Sesudah merandek sejenak, lalu
Siau Wan-san menyambung pula, "Seperti istriku telah dibunuh oleh Hian-Cu,
Ong Kiam-thong dan lain-lain, hal ini juga bukan maksud mereka yang sebenarnya.
Andaikan sengaja juga tidak perlu diherankan karena antara kedua bangsa memang
sedang bermusuhan. Tetepi kamu sengaja memfitnah dan mengadu domba, kejahatanmu
ini tak dapat diampuni.”
"O, jadi kalau menurut
pendapat Siau heng, pertentangan di antara kedua Negara, baik dalam keadaan
perang dan saling membunuh, yang diutamakan adalah mengalahkan musuh dan
mencapai kemenangan, apakah tidak perlu menjaga kehormatan dan menjunjung
keluhuran budi?" tanya Buyung Bok.
"Di medan perang boleh
digunakan segala akal dan siasat untuk mengalahkan musuh, hal ini adalah jamak,
buat apa kau bicara tentang urusan yang tiada sangkut-pautnya dengan perkara
kita sekarang?”
Buyung Bok tersenyum,
tiba-tiba ia Tanya pula, "Siau-heng, kau sangka aku Buyung Bok ini orang
dari mana?"
"Koh-soh Buyung, siapa
yang tidak kenal? adalah bangsa Han di daerah Kanglam, masakah perlu engkau
menguji aku?" sahut Siau Wan-san.
"Hahaha justru salahlah
sangkaan Siau-heng ini!” kata Buyung Bok sambil tertawa dan menggoyang kepala.
Tiba-tiba ia berpaling kepada Buyung Hok dan berkata, "Nak, kita ini
bangsa apa?"
"Keluarga Buyung kita
adalah bangsa Sianbi, kerajaan Yan kita dahulu pernah mengguncangkan daerah
sekitar Hopak dan mendirikan negeri yang jaya, cuma sayang musuh terlalu licin
dan ganas sehingga kerajaan kita tertumbangkan,” demikian sahut Buyung Hok.
"Ayah sengaja memberikan
nama 'Hok' (membangun kembäli) padamu, apakah artinya itu?" tanya Buyung
Bok pula.
"Mungkin ayah ingin anak
senantiasa ingat kepada pasan leluhur kita agar jangan lupa berusaha membangun
kembali kerajaau Yan kita." sahut Buyung Hok.
"Coba keluarkan cap
mustika kerajaan kita dan perlihatkan kepada Siau-siansing berdua," kata
Buyung Bok.
Buyung Hok mengiakan dan
mengeluarkan sebuah cap ukiran dari batu kemala hitam persegi. Di atas cap
kemala itu terukir seekor macan tutul yang sangat indah. Ketika Buyung Hok
mengangkat capnya, maka tertampaklah huruf-huruf yang terukir pada cap itu.
Dengan pandangan yang tajam
segera Siau Wan-san, Siau Hong dan Cumoti dapat melihat bahwa pada setempel itu
terukir tulisan "Pusaka Raja Yan" Mungkin sudah terlalu tua setempel
itu sehingga bagian ujung kelihatan gumpal sedikit. Tapi terang bukan barang
buatan baru walaupun susah dibedakan tulen atau palsunya.
Lalu Buyung Bok berkata pula,
"Coba keluarkan sekalian daftar silsilah kerajaan Yan kita agar dibaca
Siausiansing." Kembali Buyung Hok mengiakan. Ia simpan dulu setempelnya,
lalu mengeluarkan sebuah bungkusan sehelai kain minyak, dari dalam bungkusan la
keluarkan sehelai kain sutra kuning yang tertampak tertulis dua macam huruf.
Yang sebelah kanan hurufnya tak dikenal mungkin tulisan Sianbi, Tapi huruf
sebelah kiri adalah tulisan Han yang jelas tertera nama-nama raja kerajaan Yan
dimulai sejak cikal-bakal mereka dan pada baris yang terakhir terbaca nama
"Buyung Hok," di atas nama Buyung Hok tertampak pula tertulis nama
"Buyung Bok.”
"O, jadi Buyung-siansing
sebenarnya adalah pangeran kerajaan Yan, maafkan bila aku bersikap kurang
hormat," kata Cumoti.
"Ah, aku sendiri dapat
selamat sampai sekarang sudah terhitung untung," ujar Buyung Bok dengan
menghela napas. "Siau heng, sesuai dengan pesan leluhur maka jika keluarga
Buyung dari Sianbi kami ingin membangun kembali kerajaan Yan, menurut
pendapatmu usaha kami ini pantas atau tidak?"
"Yang menang menjadi
raja, yang kalah menjadi penyamun, setiap ksatria ada hak buat berebut
kemenangan, kenapa mesti tanya tentang pantas dan tidak!" sahut Wan-san.
"Bagus! Ucapan Siau-heng
ini sangat cocok dengan pikiranku," ujar Buyung Bok. "Jadi kalau
keluarga Buyung kami ingin membangun kembali kerajaan Yan, untuk itu dengan
sendirinya diperlukan kesempatan yang baik. Mengingat kekuatan kami terlalu
lemah dan orang kami terlalu sedikit untuk membangun kembali suatu negara sudah
tentu amat sukar. Dan kesempatan satu-satunya yang terbuka adalah bilamana
dunia ini kacau-balau bila di seluruh pelosok terjadi peperangan.
"Hm, jadi kau sengaja
membuat berita palsu untuk mengadu domba, maksud tujuanmu supaya Song dan Liau
berperang dan kaupun akan dapat mengaduk di air keruh?" jengek Siau
Wan-san.
"Benar," jawab
Buyung Bok, "kalau terjadi peperangan antara Song dan Liau, maka kerajaan
Yan akan mendapat kesempatan untuk bergerak."
"Ya. jika terjadi seperti
apa yang digambarkan Buyung-slansing, maka bukan saja kerajaan Yan ada harapan
dibangun kembali, bahkan kerajaan Turfan kami juga dapat membagì sedikit
rejeki," ujar Cumoti.
Namun Siau Wan-san lantas
mendengus dan melirik kedua orang itu dengan menghina.
Tapi Buyung Bok berkata pula,
"Putramu menjabat Lam-ih Tai-ong di negeri Lian, dia memegang kekuasaan
militer yang besar dan berkedudukan di Lamkhia. Jika dià mengerahkan pasukannya
ke selatan dan menduduki daerah utara lembah Hongho, maka maju setindak lagí
dia dapat mengangkat diri sendiri sebagai raja, kalau tidak ia pun akan tetap
disegani oleh raja Liau. Tatkala mana dia akan sekaligus dapat menumpas kaum
ksatria Tionggoan seperti menginjak semut mudahnya, dengan demikian dapatlah
dia melampiaskan dendamnya waktu dipecat dan diusir oleh orang Kai-pang."
"Huh, maksudmu kau ingin
anakku berjuang bagimu agar kau sempat menggagap ikan di air keruh dan mambantu
ambisimu yang besar untuk membangun kembali kerajaan Yan." jengek Siau
Wan-san.
"Betul," kata Buyung
Bok. "Dan bila sudah begitu, maka pasukan kami akan dapat bergerak dan
membantu pihak Lian, malahan Turfan, Se he dan Taìli juga dapat bergerak
sekaligus, berlìma negara dapat membagi-bagi kerajaan Song sebaliknya takkan
merugikan kerajaan Liau, bahkan menguntungkan, masa Siau-heng tidak mau?"
Bicara sampai di sini,
mendadak Buyung Bok mengeluarkan Sebilah belati yang mengkilat terus
ditancapkan di atas meja sebelahnya, lalu berkata pula, "Nah. asal
Siau-heng mau menerima usulku ini, maka boleh silakan segera mencabut nyawaku
untuk membalaskan sakit hati nyonya, untuk itu sama sekali aku takkan
melawan."
Dan "bret",
berbareng ia robek baju sendiri sehingga kelihatan dadanya.
Uraian Buyung Bok itu sungguh
di luar dugaan Siau Wan-san dan Siau Kong. Mereka sama sekali tidak menduga
bahwa dalam keadaan yang menguntungkan bagi pihaknya itu Buyung Bok terima
dibunuh tanpa, melawan. Maka untuk sesaat Siau Wan-san berdua menjadi bingung
dan tak dapat menjawab.
Tiba-tiba Cumoti berkata,
"Buyung-siansing, kata pribahasa, kalau bukan bangsa sendiri tentu
pikirannya tidak sama. Apalagi urusan kenegaraan seharusnya tidak segan-segan
main muslihat dan buat licin. Jika Buyungsiansing nanti meninggal dengan
sukarela, sebaliknya ayah dan anak she
Siau itu tidak menepati janji
bukankah kematianmu menjadi sia-sia belaka?"
"Siau-heng sudah
mengasingkan diri selama berpuluh tahun dan baru sekarang muncul di dunia ramai
tapi putranya, Siau-taihiap adalah seorang ksatria termashur, namanya terkenal
di seluruh jagat, kata-katanya seperti emas, mana bisa mereka ingkar janji?"
ujar Buyung Bok. "Sedangkan untuk seorang nona cilik yang bukan sanak dan
bukan kadang saja dia sudi berkorban dan menghadapi bahaya, masakah sekarang
dia mau ingkar janji sesudah membunuh aku? Sudah lama kuperhitungkan kejadian
ini usiaku sudah lanjut dengan jiwaku yang sudah lapuk ini untuk menukar tahta,
kesempatan baik ini tidak boleh kusia-siakan!"
Melihat kesungguhan Buyung Bok
itu, untuk sejenak Siau Wan-san menjadi ragu. Ia tanya Siau Hong, "Anakku,
tampaknya orang ini bersungguh-sungguh. Bagaimana dengan pendapatmu?"
"Tidak boleh jadi!"
sahut Siau Hong sambil mendadak memukul ke arah meja. "Brak", meja
itu pecah berantakan dan belati yang menancap di atasnya menembus papan loteng
dan jatuh ke tingkat bawah Congkeng-kok itu. Lalu katanya dengan kereng,
"Sakit hati terbunuhnya ibu mana boleh dijual-belikan? Kalau dapat dibalas
harus dibalas, kalau tidak dapat balas biarlah jiwa kita ayah dan anak tamat di
sini pula. Perbuatan yang kotor dan rendah masakah sudi dilakukan oleh kami
ayah dan anak keluarga Siau?"
Sekonyong-konyong Buyung Bok
terbahak-bahak sambil menengadah, katanya, "Sudah lama kudengar kepandaian
Siau-taihiap tiada bandingannya dan mempunyai pengetahuan yang luas, siapa tahu
hanya seorang yang sok gagah belaka dan tidak kenal akan kebaikan, Hehe,
sungguh menggelikan, hehe, sungguh mentertawakan!"
Siau Hong tahu orang sedang
menyindirnya, namun tetap jawabnya dengan dingin, "Baik Siau Hong seorang
ksatria atau seorang bodoh, pendek kata tidak sudi diperalat untuk memenuhi
cita-citamu."
"Kauterima gaji rajamu
dan harus setia pada kerajaanmu, tapi kamu cuma ingat pada sakit hati orang tua
dan tidak pikirkan kesetiaan kepada negara, apakah kalian sudah memenuhi
kewajibanmu sebagai pengabdi kerajaan Liau?” tanya Buyung Bok.
Sambil melangkah maju setindak
Siau Hong menjawab dengan bersitegang, "Apakah kau pernah menyaksikan
saling membunuh secara kejam di daerah perbatasan antara rakyat Song dan Liau?
Apa pernah kau lihat keluarga rakyat kedua negeri tercerai-berai oleh karena
peperangan? Syukurlah di antara kedua negara telah berhenti perang selama
beberapa puluh tahun, bila sekarang mulai perang lagi, sekali pasukan berkuda
Cidan memasuki wilayah Song, apakah kau dapat membayangkan betapa banyak orang
Song akan menjadi korban mencara mengerikan?"
Berkata sampai di sini ia
lantas ingat kejadian bunuh membunuh secara kejam antara prajurit Song dan Liau
tatkala mereka mengadakan "panen", maka dengan suara makin lantang
Siau Hong menyambung pula, "Padahal prajurit Song berjumlah banyak dengan
kekayaan alam yang cukup pula asal mereka mendapat pimpinan panglima yang
pandai dan melabrak kita sekuatnya tidak mungkin kita dapat menang biarpun kita
bergabung menjadi satu. Dan banjir darah demikian itu hasilnya akan memberi
kesempatan kepada keluarga Buyung kalian untuk membangun kembali kerajaan Yan,
sungguh enak betul perhitunganmu ini?"
"Siancai! Siancai!"
demikian tiba tiba terdengar suara seorang tua menyela di luar jendela.
"Siau-kiau memiliki hati bijak dan pikiran bijaksana sungguh seorang
ksatria sejati."
Keruan kelima orang yang
berada dalam kong-keng-kok itu terkejut. Mereka tergolong tokoh-tokoh kelas
wahid tapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela ada orang
mengintip pembicaraan mereka.
Maka Buyung Hok segera
membentak, "Siapa itu?"
Bareng ia terus menghantam
sehingga kedua sayap daun jendela terpental dan jauh di bawah talang. Maka
tertampaklah di serambi sana seorang padri kurus kering berjubah warna kelabu,
sedang menyapu dengan membungkuk. Usia padri itu sudah lanjut, rambutnya jarang
dan putih seluruhnya, gerak-geriknya lugas lamban seperti tak bertenaga dan
tampaknya tidak mahir ilmu silat.
"Sudah berapa lama kau
sembunyi di sini?” kembali Buyung Hok menegur.
Pelahan padri tua itu
mengangkat kepalanya dia menjawab, "Apakah Sicu tanya padaku sudah ....
sudah betapa lama sembunyi di sini!"
Dari suaranya semua orang
yakin padri inilah yang bersuara memuji ucapan Siau Hong tadi. Tertampak kedua
matanya menyipit dengan sinar mata yang buram tanpa semangat.
"Ya, sudah berapa lama
kau sembunyi di sini?" demikian Buyung Hok mengulangi pertanyaannya.
Maka padri tua itu
menekuk-nekuk jarinya, sesudah menghitung sekian lamanya, akhirnya dia geleng
kepala sambil berkata dengan mengunjuk rasa menyasal, "Wah, aku .. aku
sudah lupa, entah sudah 42 tahun atau 43 tahun. Aku masih ingat ketika malam
pertama Siau-lokian ini datang membaca kitab ke sini, tatkala itu aku ... aku
sudah belasan tahun berada di sini. Kemudian .... kemudian Buyung lokian juga
datang dan tahun yang lalu itu padri Thian-tiok yang bernama Polo Singh juga
datang kemari buat mencuri kitab, Ah, yang satu pergi dan yang lain datang lagi
sehingga kitab seluruh gedung ini entah diobrak-abrik tak karuan entah apa yang
dikehendaki kalian ini."
Kaget Siau Wan san tak
terperikan. Padahal ia yakin tiada seorang pun tahu ketika dia menyeludup ke
dalam Siau-lim-si untuk memperdalam ilmu silat mengapa padri tua ini dapat
mengetahuinya? Barangkali di bawah tadi padri ini telah mendengar pembicaraanku
dan sekarang sengaja ngaco belo saja. Maka ia lantas berkata, "Tapi
mengapa selama ini aku tidak pernah melihat dirimu?"
"Dengan penuh perhatian
Siau kisu sedang mempelajari ilmu sakti Siau lim pai dengan sendirinya engkau
tidak memperhatikan diriku." Sahut padri tua itu, "Malahan aku masih
ingat pada malam pertama itu kitab yang dipinjam baca oleh Siau-kisu kalau
tidak salah adalah 'Bu-siang-hiat-ci-boh'. Dan ai, sejak malam itu Siau-kisu
lantas tersesat ke jalan yang salah. Sayang, Sungguh sayangl"
Sungguh kaget Siau Wan-san
tidak kepalang, sebab apa yang dikatakan padri tua itu memang benar, kitab
pertama yang dibacanya dari gedung perpustakaan pada malam pertama itu memang
betul adalah 'Bu-siang hiat-ci-boh’. Padahal waktu itu tiada orang lain yang
tahu, masakah waktu itu padri tua ini juga berada di sini dan menyaksikan
sendiri? Begitulah untuk sekian lama Siau Wan-san sampai ternganga dan tidak
sanggup bicara.
Lalu padri tua itu berkata
pula, "Waktu Siau-kisu datang lagi dan kitab yang dipinjam adalah
'Pau-yak-ciang hoat'. Padahal sebelumnya sengaja kutaruh sejilid kitab
'Hoat-hoa keng' (nama kitab Budha) di tempat yang suka digerayangi olehmu
dengan harapan isinya dapat dibaca dan dipahami olehmu, tak terduga Siau-kisu
sudah tenggelam dalam ilmu silat sehingga sama sekali mengesampingkan
ajaran-ajaran Budha yang murni dan yang diutamakan adalah kitab ajaran ilmu
silat, sesudah mengambil lagi 'Hok-mo siang-hoat' engkau lantas pergi dengan
gembira. Ai, orang yang sudah tersesat entah kapan baru akan sadar kembali?"
Kerana setiap tingkah-lakunya
di Cong-keng-kok ini pada 30 tahun yang lalu telah diuraikan padri tua itu
dengan tidak salah sedikit pun, dari kaget pelahan Siau Wan-san menjadi takut
dan dari takut menjadi ngeri sehingga keluar keringat dingin.
Kemudian padri tua itu
berpaling ke arah Buyung Bok. Melihat sinar mata padri yang buram tapi
seakan-akan gaib dan dapat menembus isi hatinya, setiap rahasia seakan-akan
telah diketahuinya dengan jelas mau-tak-mau Buyung Bok merasa merinding juga.
Maka terdengar padri tua itu
berkata lagi dengan menghela napas, "Buyung kisu meski orang Sianbi, tapi
turun temurun sudah menetap di Kang lam, semula kukira Buyung-kisu tentu akan
mempelajari kitab Budha yang berada di sini, tak tersangka baru menemukan
sejilid Ciam-hoa-ci-hoat dan Buyung-kisu lantas girang sekali seperti mendapat
mustika."
Sungguh kejut Buyung Bok tak
terkatakan sebab kitab pertama yang dibacanya dalam gedung ini pada pertama
kali ia datang memang betul adalah 'Ciam hoa-ci' seperti dikatakan padri tua itu.
Padahal waktu itu ia telah
periksa gedung itu dia tidak
menemukan orang kedua mengapa padri tua ini dapat mengetahuinya? Ia dengar
padri tua berkata pula, "Malahan hati Buyung-kisu jauh lebih serakah
daripada Siau kisu. Kalau Siau kisu cuma mempelajari cara-cara mengatasi ilmu
silat Siau-lim pai sebaliknya Buyung kisu menguras seluruh ke 72 macam ilmu
silat biara kami dan tiga tahun kemudian barulah kau datang lagi ke sìnì. Tentu
selama tiga tahun itu engkau berusaha sebisanya untuk mamahami ke 72 macam
kepandaian itu boleh jadi sudah kau ajarkan pula kepada putramu."
Sampai di sini sinar matanya
lantas beralih ke arah Buyung Hok, tapi cuma sekejap saja lantas menggeleng
kepala. Ketika la memandang Cumoti, tiba-tiba ia mengangguk dan berkata,
"O. tahulah aku! Rupanya usia putramu masih terlalu muda sehingga tidak
dapat mempelajari kungfu Siau-lim pai yang hebat itu, maka telah kau ajarkan
kepada seorang padri agung negeri lain. Tai-lun Beng-ong, engkau salah sama
sekali, engkau telah mencampur aduk dan memutarbalikan kungfu itu, maka
sekarang bencana sudah berada di depan mata."
Cumoti tidak pernah kenal
padri tua itu, dengan sendirinya la tidak gentar padanya. Maka dengan sikap
dingin ia menjawab. "Kau bilang campur aduk putar balik serta bencana apa segala?
Ucapan Taisu ini apakah tidak terlalu dlbesar-besarkan untuk menakut-nakuti?”
"Tidak, bukan sengaja
dibesar-besarkan dan untuk menakuti, tapi sesungguhnya," sahut si padri
tua. "Bengong. harap kau kembalikan saja kitab Ih-kin-keng itu
padaku."
Baru sekarang Cumoti
terperanjat, la heran dari mana padri tua ini mengetahui dia telah merebut
'Ih-kin-keng' dari orang berkepala besi (Goan-ci) itu? Masakah begitu gampang
aku disuruh menyerahkan padamu? Maka ia sengaja menjawab, "Aku tidak paham
'Ih-kin-keng' apa yang Taisu maksudkan? Entah kitab apakah itu?”
Maka padri tua itu berkata
pula. "Tujuan murid Budha belajar ilmu silat adalah untuk kesehatan badan,
untuk membela agama dan membasmi kejahatan, dalam mempelajari setiap macam ilmu
silat harus selalu berdasar pada pikiran kebajikan dan welas asih. Kalau dasar
pengetahuan agama Budha belum kuat, maka pada waktu belajar silat tentu akan
merusak dirinya sendiri. Semakin tinggi ilmu silatnya semakin berat luka
badannya. Kalau yang dipelajari hanya ilmu pukulan dan tendangan atau permainan
senjata kasaran saja memang tidak besar merugikan diri sendiri asal badan sehat
dan kuat masih dapat bertahan, tetapi .... "
Sampai di sini, tiba-tiba dari
bawah loteng melompat naik beberapa hwesio. Mereka adalah Hian-seng dan
Hian-peng dari Siau-lim-pai, di belakangnya adalah Sin kong Sian-jin. To-Jing
Taisu. Polo Singh dan Cilo Singh dan paling akhir adalah Hian cin dan
Hian-ceng.
Mereka terheran-heran ketika
melihat Siau Wan-san dan anaknya. Buyung Bok dan anaknya serta Cumoti sedang
mendengarkan pembicaraan seorang hwesio tua yang tak dikenal. Tapi mereka
adalah padri saleh dan berpengelaman mereka tidak lantas mengganggu melainkan
berdiri di samping untuk ikut mendengarkan apa yang dibicarakan.
Padri tua itu pun tidak
menghiraukan para pendatang baru itu, la masih meneruskan uraiannya,
"Tetapi kalau yang dipelajari adalah ilmu silat Siau-lim-pai kami yang
tertinggi sebangsa Ciam-hoa-ci-hoat. Pan-yah-cianghoat dan lain-lain jika
ajaran itu tidak dibarengi dengan pengetahuan ajaran Budha yang welas-asih,
maka akhirnya sifat keras dan angkuh akan merasuk semakin mendalam dan jauh
lebih celaka daripada terserang oleh segala macam senjata atau racun ..."
Semua orang merasa ucapan
padri tua itu, mengandung falsafah yang dalam sehingga mereka sangat tertarik.
Maka padri itu melanjutkan,
"Sudah ribuan tahun sejarah Siau-lim-si kami dan dari dahulu kala hingga
sekarang hanya Tat-mo Cosu seorang saja yang serba pandai dalam macam-macam
ilmu selain beliau tidakpernah ada lagi. Kitab ke-72 macam ilmu silat itu
selalu berada dalam gedung ini dan selamanya terbuka untuk dibaca anak murid
Siau-lim-pai. Apakah Beng-ong tahu apa sebabnya?"
"Itu adalah urusan dalam
biara kalian sendiri dari mana orang luar bisa tahu?" sahut Cumoti.
Cian-seng, Hian-ceng dan
lain-lain menjadi heran pula. Kalau melihat dandanan padri tua ini jelas dia
adalah padri pekerja Siau-lim-si tapi mengapa mempunyai pengetahuan agama
sedalam itu.
Hendaknya diketahui bahwa
padri pekerja di Siau-lim si itu tidak diharuskan mengangkat guru? maka juga
tidak mendapat didikan ilmu silat. Tugasnya adalah mengerjakan segala pekerjaan
kasar seperti menyapu, mencuci dan sebagainya. Mereka tidak termasuk dalam
murid-murid angkatan Hian
Hui, Hi dan Khong maka dengan
sendirinya Hian-seng dan padri agung lain tidak kenal padri tua ini.
Dalam pada itu si padri tua
telah melanjutkan uraiannya, "Ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si kami
semuanya dapat melukai dan membunuh orang, lihai dan ganas, sebab itulah
tiap-tiap macam ilmu silat itu harus disertai dengan ajaran agama Budha adalah
menolong sesamanya, sebaliknya ilmu silat justru digunakan untuk membunuh
sesamanya, keduanya saling bertentangan. Maka harus diusahakan semakin tinggi
agamanya, semakin besar pikiran welas-asihnya, dengan demikian barulah ilmu
silat dapat diyakinkan dengan semakin tinggi, namun para padri saleh yang sudah
mencapai tingkatan demikian tentu juga tidak sudi lagi mempelajari ilmu
membunuh lain yang lihai.”
"Omitohud! Mendengar
uraian Taisu ini baru sekarang pikiran Siauceng terbuka," demikian kata
To-jing Taisu sambil memberi hormat.
"Ah, itu cuma sedikit
pendapatku yang Cupet, jika salah masih diharapkan petunjuk dari kalian,"
sahut si padri
tua.
"Harap Taisu sudi memberi
ceramah püla," kata hadirin yang lain.
Sebaliknya Cumoti sedang
berpikir, "Ke-72 macam Ilmu silat Siau-lim-pai itu telah dicuri oleh
Buyung siansing dan disebarkan keluar, tapi sekarang mereka menggunakan seorang
padri tua untuk main sandiwara dan membikin takut orang lain supaya tidak
berani meyakinkan ilmu silat sakti mereka, Hehe, manakah aku Cumoti dapat
ditipu segampang ini?"
Terdengar si padri tua sedang
berkata pula, "Di dalam Siau-lim-si kami dengan sendirinya juga terdapat
satudua orarg yang terlalu kemaruk kepada Ilmu silat dan melupakan pelajaran
agama sehingga akhirnya Cai-hwejip-mo (tersesat dan membakar diri sendiri) atau
terluka dalam lumpuh dan tak bisa disembuhkan. Dahulu Hian-ting Taisu yang
berbakat Itu dalam semalaman urat nadinya mendadak putus semua sehingga menjadi
cacat untuk selamanya. Sebabnya adalah akibat seperti apa yang kukatakan
tadi."
Tiba-tiba Hian-seng dan
Hian-peng berlutut dan memohon, "Taisu, apakah hian-ting Sute dapat
ditolong?"
"Sudah terlambat, tak
bisa ditolong lagi," sahut padri tua itu. "Waktu Hian-ting Taisu
memperdalam ilmu silatnya dì sini, berulang kali pernah kuperingatkan dia tapi
dia tetap tak sadar. Sekarang urat-nadinya sudah putus, cara bagaimana bisa
ditolong?”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara pelahan 'crit crit-crit" tiga kali, habis itu lantas tak
terdengar apa-apa lagi.
Hian-seng dan lain-lain tahu
itulah ilmu jari Bu-siang-hiat-ci golongan sendiri, maka mereka lama memandang
ke arah Cumoti. Air muka padri asing itu kelihatan agak berubah, tapi sengaja
tersenyum-senyum seperti titdak terjadi apa-apa.
Rupanya semakin mendengarkan
uraian si padri tua tadi, semakin penasaran rasa hati Cumoti. Ia sendiri sudah
mempelajari ke-72 macam ilmu sakti Siau-lim-pai itu, Mengapa urat-uratnya tidak
putus dan menjadi orang cacat? Maka diam-diam ia melancarkan serangan
"Bu-siang-jiat-ci" ke arah padri tua itu.
Tak terduga tenaga jarinya
cuma berhenti di depan tubuh padri itu seakan-akan terbentur oleh selapis
dinding baja yang maha kuat dan tak kelihatan, lalu tenaga tutukannya hilang
sirna. Keruan Cumoti terkejut, baru sekarang ia percaya padri tua ini memang
luar biasa dan bukan sengaja hendak menggertak saja.
Namun padri tua itu anggap
serangan Cumoti itu seperti tidak terjadi, la masih berkata kepada Hian-seng
dan Hian-pang, "Harap kedua Taisu berbangkit. Aku sendiri adalah petugas
dalam Siau-lim-si, mana berani menerima penghormatan kedua Taisu seperti
ini?"
Seketika Hian-seng berdua
merasa seperti diangkat oleh suatu kekuatan yang tak kelihatan sehingga
mau-takmau mereka berbangkit, anehnya sedikit pun tidak kelihatan padri tua itu
bergerak. Karuan mereka terperanjat atas kesaktian padri tua itu.
Padri tua melanjutkan
uraiannya, "Ke-72 macam ilmu silat Siau-lim si kita seluruhnya terbagi
dalam hal dayaguna. Yang dikatakan daya adalah kekuatan badaniah, dan guna
adalah cara menggunakannya. Seperti Tai-lun Beng-ong dan kedua Polo dan Cilo
Suheng dari Thian-tiok, pada badan mereka sendiri memang sudah memiliki
kekuatan iwekang yang tinggi maka yang dipelajarinya dari biara kita hanya cara
menggunakan ke72 macam ilmu itu saja walaupun juga membahayakan, tapi sementara
ini masih tidak kelihatan. Yang diyakinkan Beng-ong sendiri bukankah
'Siau-bu-siang-kang' dari Siau-yau-pai?”
Kambali Cumoti terkejut, dia
mencuri belajar 'Siau-bu-siang kang' dari Siau-yau-pai, hal ini sama sekali di
luar tahu orang, mengapa padri tua itu bisa tahu? Tapi lantas teringat olehnya,
"Ah, tadi Hi-tiok bertempur denganku, yang dia gunakan juga Siau-bu-siang-kang.
Besar kemungkinan Hi-tiok yang memberi tahu padanya, kenapa aku mesti
heran?"
Karena itu Cumoti lantas
menjawab, "Meski Siau-bu-siang-kang berasal dari golongan To, tapi paling
akhir ini murid agama Budha banyak yang mempelajarinya, maka ilmu ini boleh
dikatakan mencakup ajaran golongan To dan Bud. Malahan dalam Siau-lim-si kalian
sendiri juga terdapat ahli ilmu itu."
"O, jadi dalam
Siau-lim-li juga ada yang mahir 'Siau-bu-siang-kang’? Baru sekarang
kudengar," kata si padri tua dengan terheran-heran.
Cumoti tidak menjawab lagi,
tapi diam-diam ia menganggap padri tua itu pandai main sandiwara dan pura-pura
tidak tahu.
Maka padri tua itu berkata
pula, "Ilmu Siau-bu-siang-kang memang sangat bagus dan sangat luas, dangan
menggunakan ilmu ini sebagai dasar akan dapat menggunakan ke-72 macam ilmu
silat Siau-lim-si kita. Cuma pada bagian yang paling penting dengan sendirinya akan
kentara ada sedikit kejanggalannya."
Mendengar Keterangan ini,
segera Hian-seng berpaling kepada Cumoti dan berkata, "Jadi Beng-ong
mengaku mahir ke-72 macam ilmu sakti Siau-lim-pai kami, kiranya begitulah cara
kemahiranmu?"
Namun Cumoti hanya tersenyum
saja tanpa menjawab sindiran itu.
Dalam pada itu si padri tua
telah meneruskan. "Bila Beng-ong cuma mempelajari cara menggunakan ke 72
macam ilmu silat itu, maka bahayanya tentu juga tidak seberapa dan tak sampai
membahayakan jiwa. Tapi saat ini 'Seng-Cu-hiat' di badan Beng-ong telah timbul
bintik merah dan bagian 'Bi-olong-hiat' kentara agak gemetar, dari tanda-tanda
ini terang setelah Beng-ong mempelajari ke-72 macam ilmu silat kami, lalu
secara paksa menyakinkan pula lwekang 'lh-kin-keng' …..”
Sampai di sini mendadak ia
berhenti dari sorot matanya tampak sekali dia merasa sangat sayang dan kasihan
kepada orang yang bersangkutan.
Tiba-tiba Cumoti ingat sejak
dapat merebut Ih-kin-keng dari tangan si kepala besi karena tahu kitab itu
adalah kitab pusaka dunia persilatan, maka la lantas melatihnya dengan giat.
Tapi meski sudah dilatih ke sana dan ke sini tetap tiada kemajuan. Namun dia
tidak putus asa, la anggap kitab pusaka yang namanya sederajat dengan
Lak-meh-sin kiam di negeri Tayli itu tentu tidak dapat dipahami dalam waktu
singkat maka dia mempelajarinya dengan lebih tekun.
Sampai akhirnya la mulai
merasa pikirannya menjadi gelisah dan tidak tentram, semakin dilatih semakin
tak keruan jentrungannya. Jika demikian apakah yang dikatakan padri tua ini
memang ada benarnya. Apa latihanku sudah campur-aduk dan terjungkir balik dan
dalam waktu tingkat akan membahayakan diriku sendiri? Tapi lantas terpikir
olehnya mungkin padri tua ini sengaja menakut-nakuti saja, kalau masuk
perangkapnya maka tamatlah namaku yang tersohor selama ini. Karena itu ia tidak
ambil pusing lagi terhadap ucapan si padri tadi.
Dalam pada itu si padri tua
sedang menatap padanya dengan penuh perhatian mula-mula ia lihat air muka
Cumoti mengunjuk rasa kejut, lalu kuatir tapi kemudian mengangkat kening seakan
tidak percaya pada apa yang dikatakannya itu. Maka padri tua memhela napas
pelahan, lalu bertanya kepada Siau Wan san "Siau-kisu paling akhir ini
apakah kedua hiat-to di bagian perutmu ada rasa sakit?”
Seketika badan Siau Wan-san
tergetar, sahutnya cepat, "Ya, penglihatan Taisu memang sangat jitu memang
begitulan halnya."
"Dan di bagian Koan-goan
hiat yang mulai kaku dan mati rasa itu bagaimana keadaannya sekarang?"
tanya pula si padri tua.
Siau Wan san tambah terkejut,
sahutnya, "Tempat yang kaku dan mati rasa ini mula-mula cuma sebesar mata
uang, sesudah sepuluh tahun kini telah berubah menjadi sebesar mulut
mangkok."
Mendengar itu, tahulah Siau
Hong bahwa tanda-tanda yang timbul pada hiat-to di badan ayahnya adalah akibat
melatih ilmu sakti Siau-lim-pai itu. Dan dari nada ucapan sang ayah agaknya
gangguan-gangguan itu sudah berlangsung beberapa tahun lamanya dan tetap sukar
lenyap sehingga menjadikan kekuatiran besar bagi keselamatannya. Jika demikian,
apa alangannya kalau kiranya sekarang memohonkan pertolongan kepada padri tua
itu atas diri sang ayah?
Begitulah, maka Siau Hong
lantas melangkah maju dan berlutut dihadapan si padri tua sambil berkata,
"Jika Sinceng (padri sakti) sudah tahu akan sumber penyakit ayahku, mohon
welas-asih Sinceng agar suka memberi pertolongan."
"Silakan bangun,
Siau-kisu," kata si padri tua. "Jiwa Siau-kisu terlalu bajik dan
luhur, selalu mengutamakan kepentingan sesamanya, engkau tidak mau menggunakan
permusuhan pribadi untuk membikin susah rakyat kedua negeri, atas keluhuran
budi Siau-kisu ini, permintaan apa pun juga pasti akan kupenuhi dengan baik.
Maka tidak perlu banyak adat."
Siau Hong sangat girang,
sesudah menyembah pula dua kali barulah ia berbangkit, Lalu padri tua itu
bicara pula. "Siau-lokisu sudah terlalu banyak membunuh orang dan
memperlihatkan korban orang yang tak berdosa, seperti
Kiau Sam-hoai suami istri dan
Hian kok Taisu, mestinya mereka tidak boleh dibunuh."
Sebagai seorang ksatria Cidan,
meski usianya sekarang sudah tua, tapi jiwa Siau Wan-san yang gagah perwira
tetap tidak berkurang, demi mendengar dirinya dicela, segera ia menjawab,
"Aku pun tahu lukaku terluka parah, tapi usiaku sudah lanjut, putraku
sudah jadi omong, biarpun aku akan mati, apa yang mesti kusesalkan? Tapi kalau
Sinceng ingin aku mengaku salah, itulah tidak boleh jadi."
"Tidak berani kuminta
Siau-sicu mengaku salah, semua luka yang diderita Siau-kisu itu adalah lantaran
menyakinkan ilmu silat Siau-lim-pai, untuk bisa sembuh harus mencari obatnya di
dalam ajaran Budha," berkata sampai di sini tiba-tiba padri tua itu
menoleh kepada Buyung Bok dan melanjutkan pula, "Buyung-kisu memandang
kematian sebagai pulang ke asalnya dan dengan sendirinya aku tidak perlu banyak
omong. Ketemu kalau kuberi petunjuk jalannya sehingga Buyung-kisu terhindar
dari siksaan seperti ditusuk jarum setiap hari tiga kali yang timbul dari
Yang-pek, Liau-coan dan Hong-hu-hiat, lantas bagaimana Buyung sicu akan
bicara?"
Air muka Buyung Bok berubah
hebat sehingga badan gemetar. Memang ketiga hiat-to yang disebut itu pada
tiap-tiap hari waktu pagi, siangdan petang selalu menderita kesakitan bagai
ditusuk jarum. Rasa sakit itu makin lama makin hebat dan tidak dapat
disembuhkan dengan obat apa pun. Bahkan kalau sedikit mengerahkan tenaga,
seketika rasa sakit seperti ditusuk jarum itu semakin merasuk ke tulang sumsum,
karena itulah sudah lama ia kehilangan gairah untuk hidup terus. Makanya dia
rela mati untuk menukar syarat perjanjian dengan Siau-heng, walaupun katanya
demi membangun kembali kerajaan Yan mereka, tapi sebagian besar juga
lantaran dia telah menderita
penyakit payah itu dan benar-benar membuatnya bosan hidup.
Sekarang mendadak didengarnya
padri tua itu menyebut sumber penyakitnya dengan jitu, karuan kagetnya tak
terkirakan dan membikin hatinya menjadi tak karuan. Seketika ia merasa penyakit
ketiga hiat to yang disebut tadi kerasa kembali. Padahal waktu itu mestinya
belum tiba waktunya penyakit itu kumat, tapi karena guncangan perasaan sehingga
menimbul kembali penyakitnya yang sudah ditahan itu.
Tapi sebagai seorang tokoh
nomor wahid, sudah tentu Buyung Bok cc|jgan memohon pertolongan kepada seorang
pedri tua yang tak terkenal itu. Maka dengan sekuatnya ia mengertak gigi untuk
menahan rasa tersksa itu.
Buyung Hok cukup kenal watak
sang ayah yang suka menang dan tidak mau mengalah itu, lebih suka terbunuh daripada
dihina di depan umum. Maka ia lantas melangkah maju, ia memberi hormat kepada
Siau Hong dan ayahnya sambil berkata, "Selama gunung tetap menghijau dan
air sungai tetap mengalir, biarlah sementara ini kami mohon diri dulu. Jika
kalian tetap ingin menuntas balas kepada kami ayah dan anak, maka kami akan
menantikan kedatangan kalian di tempat kediaman kami di Koh-soh."
Habis itu la lantas gandeng
tangan ayahnya dan mengajak meninggalkan gedung itu.
"jadi begitu tega kau
biarkan ayahmu tetap menderita siksaan penyakit jahat itu?" tanya padri
tua.
Wajah Buyung Hok tampak pucat
pasi, ia tidak menjawab, ia tarik tangan ayahnya dan segera hendak bertindak
pergi.
"Nanti dulu!" bentak
Siau Hong mendadak "Apakah kalian hendak merat dengan begini saja. Masakah
di dunia ini ada perkara seenak ini? Kalau ayahmu menderita penyakit, seorang
laki-laki sejati tidak nanti menyerang orang yang sedang terancam bahaya, maka
bolehlah dia dilepaskan. Tapi kau sendiri kan sehat dan kuat!"
Buyung Hok menjadi naik darah,
Ia balik membentak, "Jika begitu, biarlah aku melayani Siau-heng
saja!"
Siau Hong bahkan tidak bicara
lagi dan kontan menghantam dengan jurus "Kian-liong-cai-thiat” (nampak
naga di sawah), salah satu jurus serangan hebat dan Hang-liong sip-pat-ciang.
Melihat serangan hebat itu,
cepat Buyung Hok mengerahkan seluruh tenaganya dan menangkis dengan kedua
tangan.
"Omitohud! Tempat suci
ini jangan dibuat gaduh oleh kalian sehingga membikin marah Budha," kata
si padri tua sambil merangkap kedua tangannya di depan dada.
Aneh juga, rangkapan kedua
tangan padri tua itu seketika berubah menjadi serangkum tenaga yang mirip
dinding tak berwujud dan tak teruntühkan serta mengalang di tengah-tengah
antara Siau Hong dan Buyung Hok sehingga tenaga pukulan kedua orang yang maha
dahsyat itu tertumbuk pada dinding tak berwujud itu dan hilang sirna tanpa
bekas bahkan tanaga pukulan Siau Hong itu terasa t¡dak terpental balik sedikit
pun, tapi sama sekali lenyap ke dalam dinding tak kelihatan itu.
Siau Hong terkesiap. Setama
hidupnya belum pernah ia temukan tandingan ia yakin biarpun ilmu silat Hi-tiok
sangat aneh dan lihai, ilmu pedang Toan Ki juga maha sakti namun kepandaian
kedua adik angkat itu toh masih kalah setingkat daripada dirinya. Tapi sekarang
padri tua yang tak terkenal ini ternyata memiliki kekuatan yang jauh lebih
besar daripada dirinya, maka terang balas dendam hari ini pasti takkan
terkabul.
Dasar Siau Hong memang sangat
berbakti kepada orang tua, teringat keadaan sang ayah, segera ia memberi hormat
dan berkata kepada si padri tua, "Caihe adalah orang kasar dan tidak kenal
sopan-santun, harap Sinceng suka memberi maaf."
"Mana, mana! Loceng
justru sangat mengindahkan Siau-kisu, sebutan ksatria sejati hanya engkau saja
yang pantas memperolehnya," kata si padri tua dengan tersenyum.
"Ayahku telah berdosa
karena banyak membunuh orang, sebab musababnya adalah lantaran diriku,"
ucap Siau Hong pula. "Maka mohon Sinceng sukalah menyembuhkan luka ayah,
untuk segala dosa beliau itu biarlah Caihe yang akan menanggungnya, biar mati
pun Caihe rela."
Padri itu tersenyum, sahutnya,
"Tadi sudah kukatakan jika ingin menyembuhkan luka dalam Siau-lokisu,
untuk itu harus dicari melalui ajaran Budha. Budha timbul dari dalam hati,
Budha adalah kesadaran. Orang lain hanya dapat memberi petunjuk saja dan tak
dapat membantu dengan kekuatan. Sekarang ingin kutanya Siau-lokisu, jika engkau
dapat menyembuhkan lukamu, apakah engkau juga mau menyembuhkan luka
Buyung-lokisu?"
Siau Wan-san melengak,
sahutnya kemudian, "Aku di ... disuruh menyembuhkan luka Buyung, .. Buyung
si laknat itu?”
"Mulutmu harus kenal
balas,...tahu?" bentak Buyung Hok dengan gusar.
"Hm,..si laknat tua
Buyung itu telah membunuh istriku tercinta, dan menghancurkan hidupku ini, aku
justru ingin mencencangnya hingga hancur luluh," sahut Siau Waa-san dengan
mengertak gigi.
"O, jadi sebelum
Siau-lokisu menyaksikan binasanya Buyung-lokisu, maka dendam tetap tak
terlampias?" tanya si padri tua.
"Ya," jawab Siau
Wan-san tegas. "Aku sembunyi selama 30 tahun di Siau-lim-si, maksud
tujuanku justru ingin membalas dendam."
"Apa susahnya untuk
itu?" ujar si padri tua sambil mengangguk. Tiba-tiba ia berbangkit dan
mendekati Buyung Bok dangan pelahan, mendadak ia mengangkat sebelah tangannya
terus menabok kepala Buyung Bok.
Tadinya Buyung Bok tidak
menaruh perhatian apa-apa atas diri padri tuà itu, demi nampak batok kepalanya
mendadak dihantam, cepat la angkat tangan untuk menangkis, berbareng tubuhnya lantas
menggeser mundur.
Dua gerakan ini luar biasa
cepat dan tepatnya sehìngga Siau Wan-san dan Siau Hong juga diam-diam mengagumi
kepandaian Buyung Bok itu.
Tak tersangka tabokan padri
tua itu tetap dilanjutkan dengan perlahan dan tahu-tahu "plok", dengan
tepat "Pekhwe-hiat" di ubun-ubun kepala Buyung Bok kena ditabok.
Nyata tangkisan dan geseran Buyung Bok tadi sama sekali tak dapat menolong
dirinya dari serangan itu.
"Pek-hwe-hiat"
adalah hiat-to paling lemah dan mematikan di tubuh manusia, maka begitu kena
tabokan itu seketika tubuh Buyung Bok tergetar, napas lantas terhenti badan
terus roboh ke belakang.
Keruan Buyung Hok terkejut,
cepat ia memburu maju dan memayangnya sambil berteriak-teriak, "Ayah!
Ayah!"
Ia lihat mata dan mulut sang
ayah terkatup rapat, napas sudah berhenti, waktu ia raba dadanya, ternyata
jantungnya juga berhenti berdenyut. Sungguh duka dan gusar Buyung Hok tak
kepalang sama sakali tak diduganya bahwa padri tua yang mengoceh tentang
welas-asih dan kebajikan segala itu bias mendadak turun tangan keji dan
membunuh ayahnya.
"Kau .... kau bangsat
gundul tua bangka!" teriak Buyung Hokz dengan murka. Ia sandarkan jenazah
ayahnya di samping tiang, lalu menubruk maju, kedua tangan menghantam berbareng
dengan dahsyat.
Tapi padri tua itu sama sekail
tak ambil pusing. Ketika tenaga pukulan Buyung Hok tampil mengenai tubuh si
padri, tahu-tahu terasa lepas tertumbuk pada dinding yang tak berwujud bahkan
Buyung Hok sendiri lantas terpental hingga membentur sebuah rak kitab. Anehnya
tenaga pukulan Buyung Hok yang mengenai dinding tak berwujud itu seakan-akan
punah, sebaliknya ia merasa seperti didorong oleh suatu tenaga yang lunak
sehingga punggungnya yang membentur rak kitab itu tidak sampai membuat rak itu
roboh, bahkan kitab-kitab yang penuh tertaruh di atas rak juga tidak terjatuh
sejilid pun.
Dasar Buyung Hok memang sangat
cerdik, meski la sangat berduka alas meninggalnya sang ayah, Tapi ia pun tahu
ilmu silat padri tua itu berpuluh kali lebih lihai daripada dirinya, jika pakai
kekerasan terang tiada gunanya. Maka ia lantas bersendar di rak buku itu,
pura-pura terengah-engah napasnya, tapi diam-diam memikirkan tindakan apa yang
harus diambil atau mesti menggunakan serangan kilat di luar dugaan lawan.
Namun si padil itu lantas
berpaling kepada Siau Wan-san dan berkata, "Tadi Siau-lokisu menyatakan
ingin menyakinkan sendiri kematian Buyung-lokisu untuk melampiaskan dendam
kesumatmu selama ini. Sekarang Buyung lokisu sudah meninggal, apakah dendam
Siau-lokisu sudah terlampias?"
Siau Waa-sao sendiri sangat
terperanjat melihat Buyung Bok ditabok mati oleh padri tua itu. Maka la menjadi
bingung dan tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Selama 30 tahun ini Siau
Wan-san selalu berusaha hendak membalas dendam kematian sang istri, baru tahun
terakhir ini dia mengetahui duduknya perkara, la telah membunuh para ksatria
yang dulu ambil bagian dalam peristiwa berdarah diluar Gan-bun-koan itu, sampai
Hiat-koh Taisu dan Kiau Sam-hoai suami istri juga dibunuh olehnya.
Akhirnya diketahuinya pula
bahwa "Toako Pemímpin." yang dicari itu adalah ketua Siau-lim-si,
Hian-Cu Hongtiang, malahan di depan para ksatria segenap penjuru itu
dibongkarnya pula borok Hian-cu yarg mengadakan perzinahan dengan Yap Ji-nio,
maka sakit hatinya boleh dlkatakan terbalas dengan sangat sempurna pula.
"Tapi kemudian demi
nampak kematian Hian-cu itu dilakukan dengan gilang gemilang dan secara
ksatria, samar-samar dalam lubuk hati Siau Wan-san terasa perbuatannya itu agak
keterlaluan, malahan kematian Yap Ji-nio juga membuat perasaannya agak tidak enak.
Cuma waktu itu iamendapat tahu pula bahwa biangkeladi yang membikin peristiwa
berdarah itu tak lain tak bukan adalah Buyung Bok alias si padri jubah putih
yang telah sama-sama bersembunyi dalam Siau-lim-si sama pernah bergebrak
beberapa kali dengan dirinya itu, maka antera amarah Siau Wan-san lantas
tertumplek atas diri Buyung Bok.
la sudah terlalu benci kepada
musuh itu sehingga ingin dapat roakan dagingnya dan mengunyah kulitnya. Sungguh
kalau bisa ia ingin mencabut ototnya dan membakar tulangnya sekaligus untuk
membalas dendam.
Siapa duga mendadak muncul
seorang pudrí tua yang tak dikenal dan dengan mudah sekali musuh besarnya itu
dltabok mati olehnya. Seketika Siau Wan-san menjadi bingung dan seakan-akan
kehilangan pegangan hidup lagi.
Pada waktu mudanya, dengan
segenap jiwa-raga Siau Wan-san ingin berjuang bagi nusa dan bangsanya, ingin
namanya tersohor dan tercatat dalam lembaran sejarah. Dia adalah teman main
sejak kecil dengan istrinya, keduanya saling mencintai.
Sesudah menikah dan melahirkan
putra pertama, semangat patriot Siau Wan-san semakin berkobar dan citacitanya
semakin tinggi. Tak tersangka lantas terjadi peristiwa yang mengenaskan di luar
Gan-bun-koan, di sana ia sendiri gagal membunuh diri.
Namun kejadian Itu telah
mengubah seluruh pandangan hidupnya, ia merasa segala nama dan tugas, harta dan
kedudukan, segalanya mirip sampah belaka, yang terpikir olehnya siang dan malam
adalah cara bagaimana menuntut balas.
Sebenarnya dia adalah seorang
ksatria yang berjiwa besar dan sangat bijaksana, tapi karena dendam kesumat itu
dangan sendirinya wataknya makin lama makin menyendiri dan aneh. Ditambah lagi
telah bersembunyi berpuluh tahun di dalam Siau-lim-si, siang tidur dan malam
keluar, dengan giat ia latih ilmu silat, selama itu jarang bicara dengan orang,
maka tidak heran kalau perangainya juga berubah luar biasa.
Sebenarnya dia harus merasa
puas dan senang karena musuh-musuhnya yang dibenci itu satu persatu telah
terbunuh olehnya atau mati di hadapannya. Tapi dia justru merasa sangat sunyi
dan hampa, la merasa tiada sesuatu tujuan hidup lagi di dunia Ini, biarpun
hidup terus juga percuma.
Ia coba melirik ka arah Buyung
Bok yang bersandar di tiang itu, tertampak wajah Buyung Bok tenang-tenang saja
dengan mengulum senyum seakan-akan kematiannya itu lebih menyenangkan daripada
hidup.
Begituldh dalam hati Siau Wan
san berbalik merasa Buyung Bok lebih beruntung, sesudah mati maka tamatlah
segalanya. Dalam sekejap itu timbul macam-macam pikiran.
Musuhnya sekarang sudah mati
semua, sakit hatinya sudah terbalas. Tapi ke mana dirinya harus pergi? Apa
pulang ke negeri Liau dan hidup tirakat di luar Gan bun-koan sana? Atau
mengembara tanpa arah tujuan bersama anak Hong?
Tapi ia merasa kemana pun
tetap tiada artinya lagi.
Tiba tiba sí padri tua membuka
suara pula, "Siau-lokisu, Jika engkau hendak pergi bolehlah silahkan!”
"Tidak ... tidak,"
sahut Wan-san dengan menggeleng, "Ke mana aku harus pergi? Aku tak bisa
pergi ke manamana."
"Aku yang membunuh
Buyung-lokisu sehingga engkau tidak dapat membalas dendam dengan tangan
sendiri, maka engkau merasa menyesal bukan?" tanya si padri tua.
"Bukan," sahut
Wan-san. "Andaíkan tidak kau binasakan dia juga aku tidak ingin membunuh
dia lagi."
"Ya, tetapi karena
kematian ayahnya itu. Buyung-siauhiap ini sekarang akan menuntut balas padaku
dan padamu, lantas bagaimana baiknya?" tanya si padri.
Dengan rasa hampa dan putus
asa Siau Wan-san menjawab, "Taisu cuma mewakilkan aku membunuh musuh, Jika
Buyüng-siauhíap mau menuntut balas bagi ayáhnya, biarlah dia tunjukan padaku
saja."
Mendadak ia menghela napas,
lalu berkata pula, "Ya, bolehlah dia mencabut nyawaku saja. Anak Hong,
kaupun boleh pulang saja ke negeri Lian, urusan kita sudah selesai, jalan sudah
mencapai titik akhirnya."
"Ayah, engkau ... "
seru Siau Hong.
Tapi si padri tua lantas
berkata, "Bila engkau dibunuh Buyung-siauhiap tentu putramu juga pasti
akan menuntut balas pada Buyung-siauhiap, cara balas membalas ini bilakah
terakhir? Maka lebih baik segala dosa biarlah kupikul saja, semuanya aku yang
menanggungnya!"
Habis berkata ia terus
melangkah maju, la angkat tangannya dan menghantam kepala Siau Wan-san.
Keruan Siau Hong terkejut,
karena tadi sudah terjadi, ia tahu bila padri itu dapat sekali tabok
membinasakan Buyung Bok, maka dengan sendirinya dengan sekali tabok juga
ayahnya akan terbunuh. Tanpa pikir lagi ia membentak, "Nanti dulu!”
Berbareng kedua tangannya
menghantam sekaligus ke pada si padri tua.
Sebenarnya Siau Hong sangat
kagum dan mengindahkan padri tua itu, tapi sekarang demi untuk menolong sang
ayah, la tidak paduli bahwa pukulan kedua tangannya ini membawa seluruh
tenaganya yang maha dahsyat dan maha kuat biarpun berotot kawat tulang besi
juga akan binasa seketika.
Namun dengan tangan kiri padri
tua itu sempat menahan tenaga pukulan yang dilontarkan Siau Hong, sedang tangan
kanan masih terus menabok kepala Siau Wan-san.
Siau Wan-san sendiri sama
sekali tidak berpikir untuk menghindar atau menangkis serangan itu. Maka
tampaknya telapak tangan kanan si padri tua segera akan mengenai
"Pek-hwe-hiat" di ubun-ubun kepalanya.
Sekonyong-konyong padri itu
membentak sekali, tabokan itu tiba-tiba berubah arah dan menghantam Siau Hong.
Saat itu tenaga pukulan kedua
tangan Siau Hong sedang saling tolak dengan tangan kiri si padri, ketika
mendadak melihat tangan kanan lawan ganti haluan dan menyerang ke arahnya,
cepat Siau Hong tarik kembali tangan kirinya untuk menangkis sambil berseru
"Ayah, lekas lari! Lekas!"
Tak terduga bahwa perubahan
pukulan padri tua itu hanya tipu pancingan belaka sekadar mengurangi daya
tekanan kedua tangan Siau Hong, ketika Siau Hong menarik sebelah tangannya,
segera padri tua itu juga putar balik tangan kanannya, maka terdengarlah suara
"plak" pelahan, dangan tepat ubun-ubun kepala Siau Wan san kena
ditabok.
Dan pada saat itu juga pukulan
tangan kanan Siau Hong juga sudah tiba, "blang", dengan tepat dada
padri tua kena dihantam, "krak-krek", beberapa tulang iga si padri
patah.
Namun dengan tersenyum padri
tua itu masih berkata, "Sungguh kepandaian yang bagus!
Hang-liong-sip-patciang memang ilmu pukulan nomor satu di dunia."
Baru selesai ucapannya, tanpa
ampun lagi darah segar terus menyembur dari mulutnya.
Siau Hong tertegun sejenak kemudian
ia memayang bangun tubuh ayahnya. Ia lihat napas sang ayah sudah putus, denyut
Jantungnya juga sudah berhenti, terang orangnya sudah meninggal.
Pada saat itulah tiba-tiba di
bawah sana ada suara seruan orang, "Apa barangkali berada di atas Cong-keng-kok
ini?”
Menyusul terdengar beberapa
orang sedang lari mendatangi.
"Sudah saatnya, marilah
pergi!” kata si padri tua dan segera ia memjambret leher baju jenazah Siau Wan
San dengan tangan kanan, sedang tangan kiri dipakai menjambret leber baju
jenazah Buyung Bok, lalu dengan langkah lebar ia melayang ke luar jendela.
"Kau ... kau hendak ke
mana?" bentak Siau Hong dan Buyung Hok berbareng, sekaligus mereka pun
samasama menghantam punggung si padri tua.
Hanya sedetik sebelum itu
mereka hendak bertempur mati-matian, tapi sekarang ayah masing-masing telah
dibunuh orang dalam menghadapi musuh bersama mereka lantas berdiri di Satu
pihak dan bersama-sama mengejar musuh.
Gabungan tenaga pukulnn mereka
berdua sudah tentu maha dahsyat. Tapi tubuh si padri tua mirip layanglayang
saja, di bawah dorongan tenaga pukulan Siau Hong dan Buyung Hok itu ia malahan
dapat melayang pergi beberapa meter jauhnya dengan masih tetap menjinjing dua
sosok tubuh yang sudah tak bernyawa, kemudian ketiga sosok tubuh turun ke atas tanah
dengan cepat dan ringan bagai burung terbang.
Sekali lompat segera Siau Hong
mengudak keluar jendela. Ia lihat padri tua itu berjalan ke atas gunung dengan
menggondol dua sosok mayat. Dengan mempercepat langkahnya Siau Hong menduga
dalam beberapa tindak saja dapat menyusul sampai di belakang si padri tua.
Tak terduga bahwa ginkang
padri itu benar-benar luar biasa anehnya dan seperti memiliki ilmu gaib seja,
biarpun Siau Hong mengejar dengan sepenuh tenaga, jaraknya dengan si padri
tetap ada belasan meter jauhnya, berulang ia pun melontarkan pukulan dari jauh,
tapi jaraknya dengan si padri tetap belasan meter jauhnya, berulang-ulang ia
pun melontarkan pukulan lagi dari jauh, tapi selalu mengenai tempat kosong.
Maka jauh makin tinggi si
padrì menuju ke atas gunung, ia berputar-putar di antara lereng gunung itu dan
akhirnya sampai di suatu tanah lapang di tengah sebuah hutan, di situlah ia
meletakkan kedua mayat yang dibawanya itu di bawah sebatang pohon, Ia dudukkan
kedua sosok jenazah itu dengan gaya bersila, lalu ia, sendiri duduk di belakang
kedua mayat, kedua tangannya menahan punggung kedua mayat. Dan baru saja ia
duduk, sementara itu Siau Hong pun sudah menyusul tiba.
Biarpun Siau Hong tampaknya
kasar, menghadapi sesuatu urusan ia bisa berlaku teliti dan cerdik. Demi
melihat tingkah laku padri tua
itu agak luar biasa, maka la pun tidak mau sembarangan bertindak pula. Ia
dengar si padri tua berkata, "Aku membawa mereka berjalan-jaian untuk
melemaskan otot dan melancarkan darah mereka.”
Hampir-hampir Siau Hong tidak
percaya pada telinganya sendirl. Manakah mungkin mengajak jalan-jalan orang
mati dan katanya untuk melemaskan otot dan melancarkan jalan darah mereka,
apakah maksud yang sebenarnya?
Saking herannya ia coba
menegas, "Melemaskan otot dan melancarkan darah mereka?"
"Ya, karena luka dalam
mereka terlalu parah, maka mereka harus dibiarkan istirahat dulu untuk kemudian
baru disembuhkan,” kata si padri.
Siau Hong terkesiap, sungguh
ia tidak habis mengerti, "Apakah ayah belum meninggal? Jadi padri ini
sedang berusaha menyembuhkan luka dalam ayah? Masakah di dunia ini ada cara
penyembuhan demikian dengan membunuh si penderita lebih dulu untuk kemudian
baru menyembuhkannya?"
Dalam pada itu Buyung Hok,
Cumoti. Hian seng, Hian-ceng, Sin-kong Siangjin dan lain-lain juga sudah
menyusul tiba.
Mereka lihat ubun-ubun kedua
jenazah yang digondol lari si padri tua itu tiba-tiba mulai mengepulkan hawa
putih yang tipis.
Sejenak kemudian si padri tua
lantas memutar kedua mayat sehingga muka berhadapan muka, lalu keempat tangan
mayat itu diaturnya hingga saling menjabat tangan.
"Apa ... apa yang kau
lakukan ini? Tanya Buyung Hok dengan bingung.
Tapi si padri tua tidak
menjawabnya la mulai mengitari kedua sosok mayat dengan langkah pelahan sambil
berulang-ulang menutuk, terkadang menutuk 'Tai-cui-hiat' di bahu Siau Wan-san
lain saat ia menabok 'Giokcin-hiat' di punggung Buyung Bok. Sedangkan hawa
putih yang menguap dari ubun-ubun kedua mayat itu semakin lama makin tebal.
Lewat beberapa saat lagi
sekonyong-konyong badan Sian Wan-san dan Buyung Hok berbareng sama-sama
bergarak satu kali.
Keruan Siau Hong dan Buyung
Hok terkejut dan bergirang. "Ayah!" seru mereka bersama.
Sejenak kemudian Siau Wan-san
dan Buyung Bok membuka mata dengan pelahan. sesudah saling pandang sekejap.
Lalu mata mereka terpejam pula. Air muka Siau Wan-san tampak merah bercahaya.
sebaliknya air muka Buyung Bok pucat Menghijau.
Baru sekarang semua orang
paham sebabnya padri tua itu menabok mati dulu kedua orang itu adalah supaya
mereka berhenti bernapas dan jantung berhenti berdenyut, rupanya cara demikian
adalah semacam ilmu penyembuhan luka dalam yang parah.
Jadi tujuan si padri tua
sebenarnya adalah baik, hal ini mestinya dia dapat menerangkan sebelumnya,
kenapa dia sengaja bergurau sehingga Siau Hong dan Buyung Hok dibikin kuatir
dan marah, malahan dia sendiri sampai merasakan pukulan dahsyat Siau Hong sehingga
tumpah darah.
Begitulah semua orarg merasa
heran dan tidak habis mengerti. Dalam pada itu si padri tua kelihatan masih
sibuk menutuk dan menabok dengan penuh perhatian atas kedua penderita, semua
orang tidak berani membuka suara dan bertanya.
Sebaliknya terdengar suara
napas Siau Wan San dan Buyung Bok dari pelahan mulai cepat dan dari lemah
berubah menjadi kuat.
Menyusul air muka Siau Wan-san
tampak semakin merah sampai akhirnya seakan-akan merah berdarah. Sebaliknya air
muka Buyung Bok tambah hijau mengerikan. Dan tubuh kedua orang itu pun tampak
gemetar agaknya keadaan mereka juga agak berbahaya.
Semua orang yang menyaksikan
itu tahu bahwa air muka merah itu menandakan hawa Yang terlalu keras, suhu
badan terlalu panas bagai dibakar. Sebaliknya air muka hijau menunjukkan hawa
Im terlalu besar, hawa dingln yang mengeram dalam badan terlalu kuat.
Pada saat lalu mendadak
terdengar si padri tua membantak, "Haahh! Keempat tangan saling berpegang,
tenaga dalam saling membantu. Im membantu Yang dan Yang mengurangi Im. Pikiran
yang angkara murka pandangan yang bermusuhan jagat dewa batara hilang
sirna!"
Karena bentakan si padri tua,
tiba-tiba dua pasang tangan Siau Wan-san dan Buyung Bok yang tadinya saling
genggam itu lantas saling pegang dengan lebih eral hawa murni masing-masing
lantas membanjir pula pada
badan lawan sehingga tercampur
baur dan saling membantu kekurangan masing-masing, Lalu air muka kedua orang
sama-sama berubah menjadi putih pucat, tak lama kemudian kedua orang sama-sama
membuka mata dan saling tertawa dengan penuh arti antara sahabat karib.
Sungguh girang Siau Hong dan
Buyung Hok tak terkatakan demi melihat ayah mereka sudah hldup kembali dangan
sehat. Maka tertampaklah kedua orang tua itu lantas bergandengan tangan dan
sama-sama berlutut di hadapan si padri tua.
Lalu berkatalah padri tua itu,
"Kalian berdua dari hidup sampai mati dan dari mati kembali hidup lagi
apakah sekarang masih ada sesuatu yang tak terlepaskan dari pikiran kalian?
Jika tadi kalian lantas mati untuk seterusnya, apakah kalian masih dapat
berpikir tentang membangun kembali kerajaan Yan atau menuntut balas terbunuhnya
istri segala?"
"Tecu telah menjadi
hwesio selama 30 tahun di siau-lim-si secara menyamar dan dengan sendirinya
tiada sedikit pun rasa kesadaran sebagai murid Budha, maka diharap Suhu suka
menerima Tecu," sahut Siau Wansan.
"Apa engkau tidak ingin
lagi membalas sakit hati terbunuhnya istrimu?" tanya si padri.
"Selama hidup Tecu juga
banyak membunuh orang, bila anggota keluarga orang-orang yang kubunuh itu juga
sama menuntut balas padaku, maka biar Tecu mati seratus kali juga tidak cukup
untuk memenuhi tuntutan mereka," ujar Wan-san.
"Dan engkau
bagaimana?" tiba-tiba si padri tua berpaling pada Buyung Bok.
Buyung Bok tersenyum dan
berkata, "Rakyat jelata adalah manusia, raja juga manusia, Kerajaan Yan
dibangun kembali atau tidak semuanya adalah kosong belaka!"
"Bagus, engkau telah
mencapai kebijaksanaan dan memperoleh kesadaran Siancai! Siaocai!" sabda
si padri.
"Mohon Suhu menerima Tecu
dan banyak memberi petunjuk pula," pinta Buyung Bok.
"Kalian ingin pelepasan
diri dan menjadi padri, untuk itu kalian harus minta diterima para Taisu dari
Siau-limsi," kala si padri tua. "Sekarang ada beberapa patah kata boleh
juga kuuraikan lagi kepada kalian."
Begitulah lalu padri tua itu
memberi khotbah lagi. Siau Hong dan Buyung Hok juga lantas ikut berlutut di
depannya. Ketika khothah padri tua itu sedemikian bagusnya sehingga Hian-seng,
Sin-kong. To-jing, Cilo, Polo Singh dan lain-lain sangat tertarik maka tanpa
terasa akhirnya mereka pun berlutut untuk mendengarkan khotbah ... "
Begitulah maka pada waktu Toan
Ki sampai di situ, saat mana si padri tua asyik memberi penjelasan arti
khotbahnya yang penuh filsafat itu, Karena ingin melihat bagaimana wajah padri
tua itu, maka Toan Ki berputar ke depan sana, siapa tahu Cumoti mendadak
menyerang hingga dadanya terkena tutukan 'Hwe-yambo' yang lihai.
Toan Ki lantas tak sadarkan
diri dan entah berselang berapa lama baru siuman kembali. Waktu ia buka mata
pertama-tama yang tertampak olehnya adalah langit-langit kelabu, menyusul ia
tahu dirinya tidur di atas ranjang dengan berselimut.
Karena seketika itu pikirannya
belum jernih sama sekali, maka ia coba mengingat-ingat kembali apa yang telah
terjadi. Ia ingat telah kena serangan Cumoti, tapi ia tidak mengerti mengapa
bisa berada di tempat tidur itu!
Ia merasa haus sekali dan
segera ingin bangun, tapi sedikit bergerak saja dadanya lantas terasa sakit
tidak kepalang sehingga dia menjerit pelahan.
Maka terdengarlah suara
seorang wanita muda berkata dl luar, "Ah...Toan-kongcu sudah
mendusin!"
Dari nada ucapannya itu
agaknya merasa sangat girang.
Toan Ki merasa suara wanita
muda itu sudah dikenalnya. Dan baru d¡a mengingat-ingat siapakah geranganya,
tiba-tiba seorang anak dara melangkah masuk drngan tindakan cepat, Tertampaklah
sebuah wajah bulat telur, pipi terdapat sebuah lekuk kecil yang manis. Kiranya
Ciong ling adanya, si nona cilik yang dahulu berjumpa dengan Toan Ki di sarang
orang-orang 'Buliang-kiam' [baca jilid ke 1).
Ayah Ciok Ling, yaitu Ciong
Ban-siu, berjuluk 'Kim-jin-cin-sat' (ketemu orang lantas bunuh), adalah musuh
Toan Cing-sun, ayah Toan Ki. Ketika mengetahui Toan Ki adalah putra musuh
besarnya, Ciong Ban-siu lantas ikut mengatur tipu muslimat hendak membunuhnya.
Tak tersangka ketika Toan Ki
keluar dari rumah batu tempat dia semula dikurung, tahu-tahu ia membawa seorang
gadis yang keadaan pakaiannya sudah tak karuan, dan gadis itu ternyata adalah
Ciong Ling, jadi Ciong
Ban siu tidak berhasil
membikin celaka Toan Ki, sebaliknya membikin malu putrinya sendiri, Keruan dia
keki setengah mati.
Kemudian Ciong Ling digondol
lari oleh In Tiong-ho dan tak diketahui mati hidupnya, terkadang bila ingat
akan kejadian itu, betapapun Toan Ki merasa sedih dan menyesal. Siapa duga
sekarang dapat bertemu kembali dengan anak dara itu di sini.
Begitülah, maka wajah Ciong
Ling menjadi merah juga ketika sinar matanya berbentruk dengan pandangan Toan
Ki. Tapi ia lantas menegur dengan tersenyum-senyum, "Tentu engkau sudah
lupa padaku bukan? Apa masih ingat aku ini siapa?"
Melihat sikap Ciong ling itu,
dalam benak Toan Ki tiba-tiba terbayang pula adegan masa dahulu waktu Ciong
Ling duduk di atas belandar kedua kakinya berayun-ayun sambil menyisilkuaci.
Sungguh aneh juga, sampai sekarang ia pun masih ingat betul sepatu yang dipakai
si nona yang berwarna hijau bersulam bunga kuning kecil itu. Tanpa terasa ia
lantas tanya, "Eh, ke mana sepatumu yang bersulam bunga kuning itu?"
Kembali wajah Ciong ling
bersemu merah ia tidak manduga bahwa Toan Ki ternyata masih ingat kepada
sepátunya itu, hal ini menandai kau bahwa pemuda itu tidak melupakan dia. Maka
dengan tersenyum ia menjawab, "Sudah lama rusak, heran juga engkau masih
ingat tentang itu?"
"Dan kenapa kamu tídak
makan kuaci lagi?” tanya pula Toan Ki dengan tertawa.
"Aih, engkau ini sungguh
terlalu! Orang lagi kuatir setengah mati selama beberapa hari merawat lukamu
ini, masakah masih ada waktu iseng untuk makan kuaci segala?" jawab Ciong
Ling. Tapi segera ia merasa jawabannya itu terlalu menonjolkan perasaan yang
sebenarnya terhadap Tuan Ki maka kembali wajahnya merah lagi.
Dengan termangu-mangu Toan Ki
memandangnya. selang sejenak baru bertanya pula, "Dan di mana kau punya
Kim-leng-cu, itu ular kecil berwarna emas?”
"Aku sudah lama
terlunta-lunta dl luar dan tidak pernah pulang ke rumah dari mana bisa membawa
ular segala?" sahut Ciong Ling.
"O. ya. tempo hari kamu
digondul lari oleh 'Kiong-hiong-kek-ok' In Tiong-ho," kata Toan Ki tiba
tiba. "Wah, aku menjadi kuatir sekali, Cuma sayang aku tidak mahir ilmu
silat, terpaksa aku suruh muridku si Lam-hai Gok sín untuK menolongmu. Dan
entah cara bagaimana kau dapat menyelamatkan diri sungguh aku sangat
kuatir."
"Muridmu itu ternyata
sangat setia padamu,sahut Ciong Ling dengan tertawa. "Meski ginkang si
jangkung itu sangat hebat, tapi ia membawa diriku dengan sendirinya kurang
leluasa larinya. Maka cuma beberapa li jauhnya ia sudah tersusul oleh muridmu
.... "
Sampai di sini ia berhenti,
sikapnya tampak malu-malu kikuk.
"Lalu bagaimana?"
tanya Toan Ki.
Mendadak Ciong Ling tertawa,
"Hihi, coba kau terka cara bagalmane muridmu itu memanggil aku? Sungguh
aku menjadi dongkol dan geli pula."
Melihat gaya Ciong Ling yang
malu-malu kucing dan menggiurkan itu, hati Toan Ki terguncang. Teringat olehnya
apa yang dikatakannya dahulu, maka jawabnya dengan tersenyum, "Ya, dengan
sendirinya muridku itu memanggilmu sebagai 'Sunio' (Ibu guru), betul
tidak?"
Dengan tersenyum simpul Ciong
Ling lantas bercerita, "Ketika itu aku dikempit oleh durjana itu, aku
merontaronta sekuatnya, tapi tak bisa melepaskan cengkeramannya. Sungguh hatiku
ketakutan setengah mati, tapi aku pun mendengar muridmu sedang menguber sambil
berteriak-teriak! dengan suaranya yang serak, "Sunio! Sunio! Boleh
mengitik-ngitik ketiaknya, si jangkung itu paling takut geli!"
"Hah, kebetulan,"
pikirku. Mengitik-ngitìk justru adalah kepandaianku yarg khas. Maka dengan
segera aku mengulur tangan hendak mengitik-ngitik ketiak durjana itu. Tak
terduga baru saja jariku menempel ketiaknya, belum lagi aku mengkili-kili,
tahu-tahu dia sudah terkekeh-kekeh lebih dulu. Dan karena tertawanya itu
larinya menjadi kendur, maka dengan segera dia dapat disusul oleh muridmu.
Gak-losam, kamu kena diakali orang! seru durjana jangkung itu. Tapi Gak losam
menjawab. Diakali atau tidak, pendek kata lekas kau lepaskan ibu guruku, kalau
tidak, ini rasakan senjataku gunting congor buaya itu!”
"Karena terpaksa maka aku
dilepaskan oleh durjana jangkung itu," demikian Ciong Ling melanjutkan
ceritanya. "Dan pada waktu dia lengah segera aku mengitik-ngitik dia
sehingga durjana itu menungging sambil memegangi perutnya dan terkakak-kakak
saking gelinya, semakin dia tertawa semakin menjadi, aku mengitikngitik sampai
dia terbatuk-batuk dan mengucurkan air mata. Akhirnya Gak-losam memintakan
ampun baginya, Sunio, boleh mengampuni dia saja, kalau mengitik-ngitik lagi,
jika sampai napasnya sesak, mungkin dia bisa mati!"
"Aku menjadi heran, ilmu
silat durjana itu sangat tinggi masakah bisa mati terkili-kili saking geli?
Maka jawabku, Ah, masa ya? Aku tidak percaya, ingin kucoba! Tapi Gak losam
mencegah, "Eh. jangan! Mana boleh dicoba sekali dia mampus tentu tak bisa
dihidupkan lagi. Kelemahan setan jangkung ini justru terletak pada
Thian-cong-hiat di bawah
katiaknya, tempat itu tidak boleh tersentuh sedikit pun.”
"Karena itulah aku tidak
jadi mengitik-ngitik dia lagi. Ketika durjana itu sudah berdiri tegak kembali,
dia melotot padaku, habis itu mendadak ia meludahi Gak-losam sambil memaki,
"Buaya mampus, buaya bacinl Tempat kelemahanku kenapa kau beritahukan
kepada orang luar?”
"Eeh, kau berani memaki
orang!” aku mengomel sambil mengulur tangan hendak mengitik-ngitiknya lagi, Tak
tersangka sekali ini perbuatanku tidak manjur lagi, mendadak durjana jangkung
itu mengayunkan kakinya sehingga aku kena ditendang terjungkal lalu ia tinggal
pergi. Cepat Gak-losam membangunkan aku sambil bertanya, Sunio, sakit tidak?
"Pada saat itulah
tiba-tiba tertampak ayahku memburu tiba dengan golok terhunus sambil
berteriak-teriak, Budak celaka, kenapa kamu diam di sini, apa ingin mampus?
Segera Gak-losam menoleh dan memaki, "Kurang ajar! Apa mulutmu minta di
sikat ya?”
"Ayahku menjadi gusar
sahutnya. Aku memaki anak perempuanku sendiri, peduli apa denganmu? Aneh juga
entah mengapa mendadak Gak-losam marah-marah. Ia tuding ayahku dan mendamprat
pula "Kau , .. kau bangsat kau berani menarik keuntungan atas diriku? Biar
... . biar Gak-losam mengadu jiwa denganmu?”
"Aneh, dimanakah pernah
kutarik keuntungan darimü? Sahut ayahku, Dengan marah-marah Gak-losam berkata,
Habis, dia kan ibu guruku dia lebih tua satu tingkatan daripadaku, ini pun apa
boleh buat, sebab memang demikian halnya. Tapi sekarang kau berani mengaka
sebagai bapaknya, bukankah... bukankah kamu menjadi lebih tua dua tingkat dari
padaku? Hm, aku Gak losam selamanya bersinggasana di laut selatan, di sana,
siapa yang tidak memanggiku tuan besar atau kakek-moyang. Tapi setiba di
Tionggoan, dimana-mana aku selalu lebih rendah satu-dua angkatan daripada orang
lain. Sungguh sialan! Maka aku tak mau lagi, ya, tidak mau!”
Ciong Ling memáng gadis lincah
dan cerdik, bicaranya mencorocos terus, cara menirukan lagu bicara
Lamhai-gak-sin Juga sangat mirip mau-tak-mau Toan Ki merasa geli juga.
Lalu si noná melanjutkan
ceritanya, "Maka ayahku berkata, Kau mau atau tidak masa bodoh, yang
terang anak dara ini adalah putriku, dengan sendirinya aku adalah bapaknya,
kenapa kau bilang aku mengaku-ngaku apa segala?”
"Rupanya kewalahan
berdebat, mendadak Gak-losam mencari-carl alasan, katanya, Sudah tentu kamu cuma
mengaku-ngaku saja. coba lihiat, Sunio begini cantik, sebaliknya kamu sejelek
siluman, mana mungkin kamu ini ayahnya yang tulen? Tentu Sunioku ini putri
orang lain dan bukan keturunanmu. Kamu adalah ayah palsu dan bukan ayahnya yang
asli!"
"Sungguh tidak kepalang
murka ayahku, ia angkat golaknya terus membacok Gak-losam. Cepat aku
mencegahnya, "Ayah, orang ini telah menyelamatkan aku dari gangguan orang
jahat tadi, harap jangan membunuh dia!"
"Sekonyong konyong ayah
tambah murka, ia memaki padaku, Budak busuk, memangnya sejak dulu aku sudah
curiga kamu bukan keturunanku yang sejati, sampai si tolol ini pun berkata
demikian, masakah urusan perlu disangsikan lagi? Hm, biarlah kumampuskan dia
dulu, habis itu akau kubunuh dirimu dan kemudian membunuh pula ibumu!"
Seperti diketahui ibu Ciong
Ling adalah bekas kekasih Toan Cing-sun, ayah Toan Ki. Makin besar muka Ciong
Ling juga semakin cantik sehingga sedikit pun tidak memper muka Ciong Ban-Siu
yang lonjong bagai muka kuda itu, sudah tentu rasa cemburu Ciong Ban-siu
semakin menjadi-jadi dan pikirannya juga senantiasa diliputi oleh rasa curiga.
Begitulah sampai di sini air
mata Ciong Ling sendiri pun berlinang-linang dan hampir-hampir menetes. Cepat
Toan Ki menghiburnya,
"Jangan kuatir! Aku tahu ayahmu paling takut bini, tidak nanti dia berani
membunuh ibumu."
Ciong Ling tertawa, tanyanya,
'Eh, dari mana kau tahu?"
Karena tertawanya itu, air
matanya yang tadinya berlinang-linang di kelopak mata itu lantas meleleh ke
pipi.
"Dahulu waktu aku menyampaikan
berita kerumahmu di Ban-jiat-kok, dengan mataku sendiri küsaksikan ayahmu
sangat penurut pada ibumu, sedikit pun tidak berani membangkang
perintahnya," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas dan
untuk sekian lamanya diam saja.
"Kemudian bagaimana
kenapa kamu sampai di sini?" tanya Toan Ki.
"Waktu kulihat ayah dan
muridmu bertempur dan seketika sukar dilarai, maka aku lantas berteriak-teriak,
Hai, Gak-losam, kamu tidak boleh mencelakai ayahku!' Lalu aku berseru pula
'Ayah, jangan kau celakai Gak-losam! Dan tanpa memperdulikan bagaimana
kesudahan pertarungan meraka itu, segera kutinggal pergi."
"Ya, ada baiknya juga
jalan-jalan keluar untuk menghibur diri," ujar Toan Ki.
"Sebenarnya aku hendak
mencari dirimu, sudah kucari kian kemari tatap tidak tahu ke mana harus
mencarimu?" tutur Ciong Ling. "Belum lama ini kudengar kabar bahwa
para ksatria seluruh jagat hendak berkumpul di Siau-lim-si, diam-diam kupikir
boleh jadi kaupun akan datang di sana maka aku lantas berangkat ke Siau-lim-pai
sini. Tapi aku sendiri bukan kaum ksatria atau orang gagah segala, dengan
sendirinya aku tidak berani datang ke Siau-lim si dan terpaksa berkeliaran di
lereng gunung sini untuk mencari kabar dirimu pada setiap orang yang kujumpai.
Untung di sini ada sebuah rumah kosong tanpa sungkan aku lantas tinggal di
sini."
"Dan berkat Tuhan Maha
pengasih, akhirnya aku dapat berjumpa denganmu," tukas Toan Ki dengan
pelahan sambil memegang tangan si nona yang masih terharu, terutama mengingat
si nona yang masih muda-belia itu telah terlunta-lunta dirantau dan tentu tidak
sedikit mengalami penderitaan hidup, hal ini menandakan betapa cinta si nona
kepadanya.
"Kau sendiri kenapa bisa
berada di sini?" tanya Ciong Ling sambil duduk di tepi tempat tidur.
"Ya, aku justru ingin
tanya padamu mengapa aku bisa berada di sini?" sahut Toan Ki dengan mata
terbelalak. "Aku cuma ingat diserang oleh seorang hwesio jahat, dadaku
kena tikaman hawa pikirnya yang tak berrwujud sehingga terluka parah, tapi apa
yang terjadi selanjutnya aku sendiripun tidak tahu."
"ini benar-benar sangat
aneh," kata Ciong Ling sambil berkerut kening, "Kemarin sore,, waktu
kupergi mencari sayur di kebun dan kembalinya selagi hendak mengolah sayur itu
didapur, tiba-tiba kudengar di dalam kamar ada suara orang merintih. Aku kaget,
dengan membawa bando (pisau perajang sayur) aku masuk ke dalam kamar. Kulihat
di atas tempat tidurku ada orang. Kutegur beberapa kali, tapi tiada jawaban,
Kukira pasti orang jahat yang hendak mengganggu aku, maka dengan mengangkat
bendo segera hendak kubacok orang yang rebah di tempat tidurku itu. Wah, untung
juga engkau rebah dengan telentang sehingga sebelum batok kepalamu pecah oleh
senjataku keburu aku sudah mengenali mukamu .... "
Berkata sampai di sini si nona
tepuk-tepuk dada sendiri dengan pelahan, suatu tanda hatinya masih berdebar
debar bila teringat kepada kejadian berbahaya waktu itu.
Toan Ki sendirl menduga
mungkin tempat dia rebah sekarang terletak tidak jauh dari Siau-lim-si maka
sesudah dirinya terluka parah, lalu ada orang menolongnya dan dibawa ke kini.
Kemudian aku memanggilmu, tapi
engkau merintih-rintih saja dan tidak gubris padaku." tutur Ciong Ling
pula. "Waktu kuraba jidatmu, Wàh, panasnya bukan main. Kulihat bajumu
penuh darah, maka kutahu engkau terluka. Waktu kubuka bajumu untuk periksa
lukamu, ternyata sudah diperban dengan baik dan rapi. Kukuatir mengganggu
lukamu itu, maka tidak berani kubuka perbannya. Aku menunggu lagi sampai lama
sekali dan engkau belum sadar juga. Ai, aku merasa gìrang dan kuatir pula dan
tidak tahu cara bagaimana harus berbuat."
"Maaf, aku telah
membuatmu ikut berkuatir, Sungguh aku merasa tidak enak," ujar Toan Ki.
Sekonyong-konyong Ciong Ling
menarik muka masam, katanya, "Huh, engkau bukan manusia baik-baik, Tahu begitu,
tentu sejak dulu aku tidak mau pikirkan dirimu. Dari sekarang juga aku tak mau
peduli padamu lagi, apakah engkau akan hidup atau mati, pandek kata aku tak
peduli."
"Eh, ada apa? Kenapa
mendadak marah?" tanya Toan Ki dengan heran.
"Hm, kau tahu sendiri
kenapa malah tanya padaku?" sahut Ciong Liog dengan mendengus dan
mencibir.
"Ai, aku benar ... benar
tidak tahu," kata Toan Ki cepat. "O, nonaku yang baik!, adikku yang
manis, harap katakanlah apa sebabnya?"
"Cih, siapa nonamu, siapa
adikmu?" omel Ciong Ling "Apa yang kaukatakan dalam mimpi tentu
kautahu sendiri, kenapa malah tanya padaku? Sungguh tidak genah."
"Apasih yang kukatakan
dalam mimpi?" tanya Toan Ki dengan gugup, "Itu kuucapkan dalam
keadaan tak sadar dan tidak boleh dianggap betul-betul. Oya, aku menjadi ingat.
Pasti dalam mimpi aku berjumpa denganmu, saking girangnyá kata-kataku menjadi
agak kasar sehingga membikin marah padamu."
Mendadak Cing Ling
termangu-mangu dan mencucurkan air mata, katanya, "Sampai saat ini engkau
masih mau mendustai aku, Sebenarnya dalam mimpi engkau bertemu dengan
siapa?"
"Sesudah terluka aku
lantas, ták sadarkan diri lagi, maka aku benar-benar tidak tahu apa yang
kukatakan waktu mengigau," sahut Toan Ki.
"Siapa itu nona Ong? Nona
Ong itu siapa?" seru Ciong Ling mendadak dengan suara keras. "Mengapa
waktu tak sadarkan diri selalu kau sebut namanya?"
Toan Ki menjadi pedih
sahutnya, "Jadi aku menyebut-nyebut nama nona Ong?"
"Mengapa tidak? Dalam
keadaan tak indar saja kausebut namanya, apalagi sekarang, tentu sekarang
kaupun terkenang padanya," kata Ciong Ling. "Baiklah, boleh kau
panggil kau punya nona Ong untuk melayanimu saja aku tak mau peduli lagi.”
Toan Ki menghela napas,
sahutnya, "Tapi dalam hati nona Ong justru tidak pernah terdapat orang
macam diriku, biarpun aku merindukan dia juga tiada gunanya."
"Sebab apa?"' tanya
Ciong Ling.
"Dia cuma suka kepada
Piaukonya, terhadap diriku dia itu acuh tak acuh," sahut Toan Ki.
Ciong Ling berubah girang, katanya,
"O, terima kasih kepada langit dan bumi, ternyata orang jahat telah
mendapatkan ganjaran setimpal."
"Aku orang jahat,
maksudmu?" tanya Toan Ki.
"Hábis, muridmu Gak losam
adalah satu di antara Su ok, muridmu saja sejahat itu, apalagi gurunya, sudah
tentu jahatnya tiada takaran." kata Ciong Ling.
"Dan bagaimana dengan
sang ibu gurúnya?" Toan Ki menambahkan dengan tertawa.
"Cis!" semprot Ciong
Ling dengan wajah marah jengah, tapi sedap dalam hati. Ia lantas berlari-lari
ke dapur. Tidak lama kemudian la kemudian membawa semangkuk kuah, katanya,
"Kuah ini sudah kusiapkan sejak tadi, hanya menunggu engkau sadar
kembali."
"O, banyak terima
kasih," kata Toan Ki. Dan ketika melihat si nona sudah dekat, segera ia
bermaksud bangun untuk menerima kuah itu, tapi lukanya lantas kesakitan
sehingga menjerit tertahan.
"Jangan bangun, biar aku
menyuapmü, kakek-moyang si jahat," seru Ciong Ling.
”Kakek moyang si jahat apa
maksudmu? tanya Toan Ki.
"Habis, engkau kan guru
si durjana maha jahat itu, bukankah engkau adalah kakek moyang si jahat?"
"Dan kau sendiri? ....
"
Tapi Ciong Ling lantas
menyiduk satu sendok kuah yang masih panas-panas itu, katanya dengan pura pura
marah, "Kau berani sembarangan omong, apa minta disuap dengan kuah panas
ini?"
Toan Ki menjulurkan lidah dan
berkata, "Wah, ampun! Nenek moyang si jahat benar-benar lihai, maha
jahat?”
Ciong Ling mengikik tawa
sehingga kuah di dalam senduk hampir-hampir tersiram ke atas badan Toan Ki,
cepat ia tenangkan diri. Ia coba dulu suhu kuah itu dan ternyata sudah agak
dingin. lalu ia suapi Toan Ki.
Sesudah minum beberapa senduk
kuah yang disuapkan Ciong Ling itu, dari jarak dekat dapatlah Toan Ki melihat
muka Ciong Ling yang manis di atas bibirnya ada beberapa butir keringat yang
lembut. Tatkala itu
adalah musim panas baju yang
dipakai Ciong Ling tipis dan cekak sehingga tangannya kelihaian putih bersih
laksana salju. Seketika hati Toan Kl terguncang.
Entah mengapa tiba-tiba
teringat olehnya, "Alangkah bahagianya aku jika yang menyuapi aku sekarang
ini adalah nona Ong, biarpun yang di suapkan padaku ini adalah barang busuk
atau racun juga aku bersedia mati dengan rela."
Melihat Toan Ki termangu-mangu
memandang padanya, sudah tentu sekali-kali Ciong Ling tidak menyangka kalau
saat itu yang dipikirkan pemuda itu adaiah gadis lain. Maka dengan tersenyum
Ciong Ling bertanya, "Apa yang kau lihat?"
Baru saja Toan Ki hendak
menjawab, tiba-tiba terdengar suara berkeriutnya pintu didorong orang, Menyusul
tedengar suara seorang wanita muda sedang berkata, "Bolehlah kita mengaso
sebentar di sini."
Lalu suara seorang lelaki
menjawab, "Baiklah! Tentu engkau masih sangat lelah, sungguh aku ... aku
merasa tidak enak."
"Ah, omong kosongl"
semprot si wanita.
Dari suara kedua orang itu
dapat dikenali Toan Ki sebagai suara A Ci dan Goan-ci, Sekarang dia sudah tahu
A Ci adalah anak tidak sah dari ayahnya jadi terhitung saudara satu ayah lain
ibu dengan dirinya.
Diketahuinya adik perempuan
itu sejak kecil sudah berguru pada Sing-siok Lokoai sehingga tingkah-lakunya
juga ketularan sifat liar dan jahat si iblis tua itu, bahkan Leng Jian li, si
tukang pancing, itu tokoh dari Tayli justru binasa oleh karena merasa terhina
oleh nona nakal itu.
Toan Ki sendirl sangat akrab
dengan Sam-kong dan Su-un (tiga tokoh dan empat jago) dari Tayli itu, bila
teringat pada kematian-Leng Jian-li sungguh ia tidak suka bertemu dangan adik
perempuannya yang terlalu nakal dan binal itu.
Apalagi kemarin ia sendiri
telah membantu Siau Hong dan bermusuhan dengan Goan-ci. Jika sekarang kepergok
pula selagl dia sendiri terluka bukan mustahil jiwanya akan sukar diselamatkan
lagi. Karena itu cepat ia mamberi tanda dengan jari di depan mulut agar Ciong
Ling jangan bersuara.
Si nona paham maksud Toan Ki,
ia mengangguk sambil memegang semangkuk kuah dan tidak berani ditaruh
di atas meja sebab kuatir akan
menerbitkan suara.
Kemudian terdengar A Ci sedang
berteriak-teriak di luar. "Hai, apakah di dalam orang?"
Ciong Ling memandang Toan Ki
dan tidak menjawab pertanyaan A Cl itu, pikirnya, "Nona di luar itu besar
kemungkinan adalah nona Ong dan si lelaki adalah Piauko nona Ong, makanya
kakanda Ki tidak ingin bertemu dengan si dia.”
Sebenarnya Ciong Ling sangat
ingin tahu betapa cantik-moleknya nona Ong itu sehingga dapat membuat kanda Ki
sedemikian kesemsem? Tapi ia tidak berani keluar, ia pikir kalau sampai kakanda
Ki bertemu dengan si dia, wah, tentu akan runyam malah, maka lebih baik tinggal
diam saja, jika tidak mendadak penyahutnya orang mungkin nona Ong itu akan
pergi dengan sendirinya bersama Piaukonya.
Dalam pada itu terdengar A Ci
lagi berteriak-teriak pula di luar, "Hai, apakah penghuni rumah ini sudah
mampus semua, kenapa tiada seorang pun yang keluar? Kalau tetap tak keluar,
biar nona bumi-hanguskan rumah-gubukmu ini?”
'Wah, galak benar nona Ong
ini?" demikian Ciong Ling membatin.
Tiba-tiba terdengar suara
Goan-ci, "Ssst, jangan bersuara, ada orang datang!”
"Siapa? Apa orang
Kai-pang?" tanya A Ci.
"Ada empat atau lima
orang, boleh jadi orang-orang Kai pang, arah yang mareka tuju adalah
sini," sahut Goaci.
"Para Tianglo Kai-pang
itu sudah timbul maksud khianat padamu, jika kita kepergok mereka tentu bisa
celaka," ujar A Ci.
"Habis bagaimana
baiknya?" tanya Goan-ci dengan kuatir.
"Kita sembunyi saja di
dalam kamar, engkau terluka parah, tidak mungkin melawan mereka." kata A
Ci.
Diam-diam Toan Ki mengeluh
demi mendengar A Ci dan Goan-ci hendak sembunyi di dalam kamar. Walaupun
dirinya tidak suka kepada adik perempuan tiri itu, tapi tidak menjadi asal
kalau kepergok. Hanya watak Pangcu Kai-pang itu sangat eksentrik, aneh luar
biasa, kalau dipergoki tentu bisa celaka.
Maka cepat Toan Ki memberi
isyarat kepada Ciong-Ling agar anak dara itu lekas berusaha menghindari. Namun
di rumah gubuk yang sempit itu ke mana dapat menghindar? Asal A Ci dan Goan-ci
melangkah masuk tentu akan segera dilihatnya.
Selagi Ciong Ling celingukan
dengan bingung, sementara itu suara tindakan kedua orang di luar itu terdengar
sedang mendekati kamar. Terpaksa ia berbisik, "Sembunyi di kolong
ranjang.”
Apa yang dikatakan ranjang itu
sebenarnya adalah balai-balai buatan dari pasangan batu yang serba guna, pada
musim dingin kolong balai-balai itu dapat digunakan sebagai anglo atau tungku
pemanas badan dengan membakar api di bawahnya. Dan karena sekarang adalah musim
panas, dengan sendirinya kolong balai-balai itu kosong, penuh hangus bekas
bakaran. Maka begitu Toan Ki menyusup ke dalam, seketika hidungnya banyak
menghirup debu hangus sehingga hampir saja bersin, untung dia lantas pancet
hidung sendiri dan tidak jadi mengeluarkan suara.
Ciong Ling meringkuk di
sebelah Toan Ki, waktu ia mengintip keluar sana, dilihatnya sepasang kaki kecil
bersepatu sulam telah melangkah masuk ke dalam kamar, nyata itulah kaki kaum
wanita. Sebaliknya lantas terdengar si lelaki sedang berkata, "Ai,
terpaksa aku mesti digendong kian kemari olehmu, sungguh aku terlalu merendahkan
keagungan nona."
"Kita senasib, yang satu
buta dan yang lain pincang, ini namanya gotong royong bersatu hati." sahut
si wanita muda.
Ciong Ling menjadi heran,
katanya di dalam hati, "O, jadi nona Ong itu adalah orang buta, dia
mengendong Piaukonya, Maka aku tidak melihat kaki lelaki itu.”
Dalam pada itu A Ci telah
menaruh Goan-Cí di atas balai-balai, lalu terdengar Goan-ci berkata. ”He,
tempat ini baru saja direbahi orang, di kolong selimut ini pun masih
hangat-hangat."
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar mara gadubrakan, pintu didobrak orang sehingga terpentang,beberapa
orang menerjang ke dalam. Seorang di antaranya lantas berkata dengan kasar,
"Ong-pangcu. urusan Kai-pang kita belum selesai, kenapa kau tinggal pergi
begitu saja, apa maksudmu sebenarnya?”
Itulah Song tianglo. Dia
membawa dua murid Kai-pang berkantong tujuh dan dua orang berkantung enam
datang mencari Yu Goan ci alias Ong Sing-thian, sang Pangcu.
Kiranya sesudah Siau Wan-san
ayah dan anak menguber Buyung Bok ke dalam Siau lim-si dan disusul para padri
dan ksatria Tioaggoan, tinggal orang-orang Kai pang yang merasa kehilangan
pamor habis-habisan, kalau mereka tidak lekas lekas berdaya, mungkin kedudukan
Kai-pang sebagai organisasi terbesar di dunia persilatan akan susah dlpertahankan
lagi.
Karena marasa percekcokan
antara Siau Wan-san dan Buyung Bok itu tiada sangkut-pautnya dengan Kai-pang,
maka para pengamis itu tidak ingin ikut campur, yang mereka pikirkan adalah
perlu mengangkat seorang pangcu baru yang bijaksana bagi perkembangan Kai-pang
mereka yang jaya. Tapi waktu mereka mencari Ong Sing thian, ternyata sang
Pangcu sudah menghilang entah kemana. Padahal untuk bisa mengangkat Pangcu baru
diperlukan hadirnya Pangcu lama.
Karena itu para pengemis
lantas mencari sang Pangcu, mereka menduga Ong Sing-thian tidak pergi jauh
karena kedua kakinya sudah patah. Malahan kemudian diketahui pula bahwa A Ci
juga menghilang, maka para pengemis menduga nona itu pasti kabur bersama Ong
Sing-thian.
Song-tianglo sendirl memimpin
empat murid Kai-pang dan mencari di sebelah tenggara Siau- lim-san, dari jauh
dilihatnya baju warna ungu menyelinap ke dalam sebuah rumah petani, Ia kenal A
Ci memakai pakaian ungu, tertampak pula gadis itu mengendong orang yang mirip
Ong Sing-thian, maka cepat ia memburu tiba dan menerjang ke dalam kamar rumah
petani itu. Betul juga lantas dilihatnya A Ci dan Ong Sing-thian duduk di atas
balal-balai.
Dengan suara dingin A Ci
lantas menyemprot, "Song-tianglo, jika kamu masih menyebut dia sebagai
Pangcu, mengapa kamu gembar-gembor tak karuan sama sekali tidak pakai peraturan
cara ketemu dengan Pangcu kalian?"
Song-tianglo melangak, la
pikir banar juga ucapan Si nona maka katanya, "Pangcu, saudara-saudara
kita masih berada di Siau-lim-san, apa yang harus kami lakukan selanjutnya
harap Pang-Cu memberl petunjuk."
"Apa kalian masih
menganggap aku sebagai Pangcu?" Goan-ci menegas. "Kamu minta aku
kembali ke sana, maksud kalian hanya ingin mambinasakan aku bukan? Tidak, aku
tak mau kesana!"
Segera Song-tianglo memberi
tanda kepada keempat anggota Kai-pang, "Lekas pergi menyampaikan berita
bahwa Pangcu berada di sini."
Keempat orang itu mengiakan.
Dan baru saja mereka hendak melangkah pergi, mendadak A Ci membentak,
"Turun tangan!"
Kontan sebelah tangan Goan-ci
menghantam ke depan. Seketika Ciong Ling dan Toan Ki yang sembunyi di kolong
balai-balai itu merasa hawa dingin menusuk tulang, keempat anggota Kai-pang
tahu-tahu menggeletak di lantai tanpa bersuara sedikit pun, terang sudah mati.
Kaget dan gusar pula
Song-tianglo, sambil siap siaga ia berkata, "Ter ... terhadap saudara
sendiri ken ... kenapa kau turun tangan sekeji ini?"
"Bunuh dia
sekalian!" seru A Ci mendadak.
Tanpa ayal lagi kembali
Goan-ci menghantam. Ketika Song-tianglo menangkis, "blak", kontan
tubuh pengemis tua itu mencelat dan terguling-guling keluar pintu.
A Ci tertawa senang, katanya,
"Ong-kongcu, orang itu pasti akan mampus juga, eh, kau lapar tidak?
Marilah kita mencari sedikit makanan."
Segera ia menggendong Goan-ci
ke dapur, ia ambil santapan yang sudah disiapkan oleh Ciong Ling tadi ke
ruangan tamu, lalu dimakan bersama Goan-ci.
”Kedua orang itu benar-benar
tidak tahu aturan, masakah daharan kita disikat begitu saja tanpa
permisi," bisik Ciong Ling di tepi telinga Toan Ki.
"Mereka sangat kejam,
sekali serang tentu membunuh orang, sebentar lagi tentu mereka juga akan ke
sini, mumpung mereka sedang makan minum lebih baik kita mengeluyur pergi dari
pintu belakang saja," ujar Toan Ki dengan suara perlahan.
Ciong Ling memang tidak ingin
melihat pertemuan antara Toan Ki dengan "nona Ong", sudah tentu
ajakan Toan Ki sangat kebetulan baginya. Maka dengan perlahan mereka lantas
merangkak keluar dari kolong balaibalai. Melihat muka Toan Ki penuh hangus
sehingga sangat lucu kelihatannya, hampir saja Ciong Ling mengikik geli, Cepat
ia dekap mulut sendiri.
Sesudah keluar pintu kamar dan
menyusur ke ruang dapur baru saja mereka hendak melangkah keluar pintu
belakang, celaka 13, rasa terkili-kili di hidung Toan Ki yang tertahan sejak
tadi tak bisa dikuasai lagi.
"Haciim!" ia bersin
dengan keras.
Keruan Ciong Ling mendongkol,
dalam pada itu terdengar suara gadubrakan di ruangan depan tadi, terang suara
bersin Toan Ki telah didengar A Ci. Ciong Ling menjadi gugup, ia lihat tadi
tiada yang dapat dibuat sembunyi, hanya di belakang dapur itu ada sebuah gudang
kayu bakar. Tanpa pikir lagi ia. tarik Toan Ki dan menyusup ke tengah onggok
jerami yang tertimbun dalam gudang itu.
Dalam pada itu terdengar A Ci
sedang bertanya kepada Goan-ci, "He, seperti ada orang memanggil aku?
Kukira di sini pasti ada orang."
"Ah, besar kemungkinan
ada petani di sini, tak perlu digubris." ujar Goan-ci.
"Masakah tali digubris?
Engkau terlalu gegabah, kelak engkau pasti akan rugi sendiri." Kata A Ci.
"Sst, jangan bersuara!"
Karena matanya buta, dengan
sendirinya telinganya menjadi jauh lebih tajam dan pada orang biasa, samar
samar ia dengar ada suara kresek-kresek di gudang kayu, maka ia lantas
berbisik, "Di tengah onggok rumput ada orang!"
Sesudah menyusup ke dalam
onggok jerami, mestinya Ciong Ling dan Toan Ki tidak berani bersuara atau
bergerak sedikit pun. Tapi mendadak Ciong Ling merasa mukanya ketetesan cairan,
waktu ia raba dan dicium, ia endus bau anyir darah keruan ia terkejut dan
bertanya, "He, lu ... lukamu kambuh lagi?"
"Ssst, jangan
bersuara!" bisik Toan Ki.
Tapi karena ucapan Ciong Ling
itu, suaranya segera didengar oleh A Ci. Ia menjawab Goan-ci dan memberi tanda
ke arah gudang kayu. Segera Goan-ci menghantam ke sana, "brak", papan
pintu pecah berantakan dan bertebaran bersama jerami.
Selagi Goan-ci hendak menghantam
pula, cepat Ciong Ling berseru, "Jangan memukul lagi, kami akan
keluar!"
Lalu ia memayang Toan Ki dan
merangkak keluar dari tempat sembunyi mereka.
Rupanya luka Toan Ki yang
ditikam oleh ”Hwe-yam-to" tak berwujud serangan Cimoti itu menjadi pecah
lagi setelah banyak bergerak karena diseret sembunyi ke sini dan ke sana oleh
Ciong Ling sehingga darah mengucur lagi.
Waktu dia merangkak keluar
dari onggok jerami, sementara itu badannya sudah berlepotan darah tercampur
hangus, kotoran jerami dan lain-lain sehingga tak keruan macamnya.
"He, kenapa ada suara
seorang nona cilik?" demikìan tanya A Ci kepada Goan Ci.
"Ya, seorang lelaki dan
seorang nona cilik bersembunyi di tengah onggok jerami, badan mereka berlepotan
darah, kedua mata dara cilik yang berkilat-kilat itu sedang memandang
dirimu," sahut Goan-ci.
Sejak A Ci buta, ia paling
sirik, bila ada orang menyebut tentang "mata". Sekarang Goan-ci tidak
cuma bilang "mata" saja, bahkan mengatakan "mata yang
berkilat-kilat", hal ini semakin menyinggung perasaannya. Maka tanyanya segera,
"Berkilat-kilat bagaimana? Apakah matanya sangat celi dan indah?"
Goan-ci tidak tahu A Ci sangat
marah, maka jawabnya, "Pakaian dara silik itu sangat kotor, tentu dia anak
petani di sini. Hanya matanya memang sangat celi dan hitam mengkilat."
Keruan A Ci tambah murka,
sekonyong-konyong timbul semacam pikirannya yang keji, katanya segera,
"Ongkongcu, kenapa engkau tidak mencukil matanya yang indah itu!"
Goan-ci terperanjat, tanyanya,
"Tanpa sebab mengapa mencukil matanya?"
Sesudah sekian lamanya berada
bersama, A Ci kenal perangai Goan-ci yang suka sembarangan membikin susah orang
lain. Segera ia berkata pula, "Mataku Sudah dibutakan Ting-lokoai, maka
boleh kau cukil mata nona cilik itu untuk dipasangkan padaku agar aku dapat
melihat lagi, bukan kah cara demikian sangat baik?"
Tapi Goan-cl menjadi kuatir
pikirnya, 'Jika kau dapat melihat lagi sehingga tahu mukaku yang buruk seperti
siluman ini, tentu engkau tak mau gubris lagi padaku dan boleh jadi engkau akan
mengenàli pula mukaku yang asli dan mengatahui aku ini si Badut kepala besi,
segala Ong Sing-thian, ketua Kek-lok-pai dan apa lagi tidak lain hanya dusta
belaka, maka pasti engkau akan putuskan hubungan dengan aku seketika. Wah,
permintaanmu ini sakali-kali tak boleh terjadi."
Karena itu, lalu jawabnya.
"Jika aku dapat menyembuhkan matamu ini biarpun aku harus hancur-lebur
juga
aku rela tapi .... tapi
rasanya tidak dapat lagil"
Walaupun A Ci juga tahu tidak
dapat mencukil mata orang lain untuk menggantikan mata sendiri yang buta, tapi
sejak dia buta sungguh rasa dendamnya tak kepalang, kalau bila ia ingin setiap
manusia di jagat ini juga dibuat buta semua, dengan demikian barulah ia merasa
puas. Maka katanya, "Engkau bolum mencoba dari mana kau tahu tidak dapat?
Ayo, lekas lakukan cukil dulu matanya itu!"
Memangnya Goan-ci sudah berada
di gendongannya, maka A Ci lantas melangkah ke arah Toan Ki dan Ciong Ling.
Dalam pada itu Ciong Ling
menjadi ketakutan demi mendengar tanya jawab A Ci dan Goan-ci tadi, maka
sebelum A Ci mendekat lebih dulu ia sudah angkat langkah seribu alias lari.
Dasar gerak-gerik Ciong Ling memang lincah dan gesit, dalam keadaan takut
larinya menjadi lebih cepat lagi maka dalam sekejap saja la sudah lari beberapa
puluh meter jauhnya.
A Ci sandiri buta, menggendong
Goan-ci pula, dengan sendirinya susah mengejar Ciong Ling. Maka waklu mendengar
suara lari Ciong Ling yang sudah menjauh itu, la tahu tak dapat menyusulnya
segara la berhenti dan berkata, "Jika anak dara itu lari boleh bunuh saja
yang lelaki!”
Ciong Ling terperanjat ketika
dari jauh mendengar ucapan A Ci itu, segera ia berhenti lari dan putar balik,
la lihat Toan Ki menggeletak di tanah dan banyak mengucurkan darah, bentaknya
segera, "Anak buta kau berani mencelakai dia?"
Sekarang dia sudah berhadapan
dengan A Ci dan dapat melihat jelas mukanya, ia lihat si "Nona Ong” memang
sangat cantik, sungguh sukar dipercaya bahwa hatinya ternyata begitu kejam.
"Tutuk dia punya
hiat-tol" tiba-tiba A Ci berseru pula.
Walaupun Goan-ci sebenarnya
tidak mau, tapi selama ini ia tidak berani membangkang perintah A Ci, dahulu
waktu di negeri Liau bagitu, sekarang sesudah jadi Pangcu Kai-pang juga tetap
demikian maka demi mendengar perintah A Ci, seketika ia menutuk ke depan,
"crit", kontan Ciong Ling tertutuk roboh.
"Nona Ong. jangan ...
mencelakai dia!" seru Ciang Ling. "Dia ... dia selalu
terkenang-padamu. dalam mimpi pun selalu menyebut namamu, dia benar-benar
sangat cinta padamu."
"Heh, apa katamu? Nona
Ong?" tanya A Ci dengan heran.
"Apa engkau bu , .. bukan
nona Ong!" Ciong Ling menegas. "Habis siapa engkau?"
A Ci tersenyum, katanya,
"Meski Ong-kongcu ini adalah orang kusendiri, tapi aku sendiri bukan she
Ong. boleh juga asal dia selalu menurut pada perintahku dan tidak boleh
membangkang sedikit pun."
Hati Goan-ci berdebar demi
mendengar ucapan A Ci yang seakan-akan memberi bayangan bila dirinya senantiasa
menurut kemauan si nona, maka ada kemungkinan si nona akan mau menjadi
istrinya. Seketika Goan-Ci merasa tenggorokannya seperti tersumbat, hendak
bicara, tapi berat sekali rasanya.
Kemudian A Ci menurunkan
Goan-ci dan membiarkannya duduk bersandarkan pohon, lalu katanya, "Nah,
lekas mencukil mata anak dara itu!"
Dalam keadaan kesemsem, tanpa
pikir lagi Goan-cì mengiakan, ia mengulur sebelah tangannya dan mencengkram
kuduk Ciong Ling.
Karuan Ciong Ling Ketakutan
dan berteriak-teriak, "Jangan mencukil mataku, jangan!"
Saat itu Toan Ki dalam keadaan
sadar tak sadar, tapi ia pun lahu kedua orang itu hendak mencukil biji mata
Ciong Ling untuk menggantikan mata A Ci yang sudah buta itu. ia pun tahu tadi
Ciong Ling sebenarnya dapat melarikan diri, tapi demi untuk menolong dia, si
nona lari balik hingga tertangkap. Maka dengan sekuatnya Toan Ki coba berkata,
"Le ... lebih baik kalian mencukil biji mataku saja. Kita ... kita adalah
orang sekeluarga, tentu ... tentu akan lebih cocok .... "
A Ci tidak paham apa yang
dikatakan Toan Ki tentang "orang sekeluarga," tetap mendesak Goan-ci,
"Ayo, kenapa tidak lekas turun tangan.”
"Ya," sahut Goan-Ci
dan segera ia seret Ciong ling lebih dekat, sekali ia puntir kepala Ciong Ling
ke atas, lalu dengan jari kanan hendak mencolok mata kiri si nona.
Untung pada saat itu keburu
ada suara bentakan seorang perempuan, "Hai, apa yang sedang kalian lakukan
di situ?"
Goan-ci tertegun, cepat ia
menoleh seketika air mukanya bwrubah, ternyata di bawah pohon, di tepi parit
pegunungan sana berdiri dua
orang lelaki dan empat wanita. Kedua orang lelaki itu adalah Siau Hong dan
Hitiok, sedang keempat orang wanita adalah Bwe-kiam dan kawan-kawannya.
Sekilas Siau Hong, sudah lihat
Toan Ki menggeletak di situ, cepat ia melompat maju dan membangunkan Toan Ki.
Katanya dengan berkerut kening, Lukanya pecah lagi dan mengeluarkan darah
sebanyak ini!"
Segera sebelah kakinya
berlutut dan menyandarkan tubuh Toan Ki pada pahanya, lalu di periksanya luka
saudara angkat itu.
Sementara itu Hi-tiok juga
sudah mendekatinya katanya setelah melihat luka Toan Ki itu, "Toako jangan
kuatilr kupunya Kilu-coan-him-coa-wan ini sangat manjur sekali bagi luka
demikian!"
Segera ia menutuk beberapa
hiai-to di sekitar luka Toan Ki itu untuk menghentikan darah yang masih
mengucur itu lalu dijejalkan sebutir Kiu-coan-him-coa-wan ke mulut Toan Ki.
Wajah Toan Ki yang pucat pasi
itu menampilkan senyuman lega, katanya, "Toako, Jiko, lekas ... lekas
cegah mereka yang hendak men ....mencukil mata nona Ciong itu."
Serentak Siau Hong daa Hi-tiok
lantas memandang ke arah Goan-ci.
Dalam gugupnya cepat Goan-ci
melepaskan cengkaramannya atas diri Ciong Ling, Sedangkan A Ci lantas mengenali
suara Siau Hong, katanya segera "Cihu, apa pesan Enciku sebelum ajalnya?
Sesudah kau pukul mati dia, sekarang engkau melupakan pula segala pesannya
padamu?"
Mendengar nona cilik itu
menyinggung A Cu kembali Siau Hong berduka dan medongkol pula maka ia hanya
mendengus sekali dan tidak menjawab.
A Ci berkata pula,
"Engkau tidak menjaga diriku dangan baik dan tidak pusing pula ketika
mataku dibutakan oleh Ting-lokai. Cihu, setiap orang sama engatakan engkau
adalah ksatria nomor satu di jaman ini tapi engkau tidak mampu melindungi
keselamatan adik iparmu sendiri. Apa barangkali engkau tidak punya kepandaian?
Hm, padahal Ting-lokoai sudah terang bukan tandinganmu, soalnya engkau tidak
mau menjaga dan membela diriku."
"Kau sendiri mengeluyur
pergi secara mendadak dan tanpa pamit, dari mana kudapat mencari dirimu?"
sahut Siau Hong. "Namun ... namun matamu buta, hal ini memang ... memang
salahku yang kurang sempuma menjaga keselamatanmu."
Semula sebenarnya Siau Hong
sangat marah ketika melihat A Ci bikin gara-gara lagi dengan menyuruh Goanci
mencukil mata orang lain. Tapi sekarang dia lantas teringat pesan A Cu pada
malam yang gelap gulita dengan hujan badai di atas jembatan batu itu A Cu kena
hantamannya. Lalu memberi pesan terakhir dalam pelukannya agar selunjutnya süka
menjaga adik perempuannya, yaitu A Ci. Untuk itu Siau Hong sendiri pernah
berjanji jangankan Cuma satu permintaan, biarpun seratus atau seribu permintaan
juga akan dituruti.
Tapi akhirnya A Ci tersesat ke
jalan yang jahat, matanya buta pula, untuk ini terang dirinya harus bertanggung
jawab karena kurang sempurna mengawasi anak dara cilik itu. Berpikir sampai di
sini, perasaan Siau Hong menjadi pedih, sorot matanya penuh menunjuk kehalusan
budi. Walaupun A Ci tidak dapat melihat air muka Siau Hong, cukup lama dia
tinggal bersama sang Cihu, maka ia cukup kenal watak Siau Hong, asal dirinya
menyingung tentang A Cu, itu berarti obat yang paling mujarab, biar urusan maha
besar apa pun juga pasti akan diterima Siau Hong.
Dan karena benci pada Ciong
Ling yang telah menyebutnya "anak buta ' diam-diam ia bersumpah akan
membuat Ciang Ling juga merasa bagaimana rasanya orang buta. Maka sesudáh
menghela napas, lalu ia berkata kepada Siau Hong, "Cihu mataku buta,
segala apa tak bisa kulihat lagi lebih baik aku mati saja."
"Kau boleh ikut ayahmu
pulang ke Tayli saja,” Ujar Siau Hong. "Betapa bahagíanya hidup dalam
istana raja Tayli sana, sekali kamu bersuara akan mendapat jawaban orang
banyak, biarpun matamu buta. tapi kamu akan dilayani dayang-dayang yang tak
terhitung banyaknya, tentu kamu takkan susah.”
"Ibuku bukan istri
pangeran yang sah. Bila aku tinggal di Taílí sana, kalau sampai terjadi
percekcokan antar anggota keluarga, sedangkan mataku súdah buta, aku pasti akan
dibunuh orang." kata A Ci.
Benar juga pikir Síau-Hong
akan alassan A Ci maka jawabnya, "Jika begitu boleh kau ikut aku pulang ke
Lamkhin, akan ku suruh orang melayanimu dengan baik supaya bias hidup dengan
tentram dan senang, jauh lebih enak dari pada terlunta-lunta di dunia kangouw.
"Pulang kembali ke
istañamu?" A Ci menegas. "Aduh mak! Sedangkan dahulu waktu mataku
tidak buta hidupku di sana pun terasa sebat, apalagi sekarang? Kaupun tidak
sama seperti Ong-pangcu íni yang segala apa selalu menurut padaku. Maka aku
lebih suka hidup terlunta-lunta di kangouw secara bebas."
Siau Hong coba memandang
sekejap pada Goan ci pikirnya, "Urusan begini memang aku tidak dapat
melarang dia. Tampaknya A Ci sudah menyukai Pangcu Kai-pang ini."
Karena itu mendadak rasa
bencinya pada Goan-ci bertambah satu lapis lagi, segera ia Tanya kepada A Ci,
"Saudara Ong ini sebenarnya dari mana asal-usulnya? Apa sudah pernah kau
tanya dia?"
"Sudah tentu aku pernah
tanya dia," sahut A Ci. "Cuma asal-usul seseorang juga tidak selalu
dapat dipercaya. Misalnnya Cihu sendiri dahulu waktu engkau masih menjabat
Pangcu Kai-pang apakah engkau pernah bilang kepada orang lain bahwa engkau
adalah keturunan Cidan?"
Siau Hong menjadi kurang
senang karena setiap kata A Ci itu selaiu berduri. Maka ia hanya mendengus
sekali dan tidak bicara lagi. Dalam hati ia tak bisa ambil keputusan apa mesti
membiarkan A Ci ikut pergi bersama Ong Sing-thian atau tidak?”
Tapi A Ci lantas berkata,
"Cihu, engkau takkan mempedulikan aku lagi, ya?”
"Habis apa pula
kehendakmu?" sahut Siau Hong sambil berkerut kening.
"Soalnya sangat mudah
sekali." ujar A Ci Ku minta engkau mencukilkan biji mata nona cilik iti
dan dipasangkan pada mataku."
Sesudah merandek sejenak, lalu
ia menyambung pula, "Ong pangcu sudah menyanggupi melakukan hal itu bagiku
bila engkau tidak datang dan mencegahnya, tentu sejak tadi urusan sudah beres.
Ya, boleh juga engkau yang melakukannya bagiku. Cihu, aku sangat ingin tahu
apakah engkau lebih baik padaku atau Ong-pangcu lebih baik padaku. Dahulu
engkau menghantam patah tulang rusukku, lalu kau bawa aku jauh ke timur laut
sehingga kesehatanku sembuh kembali, Takkala itu betapa baiknya engkau padaku,
apa yang kumaukan tentu kau lakukan. Kita berdua tinggal dalam satu kemah,
tanpa pikirkan siang atau malam senantiasa kau pondong tubuhku. Cihu, apakah
engkau sudah melupakan semua itu?”
Mendengar uraian A Ci itu,
seketika mata Goan-ci menyorotkan sinar kebencian yang tak terkatakan, sinar
mata yang buas dan penuh cemburu dan seakan-akan hendak berkata, "A Ci
adalah Milikku, jangan kau coba menyentuhnya sedikitpun.”
Siau Hong sendiri tidak
memperhatikan sinar mata Goan-ci yang luar biasa itu, la menjawab pertanyaan A
Ci tadi, "Tatkala itu kamu terluka parah karena pukulanku, demi untuk
menyembuhkanmu mau-tak mau aku harus mengikuti segala keinginanmu. Sedangkan
nona cilik ini adalah kawan adik angkatku, mana boleh kau cukil matanya untuk
menggantikan matamu? Apa lagi di dunia ini pada hakekatnya tiada cara
pengobatan demikian, cara berpikirmu ini sungguh terlalu aneh!"
Tiba-tiba Hi-tiok menimbrung.
"Kulihat kedua mata nona Toan itu cuma rusak selaputnya saja karena
terbakar, kalau dapat diganti dengan sepasang biji mata orang hidup memang
bukan mustahil akan dapat disembuhkan kembali."
Memang ilmu pengobatan dari
golongan Siau-yau-pai boleh dikata maha sakti, walaupun pengetahuan Hi-tiok
dalam hal ini tidak banyak, tapi dia telah belajar selama beberapa bulan dengan
Thian-san Tong-lo, maka macam-macam cara pengobatan yang aneh pernah didengarnya
juga dari nenek sakti itu.
Karena keterangan Hi-tiok itu
membuat A Ci bersorak gembira, katanya, "Wah, bagus! Hi-tiok siansing,
ucapanmu tidak mendustai aku bukan?"
"Sudah tentu aku tidak
dusta, cuma ....”
"Cuma apa?" A Ci
menegas dengan tidak sabar. "O, Hi-tiok Siansing yang baik, engkau adalah
saudara angkat Cihuku, maka kita pun sebenarnya adalah orang sendiri. Tadi
kaupun sudah mendengar kata-kata Cihu, dia paling sayang padaku. Eh, Cihu,
betapapun engkau harus minta adik angkatmu agar Suka menyembuhkan mataku."
”Aku memang pernah dengar
cerita paman guruku bahwa biji mata yang belum rusak dapat diganti dengan biji
mata hidup yang lain, cuma cara mengganti biji mata ini aku sendiri tidak
paham," ucap Hi-tiok.
"Jika begitu harap
memohonkan pertolongan paman gurumu itu," sahut A Ci.
"Ai, sayang beliau sudah
lama wafat," sahut Hi-tiok sambil menghela napas.
"Ha, jadi kau sengaja
omong kosong untuk mempermainkan aku," omel A Ci.
"Tidak, tidak,"
cepat Hi-tiok menerangkan. "Leng-ciu-kiong kami banyak banyak menyimpan
kitab püsaka, kuyakin ilmu penyembuhan mata itu juga terdapat di antara
kitab-kitab kami itu. Hanya saja ... hanya saja .... "
"Kamu ini memang aneh,
seorang lelaki mengapa suka bicara demikian rupa, tadi ada 'cuma', sekarang
tambah lagi 'hanya saja' apa segala?" kata A Ci.
"Hanya saja siapa yang
mau memberikan biji mata hidup untuk menggantikan matamu?" kata Hi-tiok
akhirnya.
"Hihi!" A Ci
tertawa. "Kukira, soal apa yang sukar, tak tahunya Cuma soal biji mata.
Ini kan gampang, asal kau cukil biji mata nona she Ciong itu, bukankah urusan
menjadi beras?”
"Tidak, tidak boleh
jadi!" seru Ciong Ling. "Kalian tidak boleh mencukil mataku."
"Benar!" kata
Hi-tiok. "Jika kamu tidak ingin kehilangan mata, sudah tentü nona Ciong
pun tidak ingin buta matanya. Kata Khong-hu-cu 'Apa yang kita sendiri tidak
mau, janganlah dilimpahkan kepada orang lain.’ Apalagi nona Ciong ini adalah
sobat baik Samte kami ... "
Berkata sampai sobat baik
mendadak hati Hi-tiok tergetar, "Wah, celaka! Tempo hari ketika aku makan
minum bersama Samte di Leng-ciu-kiong dan saling mengutarakan perasaan
masing-masing diketahui bahwa kekasihnya adalah 'Dewi impian’ ku pula.
Tampaknya sekarang Samte sangat baik pada nona Ciong ini, Bahkan tadi Samte
menyatakan bersedia matanya dicukil daripada mata nona Ciong yang dicukil, dari
hal ini saja dapat di ketahui betapa mendalam cinta Samte kepadanya."
Lalu terpikir pula oleh
Hi-tiok, "Apa mungkin nona Ciong ini adalah dewi impian yang pernah
berkumpul tiga malam berturut-turut denganku itu?”
Teringat akan pengalaman tempo
dulu itu, kembali hati Hi-tiok berdebar-debar, ia coba melirik ke arah Ciong
Ling ia lihat meski kepala dan muka nona itu penuh debu hanlus, tapi semua itu
tidak menutupi kecantikannya.
Waktu berkumpulnya Hi-tiok
dengan Dewi impiainnya cukup lama, cuma ketika itu mereka berada di dalam
gudang es yang gelap gulita, maka bagaimana sebenarnya wajah sang "dewi
impian" itu tidaklah jelas baginya, kecuali kalau dia menggunakan
tangannya untuk meraba muka dan bagian-bagian tertentu barulah mungkin dapat
mengenalinya. Tapi disiang hari bolong, di depan orang banyak mana berani Hi-tiok
menggunakan tangannya untuk meraba mukanya Ciong Ling?
Karena itu, untuk sekian
lamanya la merasa bingung, ia coba ingat-ingat suara "dewi impian' itu,
rasanya agak berbeda dengan suaranya Ciong Ling. Tapi suara seseorang besar
kemungkinan akan berlainan bila berada didalam gudang dan berada di luar rumah.
Apalagi waktu se dewi impian bicara dengan dia hanya dilakukan dalam keadaan
bisik-bisik penuh kasih mesra, sedangkan sekarang Ciong Ling berteriak dan
menjerit dalam keadaan ketakutan, suasana yang berbeda tentu juga tidak heran
bila mengakibatkan perbedaan suara.
Begitulah dengan
termanggu-manggu Hi-tiok memperhatikan Ciong Ling, dalam hati sesungguhnya
sangat ingin mengulurkan tangannya untuk meraba-raba muka si nona agar dapat
diketahui apakah nona itu adalah Dewi impiannya sendiri atau bukan? Dan karena
timbul rasa kasih mesranya itu, dengan sendirinya air mukanya lantas mengunjuk
rasa lemah lembut dan ramah tamah.
Ciong Ling sampai
terheran-heran ia pikir si gundul ini (rambut Hi-tiok belum tumbuh kembali walau
pun sudah ganti pakaian biasa) tampaknya sangat ramah-tamah, tentu dia tìdak
mau mencukìl mataku. Maka legalah hatinya.
Dalam pada itu A Ci telah
berkata pula, "Hi-tiok Siansing, aku adalah adik perempuan kau punya
Samte, sedangkan nona Ciong ini hanya kawannya saja. Perbedaan ini tentu sangat
besar."
Sementara itu sesudah minum
Kiu-coan-him-coa-wan, dalam sekejap saja darah sudah berhenti mengucur keluar
dari luka Toan Ki, pikirannya juga pelahan-pelahan jernih kembali, maka
beberapa kata-kata A Ci yang terakhir itu dapat didengarnya dengan jelas.
Karena itu ia lantas menjengek dan berkata, "Hm, jadi kau sudah tahu bahwa
kau membunyai hubungan darah dengan aku, tapi mengapa kau suruh orang untuk
mencelakai aku?”
"Engkoh cilik,"
sahut A Ci dengan tertawa. "Waktu kau sembunyi didalam kamar sudah tentu
aku tidak tahu bahwa kau yang berada disitu, kemudìan sesudah mendengar suaramu
barulah aku mengenalimu. Mataku sudah buta jika tidak mendangarkan susramu,
dari mana aku bisa tahu engkau adalah saudaraku sendiri?"
Benar juga pikir Toan Ki, maka
katanya, "Ya, sudah. Jika Jiko paham cara pengobatan mata, tentu dia akan
berusaha untuk menyembuhkanmu. Tapi biji mata nona Ciong sekali-kali tak boleh
kau ganggu."
"Eh, tadi kudengar engkau
membaiki nona Ong dengan berbagai daya upayamu, mengapa dalam sekejap saja kau
penujui pula nona Ciong ini?” tanya A Ci.
"Ngaco!" sahut Toao
Ki dengan muka merah jengah.
"Dan kalau nona Ciong ini
adalah calon Enso (kakak ipar istri kakak), dangan sendirinya tidak boleh kuganggu
dia tapi kalau bukan mengapa aku dilarang?” kata A Ci pula. "Nah,
engkohcilik, katakanlah terus terang dia Ensoku atau bukan?”
Hi-tiok melirik ke arah Toan
Ki dengan hati berdebar-debar ia tidak tahu Ciong ling, itu sang "Dewi
impian" yang dirindukannya atau bukan? Jika bukan sih tidak menjadi soal,
tapi kalau betul wah, kan runyam bila sampai diambil istri oleh Toan Ki.
Begitulah, maka Hi-tiok juga
ingin tahu apa jawahan Toan Ki. Ciong Ling pun sedang menantikan keterangan
Toan Ki, pikirnya, "Kiranya nona buta ini adalah adik perempuanmu, sampai
dia juga mengatakan kausuka pada nona Ong maka hal ini tidak perlu disangsikan
lagi. Tapi kenapa tadi kau bilang aku adalah ibu guru Gak-
Losam? Mengapa engkau bersedia
menyerahkan biji matamu untuk mewakilkan mataku yang akan dicukil nona buta
itu?"
Akhirnya terdengar Toan Ki
menjawab. "Pendek kata kamu tidak boleh membikin susahnona Ciong. Usiamu
masih sekecil ini tapi selalu berbuat hal-hal yang tidak pantas. Leng liam li
bukankah mati lantaran marah padamu. Kalau sekarang kamu berniat jahat lagi,
tentu Jiko tak mau mengobati matamu."
"Waduh lagaknya seperti
orang tua mengajar anak perempuan ya?" sahut A Ci dengan mulut
mengjangkit.
Melihat semangat Toan Ki sudah
mulai pulih, suaranya penuh tenaga, maka Siau Hong tahu Kuim-coan-wan yang
diberi Hi-tiok itu sangat manjur, keselamatan adik angkat itu sekarang tidak
perlu dikuatirkan lagi. Segera katanya, ”samte, marilah kita mengaso dulu ke
dalam rumah dan sekaligus merundingkan langkah-langkah selanjutnya.”
Toan ki mengiakan dan segera
bangun, Ciang Ling menjadi kuatir, serunya, "Eh, hati-hati nanti lukamu
kambuh lagi!"
"Obatmu benar-benar
sangat manjur, Jiko," käta Siau Hong.
Hi tiok hanya mengiakan saja,
dalam hati ia sedang memikirkan nada ucapan Ciong Ling yang penuh perhatian
kepada Toan Ki tadi, karena belum tahu persis apakah nona itu Dewi Impian atau
bukan, maka ia pun tidak tahu apa mesti cemburu atau tidak, ia hanya merasa
bingung seakan-akan kehilangan sesuatu.
Sesudah semua orang masuk ke
dalam rumah, Toan Ki rebah kembali di atas balai-balai dan Siau Hong duduk di
depannya, Bwe-kiam berempat sibuk masak air da menanak nasi, mereka melayani
Siau Hong, Toan Ki, Ciong Ling dan Hi-tiok dengan Baik, sebaliknya sama sekali
tidak gubris kepada Goan ci dan A Ci.
Tentu saja A Ci sangat
mendongkol. Kalau menuruti wataknya, mestinya keempat dara Leng-ciu-kiong itu
sudah didamprat dan diracun sekalian atau ditinggal pergi saja, tapi sekarang
karena dia perlu minta pertolongan Hi-Tiok untuk menyembuhkan matanya, terpaksa
ia menahan rasa gusar itu.
Siau Hong adalah seorang
lelaki yang berhati lapang, sudah tentu ia tidak mengurusi apakah A Ci sedang
marah marah atau tidak? Dalam isengnya ià menarik laci meja yang terletak di
dekat balai-balai itu, kotika melihat laci meja itu, seketika ia tertegun.
Melihat sikap sang Toako yang
agak aneh itu, Hi-tiok dan Goan-ci ikut memàndang ke dalam laci. Kiranya di
dalamnya terisi macam-macam mainan kanak-kanak, ada harimau kayu,
anjing-anjingan lempung, bumbung wadah jangkrik dan beberapa belah pisau kecil
yang sudah berkarat. Kesemua itu adalah barang mainan anak kecil yang tidak
perlu diherankan. Tapi Siau Hong justru ambil harimau kayu itu dan
mengamat-amatinya dengan termangu-mangu.
A Ci tidak tahu apa yang
sedang dilakukan Siau Hong, padahal hidupnya senantiasa ingin disanjung puji
dan suka memerintah tapi di depan Siau Hong dan Hi-tiok mau tak mau Goan-ci
merasa jeri sehingga sama sekali ia tidak berani ajak bicara pada A Ci, hal ini
membuat A Ci semakin mendongkol dan makin uring-uringan, tiba-tiba sikutnya
menumbuk sebuah alat tenun kayu di sebelahnya sehingga ambruk dalam gusarnya A Ci
terus lolos pedang dan "crat", ia membacok alat tenun itu sehingga
terbelah menjadi dua.
"A Ci, ada apa?” bentak
Siau Hong mendadak.
"Alat tenun itu membentur
tanganku hingga kesakitan, maka kuhancurkan dia, apa sih alangannya?"
sahut A Ci.
"Kau keluar sana! Masakah
benda dalam rumah ini boleh kau rusak semaunya?" kata Siau Hong dengan
gusar.
"Keluar ya keluarl"
sahut A Ci. Dan dengan langkah cepat ia terus bertindak keluar.
Tak tersangka karena
terburu-buru, "duk” batok kepalanya kebentur tepian pintu. Tapi tanpa
bersuara sedikit pun ia meraba raba jelas jalannya dan tetap melangkah keluar
dengan cepat.
Hati Siau Hong menjadi lemas
dan merasa kasihan cepat ia memburu maju dan memegang tangan A Ci katanya
dengan suara halus "A Ci apakah sakit?"
A Ci tak sangup menjawab lagi,
ia putar badan dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Siau Hong sambil menangis
tersedu-sedan.
Tangan Siau Hong menepuk bahu
A Ci, katanya dengan suara ramah. "Ya, A Ci aku yang salah tidak
seharusnya aku berlaku kasar padamu."
"Engkau ... engkau sudah
berubah, Engkau sudah berubah." kata A Ci sambil mengangis. "Engkau
tidak ..... tidak seperti dulu lagi."
'Duduklah A Ci, minum sedikit,
ya?” bujuk Siau Hong. Lalu ia ajak masuk nona itu dan mengangkat mangkuk
sendini yang berisi air teh dan disodorkan ke mulut A Ci, sebelah tangannya
digunakan untuk merangkul punggung A Ci.
Dahulu karena menyesal telah
melukai nona cilik itu, pula mengingat pesan terakhir A Cu, maka selama lebih
setahun Siau Hong merawat A Ci, baik makan minum, maupun ganti pakaian, sisir
rambut dan sebagainya selalu Siau Hong melayaninya seperti terhadap adik
perempuan sendiri sedikit pun tidak mempunyai perasaan di luar garis.
Tatkala itu bila A Ci hendak
minum obat karena belum sanggup duduk tegak, Siau Hong mesti membantunya dengan
merangkul badan si nona agar dapat menegak, lama-lama kebisaan itu menjadi
berakar, maka sekarang ketika memberi minum Siau Hong pun merangkul punggung si
nona seperti dahulu.
Sesudah A Ci minum beberapa
ceguk dengan dirangkul Siau Hong, perasaan mejadi agak lega katanya kemudian
dengan tertawa, "Cihu, apa engkau masih akan mengusir aku?"
Siau Hong tidak menjawab,
pelahan ia lepaskan tubuh si nona dan menoleh untuk menaruh kembali mangkuk teh
di atas meja. Karena waktu itu sudah dekat magrib, dalam keadaan remang-remang
tiba-tiba dilihatnya sepasang sinar mata yang buas bagai binatang sedang
menatapnya dengan penuh kebencian. Ia terkejut. Ia lihat itu lah sorot matanya
Goan-ci yang duduk di pojok sana dengan mengertak gigi, hidungnya
berkembangkempis seolah-olah binatang liar yang ingin menerkamnya.
Diam-diam Siau Hong membatin,
"Orang ini entah dari mana asal-usulnya, sungguh sangat luar biasa.”
Dalam pada itu terdengar A Ci,
sedang berkata pula, "Cihù, aku cuma merusakkan sebuah alat tenun lama,
kanapa engkau sedemikian marah?"
"Apa kau tahu bahwa ini
adalah rumah ayah bunda angkatku dan alat tenun yang rusak ini adalah milik ibu
angkatku?" sahut Siau Hong.
Semua orang terkejut mendengar
keterangan itu. "Toako, jadi engkau yang menyelamatkan aku ke sini?"
tanya Toan Ki.
Siau Hong mengangguk. Ia
pegang harimau kayu yang kecil itu dan dipandangnya dengan termenung-menung.
Sementara itu hari sudah gelap, Tiok Kiam telah menyalakan pelita minyak
sehingga bayangan Siau Hong
yang kekar itu tersorot ke
dinding rumah.
Siau Hong mengamat-amati
mainan harimau kayu yang kecil itu dan berkata dengan suara penuh perasaan,
"Ini adalah mainan yang diukir oleh ayah angkatku. Takkala itu usiaku
kira-kira lima tahun, beliau duduk di samping meja, di bawah sinar pelita
minyak separti sekarang ini, dan mengukir mainan kayu ini bagiku. Ibu angkat
sendiri sibuk menenun situ. Aku berdiri menunggui ayah angkat yang sedang
mengukir harimau kayu ini, aku menyaksikan moncong harimau selesai diukir, lalu
telinganya, sungguh alangkah senangnya hatiku .... "
Toan Ki dan Hi-tiok tahu akan
nasib Siau Hong yang malang itu, mereka tahu sang Toako itu dibesarkan oleh
ayah-ibu angkatnya, tapi kedua orang tua itu dibunuh oleh Siau Wan-san,ayah
Siau Hong yang sebenarnya. Maka bila sekarang terkenang budi kebaikan ayah ibu
angkatnya di masa dahulu itu, sudah tentu ia sangat berduka dan terharu.
Kiranya waktu Cumoti mendadak
menyerang Toan Ki, untung juga si padri tua yang sedang berkhotbah itu sempat
mengebaskan lengan bajunya sehingga Cumoti terdorong pergi beberapa meter
jauhnya. Karena itu Cumoti ketakutan dan lekas-lekas melarikan diri. Siau Hong
sendiri lantas mengadakan pertolongan kepada Toan Ki yang terluka parah itu
dengan bantuan obat luka mujarab pemberian Hian-seng dari Siau-lim-si.
Untung tenaga dalam Toan Ki
sekarang sudah sangat hebat, tikaman Cumoti yang tak berwujud itu tidak sampai
menembus dadanya sehingga jiwanya masih dapat ditolong.
Di lain pihak Siau Wan-san dan
Buyung Bok ternyata sudah mencapai kesadaran dan mengangkat padri tua yang tak
bernama itu sebagai guru dengan resmi mereka memeluk agama Budha.
Karena kuatir luka Toan Ki
tambah parah bila tak terurus, segera Siau Hong membawanya ke rumah ayah-ibu
angkatnya dahulü, sesudah menidurkan Toan Ki di balai-balai, lalu tinggal pergi
lagi dengan maksud menemui ayahnya, lain mesti mengatur ke-18 ksatria Cidan
yang mengikutinya dari negeri Liau itu. Sama sekali ia tidak menduga bahwa
tempat kediaman yang ditinggalkan mendiang ayah-lbu angkotnya itu sudah ada
orang yaitu kenalan lama Toan Ki sendiri,Ciong Ling.
Waktu Siau Hong sampai di
Siau-lim-si pula, keadaan di sana sudah kembali dalam ketenangan. Rupanya
setelah menyaksikan permusuhan Siau Wan-san dan Buyung Bok yang mendalam itu
telah diselesaikan bahkan sekarang mereka telah menjadi saudara seperguruan,
maka ilmu silat Siau-lim-pai yang pernah dipelajari Síaü Wan-san, takkan
tersebar lagi ke negeri Liau, hal ini membuat para ksatria Tionggoan sama
merasa lega, maka beramai-ramai mereka lantas mohon diri.
Sementara itu hari sudah
gelap, waktu siau hong mohon bertamu dengan ayahnya, di luar dugaan
permintaannya ditolak menurut
padri penyambut tamu yang menyampaikan permintaan Siau Hong itu, katanya
ayahnya sudah melepaskan diri dari keluarga dan menjadi hwesio, gelarnya
sekarang adalah Hui-ho Hwesio, beliau mengharapkan putranya (Siau Hong)
menggunakan pengaruhnya untuk berusaha sedapat mungkin hidup berdampingan
secara damai antar kedua negeri Song dan Liau demi kesejahteraan manusia.
Sungguh Siau Hong sangat
berduka, sejak kecil berpisah dengan ayahnya sesudah bertemu sebentar saja
sekarang orang tua itu sudah melepaskan diri dari kekeluargaan, rasanya untuk
seterusnya tiada kesempatan buat bertemu lagi. Ia pikir demi pesan sang ayah
tadi, selaku Lam-ih Tai-ong harus berusaha mencapai perdamaian di antara negara
tetangga.
Tengah Siau Hong termenung.
Tiba-tiba dari dalam Sian-lim-si beramai-ramai keluar beberapa padri tua,
mereka adalah Sin-kong Sianjin, Cilo Singh dan lain-lain dengan diantar oleh
Hian Cit dan Hian Seng, Polo Singh tampak berdiri di belakang Hian-Cit dan
merangkap tangannya sebagai tanda hormat mengantar keberangkatan tamu mereka.
Terdengar Cilo Singh berkata,
"Sute, aku akan kembali ke Thian-tiok yang jauh di barat sana dan entah
kapan baru bisa berjumpa pula, apa engkaü sudah bertekad akan menetap di sini
dan tak ingin pulang ke kampung halaman asalmu lagi"
"Mengapa Suheng masih belum
menyadari semua ini?" sahut Polo Sing. "Thian-tiok adalah Tionggoan
dan Tionggoan adalah Thian-Tiok, begitu pula maksud tujuan kedatangan Budidarma
ke timur sini."
Cilo Singh terkesiap, katanya,
"Terima kasih atas petunjuk Sute, baru sekarang pikiranku terbuka. Engkau
bukan lagi Sutekú melainkan guruku."
"Mencapai kesadaran tidak
membedakan cepat atau lambat, yang penting asal sama-sama mencapai
kesadaran," kata Polo Singh dengan tertawa.
Siau Hong menyingkir ke
samping, ia tunggu sesudah Sin-kong, To jing, Cilo Singh dan lain-lain turun
kebawah gunung, lalu ia pun menyusul di belakang mereka dengan langkah
perlahan, Tapi baru dia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba dari Siau-lim-si
keluar lagi seorang, itulah Hi-Tiok adanya.
Sungguh girang Hi-tiok tak
terkira demi melihat Siau Hong, cepat la menyusulnya dan berkata. "Toako,
aku sedang hendak mencari dirimu. Kabarnya Samte terluka parah, entah bagaimana
keadaannya?"
'"Ya, aku telah
membawanya kesuatu rumah petani," sahut Siau Hong.
”Marilah kita pergi
melihatnya, boleh?" tanya Hi-tiok.
"Baik sekali." sahut
Siau Hong.
Segera mereka berdua berangkat
dengan cepat. Tapi belum ada belasan meter jauhnya, Bwe-kiam berempat tiba-tiba
muncul dari dalam hutan sana dan mengikut ke belakang mereka. pertengahan jalan
Hi Tiok memberitahukan kepada Siau Hong bahwa ke-18 ksatria Cidan juga sudah
pergi dengan selamat.
Siau Hong menyatakan syukur,
diam-diam ia membatin, "Adik angkat ini sungguh sangat aneh, dia adalah
saudara angkatku atas perantaraan Samte, di luar dugaan takkala aku terancam
bahaya aku telah mendapat bantuannya yang sangat berharga.”
Selain itu Hi-tiok juga
menberitahu bahwa Ting Jun-jiu sekarang sudah di bawa pengawasan Kai-lut-ih
Siaulim-si, tiap-tiap tahun pada waktu tertentu padri Siau-lim-si akan memberì
minum obat Leng-ciu-kiong untuk memunahkan siksaan Sing-si-hu bilamanà kumat
dan karena mati hidupnya Sudah tergenggam di tangan orang, dapat dipastikan
iblis tua itu tidak berani main gila lagi dengan segala kejahatanya.
"Jiko,” kata Siau Hong
dengan, tertawa, "engkau telah membasmi suatu penyakit besar bagi kaum
pesilatan, di bawah pengaruh ajaran agama mungkin Ting jun-jiu akan dapat
mencapai kesadaran atas segala perbuatannya masa lalu."
Tapi Hi-tiok tampak muram,
katanya, "Aku sendiri ingin menetap di Siau-lim-si, tapi aku justru diusir
mereka. Sebaliknya Ting Jun-jiu yang maha jahat, itu malah dapat menyucikan
diri di sana, sungguh tidak adil."
Siau Hong tersenyum, katanya,
"Jite, kamu iri pada keadaan Ting Jun jiu sekarang. tapi dia justru beribu
kali lebih iri padamu. Engkau adalah Cujin Leng-ciu-kiong dan membawahkan 36
Tongcu dan 72 Tocu betapa hebat perbawamu ini masakah engkau merasa tidak senang?"
"Tidak," sahut
Hi-Tiok dengan geleng kepala, "Penghuni Leng-ciu-kiong itu adalah kaum
wanita semua. aku sendirl cuma seorang hwesio kecil, hidup sendirian di antara
mereka sesungguhnya tidak bebas."
"Hahahaha! Apakah kamu
masih seorang hwesio kecil?" sahut Siau Hong dangan terbahak-bahak.
"Tapi akan tiba saatnya
nanti akan kuubah Leng-Ciu-kiong Leng Ciu-si, akan kuperintahkan nenek-nenek
dan
nona-nona itu menjadi Nikoh
(biksuni) semua."
"Hahahaha!" kembali
Siau Hong bergelak tartawa. "Hwesio tinggal bersama dengan Nikoh,
hahahahaha, sungguh berita luar biasa di dunia ini?"
Begitulah sambil bicara dan
tertawa, akhirnya kedua orang itu sampaì di rumah Kiau Sam-si dan kebetulan
mereka pergoki Goan-ci hendak mencukil mata Ciong Ling dan syukurlah masih
sempat mancegahnya. Baru sekarang A Ci paham sebabnya Siau Hong marah-marah
padanya karena merusak sebuah alat tenun, kiranya tempat ini adalah bekas
kediaman Siau Hong semasa kecil. Namun begitu dasar watak A Ci juga keras,
meski tahu salah toh día tidak mau minta maaf.
Maka Toan Ki lantas bertanya,
"Toako, Jiko, apakah kalian melihat ayahku?"
Siau Hong mengatakan tidak,
sedang Hi-tíok menjawab, "Ketika para ksatria Tionggoan beramai-ramai
bubar dan pergi, aku menjadi lupa memberi salam hormat kepada paman, sungguh
aku tidak tahu aturan."
"Jiko, tidak perlu
sungkan-sungkan,” kata Toan Ki. "Hanya saja Toan Yan-khing itu adalah
musuh ayah, aku kuatir dia membikin susah ayahku.”
"Urusan ini tidak perlu
dikuatirkan, sekarang juga ku pergi mencari paman dan bila perlu membantunya, ”
ujar Siau Hong.
"Huh, paman apa segala
kenapa tidak memanggilayah mertua?” A Ci berolok-olok.
"Ya, apa yang sudah
terjadi (maksudnya kematian A Cu) merupakan penyesalanku selama hidüp, apa mau
dikatakan lagi." sahut Siau hong dengan menghela napas.
Tapi sebelum dia melangkah
pergi saat ¡tulah Bwee-kiam masuk membawakan daharan untuk Toan Ki, demi
mendengar percakapan tadi, ia lantas berkata, "Siau-taihiap tidak perlu
merepotkan diri, biarlah hamba sekarang juga menyampaikan perintah Cujin agar
semua pengikut Leng-ciu-kiong mengamat-amati Toan Yankhing, jika kelihatan dia
bermaksud jahat supaya member tanda bunga api, dan segera kita dapat membantu,
bagaimana sengan pendapat Siau-taihiap?”
"Bagus sekali." Kata
Siau Hong dengan girang. "Dangan bantuan kawan-kawan Leng-ciu-kiong yang
tidak sedikit itu tentu akan lebih baik daripada kita mencarinya dengan Cuma
beberapa orang saja."
Begitulah Bwee-kiam lantas
pergi menyampaikan perintah itu. Rupanya orang-orang Leng-ciu-kiong itu
mempunyai cara yang sangat tepat dalam mengadakan hubungan. Misalnya Hi-tiok
telah berada di rumah Kiau Sam-hoai, sementara itu para wanita dari Hian-thian-poh
sudah mendapat kabar, di bawah pimpinan Hu Bin-gi mereka sudah menyusul sampai
di sekitar rumah itu dan diam-diam menjaga keselamatan sang cijin.
Maka legalah hati Toan Ki
tentang keselamatan ayahnya. Tapi segera teringat pula olehnya akan diri Ong
Giok yan, pikirnya, "Dia sudah sangat benci padaku mungkin selanjutnya dia
tak mau gubris lagi padaku.”
Terpikir demikian tanpa terasa
ia menghela napas.
Rupanya ciong ling sangat
memperhatikan keadaan toan Ki, maka ia lantas bertanya, "Apa lukamu
kesakitan?”
"Ah, tidak hanya sedikit
saja.” Sahut Toan Ki.
"Nona Ciong.” Tiba-tiba A
Ci menimbrung, "tampaknya engkau sangat suka pada engkohku ini, tapi sama
sekali engkau tidak kenal perasaannya. Kukira rindumu ini kelak pasti akan
sia-sia belaka.”
"Aku tidak ajak bicara
padamu, buat apa banyak omong," sahut Ciong Ling.
"Aku cerewet atau tidak
memang bukan soal," sahut A Ci tartawa. "Aku hanya kuatir ada seorang
nona yang berpuluh kali lebih cantik, lebih berbudi dan lebih mesra daripadamu,
terang engkohku takkan suka padamu apa kautahu mengapa engkohku menghela napas?
Orang menghela napas menandakan perasaannya kurang puas. Kau sendiri tidak
menghela napas karena engkau puas berdampingan dengan engkohku, sebaliknya
engkohku menghela napas disebabkan dia senang memikirkan seorang nona
lain."
Rupanya A Ci tidak berhasil
mencungkil mata Ciong Ling, maka sekarang sengaja mencari macam-macam kata
untuk menusuk perasaan nona itu agar berduka dan terluka, dengan demikian
barulah a Ci senang.
Mestinya Ciong Ling sangat
gusar, tapí kalau dipikir lagi, ia merasa, apa yang dikatakan A Ci itu juga
beralasan, maka rasa gusarnya berubah menjadi cemas dan sedih. Cuma saja
usianya masih terlalu muda, sifatnya lincah kekanak-kanakan, walau mencintai
Toan Ki, tapi bukan cinta yang meresap, jadi hanya cinta lahir saja, ia merasa
senang terhibur bila dapat berada bersama dengan Toan Ki. Maka soal toan Ki
merindukan
kekasih lain, hal ini hanya
membuatnya merasa berduka sekedarnya saja, selain itu ia pun tidak merasakan
apaapa lagi.
Maka Toan Ki berkata,
"Jangan kau percaya ucapan A Ci yang ngawur itu, ñona Ciong!"
A Ci menjadi gusar, díkatakan
ngawur, itu berarti menyinggung matanya yang buta, segera ia berkata pula,
"Koko, sebenarnya engkau lebih suka nona Ong atau lebih senang pada nona
Ciong? Noná Ong telah berjanji akan bertemu dengan aku besok pagi. Coba katakan
apa yang kau pesan tentu kusampaikan padanya."
Mendengar itu, serentak Toan
Ki bangun duduk di atas balai-balai dan cepat tanya, "Benarkah kamu telah
berjanji dengan nona Ong untuk bertemu? Di mana dan kapan, hendak membicarakan
urüsan apa?"
Melihat betapa gugupnya Toan
Ki itu, tak perlu diterangkan lagi juga Ciong tahu entah berapa kalí nona Ong
itü lebih penting dalam pandangan Toan Ki daripada dirinya. Namun watak Ciong
Ling memang lebih lapang, rasa duka semula sekarang pun sudah hampir lenyap.
Coba kalau Giok-yan, tentu akan berduka setengah mati. Sebäliknya kalau Bok
Wan-jing, tentu dia akan bidikkan panahnya yang berbisa itu ke arah Toan Ki.
Sedang A Ci tentu akan berusaha membinasakan saingannya.
Malahan Ciong Ling sekarang
lantas berkata, "Eh, jangan bergerak, hati-hati nanti lukamu pecah dan
mengucurkan darah."
Di sebelah sana diam-diam
Hi-tiok, mengikuti garak-gerik mereka, pikirnya, "Nona Cíong ini
sedemikian mendalam cintanya kepada Samte, besar kemungkinan día bukan Dewi
Impianku. Kalau tidak masakah sama sekali dia tidak mengunjuk sesuatu perasaan
ketika mendengar suaraku tadi?”
Tapi segera timbul pula
pikiran lain, "Ah, tidak betul seperti Tong-lolo dan Li Jiu-sui, Sie-popo,
Ciok-soh dan lain-lain, wanita-wanita itu semuanya sangat pintar dan bertipu
akal, sama sekali berbeda daripada kaum lelaki. Bukan mustahil nona Ciong ini
adalah Dewi Impianku, Cuma dia sengaja diam saja."
Dalam pada itu Toan Ki sedang
mendesak A Ci agar mengatakan di mana Giok-yan akan bertemu dengan nona itu
menurut apa yang dijanjikan. Karena itu, A Ci sengaja bicara melantur-lantur
untuk mempermainkan Toan Ki.
Tak terduga Lam-kiam yang
kebetulan berada di situ lantas menimbrung, katanya, "Toan-kongcu adik
perempuanmu hanya bergurau saja denganmu masakah engkau menanggapi dengan sungguh-sungguh?”
"Dari mana Cici tahu
adikku cuma bergurau saja?" tanya Toan Ki.
"Kalau kukatakan
jangan-jangan nona Toan akan marah padaku kecuali kalau Cujin mengizinkan aku
bicara," ujar Lam-kiam dengan tenang.
"Jiko," segera Toan
Ki berkata kepada Hi-tiok "bolehlah kau suruh dia bicara."
Hi-tiok mengangguk tanda
setuju. Maka Lam-kiam lantas bícara, "Malahan Cujin sendiri juga
menyaksikan cuma beliau tidak mau bilang. Nona Ong telah ikut bersama rombongan
Büyung-kongcu katanya hendak pergi ke Se He untuk mengikuti sayembara putri Se He
di sana, mungkin saat ini mereka sudah beratus li jauhnya, dari mana dia dapat
berjanji dengan nona Toan untuk bertemu besok?"
"Budak busuk sudah tahu
aku tidak suka kamu ikut omong kau justru banyak mulut," semprot A Ci,
"Kalian berempat saudara memang serupa, suka usilan. Majikan tidak bicara
tapi kalian selalu suka menimbrung."
"Nona Toan, jangan
mengomeli ciciku," tiba-tiba Kiok-kiam menanggapi di luar sana.
"Hendaknya diketahui bahwa aku adalah pemegang kunci Sin-long-kok tempat
penyimpanan kitab-kitab pusaka Leng-ciu-kiong kami, untük mempelajari cara
menyembuhkan matamu, Cujin harus mencuri kitab ke Sin-long-kok.”
Diam-diam A Ci terkesiap.
Kalau kaum budak itu ikut main gila, bükan mustahil matanya akan sukar
disembuhkan lagi. "Hm, bagus!" demikian díam-diam ia memakí.
"Awas, kelak bila mataku sudah sembuh, tentu kalian akan rasakan
kelihaíanku."
Toan Ki mengucapkan teríma
kasih atas pemberítahuan Lam-kiam tadi, lalu katanya kepada Siau Hong,
"Toako, apakah benar
rombongan Buyung-kongcu telah berangkat ke negeri Se He?"
"Benar,” sahut Siau Hong.
"Lamat-lamat ku dengar hal ¡tu ketika dia mohon díri kepada ayahandanya.”
"Untuk apakah dia pergi
ke sana?” demikian Toan Ki bergumam sendiri.
"'Mengenai maksud
tujuannya aku tahu," Kata Hi-tiok. "Menurut keterangan Kongya Kian
kepala para pengemis Kai-pang katanya di tengah jalan mereka telah menemukan
seorang anggota Kai-pang yang membawa pulang secarik maklumat kerajaan Se He
tentang sayembara raja Se He yang lagi mencari menantu pada hari Tiongciu nanti,
seluruh ksatria dan jago muda di segenap perjuru diharap mengikuti sayembara
itu agar dapat dipilíh sebagai Huma (menantu raja)."
"Eh, Cüjin, mengapa
engkau tidak coba-coba ikut sayembara itu," tiba-tiba Tiok-kiam
menimbrung. "Asalkan Síau-taihiap dan Toan-kongcu tidak menyaingi engkau
sangat mudah bagimu untuk dipilih sebagai Huma."
Dasar sifat Tiok-kiam berempat
saudara itu memang masih kekanak-kanakan biasanya mereka dipandang sebagai cucu
sendiri oleh Tong-lo, Cuma saja watak Tong-lo sangat keras, maka keempat anak
dara itu tidak beraní sembrono kepadà nenek itu tapí sejak mereka melayani
Hi-tiok yang ramah tamah sedikit pun tidak pernah berlagak tuan besar, maka
Bwe-kiam berempat juga tidak terlalu jeri kepada majikan baru itu apa yang
mereka ingin katakan lantas dikatakan begitu saja.
Hi-tiok menjadi kikuk, cepat
sahutnya, "tidak, tidak mungkin aku adalah seorang hwesio…”
Tapí belum lanjut ucapannya
Bwe-kiam berempat lantas mengikik tawa.
Karuan muka Hì-tiok menjadi
merah ia coba melirik Ciong Ling, dilihatnya nona itu sedang termangu-mangu
memandangi Toan Ki, sama sekali tidak memperhatikan kepada apa yang
diucapkannya tadi. Tiba-tiba Hi-tiok teringat kepada pertemuannya dangan sang
Dewi Impian di dalam gudang es istana raja Se He, bukan mustahil Dewi Impian
itu sekarang juga masih berada di sana, kenapa aku tidak pergi ke sana untuk
coba mencarinya?
Tiba-tiba Toan Ki juga berkata
padanya, "Jiko Leng-ciu-kiong kalian sangat berdekatan dengan Se He,
kenapa kita tidak pesiar sekalian ke Se He? Wah, pada hari Tiongciu nanti pasti
akan ramai sekali di kotaraja Se He itu. Dan sesudah itu barulah kita berkunjung
ke tempatmu untuk menikmati arak simpanan Thian-san Tong-lo yang tak terkatakan
harumnya itu."
Siau Hong sendiri sudah
beberapa hari tidak minum arak, meski ke-18 ksatria Cidan yang dibawanya dari
negeri Liau itu masing-masing membawa kantung kulit besar berisi tuak pilihan,
tapi sekarang pengiringpengiring itu sudah tidak mendampingi lagi, maka ia
menjadi ketagihan demi mendengar Toan Ki bicara tentang arak di Leng-ciu-kiong.
Dalam pada itu A Ci lantas
mendahului menyatakan setuju, "Ya, pergi, marilah Cihu, beramai-ramai kita
pergi ke sana semua!”
Ia tahu untuk bisa
menyembuhkan matanya yang buta itu harus ikut Hi-tiok ke Leng-ciu-kiong, tapi
kalau tidak didukung oleh Siau Hong mungkin akan banyak alangannya.
Ketika melihat Siau Kong diam
saja, segera A Cl mendekatinya dan memohon pula, "Cihu, jika engkau tidak
membawa aku ke Leng-ciu-kiong, mata ... mataku ini tiada harapan disenbuhkan
lagi dan tak bisa melihat untuk selamanya."
Siau Hong pikir kedua mata
anak dara itu memang perlu disembuhkan. Apalagi rasanya juga sangat berat untuk
berpisah dengan para ksatria Tionggoan dan saudara-saudara angkat yang baik
budi ini, kalau pulang ke negeri Liau tentu akan hidup kesepian lagi walaupun
mempunyai kedudukan yang agung di sana.
Maka jawabanya kemudian,
"Baiklah! Jiko, samte, marilah kita beramai-ramai pergi ke Se He, kemudian
kita mengunjungi Leng-ciu-kiong samte untuk minum sepuas-puasnya selama
beberapa hari di sana."
Begitulah, esok paginya
beramai-ramai mereka lantas berangkat. Lebih dulu Hi-tiok menyambangi makam
ayah-bundanya (Hian-cu dan Yap Ji-nio), lalu rombongan mereka berangkat menuju
ke barat.
Para wanita Leng-ciu-kiong
menyewakan sebuah kereta keledai bagi Toan Ki dan Yu Goan-ci yang terluka itu.
Goan-ci merasa serba salah, ia lebih suka dihina dan dimaki daripada berpisah
dengan A Ci. Setiap kali asal A Ci mau menyingkap tirai kereta dan bicara
sepatah dua kata dengan dia, maka Goan-ci akan girang setengah mati.
Cuma sekarang A Ci menunggang
kuda dan selalu mengutil di sebelah Siau Hong, walaupun dalam hati Goanci
merasa gelisah, tapi sedikitpun tidak berani mengunjuk rasa kurang senang
terhadap si nona.
Kira-kira dua hari kemudian,
kedelapan barisan wanita Leng-ciu-kiong sudah mulai bergabung kembali, Pimpinan
Hian-thian-poh memberi lapor kepada Hi-tiok dan Toan Ki bahwa keadaan Toan Ki
telah diberitahukan kepada Tin-lam-ong dan orang tua itu merasa sangat lega
beliau cuma menyampaikan pesan agar Toan Ki selekasnya pulang ke Tayli.
Menurut laporan itu katanya
rombongan Lam-ong menuju ke timur-laut, sebaliknya rombongan Toan Yankhing dan
Lam-hai-gok-sín menuju ke jurusan barat-daya sehingga kedua rombongan itu tídak
nanti kepergok.
Toan Ki merasa senang dan lega
oleh keterangan itu, ia mengucapkan terima kasih kepada para wanita Hianthian
poh.
Tiba tiba Ciong Ling berkata,
"Toan-kongcu, ayahmu mengharapkan kau lekas pulang ke Tayli, mengapa
beliau sendiri malah menuju ke tímur-laut?”
Toan Ki tersenyum dan belum
lagi menjawab tiba-tiba A Ci menyela. "Tentu ayah ditahan oleh ibuku dan
dilarang pulang ke Tayli. Nah nona Ciong jika kau ingin menambat hati engkohku
ini maka perlu kau belajar dulu pada ibuku.”
Ciong Ling sendiri tahu
kepergian Toan Ki ke Se He ¡ni sebenarnya ingin berjumpä pula dengan nona Ong
itu, tapi ¡a tidak ambil pusing sebab ia sudah puas karena selama beberapa hari
ini dapat berdampingan dengan Toan Ki. Maka sekarang ia pun tidak gubris kepada
sindiran A Ci itu.
Begitulah mereka melanjutkan
perjalanan, karena hawà sangat panas, pula masih cukup lama dengan hari
Tiongciu, maka perjalanan mereka dilakukan dengan seanaknya saja.
Di tengah jalan keadaan luka
Toan Ki dapat sembuh dengan cepat. Hi tiok juga telah menyambung tulang kaki
Goan-ci yang patah itu dengan kepitan kayu dan tampaknya besar harapan akan
dapat pulih kembali.
Goan-ci sama sekali tidak mau
bicara dengan siapa pun, meski Hi-tiok mengobati kakinya, dalam hatinya tetap
penuh dendam dan benci.
Suatu hari, sampailah mereka
di jalan raya Ham-yang di situ menurut sejarah pernah terjadi pertempuran yang
menentukan antara Lau-pang (cikal-bakal kerajaan Han, 260 seb. M) dan Hang Ih.
Hi-tiok dan Siau Hong tidak
banyak bersekolah, maka mereka menjadi sangat tertarik mendengarkan cerita Toan
Ki tentang sejarah masa lampau.
Tengah mereka asyik
mendengarkan cerita Toan Ki, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari yang
ramai,
dari belakang memburu tiba dua
penunggang kuda. Cepat Siau Hong dan lain-lain menyingkirkan kuda mereka ke
tepi jalan agar kedua penunggang kuda dari belakang itu dapat lewat. Hanya A Ci
saja yang tidak mau menyingkir sebaliknya ia tetap mengadang di tengah jalan.
Bahkán waktu kedua penunggang kuda itu sudah dekat, mendadak ia ayun pecutnya
ke belakang.
Namun satu di antara kedua
penunggan kuda ¡tu pún sempat angkat pecutnya untuk menangkis cambukan A Ci
itu, bahkan terdengar día teriak, "Toan-kongcu, Siau-taihiap, harap tahan
dulu!”
Waktü Toan Ki menoleh, kiranya
kedua pendatang itu adalah Pah Thian-sik dan Cu Tan-Sin. Dalam pada itu Pah
Thian-sik sudah dapat menangkis cambukan A Ci tadi dan bersama Cu Tan sin
melompat turun dari kuda mereka dan lantas berlutut memberi hormat kepada Toan
Ki.
Mesk¡ Toan Ki adalah tuán
muda, tapi nyatanya ía pandang Pah Thian-sik dan Cu Tan-tan sin sebagai
angkatan tua, maka cepat ia pun melompat turun dari kudanya dan balas
menghormat, katanya, "Apakah ayah baik-baik saja?"
Tapi mendadak terdengar suara
sambaran pecut, tahu-tahu A Ci mencambuk lagi ke atas kepala Pah Thian-sik.
Saat itu Thian-sik belum bangun kembali, terpaksa ia mengegos ke kiri dengan
masih tetap berlutut. Dengan demikian pecut A Ci itu mengenai tanah, maka
Thian-sik sekalian gunakan dengkulnya untuk menindih ujung pecut. Waktu A Ci
hendak menarik kembali pecutnya, dengan sendirinya tidak kuat.
A Ci tahu bila main betot
tentu kalah kuat tenaganya, maka ia terus lemparkan tangkai pecut ke arah Thian
sik.
Rupanya Pah Thian-sik masih
mendongkol karena meninggalnya Leng Jian li gara-gara kenakalan A Ci, maka
sekarang ia sengaja hendak membikin kapok anah dara itu supaya tidak berani
main gila lagi.
Tak sangka bahwa meski mata A
Cl sudah buta, tapi gerak-geriknya masih sangat cepat, tahu-tahu gagang pecut
menyambar tiba, cepat Thian-sik egoskan kepalanya ke samping, "plok",
tidak urung pundaknya terhantam gagang pecut itu.
"Adik Ci, kembali kamu
ngacau lagi?" bentak toan Ki segera.
"Mengacau apa?"
sahut A Ci. "Dia inginkan pecutku maka kuberikan padanya."
Watak Pah Thian-sik memang
sangat sabar, maka ia hanya tertawa dan berkata, "Banyak terima kasih atas
hadiah pecut nona ini."
Lalu tidak tarik panjang lagi
kejadian itu melainkan lantas mengeluarkan sepucuk surat dihaturkan kepada Toan
Ki.
Waktu Toan Ki menerima surat
itu, ia lihat di atas sampul tertulis nama dirinya sebagai penerima surat, la
kenal itulah tulisan sang ayah. Cepat ia betulkan pakaiannya, dengan khidmat ia
buka dan membaca surat itu.
Kiranya isi surat itu membawa
pesan Toan Cing-sun agar bila ada jodoh. Toan Ki disuruh mengikuti sayembara
untuk berebut putri Se He. Dikatakannya bahwa negeri Tayli kecil dan lemah,
kalau dapat berbesanan dangan kerajaan Se He, hal ini akan menguntungkan
politik pertahanan kerajaan Tayli dan bagi kesejahteraan rakyat. Adapun soal
perjodohan Toan Ki dengan putri keluarga Ko akan diselesaikan oleh paman
bagindanya kelak.
Habis membaca surat sang ayah,
air muka Toan Ki tampak agak pucat, katanya dengan terputus-putus, "Soal
ini ... ini .."
Tapi Pah Thian-sik lantas
mengeluarkan sepucuk surat pula, katanya, "ini adalah surat pribadi Ongya
kepada Sri Baginda di Se He sebagai surat lamaran, harap setiba di Lengciu
surat ini supaya dihaturkan kepada Sri Baginda Se He.”
"Ya, Kongcu, semoga
tujuanmu ini berhasil dengan baik dan dapat membawa pulang seorang putri cantik
molek sehingga negeri kita pun ikut kukuh dan kuat," kata Cu Tan-sin
dengan tertawa.
Toan Ki tambah kikuk, katanya,
"Dari mana ayah mengetahui bahwa aku pergi ke Se He?"
"Ongya mengetahui
Buyung-kongcu hendak melamar putri Se He beliau menduga tentu Kongcu juga ...
juga akan ikut pergi ke sana,” tutur Thian-sik.
"Hihihi!" tiba-tiba
A Ci tertawa, "ini namanya yang paling kenal anaknya hanya sang ayah.
Ketika ayah mendengar Buyung Hok hendak pergi ke Se He, segera beliau menduga
nona Ong pasti ikut pergi juga dan dengan sendiriaya beliau yakin putra
mestikanya ini tentu juga akan mengintil ke sana. Hm, bila belandar di atas
menceng, tentu tiang di bawahnya juga akan miring. Mengapa, dia tidak kenal
dirinya sendiri?"
Thîan-sik, Tan-sin dan Toan Ki
melengak demi mendengar ucapan yang kurangajar itu, masakah seorang anak boleh
mencela orang tua secara kasar demikian?
Tapi A Ci lantas berkata pula,
"Koko, dalam surat ayah itu apakah juga menyinggung díriku?"
"Ayah tidak tahu bahwa
kamu bersama berada dengan aku," sahut Toan Ki.
"Ya, dia memang tidak
tahu. Tapi apa dia tidak memberi pesan agar kau cari diriku? Apa tidak suruh
kau jaga adik perempuanmu yang buta?”
Dalam surat Toan Cing-sun itu
sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang A Ci, kalau Toan Ki bicara terus
terang dikuatirkan adik perempuannya akan tersinggung, maka berulang ia
mengedipi Thian-sik dan Tan-s¡n agar mereka mengakui adanya perintah Toan
Cing-sun untuk mencari A Ci.
Tak tersangka Thian-sik berdua
sengaja berlagak pilon saja dan tidak mau menanggapi maksud Toan Ki itu.
Sebaliknya Tan-sin berkata, "Tin-lam-ong minta hamba berdua mendampingi
Kongcu agar bilamana perlu dapat membantu, betapapun putri Se He harus Kongcu
boyong pulang ke Tayli, kalau tidak hamba berdua tentu akan diomeli Ongya,
andaikan tidak diomeli juga hamba berdua merasa malu akan disangka tidak becus
mengasuh.”
"Aku Sudah terang tidak
mahir ilmu silat masa bisa menandingi para ksatria yang datang dari segenap
panjuru itu nanti." sahut Toan Ki dengan tersenyum getir.
Tapi Pah Thian-sik lantas berkatà
pula, "Ongya menyuruh hamba menyampaikan salam kepada Siau-taihiap dan
Hi-tiok Siangsing, beliau berharap kalian sudi mengingat sesama saudara angkat
dan sudi memberi bantuan kepada Kongcu kami. Kata Ongya ketika bertemu di
Siau-lim-san, karena dalam keadaan tergesa-gesa, maka beliau tidak sempat
bercengkerama dengan Siau-taihiap berdua, sebagai gantinya sekarang beliau
suruh hamba menyampaikan sedikit kado."
Lalu ia mengeluarkan sebuah
singa-singaan kemala hijau dan dihaturkan kepada Siau Hong.
Sedangkan. Cu Tan-sin juga
lantas mengeluarkan sebuah kipas terbuat dari gading, pada daun kipas itu ada
tulisan tanganToan Cing-sun, ia serahkan kipas itu kepada Hi-tiok.
Siau Hong berdua menerimanya
dengan ucapan terima kasih, kata meraka, "Urusan Samte sudah tentu kami
bantu sepenuh tenaga, masakah perlu pesan lagi dari paman? Sungguh kami merasa
tidak enak, belum-belum sudah menerima hadiah lebih dulu."
"Apakah kau sangka ayahku
berhati begitu baik?" tiba-tiba A Ci menyela lagi. "Dia justru ingin
kalian berdua jangan berebut menjadi huma dengan engkohku. Dengan janji kalian
ini, maka itu berarti kalian telah tertipu oleh ayahku."
"Ah, sejak Tacimu
meninggal, masakah aku mempunyai niat untuk menikah pula?" ucap Siau Hong
dengan menghela napas.
"Mulutmu berkata
demikian, siapa bisa tahu apa yang terpikir dalam hatimu?" ujar A Ci.
"Hi-tiok Siangsing memang polos dan jujur, tidak romantis seperti engkohku
itu, di mana-mana suka berkasih-kasihan. Jika Hi tiok Siansing belum pernah
mengikat janji dengan orang, bukankah sangat bagus memperistrikan putri Se He
saja?"
"Hm, ma , .. mana boleh
jadi!" sahut Hi tiok dengan muka merah dan menggoyang-goyang tangan.
"Aku sendiri pasti tidak ambil bagian, aku dan Toako tentu akan membantu
Samte mencapai perjodohan yang setimpal ini."
"Banyak terima kasih atas
kesanggupan Siau-taihiap dan Hi-tiok Siangsing," demikian serentak Thian
sik dan Tan sin memberi hormat.
Nyata bukan saja Siau Hong dan
Hi-tiok sudah teringat oleh janji mereka sebagai ucapan ksatria, bahkan dengan
demikian Toan Ki menjadi tak bisa menolak perintah ayahnya.
Begitulah perjalanan mereka
akhirnya rnendekati Leng-ciu, orang Bu-lim yang saling berjumpa di tengah jalan
juga tambah banyak.
Hendaklah maklum bahwa
kerajaan Se He meski lebih kecil daripada kerajaan-kerajaan Song dan Liau, tapi
terhitung suatu negeri besar di daerah barat dengan sendirinya banyak orang
persilatan ingin memperistrikan sang putri yang agung dan kabarnya cantik pula.
Cuma tokoh-tokoh Bu lim yang
ternama pada umumnya sudah beristri dan berkeluarga. Kalau ada jago muda, dalam
hal ilmu silat juga belum tentu tinggi. Karena itu banyak bandit-bandit dan
petualang-petualang yang masih bujangan sama menaruh harapan akan dipilih
sebagai menantu raja, maka beramai-ramai mereka sama datang ke Lengciu. Bahkan
banyak tokoh-tokoh dan ksatria tua yang membawa serta anak muridnya dengan
tujuan menguji nasib, eh, siapa tahu dapat dipungut sebagai menantu raja Se he.
Begitulah, maka sepanjang
jalan banyak sekali ksatria muda yang berpakaian mentereng dan parlente,
sampaisampai senjata yang mereka bawa juga serba "lux". Maklum, pada
umumnya orang persilatan kebanyakan dari keluarga mampu, sebaliknya kaum
sekolahan kebanyakan adalah keluarga miskin apalagi kalau kelakuan orang yang
pandai silat Itu tidak baik tentu sumber keüangan jauh lebih mudah datangnya,
misalnya dengan jalan merampas dengan kekerasan atau mencuri secara diam-diam.
Oleh sebab itulah pakaian mereka sekarang sedapat mungkin serba mewah dangan
tujuan akan mendapat perhatian khusus dari sang putri.
Pada hari itu rombongan Siau
Hong sedang melanjutkan perjalanan dengan santai. Tiba-tiba terdengar derapan
lari kuda, seorang penunggung kuda tampak datang dari depan, penunggangnya
kelihatan terluka lengan kanan diperban dan tergantung di depan dada dengan
ikatan kain, bajunya juga sobek, keadaannya kumal.
Síaü Hong dan lain-lain juga
tidak ambíl perhatian mereka menyangka orang ini mungkin terjatuh atau dipukul
luka orang kejadian demíkian adalah sangat jamak bagi orang persilatan.
Tak terduga, tidak lama
kemudian kembali ada tiga penunggang kuda berlari datang pula dari depan para
penuggang kuda itu semuanya terluka parah ada yang patah kaki dan ada yang
putus lengan. Orang-orang itu seperti sangat lesu dan malu serta melarikan diri
dengan kepala tertunduk.
"Apa di depan sana ada
orang berkelahi, mengapa banyak orang terluka?" kata Bwe-kiam yang usilan.
Baru lenyap suaranya, kembali
dari dépan datang pula dua orang. Kedua orang ini tidak menunggang kuda,
mukanya penuh darah, satu di antaranya kepalanya diperban dengankain dan darah
masih merembes keluar.
Segera Tiok-kiam menegur
mereka, "Hei, kalian mau obat luka tidak? Mengapa kalian terluka?"
Tapí orang itu melotot pada
Tiok-kiam dengan penuh kebencian, bahkan meludah ke tanah lalu tinggal pergi
tanpa gubris. Keruan Tiok-kiam menjadi gusar, "sret", segera ia lolos
pedang dan hendak menyerang orang itu.
"Sudahlah," cegah
Hi-Tiok. "Orang itu terluka parah, tidak perlu cekcok dengan dia."
"Adik Tiok kan bermaksud
baik hendak memberi obat, tapi orang itu sedemikian kasarnya, biar dia mampus
saja karena lukanya itu," ujar Lam-Kiam.
Pada saat itulah lagi-lagi ada
empat penünggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Terdengar para penunggang
kuda itu sedang saling damprat dan saling menyalahkan satu sama lain. Ketika
berpapasan dengan
rombongan Siau Hong. Karena
kalah banyak, mereka lantas menyusur ke samping dan lewat dengan cepat.
Dari caci-maki mereka itu
agaknya keempat orang itu sama mengimpikan dipilih menjadi menantu raja Se He,
tapi di depan sana seperti ada suatu rintangan yang tak bisa ditembus mereka,
bahkan mereka dilukai dan ngacir, akhirnya mereka sama menuduh kawan sendiri
yang tidak mau membantu dan macam-macam lagi.
Tengah Siau Hong dan lain-lain
merasa terheran-heran. tiba-tiba dari depan datang lagi beberapa orang,
semuánya terluka dan babak-belur, ada yang kepalanya bocor, ada yarg matanya
matang biru dan ada yang kakinya pincang.
Dalam herannya segera Ciong
Ling memapak maju dan bertanya, "Hai. apakah orang yang merintangi di
depan sana sangat lihai?"
Seorang laki-laki setengah
umur di antaranya mendengus, jawabnya, "Kamu seorang nona, kamu dapat
lewat tanpa alangan. Tapi kalau lelaki, hm, lebih baik putar balik saja.”
Ucapan ini membuat Siau Hong
dan Hi-tiok ikut heran kata mereka, "Coba lihat ke sana!"
Segera rombongan mereka
mempercepat kuda mereka ke depan.
Kira-kira beberapa li jauhnya
tertampaklah sebuah jalanan sempit di lereng bukit yang berliku-liku itu.
Jalanan itu sangat sempit sehingga cukup dilalui oleh satu penunggang kuda
saja. Sesudah lewat beberapa pengkolan lagi. Akhlrnya tertampaklah di depan
sana berjubel-jubel orang banyak.
Siau Hong coba melarikan kuda
ke depan, ia lihat di tengah jalan yang sempit itu berdiri berjajar dua orang
lelaki kekar. Keduanya sama-sama tinggi besar dan gagah perkasa. Yang seorang
bersenjata gada besi dan yang lalu memegang sepasang gandan besar dengan garang
mereka menghadapi belasan orang yang menggerombol di depannya.
Terdengar orang-orang
bergerombol di depan kedua lelaki gagah itu riuh-ramai membujuk dan memohon
agar mereka suka memberi jalan bahkan ada yang menjanjikan balas jasa yang
besar malahan juga ada yang mengancam karena kedua lelaki itu tetap tidak mau
menyìngkir.
Akhirnya karena kedua lelaki
gagah itu tetap tidak menggubris ocehan orang banyak itu, maka seorang telah
membentak "Kurangajar, rupanya minta diberi hajar adat baru mereka mau
minggat!”
Berbareng ia terus putar
pedang dan menerjang maju, kontan ia menusuk dada lelaki yang sebelah kiri.
Perawakan lelaki itu sangat
tinggi besar, senjatanya juga sangat antap, tapi gerak-geriknya sangat gesit.
Ketika kedua gandennya ditentukan dengan cepat, pedang penyerang itu terjepit
oleh gandennya.
Sepasang ganden yang berbentuk
astokino (segi banyak) itu beratnya masing-masing lebih 40 kali, maka begitu
terdengar suara "trang" yang keras tahu-tahu pedang yang terjepit itu
patah menjadi beberapa potong. Bahkan lelakl itu terus ayun sebelah kakinya sehingga
dengan tepat perut se penyerang dengan pedang itu menjerit dan terpental.
"Jite, tenaga orang ini
cukup hebat juga," kata Siau Hong kepada Hi-tiok.
"Ya, memang," sahut
Hi-tiok.
Dalam pada itu ada seorang
lagi dengan memutar dua golok sekencang kitiran telah menyeruduk maju, begitu
dekat dengan kedua lelaki gagah tadi, orang itu menggertak sekali terus
menjatuhkan diri ketanah, mendadak ia mainkan goloknya dengan mengelinding di
atas tanah, yang diincar adalah bagian kaki lawan.
Lelaki bersenjata gada tidak
peduli serangan lawan itu, begitu angkat gadanya segera ia menggemplang ke
tengah sinar golok, maka terdengarlah jeritan ngeri, tahu-tahu kedua golok
orang itu patah, gagang golok menancap di dada sendiri, badan berlumuran darah,
tampaknya lebih banyak mampusnya daripada hidup lagi.
Berturut-turut orang dilukai,
yang lain-lain menjadi mengkeret dan tidak berani berkoak-koak lagi seperti
tadi.
Tiba-tiba terdengar suara
"keteprak-keteprak” suara derapan kaki binatang tunggangan, ternyata
seekor keledai datang dari belakang sana dan penunggangnya adalah seorang
pelajar muda, usianya paling-paling cuma 18-19 tahun, pakaiannya parlente,
orangnya cakap, sikapnya halus dan sopan.
Ketika pemuda itu hendak
melampaui rombongan Siau Hong, karena jalanan sempit terpaksa ia harus
menyerempet kuda-kuda orang lain.
Melihat pemuda itu, mendadak
Toan Ki berseru, "He, kau ... kau .... " tapi ia tidak sanggup
melanjutkan. Sebaliknya pemuda pelajar itu sama sekali tidak memandang padanya,
ia menyalip keledainya ke depan.
"He, Toan-kongcu, kau
kenal dia?" tanya Ciong Ling dengan heran.
Wajah Toan Ki menjadi merah,
sahutnya, "O, ti ... tidak, aku salah lihat. Dia ... dia adalah seorang
lelaki, dari mana kukenal dia?”
Karenu ucapannya yang ganjil
itu, seketíka A Ci berolok dengan tertawa, "Koko, jadi engkau hanya kenal
kaum wanita dan tidak kenal orang lelaki?”
Sesudah merandek sejenak, lalu
ia tanya pula, "Apakah orang yang baru saja lewat itu orang lelaki?
Padahal sudah terang dia wanita."
"Kau bilang dia seorang
wanita?" Toan Ki menegas.
"Sudah tentu, badannya
begitu harum, bau wangil kaum wanita," sahut A Ci.
Hati Toan Ki berdebur keras,
pikirnya, "Ya ... jangan-jangan memang benar dia ada adanya?”
Dalam pada itu si pemuda
pelajar tadi sudah melarikan keledainya sampai di depan kedua lelaki gagah dan
sedang membentak, "Minggir!"
Dari suaranya yang nyaring
merdu itu. nyata memang suara orang wanita. Maka Toan Ki tambah yakin lagi,
segera ia berseru. "He, nona Bok Wan ... Wan-jing, adikku! Kau ... kau ...
aku ... aku , .. kita .... kita .... "
Begitulah sambil
berteriak-teriak tak karuan ia terus keprak kudanya menyusul ke depan.
"Hati-hati Samte, lukamu
belum sembuh!' seru Hi-tiok kuatir. Segera bersama Pah Thian-sik dan Cu Tan-sin
juga memburu ke depan.
Pemuda pelajar itu hanya
menatap sekejap kedua lelaki gagah itu, sama sekali ia tidak menoleh atas
seruan Toan Ki tadi. Waktu Thian-sik dan Tan-sin mendekat, mereka coba
mengamatinya dari samping. tertampak pemuda itu memang cantik molek, nyata
memang benar Bok wan-jing yang dahulu pernah ikut Toan-Ki ke istana Tin-lam-ong
itu. Diam-diam mereka merasa malu, masakah orang melek kalah awas daripada
seorang
gadis buta.
Seperti diketahui badan Bok
Wan-jing mengeluarkan bau wangi yang khas, maka A Ci dapat mengendus bau harum
itu dengan hidungnya yang tajam, sejak matanya buta, maka indrà pendengaran dan
perciumannya menjadi jauh lebih lihai daripada orang biasa.
Begitulah ketika Toan Ki
sampai di samping Bok Wan-jing, segera ia hendak manjawilnya dan bertanya
dengan suara halus, "O, adikku, selama ini engkau berada dl mana? Sungguh
aku sangat merindukan dikau!"
Wan-Jing menghindari jamahan
tangan Toan Ki, lalu menoleh dan menjawab dengan suara dingin, "Kau rindu
padaku? Buat apa kau píkirkan diriku? Apa benar engkau kangen padaku?"
Toan Ki tertegun, ia merasa
tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sebaliknya satu di antara
kedua lelaki gagah tadi lantas terbahak-bahak, katanya, "Bagus! Jadi kamu
adalah anak perempuan, nah, boleh lewat ke sana!”
Sedang lelaki yang lain juga
berkata, "Hanya wanita saja yang boleh lewat, kaum lelaki busuk tidak
boleh. Ho, kamu lekas enyah, lekas putar baik?”
Sambil berkata jarinya terus
menuding Toan Ki, lalu menyambung pula, "Hm setiap melihat pemuda muka
halus macammu hatiku tentu gemas. Ayo lekas enyah, kalau berani maju selangkah
lagi segera kucencang dirimu!”
"Hai, ucapan saudara ini
sungguh aneh," sahut Toan Ki. "Ini kan jalan raya dan boleh dilalui
oleh siapa pun juga sebab apa saudara melarang aku? Coba terangkan."
"Pangeran Cong-coan
karajaan Turfan memberi perintah agar jalan ini ditutup selama sepuluh hari,
sesudah lewat hari Tiangciu baru jalan ini dibuka kembali," demikian
lelaki itu menjelaskan. "Maka sebelum lewat hari Tiongciu, jalan ini hanya
boleh dilalui kaum wanita dan kaum lelaki dilarang. Kaum padri boleh lewat
orang preman tidak boleh. Orang tua boleh orang muda dilarang. Mati boleh,
hidup tidak boleh. Ini namanya empat boleh dan empat tidak!"
"Apa alasan peraturan
demikian," tanya Toan Ki.
"Alasan? haha. Alasan?
ini ganden tuan besar dan gada kawanku inilah alasannya," sahut lelaki itu
dengan galak. "Apa yang diucapkan pangeran Cong-can itu adalah
undang-undang. Karena kamu kaum lelaki, bukan hwesio lagi bukan kakek-kakek
maka kalau ingin lewat jalan ini kecuali kamu menjadi bangkai dahulu."
"Huh, banyak rewel
apa?" bentak Bok Wan jing, berbareng dua panah kecil terus menyambar ke
arah kedua lelaki itu.
Maka terdengarlah suara
"plok-plok" dua kali kedua panah itu jelas telah menembus baju dada
kedua lelaki itu dan mengeluarkan suara tapi kedua orang itu sama sekali tidak
terluka apa-apa.
Lelaki yang bersenjata gada
menjadi gusar, bentaknya, "Nona cilik yang tidak tahu gelagat, kau berani
menyerang kami?"
Sungguh kejut Boh Wan-jing tak
terkatakan ia pikir kedua lelaki itu besar kemungkinan memakai baju dalam anti
senjata makanya panah berbisa yang dilepaskan itu tak dapat melukainya.
Dalam pada itu lelaki
bersenjata gada itu sudah ulur tangan hendak mencengkeram Bok Wan jing.
Walaupun Wan-jing berada di atas keledai sekaligus lelaki itu hendak
mengcengkam dada Wan-jing.
"He, saudara jangan kurangajar'"
seru Toan ki sambil angkat tangan kanan untuk merintangi orang.
Tapi lelaki itu mendadak
menurunkan tangannya sehingga pergelangan tangan Toan Ki dengan tepat kena
terpegang malah.
"Bagus! Mari kita besat
tubuh si muka halus ini menjadi dua!" seru lelaki yang bersenjata gandon.
Segera ia gunakan tangan kiri untuk memegang kedua gandennya, sedangkan tangan
kanan dipakai mencengkeram pergelangan tangan kiri Toan Ki, lalu membetot
dengan sekuatnya.
"He, jangan mencelakai
engkohkul" teriak Bok Wan-jing dengan kuatir, berbareng beberapa panah
berbisa terus dibidikkan pula. Tapi hasilnya tetap nihil, meski panah-panah itu
jelas mengenai tubuh kedua musuh, namun sama sekali tidak dapat melukai mereka.
Di sebelah sana Hi-tiok, Pah
Thian-sik dan Cu-Tan- sin teralang oleh kuda tunggangan Toan Ki dan Bok Wan
jing dan tidak keburu memberi pertolongan. Segera Hi-tiok melompat ke depan
meninggalkan kudanya, ia
melayang sampai di sebelah
lelaki bersenjata gada dan segera hendak menusuk iga lawan.
Tapi mendadak terdengar Toan
Ki bergelak tertawa, katanya, "Hahahaha! Jiko tidak usah kuatir, mereka
tidak mampu mencelakai aku!"
Benar juga, sejenak kemudian
kedua lelaki yang gagah perkasa bagai menara tadi pelahan mulai lemas, kepala
mereka bergeleng-geleng tak bertenaga, berdirinya juga mulai tidak kuat dan
akhirnya "bluk-bluk", kedua orang terguling semua ke tanah.
Rupanya "Cu-hap
kang" di tubuh Toan Ki telah bekerja sehingga tenaga kedua lelaki itu
disedot habis, akhirnya roboh dengan lemas.
"Kalian Budak banyak
melukai dan membunuh orang, maka ganjaran ini pun setimpal bagi kalian, diharap
saja lain kali jangan main gila lagi." kata Toan Ki.
"Biarpun ingin main gila
juga tidak mampu lagi mereka," kata Ciong Ling yang juga memburu tiba.
Lalu ia berpaling kepada Bok Wan Jing dan berkata, "Bibi Bok, sungguh
tidak nyata berjumpa lagi dengan engkau di sini."
"Kamu adalah adik
perempuanku, kenapa panggil aku sebagai bibi?" sahut Wan-jing dengan sikap
dingin.
"Ah, engkau suka bergurau
saja, mengapa aku bisa menjadi adik perempuaanmu?" ujar Ciong Ling dengan
heran.
"Boleh kau tanya dia
kalau tidak percaya," kata Wan-jing sambil menunjuk Toan Ki.
Ciong Ling lantas menoleh ke
arah Toan Ki dengan maksud ingin penjelasannya.
Diam-diam Toan Ki terkejut. Ia
pikir nyonya Ciong (ibü Ciong Ling) tentu ada hubungan istimewa dengan ayahku,
Kalau tidak tentu Bok Wan jing tidak berani sembarangan berkata demikian,
teringat olehnya kejadian dahulu waktu dia datang ke Ban-jiat-kok, di tangah
lembah maut itu ditemukan batu nisan yang tertulis "Kuburan Ban Siu
Toan" yang berarti sepuluh ribu kali dendam dengan Toan, untuk bisa
memasuki kuburan yang merupakan tempat kediaman Ciong Ban sin (Ayah Ciong Ling)
¡tu orang harus menendang tiga kali pada huruf Toan pada batu nisan ini. Dari
sini dapat pula diketahui betapa dendam dan benci Ciong Ban-sin terhadap
keluarga she Toan.
Begitulah memang kejadian dulu
itu sangat mencurigakan. Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Jika nona
Ciong ini benar keturunan ayah kenapa beliau pernah omong di hadapan
Ciong-kokcu bahwa nona Ciong akan diambilnya untuk selirku? Biarpun kata-kata
itu segaja dipakai mengolok-olok Cíong-kokcu, rasanya juga, tidak pantas
dikeluarkan terhadap putra-putrinya sendiri. Ya, jangan-jangan .. jangan-jangan
ayah sendiripun tidak tahu bahwa ... bahwa nona Ciong ini keturunannya?”
Seíketika itu Toan Ki menjadi
serba bingung dan terkesima. Kesempatan itu segera digunakan oleh Orang banyak
yang tadinya dirintangi kedua lelaki gagah tadi untuk meneruskan perjalanan ke
Lengciu.
Tiba-tiba terdengar A Ci
berseru kepada Toan Ki, "Koko, nona yang berbau harum ini apakah juga
kekasihmu? Ayolah perkenalkan dia padaku!"
"jangan ngaco belo, dia
... dia adalah Encimu, lekas memberi hormat padanya, " Kata Toan Ki.
"Masakah aku mempunyai
rejekí sedemikian baik?" jengek Wan-jing dengan gusar. Lalu ia pecut
keledainya dengan pelahan dan dilarikan ke depan.
Cepat Toan Ki menyusulnya dan
bertanya, "Adikku yang manis, selama ini engkau berada di mana? Ai,
tampaknya engkau... agak kurus sedikit.
Seperti diketahui perangai Bok
Wan-jing sangat angkuh dan tinggi hati sedikit-sedikit suka membunuh orang.
Tapi demi mendengar ucapan Toan Ki ini, seketika terasa pedih hatinya air mata
tak tertahan lagi dan segera bercucuran.
"Adikku, rombongan kami
berjumlah banyak dan dapat saling membantu, ada lebih baik kau ikut bersama
kami saja," kata Toan Ki.
"Siapa perlu
bantuanmu?" sahut Wan-jing. "Tanpa dirimu bukankah selama ini aku pun
bisa hidup sendiri?"
"Tapi ... tapi banyak
sekali ingin kubicarakan denganmu," kata Toan Ki. "Adik yang baik
berjanjilah bahwa engkau akan ikut bersama rombongan kami."
"Kau íngin bicara apa
dengan aku? Huh, tentu cuma omong kosong belaka," ujar Wan jing. Walaupun
mulutnya masih bicara teras
tapi hatinya sudah lembek dan diam-diam sudah ragu.
Tentu saja Toan Ki kegirangan,
segera ia mengada-ada lagi, "Adikku, walaupun engkau agak kurusan sedikit,
tapi makin cantik, makin ayu.”
Mendadak Bok Wan-jing menarik
muka katanya, "Sebagai kakakku, selanjutnya jangan kau bicara demikian
padaku."
Perasaannya sesungguhnya
sangat kusut. Sudah terang dia tahu Toan Ki adálah kakaknya sendirl dari
tunggal ayah lain Ibu, tapi rasa rindunya kepada pemuda itu selama ini tidak
pernah berkurang bahkan makin hari makin tumbuh.
Sementara itu Toan Ki berkata
dengan tertawa, "Apa salahnya kalau aku bilang kamu makin cantik? Eh,
Mengapa ... mengapa engkau menyaru sebagai lelaki dan pergi ke Lengciu? Apakah
kaupun ingin dipilih sebagai Huma? Wah, pemuda pelajar tampan sebagai dirimu
tentu sekali lihat putri Se He akan terpikat?"
"Dan kau sendiri untuk
apa pergi ke Lengciu?” Balas tanya Wan-Jing.
"Aku? Aku ... aku hanya
pergi melihat ramai-ramai saja dan tiada maksud lain.” sahut Toan Ki dengan
wajah sedikit merah.
"Huh. engkau selalu dusta
padaku," jengek Wan-jing. "Ayah suruh kau pergi melamar putri Se He
dan memerintahkan orang-orang she Pah dan Cu itu sampaikan surat padamu, apa
kau sangka aku tidak tahu?”
"Eh, dari mana kau tahu?”
Tanya Toan Ki dengan heran.
"Ibuku mempergoki ayah di
tengah jalan, aku sendiri waktu itu ikut bersama ibu, dengan sendirinya urusan
ayah kudapat mendengarnya," tutur Wan jing.
"Kiranya demikian,"
kata Toan Ki. "Ya, aku pun tahulah sekarang!"
"Kau tahu apa?"
tanya Wan-jing heran.
"Karena kaü tahu aku
hendak pergi ke Langciu makanya engkau menyusul kemari betul tidak?"
Muka Wan-jing menjadi merah
sebab ucapan Toan Ki dengan jitu telah mengenai isi hatinya. Namun demikian toh
mulutnya tetap tidak mau mengaku sahutnya, "Buat apa aku menyusul kau ke
sini?” Aku cuma ingin tahu betapa cantiknya putri Se He itu sehingga membikin
gempar para ksatria seluruh jagat ini "
Mestinya Toan Ki ingin memuji
dan mengatakan bahwa kecantikan putri Se He itu, pasti ada separuh
kecantíkanmu. Tapi ia merasa ucapan demikian tidak pantas dikatakan kepada Adik
perempuannya sendiri maka kata-kata yang hampir tercetus itu ditelannya kembali
mentah-mentah.
Dalam pada itu Wan-jing sedang
berkata "aku pun ingin tahu apakah Pangeran dari kerajaan kita dapat mengikat
jodoh dengan putri Se He itu.”
"Sesst, ketahuilah bahwa
aku sudah pasti tidak ingin menjadi Huma kerajaan Se He," kata Toan Ki
dengaa pelahan. "Moimoai, maksudku ini jangan kau bocorkan kepada orang
lain, Pendek kata bila ayah memaksa aku, pasti aku akan kabur saja."
"Masakah kau berani
membangkang perintah ayah?”
"Aku tidak membangkang,
tapi Kabur, menghilang?”
"Menghilang dan
membangkang perintah apa bedanya?” ujar Wan-jíng dengan tertawa, "Masakah
putri yang cantik molek itu tidak menarik bagimu?”
Sejak bertemu baru sekarang
Wan jing memperlihatkan tertawanya. Karuan Toan Ki sangat girang, sahutnya,
"Memangnya kau sangka aku mata keranjang serupa ayah? Asal ketemu lantas
süka sehingga banyak menimbulkan gara-gara?"
"Nah, kulihat kaupun
tídak banyak berbeda dengan ayah. Ayahnya begitu masakah anaknya bisa
berlainan? Cuma saja engkau tidak pünya rejeki sebagai ayah," ujar
Wan-jíng. Ia menghela napas, lalu menyambung, 'Seperti ibu, kalau b¡cara
tentang ayah, wah, bencinya tak terkira, tapi bila bertemu, maka lemaslah
hatinya. Tapi nona-nona di jaman sekarang tentu tidak ada lagi yang baik
seperti ibuku.”
Begitulah mereka melanjutkan
perjalanan sambil mengobrol, tidak lama kemudian Ciong Ling, Hi-tiok, Siau Hong
dan lain-lain juga menyusulnya.
Beberapa li kemudian hari
mulai gelap. Tiba-tiba terdengar suara jeritan kuatir seseorang dari sebelah
kiri sana menyusul ada suara teriakan keras pula, suara orang yang sedang
menghadapi suatu bahaya. Dari suara-suara itu dapat dikenali ada juga suara Lam-hai
gok-sin.
"He, itulah suara
muridku!" kata Toan Ki.
"Muridmu orang baik,
lekas kita pergí melihatnya!" seru Ciong Ling.
"Ya, mari cepat!"
sahut Hi-tiok. Meskipun Ibunya (Yap Ji-nio) adalah sekomplotan dengan
Lam-hai-goh-sin, maka sedikit banyak timbul juga rasa kekeluargaannya.
Segera mereka melarikan kuda
ke arah suara-suara tadi. Sesudah melintasi lereng bukit dan menyusur hutan,
tiba-tiba di tepi jurang di depan sana memperlihatkan suatu adegan yang sangat
mendebarkan hati.
Tertampak di atas sebuah
karang yang menonjol di tapi jurang tumbuh sebatang pohon Siong tua sebuah
dahan pohon menjulur ke jurang, di atas dahan kelihatan disanggah oleh sebatang
tongkat pada ujung tongkat itu menggelantung seorang berjubah hijau. Siapa lagi
dia kalau bukan Toan Yan-khing.
Dengan tangan kiri Toan
Yan-khlng menggunakan tongkat untuk nenahan dahan pohon, tubuhnya tergantung di
udara, sedang tangan kanan yang juga mamegang tongkat pada ujung tongkat yang
dipegang oleh seorang lain ternyata adalah Lam-hai-gok-sin.
Sambil sebelah tangan memegang
ujung tongkat Toan Yan-khing maka sebelah tangan Lam-hai-gok-sin yang lain
digunakan untuk menjambak rambut seorang lain lagi, orang ketiga ini adalah
Kiong-hiong-kek-ok in Tiong ho.
Kedua tangan In Tiong ho
tertampak digunakan untuk mencengkeram sepasang tangan seorang wanita muda.
Jadi keempat orang itu seakan-akan tergendong menjadi satu danterkontal kantil
di udara keadaan mereka terang sangat berbahaya. Asal salah seorang di antara
mereka itu lepas tangan, Maka orang yang di bawahnya tentu akan terjeblos ke
dalam jurang yang curam itu.
Dalam pada itu tiba tiba angin
pegunungan meniup santer sehingga Lam hai-gok-sin, ln Tiong-ho dan wanita muda
yang terkatung-katung di udara itu tertiup setengah putaran.
Tadinya wanita muda itu
tergantung mungkur, maka sekarang mukanya dapat terlihat dengan jelas. Mendadak
terdengar Toan Ki menjerit keras dan himpir-hampir terperosot jatuh dari
kudanya.
Kiranya wanita muda itu bukan
lain adalah Ong Giok-yan yang senantiasa dirindukannya siang dan malam selama
ini.
Sesudah tenangkan diri. Toan
Ki melihat karang itu sangat terjal dan berbahaya, tiada mungkin kuda dapat
mencapainya. Maka cepat ia melompat turun dari kudanya dan berlari-lari ke
sana.
Ketika hampir dekat dengan
pohon siong tadi, tiba-tiba dilihatnya dan seorang pendek gendüt berkepala
besar sedang menebang pohon dengan sebatang kapak besar.
Keruan kecut Toan Ki
lebih-lebih bukan buatan, cepat ia berseru, "Hei, hei Apa yang kau lakukan
di situ?"
Namun si gendut tidak gubris
padanya dan masih mengayun kapaknya menebang pohon.
Segera Toan Kì gunakan jarinya
menuding dapan, maksudnya hendak menyerang si gendut dengan Lak-mehsia-kiam.
Tak tersangka karena dia belum mampu menguasai tenaga murni sendiri, takkala
dia ingin menggunakan kepandaiannya itu jadi tidak manjur, meski dia
tüding-tuding beberapa kali tetap hawa pedang itu sukar dikerahkan.
Terpaksa ia berteriak,
"Toako, Jiko, Moaimoai, nona Ciong, lekas kalian kemari, lekas
tolong!"
Di tengah suara sahutan dan
bentakan, segera Siau Hong dan lain-lain memburu tiba.
Kiranya tubuh si gendut itu
sangat pendek, karena teraling-aling oleh batu karang, maka sama sekali tak
kelihatan dari jauh, pula angin pegunungan meniup dengan santer sehingga suara kapaknya
menebang pohon pun tak terdengar. Untung pohon siong itu sangat besar sehingga
dalam waktu singkat sukar untuk menumbangkannya.
Melihat itu, Siau Hong dan
lain-lain menjadi sangat heran dan kuatir pula, mereka tidak paham mengapa bisa
terjadi adegan semacam permainan akrobat udara itu.
Segera Hi-Tiok beseru,
"He. engkoh gemuk, jangan kau tebang pohon itu!"
Tapi si gendut telah menjawab,
"Pohon ini aku yang tanam, aku suka menebangnya untuk dibikin peti mati,
peduli apa dengan kau?"
Sembari bicara kapaknya juga
terus bekerja tanpa berhenti. Sedangkan di bawah jurang terdengar suara
gembar-gembor Lam-hai-gok-sin.
"Jiko, orang gendut itu
susah untuk diajak bicara, harap kau suka membekuk dia dulu, urusan
belakang." pinta Toan Ki.
Hi-Tiok mengiakan. Tapi belum
lagi ia bergerak, sekonyong-konyong seorang yang bertongkat telah melayang
kesana secepat terbang, hanya beberapa kali loncatan saja orang itu sudah
berada di depan si gendut tadi. Dan sesudah orang itu berdiri tegak barulah
semua orang dapat melihat jelas, kiranya dia adalah Yu Goan ci, entah sejak
kapan dia telah lengeloyor turun darl keretanya.
Bok Wan-jing belum pernah
kenal Goan-Ci seketika mendadak melihat mukanya yang jelek menyeramkan itu, ia
menjerit kaget.
Dalam pada itu Goan-Ci telah
menggunakan sebelah tongkatnya untuk menyanggah tubuhnya tongkat yang lain
terangkat ke atas, lalu katanya dengan tegas, "Siapa pun dilarang ke
sini!”
"He, Ong pangcu, lekas
kau bekuk saja saudara gendut itu, suruh dia jangan menebang pohon lagi,"
seru Toan Ki cepat.
"Hm, buat apa aku mesti
membekuk dia?” sahut Goan-ci dengan sikap dingin "Apa gunanya aku
menaklukan dia?"
"Kalau kau tidak membekuk
saudara gendut itu, bila pohon itu tumbang, semua orang yang bergantungan itu
tentu akan terbantìng mati semua di dalam jurang," kata Toan Ki.
Melihat keadaan sudah kepepet,
kalau terlambat sebentar lagi tentu urusan akan runyam, tanpa pikir lagl Hitiok
terus melompat maju. Ia pikir andaikan tidak dapat mencegah perbuatan si gendut
yang sedang menebang pohon itu, paling tidak harus menarik Toan Yan-khing dan
lain-lain ke atas. Maklum, Hi-tiok merasa utang budi kepada Toan yan-khing
karena tempo hari kepala Su-ok itu telah mengajarkan rahasia memecahkan
problem catur sehingga dia
berhasil memperoleh kepandaian-kepandaian sakti.
Tak terduga, sebelum Hi-tiok
bertindak, mendadak Goan-ci telah menancapkan tongkat ditanah lalu tangan kanan
itu menghantam, kontan serangkum hawa maha dingin menyambar ke muka Hi-Tiok.
Walau pun Hi-Tiok tidak gentar
terhadap serangan berbisa itu, tapi ia pun tahu tenaga pukulan Goan-ci itu
sangat dahsyat dan tidak boleh di pandang enteng, cepat ia kerahkan tenaga
untuk menangkis. Tapi mendadak pukulan Goan-ci yang kedua terus diarahkan
kedahan pohon, dimana dipakai menyanggah tongkatnya Toan Yan-khing. Kalau dahan
itu terpukul patah tanpa ampun lagi Toan Yan-khing berempat pasti akan hancur
lebur terjeblos ke dalam jurang.
Keruan Toan Ki kelabakan,
cepat ia beteriak, "Tahan dulu! Jiko, jangan kau maju ke sana, segala
urusan boleh dibicarakan secara baik-baik dan jangan main kekerasan.
Ong-pangcu, sebenarnya apa maksudmu ini? Siapakah yang kau musuhi? Kenapa kau
hendak membikin celaka orang?”
"Toan-kongcu," sahut
Goan-ci, "terlalu mudah bagiku jika mau membekuk si gendut ini. Tapi ...
tapi apa balas jasanya bagiku?"
"Segala apa akan
kuberikan padamu! Apa yang kau minta tentu akan kupenuhi! Nah, le ... lekas kau
bertindak, kalau terlambat tentu tidak keburu lagi!" seru Toan Ki.
"Bila si gendut ini sudah
kubereskan, segera aku akan pergi bersama nona A Ci, untuk mana kau dan
kawankawanmu tidak boleh merintangi kami, apa kau bersedia menerima syarat
ini?” Tanya Goan-ci.
"A Ci?" Toan Ki menegas.
"Tapi ... tapi dia ingin minta tolong pada Jiko untuk menyembuhkan
matanya, kalau ikut pergi bersama kau, lantas bagaimana matanya?"
"Jika Hi-tiok Siansing
dapat menyembuhkan matanya, maka aku pun pasti dapat berusaha menyembuhkan
matanya," sahut Goan-ci.
"Ini ... ini .... "
dalam pada itu Toan Ki melihat si gendut masih terus mengapak, kalau-kalau
ayalsebentar lagi urusan tentu akan runyam, Terpaksa ia berkata, "Ya, ba
... baiklah, aku terima permintaanmu, le ... lekas kau .... "
Belum habis ia berkata, dl
sebelah sana serangan Goan-ci sudah dilancarkan kearah si gendut.
Ternyata orang gemuk buntak
itu sedikitpun tidak gentar terhadap pukulan Goan-ci itu, dengan tertawa dingin
ia buang kapaknya, ia pasang kuda-kuda dengan kuat, sekali gertak, kedua tangan
terus dipakai memapak pukulan Goan ci itu.
Dari angin pukulan si gendut
terdengar dahsyat sekali tenaganya. Tapi ketika beradu dengan pukulan Goan-ci,
ternyata sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Sejenak kemudian mendadak air
muka si gendut berubah hebat, sikap yang tadinya angkuh dan sombong itu
tiba-tiba berubah sangat aneh seperti seorang yang mendadak melihat suatu
kejadian paling ajaib dan sukar dipercaya didunia ini.
Menyusul dari mulut si gendut
tampak mengeluarkan darah, tubuhnya pelahan mengkeret dan jatuh ke dalam
jurang, Sampai cukup lama barulah terdengar suara "bluk" sekali tentu
tubuh si gendut terbanting di atas batu karang di bawah jurang bila
membayangkan betapa mengerikan badan si gendut itu hancur lebur seketika semua
orang sama merasa menkirik.
Dalam pada itu Hi-Tiok sudah
lantas melompat ke atas dahan pohon, ia lihat tongkat Toan Yan-khing itu
terjepit dalam dahan, rupanya karena tekanan tenaga dalamnya yang kuat itu
hingga tongkat seperti melengket di dahan dan dapat menahan bobot tubuh empat
orang yang tergantung di bawahnya.
Sungguh kagum Hi-tiok tak
terkatakan atas tenaga dalam Toan Yan-khing yang hebat itu. Segera ia pegang
ujung tongkat orang dan diletak ke atas.
"Hwesio cilikl"
demikian Lam-hai-gok-sin berteriak-teriak di bawah. "Aku memang sudah tahu
kamu seorang baik, coba kalau kamu tidak menolong kami, wah, bagaimana rasanya
jika kami terkatung-katung di sini sampai tiga hari malam."
"Huh, masih membual
segala?" kata In Tiong-ho, "Apa kau tahan sampai tiga hari malam?”
"Kenapa tidak?"
sahut Lam hai-gok-sin dengan gusar. "Andaikan tidak kuat, asal aku
lepaskan jambakanku atas rambutmu, bukankah lantas jadi? Hm, apa kau minta
dicoba?"
Begitulah, biarpun dalam
keadaan bahaya toh mereka berdua masih sempat bertengkar.
Tidak lama kemudian Hi-tiok
sudah mengangkat Toan Yan-khing, Lam-hai-gok-sin dan In Tiong-ho ke atas.
Paling akhir, barulah Ong Giok-yan ditarik ke atas.
Kedua mata nona itu tampak
terkatup rapat, napasnya lemah, nyata sudah lama orangnya jatuh pingsan.
Sungguh girang dan lega rasa
hati Toan Ki, tapi merasa penuh kasih sayang pula. Ia lihat kedua pergelangan
tangan Giok-yan matang biru dan ada bekas kuku In Tiong-ho yang tandas,
tiba-tiba ia teringat kepada sifat In Tiong-ho yang kejam dan suka mengganggu
kaum wanita itu, pernah timbul maksud jahat durjana itu terhadap Bok Wan-jing
dan Ciong Ling, untung setiap kali dapat ditolong oleh Lam-hai-gok-sin,
makadapat diduga apa yang terjadi barusan tentu akibat terulangnya perbuatan
jahat In Tiong-ho itu.
Karena pikiran demikian,
seketika Toan Ki menjadi gemas terhadap Tiong-ho, segera la berkata,
"Toako, Jiko, orang she In ini paling jahat hendaknya kau bunuh dia
saja!"
"He. salah, salah!"
seru Lam-hai-gok-sin tiba-tiba, "Toan ... Suhu, justru hari berkat bantuan
In-Losi sehingga ... binimu ... Sunio ini dapat diselamatkan. Kalau tidak, wah,
tentu binimu sudah mampus sejak tadi!"
Meski kata-kata Lam-hai
gok-sin ini tak karuan, tapi orang sudah dapat menangkap maksudnya.
Tadi betapa kelabakan dan
kuatirnya Toan Ki atas keselamatan Ong Giok-yan sudah dapat diikuti seluruhnya
oleh Bok Wan-jing, sebelum Giok-yan ditarik keatas saja Wan-jing sudah muram
dan sedih kemudian waktu melihat kecantikan Giok-yan memang lain daripada yang
lain hati Bok Wan-jing bertambah tak karuan rasanya.
Begitulah tidak lama kemudian
Giok-yan membuka mata dengan perlahan tiba-tiba ia berseru, "Di .... di
manakah ini? Apa di sini akhirat?”
"Hus anak dara ini
benar-benar ngaco-belo!" kata Lam-hai-gok-sin. "Kalau di sini
akherat, bukankah kita disini sudah menjadi setan semua? Mumpung belum resmi
menjadi bini Suhuku, biarlah kupanggil engkau sebagai anak dara lebih sering.
He. anak dara, orang baik-baik mengapa mendadak mencari kematian? Jika kau sendiri
yang mati sebenarnya tidak menjadi soal bagiku paling-paling kamu Cuma urung
menjadi bini Suhuku, tapi hampir saja In losi juga ikut mampus bersamamu.
Andaikan In-losi mampus juga tidak mengapa, tapi Toanlotoa juga hampir-hampir
ikut lapor kepada Giam lo ong, ya. bahkan aku Gak-loji juga hampir ikut mati
konyol, Wah sungguh sialan!"
"Nona Ong, sebenarnya
bagaimana duduknya perkara?" tanya Toan Ki kemudian. "Engkau tentu
terkejut dan lelah, silakan mengaso bersandar di batang pohon ini."
Karena Toan Ki menghiburnya
dengan suara ramah-tamah, mendadák Giok-yan menangis sambil menutup mukanya
dengan kedua tangan. Katanya dengan suara terguguk-guguk, "Kalian tidak
perlu mengurus diriku, aku ... aku tidak ingin hidup lagi."
Toan Ki terkejut, pikirnya,
"Sebab apa dia ingin mati? Wah, jangan-jangan ... jangan-jangan ....
"
Ia coba melirik In Tiong-ho,
ketika melihat sikap si durjana yang buas dan kejam itu, diam-diam ia mengeluh,
"Ai, celaka! Jangan-Jangan nona Ong telah dinodai durjana ini sehingga dia
ingin membunuh diri?”
Tengah Toan KI merasa sangsi,
tiba-tiba Ciong Ling tampil ke muka dan menegur Lam-hai-gok-sin, "He,
Gaklosam, baik-baikkah kamu selama ini!"
"Eh. jebul kau nona cilik
ini!" sahut Gok sin dengan girang. "Baik, baik sekali! Sekarang aku
sudah menjadi Gak-loji dan bukan Gak-losam lagi!"
"Ai, jangan kau panggll
aku 'cilik' apa segala," sahut Ciong Ling. "Gak-losam, kau ....
"
"Gak-loji!" sela
Gak-sin.
"O, ya, Gak-loji, sebab
apakah nona ini ingin membunuh diri? Apakah gara-gara si Jangkung lagi?” tanya
Ciong Ling.
"Bukan, Bukan!"
berulang Gak-sin menggeleng kepala. "Demi allah, dalam urusan ini sifat In
losi mendadak berubah dan telah berbuat baik. Sejak kami kehilangan seorang
kawan Yap Ji-nio, Kami menjadi agak kesal. Waktu kami jalan-jalan sampai di
sini, kebetulan kami melihat Anak dara ini sedang terjun ke bawah jurang.
Sekonyong-konyong timbul welas-asih In losi, dia melompat untuk menarik tangan
anak dara itu. Tetapi daya terjun anak dara itu terlalu hebat, maka ... si
dasar In losi memang orang maha jahat, sekarang mendadak berubah baik, rupanya
menjadi agak tidak tahu diri .... "
"Keparatl" in
Tiong-ho memaki dengan gusar, "Sejak kapan aku pernah berubah menjadi
baik? Orang she ln ini paling suka kepada nona cantik maka ketika kulihat nona
Ong ini hendak membunuh diri, dengan sendirinya aku merasa sayang jadi maksud
tujuanku hendak membawanya pulang untuk dijadikan kawan hidup."
Seketika Lam-hai-gok-sin
berjingkrak, la balas memaki sambil menuding, "Kamu jahanam bedebah!
Sebabnya Gak-loji mau menjambak rambutmu adalah karena mengira sifatmu yang
beringas berubah baik, jika tahu maksudmu yang durhaka ini, lebih baik Kubiarkan
kau terbunuh mampus saja dalam jurang itu Untunglah
Toan lotoa cukup cekatan,
tongkatnya tepat waktunya diulurkan kepadaku sehingga sempat kugapai ujung
tongkat itu dan tidak sampai terjerumus dalam jurang. Tapi bobot kita bertiga
ada beberapa ratus kati baratnya, dengan terkontal kantil di udara, akhirnya
Toan-lotoa juga ikut terseret ke bawah syukur tongkatnya sempat menyanggah
dahan pohon siong itu. Dan baru kami hendak mencari akal untuk naik ke atas
tiba-tiba datanglah si gandut buntak berkapak dari Turfan itu dia terus
menebang pohon ...”
"Jadi si gendut buntak
itu orang Turfan? Sebab apa dia hendak membikin celaka kalian?” tanya Ciong
Ling.
"Cuhh," Gok-sin
meludah, "semuanya gara-gara In-losi, dia masuk Istana raja Se He untuk
mengintip putri kemudian ia menyiarkan hasil perbuataanya itu. katanya putri Sa
He itu secantik bidadari. Nah, tentu saja dunia menjadi gempar. Pangeran
Turfan, juga mendengar berita yeng di siarkan In-losi itu, dia minta keterangan
kepada kami, tapi kami tidak mau menjelaskan lebih lanjut maka terjadilah
pertarungan sengit dan mengakibatkan jatuh belasan korban di pihak jago-jago
turfan, lantaran itulah kami Sam-ok lantas bermusuhan dengan orang-orang
Turfan.”
Karena cerita Lam-hai-gok-sin
ini, maka sedikit banyak dapatlah semua orang memahami duduknya perkara. Tapi
sebab apa Ong Giok-yan sampai mau bunuh diri hal inilah yang belum lagi
diketahui.
Dalam pada itu Gok-sin berkata
pula, "Nona Ong, Suhuku sudah berada di sini, kalian adalah kenalan lama,
lebih baik menjadi suami-istri saja dan jangan membunuh diri lagi."
Giok-yan mendongak dan
menjawab dengan masih terguguk-guguk, "Jika kamu sembarang mengoceh lag
untuk menghina aku segara aku akan... akan membenturkan kepalaku pada batu
karang itu dan biar mati saja."
"Eh, jangan, jangan!"
seru Toan Ki cepat. Lalu ia menoleh kepada Gak-sin, "Gak-losam, jangan
.... "
"Gak-loji,” potong
Gak-sin.
"Baik, Gak-loji, Jangan
sembarangan berkata lagi." kata Toan Ki. "Kamu telah berjasa
menyelamatkan nona Ong, sungguh Suhu sangat berterima kasih padamu."
Lam-hai-gok-sin melirik Giok
yan dengan matanya yang kecil aneh itu, katanya, "Kamu tidak mau menjadi
Ibu guruku? Ooo. kelak kamu tentu akan ketinggalan! Itu lihat, nona besar itu
dan nona kecil ìni, semuanya sedang berlomba untuk menjadi ibu guruku."
Sembari berkata ia pun
menuding Bok Wan-jing dan Ciong Ling.
Muka Wan-jing menjadi merah,
"Cis!" semprotnya. Lalu katanya, "He, di manakah siluman jelek
itu?”
Tadi semua orang memusatkan
perhatian kepada Hi-Tiok yang menolong Ong Giok-yan ke atas, baru sekarang
sesudah mendengar ucapan Wan-jing itu semua orang mengetahui bahwa Yu Goan-ci
dan A Ci sudah tidak kelihatan lagi.
"Toako. apakah mereka
sudah pergi?" Tanya Toan Ki kepada Siau Hong. Ia kenal sang Toako adalah
seorang cerdik dan penuh waspada, setiap gerak-gerik Goan-ci dan A Ci tentu
tidak terhindar dari pengamatannya.
"Ya, mereka sudah
pergi," sahut Siau Hong. "Kamu sudah berjanji, dengan sendirinya aku
tidak dapat merintangi mereka."
"Hai. Lotoa, tosi, apa
kita akan pulang saja?" mendadak terdengar Lam-hai-gok-sin berteriak
kepada Toan Yankhing dan In Tiong-ho yang kelihatan berjalan menuju ke arah
Lengciu. Lalu ia berpaling pula kepada Toan Ki dan berkata, "Aku akan
pergi, ya!"
Habis itu ia terus ayun
Langkahnya menyusul ke arah Toan Yan-khing berdua.
"Nona Ong," kata
Ciong Ling kemudian "Engkaü tentu sangat lelah, marilah kita naik kereta
saja."
Lalu ia memayangnya menuju
kereta yang ditinggalkan Goan-ci tadi.
Begitulah rombongan mereka
lantas meneruskan perjalanan ke Lengciu. Menjelang magrib sampailah mereka di
dalam kota. Walaupun Lengciu adalah kota raja Se He, tetapi kalau dibandingkan
kota besar dl Tionggoan dengan sendirinya kalah jauh besar dan ramainya.
Maka rombongan Siau Hong gagal
mendapatkan rumah penginapan. Maklum, kota Lengciu memang tidak besar, rumah
penginapan yang ada telah penuh diisi oleh para ksatria yang berbondong-bondong
datang handak ikut sayembara. Terpaksa Siau Hong membawa rombongannya keluar
kota dan dengan susah payah akhirnya menemukan sebuah kelenteng sebagai tempat
bermalam. Kaum lelaki berkumpul dl suatu kamar serambi timur dan kaum wanita
bersatu kamar di sebelah barat.
Sejak betemu kembali dengan
Giok-yan sungguh girang Toan Ki tak terlukiskan, tapi juga gundah-gulana. Malam
itu ia guling-gelantang tak bisa tidur. Yang selalu terbayang olehnya ialah Ong
Giok-yan, Ia pikir,
"Sebab apakah nona Ong
hendak membunuh diri?Ai aku harus mencari akal untuk menghiburnya? Tetapi aku
tidak tahu sebab apa dia hendak mengbunuh diri, dengan cara bagaimana aku harus
menghiburnya?"
Sang dewi malam memancarkan
sinarnya yang terang di tengah cakrawala, sinar bulan itu menembus ke dalam
kamar melalui celah-celah jendela. Saat itu Toan Ki masih guling-gelantang tak
bisa pulas. Akhirnya pelahan ia bangun dan keluar ke pelataran tengah kelenteng
di situ tumbuh dua batang pohon Waru yang rindang.
Tatkala itu sudah akhir musim
panas, tapi di tengah malam di daerah sekitar Kamsiok hawa terasa agak dingin.
Toan Ki mondar-mandir di bawah pohon waru itu, lamat-lamat ia merasa luka di
dadanya agak sakit, la tahu tentu siang harinya telah banyak bergerak sehingga
membikin luka itu kambuh kembali.
"Sebab apakah dia ingin
bunuh diri?" demikian timbul pula pertanyaan ini dalam benaknya.
Karena pertanyaan itu tetap
sukar dipecahkan, akhirnya ia melangkah keluar kelenteng. Di bawah sinar bulan
yang terang itu tiba-tiba dilihatnya ada berkelebatnya bayangan orang di tepi
empang sejauhan sana. Samarsamar bayangan orang itu seperti kaum wanita, bahkan
mirip dengan tubuh Giok-yan.
Toan Ki terkejut, "Wa.
celaka, jangan-jangan dia ... dia hendak bunuh diri lagi."
Cepat ia gunakan ginkang untuk
memburu ke sana. Segera dia keluarkan langkah "Leng-po wi-poh" yang
ajaib, maka cepatnya bukan main dan tak bersuara seperti orang meluncur dalam
air, hanya sekejap saja ia sudah berada dibelakang bayangan orang itu.
Air empang yang tenang dan
bening seperti kaca itu mencerminkan muka orang itu dengan jelas, memang betul
dia adalah Giok-yan.
Toan Ki tidak berani
sembarangan menegurnya, pikirnya, "Ketika di Siau-sit-san dia sudah kadung
benci padaku, waktu bertemu siang tadi dia juga acuh-tak-acuh padaku, mungkin
dia masih marah padaku. Ya, boleh jadi sebabnya dia ingin membunuh diri adalah
lantaran perbuatanku. Jika begitu, wahai Toan Ki, kamu terlalu kasar terhadap
si cantik dan mengakibatkan dia gundah merana, kamu benar-benar berdosa!”
Begitulah Toan Ki sembunyi di
belakang pohon dan termangu mangu menyesalkan dirinya sendiri, makin dipikir
makin merasa dosa sendiri tak terampunkan.
Tiba-tiba dilihatnya air
empang yang tenang bening itu tiba-tiba bergelombang halus, lingkaran gelombang
itu pelahan makin meluas. Waktu Toan Ki memperhatikannya tertampak beberapa
tetes air jatuh di permukaan
empang. Kiranya air mata Giok
yan.
Toan Ki semakin kasihan.
Tiba-tiba terdengar Giok-yan menghela napas, lalu pelahan bergumam, "Ai, aku
... aku lebih baik mati saja agar tidak merana lebih lama."
Sungguh Toan Ki tidak tahan
lagi, segera ia keluar dari tempat sembunyinya dan barkata, "Nona Ong,
seratus kali salah, semuanya aku yang salah, untuk itu diharap engkau suka
memaafkan. Bila engkau masih tetap marah, terpaksa aku berlulut padamu."
Habis bicara benar saja ia
terus berlutut.
Keruan Giokz-yan kaget,
serunya gugup "He, apa ... apa yang kaulakukan? Le ... lekas bangun. Kalau
... sampai dilihat orang kan tidak enak?”
"Asal nona sudi memaafkan
aku dan tak akan marah lagi padaku, baru aku mau bangun" sahut Toan Ki.
Giok yan menjadi heran,
katanya, "Maaf apa padamu? Marah apa padamu? Ada sangkut-paut apa dengan
urusanmu?"
"Kulihat nona sangat
sedih, padahal segala apa biasanya nona selalu gembira ria, kukira akulah yang
membikin Buyung-kongcu merasa tersinggung sehingga nona juga ikut masgul.
Biarlah aku berjanji, bila lain kali bertemu dengan dia lagi, biarpun dia akán
memaki dan menyerangku. Aku akan kabür saja dan takkan balas menyerangdia."
Giok-yan nampak
membanting-bantíng kaki dan berkata. ""Ai, engkau ini me ... memang
tolol. Aku berdüka sendiri, sama sekali tiada sangkut pautnya denganmu.”
"Jika begitu, jadi nona
tidak marah padaku?”
"Sudah tentu tidak!"
"Jika demikian legalah
hatiku." kata Toan Ki sambil berbangkit.
Tapi mendadak hatinya merasa
gundah-gelana. Bila Giok-yan sangat berduka karena dia sehingga memaki dan
memukulnya, bahkan membacoknya dengan golok sekali pun dia akan rela. Tadi si
nona justru menyatakan sedihnya itu tiada sangkul-pautnya dengan dia. Seketika
Toan Ki merasa hampa seakan-akan kehilangan sesuatu.
Dalam pada itu tampak Giok-yan
sedang menunduk air matanya bercucuran pula.
Toan Ki menjadi terharu dan
berkata, "Nona Ong, sebenarnya ada kesulitan apa, lekas katakan padaku.
Dengan segenap tenagaku tentu akan ku selesaikan untukmu, aku akan berusaha
engkau gembira."
Pelahan Giok-yan mengangkat
kepalanya, dengan pandangan yang sayu ia menjawab, "Toan-kongcu, engkau
... sangat baik padaku, sudah tentu aku sangat ... sangat berterima kasih, Cuma
dalam urusan ini sesungguhnya engkau tak dapat menolong diriku."
"Aku sendiri memang tidak
becus apa-apa," ujar Toan Ki. ”Tetapi Siau-toako dan Hi-tiok Jiko, mereka
adalah jago silat kelas wahid, mereka berada di sini semua, mereka sangat baik
padaku, apa yang kau minta tentu akan dikabulkan oleh mereka. Apa sebenarnya
yang membuatmu berduka, coba katakan, bisa jadi aku dapat membantumu."
Tiba-tiba air muka Giok-yan
yang semula pucat itu berjamu marah, ia berpaling dan tidak berani menatap
sinar mata Toan Ki, kemudian dengan suara yang lìrih lembut berkata, "Dia
...dia katanya ingin menjadí Huma kerajaan Se He maka Kongya-jiko membujuk
padaku agar .... demi kebangkitan kembali kerajaan Yan yang baru, terpaksa dia
... dia harus kesampingkan kepentingan pribadinya."
Habis berkata, tiba-tlba ia
berpalíng kembali dan mendekap di atas pundak Toan Ki lalu menangis
tersedusedan.
Kejut-kejut senang rasa Toan
Ki, sedikit pun ia tidak berani bergerak. Baru sekarang ¡a paham duduknya
perkara, tapi ia lantas terkesima, entah mesti girang atau susah, Kiranya
lantaran Buyung Hok hendak ikut berebut putri Se He, dan kalau sudah
memperistrikan putri Se He, dengan sendirinya Giok yan tidak terurus lagi.
Dengan sendirinya lantas
terpíkir pula, oleh Toan Ki, "Wah, bila dia tidak jadi diambil istri oleh
Piaukonya, boleh jadi dia akan lebih lunak kepadaku aku tidak berani
mengharapkan memperistrikan día, asal aku senantiasa dapat melihat wajahnya
yang berseri-seri maka puaslah hatiku. Jika dia suka kepada ketenangan, maka
aku akan mengiringi dia pergi ke pulau terpencil atau gunung yang sunyi dan
selalu berdampingan dengan dia alangkah bahagia dan senangnya hidup demikian
itu?"
Berpikir tentang hidup yang
mengembirakan itu, ia menjadi lupa daratan dan tanpa terasa kaki tangan
bertingkah pula.
Giok-yan sampai kaget, ia
mundur selangkah, ketika melihat wajah Toan Ki bergembira ria, ia tambah pedih,
katanya, "Tadinya ku ... kusangka engkau adalah orang baik, makanya aku
bicara terus terang padamu, tak tahunya engkau malah ... malah menyukurkan
kemalanganku ini dan malah mengejek."
”O, tidak, tidak!" sahut
Toan Ki cepat, "Langit di atas, bumi di bawah, boleh mereka menjadi saksi
bahwa sekali-sekali aku tidak menyukurkan kemalangan nasib nona, bila demikian
pikiranmu, biarlah aka terkutuk dan mati tak terkubur."
"Asal hatimu memang tidak
bermaksud jelek siapa sih yang menyuruhmu bersumpah apa segala?” ujar Giokyan.
"Tapi sebab apakah tìba-tiba engkau tampak gembirà?"
Baru pertanyaan itu
dikemukakan ia sendiri lantas paham juga persoalannya. Segera teringat olehnya
bahwa sebabnya Toan Ki mendadak gembira tentu karena Buyung Hok akan menjadi
menantu raja Se He dan Toan Ki menjadi besár harapannya untuk mengikat jodoh
dengan dirinya.
Tentang Toan Ki sangat
kesemsem padanya sudah tentu Giok-yan sendiri tahu. Cuma perhatiannya selalu
terpusat kepada diri sang Piauko, terhadap cinta Toan Ki yang tak terbalas itu
terkadang ia sendiri pun merada menyesal. Tapi dalam hati "cinta"
memang sekali-kali tak boleh dipaksakan."
Begitulah maka sesudah paham
sebabnya Toan Ki berjingkrak senang Giok-yan menjadi malu dengan muka bersemu
merah ia mengomel, "Meski engkau tidak mengejek aku, tapi kaupun tidak
bermaksud baik, Aku ... aku .... "
Sampai di sini ia tidak
sanggup meneruskan lagi.
Toan Ki terkesiap, diam-diam
ia mencerca dirinya sendiri, "Wahai Toan Ki kenapa tiba-tiba timbul
pikiranmu serendah itu dan bermaksud menggagap ikan di air keruh, Orang lain
sedang tertimpa kemalàngan tapi aku malah bergirang? Bukankah perbuatanmu itu
sangat memalukan?"
Melihat Toan Ki
termenung-menung dengan suara perlahan Giok-yan bertanya, "Apakah ucapanku
tadi salah dan engkau marah padaku?"
"O, ti ... tidak, mana
bisa kumarah padamu," sahut Toan Ki.
"Habis, mengapa engkau
diam saja?"
"Aku .... aku sedang
memikirkan sesuatu," kata Toan Ki.
Diam-diam ia sedang
menimang-nimang "Kalau dibandingkan Buyung-kongcu terang aku kalah
segalanya, baik ilmu sìlat mau pun ilmu sastra, kalah ganteng dan kalah nama,
apalagi mereka berdua adalah famili sendiri dan teman bermain sejak kecil,
sudah lama mereka saling menyukai dalam hal ini lebih-lebih aku bukan
tandingannya. Tapi ada suatu hal aku harus mengalahkan Buyung-kongcu. Ya,
supaya sampai tua pun dalam lubuk hati nona Ong akan tetap teringat kepadaku
bahwa di dùnia ini satu-satunya orang yang selalu berpìkir demi kepentingannya
tiada orang lain kecuali aku, Toan Ki."
Sesudah ambil ketetapan itu
segera ia berkata pula, "Nona Ong, jangan berduka lagi, biarlah aku
berusaha menasehati Buyung-kongcu supaya dia jangan menjadi Huma kerajaan Se He
dan supaya dia lekan menikah denganmu saja."
Giok-yan terkejut, sahutnya,
"He. tidak! Mana boleh jadi? Piauko justru sangat benci padamu tidak
mungkin dia mau menerima nasehatmu itu."
"Biarlah aku nanti
memberi ceramah padanya akan kukatakan bahwa hidup manusia di dunia ini paling
penting adalah kecocokan antara suami istri keduanya harus cinta mencintai,
Padahal selamanya dia tìdak kenal putri Se He tidak akan tahu putri itu jelek
atau cantik, apakah baik atau jahat andaikan menjadi istrinya tentu takkan
bahagia. Sàbaliknya akan kukatakan bahwa nona Ong cantik molek, halus budi dan bijaksana
seluruh dunia sukar mencari bandingannya. Apalagi engkau sangat cinta padanya,
masa día tega mengingkarimu sehingga akan dicaci-maki oleh kaum ksatria di
dunia íni?"
Giok-yan sangat terharu
mendengar uraian itu katanya lirih, "Toan-kongcu, engkau memuji díriku
hanya untuk menyenangkan hatiku saja."
"Bukan! Bukan!"
sahut Toan Ki cepat. Dan begítü kata-kata itu diucapkan, segera ia merasa nada
sendiri itu ketularan kebiasaan Pau Püt-tong, ia tertawa geli sendiri lalu
menyambung, "Aku benar-benar berkata dengan setulusnya, sedikit pun tidak
pura-pura untuk menyenangkan hatimu."
Rupanya Giok-yan juga geli
oleh ucapan "bukan-bukan" itu, dari menangis ia menjadi tertawa
katanya, "Kenapa engkau menirukan kebiasaan Pau-samko yang jelek?"
Toan Ki kegirangan melihat si
nona tertawa, katanya, "Pendek kata aku pasti akan membujuk Buyung-kongcu
agar menarik kembali maksudnya hendak menjadi menantu kerajaan Se He dan lebih
baik menikah dengan nona saja."
"Dengan perbüatanmu ini,
sebenarnya apa tujuanmu? Apa sih faedahnya bagimu?" tanya Giok Yan.
”Asal kulihat nona bergembira
ria dan tertawa, itu sudah cukup bagiku,” sahut Toan Ki.
Giok-yan terkesiap, ia merasa
jawaban yang sederhana itu justru sangat tandas melukiskan betapa cinta pemuda
itu kepadanya. Tapi karena segenap perhatiaan Giok-yan telah dicurahkan kepada
Buyung Hok seorang, walaupun terharu seketika, tapi segera terlupa pula.
Katanya kemudian dengan
menghela napas. "Engkau tidak tahu jalan pikiran Piaukoku. Dia memandang
usahanya membangun kembali kerajaan Yan sebagai tugas utama hidupnya. Dia
bilang seorang lelaki sejati harus mengutamakan perkembangan dan pemupukan
pergerakan, kalau selalu memikirkan urusan lelaki dan perempuan, itu bukanlah
pahlawan. Dia bilang baik putri Se He itu secantik bidadari atau sejelek setan,
pendek kata dia tidak pikirkan, yang utama ialah dapat membantu dia membangun
kembalí kerajaan Yan."
”Hal itu memang juga
betul," pikir Toan Ki. "Keluarga Buyung mereka senantiasa ingin
menjadi raja, Se He memang dapat membantu usahanya membangun kembali kerajaan
Yan, urusan nona Ong menjadi ... menjadi agak sulit."
Ia lihat air mata Giok-yan
berlinang-linang pula, segera ia membusungkan dada dan berkata, "Nona.
sudah jangan kuatir. Biarlah aku saja yang menjadi menantu kerajaan Se He.
Dengan demikian, karena tidak berhasil menjadi Huma, dia terpaksa akan menikah
denganmu."
"Hah, apa?" seru
Giok-yan terkejut dan bergirang.
"Aku akan ikut sayembara
dan merebut putri Se He," sahut Toan Ki.
Ketika di Siau-sit-san Toan Ki
telah mengalahkan Buyung Hok dengan Lak-meh-sin-kiam, kejadian itu
disaksikan sendiri oleh
Giok-yan, kalau sekarang Toan Ki benar-benar ikut perlombaan sayembara, rasanya
sang Piaoko akan gagal cita-citanya untuk menjadi menantu raja Se He.
Karena pikiran demikian,
segera Giok-yan berkata dengan suara pelahan, "O, Toan-kongcu, engkau
benarbenar sangat baik padaku. Tapi .... tapi dengan demikian engkau tentu akan
dibenci sekali oleh Piaukoku."'
"Tidak menjadi soal, toh
sekarang juga dia sudah sangat benci padaku," sahut Toan Ki.
"Tadi kukatakan putri Se
He itu entah cantik entah jelek, jika engkau menjadi suaminya, bukankah akan
membikin susah padamu?"
"Demi dirimu, biar
bagaimana juga aku rela menangungnya," demikian mestinya hendak dikatakan
Toan Ki. Tapi sebelum terucapkan, tiba-tiba terpikir olehnya, "Apa yang
kulakukan ini jika sengaja untuk membuat kau utang budi padaku bukankah
perbuatan demikian terlalu rendah?"
Karena itu lantas
katanya,'"Aku tidak akan susah, sebab ayahku telah memerintahkan padaku
agar berusaha ikut berebut putri Se He, jadi aku cuma melaksanakan perintah
ayah dan tiada sangkut-pautnya denganmu."
Giok-yan adalah nona yang
pintar dan cerdik, demi cinta Toan Ki rela berkorban baginya, walaupun di mulut
Toan Ki tidak menonjolkan hal ini. Tanpa terasa ia genggam tangan pemuda itu
dan berkata, "O, Toan-kongcu, hidupku ini tak dapat kubalas kebaikanmu se
... semoga dalam jelmaan hidup yang akan datang .... "
Berkata sampai di sini,
suaranya menjadi parau dan tenggorokan serasa tersumbat, ia tidak sanggup
meneruskan lagi.
Sudah beberapa kali kedua
muda-mudi ini bahu-membahu menghadapi bahaya dan selalu berdampingan, apa yang
pernah terjadi itu adalah terpaksa, sebaliknya sekali ini Giok-yan sendiri yang
terharu, perasaannya timbul dengan sewajarnya sehingga menggenggam tangan Toan
Ki dengan erat.
Seketika Toan Ki merasa
tangannya dipegang oleh tangan yang halus dan lemas, untuk sejenak ia menjadi
lupa daratan, saat itu biarpun langit akan ambruk juga tak dihiraukannya lagi
Ia pikir si nona sedemikian baik padaku, jangankan Cuma mengambil istri putri
Se He, sekalipun putri kerajaan Song, kerajaan Liau, kerajaan Koran dan
kerajaan Turfan sekalígus menjadi istriku juga boleh.
Begitulah, saking senangnya, darah
lantas bergolak, padahal lukanya belum sembuh sama sekali maka kepala
menjadi puyeng, badan
terhuyung-huyung dan "byuurr”, ia terperosot dan kecebur ke dalam empang.
Keruan Giok-yan kaget,
serunya, "He, Toan-kongcu! Toan-kongcu!”
Untung air empang itu sangat
cetek, karena terendam air dingin pikiran Toan Ki menjadi jernih, cepat ia
merangkak bangun dengan basah kuyup.
Dan karena teriakan Giok-yan
tadi semua orang yang tidur dalam kelenteng sama terjaga bangun. Siau Hong,
Hi-tiok, Pah Thlan-sik, Cu Tan-sin dan lain-lain sama berlari keluar. Ketika
melihat keadaan Toan Ki yang serba runyam dan air muka. Giok-yan tampak merah
jengah, diam-diam semua orang merasa geli, mereka menyangka kedua muda-mudi itu
sedang main pat-gulpat di tengah malam sunyi, maka mereka pun tidak enak untuk
bertanya ....
Esoknya adalah tanggal 12
bulan, delapan jadi masih ada tempo tiga hari baru tiba hari Tiongciu.
Pagi-pagi Pah Thian-sik sudah masuk kota untuk mencari berita. Waktu-lohor ia
pulang kembali ke kelenteng dan memberi lapor kepada Toan Ki, "Kongcu,
surat lamaran Ongya telah hamba sampaikan lepada Le-poh (bagian protokol) dan
hamba telah diterima oleh menteri Le-poh dengan ramah beliau menyatakan adalah
suatu kehormatan besar bagi Se He karena Kongcu mau ikut melamar putri mereka
dan besar kemungkinan cita-cíta Kongcu akan terkabul."
Tidak lama kemudian, tíba-tiba
terdengar riuh ramai di lúar kelenteng, menyusul ada suara alat tetabuhan pula.
Waktu Thian-sik dan Tan-sin memapak keluar kiranya To silong (menteri To) dari
Le-poh datang untuk menyambut Toan Ki ke tempatpenginapan yang disediakan bagi
tamu-tamu agung kerajaan.
Siau Hong adalah Lam-ih
Tai-ong Kerajaan Liau, kalau Se He mengetahui kedatangannya tentu akan
menyambutnya dengan lebih meriah dan menghormat. Cuma dia telah pesan
kawan-kawannya agar jangan membocorkan kedudukannya, maka dia dan Hi-Tiok dan
lain-lain cuma mengaku sebagaí pengiring Toan Ki dan bersama-sama pindah ke
pondok tamu asing.
Belum lama mereka mengaso di
tempat baru, tiba-tiba terdengar di ruang belakang sana ada suara caci maki
orang, 'Hm, kamu ini kutu macam apa? Kamu juga berani mengincar putri Se He?
Biarlah kukatakan padamu bahwa Huma kerajaan Se He ini sudah pasti akan
diduduki oleh pangeran kami, kukira kalian lekas merat saja dari sini mencawat
ekor!"
Pah Thian-sik dan lain-lain
menjadi gusar, mereka tidak tahu siapakah berani mencaci-maki secara kasar
demikian. Ketika mereka membuka pintu, tertampaklah di pekarangan sana berdiri
tujuh atau delapan lelaki kekar kasar dan sedang bergembar-gembor tak keruan.
Thian-sik dan Tan-sin adalah
pendekar-pendekar Tayli yang terhitung paling pintar dan cerdik. Mereka tidak
bersuara, hanya berdiri di depan pintu saja untuk mendengarkan lebih jauh.
Terdengar caci-maki kawanan lelaki kasar itu makin lama makin kotor, terkadang
juga diselingi dengan kata-kata yang tak dikenal, agaknya mereka adalah anak
buah pangeran Turfan.
Selagi Thian-sik berpikir cara
bagaimana menggebuk pergi kawanan lelaki itu, mendadak pintu kamar dipojok kiri
sana terdengar dibuka orang dengan keras, menyusul dua orang melompat keluar,
seorang berbaju kuning dan yang lain berbaju hitam. Keduanya terus menghantam
sana dan menendang situ, hanya dalam sekejap saja tiga. Di antara kawanan
lelaki yang mencaci-maki tadi sudah dirobohkan. sisanya juga kena dihantam dan
dilempar keluar pintu sana.
"Puas! Puas!” seru si
lelaki berbaju kuning.
Kiranya mereka adalah Hong
Po-ok dan Paù Put-tong.
Mendengar suara kedua orang
itu, Giok yan yang berada di dalam kamar menjadi bimbang, ia bingung apa mesti
keluar untuk bertemu dengan mereka atau tidak.
Dalam pada itu terdengar
jago-jago Turfan yang diusir keluar ítu masih berkaok-keok, "He, manusia
she Buyung, kami kira kamu lebih baik pulang kandang ke Koh-soh saja. Jangan
timbul pikiran hendak memperistrikan putri Se He, Jika sempat Pangeran kami
menjadi gusar menggunakan caramu untuk diperlakukan atas dirimu dan mengambil
adik perempuanmu sebagai bini muda, maka barulah kamu akan tahu rasa
nanti!"
Hong Po-ok menjadi gemas
karena caci-maki yang demikian kotor itu, segera ia mengudak keluar. Maka
terdengarlah suara "plak-plok, blak-bluk” berulang-ulang, jago-jago Turfan
itutelah dihajar hingga lari tunggang-langgang.
Tiba-tiba Put Pat-tong memberi
hormat kepada Thian-sik dan Tan-sin dan menyapa, "kiranya Pah-heng dan
Cu-heng juga berada di sini, apakah kalian cuma ingin lihat ramai-ramai atau
mempunyai tujuan lain?"
"Apa tujuan kedatangan
Pau-heng sendir¡, begitu pula maksud tujuan kami," sahut Thian sik.
Air muka Put-tong berubah
seketika, tanvanya, "Apakah Toan-kongcu dari Tayli juga ingin melamar
putri Se He?"
"Ya," sahut Thian
sik. "Kongcu kami adalah putra mahkota Tayli, beliau adalah ahliwaris
satu-satunya Sri Baginda yang sekarang, bila kelak beliau naik tahta bukankah
akan merupakan besanan yang setimpal dengan kerajaan Se He. Sebaliknya Buyung
kongcu hanya jejaka yang tak punya sandaran apa-apa, meski orangnya cakap tapi
bukan keluarga yang setimpal."
Air muka Pau Put-tong tambah
kelam, katanya, "Bukan, bukan! Kamu cuma tahu satu tapi tidak tahu dua.
Kongcu kami adalah pemuda pilihan di antara kaum pemuda, mana bisa dibandingi
pemuda ketolol-tololan seperti Kongcu kalian?”
"Samko," tiba-tiba
Hong Po ok berlari masuk kembali, "buat apa bertengkar dengan mereka, toh
besok akan diadakan perlombaan di depan baginda raja, biarlah nanti
masing-masing pihak keluarkan kepandaian sejati saja."
”Bukan, bukan!" sahut
Put-tong. "Perlombaan di hadapan baginda raja adalah urusan para Kongcu,
sedangkan pertengkaran mulut ini adalah kewajiban kita."
”Hahaha, soal pertengkaran
mulut memang harus diakui di dunia ini tiada seorang pun mampu melawan Pauheng,
nah, Siaute terima mengaku kalah padamu," ujar Thian-sikz dengan tertawa.
Dan selagi Pau Put-tong hendak
"bukan-bukan” pula, namun Thian-sik sudah mengundurkan diri ke dalam kamar
bersama Tan sin. "Cu hiante" katanya kemudian, "kalau menurut
kata-kata Pau Put-tong tadi. agaknya Köngcu masih harus mengikuti pertandingan
secara terbuka, padahal luka Kongcu belum sembuh, sedangkan kungfunya juga
terkadang manjur dan terkadang tidak, bila dalam pertandmgan nanti Lek-meh-sin
kiam tak bisaj dikeluarkan, bukan saja tidak berhasil menjadi Huma, bahkan
jiwanya berbahaya pula, maka bagaimana menurut pendapatmu?"
Tan-sin juga tak berdaya,
terpaksa mereka pergi membicarakannya dengan Siau Hong dan Hi-tiok.
Menurut Siau Hong, kalau cara
pertandingan nanti dapat diketahui tentu akan lebih mudah mengatur siasat untuk
menghadapinya.
"Jika begitu, marilah
Cu-hiante, kita coba pergi tanya keterangan kepada To silong tentang peraturan
pertandingan itu," ajak Thian-sik segera besama Tan-sin mereka bergegas
pergi.
Siau Hong, Hi tiok dan Toan Ki
duduk bersama dan minum arak sambil mengobrol. Tiba-tiba Siau Hong tanya
Toan Ki tentang pengalamannya
memperoleh Lak-meh-sin-kiam itu dengan maksud hendak mangajarkan semacam cara
mengarahkan tenaga agar adik angkat itu dapat menggunakan Lak-meh-sin-kiam
dengan sesuka hati.
Tak terduga dalam hal teori
Iwekang dan sebagainyà sama sekali Toan Ki tidak paham sehingga sukar untuk
mempelajarinya dalam waktu singkat. Karena tak berdaya, Siau Hong hanya
menggeleng-geleng kepala saja dan menenggak arak pula.
Kekuatan minum Hi-tiok dan
Toan Ki sudah tentu bukan tandingan Siau Hong maka baru dua-tiga mangkuk saja
Toan Ki sudah menggeletak tak sadarkan diri.
Ketika ia siuman kembali
dengan mata yang merah ia lihat sinar bulan telah menembus masuk melalui
celahcelah jendela, nyata waktu itu sudah tengah malam. Toan Ki terkesiap,
"Semalam aku belum selesai bicara dengan nona Ong dan keburu tercebur ke
dalam empang, entah dia masih ingin omong apa lagi padaku? Apa tidak mungkin
dia sedang menantikan aku pula di luar sana? Ai, celaka jangan-jangan dia sudah
menunggu terlalu lama dan sekarang sudah kembali ke kamar karena tidak sabar
menanti?"
Buru-buru ia lompat bangun.
Saking tergesa-gesanya sampai hampir hampir-hampir menubruk kursi di depan
tempat tidurnya. Cepat ia tenangkan diri agar tidak membikin kaget
kawan-kawannya dan pelan ia keluar kamar.
Sesudah melintasi pekarangan
tengah dan selagi hendak membuka pintu luar, tiba-tiba terdengar suara orang
berbisik dibelakangnya, "Toan-kongcu, mar¡lah ikut padaku, aku ingin
bicara denganmu.”
Karena tidak menduga-duga,
karuan Toan Ki kaget. Ia dengar suara orang tidak bermaksud baik, segera ia
hendak berpaling, tapi mendadak hiat-to pinggang dlcengkeram orang dengan
keras.
Samar-samar Toan Ki dapat
mengenali orang itu, ia coba tanya, "Apakah engkau Buyung-kongcu?"
"Memang betul aku
adanya," sahut orang itu. "Dapatkah Toan-heng ikut sebentar
padaku?"
"Masakah aku berani
menolak undangan Buyung-kongcu?" sahut Toan Ki. "Kuharap sukalah kau
lepaskan tanganmu."
"Tidak perlu lagi!” kata
Buyung Hok. Mendadak Toan Ki merasa tubuhnya terapung, agaknya Buyung Hok
telah mencengkeram punggungnya
dan dibawa melompat ke atas.
Pada saat demikian kalau Toan
Ki mau berteriak tentu Siau Hong dan Hi-tiok akan terjaga bangun dan datang
menolongnya. Tapi ia pikir, "Jika aku berteriak, tentu nona Ong akan
mendengar juga dan tentu dia akan kurang senang bila melíhat kami berdua
bertengkar. Pasti dia takkan marah pada Piaukonya melainkan akulah yang akan
menjadi sasaran kemarahannya, maka buat apa aku mencari penyakit?"
Karena itu ia tidak jadi
bersuara, Ia membiarkan dirinya dibawa Buyung Hok dan berlari keluar sana.
Walaupun tengah malam, tapi waktu itu sudah dekat hari Tiongciu, sinar bulan
terang benderang, pemandangan sekitar cukup tertampak jelas. Ia lihat Buyung
Hok berlarí-lari ke luar kota, akhirnya jalan di kedua tepi kelihatan rumput
melulu. Tidak lama kemudian, mendadak Buyung Hok berhenti dan melemparkan Toan
Ki ke tanah.
"Bluk", Toan Ki
terbanting dan meringis kesakitan, pikirnya, "Orang ini kelihatannya ramah
tamah, tapi kelakuannya ternyata begini kasar."
Segera ia merangkak bangun
sambil memegang pinggang yang sakit, katanya, "Segala urusan boleh Buyung
heng bicarakan dengan baik-baik, mengapa mesti main kasar?"
"Hm, ingin kutanya
padamu, apa yang kau bicarakan dengan Piaomoaiku selama ini?" jengek
Buyung Hok.
Muka Toan Ki menjadi merah,
sahutnya, "O, tidak ... tidak apa-apa, hanya bertemu secara kebetulan dan
omong-omong iseng saja."
"Huh, seorang lelaki
sejati, berani berbuat berani bertanggung jawab, apa yang sudah kau katakan,
mengapa tidak berani mengaku?” ejek Buyung Hok. "Memangnya kau sangka aku
tidak tahu? Hm, kau bicara tentang suami-lstri apa segala, apakah perlu kuuraikan
seluruhnya?"
"Hah, jadi ... jadi nona
Ong memberitahu seluruhnya padamu?" Toan Ki menegas dengan gelagapan.
"Mana bisa dia katakan
padaku!"
"Jika... jika begitu,
jadi se ...semalam kau sendiri mendengarkan semua?"
"Hm, kamu hanya dapat
mengapusi nona yang masih hijau, tapi jangan harap dapat mendustai diriku?”
jengek
Buyung Hok.
"Aku dusta tentang
apa?" tanya Toan Ki dengan heran.
"Bukankah urusan sudah
sangat gamblang.” sahut Buyung Hok. "Kau sendiri ingin menjadi Huma
kerajaan Se He, tapi takut aku berebut denganmu. maka kamu sengaja mengarang
ocehan yang muluk-muluk untuk memancing aku süpäya masuk perangkapmu. Hehe,
Buyung Hok bukan anak kecil umur tiga masakah dengan begitu muda dapat kau
jebak? Haha, kamu benar-benar lagi mimpi di siang bolong!"
"Ai. apa yang kukatakan
kepada nona Ong itu timbul setulus hatiku, kuharap engkau dapat menikah dengan
dia dan hidup bahagia sampai hari tua, lain tidak," ucap Toan Ki.
"Terima kasih atas
mulutmu yang manis," kata Buyung Hok. "Tapi Koh-soh Buyung dengan keluarga
Toan dari Tayli bukan sanak bukan kadang, buat apa kamu mesti memberi pujian
dan restu sebaik ini? Huh, jika aku sampai tergoda oleh Giok-yan maka kaulah
yang akan menarik keuntungannya dan menjadi Huma yang diagungkan ya?"
Muka Toan Ki menjadi merah,
sahutnya, "Ngaco-belo, Jelek-Jelek aku adalah pangeran Tayli, meski Tayli
itu negeri kecil, tidak nanti kuincar Huma kerajaan Se He. Buyung-kongcu, aku
benar-benar memberi nasehat padamu, segala kedudukan dan kemewahan dalam waktu
singkat saja akan tamat, orang hidup dapat bertahan berapa lama? Andaikan kau
dapat menjadi Huma kerajaan Se He dan dapat naik tahta sebagai raja Yan, untuk
itu entah berapa banyak orang yang kau bunuh? Sekalipun negeri Tionggoan ini
kau sapu bersih sehingga terjadi banjir darah, apakah kerajaan Yan dapat kau
bangun kembali, hal ini juga masih disangsikan."
Buyung Hok ternyata tidak
gusar, ia lalu menjawab dengan nada dingin, "Hm, kamu selalu bicara
tentang kebaikan, tapi dalam hatimu sebenarnya berbisa."
"Apa mau dikatakan lagi
jika engkau tidak percaya pada maksud baikku," ujar Toan Ki. "Pendek
kata aku takkan membiarkan engkau memperistrikan putri Se He, aku tidak dapat
membiarkan nona Ong berduka dan merana lantaran dirimu sehingga membunuh
diri."
"Kau larang aku
memperistrikan putri Se He? Haha, apa kamu mempunyai kemampuan untuk melarang
aku? Hm, aku justru hendak memperistrikan putri Se He, kau mau apa?”
"Aku pasti akan
merintangi maksudmu itu dengan sepenuh tenagaku," sahut Toan Ki.
"seorang diri memang aku tak berdaya, tapi aku akan minta bantuan
kawan-kawanku!"
Buyung Hok terkesiap ia cukup
tahu betapa lihai ilmu silat Siau Hong dan Hi-tiok, Bahkan Toan Ki sendiri
dengan Lak-meh-sin-kiam juga sukar dilawan, untung kepandaian lawan ini terkadang
manjur dan terkadang macet sehingga masih gampang dihadapi.
"Eh, P¡aumoai, mari sini,
ingin kubicara denganmu!” tiba-tiba ia berseru ke arah sana.
Mendengar Giok-yan berada di
situ, Toan Ki terkejut dan bergirang, cepat ia menoleh. Tapi yang tertampak
hanya sínar bulan yang terang benderang dan tiada satu bayangan manusia pun.
Baru saja ia mengamat-amati
semak-semak pohon di depan sana yang tampaknya seperti ada berkelebatnya
bayangan orang, sekonyong-konyong punggungnya serasa kencang lagi, kembali ia
dicengkram oleh Buyung Hok, bahkan badan diangkat pula. Baru sekarang Toan Ki
merasa tertipu, katanya dengan tersenyum getir, "kembali engkau main kasar
lagi, ini kan bukan perbuatan seorang laki-laki sejati?"
"Terhadap manusia rendah
sebagai dirimu kenapa masti pakai cara laki-laki sejati?" sahut Buyung
Hok. Lalu ia angkat tubuh Toan Ki dan menuju ke tepi jalan, di situ terdapat
sebuah sumur mati tanpa bicara lagi ia lemparkan Toan Ki ke dalam sumur itu.
"Tolong!" segera
Toan Ki berteriak-teriak, tapi tubuhnya lantas terjerumus ke dalam sumur.
Dan baru saja Buyung Hok
hendak mencari beberapa potong batu besar untuk menutup lubang sumur agar Toan
Ki mati kelaparan di dalam situ tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
menegurnya, "Piauko, rupanya engkau telah mempergoki aku? Apa kau ingin
bicara sesuatu denganku? Ai, engkau melemparkan Toan kongcu ke dalam
sumur?"
Melihat pendatang ini memang
betul Giok-yan adanya, kening Buyung Hok bekernyit. Waktu ia pura-pura menyebut
sang Piaumoai tadi tujuannya cuma ingin memancing agar Toan Ki menoleh lalu ia
dapat mencengkram hiat-to punggung pemuda itu dengan mudah, Siapa duga Giok-yan
benar-benar sembunyi di semak-semak pohon sana (yaitu bayangan yang tertampak
oleh Toan Ki tadi).
Ketika mendengar namanya dipanggil,
Giok-yan mengira tempat sembunyinya diketahui Buyung Hok, maka ia lantas keluar
dari tempat sembunyinya.
Rupanya karena hati sedang
risau maka selama beberapa malam ini Giok-yan tak bisa pulas. Tadi ia sedang
termenung-menung di ambang jendela, maka kejadian Toan Ki dicengkeram Buyung
Hok dan dibawa lari dapat dilihatnya, Ia kuatir kedua orang akan bertengkar
lagi sehingga akhirnya Buyung Hok tak mampu
melawan Lak-meh-sin-kiam Toan
Ki, maka cepat ia menyusul keluar dan dapät mengikuti percakapan Toan Ki dengan
Buyung Hok tadi.
Begitulah ia lantas
berlari-lari mendekati sumur, ia melongok ke bawah dan berseru, "Toan
Kongcu! Toankongcu! Engkau terluka tidak?”
Waktu dilemparkân ke dalam
sumur tadi Toan Ki berada dalam keadaan terjungkir, kepala di bawah dan kaki di
atas. Untung dasar sumur itu hanya lumpur lunak sehingga kepalanya tidak pecah,
tapi seketika ia pun terbanting pingsan sehingga seruan Giok-yan itu tak
didengarnya.
Sesudah mengulangi seruannya
beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, Giok-yan mengira Toan Ki sudah
terbanting mati. Bila teringat selama ini pemuda itu sangat baik padanya,
kematiaanya ini pun boleh dikatakan lantaran dia, maka menangislah Giok-yan, katanya,
"O, Toan-kongcu, engkau ... tak boleh mati!”
"Hm, ternyata sedemikian
mendalam cintamu padaku?" jengek Buyung Hok.
"Dia ... dia menasehatimu
dengan baik, Ken ... kenapa kau bunuh dia?" kata Giok yan dengan
terguguk-guguk.
"Dia adalah lawanku yäng paling
besar, bukankah kau dengar pernyataannya yang hendak merintangi tujuanku dengan
mati-matian?" sahut Buyung Hokz. "Tempo hari ketika di Siau sit-san
dia membikin aku malu habishabisan sehingga Buyung Hok sukar menancap kaki lagi
di dunia kangouw, orang macam begini sudah tentu tak bisa kubiarkan
hidup."
"Kejadian di Siau ilt-san
itu memang salah dia, untuk itu aku sudah pernah mendampratnya dan dia juga
telah mengaku salah."
"Hm. dia mengaku salah?
Hanya ucapan begitu lantas hendak menyelesaikan permusuhan ini? Padahal setiap
orang kangouw sudah sama mengatakan bahwa aku Buyung Hok dikalahkan oleh
Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan mereka, coba kau plklr, apa aku masih bisa hidup
bahagia?"
"Piauko, kalah atau
menang adalah soal biasa bagi orang persilatan, kenapa mesti dipikirkan
selalu?" ujar Giok-yan dengan suara halus. "Kejadian tempo hari itu
pun telah diketahui ayahmu dan beliau juga memberi petuah padamu, buat apa
engkau mengungkitnya lagi."
Karena masih meragukan
mati-hidupnya Toan Ki, kembali ia melongok ke dalam sumur dan seru pula,
"Toan
kongcu! Toan-kongcu!"
Tapi tetap tidak mendapat jawaban apa-apa.
"Sedemíkian kau
perhatikan dia, lebih baik kamu menjadi istrinya saja, buat apa mesti pura-pura
suka padaku?" kata Buyung Hok.
Giok-yan menjadi pedih,
sahutnya, "Piauko, aku cinta padamu dengan hati yang murni, apa engkau
tidak percaya?"
"Cinta padaku dengan hati
murni? Haha! Tempo hari waktu berada di rumah penggilingan di tepi Thian-oh,
waktu kau sembunyi dalam onggok jerami dengan telanjang bulat bersama orang she
Toan ini. coba katakan, apa yang kau lakukan di sana? Apa yang terjadi itu
kusaksikan dengan mataku sendiri, masakah hanya secara kebetulan saja? Tatkala
itu aku hendak membinasakan bocah she Toan ini, tapi kau beri petunjuk padanya
untuk melawan aku. Coba jawab, berkiblat kepada siapa hatimu sebenarnya? Haha,
haha!"
Giok-yan terkesima saking
kagetnya, Ia menegas dengan suara gemetar, "jadi ... jadi jago Se He yang
berkedok di ... di rumah gilingan itu adalah ... adalah ...”
"Benar, jago Se He
berkedok yang mengaku bernama Li Yan cong itu bukan lain adalah
samaranku," sahut Buyung Hok.
"Pantas, memangnya aku
pun merasa sangsi waktu itu," demikian kata Giok-yan dengan suara pelahan
seperti berguman sendiri. "Waktu itu engkau berkata, 'Bila kelak aku
menjadi raja di seluruh Tionggoan', kata-kata demikian persis nadamu biasanya,
aku ... aku seharusnya mengetahuinya pada waktu itu."
"Hm, meski kamu tidak
tahu pada waktu itu, baru sekarang mengetahui juga belum terlambat,"
jengek Buyung Hok.
"piauko." kata
Ciok-van. "Waktu itu aku kena racun kabut yang di sebarkan oleh orang Se
He dan berkat pertolongan Toan-kongcu barulah jiwaku di selamatkan. Di tengah
jalan kami kehujanan dan basah kuyup, terpaksa berteduh di rumah gilingan itu,
ken ... kenapa engkau menaruh curiga."
"Hm, kehujanan dan
berteduh?” dengus Buyung Hok, "Waktu aku tiba kalian berdua masih main
sembunyi dan pat-gulipat di situ. Bahkan ketika aku hendak membunuh bocah she
Toan kamu mangancam aku akan menuntut balas baginya. Nona Ong, karena ancamanmu
itulah aku mengampuni jiwanya. Tak terduga hal itu telah menjadi penyakit bagiku,
akhirnya aku malah terjungkal habis-habisan di tangannya waktu ketemu lagi di
Siau-sit-san."
Mendengar sang piauko tidak
memanggil namanya, tapi menyebutnya sebagai "nona Ong", Giok-yan
tambah pedih dasar wataknya memang peramah ia tidak ingin bertengkar dengan
sang piauko yang dicintai dan dihormati ini, maka jawabnya, "Piauko, kalau
waktu itu aku mengenali dirimu, sudah tentu àku takkan mengemukakan pernyataan
itu padamu. Untuk kesalahan itu, biarlah sekarang aku minta maaf."
Sembari berkata ia memberi
hormat, lalu menyambung pula, "Takkala itu sungguh aku tidak tahu dirimu,
tentu engkau takkan marah pula. Sejak kecil aku menghormatimu, segala apa aku
pun selalu menurut padamu. Maka kata-kataku yang menyinggung perasaanmu
janganlah kau pikirkan dan sudilah memaafkan."
Apa yang diucapkan Giok-yan
dahulu itu memang menyinggung perasaan Buyung Hok yang angkuh dan tinggi hati.
Sekarang mendengar si nona mohon maaf dengan kata-kata halus dilihatnya wajah
si nona yang cantik molek itu, teringat pula hubungan baik sejak masih
kanak-kanak, mau-tak-mau hati Buyung Hok menjadi lemas, segera ia memegang
kedua lengan Giok-yan dan berkata, "Piaumoai!"
Sungguh girang Giok-yan tak
terkirakan, ia tahu sang Piauko telah memaafkan dia, terus saja ia menjatuhkan
diri ke pelukan sang Piauko, katanya lirih, "Piauko, jika engkau marah
padaku, boleh engkau damprat dan menghajar diriku, tapi jangan dendam dalam
hati. Piauko, engkau tidak jadi ikut berebut Huma lagi bukan?”
Semula Buyung Hok menjadi
mabuk ketika memeluk tubuh si nona yang montok dan halus itu, tapi demi
mendadak ditanya tentang Huma segala, seketika hatinya tergetar, katanya dalam
hati, 'Wah, celaka! Wahai Buyung Hok, mengapa engkau tengelam dalam urusan
demikian sehingga hampir-hampir membikin urusan penting menjadi runyam. Jika
sedikit persoalan pribadi begini saja tak tega memutuskan, darimana kau dapat
bicara tentang pergerakan bagi kebangkitan kerajaan Yan?”
Segera ia bereskan perasaannya
dan mendorong Giok-yan, katanya, "Piaumoai, hubungan kita hanya sampai di
saja, apa yang pernah kau perbuat dan katakan betapapunu tidak dapat
kulupakan."
"Jika begitu, jadi engkau
tetap tidak dapat memaafkan aku?" tanya Giok-yan dengan hati remuk rendam.
Untuk sejenak terjadilah
pertentangan batin Buyung Hok antara "cinta" dan "usaha"
tapi akhirnya ia menggeleng kepala.
Sungguh hancur luluh hati
Giok-yan, tanpa rasa ia tanya, "Jadi engkâu sudah bertekad akan
memperistrikan putri Se He itu dan takkan peduli lagi padaku?”
Dengan keraskan hati Buyung
Hok menggangguk.
Sebelumnya Giok yan sudah
pernah membunuh diri, tapi dapat diselamatkan oleh In tiong-ho, sekarang secara
tegas cintanya, ditolak oleh kekasihnya, seking sedihnya hampir saja ia tumpah
darah. Mendadak teringat olehnya, "Betapapun Toan-kongcu itu memang sangat
cinta padaku, sebaliknya aku tidak pernah membalas cintanya, malahan sekarang
dia telah mati bagiku, sungguh aku berdosa padanya. Toh sekarang aku pun tidak
ingin hidup lagi, biarlah aku terjun ke sumur saja agar dapat mati bersatu
liang dengan Toan-kongcu untuk membalas cintanya padaku."
Maka pelahan ia mendekati
sumur sambil berpaling dan berkata, "Píaüko, semoga cita-citamu terkabul
dan dapat memperistrikan putri Se He serta menjadi raja Yan yang jaya!"
Buyung Hök tahu bahwa si nona
ada maksud hendak bunuh diri, segerà ia melangkah maju dan mengulurkan tangan
hendak mencegah. Tapi segera teringat pula olehnya, asal dia bersuara dan
mencegahnya, maka untuk selanjutnya dirinya tentu akan sukar terlepas dari
godaan cinta si nona, dan itu berarti segala cita-cita pergerakannya akan
kandas seluruhnya. Karena pikiran demikian, maka tangan yang sudah diulurkan
itu tidak jadi menarik kembali si nona.
Giok-yan dapat menerka apa
yang dipikirkan sang Piauko, ia pikir sedemikian tipis budi pekerti pemuda ini,
apalagi yang mesti diberatkan pula segera ia berseru "Toan-kongcu, waktu
hidup kita tak bisa bersamä, biarlah kita mati bersatu kubur saja."
Habis itu, segera ia terjun ke
dalam sumur dengan kepala di bawah dan kaki di atas.
Akhirnya Büyung Hok berseru
sekali juga dan bermaksud menyambar kaki Giok-yan. Dengan kecekatannya
sebenarnya tidak sukar baginya untuk menyelamatkan nona itu, tapi pada detik
terakhir dia ragu-ragu lagi dan membiarkan Giok-yan terjun ke dalam sumur. Ia
hanya menghela napas dan berkata, "Piaumoai, dalam hati kecilmu engkau
lebih cinta pada Toan-kongcu, walaupun hidup tak bisa menjadi suami-istri tapi
mati pun bersatu liang, betapapun sudah terkabul juga cita-citamu.”
"Huh, pura-pura, lelaki palsu!”'
tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di belakangnya.
Keruan kejut Buyung Hok tak
terkatakan, masakah ada orang berada di belakang sama sekali tak diketahuinya.
Tanpa bicaralagi ia hantam ke belakang berbareng membalik tubuh. Di bawah sinar
bulan tertampaklah sesosok bayangan melayang ke depan terbawa oleh angin
pukulannya, ringan dan gesit sekali orang itu.
Tanpa menunggu orang itu
menancap kaki di tanah, segera Buyung Hok melompat maju dan kembali memukul
sambil membentak dengan gusar,
"Siapa kamu? Berani main gila dengan Kongcuya?"
Dalam keadaan terapung orang
itu sempat menyambut serangan Buyung Hok. Lalu orangnya malayang sejauh
beberapa meter baru turun ke tanah. Kiranya dia Cumoti, imam negara Turfan.
"Haha, sudah terang kamu
yang memaksa nona itu membunuh diri, tapi masih bicara tentang cita-citanya
terkabul segala, apa dengan demikian kau kira dapat menipu orang?" kata
Cumoti dengan tertawa mengejek.
"Ini adalah urusan
pribadiku, siapa minta kauikut campur?" damprat Buyung Hok.
"Segala persoalan di
dunia ini setiap orang boleh ikut campur, apalagi soalnya menyangkut menjadi
Huma kerajaan Se He, ini sudah melampaui urusan pribadimu," sahut Cumoti.
"Hm. jangan-jangan hwesio
semacam dirimu juga ingin menjadi Huma?"
"Hahahaha! Masakah di
dunia ini pernah terjadi hwesio menjadi Huma?"
"Habis mau apa? Hm, aku
memang sudah tahu Turfan kalian tidak bertujuan baik, jelas kau tampil bagi
kepentingan pangeran kalian!”
"Apa yang kau maksudkan
dengan tidak berkepentingan baik? Apa memperistrikan putri Se He itu kau
katakan tidak bertujuan baik? Lantas tujuanmu sendiri apakah baik?"
"Aku ingin merebut putri
Se He, hal ini berdasarkan kemampuanku sendiri dan tidak menggunakan tenaga
bawahan untuk mengacau ditengah jalan sehingga membikin orang banyak merasa
gemas.”
"Kami mengenyahkan
manusia-manusia yang tidak tahu diri itu agar di kota Langciu tidak terlalu
penuh dengan manusia yang memuakkan, hal ini adalah juga demi kepantinganmu
mengapa kamu keberatan?"
"Jika begitu sih memang
bagus. Jadi pangeran Turfan kalian nanti juga akan mengandalkan tenaga sendiri
untuk bertandingdengan orang lain?”
"Benar.” sahut Cumoti.
Melihat jawaban orang yang
tegas dan tak gentar ini, mau-tak-mau Buyung Hok menjadi sangsi sendiri,
katanya pula, "Apakah barangkali pangeran kalian mempunyai ilmu silat maha
tinggi dan tiada bandingannya, maka sudah memperhitungkan pastì akàn memperoleh
kemenangan nanti?”
"Pangeran cilik itu
adalah muridku, kepandaiannya masih boleh juga, untuk dikatakan maha tinggi dan
tiada bandingan agaknya belum, bahwa pasti menang memang sudah diperhitungkan
dengan baik."
Buyung Hok tambah heran,
pikirnya, "Jika aku tanyà dengan terus terang, tentu dia tidak mau
menjawab. Biarlah aku memancingnya saja."
Maka katanya segera,
"Sungguh aneh dia mempunyai perhitungan pasti akan menang, sebaliknya aku
pun sudah yakin pasti akan menang. Wah, lantas siapa yang benar-benar akan
menang nanti?"
"Rupanya kamu sangat
ingin tahu bagaimana perhitungan pangeran kami untuk mencapai kemenangan,
bukan?" tanya Cumoti dengan tertawa. ”Kukira boleh kukatakan dulu
perhitunganmu, lalu aku pun uraikan perhitungan kami. Kita dapat berunding dan
tukar pikiran, coba perhitungan pihak siapa yang lebih pandai."
Padahal yang diandalkan Buyung
Hok Cuma ilmu silatnya tinggi, orangnya ganteng, bicara tentang pasti menang
memang tidak ada. Terpaksa jawabnya, "Ah. engkau ini terlalu licik dan tak
bisa dipercaya, kalau kukatakan padamu, jangan-jangan engkau tidak menerangkan
juga akalmu bukankah aku akan tertipu olehmu?"
"Hahaha!" Cumoti
tertawa, "Buyung-siheng, aku adalah sahabat ayahmu, aku menghormatinya dan
dia pun menghormati aku. Kalau aku tidak berlebihan, betapapun aku terhitung
angkatan lebih tua dari padamu. Apa kamu tidak merasa keterlaluan dengan,
ucapanmu barusan ini?"
"Teguran Beng-ong memang
tepat, harap maaf," sahut Buyung Hok sambil memberi hormat.
"Saudara memang
pintar," kata Cumoti dengan tertawa "Jika kamu sudah mengaku sebagai
kaum muda, mengingat ayahmu, dengan sendirinya aku tidak dapat main
menang-menangan terhadapmu. Nah, biar kukatakan saja terus terang rencana
pangeran kami untuk memperoleh kemenangan dengan pasti, mudah kujelaskan tentu
juga tidak berharga sepeser pun. Begini, setiap orang yang bermaksud ikut
sayembara dalam pemilihan Huma nanti akan kami bereskannya satu per satu. Dan
kalau tiada lawan lagi yang berebut dengan pangeran kami dengan sendirinya
pangeran kami akan terpilih bukan? Haha. Hahaha!"
Air muka Buyung Hok berubah
seketika, katanya, "Jika begitu jadi aku ... ”
"Jangan kuatir,"
potong Cumoti, "Aku ini sobat lama ayahmu, tidak mungkin kubunuh putra
sobat sendiri. Aku hanya ingin menasehatimu dengan setulus hati, adalah lebih
selamat bila lekas kau tinggalkan negeri Se He ini."
"Jika aku tidak
mau?"
"Untuk itu aku pun takkan
menamatkan nyawamu, asal matamu dicukil atau kaki tanganmu dipotong sebalah
sehingga menjadi cacat, dengan sendirinya putri Se He tidak mungkin mau
dipersunting seorang ksatria gagah yang cacat badannya."
Sungguh Buyung Hok sangat
gusar, cuma ia jeri kepada ilmu silat padri itu, maka tidak berani sembarangan
bergerak. Ia menunduk untuk memikirkan cara menghadapi lawan tangguh itu.
Di bawah sinar bulan yang
terang, tiba-tiba dilihatnya di disamping kaki ada sesuatu benda yang sedang
bergerak-gerak. Ketika diperhatikan, kiranya bayangan tangan kanan Cumoti. Ia
terkejut, disangkanya padri itu sedang mengerahkan tenaga dan siap menyerang.
Maka diam-diam ia pun menghimpun kekuatan untuk menjaga segala kemungkinan.
Tapi lantas terdengar Cumoti
berkata pula, ”Buyung-siheng, kau desak piaumoaimu bunuh dìri, sungguh sangat
sayang, Apakah kau mau lekas pergi dari Se He sini, maka urusan kematian nona
Ong ini pun boleh kulupakan dan takkan ku usut lebih lanjut.”
”Hm, dia sendiri yang membunuh
diri, apa sangkut pautnya denganku?” sahut Buyung Hok sambil terus
memperhatikan bayangan tangan padri itu, ia lihat bàyangan kedua tangan Cumoti
masih terus gemetar tak berhenti-henti.
Diam-diam Buyung Hok merasa
curiga, kalau padri itu hendak menyerang, rasanya tidak perlu mengerahkan
tenaga sampai kedua tangan gemetar sekian lama tentu di balik ini ada sesuatu
yang tak beres. Ketika diperhatikan pula, ia lihat ujung celana dan baju padri
itu pun tampak agak gemetar sedikit, terang disebabkan seluruh badannya gemetar
maka baju dan celana juga ikut bergetar.
Dasar otak Buyung Hok memang
cerdas, sekilas pandang lantas teringat olehnya, "Tempo hari waktu berada
di Cong-keng-kok di Siau lim-si padri tua yang tak diketahui siapa namanya itu
mengatakan Cumoti telah melatih
ke-72 macam ilmu silat Siau
lim pai dan kemudian secara paksa mempelajari pula 'Ih-kin-keng' dikatakan pula
latihan Cumoti terbalik dan nyasar bencana sudah mengancam dalam waktu singkat.
Kalau padri tua itu dengan jitu dapat menunjukkan penyakit ayah dan Siau
Wan-san, maka apa yang dikatakan megenai Cumoti pasti juga tepat."
Teringat kejadian itu, dari kuatir
Buyung Hok berubah menjadi girang, diam-diam ia mengejek Cumoti sendiri yang
sudah terancam bencana, tapi masih berani menggertak padanya akan mencukil mata
dan membikin buntung kaki dan tangan segala. Namun untuk menyakinkan pikirannya
itu, segera ia memancing dengan ucapan. "Ai, latihan terbalik, tenaga
dalam nyasar, bencana sudah di depan mata, penyakit demikian memang paling
celaka!"
Sekonyong-konyong Cumoti
berteriak bagai serigala menyalak, suaranya tajam menyeramkan, kontan ia
mecengkeram ke arah Buyung Hok sambil membentak, "Kau bilang apa? Siapa
yang kau maksudkan?"
Buyung Hok berkelit ke samping
untuk menghindarkan cengkeraman itu. Menyusul Cumoti juga putar tubuh sehingga
mukanya tertampak jelas di bawah sinar bulan yang terang, kelihatan kedua
matanya merah membara, mukanya beringas dan buas, semuanya itu tidak dapat
menutupi rasa ketakutan yang terbayang pada mukanya itu.
Melihat itu, maka Buyung Hok
tidak sangsi lagi, katanya segera, "Aku pun hendak memberi nasehat kepada
Beng-ong, lebih baik Beng-ong lekas meninggalkan Se He dan pulang saja ke
Turfan, asal tidak mengerahkan tenaga, tidak lekas marah, tidak banyak
bergerak, tentu Beng-ong akan dapat pulang ke negeri sendiri dengan selamat.
Kalau tidak, wah, apa yang pernah di katakan padri tua Siau-lim-si itu tentu
akan terbukti."
"Apa katamu, Apa yang kau
ketahui?" Cumoti berteriak, sikapnya yang biàsanya sabar dan berwibawa itu
sekarang telah berubah sama sekali.
Melihat sikap orang berubah
beringas, diam-diam Buyung Hok merasa jeri juga, ia menyusut mundur setindak.
"Apa yang kau ketahui?
Lekas katakan?" bentak Cumoti pula.
Sedapatnya Buyung Hok
tenangkan diri, menghela napas, lalu berkata, "Hawa murni Beng-ong sudah
sesat jalan, keadaan sangat berbahaya, kalau tidak lekas pulang ke Turfan,
boleh juga datang pula ke siau lim-si untuk minta pertolongan kepada padri
sakti itu, jalan ini pun ada harapan besar bagi keselamatan Beng-Ong."
"Dari mana kau tahu hawa
murniku nyasar? ngaco belo belaka!” sahut Cimoti dengan menyeringai. Berbareng
tangan kiri terus menyusur ke depan, segera hendak mencakar muka Büyüng Hok.
Kelima jari Cumoti kelihatan
agak gemetar, tapi daya serangan itu tetap sangat dahsyat, sedikitpun tiada
tandatanda kacaunya tenaga dalam, diam-diam Buyung Hok terkejut dan ragu,
"Jangan-Jangan aku salah duga?"
Ia pun tidak berani ayal dan
malayani lawan dengan sepenuh tenaga.
"Mengingat hubunganku
dengan ayahmu, bìarlah dengan sepuluh jurus aku tidak membunuhmu sekedar balas
jasaku kepada ayahmu.” bentak Cumoti, Menyusul ia terus menghantam.
Walaupun Buyung Hok mahir ilmu
'Tue lam-sing-ih, yaitu dengan cara meminjam tenaga lawan untuk menghantam
kembali lawan, tapi kepandaian Cumoti terlampau hebat baginya, apalagi setiap
serangan hanya dikeluarkan sampai setengah jalan dan segera berubah serangan
baru lagi sehingga Buyung Hok tidak sempat menggunakan kemahirannya ítu,
sebal¡knya menjadi selalu terdesak, terpaksa ia hanya bertahan secepatnya untuk
mencari kesempatan.
Ia lihat serangan Cumoti serba
lihai dan luar biasa, semuanya belum pernah dilihatnya. Dan sesudah sepuluh
jurus mendadak Cumoti membentak, ”Sepuluh jurus sudah selesai, sekarang
terimalah kematianmu!”
Sekonyong-konyong Buyung Hok
merasa pandangannya silau, di sekitarnya seperti penuh dengan bayangan cumoti,
dari kanan menendang dan dari kiri memukul, tahu-tahu dari depan ada serangan,
tiba-tiba dari belakang ada yang menotok lagi. Jadi serangan-serangan itu
seakan-akan membanjir sekaligus cepat untuk ditangkis.
Terpaksa Buyung Hok kerjakan
kedua tangannya secepat kitiran dengan mengerahkan tenaga penuh, ia hanya
menjaga diri dan tidak balas menyerang, ia hanya memainkan ilmu pukulannya
sendirl dan tidak peduli serangan lawan dari mana datangnya.
Tiba-tiba terdengar napas
Cumoti tambah ngos-ngosan, semakin tersengal-sengal seperti kuda. Seketika
semangat Buyung Hok terbangkit, ia tahu hawa murni padri itu sudah kacau dan
napasnya hampir putus asal bertahan sekuatnya dan tidak sampai dirobohkan
lawan, sedikit lama lagi tentu padri itu akan menggeletak dan binasa sendiri.
Namun meski napas Cumoti
tambah tersengal-sengal, serangannya juga semakin gencar. Sekonyong-konyong ia
menggertak keras sekali. Tahu-tahu Buyung Hok merasa baju lehernya kena
dicengkeram orang dan tubuhnya terangkat ke atas hiat-to bagian pinggang dan perut
juga lantas kesakitan, nyata dia sudah tertutuk, kaki-tangan menjadi lemas dan
tak bisa berkutik lagi.
Berulang-ulang Cumoti tertawa
dingin sedang napasnya masih ngos-ngosan, kataaya dengan napas memburu,
"Aku ... aku suruh enyah, tapi kamu jus ... justru tidak mau, sekarang ...
sekarang jangan kausalahkan aku. Hm, cara ... cara mana harus
kubereskanmu?"
Pada saat itulah dari
semak-semak pohon sana muncul empat jago Turfan, rupanya mereka adalah pengikut
Cumoti. Segera mereka memberi hormat dan berkata, "Adalah sesuatu titah
Beng-ong kepada hamba?"
"Angkat orang ini dan
cemplungkan ke dalam sumur itu!" kata Cümoti. ”Hahaha, ini namanya senjata
makam tuan, memangnya keluarga Buyung kalian paling mahir menggunakan cara
lawan untuk menghadapi lawan, sekarang kaupun boleh rasakan cara demikian, kamu
menyebabkan kedua muda-mudi mati di dalam sumur sekarang boleh menyusul
mereka.”
Keempat jago Turfan itu
mengiakan dan menggoting Buyung Hok ke tepi sumur. Sungguh rasa menyesal Buyung
Hok tak terkatakan, coba kalau dia tidak kemaruk menjadi Huma apa segala dan
membalas cinta sang Piaumoai, kelak hidupnya akan bahagia dan takkan mati
konyol seperti sekarang. Dan kalau sudah mati, maka segala impiannya menjadi
raja dengan sendirinya juga lenyap seluruhnya.
Sungguh ia ingin minta ampun
kepada Cimoti dan berjanji takkan ikut berebut putri Se He lagi, celakanya
karena hiat-to tertutuk sehingga tak bisa bersuara, sedang Cumoti melirik saja
sudi padanya, maka untuk minta ampun dengan sorot mata dan mohon dikasihani menjadi
tak dapat pula.
"Cemplungkan dia dan
segera menggotong beberapa potong batu besar untuk menutup liang sumur agar dia
tak bisa keluar lagi andaikan nanti dapat membuka hiat-to sendiri yang tertutuk
itu.” perintah Cumoti.
Keempat Bu-su itu segera melemparkan
Buyung Hok ke dalam sumur, lalu berlari-lari pergi mencari batu karang yang
besar.
Cumoti sendiri napasnya masih
terengah-engah tak berhenti-henti, rasa dadanya sesak dan gopoh tak terkatakan.
Kiranya tempo hari sesudah dia
melukai Toan Ki dengan Hwa-yam-to yang tak berwujut itu, lalu ia melarikan diri
ke bawah gunung. Tapi sebelum sampai di bawah Siau-sit-san, tiba-tiba ia merasa
perutnya Sangat panas bagai dibakar, lekas ia mengatur napas dan melancarkan
tenaga dalam, tapi terasa tenaga dalam sukar diatur.
Ia terkejut sekali akan apa
yang dikatakan si padri tua atas penyakit yang mengeram dalam badannya.
Lekaslekas ia mencari suatu tempat sepi untuk istirahat, ia coba untuk semedi
dengan tenang, asal dia tidak
mengerahkan tenaga dalam, maka
rasa panas yang bergolak dalam badan menjadi reda juga, Cuma tenaga pun tak
bisa digunakan.
Sesudah malam, lalu Cumoti
melanjutkan perjalanan pulang ke Turfan. Di tengah jalan ia dengar berita
tentang sayembara putri Se He. Sebagai imam besar negara yang ikut menentukan
pemerintahan Turfan, di tengah jalan ia dapat berhubungan dengan pengintai
negerinya sendiri dan segera menyampaikan laporan ke pada rajanya, ia sendiri
lalu mendahului menuju ke Se He.
Raja Turfan memang sudah lama
bermaksud bersekongkol dengan Se He, maka demi mendengar laporan itu, segera ia
kirim putra mahkotanya bersama-sama jago-jago silat yang tidak sedikit
jumlahnya dengan membawa harta mustika, golok pusaka dan kuda pilihan,
berbondong-bondong menuju Lengciu. Kotaraja Se He.
Harta mestika dan
barang-barang berharga yang dibawa pangerna Turfan itu digunakan menyogok dan
menyuap para menteri dan pembesar Se He, sedang jago-jago silat yang dibawa itu
ditujukan untuk melawan para ksatria dari berbagai penjuru yang menjadi saingan
dalam perebutan putri Se He.
Pada beberapa hari sebelum
Tiongciu, jago-jago Turfan itu sudah mencegat di tengah jalan dan banyak
mengalahkan dan mengusir kembali berbagai ksatria muda yang datang, tapi
akhirnya rintangan jago silat Turfan itu bobol seperti apa yang telah
diceritakan diatas.
Sesudah berada di kota
Lengciu, Cumoti sendiri lantas mencari tempat sunyi untuk merawat diri sehingga
panas badan yang bergolak laksana dibakar itu pelahan tertahan. Tapi kalau
pikirannya sedikit goncang, maka badan lantas gemetar tak tertahankan. Sampai
akhirnya asal pikirannya sedikit risau, maka jari kaki dan tangan, alis, bibir
dan bagian-bagian badan lain lantas ikut gemetar tak berhenti-henti.
Sebagai imam negara Turfan
yang diagungkan Cumoti merasa malu kalau keadaannya itu dilihat orang, maka ia
sengaja tinggal terpencil sendirian, dan jarang menemui orang. Hari itu ia
mendapatlaporan bahwa Buyung Hok telah sampai juga di Lengciu. bahkan beberapa
jago Turfan telah dihajar anak buah Buyung Hok.
Diam-diam Cumoti marasa tidak
enak atas datangnya Buyung Hok yang diketahuinya mempunyai wajah yang tampan
dan serba pintar dalam ilmu silat dan sastra, kalau pemuda itu tidak
dienyahkan, tentu pangeran Turfan mereka sukar manandingi. Ia menaksir
bawahannya tidak satupun yang dapat menandingi Buyung Hok, terpaksa ia sendiri
harus turun tangan, segera ia cari tempat pondokan Buyung Hok.
Tapi setibanya di sana, saat
itu Buyung Hok sudah meninggalkan tempatnya dengan menawan Toan Ki. Karena
sekitar tempat tinggal tamu negara itu telah dipasang pengintai-pengintai, maka
dengan mudah Cumoti memperoleh "info"' ke mana perginya Buyung Hok
dan segera ia menyusulnya. Setiba di sana, sementara itu Toan Ki sudah
dilemparkan ka dalam sumur dan Buyung Hok sedang bicara dengan Giok-yan.
Begitulah, maka setelah Buyung
Hok dilemparkan ke dalam sumur oleh para Bu-lim Turfan kemudian pergi mencari
batu karang untuk menyumbat mulut sumur, dalam pada itu Cumoti merasa hawa
panas dalam badan semakin bergolak seakan-akan hendak menjebol tubuhnya, Cuma
susahnya tiada sesuatu lubang yang dapat dibuat saluran keluar. Dengan
sendirinya Cumoti sangat menderita.
Saking tak tahan Cumoti sampai
mencakar-cakar dada sendiri. Ia merasa hawa dalam badan seakan-akan terus
melambung, seolah-olah kepala, dada, perut sedang melambung dan sebentar lagi
akan meledak.
Bagì penglihatan orang lain
dengan sendirinya tubuh Cumoti itu tiada berubah apa-apa, tapi dia sendiri
merasa badan seperti melambung bagai bola, sebaliknya hawa murni dalam badan
masih terus membanjir timbul.
Dalam bingungnya Cumoti
menutuk tiga kali bagian bahu kiri, paha kiri dan kanan sehingga berwujud tiga
lubang dengan maksud menyalurkan hawa murni itu keluar badan. Darah segar
memang terus menyucur keluar sebàliknya hawa murni tetap sukar dikeluarkan.
Baru sekarang ia ingat dan
percaya penuh kepada apa yang pernah dikatakan si padri tua di Siau-Lim-si,
teranglah sekarang bencana sudah berada di depan matanya, karuan ia ketakutan.
Tapi apapun juga dia adalah seorang tókoh kawakan, hatinya takut, pikirannya
tidak menjadi kacau.
Sekonyong-konyong terpikir
olehnya, "Ya, dia ... dia sendiri (maksüdnya Buyung Bok) kenapa tidak
melatihnya. sebaliknya rahasia seluruh ke-72 macam ilmu sakti itu dikatakan
padaku semua? Padahal aku hanya sahabat yang saling kenal dalam perjalanan,
biarpun satu sama lain menjadi sangat cocok dan akrab, kenapa dia begitu murah
hati dan rela mamberikan rahasia ilmu sakti sebanyak itu padaku?"
Dalam keadaan terancam bahaya
inilah mendadak Cumoti teringat kepada hubungannya dengan Buyung Bok dahulu.
Sebagai seorang cerdik memang mula-mula Cumoti juga merasa curiga ketika Buyung
Bok menghadiahkan rahasia ilmu sakti Siau-lim-pai itu padanya, tapi sesudah dia
membaca dia mencobanya, ia merasa apa yang diterimanya itu toh memang kepandaian
sejati maka hilanglah rasa curiganya.
Baru sekarang pada saat
menderita dia dapat menyadarî apa maksud tujuan Buyung Bok dengan hadiahnya
itu, nyata hadiah itu adalah maksud tujuan Buyung Bok yang keji dan jahat
dengan menggunakan dia sebagai kelinci percobaan, di samping itu sengaja
mengadu dombakan dia dengan Siau-Lim-pai agar Turfan bermusuhan dengan kerajaan
Song dan dengan demikian keluarga Buyung akan ada kesempatan buat mengail ikan
di air karuh.
Kalau tadi waktu Cumoti
menangkap Buyung Hok, mau-tak-mau ia teringat kepada kebaikkan ayah pemuda
itu yang telah menghadiahkan
kitab pusaka ilmu silat Siau-lim-pai padanya, sebab itulah ia tidak membunuhnya
segera melainkan membuangnya ke dalam sumur agar pemuda itu mati sendiri. Tapi
sekarang demi sadar akan maksud jahat Buyung Bok atas hadiah kitab itu sehingga
dia masti menderita, keruan ia menjadi mûrka, ia melongok ke dalam sumur dan
menghantam tiga kali beruntun secara kalap.
Tapi pukulan-pukulan itu sama
sekäli tidak menimbulkan suara apa-apa, nyata sumur itu sangat dalam sehingga
pukulannya tidak mencapai dasarnya. Dalam Keadaan murka kembali Cimoti
menghantamlagi sekali dengsn sakuat-kuatnya. dan sudah tentu pukulan ini pun
tidak gunanya, bahkan lebih celaka lagi karena hawa murni dalam tubuhnya lantas
bergolak dengan lebih hebat, seakan-akan menerjang ke luar melalui lubang bulu
roma yang beribu-ribu banyaknya itu, tapi semuanya buntu dan sukar menerjang
keluar.
Tengah Cumoti murka dan kuatir
pula, sekonyong-konyong dari bajunya terjatuh keluar sesuatu benda dan
tercemplung ke dalam sumur. Cepat ia menyambarnya dengan sebelah tangan, tapi
sudah terlambat. Kalau waktu biasa, dengan iwekangnya yang tinggi tentu dia
dapat meraih kembali benda itu dengan tenaga sedotan "Kim-liong-jiu"
(ilmu menawan naga), tapi sekarang tenaganya sedang bergolak dan sukar dikuasai
lagi.
Sejenak kemud'an terdengar
suara "plok" pelahan terang benda itu sudah jatuh ke dalam sumur.
Diam-diam Cumoti mengeluh, ia coba merogoh sakunya, benar juga yang jatuh
adalah kitab pusaka "Ih-kin-keng" yang direbutnya dari Guan-ci melalui
tangan Cilo Singh itu.
Memangnya Cumoti tahu sebabnya
iwekangnya tersesat, semuanya gara-gara latihan menurut Ih kin-keng itu. Ia
pikir untuk memunahkan siksaan itu tentu juga harus dicari jalannya melalui
kitab itu. Jadi kitab itu merupakan kunci hidupnya, mana boleh sampai hilang?
Dalam gugupnya tanpa pikir
lagi ia terus meloncat ke dalam sumur. Ia kuatir didalam sumur itu ada sesuatu
rintangan dan kuatir pula Buyung Hok dapat membuka sendiri hiat-to yang
tertutuk dan akan menyergapnya di bawah, maka sebelum kakinya menyentuh tanah,
lebih dulu ia memukul dua kali ke bawah sekaligus untuk menahan daya turunnya
pula.
Sudah tentu pukulannya itu pun
tak berguna, daya turunnya tidak tertahan, sebaliknya badan malah tertolak
miring sehingga "blang", kepalanya membentur dinding sumur.
Jika waktu biasa, biar
kepalanya dikemplang juga takkan menjadi soal, tapi sekarang matanya lantas
berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling, "bluk", ia jatuh
tersungkur di dasar sumur.
Sumur itu adalah sumur mati, sudah
lama kering airnya, di dasar sumur penuh rumput dan daun kering yang sudah
membusuk, saking banyak timbunan daun dan rumput kering yang sudah busuk itu
sehingga berubah menjadi lumpur yang tebal.
Karena jatuhnya, seketika
hidung dan mulut Cumoti terbenam ke dalam lumpur, ia merasa badannya perlahan
juga amblas ke bawah. Segera ia mencoba merangkak bangun, tapi celaka, kaki dan
tangan terasa lemas semua.
Tengah gugup dan bingung,
tiba-tiba terdengar suara orang berseru di atas sana, "Koksu (imam negara)!
Koksu!" itulah suara keempat jago Turfan tadi.
"Aku berada di
sini!" demikian sebut Cumoti.
Tapi begitu ia bicara,
seketika lumpur masuk ke dalam mulut sehingga sukar mengeluarkan suara.
Sayup-sayup terdengar keempat
jago Turfan itu sedang bicara di atas sana, Kata yang seorang, ”Aneh, ke
manakah perginya Koksu?"
Lalu yang lain menjawab,
”Mungkin Koksu tidak sabar menunggu kita dan telah tinggal pergi lebih dulu.
Beliau teiah pesan agar kita menutup lubang sumur ini dengan batu, maka boleh
kita kerjakan saja."
Terdengar kawan-kawannya
menyatakan setuju, lalu terdengar suara gedabukan, rupanya mereka mulai
mengusung batu-batu besar.
Sungguh kejut Cumoti tak
terhingga. Kalau sampâi mulut sumur tersumbat, maka tamatlah riwayatnya. Segera
ia bermaksud berteriak, tapi bila pentang mulut, maka lumpur busuk lantas
membanjir masuk.
Dalam pada itu terdengar suara
gemuruh yang keras, batu- batu besar sudah menutup lubang sumur. Rupanya
jago-jago Turfan itu ingin melaksanakan perintah sang Koksu yang mereka puja
bagai malaikat dewata, maka mereka telah mendatangkan batu besar, sekaligus
mulut sumur itu ditutup dan di timbun beberapa potong batu raksasa.
Tidak lama kemudian terdengar
jago-jago Turfan itu pun berangkat pergi dengan tertawa-tawa, rupanya mereka
sangat senang karena telah menjalankan tugas dengan baik.
Cumoti pikir sekali ini
jiwanya pasti akan melayang dan terkubur dalam sumur itu. Dia adalah seorang
pandai, baik agamanya maupun ilmu silatnya, boleh dikata tiada bandingnya di
daerah barat, siapa duga akhirnya akan terkubur dalam lumpur sumur mati itu.
Setiap manusia tentu akan mati, tapi mati secara penasaran demikian
sungguh tidak rela bagi
Cumoti, dalam sedihnya air mata lantas berlinang-linang.
Meski tubuhnya penüh lumpur,
kotornya tak karuan, tapi seperti biasa orang menangis, ia pun mengangkat
tangan hendak mengusap air mata. Di luar dugaan, baru tangan kanan terangkat,
tiba-tiba menyenggol sesuatu benda, segera ia memegangnya, kiranya
"Ih-kin-keng" yang memang hendak dicarinya.
Sesaat ítu Cumoti tidak tahu
harus menangis lagi atau mesti tertawa. Kitab pusaka itu sudah ditemukan
kembali, tapi dalam keadaan demikian apa gunanya?
Tiba-tiba terdengar suara
seorang wanita sedang bicara, "Coba dengarkan, orang-orang Turfan itu
telah menutup mulut sumur dengan batu besar, lantas cara bagaimana kita dapat
keluar dari sini?"
Ternyata yang bicara itu
adalah Giok-yan.
Seketika semangat Cumoti
tergugah demi mendengar suara orang, Pikirnya, "Kiranya dia tídak mati,
dan entah sedang bicara dengan siapa?Jika di sini ada orang lain lagi, dengan
bergotong-royong meski batu penyumbat di atas akan dapat diangkat dan keluar
dari sini."
Dalam pada itu terdengar suara
seorang lelaki menjawab ucapan Giok-yan tadi, "Asal aku senantiasa
berdampingan denganmu, biar pun tidak dapat keluar dari sini juga tidak menjadi
soal. Asal engkau berada di sampingku, sumur berlumpur busuk bagiku akan sama
seperti taman di surgaloka.
Cumoti terkejut mendengar
bicara itu, "Kiranya dia juga tidak mati? Dia terluka oleh Hwe-yam-to,
tentu dia sangat dendam padaku. Peda saat ini aku sama sekali tak dapat
menggunakan tenaga jika kesempatan ini digunakan olehnya untuk menuntut balas,
wah tentu celakalah aku!"
Kiranya yang bicara tadi
adalah Toan Ki ....
Tadi ketika dilemparkan ke
dalam sumur oleh Buyung Hok, seketika Toan Ki pingsan sehingga dia tidak begitu
runyam seperti Cumoti walaupun badan terbenam lumpur.
Kemudian waktu Giok-yan terjun
ke dalam sumur sungguh sangat kebetulan kepala nona itu dengan tepat menumbuk
"Tan-tiong-hiat" di dada Toan Ki sehingga pemuda itu tertumbuk sadar
kembali. Sedang Giok-yan jatuh tepat di atas badan pemuda itu sehingga tidak
sempat terluka bahkan tidak banyak berlepotan lumpur yang kotor itu.
Ketika mendadak Toan Ki tersadar,
pelahan ia lantas bangun, tiba-tiba terasa pangkuannya bertambah seorang.
Selagi heran dan sangsi, didengarnya Buyung Hok sedang bicara di atas sumur,
'Piaumoai betapapun dalam hati kecilmu toh tetap menyintaiToan-kongcu, walaupun
hidup tak dapat menjadi istrinya tapi mati dapat bersama satu liang kubur
betapapun hal ini dapat memenuhi cita-citamu juga."
Ucapan itu dengan jelas dapat
didengar oleh Toan Ki, seketika ia terkesima dan tanpa terasa ia bergumam
sendiri, "Apa? Hah, ti ... tidak! Tidak! Masakan aku punya rejeki sebesar
itu?"
Di luar dugaan mendadak orang
yang berada dalam pangkuannya itu berkata, "Toan-kongcu, sungguh aku ini
sangat bodoh. Engkau sedemikian baik padaku, tapi aku ... aku .... "
"Hah? Kau ... nona
Ong?" seru Toan Ki kaget.
"Ya,” sahut Giok-yan.
Biasanya Toan Ki sangat
menghormati nona itu, sedikitpun tidak berani timbul pikiran rendah dan kotor
terhadap nona yang dipandangnya maha agung dan suci itu. Sekarang demi
mengetahui nona ìtu berada dalam pangkuannya, dalam suka dan girangnya segera
ia hendak berbangkit untuk melepaskan Giok-yan.
Akan tetapi tempat di dasar
sumur itu tidak terlalu luas (sumur itu sempit di atas dan melebar di bawah)
dan penuh lumpur pula. Baru saja Toan Ki berdiri kedua kaki lantas amblas ke
dalam lumpur, terpaksa ia tetap memondongnya dan berulang-ulang menyatakan
penyesalannya, "Maaf nona, maaf! Kita berada lumpur, terpaksa aku berlaku
kurang sopan padamu."
Giok-yan menghela napas, dalam
hati merasa sangat berterima kasih. Sesudah mengalami berbagai kejadian selama
ini, terutama peristiwa terakhir, di mana dua kali dia hendak membunuh diri dan
selalu gagal, maka dia benar-benar sudah paham dan terang gamblang terhadap
jiwa Buyung Hok, betapapun ia tidak dapat menipu dirinya sendiri lagi akan cinta
Buyung Hok itu. Di tambah lagi Toan ki memang benar-benar sangat mencintai dia
dengan setulus hati dan segenap jiwa raganya, kalau dibandingkan jelas yang
satu sangat berbudi dan cinta secara mendalam, sebaliknya yang lain rendah budi
pekertinya dan Cuma mementingkan kepentingan pribadi sendiri.
Dia terjun ke dalam sumur,
kejadian ini mesti Cuma berlangsung dalam sekejap saja, tapi dalam benaknya
telah terjadi perubahan sangat besar. Semula dia cuma menyesali nasib sendiri
dan bertekad membunuh diri untuk membalas kebaikan Toan Ki, tak terduga pemuda
itu dan dirinya ternyata tidak jadi mati.
Sudah tentu kejadian di luar
dugaan ini membuatnya girang tidak kepälang.
Sebenarnya Giok-yan adalah
gadis lemah lembut dan balas-budinya, tapi sekarang sesudah mengalami berbagai
peristiwa dan pukulan batin, mendadak sifatnya berubah banyak. saking
terharunya ia berkata secara terus terang kepada Toan Ki, "Toan-kongcu,
tadínya kusangka engkau sudah tewas, bila teringat kepada kebaikanmu padaku,
sungguh aku menjadi berduka dan menyesal pula telah membikin kecewa padamu.
Syukurlah Tuhan maha adil, engkau ternyata baik-baik saja. Dan apa yang
kukatakan di atas tadi juga kau dengar bukan?”
Ketika mengajukan pertanyaan
terakhir itu, tanpa terasa mukanya menjadi merah jengah, ia menyembunyikan
mukanya di samping leher Toan Ki.
Sesaat ìtu tübuh Toan Ki
serasa melayang-layang seperti di alam mimpi. Ternyata apa yang pernah
dilamunkan selama ini dalam sekejap ini telah menjadi kenyataan.
Karuan girang Toan Ki bukan
main, tiba-tiba kakinya terasa lemas, ia jatuh terduduk dalam lumpur,
punggungnya bersandar dinding sumur, tapi tangan masih memondong tubuh
Giok-yan.
Tak terduga beberapa utas
rambut Giok-yan menyusup ke lubang hidung Toan Ki sehingga rasanya seperti
dikili-kili, kontan Toan Ki bersin beberapa kali.
"He. Kenapa? Apa engkau
terluka?” tanya Giok Tan.
"O, ti ... tidak ...
Haciim ... haciiiim ...... aku tidak terluka ... haciiiim ... dan juga bu....
haciiii ... bukan masuk angin, aku cuma kelewat senang, maka ... ha ... haciiii
maka hampir-hampir jatuh pingsan malah," demikiän jawab Toan Ki sambil
berulang-ulang bersin.
Dasar sumur itu gelap gulita,
dengan sendirinya satu-sama-lain tak bisa melihat dengan jelas. Giok-yan hanya
tersenyum saja dan tidak bicara pula. Dalam hati iapun sangat bahagia dan
gembira. Sejak kecil ia kesemsem kepada sang Piauko, tapi tidak mendapat balas
cinta sebagaimana mestinya dan baru sekarang ia benar-benar dapat menikmati
rasa cinta kasih antara dua hati yang terjalin menjadi satu.
"No... nona Ong, apa sih
yang... yang kau katakan di atas tadi, aku tidak mendengar ucapanmu itu,” tanya
Toan Ki dengan tergagap-gagap.
"Kukira engkau adalah
seorang lelaki jujur dan tulus, tak terduga kau juga pintar pura-pura,” sahut
Giok-yan dengan tersenyum. "Sudah terang kau telah mendengar apa yang
kukatakan tadi, tapi sekarang kau minta aku mengulangi sekali lagi di depanmu.
Idiiih, malu ah, aku takmau katakan lagi.”
Toan Ki menjadi gugup, ia coba
menjelaskan: "Ti... tidak aku be... benar-benar tidak mendengar apa yang
kau katakan tadi. Nah, biar aku bersumpah, jika aku mendengar, biarlah aku
di...” Sampai di sini mendadak mulutnya tertutup oleh sebuah tangan yang
hangat-hangat halus. Nyata Giok-yan telah mendekap mulutnya.
"Kalau memang tidak
mendengar ya sudah, kenapa mesti pakai bersumpah apa segala,” demikian kata si
nona.
Sungguh girang Toan Ki
melebihi tadi. Sejak dia kenal Giok-yan, belum pernah ia diperlakukan
sedemikian baiknya oleh nona itu. Maka ia lantas tanya pula: "Habis, apa
sih yang kau katakan di atas sumur tadi?”
"Aku bilang...” tapi
mendadak Giok-yan merasa serba kikuk dan urung meneruskan. Ia belokkan
kejurusan lain. "Biarlah kuterangkan lain kali saja. Toh hari depan kita
masih cukup panjang, buat apa mesti terburu-buru.”
"Hari depan kita masih
cukup panjang, buat apa mesti terburu-buru!” kata-kata ini benar-benar seperti
wahyu malaikat dewata yang jatuh dari langit baginya. Makna daripada kata-kata
itu sudah terang menyatakan bahwa untuk selanjutnya Giok-yan akan selalu hidup
berdampingan dengan dia.
Namun Toan Ki masih ragu-ragu
atas pendengarannya sendiri, ia masih menegas: "Kau... kau maksudkan untuk
seterusnya kita akan selalu berada bersama?”
Giok-yan merangkul leher Toan
Ki dan berbisik-bisik di tepi telinganya: "Toan Ki, asal kau tidak mencela
diriku, tidak marah padaku karena tempo hari aku telah bersikap dingin padamu,
maka untuk selama hidup ini aku rela ikut bersama kau dan takkan... takkan
meninggalkan dikau pula.”
Jantung Toan Ki hampir-hampir
meloncat keluar dari mulutnya saking kerasnya berdebar. Ia tanya pula:
"Habis bagaimana dengan Piaukomu? Selama ini kau sangat suka padanya.”
"Ya, tapi toh dia tidak
pernah memperhatikan diriku,” sahut Giok-yan. "Dan baru sekarang aku tahu
siapakah gerangan orang di dunia ini yang benar-benar mencintai aku dan
mengasihi aku, siapa yang telah memandang diriku lebih berharga daripada
jiwanya.”
"Kau maksudkan aku?”
tanya Toan Ki.
"Siapa lagi kalau bukan
kau,” sahut Giok-yan. Tiba-tiba ia menangis, katanya pula: "Selama hidup
Piaukoku itu selalu bermimpi akan menjadi raja Yan. Tapi maklum juga, sejak
turun temurun keluarga Buyung mereka memang sudah mempunyai cita-cita yang
muluk-muluk itu. Sebenarnya Piauko bukan seorang jahat, dia cuma kepingin
menjadi raja, maka segala urusan lain telah dikesampingkan olehnya.”
Mendengar nada si nona ada
maksud membela dan mengecilkan kesalahan Buyung Hok, kembali Toan Ki berkuatir
pula. Tanyanya cepat: "Nona Ong, andaikan kelak Piaukomu menginsafi
kesalahannya dan tiba-tiba membaiki kau lagi, lan... lantas bagaimana kau?”
"Toan Ki,” sahut Giok-yan
dengan menghela napas. "Meski aku adalah seorang wanita bodoh, tapi
sekali-kali bukan manusia yang bermartabat rendah. Hari ini aku sudah mengikat
janji dengan kau, jika kelak aku berbuat hal-hal yang tidak baik, bukankah akan
merusak nama baikku sendiri? Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap cintamu
yang murni kepadaku?”
Toan Ki kegirangan mendapat
jawaban itu, ia berseru gembira, segera ia angkat sedikit kepala si nona, dia
sendiri lalu menunduk hendak mencium. Dengan malu-malu Giok-yan menyambutnya
dengan mesra dan empat bibir lantas terkatup menjadi satu. Tapi baru
kepalang-tanggung, sekonyong-konyong dari atas terdengar suara menyambarnya
sesuatu benda besar yang jatuh ke bawah.
Keruan kedua orang terkejut
dan cepat menyisih ketepi dinding. Maka terdengarlah suara "Bluk” yang
keras, sesosok tubuh telah jatuh ke dasar sumur itu.
"Siapa itu?” tanya Toan
Ki.
"O, akulah!” sahut orang
itu yang ternyata adalah Buyung Hok.
Rupanya sesudah Toan Ki sadar
kembali, dia lantas roman dengan Giok-yan sehingga keduanya lupa daratan
seakan-akan hidup di dunia sendiri, andaikan saat itu langit akan ambruk atau
bumi meledak tentu juga takkan terpikir oleh mereka. Dengan sendirinya
pertarungan sengit antara Ciumoti dan Buyung Hok yang di atas sumur tadi juga
tak mereka pedulikan. Sekarang demi mendadak Buyung Hok jatuh ke dalam sumur,
barulah kedua orang itu kaget dan menyangka Buyung Hok sengaja datang hendak
mengganggu janji setia mereka.
Segera Giok-yan berkata dengan
suara gemetar: "Piau... Piauko, kau mau apalagi datang pula ke... kesini?
Hidupku ini sekarang sudah kupasrahkan kepada Toan kongcu, jika engkau mau
membunuh dia, bolehlah kau membunuh aku sekalian.”
Sungguh girang sekali Toan Ki
mendengar pernyataan tegas Giok-yan itu. Mestinya dia tidak kuatir dirinya
dibunuh Buyung Hok, yang dikuatirkan adalah Giok-yan akan terbujuk dan kembali
lagi kepangkuan Piaukonya. Tapi sesudah mendengar ucapan Giok-yan itu, seketika
legalah hatinya. Ia merasa pula si nona telah menjulurkan tangannya untuk
menggenggam kedua tangan sendiri, hal ini makin menambah kepercayaannya, segera
ia berkata: "Buyung-kongcu, kau boleh pergi menjadi Huma kerajaan Se He,
aku tak nanti berebutan dengan kau, bahkan aku akan membantu terlaksananya
cita-citamu itu. Adapun Piaumoaymu ini sudah menjadi milikku, kau takkan dapat
merebutnya lagi. Giok-yan, betul tidak katamu?”
"Betul,” sahut Giok-yan.
"Biar mati atau hidup aku sudah pasti akan ikut kau.”
Karena Hiat-to tertutuk, maka
Buyung Hok dapat mendengar dan bicara, cuma tak bisa bergerak. Diam-diam ia
memikir: "Mereka berdua belum mengetahui aku telah dikalahkan Ciumoti dan
dalam keadaan tak berkutik, maka mereka masih sangat jeri padaku, kuatir kalau
aku membikin susah mereka. Ya, hal ini akan menguntungkan diriku, biarlah aku
melakukan tipu mengulur tempo pula.”
Maka ia lantas berkata:
"Piaumoay, sesudah kau menjadi isteri Toan kongcu, maka kita sudah
terhitung pamili sendiri. Toan kongcu adalah adik iparku, masakah aku tega
mencelakai dia lagi?”
Dasar Toan Ki memang seorang
jujur dan polos, sedang Giok-yan masih hijau, maka mereka percaya penuh kepada
ucapan Buyung Hok itu, dalam girangnya mereka lantas mengucapkan terima kasih.
Lalu Buyung Hok berkata pula:
"Toan hiante, sekarang kita sudah orang sekeluarga, kalau aku pergi
menjadi Huma kerajaan Se He, maka kau takkan merintangi lagi bukan?”
"Sudah tentu,” sahut Toan
Ki cepat. "Asal aku dapat memperisterikan Piaumoaymu, maka tiada
cita-citaku yang lain lagi, biarpun aku dijadikan malaikat dewata juga aku
tidak mau.”
Pelahan-lahan Giok-yan
menggelendot di bahu Toan Ki, girangnya tak terkatakan.
Dalam pada itu diam-diam
Buyung Hok coba mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuyarkan Hiat-to yang tertutuk
Ciumoti tadi. Karena seketika susah dipunahkan, pula tidak sudi minta
pertolongan, maka ia hanya menggerutu di dalam hati: "Dasar sifat kaum
wanita memang gampang terpengaruh dan mudah berganti cinta, buktinya memang
betul seperti Piaumoay sekarang ini. Kalau dia ingat kebaikanku, tentu dia
sudah mendekati dan membangunkan aku.”
Dia mencerca orang lain, tapi
lupa dirinya sendiri yang tak berbudi sehingga Giok-yan merasa putus asa dan
hendak bunuh diri. Padahal tempat di dasar sumur itu luasnya kira-kira cuma
dua-tiga meter, jarak mereka satusama-lain sebenarnya sangat dekat, asal
Giok-yan melangkah satu tindak saja sudah dapat mencapai Buyung Hok. Tapi dia
merasa jeri, kuatir kalau Buyung Hok bertipu muslihat dan membikin celaka Toan
Ki. Selain itu iapun takut menimbulkan rasa curiga Toan Ki, maka sejak tadi
selangkahpun Giok-yan tidak berani sembarangan bergerak.
Begitulah, karena pikirannya
bingung, maka untuk membuka Hiat-to yang tertutuk menjadi tambah susah. Sedapat
mungkin Buyung Hok coba tenangkan diri, lalu pelahan-lahan membuka jalan darah
yang tertutuk itu. Dan baru saja dia dapat bergerak dan mulai berdiri,
"plok” tiba-tiba ada sesuatu benda jatuh di sebelahnya. Nyata itu adalah
"Ih-kin-keng” yang terlepas dari baju Ciumoti. Dan karena keadaan gelap
gulita, Buyung Hok segera menyingkir kesamping untuk menjauhi benda yang jatuh
itu. Dan untung karena dia menggeser minggir, maka waktu kemudian Ciumoti
melompat turun tidak sampai menjatuhi tubuhnya.
Kembali tadi. Sesudah Ciumoti
dapat menemukan kembali Ih-kin-keng, saking senangnya ia terus terbahakbahak.
Karena ruang sumur itu sangat sempit, maka kumandang suara tertawanya itu
sampai mendengungdengung memekak telinga Toan Ki.
Dan karena tertawanya itu,
ternyata Ciumoti tak mampu menghentikan pula bergolaknya hawa murni yang
semakin hebat dan makin melembung rasanya, pikirannya menjadi kacau, seketika
ia menjadi seperti orang gila, ia menghantam dan menendang serabutan di
kumbangan lumpur itu. Dan sudah tentu serangan-serangan yang ngawur itu selalu
mengenai dinding sumur, terkadang sangat keras sehingga batu pecah dan debu
pasir bertebaran, tapi terkadang sangat lemah, sedikitpun tak bertenaga.
Giok-yan sangat takut, dengan
kencang ia memepet di sisi Toan Ki, bisiknya pelahan: "Dia sudah gila, dia
sudah gila!”
"Ya, rupanya dia
benar-benar sudah gila,” sahut Toan Ki.
Sementara itu kebebasan
bergerak Buyung Hok sudah pulih kembali, untuk tidak terkena serangan Ciumoti,
segera ia gunakan ilmu "cecak merayap” untuk merayap ke atas dan
menggemblok di dinding sumur.
Ciumoti masih terus tertawa
dan napasnya juga semakin tersengal-sengal, sebaliknya pukulan dan tendangannya
tambah cepat.
"Taysu, lebih baik kau
duduk saja dan istirahat dengan hati tenang saja!” demikian Giok-yan coba
membujuk dengan tabahkan hatinya.
"Hahahahaha! Aku tak
mau!” seru Ciumoti sambil terbahak-bahak, bahkan ia terus mencengkeram ke arah
Giok-yan. di tempat yang sempit itu, dengan sendirinya susah bagi Giok-yan
untuk menghindar, keruan cengkeraman Ciumoti itu sudah sampai di atas pundak si
nona.
Dengan menjerit kaget
lekas-lekas Giok-yan mengegos. Sedang Toan Ki terus menggeser maju untuk
mengadang di depan si nona, serunya: "Kau sembunyi di belakangku saja.”
Dan pada saat itu juga kedua
tangan Ciumoti sudah merangsang maju lagi dan dengan tepat mencekik leher Toan
Ki. Seketika Toan Ki merasa napasnya menjadi sesak dan tak bisa membuka suara.
Giok-yan sangat kuatir,
lekas-lekas ia bantu menarik tangan Ciumoti. Tapi waktu itu Ciumoti sudah dalam
keadaan kalap, meski hawa murninya bergolak dan susah dikendalikan, tapi tenaga
cekikan itu ternyata sangat kuat. Sudah tentu Giok-yan hanya seperti menarik
kecapung menghinggap di tiang batu saja, sedikitpun tak dapat mengendurkan
tangan Ciumoti yang mencekik Toan Ki itu.
Kuatir kalau Toan Ki tercekik
mati, saking bingungnya Giok-yan terus berteriak-teriak: "Piauko, Piauko,
lekas kau menolongnya. Hwesio ini hendak mencekik mati Toan kongcu!”
Untuk sejenak Buyung Hok
menjadi ragu-ragu. Pikirnya: "Pemuda she Toan ini menyatakan hendak
membantu aku menjadi Huma kerajaan Se He, tapi entah omongannya dapat dipercaya
atau tidak. Dia pernah mengalahkan aku di Siau-sit-san sehingga nama keluarga
Buyung kami runtuh habis-habisan dan kehilangan muka di depan orang banyak,
sekarang dia terancam bahaya, buat apa aku mesti menolong dia? Apalagi ilmu
silat paderi ini sangat tinggi dan susah bagiku untuk menandingi dia, biarlah
mereka berdua mati konyol dalam pertarungan mereka, kukira jalan ini paling
selamat bagiku.” Karena itu, ia semakin kencang memegang celahcelah dinding
sumur itu dengan memasuki jarinya dan tidak mau turun untuk membantu, biar
Giok-yan berteriak-teriak minta tolong sampai suaranya serak, tetap Buyung Hok
tidak peduli dan anggap tidak mendengar.
Sementara itu mata Toan Ki
tampak sampai mendelik, keruan Giok-yan tambah kuatir, ia gunakan kepalan untuk
menghantam kepala dan punggung Ciumoti sambil berteriak-teriak. Sudah tentu
Ciumoti tidak merasakan pukulan-pukulan si nona, ia hanya ngos-ngosan napasnya
sambil terbahak-bahak pula, berbareng masih terus mencekik leher Toan Ki dengan
sekuatnya…
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali berceritakan rombongan
Siau Hong dan lain-lain.
Pagi itu Pah Thian-sik dan Cu
Tan-sin menjadi sibuk karena kehilangan Toan Ki dan Giok-yan.
"Wah, pangeran cilik kita
ini memang mirip ayahandanya, dimana-mana suka main roman, tentu tengah malam
dia telah kabur bersama nona Ong dan entah kemana perginya,” demikian kata
Tan-sin.
"Ya, pangeran cilik kita
orangnya ganteng dan romantis, lebih suka wanita daripada tahta,” sahut
Thian-sik. "Dia jatuh hati kepada nona Ong, hal ini telah diketahui semua
orang. Kalau suruh dia menjadi Huma kerajaan Se He, ai, kukira sulit. Apalagi
sifat pangeran kita ini sangat kepala batu, dahulu Sri Baginda ingin dia
belajar silat, tapi dia tetap membangkang dan tidak mau, kalau dipaksa, dia lantas
minggat dari istana.”
"Tiada jalan lain,
terpaksa kita mencarinya dan membujuknya sedapat mungkin,” ujar Tan-sin.
"Pah-heng,” kata Tan-sin
pula. "Aku jadi ingat kejadian dahulu, ketika pangeran cilik kita minggat
dari istana. Siaute dititahkan Ongya untuk mencarinya, dengan susah payah
akhirnya lantas aku dapat menemukan dia, siapa duga...” sampai di sini ia
lantas bisik-bisik: "Siapa duga dia telah kesemsem kepada nona Bok
Wan-jing ini, dan seperti sekarang, di tengah malam buta merekapun diam-diam
mengeloyor kabur. Untung Siaute sudah menjaga di tengah jalan sehingga dapat
mempergoki mereka.”
"Wah, jika begitu, maka
sekarang inipun salahmu,” seru Thian-sik. "Kau sudah berpengalaman, kenapa
kejadian dahulu itu boleh terulang lagi? Bukankah semalam kita harus berjaga
secara bergiliran untuk mengawasi gerak-gerik mereka?”
Tan-sin menghela napas
gegetun, katanya: "Aku mengira dia pasti akan ingat hubungan baiknya
dengan Siautayhiap dan Hi-tiok Siansing dan tidak nanti tinggal pergi begitu
saja, siapa tahu... siapa tahu...” Mestinya dia
hendak mengatakan "Siapa
tahu pangeran kita ternyata lebih mementingkan wanita daripada persahabatan,.”
Tapi kata-kata yang tidak pantas diucapkan kaum bawahan kepada junjungannya ini
urung dilontarkan.
Begitulah karena tak berdaya
lagi, terpaksa kedua orang itu melaporkan apa yang terjadi kepada Siau Hong dan
Hi-tiok. Segera para kawan dikerahkan untuk mencari, tapi sudah dicari
ubek-ubekan selama sehari, tetap bayangan Toan Ki dan Giok-yan tak diketemukan.
Malam itu semua orang
berkumpul di kamarnya Toan Ki yang kosong itu untuk berunding. Dan sudah tentu
mereka tidak memperoleh sesuatu akal yang baik untuk mencari pemuda itu.
Tengah mereka bingung,
tiba-tiba bagian protokol kerajaan Se He mengutus seorang untuk menemui Pah
Thian-sik dan memberitahukan bahwa besok malam hari Tiongchiu baginda raja akan
mengadakan perjamuan besar di istana Se-hwa-koing untuk menghormati para tamu
yang datang dari berbagai penjuru, maka pangeran Tayli itu diharap suka hadir.
Sudah tentu Pah Thian-sik tak
dapat mengatakan lenyapnya Toan Ki, ia hanya menyanggupi saja undangan itu.
Utusan itu pernah disuap oleh
Pah Thian-sik, maka sikapnya sangat baik, waktu hampir berpisah, tiba-tiba ia
membisiki Thian-sik pula: "Pah-loheng, biarlah aku memberi info padamu.
Dalam perjamuan Sri Baginda besok malam, di situ juga Sri Baginda akan
mengamat-amati gerak-gerik, ketampanan dan kepandaian para tamu calon menantu
raja itu. Sesudah perjamuan boleh jadi akan diadakan perlombaan membuat syair
dan bersajak, atau mungkin juga memanah dan bertanding silat untuk menentukan
siapa yang sesuai untuk menjadi pasangan Tuan Puteri kami. Maka besok malam
ialah kunci utama bagi sukses tidaknya usaha para calon, untuk mana diharapkan
Toan kongcu suka memperhatikan.”
Berulang-ulang Pah Thian-sik
mengucapkan terima kasih, berbareng ia mengeluarkan sepotong uang emas dan
dijejalkan ketangan utusan itu.
Setiba kembali di dalam kamar,
segera Thian-sik memberitahukan "Info” yang baru didapat itu. Katanya
pula: "Tin-lam-ong telah memberi pesan dengan wanti2 agar Pangeran cilik
kita harus membawa pulang puteri Se He. Kalau tugas yang diserahkan pada kami
ini gagal, maka kami sungguh malu untuk menemui Ongya lagi.
Tiba-tiba Tiok-kiam mengikik
tawa lalu berkata: "Pah-loya, apa boleh hamba ikut bicara sedikit?”
"Silakan,” sahut
Thian-sik.
"Sebabnya ayah baginda
Toan kongcu mengharuskan dia menikah dengan puteri Se He, maksud tujuannya akan
ingin besanan dengan kerajaan Se He untuk memperkuat kedudukan kerajaan Tayli
mereka, bukan?” tanya Tiok-kiam.
"Benar,” jawab Thian-sik.
"Adapun mengenai puteri
Se He itu akan secantik bidadari atau sejelek setan takkan dipikir oleh Toan
ongya, bukan?” ganti Kiok-kiam yang bertanya.
"Ya, tetapi sebagai Tuan
Puteri yang diagungkan, sekalipun tidak secantik bidadari, paling tidak toh
juga akan punya roman muka yang lumayan,” ujar Tan-sin.
"Nah, sekarang kami ada
suatu akal, asal puteri Se He diboyong pulang ke Tayli, maka soal Toan kongcu
akan diketemukan dalam waktu singkat atau tidak takkan menjadi soal lagi,”
sekarang Bwe-kiam yang berkata.
Dan Lan-kiam juga tidak
ketinggalan, katanya: "Nanti, kalau Toan kongcu sudah bosan pesiar
kemana-mana dengan nona Ong, lewat setahun atau dua tahun, tentu dia akan
pulang sendiri ke Tayli, tatkala mana juga belum terlambat untuk minta dia
melangsungkan pernikahan dengan puteri Se He.”
Heran dan girang pula
Thian-sik dan Tan-sin, kata mereka berbareng: "He, akal para nona ini
benar-benar sangat baik, coba jelaskan lagi.”
Segera Bwe-kiam bicara lebih
dulu: "Sekarang kalau kita minta nona Bok menyamar sebagai seorang pemuda
pelajar, bukankah akan jauh lebih tampan daripada Toan kongcu. Lalu kita minta
nona Bok suka menghadiri perjamuan raja Se He besok malam, kukira tiada
seorangpun di antara beribu-ribu tetamu itu mampu menandingi ketampanannya.”
"Ya, nona Bok adalah adik
perempuan Toan kongcu,” demikian Lan-kiam menyambung. "Kalau adik
perempuan mewakilkan kakaknya mengambil isteri demi kepentingan negara serta
untuk memenuhi tugas atas perintah ayah, bukankah jalan ini boleh dikata
‘sekali tepok beberapa laler’?”
"Dan bila nona Bok sudah
terpilih sebagai Huma, untuk melangsungkan upacara pernikahan tentu masih cukup
lama waktunya, dalam pada itu Toan kongcu tentu sudah dapat diketemukan,”
demikian Tiok-kiam menambahkan.
"Ya, andaikan Toan kongcu
tetap belum diketemukan, tiada halangannya juga kalau nona Bok mewakilkan
kakaknya melangsungkan pernikahan,” akhirnya Kiok-kiam menutup usul mereka.
Lalu keempat dara itu lantas tertawa cekikikan.
Dasar anak kembar empat, maka
pikiran mereka sama, lagak-lagu merekapun sama, tertawa sama, di waktu bicara
juga sama dan entah apalagi yang sama...
Untuk sejenak Pah Thian-sik
dan Cu Tan-sin hanya saling pandang saja. Mereka merasa usul dara-dara itu
terlalu sembrono, kalau sampai konangan, tentu urusan akan runyam, bukan saja gagal
mengikat perbesanan dengan Se He, bahkan bukan mustahil raja Se He akan
mengamuk dan menyatakan perang kepada Tayli.
Rupanya Bwe-kiam dapat menerka
apa yang dipikirkan Thian-sik berdua, segera ia berkata pula: "Sebenarnya
Toan kongcu toh mempunyai saudara angkat sebagai Siau-tayhiap dan mestinya
tidak perlu mencari sandaran kepada Se He, cuma Tin-lam-ong telah memberi
perintah sehingga terpaksa mesti diturut. Dan kalau terjadi apa-apa,
Siau-tayhiap adalah Lam-ih Tay-ong dari kerajaan Liau dengan kekuatan militer
yang dahsyat, asal beliau mau ikut bicara, maka segala persoalan tentu dapat di
atasi, tidak nanti raja Se He berani main gila kepada kerajaan Tayli.”
Sebagai seorang menteri yang
dipercaya dan ikut memegang pemerintahan, sudah tentu Pah Thian-sik bukan
seorang bodoh. Mengenai Siau Hong dapat dijadikan bala bantuan kerajaan Tayli,
hal ini memang sudah di dalam perhitungannya. Cuma saja dia merasa tidak enak
untuk mengucapkan sendiri. Kini demi mendengar ucapan Bwe-kiam itu dan Siau
Hong juga mengangguk, maka semangatnya seketika terbangkit. Pikirnya:
"Usul keempat dara cilik ini tampaknya seperti permainan anak kecil, tapi
selain jalan ini sesungguhnya juga tiada cara lain, hanya nona Bok entah suka
menerima dan mau menyerempet bahaya atau tidak?”
Karena itu, segera ia sengaja
berkata: "Usul nona-nona ini memang akal sangat bagus, tapi pelaksanaannya
benar-benar terlalu berbahaya. Apabila sampai konangan penyamaran nona Bok
nanti, tentu ada kemungkinan nona Bok akan tertawan, apalagi di situ hadir kesatria-kesatria
dari segenap penjuru, dalam hal orangnya sudah tentu nona Bok adalah paling
tampan, tapi kalau mesti bertanding silat dan mengalahkan mereka, wah, ini agak
kurang meyakinkan.
Seketika pandangan semua orang
lantas beralih kepada Bok Wan-jing dan ingin tahu bagaimana pendiriannya.
Maka berkatakan Wan-jing:
"Pah-siansing, kau tidak perlu memancing aku dengan kata-katamu itu,
soalnya engkohku... engkohku itu...” hanya sampai di sini, mendadak air matanya
lantas bercucuran dan tidak sanggup meneruskan lagi.
Rupanya telah terjadi
pertentangan batinnya, teringat olehnya apa yang dilakukan Toan Ki dengan
Giok-yan sekarang adalah mirip dengan kejadian Toan Ki dalam perjalanan bersama
dirinya di waktu dahulu, coba kalau
pemuda itu bukan kakaknya sendiri,
tentu pemuda itupun takkan mengingkar janji. Tapi sekarang Toan Ki sedang
bercumbu-cumbuan dengan nona lain, sebaliknya dia sendiri hidup kesepian di
sini, bahkan para kambrat kerajaan Tayli malah minta dia berjuang baginya.
Dasar watak Bok Wan-jing
memang takmau kalah, di kala pikirannya pepet, mendadak ia angkat meja di
depannya sehingga terbalik, seketika mangkok-piring pecah berantakan, lalu ia
melompat keluar.
Semua orang saling pandang
dengan bingung dan merasa kurang senang pula. Yang paling menyesal adalah Pah
Thian-sik, katanya: "Semuanya adalah salahku. Jika aku memohonnya dengan
kata- kata halus palingpaling nona Bok cuma menolak saja permintaanku, tapi
karena aku telah sengaja memancingnya dengan katakata yang menyinggung perasaannya,
maka dia menjadi marah-marah.”
Begitulah, besoknya semua
orang masih terus berusaha menemukan Toan Ki, di dalam kota tampak sangat ramai
dengan hilir-mudiknya pemuda-pemuda gagah dan perlente, mungkin sebagian besar
akan ikut dalam perjamuan malaman Tiongthyiu dalam istana raja nanti.
Sampai petang semua orang
telah pulang dan Toan Ki tetap tidak diketemukan. Maka berkatalah Siau Hong:
"Jika Samte sudah pergi dari sini, maka beramai-ramai kitapun boleh pulang
saja, tak peduli siapa yang akan menjadi Huma nanti, semuanya tiada
sangkut-pautnya dengan kita.”
"Ya, ucapan Siau-tayhiap
memang benar, supaya kita tidak menyaksikan orang lain menjadi Huma dan
menimbulkan rasa penasaran,” ujar Thian-sik.
"Eh, Cu-siansing, kau
sendiri sudah beristeri belum?” demikian tiba-tiba Ciong Ling tanya kepada Cu
Tan-sin. "Jikalau Toan kongcu tidak mau menjadi Huma, kenapa bukan kau
saja yang magang? Eh, siapa tahu kalau kau akan dianugerahi puteri Se He yang
cantik itu, jika demikian, bukankah juga akan banyak manfaatnya bagi kerajaan
Tayli?”
Tan-sin tertawa, sahutnya:
"Ai, nona Ciong ini suka berkelakar saja. Sudah lama aku punya isteri dan
punya selir, banyak pula putera-puteriku, mana boleh aku ikut-ikut berlomba
berebut puteri seperti kaum muda mereka?”
Ciong Ling melelet lidah dan
tidak bicara lagi.
Sebaliknya Cu Tan-sin lantas
menambahi lagi dengan tertawa: "Ya, sayang wajah nona Ciong sendiri masih
terlalu muda, pipimu dekik
pula dan tidak mirip orang lelaki, kalau tidak, wah, tentu kau dapat mewakilkan
engkohmu untuk mengikuti sayembara itu...”
"Apa? Mewakilkan
engkohku?” Ciong Ling menegas.
Tan-sin merasa telah kelepasan
mulut. Tapi dalam hatinya membatin: "Memangnya kau adalah puteri
Tin-lamong dari hubungan yang tidak sah, peristiwa yang masih dirahasiakan ini
tidak boleh sembarangan kukatakan.”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar seorang berkata di luar kamar sana: "Pah-siansing, Cu-siansing,
marilah kita boleh berangkat sekarang!”
Dan di mana kerai tersingkap,
masuklah seorang pemuda yang ganteng dan tampan. Siapa lagi dia kalau bukan Bok
Wan-jing yang telah menyamar sebagai pemuda pelajar.
"Keruan semua orang
terkejut dan bergirang pula, kata mereka: "He, apa nona Bok sudah bersedia
pergi?”
Tapi Bok Wan-jing lantas
menjawab: "Cayhe she Toan bernama Ki, adalah putera pangeran Tin-lam-ong
dari Tayli, diharap ucapan kalian sukalah hati-hati.”
Walaupun suaranya nyaring
merdu sebagai suara wanita, tapi banyak juga pemuda pelajar yang bersuara
lemah-lembut, maka tidak perlu diherankan. Karena merasa Bok Wan-jing dapat
menirukan lagak-lagu Toan Ki, maka tertawalah semua orang.
Rupanya sesudah marah-marah
sebentar dan pulang ke kamarnya dengan menangis, besok paginya setelah
dipikir-pikir pula, ia merasa tidak enak telah berlaku kasar di hadapan orang
banyak, pula ia merasa tertarik juga jika dia menyamar sebagai Toan Ki untuk
ikut berebut puteri Se He dengan jago-jago lain. Dalam hati kecilnya lapat-lapat
merasa: "Kau (maksudnya Toan Ki) ingin menikah dan hidup bahagia dengan
nona Ong, tapi aku justeru sengaja mewakilkan kau mengambil seorang Tuan Puteri
untuk isterimu, biar hidupmu kelak selalu cekcok di antara dua isteri, dengan
begini barulah kau tahu rasa.”
Kemudian teringat pula olehnya
waktu dia datang kekota Tayli dahulu, di mana ayah Toan Ki juga dihadapkan pada
masalah isteri dan kekasih lain sehingga membuatnya serba salah dan kikuk,
kalau sekarang Toan Ki juga mempunyai seorang isteri Tuan Puteri secara resmi,
maka Giok-yan tentu takkan berhasil menjadi isterinya yang sah.
Begitulah jalan pikiran kaum
wanita. Kalau dia sendiri tidak bisa menjadi isterinya Toan Ki, maka diapun
tidak
mengijinkan seorang gadis lain
dapat hidup bahagia sebagai isterinya. Makin dipikir makin senang, maka dia
lantas mengambil keputusan dan bersedia menyamar sebagai Toan Ki.
Dengan demikian, maka
cepat-cepat Pah Thian-sik dan lain-lain lantas bergegas-gegas menyiapkan segala
sesuatu yang perlu untuk berangkat menghadiri perjamuan raja.
Tiba-tiba Wan-jing berkata:
"Siau-toako dan Hi-tiok Jiko, bila kalian sudi ikut aku pergi bersama aku
keperjamuan itu, maka segala apa aku takkan takut lagi. Kalau tidak, apabila
terjadi pertempuran, mana aku mampu melawan orang. di dalam istana rasanya juga
tidak pantas aku sembarangan membidikan panah berbisa untuk membunuh musuh.”
"Baiklah, aku dan Jite
sudah dipesan oleh paman Toan, sudah tentu kami akan membantu sekuat tenaga,”
sahut Siau Hong dengan tertawa.
Segera semua orang berdandan
seperlunya untuk ikut pergi. Siau Hong dan Hi-tiok menyaru sebagai pengiring
dari kerajaan Tayli. Ciong Ling dan Bwe-kiam berempat saudara mestinya ingin
ikut juga dengan menyamar sebagai lelaki, tapi Pah Thian-sik telah mencegah
mereka agar jangan ikut, untuk menjaga penyamaran Bok Wan-jing saja susah,
apalagi kalau ditambah penyamaran mereka berlima, tentu rahasia mereka akan
terbongkar.
Karena itu, terpaksa Ciong
Ling dan lain-lain menurut.
Sesudah rombongan mereka
berada di tengah jalan, tiba-tiba Pah Thian-sik berseru: "Ai,
hampir-hampir membikin urusan menjadi runyam. Bukankah Buyung Hok itupun akan
hadir dan ikut berebut menjadi Huma, dia kenal baik pada Toan kongcu, lantas
bagaimana nanti?”
Siau Hong tertawa, katanya: "Pah-heng
tidak perlu kuatir. Buyung-kongcu juga serupa dengan Samte, diapun telah
menghilang tanpa pamit, tadi aku telah mencari tahu ke tempatnya, kulihat Ting
Pek-jwan, Pau Put-tong dan kawan-kawannya juga sedang kelabakan mencari Kongcu
mereka.”
"Wah, ini sangat
kebetulan,” kata semua orang dengan girang.
"Sungguh Siau-tayhiap
mempunyai pikiran yang panjang, sampai-sampai sebelumnya keadaan Buyung Hok
juga telah diselidikinya,” ujar Tan-sin.
"Bukannya aku bisa
berpikir panjang,” sahut Siau Hong. "Aku hanya kuatirkan kepandaian Buyung
Hok yang tinggi itu akan merupakan lawan paling tangguh bagi nona Bok, maka...
hehe, hehe!”
"Kiranya Siau-tayhiap
hendak membujuk dia agar malam ini jangan ikut hadir dalam perjamuan.,” kata
Pah Thian-sik dengan tertawa.
Agaknya Ciong Ling merasa
bingung atas petualangan mereka itu, dengan mata terbelalak ia tanya:
"Sebabnya jauh-jauh Buyung-kongcu datang ke sini justeru ingin menjadi
Huma, mana mungkin dia dapat dibujuk olehmu? Apa memangnya Siau-tayhiap adalah
sobat baiknya Buyung-kongcu.”
"Sobat sih bukan,” sela
Bok Wan-jing dengan tertawa, "Cuma kepalan Siau-tayhiap terlalu keras
baginya, maka dia terpaksa mesti menurut nasihatnya.”
"O!” Ciong Ling melongo,
baru sekarang dia paham duduknya perkara.
"Begitulah, setiba
rombongan mereka di depan istana, segera Pah Thian-sik menyodorkan kartu
undangan. Maka tertampaklah Le-poh Siang-si (menteri urusan protokol) kerajaan
Se He lantas menyambut keluar sendiri dan menyilakan rombongan Bok Wan-jing ke
dalam istana. Ternyata sudah ada lebih seratus pemuda yang telah hadir di situ
dan duduk tersebar di ruang situ, di tengah ada suatu meja yang dilapisi dengan
sutera-sutera kuning bersulam, mungkin itulah tempat duduk raja Se He sendiri,
di kanan-kirinya terdapat pula dua baris meja yang dilapis dengan sutera ungu.
di sebelah kanan sudah duduk seorang pemuda gagah, bermata besar dan beralis
tebal dan memakai jubah merah tua, di atas jubah tersulam dua ekor harimau, di
belakangnya berdiri delapan jago pengawal.
Segera Pah Thian-sik dan
lain-lain mengetahui pemuda gagah ini tentu adalah pangeran Cong-can dari
Turfan.
Segera Le-poh Siang-si
menyilakan Bok Wan-jing duduk di barisan meja sebelah kiri dan tidak
dicampurkan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa di antara pemuda-pemuda
pengikut sayembara ini hanya pangeran Turfan dan pangeran Tayli yang mempunyai
kedudukan paling agung, maka raja Se He menghormatinya dengan cara lain
daripada yang lain.
Begitulah para tamu-tamu
beramai-ramai masih terus tiba dan mengambil tempat duduk masing-masing.
Sesudah semua kursi penuh terisi, lalu dua perwira piket berseru: "Para
tamu agung sudah lengkap hadir semua, tutup pintu!”
Maka di tengah iringan suara
musik pelahan-lahan pintu istana dirapatkan. Dan begitu pintu istana tertutup,
segara berbaris keluar serombongan pengawal yang bersenjata lengkap. Menyusul
suara musik bergema pula,
dua barisan dayang keraton
berjalan keluar dari ruang dalam, tangan masing-masing membawa sebuah Hiolo
(anglo dupa) kecil buatan kemala putih, asap tipis tampak mengepul dari
Hiolo-hiolo itu.
Semua orang tahu Sri Baginda
sebentar lagi akan keluar, maka semuanya lantas diam dan menahan napas.
Paling akhir keluarlah empat
pengawal berjubah sulam, semuanya bertangan kosong, lalu berdiri di kedua sisi
singgasana raja.
Melihat pelipis ke empat
pengawal itu semuanya menonjol, maka tahulah Siau Hong pasti mereka adalah jago
pengawal raja yang memiliki ilmu silat sangat tinggi.
Lalu satu di antara ke empat
jago pengawal itu berseru: "Sri Baginda tiba, sambutlah!”
Semua orang lantas berlutut
dengan kepala menunduk.
Maka terdengarlah suara
langkah orang yang keluar dari ruang dalam, lalu duduk di atas singgasana yang
sudah tersedia. Dan sesudah jago pengawal tadi memberi aba-aba pula, barulah
semua orang berbangkit dan disilakan kembali ketempat duduk masing-masing.
Waktu Siau Hong memandang si
Raja dilihatnya perawakannya sedang saja, mukanya kereng, agaknya juga seorang
tokoh kesatria di dunia persilatan.
Kemudian Le-poh Siang-si telah
maju ke samping singgasana sang raja dan membentang sehelai amanat, lalu
dibacanya dengan suara nyaring: "Paduka Yang Mulia Sri Baginda Raja
menyampaikan terima kasih atas kehadiran tuan-tuan sekalian, marilah
bersama-sama mengeringkan secawan!”
Para tamu menyampaikan sembah
hormat, lalu sama-samamengangkat cawan masing-masing. Tapi raja itu
hanyamenempelkan cawannya ke bibir sebagai lambang saja, lalumeninggalkan
singgasananya dan masuk kembali ke ruangbelakang. Segera para pengawal juga
ikut masuk semua kebelakang sehingga dalam sekejap saja suasana telah
kembaliseperti tadi.
Semua orang saling pandang
dengan tercengang, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa satu kata patah
saja tidak bicara dan minum secegukpun tidak, lalu raja itu sudah mengundurkan
diri. "Padahal bagaimana wajah kami seorangpun belum diperiksanya dengan
jelas, entah cara bagaimana dia akan memilih menantunya?” demikian pikir semua
orang.
"Sekarang silakan para
hadirin makan minum secara bebas,” seru Le-poh Siang-si.
Segera pelayan membawakan
daharan-daharan yang sudah tersedia semangkuk demi semangkuk.
Se He adalah negeri pegunungan
yang dingin, bahan makanan mereka yang utama adalah daging sapi dan kambing,
biarpun namanya perjamuan kerajaan, tapi yang disuguhkan juga tidak lebih
daripada daging-daging sapi dan kambing dalam potongan-potongan besar.
Melihat Siau Hong berdiri
mengawal di sampingnya, Bok Wan-jing merasa tidak enak, segera ia berbisik:
"Siau-toako, Hi-tiok Jiko, silakan kalian duduk dan ikut makan minum.”
Tapi Siau Hong dan Hi-tiok
hanya tersenyum saja sambil geleng-geleng kepala.
Wan-jing kenal watak Siau Hong
yang paling gemar minum arak, tiba-tiba ia mendapat akal, ia memberi tanda dan
memberi perintah: "Tuangkan arak!”
Sebagai pengawal dalam
penyamaran, Siau Hong menurut dan menuangkan semangkuk arak.
"Boleh kau coba rasanya
arak ini,” kata Wan-jing pula.
Sungguh girang Siau Hong tak
terkatakan, hanya dua-tiga kali cegukan saja arak semangkuk penuh itu sudah
dihirupnya ke dalam perut.
"Coba semangkuk lagi!”
kata Wan-jing pula. Dan segera Siau Hong minum lagi semangkuk.
Di sebelah sana pangeran
Turfan itu juga sedang makan minum. Sesudah minum beberapa tegukan arak, ia
menyambar sepotong daging panggang terus digerogoti dengan lahapnya. Sesudah
daging itu tinggal sekerat tulang belakang, segera ia melemparkan tulang itu ke
arah Bok Wan-jing dengan lagak seperti tidak sengaja. Tapi samberan tulang itu
ternyata sangat cepat, nyata tenaganya tidaklah kecil.
Segera Cu Tan-sin melolos
kipasnya dan mengipas sekali ke arah tulang itu. Kontan tulang itu terkipas
balik dan menyambar kembali ke arah pangeran Cong-can.
Tapi seorang jago Turfan
keburu menangkap tulang itu sambil memaki dalam bahasanya, sekonyong-konyong ia
angkat sebuah mangkuk besar terus menimpuk ke arah Tan-sin.
Sekali ini berganti Thian-sik
yang turun tangan, ia memapak dengan sekali pukulan, di mana angin pukulannya
tiba, kontan mangkuk itu pecah menjadi beberapa keping dan berhamburan kembali
ke arah orang-orang Turfan. Lekas-lekas seorang jago Turfan lain menanggalkan
jubahnya, sekali pentang dan mengebas, tahu-tahu pecahan mangkuk itu telah kena
digulung semua oleh jubahnya, gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan cekatan.
Selagi pertarungan itu akan
meningkat, sekonyong-konyong terdengar suara genta bertalu-talu, lalu muncul
dua barisan orang yang bermacam-macam bentuknya, ada yang tinggi, ada yang
pendek, ada yang berdandan ringkas, ada yang berjubah longgar, semuanya
bersenjata dalam bentuk yang beraneka ragam pula.
Seorang pembesar yang berjubah
sulam dan berjalan di depan, agaknya seperti komandan kedua barisan jagojago
itu, segera membentak dengan suara keras: "Perjamuan ini diadakan di dalam
istana, hendaklah tuan-tuan tahu tata-tertib sedikit! Ini adalah jago-jago
pilihan dari It-bin-tong negeri kami, jika tuan-tuan ingin berkelahi, nah,
boleh silakan coba-coba dengan mereka satu-melawan-satu, tapi dilarang main
kerubut.”
Siau Hong dan lain-lain tahu
It-bin-tong adalah suatu dewan yang istimewa dari kerajaan Se He, di dalam
dewan itu terkumpul banyak sekali jago-jago silat pilihan dari segenap penjuru.
Karena itu Pah Thian-sik dan kawan-kawannya lantas berhenti menyerang, setiap
benda yang ditimpukan orang-orang Turfan lantas ditangkapnya dan ditaruh di
atas meja sendiri, ia tidak balas menimpuk lagi.
Kemudian pembesar berjubah
sulam tadi lantas berkata kepada pangeran Cong-can: "Harap Yang Mulia
memberi perintah agar bawahanmu tidak mengacaukan suasana ketenangan ini.”
Melihat jago-jago It-bin-tong
itu ada ratusan orang jumlahnya, kalau sampai cekcok dan bertempur, tentu
pihaknya tak dapat melawan, maka Cong-can lantas memberi tanda untuk
menghentikan pengikutnya yang masih berteriak-teriak itu.
"Helian-ciangkun, apakah
Tuan Puteri ada sesuatu perintah?” segera Le-poh Siang-si bertanya kepada
pembesar berjubah sulam tadi.
Kiranya pembesar itu adalah
Helian Tiat-su, yaitu tokoh yang dahulu pernah memimpin jago-jago It-bin-tong
menuju ke Tionggoan, tapi di sana mereka telah dirobohkan dengan kabut berbisa
oleh Buyung Hok yang menyamar sebagai Li Yan-cong.
Setelah mengalami peristiwa
yang merugikan itu, segera Helian Tiat-su membawa rombongannya pulang kandang.
Dia pernah melihat Siau Hong palsu yang disamar A Cu dan pernah kenal Buyung
Hok yang disamar Toan Ki, tapi Siau Hong tulen dan Toan Ki palsu yang berada di
dalam istana sekarang ini tidak pernah dikenalnya. Mestinya di antara jago-jago
It-bin-tong itu juga terdapat Toan Yan-khing, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho,
tapi mereka mempunyai rencananya sendiri dan sudah tentu tidak mau diperalat
oleh kerajaan Se He, maka saat ini mereka sedang bertugas di lain tempat
sehingga penyamaran Siau Hong dan Bok-Wan-jing itu tidak sampai konangan.
Kemudian Helian Tiat-su lantas
berseru: "Menurut titah Tuan Puteri, bila para tamu agung sudah selesai
dahar, semuanya disilakan minum teh ke kamar baca di Guang Haong-kok.”
Jing-hong-kok itu diketahui
adalah istana kediaman Bun-gi Kongcu, puteri Se he yang cari jodoh sekarang
ini. Keruan para pemuda sangat senang dan bersemangat, dengan undangan itu,
teranglah puteri Se He itu ingin memilih sendiri calon suaminya. Pikir mereka:
"Biarpun nanti tidak terpilih, paling sedikit juga dapat melihat wajah
si-cantik sehingga perjalanan ini tidak sia-sia belaka.”
Dasar watak pangeran Cong-can
memang paling tidak sabaran, dia yang pertama-tama berdiri dan berseru:
"Setiap saat kita dapat makan dan minum. Tapi sekarang paling perlu kita
melihat puteri ayu lebih dulu!”
"Benar!” serentak
sebagian besar hadirin menyokongnya.
Segera Cong-can minta Helian
Tiat-su membawa mereka ke tempat tujuan.
"Mari, pangeran Toan dan
para hadirin yang lain!” seru Helian Tiat-su dan dijawab dengan suara sorakan
gembira orang banyak.
Demikianlah Helian Tiat-su
lantas membawa para calon Huma itu menuju ke belakang. Sesudah menyusur sebuah
taman, lalu membelok beberapa kali, kemudian waktu melintas sebuah bukit
buatan, tiba-tiba Bok Wan-jing merasa di sebelahnya telah bertambah seorang.
Waktu ia melirik, tanpa merasa
ia menjerit tertahan dalam kagetnya. Ternyata orang di sebelahnya
tak-lain-takbukan adalah Toan Ki.
"Apa kau terkejut,
pangeran?” tanya Toan Ki dengan pelahan dan tertawa.
"Apa kau sudah tahu
semua?” balas tanya Bok Wan-jing dengan berbisik.
"Tahu semua sih tidak,
tapi melihat gelagatnya dapatlah menerka sebagian besar persoalannya, sungguh
membikin susah kau saja,” sahut Toan Ki.
Bok Wan-jing coba mengawasi
kanan-kirinya, ia lihat tiada pembesar Se He di dekatnya, sebaliknya di
belakang Toan Ki kelihatan ada dua pemuda. Yang seorang berusia 30-an dengan
sikap agak angkuh, yang seorang lagi ternyata sangat tampan dan lebih muda.
Hanya sedikit memperhatikan
saja segera Wan-jing mengenali pemuda tampan itu adalah samaran Giok-yan.
Seketika ia menjadi gusar, katanya: "Bagus kau, seenaknya kau mengeloyor
pergi bersama nona Ong, tapi aku yang harus mewakilkan kau menempuh bahaya
ini.”
"Jangan marah dulu,
adikku manis,” kata Toan Ki. "Kejadian ini agak panjang untuk diceritakan.
Pendek kata aku telah dilemparkan ke dalam sumur oleh orang dan hampir-hampir
mati konyol.”
Mendengar pemuda itu mengalami
bahaya, seketika rasa perhatiannya melebihi rasa gusarnya, cepat Wan-jing tanya:
"Apa kau tidak terluka? Kulihat air mukamu agak pucat.”
Seperti diketahui, di dasar
sumur itu Toan Ki telah dicekik oleh Ciumoti sehingga susah bernapas,
pelahanlahan ia sudah hampir tak sadarkan diri.
Sebaliknya Buyung Hok yang
mendempel di dinding sumur yang lebih tinggi itu merasa syukur dan senang,
kalau bisa dia berharap Toan Ki tercekik mati saja.
Sudah tentu yang paling kuatir
adalah Giok-yan, meski dia telah menghantam dan menggebuki Ciumoti, tapi masih
tetap tak menolong Toan Ki. Dalam gugup dan bingungnya, mendadak Giok-yan terus
menggigit lengan kanan Ciumoti.
Ketika sekonyong-konyong
merasa "Kiok-ti-hiat” di lengan kanan menjadi kesakitan, Ciumoti merasa
hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh dan tak tersalurkan itu mendadak
melanda keluar sebagai ban gembos, hawa murni itu mengalir dari telapak
tangannya dan masuk keleher Toan Ki yang dicekiknya itu.
Mestinya Ciumoti merasa
badannya melembung seakan-akan meledak, tapi mendadak gembos, seketika ia
merasa segar kembali sehingga jari yang mencekik leher Toan Ki itu
pelahan-lahan juga menjadi kendur.
Hendaklah maklum bahwa Ciumoti
benar-benar seorang tokoh sakti yang jarang terdapat dalam dunia persilatan,
dasar peyakinannya sangat kuat, maka sekali tenaga dalamnya terhimpun, susahlah
bagi Toan Ki untuk menyedot tenaganya dengan "Cu-hap-sin-kang” yang ampuh.
Baru sesudah Giok-yan
menggigit sekali di tempat Kiok-ti-hiatnya, dalam kagetnya hawa murni yang
bergolak itu lantas membanjir keluar. Dan sekali hawa murni itu mendapat jalan
saluran, maka susahlah tertahan lagi, serentak tenaga itu mengalir ke dalam
tubuh Toan Ki dengan tak berhenti-henti.
Tadinya pikiran Ciumoti memang
sudah mulai kacau dan hampir-hampir tak sadar, sesudah tenaga dalamnya terkuras
keluar hampir separoh, mendadak pikirannya jernih kembali, keruan ia
terperanjat: "Wah, celaka! Jika aku punya tenaga murni tersedot terus
seperti ini, pasti dalam waktu tak lama lagi aku akan lemas dan menjadi orang
cacat.”
Karena itu sekuatnya ia
berusaha melawan, namun sekarang sudah terlambat. Sesudah hampir separuh tenaga
murninya masuk tubuh Toan Ki, perbandingan kekuatan kedua pihak menjadi lebih
nyata lagi, tidak mungkin Ciumoti dapat melawan, biarpun dia meronta sekuat
mungkin tetap tak dapat menahan mengalir keluarnya tenaga murni itu.
Sebaliknya Giok-yan menjadi
lega demi melihat akibat gigitannya itu lantas cekikan Ciumoti itu menjadi agak
kendur. Tapi dilihatnya tangan Ciumoti itu masih tetap memegang leher Toan Ki,
segera ia menariknya pula.
Tak terduga tangan Ciumoti itu
sudah seperti terpantek di leher Toan Ki, biarpun dia menarik dan membetot,
tetap tangan Ciumoti tak mau lepas.
Walaupun Giok-yan paham
(secara teori) ilmu silat berbagai golongan dan aliran di dunia ini, tapi ia
tidak tahu ilmu apakah yang digunakan Ciumoti sekarang ini, karena itu ia pikir
ilmu apapun juga tentu akan merugikan Toan Ki, maka sedapat mungkin ia berusaha
hendak menolongnya.
Ciumoti sendiripun mengeluh,
di dalam hati ia berharap Giok-yan akan dapat menarik lepas tangannya. Siapa
tahu ketika tangan Giok-yan memegang tangan Ciumoti, seketika nona itu merasa
badannya menggigil, tenaga murninya juga mendadak tersedot keluar dan tak
tertahankan.
Kiranya saat itu Toan Ki sudah
pingsan, dengan sendirinya asal ketemu tenaga yang sakti itu tidak kenal kawan
atau lawan, asal ketemu tenaga lantas sedot saja, maka bukan Ciumoti saja yang
tenaga murninya terisap,
bahkan Giok-yan juga ikut
menjadi korban. Maka tidak lama kemudian Giok-yan dan Ciumoti telah jatuh
pingsan semua.
Selang agak lama, ketika tidak
mendengar suara apa-apa dari ketiga orang yang berada di bawah itu, segera
Buyung Hok coba memanggil beberapa kali, tapi tidak mendapat jawaban. Pikirnya:
"Jangan-jangan ketiga orang itu sudah gugur bersama?”
Lebih dulu ia menjadi girang.
Tapi segera teringat hubungan baik dirinya dengan Giok-yan, mau-tak-mau ia
merasa berduka juga. Kemudian terpikir pula olehnya: "Wah, celaka! Kalau
mereka tidak mati, dengan tenaga gabungan empat orang mungkin akan dapat keluar
dari sini, tapi sekarang tinggal aku seorang, tentu akan susah menyingkirkan
batu besar di atas. Ai, jika kalian ingin mati, kenapa tidak tunggu dulu dan
mati di luar sumur sana saja?”
Dan baru ia hendak melompat
turun untuk memeriksa keadaan Ciumoti dan Giok-yan bertiga, tiba-tiba terdengar
ada suara orang bicara di atas, suaranya berisik ramai, agaknya adalah kaum
petani bangsa Se He.
Rupanya mereka berempat telah
ribut semalam suntuk di dasar sumur itu dan sekarang fajar sudah menyingsing,
banyak kaum petani yang membawa sayur-sayuran hendak menjual ke pasar di dalam
kota dan lewat di samping sumur itu.
Diam-diam Buyung Hok membatin:
"Jika aku berteriak minta tolong, para petani itu belum tentu sanggup
memindahkan batu-batu karang yang besar itu. Dan bila merasa tak kuat, tentu
mereka akan tinggal pergi dan tak peduli lagi. Jalan paling baik yalah
memancing mereka dengan rejeki.”
Maka ia lantas sengaja
berteriak: "Hei, semua emas ini adalah milikku, kalian tidak boleh ikut
mengangkangi. Ya, biarlah aku membagi kalian 3000 tahil saja.” Lalu ia berseru
pula dengan suara lain yang sengaja dibuatbuat: "Tidak bisa! Emas intan
sebanyak ini kita ketemukan bersama, sudah tentu harus kita bagi dengan
samarata.” Kemudian ia sengaja membikin suaranya setengah tertahan dan berkata;
"Sssst, jangan keras-keras, kalau sampai didengar orang, tentu mereka juga
akan minta bagian dan bagian kita tentu akan berkurang!”
Suara tanya-jawab yang sengaja
diucapkan Buyung Hok itu ia siarkan dengan tenaga dalam yang kuat sehingga
dapat didengar dengan jelas oleh para petani yang lewat di pinggir sumur itu.
Dasar manusia, siapa orangnya
yang mendengar ada rejeki takkan ketarik?
Keruan saja para petani itu
terkejut dan bergirang pula. Maka ramai-ramai mereka lantas merubungi sumur itu
dan serentak berebut untuk menyingkirkan batu-batu karang itu. Meski batu-batu
karang itu sangat besar dan
antap, tapi dengan tenaga
gotong-royong orang banyak, akhirnya batu-batu itu dapat di singkirkan.
Sudah tentu Buyung Hok sudah
bersiap-siap, ia tidak menunggu sampai batu-batu itu disingkirkan semua, baru
saja kelihatan ada suatu lowongan yang cukup untuk diterobos, terus saja ia
merembet ke atas dan mendadak "wuttt,” ia terus melayang keluar.
Tentu saja para petani itu
kaget setengah mati karena hanya dalam sekejap saja bayangan Buyung Hok itu
sudah menghilang di kejauhan.
Walaupun masih curiga dan
takut, tapi karena daya tarik harta karun, akhirnya para petani itu tetap
menyingkirkan batu-batu karang, lalu seorang kawan mereka yang paling tabah
dikerek ke dalam sumur dengan tambang.
Setiba di dasar sumur, begitu
tangannya meraba segera orang itu dapat memegang badan Ciumoti. Memangnya dia
sudah was-was dan kebat-kebit, begitu kena meraba badan manusia, segera ia
menyangka kerangka mayat. Keruan kagetnya tak terkatakan, hampir-hampir
sukmanya terbang meninggalkan raganya. Cepat ia menggoyangkan tambang dan minta
dikerek ke atas.
Mendengar di dalam sumur itu
ada orang mati, seketika para petani itu menjadi ketakutan dan berlari bubaran,
mereka sama kuatir ikut tersangkut perkara pembunuhan, jangan-jangan harta
karun belum diperoleh, tapi sudah masuk bui lebih dulu.
Begitulah sampai dekat lohor,
berturut-urut ketiga orang di dalam sumur itu barulah siuman kembali.
Orang pertama yang siuman
adalah Giok-yan. Begitu sadar kembali, yang per-tama2 teringat olehnya adalah
Toan Ki. Meski saat itu adalah siang bolong, tapi di dasar sumur itu tetap sangat
gelap, ia coba meraba dengan tangannya dan dapat menyentuh Toan Ki, segera ia
berseru: "Toan Ki, o, Toan Ki, ba... bagaimanakah dengan dirimu?”
Karena tidak mendapat jawaban
Toan Ki, Giok-yan menyangka pemuda itu sudah mati dicekik Ciumoti, terus saja ia
menangis sedih, ia angkat "mayat” Toan Ki dan merangkulnya dengan kencang
di depan dada sambil sesambatan: "O, Toan Ki, sedemikian baik dan setiamu
kepadaku, tapi selama ini aku belum pernah membalas apa-apa padamu, baru saja
kita berharap akan hidup bahagia di-hari-hari yang akan datang, siapa tahu...
siapa tahu jiwamu sudah melayang di tangan paderi jahat ini...”
"Ucapan nona ini hanya
betul separoh saja,” demikian tiba-tiba terdengar Ciumoti menyela, rupanya
iapun sudah sadar. "Walaupun Lolap adalah paderi jahat, tapi aku tidak
membunuh Toan kongcu.”
Dan pada saat itu Toan Ki
telah siuman juga. Ia mendengar ucapan Giok-yan yang meresap itu bergema di
tepi telinganya, ia menjadi girang. Tiba-tiba ia merasa badannya sendiri berada
di dalam pelukan si nona, segera ia pura-pura masih belum sadar dan tak berani
bergerak, kuatir kalau diketahui Giok-yan dan dilepaskan sehingga tidak dapat
lagi merasakan nikmatnya dalam pelukan sang kekasih.
Dalam pada itu Ciumoti telah
berkata: "Kekasihmu itu tidaklah kutewaskan, sebaliknya jiwaku yang
hampirhampir binasa di tangannya.”
Air mata Giok-yan lantas
bercucuran, sahutnya: "Dalam keadaan begini kau masih hendak menipu aku?
Ketahuilah bahwa hatiku seperti disayat-sayat, lebih baik kaupun cekik mati aku
saja agar aku dapat menyusul Toan Ki di alam baka.”
Mendengar ucapan si nona yang
tulus iklas dan meresap itu, sungguh girang Toan Ki tak terkira.
Ciumoti sendiri meski sudah
kehilangan tenaga murni, tapi pikirannya masih sangat cermat, pengalamannya
juga luas dan kenyang makan asam-garam, dari suara napas Toan Ki yang pelahan
tapi tertahan itu, segera ia mengetahui pemuda itu sebenarnya sudah sadar, tapi
sengaja diam saja, maka iapun tahu maksudnya. Tiba-tiba ia menghela napas
pelahan dan berkata: "Toan kongcu, aku telah salah belajar ilmu sakti
Siau-lim-pay sehingga membikin celaka diriku sendiri, untung engkau telah
menyedot tenaga dalamku sehingga aku tidak sampai mati konyol seperti orang
gila. Sekarang meski ilmu silatku sudah punah, namun jiwaku telah selamat,
untuk ini aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu.”
Toan Ki adalah seorang yang
rendah hati, demi tiba-tiba mendengar paderi itu mengucapkan terima kasih
padanya, tanpa merasa ia terus menjawab: "Ah, Taysu jangan merendah diri.
Cayhe punya kepandaian dan kebaikan apa sehingga berani dianggap telah
menyelamatkan jiwa Taysu?”
Giok-yan menjadi girang ketika
mendadak mendengar Toan Ki sudah sadar kembali, tapi ia lantas tercengang pula
dan paham sebabnya pemuda itu sengaja diam saja adalah agar dapat berada di
dalam pelukannya, keruan ia menjadi girang-girang malu, sekuatnya ia dorong
pergi Toan Ki dan mencomel: "Uh, kau ini!”
Toan Ki menjadi malu juga
karena rahasianya terbongkar. Lekas-lekas ia berbangkit dan bersandar di
dinding sebelah. Tiba-tiba ia ingat sesuatu dan bertanya: "He, di manakah
Buyung-kongcu?”
"Ha, aku menjadi lupa
juga, di manakah Piauko?” sahut Giok-yan.
Sungguh girang Toan Ki
melebihi mendapat warisan demi mendengar kata-kata "aku menjadi lupa
juga.” Padahal selama ini perhatian Giok-yan selalu terpusat kepada Buyung Hok
seorang, tapi sekarang walaupun sudah selang hampir sehari toh nona itu tidak
ingat kepada Buyung Hok, hal itu menandakan bahwa dirinya sekarang sudah
bertukar tempat dengan Buyung Hok di lubuk hati si nona.
Tengah Toan Ki riang gembira,
terdengar Ciumoti telah berkata: "Sifat Toan kongcu sangat tulus dan
jujur, rejeki di kemudian hari pasti tiada takaran. Hari ini Lolap ingin mohon
diri, rasanya kelak susah untuk berjumpa pula. di sini ada satu jilid kitab,
bila kelak Kongcu kebetulan ada tempo, tolonglah kitab ini suka dikembalikan
kepada Siau-lim-si. Semoga Kongcu berdua hidup bahagia sampai hari tua.”
Habis berkata, segera ia
menyerahkan kitab Ih-kin-keng kepada Toan Ki.
"Apakah Taysu hendak
pulang ke Turfan?” tanya Toan Ki.
"Mana suka, mungkin
pulang kesana, mungkin tidak!” sahut Ciumoti dengan samar-samar. Lalu ia
berbangkit, ia coba menarik tambang panjang yang ditinggalkan kaum petani tadi
dan ternyata cukup kencang, agaknya ujung atas diikat di batu karang. Dengan
tambang itulah ia lantas merambat ke atas dan tinggal pergi.
Sekarang tinggal Toan Ki
berhadapan dengan Giok-yan di dalam sumur itu, walaupun berada di tempat lumpur
tapi hati mereka sangat senang, siapapun tidak punya pikiran buat keluar dari
sumur itu. Pelahan-lahan tangan kedua orang sama-sama menjulur ke depan, empat
tangan saling menggenggam, dua perasaan bersatu.
Lama dan lama sekali barulah
Giok-yau berkata,"Toan-long, apakah lehermu tidak terluka? Marilah kita
memeriksanya di luar sana.”
"Sedikit pun aku tidak
merasa sakit, juga tidak perlu buru-buru keluar dari sini." sahut Toan Ki.
"Jika engkau tidak suka
keluar, biar aku mengiringimu di sini." kata Giok-yan dengan suara mesra.
Sekarang dia benar-benar sudah jinak, sedikit pun tidak membangkang lagi.
Toan Ki menjadi rikuh sendiri,
katanya dengan tertawa, "Tapi engkau tentu tidak betah tinggal di tempat
lumpur ini."
Segera ia merangkul pinggang
si nona yang ramping itu, dengan tangan kanan ia pegang tambang, hanya sedikit
tarik saja tahu-tahu tubuhnya sudah mumbul satu-dua meter tingginya.
Toan Ki sangat heran. la tidak
tahu bahwa tenaga dalam Cumoti yang dikumpulkan selama hidup ini sekarang telah
tersedot semua ke dalam tubuhnya, sebaliknya ia menyangka sesudah tidur semalam
dan lagi bersama kekasih yang menyenangkan maka tenaganya tambah kuat.
Sesudah keluar sumur, di bawah
sinar sang surya kelihatanlah tubuh mereka penuh Lumpur, mereka saling pandang
dengan tertawa geli. Segera mereka mencari suatü sungai kecil dan rendam di
situ sampai lama, barulah mereka dapat membersihkan Lumpur yang memenuhi muka,
rambut, baju dan sepatu mereka.
Untung waktu itu hawa tidak
terlalu dingin sehingga Giok-yan tahan berendam dalam air. Kemudian mereka
bersandar dí batu karang di tepi sungai untuk mengeringkan baju yang basah
kuyup di badan mereka itu.
Di sinilah Toan Ki
mengamat-amati wajah si nona yang cantik bak bidadari itu dengan rasa bahagia
yang tak terperikan. Sudah tentü Giok-yan menjadi malu, segera ia miringkan
mukanya ke sini sana.
Begitulah kedua muda-mudi itu
bicara mengada-ada untuk menghilangkan waktu. Tanpa terasa harí sudah petang,
tidak lama kemudian sang dewikz malam pun menongol dan pelahan bergeser ke
tengah cakrawala."
Tiba- tíba Toan Kí teringat
kepada Buyung Hok, katanya. "Adik Yan, sekarang cita-citaku telah
terkabül, sebaliknya Piaukomu sekarang sedang mengikuti sayembara perebutan
putri Se He, entah usahanya akan berhasil atau tídak?"
Biasanya bila Giok-yan ingat
hal ini, seketika día berduka, tapi sekarang perasaannya sudah berubah, ia pun
agak rikuh terhadap Buyung Hok dan sebaliknya berharap sang piauko dapat
memperistrikan putri Se He, maka cepat jawabnya, "Ya, marilah kita lekas
pergi melihatnya."
Buru-buru kedua orang itu
pulang ke pondok mereka. Ketika hampir sampai di depan pintu, tiba-tiba di
temapt gelap ada orang berkata, "Kiranya kal¡an pun sudah keluar!”
Jelas itulah suara Buyung Hok.
"Hé. engkau berada di
sini?” balas Toan Ki dan Giok-yan dengan gembira.
"Hm. baru saja menghajar
dan membunuh belasan orang Turfan sehingga tempoku banyak terbuang, " kata
Buyung Hok. "Eh, orang she Toan kenapa kamu tidak hadir sendiri dalam
perjamuan raja, sebaliknya
menyuruh seorang nona menyaru
sebagai dirimu? Hm, aku tìdak nanti mem.... membiarkan kau main licik, aku
pasti akan bongkar rahasìamu ini."
"Apa katamu?" sahut
Toan Ki dengan heran. "Seorang nona menyaru apa? Pada hakikatnya aku tidak
tahu apa apa."
"Ya, Piauko, kami baru
saja keluar dari sumur itu ... " hanya sekian Giok-yan bicara dan segera
merasa ucapan ini kurang jujur. Padahal sudah setengah harian ia main roman
dengan Toan Ki di tepi sungai, masakah bilang baru saja keluar dari sumur sana.
Untung Buyung Hok rupanya
sedang terburu-buru hendak menuju ke istana raja untuk menghadiri perjamuan,
maka ia tidak memperhatikan ucapan Giok-yan dan keadaan pakaiannya yang kusut
itu.
Dalam pada itu Giok-yan
berkata pula, "Dia ... dia sudah menyanggupi akan membantumu supaya engkau
berhasil merebut putri Se He. Kalau aku mempunyai seorang tuan putri sebagai
Loso, sudah tentu aku juga ikut gembira."
Semangat Buyung Hok
terbangkit, ia menegas, "Apa betul ucapanmu?”
"Sudah tentu." sahut
Toan Ki. "Engkau adalah piauko adik Yan, terhitung piaukoku pula, Sekarang
Piauko ada urusan masakah pamili sendiri bisa tinggal diam saja?”
Sungguh girang sekali Buyung
Hok, Sesudah día keluar dari sumur, di tengah jalan ía kepergok jago-Jago
Turfan dan terjadi pertempuran sengit walaupun menang akhirnya, tapi ia pun
sudah kehabisan tenaga. Ketika hampir sampai di pondokan tiba-tiba dílihatnya
Bok-Wan-jin dan rombongannya sedang keluar, segera ia sembunyi di dekat situ
untuk mengawasi. Dan baru dia hendak mencari Tíng Pek-jwan dan lain-lain untuk
berunding, tiba-tiba dilihatnya Toan Ki dan Giok-yan juga telah kembali, lalu
ia menegur mereka.
Diam-diam Buyung Hok pikir
pelajar tolol ini rupanya benar-benar ingin memperistrikan piaumoai, dia adalah
adik angkat Siau Hong dan Hi-tiok, jika mereka benar-benar mau membantu untuk
mendapatkan putri Se He boleh tidak perlu disangsikan lagi. Karena itu segera
ia berkata, "Baiklah, waktu sudah mendesak marilah lekas kita berangkat ke
istana."
Di tengah jalan secara ringkas
ia ceritakan penyamaran Bok Wan-jing yang dilihatnya tadi. Maka Toan ki dapat
menerka sebagian apamaksud tujuan penyamaran Wan-jing.
Setiba di pondokan Buyung Hok,
sudah tentu Ting-Pek-jwan dan lain-lain sangat girang. Karena waktu sudah
mendesak buru-buru mereka ganti pakaian. Karena Giok-yan tak mau berpisah lagi
dengan Toan Ki, terpaksa Buyung Hok membiarkan nona itu ikut dengan menyaru
sebagai kaum lelaki.
Buru-buru mereka berangkat ke
istana. Setiba di sana pintu istana ternyata sudah ditutup, terpaksa Buyung Hok
mencari akal, ia mengajak kawan-kawannya mengitar ke samping istana, dari situ
mereka lantas melompat melintasi pagar tembok istana yang tinggi itu. Karena
sekarang iwekang Toan Ki sudah tambah hebat, maka dengan enteng dan gampang
sekali ia dapat melayang ke dalam lingkungan istana.
Mereka terus mencari tempat
perjamuan itu dengan ubek-ubekan di taman. Kebetulan waktu itu perjamuan juga
sudah bubar dan para tamu diundang oleh putri Bun-gi Kongcu ke Jing-hong-kok
untuk untuk minum teh maka dapatlah rombongan Toan Ki bertemu dengan rombongan
Bok Wan-jing ....
Begitu Siau Hong dan lain-lain
menjadi girang melihat Toan Ki sudah kembali dengan selamat. Dengan ikutnya
Toan Ki mereka tidak perlu kuatir rahasia akan terbongkar lagi.
Sesudah orang banyak menyusur
lewat taman yang luas itu, dari jauh tertampak sebuah gedung yang megah
menjulang di tengah pepohonan yang rindang. Setiba di depan gedung itu. segera
Helian Tiat-su berseru, "Para tamu agung sudah tiba untuk bercengkerama
dengan Kongcu!"
Ketika pintu terbuka,
keluarlah empat dayang keraton yang masing-masing membawa sebuah tenglong
(lampu barselubung kain), di belakang mereka adalah seorang pembesar wanita
berbaju ungu, katanya, "Atas kunjungan para paduka, Kongcu menyilakan
masuk untuk minum teh."
"Bagus, bagus! Memangnya
aku sudah haus!” segera Cong-can mendahului berteriak. Dan tanpa disilakan
untuk kedua kalinya, terus saja ia melangkah masuk ke dalam istana dengan
diikuti yang lain-lain dengan desak mendesak seakan-akan kuatir tidak mendapatkan
tempat yang baik yang lebih dekat dengan sang putri.
Sesudah masuk di dalam istana
itu, tertampak ruangan sangat luas, lantai ruangan dilapisi permadani berbulu
yang berajutkan bunga beraneka warna dengan indah. Banyak meja teh yang kecil
teratur memanjang dalam beberapa baris, di atas meja tertaruh mangkuk teh
bertutup dan berwarna-warni, setiap mangkuk bertutup itu didampingi pula sebuah
piring kecil berisi beberapa potongan panganan yang entah apa namanya. Dan di
depan sana tersedia sebuah bangku bundar berkasur sulam yang indah.
Semua orang menduga bangku itu
tentu tempat duduk sang putri. Karena itu mereka saling berebutan mendapatkan
tempat duduk yang berdekatan dengan bangku bundar itu. Hanya Toan Ki dan
Giok-yan saja dengan bergandengan tangan dan duduk dí suatu pojokan sambil
bicara dengan pelahan seakan-akan cerita mereka itu tidak habis-habis.
Sesudah semua orang mengambil
tempat duduk, kemudian pembesar wanita tadi mengetukkan sebuah palu kecil pada
sepotong "Hum-pan" (tembikar serupa baki dipakai penjual bakmi)
setelah berbunyi "tok-tok-tok” tiga kali, suasana dalam ruangan menjadi
hening sampai Toan-Ki dan Giok-yan juga terpaksa berhenti bicara dan menanti
keluarnya Bun-gi Kongcu, sang putri Se He.
Selang tidak lama,
terdengarlah suara "kelintang-kelinting", dari dalam muncul delapan
dayang berbaju hijau, mereka berdiri di kedua sisi. Sejenak pula seorang gadis
jelita berbaju hijau pupus keluar dengan langkah yang menggiurkan.
Seketika pandangan semua orang
terbeliak, perawakan gadis itu langsing ramping gerak-geriknya lemahlembut,
mukanya sangat cantik pula.
Diam-diam semua orang bersorak
memuji, "Orang mengabarkan kecantikan Bun-gi Kongcu tiada bandingannya,
nyatanya memang bukan omong kosong.”
Pangeran Cong-can dan Buyung
Hok mempunyai pikiran yang sama, yaitu takkan merasa kecewa bila dapat
memperistrikan sang putri cantik itu.
Anehnya putri cantik itu tidak
lantas düduk tapi ia maju ke depan bangku bundar tadi dan memberi hormat kepada
semua orang.
Waktu putri itu masuk, semua
orang berdiri untuk menyambut, maka sekarang banyak pula yang mulutnya
berkecek-kecek memuji kecantikan sang putri. Sebaliknya putri itu ternyata
sangat prihatin, sinar matanya tidak berkelíaran, matanya menatap ujung hidung
sendiri, nyata seorang gadis pingitan yang sangat sopan dan anggun. Karena itu
semua orang sampai tidak berani bernapas karas-keras, kuatir membikin kaget
sang putrì.
Sejenak kemudian, dengan muka
kemerah-merahan barulah putri itu berkata dengan pelahan, "Atas titah Tuan
Putri, para tamu agung disilahkan minum teh seadanya secara bebas."
Semua orang saling pandang
dengan terkesiap, Busyet jadi gadis jelita ini bukan Tuan Putri sendiri,
tampaknya hanya seorang dayang príbadi putri saja, Dan segera terpikir pula
oleh mereka, jika dayangnya saja secantik ini, maka sang putri entah betapa
cantiknya.
"Kiranya engkau bukan
Tuan Putri sendiri," Káta Cong-can segerà, "jika begitu, harap lekas
mengundang Tuan
Putri keluar.”
"Jika hadirin sudah minum
Tuan Putri akan mempermaklumkan sesuatu lagi,” ulas dayang cantik tadi.
"Bagus, bagus! Tuan Putri
ada pesan, sudah tentu akan menurut saja!"' seru Cong-can dengan tertawa.
Dan segera ia membuka tutup magnkuk yang berisi air teh itu, tanpa banyak omong
lagi ia tuang isi mangkuk itu ke dalam mulut dan dikunyah.
Kiranya pada masa dahulu,
menurut kebiasaan orang Turfan, mereka menyeduh daun teh dicampur dengan susu
dan gula atau garam, kalau minum sekaligus daun teh juga ikut dimamah dan
dimakan ke dalam perut. Ini adalah kebiasaan jadi bukan kelakuan kasar pangeran
Cong-can.
Sambil masih mengunyah daun
teh, segera pula Cong-Can jejal-jejalkan beberapa potong panganan tadi ke dalam
mulut, lalu berkata, "Nah, aku sudah makan banyak, bolehlah mengundang
keluar sang putrimu!”
Dayang itu mengiakan saja,
tapi tidak bergeser melangkah.
Cong-can tahu dia ingin tunggu
orang lain selesai minum baru mau pergi. Sudah tentu Cong-can menjadi gelisah
dan berulang-ulang mendesak orang lain agar lekas habiskan teh dan makannya.
Dengan susah payah menunggu
akhirnya selesai juga hadirin makan minum, lalu Cong-can tanya pula, "Nah,
jadi sekarang?"
Kembali muka si dayang cantik
merah jengah, sahutnya, "Sekarang Tuan Putri mengundang hadirin berkunjung
ke ruang dalam untuk menikmati lukisan dan tulisan."
"Hah, buat apa melihat
lukisan dan tulisan? Aku lebih suka melihat Tuan Putrimu!” seru Cong-can. Tapi
tidak urung ia ikut berdiri juga bersama orang banyak.
Diam-diam Buyung Hok
bergirang. "Sungguh sangat kebetulan. Resminya sang putri mengundang kàmi
menikmati lukisan dan tulisan, tapi sesungguhnya hendak menguji kepandaian
sastra kami. Orang kasar sebagai pangeran Cong-can itu sudah tentu tak becus
tentang lukisan dan syair apa segala. Kalau melulu menguji ilmü silat saja aku
pun lebih unggul daripada yang lain, apalagi sekarang sang putri hendäk menguji
kapändaian sastra, tentu saja kemenanganku menjadi lebih meyakinkan lagi."
Begitulah dengan berseri-seri
segera ia pun berdiri dan siap ikut dayang tadi ke ruangan dalam.
Tapi mendadak dayang itu
berkata pula, "Menurut titah Tuan putri, para nona yang menyamar sebagai
lelaki dan para tuan yang berusia lebih 40 tahun, semüanya disilahkan tinggal
dì istana Guh-hiang-wan ini untuk minum lagi. Sedang hadirin lain boleh ikut
masuk ke ruang dalam.”
Sungguh kejut sekali Bok
Wan-jing dan Ong Giok-yan ternyata penyamaran mereka sejak tadi sudah diketahui
orang.
Tiba-tiba terdengar seruan
seorang, "Bukan! Bukan!”
Kembali muka si dayang bersemu
merah, rupanya selama hidup ini dia selalu terkurung di tengah istana selain
kaum Thai-kam (dayang lelaki kebiri , orang kasim), selamanya tak pernah
bertemu dengan kaum lelaki yang sesungguhnya. Sekarang mendadak berhadapan
dengan kaum lelaki sebanyak ini, sudah tentu ia menjadi kikuk dan grogi.