Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 76-80

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 76-80 Sesudah merandek sejenak, lalu Siau Wan-san menyambung pula, "Seperti istriku telah dibunuh oleh Hian-Cu,
Sesudah merandek sejenak, lalu Siau Wan-san menyambung pula, "Seperti istriku telah dibunuh oleh Hian-Cu, Ong Kiam-thong dan lain-lain, hal ini juga bukan maksud mereka yang sebenarnya. Andaikan sengaja juga tidak perlu diherankan karena antara kedua bangsa memang sedang bermusuhan. Tetepi kamu sengaja memfitnah dan mengadu domba, kejahatanmu ini tak dapat diampuni.”

"O, jadi kalau menurut pendapat Siau heng, pertentangan di antara kedua Negara, baik dalam keadaan perang dan saling membunuh, yang diutamakan adalah mengalahkan musuh dan mencapai kemenangan, apakah tidak perlu menjaga kehormatan dan menjunjung keluhuran budi?" tanya Buyung Bok.

"Di medan perang boleh digunakan segala akal dan siasat untuk mengalahkan musuh, hal ini adalah jamak, buat apa kau bicara tentang urusan yang tiada sangkut-pautnya dengan perkara kita sekarang?”

Buyung Bok tersenyum, tiba-tiba ia Tanya pula, "Siau-heng, kau sangka aku Buyung Bok ini orang dari mana?"

"Koh-soh Buyung, siapa yang tidak kenal? adalah bangsa Han di daerah Kanglam, masakah perlu engkau menguji aku?" sahut Siau Wan-san.

"Hahaha justru salahlah sangkaan Siau-heng ini!” kata Buyung Bok sambil tertawa dan menggoyang kepala. Tiba-tiba ia berpaling kepada Buyung Hok dan berkata, "Nak, kita ini bangsa apa?"

"Keluarga Buyung kita adalah bangsa Sianbi, kerajaan Yan kita dahulu pernah mengguncangkan daerah sekitar Hopak dan mendirikan negeri yang jaya, cuma sayang musuh terlalu licin dan ganas sehingga kerajaan kita tertumbangkan,” demikian sahut Buyung Hok.

"Ayah sengaja memberikan nama 'Hok' (membangun kembäli) padamu, apakah artinya itu?" tanya Buyung Bok pula.

"Mungkin ayah ingin anak senantiasa ingat kepada pasan leluhur kita agar jangan lupa berusaha membangun kembali kerajaau Yan kita." sahut Buyung Hok.

"Coba keluarkan cap mustika kerajaan kita dan perlihatkan kepada Siau-siansing berdua," kata Buyung Bok.

Buyung Hok mengiakan dan mengeluarkan sebuah cap ukiran dari batu kemala hitam persegi. Di atas cap kemala itu terukir seekor macan tutul yang sangat indah. Ketika Buyung Hok mengangkat capnya, maka tertampaklah huruf-huruf yang terukir pada cap itu.

Dengan pandangan yang tajam segera Siau Wan-san, Siau Hong dan Cumoti dapat melihat bahwa pada setempel itu terukir tulisan "Pusaka Raja Yan" Mungkin sudah terlalu tua setempel itu sehingga bagian ujung kelihatan gumpal sedikit. Tapi terang bukan barang buatan baru walaupun susah dibedakan tulen atau palsunya.

Lalu Buyung Bok berkata pula, "Coba keluarkan sekalian daftar silsilah kerajaan Yan kita agar dibaca Siausiansing." Kembali Buyung Hok mengiakan. Ia simpan dulu setempelnya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan sehelai kain minyak, dari dalam bungkusan la keluarkan sehelai kain sutra kuning yang tertampak tertulis dua macam huruf. Yang sebelah kanan hurufnya tak dikenal mungkin tulisan Sianbi, Tapi huruf sebelah kiri adalah tulisan Han yang jelas tertera nama-nama raja kerajaan Yan dimulai sejak cikal-bakal mereka dan pada baris yang terakhir terbaca nama "Buyung Hok," di atas nama Buyung Hok tertampak pula tertulis nama "Buyung Bok.”

"O, jadi Buyung-siansing sebenarnya adalah pangeran kerajaan Yan, maafkan bila aku bersikap kurang hormat," kata Cumoti.

"Ah, aku sendiri dapat selamat sampai sekarang sudah terhitung untung," ujar Buyung Bok dengan menghela napas. "Siau heng, sesuai dengan pesan leluhur maka jika keluarga Buyung dari Sianbi kami ingin membangun kembali kerajaan Yan, menurut pendapatmu usaha kami ini pantas atau tidak?"

"Yang menang menjadi raja, yang kalah menjadi penyamun, setiap ksatria ada hak buat berebut kemenangan, kenapa mesti tanya tentang pantas dan tidak!" sahut Wan-san.

"Bagus! Ucapan Siau-heng ini sangat cocok dengan pikiranku," ujar Buyung Bok. "Jadi kalau keluarga Buyung kami ingin membangun kembali kerajaan Yan, untuk itu dengan sendirinya diperlukan kesempatan yang baik. Mengingat kekuatan kami terlalu lemah dan orang kami terlalu sedikit untuk membangun kembali suatu negara sudah tentu amat sukar. Dan kesempatan satu-satunya yang terbuka adalah bilamana dunia ini kacau-balau bila di seluruh pelosok terjadi peperangan.

"Hm, jadi kau sengaja membuat berita palsu untuk mengadu domba, maksud tujuanmu supaya Song dan Liau berperang dan kaupun akan dapat mengaduk di air keruh?" jengek Siau Wan-san.

"Benar," jawab Buyung Bok, "kalau terjadi peperangan antara Song dan Liau, maka kerajaan Yan akan mendapat kesempatan untuk bergerak."

"Ya. jika terjadi seperti apa yang digambarkan Buyung-slansing, maka bukan saja kerajaan Yan ada harapan dibangun kembali, bahkan kerajaan Turfan kami juga dapat membagì sedikit rejeki," ujar Cumoti.

Namun Siau Wan-san lantas mendengus dan melirik kedua orang itu dengan menghina.

Tapi Buyung Bok berkata pula, "Putramu menjabat Lam-ih Tai-ong di negeri Lian, dia memegang kekuasaan militer yang besar dan berkedudukan di Lamkhia. Jika dià mengerahkan pasukannya ke selatan dan menduduki daerah utara lembah Hongho, maka maju setindak lagí dia dapat mengangkat diri sendiri sebagai raja, kalau tidak ia pun akan tetap disegani oleh raja Liau. Tatkala mana dia akan sekaligus dapat menumpas kaum ksatria Tionggoan seperti menginjak semut mudahnya, dengan demikian dapatlah dia melampiaskan dendamnya waktu dipecat dan diusir oleh orang Kai-pang."

"Huh, maksudmu kau ingin anakku berjuang bagimu agar kau sempat menggagap ikan di air keruh dan mambantu ambisimu yang besar untuk membangun kembali kerajaan Yan." jengek Siau Wan-san.

"Betul," kata Buyung Bok. "Dan bila sudah begitu, maka pasukan kami akan dapat bergerak dan membantu pihak Lian, malahan Turfan, Se he dan Taìli juga dapat bergerak sekaligus, berlìma negara dapat membagi-bagi kerajaan Song sebaliknya takkan merugikan kerajaan Liau, bahkan menguntungkan, masa Siau-heng tidak mau?"

Bicara sampai di sini, mendadak Buyung Bok mengeluarkan Sebilah belati yang mengkilat terus ditancapkan di atas meja sebelahnya, lalu berkata pula, "Nah. asal Siau-heng mau menerima usulku ini, maka boleh silakan segera mencabut nyawaku untuk membalaskan sakit hati nyonya, untuk itu sama sekali aku takkan melawan."

Dan "bret", berbareng ia robek baju sendiri sehingga kelihatan dadanya.

Uraian Buyung Bok itu sungguh di luar dugaan Siau Wan-san dan Siau Kong. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa dalam keadaan yang menguntungkan bagi pihaknya itu Buyung Bok terima dibunuh tanpa, melawan. Maka untuk sesaat Siau Wan-san berdua menjadi bingung dan tak dapat menjawab.

Tiba-tiba Cumoti berkata, "Buyung-siansing, kata pribahasa, kalau bukan bangsa sendiri tentu pikirannya tidak sama. Apalagi urusan kenegaraan seharusnya tidak segan-segan main muslihat dan buat licin. Jika Buyungsiansing nanti meninggal dengan sukarela, sebaliknya ayah dan anak she

Siau itu tidak menepati janji bukankah kematianmu menjadi sia-sia belaka?"

"Siau-heng sudah mengasingkan diri selama berpuluh tahun dan baru sekarang muncul di dunia ramai tapi putranya, Siau-taihiap adalah seorang ksatria termashur, namanya terkenal di seluruh jagat, kata-katanya seperti emas, mana bisa mereka ingkar janji?" ujar Buyung Bok. "Sedangkan untuk seorang nona cilik yang bukan sanak dan bukan kadang saja dia sudi berkorban dan menghadapi bahaya, masakah sekarang dia mau ingkar janji sesudah membunuh aku? Sudah lama kuperhitungkan kejadian ini usiaku sudah lanjut dengan jiwaku yang sudah lapuk ini untuk menukar tahta, kesempatan baik ini tidak boleh kusia-siakan!"

Melihat kesungguhan Buyung Bok itu, untuk sejenak Siau Wan-san menjadi ragu. Ia tanya Siau Hong, "Anakku, tampaknya orang ini bersungguh-sungguh. Bagaimana dengan pendapatmu?"

"Tidak boleh jadi!" sahut Siau Hong sambil mendadak memukul ke arah meja. "Brak", meja itu pecah berantakan dan belati yang menancap di atasnya menembus papan loteng dan jatuh ke tingkat bawah Congkeng-kok itu. Lalu katanya dengan kereng, "Sakit hati terbunuhnya ibu mana boleh dijual-belikan? Kalau dapat dibalas harus dibalas, kalau tidak dapat balas biarlah jiwa kita ayah dan anak tamat di sini pula. Perbuatan yang kotor dan rendah masakah sudi dilakukan oleh kami ayah dan anak keluarga Siau?"

Sekonyong-konyong Buyung Bok terbahak-bahak sambil menengadah, katanya, "Sudah lama kudengar kepandaian Siau-taihiap tiada bandingannya dan mempunyai pengetahuan yang luas, siapa tahu hanya seorang yang sok gagah belaka dan tidak kenal akan kebaikan, Hehe, sungguh menggelikan, hehe, sungguh mentertawakan!"

Siau Hong tahu orang sedang menyindirnya, namun tetap jawabnya dengan dingin, "Baik Siau Hong seorang ksatria atau seorang bodoh, pendek kata tidak sudi diperalat untuk memenuhi cita-citamu."

"Kauterima gaji rajamu dan harus setia pada kerajaanmu, tapi kamu cuma ingat pada sakit hati orang tua dan tidak pikirkan kesetiaan kepada negara, apakah kalian sudah memenuhi kewajibanmu sebagai pengabdi kerajaan Liau?” tanya Buyung Bok.

Sambil melangkah maju setindak Siau Hong menjawab dengan bersitegang, "Apakah kau pernah menyaksikan saling membunuh secara kejam di daerah perbatasan antara rakyat Song dan Liau? Apa pernah kau lihat keluarga rakyat kedua negeri tercerai-berai oleh karena peperangan? Syukurlah di antara kedua negara telah berhenti perang selama beberapa puluh tahun, bila sekarang mulai perang lagi, sekali pasukan berkuda Cidan memasuki wilayah Song, apakah kau dapat membayangkan betapa banyak orang Song akan menjadi korban mencara mengerikan?"

Berkata sampai di sini ia lantas ingat kejadian bunuh membunuh secara kejam antara prajurit Song dan Liau tatkala mereka mengadakan "panen", maka dengan suara makin lantang Siau Hong menyambung pula, "Padahal prajurit Song berjumlah banyak dengan kekayaan alam yang cukup pula asal mereka mendapat pimpinan panglima yang pandai dan melabrak kita sekuatnya tidak mungkin kita dapat menang biarpun kita bergabung menjadi satu. Dan banjir darah demikian itu hasilnya akan memberi kesempatan kepada keluarga Buyung kalian untuk membangun kembali kerajaan Yan, sungguh enak betul perhitunganmu ini?"

"Siancai! Siancai!" demikian tiba tiba terdengar suara seorang tua menyela di luar jendela. "Siau-kiau memiliki hati bijak dan pikiran bijaksana sungguh seorang ksatria sejati."

Keruan kelima orang yang berada dalam kong-keng-kok itu terkejut. Mereka tergolong tokoh-tokoh kelas wahid tapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela ada orang mengintip pembicaraan mereka.

Maka Buyung Hok segera membentak, "Siapa itu?"

Bareng ia terus menghantam sehingga kedua sayap daun jendela terpental dan jauh di bawah talang. Maka tertampaklah di serambi sana seorang padri kurus kering berjubah warna kelabu, sedang menyapu dengan membungkuk. Usia padri itu sudah lanjut, rambutnya jarang dan putih seluruhnya, gerak-geriknya lugas lamban seperti tak bertenaga dan tampaknya tidak mahir ilmu silat.

"Sudah berapa lama kau sembunyi di sini?” kembali Buyung Hok menegur.

Pelahan padri tua itu mengangkat kepalanya dia menjawab, "Apakah Sicu tanya padaku sudah .... sudah betapa lama sembunyi di sini!"

Dari suaranya semua orang yakin padri inilah yang bersuara memuji ucapan Siau Hong tadi. Tertampak kedua matanya menyipit dengan sinar mata yang buram tanpa semangat.

"Ya, sudah berapa lama kau sembunyi di sini?" demikian Buyung Hok mengulangi pertanyaannya.

Maka padri tua itu menekuk-nekuk jarinya, sesudah menghitung sekian lamanya, akhirnya dia geleng kepala sambil berkata dengan mengunjuk rasa menyasal, "Wah, aku .. aku sudah lupa, entah sudah 42 tahun atau 43 tahun. Aku masih ingat ketika malam pertama Siau-lokian ini datang membaca kitab ke sini, tatkala itu aku ... aku sudah belasan tahun berada di sini. Kemudian .... kemudian Buyung lokian juga datang dan tahun yang lalu itu padri Thian-tiok yang bernama Polo Singh juga datang kemari buat mencuri kitab, Ah, yang satu pergi dan yang lain datang lagi sehingga kitab seluruh gedung ini entah diobrak-abrik tak karuan entah apa yang dikehendaki kalian ini."

Kaget Siau Wan san tak terperikan. Padahal ia yakin tiada seorang pun tahu ketika dia menyeludup ke dalam Siau-lim-si untuk memperdalam ilmu silat mengapa padri tua ini dapat mengetahuinya? Barangkali di bawah tadi padri ini telah mendengar pembicaraanku dan sekarang sengaja ngaco belo saja. Maka ia lantas berkata, "Tapi mengapa selama ini aku tidak pernah melihat dirimu?"

"Dengan penuh perhatian Siau kisu sedang mempelajari ilmu sakti Siau lim pai dengan sendirinya engkau tidak memperhatikan diriku." Sahut padri tua itu, "Malahan aku masih ingat pada malam pertama itu kitab yang dipinjam baca oleh Siau-kisu kalau tidak salah adalah 'Bu-siang-hiat-ci-boh'. Dan ai, sejak malam itu Siau-kisu lantas tersesat ke jalan yang salah. Sayang, Sungguh sayangl"

Sungguh kaget Siau Wan-san tidak kepalang, sebab apa yang dikatakan padri tua itu memang benar, kitab pertama yang dibacanya dari gedung perpustakaan pada malam pertama itu memang betul adalah 'Bu-siang hiat-ci-boh’. Padahal waktu itu tiada orang lain yang tahu, masakah waktu itu padri tua ini juga berada di sini dan menyaksikan sendiri? Begitulah untuk sekian lama Siau Wan-san sampai ternganga dan tidak sanggup bicara.

Lalu padri tua itu berkata pula, "Waktu Siau-kisu datang lagi dan kitab yang dipinjam adalah 'Pau-yak-ciang hoat'. Padahal sebelumnya sengaja kutaruh sejilid kitab 'Hoat-hoa keng' (nama kitab Budha) di tempat yang suka digerayangi olehmu dengan harapan isinya dapat dibaca dan dipahami olehmu, tak terduga Siau-kisu sudah tenggelam dalam ilmu silat sehingga sama sekali mengesampingkan ajaran-ajaran Budha yang murni dan yang diutamakan adalah kitab ajaran ilmu silat, sesudah mengambil lagi 'Hok-mo siang-hoat' engkau lantas pergi dengan gembira. Ai, orang yang sudah tersesat entah kapan baru akan sadar kembali?"

Kerana setiap tingkah-lakunya di Cong-keng-kok ini pada 30 tahun yang lalu telah diuraikan padri tua itu dengan tidak salah sedikit pun, dari kaget pelahan Siau Wan-san menjadi takut dan dari takut menjadi ngeri sehingga keluar keringat dingin.

Kemudian padri tua itu berpaling ke arah Buyung Bok. Melihat sinar mata padri yang buram tapi seakan-akan gaib dan dapat menembus isi hatinya, setiap rahasia seakan-akan telah diketahuinya dengan jelas mau-tak-mau Buyung Bok merasa merinding juga.

Maka terdengar padri tua itu berkata lagi dengan menghela napas, "Buyung kisu meski orang Sianbi, tapi turun temurun sudah menetap di Kang lam, semula kukira Buyung-kisu tentu akan mempelajari kitab Budha yang berada di sini, tak tersangka baru menemukan sejilid Ciam-hoa-ci-hoat dan Buyung-kisu lantas girang sekali seperti mendapat mustika."

Sungguh kejut Buyung Bok tak terkatakan sebab kitab pertama yang dibacanya dalam gedung ini pada pertama kali ia datang memang betul adalah 'Ciam hoa-ci' seperti dikatakan padri tua itu. Padahal waktu itu ia telah

periksa gedung itu dia tidak menemukan orang kedua mengapa padri tua ini dapat mengetahuinya? Ia dengar padri tua berkata pula, "Malahan hati Buyung-kisu jauh lebih serakah daripada Siau kisu. Kalau Siau kisu cuma mempelajari cara-cara mengatasi ilmu silat Siau-lim pai sebaliknya Buyung kisu menguras seluruh ke 72 macam ilmu silat biara kami dan tiga tahun kemudian barulah kau datang lagi ke sìnì. Tentu selama tiga tahun itu engkau berusaha sebisanya untuk mamahami ke 72 macam kepandaian itu boleh jadi sudah kau ajarkan pula kepada putramu."

Sampai di sini sinar matanya lantas beralih ke arah Buyung Hok, tapi cuma sekejap saja lantas menggeleng kepala. Ketika la memandang Cumoti, tiba-tiba ia mengangguk dan berkata, "O. tahulah aku! Rupanya usia putramu masih terlalu muda sehingga tidak dapat mempelajari kungfu Siau-lim pai yang hebat itu, maka telah kau ajarkan kepada seorang padri agung negeri lain. Tai-lun Beng-ong, engkau salah sama sekali, engkau telah mencampur aduk dan memutarbalikan kungfu itu, maka sekarang bencana sudah berada di depan mata."

Cumoti tidak pernah kenal padri tua itu, dengan sendirinya la tidak gentar padanya. Maka dengan sikap dingin ia menjawab. "Kau bilang campur aduk putar balik serta bencana apa segala? Ucapan Taisu ini apakah tidak terlalu dlbesar-besarkan untuk menakut-nakuti?”

"Tidak, bukan sengaja dibesar-besarkan dan untuk menakuti, tapi sesungguhnya," sahut si padri tua. "Bengong. harap kau kembalikan saja kitab Ih-kin-keng itu padaku."

Baru sekarang Cumoti terperanjat, la heran dari mana padri tua ini mengetahui dia telah merebut 'Ih-kin-keng' dari orang berkepala besi (Goan-ci) itu? Masakah begitu gampang aku disuruh menyerahkan padamu? Maka ia sengaja menjawab, "Aku tidak paham 'Ih-kin-keng' apa yang Taisu maksudkan? Entah kitab apakah itu?”

Maka padri tua itu berkata pula. "Tujuan murid Budha belajar ilmu silat adalah untuk kesehatan badan, untuk membela agama dan membasmi kejahatan, dalam mempelajari setiap macam ilmu silat harus selalu berdasar pada pikiran kebajikan dan welas asih. Kalau dasar pengetahuan agama Budha belum kuat, maka pada waktu belajar silat tentu akan merusak dirinya sendiri. Semakin tinggi ilmu silatnya semakin berat luka badannya. Kalau yang dipelajari hanya ilmu pukulan dan tendangan atau permainan senjata kasaran saja memang tidak besar merugikan diri sendiri asal badan sehat dan kuat masih dapat bertahan, tetapi .... "

Sampai di sini, tiba-tiba dari bawah loteng melompat naik beberapa hwesio. Mereka adalah Hian-seng dan Hian-peng dari Siau-lim-pai, di belakangnya adalah Sin kong Sian-jin. To-Jing Taisu. Polo Singh dan Cilo Singh dan paling akhir adalah Hian cin dan Hian-ceng.

Mereka terheran-heran ketika melihat Siau Wan-san dan anaknya. Buyung Bok dan anaknya serta Cumoti sedang mendengarkan pembicaraan seorang hwesio tua yang tak dikenal. Tapi mereka adalah padri saleh dan berpengelaman mereka tidak lantas mengganggu melainkan berdiri di samping untuk ikut mendengarkan apa yang dibicarakan.

Padri tua itu pun tidak menghiraukan para pendatang baru itu, la masih meneruskan uraiannya, "Tetapi kalau yang dipelajari adalah ilmu silat Siau-lim-pai kami yang tertinggi sebangsa Ciam-hoa-ci-hoat. Pan-yah-cianghoat dan lain-lain jika ajaran itu tidak dibarengi dengan pengetahuan ajaran Budha yang welas-asih, maka akhirnya sifat keras dan angkuh akan merasuk semakin mendalam dan jauh lebih celaka daripada terserang oleh segala macam senjata atau racun ..."

Semua orang merasa ucapan padri tua itu, mengandung falsafah yang dalam sehingga mereka sangat tertarik.

Maka padri itu melanjutkan, "Sudah ribuan tahun sejarah Siau-lim-si kami dan dari dahulu kala hingga sekarang hanya Tat-mo Cosu seorang saja yang serba pandai dalam macam-macam ilmu selain beliau tidakpernah ada lagi. Kitab ke-72 macam ilmu silat itu selalu berada dalam gedung ini dan selamanya terbuka untuk dibaca anak murid Siau-lim-pai. Apakah Beng-ong tahu apa sebabnya?"

"Itu adalah urusan dalam biara kalian sendiri dari mana orang luar bisa tahu?" sahut Cumoti.

Cian-seng, Hian-ceng dan lain-lain menjadi heran pula. Kalau melihat dandanan padri tua ini jelas dia adalah padri pekerja Siau-lim-si tapi mengapa mempunyai pengetahuan agama sedalam itu.

Hendaknya diketahui bahwa padri pekerja di Siau-lim si itu tidak diharuskan mengangkat guru? maka juga tidak mendapat didikan ilmu silat. Tugasnya adalah mengerjakan segala pekerjaan kasar seperti menyapu, mencuci dan sebagainya. Mereka tidak termasuk dalam murid-murid angkatan Hian

Hui, Hi dan Khong maka dengan sendirinya Hian-seng dan padri agung lain tidak kenal padri tua ini.

Dalam pada itu si padri tua telah melanjutkan uraiannya, "Ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si kami semuanya dapat melukai dan membunuh orang, lihai dan ganas, sebab itulah tiap-tiap macam ilmu silat itu harus disertai dengan ajaran agama Budha adalah menolong sesamanya, sebaliknya ilmu silat justru digunakan untuk membunuh sesamanya, keduanya saling bertentangan. Maka harus diusahakan semakin tinggi agamanya, semakin besar pikiran welas-asihnya, dengan demikian barulah ilmu silat dapat diyakinkan dengan semakin tinggi, namun para padri saleh yang sudah mencapai tingkatan demikian tentu juga tidak sudi lagi mempelajari ilmu membunuh lain yang lihai.”

"Omitohud! Mendengar uraian Taisu ini baru sekarang pikiran Siauceng terbuka," demikian kata To-jing Taisu sambil memberi hormat.

"Ah, itu cuma sedikit pendapatku yang Cupet, jika salah masih diharapkan petunjuk dari kalian," sahut si padri

tua.

"Harap Taisu sudi memberi ceramah püla," kata hadirin yang lain.

Sebaliknya Cumoti sedang berpikir, "Ke-72 macam Ilmu silat Siau-lim-pai itu telah dicuri oleh Buyung siansing dan disebarkan keluar, tapi sekarang mereka menggunakan seorang padri tua untuk main sandiwara dan membikin takut orang lain supaya tidak berani meyakinkan ilmu silat sakti mereka, Hehe, manakah aku Cumoti dapat ditipu segampang ini?"

Terdengar si padri tua sedang berkata pula, "Di dalam Siau-lim-si kami dengan sendirinya juga terdapat satudua orarg yang terlalu kemaruk kepada Ilmu silat dan melupakan pelajaran agama sehingga akhirnya Cai-hwejip-mo (tersesat dan membakar diri sendiri) atau terluka dalam lumpuh dan tak bisa disembuhkan. Dahulu Hian-ting Taisu yang berbakat Itu dalam semalaman urat nadinya mendadak putus semua sehingga menjadi cacat untuk selamanya. Sebabnya adalah akibat seperti apa yang kukatakan tadi."

Tiba-tiba Hian-seng dan Hian-peng berlutut dan memohon, "Taisu, apakah hian-ting Sute dapat ditolong?"

"Sudah terlambat, tak bisa ditolong lagi," sahut padri tua itu. "Waktu Hian-ting Taisu memperdalam ilmu silatnya dì sini, berulang kali pernah kuperingatkan dia tapi dia tetap tak sadar. Sekarang urat-nadinya sudah putus, cara bagaimana bisa ditolong?”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara pelahan 'crit crit-crit" tiga kali, habis itu lantas tak terdengar apa-apa lagi.

Hian-seng dan lain-lain tahu itulah ilmu jari Bu-siang-hiat-ci golongan sendiri, maka mereka lama memandang ke arah Cumoti. Air muka padri asing itu kelihatan agak berubah, tapi sengaja tersenyum-senyum seperti titdak terjadi apa-apa.

Rupanya semakin mendengarkan uraian si padri tua tadi, semakin penasaran rasa hati Cumoti. Ia sendiri sudah mempelajari ke-72 macam ilmu sakti Siau-lim-pai itu, Mengapa urat-uratnya tidak putus dan menjadi orang cacat? Maka diam-diam ia melancarkan serangan "Bu-siang-jiat-ci" ke arah padri tua itu.

Tak terduga tenaga jarinya cuma berhenti di depan tubuh padri itu seakan-akan terbentur oleh selapis dinding baja yang maha kuat dan tak kelihatan, lalu tenaga tutukannya hilang sirna. Keruan Cumoti terkejut, baru sekarang ia percaya padri tua ini memang luar biasa dan bukan sengaja hendak menggertak saja.

Namun padri tua itu anggap serangan Cumoti itu seperti tidak terjadi, la masih berkata kepada Hian-seng dan Hian-pang, "Harap kedua Taisu berbangkit. Aku sendiri adalah petugas dalam Siau-lim-si, mana berani menerima penghormatan kedua Taisu seperti ini?"

Seketika Hian-seng berdua merasa seperti diangkat oleh suatu kekuatan yang tak kelihatan sehingga mau-takmau mereka berbangkit, anehnya sedikit pun tidak kelihatan padri tua itu bergerak. Karuan mereka terperanjat atas kesaktian padri tua itu.

Padri tua melanjutkan uraiannya, "Ke-72 macam ilmu silat Siau-lim si kita seluruhnya terbagi dalam hal dayaguna. Yang dikatakan daya adalah kekuatan badaniah, dan guna adalah cara menggunakannya. Seperti Tai-lun Beng-ong dan kedua Polo dan Cilo Suheng dari Thian-tiok, pada badan mereka sendiri memang sudah memiliki kekuatan iwekang yang tinggi maka yang dipelajarinya dari biara kita hanya cara menggunakan ke72 macam ilmu itu saja walaupun juga membahayakan, tapi sementara ini masih tidak kelihatan. Yang diyakinkan Beng-ong sendiri bukankah 'Siau-bu-siang-kang' dari Siau-yau-pai?”

Kambali Cumoti terkejut, dia mencuri belajar 'Siau-bu-siang kang' dari Siau-yau-pai, hal ini sama sekali di luar tahu orang, mengapa padri tua itu bisa tahu? Tapi lantas teringat olehnya, "Ah, tadi Hi-tiok bertempur denganku, yang dia gunakan juga Siau-bu-siang-kang. Besar kemungkinan Hi-tiok yang memberi tahu padanya, kenapa aku mesti heran?"

Karena itu Cumoti lantas menjawab, "Meski Siau-bu-siang-kang berasal dari golongan To, tapi paling akhir ini murid agama Budha banyak yang mempelajarinya, maka ilmu ini boleh dikatakan mencakup ajaran golongan To dan Bud. Malahan dalam Siau-lim-si kalian sendiri juga terdapat ahli ilmu itu."

"O, jadi dalam Siau-lim-li juga ada yang mahir 'Siau-bu-siang-kang’? Baru sekarang kudengar," kata si padri tua dengan terheran-heran.

Cumoti tidak menjawab lagi, tapi diam-diam ia menganggap padri tua itu pandai main sandiwara dan pura-pura tidak tahu.

Maka padri tua itu berkata pula, "Ilmu Siau-bu-siang-kang memang sangat bagus dan sangat luas, dangan menggunakan ilmu ini sebagai dasar akan dapat menggunakan ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si kita. Cuma pada bagian yang paling penting dengan sendirinya akan kentara ada sedikit kejanggalannya."

Mendengar Keterangan ini, segera Hian-seng berpaling kepada Cumoti dan berkata, "Jadi Beng-ong mengaku mahir ke-72 macam ilmu sakti Siau-lim-pai kami, kiranya begitulah cara kemahiranmu?"

Namun Cumoti hanya tersenyum saja tanpa menjawab sindiran itu.

Dalam pada itu si padri tua telah meneruskan. "Bila Beng-ong cuma mempelajari cara menggunakan ke 72 macam ilmu silat itu, maka bahayanya tentu juga tidak seberapa dan tak sampai membahayakan jiwa. Tapi saat ini 'Seng-Cu-hiat' di badan Beng-ong telah timbul bintik merah dan bagian 'Bi-olong-hiat' kentara agak gemetar, dari tanda-tanda ini terang setelah Beng-ong mempelajari ke-72 macam ilmu silat kami, lalu secara paksa menyakinkan pula lwekang 'lh-kin-keng' …..”

Sampai di sini mendadak ia berhenti dari sorot matanya tampak sekali dia merasa sangat sayang dan kasihan kepada orang yang bersangkutan.

Tiba-tiba Cumoti ingat sejak dapat merebut Ih-kin-keng dari tangan si kepala besi karena tahu kitab itu adalah kitab pusaka dunia persilatan, maka la lantas melatihnya dengan giat. Tapi meski sudah dilatih ke sana dan ke sini tetap tiada kemajuan. Namun dia tidak putus asa, la anggap kitab pusaka yang namanya sederajat dengan Lak-meh-sin kiam di negeri Tayli itu tentu tidak dapat dipahami dalam waktu singkat maka dia mempelajarinya dengan lebih tekun.

Sampai akhirnya la mulai merasa pikirannya menjadi gelisah dan tidak tentram, semakin dilatih semakin tak keruan jentrungannya. Jika demikian apakah yang dikatakan padri tua ini memang ada benarnya. Apa latihanku sudah campur-aduk dan terjungkir balik dan dalam waktu tingkat akan membahayakan diriku sendiri? Tapi lantas terpikir olehnya mungkin padri tua ini sengaja menakut-nakuti saja, kalau masuk perangkapnya maka tamatlah namaku yang tersohor selama ini. Karena itu ia tidak ambil pusing lagi terhadap ucapan si padri tadi.

Dalam pada itu si padri tua sedang menatap padanya dengan penuh perhatian mula-mula ia lihat air muka Cumoti mengunjuk rasa kejut, lalu kuatir tapi kemudian mengangkat kening seakan tidak percaya pada apa yang dikatakannya itu. Maka padri tua memhela napas pelahan, lalu bertanya kepada Siau Wan san "Siau-kisu paling akhir ini apakah kedua hiat-to di bagian perutmu ada rasa sakit?”

Seketika badan Siau Wan-san tergetar, sahutnya cepat, "Ya, penglihatan Taisu memang sangat jitu memang begitulan halnya."

"Dan di bagian Koan-goan hiat yang mulai kaku dan mati rasa itu bagaimana keadaannya sekarang?" tanya pula si padri tua.

Siau Wan san tambah terkejut, sahutnya, "Tempat yang kaku dan mati rasa ini mula-mula cuma sebesar mata uang, sesudah sepuluh tahun kini telah berubah menjadi sebesar mulut mangkok."

Mendengar itu, tahulah Siau Hong bahwa tanda-tanda yang timbul pada hiat-to di badan ayahnya adalah akibat melatih ilmu sakti Siau-lim-pai itu. Dan dari nada ucapan sang ayah agaknya gangguan-gangguan itu sudah berlangsung beberapa tahun lamanya dan tetap sukar lenyap sehingga menjadikan kekuatiran besar bagi keselamatannya. Jika demikian, apa alangannya kalau kiranya sekarang memohonkan pertolongan kepada padri tua itu atas diri sang ayah?

Begitulah, maka Siau Hong lantas melangkah maju dan berlutut dihadapan si padri tua sambil berkata, "Jika Sinceng (padri sakti) sudah tahu akan sumber penyakit ayahku, mohon welas-asih Sinceng agar suka memberi pertolongan."

"Silakan bangun, Siau-kisu," kata si padri tua. "Jiwa Siau-kisu terlalu bajik dan luhur, selalu mengutamakan kepentingan sesamanya, engkau tidak mau menggunakan permusuhan pribadi untuk membikin susah rakyat kedua negeri, atas keluhuran budi Siau-kisu ini, permintaan apa pun juga pasti akan kupenuhi dengan baik. Maka tidak perlu banyak adat."

Siau Hong sangat girang, sesudah menyembah pula dua kali barulah ia berbangkit, Lalu padri tua itu bicara pula. "Siau-lokisu sudah terlalu banyak membunuh orang dan memperlihatkan korban orang yang tak berdosa, seperti

Kiau Sam-hoai suami istri dan Hian kok Taisu, mestinya mereka tidak boleh dibunuh."

Sebagai seorang ksatria Cidan, meski usianya sekarang sudah tua, tapi jiwa Siau Wan-san yang gagah perwira tetap tidak berkurang, demi mendengar dirinya dicela, segera ia menjawab, "Aku pun tahu lukaku terluka parah, tapi usiaku sudah lanjut, putraku sudah jadi omong, biarpun aku akan mati, apa yang mesti kusesalkan? Tapi kalau Sinceng ingin aku mengaku salah, itulah tidak boleh jadi."

"Tidak berani kuminta Siau-sicu mengaku salah, semua luka yang diderita Siau-kisu itu adalah lantaran menyakinkan ilmu silat Siau-lim-pai, untuk bisa sembuh harus mencari obatnya di dalam ajaran Budha," berkata sampai di sini tiba-tiba padri tua itu menoleh kepada Buyung Bok dan melanjutkan pula, "Buyung-kisu memandang kematian sebagai pulang ke asalnya dan dengan sendirinya aku tidak perlu banyak omong. Ketemu kalau kuberi petunjuk jalannya sehingga Buyung-kisu terhindar dari siksaan seperti ditusuk jarum setiap hari tiga kali yang timbul dari Yang-pek, Liau-coan dan Hong-hu-hiat, lantas bagaimana Buyung sicu akan bicara?"

Air muka Buyung Bok berubah hebat sehingga badan gemetar. Memang ketiga hiat-to yang disebut itu pada tiap-tiap hari waktu pagi, siangdan petang selalu menderita kesakitan bagai ditusuk jarum. Rasa sakit itu makin lama makin hebat dan tidak dapat disembuhkan dengan obat apa pun. Bahkan kalau sedikit mengerahkan tenaga, seketika rasa sakit seperti ditusuk jarum itu semakin merasuk ke tulang sumsum, karena itulah sudah lama ia kehilangan gairah untuk hidup terus. Makanya dia rela mati untuk menukar syarat perjanjian dengan Siau-heng, walaupun katanya demi membangun kembali kerajaan Yan mereka, tapi sebagian besar juga

lantaran dia telah menderita penyakit payah itu dan benar-benar membuatnya bosan hidup.

Sekarang mendadak didengarnya padri tua itu menyebut sumber penyakitnya dengan jitu, karuan kagetnya tak terkirakan dan membikin hatinya menjadi tak karuan. Seketika ia merasa penyakit ketiga hiat to yang disebut tadi kerasa kembali. Padahal waktu itu mestinya belum tiba waktunya penyakit itu kumat, tapi karena guncangan perasaan sehingga menimbul kembali penyakitnya yang sudah ditahan itu.

Tapi sebagai seorang tokoh nomor wahid, sudah tentu Buyung Bok cc|jgan memohon pertolongan kepada seorang pedri tua yang tak terkenal itu. Maka dengan sekuatnya ia mengertak gigi untuk menahan rasa tersksa itu.

Buyung Hok cukup kenal watak sang ayah yang suka menang dan tidak mau mengalah itu, lebih suka terbunuh daripada dihina di depan umum. Maka ia lantas melangkah maju, ia memberi hormat kepada Siau Hong dan ayahnya sambil berkata, "Selama gunung tetap menghijau dan air sungai tetap mengalir, biarlah sementara ini kami mohon diri dulu. Jika kalian tetap ingin menuntas balas kepada kami ayah dan anak, maka kami akan menantikan kedatangan kalian di tempat kediaman kami di Koh-soh."

Habis itu la lantas gandeng tangan ayahnya dan mengajak meninggalkan gedung itu.

"jadi begitu tega kau biarkan ayahmu tetap menderita siksaan penyakit jahat itu?" tanya padri tua.

Wajah Buyung Hok tampak pucat pasi, ia tidak menjawab, ia tarik tangan ayahnya dan segera hendak bertindak pergi.

"Nanti dulu!" bentak Siau Hong mendadak "Apakah kalian hendak merat dengan begini saja. Masakah di dunia ini ada perkara seenak ini? Kalau ayahmu menderita penyakit, seorang laki-laki sejati tidak nanti menyerang orang yang sedang terancam bahaya, maka bolehlah dia dilepaskan. Tapi kau sendiri kan sehat dan kuat!"

Buyung Hok menjadi naik darah, Ia balik membentak, "Jika begitu, biarlah aku melayani Siau-heng saja!"

Siau Hong bahkan tidak bicara lagi dan kontan menghantam dengan jurus "Kian-liong-cai-thiat” (nampak naga di sawah), salah satu jurus serangan hebat dan Hang-liong sip-pat-ciang.

Melihat serangan hebat itu, cepat Buyung Hok mengerahkan seluruh tenaganya dan menangkis dengan kedua tangan.

"Omitohud! Tempat suci ini jangan dibuat gaduh oleh kalian sehingga membikin marah Budha," kata si padri tua sambil merangkap kedua tangannya di depan dada.

Aneh juga, rangkapan kedua tangan padri tua itu seketika berubah menjadi serangkum tenaga yang mirip dinding tak berwujud dan tak teruntühkan serta mengalang di tengah-tengah antara Siau Hong dan Buyung Hok sehingga tenaga pukulan kedua orang yang maha dahsyat itu tertumbuk pada dinding tak berwujud itu dan hilang sirna tanpa bekas bahkan tanaga pukulan Siau Hong itu terasa t¡dak terpental balik sedikit pun, tapi sama sekali lenyap ke dalam dinding tak kelihatan itu.

Siau Hong terkesiap. Setama hidupnya belum pernah ia temukan tandingan ia yakin biarpun ilmu silat Hi-tiok sangat aneh dan lihai, ilmu pedang Toan Ki juga maha sakti namun kepandaian kedua adik angkat itu toh masih kalah setingkat daripada dirinya. Tapi sekarang padri tua yang tak terkenal ini ternyata memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya, maka terang balas dendam hari ini pasti takkan terkabul.

Dasar Siau Hong memang sangat berbakti kepada orang tua, teringat keadaan sang ayah, segera ia memberi hormat dan berkata kepada si padri tua, "Caihe adalah orang kasar dan tidak kenal sopan-santun, harap Sinceng suka memberi maaf."

"Mana, mana! Loceng justru sangat mengindahkan Siau-kisu, sebutan ksatria sejati hanya engkau saja yang pantas memperolehnya," kata si padri tua dengan tersenyum.

"Ayahku telah berdosa karena banyak membunuh orang, sebab musababnya adalah lantaran diriku," ucap Siau Hong pula. "Maka mohon Sinceng sukalah menyembuhkan luka ayah, untuk segala dosa beliau itu biarlah Caihe yang akan menanggungnya, biar mati pun Caihe rela."

Padri itu tersenyum, sahutnya, "Tadi sudah kukatakan jika ingin menyembuhkan luka dalam Siau-lokisu, untuk itu harus dicari melalui ajaran Budha. Budha timbul dari dalam hati, Budha adalah kesadaran. Orang lain hanya dapat memberi petunjuk saja dan tak dapat membantu dengan kekuatan. Sekarang ingin kutanya Siau-lokisu, jika engkau dapat menyembuhkan lukamu, apakah engkau juga mau menyembuhkan luka Buyung-lokisu?"

Siau Wan-san melengak, sahutnya kemudian, "Aku di ... disuruh menyembuhkan luka Buyung, .. Buyung si laknat itu?”

"Mulutmu harus kenal balas,...tahu?" bentak Buyung Hok dengan gusar.

"Hm,..si laknat tua Buyung itu telah membunuh istriku tercinta, dan menghancurkan hidupku ini, aku justru ingin mencencangnya hingga hancur luluh," sahut Siau Waa-san dengan mengertak gigi.

"O, jadi sebelum Siau-lokisu menyaksikan binasanya Buyung-lokisu, maka dendam tetap tak terlampias?" tanya si padri tua.

"Ya," jawab Siau Wan-san tegas. "Aku sembunyi selama 30 tahun di Siau-lim-si, maksud tujuanku justru ingin membalas dendam."

"Apa susahnya untuk itu?" ujar si padri tua sambil mengangguk. Tiba-tiba ia berbangkit dan mendekati Buyung Bok dangan pelahan, mendadak ia mengangkat sebelah tangannya terus menabok kepala Buyung Bok.

Tadinya Buyung Bok tidak menaruh perhatian apa-apa atas diri padri tuà itu, demi nampak batok kepalanya mendadak dihantam, cepat la angkat tangan untuk menangkis, berbareng tubuhnya lantas menggeser mundur.

Dua gerakan ini luar biasa cepat dan tepatnya sehìngga Siau Wan-san dan Siau Hong juga diam-diam mengagumi kepandaian Buyung Bok itu.

Tak tersangka tabokan padri tua itu tetap dilanjutkan dengan perlahan dan tahu-tahu "plok", dengan tepat "Pekhwe-hiat" di ubun-ubun kepala Buyung Bok kena ditabok. Nyata tangkisan dan geseran Buyung Bok tadi sama sekali tak dapat menolong dirinya dari serangan itu.

"Pek-hwe-hiat" adalah hiat-to paling lemah dan mematikan di tubuh manusia, maka begitu kena tabokan itu seketika tubuh Buyung Bok tergetar, napas lantas terhenti badan terus roboh ke belakang.

Keruan Buyung Hok terkejut, cepat ia memburu maju dan memayangnya sambil berteriak-teriak, "Ayah! Ayah!"

Ia lihat mata dan mulut sang ayah terkatup rapat, napas sudah berhenti, waktu ia raba dadanya, ternyata jantungnya juga berhenti berdenyut. Sungguh duka dan gusar Buyung Hok tak kepalang sama sakali tak diduganya bahwa padri tua yang mengoceh tentang welas-asih dan kebajikan segala itu bias mendadak turun tangan keji dan membunuh ayahnya.

"Kau .... kau bangsat gundul tua bangka!" teriak Buyung Hokz dengan murka. Ia sandarkan jenazah ayahnya di samping tiang, lalu menubruk maju, kedua tangan menghantam berbareng dengan dahsyat.

Tapi padri tua itu sama sekail tak ambil pusing. Ketika tenaga pukulan Buyung Hok tampil mengenai tubuh si padri, tahu-tahu terasa lepas tertumbuk pada dinding yang tak berwujud bahkan Buyung Hok sendiri lantas terpental hingga membentur sebuah rak kitab. Anehnya tenaga pukulan Buyung Hok yang mengenai dinding tak berwujud itu seakan-akan punah, sebaliknya ia merasa seperti didorong oleh suatu tenaga yang lunak sehingga punggungnya yang membentur rak kitab itu tidak sampai membuat rak itu roboh, bahkan kitab-kitab yang penuh tertaruh di atas rak juga tidak terjatuh sejilid pun.

Dasar Buyung Hok memang sangat cerdik, meski la sangat berduka alas meninggalnya sang ayah, Tapi ia pun tahu ilmu silat padri tua itu berpuluh kali lebih lihai daripada dirinya, jika pakai kekerasan terang tiada gunanya. Maka ia lantas bersendar di rak buku itu, pura-pura terengah-engah napasnya, tapi diam-diam memikirkan tindakan apa yang harus diambil atau mesti menggunakan serangan kilat di luar dugaan lawan.

Namun si padil itu lantas berpaling kepada Siau Wan-san dan berkata, "Tadi Siau-lokisu menyatakan ingin menyakinkan sendiri kematian Buyung-lokisu untuk melampiaskan dendam kesumatmu selama ini. Sekarang Buyung lokisu sudah meninggal, apakah dendam Siau-lokisu sudah terlampias?"

Siau Waa-sao sendiri sangat terperanjat melihat Buyung Bok ditabok mati oleh padri tua itu. Maka la menjadi bingung dan tak dapat menjawab pertanyaan itu.

Selama 30 tahun ini Siau Wan-san selalu berusaha hendak membalas dendam kematian sang istri, baru tahun terakhir ini dia mengetahui duduknya perkara, la telah membunuh para ksatria yang dulu ambil bagian dalam peristiwa berdarah diluar Gan-bun-koan itu, sampai Hiat-koh Taisu dan Kiau Sam-hoai suami istri juga dibunuh olehnya.

Akhirnya diketahuinya pula bahwa "Toako Pemímpin." yang dicari itu adalah ketua Siau-lim-si, Hian-Cu Hongtiang, malahan di depan para ksatria segenap penjuru itu dibongkarnya pula borok Hian-cu yarg mengadakan perzinahan dengan Yap Ji-nio, maka sakit hatinya boleh dlkatakan terbalas dengan sangat sempurna pula.

"Tapi kemudian demi nampak kematian Hian-cu itu dilakukan dengan gilang gemilang dan secara ksatria, samar-samar dalam lubuk hati Siau Wan-san terasa perbuatannya itu agak keterlaluan, malahan kematian Yap Ji-nio juga membuat perasaannya agak tidak enak. Cuma waktu itu iamendapat tahu pula bahwa biangkeladi yang membikin peristiwa berdarah itu tak lain tak bukan adalah Buyung Bok alias si padri jubah putih yang telah sama-sama bersembunyi dalam Siau-lim-si sama pernah bergebrak beberapa kali dengan dirinya itu, maka antera amarah Siau Wan-san lantas tertumplek atas diri Buyung Bok.

la sudah terlalu benci kepada musuh itu sehingga ingin dapat roakan dagingnya dan mengunyah kulitnya. Sungguh kalau bisa ia ingin mencabut ototnya dan membakar tulangnya sekaligus untuk membalas dendam.

Siapa duga mendadak muncul seorang pudrí tua yang tak dikenal dan dengan mudah sekali musuh besarnya itu dltabok mati olehnya. Seketika Siau Wan-san menjadi bingung dan seakan-akan kehilangan pegangan hidup lagi.

Pada waktu mudanya, dengan segenap jiwa-raga Siau Wan-san ingin berjuang bagi nusa dan bangsanya, ingin namanya tersohor dan tercatat dalam lembaran sejarah. Dia adalah teman main sejak kecil dengan istrinya, keduanya saling mencintai.

Sesudah menikah dan melahirkan putra pertama, semangat patriot Siau Wan-san semakin berkobar dan citacitanya semakin tinggi. Tak tersangka lantas terjadi peristiwa yang mengenaskan di luar Gan-bun-koan, di sana ia sendiri gagal membunuh diri.

Namun kejadian Itu telah mengubah seluruh pandangan hidupnya, ia merasa segala nama dan tugas, harta dan kedudukan, segalanya mirip sampah belaka, yang terpikir olehnya siang dan malam adalah cara bagaimana menuntut balas.

Sebenarnya dia adalah seorang ksatria yang berjiwa besar dan sangat bijaksana, tapi karena dendam kesumat itu dangan sendirinya wataknya makin lama makin menyendiri dan aneh. Ditambah lagi telah bersembunyi berpuluh tahun di dalam Siau-lim-si, siang tidur dan malam keluar, dengan giat ia latih ilmu silat, selama itu jarang bicara dengan orang, maka tidak heran kalau perangainya juga berubah luar biasa.

Sebenarnya dia harus merasa puas dan senang karena musuh-musuhnya yang dibenci itu satu persatu telah terbunuh olehnya atau mati di hadapannya. Tapi dia justru merasa sangat sunyi dan hampa, la merasa tiada sesuatu tujuan hidup lagi di dunia Ini, biarpun hidup terus juga percuma.

Ia coba melirik ka arah Buyung Bok yang bersandar di tiang itu, tertampak wajah Buyung Bok tenang-tenang saja dengan mengulum senyum seakan-akan kematiannya itu lebih menyenangkan daripada hidup.

Begituldh dalam hati Siau Wan san berbalik merasa Buyung Bok lebih beruntung, sesudah mati maka tamatlah segalanya. Dalam sekejap itu timbul macam-macam pikiran.

Musuhnya sekarang sudah mati semua, sakit hatinya sudah terbalas. Tapi ke mana dirinya harus pergi? Apa pulang ke negeri Liau dan hidup tirakat di luar Gan bun-koan sana? Atau mengembara tanpa arah tujuan bersama anak Hong?

Tapi ia merasa kemana pun tetap tiada artinya lagi.

Tiba tiba sí padri tua membuka suara pula, "Siau-lokisu, Jika engkau hendak pergi bolehlah silahkan!”

"Tidak ... tidak," sahut Wan-san dengan menggeleng, "Ke mana aku harus pergi? Aku tak bisa pergi ke manamana."

"Aku yang membunuh Buyung-lokisu sehingga engkau tidak dapat membalas dendam dengan tangan sendiri, maka engkau merasa menyesal bukan?" tanya si padri tua.

"Bukan," sahut Wan-san. "Andaíkan tidak kau binasakan dia juga aku tidak ingin membunuh dia lagi."

"Ya, tetapi karena kematian ayahnya itu. Buyung-siauhiap ini sekarang akan menuntut balas padaku dan padamu, lantas bagaimana baiknya?" tanya si padri.

Dengan rasa hampa dan putus asa Siau Wan-san menjawab, "Taisu cuma mewakilkan aku membunuh musuh, Jika Buyüng-siauhíap mau menuntut balas bagi ayáhnya, biarlah dia tunjukan padaku saja."

Mendadak ia menghela napas, lalu berkata pula, "Ya, bolehlah dia mencabut nyawaku saja. Anak Hong, kaupun boleh pulang saja ke negeri Lian, urusan kita sudah selesai, jalan sudah mencapai titik akhirnya."

"Ayah, engkau ... " seru Siau Hong.

Tapi si padri tua lantas berkata, "Bila engkau dibunuh Buyung-siauhiap tentu putramu juga pasti akan menuntut balas pada Buyung-siauhiap, cara balas membalas ini bilakah terakhir? Maka lebih baik segala dosa biarlah kupikul saja, semuanya aku yang menanggungnya!"

Habis berkata ia terus melangkah maju, la angkat tangannya dan menghantam kepala Siau Wan-san.

Keruan Siau Hong terkejut, karena tadi sudah terjadi, ia tahu bila padri itu dapat sekali tabok membinasakan Buyung Bok, maka dengan sendirinya dengan sekali tabok juga ayahnya akan terbunuh. Tanpa pikir lagi ia membentak, "Nanti dulu!”

Berbareng kedua tangannya menghantam sekaligus ke pada si padri tua.

Sebenarnya Siau Hong sangat kagum dan mengindahkan padri tua itu, tapi sekarang demi untuk menolong sang ayah, la tidak paduli bahwa pukulan kedua tangannya ini membawa seluruh tenaganya yang maha dahsyat dan maha kuat biarpun berotot kawat tulang besi juga akan binasa seketika.

Namun dengan tangan kiri padri tua itu sempat menahan tenaga pukulan yang dilontarkan Siau Hong, sedang tangan kanan masih terus menabok kepala Siau Wan-san.

Siau Wan-san sendiri sama sekali tidak berpikir untuk menghindar atau menangkis serangan itu. Maka tampaknya telapak tangan kanan si padri tua segera akan mengenai "Pek-hwe-hiat" di ubun-ubun kepalanya.

Sekonyong-konyong padri itu membentak sekali, tabokan itu tiba-tiba berubah arah dan menghantam Siau Hong.

Saat itu tenaga pukulan kedua tangan Siau Hong sedang saling tolak dengan tangan kiri si padri, ketika mendadak melihat tangan kanan lawan ganti haluan dan menyerang ke arahnya, cepat Siau Hong tarik kembali tangan kirinya untuk menangkis sambil berseru "Ayah, lekas lari! Lekas!"

Tak terduga bahwa perubahan pukulan padri tua itu hanya tipu pancingan belaka sekadar mengurangi daya tekanan kedua tangan Siau Hong, ketika Siau Hong menarik sebelah tangannya, segera padri tua itu juga putar balik tangan kanannya, maka terdengarlah suara "plak" pelahan, dangan tepat ubun-ubun kepala Siau Wan san kena ditabok.

Dan pada saat itu juga pukulan tangan kanan Siau Hong juga sudah tiba, "blang", dengan tepat dada padri tua kena dihantam, "krak-krek", beberapa tulang iga si padri patah.

Namun dengan tersenyum padri tua itu masih berkata, "Sungguh kepandaian yang bagus! Hang-liong-sip-patciang memang ilmu pukulan nomor satu di dunia."

Baru selesai ucapannya, tanpa ampun lagi darah segar terus menyembur dari mulutnya.

Siau Hong tertegun sejenak kemudian ia memayang bangun tubuh ayahnya. Ia lihat napas sang ayah sudah putus, denyut Jantungnya juga sudah berhenti, terang orangnya sudah meninggal.

Pada saat itulah tiba-tiba di bawah sana ada suara seruan orang, "Apa barangkali berada di atas Cong-keng-kok ini?”

Menyusul terdengar beberapa orang sedang lari mendatangi.

"Sudah saatnya, marilah pergi!” kata si padri tua dan segera ia memjambret leher baju jenazah Siau Wan San dengan tangan kanan, sedang tangan kiri dipakai menjambret leber baju jenazah Buyung Bok, lalu dengan langkah lebar ia melayang ke luar jendela.

"Kau ... kau hendak ke mana?" bentak Siau Hong dan Buyung Hok berbareng, sekaligus mereka pun samasama menghantam punggung si padri tua.

Hanya sedetik sebelum itu mereka hendak bertempur mati-matian, tapi sekarang ayah masing-masing telah dibunuh orang dalam menghadapi musuh bersama mereka lantas berdiri di Satu pihak dan bersama-sama mengejar musuh.

Gabungan tenaga pukulnn mereka berdua sudah tentu maha dahsyat. Tapi tubuh si padri tua mirip layanglayang saja, di bawah dorongan tenaga pukulan Siau Hong dan Buyung Hok itu ia malahan dapat melayang pergi beberapa meter jauhnya dengan masih tetap menjinjing dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa, kemudian ketiga sosok tubuh turun ke atas tanah dengan cepat dan ringan bagai burung terbang.

Sekali lompat segera Siau Hong mengudak keluar jendela. Ia lihat padri tua itu berjalan ke atas gunung dengan menggondol dua sosok mayat. Dengan mempercepat langkahnya Siau Hong menduga dalam beberapa tindak saja dapat menyusul sampai di belakang si padri tua.

Tak terduga bahwa ginkang padri itu benar-benar luar biasa anehnya dan seperti memiliki ilmu gaib seja, biarpun Siau Hong mengejar dengan sepenuh tenaga, jaraknya dengan si padri tetap ada belasan meter jauhnya, berulang ia pun melontarkan pukulan dari jauh, tapi jaraknya dengan si padri tetap belasan meter jauhnya, berulang-ulang ia pun melontarkan pukulan lagi dari jauh, tapi selalu mengenai tempat kosong.

Maka jauh makin tinggi si padrì menuju ke atas gunung, ia berputar-putar di antara lereng gunung itu dan akhirnya sampai di suatu tanah lapang di tengah sebuah hutan, di situlah ia meletakkan kedua mayat yang dibawanya itu di bawah sebatang pohon, Ia dudukkan kedua sosok jenazah itu dengan gaya bersila, lalu ia, sendiri duduk di belakang kedua mayat, kedua tangannya menahan punggung kedua mayat. Dan baru saja ia duduk, sementara itu Siau Hong pun sudah menyusul tiba.

Biarpun Siau Hong tampaknya kasar, menghadapi sesuatu urusan ia bisa berlaku teliti dan cerdik. Demi

melihat tingkah laku padri tua itu agak luar biasa, maka la pun tidak mau sembarangan bertindak pula. Ia dengar si padri tua berkata, "Aku membawa mereka berjalan-jaian untuk melemaskan otot dan melancarkan darah mereka.”

Hampir-hampir Siau Hong tidak percaya pada telinganya sendirl. Manakah mungkin mengajak jalan-jalan orang mati dan katanya untuk melemaskan otot dan melancarkan jalan darah mereka, apakah maksud yang sebenarnya?

Saking herannya ia coba menegas, "Melemaskan otot dan melancarkan darah mereka?"

"Ya, karena luka dalam mereka terlalu parah, maka mereka harus dibiarkan istirahat dulu untuk kemudian baru disembuhkan,” kata si padri.

Siau Hong terkesiap, sungguh ia tidak habis mengerti, "Apakah ayah belum meninggal? Jadi padri ini sedang berusaha menyembuhkan luka dalam ayah? Masakah di dunia ini ada cara penyembuhan demikian dengan membunuh si penderita lebih dulu untuk kemudian baru menyembuhkannya?"

Dalam pada itu Buyung Hok, Cumoti. Hian seng, Hian-ceng, Sin-kong Siangjin dan lain-lain juga sudah menyusul tiba.

Mereka lihat ubun-ubun kedua jenazah yang digondol lari si padri tua itu tiba-tiba mulai mengepulkan hawa putih yang tipis.

Sejenak kemudian si padri tua lantas memutar kedua mayat sehingga muka berhadapan muka, lalu keempat tangan mayat itu diaturnya hingga saling menjabat tangan.

"Apa ... apa yang kau lakukan ini? Tanya Buyung Hok dengan bingung.

Tapi si padri tua tidak menjawabnya la mulai mengitari kedua sosok mayat dengan langkah pelahan sambil berulang-ulang menutuk, terkadang menutuk 'Tai-cui-hiat' di bahu Siau Wan-san lain saat ia menabok 'Giokcin-hiat' di punggung Buyung Bok. Sedangkan hawa putih yang menguap dari ubun-ubun kedua mayat itu semakin lama makin tebal.

Lewat beberapa saat lagi sekonyong-konyong badan Sian Wan-san dan Buyung Hok berbareng sama-sama bergarak satu kali.

Keruan Siau Hong dan Buyung Hok terkejut dan bergirang. "Ayah!" seru mereka bersama.

Sejenak kemudian Siau Wan-san dan Buyung Bok membuka mata dengan pelahan. sesudah saling pandang sekejap. Lalu mata mereka terpejam pula. Air muka Siau Wan-san tampak merah bercahaya. sebaliknya air muka Buyung Bok pucat Menghijau.

Baru sekarang semua orang paham sebabnya padri tua itu menabok mati dulu kedua orang itu adalah supaya mereka berhenti bernapas dan jantung berhenti berdenyut, rupanya cara demikian adalah semacam ilmu penyembuhan luka dalam yang parah.

Jadi tujuan si padri tua sebenarnya adalah baik, hal ini mestinya dia dapat menerangkan sebelumnya, kenapa dia sengaja bergurau sehingga Siau Hong dan Buyung Hok dibikin kuatir dan marah, malahan dia sendiri sampai merasakan pukulan dahsyat Siau Hong sehingga tumpah darah.

Begitulah semua orarg merasa heran dan tidak habis mengerti. Dalam pada itu si padri tua kelihatan masih sibuk menutuk dan menabok dengan penuh perhatian atas kedua penderita, semua orang tidak berani membuka suara dan bertanya.

Sebaliknya terdengar suara napas Siau Wan San dan Buyung Bok dari pelahan mulai cepat dan dari lemah berubah menjadi kuat.

Menyusul air muka Siau Wan-san tampak semakin merah sampai akhirnya seakan-akan merah berdarah. Sebaliknya air muka Buyung Bok tambah hijau mengerikan. Dan tubuh kedua orang itu pun tampak gemetar agaknya keadaan mereka juga agak berbahaya.

Semua orang yang menyaksikan itu tahu bahwa air muka merah itu menandakan hawa Yang terlalu keras, suhu badan terlalu panas bagai dibakar. Sebaliknya air muka hijau menunjukkan hawa Im terlalu besar, hawa dingln yang mengeram dalam badan terlalu kuat.

Pada saat lalu mendadak terdengar si padri tua membantak, "Haahh! Keempat tangan saling berpegang, tenaga dalam saling membantu. Im membantu Yang dan Yang mengurangi Im. Pikiran yang angkara murka pandangan yang bermusuhan jagat dewa batara hilang sirna!"

Karena bentakan si padri tua, tiba-tiba dua pasang tangan Siau Wan-san dan Buyung Bok yang tadinya saling genggam itu lantas saling pegang dengan lebih eral hawa murni masing-masing lantas membanjir pula pada

badan lawan sehingga tercampur baur dan saling membantu kekurangan masing-masing, Lalu air muka kedua orang sama-sama berubah menjadi putih pucat, tak lama kemudian kedua orang sama-sama membuka mata dan saling tertawa dengan penuh arti antara sahabat karib.

Sungguh girang Siau Hong dan Buyung Hok tak terkatakan demi melihat ayah mereka sudah hldup kembali dangan sehat. Maka tertampaklah kedua orang tua itu lantas bergandengan tangan dan sama-sama berlutut di hadapan si padri tua.

Lalu berkatalah padri tua itu, "Kalian berdua dari hidup sampai mati dan dari mati kembali hidup lagi apakah sekarang masih ada sesuatu yang tak terlepaskan dari pikiran kalian? Jika tadi kalian lantas mati untuk seterusnya, apakah kalian masih dapat berpikir tentang membangun kembali kerajaan Yan atau menuntut balas terbunuhnya istri segala?"

"Tecu telah menjadi hwesio selama 30 tahun di siau-lim-si secara menyamar dan dengan sendirinya tiada sedikit pun rasa kesadaran sebagai murid Budha, maka diharap Suhu suka menerima Tecu," sahut Siau Wansan.

"Apa engkau tidak ingin lagi membalas sakit hati terbunuhnya istrimu?" tanya si padri.

"Selama hidup Tecu juga banyak membunuh orang, bila anggota keluarga orang-orang yang kubunuh itu juga sama menuntut balas padaku, maka biar Tecu mati seratus kali juga tidak cukup untuk memenuhi tuntutan mereka," ujar Wan-san.

"Dan engkau bagaimana?" tiba-tiba si padri tua berpaling pada Buyung Bok.

Buyung Bok tersenyum dan berkata, "Rakyat jelata adalah manusia, raja juga manusia, Kerajaan Yan dibangun kembali atau tidak semuanya adalah kosong belaka!"

"Bagus, engkau telah mencapai kebijaksanaan dan memperoleh kesadaran Siancai! Siaocai!" sabda si padri.

"Mohon Suhu menerima Tecu dan banyak memberi petunjuk pula," pinta Buyung Bok.

"Kalian ingin pelepasan diri dan menjadi padri, untuk itu kalian harus minta diterima para Taisu dari Siau-limsi," kala si padri tua. "Sekarang ada beberapa patah kata boleh juga kuuraikan lagi kepada kalian."

Begitulah lalu padri tua itu memberi khotbah lagi. Siau Hong dan Buyung Hok juga lantas ikut berlutut di depannya. Ketika khothah padri tua itu sedemikian bagusnya sehingga Hian-seng, Sin-kong. To-jing, Cilo, Polo Singh dan lain-lain sangat tertarik maka tanpa terasa akhirnya mereka pun berlutut untuk mendengarkan khotbah ... "

Begitulah maka pada waktu Toan Ki sampai di situ, saat mana si padri tua asyik memberi penjelasan arti khotbahnya yang penuh filsafat itu, Karena ingin melihat bagaimana wajah padri tua itu, maka Toan Ki berputar ke depan sana, siapa tahu Cumoti mendadak menyerang hingga dadanya terkena tutukan 'Hwe-yambo' yang lihai.

Toan Ki lantas tak sadarkan diri dan entah berselang berapa lama baru siuman kembali. Waktu ia buka mata pertama-tama yang tertampak olehnya adalah langit-langit kelabu, menyusul ia tahu dirinya tidur di atas ranjang dengan berselimut.

Karena seketika itu pikirannya belum jernih sama sekali, maka ia coba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi. Ia ingat telah kena serangan Cumoti, tapi ia tidak mengerti mengapa bisa berada di tempat tidur itu!

Ia merasa haus sekali dan segera ingin bangun, tapi sedikit bergerak saja dadanya lantas terasa sakit tidak kepalang sehingga dia menjerit pelahan.

Maka terdengarlah suara seorang wanita muda berkata dl luar, "Ah...Toan-kongcu sudah mendusin!"

Dari nada ucapannya itu agaknya merasa sangat girang.

Toan Ki merasa suara wanita muda itu sudah dikenalnya. Dan baru d¡a mengingat-ingat siapakah geranganya, tiba-tiba seorang anak dara melangkah masuk drngan tindakan cepat, Tertampaklah sebuah wajah bulat telur, pipi terdapat sebuah lekuk kecil yang manis. Kiranya Ciong ling adanya, si nona cilik yang dahulu berjumpa dengan Toan Ki di sarang orang-orang 'Buliang-kiam' [baca jilid ke 1).

Ayah Ciok Ling, yaitu Ciong Ban-siu, berjuluk 'Kim-jin-cin-sat' (ketemu orang lantas bunuh), adalah musuh Toan Cing-sun, ayah Toan Ki. Ketika mengetahui Toan Ki adalah putra musuh besarnya, Ciong Ban-siu lantas ikut mengatur tipu muslimat hendak membunuhnya.

Tak tersangka ketika Toan Ki keluar dari rumah batu tempat dia semula dikurung, tahu-tahu ia membawa seorang gadis yang keadaan pakaiannya sudah tak karuan, dan gadis itu ternyata adalah Ciong Ling, jadi Ciong

Ban siu tidak berhasil membikin celaka Toan Ki, sebaliknya membikin malu putrinya sendiri, Keruan dia keki setengah mati.

Kemudian Ciong Ling digondol lari oleh In Tiong-ho dan tak diketahui mati hidupnya, terkadang bila ingat akan kejadian itu, betapapun Toan Ki merasa sedih dan menyesal. Siapa duga sekarang dapat bertemu kembali dengan anak dara itu di sini.

Begitülah, maka wajah Ciong Ling menjadi merah juga ketika sinar matanya berbentruk dengan pandangan Toan Ki. Tapi ia lantas menegur dengan tersenyum-senyum, "Tentu engkau sudah lupa padaku bukan? Apa masih ingat aku ini siapa?"

Melihat sikap Ciong ling itu, dalam benak Toan Ki tiba-tiba terbayang pula adegan masa dahulu waktu Ciong Ling duduk di atas belandar kedua kakinya berayun-ayun sambil menyisilkuaci. Sungguh aneh juga, sampai sekarang ia pun masih ingat betul sepatu yang dipakai si nona yang berwarna hijau bersulam bunga kuning kecil itu. Tanpa terasa ia lantas tanya, "Eh, ke mana sepatumu yang bersulam bunga kuning itu?"

Kembali wajah Ciong ling bersemu merah ia tidak manduga bahwa Toan Ki ternyata masih ingat kepada sepátunya itu, hal ini menandai kau bahwa pemuda itu tidak melupakan dia. Maka dengan tersenyum ia menjawab, "Sudah lama rusak, heran juga engkau masih ingat tentang itu?"

"Dan kenapa kamu tídak makan kuaci lagi?” tanya pula Toan Ki dengan tertawa.

"Aih, engkau ini sungguh terlalu! Orang lagi kuatir setengah mati selama beberapa hari merawat lukamu ini, masakah masih ada waktu iseng untuk makan kuaci segala?" jawab Ciong Ling. Tapi segera ia merasa jawabannya itu terlalu menonjolkan perasaan yang sebenarnya terhadap Tuan Ki maka kembali wajahnya merah lagi.

Dengan termangu-mangu Toan Ki memandangnya. selang sejenak baru bertanya pula, "Dan di mana kau punya Kim-leng-cu, itu ular kecil berwarna emas?”

"Aku sudah lama terlunta-lunta dl luar dan tidak pernah pulang ke rumah dari mana bisa membawa ular segala?" sahut Ciong Ling.

"O. ya. tempo hari kamu digondul lari oleh 'Kiong-hiong-kek-ok' In Tiong-ho," kata Toan Ki tiba tiba. "Wah, aku menjadi kuatir sekali, Cuma sayang aku tidak mahir ilmu silat, terpaksa aku suruh muridku si Lam-hai Gok sín untuK menolongmu. Dan entah cara bagaimana kau dapat menyelamatkan diri sungguh aku sangat kuatir."

"Muridmu itu ternyata sangat setia padamu,sahut Ciong Ling dengan tertawa. "Meski ginkang si jangkung itu sangat hebat, tapi ia membawa diriku dengan sendirinya kurang leluasa larinya. Maka cuma beberapa li jauhnya ia sudah tersusul oleh muridmu .... "

Sampai di sini ia berhenti, sikapnya tampak malu-malu kikuk.

"Lalu bagaimana?" tanya Toan Ki.

Mendadak Ciong Ling tertawa, "Hihi, coba kau terka cara bagalmane muridmu itu memanggil aku? Sungguh aku menjadi dongkol dan geli pula."

Melihat gaya Ciong Ling yang malu-malu kucing dan menggiurkan itu, hati Toan Ki terguncang. Teringat olehnya apa yang dikatakannya dahulu, maka jawabnya dengan tersenyum, "Ya, dengan sendirinya muridku itu memanggilmu sebagai 'Sunio' (Ibu guru), betul tidak?"

Dengan tersenyum simpul Ciong Ling lantas bercerita, "Ketika itu aku dikempit oleh durjana itu, aku merontaronta sekuatnya, tapi tak bisa melepaskan cengkeramannya. Sungguh hatiku ketakutan setengah mati, tapi aku pun mendengar muridmu sedang menguber sambil berteriak-teriak! dengan suaranya yang serak, "Sunio! Sunio! Boleh mengitik-ngitik ketiaknya, si jangkung itu paling takut geli!"

"Hah, kebetulan," pikirku. Mengitik-ngitìk justru adalah kepandaianku yarg khas. Maka dengan segera aku mengulur tangan hendak mengitik-ngitik ketiak durjana itu. Tak terduga baru saja jariku menempel ketiaknya, belum lagi aku mengkili-kili, tahu-tahu dia sudah terkekeh-kekeh lebih dulu. Dan karena tertawanya itu larinya menjadi kendur, maka dengan segera dia dapat disusul oleh muridmu. Gak-losam, kamu kena diakali orang! seru durjana jangkung itu. Tapi Gak losam menjawab. Diakali atau tidak, pendek kata lekas kau lepaskan ibu guruku, kalau tidak, ini rasakan senjataku gunting congor buaya itu!”

"Karena terpaksa maka aku dilepaskan oleh durjana jangkung itu," demikian Ciong Ling melanjutkan ceritanya. "Dan pada waktu dia lengah segera aku mengitik-ngitik dia sehingga durjana itu menungging sambil memegangi perutnya dan terkakak-kakak saking gelinya, semakin dia tertawa semakin menjadi, aku mengitikngitik sampai dia terbatuk-batuk dan mengucurkan air mata. Akhirnya Gak-losam memintakan ampun baginya, Sunio, boleh mengampuni dia saja, kalau mengitik-ngitik lagi, jika sampai napasnya sesak, mungkin dia bisa mati!"

"Aku menjadi heran, ilmu silat durjana itu sangat tinggi masakah bisa mati terkili-kili saking geli? Maka jawabku, Ah, masa ya? Aku tidak percaya, ingin kucoba! Tapi Gak losam mencegah, "Eh. jangan! Mana boleh dicoba sekali dia mampus tentu tak bisa dihidupkan lagi. Kelemahan setan jangkung ini justru terletak pada

Thian-cong-hiat di bawah katiaknya, tempat itu tidak boleh tersentuh sedikit pun.”

"Karena itulah aku tidak jadi mengitik-ngitik dia lagi. Ketika durjana itu sudah berdiri tegak kembali, dia melotot padaku, habis itu mendadak ia meludahi Gak-losam sambil memaki, "Buaya mampus, buaya bacinl Tempat kelemahanku kenapa kau beritahukan kepada orang luar?”

"Eeh, kau berani memaki orang!” aku mengomel sambil mengulur tangan hendak mengitik-ngitiknya lagi, Tak tersangka sekali ini perbuatanku tidak manjur lagi, mendadak durjana jangkung itu mengayunkan kakinya sehingga aku kena ditendang terjungkal lalu ia tinggal pergi. Cepat Gak-losam membangunkan aku sambil bertanya, Sunio, sakit tidak?

"Pada saat itulah tiba-tiba tertampak ayahku memburu tiba dengan golok terhunus sambil berteriak-teriak, Budak celaka, kenapa kamu diam di sini, apa ingin mampus? Segera Gak-losam menoleh dan memaki, "Kurang ajar! Apa mulutmu minta di sikat ya?”

"Ayahku menjadi gusar sahutnya. Aku memaki anak perempuanku sendiri, peduli apa denganmu? Aneh juga entah mengapa mendadak Gak-losam marah-marah. Ia tuding ayahku dan mendamprat pula "Kau , .. kau bangsat kau berani menarik keuntungan atas diriku? Biar ... . biar Gak-losam mengadu jiwa denganmu?”

"Aneh, dimanakah pernah kutarik keuntungan darimü? Sahut ayahku, Dengan marah-marah Gak-losam berkata, Habis, dia kan ibu guruku dia lebih tua satu tingkatan daripadaku, ini pun apa boleh buat, sebab memang demikian halnya. Tapi sekarang kau berani mengaka sebagai bapaknya, bukankah... bukankah kamu menjadi lebih tua dua tingkat dari padaku? Hm, aku Gak losam selamanya bersinggasana di laut selatan, di sana, siapa yang tidak memanggiku tuan besar atau kakek-moyang. Tapi setiba di Tionggoan, dimana-mana aku selalu lebih rendah satu-dua angkatan daripada orang lain. Sungguh sialan! Maka aku tak mau lagi, ya, tidak mau!”

Ciong Ling memáng gadis lincah dan cerdik, bicaranya mencorocos terus, cara menirukan lagu bicara Lamhai-gak-sin Juga sangat mirip mau-tak-mau Toan Ki merasa geli juga.

Lalu si noná melanjutkan ceritanya, "Maka ayahku berkata, Kau mau atau tidak masa bodoh, yang terang anak dara ini adalah putriku, dengan sendirinya aku adalah bapaknya, kenapa kau bilang aku mengaku-ngaku apa segala?”

"Rupanya kewalahan berdebat, mendadak Gak-losam mencari-carl alasan, katanya, Sudah tentu kamu cuma mengaku-ngaku saja. coba lihiat, Sunio begini cantik, sebaliknya kamu sejelek siluman, mana mungkin kamu ini ayahnya yang tulen? Tentu Sunioku ini putri orang lain dan bukan keturunanmu. Kamu adalah ayah palsu dan bukan ayahnya yang asli!"

"Sungguh tidak kepalang murka ayahku, ia angkat golaknya terus membacok Gak-losam. Cepat aku mencegahnya, "Ayah, orang ini telah menyelamatkan aku dari gangguan orang jahat tadi, harap jangan membunuh dia!"

"Sekonyong konyong ayah tambah murka, ia memaki padaku, Budak busuk, memangnya sejak dulu aku sudah curiga kamu bukan keturunanku yang sejati, sampai si tolol ini pun berkata demikian, masakah urusan perlu disangsikan lagi? Hm, biarlah kumampuskan dia dulu, habis itu akau kubunuh dirimu dan kemudian membunuh pula ibumu!"

Seperti diketahui ibu Ciong Ling adalah bekas kekasih Toan Cing-sun, ayah Toan Ki. Makin besar muka Ciong Ling juga semakin cantik sehingga sedikit pun tidak memper muka Ciong Ban-Siu yang lonjong bagai muka kuda itu, sudah tentu rasa cemburu Ciong Ban-siu semakin menjadi-jadi dan pikirannya juga senantiasa diliputi oleh rasa curiga.

Begitulah sampai di sini air mata Ciong Ling sendiri pun berlinang-linang dan hampir-hampir menetes. Cepat

Toan Ki menghiburnya, "Jangan kuatir! Aku tahu ayahmu paling takut bini, tidak nanti dia berani membunuh ibumu."

Ciong Ling tertawa, tanyanya, 'Eh, dari mana kau tahu?"

Karena tertawanya itu, air matanya yang tadinya berlinang-linang di kelopak mata itu lantas meleleh ke pipi.

"Dahulu waktu aku menyampaikan berita kerumahmu di Ban-jiat-kok, dengan mataku sendiri küsaksikan ayahmu sangat penurut pada ibumu, sedikit pun tidak berani membangkang perintahnya," sahut Toan Ki.

Ciong Ling menghela napas dan untuk sekian lamanya diam saja.

"Kemudian bagaimana kenapa kamu sampai di sini?" tanya Toan Ki.

"Waktu kulihat ayah dan muridmu bertempur dan seketika sukar dilarai, maka aku lantas berteriak-teriak, Hai, Gak-losam, kamu tidak boleh mencelakai ayahku!' Lalu aku berseru pula 'Ayah, jangan kau celakai Gak-losam! Dan tanpa memperdulikan bagaimana kesudahan pertarungan meraka itu, segera kutinggal pergi."

"Ya, ada baiknya juga jalan-jalan keluar untuk menghibur diri," ujar Toan Ki.

"Sebenarnya aku hendak mencari dirimu, sudah kucari kian kemari tatap tidak tahu ke mana harus mencarimu?" tutur Ciong Ling. "Belum lama ini kudengar kabar bahwa para ksatria seluruh jagat hendak berkumpul di Siau-lim-si, diam-diam kupikir boleh jadi kaupun akan datang di sana maka aku lantas berangkat ke Siau-lim-pai sini. Tapi aku sendiri bukan kaum ksatria atau orang gagah segala, dengan sendirinya aku tidak berani datang ke Siau-lim si dan terpaksa berkeliaran di lereng gunung sini untuk mencari kabar dirimu pada setiap orang yang kujumpai. Untung di sini ada sebuah rumah kosong tanpa sungkan aku lantas tinggal di sini."

"Dan berkat Tuhan Maha pengasih, akhirnya aku dapat berjumpa denganmu," tukas Toan Ki dengan pelahan sambil memegang tangan si nona yang masih terharu, terutama mengingat si nona yang masih muda-belia itu telah terlunta-lunta dirantau dan tentu tidak sedikit mengalami penderitaan hidup, hal ini menandakan betapa cinta si nona kepadanya.

"Kau sendiri kenapa bisa berada di sini?" tanya Ciong Ling sambil duduk di tepi tempat tidur.

"Ya, aku justru ingin tanya padamu mengapa aku bisa berada di sini?" sahut Toan Ki dengan mata terbelalak. "Aku cuma ingat diserang oleh seorang hwesio jahat, dadaku kena tikaman hawa pikirnya yang tak berrwujud sehingga terluka parah, tapi apa yang terjadi selanjutnya aku sendiripun tidak tahu."

"ini benar-benar sangat aneh," kata Ciong Ling sambil berkerut kening, "Kemarin sore,, waktu kupergi mencari sayur di kebun dan kembalinya selagi hendak mengolah sayur itu didapur, tiba-tiba kudengar di dalam kamar ada suara orang merintih. Aku kaget, dengan membawa bando (pisau perajang sayur) aku masuk ke dalam kamar. Kulihat di atas tempat tidurku ada orang. Kutegur beberapa kali, tapi tiada jawaban, Kukira pasti orang jahat yang hendak mengganggu aku, maka dengan mengangkat bendo segera hendak kubacok orang yang rebah di tempat tidurku itu. Wah, untung juga engkau rebah dengan telentang sehingga sebelum batok kepalamu pecah oleh senjataku keburu aku sudah mengenali mukamu .... "

Berkata sampai di sini si nona tepuk-tepuk dada sendiri dengan pelahan, suatu tanda hatinya masih berdebar debar bila teringat kepada kejadian berbahaya waktu itu.

Toan Ki sendirl menduga mungkin tempat dia rebah sekarang terletak tidak jauh dari Siau-lim-si maka sesudah dirinya terluka parah, lalu ada orang menolongnya dan dibawa ke kini.

Kemudian aku memanggilmu, tapi engkau merintih-rintih saja dan tidak gubris padaku." tutur Ciong Ling pula. "Waktu kuraba jidatmu, Wàh, panasnya bukan main. Kulihat bajumu penuh darah, maka kutahu engkau terluka. Waktu kubuka bajumu untuk periksa lukamu, ternyata sudah diperban dengan baik dan rapi. Kukuatir mengganggu lukamu itu, maka tidak berani kubuka perbannya. Aku menunggu lagi sampai lama sekali dan engkau belum sadar juga. Ai, aku merasa gìrang dan kuatir pula dan tidak tahu cara bagaimana harus berbuat."

"Maaf, aku telah membuatmu ikut berkuatir, Sungguh aku merasa tidak enak," ujar Toan Ki.

Sekonyong-konyong Ciong Ling menarik muka masam, katanya, "Huh, engkau bukan manusia baik-baik, Tahu begitu, tentu sejak dulu aku tidak mau pikirkan dirimu. Dari sekarang juga aku tak mau peduli padamu lagi, apakah engkau akan hidup atau mati, pandek kata aku tak peduli."

"Eh, ada apa? Kenapa mendadak marah?" tanya Toan Ki dengan heran.

"Hm, kau tahu sendiri kenapa malah tanya padaku?" sahut Ciong Liog dengan mendengus dan mencibir.

"Ai, aku benar ... benar tidak tahu," kata Toan Ki cepat. "O, nonaku yang baik!, adikku yang manis, harap katakanlah apa sebabnya?"

"Cih, siapa nonamu, siapa adikmu?" omel Ciong Ling "Apa yang kaukatakan dalam mimpi tentu kautahu sendiri, kenapa malah tanya padaku? Sungguh tidak genah."

"Apasih yang kukatakan dalam mimpi?" tanya Toan Ki dengan gugup, "Itu kuucapkan dalam keadaan tak sadar dan tidak boleh dianggap betul-betul. Oya, aku menjadi ingat. Pasti dalam mimpi aku berjumpa denganmu, saking girangnyá kata-kataku menjadi agak kasar sehingga membikin marah padamu."

Mendadak Cing Ling termangu-mangu dan mencucurkan air mata, katanya, "Sampai saat ini engkau masih mau mendustai aku, Sebenarnya dalam mimpi engkau bertemu dengan siapa?"

"Sesudah terluka aku lantas, ták sadarkan diri lagi, maka aku benar-benar tidak tahu apa yang kukatakan waktu mengigau," sahut Toan Ki.

"Siapa itu nona Ong? Nona Ong itu siapa?" seru Ciong Ling mendadak dengan suara keras. "Mengapa waktu tak sadarkan diri selalu kau sebut namanya?"

Toan Ki menjadi pedih sahutnya, "Jadi aku menyebut-nyebut nama nona Ong?"

"Mengapa tidak? Dalam keadaan tak indar saja kausebut namanya, apalagi sekarang, tentu sekarang kaupun terkenang padanya," kata Ciong Ling. "Baiklah, boleh kau panggil kau punya nona Ong untuk melayanimu saja aku tak mau peduli lagi.”

Toan Ki menghela napas, sahutnya, "Tapi dalam hati nona Ong justru tidak pernah terdapat orang macam diriku, biarpun aku merindukan dia juga tiada gunanya."

"Sebab apa?"' tanya Ciong Ling.

"Dia cuma suka kepada Piaukonya, terhadap diriku dia itu acuh tak acuh," sahut Toan Ki.

Ciong Ling berubah girang, katanya, "O, terima kasih kepada langit dan bumi, ternyata orang jahat telah mendapatkan ganjaran setimpal."

"Aku orang jahat, maksudmu?" tanya Toan Ki.

"Hábis, muridmu Gak losam adalah satu di antara Su ok, muridmu saja sejahat itu, apalagi gurunya, sudah tentu jahatnya tiada takaran." kata Ciong Ling.

"Dan bagaimana dengan sang ibu gurúnya?" Toan Ki menambahkan dengan tertawa.

"Cis!" semprot Ciong Ling dengan wajah marah jengah, tapi sedap dalam hati. Ia lantas berlari-lari ke dapur. Tidak lama kemudian la kemudian membawa semangkuk kuah, katanya, "Kuah ini sudah kusiapkan sejak tadi, hanya menunggu engkau sadar kembali."

"O, banyak terima kasih," kata Toan Ki. Dan ketika melihat si nona sudah dekat, segera ia bermaksud bangun untuk menerima kuah itu, tapi lukanya lantas kesakitan sehingga menjerit tertahan.

"Jangan bangun, biar aku menyuapmü, kakek-moyang si jahat," seru Ciong Ling.

”Kakek moyang si jahat apa maksudmu? tanya Toan Ki.

"Habis, engkau kan guru si durjana maha jahat itu, bukankah engkau adalah kakek moyang si jahat?"

"Dan kau sendiri? .... "

Tapi Ciong Ling lantas menyiduk satu sendok kuah yang masih panas-panas itu, katanya dengan pura pura marah, "Kau berani sembarangan omong, apa minta disuap dengan kuah panas ini?"

Toan Ki menjulurkan lidah dan berkata, "Wah, ampun! Nenek moyang si jahat benar-benar lihai, maha jahat?”

Ciong Ling mengikik tawa sehingga kuah di dalam senduk hampir-hampir tersiram ke atas badan Toan Ki, cepat ia tenangkan diri. Ia coba dulu suhu kuah itu dan ternyata sudah agak dingin. lalu ia suapi Toan Ki.

Sesudah minum beberapa senduk kuah yang disuapkan Ciong Ling itu, dari jarak dekat dapatlah Toan Ki melihat muka Ciong Ling yang manis di atas bibirnya ada beberapa butir keringat yang lembut. Tatkala itu

adalah musim panas baju yang dipakai Ciong Ling tipis dan cekak sehingga tangannya kelihaian putih bersih laksana salju. Seketika hati Toan Kl terguncang.

Entah mengapa tiba-tiba teringat olehnya, "Alangkah bahagianya aku jika yang menyuapi aku sekarang ini adalah nona Ong, biarpun yang di suapkan padaku ini adalah barang busuk atau racun juga aku bersedia mati dengan rela."

Melihat Toan Ki termangu-mangu memandang padanya, sudah tentu sekali-kali Ciong Ling tidak menyangka kalau saat itu yang dipikirkan pemuda itu adaiah gadis lain. Maka dengan tersenyum Ciong Ling bertanya, "Apa yang kau lihat?"

Baru saja Toan Ki hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara berkeriutnya pintu didorong orang, Menyusul tedengar suara seorang wanita muda sedang berkata, "Bolehlah kita mengaso sebentar di sini."

Lalu suara seorang lelaki menjawab, "Baiklah! Tentu engkau masih sangat lelah, sungguh aku ... aku merasa tidak enak."

"Ah, omong kosongl" semprot si wanita.

Dari suara kedua orang itu dapat dikenali Toan Ki sebagai suara A Ci dan Goan-ci, Sekarang dia sudah tahu A Ci adalah anak tidak sah dari ayahnya jadi terhitung saudara satu ayah lain ibu dengan dirinya.

Diketahuinya adik perempuan itu sejak kecil sudah berguru pada Sing-siok Lokoai sehingga tingkah-lakunya juga ketularan sifat liar dan jahat si iblis tua itu, bahkan Leng Jian li, si tukang pancing, itu tokoh dari Tayli justru binasa oleh karena merasa terhina oleh nona nakal itu.

Toan Ki sendirl sangat akrab dengan Sam-kong dan Su-un (tiga tokoh dan empat jago) dari Tayli itu, bila teringat pada kematian-Leng Jian-li sungguh ia tidak suka bertemu dangan adik perempuannya yang terlalu nakal dan binal itu.

Apalagi kemarin ia sendiri telah membantu Siau Hong dan bermusuhan dengan Goan-ci. Jika sekarang kepergok pula selagl dia sendiri terluka bukan mustahil jiwanya akan sukar diselamatkan lagi. Karena itu cepat ia mamberi tanda dengan jari di depan mulut agar Ciong Ling jangan bersuara.

Si nona paham maksud Toan Ki, ia mengangguk sambil memegang semangkuk kuah dan tidak berani ditaruh

di atas meja sebab kuatir akan menerbitkan suara.

Kemudian terdengar A Ci sedang berteriak-teriak di luar. "Hai, apakah di dalam orang?"

Ciong Ling memandang Toan Ki dan tidak menjawab pertanyaan A Cl itu, pikirnya, "Nona di luar itu besar kemungkinan adalah nona Ong dan si lelaki adalah Piauko nona Ong, makanya kakanda Ki tidak ingin bertemu dengan si dia.”

Sebenarnya Ciong Ling sangat ingin tahu betapa cantik-moleknya nona Ong itu sehingga dapat membuat kanda Ki sedemikian kesemsem? Tapi ia tidak berani keluar, ia pikir kalau sampai kakanda Ki bertemu dengan si dia, wah, tentu akan runyam malah, maka lebih baik tinggal diam saja, jika tidak mendadak penyahutnya orang mungkin nona Ong itu akan pergi dengan sendirinya bersama Piaukonya.

Dalam pada itu terdengar A Ci lagi berteriak-teriak pula di luar, "Hai, apakah penghuni rumah ini sudah mampus semua, kenapa tiada seorang pun yang keluar? Kalau tetap tak keluar, biar nona bumi-hanguskan rumah-gubukmu ini?”

'Wah, galak benar nona Ong ini?" demikian Ciong Ling membatin.

Tiba-tiba terdengar suara Goan-ci, "Ssst, jangan bersuara, ada orang datang!”

"Siapa? Apa orang Kai-pang?" tanya A Ci.

"Ada empat atau lima orang, boleh jadi orang-orang Kai pang, arah yang mareka tuju adalah sini," sahut Goaci.

"Para Tianglo Kai-pang itu sudah timbul maksud khianat padamu, jika kita kepergok mereka tentu bisa celaka," ujar A Ci.

"Habis bagaimana baiknya?" tanya Goan-ci dengan kuatir.

"Kita sembunyi saja di dalam kamar, engkau terluka parah, tidak mungkin melawan mereka." kata A Ci.

Diam-diam Toan Ki mengeluh demi mendengar A Ci dan Goan-ci hendak sembunyi di dalam kamar. Walaupun dirinya tidak suka kepada adik perempuan tiri itu, tapi tidak menjadi asal kalau kepergok. Hanya watak Pangcu Kai-pang itu sangat eksentrik, aneh luar biasa, kalau dipergoki tentu bisa celaka.

Maka cepat Toan Ki memberi isyarat kepada Ciong-Ling agar anak dara itu lekas berusaha menghindari. Namun di rumah gubuk yang sempit itu ke mana dapat menghindar? Asal A Ci dan Goan-ci melangkah masuk tentu akan segera dilihatnya.

Selagi Ciong Ling celingukan dengan bingung, sementara itu suara tindakan kedua orang di luar itu terdengar sedang mendekati kamar. Terpaksa ia berbisik, "Sembunyi di kolong ranjang.”

Apa yang dikatakan ranjang itu sebenarnya adalah balai-balai buatan dari pasangan batu yang serba guna, pada musim dingin kolong balai-balai itu dapat digunakan sebagai anglo atau tungku pemanas badan dengan membakar api di bawahnya. Dan karena sekarang adalah musim panas, dengan sendirinya kolong balai-balai itu kosong, penuh hangus bekas bakaran. Maka begitu Toan Ki menyusup ke dalam, seketika hidungnya banyak menghirup debu hangus sehingga hampir saja bersin, untung dia lantas pancet hidung sendiri dan tidak jadi mengeluarkan suara.

Ciong Ling meringkuk di sebelah Toan Ki, waktu ia mengintip keluar sana, dilihatnya sepasang kaki kecil bersepatu sulam telah melangkah masuk ke dalam kamar, nyata itulah kaki kaum wanita. Sebaliknya lantas terdengar si lelaki sedang berkata, "Ai, terpaksa aku mesti digendong kian kemari olehmu, sungguh aku terlalu merendahkan keagungan nona."

"Kita senasib, yang satu buta dan yang lain pincang, ini namanya gotong royong bersatu hati." sahut si wanita muda.

Ciong Ling menjadi heran, katanya di dalam hati, "O, jadi nona Ong itu adalah orang buta, dia mengendong Piaukonya, Maka aku tidak melihat kaki lelaki itu.”

Dalam pada itu A Ci telah menaruh Goan-Cí di atas balai-balai, lalu terdengar Goan-ci berkata. ”He, tempat ini baru saja direbahi orang, di kolong selimut ini pun masih hangat-hangat."

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar mara gadubrakan, pintu didobrak orang sehingga terpentang,beberapa orang menerjang ke dalam. Seorang di antaranya lantas berkata dengan kasar, "Ong-pangcu. urusan Kai-pang kita belum selesai, kenapa kau tinggal pergi begitu saja, apa maksudmu sebenarnya?”

Itulah Song tianglo. Dia membawa dua murid Kai-pang berkantong tujuh dan dua orang berkantung enam datang mencari Yu Goan ci alias Ong Sing-thian, sang Pangcu.

Kiranya sesudah Siau Wan-san ayah dan anak menguber Buyung Bok ke dalam Siau lim-si dan disusul para padri dan ksatria Tioaggoan, tinggal orang-orang Kai pang yang merasa kehilangan pamor habis-habisan, kalau mereka tidak lekas lekas berdaya, mungkin kedudukan Kai-pang sebagai organisasi terbesar di dunia persilatan akan susah dlpertahankan lagi.

Karena marasa percekcokan antara Siau Wan-san dan Buyung Bok itu tiada sangkut-pautnya dengan Kai-pang, maka para pengamis itu tidak ingin ikut campur, yang mereka pikirkan adalah perlu mengangkat seorang pangcu baru yang bijaksana bagi perkembangan Kai-pang mereka yang jaya. Tapi waktu mereka mencari Ong Sing thian, ternyata sang Pangcu sudah menghilang entah kemana. Padahal untuk bisa mengangkat Pangcu baru diperlukan hadirnya Pangcu lama.

Karena itu para pengemis lantas mencari sang Pangcu, mereka menduga Ong Sing-thian tidak pergi jauh karena kedua kakinya sudah patah. Malahan kemudian diketahui pula bahwa A Ci juga menghilang, maka para pengemis menduga nona itu pasti kabur bersama Ong Sing-thian.

Song-tianglo sendirl memimpin empat murid Kai-pang dan mencari di sebelah tenggara Siau- lim-san, dari jauh dilihatnya baju warna ungu menyelinap ke dalam sebuah rumah petani, Ia kenal A Ci memakai pakaian ungu, tertampak pula gadis itu mengendong orang yang mirip Ong Sing-thian, maka cepat ia memburu tiba dan menerjang ke dalam kamar rumah petani itu. Betul juga lantas dilihatnya A Ci dan Ong Sing-thian duduk di atas balal-balai.

Dengan suara dingin A Ci lantas menyemprot, "Song-tianglo, jika kamu masih menyebut dia sebagai Pangcu, mengapa kamu gembar-gembor tak karuan sama sekali tidak pakai peraturan cara ketemu dengan Pangcu kalian?"

Song-tianglo melangak, la pikir banar juga ucapan Si nona maka katanya, "Pangcu, saudara-saudara kita masih berada di Siau-lim-san, apa yang harus kami lakukan selanjutnya harap Pang-Cu memberl petunjuk."

"Apa kalian masih menganggap aku sebagai Pangcu?" Goan-ci menegas. "Kamu minta aku kembali ke sana, maksud kalian hanya ingin mambinasakan aku bukan? Tidak, aku tak mau kesana!"

Segera Song-tianglo memberi tanda kepada keempat anggota Kai-pang, "Lekas pergi menyampaikan berita bahwa Pangcu berada di sini."

Keempat orang itu mengiakan. Dan baru saja mereka hendak melangkah pergi, mendadak A Ci membentak, "Turun tangan!"

Kontan sebelah tangan Goan-ci menghantam ke depan. Seketika Ciong Ling dan Toan Ki yang sembunyi di kolong balai-balai itu merasa hawa dingin menusuk tulang, keempat anggota Kai-pang tahu-tahu menggeletak di lantai tanpa bersuara sedikit pun, terang sudah mati.

Kaget dan gusar pula Song-tianglo, sambil siap siaga ia berkata, "Ter ... terhadap saudara sendiri ken ... kenapa kau turun tangan sekeji ini?"

"Bunuh dia sekalian!" seru A Ci mendadak.

Tanpa ayal lagi kembali Goan-ci menghantam. Ketika Song-tianglo menangkis, "blak", kontan tubuh pengemis tua itu mencelat dan terguling-guling keluar pintu.

A Ci tertawa senang, katanya, "Ong-kongcu, orang itu pasti akan mampus juga, eh, kau lapar tidak? Marilah kita mencari sedikit makanan."

Segera ia menggendong Goan-ci ke dapur, ia ambil santapan yang sudah disiapkan oleh Ciong Ling tadi ke ruangan tamu, lalu dimakan bersama Goan-ci.

”Kedua orang itu benar-benar tidak tahu aturan, masakah daharan kita disikat begitu saja tanpa permisi," bisik Ciong Ling di tepi telinga Toan Ki.

"Mereka sangat kejam, sekali serang tentu membunuh orang, sebentar lagi tentu mereka juga akan ke sini, mumpung mereka sedang makan minum lebih baik kita mengeluyur pergi dari pintu belakang saja," ujar Toan Ki dengan suara perlahan.

Ciong Ling memang tidak ingin melihat pertemuan antara Toan Ki dengan "nona Ong", sudah tentu ajakan Toan Ki sangat kebetulan baginya. Maka dengan perlahan mereka lantas merangkak keluar dari kolong balaibalai. Melihat muka Toan Ki penuh hangus sehingga sangat lucu kelihatannya, hampir saja Ciong Ling mengikik geli, Cepat ia dekap mulut sendiri.

Sesudah keluar pintu kamar dan menyusur ke ruang dapur baru saja mereka hendak melangkah keluar pintu belakang, celaka 13, rasa terkili-kili di hidung Toan Ki yang tertahan sejak tadi tak bisa dikuasai lagi.

"Haciim!" ia bersin dengan keras.

Keruan Ciong Ling mendongkol, dalam pada itu terdengar suara gadubrakan di ruangan depan tadi, terang suara bersin Toan Ki telah didengar A Ci. Ciong Ling menjadi gugup, ia lihat tadi tiada yang dapat dibuat sembunyi, hanya di belakang dapur itu ada sebuah gudang kayu bakar. Tanpa pikir lagi ia. tarik Toan Ki dan menyusup ke tengah onggok jerami yang tertimbun dalam gudang itu.

Dalam pada itu terdengar A Ci sedang bertanya kepada Goan-ci, "He, seperti ada orang memanggil aku? Kukira di sini pasti ada orang."

"Ah, besar kemungkinan ada petani di sini, tak perlu digubris." ujar Goan-ci.

"Masakah tali digubris? Engkau terlalu gegabah, kelak engkau pasti akan rugi sendiri." Kata A Ci. "Sst, jangan bersuara!"

Karena matanya buta, dengan sendirinya telinganya menjadi jauh lebih tajam dan pada orang biasa, samar samar ia dengar ada suara kresek-kresek di gudang kayu, maka ia lantas berbisik, "Di tengah onggok rumput ada orang!"

Sesudah menyusup ke dalam onggok jerami, mestinya Ciong Ling dan Toan Ki tidak berani bersuara atau bergerak sedikit pun. Tapi mendadak Ciong Ling merasa mukanya ketetesan cairan, waktu ia raba dan dicium, ia endus bau anyir darah keruan ia terkejut dan bertanya, "He, lu ... lukamu kambuh lagi?"

"Ssst, jangan bersuara!" bisik Toan Ki.

Tapi karena ucapan Ciong Ling itu, suaranya segera didengar oleh A Ci. Ia menjawab Goan-ci dan memberi tanda ke arah gudang kayu. Segera Goan-ci menghantam ke sana, "brak", papan pintu pecah berantakan dan bertebaran bersama jerami.

Selagi Goan-ci hendak menghantam pula, cepat Ciong Ling berseru, "Jangan memukul lagi, kami akan keluar!"

Lalu ia memayang Toan Ki dan merangkak keluar dari tempat sembunyi mereka.

Rupanya luka Toan Ki yang ditikam oleh ”Hwe-yam-to" tak berwujud serangan Cimoti itu menjadi pecah lagi setelah banyak bergerak karena diseret sembunyi ke sini dan ke sana oleh Ciong Ling sehingga darah mengucur lagi.

Waktu dia merangkak keluar dari onggok jerami, sementara itu badannya sudah berlepotan darah tercampur hangus, kotoran jerami dan lain-lain sehingga tak keruan macamnya.

"He, kenapa ada suara seorang nona cilik?" demikìan tanya A Ci kepada Goan Ci.

"Ya, seorang lelaki dan seorang nona cilik bersembunyi di tengah onggok jerami, badan mereka berlepotan darah, kedua mata dara cilik yang berkilat-kilat itu sedang memandang dirimu," sahut Goan-ci.

Sejak A Ci buta, ia paling sirik, bila ada orang menyebut tentang "mata". Sekarang Goan-ci tidak cuma bilang "mata" saja, bahkan mengatakan "mata yang berkilat-kilat", hal ini semakin menyinggung perasaannya. Maka tanyanya segera, "Berkilat-kilat bagaimana? Apakah matanya sangat celi dan indah?"

Goan-ci tidak tahu A Ci sangat marah, maka jawabnya, "Pakaian dara silik itu sangat kotor, tentu dia anak petani di sini. Hanya matanya memang sangat celi dan hitam mengkilat."

Keruan A Ci tambah murka, sekonyong-konyong timbul semacam pikirannya yang keji, katanya segera, "Ongkongcu, kenapa engkau tidak mencukil matanya yang indah itu!"

Goan-ci terperanjat, tanyanya, "Tanpa sebab mengapa mencukil matanya?"

Sesudah sekian lamanya berada bersama, A Ci kenal perangai Goan-ci yang suka sembarangan membikin susah orang lain. Segera ia berkata pula, "Mataku Sudah dibutakan Ting-lokoai, maka boleh kau cukil mata nona cilik itu untuk dipasangkan padaku agar aku dapat melihat lagi, bukan kah cara demikian sangat baik?"

Tapi Goan-cl menjadi kuatir pikirnya, 'Jika kau dapat melihat lagi sehingga tahu mukaku yang buruk seperti siluman ini, tentu engkau tak mau gubris lagi padaku dan boleh jadi engkau akan mengenàli pula mukaku yang asli dan mengatahui aku ini si Badut kepala besi, segala Ong Sing-thian, ketua Kek-lok-pai dan apa lagi tidak lain hanya dusta belaka, maka pasti engkau akan putuskan hubungan dengan aku seketika. Wah, permintaanmu ini sakali-kali tak boleh terjadi."

Karena itu, lalu jawabnya. "Jika aku dapat menyembuhkan matamu ini biarpun aku harus hancur-lebur juga

aku rela tapi .... tapi rasanya tidak dapat lagil"

Walaupun A Ci juga tahu tidak dapat mencukil mata orang lain untuk menggantikan mata sendiri yang buta, tapi sejak dia buta sungguh rasa dendamnya tak kepalang, kalau bila ia ingin setiap manusia di jagat ini juga dibuat buta semua, dengan demikian barulah ia merasa puas. Maka katanya, "Engkau bolum mencoba dari mana kau tahu tidak dapat? Ayo, lekas lakukan cukil dulu matanya itu!"

Memangnya Goan-ci sudah berada di gendongannya, maka A Ci lantas melangkah ke arah Toan Ki dan Ciong Ling.

Dalam pada itu Ciong Ling menjadi ketakutan demi mendengar tanya jawab A Ci dan Goan-ci tadi, maka sebelum A Ci mendekat lebih dulu ia sudah angkat langkah seribu alias lari. Dasar gerak-gerik Ciong Ling memang lincah dan gesit, dalam keadaan takut larinya menjadi lebih cepat lagi maka dalam sekejap saja la sudah lari beberapa puluh meter jauhnya.

A Ci sandiri buta, menggendong Goan-ci pula, dengan sendirinya susah mengejar Ciong Ling. Maka waklu mendengar suara lari Ciong Ling yang sudah menjauh itu, la tahu tak dapat menyusulnya segara la berhenti dan berkata, "Jika anak dara itu lari boleh bunuh saja yang lelaki!”

Ciong Ling terperanjat ketika dari jauh mendengar ucapan A Ci itu, segera ia berhenti lari dan putar balik, la lihat Toan Ki menggeletak di tanah dan banyak mengucurkan darah, bentaknya segera, "Anak buta kau berani mencelakai dia?"

Sekarang dia sudah berhadapan dengan A Ci dan dapat melihat jelas mukanya, ia lihat si "Nona Ong” memang sangat cantik, sungguh sukar dipercaya bahwa hatinya ternyata begitu kejam.

"Tutuk dia punya hiat-tol" tiba-tiba A Ci berseru pula.

Walaupun Goan-ci sebenarnya tidak mau, tapi selama ini ia tidak berani membangkang perintah A Ci, dahulu waktu di negeri Liau bagitu, sekarang sesudah jadi Pangcu Kai-pang juga tetap demikian maka demi mendengar perintah A Ci, seketika ia menutuk ke depan, "crit", kontan Ciong Ling tertutuk roboh.

"Nona Ong. jangan ... mencelakai dia!" seru Ciang Ling. "Dia ... dia selalu terkenang-padamu. dalam mimpi pun selalu menyebut namamu, dia benar-benar sangat cinta padamu."

"Heh, apa katamu? Nona Ong?" tanya A Ci dengan heran.

"Apa engkau bu , .. bukan nona Ong!" Ciong Ling menegas. "Habis siapa engkau?"

A Ci tersenyum, katanya, "Meski Ong-kongcu ini adalah orang kusendiri, tapi aku sendiri bukan she Ong. boleh juga asal dia selalu menurut pada perintahku dan tidak boleh membangkang sedikit pun."

Hati Goan-ci berdebar demi mendengar ucapan A Ci yang seakan-akan memberi bayangan bila dirinya senantiasa menurut kemauan si nona, maka ada kemungkinan si nona akan mau menjadi istrinya. Seketika Goan-Ci merasa tenggorokannya seperti tersumbat, hendak bicara, tapi berat sekali rasanya.

Kemudian A Ci menurunkan Goan-ci dan membiarkannya duduk bersandarkan pohon, lalu katanya, "Nah, lekas mencukil mata anak dara itu!"

Dalam keadaan kesemsem, tanpa pikir lagi Goan-cì mengiakan, ia mengulur sebelah tangannya dan mencengkram kuduk Ciong Ling.

Karuan Ciong Ling Ketakutan dan berteriak-teriak, "Jangan mencukil mataku, jangan!"

Saat itu Toan Ki dalam keadaan sadar tak sadar, tapi ia pun lahu kedua orang itu hendak mencukil biji mata Ciong Ling untuk menggantikan mata A Ci yang sudah buta itu. ia pun tahu tadi Ciong Ling sebenarnya dapat melarikan diri, tapi demi untuk menolong dia, si nona lari balik hingga tertangkap. Maka dengan sekuatnya Toan Ki coba berkata, "Le ... lebih baik kalian mencukil biji mataku saja. Kita ... kita adalah orang sekeluarga, tentu ... tentu akan lebih cocok .... "

A Ci tidak paham apa yang dikatakan Toan Ki tentang "orang sekeluarga," tetap mendesak Goan-ci, "Ayo, kenapa tidak lekas turun tangan.”

"Ya," sahut Goan-Ci dan segera ia seret Ciong ling lebih dekat, sekali ia puntir kepala Ciong Ling ke atas, lalu dengan jari kanan hendak mencolok mata kiri si nona.

Untung pada saat itu keburu ada suara bentakan seorang perempuan, "Hai, apa yang sedang kalian lakukan di situ?"

Goan-ci tertegun, cepat ia menoleh seketika air mukanya bwrubah, ternyata di bawah pohon, di tepi parit

pegunungan sana berdiri dua orang lelaki dan empat wanita. Kedua orang lelaki itu adalah Siau Hong dan Hitiok, sedang keempat orang wanita adalah Bwe-kiam dan kawan-kawannya.

Sekilas Siau Hong, sudah lihat Toan Ki menggeletak di situ, cepat ia melompat maju dan membangunkan Toan Ki. Katanya dengan berkerut kening, Lukanya pecah lagi dan mengeluarkan darah sebanyak ini!"

Segera sebelah kakinya berlutut dan menyandarkan tubuh Toan Ki pada pahanya, lalu di periksanya luka saudara angkat itu.

Sementara itu Hi-tiok juga sudah mendekatinya katanya setelah melihat luka Toan Ki itu, "Toako jangan kuatilr kupunya Kilu-coan-him-coa-wan ini sangat manjur sekali bagi luka demikian!"

Segera ia menutuk beberapa hiai-to di sekitar luka Toan Ki itu untuk menghentikan darah yang masih mengucur itu lalu dijejalkan sebutir Kiu-coan-him-coa-wan ke mulut Toan Ki.

Wajah Toan Ki yang pucat pasi itu menampilkan senyuman lega, katanya, "Toako, Jiko, lekas ... lekas cegah mereka yang hendak men ....mencukil mata nona Ciong itu."

Serentak Siau Hong daa Hi-tiok lantas memandang ke arah Goan-ci.

Dalam gugupnya cepat Goan-ci melepaskan cengkaramannya atas diri Ciong Ling, Sedangkan A Ci lantas mengenali suara Siau Hong, katanya segera "Cihu, apa pesan Enciku sebelum ajalnya? Sesudah kau pukul mati dia, sekarang engkau melupakan pula segala pesannya padamu?"

Mendengar nona cilik itu menyinggung A Cu kembali Siau Hong berduka dan medongkol pula maka ia hanya mendengus sekali dan tidak menjawab.

A Ci berkata pula, "Engkau tidak menjaga diriku dangan baik dan tidak pusing pula ketika mataku dibutakan oleh Ting-lokai. Cihu, setiap orang sama engatakan engkau adalah ksatria nomor satu di jaman ini tapi engkau tidak mampu melindungi keselamatan adik iparmu sendiri. Apa barangkali engkau tidak punya kepandaian? Hm, padahal Ting-lokoai sudah terang bukan tandinganmu, soalnya engkau tidak mau menjaga dan membela diriku."

"Kau sendiri mengeluyur pergi secara mendadak dan tanpa pamit, dari mana kudapat mencari dirimu?" sahut Siau Hong. "Namun ... namun matamu buta, hal ini memang ... memang salahku yang kurang sempuma menjaga keselamatanmu."

Semula sebenarnya Siau Hong sangat marah ketika melihat A Ci bikin gara-gara lagi dengan menyuruh Goanci mencukil mata orang lain. Tapi sekarang dia lantas teringat pesan A Cu pada malam yang gelap gulita dengan hujan badai di atas jembatan batu itu A Cu kena hantamannya. Lalu memberi pesan terakhir dalam pelukannya agar selunjutnya süka menjaga adik perempuannya, yaitu A Ci. Untuk itu Siau Hong sendiri pernah berjanji jangankan Cuma satu permintaan, biarpun seratus atau seribu permintaan juga akan dituruti.

Tapi akhirnya A Ci tersesat ke jalan yang jahat, matanya buta pula, untuk ini terang dirinya harus bertanggung jawab karena kurang sempurna mengawasi anak dara cilik itu. Berpikir sampai di sini, perasaan Siau Hong menjadi pedih, sorot matanya penuh menunjuk kehalusan budi. Walaupun A Ci tidak dapat melihat air muka Siau Hong, cukup lama dia tinggal bersama sang Cihu, maka ia cukup kenal watak Siau Hong, asal dirinya menyingung tentang A Cu, itu berarti obat yang paling mujarab, biar urusan maha besar apa pun juga pasti akan diterima Siau Hong.

Dan karena benci pada Ciong Ling yang telah menyebutnya "anak buta ' diam-diam ia bersumpah akan membuat Ciang Ling juga merasa bagaimana rasanya orang buta. Maka sesudáh menghela napas, lalu ia berkata kepada Siau Hong, "Cihu mataku buta, segala apa tak bisa kulihat lagi lebih baik aku mati saja."

"Kau boleh ikut ayahmu pulang ke Tayli saja,” Ujar Siau Hong. "Betapa bahagíanya hidup dalam istana raja Tayli sana, sekali kamu bersuara akan mendapat jawaban orang banyak, biarpun matamu buta. tapi kamu akan dilayani dayang-dayang yang tak terhitung banyaknya, tentu kamu takkan susah.”

"Ibuku bukan istri pangeran yang sah. Bila aku tinggal di Taílí sana, kalau sampai terjadi percekcokan antar anggota keluarga, sedangkan mataku súdah buta, aku pasti akan dibunuh orang." kata A Ci.

Benar juga pikir Síau-Hong akan alassan A Ci maka jawabnya, "Jika begitu boleh kau ikut aku pulang ke Lamkhin, akan ku suruh orang melayanimu dengan baik supaya bias hidup dengan tentram dan senang, jauh lebih enak dari pada terlunta-lunta di dunia kangouw.

"Pulang kembali ke istañamu?" A Ci menegas. "Aduh mak! Sedangkan dahulu waktu mataku tidak buta hidupku di sana pun terasa sebat, apalagi sekarang? Kaupun tidak sama seperti Ong-pangcu íni yang segala apa selalu menurut padaku. Maka aku lebih suka hidup terlunta-lunta di kangouw secara bebas."

Siau Hong coba memandang sekejap pada Goan ci pikirnya, "Urusan begini memang aku tidak dapat melarang dia. Tampaknya A Ci sudah menyukai Pangcu Kai-pang ini."

Karena itu mendadak rasa bencinya pada Goan-ci bertambah satu lapis lagi, segera ia Tanya kepada A Ci, "Saudara Ong ini sebenarnya dari mana asal-usulnya? Apa sudah pernah kau tanya dia?"

"Sudah tentu aku pernah tanya dia," sahut A Ci. "Cuma asal-usul seseorang juga tidak selalu dapat dipercaya. Misalnnya Cihu sendiri dahulu waktu engkau masih menjabat Pangcu Kai-pang apakah engkau pernah bilang kepada orang lain bahwa engkau adalah keturunan Cidan?"

Siau Hong menjadi kurang senang karena setiap kata A Ci itu selaiu berduri. Maka ia hanya mendengus sekali dan tidak bicara lagi. Dalam hati ia tak bisa ambil keputusan apa mesti membiarkan A Ci ikut pergi bersama Ong Sing-thian atau tidak?”

Tapi A Ci lantas berkata, "Cihu, engkau takkan mempedulikan aku lagi, ya?”

"Habis apa pula kehendakmu?" sahut Siau Hong sambil berkerut kening.

"Soalnya sangat mudah sekali." ujar A Ci Ku minta engkau mencukilkan biji mata nona cilik iti dan dipasangkan pada mataku."

Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, "Ong pangcu sudah menyanggupi melakukan hal itu bagiku bila engkau tidak datang dan mencegahnya, tentu sejak tadi urusan sudah beres. Ya, boleh juga engkau yang melakukannya bagiku. Cihu, aku sangat ingin tahu apakah engkau lebih baik padaku atau Ong-pangcu lebih baik padaku. Dahulu engkau menghantam patah tulang rusukku, lalu kau bawa aku jauh ke timur laut sehingga kesehatanku sembuh kembali, Takkala itu betapa baiknya engkau padaku, apa yang kumaukan tentu kau lakukan. Kita berdua tinggal dalam satu kemah, tanpa pikirkan siang atau malam senantiasa kau pondong tubuhku. Cihu, apakah engkau sudah melupakan semua itu?”

Mendengar uraian A Ci itu, seketika mata Goan-ci menyorotkan sinar kebencian yang tak terkatakan, sinar mata yang buas dan penuh cemburu dan seakan-akan hendak berkata, "A Ci adalah Milikku, jangan kau coba menyentuhnya sedikitpun.”

Siau Hong sendiri tidak memperhatikan sinar mata Goan-ci yang luar biasa itu, la menjawab pertanyaan A Ci tadi, "Tatkala itu kamu terluka parah karena pukulanku, demi untuk menyembuhkanmu mau-tak mau aku harus mengikuti segala keinginanmu. Sedangkan nona cilik ini adalah kawan adik angkatku, mana boleh kau cukil matanya untuk menggantikan matamu? Apa lagi di dunia ini pada hakekatnya tiada cara pengobatan demikian, cara berpikirmu ini sungguh terlalu aneh!"

Tiba-tiba Hi-tiok menimbrung. "Kulihat kedua mata nona Toan itu cuma rusak selaputnya saja karena terbakar, kalau dapat diganti dengan sepasang biji mata orang hidup memang bukan mustahil akan dapat disembuhkan kembali."

Memang ilmu pengobatan dari golongan Siau-yau-pai boleh dikata maha sakti, walaupun pengetahuan Hi-tiok dalam hal ini tidak banyak, tapi dia telah belajar selama beberapa bulan dengan Thian-san Tong-lo, maka macam-macam cara pengobatan yang aneh pernah didengarnya juga dari nenek sakti itu.

Karena keterangan Hi-tiok itu membuat A Ci bersorak gembira, katanya, "Wah, bagus! Hi-tiok siansing, ucapanmu tidak mendustai aku bukan?"

"Sudah tentu aku tidak dusta, cuma ....”

"Cuma apa?" A Ci menegas dengan tidak sabar. "O, Hi-tiok Siansing yang baik, engkau adalah saudara angkat Cihuku, maka kita pun sebenarnya adalah orang sendiri. Tadi kaupun sudah mendengar kata-kata Cihu, dia paling sayang padaku. Eh, Cihu, betapapun engkau harus minta adik angkatmu agar Suka menyembuhkan mataku."

”Aku memang pernah dengar cerita paman guruku bahwa biji mata yang belum rusak dapat diganti dengan biji mata hidup yang lain, cuma cara mengganti biji mata ini aku sendiri tidak paham," ucap Hi-tiok.

"Jika begitu harap memohonkan pertolongan paman gurumu itu," sahut A Ci.

"Ai, sayang beliau sudah lama wafat," sahut Hi-tiok sambil menghela napas.

"Ha, jadi kau sengaja omong kosong untuk mempermainkan aku," omel A Ci.

"Tidak, tidak," cepat Hi-tiok menerangkan. "Leng-ciu-kiong kami banyak banyak menyimpan kitab püsaka, kuyakin ilmu penyembuhan mata itu juga terdapat di antara kitab-kitab kami itu. Hanya saja ... hanya saja .... "

"Kamu ini memang aneh, seorang lelaki mengapa suka bicara demikian rupa, tadi ada 'cuma', sekarang tambah lagi 'hanya saja' apa segala?" kata A Ci.

"Hanya saja siapa yang mau memberikan biji mata hidup untuk menggantikan matamu?" kata Hi-tiok akhirnya.

"Hihi!" A Ci tertawa. "Kukira, soal apa yang sukar, tak tahunya Cuma soal biji mata. Ini kan gampang, asal kau cukil biji mata nona she Ciong itu, bukankah urusan menjadi beras?”

"Tidak, tidak boleh jadi!" seru Ciong Ling. "Kalian tidak boleh mencukil mataku."

"Benar!" kata Hi-tiok. "Jika kamu tidak ingin kehilangan mata, sudah tentü nona Ciong pun tidak ingin buta matanya. Kata Khong-hu-cu 'Apa yang kita sendiri tidak mau, janganlah dilimpahkan kepada orang lain.’ Apalagi nona Ciong ini adalah sobat baik Samte kami ... "

Berkata sampai sobat baik mendadak hati Hi-tiok tergetar, "Wah, celaka! Tempo hari ketika aku makan minum bersama Samte di Leng-ciu-kiong dan saling mengutarakan perasaan masing-masing diketahui bahwa kekasihnya adalah 'Dewi impian’ ku pula. Tampaknya sekarang Samte sangat baik pada nona Ciong ini, Bahkan tadi Samte menyatakan bersedia matanya dicukil daripada mata nona Ciong yang dicukil, dari hal ini saja dapat di ketahui betapa mendalam cinta Samte kepadanya."

Lalu terpikir pula oleh Hi-tiok, "Apa mungkin nona Ciong ini adalah dewi impian yang pernah berkumpul tiga malam berturut-turut denganku itu?”

Teringat akan pengalaman tempo dulu itu, kembali hati Hi-tiok berdebar-debar, ia coba melirik ke arah Ciong Ling ia lihat meski kepala dan muka nona itu penuh debu hanlus, tapi semua itu tidak menutupi kecantikannya.

Waktu berkumpulnya Hi-tiok dengan Dewi impiainnya cukup lama, cuma ketika itu mereka berada di dalam gudang es yang gelap gulita, maka bagaimana sebenarnya wajah sang "dewi impian" itu tidaklah jelas baginya, kecuali kalau dia menggunakan tangannya untuk meraba muka dan bagian-bagian tertentu barulah mungkin dapat mengenalinya. Tapi disiang hari bolong, di depan orang banyak mana berani Hi-tiok menggunakan tangannya untuk meraba mukanya Ciong Ling?

Karena itu, untuk sekian lamanya la merasa bingung, ia coba ingat-ingat suara "dewi impian' itu, rasanya agak berbeda dengan suaranya Ciong Ling. Tapi suara seseorang besar kemungkinan akan berlainan bila berada didalam gudang dan berada di luar rumah. Apalagi waktu se dewi impian bicara dengan dia hanya dilakukan dalam keadaan bisik-bisik penuh kasih mesra, sedangkan sekarang Ciong Ling berteriak dan menjerit dalam keadaan ketakutan, suasana yang berbeda tentu juga tidak heran bila mengakibatkan perbedaan suara.

Begitulah dengan termanggu-manggu Hi-tiok memperhatikan Ciong Ling, dalam hati sesungguhnya sangat ingin mengulurkan tangannya untuk meraba-raba muka si nona agar dapat diketahui apakah nona itu adalah Dewi impiannya sendiri atau bukan? Dan karena timbul rasa kasih mesranya itu, dengan sendirinya air mukanya lantas mengunjuk rasa lemah lembut dan ramah tamah.

Ciong Ling sampai terheran-heran ia pikir si gundul ini (rambut Hi-tiok belum tumbuh kembali walau pun sudah ganti pakaian biasa) tampaknya sangat ramah-tamah, tentu dia tìdak mau mencukìl mataku. Maka legalah hatinya.

Dalam pada itu A Ci telah berkata pula, "Hi-tiok Siansing, aku adalah adik perempuan kau punya Samte, sedangkan nona Ciong ini hanya kawannya saja. Perbedaan ini tentu sangat besar."

Sementara itu sesudah minum Kiu-coan-him-coa-wan, dalam sekejap saja darah sudah berhenti mengucur keluar dari luka Toan Ki, pikirannya juga pelahan-pelahan jernih kembali, maka beberapa kata-kata A Ci yang terakhir itu dapat didengarnya dengan jelas. Karena itu ia lantas menjengek dan berkata, "Hm, jadi kau sudah tahu bahwa kau membunyai hubungan darah dengan aku, tapi mengapa kau suruh orang untuk mencelakai aku?”

"Engkoh cilik," sahut A Ci dengan tertawa. "Waktu kau sembunyi didalam kamar sudah tentu aku tidak tahu bahwa kau yang berada disitu, kemudìan sesudah mendengar suaramu barulah aku mengenalimu. Mataku sudah buta jika tidak mendangarkan susramu, dari mana aku bisa tahu engkau adalah saudaraku sendiri?"

Benar juga pikir Toan Ki, maka katanya, "Ya, sudah. Jika Jiko paham cara pengobatan mata, tentu dia akan berusaha untuk menyembuhkanmu. Tapi biji mata nona Ciong sekali-kali tak boleh kau ganggu."

"Eh, tadi kudengar engkau membaiki nona Ong dengan berbagai daya upayamu, mengapa dalam sekejap saja kau penujui pula nona Ciong ini?” tanya A Ci.

"Ngaco!" sahut Toao Ki dengan muka merah jengah.

"Dan kalau nona Ciong ini adalah calon Enso (kakak ipar istri kakak), dangan sendirinya tidak boleh kuganggu dia tapi kalau bukan mengapa aku dilarang?” kata A Ci pula. "Nah, engkohcilik, katakanlah terus terang dia Ensoku atau bukan?”

Hi-tiok melirik ke arah Toan Ki dengan hati berdebar-debar ia tidak tahu Ciong ling, itu sang "Dewi impian" yang dirindukannya atau bukan? Jika bukan sih tidak menjadi soal, tapi kalau betul wah, kan runyam bila sampai diambil istri oleh Toan Ki.

Begitulah, maka Hi-tiok juga ingin tahu apa jawahan Toan Ki. Ciong Ling pun sedang menantikan keterangan Toan Ki, pikirnya, "Kiranya nona buta ini adalah adik perempuanmu, sampai dia juga mengatakan kausuka pada nona Ong maka hal ini tidak perlu disangsikan lagi. Tapi kenapa tadi kau bilang aku adalah ibu guru Gak-

Losam? Mengapa engkau bersedia menyerahkan biji matamu untuk mewakilkan mataku yang akan dicukil nona buta itu?"

Akhirnya terdengar Toan Ki menjawab. "Pendek kata kamu tidak boleh membikin susahnona Ciong. Usiamu masih sekecil ini tapi selalu berbuat hal-hal yang tidak pantas. Leng liam li bukankah mati lantaran marah padamu. Kalau sekarang kamu berniat jahat lagi, tentu Jiko tak mau mengobati matamu."

"Waduh lagaknya seperti orang tua mengajar anak perempuan ya?" sahut A Ci dengan mulut mengjangkit.

Melihat semangat Toan Ki sudah mulai pulih, suaranya penuh tenaga, maka Siau Hong tahu Kuim-coan-wan yang diberi Hi-tiok itu sangat manjur, keselamatan adik angkat itu sekarang tidak perlu dikuatirkan lagi. Segera katanya, ”samte, marilah kita mengaso dulu ke dalam rumah dan sekaligus merundingkan langkah-langkah selanjutnya.”

Toan ki mengiakan dan segera bangun, Ciang Ling menjadi kuatir, serunya, "Eh, hati-hati nanti lukamu kambuh lagi!"

"Obatmu benar-benar sangat manjur, Jiko," käta Siau Hong.

Hi tiok hanya mengiakan saja, dalam hati ia sedang memikirkan nada ucapan Ciong Ling yang penuh perhatian kepada Toan Ki tadi, karena belum tahu persis apakah nona itu Dewi Impian atau bukan, maka ia pun tidak tahu apa mesti cemburu atau tidak, ia hanya merasa bingung seakan-akan kehilangan sesuatu.

Sesudah semua orang masuk ke dalam rumah, Toan Ki rebah kembali di atas balai-balai dan Siau Hong duduk di depannya, Bwe-kiam berempat sibuk masak air da menanak nasi, mereka melayani Siau Hong, Toan Ki, Ciong Ling dan Hi-tiok dengan Baik, sebaliknya sama sekali tidak gubris kepada Goan ci dan A Ci.

Tentu saja A Ci sangat mendongkol. Kalau menuruti wataknya, mestinya keempat dara Leng-ciu-kiong itu sudah didamprat dan diracun sekalian atau ditinggal pergi saja, tapi sekarang karena dia perlu minta pertolongan Hi-Tiok untuk menyembuhkan matanya, terpaksa ia menahan rasa gusar itu.

Siau Hong adalah seorang lelaki yang berhati lapang, sudah tentu ia tidak mengurusi apakah A Ci sedang marah marah atau tidak? Dalam isengnya ià menarik laci meja yang terletak di dekat balai-balai itu, kotika melihat laci meja itu, seketika ia tertegun.

Melihat sikap sang Toako yang agak aneh itu, Hi-tiok dan Goan-ci ikut memàndang ke dalam laci. Kiranya di dalamnya terisi macam-macam mainan kanak-kanak, ada harimau kayu, anjing-anjingan lempung, bumbung wadah jangkrik dan beberapa belah pisau kecil yang sudah berkarat. Kesemua itu adalah barang mainan anak kecil yang tidak perlu diherankan. Tapi Siau Hong justru ambil harimau kayu itu dan mengamat-amatinya dengan termangu-mangu.

A Ci tidak tahu apa yang sedang dilakukan Siau Hong, padahal hidupnya senantiasa ingin disanjung puji dan suka memerintah tapi di depan Siau Hong dan Hi-tiok mau tak mau Goan-ci merasa jeri sehingga sama sekali ia tidak berani ajak bicara pada A Ci, hal ini membuat A Ci semakin mendongkol dan makin uring-uringan, tiba-tiba sikutnya menumbuk sebuah alat tenun kayu di sebelahnya sehingga ambruk dalam gusarnya A Ci terus lolos pedang dan "crat", ia membacok alat tenun itu sehingga terbelah menjadi dua.

"A Ci, ada apa?” bentak Siau Hong mendadak.

"Alat tenun itu membentur tanganku hingga kesakitan, maka kuhancurkan dia, apa sih alangannya?" sahut A Ci.

"Kau keluar sana! Masakah benda dalam rumah ini boleh kau rusak semaunya?" kata Siau Hong dengan gusar.

"Keluar ya keluarl" sahut A Ci. Dan dengan langkah cepat ia terus bertindak keluar.

Tak tersangka karena terburu-buru, "duk” batok kepalanya kebentur tepian pintu. Tapi tanpa bersuara sedikit pun ia meraba raba jelas jalannya dan tetap melangkah keluar dengan cepat.

Hati Siau Hong menjadi lemas dan merasa kasihan cepat ia memburu maju dan memegang tangan A Ci katanya dengan suara halus "A Ci apakah sakit?"

A Ci tak sangup menjawab lagi, ia putar badan dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Siau Hong sambil menangis tersedu-sedan.

Tangan Siau Hong menepuk bahu A Ci, katanya dengan suara ramah. "Ya, A Ci aku yang salah tidak seharusnya aku berlaku kasar padamu."

"Engkau ... engkau sudah berubah, Engkau sudah berubah." kata A Ci sambil mengangis. "Engkau tidak ..... tidak seperti dulu lagi."

'Duduklah A Ci, minum sedikit, ya?” bujuk Siau Hong. Lalu ia ajak masuk nona itu dan mengangkat mangkuk sendini yang berisi air teh dan disodorkan ke mulut A Ci, sebelah tangannya digunakan untuk merangkul punggung A Ci.

Dahulu karena menyesal telah melukai nona cilik itu, pula mengingat pesan terakhir A Cu, maka selama lebih setahun Siau Hong merawat A Ci, baik makan minum, maupun ganti pakaian, sisir rambut dan sebagainya selalu Siau Hong melayaninya seperti terhadap adik perempuan sendiri sedikit pun tidak mempunyai perasaan di luar garis.

Tatkala itu bila A Ci hendak minum obat karena belum sanggup duduk tegak, Siau Hong mesti membantunya dengan merangkul badan si nona agar dapat menegak, lama-lama kebisaan itu menjadi berakar, maka sekarang ketika memberi minum Siau Hong pun merangkul punggung si nona seperti dahulu.

Sesudah A Ci minum beberapa ceguk dengan dirangkul Siau Hong, perasaan mejadi agak lega katanya kemudian dengan tertawa, "Cihu, apa engkau masih akan mengusir aku?"

Siau Hong tidak menjawab, pelahan ia lepaskan tubuh si nona dan menoleh untuk menaruh kembali mangkuk teh di atas meja. Karena waktu itu sudah dekat magrib, dalam keadaan remang-remang tiba-tiba dilihatnya sepasang sinar mata yang buas bagai binatang sedang menatapnya dengan penuh kebencian. Ia terkejut. Ia lihat itu lah sorot matanya Goan-ci yang duduk di pojok sana dengan mengertak gigi, hidungnya berkembangkempis seolah-olah binatang liar yang ingin menerkamnya.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Orang ini entah dari mana asal-usulnya, sungguh sangat luar biasa.”

Dalam pada itu terdengar A Ci, sedang berkata pula, "Cihù, aku cuma merusakkan sebuah alat tenun lama, kanapa engkau sedemikian marah?"

"Apa kau tahu bahwa ini adalah rumah ayah bunda angkatku dan alat tenun yang rusak ini adalah milik ibu angkatku?" sahut Siau Hong.

Semua orang terkejut mendengar keterangan itu. "Toako, jadi engkau yang menyelamatkan aku ke sini?" tanya Toan Ki.

Siau Hong mengangguk. Ia pegang harimau kayu yang kecil itu dan dipandangnya dengan termenung-menung. Sementara itu hari sudah gelap, Tiok Kiam telah menyalakan pelita minyak sehingga bayangan Siau Hong

yang kekar itu tersorot ke dinding rumah.

Siau Hong mengamat-amati mainan harimau kayu yang kecil itu dan berkata dengan suara penuh perasaan, "Ini adalah mainan yang diukir oleh ayah angkatku. Takkala itu usiaku kira-kira lima tahun, beliau duduk di samping meja, di bawah sinar pelita minyak separti sekarang ini, dan mengukir mainan kayu ini bagiku. Ibu angkat sendiri sibuk menenun situ. Aku berdiri menunggui ayah angkat yang sedang mengukir harimau kayu ini, aku menyaksikan moncong harimau selesai diukir, lalu telinganya, sungguh alangkah senangnya hatiku .... "

Toan Ki dan Hi-tiok tahu akan nasib Siau Hong yang malang itu, mereka tahu sang Toako itu dibesarkan oleh ayah-ibu angkatnya, tapi kedua orang tua itu dibunuh oleh Siau Wan-san,ayah Siau Hong yang sebenarnya. Maka bila sekarang terkenang budi kebaikan ayah ibu angkatnya di masa dahulu itu, sudah tentu ia sangat berduka dan terharu.

Kiranya waktu Cumoti mendadak menyerang Toan Ki, untung juga si padri tua yang sedang berkhotbah itu sempat mengebaskan lengan bajunya sehingga Cumoti terdorong pergi beberapa meter jauhnya. Karena itu Cumoti ketakutan dan lekas-lekas melarikan diri. Siau Hong sendiri lantas mengadakan pertolongan kepada Toan Ki yang terluka parah itu dengan bantuan obat luka mujarab pemberian Hian-seng dari Siau-lim-si.

Untung tenaga dalam Toan Ki sekarang sudah sangat hebat, tikaman Cumoti yang tak berwujud itu tidak sampai menembus dadanya sehingga jiwanya masih dapat ditolong.

Di lain pihak Siau Wan-san dan Buyung Bok ternyata sudah mencapai kesadaran dan mengangkat padri tua yang tak bernama itu sebagai guru dengan resmi mereka memeluk agama Budha.

Karena kuatir luka Toan Ki tambah parah bila tak terurus, segera Siau Hong membawanya ke rumah ayah-ibu angkatnya dahulü, sesudah menidurkan Toan Ki di balai-balai, lalu tinggal pergi lagi dengan maksud menemui ayahnya, lain mesti mengatur ke-18 ksatria Cidan yang mengikutinya dari negeri Liau itu. Sama sekali ia tidak menduga bahwa tempat kediaman yang ditinggalkan mendiang ayah-lbu angkotnya itu sudah ada orang yaitu kenalan lama Toan Ki sendiri,Ciong Ling.

Waktu Siau Hong sampai di Siau-lim-si pula, keadaan di sana sudah kembali dalam ketenangan. Rupanya setelah menyaksikan permusuhan Siau Wan-san dan Buyung Bok yang mendalam itu telah diselesaikan bahkan sekarang mereka telah menjadi saudara seperguruan, maka ilmu silat Siau-lim-pai yang pernah dipelajari Síaü Wan-san, takkan tersebar lagi ke negeri Liau, hal ini membuat para ksatria Tionggoan sama merasa lega, maka beramai-ramai mereka lantas mohon diri.

Sementara itu hari sudah gelap, waktu siau hong mohon bertamu dengan ayahnya, di luar dugaan

permintaannya ditolak menurut padri penyambut tamu yang menyampaikan permintaan Siau Hong itu, katanya ayahnya sudah melepaskan diri dari keluarga dan menjadi hwesio, gelarnya sekarang adalah Hui-ho Hwesio, beliau mengharapkan putranya (Siau Hong) menggunakan pengaruhnya untuk berusaha sedapat mungkin hidup berdampingan secara damai antar kedua negeri Song dan Liau demi kesejahteraan manusia.

Sungguh Siau Hong sangat berduka, sejak kecil berpisah dengan ayahnya sesudah bertemu sebentar saja sekarang orang tua itu sudah melepaskan diri dari kekeluargaan, rasanya untuk seterusnya tiada kesempatan buat bertemu lagi. Ia pikir demi pesan sang ayah tadi, selaku Lam-ih Tai-ong harus berusaha mencapai perdamaian di antara negara tetangga.

Tengah Siau Hong termenung. Tiba-tiba dari dalam Sian-lim-si beramai-ramai keluar beberapa padri tua, mereka adalah Sin-kong Sianjin, Cilo Singh dan lain-lain dengan diantar oleh Hian Cit dan Hian Seng, Polo Singh tampak berdiri di belakang Hian-Cit dan merangkap tangannya sebagai tanda hormat mengantar keberangkatan tamu mereka.

Terdengar Cilo Singh berkata, "Sute, aku akan kembali ke Thian-tiok yang jauh di barat sana dan entah kapan baru bisa berjumpa pula, apa engkaü sudah bertekad akan menetap di sini dan tak ingin pulang ke kampung halaman asalmu lagi"

"Mengapa Suheng masih belum menyadari semua ini?" sahut Polo Sing. "Thian-tiok adalah Tionggoan dan Tionggoan adalah Thian-Tiok, begitu pula maksud tujuan kedatangan Budidarma ke timur sini."

Cilo Singh terkesiap, katanya, "Terima kasih atas petunjuk Sute, baru sekarang pikiranku terbuka. Engkau bukan lagi Sutekú melainkan guruku."

"Mencapai kesadaran tidak membedakan cepat atau lambat, yang penting asal sama-sama mencapai kesadaran," kata Polo Singh dengan tertawa.

Siau Hong menyingkir ke samping, ia tunggu sesudah Sin-kong, To jing, Cilo Singh dan lain-lain turun kebawah gunung, lalu ia pun menyusul di belakang mereka dengan langkah perlahan, Tapi baru dia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba dari Siau-lim-si keluar lagi seorang, itulah Hi-Tiok adanya.

Sungguh girang Hi-tiok tak terkira demi melihat Siau Hong, cepat la menyusulnya dan berkata. "Toako, aku sedang hendak mencari dirimu. Kabarnya Samte terluka parah, entah bagaimana keadaannya?"

'"Ya, aku telah membawanya kesuatu rumah petani," sahut Siau Hong.

”Marilah kita pergi melihatnya, boleh?" tanya Hi-tiok.

"Baik sekali." sahut Siau Hong.

Segera mereka berdua berangkat dengan cepat. Tapi belum ada belasan meter jauhnya, Bwe-kiam berempat tiba-tiba muncul dari dalam hutan sana dan mengikut ke belakang mereka. pertengahan jalan Hi Tiok memberitahukan kepada Siau Hong bahwa ke-18 ksatria Cidan juga sudah pergi dengan selamat.

Siau Hong menyatakan syukur, diam-diam ia membatin, "Adik angkat ini sungguh sangat aneh, dia adalah saudara angkatku atas perantaraan Samte, di luar dugaan takkala aku terancam bahaya aku telah mendapat bantuannya yang sangat berharga.”

Selain itu Hi-tiok juga menberitahu bahwa Ting Jun-jiu sekarang sudah di bawa pengawasan Kai-lut-ih Siaulim-si, tiap-tiap tahun pada waktu tertentu padri Siau-lim-si akan memberì minum obat Leng-ciu-kiong untuk memunahkan siksaan Sing-si-hu bilamanà kumat dan karena mati hidupnya Sudah tergenggam di tangan orang, dapat dipastikan iblis tua itu tidak berani main gila lagi dengan segala kejahatanya.

"Jiko,” kata Siau Hong dengan, tertawa, "engkau telah membasmi suatu penyakit besar bagi kaum pesilatan, di bawah pengaruh ajaran agama mungkin Ting jun-jiu akan dapat mencapai kesadaran atas segala perbuatannya masa lalu."

Tapi Hi-tiok tampak muram, katanya, "Aku sendiri ingin menetap di Siau-lim-si, tapi aku justru diusir mereka. Sebaliknya Ting Jun-jiu yang maha jahat, itu malah dapat menyucikan diri di sana, sungguh tidak adil."

Siau Hong tersenyum, katanya, "Jite, kamu iri pada keadaan Ting Jun jiu sekarang. tapi dia justru beribu kali lebih iri padamu. Engkau adalah Cujin Leng-ciu-kiong dan membawahkan 36 Tongcu dan 72 Tocu betapa hebat perbawamu ini masakah engkau merasa tidak senang?"

"Tidak," sahut Hi-Tiok dengan geleng kepala, "Penghuni Leng-ciu-kiong itu adalah kaum wanita semua. aku sendirl cuma seorang hwesio kecil, hidup sendirian di antara mereka sesungguhnya tidak bebas."

"Hahahaha! Apakah kamu masih seorang hwesio kecil?" sahut Siau Hong dangan terbahak-bahak.

"Tapi akan tiba saatnya nanti akan kuubah Leng-Ciu-kiong Leng Ciu-si, akan kuperintahkan nenek-nenek dan

nona-nona itu menjadi Nikoh (biksuni) semua."

"Hahahaha!" kembali Siau Hong bergelak tartawa. "Hwesio tinggal bersama dengan Nikoh, hahahahaha, sungguh berita luar biasa di dunia ini?"

Begitulah sambil bicara dan tertawa, akhirnya kedua orang itu sampaì di rumah Kiau Sam-si dan kebetulan mereka pergoki Goan-ci hendak mencukil mata Ciong Ling dan syukurlah masih sempat mancegahnya. Baru sekarang A Ci paham sebabnya Siau Hong marah-marah padanya karena merusak sebuah alat tenun, kiranya tempat ini adalah bekas kediaman Siau Hong semasa kecil. Namun begitu dasar watak A Ci juga keras, meski tahu salah toh día tidak mau minta maaf.

Maka Toan Ki lantas bertanya, "Toako, Jiko, apakah kalian melihat ayahku?"

Siau Hong mengatakan tidak, sedang Hi-tíok menjawab, "Ketika para ksatria Tionggoan beramai-ramai bubar dan pergi, aku menjadi lupa memberi salam hormat kepada paman, sungguh aku tidak tahu aturan."

"Jiko, tidak perlu sungkan-sungkan,” kata Toan Ki. "Hanya saja Toan Yan-khing itu adalah musuh ayah, aku kuatir dia membikin susah ayahku.”

"Urusan ini tidak perlu dikuatirkan, sekarang juga ku pergi mencari paman dan bila perlu membantunya, ” ujar Siau Hong.

"Huh, paman apa segala kenapa tidak memanggilayah mertua?” A Ci berolok-olok.

"Ya, apa yang sudah terjadi (maksudnya kematian A Cu) merupakan penyesalanku selama hidüp, apa mau dikatakan lagi." sahut Siau hong dengan menghela napas.

Tapi sebelum dia melangkah pergi saat ¡tulah Bwee-kiam masuk membawakan daharan untuk Toan Ki, demi mendengar percakapan tadi, ia lantas berkata, "Siau-taihiap tidak perlu merepotkan diri, biarlah hamba sekarang juga menyampaikan perintah Cujin agar semua pengikut Leng-ciu-kiong mengamat-amati Toan Yankhing, jika kelihatan dia bermaksud jahat supaya member tanda bunga api, dan segera kita dapat membantu, bagaimana sengan pendapat Siau-taihiap?”

"Bagus sekali." Kata Siau Hong dengan girang. "Dangan bantuan kawan-kawan Leng-ciu-kiong yang tidak sedikit itu tentu akan lebih baik daripada kita mencarinya dengan Cuma beberapa orang saja."

Begitulah Bwee-kiam lantas pergi menyampaikan perintah itu. Rupanya orang-orang Leng-ciu-kiong itu mempunyai cara yang sangat tepat dalam mengadakan hubungan. Misalnya Hi-tiok telah berada di rumah Kiau Sam-hoai, sementara itu para wanita dari Hian-thian-poh sudah mendapat kabar, di bawah pimpinan Hu Bin-gi mereka sudah menyusul sampai di sekitar rumah itu dan diam-diam menjaga keselamatan sang cijin.

Maka legalah hati Toan Ki tentang keselamatan ayahnya. Tapi segera teringat pula olehnya akan diri Ong Giok yan, pikirnya, "Dia sudah sangat benci padaku mungkin selanjutnya dia tak mau gubris lagi padaku.”

Terpikir demikian tanpa terasa ia menghela napas.

Rupanya ciong ling sangat memperhatikan keadaan toan Ki, maka ia lantas bertanya, "Apa lukamu kesakitan?”

"Ah, tidak hanya sedikit saja.” Sahut Toan Ki.

"Nona Ciong.” Tiba-tiba A Ci menimbrung, "tampaknya engkau sangat suka pada engkohku ini, tapi sama sekali engkau tidak kenal perasaannya. Kukira rindumu ini kelak pasti akan sia-sia belaka.”

"Aku tidak ajak bicara padamu, buat apa banyak omong," sahut Ciong Ling.

"Aku cerewet atau tidak memang bukan soal," sahut A Ci tartawa. "Aku hanya kuatir ada seorang nona yang berpuluh kali lebih cantik, lebih berbudi dan lebih mesra daripadamu, terang engkohku takkan suka padamu apa kautahu mengapa engkohku menghela napas? Orang menghela napas menandakan perasaannya kurang puas. Kau sendiri tidak menghela napas karena engkau puas berdampingan dengan engkohku, sebaliknya engkohku menghela napas disebabkan dia senang memikirkan seorang nona lain."

Rupanya A Ci tidak berhasil mencungkil mata Ciong Ling, maka sekarang sengaja mencari macam-macam kata untuk menusuk perasaan nona itu agar berduka dan terluka, dengan demikian barulah a Ci senang.

Mestinya Ciong Ling sangat gusar, tapí kalau dipikir lagi, ia merasa, apa yang dikatakan A Ci itu juga beralasan, maka rasa gusarnya berubah menjadi cemas dan sedih. Cuma saja usianya masih terlalu muda, sifatnya lincah kekanak-kanakan, walau mencintai Toan Ki, tapi bukan cinta yang meresap, jadi hanya cinta lahir saja, ia merasa senang terhibur bila dapat berada bersama dengan Toan Ki. Maka soal toan Ki merindukan

kekasih lain, hal ini hanya membuatnya merasa berduka sekedarnya saja, selain itu ia pun tidak merasakan apaapa lagi.

Maka Toan Ki berkata, "Jangan kau percaya ucapan A Ci yang ngawur itu, ñona Ciong!"

A Ci menjadi gusar, díkatakan ngawur, itu berarti menyinggung matanya yang buta, segera ia berkata pula, "Koko, sebenarnya engkau lebih suka nona Ong atau lebih senang pada nona Ciong? Noná Ong telah berjanji akan bertemu dengan aku besok pagi. Coba katakan apa yang kau pesan tentu kusampaikan padanya."

Mendengar itu, serentak Toan Ki bangun duduk di atas balai-balai dan cepat tanya, "Benarkah kamu telah berjanji dengan nona Ong untuk bertemu? Di mana dan kapan, hendak membicarakan urüsan apa?"

Melihat betapa gugupnya Toan Ki itu, tak perlu diterangkan lagi juga Ciong tahu entah berapa kalí nona Ong itü lebih penting dalam pandangan Toan Ki daripada dirinya. Namun watak Ciong Ling memang lebih lapang, rasa duka semula sekarang pun sudah hampir lenyap. Coba kalau Giok-yan, tentu akan berduka setengah mati. Sebäliknya kalau Bok Wan-jing, tentu dia akan bidikkan panahnya yang berbisa itu ke arah Toan Ki. Sedang A Ci tentu akan berusaha membinasakan saingannya.

Malahan Ciong Ling sekarang lantas berkata, "Eh, jangan bergerak, hati-hati nanti lukamu pecah dan mengucurkan darah."

Di sebelah sana diam-diam Hi-tiok, mengikuti garak-gerik mereka, pikirnya, "Nona Cíong ini sedemikian mendalam cintanya kepada Samte, besar kemungkinan día bukan Dewi Impianku. Kalau tidak masakah sama sekali dia tidak mengunjuk sesuatu perasaan ketika mendengar suaraku tadi?”

Tapi segera timbul pula pikiran lain, "Ah, tidak betul seperti Tong-lolo dan Li Jiu-sui, Sie-popo, Ciok-soh dan lain-lain, wanita-wanita itu semuanya sangat pintar dan bertipu akal, sama sekali berbeda daripada kaum lelaki. Bukan mustahil nona Ciong ini adalah Dewi Impianku, Cuma dia sengaja diam saja."

Dalam pada itu Toan Ki sedang mendesak A Ci agar mengatakan di mana Giok-yan akan bertemu dengan nona itu menurut apa yang dijanjikan. Karena itu, A Ci sengaja bicara melantur-lantur untuk mempermainkan Toan Ki.

Tak terduga Lam-kiam yang kebetulan berada di situ lantas menimbrung, katanya, "Toan-kongcu adik perempuanmu hanya bergurau saja denganmu masakah engkau menanggapi dengan sungguh-sungguh?”

"Dari mana Cici tahu adikku cuma bergurau saja?" tanya Toan Ki.

"Kalau kukatakan jangan-jangan nona Toan akan marah padaku kecuali kalau Cujin mengizinkan aku bicara," ujar Lam-kiam dengan tenang.

"Jiko," segera Toan Ki berkata kepada Hi-tiok "bolehlah kau suruh dia bicara."

Hi-tiok mengangguk tanda setuju. Maka Lam-kiam lantas bícara, "Malahan Cujin sendiri juga menyaksikan cuma beliau tidak mau bilang. Nona Ong telah ikut bersama rombongan Büyung-kongcu katanya hendak pergi ke Se He untuk mengikuti sayembara putri Se He di sana, mungkin saat ini mereka sudah beratus li jauhnya, dari mana dia dapat berjanji dengan nona Toan untuk bertemu besok?"

"Budak busuk sudah tahu aku tidak suka kamu ikut omong kau justru banyak mulut," semprot A Ci, "Kalian berempat saudara memang serupa, suka usilan. Majikan tidak bicara tapi kalian selalu suka menimbrung."

"Nona Toan, jangan mengomeli ciciku," tiba-tiba Kiok-kiam menanggapi di luar sana. "Hendaknya diketahui bahwa aku adalah pemegang kunci Sin-long-kok tempat penyimpanan kitab-kitab pusaka Leng-ciu-kiong kami, untük mempelajari cara menyembuhkan matamu, Cujin harus mencuri kitab ke Sin-long-kok.”

Diam-diam A Ci terkesiap. Kalau kaum budak itu ikut main gila, bükan mustahil matanya akan sukar disembuhkan lagi. "Hm, bagus!" demikian díam-diam ia memakí. "Awas, kelak bila mataku sudah sembuh, tentu kalian akan rasakan kelihaíanku."

Toan Ki mengucapkan teríma kasih atas pemberítahuan Lam-kiam tadi, lalu katanya kepada Siau Hong,

"Toako, apakah benar rombongan Buyung-kongcu telah berangkat ke negeri Se He?"

"Benar,” sahut Siau Hong. "Lamat-lamat ku dengar hal ¡tu ketika dia mohon díri kepada ayahandanya.”

"Untuk apakah dia pergi ke sana?” demikian Toan Ki bergumam sendiri.

"'Mengenai maksud tujuannya aku tahu," Kata Hi-tiok. "Menurut keterangan Kongya Kian kepala para pengemis Kai-pang katanya di tengah jalan mereka telah menemukan seorang anggota Kai-pang yang membawa pulang secarik maklumat kerajaan Se He tentang sayembara raja Se He yang lagi mencari menantu pada hari Tiongciu nanti, seluruh ksatria dan jago muda di segenap perjuru diharap mengikuti sayembara itu agar dapat dipilíh sebagai Huma (menantu raja)."

"Eh, Cüjin, mengapa engkau tidak coba-coba ikut sayembara itu," tiba-tiba Tiok-kiam menimbrung. "Asalkan Síau-taihiap dan Toan-kongcu tidak menyaingi engkau sangat mudah bagimu untuk dipilih sebagai Huma."

Dasar sifat Tiok-kiam berempat saudara itu memang masih kekanak-kanakan biasanya mereka dipandang sebagai cucu sendiri oleh Tong-lo, Cuma saja watak Tong-lo sangat keras, maka keempat anak dara itu tidak beraní sembrono kepadà nenek itu tapí sejak mereka melayani Hi-tiok yang ramah tamah sedikit pun tidak pernah berlagak tuan besar, maka Bwe-kiam berempat juga tidak terlalu jeri kepada majikan baru itu apa yang mereka ingin katakan lantas dikatakan begitu saja.

Hi-tiok menjadi kikuk, cepat sahutnya, "tidak, tidak mungkin aku adalah seorang hwesio…”

Tapí belum lanjut ucapannya Bwe-kiam berempat lantas mengikik tawa.

Karuan muka Hì-tiok menjadi merah ia coba melirik Ciong Ling, dilihatnya nona itu sedang termangu-mangu memandangi Toan Ki, sama sekali tidak memperhatikan kepada apa yang diucapkannya tadi. Tiba-tiba Hi-tiok teringat kepada pertemuannya dangan sang Dewi Impian di dalam gudang es istana raja Se He, bukan mustahil Dewi Impian itu sekarang juga masih berada di sana, kenapa aku tidak pergi ke sana untuk coba mencarinya?

Tiba-tiba Toan Ki juga berkata padanya, "Jiko Leng-ciu-kiong kalian sangat berdekatan dengan Se He, kenapa kita tidak pesiar sekalian ke Se He? Wah, pada hari Tiongciu nanti pasti akan ramai sekali di kotaraja Se He itu. Dan sesudah itu barulah kita berkunjung ke tempatmu untuk menikmati arak simpanan Thian-san Tong-lo yang tak terkatakan harumnya itu."

Siau Hong sendiri sudah beberapa hari tidak minum arak, meski ke-18 ksatria Cidan yang dibawanya dari negeri Liau itu masing-masing membawa kantung kulit besar berisi tuak pilihan, tapi sekarang pengiringpengiring itu sudah tidak mendampingi lagi, maka ia menjadi ketagihan demi mendengar Toan Ki bicara tentang arak di Leng-ciu-kiong.

Dalam pada itu A Ci lantas mendahului menyatakan setuju, "Ya, pergi, marilah Cihu, beramai-ramai kita pergi ke sana semua!”

Ia tahu untuk bisa menyembuhkan matanya yang buta itu harus ikut Hi-tiok ke Leng-ciu-kiong, tapi kalau tidak didukung oleh Siau Hong mungkin akan banyak alangannya.

Ketika melihat Siau Kong diam saja, segera A Cl mendekatinya dan memohon pula, "Cihu, jika engkau tidak membawa aku ke Leng-ciu-kiong, mata ... mataku ini tiada harapan disenbuhkan lagi dan tak bisa melihat untuk selamanya."

Siau Hong pikir kedua mata anak dara itu memang perlu disembuhkan. Apalagi rasanya juga sangat berat untuk berpisah dengan para ksatria Tionggoan dan saudara-saudara angkat yang baik budi ini, kalau pulang ke negeri Liau tentu akan hidup kesepian lagi walaupun mempunyai kedudukan yang agung di sana.

Maka jawabanya kemudian, "Baiklah! Jiko, samte, marilah kita beramai-ramai pergi ke Se He, kemudian kita mengunjungi Leng-ciu-kiong samte untuk minum sepuas-puasnya selama beberapa hari di sana."

Begitulah, esok paginya beramai-ramai mereka lantas berangkat. Lebih dulu Hi-tiok menyambangi makam ayah-bundanya (Hian-cu dan Yap Ji-nio), lalu rombongan mereka berangkat menuju ke barat.

Para wanita Leng-ciu-kiong menyewakan sebuah kereta keledai bagi Toan Ki dan Yu Goan-ci yang terluka itu. Goan-ci merasa serba salah, ia lebih suka dihina dan dimaki daripada berpisah dengan A Ci. Setiap kali asal A Ci mau menyingkap tirai kereta dan bicara sepatah dua kata dengan dia, maka Goan-ci akan girang setengah mati.

Cuma sekarang A Ci menunggang kuda dan selalu mengutil di sebelah Siau Hong, walaupun dalam hati Goanci merasa gelisah, tapi sedikitpun tidak berani mengunjuk rasa kurang senang terhadap si nona.

Kira-kira dua hari kemudian, kedelapan barisan wanita Leng-ciu-kiong sudah mulai bergabung kembali, Pimpinan Hian-thian-poh memberi lapor kepada Hi-tiok dan Toan Ki bahwa keadaan Toan Ki telah diberitahukan kepada Tin-lam-ong dan orang tua itu merasa sangat lega beliau cuma menyampaikan pesan agar Toan Ki selekasnya pulang ke Tayli.

Menurut laporan itu katanya rombongan Lam-ong menuju ke timur-laut, sebaliknya rombongan Toan Yankhing dan Lam-hai-gok-sín menuju ke jurusan barat-daya sehingga kedua rombongan itu tídak nanti kepergok.

Toan Ki merasa senang dan lega oleh keterangan itu, ia mengucapkan terima kasih kepada para wanita Hianthian poh.

Tiba tiba Ciong Ling berkata, "Toan-kongcu, ayahmu mengharapkan kau lekas pulang ke Tayli, mengapa beliau sendiri malah menuju ke tímur-laut?”

Toan Ki tersenyum dan belum lagi menjawab tiba-tiba A Ci menyela. "Tentu ayah ditahan oleh ibuku dan dilarang pulang ke Tayli. Nah nona Ciong jika kau ingin menambat hati engkohku ini maka perlu kau belajar dulu pada ibuku.”

Ciong Ling sendiri tahu kepergian Toan Ki ke Se He ¡ni sebenarnya ingin berjumpä pula dengan nona Ong itu, tapi ¡a tidak ambil pusing sebab ia sudah puas karena selama beberapa hari ini dapat berdampingan dengan Toan Ki. Maka sekarang ia pun tidak gubris kepada sindiran A Ci itu.

Begitulah mereka melanjutkan perjalanan, karena hawà sangat panas, pula masih cukup lama dengan hari Tiongciu, maka perjalanan mereka dilakukan dengan seanaknya saja.

Di tengah jalan keadaan luka Toan Ki dapat sembuh dengan cepat. Hi tiok juga telah menyambung tulang kaki Goan-ci yang patah itu dengan kepitan kayu dan tampaknya besar harapan akan dapat pulih kembali.

Goan-ci sama sekali tidak mau bicara dengan siapa pun, meski Hi-tiok mengobati kakinya, dalam hatinya tetap penuh dendam dan benci.

Suatu hari, sampailah mereka di jalan raya Ham-yang di situ menurut sejarah pernah terjadi pertempuran yang menentukan antara Lau-pang (cikal-bakal kerajaan Han, 260 seb. M) dan Hang Ih.

Hi-tiok dan Siau Hong tidak banyak bersekolah, maka mereka menjadi sangat tertarik mendengarkan cerita Toan Ki tentang sejarah masa lampau.

Tengah mereka asyik mendengarkan cerita Toan Ki, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari yang ramai,

dari belakang memburu tiba dua penunggang kuda. Cepat Siau Hong dan lain-lain menyingkirkan kuda mereka ke tepi jalan agar kedua penunggang kuda dari belakang itu dapat lewat. Hanya A Ci saja yang tidak mau menyingkir sebaliknya ia tetap mengadang di tengah jalan. Bahkán waktu kedua penunggang kuda itu sudah dekat, mendadak ia ayun pecutnya ke belakang.

Namun satu di antara kedua penunggan kuda ¡tu pún sempat angkat pecutnya untuk menangkis cambukan A Ci itu, bahkan terdengar día teriak, "Toan-kongcu, Siau-taihiap, harap tahan dulu!”

Waktü Toan Ki menoleh, kiranya kedua pendatang itu adalah Pah Thian-sik dan Cu Tan-Sin. Dalam pada itu Pah Thian-sik sudah dapat menangkis cambukan A Ci tadi dan bersama Cu Tan sin melompat turun dari kuda mereka dan lantas berlutut memberi hormat kepada Toan Ki.

Mesk¡ Toan Ki adalah tuán muda, tapi nyatanya ía pandang Pah Thian-sik dan Cu Tan-tan sin sebagai angkatan tua, maka cepat ia pun melompat turun dari kudanya dan balas menghormat, katanya, "Apakah ayah baik-baik saja?"

Tapi mendadak terdengar suara sambaran pecut, tahu-tahu A Ci mencambuk lagi ke atas kepala Pah Thian-sik. Saat itu Thian-sik belum bangun kembali, terpaksa ia mengegos ke kiri dengan masih tetap berlutut. Dengan demikian pecut A Ci itu mengenai tanah, maka Thian-sik sekalian gunakan dengkulnya untuk menindih ujung pecut. Waktu A Ci hendak menarik kembali pecutnya, dengan sendirinya tidak kuat.

A Ci tahu bila main betot tentu kalah kuat tenaganya, maka ia terus lemparkan tangkai pecut ke arah Thian sik.

Rupanya Pah Thian-sik masih mendongkol karena meninggalnya Leng Jian li gara-gara kenakalan A Ci, maka sekarang ia sengaja hendak membikin kapok anah dara itu supaya tidak berani main gila lagi.

Tak sangka bahwa meski mata A Cl sudah buta, tapi gerak-geriknya masih sangat cepat, tahu-tahu gagang pecut menyambar tiba, cepat Thian-sik egoskan kepalanya ke samping, "plok", tidak urung pundaknya terhantam gagang pecut itu.

"Adik Ci, kembali kamu ngacau lagi?" bentak toan Ki segera.

"Mengacau apa?" sahut A Ci. "Dia inginkan pecutku maka kuberikan padanya."

Watak Pah Thian-sik memang sangat sabar, maka ia hanya tertawa dan berkata, "Banyak terima kasih atas

hadiah pecut nona ini."

Lalu tidak tarik panjang lagi kejadian itu melainkan lantas mengeluarkan sepucuk surat dihaturkan kepada Toan Ki.

Waktu Toan Ki menerima surat itu, ia lihat di atas sampul tertulis nama dirinya sebagai penerima surat, la kenal itulah tulisan sang ayah. Cepat ia betulkan pakaiannya, dengan khidmat ia buka dan membaca surat itu.

Kiranya isi surat itu membawa pesan Toan Cing-sun agar bila ada jodoh. Toan Ki disuruh mengikuti sayembara untuk berebut putri Se He. Dikatakannya bahwa negeri Tayli kecil dan lemah, kalau dapat berbesanan dangan kerajaan Se He, hal ini akan menguntungkan politik pertahanan kerajaan Tayli dan bagi kesejahteraan rakyat. Adapun soal perjodohan Toan Ki dengan putri keluarga Ko akan diselesaikan oleh paman bagindanya kelak.

Habis membaca surat sang ayah, air muka Toan Ki tampak agak pucat, katanya dengan terputus-putus, "Soal ini ... ini .."

Tapi Pah Thian-sik lantas mengeluarkan sepucuk surat pula, katanya, "ini adalah surat pribadi Ongya kepada Sri Baginda di Se He sebagai surat lamaran, harap setiba di Lengciu surat ini supaya dihaturkan kepada Sri Baginda Se He.”

"Ya, Kongcu, semoga tujuanmu ini berhasil dengan baik dan dapat membawa pulang seorang putri cantik molek sehingga negeri kita pun ikut kukuh dan kuat," kata Cu Tan-sin dengan tertawa.

Toan Ki tambah kikuk, katanya, "Dari mana ayah mengetahui bahwa aku pergi ke Se He?"

"Ongya mengetahui Buyung-kongcu hendak melamar putri Se He beliau menduga tentu Kongcu juga ... juga akan ikut pergi ke sana,” tutur Thian-sik.

"Hihihi!" tiba-tiba A Ci tertawa, "ini namanya yang paling kenal anaknya hanya sang ayah. Ketika ayah mendengar Buyung Hok hendak pergi ke Se He, segera beliau menduga nona Ong pasti ikut pergi juga dan dengan sendiriaya beliau yakin putra mestikanya ini tentu juga akan mengintil ke sana. Hm, bila belandar di atas menceng, tentu tiang di bawahnya juga akan miring. Mengapa, dia tidak kenal dirinya sendiri?"

Thîan-sik, Tan-sin dan Toan Ki melengak demi mendengar ucapan yang kurangajar itu, masakah seorang anak boleh mencela orang tua secara kasar demikian?

Tapi A Ci lantas berkata pula, "Koko, dalam surat ayah itu apakah juga menyinggung díriku?"

"Ayah tidak tahu bahwa kamu bersama berada dengan aku," sahut Toan Ki.

"Ya, dia memang tidak tahu. Tapi apa dia tidak memberi pesan agar kau cari diriku? Apa tidak suruh kau jaga adik perempuanmu yang buta?”

Dalam surat Toan Cing-sun itu sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang A Ci, kalau Toan Ki bicara terus terang dikuatirkan adik perempuannya akan tersinggung, maka berulang ia mengedipi Thian-sik dan Tan-s¡n agar mereka mengakui adanya perintah Toan Cing-sun untuk mencari A Ci.

Tak tersangka Thian-sik berdua sengaja berlagak pilon saja dan tidak mau menanggapi maksud Toan Ki itu. Sebaliknya Tan-sin berkata, "Tin-lam-ong minta hamba berdua mendampingi Kongcu agar bilamana perlu dapat membantu, betapapun putri Se He harus Kongcu boyong pulang ke Tayli, kalau tidak hamba berdua tentu akan diomeli Ongya, andaikan tidak diomeli juga hamba berdua merasa malu akan disangka tidak becus mengasuh.”

"Aku Sudah terang tidak mahir ilmu silat masa bisa menandingi para ksatria yang datang dari segenap panjuru itu nanti." sahut Toan Ki dengan tersenyum getir.

Tapi Pah Thian-sik lantas berkatà pula, "Ongya menyuruh hamba menyampaikan salam kepada Siau-taihiap dan Hi-tiok Siangsing, beliau berharap kalian sudi mengingat sesama saudara angkat dan sudi memberi bantuan kepada Kongcu kami. Kata Ongya ketika bertemu di Siau-lim-san, karena dalam keadaan tergesa-gesa, maka beliau tidak sempat bercengkerama dengan Siau-taihiap berdua, sebagai gantinya sekarang beliau suruh hamba menyampaikan sedikit kado."

Lalu ia mengeluarkan sebuah singa-singaan kemala hijau dan dihaturkan kepada Siau Hong.

Sedangkan. Cu Tan-sin juga lantas mengeluarkan sebuah kipas terbuat dari gading, pada daun kipas itu ada tulisan tanganToan Cing-sun, ia serahkan kipas itu kepada Hi-tiok.

Siau Hong berdua menerimanya dengan ucapan terima kasih, kata meraka, "Urusan Samte sudah tentu kami bantu sepenuh tenaga, masakah perlu pesan lagi dari paman? Sungguh kami merasa tidak enak, belum-belum sudah menerima hadiah lebih dulu."

"Apakah kau sangka ayahku berhati begitu baik?" tiba-tiba A Ci menyela lagi. "Dia justru ingin kalian berdua jangan berebut menjadi huma dengan engkohku. Dengan janji kalian ini, maka itu berarti kalian telah tertipu oleh ayahku."

"Ah, sejak Tacimu meninggal, masakah aku mempunyai niat untuk menikah pula?" ucap Siau Hong dengan menghela napas.

"Mulutmu berkata demikian, siapa bisa tahu apa yang terpikir dalam hatimu?" ujar A Ci. "Hi-tiok Siangsing memang polos dan jujur, tidak romantis seperti engkohku itu, di mana-mana suka berkasih-kasihan. Jika Hi tiok Siansing belum pernah mengikat janji dengan orang, bukankah sangat bagus memperistrikan putri Se He saja?"

"Hm, ma , .. mana boleh jadi!" sahut Hi tiok dengan muka merah dan menggoyang-goyang tangan. "Aku sendiri pasti tidak ambil bagian, aku dan Toako tentu akan membantu Samte mencapai perjodohan yang setimpal ini."

"Banyak terima kasih atas kesanggupan Siau-taihiap dan Hi-tiok Siangsing," demikian serentak Thian sik dan Tan sin memberi hormat.

Nyata bukan saja Siau Hong dan Hi-tiok sudah teringat oleh janji mereka sebagai ucapan ksatria, bahkan dengan demikian Toan Ki menjadi tak bisa menolak perintah ayahnya.

Begitulah perjalanan mereka akhirnya rnendekati Leng-ciu, orang Bu-lim yang saling berjumpa di tengah jalan juga tambah banyak.

Hendaklah maklum bahwa kerajaan Se He meski lebih kecil daripada kerajaan-kerajaan Song dan Liau, tapi terhitung suatu negeri besar di daerah barat dengan sendirinya banyak orang persilatan ingin memperistrikan sang putri yang agung dan kabarnya cantik pula.

Cuma tokoh-tokoh Bu lim yang ternama pada umumnya sudah beristri dan berkeluarga. Kalau ada jago muda, dalam hal ilmu silat juga belum tentu tinggi. Karena itu banyak bandit-bandit dan petualang-petualang yang masih bujangan sama menaruh harapan akan dipilih sebagai menantu raja, maka beramai-ramai mereka sama datang ke Lengciu. Bahkan banyak tokoh-tokoh dan ksatria tua yang membawa serta anak muridnya dengan tujuan menguji nasib, eh, siapa tahu dapat dipungut sebagai menantu raja Se he.

Begitulah, maka sepanjang jalan banyak sekali ksatria muda yang berpakaian mentereng dan parlente, sampaisampai senjata yang mereka bawa juga serba "lux". Maklum, pada umumnya orang persilatan kebanyakan dari keluarga mampu, sebaliknya kaum sekolahan kebanyakan adalah keluarga miskin apalagi kalau kelakuan orang yang pandai silat Itu tidak baik tentu sumber keüangan jauh lebih mudah datangnya, misalnya dengan jalan merampas dengan kekerasan atau mencuri secara diam-diam. Oleh sebab itulah pakaian mereka sekarang sedapat mungkin serba mewah dangan tujuan akan mendapat perhatian khusus dari sang putri.

Pada hari itu rombongan Siau Hong sedang melanjutkan perjalanan dengan santai. Tiba-tiba terdengar derapan lari kuda, seorang penunggung kuda tampak datang dari depan, penunggangnya kelihatan terluka lengan kanan diperban dan tergantung di depan dada dengan ikatan kain, bajunya juga sobek, keadaannya kumal.

Síaü Hong dan lain-lain juga tidak ambíl perhatian mereka menyangka orang ini mungkin terjatuh atau dipukul luka orang kejadian demíkian adalah sangat jamak bagi orang persilatan.

Tak terduga, tidak lama kemudian kembali ada tiga penunggang kuda berlari datang pula dari depan para penuggang kuda itu semuanya terluka parah ada yang patah kaki dan ada yang putus lengan. Orang-orang itu seperti sangat lesu dan malu serta melarikan diri dengan kepala tertunduk.

"Apa di depan sana ada orang berkelahi, mengapa banyak orang terluka?" kata Bwe-kiam yang usilan.

Baru lenyap suaranya, kembali dari dépan datang pula dua orang. Kedua orang ini tidak menunggang kuda, mukanya penuh darah, satu di antaranya kepalanya diperban dengankain dan darah masih merembes keluar.

Segera Tiok-kiam menegur mereka, "Hei, kalian mau obat luka tidak? Mengapa kalian terluka?"

Tapí orang itu melotot pada Tiok-kiam dengan penuh kebencian, bahkan meludah ke tanah lalu tinggal pergi tanpa gubris. Keruan Tiok-kiam menjadi gusar, "sret", segera ia lolos pedang dan hendak menyerang orang itu.

"Sudahlah," cegah Hi-Tiok. "Orang itu terluka parah, tidak perlu cekcok dengan dia."

"Adik Tiok kan bermaksud baik hendak memberi obat, tapi orang itu sedemikian kasarnya, biar dia mampus saja karena lukanya itu," ujar Lam-Kiam.

Pada saat itulah lagi-lagi ada empat penünggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Terdengar para penunggang kuda itu sedang saling damprat dan saling menyalahkan satu sama lain. Ketika berpapasan dengan

rombongan Siau Hong. Karena kalah banyak, mereka lantas menyusur ke samping dan lewat dengan cepat.

Dari caci-maki mereka itu agaknya keempat orang itu sama mengimpikan dipilih menjadi menantu raja Se He, tapi di depan sana seperti ada suatu rintangan yang tak bisa ditembus mereka, bahkan mereka dilukai dan ngacir, akhirnya mereka sama menuduh kawan sendiri yang tidak mau membantu dan macam-macam lagi.

Tengah Siau Hong dan lain-lain merasa terheran-heran. tiba-tiba dari depan datang lagi beberapa orang, semuánya terluka dan babak-belur, ada yang kepalanya bocor, ada yarg matanya matang biru dan ada yang kakinya pincang.

Dalam herannya segera Ciong Ling memapak maju dan bertanya, "Hai. apakah orang yang merintangi di depan sana sangat lihai?"

Seorang laki-laki setengah umur di antaranya mendengus, jawabnya, "Kamu seorang nona, kamu dapat lewat tanpa alangan. Tapi kalau lelaki, hm, lebih baik putar balik saja.”

Ucapan ini membuat Siau Hong dan Hi-tiok ikut heran kata mereka, "Coba lihat ke sana!"

Segera rombongan mereka mempercepat kuda mereka ke depan.

Kira-kira beberapa li jauhnya tertampaklah sebuah jalanan sempit di lereng bukit yang berliku-liku itu. Jalanan itu sangat sempit sehingga cukup dilalui oleh satu penunggang kuda saja. Sesudah lewat beberapa pengkolan lagi. Akhlrnya tertampaklah di depan sana berjubel-jubel orang banyak.

Siau Hong coba melarikan kuda ke depan, ia lihat di tengah jalan yang sempit itu berdiri berjajar dua orang lelaki kekar. Keduanya sama-sama tinggi besar dan gagah perkasa. Yang seorang bersenjata gada besi dan yang lalu memegang sepasang gandan besar dengan garang mereka menghadapi belasan orang yang menggerombol di depannya.

Terdengar orang-orang bergerombol di depan kedua lelaki gagah itu riuh-ramai membujuk dan memohon agar mereka suka memberi jalan bahkan ada yang menjanjikan balas jasa yang besar malahan juga ada yang mengancam karena kedua lelaki itu tetap tidak mau menyìngkir.

Akhirnya karena kedua lelaki gagah itu tetap tidak menggubris ocehan orang banyak itu, maka seorang telah membentak "Kurangajar, rupanya minta diberi hajar adat baru mereka mau minggat!”

Berbareng ia terus putar pedang dan menerjang maju, kontan ia menusuk dada lelaki yang sebelah kiri.

Perawakan lelaki itu sangat tinggi besar, senjatanya juga sangat antap, tapi gerak-geriknya sangat gesit. Ketika kedua gandennya ditentukan dengan cepat, pedang penyerang itu terjepit oleh gandennya.

Sepasang ganden yang berbentuk astokino (segi banyak) itu beratnya masing-masing lebih 40 kali, maka begitu terdengar suara "trang" yang keras tahu-tahu pedang yang terjepit itu patah menjadi beberapa potong. Bahkan lelakl itu terus ayun sebelah kakinya sehingga dengan tepat perut se penyerang dengan pedang itu menjerit dan terpental.

"Jite, tenaga orang ini cukup hebat juga," kata Siau Hong kepada Hi-tiok.

"Ya, memang," sahut Hi-tiok.

Dalam pada itu ada seorang lagi dengan memutar dua golok sekencang kitiran telah menyeruduk maju, begitu dekat dengan kedua lelaki gagah tadi, orang itu menggertak sekali terus menjatuhkan diri ketanah, mendadak ia mainkan goloknya dengan mengelinding di atas tanah, yang diincar adalah bagian kaki lawan.

Lelaki bersenjata gada tidak peduli serangan lawan itu, begitu angkat gadanya segera ia menggemplang ke tengah sinar golok, maka terdengarlah jeritan ngeri, tahu-tahu kedua golok orang itu patah, gagang golok menancap di dada sendiri, badan berlumuran darah, tampaknya lebih banyak mampusnya daripada hidup lagi.

Berturut-turut orang dilukai, yang lain-lain menjadi mengkeret dan tidak berani berkoak-koak lagi seperti tadi.

Tiba-tiba terdengar suara "keteprak-keteprak” suara derapan kaki binatang tunggangan, ternyata seekor keledai datang dari belakang sana dan penunggangnya adalah seorang pelajar muda, usianya paling-paling cuma 18-19 tahun, pakaiannya parlente, orangnya cakap, sikapnya halus dan sopan.

Ketika pemuda itu hendak melampaui rombongan Siau Hong, karena jalanan sempit terpaksa ia harus menyerempet kuda-kuda orang lain.

Melihat pemuda itu, mendadak Toan Ki berseru, "He, kau ... kau .... " tapi ia tidak sanggup melanjutkan. Sebaliknya pemuda pelajar itu sama sekali tidak memandang padanya, ia menyalip keledainya ke depan.

"He, Toan-kongcu, kau kenal dia?" tanya Ciong Ling dengan heran.

Wajah Toan Ki menjadi merah, sahutnya, "O, ti ... tidak, aku salah lihat. Dia ... dia adalah seorang lelaki, dari mana kukenal dia?”

Karenu ucapannya yang ganjil itu, seketíka A Ci berolok dengan tertawa, "Koko, jadi engkau hanya kenal kaum wanita dan tidak kenal orang lelaki?”

Sesudah merandek sejenak, lalu ia tanya pula, "Apakah orang yang baru saja lewat itu orang lelaki? Padahal sudah terang dia wanita."

"Kau bilang dia seorang wanita?" Toan Ki menegas.

"Sudah tentu, badannya begitu harum, bau wangil kaum wanita," sahut A Ci.

Hati Toan Ki berdebur keras, pikirnya, "Ya ... jangan-jangan memang benar dia ada adanya?”

Dalam pada itu si pemuda pelajar tadi sudah melarikan keledainya sampai di depan kedua lelaki gagah dan sedang membentak, "Minggir!"

Dari suaranya yang nyaring merdu itu. nyata memang suara orang wanita. Maka Toan Ki tambah yakin lagi, segera ia berseru. "He, nona Bok Wan ... Wan-jing, adikku! Kau ... kau ... aku ... aku , .. kita .... kita .... "

Begitulah sambil berteriak-teriak tak karuan ia terus keprak kudanya menyusul ke depan.

"Hati-hati Samte, lukamu belum sembuh!' seru Hi-tiok kuatir. Segera bersama Pah Thian-sik dan Cu Tan-sin juga memburu ke depan.

Pemuda pelajar itu hanya menatap sekejap kedua lelaki gagah itu, sama sekali ia tidak menoleh atas seruan Toan Ki tadi. Waktu Thian-sik dan Tan-sin mendekat, mereka coba mengamatinya dari samping. tertampak pemuda itu memang cantik molek, nyata memang benar Bok wan-jing yang dahulu pernah ikut Toan-Ki ke istana Tin-lam-ong itu. Diam-diam mereka merasa malu, masakah orang melek kalah awas daripada seorang

gadis buta.

Seperti diketahui badan Bok Wan-jing mengeluarkan bau wangi yang khas, maka A Ci dapat mengendus bau harum itu dengan hidungnya yang tajam, sejak matanya buta, maka indrà pendengaran dan perciumannya menjadi jauh lebih lihai daripada orang biasa.

Begitulah ketika Toan Ki sampai di samping Bok Wan-jing, segera ia hendak manjawilnya dan bertanya dengan suara halus, "O, adikku, selama ini engkau berada dl mana? Sungguh aku sangat merindukan dikau!"

Wan-Jing menghindari jamahan tangan Toan Ki, lalu menoleh dan menjawab dengan suara dingin, "Kau rindu padaku? Buat apa kau píkirkan diriku? Apa benar engkau kangen padaku?"

Toan Ki tertegun, ia merasa tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Sebaliknya satu di antara kedua lelaki gagah tadi lantas terbahak-bahak, katanya, "Bagus! Jadi kamu adalah anak perempuan, nah, boleh lewat ke sana!”

Sedang lelaki yang lain juga berkata, "Hanya wanita saja yang boleh lewat, kaum lelaki busuk tidak boleh. Ho, kamu lekas enyah, lekas putar baik?”

Sambil berkata jarinya terus menuding Toan Ki, lalu menyambung pula, "Hm setiap melihat pemuda muka halus macammu hatiku tentu gemas. Ayo lekas enyah, kalau berani maju selangkah lagi segera kucencang dirimu!”

"Hai, ucapan saudara ini sungguh aneh," sahut Toan Ki. "Ini kan jalan raya dan boleh dilalui oleh siapa pun juga sebab apa saudara melarang aku? Coba terangkan."

"Pangeran Cong-coan karajaan Turfan memberi perintah agar jalan ini ditutup selama sepuluh hari, sesudah lewat hari Tiangciu baru jalan ini dibuka kembali," demikian lelaki itu menjelaskan. "Maka sebelum lewat hari Tiongciu, jalan ini hanya boleh dilalui kaum wanita dan kaum lelaki dilarang. Kaum padri boleh lewat orang preman tidak boleh. Orang tua boleh orang muda dilarang. Mati boleh, hidup tidak boleh. Ini namanya empat boleh dan empat tidak!"

"Apa alasan peraturan demikian," tanya Toan Ki.

"Alasan? haha. Alasan? ini ganden tuan besar dan gada kawanku inilah alasannya," sahut lelaki itu dengan galak. "Apa yang diucapkan pangeran Cong-can itu adalah undang-undang. Karena kamu kaum lelaki, bukan hwesio lagi bukan kakek-kakek maka kalau ingin lewat jalan ini kecuali kamu menjadi bangkai dahulu."

"Huh, banyak rewel apa?" bentak Bok Wan jing, berbareng dua panah kecil terus menyambar ke arah kedua lelaki itu.

Maka terdengarlah suara "plok-plok" dua kali kedua panah itu jelas telah menembus baju dada kedua lelaki itu dan mengeluarkan suara tapi kedua orang itu sama sekali tidak terluka apa-apa.

Lelaki yang bersenjata gada menjadi gusar, bentaknya, "Nona cilik yang tidak tahu gelagat, kau berani menyerang kami?"

Sungguh kejut Boh Wan-jing tak terkatakan ia pikir kedua lelaki itu besar kemungkinan memakai baju dalam anti senjata makanya panah berbisa yang dilepaskan itu tak dapat melukainya.

Dalam pada itu lelaki bersenjata gada itu sudah ulur tangan hendak mencengkeram Bok Wan jing. Walaupun Wan-jing berada di atas keledai sekaligus lelaki itu hendak mengcengkam dada Wan-jing.

"He, saudara jangan kurangajar'" seru Toan ki sambil angkat tangan kanan untuk merintangi orang.

Tapi lelaki itu mendadak menurunkan tangannya sehingga pergelangan tangan Toan Ki dengan tepat kena terpegang malah.

"Bagus! Mari kita besat tubuh si muka halus ini menjadi dua!" seru lelaki yang bersenjata gandon. Segera ia gunakan tangan kiri untuk memegang kedua gandennya, sedangkan tangan kanan dipakai mencengkeram pergelangan tangan kiri Toan Ki, lalu membetot dengan sekuatnya.

"He, jangan mencelakai engkohkul" teriak Bok Wan-jing dengan kuatir, berbareng beberapa panah berbisa terus dibidikkan pula. Tapi hasilnya tetap nihil, meski panah-panah itu jelas mengenai tubuh kedua musuh, namun sama sekali tidak dapat melukai mereka.

Di sebelah sana Hi-tiok, Pah Thian-sik dan Cu-Tan- sin teralang oleh kuda tunggangan Toan Ki dan Bok Wan jing dan tidak keburu memberi pertolongan. Segera Hi-tiok melompat ke depan meninggalkan kudanya, ia

melayang sampai di sebelah lelaki bersenjata gada dan segera hendak menusuk iga lawan.

Tapi mendadak terdengar Toan Ki bergelak tertawa, katanya, "Hahahaha! Jiko tidak usah kuatir, mereka tidak mampu mencelakai aku!"

Benar juga, sejenak kemudian kedua lelaki yang gagah perkasa bagai menara tadi pelahan mulai lemas, kepala mereka bergeleng-geleng tak bertenaga, berdirinya juga mulai tidak kuat dan akhirnya "bluk-bluk", kedua orang terguling semua ke tanah.

Rupanya "Cu-hap kang" di tubuh Toan Ki telah bekerja sehingga tenaga kedua lelaki itu disedot habis, akhirnya roboh dengan lemas.

"Kalian Budak banyak melukai dan membunuh orang, maka ganjaran ini pun setimpal bagi kalian, diharap saja lain kali jangan main gila lagi." kata Toan Ki.

"Biarpun ingin main gila juga tidak mampu lagi mereka," kata Ciong Ling yang juga memburu tiba. Lalu ia berpaling kepada Bok Wan Jing dan berkata, "Bibi Bok, sungguh tidak nyata berjumpa lagi dengan engkau di sini."

"Kamu adalah adik perempuanku, kenapa panggil aku sebagai bibi?" sahut Wan-jing dengan sikap dingin.

"Ah, engkau suka bergurau saja, mengapa aku bisa menjadi adik perempuaanmu?" ujar Ciong Ling dengan heran.

"Boleh kau tanya dia kalau tidak percaya," kata Wan-jing sambil menunjuk Toan Ki.

Ciong Ling lantas menoleh ke arah Toan Ki dengan maksud ingin penjelasannya.

Diam-diam Toan Ki terkejut. Ia pikir nyonya Ciong (ibü Ciong Ling) tentu ada hubungan istimewa dengan ayahku, Kalau tidak tentu Bok Wan jing tidak berani sembarangan berkata demikian, teringat olehnya kejadian dahulu waktu dia datang ke Ban-jiat-kok, di tangah lembah maut itu ditemukan batu nisan yang tertulis "Kuburan Ban Siu Toan" yang berarti sepuluh ribu kali dendam dengan Toan, untuk bisa memasuki kuburan yang merupakan tempat kediaman Ciong Ban sin (Ayah Ciong Ling) ¡tu orang harus menendang tiga kali pada huruf Toan pada batu nisan ini. Dari sini dapat pula diketahui betapa dendam dan benci Ciong Ban-sin terhadap keluarga she Toan.

Begitulah memang kejadian dulu itu sangat mencurigakan. Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Jika nona Ciong ini benar keturunan ayah kenapa beliau pernah omong di hadapan Ciong-kokcu bahwa nona Ciong akan diambilnya untuk selirku? Biarpun kata-kata itu segaja dipakai mengolok-olok Cíong-kokcu, rasanya juga, tidak pantas dikeluarkan terhadap putra-putrinya sendiri. Ya, jangan-jangan .. jangan-jangan ayah sendiripun tidak tahu bahwa ... bahwa nona Ciong ini keturunannya?”

Seíketika itu Toan Ki menjadi serba bingung dan terkesima. Kesempatan itu segera digunakan oleh Orang banyak yang tadinya dirintangi kedua lelaki gagah tadi untuk meneruskan perjalanan ke Lengciu.

Tiba-tiba terdengar A Ci berseru kepada Toan Ki, "Koko, nona yang berbau harum ini apakah juga kekasihmu? Ayolah perkenalkan dia padaku!"

"jangan ngaco belo, dia ... dia adalah Encimu, lekas memberi hormat padanya, " Kata Toan Ki.

"Masakah aku mempunyai rejekí sedemikian baik?" jengek Wan-jing dengan gusar. Lalu ia pecut keledainya dengan pelahan dan dilarikan ke depan.

Cepat Toan Ki menyusulnya dan bertanya, "Adikku yang manis, selama ini engkau berada di mana? Ai, tampaknya engkau... agak kurus sedikit.

Seperti diketahui perangai Bok Wan-jing sangat angkuh dan tinggi hati sedikit-sedikit suka membunuh orang. Tapi demi mendengar ucapan Toan Ki ini, seketika terasa pedih hatinya air mata tak tertahan lagi dan segera bercucuran.

"Adikku, rombongan kami berjumlah banyak dan dapat saling membantu, ada lebih baik kau ikut bersama kami saja," kata Toan Ki.

"Siapa perlu bantuanmu?" sahut Wan-jing. "Tanpa dirimu bukankah selama ini aku pun bisa hidup sendiri?"

"Tapi ... tapi banyak sekali ingin kubicarakan denganmu," kata Toan Ki. "Adik yang baik berjanjilah bahwa engkau akan ikut bersama rombongan kami."

"Kau íngin bicara apa dengan aku? Huh, tentu cuma omong kosong belaka," ujar Wan jing. Walaupun

mulutnya masih bicara teras tapi hatinya sudah lembek dan diam-diam sudah ragu.

Tentu saja Toan Ki kegirangan, segera ia mengada-ada lagi, "Adikku, walaupun engkau agak kurusan sedikit, tapi makin cantik, makin ayu.”

Mendadak Bok Wan-jing menarik muka katanya, "Sebagai kakakku, selanjutnya jangan kau bicara demikian padaku."

Perasaannya sesungguhnya sangat kusut. Sudah terang dia tahu Toan Ki adálah kakaknya sendirl dari tunggal ayah lain Ibu, tapi rasa rindunya kepada pemuda itu selama ini tidak pernah berkurang bahkan makin hari makin tumbuh.

Sementara itu Toan Ki berkata dengan tertawa, "Apa salahnya kalau aku bilang kamu makin cantik? Eh, Mengapa ... mengapa engkau menyaru sebagai lelaki dan pergi ke Lengciu? Apakah kaupun ingin dipilih sebagai Huma? Wah, pemuda pelajar tampan sebagai dirimu tentu sekali lihat putri Se He akan terpikat?"

"Dan kau sendiri untuk apa pergi ke Lengciu?” Balas tanya Wan-Jing.

"Aku? Aku ... aku hanya pergi melihat ramai-ramai saja dan tiada maksud lain.” sahut Toan Ki dengan wajah sedikit merah.

"Huh. engkau selalu dusta padaku," jengek Wan-jing. "Ayah suruh kau pergi melamar putri Se He dan memerintahkan orang-orang she Pah dan Cu itu sampaikan surat padamu, apa kau sangka aku tidak tahu?”

"Eh, dari mana kau tahu?” Tanya Toan Ki dengan heran.

"Ibuku mempergoki ayah di tengah jalan, aku sendiri waktu itu ikut bersama ibu, dengan sendirinya urusan ayah kudapat mendengarnya," tutur Wan jing.

"Kiranya demikian," kata Toan Ki. "Ya, aku pun tahulah sekarang!"

"Kau tahu apa?" tanya Wan-jing heran.

"Karena kaü tahu aku hendak pergi ke Langciu makanya engkau menyusul kemari betul tidak?"

Muka Wan-jing menjadi merah sebab ucapan Toan Ki dengan jitu telah mengenai isi hatinya. Namun demikian toh mulutnya tetap tidak mau mengaku sahutnya, "Buat apa aku menyusul kau ke sini?” Aku cuma ingin tahu betapa cantiknya putri Se He itu sehingga membikin gempar para ksatria seluruh jagat ini "

Mestinya Toan Ki ingin memuji dan mengatakan bahwa kecantikan putri Se He itu, pasti ada separuh kecantíkanmu. Tapi ia merasa ucapan demikian tidak pantas dikatakan kepada Adik perempuannya sendiri maka kata-kata yang hampir tercetus itu ditelannya kembali mentah-mentah.

Dalam pada itu Wan-jing sedang berkata "aku pun ingin tahu apakah Pangeran dari kerajaan kita dapat mengikat jodoh dengan putri Se He itu.”

"Sesst, ketahuilah bahwa aku sudah pasti tidak ingin menjadi Huma kerajaan Se He," kata Toan Ki dengaa pelahan. "Moimoai, maksudku ini jangan kau bocorkan kepada orang lain, Pendek kata bila ayah memaksa aku, pasti aku akan kabur saja."

"Masakah kau berani membangkang perintah ayah?”

"Aku tidak membangkang, tapi Kabur, menghilang?”

"Menghilang dan membangkang perintah apa bedanya?” ujar Wan-jíng dengan tertawa, "Masakah putri yang cantik molek itu tidak menarik bagimu?”

Sejak bertemu baru sekarang Wan jing memperlihatkan tertawanya. Karuan Toan Ki sangat girang, sahutnya, "Memangnya kau sangka aku mata keranjang serupa ayah? Asal ketemu lantas süka sehingga banyak menimbulkan gara-gara?"

"Nah, kulihat kaupun tídak banyak berbeda dengan ayah. Ayahnya begitu masakah anaknya bisa berlainan? Cuma saja engkau tidak pünya rejeki sebagai ayah," ujar Wan-jíng. Ia menghela napas, lalu menyambung, 'Seperti ibu, kalau b¡cara tentang ayah, wah, bencinya tak terkira, tapi bila bertemu, maka lemaslah hatinya. Tapi nona-nona di jaman sekarang tentu tidak ada lagi yang baik seperti ibuku.”

Begitulah mereka melanjutkan perjalanan sambil mengobrol, tidak lama kemudian Ciong Ling, Hi-tiok, Siau Hong dan lain-lain juga menyusulnya.

Beberapa li kemudian hari mulai gelap. Tiba-tiba terdengar suara jeritan kuatir seseorang dari sebelah kiri sana menyusul ada suara teriakan keras pula, suara orang yang sedang menghadapi suatu bahaya. Dari suara-suara itu dapat dikenali ada juga suara Lam-hai gok-sin.

"He, itulah suara muridku!" kata Toan Ki.

"Muridmu orang baik, lekas kita pergí melihatnya!" seru Ciong Ling.

"Ya, mari cepat!" sahut Hi-tiok. Meskipun Ibunya (Yap Ji-nio) adalah sekomplotan dengan Lam-hai-goh-sin, maka sedikit banyak timbul juga rasa kekeluargaannya.

Segera mereka melarikan kuda ke arah suara-suara tadi. Sesudah melintasi lereng bukit dan menyusur hutan, tiba-tiba di tepi jurang di depan sana memperlihatkan suatu adegan yang sangat mendebarkan hati.

Tertampak di atas sebuah karang yang menonjol di tapi jurang tumbuh sebatang pohon Siong tua sebuah dahan pohon menjulur ke jurang, di atas dahan kelihatan disanggah oleh sebatang tongkat pada ujung tongkat itu menggelantung seorang berjubah hijau. Siapa lagi dia kalau bukan Toan Yan-khing.

Dengan tangan kiri Toan Yan-khlng menggunakan tongkat untuk nenahan dahan pohon, tubuhnya tergantung di udara, sedang tangan kanan yang juga mamegang tongkat pada ujung tongkat yang dipegang oleh seorang lain ternyata adalah Lam-hai-gok-sin.

Sambil sebelah tangan memegang ujung tongkat Toan Yan-khing maka sebelah tangan Lam-hai-gok-sin yang lain digunakan untuk menjambak rambut seorang lain lagi, orang ketiga ini adalah Kiong-hiong-kek-ok in Tiong ho.

Kedua tangan In Tiong ho tertampak digunakan untuk mencengkeram sepasang tangan seorang wanita muda. Jadi keempat orang itu seakan-akan tergendong menjadi satu danterkontal kantil di udara keadaan mereka terang sangat berbahaya. Asal salah seorang di antara mereka itu lepas tangan, Maka orang yang di bawahnya tentu akan terjeblos ke dalam jurang yang curam itu.

Dalam pada itu tiba tiba angin pegunungan meniup santer sehingga Lam hai-gok-sin, ln Tiong-ho dan wanita muda yang terkatung-katung di udara itu tertiup setengah putaran.

Tadinya wanita muda itu tergantung mungkur, maka sekarang mukanya dapat terlihat dengan jelas. Mendadak terdengar Toan Ki menjerit keras dan himpir-hampir terperosot jatuh dari kudanya.

Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Ong Giok-yan yang senantiasa dirindukannya siang dan malam selama ini.

Sesudah tenangkan diri. Toan Ki melihat karang itu sangat terjal dan berbahaya, tiada mungkin kuda dapat mencapainya. Maka cepat ia melompat turun dari kudanya dan berlari-lari ke sana.

Ketika hampir dekat dengan pohon siong tadi, tiba-tiba dilihatnya dan seorang pendek gendüt berkepala besar sedang menebang pohon dengan sebatang kapak besar.

Keruan kecut Toan Ki lebih-lebih bukan buatan, cepat ia berseru, "Hei, hei Apa yang kau lakukan di situ?"

Namun si gendut tidak gubris padanya dan masih mengayun kapaknya menebang pohon.

Segera Toan Kì gunakan jarinya menuding dapan, maksudnya hendak menyerang si gendut dengan Lak-mehsia-kiam. Tak tersangka karena dia belum mampu menguasai tenaga murni sendiri, takkala dia ingin menggunakan kepandaiannya itu jadi tidak manjur, meski dia tüding-tuding beberapa kali tetap hawa pedang itu sukar dikerahkan.

Terpaksa ia berteriak, "Toako, Jiko, Moaimoai, nona Ciong, lekas kalian kemari, lekas tolong!"

Di tengah suara sahutan dan bentakan, segera Siau Hong dan lain-lain memburu tiba.

Kiranya tubuh si gendut itu sangat pendek, karena teraling-aling oleh batu karang, maka sama sekali tak kelihatan dari jauh, pula angin pegunungan meniup dengan santer sehingga suara kapaknya menebang pohon pun tak terdengar. Untung pohon siong itu sangat besar sehingga dalam waktu singkat sukar untuk menumbangkannya.

Melihat itu, Siau Hong dan lain-lain menjadi sangat heran dan kuatir pula, mereka tidak paham mengapa bisa terjadi adegan semacam permainan akrobat udara itu.

Segera Hi-Tiok beseru, "He. engkoh gemuk, jangan kau tebang pohon itu!"

Tapi si gendut telah menjawab, "Pohon ini aku yang tanam, aku suka menebangnya untuk dibikin peti mati, peduli apa dengan kau?"

Sembari bicara kapaknya juga terus bekerja tanpa berhenti. Sedangkan di bawah jurang terdengar suara gembar-gembor Lam-hai-gok-sin.

"Jiko, orang gendut itu susah untuk diajak bicara, harap kau suka membekuk dia dulu, urusan belakang." pinta Toan Ki.

Hi-Tiok mengiakan. Tapi belum lagi ia bergerak, sekonyong-konyong seorang yang bertongkat telah melayang kesana secepat terbang, hanya beberapa kali loncatan saja orang itu sudah berada di depan si gendut tadi. Dan sesudah orang itu berdiri tegak barulah semua orang dapat melihat jelas, kiranya dia adalah Yu Goan ci, entah sejak kapan dia telah lengeloyor turun darl keretanya.

Bok Wan-jing belum pernah kenal Goan-Ci seketika mendadak melihat mukanya yang jelek menyeramkan itu, ia menjerit kaget.

Dalam pada itu Goan-Ci telah menggunakan sebelah tongkatnya untuk menyanggah tubuhnya tongkat yang lain terangkat ke atas, lalu katanya dengan tegas, "Siapa pun dilarang ke sini!”

"He, Ong pangcu, lekas kau bekuk saja saudara gendut itu, suruh dia jangan menebang pohon lagi," seru Toan Ki cepat.

"Hm, buat apa aku mesti membekuk dia?” sahut Goan-ci dengan sikap dingin "Apa gunanya aku menaklukan dia?"

"Kalau kau tidak membekuk saudara gendut itu, bila pohon itu tumbang, semua orang yang bergantungan itu tentu akan terbantìng mati semua di dalam jurang," kata Toan Ki.

Melihat keadaan sudah kepepet, kalau terlambat sebentar lagi tentu urusan akan runyam, tanpa pikir lagl Hitiok terus melompat maju. Ia pikir andaikan tidak dapat mencegah perbuatan si gendut yang sedang menebang pohon itu, paling tidak harus menarik Toan Yan-khing dan lain-lain ke atas. Maklum, Hi-tiok merasa utang budi kepada Toan yan-khing karena tempo hari kepala Su-ok itu telah mengajarkan rahasia memecahkan

problem catur sehingga dia berhasil memperoleh kepandaian-kepandaian sakti.

Tak terduga, sebelum Hi-tiok bertindak, mendadak Goan-ci telah menancapkan tongkat ditanah lalu tangan kanan itu menghantam, kontan serangkum hawa maha dingin menyambar ke muka Hi-Tiok.

Walau pun Hi-Tiok tidak gentar terhadap serangan berbisa itu, tapi ia pun tahu tenaga pukulan Goan-ci itu sangat dahsyat dan tidak boleh di pandang enteng, cepat ia kerahkan tenaga untuk menangkis. Tapi mendadak pukulan Goan-ci yang kedua terus diarahkan kedahan pohon, dimana dipakai menyanggah tongkatnya Toan Yan-khing. Kalau dahan itu terpukul patah tanpa ampun lagi Toan Yan-khing berempat pasti akan hancur lebur terjeblos ke dalam jurang.

Keruan Toan Ki kelabakan, cepat ia beteriak, "Tahan dulu! Jiko, jangan kau maju ke sana, segala urusan boleh dibicarakan secara baik-baik dan jangan main kekerasan. Ong-pangcu, sebenarnya apa maksudmu ini? Siapakah yang kau musuhi? Kenapa kau hendak membikin celaka orang?”

"Toan-kongcu," sahut Goan-ci, "terlalu mudah bagiku jika mau membekuk si gendut ini. Tapi ... tapi apa balas jasanya bagiku?"

"Segala apa akan kuberikan padamu! Apa yang kau minta tentu akan kupenuhi! Nah, le ... lekas kau bertindak, kalau terlambat tentu tidak keburu lagi!" seru Toan Ki.

"Bila si gendut ini sudah kubereskan, segera aku akan pergi bersama nona A Ci, untuk mana kau dan kawankawanmu tidak boleh merintangi kami, apa kau bersedia menerima syarat ini?” Tanya Goan-ci.

"A Ci?" Toan Ki menegas. "Tapi ... tapi dia ingin minta tolong pada Jiko untuk menyembuhkan matanya, kalau ikut pergi bersama kau, lantas bagaimana matanya?"

"Jika Hi-tiok Siansing dapat menyembuhkan matanya, maka aku pun pasti dapat berusaha menyembuhkan matanya," sahut Goan-ci.

"Ini ... ini .... " dalam pada itu Toan Ki melihat si gendut masih terus mengapak, kalau-kalau ayalsebentar lagi urusan tentu akan runyam, Terpaksa ia berkata, "Ya, ba ... baiklah, aku terima permintaanmu, le ... lekas kau .... "

Belum habis ia berkata, dl sebelah sana serangan Goan-ci sudah dilancarkan kearah si gendut.

Ternyata orang gemuk buntak itu sedikitpun tidak gentar terhadap pukulan Goan-ci itu, dengan tertawa dingin ia buang kapaknya, ia pasang kuda-kuda dengan kuat, sekali gertak, kedua tangan terus dipakai memapak pukulan Goan ci itu.

Dari angin pukulan si gendut terdengar dahsyat sekali tenaganya. Tapi ketika beradu dengan pukulan Goan-ci, ternyata sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Sejenak kemudian mendadak air muka si gendut berubah hebat, sikap yang tadinya angkuh dan sombong itu tiba-tiba berubah sangat aneh seperti seorang yang mendadak melihat suatu kejadian paling ajaib dan sukar dipercaya didunia ini.

Menyusul dari mulut si gendut tampak mengeluarkan darah, tubuhnya pelahan mengkeret dan jatuh ke dalam jurang, Sampai cukup lama barulah terdengar suara "bluk" sekali tentu tubuh si gendut terbanting di atas batu karang di bawah jurang bila membayangkan betapa mengerikan badan si gendut itu hancur lebur seketika semua orang sama merasa menkirik.

Dalam pada itu Hi-Tiok sudah lantas melompat ke atas dahan pohon, ia lihat tongkat Toan Yan-khing itu terjepit dalam dahan, rupanya karena tekanan tenaga dalamnya yang kuat itu hingga tongkat seperti melengket di dahan dan dapat menahan bobot tubuh empat orang yang tergantung di bawahnya.

Sungguh kagum Hi-tiok tak terkatakan atas tenaga dalam Toan Yan-khing yang hebat itu. Segera ia pegang ujung tongkat orang dan diletak ke atas.

"Hwesio cilikl" demikian Lam-hai-gok-sin berteriak-teriak di bawah. "Aku memang sudah tahu kamu seorang baik, coba kalau kamu tidak menolong kami, wah, bagaimana rasanya jika kami terkatung-katung di sini sampai tiga hari malam."

"Huh, masih membual segala?" kata In Tiong-ho, "Apa kau tahan sampai tiga hari malam?”

"Kenapa tidak?" sahut Lam hai-gok-sin dengan gusar. "Andaikan tidak kuat, asal aku lepaskan jambakanku atas rambutmu, bukankah lantas jadi? Hm, apa kau minta dicoba?"

Begitulah, biarpun dalam keadaan bahaya toh mereka berdua masih sempat bertengkar.

Tidak lama kemudian Hi-tiok sudah mengangkat Toan Yan-khing, Lam-hai-gok-sin dan In Tiong-ho ke atas. Paling akhir, barulah Ong Giok-yan ditarik ke atas.

Kedua mata nona itu tampak terkatup rapat, napasnya lemah, nyata sudah lama orangnya jatuh pingsan.

Sungguh girang dan lega rasa hati Toan Ki, tapi merasa penuh kasih sayang pula. Ia lihat kedua pergelangan tangan Giok-yan matang biru dan ada bekas kuku In Tiong-ho yang tandas, tiba-tiba ia teringat kepada sifat In Tiong-ho yang kejam dan suka mengganggu kaum wanita itu, pernah timbul maksud jahat durjana itu terhadap Bok Wan-jing dan Ciong Ling, untung setiap kali dapat ditolong oleh Lam-hai-gok-sin, makadapat diduga apa yang terjadi barusan tentu akibat terulangnya perbuatan jahat In Tiong-ho itu.

Karena pikiran demikian, seketika Toan Ki menjadi gemas terhadap Tiong-ho, segera la berkata, "Toako, Jiko, orang she In ini paling jahat hendaknya kau bunuh dia saja!"

"He. salah, salah!" seru Lam-hai-gok-sin tiba-tiba, "Toan ... Suhu, justru hari berkat bantuan In-Losi sehingga ... binimu ... Sunio ini dapat diselamatkan. Kalau tidak, wah, tentu binimu sudah mampus sejak tadi!"

Meski kata-kata Lam-hai gok-sin ini tak karuan, tapi orang sudah dapat menangkap maksudnya.

Tadi betapa kelabakan dan kuatirnya Toan Ki atas keselamatan Ong Giok-yan sudah dapat diikuti seluruhnya oleh Bok Wan-jing, sebelum Giok-yan ditarik keatas saja Wan-jing sudah muram dan sedih kemudian waktu melihat kecantikan Giok-yan memang lain daripada yang lain hati Bok Wan-jing bertambah tak karuan rasanya.

Begitulah tidak lama kemudian Giok-yan membuka mata dengan perlahan tiba-tiba ia berseru, "Di .... di manakah ini? Apa di sini akhirat?”

"Hus anak dara ini benar-benar ngaco-belo!" kata Lam-hai-gok-sin. "Kalau di sini akherat, bukankah kita disini sudah menjadi setan semua? Mumpung belum resmi menjadi bini Suhuku, biarlah kupanggil engkau sebagai anak dara lebih sering. He. anak dara, orang baik-baik mengapa mendadak mencari kematian? Jika kau sendiri yang mati sebenarnya tidak menjadi soal bagiku paling-paling kamu Cuma urung menjadi bini Suhuku, tapi hampir saja In losi juga ikut mampus bersamamu. Andaikan In-losi mampus juga tidak mengapa, tapi Toanlotoa juga hampir-hampir ikut lapor kepada Giam lo ong, ya. bahkan aku Gak-loji juga hampir ikut mati konyol, Wah sungguh sialan!"

"Nona Ong, sebenarnya bagaimana duduknya perkara?" tanya Toan Ki kemudian. "Engkau tentu terkejut dan lelah, silakan mengaso bersandar di batang pohon ini."

Karena Toan Ki menghiburnya dengan suara ramah-tamah, mendadák Giok-yan menangis sambil menutup mukanya dengan kedua tangan. Katanya dengan suara terguguk-guguk, "Kalian tidak perlu mengurus diriku, aku ... aku tidak ingin hidup lagi."

Toan Ki terkejut, pikirnya, "Sebab apa dia ingin mati? Wah, jangan-jangan ... jangan-jangan .... "

Ia coba melirik In Tiong-ho, ketika melihat sikap si durjana yang buas dan kejam itu, diam-diam ia mengeluh, "Ai, celaka! Jangan-Jangan nona Ong telah dinodai durjana ini sehingga dia ingin membunuh diri?”

Tengah Toan KI merasa sangsi, tiba-tiba Ciong Ling tampil ke muka dan menegur Lam-hai-gok-sin, "He, Gaklosam, baik-baikkah kamu selama ini!"

"Eh. jebul kau nona cilik ini!" sahut Gok sin dengan girang. "Baik, baik sekali! Sekarang aku sudah menjadi Gak-loji dan bukan Gak-losam lagi!"

"Ai, jangan kau panggll aku 'cilik' apa segala," sahut Ciong Ling. "Gak-losam, kau .... "

"Gak-loji!" sela Gak-sin.

"O, ya, Gak-loji, sebab apakah nona ini ingin membunuh diri? Apakah gara-gara si Jangkung lagi?” tanya Ciong Ling.

"Bukan, Bukan!" berulang Gak-sin menggeleng kepala. "Demi allah, dalam urusan ini sifat In losi mendadak berubah dan telah berbuat baik. Sejak kami kehilangan seorang kawan Yap Ji-nio, Kami menjadi agak kesal. Waktu kami jalan-jalan sampai di sini, kebetulan kami melihat Anak dara ini sedang terjun ke bawah jurang. Sekonyong-konyong timbul welas-asih In losi, dia melompat untuk menarik tangan anak dara itu. Tetapi daya terjun anak dara itu terlalu hebat, maka ... si dasar In losi memang orang maha jahat, sekarang mendadak berubah baik, rupanya menjadi agak tidak tahu diri .... "

"Keparatl" in Tiong-ho memaki dengan gusar, "Sejak kapan aku pernah berubah menjadi baik? Orang she ln ini paling suka kepada nona cantik maka ketika kulihat nona Ong ini hendak membunuh diri, dengan sendirinya aku merasa sayang jadi maksud tujuanku hendak membawanya pulang untuk dijadikan kawan hidup."

Seketika Lam-hai-gok-sin berjingkrak, la balas memaki sambil menuding, "Kamu jahanam bedebah! Sebabnya Gak-loji mau menjambak rambutmu adalah karena mengira sifatmu yang beringas berubah baik, jika tahu maksudmu yang durhaka ini, lebih baik Kubiarkan kau terbunuh mampus saja dalam jurang itu Untunglah

Toan lotoa cukup cekatan, tongkatnya tepat waktunya diulurkan kepadaku sehingga sempat kugapai ujung tongkat itu dan tidak sampai terjerumus dalam jurang. Tapi bobot kita bertiga ada beberapa ratus kati baratnya, dengan terkontal kantil di udara, akhirnya Toan-lotoa juga ikut terseret ke bawah syukur tongkatnya sempat menyanggah dahan pohon siong itu. Dan baru kami hendak mencari akal untuk naik ke atas tiba-tiba datanglah si gandut buntak berkapak dari Turfan itu dia terus menebang pohon ...”

"Jadi si gendut buntak itu orang Turfan? Sebab apa dia hendak membikin celaka kalian?” tanya Ciong Ling.

"Cuhh," Gok-sin meludah, "semuanya gara-gara In-losi, dia masuk Istana raja Se He untuk mengintip putri kemudian ia menyiarkan hasil perbuataanya itu. katanya putri Sa He itu secantik bidadari. Nah, tentu saja dunia menjadi gempar. Pangeran Turfan, juga mendengar berita yeng di siarkan In-losi itu, dia minta keterangan kepada kami, tapi kami tidak mau menjelaskan lebih lanjut maka terjadilah pertarungan sengit dan mengakibatkan jatuh belasan korban di pihak jago-jago turfan, lantaran itulah kami Sam-ok lantas bermusuhan dengan orang-orang Turfan.”

Karena cerita Lam-hai-gok-sin ini, maka sedikit banyak dapatlah semua orang memahami duduknya perkara. Tapi sebab apa Ong Giok-yan sampai mau bunuh diri hal inilah yang belum lagi diketahui.

Dalam pada itu Gok-sin berkata pula, "Nona Ong, Suhuku sudah berada di sini, kalian adalah kenalan lama, lebih baik menjadi suami-istri saja dan jangan membunuh diri lagi."

Giok-yan mendongak dan menjawab dengan masih terguguk-guguk, "Jika kamu sembarang mengoceh lag untuk menghina aku segara aku akan... akan membenturkan kepalaku pada batu karang itu dan biar mati saja."

"Eh, jangan, jangan!" seru Toan Ki cepat. Lalu ia menoleh kepada Gak-sin, "Gak-losam, jangan .... "

"Gak-loji,” potong Gak-sin.

"Baik, Gak-loji, Jangan sembarangan berkata lagi." kata Toan Ki. "Kamu telah berjasa menyelamatkan nona Ong, sungguh Suhu sangat berterima kasih padamu."

Lam-hai-gok-sin melirik Giok yan dengan matanya yang kecil aneh itu, katanya, "Kamu tidak mau menjadi Ibu guruku? Ooo. kelak kamu tentu akan ketinggalan! Itu lihat, nona besar itu dan nona kecil ìni, semuanya sedang berlomba untuk menjadi ibu guruku."

Sembari berkata ia pun menuding Bok Wan-jing dan Ciong Ling.

Muka Wan-jing menjadi merah, "Cis!" semprotnya. Lalu katanya, "He, di manakah siluman jelek itu?”

Tadi semua orang memusatkan perhatian kepada Hi-Tiok yang menolong Ong Giok-yan ke atas, baru sekarang sesudah mendengar ucapan Wan-jing itu semua orang mengetahui bahwa Yu Goan-ci dan A Ci sudah tidak kelihatan lagi.

"Toako. apakah mereka sudah pergi?" Tanya Toan Ki kepada Siau Hong. Ia kenal sang Toako adalah seorang cerdik dan penuh waspada, setiap gerak-gerik Goan-ci dan A Ci tentu tidak terhindar dari pengamatannya.

"Ya, mereka sudah pergi," sahut Siau Hong. "Kamu sudah berjanji, dengan sendirinya aku tidak dapat merintangi mereka."

"Hai. Lotoa, tosi, apa kita akan pulang saja?" mendadak terdengar Lam-hai-gok-sin berteriak kepada Toan Yankhing dan In Tiong-ho yang kelihatan berjalan menuju ke arah Lengciu. Lalu ia berpaling pula kepada Toan Ki dan berkata, "Aku akan pergi, ya!"

Habis itu ia terus ayun Langkahnya menyusul ke arah Toan Yan-khing berdua.

"Nona Ong," kata Ciong Ling kemudian "Engkaü tentu sangat lelah, marilah kita naik kereta saja."

Lalu ia memayangnya menuju kereta yang ditinggalkan Goan-ci tadi.

Begitulah rombongan mereka lantas meneruskan perjalanan ke Lengciu. Menjelang magrib sampailah mereka di dalam kota. Walaupun Lengciu adalah kota raja Se He, tetapi kalau dibandingkan kota besar dl Tionggoan dengan sendirinya kalah jauh besar dan ramainya.

Maka rombongan Siau Hong gagal mendapatkan rumah penginapan. Maklum, kota Lengciu memang tidak besar, rumah penginapan yang ada telah penuh diisi oleh para ksatria yang berbondong-bondong datang handak ikut sayembara. Terpaksa Siau Hong membawa rombongannya keluar kota dan dengan susah payah akhirnya menemukan sebuah kelenteng sebagai tempat bermalam. Kaum lelaki berkumpul dl suatu kamar serambi timur dan kaum wanita bersatu kamar di sebelah barat.

Sejak betemu kembali dengan Giok-yan sungguh girang Toan Ki tak terlukiskan, tapi juga gundah-gulana. Malam itu ia guling-gelantang tak bisa tidur. Yang selalu terbayang olehnya ialah Ong Giok-yan, Ia pikir,

"Sebab apakah nona Ong hendak membunuh diri?Ai aku harus mencari akal untuk menghiburnya? Tetapi aku tidak tahu sebab apa dia hendak mengbunuh diri, dengan cara bagaimana aku harus menghiburnya?"

Sang dewi malam memancarkan sinarnya yang terang di tengah cakrawala, sinar bulan itu menembus ke dalam kamar melalui celah-celah jendela. Saat itu Toan Ki masih guling-gelantang tak bisa pulas. Akhirnya pelahan ia bangun dan keluar ke pelataran tengah kelenteng di situ tumbuh dua batang pohon Waru yang rindang.

Tatkala itu sudah akhir musim panas, tapi di tengah malam di daerah sekitar Kamsiok hawa terasa agak dingin. Toan Ki mondar-mandir di bawah pohon waru itu, lamat-lamat ia merasa luka di dadanya agak sakit, la tahu tentu siang harinya telah banyak bergerak sehingga membikin luka itu kambuh kembali.

"Sebab apakah dia ingin bunuh diri?" demikian timbul pula pertanyaan ini dalam benaknya.

Karena pertanyaan itu tetap sukar dipecahkan, akhirnya ia melangkah keluar kelenteng. Di bawah sinar bulan yang terang itu tiba-tiba dilihatnya ada berkelebatnya bayangan orang di tepi empang sejauhan sana. Samarsamar bayangan orang itu seperti kaum wanita, bahkan mirip dengan tubuh Giok-yan.

Toan Ki terkejut, "Wa. celaka, jangan-jangan dia ... dia hendak bunuh diri lagi."

Cepat ia gunakan ginkang untuk memburu ke sana. Segera dia keluarkan langkah "Leng-po wi-poh" yang ajaib, maka cepatnya bukan main dan tak bersuara seperti orang meluncur dalam air, hanya sekejap saja ia sudah berada dibelakang bayangan orang itu.

Air empang yang tenang dan bening seperti kaca itu mencerminkan muka orang itu dengan jelas, memang betul dia adalah Giok-yan.

Toan Ki tidak berani sembarangan menegurnya, pikirnya, "Ketika di Siau-sit-san dia sudah kadung benci padaku, waktu bertemu siang tadi dia juga acuh-tak-acuh padaku, mungkin dia masih marah padaku. Ya, boleh jadi sebabnya dia ingin membunuh diri adalah lantaran perbuatanku. Jika begitu, wahai Toan Ki, kamu terlalu kasar terhadap si cantik dan mengakibatkan dia gundah merana, kamu benar-benar berdosa!”

Begitulah Toan Ki sembunyi di belakang pohon dan termangu mangu menyesalkan dirinya sendiri, makin dipikir makin merasa dosa sendiri tak terampunkan.

Tiba-tiba dilihatnya air empang yang tenang bening itu tiba-tiba bergelombang halus, lingkaran gelombang itu pelahan makin meluas. Waktu Toan Ki memperhatikannya tertampak beberapa tetes air jatuh di permukaan

empang. Kiranya air mata Giok yan.

Toan Ki semakin kasihan. Tiba-tiba terdengar Giok-yan menghela napas, lalu pelahan bergumam, "Ai, aku ... aku lebih baik mati saja agar tidak merana lebih lama."

Sungguh Toan Ki tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunyinya dan barkata, "Nona Ong, seratus kali salah, semuanya aku yang salah, untuk itu diharap engkau suka memaafkan. Bila engkau masih tetap marah, terpaksa aku berlulut padamu."

Habis bicara benar saja ia terus berlutut.

Keruan Giokz-yan kaget, serunya gugup "He, apa ... apa yang kaulakukan? Le ... lekas bangun. Kalau ... sampai dilihat orang kan tidak enak?”

"Asal nona sudi memaafkan aku dan tak akan marah lagi padaku, baru aku mau bangun" sahut Toan Ki.

Giok yan menjadi heran, katanya, "Maaf apa padamu? Marah apa padamu? Ada sangkut-paut apa dengan urusanmu?"

"Kulihat nona sangat sedih, padahal segala apa biasanya nona selalu gembira ria, kukira akulah yang membikin Buyung-kongcu merasa tersinggung sehingga nona juga ikut masgul. Biarlah aku berjanji, bila lain kali bertemu dengan dia lagi, biarpun dia akán memaki dan menyerangku. Aku akan kabür saja dan takkan balas menyerangdia."

Giok-yan nampak membanting-bantíng kaki dan berkata. ""Ai, engkau ini me ... memang tolol. Aku berdüka sendiri, sama sekali tiada sangkut pautnya denganmu.”

"Jika begitu, jadi nona tidak marah padaku?”

"Sudah tentu tidak!"

"Jika demikian legalah hatiku." kata Toan Ki sambil berbangkit.

Tapi mendadak hatinya merasa gundah-gelana. Bila Giok-yan sangat berduka karena dia sehingga memaki dan memukulnya, bahkan membacoknya dengan golok sekali pun dia akan rela. Tadi si nona justru menyatakan sedihnya itu tiada sangkul-pautnya dengan dia. Seketika Toan Ki merasa hampa seakan-akan kehilangan sesuatu.

Dalam pada itu tampak Giok-yan sedang menunduk air matanya bercucuran pula.

Toan Ki menjadi terharu dan berkata, "Nona Ong, sebenarnya ada kesulitan apa, lekas katakan padaku. Dengan segenap tenagaku tentu akan ku selesaikan untukmu, aku akan berusaha engkau gembira."

Pelahan Giok-yan mengangkat kepalanya, dengan pandangan yang sayu ia menjawab, "Toan-kongcu, engkau ... sangat baik padaku, sudah tentu aku sangat ... sangat berterima kasih, Cuma dalam urusan ini sesungguhnya engkau tak dapat menolong diriku."

"Aku sendiri memang tidak becus apa-apa," ujar Toan Ki. ”Tetapi Siau-toako dan Hi-tiok Jiko, mereka adalah jago silat kelas wahid, mereka berada di sini semua, mereka sangat baik padaku, apa yang kau minta tentu akan dikabulkan oleh mereka. Apa sebenarnya yang membuatmu berduka, coba katakan, bisa jadi aku dapat membantumu."

Tiba-tiba air muka Giok-yan yang semula pucat itu berjamu marah, ia berpaling dan tidak berani menatap sinar mata Toan Ki, kemudian dengan suara yang lìrih lembut berkata, "Dia ...dia katanya ingin menjadí Huma kerajaan Se He maka Kongya-jiko membujuk padaku agar .... demi kebangkitan kembali kerajaan Yan yang baru, terpaksa dia ... dia harus kesampingkan kepentingan pribadinya."

Habis berkata, tiba-tlba ia berpalíng kembali dan mendekap di atas pundak Toan Ki lalu menangis tersedusedan.

Kejut-kejut senang rasa Toan Ki, sedikit pun ia tidak berani bergerak. Baru sekarang ¡a paham duduknya perkara, tapi ia lantas terkesima, entah mesti girang atau susah, Kiranya lantaran Buyung Hok hendak ikut berebut putri Se He, dan kalau sudah memperistrikan putri Se He, dengan sendirinya Giok yan tidak terurus lagi.

Dengan sendirinya lantas terpíkir pula, oleh Toan Ki, "Wah, bila dia tidak jadi diambil istri oleh Piaukonya, boleh jadi dia akan lebih lunak kepadaku aku tidak berani mengharapkan memperistrikan día, asal aku senantiasa dapat melihat wajahnya yang berseri-seri maka puaslah hatiku. Jika dia suka kepada ketenangan, maka aku akan mengiringi dia pergi ke pulau terpencil atau gunung yang sunyi dan selalu berdampingan dengan dia alangkah bahagia dan senangnya hidup demikian itu?"

Berpikir tentang hidup yang mengembirakan itu, ia menjadi lupa daratan dan tanpa terasa kaki tangan bertingkah pula.

Giok-yan sampai kaget, ia mundur selangkah, ketika melihat wajah Toan Ki bergembira ria, ia tambah pedih, katanya, "Tadinya ku ... kusangka engkau adalah orang baik, makanya aku bicara terus terang padamu, tak tahunya engkau malah ... malah menyukurkan kemalanganku ini dan malah mengejek."

”O, tidak, tidak!" sahut Toan Ki cepat, "Langit di atas, bumi di bawah, boleh mereka menjadi saksi bahwa sekali-sekali aku tidak menyukurkan kemalangan nasib nona, bila demikian pikiranmu, biarlah aka terkutuk dan mati tak terkubur."

"Asal hatimu memang tidak bermaksud jelek siapa sih yang menyuruhmu bersumpah apa segala?” ujar Giokyan. "Tapi sebab apakah tìba-tiba engkau tampak gembirà?"

Baru pertanyaan itu dikemukakan ia sendiri lantas paham juga persoalannya. Segera teringat olehnya bahwa sebabnya Toan Ki mendadak gembira tentu karena Buyung Hok akan menjadi menantu raja Se He dan Toan Ki menjadi besár harapannya untuk mengikat jodoh dengan dirinya.

Tentang Toan Ki sangat kesemsem padanya sudah tentu Giok-yan sendiri tahu. Cuma perhatiannya selalu terpusat kepada diri sang Piauko, terhadap cinta Toan Ki yang tak terbalas itu terkadang ia sendiri pun merada menyesal. Tapi dalam hati "cinta" memang sekali-kali tak boleh dipaksakan."

Begitulah maka sesudah paham sebabnya Toan Ki berjingkrak senang Giok-yan menjadi malu dengan muka bersemu merah ia mengomel, "Meski engkau tidak mengejek aku, tapi kaupun tidak bermaksud baik, Aku ... aku .... "

Sampai di sini ia tidak sanggup meneruskan lagi.

Toan Ki terkesiap, diam-diam ia mencerca dirinya sendiri, "Wahai Toan Ki kenapa tiba-tiba timbul pikiranmu serendah itu dan bermaksud menggagap ikan di air keruh, Orang lain sedang tertimpa kemalàngan tapi aku malah bergirang? Bukankah perbuatanmu itu sangat memalukan?"

Melihat Toan Ki termenung-menung dengan suara perlahan Giok-yan bertanya, "Apakah ucapanku tadi salah dan engkau marah padaku?"

"O, ti ... tidak, mana bisa kumarah padamu," sahut Toan Ki.

"Habis, mengapa engkau diam saja?"

"Aku .... aku sedang memikirkan sesuatu," kata Toan Ki.

Diam-diam ia sedang menimang-nimang "Kalau dibandingkan Buyung-kongcu terang aku kalah segalanya, baik ilmu sìlat mau pun ilmu sastra, kalah ganteng dan kalah nama, apalagi mereka berdua adalah famili sendiri dan teman bermain sejak kecil, sudah lama mereka saling menyukai dalam hal ini lebih-lebih aku bukan tandingannya. Tapi ada suatu hal aku harus mengalahkan Buyung-kongcu. Ya, supaya sampai tua pun dalam lubuk hati nona Ong akan tetap teringat kepadaku bahwa di dùnia ini satu-satunya orang yang selalu berpìkir demi kepentingannya tiada orang lain kecuali aku, Toan Ki."

Sesudah ambil ketetapan itu segera ia berkata pula, "Nona Ong, jangan berduka lagi, biarlah aku berusaha menasehati Buyung-kongcu supaya dia jangan menjadi Huma kerajaan Se He dan supaya dia lekan menikah denganmu saja."

Giok-yan terkejut, sahutnya, "He. tidak! Mana boleh jadi? Piauko justru sangat benci padamu tidak mungkin dia mau menerima nasehatmu itu."

"Biarlah aku nanti memberi ceramah padanya akan kukatakan bahwa hidup manusia di dunia ini paling penting adalah kecocokan antara suami istri keduanya harus cinta mencintai, Padahal selamanya dia tìdak kenal putri Se He tidak akan tahu putri itu jelek atau cantik, apakah baik atau jahat andaikan menjadi istrinya tentu takkan bahagia. Sàbaliknya akan kukatakan bahwa nona Ong cantik molek, halus budi dan bijaksana seluruh dunia sukar mencari bandingannya. Apalagi engkau sangat cinta padanya, masa día tega mengingkarimu sehingga akan dicaci-maki oleh kaum ksatria di dunia íni?"

Giok-yan sangat terharu mendengar uraian itu katanya lirih, "Toan-kongcu, engkau memuji díriku hanya untuk menyenangkan hatiku saja."

"Bukan! Bukan!" sahut Toan Ki cepat. Dan begítü kata-kata itu diucapkan, segera ia merasa nada sendiri itu ketularan kebiasaan Pau Püt-tong, ia tertawa geli sendiri lalu menyambung, "Aku benar-benar berkata dengan setulusnya, sedikit pun tidak pura-pura untuk menyenangkan hatimu."

Rupanya Giok-yan juga geli oleh ucapan "bukan-bukan" itu, dari menangis ia menjadi tertawa katanya, "Kenapa engkau menirukan kebiasaan Pau-samko yang jelek?"

Toan Ki kegirangan melihat si nona tertawa, katanya, "Pendek kata aku pasti akan membujuk Buyung-kongcu agar menarik kembali maksudnya hendak menjadi menantu kerajaan Se He dan lebih baik menikah dengan nona saja."

"Dengan perbüatanmu ini, sebenarnya apa tujuanmu? Apa sih faedahnya bagimu?" tanya Giok Yan.

”Asal kulihat nona bergembira ria dan tertawa, itu sudah cukup bagiku,” sahut Toan Ki.

Giok-yan terkesiap, ia merasa jawaban yang sederhana itu justru sangat tandas melukiskan betapa cinta pemuda itu kepadanya. Tapi karena segenap perhatiaan Giok-yan telah dicurahkan kepada Buyung Hok seorang, walaupun terharu seketika, tapi segera terlupa pula.

Katanya kemudian dengan menghela napas. "Engkau tidak tahu jalan pikiran Piaukoku. Dia memandang usahanya membangun kembali kerajaan Yan sebagai tugas utama hidupnya. Dia bilang seorang lelaki sejati harus mengutamakan perkembangan dan pemupukan pergerakan, kalau selalu memikirkan urusan lelaki dan perempuan, itu bukanlah pahlawan. Dia bilang baik putri Se He itu secantik bidadari atau sejelek setan, pendek kata dia tidak pikirkan, yang utama ialah dapat membantu dia membangun kembalí kerajaan Yan."

”Hal itu memang juga betul," pikir Toan Ki. "Keluarga Buyung mereka senantiasa ingin menjadi raja, Se He memang dapat membantu usahanya membangun kembali kerajaan Yan, urusan nona Ong menjadi ... menjadi agak sulit."

Ia lihat air mata Giok-yan berlinang-linang pula, segera ia membusungkan dada dan berkata, "Nona. sudah jangan kuatir. Biarlah aku saja yang menjadi menantu kerajaan Se He. Dengan demikian, karena tidak berhasil menjadi Huma, dia terpaksa akan menikah denganmu."

"Hah, apa?" seru Giok-yan terkejut dan bergirang.

"Aku akan ikut sayembara dan merebut putri Se He," sahut Toan Ki.

Ketika di Siau-sit-san Toan Ki telah mengalahkan Buyung Hok dengan Lak-meh-sin-kiam, kejadian itu

disaksikan sendiri oleh Giok-yan, kalau sekarang Toan Ki benar-benar ikut perlombaan sayembara, rasanya sang Piaoko akan gagal cita-citanya untuk menjadi menantu raja Se He.

Karena pikiran demikian, segera Giok-yan berkata dengan suara pelahan, "O, Toan-kongcu, engkau benarbenar sangat baik padaku. Tapi .... tapi dengan demikian engkau tentu akan dibenci sekali oleh Piaukoku."'

"Tidak menjadi soal, toh sekarang juga dia sudah sangat benci padaku," sahut Toan Ki.

"Tadi kukatakan putri Se He itu entah cantik entah jelek, jika engkau menjadi suaminya, bukankah akan membikin susah padamu?"

"Demi dirimu, biar bagaimana juga aku rela menangungnya," demikian mestinya hendak dikatakan Toan Ki. Tapi sebelum terucapkan, tiba-tiba terpikir olehnya, "Apa yang kulakukan ini jika sengaja untuk membuat kau utang budi padaku bukankah perbuatan demikian terlalu rendah?"

Karena itu lantas katanya,'"Aku tidak akan susah, sebab ayahku telah memerintahkan padaku agar berusaha ikut berebut putri Se He, jadi aku cuma melaksanakan perintah ayah dan tiada sangkut-pautnya denganmu."

Giok-yan adalah nona yang pintar dan cerdik, demi cinta Toan Ki rela berkorban baginya, walaupun di mulut Toan Ki tidak menonjolkan hal ini. Tanpa terasa ia genggam tangan pemuda itu dan berkata, "O, Toan-kongcu, hidupku ini tak dapat kubalas kebaikanmu se ... semoga dalam jelmaan hidup yang akan datang .... "

Berkata sampai di sini, suaranya menjadi parau dan tenggorokan serasa tersumbat, ia tidak sanggup meneruskan lagi.

Sudah beberapa kali kedua muda-mudi ini bahu-membahu menghadapi bahaya dan selalu berdampingan, apa yang pernah terjadi itu adalah terpaksa, sebaliknya sekali ini Giok-yan sendiri yang terharu, perasaannya timbul dengan sewajarnya sehingga menggenggam tangan Toan Ki dengan erat.

Seketika Toan Ki merasa tangannya dipegang oleh tangan yang halus dan lemas, untuk sejenak ia menjadi lupa daratan, saat itu biarpun langit akan ambruk juga tak dihiraukannya lagi Ia pikir si nona sedemikian baik padaku, jangankan Cuma mengambil istri putri Se He, sekalipun putri kerajaan Song, kerajaan Liau, kerajaan Koran dan kerajaan Turfan sekalígus menjadi istriku juga boleh.

Begitulah, saking senangnya, darah lantas bergolak, padahal lukanya belum sembuh sama sekali maka kepala

menjadi puyeng, badan terhuyung-huyung dan "byuurr”, ia terperosot dan kecebur ke dalam empang.

Keruan Giok-yan kaget, serunya, "He, Toan-kongcu! Toan-kongcu!”

Untung air empang itu sangat cetek, karena terendam air dingin pikiran Toan Ki menjadi jernih, cepat ia merangkak bangun dengan basah kuyup.

Dan karena teriakan Giok-yan tadi semua orang yang tidur dalam kelenteng sama terjaga bangun. Siau Hong, Hi-tiok, Pah Thlan-sik, Cu Tan-sin dan lain-lain sama berlari keluar. Ketika melihat keadaan Toan Ki yang serba runyam dan air muka. Giok-yan tampak merah jengah, diam-diam semua orang merasa geli, mereka menyangka kedua muda-mudi itu sedang main pat-gulpat di tengah malam sunyi, maka mereka pun tidak enak untuk bertanya ....

Esoknya adalah tanggal 12 bulan, delapan jadi masih ada tempo tiga hari baru tiba hari Tiongciu. Pagi-pagi Pah Thian-sik sudah masuk kota untuk mencari berita. Waktu-lohor ia pulang kembali ke kelenteng dan memberi lapor kepada Toan Ki, "Kongcu, surat lamaran Ongya telah hamba sampaikan lepada Le-poh (bagian protokol) dan hamba telah diterima oleh menteri Le-poh dengan ramah beliau menyatakan adalah suatu kehormatan besar bagi Se He karena Kongcu mau ikut melamar putri mereka dan besar kemungkinan cita-cíta Kongcu akan terkabul."

Tidak lama kemudian, tíba-tiba terdengar riuh ramai di lúar kelenteng, menyusul ada suara alat tetabuhan pula. Waktu Thian-sik dan Tan-sin memapak keluar kiranya To silong (menteri To) dari Le-poh datang untuk menyambut Toan Ki ke tempatpenginapan yang disediakan bagi tamu-tamu agung kerajaan.

Siau Hong adalah Lam-ih Tai-ong Kerajaan Liau, kalau Se He mengetahui kedatangannya tentu akan menyambutnya dengan lebih meriah dan menghormat. Cuma dia telah pesan kawan-kawannya agar jangan membocorkan kedudukannya, maka dia dan Hi-Tiok dan lain-lain cuma mengaku sebagaí pengiring Toan Ki dan bersama-sama pindah ke pondok tamu asing.

Belum lama mereka mengaso di tempat baru, tiba-tiba terdengar di ruang belakang sana ada suara caci maki orang, 'Hm, kamu ini kutu macam apa? Kamu juga berani mengincar putri Se He? Biarlah kukatakan padamu bahwa Huma kerajaan Se He ini sudah pasti akan diduduki oleh pangeran kami, kukira kalian lekas merat saja dari sini mencawat ekor!"

Pah Thian-sik dan lain-lain menjadi gusar, mereka tidak tahu siapakah berani mencaci-maki secara kasar demikian. Ketika mereka membuka pintu, tertampaklah di pekarangan sana berdiri tujuh atau delapan lelaki kekar kasar dan sedang bergembar-gembor tak keruan.

Thian-sik dan Tan-sin adalah pendekar-pendekar Tayli yang terhitung paling pintar dan cerdik. Mereka tidak bersuara, hanya berdiri di depan pintu saja untuk mendengarkan lebih jauh. Terdengar caci-maki kawanan lelaki kasar itu makin lama makin kotor, terkadang juga diselingi dengan kata-kata yang tak dikenal, agaknya mereka adalah anak buah pangeran Turfan.

Selagi Thian-sik berpikir cara bagaimana menggebuk pergi kawanan lelaki itu, mendadak pintu kamar dipojok kiri sana terdengar dibuka orang dengan keras, menyusul dua orang melompat keluar, seorang berbaju kuning dan yang lain berbaju hitam. Keduanya terus menghantam sana dan menendang situ, hanya dalam sekejap saja tiga. Di antara kawanan lelaki yang mencaci-maki tadi sudah dirobohkan. sisanya juga kena dihantam dan dilempar keluar pintu sana.

"Puas! Puas!” seru si lelaki berbaju kuning.

Kiranya mereka adalah Hong Po-ok dan Paù Put-tong.

Mendengar suara kedua orang itu, Giok yan yang berada di dalam kamar menjadi bimbang, ia bingung apa mesti keluar untuk bertemu dengan mereka atau tidak.

Dalam pada itu terdengar jago-jago Turfan yang diusir keluar ítu masih berkaok-keok, "He, manusia she Buyung, kami kira kamu lebih baik pulang kandang ke Koh-soh saja. Jangan timbul pikiran hendak memperistrikan putri Se He, Jika sempat Pangeran kami menjadi gusar menggunakan caramu untuk diperlakukan atas dirimu dan mengambil adik perempuanmu sebagai bini muda, maka barulah kamu akan tahu rasa nanti!"

Hong Po-ok menjadi gemas karena caci-maki yang demikian kotor itu, segera ia mengudak keluar. Maka terdengarlah suara "plak-plok, blak-bluk” berulang-ulang, jago-jago Turfan itutelah dihajar hingga lari tunggang-langgang.

Tiba-tiba Put Pat-tong memberi hormat kepada Thian-sik dan Tan-sin dan menyapa, "kiranya Pah-heng dan Cu-heng juga berada di sini, apakah kalian cuma ingin lihat ramai-ramai atau mempunyai tujuan lain?"

"Apa tujuan kedatangan Pau-heng sendir¡, begitu pula maksud tujuan kami," sahut Thian sik.

Air muka Put-tong berubah seketika, tanvanya, "Apakah Toan-kongcu dari Tayli juga ingin melamar putri Se He?"

"Ya," sahut Thian sik. "Kongcu kami adalah putra mahkota Tayli, beliau adalah ahliwaris satu-satunya Sri Baginda yang sekarang, bila kelak beliau naik tahta bukankah akan merupakan besanan yang setimpal dengan kerajaan Se He. Sebaliknya Buyung kongcu hanya jejaka yang tak punya sandaran apa-apa, meski orangnya cakap tapi bukan keluarga yang setimpal."

Air muka Pau Put-tong tambah kelam, katanya, "Bukan, bukan! Kamu cuma tahu satu tapi tidak tahu dua. Kongcu kami adalah pemuda pilihan di antara kaum pemuda, mana bisa dibandingi pemuda ketolol-tololan seperti Kongcu kalian?”

"Samko," tiba-tiba Hong Po ok berlari masuk kembali, "buat apa bertengkar dengan mereka, toh besok akan diadakan perlombaan di depan baginda raja, biarlah nanti masing-masing pihak keluarkan kepandaian sejati saja."

”Bukan, bukan!" sahut Put-tong. "Perlombaan di hadapan baginda raja adalah urusan para Kongcu, sedangkan pertengkaran mulut ini adalah kewajiban kita."

”Hahaha, soal pertengkaran mulut memang harus diakui di dunia ini tiada seorang pun mampu melawan Pauheng, nah, Siaute terima mengaku kalah padamu," ujar Thian-sikz dengan tertawa.

Dan selagi Pau Put-tong hendak "bukan-bukan” pula, namun Thian-sik sudah mengundurkan diri ke dalam kamar bersama Tan sin. "Cu hiante" katanya kemudian, "kalau menurut kata-kata Pau Put-tong tadi. agaknya Köngcu masih harus mengikuti pertandingan secara terbuka, padahal luka Kongcu belum sembuh, sedangkan kungfunya juga terkadang manjur dan terkadang tidak, bila dalam pertandmgan nanti Lek-meh-sin kiam tak bisaj dikeluarkan, bukan saja tidak berhasil menjadi Huma, bahkan jiwanya berbahaya pula, maka bagaimana menurut pendapatmu?"

Tan-sin juga tak berdaya, terpaksa mereka pergi membicarakannya dengan Siau Hong dan Hi-tiok.

Menurut Siau Hong, kalau cara pertandingan nanti dapat diketahui tentu akan lebih mudah mengatur siasat untuk menghadapinya.

"Jika begitu, marilah Cu-hiante, kita coba pergi tanya keterangan kepada To silong tentang peraturan pertandingan itu," ajak Thian-sik segera besama Tan-sin mereka bergegas pergi.

Siau Hong, Hi tiok dan Toan Ki duduk bersama dan minum arak sambil mengobrol. Tiba-tiba Siau Hong tanya

Toan Ki tentang pengalamannya memperoleh Lak-meh-sin-kiam itu dengan maksud hendak mangajarkan semacam cara mengarahkan tenaga agar adik angkat itu dapat menggunakan Lak-meh-sin-kiam dengan sesuka hati.

Tak terduga dalam hal teori Iwekang dan sebagainyà sama sekali Toan Ki tidak paham sehingga sukar untuk mempelajarinya dalam waktu singkat. Karena tak berdaya, Siau Hong hanya menggeleng-geleng kepala saja dan menenggak arak pula.

Kekuatan minum Hi-tiok dan Toan Ki sudah tentu bukan tandingan Siau Hong maka baru dua-tiga mangkuk saja Toan Ki sudah menggeletak tak sadarkan diri.

Ketika ia siuman kembali dengan mata yang merah ia lihat sinar bulan telah menembus masuk melalui celahcelah jendela, nyata waktu itu sudah tengah malam. Toan Ki terkesiap, "Semalam aku belum selesai bicara dengan nona Ong dan keburu tercebur ke dalam empang, entah dia masih ingin omong apa lagi padaku? Apa tidak mungkin dia sedang menantikan aku pula di luar sana? Ai, celaka jangan-jangan dia sudah menunggu terlalu lama dan sekarang sudah kembali ke kamar karena tidak sabar menanti?"

Buru-buru ia lompat bangun. Saking tergesa-gesanya sampai hampir hampir-hampir menubruk kursi di depan tempat tidurnya. Cepat ia tenangkan diri agar tidak membikin kaget kawan-kawannya dan pelan ia keluar kamar.

Sesudah melintasi pekarangan tengah dan selagi hendak membuka pintu luar, tiba-tiba terdengar suara orang berbisik dibelakangnya, "Toan-kongcu, mar¡lah ikut padaku, aku ingin bicara denganmu.”

Karena tidak menduga-duga, karuan Toan Ki kaget. Ia dengar suara orang tidak bermaksud baik, segera ia hendak berpaling, tapi mendadak hiat-to pinggang dlcengkeram orang dengan keras.

Samar-samar Toan Ki dapat mengenali orang itu, ia coba tanya, "Apakah engkau Buyung-kongcu?"

"Memang betul aku adanya," sahut orang itu. "Dapatkah Toan-heng ikut sebentar padaku?"

"Masakah aku berani menolak undangan Buyung-kongcu?" sahut Toan Ki. "Kuharap sukalah kau lepaskan tanganmu."

"Tidak perlu lagi!” kata Buyung Hok. Mendadak Toan Ki merasa tubuhnya terapung, agaknya Buyung Hok

telah mencengkeram punggungnya dan dibawa melompat ke atas.

Pada saat demikian kalau Toan Ki mau berteriak tentu Siau Hong dan Hi-tiok akan terjaga bangun dan datang menolongnya. Tapi ia pikir, "Jika aku berteriak, tentu nona Ong akan mendengar juga dan tentu dia akan kurang senang bila melíhat kami berdua bertengkar. Pasti dia takkan marah pada Piaukonya melainkan akulah yang akan menjadi sasaran kemarahannya, maka buat apa aku mencari penyakit?"

Karena itu ia tidak jadi bersuara, Ia membiarkan dirinya dibawa Buyung Hok dan berlari keluar sana. Walaupun tengah malam, tapi waktu itu sudah dekat hari Tiongciu, sinar bulan terang benderang, pemandangan sekitar cukup tertampak jelas. Ia lihat Buyung Hok berlarí-lari ke luar kota, akhirnya jalan di kedua tepi kelihatan rumput melulu. Tidak lama kemudian, mendadak Buyung Hok berhenti dan melemparkan Toan Ki ke tanah.

"Bluk", Toan Ki terbanting dan meringis kesakitan, pikirnya, "Orang ini kelihatannya ramah tamah, tapi kelakuannya ternyata begini kasar."

Segera ia merangkak bangun sambil memegang pinggang yang sakit, katanya, "Segala urusan boleh Buyung heng bicarakan dengan baik-baik, mengapa mesti main kasar?"

"Hm, ingin kutanya padamu, apa yang kau bicarakan dengan Piaomoaiku selama ini?" jengek Buyung Hok.

Muka Toan Ki menjadi merah, sahutnya, "O, tidak ... tidak apa-apa, hanya bertemu secara kebetulan dan omong-omong iseng saja."

"Huh, seorang lelaki sejati, berani berbuat berani bertanggung jawab, apa yang sudah kau katakan, mengapa tidak berani mengaku?” ejek Buyung Hok. "Memangnya kau sangka aku tidak tahu? Hm, kau bicara tentang suami-lstri apa segala, apakah perlu kuuraikan seluruhnya?"

"Hah, jadi ... jadi nona Ong memberitahu seluruhnya padamu?" Toan Ki menegas dengan gelagapan.

"Mana bisa dia katakan padaku!"

"Jika... jika begitu, jadi se ...semalam kau sendiri mendengarkan semua?"

"Hm, kamu hanya dapat mengapusi nona yang masih hijau, tapi jangan harap dapat mendustai diriku?” jengek

Buyung Hok.

"Aku dusta tentang apa?" tanya Toan Ki dengan heran.

"Bukankah urusan sudah sangat gamblang.” sahut Buyung Hok. "Kau sendiri ingin menjadi Huma kerajaan Se He, tapi takut aku berebut denganmu. maka kamu sengaja mengarang ocehan yang muluk-muluk untuk memancing aku süpäya masuk perangkapmu. Hehe, Buyung Hok bukan anak kecil umur tiga masakah dengan begitu muda dapat kau jebak? Haha, kamu benar-benar lagi mimpi di siang bolong!"

"Ai. apa yang kukatakan kepada nona Ong itu timbul setulus hatiku, kuharap engkau dapat menikah dengan dia dan hidup bahagia sampai hari tua, lain tidak," ucap Toan Ki.

"Terima kasih atas mulutmu yang manis," kata Buyung Hok. "Tapi Koh-soh Buyung dengan keluarga Toan dari Tayli bukan sanak bukan kadang, buat apa kamu mesti memberi pujian dan restu sebaik ini? Huh, jika aku sampai tergoda oleh Giok-yan maka kaulah yang akan menarik keuntungannya dan menjadi Huma yang diagungkan ya?"

Muka Toan Ki menjadi merah, sahutnya, "Ngaco-belo, Jelek-Jelek aku adalah pangeran Tayli, meski Tayli itu negeri kecil, tidak nanti kuincar Huma kerajaan Se He. Buyung-kongcu, aku benar-benar memberi nasehat padamu, segala kedudukan dan kemewahan dalam waktu singkat saja akan tamat, orang hidup dapat bertahan berapa lama? Andaikan kau dapat menjadi Huma kerajaan Se He dan dapat naik tahta sebagai raja Yan, untuk itu entah berapa banyak orang yang kau bunuh? Sekalipun negeri Tionggoan ini kau sapu bersih sehingga terjadi banjir darah, apakah kerajaan Yan dapat kau bangun kembali, hal ini juga masih disangsikan."

Buyung Hok ternyata tidak gusar, ia lalu menjawab dengan nada dingin, "Hm, kamu selalu bicara tentang kebaikan, tapi dalam hatimu sebenarnya berbisa."

"Apa mau dikatakan lagi jika engkau tidak percaya pada maksud baikku," ujar Toan Ki. "Pendek kata aku takkan membiarkan engkau memperistrikan putri Se He, aku tidak dapat membiarkan nona Ong berduka dan merana lantaran dirimu sehingga membunuh diri."

"Kau larang aku memperistrikan putri Se He? Haha, apa kamu mempunyai kemampuan untuk melarang aku? Hm, aku justru hendak memperistrikan putri Se He, kau mau apa?”

"Aku pasti akan merintangi maksudmu itu dengan sepenuh tenagaku," sahut Toan Ki. "seorang diri memang aku tak berdaya, tapi aku akan minta bantuan kawan-kawanku!"

Buyung Hok terkesiap ia cukup tahu betapa lihai ilmu silat Siau Hong dan Hi-tiok, Bahkan Toan Ki sendiri dengan Lak-meh-sin-kiam juga sukar dilawan, untung kepandaian lawan ini terkadang manjur dan terkadang macet sehingga masih gampang dihadapi.

"Eh, P¡aumoai, mari sini, ingin kubicara denganmu!” tiba-tiba ia berseru ke arah sana.

Mendengar Giok-yan berada di situ, Toan Ki terkejut dan bergirang, cepat ia menoleh. Tapi yang tertampak hanya sínar bulan yang terang benderang dan tiada satu bayangan manusia pun.

Baru saja ia mengamat-amati semak-semak pohon di depan sana yang tampaknya seperti ada berkelebatnya bayangan orang, sekonyong-konyong punggungnya serasa kencang lagi, kembali ia dicengkram oleh Buyung Hok, bahkan badan diangkat pula. Baru sekarang Toan Ki merasa tertipu, katanya dengan tersenyum getir, "kembali engkau main kasar lagi, ini kan bukan perbuatan seorang laki-laki sejati?"

"Terhadap manusia rendah sebagai dirimu kenapa masti pakai cara laki-laki sejati?" sahut Buyung Hok. Lalu ia angkat tubuh Toan Ki dan menuju ke tepi jalan, di situ terdapat sebuah sumur mati tanpa bicara lagi ia lemparkan Toan Ki ke dalam sumur itu.

"Tolong!" segera Toan Ki berteriak-teriak, tapi tubuhnya lantas terjerumus ke dalam sumur.

Dan baru saja Buyung Hok hendak mencari beberapa potong batu besar untuk menutup lubang sumur agar Toan Ki mati kelaparan di dalam situ tiba-tiba terdengar suara seorang wanita menegurnya, "Piauko, rupanya engkau telah mempergoki aku? Apa kau ingin bicara sesuatu denganku? Ai, engkau melemparkan Toan kongcu ke dalam sumur?"

Melihat pendatang ini memang betul Giok-yan adanya, kening Buyung Hok bekernyit. Waktu ia pura-pura menyebut sang Piaumoai tadi tujuannya cuma ingin memancing agar Toan Ki menoleh lalu ia dapat mencengkram hiat-to punggung pemuda itu dengan mudah, Siapa duga Giok-yan benar-benar sembunyi di semak-semak pohon sana (yaitu bayangan yang tertampak oleh Toan Ki tadi).

Ketika mendengar namanya dipanggil, Giok-yan mengira tempat sembunyinya diketahui Buyung Hok, maka ia lantas keluar dari tempat sembunyinya.

Rupanya karena hati sedang risau maka selama beberapa malam ini Giok-yan tak bisa pulas. Tadi ia sedang termenung-menung di ambang jendela, maka kejadian Toan Ki dicengkeram Buyung Hok dan dibawa lari dapat dilihatnya, Ia kuatir kedua orang akan bertengkar lagi sehingga akhirnya Buyung Hok tak mampu

melawan Lak-meh-sin-kiam Toan Ki, maka cepat ia menyusul keluar dan dapät mengikuti percakapan Toan Ki dengan Buyung Hok tadi.

Begitulah ia lantas berlari-lari mendekati sumur, ia melongok ke bawah dan berseru, "Toan Kongcu! Toankongcu! Engkau terluka tidak?”

Waktu dilemparkân ke dalam sumur tadi Toan Ki berada dalam keadaan terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas. Untung dasar sumur itu hanya lumpur lunak sehingga kepalanya tidak pecah, tapi seketika ia pun terbanting pingsan sehingga seruan Giok-yan itu tak didengarnya.

Sesudah mengulangi seruannya beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, Giok-yan mengira Toan Ki sudah terbanting mati. Bila teringat selama ini pemuda itu sangat baik padanya, kematiaanya ini pun boleh dikatakan lantaran dia, maka menangislah Giok-yan, katanya, "O, Toan-kongcu, engkau ... tak boleh mati!”

"Hm, ternyata sedemikian mendalam cintamu padaku?" jengek Buyung Hok.

"Dia ... dia menasehatimu dengan baik, Ken ... kenapa kau bunuh dia?" kata Giok yan dengan terguguk-guguk.

"Dia adalah lawanku yäng paling besar, bukankah kau dengar pernyataannya yang hendak merintangi tujuanku dengan mati-matian?" sahut Buyung Hokz. "Tempo hari ketika di Siau sit-san dia membikin aku malu habishabisan sehingga Buyung Hok sukar menancap kaki lagi di dunia kangouw, orang macam begini sudah tentu tak bisa kubiarkan hidup."

"Kejadian di Siau ilt-san itu memang salah dia, untuk itu aku sudah pernah mendampratnya dan dia juga telah mengaku salah."

"Hm. dia mengaku salah? Hanya ucapan begitu lantas hendak menyelesaikan permusuhan ini? Padahal setiap orang kangouw sudah sama mengatakan bahwa aku Buyung Hok dikalahkan oleh Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan mereka, coba kau plklr, apa aku masih bisa hidup bahagia?"

"Piauko, kalah atau menang adalah soal biasa bagi orang persilatan, kenapa mesti dipikirkan selalu?" ujar Giok-yan dengan suara halus. "Kejadian tempo hari itu pun telah diketahui ayahmu dan beliau juga memberi petuah padamu, buat apa engkau mengungkitnya lagi."

Karena masih meragukan mati-hidupnya Toan Ki, kembali ia melongok ke dalam sumur dan seru pula, "Toan

kongcu! Toan-kongcu!" Tapi tetap tidak mendapat jawaban apa-apa.

"Sedemíkian kau perhatikan dia, lebih baik kamu menjadi istrinya saja, buat apa mesti pura-pura suka padaku?" kata Buyung Hok.

Giok-yan menjadi pedih, sahutnya, "Piauko, aku cinta padamu dengan hati yang murni, apa engkau tidak percaya?"

"Cinta padaku dengan hati murni? Haha! Tempo hari waktu berada di rumah penggilingan di tepi Thian-oh, waktu kau sembunyi dalam onggok jerami dengan telanjang bulat bersama orang she Toan ini. coba katakan, apa yang kau lakukan di sana? Apa yang terjadi itu kusaksikan dengan mataku sendiri, masakah hanya secara kebetulan saja? Tatkala itu aku hendak membinasakan bocah she Toan ini, tapi kau beri petunjuk padanya untuk melawan aku. Coba jawab, berkiblat kepada siapa hatimu sebenarnya? Haha, haha!"

Giok-yan terkesima saking kagetnya, Ia menegas dengan suara gemetar, "jadi ... jadi jago Se He yang berkedok di ... di rumah gilingan itu adalah ... adalah ...”

"Benar, jago Se He berkedok yang mengaku bernama Li Yan cong itu bukan lain adalah samaranku," sahut Buyung Hok.

"Pantas, memangnya aku pun merasa sangsi waktu itu," demikian kata Giok-yan dengan suara pelahan seperti berguman sendiri. "Waktu itu engkau berkata, 'Bila kelak aku menjadi raja di seluruh Tionggoan', kata-kata demikian persis nadamu biasanya, aku ... aku seharusnya mengetahuinya pada waktu itu."

"Hm, meski kamu tidak tahu pada waktu itu, baru sekarang mengetahui juga belum terlambat," jengek Buyung Hok.

"piauko." kata Ciok-van. "Waktu itu aku kena racun kabut yang di sebarkan oleh orang Se He dan berkat pertolongan Toan-kongcu barulah jiwaku di selamatkan. Di tengah jalan kami kehujanan dan basah kuyup, terpaksa berteduh di rumah gilingan itu, ken ... kenapa engkau menaruh curiga."

"Hm, kehujanan dan berteduh?” dengus Buyung Hok, "Waktu aku tiba kalian berdua masih main sembunyi dan pat-gulipat di situ. Bahkan ketika aku hendak membunuh bocah she Toan kamu mangancam aku akan menuntut balas baginya. Nona Ong, karena ancamanmu itulah aku mengampuni jiwanya. Tak terduga hal itu telah menjadi penyakit bagiku, akhirnya aku malah terjungkal habis-habisan di tangannya waktu ketemu lagi di Siau-sit-san."

Mendengar sang piauko tidak memanggil namanya, tapi menyebutnya sebagai "nona Ong", Giok-yan tambah pedih dasar wataknya memang peramah ia tidak ingin bertengkar dengan sang piauko yang dicintai dan dihormati ini, maka jawabnya, "Piauko, kalau waktu itu aku mengenali dirimu, sudah tentu àku takkan mengemukakan pernyataan itu padamu. Untuk kesalahan itu, biarlah sekarang aku minta maaf."

Sembari berkata ia memberi hormat, lalu menyambung pula, "Takkala itu sungguh aku tidak tahu dirimu, tentu engkau takkan marah pula. Sejak kecil aku menghormatimu, segala apa aku pun selalu menurut padamu. Maka kata-kataku yang menyinggung perasaanmu janganlah kau pikirkan dan sudilah memaafkan."

Apa yang diucapkan Giok-yan dahulu itu memang menyinggung perasaan Buyung Hok yang angkuh dan tinggi hati. Sekarang mendengar si nona mohon maaf dengan kata-kata halus dilihatnya wajah si nona yang cantik molek itu, teringat pula hubungan baik sejak masih kanak-kanak, mau-tak-mau hati Buyung Hok menjadi lemas, segera ia memegang kedua lengan Giok-yan dan berkata, "Piaumoai!"

Sungguh girang Giok-yan tak terkirakan, ia tahu sang Piauko telah memaafkan dia, terus saja ia menjatuhkan diri ke pelukan sang Piauko, katanya lirih, "Piauko, jika engkau marah padaku, boleh engkau damprat dan menghajar diriku, tapi jangan dendam dalam hati. Piauko, engkau tidak jadi ikut berebut Huma lagi bukan?”

Semula Buyung Hok menjadi mabuk ketika memeluk tubuh si nona yang montok dan halus itu, tapi demi mendadak ditanya tentang Huma segala, seketika hatinya tergetar, katanya dalam hati, 'Wah, celaka! Wahai Buyung Hok, mengapa engkau tengelam dalam urusan demikian sehingga hampir-hampir membikin urusan penting menjadi runyam. Jika sedikit persoalan pribadi begini saja tak tega memutuskan, darimana kau dapat bicara tentang pergerakan bagi kebangkitan kerajaan Yan?”

Segera ia bereskan perasaannya dan mendorong Giok-yan, katanya, "Piaumoai, hubungan kita hanya sampai di saja, apa yang pernah kau perbuat dan katakan betapapunu tidak dapat kulupakan."

"Jika begitu, jadi engkau tetap tidak dapat memaafkan aku?" tanya Giok-yan dengan hati remuk rendam.

Untuk sejenak terjadilah pertentangan batin Buyung Hok antara "cinta" dan "usaha" tapi akhirnya ia menggeleng kepala.

Sungguh hancur luluh hati Giok-yan, tanpa rasa ia tanya, "Jadi engkâu sudah bertekad akan memperistrikan putri Se He itu dan takkan peduli lagi padaku?”

Dengan keraskan hati Buyung Hok menggangguk.

Sebelumnya Giok yan sudah pernah membunuh diri, tapi dapat diselamatkan oleh In tiong-ho, sekarang secara tegas cintanya, ditolak oleh kekasihnya, seking sedihnya hampir saja ia tumpah darah. Mendadak teringat olehnya, "Betapapun Toan-kongcu itu memang sangat cinta padaku, sebaliknya aku tidak pernah membalas cintanya, malahan sekarang dia telah mati bagiku, sungguh aku berdosa padanya. Toh sekarang aku pun tidak ingin hidup lagi, biarlah aku terjun ke sumur saja agar dapat mati bersatu liang dengan Toan-kongcu untuk membalas cintanya padaku."

Maka pelahan ia mendekati sumur sambil berpaling dan berkata, "Píaüko, semoga cita-citamu terkabul dan dapat memperistrikan putri Se He serta menjadi raja Yan yang jaya!"

Buyung Hök tahu bahwa si nona ada maksud hendak bunuh diri, segerà ia melangkah maju dan mengulurkan tangan hendak mencegah. Tapi segera teringat pula olehnya, asal dia bersuara dan mencegahnya, maka untuk selanjutnya dirinya tentu akan sukar terlepas dari godaan cinta si nona, dan itu berarti segala cita-cita pergerakannya akan kandas seluruhnya. Karena pikiran demikian, maka tangan yang sudah diulurkan itu tidak jadi menarik kembali si nona.

Giok-yan dapat menerka apa yang dipikirkan sang Piauko, ia pikir sedemikian tipis budi pekerti pemuda ini, apalagi yang mesti diberatkan pula segera ia berseru "Toan-kongcu, waktu hidup kita tak bisa bersamä, biarlah kita mati bersatu kubur saja."

Habis itu, segera ia terjun ke dalam sumur dengan kepala di bawah dan kaki di atas.

Akhirnya Büyung Hok berseru sekali juga dan bermaksud menyambar kaki Giok-yan. Dengan kecekatannya sebenarnya tidak sukar baginya untuk menyelamatkan nona itu, tapi pada detik terakhir dia ragu-ragu lagi dan membiarkan Giok-yan terjun ke dalam sumur. Ia hanya menghela napas dan berkata, "Piaumoai, dalam hati kecilmu engkau lebih cinta pada Toan-kongcu, walaupun hidup tak bisa menjadi suami-istri tapi mati pun bersatu liang, betapapun sudah terkabul juga cita-citamu.”

"Huh, pura-pura, lelaki palsu!”' tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di belakangnya.

Keruan kejut Buyung Hok tak terkatakan, masakah ada orang berada di belakang sama sekali tak diketahuinya. Tanpa bicaralagi ia hantam ke belakang berbareng membalik tubuh. Di bawah sinar bulan tertampaklah sesosok bayangan melayang ke depan terbawa oleh angin pukulannya, ringan dan gesit sekali orang itu.

Tanpa menunggu orang itu menancap kaki di tanah, segera Buyung Hok melompat maju dan kembali memukul

sambil membentak dengan gusar, "Siapa kamu? Berani main gila dengan Kongcuya?"

Dalam keadaan terapung orang itu sempat menyambut serangan Buyung Hok. Lalu orangnya malayang sejauh beberapa meter baru turun ke tanah. Kiranya dia Cumoti, imam negara Turfan.

"Haha, sudah terang kamu yang memaksa nona itu membunuh diri, tapi masih bicara tentang cita-citanya terkabul segala, apa dengan demikian kau kira dapat menipu orang?" kata Cumoti dengan tertawa mengejek.

"Ini adalah urusan pribadiku, siapa minta kauikut campur?" damprat Buyung Hok.

"Segala persoalan di dunia ini setiap orang boleh ikut campur, apalagi soalnya menyangkut menjadi Huma kerajaan Se He, ini sudah melampaui urusan pribadimu," sahut Cumoti.

"Hm. jangan-jangan hwesio semacam dirimu juga ingin menjadi Huma?"

"Hahahaha! Masakah di dunia ini pernah terjadi hwesio menjadi Huma?"

"Habis mau apa? Hm, aku memang sudah tahu Turfan kalian tidak bertujuan baik, jelas kau tampil bagi kepentingan pangeran kalian!”

"Apa yang kau maksudkan dengan tidak berkepentingan baik? Apa memperistrikan putri Se He itu kau katakan tidak bertujuan baik? Lantas tujuanmu sendiri apakah baik?"

"Aku ingin merebut putri Se He, hal ini berdasarkan kemampuanku sendiri dan tidak menggunakan tenaga bawahan untuk mengacau ditengah jalan sehingga membikin orang banyak merasa gemas.”

"Kami mengenyahkan manusia-manusia yang tidak tahu diri itu agar di kota Langciu tidak terlalu penuh dengan manusia yang memuakkan, hal ini adalah juga demi kepantinganmu mengapa kamu keberatan?"

"Jika begitu sih memang bagus. Jadi pangeran Turfan kalian nanti juga akan mengandalkan tenaga sendiri untuk bertandingdengan orang lain?”

"Benar.” sahut Cumoti.

Melihat jawaban orang yang tegas dan tak gentar ini, mau-tak-mau Buyung Hok menjadi sangsi sendiri, katanya pula, "Apakah barangkali pangeran kalian mempunyai ilmu silat maha tinggi dan tiada bandingannya, maka sudah memperhitungkan pastì akàn memperoleh kemenangan nanti?”

"Pangeran cilik itu adalah muridku, kepandaiannya masih boleh juga, untuk dikatakan maha tinggi dan tiada bandingan agaknya belum, bahwa pasti menang memang sudah diperhitungkan dengan baik."

Buyung Hok tambah heran, pikirnya, "Jika aku tanyà dengan terus terang, tentu dia tidak mau menjawab. Biarlah aku memancingnya saja."

Maka katanya segera, "Sungguh aneh dia mempunyai perhitungan pasti akan menang, sebaliknya aku pun sudah yakin pasti akan menang. Wah, lantas siapa yang benar-benar akan menang nanti?"

"Rupanya kamu sangat ingin tahu bagaimana perhitungan pangeran kami untuk mencapai kemenangan, bukan?" tanya Cumoti dengan tertawa. ”Kukira boleh kukatakan dulu perhitunganmu, lalu aku pun uraikan perhitungan kami. Kita dapat berunding dan tukar pikiran, coba perhitungan pihak siapa yang lebih pandai."

Padahal yang diandalkan Buyung Hok Cuma ilmu silatnya tinggi, orangnya ganteng, bicara tentang pasti menang memang tidak ada. Terpaksa jawabnya, "Ah. engkau ini terlalu licik dan tak bisa dipercaya, kalau kukatakan padamu, jangan-jangan engkau tidak menerangkan juga akalmu bukankah aku akan tertipu olehmu?"

"Hahaha!" Cumoti tertawa, "Buyung-siheng, aku adalah sahabat ayahmu, aku menghormatinya dan dia pun menghormati aku. Kalau aku tidak berlebihan, betapapun aku terhitung angkatan lebih tua dari padamu. Apa kamu tidak merasa keterlaluan dengan, ucapanmu barusan ini?"

"Teguran Beng-ong memang tepat, harap maaf," sahut Buyung Hok sambil memberi hormat.

"Saudara memang pintar," kata Cumoti dengan tertawa "Jika kamu sudah mengaku sebagai kaum muda, mengingat ayahmu, dengan sendirinya aku tidak dapat main menang-menangan terhadapmu. Nah, biar kukatakan saja terus terang rencana pangeran kami untuk memperoleh kemenangan dengan pasti, mudah kujelaskan tentu juga tidak berharga sepeser pun. Begini, setiap orang yang bermaksud ikut sayembara dalam pemilihan Huma nanti akan kami bereskannya satu per satu. Dan kalau tiada lawan lagi yang berebut dengan pangeran kami dengan sendirinya pangeran kami akan terpilih bukan? Haha. Hahaha!"

Air muka Buyung Hok berubah seketika, katanya, "Jika begitu jadi aku ... ”

"Jangan kuatir," potong Cumoti, "Aku ini sobat lama ayahmu, tidak mungkin kubunuh putra sobat sendiri. Aku hanya ingin menasehatimu dengan setulus hati, adalah lebih selamat bila lekas kau tinggalkan negeri Se He ini."

"Jika aku tidak mau?"

"Untuk itu aku pun takkan menamatkan nyawamu, asal matamu dicukil atau kaki tanganmu dipotong sebalah sehingga menjadi cacat, dengan sendirinya putri Se He tidak mungkin mau dipersunting seorang ksatria gagah yang cacat badannya."

Sungguh Buyung Hok sangat gusar, cuma ia jeri kepada ilmu silat padri itu, maka tidak berani sembarangan bergerak. Ia menunduk untuk memikirkan cara menghadapi lawan tangguh itu.

Di bawah sinar bulan yang terang, tiba-tiba dilihatnya di disamping kaki ada sesuatu benda yang sedang bergerak-gerak. Ketika diperhatikan, kiranya bayangan tangan kanan Cumoti. Ia terkejut, disangkanya padri itu sedang mengerahkan tenaga dan siap menyerang. Maka diam-diam ia pun menghimpun kekuatan untuk menjaga segala kemungkinan.

Tapi lantas terdengar Cumoti berkata pula, ”Buyung-siheng, kau desak piaumoaimu bunuh dìri, sungguh sangat sayang, Apakah kau mau lekas pergi dari Se He sini, maka urusan kematian nona Ong ini pun boleh kulupakan dan takkan ku usut lebih lanjut.”

”Hm, dia sendiri yang membunuh diri, apa sangkut pautnya denganku?” sahut Buyung Hok sambil terus memperhatikan bayangan tangan padri itu, ia lihat bàyangan kedua tangan Cumoti masih terus gemetar tak berhenti-henti.

Diam-diam Buyung Hok merasa curiga, kalau padri itu hendak menyerang, rasanya tidak perlu mengerahkan tenaga sampai kedua tangan gemetar sekian lama tentu di balik ini ada sesuatu yang tak beres. Ketika diperhatikan pula, ia lihat ujung celana dan baju padri itu pun tampak agak gemetar sedikit, terang disebabkan seluruh badannya gemetar maka baju dan celana juga ikut bergetar.

Dasar otak Buyung Hok memang cerdas, sekilas pandang lantas teringat olehnya, "Tempo hari waktu berada di Cong-keng-kok di Siau lim-si padri tua yang tak diketahui siapa namanya itu mengatakan Cumoti telah melatih

ke-72 macam ilmu silat Siau lim pai dan kemudian secara paksa mempelajari pula 'Ih-kin-keng' dikatakan pula latihan Cumoti terbalik dan nyasar bencana sudah mengancam dalam waktu singkat. Kalau padri tua itu dengan jitu dapat menunjukkan penyakit ayah dan Siau Wan-san, maka apa yang dikatakan megenai Cumoti pasti juga tepat."

Teringat kejadian itu, dari kuatir Buyung Hok berubah menjadi girang, diam-diam ia mengejek Cumoti sendiri yang sudah terancam bencana, tapi masih berani menggertak padanya akan mencukil mata dan membikin buntung kaki dan tangan segala. Namun untuk menyakinkan pikirannya itu, segera ia memancing dengan ucapan. "Ai, latihan terbalik, tenaga dalam nyasar, bencana sudah di depan mata, penyakit demikian memang paling celaka!"

Sekonyong-konyong Cumoti berteriak bagai serigala menyalak, suaranya tajam menyeramkan, kontan ia mecengkeram ke arah Buyung Hok sambil membentak, "Kau bilang apa? Siapa yang kau maksudkan?"

Buyung Hok berkelit ke samping untuk menghindarkan cengkeraman itu. Menyusul Cumoti juga putar tubuh sehingga mukanya tertampak jelas di bawah sinar bulan yang terang, kelihatan kedua matanya merah membara, mukanya beringas dan buas, semuanya itu tidak dapat menutupi rasa ketakutan yang terbayang pada mukanya itu.

Melihat itu, maka Buyung Hok tidak sangsi lagi, katanya segera, "Aku pun hendak memberi nasehat kepada Beng-ong, lebih baik Beng-ong lekas meninggalkan Se He dan pulang saja ke Turfan, asal tidak mengerahkan tenaga, tidak lekas marah, tidak banyak bergerak, tentu Beng-ong akan dapat pulang ke negeri sendiri dengan selamat. Kalau tidak, wah, apa yang pernah di katakan padri tua Siau-lim-si itu tentu akan terbukti."

"Apa katamu, Apa yang kau ketahui?" Cumoti berteriak, sikapnya yang biàsanya sabar dan berwibawa itu sekarang telah berubah sama sekali.

Melihat sikap orang berubah beringas, diam-diam Buyung Hok merasa jeri juga, ia menyusut mundur setindak.

"Apa yang kau ketahui? Lekas katakan?" bentak Cumoti pula.

Sedapatnya Buyung Hok tenangkan diri, menghela napas, lalu berkata, "Hawa murni Beng-ong sudah sesat jalan, keadaan sangat berbahaya, kalau tidak lekas pulang ke Turfan, boleh juga datang pula ke siau lim-si untuk minta pertolongan kepada padri sakti itu, jalan ini pun ada harapan besar bagi keselamatan Beng-Ong."

"Dari mana kau tahu hawa murniku nyasar? ngaco belo belaka!” sahut Cimoti dengan menyeringai. Berbareng tangan kiri terus menyusur ke depan, segera hendak mencakar muka Büyüng Hok.

Kelima jari Cumoti kelihatan agak gemetar, tapi daya serangan itu tetap sangat dahsyat, sedikitpun tiada tandatanda kacaunya tenaga dalam, diam-diam Buyung Hok terkejut dan ragu, "Jangan-Jangan aku salah duga?"

Ia pun tidak berani ayal dan malayani lawan dengan sepenuh tenaga.

"Mengingat hubunganku dengan ayahmu, bìarlah dengan sepuluh jurus aku tidak membunuhmu sekedar balas jasaku kepada ayahmu.” bentak Cumoti, Menyusul ia terus menghantam.

Walaupun Buyung Hok mahir ilmu 'Tue lam-sing-ih, yaitu dengan cara meminjam tenaga lawan untuk menghantam kembali lawan, tapi kepandaian Cumoti terlampau hebat baginya, apalagi setiap serangan hanya dikeluarkan sampai setengah jalan dan segera berubah serangan baru lagi sehingga Buyung Hok tidak sempat menggunakan kemahirannya ítu, sebal¡knya menjadi selalu terdesak, terpaksa ia hanya bertahan secepatnya untuk mencari kesempatan.

Ia lihat serangan Cumoti serba lihai dan luar biasa, semuanya belum pernah dilihatnya. Dan sesudah sepuluh jurus mendadak Cumoti membentak, ”Sepuluh jurus sudah selesai, sekarang terimalah kematianmu!”

Sekonyong-konyong Buyung Hok merasa pandangannya silau, di sekitarnya seperti penuh dengan bayangan cumoti, dari kanan menendang dan dari kiri memukul, tahu-tahu dari depan ada serangan, tiba-tiba dari belakang ada yang menotok lagi. Jadi serangan-serangan itu seakan-akan membanjir sekaligus cepat untuk ditangkis.

Terpaksa Buyung Hok kerjakan kedua tangannya secepat kitiran dengan mengerahkan tenaga penuh, ia hanya menjaga diri dan tidak balas menyerang, ia hanya memainkan ilmu pukulannya sendirl dan tidak peduli serangan lawan dari mana datangnya.

Tiba-tiba terdengar napas Cumoti tambah ngos-ngosan, semakin tersengal-sengal seperti kuda. Seketika semangat Buyung Hok terbangkit, ia tahu hawa murni padri itu sudah kacau dan napasnya hampir putus asal bertahan sekuatnya dan tidak sampai dirobohkan lawan, sedikit lama lagi tentu padri itu akan menggeletak dan binasa sendiri.

Namun meski napas Cumoti tambah tersengal-sengal, serangannya juga semakin gencar. Sekonyong-konyong ia menggertak keras sekali. Tahu-tahu Buyung Hok merasa baju lehernya kena dicengkeram orang dan tubuhnya terangkat ke atas hiat-to bagian pinggang dan perut juga lantas kesakitan, nyata dia sudah tertutuk, kaki-tangan menjadi lemas dan tak bisa berkutik lagi.

Berulang-ulang Cumoti tertawa dingin sedang napasnya masih ngos-ngosan, kataaya dengan napas memburu, "Aku ... aku suruh enyah, tapi kamu jus ... justru tidak mau, sekarang ... sekarang jangan kausalahkan aku. Hm, cara ... cara mana harus kubereskanmu?"

Pada saat itulah dari semak-semak pohon sana muncul empat jago Turfan, rupanya mereka adalah pengikut Cumoti. Segera mereka memberi hormat dan berkata, "Adalah sesuatu titah Beng-ong kepada hamba?"

"Angkat orang ini dan cemplungkan ke dalam sumur itu!" kata Cümoti. ”Hahaha, ini namanya senjata makam tuan, memangnya keluarga Buyung kalian paling mahir menggunakan cara lawan untuk menghadapi lawan, sekarang kaupun boleh rasakan cara demikian, kamu menyebabkan kedua muda-mudi mati di dalam sumur sekarang boleh menyusul mereka.”

Keempat jago Turfan itu mengiakan dan menggoting Buyung Hok ke tepi sumur. Sungguh rasa menyesal Buyung Hok tak terkatakan, coba kalau dia tidak kemaruk menjadi Huma apa segala dan membalas cinta sang Piaumoai, kelak hidupnya akan bahagia dan takkan mati konyol seperti sekarang. Dan kalau sudah mati, maka segala impiannya menjadi raja dengan sendirinya juga lenyap seluruhnya.

Sungguh ia ingin minta ampun kepada Cimoti dan berjanji takkan ikut berebut putri Se He lagi, celakanya karena hiat-to tertutuk sehingga tak bisa bersuara, sedang Cumoti melirik saja sudi padanya, maka untuk minta ampun dengan sorot mata dan mohon dikasihani menjadi tak dapat pula.

"Cemplungkan dia dan segera menggotong beberapa potong batu besar untuk menutup liang sumur agar dia tak bisa keluar lagi andaikan nanti dapat membuka hiat-to sendiri yang tertutuk itu.” perintah Cumoti.

Keempat Bu-su itu segera melemparkan Buyung Hok ke dalam sumur, lalu berlari-lari pergi mencari batu karang yang besar.

Cumoti sendiri napasnya masih terengah-engah tak berhenti-henti, rasa dadanya sesak dan gopoh tak terkatakan.

Kiranya tempo hari sesudah dia melukai Toan Ki dengan Hwa-yam-to yang tak berwujut itu, lalu ia melarikan diri ke bawah gunung. Tapi sebelum sampai di bawah Siau-sit-san, tiba-tiba ia merasa perutnya Sangat panas bagai dibakar, lekas ia mengatur napas dan melancarkan tenaga dalam, tapi terasa tenaga dalam sukar diatur.

Ia terkejut sekali akan apa yang dikatakan si padri tua atas penyakit yang mengeram dalam badannya. Lekaslekas ia mencari suatu tempat sepi untuk istirahat, ia coba untuk semedi dengan tenang, asal dia tidak

mengerahkan tenaga dalam, maka rasa panas yang bergolak dalam badan menjadi reda juga, Cuma tenaga pun tak bisa digunakan.

Sesudah malam, lalu Cumoti melanjutkan perjalanan pulang ke Turfan. Di tengah jalan ia dengar berita tentang sayembara putri Se He. Sebagai imam besar negara yang ikut menentukan pemerintahan Turfan, di tengah jalan ia dapat berhubungan dengan pengintai negerinya sendiri dan segera menyampaikan laporan ke pada rajanya, ia sendiri lalu mendahului menuju ke Se He.

Raja Turfan memang sudah lama bermaksud bersekongkol dengan Se He, maka demi mendengar laporan itu, segera ia kirim putra mahkotanya bersama-sama jago-jago silat yang tidak sedikit jumlahnya dengan membawa harta mustika, golok pusaka dan kuda pilihan, berbondong-bondong menuju Lengciu. Kotaraja Se He.

Harta mestika dan barang-barang berharga yang dibawa pangerna Turfan itu digunakan menyogok dan menyuap para menteri dan pembesar Se He, sedang jago-jago silat yang dibawa itu ditujukan untuk melawan para ksatria dari berbagai penjuru yang menjadi saingan dalam perebutan putri Se He.

Pada beberapa hari sebelum Tiongciu, jago-jago Turfan itu sudah mencegat di tengah jalan dan banyak mengalahkan dan mengusir kembali berbagai ksatria muda yang datang, tapi akhirnya rintangan jago silat Turfan itu bobol seperti apa yang telah diceritakan diatas.

Sesudah berada di kota Lengciu, Cumoti sendiri lantas mencari tempat sunyi untuk merawat diri sehingga panas badan yang bergolak laksana dibakar itu pelahan tertahan. Tapi kalau pikirannya sedikit goncang, maka badan lantas gemetar tak tertahankan. Sampai akhirnya asal pikirannya sedikit risau, maka jari kaki dan tangan, alis, bibir dan bagian-bagian badan lain lantas ikut gemetar tak berhenti-henti.

Sebagai imam negara Turfan yang diagungkan Cumoti merasa malu kalau keadaannya itu dilihat orang, maka ia sengaja tinggal terpencil sendirian, dan jarang menemui orang. Hari itu ia mendapatlaporan bahwa Buyung Hok telah sampai juga di Lengciu. bahkan beberapa jago Turfan telah dihajar anak buah Buyung Hok.

Diam-diam Cumoti marasa tidak enak atas datangnya Buyung Hok yang diketahuinya mempunyai wajah yang tampan dan serba pintar dalam ilmu silat dan sastra, kalau pemuda itu tidak dienyahkan, tentu pangeran Turfan mereka sukar manandingi. Ia menaksir bawahannya tidak satupun yang dapat menandingi Buyung Hok, terpaksa ia sendiri harus turun tangan, segera ia cari tempat pondokan Buyung Hok.

Tapi setibanya di sana, saat itu Buyung Hok sudah meninggalkan tempatnya dengan menawan Toan Ki. Karena sekitar tempat tinggal tamu negara itu telah dipasang pengintai-pengintai, maka dengan mudah Cumoti memperoleh "info"' ke mana perginya Buyung Hok dan segera ia menyusulnya. Setiba di sana, sementara itu Toan Ki sudah dilemparkan ka dalam sumur dan Buyung Hok sedang bicara dengan Giok-yan.

Begitulah, maka setelah Buyung Hok dilemparkan ke dalam sumur oleh para Bu-lim Turfan kemudian pergi mencari batu karang untuk menyumbat mulut sumur, dalam pada itu Cumoti merasa hawa panas dalam badan semakin bergolak seakan-akan hendak menjebol tubuhnya, Cuma susahnya tiada sesuatu lubang yang dapat dibuat saluran keluar. Dengan sendirinya Cumoti sangat menderita.

Saking tak tahan Cumoti sampai mencakar-cakar dada sendiri. Ia merasa hawa dalam badan seakan-akan terus melambung, seolah-olah kepala, dada, perut sedang melambung dan sebentar lagi akan meledak.

Bagì penglihatan orang lain dengan sendirinya tubuh Cumoti itu tiada berubah apa-apa, tapi dia sendiri merasa badan seperti melambung bagai bola, sebaliknya hawa murni dalam badan masih terus membanjir timbul.

Dalam bingungnya Cumoti menutuk tiga kali bagian bahu kiri, paha kiri dan kanan sehingga berwujud tiga lubang dengan maksud menyalurkan hawa murni itu keluar badan. Darah segar memang terus menyucur keluar sebàliknya hawa murni tetap sukar dikeluarkan.

Baru sekarang ia ingat dan percaya penuh kepada apa yang pernah dikatakan si padri tua di Siau-Lim-si, teranglah sekarang bencana sudah berada di depan matanya, karuan ia ketakutan. Tapi apapun juga dia adalah seorang tókoh kawakan, hatinya takut, pikirannya tidak menjadi kacau.

Sekonyong-konyong terpikir olehnya, "Ya, dia ... dia sendiri (maksüdnya Buyung Bok) kenapa tidak melatihnya. sebaliknya rahasia seluruh ke-72 macam ilmu sakti itu dikatakan padaku semua? Padahal aku hanya sahabat yang saling kenal dalam perjalanan, biarpun satu sama lain menjadi sangat cocok dan akrab, kenapa dia begitu murah hati dan rela mamberikan rahasia ilmu sakti sebanyak itu padaku?"

Dalam keadaan terancam bahaya inilah mendadak Cumoti teringat kepada hubungannya dengan Buyung Bok dahulu. Sebagai seorang cerdik memang mula-mula Cumoti juga merasa curiga ketika Buyung Bok menghadiahkan rahasia ilmu sakti Siau-lim-pai itu padanya, tapi sesudah dia membaca dia mencobanya, ia merasa apa yang diterimanya itu toh memang kepandaian sejati maka hilanglah rasa curiganya.

Baru sekarang pada saat menderita dia dapat menyadarî apa maksud tujuan Buyung Bok dengan hadiahnya itu, nyata hadiah itu adalah maksud tujuan Buyung Bok yang keji dan jahat dengan menggunakan dia sebagai kelinci percobaan, di samping itu sengaja mengadu dombakan dia dengan Siau-Lim-pai agar Turfan bermusuhan dengan kerajaan Song dan dengan demikian keluarga Buyung akan ada kesempatan buat mengail ikan di air karuh.

Kalau tadi waktu Cumoti menangkap Buyung Hok, mau-tak-mau ia teringat kepada kebaikkan ayah pemuda

itu yang telah menghadiahkan kitab pusaka ilmu silat Siau-lim-pai padanya, sebab itulah ia tidak membunuhnya segera melainkan membuangnya ke dalam sumur agar pemuda itu mati sendiri. Tapi sekarang demi sadar akan maksud jahat Buyung Bok atas hadiah kitab itu sehingga dia masti menderita, keruan ia menjadi mûrka, ia melongok ke dalam sumur dan menghantam tiga kali beruntun secara kalap.

Tapi pukulan-pukulan itu sama sekäli tidak menimbulkan suara apa-apa, nyata sumur itu sangat dalam sehingga pukulannya tidak mencapai dasarnya. Dalam Keadaan murka kembali Cimoti menghantamlagi sekali dengsn sakuat-kuatnya. dan sudah tentu pukulan ini pun tidak gunanya, bahkan lebih celaka lagi karena hawa murni dalam tubuhnya lantas bergolak dengan lebih hebat, seakan-akan menerjang ke luar melalui lubang bulu roma yang beribu-ribu banyaknya itu, tapi semuanya buntu dan sukar menerjang keluar.

Tengah Cumoti murka dan kuatir pula, sekonyong-konyong dari bajunya terjatuh keluar sesuatu benda dan tercemplung ke dalam sumur. Cepat ia menyambarnya dengan sebelah tangan, tapi sudah terlambat. Kalau waktu biasa, dengan iwekangnya yang tinggi tentu dia dapat meraih kembali benda itu dengan tenaga sedotan "Kim-liong-jiu" (ilmu menawan naga), tapi sekarang tenaganya sedang bergolak dan sukar dikuasai lagi.

Sejenak kemud'an terdengar suara "plok" pelahan terang benda itu sudah jatuh ke dalam sumur. Diam-diam Cumoti mengeluh, ia coba merogoh sakunya, benar juga yang jatuh adalah kitab pusaka "Ih-kin-keng" yang direbutnya dari Guan-ci melalui tangan Cilo Singh itu.

Memangnya Cumoti tahu sebabnya iwekangnya tersesat, semuanya gara-gara latihan menurut Ih kin-keng itu. Ia pikir untuk memunahkan siksaan itu tentu juga harus dicari jalannya melalui kitab itu. Jadi kitab itu merupakan kunci hidupnya, mana boleh sampai hilang?

Dalam gugupnya tanpa pikir lagi ia terus meloncat ke dalam sumur. Ia kuatir didalam sumur itu ada sesuatu rintangan dan kuatir pula Buyung Hok dapat membuka sendiri hiat-to yang tertutuk dan akan menyergapnya di bawah, maka sebelum kakinya menyentuh tanah, lebih dulu ia memukul dua kali ke bawah sekaligus untuk menahan daya turunnya pula.

Sudah tentu pukulannya itu pun tak berguna, daya turunnya tidak tertahan, sebaliknya badan malah tertolak miring sehingga "blang", kepalanya membentur dinding sumur.

Jika waktu biasa, biar kepalanya dikemplang juga takkan menjadi soal, tapi sekarang matanya lantas berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling, "bluk", ia jatuh tersungkur di dasar sumur.

Sumur itu adalah sumur mati, sudah lama kering airnya, di dasar sumur penuh rumput dan daun kering yang sudah membusuk, saking banyak timbunan daun dan rumput kering yang sudah busuk itu sehingga berubah menjadi lumpur yang tebal.

Karena jatuhnya, seketika hidung dan mulut Cumoti terbenam ke dalam lumpur, ia merasa badannya perlahan juga amblas ke bawah. Segera ia mencoba merangkak bangun, tapi celaka, kaki dan tangan terasa lemas semua.

Tengah gugup dan bingung, tiba-tiba terdengar suara orang berseru di atas sana, "Koksu (imam negara)! Koksu!" itulah suara keempat jago Turfan tadi.

"Aku berada di sini!" demikian sebut Cumoti.

Tapi begitu ia bicara, seketika lumpur masuk ke dalam mulut sehingga sukar mengeluarkan suara.

Sayup-sayup terdengar keempat jago Turfan itu sedang bicara di atas sana, Kata yang seorang, ”Aneh, ke manakah perginya Koksu?"

Lalu yang lain menjawab, ”Mungkin Koksu tidak sabar menunggu kita dan telah tinggal pergi lebih dulu. Beliau teiah pesan agar kita menutup lubang sumur ini dengan batu, maka boleh kita kerjakan saja."

Terdengar kawan-kawannya menyatakan setuju, lalu terdengar suara gedabukan, rupanya mereka mulai mengusung batu-batu besar.

Sungguh kejut Cumoti tak terhingga. Kalau sampâi mulut sumur tersumbat, maka tamatlah riwayatnya. Segera ia bermaksud berteriak, tapi bila pentang mulut, maka lumpur busuk lantas membanjir masuk.

Dalam pada itu terdengar suara gemuruh yang keras, batu- batu besar sudah menutup lubang sumur. Rupanya jago-jago Turfan itu ingin melaksanakan perintah sang Koksu yang mereka puja bagai malaikat dewata, maka mereka telah mendatangkan batu besar, sekaligus mulut sumur itu ditutup dan di timbun beberapa potong batu raksasa.

Tidak lama kemudian terdengar jago-jago Turfan itu pun berangkat pergi dengan tertawa-tawa, rupanya mereka sangat senang karena telah menjalankan tugas dengan baik.

Cumoti pikir sekali ini jiwanya pasti akan melayang dan terkubur dalam sumur itu. Dia adalah seorang pandai, baik agamanya maupun ilmu silatnya, boleh dikata tiada bandingnya di daerah barat, siapa duga akhirnya akan terkubur dalam lumpur sumur mati itu. Setiap manusia tentu akan mati, tapi mati secara penasaran demikian

sungguh tidak rela bagi Cumoti, dalam sedihnya air mata lantas berlinang-linang.

Meski tubuhnya penüh lumpur, kotornya tak karuan, tapi seperti biasa orang menangis, ia pun mengangkat tangan hendak mengusap air mata. Di luar dugaan, baru tangan kanan terangkat, tiba-tiba menyenggol sesuatu benda, segera ia memegangnya, kiranya "Ih-kin-keng" yang memang hendak dicarinya.

Sesaat ítu Cumoti tidak tahu harus menangis lagi atau mesti tertawa. Kitab pusaka itu sudah ditemukan kembali, tapi dalam keadaan demikian apa gunanya?

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita sedang bicara, "Coba dengarkan, orang-orang Turfan itu telah menutup mulut sumur dengan batu besar, lantas cara bagaimana kita dapat keluar dari sini?"

Ternyata yang bicara itu adalah Giok-yan.

Seketika semangat Cumoti tergugah demi mendengar suara orang, Pikirnya, "Kiranya dia tídak mati, dan entah sedang bicara dengan siapa?Jika di sini ada orang lain lagi, dengan bergotong-royong meski batu penyumbat di atas akan dapat diangkat dan keluar dari sini."

Dalam pada itu terdengar suara seorang lelaki menjawab ucapan Giok-yan tadi, "Asal aku senantiasa berdampingan denganmu, biar pun tidak dapat keluar dari sini juga tidak menjadi soal. Asal engkau berada di sampingku, sumur berlumpur busuk bagiku akan sama seperti taman di surgaloka.

Cumoti terkejut mendengar bicara itu, "Kiranya dia juga tidak mati? Dia terluka oleh Hwe-yam-to, tentu dia sangat dendam padaku. Peda saat ini aku sama sekali tak dapat menggunakan tenaga jika kesempatan ini digunakan olehnya untuk menuntut balas, wah tentu celakalah aku!"

Kiranya yang bicara tadi adalah Toan Ki ....

Tadi ketika dilemparkan ke dalam sumur oleh Buyung Hok, seketika Toan Ki pingsan sehingga dia tidak begitu runyam seperti Cumoti walaupun badan terbenam lumpur.

Kemudian waktu Giok-yan terjun ke dalam sumur sungguh sangat kebetulan kepala nona itu dengan tepat menumbuk "Tan-tiong-hiat" di dada Toan Ki sehingga pemuda itu tertumbuk sadar kembali. Sedang Giok-yan jatuh tepat di atas badan pemuda itu sehingga tidak sempat terluka bahkan tidak banyak berlepotan lumpur yang kotor itu.

Ketika mendadak Toan Ki tersadar, pelahan ia lantas bangun, tiba-tiba terasa pangkuannya bertambah seorang. Selagi heran dan sangsi, didengarnya Buyung Hok sedang bicara di atas sumur, 'Piaumoai betapapun dalam hati kecilmu toh tetap menyintaiToan-kongcu, walaupun hidup tak dapat menjadi istrinya tapi mati dapat bersama satu liang kubur betapapun hal ini dapat memenuhi cita-citamu juga."

Ucapan itu dengan jelas dapat didengar oleh Toan Ki, seketika ia terkesima dan tanpa terasa ia bergumam sendiri, "Apa? Hah, ti ... tidak! Tidak! Masakan aku punya rejeki sebesar itu?"

Di luar dugaan mendadak orang yang berada dalam pangkuannya itu berkata, "Toan-kongcu, sungguh aku ini sangat bodoh. Engkau sedemikian baik padaku, tapi aku ... aku .... "

"Hah? Kau ... nona Ong?" seru Toan Ki kaget.

"Ya,” sahut Giok-yan.

Biasanya Toan Ki sangat menghormati nona itu, sedikitpun tidak berani timbul pikiran rendah dan kotor terhadap nona yang dipandangnya maha agung dan suci itu. Sekarang demi mengetahui nona ìtu berada dalam pangkuannya, dalam suka dan girangnya segera ia hendak berbangkit untuk melepaskan Giok-yan.

Akan tetapi tempat di dasar sumur itu tidak terlalu luas (sumur itu sempit di atas dan melebar di bawah) dan penuh lumpur pula. Baru saja Toan Ki berdiri kedua kaki lantas amblas ke dalam lumpur, terpaksa ia tetap memondongnya dan berulang-ulang menyatakan penyesalannya, "Maaf nona, maaf! Kita berada lumpur, terpaksa aku berlaku kurang sopan padamu."

Giok-yan menghela napas, dalam hati merasa sangat berterima kasih. Sesudah mengalami berbagai kejadian selama ini, terutama peristiwa terakhir, di mana dua kali dia hendak membunuh diri dan selalu gagal, maka dia benar-benar sudah paham dan terang gamblang terhadap jiwa Buyung Hok, betapapun ia tidak dapat menipu dirinya sendiri lagi akan cinta Buyung Hok itu. Di tambah lagi Toan ki memang benar-benar sangat mencintai dia dengan setulus hati dan segenap jiwa raganya, kalau dibandingkan jelas yang satu sangat berbudi dan cinta secara mendalam, sebaliknya yang lain rendah budi pekertinya dan Cuma mementingkan kepentingan pribadi sendiri.

Dia terjun ke dalam sumur, kejadian ini mesti Cuma berlangsung dalam sekejap saja, tapi dalam benaknya telah terjadi perubahan sangat besar. Semula dia cuma menyesali nasib sendiri dan bertekad membunuh diri untuk membalas kebaikan Toan Ki, tak terduga pemuda itu dan dirinya ternyata tidak jadi mati.

Sudah tentu kejadian di luar dugaan ini membuatnya girang tidak kepälang.

Sebenarnya Giok-yan adalah gadis lemah lembut dan balas-budinya, tapi sekarang sesudah mengalami berbagai peristiwa dan pukulan batin, mendadak sifatnya berubah banyak. saking terharunya ia berkata secara terus terang kepada Toan Ki, "Toan-kongcu, tadínya kusangka engkau sudah tewas, bila teringat kepada kebaikanmu padaku, sungguh aku menjadi berduka dan menyesal pula telah membikin kecewa padamu. Syukurlah Tuhan maha adil, engkau ternyata baik-baik saja. Dan apa yang kukatakan di atas tadi juga kau dengar bukan?”

Ketika mengajukan pertanyaan terakhir itu, tanpa terasa mukanya menjadi merah jengah, ia menyembunyikan mukanya di samping leher Toan Ki.

Sesaat ìtu tübuh Toan Ki serasa melayang-layang seperti di alam mimpi. Ternyata apa yang pernah dilamunkan selama ini dalam sekejap ini telah menjadi kenyataan.

Karuan girang Toan Ki bukan main, tiba-tiba kakinya terasa lemas, ia jatuh terduduk dalam lumpur, punggungnya bersandar dinding sumur, tapi tangan masih memondong tubuh Giok-yan.

Tak terduga beberapa utas rambut Giok-yan menyusup ke lubang hidung Toan Ki sehingga rasanya seperti dikili-kili, kontan Toan Ki bersin beberapa kali.

"He. Kenapa? Apa engkau terluka?” tanya Giok Tan.

"O, ti ... tidak ... Haciim ... haciiiim ...... aku tidak terluka ... haciiiim ... dan juga bu.... haciiii ... bukan masuk angin, aku cuma kelewat senang, maka ... ha ... haciiii maka hampir-hampir jatuh pingsan malah," demikiän jawab Toan Ki sambil berulang-ulang bersin.

Dasar sumur itu gelap gulita, dengan sendirinya satu-sama-lain tak bisa melihat dengan jelas. Giok-yan hanya tersenyum saja dan tidak bicara pula. Dalam hati iapun sangat bahagia dan gembira. Sejak kecil ia kesemsem kepada sang Piauko, tapi tidak mendapat balas cinta sebagaimana mestinya dan baru sekarang ia benar-benar dapat menikmati rasa cinta kasih antara dua hati yang terjalin menjadi satu.

"No... nona Ong, apa sih yang... yang kau katakan di atas tadi, aku tidak mendengar ucapanmu itu,” tanya Toan Ki dengan tergagap-gagap.

"Kukira engkau adalah seorang lelaki jujur dan tulus, tak terduga kau juga pintar pura-pura,” sahut Giok-yan dengan tersenyum. "Sudah terang kau telah mendengar apa yang kukatakan tadi, tapi sekarang kau minta aku mengulangi sekali lagi di depanmu. Idiiih, malu ah, aku takmau katakan lagi.”

Toan Ki menjadi gugup, ia coba menjelaskan: "Ti... tidak aku be... benar-benar tidak mendengar apa yang kau katakan tadi. Nah, biar aku bersumpah, jika aku mendengar, biarlah aku di...” Sampai di sini mendadak mulutnya tertutup oleh sebuah tangan yang hangat-hangat halus. Nyata Giok-yan telah mendekap mulutnya.

"Kalau memang tidak mendengar ya sudah, kenapa mesti pakai bersumpah apa segala,” demikian kata si nona.

Sungguh girang Toan Ki melebihi tadi. Sejak dia kenal Giok-yan, belum pernah ia diperlakukan sedemikian baiknya oleh nona itu. Maka ia lantas tanya pula: "Habis, apa sih yang kau katakan di atas sumur tadi?”

"Aku bilang...” tapi mendadak Giok-yan merasa serba kikuk dan urung meneruskan. Ia belokkan kejurusan lain. "Biarlah kuterangkan lain kali saja. Toh hari depan kita masih cukup panjang, buat apa mesti terburu-buru.”

"Hari depan kita masih cukup panjang, buat apa mesti terburu-buru!” kata-kata ini benar-benar seperti wahyu malaikat dewata yang jatuh dari langit baginya. Makna daripada kata-kata itu sudah terang menyatakan bahwa untuk selanjutnya Giok-yan akan selalu hidup berdampingan dengan dia.

Namun Toan Ki masih ragu-ragu atas pendengarannya sendiri, ia masih menegas: "Kau... kau maksudkan untuk seterusnya kita akan selalu berada bersama?”

Giok-yan merangkul leher Toan Ki dan berbisik-bisik di tepi telinganya: "Toan Ki, asal kau tidak mencela diriku, tidak marah padaku karena tempo hari aku telah bersikap dingin padamu, maka untuk selama hidup ini aku rela ikut bersama kau dan takkan... takkan meninggalkan dikau pula.”

Jantung Toan Ki hampir-hampir meloncat keluar dari mulutnya saking kerasnya berdebar. Ia tanya pula: "Habis bagaimana dengan Piaukomu? Selama ini kau sangat suka padanya.”

"Ya, tapi toh dia tidak pernah memperhatikan diriku,” sahut Giok-yan. "Dan baru sekarang aku tahu siapakah gerangan orang di dunia ini yang benar-benar mencintai aku dan mengasihi aku, siapa yang telah memandang diriku lebih berharga daripada jiwanya.”

"Kau maksudkan aku?” tanya Toan Ki.

"Siapa lagi kalau bukan kau,” sahut Giok-yan. Tiba-tiba ia menangis, katanya pula: "Selama hidup Piaukoku itu selalu bermimpi akan menjadi raja Yan. Tapi maklum juga, sejak turun temurun keluarga Buyung mereka memang sudah mempunyai cita-cita yang muluk-muluk itu. Sebenarnya Piauko bukan seorang jahat, dia cuma kepingin menjadi raja, maka segala urusan lain telah dikesampingkan olehnya.”

Mendengar nada si nona ada maksud membela dan mengecilkan kesalahan Buyung Hok, kembali Toan Ki berkuatir pula. Tanyanya cepat: "Nona Ong, andaikan kelak Piaukomu menginsafi kesalahannya dan tiba-tiba membaiki kau lagi, lan... lantas bagaimana kau?”

"Toan Ki,” sahut Giok-yan dengan menghela napas. "Meski aku adalah seorang wanita bodoh, tapi sekali-kali bukan manusia yang bermartabat rendah. Hari ini aku sudah mengikat janji dengan kau, jika kelak aku berbuat hal-hal yang tidak baik, bukankah akan merusak nama baikku sendiri? Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap cintamu yang murni kepadaku?”

Toan Ki kegirangan mendapat jawaban itu, ia berseru gembira, segera ia angkat sedikit kepala si nona, dia sendiri lalu menunduk hendak mencium. Dengan malu-malu Giok-yan menyambutnya dengan mesra dan empat bibir lantas terkatup menjadi satu. Tapi baru kepalang-tanggung, sekonyong-konyong dari atas terdengar suara menyambarnya sesuatu benda besar yang jatuh ke bawah.

Keruan kedua orang terkejut dan cepat menyisih ketepi dinding. Maka terdengarlah suara "Bluk” yang keras, sesosok tubuh telah jatuh ke dasar sumur itu.

"Siapa itu?” tanya Toan Ki.

"O, akulah!” sahut orang itu yang ternyata adalah Buyung Hok.

Rupanya sesudah Toan Ki sadar kembali, dia lantas roman dengan Giok-yan sehingga keduanya lupa daratan seakan-akan hidup di dunia sendiri, andaikan saat itu langit akan ambruk atau bumi meledak tentu juga takkan terpikir oleh mereka. Dengan sendirinya pertarungan sengit antara Ciumoti dan Buyung Hok yang di atas sumur tadi juga tak mereka pedulikan. Sekarang demi mendadak Buyung Hok jatuh ke dalam sumur, barulah kedua orang itu kaget dan menyangka Buyung Hok sengaja datang hendak mengganggu janji setia mereka.

Segera Giok-yan berkata dengan suara gemetar: "Piau... Piauko, kau mau apalagi datang pula ke... kesini? Hidupku ini sekarang sudah kupasrahkan kepada Toan kongcu, jika engkau mau membunuh dia, bolehlah kau membunuh aku sekalian.”

Sungguh girang sekali Toan Ki mendengar pernyataan tegas Giok-yan itu. Mestinya dia tidak kuatir dirinya dibunuh Buyung Hok, yang dikuatirkan adalah Giok-yan akan terbujuk dan kembali lagi kepangkuan Piaukonya. Tapi sesudah mendengar ucapan Giok-yan itu, seketika legalah hatinya. Ia merasa pula si nona telah menjulurkan tangannya untuk menggenggam kedua tangan sendiri, hal ini makin menambah kepercayaannya, segera ia berkata: "Buyung-kongcu, kau boleh pergi menjadi Huma kerajaan Se He, aku tak nanti berebutan dengan kau, bahkan aku akan membantu terlaksananya cita-citamu itu. Adapun Piaumoaymu ini sudah menjadi milikku, kau takkan dapat merebutnya lagi. Giok-yan, betul tidak katamu?”

"Betul,” sahut Giok-yan. "Biar mati atau hidup aku sudah pasti akan ikut kau.”

Karena Hiat-to tertutuk, maka Buyung Hok dapat mendengar dan bicara, cuma tak bisa bergerak. Diam-diam ia memikir: "Mereka berdua belum mengetahui aku telah dikalahkan Ciumoti dan dalam keadaan tak berkutik, maka mereka masih sangat jeri padaku, kuatir kalau aku membikin susah mereka. Ya, hal ini akan menguntungkan diriku, biarlah aku melakukan tipu mengulur tempo pula.”

Maka ia lantas berkata: "Piaumoay, sesudah kau menjadi isteri Toan kongcu, maka kita sudah terhitung pamili sendiri. Toan kongcu adalah adik iparku, masakah aku tega mencelakai dia lagi?”

Dasar Toan Ki memang seorang jujur dan polos, sedang Giok-yan masih hijau, maka mereka percaya penuh kepada ucapan Buyung Hok itu, dalam girangnya mereka lantas mengucapkan terima kasih.

Lalu Buyung Hok berkata pula: "Toan hiante, sekarang kita sudah orang sekeluarga, kalau aku pergi menjadi Huma kerajaan Se He, maka kau takkan merintangi lagi bukan?”

"Sudah tentu,” sahut Toan Ki cepat. "Asal aku dapat memperisterikan Piaumoaymu, maka tiada cita-citaku yang lain lagi, biarpun aku dijadikan malaikat dewata juga aku tidak mau.”

Pelahan-lahan Giok-yan menggelendot di bahu Toan Ki, girangnya tak terkatakan.

Dalam pada itu diam-diam Buyung Hok coba mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuyarkan Hiat-to yang tertutuk Ciumoti tadi. Karena seketika susah dipunahkan, pula tidak sudi minta pertolongan, maka ia hanya menggerutu di dalam hati: "Dasar sifat kaum wanita memang gampang terpengaruh dan mudah berganti cinta, buktinya memang betul seperti Piaumoay sekarang ini. Kalau dia ingat kebaikanku, tentu dia sudah mendekati dan membangunkan aku.”

Dia mencerca orang lain, tapi lupa dirinya sendiri yang tak berbudi sehingga Giok-yan merasa putus asa dan hendak bunuh diri. Padahal tempat di dasar sumur itu luasnya kira-kira cuma dua-tiga meter, jarak mereka satusama-lain sebenarnya sangat dekat, asal Giok-yan melangkah satu tindak saja sudah dapat mencapai Buyung Hok. Tapi dia merasa jeri, kuatir kalau Buyung Hok bertipu muslihat dan membikin celaka Toan Ki. Selain itu iapun takut menimbulkan rasa curiga Toan Ki, maka sejak tadi selangkahpun Giok-yan tidak berani sembarangan bergerak.

Begitulah, karena pikirannya bingung, maka untuk membuka Hiat-to yang tertutuk menjadi tambah susah. Sedapat mungkin Buyung Hok coba tenangkan diri, lalu pelahan-lahan membuka jalan darah yang tertutuk itu. Dan baru saja dia dapat bergerak dan mulai berdiri, "plok” tiba-tiba ada sesuatu benda jatuh di sebelahnya. Nyata itu adalah "Ih-kin-keng” yang terlepas dari baju Ciumoti. Dan karena keadaan gelap gulita, Buyung Hok segera menyingkir kesamping untuk menjauhi benda yang jatuh itu. Dan untung karena dia menggeser minggir, maka waktu kemudian Ciumoti melompat turun tidak sampai menjatuhi tubuhnya.

Kembali tadi. Sesudah Ciumoti dapat menemukan kembali Ih-kin-keng, saking senangnya ia terus terbahakbahak. Karena ruang sumur itu sangat sempit, maka kumandang suara tertawanya itu sampai mendengungdengung memekak telinga Toan Ki.

Dan karena tertawanya itu, ternyata Ciumoti tak mampu menghentikan pula bergolaknya hawa murni yang semakin hebat dan makin melembung rasanya, pikirannya menjadi kacau, seketika ia menjadi seperti orang gila, ia menghantam dan menendang serabutan di kumbangan lumpur itu. Dan sudah tentu serangan-serangan yang ngawur itu selalu mengenai dinding sumur, terkadang sangat keras sehingga batu pecah dan debu pasir bertebaran, tapi terkadang sangat lemah, sedikitpun tak bertenaga.

Giok-yan sangat takut, dengan kencang ia memepet di sisi Toan Ki, bisiknya pelahan: "Dia sudah gila, dia sudah gila!”

"Ya, rupanya dia benar-benar sudah gila,” sahut Toan Ki.

Sementara itu kebebasan bergerak Buyung Hok sudah pulih kembali, untuk tidak terkena serangan Ciumoti, segera ia gunakan ilmu "cecak merayap” untuk merayap ke atas dan menggemblok di dinding sumur.

Ciumoti masih terus tertawa dan napasnya juga semakin tersengal-sengal, sebaliknya pukulan dan tendangannya tambah cepat.

"Taysu, lebih baik kau duduk saja dan istirahat dengan hati tenang saja!” demikian Giok-yan coba membujuk dengan tabahkan hatinya.

"Hahahahaha! Aku tak mau!” seru Ciumoti sambil terbahak-bahak, bahkan ia terus mencengkeram ke arah Giok-yan. di tempat yang sempit itu, dengan sendirinya susah bagi Giok-yan untuk menghindar, keruan cengkeraman Ciumoti itu sudah sampai di atas pundak si nona.

Dengan menjerit kaget lekas-lekas Giok-yan mengegos. Sedang Toan Ki terus menggeser maju untuk mengadang di depan si nona, serunya: "Kau sembunyi di belakangku saja.”

Dan pada saat itu juga kedua tangan Ciumoti sudah merangsang maju lagi dan dengan tepat mencekik leher Toan Ki. Seketika Toan Ki merasa napasnya menjadi sesak dan tak bisa membuka suara.

Giok-yan sangat kuatir, lekas-lekas ia bantu menarik tangan Ciumoti. Tapi waktu itu Ciumoti sudah dalam keadaan kalap, meski hawa murninya bergolak dan susah dikendalikan, tapi tenaga cekikan itu ternyata sangat kuat. Sudah tentu Giok-yan hanya seperti menarik kecapung menghinggap di tiang batu saja, sedikitpun tak dapat mengendurkan tangan Ciumoti yang mencekik Toan Ki itu.

Kuatir kalau Toan Ki tercekik mati, saking bingungnya Giok-yan terus berteriak-teriak: "Piauko, Piauko, lekas kau menolongnya. Hwesio ini hendak mencekik mati Toan kongcu!”

Untuk sejenak Buyung Hok menjadi ragu-ragu. Pikirnya: "Pemuda she Toan ini menyatakan hendak membantu aku menjadi Huma kerajaan Se He, tapi entah omongannya dapat dipercaya atau tidak. Dia pernah mengalahkan aku di Siau-sit-san sehingga nama keluarga Buyung kami runtuh habis-habisan dan kehilangan muka di depan orang banyak, sekarang dia terancam bahaya, buat apa aku mesti menolong dia? Apalagi ilmu silat paderi ini sangat tinggi dan susah bagiku untuk menandingi dia, biarlah mereka berdua mati konyol dalam pertarungan mereka, kukira jalan ini paling selamat bagiku.” Karena itu, ia semakin kencang memegang celahcelah dinding sumur itu dengan memasuki jarinya dan tidak mau turun untuk membantu, biar Giok-yan berteriak-teriak minta tolong sampai suaranya serak, tetap Buyung Hok tidak peduli dan anggap tidak mendengar.

Sementara itu mata Toan Ki tampak sampai mendelik, keruan Giok-yan tambah kuatir, ia gunakan kepalan untuk menghantam kepala dan punggung Ciumoti sambil berteriak-teriak. Sudah tentu Ciumoti tidak merasakan pukulan-pukulan si nona, ia hanya ngos-ngosan napasnya sambil terbahak-bahak pula, berbareng masih terus mencekik leher Toan Ki dengan sekuatnya…

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali berceritakan rombongan Siau Hong dan lain-lain.

Pagi itu Pah Thian-sik dan Cu Tan-sin menjadi sibuk karena kehilangan Toan Ki dan Giok-yan.

"Wah, pangeran cilik kita ini memang mirip ayahandanya, dimana-mana suka main roman, tentu tengah malam dia telah kabur bersama nona Ong dan entah kemana perginya,” demikian kata Tan-sin.

"Ya, pangeran cilik kita orangnya ganteng dan romantis, lebih suka wanita daripada tahta,” sahut Thian-sik. "Dia jatuh hati kepada nona Ong, hal ini telah diketahui semua orang. Kalau suruh dia menjadi Huma kerajaan Se He, ai, kukira sulit. Apalagi sifat pangeran kita ini sangat kepala batu, dahulu Sri Baginda ingin dia belajar silat, tapi dia tetap membangkang dan tidak mau, kalau dipaksa, dia lantas minggat dari istana.”

"Tiada jalan lain, terpaksa kita mencarinya dan membujuknya sedapat mungkin,” ujar Tan-sin.

"Pah-heng,” kata Tan-sin pula. "Aku jadi ingat kejadian dahulu, ketika pangeran cilik kita minggat dari istana. Siaute dititahkan Ongya untuk mencarinya, dengan susah payah akhirnya lantas aku dapat menemukan dia, siapa duga...” sampai di sini ia lantas bisik-bisik: "Siapa duga dia telah kesemsem kepada nona Bok Wan-jing ini, dan seperti sekarang, di tengah malam buta merekapun diam-diam mengeloyor kabur. Untung Siaute sudah menjaga di tengah jalan sehingga dapat mempergoki mereka.”

"Wah, jika begitu, maka sekarang inipun salahmu,” seru Thian-sik. "Kau sudah berpengalaman, kenapa kejadian dahulu itu boleh terulang lagi? Bukankah semalam kita harus berjaga secara bergiliran untuk mengawasi gerak-gerik mereka?”

Tan-sin menghela napas gegetun, katanya: "Aku mengira dia pasti akan ingat hubungan baiknya dengan Siautayhiap dan Hi-tiok Siansing dan tidak nanti tinggal pergi begitu saja, siapa tahu... siapa tahu...” Mestinya dia

hendak mengatakan "Siapa tahu pangeran kita ternyata lebih mementingkan wanita daripada persahabatan,.” Tapi kata-kata yang tidak pantas diucapkan kaum bawahan kepada junjungannya ini urung dilontarkan.

Begitulah karena tak berdaya lagi, terpaksa kedua orang itu melaporkan apa yang terjadi kepada Siau Hong dan Hi-tiok. Segera para kawan dikerahkan untuk mencari, tapi sudah dicari ubek-ubekan selama sehari, tetap bayangan Toan Ki dan Giok-yan tak diketemukan.

Malam itu semua orang berkumpul di kamarnya Toan Ki yang kosong itu untuk berunding. Dan sudah tentu mereka tidak memperoleh sesuatu akal yang baik untuk mencari pemuda itu.

Tengah mereka bingung, tiba-tiba bagian protokol kerajaan Se He mengutus seorang untuk menemui Pah Thian-sik dan memberitahukan bahwa besok malam hari Tiongchiu baginda raja akan mengadakan perjamuan besar di istana Se-hwa-koing untuk menghormati para tamu yang datang dari berbagai penjuru, maka pangeran Tayli itu diharap suka hadir.

Sudah tentu Pah Thian-sik tak dapat mengatakan lenyapnya Toan Ki, ia hanya menyanggupi saja undangan itu.

Utusan itu pernah disuap oleh Pah Thian-sik, maka sikapnya sangat baik, waktu hampir berpisah, tiba-tiba ia membisiki Thian-sik pula: "Pah-loheng, biarlah aku memberi info padamu. Dalam perjamuan Sri Baginda besok malam, di situ juga Sri Baginda akan mengamat-amati gerak-gerik, ketampanan dan kepandaian para tamu calon menantu raja itu. Sesudah perjamuan boleh jadi akan diadakan perlombaan membuat syair dan bersajak, atau mungkin juga memanah dan bertanding silat untuk menentukan siapa yang sesuai untuk menjadi pasangan Tuan Puteri kami. Maka besok malam ialah kunci utama bagi sukses tidaknya usaha para calon, untuk mana diharapkan Toan kongcu suka memperhatikan.”

Berulang-ulang Pah Thian-sik mengucapkan terima kasih, berbareng ia mengeluarkan sepotong uang emas dan dijejalkan ketangan utusan itu.

Setiba kembali di dalam kamar, segera Thian-sik memberitahukan "Info” yang baru didapat itu. Katanya pula: "Tin-lam-ong telah memberi pesan dengan wanti2 agar Pangeran cilik kita harus membawa pulang puteri Se He. Kalau tugas yang diserahkan pada kami ini gagal, maka kami sungguh malu untuk menemui Ongya lagi.

Tiba-tiba Tiok-kiam mengikik tawa lalu berkata: "Pah-loya, apa boleh hamba ikut bicara sedikit?”

"Silakan,” sahut Thian-sik.

"Sebabnya ayah baginda Toan kongcu mengharuskan dia menikah dengan puteri Se He, maksud tujuannya akan ingin besanan dengan kerajaan Se He untuk memperkuat kedudukan kerajaan Tayli mereka, bukan?” tanya Tiok-kiam.

"Benar,” jawab Thian-sik.

"Adapun mengenai puteri Se He itu akan secantik bidadari atau sejelek setan takkan dipikir oleh Toan ongya, bukan?” ganti Kiok-kiam yang bertanya.

"Ya, tetapi sebagai Tuan Puteri yang diagungkan, sekalipun tidak secantik bidadari, paling tidak toh juga akan punya roman muka yang lumayan,” ujar Tan-sin.

"Nah, sekarang kami ada suatu akal, asal puteri Se He diboyong pulang ke Tayli, maka soal Toan kongcu akan diketemukan dalam waktu singkat atau tidak takkan menjadi soal lagi,” sekarang Bwe-kiam yang berkata.

Dan Lan-kiam juga tidak ketinggalan, katanya: "Nanti, kalau Toan kongcu sudah bosan pesiar kemana-mana dengan nona Ong, lewat setahun atau dua tahun, tentu dia akan pulang sendiri ke Tayli, tatkala mana juga belum terlambat untuk minta dia melangsungkan pernikahan dengan puteri Se He.”

Heran dan girang pula Thian-sik dan Tan-sin, kata mereka berbareng: "He, akal para nona ini benar-benar sangat baik, coba jelaskan lagi.”

Segera Bwe-kiam bicara lebih dulu: "Sekarang kalau kita minta nona Bok menyamar sebagai seorang pemuda pelajar, bukankah akan jauh lebih tampan daripada Toan kongcu. Lalu kita minta nona Bok suka menghadiri perjamuan raja Se He besok malam, kukira tiada seorangpun di antara beribu-ribu tetamu itu mampu menandingi ketampanannya.”

"Ya, nona Bok adalah adik perempuan Toan kongcu,” demikian Lan-kiam menyambung. "Kalau adik perempuan mewakilkan kakaknya mengambil isteri demi kepentingan negara serta untuk memenuhi tugas atas perintah ayah, bukankah jalan ini boleh dikata ‘sekali tepok beberapa laler’?”

"Dan bila nona Bok sudah terpilih sebagai Huma, untuk melangsungkan upacara pernikahan tentu masih cukup lama waktunya, dalam pada itu Toan kongcu tentu sudah dapat diketemukan,” demikian Tiok-kiam menambahkan.

"Ya, andaikan Toan kongcu tetap belum diketemukan, tiada halangannya juga kalau nona Bok mewakilkan kakaknya melangsungkan pernikahan,” akhirnya Kiok-kiam menutup usul mereka. Lalu keempat dara itu lantas tertawa cekikikan.

Dasar anak kembar empat, maka pikiran mereka sama, lagak-lagu merekapun sama, tertawa sama, di waktu bicara juga sama dan entah apalagi yang sama...

Untuk sejenak Pah Thian-sik dan Cu Tan-sin hanya saling pandang saja. Mereka merasa usul dara-dara itu terlalu sembrono, kalau sampai konangan, tentu urusan akan runyam, bukan saja gagal mengikat perbesanan dengan Se He, bahkan bukan mustahil raja Se He akan mengamuk dan menyatakan perang kepada Tayli.

Rupanya Bwe-kiam dapat menerka apa yang dipikirkan Thian-sik berdua, segera ia berkata pula: "Sebenarnya Toan kongcu toh mempunyai saudara angkat sebagai Siau-tayhiap dan mestinya tidak perlu mencari sandaran kepada Se He, cuma Tin-lam-ong telah memberi perintah sehingga terpaksa mesti diturut. Dan kalau terjadi apa-apa, Siau-tayhiap adalah Lam-ih Tay-ong dari kerajaan Liau dengan kekuatan militer yang dahsyat, asal beliau mau ikut bicara, maka segala persoalan tentu dapat di atasi, tidak nanti raja Se He berani main gila kepada kerajaan Tayli.”

Sebagai seorang menteri yang dipercaya dan ikut memegang pemerintahan, sudah tentu Pah Thian-sik bukan seorang bodoh. Mengenai Siau Hong dapat dijadikan bala bantuan kerajaan Tayli, hal ini memang sudah di dalam perhitungannya. Cuma saja dia merasa tidak enak untuk mengucapkan sendiri. Kini demi mendengar ucapan Bwe-kiam itu dan Siau Hong juga mengangguk, maka semangatnya seketika terbangkit. Pikirnya: "Usul keempat dara cilik ini tampaknya seperti permainan anak kecil, tapi selain jalan ini sesungguhnya juga tiada cara lain, hanya nona Bok entah suka menerima dan mau menyerempet bahaya atau tidak?”

Karena itu, segera ia sengaja berkata: "Usul nona-nona ini memang akal sangat bagus, tapi pelaksanaannya benar-benar terlalu berbahaya. Apabila sampai konangan penyamaran nona Bok nanti, tentu ada kemungkinan nona Bok akan tertawan, apalagi di situ hadir kesatria-kesatria dari segenap penjuru, dalam hal orangnya sudah tentu nona Bok adalah paling tampan, tapi kalau mesti bertanding silat dan mengalahkan mereka, wah, ini agak kurang meyakinkan.

Seketika pandangan semua orang lantas beralih kepada Bok Wan-jing dan ingin tahu bagaimana pendiriannya.

Maka berkatakan Wan-jing: "Pah-siansing, kau tidak perlu memancing aku dengan kata-katamu itu, soalnya engkohku... engkohku itu...” hanya sampai di sini, mendadak air matanya lantas bercucuran dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Rupanya telah terjadi pertentangan batinnya, teringat olehnya apa yang dilakukan Toan Ki dengan Giok-yan sekarang adalah mirip dengan kejadian Toan Ki dalam perjalanan bersama dirinya di waktu dahulu, coba kalau

pemuda itu bukan kakaknya sendiri, tentu pemuda itupun takkan mengingkar janji. Tapi sekarang Toan Ki sedang bercumbu-cumbuan dengan nona lain, sebaliknya dia sendiri hidup kesepian di sini, bahkan para kambrat kerajaan Tayli malah minta dia berjuang baginya.

Dasar watak Bok Wan-jing memang takmau kalah, di kala pikirannya pepet, mendadak ia angkat meja di depannya sehingga terbalik, seketika mangkok-piring pecah berantakan, lalu ia melompat keluar.

Semua orang saling pandang dengan bingung dan merasa kurang senang pula. Yang paling menyesal adalah Pah Thian-sik, katanya: "Semuanya adalah salahku. Jika aku memohonnya dengan kata- kata halus palingpaling nona Bok cuma menolak saja permintaanku, tapi karena aku telah sengaja memancingnya dengan katakata yang menyinggung perasaannya, maka dia menjadi marah-marah.”

Begitulah, besoknya semua orang masih terus berusaha menemukan Toan Ki, di dalam kota tampak sangat ramai dengan hilir-mudiknya pemuda-pemuda gagah dan perlente, mungkin sebagian besar akan ikut dalam perjamuan malaman Tiongthyiu dalam istana raja nanti.

Sampai petang semua orang telah pulang dan Toan Ki tetap tidak diketemukan. Maka berkatalah Siau Hong: "Jika Samte sudah pergi dari sini, maka beramai-ramai kitapun boleh pulang saja, tak peduli siapa yang akan menjadi Huma nanti, semuanya tiada sangkut-pautnya dengan kita.”

"Ya, ucapan Siau-tayhiap memang benar, supaya kita tidak menyaksikan orang lain menjadi Huma dan menimbulkan rasa penasaran,” ujar Thian-sik.

"Eh, Cu-siansing, kau sendiri sudah beristeri belum?” demikian tiba-tiba Ciong Ling tanya kepada Cu Tan-sin. "Jikalau Toan kongcu tidak mau menjadi Huma, kenapa bukan kau saja yang magang? Eh, siapa tahu kalau kau akan dianugerahi puteri Se He yang cantik itu, jika demikian, bukankah juga akan banyak manfaatnya bagi kerajaan Tayli?”

Tan-sin tertawa, sahutnya: "Ai, nona Ciong ini suka berkelakar saja. Sudah lama aku punya isteri dan punya selir, banyak pula putera-puteriku, mana boleh aku ikut-ikut berlomba berebut puteri seperti kaum muda mereka?”

Ciong Ling melelet lidah dan tidak bicara lagi.

Sebaliknya Cu Tan-sin lantas menambahi lagi dengan tertawa: "Ya, sayang wajah nona Ciong sendiri masih

terlalu muda, pipimu dekik pula dan tidak mirip orang lelaki, kalau tidak, wah, tentu kau dapat mewakilkan engkohmu untuk mengikuti sayembara itu...”

"Apa? Mewakilkan engkohku?” Ciong Ling menegas.

Tan-sin merasa telah kelepasan mulut. Tapi dalam hatinya membatin: "Memangnya kau adalah puteri Tin-lamong dari hubungan yang tidak sah, peristiwa yang masih dirahasiakan ini tidak boleh sembarangan kukatakan.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berkata di luar kamar sana: "Pah-siansing, Cu-siansing, marilah kita boleh berangkat sekarang!”

Dan di mana kerai tersingkap, masuklah seorang pemuda yang ganteng dan tampan. Siapa lagi dia kalau bukan Bok Wan-jing yang telah menyamar sebagai pemuda pelajar.

"Keruan semua orang terkejut dan bergirang pula, kata mereka: "He, apa nona Bok sudah bersedia pergi?”

Tapi Bok Wan-jing lantas menjawab: "Cayhe she Toan bernama Ki, adalah putera pangeran Tin-lam-ong dari Tayli, diharap ucapan kalian sukalah hati-hati.”

Walaupun suaranya nyaring merdu sebagai suara wanita, tapi banyak juga pemuda pelajar yang bersuara lemah-lembut, maka tidak perlu diherankan. Karena merasa Bok Wan-jing dapat menirukan lagak-lagu Toan Ki, maka tertawalah semua orang.

Rupanya sesudah marah-marah sebentar dan pulang ke kamarnya dengan menangis, besok paginya setelah dipikir-pikir pula, ia merasa tidak enak telah berlaku kasar di hadapan orang banyak, pula ia merasa tertarik juga jika dia menyamar sebagai Toan Ki untuk ikut berebut puteri Se He dengan jago-jago lain. Dalam hati kecilnya lapat-lapat merasa: "Kau (maksudnya Toan Ki) ingin menikah dan hidup bahagia dengan nona Ong, tapi aku justeru sengaja mewakilkan kau mengambil seorang Tuan Puteri untuk isterimu, biar hidupmu kelak selalu cekcok di antara dua isteri, dengan begini barulah kau tahu rasa.”

Kemudian teringat pula olehnya waktu dia datang kekota Tayli dahulu, di mana ayah Toan Ki juga dihadapkan pada masalah isteri dan kekasih lain sehingga membuatnya serba salah dan kikuk, kalau sekarang Toan Ki juga mempunyai seorang isteri Tuan Puteri secara resmi, maka Giok-yan tentu takkan berhasil menjadi isterinya yang sah.

Begitulah jalan pikiran kaum wanita. Kalau dia sendiri tidak bisa menjadi isterinya Toan Ki, maka diapun tidak

mengijinkan seorang gadis lain dapat hidup bahagia sebagai isterinya. Makin dipikir makin senang, maka dia lantas mengambil keputusan dan bersedia menyamar sebagai Toan Ki.

Dengan demikian, maka cepat-cepat Pah Thian-sik dan lain-lain lantas bergegas-gegas menyiapkan segala sesuatu yang perlu untuk berangkat menghadiri perjamuan raja.

Tiba-tiba Wan-jing berkata: "Siau-toako dan Hi-tiok Jiko, bila kalian sudi ikut aku pergi bersama aku keperjamuan itu, maka segala apa aku takkan takut lagi. Kalau tidak, apabila terjadi pertempuran, mana aku mampu melawan orang. di dalam istana rasanya juga tidak pantas aku sembarangan membidikan panah berbisa untuk membunuh musuh.”

"Baiklah, aku dan Jite sudah dipesan oleh paman Toan, sudah tentu kami akan membantu sekuat tenaga,” sahut Siau Hong dengan tertawa.

Segera semua orang berdandan seperlunya untuk ikut pergi. Siau Hong dan Hi-tiok menyaru sebagai pengiring dari kerajaan Tayli. Ciong Ling dan Bwe-kiam berempat saudara mestinya ingin ikut juga dengan menyamar sebagai lelaki, tapi Pah Thian-sik telah mencegah mereka agar jangan ikut, untuk menjaga penyamaran Bok Wan-jing saja susah, apalagi kalau ditambah penyamaran mereka berlima, tentu rahasia mereka akan terbongkar.

Karena itu, terpaksa Ciong Ling dan lain-lain menurut.

Sesudah rombongan mereka berada di tengah jalan, tiba-tiba Pah Thian-sik berseru: "Ai, hampir-hampir membikin urusan menjadi runyam. Bukankah Buyung Hok itupun akan hadir dan ikut berebut menjadi Huma, dia kenal baik pada Toan kongcu, lantas bagaimana nanti?”

Siau Hong tertawa, katanya: "Pah-heng tidak perlu kuatir. Buyung-kongcu juga serupa dengan Samte, diapun telah menghilang tanpa pamit, tadi aku telah mencari tahu ke tempatnya, kulihat Ting Pek-jwan, Pau Put-tong dan kawan-kawannya juga sedang kelabakan mencari Kongcu mereka.”

"Wah, ini sangat kebetulan,” kata semua orang dengan girang.

"Sungguh Siau-tayhiap mempunyai pikiran yang panjang, sampai-sampai sebelumnya keadaan Buyung Hok juga telah diselidikinya,” ujar Tan-sin.

"Bukannya aku bisa berpikir panjang,” sahut Siau Hong. "Aku hanya kuatirkan kepandaian Buyung Hok yang tinggi itu akan merupakan lawan paling tangguh bagi nona Bok, maka... hehe, hehe!”

"Kiranya Siau-tayhiap hendak membujuk dia agar malam ini jangan ikut hadir dalam perjamuan.,” kata Pah Thian-sik dengan tertawa.

Agaknya Ciong Ling merasa bingung atas petualangan mereka itu, dengan mata terbelalak ia tanya: "Sebabnya jauh-jauh Buyung-kongcu datang ke sini justeru ingin menjadi Huma, mana mungkin dia dapat dibujuk olehmu? Apa memangnya Siau-tayhiap adalah sobat baiknya Buyung-kongcu.”

"Sobat sih bukan,” sela Bok Wan-jing dengan tertawa, "Cuma kepalan Siau-tayhiap terlalu keras baginya, maka dia terpaksa mesti menurut nasihatnya.”

"O!” Ciong Ling melongo, baru sekarang dia paham duduknya perkara.

"Begitulah, setiba rombongan mereka di depan istana, segera Pah Thian-sik menyodorkan kartu undangan. Maka tertampaklah Le-poh Siang-si (menteri urusan protokol) kerajaan Se He lantas menyambut keluar sendiri dan menyilakan rombongan Bok Wan-jing ke dalam istana. Ternyata sudah ada lebih seratus pemuda yang telah hadir di situ dan duduk tersebar di ruang situ, di tengah ada suatu meja yang dilapisi dengan sutera-sutera kuning bersulam, mungkin itulah tempat duduk raja Se He sendiri, di kanan-kirinya terdapat pula dua baris meja yang dilapis dengan sutera ungu. di sebelah kanan sudah duduk seorang pemuda gagah, bermata besar dan beralis tebal dan memakai jubah merah tua, di atas jubah tersulam dua ekor harimau, di belakangnya berdiri delapan jago pengawal.

Segera Pah Thian-sik dan lain-lain mengetahui pemuda gagah ini tentu adalah pangeran Cong-can dari Turfan.

Segera Le-poh Siang-si menyilakan Bok Wan-jing duduk di barisan meja sebelah kiri dan tidak dicampurkan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa di antara pemuda-pemuda pengikut sayembara ini hanya pangeran Turfan dan pangeran Tayli yang mempunyai kedudukan paling agung, maka raja Se He menghormatinya dengan cara lain daripada yang lain.

Begitulah para tamu-tamu beramai-ramai masih terus tiba dan mengambil tempat duduk masing-masing. Sesudah semua kursi penuh terisi, lalu dua perwira piket berseru: "Para tamu agung sudah lengkap hadir semua, tutup pintu!”

Maka di tengah iringan suara musik pelahan-lahan pintu istana dirapatkan. Dan begitu pintu istana tertutup, segara berbaris keluar serombongan pengawal yang bersenjata lengkap. Menyusul suara musik bergema pula,

dua barisan dayang keraton berjalan keluar dari ruang dalam, tangan masing-masing membawa sebuah Hiolo (anglo dupa) kecil buatan kemala putih, asap tipis tampak mengepul dari Hiolo-hiolo itu.

Semua orang tahu Sri Baginda sebentar lagi akan keluar, maka semuanya lantas diam dan menahan napas.

Paling akhir keluarlah empat pengawal berjubah sulam, semuanya bertangan kosong, lalu berdiri di kedua sisi singgasana raja.

Melihat pelipis ke empat pengawal itu semuanya menonjol, maka tahulah Siau Hong pasti mereka adalah jago pengawal raja yang memiliki ilmu silat sangat tinggi.

Lalu satu di antara ke empat jago pengawal itu berseru: "Sri Baginda tiba, sambutlah!”

Semua orang lantas berlutut dengan kepala menunduk.

Maka terdengarlah suara langkah orang yang keluar dari ruang dalam, lalu duduk di atas singgasana yang sudah tersedia. Dan sesudah jago pengawal tadi memberi aba-aba pula, barulah semua orang berbangkit dan disilakan kembali ketempat duduk masing-masing.

Waktu Siau Hong memandang si Raja dilihatnya perawakannya sedang saja, mukanya kereng, agaknya juga seorang tokoh kesatria di dunia persilatan.

Kemudian Le-poh Siang-si telah maju ke samping singgasana sang raja dan membentang sehelai amanat, lalu dibacanya dengan suara nyaring: "Paduka Yang Mulia Sri Baginda Raja menyampaikan terima kasih atas kehadiran tuan-tuan sekalian, marilah bersama-sama mengeringkan secawan!”

Para tamu menyampaikan sembah hormat, lalu sama-samamengangkat cawan masing-masing. Tapi raja itu hanyamenempelkan cawannya ke bibir sebagai lambang saja, lalumeninggalkan singgasananya dan masuk kembali ke ruangbelakang. Segera para pengawal juga ikut masuk semua kebelakang sehingga dalam sekejap saja suasana telah kembaliseperti tadi.

Semua orang saling pandang dengan tercengang, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa satu kata patah saja tidak bicara dan minum secegukpun tidak, lalu raja itu sudah mengundurkan diri. "Padahal bagaimana wajah kami seorangpun belum diperiksanya dengan jelas, entah cara bagaimana dia akan memilih menantunya?” demikian pikir semua orang.

"Sekarang silakan para hadirin makan minum secara bebas,” seru Le-poh Siang-si.

Segera pelayan membawakan daharan-daharan yang sudah tersedia semangkuk demi semangkuk.

Se He adalah negeri pegunungan yang dingin, bahan makanan mereka yang utama adalah daging sapi dan kambing, biarpun namanya perjamuan kerajaan, tapi yang disuguhkan juga tidak lebih daripada daging-daging sapi dan kambing dalam potongan-potongan besar.

Melihat Siau Hong berdiri mengawal di sampingnya, Bok Wan-jing merasa tidak enak, segera ia berbisik: "Siau-toako, Hi-tiok Jiko, silakan kalian duduk dan ikut makan minum.”

Tapi Siau Hong dan Hi-tiok hanya tersenyum saja sambil geleng-geleng kepala.

Wan-jing kenal watak Siau Hong yang paling gemar minum arak, tiba-tiba ia mendapat akal, ia memberi tanda dan memberi perintah: "Tuangkan arak!”

Sebagai pengawal dalam penyamaran, Siau Hong menurut dan menuangkan semangkuk arak.

"Boleh kau coba rasanya arak ini,” kata Wan-jing pula.

Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, hanya dua-tiga kali cegukan saja arak semangkuk penuh itu sudah dihirupnya ke dalam perut.

"Coba semangkuk lagi!” kata Wan-jing pula. Dan segera Siau Hong minum lagi semangkuk.

Di sebelah sana pangeran Turfan itu juga sedang makan minum. Sesudah minum beberapa tegukan arak, ia menyambar sepotong daging panggang terus digerogoti dengan lahapnya. Sesudah daging itu tinggal sekerat tulang belakang, segera ia melemparkan tulang itu ke arah Bok Wan-jing dengan lagak seperti tidak sengaja. Tapi samberan tulang itu ternyata sangat cepat, nyata tenaganya tidaklah kecil.

Segera Cu Tan-sin melolos kipasnya dan mengipas sekali ke arah tulang itu. Kontan tulang itu terkipas balik dan menyambar kembali ke arah pangeran Cong-can.

Tapi seorang jago Turfan keburu menangkap tulang itu sambil memaki dalam bahasanya, sekonyong-konyong ia angkat sebuah mangkuk besar terus menimpuk ke arah Tan-sin.

Sekali ini berganti Thian-sik yang turun tangan, ia memapak dengan sekali pukulan, di mana angin pukulannya tiba, kontan mangkuk itu pecah menjadi beberapa keping dan berhamburan kembali ke arah orang-orang Turfan. Lekas-lekas seorang jago Turfan lain menanggalkan jubahnya, sekali pentang dan mengebas, tahu-tahu pecahan mangkuk itu telah kena digulung semua oleh jubahnya, gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan cekatan.

Selagi pertarungan itu akan meningkat, sekonyong-konyong terdengar suara genta bertalu-talu, lalu muncul dua barisan orang yang bermacam-macam bentuknya, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang berdandan ringkas, ada yang berjubah longgar, semuanya bersenjata dalam bentuk yang beraneka ragam pula.

Seorang pembesar yang berjubah sulam dan berjalan di depan, agaknya seperti komandan kedua barisan jagojago itu, segera membentak dengan suara keras: "Perjamuan ini diadakan di dalam istana, hendaklah tuan-tuan tahu tata-tertib sedikit! Ini adalah jago-jago pilihan dari It-bin-tong negeri kami, jika tuan-tuan ingin berkelahi, nah, boleh silakan coba-coba dengan mereka satu-melawan-satu, tapi dilarang main kerubut.”

Siau Hong dan lain-lain tahu It-bin-tong adalah suatu dewan yang istimewa dari kerajaan Se He, di dalam dewan itu terkumpul banyak sekali jago-jago silat pilihan dari segenap penjuru. Karena itu Pah Thian-sik dan kawan-kawannya lantas berhenti menyerang, setiap benda yang ditimpukan orang-orang Turfan lantas ditangkapnya dan ditaruh di atas meja sendiri, ia tidak balas menimpuk lagi.

Kemudian pembesar berjubah sulam tadi lantas berkata kepada pangeran Cong-can: "Harap Yang Mulia memberi perintah agar bawahanmu tidak mengacaukan suasana ketenangan ini.”

Melihat jago-jago It-bin-tong itu ada ratusan orang jumlahnya, kalau sampai cekcok dan bertempur, tentu pihaknya tak dapat melawan, maka Cong-can lantas memberi tanda untuk menghentikan pengikutnya yang masih berteriak-teriak itu.

"Helian-ciangkun, apakah Tuan Puteri ada sesuatu perintah?” segera Le-poh Siang-si bertanya kepada pembesar berjubah sulam tadi.

Kiranya pembesar itu adalah Helian Tiat-su, yaitu tokoh yang dahulu pernah memimpin jago-jago It-bin-tong menuju ke Tionggoan, tapi di sana mereka telah dirobohkan dengan kabut berbisa oleh Buyung Hok yang menyamar sebagai Li Yan-cong.

Setelah mengalami peristiwa yang merugikan itu, segera Helian Tiat-su membawa rombongannya pulang kandang. Dia pernah melihat Siau Hong palsu yang disamar A Cu dan pernah kenal Buyung Hok yang disamar Toan Ki, tapi Siau Hong tulen dan Toan Ki palsu yang berada di dalam istana sekarang ini tidak pernah dikenalnya. Mestinya di antara jago-jago It-bin-tong itu juga terdapat Toan Yan-khing, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho, tapi mereka mempunyai rencananya sendiri dan sudah tentu tidak mau diperalat oleh kerajaan Se He, maka saat ini mereka sedang bertugas di lain tempat sehingga penyamaran Siau Hong dan Bok-Wan-jing itu tidak sampai konangan.

Kemudian Helian Tiat-su lantas berseru: "Menurut titah Tuan Puteri, bila para tamu agung sudah selesai dahar, semuanya disilakan minum teh ke kamar baca di Guang Haong-kok.”

Jing-hong-kok itu diketahui adalah istana kediaman Bun-gi Kongcu, puteri Se he yang cari jodoh sekarang ini. Keruan para pemuda sangat senang dan bersemangat, dengan undangan itu, teranglah puteri Se He itu ingin memilih sendiri calon suaminya. Pikir mereka: "Biarpun nanti tidak terpilih, paling sedikit juga dapat melihat wajah si-cantik sehingga perjalanan ini tidak sia-sia belaka.”

Dasar watak pangeran Cong-can memang paling tidak sabaran, dia yang pertama-tama berdiri dan berseru: "Setiap saat kita dapat makan dan minum. Tapi sekarang paling perlu kita melihat puteri ayu lebih dulu!”

"Benar!” serentak sebagian besar hadirin menyokongnya.

Segera Cong-can minta Helian Tiat-su membawa mereka ke tempat tujuan.

"Mari, pangeran Toan dan para hadirin yang lain!” seru Helian Tiat-su dan dijawab dengan suara sorakan gembira orang banyak.

Demikianlah Helian Tiat-su lantas membawa para calon Huma itu menuju ke belakang. Sesudah menyusur sebuah taman, lalu membelok beberapa kali, kemudian waktu melintas sebuah bukit buatan, tiba-tiba Bok Wan-jing merasa di sebelahnya telah bertambah seorang.

Waktu ia melirik, tanpa merasa ia menjerit tertahan dalam kagetnya. Ternyata orang di sebelahnya tak-lain-takbukan adalah Toan Ki.

"Apa kau terkejut, pangeran?” tanya Toan Ki dengan pelahan dan tertawa.

"Apa kau sudah tahu semua?” balas tanya Bok Wan-jing dengan berbisik.

"Tahu semua sih tidak, tapi melihat gelagatnya dapatlah menerka sebagian besar persoalannya, sungguh membikin susah kau saja,” sahut Toan Ki.

Bok Wan-jing coba mengawasi kanan-kirinya, ia lihat tiada pembesar Se He di dekatnya, sebaliknya di belakang Toan Ki kelihatan ada dua pemuda. Yang seorang berusia 30-an dengan sikap agak angkuh, yang seorang lagi ternyata sangat tampan dan lebih muda.

Hanya sedikit memperhatikan saja segera Wan-jing mengenali pemuda tampan itu adalah samaran Giok-yan. Seketika ia menjadi gusar, katanya: "Bagus kau, seenaknya kau mengeloyor pergi bersama nona Ong, tapi aku yang harus mewakilkan kau menempuh bahaya ini.”

"Jangan marah dulu, adikku manis,” kata Toan Ki. "Kejadian ini agak panjang untuk diceritakan. Pendek kata aku telah dilemparkan ke dalam sumur oleh orang dan hampir-hampir mati konyol.”

Mendengar pemuda itu mengalami bahaya, seketika rasa perhatiannya melebihi rasa gusarnya, cepat Wan-jing tanya: "Apa kau tidak terluka? Kulihat air mukamu agak pucat.”

Seperti diketahui, di dasar sumur itu Toan Ki telah dicekik oleh Ciumoti sehingga susah bernapas, pelahanlahan ia sudah hampir tak sadarkan diri.

Sebaliknya Buyung Hok yang mendempel di dinding sumur yang lebih tinggi itu merasa syukur dan senang, kalau bisa dia berharap Toan Ki tercekik mati saja.

Sudah tentu yang paling kuatir adalah Giok-yan, meski dia telah menghantam dan menggebuki Ciumoti, tapi masih tetap tak menolong Toan Ki. Dalam gugup dan bingungnya, mendadak Giok-yan terus menggigit lengan kanan Ciumoti.

Ketika sekonyong-konyong merasa "Kiok-ti-hiat” di lengan kanan menjadi kesakitan, Ciumoti merasa hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh dan tak tersalurkan itu mendadak melanda keluar sebagai ban gembos, hawa murni itu mengalir dari telapak tangannya dan masuk keleher Toan Ki yang dicekiknya itu.

Mestinya Ciumoti merasa badannya melembung seakan-akan meledak, tapi mendadak gembos, seketika ia merasa segar kembali sehingga jari yang mencekik leher Toan Ki itu pelahan-lahan juga menjadi kendur.

Hendaklah maklum bahwa Ciumoti benar-benar seorang tokoh sakti yang jarang terdapat dalam dunia persilatan, dasar peyakinannya sangat kuat, maka sekali tenaga dalamnya terhimpun, susahlah bagi Toan Ki untuk menyedot tenaganya dengan "Cu-hap-sin-kang” yang ampuh.

Baru sesudah Giok-yan menggigit sekali di tempat Kiok-ti-hiatnya, dalam kagetnya hawa murni yang bergolak itu lantas membanjir keluar. Dan sekali hawa murni itu mendapat jalan saluran, maka susahlah tertahan lagi, serentak tenaga itu mengalir ke dalam tubuh Toan Ki dengan tak berhenti-henti.

Tadinya pikiran Ciumoti memang sudah mulai kacau dan hampir-hampir tak sadar, sesudah tenaga dalamnya terkuras keluar hampir separoh, mendadak pikirannya jernih kembali, keruan ia terperanjat: "Wah, celaka! Jika aku punya tenaga murni tersedot terus seperti ini, pasti dalam waktu tak lama lagi aku akan lemas dan menjadi orang cacat.”

Karena itu sekuatnya ia berusaha melawan, namun sekarang sudah terlambat. Sesudah hampir separuh tenaga murninya masuk tubuh Toan Ki, perbandingan kekuatan kedua pihak menjadi lebih nyata lagi, tidak mungkin Ciumoti dapat melawan, biarpun dia meronta sekuat mungkin tetap tak dapat menahan mengalir keluarnya tenaga murni itu.

Sebaliknya Giok-yan menjadi lega demi melihat akibat gigitannya itu lantas cekikan Ciumoti itu menjadi agak kendur. Tapi dilihatnya tangan Ciumoti itu masih tetap memegang leher Toan Ki, segera ia menariknya pula.

Tak terduga tangan Ciumoti itu sudah seperti terpantek di leher Toan Ki, biarpun dia menarik dan membetot, tetap tangan Ciumoti tak mau lepas.

Walaupun Giok-yan paham (secara teori) ilmu silat berbagai golongan dan aliran di dunia ini, tapi ia tidak tahu ilmu apakah yang digunakan Ciumoti sekarang ini, karena itu ia pikir ilmu apapun juga tentu akan merugikan Toan Ki, maka sedapat mungkin ia berusaha hendak menolongnya.

Ciumoti sendiripun mengeluh, di dalam hati ia berharap Giok-yan akan dapat menarik lepas tangannya. Siapa tahu ketika tangan Giok-yan memegang tangan Ciumoti, seketika nona itu merasa badannya menggigil, tenaga murninya juga mendadak tersedot keluar dan tak tertahankan.

Kiranya saat itu Toan Ki sudah pingsan, dengan sendirinya asal ketemu tenaga yang sakti itu tidak kenal kawan atau lawan, asal ketemu tenaga lantas sedot saja, maka bukan Ciumoti saja yang tenaga murninya terisap,

bahkan Giok-yan juga ikut menjadi korban. Maka tidak lama kemudian Giok-yan dan Ciumoti telah jatuh pingsan semua.

Selang agak lama, ketika tidak mendengar suara apa-apa dari ketiga orang yang berada di bawah itu, segera Buyung Hok coba memanggil beberapa kali, tapi tidak mendapat jawaban. Pikirnya: "Jangan-jangan ketiga orang itu sudah gugur bersama?”

Lebih dulu ia menjadi girang. Tapi segera teringat hubungan baik dirinya dengan Giok-yan, mau-tak-mau ia merasa berduka juga. Kemudian terpikir pula olehnya: "Wah, celaka! Kalau mereka tidak mati, dengan tenaga gabungan empat orang mungkin akan dapat keluar dari sini, tapi sekarang tinggal aku seorang, tentu akan susah menyingkirkan batu besar di atas. Ai, jika kalian ingin mati, kenapa tidak tunggu dulu dan mati di luar sumur sana saja?”

Dan baru ia hendak melompat turun untuk memeriksa keadaan Ciumoti dan Giok-yan bertiga, tiba-tiba terdengar ada suara orang bicara di atas, suaranya berisik ramai, agaknya adalah kaum petani bangsa Se He.

Rupanya mereka berempat telah ribut semalam suntuk di dasar sumur itu dan sekarang fajar sudah menyingsing, banyak kaum petani yang membawa sayur-sayuran hendak menjual ke pasar di dalam kota dan lewat di samping sumur itu.

Diam-diam Buyung Hok membatin: "Jika aku berteriak minta tolong, para petani itu belum tentu sanggup memindahkan batu-batu karang yang besar itu. Dan bila merasa tak kuat, tentu mereka akan tinggal pergi dan tak peduli lagi. Jalan paling baik yalah memancing mereka dengan rejeki.”

Maka ia lantas sengaja berteriak: "Hei, semua emas ini adalah milikku, kalian tidak boleh ikut mengangkangi. Ya, biarlah aku membagi kalian 3000 tahil saja.” Lalu ia berseru pula dengan suara lain yang sengaja dibuatbuat: "Tidak bisa! Emas intan sebanyak ini kita ketemukan bersama, sudah tentu harus kita bagi dengan samarata.” Kemudian ia sengaja membikin suaranya setengah tertahan dan berkata; "Sssst, jangan keras-keras, kalau sampai didengar orang, tentu mereka juga akan minta bagian dan bagian kita tentu akan berkurang!”

Suara tanya-jawab yang sengaja diucapkan Buyung Hok itu ia siarkan dengan tenaga dalam yang kuat sehingga dapat didengar dengan jelas oleh para petani yang lewat di pinggir sumur itu.

Dasar manusia, siapa orangnya yang mendengar ada rejeki takkan ketarik?

Keruan saja para petani itu terkejut dan bergirang pula. Maka ramai-ramai mereka lantas merubungi sumur itu dan serentak berebut untuk menyingkirkan batu-batu karang itu. Meski batu-batu karang itu sangat besar dan

antap, tapi dengan tenaga gotong-royong orang banyak, akhirnya batu-batu itu dapat di singkirkan.

Sudah tentu Buyung Hok sudah bersiap-siap, ia tidak menunggu sampai batu-batu itu disingkirkan semua, baru saja kelihatan ada suatu lowongan yang cukup untuk diterobos, terus saja ia merembet ke atas dan mendadak "wuttt,” ia terus melayang keluar.

Tentu saja para petani itu kaget setengah mati karena hanya dalam sekejap saja bayangan Buyung Hok itu sudah menghilang di kejauhan.

Walaupun masih curiga dan takut, tapi karena daya tarik harta karun, akhirnya para petani itu tetap menyingkirkan batu-batu karang, lalu seorang kawan mereka yang paling tabah dikerek ke dalam sumur dengan tambang.

Setiba di dasar sumur, begitu tangannya meraba segera orang itu dapat memegang badan Ciumoti. Memangnya dia sudah was-was dan kebat-kebit, begitu kena meraba badan manusia, segera ia menyangka kerangka mayat. Keruan kagetnya tak terkatakan, hampir-hampir sukmanya terbang meninggalkan raganya. Cepat ia menggoyangkan tambang dan minta dikerek ke atas.

Mendengar di dalam sumur itu ada orang mati, seketika para petani itu menjadi ketakutan dan berlari bubaran, mereka sama kuatir ikut tersangkut perkara pembunuhan, jangan-jangan harta karun belum diperoleh, tapi sudah masuk bui lebih dulu.

Begitulah sampai dekat lohor, berturut-urut ketiga orang di dalam sumur itu barulah siuman kembali.

Orang pertama yang siuman adalah Giok-yan. Begitu sadar kembali, yang per-tama2 teringat olehnya adalah Toan Ki. Meski saat itu adalah siang bolong, tapi di dasar sumur itu tetap sangat gelap, ia coba meraba dengan tangannya dan dapat menyentuh Toan Ki, segera ia berseru: "Toan Ki, o, Toan Ki, ba... bagaimanakah dengan dirimu?”

Karena tidak mendapat jawaban Toan Ki, Giok-yan menyangka pemuda itu sudah mati dicekik Ciumoti, terus saja ia menangis sedih, ia angkat "mayat” Toan Ki dan merangkulnya dengan kencang di depan dada sambil sesambatan: "O, Toan Ki, sedemikian baik dan setiamu kepadaku, tapi selama ini aku belum pernah membalas apa-apa padamu, baru saja kita berharap akan hidup bahagia di-hari-hari yang akan datang, siapa tahu... siapa tahu jiwamu sudah melayang di tangan paderi jahat ini...”

"Ucapan nona ini hanya betul separoh saja,” demikian tiba-tiba terdengar Ciumoti menyela, rupanya iapun sudah sadar. "Walaupun Lolap adalah paderi jahat, tapi aku tidak membunuh Toan kongcu.”

Dan pada saat itu Toan Ki telah siuman juga. Ia mendengar ucapan Giok-yan yang meresap itu bergema di tepi telinganya, ia menjadi girang. Tiba-tiba ia merasa badannya sendiri berada di dalam pelukan si nona, segera ia pura-pura masih belum sadar dan tak berani bergerak, kuatir kalau diketahui Giok-yan dan dilepaskan sehingga tidak dapat lagi merasakan nikmatnya dalam pelukan sang kekasih.

Dalam pada itu Ciumoti telah berkata: "Kekasihmu itu tidaklah kutewaskan, sebaliknya jiwaku yang hampirhampir binasa di tangannya.”

Air mata Giok-yan lantas bercucuran, sahutnya: "Dalam keadaan begini kau masih hendak menipu aku? Ketahuilah bahwa hatiku seperti disayat-sayat, lebih baik kaupun cekik mati aku saja agar aku dapat menyusul Toan Ki di alam baka.”

Mendengar ucapan si nona yang tulus iklas dan meresap itu, sungguh girang Toan Ki tak terkira.

Ciumoti sendiri meski sudah kehilangan tenaga murni, tapi pikirannya masih sangat cermat, pengalamannya juga luas dan kenyang makan asam-garam, dari suara napas Toan Ki yang pelahan tapi tertahan itu, segera ia mengetahui pemuda itu sebenarnya sudah sadar, tapi sengaja diam saja, maka iapun tahu maksudnya. Tiba-tiba ia menghela napas pelahan dan berkata: "Toan kongcu, aku telah salah belajar ilmu sakti Siau-lim-pay sehingga membikin celaka diriku sendiri, untung engkau telah menyedot tenaga dalamku sehingga aku tidak sampai mati konyol seperti orang gila. Sekarang meski ilmu silatku sudah punah, namun jiwaku telah selamat, untuk ini aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu.”

Toan Ki adalah seorang yang rendah hati, demi tiba-tiba mendengar paderi itu mengucapkan terima kasih padanya, tanpa merasa ia terus menjawab: "Ah, Taysu jangan merendah diri. Cayhe punya kepandaian dan kebaikan apa sehingga berani dianggap telah menyelamatkan jiwa Taysu?”

Giok-yan menjadi girang ketika mendadak mendengar Toan Ki sudah sadar kembali, tapi ia lantas tercengang pula dan paham sebabnya pemuda itu sengaja diam saja adalah agar dapat berada di dalam pelukannya, keruan ia menjadi girang-girang malu, sekuatnya ia dorong pergi Toan Ki dan mencomel: "Uh, kau ini!”

Toan Ki menjadi malu juga karena rahasianya terbongkar. Lekas-lekas ia berbangkit dan bersandar di dinding sebelah. Tiba-tiba ia ingat sesuatu dan bertanya: "He, di manakah Buyung-kongcu?”

"Ha, aku menjadi lupa juga, di manakah Piauko?” sahut Giok-yan.

Sungguh girang Toan Ki melebihi mendapat warisan demi mendengar kata-kata "aku menjadi lupa juga.” Padahal selama ini perhatian Giok-yan selalu terpusat kepada Buyung Hok seorang, tapi sekarang walaupun sudah selang hampir sehari toh nona itu tidak ingat kepada Buyung Hok, hal itu menandakan bahwa dirinya sekarang sudah bertukar tempat dengan Buyung Hok di lubuk hati si nona.

Tengah Toan Ki riang gembira, terdengar Ciumoti telah berkata: "Sifat Toan kongcu sangat tulus dan jujur, rejeki di kemudian hari pasti tiada takaran. Hari ini Lolap ingin mohon diri, rasanya kelak susah untuk berjumpa pula. di sini ada satu jilid kitab, bila kelak Kongcu kebetulan ada tempo, tolonglah kitab ini suka dikembalikan kepada Siau-lim-si. Semoga Kongcu berdua hidup bahagia sampai hari tua.”

Habis berkata, segera ia menyerahkan kitab Ih-kin-keng kepada Toan Ki.

"Apakah Taysu hendak pulang ke Turfan?” tanya Toan Ki.

"Mana suka, mungkin pulang kesana, mungkin tidak!” sahut Ciumoti dengan samar-samar. Lalu ia berbangkit, ia coba menarik tambang panjang yang ditinggalkan kaum petani tadi dan ternyata cukup kencang, agaknya ujung atas diikat di batu karang. Dengan tambang itulah ia lantas merambat ke atas dan tinggal pergi.

Sekarang tinggal Toan Ki berhadapan dengan Giok-yan di dalam sumur itu, walaupun berada di tempat lumpur tapi hati mereka sangat senang, siapapun tidak punya pikiran buat keluar dari sumur itu. Pelahan-lahan tangan kedua orang sama-sama menjulur ke depan, empat tangan saling menggenggam, dua perasaan bersatu.

Lama dan lama sekali barulah Giok-yau berkata,"Toan-long, apakah lehermu tidak terluka? Marilah kita memeriksanya di luar sana.”

"Sedikit pun aku tidak merasa sakit, juga tidak perlu buru-buru keluar dari sini." sahut Toan Ki.

"Jika engkau tidak suka keluar, biar aku mengiringimu di sini." kata Giok-yan dengan suara mesra. Sekarang dia benar-benar sudah jinak, sedikit pun tidak membangkang lagi.

Toan Ki menjadi rikuh sendiri, katanya dengan tertawa, "Tapi engkau tentu tidak betah tinggal di tempat lumpur ini."

Segera ia merangkul pinggang si nona yang ramping itu, dengan tangan kanan ia pegang tambang, hanya sedikit tarik saja tahu-tahu tubuhnya sudah mumbul satu-dua meter tingginya.

Toan Ki sangat heran. la tidak tahu bahwa tenaga dalam Cumoti yang dikumpulkan selama hidup ini sekarang telah tersedot semua ke dalam tubuhnya, sebaliknya ia menyangka sesudah tidur semalam dan lagi bersama kekasih yang menyenangkan maka tenaganya tambah kuat.

Sesudah keluar sumur, di bawah sinar sang surya kelihatanlah tubuh mereka penuh Lumpur, mereka saling pandang dengan tertawa geli. Segera mereka mencari suatü sungai kecil dan rendam di situ sampai lama, barulah mereka dapat membersihkan Lumpur yang memenuhi muka, rambut, baju dan sepatu mereka.

Untung waktu itu hawa tidak terlalu dingin sehingga Giok-yan tahan berendam dalam air. Kemudian mereka bersandar dí batu karang di tepi sungai untuk mengeringkan baju yang basah kuyup di badan mereka itu.

Di sinilah Toan Ki mengamat-amati wajah si nona yang cantik bak bidadari itu dengan rasa bahagia yang tak terperikan. Sudah tentü Giok-yan menjadi malu, segera ia miringkan mukanya ke sini sana.

Begitulah kedua muda-mudi itu bicara mengada-ada untuk menghilangkan waktu. Tanpa terasa harí sudah petang, tidak lama kemudian sang dewikz malam pun menongol dan pelahan bergeser ke tengah cakrawala."

Tiba- tíba Toan Kí teringat kepada Buyung Hok, katanya. "Adik Yan, sekarang cita-citaku telah terkabül, sebaliknya Piaukomu sekarang sedang mengikuti sayembara perebutan putri Se He, entah usahanya akan berhasil atau tídak?"

Biasanya bila Giok-yan ingat hal ini, seketika día berduka, tapi sekarang perasaannya sudah berubah, ia pun agak rikuh terhadap Buyung Hok dan sebaliknya berharap sang piauko dapat memperistrikan putri Se He, maka cepat jawabnya, "Ya, marilah kita lekas pergi melihatnya."

Buru-buru kedua orang itu pulang ke pondok mereka. Ketika hampir sampai di depan pintu, tiba-tiba di temapt gelap ada orang berkata, "Kiranya kal¡an pun sudah keluar!”

Jelas itulah suara Buyung Hok.

"Hé. engkau berada di sini?” balas Toan Ki dan Giok-yan dengan gembira.

"Hm. baru saja menghajar dan membunuh belasan orang Turfan sehingga tempoku banyak terbuang, " kata Buyung Hok. "Eh, orang she Toan kenapa kamu tidak hadir sendiri dalam perjamuan raja, sebaliknya

menyuruh seorang nona menyaru sebagai dirimu? Hm, aku tìdak nanti mem.... membiarkan kau main licik, aku pasti akan bongkar rahasìamu ini."

"Apa katamu?" sahut Toan Ki dengan heran. "Seorang nona menyaru apa? Pada hakikatnya aku tidak tahu apa apa."

"Ya, Piauko, kami baru saja keluar dari sumur itu ... " hanya sekian Giok-yan bicara dan segera merasa ucapan ini kurang jujur. Padahal sudah setengah harian ia main roman dengan Toan Ki di tepi sungai, masakah bilang baru saja keluar dari sumur sana.

Untung Buyung Hok rupanya sedang terburu-buru hendak menuju ke istana raja untuk menghadiri perjamuan, maka ia tidak memperhatikan ucapan Giok-yan dan keadaan pakaiannya yang kusut itu.

Dalam pada itu Giok-yan berkata pula, "Dia ... dia sudah menyanggupi akan membantumu supaya engkau berhasil merebut putri Se He. Kalau aku mempunyai seorang tuan putri sebagai Loso, sudah tentu aku juga ikut gembira."

Semangat Buyung Hok terbangkit, ia menegas, "Apa betul ucapanmu?”

"Sudah tentu." sahut Toan Ki. "Engkau adalah piauko adik Yan, terhitung piaukoku pula, Sekarang Piauko ada urusan masakah pamili sendiri bisa tinggal diam saja?”

Sungguh girang sekali Buyung Hok, Sesudah día keluar dari sumur, di tengah jalan ía kepergok jago-Jago Turfan dan terjadi pertempuran sengit walaupun menang akhirnya, tapi ia pun sudah kehabisan tenaga. Ketika hampir sampai di pondokan tiba-tiba dílihatnya Bok-Wan-jin dan rombongannya sedang keluar, segera ia sembunyi di dekat situ untuk mengawasi. Dan baru dia hendak mencari Tíng Pek-jwan dan lain-lain untuk berunding, tiba-tiba dilihatnya Toan Ki dan Giok-yan juga telah kembali, lalu ia menegur mereka.

Diam-diam Buyung Hok pikir pelajar tolol ini rupanya benar-benar ingin memperistrikan piaumoai, dia adalah adik angkat Siau Hong dan Hi-tiok, jika mereka benar-benar mau membantu untuk mendapatkan putri Se He boleh tidak perlu disangsikan lagi. Karena itu segera ia berkata, "Baiklah, waktu sudah mendesak marilah lekas kita berangkat ke istana."

Di tengah jalan secara ringkas ia ceritakan penyamaran Bok Wan-jing yang dilihatnya tadi. Maka Toan ki dapat menerka sebagian apamaksud tujuan penyamaran Wan-jing.

Setiba di pondokan Buyung Hok, sudah tentu Ting-Pek-jwan dan lain-lain sangat girang. Karena waktu sudah mendesak buru-buru mereka ganti pakaian. Karena Giok-yan tak mau berpisah lagi dengan Toan Ki, terpaksa Buyung Hok membiarkan nona itu ikut dengan menyaru sebagai kaum lelaki.

Buru-buru mereka berangkat ke istana. Setiba di sana pintu istana ternyata sudah ditutup, terpaksa Buyung Hok mencari akal, ia mengajak kawan-kawannya mengitar ke samping istana, dari situ mereka lantas melompat melintasi pagar tembok istana yang tinggi itu. Karena sekarang iwekang Toan Ki sudah tambah hebat, maka dengan enteng dan gampang sekali ia dapat melayang ke dalam lingkungan istana.

Mereka terus mencari tempat perjamuan itu dengan ubek-ubekan di taman. Kebetulan waktu itu perjamuan juga sudah bubar dan para tamu diundang oleh putri Bun-gi Kongcu ke Jing-hong-kok untuk untuk minum teh maka dapatlah rombongan Toan Ki bertemu dengan rombongan Bok Wan-jing ....

Begitu Siau Hong dan lain-lain menjadi girang melihat Toan Ki sudah kembali dengan selamat. Dengan ikutnya Toan Ki mereka tidak perlu kuatir rahasia akan terbongkar lagi.

Sesudah orang banyak menyusur lewat taman yang luas itu, dari jauh tertampak sebuah gedung yang megah menjulang di tengah pepohonan yang rindang. Setiba di depan gedung itu. segera Helian Tiat-su berseru, "Para tamu agung sudah tiba untuk bercengkerama dengan Kongcu!"

Ketika pintu terbuka, keluarlah empat dayang keraton yang masing-masing membawa sebuah tenglong (lampu barselubung kain), di belakang mereka adalah seorang pembesar wanita berbaju ungu, katanya, "Atas kunjungan para paduka, Kongcu menyilakan masuk untuk minum teh."

"Bagus, bagus! Memangnya aku sudah haus!” segera Cong-can mendahului berteriak. Dan tanpa disilakan untuk kedua kalinya, terus saja ia melangkah masuk ke dalam istana dengan diikuti yang lain-lain dengan desak mendesak seakan-akan kuatir tidak mendapatkan tempat yang baik yang lebih dekat dengan sang putri.

Sesudah masuk di dalam istana itu, tertampak ruangan sangat luas, lantai ruangan dilapisi permadani berbulu yang berajutkan bunga beraneka warna dengan indah. Banyak meja teh yang kecil teratur memanjang dalam beberapa baris, di atas meja tertaruh mangkuk teh bertutup dan berwarna-warni, setiap mangkuk bertutup itu didampingi pula sebuah piring kecil berisi beberapa potongan panganan yang entah apa namanya. Dan di depan sana tersedia sebuah bangku bundar berkasur sulam yang indah.

Semua orang menduga bangku itu tentu tempat duduk sang putri. Karena itu mereka saling berebutan mendapatkan tempat duduk yang berdekatan dengan bangku bundar itu. Hanya Toan Ki dan Giok-yan saja dengan bergandengan tangan dan duduk dí suatu pojokan sambil bicara dengan pelahan seakan-akan cerita mereka itu tidak habis-habis.

Sesudah semua orang mengambil tempat duduk, kemudian pembesar wanita tadi mengetukkan sebuah palu kecil pada sepotong "Hum-pan" (tembikar serupa baki dipakai penjual bakmi) setelah berbunyi "tok-tok-tok” tiga kali, suasana dalam ruangan menjadi hening sampai Toan-Ki dan Giok-yan juga terpaksa berhenti bicara dan menanti keluarnya Bun-gi Kongcu, sang putri Se He.

Selang tidak lama, terdengarlah suara "kelintang-kelinting", dari dalam muncul delapan dayang berbaju hijau, mereka berdiri di kedua sisi. Sejenak pula seorang gadis jelita berbaju hijau pupus keluar dengan langkah yang menggiurkan.

Seketika pandangan semua orang terbeliak, perawakan gadis itu langsing ramping gerak-geriknya lemahlembut, mukanya sangat cantik pula.

Diam-diam semua orang bersorak memuji, "Orang mengabarkan kecantikan Bun-gi Kongcu tiada bandingannya, nyatanya memang bukan omong kosong.”

Pangeran Cong-can dan Buyung Hok mempunyai pikiran yang sama, yaitu takkan merasa kecewa bila dapat memperistrikan sang putri cantik itu.

Anehnya putri cantik itu tidak lantas düduk tapi ia maju ke depan bangku bundar tadi dan memberi hormat kepada semua orang.

Waktu putri itu masuk, semua orang berdiri untuk menyambut, maka sekarang banyak pula yang mulutnya berkecek-kecek memuji kecantikan sang putri. Sebaliknya putri itu ternyata sangat prihatin, sinar matanya tidak berkelíaran, matanya menatap ujung hidung sendiri, nyata seorang gadis pingitan yang sangat sopan dan anggun. Karena itu semua orang sampai tidak berani bernapas karas-keras, kuatir membikin kaget sang putrì.

Sejenak kemudian, dengan muka kemerah-merahan barulah putri itu berkata dengan pelahan, "Atas titah Tuan Putri, para tamu agung disilahkan minum teh seadanya secara bebas."

Semua orang saling pandang dengan terkesiap, Busyet jadi gadis jelita ini bukan Tuan Putri sendiri, tampaknya hanya seorang dayang príbadi putri saja, Dan segera terpikir pula oleh mereka, jika dayangnya saja secantik ini, maka sang putri entah betapa cantiknya.

"Kiranya engkau bukan Tuan Putri sendiri," Káta Cong-can segerà, "jika begitu, harap lekas mengundang Tuan

Putri keluar.”

"Jika hadirin sudah minum Tuan Putri akan mempermaklumkan sesuatu lagi,” ulas dayang cantik tadi.

"Bagus, bagus! Tuan Putri ada pesan, sudah tentu akan menurut saja!"' seru Cong-can dengan tertawa. Dan segera ia membuka tutup magnkuk yang berisi air teh itu, tanpa banyak omong lagi ia tuang isi mangkuk itu ke dalam mulut dan dikunyah.

Kiranya pada masa dahulu, menurut kebiasaan orang Turfan, mereka menyeduh daun teh dicampur dengan susu dan gula atau garam, kalau minum sekaligus daun teh juga ikut dimamah dan dimakan ke dalam perut. Ini adalah kebiasaan jadi bukan kelakuan kasar pangeran Cong-can.

Sambil masih mengunyah daun teh, segera pula Cong-Can jejal-jejalkan beberapa potong panganan tadi ke dalam mulut, lalu berkata, "Nah, aku sudah makan banyak, bolehlah mengundang keluar sang putrimu!”

Dayang itu mengiakan saja, tapi tidak bergeser melangkah.

Cong-can tahu dia ingin tunggu orang lain selesai minum baru mau pergi. Sudah tentu Cong-can menjadi gelisah dan berulang-ulang mendesak orang lain agar lekas habiskan teh dan makannya.

Dengan susah payah menunggu akhirnya selesai juga hadirin makan minum, lalu Cong-can tanya pula, "Nah, jadi sekarang?"

Kembali muka si dayang cantik merah jengah, sahutnya, "Sekarang Tuan Putri mengundang hadirin berkunjung ke ruang dalam untuk menikmati lukisan dan tulisan."

"Hah, buat apa melihat lukisan dan tulisan? Aku lebih suka melihat Tuan Putrimu!” seru Cong-can. Tapi tidak urung ia ikut berdiri juga bersama orang banyak.

Diam-diam Buyung Hok bergirang. "Sungguh sangat kebetulan. Resminya sang putri mengundang kàmi menikmati lukisan dan tulisan, tapi sesungguhnya hendak menguji kepandaian sastra kami. Orang kasar sebagai pangeran Cong-can itu sudah tentu tak becus tentang lukisan dan syair apa segala. Kalau melulu menguji ilmü silat saja aku pun lebih unggul daripada yang lain, apalagi sekarang sang putri hendäk menguji kapändaian sastra, tentu saja kemenanganku menjadi lebih meyakinkan lagi."

Begitulah dengan berseri-seri segera ia pun berdiri dan siap ikut dayang tadi ke ruangan dalam.

Tapi mendadak dayang itu berkata pula, "Menurut titah Tuan putri, para nona yang menyamar sebagai lelaki dan para tuan yang berusia lebih 40 tahun, semüanya disilahkan tinggal dì istana Guh-hiang-wan ini untuk minum lagi. Sedang hadirin lain boleh ikut masuk ke ruang dalam.”

Sungguh kejut sekali Bok Wan-jing dan Ong Giok-yan ternyata penyamaran mereka sejak tadi sudah diketahui orang.

Tiba-tiba terdengar seruan seorang, "Bukan! Bukan!”

Kembali muka si dayang bersemu merah, rupanya selama hidup ini dia selalu terkurung di tengah istana selain kaum Thai-kam (dayang lelaki kebiri , orang kasim), selamanya tak pernah bertemu dengan kaum lelaki yang sesungguhnya. Sekarang mendadak berhadapan dengan kaum lelaki sebanyak ini, sudah tentu ia menjadi kikuk dan grogi.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar