan tepat.

Dengan pertarungan Suma Lim dan Cu Po-kun dari jarak dekat ini, seketika kelihatanlah di mana letak kebagusan ilmu silat Jing-sia-pay. Keduanya didikan dari satu guru yang sama, maka kepandaian masingmasing adalah serupa. Suma Lim menang muda dan tenaga kuat, sebaliknya Cu Po-kun lebih berpengalaman dan lebih ulet. Maka dalam pertarungan sengit ini semua orang cuma mendengar suara gemerantang dan gemerencing yang ramai, tapi cara bagaimana mereka saling serang tidak terlihat jelas lagi.

Melihat Suma Lim belum dapat menundukkan lawannya, kedua kakek she Kiang dan Beng itu mendadak bersuit berbareng, keduanya terus jatuhkan diri ke lantai dan mendadak menggelinding ke depan untuk menyerang bagian bawah Cu Po-kun.

Pada umumnya orang yang biasa menggunakan senjata pendek, kecuali kaum wanita, tentu mahir pula kepandaian "Kun-te-tong” atau main bergelinding di tanah, dengan cara demikian, terkadang musuh akan menjadi kelabakan.

Sebenarnya Po-kun juga paham ilmu "Lui-kong-tio-ke-bong” atau beledek menyambar dari bawah tanah itu. Tapi celakanya kedua tangannya harus dipakai melayani Suma Lim, dengan sendirinya ia tidak sanggup menghadapi serangan kedua kakek, terpaksa ia hanya bisa menghindar sambil berloncatan kian kemari.

Mendadak si kakek Kiang mengetuk dengan palunya dari kiri ke kanan, sebaliknya gurdi si kakek Beng menikam dari kiri. Terpaksa Po-kun hanya dapat menyerang salah seorang, ia ayun sebelah kakinya untuk menendang iga kakek Beng.

Kesempatan itu disia-siakan si kakek Kiang, ia menubruk lebih dekat, palu terus mengetuk. Pada saat yang sama itulah palu Suma Lim juga menghantam jidat Cu Po-kun.

Dalam keadaan berbahaya itu, Po-kun terpaksa menangkis serangan yang paling berbahaya, ia angkat palu sendiri untuk menangkis serangan Suma Lim, "trang”, kedua palu saling bentur hingga lelatu api meletik. Sebaliknya paha kiri Po-kun kena diketuk mentah-mentah oleh si kakek Kiang.

Jangan kira palu sekecil itu tiada berarti, tenaga hantamannya ternyata sangat lihai, saking sakitnya sampai Cu Po-kun meringis, seketika ia tidak tahu apakah tulang kaki patah atau tidak, tapi seluruh tenaganya ia pusatkan pada kaki lain yang masih kuat.

Sekali berhasil serangannya, si kakek Kiang mendapat hati, kembali palunya menghantam untuk kedua kalinya. Terpaksa Po-kun menangkis dengan palunya, "trang”, kedua palu saling beradu lagi. Mendadak terdengar Po-kun menjerit kesakitan, kiranya kaki kiri itu sekarang kena ditikam oleh gurdi si kakek Beng.

Dalam keadaan repot itu sebenarnya Po-kun masih dapat menghindarkan tikaman gurdi si kakek Beng, tapi ia pikir kalau serangan itu dielakkan, tentu akan memberi kesempatan kepada kedua kakek Beng dan Kiang untuk membentuk jaring serangan Lui-kong-hong yang lebih hebat dan tentu dirinya bisa celaka. Toh kaki kiri sudah kena ketuk dan tidak diketahui patah atau tidak, maka biarlah tertikam lagi juga tidak menjadi soal.

Dan karena tikaman yang cukup dalam itu, seketika darah muncrat ketika ia loncat untuk menempur ketiga lawannya itu, darah ikut berciprat ke mana-mana hingga dinding di sekitarnya yang putih bersih itu penuh noda darah.

Melihat A Cu bersungut, Giok-yan tahu kawannya itu kurang senang terhadap pertarungan orang-orang itu hingga rumahnya yang indah bersih itu ikut menjadi kotor. Maka berkatalah Giok-yan dengan tersenyum, "Hai, jangan kalian berkelahi lagi, ada urusan apa boleh bicara secara baik-baik, mengapa mesti main hantam cara begini?”

Cu Po-kun ada maksud menuruti keinginan Giok-yan itu, tapi di bawah keroyokan tiga orang, mana dia dapat berhenti begitu saja?

Sebaliknya Suma Lim bertiga sudah bertekad akan mematikan Cu Po-kun untuk membalas sakit hati ayahnya, tentu saja mereka tidak mau gubris seruan si nona.

Melihat anjurannya tidak dipedulikan orang, terutama pihak Suma Lim bertiga, maka Giok-yan berkata pula, "Semuanya gara-gara ucapanku tentang ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ hingga rahasia Cu-siangkong terbongkar. Tapi itu adalah salahku, maka kalian, hai, Suma-siangkong, lekas kalian berhenti!”

"Sakit hati ayah masa tidak boleh kubalas? Kenapa engkau ikut cerewet!” bentak Suma Lim gusar.

"Kalian mau berhenti atau tidak? Jika tidak, awas, akan kubantu dia, lho!” kata Giok-yan.

Terkesiap juga Suma Lim oleh ancaman gadis itu. Pikirnya, "Pandangan nona cantik sangat tajam dan jitu, bila

ilmu silatnya juga sama lihainya, sekali dia membantu lawan, tentu susah untuk menuntut balas.”

Tapi segera terpikir pula olehnya, "Jago-jago pilihan Jing-sia-pay kami sudah dikerahkan ke sini, paling-paling kami mengerubut maju sekaligus, masakah terhadap seorang nona lemah-lembut seperti ini juga mesti takut?”

Karena itu, ia tidak gubris lagi kepada Giok-yan, sebaliknya serangannya semakin gencar.

"Cu-siangkong,” kata Giok-yan tiba-tiba kepada Po-kun, "gunakan jurus ‘Li Cun-hau-pak-hou-se’ (gaya Li Cun-hau menghajar harimau), kemudian pakai jurus ‘Thio Ko-lau-to-ki-lo’ (Thio Ko-lau menunggang keledai dengan mungkur)!”

Cu Po-kun tercengang oleh petunjuk si gadis. Ia tahu jurus pertama yang dikatakan itu adalah ilmu silat Jingsia-pay, sebaliknya jurus kedua adalah Kungfu golongan Hong-lay-pay, kedua jurus dari aliran yang tidak sama itu mana dapat dicampurbaurkan?

Namun demikian, dalam keadaan kepepet, tiada waktu baginya untuk berpikir lebih jauh, segera ia mainkan jurus ‘Li Cun-hau-pak-hou-se’. Maka terdengarlah suara gemerantang dua kali, tepat sekali berturut palunya dapat membentur palu Suma Lim dan si kakek Kiang yang lagi dihantamkan ke arahnya. Menyusul tubuhnya berputar dan menyurut mundur tiga tindak dengan terincang-incut dan tepat dapat menghindarkan serangan si kakek Beng.

Padahal serangan berantai si kakek Beng memakai palu dan gurdi sekaligus, sebenarnya sangat ganas dan sukar dihindarkan lawan. Bahkan Yau Pek-tong dan jago-jago Cin-keh-ce yang menonton di samping pun kebat-kebit berkhawatir bagi Cu Po-kun.

Siapa duga setelah Po-kun membentur pergi palu-palunya Suma Lim dan si kakek Kiang, lalu sekali berputar dengan gaya "Thio Ko-lau menunggang keledai terbalik”, beruntun-runtun ia sudah lolos dari ancaman si kakek Beng yang lihai itu. Saking terpesona dan kagumnya sampai jago-jago Cin-keh-ce ikut bersorak-sorai oleh ketangkasan Cu Po-kun itu.

Memangnya wajah orang-orang Jing-sia-pay selalu kaku membesi, kini mereka tambah merengut lagi.

Sebaliknya Toan Ki lantas ikut bersorak-sorak juga, "Bagus, bagus! Apa yang dikatakan Ong-siocia lakukanlah menurut perintahnya, tanggung takkan merugikan engkau.”

Waktu Cu Po-kun menghindari serangan berantai lawan dengan gaya "Thio Ko-lau menunggang keledai

terbalik” tadi, sebenarnya saat itu ia sendiri merasa bingung, yang terpikir olehnya cuma pasrah nasib belaka, baik mati maupun hidup masa bodoh.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa ilmu silat dari Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay yang berlawanan itu satusama lain dapat digunakan bersama. Keruan yang paling terperanjat adalah dia sendiri daripada orang-orang Cin-keh-ce dan Jing-sia-pay.

Dalam pada itu terdengar Giok-yan telah berkata pula, "Sekarang gunakanlah jurus ‘Han Siang-cu-swat-yonglam-koan’ (Han Siang-cu memeluk Lam Koan di bawah salju), lalu mainkan jurus ‘Kok-keng-thong-yu-se’ (sikut ditekuk menjulur perlahan).”

Cu Po-kun tahu jurus-jurus itu kebalikan daripada jurus duluan tadi, sekarang jurus ilmu silat Hong-lay-pay dimainkan lebih dulu, menyusul barulah Kungfu Jing-sia-pay. Tanpa pikir segera ia menurut, ia siapkan palu dan gurdinya di depan dada. Dan pada saat itulah gurdi si kakek Beng dan Suma Lim telah menikam berbareng ke arahnya.

Gerakan ketiga orang sebenarnya dilakukan pada saat yang sama, tapi bagi penonton menjadi seperti Cu Pokun berjaga rapat pada saat sebelumnya, sebaliknya Suma Lim dan si kakek Beng kelihatan menjadi bodoh benar, sudah tahu lawan telah menjaga diri dengan rapat toh mereka masih tetap menyerang. Maka terdengarlah suara gemerencing yang nyaring, kedua gurdi mereka membentur palu Cu Po-kun hingga terpental ke samping.

Tanpa pikir Po-kun terus mendak tubuh, gurdinya ikut menikam miring dari samping. Saat itu si kakek Kiang kebetulan sedang hendak menyerang bagian belakang Cu Po-kun, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa gurdi lawan bisa muncul dari arah yang tak terduga itu.

Karena itulah si kakek Kiang menjadi seperti orang hendak membunuh diri saja, dengan cepat tubuhnya disodorkan ke ujung gurdi lawan, tahu juga dia keadaan yang runyam tapi untuk menghindar sudah telat.

"Cret”, tanpa ampun lagi pinggangnya tertusuk gurdi hingga darah bercucuran bagai mata air.

Kakek Kiang terhuyung hingga akhirnya roboh terkulai. Cepat dua orang Jing-sia-pay memburu maju untuk memayangnya ke pinggir.

"Keparat Cu Po-kun, dengan tanganmu sendiri kau lukai Kiang-susiok, apa sekarang kau masih berani menyangkal?” bentak Suma Lim dengan gusar.

"Bukan salahnya, akulah yang suruh dia melukai Kiang-siansing itu,” sela Giok-yan tiba-tiba. "Sudahlah, lekas kalian berhenti saja!

"Jika kau mampu, suruhlah dia membunuh diriku!” teriak Suma Lim murka.

"Apa susahnya untuk itu?” ujar Giok-yan dengan tersenyum. "Cu-siangkong, boleh gunakan jurus ‘Tiat-koayli-gwat-he-ke-tong-ting’ (Tiat-koay-li menyeberang danau Tong-ting di bawah sinar bulan purnama), kemudian gunakan jurus ‘Tiat-koay-li-giok-tong-lun-to’ (Tiat-koay-li berkhotbah di gua Giok)!”

Cu Po-kun mengiakan saja petunjuk Giok-yan itu, tapi diam-diam ia berpikir, "Di dalam ilmu silat Hong-laypay kami yang ada cuma ‘Lu Sun-yang-gwat-he-ko-tong-ting’ dan ‘Han-ciong-li-giok-tong-lun-to’, mengapa Lu Sun-yang dan Han-ciong-li disebut sebagai Tiat-koay-li oleh si nona ini? Ah, tentu karena pengetahuannya akan ilmu silat Hong-lay-pay kami terbatas, maka salah ucap!”

Akan tetapi Suma Lim dan si kakek Beng tidak memberi kesempatan padanya bertanya atau minta penjelasan pada si gadis, terpaksa Po-kun mainkan menurut gaya yang dipahaminya, segera ia mainkan jurus "Lu Sunyang menyeberang danau Tong-ting di bawah sinar bulan purnama”, jadi bukan lagi Tiat-koay-li seperti yang dikatakan Giok-yan itu.

Lu Sun-yang atau Lu Tong-ping, Han Ciong-li dan serta Han Siang-cu seperti apa yang disebut Giok-yan itu adalah nama dewa di antara Pat-sian atau Delapan Dewa.

Tiat-koay-li adalah dewa pincang yang bertongkat, sebaliknya Lu Sun-yang itu gagah bergas. Maka jurus menyeberang danau itu seharusnya dilakukan Lu Sun-yang dengan langkah lebar, gayanya indah dan cepat bagai terbang.

Tapi karena kaki kiri Cu Po-kun terluka dua kali, ketika hendak melangkah lebar, tanpa terasa menjadi berincang-incut, dengan sendirinya bukan lagi gaya Lu Sun-yang yang gagah, tapi mirip benar dengan gaya jalan Tiat-koay-li yang pincang itu.

Dan dengan berjalan pincang itu ada manfaatnya juga bagi si pincang, sebab serangan Suma Lim dan si kakek Beng buktinya meleset semua.

Menyusul Po-kun mainkan jurus "Han Ciong-li-giok-tong-lun-to”. Han Ciong-li adalah dewa yang selalu membawa kipas dan berbadan kekar kuat. Tapi karena kakinya pincang kembali Po-kun berincang-incut miring

ke kiri, sedangkan palu di tangan kanan mengebas dengan gaya seperti sedang mengipas.

Kebetulan sekali saat itu kepala si kakek Beng sedang menyelonong ke arahnya, keruan kepala kakak itu menjadi seperti sengaja disodorkan. Tanpa ampun lagi "prak”, mulutnya tepat kena terketok oleh palu, kontan saja belasan giginya rontok, saking kesakitan sampai si kakek Beng berteriak-teriak dan melonjak-lonjak, ia buang senjatanya dan duduk di lantai sambil memegangi mulutnya yang kini menjadi ompong itu.

Keruan Suma Lim ketakutan, seketika ia menjadi bingung apa mesti bertempur terus atau berhenti saja untuk mencari jalan lain menuntut balas di kemudian hari.

Hendaklah diketahui bahwa kedua jurus yang diajarkan Giok-yan kepada Cu Po-kun tadi sungguh teramat bagus dan tepat. Sebelumnya si gadis sudah menaksir, setelah si kakek Beng menyerang tiga kali tidak kena tentu akan menubruk ke samping Cu Po-kun, sebaliknya pada saat itu palu Po-kun harus mengebas keluar hingga tepat akan mengetuk mulut kakek itu. Sungguh cara menaksir Giok-yan itu boleh dikatakan dapat mengetahui apa yang bakal terjadi, seakan-akan cara bagaimana ketiga orang itu akan saling serang sudah dapat diketahui olehnya, betapa tepat dan jitu cara menaksirnya itu sungguh sukar dibayangkan orang lain.

Biarpun Suma Lim sangat bernafsu ingin menuntut balas sakit hati sang ayah, tapi ia bukan orang bodoh, pikirnya, "Untuk bisa membunuh jahanam Cu Po-kun ini, si nona harus dicegah agar jangan memberi petunjuk padanya.”

Dan sedang Suma Lim hendak mencari akal untuk menghadapi Giok-yan, tiba-tiba terdengar si gadis berkata pula, "Cu-siangkong, engkau adalah orang Hong-lay-pay yang menyelundup ke dalam Jing-sia-pay dengan maksud tujuan jahat, inilah kesalahanmu yang tidak pantas. Tapi gurumu Suma Wi besar kemungkinan bukan dibunuh olehnya, namun engkau telah mencolong ilmu lain, betapa pun kau tetap berdosa, maka lekas kau minta ampun kepada Ciangbun-suhengmu!”

Po-kun pikir apa yang dikatakan si nona memang benar juga, apalagi dirinya telah menerima budi pertolongannya jiwa diselamatkan dari beberapa jurus serangan yang mematikan tadi, apa yang dianjurkan gadis itu tidaklah enak untuk dibantah. Maka dengus sungguh-sungguh ia pun memberi hormat kepada Suma Lim sambil berkata, "Ciangbun-suheng, harap maafkan ....”

"Kau masih ada muka untuk memanggil Ciangbun-suheng padaku?” bentak Suma Lim gusar sambil mengelak ke samping.

Sekonyong-konyong Giok-yan berseru kepada Po-kun, "Lekas! ‘Go-yu-tang-hay’!”

Cu Po-kun terkesiap, tapi seketika ia pun menurut, cepat ia mengapungkan diri ke atas setinggi dua meter lebih, maka terdengarlah suara mendesis riuh, belasan batang jarum Jing-hong-ciam menyambar lewat di bawah tapak kakinya. Selisih waktunya cuma sekejap saja, sedetik Po-kun terlambat, pasti badannya sudah menjadi sarang jarum musuh.

Untung pada saat yang tepat Giok-yan berseru padanya agar menggunakan gerakan "Go-yu-tang-hay” atau Berpiknik ke Lautan Timur. Coba bila gadis itu cuma memperingatkan, awas Am-gi, mungkin Po-kun akan celingukan mengawasi gerak-gerik musuh, tak tersangka kalau Jing-hong-ciam itu justru dihamburkan oleh Suma Lim dari dalam lengan baju yang tidak tertampak dari luar, maka pasti akan celakalah Cu Po-kun.

Kiranya ilmu Am-gi atau senjata gelap Suma Lim yang disebut "Siau-lay-kian-gun” atau Dunia Tergenggam di Dalam Lengan Baju, kepandaian ini benar-benar semacam Kungfu khas Jing-sia-pay yang cuma diturunkan kepada putra sendiri dan tidak kepada murid. Hal ini memang sudah menjadi peraturan turun-temurun keluarga Suma, jangankan Cu Po-kun tidak memperoleh pelajaran ilmu Am-gi itu, sekalipun si kakek Kiang dan Beng pun tidak.

Cara menghamburkan Jing-hong-ciam itu juga sangat luar biasa, yaitu dengan diam-diam menarik jepretan dalam lengan baju. Sungguh di luar dugaan Suma Lim bahwa pada saat terakhir itu Giok-yan sempat berseru kepada Cu Po-kun untuk menghindarkan pembokongan itu dengan gerakan yang dapat menyelamatkan diri, yaitu dengan gerakan tipu "Go-yu-tang-hay” dari Hong-lay-pay.

Serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasarannya ternyata gagal pula, keruan Suma Lim semakin ketakutan dan seperti ketemu hantu, ia berteriak-teriak, "Kau ... kau bukan manusia, tapi ... setan, hantu!”

Dalam pada itu karena belasan giginya rontok kena digampar oleh palu Cu Po-kun tadi, si kakek Beng sedang terbatuk-batuk, sebab ada dua-tiga biji gigi rontok itu tertelan ke dalam perut, dan karena keselak, hampir saja ia mati sesak napas.

Usia si kakek Beng sudah lanjut, tapi matanya masih tajam, rambutnya hitam gilap, giginya juga masih rajin, semua ini biasanya merupakan kebanggaannya di antara kaum sebaya. Siapa duga giginya sekarang rontok sedemikian rupa.

Di zaman dahulu dengan sendirinya tiada tukang gigi segala, apalagi dokter gigi. Maka bila kehilangan sebuah gigi, itu berarti berkuranglah satu giginya yang tak dapat ditambal lagi. Apalagi sekarang si kakek Beng benarbenar telah ompong seluruhnya, keruan ia sangat menyesal dan murka pula, terus saja ia berteriak-teriak, "Kita pegang dulu anak dara ini, pegang dulu anak dara ini!”

Tapi disiplin Jing-sia-pay sangat keras, biarpun si kakek Beng sangat tinggi kedudukannya, tanpa perintah

Ciangbunjin sendiri, tiada seorang pun jago Jing-sia-pay berani sembarangan bergerak. Maka sinar mata semua anak murid Jing-sia-pay lantas terarah pada Suma Lim, asal sang ketua memberi perintah, serentak mereka akan mengerubuti si nona.

Maka berkatalah Suma Lim dengan dingin, "Nona Ong, ilmu silat golongan kami mengapa engkau sedemikian hafal?”

"Aku dapat membacanya dari buku,” sahut Giok-yan. "Ilmu silat Jing-sia-pay mengutamakan serangan secara mendadak dan memakai tipu muslihat, tapi perubahannya tidak terlalu ruwet, dengan sendirinya mudah diingat.”

"Buku apa yang telah nona baca?” tanya Suma Lim.

"Ah, juga bukan buku yang luar biasa,” sahut Giok-yan. "Buku yang mencatat ilmu silat Jing-sia-pay itu ada dua jilid, yang satu adalah ‘Jing-ji-cap-pek-tah’ (18 serangan dari huruf Jing), dan jilid yang lain adalah ‘Sia-sisan-cap-lak-boh’ (36 jenis gempuran dari huruf Sia). Engkau adalah ketua Jing-sia-pay, dengan sendirinya pernah membacanya juga.”

Diam-diam Suma Lim jengah sendiri. Ia menjadi teringat kepada cerita mendiang ayahnya dahulu bahwa di antara ilmu silat Jing-sia-pay itu memang ada yang disebut 18 serangan dan 36 gempuran. Cuma sayang lamakelamaan ilmu-ilmu itu sebagian tak diwariskan hingga tidak lengkap jadinya, maka untuk mengalahkan Honglay-pay menjadi agak sulit. Tapi kalau dapat menemukan kembali ilmu silat leluhur itu dalam keadaan lengkap, jangankan cuma Hong-lay-pay saja, sekalian untuk merajai dunia persilatan rasanya juga tidak sulit.

Teringat cerita itu, kini mendengar pula Giok-yan pernah membaca kitab pusaka mereka itu, tentu saja Suma Lim sangat tertarik, segera ia tanya lebih jauh, "Apakah nona dapat meminjamkan buku itu kepadaku untuk membandingkannya dengan ilmu silat yang kami pelajari sekarang, agar kutahu di mana letak perbedaannya?”

Belum lagi Giok-yan menjawab, tiba-tiba Yau Pek-tong terbahak-bahak dan menyela, "Awas, nona, jangan engkau tertipu oleh Jing-sia-pay ini. Ilmu silat mereka sangat rendah dan jelek, paling-paling cuma beberapa jurus permainan cakar ayam, tapi dia bermaksud memancing kitab pusakamu, maka jangan sekali-kali kau pinjamkan padanya.”

Karena isi hatinya tepat kena dikorek, Suma Lim menjadi marah hingga mukanya merah padam, bentaknya gusar, "Aku lagi bicara sendiri dengan nona ini, apa sangkut pautnya dengan Cin-keh-ce kalian?”

"Tidak ada sangkut pautnya? Haha, justru sangat besar sangkut pautnya!” sahut Yau Pek-tong dengan terbahakbahak. "Nona Ong ini dapat mengingat sekian banyak Kungfu yang hebat dan aneh-aneh, dengan sendirinya

siapa mendapatkan dia, siapa pula akan merajai dunia persilatan ini. Aku orang she Yau selamanya kalau menemukan harta benda atau gadis jelita tentu akan menaruh perhatian sepenuhnya, apalagi terhadap nona Ong yang merupakan bawang mestika yang sukar dicari ini, mana dapat kutinggal diam tanpa turun tangan? Makanya, haha, jika saudara Suma ingin pinjam buku, silakan minta izin dulu padaku. Dan, hahahaha, cobalah terka, apakah aku mengizinkan atau tidak?”

Perkataan Yau Pek-tong itu sangat kasar dan sombong, tapi mendadak hati Suma Lim dan kedua Susioknya tergetar juga, pikir mereka, "Gadis ini meski masih muda belia, tapi dalam hal ilmu silat ternyata mempunyai pengetahuan sedalam ini. Tampaknya dia lemah gemulai, siapa pun takkan percaya dia dapat menangkan kami. Tapi sudah jelas terbukti dia sangat luas pengetahuannya dalam berbagai aliran ilmu silat, bila kami dapat mengundangnya ke tempat Jing-sia-pay kami, bukan mustahil akan memperoleh ajaran lengkap 18 serangan dan 36 gempuran Jing-sia-pay asli, bahkan mungkin akan bertambah lagi ilmu silat dari aliran lain. Namun Cin-keh-ce juga sudah timbul niat jahatnya, tampaknya hari ini pasti akan terjadi pertarungan besar-besaran.”

Dalam pada itu terdengar Yau Pek-tong berkata pula, "Nona, kedatangan kami sebenarnya ingin mencari setori kepada keluarga Buyung, melihat gelagatnya, agaknya nona adalah anggota keluarga Buyung, bukan?”

Mendengar dirinya disangka anggota keluarga Buyung, Giok-yan merasa senang dan malu-malu juga, dengan muka bersemu merah ia mengomel perlahan, "Aku bukan orang she Buyung, tapi Buyung-kongcu adalah aku punya Piauko. Ada keperluan apakah engkau mencari dia? Apakah dia berbuat kesalahan apa-apa padamu?”

"Haha, kiranya nona ini Piaumoay Buyung-kongcu, itulah lebih bagus lagi,” seru Yau Pek-tong dengan terbahak-bahak. "Leluhur Koh-soh Buyung telah utang satu juta tahil emas dan sepuluh juta tahil perak kepada keluarga Yau kami, sampai sekarang sudah ratusan tahun lamanya, tapi utang itu belum pernah dibayar atau dicicil, belum lagi ditambah dengan rentenya.”

"Mana bisa jadi begitu?” ujar Giok-yan dengan tercengang. "Keluarga Kuku terkenal kaya raya, mana mungkin utang kepada keluargamu?”

"Utang atau tidak masakah orang semuda nona bisa tahu?” sahut Pek-tong. "Yang pasti kedatanganku ini ingin menagih utang kepada Buyung Bok, tapi utang itu belum lagi dibayar dan Buyung Bok ternyata sudah mati. Bapaknya mati, terpaksa menagih kepada anaknya. Siapa tahu si bocah Buyung Hok itu selalu menghindari setiap penagih utang dan selalu mengumpat. Dengan sendirinya aku tidak berdaya, ya, terpaksa aku mesti mencari sandera yang berharga sebagai jaminan utang itu.”

"Piaukoku orangnya sangat baik, tangannya selalu terbuka, kalau benar-benar keluarganya ada utang padamu, tentu sudah lama dibayarnya. Seumpama dia tidak utang, tapi engkau kekurangan uang dan ingin minta bantuan padanya, tentu ia pun takkan mengecewakan harapanmu. Mana mungkin dia takut menemuimu dan main sembunyi?” demikian kata Giok-yan.

Pek-tong pura-pura berkerut kening, katanya pula, "Baiknya begini saja. Urusan ini sukar juga dijelaskan padamu. Marilah sekarang juga silakan nona ikut kami ke utara untuk tinggal barang setahun-dua tahun di Cinkeh-ce kami. Di sana kami jamin takkan mengganggu seujung rambut nona. Apalagi biniku terkenal sebagai macan betina, dalam hal perempuan, aku orang she Yau sangat prihatin, tidak berani main gila, maka nona tak perlu khawatir. Dan engkau juga tidak perlu berkemas-kemas, sekarang juga kita lantas berangkat. Nanti bila Piaukomu sudah cukup menyediakan uang dan membereskan utang lama itu, dengan sendirinya aku akan mengantar nona pulang ke Koh-soh sini untuk menikah dengan Piaukomu. Bahkan Cin-keh-ce pasti akan menyumbang sebagaimana mestinya, dan aku si orang she Yau akan ikut datang ke sini untuk minum arak nikahmu!”

Habis berkata, kembali Yau Pek-tong terbahak-bahak.

Sebenarnya ucapan Pek-tong itu sangat kasar, tapi bagi pendengaran Giok-yan, terutama bagian terakhir itu, ternyata dirasakan sangat senang dan kena di hatinya.

Maklum, sejak kecil Giok-yan sudah kesengsem pada sang Piauko, beberapa tahun paling akhir ini, setelah menginjak remaja dewasa, ia menjadi lebih rindu dan jatuh cinta kepada kakak misan itu. Namun entah Buyung Hok, memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, ia tetap sibuk pada urusannya sendiri dan tiada waktu memikirkan soal cinta, terhadap sang Piaumoay tetap dianggapnya sebagai adik cilik saja, kecuali bicara tentang ilmu silat dan ilmu sastra, selamanya tidak pernah menyinggung sesuatu tentang hubungan antara muda dan mudi.

Akhir-akhir ini karena terjadi ketegangan di antara hubungan keluarga, Ong-hujin, yaitu ibu Giok-yan, melarang Buyung Hok datang ke Man-to-san-ceng. Sebab itulah Giok-yan menjadi sedih, apalagi ia adalah gadis pingitan yang selamanya tidak pernah keluar rumah, belum pernah dengar orang bicara secara blakblakan padanya tentang urusan perjodohannya dengan sang Piauko.

Kini apa yang dikatakan Yau Pek-tong itu meski maksudnya cuma untuk berolok-olok saja, siapa tahu justru kena di lubuk hati si gadis dan menimbulkan rasa senangnya sebagai seorang yang tahu perasaannya, sebab itulah di kemudian hari beberapa kali mestinya jiwa Yau Pek-tong akan melayang, tapi akhirnya menjadi selamat, yaitu berkat kata-katanya sekarang yang menimbulkan rasa senang Giok-yan itu.

Begitulah karena senang, maka Giok-yan berkata pula, "Ai, engkau ini suka omong yang tidak-tidak. Guna apa kuikut ke Cin-keh-ce? Bila betul Kuku utang padamu, hal ini mungkin sudah terlalu lama dan dia tidak tahu, maka melalaikan kewajibannya. Namun sesudah kedua pihak mengajukan bukti-bukti yang sah, Piauko pasti sanggup membayar padamu.”

Sebenarnya maksud Yau Pek-tong cuma untuk membohongi si gadis saja, yaitu hendak menculiknya ke Cin-

keh-ce untuk dipancing ilmu silat yang diketahui Giok-yan, tentang utang satu juta tahil emas dan sebagainya dengan sendirinya cuma bualan belaka.

Tapi Giok-yan masih hijau, terlalu kekanak-kanakan dan percaya penuh kepada bualannya. Maka cepat Yau Pek-tong menambahi lagi, "Namun akan lebih baik engkau ikut kami ke Cin-keh-ce saja. Di sana tempatnya sangat enak, pemandangan indah permai, pada waktu senggang kami sering berburu, kami ada piara elang dan macan tutul, tanggung takkan bosan biarpun bermain setahun dua tahun di sana. Dan bila Piaukomu mendapat kabar, tentu dia akan menyusul ke sana, seandainya dia tidak lantas membayar utangnya juga kami akan menyerahkan dirimu padanya untuk dibawa pulang ke Koh-soh sini. Nah, kau mau tidak?”

Propaganda ini benar-benar sangat menarik hati Giok-yan hingga air mukanya tampak berseri-seri. Cuma ia tidak lantas menjawab.

Sebagai orang berpengalaman, segera Suma Lim dapat melihat sikap Giok-yan yang cenderung percaya pada obrolan Yau Pek-tong itu. Ia pikir kalau si gadis sampai terima baik ajakan orang dan baru dirintangi, hal itu berarti sudah ketinggalan satu tindak. Maka belum Giok-yan membuka suara, segera ia menyela, "Cin-keh-ce yang terletak di Huiciu itu adalah suatu tempat yang tandus dan dingin, sebaliknya Ong-kohnio adalah seorang nona jelita selemah ini, mana tahan derita kedinginan di sana? Berbeda dengan Sengtoh kami yang terkenal sebagai kota yang ramai dan megah, bukan saja hasil satin dan sutranya merajai sutra keluaran tempat lain, bahkan pemandangan di sana juga tidak kalah daripada daerah Kanglam sini. Seorang nona cantik sebagai Ong-kohnio kalau dapat pesiar ke Sengtoh serta membeli sedikit kain sutra yang tersohor itu untuk baju, pasti kecantikan nona akan bertambah dan tak ada bandingannya. Buyung-kongcu adalah pemuda yang serbapandai, tentu ia pun akan senang kepada gadis yang cantik ayu.”

"Kentut! Kentut busuk! Masakah di daerah Sohciu sini kekurangan satin dan sutra, kenapa mata anjingmu tidak dipentang lebar, lihatlah apakah ketiga gadis di depan matamu ini memakai kain sutra atau tidak?” demikian maki Yau Pek-tong karena merasa usahanya disabot.

Namun kontan juga Suma Lim menjengek, "Ya, memang sangat busuk, teramat busuk!”

"Apa yang busuk? Kau maksudkan aku?” teriak Yau Pek-tong dengan gusar.

"Mana aku berani mengatakan dirimu!” sahut Suma Lim. "Tapi kubilang kentut anjing barusan memang sangat busuk!”

"Sret”, terus saja Pek-tong lolos goloknya sambil membentak, "Suma Lim, kalau Cin-keh-ce melawan Jing-siapay kalian bobotnya mungkin satu kati 16 tahil alias sama kuat. Tapi kalau Cin-keh-ce bergabung dengan Hong-lay-pay, kau bilang Jing-sia-pay kalian bakal dihancurkan atau tidak?”

Air muka Suma Lim berubah seketika, pikirnya, "Benar juga ancamannya. Sejak ayahku wafat kekuatan Jingsia-pay sudah jauh berkurang. Ditambah lagi jahanam Cu Po-kun telah mencolong ilmu silat golongan sendiri, kalau dia bergabung dengan Cin-keh-ce untuk mengeroyok kami, hal ini memang perlu dipikirkan. Kata peribahasa, ‘Turun tangan lebih dulu akan menang, turun tangan kemudian akan celaka’. Urusan hari ini rasanya harus kudahului menyerang mereka sebelum mereka siap.”

Berpikir demikian, segera katanya dengan tawar, "Habis apa abamu sekarang?”

Melihat kedua tangannya dimasukkan ke dalam lengan baju, Pek-tong tahu setiap saat Suma Lim bisa menyerang dengan senjata gelapnya yang berbisa keji.

Tindak tanduk Yau Pek-tong itu ternyata berbeda daripada jago silat umumnya. Orangnya kasar, tapi waktu menghadapi musuh ia justru bisa berlaku cermat.

Maka ia lantas pusatkan perhatian dengan penuh waspada, jawabnya kemudian, "Aku hendak mengundang nona Ong pesiar beberapa lama ke Cin-keh-ce dan kelak biar dipapak oleh Buyung-kongcu, tapi sengaja kau rintangi maksud baikku bukan?”

"Kubilang tempat kalian itu banyak kekurangannya dan tentu akan bikin susah nona Ong, maka lebih baik kuundang nona Ong pesiar ke Sengtoh,” sahut Suma Lim ngotot.

"Baik, jika begitu, marilah kita tentukan menang atau kalah di atas senjata,” tantang Yau Pek-tong. "Siapa yang menang, dia yang akan menjadi tuan rumah bagi nona Ong.”

"Akur,” seru Suma Lim. "Memangnya bagi yang kalah juga tidak mungkin mengundang nona Ong ke akhirat.”

Dengan ucapan itu tegas Suma Lim menyatakan pertarungan ini bakal dilakukan dengan mati-matian bukan lagi pertandingan biasa.

Pek-tong terbahak-bahak, sahutnya, "Hidup orang she Yau selalu berdiri di ujung senjata. Suma-ciangbun hendak menggertak aku dengan kematian, ha, tidak nanti orang she Yau jeri!”

"Dan cara bagaimana kita akan bertanding? Siapa yang menjadi wasit? Memakai senjata atau bertangan kosong?” tanya Suma Lim.

"Sudah tentu pakai senjata, siapa sabar bertanding dengan tangan kosong ....” belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara mendesis-desis tiga kali.

Padahal pada waktu bicara pandangan Yau Pek-tong tidak pernah meninggalkan gerak-gerik Suma Lim yang sangat lihai, terkadang orang yang diserangnya belum lagi merasakan dan tahu-tahu sudah binasa. Tapi sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ketika kedua pihak sedang bicara, mendadak lawan terus melakukan pembokongan.

Waktu itu tampaknya pandangan Suma Lim sedang diarahkan ke samping seakan-akan di sana sidang terjadi sesuatu, padahal maksudnya cuma untuk memancing perhatian Yau Pek-tong. Dan ketika Pek-tong sadar telah diserang musuh, namun jarak Am-gi dengan dadanya sudah tinggal setengah meter jauhnya. Seketika ia cemas dan yakin sekali ini jiwanya pasti melayang.

Tapi pada detik yang berbahaya itulah, sekonyong-konyong ada sepotong benda aneh warna hitam-putih menyelip di depan dadanya hingga beberapa batang jarum berbisa musuh itu terbentur jatuh ke lantai.

Jarum-jarum itu sebenarnya sangat cepat menyambarnya, sebagai seorang jagoan Yau Pek-tong sendiri juga merasa tidak mungkin berkelit lagi. Tapi datangnya benda penangkis itu beberapa kali lebih cepat daripada sambaran jarum hingga tepat sekali jarum itu terbentur jatuh, sedangkan macam apa benda aneh itu, putih atau hitam, baik Yau Pek-tong maupun Suma Lim sama-sama tidak lihat jelas.

Sebaliknya Giok-yan menjadi girang, terus saja ia bersorak, "Hai, apakah Pau-sioksiok yang datang itu?”

Maka terdengarlah suara seorang yang sangat aneh menjawab, "Bukan, bukan! Bukan Pau-sioksiok yang datang!”

"Masakah engkau bukan Pau-sioksiok?” kata Giok-yan dengan tertawa. "Engkau belum muncul, tapi istilahmu ‘bukan, bukan’ sudah terdengar lebih dulu.”

"Bukan, bukan! Aku bukan Pau-sioksiokmu!” seru suara itu pula.

"Bukan, bukan! Habis engkau siapa?” tukas Giok-yan dengan menirukan lagu orang.

"Buyung-hiante panggil aku sebagai Samko, tapi kau panggil aku Sioksiok. Bukan, bukan! Engkau salah panggil,” demikian suara aneh itu.

Paham akan maksud ucapan orang, Giok-yan menjadi girang hingga muka pun merah, segera katanya pula, "Habis aku harus panggil ... panggil apa padamu?”

"Haha, soal itu boleh kau pikir sendiri!” kata suara itu. "Engkau boleh panggil apa saja, kalau tepat, aku akan menjadi kawanmu, kalau salah panggil, selamanya aku akan mengacau padamu, supaya kau tidak jadi istri Buyung-hiante!”

"Cis, ayolah lekas keluar!” semprot Giok-yan.

Suara itu tidak menjawab lagi. Selang sejenak tetap tiada sesuatu suara apa-apa, maka Giok-yan berseru pula, "Hai, keluarlah dan bantulah aku mengenyahkan orang-orang yang tak keruan macamnya ini!”

Tapi keadaan tetap sunyi senyap, terang orang she Pau itu sudah pergi jauh. Giok-yan tampak agak kecewa, katanya, "Dia memang suka begini, selalu bikin orang tak dapat meraba jejaknya.”

"Memang begitulah tabiat Pau-samsiansing,” ujar A Cu dengan tertawa. "Waktu nona menyuruhnya keluar tadi sebenarnya ia sudah akan muncul, tapi demi mendengar ucapanmu, ia justru sengaja jual mahal padamu. Dan saat ini mungkin dia sudah berada di tempat jauh, hari ini terang takkan muncul lagi.”

Sebenarnya Giok-yan sangat ingin bertemu dengan Pau-samsiansing untuk diajak berunding cara bagaimana harus pergi membantu Buyung-kongcu di Siau-lim-si. Tapi orang she Pau ini ternyata segera menghilang begitu saja, hal ini membuat Giok-yan merasa kurang senang.

Di lain pihak diam-diam Suma Lim dan Yau Pek-tong merasa senang. Tadi waktu Pau-samsiansing bersuara, mereka berdua celingukan kian kemari hendak mencari di mana tempat sembunyi orang she Pau itu. Akan tetapi suara itu sangat aneh, tiba-tiba kedengaran sangat dekat, tahu-tahu lantas menjauh, disangka berada di sebelah timur, ternyata sudah berpindah ke barat. Maka mereka tetap tak dapat menemukan orang she Pau itu berada di mana.

Dari perkataan orang aneh itu, ia sebut saudara kepada Buyung Hok dan sangat baik pula hubungannya dengan Giok-yan, bila tokoh seperti itu ikut muncul, tentu mereka sukar melawannya. Kini orang aneh itu telah pergi jauh, sudah tentu mereka sangat senang dan bersyukur.

Jiwa Yau Pek-tong sendiri sembilan bagian tadi sudah masuk liang kubur, tapi berkat pertolongan orang she Pau itu, jiwanya dapat ditarik kembali mentah-mentah Dengan sendirinya timbul rasa terima kasih kepada tokoh aneh itu. Sebenarnya ia tiada permusuhan apa-apa dengan Jing-sia-pay, tapi karena tadi diserang dan jiwanya hampir melayang, kini ia benar-benar dendam dan Suma Lim itu ingin dibunuhnya.

Maka sekali golok diangkat, segera ia membentak, "Keparat yang tidak kenal malu, main membokong dengan senjata gelap, apa kau sangka kakekmu she Yau ini mudah diserang begitu saja?”

Habis berkata, segera golok membacok kepala Suma Lim.

Cepat Suma Lim berkelit, ia mainkan ilmu silat Jing-sia-pay dengan senjata palu dan gurdi untuk melawan golok tunggal Yau Pek-tong. Suma Lim memang lincah dan gesit, sebaliknya Yau Pek-tong unggul dalam hal tenaga, serangan golok juga sangat ganas.

Anak murid Jing-sia-pay belum pernah bertanding melawan orang Cin-keh-ce. Kini kedua pemimpin masingmasing saling gebrak sendiri untuk pertama kalinya, menang atau kalah salah satu pihak pasti akan terbinasa, dan yang lebih penting lagi adalah menyangkut nama baik masing-masing pihak, maka Yau Pek-tong dan Suma Lim tidak berani ayal sedikit pun, keduanya bertempur dengan sepenuh tenaga.

Kira-kira 70-an jurus, tiba-tiba Giok-yan berkata kepada A Cu, "Lihatlah, "Ngo-hou-hoan-bun-to dari Cin-kehce ternyata jauh lebih buruk daripada sangkaanku, tadinya kusangka kurang lima jurus, tapi kini tampaknya lebih dari itu. Buktinya jurus seperti ‘Hu-cu-toh-ho’ (mengutamakan kehormatan dan setia kawan) entah sebab apa tak dimainkan oleh Yau Pek-tong?”

Sudah tentu A Cu tidak paham ilmu silat seluas itu seperti Giok-yan, maka ia cuma mengiakan saja. Sebaliknya Yau Pek-tong yang sedang bertempur itu demi mendengar ucapan Giok-yan, kembali ia terkejut. Pikirnya, "Mengapa pandangan nona cilik ini sedemikian tajamnya? Selama berpuluh tahun terakhir ini ke-64 jurus Ngohou-toan-bun-to kami memang hilang sebagian dan paling akhir tinggal sisa 59 jurus saja, hal ini memang tepat sebagaimana dikatakan olehnya tadi. Tapi sejak ayahku menjabat ketua, karena bakatnya kurang dan kecerdasannya puntul, maka dua jurus ‘Hu-cu-toh-ho’ dan ‘Tiong-ciat-siu-gi’ tak berhasil dipelajarinya, sebab itulah kedua jurus itu pun lenyap dari ajaran perguruan selanjutnya termasuk diriku. Tapi aku telah mengubah kedua jurus itu sekadar untuk menambal kekosongan ilmu silat Cin-keh-ce. Siapa duga tetap diketahui juga oleh nona muda ini.”

Dan karena rahasianya terbongkar, Yau Pek-tong menjadi malu diri dan buru-buru ingin merobohkan Suma Lim sekadar mempertahankan gengsinya sebagai pemimpin.

Akan tetapi dalam pertandingan silat sedikit pun tidak boleh gopoh. Sebenarnya kalau Pek-tong bertanding

dengan tenang dan sabar, semakin lama kemenangan pasti akan diperoleh dia. Tapi karena ingin buru-buru menjatuhkan lawan, seketika pemusatan perhatiannya menjadi terganggu. Beruntun Pek-tong melancarkan serangan berbahaya, tapi selalu dapat dihindar oleh Suma Lim.

Mendadak Pek-tong menggertak sekali, golok terus membabat dari samping. Ketika Suma Lim melompat ke kiri untuk menghindar, cepat Pek-tong ayun sebelah kaki untuk menendang.

Dalam keadaan tubuh masih terapung di udara Suma Lim sukar menghindar, tapi ia cukup cekatan dan dapat ganti gerakan dengan cepat. Mendadak ia gunakan gurdi untuk menikam kaki orang. Dengan demikian bila tendangan Pek-tong itu diteruskan berarti kaki akan patah sendiri.

Benar juga Pek-tong tidak berani meneruskan tendangannya. Tapi tendangannya itu ternyata tendangan Wanyang-lian-goan-tui atau tendangan secara berantai, yaitu susul-menyusul kedua kakinya menendang bergiliran. Begitu kaki kanan ditarik kembali, segera kaki kiri melayang ke lambung lawan.

Namun palu kecil Suma Lim saat itu juga sedang menyampuk ke samping, "plok”, dengan tepat batang hidung Yau Pek-tong kena ketuk lebih dulu, keruan hidungnya lantas bocor dan keluar kecapnya. Dan pada saat yang sama itulah pinggang Suma Lim juga kena tendangan Yau Pek-tong.

Cuma karena muka Pek-tong lebih dulu kena palu, dalam kaget dan sakitnya tendangannya menjadi tak bertenaga lagi, biarpun kena tertendang, Suma Lim tidak terluka apa-apa, hanya tulang iganya kesakitan.

Dan justru selisih dua detik dari serangan masing-masing itulah, kalah-menang kedua pihak menjadi jelas kelihatan. Dengan mengerang murka Yau Pek-tong bermaksud menerjang maju untuk mengadu jiwa, namun kepala serasa akan pecah, kaki pun menjadi ampang, jalannya menjadi sempoyongan dan hampir-hampir roboh.

Kemenangan Suma Lim barusan sebenarnya diperoleh dengan agak kebetulan. Ia tahu bila jiwa lawan dibiarkan hidup, kelak pasti akan merupakan bibit bencana baginya, maka timbul niat jahatnya untuk membunuh lawan. Segera ia lontarkan tipu pancingan, ia ayun palu ke depan, ketika Yau Pek-tong angkat golok hendak menangkis, sekonyong-konyong gurdi lantas menjuju ke hulu hati pemimpin Cin-keh-ce itu.

Melihat Cecu mereka terancam maut, wakil Cecu dari Cin-keh-ce cepat bersuit sekali, mendadak golok ditimpukkan, begitu pula kawan-kawannya segera menirukannya hingga dalam sekejap saja belasan golok menyambar berbareng ke atas badan Suma Lim.

Kiranya dalam ilmu silat Cin-keh-ce itu terdapat sejurus menimpuk golok sebagai senjata gelap yang lihai.

Tiap-tiap golok bobotnya 8 sampai 10 kati, bila ditimpukkan, daya serangnya menjadi sangat hebat, apalagi sekaligus belasan golok menghambur bersama, keruan Suma Ling kerepotan baik untuk menangkis maupun hendak menghindar.

Tampaknya dengan segera Suma Lim akan menjadi perkedel dihujani golok terbang itu, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat, dua tangan orang yang panjang kurus mirip cakar ayam menyambar ke sini dan meraup ke sana secepat kilat, sekaligus belasan golok terbang tadi kena ditangkap oleh tangan itu. Lalu terdengarlah suara gelak tawa orang, tahu-tahu di atas kursi tengah ruangan itu sudah bertambah dengan seorang aneh. Menyusul lantas terdengar pula suara gemerantang riuh, belasan golok yang ditangkap orang itu dibuang ke lantai di samping kakinya.

Dengan kaget semua orang saling pandang dengan melongo. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus, mukanya tirus, memakai jubah panjang warna kelabu, sikapnya menantang dan tidak mau kalah.

Tadi semua orang sudah menyaksikan betapa tangkasnya orang itu menangkap golok terbang, kepandaian itu boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan yang susah diukur, semua orang menjadi kagum dan jeri, tiada seorang pun berani bersuara.

Hanya Toan Ki saja yang tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, dengan tertawa ia berkata, "Wah, gerakan Hengtay (saudara terhormat) barusan ini sungguh sangat cepat, tentu ilmu silatmu juga sangat tinggi. Siapakah nama Anda yang terhormat, bolehkah kutahu?”

Belum lagi laki-laki jangkung itu menjawab, tiba-tiba Giok-yan tampil ke depan, katanya dengan tertawa, "Pau-samko, kukira engkau tidak datang lagi, aku menjadi khawatir. Siapa tahu akhirnya kau muncul juga, legalah hatiku sekarang.”

"O, kiranya Pau-samsiansing,” sela Toan Ki.

Pau-samsiansing melotot sekali kepada Toan Ki, katanya dengan mendongkol, "Siapakah bocah ini? Berani ceriwis padaku?”

"Cayhe she Toan bernama Ki, sesama hidup tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa, tapi sudah sekian lama berkecimpung di Kangouw dan sampai sekarang ternyata tidak mati, rupanya nasibku memang lagi mujur!” demikian sahut Toan Ki dengan tertawa.

Mata Pau-samsiansing mendelik lagi, seketika ia tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan terhadap pemuda itu.

Tiba-tiba Suma Lim maju ke depan dan memberi hormat, katanya, "Suma Lim dari Jing-sia-pay barusan mendapat pertolonganmu, budi mahabesar itu selamanya takkan kulupakan. Numpang tanya siapakah nama Pau-samsiansing yang terhormat, supaya kelak Cayhe dapat selalu mengingatnya.”

Sekonyong-konyong mata Pau-samsiansing mendelik kepada Suma Lim, tahu-tahu sebelah kakinya melayang ke atas, "blang”, kontan Suma Ling ditendangnya hingga terjungkal. Lalu bentaknya, "Hm, hanya macammu saja berani tanya namaku? Aku toh tidak sengaja hendak menolong jiwamu, soalnya karena tempat ini rumah adik A Cu yang indah, kalau jiwamu melayang dan badanmu tercacah menjadi bakso di sini, bukankah akan bikin kotor tempat adik A Cu ini? Nah, lekas enyah, lekas pergi!”

Ketika kaki orang menendang, sebenarnya Suma Lim segera bermaksud menghindar, tapi tetap tidak keburu hingga ia tertendang terjungkal. Keruan ia sangat malu dan serbasusah.

Jika menuruti peraturan Kangouw, ada dua jalan yang dapat ia pilih. Pertama, segera melabrak orang untuk menentukan mati atau hidup. Kedua, mengadakan perjanjian waktu untuk kemudian mengadakan perhitungan terakhir.

Dengan sendirinya Suma Lim tidak rela menerima hinaan demikian di hadapan orang banyak tanpa unjuk jiwa kesatrianya. Maka dengan berani ia lantas berkata, "Pau-samsiansing, barusan jiwaku hampir melayang di bawah keroyokan golok musuh, untung telah ditolong olehmu. Suma Lim selamanya dapat membedakan budi dan dendam dengan jelas, kalau terima budi tentu kubalas, kalau dihina pasti kubayar kembali.”

Padahal ia cukup tahu biarpun belajar sampai tua juga tidak mampu menandingi Pau-samsiansing yang lihai ini. Terpaksa ia gunakan kata-kata yang samar-samar itu untuk menutupi rasa malunya.

Sebaliknya Pau-samsiansing ternyata tidak mendengarkan ocehannya, ia asyik bicara sendiri dengan Giok-yan, "Nah, jika kau panggil aku Pau-samko, inilah tepat. Seterusnya kau harus panggil Samko padaku.”

"Untuk panggil Samko padamu juga boleh, tapi engkau harus memenuhi suatu syaratku?” kata Giok-yan dengan tertawa.

"Eeh, pakai syarat segala? Nah, coba katakan syarat apa?” tanya Pau-samsiansing dengan mimik wajah yang lucu.

"Begini,” kata Giok-yan. "Engkau boleh main gila dengan siapa pun, tapi janganlah menggoda Piauko.”

"Sama sekali aku tidak boleh menggoda dia? Hah, tak usah ya!?” kata Pau-samsiansing. "Tapi bagimu, baiklah, boleh kukurangi perbuatanku.”

"Terima kasih, Samko,” bata Giok-yan dengan tersenyum manis.

Melihat senyuman si gadis yang menggiurkan itu, hati Toan Ki benar-benar terpukul, kepala terasa pening dan timbul pula rasa irinya. Pikirnya, "Pau-samsiansing ini cuma berjanji akan mengurangi main gilanya kepada Buyung-kongcu, lantas dia begitu senang padanya. Wahai, Buyung Hok! Alangkah bahagia hidupmu ini dapat memperoleh cinta kasih sedalam ini dari gadis secantik ini?”

Sungguh dongkol Suma Lim tak terkatakan karena ucapannya tadi sama sekali tak digubris oleh Pausamsiansing. Sekali ia memberi tanda, segera ia membawa anak buahnya hendak meninggalkan tempat ini.

"Nanti dulu, dengarlah pesanku!” tiba-tiba Pau-samsiansing berseru.

"Ada apa?” sahut Suma Lim sambil putar balik.

"Kabarnya kedatanganmu ke Koh-soh sini ingin menuntut balas bagi kematian ayahmu?” tanya Pausamsiansing. "Jika demikian, engkau telah salah alamat. Ayahmu, Suma Wi, bukan dibunuh oleh Buyungkongcu.”

"Siapa yang bilang? Dari mana Pau-samsiansing mendapat tahu?” tanya Suma Lim.

Pau-samsiansing menjadi gusar, bentaknya, "Sekali aku bilang bukan Buyung-kongcu yang membunuhnya, dengan sendirinya bukan dia. Seumpama benar dia yang bunuh, kalau aku sudah bilang bukan, ya tetap bukan. Masa ucapanku tidak masuk hitungan?”

Sungguh mendongkol dan penasaran sekali Suma Lim oleh ucapan orang yang mau menang sendiri itu. Tapi dengan sabar ia menjawab, "Sakit hati kematian ayah sedalam lautan, meski ilmu kepandaian Suma Lim terlalu rendah juga ingin menuntut balas biarpun akhirnya akan hancur lebur. Maka siapakah sebenarnya pembunuh ayahku, mohon sudilah memberi tahu.”

"Hahaha, ayahmu kan bukan anakku, dia dibunuh oleh siapa, peduli apa denganku?” sahut Pau-samsiansing

dengan tergelak. "Kan sudah kukatakan Buyung-kongcu bukan pembunuh ayahmu, barangkali kau masih tidak percaya, ya? Baiklah, anggaplah aku pembunuhnya, jika kau ingin menuntut balas, boleh terjang padaku saja.”

"Sakit hati pembunuhan ayah mana boleh dibuat permainan?” sahut Suma Lim dengan wajah merah padam. "Pau-samsiansing, kutahu diriku bukan tandinganmu, engkau boleh membunuh aku, tapi kalau dihina secara demikian, betapa pun aku tidak terima.”

"Aku justru ingin menghinamu, dan aku justru tidak mau membunuhmu, nah, apa yang dapat kau lakukan padaku?” ucap Pau-samsiansing dengan tertawa.

Keruan dada Suma Lim hampir-hampir meledak saking gusarnya. Tapi suruh dia menerjang maju untuk mengadu jiwa, ia pun tidak berani. Karena itu ia menjadi terpaku di tempatnya dengan serbasalah.

Maka Pau-samsiansing berkata pula, "Hanya sedikit kepandaian Suma Wi yang tak berarti itu masakah perlu Buyung-hiante kami yang turun tangan sendiri? Ilmu silat Buyung-kongcu sepuluh kali lebih tinggi daripadaku, coba kau pikir, apakah Suma Wi sesuai untuk dibunuh olehnya?”

Belum lagi Suma Lim menjawab, tiba-tiba Cu Po-kun lolos senjatanya dan berseru, "Pau-samsiansing, Suma Wi Losiansing adalah guruku yang berbudi, aku melarang engkau menghina nama baiknya sesudah beliau meninggal.”

"Haha, engkau ini mata-mata yang menyelundup ke Jing-sia-pay, peduli apa denganmu?” ujar Pau-samsiansing dengan tertawa.

"Suma-suhu teramat baik padaku, aku Cu Po-kun merasa malu tak dapat membalas budi kebaikannya, kini meski mati demi membela nama baiknya, sedikitnya dapatlah kutebus dosa karena aku telah menipunya. Pausamsiansing, harap kau minta maaf dan mengaku salah kepada Suma-siansing.”

Pau-samsiansing cuma tertawa-tawa saja, sahutnya, "Selama hidup Pau-samsiansing tidak pernah mengaku salah dan juga tidak nanti minta maaf pada orang, biarpun tahu berbuat salah juga akan tetap berbuat sampai akhirnya. Pada masa hidupnya Suma Wi juga tidak punya nama harum, sesudah mati namanya terlebih celaka lagi. Orang macam begitu memangnya sudah lama harus dibunuh. Maka kematiannya itu adalah pantas, lebih daripada pantas!!”

"Silakan Pau-samsiansing keluarkan senjata!” seru Cu Po-kun.

"Hahahaha!” Pau-samsiansing terbahak-bahak. "Anak murid Suma Wi pintarnya memang cuma main membokong dengan senjata gelap, selain itu, segala apa tidak becus lagi.”

"Awas serangan!” seru Cu Po-kun segera. Palu dan gurdi terus menyerang sekaligus.

Sama sekali Pau-samsiansing tidak berbangkit, lengan baju kiri mendadak mengebas hingga serangkum angin keras menyambar ke arah musuh.

Seketika Po-kun merasakan napas sesak, cepat ia mendoyong ke samping. Tak tersangka kaki kiri Pausamsiansing lantas menjegalnya hingga Po-kun terpelanting, menyusul kaki Pau-samsiansing yang lain terus mendepak hingga tepat kena bokong Cu Po-kun, kontan saja tubuhnya yang gede itu mencelat keluar ruangan.

Tapi begitu jatuh segera Po-kun berbangkit dan berlari balik, kembali palu dan gurdi menyerang lagi dada Pausamsiansing.

Tak terduga mendadak Pau-samsiansing ulur kedua tangan hingga tangan Po-kun terpegang, sekenanya ia lemparkan hingga tubuh Po-kun melambung ke atas, "bluk”, tubuh Po-kun membentur belandar dan jatuh kembali ke lantai. Terang jatuhnya Cu Po-kun itu sangat keras dan tentu kesakitan, tapi Po-kun benar-benar sangat bandel, untuk ketiga kalinya kembali ia menerjang lagi ke arah Pau-samsiansing.

Mau tak mau Pau-samsiansing berkerut kening oleh kenekatan orang. Katanya, "Kau ini benar-benar tidak tahu diri? Apa kau sangka tak mampu membunuhmu?”

"Jika berani, lekaslah bunuh aku!” tantang Po-kun malah.

Tanpa ampun lagi Pau-samsiansing pegang kedua tangan Cu Po-kun. Mendadak ia tolak tangannya ke depan, "krak-krek”, kontan lengan Cu Po-kun dipatahkan, bahkan gurdinya lantas menikam bahu kanan dan palu mengetuk pundak kiri sendiri. Seketika darah bercucuran dari bahu yang terluka itu dan tulang pundak remuk oleh ketukan palu, keadaan demikian tepat sekali seperti orang yang dilukai dengan tipu "Co-yu-hong-goan” (mendapat hadiah dari kanan-kiri alias ketuplek rezeki), yaitu salah satu jurus lihai Kungfu Jing-sia-pay.

Luka Cu Po-kun sudah sangat parah, walaupun ada maksudnya hendak mengadu jiwa lagi tapi keinginan ada, tenaga kurang, apa daya?

Orang-orang Jing-sia-pay hanya saling pandang belaka dan bingung apa mesti maju untuk menolong Cu Po-

kun atau tidak. Terang gamblang tipu serangan "Co-yu-hong-goan” itu adalah Kungfu Jing-sia-pay, entah dari mana Pau-samsiansing juga dapat mempelajarinya?

Maka berkatalah Giok-yan kepada Cu Po-kun, "Nah, bagaimana Cu-ya? Kataku tadi bahwa tidak cukup dan percuma, sekarang kau mau percaya tidak?”

Cu Po-kun menggila napas panjang, jawabnya, "Taksiran nona memang sangat jitu, aku benar-benar sangat kagum.”

Lalu ia berpaling, kepada Suma Lim dan berkata, "Ciangbun-suheng, beruntung ilmu silat kedua aliran kita satu sama lain saling mengatasi dan sama kuatnya, Siaute telah belajar kepandaian Jing-sia-pay, tapi belum mampu menggunakannya untuk menangkis serangan Kungfu Jing-sia-pay, sudah dibuktikan oleh serangan Pau-samsiansing barusan. Ai, percumalah guruku memeras otak, akhirnya toh tidak berhasil apa-apa.”

Suma Lim dapat menerima apa yang dikatakan Cu Po-kun itu memang benar, meski Po-kun sudah mahir ilmu silat Jing-sia-pay, tapi tetap terluka oleh tipu serangan Jing-sia-pay sendiri. Hal ini menandakan betapa tinggi Cu Po-kun mempelajari silat Jing-sia-pay toh belum mampu mencapai tingkatan yang sempurna, dan dengan sendirinya tidak mungkin ia mengajarkan pula kepada Hong-lay-pay untuk membunuh ayahnya. Berpikir demikian hati Suma Lim menjadi banyak terhibur.

A Cu yang sejak tadi diam saja kini tiba-tiba menyela, "Suma-toaya, Cu-toaya, kalian sudah menyaksikan sendiri barusan Pau-samsiansing menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay, hal ini membuktikan orang yang mahir ilmu silat Jing-sia-pay tidak melulu Kongcu kami saja. Maka sebenarnya siapa gerangan pembunuh Sumalosiansing, lebih baik kalian pulang saja untuk menyelidiki lebih jauh.”

Tampaknya Suma Lim masih hendak berkata apa-apa, namun Pau-samsiansing menjadi gusar, bentaknya, "Tempat ini adalah rumah tinggal adik A Cu, pemilik rumah sudah minta kalian pergi, apa kalian masih tidak tahu diri?”

"Baiklah kami mohon diri, sampai berjumpa pula kelak,” kata Cu Po-kun segera. Ia tak dapat memberi hormat karena kedua lengan terluka, maka ia hanya mengangguk saja lalu bertindak pergi.

Suma Lim juga tahu gelagat takkan menguntungkan jika tinggal lebih lama di situ, maka beramai-ramai ia pun mohon diri bersama anak buahnya.

Melihat ilmu silat Pau-samsiansing begitu tinggi, tindak tanduknya juga sangat aneh, Yau Pek-tong menjadi ingin belajar kenal dengan tokoh Kangouw yang sakti ini, ditambah lagi ia masih mengincar kepandaian Giokyan yang meliputi segala macam ilmu silat yang tak terhitung banyaknya itu. Maka sesudah orang-orang Jingsia-pay pergi, segera ia melangkah maju dan ingin bicara dengan Pau-samsiansing.

Di luar dugaan mendadak Pau-samsiansing mendahului buka suara, "Yau Pek-tong, aku melarang kau bicara sepatah kata pun, lekas menggelinding pergi dari sini!”

Keruan Yau Pek-tong melengak, saking malunya wajahnya berubah merah padam, tanpa terasa tangannya lantas meraba golok.

"Yau Pek-tong,” jengek Pau-samsiansing, "hanya sedikit kepandaianmu yang tak berarti ini jangan kau cobacoba main gila di depanku. Sekali kusuruh menggelinding pergi, kau harus segera menggelinding pergi, tidak ada hak bicara apa-apa bagimu, tahu?!”

Melihat pemimpin mereka dihina Pau-samsiansing, anak buah Cin-keh-ce menjadi gusar juga dan bermaksud main kerubut sekuatnya, tapi senjata mereka tadi sudah dirampas Pau-samsiansing ketika menghujani Suma Lim dengan golok terbang, maka mereka cuma gusar dalam hati, tapi tiada seorang pun berani sembarangan menerjang maju dengan bertangan kosong.

Tiba-tiba Pau-samsiansing terbahak-bahak sambil kaki kanan menendang dan mendepak serabutan, tahu-tahu belasan batang golok yang berserakan di samping kakinya itu mencelat ke arah orang-orang Cin-keh-ce. Cuma sambaran golok yang ditendang itu sangat lamban dan dengan persis dapat ditangkap pemiliknya masingmasing, hal itu menandakan Pau-samsiansing tidak bermaksud melukai mereka.

Keruan orang-orang Cin-keh-ce tercengang oleh tindakan Pau-samsiansing itu, mereka sadar bila tokoh itu mau melukai mereka, rasanya tidak mungkin golok dapat mereka pegang cara begitu gampang? Sebab itulah mereka hanya berdiri dengan bingung.

"Yau Pek-tong,” kata Pau-samsiansing kemudian, "kukatakan lekas gelinding pergi, kau mau gelinding pergi tidak?”

"Pau-samsiansing ada budi pertolongan jiwa padaku, dengan sendirinya apa yang kau perintahkan pasti kuturut. Baiklah kumohon diri,” sahut Pek-tong dengan tertawa ewa sambil membungkuk memberi hormat. Lalu serunya kepada begundalnya, "Mari pergi semua!”

"Aku suruh kau menggelinding pergi dan bukan menyuruhmu berjalan keluar!” kata Pau-samsiansing.

Pek-tong melengak bingung, tanyanya, "Cayhe tidak paham apa maksud Pau-samsiansing?”

"Kukatakan menggelinding pergi,” ucap Pau-samsiansing. "Gelinding ya gelinding, masakah gelinding tidak tahu? Nah, kau mau menggelinding pergi tidak?”

Keruan Yau Pek-tong semakin tidak mengerti, ia pikir orang ini barangkali gila, lebih baik jangan digubris. Maka tanpa bicara ia terus putar tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar.

"Bukan, bukan,” seru Pau-samsiansing tiba-tiba. "Kukatakan gelinding, dan caramu itu adalah berjalan dan bukan menggelinding. Jika kau tidak paham, inilah caranya!”

Habis berkata, mendadak ia melesat maju, sekali cengkeram, tahu-tahu kuduk Yau Pek-tong kena dipegangnya.

Segera Pek-tong menyikut ke belakang, tapi sedikit Pau-samsiansing angkat tangannya, tubuh Pek-tong lantas terkatung-katung hingga sikutannya mengenai tempat kosong. Menyusul Pau-samsiansing lantas jambret pula bebokong Pek-tong sambil membentak, "Di rumah adik A Cu mana boleh kau masuk-keluar sesukanya. Hm, menggelindinglah ke rumah kakek moyangmu!”

Selesai ucapannya ini, sekali ia ayun tangannya, tubuh Yan Pek-tong segede kerbau itu terus dilemparkan keluar ruangan hingga terguling-guling seperti bola menggelinding.

Melihat pimpinan mereka dibuang keluar begitu saja, beramai-ramai begundal Cin-keh-ce itu terus memburu keluar untuk membangunkan Pek-tong, kemudian bersama lantas melarikan diri dengan sipat kuping.

Kini menjadi giliran Toan Ki yang dipelototi oleh Pau-samsiansing, tapi karena tak diketahuinya asal usul pemuda itu, ia lantas tanya Giok-yan, "Siaumoay, apakah suruh dia juga enyah atau biarkan dia tinggal?”

"Aku bersama A Cu dan A Pik tadi telah ditawan oleh Peng-mama, tapi berkat pertolongan Toan-kongcu ini, dapatlah kami diselamatkan. Pula, ia menyatakan tahu seluk-beluk di Siau-lim-si, maka kita dapat menanyakan keterangan kepadanya,” demikian sahut Giok-yan.

"Jika begitu, jadi engkau ingin dia tinggal di sini?” Pau-samsiansing menegas.

"Benar,” jawab si gadis.

"Apakah engkau tidak khawatir saudaraku Buyung itu akan minum cuka?” tanya Pau-samsiansing dengan tertawa.

Giok-yan terbelalak bingung, balasnya menanya, "Minum cuka apa?”

"Orang ini pintar putar lidah dan pandai bertingkah, jangan-jangan engkau akan tertipu olehnya,” kata Pausamsiansing sambil menuding Toan Ki.

"Aku tertipu oleh apanya?” tanya Giok-yan heran. "Apa mungkin dia sengaja mengarang hal-hal tidak benar tentang keadaan Siau-lim-si? Ah, rasanya dia juga takkan berani sembrono.”

Mendengar ucapan gadis itu yang masih kekanak-kanakan dan sangat polos, sedikit pun belum kenal selukbeluk hubungan muda-mudi, Pau-samsiansing menjadi tidak enak untuk bicara lagi. Segera ia tertawa dingin sambil bertanya kepada Toan Ki, "Bagaimana keadaan saudaraku?”

Keruan Toan Ki menjadi dongkol, sahutnya dengan ketus, "Memangnya kau sedang menanya pesakitanmu? Dan kalau aku tidak mau omong, lantas kau akan menyiksa aku, bukan?”

Di dunia ini orang yang berani mengadu mulut dengan Pau-samsiansing boleh dikata dapat dihitung dengan jari. Mula-mula Pau-samsiansing tercengang juga, tapi segera ia terbahak-bahak malah, katanya, "Hahaha, bocah berani, bocah berani!”

Mendadak ia melangkah maju, sekali cengkeram, ia pencet lengan kiri Toan Ki, dan sedikit ia tambahi tenaga, seketika Toan Ki meringis kesakitan.

"Hai, hai! Apa-apaan ini?” seru Toan Ki.

"Aku sedang tanya pesakitanku dan menggunakan siksaan, tahu?” sahut Pau-samsiansing.

Toan Ki sengaja tersenyum dan anggap lengan yang dipencet orang itu bukan lengan sendiri lagi, sahutnya

kemudian, "Boleh kau siksa aku, tapi aku takkan gubris padamu lagi.”

Waktu Pau-samsiansing remas lebih keras, sakit Toan Ki meresap sampai ke tulang sumsum, bahkan, tulang lengan sampai berkeriutan seakan-akan hampir patah. Namun pemuda itu benar-benar sangat kepala batu, ia tetap diam saja.

"Pau-samko,” cepat A Pik berseru, "Toan-kongcu ini berwatak sangat angkuh, tapi dia adalah tuan penolong kami. Jangan engkau bikin susah padanya.”

"Bagus, bagus. Wataknya angkuh, itulah cocok dengan seleraku yang suka dengan ‘bukan, bukan’!” ujar Pausamsiansing sambil perlahan-lahan melepaskan cekalannya.

"Ya, bicara tentang selera, kita benar-benar sudah merasa lapar,” kata A Cu dengan tertawa dan segera ia memanggil si koki, "Hai, Lau Koh! Lau Koh!”

Setelah digembor lagi beberapa kali, baru kelihatan koki gendut itu melongok dari pintu samping sana. Melihat kawanan perusuh sudah tiada lagi, dengan gembira ia lantas mendekati sang majikan.

"Pergilah kau sikat gigi tiga kali dulu, lalu cuci muka tujuh kali serta cuci tanganmu dua belas kali, habis itu barulah membuatkan daharan untuk kami,” demikian perintah A Cu. "Tapi awas, kalau terdapat sedikit kotor saja pasti kau akan dihajar mampus oleh Pau-samya.”

"Tanggung bersih, tanggung bersih!” seru Lau Koh berulang-ulang sambil tersenyum.

Maka kaum hamba di dalam Thing-hiang-cing-sik itu lantas muncul lagi untuk memperbarui jamuan. A Cu menyilakan Pau-samsiansing berduduk di tempat utama, Toan Ki di tempat kedua dan Giok-yan ketiga. Ia sendiri bersama A Pik mengiringi di tempat tuan rumah.

Karena buru-buru ingin mengetahui keadaan Buyung-kongcu, segera Giok-yan menanya, "Samko, dia ... dia ....”

"Dia katanya sudah pergi ke Siau-lim-si,” tutur Pau-samsiansing segera, "mendengar berita itu, malam-malam Hong-sute lantas berangkat pergi membantunya. Tapi aku merasa urusan ini agak meragukan, lebih baik harus dirundingkan dulu dengan para kawan.”

"Samko, keadaan sudah mendesak, seorang diri Piauko telah masuk ke Siau-lim-si yang terkenal sangat banyak jago-jago pilihan, maka kita harus lekas-lekas pergi membantunya, mengapa mesti ragu-ragu dan pakai berunding dulu segala?” ujar Giok-yan tak sabar.

"Bukan, bukan!” demikian Pau-samsiansing dengan istilahnya yang khas. "Siaumoay, engkau masih terlalu muda dan tidak kenal betapa palsunya hati manusia. Kepergian Buyung-hiante ke Siau-lim-si sekali ini agak berbeda daripada tindak tanduk biasanya. Karena itu aku telah pergi mencari Ting-toako untuk berunding, tapi rumahnya kosong, lalu aku pergi ke Jik-sia-cheng, tapi Kongya-jiko suami istri juga tidak di rumah. Coba pikir, bukankah ini agak ganjil?”

"Ting-toasiok ... O, Ting-toako dan Kongya-jiko mereka sudah biasa pergi keluar rumah, hal ini toh tidak perlu diherankan?” ujar Giok-yan.

"Bukan, bulan,!” kata Pau-samsiansing sambil menggeleng. "Menurut para Koankeh di sana, katanya Toako dan Jiko suami-istri waktu meninggalkan rumah tampaknya sangat tergesa-gesa dan tidak meninggalkan sesuatu untukku. Bukankah hal ini sangat aneh dan luar biasa?”

Sudah tentu Toan Ki sama sekali tidak dapat mengikuti percakapan mereka tentang Ting-toako dan Kongyajiko apa segala, ia taksir orang-orang itu adalah kaum kerabat mereka dan merupakan begundal Buyungkongcu.

Tidak lama, dua pelayan laki-laki mengantarkan masakan yang masih panas. Kata A Cu dengan tertawa, "Samko, hari ini Siaumoay tak dapat memasak sendiri bagimu, lain kali tentu akan kuganti kekurangan ini ....”

Baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara nyaring kelinting-kelinting dua kali di udara.

"Itu dia, Jiko telah kirim berita kemari,” seru Pau-samsiansing bersama A Cu dan A Pik berbareng.

Serentak mereka lari keluar rumah dan melihat seekor burung merpati putih sedang mengitar di udara, mendadak merpati itu menukik ke bawah dan hinggap di pundak A Cu.

Segera A Pik melepaskan sebuah ikatan di kaki merpati itu, sesudah dibuka bungkusan kecil itu adalah secarik kertas. Cepat Pau-samsiansing menyambut untuk dilihatnya. Kemudian ia lantas berseru, "Aha, jika begitu, kita harus lekas berangkat!”

Beramai-ramai mereka lantas berlari masuk dan berkata kepada Giok-yan, "Engkau mau ikut pergi atau tidak?”

"Pergi ke mana dan tentang urusan apa?” tanya si gadis.

"Jiko mengirim surat, katanya Buyung-hiante sudah mengadakan perjanjian dengan tujuh golongan dan aliran dari provinsi-provinsi Holam, Hopak, Soatang, dan Soasay, untuk bertanding di kota Celam pada tanggal 24 bulan tiga. Hari ini adalah tanggal 12, jadi masih ada waktu 12 hari, engkau mau ikut ke Celam atau tidak?”

"Sudah tentu ikut,” sahut Giok-yan cepat dengan girang. "Dia dalam surat mengatakan apa lagi?”

"Ehm, dalam surat A Cu disuruh berusaha mencari Ting-toako, Hong-sute dan diriku agar beramai-ramai pergi ke sana.” Sahut Pau-samsiansing. "Tampaknya pihak musuh sangat kuat dan susah ditempur.”

"Samko,” sela A Cu tiba-tiba, "Jiko dan Jiso biasanya sangat angkuh, betapa pun tangguhnya musuh juga tidak pernah mengirim surat untuk minta bala bantuan. Tapi sekali ini telah minta kita keluar semua, mungkin pihak lawan benar-benar sangat lihai.”

"Tabiat Loji memang seperti apa yang kau katakan,” sahut Pau-samsiansing dengan tertawa, "tapi kupikir sebabnya dia minta bala bantuan agaknya bukan untuk kepentingannya, tapi demi kepentingan Buyunghiante.”

Mendengar Buyung-kongcu disinggung, Giok-yan menjadi ketarik dan cepat menanya, "Sebab apa demi untuk dia?”

Jilid 22
"Ilmu silat Loji dengan sendirinya bukan nomor satu di dunia ini,” demikian tutur Pau-sam. "Tapi kalau dia tak sanggup melawan orang dan ingin melarikan diri, kuyakin di jagat ini juga tiada seorang pun mampu menahannya. Apalagi mereka suami-istri gabung bersama, tiada seorang pun yang mereka takuti. Tapi demi keselamatan Buyung-hiante, ia pikir mendatangkan bala bantuan lebih banyak akan lebih baik.”

"Apa yang dikatakan tujuh golongan dan aliran keempat provinsi itu entah terdiri dari orang-orang macam apa?” tanya Giok-yan. Terhadap ilmu silat dari berbagai aliran tiada satu pun yang tak dikenalnya. Maka asal ia tahu dari golongan atau aliran mana, untuk menghadapinya menjadi sangat mudah.

Setelah membaca pula surat itu, Pau-sam menjawab, "Dalam surat Jiko ini tidak diterangkan siapa-siapa ketujuh aliran dan golongan itu. Agaknya dia sendiri tidak tahu, biasanya Jiko sangat cermat setiap tindak tanduknya, kalau tahu tentu dia jelaskan di sini.”

Habis ini, mendadak ia berpaling kepada Toan Ki dan berkata kepadanya, "Hai, orang she Toan, sekarang silakan kau pergi saja! Kami hendak berunding urusan pribadi, tidak perlu kau ikut serta. Kami pergi bertanding dengan orang juga tidak perlu kehadiranmu untuk memberi sorakan.”

Dari tadi Toan Ki memang sedang merasa sangat tawar karena dirinya hanya mendengarkan percakapan mereka tentang Buyung-kongcu hendak bertanding dengan orang. Kini secara terang-terangan Pau-samsiansing menuding pintu pula baginya, keruan ia tambah tersinggung. Meski rasanya sangat berat meninggalkan Giokyan, namun dia toh tidak dapat tinggal di situ tanpa kenal malu.

Maka dengan keraskan hati segera ia berkata, "Baiklah, Ong-kohnio, nona-nona A Cu dan A Pik, sekarang juga kumohon diri saja, sampai berjumpa pula.”

"Tengah malam buta engkau hendak pergi ke mana?” tanya Giok-yan. "Apalagi jalanan air di sini engkau juga tidak paham, lebih baik engkau tinggal semalam di sini, esok pagi engkau boleh berangkat.”

Ucapan Giok-yan seperti menahan tamunya agar jangan pergi dulu, tapi Toan Ki dapat menyelami perasaan gadis itu jelas sudah melayang kepada diri Buyung-kongcu. Mau tak mau Toan Ki jadi dongkol dan merasa terhina.

Jelek-jelek dia adalah calon putra mahkota kerajaan Tayli, sejak kecil ia pun biasa disanjung puji, walaupun

sejak berkelana di Kangouw telah banyak mengalami penderitaan dan bahaya, tapi belum pernah dipandang rendah sebagai sekarang ini. Maka katanya segera, "Berangkat sekarang atau besok sama saja, biarlah aku mohon diri.”

"Jika begitu, akan kusuruh orang mengantar engkau keluar dari danau ini,” kata A Cu.

Melihat A Cu juga tidak menahannya, Toan Ki tambah kurang senang. Ia semakin iri kepada Buyung-kongcu yang dipuja berlebih-lebihan itu. Maka jawabnya, "Tidak perlu antar, cukup pinjamkan sebuah perahu, biar aku mendayung sendiri ke mana saja tibanya nanti.”

"Engkau kurang paham jalanan air di danau luas itu, mungkin engkau akan kesasar,” ujar A Pik.

Namun dengan marah-marah Toan Ki lantas menyahut, "Kalian sudah memperoleh kabar Buyung-kongcu, maka lekas berunding untuk pergi membantunya. Aku tiada punya perjanjian apa-apa dengan jago silat segala, pula bukan Piaute kalian, tidak perlu kalian pikirkan.”

Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas bertindak keluar.

A Cu dan A Pik terpaksa mengantar tamunya keluar. Kata A Pik, "Toan-kongcu, kelak kalau bertemu dengan Kongcu kami, boleh jadi kalian akan menjadi sahabat baik.”

"Ah, mana aku berani mengharapkan,” sahut Toan Ki dingin.

Mendengar nada perkataan pemuda itu agak marah, A Pik menjadi heran, ia tanya, "Toan-kongcu, sebab apakah engkau kurang senang? Apakah pelayanan kami ada yang kurang sempurna?”

"Ya, sifat Pau-samko kami memang begitulah, jika Toan-kongcu merasa tersinggung, harap dimaafkan,” A Cu ikut berkata.

Toan Ki tidak bicara lagi, cepat ia menuju ke tepi danau dan melompat ke dalam perahu, ia angkat pengayuhnya terus didayung sekuatnya ke tengah danau. Ia merasa dadanya sesak, apa sebabnya, ia sendiri tidak dapat menerangkan. Yang terpikir olehnya adalah selekasnya pergi, kalau tinggal lebih lama di situ, boleh jadi air matanya akan meleleh keluar.

Sudah banyak Toan Ki menderita. Ia pernah dianiaya orang Bu-liang-kiam dan Sin-long-pang, pernah disiksa Lam-hay-gok-sin, pernah dikurung oleh Yan-king Taycu dan pernah diculik Ciumoti dari Hunlam hingga sampai di daerah Koh-soh. Duka derita kesemua itu belum pernah dirasakannya sehebat sekarang ini.

Padahal di dalam Thing-hiang-cing-sik itu tiada seorang pun yang menyinggungnya. Pau-samsiansing walaupun kasar padanya, tapi tidak keterlaluan seperti dia memperlakukan Cu Po-kun dan Yau Pek-tong. Giokyan juga sudah buka suara minta ia tinggal lagi semalam, A Cu dan A Pik juga mengantarnya keluar dengan ramah tamah. Akan tetapi perasaan Toan Ki justru sangat gundah dan kesal tak terkatakan.

Angin malam meniup sepoi-sepoi di tengah danau dengan harum bunga teratai yang semerbak, Toan Ki mendayung terus dengan perasaan yang tetap kesal. Sungguh ia tidak tahu apa yang ia kesalkan dan kepada siapa ia mesti kuras rasa kesalnya itu.

Dahulu ketika ia dianiaya dan disiksa oleh Lam-hay-gok-sin, Yan-king Taycu dan lain-lain derita waktu itu sangat hebat, tetapi semuanya itu ia hadapi dengan lapang dada.

Tapi sekarang benar-benar luar biasa. Lamat-lamat hati kecilnya merasa kesalnya ini disebabkan ia jatuh cinta kepada Ong Giok-yan, sebaliknya dalam hati si nona ternyata tiada tempat bagi Toan Ki, bahkan dayangdayang seperti Cu dan A Pik juga pandang sebelah mata padanya.

Padahal sejak kecil Toan Ki sudah disanjung sebagai permata hati oleh ayah-bunda, bahkan raja dan ratu negeri Tayli juga sangat sayang padanya. Malahan musuh sekalipun seperti Lam-hay-gok-sin melihat dia juga lantas kepincut dan ingin mengambilnya sebagai murid. Lebih-lebih gadis jelita seperti Ciong Ling dan Bok Wanjing, siapa yang tidak jatuh hati padanya?

Tapi hari ini benar-benar untuk pertama kalinya ia dihadapkan pada sikap dingin, meski orang lain cukup menghormat padanya, tapi hormat itu adalah hormat tanpa perhatian.

Terasa olehnya bahwa dalam pandangan orang, kedudukan Buyung-kongcu jauh lebih penting daripadanya. Selama beberapa hari ini, Buyung-kongcu itu seakan-akan menjadi pusat perhatian setiap orang. Siapa saja asal menyebut Buyung-kongcu seketika menimbulkan perhatian setiap orang. Giok-yan, A Cu, A Pik, Ong-hujin, Pau-samsiansing dan orang yang disebut Ting-toaya, Kongya-jiya, Hong-suya segala, semuanya seperti dilahirkan melulu untuk menjunjung Buyung-kongcu.

Selama hidup Toan Ki tidak pernah merasa iri dan cemburu, kini seorang diri berada dalam perahu di tengah danau seluas ini, samar-samar ia seperti melihat bayangan Buyung-kongcu sedang tertawa ejek padanya, "Toan Ki, wahai Toan Ki. Bukankah engkau ini mirip si cebol merindukan rembulan? Haha, apa engkau tidak merasa malu?”

Karena kesal hatinya, caranya mendayung menjadi sekuat-kuatnya. Sampai lebih satu jam lamanya, bukannya ia merasa lelah, sebaliknya tenaga dalamnya semakin berkobar dan penuh semangat. Dan karena berkobarnya semangat itu, rasa kesalnya perlahan lenyap juga.

Setelah mendayung pula satu-dua jam lamanya, fajar sudah mulai menyingsing, ufuk timur mulai terang. Ia lihat di sisi utara di balik awan yang tebal itu menjulang tinggi sebuah gunung. Ia coba menaksir kedudukannya waktu itu berada di mana, ia taksir Thing-hiang-cing-sik dan Khim-im-siau-tiok itu berada di arah timur, maka asal perahu itu didayungnya ke utara, dengan sendirinya takkan balik kembali ke tempat semula.

Tapi aneh, setiap ia mendayung sekali, hatinya bertambah berat rasanya, tanpa terasa terkenang olehnya akan diri Giok-yan yang semakin jauh ditinggalkan itu.

Sekitar tengah hari, Toan Ki telah mendayung perahunya sampai di kaki gunung itu. Ia coba mendarat dan tanya penduduk setempat. Kiranya gunung itu bernama Ma-jik-san atau gunung tapak kuda, jaraknya dengan kota Bu-sik sudah tak seberapa jauh lagi.

Ketika di Tayli pernah juga Toan Ki membaca nama Bu-sik itu adalah sebuah kota yang terkenal. Ia pikir toh tiada pekerjaan apa-apa, biarlah pergi ke kota itu saja.

Segera ia kembali ke atas perahu dan mendayung pula ke utara, tiada sejam kemudian, tibalah dia di tepi kota Bu-sik.

Ia tinggalkan perahunya dan masuk ke kota. Ia lihat orang ramai berlalu-lalang di dalam kota, dibandingkan kota Tayli, masing-masing memang mempunyai suasana sendiri-sendiri.

Ia berjalan terus sambil menikmati pemandangan kota. Tiba-tiba ia mengendus bau sedapnya masakan. Sudah setengah harian ia tidak makan, ditambah mendayung perahu selama beberapa jam, ia menjadi sangat lapar. Maka ia kegirangan demi mengendus bau makanan lezat itu.

Cepat ia menuju ke arah bau sedap itu. Setelah membelok sebuah jalan, ia lihat sebuah restoran besar, papan mereknya tertulis tiga huruf "Siong-ho-loa” yang sangat besar. Bau sedap masakan itu ternyata tersiar dari restoran ini. Malahan sesudah dekat, terdengarlah suara sibuk pelayan restoran itu sedang melayani tetamunya, hal ini menandakan restoran itu pasti sangat tersohor di kota ini.

Segera Toan Ki masuk dan naik ke atas loteng restoran, pelayan memapaknya dengan sangat hormat serta menyilakannya memilih tempat duduk.

Toan Ki minta disediakan sepoci arak, empat macam makanan. Sambil bersandar di langkan loteng restoran, ia makan minum sendiri. Mendadak hatinya terasa kesepian dan masygul. Tanpa merasa ia menghela napas panjang.

Karena itu, tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di depannya menoleh, sinar matanya yang tajam mengilat itu mengerling dua kali pada Toan Ki.

Waktu Toan Ki balas pandang orang, ia lihat perawakan orang itu sangat gagah, usianya kurang lebih 33-34 tahun, berbaju besar beraut muka lebar. Walaupun wajahnya tidak bisa dikatakan cakap, tapi gagah dan berwibawa.

Diam-diam Toan Ki menanggapi, "Sungguh seorang yang hebat! Pastilah seorang kesatria pilihan, baik di Kanglam maupun di Tayli pasti sukar mendapatkan kesatria semacam ini.”

Ia lihat di atas meja laki-laki itu tertaruh senampan daging masak, semangkuk kuah dan sepoci arak, kecuali itu tiada masakan lain, suatu tanda cara makan minum orang itu pun sangat sederhana.

Setelah memandang sekejap-dua-kejap kepada Toan Ki, tampaknya laki-laki itu merasa agak heran, tapi ia pun tidak urus lebih jauh dan berpaling pula ke sana untuk makan minum sendiri.

Toan Ki sedang merasa kesepian, maka bermaksud mencari sahabat. Segera ia panggil pelayan, katanya sambil menunjuk bayangan belakang laki-laki itu, "Sebentar rekening tuan ini sekalian dihitung ke dalam rekeningku.”

Rupanya laki-laki gagah itu mendengar ucapan Toan Ki, ia menoleh dan tersenyum serta mengangguk perlahan, tapi tidak berkata apa-apa. Maksud Toan Ki hendak berkenalan untuk menghilangkan kesepian menjadi belum ada kesempatan.

Setelah minum beberapa cawan lagi, Toan Ki mendengar tangga loteng berdetak, dari bawah naik pula dua orang. Seorang yang berjalan di depan sebelah kakinya pincang, maka ia membawa tongkat, tapi jalannya tetap sangat cepat. Orang kedua adalah seorang kakek yang bermuka muram durja seperti kebanyakan utang.

Pakaian kedua orang itu pun berwarna kelabu. Mereka mendekati meja laki-laki tadi dan memberi hormat dengan membungkuk. Laki-laki muda itu cuma manggut-manggut saja tanpa berdiri atau membalas hormat.

Maka berkatalah si pincang dengan hormat, "Lapor Toako, pihak lawan menentukan tengah malam nanti bertemu di gardu pemandangan di atas Hui-san.”

"Malam ini?” kata laki-laki muda itu sambil mengangguk. "Apakah tidak terlalu mendesak waktunya?”

"Sebenarnya kita tetapkan pertemuan dengan mereka tiga hari lagi,” tutur si kakek. "Tapi pihak lawan rupanya mengetahui jumlah kita tidak seberapa orang, mereka sengaja berolok-olok, katanya kalau kita tidak berani menepati janji, malam nanti tidak usah datang ke sana.”

"Baiklah,” sahut laki-laki muda itu. "Sekarang juga sampaikan kepada kawan-kawan agar sebelum tengah malam nanti beramai-ramai kita berkumpul di Hui-san. Kita harus tiba di sana lebih dulu untuk menunggu kedatangan pihak lawan.”

Kedua orang itu mengiakan dan turun lagi ke bawah loteng.

Percakapan ketiga orang itu sebenarnya dilakukan dengan perlahan, tamu lain di atas loteng itu tiada yang dengar. Tapi Lwekang Toan Ki sekarang sudah sangat tinggi, matanya jeli dan telinganya tajam, meski dia tidak sengaja mendengarkan percakapan mereka, namun dengan sendirinya apa yang dibicarakan orang-orang itu terdengar olehnya.

Seperti tidak sengaja tiba-tiba laki-laki itu berpaling ke arah Toan Ki. Melihat pemuda itu sedang termangumangu, terang lagi memerhatikan percakapannya mendadak sinar mata laki-laki itu memancar tajam hingga Toan Ki terkejut, tanpa terasa cawan yang dipegang tangan kirinya terjatuh dan terbanting hancur.

"Ada urusan apakah saudara ini menjadi gugup?” kata laki-laki itu sambil tersenyum. "Apa sekiranya sudi pindah ke meja sini, marilah kita minum bersama?”

"Bagus, bagus sekali!” sambut Toan Ki dengan gembira. Segera ia minta pelayan memindahkan mangkukpiringnya ke meja orang itu kemudian ia tanya nama orang.

"Sudah tahu, mengapa saudara pura-pura tanya?” demikian jawab laki-laki itu dengan tertawa. "Kita tidak perlu saling tanya, minumlah beberapa mangkuk, bukankah suatu pertemuan yang menggembirakan? Bila nanti kawan atau lawan sudah menjadi terang tentu takkan gembira seperti ini.”

Toan Ki rada heran oleh jawaban itu. Dengan tersenyum ia berkata pula, "Rasanya Hengtay (saudara terhormat) telah salah mengenali orang dan menyangka aku sebagai musuh. Tapi kata-kata ‘tidak perlu saling tanya’ menang sangat cocok dengan seleraku. Marilah minum, silakan!”

Segera ia menuang secawan penuh dan sekali tenggak dihabiskan.

"Saudara ini ternyata suka bicara secara blakblakan dan tidak mirip seorang Susing (kaum pelajar) yang tengik tingkah lakunya,” ujar laki-laki itu dengan tersenyum. "Rupanya boleh juga kekuatan minum saudara, cuma cawanmu itu terlalu kecil!”

Segera ia berteriak, "Hai, pelayan, ambilkan dua mangkuk besar dan bawakan 10 kati Ko-liang-ciu.”

Mendengar laki-laki itu pesan 10 kati arak Ko-liang-ciu yang terkenal keras, keruan Toan Ki dan si pelayan kaget semua.

"Tuan besar,” dengan tertawa si pelayan coba tanya, "sepuluh kati Ko-liang-ciu apakah dapat habis?”

"Kongcuya ini sudah menyatakan akan menanggung pembayaranku, kenapa kau menghemat baginya?” kata laki-laki itu sambil tunjuk Toan Ki. "Ayo, lekas ambilkan, kalau 10 kati kurang, sebentar ambilkan lagi 20 kati.”

Pelayan itu tidak berani banyak omong lagi, dengan tertawa segera ia lari pergi menyediakan pesanan itu. Tidak antara lama, dua mangkuk besar dan satu guci arak sudah tertaruh di atas meja.

"Tuanglah sepenuhnya kedua mangkuk itu,” perintah laki-laki itu.

Pelayan menurut membuka guci, ia isi penuh kedua mangkuk itu dengan arak Ko-liang itu hingga hampir luber.

Seketika hidung Toan Ki terserengguk oleh bau arak yang keras itu hingga rasanya memabukkan. Waktu tinggal di rumah sendiri, paling-paling ia cuma terkadang minum secawan dua cawan bilamana suka dan belum pernah menyaksikan orang minum arak dengan memakai mangkuk sebesar itu, apalagi isinya adalah Ko-liangciu yang keras. Keruan ia berkerut kening.

"Ayolah kita masing-masing minum sepuluh mangkuk, habis itu, anggaplah kita sudah bersahabat, sudikah engkau?” tanya laki-laki itu tertawa.

Melihat waktu bicara sorot mata orang mengandung rasa memandang rendah dan menyindir, jika dalam keadaan biasa, tentu Toan Ki menolaknya dan menyatakan terima kasih, tapi semalam ia habis dihina dan kenyang diperlakukan dengan kasar di Thing-hiang-cing-sik, kini melihat sikap orang ini besar kemungkinan adalah sekomplotan dengan Buyung-kongcu, kalau bukan Ting-toaya, Kongya-jiya, tentulah Hong-siya. Katanya mereka sudah berjanji akan bertempur melawan jago-jago tujuh aliran besar dari berbagai provinsi. Hm, Buyung-kongcu itu kutu macam apa? Aku justru tidak sudi dihina oleh begundalnya, paling-paling mati mabuk, kenapa aku mesti takut.

Karena pikiran itu, segera Toan Ki membusungkan dada dan menyahut, "Marilah, sudah tentu kuterima ajakan Hengtay, cuma sebentar bila aku mabuk, tentu akan bikin susah pada Hengtay.”

Habis berkata, tanpa pikir ia terus angkat mangkuk di depannya dan sekali tenggak habislah isi mangkuk itu mengalir ke dalam perutnya.

Sebabnya dia nekat menghabiskan arak semangkuk penuh itu adalah karena rasa tidak mau kalah, biarpun Ong Giok-yan tidak di situ, tapi Toan Ki anggap seperti sedang diperlihatkan kepada nona itu sebagai tanda tidak mau kalah daripada Buyung Hok. Jangankan cuma semangkuk arak, sekalipun yang harus diminum itu racun juga tanpa ragu akan diminumnya.

Melihat cara minum Toan Ki sangat cepat, hal ini rada di luar dugaan laki-laki itu, ia terbahak-bahak dan berkata, "Sungguh menyenangkan cara minum saudara ini!”

Segera ia pun angkat mangkuknya dan menenggak habis isinya. Menyusul ia menuang dua mangkuk penuh pula.

"Ehm, arak bagus, arak bagus!” seru Toan Ki dengan tertawa. Dan kembali mangkuk diangkatnya dan ditenggaknya hingga kering.

Laki-laki itu menirukan juga menghabiskan isi mangkuknya, lalu menuang lagi dua mangkuk.

Semangkuk penuh itu isinya satu kati arak. Kini dalam perut Toan Ki sudah terisi dua kati arak keras, keruan

perutnya terasa panas bagai dibakar, kepalanya juga mulai pusing, tapi masih teringat olehnya, "Hm, Buyung Hok itu kutu macam apa? Masakah aku kalah daripada begundalnya?”

Karena itu, untuk ketiga kalinya mangkuk diangkat pula dan diminum habis.

Melihat muka pemuda itu dalam sekejap saja sudah merah membara, diam-diam laki-laki itu merasa geli, ia yakin setelah menghabiskan tiga mangkuk arak itu, sebentar lagi pasti Toan Ki akan menggeletak mabuk.

Setelah minum mangkuk kedua tadi memang rasa Toan Ki sudah mual dan ingin tumpah, kini ditambahi pula isi mangkuk ketiga itu, keruan isi perutnya seketika bagai diaduk-aduk dan berjungkir balik.

Namun ia tutup mulut rapat-rapat supaya air arak itu tidak tersembur keluar. Sekonyong-konyong perutnya terasa bergetar, arus hawa murni menerjang ke atas hingga keadaan badan rasanya seperti dahulu waktu hawa murni dalam tubuh tak dapat dipusatkan, segera ia menurut ajaran sang paman tempo hari untuk menarik hawa murni ke "Tay-cui-hiat” di pusatnya.

Tak terduga, karena arak yang diminumnya terlalu banyak, arak itu ikut terbawa hawa murni itu hingga tidak dapat terhimpun di Tay-cui-hiat, sebaliknya terus merembes ke Thian-cong-hiat di bagian bahu, terpaksa Toan Ki membiarkannya, dan arak itu terus menyusur ke Kok-cin-hiat di lengan kiri, dari situ akhirnya sampai di Siau-tik-hiat di jari kecil kiri, maka tercurah keluarlah arak itu bagai mata air.

Jalan yang dilalui hawa murni yang dikerahkannya sekarang tiada ubahnya seperti "Siau-tik-kiam”, yaitu satu di antara "Lak-meh-sin-kiam” dari keluarga Toan mereka yang hebat itu. Sebenarnya Siau-tik-kiam itu adalah semacam hawa pedang yang tanpa wujud, tapi kini dari jari kecilnya itu ternyata menetes keluar air arak dengan perlahan.

Tantang air arak menetes keluar dari jari kecilnya, semula Toan Ki sendiri tidak tahu, menyusul "Koan-cionghiat” di jari manis kiri pun merembes keluar air arak. Maka sebentar saja pikiran Toan Ki sudah jernih kembali.

Karena tangan kiri Toan Ki itu dilambaikan ke bawah, maka apa yang terjadi itu tidak diketahui oleh laki-laki itu.

Ketika dilihatnya muka Toan Ki yang tadinya merah, sinar matanya buram sebagaimana biasanya orang mabuk, tapi hanya sekejap saja kembali mukanya bercahaya dan segar penuh semangat, keruan orang itu terheran-heran, katanya dengan tertawa, "Tampaknya Hengtay ini lemah gemulai, tapi kekuatan minum arak ternyata sangat hebat.”

Habis berkata, kembali ia menuang penuh dua mangkuk.

"Kekuatan minumku ini tergantung dari keadaan,” ujar Toan Ki dengan tertawa. "Kata orang, ‘ketemu sobat sejati, seribu cawan arak pun sedikit’. Menurut perkiraanku, isi mangkuk ini paling-paling sama banyaknya dengan isi 20 cawan. Maka untuk mencukupi seribu cawan, sedikitnya harus 50 mangkuk besar ini terisi penuh. Cuma Siaute mungkin tidak sanggup menghabiskan 50 mangkuk ini.”

Sembari berkata, segera tangan kanan mengangkat pula mangkuknya dan kembali diminum habis.

Karena tangan kirinya terjulur ke bawah dan bersandar di langkan jendela, maka air arak yang merembes keluar dari jari kecil dan manis tangan kiri itu lantas mengalir ke bawah melalui dinding yang bergandengan dengan langkan jendela itu.

Tentu saja tiada seorang pun yang tahu akan kejadian itu dan tiada sedikit pun tanda yang mencurigakan. Maka tidak antara lama empat mangkuk arak yang diminumnya itu merembes keluar semua melalui jari tangannya itu.

Orang itu sebenarnya yakin dirinya pasti paling kuat minum arak di seluruh jagat ini, tapi kini melihat seorang pelajar kurus lemah seperti Toan Ki ternyata sekaligus mampu menghabiskan empat mangkuk arak keras tanpa sinting sedikit pun, keruan ia terheran-heran. Katanya kemudian, "Bagus, bagus! Memang seribu cawan terlalu sedikit minum bersama sobat sejati. Marilah kuminum dulu.”

Segera ia menuang dua mangkuk penuh dan berturut-turut dihabiskannya. Lalu ia menuangkan dua mangkuk pula untuk Toan Ki. Sekarang Toan Ki sengaja pamerkan kekuatannya minum arak dengan acuh tak acuh serta bersenda gurau, ia tenggak pula kedua mangkuk arak itu seperti orang sedang minum teh saja.

Tentu saja perlombaan minum arak mereka ini menggemparkan tamu-tamu lain, bahkan tukang api, tukang masak dan kuasa restoran sama datang merubung untuk menyaksikan cara minum mereka.

"Pelayan,” tiba-tiba laki-laki itu berseru, "lekas ambilkan pula 20 kati arak!”

Pelayan melelet lidah, tapi ia tidak berani banyak omong terus berlari ke belakang untuk mengeluarkan pula satu guci arak yang dua kali lebih besar daripada tadi.

Begitulah satu mangkuk sama satu mangkuk Toan Ki bergiliran minum dengan laki-laki itu, tampaknya kekuatan kedua orang setanding, maka tiada setengah jam, masing-masing orang sudah menghabiskan lebih 30 mangkuk.

Dengan sendirinya Toan Ki tahu dirinya main sulap dengan jari, arak yang diminumnya itu cuma menyalur ke dalam tubuh untuk kemudian mengalir keluar lagi dengan cepat, maka kekuatan minumnya boleh dikatakan tanpa takaran, biarpun seratus atau dua ratus mangkuk juga bukan apa-apa baginya.

Sebaliknya laki-laki itu benar-benar minum dengan kepandaian yang sejati. Tampaknya sudah lebih 30 mangkuk arak ditenggaknya, tapi mukanya masih tetap tenang-tenang saja tanpa ada tanda mabuk sedikit pun, mau tak mau Toan Ki sangat kagum juga.

Dan karena melihat laki-laki itu sangat gagah perkasa, perasaan permusuhan Toan Ki semula karena menganggap orang adalah begundal Buyung-kongcu, kini berbalik timbul rasa suka bersahabat dengan lakilaki itu. Diam-diam Toan Ki pikir, "Jika minum secara begini dipaksakan terus, sudah tentu aku takkan kalah, tapi bagi orang ini tentu kesehatannya akan terganggu.”

Karena itu, setelah persis minum sampai 40 mangkuk, segera Toan Ki buka suara, "Kita masing-masing sudah minum 40 mangkuk bukan, saudara?”

"Hitungan Hengtay ternyata tepat,” ujar laki-laki itu dengan tertawa.

"Rupanya kita benar-benar telah ketemukan tandingan yang setimpal dan sama-sama kuat,” kata Toan Ki dengan tertawa. "Untuk bisa menentukan kalah atau menang, mungkin tidaklah mudah. Tapi kalau kita minum terus tanpa batas seperti wah, isi kantongku yang bakal jebol, pasti tidak cukup untuk membayar.”

Habis berkata, terus saja ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah dompet sulaman indah dan dilemparkan ke atas meja. "Tek”, memang benar isi dompetnya itu agak kempis.

Sebagai seorang pangeran, dengan sendirinya Toan Ki tidak perlu banyak membekal uang, sebab kalau perlu tentu ada pengawalnya yang akan membayarkan kepentingannya. Apalagi datangnya ke Kanglam ini karena diculik oleh Ciumoti, dengan sendirinya berangkatnya itu tiada membawa sangu apa-apa.

Dompet kain sulaman yang dikeluarkannya ini sangat indah, sekali pandang saja orang akan tahu adalah benda yang bernilai, tapi isinya memang kempis, hal ini pun sekali pandang saja orang akan tahu.

Maka tertawalah laki-laki itu, katanya tiba-tiba kepada salah seorang tamu restoran yang gemuk, "Thio-toaya, rekening kami ini haraplah suka kau bereskannya.”

Tetamu gemuk itu adalah seorang saudagar setengah umur, ia menjawab dengan tertawa, "Sudah tentu, sudah tentu! Jika Kiau-toako sudi memberi muka, pasti Siaute akan menjadi tuan rumah sekadarnya.”

Habis berkata, ia terus mengeluarkan serenceng uang perak dan diserahkan kepada pelayan.

"Terima kasih!” kata laki-laki itu sambil memberi hormat. Lalu Toan Ki digandengnya keluar sambil berkata, "Sobat baik, marilah kita pergi!”

Sungguh girang Toan Ki tak terkatakan. Selama tinggal di negeri Tayli ia adalah putra pangeran yang diagungkan, jarang bisa bergaul dengan kawan-kawan baik sejati. Tapi hari ini tanpa susah-susah, bukan dengan ilmu sastra atau ilmu silat, tapi hanya dengan cara yang aneh, yaitu berlomba minum arak, dan dapatlah mengikat persahabatan dengan seorang laki-laki segagah ini, sungguh kejadian ini dirasakannya sebagai sesuatu yang paling aneh selama hidupnya.

Sambil menggandeng tangan Toan Ki, laki-laki itu lantas mengajaknya turun ke bawah loteng dan meninggalkan restoran itu. Jalan laki-laki itu makin lama makin cepat, hanya sebentar saja mereka sudah sampai di luar kota.

Langkah laki-laki itu bertambah cepat lagi mengikuti jalan raya. Toan Ki himpun tenaga dan selalu berjalan berendeng dengan laki-laki itu, meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi tenaga dalamnya sangat kuat, kalau cuma berjalan cepat seperti itu, sama sekali takkan membuatnya lelah atau tersengal-sengal.

Melihat Toan Ki mengikuti jalannya dengan sama cepatnya, laki-laki itu tersenyum, katanya, "Sobat baik, marilah kita berlomba lari!”

Toan Ki menjadi ragu, ia sendiri tidak pernah belajar ilmu silat atau Ginkang segala, cara bagaimana sanggup berlomba dengan orang. Celakanya, sehabis laki-laki itu berkata tadi, tanpa tunggu jawaban Toan Ki terus saja orang tarik tangan anak muda itu dan dilarikan secepat terbang ke depan.

Karena tidak siap sebelumnya, sesudah ikut lari beberapa langkah, hampir saja ia jatuh tersandung, syukur ia dapat menggeser kaki kiri ke samping, dengan demikian barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Ternyata langkahnya yang tidak sengaja ini tepat adalah salah satu ilmu langkah dari "Leng-po-wi-poh” yang pernah diyakinkannya itu.

Dan karena langkah yang tak sengaja tapi tepat itu, tanpa terasa ia terus dapat mendahului malah hingga beberapa tindak di muka.

Toan Ki merasa senang, maka langkah kedua segera pakai "Leng-po-wi-poh” pula. Cuma waktu menjalankan ilmu langkah ini harus mencurahkan perhatian sepenuhnya dan tidak boleh berpikir lain.

Tadi ia bergandengan tangan dengan laki-laki itu sambil menahan tenaga dalamnya menurut ajaran sang paman hingga Cu-hap-sin-kang dalam tubuh tidak sampai menyedot hawa murni laki-laki itu. Tapi kini sekali ia menggunakan langkah "Leng-po-wi-poh”, seketika tubuh laki-laki itu tergetar, kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk melepaskan tangannya.

Maka kedua orang itu sekarang berlari berjajar, begitu cepat mereka berlari hingga pohon-pohon di tepi jalan seakan-akan melayang lewat di samping mereka.

Waktu Toan Ki mempelajari "Leng-po-wi-poh” itu sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kepandaian itu akan dipakai untuk berlomba lari dengan orang. Tapi kini sekali dia mainkan ilmu langkah itu, sebagai anak panah yang sudah terpentang di busurnya, mau tak mau harus dilepaskannya. Cuma pikiran untuk menangkan lakilaki itu juga tak ada pada benaknya, ia cuma berlari menurutkan ilmu langkah yang sudah masak diyakinkannya itu, ditambah Lwekangnya sangat tinggi, tentu saja larinya melebihi juara marathon. Apakah laki-laki itu sudah mendahului atau masih ketinggalan di belakang tak sempat dipikirnya lagi.

Dan lari laki-laki itu ternyata makin lama yakin cepat. Hanya sekejap saja Toan Ki sudah ketinggalan jauh di belakang. Tapi asal ayal sedikit, segera Toan Ki dapat menyusulnya lagi. Ia coba melirik pemuda itu, ternyata tindakan Toan Ki tampak berlenggang seenaknya saja, jadi seperti orang lagi berjalan jalan biasa, sedikit pun tiada tanda dipaksakan.

Keruan laki-laki itu sangat heran dan diam-diam bertambah kagum. Segera ia tancap gas hingga Toan Ki tertinggal lagi di belakang.

Begitulah beberapa kali dicoba dan laki-laki itu pun tahu tenaga dalam Toan Ki ternyata sangat kuat, untuk menangkan anak muda itu dalam jarak dekat memang gampang, tapi kalau berlari jauh, pasti dirinya akan menyerah kalah.

Mendadak ia terbahak-bahak, lalu berhenti dan berduduk di atas batu di bawah pohon yang rindang, serunya, "Buyung-kongcu, hari ini Kiau Hong benar-benar menyerah padamu, Koh-soh Buyung memang bukan omong kosong belaka!”

Cepat Toan Ki berhenti juga, dan ketika dipanggil sebagai "Buyung-kongcu”, keruan ia terheran-heran. Segera jawabnya, "Siaute she Toan bernama Ki, berasal dari negeri Tayli, agaknya Hengtay salah mengenali orang!”

Seketika wajah laki-laki itu menampilkan rasa heran dan sangsi, katanya dengan tak lancar, "Apa? Kau ... kau ... bukan Buyung Hok, Buyung-kongcu?”

"Sejak Siaute datang di Kanglam sini, setiap hari selalu mendengar orang menyebut nama Buyung-kongcu, sungguh Siaute kagum tak terhingga kepada nama itu, cuma sayang sampai saat ini tidak sempat berkenalan dengan dia,” demikian sahut Toan Ki.

Diam-diam ia pun heran, laki-laki itu salah sangka dirinya sebagai Buyung Hok, sikapnya itu tampak bukan pura-pura saja. Jika demikian, dengan sendirinya ia bukan begundal Buyung Hok itu?

Berpikir demikian, makin besar rasa sukanya kepada laki-laki itu, maka tanyanya, "Hengtay barusan menyebut namanya sendiri, apakah benar she Kiau bernama Hong?”

"Benar, Cayhe Kiau Hong adanya,” sahut laki-laki itu dengan tetap heran.

Toan Ki lantas duduk juga di atas batu itu, katanya, "Siaute baru saja datang ke Kanglam sini lantas dapat bersahabat dengan kesatria gagah seperti Kiau-heng, sungguh sangat beruntung.”

"O, jadi engkau anak murid keluarga Toan dari Tayli, pantas, pantas!” kata Kiau Hong sesudah berpikir sejenak. "Toan-heng ada urusan apa datang ke daerah selatan sini?”

"Sungguh memalukan kalau diceritakan, kedatanganku ke sini sebenarnya ditawan orang,” tutur Toan Ki.

Lalu ia ceritakan pengalamannya cara bagaimana Ciumoti menawannya dan menggondolnya ke sini serta bertemu dengan kedua dayang Buyung Hok, semua itu ia tuturkan secara ringkas. Namun begitu sedikit pun tidak mengurangi apa yang telah terjadi sebenarnya, sama sekali ia tidak malu-malu untuk menceritakan tentang dirinya dihina dan disiksa orang.

Habis mendengar, Kiau Hong terheran-heran dan senang pula, katanya, "Toan-heng, engkau sungguh seorang yang berhati jujur dan suka terus terang, biarpun baru kenal, namun kita sudah bergaul sebagai kawan lama.

Jika engkau sudi, maukah kita mengangkat saudara?”

Ternyata umur Kiau Hong lebih tua 12 tahun daripada Toan Ki, dengan sendirinya Toan Ki harus memanggilnya sebagai Toako dan Kiau Hong memanggilnya Hiante. Begitulah mereka mengadakan upacara singkat dan sederhana untuk mengangkat saudara.

"Ketika di atas restoran itu, Siaute dengar bahwa Toako telah berjanji untuk bertemu dengan musuh pada malam ini,” demikian kata Toan Ki kemudian. "Meski Siaute tidak mahir ilmu silat tapi juga ingin melihat ramai-ramai ke sana. Dapatkah Toako mengizinkan Siaute ikut?”

Kiau Hong coba tanya lagi dan benar-benar mengetahui Toan Ki memang tidak bisa ilmu silat, keruan ia tambah heran, katanya, "Dengan tenaga dalam Hiante yang hebat ini untuk belajar silat tingkat tinggi sudah tentu seperti orang merogoh saku mengambil barang sendiri, sedikit pun tidak sukar. Kalau Hiante ingin menyaksikan pertempuran malam ini, apa alangannya? Sebentar bolehlah ikut ke sana. Cuma musuh terlalu ganas dan keji, Hiante sekali-kali jangan unjukkan diri.”

"Sudah tentu Siaute menurut segala pesan Toako,” kata Toan Ki dengan girang.

"Dan sekarang waktunya masih cukup, marilah kita kembali ke kota untuk minum arak pula, setelah itu barulah kita berangkat ke Hui-san untuk menemui musuh,” ajak Kiau Hong.

Mendengar sang Toako ingin minum arak lagi Toan Ki kaget. Masakan baru habis minum 40 mangkuk besar dan sekarang sudah ingin minum lagi? Maka sahutnya segera, "Toako, cara Siaute berlomba minum denganmu tadi sebenarnya cuma tipuan belaka, harap Toako jangan marah.”

Segera ia acungkan jari kecil kiri ke depan, "crit”, arus hawa terus muncrat keluar dari Siau-tik-hiat hingga debu di tanah bertebaran oleh semburan hawa itu.

Keruan Kiau Hong terkejut, katanya dengan tergegap, "Hiante, apakah ... apakah ini ilmu sakti ‘Lak-meh-sinkiam’?”

"Benar,” sahut Toan Ki, "belum lama Siaute mempelajarinya, masih sangat hijau.”

Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu, katanya kemudian dengan gegetun, "Pernah kudengar cerita guruku almarhum bahwa keluarga Toan di Tayli memiliki semacam ilmu ‘Lak-meh-sin-kiam’ yang dapat

membunuh orang dengan hawa pedang tanpa wujud, cuma ilmu sakti itu sudah lama lenyap, maka di zaman ini tiada seorang yang dapat memainkannya. Tak terduga Hiante ternyata mahir ilmu sakti itu, sungguh aku tidak pernah menyangka sebelumnya.”

"Ah, Toako terlalu memuji,” sahut Toan dengan menyesal. "Padahal ilmu ini kecuali dipakai main licik tatkala berlomba minum arak dengan Toako, toh tiada berguna pula. Buktinya aku ditawan Ciumoti, sedikit pun aku tidak mampu melawannya. Tentang Lak-meh-sin-kiam ini sebenarnya terlalu dibesar-besarkan oleh orang luar. Toako, arak kurang baik bagi kesehatan badan, minum sedikit saja, kita jangan minum lagi.”

Kiau Hong terbahak-bahak, katanya, "Nasihat Hiante memang benar. Cuma Engkohmu ini sehat sebagai kerbau, sejak kecil sudah suka minum arak, semakin banyak minum semakin bersemangat. Malam ini aku akan menghadapi musuh, maka perlu minum lebih banyak agar dapat melayani mereka dengan baik.”

Begitulah sambil bicara mereka kembali ke kota Bu-sik, kini mereka tidak balapan lari lagi, tapi jalan berendeng dengan perlahan.

Sifat Toan Ki memang suka bersahabat, maka hatinya sangat gembira dapat mengikat saudara dengan Kiau Hong. Tapi ia pun tidak pernah lupa pada Buyung Hok dan Ong Giok-yan. Karena itu kemudian ia lantas tanya Kiau Hong, "Toako, semula engkau salah sangka Siaute sebagai Buyung-kongcu, jangan-jangan muka Buyung-kongcu itu rada mirip mukaku?”

"Aku pun tidak pernah kenal dia, hanya namanya yang tersohor sudah lama kudengar, kedatanganku ke sini ini justru disebabkan dia,” sahut Kiau Hong. "Kabarnya Buyung Hok itu baru berusia 25-26 tahun, cakap dan gagah, sebenarnya masih lebih tua daripada Hiante. Tapi tidak terduga bahwa di selatan sini kecuali Buyung Hok masih terdapat pula seorang muda dan cakap dengan ilmu silat yang tinggi seperti diri Hiante, makanya aku salah mengenalimu. Sungguh aku merasa malu.”

Mendengar Buyung Hok itu "ilmu silatnya tinggi dan mukanya cakap”, mau tak mau Toan Ki merasa iri. Tanyanya pula, "Dan jauh-jauh Toako datang ke sini untuk mencari dia, maksudnya hendak berkawan atau menjadi lawannya?”

Kiau Hong menghela napas, mukanya menjadi muram, sahutnya, "Sebenarnya aku sangat berharap dapat mengikat persahabatan dengan seorang tokoh muda seperti dia. Tapi mungkin sukar terkabul cita-citaku ini.”

"Sebab apa?” tanya Toan Ki.

"Sebab seorang kawanku yang paling karib, dua bulan yang lalu telah tewas di atas Hui-san di Bu-sik sini, semua orang mengatakan hal itu adalah perbuatan Buyung Hok,” tutur Kiau Hong.

"Ai, Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin (gunakan cara orang itu untuk dilakukan atas dia sendiri)!” tiba-tiba Toan Ki bergumam.

"Benar,” kata Kiau Hong. "Justru kawanku itu menjagoi dunia Kangouw dengan ‘Soh-au-kim-na-jiu’ (ilmu menangkap dengan mencekik leher), tapi dari mayatnya ternyata tulang lehernya remuk, tidak salah lagi dia dibinasakan oleh Soh-au-kim-na-jiu andalannya itu.”

Bicara sampai di sini, suara Kiau Hong menjadi parau, tenggorokan seakan-akan tersumbat, wajah sangat sedih. Setelah merandek sejenak, kemudian ia meneruskan, "Tapi kejadian di Kangouw memang aneh-aneh dan di luar dugaan orang, tidak boleh melulu percaya kepada berita sepihak lantas sembarangan menuduh kesalahan orang. Sebab itulah maka kudatang sendiri ke sini untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya.”

"Dan bagaimanakah duduk perkara yang sebenarnya?” tanya Toan Ki.

Kiau Hong menggeleng kepala, sahutnya, "Masih sulit untuk dikatakan sekarang. Kawanku itu sudah lama tersohor namanya, tindak tanduknya sangat prihatin, rasanya tanpa sebab tidak mungkin cekcok dengan Buyung-kongcu. Dan mengapa dia sampai ditewaskan orang, sungguh hal ini agak membingungkan.”

Toan Ki mengangguk-angguk, pikirnya, "Meski lahirnya Toako kelihatan kasar, tapi batinnya sebenarnya sangat cermat, dibanding Ho-siansing, Suma Lim dan lain-lain yang tanpa mencari tahu lebih dulu lantas menuduh Buyung-kongcu sebagai pembunuh. Nyata cara bertindak Toako ini lebih hati-hati dan lebih bijaksana.”

Maka ia lantas tanya lagi, "Dan musuh yang berjanji akan bertemu dengan Toako itu orang macam apa lagi?”

"Itulah ....” baru sekian katanya, tiba-tiba terlihat dua orang berdandan mirip pengemis berlari datang dari depan sana dengan cepat. Rupanya kedua orang itu berlari dengan sekuat Ginkang mereka, maka hanya sekejap saja sudah sampai di depan Kiau Hong.

Kira-kira beberapa meter di depan Kiau Hong, kedua orang itu berhenti serta menyingkir ke tepi jalan, lalu membungkuk memberi hormat sambil menutur, "Lapor Kiau-pangcu, ada empat orang musuh telah menerjang ke dalam ‘Tay-gi-hun-tho’ (cabang pimpinan bagian Gi), kepandaian mereka sangat hebat, Cio-thocu sampai

kewalahan, maka hamba diperintahkan minta bala bantuan kepada ‘Tay-jin-hun-tho’ (cabang pimpinan Jin).”

Mendengar dua orang itu menyebut Kiau Hong sebagai "Pangcu”, sikap mereka pun sangat hormat, diam-diam Toan Ki membatin sang Toako pasti ketua dari sesuatu Pang-hwe (perkumpulan atau organisasi) dunia Kangouw.

Sementara itu dilihatnya Kiau Hong telah mengangguk, lalu bertanya, "Macam apakah musuh itu?”

"Terdiri dari tiga wanita dan seorang laki-laki,” sahut salah seorang pengemis itu. "Laki-laki itu tinggi kurus dan setengah umur, tapi sangat kasar dan kurang ajar.”

"Hm, Cio-thocu juga terlalu, masakan melawan seorang saja kewalahan?” jengek Kiau Hong.

"Lapor Pangcu,” demikian orang itu menutur pula. "Ketiga wanita itu pun sangat lihai.”

"O, ya? Baiklah, coba kulihat ke sana,” kata Kiau Hong dengan tertawa.

Kedua laki-laki itu mengiakan dengan girang, lalu membungkuk menyilakan sang Pangcu berjalan dulu.

"Dan kalian tetap pergi kepada Tay-jin-hun-tho dan minta Sin-thocu mengirim bala bantuan,” ujar Kiau Hong pula.

Segera laki-laki yang lebih tua berkata, "Semula Cio-thocu tidak tahu Pangcu berada di sini, maka hamba disuruh minta bantuan kepada Sin-thocu. Tapi kini Pangcu sendiri sudi turun tangan, hanya beberapa musuh tak berarti itu sudah tentu dengan mudah dapat dibekuk.”

"Segala apa harus bertindak lebih hati-hati,” kata Kiau Hong dengan menarik muka.

Maka kedua laki-laki itu tidak berani bicara lagi, mereka mengiakan dan memberi hormat pula, lalu berlari pergi ke arah yang dituju tadi.

"Hiante, apakah engkau akan ikut ke sana bersamaku?” tanya Kiau Hong.

"Tentu saja,” sahut Toan Ki tanpa pikir.

Kiau Hong lantas membawa Toan Ki berangkat, setelah berjalan beberapa li, mereka membelok ke kiri menyusur gili-gili sawah ladang yang berliku-liku, tidak lama Toan Ki sudah tak dapat mengenali jalan yang dilaluinya itu.

Kira-kira beberapa li pula, baru saja mereka melintasi sebuah hutan, maka terdengarlah suara seorang yang lucu sedang berkata, "Buyung-hiante kami telah pergi ke Lokyang untuk mencari Pangcu kalian, mengapa orang-orang Kay-pang kalian berbalik datang ke Bu-sik sini? Bukankah ini sengaja menghindari untuk bertemu? Jika kalian takut, itulah urusan kalian sendiri, tapi Buyung-hiante kami bukankah akan buang tenaga percuma pergi ke sana? Huh, benar-benar tidak tahu aturan!”

Mendengar suara orang itu, seketika hati Toan Ki berdebar. Kiranya itulah suara Pau-samsiansing yang suka berkata "bukan-bukan” itu. Diam-diam ia pikir apakah nona Ong juga datang bersama dia?

Lalu terdengar suara seorang dengan logat utara menjawab, "Apakah Buyung-kongcu sudah lebih dulu mengadakan perjanjian dengan Kiau-pangcu kami?”

"Berjanji atau tidak sama saja,” sahut Pau-samsiansing, "kalau Buyung-kongcu sudah pergi ke Lokyang, betapa pun Pangcu kalian tidak boleh pergi ke lain tempat hingga Buyung-hiante datang percuma. Sungguh tak tahu aturan, tidak tahu aturan!”

"Jika begitu, apakah Buyung-kongcu telah mengirim berita kepada Kay-pang kami tentang kunjungannya?” tanya orang itu.

"Dari mana kutahu? Aku toh bukan Buyung-kongcu, pertanyaanmu benar-benar terlalu, sungguh tidak tahu aturan!” demikian sahut Pau-samsiansing.

Sungguh mendongkol Kiau Hong oleh kata-kata Pau-samsiansing yang suka menang sendiri itu. Dengan langkah lebar segera ia menuju tempat suara itu. Maka tertampaklah di situ telah berdiri dua orang berhadapan.

Akan tetapi bagi Toan Ki yang lantas terlihat olehnya adalah si gadis jelita yang berdiri di belakang Pausamsiansing itu. Dan sekali sinar matanya kontak dengan sorot mata si nona, maka tak terpisahkan lagi pandangannya.

Gadis jelita itu memang benar Giok-yan adanya. Ia bersuara heran perlahan ketika melihat munculnya Toan Ki. "Engkau juga datang ke sini?” sapanya perlahan.

"Ya, dan engkau pun berada di sini?” sahut Toan Ki. Terus saja ia pandang si nona dengan termangu-mangu seperti orang linglung.

Dengan wajah merah lekas Giok-yan berpaling ke arah lain, pikirnya, "Mengapa orang ini sedemikian kurang ajar, memandang orang tanpa berkedip?”

Namun demikian, ia tahu Toan Ki sangat kesengsem pada kecantikannya, hal ini dengan sendirinya menyenangkan hatinya, maka ia pun tidak menjadi marah oleh kelakuan pemuda itu.

Melihat gadis secantik Giok-yan, mau tak mau Kiau Hong juga tergetar hatinya. Tapi segera ia pun memerhatikan ketiga orang yang lain.

Ia lihat kedua gadis yang lain, yaitu A Cu dan A Pik, yang satu lincah centil dan yang lain ramah halus. Tapi kedua gadis itu tidak menjadikan pikiran Kiau Hong, yang mendongkolkan dia adalah sikap Pau-samsiansing yang mentang-mentang, seorang tokoh seperti Cio Ci-tong, Thocu Kay-pang, ternyata sama sekali dipandang sebelah mata olehnya.

Begitulah Cio Ci-tong menjadi girang ketika melihat sang Pangcu datang, segera ia menyambut maju dan memberi hormat diikut oleh anggota-anggota Kay-pang yang berada di belakangnya.

"Hamba sekalian memberi sembah bakti kepada Pangcu!” seru Cio Ci-tong.

Ternyata sama sekali Pau-samsiansing tidak ambil pusing atas kedatangan Kiau Hong, seperti tidak terjadi apaapa kemudian ia pun bertanya, "Ehm, apakah saudara ini Kiau-pangcu dari Kay-pang? Awak bernama Pau Puttong, tentu pernah kau dengar namaku.”

"O, kiranya Pau-samsiansing, memang nyata tingkah lakumu benar-benar Pau-put-tong (tanggung tidak sama dengan orang lain),” sahut Kiau Hong. "Sudah lama kukagum kepada namamu yang besar, kini dapat berjumpa, sungguh sangat beruntung.”

"Ah, nama besar apa?” ujar Pau-samsiansing alias Pau Put-tong. Kalau nama busuk sih memang sudah terkenal

di Kangouw. Setiap orang juga tahu aku Pau Put-tong paling suka cari gara-gara dan banyak berbuat kejahatan. Hehehe, Kiau-pangcu, secara sembarangan kau datang ke Kanglam sini, inilah terang kesalahanmu.”

Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar pada zaman itu, kedudukan Pangcu sangat diagungkan siapa pun juga terutama anggota Kay-pang memandang Pangcu mereka seakan-akan malaikat dewata yang terpuji. Kini melihat Pau Put-tong bersikap kasar terhadap sang Pangcu, bahkan mengucapkan kata-kata mencela, keruan anggota Kay-pang yang berada di situ menjadi gusar. Beberapa orang yang berdiri di belakang Cio Ci-tong lantas gosok-gosok kepalan dan ingin memberi hajaran kepada Pau Put-tong.

Namun Kiau Hong ternyata tenang-tenang saja, sahutnya dengan tawar, "Mengapa aku dituduh bersalah, coba Pau-samsiansing memberi penjelasan.”

"Ya, terang engkau salah,” seru Pau Put-tong. "Buyung-hiante kami tahu engkau Kiau-pangcu adalah seorang tokoh, tahu pula dalam Kay-pang tidak banyak jago-jago lain, makanya dia ke Lokyang dengan maksud berkenalan dengan engkau, tapi mengapa kalian berlaku senang-senang dan datang ke Kanglam malah? Hehe, sungguh tidak tahu aturan!”

Kiau Hong hanya tersenyum, sahutnya, "Buyung-kongcu sudi berkunjung ke tempat kami di Lokyang, bila sebelumnya kudapat kabar, memang seharusnya kunanti kedatangan tamu agungnya. Tentang keayalanku menyambut dia, biarlah di sini aku minta dimaafkan.”

Sambil berkata, ia terus memberi hormat dengan Kiongchiu (kedua kepalan dirangkap di depan dada).

Diam-diam Toan Ki memuji kebesaran jiwa Toako itu, pikirnya, "Kata-kata Toako ini benar-benar sangat bijaksana, memang sesuai dengan wibawa seorang Pangcu. Sebaliknya kalau dia marah kepada Pausamsiansing, hal ini malah akan merosotkan kedudukannya yang diagungkan itu.”

Tak terduga Pau Put-tong itu terima mentah-mentah penghormatan Kiau Hong tanpa sungkan-sungkan, ia manggut-manggut dan berkata, "Ehm, orang salah seharusnya minta maaf. Kata peribahasa, orang yang tidak tahu, tidak berdosa. Tapi apakah perlu dihukum atau didenda, hak ini bukanlah kami yang menentukan.”

Begitulah sedang Pau Put-tong mencerocos dengan senang, tiba-tiba terdengar di balik hutan sana riuh ramai dengan suara orang terbahak-bahak hingga menggema angkasa, lalu suara seorang berkata, "Haha, sudah sering kudengar bahwa Pau Put-tong di daerah Kanglam suka kentut, nyatanya memang bukan omong kosong belaka!”

"Ya, ya, orang bilang kentut yang berbunyi itu tidak bau, yang bau itu tentu kentut tak berbunyi,” demikian

kontan Pau-samsiansing menjawab, "Tapi kentut Kay-pang-su-lo (empat tertua Kay-pang) ini sudah berbunyi keras lagi berbau busuk, nyata memang tidak omong kosong belaka!”

"Jika Pau-samsiansing sudah kenal nama Kay-pang-su-lo, mengapa masih jual lagak di sini?” seru suara di balik pohon itu.

Lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari empat penjuru semak pohon masing-masing muncul seorang tua, ada yang rambut dan jenggotnya sudah ubanan, ada yang bermuka merah bergigi rajin, semuanya masih gagah dan kuat.

Begitu muncul, keempat kakek ini lantas menduduki empat penjuru hingga Pau-samsiansing dan Giok-yan bertiga terkurung di tengah.

Kakek-kakek itu bersenjata pula, ada yang berwajah kereng, ada yang tertawa-tawa dengan sikap yang berbeda-beda.

Pau Put-tong sendiri cukup tahu Kay-pang adalah suatu perkumpulan terkemuka di kalangan Kangouw, jago Kay-pang tak terhitung banyaknya, lebih-lebih Kay-pang-su-lo sangat terkenal dalam Bu-lim, setiap kakek itu memiliki ilmu silat yang lihai. Tapi dasar watak Pau Put-tong memang angkuh dan tidak mau kalah, sejak kecil sifatnya tidak gentar kepada siapa pun juga.

Kini melihat Kay-pang-su-lo muncul sekaligus serta menduduki tempat mengepung, mau tak mau ia mengeluh juga, "Wah, celaka, hari ini nama baik Pau-samsiansing, mungkin akan runtuh habis-habisan.”

Namun lahirnya sedikit pun ia tidak memberi tanda khawatir, segera ia pun berseru, "Kalian berempat orang tua ini ada urusan apa dengan aku? Akan mengerubut maju sekaligus untuk berkelahi dengan Pausamsiansing? Silakan jika begitu, memang selama hidup Pau-samsiansing paling suka berkelahi!”

"Siapakah orang di jagat ini paling gemar berkelahi? Apakah Pau-samsiansing?” tiba-tiba suara seorang bergema di udara. "Salah, salah! Bukan dia melainkan Hong Po-ok, Hong-siya!”

Waktu Toan Ki mendongak, tertampak di atas pucuk dahan pohon sana berdiri satu orang. Dahan melambailambai hingga orang itu pun turut bergoyang naik turun dengan gaya indah. Perawakan orang itu kecil, usianya antara 30 tahun lebih, pipinya cekung, berkumis mirip ekor tikus, alisnya panjang melambai ke bawah, mukanya itu lebih mirip setan daripada manusia.

Tapi lantas terdengar A Pik berseru dengan girang, "He, Hong-siko, apakah engkau sudah mendapat kabar baik Kongcu?”

Kiranya laki-laki jelek ini adalah Hong Po-ok berjuluk "It-tin-hong” atau angin lesus. Ia merupakan salah seorang pembantu kepercayaan Buyung Hok.

Maka terdengar Hong Po-ok berteriak, "Bagus, bagus! Hari ini dapat menemukan lawan yang baik. Tentang urusan Kongcu, biarlah tunggu sebentar, kita bicarakan nanti, A Pik!”

Habis berkata, ia terjun ke bawah dengan berjumpalitan, ketika hampir mendekat tanah, mendadak ia menubruk ke arah si kakek gemuk yang berdiri di sisi utara sana.

Kakek yang bertubuh potongan gajah dungkul itu bersenjatakan sebatang tongkat baja. Mendadak tongkatnya menyodok ke depan mengincar dada Hong Po-ok.

Bulat tengah tongkat itu kira-kira sebesar telur. Panjangnya dua meter, jadi lebih tinggi daripada tubuh kakek itu sendiri. Biarpun badannya gemuk pendek, tapi kepandaiannya sangat hebat, begitu tongkatnya bergerak, seketika menyambar serangkum angin yang keras.

Tapi Hong Po-ok benar-benar pemberani, bukannya menghindar atau mundur, sebaliknya ia memapak maju malah dan hendak merebut tongkat lawan. Tapi mendadak kakek itu menyendal tongkatnya hingga menjengkit ke atas untuk menyodok muka Hong Po-ok.

"Bagus?” seru Po-ok sambil mendak ke bawah, menyusul tangannya lantas terulur hendak mencengkeram iga si kakek.

Sesudah tongkatnya didorong maju, untuk menarik kembali senjatanya buat menangkis sudah tidak keburu lagi, sedangkan musuh tampak menerjang maju, terpaksa kakek itu angkat sebelah kakinya untuk mendahului menendang perut Hong Po-ok.

Namun Po-ok sempat berkelit ke samping, berbareng si kakek di sebelah timur yang bermuka merah bercahaya itu lantas diterjang, belum tiba di depan musuh, tahu-tahu sinar putih berkelebat, tangannya sudah memegang sebatang golok dan lantas digunakan untuk menebas.

Senjata yang dipegang kakek bermuka merah itu pun sebatang golok yang berkepala setan atau Kui-thau-to, punggung golok itu tebal dan mata golok tipis, batang golok itu sangat panjang. Melihat Hong Po-ok menebas

dengan goloknya, cepat kakek itu tegakkan Kui-thau-to untuk menangkis sambil menyampuk sekeras-kerasnya untuk mengadu senjata dengan lawan.

"Senjatamu lihai, aku tidak ingin mengadu golok denganmu!” seru Hong Po-ok mendadak. Segera ia tarik kembali goloknya dan putar ke arah lain untuk membacok si kakek berjenggot putih yang berdiri di sebelah selatan.

Senjata kakek berjenggot putih adalah sebatang gada bersegi banyak (astakona), di atas gada penuh bergigi tajam melengkung seperti kait. Senjata aneh ini dapat digunakan merampas senjata lawan.

Melihat Hong Po-ok menyerang ke arahnya dengan cepat, sedangkan serangan si kakek bermuka merah masih belum ditarik kembali, maka kakek berjenggot ini tidak ingin bergebrak, sebab dia ikut menyerang, itu berarti Hong Po-ok digencet dari muka dan belakang, hal mana akan merosotkan pamor Kay-pang-su-lo yang tidak pernah main keroyok. Maka ia lantas melompat menyingkir dan mengalah sejurus kepada lawan.

Tak tersangka orang she Hong itu paling suka berkelahi, semakin ramai semakin memenuhi seleranya. Sedang mengenai kalah atau menang tidak menjadi soal baginya, bahkan peraturan-peraturan umum di waktu berkelahi juga tidak ditaati olehnya. Maka begitu si kakek berjenggot menyingkir, sebaliknya Hong Po-ok lantas merangsang maju, kesempatan itu digunakan untuk membacok empat kali secara bertubi-tubi, setiap serangannya cepat dan berbahaya.

Sungguh sama sekali tak terduga oleh siapa pun bahwa tindakan si kakek yang sengaja mengalah itu lantas disalahgunakan oleh Hong Po-ok, keruan si kakek sangat mendongkol dan terpaksa menangkis sambil mundur empat tindak baru dapat berdiri dengan kuat pula, kini ia sudah membelakangi sebatang pohon, untuk mundur lagi terang tidak mungkin. Tapi sedikit ia himpun tenaga murni, mendadak gadanya menyabet ke depan. Serangan ini adalah salah satu serangan mematikan dari kepandaiannya, hanya dikeluarkan bila dalam kepepet.

"Coba lagi yang lain!” tiba-tiba Hong Po-ok berseru, dan serangan si kakek ternyata tak ditangkisnya, tapi terus melompat mundur sambil putar goloknya, tahu-tahu si kakek keempat dari Kay-pang-su-lo itu yang diserang.

Keruan si kakek berjenggot yang baru sempat balas menyerang sekali, tapi musuh sudah lantas menyingkir pergi, sungguh gusarnya tak terkatakan.

Kedua tangan kakek keempat itu ternyata sangat panjang, sedikitnya lebih panjang belasan senti daripada orang biasa. Tangan kirinya membawa semacam senjata yang lemas, begitu melihat Hong Po-ok menyerang tiba, cepat tangan kirinya bergerak, senjata yang dipegangnya itu dikebas hingga terpentang.

Dan baru sekarang semua orang dapat melihat jelas, kiranya senjatanya itu adalah sebuah karung beras biasa. Karena dipentang dan kemasukan angin, mulut karung itu lantas terbuka terus mengurung ke atas kepala Hong Po-ok.

Kaget dan girang Hong Po-ok, serunya, "Bagus, bagus! Biar aku berkelahi dengan kau!”

Kiranya selama hidup Hong Po-ok ini paling suka berkelahi, apabila lawan mempunyai senjata yang berbentuk aneh, atau ilmu silat luar biasa, maka ia pasti sangat senang untuk menjajalnya.

Sifat ini mirip orang yang gemar makan enak misalnya, kalau mendengar koki dari rumah makan mana pandai menyajikan sesuatu masakan yang aneh dan lezat, maka pasti akan dicobanya.

Kini dilihatnya lawan bersenjatakan sebuah karung, bahkan mendengar pun belum pernah. Di samping senang diam-diam ia pun waspada, sebab belum diketahuinya cara bagaimana nanti harus mematahkan serangan senjata lawan yang aneh itu.

Sebagai percobaan, dengan hati-hati ia gunakan ujung golok untuk menikam karung lawan apakah benda itu dapat dilubangi atau tidak.

Tak terduga si kakek tangan panjang itu cepat pindahkan karung ke tangan kanan, sedang tangan kiri mendadak menjotos ke depan.

Namun Hong Po-ok sempat dongak kepala ke belakang, menyusul cepat ia putar golok untuk mengutik selangkangan kakek itu. Tapi di luar dugaannya, kakek itu ternyata sudah berhasil meyakinkan "Thong-pi-kun” (ilmu pukulan memulurkan tangan), pukulannya tampaknya sudah sepenuhnya dilontarkan, namun justru di luar dugaan orang kepalannya mendadak dapat mulur lebih panjang belasan senti.

Untung selama hidup Hong Po-ok paling gemar berkelahi, pertempuran besar atau kecil entah sudah berapa ratus kali dialaminya. Dalam hal pengalaman serta taktik boleh dikata tiada bandingannya. Maka pada saat tiada jalan lain untuk menghindari jotosan kakek itu, mendadak mulutnya mengap hendak menggigit kepalan lawan yang mengancam itu.

Dengan jotosan itu, si kakek tangan panjang yakin paling sedikit pasti akan bikin rontok beberapa buas gigi orang, siapa duga ketika kepalan sudah dekat serangannya, sekonyong-konyong lawan membuka mulut, dengan giginya yang putih gilap itu hendak menggigit. Dalam kagetnya cepat si kakek menarik kembali tangannya, namun toh terlambat sedetik, ia menjerit sekali, jarinya kena digigit sekali oleh Hong Po-ok.

Keruan di antara penonton ada yang gusar dan geli oleh kejadian itu, mereka sama memaki dan tertawa.

Sebaliknya dengan sungguh-sungguh Pau Put-tong lantas berseru, "Bagus Hong-site, tipu seranganmu ‘LuTong-pin-kah-kau’ ini benar-benar sudah terlatih sampai puncaknya sempurna, tidak percumalah engkau berlatih giat selama berpuluh tahun ini, sudah beratus, bahkan beribu anjing belang hitam, putih, dan warna lain yang telah kau gigit mampus dan baru dapat mencapai kesempurnaan seperti hari ini.”

Padahal caranya Hong Po-ok menggigit orang adalah perbuatan yang terpaksa dan licik, seorang yang sedikit tahu harga diri tentu tidak berkelahi dengan cara begini. Tapi selamanya Hong Po-ok memang tidak pantang memakai cara apa pun, yang penting baginya cuma berkelahi.

Justru Pau Put-tong sengaja membual samping, caranya menggigit yang tidak masuk dalam kamus silat itu sengaja dikatakan sebagai suatu, tipu silat mahalihai dengan nama "Lu-Tong-pin-kah-kau” atau Lu Tong-pin menggigit anjing.

Lu Tong-pin adalah dewa terkenal dalam cerita Pat-sian (delapan dewa), menurut pemeo yang lazim, yang ada cuma "Kau-kah Lu Tong-pin”, artinya maksud baik orang disangka jelek. Tapi kini hal itu oleh Pau Put-tong sengaja dibalik hingga menjadi Lu Tong-pin menggigit anjing.

Begitulah saking gelinya Toan Ki lantas tanya juga kepada Ong Giok-yan, "Nona Ong, segala macam ilmu silat di dunia ini, semuanya kau pelajari dengan baik. Tapi cara menggigit orang ini termasuk kungfu aliran atau golongan mana?”

Giok-yan tersenyum, sahutnya, "Ilmu ini adalah kepandaian khas Hong-siko, aku sendiri tidak tahu.”

"Haha, kau tidak tahu?” seru Pau Put-tong dengan tertawa. "Ah, terlalu dangkal pengetahuanmu, masakah tipu ‘Lu Tong-pin-kah-kau’ juga tidak tahu, tipu ini meliputi 8 kali 9 menjadi 72 jurus perubahan, semacam ilmu silat yang mahatinggi.”

Melihat Giok-yan bergembira hati, Toan Ki menjadi lupa daratan dan mestinya akan ikut berkelakar dengan Pau Put-tong, tapi mendadak teringat olehnya bahwa si kakek tangan panjang yang digigit itu adalah bawahan Kiau Hong, mana boleh dirinya ikut mencemoohkannya? Maka lekas ia urungkan maksudnya.

Sementara itu pertarungan di tengah kalangan masih berlangsung dengan seru, tampak si kakek tangan panjang sedang putar karung dengan kencang hingga berwujud suatu lingkaran bayangan dan Hong Po-ok seakan-akan

terkurung di tengah-tengah karung itu. Tapi ia dapat melayani lawan dengan sama kuatnya, sedikit pun tidak kelihatan kewalahan. Ia sudah merasakan ilmu Thong-pi-kun yang lihai si kakek, yang masih belum diketahui adalah sampai di mana kehebatan karung lawan itu. Sedangkan tipu "Lu Tong-pin-kah-kau” tadi cuma digunakan secara kebetulan saja, terang tidak mungkin dapat diulangi lagi.

Melihat Hong Po-ok ternyata sanggup menempur si kakek tangan panjang yang terhitung salah satu tokoh terkemuka dari Kay-pang-su-lo, diam-diam Kiau Hong merasa heran, karena itu penilaiannya kepada Buyungkongcu menjadi lebih tinggi lagi setingkat.

Ketiga kakek Kay-pang yang lain sudah mundur ke tempat masing-masing untuk menyaksikan pertempuran kawannya itu, tapi biarpun si kakek tangan panjang bakal menang atau kalah, terang mereka tidak mungkin maju membantu, mereka harus menjaga nama baik mereka, tidak nanti mereka main keroyok hingga diolokolok orang.

Di sebelah sana A Pik menjadi khawatir melihat sampai sekian lama Hong Po-ok, masih belum dapat mengalahkan lawannya, tanyanya kepada Giok-yan, "Siocia, permainan karung si kakek itu berasal dari golongan manakah?”

Giok-yan berkerut kening, sahutnya, "Ilmu silat begini tidak pernah kubaca dalam buku. Tipu pukulannya adalah Thong-pi-kun, sedangkan permainan karung itu mendekati 13 jurus ilmu permainan ruyung dari Hokgu-san dan juga mirip gaya permainan 81 jurus Sam-ciat-kun (toya tiga ruas) dari keluarga Ui di Oupak.”

Kata-kata Giok-yan itu sebenarnya tidak keras, tapi bagi pendengaran si kakek tangan panjang bagaikan halilintar yang memekak telinga. Kiranya ia sendiri memang anak murid keluarga Ui di Oupak, ilmu Sam-ciatkun adalah ilmu warisan leluhur, tapi kemudian ia berbuat dosa dan melarikan diri, ia ganti nama dan tukar she serta tidak pernah menggunakan Sam-ciat-kun lagi, hingga orang lain tidak kenal asal usulnya. Tapi kini dalam pertarungan sengit itu, tanpa merasa sedikit banyak ia terpaksa mengeluarkan kepandaian aslinya hingga dapat diketahui oleh Giok-yan. Keruan ia terkejut dari mana dara jelita itu dapat mengorek asal usulnya.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pengetahuan Giok-yan sangat luas, segala ilmu silat dari aliran mana pun tiada satu pun yang tak diketahuinya. Sebaliknya si kakek lantas menyangka rahasianya yang sudah berpuluh tahun ini tertutup telah terbongkar oleh gadis itu. Dan karena sedikit lengah itu, ia menjadi tercecer oleh serangan Hong Po-ok hingga rada kerepotan.

Berturut-turut ia mundur tiga langkah, cepat ia melangkah ke samping pula, sementara itu dilihatnya lawan sedang membacok lagi, segera ia ayun sebelah kaki untuk menendang pergelangan tangan Hong Po-ok yang memegang senjata itu.

Sudah tentu Hong Po-ok tidak gampang diserang, mendadak goloknya menyerang, berbalik kaki si kakek hendak ditebasnya malah. Tapi menyusul sebelah kaki si kakek juga lantas melayang secara berantai hingga tubuh terapung di udara.

Biarpun sudah tua, tapi gerak-geriknya tidak di bawah orang muda, mau tak mau Hong Po-ok memuji juga akan ketangkasan lawan itu.

Mendadak ia pukul dengkul orang tua itu. Dalam keadaan tubuh terapung di udara, untuk menggeser terang tidak mudah, asal dengkul kakek itu kena terketuk, andaikan tidak remuk juga paling sedikit tulang kakinya akan patah.

Melihat pukulannya sudah dekat dengan dengkul lawan dan si kakek masih belum tampak siap untuk menghindar, Hong Po-ok menjadi girang.

Tak tersangka mendadak angin menyambar, tahu-tahu karung orang sudah terpentang, mulut karung yang lebar itu mengerudung ke atas kepalanya. Dalam keadaan demikian, meski ia berhasil mematahkan tulang kaki si kakek, tapi kepala sendiri pasti juga akan dikerudung ke dalam karung orang, andaikan dapat segera meloloskan diri tentu juga akan ditertawai orang.

Karena itu, pukulannya mendadak berganti arah untuk menyampuk karung lawan. Tapi sedikit karung si kakek menggeser, mulut karung yang ternganga itu pun berputar dan tepat mengerudung kepalan Hong Po-ok.

Perbandingan mulut karung dengan kepalan dengan sendirinya sangat besar. Meski gampang saja kepalan kena dikurung, tentu mudah pula terlolos. Maka sekali Hong Po-ok menarik tangannya, dengan gampang saja sudah lolos dari mulut karung lawan.

Siapa tahu, "cekit”, mendadak punggung tangan kesakitan seperti tertusuk jarum. Waktu ia periksa, ia menjadi kaget. Ternyata punggung tangan terantup seekor kalajengking kecil.

Kalajengking itu jauh lebih kecil daripada kala biasa, tapi badannya berwarna-warni, macamnya sangat mengerikan. Hong Po-ok tahu bisa celaka, sekuatnya ia kiprat-kipratkan tangannya, tapi kalajengking itu ternyata menyengat dengan sangat kencang dan susah terlepas. Namun ia cukup cekatan, ia tepuk kalajengking itu dengan batang goloknya hingga binatang itu seketika gampang terbinasa.

Sebagai orang yang berpengalaman, Hong Po-ok tahu kalajengking yang dilepaskan dari karung tokoh Kaypang itu pasti bukan sembarangan, kalau anak murid Kay-pang biasa saja sangat lihai menggunakan binatang berbisa apalagi seorang kakek daripada Kay-pang-su-lo ini?

Dengan wajah berubah cepat ia melompat ke luar kalangan pertempuran, ia keluarkan sebutir pil penawar racun dan ditelannya segera.

Tiang-pi-soh atau si kakek lengan panjang juga tidak mengudak pula, ia simpan kembali karungnya sambil mengamat-amati Ong Giok-yan, ia heran dari mana dara jelita ini mengetahui asal usulku?

Dalam pada itu Pau Put-tong lantas tanya keadaan kawannya itu, "Kenapa, Site?”

Po-ok kebas-kebas tangannya beberapa kali dan merasa tiada sesuatu yang aneh, tapi ia tetap sangsi, kalajengking itu mustahil tidak ada sesuatu guna dengan disembunyikan di dalam karung? Maka ia menjawab, "Tidak apa-apa, tapi ....”

Belum lanjut ucapannya, mendadak tubuh roboh tersungkur. Lekas Pau Put-tong melompat maju untuk membangunkannya sambil tanya berulang-ulang, "Kenapa? Kenapa?”

Namun Hong Po-ok tidak sanggup bicara lagi, mukanya tampak berkerut-kerut dan senyumnya sangat dipaksakan.

Keruan kaget Pau Put-tong tak terkatakan, lekas ia tutuk beberapa Hiat-to tangan, lengan, dan bahu sang kawan untuk menahan menjalarnya racun. Di luar dugaan bekerja racun kalajengking berwarna itu ternyata sangat cepat, walaupun tidak sampai ‘Kian-hiat-hong-au’ atau masuk ke darah lantas putus napasnya, tapi jahatnya juga tidak kepalang, jauh lebih lihai daripada racun ular yang paling berbisa.

Pikiran Hong Po-ok masih cukup jernih, tapi antero tubuh sudah kaku rasanya, mulut terbuka ingin bicara, tapi yang terdengar cuma suara serak yang tak jelas.

Melihat kawannya begitu hebat keracunan, Pau Put-tong menjadi khawatir sukar menolong jiwanya lagi, dalam dukanya ia menjadi murka, sekali menggerung, terus saja ia terjang si kakek tangan panjang.

Namun si kakek pendek gemuk dan bersenjata tongkat baja tadi lantas mengadangnya sambil berseru, "Apa kau juga ingin berkelahi, marilah biar aku si pendek ini berkenalan dengan kesatria Koh-soh!”

Begitu tongkatnya terangkat, segera ia sodok ke arah Pau Put-tong.

Tongkatnya sangat antap bobotnya, tapi bagi si kakek pendek gemuk senjata itu dapat dimainkan dengan enteng dan cepat sekali. Biarpun Pau Put-tong dalam keadaan murka, namun menghadapi lawan setangguh itu terpaksa ia tidak berani ayal. Ia pikir asal dapat menawan salah satu jago musuh sebagai sandera untuk memaksa pihak lawan menyerahkan obat penawar racun, tentu jiwa Hong-site dapat diselamatkan. Maka segera ia gunakan "Kim-na-jiu”, ia mencari lubang kelemahan musuh untuk menangkapnya.

Dalam pada itu A Pik dan A Cu sedang mengerumuni Hong Po-ok dengan air mata berlinang sambil memanggil-manggil tanpa berdaya. Ong Giok-yan memang sangat pandai dan luas pengetahuannya dalam ilmu silat dan kesusastraan, tapi mengenai penggunaan racun serta cara penyembuhannya, ia sama sekali tidak paham. Karena itu ia jadi menyesal dahulu waktu membaca kitab ilmu silat dan pertabiban, dalam kitab itu tidak sedikit dibicarakan tentang penyembuhan racun, tapi karena menganggap tiada gunanya mempelajari halhal itu, maka sama sekali ia tidak pernah mempelajarinya. Coba dahulu sedikit-banyak menghafalkan, tentu sekarang takkan mati kutu seperti ini dan menyaksikan tewasnya Hong-siko tanpa berdaya.

Di lain pihak, ketika melihat pertarungan Pau Put-tong melawan si pendek semakin lama semakin sengit, untuk waktu singkat terang sukar menentukan kalah atau menang, maka berkatalah Kiau Hong kepada si kakek tangan panjang, "Tan-tianglo, harap keluarkan obat penawarnya, sembuhkanlah racun Hong-siya itu!”

Jilid 23
Keruan Tiang-pi-soh atau si kakek lengan panjang yang dipanggil sebagai Tan-tianglo itu melengak, sahutnya, "Pangcu, orang ini terlalu kurang ajar, ilmu silatnya juga tidak rendah, kalau dibiarkan hidup, kelak tentu akan membahayakan.”

"Benar juga katamu,” ujar Kiau Hong sambil mengangguk. "Tapi kita belum lagi ketemu lawan utama dan belum-belum sudah melukai bawahannya, hal ini akan merosotkan pamor kita sendiri. Maka menurut pendapatku, lebih baik kita jaga nama dan wibawa kita lebih dulu.”

Namun dengan marah-marah Tiang-pi-soh menjawab, "Sudah terang Be-hupangcu terbinasa di tangan bocah she Buyung itu, untuk menuntut balas masakah perlu jaga nama dan peduli tentang perbawa segala?”

Wajah Kiau Hong mengunjuk kurang senang, katanya, "Sudahlah, berikan obatmu dahulu, urusan dapat kita bicarakan belakang.”

Walaupun dalam hati seribu kali tidak rela, tapi perintah sang pangcu juga tidak berani membangkangnya, terpaksa Tan-tianglo mengeluarkan sebuah botol kecil dan melangkah maju, katanya kepada A Cu dan A Pik, "Ini, Pangcu kami mengutamakan budi luhur dan suruh memberikan obat penawar, lekas ambil ini!”

Dengan girang segera A Pik berlari maju, lebih dulu ia memberi hormat kepada Kiau Hong, lalu menghormat pula kepada Tan-tianglo, katanya, "Terima kasih Kiau-pangcu dan terima kasih Tianglo.”

Dan setelah menerima botol kecil yang diangsurkan itu, kemudian ia tanya, "Tolong tanya Tianglo, obat ini cara bagaimana menggunakannya?”

"Isap dulu racun pada lukanya, kemudian bubuhkan obatnya,” sahut si kakek. Dan setelah merandek, ia menambahkan pula, "Bila racun belum bersih terisap, percumalah obat yang dibubuhkan itu, bahkan akan tambah parah. Hal ini penting diketahui.”

A Pik mengiakan pesan itu, lalu ia mendekati Hong Po-ok, ia angkat tangan yang terantup kalajengking itu, ia menunduk kepala lantas hendak mengisap racun pada luka itu.

"Nanti dulu!” mendadak si kakek tangan panjang berteriak.

A Pik jadi kaget. "Ada apa?” tanyanya tercengang.

"Wanita dilarang mengisapnya!” seru si kakek.

"Sebab apa?” tanya A Pik dengan muka merah.

"Racun, kalajengking itu tergolong racun im-tok, sedangkan wanita adalah jenis im, sudah im ditambah im lagi, racun itu akan tambah jahat malah,” demikian kata si kakek.

A Pik, A Cu, dan Giok-yan menjadi ragu, mereka merasa keterangan kakek itu agak janggal, tapi juga bukan mustahil memang demikian halnya. Dan kalau benar, hingga racunnya tambah jahat, bukankah jiwa Hong-siko akan lebih konyol? Sedangkan pihak sendiri hanya tinggal Pau Put-tong yang merupakan satu-satunya lelaki yang saat itu lagi bertempur mati-matian dengan si kakek pendek, untuk memanggilnya kembali terang sukar dilaksanakan dalam waktu singkat itu.

Tapi selain Pau Put-tong, terang tiada kawan lelaki yang lain. Terpaksa A Cu berteriak, "Pau-samko, berhentilah sementara, kembalilah menolong Siko lebih dulu!”

Namun ilmu silat Pau Put-tong itu sama kuatnya dengan kakek pendek, sekali mereka sudah bergebrak, untuk lolos mundur terang sukar terlaksana dalam beberapa jurus saja. Dalam pertarungan ilmu silat kelas tinggi, sedikit lengah saja pasti akan mengakibatkan jiwa melayang, maka sangat sulit untuk mengundurkan diri dengan sesukanya.

Dengan sendirinya Pau Put-tong khawatir ketika mendengar seruan A Cu, ia tahu keadaan Hong Po-ok pasti bertambah buruk. Maka mendadak ia menyerang beberapa kali dengan tujuan melepaskan diri dari rangsakan si kakek pendek.

Tapi sebagai salah satu tokoh di antara Kay-pang-su-lo, dengan sendirinya si kakek pendek tak dapat dipersamakan jago-jago sebangsa Suma Lim, Cu Po-kun, Yau Pek-tong, dan lain-lain yang sekali gebrak mudah terjungkal di bawah tangan atau kaki Pau Put-tong. Walaupun dengan serangan kilat secara bertubi-tubi itu Pau Put-tong dapat merebut kedudukan di atas angin, tapi untuk menang satu jurus saja masih bergantung atas keuletan lawan, dan si kakek pendek itu justru teramat ulet. Maka betapa pun ia menyerang dari sini-sana, tetap tidak dapat melepaskan diri.

Dalam pada itu Kiau Hong senantiasa mengikuti wajah Giok-yan bertiga yang penuh rasa khawatir itu. Bila mengingat racun kalajengking piaraan Tan-tianglo itu jahat luar biasa, pula tidak diketahui apakah ucapan si kakek bahwa wanita tidak boleh mengisap racun kalajengking itu benar atau cuma gertakan.

Walaupun anak murid Kay-pang jumlahnya tidak sedikit, namun pekerjaan mengisap racun adalah suatu risiko yang mungkin membikin celaka si pengisap sendiri, maka tidak mungkin ia memerintahkan salah satu anggota Kay-pang untuk mengisapkan racun Hong Po-ok. Apalagi bawahan diperintahkan mengisap racun untuk menolong jiwa musuh, perintah demikian terang tidak mungkin dikeluarkannya.

Tapi dasar jiwa Kiau Hong memang kesatria dan berbudi luhur, tanpa ragu ia lantas berseru, "Aku orang lakilaki, biar aku yang mengisap racun Hong-siya.”

Habis berkata, segera ia melangkah ke arah Hong Po-ok.

Waktu melihat wajah Giok-yan muram sedih, sejak mula sebenarnya sudah timbul niat Toan Ki hendak mengisap racun bagi Hong Po-ok. Cuma ia pikir Kiau Hong adalah kakak angkat sendiri, kalau dirinya membantu pihak musuh, hal ini akan merugikan hubungan persaudaraan.

Meski kemudian ia saksikan Kiau Hong memerintahkan Tan-tianglo memberikan obat penawar kepada lawan, tapi Toan Ki masih sangsikan ketulusan hati sang kakak-angkat.

Baru sekarang sesudah melihat Kiau Hong benar-benar mendekati Hong Po-ok untuk mengisap racun pada tangannya, yakinlah dia akan kebesaran jiwa kakak-angkat itu. Maka dengan cepat ia berseru, "Toako, biarkan Siaute saja yang melakukannya!”

Dan sekali melangkah, dengan sendirinya ia keluarkan ilmu langkah "Leng-po-wi-poh” yang cepat, tahu-tahu ia sudah menyerobot di depan Kiau Hong. Terus saja ia angkat tangan Hong Po-ok dan segera hendak dikecupnya.

Tatkala itu seluruh telapak tangan Hong Po-ok sudah bengkak menghitam, kedua mata melotot, rupanya kelopak matanya ikut menjadi kaku juga sehingga sukar berkedip. Ketika Toan Ki memegang tangannya, otomatis daya sakti Cu-hap-sin-kang lantas bekerja. Belum lagi mulut Toan Ki mengecup tempat luka itu, sekonyong-konyong dari lubang luka merembes keluar air hitam.

Toan Ki tertegun, ia pikir biarkan air hitam itu habis merembes keluar baru akan diisapnya. Ia tidak tahu bahwa Cu-hap, yaitu katak merah yang telah dimakannya dahulu itu adalah binatang antisegala jenis racun. Maka begitu anggota badan kedua orang saling sentuh, asal Toan Ki tidak mengerahkan tenaga dalamnya, maka

tenaga murni Hong Po-ok juga takkan tersedot, sebaliknya karena dia keracunan sangat parah, sekali kebentur khasiat Cu-hap-sin-kang, terus saja darah berbisa di dalam tubuhnya terdesak keluar.

Begitulah selagi semua orang terheran-heran dan sangsi, mendadak badan Hong Po-ok bergerak sekali, lalu terdengar ia membuka suara, "Terima kasih!”

Keruan Giok-yan bertiga sangat girang. A Cu lantas berseru, "He, Siko, engkau sudah dapat bicara!”

Maka tertampaklah darah hitam yang merembes keluar dari luka Hong Po-ok itu mulai berubah menjadi warna ungu, kemudian memerah.

Dan sesudah warna darah kembali seperti biasa, tangan Po-ok yang bengkak itu lantas kempis dan dapat bergerak lagi seperti semula. Segera ia memberi hormat kepada Toan Ki sambil berkata, "Banyak terima kasih atas pertolongan Kongcuya.”

"Ah, soal kecil, buat apa dipikirkan?” sahut Toan Ki merendah.

"Jiwaku dalam pandangan Kongcuya mungkin soal kecil, tapi bagiku sendiri adalah urusan besar,” kata Hong Po-ok dengan tertawa. Lalu ia ambil botol obat dari tangan A Pik terus dilemparkan kembali kepada Tantianglo, katanya, "Ini, ambil kembali obatmu!”

Kemudian ia memberi hormat kepada Kiau Hong dan berkata, "Kiau-pangcu benar berbudi luhur, Hong Po-ok sangat kagum. Pangcu tidak malu sebagai pemimpin suatu organisasi terbesar di Bu-lim ini.”

"Terima kasih atas pujian Hong-siya,” sahut Kiau Hong sambil membalas hormat.

Sesudah menyatakan terima kasihnya kepada kedua orang penolongnya, Hong Po-ok lantas jemput kembali goloknya, ia tuding Tan-tianglo sambil berkata, "Hari ini aku dikalahkanmu, Hong Po-ok mengaku kalah, lain kali bila ketemu lagi kita akan coba-coba pula, urusan hari ini kita sudahi saja.”

"Jangan khawatir, setiap saat aku siap,” sahut Tan-tianglo tertawa.

Mendadak Po-ok berpaling kepada si kakek yang bersenjatakan gada astakona, serunya, "Biarlah sekarang kubelajar kenal dengan kepandaianmu!”

Keruan A Cu dan A Pik terkejut, seru mereka, "Jangan Siko, kesehatanmu belum pulih!”

Namun Hong Po-ok tidak ambil pusing, serunya, "Mumpung dapat berkelahi, kenapa sia-siakan kesempatan bagus!”

Menyusul golok terus berputar dan menerjang ke arah si kakek bergada.

Melihat beberapa saat sebelumnya keadaan Hong Po-ok sudah sangat payah, siapa tahu hanya sekejap saja orang aneh itu pulih gagah perkasa pula. Orang sedemikian sungguh jarang terlihat.

Kakek bersenjata gada itu sudah ubanan alis dan jenggotnya, usianya terhitung paling tua di antara Kay-pangsu-lo, sudah berpuluh tahun namanya terkenal, segala macam tokoh Kangouw juga pernah dihadapinya. Tapi orang yang nekat seperti Hong Po-ok benar-benar jarang terlihat. Karena itu, mau tak mau ia terkesiap juga.

Sebenarnya permainan gada si kakek sangat hebat perubahannya, di samping digunakan menyerang bermanfaat pula untuk merampas senjata lawan. Tapi kini karena rada jeri, permainan gadanya menjadi agak kacau hingga ia cuma mampu menangkis saja oleh berondongan serangan Hong Po-ok.

Dalam pada itu Kiau Hong menjadi kurang senang juga, pikirnya, "Sobat she Hong ini agak keterlaluan juga. Dengan baik-baik Toan-hiante telah menolong jiwamu, mengapa secara sembrono mengajak berkelahi lagi?”

Dalam pada itu sambil menjinjing karung Tan-tianglo sedang memandangi Ong Giok-yan, lalu pandang Toan Ki pula sembari diam-diam berpikir, "Kedua muda-mudi ini entah dari mana asal-usulnya, tampaknya kedatangan mereka sangat tidak menguntungkan diriku.”

Kiranya Tan-tianglo ini aslinya she Ui, yaitu berasal dari keluarga Ui yang terkenal di Oupak, ia sengaja menyamar sebagai orang she Tan, rahasia ini tiada seorang pun mengetahui di jagat ini. Maka terhadap ucapan Giok-yan yang menyatakan ilmu silatnya seperti berasal dari keluarga Ui, mau tak mau timbul rasa curiganya.

Sementara itu pertarungan Pau Put-tong dan Hong Po-ok melawan kedua kakek Kay-pang itu semakin sengit, tampaknya Put-tong dan Po-ok sedikit di atas angin, tapi untuk mengalahkan lawan mereka terang sukar terjadi dalam waktu singkat.

Selagi semua orang asyik mengikuti pertarungan hebat itu, telinga Toan Ki yang tajam itu tiba-tiba mendengar

dari arah timur ada suara tindakan orang yang ramai sedang mendatang ke arah sini dengan cepat. Menyusul dari jurusan utara juga datang satu rombongan lain, bahkan dari suaranya kedengaran berjumlah lebih banyak.

"Toako, ada orang banyak sedang mendatang,” demikian Toan Ki membisiki Kiau Hong.

Kiau Hong sendiri pun sudah mendengar, ia mengangguk. Ia menduga orang-orang yang datang itu besar kemungkinan adalah lawan dan bukan kawan. Boleh jadi pengikut Buyung Hok yang sengaja dipasang di sekitar situ untuk mengepung. Maka diam-diam Kiau Hong rada menyesal telah diakali musuh.

"Kiranya orang-orang she Pau dan Hong ini sengaja menggoda kita agar tanpa sadar kita masuk kepungan mereka,” demikian pikirnya.

Namun Kiau Hong tetap bersikap tenang, selagi ia hendak memberi isyarat kepada bawahannya agar sebagian mengundurkan diri ke jurusan selatan dan barat yang tidak dijaga musuh, tiba-tiba terdengar dari kedua jurusan itu juga ada suara ramai orang berjalan. Nyata setiap penjuru sudah penuh dengan musuh.

Perlahan Kiau Hong memberi perintah kepada bawahannya, "Cio-thocu, kekuatan musuh di sebelah selatan paling lemah, sebentar bila kuberi tanda, segera pimpin para saudara mengundurkan diri ke jurusan sana.”

Dan baru saja Cio-thocu mengiakan, tiba-tiba dari jurusan timur hutan itu sudah muncul 30-an orang, semuanya berbaju compang-camping, rambut kusut, ada yang membawa senjata, ada yang cuma membawa tongkat dan mangkuk butut, jelas semuanya anggota Kay-pang. Menyusul dari arah utara juga muncul berpuluh orang Kay-pang, sikap mereka sangat pongah, melihat Kiau Hong juga tidak memberi hormat, sebaliknya seakan-akan bersikap bermusuhan.

Ketika mendadak tampak munculnya anggota Kay-pang sebanyak itu, diam-diam Pau Put-tong dan Hong Pook menjadi khawatir juga. Pikir mereka, "Wah, celaka, cara bagaimana agar dapat menyelamatkan nona Ong bertiga?”

Namun di antara orang yang terkesiap rasanya yang paling terkejut adalah Kiau Hong. Sebab memang dia kenal pengemis-pengemis yang muncul itu adalah anggota Kay-pang kelas menengah, ada yang menggendong lima buah kantong dan ada yang membawa tujuh buah kantong. Biasanya anggota-anggota ini sangat menghormat padanya, asal melihat sang pangcu, dari jauh mereka pasti akan berlari mendekat untuk memberi hormat. Tapi mengapa hari ini sikap mereka begini aneh, sudah tidak memberi hormat, bahkan menyapa pun tidak.

Tengah Kiau Hong sangsi, sementara itu dari jurusan selatan dan barat juga muncul berpuluh anggota Kaypang yang lain. Rombongan anggota Kay-pang itu datangnya ternyata susul-menyusul, di belakang rombongan pertama masih muncul pula rombongan yang lain sehingga sebentar saja tanah lapang di tengah hutan itu sudah penuh berjubel dengan kaum pengemis.

Kiau Hong coba menghitung sekadarnya dan ternyata di antara anggota Kay-pang di kota Bu-sik itu sudah lebih sembilan bagian yang hadir, hanya ketiga thocu dari kepala bagian Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong yang tidak kelihatan, di samping itu beberapa anggota pengurus pusat seperti Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo juga tidak muncul.

Semakin dipikir Kiau Hong semakin khawatir hingga diam-diam ia berkeringat dingin. Selamanya Kiau Hong tidak pernah khawatir seperti sekarang ini biarpun menghadapi musuh yang paling lihai sekalipun. Sebab mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya, "Wah, akan terjadi pemberontakan, apakah para anggota akan mengkhianati aku?”

Selaku pangcu, subur atau runtuhnya Kay-pang dianggap Kiau Hong jauh lebih penting daripada nama baik dan kedudukan atau mati-hidup sendiri. Kini beratus anggota Kay-pang ini sudah mengelilingi dirinya dengan tidak bicara apa pun juga, terang di dalam organisasi telah terjadi sesuatu yang hebat.

Namun di tengah kalangan Pau Put-tong dan Hong Po-ok masih saling gebrak dengan kedua kakek dengan sengit dan tak terhentikan, di depan orang luar, Kiau Hong menjadi tidak enak untuk menegur.

Dalam pada itu tiba-tiba Tan-tianglo berseru, "Pasang Pak-kau-tin!”

Sekonyong-konyong di antara anggota Kay-pang dari berbagai penjuru itu masing-masing memburu keluar belasan orang dengan senjata terhunus, maka Pau Put-tong dan Hong Po-ok jadi terkepung di tengah bersama kedua kakek lawannya itu.

Melihat jumlah musuh sekaligus maju sebegitu banyak, apalagi orang-orang Kay-pang sudah terlatih semua, Pau Put-tong tahu bila musuh mengepung rapat, pasti dirinya bersama Hong Po-ok akan dicincang menjadi bakso.

Ketika ia melirik pihak lawan, ternyata kawanan pengemis itu dalam sekejap saja sudah memasang suatu barisan yang sangat rapat, andaikan harus menerjang keluar kepungan bersama Po-ok, sendiri mungkin bisa selamat, tapi Po-ok habis keracunan dan tenaga masih lemah, tentu takkan terhindar dari terluka parah, begitu pula kalau hendak menolong Giok-yan bertiga, pasti sangat sulit.

Kalau mau, jalan satu-satunya supaya selamat adalah menyerah alias mengaku kalah. Toh kalah karena dikeroyok, hal ini takkan merugikan nama baiknya. Tapi tabiat Pau Put-tong justru sangat kepala batu, cocok seperti namanya, dia memang "Put-tong” atau berbeda daripada orang lain. Sesuatu urusan yang orang lain anggap lumrah, baginya justru dianggap sebaliknya. Begitu pula Hong Po-ok paling gemar berkelahi, asal diberi kesempatan berkelahi, tidak peduli kalah atau menang, bakal mati atau hidup, benar atau salah, baginya semua itu urusan belakang, berkelahi paling perlu.

Sebab itulah biarpun kedudukan di tengah itu sudah jelas pihak mana yang akan menang, namun Pau Put-tong dan Hong Po-ok masih terus berteriak-teriak sambil menyerang terlebih bersemangat sedikit pun pantang menyerah.

"Pau-samko, Hong-siko, terimalah sudah,” demikian tiba-tiba Giok-yan berseru. "Pak-kau-tin dari Kay-pang ini meski aku pun tahu cara memecahkannya, namun kepandaian kita terlalu cetek, kita takkan dapat berbuat apa-apa. Di dunia ini hanya Lak-meh-sin-kiam dan Hang-liong-sip-pat-ciang saja dapat bobol barisan itu. Maka kalian berdua lebih baik berhenti saja.”

Mendengar Giok-yan bilang Lak-meh-sin-kiam yang dipelajarinya itu dapat memecahkan Pak-kau-tin, Toan Ki tercengang, diam-diam ia pun ragu bagaimana harus bertindak nanti, apakah mesti membela nona Ong bila anak buah Kiau-toako akan menangkapnya?

Sesudah berpikir pula, ia lantas ambil keputusan, "Jika Pau Put-tong yang berkelahi dengan orang-orang Kaypang, maka aku takkan ikut campur, tapi bila Ong-kohnio diganggu mereka terpaksa aku harus melindunginya.”

Dalam pada itu Hong Po-ok telah menjawab seruan Giok-yan tadi, "Biarlah aku berkelahi sebentar lagi, bila benar-benar tak tahan barulah aku berhenti.”

Dan karena sedikit ayal itu, "cret”, pundaknya keserempet sekali oleh gada si kakek yang berkait itu hingga kulit pecah dan darah bercucuran.

"Keparat, hebat juga seranganmu ini,” Hong Po-ok memaki. Berbareng goloknya menyerang tiga kali secara nekat.

Si kakek berjenggot itu menjadi jeri oleh kekalapan Po-ok, ia pikir toh tiada permusuhan apa-apa, kenapa mesti bertempur mati-matian begini? Karena itulah ia hanya menjaga diri dengan rapat dan tiada balas menyerang pula.

Tiba-tiba Tan-tianglo berseru dengan nada tembang, "Ooi, para saudara sebelah selatan ingin minta nasi, hayaauuuuh ....”

Yang ditembangkan itu adalah lagu minta-minta kaum pengemis, tapi sebenarnya adalah tanda perintah kepada anak-buahnya untuk menyerang.

Maka tertampaklah berpuluh anggota Kay-pang yang berdiri di sebelah selatan serentak mengangkat senjata mereka, asal tarikan suara Tan-tianglo itu berhenti, segera mereka akan menyerbu maju.

Sudah tentu Kiau Hong tahu betapa lihainya Pak-kau-tin (barisan penghajar anjing) Kay-pang sendiri. Bila barisan itu sudah dikerahkan, serentak anggota Kay-pang keempat penjuru itu secara bergiliran akan menyerbu maju tanpa berhenti sampai musuh dibinasakan atau dirobohkan.

Padahal sebelum bertemu dengan Buyung Hok dan sebelum duduk perkara yang sebenarnya dibikin terang, ia tidak ingin mengikat permusuhan dulu dengan orang. Maka cepat ia memberi tanda sambil membentak, "Nanti dulu!”

Berbareng ia terus melompat-maju dan tahu-tahu sudah berada di samping Hong Po-ok, dengan tangan kiri ia cakar muka orang itu.

Keruan Po-ok terkejut, cepat ia mengegos ke samping, tapi mendadak tangan Kiau Hong terus menurun ke bawah dan tepat kena tangkap pergelangan tangannya, segera golok Hong Po-ok itu dirampasnya.

"Bagus Kiau-pangcu dengan seranganmu ‘Jio-cu-sam-sik’ (tiga gaya merebut mutiara) dari Liong-jiau-cu (cakar naga) itu,” seru Giok-yan tiba-tiba. Segera ia pun memperingatkan Pau Put-tong, "Awas Pau-samko, ia hendak menyikut dadamu dengan sikut kiri dan tangan kanan akan memotong igamu menyusul tangan kiri akan mencengkeram pula ‘Gi-koh-hiat’ pundakmu, serangan itu adalah satu di antara tiga gaya cakar naga yang disebut ‘Ti-yan-yu-uh’ (mendadak turun hujan)!”

Tapi gerakan Kiau Hong ternyata cepat luar biasa, baru saja Giok-yan memperingatkan Pau Put-tong bahwa dadanya akan disikut, tahu-tahu serangan Kiau Hong memang benar seperti apa yang dikatakan itu dan hampir berbareng pada saat itu pun menyikut hingga Pau Put-tong tidak sempat berjaga-jaga sebelumnya.

Begitu pula tentang iganya akan dipotong serta Gi-koh-hiatnya akan dicengkeram, tahu-tahu Pau Put-tong merasakan tubuhnya menjadi lemas lumpuh tak dapat berkutik.

"Sungguh serangan bagus,” seru Pau Put-tong dengan penasaran. "Wah, Siaumoay, peringatanmu terlalu tepat waktunya hingga tiada gunanya. Kalau engkau bilang sedetik lebih dulu, kan aku dapat berjaga-jaga sebelumnya.”

"Ya, maaflah,” sahut Giok-yan dengan menyesal. "Karena ilmu silatnya terlalu lihai, maka sebelumnya sama sekali aku tak dapat mengetahui serangan apa yang akan dilontarkannya.”

"Maaf apa segala?” seru Pau Put-tong. "Pendek kata perkelahian hari ini terang kita terjungkal semua, pamor Yan-cu-oh benar-benar runtuh!”

Waktu ia berpaling ia lihat keadaan Hong Po-ok lebih runyam lagi, kawan itu tampak terpaku di tempatnya seperti patung. Rupanya waktu Kiau Hong merampas goloknya sekalian telah tutuk pula hiat-tonya. Kalau tidak, mana mau dia berhenti dengan begitu saja?

Melihat sang pangcu sudah dapat mengalahkan kedua lawan, maka Tan-tianglo mengurungkan tembangnya yang belum selesai tadi.

Diam-diam Kay-pang-su-lo sangat kagum demi menyaksikan betapa saktinya sang pangcu, hanya sekali gebrak saja dua lawan tangguh telah ditaklukkan.

Kemudian Kiau Hong melepaskan tangannya yang mencengkeram Gi-koh-hiat di pundak Pau Put-tong itu. Menyusul tangannya membalik ke belakang untuk menepuk perlahan di punggung Po-ok dan membuka hiat-to yang ditutuknya itu, lalu katanya, "Silakan kalian pergi saja!”

Dalam keadaan demikian, betapa pun bandelnya Pau Put-tong juga, terpaksa menyerah, ia tahu ilmu silat sendiri selisih terlalu jauh dengan Kiau Hong. Maka tanpa bicara lagi ia lantas mengeluyur ke samping Giokyan.

Sebaliknya Hong Po-ok lantas berkata, "Kiau-pangcu, ilmu silatku memang tak dapat menandingimu, tapi seranganmu barusan membikin aku penasaran, sebab engkau menyerang pada waktu aku sama sekali tidak berjaga-jaga.”

"Memang benar aku menyerang secara mendadak,” sahut Kiau Hong. "Tapi kita boleh coba-coba beberapa jurus pula, biar kusambut serangan golokmu.”

Habis berkata, mendadak ia mencengkeram ke depan, suatu arus tenaga menggetar golok Hong Po-ok yang dibuang ke tanah oleh Kiau Hong tadi bahkan golok itu lantas mencelat ke atas seakan-akan melompat sendiri ke tangan Kiau Hong. Dan sekali Kiau Hong menyampuk perlahan, tangkai golok itu terus membalik ke depan seperti diangsurkan kembali kepada Hong Po-ok.

Hong Po-ok tercengang, katanya dengan tergegap, "Apakah ini ... Kim-liong-kang (ilmu menangkap naga)? Di dunia ini ternyata benar ada orang mahir ilmu sakti ini?”

"Aku cuma belajar sedikit dasarnya saja, lebih jauh masih harus minta petunjuk pihak yang mahir,” Kiau Hong tertawa sambil memandang ke arah Giok-yan. Ia ingin mengetahui bagaimana penilaian si nona yang mahir segala macam ilmu silat itu atas ilmu saktinya yang tiada bandingan itu.

Tak tersangka Giok-yan tampak lagi termangu-mangu seperti sedang memikirkan sesuatu, maka apa yang dikatakan Kiau Hong itu seakan-akan tak didengarnya.

Mau tak mau Hong Po-ok harus menyerah, katanya, "Ya, sudahlah, ilmu silatku memang bukan tandinganmu, selisih kita terlalu jauh, kalau berkelahi juga kurang menarik. Nah, sampai berjumpa, Kiau-pangcu!”

Meski lahiriah Hong Po-ok ini jelek, wajahnya tidak sedap dipandang, tapi jiwanya cukup kesatria, biarpun kalah berkelahi, sama sekali ia tidak patah semangat. Kalah atau menang dianggapnya soal lumrah. Baginya sudah senang asal dapat berkelahi.

Segera ia memberi salam perpisahan kepada Kiau Hong, lalu katanya kepada Pau Put-tong, "Samko, kabarnya Kongcuya pergi ke Siau-lim-si, di sana sangat banyak orang, kita tentu dapat berkelahi lagi. Biarlah sekarang juga aku berangkat ke sana dan kalian boleh menyusul belakangan!”

Begitulah sifat Hong Po-ok itu, ia tidak pernah sia-siakan setiap kesempatan berkelahi. Maka tanpa menunggu jawaban Pau Put-tong, terus saja ia mendahului berlari pergi.

"Ya, marilah pergi! Lebih baik pergi, daripada cari mati! Kalah berkelahi, apa lagi yang dinanti?” demikian sambil bersenandung Pau Put-tong ikut meninggalkan tempat itu secara kesatria.

Tinggal Giok-yan bertiga yang masih di situ, maka tanyanya kepada A Cu dan A Pik, "Samko dan Siko sudah pergi, lantas kita mesti ke mana?”

"Para pengemis ini rupanya akan berunding urusan penting, kita lebih baik kembali ke Bu-sik saja,” demikian

sahut A Cu perlahan. Lalu katanya kepada Kiau Hong, "Kiau-pangcu, kami juga ingin mohon diri saja!”

"Silakan!” sahut Kiau Hong sambil mengangguk.

Dan selagi Giok-yan bertiga hendak berlalu, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang di sebelah timur sana tampil ke muka seorang pengemis setengah umur berwajah bersih dan berseru, "Kiau-pangcu, sakit hati kematian Behupangcu yang mengenaskan itu belum lagi dibalas, mengapa sembarangan melepaskan musuh begini saja?”

Kedengarannya ia bicara dengan hormat, tapi sikapnya dan nadanya menantang, sedikit pun tidak mirip sebagai seorang bawahan.

"Kedatangan kita ke sini memang tujuannya ingin membalas sakit hati Be-jiko,” sahut Kiau Hong. "Tapi setelah kuselidiki selama beberapa hari ini, aku merasa pembunuh Be-jiko itu belum pasti Buyung-kongcu.”

Pengemis setengah umur itu bernama Coan Koan-jing, orang memberi julukan "Sip-hong-siucay” padanya, artinya si Pelajar Serbatahu. Orangnya memang pintar dan banyak akal, ilmu silatnya juga tinggi, ia adalah salah satu thocu berkantong delapan, kedudukannya hanya di bawah para tianglo (tertua) kantong sembilan.

Coan Koan-jing adalah kepala bagian Tay-ti-hun-tho, kedudukannya sangat terhormat. Tapi betapa tinggi kedudukannya juga takkan lebih agung daripada sang pangcu. Dalam hal huru-hara dalam Kay-pang ini meski sebelumnya orang-orang telah banyak mendengar keterangannya, tapi di bawah sinar mata Kiau Hong yang kereng itu tanpa terasa semuanya menjadi jeri dan menunduk. Sebaliknya atas keberanian Coan Koan-jing dengan tegurannya kepada sang pangcu, diam-diam mereka pun berkhawatir.

Maka si Siucay Serbatahu Coan Koan-jing berkata pula, "Dengan dasar apa hingga Pangcu mengatakan bukan perbuatan Buyung-kongcu?”

Sebenarnya Giok-yan sudah akan melangkah pergi, tapi demi didengarnya Be-hupangcu, wakil pemimpin Kaypang itu, katanya ditewaskan orang dan Buyung-kongcu yang dituduh sebagai pembunuhnya, sebaliknya Kiau Hong berpendapat pembunuhnya mungkin orang lain, maka Giok-yan bertiga menjadi urung berangkat pergi, mereka terus tinggal dan diam di situ untuk mendengarkan perdebatan tadi.

Maka terdengar Kiau Hong sedang berkata, "Aku sendiri pun cuma menduga saja, dengan sendirinya tiada dasar bukti apa-apa.”

"Jika begitu, bagaimana dasar dugaan Pangcu, silakan memberi penjelasan, supaya para kawan dapat ikut mengetahuinya,” ujar Coan Koan-jing.

"Waktu aku berada di Lokyang, ketika mendengar Be-jiko dibinasakan orang dengan ilmu ‘Soh-au-kim-na-jiu’ yang andalannya itu, aku lantas teringat kepada orang she Buyung yang terkenal dengan istilah ‘Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin’ itu. Kupikir ilmu kepandaian Be-jiko itu tiada tandingannya di jagat ini, kecuali orang dari keluarga Buyung memang tiada seorang pun yang mampu membunuhnya dengan ilmu andalan Be-jiko sendiri.”

"Benar!” tukas Coan Koan-jing.

"Tetapi sesudah aku berada di Kanglam sini, makin lama makin kurasakan dugaan kita semula jadi tidak benar, bukan mustahil di balik kejadian ini terdapat pula hal-hal lain yang berliku-liku.”

"Hal apa yang berliku-liku? Para kawan siap mendengarkan, silakan Pangcu memberi penjelasan,” kata Koanjing.

Melihat sikap para anggota berbeda daripada biasanya, Kiau Hong menduga di dalam organisasi pasti sudah terjadi apa-apa yang ia sendiri belum mengetahui. Maka ia coba tanya, "Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo kenapa tidak kelihatan, di manakah mereka itu?”

"Hari ini Siokhe (bawahan) belum bertemu dengan kedua Tianglo itu,” sahut Koan-jing.

"Dan para thocu dari Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong berada di mana pula?” tanya Kiau Hong pula.

"Thio Coan-siang,” tiba-tiba Koan-jing berpaling dan tanya kepada seorang anggota berkantong tujuh, "mengapa Thocu kalian tidak hadir ke sini?”

"En ... entahlah, aku ti ... tidak tahu,” demikian orang yang dipanggil Thio Coan-siang itu menjawab dengan gelagapan.

Biasanya Kiau Hong cukup kenal Coan Koan-jing. Thocu Tay-ti-hun-tho ini cerdik lagi licin, tindak tanduknya sukar diraba, sebenarnya terhitung salah seorang bawahan yang boleh diandalkan. Tapi dalam keadaan tegang begini berbalik merupakan seorang musuh yang lihai. Maka demi melihat Thio Coan-siang menjawab gelagapan dengan air muka yang penuh penyesalan serta tidak berani memandang ke arahnya, segera Kiau Hong membentaknya, "Thio Coan-siang, apa barangkali kau membunuh Thocumu sendiri, ya?”

Coan-siang menjadi ketakutan dan cepat menjawab, "O, tidak, ti ... tidak! Pui-thocu masih baik-baik di sana dan belum ... belum mati. Ini bukan ... bukan urusanku, aku tidak ... tidak ikut berbuat.”

"Jika begitu perbuatan siapa?” bentak Kiau Hong dengan bengis.

Walaupun bentakannya tidak terlalu keras, tapi berwibawa. Sebagai seorang pangcu yang gagah perkasa dan bijaksana pula, maka biasanya para anggota sangat hormat dan jeri kepadanya.

Karena mendadak ditegur secara bengis, tanpa terasa Thio Coan-siang menjadi ketakutan hingga gemetar, ia tidak berani bicara lagi, hanya sinar matanya melirik sekejap ke arah Coan Koan-jing.

Kiau Hong dapat mengambil tindakan cepat, ia tahu kerusuhan telah terjadi, Thoan-kong, Cit-hoat dan para tianglo lain berada dalam keadaan bahaya, sang waktu tidak boleh dilewatkan percuma, tindakan tegas harus segera dilakukan, maka mendadak ia menghela napas panjang, ia berputar menghadap Su-tay-tianglo (empat tertua) dan berkata, "Harap para Tianglo suka memberi tahu, sebenarnya apa yang telah terjadi dalam organisasi kita?”

Tapi keempat kakek itu hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun berani membuka suara.

Maka tahulah Kiau Hong bahwa keempat tianglo itu pun pasti tersangkut dalam urusan ini, dengan tersenyum katanya pula, "Setiap anggota kita, dimulai dari diriku, semuanya mengutamakan setia kawan ....”

Berkata sampai di sini, sekonyong-konyong ia melompat mundur dua tindak, setiap tindaknya sejauh lebih dua meter. Bagi orang lain, biarpun berlompatan ke depan juga tidak secepat dan sejauh itu.

Dengan lompatan mundur itu, maka sekarang jarak Kiau Hong dengan Coan Koan-jing sudah tinggal tiada satu meter jauhnya. Tanpa putar tubuh lagi terus saja tangan kirinya menangkap ke belakang dan tangan kanan bergerak mencengkeram dari jauh, gerakan ini tepat mengenai "Tiong-ting-hiat” dan "Kiu-bwe-hiat” di dada sasarannya.

Ilmu silat Coan Koan-jing sebenarnya tergolong kelas satu di antara jago-jago Kay-pang, hanya selisih sedikit saja daripada Kay-pang-su-lo. Tapi cukup sejurus saja, sampai berkelit pun tidak sempat dan tahu-tahu sudah kena dipegang oleh sang pangcu.

Ketika Kiau Hong kerahkan tenaga dalam hingga menyalur ke tubuh Coan Koan-jing melalui kedua hiat-to yang tercengkeram, dari urat nadi itu tenaga dalam menyalur ke Tiong-wi-hiat dan Yang-tay-hiat di dengkul Koan-jing. Seketika Coan Koan-jing merasa dengkul menjadi lemas dan tanpa terasa terus berlutut.

Melihat Coan Koan-jing tekuk lutut, keruan anggota Kay-pang yang lain sama terkejut dan khawatir tanpa berdaya.

Kiranya Kiau Hong darat melihat gelagat, ia tahu terjadinya kerusuhan biang keladinya tak-lain-tak-bukan adalah Coan Koan-jing. Kalau orang ini tidak segera dibekuk tentu akan membawa bencana yang tak terduga. Terutama bila di antara anggota Kay-pang terjadi pertempuran sendiri, pasti akan sangat melemahkan kekuatan organisasi yang sudah terpupuk selama seratus tahun ini.

Apalagi di antara anggota Kay-pang yang hadir ini, kecuali beberapa puluh orang dari Tay-gi-hun-tho, selebihnya boleh dibilang sudah dipengaruhi oleh hasutan Coan Koan-jing. Lebih-lebih kalau Kay-pang-su-lo juga berdiri di pihak lawan, pasti dirinya sukar melawan mereka.

Sebab itu, maka ia pura-pura bertanya-jawab dengan Kay-pang-su-lo, dan pada waktu Coan Koan-jing tidak menyangka, mendadak ia melompat mundur dan dapat membekuknya.

Beberapa kali lompatan dan sergapan Kiau Hong itu tampaknya sepele saja, tapi sebenarnya sudah memakan seluruh intisari kepandaiannya.

Bila cengkeramannya ke belakang tadi sedikit meleset, walaupun Coan Koan-jing dapat dibekuknya juga, tapi tenaga dalamnya akan sukar menyalur ke tubuh orang untuk menyerang hiat-to di dengkul kaki dan membuatnya berlutut, maka akibatnya tentu kawan-kawan sekomplotannya akan menerjang maju untuk menolongnya hingga suatu pertarungan sengit pasti sukar terhindarkan.

Tapi sekarang Coan Koan-jing telah dipaksa berlutut, bagi kawan-kawannya tentu akan menyangka Coan Koan-jing telah mendahului menyerah dan mengaku salah. Dengan sendirinya para begundalnya tiada yang berani berkutik lagi.

Begitulah kemudian Kiau Hong baru berputar tubuh dan menepuk perlahan pundak Coan Koan-jing sambil berkata, "Tidak perlu berlutut. Jika kau sudah sadar akan kesalahanmu, tentang dosamu yang masih harus diperiksa ini biarlah nanti dibicarakan lebih jauh.”

Sambil berkata, perlahan sikutnya bekerja pula hingga hiat-to bisu di tubuh Coan Koan-jing kena ditutuknya.

Hendaklah diketahui bahwa Coan Koan-jing adalah seorang yang pandai bicara dan pintar berdebat. Bila dia diberi kesempatan membuka suara bukan mustahil anggota Kay-pang yang lain akan mudah terpengaruh oleh provokasinya. Maka terpaksa Kiau Hong bertindak secara licik, yaitu membekuk Coan Koan-jing lebih dulu, dengan dibekuknya biang keladi mereka, terpaksa komplotan yang siap memberontak itu tak berani berkutik.

Dan sesudah dapat membekuk Coan Koan-jing serta membuatnya berlutut dengan menunduk kemudian Kiau Hong berseru pula kepada Thio Coan-siang, "Hendaknya tunjukkan tempatnya, bawalah Tay-gi-thocu pergi mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo ke sini. Kau harus tunduk pada perintah dengan baik, supaya dapat mengurangi dosamu. Kawan-kawan yang lain harap duduk menunggu di sini, dilarang sembarangan bergerak.”

Dengan takut-takut girang, berulang Thio Coan-siang mengiakan perintah sang pangcu.

Cio Ci-tong, itu Thocu dari Tay-gi-hun-tho, tidak ikut serta dalam komplotan pemberontakan, maka ia menjadi sangat gusar demi mendengar Coan Koan-jing dan begundalnya merencanakan pengkhianatan itu. Saking gusarnya seketika ia tidak sanggup ikut bersuara. Baru sesudah mendengar perintah Kiau Hong agar menyertai Thio Coan-siang pergi mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo, dapatlah ia tenangkan pikirannya yang bergolak tadi. Katanya segera kepada anak buahnya yang berjumlah 20-an orang itu, "Sungguh celaka bahwa dalam perkumpulan kita terjadi kerusuhan, maka tibalah saatnya bagi kita harus curahkan sepenuh tenaga kita untuk membalas budi kebaikan Pangcu. Kita harus taat kepada perintah Pangcu, jangan lengah!”

Sebabnya ia memberi perintah begitu adalah khawatir bahwa Su-tay-tianglo juga ikut melawan pangcu, seorang diri tentu sang pangcu sulit melawan orang banyak. Meski orang Tay-gi-hun-tho terlalu sedikit dibanding pihak yang memberontak, tapi paling tidak sudah lebih baik daripada tiada pengikut sama sekali.

Di luar dugaan Kiau Hong berkata, "Tidak, Cio-thocu, bawalah bersama anak buah bagianmu itu, menolong para tianglo lebih penting, jangan terlambat.”

Cio Ci-tong tidak berani membantah, terpaksa mengia. Katanya pula, "Harap Pangcu bertindak secara hati-hati, selekasnya kami pasti akan kembali.”

"Para saudara yang hadir di sini adalah kawan-kawan sehidup-semati yang tidak perlu disangsikan lagi, biarpun untuk sementara mungkin mereka salah pikir, namun mereka pasti akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Engkau tidak usah khawatir, pergilah!” sahut Kiau Hong dengan tersenyum.

Meskipun Kiau Hong bicara dengan sikap tenang dan sewajarnya, tapi dalam batin sebenarnya sangat terguncang. Ia saksikan keberangkatan Cio Ci-tong bersama anak buahnya. Di tengah rimba kini selain Toan

Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik berempat, selebihnya kira-kira dua ratusan orang semuanya tersangkut di dalam kerusuhan ini, asal ada di antaranya memberi hasutan dan memberi perintah, tentu akan terjadi serbuan serentak dan susah dilayani. Kiau Hong coba memandang sekitarnya, ia lihat macam-macam sikap para pengemis itu, ada yang kikuk, ada yang berlagak tenang, dan ada yang khawatir, tapi ada juga yang petantangpetenteng.

Dua ratusan orang di situ semuanya terdiam, tiada seorang pun yang berani membuka suara. Tapi sekali ada yang bicara, pasti kerusuhan akan terjadi. Pikir Kiau Hong, "Dalam keadaan demikian, paling baik kalau suasana tetap dalam keadaan tenang. Kalau dapat pokok persoalan dikesampingkan dulu, baru sebentar Thoankong Tianglo dan lain-lain sudah datang, urusan tentu akan menjadi mudah diselesaikan.”

Sekilas terlihat olehnya Toan Ki berdiri di sampingnya, maka katanya segera, "Para saudara, hari ini aku sangat gembira karena baru saja dapat berkenalan dengan seorang sobat baru. Karena kami berdua cocok satu-samalain, maka aku sudah mengangkat saudara dengan adik Toan Ki ini. Nah, Toan-hiante, marilah kuperkenalkan kepada tokoh-tokoh utama di dalam Kay-pang kami.”

Lalu ia gandeng tangan Toan Ki dan mendekati kakek beruban dan bersenjatakan gada bergigi kait itu, katanya, "Beliau adalah Song-tianglo, usianya sudah lanjut dan namanya dihormati. Beliau adalah tetua yang dipuja di dalam perkumpulan kami. Senjatanya yang istimewa ini dahulu pernah malang melintang di Kangouw, tatkala itu Toan-hiante sendiri mungkin belum lahir.”

"Ah, kiranya Song-tianglo, sudah lama kukagum, sungguh beruntung hari ini bisa bertemu,” demikian Toan Ki memberi hormat.

Terpaksa dan dengan kaku Song-tianglo membalas hormat juga.

Kemudian Kiau Hong memperkenalkan si kakek pendek gemuk dan bersenjata tongkat baja itu kepada Toan Ki. Katanya, "Dia Ge-tianglo, ahli gwakang terkemuka dalam perkumpulan kita. Belasan tahun dulu kakak angkatmu ini sering belajar ilmu silat padanya. Terhadap diriku Ge-tianglo boleh dikata ya guru ya kawan, hubungan kami tak dapat diartikecilkan.”

"Ya, tadi aku sudah menyaksikan Ge-tianglo menempur kedua orang, ilmu silatnya memang benar luar biasa, sungguh sangat mengagumkan,” ujar Toan Ki.

Watak Ge-tianglo itu sangat jujur dan tulus, mendengar Kiau Hong toh tidak pernah melupakan hubungan baik di masa lampau, terutama mengungkap bahwa dirinya pernah memberi petunjuk ilmu silat, mau tak mau Getianglo merasa lega dan malu hati pula, ia yakin Kiau Hong pasti takkan mengusut terlalu keras tentang ikut sertanya dalam komplotan kerusuhan ini, sebaliknya dirinya secara sembrono telah kena dihasut oleh Coan Koan-jing, hal ini benar-benar sangat tercela.

Dan sesudah Kiau Hong memperkenalkan Tan-tianglo yang bersenjatakan karung goni itu kepada Toan Ki, selagi hendak mengenalkan Go-tianglo yang bermuka merah dan bersenjatakan kui-thau-to itu, tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang yang ramai dari arah timur laut sana. Menyusul terdengar suara berisik orang banyak yang berkata, "Bagaimana keadaan Pangcu. Di mana pengkhianatnya?” — "Kita telah tertipu dan sebal karena dikurung mereka.”

Begitulah suara berisik itu. Kiau Hong menjadi girang. Tapi ia tidak ingin mengurangi penghormatannya kepada Go-tianglo hingga menimbulkan dendam, maka ia tetap memperkenalkan juga kedudukan dan nama baik Go-tianglo kepada Toan Ki.

Ketika ia berpaling, ia lihat Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo, para thocu dari Tay-jin-hun-tho dan lainlain sudah datang semua. Dalam hati mereka sebenarnya banyak yang hendak mereka katakan, tapi di hadapan sang pangcu mereka pun tidak berani sembarangan membuka suara.

Perlu diketahui bahwa Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar di dalam Bu-lim dengan tata tertib organisasi yang sangat ketat. Pada umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat patuh pada disiplin.

Begitulah maka Kiau Hong lantas berkata sesudah hadirnya para tianglo dan thocu itu, "Silakan para saudara suka duduk, aku ingin bicara.”

Beramai-ramai semua orang mengia, lalu mengambil tempat duduk masing-masing menurut urutan-urutan tingkat, tugas dan usia, ada yang menghadap ke kanan, ada yang ke kiri, ke depan, atau ke belakang. Tapi semuanya duduk dengan anteng.

Dalam pandangan Toan Ki, cara duduk pengemis-pengemis itu rada kacau dan tak keruan, tapi sebenarnya mereka sangat teratur, sedikit pun tidak bingung.

Melihat para anak buah menaati perintahnya dengan baik, diam-diam Kiau Hong sudah merasa lega lebih dulu.

Lalu dengan tersenyum Kiau Hong mulai bicara, "Berkat penghargaan kawan-kawan Kangouw, maka Kaypang kita selama ratusan tahun ini dapat disebut sebagai pang-hwe terbesar di dalam Bu-lim. Dan karena sudah disebut sebagai yang ‘terbesar’, karena anggota kita terlalu banyak, pendapat tiap-tiap orang tidak selalu sama, hal ini pun dengan sendirinya susah dihindarkan. Tapi asal diberi pengertian, ada persoalan, marilah bermusyawarah, maka selamanya kita akan tetap bersatu dalam persaudaraan yang saling sayang-menyayangi. Terhadap setiap perbedaan paham dan perselisihan pendapat, kita pun tidak perlu pandang sebagai sesuatu

yang luar biasa.”

Pada waktu bicara, wajah Kiau Hong tetap tenang-tenang dan ramah tamah, maka setelah mendengar uraiannya, suasana yang tadinya agak tegang itu mulai mereda.

"Numpang tanya kepada Song, Ge, Go, dan Tan-tianglo, kalian telah mengurung kami dalam perahu di tengah Thay-oh, apakah artinya itu?” demikian tiba-tiba seorang pengemis tua bermuka kuning dan duduk di sisi Kiau Hong menegur sambil berbangkit.

Kiranya dia ini Cit-hoat Tianglo, tertua yang memegang tata tertib organisasi, she Pek bernama Si-kia. Orangnya jujur dan keras, tidak pandang bulu kepada siapa pun juga. Sekalipun tidak berdosa, anggota Kaypang juga jeri padanya. Sebabnya disiplin Kay-pang begitu baik, jasa Pek Si-kia boleh dikatakan sangat besar.

Di antara Su-tay-tianglo, usia Song-tianglo paling tua, sebab itulah ia merupakan simbol dari empat serangkai itu. Maka wajahnya menjadi merah oleh teguran Pek Si-kia, ia berdehem sekali, lalu menjawab, "Tentang itu ... itu, kita ... kita adalah saudara sehidup-semati, dengan sendirinya tiada maksud jahat, maka ... maka harap mengingat diriku ini, hendaklah ... Pek-cit-hoat suka memaafkan.”

Mendengar itu, semua anggota merasa Song-tianglo ini benar-benar sudah pikun. Masakah urusan membangkang kepada pangcu dapat dianggap sepele dan cukup dengan minta maaf begitu saja lalu urusan menjadi selesai?

Maka Pek Si-kia berkata pula, "Song-tianglo bilang tiada maksud jahat, kenyataannya tidaklah demikian. Aku dan Pui-thocu telah dikurung bersama di dalam sebuah perahu, perahu ini berlabuh di tengah telaga Thay-oh dan di atas perahu itu penuh tertumpuk kayu dan bahan bakar lain, katanya kalau kami berani melarikan diri, perahu itu segera akan dibakar. Nah, Song-tianglo, cara demikian itu apakah bukan maksud jahat?”

"Hal ini me ... memang benar agak ... agak keterlaluan,” sahut Song-tianglo dengan tergegap-gegap. "Kita adalah saudara sendiri, mana boleh berlaku sekasar itu? Kelak bila saling bertemu, bukankah akan merasa tidak enak?”

Kata-katanya yang terakhir itu jelas ditujukan kepada Tan-tianglo.

"Dan kau,” mendadak Pek Si-kia menuding salah seorang pengemis di sebelah sana. "Kau telah menipu kami ke atas perahu itu, katanya Pangcu mengundang kami. Kau memalsukan perintah Pangcu, apa hukumanmu?”

Laki-laki itu menjadi ketakutan hingga bergemetaran, sahutnya dengan terputus-putus, "Kedudukan Tecu sangat ... sangat rendah, mana Tecu berani melakukan perbuatan durhaka? Soalnya karena ... karena ....”

Berkata sampai di sini, sinar matanya beralih ke arah Coan Koan-jing seakan-akan hendak bilang Coan-thocu yang memerintahkan agar menipu kalian ke atas perahu itu.

Pek Si-kia lantas menegas, "Apakah Coan-thocu yang memberi perintah begitu padamu?”

Laki-laki itu hanya menunduk saja tanpa berkata, tidak mengiakan juga tidak membantah.

"Kau diperintahkan Coan-thocu agar memalsukan titah Pangcu untuk menipu kami ke atas perahu itu, tatkala itu kau tahu tidak bahwa titah itu palsu?” tanya Pek Si-kia pula.

Seketika wajah laki-laki itu pucat pasi dan tidak berani bersuara.

"Hm, Li Sam-jun,” jenguk Pek Si-kia, "biasanya kau adalah seorang laki-laki, berani berbuat berani bertanggung jawab. Kini kenapa menjadi pengecut dan tidak berani mengaku salah?”

Mendadak Li Sam-jun membusungkan dada dan melangkah maju, serunya dengan lantang, "Ucapan Pektianglo memang tepat. Aku Li Sam-jun telah berbuat salah, apakah akan dibunuh atau digantung terserah keputusanmu, kalau orang she Li ini berkerut kening sedikit saja bukan laki-laki sejati. Tatkala kusampaikan perintah palsu Pangcu kepadamu, waktu itu aku sendiri tahu kalau itu perintah palsu.”

"Sebenarnya Pangcu kurang baik padamu atau aku yang bersalah padamu?” tanya Pek Si-kia.

"Tidak semua,” sahut Li Sam-jun. "Terhadap Siokhe (hamba), Pangcu selalu sangat berbudi, begitu pula Pektianglo sangat adil dan jujur, siapa pun tiada yang mengomel.”

"Habis, disebabkan apa? Urusan apa yang menyebabkan kau berkhianat?” bentak Pek-tianglo dengan bengis.

Li Sam-jun pandang sekejap pada Coan Koan-jing yang berlutut itu, lalu memandang pula ke arah Kiau Hong, kemudian katanya dengan suara keras, "Siokhe telah melanggar pang-kui (tata tertib organisasi), ganjaran yang

setimpal adalah mati, tapi tentang sebab musababnya, Siokhe tidak berani menerangkan.”

Habis berkata sekali tangannya bergerak, sinar putih berkelebat, "bles”, tahu-tahu sebilah belati telah menancap hulu hatinya.

Tikaman sendiri itu sangat cepat, pula tepat mengenai jantung, ujung belati sampai menembus ke punggung, keruan Li Sam-jun terjungkal seketika dan binasa.

Dalam kagetnya para pengemis yang lain sama menjerit, tapi semuanya tetap duduk di tempat masing-masing, tiada seorang pun berani bergerak.

Dengan wajah yang kereng Pek Si-kia berkata pula, "Kau tahu perintah Pangcu itu palsu, tapi tidak melapor pada Pangcu, bahkan menipu aku, hukumanmu memang seharusnya mati.”

Lalu ia berpaling pada Thoan-kong Tianglo dan berkata, "Hang-heng, siapa pula orang yang menipumu ke atas perahu?”

Belum lagi Hang-tianglo menjawab, sekonyong-konyong seorang melompat pergi dari rombongan sana dan berlari sekencang-kencangnya. Orang ini menyandang lima kantong, terang dia adalah Go-te-tecu. Melihat larinya itu, jelas dia inilah orang yang menyampaikan perintah palsu untuk menipu Hang-tianglo ke atas perahu itu.

Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo saling pandang dengan menghela napas gegetun, keduanya tidak bicara lagi.

Dalam pada itu tiba-tiba sesosok bayangan orang melesat dengan cepat sekali dan tahu-tahu sudah mengadang di depan Go-te-tecu yang hendak melarikan diri itu.

Pengadang itu ternyata bermuka merah dan bergolok kui-thau-to, ialah Go-tianglo di antara Kay-pang-su-lo itu.

Terdengar kakek itu membentak dengan bengis, "Lau Tiok-ceng, mengapa kau hendak melarikan diri?”

Melihat dirinya diadang Go-tianglo, saking ketakutan Go-te-tecu yang dipanggil sebagai Lau Tiok-ceng itu sampai lemas kakinya, sahutnya dengan tak lancar, "Aku ... aku ....”

Begitulah hampir sepuluh kali ia mengucapkan "aku” dan tidak sanggup meneruskan lagi.

"Sebagai anggota Kay-pang, kita harus taat kepada tata tertib yang kita warisi dari leluhur. Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kalau salah berani mengaku salah kalau benar, apa lagi yang mesti ditakutkan?”

Demikian seru Go-tianglo. Lalu ia berpaling ke arah Kiau Hong dan meneruskan, "Pangcu, kami memang berkomplotan hendak menggulingkan kedudukanmu sebagai pangcu. Dalam komplotan ini, Ge, Tan, Song dan Go keempat tianglo semuanya tersangkut. Kami khawatir Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo tidak setuju dengan rencana kami, maka berdaya mengurungnya. Hal ini demi untuk perkembangan Kay-pang kita di hari depan terpaksa mesti berani mengambil risiko. Tapi pergerakan kami rupanya kurang mujur hingga dapat dibongkar oleh kalian. Nah, terserahlah bagaimana kalian akan mengambil keputusan. Aku Go Tiang-hong sudah lebih 30 tahun menjadi anggota Kay-pang, siapa pun tahu aku bukan manusia yang takut mati.”

Habis berkata, golok kui-thau-to mendadak dilemparkannya jauh-jauh, lalu kedua tangannya bersedekap di depan dada, sikapnya angkuh dan pantang takut.

Dengan terus terang Go-tianglo mengatakan komplotan hendak menggulingkan sang pangcu, keruan seketika gegerlah anggota Kay-pang yang lain. Sudah tentu rencana itu diketahui siapa pun yang ikut dalam komplotan itu, tapi justru untuk mengaku terus terang itulah tiada yang berani. Kini Go Tiang-hong orang pertama yang berani mengaku terus terang, mau tak mau semua orang harus mengagumi kejujuran dan keberaniannya.

"Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo berkomplot hendak menggulingkan Pangcu, perbuatan ini melanggar pasal satu undang-undang organisasi kita,” demikian Pek Si-kia, tertua pelaksana hukum, menyatakan keputusannya, "Cit-hoat-tecu (murid pelaksana hukum), ringkuslah keempat tianglo!”

Segera anak buahnya yang menerima perintah itu mengeluarkan tali kulit kerbau, lebih dulu Go Tiang-hong diringkus, tertua itu hanya tersenyum saja dan membiarkan dirinya diikat tanpa melawan sedikit pun. Menyusul Song-tianglo dan Go-tianglo juga meletakkan senjata dan menyerah untuk diringkus.

Hanya wajah Tan-tianglo yang kelihatan penasaran, ia mengomel sendiri, "Pengecut, pengecut semua! Kalau tadi kita serbu serentak, belum tentu kita dikalahkan, tapi justru setiap orang jeri kepada Kiau Hong.”

Apa yang dikatakan memang benar, ketika Coan Koan-jing ditundukkan, bila anggota yang ikut berkomplot itu serentak menyerbu maju, betapa pun Kiau Hong pasti susah melawannya. Malahan kemudian dengan datangnya Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan para thocu dari Tay-jin, Tay-gi, Tay-sin dan Tay-yong, tetap jumlah pengikut komplotan jauh lebih banyak.

Akan tetapi di hadapan Kiau Hong yang gagah perkasa dan berwibawa itu, ternyata tiada seorang pun berani mendahului turun tangan sehingga kesempatan baik berlalu dengan sia-sia, akhirnya satu per satu kena diringkus malah.

Sekarang biarpun Tan-tianglo bertekad bertempur mati-matian, namun ia sudah terpencil seorang diri. Maka dengan menghela napas ia lempar karung goninya dan membiarkan kaki dan tangannya diikat dengan tali oleh anak buah Cit-hoat Tianglo.

"Lau Tiok-ceng,” seru Cit-hoat Tianglo kemudian, "cara tindak tandukmu seperti ini apakah kau masih ada harganya untuk menjadi anggota Kay-pang? Kau akan membereskan diri sendiri atau perlu bantuan orang lain?”

"Aku ... aku ....” sahut Lau Tiok-ceng dengan tergegap dan tak dapat melanjutkan lagi, ia melolos golok dan bermaksud menggorok leher sendiri, tapi tangannya terlalu gemetar hingga tidak kuat mengangkat goloknya.

"Huh, tak becus seperti ini juga mengaku sebagai anggota Kay-pang,” jengek salah seorang anak buah Cithoat-tecu tadi. Segera ia bantu memegang tangan Lau Tiok-ceng yang bersenjata itu, lalu menggorok sekuatnya untuk memutuskan lehernya.

"Te ... terima kasih ....” kata Lau Tiok-ceng dengan terputus-putus, lalu melayanglah jiwanya.

Kiranya menurut peraturan Kay-pang, setiap anggota yang berdosa dan harus dihukum mati, kalau pelaksanaan itu dilakukan dengan tangan sendiri, maka dia masih tetap dianggap sebagai saudara dalam Kay-pang dan dengan matinya itu berarti dosanya sudah tercuci bersih. Tapi kalau dilakukan oleh Cit-hoat-tecu, itu berarti dosanya tidak pernah diampuni selamanya.

Tadi Cit-hoat-tecu itu melihat Lau Tiok-ceng bermaksud membunuh diri, tapi tenaga kurang, maka telah membantu melaksanakan keinginannya itu.

Begitulah Toan Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik berempat tanpa sengaja telah menyaksikan kerusuhan di dalam Kay-pang, diam-diam mereka merasa menyesal telah ikut-ikut mendengar dan melihat urusan dalam orang lain yang mestinya tidak boleh diketahui orang luar.

Tapi kalau mereka pergi begitu saja, tentu akan menimbulkan curiga orang-orang Kay-pang. Terpaksa mereka tetap duduk tenang di tempatnya dengan lagak seakan-akan tidak ambil pusing apa yang terjadi itu. Namun bukan mustahil dengan binasanya Lau Tiok-ceng dan Li Sam-jun serta diringkusnya Su-tay-tianglo yang

tadinya tampak gagah perkasa itu, mungkin banyak kejadian mengerikan masih akan berlangsung pula.

Maka mereka berempat cuma saling pandang saja, mereka merasa serbasalah menghadapi keadaan begitu. Toan Ki sendiri adalah saudara angkat Kiau Hong, sedangkan waktu Hong Po-ok keracunan, Kiau Hong telah memintakan obat baginya. Hal ini membuat Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik merasa sangat berterima kasih padanya. Kini melihat Kiau Hong dapat memulihkan kerusuhan di dalam Kay-pang dan berhasil meringkus biang keladi komplotan pengkhianat, sudah tentu mereka ikut bersyukur bagi Kiau Hong.

Dalam pada itu Kiau Hong sendiri lagi duduk dengan termangu-mangu di samping sana, meski anggota yang berkhianat satu per satu telah dapat diringkus, tapi sedikit pun ia tidak merasa senang sebagai pihak yang menang.

Terkenang olehnya waktu dia menerima jabatan pangcu dari Ong-pangcu almarhum yang berbudi itu, selama delapan tahun memegang pimpinan, sudah banyak peristiwa ke luar maupun ke dalam yang telah diselesaikan dengan baik, sedikit pun tidak pernah memikirkan kepentingan diri pribadi hingga Kay-pang selama di bawah pimpinannya bertambah jaya dan makin disegani oleh sesama kawan Kangouw.

Berdasarkan itu, dirinya boleh dikatakan banyak jasanya dan tidak merasa pernah berbuat sesuatu kesalahan, mengapa sekarang mendadak ada komplotan seluas ini hendak menggulingkan dirinya? Kalau melulu Coan Koan-jing yang bernafsu besar hendak menghancurkan Kay-pang, mengapa Su-tay-tianglo yang dapat dipercaya itu juga ikut dalam komplotan ini? Apa barangkali tanpa sengaja dan tanpa sadar dirinya telah berbuat sesuatu kesalahan yang menimbulkan kemarahan para kawan?

Sementara itu terdengar Pek Si-kia mulai berkata lagi dengan lantang, "Para saudara, Kiau-pangcu diangkat sebagai pengganti Ong-pangcu almarhum, selama ini beliau menjalankan tugas dengan baik hingga Kay-pang kita mendapat kemajuan yang tidak sedikit, waktu ditunjuk sebagai pengganti pangcu, dahulu Ong-pangcu telah banyak mengujinya lebih dulu dengan soal-soal sulit. Di antaranya ada tiga syarat berat serta mengharuskan dia melaksanakan tujuh macam pahala besar bagi Kay-pang habis itu barulah mewariskan Pakkau-pang (pentung penggebuk anjing) padanya.

"Dahulu waktu diadakan Thay-san-tay-hwe (pertemuan besar di Thay-san), seorang diri Kiau-pangcu telah menjatuhkan delapan lawan tangguh, banyak kawan-kawan yang hadir di sini ikut menyaksikan kejadian itu. Selama delapan tahun ini Kiau-pangcu selalu bertindak adil dan berbudi, nama baik Kay-pang kita pun semakin membubung tinggi, untuk mana seharusnya kita berterima kasih dan mencintainya dengan sepenuh jiwa raga kita, tapi kini ternyata ada orang yang hendak berkhianat. Nah, Coan Koan-jing, boleh coba kau bicara sendiri di hadapan para kawan!”

Karena Coan Koan-jing ditutuk bisu oleh Kiau Hong, maka apa yang dikatakan Pek-tianglo itu dapat didengar dengan jelas, susahnya ia sendiri tak dapat membuka suara untuk menjawabnya.

Maka Kiau Hong mendekatinya dan menepuk perlahan punggung Coan Koan-jing untuk membuka hiat-to yang ditutuknya itu, katanya, "Coan-thocu, aku Kiau Hong pernah berbuat sesuatu dosa apa kepada para saudara, silakan bicara terus terang di sini, tidak perlu takut dan tidak perlu pantang bicara.”

Karena hiat-to telah lancar kembali, segera Coan Koan-jing melompat bangun dan berseru, "Dosamu kepada para saudara belum kau lakukan sekarang, tapi tidak lama lagi tentu akan kau jalankan.”

"Ngaco-belo!” bentak Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia. "Pribadi Kiau-pangcu cukup kesatria dan berjiwa besar, sebelum ini tiada sesuatu kejahatan yang dilakukannya, untuk selanjutnya juga takkan diperbuatnya.”

"Pek-tianglo,” sela Kiau Hong, "harap sabarlah, biarkan Coan-thocu bertutur sejelasnya dari awal sampai akhir duduk perkara. Jika Song-tianglo dan Ge-tianglo berempat juga menyalahkan diriku, mungkin aku pernah berbuat sesuatu kesalahan.”

"Aku memberontak padamu adalah salahku,” seru Ge-tianglo mendadak, "maka tidak perlu kau singgung lagi. Sebentar sesudah urusan selesai aku sendiri akan penggal kepalaku ini untukmu.”

Walaupun ucapan Ge-tianglo itu kedengarannya rada lucu namun perasaan setiap orang sedang dirundung kepedihan karena adanya perpecahan di dalam organisasi, maka tiada seorang pun yang merasa geli.

Terdengar Pek-tianglo membenarkan ucapan Kiau Hong tadi, sahutnya, "Baiklah. Nah, uraikanlah, Coan Koanjing.”

Melihat komplotannya telah gagal, sekutunya seperti Song-tianglo berempat telah diringkus, terang usahanya akan sia-sia belaka. Namun ia masih ingin menempuh jalan terakhir, maka serunya dengan lantang, "Kematian Be-hupangcu dibunuh orang, kuyakin atas suruhan Kiau Hong!”

Keruan Kiau Hong terguncang hebat oleh tuduhan itu. "Apa katamu?” serunya.

Saking kejutnya sampai suaranya agak parau.

"Sebab apa engkau diam-diam benci kepada Be-hupangcu dan ingin mengenyahkannya, kalau tidak melenyapkan beliau dirasakan olehmu serupa duri dalam daging, kedudukan pangcu menjadi tidak teguh bagimu,” demikian kata Coan Koan-jing.

Kiau Hong menggeleng perlahan, katanya, "Tidak. Hubunganku dengan Be-hupangcu meski tidak begitu rapat, dalam tutur kata juga tidak cocok, tapi selamanya aku tidak pernah punya maksud mencelakai dia. Tuhan sebagai saksi, bila aku Kiau Hong ada niat mencelakai Be-hupangcu, biarlah aku hancur lebur dicencang dan selamanya aku akan dikutuk setiap kesatria di jagat ini.”

Melihat sikap Kiau Hong yang sungguh-sungguh dan penuh semangat kesatria itu, maka tiada seorang pun yang berprasangka lagi padanya.

Tapi Coan Koan-jing lantas berkata lagi, "Jika begitu, tujuan kita datang ke Koh-soh sini untuk menuntut balas kepada Buyung-kongcu, mengapa berulang-ulang engkau bersekongkol dengan musuh?”

Ia tuding Giok-yan bertiga, lalu melanjutkan, "Ketiga orang ini adalah anak keluarga Buyung Hok dan engkau malah membelanya.”

Ia tuding Toan Ki pula dan berkata, "Dan orang ini adalah kawan Buyung Hok, engkau justru mengangkat saudara dengan dia ....”

"Bukan, bukan!” demikian seru Toan Ki menirukan lagu Pau Put-tong sambil goyang-goyang kedua tangannya. "Aku bukan kawan Buyung Hok, sedangkan macam apa Buyung Hok itu, apakah dia bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu.”

"Pau Put-tong, itu orang yang suka ‘bukan-bukan’ adalah Cengcu Pek-in-ceng merupakan bawahan Buyung Hok, ‘It-tin-hong’ Hong Po-ok juga pengikut Buyung Hok yang mengepalai Jik-sia-ceng,” demikian Coan Koan-jing berkata pula. "Kalau mereka tidak tertolong olehmu, sudah sejak tadi yang satu mati keracunan dan yang lain binasa tercencang. Kejadian tadi telah disaksikan orang banyak, dalam hal ini apakah engkau mampu menyangkal?”

"Sudah ratusan tahun sejarah Kay-pang kita dan selama itu selalu mendapat dukungan dan dihormati sesama orang Kangouw, sebabnya bukan karena menang pengaruh atau menang pintar, tapi karena kita senantiasa berbuat kebajikan, suka membela kaum lemah dan menegakkan keadilan,” kata Kiau Hong dengan perlahan. "Coan-thocu, engkau menuduh aku membela ketiga nona itu, memang benar aku telah membela mereka, hal itu disebabkan aku ingin menjaga nama baik Kay-pang yang sudah bersejarah ratusan tahun ini agar tidak sampai ditertawai kawan Kangouw bahwa para Tianglo Kay-pang mengeroyok tiga orang nona lemah. Coba pikirkan, Song, Ge. Tan dan Go berempat tianglo adalah kaum locianpwe yang disegani, masakah nama baik mereka tidak harus dijaga? Mungkin engkau memang tidak, tapi orang lain tak dapat membiarkan nama baik mereka tercemar.”

Mendengar jawaban Kiau Hong ini, semua orang merasa cukup beralasan juga. Bila beramai-ramai mereka mempersulit ketiga nona seperti Giok-yan dan hal ini tersiar, memang nama baik Kay-pang pasti akan tercemar.

"Nah, Coan Koan-jing, apa yang dapat kau katakan lagi?” tanya Pek-tianglo kemudian. Lalu ia berpaling kepada Kiau Hong dan berkata pula, "Pangcu, manusia yang tidak kenal adat begini, buat apa banyak bicara dengan dia, biarlah jatuhkan hukuman yang setimpal menurut peraturan saja.”

"Sabar dulu,” ujar Kiau Hong. "Menurut dugaanku, sebabnya Coan-thocu dapat memengaruhi orang sebanyak ini untuk melawan diriku, tentu dia mempunyai alasan yang teguh. Seorang laki-laki sejati, segala tindakan harus dilakukan secara blakblakan, kalau salah biar salah, aku Kiau Hong selamanya tidak pernah menyembunyikan sesuatu perbuatan yang tak boleh diketahui orang lain, andaikan ada kesalahanku, biarlah para saudara suka katakan terus terang.”

"Pangcu,” tiba-tiba Go-tianglo menyela dengan menghela napas, "mungkin engkau adalah seorang durjana besar yang pintar berlagak, boleh jadi engkau adalah seorang kesatria sejati pula. Tapi aku Go Tiang-hong sudah terang tidak dapat membeda-bedakannya. Maka lebih baik lekas kau bunuh diriku saja.”

Kiau Hong menjadi heran dan curiga, tanyanya cepat, "Go-tianglo, mengapa engkau bilang aku mungkin seorang durjana? Hal apakah yang menyebabkan engkau men ... mencurigai aku?”

Namun Go Tiang-hong menggeleng kepala, sahutnya, "Kalau diceritakan, urusan ini akan sangat luas sangkutannya, sebenarnya kami ingin membunuhmu agar selesailah urusannya.”

Keruan Kiau Hong tambah bingung oleh ucapan kakek itu. "Mengapa? Ada apa?”

Demikian ia bergumam sendiri. Lalu ia mendongak dan berseru, "Apakah karena aku telah menolong dua pembantu Buyung Hok, lantas kalian mendakwa aku bersekongkol dengan dia? Soalnya memang begitu atau tidak, saat ini masih sukar diputuskan. Tapi menurut perasaanku, aku tetap yakin tewasnya Be-hupangcu bukan dibunuh oleh Buyung Hok.”

"Dari mana kau tahu?” tanya Coan Koan-jing.

Pertanyaan ini tadi sudah pernah diajukannya, tapi karena terseling banyak kejadian lain, maka belum terjawab, dan baru sekarang pertanyaannya dapat diulang lagi.

"Sebab kupikir Buyung Hok adalah seorang kesatria, seorang laki-laki sejati, tidak nanti dia turun tangan membunuh Be-jiko,” sahut Kiau Hong kemudian.

Mendengar Kiau Hong memuji Buyung Hok, hati Giok-yan merasa senang, diam-diam ia pun pikir Kiaupangcu ini benar-benar seorang yang baik. Sebaliknya Toan Ki berpikir lain, dengan kening bekernyit ia anggap pujian sang toako ini mungkin tidak benar, belum tentu Buyung Hok itu seorang kesatria apa segala?

Maka terdengarlah Coan Koan-jing berkata pula, "Selama dua bulan ini, jago-jago Kangouw yang terbunuh berjumlah tidak sedikit, dan setiap orang itu selalu terbinasa di bawah kungfu andalannya sendiri. Hal ini kalau bukan perbuatan Buyung-si dari Koh-soh, lantas perbuatan siapa?”

Tiba-tiba Kiau Hong berjalan mondar-mandir perlahan di tengah kalangan sambil bicara dengan suara tenang, "Saudara-saudara sekalian, kemarin malam ketika aku sedang minum arak di rumah makan Bong-kan-lau di tepi sungai Tiangkang di kota Kang-im, aku bertemu dengan seorang sastrawan setengah umur yang ternyata mampu minum sepuluh mangkuk arak sekaligus tanpa mabuk sedikit pun. Sungguh kuat cara minumnya dan benar-benar seorang lelaki sejati.”

Diam-diam Toan Ki tersenyum geli, katanya di dalam hati, "Kiranya kemarin malam Toako sudah berlomba minum arak dengan orang. Dan karena orang itu sangat kuat minum, cara minumnya sederhana, lantas dia merasa senang serta memuji orang sebagai lelaki sejati, padahal semua orang tidak dapat disamaratakan.”

Dalam pada itu Kiau Hong sedang menyambung ceritanya, "Maka telah kuajak minum tiga mangkuk dengan dia, ketika berbicara tentang tokoh-tokoh di daerah Kanglam, dia menyombongkan diri bahwa tenaga pukulannya nomor satu di daerah Kanglam. Maka lantas kuajak dia bertanding tiga kali pukulan.

"Pukulan pertama dan kedua dapat dia tangkis dengan sama kuatnya, tapi pukulan ketiga telah membuat mangkuk yang dipegang tangan kirinya pecah tergetar dan remukan beling mangkuk melukai mukanya hingga berdarah.

"Tapi dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa ia berkata, ‘Sayang, sayang semangkuk arak yang bagus ini!’

"Aku merasa senang padanya, maka pukulan keempat tidak kulakukan lagi. Kataku, ‘Tenaga pukulan saudara memang sangat hebat, sebutan ‘Kanglam-te-it’ (nomor satu di Kanglam) memang sesuai.’

"Ia menjawab, ‘Kanglam-te-it, tapi Thian-he-te-cap (nomor sepuluh di dunia).’

"Ujarku, ‘Hengtay tidak perlu rendah diri, walaupun bukan nomor satu, tapi nomor lima atau nomor enam di dunia ini pasti jadi.’

"Tiba-tiba ia berkata, ‘Kiranya Pangcu dari Kay-pang yang tiba, Hang-liong-sip-pat-ciang memang bukan omong kosong, marilah ingin kuhormati engkau satu mangkuk lagi.’

"Segera kami minum pula masing-masing tiga mangkuk. Ketika hendak berpisah telah kutanya namanya, ia mengatakan she Kongya, namanya cuma satu, Kian, artinya kering, kalau minum pasti kering isi cawannya. Nama aliasnya ialah ‘Lan-cui’ (susah mabuk). Ia mengaku sebagai pengikut Buyung-kongcu dan menjabat sebagai Cengcu Hian-siang-ceng, aku telah diundang ke tempat tinggalnya untuk minum lagi. Nah, coba katakan, saudara-saudara, pribadi laki-laki seperti itu bagaimana menurut pendapat kalian? Pantas diajak bersahabat tidak?”

Watak Go-tianglo paling jujur dan suka terus terang, maka segera ia acung jempolnya dan berseru, "Kongya Kian itu benar-benar seorang laki-laki sejati dan sobat baik. Pangcu, kapan-kapan harap engkau suka memperkenalkannya kepadaku.”

Ia lupa bahwa dirinya adalah orang hukuman yang diringkus dan sebentar lagi mungkin akan mendaftarkan diri kepada raja akhirat. Tapi demi mendengar cerita tentang seorang kesatria, seorang laki-laki sejati, tanpa terasa ia mengutarakan perasaan kagumnya serta ingin berkenalan.

Kiau Hong tersenyum, diam-diam ia merasa gegetun seorang yang polos sebagai Go-tianglo itu ternyata ikut tersangkut di dalam komplotan pengkhianatan ini. Entah bagaimana nasibnya nanti di bawah keputusan Pektianglo yang keras dan tidak pandang bulu itu?

"Kemudian bagaimana, Pangcu?” tiba-tiba Song-tianglo ikut tanya.

"Setelah berpisah dengan Kongya Kian, aku terus menuju ke Bu-sik sini,” tutur Kiau Hong pula. "Menjelang petang, tiba-tiba kudengar suara pertengkaran dua orang yang berdiri di atas sebuah jembatan kecil. Tatkala itu hari sudah mulai gelap, tapi kedua orang itu masih bertengkar di situ, aku heran dan coba mendekatinya.”

Jilid 24
"Kiranya jembatan itu adalah sebuah tok-bok-kip (jembatan balok kayu tunggal) yaitu hanya selonjor balok yang menghubungkan ujung sini dengan seberang sana. Di sebelah sini berdiri seorang laki-laki berbaju hitam dan sebelah sana berdiri seorang desa sambil memikul satu pikulan rabuk kotoran.

"Rupanya kedua orang itu bertengkar karena berebut hak jalan lebih dulu. Si orang desa menyatakan dia membawa pikulan yang berat, tidak mungkin mundur, maka laki-laki berbaju hitam itu disuruh memberi jalan dulu.

"Tapi laki-laki baju hitam itu menjawab, ‘Sejak tadi kita saling ngotot sampai sekarang, biarpun ngotot lagi sampai besok juga aku takkan mengalah.’

"Si orang desa berkata, ‘Jika kau tahan bau busuk kotoran pikulanku ini, boleh coba kau ngotot terus.’ — ‘Pundakmu dibebani pikulan seantap itu, jika engkau tidak lelah, boleh coba, kita lihat saja siapa lebih tahan lama,’ demikian sahut si laki-laki baju hitam.

"Sudah tentu aku merasa geli menyaksikan peristiwa itu, pikirku watak laki-laki baju hitam ini benar-benar sangat aneh, asal dia mundur dulu dan memberi jalan kepada orang desa itu, kan segala urusan menjadi beres, tapi ia justru ngotot berebut jalan dengan orang desa yang memikul kotoran untuk rabuk sawah itu, apanya yang menarik sih? Dan dari ucapan mereka itu, nyata mereka sudah saling ngotot lebih satu jam lamanya.

"Tertarik oleh kejadian lucu itu, aku menjadi ingin tahu bagaimana akhirnya pertengkaran mereka itu, apakah akhirnya laki-laki baju hitam itu yang menyerah atau si orang desa yang mengaku kalah?

"Tapi aku tidak sudi mencium bau busuk kotoran yang dipikul orang desa itu, maka aku bersembunyi di tempat agak jauh, kudengar kedua orang itu masih terus bertengkar tak mau kalah. Orang desa itu benar-benar sangat kuat, kalau capek ia pindahkan pikulannya dari pundak kiri ke pundak kanan dan sebaliknya secara bergiliran, namun selangkah pun ia pantang mundur.”

Mendengar sampai di sini, Toan Ki coba memandang Giok-yan, A Cu, dan A Pik bertiga. Ternyata ketiga nona itu sedang mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa sangat tertarik.

Diam-diam Toan Ki membatin, "Toako ini benar-benar rada aneh tabiatnya, menghadapi suasana yang tegang di tengah pengkhianatan anggota Kay-pang, ternyata dia masih bisa iseng menceritakan hal-hal yang tiada

sangkut pautnya dengan kepentingannya itu. Ceritanya bagi nona Ong bertiga sudah tentu menarik, tapi Kiautoako yang gagah kesatria seperti ini mengapa juga masih kekanak-kanakan sifatnya?”

Akan tetapi tidak cuma Giok-yan bertiga saja yang tertarik oleh cerita Kiau Hong itu, sebab semua anggota Kay-pang yang hadir di situ tampaknya juga sedang mendengarkan dengan penuh perhatian, sama sekali tidak merasa cerita Kiau Hong itu sebagai dongengan kosong.

Maka Kiau Hong telah melanjutkan, "Setelah mengikuti kejadian itu sebentar, lambat laun aku terkejut, kulihat laki-laki baju hitam yang berdiri di atas jembatan balok itu tetap menegak bagai gunung antengnya, terang ia seorang yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Sebaliknya orang desa itu hanya seorang biasa saja, sedikit pun tidak paham ilmu silat.

"Makin melihat makin heran aku, kupikir ilmu silat laki-laki baju hitam ini begini hebat, asal dia gunakan sebuah jarinya saja sudah cukup untuk dorong orang desa berikut pikulannya terguling ke dalam sungai, akan tetapi ia justru tidak mau menggunakan ilmu silatnya.

"Pada umumnya jago silat setinggi itu seharusnya seorang yang sabar dan peramah, umpama tidak mau mengalah cukup sekali melompat saja sudah dapat lewat ke seberang sana dengan melintasi kepala orang desa itu, hal ini dengan mudah dapat dilakukannya, tapi mengapa dia justru cari gara-gara dengan orang desa itu? Sungguh aneh dan menggelikan!

"Dalam pada itu kudengar laki-laki baju hitam itu lagi berseru, ‘Ayo, kau mau mengalah atau tidak, kalau tidak, terpaksa aku memaki!’

"Tapi orang desa itu tetap ngotot, sahutnya, ‘Mau maki boleh maki. Kau bisa memaki, memangnya aku tidak bisa?’ — Bahkan ia terus memaki lebih dulu. Maka laki-laki baju hitam itu pun balas memaki kalang kabut. Ramai sekali mereka saling caci maki, dari yang halus sampai yang paling kotor, yang lucu dan yang anehaneh, semuanya mereka keluarkan.

"Kira-kira satu jam pula perang mulut itu berlangsung, sementara itu si orang desa tampak agak payah, tenaga habis dan keringat mengucur. Sebaliknya laki-laki baju hitam itu sangat kuat tenaga dalamnya, ia tetap bertahan dengan penuh semangat. Kulihat badan si orang desa mulai bergoyang-goyang, tampaknya tidak lama lagi tentu ia akan kecebur ke dalam sungai.

"Tak tersangka, mendadak orang desa itu mencelupkan sebelah tangannya ke dalam tong kotoran yang dia pikul itu, ia meraup satu comot kotoran terus dilemparkan ke arah laki-laki baju hitam. Sudah tentu laki-laki baju hitam sama sekali tidak menduga akan perbuatan lawan itu, ia berseru kaget, kontan mukanya dan mulutnya penuh terciprat air kotoran.

"Diam-diam aku mengeluh orang desa itu pasti bakal celaka, ia mencari mati sendiri dan tak bisa menyalahkan laki-laki baju hitam itu. Benar juga laki-laki itu menjadi murka, sekali angkat tangannya, terus saja menabok ubun-ubun kepala orang desa itu.”

Mendengar sampai di sini, rupanya saking tertarik oleh cerita Kiau Hong itu hingga mulut Giok-yan yang kecil mungil itu tampak agak melongo. Sedangkan A Cu dan A Pik tampak saling pandang dengan tersenyum.

Kiau Hong sedang melanjutkan, "Kejadian itu datangnya terlalu mendadak, hendak kutolong orang desa itu pun tidak keburu lagi. Tak terduga ketika tangan laki-laki itu sudah dekat batok kepala orang desa itu, tiba-tiba ia hentikan serangannya hingga tangan tertahan di udara. Ia tertawa dan bertanya, ‘Lauhia (saudara), engkau bertanding ketekunan denganku, sebenarnya siapakah yang menang, ha?’

"Tapi orang desa itu ternyata sangat bandel, sudah terang ia kalah, namun tetap tidak mau mengaku, sahutnya, ‘Aku memikul barang berat, sudah tentu kau lebih tahan. Coba kau bawa pikulan dan aku berdiri dengan bebas, marilah kita boleh coba-coba lagi siapa yang menang dan siapa yang akan kalah?’ — ‘Benar juga ucapanmu,’ sahut laki-laki itu. Terus saja dengan tangan kiri ia angkat pikulan dari pundak si orang desa, ia tidak taruh pikulan itu di pundak sendiri, tapi terus diangkat tinggi ke atas dengan tangan lurus tegak.

"Meski orang desa itu tidak paham ilmu silat namun tenaganya sebenarnya sangat besar. Demi tampak laki-laki itu mampu angkat pikulannya yang berat itu dengan sebelah tangan tanpa bergoyang sedikit pun, mau tak mau orang desa itu ternganga kaget. ‘Nah, biar aku angkat pikulanmu ini cara begini dan takkan berganti tangan, marilah kita coba bertanding lagi, siapa yang kalah nanti harus minum habis kotoran satu pikul ini!’ demikian kata laki-laki itu dengan tertawa.

"Keruan orang desa itu tidak berani bertengkar lagi demi menyaksikan betapa hebat tenaga sakti laki-laki itu, buru-buru ia hendak mundur ke belakang. Tapi saking gugupnya ia terpeleset hingga tercemplung ke dalam sungai. Syukur laki-laki baju hitam sempat ulur sebelah tangannya untuk menjambret leher baju orang desa itu.

"Dan sambil sebelah tangan mengangkat pikulan kotoran dan tangan lain menjinjing orang desa itu, laki-laki itu terbahak-bahak dan berseru, ‘Hahaha! Sungguh puas!’ — Habis itu sekali lompat ia sudah sampai di seberang sungai dengan enteng. Ia taruh orang desa dan pikulannya ke tanah, lalu tinggal pergi dan menghilang di dalam hutan dengan ginkang yang tinggi.

"Nah, saudara-saudara, laki-laki baju hitam itu telah dicaci maki oleh orang desa itu, bahkan telah disiram air kotoran, kalau ia mau membunuhnya boleh dikatakan semudah menggecek seekor semut. Seumpama dia tidak ingin sembarangan membunuh orang, paling tidak ia dapat memberi sekali gebukan atau tendangan kepada orang desa itu pun pantas rasanya. Akan tetapi ia justru tidak mau main kekerasan, tidak mau mentangmentang lebih pandai, sifat laki-laki itu benar-benar luar biasa, sungguh sukar dicari bandingannya di kalangan

Bu-lim.

"Saudara-saudara, kejadian itu telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, jarak tempat kusembunyi waktu itu agak jauh, rasanya tidak mungkin aku diketahui olehnya hingga dia sengaja berbuat apa yang terjadi itu untuk mengelabui pikiranku. Coba katakanlah, saudara-saudara, orang begitu terhitung kawan pilihan tidak? Termasuk seorang laki-laki sejati bukan?”

Song-tianglo, Ge-tianglo dan Go-tianglo serentak menjawab, "Benar, dia seorang kawan pilihan, seorang lakilaki sejati!”

"Tapi sayang Pangcu tidak tahu siapa namanya,” Tan-tianglo juga berkata, "kalau tahu, tentu kita pun ingin tahu bahwa di daerah Kanglam sini ternyata ada seorang tokoh sehebat itu.”

"Kawan itu tadi malahan sudah saling gebrak dengan Tan-tianglo sendiri,” sahut Kiau Hong perlahan. "Bahkan tangannya kena diantup oleh kalajengking Tan-tianglo.”

"Hah, dia It-tin-hong Hong Po-ok?” seru Tan-tianglo terperanjat.

"Benar!” sahut Kiau Hong sambil mengangguk.

Dan baru sekarang Toan Ki paham sebabnya Kiau Hong mendongeng, tujuannya adalah ingin melukiskan secara nyata watak Hong Po-ok yang sejati, bahwa manusia itu tidak boleh dinilai dari lahirnya, bahwa wajah bagus belum tentu juga berhati baik.

Biarpun muka Hong Po-ok itu jelek, lebih mirip setan daripada manusia, suka cari gara-gara dan berkelahi pula, tapi jiwanya ternyata sangat luhur dan bajik.

Dari itu juga Toan Ki paham mengapa Giok-yan, A Cu dan A Pik begitu tertarik oleh cerita itu, sudah tentu disebabkan mereka tahu siapa yang dimaksudkan karena kenal watak Hong Po-ok yang suka bertengkar dengan orang tanpa sebab, tapi juga tidak nanti sembarangan membikin susah orang.

Dalam pada itu terdengar Kiau Hong sedang berkata pula, "Nah, Tan-tianglo, kita selalu anggap Kay-pang kita adalah suatu pang-hwe terbesar di dunia Kangouw, engkau sendiri adalah tokoh utama Kay-pang kita, kedudukan dan nama baikmu sudah tentu tak dapat disejajarkan dengan seorang keroco daerah Kanglam seperti Hong Po-ok itu. Tapi Hong Po-ok sesudah dihina toh masih bisa menjaga harga diri dari tidak mau sembarangan membikin susah orang lain, masakah tokoh-tokoh Kay-pang kita mesti kalah daripada dia?”

Muka Tan-tianglo menjadi merah, sahutnya, "Ajaran Pangcu memang tepat. Engkau suruh aku memberikan obat penawar padanya, kiranya adalah demi kehormatanku. Untuk itu Tan Put-peng tidak tahu maksud baik Pangcu, sebaliknya malah merasa tidak senang. Sungguh aku ini goblok seperti kerbau.”

"Nama baik Kay-pang kita dan kehormatan Tan-tianglo adalah soal kedua, yang paling utama adalah orang persilatan seperti kita ini dilarang keras membunuh sesamanya yang tak berdosa,” ujar Kiau Hong. "Biarpun Tan-tianglo umpamanya bukan tokoh Kay-pang kita dan bukan jago tersohor di Bu-lim, juga tidak boleh sembarangan mencelakai orang.”

"Ya, Tan Put-peng sekarang insaf telah berbuat salah,” sahut Tan-tianglo sambil menunduk.

Melihat uraiannya itu dapat menundukkan Tan Put-peng yang terhitung paling angkuh di antara Su-tay-tianglo itu, tentu saja Kiau Hong sangat senang, perlahan katanya pula, "Kongya Kian sangat kesatria, Hong Po-ok dapat membedakan di antara salah dan benar, sedangkan Pau Put-tong itu suka terus terang dan bebas, sekalipun ketiga nona ini pun sangat ramah dan bajik. Mereka ini kalau bukan bawahan Buyung-kongcu tentu adalah sanak keluarganya. Kata peribahasa, ‘Binatang itu hidup berkumpul menurut jenis masing-masing, manusia hidup terpisah menurut kelompok sendiri-sendiri’. Cobalah para saudara mengheningkan cipta dan pikirlah secara tenang, sedangkan orang-orang yang bergaul setiap hari dengan Buyung-kongcu itu adalah orang-orang yang telah kita kenal ini, lantas dia sendiri apa mungkin seorang durjana yang mahajahat, seorang pengecut yang rendah dan kotor?”

Tokoh-tokoh dalam Kay-pang itu adalah kesatria yang mengutamakan setia kawan dan cinta sahabat, setelah mendengarkan cerita Kiau Hong, semuanya merasa pendapat sang pangcu yang membela kehormatan Buyung Hok itu cukup beralasan, maka terdengarlah banyak suara yang menyatakan persetujuan mereka.

Sebaliknya Coan Koan-jing lantas berkata, "Pangcu, jadi menurut pendapatmu, pembunuh Be-hupangcu sudah pasti bukan Buyung Hok?”

"Aku tidak berani memastikan Buyung Hok adalah pembunuh Be-hupangcu, tetapi juga tidak berani mengatakan dia pasti bukan pembunuhnya,” sahut Kiau Hong. "Urusan menuntut balas ini kita tidak boleh bertindak gegabah, tapi harus mengusutnya secara teliti, bila cuma berdasarkan kepada dugaan saja hingga salah membunuh orang baik, sebaliknya pembunuh yang sebenarnya hidup bebas, tentu dia akan menertawai Kay-pang kita terlalu goblok. Dan kalau demikian, bukankah sangat memalukan?”

Sejak tadi Thoan-kong Tianglo Hang Po-hoa berdiri diam saja, kini ia mengelus-elus jenggotnya yang jarangjarang itu sambil berkata, "Ehm, ucapan ini memang beralasan, sangat beralasan. Aku jadi teringat pada pengalamanku dahulu, pernah aku salah membunuh seorang yang tak berdosa, hal mana senantiasa mengganjal

dalam hatiku sampai sekarang.”

"Pangcu,” tiba-tiba Go-tianglo berseru, "sebabnya kami mengkhianati engkau adalah disebabkan mudah percaya ocehan orang, katanya engkau tidak sepaham dengan Be-hupangcu dan diam-diam bersekongkol dengan begundalnya Buyung Hok untuk membinasakan dia, ditambah lagi urusan kecil lain-lain sehingga kami percaya begitu saja. Tapi kini setelah dipikir, memang kami yang terlalu gegabah dan sembrono. Maka Cit-hoat Tianglo silakan keluarkan hoat-to (golok hukuman) dan membiarkan kami membereskan diri sendiri menurut undang-undang organisasi kita.”

Dengan air muka membeku Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia berkata, "Cit-hoat-tecu, keluarkan hoat-to!”

Segera sembilan anak buahnya mengiakan berbareng. Lalu dari kantong masing-masing dikeluarkannya sebuah bungkusan kain kuning yang sudah tua. Sembilan bungkusan itu ditaruhnya menjadi satu, kemudian mereka berseru serentak, "Hoat-to sudah siap, sudah diperiksa dengan betul!”

Segera mereka membuka bungkusan masing-masing itu.

Seketika Toan Ki merasa silau oleh sembilan bilah belati yang gemilapan dan tertaruh sejajar di depan situ. Belati-belati itu sama panjangnya, mata pisau mengeluarkan sinar gilap bersemu kebiru-biruan, sekali pandang saja pasti orang akan tahu bahwa belati-belati itu adalah senjata yang sangat tajam.

Sambil menghela napas, berkatalah Pek Si-kia, "Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo telah kena dihasut orang dan berusaha hendak memberontak kepada pimpinan dan membahayakan kekuatan Kay-pang kita. Dosa mereka harus dihukum mati. Tay-ti-hun-tho Thocu Coan Koan-jing, menyebarkan cerita bohong dan sengaja menghasut untuk berkhianat, dosanya juga harus dihukum mati. Tentang anak murid yang ikut serta dalam komplotan durhaka ini, semuanya akan mendapat hukuman setimpal, untuk itu kelak akan diusut dan diputuskan tersendiri-sendiri.”

Pada waktu Pek-tianglo mengumumkan keputusan hukumnya, semua orang diam saja. Hal ini dapat dimengerti karena komplotan itu bertujuan menggulingkan sang pangcu dan dosa itu pantas dihukum mati, mata tiada seorang pun berani menyatakan keberatannya atas keputusan hukuman itu. Bagi yang ikut serta dalam komplotan itu, juga sebelumnya sudah tahu akan akibat tersebut.

Begitulah Go Tiang-hong segera mendahului maju ke hadapan Kiau Hong, ia membungkuk memberi hormat, katanya, "Pangcu, Go Tiang-hong bersalah padamu dan siap membereskan diri sendiri, mohon engkau suka memaafkan kekurangajaranku.”

Habis itu, ia berjalan ke depan barisan hoat-to tadi dan berseru, "Go Tiang-hong siap membunuh diri, silakan Cit-hoat-tecu membuka tali ringkusanku.”

Salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil bertindak maju hendak membuka tali pengikat Go-tianglo itu, mendadak Kiau Hong berseru, "Nanti dulu!”

"Pangcu,” kata Go-tianglo dengan suara lemah dan muka pucat, "dosaku teramat besar dan engkau melarangku bunuh diri sendiri?”

Kiranya di dalam undang-undang Kay-pang ada satu pasal yang menentukan bahwasanya bila pelanggar hukum organisasi itu membunuh diri, sesudah mati dosanya berarti sudah tercuci bersih dan kehormatannya tetap tak ternoda. Segala dosanya juga disiarkan keluar, kalau ada orang Kangouw membicarakan dosanya, orang Kay-pang akan bertindak untuk membelanya malah. Hal ini sesuai dengan jiwa orang Bu-lim yang sangat mengutamakan nama baik, sesudah mati juga nama baiknya tidak boleh dihina orang. Sebab itulah maka Go-tianglo merasa gugup ketika melihat Kiau Hong melarang dia membunuh diri untuk menebus dosanya.

Dan ternyata Kiau Hong tidak menjawabnya melainkan terus mendekati deretan belati tadi dan berkata, "Lima belas tahun yang lalu ketika mendadak pasukan berkuda bangsa Cidan menyerbu Gan-bun-koan, kabar itu diketahui Song-tianglo, selama tiga hari empat malam beliau tidak makan dan tidur terus menempuh perjalanan pulang ke tanah air untuk memberitahukan berita genting itu, di tengah jalan ia ganti sembilan ekor kuda yang mati saking lelah, saking capeknya beliau sampai muntah darah. Namun begitu, berita yang beliau bawa itu telah memberi kesempatan kepada tentara Song kita untuk bersiap-siap menghadapi musuh sehingga pasukan Cidan akhirnya terpaksa mengundurkan diri. Jasa mahabesar bagi nusa dan bangsa itu meski tidak banyak diketahui orang Kangouw, tapi setiap anggota Kay-pang kita cukup mengetahuinya. Nah, Cit-hoat Tianglo, atas jasa Song-tianglo itu, mohon kebijaksanaanmu agar mengizinkan beliau menebus dosanya dengan jasa yang pernah dia persembahkan itu.”

"Pangcu memintakan ampun bagi Song-tianglo dengan alasan yang cukup kuat,” ujar Pek Si-kia. "Tetapi undang-undang Kay-pang kita menyatakan, dosa pengkhianatan betapa pun tidak dapat diampuni, sekalipun pernah berjasa besar juga tak dapat menebus kesalahannya itu. Ketetapan ini diadakan demi untuk menjaga agar tiada anggota yang menganggap dirinya berjasa, lalu membahayakan organisasi kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini. Sebab itu, permintaan Pangcu tadi tidak dapat diterima oleh tata tertib organisasi, terpaksa kita tidak dapat merusak undang-undang warisan pangcu kita yang terdahulu.”

"Ucapan Cit-hoat Tianglo memang benar,” ujar Song-tianglo sambil bangkit dan tersenyum getir. "Sebagai tertua dalam pang kita, siapa orangnya yang tidak banyak berjasa? Bila setiap orang minta ganti jasa, lantas bagaimana jadinya, bukankah setiap orang boleh berbuat sewenang-wenang untuk kemudian minta dibebaskan karena pernah berjasa? Dari itu, harap Pangcu suka kasihan pada diriku, izinkanlah kubunuh diri.”

Habis berkata, mendadak terdengar suara "prak-prak” dua kali, tali kulit yang mengikat tangan dan kaki tahutahu putus semua.

Keruan para pengemis terperanjat melihat sekali bergerak saja Song-tianglo dapat memutuskan tali kulit yang sangat ulet itu, maka dapat dibayangkan betapa lihai tenaga dalamnya, dan begitu membebaskan diri, terus saja Song-tianglo hendak ulur tangan mengambil sebilah belati guna membunuh diri.

Tak terduga baru tubuh membungkuk sedikit tahu-tahu satu arus tenaga yang halus tapi kuat menolak ke arahnya hingga ia dirintangi berjongkok. Meski tangannya sudah terulur, tapi tak dapat memegang belati yang tinggal belasan senti jauhnya itu. Nyata Kiau Hong yang telah bertindak mencegahnya.

Wajah Song-tianglo berubah pucat seketika, serunya, "Pangcu, jadi engkau juga ... juga ....”

Tiba-tiba Kiau Hong sambar sebilah belati di antara deretan hoat-to itu.

"Ya, memangnya salahku karena timbul niatku hendak membunuhmu, maka sudah sepantasnya sekarang engkau melaksanakan hukuman atas dosaku itu,” demikian kata Song-tianglo dengan menghela napas.

Segera sinar belati berkelebat, "crat”, bukannya Song-tianglo yang menerima hukuman mati, sebaliknya Kiau Hong tikam bahu kiri sendiri dengan belati itu.

Keruan para pengemis menjerit kaget, serentak mereka berbangkit. Begitu pula Toan Ki ikut terkejut, "Toako, kenapa?” serunya.

Bahkan Giok-yan yang merupakan orang di luar garis juga ikut terperanjat oleh peristiwa di luar dugaan itu, tanpa terasa ia pun berseru, "Kiau-pangcu, jangan ....”

Namun Kiau Hong lantas bicara, "Pek-tianglo, undang-undang kita juga ada satu pasal yang menyatakan, ‘Setiap dosa anggota tidak boleh sembarangan diampuni, kalau Pangcu hendak mengampuni, dia sendiri harus mengalirkan darah dulu untuk mencuci bersih dosa si anggota’. Ada tidak pasal demikian?”

"Ya, memang ada satu pasal demikian dalam undang-undang kita,” sahut Pek Si-kia dengan wajah tetap kaku tanpa perasaan. "Tapi Pangcu perlu juga menimbang dahulu apakah ada harganya untuk mengalirkan darah buat mencuci dosa orang?”

"Asal tidak melanggar undang-undang warisan leluhur sudah cukup,” ujar Kiau Hong. Lalu ia berpaling dan

berkata kepada Ge-tianglo, "Ge-tianglo dahulu telah mengajar ilmu silat padaku, meski tiada hubungan perguruan, tapi sesungguhnya seperti guru. Hal ini boleh dikatakan urusan pribadiku. Lebih dari itu, mengingat dahulu waktu Ong-pangcu ditawan lima jago terkemuka negeri Cidan, beliau telah dikurung di dalam gua Hekhong-tong, beliau dipaksa agar menyerah kepada Cidan, tapi berkat Ge-tianglo yang telah rela menyaru sebagai Ong-pangcu untuk menghadapi segala bahaya hingga Ong-pangcu sendiri dapat lolos dengan selamat. Jasanya bagi Kay-pang kita dan demi nusa dan bangsa yang mahabesar itu, betapa pun harus kubebaskan kesalahannya sekarang ini.”

Sembari berkata, kembali ia sambar hoat-to kedua, ia potong dulu tali pengikat Ge-tianglo itu, menyusul belati itu menikam, lagi-lagi belati itu menancap di bahu sendiri.

Dengan tenang sinar mata Kiau Hong beralih ke arah Tan-tianglo. Tan-tianglo itu biasanya berjiwa sempit, dahulu telah berbuat sesuatu yang berdosa terhadap keluarga sendiri, maka ia ganti nama dan masuk ke Kaypang, untuk mana ia paling sirik bila ada yang coba mengorek-ngorek boroknya itu, maka selama ini ia tiada hubungan rapat dengan Kiau Hong. Kini melihat sinar mata Kiau Hong memandang kepadanya, segera ia mendahului berseru, "Kiau-pangcu, aku tiada hubungan baik apa-apa denganmu, biasanya lebih banyak selisih paham dengan engkau, maka aku pun tidak berani terima budi pertolonganmu!”

Sekonyong-konyong kedua tangannya yang terikat di belakang itu terangkat ke atas terus membalik itu depan dengan tetap terikat tali kulit. Ternyata "Thong-pi-kun-kang” yang diyakinkan Tan-tianglo sudah mencapai tingkatan yang tiada taranya, kedua lengannya dapat mulur-mengkeret dengan bebas. Maka begitu tangan menjulur pula, sebilah hoat-to sudah disambarnya.

Namun Kiau Hong sempat bergerak, dengan "Kim-liong-kang” (ilmu menangkap naga) yang lihai dan cepat, dengan mudah saja belati itu dirampasnya. Katanya dengan suara nyaring, "Tan-tianglo, aku Kiau Hong adalah seorang laki-laki kasar, tidak suka pada orang yang sok hati-hati tindak tanduknya, juga tidak menyukai orang yang tidak minum arak dan tidak mau tertawa, tetapi hal ini adalah watak pembawaan setiap orang, tak dapat disebut baik atau busuk. Watakku sendiri tidak cocok denganmu, biasanya jarang bicara dengan baik. Aku pun tidak suka pada perilaku Be-hupangcu, bila berhadapan, sedapat mungkin aku ingin menghindar pergi, aku lebih suka pergi minum arak dan makan daging anjing bersama anak murid rendahan yang berkantong satu atau dua.

"Watakku ini telah dikenal semua orang, untuk mengubah watak sendiri terang tidak mungkin. Tapi jika sebab itu engkau mengira aku dendam dan ingin melenyapkan engkau dan Be-hupangcu, sungguh salah besar pikiran kalian ini. Tentang kalian tidak minum arak dan tidak makan barang berjiwa itu adalah kebaikan kalian, aku Kiau Hong mengaku tidak dapat menyamai kalian.”

Berkata sampai di sini, tiba-tiba belati ketiga pun ditikamkan ke bahu sendiri, lalu sambungnya, "Jasamu membunuh Yalu Puru, itu panglima besar negeri Cidan, mungkin tak diketahui orang luar, tapi masakah aku tidak tahu?”

Seketika ramailah suara heran para pengemis tercampur suara memuji dan kagum.

Kiranya tahun yang lalu waktu negeri Cidan menyerbu ke wilayah Tiongkok secara besar-besaran, mendadak beberapa panglimanya yang terkemuka telah binasa, karena alamat itu dirasakan tidak baik, akhirnya pasukan Cidan itu ditarik mundur hingga kerajaan Song terhindar dari bencana. Dan di antara panglima yang mati mendadak itu terdapat Yalu Puru yang terkemuka. Kejadian itu kecuali beberapa tokoh tertentu dalam Kaypang, orang lain tiada yang tahu bahwa jasa itu adalah hasil karya Tan-tianglo.

Kini dirinya dipuji Kiau Hong di depan orang banyak, betapa pun siriknya Tan-tianglo kepada sang pangcu, mau tak mau ia menjadi terhibur.

Hendaklah diketahui bahwa selama ini Kay-pang menjalankan kewajiban sebagai anak negeri dan membantu kerajaan Song melawan kaum penjajah dari luar, cuma cara pergerakan mereka dilakukan dengan diam-diam atau di bawah tanah, baik perjuangan mereka berhasil atau gagal, selama ini tidak pernah siarkan, sebab itulah jarang orang tahu perjuangan Kay-pang yang patriotik itu.

Tan-tianglo aslinya bernama Tan Put-peng, biasanya sangat angkuh, terutama karena usianya lebih tua dan sejarahnya dalam Kay-pang lebih lama daripada Kiau Hong, maka sikapnya pada sang pangcu itu tidak terlalu hormat. Hal itu cukup diketahui oleh anggota Kay-pang yang lain. Tapi kini ternyata Kiau Hong tidak pikirkan perselisihan pribadi, sebaliknya rela mengalirkan darah sendiri untuk menebus dosa Tan-tianglo, mau tak mau kawanan pengemis menjadi terharu.

Kemudian Kiau Hong mendekati Go Tiang-hong, katanya, "Go-tianglo, seorang diri dahulu engkau berjaga di Eng-jiu-kiap (selat elang) dan sekuat tenaga melawan serbuan musuh dari kerajaan Se-he hingga usaha musuh hendak membunuh Nyo-keh-ciang sukar terlaksana, untuk jasamu itu Nyo-goanswe telah menghadiahkan sebuah kim-pay (medali) tanda jasa padamu. Asal engkau keluarkan medali itu sudah lebih dari cukup untuk menebus dosamu sekarang ini. Nah, silakan tunjukkan medali itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Mendadak air muka Go-tianglo berubah merah, sikapnya agak kikuk, sahutnya dengan tak lancar, "E ... eh ... tentang ini ... ini ....”

"Kita sama-sama saudara sendiri, bila Go-tianglo ada kesulitan apa-apa, silakan berkata terus terang saja,” ujar Kiau Hong.

"Tentang ... tentang medali emas itu, sebenarnya ... sebenarnya sudah ... sudah hilang,” sahut Go-tianglo gelagapan.

Kiau Hong menjadi heran. "Mengapa hilang?” tanyanya.

"Hi ... hilang sendiri,” sahut Go-tianglo. Tapi sesudah merandek sejenak, mendadak ia berseru, "Sebenarnya tidak hilang, tapi sudah kujual. Pada suatu hari, mendadak aku ketagihan arak, tapi kantongku kempis, terpaksa kujual medali emas itu kepada sebuah toko emas.”

"Hahaha! Go-tianglo suka berterus terang, sungguh jujur. Memang hal ini agak kurang enak terhadap Nyogoanswe yang memberikan tanda jasa padamu itu,” ujar Kiau Hong dengan terbahak-bahak. Habis itu mendadak ia sambar sebilah hoat-to lagi, ia potong dulu tali pengikat Go-tianglo, lalu belati itu ditikamkan pula ke bahu kiri sendiri.

Go-tianglo adalah seorang laki-laki yang jujur dan suka terus terang, segera katanya, "Pangcu, jiwa Go Tianghong sejak kini sudah kupasrahkan padamu.”

Perlahan Kiau Hong tepuk bahunya sambil berkata dengan tertawa, "Pengemis seperti kita kalau ingin makan atau minum arak, minta saja sedekah orang, tidak perlu mesti menjual medali emas segala.”

"Minta makan sih gampang, minta arak itulah susah,” sahut Go-tianglo dengan tertawa. "Sebab semua orang tentu akan bilang, ‘Pengemis busuk, sudah dapat makan masih minta arak? Hm, terlalu! Tidak kasih, tidak kasih’!”

Mendengar banyolan itu, menggelegarlah tawa para pengemis. Sebab minta-minta arak pada orang dan ditolak atau didamprat, pengalaman ini memang sering dijumpai para pengemis.

Dalam pada itu mereka merasa lega pula demi menyaksikan sang pangcu suka mengampuni dosa keempat tianglo itu. Kini perhatian mereka tinggal terpusat ke arah Coan Koan-jing yang merupakan biang keladi komplotan ini, tentu Kiau Hong tidak mudah mengampuninya begitu saja.

Tertampak Kiau Hong mendekati Coan Koan-jing dan berkata, "Dan sekarang apa yang dapat kau katakan lagi, Coan-thocu?”

"Pangcu,” sahut Koan-jing, "sebabnya aku berkomplotan hendak menggulingkan engkau adalah demi untuk kepentingan nusa dan bangsa kerajaan Song kita serta demi perkembangan Kay-pang kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini. Cuma sayang, orang yang menceritakan asal usul dirimu itu sampai detik terakhir, menjadi pengecut dan tidak berani muncul. Maka bolehlah engkau membunuh aku saja.”

Kiau Hong pikir sejenak oleh jawaban itu, tanyanya kemudian, "Adakah sesuatu yang mencurigakan mengenal asal usulku? Coba katakan saja.”

"Betapa pun aku berputar lidah pada saat ini juga takkan dipercaya, maka lebih baik engkau membunuh aku saja,” sahut Koan-jing sambil menggeleng.

Kiau Hong menjadi tambah curiga, katanya dengan suara keras, "Seorang laki-laki sejati, apa yang ingin dikatakan harus dikatakan dengan blakblakan, kenapa main plintat-plintut begitu? Coan Koan-jing, bila kau benar seorang laki-laki yang tak gentar mati, kenapa kau pantang bicara terus terang?”

"Memang benar, mati saja tak gentar, masakah masih ada hal-hal lain di dunia ini yang lebih menakutkan daripada mati?” sahut Koan-jing dengan tertawa dingin. "Nah, orang she Kiau, silakan cepat bereskan nyawaku saja agar aku tidak perlu hidup di dunia ini dan menyaksikan Kay-pang yang jaya ini jatuh ke dalam cengkeraman bangsa Oh (asing) dan menyaksikan tanah air sendiri yang indah permai ini diinjak-injak bangsa lain.”

"Kenapa Kay-pang akan jatuh ke dalam cengkeraman bangsa asing? Coba katakan terus terang,” tanya Kiau Hong.

"Biarpun kukatakan sekarang juga para saudara takkan percaya,” sahut Koan-jing. "Mungkin malah aku akan dituduh sebagai pengecut yang takut mati dan sengaja putar lidah untuk memfitnah orang. Memangnya aku sudah bertekad menyabung jiwa, buat apa mesti menerima kutukan pula sesudah mati?”

"Pangcu,” seru Pek-tianglo tiba-tiba dengan tak sabar, "orang ini banyak tipu muslihatnya, dengan obrolannya itu dia berharap engkau akan mengampuni jiwanya. Cit-hoat-tecu, siapkan hoat-to untuk menjalankan hukuman!”

Segera salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil melangkah maju dan menjemput sebilah belati serta mendekati Coan Koan-jing.

Dengan mata tak berkedip Kiau Hong memandang Coan Koan-jing, ia lihat sikap thocu itu penuh rasa penasaran, sedikit pun tidak unjuk rasa jeri atau takut, pula tiada tanda kepalsuan yang licik sebagai umumnya seorang yang berdosa.

Kiau Hong tambah bersangsi, katanya kepada Cit-hoat-tecu yang siap menjalankan tugas itu, "Berikan hoat-to kepadaku!”

Dengan sangat hormat segera Cit-hoat-tecu itu serahkan belati yang dipegangnya itu kepada sang pangcu.

"Coan-thocu,” kata Kiau Hong sesudah memegang belati itu, "kau menyinggung tentang asal usulku, pula hal ini besar sangkut pautnya dengan mati dan hidup Kay-pang kita. Bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya juga kau tidak berani mengaku.”

Berkata sampai di sini, ia simpan hoat-to itu ke dalam sarungnya dan dimasukkan ke dalam baju sendiri, lalu katanya pula, "Kau menghasut dan berkomplot hendak memberontak, dosamu seharusnya dihukum mati, tapi pelaksanaan hukum itu sementara ini ditunda, biar setelah duduk perkara sudah dibikin terang, aku sendiri kelak yang akan membunuhmu. Aku Kiau Hong bukan manusia yang sok pura-pura, kalau sudah bertekad hendak membunuhmu, rasanya kau pun tidak mungkin dapat lolos dari tanganku. Nah, pergilah sekarang, tinggalkan kantong pada punggungmu itu sejak kini Kay-pang tiada terdaftar anggota seperti dirimu ini.”

Apa yang dimaksudkan "tanggalkan kantong pada punggungmu” itu berarti memecatnya dari keanggotaan Kay-pang. Setiap anggota Kay-pang, kecuali anggota yang baru masuk atau anggota tanpa tugas, paling tidak tentu menyandang sebuah kantong, dan yang terbanyak sampai sembilan buah kantong. Tinggi rendahnya kedudukan anggota juga berdasarkan banyak atau sedikit kantong yang dimiliki mereka.

Begitulah maka ketika diperintahkan menanggalkan kantong yang digendongnya, mendadak sinar mata Coan Koan-jing memancarkan nafsu membunuh, sekali sambar sebilah hoat-to lantas dipegangnya, ujung belati itu lantas diarahkan ke dada sendiri.

Perlu diketahui bahwa setiap orang Kangouw paling mengutamakan keharuman nama dan kehormatan diri. Kini Coan Koan-jing dipecat begitu saja dari Kay-pang, hal ini dipandangnya sebagai sesuatu hinaan dan noda yang tidak mungkin dapat dicuci bersih, jauh lebih menyakitkan daripada ia dihukum mati seketika. Makanya ia menjadi nekat.

Tapi Kiau Hong ternyata bersikap dingin saja dan menyaksikan apakah benar-benar Coan Koan-jing berani menikam dirinya sendiri.

Tangan Coan Koan-jing yang memegang belati itu ternyata sangat teguh, sedikit pun tidak gemetar. Sambil mengancam dada sendiri ia berpaling memandang Kiau Hong hingga terjadilah saling pandang di antara kedua orang itu. Seketika suasana di tengah hutan itu menjadi sunyi senyap.

"Kiau Hong,” seru Koan-jing mendadak, "santai benar sikapmu ini, apakah engkau sendiri benar-benar tidak tahu?”

"Tahu apa?” tanya Kiau Hong.

Bibir Koan-jing tampak bergerak sekali, tapi akhirnya urung bicara, sebaliknya perlahan ia taruh kembali belatinya ke tempat semula, lalu perlahan pula menanggalkan kedelapan buah kantong yang tergendong di punggungnya itu, satu per satu ditaruhnya di tanah dengan sikap sangat menghormat.

Toan Ki mengerti Coan Koan-jing itu pasti seorang yang sangat culas dan lihai, tapi demi melihat derita batinnya ketika menanggalkan kantong-kantong itu, mau tak mau ia pun merasa terharu.

Ketika Coan Koan-jing sudah menanggalkan lima buah kantongnya, tiba-tiba terdengar derapan kuda yang dilarikan dengan cepat di luar hutan menyusul terdengar pula suara suitan. Segera ada beberapa orang Kaypang menjawab suara suitan itu, lalu suara derapan kuda itu makan lama makin mendekat dengan sangat cepat.

"Ada kejadian genting apakah seperti ini?” demikian Go-tianglo bergumam sendiri.

Dan belum lagi kuda tunggangan itu datang, sekonyong-konyong dari arah timur sana juga ada suara derapan seekor kuda sedang menuju ke arah sini. Cuma jaraknya masih jauh, suaranya agak samar-samar, maka arah yang dituju belum dapat diketahui dengan tepat.

Hanya sekejap saja kuda pertama dari arah utara itu sudah masuk ke dalam hutan situ. Lalu tampak seorang melompat turun terus berlari ke tempat orang banyak. Orang itu berpakaian longgar dan sangat perlente, tapi segera ia menanggalkan baju yang mewah itu hingga tertampaklah baju dalamnya yang compang-camping penuh tambalan di sana-sini, yaitu pakaian untuk mengelabui pandangan orang luar supaya pembawa berita itu tidak menemui alangan di tengah jalan.

Begitulah dengan sangat hormat kurir itu mendekati Thocu Tay-sin-hun-tho dan menyerahkan sebuah bungkusan kecil sambil melapor, "Ada urusan militer yang penting ....”

Hanya kata-kata ini saja sempat diucapkannya, sebab napasnya lantas tersengal-sengal dengan hebat. Sedangkan kuda tunggangannya itu mendadak meringkik sekali terus roboh ke tanah dan binasa karena kehabisan tenaga.

Setelah terhuyung-huyung, mendadak kurir itu pun muntah darah dan terguling ke tanah. Nyata bahwa saking lelah karena menempuh perjalanan jauh tanpa beristirahat, maka kuda beserta penunggangnya sama-sama kehabisan tenaga.

Thocu bagian Tay-sin-hun-tho itu mengenali kurir itu adalah anak buahnya yang dikirim ke negeri Cidan untuk menjadi mata-mata di sana, pangkatnya tergolong Go-te-tecu atau anak murid kantong lima, suatu tingkatan yang tidak rendah.

Negeri Cidan pada zaman itu adalah musuh utama kerajaan Song, kerap kali tanpa sebab mengerahkan pasukannya mengacau di daerah perbatasan dan menyusahkan rakyat setempat. Sebagai suatu organisasi yang patriotik, anggota Kay-pang banyak tersebar di antara kedua negeri dan diam-diam mengumpulkan berita yang berfaedah bagi ibu negeri.

Kini melihat Go-te-tecu itu pulang membawa berita penting tanpa pikirkan mati-hidup sendiri, terang kabar berita yang dibawa kembali itu pasti mahapenting dan genting pula. Maka Tay-sin-thocu juga tidak berani membuka berita laporan itu, bungkusan kecil itu dipersembahkan kepada Kiau Hong sambil berkata, "Ada berita militer dari negeri Cidan, Pangcu!”

Waktu Kiau Hong membuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebutir cek-wan atau bola lilin. Sesudah cek-wan itu dipencet pecah, Kiau Hong mengeluarkan segulung kertas. Dan selagi ia hendak membuka kertas itu untuk membaca isinya, tiba-tiba terdengar derapan kuda dari jurusan timur tadi telah mendekat dengan cepat luar biasa.

Baru saja kepala kuda menongol di balik hutan sana, penunggangnya sudah tidak sabar lagi terus melayang turun dari binatang tunggangannya sambil membentak, "Kiau Hong, tentang situasi militer negeri Cidan itu engkau tak boleh membacanya.”

Semua orang terkesiap oleh ucapan orang yang berani merintangi sang pangcu itu. Waktu dipandang ternyata orang itu berjenggot putih, pakaiannya juga compang-camping penuh tambalan. Itulah seorang pengemis yang sudah berusia lanjut.

Melihat pengemis tua itu, seketika Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo berbangkit untuk menyambut, "Kiranya Ci-tianglo, entah ada urusan apakah hingga Ci-tianglo memerlukan berkunjung ke sini?”

Kawanan pengemis itu menjadi gempar demi mendengar pendatang itu adalah Ci-tianglo mereka.

Kiranya Ci-tianglo itu sangat tinggi tingkatannya dalam angkatan tokoh-tokoh Kay-pang, usianya kini sudah 87 tahun, bahkan mendiang Ong-pangcu, yaitu pangcu sebelum Kiau Hong, juga menyebutnya sebagai Supek (paman guru). Di antara tokoh-tokoh Kay-pang sekarang boleh dikatakan tiada seorang pun lebih tua atau lebih

tinggi angkatannya daripada Ci-tianglo.

Sudah lama Ci-tianglo mengundurkan diri dari dunia ramai, tiap tahun Kiau Hong dan para tianglo seperti biasanya tentu pergi memberi selamat padanya, tapi paling-paling juga cuma bicara sedikit tentang urusan rumah tangga biasa. Siapa duga sekarang mendadak tokoh tua ini bisa muncul, bahkan lantas mencegah Kiau Hong membaca laporan tentang gerakan militer musuh itu. Sudah tentu semua orang terkejut dan terheranheran.

Maka ketika mendengar seruan Ci-tianglo tadi, cepat Kiau Hong meremas kembali gulungan kertas itu, lalu memberi hormat kepada tokoh tua itu. Kemudian ia angsurkan gulungan kertas itu ke hadapan Ci-tianglo.

Sebagai pangcu, biarpun menurut urutan angkatan Kiau Hong jauh lebih muda daripada Ci-tianglo, tapi segala urusan organisasi yang penting, walaupun sang pangcu angkatan yang lebih dulu dihidupkan kembali juga harus tunduk kepada pangcu yang baru.

Siapa duga datang-datang Ci-tianglo lantas melarang Kiau Hong membaca laporan tentang gerakan militer musuh itu dan sedikit pun Kiau Hong tidak membangkang. Keruan hal ini membuat semua orang heran, bahkan Ci-tianglo sendiri pun melengak.

Rupanya sudah tahu urusannya sangat penting maka sambil minta maaf Ci-tianglo lantas ambil gulungan kertas itu dari tangan Kiau Hong dan digenggam di tangan kiri, lalu serunya dengan lantang, "Be-hujin (nyonya Be), janda saudara Be Tay-goan, sebentar lagi akan tiba untuk membeberkan sesuatu kepada para hadirin di sini. Untuk mana haraplah kalian suka menunggunya sebentar lagi.”

Maka pandangan para pengemis sama terpusat ke arah Kiau Hong untuk mendengarkan bagaimana reaksinya.

"Jika urusan ini sangat besar sangkut pautnya, tiada alangannya kita menunggu di sini,” ujar Kiau Hong.

"Ya, urusan ini sangat penting,” kata Ci-tianglo pula. Dan hanya sekian saja ucapannya, lalu ia melangkah maju untuk memberi hormat kepada Kiau Hong selaku seorang bawahan kepada sang pangcu, kemudian ia ambil tempat duduk di samping.

Diam-diam Toan Ki heran menyaksikan itu. Kesempatan digunakannya untuk bicara dengan Ong Giok-yan, ia membisiki gadis itu, "Nona Ong, urusan di dalam Kay-pang benar-benar sangat banyak. Apakah kita perlu menyingkir dari sini ataukah tinggal di sini untuk melihat ramai-ramai?”

Giok-yan berkerut kening, sahutnya, "Kita adalah orang luar, sebenarnya tidak pantas ikut mencampuri urusan dalam orang lain. Cuma ... cuma urusan yang akan mereka bicarakan itu ada sangkut pautnya dengan Piaukoku, maka aku ingin mendengarkannya.”

"Memang benar,” kata Toan Ki, "katanya Be-hupangcu itu dibunuh oleh Piaukomu hingga tertinggal seorang janda yang sebatang kara, tentu dia sangat kesepian dan harus dikasihani.”

"Tidak, tidak!” sahut Giok-yan cepat. "Be-hupangcu pasti bukan dibunuh oleh Piauko, hal ini kan juga sudah dikatakan oleh Kiau-pangcu sendiri?”

Bicara sampai di sini, mendadak terdengar derapan kuda pula, datanglah dua penunggang kuda.

Semua orang mengira di antara penunggang kuda itu pasti terdapat istri Be Tay-goan. Siapa tahu kedua penunggang itu terdiri dari seorang kakek dan seorang lagi nenek. Yang kakek pendek kecil sebaliknya si nenek tinggi besar hingga tampaknya lucu benar.

Melihat kedua orang itu, cepat Kiau Hong berbangkit menyambut kedatangan mereka sambil berseru, "Kiranya kedua Locianpwe Tam-kong dan Tam-poh dari Ciong-siau-tong di Hoa-san telah tiba, maafkan Kiau Hong tidak mengadakan penyambutan dengan baik.”

Perbuatan Kiau Hong itu segera diturut oleh para tianglo dari Kay-pang.

Melihat gelagat itu, Toan Ki tahu kedua orang tua yang dipanggil Tam-kong dan Tam-poh (si kakek Tam dan si nenek Tam) itu tentu tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka.

Maka terdengar Tam-poh atau si nenek Tam sedang berkata, "Kiau-pangcu, apa-apaan permainan di atas pundakmu ini?”

Berbareng tangannya lantas terjulur, sekaligus keempat hoat-to yang menancap di bahu Kiau Hong itu dicabutnya semua, gerak tangannya cepat luar biasa.

Ternyata tindakan Tam-poh itu tidak menyendiri, tapi segera disusul oleh Tam-kong yang merogoh keluar sebuah botol porselen kecil, sumbat botol dibuka, dituangnya sedikit obat bubuk dan dibubuhkan di atas bahu Kiau Hong.

Begitu obat luka itu dibubuhkan, darah yang mancur bagai mata air itu lantas mampat seketika.

Betapa cepat cara Tam-poh mencabut belati yang menancap di pundak Kiau Hong itu sudah jarang dilihat orang, tapi apa pun juga suatu gerakan ilmu silat, sebaliknya cara Tam-kong mengambil botol, membuka sumbat botol, menuang obat, membubuhkan obat dan membikin darah mampat, beberapa tindakan ini sangat lincah dan cepat luar biasa, namun setiap perbuatannya itu dengan jelas dapat diikuti setiap orang bagaikan menyaksikan permainan sulap saja. Bahkan khasiat obat luka membikin mampat darah juga sangat mujarab, boleh dikatakan "cespleng”.

Kiau Hong sendiri cukup kenal dua sejoli Tam-kong dan Tam-poh adalah tokoh angkatan tua dalam Bu-lim, kini datang-datang terus mencabut belati dan mengobati lukanya, meski tindakan mereka itu agak gegabah, namun mau tak mau ia sangat berterima kasih. Dan tengah dia mengaturkan terima kasihnya itu, rasa sakit di pundaknya sudah mulai mereda dan akhirnya lenyap.

"Kiau-pangcu, siapakah yang bernyali sebesar itu hingga berani melukaimu dengan belati?” tanya Tam-poh kemudian.

"Aku sendirilah yang menikam diriku sendiri,” sahut Kiau Hong tertawa.

"Kenapa menikam diri sendiri? Apa barangkali kau sudah bosan hidup?” tanya Tam-poh dengan heran.

Kiau Hong pikir tidak mungkin menceritakan urusan pengkhianatan dalam Kay-pang kepada orang luar hingga memalukan para tianglo dan merosotkan nama baik Kay-pang. Maka sahutnya, "Aku hanya main-main saja, kulit daging pundakku cukup tebal dan kuat, toh tidak sampai melukai otot dan tulang.”

Diam-diam Song, Ge, Tan dan Go-tianglo bersyukur dan merasa malu diri pula terhadap kebaikan Kiau Hong yang menutupi perbuatan mereka yang durhaka hendak menggulingkan sang pangcu itu.

Tapi si nenek Tam lantas terbahak-bahak dan berkata, "Hahaha, jangan berdusta! Tahulah aku, dasar engkau memang pintar dan mengetahui Tam-kong dan Tam-poh baru saja memperoleh peng-jan (ulat sutra es) dan pek-giok-siam-sia (katak kemala putih) serta telah meraciknya menjadi semacam obat luka yang sangat mujarab, makanya kau ingin mencobanya bukan?”

Kiau Hong tidak membenarkan juga tidak menyangkal, ia hanya tersenyum saja, ia pikir nenek ini sungguh bodoh-bodoh polos, masakah di dunia ini ada orang iseng begitu dengan menikam badan sendiri untuk

mencoba khasiat obat luka buatanmu itu?

Maka terdengar Tam-poh tanya pula, "Dan di manakah nyonya Be? Jauh-jauh ia mengundang kehadiran kami ke sini, mengapa dia sendiri belum datang?”

Sedang Kiau Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki binatang yang berdetak-detak, seekor keledai tampak menerobos masuk ke tengah hutan situ, di atas keledai ada seorang penunggang dengan punggung menghadap kepala keledai dan mukanya menghadap ekor, jadi menunggang keledai dengan mungkur.

Melihat penunggang keledai itu, Tam-poh menjadi gusar, bentaknya, "Tio-ci-sun, di hadapan Tam-kek-popo kau berani kurang ajar? Apa minta kuhajar bokongmu?”

Berbareng sebelah tangan terus menghantam pantat penunggang keledai itu.

Waktu semua orang memerhatikan si penunggang keledai, ternyata orang itu mendekam di atas binatang tunggangannya hingga tubuh mengkeret bagai anak berumur 7-8 tahun. Tapi begitu hendak digaplok Tam-poh, cepat ia memberosot turun dari keledainya dan berdiri tegak, tahu-tahu badannya berubah tinggi dan besar.

Semua orang agak terperanjat, sebaliknya Tam-kong tampak kurang senang, katanya, "Li-heng, apa engkau akan main gila lagi di sini? Setiap melihatmu tentu hatiku mendongkol!”

Corak penunggang keledai itu pun agak aneh, dikatakan sudah tua, toh belum tua, dibilang masih muda, toh juga tidak muda. Usianya mungkin di antara 30 hingga 60 tahun, wajahnya jelek tidak, bagus pun tidak. Ia tidak gubris pada ucapan Tam-kong tadi, tapi lantas berkata kepada Tam-poh, "Siau Koan, bagaimana selama ini? Baik-baik dan senang bukan?”

Perawakan Tam-poh itu tinggi besar, rambutnya sudah berubah semua dan mukanya penuh keriput, tapi namanya dipanggil "Siau Koan” atau si Koan cilik yang mengingatkan orang kepada gadis cilik. Sudah tentu kedengarannya sangat janggal dan menggelikan orang. Namun setiap nenek tentu pernah muda, Siau Koan itu jelas adalah nama kecil Tam-poh masa gadisnya.

Tengah Toan Ki pikirkan hal itu, kembali terdengar derapan kuda pula, ada beberapa penunggang kuda datang lagi.

Dalam pada itu Kiau Hong sendiri sedang mengamat-amati si penunggang keledai yang dipanggil sebagai

"Tio-ci-sun” (semuanya terdiri dari she), ia tidak dapat menerka tokoh macam apakah orang aneh ini. Tapi mengingat dia kenal Tam-kong dan Tam-poh, pula "Sok-kut-kang” atau ilmu menyurutkan tulang yang diunjukkan ketika menunggang keledai tadi sudah sedemikian lihainya maka dapat dipastikan adalah seorang tokoh yang lain daripada yang lain. Anehnya, kalau orang tergolong jago kelas tinggi, mengapa dirinya tidak kenal dan tidak pernah mendengar namanya yang aneh, bukankah sangat mengherankan?

Sementara itu beberapa penunggang kuda itu sudah sampai di tengah hutan, di bagian depan adalah lima orang muda, semuanya bermata besar dan beralis tebal, air muka mereka satu sama lain sangat mirip, usia yang paling kira-kira lebih 30 tahun dan yang paling muda lebih 20 tahun. Terang kelima orang itu adalah saudara sekandung.

"Aha, kiranya Thay-san-ngo-hiong yang datang! Bagus, bagus! Angin apakah yang meniup kalian ke sini?” demikian Go-tianglo, Go Tiang-hong, lantas berseru.

Orang ketiga Thay-san-ngo-hiong (lima kesatria dari Thay-san) itu bernama Tan Siok-san, ia adalah sobat kental Go-tianglo, segera ia mendahului menjawab, "Selamat bertemu Go-siko, baik-baikkah engkau? Ayah juga ikut datang kemari!”

"Apa benar? Ayahmu ....?” Go-tianglo menegas dengan air muka berubah. Ia telah berbuat salah melanggar tata tertib organisasi, sebagai orang berdosa, ia menjadi jeri mendadak tahu kedatangan ayah Thay-san-ngo-hiong, yaitu "Tiat-bin-poan-koan” Tan Cing, si Hakim Bermuka Besi, artinya orang yang berani bertindak tegas dan tidak kenal ampun serta tidak pandang bulu.

Selama hidup Tiat-bin-poan-koan Tan Cing paling benci pada kejahatan, bila tahu ada terjadi sesuatu ketidakadilan di kalangan Kangouw, pasti dia akan ikut campur tangan. Ilmu silatnya memang sangat tinggi, kecuali kelima putranya banyak pula murid dan cucu murid yang jumlahnya lebih ratusan orang. Nama "Thaysan Tan-keh” atau keluarga Tan dari Thay-san cukup disegani setiap orang Bu-lim.

Dalam pada itu di belakang Thay-san-ngo-hiong itu tampak menyusul seorang penunggang kuda yang lain, kelima jago muda Thay-san itu lantas memapak ke belakang untuk menahan kendali kuda dan menyilakan turun penunggangnya, yaitu seorang kakek yang berbaju satin panjang.

Begitu turun segera kakek itu memberi kiongchiu kepada Kiau Hong dan berkata, "Kiau-pangcu, tanpa diundang Tan Cing berkunjung ke sini, tentu banyak mengganggu engkau.”

Kiau Hong sudah lama kenal nama Tan Cing, baru sekarang ia dapat bertemu, ia lihat orang tua itu berwajah merah bercahaya, boleh dikatakan "rambut tua muka muda”, sikapnya ramah tamah pula, berbeda seperti cerita orang Kangouw bahwa Tan Cing berwatak keras tanpa kenal ampun.

Maka cepat ia membalas hormat orang dan berkata, "Maafkan Cayhe tidak tahu kedatangan Tan-locianpwe hingga tidak diadakan penyambutan sebagaimana mestinya.”

"Bagus, bagus!” mendadak si orang tua yang menunggang keledai dengan mungkur itu berteriak dengan suara yang dibuat-buat. "Tiat-bin-poan-koan datang lantas diadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Sebaliknya ketika aku ‘Thi-bi-koh-poan-koan’ datang mengapa engkau tidak mengadakan penyambutan semestinya?”

Mendengar kata "Thi-bi-koh-poan-koan” atau si Hakim Pantat Besi, seketika semua orang bergelak tertawa. Meski Giok-yan, A Cu dan A Pik bertiga merasa kurang sopan kalau ikut tertawa, tidak urung mereka pun merasa geli.

Thay-san-ngo-hiong mengerti bahwa kata-kata orang itu sengaja hendak menghina ayah mereka, keruan mereka menjadi gusar. Cuma disiplin keluarga Tan sangat keras, sebelum sang ayah membuka suara, betapa pun mereka tidak berani sembarangan mendahului bertindak.

Tan Cing itu ternyata seorang yang sangat sabar dan dapat menahan perasaannya, pula ia pun belum mengetahui bagaimana asal usul orang aneh itu, maka ia berlagak pilon saja, pura-pura tidak mendengar. Katanya pula, "Sekarang silakan Be-hujin kemari untuk bicara.”

Maka dari balik hutan sana lantas muncul sebuah joli kecil dengan digotong dua laki-laki kekar dan datang dengan cepat sekali. Sampai di tengah hutan situ, joli itu ditaruh dan kerai disingkap, perlahan keluarlah seorang nyonya muda berpakaian putih mulus tanda orang berkabung.

Dengan kepala menunduk nyonya muda itu memberi hormat kepada Kiau Hong dan berkata, "Janda keluarga Be menyampaikan sembah bakti kepada Pangcu.”

Biasanya Kiau Hong juga jarang berhadapan dengan Be Tay-goan, apalagi dengan nyonya Be yang tidak pernah keluar rumah, dengan sendirinya ia tidak kenal. Segera ia membalas hormat dan menjawab, "Soso (atau enso, istri kakak) tidak perlu banyak adat!”

"Sungguh malang suamiku telah meninggal, atas bantuan para paman yang telah sudi menguruskan layon suamiku itu, sungguh aku merasa sangat berterima kasih,” demikian kata Be-hujin pula.

Suara janda itu kedengaran sangat lembut dan merdu, agaknya masih sangat muda usianya. Cuma sejak mula matanya selalu menatap ke tanah, maka wajahnya tidak kelihatan jelas.

Dari lagak lagu nyonya muda itu, Kiau Hong tahu tentu Be-hujin telah menemukan sesuatu tanda bukti kematian suaminya, maka sekarang datang sendiri menghadap sang pangcu. Tapi urusan dalam sepenting itu tidak dilaporkan dulu kepada pangcu, sebaliknya Tiat-bin-poan-koan yang diminta tampil ke muka, hal ini sesungguhnya agak ganjil.

Ketika Kiau Hong berpaling ke arah Cit-hoat-tianglo Pek Si-kia, ia lihat jago tua itu pun sedang memandang padanya, sinar mata kedua orang sama mengunjuk rasa heran dan curiga.

Lebih dulu Kiau Hong menyambut tamu, habis itu baru bicara urusan dalam, maka katanya kepada Tan Cing, "Tan-locianpwe dan suami-istri Tam-si dari Ciong-siau-tong di Hoa-san apakah sudah saling kenal?”

"Sudah lama kudengar nama suami-istri Tam-si yang tersohor, hari ini dapat berjumpa, sungguh beruntung,” ujar Tan Cing sambil kiongchiu.

"Dan tentang Cianpwe yang ini, masih diharapkan Tam-loyacu suka memperkenalkannya kepada kami,” ujar Kiau Hong.

Tapi belum lagi Tam-kong atau si kakek Tam menjawab, cepat si penunggang keledai sudah mendahului buka suara, "Aku she Siang, bernama Wai, berjuluk ‘Thi-bi-koh-poan-koan’.”

Mendengar ucapan si penunggang keledai ini, betapa sabarnya Tan Cing juga naik darah akhirnya. Kurang ajar benar, demikian pikirnya. Masakah aku she Tan (tunggal, ganjil), kau lantas mengaku she Siang (sepasang, genap). Aku bernama Cing (benar, lurus), kau lantas bernama Wai (menceng, bengkok). Bukankah ini sengaja hendak mengolok-olok diriku?

Dan selagi dia hendak mengambil tindakan tiba-tiba Tam-poh, si nenek Tam membuka suara, "Tan-loyacu, engkau jangan gubris ocehan Tio-ci-sun ini, dia orang gila, jangan kau anggap sungguh-sungguh.”

"Maafkan kalau di sini tiada tempat duduk, diharap para hadirin sudilah duduk di tanah,” kata Kiau Hong kemudian. Dan sesudah melihat semua orang telah mengambil tempat duduk sendiri-sendiri, lalu ia menyambung, "Dalam sehari saja telah dapat berjumpa dengan tokoh-tokoh locianpwe sebanyak ini, sungguh bahagia dan beruntung kami ini. Tapi entah ada keperluan apakah kunjungan para Cianpwe ke sini?”

"Kiau-pangcu,” kata Tan Cing. "Kay-pang kalian adalah suatu organisasi terbesar di dunia Kangouw, selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh pelosok, setiap kawan Bu-lim asal mendengar nama ‘Kay-pang’

tentu menaruh hormat dengan sungguh-sungguh, aku orang she Tan biasanya juga sangat mengindahkannya.”

"Terima kasih,” kata Kiau Hong.

Tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung, "Kiau-pangcu, Kay-pang kalian adalah suatu organisasi terbesar di kalangan Kangouw, selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh pelosok dunia, setiap kawan Bu-lim asal mendengar nama Kay-pang tentu menaruh hormat dengan sungguh-sungguh, aku orang she Siang biasanya juga sangat mengindahkannya.”

Ucapannya itu sama persis seperti apa yang dikatakan Tan Cing, hanya she Tan diganti dengan she Siang.

Kiau Hong tahu kaum cianpwe dalam Bu-lim itu banyak yang mempunyai watak aneh dan sifat istimewa, orang yang dipanggil sebagai Tio-ci-sun ini selalu menentang Tan Cing, entah apa maksud tujuannya. Tapi sebagai tuan rumah, ia pikir tidak enak mengeloni salah satu pihak, maka ia pun mengucapkan terima kasih kepada penunggang keledai yang aneh itu.

Sebaliknya Tan Cing hanya tersenyum saja, katanya kepada putranya yang tertua, "Pek-san, lanjutannya boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu. Jika orang lain ingin menirukan putraku, biarkan dia menirukan saja.”

Diam-diam semua orang tertawa dan menganggap Tiat-bin-poan-koan yang tampaknya jujur polos itu ternyata juga licik. Sebab kalau Tio-ci-sun nanti menirukan cara bicara Tan Pek-san, itu berarti ikut mengaku menjadi putranya Tan Cing.

Tak terduga Tio-ci-sun lantas berkata, "Pek-san, lanjutannya boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu. Jadi orang lain ingin menirukan putraku, biarkan dia menirukan saja.”

Dengan demikian, berbalik Tio-ci-sun yang menang angin sebab Tan Pek-san juga diakui menjadi putranya.

Tan Siau-san, putra Tan Cing yang kelima dan paling kecil, berwatak paling berangasan, kontan ia memaki, "Bajingan, benar-benar-sudah bosan hidup barangkali!”

Tio-ci-sun lantas bergumam juga, "Bajingan putra semacam ini, punya empat orang juga sudah terlalu banyak, yang kelima sebenarnya tidak perlu dilahirkan. Hehe, pula entah keturunan sendiri atau bukan?”

Sudah diolok olok, putranya dimaki pula seakan-akan anak haram, betapa pun sabarnya Tan Cing juga ada batasnya. Segera katanya kepada Tio-ci-sun, "Kita adalah tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini tentu akan mempersulit tuan rumahnya. Biarlah kalau urusan di sini sudah selesai pasti akan kuminta belajar kenal kepandaianmu. Nah, Pek-san, bicaralah terus!”

Namun Tio-ci-sun tetap menirukannya, "Kita adalah tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini, tentu akan mempersulit tuan rumah. Biarlah kalau urusan di sini sudah selesai, nanti akan kuminta belajar kepandaianmu. Nah, Pek-san, Locu (bapak) suruh kau bicara, bolehlah bicara terus!”

Sungguh gemas Tan Pek-san tak terkatakan, kalau bisa ia ingin bacok orang hingga hancur lebur baru puas rasanya. Maka dengan menahan gusar katanya kepada Kiau Hong, "Kiau-pangcu, urusan dalam kalian, kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur. Tapi ayahku bilang, seorang laki-laki sejati harus mencintai sesamanya dengan kebajikan ....”

Berkata sampai di sini ia sengaja melirik ke arah Tio-ci-sun untuk melihat apakah orang itu akan menirukan lagi atau tidak. Kalau meniru, tentu orang akan mengatakan, "Tapi ayahku bilang”, dan itu berarti akan memanggil Tan Cing sebagai ayah.

Tak tersangka, benar-benar Tio-ci-sun menirukan ucapan itu, katanya, "Kiau-pangcu, urusan dalam kalian, kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur. Tapi anakku bilang seorang laki-laki sejati harus mencintai sesamanya dengan kebajikan.”

Jadi Tio-ci-sun sengaja mengubah kata "ayah” menjadi "anak” dan itu berarti suatu kerugian pula bagi Tan Cing.

Keruan semua orang berkerut kening, mereka menganggap kelakuan Tio-ci-sun itu sungguh terlalu, mungkin segera akan terjadi banjir darah di situ.

Maka terdengar Tan Cing berkata, "Senantiasa saudara menentang diriku, padahal kita selamanya tidak paling kenal, entah di manakah aku berbuat salah padamu, silakan saudara memberi penjelasan. Bila memang benar Cayhe bersalah, sekarang juga aku akan minta maaf padamu.”

Diam-diam semua orang memuji sikap kesatria Tan Cing yang tidak malu sebagai seorang pendekar besar tersohor itu.

"Kau tidak berbuat salah padaku, tapi bersalah kepada Siau Koan, hal ini lebih jahat sepuluh kali daripada bersalah padaku, tahu?” demikian Tio-ci-sun menjawab.

"Siau Koan? Siapa itu Siau Koan? Bilakah aku berbuat salah padanya?” tanya Tan Cing heran.

"Dia inilah Siau Koan,” sahut Tio-ci-sun sambil menunjuk si nenek Tam. "Siau Koan adalah nama gadisnya, di dunia ini kecuali aku, siapa pun tidak boleh memanggil namanya itu.”

Mendongkol dan geli pula Tan Cing, katanya, "O, kiranya nama gadis Tam-popoh, Cayhe tidak tahu hingga telanjur menyebutnya, harap maaf.”

"Yang tidak tahu tidak salah, untuk pelanggaranmu yang pertama ini biar kuampuni, tapi lain kali jangan mengulangi lagi, ya!” kata Tio-ci-sun dengan lagak sebagai seorang bapak memberi petuah kepada si bocah.

Lalu Tan Cing berkata lagi, "Meski sudah lama Cayhe kenal nama suami-istri Tam-si yang tersohor dari Hoasan, tapi sayang selama ini tidak sempat berjumpa. Aku sendiri merasa tidak pernah mengolok-olok nama baik mereka di depan siapa pun, entah mengapa aku dituduh bersalah kepada Tam-popoh?”

"Tadi aku sedang tanya Siau Koan dan dia belum lagi menjawab, tiba-tiba kelima putramu menyerobot datang hingga mengacaukan pembicaraan kami, malahan sampai sekarang ia masih belum sempat menjawab pertanyaanku tadi,” demikian sahut Tio-ci-sun. "Nah, Tan tua, boleh coba kau cari tahu, orang macam apakah Siau Koan? Dan aku si ‘Tio-ci-sun-li-go-tan-ong’ orang macam apa pula? Masakah pada waktu kami sedang bicara boleh sembarangan dikacau begitu saja?”

Diam-diam Tan Cing geli mendengar ucapan yang "angin-anginan” itu, tapi lantas katanya pula, "Masih ada sesuatu yang aku tidak mengerti, tolong suka memberi penjelasan.”

"Soal apa? Jika aku senang, tiada alangan juga akan kuberi petunjuk padamu,” sahut Tio-ci-sun dengan lagak mahaguru.

"Terima kasih,” ujar Tan Cing. "Tadi Anda bilang nama kecil Tam-popoh hanya boleh dipanggil olehmu seorang saja, bukan?”

"Ya, sudah tentu!” seru Tio-ci-sun. "Kalau kau tidak percaya, boleh coba memanggilnya sekali lagi, lihatlah kalau aku si ‘Tio-ci-sun-li-go-tan-ong-the-sim-nyo’ tidak memberi hajaran padamu.”

"Sudah tentu aku tidak berani memanggilnya lagi,” sahut Tan Cing. "Tapi masakah Tam-kong juga tidak berani memanggilnya?”

Jawaban ini rupanya mengenai lubuk hati Tio-ci-sun hingga seketika ia bungkam dengan muka merah padam. Sejenak kemudian mendadak orang aneh itu menangis tergerung-gerung dengan suara yang sedih memilukan.

Kelakuannya ini benar-benar di luar dugaan siapa pun, sungguh tiada yang menyangka bahwa seorang yang tidak takut tingginya langit dan jeri pada tebalnya bumi, sampai Tiat-bin-poan-koan juga berani ditantangnya, tapi hanya dengan satu kalimat pertanyaan itu sudah membuatnya menangis begitu rupa.

Melihat seterunya menangis sedih, Tan Cing menjadi tidak enak malah, api kemarahannya yang semula berkobar itu seketika sirap, sebaliknya ia malah menghiburnya, "Tio-heng, maafkan aku ....”

"Aku ... aku tidak she Tio,” sahut Tio-ci-sun dengan terguguk.

Keruan Tan Cing tambah heran, "Habis, saudara she apa?”

"Aku tidak she Tio, tidak she Ci, juga tidak she Sun, aku tidak punya she, tidak perlu tanya,” sahut Tio-ci-sun.

Mendengar suara tangis Tio-ci-sun itu begitu sedih, semua jago yang hadir menduga pasti ada sesuatu yang pernah melukai hatinya. Dan bagaimana urusannya kalau dia sendiri tidak omong orang lain dengan sendirinya tidak enak untuk bertanya.

Dalam pada itu Tio-ci-sun masih tetap menangis sedih dengan tersenggak-sengguk tiada hentinya.

"Kembali penyakitmu kumat lagi, di depan orang banyak, menangis seperti anak kecil, engkau punya kulit muka atau tidak?” demikian Tam-popoh atau si nenek Tam menyemprotnya.

"Habis engkau ... engkau rela meninggalkan aku dan menikah dengan tua ... tua bangka seperti Tam-kong ini, sudah tentu hatiku sedih dan pilu,” demikian sahut dengan sesenggukan. "Hati sudah remuk, jantungku sudah hancur, ususku sudah putus, tinggal kulit muka yang tipis ini, apa gunanya?”

Semua orang tersenyum geli oleh kata-kata lucu itu. Kiranya begitulah duduk perkara yang sebenarnya.

Rupanya Tio-ci-sun dan Tam-popoh itu pernah terjalin kisah asmara, tapi entah mengapa Tam-poh menikah dengan Tam-kong. Dan karena sedihnya sampai Tio-ci-sun membuang nama aslinya dan kelakuannya menjadi gila-gilaan seperti orang sinting. Padahal suami-istri Tam-si itu usianya lebih dari 60 tahun, entah mengapa cinta Tio-ci-sun itu bisa sedemikian mendalamnya, selama berpuluh tahun masih belum berkurang dendam asmaranya.

Si nenek Tam sendiri mukanya sudah penuh keriput dan kasap seperti kulit ayam, rambutnya ubanan semua, siapa pun tidak mengira bahwa nenek yang berperawakan tinggi besar potongan "kuda teji” itu pada masa mudanya mempunyai kecantikan yang menggiurkan orang hingga sampai tua Tio-ci-sun masih tetap mencintainya.

Begitulah maka tampak sikap Tam-poh agak kikuk dan malu-malu kucing seperti anak perawan, sahutnya kemudian, "Suko, buat apa engkau mengungkat kejadian masa lampau? Hari ini Kay-pang ada urusan penting yang perlu dibicarakan, lekas mendengarkan dan jangan mengacau pula.”

Ucapan yang lembut dan bernada nasihat itu besar pengaruh bagi Tio-ci-sun, sebab dia lantas berkata, "Baiklah, tapi tersenyumlah dahulu kepadaku baru aku akan menurut perkataanmu.”

Belum lagi Tam-poh tersenyum atau orang-orang lain sudah mendahului tertawa menggelegar, namun nenek Tam itu seperti tidak ambil pusing, benar juga ia berpaling dan tersenyum "manis” sekali kepada Tio-ci-sun.

Sukma Tio-ci-sun seperti terbang ke awang-awang oleh senyuman itu hingga seketika ia termangu-mangu.

Sudah tentu semua itu disaksikan pula oleh Tam-kong yang duduk di sebelah dengan rasa gusar, tapi toh tidak dapat berbuat apa-apa.

Kejadian itu mendadak memengaruhi pikiran Toan Ki juga, pikirnya, "Cinta ketiga orang ini benar-benar sangat mendalam hingga orang yang berada di sini sampai tak dipusingkan oleh mereka. Dan apakah perasaanku kepada nona Ong kelak juga akan berakhir seperti ini? Ah, tidak, tidak! Sebab Tam-poh juga kelihatan rada mencintai sukonya, sebaliknya yang selalu dikenang nona Ong adalah Buyung-kongcu, dibandingkan Tio-ci-sun terang aku bukan apa-apa lagi.”

Dalam pada itu demi mendengar suka-duka Tio-ci-sun dan suami-istri Tam-si masa lampau, diam-diam Kiau Hong menimbang-nimbang, "Tio-ci-sun itu sebenarnya tidak she Tio, tapi suheng Tam-poh. Aku sering mendengar bahwa Tam-kong dan Tam-poh dari Ciong-siau-tong di Hoa-san terkenal di Bu-lim oleh karena ilmu silat aliran Hoa-san-pay mereka yang hebat. Tapi dari percakapan mereka tadi, agaknya mereka bertiga bukan sesama perguruan. Lalu, sebenarnya Tam-kong yang benar orang Hoa-san-pay ataukah Tam-poh yang berasal dari Hoa-san-pay?”

Tengah Kiau Hong merasa ragu, tiba-tiba terdengar Tio-ci-sun berkata pula, "Sudah lama Locu tidak datang ke daerah Kanglam sini, maka tidak tahu bahwa di Koh-soh telah muncul seorang Buyung Hok yang katanya suka ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ dengan perbuatannya yang sewenang-wenang. Locu justru ingin bertemu dengan dia untuk melihat cara bagaimana dia mampu memperlakukan aku si ‘Tio-ci-sun-li-cin-go-the-ong’ ini?”

Baru habis ucapannya sekonyong-konyong terdengar suara orang menangis dengan sedih sekali, suara tangisan yang meraung-raung itu sama persis seperti tangisan Tio-ci-sun tadi.

Keruan semua orang melengak.

Bahkan terdengar suara tangisan itu sedang sesambatan pula, "O, Sumoayku, di manakah Locu pernah bersalah padamu? Mengapa engkau meninggalkan daku dan menikah dengan si tua bangka she Tam yang celaka itu? Siang dan malam Locu selalu merindukan dikau. Teringat masa hidup Suhu kita, beliau pandang kita seperti anak kandung sendiri, tapi engkau tidak kawin denganku, apakah engkau tidak ingat kebaikan Suhu?”

Suara dan ucapan itu persis sekali seperti Tio-ci-sun, kalau semua orang tidak menyaksikan orang aneh itu termangu-mangu dan melongo dengan penuh keheranan, tentu semua orang akan percaya suara itu diucapkan dari mulut Tio-ci-sun sendiri. Tapi ketika semua orang memandang ke arah datangnya suara itu, ternyata suara itu timbul dari seorang gadis jelita berbaju jambon yang berdiri mungkur.

Kiranya gadis itu adalah A Cu.

Toan Ki, Giok-yan, dan A Pik cukup kenal kepandaian cara A Cu menirukan tingkah laku dan suara orang, dengan sendirinya mereka tidak heran. Sebaliknya orang lain menjadi terheran-heran dan geli pula, mereka menduga pasti Tio-ci-sun akan marah karena suaranya ditirukan orang.

Tak tersangka bahwa tangisan dan keluhan A Cu tadi justru tepat mengenai lubuk hati Tio-ci-sun, maka bukannya marah sebaliknya matanya tampak merah basah, mulutnya mewek-mewek, air matanya meleleh, akhirnya menangislah dia berpadu dengan suara tangisan A Cu.

Jilid 25
Tan Cing menggeleng-geleng kepala menyaksikan itu, katanya dengan suara lantang, "Meski aku she Tan (tunggal), tapi istriku satu dan gundikku empat, anak-cucuku penuh serumah. Sebaliknya saudara Siang Wai ini, she Siang (genap, banyak) justru hidup sebatang kara tanpa teman hidup. Peristiwa ini seharusnya engkau sesalkan di masa dahulu, kalau sekarang baru dibicarakan, rasanya juga sudah terlambat. Nah, Siang-heng, kita diundang kemari oleh Be-hujin apakah tujuannya ialah untuk merundingkan urusan perjodohanmu?”

"Bukan,” sahut Tio-ci-sun sambil menggeleng.

"Jika begitu, seharusnya kita membicarakan dahulu urusan Kay-pang lebih penting,” ujar Tan Cing.

"Apa katamu?” tiba-tiba Tio-ci-sun menjadi gusar. "Urusan Kay-pang lebih penting, apakah urusanku dengan Siau Koan kurang penting?”

Mendengar sampai di sini, Tam-kong tidak tahan lagi, segera ia berkata, "A Hui, jika kau tidak lantas suruh dia hentikan penyakit gilanya, terpaksa aku akan turun tangan.”

Mendengar sebutan "A Hui”, semua orang lantas berpikir, "Kiranya Tam-poh mempunyai nama kecil yang lain. Dan nama ‘Siau Koan’ itu memang benar adalah monopoli si Tio-ci-sun sendiri.”

Maka terdengar Tam-poh telah menjawab dengan membanting kaki, "Dia toh tidak gila, tapi engkau yang mengakibatkan dia begini, dan kau masih belum puas, ya?”

"Aneh, mengapa aku ... aku yang mengakibatkan dia begitu?” tanya Tam-kong dengan heran.

"Habis, aku menikah dengan tua bangka yang celaka seperti kau, dengan sendirinya Suhengku kurang senang ....”

"Waktu kita menikah toh aku tidak celaka dan tidak tua pula,” ujar Tam-kong.

"Huh, tidak malu, memangnya kau ganteng dan bagus?” cemooh Tam-poh.

Ci-tianglo dan Tan Cing hanya saling pandang dengan geleng-geleng kepala saja. Mereka pikir ketiga tua bangka ini benar-benar tidak tahu diri, masakah dengan kedudukan mereka bertiga yang disegani dan dihormati orang Bu-lim sebagai kaum cianpwe, tapi terang-terangan bercekcok urusan asmara masa lampau di depan orang banyak, sungguh menggelikan.

Maka Ci-tianglo lantas berdehem sekali, lalu katanya, "Atas kunjungan suami-istri Tam-si dan saudara ini, kami segenap anggota Kay-pang merasa mendapat kehormatan yang besar. Sekarang silakan Be-hujin suka bicara perkara pokok dari awal sampai akhir.”

Be-hujin itu sejak tadi hanya berdiri dengan kepala menunduk sambil mungkur, demi mendengar ucapan Citianglo itu, perlahan ia putar tubuh ke depan, lalu katanya dengan suara perlahan, "Sungguh malang suamiku tewas, Siaulicu (aku perempuan yang bodoh) hanya dapat menyesalkan nasib sendiri, tapi yang paling menyedihkan adalah suamiku tidak meninggalkan seorang anak pun untuk menyambung abu keluarga Be ....”

Berkata sampai di sini, suaranya agak tersendat hingga mengharukan bagi para pendengarnya. Sama-sama menangis, tangis Tio-ci-sun membuat orang merasa geli, tangis A Cu membikin orang heran, sebaliknya tangis Be-hujin membuat orang pilu.

Maka terdengar nyonya janda itu sedang meneruskan, "Sesudah Siaulicu mengebumikan layon suami, ketika berbenah barang-barang tinggalannya, tanpa sengaja di tempat simpanan kitab pelajaran silat dapat kutemukan suatu sampul surat wasiat yang tertutup rapat, di atas sampul tertulis: ‘Jika aku meninggal sampai hari tua secara wajar maka surat ini harus segera dibakar, siapa yang berani membuka surat ini berani merusak ragaku ini dan membuat aku tidak tenteram di alam baka. Tapi kalau aku mati secara tidak wajar surat ini harap diserahkan kepada para tianglo untuk dibuka bersama, soalnya sangat penting, jangan keliru!’”

Berkata sampai di sini, suasana dalam hutan itu menjadi sunyi senyap, semua orang ingin mendengarkan bagaimana lanjutan ceritanya.

Setelah merandek sejenak, lalu Be-hujin menanggalkan sebuah ransel kecil yang dibawa dan mengeluarkan sebuah kantong surat dari kain minyak, dari dalam kantong surat itu kemudian dilolos keluar sebuah sampul, lalu katanya, "Inilah surat wasiat suamiku itu. Sesudah kutemukan surat ini dan melihat pesan suamiku itu sangat penting, kutahu urusannya pasti bukan urusan biasa, maka segera hendak kutemui Pangcu untuk mempersembahkan surat wasiat ini. Tapi untung Pangcu telah datang ke Kanglam sini bersama para Tianglo hendak membalaskan sakit hati suamiku, dan syukurlah karena itu juga aku belum dapat berjumpa dengan Pangcu.”

Ucapan Be-hujin itu kedengaran agak janggal, masakah tidak berhasil bertemu dengan sang pangcu dianggapnya "untung” dan "syukur”? Tanpa terasa sinar mata semua orang sama beralih ke arah Kiau Hong.

Dari macam-macam kejadian malam ini, memang Kiau Hong sudah mempunyai firasat bahwa pasti ada sesuatu muslihat yang mahabesar sedang diarahkan kepadanya, walaupun soal komplotan Coan Koan-jing yang hendak menggulingkan dirinya sebagai pangcu itu sudah diamankan, namun kasus ini terang masih belum lagi tamat.

Kini mendengar uraian Be-hujin itu, perasaannya yang tertekan tadi menjadi ringan malah dan sikapnya tetap tenang, pikirnya, "Muslihat apa yang telah kalian atur, silakan keluarkan saja. Seorang laki-laki sejati harus berani menghadapi sesuatu yang menjadi kewajibannya. Selama hidupku tidak pernah berbuat kesalahan apaapa, biar bagaimana kalian hendak menjebak dan memfitnah diriku, kenapa aku mesti takut?”

Maka terdengar Be-hujin menyambung ceritanya lagi, "Karena itulah kutahu surat ini menyangkut urusan penting organisasi kita, sedangkan Pangcu dan Tianglo tidak berada di Lokyang, kukhawatir membuang waktu sia-sia, maka kupergi dulu ke Theciu untuk menghadap Ci-tianglo dan minta beliau mengambil keputusan menurut surat wasiat itu. Tentang kejadian selanjutnya biarlah Ci-tianglo yang akan memberitahukan kalian.”

Ci-tianglo batuk beberapa kali, lalu katanya, "Urusan ini sesungguhnya banyak suka-dukanya, aku merasa serbasulit untuk bicara.”

Tiba-tiba ia ambil surat wasiat itu dari tangan Be-hujin, lalu sambungnya, "Sejak kakek-moyangnya hingga, ayah Be Tay-goan, beberapa keturunan mereka semuanya adalah orang Kay-pang sendiri, kedudukan mereka kalau bukan tianglo yang berkantong sembilan tentulah Pat-te-tecu (anak murid berkantong delapan). Sejak kecil hingga besar aku pun kenal Tay-goan. Gaya tulisannya kukenal. Maka tidak perlu diragukan lagi tulisan di atas sampul surat wasiat ini memang benar adalah tulisan tangan Tay-goan sendiri.

"Ketika surat ini diserahkan padaku oleh Be-hujin, segel di atas sampul surat ini masih tertutup rapat dan baik. Karena khawatir membikin runyam urusan penting, maka tanpa menunggu para tianglo yang lain aku lantas membukanya. Waktu kubuka surat ini, Tiat-bin-poan-koan Tan-heng kebetulan juga berada di situ, untuk mana dia dapat menjadi saksi.”

"Memang benar, tatkala itu kebetulan aku bertamu di tempat kediaman Ci-tianglo dan dengan mataku sendiri kulihat dia membuka dan membaca surat wasiat itu,” tukas Tan Cing.

Segera Ci-tianglo melolos keluar sehelai surat dari sampul, katanya pula, "Waktu mula-mula aku membaca gaya tulisan dalam surat ini ternyata bukan tulisan tangan Tay-goan, aku rada heran. Kulihat pembukaan surat itu tertulis: ‘Kiam-yan saudaraku’. Aku menjadi heran. Sebab kalian tentu tahu, ‘Kiam-yan’ adalah nama alias mendiang Ong-pangcu kita, bila bukan orang yang bersahabat kental dengan dia, tidak mungkin menyebut nama aliasnya itu.

"Padahal sudah lama Ong-pangcu wafat, mengapa ada orang menulis surat kepadanya? Maka aku tidak lantas membaca isi surat, tapi membaca nama si penulis surat. Dan begitu lihat, aku bertambah heran hingga bersuara, ‘He, kiranya dia!’ — Dan karena tertarik, Tan-heng yang berada di sampingku lantas ikut melongok surat yang kupegang itu dan serta-merta ia pun bersuara heran, ‘Eh, kiranya dia!’

"Perbuatanmu itu terang salah, Tan-loji,” tiba-tiba Tio-ci-sun menyela. "Surat itu adalah surat rahasia Kay-pang mereka. Engkau bukan anggota Kay-pang yang berkantong satu atau dua, bahkan menjadi pengemis juga tidak pernah, mengapa berani mengintip surat orang yang penting itu?”

Jangan mengira orang aneh itu suka "angin-anginan”, ucapannya ternyata sangat tepat. Keruan muka Tan Cing rada merah, sahutnya, "Aku cuma melongok nama pengirim surat itu, kan tidak membaca isinya.”

"Apa bedanya melongok sedikit dan membaca banyak?” sahut Tio-ci-sun. "Engkau mencuri seribu tahil emas disebut maling, mencuri satu peser juga maling namanya. Bedanya cuma jumlah uang banyak atau sedikit, maling besar atau maling kecil, tapi kan sama-sama maling namanya? Maling besar adalah maling, maling kecil juga maling. Mengintip surat orang lain berarti bukan seorang kuncu (gentleman), dan kalau bukan kuncu tentu adalah siaujin (orang kecil, tak bermoral), kalau siaujin, itu berarti rendah kotor. Kalau orang rendah begitu, sepantasnya dibunuh!”

Sungguh gusar Tan Pek-san berlima tak terkatakan, serentak mereka hendak melabrak orang gila itu. Tapi cepat Tan Cing memberi tanda agar putra-putranya itu jangan sembarangan bertindak, biarlah orang itu ngaco-belo sesukanya, nanti saja sekaligus diadakan perhitungan dengan dia.

Diam-diam ia pun heran dan bingung, "Begitu bertemu dengan aku, orang ini lantas terus-menerus mencari perkara padaku, jangan-jangan dia mempunyai dendam apa-apa padaku? Orang Kangouw yang berani memandang enteng kepada keluarga Tan boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari. Tapi siapakah sebenarnya orang ini, mengapa aku tidak mengenalnya?”

Di lain pihak karena semua orang lagi tertarik ingin tahu siapakah sebenarnya nama pengirim surat yang dimaksudkan Ci-tianglo itu, maka mereka menjadi marah terhadap ocehan Tio-ci-sun yang mengacau itu. Serentak mereka melotot kepada orang tua itu.

"Kalian melotot apa? Apa yang dikatakan Sukoku memang sedikit pun tidak salah,” tiba-tiba Tam-poh membuka suara.

Mendengar dirinya dibela bekas kekasih itu, Tio-ci-sun menjadi kegirangan, katanya, "Nah, kalian sudah dengar sendiri, bahkan Siau Koan juga membenarkan perkataanku, masakah aku bisa salah? Apa yang dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya pasti benar.”

"Benar, apa yang dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya tak bisa salah. Dia menikah dengan Tamkong dan tidak kawin denganmu, hal itu pun sekali-kali tidak salah,” demikian tiba-tiba disela suara seorang yang bernada persis seperti Tio-ci-sun.

Orang yang bicara ini bukan lain A Cu adanya. Dia gemas terhadap ucapan Tio-ci-sun yang menghina Buyungkongcu tadi, maka tiada hentinya ia mencari perkara padanya.

Tio-ci-sun menjadi bungkam dan menyeringai mati kutu demi mendengar ucapan A Cu itu. Sebab cara debat A Cu itu telah menggunakan dialektika yang tepat, yaitu sesuai dengan kesukaan Buyung-si dengan istilahnya yang terkenal ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ atau menggunakan cara orang untuk diperlakukan kembali terhadap orang itu.

Begitulah maka ada orang yang sangat berterima kasih kepada A Cu, mereka adalah Tam-kong dan Tan Cing. Tapi pada saat itu juga mendadak sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Tam-poh sudah melesat ke depan A Cu, "plak”, kontan nenek itu tampar pipi kanan si gadis sambil membentak, "Aku salah menikah atau tidak, peduli apa dengan omongan budak busuk macam kau ini?”

Tamparan Tam-poh itu benar-benar cepat luar biasa, A Cu hendak berkelit juga tidak sempat lagi, orang lain lebih-lebih tidak keburu untuk menolongnya. Maka lenyap suara tamparan menyusul pipi A Cu yang putih mulus itu lantas timbul lima jalur merah biru bekas jari.

Maka terbahak-bahaklah Tio-ci-sun, serunya, "Tepat benar hajaran itu, biar budak kurang ajar itu tahu rasa!”

Seketika A Cu memberambang hendak menangis, tapi belum lagi menangis, tiba-tiba Tam-kong mengeluarkan sebuah kotak porselen kecil, ia buka tutup kotak itu dan mencolek sedikit salep dengan ujung jarinya, lalu ia usap-usap beberapa kali di pipi A Cu hingga tempat yang tertampar itu dibubuhi selapis salep tipis.

Belum sempat A Cu berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu pipi yang tadinya terasa panas pedas kini berubah menjadi dingin segar, berbareng tangan kiri telah memegang sesuatu benda. Waktu A Cu memeriksanya, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil yang putih, ia tahu hadiah dari Tam-kong itu berisi obat luka yang sangat manjur, maka ia tidak jadi menangis, sebaliknya malah tertawa.

Ci-tianglo tidak pusing cara bagaimana kedua kakek dan nenek itu akan bertengkar sendiri, tapi ia lantas bicara pula dengan suaranya yang agak serak, "Saudara-saudara sekalian, siapakah penulis surat ini sebenarnya saat ini belum waktunya untuk kukatakan. Aku orang she Ci sudah lebih 70 tahun berada dalam Kay-pang, sisa hidup di dunia ini juga takkan lama lagi, selama 30 tahun paling akhir ini aku telah mengasingkan diri dan tidak ikut berkecimpung di dunia Kangouw hingga tidak pernah lagi bercekcok dan bermusuhan dengan orang.

Aku sendiri tidak punya anak-cucu, bahkan murid juga tidak punya, aku merasa tiada sedikit pun mempunyai kepentingan pribadi dalam urusan ini. Maka bila aku ingin bicara sedikit, entah apakah saudara-saudara dapat memercayai diriku?”

"Perkataan Ci-tianglo, siapa yang takkan percaya?” sahut para pengemis dengan serentak.

"Bagaimana dengan pendapat Pangcu?” tanya Ci-tianglo kepada Kiau Hong.

"Selamanya aku sangat menghormat dan menghargai Ci-tianglo, hal ini Cianpwe sendiri cukup tahu,” sahut Kiau Hong.

Maka tanpa ragu Ci-tianglo meneruskan ceritanya, "Sesudah kubaca isi surat, aku benar-benar dihadapkan pada sesuatu yang mahasulit dan penasaran pula. Tapi kukhawatir ada sesuatu yang tidak benar, maka surat ini segera kuserahkan pada Tan-heng untuk dibaca. Sebab hubungan Tan-heng dengan penulis surat ini sangat baik dan pasti kenal gaya tulisannya dan cukup tahu pula bagaimana asal usul penulis surat ini. Oleh karena urusan ini mahapenting dan sangat luas sangkut pautnya, maka aku ingin Tan-heng membuktikan surat ini tulen atau palsu.”

Tiba-tiba Tan Cing melotot sekali ke arah Tio-ci-sun. Sudah tentu maksudnya mengejek, "Apa abamu sekarang?”

Siapa duga Tio-ci-sun lantas berkata, "Ci-tianglo yang minta kau baca, dengan sendirinya boleh kau baca. Tapi waktu pertama kali kau kan mengintip, itu tidak sah. Misalnya seorang dahulu pernah menjadi maling, kemudian menjadi kaya raya dan tidak jadi maling lagi, namun biarpun dia seorang hartawan toh tidak dapat mencuci bersih riwayat hidupnya yang berasal dari maling.”

Ci-tianglo tidak urus ucapan Tio-ci-sun itu, katanya kepada Tan Cing, "Tan-heng, silakan katakan kepada para hadirin, apakah surat ini tulen atau palsu?”

"Cayhe adalah sobat rapat si penulis surat ini, di rumahku juga banyak tersimpan surat berasal dari penulis ini,” demikian tutur Tan Cing. "Maka segera aku dan Ci-tianglo serta Be-hujin kembali ke tempat tinggalku untuk dicocokkan dengan surat simpananku. Dan nyata gaya tulisannya sama, bahkan sampul suratnya juga serupa, terang surat ini tulen.”

"Sebagai seorang tua, setiap tindakan selalu kulakukan dengan cermat, apalagi urusan ini menyangkut matihidup pang kita dan menyangkut nama baik seorang enghiong-hokiat (kesatria dan pahlawan), mana boleh aku bertindak secara serampangan,” tutur Ci-tianglo.

Mendengar sampai di sini, sinar mata semua orang tanpa terasa beralih ke arah Kiau Hong, mereka tahu "enghiong-hokiat” yang dimaksudkan itu tentulah Kiau Hong. Tapi demi sinar mata mereka kebentrok dengan sorot mata Kiau Hong, segera mereka menunduk lagi.

"Aku tahu suami-istri Tam-si dari Hoa-san mempunyai hubungan baik juga dengan penulis surat ini, maka sengaja kudatangi mereka untuk minta nasihat. Untuk mana Tam-poh telah bercerita kepadaku seluk-beluk yang berliku-liku dalam urusan ini. Tapi, ai, sesungguhnya aku tidak tega bicara terus terang, sungguh kasihan, sayang, menyedihkan dan mengharukan!”

Sampai di sini barulah semua orang tahu bahwa kedatangan Tan Cing dan suami-istri Tam-si adalah karena undangan Ci-tianglo yang minta mereka menjadi saksi.

Lalu Ci-tianglo bertutur lagi, "Tatkala itu Tam-poh bilang padaku bahwa ada seorang suheng yang pernah ikut melihat dan mengalami sendiri kejadian itu, kalau suhengnya itu diminta menceritakan duduknya perkara pastilah akan terang persoalannya. Dan suhengnya itu bukan lain adalah Tio-ci-sun Siansing ini. Sifat Siansing ini rada berbeda daripada orang biasa, tidak mudah untuk mengundangnya kemari. Tapi berkat bantuan Tampoh, cukup sehelai surat saja dan Siansing ini sudah sudi berkunjung kemari ....”

"He, jadi engkau yang mengundang dia ke sini?” teriak Tam-kong mendadak kepada Tam-poh dengan gusar. "Mengapa sebelumnya tidak kau beri tahukan padaku? Jadi di luar tahuku kau berbuat sembunyi-sembunyi?”

"Berbuat sembunyi-sembunyi apa?” sahut Tam-poh tidak mau kalah. "Aku menulis surat dan minta Ci-tianglo menyuruh orang mengirimkannya, hal ini dilakukan dengan terang-terangan, mengapa dikatakan sembunyisembunyi? Dasar memang kau suka minum cuka, maka tidak kuberi tahukan padamu, sebab kutahu kau pasti akan rewel, buktinya sekarang!”

"Berbuat sesuatu di luar tahu sang suami, tidak menjaga susila sebagai seorang wanita, itulah tidak pantas!” seru Tam-kong.

"Plak”, kontan Tam-poh menempeleng pipi sang suami.

Sudah jelas ilmu silat Tam-kong jauh lebih tinggi daripada Tam-poh, tapi ketika dipukul sang istri, ia tidak menangkis dan juga tidak berkelit, tanpa bergerak ia biarkan dirinya digampar sekali. Menyusul ia lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil lagi, ia colek sedikit salep dan dipoles di pipi sendiri hingga merah biru bekas tamparan itu hilang seketika. Yang satu memukul dengan cepat yang lainnya cepat mengobati. Dengan demikian rasa gusar kedua orang pun lenyap semua.

Semua orang merasa geli oleh kejadian itu. Sebaliknya mendadak Tio-ci-sun menghela napas panjang, dengan suara sedih memilukan ia berkata, "Kiranya demikian, kiranya demikian! Ai, tahu begini, menyesal aku sekarang. Kalau cuma dipukul beberapa kali seperti ini apa susahnya?”

Nada suaranya ternyata penuh rasa penyesalan.

"Setiap kali bila kupukulmu, selalu kau membalas, selamanya tidak mau mengalah sedikit pun,” demikian kata Tam-poh dengan suara lembut.

Tio-ci-sun termangu-mangu seperti patung, terkenang olehnya masa lampau. Sang sumoay itu lincah dan genit, sedikit-sedikit suka ngambek dan memukul orang, setiap kali tanpa sebab dirinya dipukul, karena penasaran, maka terjadilah pertengkaran, dan sebab itulah perjodohan yang sebenarnya amat bahagia itu akhirnya gagal.

Kini menyaksikan sendiri Tam-kong manda dipukul begitu tanpa membalas, barulah sekarang ia sadar kesalahannya sendiri. Ia menyesal sifatnya yang tidak mau mengalah itu. Pantas selama berpuluh tahun ini ia tidak menemukan jawabannya mengapa sang sumoay bisa jatuh cinta kepada orang lain, kiranya rahasianya cuma satu, yaitu, "manda dipukul”.

Maka terdengar Ci-tianglo sedang berkata, "Tio-ci-sun Siansing, harap suka bicara di depan orang banyak, kejadian yang tertulis dalam surat wasiat ini benar atau tidak?”

Tapi Tio-ci-sun sedang melayang-layang pikirannya dan bergumam sendiri, "Ai, aku benar-benar tolol, mengapa waktu itu tidak dapat berpikir? Kusangka belajar silat gunanya untuk menghajar musuh, untuk memukul orang jahat, mengapa dipakai menghantam badan sang kekasih? Siapa tahu memukul itu artinya cinta, memaki itu artinya suka. Ai, ai, jika begitu, apa artinya cuma menerima beberapa kali tempelengan?”

Semua orang merasa geli dan merasa cinta buta orang aneh itu pantas dikasihani pula. Orang lain sedang menghadapi urusan mahapenting dalam Kay-pang, sebaliknya ia sendiri bicara yang tidak-tidak. Lalu, kebenaran ceritanya apa dapat dipercaya?

Karena tidak mendapat jawaban sebagaimana mestinya, kembali Ci-tianglo tanya lagi, "Tio-ci-sun Siansing, kami mengundangmu ke sini hanya ingin minta engkau suka menceritakan bagaimana isi surat itu.”

"O, ya, benar!” seru Tio-ci-sun. "Ehm, tentang isi surat itu, meski ringkas saja tulisannya, tapi cukup mengesankan .... Empat puluh tahun yang lalu kita tinggal dalam serumah dan makan semeja, suasana itu

seakan-akan baru saja terjadi, bila terkenang sekarang, tentu kakak pun sudah ubanan, wajah dan senyum pasti tidak lagi seperti sediakala.”

Buset! Ci-tianglo tanya bagaimana isi surat wasiat Be Tay-goan itu, sebaliknya ia menguraikan isi surat cinta yang diterimanya dari Tam-poh.

Karena kewalahan, akhirnya Ci-tianglo berkata kepada Tam-poh, "Tam-hujin, harap engkau yang minta dia bicara saja.”

Tak terduga Tam-poh sendiri juga lagi termangu-mangu ketika mendengar bekas kekasih itu sedemikian memerhatikan sepucuk suratnya, bahkan isi surat dihafalkan di luar kepala, suatu tanda surat itu entah berapa kali telah dibacanya. Dan demi mendengar permintaan Ci-tianglo itu, maka berkatalah dia, "Suko, harap tuturkan bagaimana kejadian dahulu itu.”

"Kejadian dahulu itu sampai sekarang masih kuingat dengan baik,” sahut Tio-ci-sun. "Rambutmu terkepang menjadi dua kucir, ujung kucir berhiaskan dua pita kupu merah. Waktu Suhu mengajarkan jurus ‘Thau-liongcoan-hong’ itu ....”

Mendengar istilah "Thau-liong-coan-hong” atau mencuri naga dan menukar burung hong, Giok-yan seperti sadar akan sesuatu, ia mengangguk perlahan.

Sedangkan Tam-poh lantas berkata, "Suko, jangan lagi bicara urusan kita masa lampau, tapi Ci-tianglo sedang tanya padamu tentang banjir darah dalam pertempuran di Loan-ciok-kok di luar Gan-bun-koan dahulu, di mana engkau sendiri ikut menyaksikan, maka ceritakanlah kepada hadirin dari apa yang kau lihat itu.”

"Tentang ... tentang pertempuran di ... di Loan-ciok-kok (lembah batu padas) ... di Gan-bun-koan ....” sahut Tio-ci-sun dengan suara gemetar dan air muka berubah hebat, sekali putar tubuh, sekonyong-konyong ia melarikan diri ke arah selatan yang lowong itu dengan cepat luar biasa.

Melihat orang aneh itu dalam sekejap saja akan lenyap di balik hutan sana, untuk mengejar terang tidak keburu lagi, maka semua orang cuma dapat berteriak-teriak untuk mencegahnya. Namun Tio-ci-sun tidak peduli lagi, ia berlari terlebih cepat.

"Rambut kakak kini tentu sudah ubanan, wajah dan senyummu pastilah tidak lagi seperti sediakala,” demikian mendadak suara seorang berseru dengan lantang.

Sekonyong-konyong Tio-ci-sun berhenti lari, ia menoleh dan menegur, "Siapa itu yang bicara?”

"Habis, bila bukan karena itu, mengapa engkau merasa malu menghadapi Tam-kong dan mesti melarikan diri?” sahut suara itu.

Waktu semua orang memandang ke arah suara itu, kiranya yang bicara adalah Coan Koan-jing.

"Siapa yang merasa malu? Paling-paling dia cuma pandai ‘manda dipukul’, apanya yang mampu mengalahkan aku?” Tio-ci-sun.

"Manda dipukul tanpa membalas, itu adalah ilmu nomor satu di dunia ini, masakah gampang dipelajari?” tibatiba suara seorang tua menyela dari balik hutan sana.

Ketika semua orang berpaling, tertampaklah dari balik pohon sana muncul seorang hwesio berjubah warna kelabu, bermuka lebar dan bertelinga besar, wajahnya sangat kereng.

"Hah, kiranya Ti-kong Taysu dari Thian-tay-san telah tiba, sudah lebih 30 tahun tidak bertemu, Taysu ternyata masih sehat dan kuat,” segera Ci-tianglo menyapa.

Nama Ti-kong Hwesio tidak terkenal dalam Bu-lim, maka tokoh-tokoh angkatan muda dari Kay-pang tiada yang kenal asal usulnya. Tapi Kiau Hong, Coan Koan-jing dan para tianglo seketika bangkit untuk menyambut kedatangan padri itu.

Mereka kenal padri itu pernah mengembara ke luar lautan untuk mencari obat-obatan yang tepat untuk menyembuhkan penyakit malaria yang berjangkit di sekitar provinsi Kwitang dan Hokkian pada beberapa tahun yang lalu, sebab itulah Ti-kong sendiri sampai jatuh sakit payah dua kali hingga ilmu silatnya pun punah. Namun jasanya bagi kesejahteraan rakyat tidak sedikit artinya. Maka semua orang pun berturut-turut maju untuk memberi hormat padanya.

Segera Ti-kong berkata kepada Tio-ci-sun dengan tertawa, "Ilmu silat lebih rendah dari lawan dan manda dihantam tanpa membalas, hal ini saja sukar dicari. Bila ilmu silat lebih tinggi, dan diserang tetap tidak membalas, hal ini lebih-lebih jarang terdapat orangnya.”

Tio-ci-sun termangu-mangu menunduk, ia seperti sadar akan sesuatu.

Maka Ti-kong berkata pula, "Kebetulan kulewat di sini, tidak nyana para pahlawan sedang berkumpul di sini hingga terganggu, harap dimaafkan, biarlah kumohon diri saja.”

"Ti-kong Taysu adalah padri saleh yang telah banyak menolong sesamanya, siapa pun tentu menaruh hormat,” kata Ci-tianglo. "Hari ini Kay-pang kami sedang menghadapi suatu persoalan mahasulit, kebetulan Taysu berkunjung kemari, sungguh beruntung Kay-pang kami, sebab kalau sengaja mengundang, belum tentu Taysu sudi datang. Maka mumpung datang, betapa pun harap Taysu suka mengaso sebentar.”

"Eh, ya, pertempuran di Loan-ciok-kok itu Ti-kong Hwesio juga ikut ambil bagian. Nah, suruh dia saja yang bercerita,” tiba-tiba Tio-ci-sun berseru.

Mendengar tentang "pertempuran di Loan-ciok-kok”, sekilas Ti-kong menampilkan rasa heran, seperti takuttakut dan merasa ngeri pula, tapi akhirnya wajahnya kembali kepada perasaan yang welas asih, katanya dengan gegetun, "Terlalu banyak bunuh-membunuh! Terlalu kejam! Urusan itu kalau diceritakan sungguh sangat memalukan. Peristiwa Loan-ciok-kok itu adalah kejadian 30 tahun yang lalu, mengapa para Sicu hari ini kembali mengungkatnya?”

"Lantaran saat ini-Kay-pang kami sedang menghadapi pergolakan yang menyangkut isi sepucuk surat ini,” kata Ci-tianglo sambil mengangsurkan surat wasiat tadi.

Setelah membaca dan mengulangi lagi isi surat itu, Ti-kong geleng kepala dan berkata, "Permusuhan lebih baik diselesaikan daripada ditambah, urusan yang sudah lalu buat apa diungkat lagi? Menurut pendapatku, surat ini dibakar saja dan urusan pun selesai!”

"Tapi Be-hupangcu kami telah ditewaskan orang secara mengenaskan, kalau tidak diusut, kematian Behupangcu menjadi penasaran dan pang kami pun menghadapi bahaya keretakan,” ujar Ci-tianglo.

"Benar juga, benar juga!” kata Ti-kong mengangguk.

Tatkala itu bulan sabit tampak menghiasi cakrawala dengan sinarnya yang remang-remang menimpa pucuk pohon hutan itu. Ti-kong memandang sekejap ke arah Tio-ci-sun, lalu berkata pula, "Baiklah, aku telah berbuat salah, untuk mana juga tidak perlu ditutupi, biarlah kuceritakan terus terang saja.”

Kita berjuang demi nusa dan bangsa, tidak dapat dikatakan berbuat salah,” ujar Tio-ci-sun.

"Salah tetap salah, buat apa mesti pakai alasan,” ujar Ti-kong sambil menggoyang kepala. "Tiga puluh tahun yang lampau, tiba-tiba para pahlawan Tionggoan mendapat berita, katanya lebih 200 jago Cidan akan menyerbu ke Siau-lim-si untuk merampok kitab-kitab suci yang sudah tersimpan beratus tahun dalam biara itu.”

Semua orang merasa heran dan menganggap ambisi jago Cidan itu benar-benar kelewat batas. Sebab harus diketahui bahwa ilmu silat Siau-lim-si adalah inti ilmu silat seluruh Tiongkok, kalau pelajaran silat Siau-lim-si sampai dirampas bangsa Cidan dan disebarkan dalam pasukan tentara mereka, tentu pasukan Song takkan mampu melawan mereka lagi di medan perang.

"Sudah tentu urusan itu sangat penting, bila usaha Cidan itu berhasil, tentu kerajaan Song kita akan menghadapi bahaya kehancuran dan anak cucu kita pasti akan musnah pula,” demikian Ti-kong melanjutkan. "Oleh karena urusan sudah mendesak, kami tidak sempat berunding lebih jauh, ketika mendengar jago-jago Cidan itu akan lewat Gan-bun-koan, di samping kami mengirim orang menyampaikan kabar itu kepada Siaulim-si, kami lantas berangkat beramai-ramai ke Gan-bun-koan untuk mencegat kedatangan musuh dengan maksud akan menghancurkannya lebih dulu ....”

Waktu itu kerajaan Song sering mendapat gangguan dari Cidan, dalam pertempuran pasukan Song selalu mengalami kekalahan, harta benda dan jiwa rakyat jelata banyak yang ikut menjadi korban keganasan musuh. Kini mendengar para pahlawan itu akan melabrak musuh, tanpa terasa semua orang ikut bersemangat meski kejadian itu sudah lama lampau.

"Kiau-pangcu,” tiba-tiba Ti-kong tanya Kiau Hong dengan sinar mata tajam, "bila engkau menerima berita begitu, bagaimana kiranya tindakanmu?”

"Ti-kong Taysu,” sahut Kiau Hong dengan darah mendidih, "biarpun aku orang she Kiau tidak punya kepandaian apa-apa hingga sekarang aku dicurigai para saudara anggota, tapi sekalipun aku tidak becus, paling tidak juga seorang lelaki yang punya keberanian dan berjiwa patriot, terhadap kewajiban yang menjadi bagian setiap bangsa tidak nanti aku tinggal diam. Bangsa dan negara kita sudah banyak diganggu musuh, dendam itu siapa yang tidak ingin membalas? Jika kudengar berita itu, sudah pasti juga aku akan pimpin anggota pang kami dan serentak berangkat ke sana.”

Semua orang ikut terbangkit semangatnya demi mendengar ucapan Kiau Hong yang gagah berani itu.

Ti-kong mengangguk-angguk, katanya, "Jika begitu, jadi keberangkatan kami ke Gan-bun-koan untuk menggempur musuh itu menurut pendapat Kiau-pangcu adalah tepat bukan?”

Diam-diam Kiau Hong mendongkol karena pertanyaan itu, masakah jawabannya tadi kurang tegas hingga

perlu ditanya pula? Tapi ia bersikap tenang saja dan berkata, "Kiau Hong justru sangat kagum terhadap tindakan para cianpwe yang patriotik itu, sayang aku tidak dilahirkan lebih tua 30 tahun hingga dapat ikut serta dalam rombongan para cianpwe itu untuk menghajar musuh.”

Ti-kong memandang lekat-lekat kepada pangcu itu dengan air muka keheran-heranan, lalu katanya pula dengan perlahan, "Sesudah kami terima pemberitahuan itu, di samping kami mengirim kabar kepada Siau-lim-si, beramai-ramai kami lantas berangkat ke Gan-bun-koan dengan membagi diri dalam beberapa kelompok. Kebetulan saudara ini ....”

Ia tuding Tio-ci-sun dan menyambung, "Dia bersama dalam suatu rombongan kami. Rombongan kami ini seluruhnya berjumlah 21 orang, betapa tinggi ilmu silat Toako Pemimpin tidak perlu dikatakan lagi, kecuali itu masih terdapat Ong-pangcu dari Kay-pang, Koan-in Totiang dari Hoa-san, Ong Hiang-lim, dari Ban-seng-to serta tokoh-tokoh pilihan lain yang terkenal di Bu-lim pada zaman itu. Tatkala mana aku belum lagi menjadi padri, sebenarnya tidak sesuai menggabungkan diri di antara para tokoh terkemuka itu. Cuma terdorong oleh semangat cinta negeri, dalam hal menghadapi musuh tidak mau ketinggalan di belakang orang lain, makanya aku berjuang sepenuh tenaga. Umpama saudara ini, ilmu silatnya waktu itu bahkan jauh di atasku.”

"Memang benar,” kata Tio-ci-sun tanpa ditanya, "ilmu silatmu waktu itu selisih jauh sekali denganku, paling sedikit sekian selisihnya.”

Sambil berkata ia terus pentang kedua tangannya untuk memberi suatu ukuran jarak, tapi ketika merasa jarak itu kurang jauh, ia pentang tangannya lebih lebar lagi hingga hampir dua meter jauhnya.

Namun Ti-kong tidak urus lagi padanya, ia melanjutkan, "Setelah kami melintasi Gan-bun-koan (gerbang tembok besar ujung barat), waktu itu sudah dekat magrib, sepanjang jalan kami selalu siap siaga dengan hati berdebar-debar. Setelah belasan li jauhnya, hari pun mulai remang-remang. Tiba-tiba dari arah barat-laut sana terdengar derap lari kuda, dari suara itu terang ada belasan jumlahnya. Segera Toako Pemimpin memberi tanda agar berhenti.

"Rasa hati semua orang waktu itu bergirang tercampur tegang. Girangnya karena berita yang diterima itu ternyata benar, untung kami dapat tiba tepat pada waktunya. Tapi semua orang pun sadar jago-jago Cidan yang datang ini pasti bukan sembarangan jago, kalau tidak, masakah mereka berani menantang Siau-lim-si yang merupakan tulang punggung dunia persilatan di Tiongkok itu, maka dapat dipastikan jago-jago Cidan ini pasti jago pilihan semua. Dalam pertempuran biasanya kerajaan Song kita selalu mengalami kekalahan melawan Cidan, dan pertarungan kami ini apakah dapat menang, sungguh sulit untuk diramalkan.

"Ketika Toako pimpinan memberi tanda pula, segera kami menyembunyikan diri di balik batu-batu karang di tepi jalan. Sisi kiri lembah pegunungan itu adalah sebuah jurang curam yang banyak terdapat batu karang dan dalamnya jurang sukar dijajaki. Sementara itu derap kuda tadi sudah makin dekat, menyusul terdengar suara nyanyi beberapa orang, lagunya bersemangat, tapi entah apa artinya.

"Aku pegang golokku dengan erat, saking tegangnya sampai aku mandi keringat. Kebetulan Toako Pemimpin juga mendekam di sampingku, ia khawatir aku tidak tahan sabar, maka perlahan menepuk pundakku sambil tersenyum, lalu memberi tanda pula dengan gaya menghantam, maksudnya membunuh musuh sebentar lagi. Aku menjawabnya dengan tersenyum mantap.

"Ketika musuh mulai dekat di tempat sembunyi kami, waktu aku mengintip, kulihat jago-jago Cidan itu semuanya memakai baju kulit, ada yang membawa tombak, ada yang bergolok dan ada yang membawa busur dengan panahnya, bahkan ada yang membawa elang pemburu di pundaknya. Mereka datang dengan tetap bernyanyi-nyanyi, sedikit pun tidak peduli apakah di depan bakal diadang musuh atau tidak. Hanya sebentar saja, kulihat berapa orang Cidan yang berada paling depan itu semuanya berwajah bengis dan penuh berewok. Melihat jarak musuh semakin mendekat, hatiku pun tambah berdebar dan tegang ....”

Walaupun apa yang diceritakan Ti-kong itu adalah kejadian pada 30 tahun yang silam, namun semua orang mengikuti cerita itu dengan berdebar-debar.

"Kiau-pangcu,” kata Ti-kong kepada Kiau Hong, "berhasil atau gagalnya usaha kami waktu itu menyangkut nasib negara Song kita dengan berjuta-juta rakyatnya yang tertindas, tapi kami justru tidak yakin akan dapat menang. Keuntungan kami satu-satunya waktu itu adalah kami siap menyerang, sebaliknya musuh tidak tahu. Dalam keadaan begitu, bagaimana kami harus bertindak menurut pendapat Kiau-pangcu?”

"Siasat militer tidak kenal ampun, bila perlu harus memperdayakan musuh,” sahut Kiau Hong. "Apalagi dalam pertempuran di antara kedua negara seperti itu, kita tidak kenal lagi peraturan Bu-lim atau etiket Kangouw. Pula ketika bangsa penjajah membunuhi bangsa kita, apakah mereka pernah kenal kasihan? Maka menurut pendapatku kita harus menyerangnya dengan am-gi (senjata gelap), dan am-gi itu harus berbisa pula.”

"Tepat,” seru Ti-kong sambil menggaplok paha sendiri. "Pendapat Kiau-pangcu persis seperti apa yang kami pikirkan waktu itu. Maka ketika Toako Pemimpin melihat musuh sudah dekat, sekali bersuit, segera ia memerintahkan serangan umum dengan hamburan am-gi dari macam-macam jenis, ada piau baja, ada panah, ada pisau terbang, ada peluru besi dan macam-macam lagi, semuanya berbisa. Maka terdengarlah suara jeritan di sana-sini, musuh menjadi kacau-balau dan tunggang-langgang jatuh dari kuda mereka.”

Mendengar sampai di sini, seketika banyak di antara pendengar itu bersorak-sorai.

"Dalam pada itu aku telah dapat menghitung dengan jelas bahwa penunggang kuda musuh itu berjumlah 18 orang, 11 orang di antaranya telah roboh oleh serangan am-gi kami, sisanya tinggal tujuh orang saja. Segera kami mengerubut maju, di bawah hujan macam-macam senjata, hanya sebentar saja ketujuh orang itu pun dapat kami bunuh semua, satu pun tiada yang lolos.”

Sampai di sini, kembali orang-orang Kay-pang ada yang bersorak lagi. Tapi Kiau Hong dan Toan Ki justru berpikir, "Tadi kau bilang jago-jago Cidan itu adalah jago pilihan, tapi mengapa begitu tak becus, hanya sebentar saja sudah terbunuh semua?”

Maka terdengar Ti-kong berkata pula dengan menghela napas, "Sekaligus kami dapat membunuh ke-18 jago Cidan itu, meski bergirang, tapi juga curiga dan merasa jago-jago Cidan itu mengapa begitu tak berguna, hanya sekali-dua gebrak saja sudah lantas mampus, sama sekali bukan jago kelas pilihan, jangan-jangan berita yang diterima itu tidak benar? Dan mungkin pula musuh sengaja mengatur perangkap itu untuk menjebak kami. Tapi sebelum kami sempat bertukar pikiran, tiba-tiba terdengar suara berdetaknya kuda pula, dari arah yang sama tampak muncul lagi dua penunggang kuda.

"Sekali ini kami tidak bersembunyi lagi, tapi terus memapak maju. Ternyata penunggang kuda itu adalah sepasang laki perempuan. Yang lelaki bertubuh tinggi besar, gagah berwibawa, dandanannya juga jauh lebih mentereng daripada ke-18 orang tadi. Yang wanita adalah seorang nyonya muda dan membopong seorang bayi. Sambil keprak kuda mereka asyik bicara dengan sangat mesra tampaknya, terang mereka itu adalah pasangan suami-istri.

"Ketika melihat rombongan kami, mereka merasa heran, demi kemudian melihat pula mayat ke-18 orang tadi, lelaki itu seketika berubah beringas terus membentak-bentak menanyai kami. Sudah tentu kami tidak tahu apa yang dikatakannya dalam bahasa Cidan itu. Kawan Put Tay-hiong dari Soasay yang berjuluk Thi-tha (si Pagoda Besi), yaitu karena perawakannya tinggi besar dan kuat, segera membentak, ‘Anjing asing, serahkan nyawamu!’ — berbareng senjatanya yang berwujud toya lantas mengemplang lelaki itu. Namun Toako Pemimpin kami merasa ragu, cepat bentaknya, ‘Jangan sembrono, Pui-hiati, jangan membinasakan dia, tangkap saja untuk ditanyai.’

"Tapi belum lenyap suara Toako Pemimpin, tahu-tahu laki-laki Cidan itu telah ulur tangan kanan hingga toya Pui Tay-hiong kena ditangkapnya, berbareng ia tarik ke samping terus dipuntir, ‘krek’, tanpa ampun tulang lengan Pui Tay-hiong dipatahkan.

"Karena kami tidak sempat lagi penolongnya, maka segera ada beberapa kawan menghamburkan am-gi ke arah musuh. Tapi sekali orang Cidan itu kebas lengan bajunya, serangkum angin keras menyampuk senjata gelap ke samping. Tampaknya sekali dia menghantam lagi pasti jiwa Pui Tay-hiong akan melayang. Tak tersangka dia cuma sedikit angkat toya yang masih dipegangnya itu hingga tubuh Pui Tay-hiong ikut terangkat ke atas lalu toya bersama pemiliknya dilemparnya jauh-jauh ke tepi jalan, kemudian ia mengoceh entah apa lagi yang tidak kami ketahui maksudnya.

"Ilmu kepandaian yang ditunjukkan orang Cidan itu keruan membuat kami tertegun semua, betapa lihai ilmu silatnya itu bahkan di Tiongkok sendiri jarang terdapat, nyata berita yang kami terima tentang jago-jago Cidan yang akan menyerbu Siau-lim-si itu bukanlah omong kosong, mungkin jago Cidan yang belum muncul bahkan akan lebih lihai. Kami pikir mumpung menang jumlah orang, biarlah bunuh dulu mereka. Maka sekaligus ada

beberapa kawan menerjang ke arah laki-laki itu, sebagian kawan yang lain lantas menyerang si wanita.

"Tak terduga wanita itu sama sekali tidak mahir ilmu silat, sekali seorang kawan menebas dengan pedangnya, kontan sebelah lengan wanita itu terkutung dan karena itu bayi yang dia gendong itu jatuh ke tanah, menyusul golok kawan lain membacok pula hingga separuh kepala wanita itu terpenggal.

"Meski ilmu silat laki-laki Cidan itu sangat tinggi, tapi di bawah keroyokan 6-7 orang, betapa pun sukar melepaskan diri untuk menolong anak-istrinya. Semula ia hanya melawan dengan gerak tipu yang hebat untuk merampas senjata para kawan dan tidak melukainya, tapi demi melihat istrinya terbunuh, matanya menjadi merah membara, air mukanya beringas menyeramkan. Tanpa terasa aku merasa jeri tatkala melihat sinar matanya yang menakutkan itu.”

"Ya, itu pun tak bisa menyalahkanmu, tak dapat menyalahkanmu!” tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung dengan suara yang penuh penyesalan dan berduka, jauh berbeda dengan ucapannya yang angin-anginan tadi.

"Pertarungan sengit itu sudah lampau 30 tahun lamanya,” demikian Ti-kong menyambung, "tapi selama 30 tahun ini entah sudah berpuluh kali, bahkan beratus kali dalam mimpiku seakan-akan kembali pada adegan waktu itu. Sungguh pertarungan yang mahasengit itu terlalu mendalam berkesan dalam benakku. Entah dengan cara apa, sekali tangan laki-laki Cidan itu bergerak, tahu-tahu senjata kedua orang kawanku sudah terampas, menyusul sekali bacok dan sekali tebas, seketika kedua kawan itu binasa. Terkadang orang itu menubruk turun dari kudanya, lain saat ia cemplak pula ke atas kudanya, dan hanya dengan pergi-datang begitu secepat hantu iblis, dalam sekejap saja sudah sembilan orang kawan kami terbinasa di tangannya.

"Karena itu kami menjadi kalap juga, Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan lain-lain sama menyerbu maju dengan mati-matian. Namun ilmu silat lawan itu benar-benar aneh luar biasa. Setiap serangan, setiap gerakannya selalu sukar diduga, di tengah deru angin keras di luar Gan-bun-koan itu tercampur jerit ngeri para pahlawan waktu menemui ajalnya, seketika berjatuhan buah kepala dan anggota badan bertebaran, dalam keadaan begitu, betapa pun tinggi ilmu silatmu paling-paling juga cuma dapat menjaga diri saja dan tidak mampu menolong kawan yang lain.

"Menyaksikan pertarungan sengit itu, hatiku sesungguhnya sangat ketakutan, tapi demi tampak para kawan satu per satu terbinasa dengan mengenaskan, mau tak mau darahku mendidih juga, dengan penuh semangat aku menerjang ke arah musuh. Kuangkat golok dan membacok sekuat tenaga ke kepala lawan. Aku sadar bila seranganku luput, maka jiwakulah yang bakal melayang. Tampaknya golokku tinggal belasan senti jaraknya di atas kepalanya, mendadak kulihat tangan orang itu memegang seorang tawanan dan dengan buah kepala tawanan itu ia papak bacokanku itu.

"Sekilas kulihat kepala orang itu adalah orang kedua Tho-si-sam-hiong dari Kangsay, keruan aku terkejut, bila bacokanku itu kena, tentu kepalanya akan berpisah dengan tuannya. Maka sebisanya kutarik balik golokku, namun menurunnya yang terlalu keras itu tak dapat kutahan lagi, kepala kuda tungganganku sendiri yang terbacok. Binatang itu meringkik sekali terus berjingkrak. Dan pada saat itulah orang Cidan itu juga

menggaplok ke arahku dengan tangannya. Untung pada saat yang sama kudaku menegak hingga mewakilkan aku menahan serangannya itu. Kalau tidak, tentu tulangku yang akan remuk dan jiwa melayang.

"Tenaga gaplokan orang itu ternyata kuat sekali, seketika aku bersama kudaku mencelat ke belakang, bahkan aku terpental dan jatuhnya persis kecantol di atas dahan pohon besar. Dalam keadaan ketakutan dan merasa entah mati atau hidup, dari atas aku masih sempat menyaksikan kawanku satu per satu disapu roboh oleh orang Cidan itu dan akhirnya tinggal 5-6 orang saja yang masih bertahan sekuatnya. Kulihat saudara ini pun tergeliat roboh bermandikan darah, waktu itu aku menyangka dia sudah mati.”

"Kejadian memalukan itu kalau dibicarakan juga tetap memalukan,” tukas Tio-ci-sun, "tapi aku juga tidak perlu berdusta, biar kukatakan terus terang. Waktu itu sebenarnya aku tidak terluka, tapi aku jatuh pingsan ketakutan. Kulihat kedua kaki Tho-jiko kena dipegang tangan musuh sekali pentang dan sekali beset, tahu-tahu tubuh Tho-jiko dirobek menjadi dua, perutnya berhamburan. Melihat itu, mendadak jantungku serasa berhenti berdenyut, mataku menjadi gelap dan segala apa selanjutnya tidak tahu lagi. Ya, memang aku pengecut, melihat pembunuhan itu, saking ketakutan aku jatuh pingsan.”

"Siapa pun bila menyaksikan cara orang Cidan itu membunuh seganas iblis, mustahil jika bilang tidak takut,” kata Ti-kong. "Di bawah sinar bulan remang-remang seperti sekarang ini, kulihat kawan-kawan yang masih menempur orang Cidan itu tinggal empat orang saja. Toako Pemimpin insaf takkan lolos dari elmaut, maka berulang-ulang ia membentak, ‘Siapa kau? Siapa kau?’

"Tapi orang itu tidak menjawab, hanya dua jurus pula, kembali dua orang kawan terbunuh lagi. Mendadak kakinya mendepak hingga hiat-to di punggung Ong-pangcu tertendang, secara berantai menyusul kakinya yang lain menendang pula hingga hiat-to bawah iga Toako Pemimpin kena didepak.

"Tentang ilmu tiam-hiat sudah pernah kulihat macam-macam caranya, tapi orang itu ternyata dapat menggunakan ujung kaki untuk menutuk hiat-to, baik jitunya maupun cepatnya tendangan musuh sukar dibayangkan. Bila waktu itu aku tidak ingat jiwa sendiri juga terancam elmaut dan kedua korban tendangan itu adalah orang yang paling kuhormati, mungkin saat itu juga aku bisa bersorak memuji.

"Sesudah semua lawan dirobohkan, orang Cidan itu terus lari ke samping mayat si wanita, ia menangis meraung-raung memeluk jenazah itu, tangisnya sangat memilukan, sampai aku sendiri hampir-hampir ikut meneteskan air mata. Kupikir orang Cidan yang ganas seperti binatang dan iblis ini kiranya juga mempunyai rasa kemanusiaan, betapa rasa dukanya ternyata tidak kalah rendah daripada bangsa Han kita.”

"Memangnya bangsa Cidan juga manusia, sama-sama manusia mengapa bisa lebih rendah dari bangsa Han? Bedanya mereka adalah kaum penjajah, dan kaum penjajah harus diganyang!” sela Tio-ci-sun tiba-tiba.

"Setelah menangis sebentar, kemudian orang Cidan itu mengangkat pula mayat anaknya, ia pandang sejenak, lalu taruh mayat bayi itu di pangkuan ibundanya. Lalu ia mendekati Toako Pemimpin, ia membentak-bentak dan mencaci maki. Namun sedikit pun Toako tidak menyerah, sebaliknya menjawabnya dengan mata mendelik. Celakanya karena tertutuk, maka ia tidak dapat bicara. Sekonyong-konyong orang Cidan itu menengadah sambil bersuit panjang, tiba-tiba ia gunakan jarinya untuk menulis di atas dinding batu, tatkala itu hari sudah gelap, jarakku dengan dia agak jauh pula, maka aku tidak tahu jelas apa yang ditulisnya itu.”

"Dia menulis dalam bahasa Cidan, biarpun dekat juga kau tidak paham,” ujar Tio-ci-sun.

"Benar, biarpun dapat membaca dari dekat juga tidak mengerti maksudnya,” kata Ti-kong. "Sesudah menulis, kemudian orang itu mengangkat jenazah istri dan anaknya berjalan ke tepi jurang lalu terjun bertiga. Perbuatannya ini benar-benar di luar dugaanku. Semula aku pikir orang yang berilmu silat setinggi ini tentu mempunyai kedudukan terhormat di negeri Cidan, serangan mereka pada Siau-lim-si sekali ini seumpama dia bukan pemimpinnya, paling tidak juga salah seorang tokoh terpenting.

"Setelah Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ditawan olehnya, sisanya terbunuh pula, boleh dikata dia telah memperoleh kemenangan terakhir, siapa tahu dia justru membunuh diri dengan terjun ke jurang. Padahal jurang itu penuh dilapis kabut tebal hingga dalamnya sukar dijajaki, betapa pun tinggi ilmu silatnya, sekali sudah terjun ke situ pasti hancur lebur badannya. Begitulah karena kaget, aku sampai menjerit.

"Siapa duga di dalam kejadian aneh masih ada yang lebih aneh, justru pada saat aku menjerit, tiba-tiba terdengar suara menguak tangis bayi yang berkumandang dari dalam jurang. Menyusul sepotong benda melayang naik dari dalam jurang, ‘bluk’, benda itu tepat jatuh di atas badan Ong-pangcu. Kudengar suara tangis bayi yang tiada berhenti-henti, kiranya benda yang jatuh di atas badan Ong-pangcu itu adalah si orok. Waktu itu rasa takutku sudah lenyap, cepat kulompat turun dari atas pohon dan berlari ke dekat Ong-pangcu, kulihat anak Cidan itu telentang di atas perut beliau dan masih menangis. Aku terheran-heran. Sesudah berpikir, akhirnya kutahulah duduknya perkara.

Kiranya setelah wanita Cidan itu terbunuh bayinya jatuh ke tanah dan untuk sementara berhenti pernapasannya, tapi sebenarnya belum mati. Waktu laki-laki Cidan itu merasa napas si orok sudah berhenti, ia sangka anakistrinya sudah tewas semua, maka ia terjun ke jurang bersama kedua sosok mayat. Di luar dugaan, karena mengalami guncangan, mendadak bayi itu siuman kembali terus menangis.

"Laki-laki Cidan itu sesungguhnya sangat hebat, ia tidak ingin anaknya terkubur hidup-hidup di dasar jurang, maka begitu mengetahui anaknya belum mati, cepat ia melemparkan anaknya ke atas. Ia ingat tempat dan jaraknya, dan dengan persis bayi itu dilemparkan ke atas tubuh Ong-pangcu hingga si orok tidak mengalami cedera apa-apa.

"Kulihat para kawan hampir seluruhnya binasa dengan mengenaskan, saking duka, bayi itu kupegang dan hendak kubanting mampus. Tapi baru saja kuangkat, tiba-tiba terdengar tangisnya yang lebih keras, aku

memandang sekejap mukanya, kulihat mulutnya yang kecil mungil itu terpentang lebar, air mukanya merah padam, kedua matanya yang hitam cemerlang juga sedang menatap padaku. Bila aku tidak memandanginya dan terus membanting mampus dia, mungkin segala urusan menjadi beres. Tapi demi kulihat mukanya yang menyenangkan, betapa pun aku tidak tega turun tangan kejam lagi. Diam-diam aku memaki diriku sendiri, ‘Hm, membunuh seorang orok yang berumur beberapa bulan, terhitung laki-laki gagah macam apa’?”

"Ti-kong Taysu,” tiba-tiba ada orang Kay-pang berteriak, "bangsa Han kita tak terhitung banyaknya telah menjadi korban keganasan penjajah Cidan. Dengan mata kepala sendiri juga pernah kusaksikan pasukan anjing Cidan menyunduk anak bayi bangsa kita dengan ujung tombak sebagai satai, bahkan anggap perbuatan itu sebagai suatu kesenangan. Coba katakan, kalau mereka boleh membunuh, mengapa kita tidak?”

"Walaupun benar ucapanmu, tapi manusia tetap manusia, dan setiap manusia tentu mempunyai rasa perikemanusiaan sendiri-sendiri,” ujar Ti-kong. "Aku sudah menyaksikan kematian orang begitu banyak, sungguh aku tidak tega membunuh pula seorang bayi yang tak berdosa. Biarlah, kalian boleh anggap aku keliru, boleh juga katakan aku pengecut, pendek kata aku tetap memberi kesempatan hidup kepada bayi itu.

"Kemudian aku berusaha hendak membuka hiat-to Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang tertutuk itu. Tapi sayang, pertama karena kepandaianku terlalu rendah, kedua, ilmu menendang hiat-to orang Cidan itu terlalu aneh, biarpun aku sudah berusaha macam-macam jalan tetap Toako dan Ong-pangcu tak dapat bergerak dan tak bisa bicara.

"Karena tak berdaya,” demikian Ti-kong melanjutkan, "terpaksa aku mendapatkan tiga ekor kuda dan mengangkut Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ke atas kuda, cepat-cepat kami tinggalkan tempat itu. Aku sendiri membopong bayi Cidan itu sambil menuntun kedua ekor kuda yang lain, malam itu juga kami kembali ke Gan-bun-koan untuk mencari tabib pandai, tapi tutukan Toako dan Ong-pangcu itu tetap sukar ditolong. Sampai besok malamnya, setelah genap sehari-semalam, barulah hiat-to itu terbuka sendiri.”

"Karena masih khawatir tentang rencana penyerbuan jago Cidan kepada Siau-lim-si, maka begitu hiat-to mereka terbuka, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu lantas menuju ke luar Gan-bun-koan untuk memeriksa keadaan. Tertampak mayat bergelimpangan di tempat kemarin, waktu kulongok ke dalam jurang, namun aku tidak melihat apa-apa, yang ada cuma kabut belaka. Segera kami bertiga mengubur mereka yang gugur itu. Tapi ketika kami menghitung jumlahnya, ternyata tinggal 17 sosok mayat saja. Jumlah kami semula adalah 21 orang, tinggal kami bertiga, seharusnya yang gugur itu berjumlah 18 orang, mengapa kurang satu?”

Berkata sampai di sini, sorot matanya lantas menatap ke arah Tio-ci-sun.

"Ya, sebab salah satu sosok mayat di antaranya telah hidup kembali dan tinggal pergi, sampai sekarang masih tetap gentayangan kian kemari, ialah diriku si ‘Tio-ci-sun-li-ciu-go-the-ong-tan ini’,” kata Tio-ci-sun dengan senyum pahit.

"Tapi waktu itu kami pun tidak curiga apa-apa, kami pikir boleh jadi dalam pertarungan sengit itu saudara ini telah terjerumus dalam jurang, maka tidak mengusutnya lebih jauh. Tiba-tiba Toako pimpinan berkata kepada Ong-pangcu, ‘Kiam-yan, jika orang Cidan itu mau membunuh kita sebenarnya terlalu mudah, tapi mengapa dia cuma menutuk hiat-to kita dan membiarkan kita terus hidup?’ — ‘Hal ini pun membingungkan aku. Padahal kita berdua terhitung tokoh pimpinan dan telah membunuh anak-istrinya, pantasnya dia pasti akan membunuh mati kita,’ demikian jawab Ong-pangcu.”

"Tapi kami bertiga tetap tidak mengerti, akhirnya Toako Pemimpin berkata, ‘Tulisan yang dia gores di dinding batu itu boleh jadi mengandung arti yang mendalam.’ — Celakanya kami bertiga tidak paham tulisan Cidan. Toako Pemimpin mencari sedikit air sungai untuk mencairkan darah yang sudah membeku di tanah itu, dengan air darah itu lalu dipoles di atas dinding batu lalu baju sendiri yang putih itu ia robek untuk mencetak tulisan di atas dinding.”

"Huruf-huruf Cidan yang ditulis dengan tangan di dinding itu ternyata satu senti dalamnya, melulu tenaga jari ini saja kuyakin di dunia ini pasti tiada yang mampu menandinginya. Diam-diam kami merasa ngeri membayangkan pertarungan sengit kemarin malam itu.”

"Setiba kembali di Gan-bun-koan, Ong-pangcu mendapatkan seorang saudagar peternakan yang sering membeli kuda dari negeri Cidan, ia perlihatkan huruf darah itu dan minta saudagar itu menyalinnya ke dalam bahasa Han di atas kertas.” — berkata sampai di sini, tiba-tiba ia mendongak memandang ke langit sambil menghela napas panjang, lalu sambungnya, "Sehabis membaca terjemahan dalam bahasa Han itu, kami bertiga cuma saling pandang belaka, sungguh kami tidak dapat memercayai apa yang dimaksudkan itu. Dengan rasa tidak puas kami mencari seorang lain lagi yang mahir tulisan Cidan dan secara bagian-bagian kami minta dia menerjemahkan artinya. Tapi ternyata maksudnya serupa. Ai, jika duduk perkaranya memang benar-benar begitu, maka bukan saja kematian ke-17 saudara itu sangat penasaran, bahkan orang-orang Cidan itu telah menjadi korban tanpa berdosa, dan terhadap sepasang suami-istri bangsa Cidan itu kami benar-benar merasa berdosa.”

Karena ingin lekas mengetahui apa arti tulisan di atas dinding batu itu, sebaliknya Ti-kong belum lagi menerangkan, maka yang tidak sabar lantas berteriak, "Apa yang dikatakan tulisan itu?” — "Ya, mengapa merasa berdosa kepada mereka?”

"Para saudara,” sahut Ti-kong, "bukan aku sengaja merahasiakannya dan tidak mau membeberkan arti tulisan Cidan itu. Tapi hendaklah diketahui bila apa yang dikatakan tulisan itu memang benar, maka Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan aku boleh dikata telah berbuat kesalahan yang mahabesar dan malu untuk hidup di dunia ini. Bagiku, yang cuma seorang ‘Bu-beng-siau-cut’ (prajurit tak bernama, keroco) dalam Bu-lim, kesalahan begitu boleh dikatakan tidak mengapa, tapi bagi Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang mempunyai kedudukan begitu penting, mana boleh sembarangan kukatakan? Apalagi Ong-pangcu sudah wafat, lebih-lebih aku tidak boleh menodai nama mereka berdua. Maka maafkanlah bila sementara ini aku tidak dapat menerangkan.”

Mendengar hal itu menyangkut nama baik mendiang Ong-pangcu, betapa pun orang-orang Kay-pang, tidak berani tanya lagi.

Melihat semua orang sudah diam, kemudian Ti-kong menyambung pula, "Setelah berunding dan tukar pikiran, sungguh kami bertiga sukar memercayai apa yang dikatakan dalam tulisan Cidan itu, tapi mau tak mau harus percaya. Maka kami ambil keputusan untuk memberi hidup pada bayi Cidan itu, lebih dulu kami menuju Siaulim-si untuk melihat gelagat, bila jago-jago Cidan benar menyerbu dan bila kami tak dapat melawan barulah bayi Cidan itu akan kami bunuh pula. Maka siang-malam kami menuju ke Siau-lim-si, kami lihat tidak sedikit kaum kesatria dan pahlawan dari berbagai daerah telah datang membantu, maklum urusan ini menyangkut nasib dan kehormatan berjuta rakyat bangsa kita, maka setiap orang yang mendapat berita bahaya itu semuanya ingin datang membantu.”

Sinar mata Ti-kong menyorot dari kiri ke kanan, ke arah pendengarnya, katanya pula, "Pertemuan di Siau-limsi waktu itu mungkin ada di antara hadirin yang berusia sedikit lanjut juga ikut serta. Maka tidaklah perlu kuuraikan lebih lanjut. Waktu itu semua orang cuma siap siaga dan penuh waspada untuk menantikan datangnya musuh. Tapi sejak bulan sembilan hingga akhir tahun, selama tiga bulan itu ternyata tiada kabar sedikit pun tentang gerak-gerik musuh.

"Ketika orang yang menyampaikan berita semula hendak ditanya, tapi orangnya sudah menghilang. Kami baru menduga berita itu pasti tidak benar dan semua orang telah dibodohi. Korban yang jatuh dalam pertempuran Gan-bun-koan dikatakan terlalu penasaran. Cuma tidak lama kemudian, pasukan Cidan benar-benar menyerbu wilayah Hopak, para pahlawan banyak yang ikut dalam perjuangan melawan penjajah itu, tentang jago Cidan akan menyatroni Siau-lim-si atau tidak sudah tak terpikir lagi oleh mereka, pendek kata orang Cidan adalah musuh kita bersama.

"Tapi Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan aku bertiga karena merasa berdosa dalam peristiwa Gan-bun-koan itu, maka kecuali memberitahukan pengalaman itu kepada pihak Siau-lim-si, kami menyampaikan berita duka itu pula kepada keluarga saudara-saudara yang gugur, lebih dari itu kami tidak beri tahukan kepada siapa-siapa pula. Sedangkan anak Cidan itu pun kami titipkan pada suatu keluarga petani di kaki gunung Siau-sit-san (di sini letak Siau-lim-si). Semula kami dihadapkan pada kesulitan cara bagaimana mengatur diri bocah itu.

"Kami sudah berdosa kepada ayah-bundanya dengan sendirinya tidak dapat membunuhnya pula. Tapi bicara tentang membesarkan anak itu, padahal bangsa Cidan adalah musuh nasional kita, betapa pun kami bertiga merasa ragu apa takkan terjadi ‘piara harimau mendatangkan bencana’? Syukur kemudian Toako Pemimpin mengeluarkan seratus tahil perak kepada petani itu dan minta dia suka merawat anak itu disertai syarat suamiistri petani itu harus mengakui bocah Cidan itu sebagai anak sendiri, bila anak sudah besar, sekali-kali jangan diberi tahu tentang asal-usulnya.

"Memangnya petani itu tidak punya anak, ia terima dengan kegirangan. Betapa tidak girang, sudah diberi anak, dapat uang pula. Sudah tentu dia tidak tahu anak itu adalah bangsa Cidan, sebab sebelumnya kami sudah mengganti baju anak itu dengan pakaian bangsa Han. Maklum, setiap bangsa kita terlalu benci pada bangsa

Cidan, bila tahu anak itu keturunan Cidan, tentu dibunuhnya ....”

Mendengar sampai di sini, dalam hati Kiau Hong sudah dapat menerka siapa anak yang dimaksudkan Ti-kong itu, dengan suara gemetar ia tanya, "Ti-kong Taysu, siapakah nama petani ... petani di kaki gunung Siau-sit-san itu?”

"Jika engkau sudah menerkanya, maka aku pun tidak perlu menutupi lagi,” sahut Ti-kong. "Petani itu she Kiau dan bernama Sam-hoay.”

"Tidak! Ti ... tidak!” seru Kiau Hong dengan suara terputus-putus. "Engkau sengaja mengarang cerita yang tidak benar untuk memfitnah diriku. Terang gamblang aku bangsa Han, mana mungkin aku orang Cidan? Kau be ... berani ngaco-belo? .... Kiau Sam-hoay itu adalah ayahku yang sebenarnya, kau ... kau berani sembarangan mengoceh?”

Habis berkata, mendadak ia melompat maju, sekali pegang, dada Ti-kong kena dijambretnya.

"Jangan!” teriak Ci-tianglo dan Tan Cing berbareng sambil melompat maju hendak menolong Ti-kong.

Tapi Kiau Hong teramat cepat, sekali mengegos, tahu-tahu ia sudah menggeser ke samping sambil menyeret tubuh Ti-kong.

Tan Tiong-san, Tan Siok-san dan Tan Ki-san, ketiga putra Tan Cing, serentak menubruk ke belakang Kiau Hong. Dalam keadaan gusar dan dongkol, Kiau Hong mengamuk, sekali pegang, Tan Siok-san kena dilempar pergi, menyusul Tan Tiong-san didepak pula hingga terguling, ketiga kalinya Tan Ki-san kena dibanting ke tanah, menyusul kakinya menginjak di atas kepala jago Thay-san itu.

Kelima jago Thay-san itu sangat disegani di sekitar Soatang, sudah lama nama kelima saudara keluarga Tan itu tersohor dan bukan lagi bocah yang masih hijau. Tapi sambil menjambret dada Ti-kong, hanya beberapa kali gerakan saja mereka dirobohkan Kiau Hong tanpa bisa melawan sedikit pun, keruan semua orang sampai terkesima.

Sudah tentu Tan Cing, Tan Pek-san dan Tan Siak-san bermaksud menolong anak dan saudara mereka, tapi demi tampak kepala Tan Ki-san terinjak kaki Kiau Hong, asal sedikit Kiau Hong gunakan tenaga, seketika kepala Tan Ki-san bisa pecah. Karena itulah mereka menjadi takut dan tidak berani sembarangan bertindak.

"Kiau-pangcu, ada persoalan apa, harap bicara secara baik-baik, janganlah pakai kekerasan, keluarga Tan kami juga tiada permusuhan apa-apa denganmu, lepaskanlah putraku,” demikian seru Tan Cing dengan nada memohon.

Ci-tianglo juga berkata, "Kiau-pangcu, Ti-kong Taysu adalah tokoh yang sangat dihormati setiap orang Kangouw, jangan kau bikin susah padanya.”

"Benar, aku Kiau Hong memang tiada permusuhan apa-apa dengan keluarga Tan kalian, selamanya aku pun sangat mengindahkan kepribadian Ti-kong Taysu, jika kalian hendak memecat aku sebagai pangcu, aku rela mengundurkan diri, tapi mengapa kalian mengarang dongeng palsu seperti itu untuk menista diriku. Sebenarnya perbuatan jahat apakah yang pernah kulakukan hingga kalian tega memperlakukan diriku sekeji ini?”

Mendengar suara Kiau Hong itu agak serak, mau tak mau timbul rasa terharu semua orang. Tapi demi terdengar tulang tubuh Ti-kong Taysu bekertakan, semua orang pun sadar jiwa padri itu sudah di tepi jurang, mati atau hidupnya hanya bergantung di tangan Kiau Hong.

Suasana waktu itu menjadi sunyi senyap. Tiada seorang pun berani buka suara. Sampai agak lama tiba-tiba Tio-ci-sun tertawa dingin beberapa kali, katanya, "Hehe, benar-benar menggelikan! Bangsa Han toh tidak lebih terhormat dari bangsa lain, bangsa Cidan juga belum tentu lebih rendah daripada binatang! Sudah terang orang Cidan, tapi berkeras mengaku sebagai bangsa Han, memangnya apa sih yang menarik? Sampai ayah-bunda sendiri juga tidak sudi diakui, masakah masih dapat disebut seorang laki-laki sejati, seorang kesatria?”

"Jadi engkau juga mengatakan aku orang Cidan?” tanya Kiau Hong dengan melotot.

"Aku tidak tahu,” sahut Tio-ci-sun. "Cuma dalam pertempuran di Gan-bun-koan itu, dengan jelas kulihat jago Cidan itu baik air mukanya maupun perawakannya memang sangat mirip engkau. Pertempuran itu boleh dikatakan telah membuat nyaliku pecah, maka air muka orang itu biarpun lewat seabad lagi juga tetap kuingat.”

Perlahan Kiau Hong melepaskan Ti-kong, ia tarik kembali kakinya pula dan sekali mencukit, tubuh Tan Ki-san didepaknya pergi dengan enteng. Dan begitu jatuh ke tanah, cepat Tan Ki-san meloncat bangun tanpa terluka sedikit pun.

Waktu Kiau Hong pandang Ti-kong, ia lihat padri itu bersikap tenang saja, sedikit pun tiada tanda palsu dan licik. Maka tanyanya, "Kemudian bagaimana?”

"Kemudian engkau sendiri pun sudah tahu,” sahut Ti-kong. "Ketika engkau berusia tujuh tahun, waktu memetik buah-buahan di pegunungan Siau-sit-san, engkau diserang serigala, untung engkau ditolong padri Siau-lim-si. Selanjutnya tiap-tiap hari padri itu datang padamu dan memberi pelajaran ilmu silat, benar tidak?”

"Ya, kiranya kau pun tahu urusan ini,” sahut Kiau Hong.

Maklum, pada waktu padri Siau-lim-si itu mengajarkan ilmu silat padanya, lebih dulu ia telah berjanji takkan memberitahukan kepada orang lain. Maka orang Kangouw cuma tahu dia adalah ahli waris Ong-pangcu dari Kay-pang dan tiada yang tahu bahwa dia ada hubungan dengan Siau-lim-si.

Maka Ti-kong melanjutkan lagi, "Tindakan padri Siau-lim-si itu sebenarnya juga atas permintaan Toako Pemimpin kita untuk memberi ajaran padamu agar engkau tidak sampai sesat jalan. Bahkan berhubung dengan itu, aku, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu pernah saling berdebat. Aku berpendapat engkau lebih baik bertani saja dan tidak belajar silat hingga terlibat pula dalam suka-duka orang Kangouw. Tapi Toako Pemimpin justru mengatakan kami telah berdosa kepada ayah-bundamu, maka ingin mendidik dirimu hingga menjadi seorang kesatria sejati.”

"Sebenarnya do ... dosa apa kalian itu?” kata Kiau Hong. "Toh dalam pertempuran antara dua pihak, kalau tidak membunuh tentu akan dibunuh?”

"Tentang itu kelak boleh kau baca sendiri ukiran tulisan di dinding batu di luar Gan-bun-koan itu,” sahut Tikong. "Akhirnya, waktu engkau berusia 14 tahun, engkau lantas diterima menjadi murid Ong-pangcu. Dan bagaimana kejadian selanjutnya, meski semuanya memang berkat rezekimu sendiri yang besar serta bakatmu yang baik hingga banyak mendapat kemajuan yang luar biasa, namun kalau tiada perhatian Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang setiap saat mengawasi dirimu, mungkin tidaklah mudah bagimu untuk mencapai tingkatan seperti sekarang ini.”

Diam-diam Kiau Hong merenungkan masa silam, banyak sudah bahaya yang pernah dialaminya, tapi segala kesulitan itu selalu dapat dipecahkannya dengan mudah tanpa mengalami kerugian yang berarti. Bahkan banyak kesempatan baik selalu datang sendiri seakan-akan sengaja diantarkan kepadanya tanpa diminta.

Dahulu ia sangka hal itu adalah berkat rezeki sendiri yang teramat besar, maka selalu beruntung. Tapi kini demi mendengar cerita Ti-kong itu, ia menjadi ragu apakah mungkin ada seorang pahlawan besar yang diam-diam telah membantunya di luar tahunya? Ia merasa bingung oleh cerita Ti-kong itu. Bila benar seperti apa yang dikatakan maka dirinya adalah bangsa Cidan dan bukan orang Han, begitu pula Ong-pangcu juga bukan lagi gurunya yang berbudi, sebaliknya adalah musuh yang membunuh ayah-bundanya.

Juga pahlawan yang diam-diam membantunya itu bukan lagi sengaja hendak membantunya, tapi karena orang merasa berdosa, maka berusaha menebus kesalahannya itu. "Tidak, tidak! Bangsa Cidan terkenal sangat buas

dan kejam serta menjadi musuh bebuyutan bangsa Han kita, mana boleh aku menjadi bangsa Cidan?” demikian pikirnya.

Sementara itu Ti-kong telah menyambung, "Semula Ong-pangcu masih waswas padamu, tapi kemudian demi melihat pelajaran silatmu maju sangat pesat, tingkah lakumu juga sangat mencocoki hatinya, terhadap dia kau pun sangat menghormat dan mengindahkan, maka lambat laun ia pun sayang padamu, lebih jauh sesudah engkau banyak berjasa, namamu tambah disegani baik di dalam maupun di luar Kay-pang, maka setiap orang tahu bahwa jabatan ketua Kay-pang selanjutnya pasti akan diserahkan padamu.

"Namun Ong-pangcu sendiri masih ragu, yaitu disebabkan engkau adalah keturunan Cidan. Beliau telah menguji tiga soal padamu dan semuanya dapat kau laksanakan dengan baik, habis itu dia mengharuskan pula padamu melakukan tujuh tugas besar yang lain, kemudian barulah dia menurunkan Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing) padamu.

"Pada tahun diadakan Thay-san-tay-hwe, engkau seorang diri telah mengalahkan delapan musuh Kay-pang yang paling tangguh hingga nama Kay-pang menjagoi dunia persilatan, maka tanpa ragu lagi akhirnya beliau mengangkat dirimu sebagai pengganti pangcu. Dan setahuku, selama beratus tahun ini, tiada seorang pangcu yang mendapatkan jabatannya dengan perjuangan sulit seperti engkau ini.”

"Aku hanya mengira Insu (guru berbudi) Ong-pangcu sengaja menggembleng diriku, setelah menghadapi berbagai kesulitan tentu aku akan lebih masak dalam menghadapi tugasku kelak, tapi ternyata ....” sampai di sini, sudah delapan bagian Kiau Hong percaya apa yang dikatakan Ti-kong tadi.

"Dan hanya sekian saja yang kutahu,” kata Ti-kong. "Setelah engkau menjabat pangcu, dari kabar yang kuperoleh di Kangouw, semua orang mengatakan engkau banyak melakukan amal kebaikan bagi rakyat dan negara, Kay-pang juga bertambah maju di bawah pimpinanmu, sudah tentu diam-diam aku bergirang bagimu.

"Apalagi kudengar beberapa kali engkau telah menggagalkan muslihat musuh dan membunuh beberapa jago Cidan, maka kekhawatiran kami semula tentang ‘memiara harimau mendatangkan bencana’ itu menjadi tiada beralasan lagi. Sebenarnya urusan dirimu ini tidak perlu diungkat lagi, tapi entah siapa yang telah menyiarkannya, hal ini rasanya takkan mendatangkan manfaat baik bagi Kiau-pangcu sendiri maupun bagi Kay-pang.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar