Pendekar Hina Kelana Jilid 91-95

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 91-95 Pikiran Linghu Chong menjadi kacau. Ia merenungkan kembali percakapan guru dan ibu-gurunya tadi sehingga lupa mengerahkan tenaga.
Pikiran Linghu Chong menjadi kacau. Ia merenungkan kembali percakapan guru dan ibu-gurunya tadi sehingga lupa mengerahkan tenaga. Tiba-tiba arus hawa dingin datang merasuk melalui telapak tangan sehingga membuatnya menggigil. Seluruh badannya terasa kedinginan luar biasa sampai menusuk tulang. Lekas-lekas ia mengerahkan tenaga untuk menahan serangan hawa dingin tersebut. Karena tergesa-gesa, tiba-tiba saluran tenaga di bahu kiri terasa macet, terhalang, dan tidak bisa lancar. Ia menjadi gelisah dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat.

Linghu Chong mempelajari Jurus Penyedot Bintang berdasarkan apa yang terukir pada dipan besi dahulu tanpa petunjuk seorang pembimbing, sehingga ada bagian-bagian penting yang sama sekali ia tidak mendapatkan penjelasan. Caranya belajar juga sekenanya. Kini, semakin ia mengerahkan tenaga, tubuhnya terasa semakin kaku dan macet. Mula-mula lengan kiri, menyusul iga kiri, pinggang kiri, dan menurun lagi hingga paha kiri juga terasa kaku. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu ia bermaksud hendak berteriak minta tolong, namun mulutnya juga terasa kaku sulit dibuka sedikit pun.

Pada saat itulah terdengar suara derap kaki kuda. Kembali tempat itu didatangi dua orang penunggang kuda. Terdengar salah seorang berkata, “Di sini banyak terdapat jejak kaki kuda yang berantakan. Sepertinya Ayah dan Ibu tadi berhenti di sini.”

Linghu Chong terkejut bercampur senang, karena suara itu adalah suara Yue Lingshan. Ia berpikir, “Kenapa Adik Kecil juga datang ke sini?”

Lalu terdengar seorang lagi berkata, “Kaki Guru terluka. Kita jangan berlama-lama di sini. Lekas kita menyusul Beliau dengan mengikuti jejak-jejak kuda ini.” Suara ini jelas suara Lin Pingzhi.

Linghu Chong merenung, “Hm, tentu saja mereka berdua juga ikut datang ke Biara Shaolin. Dan sekarang mereka tentu kembali ke Gunung Huashan dengan menyusuri jalan setapak ini, mengikuti jejak kaki kuda Guru dan Ibu Guru.”

Tiba-tiba Yue Lingshan berseru, “Lin Kecil, coba lihat ke sini! Bagus sekali keempat boneka salju ini. Satu sama lain saling bergandeng tangan.”

“Di sekitar sini rasanya tidak ada penduduk. Kenapa ada yang membuat boneka salju di sini?” tanya Lin Pingzhi heran.

“Eh, bagaimana kalau kita menyusun dua boneka salju lagi?” ajak Yue Lingshan dengan tertawa.

“Boleh, kita buat satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya juga bergandeng tangan,” sahut Lin Pingzhi.

Segera Yue Lingshan melompat turun dari kudanya, lalu mulai mengeruk salju dan menimbunnya.

Tapi Lin Pingzhi lantas berkata, “Lebih baik kita menyusul Guru dan Ibu Guru saja. Nanti kalau sudah bertemu Beliau berdua, barulah kita membuat boneka salju.”

“Kau selalu merusak kesenangan orang,” sahut Yue Lingshan. “Meskipun kaki Ayah terluka, tapi kalau menunggang kuda tidak kelihatan. Apalagi ada Ibu yang mendampingi, kenapa kau khawatir mereka diganggu orang? Dulu sewaktu mereka berdua malang melintang di dunia persilatan, kau sendiri bahkan belum lahir.”

“Tapi sebelum kita bertemu Guru dan Ibu Guru, rasanya tidak tenteram bila bermain-main di sini,” kata Lin Pingzhi.

“Baiklah, aku menurut padamu. Tapi sesudah bertemu Ayah dan Ibu nanti, kau harus menemaniku membuat dua boneka salju yang cantik.”

“Tentu saja,” sahut Pingzhi.

Diam-diam Linghu Chong memuji ketulusan hati Lin Pingzhi yang menjawab dengan kata-kata lugas itu. Ia berpikir, “Andai saja Adik Kecil mengajakku, pasti aku akan menjawab, ‘Baiklah, akan kita buat boneka salju secantik dirimu.’ Atau bahkan, ‘Mana mungkin bisa membuat boneka salju yang lebih cantik darimu?’ – Tapi Adik Lin cuma menjawab, ‘Tentu saja.’ Hm, Adik Lin memang polos dan tenang, tidak seperti diriku yang suka bicara seenaknya. Andai saja Adik Kecil mengajakku membuat boneka salju, pasti aku akan langsung setuju. Meskipun terjadi masalah sebesar gunung juga tidak akan kuhiraukan. Anehnya, Adik Kecil sangat menurut pada Adik Lin, meski dalam hati punya keinginan lain. Mungkinkah Adik Kecil juga bisa menurut padaku tanpa membantah? Hei, Adik Lin sudah sembuh. Entah siapa yang telah melukainya, yang jelas Adik Kecil telah menuduh diriku.”

Linghu Chong mengosongkan pikiran demi untuk mendengarkan percakapan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, sehingga melupakan keadaan tubuhnya yang kaku. Tak disangka, yang demikian itu justru cocok dengan prinsip dasar Jurus Penyedot Bintang yang mengharuskan pikiran tenang, tidak gelisah: “Jangan berpikir apa-apa, jangan merasakan apa-apa.” Lambat laun rasa kaku pada tubuhnya menjadi berkurang.

Tiba-tiba terdengar Yue Lingshan berseru, “Baiklah, kita tidak jadi membuat boneka salju. Tapi aku mau menulis beberapa huruf pada boneka salju ini.” Usai berkata ia lantas melolos pedangnya.

Kembali Linghu Chong terkejut khawatir, “Kalau dia menulis serabutan pada tubuh kami, ini sungguh berbahaya.” Sebelum sempat berpikir lagi, mendadak terdengar suara pedang menggores berulang-ulang, sepertinya Yue Lingshan telah mengukir beberapa kata pada salju tebal yang melapisi tubuh Xiang Wentian. Ujung pedangnya terus menggeser ke samping dan akhirnya sampai pada tubuh Linghu Chong. Untung ukirannya tidak terlalu dalam sehingga tidak sampai menembus dan melukai kulit mereka berempat.

“Tulisan apa yang ia ukir pada tubuh kami?” pikir Linghu Chong dalam hati.

“Coba kau tulis juga beberapa kata,” pinta Yue Lingshan lembut.

“Baik,” jawab Lin Pingzhi. Ia sambut pedang gadis itu, lalu ikut mengukir beberapa huruf pada keempat boneka salju. Ia pun mengukir pula dari kanan ke kiri, mulai dari tubuh Xiang Wentian dan berakhir pada tubuh Linghu Chong.

Linghu Chong bertambah penasaran, “Tulisan apa lagi yang diukir Adik Lin?”

Kemudian terdengar suara Yue Lingshan berkata, “Betul, kita berdua harus seperti itu.” Keduanya lantas terdiam sampai agak lama.

Tentu saja Linghu Chong semakin heran, “Harus seperti apa? Nanti bila mereka sudah pergi dan racun dingin dalam tubuh Ketua Ren sudah bersih baru aku meronta keluar dari timbunan salju ini untuk melihat tulisan apa yang mereka ukir tadi. Tapi, ah, kalau aku bergerak tentu timbunan salju ini akan rontok dan tulisan yang mereka ukir ikut hancur. Lebih-lebih kalau kami berempat bergerak bersama-sama, tentu satu huruf pun tidak bisa diketahui lagi.”

Sejenak kemudian Linghu Chong kembali mendengar suara derap kaki kuda dari jauh. Rupanya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan masih belum mendengarnya. Linghu Chong dapat memperkirakan jumlah kuda yang datang itu ada belasan ekor, dan pasti itu murid-murid Perguruan Huashan lainnya yang datang menyusul.

Makin lama suara kuda-kuda itu makin mendekat. Tapi Lin Pingzhi dan Yue Lingshan agaknya masih belum merasakannya.

Linghu Chong mendengar belasan penunggang kuda itu datang dari arah timur laut. Pada jarak satu sampai dua li mereka lantas berpencar. Ada sebagian yang menuju ke arah barat, kemudian membelok dan sama-sama menuju ke arah semula. “Aih, mereka berniat mengepung Adik Lin dan Adik Kecil. Pasti mereka orang-orang jahat,” pikir Linghu Chong.

Mendadak terdengar Yue Lingshan berseru, “Hei, ada orang datang!”

Menyusul kemudian terdengar suara dua anak panah melesat, diikuti dengan suara kuda meringkik pilu, kemudian roboh di tanah. Dalam hati Linghu Chong menduga ilmu silat para pendatang itu tidak lemah. Tujuan mereka juga tidak baik. Dari jauh lebih dulu mereka memanah mati kuda-kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan agar keduanya tidak bisa lari jauh. Sejenak kemudian belasan orang itu sudah mendekat sambil bergelak tawa.

Yue Lingshan berseru khawatir sambil mundur selangkah. Lalu terdengar seseorang di antara para pendatang itu bertanya, “Hehe, ada dua orang adik cilik di sini. Kalian ini murid siapa dan dari perguruan mana?”

Lin Pingzhi menjawab dengan suara lantang, “Aku murid Perguruan Huashan, namaku Lin Pingzhi. Kakakku ini bermarga Yue. Selamanya kita tidak saling kenal, tapi mengapa kalian membunuh kuda-kuda kami tanpa sebab?”

“Murid Perguruan Huashan?” orang itu menegas dengan tertawa. “Jadi guru kalian adalah Tuan Yue, Si Pedang Budiman yang kalah bertanding melawan muridnya sendiri?”

Mendengar itu Linghu Chong merenung sedih, “Aku bertanding melawan Guru baru kemarin, tapi beritanya sudah menyebar ke seluruh dunia persilatan. Ini mengerikan. Sungguh dosa besar.”

Terdengar Lin Pingzhi menjawab, “Kelakuan Linghu Chong tidak baik. Berkali-kali dia melanggar peraturan. Sudah setahun yang lalu dia dipecat dari Perguruan Huashan.” Ucapannya ini bermaksud mengatakan bahwa kekalahan Sang Guru di tangan Linghu Chong merupakan kekalahan melawan orang luar, bukan pertarungan antara guru dan murid lagi.

“Hei, gadis cilik ini bermarga Yue. Ada hubungan apa dengan Tuan Besar Yue?” tanya orang itu lagi.

“Peduli apa denganku?” damprat Yue Lingshan gusar. “Kau telah memanah mati kudaku, sekarang kau harus ganti.”

“Wah, melihat galaknya, kemungkinan besar dia seorang gundik Yue Buqun,” kata orang itu sambil cengar-cengir. Serentak belasan orang kawannya ikut tertawa bergemuruh.

Mendengar kata-kata yang tidak senonoh itu, Linghu Chong berpikir, “Ucapan orang-orang ini sangat kasar, pasti bukan dari aliran lurus. Aku khawatir mereka akan mencelakai Adik Kecil.”

Sementara itu Lin Pingzhi berkata, “Tuan-tuan adalah tokoh sepuh di dunia persilatan, kenapa bicara sekotor itu? Asal tahu saja, kakak seperguruanku ini adalah putri kesayangan guruku.”

“Oh, kiranya putri Yue Buqun, haha, sama sekali tidak cocok dengan kenyataan,” ujar orang tadi sambil tertawa.

Seorang temannya lantas bertanya, “Kakak Lu, kenapa kau bilang tidak cocok dengan kenyataan?”

“Pernah kudengar orang bercerita, katanya putri Yue Buqun sangat cantik, terhitung nona paling ayu di antara angkatan muda zaman sekarang. Tapi nyatanya, cuma begini saja,” sahut si marga Lu tadi.

“Wajah gadis cilik ini memang biasa saja, tapi kulitnya putih dan halus. Kalau ditelanjangi mungkin boleh juga. Hahahahaha!” Serentak mereka tertawa bergemuruh dengan pikiran kotor.

Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, serta Linghu Chong gusar mendengar ucapan-ucapan tidak sopan itu. Lin Pingzhi lantas mencabut pedangnya dan berkata, “Jika kalian mengeluarkan kata-kata tidak senonoh lagi, biarpun mati akan kulayani.”

Tiba-tiba seseorang berseru, “Hei, coba kalian lihat, dua sejoli cabul ini telah menulis apa di atas orang-orangan salju ini?”

Lin Pingzhi semakin tidak tahan lagi. Pedangnya lantas menusuk ke arah gerombolan itu. Maka terdengarlah suara ramai orang bertempur. Seorang musuh telah melompat turun dari kudanya untuk melayani Lin Pingzhi. Yue Lingshan juga ikut menerjang maju. Beberapa laki-laki lantas berseru, “Biar aku yang melayani gadis cilik ini!”

“Jangan ribut, jangan berebut, semuanya akan mendapat giliran,” ujar seorang tua dengan tertawa.

Linghu Chong mendengar suara beradunya senjata. Kiranya Yue Lingshan juga telah bertempur melawan musuh. Mendadak seorang laki-laki menjerit gusar menahan sakit, sepertinya ia terluka oleh pedang Yue Lingshan. Seorang laki-laki lainnya lantas berkata, “Ganas juga gadis ini. Saudara Shi, akan kubalaskan sakit hatimu.”

Di tengah suara nyaring beradunya senjata terdengar Yue Lingshan berseru, “Awas!”

Lalu terdengar suara pedang berbenturan sangat keras disusul oleh suara tertahan Lin Pingzhi.

“Lin Kecil!” seru Yue Lingshan pula. Sepertinya Lin Pingzhi telah terluka.

“Ayo kita bantai bocah ini!” seru seseorang.

“Jangan bunuh dia! Tangkap saja hidup-hidup!” seru pemimpin gerombolan. Kalau anak dan menantu Yue Buqun sudah kita bekuk, mana mungkin Si Pedang Banci bermarga Yue itu takkan tunduk kepada kita?”

Linghu Chong mencoba mendengar lagi dengan lebih cermat. Terdengar suara sambaran senjata menderu di udara, agaknya Yue Lingshan memutar pedangnya dengan kencang. Mendadak terdengar suara “trang”, lalu suara “plak” sekali lagi. Seorang laki-laki lantas mencaci maki, “Kurang ajar kau, gundik cilik!”

Mendadak Linghu Chong merasa badannya disandari seseorang, lalu terdengar suara napas Yue Lingshan tersengal-sengal. Ternyata gadis itu sedang bersandar pada tubuh boneka salju jelmaannya. Setelah terdengar suara senjata beradu lagi beberapa kali, seorang laki-laki di antaranya lantas berseru gembira, “Mana mungkin kau tidak bisa kubekuk?”

Terdengar Yue Lingshan berseru khawatir, lalu tidak terdengar lagi suara beradunya senjata. Sebaliknya, orang-orang itu saling bergelak tawa. Linghu Chong merasa Yue Lingshan yang sedang bersandar pada tubuhnya itu sedang diseret dengan paksa. Terdengar gadis itu berteriak, “Lepaskan aku, lepaskan!”

Seseorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Saudara Min, tadi kau bilang dia berkulit putih mulus. Aku tidak percaya. Mari kita telanjangi saja, dan coba lihat dugaanmu betul atau tidak?”

Semua orang lantas bersorak gembira. Lin Pingzhi memaki dengan gusar, “Kawanan bangsat ….” mendadak ia ditendang satu kali, disusul kemudian terdengar suara kain robek.

Linghu Chong tidak tahan lagi mendengar adik kecilnya hendak dilecehkan. Tanpa menghiraukan keadaan Ren Woxing, segera ia melepaskan tangan Ren Yingying yang dipegangnya, lantas kemudian melompat keluar menghancurkan timbunan salju yang menutupi sekujur tubuhnya. Tangan kanan dipakai mencabut pedang, sedangkan tangan kiri berusaha mengusap salju yang masih menutupi matanya.

Tak disangka tangan kirinya ternyata sukar bergerak. Di tengah suara terkejut gerombolan itu, Linghu Chong sempat menggunakan pangkal lengan kanan untuk mengusap mukanya. Pandangannya menjadi terang, pedang pun menusuk ke depan. Dalam sekaligus tiga orang musuh roboh di tangannya.

Segera Linghu Chong memutar tubuh. Dua kali ayunan pedangnya kembali membinasakan dua orang musuh. Dilihatnya seorang laki-laki sedang menelikung kedua tangan Yue Lingshan ke belakang, seorang lagi dengan golok terhunus siap melawannya. Ia pun menerjang maju. Pedangnya menusuk iga laki-laki bergolok itu hingga tembus. Sekali depak ia singkirkan mayat lawan sambil mencabut pedang dari mayat tersebut. Sementara itu terdengar suara dua orang hendak menyergapnya dari belakang. Tanpa menoleh pedangnya menusuk jantung kedua orang itu. Kontan mereka pun jatuh terkapar. Tanpa berhenti ia terus menubruk maju. Pedang berkelebat, dan selanjutnya tenggorokan orang yang menelikung tangan Yue Lingshan tersebut tertembus seketika. Cengkeraman orang itu pada lengan Yue Lingshan menjadi kendur dan ia pun terkapar di atas pundak si nona. Darah segar tampak membanjir keluar dari lehernya, membuat tubuh Yue Lingshan basah kuyup oleh darah.

Sekaligus Linghu Chong telah membunuh sembilan orang dalam sekejap mata. Sisanya masih delapan orang menjadi sangat ketakutan. Mendadak pemimpin gerombolan itu berteriak dan mendahului maju sambil memutar senjatanya yang berbentuk perisai ke atas kepala Linghu Chong.

Namun dengan kecepatan luar biasa Linghu Chong mendahului menusuk sehingga pedangnya tepat menembus mata kiri orang itu sampai ke belakang. Kontan orang itu menjerit dan roboh terguling. Tidak berhenti sampai di situ, Linghu Chong kembali menebas dan menusuk berulang-ulang. Tiga orang lawan kembali terbunuh. Masih sisa empat orang yang ketakutan setengah mati. Mereka menjerit dan lari berpencar.

“Kalian berani kurang ajar pada adik kecilku, satu pun tidak boleh diampuni,” seru Linghu Chong sambil memburu maju. Dengan menggerakkan pedang dua kali, dua orang musuh pun tertembus punggungnya sampai ke dada. Karena kaki mereka sudah terlanjur berlari sekencang-kencangnya, dalam keadaan sekarat pun mereka tetap berlari sampai akhirnya jatuh tersungkur di atas salju.

Tinggal dua orang lagi yang berlari ke dua arah berbeda. Linghu Chong melemparkan pedangnya sekuat tenaga, dan secepat kilat menembus punggung orang yang sedang berlari ke arah timur sehingga terpantek di atas tanah. Linghu Chong kemudian mengejar orang terakhir yang berlari ke arah barat. Kira-kira puluhan meter jauhnya orang itu pun sudah tersusul olehnya. Jarinya bergerak menotok punggung orang itu. Namun karena ilmu silat tangan kosongnya biasa-biasa saja, orang yang dikejarnya itu hanya merasa kesakitan namun tidak sampai terluka.

Tak disangka orang itu berubah menjadi nekat. Mendadak ia memutar tubuh dan mengayunkan goloknya. Baru sekarang Linghu Chong sadar bahwa dirinya sudah tidak bersenjata lagi. Mau tidak mau hatinya merasa cemas dan segera melompat mundur. Orang itu mendesak maju dan terus menebaskan goloknya. Linghu Chong melihat pada serangan tersebut terdapat celah kelemahan yang sangat lebar. Ia bermaksud menggunakan tangan kiri sebagai pedang, namun terasa sulit untuk digerakkan. Di lain pihak, golok lawan telah menebas ke arah mukanya.

Terpaksa Linghu Chong melompat mundur. Orang itu semakin nekat dan mengayunkan goloknya dengan gencar. Tanpa senjata di tangan, Linghu Chong tidak berani gegabah. Terpaksa ia memutar balik dan berlari ke tempat semula. Terlihat olehnya Yue Lingshan memungut pedang di tanah dan berseru, “Kakak Pertama, pakailah ini!”

Yue Lingshan melemparkan pedang itu dan segera ditangkap oleh Linghu Chong yang kemudian memutar balik sambil bergelak tawa. Saat itu lawannya sudah mengangkat golok hendak mencincang, namun wajahnya berubah ngeri ketakutan melihat pedang Linghu Chong yang berkelebat. Ia pun terpaku ketakutan.

Perlahan-lahan Linghu Chong melangkah maju. Laki-laki itu semakin gemetar. Memegang senjata saja tidak kuat lagi. Goloknya pun jatuh ke tanah. Tanpa terasa ia berlutut di hadapan Linghu Chong.

“Aku tidak akan mengampunimu,” kata Linghu Chong sambil menyodorkan ujung pedangnya ke leher orang itu. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Perlahan ia bertanya dengan suara parau, “Tulisan apa yang terdapat pada orang-orangan salju tadi?”

Dengan suara gemetar orang itu menjawab, “Tulisan tadi … berbunyi: ‘Sampai laut kering dan … dan gunung runtuh, cinta kita … cinta kita … tetap teguh.’ ”

Dengan suara datar Linghu Chong berkata, “Hm, sampai laut kering dan gunung runtuh, cinta kita tetap teguh.” Hatinya bergejolak, tangan pun gemetar. Tak kuasa menahan perasaan, ia pun mendorong pedangnya hingga menembus leher musuhnya yang terakhir itu.

Sewaktu berpaling kembali, dilihatnya Yue Lingshan sedang memapah Lin Pingzhi. Tubuh dan wajah kedua muda-mudi itu sama-sama bermandikan darah. Setelah berdiri, Lin Pingzhi lantas memberi hormat, “Terima kasih banyak atas pertolongan Pendekar Linghu.”

“Tidak masalah,” sahut Linghu Chong. “Apa lukamu parah?”

“Tidak apa-apa,” jawab Lin Pingzhi.

“Guru dan Ibu Guru menuju ke sana,” kata Linghu Chong sambil menunjuk bekas-bekas tapak kuda.

Sementara itu Yue Lingshan telah menuntun dua ekor kuda milik gerombolan tadi. Ia mendahului naik ke atas kuda dan berkata, “Mari kita menyusul Ayah dan Ibu!”

Dengan susah payah Lin Pingzhi menaiki kudanya. Ketika Yue Lingshan lewat di samping Linghu Chong, tiba-tiba ia menahan kudanya dan memandang sejenak. Perlahan Linghu Chong mengangkat kepalanya, melihat si nona menatap, dan ia pun balas memandang.

“Terima … terima kasih … Kakak ….” Yue Lingshan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Segera ia berpaling kembali dan melarikan kudanya menuju ke arah barat laut menyusul Yue Buqun dan Ning Zhongze.

Linghu Chong termangu-mangu melepas kepergian Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Sampai bayangan mereka berdua menghilang di balik hutan barulah ia menoleh ke arah Ren Woxing bertiga. Ternyata ketiganya sudah membersihkan salju yang menempel pada badan masing-masing dan memandang tajam ke arahnya.

Dengan gembira Linghu Chong berseru, “Hei, Ketua Ren, apakah aku … aku menyusahkanmu?”

“Kau memang tidak menyusahkanku, tapi dirimu sendiri yang sedang bermasalah. Bagaimana lengan kirimu?” sahut Ren Woxing.

“Untuk sementara terasa kaku. Sepertinya jalan darahku kurang lancar sehingga tangan ini tidak mau digerakkan,” kata Linghu Chong.

“Urusan ini agak sulit, biarlah kita mencari jalan keluarnya nanti,” ujar Ren Woxing. “Baru saja kau telah menyelamatkan putri Yue Buqun, anggap saja kau telah membalas budi baik perguruanmu. Untuk selanjutnya kau tidak perlu merasa berhutang budi lagi. Eh, Adik Xiang, mengapa si tua Lu makin lama makin tidak senonoh? Sampai-sampai perbuatan kotor begini juga dilakukannya?”

“Dari nadanya dapat kuduga mereka ingin membekuk kedua muda-mudi itu untuk dibawa ke Tebing Kayu Hitam,” jawab Xiang Wentian.

“Apa mungkin mereka melaksanakan perintah Dongfang Bubai? Ada urusan apa lagi dia dengan si munafik Yue Buqun?” ujar Ren Woxing.

Linghu Chong menyela, “Apakah orang-orang ini anak buah Dongfang Bubai?”

“Anak buahku,” sahut Ren Woxing.

Linghu Chong mengangguk paham.

Ren Yingying ikut membuka suara, “Ayah, bagaimana dengan lengannya?”

“Jangan khawatir, anak manis,” sahut Ren Woxing. “Menantuku yang baik telah membantu mertua memusnahkan racun dingin, sudah tentu si bapak mertua akan berusaha menyembuhkan lengannya.” Usai berkata ia tertawa terbahak-bahak, dan menatap tajam ke arah Linghu Chong yang terlihat rikuh.

“Jangan bicara begitu, Ayah,” sahut Ren Yingying. “Kakak Chong dibesarkan bersama-sama dengan Nona Yue. Mereka saling menyayangi sejak kecil. Apa Ayah tidak melihat bagaimana sikap Kakak Chong terhadap Nona Yue tadi?”

“Hm, manusia macam apa si munafik Yue Buqun itu? Mana bisa anak perempuannya dibandingkan dengan putriku?” ujar Ren Woxing sambil tertawa. “Lagipula Si Nona Yue itu sudah punya tambatan hati. Perempuan yang hatinya gampang berubah seperti dia mana bisa dipercaya? Selanjutnya Chong’er tentu akan melupakan gadis itu. Kejadian masa kecil mana bisa dijadikan patokan?”

Ren Yingying menjawab lirih, “Demi diriku Kakak Chong telah membuat onar di Biara Shaolin yang termasyhur di seluruh dunia. Demi diriku dia tidak mau kembali ke Perguruan Huashan. Kedua hal ini sudah cukup membuat hatiku senang dan puas. Tentang urusan lain tidak perlu diungkit-ungkit lagi.”

Ren Woxing hafal sifat putrinya yang angkuh dan tinggi hati. Jika Linghu Chong tidak mengajukan lamaran, maka putrinya juga tidak mau memaksa. Lagipula urusan perjodohan dapat diatur belakangan. Maka dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Bagus, bagus! Memang urusan mahapenting yang menyangkut kebahagiaan seumur hidupmu bisa dibicarakan nanti. Eh, Chong’er, akan kuajari dirimu cara melancarkan urat nadi di bagian lengan kirimu yang macet itu.”

Lalu ia menarik Linghu Chong ke pinggir dan mengajarkan rumus bagaimana cara mengerahkan tenaga dan melancarkan aliran darah. Setelah mengulangi sekali lagi, ia kemudian meminta Linghu Chong menghafalkannya. Setelah Linghu Chong benar-benar hafal, orang tua itu lalu berkata, “Kau telah membantuku memusnahkan racun dingin, sekarang aku mengajarimu cara melancarkan aliran darah. Kita masing-masing tidak saling berhutang budi lagi. Untuk menyembuhkan seluruh lenganmu yang kaku itu diperlukan waktu tujuh hari. Harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong.

Ren Woxing lalu melambaikan tangan ke arah Xiang Wentian dan Ren Yingying. Setelah mereka berkumpul semua, ia berkata, “Chong’er, ketika di Wisma Meizhuang tempo hari aku pernah mengajakmu masuk Sekte Matahari dan Bulan. Waktu itu dengan tegas kau menolaknya. Sekarang keadaan sudah berubah. Aku mengulangi lagi pertanyaan lama. Kali ini tentu kau takkan menolaknya, bukan?”

Selagi Linghu Chong masih bimbang dan belum menjawab, Ren Woxing menyambung lagi, “Kau telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang, kelak tentu akan banyak mendatangkan kesusahan. Bila bermacam-macam hawa murni yang berlainan dalam tubuhmu itu bergejolak, maka tak terkatakan derita yang akan kau rasakan. Apa yang kukatakan takkan kutarik kembali. Kalau kau tidak masuk aliran kami, biarpun Yingying menjadi istrimu, aku tetap tidak mau mengajarkan cara memusnahkan tenaga-tenaga liar di dalam tubuhmu itu. Meskipun seumur hidup putriku akan marah kepadaku, aku takkan berubah pikiran. Sekarang masih ada urusan mahapenting yaitu membalas perbuatan Dongfang Bubai. Apakah kau akan ikut pergi bersama kami?”

“Mohon maaf, Ketua Ren. Selama hidup aku sudah pasti tidak akan masuk Sekte Matahari dan Bulan,” sahut Linghu Chong dengan mantap dan tegas.

Seketika raut muka Ren Woxing bertiga berubah. Xiang Wentian bertanya, “Apa sebabnya? Apakah kau memandang rendah Sekte Matahari dan Bulan kami?”

“Di dalam Sekte Matahari dan Bulan penuh orang-orang macam begini. Meskipun aku hina dan rendah, tapi aku malu berkumpul dengan mereka,” sahut Linghu Chong sambil menunjuk belasan mayat yang menggeletak di tanah. “Lagipula aku sudah berjanji kepada Biksuni Dingxian untuk menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan.”

Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian langsung terheran-heran begitu mendengar ucapan tersebut. Bahwa Linghu Chong menolak masuk aliran mereka bukanlah hal yang mengherankan. Namun kalimat yang terakhir benar-benar di luar dugaan, sampai-sampai mereka tidak percaya pada telinga masing-masing.

Sambil menunjuk muka Linghu Chong, tiba-tiba Ren Woxing terbahak-bahak geli. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Kau … kau ingin menjadi biksuni? Kau mau menjadi ketua para biksuni?”

“Bukan menjadi biksuni, hanya menjadi Ketua Perguruan Henshan saja,” sahut Linghu Chong. “Sebelum mengembuskan napas terakhir, Biksuni Dingxian telah meminta dengan sangat kepadaku. Apabila aku tidak menyanggupinya, Beliau mengaku akan mati penasaran. Apalagi kematian Biksuni Dingxian adalah karena diriku. Aku juga sadar peristiwa ini pasti akan menggemparkan. Tapi aku tidak bisa menolak permintaannya.”

Ren Woxing masih saja tertawa geli terbahak-bahak.

“Biksuni Dingxian juga meninggal karena aku,” kata Ren Yingying dengan memandang tajam kepada ayahnya. Linghu Chong menoleh ke arah gadis itu dengan hati penuh rasa terima kasih.

Perlahan-lahan Ren Woxing berhenti tertawa, lalu berkata, “Jadi kalau orang lain meminta sesuatu padamu, kau merasa harus mengerjakannya dengan patuh, begitu?”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Apalagi kematian Biksuni Dingxian lantaran memenuhi janjinya padaku.”

“Bagus,” kata Ren Woxing. “Aku adalah si tua aneh dan kau si kecil aneh. Kalau tidak berbuat sesuatu yang menggemparkan, mana bisa menjadi tokoh pengguncang langit dan bumi? Baiklah, kau pergi saja menjadi ketua kaum biksuni itu. Sekarang juga apa kau akan berangkat ke Gunung Henshan?”

“Tidak, aku akan pergi ke Biara Shaolin dulu,” jawab Linghu Chong.

Ren Woxing agak heran, tapi kemudian memahami maksudnya, “Ya, tentu saja kau ingin mengusung kedua jenazah biksuni tua itu kembali ke Henshan, bukan?” Lalu ia menoleh kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut Chong’er pergi ke Biara Shaolin?”

“Tidak, aku akan ikut Ayah,” jawab Ren Yingying.

“Betul, mana mungkin kau juga pergi ke Gunung Henshan? Bisa-bisa kau ikut menjadi biksuni di sana,” ujar Ren Woxing sambil bergelak tawa, namun suara tawanya bernada getir.

Linghu Chong lantas memberi hormat dan berkata, “Ketua Ren, Kakak Xiang, Yingying, sampai berjumpa lagi.” Ia kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi. Baru belasan langkah tiba-tiba ia berpaling dan bertanya, “Ketua Ren, kapan kalian pergi ke Tebing Kayu Hitam?”

“Ini urusan rumah tangga aliran kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Ren Woxing. Ia tahu Linghu Chong bermaksud membantu menghadapi Dongfang Bubai bila tiba waktunya kelak. Namun dengan tegas ia menolak maksud permuda itu.

Linghu Chong menganggukkan kepala, lalu memungut sebilah pedang yang berserakan di atas salju. Pedang itu digantungkannya di pinggang, lalu melangkah pergi.

Menjelang senja, ia pun tiba di Biara Shaolin. Ia menyampaikan maksud kedatangannya kepada biksu penerima tamu dan memohon diizinkan mengusung jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi pulang ke Gunung Henshan. Biksu penerima tamu itu segera melapor ke dalam, dan kemudian kembali lagi dengan berkata, “Menurut Kepala Biara, jenazah kedua biksuni sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan doa bersama untuk arwah Beliau berdua oleh segenap penghuni biara ini. Tentang abu jenazah kedua biksuni selekasnya akan kami antar ke Gunung Henshan.”

Linghu Chong kemudian berjalan memasuki ruang sembahyang. Ia membungkuk hormat di hadapan altar kedua biksuni beberapa kali. Dalam hati ia berkata, “Selama aku masih hidup, aku akan menjaga Perguruan Henshan dengan sepenuh hati dan segenap kekuatanku, serta tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan Biksuni kepadaku.” Setelah itu ia melangkah keluar tanpa meminta bertemu Mahabiksu Fangzheng terlebih dahulu. Kepada biksu penerima tamu ia pun mohon pamit kemudian bergegas pergi menuruni Gunung Shaoshi.

Sesampainya di kaki gunung, salju masih belum juga reda. Malam itu ia menginap di rumah seorang petani. Esoknya ia melanjutkan perjalanan menuju ke arah utara. Di sebuah kota kecil dibelinya seekor kuda sebagai kendaraan. Karena lengan kiri masih terasa kaku, maka perjalanannya pun agak terganggu. Setiap hari ia hanya menempuh jarak tujuh sampai delapan puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. Di setiap peristirahatan ia menerapkan rumus yang diajarkan Ren Woxing untuk melancarkan aliran darah. Setelah tujuh hari lengan kirinya itu sudah bisa digerakkan dengan leluasa.

Beberapa hari kemudian, pada suatu siang Linghu Chong mampir di sebuah rumah makan untuk minum arak. Saat itu sudah dekat tahun baru, suasana tampak ramai. Orang-orang berlalu-lalang belanja untuk persiapan perayaan tahun baru. Sambil minum arak sendirian di loteng, Linghu Chong terkenang pada masa lampau, “Di Gunung Huashan menjelang tahun baru, Ibu Guru menyuruh kami untuk bersih-bersih, menggiling tepung untuk membuat kue, juga menyiapkan amplop merah. Semuanya dalam suasana riang gembira. Adik Kecil membuat banyak guntingan pula untuk menghias dinding. Tapi tahun ini, aku harus merayakannya sendirian ditemani arak ini.”

Selagi hatinya bersedih mengenang masa lalu, tiba-tiba terdengar suara tangga berbunyi, seperti ada orang banyak sedang naik ke atas. Terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Haus sekali, mari kita minum dulu di sini!”

“Seandainya tidak haus juga boleh minum, bukan?” ujar yang lain.

“Haus dan minum saling berkaitan. kenapa harus dipisah-pisah?” sahut seorang lagi.

“Minum arak ya minum arak, haus ya haus. Kenapa harus dikait-kaitkan?” sahut yang lain tak mau kalah.

“Semakin banyak minum arak malah semakin haus. Keduanya bukan hanya tidak bisa dikait-kaitkan, tapi juga sangat berlawanan,” sambung yang lainnya.

Mendengar percakapan yang bertele-tele itu Linghu Chong segera tahu siapa yang datang. Dengan cepat ia berseru, “Enam Saudara Persik, lekas kemari, minum bersama aku!”

Serentak terdengarlah suara berisik. Enam Dewa Lembah Persik telah melompat ke atas bersama-sama dan mengelilingi Linghu Chong. Ada yang memegang tangannya, ada yang memegang bahunya, ada pula yang memegang bajunya. Beramai-ramai mereka berteriak, “Aku yang temukan dia!”

“Aku yang pegang dia paling dulu!”

“Aku yang temukan dia. Suaraku yang pertama kali didengar olehnya!”

“Aku yang mengajak kalian ke sini. Kalau kalian tidak kuajak ke sini, bagaimana kalian bisa bertemu dia?”

Linghu Chong tertawa heran dan berkata, “Apa-apaan kalian ini?”

Tiba-tiba Dewa Bunga Persik berlari ke pinggir jendela dan berseru keras-keras, “Hei, biksuni cilik, biksuni besar, biksuni tua, biksuni muda, dan biksuni tidak tua tidak muda, aku telah menemukan Tuan Muda Linghu. Lekas serahkan seribu tael perak kepada kami!”

Dewa Ranting Persik ikut berlari ke tepi jendela dan berteriak, “Bukan dia, tapi aku yang pertama memegang Tuan Muda Linghu! Lekas serahkan seribu tael yang kalian janjikan itu!”

Sementara itu Dewa Dahan Persik dan Dewa Buah Persik juga tidak mau kalah. Sambil masih memegangi Linghu Chong mereka berteriak-teriak, “Tidak, aku yang melihat dia paling dulu!”

“Aku yang menemukan dia!”

Maka terdengarlah suara seorang wanita berseru di luar rumah makan, “Benarkah kalian telah menemukan Pendekar Linghu?”

“Benar! Aku yang menemukan dia! Lekas serahkan uangnya! Ada uang ada barang!” ujar Enam Dewa Lembah Persik berteriak-teriak.

Dewa Ranting Persik berkata, “Benar! Kalau mereka sampai ingkar janji, kita sembunyikan saja Tuan Muda Linghu.”

Dewa Akar Persik menyambung, “Bagaimana caranya menyembunyikan dia? Kita kurung saja dia di sini supaya biksuni cilik tidak melihatnya.”

Di tengah keramaian itu terdengarlah suara orang menaiki tangga loteng. Orang pertama yang muncul adalah murid Perguruan Henshan, bernama Yihe. Di belakangnya ikut pula empat biksuni dan dua murid awam, yaitu Zheng E dan Qin Juan. Melihat Linghu Chong benar-benar berada di situ, mereka bertujuh sangat gembira. Ada yang memanggil “Pendekar Linghu”, ada yang memanggil “Kakak Linghu”, ada pula yang memanggil “Tuan Muda Linghu”.

Dewa Dahan Persik tiba-tiba menghadang di tengah-tengah mereka dan berkata, “Mana uangnya? Ada uang ada barang! Tanpa seribu tael perak takkan kuserahkan orang ini.”

“Keenam Saudara Persik,” kata Linghu Chong dengan tertawa, “sebenarnya bagaimana ceritanya soal seribu tael perak segala?”

“Di tengah jalan tadi kami bertemu mereka,” tutur Dewa Ranting Persik. “Mereka bertanya kepada kami apa pernah melihatmu. Kukatakan sementara ini tidak, tapi sebentar lagi pasti akan bertemu.”

“Paman ini bohong!” seru Qin Juan menyela. “Tadi dia menjawab, ‘Linghu Chong punya kaki sendiri, saat ini mungkin dia berada di ujung langit. Ke mana kami akan menemukan dia?’”

“Tidak, tidak! Kami bisa meramalkan apa yang bakal terjadi. Sebelumnya kami sudah tahu akan menemukan Tuan Muda Linghu di sini!” bantah Dewa Bunga Persik.

“Benar! Kalau tidak, mengapa kami tiba-tiba datang kemari?” tambah Dewa Dahan Persik.

Linghu Chong tertawa dan menyela, “Sudahlah, aku dapat menebak. Tentu adik-adik ini sedang mencariku dan mereka meminta bantuan kalian. Lalu kalian membuka harga seribu tael perak sebagai upah, betul tidak?”

“Harga seribu tael perak memang setinggi langit. Salah mereka sendiri tidak pandai tawar-menawar,” ujar Dewa Dahan Persik. “Mereka begitu dermawan. Kami minta upah seribu tael perak, tanpa menawar mereka langsung setuju asalkan Pendekar Linghu dapat ditemukan. Janji ini telah kalian sanggupi, bukan?”

Yihe menjawab, “Benar, memang kami telah berjanji akan memberikan seribu tael perak asalkan kalian dapat menemukan Kakak Linghu.”

“Nah, sekarang bayar segera,” kata Enam Dewa Lembah Persik bersama-sama sambil menjulurkan tangan masing-masing.

“Kaum biarawati seperti kami mana bisa membawa uang sebanyak itu?” kata Yihe. “Silakan kalian berenam ikut ke Gunung Henshan untuk menerimanya nanti.”

Dalam hati Yihe mengira mereka berenam tentu malas ikut ke Gunung Henshan yang letaknya sangat jauh. Tak disangka, Enam Dewa Lembah Persik menjawab serentak, “Baik, kami akan ikut ke Henshan untuk menerima pembayaran. Kalian tidak boleh hutang, ya?”

“Wah, selamat untuk kalian berenam, sekarang menjadi kaya raya!” puji Linghu Chong sambil tertawa. “Kalian telah menjual diriku dengan bayaran yang sangat besar.”

“Terima kasih, terima kasih!” sahut Enam Dewa Lembah Persik.

Tiba-tiba Yihe dan kawan-kawan serentak berlutut menyembah kepada Linghu Chong dengan wajah berduka.

“Hei, kenapa kalian berbuat demikian?” tanya Linghu Chong terkejut dan buru-buru membalas hormat.

“Kami menyampaikan sembah bakti kepada Ketua,” kata Yihe.

“O, jadi kalian sudah tahu? Silakan bangun untuk bicara,” kata Linghu Chong.

“Benar, bicara sambil berlutut begitu tentu tidak nyaman,” sahut Dewa Akar Persik ikut bicara.

“Keenam Saudara Persik,” kata Linghu Chong, “sekarang aku sudah termasuk anggota Perguruan Henshan. Kami punya urusan penting yang harus dirundingkan. Kalian silakan minum arak di sebelah sana, tidak boleh mengganggu atau kalian akan kehilangan seribu tael perak.”

Sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik bermaksud mengoceh lagi. Tapi begitu mendengar kalimat yang terakhir, mereka langsung bungkam dan terpaksa menyingkir ke sebuah meja di salah satu sudut ruangan sambil berteriak-teriak memesan makanan dan minuman.

Yihe dan yang lain bangkit kembali. Namun begitu teringat pada kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi yang mengenaskan, isak tangis mereka pun lagi-lagi pecah.

Dewa Bunga Persik menyahut, “Hei, aneh sekali. Kenapa kalian tiba-tiba menangis? Kalau kalian menangis gara-gara bertemu Linghu Chong, apa sebaiknya kalian tidak usah bertemu saja?”

Linghu Chong langsung menoleh dan melotot kepadanya. Dewa Bunga Persik ketakutan dan lekas-lekas membungkam mulutnya sendiri menggunakan tangan.

Yihe berkata, “Tempo hari Kakak Linghu, maksudku, Paman Ketua mendarat dan tidak kembali lagi ke kapal, kemudian datang Paman Guru Mo dari Perguruan Hengshan memberi tahu kami bahwa Paman Ketua telah pergi ke Biara Shaolin untuk menyusul Bibi Ketua dan Bibi Dingyi. Setelah berunding, kami pun bermaksud ikut menyusul ke sana. Tak disangka di tengah jalan kami bertemu belasan tokoh persilatan yang membicarakan kehebatan Paman Ketua saat memimpin ribuan pendekar menduduki Biara Shaolin, juga saat menakut-nakuti para biksu sehingga melarikan diri. Di antara mereka ada seorang bertubuh bulat pendek yang mengaku bermarga Lao, juga seorang sastrawan setengah baya bermarga Zu. Mereka berdua mengatakan … mengatakan bahwa Bibi Ketua dan Bibi Dingyi telah meninggal di dalam Biara Shaolin. Sebelum meninggal, konon Bibi Ketua telah meminta kepadamu untuk mewarisi kedudukan ketua perguruan kita, dan kau telah menerima permintaan itu. Wasiat tersebut katanya juga telah disaksikan banyak orang ….” sampai di sini suaranya terputus-putus oleh karena isak tangisnya yang semakin memilukan. Keenam adiknya juga ikut menangis sedih.

“Benar, waktu itu Biksuni Dingxian memang telah memintaku untuk memikul tugas berat ini,” kata Linghu Chong. “Tapi, aku seorang laki-laki dan namaku sudah tercemar pula. Semua orang tahu aku pemuda berandalan, mana pantas menjadi Ketua Perguruan Henshan? Namun keadaan waktu itu memang sangat mendesak. Jika aku tidak menerimanya, maka Biksuni Dingxian tidak akan tenteram hatinya. Aih, aku merasa serbasalah.”

Yihe menyahut, “Tapi … tapi kami semua sangat mengharapkanmu menjadi Ketua Perguruan Henshan kita.”

Zheng E berkata, “Paman Ketua, kau pernah memimpin kami dalam pertempuran, dan beberapa kali kau telah menyelamatkan nyawa kami. Setiap murid Perguruan Henshan mengenalmu sebagai seorang kesatria sejati. Meskipun kau seorang laki-laki, tapi di dalam peraturan perguruan kita tidak pernah ada larangan kaum lelaki menjadi ketua.”

Yiwen, seorang biksuni setengah baya ikut bicara, “Kami sangat sedih ketika mendengar wafatnya kedua bibi. Tapi begitu mengetahui kalau kau yang akan menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan, hati kami menjadi lega dan sangat terhibur.”

Yihe menyambung, “Guruku telah dicelakai orang, kedua bibi juga tewas di tangan musuh. Dalam waktu beberapa bulan saja tiga tokoh utama Perguruan Henshan dari angkatan ‘Ding’ telah wafat susul-menyusul, dan siapa pembunuhnya sama sekali tidak diketahui. Paman Ketua, sungguh sangat tepat jika kau yang menjadi pemimpin kami. Tidak ada salahnya kalau kau mengganti nama menjadi Linghu Dingchong. Jika bukan dirimu rasanya sukar untuk menuntut balas bagi ketiga orang tua kami.”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Tugas berat membalaskan dendam ketiga biksuni sepuh memang menjadi tanggung jawabku.”

Qin Juan berkata, “Kau sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan, dan kini menjadi bagian dari Perguruan Henshan. Gunung barat dan gunung utara sejajar derajatnya. Kelak jika kau bertemu Tuan Yue tidak perlu lagi memanggil ‘Guru’ kepadanya, tapi cukup memanggil ‘Saudara Yue’ saja.”

Linghu Chong hanya tersenyum. Dalam hati ia berpikir, “Mana mungkin aku berani?”

Zheng E berkata, “Setelah mendengar berita duka meninggalnya kedua guru kami, kami pun bergegas menuju Biara Shaolin. Tapi di tengah jalan kami kembali bertemu Paman Guru Mo. Beliau berkata bahwa kau sudah meninggalkan Gunung Shaoshi. Kami dianjurkan lekas-lekas mencari keberadaanmu.”

Qin Juan menyahut, “Paman Guru Mo mengatakan makin cepat menemukanmu akan semakin baik. Kata Beliau, terlambat sedikit saja bisa jadi kau sudah dibujuk orang masuk Sekte Iblis. Padahal antara aliran lurus dan aliran sesat bagaikan air dan api, jelas tidak bisa hidup berdampingan. Selain itu, Perguruan Henshan bisa-bisa kehilangan seorang ketua pula.”

“Adik Qin suka bicara tanpa dipikir dulu. Mana mungkin Paman Ketua sudi masuk Sekte Iblis semudah itu?” ujar Zheng E.

“Tapi kenyataannya Paman Guru Mo memang bicara demikian, bukan?” balas Qin Juan.

Dalam hati Linghu Chong memuji perhitungan Tuan Besar Mo tersebut. Andai saja waktu itu Ren Woxing tidak memberikan iming-iming berupa rumus penangkal pengaruh buruk Jurus Penyedot Bintang, tetapi mengajaknya dengan hati tulus, maka ajakan masuk menjadi anggota Sekte Iblis tentu sulit ia tolak. Apalagi mengingat budi baik Ren Yingying dan Xiang Wentian kepadanya, bukan mustahil dirinya akan berjanji untuk bergabung dengan Sekte Iblis apabila urusan Perguruan Henshan sudah selesai.

“Oh, jadi karena itu kalian lantas menyediakan seribu tahil perak sebagai upah kepada siapa saja yang bisa membekuk Linghu Chong?” kata Linghu Chong kemudian.

“Membekuk Linghu Chong? Mana berani kami berbuat demikian?” kata Qin Juan dengan tertawa meski air matanya masih meleleh di pipi.

Zheng E menyambung, “Setelah mendengar pesan Paman Guru Mo, maka kami lantas membagi diri ke dalam kelompok-kelompok, yang masing-masing beranggotakan tujuh orang untuk mencari Paman Ketua. Untung saja kami bertemu Enam Dewa Lembah Persik. Mereka membuka harga seribu tahil perak untuk menemukanmu. Padahal, jangankan cuma seribu tahil, sekalipun sepuluh ribu tahil perak juga akan kami bayar asalkan Paman Ketua dapat diketemukan.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Sebagai ketua kalian, aku merasa tidak bisa memberikan manfaat apa-apa. Tapi paling tidak, kemampuan kalian dalam meminta sedekah kepada kaum hartawan kikir dan pembesar korup akan mengalami banyak kemajuan.”

Ketujuh murid Perguruan Henshan itu seketika teringat pada kejadian saat meminta sedekah kepada Bai Si Tukang Menguliti yang terkenal kikir. Rasa sedih mereka berkurang dan seulas senyum pun terlihat di bibir mereka.

Linghu Chong berkata, “Baiklah, kalian tidak perlu khawatir lagi. Linghu Chong sudah berjanji kepada Biksuni Dingxian pasti tidak akan mengingkari. Jabatan Ketua Perguruan Henshan sudah pasti akan kuterima, asalkan kalian tidak ada yang keberatan. Mengenai nama tidak perlu diganti Linghu Dingchong segala. Mari sekarang kita makan kenyang dulu, baru kemudian kita berangkat ke Gunung Henshan.”

Ketujuh murid Henshan itu senang mendengarnya. Serentak mereka berseru, “Mana mungkin kami keberatan?”

Linghu Chong kemudian makan satu meja dengan Enam Dewa Lembah Persik. Ia pun bertanya kepada mereka, “Enam Saudara Persik, uang seribu tahil perak itu akan kalian gunakan untuk apa?”

Dewa Akar Persik berkata, “Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam sangat miskin dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Padahal dia juga berhutang seribu tahil perak kepada kami.”

Dewa Dahan Persik menyambung, “Sewaktu di Biara Shaolin, Ji Wushi mengadakan taruhan dengan kami ….”

Dewa Bunga Persik buru-buru menyela, “Tentu saja dia yang kalah. Mana mungkin Burung Hantu Malam bisa menang taruhan melawan kami, enam bersaudara?”

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Mana bisa kalian menandingi kecerdasan Ji Wushi?” Ia lalu bertanya, “Memangnya kalian bertaruh soal apa?”

Dewa Buah Persik menjawab, “Ini mengenai dirimu. Kami bertaruh kau pasti tidak mau menjadi Ketua Perguruan Henshan, eh … bukan … kami bertaruh kau pasti mau menjadi Ketua Perguruan Henshan.”

Dewa Bunga Persik menyambung, “Si Burung Hantu Malam bertaruh bahwa kau pasti tidak sudi menjadi Ketua Perguruan Henshan. Sebaliknya kami bilang kepadanya seorang laki-laki harus bisa pegang janji. Kau telah berjanji kepada biksuni tua untuk menjadi Ketua Perguruan Henshan, dan hal ini telah didengar setiap kesatria di dunia persilatan. Mana mungkin dirimu ingkar janji?”

Dewa Ranting Persik ikut bicara, “Menurut Si Burung Hantu Malam, kau ini sudah biasa berkelana. Tidak lama lagi pasti akan menikah dengan Gadis Suci dari Sekte Iblis, mana betah membuang-buang waktu bersama kaum biksuni tua dan muda itu?”

Dalam hati Linghu Chong berkata, “Ji Wushi sangat menghormati Yingying, tidak mungkin dia berani menyebut ‘Sekte Iblis’ segala. Tentu keenam orang ini yang telah memutarbalikkan perkataan.” Maka ia lantas bertanya, “Dan kalian kemudian bertaruh seribu tahil perak dengannya?”

“Benar, dan saat itu kami yakin pasti menang,” sahut Dewa Dahan Persik. “Si Burung Hantu Malam juga berkata supaya seribu tahil perak itu didapatkan dengan cara baik-baik, bukan dari hasil mencuri atau merampok. Maka aku pun berkata kepadanya bahwa kami enam bersaudara tidak mungkin mencuri atau merampok.”

Dewa Akar Persik menyambung, “Kemudian tadi pagi kami bertemu biksuni-biksuni yang sedang mencarimu ini. Mereka berkata hendak menjemputmu untuk menjadi Ketua Perguruan Henshan. Itu berarti kami yang jelas-jelas memenangkan taruhan seribu tahil perak.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Kemudian kalian merasa kasihan kepada Si Burung Hantu Malam yang sangat miskin itu, sehingga kalian berusaha mendapatkan seribu tahil perak dari para biksuni untuk diberikan kepadanya, supaya dia bisa membayar kekalahannya pada kalian, begitu?”

“Tepat sekali, dugaanmu benar-benar sangat tepat,” seru Dewa Bunga Persik. “Ternyata kau pandai meramal.”

“Kepandaianmu meramal hanya sedikit di bawah kami enam bersaudara,” sambung Dewa Buah Persik.

Linghu Chong tidak menggubris omong kosong mereka lagi. Usai makan, rombongan itu lantas berangkat ke Gunung Henshan. Setelah beberapa hari sampailah mereka di kaki gunung tersebut. Rupanya murid-murid Henshan sudah menerima kabar dan mereka pun beramai-ramai menjemput kedatangan rombongan tersebut. Begitu melihat Linghu Chong, mereka segera berlutut memberi hormat dan Linghu Chong pun membalas penghormatan mereka. Semuanya terlihat berduka ketika berbicara tentang wafatnya Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi.

Linghu Chong melihat Yilin berada di antara kerumunan para murid itu dengan wajah pucat dan tubuh lebih kurus dibandingkan dulu. Segera ia bertanya, “Adik Yilin, apakah akhir-akhir ini kau kurang sehat?”

“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Yilin dengan mata basah. “Sekarang kau adalah ketua kami. Jangan panggil aku ‘adik’ lagi.”

Dalam perjalanan tadi, Yihe dan yang lain selalu memanggil Linghu Chong dengan sebutan “paman guru” atau “paman ketua”. Setelah mendengar ucapan Yilin tersebut, Linghu Chong pun berkata, “Kakak dan Adik sekalian, Linghu Chong menjadi ketua hanya karena perintah dari ketua terdahulu. Sesungguhnya, aku tidak pantas dan tidak mampu memikul tugas besar ini. Aku sama sekali merasa berat untuk menerimanya.”

Para murid menjawab, “Sungguh suatu keberuntungan apabila Paman Ketua sudi memimpin kami. Tolong terima tanggung jawab yang berat ini.”

Linghu Chong berkata, “Baiklah. Tapi kalian harus berjanji satu hal kepadaku.”

Para murid berseru, “Kami siap menerima perintah Paman Ketua.”

Linghu Chong berkata, “Mulai sekarang kalian tidak boleh memanggilku ‘Paman Ketua’, cukup ‘Kakak Ketua’ saja.”

Yihe, Yiqing, Yizhen, Yiwen, dan murid-murid tertua lainnya lantas berunding. Sejenak kemudian mereka pun berkata, “Ketua terlalu rendah hati. Baiklah, kami tidak berani melawan perintah Ketua.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Nah, demikian lebih baik.”

Begitulah, mereka lantas beramai-ramai menuju ke atas Gunung Henshan. Puncak gunung itu sangat tinggi. Meskipun mereka melangkah dengan cepat, namun perlu setengah hari lagi untuk mencapai Puncak Jianxing. Biara utama di sana hanya sebuah biara kecil yang disebut Biara Wuse, yang dikelilingi dua sampai tiga puluh buah rumah beratap genting sebagai tempat tinggal para murid. Bila dibandingkan dengan Biara Shaolin yang megah itu, Biara Wuse bagaikan semut bertemu gajah.

Masuk ke dalam biara, Linghu Chong melihat patung Bodhisatwa Guanyin sang dewi welas asih memakai jubah putih. Ruangan bagian dalam tampak sangat bersih dan terawat, sama sekali tidak terdapat debu sebutir pun. Perabotan di sana terbuat dari bahan kasar dan biasa-biasa saja. Linghu Chong tidak menyangka bahwa Perguruan Henshan yang terkenal di dunia persilatan ternyata memiliki markas yang begitu kecil dan sederhana.

Setelah bersembahyang di depan patung Dewi Guanyin, Linghu Chong diantarkan Yu Sao ke kamar yang biasa dipakai Biksuni Dingxian untuk bersamadi. Keadaan kamar itu pun bersih tanpa sesuatu pajangan, hanya terdapat sebuah bantalan bundar di lantai, dan di sisinya terdapat sebuah kentungan kecil yang sudah tua. Selain itu tak terdapat benda yang lain lagi.

Watak Linghu Chong suka bergerak bebas dan biasa hidup di tempat ramai. Ia gemar minum arak dan makan enak pula, bagaimana bisa disuruh hidup di tempat sesunyi ini? Andai saja boleh membawa arak dan daging anjing tentu akan menyenangkan. Namun bukankah itu akan menodai kesucian tempat ibadah tersebut? Maka, ia pun berkata kepada Yu Sao, “Meskipun aku menjabat sebagai ketua, tapi aku ini bukan orang beragama, juga tidak menjadi biksu. Lagipula kakak dan adik di sini semua kaum wanita. Hanya aku saja yang laki-laki, sudah tentu aku merasa tidak pantas tinggal di sini. Sebaiknya kau sediakan saja sebuah rumah yang agak jauh dari sini. Biarlah aku tinggal di sana bersama Enam Dewa Lembah Persik.”

Yu Sao menjawab, “Baik, di puncak barat ada tiga buah pondok yang biasa digunakan sebagai tempat menginap para tamu. Kebanyakan para tamu yang menginap di sana adalah orang tua para murid yang datang berkunjung. Kalau Ketua tidak keberatan, maka untuk sementara Ketua bisa tinggal di sana. Lain hari kita bisa membangun rumah kediaman yang baru untuk Ketua.”

“Itu saja cukup, untuk apa harus membangun rumah baru segala?” ujar Linghu Chong gembira. Dalam hati ia berpikir, “Memangnya aku mau menjadi ketua seumur hidup di sini? Asalkan nanti aku sudah menemukan calon yang pantas sebagai ketua, tentu aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadanya. Untuk selanjutnya, aku bisa kembali hidup berkelana secara bebas gembira di dunia persilatan. Apabila Perguruan Henshan ditimpa masalah, maka aku akan datang lagi untuk memberikan bantuan.”

Begitu tiba di pondok tersebut, Linghu Chong menemukan sebuah bangunan yang tidak ubahnya seperti rumah kaum petani kaya dengan perlengkapan meja, kursi, tempat tidur berkasur, walaupun semuanya berbahan kasar. Namun tentu saja ini lebih mendingan daripada kamar samadi Biksuni Dingxian yang kosong tadi.

Yu Sao berkata, “Ketua silakan duduk. Saya akan mengambil arak.”

“Hei, apa di sini ada arak?” tanya Linghu Chong gembira.

“Tidak cuma sekadar arak, tapi arak pilihan,” jawab Yu Sao. “Begitu mendengar Ketua akan tiba, Adik Yilin bilang kepadaku kalau tidak disediakan arak enak, mungkin Ketua tidak akan betah berlama-lama menjabat sebagai ketua. Maka, malam-malam kami mengirim orang untuk turun gunung membeli belasan guci arak enak sebagai persediaan.”

Linghu Chong merasa rikuh juga dan berkata, “Aih, kaum kita biasa hidup sederhana, tapi untuk diriku harus membuang biaya sebanyak ini. Seharusnya tidak perlu begitu.”

Yu Sao menyela, “Ketua jangan khawatir, uang sedekah yang diperoleh dari Bao Si Tukang Menguliti masih sisa cukup banyak. Meskipun setengahnya sudah disedekahkan kepada fakir miskin, tapi masih saja tersisa banyak. Untuk biaya minum-minum Ketua rasanya masih cukup sampai sepuluh atau dua puluh tahun lagi.”

Malam itu Linghu Chong minum-minum sepuasnya bersama Enam Dewa Lembah Persik. Esok paginya ia berunding dengan Yiqing, Yihe, Yu Sao, dan yang lain tentang bagaimana menyambut kedatangan abu jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi serta cara menuntut balas kematian ketiga biksuni sepuh.

Yiqing berkata, “Kakak Ketua telah menjadi pemimpin baru di Perguruan Henshan, hal ini harus diumumkan kepada sesama kawan dunia persilatan. Kita juga harus mengirim utusan untuk memberi tahu Paman Guru Zuo selaku pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung.”

Yihe menyahut, “Huh, guruku meninggal dibunuh orang-orang Perguruan Songshan. Bibi Ketua dan Bibi Dingyi kemungkinan besar juga tewas di tangannya. Untuk apa kita memberi tahu mereka segala?”

“Kita tidak boleh meninggalkan adat istiadat,” ujar Yiqing. “Bila kelak kita sudah menyelidiki dengan jelas dan terbukti ketiga guru dicelakai oleh Perguruan Songshan, maka kita tentu bersama-sama di bawah pimpinan Kakak Ketua membuat perhitungan dengan mereka.”

“Ucapan Adik Yiqing memang benar,” kata Linghu Chong. “Mengenai jabatan ketua ini, aku sudah pasti menerimanya, untuk apa pakai adat upacara segala?” Ia masih ingat ketika dulu gurunya dilantik sebagai Ketua Perguruan Huashan, upacara yang diselenggarakan sungguh sangat ramai. Kawan-kawan persilatan yang datang memberi selamat tak terhitung banyaknya. Ia juga teringat pada peristiwa Liu Zhengfeng ketika mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, waktu itu Kota Hengshan juga penuh dengan orang-orang persilatan. Sekarang dirinya diangkat menjadi Ketua Perguruan Henshan yang sejajar dengan Huashan dan Hengshan. Kalau yang datang memberi selamat hanya sedikit tentu sama artinya dengan kehilangan muka. Sebaliknya, kalau yang datang terlalu banyak, tentu mereka bermaksud menertawakan dirinya sebagai seorang laki-laki yang diangkat menjadi pemimpin kaum biksuni.

Rupanya Yiqing memahami perasaan Linghu Chong. Ia pun berkata, “Kalau Kakak Ketua segan mengundang teman-teman dunia persilatan, maka kita tidak perlu mengundang mereka. Namun kita tetap harus memberi tahu mereka tentang hari peresmianmu dilantik sebagai ketua.”

Linghu Chong berpikir Perguruan Henshan adalah satu di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Kalau upacara peresmian ketua baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan merugikan pamor Perguruan Henshan sendiri. Maka, ia pun mengangguk menerima saran Yiqing itu. Hanya saja, ia meminta agar Yiqing mencarikan hari baik dalam waktu sesegera mungkin.

Yiqing pun mengambil kitab primbon dan membacanya beberapa saat, kemudian berkata, “Tanggal sembilan belas bulan dua, tanggal delapan bulan tiga, dan tanggal dua puluh tujuh bulan tiga, adalah hari-hari yang membawa peruntungan. Kakak Ketua silakan memilih, tanggal berapa yang paling cocok.”

Sebenarnya Linghu Chong tidak memercayai hari baik atau hari buruk. Menurutnya, makin cepat diresmikan tentu semakin sedikit pula tamu yang datang, sehingga keadaan yang memalukan dapat dihindari. Maka, ia pun berkata, “Apakah tidak ada hari yang baik di bulan satu ini?”

Yiqing menjawab, “Sebenarnya ada beberapa hari baik dalam bulan satu, namun lebih cocok untuk bepergian, membuka usaha, atau pernikahan. Kalau di bulan dua tanggal enam belas ada hari baik untuk menerima lencana.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Aku tidak menjadi pejabat pemerintahan, jadi tidak perlu menerima lencana.”

Yiqing menjawab, “Tapi bukankah sebelumnya kau pernah menjadi jenderal? Menjadi ketua perguruan juga perlu menerima lencana, bukan?”

Linghu Chong tidak mau berdebat lebih lama. Ia pun menjawab, “Baiklah, aku setuju tanggal enam belas bulan dua sebagai hari pelantikanku.”

Setelah itu ia lantas membagi para murid untuk menjalankan tugas masing-masing. Antara lain ada yang dikirim ke Biara Shaolin untuk menjemput abu jenazah kedua biksuni sepuh, ada pula yang dikirim ke perguruan-perguruan lain untuk memberitahukan tanggal upacara pelantikannya sebagai Ketua Perguruan Henshan. Kepada mereka ia berpesan, “Tolong kabarkan kepada semua ketua perguruan yang kalian datangi bahwa untuk sementara ini kami belum memikirkan urusan balas dendam. Perguruan Henshan sedang berkabung. Untuk itu, upacara peresmianku sebagai ketua juga akan dilangsungkan dengan cara yang sederhana. Katakan pada mereka, tidak perlu mengirimkan orang untuk menghadiri upacara kita.”

Setelah mengirimkan para murid itu, Linghu Chong berpikir, “Sebagai Ketua Perguruan Henshan, seharusnya aku memahami ilmu pedang Henshan dengan lebih baik.” Maka ia pun mengumpulkan murid-murid yang tersisa untuk mengetahui jurus-jurus pedang yang telah mereka pelajari, mulai dari tingkat dasar sampai yang paling tinggi. Yang memeragakan di hadapan Linghu Chong adalah dua murid yang berilmu paling tinggi, yaitu Yihe dan Yiqing.

Linghu Chong dapat melihat bahwa ilmu pedang Perguruan Henshan memang rumit dan bagus, tapi lebih mengutamakan pertahanan. Hanya pada saat-saat tertentu mendadak mereka mampu melancarkan serangan maut yang tidak terduga. Meskipun jurus serangan tersebut kurang ganas dan kurang bertenaga, namun memang itulah ilmu pedang yang cocok untuk kaum wanita.

Linghu Chong dapat memakluminya karena dari generasi ke generasi murid-murid Perguruan Henshan semuanya adalah kaum wanita. Pantas saja jika jurus serangan mereka pun tidak sekuat jurus-jurus yang biasa digunakan kaum pria. Akan tetapi, jurus pertahanan dalam ilmu pedang Henshan sangat bagus, dan memiliki sedikit celah kelemahan, hanya setingkat di bawah ilmu Pedang Taiji. Akan tetapi, dibandingkan dengan ilmu pedang dari Perguruan Wudang tersebut, ilmu pedang Henshan lebih unggul dalam hal serangan mendadak yang tidak terduga-duga.

Linghu Chong kemudian teringat pada dinding gua rahasia di puncak Huashan terdapat ukiran-ukiran jurus pedang Henshan yang sangat bagus dan jauh lebih ampuh daripada ilmu pedang yang dimainkan Yihe dan Yiqing saat ini. Meskipun jurus-jurus pedang yang bagus itu telah dipatahkan juga oleh musuh yang membuat ukitan tersebut, namun ada baiknya diajarkan kepada para murid demi perkembangan Perguruan Henshan di masa depan. Tentu saja perlu diadakan perbaikan di beberapa bagian pada ilmu pedang tersebut supaya menjadi lebih kuat.

Ia juga teringat pada kehebatan Biksuni Dingjing ketika bertempur melawan musuh menjelang kematiannya dulu. Waktu itu jurus pedang yang dimainkan Dingjing jauh lebih hebat daripada Yihe atau Yiqing, dan tenaga dalamnya juga lebih dahsyat. Bahkan, konon kabarnya ilmu silat Biksuni Dingxian lebih hebat lagi daripada kakak seperguruannya itu. Tampaknya kepandaian ketiga biksuni sepuh masih banyak yang belum diwariskan kepada para murid. Kini ketiganya telah meninggal berturut-turut dalam waktu beberapa bulan saja. Linghu Chong khawatir bermacam-macam ilmu silat Perguruan Henshan yang bagus akan ikut punah bersama waktu.

Melihat Linghu Chong termangu-mangu tidak menanggapi permainan pedangnya, Yihe pun berkata, “Kakak Ketua, kepandaian kami tentu masih sangat hijau dan tidak sedap dipandang olehmu. Maka itu, kami mengharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga.”

Linghu Chong melangkah maju dan mengambil pedang dari tangan Yihe sambil berkata, “Aku punya satu jurus ilmu pedang Henshan, entah ketiga biksuni sepuh pernah mengajarkan ini kepada kalian atau belum?” Ia kemudian memainkan ilmu pedang yang pernah dilihatnya pada dinding gua rahasia tersebut.

Jurus pedang itu dimainkannya sangat perlahan agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Setelah melihat beberapa gerakan, para murid pun bersorak memuji. Mereka melihat dasar-dasar ilmu pedang Henshan namun dikembangkan dengan berbagai perubahan yang aneh. Mereka tidak dapat mengukur entah jurus tersebut berapa kali lebih hebat daripada ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang ini telah membangkitkan semangat dan kebanggaan mereka. Sebenarnya ukiran-ukiran tersebut hanya benda mati, namun menjadi hidup berkat kepandaian Linghu Chong merangkainya satu per satu. Tentu saja untuk merangkainya ia pun menciptakan beberapa gerakan baru. Setelah permainan pedang tersebut berakhir, para murid pun beramai-ramai memberikan penghormatan di hadapannya dengan penuh kekaguman.

Yihe berkata, “Kakak Ketua, ilmu pedang yang kau mainkan tadi jelas merupakan ilmu pedang Perguruan Henshan kita. Tapi mengapa selama ini kami belum pernah melihatnya? Mungkin saja ketiga biksuni sepuh juga belum mengetahuinya. Kalau boleh tahu, dari mana kau mempelajarinya?”

“Aku mempelajarinya dari sebuah ukiran yang berada di suatu gua,” jawab Linghu Chong. “Jika kalian ingin belajar, aku bisa mengajarkannya pada kalian.”

Para murid sangat gembira. Beramai-ramai mereka mengucapkan terima kasih. Seharian itu Linghu Chong mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan secara rinci dan seksama mengenai di mana letak kehebatan ketiga jurus tersebut, kemudian para murid disuruh berlatih sendiri.

Meskipun hanya tiga jurus, namun ternyata kandungannya cukup luas dan mendalam untuk dipahami. Sekalipun murid-murid terpandai seperti Yihe atau Yiqing ternyata butuh waktu tujuh sampai delapan hari untuk memahaminya, apalagi murid-murid muda seperti Zheng E, Qin Juan, dan Yilin, tentu butuh waktu lebih lama lagi. Pada hari kesepuluh, Linghu Chong kembali mengajarkan dua jurus lanjutannya. Begitulah, meski ilmu pedang yang terukir pada dinding gua rahasia itu hanya terdiri dari beberapa jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah murid-murid Henshan itu dapat mempelajarinya secara tuntas. Mengenai apakah mereka mampu memahaminya dengan baik jelas tergantung pada tingkat kepandaian masing-masing.

Selama sebulan itu utusan-utusan yang dikirim ke berbagai perguruan berturut-turut sudah pulang ke Gunung Henshan. Semuanya kembali dengan memperlihatkan wajah murung. Sewaktu melapor kepada Linghu Chong pun mereka tergagap-gagap seolah takut untuk menceritakan yang sebenarnya. Namun Linghu Chong juga tidak bertanya secara mendalam. Ia tahu para utusan tersebut tentu telah banyak mendapat cemooh dan ejekan, karena kaum biksuni telah mengangkat seorang laki-laki muda sebagai ketua perguruan atau bermacam-macam ejekan lainnya. Linghu Chong lantas menghibur mereka dengan kata-kata halus dan menyuruh mereka belajar ilmu pedang baru kepada saudara-saudara yang lain. Apabila ada yang kurang jelas, maka mereka boleh bertanya langsung kepadanya.

Utusan yang dikirim ke Perguruan Huashan adalah Yu Sao dan Yiwen yang berusia setengah baya dan mampu mengendalikan diri. Jarak antara Gunung Huashan dan Gunung Henshan tidak terlalu jauh, dan seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan yang lain. Tapi kenyatannnya, keduanya justru belum kembali sedangkan yang lain sudah tiba. Sementara itu tanggal enam belas bulan dua sudah semakin dekat, sehingga Linghu Chong merasa perlu untuk mengirim lagi dua murid yang lain, yaitu Yiguang dan Yishi untuk menyusul ke Huashan.

Para murid Henshan yakin tidak ada perguruan yang mengirim utusan sehingga mereka tidak perlu menyiapkan tempat penginapan dan makanan. Mereka hanya sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, mencabut ilalang, dan melakukan pembersihan seperlunya. Masing-masing dari mereka juga membuat baju dan sepatu baru. Zheng E dan yang lain juga menjahit satu setel jubah hitam untuk dipakai Linghu Chong pada hari upacara nanti. Hitam memang warna resmi seragam Perguruan Henshan dalam Serikat Pedang Lima Gunung.

Tanggal enam belas bulan dua akhirnya tiba juga. Pagi-pagi sekali setelah bangun tidur, Linghu Chong keluar pondok dan melihat ke arah Puncak Jianxing yang tampak benar-benar meriah karena telah terpasang banyak lampion dan hiasan melambai-lambai. Murid-murid Perguruan Henshan ternyata sangat rajin dalam mempersiapkan acara pelantikan yang akan dilangsungkan tersebut. Menyaksikan itu Linghu Chong merasa terharu dan berpikir, “Kedua biksuni sepuh mengalami nasib malang karena aku, tapi para murid tidak ada yang menyalahkan diriku. Mereka justru menghargai aku sedemikian rupa. Kalau aku tidak dapat membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh, juga tidak dapat memajukan Perguruan Henshan, maka percuma saja aku menjadi manusia.”

Tiba-tiba ia mendengar teriakan seseorang dari balik salah satu sisi gunung, “Lin’er, Lin’er, Ayah datang menjengukmu. Apa kau sehat-sehat saja? Lin’er, aku di sini!” Suara orang itu sangat keras dan menggelegar. Sebelum gema suaranya berakhir, ia sudah berteriak kembali, “Lin’er … Lin’er ….”

Yilin yang mendengar panggilan itu segera muncul dan berseru, “Ayah! Ayah!”

Dari balik gunung muncul seorang biksu bertubuh tinggi besar. Ia tidak lain adalah ayah Yilin, yaitu Biksu Bujie. Tampak pula seorang biksu yang lebih muda berjalan di belakangnya. Keduanya melangkah dengan cepat dan sekejap saja sudah tiba di depan bangunan biara. Biksu Bujie bersuara lantang, “Selamat, Tuan Muda Linghu! Kau tidak mati oleh lukamu yang sangat parah dulu, dan kini malah menjadi ketua perguruan tempat putriku berada. Bagus sekali, bagus sekali!”

Linghu Chong tersenyum, “Ini semua berkat Tuan Biksu.”

Yilin mendekati Biksu Bujie dan menarik lengan ayahnya itu dengan lembut, “Ayah ternyata mendengar hari ini Kakak Linghu dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan. Apakah kau datang untuk memberi ucapan selamat kepadanya?”

Bujie tertawa, “Hahaha. Aku tidak datang untuk memberi selamat. Aku ke sini untuk bergabung dengan Perguruan Henshan. Kita sama-sama dari satu perguruan, untuk apa saling memberi selamat?”

Linghu Chong terkesiap dan menegas, “Tuan Biksu hendak menjadi anggota Perguruan Henshan?”

Bujie menjawab, “Benar. Anakku anggota Perguruan Henshan. Aku adalah ayahnya, maka, aku pun anggota Perguruan Henshan. Huh, aku mendengar orang-orang di luar sana mengolok-olok dirimu. Mereka berkata bahwa kau seorang laki-laki tapi suka memanfaatkan kesempatan menjadi pemimpin para biksuni dan nona-nona muda. Huh, mereka tahu apa? Mereka tidak tahu kalau kau seorang manusia berbudi luhur yang menjaga kebenaran.”

Wajahnya lantas berubah dari marah menjadi gembira, “Aku lalu memukul mulut orang itu sehingga beberapa giginya lepas. Aku juga berteriak kepadanya, ‘Kau ini tahu apa? Apa Perguruan Henshan hanya berisi kaum biksuni saja? Bapakmu ini juga berasal dari Perguruan Henshan. Meskipun kepala bapakmu gundul, lantas apa bapakmu ini seorang biksuni? Jika kau tidak percaya, ini kubuka saja celanaku.’ Begitu aku hendak membuka celana, orang itu lari terbirit-birit ketakutan. Hahahaha.”

Linghu Chong dan Yilin ikut tertawa mendengarnya.

“Ayah sungguh kasar,” sahut Yilin. “Kau sama sekali tidak takut ditertawai orang.”

Bujie menjawab, “Kalau aku tidak menunjukkan dengan jelas, tentu dia tidak bisa membedakan mana biksu mana biksuni. Saudara Linghu, aku akan bergabung dengan Perguruan Henshan. Bahkan, aku juga mengajak cucu muridku ikut serta. Nah, Bukebujie, lekas kau beri salam kepada Ketua Linghu.”

Ketika Biksu Bujie bercerita tadi, biksu yang mengikuti di belakangnya itu hanya menunduk saja. Sama sekali ia tidak pernah menatap wajah Linghu Chong atau Yilin. Seolah-olah ia sedang menyembunyikan rasa malu yang begitu besar. Begitu Bujie memberi perintah, biksu bernama Bukebujie tersebut langsung memandang Linghu Chong dengan senyuman kecut. Linghu Chong merasa mengenal wajah biksu tersebut namun entah siapa. Akhirnya, ia pun sangat terkejut begitu menyadari kalau biksu itu adalah Si Pengelana Tunggal Ribuan Li alias Tian Boguang. Dengan tergagap-gagap Linghu Chong berkata, “Kau … kau … Saudara Tian?”

Biksu tersebut memang si maling cabul Tian Boguang. Ia tersenyum dan membungkuk hormat ke arah Yilin, “Salam … salam hormat, Guru.”

Yilin juga sangat terkejut. “Bagaimana … bagaimana kau bisa menjadi biksu? Apa kau sedang menyamar?”

Biksu Bujie terlihat bangga dan menjawab, “Ini benar-benar nyata dan sama sekali ia tidak sedang menipu siapa-siapa. Ia benar-benar menjadi biksu. Gelar kebudhaannya adalah Biksu Bukebujie.”

Tian Boguang kembali tersenyum, “Guru, Kakek Guru memang memberiku nama Bukebujie.”

Yilin bertanya, “Mengapa namanya Bukebujie? Mengapa namanya sepanjang itu?”

Bujie menjawab, “Kau tahu apa? Dalam kitab suci juga banyak Bodhisatwa yang punya nama panjang. ‘Bodhisatwa Guan Shiyin Yang Maha Pengampun dan Pemurah, Penolong Kaum Miskin.’ Apa itu tidak panjang? Sedangkan nama dia hanya empat huruf, apanya yang panjang?”

“Benar juga,” kata Yilin. “Lalu mengapa dia bisa menjadi biksu? Apakah Ayah telah menerimanya sebagai murid?”

Bujie menjawab, “Bukan. Aku adalah kakek-gurunya, sedangkan gurunya adalah kau sendiri. Tapi kau ini seorang biksuni muda, jika mempunyai murid laki-laki awam maka nama Perguruan Henshan akan ikut tercemar. Maka, aku pun menasihatinya supaya menjadi biksu.”

“Menasihati apanya? Ayah pasti memaksanya supaya menjadi biksu, benar begitu?” kata Yilin sambil tersenyum.

Bujie menjawab, “Aku tidak memaksanya. Memeluk agama tidak boleh dengan paksaan. Dia menjadi biksu dengan sukarela. Orang ini sebenarnya baik. Hanya saja ada sebagian kelakuannya yang kurang baik. Maka itu ia kuberi nama Bukebujie.”

Wajah Yilin merona merah. Ia paham maksud perkataan ayahnya. Tian Boguang seorang hidung belang pemetik bunga yang terkenal. Entah bagaimana caranya sang ayah berhasil menangkapnya namun mengampuni jiwnya. Sebagai hukuman ia pun diharuskan menjadi biksu.

Bujie melanjutkan, “Namaku adalah Bujie, yang artinya ‘tanpa pantangan’. Sementara Tian Boguang ini adalah mantan penjahat cabul yang banyak melakukan kejahatan, maka dia harus selalu mengekang diri. Kalau dia tidak berpantang, mana bisa menjadi anggota Perguruan Henshan? Ketua Linghu pasti akan berpikiran sama denganku. Kelak pun ia akan menerima warisan mangkuk sedekah dariku. Maka, nama yang tepat untuknya harus mengandung unsur ‘Bujie’, yaitu ‘Bukebujie’, yang artinya ‘tidak boleh tanpa pantangan’.”

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, “Biksu Bujie dan Biksu Bukebujie telah bergabung dengan Perguruan Henshan. Maka kami, Enam Dewa Lembah Persik juga akan bergabung dengan Perguruan Henshan.” Ternyata yang berseru adalah Dewa Dahan Persik. Ia datang bersama kelima saudaranya.

Dewa Akar Persik berkata, “Kami yang lebih dulu datang ke sini bertemu Linghu Chong. Maka, kami berhak disebut sebagai saudara tua, sedangkan Biksu Bujie menjadi saudara muda.”

Linghu Chong merenung, “Dengan bergabungnya Biksu Bujie dan Tian Boguang ke dalam Perguruan Henshan, maka tidak ada salahnya jika aku menerima Enam Dewa Lembah Persik. Sebaliknya, ini justru akan menghapus pembicaraan orang bahwa Linghu Chong adalah satu-satunya laki-laki di antara kaum biksuni.” Maka ia lantas berkata, “Enam Saudara Persik bersedia masuk Perguruan Henshan, ini sungguh berita menggembirakan. Tapi untuk menentukan siapa yang lebih tua di antara kalian atau Biksu Bujie, ini sungguh merepotkan. Maka, hal ini tidak perlu dilakukan.”

Dewa Daun Persik tiba-tiba berkata, “Biksu Bujie artinya ‘Tanpa Pantangan’ punya murid bernama Biksu Bukebujie, artinya ‘Tidak Boleh Tanpa Pantangan’. Kelak, jika Bukebujie punya murid, diberi gelar apa?”

Dewa Buah Persik menjawab, “Tentu saja harus memiliki unsur nama yang sama. Beri saja nama ‘Dangranbukebujie’, artinya ‘Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan’.”

Dewa Ranting Persik berkata, “Lalu jika ‘Dangranbukebujie’ memiliki murid, lantas diberi gelar apa?”

Linghu Chong melihat Tian Boguang tampak rikuh. Segera ia pun menggandeng biksu baru itu dan mengajaknya pergi, sambil berkata, “Ada yang ingin kutanyakan kepadamu.”

“Baik,” jawab Tian Boguang.

Keduanya mempercepat langkah menjauhi keenam orang tua konyol yang masih berdebat persoalan tidak penting itu. Sayup-sayup terdengar Dewa Dahan Persik berkata, “Tentu saja namanya Lisuo Dangran Bukebujie, artinya ‘Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan’.”

Dewa Bunga Persik bertanya, “Lantas, kalau Lisuo Dangran Bukebujie memiliki murid, diberi gelar apa?”

Dewa Ranting Persik menjawab, “Bisa memakai nama Lisuo Dangran Bukebujie Zhizhi, artinya ‘Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan Sudah Pasti’.”

Tian Boguang memulai cerita, “Ketua Linghu, tempo hari aku datang menemuimu di Puncak Huashan atas perintah Kakek Guru Bujie. Namun sebenarnya masih banyak kisah di balik itu semua.”

Linghu Chong berkata, “Yang aku tahu hanyalah dia memaksamu menggunakan racun, juga menipu dirimu telah menotokmu pada titik mematikan.”

“Benar, itu juga sudah kuceritakan kepadamu,” ujar Tian Boguang. “Saat aku bertarung melawan si pendek Yu Canghai di luar Wisma Kumala di Kota Hengshan, aku khawatir para pendekar aliran lurus akan semakin banyak yang berdatangan. Maka, aku memutuskan untuk meloloskan diri dari si pendek itu. Perjalananku akhirnya sampai ke Henan. Sebenarnya aku malu untuk menceritakannya. Saat itu kebiasaan lamaku sedang kambuh. Di Kota Kaifeng, aku menyelinap ke dalam rumah seorang perempuan muda dari keluarga kaya. Ketika kusingkap kelambu di kamar tidurnya, dan kuraba ranjangnya, ternyata yang kurasakan adalah kepala gundul seseorang.”

Linghu Chong tertawa, “Hahaha. Tentu dia seorang biksuni. Kau takut dengan biksuni, bukan?”

Tian Boguang tersenyum hambar, “Kau salah. Dia seorang biksu.”

Linghu Chong tertawa semakin keras dan berkata, “Seorang wanita muda di dalam kamar bersama biksu? Aku sama sekali tidak pernah membayangkan seorang wanita terhormat memasukkan pria ke dalam kamarnya, apalagi memasukkan seorang biksu.”

Tian Boguang menggeleng, “Kau salah lagi. Biksu itu adalah Kakek Guru. Sebenarnya Kakek Guru sedang memburuku. Beliau akhirnya menemukan jejakku di daerah Kaifeng itu. Beliau diam-diam melihatku saat mengendap-endap di dekat rumah perempuan itu pada siang hari. Maka, Beliau pun mendahului pergi untuk memberi tahu keluarganya, dan mendapat izin bersembunyi di tempat tidur perempuan itu agar bisa menyergapku.”

Linghu Chong berkata, “Saudara Tian tentu sangat menderita waktu itu.”

Tian Boguang berkata, “Apa perlu diceritakan? Ketika aku meraba kepala Kakek Guru waktu itu, aku merasa ada yang tidak beres. Tiba-tiba perutku terasa sakit karena Beliau telah menotok titik nadi pentingku. Kakek Guru melompat dari ranjang dan menyalakan lampu. Beliau bertanya apakah aku memilih hidup atau mati. Aku sadar seumur hidup banyak melakukan kejahatan, pasti suatu hari akan mendapatkan pembalasan. Maka, aku pun menjawab, ‘Aku pilih mati.’

Kakek Guru tercengang dan bertanya, ‘Kenapa kau pilih mati?’

Aku menjawab, ‘Aku kurang berhati-hati dan tertangkap olehmu. Kenapa aku masih berharap hidup?’

Kakek Guru memandangku hambar lalu berkata, ‘Kau bilang karena kurang berhati-hati lantas tertangkap olehku?’ Beliau kemudian membuka totokanku sambil berkata, ‘Bagus sekali, bagus sekali!’

Aku duduk dan bertanya, ‘Apa tujuanmu?’

Beliau berkata, ‘Kau memiliki sebilah golok di pinggangmu, kenapa tidak kau gunakan untuk menebas tubuhku? Kau juga punya kaki yang lincah, kenapa tidak segera melompat keluar jendela untuk melarikan diri?’

Aku menjawab, ‘Aku ini seorang laki-laki sejati. Mana bisa aku berbuat seperti pengecut?’

Beliau hanya tertawa dan berkata, ‘Apa kau bukan seorang pengecut? Kau sudah berjanji untuk menjadi murid putriku, tapi kenapa kau masih mengingkarinya?’

Aku merasa heran dan menegas, ‘Putrimu?’

Beliau berkata, ‘Di loteng rumah makan di Kota Hengyang, bukankah kau mengadakan perjanjian melawan seorang murid Perguruan Huashan? Kau berkata jika kalah bertanding melawannya, maka kau akan menjadi murid putriku, bukan? Aku telah menemui putriku di Gunung Henshan dan dia telah menceritakan semuanya padaku dari awal sampai akhir.’

Aku pun berkata, ‘Oh, jadi biksuni kecil itu putrimu? Sungguh aneh, sungguh aneh!’

Beliau bertanya, ‘Apanya yang aneh?’”

Linghu Chong tertawa, “Hahahaha, masalah ini memang sangat aneh. Orang lain menjadi biksu setelah punya anak. Tapi Biksu Bujie punya anak setelah menjadi biksu. Nama gelarnya berarti Tanpa Pantangan. Ia memang benar-benar tidak peduli pada pantangan.”

Tian Boguang berkata, “Kau benar. Saat itu aku berkata, ‘Perjanjian itu hanya akal-akalan. Untuk apa aku menganggapnya sungguhan? Kau benar, aku memang kalah bertaruh. Oleh karena itu aku tidak akan mengganggu putrimu lagi.’

Beliau berkata, ‘Kau tidak akan mengganggu putriku? Malah sebaliknya, aku ingin kau menjadi murid putriku. Kau harus menghormatinya sebagai guru. Aku tidak akan membiarkan seorang pun melecehkan putriku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mencari dirimu. Kau ini licin dan berilmu tinggi. Jika tidak memanfaatkan niat jahatmu terhadap perempuan yang tinggal di sini, tentu akan sulit menangkapmu seperti ini.’

Aku melihatnya sedang lengah, maka segera kukerahkan Jurus Tiga Langkah Bayangan untuk melarikan diri. Aku yakin dengan kemampuanku meringankan tubuh, Beliau tentu tidak mampu menangkapku lagi. Namun ternyata aku mendengar langkah kaki menyusulku di belakang. Aku pun berteriak, ‘Biksu besar, karena kau tadi tidak membunuhku, maka aku pun tidak ingin membunuhmu. Tapi jika kau terus memaksa, maka aku pun terpaksa bertindak lebih kejam.’

Kakek Guru tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Aku ingin lihat bagaimana kau bertindak lebih kejam terhadapku.”

Aku lantas mencabut golok dan berbalik menebas ke arahnya. Tak disangka, ilmu silat Kakek Guru sangat tinggi. Dengan tangan kosong ia mampu melayani jurus-jurusku yang sangat cepat. Aku tidak bisa menandingi kecepatannya. Bahkan setelah empat puluh jurus, Beliau dapat menangkap leherku dan membuang golokku jauh-jauh.

Beliau lantas berkata kepadaku, ‘Apa kau menyerah?’

Aku menjawab, ‘Kau sudah menang. Silakan bunuh saja!’

Beliau berkata, ‘Untuk apa aku membunuhmu? Apa itu bisa membuat putriku hidup kembali?’

Aku terkejut dan bertanya, ‘Apakah biksuni cilik telah mati?’

Beliau menjawab, ‘Putriku belum mati. Tapi kelakuannya seperti orang mati. Sewaktu menemuinya di Gunung Henshan, ia tampak begitu kurus dan tidak bersemangat. Aku menangis melihat keadaannya. Dan ia pun menceritakan semua yang telah menimpa dirinya. Ini semua karena perbuatanmu.’

Aku pun berkata, ‘Jika mau membunuhku, bunuh saja. Tian Boguang seorang laki-laki jujur dan pantang berbohong. Aku memang yang pertama kali menangkapnya. Tapi dia kemudian ditolong oleh murid Perguruan Huashan bernama Linghu Chong. Aku tidak pernah menjamahnya. Putrimu masih suci bagaikan permata.’

Kakek Guru berkata, ‘Nenekmu, apa maksudmu dengan mengatakan putriku masih suci? Dia kurus karena sakit rindu. Jika Linghu Chong tidak menikahinya, maka ia tidak punya semangat hidup lagi. Ketika aku mengatakan padanya hendak membawa pemuda itu, dia malah memakiku. Katanya, seorang biksuni tidak pantas menyimpan hasrat duniawi. Jika tidak, Sang Buddha tidak akan menerima dirinya, dan setelah mati akan dimasukkan ke dalam neraka.’

Tiba-tiba ia mencekik leherku dan mengancam, ‘Bocah sial, ini semua karena ulahmu. Jika kau tidak menculiknya, maka ia tidak akan kenal dengan Linghu Chong. Dengan demikian putriku tidak akan menjadi kurus.’

Aku berkata, ‘Tidak juga. Putrimu cantik seperti bidadari. Meskipun aku tidak menculiknya, tetap saja suatu hari Linghu Chong akan datang untuk melamarnya.’”

Linghu Chong kesal dan menukas, “Saudara Tian jangan berlebihan!”

Tian Boguang menjawab, “Maaf jika aku membuatmu tersinggung. Tapi saat itu keadaanku serbasulit. Jika aku tidak berkata demikian, Kakek Guru tentu tidak akan melepaskanku. Benar juga, mendengar ucapanku itu Beliau menjadi senang. Beliau pun berkata, ‘Bocah sial, coba hitung berapa banyak dosa yang kau perbuat selama hidupmu? Andai saja bukan karena menculik putriku, mungkin sejak dulu aku sudah memenggal kepalamu.’”

Linghu Chong merasa aneh dan bertanya, “Kenapa dia malah senang kau menculik putrinya?”

Tian Boguang menjawab, “Dia bukan senang, dia hanya memuji kosong saja.”

Linghu Chong tidak dapat menahan senyum. Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru mengangkat tubuhku ke atas dengan tanan kiri dan memukuli telingaku dengan tangan kanan sebanyak tujuh belas atau delapan belas kali. Aku sampai pingsan dibuatnya. Beliau lalu merendam tubuhku dalam selokan. Ketika aku bangun, Beliau berkata, ‘Kuberi kau kesempatan satu bulan untuk membawa Linghu Chong ke Gunung Henshan menemui putriku. Meskipun ia tidak menikahi putriku, tapi paling tidak mereka bisa saling berbicara. Nyawa putriku bisa terselamatkan. Sekarang gurumu sedang dalam masalah, tapi kenapa kau tidak datang membantu sebagai murid yang baik?’

Beliau kemudian menotok beberapa titik nadiku, yang menurutnya adalah titik-titik kematian. Kemudian, aku dipaksa minum racun. Jika dalam sebulan aku bisa membawamu menemui biksuni cilik, maka Beliau akan memberiku penawarnya. Tapi bila aku gagal, racun itu akan bekerja dan tidak seorang pun bisa menolongku.”

Linghu Chong mengangguk-angguk paham. Waktu itu ketika Tian Boguang datang ke puncak Huashan, ia tampak menyimpan suatu rahasia dan tidak mau berkata terus terang. Tak disangka ternyata ada banyak kejadian rumit di balik itu semua.

Tian Boguang melanjutkan, “Aku naik ke Gunung Huashan untuk mengajakmu pergi, namun aku kalah bertanding melawanmu. Saat itu aku merasa ajalku segera tiba. Tidak kusangka, Kakek Guru merasa tidak enak hati dan datang menyusul ke Huashan bersama biksuni cilik. Seperti yang kau tahu, Beliau memberikan obat penawar kepadaku. Aku juga selalu melaksanakan nasihatmu untuk berhenti memerkosa wanita baik-baik. Dasar sifatku yang suka main perempuan, maka begitu punya uang aku langsung mencari pelacur. Ini tidak sulit. Maka, setengah bulan yang lalu, Kakek Guru bisa menemukanku lagi. Beliau berkata bahwa dirimu telah diangkat sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun banyak mendapat ejekan serta hinaan di dunia persilatan. Nama baikmu menjadi tercemar. Kakek Guru sangat menyayangi putrinya, menyayangi calon menantunya pula ….”

Linghu Chong menyela, “Saudara Tian, jangan bicara omong kosong lagi!”

Tian Boguang menjawab, “Ya, ya. Aku hanya mengulangi perkataan Kakek Guru. Dia bilang ingin bergabung dengan Perguruan Henshan dan menyuruhku mengikuti rencananya. Langkah pertama adalah menerimaku sebagai murid putrinya. Aku menolak sehingga Beliau pun memukulku. Tentu saja aku bukan tandingannya. Lari juga tidak bisa sehingga mau tidak mau aku terpaksa mengakui biksuni cilik sebagai guruku, dan Beliau sebagai kakek guru.” Berbicara sampai di sini wajahnya terlihat muram dan tertunduk malu.

Linghu Chong berkata, “Kau hanya perlu menghormat kepada gurumu. Kenapa harus menjadi biksu segala? Bukankah Biara Shaolin juga memiliki murid dari golongan awam?”

Tian Boguang menggeleng dan menjawab, “Kakek Guru memiliki pemikiran lain. Beliau berkata, ‘Kau adalah lelaki bejat. Sekali kau bergabung dengan Perguruan Henshan, tentu bibi-bibi gurumu berada dalam bahaya. Mereka adalah biksuni-biksuni cantik. Langkah yang paling tepat adalah memotong akar permasalahannya.’ Beliau kemudian memukulku sampai jatuh, melepas celanaku, merebut golokku, dan memotong kemaluanku hingga tinggal setengah.”

“Hah,” seru Linghu Chong terkejut sampai menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun ia menganggap hal ini terlalu kejam, namun ia juga sadar bahwa Tian Boguang sendiri sudah terlalu banyak memerkosa wanita baik-baik. Jadi, anggap saja ia telah mendapatkan karma yang setimpal.

Tian Boguang juga menggeleng, lalu melanjutkan, “Aku langsung pingsan dibuatnya. Ketika sadar, Kakek Guru telah menaburkan obat dan membungkus lukaku. Beliau berkata beberapa hari lagi lukaku akan sembuh. Beliau kemudian memaksaku menggunduli rambut dan menjadi biksu, serta berkata, ‘Mulai saat ini kau tidak bisa lagi memerkosa perempuan. Aku menyuruhmu menjadi bisku dengan gelar Bukebujie supaya semua orang mengetahuinya, sehingga kehormatan Perguruan Henshan bisa tetap terjaga. Umumnya, laki-laki tidak sepantasnya bercampur dengan kaum biksuni. Namun untuk seorang biksu bergelar Bukebujie rasanya tidak ada masalah.’”

Linghu Chong tersenyum berkata, “Kakek Gurumu memang pintar dan penuh perhitungan.”

Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru berkata, ‘Demi putriku tercinta, kau harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawanya.’ Beliau lantas menyuruhku menceritakan ini semua kepadamu. Beliau juga menyuruhku untuk memintamu supaya tidak menyalahkan guruku.”

Merasa bingung, Linghu Chong bertanya, “Kenapa aku harus menyalahkan Adik Yilin? Ia tidak tahu apa-apa soal ini.”

Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru berkata, tiap kali melihat guruku, Beliau merasa prihatin. Guru semakin hari semakin kurus. Jika Kakek Guru bertanya, guruku langsung meneteskan air mata dan tidak menjawab apa-apa. Kakek Guru berkata, ‘Ini semua gara-gara dia yang telah memarahi putriku.’”

Linghu Chong tersentak dan menjawab, “Bukan aku! Aku tidak pernah memarahi Adik Yilin. Ia sangat baik hati, bagaimana aku tega memakinya?’”

Tian Boguang bertanya, “Kalau kau memang tidak pernah memakinya, lalu kenapa ia menangis?”

“Aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong.

“Kakek Guru juga memukulku saat menanyai diriku soal ini,” kata Tian Boguang.

Linghu Chong menggaruk kepala memikirkan ucapan Biksu Bujie yang kusut seperti obrolan Enam Dewa Lembah Persik.

Tian Boguang berkata, “Menurut Kakek Guru, setelah Beliau menikah dengan Nenek Guru, sepanjang waktu mereka selalu bertengkar. Namun caci maki mereka justru memupuk rasa cinta di antara keduanya. Kau tidak pernah memaki guruku, itu berarti kau tidak akan menikah dengannya.”

“Ini … gurumu seorang biksuni. Aku tidak pernah memikirkan soal itu,” kata Linghu Chong bingung.

“Aku juga bilang begitu, tapi Kakek Guru marah dan kembali memukulku beberapa kali. Beliau berkata, nenek guruku semula juga seorang biksuni, dan ketika Beliau ingin menikahinya, Beliau pun menjadi biksu. Jika seorang biksuni dan biksu tidak boleh menikah, bagaimana guruku bisa lahir ke dunia ini? Dan jika guruku tidak ada, lantas bagaimana aku bisa berada di dunia ini?” sambung Tian Boguang.

Linghu Chong tertawa mendengar ucapan Tian Boguang yang aneh itu. Padahal, sudah jelas-jelas Tian Boguang jauh lebih tua daripada Yilin, tapi mengapa harus mencampuradukkan silsilah seperti itu.

Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru berkata, jika kau tidak menikahi guruku, lalu untuk apa kau menjadi Ketua Perguruan Henshan? Murid-murid Perguruan Henshan sebanyak itu tak seorang pun yang bisa menandingi kecantikan guruku. Jika kau tidak menikahi guruku, lantas biksuni mana yang akan kau nikahi?”

Diam-diam Linghu Chong merasa kasihan dan tidak menanggapi urusan ini lebih jauh. Ia berpikir, “Awal mula Biksu Bujie menjadi biksu adalah agar bisa menikahi seorang biksuni. Ia lantas berpikir semua laki-laki juga berpikiran sama seperti dirinya. Kalau sampai hal ini tersebar ke luar bisa menjadi masalah besar.”

Tian Boguang tersenyum kecut dan melanjutkan, “Kakek Guru bertanya padaku, apakah guruku wanita paling cantik di dunia. Aku pun menjawab, ‘Tentu saja. Meskipun Guru bukan wanita paling cantik, tapi ia adalah wanita yang sangat cantik.’ Kakek Guru marah mendengarnya dan memukulku lagi sampai dua gigiku lepas. Beliau berkata, ‘Kenapa putriku bukan wanita paling cantik? Kalau dia memang bukan wanita paling cantik, kenapa kau dulu menculiknya? Kenapa Linghu Chong mati-matian menolongnya?’ Aku pun menjawab, ‘Tentu saja … tentu saja Guru adalah wanita paling cantik di dunia.’ Mendengar itu Guru menjadi senang dan memuji ketajaman penglihatanku.”

Linghu Chong tersenyum. “Adik Yilin memang cantik jelita. Sudah sepantasnya Biksu Bujie sangat bangga kepadanya.”

Tian Boguang berkata gembira, “Jadi kau setuju kalau guruku cantik? Bagus kalau begitu.”

Linghu Chong terkejut. “Bagus apa maksudmu?”

Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru menyuruhku memanggilmu … memanggilmu ….”

“Memanggilku apa?” sahut Linghu Chong penasaran.

Tian Boguang tersenyum. “Memanggilmu Bapak Guru.”

Linghu Chong merasa heran. Ia berkata, “Saudara Tian, Biksu Bujie memang sangat menyayangi putrinya. Tapi kau seharusnya paham hal ini mustahil terlaksana.”

“Memang benar,” jawab Tian Boguang. “Aku menyampaikan kepada Kakek Guru bahwa hal ini sangat berat dan tidak mungkin terjadi. Aku katakan kepada Beliau bahwa kau telah memimpin ribuan orang persilatan demi menyelamatkan Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Aku juga berkata, ‘Meskipun kecantikan Nona Besar Ren tidak melebihi guruku, tapi Pendekar Linghu sudah ditakdirkan berjodoh dengannya. Ia tergila-gila kepada Gadis Suci, dan orang lain tidak ada yang berani mencampuri urusannya.’ Waktu itu aku terpaksa berkata demikian. Aku takut tangannya kembali merontokkan gigiku. Tolong kau jangan tersinggung.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Tentu saja aku mengerti.”

Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru berkata bahwa Beliau juga sudah mendengar hal ini. Menurut Beliau, masalahnya cukup sederhana, yaitu bagaimana memikirkan cara untuk membunuh Nona Besar Ren, itu saja. Aku langsung melarangnya karena jika Nona Besar Ren terbunuh, maka Linghu Chong pasti akan bunuh diri. Kakek Guru berkata, ‘Apa yang kau katakan benar juga. Jika si bocah Linghu Chong mati, maka putriku akan menjadi janda, ini sama saja dengan nasib buruk. Bagaimana ini? Ah, begini saja, katakan kepada Linghu Chong supaya tetap menikahi putriku dan menjadikannya istri kedua. Ini tentu lebih baik.’

Aku berkata, ‘Kakek Guru, bagaimana kau tega memperlakukan putrimu sendiri seperti itu?’

Beliau menghela napas dan menjawab, ‘Kau tidak tahu rupanya. Jika putriku tidak bisa menikah dengan Linghu Chong, cepat atau lambat ia tidak akan berumur panjang.’

Berkata demikian, Beliau lantas meneteskan air mata. Aih, mereka ayah dan anak sungguh orang-orang yang polos. Sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaan.”

Linghu Chong dan Tian Boguang saling pandang dan masing-masing merasa rikuh. Tian Boguang berkata, “Pendekar Linghu, aku telah mengatakan kepadamu semua hal yang dipesankan Kakek Guru. Aku tahu beberapa di antaranya sulit untuk dilakukan, bahkan terkesan tabu, terutama sejak kau menjadi Ketua Perguruan Henshan. Tapi aku menyarankan kepadamu supaya sudi berbicara lebih banyak dengan guruku. Buat dia bahagia.”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Baiklah.”

Yilin memang terlihat semakin kurus dari hari ke hari. Ternyata baru sekarang ia tahu kalau itu semua disebabkan karena cinta tak terbalas. Perasaan biksuni muda itu begitu dalam kepadanya, mengapa ia tidak menyadarinya? Namun, Yilin seorang biksuni dan juga masih sangat belia. Linghu Chong berharap perasaan tersebut akan berkurang seiring berjalannya waktu dan akhirnya musnah. Sejak bertemu di Pegunungan Xianxia, mulai dari Fujian sampai Jiangxi, sama sekali mereka belum pernah bicara berdua. Selama berada di Perguruan Henshan, Linghu Chong selalu menghindari Yilin supaya tidak menimbulkan kecurigaan di antara murid-murid yang lain. Memang, ia tidak peduli dengan nama baiknya sendiri yang sudah tercemar, namun bagaimanapun juga nama baik Perguruan Henshan harus tetap diutamakan. Bahkan, ketika mengajarkan jurus pedang kepada para murid, ia sama sekali tidak pernah mengajak Yilin bicara. Kini apa yang disampaikan Tian Boguang benar-benar membuat hatinya terkejut.

Linghu Chong melamun memandang ke atas puncak gunung yang diselimuti salju putih. Tiba-tiba terdengar suara ramai rombongan banyak orang berjalan menuju ke atas. Hal ini sungguh aneh karena puncak tersebut biasanya tenang dan sunyi, selamanya tidak pernah terdengar suara ribut demikian. Ia merasa heran mengapa tiba-tiba datang ratusan orang menuju ke sana.

Tidak lama kemudian terdengar suara orang yang paling depan berteriak, “Terimalah ucapan selamat dari kami, Tuan Muda Linghu! Hari ini adalah hari bahagiamu!” Orang itu berbadan pendek juga gemuk, siapa lagi kalau bukan Lao Touzi. Di belakangnya tampak pula Ji Wushi, Zu Qianqiu, Huang Boliu, Sima Da, Lan Fenghuang, You Xun, Sepasang Beruang Gurun Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Sama sekali Linghu Chong tidak menduga kalau mereka semua akan datang.

Linghu Chong terkejut bercampur senang. Segera ia melangkah maju sambil berkata, “Aku menerima wasiat terakhir Biksuni Dingxian dan terpaksa mengetuai Perguruan Henshan. Sungguh, aku tidak berani merepotkan kawan-kawan semua. Mengapa kalian malah datang ke sini?”

Lao Touzi dan rombongannya ini pernah mengikuti Linghu Chong menyerang Biara Shaolin. Setelah mengalami pertempuran hidup dan mati di biara megah tersebut, kini di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. Mereka lantas beramai-ramai melangkah maju dan mengerumuni Linghu Chong sambil mengelu-elukan pemuda itu dalam suasana akrab.

“Semua orang gembira mendengar Tuan Muda Linghu telah berhasil menyelamatkan Gadis Suci,” ujar Lao Touzi. “Tentang Tuan Muda akan menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan, hal ini sudah tersiar di dunia persilatan. Maka itu, jika kami tidak datang ke sini untuk mengucapkan selamat kepadamu, rasanya kami pantas mati.” Orang-orang ini memang lugas dan suka berterus terang. Sekejap kemudian terdengar suara gelak tawa di dalam rombongan besar itu.

Sejak tiba di Gunung Henshan, setiap hari Linghu Chong hanya bersama para biksuni dan perempuan-perempuan muda, sehingga ia tidak berani mengumbar kata-kata kasar di hadapan mereka. Kini, tiba-tiba saja datang sekian banyak kawan mengerumuninya, sudah pasti hal ini membuat hatinya sangat senang. Terdengar Huang Boliu berkata, “Kami adalah tamu-tamu tak diundang, maka Perguruan Henshan tidak perlu bersusah payah menyediakan hidangan bagi orang-orang kasar seperti kami ini. Untuk urusan makanan dan arak, kami telah membawa sendiri. Sebentar lagi juga datang.”

“Wah, bagus sekali!” seru Linghu Chong gembira. Ia berpikir suasana demikian ini mirip sekali dengan pertemuan besar di Lembah Lima Tiran dahulu. Tak lama kemudian kembali beberapa ratus orang datang membanjir ke atas gunung.

“Tuan Muda Linghu, kita ini seperti keluarga, maka murid-murid perguruanmu yang lembut itu tidak perlu melayani orang-orang kasar seperti kami,” kata Ji Wushi sambil tersenyum. “Biarlah kita pakai acara bebas saja. Kami akan melayani diri kami sendiri.”

Suasana di puncak gunung tersebut seketika menjadi ramai. Pihak Perguruan Henshan sangat terkejut karena tidak menduga akan kedatangan sekian banyak tamu yang bermaksud memberi selamat. Murid-murid yang berpengalaman ternyata mengenal orang-orang yang baru datang itu. Meskipun orang-orang itu banyak yang dikenal sebagai pendekar ternama, namun mereka berasal dari golongan hitam. Sebagian dari orang-orang itu berasal dari kaum penjahat pula. Tata tertib Perguruan Henshan mengharuskan murid-muridnya untuk menjaga kehormatan. Mereka jarang berhubungan dengan sesama aliran lurus, apalagi bergaul dengan aliran sesat. Tak disangka, orang-orang itu justru datang ke Puncak Henshan untuk memberi selamat, sedangkan Linghu Chong menyambut mereka dengan sangat ramah. Melihat itu mau tidak mau para murid merasa rikuh sendiri.

Siang harinya, muncul beberapa laki-laki membawa ayam, itik, kambing, kerbau, sayur-mayur, beras, dan juga arak. Rupanya ini adalah rombongan pembawa bekal seperti yang dikatakan Huang Boliu tadi. Linghu Chong berpikir, “Puncak Henshan ini adalah tempat keramat untuk memuja Dewi Guanyin. Aku adalah ketua di sini, tapi lantas menyembelih dan menyantap daging kambing atau kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur Perguruan Henshan.” Segera ia pun memerintahkan rombongan tukang masak itu memindah dapur mereka ke sisi gunung yang agak jauh. Meskipun demikian, tetap saja asap dan bau daging tercium juga ke puncak membuat para biksuni saling pandang sambil mengerutkan kening.

Setelah makan siang, para tamu duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Linghu Chong sendiri duduk di ujung barat sementara para murid Perguruan Henshan berdiri di belakangnya menurut tingkatan masing-masing. Suasana hening menunggu datangnya waktu baik yang telah ditentukan.

Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang meniup seruling semakin dekat dan semakin dekat. Tampak dua orang tua berjubah hitam muncul diiringi banyak pengikut. Para tamu terkejut dan beberapa ada yang berseru heran melihat kedatangan orang-orang itu. Banyak di antara mereka yang langsung berdiri dengan sikap hormat.

Salah satu orang tua berjubah hitam yang memimpin rombongan itu berseru, “Ketua Dongfang dari Sekte Matahari dan Bulan mengutus kami berdua, Jia Bu dan Shangguan Yun, untuk memberi selamat kepada Pendekar Linghu yang hari ini dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan. Semoga Perguruan Henshan berkembang lebih jaya dan berwibawa, serta nama besar Pendekar Linghu lebih gemilang di dunia persilatan.”

Mendengar ucapan tersebut, para hadirin kembali terkejut dan suasana menjadi gempar. Bagaimanapun juga, hampir setengah dari para pendekar yang hadir di situ memiliki hubungan dengan Sekte Iblis, dan banyak pula di antara mereka telah menelan Tiga Pil Penghancur Otak pemberian Dongfang Bubai. Maka begitu mendengar nama “Ketua Dongfang” disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.

Mungkin saja para hadirin tidak mengenal kedua utusan Dongfang Bubai itu, namun nama besar mereka berdua sudah lama mereka dengar. Yang berdiri di sebelah kiri, yaitu yang berbicara tadi, bernama Jia Bu, bergelar Si Orang Agung Muka Kuning. Sementara yang berdiri di sebelah kanan bernama Shangguan Yun, bergelar Si Pendekar Elang. Ilmu silat mereka terkenal jauh lebih tinggi di atas rata-rata tokoh-tokoh persilatan sebangsa ketua partai, misalnya Huang Boliu dan Sima Da, namun jasa dan kesaktian mereka di dalam Sekte Matahari dan Bulan pada awalnya tidak terlalu istimewa. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak anggota sepuh yang dipecat dan mengundurkan diri, misalnya Xiang Wentian, sehingga kedudukan mereka pun mengalami kenaikan pesat. Bisa dikatakan, Jia Bu dan Shangguan Yun adalah tokoh papan atas di dalam Sekte Matahari dan Bulan saat ini. Jika mereka dikirim untuk mengucapkan selamat ke Perguruan Henshan, itu berarti Dongfang Bubai sangat menghargai kedudukan Linghu Chong.

Linghu Chong lantas melangkah ke depan dan berkata, “Selama ini saya dan Ketua Dongfang tidak saling kenal. Maka itu, saya tidak berani menerima penghormatan dari Tuan-Tuan berdua.” Dilihatnya wajah Jia Bu kurus dan kuning seperti lilin, dengan tulang pelipis yang menonjol. Di sisi lain Shangguan Yun memiliki lengan dan kaki yang panjang, serta penuh percaya diri. Matanya tampak tajam berkilat-kilat bagaikan elang. Linghu Chong dapat merasakan kedua utusan Dongfang Bubai ini pasti memiliki tenaga dalam yang sangat bagus.

Jia Bu lantas berkata, “Hari ini adalah hari bahagia Pendekar Linghu. Sebenarnya Ketua Dongfang bermaksud datang sendiri untuk memberikan selamat secara pribadi. Namun Beliau sedang sibuk menangani bermacam-macam pekerjaan sehingga sukar berada di dua tempat dalam waktu sekaligus. Untuk ini, mohon Pendekar Linghu bisa memaklumi.”

“Ah, mana berani aku berpikir macam-macam?” sahut Linghu Chong. Mendengar ucapan dan sikap kedua utusan tersebut, ia berpikir saat ini tentu Ren Woxing belum berhasil merebut kedudukannya kembali. Ia berharap Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian dalam keadaan baik-baik saja.

Sementara itu Jia Bu tampak memiringkan tubuhnya dan menggerakkan tangan kiri ke belakang sambil berkata, “Sedikit oleh-oleh ini adalah pemberian Ketua Dongfang. Mohon Ketua Linghu sudi menerimanya.”

Tidak lama kemudian terlihat ratusan orang menggotong empat puluh peti berukuran besar ke depan. Setiap peti digotong oleh empat laki-laki kekar. Melihat para penggotong itu melangkah dengan berat, dapat dibayangkan isi peti tersebut tentu tidaklah ringan.

Dengan cepat Linghu Chong menolak, “Linghu Chong sudah mendapat suatu kehormatan besar atas kunjungan Tuan-Tuan berdua yang mulia. Saya tidak berani menerima hadiah-hadiah ini. Harap disampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa saya mengucapkan banyak terima kasih. Lagipula, murid-murid Perguruan Henshan hidup sederhana sehingga tidak terbiasa dengan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”

“Jika Ketua Linghu tidak sudi menerima, maka saya dan Saudara Shangguan berada dalam masalah besar,” ujar Jia Bu. Ia lalu berpaling kepada Shangguan Yun dan berkata, “Betul tidak perkataanku, Saudara Shangguan?”

“Betul sekali!” jawab Shangguan Yun mantap.

Linghu Chong menjadi serbasalah menghadapi persoalan ini. Dalam hati ia berpikir, “Perguruan Henshan adalah aliran lurus yang tidak bisa hidup berdampingan dengan aliran sesat. Apalagi Ketua Ren dan Yingying hendak menyerbu dan membuat perhitungan dengan Dongfang Bubai. Jadi, mana boleh aku menerima sumbangan mereka?” Maka ia lantas berkata, “Saudara Jia harap menyampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa hadiahnya ini sama sekali saya tidak berani menerima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang ini, terpaksa saya menyuruh orang untuk mengantar semuanya ke markas besar agama Saudara yang mulia.”

Jia Bu tersenyum menjawab, “Apakah Ketua Linghu mengetahui apa isi keempat puluh peti besar ini?”

“Sudah tentu tidak tahu,” sahut Linghu Chong.

“Bila Ketua Linghu sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Jia Bu dengan tertawa. “Sesungguhnya isi keempat puluh peti itu juga tidak seluruhnya sumbangan Ketua Dongfang. Justru sebagian adalah milik Ketua Linghu sendiri. Bisa dikatakan kami ini datang untuk mengembalikan barang kepada pemiliknya.”

Linghu Chong menjadi heran. “Apa maksudmu? Kenapa kau bilang barang-barang milikku? Barang apakah itu?”

Jia Bu maju selangkah dan berkata lirih, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian, perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Nona Besar Ren di Tebing Kayu Hitam. Ketua Dongfang menyuruh kami mengantarkannya ke sini agar bisa dipakai oleh Nona Besar Ren. Sebagian lagi di antaranya adalah hadiah Ketua Dongfang kepada Ketua Linghu dan Nona Besar Ren. Ini sama sekali tidak ada maksud jahat dari kami, oleh sebab itu harap Ketua Linghu jangan segan-segan lagi untuk menerimanya. Hahaha!”

Watak Linghu Chong pada dasarnya terbuka dan tidak suka banyak pikiran. Melihat maksud sumbangan Dongfang Bubai itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang tersebut adalah milik Ren Yingying, maka ia pun tidak menolak lagi. Sambil bergelak tawa ia berkata, “Hahaha, baiklah. Dalam hal ini aku menerima hadiah dari Ketua Dongfang. Terima kasih banyak.”

Pada saat itulah seorang murid perempuan datang mendekat dan melapor, “Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang datang sendiri untuk memberi selamat.”

Linghu Chong terkejut dan segera berjalan keluar biara untuk menyambut. Dilihatnya Pendeta Chongxu datang bersama delapan muridnya. Linghu Chong membungkuk untuk memberi hormat lalu menyapa, “Atas kunjungan Pendeta, Linghu Chong merasa sangat berterima kasih.”

“Adik Linghu diangkat sebagai Ketua Perguruan Henshan, berita ini sungguh membuat hatiku gembira,” ujar Pendeta Chongxu. “Kabarnya Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng juga akan datang dari Biara Shaolin untuk memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba atau belum?”

Mendengar itu Linghu Chong bertambah heran dan terkejut. Ia hanya bisa berkata, “Wah, ini … ini ….”

Pada saat itulah di jalan pegunungan tampak muncul serombongan biksu. Dua orang yang paling depan jelas Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng.

“Pendeta Chongxu, langkahmu sungguh cepat sehingga mendahului rombongan kami,” seru Fangzheng dari jauh.

Linghu Chong segera bergegas menuruni jalan untuk menyongsong ke depan kemudian berseru, “Kedua Biksu Agung datang secara pribadi ke sini, sungguh Linghu Chong merasa tidak pantas menerima kehormatan besar ini.”

Dengan tertawa Biksu Fangsheng menjawab, “Pendekar Linghu, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Biara Shaolin, sementara kami baru berkunjung sekali ini ke Gunung Henshan. Anggap saja ini hanya sekadar kunjungan balasan saja.”

Linghu Chong lantas mengajak rombongan dari Biara Shaolin dan Perguruan Wudang itu naik ke atas. Melihat ketua-ketua dari dua perguruan nomor satu di dunia persilatan datang secara pribadi, hal ini sungguh membuat para hadirin terperanjat. Tidak ada lagi di antara mereka yang berani banyak bicara. Murid-murid Henshan saling berpikir dalam hati masing-masing, “Kakak Ketua sungguh memiliki nama besar di dunia persilatan.”

Sementara itu Jia Bu dan Shangguan Yun saling pandang seolah tidak percaya kalau Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu datang secara langsung untuk memberi selamat kepada Linghu Chong.

Linghu Chong kemudian mempersilakan Fangzheng dan Chongxu duduk di kursi kehormatan. Dalam hati ia berpikir, “Dulu sewaktu Guru dilantik sebagai Ketua Perguruan Huashan, pihak Shaolin dan Wudang hanya mengirim perwakilan untuk mengucapkan selamat. Meskipun waktu itu aku masih kecil dan tidak mengenali para tamu yang datang, namun aku tidak pernah lupa siapa saja para hadirin yang diceritakan oleh Guru dan Ibu Guru. Tapi sekarang ketua-ketua dari kedua perguruan terbesar di dunia persilatan ini sudi berkunjung ke sini. Apakah mereka benar-benar datang memberi selamat ataukah masih ada maksud lainnya?”

Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan seolah tidak ada habis-habisnya. Kebanyakan dari mereka adalah jago-jago persilatan aliran sesat yang pernah ikut menggempur Biara Shaolin tempo hari. Menyusul kemudian utusan-utusan dari Perguruan Kunlun, Diancang, Emei, Kongtong, Partai Pengemis, dan lain-lain juga tiba dengan membawa sejumlah hadiah dan kartu ucapan selamat dari ketua masing-masing. Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Mereka sudi datang ke sini tentu karena nama besar Perguruan Henshan dan Biksuni Dingxian. Sama sekali bukan karena aku. Tapi, di antara sekian banyak orang ini, kenapa tidak ada utusan dari Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan?”

Kemudian terdengar suara petasan ramai, pertanda sudah tiba waktunya upacara pelantikan dimulai. Linghu Chong bangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan kata pengantar, “Ketua Perguruan Henshan terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian telah dicelakai orang secara licik. Bersama Biksuni Dingyi, Beliau berdua akhirnya meninggal dunia. Si bocah Linghu Chong telah menerima wasiat terakhir dari Beliau supaya melanjutkan kepemimpinan di Perguruan Henshan. Kami selaku tuan rumah berterima kasih atas kunjungan dan doa restu dari para hadirin sekalian.”

Di tengah suara tetabuhan alat musik, murid-murid Perguruan Henshan mulai berbaris ke tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Yihe, Yiqing, Yizhen, dan Yizhi. Mereka berempat menghadap Linghu Chong dan memberi hormat. Linghu Chong menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk membalas penghormatan.

Yihe berkata, “Keempat alat keagamaan ini adalah pusaka peninggalan Biksuni Xiaofeng, leluhur pendiri Perguruan Henshan. Benda-benda ini diwariskan turun-temurun kepada ketua baru yang dilantik. Oleh karena itu, Kakak Linghu diharap sudi menerimanya.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka bawa masing-masing, yaitu sejilid kitab, sebuah kentungan kayu kecil, seuntai tasbih, dan sebatang pedang pendek. Agak rikuh juga Linghu Chong menerima kentungan kecil dan tasbih segala, karena dirinya tidak pernah bersembahyang dan membaca kitab. Terpaksa ia pun menerima benda-benda itu sambil menunduk tanpa berani menatap ke arah hadirin.

Yiqing lalu membuka sebuah kitab dan berseru, “Perguruan Henshan memiliki lima pantangan. Yang pertama, dilarang melawan atasan atau saudara yang lebih tua. Yang kedua, dilarang menyakiti sesama anggota perguruan. Yang ketiga, dilarang membunuh orang yang tidak berdosa. Keempat, selalu menjaga kehormatan diri. Kelima, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan kaum penjahat. Untuk ini hendaklah Kakak Ketua memberi teladan dan memimpin para murid dengan bijaksana.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. Namun dalam hati ia berpikir pantangan keempat dan kelima jelas sukar untuk dijalankan. Bagaimana tidak, selama ini ia suka berbuat ugal-ugalan, dan yang lebih merepotkan lagi, para tamu yang hadir saat ini saja sebagian besar berasal dari golongan sesat dan kaum penjahat.

Kemudian Yizhen berkata, “Sekarang silakan Kakak Ketua memulai bersembahyang menghormati arwah para leluhur Perguruan Henshan kita.”

Belum sempat Linghu Chong melangkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak, “Ketua Zuo dari Serikat Pedang Lima Gunung menyampaikan perintah: Linghu Chong tidak boleh menyerobot kedudukan sebagai Ketua Perguruan Henshan.”

Di tengah-tengah teriakan itu, muncul lima orang melesat ke atas, sementara di belakang mereka menyusul rombongan berisi puluhan orang. Kelima orang yang berlari paling depan itu masing-masing membawa sebuah panji sulaman, yang tidak lain adalah Panji Pancawarna lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Kira-kira beberapa meter di depan Linghu Chong dan para hadirin, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri paling tengah seorang berkepala gundul licin, berusia lima puluhan tahun dan bertubuh tinggi besar. Linghu Chong mengenali orang itu yang tidak lain adalah Ding Mian, salah seorang tokoh terkemuka Perguruan Songshan yang berjuluk Si Tapak Penahan Menara. Ia merupakan adik seperguruan Zuo Lengchan nomor dua yang dulu pernah dilihat Linghu Chong saat peristiwa menghadapi Kelompok Pedang Cabang Perguruan Huashan di halaman Kuil Dewa Obat.

Linghu Chong pun menyapa, “Sesepuh Ding, bagaimana kabarmu?”

Ding Mian mengibaskan panji yang dipegangnya, lalu berkata, “Perguruan Henshan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung, maka harus tunduk kepada perintah Ketua Zuo.”

Linghu Chong tersenyum menjawab, “Apakah Sesepuh Ding telah lupa bahwa tempo hari di Lembah Tempa Pedang di Longquan orang-orang Perguruan Henshan kami telah diserang oleh orang-orang Perguruan Songshan yang menyamar sebagai anggota Sekte Matahari dan Bulan? Peristiwa itu telah menewaskan tidak sedikit kakak dan adik kami, sehingga Biksuni Dingxian menyatakan untuk tidak lagi tunduk kepada perintah Ketua Zuo. Apakah saudara-saudara bermarga Zhao, Zhang, dan Sima tidak melaporkan hal ini kepada Ketua Zuo? Linghu Chong menerima wasiat terakhir Biksuni Dingxian untuk menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan. Maka untuk selanjutnya, Perguruan Henshan kami tidak akan tunduk lagi kepada Serikat Pedang Lima Gunung.”

Sementara itu, rombongan beberapa puluh orang yang berjalan di belakang tadi telah tiba pula. Ternyata mereka adalah murid-murid dari Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan Taishan. Yang menjadi perwakilan Perguruan Huashan adalah delapan orang adik seperguruan Linghu Chong. Mereka semua berbaris menjadi empat kelompok sesuai perguruan masing-masing dalam keadaan siap siaga menggenggam gagang pedang tanpa bersuara sedikit pun.

Ding Mian lantas berkata, “Selama ini Perguruan Henshan dipimpin kaum biksuni. Linghu Chong seorang laki-laki, mana boleh melanggar peraturan Perguruan Henshan yang sudah turun-temurun selama ratusan tahun?”

“Peraturan dibuat oleh manusia dan dapat diubah pula oleh manusia,” jawab Linghu Chong. “Lagipula ini adalah urusan rumah tangga Perguruan Henshan kami, orang luar tidak perlu ikut campur.”

Serentak terdengar caci maki Lao Touzi dan kawan-kawannya, “Huh, ini urusan Perguruan Henshan, apa hubungannya dengan Perguruan Songshan kalian?”

“Nenekmu! Cepat kalian enyah sana!”

“Huh, ketua serikat apa pula? Ketua serikat kentut anjing tak tahu malu!”

Tempo hari ketika Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan hendak mengadakan Upacara Cuci Tangan Baskom Emas dan mengudurkan diri dari dunia persilatan, Zuo Lengchan telah mengirim Ding Mian, Lu Bai, dan Fei Bin yang memimpin para murid Perguruan Songshan untuk menghentikannya. Karena persiapan mereka telah matang dan berhati-hati, para hadirin termasuk pimpinan Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan dibuat tak berdaya untuk mencegah mereka. Akhirnya dalam peristiwa itu, Liu Zhengfeng tidak dapat melanjutkan upacara, bahkan harus kehilangan anak istri, serta murid-muridnya. Biksuni Dingyi yang bermaksud melerai juga ikut terluka oleh pukulan Ding Mian, sehingga memilih untuk pulang meninggalkan pertemuan. Kali ini apa yang dilakukan Perguruan Songshan di Gunung Henshan sama persis dengan yang dilakukan terhadap Liu Zhengfeng. Bahkan, kedatangan mereka juga disertai perwakilan dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan, sehingga bisa dikatakan, kekuatan mereka dalam mengganggu upacara pelantikan Linghu Chong jauh lebih besar daripada saat menghentikan upacara Liu Zhengfeng.

Melihat itu, mau tidak mau jantung Yihe, Yiqing, dan para murid Perguruan Henshan lainnya berdebar-debar. Namun demi melihat para tamu yang hadir untuk memberikan selamat kepada Linghu Chong sangat banyak, ditambah lagi dengan kehadiran Kepala Biara Shaolin dan Ketua Perguruan Wudang, tentu membuat perasaan mereka menjadi agak tenang. Sepertinya niat Perguruan Songshan untuk menggagalkan pelantikan Linghu Chong akan sulit terlaksana. Melihat para hadirin yang terdiri dari orang-orang kasar itu berani memaki orang-orang Perguruan Songshan, membuat para biksuni merasa hal ini sangat bermanfaat bagi Perguruan Henshan.

Ding Mian berkata kepada Linghu Chong, “Apa yang dikerjakan orang-orang bermulut kotor ini di sini?”

“Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir menyaksikan upacara,” jawab Linghu Chong.

“Nah, itu dia,” kata Ding Mian. “Coba katakan padaku, apa bunyi peraturan nomor lima Perguruan Henshan kalian?”

Merasa terus-menerus didesak, Linghu Chong terpaksa melayani Ding Mian berdebat. “Peraturan kelima adalah dilarang bergaul dengan golongan hitam. Maka itu, Linghu Chong tidak sudi bergaul dengan manusia semacam Saudara Ding dan murid-murid Perguruan Songshan ini.”

Maka terdengarlah suara gemuruh tawa banyak orang. Di antara mereka ada yang berteriak-teriak, “Nah, lekas kalian enyah dari sini, manusia jahat!”

Ding Mian saling pandang dengan keempat rekannya. Para hadirin yang mendukung Linghu Chong terlalu banyak. Jika sampai terjadi pertempuran tentu pihaknya dalam keadaan bahaya. Ia berpikir, “Kali ini Kakak Zuo salah perhitungan. Kakak Zuo mengira di Gunung Henshan hanya ada murid-murid perempuan yang mendampingi Linghu Chong saat dilantik. Meskipun ilmu silat Linghu Chong sangat tinggi, namun ia tidak mungkin menang melawan kami semua. Begitu dia sedang tidak memegang pedang, maka kami bisa mengepung dan mencabut nyawanya. Tak disangka, ternyata tamu yang datang memberikan selamat kepadanya berjumlah sebanyak ini. Bahkan Kepala Biara Shaolin dan Ketua Perguruan Wudang juga datang. Hm, jika sampai terjadi pertempuran, tentu ini sangat berbahaya.”

Maka, ia pun berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lalu berkata, “Sesepuh berdua adalah tokoh-tokoh yang diagungkan di dunia persilatan. Kami mohon untuk diberi penilaian yang adil. Dengan mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Linghu Chong sudah melanggar peraturan kelima Perguruan Henshan, yaitu larangan bergaul dengan kaum penjahat? Tampaknya Perguruan Henshan yang punya nama baik selama beratus-ratus tahun hari ini akan runtuh begitu saja. Apakah Ketua berdua hanya berpeluk tangan?”

Mahabiksu Fangzheng menjawab, “Tentang hal ini … ini ….” Ia merasa ucapan Ding Mian memang ada benarnya. Sebagian besar tamu yang hadir ini memang berasal dari golongan hitam, tapi mana mungkin meminta Linghu Chong mengusir orang-orang sebanyak itu?

Tiba-tiba dari arah jalanan berkumandang suara seorang perempuan, “Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan tiba!”

Linghu Chong terkejut bercampur gembira begitu mendengarnya. Tanpa bisa ditahan lagi, mulutnya berseru, “Hei, Yingying juga datang!” Segera ia menyongsong ke ujung jalan. Dilihatnya dua lelaki kekar mengusung sebuah joli sedang mendaki ke atas. Langkah mereka cepat bagaikan terbang. Di belakang joli tampak empat orang dayang berbaju hijau melangkah tidak kalah cepat pula.

Begitu mendengar kedatangan Ren Yingying, sebagian besar para hadirin juga ikut menyongsong ke jalan sambil bersorak ramai. Tampak sebuah joli kecil telah tiba di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah. Saat tirai dibuka, keluar seorang gadis jelita berpakaian hijau muda. Ternyata yang datang benar-benar Ren Yingying.

“Gadis Suci! Gadis Suci!” serentak para hadirin bersorak sambil membungkukkan tubuh. Jelas mereka sangat hormat dan segan kepada gadis itu. Suatu rasa hormat yang tulus dari lubuk hati terdalam, bukan dibuat-buat.

“Kau datang juga, Yingying?” sapa Linghu Chong sambil berjalan mendekat dengan bibir tersenyum.

“Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” jawab Ren Yingying dengan senyuman manis. Pandangannya menyapu ke sekeliling melintasi muka setiap hadirin. Ia lalu sedikit membungkuk kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sambil berseru, “Kepala Biara, Pendeta Ketua, terimalah salamku!”

Fangzheng dan Chongxu membalas hormat sambil berpikir, “Kau memang akrab dengan Linghu Chong. Tapi seharusnya kau jangan datang kemari, karena hanya akan membuat keadaan Linghu Chong bertambah sulit.”

Tiba-tiba Ding Mian berseru, “Nona ini adalah tokoh penting dari Sekte Iblis. Betul tidak, Linghu Chong?”

“Kau benar, lantas mau apa?” sahut Linghu Chong.

“Peraturan kelima dalam Perguruan Henshan adalah dilarang bergaul dengan kaum sesat. Bila tidak kau putuskan hubunganmu dengan manusia-manusia sesat ini, maka kau tidak boleh menjadi Ketua Perguruan Henshan,” kata Ding Mian.

“Tidak menjadi ketua juga tidak masalah. Apa pentingnya hal itu?” jawab Linghu Chong.

Ren Yingying tersentuh mendengar ucapan itu. Demi dirinya Linghu Chong tidak peduli apa pun. Ia lantas bertanya, “Ketua Linghu, dari manakah kawan ini berasal? Mengapa dia ke sini mencampuri urusan rumah tangga Perguruan Henshan kalian?”

“Dia mengaku diutus oleh Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Panji yang ia pegang itu adalah panji Pancawarna lambang kebesaran Ketua Zuo,” kata Linghu Chong. “Hm, jangankan cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Ketua Zuo sendiri yang datang juga tidak berhak mencampuri urusan Perguruan Henshan kami.”

“Tepat,” kata Yingying sambil mengangguk. Ia merasa gemas saat teringat kelicikan Zuo Lengchan ketika bertanding melawan ayahnya di Biara Shaolin tempo hari. Tenaga dalam mahadingin yang dikerahkan Zuo Lengchan membuat ayahnya terluka dan hampir kehilangan nyawa. Ia lantas berkata, “Siapa bilang itu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung? Dia penipu ….” belum habis ucapannya, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan, tahu-tahu sebelah tangannya sudah memegang sebilah pedang pendek dan digunakannya untuk menikam ke arah dada Ding Mian.

Ding Mian sama sekali tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian cekatan, menerjangnya dengan cara licik. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, terpaksa ia mengelak ke samping. Ternyata serangan Ren Yingying itu hanyalah pancingan belaka. Begitu menggeser ke samping, pegangan Ding Mian menjadi kendur. Panji Pancawarna yang ada di tangan kanannya pun dapat dirampas oleh si nona.

Ren Yingying tidak lantas berhenti sampai di situ. Berturut-turut pedang pendeknya menikam empat kali dan sekaligus pula empat buah panji lainnya sudah berpindah tangan. Keempat pemegang panji tersebut adalah saudara-saudara seperguruan Ding Mian yang rata-rata berilmu tinggi. Mereka semua mahir dalam pertarungan tangan kosong dan sengaja dipilih Zuo Lengchan untuk melumpuhkan Linghu Chong saat tidak memegang pedang. Tak disangka, kelimanya justru dipecundangi Ren Yingying seperti ini. Padahal kelima serangan yang dilancarkan Ren Yingying semua menggunakan jurus yang sama, namun kecepatannya luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji di tangan mereka sudah hilang. Boleh dikata mereka bukan kalah karena adu kesaktian, tetapi kalah karena diserang secara tiba-tiba menggunakan tipu muslihat.

Gadis itu lalu memutar ke belakang Linghu Chong dan berkata, “Ketua Linghu, panji-panji ini semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Serikat Pedang Lima Gunung? Ini semua adalah Panji Pancabisa milik Partai Lima Dewi.”

Waktu ia membentangkan kelima panji tersebut, tampak dengan jelas pada panji-panji itu masing-masing bersulamkan gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak berbisa, sama sekali bukan Panji Pancawarna milik Serikat Pedang Lima Gunung.

Ding Mian dan kawan-kawannya ternganga, tidak tahu harus bicara apa. Sebaliknya, Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan para hadirin lainnya lantas bersorak memuji. Mereka tahu, begitu merampas Panji Pancawarna itu Ren Yingying segera menukarnya dengan Panji Pancabisa dengan sangat cepat sehingga tak seorang pun sempat melihat perbuatannya.

“Ketua Lan!” seru Ren Yingying memanggil.

Seorang wanita cantik berpakaian suku Miao tampil ke depan dan menjawab, “Hamba di sini. Silakan Gadis Suci memberi perintah!” Perempuan itu tidak lain adalah Lan Fenghuang, Ketua Partai Lima Dewi yang terkenal.

“Panji Pancabisa milik aliranmu ini mengapa bisa jatuh ke tangan orang-orang Perguruan Songshan?” tanya Ren Yingying.

“Murid-murid Perguruan Songshan ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku. Mungkin mereka telah memakai kata-kata manis sehingga Panji Pancabisa milik aliran kami bisa jatuh ke tangan mereka,” jawab Lan Fenghuang sambil tertawa.

“Oh, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu,” kata Ren Yingying sambil melemparkan kelima buah panji kecil itu.

“Terima kasih, Gadis Suci,” sahut Lan Fenghuang sambil menyambut panji-panji partainya.

Merasa dipermainkan, Ding Mian pun memaki, “Perempuan siluman, di depanku kau berani main gila seperti itu! Lekas kembalikan panji-panji serikat kami!”

“Kalau kau menginginkan Panji Pancabisa, kenapa tidak minta kepada Ketua Lan saja?” ujar Yingying tertawa.

Dengan kesal Ding Mian terpaksa berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. “Kepala Biara dan Pendeta Chongxu, hendaklah kalian berdua sudi memberi keadilan.”

“Tentang peraturan Perguruan Henshan memang … memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan kaum sesat,” kata Mahabiksu Fangzheng. “Hanya saja … hanya saja hari ini banyak kawan persilatan yang hadir menyaksikan upacara ini sehingga Ketua Linghu terpaksa tidak bisa menutup pintu dan membuat malu tamu-tamunya ….”

Tiba-tiba Ding Mian menunjuk seseorang di antara para hadirin sambil berseru, “Hei, hei, aku mengenal penjahat cabul ini. Dia adalah Tian Boguang yang sedang menyamar sebagai biksu. Apakah manusia macam ini juga kawan Linghu Chong?” Ia diam sejenak lalu berteriak dengan nada bengis, “Hei, Tian Boguang, kau mau apa datang ke Gunung Henshan ini?”

“Saya datang ke sini untuk berguru,” jawab Tian Boguang.

“Berguru?” sahut Ding Mian menegas.

“Betul,” jawab Tian Boguang sambil kemudian berjalan mendekati Yilin. Di hadapan biksuni muda itu ia berlutut dan menyembah, “Guru, terimalah hormat muridmu. Gelar Buddhaku adalah Bukebujie.”

Wajah Yilin merona merah menahan malu. “Kau … kau ….” dengan tergagap-gagap ia bergeser ke samping menghindari penghormatan itu.

Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Tuan Tian telah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Ini sangat bagus. Ia bahkan menjadi biksu dengan gelar Bukebujie, artinya ‘tidak boleh tanpa pantangan’. Mahabiksu Fangzheng, barangsiapa yang mau menyadari kesalahannya, maka pintu Sang Buddha akan terbuka lebar, dan dia bisa mendapatkan pencerahan, betul tidak?”

“Benar sekali,” sahut Mahabiksu Fangzheng. “Amitabha, Biksu Bukebujie telah bergabung ke dalam Perguruan Henshan dan tunduk kepada peraturan yang berlaku. Ini benar-benar suatu berkah bagi dunia persilatan.”

Ren Yingying lantas berseru, “Nah, dengarkan, kawan-kawan! Kedatangan kita hari ini adalah untuk bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Apabila Ketua Linghu sudi menerima, maka kita lantas terhitung sebagai anggota Perguruan Henshan. Nah, kalau sudah menjadi anak buah Perguruan Henshan apakah masih boleh disebut sebagai kaum sesat?”

Baru sekarang Linghu Chong paham. Rupanya kedatangan Ren Yingying dan orang banyak itu memang berencana untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anggota laki-laki sebanyak itu. Tentu setelah ini tidak ada lagi orang yang mengolok-olok dirinya sebagai ketua kaum biksuni. Dengan suara lantang ia pun bertanya, “Kakak Yihe, apakah dalam peraturan perguruan kita ada larangan menerima anggota laki-laki?”

Yihe menjawab, “Larangan menerima anggota laki-laki memang tidak ada, hanya saja … hanya saja ….” Yihe merasa bingung. Pikirannya tidak bisa bekerja. Dalam hati ia merasa tidak enak juga karena Perguruan Henshan mendadak harus bertambah anggota sekian banyak murid laki-laki.

Linghu Chong melanjutkan, “Sungguh bagus jika kalian mau menjadi anggota Perguruan Henshan. Namun di sini kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup menjadi anggota saja. Untuk selanjutnya, dalam Perguruan Henshan akan dibentuk suatu … eh suatu … suatu ‘cabang istimewa’ yang beranggotakan kalian semua. Kurasa Lembah Tongyuan di sebelah sana cocok untuk tempat tinggal kalian.”

Lembah Tongyuan terletak tidak jauh di sebelah Puncak Jianxing, yaitu puncak tertinggi Gunung Henshan di mana biara induk berada. Berdasarkan legenda dari zaman Dinasti Tang, di lembah itu dulu Zhang Guolao bertapa untuk menjadi dewa. Juga terdapat sebuah batu besar yang mengandung banyak jejak kaki keledai. Menurut kepercayaan, itu adalah jejak keledai yang ditunggangi Zhang Guoluo. Jika ini bukan perbuatan kaum dewa, bagaimana mungkin bisa terjadi demikian? Saat itu Kaisar Tang Xuanzong lantas memberi gelar “Tuan Tongyuan” kepada Zhang Guoluo.

Lembah Tongyuan memang tidak jauh, namun kalau hendak menuju Puncak Jianxing harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah terpencil tersebut, Linghu Chong bermaksud memisahkan mereka dari para biksuni dan murid perempuan.

Mahabiksu Fangzheng manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara mengatur ini. Dengan masuknya para kawan persilatan ini ke dalam Perguruan Henshan dan terikat pula oleh tata tertib yang berlaku, hal ini benar-benar suatu berkah pula bagi dunia persilatan.”

Karena yang berkata demikian seorang tokoh agung, terpaksa Ding Mian tidak berani merintangi lagi. Maka, ia pun menyampaikan perintah kedua dari Zuo Lengchan, “Ketua Serikat Pedang Lima Gunung memberi perintah agar pada pagi hari tanggal lima belas bulan tiga nanti setiap anggota perserikatan kita berkumpul di Gunung Songshan untuk memilih Ketua Perguruan Lima Gunung. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan semua orang datang tepat waktu.”

“Perguruan Lima Gunung? Jadi peleburan Serikat Pedang Lima Gunung sudah ditetapkan? Lantas siapakah yang mengambil prakarsa peleburan ini?” tanya Linghu Chong.

“Yang jelas Perguruan Songshan, Hengshan, Taishan, dan Huashan sudah setuju,” sahut Ding Mian. “Jika Perguruan Henshan punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat perguruan yang lain dan berarti pula kau mencari penyakit sendiri.” Ia lantas menoleh dan bertanya kepada para perwakilan keempat perguruan yang ikut datang bersamanya, “Betul, tidak?”

“Betul!” serentak puluhan orang yang berdiri di belakangnya itu menjawab.

Ding Mian mendengus dan tidak berbicara lagi. Ia memutar tubuh untuk kemudian melangkah pergi. Setelah beberapa langkah ia menoleh ke arah Ren Yingying karena teringat Panji Pancawarna yang direbut gadis itu. “Bagaimana cara merebut panji-panji itu?” demikian ia berpikir.

Tiba-tiba Lan Fenghuang berseru sambil tertawa, “Pendekar Ding, kau kehilangan Panji Pancawarna, bagaimana nanti kau akan menjawab bila ditanya oleh Ketua Zuo? Ini, kukembalikan panjimu!” Bersama itu sebuah panji bersulam pun dilemparkannya ke arah Ding Mian.

Begitu melihat panji kecil itu melayang ke arahnya, Ding Mian hanya terdiam saja. Ia merasa panji itu adalah milik Partai Lima Dewi, jadi untuk apa harus mengulurkan tangan menyambut. Namun saat itu panji kecil tersebut sudah meluncur ke arah lehernya, mau tidak mau ia pun menjulurkan tangan untuk menangkap. Tapi mendadak ia menjerit sambil melemparkan panji kecil itu ke lantai. Telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Begitu diperiksa, ternyata tangannya telah berwarna kebiru-biruan. Jelas panji itu mengandung bisa.

Di depan umum ia telah dipermainkan oleh Partai Lima Dewi. Wajahnya pun merah padam menahan marah, “Bedebah! Perempuan hina ….”

Dengan tertawa Lan Fenghuang menyela, “Lekas kau panggil ‘Ketua Linghu’ dan mohonlah belas kasihan kepadanya. Nah, habis itu segera kuberikan obat penawarnya. Jika tidak, kau akan kehilangan sebelah tanganmu yang akan membusuk dalam waktu singkat.”

Ding Mian cukup paham betapa hebat orang-orang Partai Lima Dewi dalam menggunakan racun. Dalam keraguannya sejenak itu saja telapak tangannya sudah terasa kaku dan mulai mati rasa. Segenap kepandaiannya terletak pada kedua tangan. Bila sebelah tangannya harus hilang ini sungguh lebih mengerikan daripada kematian. Karena sangat cemas, ia terpaksa berseru, “Ketua Linghu, kau … kau ….”

“Apakah begitu caranya memohon?” ejek Lan Fenghuang sambil tertawa.

“Ketua Linghu, aku telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon … mohon kau sudi memberikan obat … obat penawarnya,” pinta Ding Mian dengan terputus-putus.

Linghu Chong tersenyum, kemudian berkata, “Ketua Lan, Saudara Ding hanya menjalankan perintah Ketua Zuo. Tolong berikan obat penawar kepadanya.”

Lan Fenghuang tertawa dan kemudian memberi isyarat kepada seorang gadis Miao di sampingnya. Gadis Miao itu mengeluarkan bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Ding Mian. Dengan tersipu-sipu Ding Mian menangkap bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tawa ejekan banyak orang. Puluhan orang yang menjadi rombongannya pun ikut menyusul pergi.

Linghu Chong lantas berseru lantang, “Kawan-kawan, kalau kalian sudi tinggal di Lembah Tongyuan, maka kalian harus taat kepada peraturan perguruan kita. Sekarang kalian adalah anggota Perguruan Henshan, sudah tentu kalian bukan lagi orang-orang golongan hitam. Untuk selanjutnya kalian harus berhati-hati dalam pergaulan dengan orang luar.”

“Baik, Ketua!” seru rombongan Lao Touzi itu mengiakan dengan suara bergemuruh.

Linghu Chong melanjutkan, “Bila kalian ingin minum arak dan makan daging boleh-boleh saja. Tapi, orang-orang yang makan daging untuk selanjutnya dilarang naik ke Puncak Jianxing ini, termasuk aku sendiri. Semua peraturan harus dipatuhi.”

“Shanti, shanti! Tempat suci Sang Buddha memang tidak sepantasnya dikotori,” ujar Mahabiksu Fangzheng.

“Baiklah, anggap saja sekarang aku telah resmi menjadi ketua,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Tentunya semua orang sudah merasa lapar. Hari ini kita semua makan sayur-sayuran saja. Aku akan menemani Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bersantap. Esok barulah kita minum arak di Lembah Tongyuan.”

Semua orang pun makan bersama. Linghu Chong duduk semeja dengan para ketua perguruan yang hadir di situ. Usai makan, Biksu Fangzheng berkata, “Saya dan Saudara Chongxu ingin berunding sedikit dengan Ketua Linghu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. Sejak awal ia menduga kedua pemimpin aliran terbesar di dunia persilatan itu datang ke Gunung Henshan tentu bukan sekadar untuk mengucapkan selamat, namun dipastikan ada maksud dan tujuan yang lain. Apa yang akan dibicarakan kedua tokoh itu tentu suatu urusan penting. Padahal di puncak Puncak Jianxing ini sedang bercampur para hadirin yang berasal dari golongan hitam dan putih. Di mana pun mereka bicara, tentu akan sulit untuk menghindarkan diri dari telinga yang ikut mendengar. Maka, ia pun segera memerintahkan Yihe, Yiqing, dan yang lain untuk melayani tamu, lalu berkata kepada Fangzheng dan Chongxu, “Di bawah puncak ini, di sebelah Celah Tungku Porselen ada sebuah gunung bernama Gunung Cuiping. Tebing gunung itu sangat terjal dan licin, di atas puncaknya terdapat sebuah kuil gantung, yang merupakan salah satu tempat indah di wilayah Pegunungan Henshan. Apabila Ketua berdua berminat, saya dengan senang hati siap menemani ke sana.”

Pendeta Chongxu menjawab, “Sudah lama aku mendengar tentang Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Kalau tidak salah kuil itu dibangun pada zaman Kerajaan Wei Utara. Pohon cemara tidak tumbuh di sana, bahkan monyet-monyet pun tidak sanggup memanjat ke sana. Tentu dibutuhkan suatu kekuatan luar biasa untuk membangun kuil tersebut. Ini benar-benar keajaiban dunia. Sudah lama aku mengagumi Kuil Gantung itu. Sungguh senang kalau hari ini bisa mengunjunginya.”

Linghu Chong lantas membawa kedua tamu agungnya itu menuruni Puncak Jianxing melalui Celah Tungku Porselen. Sampai di bawah Gunung Cuiping, mereka menegadah ke atas dan melihat di puncak gunung terdapat dua buah bangungan mencuat di angkasa seakan-akan terapung di udara. Tidak salah kalau bangunan tersebut diberi nama Kuil Gantung Gunung Cuiping. Sungguh sepasang kuil yang indah bagaikan dibangun oleh para dewa.

Mahabiksu Fangzheng menghela napas dan memuji, “Orang yang merancang kuil itu sungguh luar biasa. Untuk seorang yang luar biasa, di dunia ini tidak ada hal yang mustahil.”

Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, ketiga orang itu lantas mendaki ke atas dan tiba di Kuil Gantung tersebut. Kuil Gantung itu terdiri dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga. Jarak kedua bangunan sekitar belasan meter dan dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung.

Di dalam kuil terdapat seorang perempuan tua sedang menyapu. Melihat kedatangan Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu, ia tidak menyapa juga tidak memberi hormat. Belasan hari yang lalu Linghu Chong telah berkunjung ke tempat ini bersama Yihe, Yiqing, Yilin, dan murid-murid lainnya, sehingga ia mengetahui kalau perempuan tua penjaga kuil ini seorang bisu dan tuli.

Linghu Chong mengajak Fangzheng dan Chongxu mengelilingi bangunan indah tersebut, kemudian menuju jembatan gantung. Jembatan ini hanya selebar satu meteran saja. Kalau orang biasa yang berdiri di tengah jembatan tentu merasa seakan-akan berdiri di udara kosong. Mungkin seketika kaki langsung terasa lemas dan tidak berani bergerak. Tapi Linghu Chong dan kedua tamunya adalah jago silat kelas satu. Berada di atas jembatan gantung yang sempit itu mereka malah merasa bebas merdeka, pikiran pun terasa lapang menggembirakan.

Dari atas jembatan itu Fangzheng dan Chongxu dapat menikmati indahnya pemandangan alam, mulai dari kumpulan awan yang menyelimuti puncak gunung, sampai dinding kota di kaki gunung juga terlihat oleh mereka. Selain itu juga terihat air terjun di antara Celah Tungku Porselen. Pemandangan di situ tampak begitu menakjubkan.

Mahabiksu Fangzheng berkata, “Cerita yang berkembang di masyarakat berbunyi, konon pada zaman dahulu satu orang saja berhasil mengatur sepuluh ribu orang di celah ini. Apa yang mereka ceritakan itu sesuai dengan keadaan tempat ini.”

“Pada zaman Dinasti Song Utara, Kaisar Yang Lao memerintahkan Gong E untuk menjaga tiga celah dan ia membangun benteng pertahanan di sini. Tempat ini sangat strategis dan cocok untuk pertahanan perang,” ujar Chongxu menanggapi. “Kini aku melihat secara langsung Kuil Gantung ini. Kuil ini begitu megah dan aku mengagumi ketekunan orang-orang zaman dulu. Namun, Kuil Gantung ini menjadi tak berharga jika dibandingkan dengan jalan di pegunungan ini yang panjangnya lima ratus li dan juga hasil buatan manusia.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Pendeta, kau bilang jalan pegunungan sepanjang lima ratus li itu juga buatan manusia?”

Chongxu menjawab, “Kitab sejarah menyebutkan, Kaisar Wei Daowu menempatkan pasukannya mulai dari Gunung Zhong sampai Pingzheng di Pegunungan Henshan ini sejak tahun pertama pemerintahannya. Ia juga memerintahkan mereka untuk menggali bebatuan gunung menjadi jalan setapak sepanjang lima ratus li. Celah Tungku Porselen itu merupakan titik akhir jalan tersebut.”

Fangzheng berkata, “Meskipun jalan tersebut dinamakan Jalur Lima Ratus Li, namun sebagian besar sudah dibentuk oleh alam. Kaisar Wei dari Kerajaan Song Utara mengirim puluhan ribu untuk membuka celah melewati pegunungan. Tentu saja, perintah ini merupakan hal besar dan mengejutkan banyak orang.”

“Tidak mengherankan kalau banyak orang yang ingin menjadi kaisar. Sekali ia membuka mulut dan mengatakan beberapa kata, maka puluhan ribu pasukannya segera menggali jalan setapak untuknya,” kata Linghu Chong.

Chongxu berkata, “Ambisi dan kekuasaan apalah bedanya? Pada zaman itu, banyak terdapat pendekar hebat dan terkemuka. Kau dapat membayangkan betapa susahnya mewujudkan jalur ini. Ambisi dan kekuasaan para kaisar pasti mendapat banyak gangguan. Namun, kita tidak perlu menyebutkan siapa saja kaisar-kaisar yang pernah mendapat gangguan dari dunia persilatan. Bahkan pada zaman sekarang, kekacauan di dunia persilatan juga disebabkan oleh ambisi dan nafsu kekuasaan, bukan?”

Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia merasa kedua tokoh ini telah menggiring pembicaraan sampai pada masalah yang akan mereka sampaikan. Maka, ia pun berkata, “Saya tidak paham, mohon petunjuk Ketua berdua.”

Fangzheng menjawab, “Ketua Linghu, hari ini Perguruan Songshan mengirimkan Pendekar Ding memimpin banyak orang ke sini. Kau tahu apa tujuannya?”

Linghu Chong menjawab, “Untuk menyampaikan perintah Ketua Zuo, bahwa saya dilarang menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan.”

“Apa sebabnya Ketua Zuo melarangmu menjadi Ketua Perguruan Henshan?” tanya Fangzheng.

“Mungkin karena saya pernah bersikap kasar kepadanya ketika di Biara Shaolin tempo hari,” kata Linghu Chong. “Selain itu saya pernah merintangi rencananya dalam usaha melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu partai yang besar.”

“Mengapa kau merintangi rencananya itu?” tanya Fangzheng pula.

Linghu Chong tercengang, seketika ia merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa bertanya pada diri sendiri, “Mengapa aku merintangi rencananya? Mengapa?”

Fangzheng bertanya lagi, “Apakah kau merasa usahanya melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu adalah rencana yang tidak baik?”

Linghu Chong menjawab, “Saat itu saya tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak. Hanya saja untuk mencapai tujuannya itu Perguruan Songshan telah mengancam Perguruan Henshan agar menurutinya, bahkan menyamar sebagai anggota Sekte Matahari dan Bulan untuk menculik murid-murid perempuan dan para biksuni Henshan. Biksuni Dingjing dikerubut pula secara keji hingga meninggal. Secara kebetulan saya memergoki perbuatan mereka itu. Kemudian Biksuni Dingxian juga dikepung dan hendak dibakar hidup-hidup di Lembah Tempa Pedang di Longquan. Saya merasa penasaran dan memberi bantuan kepada pihak Perguruan Henshan. Kupikir kalau peleburan Serikat Pedang Lima Gunung adalah suatu usaha yang baik, mengapa Perguruan Songshan tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin empat perguruan yang lain, tapi memakai cara-cara licik dan keji?”

“Pendapatmu memang betul,” ujar Pendeta Chongxu sambil manggut-manggut. “Zuo Lengchan memang memiliki ambisi besar dan ingin menjadi tokoh persilatan nomor satu. Tapi ia sadar secara pribadi sukar mengatasi orang banyak, sehingga terpaksa menggunakan tipu muslihat licik.”

Fangzheng menghela napas, lalu menyambung, “Ketua Zuo seorang yang sangat pandai dan terkemuka di dunia persilatan. Namun ambisinya terlalu besar. Ia juga bernafsu ingin menjatuhkan nama besar Perguruan Shaolin dan Wudang. Untuk maksud dan tujuannya ini ia terpaksa menggunakan bermacam-macam cara.”

Chongxu menyambung, “Bahwasanya Perguruan Shaolin adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratus-ratus tahun. Di samping Perguruan Shaolin, dapat diperhitungkan Perguruan Wudang pula. Untuk selanjutnya ada Perguruan Kunlun, Emei, serta Kongtong. Adik Linghu, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan perguruan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing dalam aliran dan perguruan tersebut. Ilmu silat yang diciptakan adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun, sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Serikat Pedang Lima Gunung adalah kejadian sekitar enam puluh tahun terakhir ini. Walaupun perkembangannya cepat dan pesat, namun pada dasarnya tetap berada di bawah Perguruan Kunlun dan Emei, lebih-lebih tidak dapat dibandingkan dengan Perguruan Shaolin yang termasyhur.”

Linghu Chong mengangguk setuju.

Chongxu meneruskan, “Di dalam suatu aliran dan perguruan itu terkadang memang muncul juga satu-dua orang bijaksana dan pandai yang menjadi jago pada zamannya. Tapi melulu mengandalkan tenaga satu dua orang saja tetap sukar mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai perguruan dan aliran. Ketika Zuo Lengchan mula-mula menjabat sebagai pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, waktu itu Mahabiksu Fangzheng juga sudah meramalkan di dalam dunia persilatan untuk selanjutnya tentu akan terdapat banyak masalah. Dari tingkah laku Zuo Lengchan beberapa tahun terakhir ini, ternyata ramalan Mahabiksu Fangzheng sama sekali tidak meleset.”

“Amitabha!” ujar Fangzheng sambil merangkap kedua tangannya.

Chongxu melanjutkan, “Menjadi Ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah langkah pertama dalam usaha Zuo Lengchan. Langkah kedua adalah melebur kelima perguruan menjadi satu perguruan yang tetap diketuai olehnya. Sesudah itu, dengan sendirinya kekuatannya bertambah besar dan secara tidak resmi sudah sejajar dengan Perguruan Shaolin dan Wudang. Kemudian ia tentu akan maju selangkah lagi dengan mencaplok Perguruan Kunlun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng. Lebih jauh ia tentu akan mencari perkara dengan Sekte Iblis. Perguruan Shaolin dan Wudang tentu diajaknya ikut serta memusuhi Tebing Kayu Hitam. Sudah pasti ia bermaksud menumpas sekte tersebut.”

Linghu Chong bergidik ngeri mendengarnya. Ia kemudian berkata, “Ambisi seperti itu sukar diwujudkan. Kemampuan Zuo Lengchan terbatas. Lalu, untuk apa ia bersusah payah mewujudkan itu semua?”

“Hati manusia sulit diukur. Segala di dunia ini, betapa sukarnya ada juga orang yang ingin mencobanya,” ujar Chongxu. “Masalahnya, apabila Zuo Lengchan dapat menumpas Sekte Iblis, maka saat itu boleh dikata ia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Selanjutnya tentu tidak sukar baginya untuk mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang pula.”

“Oh, ternyata Zuo Lengchan ingin dipuja sebagai pemimpin dunia persilatan,” kata Linghu Chong.

“Benar sekali!” sahut Chongxu dengan tertawa. “Jika memungkinkan, ia ingin menjadi kaisar pula dan sesudah menjadi kaisar mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Itulah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak kenal puas. Sejak dahulu kala memang hanya sedikit manusia yang tidak terjebak oleh ambisi dan kekuasaan.”

Linghu Chong terdiam sejenak, kemudian berkata, “Orang hidup paling-paling hanya beberapa puluh tahun saja, untuk apa harus bersusah payah begitu? Zuo Lengchan ingin menumpas Sekte Matahari dan Bulan dan ingin mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang. Bukankah untuk ini akan banyak korban berjatuhan?”

“Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat. Kita harus mencegah agar maksud Zuo Lengchan itu tidak terlaksana demi mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan,” kata Chongxu bersemangat.

“Wah, mana bisa saya disejajarkan dengan Ketua berdua? Pengetahuan dan pengalaman saya teramat dangkal. Saya menurut saja di bawah petunjuk Ketua berdua,” kata Linghu Chong terkejut.

“Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Biara Shaolin untuk menjemput Nona Ren. Ternyata tidak ada satu benda pun yang kalian ganggu di Biara Shaolin. Untuk itu Kepala Biara merasa berhutang budi kepadamu,” kata Chongxu.

Muka Linghu Chong menjadi merah, “Tempo hari saya memang ceroboh, telah berbuat onar. Mohon dimaafkan.”

Chongxu melanjutkan, “Sesudah rombongan kalian pergi, Zuo Lengchan dan yang lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa hari di Biara Shaolin dan mengadakan pembicaraan panjang lebar dengan Kepala Biara. Kami sama-sama mengkhawatirkan ambisi Zuo Lengchan yang tidak kenal batas itu. Kau tentu ingat pertandingan di biara waktu itu. Ren Woxing menang secara licik terhadap Kepala Biara, dan kemudian Zuo Lengchan menang secara licik pula terhadap Ren Woxing. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan tidak paham permasalahannya tentu menganggap Mahabiksu Fangzheng bukan tandingan Ren Woxing, dan Ren Woxing bukan tandingan Zuo Lengchan ….”

“Itu tidak benar, itu tidak benar,” sahut Linghu Chong kesal.

“Kita tahu hal itu tidak benar. Tapi nama besar Zuo Lengchan semakin harum sejak pertandingan itu. Tentu hal ini akan semakin memicu ambisi dan keserakahannya. Selanjutnya, kami menerima berita tentang pelantikanmu sebagai Ketua Perguruan Henshan. Maka, kami pun memutuskan untuk datang kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua untuk berunding soal ini.”

“Ketua berdua terlalu meninggikan saya, sungguh saya sangat berterima kasih,” ujar Linghu Chong.

Pendeta Chongxu melanjutkan, “Ding Mian datang untuk menyampaikan perintah Zuo Lengchan, yaitu pada tanggal lima belas bulan tiga nanti segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus berkumpul di Puncak Songshan untuk memilih Ketua Perguruan Lima Gunung. Sebenarnya hal ini sudah diperkirakan oleh Kepala Biara. Hanya saja, kami tidak menduga Zuo Lengchan akan melakukannya secepat itu. Dia mengumumkan hendak memilih Ketua Perguruan Lima Gunung, seakan-akan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu sudah dapat dipastikan. Dalam hal ini kami memperhitungkan, Tuan Besar Mo punya watak aneh dan angin-anginan, maka Perguruan Hengshan pasti tidak sudi mengekor kepada Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan juga sangat keras dan lugas, tentu tidak sudi pula menjadi bawahan Zuo Lengchan. Gurumu, Tuan Yue, terlihat lembut dan sopan, tetapi hatinya keras, pasti juga tidak akan rela jika nama Perguruan Huashan terhapus begitu saja dari dunia persilatan. Sementara itu, Perguruan Henshan berturut-turut telah kehilangan tiga biksuni sepuh. Murid-muridnya tentu tidak mampu melawan Zuo Lengchan, sehingga bisa jadi Henshan akan dapat ditundukkan begitu saja. Tak disangka, Biksuni Dingxian sebelum meninggal berani melanggar tradisi, yaitu menyerahkan jabatan ketua kepada Adik Linghu. Kami berdua sudah membicarakan ini dan benar-benar mengagumi keluasan pandangan Biksuni Dingxian. Dalam keadaan terluka parah dan meregang nyawa, ia masih bisa mengambil keputusan di luar dugaan seperti itu, pertanda ia memang benar-benar biksuni sepuh yang luar biasa dan berpikiran jauh ke depan. Sekarang ini, apabila Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan, dan Henshan bersatu padu tidak mau dilebur menjadi Perguruan Lima Gunung, maka rencana Zuo Lengchan sudah pasti akan gagal total.”

Linghu Chong berkata, “Tapi kalau melihat sikap Ding Mian saat menyampaikan perintah tadi, agaknya Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah berada di bawah pengaruh Zuo Lengchan.”

“Benar,” kata Chongxu sambil mengangguk. “Kami sendiri sempat bingung melihat sikap Tuan Yue, gurumu. Kabarnya ada seorang pemuda bermarga Lin dari Fuzhou yang menjadi murid gurumu, betul tidak?”

“Benar, adik seperguruanku itu bernama Lin Pingzhi,” tutur Linghu Chong.

Chongxu berkata, “Konon leluhurnya menurunkan sebuah kitab pusaka bernama Kitab Pedang Penakluk Iblis yang telah lama tersiar di dunia persilatan. Kami dengar dalam kitab pusaka itu terdapat sebuah ilmu pedang yang sangat sangat hebat. Tentunya Adik Linghu juga pernah mendengar hal ini?”

“Benar,” ujar Linghu Chong. Ia kemudian bercerita tentang pengalamannya di Kota Fuzhou waktu itu, saat ia berhasil memergoki dua orang tokoh Perguruan Songshan dari angkatan tua merebut selembar jubah biksu dari tangan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di kediaman lama Keluarga Lin. Dalam pertarungan itu ia jatuh pingsan setelah membunuh kedua tokoh Songshan tersebut, dan jubah biksu di tangannya hilang entah ke mana.

Pendeta Chongxu termenung sejenak, kemudian berkata, “Sepertinya masuk akal jika gurumu kemudian mengambil jubah itu dan mengembalikannya kepada Lin Pingzhi.”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Akan tetapi, beberapa hari kemudian Adik Kecil, putri guruku, ternyata meminta Kitab Pedang Penakluk Iblis itu kepadaku. Ternyata Guru tidak tahu menahu soal jubah biksu tersebut. Saya sudah sering dituduh melakukan pelanggaran, sehingga tuduhan menggelapkan jubah biksu itu tidak saya masukkan ke dalam hati. Namun sebenarnya saya merasa penasaran juga terhadap masalah ini, dan mungkin Ketua berdua bisa memberikan petunjuk.”

Chongxu memandang sekejap ke arah Mahabiksu Fangzheng, lalu berkata, “Seluk-beluk persoalan ini silakan Kepala Biara yang menjelaskannya kepada Adik Linghu.”

Fangzheng mengangguk lalu berkata, “Ketua Linghu, apakah kau pernah mendengar tentang Kitab Bunga Mentari?”

“Saya pernah mendengarnya dari Guru. Konon Kitab Bunga Mentari adalah kitab pusaka paling berharga di dunia persilatan,” jawab Linghu Chong. “Namun sayang, kitab itu sudah lama lenyap dan kini entah berada di mana. Kemudian saya mendengar dari Ketua Ren, bahwa Beliau menyerahkan Kitab Bunga Mentari itu kepada Dongfang Bubai. Jika benar demikian, maka kitab pusaka tersebut tentu saat ini berada di tangan Sekte Matahari dan Bulan.”

“Benar, tapi itu cuma setengah bagian saja dan tidak lengkap,” kata Fangzheng.

Linghu Chong mengangguk penasaran. Ia berpikir sebentar lagi Mahabiksu Fangzheng pasti akan menceritakan sebuah peristiwa besar di dunia persilatan.

Sang Kepala Biara Shaolin tampak memandang jauh ke depan, lalu berkata, “Perguruan Huashan pernah terbagi menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Apakah kau mengetahuinya?”

“Ya, saya mendengarnya dari Guru,” jawab Linghu Chong.

Fangzheng manggut-manggut dan melanjutkan, “Tokoh-tokoh angkatan tua Perguruan Huashan pernah saling bunuh karena perpecahan ini. Apakah Ketua Linghu mengetahui sebab musabab mengapa Perguruan Huashan sampai terpecah menjadi dua?”

“Saya tidak tahu, Guru tidak pernah menceritakannya dengan jelas,” sahut Linghu Chong.

“Pertarungan di antara saudara bukanlah suatu peristiwa yang baik untuk diceritakan, itulah sebabnya mengapa Tuan Yue tidak suka menyinggung soal ini,” ujar Fangzheng. “Tentang pecahnya Perguruan Huashan menjadi dua kelompok, konon juga disebabkan oleh Kitab Bunga Mentari.”

Biksu tua ini berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Menurut cerita yang tersiar, Kitab Bunga Mentari itu ditulis oleh seorang pejabat pemerintahan dari dinasti sebelumnya.”

“Hah? Pejabat pemerintahan?” seru Linghu Chong penasaran.

“Lebih tepatnya seorang kasim,” tukas Chongxu.

“Oh!” seru Linghu Chong semakin heran.

Fangzheng melanjutkan, “Siapa nama sesepuh itu sudah tidak diketahui dengan pasti. Juga tidak diketahui pula mengapa seorang tokoh sakti persilatan seperti dia menjadi kasim di istana. Yang kita ketahui hanya satu hal, ilmu silat yang terkandung dalam Kitab Bunga Mentari itu sangat mendalam dan luar biasa hebat. Selama tiga ratus tahun lebih, kitab tersebut menjadi bahan rebutan namun tidak seorang pun yang berhasil memahami dan menguasai isinya. Sampai akhirnya, sekitar seratus tahun yang lalu, kitab pusaka tersebut jatuh ke tangan Biara Shaolin Cabang Fujian di Kota Quanzhou. Pemimpin biara tersebut bernama Tuan Biksu Hongxie, yang merupakan tokoh paling cerdas dan paling pintar di zamannya. Berdasarkan kepandaiannya itu, seharusnya tidak susah baginya untuk memahami isi kitab tersebut. Tapi menurut cerita murid Beliau, konon Tuan Biksu Hongxie tidak pernah mempelajari isi kitab tersebut. Bahkan ada pula murid yang mengatakan bahwa Beliau hanya membaca kitab tersebut tapi tidak pernah berlatih ilmu silat yang terkandung di dalamnya sampai meninggal.”

Linghu Chong menanggapi, “Mungkin ada kalimat rahasia dalam kitab itu sehingga seorang tokoh mahacerdas seperti Tuan Biksu Hongxie juga tidak mampu memahaminya secara keseluruhan, atau juga tidak bisa menyelami dasar-dasar ilmu silat dalam kitab pusaka tersebut.”

“Ya, bisa jadi seperti itu,” ujar Fangzheng mengangguk. “Saya dan Saudara Chongxu tidak punya cukup peruntungan sehingga tidak pernah melihat kitab pusaka tersebut. Alangkah bagusnya andai kami dapat melihat atau sekadar membaca isinya, meskipun tidak mampu memahami ajarannya.”

Chongxu melirik dan tersenyum, “Wah, sepertiya Kepala Biara tergoda urusan duniawi lagi. Orang yang pernah belajar silat seperti kita bila melihat kitab pusaka seperti itu pasti lupa makan dan lupa tidur. Yang ingin dilakukan hanya mempelajari dan menyelaminya sampai tuntas. Akibatnya bukan saja mengganggu ketenangan hidup kita, tapi juga akan mendatangkan kesukaran-kesukaran di kemudian hari. Maka, lebih baik kita tidak pernah membaca kitab pusaka itu selamanya.”

Fangzheng terbahak-bahak dan berkata, “Ucapan Saudara Pendeta memang benar. Sungguh memalukan.” Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan melanjutkan, “Konon pada suatu hari ada dua orang tokoh Perguruan Huashan berkunjung ke Biara Shaolin Cabang Fujian. Entah bagaimana caranya, mereka dapat membaca isi Kitab Bunga Mentari ….”

Dalam hati Linghu Chong berpikir mana mungkin kitab pusaka seperti itu diperlihatkan kepada tamu oleh pihak Shaolin? Tentu kedua tokoh Huashan tersebut telah mencuri baca. Hanya saja Mahabiksu Fangzheng sengaja menggunakan istilah yang lebih halus.

Terdengar Fangzheng melanjutkan, “Karena keadan sangat mendesak, maka kedua tokoh Huashan itu tidak mungkin membaca dan mendalami seluruh isi kitab sekaligus. Maka, mereka pun membagi tugas, masing-masing menghafal setengah bagian. Kemudian setelah pulang ke Huashan, mereka saling menguraikan hasil hafalan masing-masing dan menuliskannya kembali. Tidak disangka, apa yang mereka hafalkan ternyata tidak cocok ketika dipadukan. Semakin dipaparkan semakin jauh pula perbedaannya. Sebaliknya, kedua orang itu sama-sama yakin pada hafalan masing-masing, sementara pihak lain dianggap salah baca atau sengaja tidak mau mengemukakannya terus terang. Akhirnya kedua orang itu pun berlatih sendiri-sendiri. Inilah asal-usulnya, mengapa Perguruan Huashan terpecah menjadi dua bagian, yaitu Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua bersaudara yang tadinya sangat akrab seperti saudara kandung itu akhirnya berubah menjadi musuh.”

Linghu Chong menyahut, “Kedua sesepuh kami itu, apakah bernama Yue Su dan Cai Zifeng?” Kedua nama yang disebut Linghu Chong itu merupakan tokoh-tokoh leluhur Perguruan Huashan dari angkatan-angkatan terdahulu. Yue Su adalah pendiri Kelompok Tenaga Dalam, dan Cai Zifeng adalah pendiri Kelompok Pedang. Peristiwa perpecahan ini terjadi beberapa puluh tahun silam.

Fangzheng menjawab, “Benar. Tidak lama setelah itu, Tuan Biksu Hongxie pun mengetahui akan bocornya Kitab Bunga Mentari tersebut. Beliau sadar isi kitab pusaka ini terlalu luas dan mendalam, juga sangat berbahaya. Konon kabarnya bagian yang paling berbahaya adalah langkah pertamanya. Kita tinggal melakukan langkah pertamanya saja, dan untuk selanjutnya tidak ada yang berbahaya lagi. Ini sungguh berkebalikan dengan ilmu silat lain pada umumnya, yaitu semakin ke belakang akan semakin sulit dan berbahaya, sedangkan ilmu dalam Kitab Bunga Mentari justru bagian depan yang paling berbahaya. Oleh karena itu, Tuan Biksu Hongxie lantas mengirim murid kesayangannya yang bernama Biksu Duyuan ke Gunung Huashan untuk menasihati Yue Su dan Cai Zifeng supaya tidak mempelajari ilmu silat dalam kitab pusaka tersebut.”

Linghu Chong menanggapi, “Ternyata ilmu silat dalam kitab ini memiliki langkah pertama yang paling sulit. Jika mempelajarinya hanya dengan membaca tanpa ada orang lain yang memberikan petunjuk sudah tentu hal ini sangat berbahaya. Tapi, sepertinya kedua sesepuh dari Perguruan Huashan kami itu tidak mau menurut, bukan begitu?”

“Dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan mereka berdua,” ujar Fangzheng. “Coba pikir, orang persilatan seperti kita sekali mengetahui rahasia suatu ilmu silat yang hebat tentu ingin sekali mempelajarinya. Meskipun aku telah memperdalam agama Buddha selama puluhan tahun, tetap saja akan tergoda untuk membaca bila kitab tersebut tiba-tiba jatuh ke tanganku, apalagi seorang awam? Bukankah tadi Saudara Chongxu menertawakanku yang masih tergoda keinginan duniawi? Begitulah, kepergian Biksu Duyuan ke Huashan itu justru menimbulkan peristiwa-peristiwa yang panjang.”

Linghu Chong bertanya, “Apakah kedua sesepuh itu berbuat tidak baik kepada Biksu Duyuan?”

“Bukan begitu, malah sebaliknya, mereka berdua sangat hormat dan menyambut kedatangan Biksu Duyuan dengan baik,” kata Fangzheng. “Mereka mengaku terus terang telah mencuri baca Kitab Bunga Mentari dan meminta maaf. Tapi di samping itu mereka juga meminta petunjuk kepada Biksu Duyuan tentang ilmu silat yang telah mereka hafalkan dari kitab pusaka tersebut. Mereka mengira Biksu Duyuan selaku murid kesayangan Tuan Biksu Hongxie, tentu pernah mendapat pelajaran dari sang guru mengenai isi kitab pusaka itu. Padahal, Tuan Biksu Hongxie sama sekali tidak pernah mengajarkannya kepada orang lain. Akan tetapi, Biksu Duyuan sendiri juga tidak mengatakan hal itu, dan ia tetap mendengarkan mereka berdua menguraikan hafalan masing-masing. Secara asal-asalan ia memberikan penjelasan, sambil diam-diam ia menghafal apa yang diuraikan kedua tokoh Perguruan Huashan tersebut. Pada dasarnya Biksu Duyuan memiliki pikiran yang cerdas dan ilmu silat bagus, sehingga setiap kalimat yang ia dengar dapat ia hafalkan dengan baik, dan penjelasan yang ia sampaikan pun terdengar runtut dan masuk akal.”

Linghu Chong menukas, “Jadi, Biksu Duyuan justru memperoleh isi kitab pusaka itu dari uraian kedua sesepuh kami?”

“Benar,” jawab Fangzheng sambil mengangguk. “Namun apa yang diingat oleh kedua bersaudara itu tidak banyak, kini harus menguraikannya pula, sehingga ada beberapa bagian yang hilang. Konon Biksu Duyuan tinggal di Gunung Huashan selama delapan hari dan setelah itu baru mohon pamit. Tapi sejak itu ia pun tidak pernah kembali ke Biara Shaolin lagi.”

Linghu Chong menjadi heran, “Tidak pulang ke Biara Shaolin, lalu pergi ke mana?”

“Saat itu tidak ada orang yang tahu,” jawab Fangzheng. “Tidak lama kemudian Tuan Biksu Hongxie menerima sepucuk surat dari Biksu Duyuan yang memberitahukan bahwa muridnya itu tidak mampu mengendalikan keinginan duniawi dan ingin menjalankan kehidupan seperti kaum awam saja. Ia mengaku tidak bisa kembali ke Biara Shaolin dan tidak punya muka lagi untuk bertemu sang guru.”

Linghu Chong sungguh heran tak terkatakan. Ia menganggap kejadian demikian sungguh di luar dugaan siapa pun juga.

Fangzheng melanjutkan, “Setelah peristiwa itu, terjadilah perselisihan antara Biara Shaolin Cabang Fujian dengan Perguruan Huashan. Perbuatan dua murid Huashan yang telah mencuri baca Kitab Bunga Mentari itu juga lantas tersiar di dunia persilatan. Akibatnya, tidak lama setelah itu sepuluh orang gembong Sekte Iblis pun datang menyerbu ke Gunung Huashan.”

“Hah?” seru Linghu Chong terkejut. Seketika ia teringat pada ukiran di dinding gua belakang serta tulang belulang yang ia temukan di Puncak Huashan beberapa waktu yang lalu. Konon tulang-tulang tersebut adalah kerangka sepuluh orang Tetua Sekte Iblis yang terkurung di dalam gua.

“Ada apa?” Fangzheng bertanya.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Linghu Chong. “Mohon maaf telah memotong pembicaraan. Silakan Kepala Biara melanjutkan cerita.”

Fangzheng berkata, “Saat kejadian itu bahkan gurumu sendiri belum lahir. Sepuluh orang Tetua Sekte Iblis datang menyerbu Huashan, tujuannya adalah untuk merebut Kitab Bunga Mentari. Saat itu Perguruan Huashan telah berserikat dengan Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung. Terjadilah pertempuran sengit di kaki Gunung Huashan. Kesepuluh gembong Sekte Iblis itu mengalami luka parah, namun mereka berhasil membawa kabur salinan Kitab Bunga Mentari yang ditulis Yue Su dan Cai Zifeng. Di lain pihak, Yue Su dan Cai Zifeng tewas dalam pertempuran tersebut. Dengan demikian, tidak dapat ditentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pertempuran di Gunung Huashan itu.”

Fangzheng diam sejenak lalu melanjutkan, “Lima tahun kemudian, kesepuluh gembong Sekte Iblis itu kembali menyerbu ke Gunung Huashan. Kali ini persiapan mereka benar-benar matang di mana mereka telah mengetahui cara-cara mematahkan jurus-jurus Serikat Pedang Lima Gunung. Saudara Chongxu dan saya pernah membicarakan hal ini dan kami yakin meskipun kesepuluh Gembong Sekte Iblis itu berilmu tinggi rasanya mustahil dalam waktu lima tahun kepandaian mereka bisa maju sedemikian pesat. Kami menduga mereka telah mendapatkan banyak wawasan setelah mempelajari Kitab Bunga Mentari. Dalam pertempuran kali ini, pihak Serikat Pedang Lima Gunung mengalami kekalahan besar. Pertempuran dahsyat itu banyak menewaskan tokoh-tokoh penting mereka, sehingga banyak pula jurus-jurus rumit dan hebat yang punah begitu saja. Akan tetapi, kesepuluh gembong Sekte Iblis itu juga tidak pernah kembali lagi. Saya membayangkan, peristiwa tersebut tentu sangat ganas dan berdarah-darah.”

Linghu Chong menanggapi, “Saya pernah menemukan sepuluh kerangka tulang belulang manusia di dalam sebuah gua di Puncak Huashan, serta beberapa tulisan terukir di dinding.”

“Benarkah demikian? Bagaimana bunyi tulisan itu?” Chongxu bertanya.

“Tulisan itu berbunyi: ‘Serikat Pedang lima Gunung tidak tahu malu! Kalian tidak bisa memenangkan pertempuran, lantas menggunakan cara-cara licik mengurung kami,’” Jawab Linghu Chong. “Di samping tulisan tersebut, masih terdapat tulisan-tulisan lain yang lebih kecil, yang kesemuanya mengutuk serta memaki Serikat Pedang Lima Gunung kami.”

Fangzheng bertanya, “Bagaimana bisa Perguruan Huashan membiarkan tulisan-tulisan seperti itu tanpa menghapusnya?”

Linghu Chong menjawab, “Gua di Puncak Huashan itu saya temukan secara tidak sengaja. Orang lain juga tak ada yang tahu.” Ia kemudian menceritakan pengalamannya tersebut. Gua rahasia yang ia temukan itu bermula dari sebuah lorong sempit hasil penggalian seseorang bersenjatakan kapak sampai sepanjang beberapa ratus meter. Orang itu akhirnya mati kehabisan tenaga meski tinggal beberapa meter lagi ia berhasil menembus keluar. Ia memiliki semangat besar yang pantas dikagumi, namun sayang sekali, nasibnya kurang beruntung.

“Menggunakan kapak? Mungkinkah dia Fan Song, gembong Sekte Iblis yang berjuluk Si Iblis Sakti Bertenaga Raksasa,” kata Fangzheng.

“Benar, benar!” kata Linghu Chong. “Memang di antara tulisan-tulisan yang terukir di dinding itu disebut-sebut juga nama Fan Song dan Zhao He. Konon mereka yang berhasil mematahkan jurus pedang Perguruan Henshan di situ.”

“Zhao He? Dia memiliki julukan sebagai Si Iblis Terbang Sakti,” seru Fangzheng lagi. “Apakah dia memakai senjata palu godam?”

“Hal ini kurang jelas,” jawab Linghu Chong. “Di lantai gua itu memang ada sebuah palu godam. Saya masih ingat tulisan yang terukir di dinding gua, katanya yang mematahkan jurus pedang Perguruan Huashan adalah dua orang bernama Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun, atau entah siapa.”

“Memang benar,” kata Fangzheng. “Zhang Chengfeng dan Zhang Chengyun adalah dua bersaudara. Masing-masing berjuluk Si Iblis Sakti Kera Emas dan Si Iblis Sakti Monyet Putih. Konon senjata mereka adalah toya tembaga.”

“Benar,” kata Linghu Chong. “Menurut ukiran di dinding gua, di situ dilukiskan jurus pedang Perguruan Huashan dikalahkan oleh toya mereka. Sungguh cara mereka sangat mengagumkan dan tidak terduga.”

Fangzheng berkata, “Dari ceritamu ini, sepertinya tempat yang kau lihat itu telah dipersiapkan oleh Serikat Pedang Lima Gunung untuk menjebak kesepuluh gembong Sekte Iblis. Sekali mereka terpancing masuk ke dalam gua itu, mereka langsung terkurung dan tidak bisa lolos lagi.”

“Saya juga berpikir demikian,” jawab Linghu Chong. “Itulah sebabnya mengapa kesepuluh gembong Sekte Iblis itu merasa sangat kesal, lalu mengukir tulisan untuk mencaci maki Serikat Pedang Lima Gunung. Mereka juga melukiskan jurus-jurus ilmu silat mereka yang telah mengalahkan ilmu pedang lawan supaya angkatan selanjutnya mengetahui, bahwa kematian mereka bukan karena kalah bertanding, tetapi karena terjebak oleh tipu muslihat Serikat Pedang Lima Gunung. Mengenai ukiran jurus-jurus Perguruan Huashan yang telah mereka patahkan dengan cara yang menakjubkan itu, sepertinya tidak dikenal oleh Guru dan Ibu Guru. Setelah mendengarkan cerita Kepala Biara, sekarang saya baru paham bahwa pertempuran besar di Gunung Huashan kala itu telah menewaskan banyak sesepuh kami, sehingga banyak pula ilmu-ilmu pedang Huashan yang ikut punah. Nasib yang sama tentu juga menimpa Perguruan Henshan, Taishan, Songshan, dan Hengshan.”

“Benar sekali,” sahut Chongxu.

“Selain itu terdapat pula beberapa pedang yang jelas-jelas milik Serikat Pedang Lima Gunung berserakan di dekat sepuluh kerangka gembong Sekte Iblis itu,” lanjut linghu Chong.

Fangzheng merenung sejenak, kemudian berkata, “Mengenai hal ini sulit untuk dijelaskan. Bisa jadi gembong-gembong Sekte Iblis itu merampasnya dari orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung. Apakah pemandangan yang kau temukan di gua itu sampai kini belum pernah kau ceritakan kepada orang lain?”

“Tidak pernah,” jawab Linghu Chong. “Setelah menemukan gua rahasia itu, saya dihadapkan pada berbagai masalah sehingga tidak sempat menceritakannya, bahkan kepada Guru dan Ibu Guru. Namun Kakek Guru Feng ternyata sudah mengetahuinya lebih dulu.”

Fangzheng manggut-manggut dan berkata, “Adik seperguruanku, yaitu Biksu Fangsheng pernah beberapa kali bertemu dengan Sesepuh Feng Qingyang dan menerima budi baik Beliau. Adik Fangsheng menceritakan kepadaku bahwa ilmu pedangmu merupakan hasil didikan Sesepuh Feng. Tadinya kami mengira setelah terjadi perang saudara antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang, Beliau mengasingkan diri dan meninggal dunia. Namun ternyata Beliau dalam keadaan sehat dan selamat, ini sungguh berita yang menggembirakan.”

Chongxu menyahut, “Konon ketika peristiwa itu terjadi, Sesepuh Feng sedang berada di Jiangnan untuk menikah. Begitu mendengar adanya pertempuran sesama saudara di Gunung Huashan, ia buru-buru kembali untuk mendukung Kelompok Pedang. Namun Kelompok Pedang saat itu telah mengalami kekalahan telak dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Andai saja Sesepuh Feng dengan ilmu pedangnya yang sempurna ikut serta dalam pertempuran itu, mustahil Kelompok Tenaga Dalam mampu mengalahkan Kelompok Pedang. Akhirnya Beliau sadar bahwa pernikahannya di Jiangnan adalah hasil rekayasa belaka. Kelompok Tenaga Dalam telah membayar ayah mertuanya untuk membeli pelacur dan pura-pura dijadikan putrinya. Pelacur itu telah memikat Sesepuh Feng sehingga Beliau tertahan di Jiangnan. Setelah mengetahui kenyataan itu, Sesepuh Feng pun kembali ke Jiangnan. Namun keluarga mertua palsunya telah melarikan diri entah ke mana. Beliau merasa tertipu mentah-mentah, dan setelah itu tersiar kabar di dunia persilatan, bahwa Sesepuh Feng sangat terguncang dan akhirnya bunuh diri dengan menggorok leher sendiri.”

Fangzheng berkedip kepada Chongxu supaya pendeta itu menghentikan cerita. Namun Chongxu pura-pura tidak melihat dan terus saja berkata, “Ketua Linghu, aku sangat menghormati Sesepuh Feng dan tidak berani membicarakan kehidupan pribadinya. Aku menceritakan peristiwa aib seperti ini hanya sebagai pelajaran untukmu, bahwa seorang pendekar besar bisa saja terjerumus akibat rayuan seorang wanita. Seorang laki-laki sejati boleh dibunuh, tapi jangan sampai jatuh ke dalam tipu muslihat.”

Linghu Chong sadar kalau Chongxu sedang menyindir hubungannya dengan Ren Yingying. Namun karena Chongxu bermaksud baik, ia hanya menghela napas tanpa menjawab, sambil merenung, “Kakek Guru Feng selama ini hidup menyendiri di Puncak Huashan, ternyata Beliau sangat menyesali kesalahannya di masa lalu dan tidak punya muka untuk kembali ke dunia persilatan. Ini sebabnya mengapa Kakek Guru Feng melarangku membocorkan keberadaannya kepada orang luar, serta Beliau juga tidak ingin bertemu orang-orang Perguruan Huashan lagi. Duka dan kesedihan yang menimpa dirinya dirasakan selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu pula Beliau hidup seorang diri. Kini aku sudah mengetahui duduk permasalahannya. Suatu hari nanti jika semua urusanku telah selesai, aku akan mendaki Puncak Huashan dan menemani Beliau bicara. Aku bukan lagi anggota Perguruan Huashan sehingga menemui Beliau tidak akan dianggap sebagai suatu pelanggaran.”

Ketiga orang itu berbicara selama setengah hari dan tanpa terasa matahari sudah hampir tenggelam di balik gunung. Fangzheng berkata, “Tidak lama setelah Yue Su dan Cai Zifeng menulis ulang Kitab Bunga Mentari berdasarkan hasil hafalan mereka, kedua tokoh Huashan itu lantas terbunuh menjadi korban serangan para gembong Sekte Iblis. Kitab pusaka tersebut telah jatuh ke tangan Sekte Iblis, sementara orang-orang Huashan belum sempat mempelajarinya. Meskipun demikian, Yue Su dan Cai Zifeng telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri terhadap isi Kitab Bunga Mentari. Yang satu berpendapat bahwa yang paling penting adalah belajar tenaga dalam lebih dulu, sedangkan yang satunya berpendapat lebih penting belajar jurus pedang lebih dulu. Masing-masing memiliki pendukung sehingga Perguruan Huashan pun terpecah menjadi dua. Perpecahan ini telah berkembang menjadi pertempuran besar yang sangat merugikan kedua belah pihak. Hm, boleh dikata Kitab Bunga Mentari adalah benda pembawa sial untuk Perguruan Huashan.”

Chongxu mengangguk, “Warna-warna membutakan mata, hirup-pikuk memekakkan telinga. Mungkin inilah peribahasa yang tepat.”

Fangzheng melanjutkan, “Meskipun kesepuluh gembong Sekte Iblis berhasil merebut Kitab Bunga Mentari, namun mereka semua juga terbunuh pada serangan berikutnya. Kematian mereka adalah karena menuai hasil perbuatan mereka sendiri, hal ini sudah sewajarnya. Ketua Linghu tadi menyampaikan bahwa Ketua Ren telah memberikan kitab pusaka itu kepada Dongfang Bubai, tentu yang dimaksud adalah kitab hasil tulisan kedua tokoh Perguruan Huashan tersebut. Mungkin permusuhan di antara mereka juga dikarenakan Kitab Bunga Mentari. Padahal sebenarnya, isi kitab di tangan Dongfang Bubai itu masih kalah lengkap jika dibandingkan dengan apa yang dipahami oleh Lin Yuantu.”

“Lin Yuantu? Siapa itu Lin Yuantu?” sahut Linghu Chong menegas.

“Dia adalah kakek buyut Adik Lin-mu, pendiri Biro Pengawalan Fuwei. Dengan berbekal tujuh puluh dua jurus Pedang Penakluk Iblis hasil ciptaannya itu, ia telah menundukkan banyak penjahat di dunia persilatan,” jawab Fangzheng.

“Apakah Tuan Lin ini juga pernah membaca Kitab Bunga Mentari sebelumnya?” tanya Linghu Chong.

“Dia … dia adalah Biksu Duyuan, murid kesayangan Biksu Hongxie,” ujar Fangzheng menjelaskan.

Hati Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia berkata, “Oh, ternyata demikian. Ini benar-benar … agak ….”

Fangzheng menjelaskan, “Sebelum menjadi biksu ia memang bermarga Lin. Setelah meninggalkan biara, ia lantas memakai marganya kembali.”

Linghu Chong berbicara sendiri, “Ternyata Tuan Lin yang terkenal dan disegani karena memiliki tujuh puluh dua jurus Pedang Penakluk Iblis itu adalah Biksu Duyuan. Ini sungguh tidak … tidak terduga sama sekali.” Seketika ia pun terkenang kejadian saat Lin Zhennan meninggal dunia di kuil tua di luar Kota Hengshan dulu.

Fangzheng melanjutkan, “Duyuan adalah Yuantu. Setelah meninggalkan biara, ia lantas menggunakan kembali marga Lin, namun dipadukan dengan nama kebuddhaannya, yaitu membalik ‘Duyuan’ menjadi ‘Yuantu’. Ia juga menikah dan punya anak serta mendirikan sebuah perusahaan ekspedisi bernama Fuwei. Kehebatannya menggemparkan dunia persilatan. Tuan Lin itu seorang yang berbudi luhur. Meski menjadi seorang pengusaha, namun ia tetap membela kebenaran dan menolong yang kesusahan. Hatinya lembut tidak ubahnya seperti saat masih menjadi biksu. Sekali di hati seseorang bersemayam Sang Buddha, seumur hidup ia akan tetap berlaku welas asih, baik itu menjadi biksu maupun menjadi kaum awam. Sudah tentu tidak lama kemudian Biksu Hongxie mengetahui bahwa Tuan Lin adalah bekas muridnya. Namun kabarnya di antara guru dan murid itu untuk selanjutnya tetap pernah berhubungan lagi.”

Linghu Chong bertanya, “Tuan Lin memperoleh intisari Kitab Bunga Mentari dari hasil uraian kedua sesepuh Perguruan Huashan kami, yaitu Yue Su dan Cai Zifeng. Lalu bagaimana jurus Pedang Penakluk Iblis itu bisa sangat terkenal di tangannya, padahal yang diwarisi Tuan Lin Zhennan sangat tidak bagus?”

Fangzheng menjawab, “Jurus Pedang Penakluk Iblis memang berasal dari Kitab Bunga Mentari yang tidak lengkap itu, yaitu ketika Biksu Duyuan mendengar penuturan Yue Su dan Cai Zifeng di Gunung Huashan.” Tiba-tiba ia berpaling kepada Chongxu, “Saudara Chongxu, kau adalah ahli pedang dan jauh lebih paham daripada aku. Mengenai seluk-beluk masalah ini sebaiknya kau saja yang bercerita.”

Chongxu tertawa menjawab, “Andai saja kita bukan teman lama yang sudah saling kenal bertahun-tahun, tentu ucapanmu ini bisa membuatku naik darah. Ucapanmu bisa kuanggap sebagai olok-olok, karena pada zaman ini ilmu pedang siapa yang bisa melebihi Pendekar Linghu, selain Sesepuh Feng?”

Fangzheng berkata, “Meskipun ilmu pedang Pendekar Linghu sangat hebat, tapi pengetahuan dan pengalamannya masih jauh untuk bisa menyamai dirimu. Kita bertiga adalah teman, untuk apa pakai segan-segan segala?”

“Ah, padahal pengetahuanku tentang ilmu pedang masih jauh untuk disebut mahir. Kelak jika ada kesempatan bertemu Sesepuh Feng Qingyang, aku akan minta petunjuk kepadanya,” ujar Chongxu. Ia lantas berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Ilmu Pedang Penakluk Iblis di tangan Lin Zhennan memang rendah, padahal Lin Yuantu pernah menggemparkan dunia persilatan. Perbedaan antara mereka berdua bagaikan langit dan bumi. Ketua Perguruan Qingcheng terdahulu yang bernama Zhang Qingzi mendapat julukan ‘Pendekar Pedang Nomor Satu di Daerah Barat’ ternyata kalah telak di tangan Lin Yuantu. Anehnya, ilmu pedang Perguruan Qingcheng yang sekarang justru jauh lebih bagus daripada ilmu pedang Keluarga Lin. Di balik hal ini tentu ada sebab-sebab yang belum terpecahkan. Masalah ini sudah lama kurenungkan dan tentunya juga menjadi bahan pemikiran setiap peminat ilmu pedang di dunia persilatan.”

Linghu Chong berkata, “Mengenai keluarga Adik Lin yang hancur berantakan itu, serta ayah dan ibunya yang tewas mengenaskan, apakah semua ini ada kaitannya dengan misteri Ilmu Pedang Penakluk Iblis?”

“Benar,” jawab Chongxu. “Nama besar Pedang Penakluk Iblis terlalu hebat, namun kepandaian Lin Zhennan ternyata sangat rendah. Perbedaan mencolok ini mau tidak mau menimbulkan dugaan bahwa Lin Zhennan pasti terlalu dungu dan tidak mampu mempelajari ilmu silat leluhurnya yang mengagumkan itu. Lebih jauh lagi orang-orang tentu berpikir andai saja Kitab Pedang Penakluk Iblis jatuh ke tangan mereka tentu mereka dapat menyelami kajaiban ilmu pedang Lin Yuantu yang gilang-gemilang di masa lampau. Adik Linghu, selama ratusan tahun ini Lin Yuantu memang bukan satu-satunya ahli pedang. Di samping dirinya masih ada Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Kunlun, Diancang, Qingcheng, dan tentu saja Serikat Pedang Lima Gunung. Masing-masing memiliki ahli waris sendiri-sendiri sehingga tidak saling mengincar ilmu pedang pihak lain. Namun, melihat kepandaian Lin Zhennan begitu rendah sementara di dalam keluarganya tersimpan ilmu pedang hebat warisan leluhur, tentu keadaannya bagaikan seorang anak kecil membawa emas yang berkeliaran sendiri di tengah pasar. Mau tidak mau tentu saja hal ini menarik perhatian setiap orang untuk berusaha merebut emasnya itu.”

Linghu Chong berkata, “Tuan Lin Yuantu adalah murid kesayangan Biksu Hongxie dan ia pernah belajar di Perguruan Shaolin Cabang Fujian. Pasti ia sudah menguasai ilmu silat Perguruan Shaolin yang hebat sehingga mengenai jurus Pedang Penakluk Iblis atau apa, bukan mustahil cuma namanya saja yang sengaja ia berikan, tapi sesungguhnya itu adalah ilmu silat Perguruan Shaolin yang ia ubah sedikit di sana-sini.”

“Memang banyak juga orang yang berpikir demikian,” kata Chongxu. “Tapi jurus Pedang Penakluk Iblis dan ilmu Perguruan Shaolin jelas-jelas berbeda. Setiap orang yang memahami ilmu pedang akan segera tahu bila melihatnya. Hm, orang yang mengincar kitab pusaka Keluarga Lin sebenarnya sangat banyak, tapi akhirnya si pendek dari Perguruan Qingcheng yang turun tangan lebih dulu. Meskipun si pendek bermarga Yu ini cukup cekatan, namun otaknya agak bebal. Mana bisa ia dibandingkan dengan gurumu, Tuan Yue yang duduk-duduk santai, tapi tinggal menarik keuntungan?”

Seketika wajah Linghu Chong berubah. Ia berseru, “Pendeta… apa yang kau katakan?”

Chongxu tersenyum menjawab, “Setelah Lin Pingzhi putra Lin Zhennan masuk Perguruan Huashan, dengan sendirinya Kitab Pedang Penakluk Iblis ikut dibawanya serta. Kabarnya Tuan Yue punya seorang putri tunggal yang akan dijodohkan kepada Adik Lin-mu itu, betul tidak? Hm, dia benar-benar menyusun rencana jangka panjang yang sempurna.”

Semula Linghu Chong kurang senang ketika Pendeta Chongxu menyinggung nama baik Yue Buqun, gurunya. Namun setelah mendengar Chongxu mengatakan gurunya itu menyusun rencana jangka panjang, tiba-tiba ia teringat pada kejadian dahulu, waktu Sang Guru mengutus Lao Denuo dan adik kecilnya menyamar di sebuah kedai arak di luar Kota Fuzhou. Waktu itu ia tidak tahu apa maksud tujuan Sang Guru, tapi sekarang ia paham tujuannya adalah untuk mengawasi Biro Ekspedisi Fuwei. Padahal kepandaian Lin Zhennan sudah jelas sangat rendah, lalu untuk apa gurunya itu mengirim orang kalau bukan untuk mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis? Hanya saja, cara yang digunakan gurunya ini memakai akal, tidak memakai kekerasan seperti si pendek Yu Canghai dan si bungkuk Mu Gaofeng.

Linghu Chong kemudian berpikir pula, “Adik Kecil seorang gadis muda belia, mengapa Guru membiarkannya menonjolkan diri di tempat umum, di sebuah kedai arak dalam waktu cukup lama?” Berpikir sampai di sini tiba-tiba hatinya bergetar, perasaannya merinding. Seketika ia pun paham duduk perkaranya, “Ternyata Guru sengaja mengatur dan menghendaki supaya Adik Kecil berjodoh dengan Adik Lin sejak jauh-jauh hari.”

Melihat raut muka Linghu Chong berubah masam, Fangzheng dan Chongxu sadar pemuda ini sangat menghormati sang guru, tentu perkataan tadi membuatnya tersinggung. Maka Fangzheng pun berkata, “Apa yang kami sampaikan tadi hanyalah obrolanku dengan Saudara Chongxu saja. Kami berdua sudah terbiasa menduga-duga secara asal-asalan. Padahal gurumu di dunia persilatan terkenal sebagai kesatria budiman yang santun dan alim. Mungkin kami berdua telah melakukan kebodohan karena sembarangan menuduh gurumu yang mulia.”

Di sisi lain, Pendeta Chongxu hanya tersenyum simpul.

Linghu Chong merasa bingung. Ia berharap perkataan Chongxu tadi salah, namun dalam lubuk hatinya tetap ada perasaan bahwa ucapan pendeta sakti tersebut benar adanya. Ia pun merenung, “Tuan Lin Yuantu tadinya seorang biksu. Itu sebabnya di rumah lama Keluarga Lin di Gang Xiangyang terdapat ruangan sembahyang Buddha, dan juga jubah biksu berisi rumus Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Dugaanku, ia menghafalkan penuturan kedua sesepuh, Yue Su dan Cai Zifeng di Huashan tentang Kitab Bunga Mentari, kata demi kata. Setelah itu ia pun menuliskannya kembali pada jubah biksu yang ia kenakan waktu itu.”

Terdengar Chongxu berkata, “Sampai sekarang, Kitab Bunga Mentari tetap menyimpan rahasia ilmu silat yang sangat besar. Sekte Iblis menyimpan sebagian, yaitu hasil rampasan kesepuluh gembong terdahulu. Gurumu, Tuan Yue, juga menyimpan sebagian. Mengingat Lin Pingzhi sudah bergabung ke dalam Perguruan Huashan, maka Zuo Lengchan juga tidak akan tinggal diam. Dapat dipastikan saat ini ia menyimpan dua tujuan. Pertama, membunuh Tuan Yue dan melebur Perguruan Huashan ke dalam Perguruan Songshan, lalu yang kedua merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tangan gurumu itu.”

Linghu Chong manggut-manggut, lantas berkata, “Dugaan Pendeta ada benarnya. Tapi bukankah Kitab Bunga Mentari yang lengkap ada di Biara Shaolin Cabang Fujian? Apakah Zuo Lengchan tidak mengetahui hal ini? Jika ia tahu saya khawatir ia akan menyerbu biara tersebut.”

Fangzheng tersenyum menanggapi, “Kitab Bunga Mentari yang lengkap di Biara Shaolin Cabang Fujian sudah dimusnahkan sejak lama. Jadi, kau tidak perlu khawatir mengenai hal ini.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Apa? Dimusnahkan?”

Fangzheng menjawab, “Sesaat sebelum Biksu Hongxie meninggal, ia mengumpulkan semua muridnya. Ia menyampaikan hasil penafsirannya dan kemudian melemparkan kitab itu ke dalam api. Kepada murid-muridnya ia berkata: ‘Ilmu silat yang terkandung dalam kitab ini sangat luar biasa dan menakjubkan. Banyak sekali pokok bahasan yang belum dipahami dengan benar oleh penciptanya. Masalah-masalah lain yang terkandung juga masih banyak. Selain itu, langkah pertama untuk mempelajari ilmu dalam kitab ini tidak hanya sulit dilakukan, namun juga tidak mungkin dilakukan. Maka itu, jika kitab ini sampai jatuh ke tangan orang lain bisa sangat berbahaya dan menimbulkan bencana di dunia persilatan. Ia kemudian menulis sepucuk surat kepada Kepala Biara Shaolin di Gunung Shaoshi tentang hal ini.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Biksu Hongxie benar-benar bijak. Jika Kitab Bunga Mentari lenyap dari muka bumi, maka kekacauan di dunia persilatan dapat dihindari.” Ia kemudian terdiam dan merenung, “Jika Kitab Bunga Mentari tidak ada, maka Jurus Pedang Penakluk Iblis juga tidak ada. Guru juga tidak akan mendekatkan Adik Kecil dengan Adik Lin. Atau, Adik Lin tidak akan pernah bergabung dengan Perguruan Huashan, sehingga ia tidak akan pernah bertemu Adik Kecil.” Namun kemudian hatinya berkata, “Tapi, aku sendiri seorang pengelana liar yang sudah terlanjur bergaul dengan golongan hitam. Meskipun Kitab Bunga Mentari tidak ada, tetap saja aku dikeluarkan dari Perguruan. Hm, seorang laki-laki sejati mengikuti suara hatinya dan menuai apa yang ia tabur sendiri. Tidak seharusnya aku menyalahkan pihak lain.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar