Pikiran Linghu Chong menjadi
kacau. Ia merenungkan kembali percakapan guru dan ibu-gurunya tadi sehingga
lupa mengerahkan tenaga. Tiba-tiba arus hawa dingin datang merasuk melalui
telapak tangan sehingga membuatnya menggigil. Seluruh badannya terasa kedinginan
luar biasa sampai menusuk tulang. Lekas-lekas ia mengerahkan tenaga untuk
menahan serangan hawa dingin tersebut. Karena tergesa-gesa, tiba-tiba saluran
tenaga di bahu kiri terasa macet, terhalang, dan tidak bisa lancar. Ia menjadi
gelisah dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat.
Linghu Chong mempelajari Jurus
Penyedot Bintang berdasarkan apa yang terukir pada dipan besi dahulu tanpa
petunjuk seorang pembimbing, sehingga ada bagian-bagian penting yang sama
sekali ia tidak mendapatkan penjelasan. Caranya belajar juga sekenanya. Kini,
semakin ia mengerahkan tenaga, tubuhnya terasa semakin kaku dan macet.
Mula-mula lengan kiri, menyusul iga kiri, pinggang kiri, dan menurun lagi
hingga paha kiri juga terasa kaku. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu ia
bermaksud hendak berteriak minta tolong, namun mulutnya juga terasa kaku sulit
dibuka sedikit pun.
Pada saat itulah terdengar
suara derap kaki kuda. Kembali tempat itu didatangi dua orang penunggang kuda.
Terdengar salah seorang berkata, “Di sini banyak terdapat jejak kaki kuda yang
berantakan. Sepertinya Ayah dan Ibu tadi berhenti di sini.”
Linghu Chong terkejut
bercampur senang, karena suara itu adalah suara Yue Lingshan. Ia berpikir,
“Kenapa Adik Kecil juga datang ke sini?”
Lalu terdengar seorang lagi
berkata, “Kaki Guru terluka. Kita jangan berlama-lama di sini. Lekas kita
menyusul Beliau dengan mengikuti jejak-jejak kuda ini.” Suara ini jelas suara
Lin Pingzhi.
Linghu Chong merenung, “Hm,
tentu saja mereka berdua juga ikut datang ke Biara Shaolin. Dan sekarang mereka
tentu kembali ke Gunung Huashan dengan menyusuri jalan setapak ini, mengikuti
jejak kaki kuda Guru dan Ibu Guru.”
Tiba-tiba Yue Lingshan
berseru, “Lin Kecil, coba lihat ke sini! Bagus sekali keempat boneka salju ini.
Satu sama lain saling bergandeng tangan.”
“Di sekitar sini rasanya tidak
ada penduduk. Kenapa ada yang membuat boneka salju di sini?” tanya Lin Pingzhi
heran.
“Eh, bagaimana kalau kita
menyusun dua boneka salju lagi?” ajak Yue Lingshan dengan tertawa.
“Boleh, kita buat satu
laki-laki dan satu perempuan. Keduanya juga bergandeng tangan,” sahut Lin
Pingzhi.
Segera Yue Lingshan melompat
turun dari kudanya, lalu mulai mengeruk salju dan menimbunnya.
Tapi Lin Pingzhi lantas
berkata, “Lebih baik kita menyusul Guru dan Ibu Guru saja. Nanti kalau sudah
bertemu Beliau berdua, barulah kita membuat boneka salju.”
“Kau selalu merusak kesenangan
orang,” sahut Yue Lingshan. “Meskipun kaki Ayah terluka, tapi kalau menunggang
kuda tidak kelihatan. Apalagi ada Ibu yang mendampingi, kenapa kau khawatir
mereka diganggu orang? Dulu sewaktu mereka berdua malang melintang di dunia
persilatan, kau sendiri bahkan belum lahir.”
“Tapi sebelum kita bertemu
Guru dan Ibu Guru, rasanya tidak tenteram bila bermain-main di sini,” kata Lin
Pingzhi.
“Baiklah, aku menurut padamu.
Tapi sesudah bertemu Ayah dan Ibu nanti, kau harus menemaniku membuat dua
boneka salju yang cantik.”
“Tentu saja,” sahut Pingzhi.
Diam-diam Linghu Chong memuji
ketulusan hati Lin Pingzhi yang menjawab dengan kata-kata lugas itu. Ia
berpikir, “Andai saja Adik Kecil mengajakku, pasti aku akan menjawab, ‘Baiklah,
akan kita buat boneka salju secantik dirimu.’ Atau bahkan, ‘Mana mungkin bisa
membuat boneka salju yang lebih cantik darimu?’ – Tapi Adik Lin cuma menjawab,
‘Tentu saja.’ Hm, Adik Lin memang polos dan tenang, tidak seperti diriku yang
suka bicara seenaknya. Andai saja Adik Kecil mengajakku membuat boneka salju,
pasti aku akan langsung setuju. Meskipun terjadi masalah sebesar gunung juga
tidak akan kuhiraukan. Anehnya, Adik Kecil sangat menurut pada Adik Lin, meski
dalam hati punya keinginan lain. Mungkinkah Adik Kecil juga bisa menurut padaku
tanpa membantah? Hei, Adik Lin sudah sembuh. Entah siapa yang telah melukainya,
yang jelas Adik Kecil telah menuduh diriku.”
Linghu Chong mengosongkan
pikiran demi untuk mendengarkan percakapan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi,
sehingga melupakan keadaan tubuhnya yang kaku. Tak disangka, yang demikian itu
justru cocok dengan prinsip dasar Jurus Penyedot Bintang yang mengharuskan pikiran
tenang, tidak gelisah: “Jangan berpikir apa-apa, jangan merasakan apa-apa.”
Lambat laun rasa kaku pada tubuhnya menjadi berkurang.
Tiba-tiba terdengar Yue
Lingshan berseru, “Baiklah, kita tidak jadi membuat boneka salju. Tapi aku mau
menulis beberapa huruf pada boneka salju ini.” Usai berkata ia lantas melolos
pedangnya.
Kembali Linghu Chong terkejut
khawatir, “Kalau dia menulis serabutan pada tubuh kami, ini sungguh berbahaya.”
Sebelum sempat berpikir lagi, mendadak terdengar suara pedang menggores
berulang-ulang, sepertinya Yue Lingshan telah mengukir beberapa kata pada salju
tebal yang melapisi tubuh Xiang Wentian. Ujung pedangnya terus menggeser ke
samping dan akhirnya sampai pada tubuh Linghu Chong. Untung ukirannya tidak
terlalu dalam sehingga tidak sampai menembus dan melukai kulit mereka berempat.
“Tulisan apa yang ia ukir pada
tubuh kami?” pikir Linghu Chong dalam hati.
“Coba kau tulis juga beberapa
kata,” pinta Yue Lingshan lembut.
“Baik,” jawab Lin Pingzhi. Ia
sambut pedang gadis itu, lalu ikut mengukir beberapa huruf pada keempat boneka
salju. Ia pun mengukir pula dari kanan ke kiri, mulai dari tubuh Xiang Wentian
dan berakhir pada tubuh Linghu Chong.
Linghu Chong bertambah
penasaran, “Tulisan apa lagi yang diukir Adik Lin?”
Kemudian terdengar suara Yue
Lingshan berkata, “Betul, kita berdua harus seperti itu.” Keduanya lantas
terdiam sampai agak lama.
Tentu saja Linghu Chong
semakin heran, “Harus seperti apa? Nanti bila mereka sudah pergi dan racun
dingin dalam tubuh Ketua Ren sudah bersih baru aku meronta keluar dari timbunan
salju ini untuk melihat tulisan apa yang mereka ukir tadi. Tapi, ah, kalau aku
bergerak tentu timbunan salju ini akan rontok dan tulisan yang mereka ukir ikut
hancur. Lebih-lebih kalau kami berempat bergerak bersama-sama, tentu satu huruf
pun tidak bisa diketahui lagi.”
Sejenak kemudian Linghu Chong
kembali mendengar suara derap kaki kuda dari jauh. Rupanya Lin Pingzhi dan Yue
Lingshan masih belum mendengarnya. Linghu Chong dapat memperkirakan jumlah kuda
yang datang itu ada belasan ekor, dan pasti itu murid-murid Perguruan Huashan
lainnya yang datang menyusul.
Makin lama suara kuda-kuda itu
makin mendekat. Tapi Lin Pingzhi dan Yue Lingshan agaknya masih belum
merasakannya.
Linghu Chong mendengar belasan
penunggang kuda itu datang dari arah timur laut. Pada jarak satu sampai dua li
mereka lantas berpencar. Ada sebagian yang menuju ke arah barat, kemudian
membelok dan sama-sama menuju ke arah semula. “Aih, mereka berniat mengepung
Adik Lin dan Adik Kecil. Pasti mereka orang-orang jahat,” pikir Linghu Chong.
Mendadak terdengar Yue
Lingshan berseru, “Hei, ada orang datang!”
Menyusul kemudian terdengar
suara dua anak panah melesat, diikuti dengan suara kuda meringkik pilu,
kemudian roboh di tanah. Dalam hati Linghu Chong menduga ilmu silat para
pendatang itu tidak lemah. Tujuan mereka juga tidak baik. Dari jauh lebih dulu
mereka memanah mati kuda-kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan agar keduanya tidak
bisa lari jauh. Sejenak kemudian belasan orang itu sudah mendekat sambil
bergelak tawa.
Yue Lingshan berseru khawatir
sambil mundur selangkah. Lalu terdengar seseorang di antara para pendatang itu
bertanya, “Hehe, ada dua orang adik cilik di sini. Kalian ini murid siapa dan
dari perguruan mana?”
Lin Pingzhi menjawab dengan
suara lantang, “Aku murid Perguruan Huashan, namaku Lin Pingzhi. Kakakku ini
bermarga Yue. Selamanya kita tidak saling kenal, tapi mengapa kalian membunuh
kuda-kuda kami tanpa sebab?”
“Murid Perguruan Huashan?”
orang itu menegas dengan tertawa. “Jadi guru kalian adalah Tuan Yue, Si Pedang
Budiman yang kalah bertanding melawan muridnya sendiri?”
Mendengar itu Linghu Chong
merenung sedih, “Aku bertanding melawan Guru baru kemarin, tapi beritanya sudah
menyebar ke seluruh dunia persilatan. Ini mengerikan. Sungguh dosa besar.”
Terdengar Lin Pingzhi
menjawab, “Kelakuan Linghu Chong tidak baik. Berkali-kali dia melanggar
peraturan. Sudah setahun yang lalu dia dipecat dari Perguruan Huashan.”
Ucapannya ini bermaksud mengatakan bahwa kekalahan Sang Guru di tangan Linghu
Chong merupakan kekalahan melawan orang luar, bukan pertarungan antara guru dan
murid lagi.
“Hei, gadis cilik ini bermarga
Yue. Ada hubungan apa dengan Tuan Besar Yue?” tanya orang itu lagi.
“Peduli apa denganku?” damprat
Yue Lingshan gusar. “Kau telah memanah mati kudaku, sekarang kau harus ganti.”
“Wah, melihat galaknya,
kemungkinan besar dia seorang gundik Yue Buqun,” kata orang itu sambil
cengar-cengir. Serentak belasan orang kawannya ikut tertawa bergemuruh.
Mendengar kata-kata yang tidak
senonoh itu, Linghu Chong berpikir, “Ucapan orang-orang ini sangat kasar, pasti
bukan dari aliran lurus. Aku khawatir mereka akan mencelakai Adik Kecil.”
Sementara itu Lin Pingzhi
berkata, “Tuan-tuan adalah tokoh sepuh di dunia persilatan, kenapa bicara
sekotor itu? Asal tahu saja, kakak seperguruanku ini adalah putri kesayangan
guruku.”
“Oh, kiranya putri Yue Buqun,
haha, sama sekali tidak cocok dengan kenyataan,” ujar orang tadi sambil
tertawa.
Seorang temannya lantas
bertanya, “Kakak Lu, kenapa kau bilang tidak cocok dengan kenyataan?”
“Pernah kudengar orang
bercerita, katanya putri Yue Buqun sangat cantik, terhitung nona paling ayu di
antara angkatan muda zaman sekarang. Tapi nyatanya, cuma begini saja,” sahut si
marga Lu tadi.
“Wajah gadis cilik ini memang
biasa saja, tapi kulitnya putih dan halus. Kalau ditelanjangi mungkin boleh
juga. Hahahahaha!” Serentak mereka tertawa bergemuruh dengan pikiran kotor.
Yue Lingshan dan Lin Pingzhi,
serta Linghu Chong gusar mendengar ucapan-ucapan tidak sopan itu. Lin Pingzhi
lantas mencabut pedangnya dan berkata, “Jika kalian mengeluarkan kata-kata
tidak senonoh lagi, biarpun mati akan kulayani.”
Tiba-tiba seseorang berseru,
“Hei, coba kalian lihat, dua sejoli cabul ini telah menulis apa di atas orang-orangan
salju ini?”
Lin Pingzhi semakin tidak
tahan lagi. Pedangnya lantas menusuk ke arah gerombolan itu. Maka terdengarlah
suara ramai orang bertempur. Seorang musuh telah melompat turun dari kudanya
untuk melayani Lin Pingzhi. Yue Lingshan juga ikut menerjang maju. Beberapa
laki-laki lantas berseru, “Biar aku yang melayani gadis cilik ini!”
“Jangan ribut, jangan berebut,
semuanya akan mendapat giliran,” ujar seorang tua dengan tertawa.
Linghu Chong mendengar suara
beradunya senjata. Kiranya Yue Lingshan juga telah bertempur melawan musuh.
Mendadak seorang laki-laki menjerit gusar menahan sakit, sepertinya ia terluka
oleh pedang Yue Lingshan. Seorang laki-laki lainnya lantas berkata, “Ganas juga
gadis ini. Saudara Shi, akan kubalaskan sakit hatimu.”
Di tengah suara nyaring
beradunya senjata terdengar Yue Lingshan berseru, “Awas!”
Lalu terdengar suara pedang
berbenturan sangat keras disusul oleh suara tertahan Lin Pingzhi.
“Lin Kecil!” seru Yue Lingshan
pula. Sepertinya Lin Pingzhi telah terluka.
“Ayo kita bantai bocah ini!”
seru seseorang.
“Jangan bunuh dia! Tangkap
saja hidup-hidup!” seru pemimpin gerombolan. Kalau anak dan menantu Yue Buqun
sudah kita bekuk, mana mungkin Si Pedang Banci bermarga Yue itu takkan tunduk
kepada kita?”
Linghu Chong mencoba mendengar
lagi dengan lebih cermat. Terdengar suara sambaran senjata menderu di udara,
agaknya Yue Lingshan memutar pedangnya dengan kencang. Mendadak terdengar suara
“trang”, lalu suara “plak” sekali lagi. Seorang laki-laki lantas mencaci maki, “Kurang
ajar kau, gundik cilik!”
Mendadak Linghu Chong merasa
badannya disandari seseorang, lalu terdengar suara napas Yue Lingshan
tersengal-sengal. Ternyata gadis itu sedang bersandar pada tubuh boneka salju
jelmaannya. Setelah terdengar suara senjata beradu lagi beberapa kali, seorang
laki-laki di antaranya lantas berseru gembira, “Mana mungkin kau tidak bisa
kubekuk?”
Terdengar Yue Lingshan berseru
khawatir, lalu tidak terdengar lagi suara beradunya senjata. Sebaliknya,
orang-orang itu saling bergelak tawa. Linghu Chong merasa Yue Lingshan yang
sedang bersandar pada tubuhnya itu sedang diseret dengan paksa. Terdengar gadis
itu berteriak, “Lepaskan aku, lepaskan!”
Seseorang di antaranya berkata
dengan tertawa, “Saudara Min, tadi kau bilang dia berkulit putih mulus. Aku
tidak percaya. Mari kita telanjangi saja, dan coba lihat dugaanmu betul atau
tidak?”
Semua orang lantas bersorak
gembira. Lin Pingzhi memaki dengan gusar, “Kawanan bangsat ….” mendadak ia
ditendang satu kali, disusul kemudian terdengar suara kain robek.
Linghu Chong tidak tahan lagi
mendengar adik kecilnya hendak dilecehkan. Tanpa menghiraukan keadaan Ren
Woxing, segera ia melepaskan tangan Ren Yingying yang dipegangnya, lantas
kemudian melompat keluar menghancurkan timbunan salju yang menutupi sekujur
tubuhnya. Tangan kanan dipakai mencabut pedang, sedangkan tangan kiri berusaha
mengusap salju yang masih menutupi matanya.
Tak disangka tangan kirinya
ternyata sukar bergerak. Di tengah suara terkejut gerombolan itu, Linghu Chong
sempat menggunakan pangkal lengan kanan untuk mengusap mukanya. Pandangannya
menjadi terang, pedang pun menusuk ke depan. Dalam sekaligus tiga orang musuh
roboh di tangannya.
Segera Linghu Chong memutar
tubuh. Dua kali ayunan pedangnya kembali membinasakan dua orang musuh.
Dilihatnya seorang laki-laki sedang menelikung kedua tangan Yue Lingshan ke
belakang, seorang lagi dengan golok terhunus siap melawannya. Ia pun menerjang
maju. Pedangnya menusuk iga laki-laki bergolok itu hingga tembus. Sekali depak
ia singkirkan mayat lawan sambil mencabut pedang dari mayat tersebut. Sementara
itu terdengar suara dua orang hendak menyergapnya dari belakang. Tanpa menoleh
pedangnya menusuk jantung kedua orang itu. Kontan mereka pun jatuh terkapar.
Tanpa berhenti ia terus menubruk maju. Pedang berkelebat, dan selanjutnya
tenggorokan orang yang menelikung tangan Yue Lingshan tersebut tertembus
seketika. Cengkeraman orang itu pada lengan Yue Lingshan menjadi kendur dan ia
pun terkapar di atas pundak si nona. Darah segar tampak membanjir keluar dari
lehernya, membuat tubuh Yue Lingshan basah kuyup oleh darah.
Sekaligus Linghu Chong telah
membunuh sembilan orang dalam sekejap mata. Sisanya masih delapan orang menjadi
sangat ketakutan. Mendadak pemimpin gerombolan itu berteriak dan mendahului
maju sambil memutar senjatanya yang berbentuk perisai ke atas kepala Linghu
Chong.
Namun dengan kecepatan luar
biasa Linghu Chong mendahului menusuk sehingga pedangnya tepat menembus mata
kiri orang itu sampai ke belakang. Kontan orang itu menjerit dan roboh
terguling. Tidak berhenti sampai di situ, Linghu Chong kembali menebas dan
menusuk berulang-ulang. Tiga orang lawan kembali terbunuh. Masih sisa empat
orang yang ketakutan setengah mati. Mereka menjerit dan lari berpencar.
“Kalian berani kurang ajar
pada adik kecilku, satu pun tidak boleh diampuni,” seru Linghu Chong sambil
memburu maju. Dengan menggerakkan pedang dua kali, dua orang musuh pun
tertembus punggungnya sampai ke dada. Karena kaki mereka sudah terlanjur
berlari sekencang-kencangnya, dalam keadaan sekarat pun mereka tetap berlari
sampai akhirnya jatuh tersungkur di atas salju.
Tinggal dua orang lagi yang
berlari ke dua arah berbeda. Linghu Chong melemparkan pedangnya sekuat tenaga,
dan secepat kilat menembus punggung orang yang sedang berlari ke arah timur
sehingga terpantek di atas tanah. Linghu Chong kemudian mengejar orang terakhir
yang berlari ke arah barat. Kira-kira puluhan meter jauhnya orang itu pun sudah
tersusul olehnya. Jarinya bergerak menotok punggung orang itu. Namun karena
ilmu silat tangan kosongnya biasa-biasa saja, orang yang dikejarnya itu hanya
merasa kesakitan namun tidak sampai terluka.
Tak disangka orang itu berubah
menjadi nekat. Mendadak ia memutar tubuh dan mengayunkan goloknya. Baru
sekarang Linghu Chong sadar bahwa dirinya sudah tidak bersenjata lagi. Mau
tidak mau hatinya merasa cemas dan segera melompat mundur. Orang itu mendesak
maju dan terus menebaskan goloknya. Linghu Chong melihat pada serangan tersebut
terdapat celah kelemahan yang sangat lebar. Ia bermaksud menggunakan tangan
kiri sebagai pedang, namun terasa sulit untuk digerakkan. Di lain pihak, golok
lawan telah menebas ke arah mukanya.
Terpaksa Linghu Chong melompat
mundur. Orang itu semakin nekat dan mengayunkan goloknya dengan gencar. Tanpa
senjata di tangan, Linghu Chong tidak berani gegabah. Terpaksa ia memutar balik
dan berlari ke tempat semula. Terlihat olehnya Yue Lingshan memungut pedang di
tanah dan berseru, “Kakak Pertama, pakailah ini!”
Yue Lingshan melemparkan
pedang itu dan segera ditangkap oleh Linghu Chong yang kemudian memutar balik
sambil bergelak tawa. Saat itu lawannya sudah mengangkat golok hendak
mencincang, namun wajahnya berubah ngeri ketakutan melihat pedang Linghu Chong
yang berkelebat. Ia pun terpaku ketakutan.
Perlahan-lahan Linghu Chong
melangkah maju. Laki-laki itu semakin gemetar. Memegang senjata saja tidak kuat
lagi. Goloknya pun jatuh ke tanah. Tanpa terasa ia berlutut di hadapan Linghu
Chong.
“Aku tidak akan mengampunimu,”
kata Linghu Chong sambil menyodorkan ujung pedangnya ke leher orang itu.
Tiba-tiba pikirannya tergerak. Perlahan ia bertanya dengan suara parau,
“Tulisan apa yang terdapat pada orang-orangan salju tadi?”
Dengan suara gemetar orang itu
menjawab, “Tulisan tadi … berbunyi: ‘Sampai laut kering dan … dan gunung
runtuh, cinta kita … cinta kita … tetap teguh.’ ”
Dengan suara datar Linghu
Chong berkata, “Hm, sampai laut kering dan gunung runtuh, cinta kita tetap
teguh.” Hatinya bergejolak, tangan pun gemetar. Tak kuasa menahan perasaan, ia
pun mendorong pedangnya hingga menembus leher musuhnya yang terakhir itu.
Sewaktu berpaling kembali,
dilihatnya Yue Lingshan sedang memapah Lin Pingzhi. Tubuh dan wajah kedua
muda-mudi itu sama-sama bermandikan darah. Setelah berdiri, Lin Pingzhi lantas
memberi hormat, “Terima kasih banyak atas pertolongan Pendekar Linghu.”
“Tidak masalah,” sahut Linghu
Chong. “Apa lukamu parah?”
“Tidak apa-apa,” jawab Lin
Pingzhi.
“Guru dan Ibu Guru menuju ke
sana,” kata Linghu Chong sambil menunjuk bekas-bekas tapak kuda.
Sementara itu Yue Lingshan
telah menuntun dua ekor kuda milik gerombolan tadi. Ia mendahului naik ke atas
kuda dan berkata, “Mari kita menyusul Ayah dan Ibu!”
Dengan susah payah Lin Pingzhi
menaiki kudanya. Ketika Yue Lingshan lewat di samping Linghu Chong, tiba-tiba
ia menahan kudanya dan memandang sejenak. Perlahan Linghu Chong mengangkat
kepalanya, melihat si nona menatap, dan ia pun balas memandang.
“Terima … terima kasih … Kakak
….” Yue Lingshan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Segera ia berpaling
kembali dan melarikan kudanya menuju ke arah barat laut menyusul Yue Buqun dan
Ning Zhongze.
Linghu Chong termangu-mangu
melepas kepergian Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Sampai bayangan mereka berdua
menghilang di balik hutan barulah ia menoleh ke arah Ren Woxing bertiga.
Ternyata ketiganya sudah membersihkan salju yang menempel pada badan
masing-masing dan memandang tajam ke arahnya.
Dengan gembira Linghu Chong
berseru, “Hei, Ketua Ren, apakah aku … aku menyusahkanmu?”
“Kau memang tidak menyusahkanku,
tapi dirimu sendiri yang sedang bermasalah. Bagaimana lengan kirimu?” sahut Ren
Woxing.
“Untuk sementara terasa kaku.
Sepertinya jalan darahku kurang lancar sehingga tangan ini tidak mau
digerakkan,” kata Linghu Chong.
“Urusan ini agak sulit,
biarlah kita mencari jalan keluarnya nanti,” ujar Ren Woxing. “Baru saja kau
telah menyelamatkan putri Yue Buqun, anggap saja kau telah membalas budi baik
perguruanmu. Untuk selanjutnya kau tidak perlu merasa berhutang budi lagi. Eh,
Adik Xiang, mengapa si tua Lu makin lama makin tidak senonoh? Sampai-sampai
perbuatan kotor begini juga dilakukannya?”
“Dari nadanya dapat kuduga
mereka ingin membekuk kedua muda-mudi itu untuk dibawa ke Tebing Kayu Hitam,”
jawab Xiang Wentian.
“Apa mungkin mereka
melaksanakan perintah Dongfang Bubai? Ada urusan apa lagi dia dengan si munafik
Yue Buqun?” ujar Ren Woxing.
Linghu Chong menyela, “Apakah
orang-orang ini anak buah Dongfang Bubai?”
“Anak buahku,” sahut Ren
Woxing.
Linghu Chong mengangguk paham.
Ren Yingying ikut membuka
suara, “Ayah, bagaimana dengan lengannya?”
“Jangan khawatir, anak manis,”
sahut Ren Woxing. “Menantuku yang baik telah membantu mertua memusnahkan racun
dingin, sudah tentu si bapak mertua akan berusaha menyembuhkan lengannya.” Usai
berkata ia tertawa terbahak-bahak, dan menatap tajam ke arah Linghu Chong yang
terlihat rikuh.
“Jangan bicara begitu, Ayah,”
sahut Ren Yingying. “Kakak Chong dibesarkan bersama-sama dengan Nona Yue.
Mereka saling menyayangi sejak kecil. Apa Ayah tidak melihat bagaimana sikap
Kakak Chong terhadap Nona Yue tadi?”
“Hm, manusia macam apa si
munafik Yue Buqun itu? Mana bisa anak perempuannya dibandingkan dengan
putriku?” ujar Ren Woxing sambil tertawa. “Lagipula Si Nona Yue itu sudah punya
tambatan hati. Perempuan yang hatinya gampang berubah seperti dia mana bisa
dipercaya? Selanjutnya Chong’er tentu akan melupakan gadis itu. Kejadian masa
kecil mana bisa dijadikan patokan?”
Ren Yingying menjawab lirih,
“Demi diriku Kakak Chong telah membuat onar di Biara Shaolin yang termasyhur di
seluruh dunia. Demi diriku dia tidak mau kembali ke Perguruan Huashan. Kedua
hal ini sudah cukup membuat hatiku senang dan puas. Tentang urusan lain tidak
perlu diungkit-ungkit lagi.”
Ren Woxing hafal sifat
putrinya yang angkuh dan tinggi hati. Jika Linghu Chong tidak mengajukan
lamaran, maka putrinya juga tidak mau memaksa. Lagipula urusan perjodohan dapat
diatur belakangan. Maka dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Bagus, bagus!
Memang urusan mahapenting yang menyangkut kebahagiaan seumur hidupmu bisa
dibicarakan nanti. Eh, Chong’er, akan kuajari dirimu cara melancarkan urat nadi
di bagian lengan kirimu yang macet itu.”
Lalu ia menarik Linghu Chong
ke pinggir dan mengajarkan rumus bagaimana cara mengerahkan tenaga dan
melancarkan aliran darah. Setelah mengulangi sekali lagi, ia kemudian meminta
Linghu Chong menghafalkannya. Setelah Linghu Chong benar-benar hafal, orang tua
itu lalu berkata, “Kau telah membantuku memusnahkan racun dingin, sekarang aku
mengajarimu cara melancarkan aliran darah. Kita masing-masing tidak saling
berhutang budi lagi. Untuk menyembuhkan seluruh lenganmu yang kaku itu
diperlukan waktu tujuh hari. Harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu.”
“Baik,” jawab Linghu Chong.
Ren Woxing lalu melambaikan
tangan ke arah Xiang Wentian dan Ren Yingying. Setelah mereka berkumpul semua,
ia berkata, “Chong’er, ketika di Wisma Meizhuang tempo hari aku pernah
mengajakmu masuk Sekte Matahari dan Bulan. Waktu itu dengan tegas kau
menolaknya. Sekarang keadaan sudah berubah. Aku mengulangi lagi pertanyaan
lama. Kali ini tentu kau takkan menolaknya, bukan?”
Selagi Linghu Chong masih
bimbang dan belum menjawab, Ren Woxing menyambung lagi, “Kau telah mempelajari
Jurus Penyedot Bintang, kelak tentu akan banyak mendatangkan kesusahan. Bila
bermacam-macam hawa murni yang berlainan dalam tubuhmu itu bergejolak, maka tak
terkatakan derita yang akan kau rasakan. Apa yang kukatakan takkan kutarik
kembali. Kalau kau tidak masuk aliran kami, biarpun Yingying menjadi istrimu,
aku tetap tidak mau mengajarkan cara memusnahkan tenaga-tenaga liar di dalam
tubuhmu itu. Meskipun seumur hidup putriku akan marah kepadaku, aku takkan
berubah pikiran. Sekarang masih ada urusan mahapenting yaitu membalas perbuatan
Dongfang Bubai. Apakah kau akan ikut pergi bersama kami?”
“Mohon maaf, Ketua Ren. Selama
hidup aku sudah pasti tidak akan masuk Sekte Matahari dan Bulan,” sahut Linghu
Chong dengan mantap dan tegas.
Seketika raut muka Ren Woxing
bertiga berubah. Xiang Wentian bertanya, “Apa sebabnya? Apakah kau memandang
rendah Sekte Matahari dan Bulan kami?”
“Di dalam Sekte Matahari dan
Bulan penuh orang-orang macam begini. Meskipun aku hina dan rendah, tapi aku
malu berkumpul dengan mereka,” sahut Linghu Chong sambil menunjuk belasan mayat
yang menggeletak di tanah. “Lagipula aku sudah berjanji kepada Biksuni Dingxian
untuk menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan.”
Ren Woxing, Ren Yingying, dan
Xiang Wentian langsung terheran-heran begitu mendengar ucapan tersebut. Bahwa
Linghu Chong menolak masuk aliran mereka bukanlah hal yang mengherankan. Namun
kalimat yang terakhir benar-benar di luar dugaan, sampai-sampai mereka tidak
percaya pada telinga masing-masing.
Sambil menunjuk muka Linghu
Chong, tiba-tiba Ren Woxing terbahak-bahak geli. Sejenak kemudian baru ia
berkata, “Kau … kau ingin menjadi biksuni? Kau mau menjadi ketua para biksuni?”
“Bukan menjadi biksuni, hanya
menjadi Ketua Perguruan Henshan saja,” sahut Linghu Chong. “Sebelum
mengembuskan napas terakhir, Biksuni Dingxian telah meminta dengan sangat
kepadaku. Apabila aku tidak menyanggupinya, Beliau mengaku akan mati penasaran.
Apalagi kematian Biksuni Dingxian adalah karena diriku. Aku juga sadar
peristiwa ini pasti akan menggemparkan. Tapi aku tidak bisa menolak
permintaannya.”
Ren Woxing masih saja tertawa
geli terbahak-bahak.
“Biksuni Dingxian juga
meninggal karena aku,” kata Ren Yingying dengan memandang tajam kepada ayahnya.
Linghu Chong menoleh ke arah gadis itu dengan hati penuh rasa terima kasih.
Perlahan-lahan Ren Woxing
berhenti tertawa, lalu berkata, “Jadi kalau orang lain meminta sesuatu padamu,
kau merasa harus mengerjakannya dengan patuh, begitu?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Apalagi kematian Biksuni Dingxian lantaran memenuhi janjinya padaku.”
“Bagus,” kata Ren Woxing. “Aku
adalah si tua aneh dan kau si kecil aneh. Kalau tidak berbuat sesuatu yang
menggemparkan, mana bisa menjadi tokoh pengguncang langit dan bumi? Baiklah,
kau pergi saja menjadi ketua kaum biksuni itu. Sekarang juga apa kau akan
berangkat ke Gunung Henshan?”
“Tidak, aku akan pergi ke
Biara Shaolin dulu,” jawab Linghu Chong.
Ren Woxing agak heran, tapi
kemudian memahami maksudnya, “Ya, tentu saja kau ingin mengusung kedua jenazah
biksuni tua itu kembali ke Henshan, bukan?” Lalu ia menoleh kepada Ren Yingying
dan bertanya, “Apakah kau akan ikut Chong’er pergi ke Biara Shaolin?”
“Tidak, aku akan ikut Ayah,”
jawab Ren Yingying.
“Betul, mana mungkin kau juga
pergi ke Gunung Henshan? Bisa-bisa kau ikut menjadi biksuni di sana,” ujar Ren
Woxing sambil bergelak tawa, namun suara tawanya bernada getir.
Linghu Chong lantas memberi
hormat dan berkata, “Ketua Ren, Kakak Xiang, Yingying, sampai berjumpa lagi.”
Ia kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi. Baru belasan langkah tiba-tiba
ia berpaling dan bertanya, “Ketua Ren, kapan kalian pergi ke Tebing Kayu
Hitam?”
“Ini urusan rumah tangga
aliran kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Ren Woxing. Ia tahu
Linghu Chong bermaksud membantu menghadapi Dongfang Bubai bila tiba waktunya
kelak. Namun dengan tegas ia menolak maksud permuda itu.
Linghu Chong menganggukkan
kepala, lalu memungut sebilah pedang yang berserakan di atas salju. Pedang itu
digantungkannya di pinggang, lalu melangkah pergi.
Menjelang senja, ia pun tiba
di Biara Shaolin. Ia menyampaikan maksud kedatangannya kepada biksu penerima
tamu dan memohon diizinkan mengusung jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni
Dingyi pulang ke Gunung Henshan. Biksu penerima tamu itu segera melapor ke
dalam, dan kemudian kembali lagi dengan berkata, “Menurut Kepala Biara, jenazah
kedua biksuni sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan doa bersama untuk
arwah Beliau berdua oleh segenap penghuni biara ini. Tentang abu jenazah kedua
biksuni selekasnya akan kami antar ke Gunung Henshan.”
Linghu Chong kemudian berjalan
memasuki ruang sembahyang. Ia membungkuk hormat di hadapan altar kedua biksuni
beberapa kali. Dalam hati ia berkata, “Selama aku masih hidup, aku akan menjaga
Perguruan Henshan dengan sepenuh hati dan segenap kekuatanku, serta tidak
menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan Biksuni kepadaku.” Setelah itu ia
melangkah keluar tanpa meminta bertemu Mahabiksu Fangzheng terlebih dahulu.
Kepada biksu penerima tamu ia pun mohon pamit kemudian bergegas pergi menuruni
Gunung Shaoshi.
Sesampainya di kaki gunung,
salju masih belum juga reda. Malam itu ia menginap di rumah seorang petani.
Esoknya ia melanjutkan perjalanan menuju ke arah utara. Di sebuah kota kecil
dibelinya seekor kuda sebagai kendaraan. Karena lengan kiri masih terasa kaku,
maka perjalanannya pun agak terganggu. Setiap hari ia hanya menempuh jarak
tujuh sampai delapan puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. Di setiap
peristirahatan ia menerapkan rumus yang diajarkan Ren Woxing untuk melancarkan
aliran darah. Setelah tujuh hari lengan kirinya itu sudah bisa digerakkan dengan
leluasa.
Beberapa hari kemudian, pada
suatu siang Linghu Chong mampir di sebuah rumah makan untuk minum arak. Saat
itu sudah dekat tahun baru, suasana tampak ramai. Orang-orang berlalu-lalang
belanja untuk persiapan perayaan tahun baru. Sambil minum arak sendirian di
loteng, Linghu Chong terkenang pada masa lampau, “Di Gunung Huashan menjelang
tahun baru, Ibu Guru menyuruh kami untuk bersih-bersih, menggiling tepung untuk
membuat kue, juga menyiapkan amplop merah. Semuanya dalam suasana riang gembira.
Adik Kecil membuat banyak guntingan pula untuk menghias dinding. Tapi tahun
ini, aku harus merayakannya sendirian ditemani arak ini.”
Selagi hatinya bersedih
mengenang masa lalu, tiba-tiba terdengar suara tangga berbunyi, seperti ada
orang banyak sedang naik ke atas. Terdengar salah seorang dari mereka berkata,
“Haus sekali, mari kita minum dulu di sini!”
“Seandainya tidak haus juga
boleh minum, bukan?” ujar yang lain.
“Haus dan minum saling
berkaitan. kenapa harus dipisah-pisah?” sahut seorang lagi.
“Minum arak ya minum arak,
haus ya haus. Kenapa harus dikait-kaitkan?” sahut yang lain tak mau kalah.
“Semakin banyak minum arak
malah semakin haus. Keduanya bukan hanya tidak bisa dikait-kaitkan, tapi juga
sangat berlawanan,” sambung yang lainnya.
Mendengar percakapan yang
bertele-tele itu Linghu Chong segera tahu siapa yang datang. Dengan cepat ia
berseru, “Enam Saudara Persik, lekas kemari, minum bersama aku!”
Serentak terdengarlah suara
berisik. Enam Dewa Lembah Persik telah melompat ke atas bersama-sama dan
mengelilingi Linghu Chong. Ada yang memegang tangannya, ada yang memegang
bahunya, ada pula yang memegang bajunya. Beramai-ramai mereka berteriak, “Aku
yang temukan dia!”
“Aku yang pegang dia paling
dulu!”
“Aku yang temukan dia. Suaraku
yang pertama kali didengar olehnya!”
“Aku yang mengajak kalian ke
sini. Kalau kalian tidak kuajak ke sini, bagaimana kalian bisa bertemu dia?”
Linghu Chong tertawa heran dan
berkata, “Apa-apaan kalian ini?”
Tiba-tiba Dewa Bunga Persik
berlari ke pinggir jendela dan berseru keras-keras, “Hei, biksuni cilik,
biksuni besar, biksuni tua, biksuni muda, dan biksuni tidak tua tidak muda, aku
telah menemukan Tuan Muda Linghu. Lekas serahkan seribu tael perak kepada
kami!”
Dewa Ranting Persik ikut
berlari ke tepi jendela dan berteriak, “Bukan dia, tapi aku yang pertama
memegang Tuan Muda Linghu! Lekas serahkan seribu tael yang kalian janjikan
itu!”
Sementara itu Dewa Dahan
Persik dan Dewa Buah Persik juga tidak mau kalah. Sambil masih memegangi Linghu
Chong mereka berteriak-teriak, “Tidak, aku yang melihat dia paling dulu!”
“Aku yang menemukan dia!”
Maka terdengarlah suara
seorang wanita berseru di luar rumah makan, “Benarkah kalian telah menemukan
Pendekar Linghu?”
“Benar! Aku yang menemukan
dia! Lekas serahkan uangnya! Ada uang ada barang!” ujar Enam Dewa Lembah Persik
berteriak-teriak.
Dewa Ranting Persik berkata,
“Benar! Kalau mereka sampai ingkar janji, kita sembunyikan saja Tuan Muda
Linghu.”
Dewa Akar Persik menyambung,
“Bagaimana caranya menyembunyikan dia? Kita kurung saja dia di sini supaya
biksuni cilik tidak melihatnya.”
Di tengah keramaian itu
terdengarlah suara orang menaiki tangga loteng. Orang pertama yang muncul
adalah murid Perguruan Henshan, bernama Yihe. Di belakangnya ikut pula empat
biksuni dan dua murid awam, yaitu Zheng E dan Qin Juan. Melihat Linghu Chong
benar-benar berada di situ, mereka bertujuh sangat gembira. Ada yang memanggil
“Pendekar Linghu”, ada yang memanggil “Kakak Linghu”, ada pula yang memanggil
“Tuan Muda Linghu”.
Dewa Dahan Persik tiba-tiba
menghadang di tengah-tengah mereka dan berkata, “Mana uangnya? Ada uang ada
barang! Tanpa seribu tael perak takkan kuserahkan orang ini.”
“Keenam Saudara Persik,” kata
Linghu Chong dengan tertawa, “sebenarnya bagaimana ceritanya soal seribu tael
perak segala?”
“Di tengah jalan tadi kami
bertemu mereka,” tutur Dewa Ranting Persik. “Mereka bertanya kepada kami apa
pernah melihatmu. Kukatakan sementara ini tidak, tapi sebentar lagi pasti akan
bertemu.”
“Paman ini bohong!” seru Qin
Juan menyela. “Tadi dia menjawab, ‘Linghu Chong punya kaki sendiri, saat ini
mungkin dia berada di ujung langit. Ke mana kami akan menemukan dia?’”
“Tidak, tidak! Kami bisa
meramalkan apa yang bakal terjadi. Sebelumnya kami sudah tahu akan menemukan
Tuan Muda Linghu di sini!” bantah Dewa Bunga Persik.
“Benar! Kalau tidak, mengapa
kami tiba-tiba datang kemari?” tambah Dewa Dahan Persik.
Linghu Chong tertawa dan
menyela, “Sudahlah, aku dapat menebak. Tentu adik-adik ini sedang mencariku dan
mereka meminta bantuan kalian. Lalu kalian membuka harga seribu tael perak
sebagai upah, betul tidak?”
“Harga seribu tael perak
memang setinggi langit. Salah mereka sendiri tidak pandai tawar-menawar,” ujar
Dewa Dahan Persik. “Mereka begitu dermawan. Kami minta upah seribu tael perak,
tanpa menawar mereka langsung setuju asalkan Pendekar Linghu dapat ditemukan.
Janji ini telah kalian sanggupi, bukan?”
Yihe menjawab, “Benar, memang
kami telah berjanji akan memberikan seribu tael perak asalkan kalian dapat
menemukan Kakak Linghu.”
“Nah, sekarang bayar segera,”
kata Enam Dewa Lembah Persik bersama-sama sambil menjulurkan tangan
masing-masing.
“Kaum biarawati seperti kami
mana bisa membawa uang sebanyak itu?” kata Yihe. “Silakan kalian berenam ikut
ke Gunung Henshan untuk menerimanya nanti.”
Dalam hati Yihe mengira mereka
berenam tentu malas ikut ke Gunung Henshan yang letaknya sangat jauh. Tak
disangka, Enam Dewa Lembah Persik menjawab serentak, “Baik, kami akan ikut ke
Henshan untuk menerima pembayaran. Kalian tidak boleh hutang, ya?”
“Wah, selamat untuk kalian
berenam, sekarang menjadi kaya raya!” puji Linghu Chong sambil tertawa. “Kalian
telah menjual diriku dengan bayaran yang sangat besar.”
“Terima kasih, terima kasih!”
sahut Enam Dewa Lembah Persik.
Tiba-tiba Yihe dan kawan-kawan
serentak berlutut menyembah kepada Linghu Chong dengan wajah berduka.
“Hei, kenapa kalian berbuat
demikian?” tanya Linghu Chong terkejut dan buru-buru membalas hormat.
“Kami menyampaikan sembah
bakti kepada Ketua,” kata Yihe.
“O, jadi kalian sudah tahu?
Silakan bangun untuk bicara,” kata Linghu Chong.
“Benar, bicara sambil berlutut
begitu tentu tidak nyaman,” sahut Dewa Akar Persik ikut bicara.
“Keenam Saudara Persik,” kata
Linghu Chong, “sekarang aku sudah termasuk anggota Perguruan Henshan. Kami
punya urusan penting yang harus dirundingkan. Kalian silakan minum arak di
sebelah sana, tidak boleh mengganggu atau kalian akan kehilangan seribu tael
perak.”
Sebenarnya Enam Dewa Lembah
Persik bermaksud mengoceh lagi. Tapi begitu mendengar kalimat yang terakhir,
mereka langsung bungkam dan terpaksa menyingkir ke sebuah meja di salah satu
sudut ruangan sambil berteriak-teriak memesan makanan dan minuman.
Yihe dan yang lain bangkit
kembali. Namun begitu teringat pada kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni
Dingyi yang mengenaskan, isak tangis mereka pun lagi-lagi pecah.
Dewa Bunga Persik menyahut,
“Hei, aneh sekali. Kenapa kalian tiba-tiba menangis? Kalau kalian menangis
gara-gara bertemu Linghu Chong, apa sebaiknya kalian tidak usah bertemu saja?”
Linghu Chong langsung menoleh
dan melotot kepadanya. Dewa Bunga Persik ketakutan dan lekas-lekas membungkam
mulutnya sendiri menggunakan tangan.
Yihe berkata, “Tempo hari
Kakak Linghu, maksudku, Paman Ketua mendarat dan tidak kembali lagi ke kapal, kemudian
datang Paman Guru Mo dari Perguruan Hengshan memberi tahu kami bahwa Paman
Ketua telah pergi ke Biara Shaolin untuk menyusul Bibi Ketua dan Bibi Dingyi.
Setelah berunding, kami pun bermaksud ikut menyusul ke sana. Tak disangka di
tengah jalan kami bertemu belasan tokoh persilatan yang membicarakan kehebatan
Paman Ketua saat memimpin ribuan pendekar menduduki Biara Shaolin, juga saat
menakut-nakuti para biksu sehingga melarikan diri. Di antara mereka ada seorang
bertubuh bulat pendek yang mengaku bermarga Lao, juga seorang sastrawan
setengah baya bermarga Zu. Mereka berdua mengatakan … mengatakan bahwa Bibi
Ketua dan Bibi Dingyi telah meninggal di dalam Biara Shaolin. Sebelum
meninggal, konon Bibi Ketua telah meminta kepadamu untuk mewarisi kedudukan
ketua perguruan kita, dan kau telah menerima permintaan itu. Wasiat tersebut
katanya juga telah disaksikan banyak orang ….” sampai di sini suaranya
terputus-putus oleh karena isak tangisnya yang semakin memilukan. Keenam
adiknya juga ikut menangis sedih.
“Benar, waktu itu Biksuni
Dingxian memang telah memintaku untuk memikul tugas berat ini,” kata Linghu
Chong. “Tapi, aku seorang laki-laki dan namaku sudah tercemar pula. Semua orang
tahu aku pemuda berandalan, mana pantas menjadi Ketua Perguruan Henshan? Namun
keadaan waktu itu memang sangat mendesak. Jika aku tidak menerimanya, maka
Biksuni Dingxian tidak akan tenteram hatinya. Aih, aku merasa serbasalah.”
Yihe menyahut, “Tapi … tapi
kami semua sangat mengharapkanmu menjadi Ketua Perguruan Henshan kita.”
Zheng E berkata, “Paman Ketua,
kau pernah memimpin kami dalam pertempuran, dan beberapa kali kau telah
menyelamatkan nyawa kami. Setiap murid Perguruan Henshan mengenalmu sebagai
seorang kesatria sejati. Meskipun kau seorang laki-laki, tapi di dalam peraturan
perguruan kita tidak pernah ada larangan kaum lelaki menjadi ketua.”
Yiwen, seorang biksuni
setengah baya ikut bicara, “Kami sangat sedih ketika mendengar wafatnya kedua
bibi. Tapi begitu mengetahui kalau kau yang akan menjabat sebagai Ketua Perguruan
Henshan, hati kami menjadi lega dan sangat terhibur.”
Yihe menyambung, “Guruku telah
dicelakai orang, kedua bibi juga tewas di tangan musuh. Dalam waktu beberapa
bulan saja tiga tokoh utama Perguruan Henshan dari angkatan ‘Ding’ telah wafat
susul-menyusul, dan siapa pembunuhnya sama sekali tidak diketahui. Paman Ketua,
sungguh sangat tepat jika kau yang menjadi pemimpin kami. Tidak ada salahnya
kalau kau mengganti nama menjadi Linghu Dingchong. Jika bukan dirimu rasanya
sukar untuk menuntut balas bagi ketiga orang tua kami.”
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Tugas berat membalaskan dendam ketiga biksuni sepuh memang menjadi
tanggung jawabku.”
Qin Juan berkata, “Kau sudah
dikeluarkan dari Perguruan Huashan, dan kini menjadi bagian dari Perguruan Henshan.
Gunung barat dan gunung utara sejajar derajatnya. Kelak jika kau bertemu Tuan
Yue tidak perlu lagi memanggil ‘Guru’ kepadanya, tapi cukup memanggil ‘Saudara
Yue’ saja.”
Linghu Chong hanya tersenyum.
Dalam hati ia berpikir, “Mana mungkin aku berani?”
Zheng E berkata, “Setelah
mendengar berita duka meninggalnya kedua guru kami, kami pun bergegas menuju
Biara Shaolin. Tapi di tengah jalan kami kembali bertemu Paman Guru Mo. Beliau
berkata bahwa kau sudah meninggalkan Gunung Shaoshi. Kami dianjurkan lekas-lekas
mencari keberadaanmu.”
Qin Juan menyahut, “Paman Guru
Mo mengatakan makin cepat menemukanmu akan semakin baik. Kata Beliau, terlambat
sedikit saja bisa jadi kau sudah dibujuk orang masuk Sekte Iblis. Padahal
antara aliran lurus dan aliran sesat bagaikan air dan api, jelas tidak bisa
hidup berdampingan. Selain itu, Perguruan Henshan bisa-bisa kehilangan seorang
ketua pula.”
“Adik Qin suka bicara tanpa
dipikir dulu. Mana mungkin Paman Ketua sudi masuk Sekte Iblis semudah itu?”
ujar Zheng E.
“Tapi kenyataannya Paman Guru
Mo memang bicara demikian, bukan?” balas Qin Juan.
Dalam hati Linghu Chong memuji
perhitungan Tuan Besar Mo tersebut. Andai saja waktu itu Ren Woxing tidak
memberikan iming-iming berupa rumus penangkal pengaruh buruk Jurus Penyedot
Bintang, tetapi mengajaknya dengan hati tulus, maka ajakan masuk menjadi
anggota Sekte Iblis tentu sulit ia tolak. Apalagi mengingat budi baik Ren
Yingying dan Xiang Wentian kepadanya, bukan mustahil dirinya akan berjanji
untuk bergabung dengan Sekte Iblis apabila urusan Perguruan Henshan sudah
selesai.
“Oh, jadi karena itu kalian
lantas menyediakan seribu tahil perak sebagai upah kepada siapa saja yang bisa
membekuk Linghu Chong?” kata Linghu Chong kemudian.
“Membekuk Linghu Chong? Mana
berani kami berbuat demikian?” kata Qin Juan dengan tertawa meski air matanya
masih meleleh di pipi.
Zheng E menyambung, “Setelah
mendengar pesan Paman Guru Mo, maka kami lantas membagi diri ke dalam
kelompok-kelompok, yang masing-masing beranggotakan tujuh orang untuk mencari
Paman Ketua. Untung saja kami bertemu Enam Dewa Lembah Persik. Mereka membuka
harga seribu tahil perak untuk menemukanmu. Padahal, jangankan cuma seribu
tahil, sekalipun sepuluh ribu tahil perak juga akan kami bayar asalkan Paman
Ketua dapat diketemukan.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Sebagai ketua kalian, aku merasa tidak bisa memberikan manfaat
apa-apa. Tapi paling tidak, kemampuan kalian dalam meminta sedekah kepada kaum
hartawan kikir dan pembesar korup akan mengalami banyak kemajuan.”
Ketujuh murid Perguruan
Henshan itu seketika teringat pada kejadian saat meminta sedekah kepada Bai Si
Tukang Menguliti yang terkenal kikir. Rasa sedih mereka berkurang dan seulas
senyum pun terlihat di bibir mereka.
Linghu Chong berkata,
“Baiklah, kalian tidak perlu khawatir lagi. Linghu Chong sudah berjanji kepada
Biksuni Dingxian pasti tidak akan mengingkari. Jabatan Ketua Perguruan Henshan
sudah pasti akan kuterima, asalkan kalian tidak ada yang keberatan. Mengenai
nama tidak perlu diganti Linghu Dingchong segala. Mari sekarang kita makan
kenyang dulu, baru kemudian kita berangkat ke Gunung Henshan.”
Ketujuh murid Henshan itu
senang mendengarnya. Serentak mereka berseru, “Mana mungkin kami keberatan?”
Linghu Chong kemudian makan
satu meja dengan Enam Dewa Lembah Persik. Ia pun bertanya kepada mereka, “Enam
Saudara Persik, uang seribu tahil perak itu akan kalian gunakan untuk apa?”
Dewa Akar Persik berkata, “Ji
Wushi, Si Burung Hantu Malam sangat miskin dan tidak mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Padahal dia juga berhutang seribu tahil perak kepada
kami.”
Dewa Dahan Persik menyambung,
“Sewaktu di Biara Shaolin, Ji Wushi mengadakan taruhan dengan kami ….”
Dewa Bunga Persik buru-buru
menyela, “Tentu saja dia yang kalah. Mana mungkin Burung Hantu Malam bisa
menang taruhan melawan kami, enam bersaudara?”
Dalam hati Linghu Chong
berpikir, “Mana bisa kalian menandingi kecerdasan Ji Wushi?” Ia lalu bertanya,
“Memangnya kalian bertaruh soal apa?”
Dewa Buah Persik menjawab,
“Ini mengenai dirimu. Kami bertaruh kau pasti tidak mau menjadi Ketua Perguruan
Henshan, eh … bukan … kami bertaruh kau pasti mau menjadi Ketua Perguruan
Henshan.”
Dewa Bunga Persik menyambung,
“Si Burung Hantu Malam bertaruh bahwa kau pasti tidak sudi menjadi Ketua Perguruan
Henshan. Sebaliknya kami bilang kepadanya seorang laki-laki harus bisa pegang
janji. Kau telah berjanji kepada biksuni tua untuk menjadi Ketua Perguruan
Henshan, dan hal ini telah didengar setiap kesatria di dunia persilatan. Mana
mungkin dirimu ingkar janji?”
Dewa Ranting Persik ikut
bicara, “Menurut Si Burung Hantu Malam, kau ini sudah biasa berkelana. Tidak
lama lagi pasti akan menikah dengan Gadis Suci dari Sekte Iblis, mana betah
membuang-buang waktu bersama kaum biksuni tua dan muda itu?”
Dalam hati Linghu Chong
berkata, “Ji Wushi sangat menghormati Yingying, tidak mungkin dia berani
menyebut ‘Sekte Iblis’ segala. Tentu keenam orang ini yang telah
memutarbalikkan perkataan.” Maka ia lantas bertanya, “Dan kalian kemudian
bertaruh seribu tahil perak dengannya?”
“Benar, dan saat itu kami
yakin pasti menang,” sahut Dewa Dahan Persik. “Si Burung Hantu Malam juga
berkata supaya seribu tahil perak itu didapatkan dengan cara baik-baik, bukan
dari hasil mencuri atau merampok. Maka aku pun berkata kepadanya bahwa kami
enam bersaudara tidak mungkin mencuri atau merampok.”
Dewa Akar Persik menyambung,
“Kemudian tadi pagi kami bertemu biksuni-biksuni yang sedang mencarimu ini.
Mereka berkata hendak menjemputmu untuk menjadi Ketua Perguruan Henshan. Itu
berarti kami yang jelas-jelas memenangkan taruhan seribu tahil perak.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Kemudian kalian merasa kasihan kepada Si Burung Hantu Malam yang
sangat miskin itu, sehingga kalian berusaha mendapatkan seribu tahil perak dari
para biksuni untuk diberikan kepadanya, supaya dia bisa membayar kekalahannya
pada kalian, begitu?”
“Tepat sekali, dugaanmu
benar-benar sangat tepat,” seru Dewa Bunga Persik. “Ternyata kau pandai
meramal.”
“Kepandaianmu meramal hanya
sedikit di bawah kami enam bersaudara,” sambung Dewa Buah Persik.
Linghu Chong tidak menggubris
omong kosong mereka lagi. Usai makan, rombongan itu lantas berangkat ke Gunung
Henshan. Setelah beberapa hari sampailah mereka di kaki gunung tersebut.
Rupanya murid-murid Henshan sudah menerima kabar dan mereka pun beramai-ramai
menjemput kedatangan rombongan tersebut. Begitu melihat Linghu Chong, mereka
segera berlutut memberi hormat dan Linghu Chong pun membalas penghormatan
mereka. Semuanya terlihat berduka ketika berbicara tentang wafatnya Biksuni
Dingxian dan Biksuni Dingyi.
Linghu Chong melihat Yilin
berada di antara kerumunan para murid itu dengan wajah pucat dan tubuh lebih
kurus dibandingkan dulu. Segera ia bertanya, “Adik Yilin, apakah akhir-akhir
ini kau kurang sehat?”
“Tidak, aku baik-baik saja,”
jawab Yilin dengan mata basah. “Sekarang kau adalah ketua kami. Jangan panggil
aku ‘adik’ lagi.”
Dalam perjalanan tadi, Yihe
dan yang lain selalu memanggil Linghu Chong dengan sebutan “paman guru” atau
“paman ketua”. Setelah mendengar ucapan Yilin tersebut, Linghu Chong pun
berkata, “Kakak dan Adik sekalian, Linghu Chong menjadi ketua hanya karena
perintah dari ketua terdahulu. Sesungguhnya, aku tidak pantas dan tidak mampu
memikul tugas besar ini. Aku sama sekali merasa berat untuk menerimanya.”
Para murid menjawab, “Sungguh
suatu keberuntungan apabila Paman Ketua sudi memimpin kami. Tolong terima
tanggung jawab yang berat ini.”
Linghu Chong berkata,
“Baiklah. Tapi kalian harus berjanji satu hal kepadaku.”
Para murid berseru, “Kami siap
menerima perintah Paman Ketua.”
Linghu Chong berkata, “Mulai
sekarang kalian tidak boleh memanggilku ‘Paman Ketua’, cukup ‘Kakak Ketua’
saja.”
Yihe, Yiqing, Yizhen, Yiwen,
dan murid-murid tertua lainnya lantas berunding. Sejenak kemudian mereka pun
berkata, “Ketua terlalu rendah hati. Baiklah, kami tidak berani melawan
perintah Ketua.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Nah, demikian lebih baik.”
Begitulah, mereka lantas
beramai-ramai menuju ke atas Gunung Henshan. Puncak gunung itu sangat tinggi.
Meskipun mereka melangkah dengan cepat, namun perlu setengah hari lagi untuk
mencapai Puncak Jianxing. Biara utama di sana hanya sebuah biara kecil yang
disebut Biara Wuse, yang dikelilingi dua sampai tiga puluh buah rumah beratap
genting sebagai tempat tinggal para murid. Bila dibandingkan dengan Biara
Shaolin yang megah itu, Biara Wuse bagaikan semut bertemu gajah.
Masuk ke dalam biara, Linghu
Chong melihat patung Bodhisatwa Guanyin sang dewi welas asih memakai jubah
putih. Ruangan bagian dalam tampak sangat bersih dan terawat, sama sekali tidak
terdapat debu sebutir pun. Perabotan di sana terbuat dari bahan kasar dan
biasa-biasa saja. Linghu Chong tidak menyangka bahwa Perguruan Henshan yang
terkenal di dunia persilatan ternyata memiliki markas yang begitu kecil dan
sederhana.
Setelah bersembahyang di depan
patung Dewi Guanyin, Linghu Chong diantarkan Yu Sao ke kamar yang biasa dipakai
Biksuni Dingxian untuk bersamadi. Keadaan kamar itu pun bersih tanpa sesuatu
pajangan, hanya terdapat sebuah bantalan bundar di lantai, dan di sisinya
terdapat sebuah kentungan kecil yang sudah tua. Selain itu tak terdapat benda
yang lain lagi.
Watak Linghu Chong suka
bergerak bebas dan biasa hidup di tempat ramai. Ia gemar minum arak dan makan
enak pula, bagaimana bisa disuruh hidup di tempat sesunyi ini? Andai saja boleh
membawa arak dan daging anjing tentu akan menyenangkan. Namun bukankah itu akan
menodai kesucian tempat ibadah tersebut? Maka, ia pun berkata kepada Yu Sao,
“Meskipun aku menjabat sebagai ketua, tapi aku ini bukan orang beragama, juga
tidak menjadi biksu. Lagipula kakak dan adik di sini semua kaum wanita. Hanya
aku saja yang laki-laki, sudah tentu aku merasa tidak pantas tinggal di sini.
Sebaiknya kau sediakan saja sebuah rumah yang agak jauh dari sini. Biarlah aku
tinggal di sana bersama Enam Dewa Lembah Persik.”
Yu Sao menjawab, “Baik, di
puncak barat ada tiga buah pondok yang biasa digunakan sebagai tempat menginap
para tamu. Kebanyakan para tamu yang menginap di sana adalah orang tua para
murid yang datang berkunjung. Kalau Ketua tidak keberatan, maka untuk sementara
Ketua bisa tinggal di sana. Lain hari kita bisa membangun rumah kediaman yang
baru untuk Ketua.”
“Itu saja cukup, untuk apa
harus membangun rumah baru segala?” ujar Linghu Chong gembira. Dalam hati ia
berpikir, “Memangnya aku mau menjadi ketua seumur hidup di sini? Asalkan nanti
aku sudah menemukan calon yang pantas sebagai ketua, tentu aku akan menyerahkan
kedudukan ini kepadanya. Untuk selanjutnya, aku bisa kembali hidup berkelana secara
bebas gembira di dunia persilatan. Apabila Perguruan Henshan ditimpa masalah,
maka aku akan datang lagi untuk memberikan bantuan.”
Begitu tiba di pondok
tersebut, Linghu Chong menemukan sebuah bangunan yang tidak ubahnya seperti
rumah kaum petani kaya dengan perlengkapan meja, kursi, tempat tidur berkasur,
walaupun semuanya berbahan kasar. Namun tentu saja ini lebih mendingan daripada
kamar samadi Biksuni Dingxian yang kosong tadi.
Yu Sao berkata, “Ketua silakan
duduk. Saya akan mengambil arak.”
“Hei, apa di sini ada arak?”
tanya Linghu Chong gembira.
“Tidak cuma sekadar arak, tapi
arak pilihan,” jawab Yu Sao. “Begitu mendengar Ketua akan tiba, Adik Yilin
bilang kepadaku kalau tidak disediakan arak enak, mungkin Ketua tidak akan
betah berlama-lama menjabat sebagai ketua. Maka, malam-malam kami mengirim
orang untuk turun gunung membeli belasan guci arak enak sebagai persediaan.”
Linghu Chong merasa rikuh juga
dan berkata, “Aih, kaum kita biasa hidup sederhana, tapi untuk diriku harus
membuang biaya sebanyak ini. Seharusnya tidak perlu begitu.”
Yu Sao menyela, “Ketua jangan
khawatir, uang sedekah yang diperoleh dari Bao Si Tukang Menguliti masih sisa
cukup banyak. Meskipun setengahnya sudah disedekahkan kepada fakir miskin, tapi
masih saja tersisa banyak. Untuk biaya minum-minum Ketua rasanya masih cukup
sampai sepuluh atau dua puluh tahun lagi.”
Malam itu Linghu Chong
minum-minum sepuasnya bersama Enam Dewa Lembah Persik. Esok paginya ia
berunding dengan Yiqing, Yihe, Yu Sao, dan yang lain tentang bagaimana
menyambut kedatangan abu jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi serta cara
menuntut balas kematian ketiga biksuni sepuh.
Yiqing berkata, “Kakak Ketua
telah menjadi pemimpin baru di Perguruan Henshan, hal ini harus diumumkan
kepada sesama kawan dunia persilatan. Kita juga harus mengirim utusan untuk
memberi tahu Paman Guru Zuo selaku pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung.”
Yihe menyahut, “Huh, guruku
meninggal dibunuh orang-orang Perguruan Songshan. Bibi Ketua dan Bibi Dingyi
kemungkinan besar juga tewas di tangannya. Untuk apa kita memberi tahu mereka
segala?”
“Kita tidak boleh meninggalkan
adat istiadat,” ujar Yiqing. “Bila kelak kita sudah menyelidiki dengan jelas
dan terbukti ketiga guru dicelakai oleh Perguruan Songshan, maka kita tentu bersama-sama
di bawah pimpinan Kakak Ketua membuat perhitungan dengan mereka.”
“Ucapan Adik Yiqing memang
benar,” kata Linghu Chong. “Mengenai jabatan ketua ini, aku sudah pasti
menerimanya, untuk apa pakai adat upacara segala?” Ia masih ingat ketika dulu gurunya
dilantik sebagai Ketua Perguruan Huashan, upacara yang diselenggarakan sungguh
sangat ramai. Kawan-kawan persilatan yang datang memberi selamat tak terhitung
banyaknya. Ia juga teringat pada peristiwa Liu Zhengfeng ketika mengadakan
upacara Cuci Tangan Baskom Emas, waktu itu Kota Hengshan juga penuh dengan
orang-orang persilatan. Sekarang dirinya diangkat menjadi Ketua Perguruan
Henshan yang sejajar dengan Huashan dan Hengshan. Kalau yang datang memberi
selamat hanya sedikit tentu sama artinya dengan kehilangan muka. Sebaliknya,
kalau yang datang terlalu banyak, tentu mereka bermaksud menertawakan dirinya
sebagai seorang laki-laki yang diangkat menjadi pemimpin kaum biksuni.
Rupanya Yiqing memahami
perasaan Linghu Chong. Ia pun berkata, “Kalau Kakak Ketua segan mengundang
teman-teman dunia persilatan, maka kita tidak perlu mengundang mereka. Namun
kita tetap harus memberi tahu mereka tentang hari peresmianmu dilantik sebagai
ketua.”
Linghu Chong berpikir
Perguruan Henshan adalah satu di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Kalau
upacara peresmian ketua baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan
merugikan pamor Perguruan Henshan sendiri. Maka, ia pun mengangguk menerima
saran Yiqing itu. Hanya saja, ia meminta agar Yiqing mencarikan hari baik dalam
waktu sesegera mungkin.
Yiqing pun mengambil kitab
primbon dan membacanya beberapa saat, kemudian berkata, “Tanggal sembilan belas
bulan dua, tanggal delapan bulan tiga, dan tanggal dua puluh tujuh bulan tiga,
adalah hari-hari yang membawa peruntungan. Kakak Ketua silakan memilih, tanggal
berapa yang paling cocok.”
Sebenarnya Linghu Chong tidak
memercayai hari baik atau hari buruk. Menurutnya, makin cepat diresmikan tentu
semakin sedikit pula tamu yang datang, sehingga keadaan yang memalukan dapat
dihindari. Maka, ia pun berkata, “Apakah tidak ada hari yang baik di bulan satu
ini?”
Yiqing menjawab, “Sebenarnya
ada beberapa hari baik dalam bulan satu, namun lebih cocok untuk bepergian,
membuka usaha, atau pernikahan. Kalau di bulan dua tanggal enam belas ada hari
baik untuk menerima lencana.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Aku tidak menjadi pejabat pemerintahan, jadi tidak perlu menerima
lencana.”
Yiqing menjawab, “Tapi
bukankah sebelumnya kau pernah menjadi jenderal? Menjadi ketua perguruan juga
perlu menerima lencana, bukan?”
Linghu Chong tidak mau
berdebat lebih lama. Ia pun menjawab, “Baiklah, aku setuju tanggal enam belas
bulan dua sebagai hari pelantikanku.”
Setelah itu ia lantas membagi
para murid untuk menjalankan tugas masing-masing. Antara lain ada yang dikirim
ke Biara Shaolin untuk menjemput abu jenazah kedua biksuni sepuh, ada pula yang
dikirim ke perguruan-perguruan lain untuk memberitahukan tanggal upacara
pelantikannya sebagai Ketua Perguruan Henshan. Kepada mereka ia berpesan,
“Tolong kabarkan kepada semua ketua perguruan yang kalian datangi bahwa untuk
sementara ini kami belum memikirkan urusan balas dendam. Perguruan Henshan
sedang berkabung. Untuk itu, upacara peresmianku sebagai ketua juga akan
dilangsungkan dengan cara yang sederhana. Katakan pada mereka, tidak perlu
mengirimkan orang untuk menghadiri upacara kita.”
Setelah mengirimkan para murid
itu, Linghu Chong berpikir, “Sebagai Ketua Perguruan Henshan, seharusnya aku
memahami ilmu pedang Henshan dengan lebih baik.” Maka ia pun mengumpulkan
murid-murid yang tersisa untuk mengetahui jurus-jurus pedang yang telah mereka
pelajari, mulai dari tingkat dasar sampai yang paling tinggi. Yang memeragakan
di hadapan Linghu Chong adalah dua murid yang berilmu paling tinggi, yaitu Yihe
dan Yiqing.
Linghu Chong dapat melihat
bahwa ilmu pedang Perguruan Henshan memang rumit dan bagus, tapi lebih
mengutamakan pertahanan. Hanya pada saat-saat tertentu mendadak mereka mampu
melancarkan serangan maut yang tidak terduga. Meskipun jurus serangan tersebut
kurang ganas dan kurang bertenaga, namun memang itulah ilmu pedang yang cocok
untuk kaum wanita.
Linghu Chong dapat
memakluminya karena dari generasi ke generasi murid-murid Perguruan Henshan
semuanya adalah kaum wanita. Pantas saja jika jurus serangan mereka pun tidak
sekuat jurus-jurus yang biasa digunakan kaum pria. Akan tetapi, jurus
pertahanan dalam ilmu pedang Henshan sangat bagus, dan memiliki sedikit celah
kelemahan, hanya setingkat di bawah ilmu Pedang Taiji. Akan tetapi, dibandingkan
dengan ilmu pedang dari Perguruan Wudang tersebut, ilmu pedang Henshan lebih
unggul dalam hal serangan mendadak yang tidak terduga-duga.
Linghu Chong kemudian teringat
pada dinding gua rahasia di puncak Huashan terdapat ukiran-ukiran jurus pedang
Henshan yang sangat bagus dan jauh lebih ampuh daripada ilmu pedang yang
dimainkan Yihe dan Yiqing saat ini. Meskipun jurus-jurus pedang yang bagus itu
telah dipatahkan juga oleh musuh yang membuat ukitan tersebut, namun ada
baiknya diajarkan kepada para murid demi perkembangan Perguruan Henshan di masa
depan. Tentu saja perlu diadakan perbaikan di beberapa bagian pada ilmu pedang
tersebut supaya menjadi lebih kuat.
Ia juga teringat pada
kehebatan Biksuni Dingjing ketika bertempur melawan musuh menjelang kematiannya
dulu. Waktu itu jurus pedang yang dimainkan Dingjing jauh lebih hebat daripada
Yihe atau Yiqing, dan tenaga dalamnya juga lebih dahsyat. Bahkan, konon
kabarnya ilmu silat Biksuni Dingxian lebih hebat lagi daripada kakak
seperguruannya itu. Tampaknya kepandaian ketiga biksuni sepuh masih banyak yang
belum diwariskan kepada para murid. Kini ketiganya telah meninggal
berturut-turut dalam waktu beberapa bulan saja. Linghu Chong khawatir
bermacam-macam ilmu silat Perguruan Henshan yang bagus akan ikut punah bersama
waktu.
Melihat Linghu Chong
termangu-mangu tidak menanggapi permainan pedangnya, Yihe pun berkata, “Kakak
Ketua, kepandaian kami tentu masih sangat hijau dan tidak sedap dipandang
olehmu. Maka itu, kami mengharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga.”
Linghu Chong melangkah maju
dan mengambil pedang dari tangan Yihe sambil berkata, “Aku punya satu jurus
ilmu pedang Henshan, entah ketiga biksuni sepuh pernah mengajarkan ini kepada
kalian atau belum?” Ia kemudian memainkan ilmu pedang yang pernah dilihatnya
pada dinding gua rahasia tersebut.
Jurus pedang itu dimainkannya
sangat perlahan agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Setelah
melihat beberapa gerakan, para murid pun bersorak memuji. Mereka melihat
dasar-dasar ilmu pedang Henshan namun dikembangkan dengan berbagai perubahan
yang aneh. Mereka tidak dapat mengukur entah jurus tersebut berapa kali lebih
hebat daripada ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang ini
telah membangkitkan semangat dan kebanggaan mereka. Sebenarnya ukiran-ukiran
tersebut hanya benda mati, namun menjadi hidup berkat kepandaian Linghu Chong
merangkainya satu per satu. Tentu saja untuk merangkainya ia pun menciptakan
beberapa gerakan baru. Setelah permainan pedang tersebut berakhir, para murid
pun beramai-ramai memberikan penghormatan di hadapannya dengan penuh kekaguman.
Yihe berkata, “Kakak Ketua,
ilmu pedang yang kau mainkan tadi jelas merupakan ilmu pedang Perguruan Henshan
kita. Tapi mengapa selama ini kami belum pernah melihatnya? Mungkin saja ketiga
biksuni sepuh juga belum mengetahuinya. Kalau boleh tahu, dari mana kau
mempelajarinya?”
“Aku mempelajarinya dari
sebuah ukiran yang berada di suatu gua,” jawab Linghu Chong. “Jika kalian ingin
belajar, aku bisa mengajarkannya pada kalian.”
Para murid sangat gembira.
Beramai-ramai mereka mengucapkan terima kasih. Seharian itu Linghu Chong
mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan secara rinci
dan seksama mengenai di mana letak kehebatan ketiga jurus tersebut, kemudian
para murid disuruh berlatih sendiri.
Meskipun hanya tiga jurus,
namun ternyata kandungannya cukup luas dan mendalam untuk dipahami. Sekalipun
murid-murid terpandai seperti Yihe atau Yiqing ternyata butuh waktu tujuh
sampai delapan hari untuk memahaminya, apalagi murid-murid muda seperti Zheng
E, Qin Juan, dan Yilin, tentu butuh waktu lebih lama lagi. Pada hari kesepuluh,
Linghu Chong kembali mengajarkan dua jurus lanjutannya. Begitulah, meski ilmu
pedang yang terukir pada dinding gua rahasia itu hanya terdiri dari beberapa
jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah murid-murid Henshan
itu dapat mempelajarinya secara tuntas. Mengenai apakah mereka mampu
memahaminya dengan baik jelas tergantung pada tingkat kepandaian masing-masing.
Selama sebulan itu
utusan-utusan yang dikirim ke berbagai perguruan berturut-turut sudah pulang ke
Gunung Henshan. Semuanya kembali dengan memperlihatkan wajah murung. Sewaktu
melapor kepada Linghu Chong pun mereka tergagap-gagap seolah takut untuk
menceritakan yang sebenarnya. Namun Linghu Chong juga tidak bertanya secara
mendalam. Ia tahu para utusan tersebut tentu telah banyak mendapat cemooh dan
ejekan, karena kaum biksuni telah mengangkat seorang laki-laki muda sebagai
ketua perguruan atau bermacam-macam ejekan lainnya. Linghu Chong lantas
menghibur mereka dengan kata-kata halus dan menyuruh mereka belajar ilmu pedang
baru kepada saudara-saudara yang lain. Apabila ada yang kurang jelas, maka
mereka boleh bertanya langsung kepadanya.
Utusan yang dikirim ke Perguruan
Huashan adalah Yu Sao dan Yiwen yang berusia setengah baya dan mampu
mengendalikan diri. Jarak antara Gunung Huashan dan Gunung Henshan tidak
terlalu jauh, dan seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan
yang lain. Tapi kenyatannnya, keduanya justru belum kembali sedangkan yang lain
sudah tiba. Sementara itu tanggal enam belas bulan dua sudah semakin dekat,
sehingga Linghu Chong merasa perlu untuk mengirim lagi dua murid yang lain,
yaitu Yiguang dan Yishi untuk menyusul ke Huashan.
Para murid Henshan yakin tidak
ada perguruan yang mengirim utusan sehingga mereka tidak perlu menyiapkan
tempat penginapan dan makanan. Mereka hanya sibuk menggosok lantai, mengapur
dinding, mencabut ilalang, dan melakukan pembersihan seperlunya. Masing-masing
dari mereka juga membuat baju dan sepatu baru. Zheng E dan yang lain juga
menjahit satu setel jubah hitam untuk dipakai Linghu Chong pada hari upacara
nanti. Hitam memang warna resmi seragam Perguruan Henshan dalam Serikat Pedang
Lima Gunung.
Tanggal enam belas bulan dua
akhirnya tiba juga. Pagi-pagi sekali setelah bangun tidur, Linghu Chong keluar
pondok dan melihat ke arah Puncak Jianxing yang tampak benar-benar meriah
karena telah terpasang banyak lampion dan hiasan melambai-lambai. Murid-murid
Perguruan Henshan ternyata sangat rajin dalam mempersiapkan acara pelantikan
yang akan dilangsungkan tersebut. Menyaksikan itu Linghu Chong merasa terharu
dan berpikir, “Kedua biksuni sepuh mengalami nasib malang karena aku, tapi para
murid tidak ada yang menyalahkan diriku. Mereka justru menghargai aku
sedemikian rupa. Kalau aku tidak dapat membalaskan sakit hati ketiga biksuni
sepuh, juga tidak dapat memajukan Perguruan Henshan, maka percuma saja aku
menjadi manusia.”
Tiba-tiba ia mendengar
teriakan seseorang dari balik salah satu sisi gunung, “Lin’er, Lin’er, Ayah
datang menjengukmu. Apa kau sehat-sehat saja? Lin’er, aku di sini!” Suara orang
itu sangat keras dan menggelegar. Sebelum gema suaranya berakhir, ia sudah
berteriak kembali, “Lin’er … Lin’er ….”
Yilin yang mendengar panggilan
itu segera muncul dan berseru, “Ayah! Ayah!”
Dari balik gunung muncul
seorang biksu bertubuh tinggi besar. Ia tidak lain adalah ayah Yilin, yaitu
Biksu Bujie. Tampak pula seorang biksu yang lebih muda berjalan di belakangnya.
Keduanya melangkah dengan cepat dan sekejap saja sudah tiba di depan bangunan
biara. Biksu Bujie bersuara lantang, “Selamat, Tuan Muda Linghu! Kau tidak mati
oleh lukamu yang sangat parah dulu, dan kini malah menjadi ketua perguruan
tempat putriku berada. Bagus sekali, bagus sekali!”
Linghu Chong tersenyum, “Ini
semua berkat Tuan Biksu.”
Yilin mendekati Biksu Bujie
dan menarik lengan ayahnya itu dengan lembut, “Ayah ternyata mendengar hari ini
Kakak Linghu dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan. Apakah kau datang untuk
memberi ucapan selamat kepadanya?”
Bujie tertawa, “Hahaha. Aku
tidak datang untuk memberi selamat. Aku ke sini untuk bergabung dengan
Perguruan Henshan. Kita sama-sama dari satu perguruan, untuk apa saling memberi
selamat?”
Linghu Chong terkesiap dan
menegas, “Tuan Biksu hendak menjadi anggota Perguruan Henshan?”
Bujie menjawab, “Benar. Anakku
anggota Perguruan Henshan. Aku adalah ayahnya, maka, aku pun anggota Perguruan
Henshan. Huh, aku mendengar orang-orang di luar sana mengolok-olok dirimu.
Mereka berkata bahwa kau seorang laki-laki tapi suka memanfaatkan kesempatan
menjadi pemimpin para biksuni dan nona-nona muda. Huh, mereka tahu apa? Mereka
tidak tahu kalau kau seorang manusia berbudi luhur yang menjaga kebenaran.”
Wajahnya lantas berubah dari
marah menjadi gembira, “Aku lalu memukul mulut orang itu sehingga beberapa
giginya lepas. Aku juga berteriak kepadanya, ‘Kau ini tahu apa? Apa Perguruan
Henshan hanya berisi kaum biksuni saja? Bapakmu ini juga berasal dari Perguruan
Henshan. Meskipun kepala bapakmu gundul, lantas apa bapakmu ini seorang
biksuni? Jika kau tidak percaya, ini kubuka saja celanaku.’ Begitu aku hendak
membuka celana, orang itu lari terbirit-birit ketakutan. Hahahaha.”
Linghu Chong dan Yilin ikut
tertawa mendengarnya.
“Ayah sungguh kasar,” sahut
Yilin. “Kau sama sekali tidak takut ditertawai orang.”
Bujie menjawab, “Kalau aku
tidak menunjukkan dengan jelas, tentu dia tidak bisa membedakan mana biksu mana
biksuni. Saudara Linghu, aku akan bergabung dengan Perguruan Henshan. Bahkan,
aku juga mengajak cucu muridku ikut serta. Nah, Bukebujie, lekas kau beri salam
kepada Ketua Linghu.”
Ketika Biksu Bujie bercerita
tadi, biksu yang mengikuti di belakangnya itu hanya menunduk saja. Sama sekali
ia tidak pernah menatap wajah Linghu Chong atau Yilin. Seolah-olah ia sedang
menyembunyikan rasa malu yang begitu besar. Begitu Bujie memberi perintah,
biksu bernama Bukebujie tersebut langsung memandang Linghu Chong dengan
senyuman kecut. Linghu Chong merasa mengenal wajah biksu tersebut namun entah
siapa. Akhirnya, ia pun sangat terkejut begitu menyadari kalau biksu itu adalah
Si Pengelana Tunggal Ribuan Li alias Tian Boguang. Dengan tergagap-gagap Linghu
Chong berkata, “Kau … kau … Saudara Tian?”
Biksu tersebut memang si
maling cabul Tian Boguang. Ia tersenyum dan membungkuk hormat ke arah Yilin,
“Salam … salam hormat, Guru.”
Yilin juga sangat terkejut.
“Bagaimana … bagaimana kau bisa menjadi biksu? Apa kau sedang menyamar?”
Biksu Bujie terlihat bangga
dan menjawab, “Ini benar-benar nyata dan sama sekali ia tidak sedang menipu
siapa-siapa. Ia benar-benar menjadi biksu. Gelar kebudhaannya adalah Biksu
Bukebujie.”
Tian Boguang kembali
tersenyum, “Guru, Kakek Guru memang memberiku nama Bukebujie.”
Yilin bertanya, “Mengapa
namanya Bukebujie? Mengapa namanya sepanjang itu?”
Bujie menjawab, “Kau tahu apa?
Dalam kitab suci juga banyak Bodhisatwa yang punya nama panjang. ‘Bodhisatwa
Guan Shiyin Yang Maha Pengampun dan Pemurah, Penolong Kaum Miskin.’ Apa itu
tidak panjang? Sedangkan nama dia hanya empat huruf, apanya yang panjang?”
“Benar juga,” kata Yilin.
“Lalu mengapa dia bisa menjadi biksu? Apakah Ayah telah menerimanya sebagai
murid?”
Bujie menjawab, “Bukan. Aku
adalah kakek-gurunya, sedangkan gurunya adalah kau sendiri. Tapi kau ini
seorang biksuni muda, jika mempunyai murid laki-laki awam maka nama Perguruan
Henshan akan ikut tercemar. Maka, aku pun menasihatinya supaya menjadi biksu.”
“Menasihati apanya? Ayah pasti
memaksanya supaya menjadi biksu, benar begitu?” kata Yilin sambil tersenyum.
Bujie menjawab, “Aku tidak
memaksanya. Memeluk agama tidak boleh dengan paksaan. Dia menjadi biksu dengan
sukarela. Orang ini sebenarnya baik. Hanya saja ada sebagian kelakuannya yang
kurang baik. Maka itu ia kuberi nama Bukebujie.”
Wajah Yilin merona merah. Ia
paham maksud perkataan ayahnya. Tian Boguang seorang hidung belang pemetik
bunga yang terkenal. Entah bagaimana caranya sang ayah berhasil menangkapnya
namun mengampuni jiwnya. Sebagai hukuman ia pun diharuskan menjadi biksu.
Bujie melanjutkan, “Namaku
adalah Bujie, yang artinya ‘tanpa pantangan’. Sementara Tian Boguang ini adalah
mantan penjahat cabul yang banyak melakukan kejahatan, maka dia harus selalu
mengekang diri. Kalau dia tidak berpantang, mana bisa menjadi anggota Perguruan
Henshan? Ketua Linghu pasti akan berpikiran sama denganku. Kelak pun ia akan
menerima warisan mangkuk sedekah dariku. Maka, nama yang tepat untuknya harus
mengandung unsur ‘Bujie’, yaitu ‘Bukebujie’, yang artinya ‘tidak boleh tanpa
pantangan’.”
Tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak, “Biksu Bujie dan Biksu Bukebujie telah bergabung dengan Perguruan
Henshan. Maka kami, Enam Dewa Lembah Persik juga akan bergabung dengan
Perguruan Henshan.” Ternyata yang berseru adalah Dewa Dahan Persik. Ia datang
bersama kelima saudaranya.
Dewa Akar Persik berkata,
“Kami yang lebih dulu datang ke sini bertemu Linghu Chong. Maka, kami berhak
disebut sebagai saudara tua, sedangkan Biksu Bujie menjadi saudara muda.”
Linghu Chong merenung, “Dengan
bergabungnya Biksu Bujie dan Tian Boguang ke dalam Perguruan Henshan, maka
tidak ada salahnya jika aku menerima Enam Dewa Lembah Persik. Sebaliknya, ini
justru akan menghapus pembicaraan orang bahwa Linghu Chong adalah satu-satunya
laki-laki di antara kaum biksuni.” Maka ia lantas berkata, “Enam Saudara Persik
bersedia masuk Perguruan Henshan, ini sungguh berita menggembirakan. Tapi untuk
menentukan siapa yang lebih tua di antara kalian atau Biksu Bujie, ini sungguh
merepotkan. Maka, hal ini tidak perlu dilakukan.”
Dewa Daun Persik tiba-tiba
berkata, “Biksu Bujie artinya ‘Tanpa Pantangan’ punya murid bernama Biksu
Bukebujie, artinya ‘Tidak Boleh Tanpa Pantangan’. Kelak, jika Bukebujie punya
murid, diberi gelar apa?”
Dewa Buah Persik menjawab,
“Tentu saja harus memiliki unsur nama yang sama. Beri saja nama
‘Dangranbukebujie’, artinya ‘Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan’.”
Dewa Ranting Persik berkata,
“Lalu jika ‘Dangranbukebujie’ memiliki murid, lantas diberi gelar apa?”
Linghu Chong melihat Tian
Boguang tampak rikuh. Segera ia pun menggandeng biksu baru itu dan mengajaknya
pergi, sambil berkata, “Ada yang ingin kutanyakan kepadamu.”
“Baik,” jawab Tian Boguang.
Keduanya mempercepat langkah
menjauhi keenam orang tua konyol yang masih berdebat persoalan tidak penting
itu. Sayup-sayup terdengar Dewa Dahan Persik berkata, “Tentu saja namanya Lisuo
Dangran Bukebujie, artinya ‘Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa
Pantangan’.”
Dewa Bunga Persik bertanya,
“Lantas, kalau Lisuo Dangran Bukebujie memiliki murid, diberi gelar apa?”
Dewa Ranting Persik menjawab,
“Bisa memakai nama Lisuo Dangran Bukebujie Zhizhi, artinya ‘Tanpa Membantah
Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan Sudah Pasti’.”
Tian Boguang memulai cerita,
“Ketua Linghu, tempo hari aku datang menemuimu di Puncak Huashan atas perintah
Kakek Guru Bujie. Namun sebenarnya masih banyak kisah di balik itu semua.”
Linghu Chong berkata, “Yang
aku tahu hanyalah dia memaksamu menggunakan racun, juga menipu dirimu telah
menotokmu pada titik mematikan.”
“Benar, itu juga sudah kuceritakan
kepadamu,” ujar Tian Boguang. “Saat aku bertarung melawan si pendek Yu Canghai
di luar Wisma Kumala di Kota Hengshan, aku khawatir para pendekar aliran lurus
akan semakin banyak yang berdatangan. Maka, aku memutuskan untuk meloloskan
diri dari si pendek itu. Perjalananku akhirnya sampai ke Henan. Sebenarnya aku
malu untuk menceritakannya. Saat itu kebiasaan lamaku sedang kambuh. Di Kota
Kaifeng, aku menyelinap ke dalam rumah seorang perempuan muda dari keluarga
kaya. Ketika kusingkap kelambu di kamar tidurnya, dan kuraba ranjangnya,
ternyata yang kurasakan adalah kepala gundul seseorang.”
Linghu Chong tertawa, “Hahaha.
Tentu dia seorang biksuni. Kau takut dengan biksuni, bukan?”
Tian Boguang tersenyum hambar,
“Kau salah. Dia seorang biksu.”
Linghu Chong tertawa semakin
keras dan berkata, “Seorang wanita muda di dalam kamar bersama biksu? Aku sama
sekali tidak pernah membayangkan seorang wanita terhormat memasukkan pria ke
dalam kamarnya, apalagi memasukkan seorang biksu.”
Tian Boguang menggeleng, “Kau
salah lagi. Biksu itu adalah Kakek Guru. Sebenarnya Kakek Guru sedang
memburuku. Beliau akhirnya menemukan jejakku di daerah Kaifeng itu. Beliau
diam-diam melihatku saat mengendap-endap di dekat rumah perempuan itu pada
siang hari. Maka, Beliau pun mendahului pergi untuk memberi tahu keluarganya,
dan mendapat izin bersembunyi di tempat tidur perempuan itu agar bisa
menyergapku.”
Linghu Chong berkata, “Saudara
Tian tentu sangat menderita waktu itu.”
Tian Boguang berkata, “Apa
perlu diceritakan? Ketika aku meraba kepala Kakek Guru waktu itu, aku merasa
ada yang tidak beres. Tiba-tiba perutku terasa sakit karena Beliau telah
menotok titik nadi pentingku. Kakek Guru melompat dari ranjang dan menyalakan
lampu. Beliau bertanya apakah aku memilih hidup atau mati. Aku sadar seumur
hidup banyak melakukan kejahatan, pasti suatu hari akan mendapatkan pembalasan.
Maka, aku pun menjawab, ‘Aku pilih mati.’
Kakek Guru tercengang dan
bertanya, ‘Kenapa kau pilih mati?’
Aku menjawab, ‘Aku kurang
berhati-hati dan tertangkap olehmu. Kenapa aku masih berharap hidup?’
Kakek Guru memandangku hambar
lalu berkata, ‘Kau bilang karena kurang berhati-hati lantas tertangkap olehku?’
Beliau kemudian membuka totokanku sambil berkata, ‘Bagus sekali, bagus sekali!’
Aku duduk dan bertanya, ‘Apa
tujuanmu?’
Beliau berkata, ‘Kau memiliki
sebilah golok di pinggangmu, kenapa tidak kau gunakan untuk menebas tubuhku?
Kau juga punya kaki yang lincah, kenapa tidak segera melompat keluar jendela
untuk melarikan diri?’
Aku menjawab, ‘Aku ini seorang
laki-laki sejati. Mana bisa aku berbuat seperti pengecut?’
Beliau hanya tertawa dan
berkata, ‘Apa kau bukan seorang pengecut? Kau sudah berjanji untuk menjadi
murid putriku, tapi kenapa kau masih mengingkarinya?’
Aku merasa heran dan menegas,
‘Putrimu?’
Beliau berkata, ‘Di loteng
rumah makan di Kota Hengyang, bukankah kau mengadakan perjanjian melawan
seorang murid Perguruan Huashan? Kau berkata jika kalah bertanding melawannya,
maka kau akan menjadi murid putriku, bukan? Aku telah menemui putriku di Gunung
Henshan dan dia telah menceritakan semuanya padaku dari awal sampai akhir.’
Aku pun berkata, ‘Oh, jadi
biksuni kecil itu putrimu? Sungguh aneh, sungguh aneh!’
Beliau bertanya, ‘Apanya yang
aneh?’”
Linghu Chong tertawa,
“Hahahaha, masalah ini memang sangat aneh. Orang lain menjadi biksu setelah
punya anak. Tapi Biksu Bujie punya anak setelah menjadi biksu. Nama gelarnya
berarti Tanpa Pantangan. Ia memang benar-benar tidak peduli pada pantangan.”
Tian Boguang berkata, “Kau
benar. Saat itu aku berkata, ‘Perjanjian itu hanya akal-akalan. Untuk apa aku
menganggapnya sungguhan? Kau benar, aku memang kalah bertaruh. Oleh karena itu
aku tidak akan mengganggu putrimu lagi.’
Beliau berkata, ‘Kau tidak
akan mengganggu putriku? Malah sebaliknya, aku ingin kau menjadi murid putriku.
Kau harus menghormatinya sebagai guru. Aku tidak akan membiarkan seorang pun
melecehkan putriku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mencari dirimu. Kau ini
licin dan berilmu tinggi. Jika tidak memanfaatkan niat jahatmu terhadap
perempuan yang tinggal di sini, tentu akan sulit menangkapmu seperti ini.’
Aku melihatnya sedang lengah,
maka segera kukerahkan Jurus Tiga Langkah Bayangan untuk melarikan diri. Aku
yakin dengan kemampuanku meringankan tubuh, Beliau tentu tidak mampu menangkapku
lagi. Namun ternyata aku mendengar langkah kaki menyusulku di belakang. Aku pun
berteriak, ‘Biksu besar, karena kau tadi tidak membunuhku, maka aku pun tidak
ingin membunuhmu. Tapi jika kau terus memaksa, maka aku pun terpaksa bertindak
lebih kejam.’
Kakek Guru tertawa
terbahak-bahak dan berkata, “Aku ingin lihat bagaimana kau bertindak lebih
kejam terhadapku.”
Aku lantas mencabut golok dan
berbalik menebas ke arahnya. Tak disangka, ilmu silat Kakek Guru sangat tinggi.
Dengan tangan kosong ia mampu melayani jurus-jurusku yang sangat cepat. Aku
tidak bisa menandingi kecepatannya. Bahkan setelah empat puluh jurus, Beliau
dapat menangkap leherku dan membuang golokku jauh-jauh.
Beliau lantas berkata
kepadaku, ‘Apa kau menyerah?’
Aku menjawab, ‘Kau sudah
menang. Silakan bunuh saja!’
Beliau berkata, ‘Untuk apa aku
membunuhmu? Apa itu bisa membuat putriku hidup kembali?’
Aku terkejut dan bertanya,
‘Apakah biksuni cilik telah mati?’
Beliau menjawab, ‘Putriku
belum mati. Tapi kelakuannya seperti orang mati. Sewaktu menemuinya di Gunung
Henshan, ia tampak begitu kurus dan tidak bersemangat. Aku menangis melihat
keadaannya. Dan ia pun menceritakan semua yang telah menimpa dirinya. Ini semua
karena perbuatanmu.’
Aku pun berkata, ‘Jika mau
membunuhku, bunuh saja. Tian Boguang seorang laki-laki jujur dan pantang
berbohong. Aku memang yang pertama kali menangkapnya. Tapi dia kemudian
ditolong oleh murid Perguruan Huashan bernama Linghu Chong. Aku tidak pernah
menjamahnya. Putrimu masih suci bagaikan permata.’
Kakek Guru berkata, ‘Nenekmu,
apa maksudmu dengan mengatakan putriku masih suci? Dia kurus karena sakit
rindu. Jika Linghu Chong tidak menikahinya, maka ia tidak punya semangat hidup
lagi. Ketika aku mengatakan padanya hendak membawa pemuda itu, dia malah
memakiku. Katanya, seorang biksuni tidak pantas menyimpan hasrat duniawi. Jika
tidak, Sang Buddha tidak akan menerima dirinya, dan setelah mati akan
dimasukkan ke dalam neraka.’
Tiba-tiba ia mencekik leherku
dan mengancam, ‘Bocah sial, ini semua karena ulahmu. Jika kau tidak
menculiknya, maka ia tidak akan kenal dengan Linghu Chong. Dengan demikian
putriku tidak akan menjadi kurus.’
Aku berkata, ‘Tidak juga.
Putrimu cantik seperti bidadari. Meskipun aku tidak menculiknya, tetap saja
suatu hari Linghu Chong akan datang untuk melamarnya.’”
Linghu Chong kesal dan
menukas, “Saudara Tian jangan berlebihan!”
Tian Boguang menjawab, “Maaf
jika aku membuatmu tersinggung. Tapi saat itu keadaanku serbasulit. Jika aku
tidak berkata demikian, Kakek Guru tentu tidak akan melepaskanku. Benar juga,
mendengar ucapanku itu Beliau menjadi senang. Beliau pun berkata, ‘Bocah sial,
coba hitung berapa banyak dosa yang kau perbuat selama hidupmu? Andai saja
bukan karena menculik putriku, mungkin sejak dulu aku sudah memenggal
kepalamu.’”
Linghu Chong merasa aneh dan
bertanya, “Kenapa dia malah senang kau menculik putrinya?”
Tian Boguang menjawab, “Dia
bukan senang, dia hanya memuji kosong saja.”
Linghu Chong tidak dapat
menahan senyum. Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru mengangkat tubuhku ke
atas dengan tanan kiri dan memukuli telingaku dengan tangan kanan sebanyak
tujuh belas atau delapan belas kali. Aku sampai pingsan dibuatnya. Beliau lalu
merendam tubuhku dalam selokan. Ketika aku bangun, Beliau berkata, ‘Kuberi kau
kesempatan satu bulan untuk membawa Linghu Chong ke Gunung Henshan menemui
putriku. Meskipun ia tidak menikahi putriku, tapi paling tidak mereka bisa
saling berbicara. Nyawa putriku bisa terselamatkan. Sekarang gurumu sedang
dalam masalah, tapi kenapa kau tidak datang membantu sebagai murid yang baik?’
Beliau kemudian menotok
beberapa titik nadiku, yang menurutnya adalah titik-titik kematian. Kemudian,
aku dipaksa minum racun. Jika dalam sebulan aku bisa membawamu menemui biksuni
cilik, maka Beliau akan memberiku penawarnya. Tapi bila aku gagal, racun itu
akan bekerja dan tidak seorang pun bisa menolongku.”
Linghu Chong mengangguk-angguk
paham. Waktu itu ketika Tian Boguang datang ke puncak Huashan, ia tampak
menyimpan suatu rahasia dan tidak mau berkata terus terang. Tak disangka
ternyata ada banyak kejadian rumit di balik itu semua.
Tian Boguang melanjutkan, “Aku
naik ke Gunung Huashan untuk mengajakmu pergi, namun aku kalah bertanding
melawanmu. Saat itu aku merasa ajalku segera tiba. Tidak kusangka, Kakek Guru
merasa tidak enak hati dan datang menyusul ke Huashan bersama biksuni cilik.
Seperti yang kau tahu, Beliau memberikan obat penawar kepadaku. Aku juga selalu
melaksanakan nasihatmu untuk berhenti memerkosa wanita baik-baik. Dasar sifatku
yang suka main perempuan, maka begitu punya uang aku langsung mencari pelacur.
Ini tidak sulit. Maka, setengah bulan yang lalu, Kakek Guru bisa menemukanku
lagi. Beliau berkata bahwa dirimu telah diangkat sebagai Ketua Perguruan
Henshan, namun banyak mendapat ejekan serta hinaan di dunia persilatan. Nama
baikmu menjadi tercemar. Kakek Guru sangat menyayangi putrinya, menyayangi
calon menantunya pula ….”
Linghu Chong menyela, “Saudara
Tian, jangan bicara omong kosong lagi!”
Tian Boguang menjawab, “Ya,
ya. Aku hanya mengulangi perkataan Kakek Guru. Dia bilang ingin bergabung
dengan Perguruan Henshan dan menyuruhku mengikuti rencananya. Langkah pertama
adalah menerimaku sebagai murid putrinya. Aku menolak sehingga Beliau pun
memukulku. Tentu saja aku bukan tandingannya. Lari juga tidak bisa sehingga mau
tidak mau aku terpaksa mengakui biksuni cilik sebagai guruku, dan Beliau
sebagai kakek guru.” Berbicara sampai di sini wajahnya terlihat muram dan
tertunduk malu.
Linghu Chong berkata, “Kau
hanya perlu menghormat kepada gurumu. Kenapa harus menjadi biksu segala?
Bukankah Biara Shaolin juga memiliki murid dari golongan awam?”
Tian Boguang menggeleng dan
menjawab, “Kakek Guru memiliki pemikiran lain. Beliau berkata, ‘Kau adalah
lelaki bejat. Sekali kau bergabung dengan Perguruan Henshan, tentu bibi-bibi
gurumu berada dalam bahaya. Mereka adalah biksuni-biksuni cantik. Langkah yang
paling tepat adalah memotong akar permasalahannya.’ Beliau kemudian memukulku
sampai jatuh, melepas celanaku, merebut golokku, dan memotong kemaluanku hingga
tinggal setengah.”
“Hah,” seru Linghu Chong
terkejut sampai menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun ia menganggap hal ini
terlalu kejam, namun ia juga sadar bahwa Tian Boguang sendiri sudah terlalu
banyak memerkosa wanita baik-baik. Jadi, anggap saja ia telah mendapatkan karma
yang setimpal.
Tian Boguang juga menggeleng,
lalu melanjutkan, “Aku langsung pingsan dibuatnya. Ketika sadar, Kakek Guru
telah menaburkan obat dan membungkus lukaku. Beliau berkata beberapa hari lagi
lukaku akan sembuh. Beliau kemudian memaksaku menggunduli rambut dan menjadi
biksu, serta berkata, ‘Mulai saat ini kau tidak bisa lagi memerkosa perempuan.
Aku menyuruhmu menjadi bisku dengan gelar Bukebujie supaya semua orang
mengetahuinya, sehingga kehormatan Perguruan Henshan bisa tetap terjaga.
Umumnya, laki-laki tidak sepantasnya bercampur dengan kaum biksuni. Namun untuk
seorang biksu bergelar Bukebujie rasanya tidak ada masalah.’”
Linghu Chong tersenyum
berkata, “Kakek Gurumu memang pintar dan penuh perhitungan.”
Tian Boguang menjawab, “Kakek
Guru berkata, ‘Demi putriku tercinta, kau harus berusaha sekuat tenaga untuk
menyelamatkan nyawanya.’ Beliau lantas menyuruhku menceritakan ini semua
kepadamu. Beliau juga menyuruhku untuk memintamu supaya tidak menyalahkan guruku.”
Merasa bingung, Linghu Chong
bertanya, “Kenapa aku harus menyalahkan Adik Yilin? Ia tidak tahu apa-apa soal
ini.”
Tian Boguang menjawab, “Kakek
Guru berkata, tiap kali melihat guruku, Beliau merasa prihatin. Guru semakin
hari semakin kurus. Jika Kakek Guru bertanya, guruku langsung meneteskan air
mata dan tidak menjawab apa-apa. Kakek Guru berkata, ‘Ini semua gara-gara dia
yang telah memarahi putriku.’”
Linghu Chong tersentak dan
menjawab, “Bukan aku! Aku tidak pernah memarahi Adik Yilin. Ia sangat baik
hati, bagaimana aku tega memakinya?’”
Tian Boguang bertanya, “Kalau
kau memang tidak pernah memakinya, lalu kenapa ia menangis?”
“Aku tidak tahu,” jawab Linghu
Chong.
“Kakek Guru juga memukulku
saat menanyai diriku soal ini,” kata Tian Boguang.
Linghu Chong menggaruk kepala
memikirkan ucapan Biksu Bujie yang kusut seperti obrolan Enam Dewa Lembah
Persik.
Tian Boguang berkata, “Menurut
Kakek Guru, setelah Beliau menikah dengan Nenek Guru, sepanjang waktu mereka
selalu bertengkar. Namun caci maki mereka justru memupuk rasa cinta di antara
keduanya. Kau tidak pernah memaki guruku, itu berarti kau tidak akan menikah
dengannya.”
“Ini … gurumu seorang biksuni.
Aku tidak pernah memikirkan soal itu,” kata Linghu Chong bingung.
“Aku juga bilang begitu, tapi
Kakek Guru marah dan kembali memukulku beberapa kali. Beliau berkata, nenek
guruku semula juga seorang biksuni, dan ketika Beliau ingin menikahinya, Beliau
pun menjadi biksu. Jika seorang biksuni dan biksu tidak boleh menikah,
bagaimana guruku bisa lahir ke dunia ini? Dan jika guruku tidak ada, lantas
bagaimana aku bisa berada di dunia ini?” sambung Tian Boguang.
Linghu Chong tertawa mendengar
ucapan Tian Boguang yang aneh itu. Padahal, sudah jelas-jelas Tian Boguang jauh
lebih tua daripada Yilin, tapi mengapa harus mencampuradukkan silsilah seperti
itu.
Tian Boguang melanjutkan,
“Kakek Guru berkata, jika kau tidak menikahi guruku, lalu untuk apa kau menjadi
Ketua Perguruan Henshan? Murid-murid Perguruan Henshan sebanyak itu tak seorang
pun yang bisa menandingi kecantikan guruku. Jika kau tidak menikahi guruku,
lantas biksuni mana yang akan kau nikahi?”
Diam-diam Linghu Chong merasa
kasihan dan tidak menanggapi urusan ini lebih jauh. Ia berpikir, “Awal mula
Biksu Bujie menjadi biksu adalah agar bisa menikahi seorang biksuni. Ia lantas
berpikir semua laki-laki juga berpikiran sama seperti dirinya. Kalau sampai hal
ini tersebar ke luar bisa menjadi masalah besar.”
Tian Boguang tersenyum kecut
dan melanjutkan, “Kakek Guru bertanya padaku, apakah guruku wanita paling
cantik di dunia. Aku pun menjawab, ‘Tentu saja. Meskipun Guru bukan wanita
paling cantik, tapi ia adalah wanita yang sangat cantik.’ Kakek Guru marah
mendengarnya dan memukulku lagi sampai dua gigiku lepas. Beliau berkata,
‘Kenapa putriku bukan wanita paling cantik? Kalau dia memang bukan wanita
paling cantik, kenapa kau dulu menculiknya? Kenapa Linghu Chong mati-matian
menolongnya?’ Aku pun menjawab, ‘Tentu saja … tentu saja Guru adalah wanita
paling cantik di dunia.’ Mendengar itu Guru menjadi senang dan memuji ketajaman
penglihatanku.”
Linghu Chong tersenyum. “Adik
Yilin memang cantik jelita. Sudah sepantasnya Biksu Bujie sangat bangga
kepadanya.”
Tian Boguang berkata gembira,
“Jadi kau setuju kalau guruku cantik? Bagus kalau begitu.”
Linghu Chong terkejut. “Bagus
apa maksudmu?”
Tian Boguang menjawab, “Kakek
Guru menyuruhku memanggilmu … memanggilmu ….”
“Memanggilku apa?” sahut
Linghu Chong penasaran.
Tian Boguang tersenyum.
“Memanggilmu Bapak Guru.”
Linghu Chong merasa heran. Ia
berkata, “Saudara Tian, Biksu Bujie memang sangat menyayangi putrinya. Tapi kau
seharusnya paham hal ini mustahil terlaksana.”
“Memang benar,” jawab Tian
Boguang. “Aku menyampaikan kepada Kakek Guru bahwa hal ini sangat berat dan
tidak mungkin terjadi. Aku katakan kepada Beliau bahwa kau telah memimpin
ribuan orang persilatan demi menyelamatkan Nona Besar Ren dari Sekte Matahari
dan Bulan. Aku juga berkata, ‘Meskipun kecantikan Nona Besar Ren tidak melebihi
guruku, tapi Pendekar Linghu sudah ditakdirkan berjodoh dengannya. Ia
tergila-gila kepada Gadis Suci, dan orang lain tidak ada yang berani mencampuri
urusannya.’ Waktu itu aku terpaksa berkata demikian. Aku takut tangannya
kembali merontokkan gigiku. Tolong kau jangan tersinggung.”
Linghu Chong tersenyum dan berkata,
“Tentu saja aku mengerti.”
Tian Boguang melanjutkan,
“Kakek Guru berkata bahwa Beliau juga sudah mendengar hal ini. Menurut Beliau,
masalahnya cukup sederhana, yaitu bagaimana memikirkan cara untuk membunuh Nona
Besar Ren, itu saja. Aku langsung melarangnya karena jika Nona Besar Ren
terbunuh, maka Linghu Chong pasti akan bunuh diri. Kakek Guru berkata, ‘Apa
yang kau katakan benar juga. Jika si bocah Linghu Chong mati, maka putriku akan
menjadi janda, ini sama saja dengan nasib buruk. Bagaimana ini? Ah, begini
saja, katakan kepada Linghu Chong supaya tetap menikahi putriku dan
menjadikannya istri kedua. Ini tentu lebih baik.’
Aku berkata, ‘Kakek Guru,
bagaimana kau tega memperlakukan putrimu sendiri seperti itu?’
Beliau menghela napas dan
menjawab, ‘Kau tidak tahu rupanya. Jika putriku tidak bisa menikah dengan
Linghu Chong, cepat atau lambat ia tidak akan berumur panjang.’
Berkata demikian, Beliau
lantas meneteskan air mata. Aih, mereka ayah dan anak sungguh orang-orang yang
polos. Sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaan.”
Linghu Chong dan Tian Boguang
saling pandang dan masing-masing merasa rikuh. Tian Boguang berkata, “Pendekar
Linghu, aku telah mengatakan kepadamu semua hal yang dipesankan Kakek Guru. Aku
tahu beberapa di antaranya sulit untuk dilakukan, bahkan terkesan tabu,
terutama sejak kau menjadi Ketua Perguruan Henshan. Tapi aku menyarankan
kepadamu supaya sudi berbicara lebih banyak dengan guruku. Buat dia bahagia.”
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Baiklah.”
Yilin memang terlihat semakin
kurus dari hari ke hari. Ternyata baru sekarang ia tahu kalau itu semua
disebabkan karena cinta tak terbalas. Perasaan biksuni muda itu begitu dalam
kepadanya, mengapa ia tidak menyadarinya? Namun, Yilin seorang biksuni dan juga
masih sangat belia. Linghu Chong berharap perasaan tersebut akan berkurang
seiring berjalannya waktu dan akhirnya musnah. Sejak bertemu di Pegunungan
Xianxia, mulai dari Fujian sampai Jiangxi, sama sekali mereka belum pernah
bicara berdua. Selama berada di Perguruan Henshan, Linghu Chong selalu
menghindari Yilin supaya tidak menimbulkan kecurigaan di antara murid-murid
yang lain. Memang, ia tidak peduli dengan nama baiknya sendiri yang sudah
tercemar, namun bagaimanapun juga nama baik Perguruan Henshan harus tetap diutamakan.
Bahkan, ketika mengajarkan jurus pedang kepada para murid, ia sama sekali tidak
pernah mengajak Yilin bicara. Kini apa yang disampaikan Tian Boguang
benar-benar membuat hatinya terkejut.
Linghu Chong melamun memandang
ke atas puncak gunung yang diselimuti salju putih. Tiba-tiba terdengar suara
ramai rombongan banyak orang berjalan menuju ke atas. Hal ini sungguh aneh
karena puncak tersebut biasanya tenang dan sunyi, selamanya tidak pernah
terdengar suara ribut demikian. Ia merasa heran mengapa tiba-tiba datang
ratusan orang menuju ke sana.
Tidak lama kemudian terdengar
suara orang yang paling depan berteriak, “Terimalah ucapan selamat dari kami,
Tuan Muda Linghu! Hari ini adalah hari bahagiamu!” Orang itu berbadan pendek
juga gemuk, siapa lagi kalau bukan Lao Touzi. Di belakangnya tampak pula Ji
Wushi, Zu Qianqiu, Huang Boliu, Sima Da, Lan Fenghuang, You Xun, Sepasang
Beruang Gurun Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Sama sekali Linghu Chong
tidak menduga kalau mereka semua akan datang.
Linghu Chong terkejut
bercampur senang. Segera ia melangkah maju sambil berkata, “Aku menerima wasiat
terakhir Biksuni Dingxian dan terpaksa mengetuai Perguruan Henshan. Sungguh,
aku tidak berani merepotkan kawan-kawan semua. Mengapa kalian malah datang ke
sini?”
Lao Touzi dan rombongannya ini
pernah mengikuti Linghu Chong menyerang Biara Shaolin. Setelah mengalami
pertempuran hidup dan mati di biara megah tersebut, kini di antara mereka sudah
terjalin persahabatan yang kekal. Mereka lantas beramai-ramai melangkah maju
dan mengerumuni Linghu Chong sambil mengelu-elukan pemuda itu dalam suasana
akrab.
“Semua orang gembira mendengar
Tuan Muda Linghu telah berhasil menyelamatkan Gadis Suci,” ujar Lao Touzi.
“Tentang Tuan Muda akan menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan, hal ini sudah
tersiar di dunia persilatan. Maka itu, jika kami tidak datang ke sini untuk
mengucapkan selamat kepadamu, rasanya kami pantas mati.” Orang-orang ini memang
lugas dan suka berterus terang. Sekejap kemudian terdengar suara gelak tawa di
dalam rombongan besar itu.
Sejak tiba di Gunung Henshan,
setiap hari Linghu Chong hanya bersama para biksuni dan perempuan-perempuan
muda, sehingga ia tidak berani mengumbar kata-kata kasar di hadapan mereka.
Kini, tiba-tiba saja datang sekian banyak kawan mengerumuninya, sudah pasti hal
ini membuat hatinya sangat senang. Terdengar Huang Boliu berkata, “Kami adalah
tamu-tamu tak diundang, maka Perguruan Henshan tidak perlu bersusah payah
menyediakan hidangan bagi orang-orang kasar seperti kami ini. Untuk urusan
makanan dan arak, kami telah membawa sendiri. Sebentar lagi juga datang.”
“Wah, bagus sekali!” seru
Linghu Chong gembira. Ia berpikir suasana demikian ini mirip sekali dengan
pertemuan besar di Lembah Lima Tiran dahulu. Tak lama kemudian kembali beberapa
ratus orang datang membanjir ke atas gunung.
“Tuan Muda Linghu, kita ini
seperti keluarga, maka murid-murid perguruanmu yang lembut itu tidak perlu
melayani orang-orang kasar seperti kami,” kata Ji Wushi sambil tersenyum.
“Biarlah kita pakai acara bebas saja. Kami akan melayani diri kami sendiri.”
Suasana di puncak gunung
tersebut seketika menjadi ramai. Pihak Perguruan Henshan sangat terkejut karena
tidak menduga akan kedatangan sekian banyak tamu yang bermaksud memberi
selamat. Murid-murid yang berpengalaman ternyata mengenal orang-orang yang baru
datang itu. Meskipun orang-orang itu banyak yang dikenal sebagai pendekar
ternama, namun mereka berasal dari golongan hitam. Sebagian dari orang-orang
itu berasal dari kaum penjahat pula. Tata tertib Perguruan Henshan mengharuskan
murid-muridnya untuk menjaga kehormatan. Mereka jarang berhubungan dengan
sesama aliran lurus, apalagi bergaul dengan aliran sesat. Tak disangka,
orang-orang itu justru datang ke Puncak Henshan untuk memberi selamat,
sedangkan Linghu Chong menyambut mereka dengan sangat ramah. Melihat itu mau
tidak mau para murid merasa rikuh sendiri.
Siang harinya, muncul beberapa
laki-laki membawa ayam, itik, kambing, kerbau, sayur-mayur, beras, dan juga
arak. Rupanya ini adalah rombongan pembawa bekal seperti yang dikatakan Huang
Boliu tadi. Linghu Chong berpikir, “Puncak Henshan ini adalah tempat keramat
untuk memuja Dewi Guanyin. Aku adalah ketua di sini, tapi lantas menyembelih
dan menyantap daging kambing atau kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak
enak terhadap leluhur Perguruan Henshan.” Segera ia pun memerintahkan rombongan
tukang masak itu memindah dapur mereka ke sisi gunung yang agak jauh. Meskipun
demikian, tetap saja asap dan bau daging tercium juga ke puncak membuat para
biksuni saling pandang sambil mengerutkan kening.
Setelah makan siang, para tamu
duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Linghu Chong sendiri duduk di
ujung barat sementara para murid Perguruan Henshan berdiri di belakangnya
menurut tingkatan masing-masing. Suasana hening menunggu datangnya waktu baik
yang telah ditentukan.
Tiba-tiba terdengar suara
beberapa orang meniup seruling semakin dekat dan semakin dekat. Tampak dua
orang tua berjubah hitam muncul diiringi banyak pengikut. Para tamu terkejut
dan beberapa ada yang berseru heran melihat kedatangan orang-orang itu. Banyak
di antara mereka yang langsung berdiri dengan sikap hormat.
Salah satu orang tua berjubah
hitam yang memimpin rombongan itu berseru, “Ketua Dongfang dari Sekte Matahari
dan Bulan mengutus kami berdua, Jia Bu dan Shangguan Yun, untuk memberi selamat
kepada Pendekar Linghu yang hari ini dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan.
Semoga Perguruan Henshan berkembang lebih jaya dan berwibawa, serta nama besar
Pendekar Linghu lebih gemilang di dunia persilatan.”
Mendengar ucapan tersebut,
para hadirin kembali terkejut dan suasana menjadi gempar. Bagaimanapun juga,
hampir setengah dari para pendekar yang hadir di situ memiliki hubungan dengan
Sekte Iblis, dan banyak pula di antara mereka telah menelan Tiga Pil Penghancur
Otak pemberian Dongfang Bubai. Maka begitu mendengar nama “Ketua Dongfang”
disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.
Mungkin saja para hadirin
tidak mengenal kedua utusan Dongfang Bubai itu, namun nama besar mereka berdua
sudah lama mereka dengar. Yang berdiri di sebelah kiri, yaitu yang berbicara
tadi, bernama Jia Bu, bergelar Si Orang Agung Muka Kuning. Sementara yang
berdiri di sebelah kanan bernama Shangguan Yun, bergelar Si Pendekar Elang.
Ilmu silat mereka terkenal jauh lebih tinggi di atas rata-rata tokoh-tokoh
persilatan sebangsa ketua partai, misalnya Huang Boliu dan Sima Da, namun jasa
dan kesaktian mereka di dalam Sekte Matahari dan Bulan pada awalnya tidak
terlalu istimewa. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak anggota
sepuh yang dipecat dan mengundurkan diri, misalnya Xiang Wentian, sehingga
kedudukan mereka pun mengalami kenaikan pesat. Bisa dikatakan, Jia Bu dan
Shangguan Yun adalah tokoh papan atas di dalam Sekte Matahari dan Bulan saat
ini. Jika mereka dikirim untuk mengucapkan selamat ke Perguruan Henshan, itu
berarti Dongfang Bubai sangat menghargai kedudukan Linghu Chong.
Linghu Chong lantas melangkah
ke depan dan berkata, “Selama ini saya dan Ketua Dongfang tidak saling kenal.
Maka itu, saya tidak berani menerima penghormatan dari Tuan-Tuan berdua.”
Dilihatnya wajah Jia Bu kurus dan kuning seperti lilin, dengan tulang pelipis
yang menonjol. Di sisi lain Shangguan Yun memiliki lengan dan kaki yang
panjang, serta penuh percaya diri. Matanya tampak tajam berkilat-kilat bagaikan
elang. Linghu Chong dapat merasakan kedua utusan Dongfang Bubai ini pasti
memiliki tenaga dalam yang sangat bagus.
Jia Bu lantas berkata, “Hari
ini adalah hari bahagia Pendekar Linghu. Sebenarnya Ketua Dongfang bermaksud datang
sendiri untuk memberikan selamat secara pribadi. Namun Beliau sedang sibuk
menangani bermacam-macam pekerjaan sehingga sukar berada di dua tempat dalam
waktu sekaligus. Untuk ini, mohon Pendekar Linghu bisa memaklumi.”
“Ah, mana berani aku berpikir macam-macam?”
sahut Linghu Chong. Mendengar ucapan dan sikap kedua utusan tersebut, ia
berpikir saat ini tentu Ren Woxing belum berhasil merebut kedudukannya kembali.
Ia berharap Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian dalam keadaan baik-baik
saja.
Sementara itu Jia Bu tampak
memiringkan tubuhnya dan menggerakkan tangan kiri ke belakang sambil berkata,
“Sedikit oleh-oleh ini adalah pemberian Ketua Dongfang. Mohon Ketua Linghu sudi
menerimanya.”
Tidak lama kemudian terlihat
ratusan orang menggotong empat puluh peti berukuran besar ke depan. Setiap peti
digotong oleh empat laki-laki kekar. Melihat para penggotong itu melangkah
dengan berat, dapat dibayangkan isi peti tersebut tentu tidaklah ringan.
Dengan cepat Linghu Chong
menolak, “Linghu Chong sudah mendapat suatu kehormatan besar atas kunjungan
Tuan-Tuan berdua yang mulia. Saya tidak berani menerima hadiah-hadiah ini.
Harap disampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa saya mengucapkan banyak terima
kasih. Lagipula, murid-murid Perguruan Henshan hidup sederhana sehingga tidak
terbiasa dengan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”
“Jika Ketua Linghu tidak sudi
menerima, maka saya dan Saudara Shangguan berada dalam masalah besar,” ujar Jia
Bu. Ia lalu berpaling kepada Shangguan Yun dan berkata, “Betul tidak
perkataanku, Saudara Shangguan?”
“Betul sekali!” jawab
Shangguan Yun mantap.
Linghu Chong menjadi
serbasalah menghadapi persoalan ini. Dalam hati ia berpikir, “Perguruan Henshan
adalah aliran lurus yang tidak bisa hidup berdampingan dengan aliran sesat.
Apalagi Ketua Ren dan Yingying hendak menyerbu dan membuat perhitungan dengan
Dongfang Bubai. Jadi, mana boleh aku menerima sumbangan mereka?” Maka ia lantas
berkata, “Saudara Jia harap menyampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa hadiahnya
ini sama sekali saya tidak berani menerima. Bila kalian tidak mau membawa
pulang barang-barang ini, terpaksa saya menyuruh orang untuk mengantar semuanya
ke markas besar agama Saudara yang mulia.”
Jia Bu tersenyum menjawab,
“Apakah Ketua Linghu mengetahui apa isi keempat puluh peti besar ini?”
“Sudah tentu tidak tahu,”
sahut Linghu Chong.
“Bila Ketua Linghu sudah
melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Jia Bu dengan tertawa.
“Sesungguhnya isi keempat puluh peti itu juga tidak seluruhnya sumbangan Ketua
Dongfang. Justru sebagian adalah milik Ketua Linghu sendiri. Bisa dikatakan
kami ini datang untuk mengembalikan barang kepada pemiliknya.”
Linghu Chong menjadi heran.
“Apa maksudmu? Kenapa kau bilang barang-barang milikku? Barang apakah itu?”
Jia Bu maju selangkah dan
berkata lirih, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian, perhiasan, dan
barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Nona Besar Ren di Tebing
Kayu Hitam. Ketua Dongfang menyuruh kami mengantarkannya ke sini agar bisa
dipakai oleh Nona Besar Ren. Sebagian lagi di antaranya adalah hadiah Ketua
Dongfang kepada Ketua Linghu dan Nona Besar Ren. Ini sama sekali tidak ada
maksud jahat dari kami, oleh sebab itu harap Ketua Linghu jangan segan-segan
lagi untuk menerimanya. Hahaha!”
Watak Linghu Chong pada
dasarnya terbuka dan tidak suka banyak pikiran. Melihat maksud sumbangan
Dongfang Bubai itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang
tersebut adalah milik Ren Yingying, maka ia pun tidak menolak lagi. Sambil
bergelak tawa ia berkata, “Hahaha, baiklah. Dalam hal ini aku menerima hadiah
dari Ketua Dongfang. Terima kasih banyak.”
Pada saat itulah seorang murid
perempuan datang mendekat dan melapor, “Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang
datang sendiri untuk memberi selamat.”
Linghu Chong terkejut dan
segera berjalan keluar biara untuk menyambut. Dilihatnya Pendeta Chongxu datang
bersama delapan muridnya. Linghu Chong membungkuk untuk memberi hormat lalu
menyapa, “Atas kunjungan Pendeta, Linghu Chong merasa sangat berterima kasih.”
“Adik Linghu diangkat sebagai
Ketua Perguruan Henshan, berita ini sungguh membuat hatiku gembira,” ujar
Pendeta Chongxu. “Kabarnya Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng juga akan
datang dari Biara Shaolin untuk memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba
atau belum?”
Mendengar itu Linghu Chong
bertambah heran dan terkejut. Ia hanya bisa berkata, “Wah, ini … ini ….”
Pada saat itulah di jalan
pegunungan tampak muncul serombongan biksu. Dua orang yang paling depan jelas
Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng.
“Pendeta Chongxu, langkahmu
sungguh cepat sehingga mendahului rombongan kami,” seru Fangzheng dari jauh.
Linghu Chong segera bergegas
menuruni jalan untuk menyongsong ke depan kemudian berseru, “Kedua Biksu Agung
datang secara pribadi ke sini, sungguh Linghu Chong merasa tidak pantas
menerima kehormatan besar ini.”
Dengan tertawa Biksu Fangsheng
menjawab, “Pendekar Linghu, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Biara
Shaolin, sementara kami baru berkunjung sekali ini ke Gunung Henshan. Anggap
saja ini hanya sekadar kunjungan balasan saja.”
Linghu Chong lantas mengajak
rombongan dari Biara Shaolin dan Perguruan Wudang itu naik ke atas. Melihat
ketua-ketua dari dua perguruan nomor satu di dunia persilatan datang secara
pribadi, hal ini sungguh membuat para hadirin terperanjat. Tidak ada lagi di
antara mereka yang berani banyak bicara. Murid-murid Henshan saling berpikir
dalam hati masing-masing, “Kakak Ketua sungguh memiliki nama besar di dunia
persilatan.”
Sementara itu Jia Bu dan
Shangguan Yun saling pandang seolah tidak percaya kalau Mahabiksu Fangzheng dan
Pendeta Chongxu datang secara langsung untuk memberi selamat kepada Linghu
Chong.
Linghu Chong kemudian
mempersilakan Fangzheng dan Chongxu duduk di kursi kehormatan. Dalam hati ia
berpikir, “Dulu sewaktu Guru dilantik sebagai Ketua Perguruan Huashan, pihak
Shaolin dan Wudang hanya mengirim perwakilan untuk mengucapkan selamat.
Meskipun waktu itu aku masih kecil dan tidak mengenali para tamu yang datang,
namun aku tidak pernah lupa siapa saja para hadirin yang diceritakan oleh Guru
dan Ibu Guru. Tapi sekarang ketua-ketua dari kedua perguruan terbesar di dunia
persilatan ini sudi berkunjung ke sini. Apakah mereka benar-benar datang
memberi selamat ataukah masih ada maksud lainnya?”
Sementara itu tamu-tamu yang
berdatangan seolah tidak ada habis-habisnya. Kebanyakan dari mereka adalah
jago-jago persilatan aliran sesat yang pernah ikut menggempur Biara Shaolin
tempo hari. Menyusul kemudian utusan-utusan dari Perguruan Kunlun, Diancang,
Emei, Kongtong, Partai Pengemis, dan lain-lain juga tiba dengan membawa
sejumlah hadiah dan kartu ucapan selamat dari ketua masing-masing. Melihat itu
Linghu Chong berpikir, “Mereka sudi datang ke sini tentu karena nama besar
Perguruan Henshan dan Biksuni Dingxian. Sama sekali bukan karena aku. Tapi, di
antara sekian banyak orang ini, kenapa tidak ada utusan dari Perguruan
Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan?”
Kemudian terdengar suara
petasan ramai, pertanda sudah tiba waktunya upacara pelantikan dimulai. Linghu
Chong bangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan kata
pengantar, “Ketua Perguruan Henshan terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian telah
dicelakai orang secara licik. Bersama Biksuni Dingyi, Beliau berdua akhirnya
meninggal dunia. Si bocah Linghu Chong telah menerima wasiat terakhir dari
Beliau supaya melanjutkan kepemimpinan di Perguruan Henshan. Kami selaku tuan
rumah berterima kasih atas kunjungan dan doa restu dari para hadirin sekalian.”
Di tengah suara tetabuhan alat
musik, murid-murid Perguruan Henshan mulai berbaris ke tengah pelataran dengan
dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Yihe, Yiqing, Yizhen, dan Yizhi.
Mereka berempat menghadap Linghu Chong dan memberi hormat. Linghu Chong
menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk membalas penghormatan.
Yihe berkata, “Keempat alat
keagamaan ini adalah pusaka peninggalan Biksuni Xiaofeng, leluhur pendiri
Perguruan Henshan. Benda-benda ini diwariskan turun-temurun kepada ketua baru
yang dilantik. Oleh karena itu, Kakak Linghu diharap sudi menerimanya.”
“Baik,” jawab Linghu Chong.
Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka bawa
masing-masing, yaitu sejilid kitab, sebuah kentungan kayu kecil, seuntai
tasbih, dan sebatang pedang pendek. Agak rikuh juga Linghu Chong menerima
kentungan kecil dan tasbih segala, karena dirinya tidak pernah bersembahyang
dan membaca kitab. Terpaksa ia pun menerima benda-benda itu sambil menunduk
tanpa berani menatap ke arah hadirin.
Yiqing lalu membuka sebuah
kitab dan berseru, “Perguruan Henshan memiliki lima pantangan. Yang pertama,
dilarang melawan atasan atau saudara yang lebih tua. Yang kedua, dilarang
menyakiti sesama anggota perguruan. Yang ketiga, dilarang membunuh orang yang
tidak berdosa. Keempat, selalu menjaga kehormatan diri. Kelima, dilarang
bergaul dengan golongan sesat dan kaum penjahat. Untuk ini hendaklah Kakak
Ketua memberi teladan dan memimpin para murid dengan bijaksana.”
“Baik,” jawab Linghu Chong.
Namun dalam hati ia berpikir pantangan keempat dan kelima jelas sukar untuk
dijalankan. Bagaimana tidak, selama ini ia suka berbuat ugal-ugalan, dan yang
lebih merepotkan lagi, para tamu yang hadir saat ini saja sebagian besar
berasal dari golongan sesat dan kaum penjahat.
Kemudian Yizhen berkata,
“Sekarang silakan Kakak Ketua memulai bersembahyang menghormati arwah para
leluhur Perguruan Henshan kita.”
Belum sempat Linghu Chong
melangkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak, “Ketua Zuo dari
Serikat Pedang Lima Gunung menyampaikan perintah: Linghu Chong tidak boleh
menyerobot kedudukan sebagai Ketua Perguruan Henshan.”
Di tengah-tengah teriakan itu,
muncul lima orang melesat ke atas, sementara di belakang mereka menyusul
rombongan berisi puluhan orang. Kelima orang yang berlari paling depan itu
masing-masing membawa sebuah panji sulaman, yang tidak lain adalah Panji
Pancawarna lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Kira-kira beberapa
meter di depan Linghu Chong dan para hadirin, kelima orang itu lantas berdiri
berjajar. Yang berdiri paling tengah seorang berkepala gundul licin, berusia
lima puluhan tahun dan bertubuh tinggi besar. Linghu Chong mengenali orang itu
yang tidak lain adalah Ding Mian, salah seorang tokoh terkemuka Perguruan
Songshan yang berjuluk Si Tapak Penahan Menara. Ia merupakan adik seperguruan
Zuo Lengchan nomor dua yang dulu pernah dilihat Linghu Chong saat peristiwa
menghadapi Kelompok Pedang Cabang Perguruan Huashan di halaman Kuil Dewa Obat.
Linghu Chong pun menyapa,
“Sesepuh Ding, bagaimana kabarmu?”
Ding Mian mengibaskan panji
yang dipegangnya, lalu berkata, “Perguruan Henshan adalah anggota Serikat
Pedang Lima Gunung, maka harus tunduk kepada perintah Ketua Zuo.”
Linghu Chong tersenyum
menjawab, “Apakah Sesepuh Ding telah lupa bahwa tempo hari di Lembah Tempa Pedang
di Longquan orang-orang Perguruan Henshan kami telah diserang oleh orang-orang
Perguruan Songshan yang menyamar sebagai anggota Sekte Matahari dan Bulan?
Peristiwa itu telah menewaskan tidak sedikit kakak dan adik kami, sehingga
Biksuni Dingxian menyatakan untuk tidak lagi tunduk kepada perintah Ketua Zuo.
Apakah saudara-saudara bermarga Zhao, Zhang, dan Sima tidak melaporkan hal ini
kepada Ketua Zuo? Linghu Chong menerima wasiat terakhir Biksuni Dingxian untuk
menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan. Maka untuk selanjutnya, Perguruan
Henshan kami tidak akan tunduk lagi kepada Serikat Pedang Lima Gunung.”
Sementara itu, rombongan
beberapa puluh orang yang berjalan di belakang tadi telah tiba pula. Ternyata
mereka adalah murid-murid dari Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan
Taishan. Yang menjadi perwakilan Perguruan Huashan adalah delapan orang adik
seperguruan Linghu Chong. Mereka semua berbaris menjadi empat kelompok sesuai
perguruan masing-masing dalam keadaan siap siaga menggenggam gagang pedang
tanpa bersuara sedikit pun.
Ding Mian lantas berkata,
“Selama ini Perguruan Henshan dipimpin kaum biksuni. Linghu Chong seorang
laki-laki, mana boleh melanggar peraturan Perguruan Henshan yang sudah
turun-temurun selama ratusan tahun?”
“Peraturan dibuat oleh manusia
dan dapat diubah pula oleh manusia,” jawab Linghu Chong. “Lagipula ini adalah
urusan rumah tangga Perguruan Henshan kami, orang luar tidak perlu ikut
campur.”
Serentak terdengar caci maki
Lao Touzi dan kawan-kawannya, “Huh, ini urusan Perguruan Henshan, apa
hubungannya dengan Perguruan Songshan kalian?”
“Nenekmu! Cepat kalian enyah
sana!”
“Huh, ketua serikat apa pula?
Ketua serikat kentut anjing tak tahu malu!”
Tempo hari ketika Liu
Zhengfeng dari Perguruan Hengshan hendak mengadakan Upacara Cuci Tangan Baskom
Emas dan mengudurkan diri dari dunia persilatan, Zuo Lengchan telah mengirim
Ding Mian, Lu Bai, dan Fei Bin yang memimpin para murid Perguruan Songshan
untuk menghentikannya. Karena persiapan mereka telah matang dan berhati-hati, para
hadirin termasuk pimpinan Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan dibuat tak
berdaya untuk mencegah mereka. Akhirnya dalam peristiwa itu, Liu Zhengfeng
tidak dapat melanjutkan upacara, bahkan harus kehilangan anak istri, serta
murid-muridnya. Biksuni Dingyi yang bermaksud melerai juga ikut terluka oleh
pukulan Ding Mian, sehingga memilih untuk pulang meninggalkan pertemuan. Kali
ini apa yang dilakukan Perguruan Songshan di Gunung Henshan sama persis dengan
yang dilakukan terhadap Liu Zhengfeng. Bahkan, kedatangan mereka juga disertai
perwakilan dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan, sehingga bisa
dikatakan, kekuatan mereka dalam mengganggu upacara pelantikan Linghu Chong
jauh lebih besar daripada saat menghentikan upacara Liu Zhengfeng.
Melihat itu, mau tidak mau
jantung Yihe, Yiqing, dan para murid Perguruan Henshan lainnya berdebar-debar.
Namun demi melihat para tamu yang hadir untuk memberikan selamat kepada Linghu
Chong sangat banyak, ditambah lagi dengan kehadiran Kepala Biara Shaolin dan Ketua
Perguruan Wudang, tentu membuat perasaan mereka menjadi agak tenang. Sepertinya
niat Perguruan Songshan untuk menggagalkan pelantikan Linghu Chong akan sulit
terlaksana. Melihat para hadirin yang terdiri dari orang-orang kasar itu berani
memaki orang-orang Perguruan Songshan, membuat para biksuni merasa hal ini
sangat bermanfaat bagi Perguruan Henshan.
Ding Mian berkata kepada
Linghu Chong, “Apa yang dikerjakan orang-orang bermulut kotor ini di sini?”
“Mereka adalah kawan-kawanku
yang hadir menyaksikan upacara,” jawab Linghu Chong.
“Nah, itu dia,” kata Ding
Mian. “Coba katakan padaku, apa bunyi peraturan nomor lima Perguruan Henshan
kalian?”
Merasa terus-menerus didesak,
Linghu Chong terpaksa melayani Ding Mian berdebat. “Peraturan kelima adalah
dilarang bergaul dengan golongan hitam. Maka itu, Linghu Chong tidak sudi
bergaul dengan manusia semacam Saudara Ding dan murid-murid Perguruan Songshan
ini.”
Maka terdengarlah suara
gemuruh tawa banyak orang. Di antara mereka ada yang berteriak-teriak, “Nah,
lekas kalian enyah dari sini, manusia jahat!”
Ding Mian saling pandang
dengan keempat rekannya. Para hadirin yang mendukung Linghu Chong terlalu
banyak. Jika sampai terjadi pertempuran tentu pihaknya dalam keadaan bahaya. Ia
berpikir, “Kali ini Kakak Zuo salah perhitungan. Kakak Zuo mengira di Gunung
Henshan hanya ada murid-murid perempuan yang mendampingi Linghu Chong saat
dilantik. Meskipun ilmu silat Linghu Chong sangat tinggi, namun ia tidak
mungkin menang melawan kami semua. Begitu dia sedang tidak memegang pedang,
maka kami bisa mengepung dan mencabut nyawanya. Tak disangka, ternyata tamu
yang datang memberikan selamat kepadanya berjumlah sebanyak ini. Bahkan Kepala
Biara Shaolin dan Ketua Perguruan Wudang juga datang. Hm, jika sampai terjadi
pertempuran, tentu ini sangat berbahaya.”
Maka, ia pun berpaling kepada
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lalu berkata, “Sesepuh berdua adalah
tokoh-tokoh yang diagungkan di dunia persilatan. Kami mohon untuk diberi
penilaian yang adil. Dengan mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah
Linghu Chong sudah melanggar peraturan kelima Perguruan Henshan, yaitu larangan
bergaul dengan kaum penjahat? Tampaknya Perguruan Henshan yang punya nama baik
selama beratus-ratus tahun hari ini akan runtuh begitu saja. Apakah Ketua
berdua hanya berpeluk tangan?”
Mahabiksu Fangzheng menjawab,
“Tentang hal ini … ini ….” Ia merasa ucapan Ding Mian memang ada benarnya.
Sebagian besar tamu yang hadir ini memang berasal dari golongan hitam, tapi
mana mungkin meminta Linghu Chong mengusir orang-orang sebanyak itu?
Tiba-tiba dari arah jalanan
berkumandang suara seorang perempuan, “Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan
Bulan tiba!”
Linghu Chong terkejut
bercampur gembira begitu mendengarnya. Tanpa bisa ditahan lagi, mulutnya
berseru, “Hei, Yingying juga datang!” Segera ia menyongsong ke ujung jalan.
Dilihatnya dua lelaki kekar mengusung sebuah joli sedang mendaki ke atas.
Langkah mereka cepat bagaikan terbang. Di belakang joli tampak empat orang
dayang berbaju hijau melangkah tidak kalah cepat pula.
Begitu mendengar kedatangan
Ren Yingying, sebagian besar para hadirin juga ikut menyongsong ke jalan sambil
bersorak ramai. Tampak sebuah joli kecil telah tiba di tengah pelataran dan
diturunkan ke tanah. Saat tirai dibuka, keluar seorang gadis jelita berpakaian
hijau muda. Ternyata yang datang benar-benar Ren Yingying.
“Gadis Suci! Gadis Suci!”
serentak para hadirin bersorak sambil membungkukkan tubuh. Jelas mereka sangat
hormat dan segan kepada gadis itu. Suatu rasa hormat yang tulus dari lubuk hati
terdalam, bukan dibuat-buat.
“Kau datang juga, Yingying?”
sapa Linghu Chong sambil berjalan mendekat dengan bibir tersenyum.
“Hari ini adalah hari
bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” jawab Ren Yingying dengan senyuman manis.
Pandangannya menyapu ke sekeliling melintasi muka setiap hadirin. Ia lalu
sedikit membungkuk kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sambil
berseru, “Kepala Biara, Pendeta Ketua, terimalah salamku!”
Fangzheng dan Chongxu membalas
hormat sambil berpikir, “Kau memang akrab dengan Linghu Chong. Tapi seharusnya
kau jangan datang kemari, karena hanya akan membuat keadaan Linghu Chong
bertambah sulit.”
Tiba-tiba Ding Mian berseru,
“Nona ini adalah tokoh penting dari Sekte Iblis. Betul tidak, Linghu Chong?”
“Kau benar, lantas mau apa?”
sahut Linghu Chong.
“Peraturan kelima dalam
Perguruan Henshan adalah dilarang bergaul dengan kaum sesat. Bila tidak kau
putuskan hubunganmu dengan manusia-manusia sesat ini, maka kau tidak boleh
menjadi Ketua Perguruan Henshan,” kata Ding Mian.
“Tidak menjadi ketua juga
tidak masalah. Apa pentingnya hal itu?” jawab Linghu Chong.
Ren Yingying tersentuh
mendengar ucapan itu. Demi dirinya Linghu Chong tidak peduli apa pun. Ia lantas
bertanya, “Ketua Linghu, dari manakah kawan ini berasal? Mengapa dia ke sini
mencampuri urusan rumah tangga Perguruan Henshan kalian?”
“Dia mengaku diutus oleh Ketua
Zuo dari Perguruan Songshan. Panji yang ia pegang itu adalah panji Pancawarna
lambang kebesaran Ketua Zuo,” kata Linghu Chong. “Hm, jangankan cuma sebuah
panji kecil begitu, sekalipun Ketua Zuo sendiri yang datang juga tidak berhak
mencampuri urusan Perguruan Henshan kami.”
“Tepat,” kata Yingying sambil
mengangguk. Ia merasa gemas saat teringat kelicikan Zuo Lengchan ketika bertanding
melawan ayahnya di Biara Shaolin tempo hari. Tenaga dalam mahadingin yang
dikerahkan Zuo Lengchan membuat ayahnya terluka dan hampir kehilangan nyawa. Ia
lantas berkata, “Siapa bilang itu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung?
Dia penipu ….” belum habis ucapannya, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan,
tahu-tahu sebelah tangannya sudah memegang sebilah pedang pendek dan
digunakannya untuk menikam ke arah dada Ding Mian.
Ding Mian sama sekali tidak
menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian cekatan, menerjangnya dengan cara
licik. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, terpaksa ia mengelak ke
samping. Ternyata serangan Ren Yingying itu hanyalah pancingan belaka. Begitu
menggeser ke samping, pegangan Ding Mian menjadi kendur. Panji Pancawarna yang
ada di tangan kanannya pun dapat dirampas oleh si nona.
Ren Yingying tidak lantas
berhenti sampai di situ. Berturut-turut pedang pendeknya menikam empat kali dan
sekaligus pula empat buah panji lainnya sudah berpindah tangan. Keempat
pemegang panji tersebut adalah saudara-saudara seperguruan Ding Mian yang
rata-rata berilmu tinggi. Mereka semua mahir dalam pertarungan tangan kosong
dan sengaja dipilih Zuo Lengchan untuk melumpuhkan Linghu Chong saat tidak
memegang pedang. Tak disangka, kelimanya justru dipecundangi Ren Yingying
seperti ini. Padahal kelima serangan yang dilancarkan Ren Yingying semua
menggunakan jurus yang sama, namun kecepatannya luar biasa sehingga sebelum
lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji di tangan mereka sudah
hilang. Boleh dikata mereka bukan kalah karena adu kesaktian, tetapi kalah
karena diserang secara tiba-tiba menggunakan tipu muslihat.
Gadis itu lalu memutar ke
belakang Linghu Chong dan berkata, “Ketua Linghu, panji-panji ini semuanya
palsu. Mana bisa dikatakan panji Serikat Pedang Lima Gunung? Ini semua adalah
Panji Pancabisa milik Partai Lima Dewi.”
Waktu ia membentangkan kelima
panji tersebut, tampak dengan jelas pada panji-panji itu masing-masing
bersulamkan gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak berbisa,
sama sekali bukan Panji Pancawarna milik Serikat Pedang Lima Gunung.
Ding Mian dan kawan-kawannya
ternganga, tidak tahu harus bicara apa. Sebaliknya, Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan
para hadirin lainnya lantas bersorak memuji. Mereka tahu, begitu merampas Panji
Pancawarna itu Ren Yingying segera menukarnya dengan Panji Pancabisa dengan
sangat cepat sehingga tak seorang pun sempat melihat perbuatannya.
“Ketua Lan!” seru Ren Yingying
memanggil.
Seorang wanita cantik
berpakaian suku Miao tampil ke depan dan menjawab, “Hamba di sini. Silakan
Gadis Suci memberi perintah!” Perempuan itu tidak lain adalah Lan Fenghuang,
Ketua Partai Lima Dewi yang terkenal.
“Panji Pancabisa milik
aliranmu ini mengapa bisa jatuh ke tangan orang-orang Perguruan Songshan?”
tanya Ren Yingying.
“Murid-murid Perguruan
Songshan ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku. Mungkin mereka
telah memakai kata-kata manis sehingga Panji Pancabisa milik aliran kami bisa
jatuh ke tangan mereka,” jawab Lan Fenghuang sambil tertawa.
“Oh, begitu. Ini kukembalikan
panji-panjimu,” kata Ren Yingying sambil melemparkan kelima buah panji kecil
itu.
“Terima kasih, Gadis Suci,”
sahut Lan Fenghuang sambil menyambut panji-panji partainya.
Merasa dipermainkan, Ding Mian
pun memaki, “Perempuan siluman, di depanku kau berani main gila seperti itu!
Lekas kembalikan panji-panji serikat kami!”
“Kalau kau menginginkan Panji
Pancabisa, kenapa tidak minta kepada Ketua Lan saja?” ujar Yingying tertawa.
Dengan kesal Ding Mian
terpaksa berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. “Kepala
Biara dan Pendeta Chongxu, hendaklah kalian berdua sudi memberi keadilan.”
“Tentang peraturan Perguruan
Henshan memang … memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan kaum
sesat,” kata Mahabiksu Fangzheng. “Hanya saja … hanya saja hari ini banyak
kawan persilatan yang hadir menyaksikan upacara ini sehingga Ketua Linghu
terpaksa tidak bisa menutup pintu dan membuat malu tamu-tamunya ….”
Tiba-tiba Ding Mian menunjuk
seseorang di antara para hadirin sambil berseru, “Hei, hei, aku mengenal
penjahat cabul ini. Dia adalah Tian Boguang yang sedang menyamar sebagai biksu.
Apakah manusia macam ini juga kawan Linghu Chong?” Ia diam sejenak lalu
berteriak dengan nada bengis, “Hei, Tian Boguang, kau mau apa datang ke Gunung
Henshan ini?”
“Saya datang ke sini untuk
berguru,” jawab Tian Boguang.
“Berguru?” sahut Ding Mian
menegas.
“Betul,” jawab Tian Boguang
sambil kemudian berjalan mendekati Yilin. Di hadapan biksuni muda itu ia
berlutut dan menyembah, “Guru, terimalah hormat muridmu. Gelar Buddhaku adalah
Bukebujie.”
Wajah Yilin merona merah
menahan malu. “Kau … kau ….” dengan tergagap-gagap ia bergeser ke samping
menghindari penghormatan itu.
Ren Yingying tersenyum dan
berkata, “Tuan Tian telah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Ini sangat
bagus. Ia bahkan menjadi biksu dengan gelar Bukebujie, artinya ‘tidak boleh
tanpa pantangan’. Mahabiksu Fangzheng, barangsiapa yang mau menyadari
kesalahannya, maka pintu Sang Buddha akan terbuka lebar, dan dia bisa
mendapatkan pencerahan, betul tidak?”
“Benar sekali,” sahut
Mahabiksu Fangzheng. “Amitabha, Biksu Bukebujie telah bergabung ke dalam
Perguruan Henshan dan tunduk kepada peraturan yang berlaku. Ini benar-benar
suatu berkah bagi dunia persilatan.”
Ren Yingying lantas berseru,
“Nah, dengarkan, kawan-kawan! Kedatangan kita hari ini adalah untuk bergabung
ke dalam Perguruan Henshan. Apabila Ketua Linghu sudi menerima, maka kita
lantas terhitung sebagai anggota Perguruan Henshan. Nah, kalau sudah menjadi
anak buah Perguruan Henshan apakah masih boleh disebut sebagai kaum sesat?”
Baru sekarang Linghu Chong
paham. Rupanya kedatangan Ren Yingying dan orang banyak itu memang berencana
untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anggota
laki-laki sebanyak itu. Tentu setelah ini tidak ada lagi orang yang
mengolok-olok dirinya sebagai ketua kaum biksuni. Dengan suara lantang ia pun
bertanya, “Kakak Yihe, apakah dalam peraturan perguruan kita ada larangan
menerima anggota laki-laki?”
Yihe menjawab, “Larangan
menerima anggota laki-laki memang tidak ada, hanya saja … hanya saja ….” Yihe
merasa bingung. Pikirannya tidak bisa bekerja. Dalam hati ia merasa tidak enak
juga karena Perguruan Henshan mendadak harus bertambah anggota sekian banyak
murid laki-laki.
Linghu Chong melanjutkan,
“Sungguh bagus jika kalian mau menjadi anggota Perguruan Henshan. Namun di sini
kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup menjadi anggota saja. Untuk
selanjutnya, dalam Perguruan Henshan akan dibentuk suatu … eh suatu … suatu
‘cabang istimewa’ yang beranggotakan kalian semua. Kurasa Lembah Tongyuan di
sebelah sana cocok untuk tempat tinggal kalian.”
Lembah Tongyuan terletak tidak
jauh di sebelah Puncak Jianxing, yaitu puncak tertinggi Gunung Henshan di mana
biara induk berada. Berdasarkan legenda dari zaman Dinasti Tang, di lembah itu
dulu Zhang Guolao bertapa untuk menjadi dewa. Juga terdapat sebuah batu besar
yang mengandung banyak jejak kaki keledai. Menurut kepercayaan, itu adalah
jejak keledai yang ditunggangi Zhang Guoluo. Jika ini bukan perbuatan kaum
dewa, bagaimana mungkin bisa terjadi demikian? Saat itu Kaisar Tang Xuanzong
lantas memberi gelar “Tuan Tongyuan” kepada Zhang Guoluo.
Lembah Tongyuan memang tidak
jauh, namun kalau hendak menuju Puncak Jianxing harus melalui jalanan yang
terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah
terpencil tersebut, Linghu Chong bermaksud memisahkan mereka dari para biksuni
dan murid perempuan.
Mahabiksu Fangzheng
manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara mengatur ini. Dengan masuknya
para kawan persilatan ini ke dalam Perguruan Henshan dan terikat pula oleh tata
tertib yang berlaku, hal ini benar-benar suatu berkah pula bagi dunia
persilatan.”
Karena yang berkata demikian seorang
tokoh agung, terpaksa Ding Mian tidak berani merintangi lagi. Maka, ia pun
menyampaikan perintah kedua dari Zuo Lengchan, “Ketua Serikat Pedang Lima
Gunung memberi perintah agar pada pagi hari tanggal lima belas bulan tiga nanti
setiap anggota perserikatan kita berkumpul di Gunung Songshan untuk memilih
Ketua Perguruan Lima Gunung. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan semua orang
datang tepat waktu.”
“Perguruan Lima Gunung? Jadi
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung sudah ditetapkan? Lantas siapakah yang
mengambil prakarsa peleburan ini?” tanya Linghu Chong.
“Yang jelas Perguruan
Songshan, Hengshan, Taishan, dan Huashan sudah setuju,” sahut Ding Mian. “Jika
Perguruan Henshan punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan
dengan keempat perguruan yang lain dan berarti pula kau mencari penyakit
sendiri.” Ia lantas menoleh dan bertanya kepada para perwakilan keempat
perguruan yang ikut datang bersamanya, “Betul, tidak?”
“Betul!” serentak puluhan
orang yang berdiri di belakangnya itu menjawab.
Ding Mian mendengus dan tidak
berbicara lagi. Ia memutar tubuh untuk kemudian melangkah pergi. Setelah
beberapa langkah ia menoleh ke arah Ren Yingying karena teringat Panji
Pancawarna yang direbut gadis itu. “Bagaimana cara merebut panji-panji itu?” demikian
ia berpikir.
Tiba-tiba Lan Fenghuang
berseru sambil tertawa, “Pendekar Ding, kau kehilangan Panji Pancawarna,
bagaimana nanti kau akan menjawab bila ditanya oleh Ketua Zuo? Ini,
kukembalikan panjimu!” Bersama itu sebuah panji bersulam pun dilemparkannya ke
arah Ding Mian.
Begitu melihat panji kecil itu
melayang ke arahnya, Ding Mian hanya terdiam saja. Ia merasa panji itu adalah
milik Partai Lima Dewi, jadi untuk apa harus mengulurkan tangan menyambut.
Namun saat itu panji kecil tersebut sudah meluncur ke arah lehernya, mau tidak
mau ia pun menjulurkan tangan untuk menangkap. Tapi mendadak ia menjerit sambil
melemparkan panji kecil itu ke lantai. Telapak tangannya terasa panas seperti
terbakar. Begitu diperiksa, ternyata tangannya telah berwarna kebiru-biruan.
Jelas panji itu mengandung bisa.
Di depan umum ia telah
dipermainkan oleh Partai Lima Dewi. Wajahnya pun merah padam menahan marah,
“Bedebah! Perempuan hina ….”
Dengan tertawa Lan Fenghuang
menyela, “Lekas kau panggil ‘Ketua Linghu’ dan mohonlah belas kasihan
kepadanya. Nah, habis itu segera kuberikan obat penawarnya. Jika tidak, kau
akan kehilangan sebelah tanganmu yang akan membusuk dalam waktu singkat.”
Ding Mian cukup paham betapa
hebat orang-orang Partai Lima Dewi dalam menggunakan racun. Dalam keraguannya
sejenak itu saja telapak tangannya sudah terasa kaku dan mulai mati rasa.
Segenap kepandaiannya terletak pada kedua tangan. Bila sebelah tangannya harus
hilang ini sungguh lebih mengerikan daripada kematian. Karena sangat cemas, ia terpaksa
berseru, “Ketua Linghu, kau … kau ….”
“Apakah begitu caranya
memohon?” ejek Lan Fenghuang sambil tertawa.
“Ketua Linghu, aku telah
berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon … mohon kau sudi memberikan
obat … obat penawarnya,” pinta Ding Mian dengan terputus-putus.
Linghu Chong tersenyum,
kemudian berkata, “Ketua Lan, Saudara Ding hanya menjalankan perintah Ketua
Zuo. Tolong berikan obat penawar kepadanya.”
Lan Fenghuang tertawa dan
kemudian memberi isyarat kepada seorang gadis Miao di sampingnya. Gadis Miao
itu mengeluarkan bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Ding Mian. Dengan
tersipu-sipu Ding Mian menangkap bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di
bawah gelak tawa ejekan banyak orang. Puluhan orang yang menjadi rombongannya
pun ikut menyusul pergi.
Linghu Chong lantas berseru
lantang, “Kawan-kawan, kalau kalian sudi tinggal di Lembah Tongyuan, maka
kalian harus taat kepada peraturan perguruan kita. Sekarang kalian adalah
anggota Perguruan Henshan, sudah tentu kalian bukan lagi orang-orang golongan
hitam. Untuk selanjutnya kalian harus berhati-hati dalam pergaulan dengan orang
luar.”
“Baik, Ketua!” seru rombongan
Lao Touzi itu mengiakan dengan suara bergemuruh.
Linghu Chong melanjutkan,
“Bila kalian ingin minum arak dan makan daging boleh-boleh saja. Tapi,
orang-orang yang makan daging untuk selanjutnya dilarang naik ke Puncak
Jianxing ini, termasuk aku sendiri. Semua peraturan harus dipatuhi.”
“Shanti, shanti! Tempat suci
Sang Buddha memang tidak sepantasnya dikotori,” ujar Mahabiksu Fangzheng.
“Baiklah, anggap saja sekarang
aku telah resmi menjadi ketua,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Tentunya
semua orang sudah merasa lapar. Hari ini kita semua makan sayur-sayuran saja.
Aku akan menemani Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bersantap. Esok
barulah kita minum arak di Lembah Tongyuan.”
Semua orang pun makan bersama.
Linghu Chong duduk semeja dengan para ketua perguruan yang hadir di situ. Usai
makan, Biksu Fangzheng berkata, “Saya dan Saudara Chongxu ingin berunding sedikit
dengan Ketua Linghu.”
“Baik,” jawab Linghu Chong.
Sejak awal ia menduga kedua pemimpin aliran terbesar di dunia persilatan itu
datang ke Gunung Henshan tentu bukan sekadar untuk mengucapkan selamat, namun
dipastikan ada maksud dan tujuan yang lain. Apa yang akan dibicarakan kedua
tokoh itu tentu suatu urusan penting. Padahal di puncak Puncak Jianxing ini
sedang bercampur para hadirin yang berasal dari golongan hitam dan putih. Di
mana pun mereka bicara, tentu akan sulit untuk menghindarkan diri dari telinga
yang ikut mendengar. Maka, ia pun segera memerintahkan Yihe, Yiqing, dan yang
lain untuk melayani tamu, lalu berkata kepada Fangzheng dan Chongxu, “Di bawah
puncak ini, di sebelah Celah Tungku Porselen ada sebuah gunung bernama Gunung
Cuiping. Tebing gunung itu sangat terjal dan licin, di atas puncaknya terdapat
sebuah kuil gantung, yang merupakan salah satu tempat indah di wilayah
Pegunungan Henshan. Apabila Ketua berdua berminat, saya dengan senang hati siap
menemani ke sana.”
Pendeta Chongxu menjawab,
“Sudah lama aku mendengar tentang Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Kalau tidak
salah kuil itu dibangun pada zaman Kerajaan Wei Utara. Pohon cemara tidak
tumbuh di sana, bahkan monyet-monyet pun tidak sanggup memanjat ke sana. Tentu
dibutuhkan suatu kekuatan luar biasa untuk membangun kuil tersebut. Ini
benar-benar keajaiban dunia. Sudah lama aku mengagumi Kuil Gantung itu. Sungguh
senang kalau hari ini bisa mengunjunginya.”
Linghu Chong lantas membawa
kedua tamu agungnya itu menuruni Puncak Jianxing melalui Celah Tungku Porselen.
Sampai di bawah Gunung Cuiping, mereka menegadah ke atas dan melihat di puncak
gunung terdapat dua buah bangungan mencuat di angkasa seakan-akan terapung di
udara. Tidak salah kalau bangunan tersebut diberi nama Kuil Gantung Gunung
Cuiping. Sungguh sepasang kuil yang indah bagaikan dibangun oleh para dewa.
Mahabiksu Fangzheng menghela
napas dan memuji, “Orang yang merancang kuil itu sungguh luar biasa. Untuk
seorang yang luar biasa, di dunia ini tidak ada hal yang mustahil.”
Dengan ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi, ketiga orang itu lantas mendaki ke atas dan tiba di Kuil
Gantung tersebut. Kuil Gantung itu terdiri dari dua buah bangunan,
masing-masing bertingkat tiga. Jarak kedua bangunan sekitar belasan meter dan
dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung.
Di dalam kuil terdapat seorang
perempuan tua sedang menyapu. Melihat kedatangan Linghu Chong, Fangzheng, dan
Chongxu, ia tidak menyapa juga tidak memberi hormat. Belasan hari yang lalu
Linghu Chong telah berkunjung ke tempat ini bersama Yihe, Yiqing, Yilin, dan
murid-murid lainnya, sehingga ia mengetahui kalau perempuan tua penjaga kuil
ini seorang bisu dan tuli.
Linghu Chong mengajak
Fangzheng dan Chongxu mengelilingi bangunan indah tersebut, kemudian menuju
jembatan gantung. Jembatan ini hanya selebar satu meteran saja. Kalau orang
biasa yang berdiri di tengah jembatan tentu merasa seakan-akan berdiri di udara
kosong. Mungkin seketika kaki langsung terasa lemas dan tidak berani bergerak.
Tapi Linghu Chong dan kedua tamunya adalah jago silat kelas satu. Berada di
atas jembatan gantung yang sempit itu mereka malah merasa bebas merdeka,
pikiran pun terasa lapang menggembirakan.
Dari atas jembatan itu
Fangzheng dan Chongxu dapat menikmati indahnya pemandangan alam, mulai dari
kumpulan awan yang menyelimuti puncak gunung, sampai dinding kota di kaki
gunung juga terlihat oleh mereka. Selain itu juga terihat air terjun di antara
Celah Tungku Porselen. Pemandangan di situ tampak begitu menakjubkan.
Mahabiksu Fangzheng berkata, “Cerita
yang berkembang di masyarakat berbunyi, konon pada zaman dahulu satu orang saja
berhasil mengatur sepuluh ribu orang di celah ini. Apa yang mereka ceritakan
itu sesuai dengan keadaan tempat ini.”
“Pada zaman Dinasti Song
Utara, Kaisar Yang Lao memerintahkan Gong E untuk menjaga tiga celah dan ia
membangun benteng pertahanan di sini. Tempat ini sangat strategis dan cocok
untuk pertahanan perang,” ujar Chongxu menanggapi. “Kini aku melihat secara
langsung Kuil Gantung ini. Kuil ini begitu megah dan aku mengagumi ketekunan
orang-orang zaman dulu. Namun, Kuil Gantung ini menjadi tak berharga jika
dibandingkan dengan jalan di pegunungan ini yang panjangnya lima ratus li dan
juga hasil buatan manusia.”
Linghu Chong terkejut
mendengarnya, “Pendeta, kau bilang jalan pegunungan sepanjang lima ratus li itu
juga buatan manusia?”
Chongxu menjawab, “Kitab
sejarah menyebutkan, Kaisar Wei Daowu menempatkan pasukannya mulai dari Gunung
Zhong sampai Pingzheng di Pegunungan Henshan ini sejak tahun pertama
pemerintahannya. Ia juga memerintahkan mereka untuk menggali bebatuan gunung
menjadi jalan setapak sepanjang lima ratus li. Celah Tungku Porselen itu
merupakan titik akhir jalan tersebut.”
Fangzheng berkata, “Meskipun
jalan tersebut dinamakan Jalur Lima Ratus Li, namun sebagian besar sudah
dibentuk oleh alam. Kaisar Wei dari Kerajaan Song Utara mengirim puluhan ribu
untuk membuka celah melewati pegunungan. Tentu saja, perintah ini merupakan hal
besar dan mengejutkan banyak orang.”
“Tidak mengherankan kalau
banyak orang yang ingin menjadi kaisar. Sekali ia membuka mulut dan mengatakan
beberapa kata, maka puluhan ribu pasukannya segera menggali jalan setapak
untuknya,” kata Linghu Chong.
Chongxu berkata, “Ambisi dan
kekuasaan apalah bedanya? Pada zaman itu, banyak terdapat pendekar hebat dan
terkemuka. Kau dapat membayangkan betapa susahnya mewujudkan jalur ini. Ambisi
dan kekuasaan para kaisar pasti mendapat banyak gangguan. Namun, kita tidak
perlu menyebutkan siapa saja kaisar-kaisar yang pernah mendapat gangguan dari
dunia persilatan. Bahkan pada zaman sekarang, kekacauan di dunia persilatan
juga disebabkan oleh ambisi dan nafsu kekuasaan, bukan?”
Linghu Chong tergetar
mendengarnya. Ia merasa kedua tokoh ini telah menggiring pembicaraan sampai
pada masalah yang akan mereka sampaikan. Maka, ia pun berkata, “Saya tidak
paham, mohon petunjuk Ketua berdua.”
Fangzheng menjawab, “Ketua
Linghu, hari ini Perguruan Songshan mengirimkan Pendekar Ding memimpin banyak
orang ke sini. Kau tahu apa tujuannya?”
Linghu Chong menjawab, “Untuk
menyampaikan perintah Ketua Zuo, bahwa saya dilarang menjabat sebagai Ketua
Perguruan Henshan.”
“Apa sebabnya Ketua Zuo
melarangmu menjadi Ketua Perguruan Henshan?” tanya Fangzheng.
“Mungkin karena saya pernah
bersikap kasar kepadanya ketika di Biara Shaolin tempo hari,” kata Linghu
Chong. “Selain itu saya pernah merintangi rencananya dalam usaha melebur
Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu partai yang besar.”
“Mengapa kau merintangi
rencananya itu?” tanya Fangzheng pula.
Linghu Chong tercengang,
seketika ia merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa bertanya
pada diri sendiri, “Mengapa aku merintangi rencananya? Mengapa?”
Fangzheng bertanya lagi,
“Apakah kau merasa usahanya melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu
adalah rencana yang tidak baik?”
Linghu Chong menjawab, “Saat
itu saya tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak. Hanya
saja untuk mencapai tujuannya itu Perguruan Songshan telah mengancam Perguruan
Henshan agar menurutinya, bahkan menyamar sebagai anggota Sekte Matahari dan
Bulan untuk menculik murid-murid perempuan dan para biksuni Henshan. Biksuni
Dingjing dikerubut pula secara keji hingga meninggal. Secara kebetulan saya
memergoki perbuatan mereka itu. Kemudian Biksuni Dingxian juga dikepung dan
hendak dibakar hidup-hidup di Lembah Tempa Pedang di Longquan. Saya merasa
penasaran dan memberi bantuan kepada pihak Perguruan Henshan. Kupikir kalau
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung adalah suatu usaha yang baik, mengapa
Perguruan Songshan tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin
empat perguruan yang lain, tapi memakai cara-cara licik dan keji?”
“Pendapatmu memang betul,”
ujar Pendeta Chongxu sambil manggut-manggut. “Zuo Lengchan memang memiliki
ambisi besar dan ingin menjadi tokoh persilatan nomor satu. Tapi ia sadar
secara pribadi sukar mengatasi orang banyak, sehingga terpaksa menggunakan tipu
muslihat licik.”
Fangzheng menghela napas, lalu
menyambung, “Ketua Zuo seorang yang sangat pandai dan terkemuka di dunia persilatan.
Namun ambisinya terlalu besar. Ia juga bernafsu ingin menjatuhkan nama besar
Perguruan Shaolin dan Wudang. Untuk maksud dan tujuannya ini ia terpaksa
menggunakan bermacam-macam cara.”
Chongxu menyambung,
“Bahwasanya Perguruan Shaolin adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah
diakui secara umum selama beratus-ratus tahun. Di samping Perguruan Shaolin,
dapat diperhitungkan Perguruan Wudang pula. Untuk selanjutnya ada Perguruan
Kunlun, Emei, serta Kongtong. Adik Linghu, berdiri dan berkembangnya suatu
aliran dan perguruan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria
masing-masing dalam aliran dan perguruan tersebut. Ilmu silat yang diciptakan
adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun, sedikit demi sedikit.
Tentang bangkitnya Serikat Pedang Lima Gunung adalah kejadian sekitar enam
puluh tahun terakhir ini. Walaupun perkembangannya cepat dan pesat, namun pada
dasarnya tetap berada di bawah Perguruan Kunlun dan Emei, lebih-lebih tidak
dapat dibandingkan dengan Perguruan Shaolin yang termasyhur.”
Linghu Chong mengangguk
setuju.
Chongxu meneruskan, “Di dalam
suatu aliran dan perguruan itu terkadang memang muncul juga satu-dua orang
bijaksana dan pandai yang menjadi jago pada zamannya. Tapi melulu mengandalkan
tenaga satu dua orang saja tetap sukar mengatasi kesatria-kesatria dari
berbagai perguruan dan aliran. Ketika Zuo Lengchan mula-mula menjabat sebagai
pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, waktu itu Mahabiksu Fangzheng juga sudah
meramalkan di dalam dunia persilatan untuk selanjutnya tentu akan terdapat
banyak masalah. Dari tingkah laku Zuo Lengchan beberapa tahun terakhir ini,
ternyata ramalan Mahabiksu Fangzheng sama sekali tidak meleset.”
“Amitabha!” ujar Fangzheng
sambil merangkap kedua tangannya.
Chongxu melanjutkan, “Menjadi
Ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah langkah pertama dalam usaha Zuo
Lengchan. Langkah kedua adalah melebur kelima perguruan menjadi satu perguruan
yang tetap diketuai olehnya. Sesudah itu, dengan sendirinya kekuatannya
bertambah besar dan secara tidak resmi sudah sejajar dengan Perguruan Shaolin
dan Wudang. Kemudian ia tentu akan maju selangkah lagi dengan mencaplok
Perguruan Kunlun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng. Lebih jauh ia tentu akan
mencari perkara dengan Sekte Iblis. Perguruan Shaolin dan Wudang tentu
diajaknya ikut serta memusuhi Tebing Kayu Hitam. Sudah pasti ia bermaksud
menumpas sekte tersebut.”
Linghu Chong bergidik ngeri
mendengarnya. Ia kemudian berkata, “Ambisi seperti itu sukar diwujudkan.
Kemampuan Zuo Lengchan terbatas. Lalu, untuk apa ia bersusah payah mewujudkan
itu semua?”
“Hati manusia sulit diukur.
Segala di dunia ini, betapa sukarnya ada juga orang yang ingin mencobanya,”
ujar Chongxu. “Masalahnya, apabila Zuo Lengchan dapat menumpas Sekte Iblis,
maka saat itu boleh dikata ia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai
pemimpin besar. Selanjutnya tentu tidak sukar baginya untuk mencaplok Perguruan
Shaolin dan Wudang pula.”
“Oh, ternyata Zuo Lengchan
ingin dipuja sebagai pemimpin dunia persilatan,” kata Linghu Chong.
“Benar sekali!” sahut Chongxu
dengan tertawa. “Jika memungkinkan, ia ingin menjadi kaisar pula dan sesudah
menjadi kaisar mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Itulah sifat manusia
yang serakah, sifat yang tidak kenal puas. Sejak dahulu kala memang hanya sedikit
manusia yang tidak terjebak oleh ambisi dan kekuasaan.”
Linghu Chong terdiam sejenak,
kemudian berkata, “Orang hidup paling-paling hanya beberapa puluh tahun saja,
untuk apa harus bersusah payah begitu? Zuo Lengchan ingin menumpas Sekte
Matahari dan Bulan dan ingin mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang. Bukankah
untuk ini akan banyak korban berjatuhan?”
“Benar, sebab itulah tugas
kita bertiga cukup berat. Kita harus mencegah agar maksud Zuo Lengchan itu
tidak terlaksana demi mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan,”
kata Chongxu bersemangat.
“Wah, mana bisa saya
disejajarkan dengan Ketua berdua? Pengetahuan dan pengalaman saya teramat
dangkal. Saya menurut saja di bawah petunjuk Ketua berdua,” kata Linghu Chong
terkejut.
“Tempo hari kau memimpin para
kesatria ke Biara Shaolin untuk menjemput Nona Ren. Ternyata tidak ada satu
benda pun yang kalian ganggu di Biara Shaolin. Untuk itu Kepala Biara merasa
berhutang budi kepadamu,” kata Chongxu.
Muka Linghu Chong menjadi
merah, “Tempo hari saya memang ceroboh, telah berbuat onar. Mohon dimaafkan.”
Chongxu melanjutkan, “Sesudah
rombongan kalian pergi, Zuo Lengchan dan yang lain juga mohon diri, tapi aku
masih tinggal beberapa hari di Biara Shaolin dan mengadakan pembicaraan panjang
lebar dengan Kepala Biara. Kami sama-sama mengkhawatirkan ambisi Zuo Lengchan
yang tidak kenal batas itu. Kau tentu ingat pertandingan di biara waktu itu.
Ren Woxing menang secara licik terhadap Kepala Biara, dan kemudian Zuo Lengchan
menang secara licik pula terhadap Ren Woxing. Orang-orang yang tidak tahu
apa-apa dan tidak paham permasalahannya tentu menganggap Mahabiksu Fangzheng
bukan tandingan Ren Woxing, dan Ren Woxing bukan tandingan Zuo Lengchan ….”
“Itu tidak benar, itu tidak
benar,” sahut Linghu Chong kesal.
“Kita tahu hal itu tidak
benar. Tapi nama besar Zuo Lengchan semakin harum sejak pertandingan itu. Tentu
hal ini akan semakin memicu ambisi dan keserakahannya. Selanjutnya, kami
menerima berita tentang pelantikanmu sebagai Ketua Perguruan Henshan. Maka, kami
pun memutuskan untuk datang kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu,
kedua untuk berunding soal ini.”
“Ketua berdua terlalu
meninggikan saya, sungguh saya sangat berterima kasih,” ujar Linghu Chong.
Pendeta Chongxu melanjutkan,
“Ding Mian datang untuk menyampaikan perintah Zuo Lengchan, yaitu pada tanggal
lima belas bulan tiga nanti segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus
berkumpul di Puncak Songshan untuk memilih Ketua Perguruan Lima Gunung.
Sebenarnya hal ini sudah diperkirakan oleh Kepala Biara. Hanya saja, kami tidak
menduga Zuo Lengchan akan melakukannya secepat itu. Dia mengumumkan hendak
memilih Ketua Perguruan Lima Gunung, seakan-akan peleburan Serikat Pedang Lima
Gunung menjadi satu sudah dapat dipastikan. Dalam hal ini kami memperhitungkan,
Tuan Besar Mo punya watak aneh dan angin-anginan, maka Perguruan Hengshan pasti
tidak sudi mengekor kepada Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen dari Perguruan
Taishan juga sangat keras dan lugas, tentu tidak sudi pula menjadi bawahan Zuo
Lengchan. Gurumu, Tuan Yue, terlihat lembut dan sopan, tetapi hatinya keras,
pasti juga tidak akan rela jika nama Perguruan Huashan terhapus begitu saja
dari dunia persilatan. Sementara itu, Perguruan Henshan berturut-turut telah
kehilangan tiga biksuni sepuh. Murid-muridnya tentu tidak mampu melawan Zuo
Lengchan, sehingga bisa jadi Henshan akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak
disangka, Biksuni Dingxian sebelum meninggal berani melanggar tradisi, yaitu
menyerahkan jabatan ketua kepada Adik Linghu. Kami berdua sudah membicarakan
ini dan benar-benar mengagumi keluasan pandangan Biksuni Dingxian. Dalam
keadaan terluka parah dan meregang nyawa, ia masih bisa mengambil keputusan di
luar dugaan seperti itu, pertanda ia memang benar-benar biksuni sepuh yang luar
biasa dan berpikiran jauh ke depan. Sekarang ini, apabila Perguruan Huashan,
Hengshan, Taishan, dan Henshan bersatu padu tidak mau dilebur menjadi Perguruan
Lima Gunung, maka rencana Zuo Lengchan sudah pasti akan gagal total.”
Linghu Chong berkata, “Tapi
kalau melihat sikap Ding Mian saat menyampaikan perintah tadi, agaknya
Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah berada di bawah pengaruh Zuo
Lengchan.”
“Benar,” kata Chongxu sambil
mengangguk. “Kami sendiri sempat bingung melihat sikap Tuan Yue, gurumu.
Kabarnya ada seorang pemuda bermarga Lin dari Fuzhou yang menjadi murid gurumu,
betul tidak?”
“Benar, adik seperguruanku itu
bernama Lin Pingzhi,” tutur Linghu Chong.
Chongxu berkata, “Konon
leluhurnya menurunkan sebuah kitab pusaka bernama Kitab Pedang Penakluk Iblis
yang telah lama tersiar di dunia persilatan. Kami dengar dalam kitab pusaka itu
terdapat sebuah ilmu pedang yang sangat sangat hebat. Tentunya Adik Linghu juga
pernah mendengar hal ini?”
“Benar,” ujar Linghu Chong. Ia
kemudian bercerita tentang pengalamannya di Kota Fuzhou waktu itu, saat ia
berhasil memergoki dua orang tokoh Perguruan Songshan dari angkatan tua merebut
selembar jubah biksu dari tangan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di kediaman lama
Keluarga Lin. Dalam pertarungan itu ia jatuh pingsan setelah membunuh kedua
tokoh Songshan tersebut, dan jubah biksu di tangannya hilang entah ke mana.
Pendeta Chongxu termenung
sejenak, kemudian berkata, “Sepertinya masuk akal jika gurumu kemudian
mengambil jubah itu dan mengembalikannya kepada Lin Pingzhi.”
“Benar,” jawab Linghu Chong.
“Akan tetapi, beberapa hari kemudian Adik Kecil, putri guruku, ternyata meminta
Kitab Pedang Penakluk Iblis itu kepadaku. Ternyata Guru tidak tahu menahu soal
jubah biksu tersebut. Saya sudah sering dituduh melakukan pelanggaran, sehingga
tuduhan menggelapkan jubah biksu itu tidak saya masukkan ke dalam hati. Namun
sebenarnya saya merasa penasaran juga terhadap masalah ini, dan mungkin Ketua
berdua bisa memberikan petunjuk.”
Chongxu memandang sekejap ke
arah Mahabiksu Fangzheng, lalu berkata, “Seluk-beluk persoalan ini silakan
Kepala Biara yang menjelaskannya kepada Adik Linghu.”
Fangzheng mengangguk lalu
berkata, “Ketua Linghu, apakah kau pernah mendengar tentang Kitab Bunga
Mentari?”
“Saya pernah mendengarnya dari
Guru. Konon Kitab Bunga Mentari adalah kitab pusaka paling berharga di dunia
persilatan,” jawab Linghu Chong. “Namun sayang, kitab itu sudah lama lenyap dan
kini entah berada di mana. Kemudian saya mendengar dari Ketua Ren, bahwa Beliau
menyerahkan Kitab Bunga Mentari itu kepada Dongfang Bubai. Jika benar demikian,
maka kitab pusaka tersebut tentu saat ini berada di tangan Sekte Matahari dan
Bulan.”
“Benar, tapi itu cuma setengah
bagian saja dan tidak lengkap,” kata Fangzheng.
Linghu Chong mengangguk penasaran.
Ia berpikir sebentar lagi Mahabiksu Fangzheng pasti akan menceritakan sebuah
peristiwa besar di dunia persilatan.
Sang Kepala Biara Shaolin
tampak memandang jauh ke depan, lalu berkata, “Perguruan Huashan pernah terbagi
menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Apakah kau mengetahuinya?”
“Ya, saya mendengarnya dari
Guru,” jawab Linghu Chong.
Fangzheng manggut-manggut dan
melanjutkan, “Tokoh-tokoh angkatan tua Perguruan Huashan pernah saling bunuh
karena perpecahan ini. Apakah Ketua Linghu mengetahui sebab musabab mengapa
Perguruan Huashan sampai terpecah menjadi dua?”
“Saya tidak tahu, Guru tidak
pernah menceritakannya dengan jelas,” sahut Linghu Chong.
“Pertarungan di antara saudara
bukanlah suatu peristiwa yang baik untuk diceritakan, itulah sebabnya mengapa
Tuan Yue tidak suka menyinggung soal ini,” ujar Fangzheng. “Tentang pecahnya
Perguruan Huashan menjadi dua kelompok, konon juga disebabkan oleh Kitab Bunga
Mentari.”
Biksu tua ini berhenti sejenak
kemudian melanjutkan, “Menurut cerita yang tersiar, Kitab Bunga Mentari itu
ditulis oleh seorang pejabat pemerintahan dari dinasti sebelumnya.”
“Hah? Pejabat pemerintahan?”
seru Linghu Chong penasaran.
“Lebih tepatnya seorang
kasim,” tukas Chongxu.
“Oh!” seru Linghu Chong
semakin heran.
Fangzheng melanjutkan, “Siapa
nama sesepuh itu sudah tidak diketahui dengan pasti. Juga tidak diketahui pula
mengapa seorang tokoh sakti persilatan seperti dia menjadi kasim di istana.
Yang kita ketahui hanya satu hal, ilmu silat yang terkandung dalam Kitab Bunga
Mentari itu sangat mendalam dan luar biasa hebat. Selama tiga ratus tahun
lebih, kitab tersebut menjadi bahan rebutan namun tidak seorang pun yang
berhasil memahami dan menguasai isinya. Sampai akhirnya, sekitar seratus tahun
yang lalu, kitab pusaka tersebut jatuh ke tangan Biara Shaolin Cabang Fujian di
Kota Quanzhou. Pemimpin biara tersebut bernama Tuan Biksu Hongxie, yang
merupakan tokoh paling cerdas dan paling pintar di zamannya. Berdasarkan
kepandaiannya itu, seharusnya tidak susah baginya untuk memahami isi kitab
tersebut. Tapi menurut cerita murid Beliau, konon Tuan Biksu Hongxie tidak
pernah mempelajari isi kitab tersebut. Bahkan ada pula murid yang mengatakan
bahwa Beliau hanya membaca kitab tersebut tapi tidak pernah berlatih ilmu silat
yang terkandung di dalamnya sampai meninggal.”
Linghu Chong menanggapi,
“Mungkin ada kalimat rahasia dalam kitab itu sehingga seorang tokoh mahacerdas
seperti Tuan Biksu Hongxie juga tidak mampu memahaminya secara keseluruhan,
atau juga tidak bisa menyelami dasar-dasar ilmu silat dalam kitab pusaka
tersebut.”
“Ya, bisa jadi seperti itu,”
ujar Fangzheng mengangguk. “Saya dan Saudara Chongxu tidak punya cukup
peruntungan sehingga tidak pernah melihat kitab pusaka tersebut. Alangkah
bagusnya andai kami dapat melihat atau sekadar membaca isinya, meskipun tidak
mampu memahami ajarannya.”
Chongxu melirik dan tersenyum,
“Wah, sepertiya Kepala Biara tergoda urusan duniawi lagi. Orang yang pernah
belajar silat seperti kita bila melihat kitab pusaka seperti itu pasti lupa
makan dan lupa tidur. Yang ingin dilakukan hanya mempelajari dan menyelaminya
sampai tuntas. Akibatnya bukan saja mengganggu ketenangan hidup kita, tapi juga
akan mendatangkan kesukaran-kesukaran di kemudian hari. Maka, lebih baik kita
tidak pernah membaca kitab pusaka itu selamanya.”
Fangzheng terbahak-bahak dan
berkata, “Ucapan Saudara Pendeta memang benar. Sungguh memalukan.” Ia kemudian
berpaling kepada Linghu Chong dan melanjutkan, “Konon pada suatu hari ada dua
orang tokoh Perguruan Huashan berkunjung ke Biara Shaolin Cabang Fujian. Entah
bagaimana caranya, mereka dapat membaca isi Kitab Bunga Mentari ….”
Dalam hati Linghu Chong
berpikir mana mungkin kitab pusaka seperti itu diperlihatkan kepada tamu oleh
pihak Shaolin? Tentu kedua tokoh Huashan tersebut telah mencuri baca. Hanya
saja Mahabiksu Fangzheng sengaja menggunakan istilah yang lebih halus.
Terdengar Fangzheng
melanjutkan, “Karena keadan sangat mendesak, maka kedua tokoh Huashan itu tidak
mungkin membaca dan mendalami seluruh isi kitab sekaligus. Maka, mereka pun
membagi tugas, masing-masing menghafal setengah bagian. Kemudian setelah pulang
ke Huashan, mereka saling menguraikan hasil hafalan masing-masing dan
menuliskannya kembali. Tidak disangka, apa yang mereka hafalkan ternyata tidak
cocok ketika dipadukan. Semakin dipaparkan semakin jauh pula perbedaannya.
Sebaliknya, kedua orang itu sama-sama yakin pada hafalan masing-masing,
sementara pihak lain dianggap salah baca atau sengaja tidak mau mengemukakannya
terus terang. Akhirnya kedua orang itu pun berlatih sendiri-sendiri. Inilah
asal-usulnya, mengapa Perguruan Huashan terpecah menjadi dua bagian, yaitu
Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua bersaudara yang tadinya sangat
akrab seperti saudara kandung itu akhirnya berubah menjadi musuh.”
Linghu Chong menyahut, “Kedua
sesepuh kami itu, apakah bernama Yue Su dan Cai Zifeng?” Kedua nama yang
disebut Linghu Chong itu merupakan tokoh-tokoh leluhur Perguruan Huashan dari
angkatan-angkatan terdahulu. Yue Su adalah pendiri Kelompok Tenaga Dalam, dan
Cai Zifeng adalah pendiri Kelompok Pedang. Peristiwa perpecahan ini terjadi
beberapa puluh tahun silam.
Fangzheng menjawab, “Benar.
Tidak lama setelah itu, Tuan Biksu Hongxie pun mengetahui akan bocornya Kitab
Bunga Mentari tersebut. Beliau sadar isi kitab pusaka ini terlalu luas dan
mendalam, juga sangat berbahaya. Konon kabarnya bagian yang paling berbahaya
adalah langkah pertamanya. Kita tinggal melakukan langkah pertamanya saja, dan
untuk selanjutnya tidak ada yang berbahaya lagi. Ini sungguh berkebalikan
dengan ilmu silat lain pada umumnya, yaitu semakin ke belakang akan semakin
sulit dan berbahaya, sedangkan ilmu dalam Kitab Bunga Mentari justru bagian
depan yang paling berbahaya. Oleh karena itu, Tuan Biksu Hongxie lantas
mengirim murid kesayangannya yang bernama Biksu Duyuan ke Gunung Huashan untuk
menasihati Yue Su dan Cai Zifeng supaya tidak mempelajari ilmu silat dalam
kitab pusaka tersebut.”
Linghu Chong menanggapi,
“Ternyata ilmu silat dalam kitab ini memiliki langkah pertama yang paling
sulit. Jika mempelajarinya hanya dengan membaca tanpa ada orang lain yang
memberikan petunjuk sudah tentu hal ini sangat berbahaya. Tapi, sepertinya
kedua sesepuh dari Perguruan Huashan kami itu tidak mau menurut, bukan begitu?”
“Dalam hal ini kita juga tidak
bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Fangzheng. “Coba pikir, orang persilatan
seperti kita sekali mengetahui rahasia suatu ilmu silat yang hebat tentu ingin
sekali mempelajarinya. Meskipun aku telah memperdalam agama Buddha selama
puluhan tahun, tetap saja akan tergoda untuk membaca bila kitab tersebut
tiba-tiba jatuh ke tanganku, apalagi seorang awam? Bukankah tadi Saudara
Chongxu menertawakanku yang masih tergoda keinginan duniawi? Begitulah,
kepergian Biksu Duyuan ke Huashan itu justru menimbulkan peristiwa-peristiwa
yang panjang.”
Linghu Chong bertanya, “Apakah
kedua sesepuh itu berbuat tidak baik kepada Biksu Duyuan?”
“Bukan begitu, malah
sebaliknya, mereka berdua sangat hormat dan menyambut kedatangan Biksu Duyuan
dengan baik,” kata Fangzheng. “Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca
Kitab Bunga Mentari dan meminta maaf. Tapi di samping itu mereka juga meminta
petunjuk kepada Biksu Duyuan tentang ilmu silat yang telah mereka hafalkan dari
kitab pusaka tersebut. Mereka mengira Biksu Duyuan selaku murid kesayangan Tuan
Biksu Hongxie, tentu pernah mendapat pelajaran dari sang guru mengenai isi
kitab pusaka itu. Padahal, Tuan Biksu Hongxie sama sekali tidak pernah
mengajarkannya kepada orang lain. Akan tetapi, Biksu Duyuan sendiri juga tidak
mengatakan hal itu, dan ia tetap mendengarkan mereka berdua menguraikan hafalan
masing-masing. Secara asal-asalan ia memberikan penjelasan, sambil diam-diam ia
menghafal apa yang diuraikan kedua tokoh Perguruan Huashan tersebut. Pada
dasarnya Biksu Duyuan memiliki pikiran yang cerdas dan ilmu silat bagus,
sehingga setiap kalimat yang ia dengar dapat ia hafalkan dengan baik, dan
penjelasan yang ia sampaikan pun terdengar runtut dan masuk akal.”
Linghu Chong menukas, “Jadi,
Biksu Duyuan justru memperoleh isi kitab pusaka itu dari uraian kedua sesepuh
kami?”
“Benar,” jawab Fangzheng
sambil mengangguk. “Namun apa yang diingat oleh kedua bersaudara itu tidak
banyak, kini harus menguraikannya pula, sehingga ada beberapa bagian yang
hilang. Konon Biksu Duyuan tinggal di Gunung Huashan selama delapan hari dan
setelah itu baru mohon pamit. Tapi sejak itu ia pun tidak pernah kembali ke
Biara Shaolin lagi.”
Linghu Chong menjadi heran,
“Tidak pulang ke Biara Shaolin, lalu pergi ke mana?”
“Saat itu tidak ada orang yang
tahu,” jawab Fangzheng. “Tidak lama kemudian Tuan Biksu Hongxie menerima
sepucuk surat dari Biksu Duyuan yang memberitahukan bahwa muridnya itu tidak
mampu mengendalikan keinginan duniawi dan ingin menjalankan kehidupan seperti kaum
awam saja. Ia mengaku tidak bisa kembali ke Biara Shaolin dan tidak punya muka
lagi untuk bertemu sang guru.”
Linghu Chong sungguh heran tak
terkatakan. Ia menganggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun
juga.
Fangzheng melanjutkan, “Setelah
peristiwa itu, terjadilah perselisihan antara Biara Shaolin Cabang Fujian
dengan Perguruan Huashan. Perbuatan dua murid Huashan yang telah mencuri baca
Kitab Bunga Mentari itu juga lantas tersiar di dunia persilatan. Akibatnya,
tidak lama setelah itu sepuluh orang gembong Sekte Iblis pun datang menyerbu ke
Gunung Huashan.”
“Hah?” seru Linghu Chong
terkejut. Seketika ia teringat pada ukiran di dinding gua belakang serta tulang
belulang yang ia temukan di Puncak Huashan beberapa waktu yang lalu. Konon
tulang-tulang tersebut adalah kerangka sepuluh orang Tetua Sekte Iblis yang
terkurung di dalam gua.
“Ada apa?” Fangzheng bertanya.
“Tidak ada apa-apa,” jawab
Linghu Chong. “Mohon maaf telah memotong pembicaraan. Silakan Kepala Biara
melanjutkan cerita.”
Fangzheng berkata, “Saat
kejadian itu bahkan gurumu sendiri belum lahir. Sepuluh orang Tetua Sekte Iblis
datang menyerbu Huashan, tujuannya adalah untuk merebut Kitab Bunga Mentari.
Saat itu Perguruan Huashan telah berserikat dengan Perguruan Taishan, Hengshan,
Songshan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung. Terjadilah
pertempuran sengit di kaki Gunung Huashan. Kesepuluh gembong Sekte Iblis itu
mengalami luka parah, namun mereka berhasil membawa kabur salinan Kitab Bunga
Mentari yang ditulis Yue Su dan Cai Zifeng. Di lain pihak, Yue Su dan Cai
Zifeng tewas dalam pertempuran tersebut. Dengan demikian, tidak dapat
ditentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pertempuran di Gunung
Huashan itu.”
Fangzheng diam sejenak lalu
melanjutkan, “Lima tahun kemudian, kesepuluh gembong Sekte Iblis itu kembali
menyerbu ke Gunung Huashan. Kali ini persiapan mereka benar-benar matang di
mana mereka telah mengetahui cara-cara mematahkan jurus-jurus Serikat Pedang
Lima Gunung. Saudara Chongxu dan saya pernah membicarakan hal ini dan kami
yakin meskipun kesepuluh Gembong Sekte Iblis itu berilmu tinggi rasanya
mustahil dalam waktu lima tahun kepandaian mereka bisa maju sedemikian pesat.
Kami menduga mereka telah mendapatkan banyak wawasan setelah mempelajari Kitab
Bunga Mentari. Dalam pertempuran kali ini, pihak Serikat Pedang Lima Gunung
mengalami kekalahan besar. Pertempuran dahsyat itu banyak menewaskan
tokoh-tokoh penting mereka, sehingga banyak pula jurus-jurus rumit dan hebat
yang punah begitu saja. Akan tetapi, kesepuluh gembong Sekte Iblis itu juga
tidak pernah kembali lagi. Saya membayangkan, peristiwa tersebut tentu sangat
ganas dan berdarah-darah.”
Linghu Chong menanggapi, “Saya
pernah menemukan sepuluh kerangka tulang belulang manusia di dalam sebuah gua
di Puncak Huashan, serta beberapa tulisan terukir di dinding.”
“Benarkah demikian? Bagaimana
bunyi tulisan itu?” Chongxu bertanya.
“Tulisan itu berbunyi:
‘Serikat Pedang lima Gunung tidak tahu malu! Kalian tidak bisa memenangkan
pertempuran, lantas menggunakan cara-cara licik mengurung kami,’” Jawab Linghu
Chong. “Di samping tulisan tersebut, masih terdapat tulisan-tulisan lain yang
lebih kecil, yang kesemuanya mengutuk serta memaki Serikat Pedang Lima Gunung
kami.”
Fangzheng bertanya, “Bagaimana
bisa Perguruan Huashan membiarkan tulisan-tulisan seperti itu tanpa
menghapusnya?”
Linghu Chong menjawab, “Gua di
Puncak Huashan itu saya temukan secara tidak sengaja. Orang lain juga tak ada
yang tahu.” Ia kemudian menceritakan pengalamannya tersebut. Gua rahasia yang
ia temukan itu bermula dari sebuah lorong sempit hasil penggalian seseorang
bersenjatakan kapak sampai sepanjang beberapa ratus meter. Orang itu akhirnya
mati kehabisan tenaga meski tinggal beberapa meter lagi ia berhasil menembus
keluar. Ia memiliki semangat besar yang pantas dikagumi, namun sayang sekali,
nasibnya kurang beruntung.
“Menggunakan kapak? Mungkinkah
dia Fan Song, gembong Sekte Iblis yang berjuluk Si Iblis Sakti Bertenaga
Raksasa,” kata Fangzheng.
“Benar, benar!” kata Linghu
Chong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu
disebut-sebut juga nama Fan Song dan Zhao He. Konon mereka yang berhasil
mematahkan jurus pedang Perguruan Henshan di situ.”
“Zhao He? Dia memiliki julukan
sebagai Si Iblis Terbang Sakti,” seru Fangzheng lagi. “Apakah dia memakai
senjata palu godam?”
“Hal ini kurang jelas,” jawab
Linghu Chong. “Di lantai gua itu memang ada sebuah palu godam. Saya masih ingat
tulisan yang terukir di dinding gua, katanya yang mematahkan jurus pedang Perguruan
Huashan adalah dua orang bernama Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun, atau entah
siapa.”
“Memang benar,” kata
Fangzheng. “Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun adalah dua bersaudara.
Masing-masing berjuluk Si Iblis Sakti Kera Emas dan Si Iblis Sakti Monyet
Putih. Konon senjata mereka adalah toya tembaga.”
“Benar,” kata Linghu Chong.
“Menurut ukiran di dinding gua, di situ dilukiskan jurus pedang Perguruan
Huashan dikalahkan oleh toya mereka. Sungguh cara mereka sangat mengagumkan dan
tidak terduga.”
Fangzheng berkata, “Dari
ceritamu ini, sepertinya tempat yang kau lihat itu telah dipersiapkan oleh
Serikat Pedang Lima Gunung untuk menjebak kesepuluh gembong Sekte Iblis. Sekali
mereka terpancing masuk ke dalam gua itu, mereka langsung terkurung dan tidak
bisa lolos lagi.”
“Saya juga berpikir demikian,”
jawab Linghu Chong. “Itulah sebabnya mengapa kesepuluh gembong Sekte Iblis itu
merasa sangat kesal, lalu mengukir tulisan untuk mencaci maki Serikat Pedang
Lima Gunung. Mereka juga melukiskan jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah
mengalahkan ilmu pedang lawan supaya angkatan selanjutnya mengetahui, bahwa
kematian mereka bukan karena kalah bertanding, tetapi karena terjebak oleh tipu
muslihat Serikat Pedang Lima Gunung. Mengenai ukiran jurus-jurus Perguruan
Huashan yang telah mereka patahkan dengan cara yang menakjubkan itu, sepertinya
tidak dikenal oleh Guru dan Ibu Guru. Setelah mendengarkan cerita Kepala Biara,
sekarang saya baru paham bahwa pertempuran besar di Gunung Huashan kala itu
telah menewaskan banyak sesepuh kami, sehingga banyak pula ilmu-ilmu pedang
Huashan yang ikut punah. Nasib yang sama tentu juga menimpa Perguruan Henshan,
Taishan, Songshan, dan Hengshan.”
“Benar sekali,” sahut Chongxu.
“Selain itu terdapat pula
beberapa pedang yang jelas-jelas milik Serikat Pedang Lima Gunung berserakan di
dekat sepuluh kerangka gembong Sekte Iblis itu,” lanjut linghu Chong.
Fangzheng merenung sejenak,
kemudian berkata, “Mengenai hal ini sulit untuk dijelaskan. Bisa jadi
gembong-gembong Sekte Iblis itu merampasnya dari orang-orang Serikat Pedang
Lima Gunung. Apakah pemandangan yang kau temukan di gua itu sampai kini belum
pernah kau ceritakan kepada orang lain?”
“Tidak pernah,” jawab Linghu
Chong. “Setelah menemukan gua rahasia itu, saya dihadapkan pada berbagai
masalah sehingga tidak sempat menceritakannya, bahkan kepada Guru dan Ibu Guru.
Namun Kakek Guru Feng ternyata sudah mengetahuinya lebih dulu.”
Fangzheng manggut-manggut dan
berkata, “Adik seperguruanku, yaitu Biksu Fangsheng pernah beberapa kali
bertemu dengan Sesepuh Feng Qingyang dan menerima budi baik Beliau. Adik
Fangsheng menceritakan kepadaku bahwa ilmu pedangmu merupakan hasil didikan
Sesepuh Feng. Tadinya kami mengira setelah terjadi perang saudara antara
Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang, Beliau mengasingkan diri dan
meninggal dunia. Namun ternyata Beliau dalam keadaan sehat dan selamat, ini
sungguh berita yang menggembirakan.”
Chongxu menyahut, “Konon
ketika peristiwa itu terjadi, Sesepuh Feng sedang berada di Jiangnan untuk
menikah. Begitu mendengar adanya pertempuran sesama saudara di Gunung Huashan,
ia buru-buru kembali untuk mendukung Kelompok Pedang. Namun Kelompok Pedang
saat itu telah mengalami kekalahan telak dengan jumlah korban yang tidak
sedikit. Andai saja Sesepuh Feng dengan ilmu pedangnya yang sempurna ikut serta
dalam pertempuran itu, mustahil Kelompok Tenaga Dalam mampu mengalahkan
Kelompok Pedang. Akhirnya Beliau sadar bahwa pernikahannya di Jiangnan adalah
hasil rekayasa belaka. Kelompok Tenaga Dalam telah membayar ayah mertuanya
untuk membeli pelacur dan pura-pura dijadikan putrinya. Pelacur itu telah
memikat Sesepuh Feng sehingga Beliau tertahan di Jiangnan. Setelah mengetahui
kenyataan itu, Sesepuh Feng pun kembali ke Jiangnan. Namun keluarga mertua
palsunya telah melarikan diri entah ke mana. Beliau merasa tertipu
mentah-mentah, dan setelah itu tersiar kabar di dunia persilatan, bahwa Sesepuh
Feng sangat terguncang dan akhirnya bunuh diri dengan menggorok leher sendiri.”
Fangzheng berkedip kepada
Chongxu supaya pendeta itu menghentikan cerita. Namun Chongxu pura-pura tidak
melihat dan terus saja berkata, “Ketua Linghu, aku sangat menghormati Sesepuh
Feng dan tidak berani membicarakan kehidupan pribadinya. Aku menceritakan
peristiwa aib seperti ini hanya sebagai pelajaran untukmu, bahwa seorang
pendekar besar bisa saja terjerumus akibat rayuan seorang wanita. Seorang
laki-laki sejati boleh dibunuh, tapi jangan sampai jatuh ke dalam tipu
muslihat.”
Linghu Chong sadar kalau
Chongxu sedang menyindir hubungannya dengan Ren Yingying. Namun karena Chongxu
bermaksud baik, ia hanya menghela napas tanpa menjawab, sambil merenung, “Kakek
Guru Feng selama ini hidup menyendiri di Puncak Huashan, ternyata Beliau sangat
menyesali kesalahannya di masa lalu dan tidak punya muka untuk kembali ke dunia
persilatan. Ini sebabnya mengapa Kakek Guru Feng melarangku membocorkan
keberadaannya kepada orang luar, serta Beliau juga tidak ingin bertemu
orang-orang Perguruan Huashan lagi. Duka dan kesedihan yang menimpa dirinya
dirasakan selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu pula Beliau hidup seorang
diri. Kini aku sudah mengetahui duduk permasalahannya. Suatu hari nanti jika
semua urusanku telah selesai, aku akan mendaki Puncak Huashan dan menemani
Beliau bicara. Aku bukan lagi anggota Perguruan Huashan sehingga menemui Beliau
tidak akan dianggap sebagai suatu pelanggaran.”
Ketiga orang itu berbicara
selama setengah hari dan tanpa terasa matahari sudah hampir tenggelam di balik
gunung. Fangzheng berkata, “Tidak lama setelah Yue Su dan Cai Zifeng menulis
ulang Kitab Bunga Mentari berdasarkan hasil hafalan mereka, kedua tokoh Huashan
itu lantas terbunuh menjadi korban serangan para gembong Sekte Iblis. Kitab
pusaka tersebut telah jatuh ke tangan Sekte Iblis, sementara orang-orang
Huashan belum sempat mempelajarinya. Meskipun demikian, Yue Su dan Cai Zifeng
telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri terhadap isi Kitab Bunga Mentari.
Yang satu berpendapat bahwa yang paling penting adalah belajar tenaga dalam
lebih dulu, sedangkan yang satunya berpendapat lebih penting belajar jurus
pedang lebih dulu. Masing-masing memiliki pendukung sehingga Perguruan Huashan
pun terpecah menjadi dua. Perpecahan ini telah berkembang menjadi pertempuran
besar yang sangat merugikan kedua belah pihak. Hm, boleh dikata Kitab Bunga
Mentari adalah benda pembawa sial untuk Perguruan Huashan.”
Chongxu mengangguk,
“Warna-warna membutakan mata, hirup-pikuk memekakkan telinga. Mungkin inilah
peribahasa yang tepat.”
Fangzheng melanjutkan,
“Meskipun kesepuluh gembong Sekte Iblis berhasil merebut Kitab Bunga Mentari,
namun mereka semua juga terbunuh pada serangan berikutnya. Kematian mereka
adalah karena menuai hasil perbuatan mereka sendiri, hal ini sudah sewajarnya.
Ketua Linghu tadi menyampaikan bahwa Ketua Ren telah memberikan kitab pusaka
itu kepada Dongfang Bubai, tentu yang dimaksud adalah kitab hasil tulisan kedua
tokoh Perguruan Huashan tersebut. Mungkin permusuhan di antara mereka juga
dikarenakan Kitab Bunga Mentari. Padahal sebenarnya, isi kitab di tangan Dongfang
Bubai itu masih kalah lengkap jika dibandingkan dengan apa yang dipahami oleh
Lin Yuantu.”
“Lin Yuantu? Siapa itu Lin
Yuantu?” sahut Linghu Chong menegas.
“Dia adalah kakek buyut Adik
Lin-mu, pendiri Biro Pengawalan Fuwei. Dengan berbekal tujuh puluh dua jurus
Pedang Penakluk Iblis hasil ciptaannya itu, ia telah menundukkan banyak
penjahat di dunia persilatan,” jawab Fangzheng.
“Apakah Tuan Lin ini juga
pernah membaca Kitab Bunga Mentari sebelumnya?” tanya Linghu Chong.
“Dia … dia adalah Biksu
Duyuan, murid kesayangan Biksu Hongxie,” ujar Fangzheng menjelaskan.
Hati Linghu Chong tergetar
mendengarnya. Ia berkata, “Oh, ternyata demikian. Ini benar-benar … agak ….”
Fangzheng menjelaskan,
“Sebelum menjadi biksu ia memang bermarga Lin. Setelah meninggalkan biara, ia
lantas memakai marganya kembali.”
Linghu Chong berbicara
sendiri, “Ternyata Tuan Lin yang terkenal dan disegani karena memiliki tujuh
puluh dua jurus Pedang Penakluk Iblis itu adalah Biksu Duyuan. Ini sungguh
tidak … tidak terduga sama sekali.” Seketika ia pun terkenang kejadian saat Lin
Zhennan meninggal dunia di kuil tua di luar Kota Hengshan dulu.
Fangzheng melanjutkan, “Duyuan
adalah Yuantu. Setelah meninggalkan biara, ia lantas menggunakan kembali marga
Lin, namun dipadukan dengan nama kebuddhaannya, yaitu membalik ‘Duyuan’ menjadi
‘Yuantu’. Ia juga menikah dan punya anak serta mendirikan sebuah perusahaan
ekspedisi bernama Fuwei. Kehebatannya menggemparkan dunia persilatan. Tuan Lin
itu seorang yang berbudi luhur. Meski menjadi seorang pengusaha, namun ia tetap
membela kebenaran dan menolong yang kesusahan. Hatinya lembut tidak ubahnya
seperti saat masih menjadi biksu. Sekali di hati seseorang bersemayam Sang
Buddha, seumur hidup ia akan tetap berlaku welas asih, baik itu menjadi biksu maupun
menjadi kaum awam. Sudah tentu tidak lama kemudian Biksu Hongxie mengetahui
bahwa Tuan Lin adalah bekas muridnya. Namun kabarnya di antara guru dan murid
itu untuk selanjutnya tetap pernah berhubungan lagi.”
Linghu Chong bertanya, “Tuan
Lin memperoleh intisari Kitab Bunga Mentari dari hasil uraian kedua sesepuh
Perguruan Huashan kami, yaitu Yue Su dan Cai Zifeng. Lalu bagaimana jurus
Pedang Penakluk Iblis itu bisa sangat terkenal di tangannya, padahal yang
diwarisi Tuan Lin Zhennan sangat tidak bagus?”
Fangzheng menjawab, “Jurus
Pedang Penakluk Iblis memang berasal dari Kitab Bunga Mentari yang tidak
lengkap itu, yaitu ketika Biksu Duyuan mendengar penuturan Yue Su dan Cai
Zifeng di Gunung Huashan.” Tiba-tiba ia berpaling kepada Chongxu, “Saudara
Chongxu, kau adalah ahli pedang dan jauh lebih paham daripada aku. Mengenai
seluk-beluk masalah ini sebaiknya kau saja yang bercerita.”
Chongxu tertawa menjawab,
“Andai saja kita bukan teman lama yang sudah saling kenal bertahun-tahun, tentu
ucapanmu ini bisa membuatku naik darah. Ucapanmu bisa kuanggap sebagai
olok-olok, karena pada zaman ini ilmu pedang siapa yang bisa melebihi Pendekar
Linghu, selain Sesepuh Feng?”
Fangzheng berkata, “Meskipun
ilmu pedang Pendekar Linghu sangat hebat, tapi pengetahuan dan pengalamannya
masih jauh untuk bisa menyamai dirimu. Kita bertiga adalah teman, untuk apa
pakai segan-segan segala?”
“Ah, padahal pengetahuanku
tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir. Kelak jika ada kesempatan
bertemu Sesepuh Feng Qingyang, aku akan minta petunjuk kepadanya,” ujar
Chongxu. Ia lantas berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Ilmu Pedang
Penakluk Iblis di tangan Lin Zhennan memang rendah, padahal Lin Yuantu pernah
menggemparkan dunia persilatan. Perbedaan antara mereka berdua bagaikan langit
dan bumi. Ketua Perguruan Qingcheng terdahulu yang bernama Zhang Qingzi
mendapat julukan ‘Pendekar Pedang Nomor Satu di Daerah Barat’ ternyata kalah
telak di tangan Lin Yuantu. Anehnya, ilmu pedang Perguruan Qingcheng yang
sekarang justru jauh lebih bagus daripada ilmu pedang Keluarga Lin. Di balik
hal ini tentu ada sebab-sebab yang belum terpecahkan. Masalah ini sudah lama
kurenungkan dan tentunya juga menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu
pedang di dunia persilatan.”
Linghu Chong berkata,
“Mengenai keluarga Adik Lin yang hancur berantakan itu, serta ayah dan ibunya
yang tewas mengenaskan, apakah semua ini ada kaitannya dengan misteri Ilmu
Pedang Penakluk Iblis?”
“Benar,” jawab Chongxu. “Nama
besar Pedang Penakluk Iblis terlalu hebat, namun kepandaian Lin Zhennan
ternyata sangat rendah. Perbedaan mencolok ini mau tidak mau menimbulkan dugaan
bahwa Lin Zhennan pasti terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat
leluhurnya yang mengagumkan itu. Lebih jauh lagi orang-orang tentu berpikir
andai saja Kitab Pedang Penakluk Iblis jatuh ke tangan mereka tentu mereka
dapat menyelami kajaiban ilmu pedang Lin Yuantu yang gilang-gemilang di masa
lampau. Adik Linghu, selama ratusan tahun ini Lin Yuantu memang bukan
satu-satunya ahli pedang. Di samping dirinya masih ada Perguruan Shaolin,
Wudang, Emei, Kunlun, Diancang, Qingcheng, dan tentu saja Serikat Pedang Lima
Gunung. Masing-masing memiliki ahli waris sendiri-sendiri sehingga tidak saling
mengincar ilmu pedang pihak lain. Namun, melihat kepandaian Lin Zhennan begitu
rendah sementara di dalam keluarganya tersimpan ilmu pedang hebat warisan
leluhur, tentu keadaannya bagaikan seorang anak kecil membawa emas yang
berkeliaran sendiri di tengah pasar. Mau tidak mau tentu saja hal ini menarik
perhatian setiap orang untuk berusaha merebut emasnya itu.”
Linghu Chong berkata, “Tuan
Lin Yuantu adalah murid kesayangan Biksu Hongxie dan ia pernah belajar di
Perguruan Shaolin Cabang Fujian. Pasti ia sudah menguasai ilmu silat Perguruan
Shaolin yang hebat sehingga mengenai jurus Pedang Penakluk Iblis atau apa,
bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja ia berikan, tapi sesungguhnya itu
adalah ilmu silat Perguruan Shaolin yang ia ubah sedikit di sana-sini.”
“Memang banyak juga orang yang
berpikir demikian,” kata Chongxu. “Tapi jurus Pedang Penakluk Iblis dan ilmu
Perguruan Shaolin jelas-jelas berbeda. Setiap orang yang memahami ilmu pedang
akan segera tahu bila melihatnya. Hm, orang yang mengincar kitab pusaka
Keluarga Lin sebenarnya sangat banyak, tapi akhirnya si pendek dari Perguruan
Qingcheng yang turun tangan lebih dulu. Meskipun si pendek bermarga Yu ini
cukup cekatan, namun otaknya agak bebal. Mana bisa ia dibandingkan dengan
gurumu, Tuan Yue yang duduk-duduk santai, tapi tinggal menarik keuntungan?”
Seketika wajah Linghu Chong
berubah. Ia berseru, “Pendeta… apa yang kau katakan?”
Chongxu tersenyum menjawab,
“Setelah Lin Pingzhi putra Lin Zhennan masuk Perguruan Huashan, dengan
sendirinya Kitab Pedang Penakluk Iblis ikut dibawanya serta. Kabarnya Tuan Yue
punya seorang putri tunggal yang akan dijodohkan kepada Adik Lin-mu itu, betul
tidak? Hm, dia benar-benar menyusun rencana jangka panjang yang sempurna.”
Semula Linghu Chong kurang
senang ketika Pendeta Chongxu menyinggung nama baik Yue Buqun, gurunya. Namun
setelah mendengar Chongxu mengatakan gurunya itu menyusun rencana jangka
panjang, tiba-tiba ia teringat pada kejadian dahulu, waktu Sang Guru mengutus
Lao Denuo dan adik kecilnya menyamar di sebuah kedai arak di luar Kota Fuzhou.
Waktu itu ia tidak tahu apa maksud tujuan Sang Guru, tapi sekarang ia paham
tujuannya adalah untuk mengawasi Biro Ekspedisi Fuwei. Padahal kepandaian Lin
Zhennan sudah jelas sangat rendah, lalu untuk apa gurunya itu mengirim orang
kalau bukan untuk mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis? Hanya saja, cara yang
digunakan gurunya ini memakai akal, tidak memakai kekerasan seperti si pendek
Yu Canghai dan si bungkuk Mu Gaofeng.
Linghu Chong kemudian berpikir
pula, “Adik Kecil seorang gadis muda belia, mengapa Guru membiarkannya
menonjolkan diri di tempat umum, di sebuah kedai arak dalam waktu cukup lama?”
Berpikir sampai di sini tiba-tiba hatinya bergetar, perasaannya merinding.
Seketika ia pun paham duduk perkaranya, “Ternyata Guru sengaja mengatur dan
menghendaki supaya Adik Kecil berjodoh dengan Adik Lin sejak jauh-jauh hari.”
Melihat raut muka Linghu Chong
berubah masam, Fangzheng dan Chongxu sadar pemuda ini sangat menghormati sang
guru, tentu perkataan tadi membuatnya tersinggung. Maka Fangzheng pun berkata,
“Apa yang kami sampaikan tadi hanyalah obrolanku dengan Saudara Chongxu saja.
Kami berdua sudah terbiasa menduga-duga secara asal-asalan. Padahal gurumu di
dunia persilatan terkenal sebagai kesatria budiman yang santun dan alim.
Mungkin kami berdua telah melakukan kebodohan karena sembarangan menuduh gurumu
yang mulia.”
Di sisi lain, Pendeta Chongxu
hanya tersenyum simpul.
Linghu Chong merasa bingung.
Ia berharap perkataan Chongxu tadi salah, namun dalam lubuk hatinya tetap ada
perasaan bahwa ucapan pendeta sakti tersebut benar adanya. Ia pun merenung,
“Tuan Lin Yuantu tadinya seorang biksu. Itu sebabnya di rumah lama Keluarga Lin
di Gang Xiangyang terdapat ruangan sembahyang Buddha, dan juga jubah biksu
berisi rumus Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Dugaanku, ia menghafalkan penuturan
kedua sesepuh, Yue Su dan Cai Zifeng di Huashan tentang Kitab Bunga Mentari,
kata demi kata. Setelah itu ia pun menuliskannya kembali pada jubah biksu yang
ia kenakan waktu itu.”
Terdengar Chongxu berkata,
“Sampai sekarang, Kitab Bunga Mentari tetap menyimpan rahasia ilmu silat yang
sangat besar. Sekte Iblis menyimpan sebagian, yaitu hasil rampasan kesepuluh
gembong terdahulu. Gurumu, Tuan Yue, juga menyimpan sebagian. Mengingat Lin
Pingzhi sudah bergabung ke dalam Perguruan Huashan, maka Zuo Lengchan juga
tidak akan tinggal diam. Dapat dipastikan saat ini ia menyimpan dua tujuan.
Pertama, membunuh Tuan Yue dan melebur Perguruan Huashan ke dalam Perguruan
Songshan, lalu yang kedua merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tangan
gurumu itu.”
Linghu Chong manggut-manggut,
lantas berkata, “Dugaan Pendeta ada benarnya. Tapi bukankah Kitab Bunga Mentari
yang lengkap ada di Biara Shaolin Cabang Fujian? Apakah Zuo Lengchan tidak
mengetahui hal ini? Jika ia tahu saya khawatir ia akan menyerbu biara tersebut.”
Fangzheng tersenyum
menanggapi, “Kitab Bunga Mentari yang lengkap di Biara Shaolin Cabang Fujian
sudah dimusnahkan sejak lama. Jadi, kau tidak perlu khawatir mengenai hal ini.”
Linghu Chong terkejut
mendengarnya, “Apa? Dimusnahkan?”
Fangzheng menjawab, “Sesaat
sebelum Biksu Hongxie meninggal, ia mengumpulkan semua muridnya. Ia
menyampaikan hasil penafsirannya dan kemudian melemparkan kitab itu ke dalam
api. Kepada murid-muridnya ia berkata: ‘Ilmu silat yang terkandung dalam kitab
ini sangat luar biasa dan menakjubkan. Banyak sekali pokok bahasan yang belum
dipahami dengan benar oleh penciptanya. Masalah-masalah lain yang terkandung
juga masih banyak. Selain itu, langkah pertama untuk mempelajari ilmu dalam
kitab ini tidak hanya sulit dilakukan, namun juga tidak mungkin dilakukan. Maka
itu, jika kitab ini sampai jatuh ke tangan orang lain bisa sangat berbahaya dan
menimbulkan bencana di dunia persilatan. Ia kemudian menulis sepucuk surat
kepada Kepala Biara Shaolin di Gunung Shaoshi tentang hal ini.”
Linghu Chong menghela napas
dan berkata, “Biksu Hongxie benar-benar bijak. Jika Kitab Bunga Mentari lenyap
dari muka bumi, maka kekacauan di dunia persilatan dapat dihindari.” Ia
kemudian terdiam dan merenung, “Jika Kitab Bunga Mentari tidak ada, maka Jurus
Pedang Penakluk Iblis juga tidak ada. Guru juga tidak akan mendekatkan Adik
Kecil dengan Adik Lin. Atau, Adik Lin tidak akan pernah bergabung dengan
Perguruan Huashan, sehingga ia tidak akan pernah bertemu Adik Kecil.” Namun
kemudian hatinya berkata, “Tapi, aku sendiri seorang pengelana liar yang sudah
terlanjur bergaul dengan golongan hitam. Meskipun Kitab Bunga Mentari tidak
ada, tetap saja aku dikeluarkan dari Perguruan. Hm, seorang laki-laki sejati
mengikuti suara hatinya dan menuai apa yang ia tabur sendiri. Tidak seharusnya
aku menyalahkan pihak lain.”