Jilid 46
Sudah biasa orang Cidan
pandang orang Han seperti hewan, maka Sili malas untuk mengubur Goan-ci, ketika
dilihatnya di tepi jalan ada sebuah sungai kecil, terus saja ia buang mayat
Goan-ci ke dalam sungai, lalu pulang ke kota.
Dan karena keteledoran Sili
inilah jiwa Yu Goan-ci jadi selamat malah.
Kiranya ketika jari Goan-ci
kena digigit ular sutra, segera ia gunakan ilmu dalam "Ih-kin-keng” yang
dilihatnya, yaitu lukisan si padri kurus yang berjungkir dengan gaya aneh itu,
dengan demikian hawa berbisa ulat sutra itu dapat dipunahkan.
Ia tidak tahu bahwa
"Ih-kin-keng” adalah buah kalam Budhi Dharma, apa yang diajarkan dalam
kitab pusaka itu adalah pengantar ilmu lwekang yang maha tinggi, dan karena
peniruan Goan-ci itu, sesudah darahnya disedot ulat sutra, kemudian ia dapat
menarik kembali darahnya pula hingga sari bisa maha lihai daripada ulat sutra
yang tiada bandingannya di dunia initelah ikut terisap ke dalam tubuh Goan-ci
sendiri.
Mestinya, jika Goan-ci
memahami kunci rahasia melakukan ilmu meditasi dalam Ih kinkeng, dengan
sendirinya ia akan dapat memunahkan racun ulat itu secara bertahap, tapi
sekarang dia cuma dapat melakuan suatu gaya saja, yaitu dengan berdiri
menjungkir, maka racun ulat sutra yang maha aneh itu bersarang semua didalam
tubuhnya.
Memangnya bisa ulat sutra itu
adalah sejenis racun maha dingin yang tiada bandingannya, di tambah lagi dalam
tubuh Goan-ci sudah terhimpun kadar racun dari kelabang, ular dan lain-lain,
jadi sudah beracun ditambah racun lagi, keruan seketika ia beku kedinginan.
Bila Sili melaksanakan
perintah A Ci dengan baik serta mengubur Goan-ci dalam tanah, pasti mayat itu
akan menjadi kerangka "mummi” (jenasah yang tidak membusuk).
Tapi kini ia dibuang ke kali,
maka terhanyutlah Goan-ci mengikuti arus. Dan sekali hanyut hingga sejauh lebih
20 li, akhirnya tersangkut pada sebuah batu karang di tikungan sungai yang
sempit. Selang tak lama, air sungai disekeliling tubuhnya ikut membeku hingga
Goan-ci seolah-olah terbungkus dalam peti mati hablur atau kristal.
Tapi karena diguyur terus oleh
arus sungai, setitik demi setitik hawa dingin dalam tubuh Goan-ci tergesek-
gesek hilang, akhirnya es yang
membeku di luar badannya mencair. Untung dia memakai kerudung besi, barang
logam lebih cepat tertembus hawa dingin, tapi juga cepat panasnya. Maka es yang
membeku di sekitar topeng besi cair paling dulu. Setelah digerujuk air sungai
sejenak pula Goan-ci terbatuk-batuk dan pikirannya sadar kembali, segera ia merangkak
naik dari dalam sungai.
Ia merasa seperti habis
bermimpi. Ia duduk di tepi kali sambil menunggu mencairnya es yang masih
melekat di sekujur badannya. Teringat olehnya betapa setianya kepada A Ci, ia
korbankan awak sendiri digigit binatangbinatang berbisa untuk membantu gadis
itu berlatih ilmu, tapi ketika dirinya disangka sudah mati, ternyata gadis itu
sedikitpun tidak mengunjuk rasa menyesal, bahkan membuangnya ke kali seperti
bangkai anjing saja.
Ia masih ingat ketika dirinya
mulai beku, A Ci sendiri asyik memoles cairan darah ulat sutra pada telapak
tangannya untuk meyakinkan ilmunya. Kemudian gadis itu hanya memandangnya
dengan terheran-heran dan merasa geli, sedikitpun gadis itu tidak
memperlihatkan rasa kasihan atau menyesal.
Kemudian ia pikir pula,
"Begitu lihai racun ulat sutra itu, setelah nona mengisapnya ke dalam
telapak tangan, terang ilmu sakti Tok-ciang (pukulan berbisa) kini sudah
berhasil dilatihnya, kalau aku pulang ke sana untuk menemui … untuk menemui dia
… ”
Berpikir sampai disini,
sekonyong-konyong ia bergidik sendiri, katanya di dalam hati, "Ya, bila
dia melihat aku lagi, pasti aku akan digunakan untuk menguji puklan saktinya
yang berbisa itu. Dan jika betul ilmu saktinya itu sudah jadi tentu jiwaku akan
melayang seketika oleh serangannya. Dan bila ilmu sakti itu belum jadi, tentu
aku akan disuruh mencari binatang berbisa lain sehingga ilmu yang dilatihnya
itu berhasil, akhirnya aku pula yang akan dipakai sebagai kelinci percobaan.
Jadi jiwaku tetap akan melayang. Daripada mati konyol, buat apa aku pulang ke
sana ?”
Ia berdiri dan meloncat-loncat
beberapa kali agar batu es yang masih melekat dibadannya rontok. Kemudian ia
merasa bingung kemana harus pergi? Rupanya ada seekor binatang, kalau bukan
menjangan, tentu serigala!”
Tengah merasa bimbang,
tiba-tiba didengarnya suara tertawa nyaring mengikik terbawa angin lalu suara
seorang gadis sedang bicara, "Cihu, sudah lama sekali engkau tidak
menemani aku pesiar keluar rumah, maka sekarang kita harus pesiar
sepuas-puasnya!”
Dari suara yang merdu genit
itu, segera Goan-ci mengenali pembicara itu tak-lain-tak-bukan adalah A Ci.
Keruan ia terkejut, "Wah, celaka, rupanya dia sedang mencari diriku lagi?
Agaknya dia datang bersama Kiau Hong.”
Tidak lama kemudian, terdengar
suara derapan kaki kuda, dua penunggang kuda tampak datang dengan cepat. Karena
disekitar situ tiada sesuatu tempat sembunyi yang baik, terpaksa Goan-ci
menyusup ke dalam semaksemak rumput di belakang pohon.
Dan karena sedikit gerakan
itu. Siau Hong yang bermata amat tajam sempat melihat di semak-semak rumput itu
ada sesuatu yang mencurigakan. Serunya segera, "A Ci, dibalik pohon itu
rupanya ada seekor binatang, kalau bukan menjangan tentu serigala!”
"Sungguh amat cengli,
pandanganmu, begini jauh jaraknya engkau dapat mengetahui, "ujar A Ci
dengan tertawa. Lalu ia larikan kudanya lebih dekat rupanya kuatir binatang
buruannya akan lari, segera ia mendahului memanah.
Sudah tentu Goan-ci tidak
berani bergerak, terpaksa ia pasrah nasib. Untung Siau Hong dan A Ci tidak
melihat jelas jejaknya, maka panah itu menyambar lewat di samping kepalanya dan
menancap di tanah. Coba kalau kena kerudung kepalanya itu, meski tidak terluka
juga pasti akan mengeluarkan suara keras dan jejak Goan-ci tentu akan ketahuan.
Dan secara kebetulan pula di
tengah semak-semak itu memang bersembunyi dua ekor kelinci ketika panah yang
dibidikkan A Ci itu menancap disitu, kedua kelinci kaget dan melarikan diri.
Maka tertawalah A Ci, katanya,
"Hahahaha, lihatlah, Cihu! Sekali ini engkau telah salah lihat hanya dua
ekor kelinci, tapi kau sangka menjangan dan serigala!”
Segera ia memburu ke arah
kelinci tadi dan berturut-turut ia panah roboh sasarannya itu.
Selagi A Ci menjulurkan badan
dari atas kuda hendak menjemput binatang buruannya itu, tiba-tiba terdengar
suara seorang menegur di seberang kali sana, "Nona cilik, kau lihat
Han-giok-jan (ulat kemala dingin) piaraanku atau tidak?”
Ketika A Ci mendongak, ia
lihat yang bicara itu adalah seorang hwesio berpotongan aneh, sudah gemuk, lagi
pendek, hingga mirip sebuah bola raksasa.
Dari tempat sembunyinya
Goan-ci dapat melihat jelas bahwa hwesio yang menegor A Ci itu adalah Sam-ceng
yang dilihatnya di kebun sayur di kelenteng Bin-tiong-si itu. Padri itu
menyatakan ulat yang dsebut Han-giokjan itu adalah piaraannya. Sedang orang
yang membunuh ulat itu memang betul adalah A Ci, maka tepatlah orangnya yang
hendak dicari padri itu. Demikian pikir Goan-ci.
Sementara itu A Ci kelihatan
melengak oleh pertanyaan Sam-ceng tadi, tapi segera ia mengikik sambil mendekap
di atas pelana kuda.
Sam-ceng menjadi gusar,
katanya pula, "Aku tanya padamu, ada seekor ulat sutra putih piaraanku,
dimana dia lewat disitu tentu meninggalkan bekas hangus. Nah, kaulihat atau
tidak? Kalau melihatnya bilang melihat, kalau tidak bilang tidak, apa yang kau
gelikan? Mengapa tertawa?”
Masih A Ci tidak menjawab,
dengan tertawa ia berkata kepada Siau Hong malah, "Cihu, lihatlah bola
raksasa itu, sungguh lucu!”
"Hus, "bentak Siau
Hong. "Bocah cilik sembarang omong, jangan kurangajar kepada Taisuhu”.
Melihat potongan Sam-ceng yang
luar biasa, suaranya sangat lantang pula, sejak mula Siau Hong sudah tahu padri
itu pasti seorang persilatan. Ketika mendengar padri itu mencari ulat apa yang
disebut "Han-giok jan” segala, ia menduga ulat itu pasti bukan sembarangan
ulat, maka sedapatnya ia ingin menghindarkan percekcokan.
Dalam pada itu A Ci bertanya
dengan tertawa, "He, Toahwesio, apakah ulat sutra itu piaraanmu?”
"Ya, ya, betul!” cepat
Sam-ceng menyahut. "Jauh-jauh aku membawanya kemari dari puncak
Kun-lun-san, bila nona melihat ulat itu, harap suka memberitahu.”
"Dimana ulatmu itu lalu,
disitu lantas meninggalkan jalur bekas hangus, betul tidak?” tanya A Ci pula.
"Ya, ya, benar!” sahut
Sam-ceng. Padahal pertanyaan A Ci itu hanya mengulangi apa yang dikatakannya
tadi.
"Dan ulatmu itu maha
dingin, bukan? Segala benda yang dekat dengan dia, seketika akan beku menjadi
es, betul tidak?” tanya A Ci.
"Ya, benar! Benar!
Sedikit pun tidak salah!” ulang Sam-ceng.
"Jika begitu, kemarin aku
melihat ulat sutra itu bertarung melawan seekor kelabang dan ulatmu mati
digigit kelabang itu, "kata A Ci.
"Kentut! Kentutmu busuk!”
damprat Sam-ceng marah-marah. "Ulatku itu adalah raja dari segala binatang
berbisa di dunia ini, segala
ular atau binatang berbisa lain kalau ketemu dia pasti akan ketakutan hingga
tak berani berkutik, masakah dia dapat dikalahkan oleh kelabang apa?”
Karena dimaki, A Ci bertambah
jail dan sengaja menggoda pula, katanya, "Jika kamu tidak percaya, masa
bodoh! Yang mesti kemarin aku melihat seekor ulat sutra putih bening dan aneh,
sekali injak segera kugecek mati ulat itu.”
Sekonyong-konyong Sam-ceng
meloncat setinggi dua-tiga-meter hingga mirip sebuah bola raksasa yang membal
ke udara. Ia berteriak-teriak, "Kentut! Kentut busuk! Ulatku itu gesitnya
secepat angin, kalau kamu tidak mempunyai obat sakti ulat itu, mana dapat
kaubunuh dia? Bila hendak kau injak dia sebelum kena mungkin kamu sudah digigit
mampus olehnya.”
Segera A Ci merogoh saku, ia
keluarkan suatu bungkusan kecil, sesudah dibuka, benar juga isinya adalah
bangkai ulat sutra yang dimaksudkan itu. Badan ulat itu sudah kena digecek oleh
pentung kayu A Ci, cairan darahnya juga sudah terpencet keluar, maka bangkai iu
sudah berubah gepeng dan kering.
Rupanya A Ci tahu bahwa ulat
sutra itu sangat luar biasa, ia duga bangkainya mungkin masih berguna, maka
sengaja disimpannya dengan baik.
Melihat ulat sutra piarannya
benar-benar sudah mati, seketika wajah Sam-ceng berubah pucat pasi bagai mayat.
Tubuh tampak sempoyongan pula, mendadak ia mendoprak di tanah dan menangis
tergerung-gerung. Sekonyong-konyong ia merampas bangkai ulat itu dari tangan A
Ci, ia peluk erat-erat di depan dadanya, sambil menangis sembari sesambatan,
"Oh, jantung hatiku! O, putraku yang manis! Dengan susah payah aku
membawamu dari Kun-lun-san, tujuanku ingin piara dikau dengan baik. Tapi kamu
justru tidak dengar kataku, kamu suka kelayapan sendirian, akhirnya kamu
digecek mati oleh budak setan ini!”
Demikian makin menangis makin
sedih, sampai akhirnya suara padri buntak itu menjadi serak dan hampir tak
terdengar.
A Ci merasa geli, ia bersorak
gembira, sebaliknya Siau Hong tahu padri buntak itu pasti tidak mau menyudahi
persoalan ini dengan demikian saja. Segera ia meraik les kuda dan bermaksud
mengaling di depan A Ci untuk menjaga segala kemungkinan, habis itu barulah ia
minta maaf kepada padri pendek gemuk itu.
Tak terduga, belum berhenti
menangis, tahu-tahu badan Sam-ceng membal lagi ke atas mirip sebuah bola
raksasa, terus menumbuk ke arah A Ci.
Serangan ini datangnya teramat
cepat, belum lagi kuda Siau Hong berada di depan A Ci dan tubuh Sam-ceng
yang bundar itu sudah
menyambar tiba.
Mendengar sambaran angin yang
keras itu, cepat Siau Hong membentak, "Jangan mengganggu orang!”
Berbareng tangan meraih ke
depan, ia jambret punggung A Ci terus diangkat ke atas pelana kudanya.
Maka terdengarlah suara bluk
yang keras, tubuh Sam-ceng yang mirip gentong itu kena tumbuk kuda tunggangan A
Ci, begitu hebat tenaga tumbukan itu hingga kuda sebesar itu mencelat pergi dan
terbanting mati seketika.
Muka A Ci sampai pucat saking
kagetnya. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa tumbukan si padri kate yang
lucu potongannya itu sedemikian lihainya.
Dan sekali tumbuk membinasakan
kuda A Ci, menyusul Sam-ceng lantas membal lagi dan kembali menerjang ke arah A
Ci.
Segera Siau Hong mengempit
kudanya agar mencongklang ke depan untuk menghindarkan serangan itu. Namun
datangnya Sam-ceng ternyata cepat luar biasa, langkah kuda pun kalah cepat.
Melihat gelagat jelek, untuk
menahan serudukan hwesio buntak itu, terpaksa Siau Hong harus mengeluarkan
tenaga pukulannya. Tapi terang A Ci yang bersalah, gadis itu telah membinasakan
ulat sutra piaraan orang, mana boleh dia membalas pihak yang salah dan melukai
orang?
Tanpa pikir segera Siau Hong
rangkul A Ci, cepat ia melayang pergi beberapa meter jauhnya.
"Brak”, kembali kuda
tunggangan Siau Hong menjadi korban, binatang itu kena ditumbuk oleh Sam-ceng
hingga mencelat pula, Bahkan sekali ini jauh lebih keras daripada tadi, kuda
itu menabrak sebatang pohon hingga perutnya tembus oleh dahan pohon yang patah
tertumbuk itu.
Sama sekali Sam-ceng tidak
ambil pusing apa yang terjadi itu, untuk ketiga kalinya ia menyeruduk ke arah
Siau Hong dan A Ci.
Keruan Siau Hong
terheran-heran, ia tidak habis mengerti cara menyerang orang yang aneh itu.
Bilamana lawan bersenjata dan padri itu main seruduk begitu, apakah bukan
berarti menggunakan badan daging untuk
diadu dengan senjata tajam dan
akan mampus sendiri?
Dalam pada itu Sam-ceng masih
belum kapok dan masih menyeruduk terus, sekali ini Siau Hong tidak mau
menghindar lagi, serunya, "Taisuhu, mengapa kau desak orang sedemikian
rupa? Biarlah aku minta maaf padamu dan mengaku salah saja.”
Sebenarnya Sam-ceng sudah
mulai menyeruduk lagi, demi mendengar ucapan Siau Hong itu, mendadak ia bisa
mengerem, sekonyong-konyong tubuhnya berjumpalitan ke atas hingga beberapa kali
putaran. Kesempatan itu segera digunakan Siau Hong untuk melangkah mundur
beberapa tindak bersama A Ci. Dan sejenak kemudian barulah Sam-ceng turun ke
tanah dengan enteng.
Tapi begitu pundak menyentuh
tanah, segera ia menggelinding maju pula, ia menerjang kaki Siau Hong sambil
berteriak, "Kembalikan ulatku! Kembalikan ulatku!”
Cara Sam-ceng main gelinding
di tanah itu ternyata sama sekali berbeda daripada ilmu silat yang biasa
terdapat di dunia persilatan. Tertampak padri itu menekuk kaki dan tangan
memegang kepala, jadi meringkuk bagaikan sebuah bola, lalu menggelinding cepat
ke arah lawan.
Diam-diam Siau Hong heran pula
oleh cara berkelahi si padri buntak yang bodoh ini, kalau mau, sekali hantam
pasti padri itu akan dapat dihancurkan olehnya. Tapi ia tidak bermaksud jahat,
ia banyak melangkah ke samping untuk mengelakkan terjangan musuh. Tapi ia tidak
bermaksud jahat, ia hanya melangkah ke samping untuk mengelakkan terjangan
musuh. Tapi kalau sekilas lantas terlihat olehnya di tanah situ tersebar
sepetak bubuk kuning.
Syukur Siau Hong dapat
bertindak menurut keadaan, meski ia tidak tahu dimana letak keganjilan bubuk
kuning itu, yang terang, diatas tanah situ tadi tidak terdapat bubuk kuning
seperti itu, jadi jelas ditebarkan oleh hwesio gendut ini ketika dia main
gelinding tadi. Dan bila kaki sampai menginjak bubuk kuning itu, bukan mustahil
akan kena diingusi lawan.
Segera Siau Hong meloncat ke
atas, sambil bersuit nyaring, menyusul ia mengapung lebih tinggi sambil
merangkul A Ci untuk menghindarkan bubuk kuning di bawah kaki.
Kiranya bubuk kuning itu
memang benar adalah obat bubuk beracun yang ditebarkan oleh Sam-ceng Hwesio.
Asal kaki Siau Hong menginjak ke bawah di mana bubuk beracun itu bertebaran,
maka dia dan A Ci pasti akan menyedot bubuk kuning dan akibatnya sekujur badan
akan lemah lunglai serta pasrah nasib kepada musuh.
Melihat Siau Hong teramat
cerdik, tampaknya akan terpancing, tahu-tahu orangnya mengapung ke atas, Sam-
ceng segera menerjang lagi,
tubuh yang bulat itu kembali membel ke atas untuk menumbuk Siau Hong. Ia pikir
lawan merangkul seorang lagi, betapapun tenaga mengapungnya juga terbatas, asal
dapat menumbuknya hingga ketiga orang terbanting bersama ke bawah, pasti lawan
akan keracunan oleh perangkap yang telah dipasangnya itu.
Tapi ketika Siau Hong melihat
padri itu membal lagi ke atas dan tampaknya benturan sukar dielakkan lagi,
segera ia gunakan kaki tangan juga terbatas, asal dapat menumbuknya hingga
ketiga orang terbanting bersama kebawah, pasti lawan akan keracunan oleh
perangkap yang telah dipasangnya itu.
Tapi ketika Siau Hong melihat
padri itu membal lagi ke atas dan tampaknya benturan sukar dielakkan lagi,
segera ia gunakan kaki kanan untuk menjejak perlahan ke tubuh orang, dengan
tenaga jejakan itu Siau Hong dapat melayang pergi sambil membawa A Ci.
Sebaliknya tumbukan Sam-ceng
itu menggunakan antero tenaga yang ada, dan belum lagi kena menumbuk sasarannya
atau dia sudah ditolak kembali oleh jejakan kaki Siau HOng. Keruan tenaga yang
telah dikerahkan itu nyasar hingga susah dikuasai lagi. Tubuhnya anjlok ke
bawah bagaikan sepotong batu.
Biasanya kalau tubuh jatuh ke
tanah dapat segera membal ke atas lagi. Tapi sekali ini ia tak bisa menguasai
stir lagi, kedua kaki terjulur kaku ke bawah, maka terdengarlah suara
"krak, bluk”, tulang kaki patah dan tubuh terbanting hingga terguling.
Bagi Siau Hong, maksudnya
menjejak tadi sebenarnya hanya untuk menghindarkan bubuk racun yang ditebarkan
orang di tanah itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa lwekang yang dilatih
padri kate itu sedemikian anehnya, sekali tenaga dalamnya nyasar, seketika tubuhnya
tak bisa dikuasai lagi dan terbanting begitu saja.
Melihat kedua kaki Sam-ceng
patah, Siau Hong merasa sangat menyesal, segera ia berkata, "Taisuhu,
rebahlah dulu, jangan bergerak segera akan kusuruh orang mengantarmu pulang. Di
kuil manakah engkau menetap?”
Sambil menahan rasa sakit,
sedikitpun Sam-ceng tidak merintih, sahutnya dengan ketus, "Dimana-mana
aku dapat menetap, buat apa kau pusing aku berasal dari kuil mana? Kakiku patah
dapat kuobati sendiri, siapa ingin minta belas kasihanmu?”
"Itulah bagus jika
kausendiri dapat menyembuhkan, "kata Siau Hong, "Adapun aku bernama
Siau Hong, jika kau ingin menuntut balas, silahkan datang ke kota Lamkhia untuk
mencari aku. A Ci, marilah kita pergi!”
Tapi sebelum melangkah pergi,
sengaja A Ci menggoda Sam-ceng pula, ia mengiming-iming dengan muka
badut yang dibikin-bikin, lalu
katanya, "Aku she Toan bernama Ci, jika kau ingin menuntut balas, silahkan
datang ke Lamkhia untuk mencari aku.”
Lalu ia tinggal pergi sambil
menggandeng tangan Siau Hong.
Sudah tentu apa yang terjadi
itu dapat disaksikan oleh Yu Goan-ci yang bersembunyi di tengah semak-semak
rumput itu. Ketika melihat A Ci sudah pergi, ia merasa lega. Tapi entah
mengapa, terasa juga olehnya seolaholah kehilangan sesuatu. Lebih-lebih
dilihatnya A Ci menggandeng tangan Siau Hong dengan mesra, tanpa terasa Goan-ci
merasa iri.
Tiba-tiba terdengar Sam-ceng
berteriak-teriak. "Air, air! Aku minta air!”
Sudah tentu teriakannya itu
sia-sia belaka, sebab disekitar itu tiada orang lain lagi. Diam-diam Goan-ci
membatin, "Ulat sutra piaraannya itu akulah yang mencurinya hingga
mengakibatkan padri itu sangat berduka dan patah pula kakinya, sungguh aku
berdosa padanya.”
Maka demi mendengar seruan
Sam-ceng yang minta air, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan
berkata, "Harap menunggu sebentar, Taisuhu, akan kuambilkan air untukmu.”
Ketika menoleh dan melihat
kepala Goan-ci yang aneh itu, semula Sam-ceng kaget juga, tanyanya, "He,
kamu .. kamu ini apa ?”
"Aku? Sudah tentu aku ini
manusia, "sahut Goan-ci. "Tunggulah sebentar, akan kuambilkan air.”
Lalu ia lari ke tepi sungai,
dengan kedua tangannya ia meraup air dan lari kembali untuk disiramkan ke mulut
Sam-ceng.
"Kurang, belum cukup! Aku
minta lagi!” kata Sam-ceng.
Goan-ci mengiakan, lalu
mengambil lagi dua tangkup air. Kemudian katanya, "Taisuhu, gerak-gerikmu
tidak leluasa, jaraknya dari sini ke Bin-tiong-si tidak terlalu jauh, biarlah
aku menggendongmu pulang ke sana!”
Mendadak biji mata Sam-ceng
yang bulat besar itu melotot, ia pandang Goan-ci dengan heran, cuma kepala
pemuda itu tertutup oleh kerudung besi, maka bagaimana air mukanya sukar
diketahui. Segera Sam-ceng
membentak, "Dari mana kau
tahu aku padri dari Bin-tion-si?”
Karena teguran itu, Goan-ci
menjadi gelagapan, ia mengeluh urusan bisa celaka, jangan-jangan perbuatannya
akan diketahui orang. Terpaksa ia menjawab, "Disekitar sini hanya terdapat
sebuah kuil saja, maka kuyakin Taisuhu pasti berasal dari sana.”
"O, pintar amat kamu,
"kata Sam-ceng, "Tapi aku pun tidak perlu digendong, cukup asal kau
ambilkan sebuah ho-lo yang kusembunyikan di kebun sayur Bin-tiong-si, dengan
arak obat dalam ho-lo itu akan dapat menyembuhkan lukaku ini.”
"Masakah di kebun sayur
itu masih ada sebuah ho-lo lagi? Bukankah … "baru sekian Goan-ci berkata,
segera ia sadar telah salah mulut, cepat ia berhenti omong dengan kikuk.
"O, ya, aku sendiri yang
pikun, memang ho-lo itu sudah hilang, terpaksa silahkan kau gendong aku pulang
ke sana, "kata Sam-ceng.
"Baiklah, "sahut
Goan-ci, segera ia berjongkok dan membiarkan Sam-ceng menggemblok di
punggungnya.
Ia lihat tembok Bin-tiong-si
itu kelihatan dari jauh, jaraknya paling-paling cuma satu-dua-li saja, tentu
tidak terlalu sukar menggendong padri buntak itu ke sana.
Tak terduga baru dia melangkah
beberapa tindak, sekonyong-konyong terasa sepuluh jari Sam-ceng yang kuat bagai
cengkraman besi itu mencekik lehernya, begitu keras cekikan itu hingga napas
Goan-ci terasa putus.
Keruan ia terkejut, segera ia
bermaksud membanting padri itu ke tanah. Siapa duga cekikan Sam-ceng semakin
kencang, bahkan kedua lutut kakinya juga mengepit kuat-kuat dipinggangnya. Maka
waktu Goan-ci mengipatkan tubuh padri itu dengan maksud membantingnya ke tanah,
bukannya padri itu terlepas dari gendongan, sebaliknya Goan-ci sendiri merasa
pinggang kesakitan.
Maka terdengar Sam-ceng
berkata, "Bagus jadi ho-lo yang kusembunyikan itu dicuri olehmu bukan?
Ayolah, mengaku saja, maling cilik! Kau curi arakku, kenapa menggondol pula
holo itu?”
Karena berada di bawah
cengkraman orang terpaksa Goan-ci menyangkal mati-matian, "Tidak, tidak!
Aku tidak mencuri holomu!”
"Ketika aku bilang di
kebun sayur itu masih ada sebuah holo, segera kamu merasa heran, bukankah itu
menandakan kamu telah mencuri holoku, kalau bukan kamu, habis siapa?” kata
Sam-ceng.
Melihat orang tidak
menyinggung tentang ulat sutra, Goan-ci pikir melulu urusan mencuri holo sja
kan sepele, maka sahutnya, "Baiklah anggaplah holo itu memang betul telah
kucuri, biarlah aku mengembalikan padamu nanti.”
Sam-ceng terbahak-bahak
girang. Tapi sekonyong-konyong ia menangis pula, dengan terguguk-guguk ia
tanya, "Siaucat (maling kecil), waktu kau curi holo itu, kau lihat
mestikaku Han-giok-jan atau tidak?”
"Han-giok-jan apa itu?
Aku tidak melihat apa-apa, hanya di tanah ada suatu lingkaran dan tiada ulat
atau binatang lain, "sahut Goan-ci.
"Ai, dasar anak itu memang
bandel, akhirnya kena digecek mati oleh orang, "kata Sam-ceng.
"Siaucat, ayolah berjalan ke arah timur.”
"Ke timur? Kemana?” tanya
Goan-ci.
Tapi lehernya lantas terasa
dicekik lagi oleh Sam-ceng. Padri itu membentak, "Jika kukatakan ke timur,
maka kamu kudu ke timur, jangan banyak cingcong, tahu?”
Karena dicekik hingga
kesakitan, Goan-ci kapok dan terpaksa menurut perintah padri buntak itu.
Meski perawakan Sam-ceng itu
kate, tapi gemuknya melebihi babi, maka bobotnya tidaklah enteng. Sesudah
beberapa li jauhnya, Goan-ci merasa letih, napasnya megap-megap, ia mengeluh
"Aku tidak kuat lagi, Taisu, marilah mengaso sebentar dulu!”
"Aktu tidak menyuruhmu
mengaso, kau berani berhenti?” bentak Sam-ceng dengan gusar, "Ayo, lekas
jalan terus!”
Sembari berkata, kakinya
mengempit lebih kencang hingga mirip orang menunggang kuda saja..
Agar tidak tersiksa, terpaksa
Goan-ci menurut sekuatnya melangkah ke depan, dan makin lama makin payah.
Sesudah beberapa li lagi,
akhirnya ia benar-benar tidak kuat lagi, mendadak ia jatuh tersungkur, mulut
berbusa dan napas senen-kemis, ngos-ngosan seperti kuda habis berpacu.
Tapi sama sekali Sam-ceng
tidak peduli, ia masih mendesak terus, "Ayo, jalan, lekas jalan!”
Bahkan ia terus main gebuk
pula ke punggung Goan-ci.
"Biarpun kau hantam mati
diriku juga aku tidak sanggup lagi!” demikian sahut Goan-ci.
"Kamu tidak mau jalan?
Apa minta kumampuskan sungguh-sungguh?” ancam Sam-ceng.
Syukur pada saat itu juga,
tiba-tiba di belakang mereka ada suara bentakan orang lain.
"Sam-ceng besar amat
nyalimu, kau berani melarikan diri ke sini? Ayo, lekas pulang, Hongtiang
memerintahkan kami menangkapmu!”
Ketika Goan-ci berpaling. Ia
lihat dari sana dua padri berjubah kelabu sedang mengejar kemari secepat
terbang. Padri yang berada di depan adalah hewesio setengah umur yang pernah
dilihatnya di kebun sayur itu dan hwesio dibelakangnya berusia lebih muda.
"Suheng, kedua kakiku
dipatahkan musuh, sementara ini tidak sanggup bergerak, bila nanti kakiku sudah
sembuh, tentu aku akan pulang sendiri untuk minta ampun kepada Hongtiang,
"demikian Sam-ceng memohon.
"Tidak bisa, "bentak
padri setengah umur itu, "Jika ada orang dapat menggendongmu melarikan
diri, tentu orang ini pula harus menggendongmu pulang ke sana.. Eh, orang...
orang ini aneh benar?”
Begitulah ia jadi melongo
kaget demi melihat kepala besi Goan-ci yang aneh itu. Namun kawannya si padri
yang lebih muda, lantas berkata, "Manusia siluman seperti ini pasti bukan
orang baik-baik, ayolah sekalian kita tawan pulang ke kuil!”
"Jika kedua suheng sudah
bertekad memaksa aku pulang, terpaksa aku menurut saja, "kata Sam-ceng
kemudian. Lalu ia membentak kepada Goan-ci, "Siaucat, ayo ikut kedua
suheng pulang ke sana!”
"Aku.. aku tidak kuat
berjalan lagi, harus … harus mengaso dulu, "sahut Goan-ci.
"Tidak bisa !” bentak
Sam-ceng pula, "Kita harus sampai di rumah sebelum hari gelap.”
"Benar, "si padri
setengah umur tadi menimbrung. "Ayolah, lekas, pakai mengaso dulu apa
segala ?”
Habis berkata, terus saja ia
jemput sebatang ranting kayu terus menyambat pundak Goan-ci.
Keruan Goan-ci meringis
kesakitan. Ia tidak paham mengapa seorang padri juga begitu jahat dan main
pukul orang semau-maunya. Terpaksa ia meronta bangun, ia gendong Sam-ceng pula
dan kembali ke arah datangnya tadi, sudah tentu dengan terhuyung-huyung dan
sempoyongan.
Kedua padri itu mengawasi dari
belakang Goan-ci, mereka lihat kedua tulang betis Sam-ceng memang betul patah,
kedua kaki itu untal-antil, maka mereka menjadi lengah. Ketika sampai di suatu
lereng di tepi jurang, sekonyong-konyong Sam-ceng menggunakan tangan kanan
untuk menahan pundak Goan-ci, tahu-tahu tubuhnya melayang terus menumbuk ke
arah padri setengah umur.
Keruan padri itu kaget, ia
memaki, dan karena tidak sempat melolos senjata, segera ia memapak dengan
sekali hantaman. Diluar dugaan, begitu mendekat Sam-ceng lantas menghantam juga
hingga kedua tangan beradu, "plak”, tubuh Sam-ceng membal ke atas, segera
ia menyeruduk pula ke arah si padri muda.
Cepat padri muda itu mundur
dua tindak dengan gaya "Ji-liong-cut-tong” atau dua ekor naga keluar dari
gua, kedua kepalan terus menghantam dada Sam-ceng.
Tapi di tengah jalan Sam-ceng
telah ganti haluan, ia tidak menyeruduk terus, dengan tangan kiri menahan
kepalan lawan, dengan tenaga tolakan itu, kemudian tubuhnya mumbul ke atas.
Menyusul sebelah tangannya menghantam kepala lawan. Kemudian dengan sekali
berjumpalitan, tahu-tahu ia sudah kembali lagi ke atas gendongan Goan-ci.
Tadi waktu Sam-ceng
"terbang” meninggalkan gendongannya, segera Goan-ci merasa terbebas dari
tindihan bobot ratusan kati, tapi belum lagi ia sempat melarikan diri,
tahu-tahu Sam-ceng sudah "hinggap” kembali di atas punggungnya, bahkan
terus mencekik lehernya pula hingga terpaksa Goan-ci tidak berani berkutik.
Dalam pada itu tertampak si
padri setengah umur dan yang muda tadi perlahan mendoprak ke tanah, tubuh
mereka meringkuk bagai 'caing
kena air abu' segera berkelojotan.
Heran dan kejut Goan-ci,
pikirnya, "Dengan ilmu apakah hingga Sam-ceng hwesio ini dapat
membinasakan mereka dengan secara begitu mudah?”
Hanya sebentar saja, kedua
padri itu mengeluarkan suara rintihan, dan sesudah kejat-kejat lagi beberapa
kali, lalu binasa.
"Ini, lihat!” tiba-tiba
Sam-ceng berkata dengan bangga sembari memperlihatkan telapak tangan kanannya
kepada Goan-ci.
Waktu Goan-ci memperhatikan,
kiranya jari tengah tangan kanan padri itu menonjol keluar sebuah jarum emas
yang sangat halus, dari batang jarum itu masih kelihatan ada noda-noda darah.
Maka tahulah Goan-ci, kiranya
di tengah telapak tangan padri itu terdapat jarum dan mungkin berbisa pula, makanya
duakali gablok lantas makan dua korban.
"Awas! Jika kau berani
rewel, segera aku pun mampuskan kamu!” demikian Sam-ceng mengancam sambil
pura-pura hendak menusuk mata Goan-ci dengan jarumnya. Segera ia memerintahkan
pula. "Ayo jalan! Ke timur, lekas!”
Goan-ci tidak berani
membantah, terutama ia pun ngeri melihat kekejian hwesio buntak itu. Aneh juga,
entah dari mana datangnya tenaga, meski badan letih danhati takut, tapi ia
dapat berjalan dengan cepat ke arah yang diminta.
Semnetara itu hari sudah mulai
gelap, diam-diam Goan-ci membatin, "Kedua kakimu sudah patah, seketika tak
mungkin sembuh, nanti bila kamu sudah tidur, pasti aku ada kesempatan untuk
melarikan diri.”
Tak tersangka Sam-ceng juga
bukan orang bodoh. Ketika hari sudah gelap, ia suruh Goan-ci menyusup ke tengah
semak-semak rumput, ia suruh pemuda itu rebah, sedangkan ia sendiri lantas
meringkuk seperti bola dan duduk di atas kerudung besi Yu Goan-ci, tidak lama
kemudian ia pun mendengkur.
Sungguh mendongkol dan payah
sekali Yu Goan-ci. Ia tahu bila dirinya berani bergerak pasti padri jahat itu
akan terjaga bangun dan akibatnya ia sendiri akan dihajar. Terpaksa ia tahan
sedapat mungkin, bayangkan saja betapa celakanya kalau kepala seseorang
ditindih, sedangkan orang yang menindih itu mendengkur seenaknya
semalam suntuk. Sebaliknya
bila terkadang Sam-ceng menggeser pantat, seketika kepala Goan-ci seakan-akan
dipuntir, mukanya yang melekat dengan kerudung besi itu bagaikan disayat-sayat.
Dengan cara begitulah Goan-ci
tersiksa hingga esok paginya. Meski Sam-ceng dapat menyambung tulang kakinya
yang patah itu, tapi untuk bisa sembuh hingga dapat berjalan paling sedikit
kudu sebulan atau dua bulan lagi. Diam-diam Goan-ci mengeluh apakah selama itu
setiap saat dirinya diharuskan menggendong bola daging raksasa itu?
Waktu lohor, sampailah mereka
di suatu kota kecil. Mereka mengaso untuk tangsal perut di suatu kedai bakmi.
Kebetulan Goan-ci lihat
seorang belantik kuda lewat di situ dengan menggiring beberapa ekor kuda,
segera ia berkata kepada sam-ceng.”Taisuhu, silahkan kaubeli seekor kuda untuk
ditunggang, bukankah akan jauh lebih cepat daripada perjalanankuyang meski
menggendongmu?”
"Ngaco-belo,”bentak
sam-ceng. "Menunggang kuda apakah lebih leluasa digendong orang? Dapatkah
kuda membawa aku ke dalam rumah dan menaikkan aku ke ranjang? Dapatkah kuda
mengantar aku berak ke kakus?”
Benar pikir Goan-ci, maka ia
hanya menghela napas dan tidak berkata lagi.
Agar supaya kuda tunggangannya
dapat berjalan dengan cepat, maka sam-ceng membiarkan Goan-ci makan
sekenyang-kenyang gaya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sore hari
mereka membelok ke selatan. Sepanjang jalan tiba-tiba Sam-ceng memberi khotbah
kepada Goan-ci tentang ajaran budha, katanya alam ini menciptakan segala
makhluk hidup di dunia, apakah orang itu bahagia atau menderita, semua itu
sudah ditakdirkan dan bila seorang berdosa pada jelmaan hidup yang lalu, maka
akan terima karma pada hidup yang akan datang dan menjelma menjadi kuda atau
kerbau guna tunggangan orang.
Ia perumpamakan Goan-ci, meski
tidak dijelmakan menjadi kuda, tapi ia sudah ditakdirkan menjadi budak, maka
itu pun karma, katanya. Untuk itu hidupnya harus mengabdi dengan baik-baik kepada
orang, banyak berbuat kebajikan, supaya dalam titisan yang akan datang dapat
hidup senang.
Tapi Goan-ci sangat meragukan
ocehan hwesio yang lain di mulut lain dalam perbuatan itu. Pikirnya, "Kau
sendiri sekaligus telah membunuh dua orang segolonganmu, caramu begitu kejam,
bukan mustahil sebelumnya kaupun sudah banyak membunuh orang, tapi sekarang kau
bicara tentang berbuat kebajikan apa segala ?”
Namun di bawah kekangan orang
terpaksa Goan-ci tak berani mendebat apa-apa. Ia terus menuju ke selatan. Beberapa
hari kemudian, hawa udara mulai hangat. Goan-ci mendengar Sam-ceng mencari
keterangan pada
orang di tepi jalan tentang
pantai laut. Diam-diam Goan-ci pikir, "Baik juga pergi ke laut, disana ada
kapal, dan aku akan terbebas dijadikan kuda tunggangan terus menerus.”
Selang beberapa hari lagi,
lewat lohor mereka mengaso dan beli minuman di suatu kedai di tepi jalan,
Goan-ci basah kuyup oleh air keringat, berulang ia habiskan beberapa mangkuk
air teh dingin, tapi rasa dahaganya masih belum lenyap.
Sekonyong-konyong terdengar
suara mangkuk pecah, mangkuk teh yang dipegang Sam-ceng itu jatuh hancur,
dengan suara tertahan paderiitu berkata kepada Goan-ci dengan rasa kuatir,
"Lekas-lekas berangkat!”
Dan belum lagi Goan-ci sempat
menaruh mangkuk teh, cepat sekali jari Sam-ceng yang kuat laksana kait baja
sudah mencengkram pundaknya tubuh yang bundar itu lantas menggemblok di atas
punggung Goan-ci.
"Lekas berangkat ke
barat, makin cepat makin baik!” bentak Sam-ceng.
Terpaksa Goan-ci berbangkit
dan melangkah pergi secepat mungkin. Namun sudah kasip, disekeliling sudah
ramai suara orang mengucapkan sabda Budha, "Omitohud!”
Karena leher dicekik lagi oleh
Sam-ceng, terpaksa Goan-ci berlari sekuatnya ke arah barat. Tapi tahu-tahu dua
padri berjubah kuning dengan membawa siantheng (tongkat padri), sudah mengadang
di depannya. Goan-ci miringkan tubuh dan bermaksud menyelinap ke samping, tapi
kembali dicegat oleh dua padri jubah kuning yang lain. Menyusul dari berbagai
penjuru merubung datang pula padri-padri dengan jubahyang sama, seluruhnya ada
delapan orang, semuanya mengacungkan senjata mereka kepada Sam-ceng.
"Ya, sudahlah!” kata
Sam-ceng akhirnya, "Para sute dan sutit, memang kepandaianmu sangat hebat,
akhirnya aku dapat ditemukan kalian. Baiklah, segera aku akan ikut pulang
bersama kalian. Nah, setan cilik, boleh kauikut berangkat dengan mereka!”
Diam-diam Goan-ci mengira
padri-padri itu dari Bin-tiong-si, ia pikir sekali ini Sam-ceng pasti tak bisa
berkutik lagi, tidak mungkin mampu membinasakan kedelapan padri itu sekaligus..
Benar juga, sepanjang jalan
Sam-ceng tidak berani bertingkah lagi. Kedelapan padri itu pun tidak mengajak
bicara padanya. Namun Goan-ci tetap sengsara, setiap hari ia masih diharuskan
menggendong Sam-ceng. Cuma arahnya sekarang menuju selatan dan tidak kembali ke
Bin-tiong-si.
Begitulah mereka telah
menempuh perjalanan jauh hingga sebulan lebih, karena sudah biasa, Goan-ci
tidak merasakan payah lagi. Semula ia pun sering berpikir kemanakah mereka
hendak pergi, mengapa terus menuju ke selatan? Tapi lama kelamaan ia menjadi
bosan, ia benar-benar mirip seekor kuda saja, terhadap nasib sendiri dan kemana
padri-padri itu hendak membawanya pergi, sama sekali ia tidak ambil pusing
lagi.
Sampai akhirnya, jalan yang
mereka tempuh semakin berliku-liku dan terjal, yaitu jalan pegunungan yang sepi
dan makin lama main meninggi.
Lewat lohor pada hari itu,
akhirnya mereka sampai di depan sebuah kelenteng besar, waktu Goan-ci
mendongak, ia lihat pigura pintu kelenteng itu tertulis tiga huruf besar
"Siau-lim-si.”
Dahulu Goan-ci juga sering
dengar cerita ayah dan pamannya bahwa Siau-lim-si itu adalah sumbernya ilmu
silat di daerah Tionggoan, setiap orang sangat berharap dapat belajar di kuil
pujaan itu. Namun selama setahun ini Goan-ci sudah kenyang menderita, terhadap
segala urusan di luar ia tidak tertarik lagi. Yang diharapkan adalah setiap
hari berkurang jalannya dan berkurang digebuk oleh Sam-ceng. Hal mana sudah
dirasakan puas olehnya. Kini tahu-tahu sampai di Siau-lim-si, semula ia juga
tergetar, tapi segera ia hadapi dengan sikap dingin saja. Jika nasibnya tetap
begitu, biarpun saat itu ia berada diistana raja juga tidak menarik baginya.
Begitulah beramai-ramai mereka
lantas masuk ke ruangan pendopo, seorang padri disitu berkata, "Bawa saja
ke Kai-lut-ih (ruang hukuman)!”
Kedelapan padri itu mengiakan,
lalu membawa Goan-ci keluar dari pintu samping, melalui sebuah jalan kecil,
akhirnya sampai disuatu ruangan yang seram.
Dari ruangan itu keluar
seorang padri tua, katanya dengan suara serak, "Atas titah
Kai-lut-ih-sauco (kepala ruang hukum)!, karena tanpa izin tanpa izin sam-ceng
berani turun gunung, lebih dulu dihukum rangket 100 kali dan boleh dilaksanakan
dalam sepuluh hari. Habis itu akan diselidiki pula kejahatan yang telah
diperbuatnya ketika turun gunung, hukuman akan dijatuhkan nanti sesuai
perbuatannya.”
Tanpa bicara lagi segera dua
padri yang berada disitu menarik sam-ceng yang ditiarapkan dilantai.
Seketika Goan-ci merasa enteng
punggungnya, ia merasa sangat lega.
Kemudian dilihatnya salah
seorang padri yang menangkap sam-ceng tadi mendekati padri tua itu dan bicara
bisik-bisik sejenak sambil tuding-tuding Yu Goan-ci. Padri tua itu tampak
manggut-manggut, lalu berkata, "Siau-cai she Yu itu membantu sam-ceng melarikan
diri hingga merusak tata tertib kita, ia pun dihukum
rangket 100 kali, hukuman lain
akan dijatuhkan pula jika kesalahan telah diketahui.”
Segera seorang padri mengetuk
punggung Goan-ci sambil membentak, "Lekas tiarap untuk terima hukuman!”
Sedikitpun Goan-ci tidak
membangkang, segera ia tiarap, pikirnya, "Apa yang kalian hendak perbuat
atas diriku, boleh silahkan berbuat sesukamu. Kalian mengatakan aku bersalah,
buat apa aku membantah?”
Dalam pada itu si padri tua
lantas masuk ke ruangan dalam sesudah memutuskan hukuman tadi. Menyusul
keluarlah empat padri lain, mereka terus menyeret Sam-ceng dan Goan-ci ke dalam
ruangan hukuman yang luas. Beberapa padri diantaranya terus membekuk Sam-ceng,
sedangkan tongkat kayu lantas menggebuk pantatnya. Setelah genap 30 kali
Sam-ceng dirangket, kemudian menjadi giliran Goan-ci.
Goan-ci merasakan rangketan 30
kali itu jauh lebih keras daripada rangketan kepada Sam-ceng. Diam-diam ia
penasaran, ia percaya padri-padri pelaksana hukuman itu berat sebelah, sudah
tentu mengeloni sesama kawan sendiri.
Keruan 30 kali rangketan itu
membikin pantat Goan-ci babak belur dan berbunga, darah berceceran membasahi
celananya. Selang tujuh hari, belum lagi lukanya itu sembuh, kembali ia dihajar
lagi sehingga genap 100 kali rangketan.
Kemudian seorang padri
mengumumkan padanya, "Siaucat she Yu diputuskan kerja paksa di kebun
sayur, disana harus menginsafi dosanya yang telah diperbuatnya supaya diampuni
Budha yang maha kasih!”
Dengan limbung Goan-ci turut
saja segala keputusan itu, ia ikut padri itu ke kebun sayur dan menghadap padri
pengurus.
Padri pengurus kebun sayur itu
bernama Yan-kin. Perawakannya kurus kecil, mukanya sempit mirip kunyuk, dua
biji gigi depannya sudah rontok hingga kalau bicara selalu bocor.
Ia sangat ketarik demi melihat
kerudung besi aneh yang dipakai Goan-ci itu. Ia duduk bertumpang kaki di sebuah
bangku panjang seraya menanyakan asal-usul pemuda itu.
Sudah tentu Goan-ci tidak sudi
berterus terang hingga nama baik ayah dan pamannya ikut tercemar. Maka ia mengaku
sebagai seorang desa biasa yang ditawan oleh orang Cidan hingga banyak
menderita sengsara.
Dasar Yan-kin itu memang
sangat ceriwis, ia suka bicara yang tidak-tidak dan bertanya secara melilit,
segala tetek-bengek juga ditanyakan hingga jelas. Namun Goan-ci sudah bertekad
tidak mau mengaku terus terang, jika didesak, maka ia menjawab dengan singkat
saja antara, "Ya, Tidak! Entah!”
Keruan Yan-kin kewalahan. Tapi
ia tidak mau sudah, meski sudah waktunya makan, ia tidak makan tapi tanya
terus. Tentu saja Goan-ci mendongkol tak terkatakan..
Dan sesudah benar-benar tidak
dapat mengorek suatu pengakuan apa-apa dari Goan-ci, akhirnya Yan-kin berkata,
"Baiklah, sekarang boleh mulai kerja. Pikul dulu 20 pikul kotoran untuk
rabuk tanaman sayur. Ingat, disini tidak boleh malas. Kamu sudah bicara
setengah harian disini, kerjamu nanti harus lebih giat untuk menambal tempo
yang terbuang ini.”
Goan-ci mengiakan saja, tapi
dalam hati ia menggerutu, "Kau sendiri yang cerewet dan bertanya tidak
habishabis, tapi aku yang disalahkan!”
Walaupun tak diberi makan,
luka rangketan dipantatnya belum sembuh pula, namun Goan-ci menahan semua
derita itu dan tetap memikul kotoran untuk merabuk tanaman.
Kebun sayur siau-lim-si itu
sangat luas, kira-kira ada sepuluh hektar. Para padri pekerja, kuli-kuli tetap
dan pocokan seluruhnya ada 38 40 orang.
Sebagai orang baru, pula memakai
kerudung besi yang aneh, maka Goan-ci menjadi sasaran ejekan dan bulan bulanan
mereka, segala pekerjaan yang kotor dan kasar selalu diserahkan padanya.
Sesudah mengalami penderitaan
selama ini, makin lama pikiran Goan-ci makin bebal, terhadap segala apa
dianggapnya sepi saja, bahkan perbedaan antara suka dan duka juga sudah kabur
baginya. Ia terima saja semua ejekan dan hinaan orang, ia hidup tanpa tujuan
dan sekedar melewatkan waktu saja. Hanya dalam mimpi saja terkadang ia masih
ingat kepada A Ci.
Suatu petang hari, sehabis
memberi rabuk tanaman, Goan-ci merasa sangat capek. Ia dengar genta tanda waktu
makan sudah berbunyi. Segera ia menuju ke ruangan makan bagi para pekerja
kasar. Tiba-tiba didengarnya Yan-kin memanggilnya "A Yu, antarkan semangkuk
nasi ini kepada Suhu yang berada di rumah kecil di tengah hutan bambu itu. Dia
sakit, tak dapat bangun.”
Goan-ci mengiakan, semangkuk
penuh terisi nasi dibawanya ke hutan bambu melalui sebuah jalan kecil. Hutan
bambu itu sangat luas, sampai sekian lama masih belum tembus. Ia lihat di
tengah hutan yang rindang itu ada
sebuah rumah batu kecil, ia
dekati pintu rumah dan memanggil dari luar. "Suhu! Suhu! Aku mengantarkan
nasi untukmu!”
Ia dengar ada suara sahutan
orang yang lirih di dalam rumah. Segera Goan-ci mendorong pintu dan masuk ke
dalam. Ia lihat di atas tikar yang digelar di tanah itu rebah seorang yang
menghadap ke dinding. Di dalam rumah tiada ranjang, tiada meja, tiada kursi dan
sebagainya, yang ada melalui tikar yang dibuat tidur itu di samping sebuah
kendi air.
"Ini nasi untukmu, suhu!”
demikian Goan-ci menyapa pula.
Tapi orang itu menjawab,
"Aku tidak lapar, tidak mau makan, bawalah kembali!”
Suaranya kedengaran berat dan
selama bicara pun tidak berpaling. Dan karena orang menyatakan tidak mau makan,
tanpa rewel Goan-ci lantas membawa kembali nasi kepada Yan-kin.
Besok siangnya, kembali
Yan-kin menyuruh dia mengantar nasi lagi kepada orang itu dan orang itu tetap
tidak mau makan.
Begitulah berturut-turut empat
lima hari Goan-ci disuruh mengantar nasi kepada orang itu dan orang itu tetap
tidak mau makan, bahkan berpaling juga tidak pernah.
Goan-ci sekarang sudah ibarat
orang yang tak punya otak, meski kelakuan orang itu agak luar biasa, sedikit
pun ia tidak menaruh perhatian.
Siapakah orang itu? Mengapa
tidak mau makan nasi? Apakah tidak mati kelaparan? Semua itu ia tidak ambil
pusing. Cukup asal ia lakukan kewajibannya saja. Bila Yan-kin suruh dia antar
nasi, dia lantas antar nasi. Orang itu menyatakan tidak mau makan, ia lantas
bawa kembali. Habis perkara.
Sampai hari kelima, kembali ia
antar nasi lagi dan orang itu tetap menyatakan, "Aku tidak lapar, tidak
mau makan, bawalah kembali!”
"Baik!” sahut Goan-ci
dengan dingin seperti biasa. Lalu putar tubuh keluar dari rumah batu kecil itu.
Di luar dugaan, sekali ini
mendadak orang itu melompat bangun dari tikarnya, segera lengan Goan-ci
dicengkram olehnya sambil memaki, "Kamu ini sungguh seorang yang tidak
punya perasaan..”
Baru sekian ucapannya,
tiba-tiba ia berseru heran ketika melihat kerudung besi di atas kepala Yu
Goan-ci itu.
Sebaliknya sekarang Goan-ci
juga dapat melihat jelas muka orang, yaitu seorang padri yang kurus lagi hitam,
matanya celong dan hidungnya panjang, dari mukanya itu dapat dipastikan
bukanlah padri bangsa Tionghoa. Mukanya penuh keriput pula, namun susah untuk
menaksir usianya.
"Barang apakah di atas
kepalamu ini?” demikian tanya padri itu.
"Kerudung besi!” sahut
Goan-ci.
"Siapa yang memasangnya
untukmu?”
"Orang Cidan!”
"Kenapa tidak
dilepaskan?”
"Tidak dapat dibuka!”
"Selama empat hari
beruntun akh tidak makan, kenapa kamu tidak peduli dan juga tidak minta Ti-khek
ceng (padri urusan tamu) menjenguk diriku atau memanggilkan tabib, apa
alasanmu?” demikian tanya padri itu. Meski dia bangsa barat, tapi sangat fasih berbahasa
Tionghoa.
"Apakah engkau akan mati
atau hidup, peduli apa dengan aku?” sahut Goan-ci ketus.
Keruan padri asing itu menjadi
gusar, sekali sambar, segera pundak Goan-ci dicengkramnya. Seketika Goan-ci
merasa tulang pundaknya sakit sekali seakan-akan remuk, tapi ia sudah biasa
menahan sakit, dia tidak melawan, juga tidak meronta, bahkan juga tidak
mengeluh. Ia anggap sepi saja siksaanitu.
Tentu saja padri asing itu
terheran-heran. "Kamu merasa sakit tidak?” tanyanya.
"Sakit atau tidak,
sangkut paut apa dengan aku?” sahut Goan-ci.
Padri itu tambah heran,
tanyanya, "Mengapa 'tiada sangkut paut' apakah tulang pundak ini bukan
punyamu? Kalau perlu akan kuremas lebih keras supaya tulangmu hancur!”
Habis berkata, benar juga ia
meremas terlebih kuat.
Keruan Goan-ci
meringis-ringis. Tapi meski badan tersiksa, jiwanya boleh dikata sudah mati
rasa. Ia tidak melawan, juga tidak minta ampun. Dalam hati ia hanya berpikir,
"Mungkin sudah takdir tulang pundakku ini akan diremas hancur olehnya, apa
yang perlu kukatakan lagi?”
Dan padri asing itu menjadi
kewalahan sendiri, akhirnya ia merasa kagum juga oleh keteguhan jiwa pemuda
itu. Katanya kemudian, "Bagus bagus!” Hanya seorang pesuruh dalam
Siau-lim-si saja sudah sehebat ini. Boleh kau pergi saja!”
Maka dengan membawa mangkuk
nasi itu Goan-ci tinggalkan hutan bambu itu. Ternyata di tengah jalan ia sudah
ditunggu oleh Yan-kin, dengan tertawa dingin Yan-kin berkata padanya, "A
Yu, kejadian di Bin-tiong-si telah terbongkar, ayolah ikut ke Kai-lut-ih!”
Mendengar "Bin-tiong-si”
disebut, Goan-ci pikir tentu Sam-ceng telah memperoleh bukti-bukti telah
dicurinya ulat sutra itu, jika demikian terang ia tak bisa menyangkal lagi,
terpaksa harus pasrah nasib.
Setiba di Kai-lut-ih, ia lihat
padri tua yang pertama kali diketemukan di ruang hukum itu juga berdiri disitu,
dengan tawar padri itu berkat, "Yu Goan-ci menurut pengakuan Sam-ceng,
katanya segala kejahatan yang terjadi di Bin-tiong-si itu adalah perbuatanmu,
betul tidak?”
"Benar, memang
perbuatanku, "sahut Goan-ci tanpa pikir.
Padri tua itu agak heran juga
mendengar pengakuan terus terang itu, katanya pula, "Jika kau sendiri
sudah mengaku salah, aku pun tidak perlu bikin susah padamu. Tentang hukuman
rangket akan kubatalkan. Sekarang pergilah ke Ciam-hwe-pang (kamar bertobat),
hendaknya direnungkan dengan baik-baik, habis itu nanti memberi jawaban
padaku.”
Segera Yan-kin membawa Goan-ci
ke belakang Kai-lut-ih, yaitu suatu pekarangan kosong, ditengah
pekarangan terdapat empat
pilar batu berbentuk persegi, pilar batu itu besar-besar dan berdiri berjajar.
Ketika Yan-kin menarik salah
satu pilar batu itu, maka terbukalah sebuah pintu. Kiranya dalam pilar besar
itu berwujud sebuah kamar batu yang sempit. Segera Yan-kin suruh Goan-ci masuk
ke dalam kamar batu itu, lalu pintunya ditutup.
"Cian-hwe-pang” atau
kamar bertobat itu daripada dikatakan sebagai kamar adalah lebih tepat
dikatakan sebuah peti mati batu yang ditegakkan. Berada di dalam peti batu itu
jangankan hendak duduk, bahkan berputar tubuhpun Goan-ci merasa sukar.
Diatas peti batu itu terdapat
dua lubang kecil sekedar sebagai jalan hawa. Katanya di dalam hati,
"Apasih yang harus kurenungkan? Apa sih yang harus kutobatkan?”
Pada saat itu juga, tiba-tiba
didengarnya ada suara jeritan melengking bagai babi hendak disembelih, suara
itu tembus masuk melalui lobang angin kecil itu. Ia kenal itulah suara
Sam-ceng. Terdengar padri buntak itu lagi berteriak, "Jangan! Jangan!
Badanku segemuk ini, mana dapat masuk ke dalam Cian-hwe-pang?”
Tapi padri tua Kai-lut-ih
berkata, "Menurut peraturan biara kita selama ribuan tahun ini, setiap
murid yang berdosa harus bertobat di dalam Cian-hwe-pang. Nah, masuklah,
lekas!”
"Tapi..tapi badanku
segede ini, mana bisa dijejalkan ke situ?” bantah Sam-ceng dengan kuatir.
Goan-ci merasa geli juga bila
membayangkan badan Sam-ceng yang bulat laksana bola itu..
Dalam pada itu terdengar si
padri tua sedang berkata dengan ketus, "Peduli badanmu gede atau tidak.
Pendek kata kamu harus masuk ke situ. Ayolah dorong dia ke dalam dan tutup
pintunya!”
Lamat-lamat terdengar beberapa
orang mulai mendorong dan menggencet, sebaliknya terdengar Sam-ceng
berteriak-teriak. Tapi padri tua itu sedikitpun tidak kenal ampun, dengan tegas
ia laksanakan hukum biara.
"Biar akan kulaporkan
kepada Hongtiang bahwa kalian menganiaya diriku, kalian sungguh kejam, masakah
badanku segemuk ini kalian paksa dan jejalkan ke dalam kamar ba … auuuh! Wah,
celaka …” demikian Samceng berteriak-teriak dan menjerit.
Tapi si padri tua tidak ambil
pusing, katanya, "Ayo dorong lebih keras sedikit cepat! Satu, dua, tiga!”
"Ai, baunya! sampai
ampasnya juga tergencet keluar!” tiba-tiba salah seorang padri yang ikut
mendorong itu berseru sambil pencet hidung sendiri.
"Tak apa, lekas dorong
lagi! Nah sudah masuk sebagian besar, tinggal kurang sedikit. Ayo, dorong lebih
keras!” demikian kata si padri tua.
Begitulah, sesudah didorong
dan digence secara paksa oleh orang banyak, akhirnya badan Sam-ceng yang gede
itu kena dijejalkan ke dalam peti batu itu walaupun sampai terkencing-kencing
dan terberak-berak.
Sam-ceng sendiri sudah lemas,
sedikit pun tidak kuat melawan lagi. Ia menangis terguguk-guguk.
Diam-diam Goan-ci heran juga,
peti batu sedemikian sempitnya, tapi badan Sam-ceng yang bulat buntak itu
ternyata dapat dijejalkan ke dalamnya.
Sekonyong-konyong terdengar
Sam-ceng berteriak-teriak, "Keluarkan aku, keluarkan aku! Aku akan
mengaku, aku tak berani menyangkal lagi!”
"Kamu boleh mgaku dahulu,
kemudian kulepaskan kau!” ujar si padri tua.
"Ya, aku..aku telah
mencuri 33 tahil perak di Bin-tiong-si sana untuk membeli arak, aku pernah
menyembelih tiga ekor anjing, pernah membunuh tujuh orang hwesio dan tiga orang
biasa, aku …aku juga punya … punya gendak di luar dan .. dan berjudi segala.”
"Tadi kaubilang semua itu
adalah perbuatan Thi-thau-jin itu?” kata si padri tua.
"O, ya, ya, memang
perbuatan Thi-thau-jin itu dan bukan perbuatanku, aku lupa!”
"Ah rupanya pikiranmu
masih kacau, boleh kamu mengaso sehari semalam dulu di dalam kamar batu ini,
kalau besok pikiranmu sudah jernih bolehlah kaubicara lagi!” kata padri tua.
"He, he! Jangan! satu jam
saja aku pasti akan mati gepeng disini!” seru Sam-ceng. "Baiklah, aku akan
mengaku terus terang memang semua itu adalah perbuatanku.”
"Lalu perbuatan jahat apa
yang dilakukan Thi-thau-jin itu?” tanya si padri tua.
"O, dia.. dia hanya
mencuri holo dan minum arakku, "sahut Sam-ceng.
"Adakah perbuatan
lainnya?” si padri tua menegas.
"Aku..aku tidak tahu.
Lekas .. lekas keluarkan aku!” teriak Sam-ceng terengah-engah.
"Hah, kamu pintar
memfitnah orang juga, "ujar si padri tua. "Nah keluarkan dulu
Thi-thau-jin itu.
Segera padri yang lain
mengiakan dan membuka pintu kamar batu, Yu Goan-ci lantas ditarik keluar.
Dari celah-celah pintu batu
Goan-ci dapat melihat daging Sam-ceng yang gemuk itu sampai mencotot keluar.
Coba kalau kamar batu itu batan dari kayu, tentu kamar itu akan pecah sendiri.
Lalu si padri berkata kepada Goan-ci, "Tentang kejadian di Bin-tiong-si itu
kini Sam-ceng sudah mengaku semua. Kenapa tadi kamu tidak mau menjelaskan
duduknya perkara?”
"Ya, apa mau dikatakan
lagi?” sahut Goan-ci sambil angkat pundak.
"Sebenarnya kamu pernah
berbuat kejahatan tidak?” tanya si padri pula.
"Hidupku ini ternyata
banyak rintangan dan kenyang derita, mungkin karma, karena hidupku pada jelmaan
yang lalu banyak berbuat kejahatan, "sahut Goan-ci.
Mendengar itu, si padri tua
merasa puas, ia merasa rikuh juga karena orang tak berdosa telah dibikin susah.
Maka ia lantas pesan Yan-kin "Jiwa Thi-thau-jin ini ternyata sangat baik.
Padri asing Polo Singh itu sedang sakit, boleh kausuruh Thi-thau-jin ini khusus
meladeni dia, tidak perlu suruh dia bercocok tanam lagi di kebun.”
Yan-kin mengiakan atas
perintah itu.
"Wah, matilah aku! Lekas
keluarkan aku!” demikian terdengar Sam-ceng lagi berteriak-teriak. Terdengar
pula suara pletak dan pletok, keriat dan keriut, kiranya seluruh tulang badan
Sam-ceng itu tergencet, tatkala saling gesek, maka mengeluarkan suara.
Mendengar suara itu, Goan-ci
menduga tulang iga Sam-ceng tentu telah patah beberapa buah.
"Aku sudah mengaku semua,
mengapa belum melepaskan aku? Bukankah … bukankah kalian dusta belaka?”
demikian Sam-ceng menggembor pula.
Segera Yan-kin suruh Goan-ci
menjura pada padri tua pelaksana hukum itu untuk menghaturkan terima kasih
karena memberikan pekerjaan ringan padanya.
Bagi Goan-ci sebenarnya sudah
tidak kenal terimakasih apa segala kepada orang lain. Ia pun tidak merasakan
apa faedahnya di tugaskan melayani si padri asing yang bernama Polo Singh itu.
Tapi karena disuruh Yan-kin, ia hanya menurut saja, ia berlutut dan
menghaturkan terima kasih.
Lalu Yan-kin membawanya ke
rumah kecil tempat tinggal Polo Singh di hutan bambu itu. Padri asing itu masih
tetap rebah menghadap dinding, sama sekali ia tidak peduli pada kedatangan
mereka.
Sampai waktunya makan siang,
seperti biasa Goan-ci menghantarkan nasi kepada Polo Singh. Tapi padri itu
menyatakan tidak mau makan, lalu tidak gubris lagi padanya.
Dua hari berturut-turut
keadaan begitu berlangsung terus, suara Polo Singh makin lama makin lemah.
Ketika Ti khek-ceng mendapat tahu, datanglah dia untuk menjenguk. Habis itu
belasan hwesio tua juga berturut-turut datang. Goan-ci melayani di samping, ia dapat
mendengar Ti-khek-ceng memperkenalkan nama-nama padri tua itu sebagai kepala
ruang Lo-han-tong, Tat-mo-ih, Kai-lut-ih dan lain-lain beserta wakil-wakilnya.
Nyata padri-padri itu adalah gembong-gembong Siau-lim-si.
Diam-diam Goan-ci menaksir
Polo Singh itu tentu bukan orang sembarangan, ditilik dari sikap para padri
Siaulim-si yang sedemikian menghormatinya.
Sampai beberapa hari penyakit
Polo Singh masih belum sembuh, terkadang ia pun mau makan sedikit bubur, tapi
tak bisa bangun, setiap hari hanya rebah dengan menghadap dinding. Untung sifat
Polo Singh cukup ramah hingga Goan-ci tidak tersiksa.
Selang dua hari lagi, mendadak
Polo Singh merintih-rintih keras di tengah malam, ia sesambatan menyatakan
kepalanya sakit seakan-akan pecah. Ia terguling-guling di lantai sambil
memegangi kepala sendiri.
Goan-ci menjadi bingung, cepat
ia lapor kepada Yan-kin, lalu Yan-kin mengundang seorang padri tabib dari
Jing-kian-ih (ruang kesehatan) untuk memeriksa penyakit Polo Singh. Sesudah
ditusuk jarum dan di beri obat segala, sampai pagi hari baru keadaan rada
tenang.
Penyakit Polo Singh itu
beruntun-runtun kumat lagi beberapa kali hingga padri tabib dari Jing-kian-si
gelenggeleng kepala dan menyatakan, "Padri asing ini menderita semacam
penyakit aneh dari negeri Thian-tok yang tak terdapat di sini, tampaknya sukar
untuk disembuhkan.”
Keadaan Polo Sing makin lama
makin lemah. Suatu kali ia bangun hendak buang air, tapi mendadak kaki terasa
lemas dan jatuh terjungkal, kepala sampai bocor membentur dinding. Ketika para
hwesio tua mendapat tahu, beramai-ramai mereka datang menjenguk lagi.
Begitulah penyakit Polo Singh
itu makin payah hingga lebih sebulan lamanya.
Malam itu, mungkin pada siang
harinya Goan-ci terlalu banyak gegares rujak atau gado-gado, maka tengah malam
mendadak ia sakit perut dan kecirit. Lekas ia berlari-lari ke tengah hutan
bambu untuk kuras perut.
Habis hajat, selagi ia
membetulkan celananya, di bawah sinar bulan sekonyong-konyong dilihatnya dari
bawah tanah di tempat beberapa meter jauhnya sana menongol keluar sebuah kepala
manusia. Keruan Goan-ci kaget setengah mati dan hampir menjerit karena
disangkanya ada setan.
Syukur sebelum ia bersuara,
dengan cepat kepala itu sudah menerobos ke atas hingga kelihatan seluruh
tubuhnya. Goan-ci melongo ketika mengetahui orang itu adalah Polo Singh.
Sungguh sukar untuk dimengerti, Polo Singh yang sakitnya sudah payah, bergerak
saja susah, tahu-tahu sekarang berubah sedemikian tangkasnya. Begitu ia
menerobos keluar dari bawah tanah, "siut”, segesit kucing ia terus
meloncat ke atas pohon bambu.
Tentu saja Goan-ci
terheran-heran, "Jadi selama ini ia hanya pura-pura sakit saja. Tapi
mengapa ia dapat menerobos keluar dari bawah tanah? Dan kini hendak kemana?”
Dalam pada itu pohon bambu
tampak keresek sedikit, tahu-tahu Polo Singh sudah melayang dari pohon bambu
ini ke pohon bambu yang lain
segesit kera. Ketika pohon bambuitu menyandal, seketika tubuh Polo Singh
melayang lebih jauh lagi ke arah barat laut sana dengan cepat.
Coba kalau Goan-ci tidak
menyaksikan sendiri, tentu ia takkan menyangka di atas pohon bambu itu ada
orang menghinggap. Mestinya Goan-ci sudah apatis terhadap segala apa pun. Namun
betapa pun juga dia masih muda, rasa ingin tahunya belum lenyap seluruhnya.
Segera ia pun tertarik oleh
kejadian itu. Ia coba periksa tempat dimana Polo Singh menongol tadi. Kiranya
di situ terdapat sebuah lubang, disamping lubang ada sebuah papan yang di uruk
tanah dan daun kering.
Nyata papan itu adalah penutup
lubang. Jika Polo Singh menerobos masuk lubang itu, lalu ia tutup kembali papan
itu hingga tak kelihatan dari atas. Apalagi tempat itu pun jarang didatangi
orang.
"Lubang ini entah tembus
kemana? Coba kulihatnya, "demikian pikir Goan-ci. Segera ia pun menerobos
ke dalam lubang tanah itu laksana gangsir.
Tak terduga lorong dibawah
tanah itu ternyata sangat cekak. Baru dia melangkah beberapa meter, tahu-tahu
ia lantas menyusup ke atas. Waktu Goan-ci menongol ke permukaan tanah,
tiba-tiba ia merasa geli sendiri.
Kiranya tempat ia berada
sekarang adalah tempat tidur Polo Singh sehari-hari itu. Lubang yang dipakai
masuk keluar itu tertutup oleh tikar sehari-hari Polo Singh rebah di atas tikar
itu hingga siapa pun tiada yang menyangka bahwa di bawah tikar terdapat sebuah
lubang gangsir raksasa.
Diam-diam Goan-ci membatin,
"Polo Singh ini sangat aneh kelakuannya, entah ke mana dia sekarang?”
Karena tertarik,segera Goan-ci
mendatangi pula hutan bambu itu menurut arah yang dituju Polo Singh tadi.
Lamat-lamat ia merasa tingkah laku padri asing secara sembunyi-sembunyi seperti
maling kuatir kepergok tentu mempunyai suatu maksud tujuan tertentu. Dan kalau
sekarang ia mengintai rahasia perbuatannya, bila ketahuan pasti padri asing itu
takkan mengampuni jiwanya.
Begitulah, dari jauh ia lihat
Polo Singh masih hinggap di atas pohon bambu. Segera Goan-ci merayap maju,
sesudah agak dekat, ia tidak berani maju lagi.
Selang tak lama, tiba-tiba
rembulan tertutup oleh segumpal awan tebal hingga keadaan menjadi gelap.
Mendadak terdengar suara angin mendesir, bambu yang dihinggapi Polo Singh tadi
tampak mendal sekali dan tahu-tahu padri asing itu melompat ke semak-semak
pohon di depan sana.
Melihat ginkang orang
sedemikian lihainya, Goan-ci sampai ternganga kagum, ia tidak berani mengintai
lebih jauh lagi, cepat ia kembali ke kamarnya untuk tidur.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
terdengar di sebelah kamar Polo Singh itu ada suara orang mendengkur, terang
padri itu sudah kembali. Diam-diam Goan-ci bersyukur dirinya kembali lebih dulu
hingga tidak sampai diketahui.
Besok paginya waktu Goan-ci
bangun, ia lihat Polo Singh masih tetap rebah menghadap dinding dan pura-pura
tambah payah keadaan sakitnya.
Goan-ci tidak omong apa-apa,
ia ambil cangkul dan pergi ke hutan bambu itu untuk mencari anak buluh atau
rebung. Ia mendatangi semak-semak pohon tempat Polo Singh menyusup semalam.
Tapi beberapa meter ia masuk
ke daerah situ, tiba-tiba dari balik pohon sana muncul seorang hwesio dan
membentaknya dengan suara bengis, "Ada apa kau datang ke Cong-keng-lau
(gedung perpustakaan) ini?”
"O, aku.. aku sedang
mencari rebung, "sahut Goan-ci.
"Pergi, lekas pergi dari
sini! Kalau tiada izin Hongtiang, sekali-kali tidak boleh mendekati
Cong-keng-lau, "kata padri sambil memberi tanda agar Goan-ci lekas enyah.
Berulang Goan-ci mengiakan,
lalu kembali ke hutan bambu untuk memotong rebung. Pikirnya "Kiranya di
semak-semak pohon sana adalah tempat Cong-keng-lau, tanpa izin Hongtiang
siapapun dilarang mendekat. Jika begitu, semalam diam-diam Polo Singh telah
menyelundup ke dalam Cong-keng-lau, apakah dia sengaja datang ke sana untuk
mencuri kitab ?”
Setelah mengetahui sebab Polo
Singh pura-pura sakit dan menggaangsir, tujuannya ternyata melulu ingin
menyelundup ke Cong-keng-lau maka Goan-ci tidak menaruh perhatian lagi. Sesudah
mengumpulkan sekeranjang rebung, lalu membawanya ke kebun untuk diserahkan
kepada Yan-kin.
"Ya, harus beginilah,
kerjalah yang giat, supaya tidak sia-sia aku mendidikmu selama ini,
"demikian Yan-kim memuji. "Nah, bawalah ke dapur sana!”
Goan-ci mengiakan dan membawa
rebung itu ke dapur. Disana padri koki sedang masak suatu kuali besar kuah
sayur. Segera padri koki itu mencandukkan semangkuk kuah itu untuk Goan-ci.
Kemudian mengisi semangkuk kuah pula dan suruh Goan-ci mengantarkan untuk Polo
Singh.
Maka dengan membawa semangkuk
kuah itu Goan-ci datang ke kamar Polo Singh. Tapi hwesio itu tetap tidak mau
minum.
Kuah itu bukan sembarang kuah,
didalam kuah itu terdapat hio-koh (jamur kuping) yang wangi, terdapat kimcian
(jarum emas, sejenis tumbuhan), sawi putih, rebung dan sebagainya hingga
mengeluarkan bau sedap yang membangkitkan selera makan orang.
Polo Singh tidak tahan juga
oleh bau sedap kuah itu, tiba-tiba ia berkata, "Baiklah, coba kuminum
sedikit!”
Dengan pura-pura tak bisa
berbangkit, ia terima mangkuk kuah itu dengan tetap rebah miring. Ketika ia
taruh mangkuk kuah itu di lantai sekilas Goan-ci melihat kuah di dalam mangkuk
yang bening itu mencerminkan bayangan sebagian kitab yang bertulisan aneh.
Hati Goan-ci tergerak,
"Huruf-huruf asing itu agaknya mirip benar dengan tulisan dalam kitabku.
Kiranya setiap hari Polo Singh ini rebah disini sebenarnya lagi membaca kitab
yang bertulisan aneh ini. "Ah, tahulah aku sekarang, kiranya tengah malam
buta ia menyelundup ke Cong-keng-lau tujuannya juga untuk mencuri kitab-kitab
tulisan asing ini untuk dibacanya.”
Tapi sesudah dipikir pula
bahwa hwesio memang seharusnya Liam-keng (membaca kitab suci), dengan
sendirinya padru asing juga mesti membaca kitab bertulisan asing, ini adalah
jamak, maka Goan-ci tidak merasa heran lagi, ia pikir mungkin orang asing ini
memang suka main sembunyi-sembunyi seperti maling. Maka untuk selanjutnya ia
pun tidak menaruh perhatian lagi kepada Polo Singh.
Kira-kira sebulan kemudian,
pada suatu malam, selagi Goan-ci tidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba ia terjaga
bangun oleh cahaya yang sangat terang, ia lihat cahaya terang itu tembus keluar
dari kamar Polo Singh di sebelahnya. Cahaya itu menyilaukan mata, berpuluh kali
lebih terang daripada cahaya lilin yang biasanya terpasang di kamar polo singh.
Sudah tentu Goan-ci sangat
heran. Ia coba mengutip melalui sela-sela dinding. Tapi ia jadi terkejut
mengetahui apa yang berada di kamar sebelah itu.
Kiranya di dalam kamar Polo
Singh itu sedang duduk bersila lima hwesio tua, semuanya berkasa (kasa = jubah
padri) merah. Tiga diantara kelima padri tua itu dikenal Goan-ci karena pernah
datang menjenguk Polo Singh.
Goan-ci tahu kedudukan para
padri tua itu sangat tinggi dalam siau-lim-si.
Kelima padri tua itu duduk
mengitar di atas tikar, tikar yang biasa dibuat tidur Polo Singh itu sudah
tersingkap hingga kelihatan lubang di bawah tanah. Polo Singh sendiri tidak
kelihatan disitu. Goan-ci menduga padri asing itu pasti pergi mencuri kitab
lagi, dan sekali ini maling itu pasti akan tertangkap tangan..
Waktu Goan-ci perhatikan
kelima padri tua itu, ia lihat tangan kanan setiap orang terangkat di depan
dada dengan memegang serenceng tasbih, namun biji tasbih itu tidak bergerak
sebagaimana biasanya kalau hwesio sedang membaca kitab, tapi telapak tangan
setiap orang itu terbuka menghadap ke depan, mengarah lubang di tanah yang
digali Polo Singh itu.
Sebenarnya Goan-ci tidak
mempunyai perasaan apa-apa terhadap Polo Singh, cuma sejak ia ditugaskan
melayani padri asing itu, ia tidak pernah menderita siksaan lagi, maka ia harap
keadaan demikian bisa berlangsung terus. Kini melihat kepungan kelima padri tua
Siau-lim-si, mau-tak-mau Goan-ci berkuatir bagi Polo Singh, tapi lamat-lamat ia
merasa tertarik juga karena bakal menyaksikan suatu pertunjukan yang hebat.
Tidak lama kemudian,
sekonyong-konyong lengan baju kiri kelima padri tua itu mengebas serentak, api
lilin dalam kamar itu menjadi tertekan oleh angin kebasan itu, tapi segera
sumbu api menganga lagi hingga bertambah terang kelihatannya.
Jilid 47
Ketika Goan-ci hilang
silaunya, tahu-tahu di dalam kamar sudah bertambah seorang. Itulah dia Polo
Singh yang baru saja menerobos keluar dari lubang bawah tanah. Tangan padri
asing itu kelihatan memegang tiga jilid kitab. Sudah tentu ia pun terkejut demi
nampak di tepi lubang itu sudah siap kelima padri tua.
Maka terdengarlah kelima padri
tua itu serentak menyebut. "Omitohud!”
Lalu tangan kanan mereka
perlahan menolak ke depan hingga lengan baju mereka perlahan menolak ke depan
hingga lengan baju mereka tampak melambung seketika bagaikan lima helai layar.
Sekonyong-konyong Polo Singh
berjumpalitan sekali terus menjungkir. Ia berdiri dengan kepala di bawah dan
kaki di atas. Kedua kaki tiada hentinya berputar-putar di atas, makin putar
makin cepat.
"Ciaaat!” mendadak kelima
padri Siau-lim-si membentak berbareng, serentak mereka pun menghantam.
"Blang”, terdengar suara keras, seketika hawa udara menjadi tegang dan
menyesakkan napas, saking tak tahan Goan-ci terguncang pingsan seketika.
Selang sebentar, ketika ia
siuman kembali, sayup-sayup ia dengar suara orang menyebut Budha. Ia coba
tenangkan diri, lalu mengintip melalui sela-sela dinding. Kini dilihatnya Polo
Singh sudah duduk bersila dengan sikap yang prihatin, kelima padri tua
Siau-lim-si duduk mengelilinginya sambil liam-keng bersama. Kitab yang disuakan
mereka itu sangat aneh, sama sekali Goan-ci tidak paham. Agaknya kedua pihak
itu kini sudah damai dengan baik.
Sesudah agak lama keenam padri
itu liam-keng, kemudian kelima padri Siau-lim-si berbangkit, mereka memberi
salam dengan rangkap kedua tangan, lalu salah satu padri tua yang kurus kecil
berkata, "Polo Singh Suheng, sejak kini bolehlah engkau masuk-keluar
Cong-keng-lau dengan bebas, segala kitab yang ingin kau bawa boleh diambil dan
dibaca, engkau tidak perlu main sembunyi-sembunyi dan mencuri pula.”
Polo Singh kelihatan
mengangkat kepala dan termangu-mangu sejenak dengan penuh rasa sangsi. Kemudian
bertanya, "Dan sampai kapan batas waktunya?
"Tak terbatas, sampai
Suheng wafat kelak, "sahut padri tua kurus kecil itu.
"Apakah kalian hendak
memaksa aku membakar diri?” tanya Polo Singh.
"Omitohud! Mengapa Suheng
berkata demikian?” sahut padri tua itu. "Suheng datang dari negeri
Thian-tok, sudah tentu kami sambut dengan segala hormat, masakah kami berani
berlaku kasar padamu?”
"Sebagai murid Budha,
lebih baik kita bicara secara blak-blakan, "kata Polo Singh. "Kitab
yang tersimpan dalam biara kalian ini tidak sedikit diperoleh dari negeri kami.
Selama beratus tahun ini keadaan negeri kami banyak terjadi huru-hara sehingga
kitab-kitab aslinya banyak tercecer dan tak keruan, sebab itulah terpaksa kami
harus mencari malah ke negeri kalian sini. Kaum Budha kita mengutamakan berbuat
kebaikan, mengapa kalian berjiwa sesempit ini?”
"Omitohud! Mana kami
berani berbuat seperti yang dimaksudkan Suheng, "sahut padri Siau-lim-si
itu. "Bila yang dicari suheng adalah kitab suci Budha penolong manusia,
sudah tentu kami tidak berani merahasiakannya untuk diri sendiri. Akan tetapi
yang diambil dan dibaca Suheng itu justru adalah kitab pusaka ilmu silat biara
kami, meski sumber ilmu silat itu berasal dari negerimu, namun selama seratus
tahun ini telah banyak diolah dan dirombak serta ditambah oleh padri saleh
biara kami, menurut aturan dan sopan santun, mestinya tidak dapat suheng ambil
dan membacanya tanpa permisi.”
"Tadi kau katakan
selanjutnya aku bebas masuk keluar Cong-keng-lau dan boleh membawa kitab di
sana sesuka hati, apakah kau sengaja menyindir aku?” tanya Polo Singh.
"Tidak, memang itulah
maksud kami sesungguhnya, "sahut si padri kurus kecil itu dengan
membungkuk tubuh.
"Kalian tidak perlu
bicara secara plintat plintut, apa yang kalian inginkan atas diriku, boleh
katakan terus terang saja, "kata Polo Singh.
"Kami sangat kagum
terhadap ilmu keagamaan suheng yang tinggi, maksud kami ialah supaya suheng
dapat menetap di negeri kami ini untuk memberi khotbah secara luas dan menolong
sesamanya menuju ke jalan yang mulia, "sahut si padri tua.
Seketika wajah Polo Singh
berubah pucat bagai mayat. Katanya, "Jadi mak… maksudmu akan menahanku
disini, selamanya aku dilarang pulang ke negeri asalku?”
"Biara kami merasa utang
budi kepada negeri kalian, masakah kami berani berlaku kasar seperti ini?”
sahut si padri tua. "Kami memang minta suheng tinggal di sini dengan
sesungguh hati, harap suheng sudi menerima permohonan kami ini.”
Habis berkata, kembali ia membungkuk
tubuh dan memberi salam, lalu berjalan keluar. Keempat hwesio lain ikut memberi
hormat dan berturut-turut keluar juga.
Polo Singh tampak lesu,
rupanya ia insyaf apa yang dimaksud hwesio-hwesio Siau-lim-si itu tak dapat
ditarik kembali lagi, yaitu menahan dia selama hidup disini dan boleh bebas
membaca kita di Cong-keng-lau, tapi dilarang pulang ke negeri asalnya. Jika
begitu, apa gunanya biarpun seantero kitab di Cong-keng-lau itu dapat dibaca
dan diapalkan di luar kepala?
"Munafik, munafik!” demikian
Polo Singh bergumam sendiri. "Sudah terang aku ditahan di sini, tapi
katanya aku dimohon dengan sangat agar tinggal di sini dan supaya sudi menerima
permintaan mereka. Andaikan aku menolak, apakah boleh?”
Begitulah makin dipikir makin
masgul hingga akhirnya ia memukuli batok kepala sendiri. Padahal sebabnya Polo
Singh pura-pura jatuh sakit di Siau-lim-si adalah agar para hwesio Siau-lim-si
itu tidak menaruh curiga padanya, dengan demikian ia dapat menyelundup ke
Cong-keng-lau untuk mencuri kitab.
Pembawaan Polo Singh mempunyai
daya ingat yang luar biasa, makanya ia diperintahkan oleh gurunya agar datang
ke Siau-lim-si untuk membaca kitab dan mengingat semuanya dalam otak,
sekembalinya di negeri Thian-tiok nanti ia dapat mengapalkan kembali.
Jadi kedatangannya bukanlah
untuk mencuri kitab, melainkan mencuri baca saja. Dan selama ini setiap hari ia
rebah di kamarnya dengan menghadap dinding, selama itu ia sudah mengapalkan
lebih 30 jilid kitab. Siapa duga akhirnya perbuatannya itu diketahui oleh para
hwesio Siau-lim-si.
Tapi hwesio-hwesio Siau-lim-si
itu juga tidak membikin susah padanya, setelah tahu maksud tujuan Polo Singh,
mereka hanya melarang dia pulang ke Thian-tok. Dengan sendirinya Polo Singh
sangat kesal karena rindu kepada tanah airnya, pula hal mana berarti gagal
memenuhi kewajiban yang diinginkan oleh gurunya itu. Maka semalam suntuk itu ia
berkeluh kesah saja tanpa tidur hingga Goan-ci juga ikut terganggu tidurnya.
Beberapa hari kemudian, sekali
ini Polo Singh benar-benar jatuh sakit, sering ia termenung-menung sendiri
dengan mata mendelik ke arah barat. Goan-ci menjadi takut melihat sikap hwesio
itu.
Suatu hari ketika Goan-ci
membawakan nasi pula, sekali comot segera Polo Singh meraup sekepal nasi, dan
selagi hendak dijejalkan ke dalam mulut, sekonyong-konyong air mukanya terkilas
setitik rasa girang. Tibatiba ia berseru tertahan, "Hah, dapat, dapat!”
Segera ia habiskan daharannya
dengan tergesa-gesa, lalu ia pegang tangan Goan-ci dan tanya kepadanya,
"Aku akan mengajarkan suatu bagian perkataan dan harus kau apalkan di luar
kepala, sekali-kali tidak boleh diketahui oleh hwesio di kelenteng ini, apakah
kau mau melakukannya?”
Goan-ci tidak paham apa maksud
Polo Singh itu, dengan bingung ia tanya, "Perkataan apakah itu?”
"Kamu harus berjanji dulu
takkan bilang pada orang lain, dan segera akan kujelaskan padamu, "ujar
Polo Singh.
Sejak Goan-ci menderita
sengsara di negeri Liau tempo dulu, lalu ia menjadi seorang penurut apa yang
dikatakan orang lain pasti di turutnya dengan baik tanpa membangkang
sedikitpun.
Maka atas permintaan Polo
Singh sekarang ia pun tidak banyak rewel, segera ia mengangguk dan menjawab,
"Baiklah, jika demikian kehendak suhu, pasti takkan kukatakan kepada orang
lain.”
Polo Singh berpikir sejenak,
lalu katanya "Dan ada lagi sesuatu, setiap hari pasti banyak akan ku
hajarmu hingga babak belur, itu namanya 'Kho-bak-khe' (tipu menyiksa diri)
untuk mengelabui orang luar, untuk ini kamu tidak boleh berkeluh kesah kepada
siapa pun juga.”
Goan-ci menjadi ragu, sahutnya
kemudian. "Aku tidak berbuat kesalahan apa-apa, kenapa Suhu mesti
menghajar diriku?”
Polo Singh menjadi gusar,
tiba-tiba sorot matanya menjadi bengis, katanya, "Kamu tidak mau, boleh
juga!”
Mendadak ia menggebrak tanah,
"bluk”, seketika jubin hijau kamar itu pecah berantakan hingga berwujud
sebuah cap tangan yang mendekuk, katanya, "Nah julurkan kepalamu ke sini
biar kuhantam tiga kali kepalamu itu!”
"He, he! Jangan, jangan!”
cepat Goan-ci minta ampun. "Kalau kau mau hantam, silahkan hantam benda
lain saja, kepalaku mana tahan digaplok tiga kali olehmu.”
Polo Singh tertawa, katanya,
"Makanya jangan membangkang! Nah, ingat dengan baik Sirohasak, wasnoderangpojlain,
hindi, taalitualul sanluluosaru, manifisamo ….”
Begtulah ia mengoceh panjang
lebar entah apa maksudnya, dan akhirnya ia berkata pula, "Nah, cukup
sekian dulu, coba sekarang kau apalkan.”
Sudah tentu Goan-ci melongo
bingung, bahasa asing yang panjang lebar tak diketahui artinya itu jangankan
disuruh mengapalkan seluruhnya atau sebagian, bahkan satu kalimatpun ia tak
becus.
Maka ketika Polo Singh
mendesaknya lagi, paling-paling ia hanya dapat mengucapkan, "Si …si..si …”
dan tak tak dapat meneruskan lagi.
Polo Singh menjadi gusar,
kontan saja ia persen Goan-ci dengan sekali jotos hingga pemuda itu terpental
dan menumbuk dinding, hampir Goan-ci jatuh kelenger karena hantaman itu.
"Siaucat, sudah kuajarkan
sekian lama, masakah sedikit pun kamu tidak ingat?” demikian Polo Singh
mendamprat.
"Aku …. aku tidak paham
apa yang diucapkan suhu, maka tidak dapat menirukan, "sahut Goan-ci sambil
memegangi dagunya yang ditoyor itu dan berbangkit.
Beralasan juga pikir Polo
Singh, maka katanya pula, "Baiklah. Memang benar juga, tidak paham
artinya, sudah tentu susah mengingatnya, marilah kuajarkan padamu.”
Lalu ia suruh Goan-ci
mengumpulkan suatu tumpuk tanah kering dan diratakan di lantai, lalu ia mulai
menulis dengan jari hingga berupa tiga huruf aneh, kemudian ia berkata kepada
Goan-ci, "Nah, ikut melafalkan : A be r!”
Polo Singh bergirang, kembali
ia mengajarkan tiga huruf lagi padanya dan dapat diikuti Goan-ci dengan baik.
"Apakah artinya, suhu?”
tanya Goan-ci tiba-tiba.
"Hanya huruf biasa, tiada
artinya, "sahut Polo Sing. "Nah, coba ulangi lagi!”
Lalu ia mengajarkan pula tiga
huruf lain.
Tapi ketika kemudian ia suruh
Goan-ci melafalkan "A-be-r”, ternyata Goan-ci sudah lupa, keruan Polo
Singh jadi gemas, mendadak ia pegang Goan-ci dengan terjungkir, lalu
dikocok-kocok dengan sengit hingga isi perut Goan-ci hampir-hampir rontok
keluar.
"Sungguh sialan ketemu
orang goblok seperti kamu ini, "damprat Polo Singh dengan murka.
"Orang tolol semacammu, kalau suruh kuapalkan 36 jilid kitab pusaka,
sampai kapan baru dapat kauapalkan!”
Habis itu, tiba-tiba ia pegang
Goan-ci dan dilemparkan keluar pintu.
Keruan Goan-ci meringis
kesakitan. Ia pikir daripada bangun untuk dihajar lagi, lebih baik menggeletak
di sini saja. Maka sengaja ia tidak mau berbangkit.
Polo Singh menjadi kuatir
pemuda itu terbanting mampus, segera ia mendekati Goan-ci dan memayangna ke
dalam rumah, lalu ia bujuk dengan kata-kata manis agar pemuda itu belajar
dengan baik-baik. Kemudian ia mengajarkan tulisan lain pula.
Kuatir digebuk lagi, terpaksa
Goan-ci mengingat mati-matian huruf yang diajarkan Polo Singh itu. Akan tetapi
huruf yang diajarkan Polo Singh itu adalah tulisan Hindu Kuno atau Sansekerta,
hurufnya pelungkar-pelungker seperti cacing, pendek kata tulisan yang tidak
mirip tulisan, dan sudah tentu sukar untuk diingat.
Bila Goan-ci tulisan bagian
depan, tahu-tahu bagian belakang terlupa, kalau bagian belakang teringat dengan
baik, kembali bagian depan lupa lagi, jadi yang satu ingat, yang lain lupa,
yang lalu teringat kembali, yang tadi terlupa pula.
Tentu saja Polo Singh sangat
mendongkol, jika dia sudah murka, segera Goan-ci digebuk. Dan makin digebuk
Goan-ci makin bebal, dalam takut dan bingungnya, huruf-huruf yang sudah diingat
olehnya menjadi terlupa malah. Jadi ingin cepat malah menjadi cupat, keruan
Polo Singh makin uring-uringan.
Padahal bahasa Sansekerta
termasuk salah satu bahasa yang paling sulit dipelajari di dunia ini. Biarpun
orang yang cerdik pandai juga susah memahaminya dalam waktu singkat. Apalagi
dasar pembawaan Goan-ci memang bukan seorang cerdas, ditambah pula Polo Singh
ingin lekas berhasil, maka keadaan bukannya seperti yang diharapkan, sebalinya
tambah runyam.
Untung saja, sesudah hampir
sebulan, jelek-jelek dapatlah Goan-ci mengapalkan semua huruf pokok bahasa
sangsekerta yang diajarkan itu. Lalu mulai pula Polo Singh mengajarkan pemuda
itu membaca kalimat demi kalimat.
Begitulah dengan susah payah
terpaksa Goan-ci mesti mengalami siksaan lahir batin lagi, setiap kali ia
menderita dalam hal mengapalkan bahasa sansekerta itu, dalam mimpi di tengah
malam juga sering dia terjaga kaget. Dulu ia kenyang disiksa di negeri Liau,
tapi itu cuma siksaan lahirnya saja, siksaan badan belaka, sedangkan pikirannya
bebas lepas, apalagi kalau melihat si gadis pujaannya si A Ci lagi tertawa
menggiurkan, biarpun derita sengsara bagaimanapun juga tak terpikir olehnya.
Sekarang ia tersiksa rohani,
otaknya penuh diisi dengan huruf cacing oleh Polo Singh yang susah dipahami
itu, hal ini dirasakan jauh lebih sengsara daripada tersiksa badaniah.
Untuk mana beberapa kali ia
bermaksud menceritakan kesusahannya itu kepada Yan-kin, tapi setiap kali bila
ia akan membuka mulut tentu Yan-kin mendamprat lebih dulu, "Siaucat, baru
diajar sedikit saja lantas berkeluh kesahya? Apa yang ditugaskan oleh atasanmu,
betapa sulitnya juga mesti kau lakukan. Kata sang Budha, "Aku tidak masuk
neraka, siapa ang mau masuk neraka? Coba masuk neraka saja beliau lakukan,
sedangkan kamu cuma digebuk orang saja sudah mengeluh. Mengapa kamu tidak
meniru jiwa sang Budha yang luhur itu, korbankan dirimu bagi sesamamu!”
Begitulah maka akhirnya
Goan-ci tidak berani mengeluh lagi, terpaksa ia belajar bahasa Sangsekerta itu
dengan mati-matian.
Mungkin juga sudah suratan
nasib. Pada suatu malam selagi dia berkemas hendak tidur, tiba-tiba ia dapat
meraba kitab yang terbungkus kertas minyak dan tersimpan di dalam bajunya itu.
Tiba-tiba teringat olehnya, "He, tulisan dalam kitab ini mirip tulisan
yang kupelajari sekarang dari suhu itu.”
Cepat ia buka kitab itu, benar
juga, segera ia kenal dua huruf diantaranya, huruf yang satu adalah angka satu
dan huruf yang lain adalah angka tiga …
Seketika Goan-ci sangat
tertarik dan semangat belajarnya terbangkit, pikirnya, "Apa yang tertulis
dalam kitab ini sedikitpun aku tidak paham, bila aku sudah belajar bahasa Hindu
Kuno, sudah tentu aku dapat membacanya. Kitab ini adalah penolong jiwaku, tempo
hari waktu si nona A Ci memaksa aku melolohi lebang dengan darahku, berkat
kitab inilah jiwaku dapat diselamatkan. Tampaknya apa-apa yang tertulis dalam
kitab ini sangat besar manfaatnya.”
Begitulah demi tahu akan
kegunaannya, maka ia tidak merasa susah lagi untuk belajar bahasa Sangsekerta
itu, sebaliknya ia mulai belajar dengan lebih giat. Sebisanya ia ingat dengan
baik-baik dengan harapan dalam waktu singkat akan dapat membaca kitab itu
dengan jelas.
Ia merasa apa yang tercatat
dalam kitab itu tentu adalah sesuatu yang hebat dan sekali-kali tidak boleh
diketahui oleh Polo Singh,
hanya pada waktu akan tidur saja ia suka membalik-balik kitab itu untuk
mebacanya sebentar. Dan pada waktu membaca tulisannya, dengan sendirinya ia pun
melihat gambar orang-orangan yang terlukis di samping tulisan-tulisanitu,
pikiran menimbulkan hasrat, otomatis ia lantas melakukan cara yang dilihatnya
dari garis-garis kuning halus yang terdapat dalam lukisan itu.
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa kitab itu adalah "Ih-kin-keng ciptaan Tat-mo Loco, "itu cikal
bakal Siau-lim-si yang termashur, kitab itu boleh dikatakan merupakan pusaka
yang tak ternilai dalam dunia persilatan.
Caranya Goan-ci memahami
Ih-kin-keng itu ada baiknya juga. Sebab kalau orang sengaja dan tekun
mempelajari Ih-kin-keng, justru hasilnya akan nihil. Sebalikna bila memahami
secara acuh tak acuh. Hasilnya justru menakjubkan.
Sebab itu meski selama ratusan
tahun banyak hwesio pandai Siau-lim-si mempelajari Ih-kin-keng secara tekun,
hasilnya malah tidak kelihatan. Hanya sekali peristiwa yaitu kira-kira seratus
tahun yang lalu, pernah Siau-limsi mengeluarkan seorang hwesio sakti.
Orang itu sejak kecil sudah
menjadi hwesio wataknya angin-anginan dan setengah sinting. Gurunya tidak
berhasil meyakinkan Ih-kin-keng dan meninggal pada saat melakukan meditasi,
kebetulan hwesio sinting itu menunggu di samping sang guru dan tanpa sengaja ia
ambil Ih-kin-keng itu dan dibacanya secara acuh tak acuh. Eh siapa duga
akhirnya ia menjadi seorang jago sakti.
Ketika ditanya dari mana ia
memperoleh ilmu silat setinggi itu? Sampai mati pun ia tidak dapat menerangkan,
orang luarjuga tidak tahu bahwa itu adalah jasa dari Ih-kin-keng.
Kini Goan-ci membaca kitab
pusaka itu secara tidak sengaja, tanpa terasa dasar ilmu silatnya makin hari
makin kuat, jalan yang ditempuhnya itu tak lain tak bukan adalah arah yang
pernah dilakukan hwesio sinting dahulu itu.
Bahasa sansekerta itu memang
sangat ruwet dan sulit di pelajari, terutama mengenai tata bahasanya. Tapi
untung juga disebabkan bahasa sangsekerta itu susah dipelajari, maka Goan-ci
tidak dapat memahami tulisan dalam kitab itu dengan baik, hanya pada waktu
malam ia belajar menirukan garis-garis dalam lukisan itu.
Semula ia hanya menirukan
secara iseng saja, tapi setengah bulan kemudian, terasalah jalur hawa dingin
mengalir kian kemari dalam tubuh menurut bagian yang dilalui garis lukisan itu,
dan dimana garis dingin itu sampai, disitu lantas terasa segar sekali.
Maka tanpa pikir panjang
segala akibatnya, asal ada tempo luang, untuk seterusnya Goan-ci lantas
melakukannya, sampai akhirnya
tanpa membaca kitab juga dia sudah apal jalan yang dilalui oleh garis yang
menyegarkan badan itu, biarpun waktu malam, waktu kerja dan membaca, hawa murni
itu tetap jalan terus tanpa berhenti.
Terkadang kalau jalur dingin
dalam tubuh itu macet, tak dapat jalan menurut lukisan, maka untuk sementara
Goan-ci mengesampingkannya. Aneh juga, lewat beberapa hari kemudian, otomatis
jalan itu tembus dengan lancar….
Sang tempo berlalu dengan
cepat, tanpa terasa sudah lebih setahun Goan-ci berada di Siau-lim-si. Semula
ia juga ingin memahami bahasa Sangsekerta. Agar apa yang tertulis di dalam
kitab itu dapat dipelajarinya denganbaik. Tapi karena makin lama makin sukar,
bukan mustahil belajar sampai tua juga belum pandai, akhirnya ia batalkan
niatnya.
Polo Sing sendiri juga putus
asa menghadapi murid yang bandel lagi goblok itu. Saking gemasnya seringkali ia
hanya memberi gebukan saja dan tidak mengajar lagi pada Goan-ci.
Tapi hal mana kebetulan malah
bagi Goan-ci. Ia terima gebukan-gebukan itu dengan diam saja. Ia merasa pukulan
dan tendangan Polo Singh itu makin lama makin tidak terasa sakit, sampai
akhirnya hanya terasa gatal-gatal kesemutan saja, sedikitpun tidak sakit lagi.
Ia sangka Polo SIngh sudah
bosan menghajarnya hingga cara memukulnya tidak sungguh-sungguh, padahal tenaga
dalamnya yang kini sudah terpupuk sangat kuat, tanpa terasa lantas menimbulkan
daya tahan baginya.
Suatu petang, kembali Polo
Singh mengajarkan "huruf asing” kepada Yu Goan-ci dan sudah tentu tetap
tidak masuk otak pemuda itu. Dalam gusarnya Polo Singh menggebuki lagi pemuda
itu. Sesudah Goan-ci pergi, Polo Singh menjadi berduka dan menyesal.
Ia sendiri sudah terang berada
dalam tahanan dan di bawah pengawasan hwesio Siau-lim-si dan sukar pulang ke
tanah air, maka ia bermaksud mengajarkan Yu Goan-ci dengan bahasa Sangsekerta
untuk mengapalkan kitab, lalu pemuda itu akan dikirim ke Thian-tiok untuk
menyampaikan isi kitab yang sudah diapalkannya itu, dengan demikian walaupun ia
terkubur di negeri orang lain dalam menunaikan kewajibannya atas perintah guru,
namun dia juga sudah berjasa bagi perguruannya, diperolehnya kembali
kitab-kitab pusaka yang sudah lama hilang itu.
Celakanya Thi-thau-jin yang
diajarnya itu goblok seperti kerbau, meski sudah lebih setahun satu jilid kitab
saja belum dapat mengapalkan, jangankan hendak disuruh mengapalkan 36 jilid
kitab itu. Tampaknya sampai ajalnya juga sukar terkabul cita-citanya itu. Dalam
dukanya, sungguh Polo Singh ingin menangis sepuaspuasnya.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong
dari jauh terdengar kumandang suara seruling yang sangat aneh
Sementara itu lwekang Goan-ci
sudah sangat tinggi, maka dengan sendirinya panca indranya juga sangat tajam.
Segera suara seruling itu didengar juga olehnya. Padahal biasanya suasana Siau-lim-si
itu tenang sunyi, selamanya tidak pernah terdengar suara alat musik, dari
manakah datangnya suara seruling itu?
Meski Goan-ci tidak paham seni
musik, tapi ia dapat mendengar suara seruling itu terkadang putus, lalu
menyambung lagi, tiba-tiba melengking tajam, lain saat nadanya rendah, suaranya
sangat aneh.
Selagi Goan-ci merasa heran,
tiba-tiba didengarnya di kamar Polo Singh juga berkumandang suara seruling yang
serupa. Waktu ia mengintip, ia lihat Polo Singh memegang sebatang seruling
pendek dan sedang meniupnya. Tapi hanya tiga kali padri asing itu meniup
serulingnya lalu seruling itu disimpan ke dalam baju, air mukanya tampak
berseri-seri girang. Lalu orangnya berbaring dan dapat tidur nyenyak.
Sejak kenal Polo Singh belum
pernah Goan-ci melihat padri itu sedemikian gembira. Pikirnya "Suara
seruling ini tentu mengandung arti yang penting. Jangan-jangan ada kawannya
dari Thian-tiok yang hendak menolongnya?”
Suara seruling tadi di dengar
oleh Goan-ci dengan sendirinya dapat juga didengar oleh para hwesio sakti
Siaulim-si. Segera Hongtiang memberi perintah agar penjagaan diperkeras untuk
menghadapi kemungkinan diserbu musuh, berbareng itu pengawasan kepada Polo
Singh juga bertambah keras agar tawanan itu tidak sampai lolos.
Siapa tahu, setengah bulan
sudah lalu, keadaan tetap aman tentram saja, maka penjagaan dalam siau-lim-si
lambat laun menjadi kendor.
Suatu malam, tengah Goan-ci
tidur dengan nyenyak, sekonyong-konyong ia terjaga bangun oleh suara
mendesis-desis yang sangat perlahan dan aneh. Dasar lwekang Yu Goan-ci sekarang
memang sangat kuat, pula sejak kecil ia suka main binatang ular dan serangga,
maka suara mendesis itu segera dikenalnya sebagai suara ular yang sedang
mengamuk. Cepat ia bangkit duduk dan kembali didengarnya suara mendesis-desis
beberapa kali, kini dapat diketahuinya dangan baik bahwa suara itu datang dari
kamar sebelah.
Baru Goan-ci bermaksud berseru
untuk memperingatkan Polo Singh, namun belum sempat ia buka mulut atau
tiba-tiba terdengar pula beberapa kali suara seruling yang sama seperti suara
seruling yang ditiup Polo Singh pada setengah bulan yang lalu itu.
Dengan heran Goan-ci mengintip
lagi ke kamar sebelah, ia menjadi kaget dan merinding ternyata di dalam kamar
Polo Singh itu telah penuh berbagai jenis ular berbisa yang tak terhitung
banyaknya, setiap ekor ular itu sama menegak sambil menjulurkan lidah hingga
mengeluarkan suara mendesis-desis.
"Wah, celaka! Cara
bagaimana aku harus menolongnya?” demikian Goan-ci mengeluh. Tapi ketika ia
perhatikan lagi, ia lihat kawanan ular berbisa itu sama meringkuk kira-kira dua
meter di sekeliling tempat duduk Polo Singh, meski kawanan ular itu
berjubel-jubel, namun tiada seekor pun yang berani melanggar lingkaran di
sekitar padri itu.
Goan-ci sudah pernah
menyaksikan Sam-ceng menggaris suatu lingkaran obat untuk mengurung ulat sutra
putih tempo hari.. Maka ia menduga Polo Singh pasti juga menggunakan obat anti
ular itu disekelilingnya itu. Maka ia tidak kuatir lagi, ia sama tetap tidak
paham dari manakah mendadak bisa banjir ular berbisa sebanyak itu.
Kemudian dilihatnya Polo Singh
mulai meniup serulingnya lagi, suara serulingnya sangat alem dan merdu.
Diantara beratus-ratus ekor ular itu tiba-tiba ada dua ekor ular berbisa warna
kuning tampak menegak ke atas, kepala ular itu bergerak-gerak kian kemari
mengikuti irama seruling. Sebaliknya ular-ular lain yang beraneka ragamnya itu
hanya diam saja. Dalam pada itu gerak-gerik yang menyerupai sedang menari dari
kedua ekor ular kuning tadi tampak semakin nyata.
Lalu suara seruling yang
ditiup Polo Singh itu makin keras, segera ada beberapa ekor ular itu merayap
keluar kamar, menyusul belasan ekor yang lain juga ikut merayap keluar.
Maka terdengar suara jeritan
kaget orang di luar kamar, "He, ada ular! Ada ular!”
Lalu yang lain berseru,
"Wah, ular sebanyak ini, mungkin padri Thian-tok itu sudah digigit mati
oleh ular-ular ini!”
"Ya, ya! Lekas lapor
kepada Hian-lun supek!” demikian kata yang lain.
Dalam pada itu kedua ekor ular
kuning itu masih terus menari dengan cepat, semakin keras tiupan suling Polo
Singh, semakin banyak ular yang merayap keluarkamar, mungkin karena tidak tahan
oleh getaran suara seruling itu hingga sama menyingkir pergi. Hanya kedua ekor
ular kuning itu yang sangat bersemangat, kepala mereka menegak, hanya ekor yang
digunakan untuk menahan tubuh sambil bergoyang-goyang.
Selang sebentar lagi, tiupan
Polo Singh semakin cepat hingga dia sendiri sampai megap-megap. Sedangkan
kawanan ular sudah merayap keluar semua, hanya tinggal kedua ekor ular kuning
itu yang masih berputar-putar
dan bergoyang dengan cepat.
Mendadak bluk sekali, seekor
ular kuning ia tidak tahan dan menggeletak ditanah, menyusul seekor lagi juga
jatuh ke tanah sambil kelejetan.
Polo Singh berhenti meniup
seruling. Segera ia pegang seekor ular kuning itu, ia gunakan sepotong kain
tebel yang sudah disiapkan untuk membungkus kepala ular, lalu ia balik perut
ular ke atas, ia keluarkan sebilah pisau kecil, ia belah satu garis panjang lima-enam
senti pada perut ular itu, kemudian perut ular itu dipencetnya beberapa kali,
akhirnya dikeluarkannya sebatang tabung kecil sepanjang beberapa senti. Tabung
itu mirip potongan batang padi, hanya lebih besar sedikit.
Tangan Polo Singh tampak sedikit
gemetar, cepat ia belah tabung itu, dan ternyata di tengah tabung itu ada
isinya. Ketika isi itu dibuka, kira secarik kertas yang sangat tipis, diatas
kertas putih tertulis huruf aneh.
Goan-ci menjadi heran, ketika
ia mengintip lebih cermat, ia lihat huruf-huruf di atas kertas kecil itu adalah
tulisan sangsekerta. Maka tahulah dia, tentu ular itu adalah penghubung yang
dikirim oleh kawannya.
Dalam pada itu Polo Singh
sedang membelah perut ular satunya lagi dengan cara yang sama dari dalam perut
ular kembali dikeluarkan lagi sebuah tabung kecil dan terisi secarik kertas
juga.
Waktu Goan-ci perhatikan, ia
lihat tulisan kertas kedua ini agak mirip dengan kertas pertama. Benar juga,
hanya sekilas baca saja lantas Polo Singh menaruh kertas itu disampingnya.
Goan-ci membatin, "Cara
mengatur kawannya benar-benar sangat hati-hati, dengan menggunakan dua ekor
ular, mereka yakin salah seekor tentu dapat menyampaikan surat itu, andaikan
seekor lainnya tidak sampai tempat tujuan.”
Lalu terlihat Polo Singh
mengeluarkan dua carik kertas tipis, dari bawah tikar, ia gunakan arak untuk
menulis, kemudian kertas-kertas itu dimasukkan juga ke dalam tabung dan
disembunyikan lagi ke dalam perut ular. Ia robek dua potong kain untuk membalut
luka di perut ular itu, habis itu, ia buka daun jendela dan melepaskan seekor
ular kuning itu ke semak-semak.
Selagi ia hendak melepaskan
ular yang lain, sekonyong-konyong daun pintu di dobrak orang dengan tenaga
pukulan yang dahsyat hingga terpentang, dibawah sinar lilin yang bergoyang,
tahu-tahu di dalam kamar sudah bertambah empat hwesio tua. Dari jauh tangan
hwesio di sebelah kiri sana memotong lengan kanan Polo Singh hingga
mengeluarkan suara angin yang keras.
Rupanya lengan Polo Singh tak
tahan hingga ular kuning kedua yang belum sempat dilepaskan itu jatuh ke tanah.
Berulang-ulang hwesio disebelah kiri iu menjentik lagi dan setiap kali ia
menjentik, ular kuning itu pun melonjak sekali. Sesudah menjentik tujuh atau
delapan kali, kepala ular itu tampak bengkok, menyusul lantas hancur dan mati.
Sungguh kejut Goan-ci tak
terkatakan, ilmu sakti hwesio tua itu ternyata sedemikian lihainya, hanya
menjentik dari jauh saja sudah dapat membunuh ular berbisa itu.
Kemudian terdengar hwesio yang
memukul dari jauh itu berkata dengan nada dingin, "Mengingat sesama murid
Budha, kami sudah memberi kelonggaran kepada segala dosa suheng, mengapa
sekarang suheng sengaja mendatangkan ular sebanyak ini untuk mengganggu
ketentraman tempat suci kami ini? Bukankah perbuatan suheng ini agak keterlaluan?”
Tapi Polo Singh diam saja, ia
pejamkan mata dan merangkap tangan di depan dada, sama sekali ia tidak ambil
pusing teguran itu.
"Bukan mustahil ada
sesuatu yang tidak beres pada ular ini, "kata hwesio tua yang lain,
"Sim Cong, coba bawa ular ini dan periksa dengan teliti, mengapa badan
ular itu dibalut sepotong kain?”
Mendengar itu, Polo Singh
sadar usahanya sudah gagal, sekali bergerak, segera ia menghantam ke arah ular
mati itu.
Tapi berbareng hwesio tua
satunya lagi yang berdiri di dekat pintu juga mengebaskan lengan bajunya hingga
serangkum angin keras tepat menahan angin pukulan Polo Singh, seketika padamlah
api lilin.
Segera masuklah seorang hwesio
setengah umur, yaitu Sim Cong, ia jemput ular mati itu dan mengundurkan diri.
Kemudian keempat hwesio itu
bersabda berbareng, "Siancai! Siancai!”
Lengan jubah kanan mereka
mengebas sekaligus, ketika angin menderu hebat, tahu-tahu daun pintu terlepas
dari engselnya dan mencelat keluar hingga jauh.
Menyusul keempat hwesio itu
lantas melompat keluar. Mengingat pintu yang tidak terlalu lebar itu, tapi
keempat padri itu dapat melayang keluar berbareng tanpa desak mendesak, suatu
tanda betapa lihai ginkang mereka.
Sungguh tak tersangka oleh
Goan-ci bahwa kepandaian para hwesio itu sedemikian lihainya bahkan musuh
besarnya, yaitu Kiau Hong yang dianggapnya mempunyai kepandaian tiada
tandingannya, kalau dibanding dengan beberapa hwesio tua ini mungkin masih
kalah jauh.
Pada lwekang keempat hwesio
ini meski sangat tinggi, tapi kalau dibandingkan ilmu sakti Siau Hong yang
hebat itu, selisihnya sebenarnya masih sangat jauh. Bahkan lwekang Goan-ci
sendiri sekarang juga sudah lebih hebat daripada keempat hwesio tua itu, cuma
saja ia sendiri tidak sadar.
Dalam pada itu sesudah keempat
hwesio tua tadi pergi, karena daun pintunyo copot, angin malam lantas meniup
silir ke dalam kamar.
Polo Singh yakin sekali ular
kuning mati itu sudah dirampas padri Siau-lim-si, tentu diantara mereka ada
yang kenal bahasa Sangsekerta dan rahasianya pasti akan terbongkar. Dengan
demikian usahanya agar dapat pulang negeri asalnya menjadi gagal sama sekali.
Makin dipikir Polo Singh makin merasa sedih hingga akhirnya ia menangis
menggerung-gerung.
Mendengar suara tangisan orang
memilukan itu, Goan-ci merasa tidak tega. Segera ia menghiburnya, "Suhu,
meski salah seekor ularmu terbunuh, toh ular yang satu lagi dapat lolos dan
tentu beritamu akan sampai di tempat tujuan, buat apa engkau merasa sedih
pula?”
Seketika Polo Singh berhenti
menangis oleh teguran itu, katanya, "Kem .. kemarilah kau!”
Goan-ci menurut ia datang ke
kamar Polo Singh, katanya, "Biarlah kubetulkan daun pintumu itu!”
"Nanti dulu, "kata
Polo Singh. "Darimana kau tahu masih ada seekor ularku yang berhasil
lolos?”
"Aku menyaksikan sendiri,
kulihat engkau memasukkan secarik kertas ke dalam tabung kecil dan
disembunyikan dalam perut ular itu, "sahut Goan-ci.
"Hm, janganlah kau
salahkan aku, sekali kau tahu rahasiaku, maka tak bisa kuampunimu lagi,” kata
Polo Singh tiba-tiba. Mendadak ia menubruk maju, ia tunggangi punggung Yu
Goan-ci sambil mencekik lehernya dengan
kuat.
Goan-ci ingin berteriak, tapi
karena tercekik, ia tak bisa bersuara. Ia merasa jeri orang bagaikan kaitan
kuatnya, makin lama makin kencang kesakitan.
Ia sudah biasa dianiaya orang,
maka sama sekali tidak pikiran buat melawan, hanya dalam hati ia memohon,
"Suhu, lepaskan tanganmu, tentang ularmu yang sudah lari itu takkan
diberitakan kepada siapapun.”
Tapi karena dia tak bisa
bersuara, dengan sendirinya Polo Singh tak mendengar apa-apa. Padahal biarpun
dengar juga tidak nanti orang mengampuni dia.
Dalam keadaan tak bersuara,
dengan sendirinya Polo Singh tak mendengar apa-apa. Padahal biarpun dengar juga
tidak nanti orang mengampuni dia.
Dalam keadaan tak berdaya dan
takut kaki Goan-ci menjadi lemas dan tekuk lutut. Tapi Polo Singh menindih di
atas tubuhnya sambil mencekik terlebih keras.
Lambat-laun Goan-ci merasa
pandangannya menjadi gelap, katanya dalam hati, "Tamatlah riwayatku sekali
ini.”
Untung pada saat itu juga
tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang berdehem, lalu berkata, "Polo
Singh suheng, kejahatan apa lagi yang sedang kau lakukan?”
Melihat ada dua hwesio masuk
ke kamarnya terpaksa Polo Singh melepaskan Goan-ci katanya dengan marahmarah,
"Ada keperluan apa kalian datang ke sini,”
Tapi kedua padri Siau-lim-si
itu tidak menjawab. Satu diantaranya lantas mundur dan bersembunyi di belakang
kawannya, lalu ia haturkan secarik kertas dan membaca beberapa kalimat yang tak
diketahui apa artinya, kemudian ia berkata. "Dalam suratmu ini kauminta
agar pada malam bulan purnama nanti supaya kamu dijemput. Tapi, hehehe, sayang.
Sungguh sayang!”
"Sayang apa?” sahut Polo
Singh dengan gusar.
"Sayang karena usahamu
ini kepergok hingga suratmu ini dapat kami rampas, "kata padri itu.
"Kalian ini manusia tak
kenal budi, bangsa kalian mengambil kitab dari negeri kami, sejak itu kalian
kangkangi sebagai milik sendiri, "damprat Polo Singh. "Padahal aku
cuma pinjam barang yang berasal dari negeri kami sendiri, namun kalian sengaja
mempersulit padaku. Minta air harus ingat sumbernya. Seharusnya kalian juga
mesti ingat dari manakah asal-usul kitab yang ingin kubaca itu.”
"Jika kitab yang hendak
di baca Suheng itu adalah kitab kuno berasal dari Thian-tiok, sekali-kali kami
takkan merintangi maksudmu itu, jangankan hanya membaca, sekalipun hendak
menyalinnya juga Siau-lim-si bersedia membantu, "sahut Hwesio Siau-lim-si
itu. "Tetapi apa yang diincar suheng itu adalah intisari ilmu silat hasil
jerih payah padri saleh siau-lim-pai selama turun menurun ini, maka
persoalannya menjadi tidak sama seperti apa yang dikatakan olehmu itu.”
"Kitab yang kubaca itu
bahasa Hindu, apakah padri bangsa kalian bisa menulisnya dengan huruf Hindu?”
sahut Polo Singh dengan gusar.
"Ya, anehnya urusan
justru terletak disini.. ” ujar padri Siau-lim-si itu.
Sampai disini, Goan-ci tidak
minat buat mendengarkan perdebatan mereka itu. Ia pikir daripada nanti mati
konyol dibunuh oleh padri asing itu, lebih baik sekarang juga aku melarikan
diri.
Segera ia menyusur hutan bambu
dan keluar dari kebun sayur sana. Ia lihat di sekitar situ tiada seorang pun,
segera ia lari ke pegunungan di belakang Siau-lim-si itu.
Makin lari cepat hingga dalam
sekejap saja ia sudah melintasi dua lereng bukit. Ia merasakan kaki sangat
enteng, langkahnya cepat, dengan mudah saja ia meninggalkan Siau-lim-si hingga
jauh.
Ketika ia berhenti sejenak, ia
sendiri menjadi heran, sesudah berlari-lari sekian lama sedikitpun tidak merasa
lelah.
Ia tidak tahu bahwa sejak
melatih "Ih-kin-keng”, selama beberapa bulan ini tenaga dalamnya sudah
terpupuk sangat kuat, Yu Goan-ci kini bukan lagi Yu Goan-ci yang dulu. Soalnya
ia tidak pernah keluar dari biara itu sehingga lwekangnya yang sudah terpupuk
kuat itu tidak diketahuinya sama sekali.
Ia pikir saat itu bukan
mustahil dirinya sedang dicari Polo Singh atau Yan-kin, kalau tidak bertemu,
tentu akan gempar dan mereka pasti akan mengejarnya. Dan bila tertangkap
kembali ke siau-lim-si, pasti celakalah dia. Maka segera Goan-ci tancap gas
lagi, ia lari lebih cepat seperti orang kesetanan.
Larinya itu tidak memilih
jalan dan membedakan arah lagi, yang dituju adalah hutan belukar yang sepi,
semakin jauh meninggalkan siau-lim-si semakin baik baginya. Maka sekaligus
tanpa berhenti ia lari hingga lebih dua jam lamanya. Ketika ia berpaling, ia
lihat Siau-lim-si sudah tertutup oleh berlapis-lapis lereng gunung, barulah
hatinya agak lega.
Untuk mengaso, ia menyusup ke
dalam semak-semak rumput ia dengar di sekitarnya sunyi senyap. Untuk sejenak ia
ingin rebah. Tapi tiba-tiba dari arah barat laut sana didengarnya suara
seruling yang melengking tajam.
Kejut Goan-ci tak terkira,
suara seruling itu serupa dengan suara seruling yang ditiup Polo Singh, yaitu
pada waktu padri itu mengundang ular-ular berbisa. Ia bermaksud berbangkit
untuk melarikan diri lagi, tapi entah mengapa, kakinya terpaku di situ. Ia
menjadi bingung.
Rupanya saking ketakutan
hingga kaki terasa lemas, maka ia tidak dapat menguasai kakinya lagi.
Sementara itu suara seruling
tadi makin dekat. Ketika Goan-ci mengintip dari tempat sembunyinya, dilihatnya
dari sana muncul belasan padri asing berjubah kuning, lengan kiri mereka
telanjang di luar jubah, semuanya bermuka hitam dan bermata celong, terang
kawanan padri ini adalah sebangsa dengan Polo Singh.
Setiba di tanah landai sebelah
kiri sana, padri-padri asing itu lantas duduk bersila, empat orang menjadi satu
baris, semuanya ada empat baris, jumlahnya menjadi 16 orang.
Diam-diam Goan-ci heran,
hendak berbuat apakah ke-16 padri asing ini berada di tempat sunyi itu? Ia
menjadi kuatir jangan-jangan dirinya yang sedang dicari mereka.
Walaupun keadaan sebenarnya
tidak begitu, tapi rupanya Goan-ci sudah kapok hingga sedikitpun ia tidak
berani bergerak di tempat sembunyinya.
Ia lihat sesudah ke 16 orang
itu duduk, lalu mereka berkomat-kamit, semula tidak terdengar, tapi lambat laun
bertambah keras, hingga akhirnya Goan-ci dapat mendengar apa yang disuarakan
mereka adalah sebangsa mantera Hindu.
Makin lama makin keras mantera
yang dibaca padri-padri asing itu, mantera yang dibaca ke 16 orang itu sama dan
senada. Ditengah suara mantera yang makin keras itu, tiba-tiba terdengar suara
mendesis-desis dari arah timur laut sana, suaranya lirih, tapi menyeramkan
hingga mendirikan bulu roma bagi yang mendengar.
Begitu suara mendesis itu
berjangkit, seketika suara mantera ke 16 padri asing itu agak kacau, tapi
segera mereka dapat memulihkan paduan suara yang senada. Ketika suara
menyeramkan tadi mendesis-desis dua kali lagi, kembali suara mantera padri
asing dikacaukan pula.
Waktu Goan-ci memperhatikan
wajah padri asing itu, ia lihat ada diantaranya mengunjuk rasa gusar, ada pula
yang merasa kuatir. Tiba-tiba suara mantera mereka berubah, mereka terbagi
menjadi dua kelompok hingga mantera yang mereka baca juga terbagi menjadi dua
macam.
Sekonyong-konyong suara
mendesis seram tadi juga berubah menjadi "desas-desis”, maka mantera padri
asing itu kembali kacau lagi, segera mereka membagi diri pula menjadi empat
kelompok hingga mantera yang dibaca mereka sekarang ada empat macam.
Melihat gelagat itu, dapatlah
Goan-ci menduga bahwa padri-padri asing itu sedang mengadu ilmu dengan pihak
lain. Dan siapakah lawan mereka? Dengan sendirinya adalah hwesio Siau-lim-si.
Tentu padri-padri asing ini hendak menolong Polo Singh yang ditahan secara
halus di Siau-lim-si itu tapi hwesio Siau-lim-si tetap tidak mau membebaskan
Polo Singh.
Tapi yang diduga Goan-ci
lantas dibantah oleh kenyataan, tiba-tiba dilihatnya dari arah timur-laut sana
muncul suatu rombongan orang. Berdiri di tengah-tengah adalah seorang kakek
yang berperawakan tinggi besar, sedikitnya lebih tinggi dua puluh senti dari
pada orang-orang disekitarnya hingga kelihatan sangat menyolok.
Dari mulut kakek itulah
bersiul suara desas-desis yang menyeramkan tadi.
Rombongan orang itu semuanya
memakai baju kain belacu kuning setiap orang membawa toya baja yang panjang
tinggi besar. Sebaliknya kakek itu enak-enak mengipas dengan sebuah kipas bulu
angsa putih yang lebar. Air muka kakek itu merah bercahaya, halus lagi seperti
anak muda, sebaliknya rambutnya sudah beruban semua, begitu pula jenggotnya
yang panjang itu sudah memutih perak. Muka muda rambut tua, jadi mirip benar
dengan malaikat dewata yang sering dilukiskan dalam gambar.
Kira-kira belasan meter
jauhnya rombongan orang itu mendekati padri-padri asing itu, lalu berhenti.
Ketika si kakek bersuit dengan kuatnya hingga mengeluarkan suara melengking
tajam maka padri-padri asing itu tidak tahan lagi, tiga di antaranya yang
berilmu yang lebih cetek kontan roboh.
Kemudian si kakek
goyang-goyang kipasnya beberapa kali, ketiak ia bersuit pula beberapa kali lalu
mengebas dengan kipasnya hingga suara suitan itu ditiup ke depan, kontan empat
padri asing diantaranya roboh pula.
Dengan demikian, maka mantera
yang dibaca padri-padri asing itu menjadi kacau balau
Sisa kesembilan padri itu
masih bertahan sekuat tenaga, mendadak mereka menjungkir dengan kepala di bawah
dan kaki di atas terus berputar dengan cepat.
Goan-ci pernah menyaksika Polo
Singh melawan empat hwesio tua Siau-lim-si dengan cara menjungkir seperti itu,
ia tahu ilmu jungkir (Yoga) yang dimainkan mereka itu sangat hebat.
Tapi si kakek tersenyum saja,
ia incar dengan baik, bila ada kesempatan, segera ia bersuit sekali dan kontan
pasti ada padri di pihak lawan yang roboh atau bergoyang-goyang, kemudian
berputar cepat lagi. Suara suitan si kakek mirip semacam am-gi atau senjata
gelap yang tak berwujud. Maka hanya sebentar saja diantara sembilan padri itu
kembali ada empat orang roboh lagi.
Serentak terdengarlah suara
puja-puji orang di sekeliling si kakek, ada yang memuji ilmu sakti guru mereka
yang dikatakan tiada tandingannya. Ada yang mengejek pihak lawan sebagai
kunang-kunang yang berani berlomba dengan sinar matahari. Pendek kata puji
sanjung mereka itu muluk-muluk seakan-akan guru mereka adalah malaikat dewata
yang maha sakti.
Ditengah sorak puji yang
berisik itu, asalkan kakek bersuit, seketika lengking tajam suara suitan itu
memecahkan suara berisik dan tampaknya sebentar lagi sisa padri asing yang lain
pasti akan dirobohkan seluruhnya.
"Tit-tit-tit”, tiba-tiba
diantara padri asing itu ada yang mengeluarkan suara seruling yang aneh. Ketika
Goan-ci memperhatikan, dilihatnya seorang diantara kelima padri yang masih
menjungkir itu sedang meniup seruling, sekuatnya, sedangkan keempat orang
kawannya masih terus berputar dengan cepat sambil berjajar di depan padri yang
meniup seruling sebagai pengaling serangan suara suitan si kakek.
"Untuk apa dia meniup
seruling?” pikir Goan-ci heran.
Tapi segera ia dengar di temah
semak-semak di sebelah ada suara kresekan, seekor ular besar loreng merayap
tiba.
Goan-ci kenal ular itu sangat
berbisa. Tapi ia pun tahu meski manusia pada umumnya takut ular, tapi sebenarnya
segala binatang, termask ular, juga takut kepada manusia. Asal manusia tidak
mengganggu mereka, pada umumya ular juga takkan menyerang manusia.
Maka ia hanya meringkuk saja
di tengah semak-semak rumput itu tanpa bergerak sedikit pun. Ia lihat ular
berbisa besar itu merayap langsung ke arah si kakek.
Dan belum lagi ular itu
merayap keluar semak-semak rumput, sebagian anak murid si kakek sudah lantas
menjerit kaget, "Hai ada ular! Ada ular! Wah celaka! Dari manakah
datangnya ular sebanyak ini? Awas, Suhu, ular-ular berbisa ini seperti hendak
menyerang kita!”
Waktu Goan-ci memandang kearah
teriakan orang-orang itu, benar juga dilihatnya dari segenap penjuru sedang
membanjir tiba bermacam jenis ular berbisa yang besar dan kecil ke arah si
kakek dan rombongannya.
Keruan anak murid si kakek
menjadi panik segera banyak di antaranya berteriak-teriak pula, "Wah,
celaka! Sayang pusaka kita anti ular 'Pek-giok-giok-ting' tiada berada disini!”
"Ya, si budak maling A Ci
itu bila kelak kita bekuk, kita harus cencang dia hingga hancur lebur!”
"Benar, kalau
Pek-giok-giok ting itu tidak dicuri oelh si budak setan A Ci itu, tentu kita ..
ah tidak perlu banyak cingcong, lekas bunuh ular! Wah, celaka! Dari sana datang
lagi ular yang lebih besar! Lekas bunuh! Lekas!”
Mendengar nama A Ci
disinggung, juga nama A Ci dihubungkan dengan "Giok-ting”, katanya
Giok-ting itu adalah pusaka anti ular, maka tergetarlah hati Goan-ci, terang A
Ci yang dimaksudkan mereka adalah si nona yang dikenalnya di negeri Liau itu.
Ia jadi heran apakah nona itu telah mencuri Giok-ting mereka?
Dalam pada itu anak murid si
kakek tampak mengangkat toya baja mereka untuk menghantam ular yang sudah
mendekat itu. Sebaliknya si kakek masih tenang-tenang saja, ia tetap bersuit
untuk menyerang musuh. Sedangkan si padri asing yang meniup seruling itu masih
terus meniup seruling tanpa berhenti, dan keempat padri lain juga berputar
lebih cepat dengan menjungkir.
Diam-diam Goan-ci membatin,
"Di tanah lapang yang luas ini, kawanan ular ini dengan mudah dapat
dibunuh oleh mereka, apa gunanya ular-ular ini?”
Ketika ular-ular sawah itu
merayap tiba, sekali ekornya membalik, seketika dua murid si kakek kena
dililitnya. Menyusul dua orang kena dibelit lagi.
Sebenarnya kalau orang-orang
itu mau melarikan diri, sudah tentu kawanan ular itu tak mampu mengejar. Tapi
guru mereka sedang menghadapi
musuh, dengan sendirinya anak muridnya tidak berani melarikan diri. Maka mereka
hanya putar senjata untuk membacok dan mengemplang serabutan, dan ular yang
dibinasakan mereka sedikitnya lebih seratus ekor, sebaliknya kawan mereka yang
luka digigit ular juga ada tujuh atau delapan orang.
Ular-ular sawah raksasa itu
sangat kuat, biarpun kena digebuk toya baja juga tidak terasa. Sebaliknya bila
ada orang kena dibelit, seketika terlilit dengan kencang dan tak terlepas lagi.
Di tengah lengking suara
seruling yang makin keras, jumlah ular sawah itupun bertambah banyak. Hanya
sebentar saja sudah berkumpul 17 atau 18 ekor ular sawah raksasa.
Melihat gelagat jelek, segera
si kakak bermaksud menyingkir. Tak terduga pada saat itu juga ada dua ekor ular
kecil mendadak melonjak dan memagut mukanya. Dengan sekali membentak kakek itu
mengebaskan kipasnya, serangkum angin keras menyambar ke depan hingga kedua
ekor ular kecil itu tersampuk jatuh ke tanah.
Pada saat lain
sekonyong-konyong si kakek merasa betisnya ditubruk oleh makhluk lain, ia tidak
berani ayal, cepat ia mengapungkan tubuh ke atas. Tapi celaka, tiba-tiba suara
seruling si padri asing tadi mencuit nyaring sekali, berbareng empat ekor ular
sawah raksasa memutar ekornya terus membelit ke arah si kakek.
Dalam keadaan terapung di
udara, sedapatnya si kakek menghantam dengan kedua tangannya, kontan dua ekor
ular kena dihantam pergi, kesempatan itu digunakan olehnya untuk meloncat ke
samping sejauh dua tiga meter. Tapi pada saat yang hampir sama, ekor panjang
ular ketiga dan keempat juga menyambar tiba.
Dengan gugup terpaksa si kakek
menghantam lagi dengan tenaga pukulan, dimana angin pukulannya sampai, seketika
kepala seekor ular sawah raksasa itu hancur lebur.
Dan karena si kakek harus
mencurahkan perhatiannya untuk menempur ular sawah raksasa itu, ia tidak sempat
bersuit lagi, maka keempat padri ang berputar dengan menjungkir itu ada
kesempatan untuk mengeluarkan seruling, berbareng mereka meniup. Dibawah paduan
suara lima seruling, kawanan ular semakin membanjir datang.
Dalam pada itu si kakek telah
membinasakan tiga ekor ular sawah raksasa yang lain tapi tidak urung pinggang
dan kakinya kena dililit oleh dua ekor ular sawah ang lain lagi.
Mendadak si kakek menggertak
sekali, ia kerahkan tenaga sepenuhnya, ular sawah yang melilit pinggangnya kena
dibetotnya hingga putus menjadi dua, darah muncrat hingga membasahi tubuhnya.
Tapi nyawa ular itu memang panjang, biarpun badan putus, ular itu tidak lantas
mati, ketika merasa sakit ular itu lantas membelit
mati-matian dengan lebih erat
dan kuat hingga tulang pinggang si kakek terasa hendak patah.
Cepat si kakek meronta
beberapa kali hingga badan ular itu mengendur. Tapi segera dua ekor ular sawah
lain menggubat lagi beberapa lilitan di badannya hingga lengannya ikut tergubat
keruan ia mati kutu dan tak bisa melawan lagi.
Apa yang terjadi itu disaksikan
dengan jelas oleh Goan-ci, saking tegangnya sampai ia ikut menahan napas. Sudah
terang dilihatnya kakek itu sangat lihai, dengan ilmu sejati yang dimilikinya
dengan mudah saja ia dapat merobohkan ke 16 padri asing itu. Siapa tahu kawanan
padri asing itu memiliki semacam ilmu sihir yang dapat mengerahkan ular dengan
suara seruling, akhirnya dari kalah mereka berubah menjadi menang.
Begitulah, sesudah melihat
semua musuh terlilit oleh kawanan ular sawah raksasa, selain merintih atau
mencaci maki, musuh sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, maka kawanan padri
asing itu pun berhenti meniup seruling, sekali melejit segera mereka berdiri
tegak kembali.
Padri yang meniup seruling
pertama tadi berwajah berewok, agaknya dia pemimpin rombongan, segera ia maju ke
depan dan berseru, "Sing siok Lokoai, kita sama-sama datang ke Tionggoan
sini, air sungai tidak menggenangi air sumur, mengapa tanpa sebab kamu
menangkap ular piaraan kami untuk disembelih secara sewenang-wenang?”
Kiranya kakek yang bermuka
muda seperti dewa itu tak lain tak bukan adalah Sing-siok-hai yang ditakuti
orang-orang persilatan di Tionggoan.
Berhubung satu diantara ketiga
pusakanya yaitu Pek-giok-giok-ting, dicuri dan dibawa lari murid perempuannya,
yaitu A Ci, maka berturut-turut ia mengirimkan anak muridnya yang lain untuk
menguber gadis cilik itu, bahkan murid tertua Ti-sing-cu juga dikerahkan untuk
mencari A Ci, tapi sial benar, laporan yang diterimanya selalu tidak
menguntungkan.
Paling akhir ia dengar A Ci
mempunyai sandaran Pangcu Kai-pang hingga Ti-sing-cu dihajar setengah mati,
keruan Sing-siok-Lokai Ting Jun-jiu terkejut dan murka pula. Ia tahu Kai-pang
adalah organisasi terbesar di dunia persilatan Tionggoan, untuk melawannya
adalah tidak mudah, maka ia sendiri lantas tampil ke timur.
Tujuan utama perjalanannya itu
adalah menemukan kembali Pek-giok-giok ting, ada pun mengenai pertengkaran
dengan Kiau Hong, tentang A Ci yang akan ditangkapnya kembali untuk diberi
hukuman setimpal, semua itu adalah soal kedua. Sebab itulah sepanjang jalan ia
tidak menimbulkan onar atau mengganggu orang lain.
Ting Jun-jiu memiliki ilmu
jahat yang istimewa, yaitu Hoa-kang-tai-hoat, ilmu yang khusus dapat memunahkan
kepandaian lawan, ilmu Hoa-kang-tai-hoat itu dalam waktu tertentu harus
dipelihara dengan baik, yaitu dengan menaruh cairan berbisa pada telapak
tangannya untuk di sedot ke dalam tubuh.
Jadi selama tujuh hari hal itu
tidak dilakukan, maka ilmu yang dilatihnya itu akan mundur khasiatnya, bahkan
kadar racun yang sudah terhimpun selama berpuluh tahun dalam tubuh itu bila
tidak dipupuk dengan racun baru, maka lambat laun racun lama akan bekerja dan
akan membahayakan diri sendiri.
Dalam hal ini ia pernah
menyaksikan seorang angkatan tua perguruannya setelah berhasil meyakinkan
Hoakang-tai-hoat, tapi ketika bertanding telah dikalahkan oleh gurunya serta
dikurung dalam sebuah kamar batu hingga orang itu tidak dapat menangkap
binatang berbisa untuk memupuk racun lama dalam tubuh, keruan kadar racun
lantas mengamuk dengan hebat hingga saking tak tahan, akhirnya orang itu
membeset kulit daging sendiri, kemudian masih harus tersiksa oleh luka-luka itu
hingga lebih sebulan baru mati orangnya.
Karena itu, biarpun Sing-siok
Lokoai adalah seorang maha kejam, tapi bila teringat kejadian mengerikan yang
pernah dilihatnya itu, mau-tak-mau ia sendiri pun merinding.
Untuk menghindarkan kegagalan
Hoa-kang-tai-hoat yang dilatihnya itu, maka ia perlu menangkap binatang berbisa
dengan Pek-giok-giok-ting yang dapat memancing makhluk-makhluk berbisa dengan
mengeluarkan dupa yang wangi.
Dengan memiliki Giok-ting itu,
tidak sulit bagi Ting-Jun-jiu untuk menangkap binatang berbisa yang anehaneh
dan lihai, Hoa-kang-tai-hoat yang dilatihnya itu juga semakin hebat dan
sempurna.
Orang yang melatih ilmu aneh
itu mirip orang yang gemar minum arak, sekali sudah menyandu, maka setiap hari
akan ketagihan, setiap hari harus minum dan makin minum makin banyak.
Yang luar biasa adalah ilmu
itu harus digunakan terhadap musuh, dengan demikian sebagian kadar racun yang
terhimpun dalam tubuh dapat ditularkan kepada musuh. Tapi Sing-siok-hai
terletak di tempat terpencil sejauh itu, ratusan li diseputarnya tiada
seorangpun yang berani mendekat, darimana bisa diperoleh musuh untuk
melampiaskan racunnya setiap waktu?
Lantara itu, maka setiap 7
hari sekali racun terus bertambah, sebaliknya tidak pernah dilampiaskan, sudah
tentu makin lama makin tertimbun kadar racun dalam tubuhnya dengan sendirinya
luar biasa hebatnya Hoa-kang-taihoat nya.
Dasar A Ci memang licin, ia
menunggu pada waktu Giok-ting digunakan gurunya untuk menangkap binatang
berbisa, lalu ia mohon diri
pergi pesiar. Ketika Sing-siok-Lokoai mengetahui Giok-ting itu dicuri hal itu
sudah tujuh hari kemudian, yaitu ketika dia hendak menangkap binatang berbisa
lagi dengan menggunakan Giok-ting itu.
Dan sudah tentu sementara itu
A Ci sudah pergi jauh, jalan yang dipilih selalu jalan kecil yang sepi, meski
ia diuber-uber oleh para suhengnya yang jauh lebih lihai, tapi mereka kalah
cerdik, selalu mereka kena diakali hingga tiada seorang pun dapat menemukan
dia.
Setelah kehilangan Giok-ting,
dengan sendirinya Sing-siok Lokoai sukar menangkap binatang berbisa yang
istimewa lagi, yang diperoleh hanya sebangsa ular yang kecil dan tidak besar
manfaatnya.
Hal ini tidak terlalu
merisaukan dia, yang dikuatirkan ialah kemungkinan Giok-ting yang dibawa lari A
Ci itu akan dikenali orang persilatan Tionggoan hingga dihancurkan oleh mereka.
Maka selama benda pusaka itu belum ditemukan kembali, selama itu pula ia merasa
tidak tentram.
Sebab itulah, biarpun ia tidak
ingin menjelajahi Tionggoan lagi, akhirnya ia muncul sendiri juga untuk mencari
Giok-ting itu mengingat usaha anak muridnya telah gagal satu per satu.
Diwilayah Siamsai dia bertemu
dengan anak muridnya, diketahui ilmu silat murid tertua, Ti-sing-cu, sudah
punah dan sepanjang jalan selalu dibuat sasaran ejekan dan gebukan oleh anak
murid yang lain. Sementara itu murid kedua, yaitu si hidung singa Gian-ho-cu,
sudah naik kedudukannya sebagai Toasuheng.
Demi bertemu dengan sang guru,
sudah tentu anak muridnya ketakutan setengah mati, sebab kuatir diberi hukuman
berhubung mereka tidak mampu melaksanakan perintah gurunya. Untung saat itu
Sing-siok Lokoai perlu pakai tenaga mereka, maka sementara mereka tak dihukum,
tapi mereka harus ikut mencari jejak si A Ci. Dan begitulah mereka lantas
datang ke Tionggoan.
Sepanjang jalan mereka mencari
kabar tentang Kai-pang. Tapi pertama karena bentuk muka mereka itu ratarata
sangat aneh, tutur kata mereka pun menjemukan orang, maka siapa pun tidak sudi
memberitahukan berita yang mereka cari. Apalagi saat itu Siau Hong sudah berada
di negeri Liau dengan pangkat Lam-ih Taiong, hal ini belum diketahui oleh orang
Bu-lim, sebab itulah mereka tidak mendapat sesuatu kabar, bahkan dimana markas
besar Kai-pang saat itu juga tak diketahui.
Sudah tentu Ting Jin-jiu
semakin kelabakan ia pikir Siau-lim-si adalah pusat persilatan Tiong-goan,
setiap gerak-gerik orang persilatan tentu diketahui oleh padri saleh disitu.
Meski ia tidak ingin
terang-terangan bermusuhan dengan siau-lim-pai, tapi mengingat selamanya ia pun
tiada
pertengkaran dengan
Siau-lim-pai, kalau ia berkunjung ke sana untuk tanya sesuatu berita secara
beraturan, boleh jadi ketua Siau-lim-si akan memberitahu sekadarnya. Maka
dengan membawa anak muridnya mereka lantas mendatangi Siau-sit-san di Holam.
Sepanjang jalan bila tiba
waktunya mengisi racun, ia lantas menangkap ular berbisa untuk menyedot
racunnya.
Ketika rombongan mereka baru
masuk wilayah Holam, suatu hari mendadak mereka lihat gerombolan ular berbisa
secara besar-besaran. Keruan Sing-siok Lokoai sangat girang, segera ia
perintahkan anak muridnya menangkap ular untuk mengisi racun
"Hoa-kang-tai-hoat” yang lihai itu.
Sebenarnya ia pun heran
melihat ular sebanyak itu, tapi dasarnya memang tinggi hati, sudah biasa ia
berkuasa di Sing-siok-hai, terhadap segala apa tidak pernah pusing apakah itu
milik orang lain atau bukan. Tak terduga bahwa kawanan ular berbisa itu memang
benar ada pemiliknya.
Kiranya sesudah Polo Singh
dikirim ke siau-lim-si untuk mencuri kitab, sampai sekian lama tiada kabar
beritanya. Maka gurunya telah mengirim pula 16 padri Thian-tiok untuk
memapaknya.
Ilmu silat kawanan padri
Thian-tiok itu tidak terlalu tinggi, tapi mereka mahir semacam ilmu, yaitu
menggunakan suara seruling untuk menggiring ular. Maka sepanjang jalan sudah
banyak sekali ular berbisa yang ikut mereka ke Tionggoan.
Meski banyak juga ular itu
mati di tengah jalan karena tidak cocok dengan iklim setempat tapi setiba di
wilayah Holam toh jumlah ular itu masih sangat banyak. Terutama belasan ekor di
antaranya adalah ular sawah raksasa yang mengikuti mereka sejak dari rimba
purba di wilayah Thian-tiok, ular-ular sawah itu adalah jenis yang jarang
terdapat di Tiongkok.
Rupanya padri Thian-tiok itu
tahu ilmu silat mereka tidak mungkin melawan pihak Siau-lim-pai kalau mereka
menyerang secara mendadak dengan barisan ular itu, tentulawan akan kelabakan,
andaikan tak bisa menghancurkan Siau-lim-si, paling sedikit Polo Singh dapat
tertolong dandapat merampas sedikit kitab dalam biara itu.
Begitulah kawanan padri
Thian-tiok itu melanjutkan perjalanan pada malam hari. Kalau siang hari mereka
mengaso, dengan demikian kawanan ular mereka takkan mengejutkan penduduk
setempat. Tidak lama sesudah masuk wilayah Holam, mereka mengetahui banyak ular
mereka dbunuh orang. Ketika diselidiki, ternyata pembunuh ular itu adalah
Sing-siok Lokoai.
Jarak Sing-siok-hai tidak
terlalu jauh dengan negeri Thian-tiok, maka tindak-tanduk Sing-siok-Lokoai yang
aneh dan kejam itu juga telah didengar oleh orang persilatan Thian-tiok, sebab
itulah para padri Thian-tiok tidak ingin cekcok dengan dia.
Tak terduga makin lama makin
menjadi ular yang dibunuh Sing-siok Lokoai makin banyak dan selalu dipilih ular
yang paling berbisa hingga kekuatan barisan ular yang dikerahkan padri
Thian-tiok itu sangat berkurang.
Saking tak tahan lagi,
akhirnya tercetuslah pertarungan sengit antara kedua belah pihak dan berkat
bantuan kawanan ular yang hebat itu, pihak padri Thian-tiok telah menang,
bahkan Sing-siok Lokoai yang tersohor itu terlilit oleh ular sawah raksasa yang
tak bisa berkutik lagi.
Ketika padri Thian-tiok tanya
apa dia membunuh ularnya, maka Ting Jun-jiu menjawab, Sungguh menggelikan
pertanyaanmu ini. Segala binatang buas, terutama ular berbisa yang suka
mencelakakan manusia, siapa saja yang melihatnya tentu akan membunuhnya. Dari
mana kutahu bahwa ular-ular itu adalah piaraanmu?”
"Aku pernah memberi
isyarat padamu agar jangan membunuh ular piaraan itu, tapi kau sama sekali
tidak ambil pusing, sebab apa?” tanya padri asing itu.
"Hehehehe!” Ting Jun-jiu
tertawa dingin. "Sejak kecil hingga besar, selama hidupku ini hanya aku
yang menyuruh orang harus begini dan begitu, tapi tidak pernah ada orang yang
dapat memerintah aku harus begitu dan begini. Bahkan guruku sendiri dahulu
ketika mengomeli aku sedikit saja lantas kubunuh. Sekarang hanya beberapa
hwesio busuk dari negeri asing seperti kalian ini dengan hak apa berani memberi
perintah padaku, hehehehe!
Melihat Sing-siok Lokoai sudah
tergugat ular, sama sekali tak bisa berkutik lagi, tapi bicaranya masih sangat
angkuh, sedikit pun tidak mau tunduk, maka padri asing itu tahu permusuhan ini
sudah terlanjur mendalam, jika jiwa lokoai diampuni, kelak pasti akan
mendatangkan bahaya yang tidak habis-habis. Segera katanya, "Nama Sing-siok
Lokoai terkenal diseluruh jagat, siapa tahu hanya nama kosong belaka, sampai
beberapa ekor ular juga mampu melawan. Nah maaf biarlah hari ini kami membasmi
racun dunia yang paling dibenci seperti dirimu ini!”
"Hah, soalnya aku kurang
hati-hati hingga terjungkal di tangan kawanan binatang berdarah dingin seperti
kalian ini, andaikan harus pulang ke nirwana juga tak perlu menyesal … ”
Baru sekian ucapan Ting
Jun-jiu, tiba-tiba suaranya terputus oleh teriakan seorang muridnya yang juga
terlilit oleh ular sawah, "Toasuhu, harap lepaskan aku dan kita akan
saling menguntungkan. Guruku itu banyak tipu muslihatnya, sukar bagimu untuk
melawannya. Sekali kau lengah, pasti engkau akan diselomoti.”
"Apa untungnya jika
kulepaskanmu?” tanya si padri asing dengan dingin.
"Sing-siok-pai kami
memiliki tiga macam pusaka yang disebut Sing-siok-sam-po, "tutur orang
itu. "Jika jiwaku diampuni, sesudah membunuh iblis tua itu nanti, tentu
ketiga macam pusaka itu akan kupersembahkan padamu. Sebaliknya bila kaubunuh
seluruh orang Sing-siok-pai kami, maka Sing-siok-sam-po itu takkan kau dapatkan
untuk selamanya, bukankah sangat sayang?”
Dari tempat sembunyinya
Goan-ci lihat pembicara itu adalah seorang laki-laki tegap, meski kepala
dililit ular sawah, namun semangatnya masih gagah, siapa duga jiwanya justru
begitu kotor dan rendah, demi menyelamatkan diri sendiri tidak segan menual
gurunya sendiri secara terang-terangan.
Dalam pada itu seorang murid
Sing-siok-pai yang lain ikut berteriak juga, "Toasuhu, jangan kaupercaya
padanya. Satu diantara Sing-siok-sam-po kami itu sudah dicuri orang. Lebih baik
aku saja yang kalian lepaskan, hanya akulah orang yang paling setia padamu,
pasti takkan menipumu.”
Begitulah dalam sekejap itu
suasana menjadi ramai oleh teriakan anak murid Sing-siok-pai yang pada pokoknya
menjilat dan mengumpak pihak lawan, sebaliknya mengolok-olok guru sendiri.
Bahkan banyak diantaranya yang sudah terluka oleh gigitan ular dan terhimpit di
tengah badan ular sawah yang melilit erat itu juga tidak mau ketinggalan untuk
minta ampun dengan macam-macam janji yang muluk-muluk dan segala macam
kata-kata bohong pula.
Sama sekali padri Thian-tiok
itu tidak menyangka anak murid Sing-siok-pai sedemikian rendah jiwanya, mereka
memandang hina, dan heran pula. Mereka sama melangkah maju untuk mendengarkan
ocehan murid Sing-siok-pai yang lucu itu.
"Terhadap guru sendiri
saja tidak setia, manakah kalian dapat dipercaya akan setia kepada bangsa lain?
Hahaha, bukankah menggelikan bualan kalian ini?” demikian padri Thian-tiok yang
merupakan pemimpinnya itu mengejek.
"Bukan begitu halnya,
lain soalnya, "seru seorang murid Sing-siok-pai, "Kepandaian
Sing-siok Lokoai terlalu cetek, apa gunanya kami ikut padanya? Dan apa
faedahnya pula kami setia padanya? Sebaliknya Toasuhu memiliki ilmu silat yang
tiada bandingannya di jagat ini, mana Sing-siok Lokoai dapat dinilai sama
dengan toasuhu?”
"Benar, siapakah yang
tidak kenal 'padri saleh' seperti kalian ini, malahan lebih tepat kalian
disebut 'padri sakti', Eh, bahkan harus disebut 'Budha Hidup'!”demikian seru
murid Sing-siok pai yang lain. Lalu kawankawannya lantas membumbu-bumbui lagi
dengan kata-kata muluk yang menyanjung puji.
"Huh, suara manusia
rendah dan pengecut sebagai kalian ini sungguh menjemukan, "kata padri
Thian-tiok itu sambil berkerut kening, "Sing-siok Lokoai, mengapa kamu
begini tak becus, mencari murid saja mengapa cari sebangsa manusia yang tak
kenal malu seperti mereka ini. Baiklah akan kuantarkanmu ke nirwana dulu,
kemudian murid-muridmu yang memalukan itu juga akan kami susulkan padamu!”
Habis berkata, mendadak lengan
bajunya mengebas ke atas kepala Ting Jun-jiu.
Waktu itu Sing-siok Lokoai
Ting Jun-jiu tak bisa berkutik sedikit pun karena tergubat oleh ular sawah,
kebasan lengan jubah padri Thian-tiok yang kuat itu kalau mengenai sasarannya,
andaikan tidak mati juga pasti Tingjin-jiu akan terluka parah.
Tak terduga serangan itu
dianggap sepi saja oleh Ting Jun-jiu, sebaliknya padri Thian-tiok itu tahu-tahu
lemas terkulai di tanah dan meringkuk bagai cacing, hanya tampak berkejat dua
kejat lalu tidak bergerak lagi.
Keruan padri Thian-tiok yang
lain sangat terkejut, beramai-ramai mereka berteriak, "Suheng! Suheng!”
Segera dua orang diantaranya
mengulur tangan hendak membangunkan kawannya itu.
Tapi baru tangan kedua orang
itu menjamah tubuh kawannya, seketika kepala mereka pusing, kaki pun lemas
akhirnya roboh juga.
Dengan sendirinya tiga padri
lain yang berdiri dibelakang mereka lekas hendak memayang kawan-kawannya. Tapi
sekali mereka menyentuh badan kedua orang, lagi-lagi ketiga padri itu pun ikut
roboh hingga diam sekejap saja enam padri asing itu sama roboh tak berkutik.
Melihat gelagat jelek, sisa
padri yang lain terkesima, mereka tidak berani menjamah badan kawan yang jatuh
itu. Seorang diantaranya lantas membentak dengan gusar, "Ilmu sihir apa
yang kau gunakan, Sing-siok Lokoai ? Ini rasakan pukulanku!”
Berbareng itu ia terus
menghantam. Tapi Ting Jin-jiu hanya tertawa saja, pukulan padri itu seperti
terpental balik dari sasarannya, lalu padri itu melongo lebar dan jatuh
terjungkal.
Sisa kesembilan padri yang
lain sudah pernah dirobohkan oleh suara suitan Ting Jun-jiu, maka mereka tidak
berani sembarangan menyerang, mereka berbisik-bisik dalam bahasa Thian-tiok
untuk berunding, sejenak
kemudian, sekonyong-konyong
mereka menggertak bersama, dimana lengan jubah mereka mengebas, sembilan bilah
pisau sekaligus menyambar ke arah Ting Jun-jiu.
Tapi Ting Jun-jiu juga
membentak, kepala goyang tiga kali, seketika rambutnya yang putih menegak kaku
bagaikan kawat, maka terdengarlah suara "trang-tring” beberapa kali,
kesembilan pisau musuh kenadisapu jatuh semua. Sedangkan kesembilan padri
Thian-tiok itu tahu-tahu sudah menggeletak binasa semua.
Dari tempat sembunyinya Yu
Goan-ci dapat mengendus bau amis busuk yang sangat menusuk hidung hingga mata
terasa pedas dan mengucurkan air mata. Ia heran sekali, ia tidak tahu dengan
ilmu apakah Ting Jun-jiu membunuh ke 16 orang musuhnya.
Jilid 48
Ketinggalan kawanan ular itu
sudah tentu tak tahu tentang membalas sakit hati majikan mereka segala,
binatang itu masih terus melilit Ting Jun-jiu dan murid-muridnya untuk menunggu
perintah selanjutnya dari majikan mereka. Suasana di tanah pegunungan itu
menjadi sunyi senyap. Namun ular adalah makhluk yang bodoh, lama-lama bukan
mustahil mereka akan mengganas sendiri tanpa komando.
Di tengah kepungan kawanan
ular itu, orang-orang Sing-siok-hay tidak berani sembarangan berkutik, sebab
khawatir menimbulkan reaksi ular-ular itu hingga mengamuk dan itu berarti jiwa
mereka bisa amblas.
Sesudah tenang sebentar,
tampaknya tiada bahaya lain lagi kecuali masih menghadapi kawanan ular itu,
segera ada seorang murid Ting Jun-jiu membuka suara, "Suhu, ilmu saktimu
tiada tandingannya di jagat ini, hanya sambil bicara dan tertawa saja ke-16
musuh jahanam sudah terbunuh semua olehmu....”
Belum habis ucapannya,
tiba-tiba seorang murid lain memotong, "Suhu, jangan kau dengar ocehannya!
Justru orang yang memuji-muji ‘padri sakti’ dan ‘Buddha hidup’ kepada musuh
tadi adalah dia sendiri!”
Mendadak ada di antara
muridnya menangis tergerung-gerung dan bertobat, "Suhu! Ampun! Seribu kali
ampun, Suhu! Memang Tecu terlalu bodoh, paling takut mati hingga sudi menyerah
kepada musuh, sungguh Tecu merasa menyesal sekali. Kini Tecu lebih suka mati
dalam perut ular sawa ini dan tidak berani minta hidup kepada Suhu!”
Mendengar perkataan orang
terakhir itu, seketika yang lain-lain sadar. Biasanya Sing-siok Lokoay paling
benci bila ada muridnya suka menjilat-jilat dan memuji secara berlebihan, jalan
hidup satu-satunya bagi mereka adalah mengakui dosa dan mencaci maki diri
sendiri yang tolol, dengan demikian jiwa mereka ada kemungkinan akan diampuni
gurunya.
Karena itu, segera semua orang
ganti haluan, semuanya menyatakan diri mereka bersalah, berdosa, dan tolol,
harus dihukum mati dan macam-macam lagi, sampai Goan-ci yang mendengarkan di
tempat sembunyinya itu menjadi bingung dan heran mengapa jiwa anak murid
Sing-siok-pay itu sedemikian rendah, bicaranya plintatplintut seperti kentut.
Begitulah anak murid
Sing-siok-pay ramai mengoceh tak keruan, tapi Ting Jun-jiu sama sekali tidak
menggubris, diam-diam ia sudah mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari
lilitan ular sawa raksasa. Celakanya ular sawa yang melilit dia itu seluruhnya
ada dua ekor, badan ular sawa itu dapat mulur-mengkeret pula hingga untuk
melepaskan diri boleh dibilang mahasulit.
Cara yang digunakan Ting
Jun-jiu untuk membinasakan lawan-lawannya tadi adalah menggunakan hawa beracun
dalam tubuhnya yang terhimpun selama berpuluh tahun itu. Ketika padri
Thian-tiok yang pertama menyerangnya, segera ia kerahkan unsur racun itu ke
bagian tubuh yang dihantam itu, dan dengan cara "pinjam tenaga untuk
memukul kembali lawan”, ia embuskan unsur racun itu pada saat pukulan lawan
terpental. Jadi binasanya padri Thian-tiok itu bukan terkena sesuatu ilmu sihir
Ting Jun-jiu melainkan disebabkan keracunan.
Sedangkan kulit ular sawa itu
sangat tebal lagi licin, kadar racun Ting Jun-jiu tidak dapat menyesap ke badan
ular hingga dia tak berdaya lagi.
Ia dengar anak muridnya masih
cerewet tak henti-hentinya, segera katanya, "Kita terkurung oleh kawanan
ular, kalau ada yang dapat pikirkan suatu akal untuk mengusir ular, segera
jiwanya kuampuni. Masakah kalian tidak kenal watakku? Siapa yang berguna bagiku
tentu takkan kubunuh. Tapi kalau cuma mengoceh saja tanpa berguna, lebih baik
kalian tutup mulut!”
Maka terdiamlah seketika anak
muridnya itu. Selang sejenak, tiba-tiba seorang di antaranya berkata,
"Asal ada seorang membawakan obor dan menyelomot badan ular sawa ini,
tentu binatang ini akan ketakutan dan lari.”
"Kentut makmu!” damprat
Ting Jun-jiu. "Di tanah pegunungan yang sepi seperti ini dari mana bisa
muncul seorang membawakan obor? Andaikan ada orang lalu di sini, bila melihat
ular sebanyak ini juga pasti akan lari terbirit-birit!”
Kemudian anak murid yang lain
sama mengemukakan usul lagi, tapi tiada satu pun yang masuk di akal dan
berguna. Sebabnya mereka mengoceh terus tidak lain hanya untuk mengambil hati
sang guru saja agar kelihatan bahwa mereka benar-benar ikut memeras otak untuk
mencari akal.
Maka sang tempo berlalu dengan
cepat, dua-tiga jam kemudian, tiba-tiba seorang murid yang dililit ular sawa
itu megap-megap, dalam keadaan bingung tanpa terasa ia meronta dan menggigit
ular yang melilitnya. Jadi bukan ular menggigit manusia, tapi manusia menggigit
ular.
Karena kesakitan, tentu saja
ular sawa itu mengamuk, sekali ia memagut, kontan murid Sing-siok-hay itu
menjerit dan binasa.
Ting Jun-jiu makin khawatir.
Jika dikurung musuh, dalam waktu beberapa jam itu tentu ia dapat mengatasi
dengan macam-macam tipu muslihatnya yang licik untuk meloloskan diri. Celakanya
kawanan ular ini adalah binatang yang bodoh, jangan-jangan bila ular sawa ini
merasa lapar, sekali caplok mungkin dirinya akan ditelan mentah-mentah.
Dan benar juga, apa yang
dikhawatirkan itu segera menjadi kenyataan. Karena sudah sekian lama tidak
mendengar suara seruling, perut seekor ular sawa di antaranya sudah kelaparan,
segera mulutnya terbuka lebarlebar terus mencaplok murid Sing-siok-pay yang
dililitnya itu.
Keruan murid itu menjerit
ketakutan. "Tolong, Suhu! Tolong!”
Dan yang dicaplok lebih dulu
ternyata bagian kaki hingga tanpa kuasa badan tertelan ke dalam perut ular sawa
sedikit demi sedikit, sedangkan murid Sing-siok-pay itu menjerit-jerit.
Gigi ular sawa itu bentuknya
mengait ke dalam hingga segala makhluk yang tergigit olehnya tidak mungkin bisa
lolos selain perlahan ditelan ke dalam perutnya.
Maka murid Sing-siok-pay yang
tertelan itu lambat laun sudah sampai bagian pinggang, lalu dada dan sebentar
lagi tentu akan kepalanya. Seketika orang itu tidak mati, ia masih bisa
berteriak dan menjerit ngeri hingga ia membikin kawan-kawannya ikut ketakutan
setengah mati bila membayangkan nasib mereka sebentar lagi juga akan mengikuti
jejak kawannya itu.
Melihat Sing-siok Lokoay
sendiri juga tak berdaya sama sekali, segera ada seorang muridnya mulai
penasaran dan gemas, terus saja ia mencaci maki sang guru, katanya gara-gara
iblis tua yang kejam itu hingga dirinya yang semula hidup aman tenteram
menggembala di sekitar Sing-siok-hay tertipu masuk perguruan Sing-siokpay, tapi
hari ini harus mati terkubur dalam perut ular sawa, di akhirat nanti pasti dia
akan menagih nyawa kepada Sing-siok Lokoay.
Begitulah seorang mulai
memaki, maka yang lain-lain juga tidak mau ketinggalan, segera ramailah suara
caci maki mereka. Biasanya mereka sudah kenyang disiksa dan dianiaya Sing-siok
Lokoay, kini mereka bakal mati semua, mumpung masih ada kesempatan, maka mereka
mencaci maki sepuas-puasnya sekadar melampiaskan rasa dendam kepada guru mereka
yang jahat itu.
Seorang di antaranya mungkin
terlalu nafsu memaki hingga badannya ikut bergoyang, hal ini membuat ular sawa
yang melilitnya itu menjadi gusar, tanpa permisi lagi ular itu menggigit
pundaknya. Saking kesakitan orang itu menjerit, "Aduh! Tolong! Tolong!”
Mendengar jeritan minta tolong
yang mengerikan itu, Goan-ci tidak tahan lagi, ia terus berbangkit dari tempat
sembunyinya dan berseru, "Jangan khawatir, biar kunyalakan api untuk
mengusir kawanan ular ini!”
Ketika mendadak melihat muncul
seorang dengan kepala bertopi baja yang aneh, semula anak murid Singsiok-pay
itu sama terkejut. Tapi demi mendengar orang aneh itu bersedia menyalakan api
untuk mengusir ular, itu berarti ada harapan hidup bagi mereka, keruan mereka
sangat senang dan menyatakan terima kasih berbareng.
Kepandaian mencaci maki anak
murid Sing-siok-pay itu sangat pintar, boleh dikata kelas pilihan, sebaliknya
bakat mereka dalam hal memuji dan mengumpak juga sudah terlatih dan mahapandai.
Terus saja mereka memuji Yu Goan-ci sebagai "kesatria besar”,
"pendekar besar”, "tuan penolong yang budiman”, "pahlawan yang
tiada bandingannya di jagat ini” dan macam-macam sanjungan lain.
Pada umumnya manusia itu
senang dipuji, tidak terkecuali pula Goan-ci yang dipuji setinggi langit itu,
seketika ia merasa dirinya seakan-akan menjadi orang besar, ia merasa berharga
biarpun mesti menyerempet bahaya bagi orang-orang itu.
Segera ia mengeluarkan ketikan
api, ia mengepal segebung rumput kering dan dinyalakan sebagai obor. Tapi ia
menjadi takut juga melihat kawanan ular sedemikian banyak, terutama ular sawa
raksasa yang ganas itu, ia khawatir jangan-jangan kawanan ular itu akan
mengamuk, boleh jadi dirinya akan menjadi korban juga.
Ia pikir sejenak, lalu ia
kumpulkan sedikit kayu kering dan dinyalakan sebagai api unggun di depannya
sebagai aling-aling. Habis itu ia jemput sepotong ranting kayu kering yang
sudah terbakar itu dan ditimpukkan ke arah ular yang paling dekat, berbareng
itu ia terus bersembunyi di belakang api unggun sambil bersiap-siap bila ular
yang ditimpuk itu menerjang ke arahnya, segera ia akan angkat langkah seribu
alias kabur, segala gelar "kesatria besar” dan "pendekar besar” tak
terpikir lagi olehnya dan lebih baik diretur saja kepada anak muridnya
Sing-siok-pay itu.
Di luar dugaan, memang benar
juga kawanan ular itu takut kepada api dan demi melihat api membakar tiba,
segera ular itu melepaskan mangsa yang dililitnya dan merayap pergi ke dalam
semak-semak rumput.
Tampak hasil serangan api itu,
di bawah sorak gembira anak murid Sing-siok-pay segera Goan-ci mengulangi
perbuatannya, setangkai demi setangkai ia timpukkan ranting kayu berapi itu ke
arah ular. Seketika kawanan ular itu ketakutan dan kacau-balau, ramai-ramai
mereka melarikan diri, begitu pula ular sawa raksasa itu juga takut pada
serangan api, mereka meninggalkan mangsa yang terlilit itu, hanya dalam waktu
singkat saja beratus ekor ular itu sama melarikan diri hingga bersih.
Lalu terdengar suara sanjung
puji anak murid Sing-siok-hay, "Suhu memang mahapintar, perhitungannya
sangat tepat. Dengan serangan api ternyata benar kawanan ular lantas terusir
lari semua! Benar, berkat rezeki yang mahabesar dan kekuasaan mahasakti Suhu
hingga jiwa kita dapat diselamatkan!”
Begitulah bukan mereka memuji
Goan-ci, tapi semua jasa itu kini ditumplak atas diri guru mereka.
Keruan Goan-ci terheran-heran,
"Aku yang menolong kalian, mengapa suhu kalian yang dipuji, padahal baru
saja kalian mencaci maki gurumu habis-habisan, seakan sepeser pun tidak
berharga.”
Ia tidak tahu bahwa sesudah
terbebas dari ancaman ular, maka jiwa orang-orang itu kembali tergantung di
tangan Sing-siok Lokoay lagi. Kalau mereka tidak mengumpak dan menjilat
mati-matian, bukan mustahil jiwa mereka akan melayang dibunuh oleh Ting
Jun-jiu. Sedangkan mengenai jasa pertolongan Yu Goan-ci sudah tentu tak
terpikir oleh mereka, apa sih artinya seorang keroco bertopi baja bagi mereka?
Demikianlah Ting Jun-jiu
lantas memanggil Goan-ci, "He, Thi-thau-siaucu (Bocah Berkepala Besi),
coba kemari! Siapa namamu?”
Kurang ajar, pikir Goan-ci,
sudah kutolong jiwamu, sama sekali tidak mengucapkan terima kasih, sebaliknya
memanggil semaunya. Tapi dia sudah terbiasa dihina orang, meski orang bersikap
kasar padanya juga tak menjadi soal baginya. Segera ia menyahut sambil
melangkah maju, "Namaku Yu Goan-ci.”
"Apakah padri asing lain
sudah mati? Coba kau periksa hidung mereka, apa mereka masih bernapas atau
tidak?” kata Ting Jun-jiu tiba-tiba.
Goan-ci mengiakan, lalu
berjongkok untuk memeriksa pernapasan salah seorang padri Thian-tiok yang
menggeletak di tanah itu. Ia merasa badan orang sudah dingin beku, sejak tadi
padri itu sudah mati. Ketika ia periksa padri yang lain, keadaannya serupa.
Maka katanya sambil menegak, "Sudah mati semua!”
Dalam sekejap itu, dilihatnya
sikap mengejek orang-orang itu lambat laun berubah menjadi terheran-heran, lalu
berubah lagi menjadi terkejut tak terkatakan. Begitu pula Ting Jun-jiu tampak
heran, katanya, "Coba kau periksa lagi tiap-tiap hwesio itu, adakah di
antaranya masih dapat tertolong?”
Goan-ci menurut pula, akhirnya
ia periksa semua padri Thian-tiok itu dan melapor, "Sudah mati semuanya,
ilmu sakti Losiansing sungguh sangat lihai!”
"Ya, dan ilmu menolak
racun yang kau miliki itu juga sangat lihai,” sahut Ting Jun-jiu dengan tertawa
dingin.
Sudah tentu Goan-ci merasa
bingung. "Ilmu... ilmu menolak racun apa?” tanyanya tak paham.
"Hahahaha! Bagus, bagus!”
Ting Jun-jiu bergelak tertawa. "Dari perawakanmu dan suaramu, kukira
usiamu
masih sangat muda, tapi
kepandaianmu ternyata sedemikian hebat, sungguh orang muda yang tak boleh
dipandang enteng!”
Goan-ci tambah bingung, ia
tidak paham apa yang dimaksudkan orang. Ia tidak tahu bahwa setiap kali ia
periksa pernapasan padri Thian-tiok yang sudah mati itu, hal itu berarti tiap
kali dia sudah "piknik” ke pintu gerbang akhirat. Jadi memeriksa 16 padri
asing itu berarti pula lolos 16 kali dari cengkeraman maut.
Apa sebabnya? Kiranya meski
Sing-siok Lokoay dapat diselamatkan oleh Goan-ci, tapi selaku seorang guru
besar ilmu persilatan, sedikit pun ia tak bisa berkutik ketika dililit ular,
bahkan perlu ditolong seorang pemuda keroco, hal ini kalau tersiar ke dunia
Kangouw tentu akan menghilangkan mukanya. Sebab itulah, maka sesudah terlepas
dari lilitan ular sawa, segera timbul maksudnya membunuh Goan-ci agar kejadian
memalukan itu tak diketahui umum.
Adapun binasanya padri
Thian-tiok itu adalah terkena racun yang terembus dari tubuhnya, kini Ting
Jun-jiu menyuruh Goan-ci memeriksa pernapasan hidung padri-padri itu, ini
berarti pemuda itu dibiarkan juga terkena racunnya yang jahat itu.
Siapa duga secara kebetulan
sekali Goan-ci sudah pernah mengisap cairan darah ulat sutra putih yang maha
berbisa, dengan lwekang mahatinggi yang dibacanya dari Ih-kin-keng, sesudah
mengalami gemblengan selama beberapa bulan ini racun aneh dari ulat sutra yang
mengeram dalam tubuh Goan-ci itu sudah terbaur menjadi satu dengan badannya.
Jadi sekarang unsur racun yang berada pada tubuh Goan-ci itu adalah racun yang
tak bisa dibandingi racun dari makhluk berbisa mana pun juga. Dan dengan
sendirinya racun yang dikeluarkan Ting Jun-jiu itu tak dapat mencelakai dia.
Padahal tadi tanpa menggunakan
api juga Goan-ci dapat mengalahkan kawanan ular itu, asal dia berjalan
berlenggang dengan gaya bebas saja kawanan ular itu akan ketakutan dan bila
berani menggigit dia, tentu ular itu akan binasa sendiri terkena racun dalam
tubuh Goan-ci yang jauh lebih lihai.
Cuma Goan-ci sama sekali tidak
tahu keadaan sendiri itu, dan sudah tentu Sing-siok Lokoay lebih-lebih tidak
menyangka akan hal itu. Semula Sing-siok Lokoay berharap sekali Goan-ci
menjamah padri Thian-tiok yang pertama tentu akan segera meringkuk binasa, siapa
duga meski ke-16 padri Thian-tiok itu diraba, tetap Goan-ci hidup segar bugar
tak kurang suatu apa pun. Keruan hal ini menggemparkan Sing-siok Lokoay dan
anak muridnya.
Diam-diam Ting Jun-jiu
membatin, "Melihat usianya yang masih muda belia ini tentu belum mempunyai
kepandaian apa-apa, besar kemungkinan karena dia membawa sesuatu benda mestika
antiular atau mungkin sebelumnya dia pernah minum obat mukjizat, maka tidak
takut terkena racunku yang lihai itu.”
Maka katanya kemudian,
"Eh Saudara Yu, mari kita omong-omong!”
Melihat orang bicara dengan
nada yang lebih ramah daripada tadi, pula Goan-ci sudah menyaksikan caranya
membinasakan ke-16 padri Thian-tiok secara kejam, juga mendengar pembicaraan
kaum Sing-siok-hay mereka yang sebentar menjilat-jilat dan lain saat mencaci
maki, betapa pun Goan-ci merasa muak terhadap mereka, ia pikir lebih baik
menjauhi manusia rendah seperti mereka ini. Maka ia pun menjawab, "Ah, tak
perlu kita omong-omong lagi, aku ada urusan lain, biarlah kumohon diri saja!”
Habis berkata, ia memberi
soja, lalu tinggal pergi ke arah timur sana.
Tapi baru dua-tiga langkah ia
berjalan, sekonyong-konyong terdengar angin berkesiur di sebelahnya. Tahu-tahu
kedua tangannya kena dipegang orang. Datangnya orang sangat cepat hingga
sebelum Goan-ci tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tangan sudah terpegang.
Ketika Goan-ci berpaling, ia
lihat yang menangkap tangannya itu adalah seorang anak murid Sing-siok-pay. Ia
tidak tahu apa maksud orang, yang terang orang itu menyeringai, pasti orang tak
bermaksud baik. Dalam khawatirnya segera Goan-ci meronta sekerasnya sambil
berteriak, "Lepaskan aku!”
Mendadak sosok tubuh yang
besar itu mencelat pergi melampaui kepalanya dan tertumbuk dinding batu di
depan sana, "prak”, kepala orang itu pecah dan tulang patah. Goan-ci
menjadi heran dari mana datangnya orang itu dan siapakah yang melemparkan
sekeras itu hingga tertumbuk mati seketika?
Tapi ketika ia perhatikan,
ternyata orang itu adalah murid Sing-siok-hay yang barusan memegang kedua
tangannya itu. Keruan ia tambah heran, "Barusan saja orang itu memegang
tanganku, mengapa mendadak bisa membunuh diri dengan menumbukkan kepalanya ke
dinding batu?”
Sama sekali tak terkira
olehnya, bahwa sebenarnya laki-laki itu bukan membunuh diri, tapi karena tenaga
merontanya tadi yang hebat hingga orang itu kena disengkelit dan terpental
serta mati tertumbuk batu karang. Maklum, tentang tenaga dalamnya yang makin
hari makin kuat itu memang tidak disadarinya, pula selama ini ia pun tidak
pernah berkelahi dengan orang. Semalam waktu ia dicekik Polo Singh, lantaran
ketakutan hingga tidak berani melawan, padahal asal dia meronta sekuatnya,
pasti Polo Singh tak mampu mencekiknya.
Begitulah, maka anak murid
Sing-siok-pay yang lain sama menjerit kaget demi menyaksikan sekali sengkelit
saja seorang suheng mereka sudah terbunuh oleh bocah kepala besi itu.
Sing-siok Lokoay adalah
seorang tokoh termasyhur, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cara
sengkelit Goan-ci yang tidak sengaja itu dapat dilihatnya dengan jelas, ia pikir
tenaga pembawaan bocah ini memang luar biasa, tapi ilmu silatnya tiada sesuatu
yang istimewa. Maka sekali melompat maju, segera sebelah
tangannya memegang topi baja
pemuda itu terus ditekan ke bawah.
Karena tidak berjaga-jaga,
seketika Goan-ci tertindih hingga tekuk lutut oleh tenaga mahakuat itu, ia
hendak menegak lagi, tapi kepalanya serasa menyunggi sebuah gunung hingga tak
bisa berkutik sama sekali, terpaksa ia memohon, "Ampun, Losiansing!
Ampun!”
Mendengar itu, hati Ting
Jun-jiu tambah lega lagi. Katanya segera, "Besar sekali nyalimu ya, berani
kau bunuh muridku? Siapakah gurumu, hah?”
"Aku... aku tidak punya
guru, aku... aku pun tidak berani membunuh muridmu!” sahut Goan-ci dengan
gelagapan.
Ting Jun-jiu pikir orang toh
tak mampu berbuat apa-apa lagi, lebih baik dibinasakan saja. Maka ia lantas
angkat tangannya, waktu Goan-ci berdiri, terus saja telapak tangannya memukul
dada anak muda itu.
Keruan Goan-ci kaget setengah
mati, cepat ia menangkis sebisanya, dan karena datangnya pukulan Sing-siok
Lokoay itu sangat lambat, maka tangan Goan-ci segera menempel telapak tangan
iblis tua itu.
Justru hal inilah yang
diinginkan Ting Jun-jiu, segera racun yang sudah terhimpun pada telapak tangan
disalurkan melalui arus tenaga dalamnya yang mahakuat.
Itulah
"Hoa-kang-tay-hoat” yang terkenal selama berpuluh tahun. Selama hidupnya
hanya pernah satu kali dikalahkan orang, biasanya lawan pasti akan binasa
seketika di bawah ilmu saktinya yang lihai itu.
Sebenarnya ia tidak perlu
menggunakan ilmu sakti itu untuk menghadapi seorang bocah hijau pelonco seperti
Goan-ci, terutama mengingat setiap kali ilmu itu digunakan juga akan mengurangi
sebagian tenaga murninya dan melemahkan kadar racun yang mengeram dalam tubuhnya
itu. Tapi ia menyaksikan sendiri Goan-ci sedikit pun tidak keracunan meski
telah meraba ke-16 padri Thian-tiok itu, maka ia tidak berani gegabah dan
terpaksa mengeluarkan ilmu saktinya yang khas itu.
Dan begitu kedua tangan
beradu, tubuh Goan-ci lantas menggeliat dan tergetar mundur enam atau tujuh
langkah. Bahkan tenaga sodokan lawan itu masih belum habis, akhirnya ia jatuh
terjungkal, malahan terus berjungkir balik hingga tiga kali, habis itu baru
berhenti.
Sebaliknya ketika tangan Ting
Jun-jiu kebentur tangan pemuda itu, tiba-tiba dada terasa "nyes” dingin.
Menyusul arus tenaga dalam yang tersedia di telapak tangan mendadak membanjir
keluar dengan cepat luar
biasa. Lekas-lekas ia mengerem
sekuatnya, tapi arus tenaga dalam itu masih hendak menuang keluar, terpaksa ia
menjungkir, dengan kepala di bawah dan kaki di atas ia putar beberapa kali, ia
gunakan cara menguatkan tenaga bertahan dari perguruannya, dengan demikian
barulah keluarnya tenaga murni itu dapat dihentikan.
Kemudian ia melompat bangun, seketika
rambut dan jenggot menjengkit dan muka pucat pasi, sikapnya sangat menakutkan,
sambil pentang kedua tangan yang lebar, segera ia bermaksud menubruk pula ke
arah Goan-ci.
Saat itu Goan-ci sedang
berlutut sambil menyembah dan berseru, "Ampun, Losiansing! Ampun! Ampun!”
Sesudah gebrakan barusan ini,
Ting Jun-jiu merasa apa yang digunakan pemuda itu adalah Hoa-kang-tay-hoat dari
perguruannya, malahan dengan latihannya yang sudah berpuluh tahun dan sudah
sempurna, kecuali tenaga dalamnya sedikit lebih kuat daripada pemuda itu, kalau
bicara tentang lihainya racun dalam tubuh, malah dirinya kalah setingkat,
sehingga dalam gebrakan ini dirinya yang kecundang.
Biasanya hubungan persaudaraan
dalam Sing-siok-pay hanya mengutamakan kuat dan lemahnya ilmu silat
masing-masing, sama sekali tiada persoalan budi kebaikan segala, semakin tinggi
kepandaiannya semakin tidak kenal ampun di antara mereka dan pasti saling
membunuh. Kalau dikalahkan orang luar, mungkin pihak lawan masih mau mengampuni
jiwanya, tapi bila kecundang di tangan saudara seperguruan sendiri pasti jiwa
tak berampun.
Dan sekarang sudah terang
gamblang Goan-ci berada di pihak yang menang, mengapa malah berteriak minta
ampun? Apakah sengaja mempermainkan aku? Dari mana pula pemuda itu berhasil
meyakinkan "Hoa-kangtay-hoat”? Demikianlah Sing-siok Lokoay Ting Jun-jiu
merasa heran, curiga, dan malu pula.
Tapi dasar dia memang licik
dan licin, lahirnya sedikit pun tidak kentara akan perasaannya itu. Sekali
lompat segera ia melayang ke depan Goan-ci dan bertanya, "Kau minta ampun
padaku dengan sungguh-sungguh atau pura-pura?”
Berulang-ulang Goan-ci
menyembah, sahutnya, "Dengan hati tulus hamba mohon Losiansing suka
mengampuni jiwaku!”
"Jadi kau... kau....”
tiba-tiba tergerak hati Ting Jun-jiu sebelum lanjut ucapannya. Segera ia ganti
suara, "Kau telah mencuri Pek-giok-giok-tingku, sekarang kau sembunyikan di
mana barang itu?”
Dasar Sing-siok Lokoay itu
memang cerdik, ia pikir orang yang mampu meyakinkan Hoa-kang-tay-hoat, harus
menggunakan Pek-giok-giok-ting dan kalau dia tanya di mana beradanya giok-ting
itu boleh jadi akan dapat
diketahui asal usul bocah
bertopi baja ini.
Maka Goan-ci telah menjawab,
"Ti... tidak, Siaujin tidak mencuri giok-ting milik Losiansing itu. Setiap
kali habis dipakai, selalu Nona sendiri menyimpannya lagi, Siaujin tidak pernah
diperbolehkan memegangnya.”
Hanya sekali tanya saja sudah
dapat diperoleh berita tentang Pek-giok-giok-ting itu, keruan girang Ting
Jun-jiu tidak kepalang. Segera katanya pula, "Hah, kau berani menyangkal?
Justru Nona bilang kau yang mencurinya?”
"Ampun, Losiansing,
Siaujin benar-benar tidak mencuri!” demikian Goan-ci bertobat. "Malahan
sejak Nona selesai melebur ulat sutra itu, lalu Siaujin tidak pernah melihat
giok-ting itu lagi, mengapa Siaujin dituduh mencurinya? Jika Losiansing tidak
percaya, boleh silakan memanggil Nona untuk ditanyai.”
"Baik, jika begitu
pengakuanmu, marilah kita pergi menemui Nona dan kalian berdua boleh
membuktikan siapa yang benar,” kata Ting Jun-jiu.
"Men... menemui Nona,
kata Losiansing?” Goan-ci menegas.
"Ya,” sahut Ting Jun-jiu.
"Sekarang juga kita pergi mencarinya agar perkara yang sebenarnya menjadi
jelas. Apakah kau yang mencuri atau bukan tentu hari ini akan ketahuan.”
"Tapi... tapi Nona jauh
berada di negeri Liau sana, mana dapat diketemukan hari ini juga?” ujar
Goan-ci. "Namun... namun....”
Tanpa sengaja Sing-siok Lokoay
dapat mengetahui jejak A Ci, keruan girangnya tidak kepalang. Segera ia tanya,
"Namun apa?”
"Namun kalau Losiansing
ingin pergi juga ke Lamkhia, dengan sendirinya Siaujin bersedia mengiringi ke
sana,” kata Goan-ci.
Sing-siok Lokoay memang benar
seorang mahacerdik, biarpun tidak dapat melihat air muka Goan-ci, cukup
mendengar ucapannya saja segera ia tahu pemuda itu sangat berharap bertemu
dengan A Ci.
Ia kenal watak manusia,
siapakah gerangannya yang tidak suka pada wanita cantik. Sedangkan A Ci itu,
gadis remaja yang cantik menggiurkan, maka ia duga Thi-thau-jin ini tentu
sangat kesengsem kepada anak dara itu.
Tapi dengan sengaja ia coba
memancing lagi, "Ah, buat apa jauh-jauh pergi ke Lamkhia sana? Biarlah
kukirim beberapa pembantuku yang lihai ke sana untuk membunuh budak itu saja
dan merampas kembali giok-ting itu.”
Benar juga Goan-ci menjadi
gugup demi mendengar A Ci hendak dibunuh, cepat katanya, "Tidak, tidak!
Jangan, jangan....”
Maka makin yakinlah Ting Jun-jiu
akan kebenaran dugaannya itu, ia pura-pura tanya, "Jangan apa?”
Wajah Goan-ci menjadi merah,
dengan gelagapan ia menjawab, "Ini... ini....”
"Ini apa? Kau ingin
memperistrikan si budak A Ci itu, betul tidak?” tanya Ting Jun-jiu dengan
terbahak-bahak.
"Memperistrikan A Ci”,
hal ini sudah tentu menjadi idam-idaman Goan-ci, cuma ia tidak berani
membayangkan kemungkinan itu, hanya diam-diam tersimpan dalam lubuk hatinya.
Ia menghormati A Ci, memuji A
Ci, yang dia harapkan asal dapat dijadikan kuda atau budak anak dara itu agar
sekadar dapat melihatnya setiap hari dan itu pun sudah puas baginya dan
sekali-kali tidak pernah timbul maksudnya yang lebih dari itu.
Kini Ting Jun-jiu tanya secara
terang-terangan padanya, seketika ia jadi terkesima, kepala menjadi pusing dan
berdirinya limbung, akhirnya ia jawab juga, "O, ti... tidak....”
Melihat sikapnya itu, makin
yakinlah Sing-siok Lokoay akan dugaannya. Segera ia mempunyai rekaan,
"Entah dengan cara apa dan entah karena kebetulan, maka unsur racun yang
tersimpan dalam tubuh bocah ini ternyata jauh lebih hebat daripada diriku. Aku
harus menerimanya untuk menyelidiki rahasia ilmunya, kemudian mengisap unsur
racun dalam tubuhnya itu, habis itu barulah kubunuh dia.”
Bagi Sing-siok Lokoay, jiwa
orang itu dianggapnya tiada bedanya seperti jiwa binatang. Dalam tubuh Yu
Goan-ci terdapat racun yang aneh dan hebat, itu berarti suatu mestika yang
susah dicari, maka dia bertekad akan menguras racunnya itu, kemudian pemuda itu
akan dibunuh.
Menangkap ular atau binatang berbisa
harus menggunakan Pek-giok-giok-ting, sekarang untuk memancing "manusia
berbisa” sebagai Yu Goan-ci juga diperlukan sesuatu umpan. Dan umpan yang
paling baik adalah si A Ci yang sangat dirindukan pemuda itu.
Mendapatkan "manusia
berbisa”, menemukan kembali giok-ting, kemudian memberi hukuman setimpal kepada
A Ci. Sekali jalan tiga hasil, sungguh hal ini sangat menyenangkan Sing-siok
Lokoay Ting Jun-jiu.
Maka ia tanya pula,
"Ingin kutanya padamu, jika kujodohkan A Ci sebagai istrimu, kau mau
tidak?”
Sudah tentu seribu kali
Goan-ci mau, biarpun suruh dia mati mendadak juga mau. Tapi ia tidak berani
menjawab terus terang, katanya dengan gugup, "Mana... mana bisa jadi?
Siaujin adalah... adalah budaknya Nona, hanya sesuai untuk dimaki dan digebuk olehnya.
Mana Siaujin berani mimpi memperistrikan bidadari sebagai... sebagai Nona itu.
Harap jangan lagi Losiansing bicara demikian, bila diketahui Nona, wah,
tentu... tentu akan celakalah diriku.”
"Celaka apa?” ujar Ting
Jun-jiu. "A Ci adalah muridku, dan murid harus turut pada perintah guru.
Kalau aku suruh dia menjadi istrimu, masakah dia berani membangkang? Dia
mencuri giok-tingku, jika aku tidak membunuh dia itu sudah merupakan kemurahan
hatiku, masakah dia berani membantah lagi pada perintahku?”
"Apakah betul Nona itu...
murid Losiansing?” tanya Goan-ci ragu.
Tadi di tempat sembunyinya ia
dengar tanya-jawab Sing-siok Lokoay dengan anak muridnya dan diketahui A Ci
memang betul adalah murid si kakek, cuma ia sangsi gadis yang cantik agung
sebagai A Ci itu masakah seperguruan dengan manusia-manusia yang rendah dan
pengecut itu, sungguh hal ini sangat janggal.
Maka dengan terbahak Ting
Jun-jiu menjawab, "Eh, kau tidak percaya? Hahahaha!”
Lalu ia tuding muridnya si
hidung singa dan menyambung pula, "Coba uraikan, bagaimana bentuk gadis
itu?”
Segera si hidung singa
bercerita, "Tahun ini A Ci berumur 16, muka potongan daun sirih,
janggutnya agak lancip, di bawah bibir sebelah kanan terdapat andeng-andeng
kecil. Perawakannya lencir, kulitnya putih bersih, ia suka pakai baju warna
ungu dan ikat pinggang warna kuning telur.”
Apa yang diuraikan itu memang
betul adalah bentuk A Ci, maka setiap kali si hidung singa mengucap satu
kalimat, setiap kali pula
jantung Goan-ci berdebur. Akhirnya Goan-ci tidak sangsi lagi, katanya dengan
suara rendah, "Betul, memang begitulah keadaan Nona.”
"Nah, jika kau ingin
mengambil sebagai istri, itulah soal gampang,” kata Ting Jun-jiu. "Cuma
dalam perguruan kami ada suatu peraturan, murid perempuan tidak boleh menikah
dengan orang luar, tapi harus dengan saudara seperguruannya sendiri. Maka...
ya, sudahlah, biarpun macammu ini sangat aneh, mengingat jasamu tadi, jika kau
mau mengangkat aku sebagai guru, dapat juga aku menerimamu.”
Tentang "memperistrikan A
Ci” sebenarnya tidak berani diharapkan Goan-ci akan menjadi kenyataan, tapi
lantas terpikir olehnya, "Ya, jika aku mengangkat Losiansing ini sebagai
guru, maka aku akan menjadi saudara seperguruan dengan Nona....”
Melihat pemuda itu masih ragu
tanpa memberi reaksi apa-apa, segera Ting Jun-jiu berkata pula, "Si budak
cilik A Ci itu sebenarnya cukup cantik juga, banyak sekali di antara saudara
seperguruannya ingin memperistrikan dia. Tapi bila kau menjadi muridku,
mengingat jasamu tadi, boleh juga akan kuberikan hak istimewa kepadamu.”
Sudah tentu Goan-ci sangat
tertarik oleh janji itu, pikirnya, "Kalau aku melepaskan kesempatan baik
ini, tentu aku akan menyesal selama hidup. Betapa pun aku... aku tidak ingin
Nona diperistri oleh kawanan manusia rendah mirip binatang seperti mereka ini.”
Terdorong oleh pikiran itu,
terus saja ia berlutut dan menyembah, "Suhu, Tecu Yu Goan-ci ingin masuk
perguruanmu, mohon Suhu suka menerima.”
"Tapi dalam perguruan
kami banyak sekali peraturan-peraturan keras, apakah kau sanggup menaati? Jika
diperintah guru, apakah kau menurut dengan sungguh hati?” tanya Ting Jun-jiu.
"Tecu akan taat dan akan
tunduk pada segala perintah Suhu,” sahut Goan-ci.
"Andaikan guru hendak
mengambil nyawamu apakah kau mau mati dengan rela?” tanya pula Ting Jun-jiu.
"Tentang ini... ini....”
Goan-ci menjadi ragu.
"Coba pikir dulu, kalau
rela bilang rela, kalau tidak katakan tidak,” ujar Sing-siok Lokoay.
"Kalau bisa aku ingin
hidup seribu tahun lagi, sudah tentu aku tidak rela jika kau cabut nyawaku,”
demikian Goan-ci membatin. "Walaupun begitu, toh bila perlu kelak aku
dapat lari, andaikan tidak dapat lari, biarpun tidak rela juga tak dapat
berbuat apa-apa bila dia sudah berkeras akan mencabut nyawaku.”
Karena itu, segera ia
menjawab, "Atas segala budi kebaikan Suhu, Tecu rela mati demi Suhu.”
"Bagus, bagus!” seru Ting
Jun-jiu dengan tertawa. "Nah, kau boleh bersumpah untuk itu.”
Pikiran Goan-ci tergerak,
segera katanya, "Tecu Yu Goan-ci kalau tidak memenuhi janji itu, biarlah
kelak akan mati di bawah hukuman Suhu yang mengerikan, boleh dicencang hingga
hancur luluh dan mayat tak terkubur.”
Ting Jun-jiu terdiam sekejap,
segera ia berkata dengan tertawa, "Kau bocah kepala besi ini licin juga.
Kau katakan bila tidak turut perintah guru sudah tentu dihukum mati olehku.
Maka sumpahmu ini sama saja seperti tidak diucapkan. Tapi biarlah, asal kau
ingat baik-baik janjimu ini. Nah, sekarang coba ceritakan pengalaman selama hidupmu,
uraikan sejelas-jelasnya.”
Karena tak dapat menolak,
terpaksa Goan-ci menceritakan secara ringkas penghidupannya yang sengsara
selama ini, tapi ia tidak mau mencemarkan nama baik ayahnya, maka ia tidak
mengaku berasal dari keluarga Yu di Cip-hian-ceng, ia hanya mengaku sebagai
anak petani yang diculik oleh orang-orang Cidan, di negeri Liau sana bertemu
dengan A Ci, lalu diajak si gadis untuk menangkap ular dan binatang berbisa
lainnya.
Ketika Goan-ci bercerita
tentang menangkap ulat sutra yang aneh itu, tampak Ting Jun-jiu sangat tertarik
dan mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan ia tanya pula keadaan dan
bentuk ulat sutra itu dengan teliti. Dari air mukanya tertampak iblis tua itu
mengiler sekali kepada ulat sutra yang hebat itu.
Diam-diam Goan-ci membatin,
"Suhu ini bukan manusia baik-baik, jika aku ceritakan tentang kitab bahasa
Sanskerta yang kuperoleh itu tentu akan dirampas olehnya.”
Sebab itulah ketika Ting
Jun-jiu berulang-ulang tanya ilmu aneh apakah yang pernah diyakinkan olehnya, tetap
Goan-ci tidak cerita tentang kitab Ih-kin-keng itu.
Ting Jun-jiu sendiri tidak
kenal ilmu sakti dalam Ih-kin-keng, maka ia cuma menyangka kepandaian yang
terdapat pada diri pemuda bertopi baja itu adalah khasiat dari ulat sutra
dingin. Dalam hati ia mencaci maki habis-habisan, "Sungguh sayang, makhluk
mestika yang susah dicari itu tanpa sengaja dapat disedot ke dalam tubuh setan
ini, benar-benar sangat sayang!”
Dan ketika Goan-ci bercerita
tentang Sam-ceng dan akhirnya ditawan ke Siau-lim-si, mendadak Ting Jun-jiu
menepuk paha dan berseru, "Hah, jadi Sam-ceng Hwesio mengatakan ulat sutra
dingin itu diperoleh dari puncak Kun-lun-san? Itulah bagus! Jika ada satu, tentu
ada dua dan tiga. Cuma luas pegunungan Kun-lun itu ada beribu-ribu li, jika
tiada penunjuk jalan, tentu ulat dingin itu akan sukar ditangkap.”
Karena ia sendiri tadi sudah
merasakan betapa mukjizatnya Han-giok-jan, yaitu racun ulat sutra yang terdapat
dalam tubuh Goan-ci ketika mereka saling gebrak, maka ia rasa makhluk kecil itu
jauh lebih berharga daripada Pek-giok-giok-ting apa segala. Tentang mencari
kembali giok-ting dan membunuh A Ci boleh dikesampingkan dahulu, mendapatkan
ulat sutra dingin itu lebih penting.
Maka ia lantas tanya,
"Sam-ceng Hwesio itu sekarang masih berada di Siau-lim-si, bukan? Hah,
bagus, bagus! Boleh kita suruh dia menunjukkan jalan dan membawa kita ke
Kun-lun-san untuk menangkap ulat dingin itu.”
"He, tidak bisa jadi!”
kata Goan-ci sambil goyang-goyang kepalanya yang berat itu. "Sam-ceng itu
sangat galak, belum tentu dia mau pergi bersama kita. Lagi pula dia sedang
menjalani hukuman dan dikurung dalam sebuah kamar batu oleh hwesio di
Siau-lim-si sana, dia tidak dapat keluar sesukanya.”
"Hahaha, dia galak? Dia
tidak mau pergi bersama kita? Kan aneh?” ujar Ting Jun-jiu dengan tertawa,
"Baiklah, mari kita pergi ke Siau-lim-si dan mencari akal untuk
mengeluarkan dia dari sana!”
Goan-ci tidak menjawab, ia
ragu apakah Sam-ceng dapat dibawa lari begitu saja mengingat di Siau-lim-si
tidak sedikit hwesio sakti.
"Kenapa diam saja?” tegur
Ting Jun-jiu demi tampak pemuda itu tidak bersuara.
"Tecu khawatir para
toahwesio Siau-lim-si itu tidak mau melepaskan Sam-ceng,” sahut Goan-ci.
Biarpun Sing-siok Lokoay suka
malang melintang dalam segala hal, tapi terhadap Siau-lim-si betapa pun ia
tidak berani memandang ringan. Tapi terdorong oleh keinginan menangkap ulat
sutra sakti itu, bahaya apa pun juga akan ditempuhnya.
Ia pikir tidak perlu bertempur
dengan para kepala gundul Siau-lim-si, cukup asal diam-diam Sam-ceng Hwesio
dibawa lari, kan beres urusannya. Masakah untuk menculik seorang hwesio gendut
saja Sing-siok Lokoay tidak mampu?
Tapi Goan-ci masih
takut-takut.
"Kau didampingi suhumu,
apa yang kau takutkan?” tanya Lokoay.
"Tapi... tapi di
Siau-lim-si terdapat juga seorang padri dari Se-ek (benua barat), dia... dia
akan membunuhku,” tutur Goan-ci.
"Padri dari Se-ek?
Bagaimana ilmu silatnya? Apakah lebih tinggi daripada ke-16 padri Se-ek yang
sudah mati ini?” tanya Ting Jun-jiu.
"Tecu tidak tahu,” sahut
Goan-ci. "Cuma dia berada dalam tahanan hwesio Siau-lim-si, maka dapat
diduga ilmu silatnya tidak terlalu tinggi.”
"Dengan mudah saja ke-16
padri asing ini telah kubinasakan, kalau cuma seorang saja masakah aku takut?”
demikian Ting Jun-jiu terbahak-bahak. "Marilah sini, hari ini kau telah
mengangkat guru padaku, biar Suhu memberi hadiah perkenalan padamu, nah,
tempelkan telingamu ke sini!”
Dengan takut-takut Goan-ci
mendekati orang dengan perlahan. Lalu Ting Jun-jiu berbisik di telinganya,
"Jika kau bertemu dengan hwesio asing itu, asal dalam hati kau berkata
‘Sing-siok Losian, Sing-siok Losian, lindungilah Tecu, atasi musuh dan rebut
kemenangan, satu-tiga-lima-tujuh-sembilan.’ Habis itu pukul sekali di tempat
ini, di bahu kirinya, dengan demikian meski gurumu berada betapa jauhnya juga
akan mengetahui kesukaranmu dan mengeluarkan ilmu saktinya untuk membantumu.
Seterusnya hwesio itu pasti akan sangat menghormat padamu, sedikit pun tidak
berani membikin susah lagi padamu. Nah, ini adalah ilmu pertama ajaran gurumu
ini, harus kau ingat baik-baik.”
"Apakah di tempat ini?”
tanya Goan-ci sambil meraba pundak kiri sendiri.
"Benar,” sahut Ting
Jun-jiu. "Dan jangan sekali-kali kau beri tahukan kepada orang lain, sebab
ini adalah ilmu mukjizat perguruan kita sendiri. Hendaknya ingat dengan baik
kalimat mantra tadi.”
Segera Goan-ci menghafalkan
sekali lagi dengan suara perlahan. Ting Jun-jiu mengangguk-angguk, katanya,
"Ehm, bagus, ingatanmu ternyata tidak jelek. Ayolah sekarang kita
berangkat ke Siau-lim-si!”
Goan-ci tidak berani
membantah, segera ia bawa rombongan orang-orang itu menuju Siau-lim-si. Waktu
magrib, dari jauh sudah kelihatan bangunan biara yang termasyhur itu.
Ting Jun-jiu berkata kepada
para muridnya, "Kalian tidak becus apa-apa, kalau ikut ke sana akan
mengganggu malah, maka lebih baik kalian sembunyi saja di hutan sini, hanya A
Yu saja yang ikut ke sana bersamaku.”
Para muridnya sama mengiakan,
bahkan si hidung singa lantas berkata, "Sesudah Suhu bunuh habis keledai
gundul Siau-lim-si itu, harap memberi tanda agar Tecu sekalian segera menyusul
ke sana untuk memberi selamat pada Suhu.”
Di luar dugaan Sing-siok
Lokoay mendelik padanya, semprotnya, "Selamanya hwesio Siau-lim-si tidak
berani mengutik seujung rambut pun Sing-siok-pay kita, tanpa sebab buat apa
membunuh mereka?”
Mestinya si hidung singa
bermaksud menjilat pantat, tapi keliru alamat hingga dipersen dengan dampratan
malah. Keruan ia menyengir dan mengiakan berulang-ulang.
Segera Goan-ci ikut sang suhu
menuju ke Siau-lim-si. Berjalan di belakang Ting Jun-jiu, dengan jelas Goan-ci
melihat lengan baju kakek itu longgar berkibar tertiup angin, langkahnya gesit
dan enteng mirip dewa dalam lukisan saja, mau-tak-mau timbul juga semacam rasa
hormatnya.
"Dengan mengangkat guru
kepada seorang tokoh seperti ini, sengaja dicari pun mungkin sukar didapatkan.
Tentang urusan Nona A Ci segala tak perlu dipersoalkan, yang terang dengan
sandaran seorang guru sehebat ini, paling tidak aku takkan takut lagi dianiaya
orang.”
Dalam pada itu mereka sudah
sampai di jalan besar yang menuju ke atas gunung. Ketika mereka hampir sampai
di gardu di luar biara, yaitu gardu yang merupakan ruangan tunggu bagi kaum
pengunjung, tiba-tiba mereka mendengar suara derapan kaki kuda dari belakang,
dua penunggang tampak datang secepat terbang.
Sebagai orang yang kenyang
dihajar orang, demi tampak ada kuda lari datang, segera Goan-ci berkata kepada
Sing-siok Lokoay, "Suhu, ada kuda lewat! Suhu!”
Berbareng ia lantas menyingkir
ke tepi jalan.
Sebaliknya Ting Jun-jiu anggap
sepi saja terhadap apa yang dikatakan Goan-ci itu, ia masih berjalan dengan
gaya bebas menurut arahnya sendiri. Maka ketika kedua ekor kuda, seekor hitam
dan seekor kuning itu kirakira beberapa meter sampai di belakang Ting Jun-jiu,
mendadak kuda-kuda itu menyisih ke samping dan melampauinya dari kanan-kiri.
Tiba-tiba kedua penunggang
kuda itu menoleh dan memandang sekejap pada Ting Jun-jiu dan Yu Goan-ci.
Ternyata penunggang kuda hitam itu pun berbaju hitam mulus, perawakannya kurus
kecil, tapi penuh semangat dan tampak sangat cekatan. Adapun penunggang kuda
kuning juga memakai jubah warna kuning, raut mukanya juga sangat kurus, tapi
perawakannya jangkung, alisnya panjang, sikapnya agak aneh, usianya lebih tua
daripada si baju hitam.
Melihat Goan-ci memakai
kerudung besi pada kepalanya, kedua orang itu merasa sangat heran. Tapi segera
mereka berpaling kembali, setiba di gardu tunggu, mereka melompat turun dan
menambat kuda mereka itu di pilar gardu.
Kemudian si baju kuning mengeluarkan
sebuah kotak kecil, ia angkat kotak itu sambil berseru keras-keras,
"Pay-san!”
Siau-lim-si adalah pusat
persilatan Tionggoan, maka sepanjang tahun tiada sedikit orang gagah dari
segenap lapisan yang datang berkunjung, yaitu apa yang biasa disebut
"pay-san” (menyembah gunung). Di sebelah gardu tunggu itu ada sebuah rumah
kecil, di situ tinggal Ti-khek-ceng atau hwesio penyambut tamu.
Maka demi mendengar suara
tadi, segera padri penerima tamu memapak keluar. Katanya sambil memberi hormat,
"Silakan mengaso sebentar tuan tamu. Siauceng bernama Hi-hong, terimalah
hormatku.”
Si baju kuning balas
menghormat sambil mengucapkan kata-kata merendah. Begitu pula si baju hitam
juga memberi hormat.
Pada saat itulah Ting Jun-jiu
bersama Goan-ci juga sudah sampai di gardu tunggu itu.
Terdengar Hi-hong, si padri
penyambut tamu itu sedang tanya, "Numpang tanya siapakah nama tuan-tuan
yang mulia?”
"Kanglam Buyung Hok yang
datang pay-san!” sahut si baju kuning.
"Lam Buyung, Pak Kiau
Hong”, istilah ini boleh dikata terkenal oleh setiap orang Bu-lim. Maka demi
mendengar nama Kanglam Buyung Hok, segera hati Ting Jun-jiu tergetar. Ia coba
melirik si baju kuning, dilihatnya orang itu tinggi kurus, melihat air mukanya
yang pucat itu orang lebih percaya kalau dia pasti seorang penderita tebese,
sungguh tidak sesuai dengan nama "Lam Buyung” yang mahasohor di seluruh
jagat itu. Maka diam-diam ia merasa sangsi.
Hi-hong juga terkejut,
tanyanya segera, "Jadi... jadi tuan sendiri ini Buyung-kongcu?”
Si baju kuning tersenyum,
sahutnya, "Bukan! Aku she Pau, bernama Put-tong!”
Lalu ia tunjuk si baju hitam
dan menyambung, "Dan dia ini saudara angkat kami It-tin-hong....”
"Hah, kiranya Hong Po-ok,
Hong-siya. Kagum, kagum sekali, sudah lama kami kenal nama Hong-siya!” demikian
seru si padri penyambut tamu, Hi-hong, sebelum ucapan Pau Put-tong selesai.
Maka tertawalah si baju hitam
yang bukan lain adalah Hong Po-ok itu, katanya, "Apakah Hui-jiu Suhu dari
biara kalian baik-baik saja?”
"Baik, Hui-jiu Susiok
sangat baik,” sahut Hi-hong. "Beliau sering mengatakan bahwa Hong-siya
adalah seorang laki-laki sejati, seorang kesatria dengan ilmu silat yang
tinggi, Susiok sudah lama merindukan dirimu.”
"Haha, tempatku ini
pernah dipukul sekali oleh dia hingga rasa jarum itu tidak hilang selama
sebulan,” kata Hong Po-ok dengan tertawa sambil meraba pundak kirinya.
"Tapi punggungnya juga kena kutendang, rasanya tendangan itu juga tidak enteng.”
Lalu tertawalah ketiga orang
itu bersama.
Seperti sudah dikenal, Hong
Po-ok itu seorang yang tangkas dan suka berkelahi, paling suka mencari onar dan
bertengkar, sebab itulah beberapa tahun yang lalu pernah ia berkelahi dengan
Hui-jiu Siansu dari Siau-lim-si, kesudahannya seri, sama kuat. Dan dari
berkelahi akhirnya kedua orang menjadi sahabat baik malah.
Begitulah, kemudian Hi-hong
beralih kepada Ting Jun-jiu dan bertanya, "Dan siapakah she yang mulia
Losiansing ini?”
"Aku she Ting,” sahut
Sing-siok Lokoay dengan angkuh.
Pada saat itu juga kembali dua
penunggang kuda datang dengan cepat, mendengar suara lari kuda itu, Hi-hong
menoleh, ia lihat seekor kuda itu berwarna merah cokelat, penunggangnya juga
memakai jubah panjang warna merah yang sama, itulah seorang laki-laki gagah dan
kekar. Sedang kuda yang lain berwarna hijau kelabu,
penunggangnya juga memakai
jubah dengan warna sama.
Sesudah dekat, kedua orang itu
melompat turun dari kuda mereka. Maka jelas kelihatan si jubah merah itu
bermuka lebar, telinganya besar, usianya sekitar setengah abad, sikapnya yang
berwibawa itu mirip seorang pembesar. Sedangkan si baju hijau tua itu adalah
seorang siucay (gelar ujian sastra) berusia sedikit lebih muda daripada si baju
merah, kedua matanya redup sepat seperti orang kurang tidur.
Segera Hong Po-ok menyapa,
"Toako, Jiko, ini Hi-hong Taysu dari Siau-lim-si!”
Lalu ia pun memperkenalkan
mereka kepada Hi-hong, "Dan ini adalah Ting-toako kami, Ting Pek-jwan!”
Menyusul ia tunjuk si siucay
dan berkata, "Dan yang itu adalah jiko kami, Kongya Kian.”
Hi-hong memberi hormat dan
berkata, "Sudah lama kami dengar nama Ting-toaya dan Kongya-jiya yang
terhormat, hari ini sudi berkunjung ke biara kami, sungguh suatu kehormatan
besar bagi kami.”
"Ah, Taysu terlalu
memuji,” sahut Ting Pek-jwan dan Kongya Kian berbareng.
Mereka hanya bicara satu
kalimat saja, tapi suaranya memekak dan mendengung telinga pendengarnya.
Kiranya suara Ting Pek-jwan itu sangat lantang, meski bicaranya seperti
perlahan saja, tapi sudah cukup memekakkan anak telinga orang lain.
"Sekejap lagi kongcu kami
akan tiba, harap Taysu suka melaporkan,” segera Kongya Kian berkata.
"Baik,” sahut Hi-hong.
"Silakan kalian tunggu sebentar di sini, segera Siauceng laporkan kepada
para Supek dan Susiok agar menyambut kemari.”
"Terima kasih,” kata Ting
Pek-jwan sambil melirik ke arah Ting Jun-jiu dan Yu Goan-ci, ia tidak tahu
bagaimanakah asal-usul kedua orang ini.
Sementara itu Hi-hong lantas
masuk ke Siau-lim-si dengan terburu-buru. Ia tahu belum lama berselang di
Siaulim-si telah berkumpul banyak kesatria Tionggoan untuk berunding cara
bagaimana menghadapi Buyungkongcu yang serbamahir dalam berbagai macam ilmu
silat di dunia ini. Tapi tidak lama berunding lantas terjadi peristiwa Kiau
Hong membikin rusuh di Siau-lim-si dan menempur para kesatria di Cip-hian-ceng.
Karena itu, perhatian para
kesatria lantas berpindah atas diri "Pak Kiau Hong” hingga dengan
sendirinya melupakan "Lam Buyung”, banyak perbuatan keji di dunia Kangouw
orang sama menyangka dilakukan oleh "Koh-soh Buyung”, tapi karena
peristiwa Kiau Hong itu hingga sebagian tuduhan kepada Lam Buyung itu berpindah
atas diri Kiau Hong.
Siapa duga dalam keadaan
sekarang inilah tahu-tahu Buyung-kongcu datang di sini, keruan hal ini sama
sekali tak tersangka oleh ketua Siau-lim-si, Hian-cu Siansu, dan padri sakti
lainnya. Segera Tat-mo-ih Siuco, ketua ruang Tat-mo yaitu Hian-lan Taysu
diperintahkan menyambut keluar dengan memimpin 15 orang padri saleh yang lain.
Dari Hi-hong mereka mendapat
tahu bahwa empat orang yang dikirim datang lebih dulu oleh Buyung-kongcu itu
sangat sopan, tampaknya tidak bermaksud jahat, apalagi Hui-jiu Siansu juga
memuji Hong Po-ok adalah seorang kawan sejati, maka Hian-lan dan kawannya tidak
membawa senjata apa-apa, mereka yakin dengan nama Buyung-kongcu yang
termasyhur, sekalipun ingin mencari perkara ke Siau-lim-si juga tidak mungkin
datang-datang lantas main hantam begitu saja....
Sementara itu sesudah Hi-hong
pergi melapor akan kedatangan Buyung-kongcu, segera Hong Po-ok bertingkah lagi,
sesuai wataknya suka cari onar itu. Dengan keheran-heranan ia lantas mengincar
dan mengamat-amati kerudung besi di atas kepala Yu Goan-ci.
Makin dilihat makin tertarik,
hingga akhirnya ia mengitari Goan-ci, ia lihat kerudung besi itu dilas dengan
sangat rapat, untuk membukanya terang sukar. Melihat tingkahnya itu sungguh ia
ingin ketok beberapa kali kerudung besi itu.
Ting Pek-jwan sudah kenal
watak saudara angkatnya yang suka cari perkara itu, kalau dicegah malah makin
menjadi-jadi, maka ia pun tidak ambil pusing padanya.
Dan sesudah Hong Po-ok
mengitar sejenak, tiba-tiba ia menegur Goan-ci, "Hai, Sobat, selamat!”
"Ya, aku... aku selamat,
kau pun selamat, sama-sama selamat!” sahut Goan-ci dengan takut-takut demi
melihat potongan Hong Po-ok yang tangkas, petantang-petenteng dan agresif itu.
"Eh sobat, apa-apaan
kerudung besi yang kau pakai ini?” tanya Hong Po-ok pula. "Aku sudah
pernah menjelajahi antero dunia, tapi tidak pernah melihat muka orang semacam
dirimu ini.”
Goan-ci merasa malu dan
menunduk, sahutnya dengan tak lancar, "Ya, aku... aku sendiri tidak
kuasa... tidak berdaya....”
Dasar Hong Po-ok memang berjiwa
kesatria, suka membela kaum lemah dan mendobrak segala ketidakadilan. Mendengar
ucapan Goan-ci yang mengharukan itu, segera ia tanya, "Siapakah orang yang
jahil itu hingga membuat kepalamu sedemikian rupa? Coba katakan, aku orang she
Hong justru ingin kenal cecongor orang itu?”
Sembari bicara, berulang ia
pun melirik ke arah Sing-siok Lokoay, ia sangka apa yang dikeluhkan Goan-ci itu
tentulah perbuatan kakek itu.
Namun Ting Jun-jiu hanya
tersenyum-senyum saja sambil balas menatap orang dengan sinar mata yang tajam.
"Bu... bukan perbuatan
guruku,” demikian Goan-ci menjelaskan.
"Habis siapa? Orang
baik-baik kenapa mesti dikerudung selapis besi seperti ini, apa sih maksudnya?
Marilah, biar kulepaskan saja!” habis berkata terus saja Po-ok mencabut sebilah
belati yang mengilap tajam, lalu hendak membuka kerudung besi di kepala
Goan-ci.
Keruan Goan-ci ketakutan, ia
tahu kerudung besi itu sudah lengket dengan kulit dagingnya, kalau dibuka
secara paksa, itu berarti akan membahayakan jiwanya. Maka cepatan ia goyang-goyang
kedua tangannya sambil berseru, "He, jangan, jangan!”
"Tidak perlu takut,” kata
Hong Po-ok. "Belatiku ini memotong besi bagaikan memotong sayur saja, akan
kukupas kerudung besi itu dan pasti takkan melukai kulitmu.”
Tapi Goan-ci tetap menolak,
"Tidak, jangan!”
"O, apa barangkali kau
takut kepada orang yang memasang kerudung ini, ya?” tanya Po-ok. "Jangan
khawatir, bila ketemu dia, katakan bahwa It-tin-hong yang menanggalkan
kerudungmu ini, karena kau tidak berdaya apaapa, jika dia marah, boleh suruh
jahanam itu cari padaku.”
Habis berkata, segera ia
pegang tangan kiri Goan-ci.
Melihat belati orang mengilap
tajam itu, Goan-ci jadi ketakutan, ia berteriak-teriak, "Suhu! Tolong,
Suhu!”
Tapi saat itu Sing-siok Lokoay
Ting Jun-jiu lagi enak-enak berjalan santai di luar gardu untuk menikmati
pemandangan alam yang indah, terhadap seruan Goan-ci itu ia sengaja pura-pura
tidak dengar.
Dalam gugupnya, Goan-ci ingat
kepada ilmu membela diri yang pernah diajarkan Ting Jun-jiu, segera ia
mengucapkan mantra itu dalam hati, "Sing-siok Losian, Sing-siok Losian,
lindungilah muridmu, mengatasi musuh dan rebut kemenangan, satu-tiga-lima-tujuh-sembilan!”
"Plok”, tiba-tiba dengan
tangan kanan ia gaplok sekali di belakang bahu kiri Hong Po-ok.
Tak tersangka bahwa tempat
yang ditepuknya itu adalah "thian-cong-hiat”, suatu tempat hiat-to penting
di punggung orang.
Padahal saat itu Hong Po-ok
mencurahkan perhatiannya hendak mengupas kerudung besi Goan-ci, khawatir kalau
mengupasnya kurang tepat hingga melukai kepalanya, maka sama sekali tidak
menduga akan diserang secara mendadak dari belakang. Bahkan tenaga gaplokan itu
kuat luar biasa, tempat yang diarah adalah tempat berbahaya pula di tubuh
manusia.
Keruan Hong Po-ok bersuara
tertahan sekali, kontan ia roboh terjungkal. Syukur ia seorang cekatan, meski
terkena serangan itu, sekuatnya ia masih bertahan, cepat tangan kiri menahan
tanah, sekali tolak segera ia lompat bangun, tapi darah segar lantas menyembur
juga dari mulutnya.
Tentu saja Ting Pek-jwan,
Kongya Kian, dan Pau Put-tong sangat terkejut demi tampak Goan-ci mendadak
turun tangan keji dan saudara angkat mereka kecundang, mereka menjadi lebih
kaget ketika melihat air muka Hong Po-ok pucat lesi.
Cepat Kongya Kian memegang
nadi Hong Po-ok, terasa denyut nadinya sangat cepat dan keras, itulah tanda
keracunan hebat. Tergerak pikiran Kongya Kian, segera ia tuding Goan-ci dan
memaki, "Anak setan, kiranya kau ini anak murid Sing-siok Lokoay yang
celaka itu dan sekali turun tangan lantas melukai orang secara keji!”
Sembari bicara, segera ia
keluarkan sebuah botol kecil dan menuang sebiji pil penawar racun dan
dijejalkan ke mulut Hong Po-ok.
Sedang Ting Pek-jwan dan Pau
Put-tong berbareng melompat maju untuk mengadang di depan Ting Jun-jiu
dan Yu Goan-ci.
Sifat Pau Put-tong yang
berangasan sesungguhnya tidak di bawah Hong Po-ok, bahkan ia lebih gapah, lebih
agresif dan ngotot tidak mau kalah. Saat itu sudah kumpulkan tenaga pada tangan
kiri, kelima jari sudah siap mencengkeram dada Goan-ci.
Syukurlah Pek-jwan keburu
mencegahnya, "Nanti dulu, Samte!”
Maka Pau Put-tong sempat
menahan serangannya, ia berpaling menanti komando saudara angkat itu lebih lanjut.
Tapi Pek-jwan berkata,
"Di sini adalah wilayah kekuasaan Siau-lim-si, siapa yang benar dan salah
tentu akan diputuskan oleh Hongtiang di sini secara adil dan bijaksana, kalau
kita saling gebrak begini saja, ini berarti tidak mengindahkan orang Siau-lim-si.”
Memang tidak salah pikir Pau
Put-tong, kalau dia sembarangan bertempur dengan orang di luar Siau-lim-si,
tentu dia akan dituduh memandang enteng kepada tuan rumah. Apalagi Siau-lim-pay
sudah mempunyai kesan buruk terhadap "Koh-soh Buyung”, lebih baik dirinya
jangan membuat onar lagi. Adapun murid Sing-siok-pay itu tampaknya juga tidak
seberapa kepandaiannya, tidak perlu khawatir orang akan dapat melarikan diri.
Pula dilihatnya Ting Jun-jiu
itu bermuka muda dan berambut tua, sikapnya berwibawa, terang seorang kosen
yang berilmu, meski didengarnya Goan-ci memanggil suhu padanya, tapi tampaknya
kakek itu seorang baikbaik dari kalangan cing-pay, tidak mungkin orang dari
Sing-siok-pay. Kalau dirinya ngotot terus, bukan mustahil akan membuat runyam
urusan Kongcu.
Karena itu perlahan Pau
Put-tong menurunkan kembali tangannya. Dalam pada itu Kongya Kian telah
memayang Hong Po-ok untuk didudukkan ke lantai, tertampak badan adik angkat itu
gemetaran dan gigi gemertukan, menggigil kedinginan seperti orang terjeblos dalam
jurang es.
Biasanya Hong Po-ok itu sangat
tangkas, entah berapa kali ia terluka dalam pertempuran yang pernah
dilakukannya. Biarpun terluka parah biasanya juga dapat ditahannya, sedikit pun
tidak mau unjuk kelemahan.
Tapi sekali ini, ia
benar-benar tidak berkuasa lagi, selang sejenak bahkan bibirnya juga membiru
saking kedinginan, mukanya yang pucat tadi juga bersemu hijau.
Mestinya pil penawar racun
milik Kongya Kian itu sangat manjur, tapi sesudah diminum Hong Po-ok, hasilnya
ternyata nihil, sedikit pun
tidak memberi reaksi apa-apa.
Keruan Kongya Kian heran dan
khawatir, cepat ia periksa pernapasan saudara angkat itu, tapi mendadak tangan
terasa ditiup oleh serangkum angin mahadingin dan merasuk tulang. Lekas ia
tarik kembali tangannya dan berseru, "Celaka! Mengapa sedemikian lihai
dinginnya?”
Ia pikir jika napas yang
diembuskan Hong Po-ok itu sudah sedemikian dinginnya, maka racun dingin yang
mengeram dalam tubuhnya terang terlebih bukan main dinginnya.
Ia tahu keadaan sudah sangat
mendesak, tidak sempat lagi untuk menunggu datangnya padri Siau-lim-si, segera
ia berpaling dan menegur Ting Jun-jiu, "Apakah Anda ini guru si orang
bertopi besi ini? Saudara angkatku terkena pukulan kejinya, harap suka memberi
obat penawarnya.”
Padahal racun yang mengenai
Hong Po-ok itu adalah bisa ulat sutra dingin yang dicurahkan dengan lwekang
yang diperoleh Goan-ci dari Ih-kin-keng, jangankan Ting Jun-jiu tidak mungkin
memiliki obat penawarnya, andaikan punya juga tidak nanti dia mau kasih.
Dalam pada itu Ting Jun-jiu
lihat pintu gerbang Siau-lim-si telah dibuka, berpuluh hwesio berbaris keluar
berturut-turut, dipandang dari jauh, terlihat tujuh atau delapan orang yang
berjalan di depan itu memakai kasa, terang hwesio tua yang mempunyai kedudukan
tinggi dalam Siau-lim-si dan kini keluar hendak menyambut Buyung-kongcu.
Ia pikir jika kawanan hwesio
itu sudah datang, untuk meloloskan diri tentu sukar, sebaliknya dengan
keluarnya hwesio sebanyak itu, tentu penjagaan dalam biara menjadi kendur dan
ada kesempatan baik untuk menyergap dari arah belakang sana untuk menculik
Sam-ceng Hwesio.
Karena pikiran itu, segera
Sing-siok Lokoay mengebaskan lengan bajunya hingga menjangkitkan serangkum
angin keras.
Seketika Ting Pek-jwan dan
kawan-kawan merasa sambaran angin itu sangat menusuk mata, segera air mata
mereka bercucuran karena terasa pedas dan susah dibuka lagi. Diam-diam mereka
mengeluh, "Celaka!”
Mereka tahu lengan baju si
kakek itu mengandung bubuk racun yang halus dan ditebarkan dengan lwekang
ketika mengebas tadi.
Begitu mereka pikir, tanpa
urus musuh lagi segera mereka mengadang di depan Hong Po-ok lebih dulu, sebab
khawatir pihak lawan akan turun tangan lebih keji.
Pada saat lain, tiba-tiba
Pek-jwan merasa dari samping ada angin berkesiur, tanpa pikir lagi sebelah
tangannya menghantam ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh, batu pasir
berhamburan, kiranya pukulannya tepat mengenai pilar gardu hingga pilar yang
cukup besar itu dihantam patah, sebagian gardu itu lantas ambruk hingga genting
pecah bertebaran. Ketika mereka membuka mata lagi, sementara itu Ting Jun-jiu
dan Yu Goanci sudah menghilang entah ke mana.
Melihat Ting Pek-jwan merusak
gardu, padri Siau-lim-si yang hendak menyambut itu mengira dia sengaja cari
perkara dan mengacau, semuanya menjadi gusar, dengan langkah cepat mereka
memapak ke gardu itu.
Saat itu Ting Pek-jwan dan Pau
Put-tong sudah mengejar musuh dari dua jurusan, hanya tinggal Kongya Kian saja
yang masih menjaga Hong Po-ok di situ.
Melihat keadaan kedua orang
itu, Tat-mo-ih Siuco Hian-lan Taysu lantas tahu ada kejadian luar biasa, segera
ia tanya, "Apa yang terjadi, para Sicu?”
"Seorang bocah bertopi
besi menghantam sekali pada saudara angkat kami ini, pukulannya berbisa lihai,
Toako dan Samte sedang mengejar mereka!” sahut Kongya Kian.
Hian-lan melengak oleh
keterangan itu, katanya, "Bocah bertopi besi katamu? Orang itu kan tidak
tahu ilmu silat! Bukankah dia pekerja kasar di kebun sayur sana?”
Segera seorang hwesio di
sebelahnya mengiakan.
Tengah keadaan masih kacau,
tiba-tiba terdengar lagi suara derapan kuda lari dari bawah gunung, kembali
seorang penunggang kuda datang dengan cepat.
Seketika Kongya Kian
berseri-seri girang, katanya, "Itulah dia Kongcu!”
Tapi demi melihat kuda yang
datang itu berwarna hijau muda, air mukanya berubah muram lagi.
Mendengar orang menyebut
"kongcu”, segera padri-padri Siau-lim-si itu menduga pasti Buyung-kongcu
sendiri yang datang, maka
mereka sama memerhatikan pendatang itu.
Sejenak kemudian, sampailah
penunggang kuda itu di depan gardu. Ternyata penunggang kuda ini seorang gadis
cilik berbaju warna hijau muda. Setelah dia melompat turun dari kuda kelihatan
tubuhnya langsing, potongannya menggiurkan.
Melihat Kongya Kian, cepat
gadis itu berseru, "Jiko, apakah Enci A Cu berada di sini?”
Kiranya gadis cilik yang
cantik ini adalah dayang Buyung-kongcu, yaitu pemilik Khim-im-siau-tiok, A Pik
adanya.
Tempo hari waktu A Cu berpisah
dengan dia dan menyamar sebagai hwesio untuk mencuri kitab ke Siau-limsi, sudah
sekian lama A Cu belum kembali sehingga A Pik sangat khawatir, setiap hari ia
mendesak agar Buyung Hok suka mencari A Cu.
Tapi karena Buyung Hok sendiri
lagi banyak urusan, ia tidak ingin bercekcok dengan Siau-lim-pay hanya karena
membela seorang pelayan nakal. Dan sesudah tertunda sekian lama, mau-tak-mau ia
khawatir juga atas keselamatan A Cu, pula setiap hari direcoki oleh A Pik,
akhirnya terpaksa ia bawa penggawa-penggawanya datang ke Siau-lim-si.
Kongya Kian tidak menjawab
pertanyaan A Pik tadi, sebaliknya ia berseru, "Di manakah Kongcu? Di mana
beliau?”
Dengar suara orang yang
khawatir dan cemas itu, segera A Pik memburu ke dalam gardu dan berkata,
"Di tengah jalan Kongcu melihat seorang hwesio sedang menguber seorang nona,
beliau ingin menolong gadis itu untuk membela keadilan, maka aku disuruh
berangkat ke sini dulu dan beliau akan segera menyusul.... He, Siko, kenapa
engkau?” demikian dengan terkejut ia memburu ke samping Hong Po-ok, ia lihat
rambut Hongsiko itu sudah berubah karena terbeku selapis es yang tipis.
Segera A Pik bermaksud
menjamah tangan Hong Po-ok, tapi dicegah Kongya Kian dengan berkata, "Site
terkena racun yang jahat, jangan kau sentuh dia.”
Di antara penggawa
Buyung-kongcu, yaitu Ting Pek-jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong, Hong Po-ok, A
Cu, dan A Pik, biasanya mereka saling sebut sebagai kakak dan adik, hubungan
mereka melebihi saudara sekandung. Maka demi mendengar siko mereka keracunan, A
Pik gusar dan terkejut. Seketika ia melototi hwesio-hwesio Siau-lim-si dan
berkata, "Apakah kawanan toahwesio ini yang mencelakai Siko? Hei,
Toahwesio, lekas serahkan obat penawarnya untuk menolong Siko!”
Tapi Kongya Kian lantas
berkata, "Bukan perbuatan mereka!”
Pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar suara genta di Siau-lim-si ditabuh bertalu-talu,
seketika air muka para hwesio itu berubah.
Bunyi genta yang keras dan
gencar itu tak diketahui apa maksudnya oleh Kongya Kian dan A Pik, tapi mereka
dapat menduga pasti di biara itu terjadi sesuatu yang gawat.
Maka tertampaklah dari pintu
samping Siau-lim-si berlari keluar dua hwesio berjubah kelabu dan menuju ke
arah gardu tunggu. Ginkang kedua hwesio itu sangat hebat hingga dalam sekejap
saja mereka sudah sampai di depan gardu, segera seorang di antaranya memberi
hormat kepada Hian-lan dan berkata, "Lapor Supek, belakang gunung
kemasukan musuh. Hian-thong Supek telah terluka!”
Hian-lan mengangguk-angguk
tanda tahu, segera ia tanya, "Musuh ada berapa orang? Bagaimana macamnya?”
Ia tanya dengan sikap tenang,
tapi sebenarnya sangat terperanjat atas kekuatan musuh, sebab Hian-thong
terhitung salah satu jago terkemuka angkatan "Hian” dalam Siau-lim-si,
yaitu angkatan yang tertua, betapa lihainya musuh juga Hian-thong mampu
melawannya dalam waktu tertentu, siapa duga datang-datang musuh lantas dapat
melukainya, hal ini benar-benar sangat luar biasa.
Maka padri tadi melapor lagi,
"Entah berjumlah berapa orang musuh itu, juga tak diketahui bagaimana
macam mereka.”
Hian-lan berkerut kening dan
melirik sekejap ke arah Kongya Kian. Dalam hati ia menduga itu pasti siasat
komplotan Koh-soh Buyung yang sengaja hendak menyergap Siau-lim-si dan orang
yang sekali gebrak melukai Hian-thong itu pasti Buyung Hok sendiri.
Namun saat itu Kongya Kian
lagi sibuk mengawasi keadaan Hong Po-ok, maka ia tidak memerhatikan sikap
Hian-lan yang mencurigai pihaknya.
Dalam pada itu para hwesio
yang berada di situ sudah lantas terpencar hingga Kongya Kian bertiga terkepung
di tengah.
Keluarnya padri-padri
Siau-lim-si secara besar-besaran itu adalah ingin menyambut kedatangan Buyung
Hok, tapi yang akan disambut tidak kelihatan batang hidungnya, hal ini memang
sudah menimbulkan rasa curiga mereka, kini mendengar pula suara genta tanda
bahaya dan diketahui pula Hian-thong dilukai musuh, sudah tentu mereka menaruh
tuduhan keras kepada orang-orangnya Buyung Hok.
Sementara itu suara genta tadi
mendadak berhenti, lalu seorang hwesio berlari datang memberi lapor lagi,
"Di belakang biara dipergoki dua orang, seorang mengaku she Ting, katanya
bawahan Buyung-si dari Koh-soh, seorang lagi menggeletak terluka, sedangkan
musuh sudah lari entah ke mana!”
Keruan Kongya Kian terkejut,
cepat ia tanya, "Siapakah yang terluka itu? Apakah seorang laki-laki kurus
berbaju kuning?”
Hwesio yang melapor itu tidak
menjawab pertanyaannya, tapi sinar matanya penuh mengunjuk rasa waspada
terhadap musuh, dan dari air mukanya itu dapat terlihat nyata bahwa orang yang
terluka itu memang betul seorang lelaki berbaju kuning, yaitu Pau Put-tong.
Sudah tentu Kongya Kian sangat
khawatir, tapi demi teringat Hong Po-ok juga terluka, terang dirinya tidak
dapat tinggal pergi. Mengenai samte yang juga terluka itu, rasanya takkan
beralangan karena didampingi oleh sang toako.
Melihat Kongya Kian tiada
maksud jahat dan A Pik juga seorang gadis jelita yang lemah lembut dan tidak
membahayakan, maka berkatalah Hian-lan, "Apakah Buyung-kongcu akan segera
tiba? Kami siap menyambutnya dengan hormat!”
"Terima kasih,” sahut A
Pik sambil memberi hormat. "Cuma baru saja di tengah jalan Kongcu melihat
seorang hwesio jahat sedang menguber seorang nona, maka beliau telah tampil
untuk menolongnya, terpaksa kedatangan beliau akan sedikit terlambat....”
Hian-lan merasa kurang senang,
katanya, "Para padri biara kami biasanya sangat prihatin dan sopan, mana
mungkin ada yang membikin susah kaum wanita? Apa yang dikatakan Nona barusan
kuanggap saja sebagai ucapan anak kecil, lain kali kalau bicara hendaknya
hati-hati.”
Jilid 49
"Tapi... tapi memang
betul begitu,” ujar A Pik gugup, "dan... dan hwesio itu kan belum tentu
dari Siau-lim-si sini.”
"Berpuluh li di sekitar
Siau-sit-san ini setiap hwesio tentu ada sangkut pautnya dengan biara kami,
tapi nona bicara....” sebenarnya ia hendak mendamprat A Pik, tapi melihat
kelemahlembutannya, ia jadi tidak tega dan urung melanjutkan ucapannya.
Sesudah termenung sejenak, ia
menduga kedatangan Buyung Hok pasti tidak mengandung maksud baik, tidak perlu
ditunggu lagi, maka katanya pula, "Silakan kalian bertiga mengaso dulu ke
dalam biara kami untuk menantikan datangnya Buyung-kongcu.”
Dengan ucapan itu, maksudnya
adalah untuk menahan Kongya Kian bertiga secara halus, jika Kongya Kian menolak
undangan itu, boleh jadi terpaksa akan dipakai kekerasan.
Tak terduga Kongya Kian terus
menerimanya dengan baik, katanya, "Terima kasih, kami terpaksa mesti
membikin repot Taysu sekalian!”
Lalu ia pondong Hong Po-ok dan
mendahului melangkah ke pintu biara dengan cepat.
Sambil berjalan A Pik bertanya
juga kepada padri yang melapor tadi, "Thaysuhu, luka samko kami itu berat
atau tidak? Yaitu lelaki kurus berbaju kuning yang kumaksudkan. Bagaimana
keadaan lukanya, apakah... apakah kawanmu yang melukainya?”
Waktu itu semua orang sedang
berjalan dengan langkah cepat, apalagi Hian-lan masih berada di situ,
sebenarnya hwesio itu tidak berani bicara, cuma A Pik bertanya dengan ramah
tamah, ucapannya enak didengar, hingga mau-tidak-mau hwesio itu menjawabnya
dengan suara perlahan, "Sicu berbaju kuning itu....”
Sampai di sini ia tuding Hong
Po-ok dan melanjutkan, "lukanya serupa dengan tuan ini, dan bukan kami
yang menyerangnya.”
Tapi sesudah merandek sejenak,
kembali ia berkata, "Agaknya... agaknya orang dari sia-pay yang
menyerangnya.”
Lalu ia pun berpaling dan
berkata kepada Hian-lan lagi, "Luka yang dialami Hian-thong Supek itu pun
sama seperti mereka.”
Hian-lan melengak kaget.
"Jadi Hian-thong Sute juga kedinginan dari menggigil seperti ini?”
tanyanya cepat.
"Betul,” sahut hwesio
itu.
Hian-lan terheran-heran. Ia
bergumam sambil berpikir, "Jadi luka mereka bertiga serupa?”
"Badan Hian-thong Supek
terasa dingin sebagai es, maka Hongtiang telah menyalurkan Kim-kong-ciang-lik
(tenaga sakti) untuk menolongnya, tapi belum lagi sembuh,” tutur hwesio itu.
Mendengar ucapan "belum
lagi sembuh” itu nadanya tidak meyakinkan, segera Hian-lan dapat menduga bahwa
murid keponakan itu tidak ingin unjuk kelemahan di hadapan orang luar, maka
cuma mengatakan "belum lagi sembuh,” padahal yang benar adalah "sama
sekali tidak manjur.”
Hian-lan sudah menyaksikan
penderitaan Hong Po-ok akibat serangan racun dingin itu, lalu ia khawatir juga
atas diri sang sute, tanpa bicara lagi mendadak ia melayang ke depan, begitu
cepat hingga dalam sekejap saja hanya tertampak bayangan merah menyelinap
hilang di balik pintu sana.
"Kepandaian yang hebat!”
diam-diam Kongya Kian memuji dan tercengang oleh ginkang padri tua itu.
Setelah rombongan mereka
sampai ruangan tamu di samping pendopo Tay-hiong-po-tian, karena padri
Siaulim-si memandang Kongya Kian bertiga pasti adalah musuh mereka, maka sikap
mereka agak kurang hormat, cuma demi kehormatan mereka sebagai tuan rumah yang
ternama, mau-tak-mau mereka menyilakan duduk dan menyuguhkan minuman kepada
para tamu.
"Di manakah saudara
angkat kami yang terluka itu? Di mana dia?” demikian Kongya Kian lantas tanya
dengan tak sabar.
Tiba-tiba dari ruangan
belakang ada suara sahutan orang yang keras lantang, "Jite, aku berada di
sini! Samte juga kena serangan musuh secara keji!”
Menyusul tertampaklah Ting
Pek-jwan masuk ruangan tamu dengan memondong Pau Put-tong, mukanya tampak muram
sedih, kemudian Pau Put-tong diletakkannya di kursi.
Segera Kongya Kian menuang
tiga butir pil penawar racun dan dijejalkan ke mulut Pau Put-tong.
"Wah, Thi-thau-siaucu (Si
Bocah Kepala Besi) itu benar-benar sang... sangat aneh, aku... aku kena....”
baru sekian Pau Put-tong bicara atau giginya lantas gemertukan karena menggigil
kedinginan hingga tidak sanggup meneruskan.
Segera A Pik mengeluarkan
saputangan untuk mengusap keringat di kening kedua saudara angkat itu, tapi
lantas diketahuinya bahwa dalam sekejap saja butiran keringat itu sudah membeku
menjadi es.
Tengah A Pik merasa bingung
dan heran, sementara itu dari ruangan belakang telah masuk empat hwesio tua. Seorang
di antaranya lantas berkata kepada Pek-jwan, "Ting-sicu, Hian-thong Suheng
kami juga dilukai oleh Thi-thau-jin itu, ilmu sihir bocah itu memang sangat
lihai, maka Hongtiang bilang agar kedua saudara angkat tuan yang juga terluka
itu harap minum dulu ‘Cing-gi-liok-yang-tan’ buatan biara kami, lalu kami akan
memberi bantuan tenaga pula dengan ‘Sun-yang-lo-han-kang’.”
Sungguh girang Ting Pek-jwan
tidak kepalang. Ia tahu obat Cing-gi-liok-yang-tan itu adalah obat mujarab
Siau-lim-si yang terkenal di seluruh jagat, untuk menyembuhkan racun dingin
khasiatnya boleh dikata "cespleng”, sekali minum obat itu pasti akan
sembuh.
Sedangkan
"Sun-yang-lo-han-kang” adalah semacam lwekang khas yang cuma dimiliki oleh
orang Siau-lim-si. Orang yang meyakinkan Sun-yang-lo-han-kang harus masih
jejaka, dan sedikitnya harus melatih diri dengan giat selama 40-50 tahun untuk
bisa mencapai tingkatan yang sempurna.
Pada umumnya orang yang dapat
meyakinkan Sun-yang-lo-han-kang itu adalah padri Siau-lim-si yang menjadi
hwesio sejak kanak-kanak hingga tua, makanya masih bertubuh jejaka. Kalau orang
biasa yang sudah pernah kawin pasti takkan jadi meyakinkan ilmu sakti itu.
Tahu akan betapa hebatnya
lwekang itu, segera Ting Pek-jwan dan Kongya Kian menyatakan terima kasih.
Lalu hwesio tua itu
mengeluarkan dua butir pil sebesar biji kelengkeng, warnanya merah tua dan
diminumkan kepada Pau Put-tong dan Hong Po-ok. Keempat hwesio tua itu terbagi
dalam dua kelompok, dua orang melayani seorang, segera mereka gunakan telapak
tangan masing-masing untuk menahan bagian dada dan
punggung Pau Put-tong dan Hong
Po-ok, mereka menyalurkan lwekang murni ke tubuh penderita.
Selang agak lama, rasa
menggigil dingin Pau Put-tong dan Hong Po-ok lantas berhenti, air muka mereka
yang pucat kehijau-hijauan itu pun hilang lambat laun.
Akhirnya keempat hwesio tua
itu menarik kembali tangan masing-masing. Hwesio yang menjadi tertua tadi
berkata, "Kedua Sicu sekarang tak beralangan lagi!”
"Terima kasih atas
pertolongan para Taysu, Buyung-kongcu dan kami sekalian merasa utang budi,”
kata Ting Pek-jwan dengan rendah hati.
"Ah, hanya urusan kecil
saja kenapa mesti dipersoalkan?” sahut si padri tua.
Sebaliknya Pau Put-tong merasa
penasaran meski sudah ditolong, omelnya, "Huh, terima kasih? Kita dilukai
oleh pekerja kasar di biara ini, ayolah kita mencari ketua mereka untuk
membikin perhitungan.”
Pek-jwan kenal perangai
saudara angkatnya yang berangasan dan suka ngotot itu, tidak peduli apa yang
dikatakan orang, tentu dia debat dan bantah menurut pendiriannya. Apalagi
menurut pembicaraan padri Siaulim-si tadi, katanya bocah bertopi besi itu
memang betul adalah pekerja kasar biara mereka sendiri. Jika begitu, apa yang
dikatakan Put-tong itu juga bukan tiada beralasan sama sekali. Namun apa pun
juga orang sudah menyembuhkan lukanya yang parah tadi, patut juga kalau
menyatakan rasa terima kasih kepada mereka.
Maka dengan tertawa Pek-jwan
berkata kepada hwesio tua, "Maaf Taysu, saudara kami ini memang demikian
wataknya, suka ribut dengan siapa pun juga....”
Belum selesai ia berkata,
tertampak Ti-khek-ceng Hi-hong masuk ke situ dan berkata, "Hongtiang
mengundang tuan-tuan ke sana!”
Segera Pek-jwan berlima ikut
para padri itu menuju ke belakang, lalu keluar biara induk dan menuju ke suatu
rumah samping di sebelah barat.
Biasanya hongtiang atau ketua
Siau-lim-si kalau menemui tetamu tentu diadakan di ruangan resmi dalam biara
induk mereka, tapi sekali ini telah pindah ke rumah samping.
Pek-jwan saling pandang
sekejap dengan Kongya Kian, mereka tahu hal ini disebabkan ikut hadirnya A Pik.
Sebab selamanya kaum wanita dilarang masuk ke Siau-lim-si, tapi demi
menghormati tetamunya, hongtiang mau juga menerima A Pik dan mengalah menemui
mereka di ruangan samping. Hal ini boleh dikata suatu kehormatan besar bagi para
penggawa Buyung Hok itu.
Sesudah Hi-hong membawa para
tamunya masuk ke rumah itu, maka tertampaklah di situ sudah duduk lima hwesio
tua. Seorang yang duduk di tengah beralis putih panjang, berwajah welas asih.
Segera hwesio tua itu berbangkit menyambut kedatangan tetamunya.
Pek-jwan tahu hwesio itu
adalah Hian-cu Taysu, ketua Siau-lim-si yang termasyhur di seluruh jagat itu,
cepat ia melangkah maju dan memberi hormat.
Hanya Pau Put-tong saja meski
ikut juga memberi hormat, tapi ia mengomel, katanya Siau-lim-si adalah
bengbun-cing-pay (aliran suci dan golongan ternama), tapi dalam biara ternyata
ada orang yang mahir menggunakan segala macam ilmu sesat yang jahat, kalau tersiar,
tentu Siau-lim-si akan ditertawai kesatria seluruh jagat, dan macam-macam
gerundelan lagi.
Hian-lan duduk di ujung
pinggir, ia dapat mendengar omelan Pau Put-tong itu, seketika ia menarik muka,
ia tuding seorang tua yang berperawakan tinggi besar tapi lesu, katanya,
"Hian-thong Sute kami juga kena serangan musuh. Penjahat itu sengaja
dikirim oleh orang sia-pay untuk memata-matai Siau-lim-si kami, kenapa kami
yang disalahkan?”
Lalu ia berpaling kepada
Hi-hong dan berkata pula, "Lekas panggil Sam-ceng, asal-usul Thi-thau-jin
itu harus ditanya secara jelas, mengapa sampai dia dapat menyelundup ke dalam
biara kita?”
"Lapor Susiokco, Sam-ceng
telah dibawa lari orang,” tutur Hi-hong. "Serangan mendadak kawanan
penjahat sekali ini agaknya memang bertujuan hendak menolong Sam-ceng.”
Seketika air muka Hian-lan
berubah, ia termenung tanpa bicara lagi.
"Sam-ceng sedang dihukum
dalam Ciam-hwe-pang, ketika penjahat menyerbu masuk, Hian-thong Susiokco telah
berusaha merintangi, dan karena itulah beliau dilukai musuh,” demikian tutur
Hi-hong pula.
Sinar mata Hian-lan beralih ke
arah Hian-thong dengan penuh tanda tanya.
Segera berceritalah
Hian-thong, "Ketika aku lalu di belakang Kay-lut-ih, kebetulan kulihat
seorang kakek bermuka merah dan berambut putih sedang berlari keluar sambil
menggendong Sam-ceng. Melihat gelagat yang mencurigakan itu, segera aku
menegurnya. Tapi mendadak kakek itu melontarkan pukulan ke arahku. Cepat aku
menangkis, tak terduga tenaga pukulan kakek itu ternyata sangat aneh, telapak
tangannya seperti timbul daya sedot hingga tenaga dalamku terbetot melalui
telapak tanganku yang beradu dengan tangannya itu....”
Seketika air muka Hian-lan
bertambah gelisah, katanya, "Hah, apakah itu Hoa-kang-sia-sut (Ilmu
Pemunah Tenaga) dari Sing-siok-pay?”
"Tatkala itu aku pun
berpikir demikian,” kata Hian-thong, "maka lekas kukerahkan tenaga untuk
melawannya. Tiba-tiba kakek itu membentak, ‘Lekas turun tangan!’ Dan tahu-tahu
seorang mendekati punggungku, tanpa terasakan angin pukulan apa-apa, tahu-tahu
bahu kiriku belakang kena digaplok sekali. Pukulan itu menimbulkan rasa dingin
yang merasuk tulang dan susah ditahan. Ketika aku menoleh, kiranya yang
menyerangku itu adalah Thi-thau-jin yang bekerja dalam biara kita itu....
Kukira... kukira Thi-thau-jin itu mungkin... ooohh!” sampai di sini mendadak
tubuhnya tergeliat dan giginya gemertukan.
Dan pada saat itu pula Pau
Put-tong dan Hong Po-ok juga kumat racun dingin yang mengeram dalam tubuh
mereka. Saking tak tahan kaki mereka jadi lemas dan terkulai ke lantai, cepat
mereka mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk bertahan sedapatnya.
Pau Put-tong dan Hong Po-ok
adalah dua tokoh ternama dalam Bu-lim, biasanya mereka sangat menjaga harga
diri, apalagi watak mereka memang angkuh dan tidak sembarangan mau mengaku
kalah, kalau tidak terpaksa tidak nanti mereka mau berlaku sesuatu yang
memalukan di hadapan padri Siau-lim-si seperti sekarang ini.
Dan selagi semua orang
terperanjat oleh kejadian mendadak itu, di sebelah sana Hian-thong lantas
memberosot juga ke lantai dari tempat duduknya.
Dengan demikian, mau-tak-mau
Hian-cu Hongtiang ikut terkesiap. Ia tahu "Cing-gi-liok-yang-tan” buatan
Siau-lim-si mereka adalah semacam obat mujarab yang khusus dapat menyembuhkan
keracunan apa pun, ditambah lagi bantuan tenaga murni "Sun-yang-lo-han-kang”
para hwesio tua yang berbadan jejaka tadi, sekalipun racun dingin dalam tubuh
penderita seketika tidak punah semua, paling tidak juga dapat mencegahnya untuk
sementara agar dalam waktu singkat racun dingin itu tidak kumat lagi.
Dengan sendirinya beberapa
hwesio tua tadi juga ikut heran dan kehilangan muka. Segera mereka mengulangi
lagi membantu dengan lwekang sakti dan sesudah sekian lama barulah ketiga orang
itu terhindar dari siksaan racun dingin itu.
"Lohongtiang,” tiba-tiba
A Pik membuka suara, "apakah Enci A Cu berbuat sesuatu kesalahan di biara
sini
hingga kalian mengurungnya
sekian lamanya? Kumohon dengan sangat agar sudilah membebaskan dia,” habis
berkata, ia memberi hormat dengan sungguh-sungguh.
Hian-cu menjadi bingung, cepat
ia membalas hormat dan balas tanya, "Harap nona jangan banyak memakai
peradatan. Kau bilang siapa yang kami kurung di sini?”
"A Cu, Enci A Cu,” A Pik
menegaskan. "Dia masih sangat muda dan suka sembrono, hendaknya para Suhu
dapat memaafkan dia. Sebenarnya aku sudah mohon pada Kongcuya agar suka
mengirim surat untuk minta maaf pada Hongtiang atas kesalahan A Cu itu, tapi
Kongcu bilang Enci A Cu terlalu nakal, kalau diberi sedikit hukuman oleh para
Thaysuhu juga pantas, maka beliau sengaja menunggu setelah A Cu merasakan sedikit
kegetiran barulah sekarang beliau berkunjung kemari untuk minta maaf sendiri
pada kalian.”
Uraian A Pik itu lancar dan
enak didengar, tetapi para hwesio tua itu hanya saling pandang saja, sebab
tidak tahu duduknya perkara yang dimaksudkan.
Seperti diketahui, A Cu yang
nakal itu telah menyelundup ke Siau-lim-si dengan menyamar sebagai hwesio dan
berhasil mencuri kitab Ih-kin-keng edisi aslinya dalam bahasa Hindu kuno. Tapi
dia dipergoki oleh Hiancu Hongtiang hingga terkena pukulan sakti "Tay-pan-yak-kim-kong-ciang”
yang hebat itu, untung dia ditolong oleh Siau Hong hingga cuma menderita luka
dalam saja, tapi jiwanya tidak sampai melayang.
Ketika Hian-cu menyerang A Cu,
sudah tentu ia tidak tahu bahwa hwesio gadungan itu adalah samaran seorang
gadis cilik yang bernama A Cu segala.
Kemudian waktu Siau Hong
membawa A Cu ke Cip-hian-ceng untuk minta obat pada Sih-sin-ih di sana A Cu
berdusta bahwa dia kena dilukai oleh seorang kongcu muda, meski Hian-cit dan
Hian-lan tatkala itu juga hadir di Cip-hian-ceng, tapi sekali-kali mereka tidak
menyangka bahwa A Cu adalah "hwesio” yang mencuri kitab pusaka mereka dan
kena serangan Hian-cu Hongtiang.
Sebab itulah, maka Hian-cu
menjadi bingung demi mendengar uraian A Pik yang tak diketahui ujung pangkalnya
itu. Padahal di dunia ini yang tahu betul duduk perkaranya hanya Siau Hong
seorang.
Begitulah, maka Hian-cu
menjawab dengan ramah, "Mungkin kabar bohong yang didengar nona tentang
kawanmu ditahan dalam biara kami. Sebagai tempat suci yang bersejarah beribu
tahun, tidak nanti ada anak murid kami berani berbuat sewenang-wenang.”
"Aku tidak menuduh kalian
berbuat jahat, tapi kukira Enci A Cu yang nakal itulah yang berbuat sesuatu
kesalahan pada kalian, sebab itulah hari ini Kongcu sendiri akan datang kemari
untuk minta maaf,” demikian
sahut A Pik. "Nah, sekali
lagi kumohon kemurahan hati Hongtiang, sudilah membebaskan Enci A Cu.”
Ia lihat muka Hian-cu welas
asih, sebaliknya Hian-lan berwajah kereng, ia menduga mungkin ada hwesio tua
lain sengaja mempersulit pembebasan A Cu itu, maka segera ia berlutut untuk
menjura juga kepada Hian-cit, Hian-lan, Hian-thong dan lain-lain.
Tapi mendadak Hian-lan
mengebas lengan bajunya, kontan suatu arus tenaga halus tapi mahakuat, menolak
ke depan hingga tubuh A Pik tertahan dan tidak dapat berlutut.
Kepandaian Hian-lan itu
disebut "Siu-li-kian-gun” atau Jagat Dalam Lengan Baju, adalah ilmu yang
tiada bandingannya dari Siau-lim-pay. Keruan A Pik terperanjat juga melihat
betapa hebat kepandaian hwesio tua itu.
Dalam pada itu Hian-lan telah
berkata, "Menurut peraturan Siau-lim-si, selama ini kami tidak menerima
tamu wanita. Tentang Enci nona itu jangankan kami tidak berani menahannya di
sini, bahkan masuk ke sini pasti akan kami tolak. Adapun ruangan ini sudah di
luar lingkungan biara induk kami, demi nona, maka Hongtiang mau menemui kalian
di sini.”
Karena jawaban orang yang
sungguh-sungguh itu, A Pik merasa sedih, katanya dengan mewek-mewek, "Jika
begitu ke manakah perginya Enci A Cu? Tempo hari dia katakan padaku akan datang
ke Siau-lim-si.”
Paras A Pik cantik molek,
tutur katanya lemah lembut, berlainan dengan A Cu yang lincah dan nakal. Para
padri Siau-lim-si itu sudah tirakat sedikitnya berpuluh tahun lamanya, semuanya
sudah jauh daripada rasa hubungan sanak keluarga, tapi kini demi mendengar
ucapan A Pik yang merawan hati itu, mau tak mau dalam hati kecil para hwesio
tua itu timbul semacam rasa welas asih dan memandang gadis cilik di hadapan
mereka itu seakan-akan putri atau cucu perempuan sendiri.
Maka berkatalah Hian-cit
akhirnya, "Hi-hong, boleh kau minta Hui-gwat Supek dari ‘Sian-yan-tong’
supaya menyelidiki di mana beradanya enci nona ini, sesudah diperoleh kabarnya
supaya segera memberitahukan Buyung-kongcu di Koh-soh.”
Ting Pek-jwan dan A Pik tahu
‘Sian-yan-tong’ (Ruang Penghubung Luar) adalah bagian yang mengurus semua
dengan para kesatria Kangouw. Jika Hian-cit sudah memberi perintah begitu,
terang A Cu memang betul tidak pernah datang ke Siau-lim-si. Dan sekali
Siau-lim-si sudah mau bantu mencari, dengan hubungannya yang luas dengan orang
Kangouw, rasanya tidak lama tentu dapat diperoleh kabarnya A Cu. Maka Pek-jwan
dan A Pik sama mengucapkan terima kasih.
Kemudian menjadi giliran Pau
Put-tong untuk ditanya pengalamannya waktu diserang musuh. Maka dengan mata
melotot Put-tong menutur, "Adapun pengalamanku sama saja seperti apa yang
dialami Hian-thong Taysu. Sekalipun nama baik keluarga Buyung Koh-soh hari ini
jatuh habis-habisan, tapi pamor para padri sakti Siaulim-si hari ini juga ikut
luntur, jadi setali tiga uang, satu nasib sama menderita, tidak perlu kita
saling tanya segala.”
Dengan penasaran dan gemas
Hong Po-ok ikut bersuara, "Belum berkelahi apa-apa sudah lantas terluka,
benarbenar aku penasaran dan tidak puas. Jika sudah bertempur lebih dulu 300
jurus dan akhirnya dirobohkan Thithau-jin itu, dengan begitu baru aku tunduk
dan rela.”
Lalu beramai-ramai semua orang
sama membicarakan asal-usul Yu Goan-ci. Semua orang berpendapat lwekang orang
bertopi besi itu tergolong cing-pay murni, tetapi racun dingin pukulannya itu
terlalu jahat dan terang dari aliran sia-pay.
Jadi dalam kepandaiannya yang
jahat itu juga ada dasar lwekang dari aliran baik, hal ini menimbulkan
kesangsian apakah betul dia anak murid Sing-siok-pay?
"Huh, peduli apakah dia
berasal dari kaum cing-pay atau sia-pay,” demikian Put-tong menjengek,
"yang terang tenaga pukulannya itu berbeda tidak jauh daripada
‘Tat-mo-sin-ciang’ Siau-lim-pay kalian.”
Hian-cu saling pandang sekejap
dengan Hian-lan, Hian-cit dan Hian-thong, mereka bungkam saja tanpa menjawab.
Memang dalam hati mereka juga sudah memikirkan hal itu. Tenaga pukulan yang
digunakan Thithau-jin itu memang mirip "Tat-mo-sin-ciang”, bahkan boleh
dikata memang Tat-mo-sin-ciang. Cuma saja di hadapan orang luar, sejak tadi
mereka tidak enak untuk membicarakannya.
Kini secara blakblakan Pau
Put-tong menunjukkan hal itu, betapa pun padri-padri itu menjadi tidak enak
buat membantah. Hanya dalam hati mereka berpikir, "Urusan ini agak ruwet,
rasanya sergapan secara mendadak ini tidak melulu dilakukan oleh kaum siluman
dari Sing-siok-pay saja.”
Agar Pau Put-tong tidak
mendesak terus tentang Tat-mo-sin-ciang itu, segera Hian-lan bertanya kepada
Pekjwan, "Ting-sicu, apakah Buyung-kongcu segera akan datang? Sekarang
kita berdua pihak sedang menghadapi musuh yang sama, kita harus bersatu untuk
melawannya. Jika Buyung-kongcu sudah tiba, tentu beliau akan dapat memberi
pandangan luas untuk menghilangkan kesangsian kita.”
Pek-jwan tidak menjawab
pertanyaan itu, sebaliknya ia memandang pada A Pik.
Maka berkatalah A Pik,
"Sudah kukatakan tadi bahwa di tengah jalan Kongcu teralang oleh karena
ingin
menolong seorang nona yang
sedang diuber-uber seorang hwesio. Nona itu memakai kerudung kain hitam,
perawakannya langsing, ilmu silatnya juga tidak lemah, cuma hwesio yang
mengubernya itu jauh lebih lihai, dari jauh kulihat hwesio itu seperti Hoat-ong
dari negeri Turfan bernama Tay-lun-beng-ong Ciumoti....”
"Hah, Tay-lun-beng-ong
dari negeri Turfan datang ke Tionggoan sini?” seru Hian-cit dan Hian-lan
berbareng dengan terkejut.
"Begitulah menurut
pengakuannya, apakah betul atau tidak, aku pun tidak tahu,” sahut A Pik.
"Mereka lari cepat sekali hingga aku tidak jelas melihatnya. Kongcu lantas
suruh aku berangkat dulu ke sini dan beliau lantas mengejar ke sana.”
Mendengar jawaban itu, Hian-cu
dan Hian-cit kembali saling pandang sekejap lagi. Pikir mereka, "Jika
benar Tay-lun-beng-ong Ciumoti dari Turfan telah datang ke Tionggoan, maka akan
makin banyaklah keonaran di dunia persilatan. Apakah mungkin Thi-thau-jin ini
ada hubungannya dengan Ciumoti? Ilmu silat kalangan Buddha di Turfan juga
berasal dari Thian-tiok, kalau mereka mahir Tat-mo-sin-ciang juga tidak
mengherankan.”
Walaupun dugaannya itu sama
sekali salah, tapi toh masuk akal juga hingga sementara ini dapat membebaskan
mereka dari rasa curiga yang tak terjawab.
Lalu Hian-cu berkata,
"Para tamu datang dari jauh, harap Hian-cit Sute mewakilkan aku melayani
mereka dengan baik, kita akan tunggu kedatangan Buyung-kongcu untuk berunding
lebih jauh.”
Dalam hati para hwesio
Siau-lim-si itu sebenarnya paling khawatir terhadap Buyung-kongcu. Tahun yang
lalu mereka pernah mengundang para kesatria seluruh negeri untuk berunding cara
menghadapi Koh-soh Buyung, tapi berhubung pertarungan sengit di Cip-hian-ceng
di mana Siau Hong dikeroyok, maka enghiong-tay-hwe atau pertemuan besar para
kesatria itu tidak jadi diadakan. Kini melihat Ting Pek-jwan yang merupakan
pembantu utama Buyung-kongcu itu bersikap ramah, meski rasa permusuhan telah
banyak berkurang, tidak urung tetap harus waspada.
Seperti diketahui salah satu
padri saleh Siau-lim-si, yaitu Hian-pi Taysu telah terbunuh di kaki Gunung
Siongsan, dan pukulan yang membinasakannya itu justru adalah "Kim-kong-cu”
yang merupakan kepandaian Hianpi sendiri yang paling diandalkan, sebab itu para
tokoh Siau-lim-si menyangka keras atas diri Koh-soh Buyung yang suka
"menyerang lawan berdasarkan kepandaian lawan” itu.
Kini mendengar orang she
Buyung itu akan berkunjung kemari, mereka sudah bertekad akan bertempur
matimatian untuk membalas sakit hati Hian-pi, siapa tahu mendadak terjadi
peristiwa lain, Buyung-kongcu belum muncul, sebaliknya dua orang pembantu
Buyung-kongcu dan Hian-thong Taysu dari Siau-lim-si telah sama-
sama dilukai oleh ilmu silat
sia-pay yang lihai.
Dilihatnya pula tingkah laku
Ting Pek-jwan sangat agung dan berwibawa, begitu pula kawan-kawannya juga bukan
manusia jahat, meski Pau Put-tong agak kasar dan selalu menantang ucapan siapa
pun, dan Hong Po-ok lagaknya petantang-petenteng menantang, namun tampaknya
juga tidak jahat.
Kalau pembantu-pembantunya
baik, rasanya atasannya juga takkan jelek, tapi segala sesuatu terpaksa harus
menunggu dulu kedatangan Buyung-kongcu sendiri, setelah bertemu dengan tokoh
muda yang selama ini tidak pernah muncul itu barulah dapat ditentukan tindakan
selanjutnya.
Maka setelah pesan sang sute
agar melayani baik-baik tetamunya lalu Hian-cu hendak melangkah pergi.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar suara gedebuk sekali, tahu-tahu Hong Po-ok jatuh
terjungkal. Lekas Kongya Kian membangunkannya. Tapi di sebelah sana Hian-thong
dan Pau Put-tong juga sama roboh.
Ternyata racun dingin dalam
tubuh ketiga orang itu kumat lagi. Padahal "Cing-gi-liok-yang-tan” adalah
obat penawar racun yang paling mustajab milik Siau-lim-si, kalau obat itu tidak
manjur menyembuhkan penyakit mereka, pula "Sun-yang-lo-han-kang” para
hwesio jejaka itu juga tak dapat menyembuhkan, maka jelas tiada obat lain yang
bisa menolong lagi.
Maka untuk seterusnya setiap
satu jam tentu penyakit ketiga orang itu akan kumat satu kali, kalau habis diberi
minum obat, rasa menderita itu lantas hilang, tapi sejam kemudian akan kumat
pula penyakit itu. Sampai esok paginya, tetap semua orang tak berdaya,
sedangkan Buyung-kongcu masih belum tampak tiba.
Karena itu, ketiga orang itu
kembali tersiksa lagi selama satu hari suntuk, kalau terus-menerus begitu,
semua orang yakin ketiga orang penderita itu pasti tak tahan.
Maka Ting Pek-jwan lantas
mohon diri kepada Hian-lan, "Luka kedua saudara angkat kami ini tidaklah
enteng, banyak terima kasih atas segala bantuan dan pertolongan para Taysu yang
telah dilakukan ini, tapi melihat penyakitnya toh sukar disembuhkan, maka ada
maksudku akan pergi minta tolong kepada Sih-sin-ih saja.”
Sejak tadi memang Hian-lan ada
pikiran yang sama, maka jawabnya segera, "Bagus, bagus. Sih-sin-ih kenal
baik dengan Lolap, jika mohon pertolongannya, rasanya beliau takkan menolak.
Dia tinggal di Liu-cong-tin di barat Lokyang, jaraknya tidak terlalu jauh dari
sini, marilah kita segera berangkat saja.”
Pek-jwan sangat girang,
katanya, "Dengan bantuan Taysu, tentu kedua saudara kami akan
tertolonglah.”
Segera ia minta pinjam pensil
dan kertas, buru-buru ia tulis sepucuk surat dan ditinggalkan di Siau-lim-si
untuk Buyung-kongcu kalau beliau itu datang.
Sementara itu sudah tersedia
tiga kereta dorong, Hian-lan pimpin enam orang murid angkatan "Hui”
mengawal ketiga kereta itu. Keenam murid dari angkatan Hui itu usia cukup tua,
semuanya ahli dalam ilmu "Sun-yang-lohan-kang”, dengan demikian mereka
akan dapat membantu sepanjang jalan bila diperlukan para penderita.
Mestinya A Pik ingin tinggal
di Siau-lim-si untuk menantikan datangnya Buyung-kongcu, tapi demi tampak
keadaan Pau Put-tong dan Hong Po-ok sangat payah, ia tidak tega dan ikut
bersama rombongan mereka.
Jarak antara Siau-lim-si dan Liu-cong-tin
itu hanya beberapa ratus li saja, meski jalan pegunungan berliku-liku, tapi
pada hari ketiga mereka sudah sampai di tempat tujuan.
Kediaman Sih-sin-ih itu
ternyata terletak 30 li di utara Liu-cong-tin, yaitu di tengah pegunungan, tapi
dengan tidak terlalu susah akhirnya rombongan Hian-lan dan Pek-jwan dapat
sampai di depan rumah tabib sakti itu.
Hian-lan menunggang kuda
berjalan di depan, ia lihat di tepi sungai kecil sana berdiri beberapa gedung
dengan dinding terkapur putih dan genting warna hitam gelap. Di depan
rumah-rumah itu terdapat sebuah kebun obatobatan yang luas, ia yakin inilah
kediaman Sih-sin-ih.
Segera ia larikan kudanya
lebih mendekat, tapi ia jadi terkejut ketika melihat di depan pintu rumah
gantung dua buah tanglung (lampion) besar terbuat dari kertas putih, yaitu
tanglung yang biasanya tergantung di rumah orang kematian.
Waktu makin mendekat dan
memerhatikan lebih teliti, ia lihat di atas pintu terpantek beberapa helai kain
belacu, di samping pintu terpancang sehelai panji kertas yang biasa dipakai
kias orang mati, nyata benar memang di rumah itu ada kematian orang. Bahkan
lantas dapat dibacanya pula di pinggir tanglung kertas yang besar itu tertulis
dua baris huruf yang berbunyi, "Sih Boh-hoa, meninggal dalam usia 65
tahun”.
Keruan Hian-lan terkejut,
sungguh ia tidak percaya bahwa di rumah Sih-sin-ih ada orang sakit yang tak
dapat disembuhkan? Ia tidak tahu apakah "Sih Boh-hoa” itu nama asli
Sih-sin-ih? Tapi usianya memang mendekati tabib sakti itu, jika Sih-sin-ih tak
mampu mengobati penyakit sendiri hingga sudah meninggal dunia, maka celakalah
dan percuma saja perjalanan ini.
Ketika Hian-lan berhentikan
kudanya sambil termangu-mangu, sementara itu Ting Pek-jwan dan Kongya Kian
juga sudah menyusul tiba dan
menyaksikan keadaan di rumah tabib sakti itu, sesaat mereka hanya saling
pandang saja dengan ragu.
Mendadak suara tangis
berjangkit di dalam gedung itu. Suara seorang wanita sedang sesambatan,
"O, Loya! Ilmu pertabibanmu sangat sakti, siapa duga mendadak engkau
sendiri terkena penyakit dan meninggalkan kami secepat ini. O, Loya! Engkau
berjuluk ‘Giam-ong-tek’, tapi akhirnya engkau tak dapat melawan raja akhirat
keparat itu, mungkin setiba di akhirat engkau akan disiksa pula!”
Dalam pada itu ketiga kereta,
A Pik dan keenam padri angkatan Hui juga sudah tiba. Ketika mendengar suara
orang menangisi kematian Sih-sin-ih, A Pik menjadi pucat, katanya dengan
berduka, "Toako, apa benar kita begini sial?”
Ting Pek-jwan tidak menjawab,
ia melompat turun dari kuda, lalu berseru, "Hian-lan Taysu dari
Siau-lim-si bersama para kawan ada urusan penting ingin mohon pertolongan
kepada Sih-sin-ih!”
Suara Pek-jwan sangat lantang,
kini berteriak pula, keruan suaranya keras berkumandang hingga jauh. Seketika
juga suara tangis di dalam rumah itu berhenti.
Selang sebentar, keluarlah dua
orang tua, satu lelaki dan yang lain perempuan, semuanya berdandan sebagai kaum
hamba, air mata mereka tertampak masih meleleh dan masih tersedu-sedan dengan
sedih.
Begitu keluar, hamba tua itu
lantas pukul-pukul dada sendiri sambil sesambatan, "Loya telah meninggal
kemarin sore secara mendadak, kalian... kalian takkan dapat menemuinya lagi!”
"Penyakit apakah yang
menyebabkan meninggalnya Sih-siansing?” tanya Hian-lan sambil merangkap tangan.
"Hamba sendiri tidak
tahu,” sahut hamba tua itu, "mendadak saja Loya mengembuskan napas
terakhir. Biasanya badan Loya sangat sehat, usianya juga tidak terlalu lanjut,
sungguh tidak nyana, sungguh tidak terduga!”
"Di rumah Sih-siansing
masih ada siapa lagi?” tanya Hian-lan pula.
"Tidak ada, tidak ada
siapa-siapa lagi,” sahut hamba tua itu.
Kongya Kian saling pandang
sekejap dengan Ting Pek-jwan, mereka merasa ucapan orang tua itu agak gugup,
nadanya juga tidak wajar.
"Ai, mati atau hidup
manusia itu sudah ditakdirkan,” demikian Hian-lan berkata pula. "Bolehkah
kami berziarah sejenak di depan layon sobat lama?”
"Tentang ini... tentang
ini... ya, ya baiklah....” demikian hamba tua itu menjawab dengan gelagapan.
Lalu ia membawa para tamunya masuk ke dalam rumah.
Kongya Kian sengaja berjalan
di belakang, diam-diam ia membisiki Ting Pek-jwan, "Toako, agaknya dalam
urusan ini ada udang di balik batu, hamba tua ini agak mencurigakan.”
Pek-jwan mengangguk tanda
sependapat. Lalu mereka ikut hamba tua itu sampai di ruangan layon. Pepajangan
di ruangan itu tertampak sangat sederhana, segalanya kurang lengkap, seperti
diadakan dalam keadaan tergesagesa.
Pada meja layon terdapat
sebuah leng-pay yang bertuliskan, "Layon tuan Sih Boh-hoa.”
Dari tulisan yang kuat dan
indah itu terang adalah buah tangan kaum terpelajar, tidak mungkin ditulis oleh
hamba tua itu.
Semuanya itu menarik perhatian
Kongya Kian, tapi ia diam saja, berturut-turut para tamu lantas memberi hormat
kepada layon Sih-sin-ih.
Waktu berpaling, Kongya Kian
lihat di pelataran dalam sana ada dua batang bambu dan sedang dijemur belasan
helai baju, ada baju kaum wanita dan ada beberapa helai baju kanak-kanak.
Pikirnya diam-diam, "Terang Sih-sin-ih mempunyai anggota keluarga lain,
mengapa budak tua itu tadi mengatakan tiada orang lain lagi di rumah ini?”
Tapi ia pun tidak membongkar
kebohongan orang, ia tetap diam saja.
Kemudian Hian-lan bicara pula,
"Kami datang dari Siong-san, Siau-lim-si dengan maksud minta obat kepada
Sih-siansing, sungguh tidak tersangka bahwa Sih-siansing ternyata sudah wafat.
Kini sudah dekat magrib, terpaksa malam ini mesti mohon memondok di sini.”
Air muka hamba tua itu tampak
serbasulit, katanya dengan tergegap, "Soal ini... ini... baiklah! Silakan
tuantuan duduk dulu di ruangan tamu, biar hamba membuatkan daharan seperlunya.”
"Harap Koankeh (pengurus
rumah) jangan repot-repot, cukup sedikit bubur dan sayur saja dan kami sudah
merasa terima kasih,” kata Hian-lan.
"Ya, ya, silakan
tuan-tuan duduk dulu di ruangan tamu,” sahut si hamba. Lalu ia membawa para
tamu ke ruangan tamu bagian depan, kemudian ia tinggal masuk ke dalam bersama
kawannya.
Tapi aneh, sampai lama sekali
budak tua itu tidak tampak keluar, sudah tentu semua orang sangat mendongkol,
lebih-lebih Pau Put-tong, ia jadi tidak sabar lagi, serunya, "Biar kupergi
mencari air minum!”
"Jangan!” sela A Pik
tiba-tiba. "Engkau mengaso saja Samko, biar aku masuk ke sana untuk
membantu bapak tua itu memasak air.”
Habis berkata, segera ia
bertindak ke ruangan dalam.
Khawatir kalau terjadi apa-apa
atas diri anak dara itu, segera Kongya Kian berbangkit, katanya, "Biar aku
mengiringimu!”
Rumah keluarga Sih itu
ternyata tidak kecil, seluruhnya terdiri dari lima bagian, tapi dari luar
sampai belakang, tetap A Pik dan Kongya Kian tidak melihat bayangan seorang
pun. Setiba di dapur, ternyata budak-budak tua lelaki dan wanita itu pun sudah
lenyap.
Kongya Kian tahu ada sesuatu
yang tidak beres, cepat ia kembali ke ruangan depan dan berkata, "Keadaan
di rumah ini memang ada sesuatu yang tidak beres, kukira Sih-sin-ih itu hanya
pura-pura mati saja.”
"Hah, apa betul?” tanya
Hian-lan dengan heran sambil berbangkit.
"Taysu, coba kita periksa
peti mati ini,” ujar Kongya Kian. Dan sekali lompat, segera ia memburu ke depan
layon Sih-sin-ih terus hendak mengangkat peti matinya.
Tapi mendadak hatinya tergerak,
ia tarik kembali tangannya, ia mengambil sepotong baju yang dijemur di
pelataran itu sebagai
pembungkus tangan.
"Apa kau khawatir pada
peti mati dilumuri racun?” tanya A Pik.
"Hati orang sukar diduga,
tiada jeleknya kita berlaku hati-hati,” sahut Kongya Kian. Segera ia coba
angkat peti mati itu, terasa sangat berat, dalam peti mati itu pasti bukan
berisi jenazah. Maka katanya kepada para kawan, "Ya, memang benar
Sih-sin-ih hanya pura-pura mati.”
"Sret,” tiba-tiba Hong
Po-ok mencabut golok katanya, "Coba kita buka peti mati ini!”
"Orang ini berjuluk tabib
sakti, tentu dia mahir menggunakan racun, hendaknya Site berlaku hati-hati,”
pesan Kongya Kian.
"Ya, aku tahu,” sahut
Po-ok. Segera ia sisipkan ujung golok ke celah-celah peti mati, terus dicungkil
ke atas, maka terdengarlah suara keriang-keriut, tutup peti mati perlahan
tersingkap. Hong Po-ok menahan napas khawatir kena bau racun yang teruar dari
dalam peti mati.
Melihat kelakuan Po-ok yang
lucu dan khawatir pada orang mati itu, salah seorang padri Siau-lim-si yang
bernama Hui-te merasa geli dan tertawa.
"Apa yang kau
tertawakan?” jengek Pau Put-tong. Mendadak ia lompat ke pelataran, di mana dua
ekor ayam betina sedang mencari makan di bawah pohon, sekali raih, Put-tong
tangkap kedua ekor ayam itu terus dilemparkan hingga ayam melayang lewat di
atas peti mati.
Kedua ekor ayam itu berkotek
keras dan jatuh di sebelah sana, lalu berlari-lari lagi ke pelataran. Tapi tidak
seberapa jauh, mendadak ayam-ayam itu jatuh terjungkal, kaki berkelojotan
beberapa kali, lalu tidak berkutik lagi, kebetulan saat itu ada angin meniup,
tahu-tahu bulu kedua ekor ayam itu beterbangan terbawa angin.
Menyaksikan keadaan itu, tentu
saja semua orang terkesiap. Maka tahulah Hui-te bahwa dalam peti mati itu
memang tertaruh racun yang amat jahat, racun itu tanpa bau dan tanpa wujud
hingga sukar diketahui, tapi melihat kematian kedua ekor ayam dan kontan antero
bulunya terlepas habis, maka dapat dibayangkan betapa lihainya racun itu.
Nyata dalam hal ini Pau
Put-tong dan Hong Po-ok jauh lebih berpengalaman daripada padri Siau-lim-si
yang tidak banyak berkecimpung di dunia Kangouw itu.
"Ting-heng, mengapa bisa
begini? Apakah benar Sih-sin-ih hanya pura-pura mati saja?” demikian Hian-lan
bertanya dengan ragu.
Habis berkata, mendadak ia
lompat ke atas, dengan sebelah tangan menggantol di belandar rumah, lalu ia
melongok ke bawah, ia melihat isi peti mati itu hanya batu belaka, di bawah
batu tertaruh sebuah mangkuk besar yang penuh terisi air jernih. Nyata air
dalam mangkuk itulah racun yang mahajahat.
Hian-lan menggeleng-geleng
kepala, lalu melayang turun, katanya, "Andaikan Sih-heng tidak mau
mengobati kita, rasanya juga tidak perlu memasang perangkap sekeji ini untuk
membikin celaka kita. Selamanya Siaulim-si tiada permusuhan apa-apa dengan dia,
perbuatan demikian terang keterlaluan. Jangan-jangan... janganjangan....”
Tiba-tiba ia berhenti, dalam
hati ia berpikir, "Jangan-jangan Sih-heng mempunyai dendam kesumat kepada
Koh-soh Buyung?”
Namun Pau Put-tong lantas
berkata, "Engkau tidak perlu menduga yang tidak-tidak, selamanya
Buyungkongcu tidak kenal Sih-sin-ih, apalagi bermusuhan. Jika di antara kami
ada sesuatu permusuhan, biarpun penderitaan kami bertambah sepuluh kali lipat
juga kami tidak sudi merendah diri datang kemari untuk memohon pertolongan
kepada musuh. Memangnya kau kira orang she Pau ini manusia pengecut?”
"Ya, benar, akulah yang
sembarangan menduga,” sahut Hian-lan. Sebagai seorang padri saleh, biarpun apa
yang dipikirnya itu tak diutarakan, tapi ia pun berani mengaku terus terang
akan pikiran yang salah itu.
"Hawa berbisa di sini
terlampau jahat, marilah kita ke ruangan depan saja untuk bicara lagi,” kata
Pek-jwan.
Sesudah berada di ruangan tamu
lagi, maka ramailah saling mengemukakan pendapat masing-masing, namun tetap
tidak dapat memecahkan sebab apa Sih-sin-ih memasang perangkap dengan pura-pura
mati.
"Tabib setan she Sih ini
terlalu menggemaskan, marilah kita bakar saja sarang setannya ini,” ujar Pau
Put-tong.
"He, jangan,” cegah
Pek-jwan. "Betapa pun Sih-siansing adalah sahabat baik para Taysu dari
Siau-lim-si, kita tidak boleh berbuat sembrono padanya.”
Sementara itu hari sudah
gelap, di ruangan itu tiada sesuatu penerangan, semua orang merasa lapar lagi
haus, tapi tiada seorang pun berani sembarangan menyentuh sesuatu benda dalam
rumah ini.
"Marilah kita keluar
sana, kita dapat minta bantuan sedikit makanan dan minuman kepada penduduk di
sekitar sini,” ujar Hian-lan.
"Ya, tapi dalam jarak 30
li di sekitar sini lebih baik kita jangan minum dan makan apa-apa,” ujar
Pek-jwan. "Sih-siansing ini sangat licin, tidak nanti ia cuma pasang
perangkap dengan sebuah peti mati saja. Bila para Taysu sampai ikut terembet,
sungguh kami akan merasa tidak enak sekali.”
Meski dia dan Kongya Kian
tidak paham duduk perkara yang sebenarnya, tapi mereka menduga bisa jadi Kohsoh
Buyung yang terkenal dengan "Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin” dan telah banyak
mengikat permusuhan di kalangan Kangouw, mungkin ada sesuatu sanak famili
Sih-sin-ih terbunuh, lalu utang darah itu dicatat atas rekening Koh-soh Buyung.
Begitulah maka semua orang
lantas berbangkit, tapi baru saja mereka melangkah keluar pintu
sekonyongkonyong di udara sebelah barat-laut sana terlihat terang benderang,
menyusul sejalur cahaya api warna merah tersebar luas, lalu cahaya merah itu
berubah menjadi hijau dan berhamburan ke bawah bagaikan bunga api yang
berwarna-warni dengan indah sekali.
"Hah, indah benar!
Siapakah yang sedang main kembang api?” seru A Pik sambil bertepuk tangan.
Padahal waktu itu permulaan
musim rontok, Cap-go-meh sudah lama lewat, hari Tiongciu juga masih jauh, mana
mungkin ada orang main bunga api?
Selang tak lama, kembali
sebuah bunga api warna kuning meluncur lagi ke udara, lalu pecah menjadi
beratus ribu buah bintang yang saling berhamburan dengan sangat indah.
Main bunga api adalah sesuatu
kesenangan di zaman damai, kini mereka sedang menghadapi urusan penting dengan
beberapa kawan menderita sakit aneh, sudah tentu mereka tiada minat buat
menikmati kembang api segala. Meski A Pik tergolong paling muda dan masih
bersifat kanak-kanak, ia pun prihatin atas penderitaan samko dan sikonya itu.
Segera katanya, "Sudahlah, kita lekas berangkat saja!”
"Itu bukan kembang api,
tapi tanda serangan total musuh yang akan datang,” kata Kongya Kian tiba-tiba.
"Bagus, bagus! Bisa
berkelahi sepuas-puasnya lagi!” teriak Hong Po-ok, lalu ia berlari balik ke
dalam ruangan tadi.
Segera Ting Pek-jwan berkata
juga, "Samte, Lakmoay, harap kalian juga masuk ke dalam rumah, biar kujaga
di depan dan Jite mengawal dari belakang. Hian-lan Taysu, urusan ini terang
tiada sangkut pautnya dengan Siaulim-si, maka silakan kalian diam dan menonton
saja, asal kalian tidak membela salah satu pihak, untuk mana Buyung-si sudah
berterima kasih.”
Tengah bicara, Kongya Kian,
Pau Put-tong, dan A Pik bertiga juga mundur ke dalam menurut perintah Ting
Pek-jwan. Meski di pihak Buyung-si cuma terdiri dari tiga orang, malah dua
orang sudah terluka, ada pula seorang anak dara, namun sedikit pun Ting
Pek-jwan tidak gentar terhadap perbawa musuh yang akan menyerang secara
besar-besaran sebagaimana kelihatan dari isyarat bunga api yang dilepaskan di
udara itu, bahkan ia tidak minta bantuan kepada Siau-lim-pay.
Maka jawablah Hian-lan,
"Kenapa Ting-heng bicara demikian? Kalau penyerang nanti adalah musuh yang
dendam kepada kalian, tentang siapa yang benar atau salah juga mesti kita
putuskan secara adil, tidak boleh mereka mengandalkan berjumlah lebih banyak
untuk menyerang lawan pada saat lagi menderita kesukaran. Sebaliknya jika
pendatang nanti adalah komplotan Sih-sin-ih, mereka telah sengaja memasang
perangkap dan membikin celaka kita secara keji, maka kita akan sama-sama
menghadapi musuh, mana boleh kami tinggal diam tanpa ikut campur tangan? Nah,
para Sutit, bersiaplah menghadapi musuh!”
Keenam padri angkatan Hui itu
serentak mengiakan.
Lalu Hian-thong juga berkata,
"Ting-heng, aku dan para saudara angkatmu senasib sependeritaan, sudah
tentu kita harus menghadapi musuh bersama-sama.”
Sedang bicara, kembali ada dua
jalur bunga api melayang ke udara lagi, sekali ini jaraknya sudah makin dekat.
Lewat sejenak, lagi-lagi
melayang dua buah kembang api, jadi berturut-turut telah dilepaskan enam buah
bunga api yang bentuk dan warnanya berbeda-beda, ada yang lurus tinggi terus
bertebaran, ada yang terpencar persegi bagaikan papan catur, ada yang mirip
kapak, ada pula yang menyerupai sekuntum bunga botan raksasa. Setelah enam buah
bunga api itu dilepas, udara kembali gelap gulita dan tiada sesuatu isyarat
lagi.
Dalam pada itu Hian-lan telah
memberi perintah, ia mengatur anak murid Siau-lim-pay itu bersembunyi di
sekeliling rumah untuk menanti serangan musuh. Tapi meski sudah ditunggu sekian
lama masih tidak terdengar sesuatu gerak-gerik musuh.
Dengan menahan napas semua
orang menunggu dengan sabar. Selang sebentar lagi, tiba-tiba terdengar suara seorang
wanita di sebelah timur sana sedang menembang:
Alis lentik lama nian tak
terlukis
setangan penuh bedak bercampur
air mata
Hati dinda hampa mengiring
tangis
dapatkah mutiara sebagai
pelipur lara?
Suara nyanyian itu merdu
menggiurkan dan sedih merawan.
Hian-lan saling pandang
sekejap dengan Ting Pek-jwan, mereka merasa sangat heran.
Dan sehabis menembang, suara
tadi lantas berubah menjadi suara orang lelaki dan berkata, "Ai, adindaku,
sudah lama aku tidak melihatmu, sungguh hatiku amat merindukan dikau, makanya
kuberi hadiah seuntai mutiara ini, harap dinda suka menerimanya.”
Habis itu, lalu suara itu
berganti menjadi wanita tadi dan berkata, "Baginda sudah didampingi oleh
Nyo-kuihui, bilakah Baginda pernah memikirkan diriku yang bernasib jelek ini.
O, Baginda....”
Sampai di sini, menangislah
wanita itu.
Para padri Siau-lim-si itu
tidak banyak mengenal seluk-beluk kehidupan khalayak ramai, mereka tidak tahu
orang yang sebentar menjadi lelaki dan lain saat berubah wanita itu lagi main
gila apa, tapi tidak urung mereka ikut terharu juga oleh suara tangisan itu.
Sebaliknya Ting Pek-jwan dan
kawan-kawan mengetahui bahwa orang yang tak kelihatan itu sedang main sandiwara
dengan lakon "Tong-beng-ong gandrung pada Bwe-kuihui”. Orang itu sebentar
sebagai raja Dinasti Tong yang romantis itu, lain saat berganti nada dan
memainkan peran sebagai selir kesayangan raja, Bwe-
kuihui. Suaranya sangat mirip,
lakonnya menarik.
Semua orang menjadi waswas apa
maksud kedatangan seorang seniman yang tak diundang pada saat genting itu.
Sementara itu orang tadi
berkata lagi dalam nada raja Tong-beng-ong, "Harap dinda jangan menangis,
lekas menyiapkan santapan, marilah kita bersenang-senang, dinda meniup suling,
biar aku menyanyi untuk menghibur hati dinda nan sedih.”
Lalu orang itu berganti suara
wanita, "Siang malam dinda mencuci muka dengan air mata dengan harapan
dapat berjumpa dengan Baginda, hari ini dapat bertemu, biar mati pun dinda
rela. O, huk-huk-huk....”
Pau Put-tong menjadi tidak
sabar, mendadak ia berteriak, "Ini dia An Lok-san berada di sini! Hai, Li
Liong-ki Raja Tong, kau seorang raja yang linglung, lekas kau serahkan Nyo
Giok-goan padaku!”
Dahulu raja Tong-beng-ong
mempunyai dua selir yang cantik dan sangat disayang, yaitu Bwe-kuihui dan
Nyokuihui (nama lengkapnya Nyo Giok-goan), karena mabuk dalam romannya dengan
wanita cantik itu hingga raja itu lupa daratan tanpa mengurus negara lagi. An
Lok-san adalah raja pemberontak yang kemudian membunuh Tong-beng-ong dan
merampas Nyo-kuihui yang cantik itu, sebab itulah, dalam dongkolnya Pau
Put-tong juga menirukan nada seniman itu dan mengaku sebagai An Lok-san.
Mestinya Ting Pek-jwan hendak
mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. Dan rupanya orang itu jadi kaget, suara
tangisnya dalam peran sebagai wanita mendadak berhenti, seketika suasana
berubah menjadi sunyi senyap lagi.
Selang tidak lama, tiba-tiba
semua orang mengendus bau harum bunga yang tipis. Cepat Hian-lan berseru,
"Awas, musuh memakai gas racun, lekas tahan napas dan siapkan obat
penawar!”
Sekonyong-konyong suara
seniman tadi berkata lagi, "Jitci, apakah kau sudah tiba? Di rumah Goko
ada seorang aneh yang mengaku sebagai An Lok-san.”
Mendengar suara bicaranya itu,
baru sekarang Pek-jwan dan lain-lain mengetahui bahwa sebenarnya orang itu
adalah lelaki. Dan setelah mengatur pernapasan ternyata tiada sesuatu yang
mereka rasakan, bahkan pikiran terasa segar, agaknya bau harum tadi tiada
mengandung racun.
Maka terdengarlah suara
seorang wanita sedang menjawab si seniman tadi, "Hanya Toako yang belum
datang.
Nah, Jiko, Samko, Siko, Lakko
dan Patte, marilah kita unjuk diri semua!”
Baru selesai ucapannya,
pandangan Ting Pek-jwan dan kawan-kawan mendadak terbeliak, keadaan berubah
terang benderang hingga menyilaukan mata. Tertampak di depan pintu sana
segulung cahaya aneh membungkus lima orang lelaki dan seorang wanita.
Seorang kakek berjenggot hitam
di antaranya berseru, "Longo (Si Lima), lekas menggelinding keluar!”
Tangan kanan kakek itu membawa
sepotong pelat besi persegi seperti sebuah papan catur. Wanita itu adalah
seorang nyonya cantik setengah umur. Keempat orang lainnya, dua di antaranya
berdandan sebagai kaum cendekia, seorang lagi seperti tukang kayu, tangan
membawa kapak bergagang pendek dan orang terakhir bermuka bengis menakutkan,
rambutnya merah dan jenggotnya hijau, daripada dikatakan manusia, muka orang
itu lebih tepat dikatakan siluman.
Tapi setelah diperhatikan,
segera Hian-lan dapat mengetahui bahwa orang terakhir itu sengaja melukis
mukanya sendiri dengan air cat, dirias sebagaimana seniman umumnya tatkala main
di atas pentas. Orang yang tadi membawakan lakon Tong-beng-ong dan Bwe-kuihui
tentu dia.
Segera Ting Pek-jwan
mendahului menegur, "Siapakah nama tuan-tuan yang terhormat, Ting Pek-jwan
ingin mohon petunjuk.”
Dan belum lagi pihak sana
menjawab, sekonyong-konyong dari dalam menerjang keluar sesosok bayangan, sinar
golok berkelebat, sekaligus orang itu membacok tujuh kali kepada pemain
sandiwara tadi. Penyerang itu bukan lain adalah It-tin-hong Hong Po-ok.
Karena dilabrak secara
mendadak, pemain sandiwara itu jadi kelabakan, ia menghindar ke kanan dan
berkelit ke kiri dengan kerepotan. Tapi mulut masih sempat menyanyi pula dalam
lakon sebagai Co-pa-ong, itu raja pemberontak yang perkasa musuh Lau Pang.
Tapi karena serangan Hong
Po-ok teramat gencar, maka baru setengah jalan tembangnya lantas berhenti.
Si kakek berjenggot hitam di
sebelahnya lantas memaki, "Hai, kau ini sungguh tidak tahu aturan,
datang-datang lantas main bacok serabutan, coba rasakan ‘kue serabi’ ini!” dan
mendadak papan persegi yang dipegangnya mengepruk kepala Hong Po-ok.
Diam-diam Po-ok merasa heran,
"Selama hidupku entah sudah berapa ratus kali menghadapi pertempuran, tapi
tidak pernah kulihat senjata persegi seperti ini.”
Segera ia menangkis dengan
goloknya, maka terdengarlah "creng” sekali, golok tepat membacok tepi
papan itu, tapi papan itu sedikit pun tidak lecet. Kiranya papan itu terbuat
dari baja, di luarnya dicat dengan kembangan kayu.
Cepat Po-ok bermaksud menarik
kembali goloknya untuk menyerang pula, tapi celaka, meski ia tarik sekuatnya,
tetap golok bergeming, ternyata tersedot oleh papan baja itu. Keruan ia
terkejut, sekuatnya ia memuntir dan membetot, dengan demikian barulah golok
dapat dipisahkan dari lengketan papan baja musuh.
"Aneh sekali, apa papan
besimu ini terbuat dari besi sembrani?” bentaknya.
Orang tua itu tertawa,
sahutnya, "Terima kasih! Ini adalah alat pencari nafkahku!”
Sekilas Po-ok mengamati
senjata musuh itu, ia lihat di atas papan terdapat garis malang melintang,
nyata adalah sebuah papan catur, segera katanya pula, "Aneh bin ajaib!
Mari kutempurmu lagi!”
Maka ia melancarkan serangan
lagi, makin lama makin cepat, tapi golok tidak berani membentur lagi dengan
papan catur lawan yang terbuat dari besi sembrani itu.
Dengan demikian si pemain
sandiwara tadi merasa lega, kembali ia menembang lagi sebagai Co-pa-ong, lalu
berganti suara sebagai wanita.
Pau Put-tong mendongkol,
tiba-tiba ia membentak, "Hai, Co-pa-ong keparat, lekas kau bunuh diri
saja, aku Han Sin adanya!”
Berbareng ia terus menerjang
maju, dengan "Kim-liong-jiu” (Ilmu Menangkap Naga), kedua tangan
mencengkeram pundak tukang tembang itu.
Dalam cerita sejarah yang
sering dipentaskan, Han Sin adalah panglima kepercayaan Raja Han-ko-cou Lau
Pang yang menguber-uber Co-pa-ong hingga di tepi Sungai Oh-kang, di situ
Co-pa-ong terpaksa membunuh diri.
Tapi pemain sandiwara itu
sempat mendakkan tubuh untuk menghindar, lalu hendak menembang lagi, tapi
sebelum lanjut, terpaksa ia menjerit, "Haya, aku Han-ko-cou adanya dan
akan membunuhmu Han Sin!”
Berbareng tangan kirinya
melolos keluar sebatang ruyung lemas terus menyabet pinggang Pau Put-tong.
Melihat pertarungan beberapa
orang itu sangat sengit dan lucu pula, tapi kepandaian kedua pihak sama
hebatnya, entah pihak musuh akan datang lagi berapa banyak bala bantuan, maka
cepat Hian-lan membentak, "Harap semua orang berhenti dulu, marilah kita
bikin terang dulu duduknya perkara dan pertarungan dapat dilanjutkan lagi
nanti.”
Tapi sekali Hong Po-ok sudah
berkelahi mana dapat disuruh berhenti? Apalagi ia tahu tenaga sendiri sudah
banyak berkurang setelah keracunan, serangan racun itu pun setiap saat bisa
timbul dan membahayakan, maka ia putar golok secepat kitiran dengan maksud
selekasnya mengalahkan lawan.
Di tengah pertarungan sengit
keempat orang itu, dari dalam kembali melompat keluar seorang dengan sepasang
golok terhunus, "creng,” kedua golok saling bentur hingga mengeluarkan
suara nyaring.
Orang itu gagah perkasa,
kiranya Hian-thong Siansu. Ia berseru, "Kalian kawanan jahanam yang suka
meracun orang, hari ini hwesio tua terpaksa melanggar pantangan membunuh!”
Sudah beberapa hari Hian-thong
disiksa racun, ia memang sudah gemas, kebetulan musuh datang, maka tanpa banyak
bicara lagi ia terus menerjang kedua orang setengah umur yang berdandan sebagai
kaum cendekia itu.
Cepat salah seorang sastrawan
itu merogoh keluar sebatang senjata yang menyerupai boan-koan-pit, yaitu
senjata berbentuk potlot, dengan gesit sekali ia lawan Hian-thong.
Sebaliknya sastrawan yang lain
itu berkata dengan tingkah laku yang tengik, "Aneh bin ajaib! Masakah
seorang padri juga berangasan seperti ini, entah terdapat dalam kamus mana?”
Lalu ia ulur tangan ke dalam
saku untuk merogoh tapi tiba-tiba ia berseru, "He, ke mana perginya?”
Bahkan ia meraba-raba saku
yang lain dan merogoh pula saku belakang, lengan baju dikebas-kebaskan, baju
bagian dada ditepuk-tepuk pula, tapi tetap tidak menemukan sesuatu.
A Pik heran, ia tanya,
"Siansing, apa yang kau cari?”
"Ilmu silat Toahwesio ini
sangat tinggi, kami bersaudara terang tak bisa melawannya, maka akan kucari
senjataku untuk membantu kawan-kawanku itu. Tapi, he, aneh, di manakah
senjataku itu?” demikian sahut si sastrawan. Lalu ia ketuk-ketuk jidat sendiri
dan mengingat-ingat sebisanya.
A Pik tertawa geli melihat
kelakuan orang, pikirnya, "Sudah di garis depan baru tahu senjatanya
hilang, orang linglung begini belum pernah kulihat, orang ketolol-tololan
semacam ini tampaknya bukan sengaja pura-pura dungu.”
Maka A Pik coba tanya pula,
"Siansing, macam apakah bentuk senjatamu itu?”
"Seorang laki-laki sejati
lebih dulu harus berlaku cara halus baru kemudian pakai kekerasan, maka
senjataku yang pertama adalah sejilid kitab,” sahut sastrawan itu.
"Kitab apa? Apakah
bu-kang-pit-koat (kitab ilmu silat)?” tanya A Pik.
"Bukan, bukan! Tapi
sejilid lun-gi (kitab yang berisi kata-kata emas Khonghucu),” sahut sastrawan
itu. "Aku akan menginsafkan, pihak lawan dengan ajaran-ajaran nabi.”
Kembali A Pik tertawa geli,
katanya, "Kau seorang terpelajar, masakah lun-gi saja tidak hafal, habis
kitab apa yang kau baca biasanya?”
"Nona hanya tahu satu,
tapi tidak tahu dua,” sahut si sastrawan. "Bicara tentang lun-gi, beng-cu,
chun-ciu, dan kitab-kitab nabi yang lain sudah tentu semuanya sudah kuhafalkan
di luar kepala. Tapi pihak lawan kan belum tentu pernah membacanya! Bila aku
menyebutkan isi kitab itu dan dia tidak tahu, kan percuma? Makanya harus
kutunjukkan kitab yang bersangkutan, dengan demikian lawan takkan dapat
menyangkal dan mendebat, dan usahaku barulah akan berhasil. Ini namanya bukti
menjadi saksi.”
Sembari bicara, ia terus
meraba-raba dan merogoh-rogoh saku di sana sini, tapi tetap tiada sesuatu yang
ditemukannya.
Sementara itu si orang yang
berdandan sebagai tukang kayu menjadi khawatir demi melihat kawannya dicecar
secepat kilat oleh goloknya Hian-thong, tampaknya dalam beberapa jurus lagi
tentu jiwanya akan terancam, segera ia ayun kapaknya hendak membantu.
Namun Kongya Kian sudah siap
siaga, kontan ia menghantam lebih dulu ke arah tukang kayu itu. Jangan kira
Kongya Kian lahirnya lemah lembut, ternyata tenaga pukulannya sangat hebat.
Dahulu di atas Ciulau di
daerah Kanglam ia pernah berlomba minum arak dan mengadu tenaga pukulan dengan
Siau Hong, meski kalah, tapi Siau Hong juga sangat kagum padanya, hal itu
menandakan lwekang Kongya Kian bukan golongan lemah.
Begitulah maka si tukang kayu
tadi telah mengegos, menyusul kapaknya terus memotong dari samping.
Dalam pada itu si sastrawan
tetap tidak menemukan kitab "lun-gi” yang dicari, sebaliknya ia lihat
sastrawan kawannya itu sudah terdesak, permainan boan-koan-pitnya sudah kacau,
sebaliknya serangan golok Hian-thong masih terus menyambar dengan gencar.
Segera ia berkata kepada Hian-thong, "Hai, Toahwesio! Kata Khonghucu,
‘mengekang perasaan sendiri dan membalas orang dengan sopan, bila demikian
halnya maka dunia akan aman sentosa,’ — Kata beliau pula, ‘Tidak sopan jangan
didengar, tidak sopan jangan bicara, tidak sopan jangan berbuat.’ Tapi kau
putar golok ingin membunuh orang, perbuatan demikian sedikit pun tidak dapat
mengekang perasaan sendiri dan terlebih ‘tidak sopan’.”
Melihat tingkah laku sastrawan
itu, diam-diam A Pik bertanya kepada Ting Pek-jwan, "Toako, orang ini
memang seorang sastrawan tolol tulen atau pura-pura dungu saja?”
"Entah, asal waspada
saja,” sahut Pek-jwan. "Hati orang Kangouw sukar dijajaki, segala macam
perbuatan licik dapat dilakukannya.”
Sementara itu sastrawan tolol
itu sedang berkata kepada Hian-thong, "Toahwesio, Nabi Khonghucu bersabda,
‘Orang bijaksana tentu perkasa, orang perkasa belum tentu bijaksana.’ Kau sih
memang perkasa, tapi jelas tidak bijaksana, maka tak dapat dianggap sebagai
seorang kesatria sejati. Nabi Khonghucu bersabda pula, ‘Apa yang kita sendiri
tidak mau, jangan diberikan kepada orang lain.’ Jika orang hendak membunuhmu,
sudah tentu engkau tidak mau. Dan kalau kau sendiri tidak mau dibunuh, kenapa
kau ingin membunuh orang?”
Begitulah ia terus mengoceh
memberi "ceramah” kepada Hian-thong. Anehnya, terang ilmu silat sastrawan
tolol ini tidak lemah, buktinya setiap kali Hian-thong dan si sastrawan itu
saling gebrak sambil melompat kiankemari, maka sastrawan tolol ini pun dapat
ikut melompat dan selalu berada di samping mereka.
Diam-diam Hian-thong menaruh
perhatian, pikirnya, "Orang ini sengaja mengoceh tak keruan, dan kalau ada
kesempatan, segera ia akan balas menyerang. Ilmu silat orang ini terang lebih
tinggi daripada sastrawan yang kulawan ini.”
Karena itu, maka perhatian
Hian-thong menjadi lebih banyak dicurahkan untuk berjaga-jaga kalau disergap si
sastrawan tolol itu. Dengan demikian sastrawan bersenjata boan-koan-pit jadi
terhindar dari tekanan yang berat dari Hian-thong.
Setelah belasan jurus lagi dan
si sastrawan tolol itu masih mengoceh terus, akhirnya Hian-thong menjadi gemas,
bentaknya, "Jika kau tidak enyah, jangan kau salahkan aku!”
Mendadak ia gunakan gagang
golok untuk menyodok dada sastrawan tolol itu.
"Ai, ai! Kulihat ilmu
silat Taysu teramat tinggi, kami berdua belum tentu dapat menang, maka aku
ingin menasihatimu agar lebih baik kita sudahi pertempuran ini,” demikian seru
sastrawan tolol itu. "Sebagai manusia, kita harus berbudi dan dapat
memaafkan sesamanya, janganlah terlalu ngotot dan mau menang sendiri.”
Hian-thong menjadi gusar,
"sret”, mendadak ia tebas orang sekali sambil mendamprat, "Kau bicara
tentang budi memaafkan apa segala? Kalian sengaja menaruh racun dalam peti mati
untuk menjebak orang, apakah itu berbudi, apakah itu bijaksana? Coba kalau kami
kurang waspada, tentu saat ini sudah menuju ke nirwana. Huh, masih kau bicara
tentang ‘apa yang kita tidak mau jangan diberikan kepada orang lain.’ Coba
jawab, kau sendiri mau diracun atau tidak?”
"Ai, ai! Aneh! Siapakah
yang menaruh racun di dalam peti mati?” sahut sastrawan tolol itu sambil
menyingkir dua tindak. "Peti mati itu tempat jenazah. Kalau dalam peti
mati ditaruh racun, bukankah jenazah itu pun akan keracunan? Ai, salah, jenazah
itu memang sudah mati!”
Ucapan yang lucu itu membikin
A Pik tertawa geli, katanya, "Ya, jenazah dalam peti mati sudah tentu
sudah mati. Tapi kalian terlalu licik, peti mati bukan berisi jenazah, tapi
ditaruh racun untuk membunuh kami.”
"Bukan, bukan begitu!”
sahut sastrawan itu dengan geleng-geleng kepala. "Kau orang perempuan,
usiamu masih muda pula, pantas omonganmu berliku-liku.”
"Dia juga wanita, kau
anggap dia orang baik atau orang jahat?” ujar A Pik sambil tunjuk si wanita
cantik setengah umur, yaitu kawan si sastrawan sendiri.
"Ai, ai! Ucapanmu
menyeleweng dari pokok persoalan, maka aku takkan gubris dan tak mau menjawab,”
sahut sastrawan tolol.
Karena sastrawan itu bertanya
jawab dengan A Pik, Hian-thong menjadi bebas dari gangguan, segera ia putar
golok terlebih kencang hingga si sastrawan bersenjata boan-koan-pit itu
kewalahan lagi.
Melihat itu, si sastrawan
tolol cepat melompat lagi mendekati Hian-thong dan berkata, "Kata
Khonghucu, ‘Manusia tidak bijaksana, dapatkah berlaku sopan? Manusia tidak
bijaksana dapatkah hidup senang?’ Toahwesio adalah manusia dan tidak bijaksana,
ai, sungguh berdosa!”
Dengan gusar Hian-thong menjawab,
"Aku adalah murid Buddha, kau mengoceh tentang ajaran Khonghucu apa
segala, mana dapat mengetuk hati nuraniku?”
Sastrawan tolol itu
ketuk-ketuk pula jidat sendiri, katanya, "Ya, benar, benar! Aku ini
mungkin sudah linglung, boleh jadi terlalu banyak baca hingga berubah menjadi
orang yang tolol. Toahwesio adalah anak murid Buddha, tapi aku bicara tentang
ajaran nabi Khonghucu padamu, sudah barang tentu salah alamat.”
Dalam pada itu Hong Po-ok
masih terus bertempur melawan orang yang bersenjatakan papan catur baja itu dan
sukar merebut kemenangan, lama-kelamaan perut mulai dingin, itulah tanda
serangan racun akan berjangkit lagi.
Di sebelah sana Pau Put-tong
juga sedang melabrak si pemain sandiwara tadi, ia merasa ilmu silat lawan tidak
terlalu tinggi, cuma gerak perubahannya sangat aneh dan macam-macam variasinya,
sebentar ia menembang sebagai Se Si, itu wanita cantik yang termasyhur, ia
menirukan suara wanita dengan persis, bahkan lenggaklenggoknya juga menyerupai
wanita cantik. Dan lain saat ia main sebagai Li Thay-pek, itu penyair yang
terkenal dengan langkahnya yang sempoyongan tatkala mabuk arak.
Anehnya setiap kali ia ganti
peranan, setiap kali pula ia dapat memainkan sejurus ilmu silat yang sesuai
dengan pelaku yang dibawakannya itu. Senjata ruyung emas yang dipegangnya itu
sebentar digunakan sebagai lengan baju kaum wanita yang panjang, lain saat
dipakai sebagai pensil kaum terpelajar. Keruan Pau Put-tong geli-geli dongkol,
seketika ia pun tak bisa berbuat apa-apa.
Sementara itu si sastrawan
linglung tadi mendadak menembang lagi, "Jika kuberi obatnya, apakah hatiku
lantas tenteram? Bila tidak membawa hasil, sama saja tidak memberi. Omong
kosong tak berisi, memang bukan pada tempatnya.... Eh, Toahwesio, dua kalimat
selanjutnya bagaimana bunyinya?”
Demikian ia mengoceh beberapa
bait sabda padri saleh zaman dahulu, maka Hian-thong menjawab, "Yang
bijaksana akan mencapai tujuannya, mohon sudi memberi petunjuk seperlunya.”
Sastrawan linglung itu
terbahak-bahak, katanya, "Bagus, bagus! Bukankah kaum Buddha kalian juga
bicara tentang ‘bijaksana’ segala? Memang pada hakikatnya segala ajaran nabi di
dunia ini sama tujuannya. Maka kunasihatkan lebih baik kau berpaling kembali ke
tepian, taruhlah golok jagalmu saja!”
Hian-thong terkesiap,
sekonyong-konyong ia sadar dan terbuka pikirannya, katanya segera,
"Siancay! Siancay!”
Mendadak ia lemparkan kedua
goloknya ke lantai hingga mengeluarkan suara nyaring, lalu ia duduk bersila,
dengan wajah tersenyum ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Si sastrawan bersenjata
boan-koan-pit tadi mestinya lagi sengit menempur Hian-thong, ia jadi heran
ketika mendadak melihat kelakuan lawan yang aneh itu. Tapi ia pun tidak
melancarkan serangan lagi.
Di pihak lain dua padri
angkatan Hui dari Siau-lim-si lantas berseru, "Susiok, apakah penyakitmu
kumat lagi?”
Segera mereka bermaksud
memburu maju untuk memayang sang susiok.
Namun Hian-lan membentak,
"Jangan!”
Waktu ia periksa napas
Hian-thong, nyata pernapasan sang sute sudah berhenti, betul-betul sudah wafat
dengan tenang. Hian-lan merangkap tangan dan memanjatkan doa.
Para padri angkatan Hui
menjadi sedih dan gusar demi mengetahui susiok mereka telah mati, berbareng
mereka mengeluarkan senjata terus hendak melabrak kedua susing atau sastrawan
tadi.
Tapi Hian-lan mencegahnya,
"Jangan! Susiok kalian wafat dengan menemukan ajaran sejati, beliau
mangkat ke nirwana dengan sempurna, seharusnya kalian bersyukur baginya.”
Karena kejadian di luar dugaan
itu, semua orang yang sedang bertempur itu pun lantas berhenti.
Segera si sastrawan linglung
berteriak-teriak lagi, "Longo (Kelima)! Wahai, Sih-longo, lekas keluar,
ada orang mati, lekas keluar menolong jiwanya! Ai, kau setan Sih-sin-ih, kalau
tidak lekas keluar, wah celakalah aku!”
"Sih-sin-ih rupanya tidak
di rumah, apakah saudara ada....” demikian mestinya Ting Pek-jwan hendak minta
keterangan.
Tapi sastrawan linglung itu
tidak gubris padanya, ia masih terus menggembor, "Wahai, Sih Boh-hoa,
Sih-longo, Giam-ong-tek, Sih-sin-ih, lekas menggelinding keluar untuk menolong
orang, samkomu ini telah membikin mati orang dan orang hendak minta ganti nyawa
pada kita!”
Pau Put-tong menjadi gusar,
dampratnya, "Kau sudah menewaskan orang, masih berteriak-teriak
seenaknya!”
Kontan ia memukul, menyusul
tangan kiri menyusup dari bawah, pukulan itu terus menjambret kumis sastrawan
itu dengan tipu "Lau-liong-tam-cu” atau naga tua mengambil mutiara.
Memangnya pertarungan tadi
kurang memuaskan selera Hong Po-ok dan Kongya Kian, maka sekarang mereka
mencari lawan dan mulai bergebrak lagi.
"Robohlah!” mendadak Ting
Pek-jwan membentak, ia juga sudah mendapatkan lawan, yaitu si pemain sandiwara,
dan sekali cengkeram, kontan baju leher orang itu kena dipegangnya.
Pek-jwan adalah jago utama di
antara empat pembantu Buyung-kongcu, ilmu silatnya tinggi, lwekangnya hebat,
meski namanya kurang terkenal di kalangan Kangouw, tapi setiap orang yang kenal
dia pasti sangat kagum akan kepandaiannya. Maka begitu si pemain sandiwara kena
dicengkeramnya, seketika tak bisa berkutik segera Pek-jwan banting tawanan itu
ke tanah.
Pemain sandiwara itu memang
sangat gesit dan cekatan, sekali bahunya menyentuh tanah, segera ia putar kaki
kanan terus mendepak paha Ting Pek-jwan.
Serangan ini sangat cepat,
pula badan Pek-jwan agak gemuk, gerak-geriknya kurang gesit, ia lihat depakan
itu sukar dielakkan, segera ia kerahkan tenaga ke bagian bawah, ia terima
mentah-mentah depakan itu.
Jilid 50
Maka terdengarlah suara
"krak” sekali, di antara dua kaki yang terbentur itu ada salah satu yang
patah.
Beberapa kali seniman itu
terguling-guling di tanah hingga sejauh beberapa meter, lalu ia berseru sebagai
peranan dalam sandiwara, "Wahai Mo Yan-siu jahanam, biar kucencangmu...
aduh, kakiku!” demikian pada akhirnya mendadak ia menjerit.
Kiranya ketika kedua kaki
beradu, tenaga seniman itu kalah kuat hingga tulang kakinya patah.
Wanita cantik setengah umur
yang berbaju jambon itu sejak tadi berdiri diam saja di samping tidak membuka
suara juga tidak bertindak. Kini demi melihat seniman kawannya itu patah kaki,
kawan yang lain juga dicecar musuh dan berbahaya, barulah ia mulai membuka
suara, "Hai, kalian ini apa-apaan? Sudah mengangkangi rumah goko kami,
datang-datang lantas melabrak orang sesukanya tanpa tanya dulu.”
Dalam pada itu si pemain
sandiwara masih jatuh telentang di tanah dan tiba-tiba ia lihat kedua buah
tanglung besar yang tergantung di depan pintu itu, ia terkejut dan berteriak,
"Apa? Sih Boh-hoa meninggal? Goko sudah wafat?”
Kedua susing dan orang tua
yang membawa papan catur, si tukang kayu, wanita cantik itu pun ikut memandang
ke arah yang ditunjuk, maka dapatlah mereka membaca semua tulisan pada tanglung
putih itu.
Api dalam tanglung sejak tadi
sudah padam, begitu datang mereka lantas saling gebrak pula hingga tiada
seorang pun menaruh perhatian keadaan di rumah itu, baru sesudah seniman itu
menggeletak di tanah, barulah ia dapat melihat tanglung orang mati itu.
Seketika seniman itu menangis
dan menembang menurut irama sandiwara, "O, saudaraku tercinta, kita
mengangkat saudara di kebun tho, engkau membobol lima benteng, membunuh enam
panglima, betapa gagah perkasamu, oi....”
Semula ia menembang dalam
lakon "menangisi kematian Kwan Kong”, tapi kemudian ia benar-benar berduka
hingga tak keruan lagi suaranya.
Kawan-kawan yang lain segera
berteriak juga, "Hai, siapa yang membunuh goko kami? Goko, Goko! Bangsat
terkutuk manakah yang membunuhmu? Biarlah hari ini kami mengadu jiwa dengan
kalian, keparat!”
Hian-lan dan Pek-jwan saling
pandang dengan serbasalah, diri ucapan mereka itu, agaknya mereka adalah
saudara angkat Sih-sin-ih.
Pek-jwan lantas berkata,
"Sebenarnya kami datang untuk minta pertolongan Sih-sin-ih agar suka
mengobati dua-tiga orang kawan kami yang terluka, tak terduga....”
"Tak terduga dia tak mau
mengobati dan kalian lantas membunuhnya, begitu bukan?” potong si wanita
cantik.
"Ti....” belum lagi
ucapan "tidak” tercetus dari mulut Ting Pek-jwan, sekonyong-konyong wanita
cantik itu mengebas lengan bajunya, kontan Pek-jwan mengendus bau harum
semerbak, kepala lantas pusing dan berdirinya seakan-akan mengambang tak
bertenaga.
"Roboh, robohlah!”
demikian si wanita cantik berseru.
Pek-jwan menjadi gusar.
"Wanita siluman!” dampratnya, berbareng ia terus menghantam ke depan.
Daya guna
"Pek-hoa-bi-sian-hiang” (Dupa Pemabuk Dewa Sari Seratus Bunga) yang
disebarkan wanita cantik itu sebenarnya sangat keras, betapa pun tinggi
kepandaian lawan biasanya juga akan dirobohkannya. Tadi sudah dilihatnya
keadaan Ting Pek-jwan agak sempoyongan, terang sudah kena dupa biusnya itu,
siapa duga pada saat terakhir masih mampu melontarkan pukulan dahsyat.
Keruan ia tidak sempat
menghindar, kontan tubuhnya serasa ditumbuk oleh suatu tenaga bagai gugur
gunung dahsyatnya, napas seketika sesak dan tubuh pun terbanting hingga jauh.
Bahkan terdengar suara "krak-kruk”, rupanya tulang iga dipatahkan beberapa
buah oleh pukulan Ting Pek-jwan, maka sebelum tubuh terbanting lebih dulu
orangnya sudah kelengar.
Pek-jwan sendiri lantas merasa
pandangan menjadi gelap, akhirnya ia pun jatuh tersungkur.
Kedua pihak sama-sama roboh
satu orang, sisanya lantas saling gebrak dengan sengit.
Hian-lan sendiri lagi
berpikir, "Di balik semua kejadian ini tentu ada sesuatu yang janggal,
kini terpaksa harus
kutawan dulu semua lawan,
supaya kedua pihak tidak jatuh korban lebih banyak.”
Setelah ambil keputusan itu,
segera ia berseru, "Bawakan tongkatku!”
Seorang padri angkatan Hui
mengiakan dan segera membawakan sian-theng (tongkat padri) yang disandarkan di
samping pintu itu kepada Hian-lan.
Tiba-tiba si sastrawan
bersenjata boan-koan-pit itu menerjang maju terus menutuk dada padri
Siau-lim-si yang mengambilkan tongkat itu, tapi sebelum tiba, lebih dulu
Hian-lan menghantamkan sebelah tangannya, belum lagi tangannya menyentuh tubuh
musuh, lebih dulu tenaga pukulan Hian-lan sudah mengenai punggung sastrawan
itu, tanpa ampun lagi orang itu roboh tak berkutik.
Hian-lan tertawa panjang,
dengan menjinjing tongkat ia maju ke samping, segera tongkatnya mengemplang
kepala orang yang bersenjata papan catur itu.
Melihat serangan hebat, orang
itu tidak berani gegabah, dengan kedua tangan memegang papan caturnya terus
ditangkis ke atas. "Trang”, terdengar suara nyaring keras disertai
meletiknya lelatu api. Kontan orang itu merasa tangan linu pegal. Dan ketika
Hian-lan mengangkat kembali tongkatnya, tahu-tahu papan catur musuh ikut
terangkat.
Kiranya daya sembrani papan
catur itu sangat kuat, biasanya digunakan menyedot senjata lawan. Tapi sekarang
tenaga lawan lebih kuat, maka berbalik papan catur itu kena disedot oleh
tongkat Hian-lan. Setelah berhasil merampas senjata musuh, menyusul tongkat
Hian-lan lantas mengemplang lagi.
"Haya, celaka! Hancurlah
kepalaku sekali ini!” teriak orang itu dan cepat berlari ke samping.
Mendadak Hian-lan membentak
pula, "Su-tay-cu (pelajar tolol), robohlah!”
Tongkat terus menyabet ke
samping dengan luar biasa dahsyatnya.
"Ai, ai! Belum waktunya
aku disuruh tidur! Ya, apa boleh buat!” seru Su-tay-cu itu dan belum lenyap
suaranya orangnya sudah mendahului bertiarap.
Dengan cepat padri Siau-lim-si
lantas memburu maju untuk membekuknya.
Nyata siuco dari Tat-mo-ih
Siau-lim-si memang bukan jago sembarangan, hanya sekali turun tangan lantas
mengalahkan tiga jago musuh yang tangguh, dengan sendirinya kekuatan kedua
pihak segera berubah.
Tapi A Pik senang
mengkhawatirkan keadaan Ting Pek-jwan, para padri Siau-lim-si juga berduka atas
wafatnya Hian-thong, maka mereka tidak menjadi girang karena kemenangan itu.
Sementara itu si tukang kayu
yang berkapak sedang dikeroyok Pau Put-tong dan Hong Po-ok, terang sebentar
lagi ia pun akan dirobohkan.
Mendadak si orang tua
bersenjata papan catur tadi berseru, "Sudahlah! Lakte, kita mengaku kalah
saja, tidak perlu bertempur lagi! Toahwesio, aku hanya ingin tanya padamu,
sebenarnya apa kesalahan gote kami hingga kalian membunuh dia? Dan mengapa
mencuri bunga apinya untuk memancing kedatangan kami ke sini?”
"Dari mana bisa jadi
begitu....” baru sekian Hian-lan menjawab, sekonyong-konyong terdengar suara
"crangcring” dua kali, yaitu suara khim (alat musik sejenis kecapi)
suaranya nyaring berkumandang dari jauh.
Anehnya, begitu mendengar
suara itu, seketika jantung juga terguncang dengan keras. Selagi Hian-lan
melengak heran, kembali suara kecapi berbunyi "crang-creng” dua kali lagi.
Malahan suaranya bertambah dekat hingga detak jantung semua orang pun tambah
keras.
Karena habis diserang racun,
diguncang pula suara kecapi yang nyaring itu, seketika Hong Po-ok merasa kusut
pikirannya, "trang”, tanpa terasa golok terlepas dari cekalan. Coba kalau
Pau Put-tong tidak keburu melindunginya, tentu bahu Po-ok sudah sempal sebelah
kena bacokan kapak musuh yang sementara itu telah dilontarkan.
Demi mendengar suara kecapi
itu, Su-tay-cu atau si sastrawan tolol tadi menjadi girang, ia
berteriak-teriak, "Lekas kemari, Toako, lekas! Segerombolan bangsat ini
telah membunuh Gote, kini kami tertawan pula, Jitmoay juga dipukul mati oleh
mereka. Wah, celaka, lekas kemari!”
Kembali suara kecapi dalam
hutan sana bergema pula, sekali ini berturut-turut dipetik lima kali hingga
jantung semua orang terguncang lebih hebat, napas serasa hendak putus.
Keruan Hian-lan sangat heran
dan terkesiap, "Ilmu sihir apakah ini? Aku telah menenangkan perasaan
dengan lwekang Siau-lim-pay yang tinggi, tapi jantungku tetap berguncang
mengikuti irama kecapi. Sungguh lihai sekali pemain kecapi itu.”
Suara kecapi itu makin lama
makin cepat, debur jantung semua orang juga makin keras. Hian-lan, Kongya Kian,
Pau Put-tong, Hong Po-ok, dan para padri sama duduk di tanah sambil mengerahkan
lwekang masingmasing untuk melawan. Tapi hanya Hian-lan dan Kongya Kian saja
yang mampu mengatasi getaran jantung, sedang padri Siau-lim-si angkatan Hui
sudah tidak tahan lagi, mereka menjerit-jerit dan sangat menderita. Mereka
berusaha menutup telinga sendiri dengan kedua tangan, tapi aneh, betapa pun
telinga mereka didekap, tetap suara kecapi dapat menyusup ke dalam telinga, dan
jantung lantas bergetar menurut irama musik itu.
Bahkan sampai akhirnya, irama
kecapi itu bertambah cepat bagaikan lagu orang gila dan jantung semua orang
seakan-akan putus terguncang.
Hian-lan tahu tidak boleh
tinggal diam saja tapi harus melakukan serangan belasan. Segera ia angkat
tongkat dan menerjang ke arah datangnya suara kecapi itu. Tapi aneh, suara
kecapi seperti timbul dari bawah tanah saja, meski Hian-lan sudah mengitari
hutan itu, tetap tiada bayangan seorang pun yang dilihatnya. Dan baru saja ia
kembali, tahu-tahu suara itu bergema pula di sebelah belakang sana.
Mendadak Hong Po-ok berteriak
sekali, kedua tangan merobek baju sendiri, dan sesudah bajunya koyakkoyak, lalu
mencakar dada sendiri sambil menjerit, "Korek keluar jantung ini, tahan
dia, supaya tidak melonjak-lonjak, tidak boleh melonjak-lonjak!”
Hanya sebentar saja dada
sendiri sudah penuh guratan kuku dan darah berceceran.
Cepat Kongya Kian pentang
kedua tangan dan menyikap kencang saudara angkatnya itu sambil berseru,
"Jangan gopoh, Site, kau harus berusaha mematahkan pengaruh suara kecapi
setan itu dan menganggap seperti tidak mendengarnya.”
Tapi karena sedikit terpencar
perhatiannya, segera jantung Kongya Kian sendiri terguncang hebat.
Anehnya si orang bersenjata
papan catur, si sastrawan tolol, orang berkapak, sastrawan bersenjata
boan-koanpit dan si pemain sandiwara, mereka sedikit pun tidak terpengaruh oleh
getaran suara kecapi itu, terang mereka mempunyai cara yang mudah untuk melawan
suara itu.
"Lakmoay, kau bagaimana?
Marilah duduk di sebelahku saja!” demikian Pau Put-tong teringat kepada A Pik.
Ia pikir usia anak dara itu terlalu muda, lwekangnya masih cetek, tentu akan
lebih menderita daripada orang lain, maka ia merasa kasihan dan ingin
membantunya.
Siapa duga mendadak dilihatnya
gadis itu lagi duduk bersila, wajahnya berseri-seri, sama saja seperti orang
tidak merasakan sesuatu. Keruan kejut Pau Put-tong lebih hebat, pikirnya,
"Wah, celaka, jangan-jangan Lakmoay telah meninggal terpengaruh oleh getaran
suara kecapi itu? Biasanya ia suka seni musik, suka memetik kecapi dan
menyanyi, kepandaiannya dalam hal ini harus dipuji. Dan orang yang paham seni
musik tentu akan lebih tajam pula daya tariknya kepada getaran suara kecapi
itu.”
Dalam khawatirnya, dengan
menahan getaran jantung sendiri, segera Put-tong berlari mendekati A Pik,
selagi hendak memeriksa pernapasan hidung anak dara itu, tiba-tiba terlihat
tangan A Pik bisa bergerak perlahan.
Put-tong tambah kaget,
"Mengapa orang mati bisa bergerak?” demikian pikirnya.
Ia lihat anak dara itu
memasukkan tangan ke dalam baju, lalu mengeluarkan sesuatu, karena keadaan
gelap gulita, maka tidak jelas benda apakah yang dikeluarkan A Pik.
Tapi segera terdengar suara
"tring-tring” dua kali, suara itu timbul dari depan A Pik. Suara nyaring
merdu, terang bunyi semacam alat musik kecil. Dan begitu suara itu lenyap,
lamban laun suara kecapi dalam hutan sana yang berirama cepat lantas berubah
menjadi lambat.
Waktu alat musik di pangkuan A
Pik itu berbunyi lagi dua kali, maka suara kecapi pihak sana menjadi lebih
lambat pula.
Sungguh girang Kongya Kian,
Hian-lan dan lain-lain tak terkatakan, lebih-lebih Pau Put-tong, ia berjingkrak
senang. Mereka sama pikir, "Sungguh tidak nyana nona cilik A Pik ini bisa
memiliki kepandaian seperti ini, dapat menggunakan suara musik untuk melawan
suara musik musuh, dengan suara perlahan melawan suara keras hingga suara
kecapi lawan dapat dipengaruhi.”
Dalam pada itu suara kecapi
dalam hutan telah berubah lagi iramanya, tiba-tiba bernada tinggi lalu
dibunyikan dalam nada rendah. Begitu pula A Pik lantas membunyikan kecapinya
mengikuti irama orang.
Dengan demikian, Hong Po-ok
dan para padri Siau-lim-si telah terlepas dari siksaan suara kecapi tadi.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Po-ok berteriak, "Bangsat itu telah
bikin susah kita, ayolah kita terjang dia!”
Habis berkata, segera ia
mendahului menyerbu ke dalam hutan sana dengan golok terhunus.
Waktu Kongya Kian memondong
Ting Pek-jwan, ia merasa napas sang toako sangat lemah, tapi tidak putus,
itulah tanda keracunan hawa
berbisa yang disebarkan wanita cantik tadi, namun jiwanya sementara ini tidak
beralangan. Hanya dikhawatirkan musuh terlalu lihai, Hong Po-ok sudah
keracunan, jangan-jangan akan terjebak musuh lagi, maka sesudah meletakkan
Pek-jwan, segera Kongya Kian bersama Pau Put-tong menyusul saudara angkat itu.
Begitu pula para padri
Siau-lim-si karena tadi telah tersiksa oleh guncangan suara kecapi, dengan
menghunus senjata masing-masing segera mereka pun memburu ke dalam hutan.
Tapi aneh bin ajaib, di tengah
hutan ternyata tiada bayangan seorang pun, sebaliknya suara kecapi itu selalu
berpindah-pindah, sebentar di timur, lain saat di barat, terkadang seperti di
depan sana tahu-tahu sudah di belakang, hingga membikin bingung orang bagai
digoda setan iblis.
Cuma suara kecapi itu sekarang
sudah lambat dan merdu enak didengar serta tidak membikin guncang jantung
pendengarnya, sebaliknya membuat orang merasa segar malah.
Karena tidak ketemukan musuh,
dengan gemas Hong Po-ok mencaci maki serabutan, kemudian mereka keluar dari
hutan. Sementara itu suara kecapi A Pik telah dapat bergabung dengan suara
kecapi pihak lawan hingga terjadi perpaduan suara yang sangat indah.
Kongya Kian dan lain-lain
cukup berpengalaman, mereka tahu di dunia persilatan ada segolongan orang yang
tinggi lwekangnya dapat menggetar sukma pihak lawan dengan berbagai suara yang
aneh, lalu membunuh lawan itu. Walaupun sekarang terdengar suara kecapi A Pik
tidak mirip sedang bertempur dengan orang melainkan lebih pantas dikatakan
sedang latihan, namun kejadian aneh di dunia Kangouw susah diduga, maka mereka
tetap waspada, Pau Put-tong dan Hong Po-ok pun berjaga-jaga di depan anak dara
itu. Begitu pula Hian-lan siap berdiri di belakang A Pik untuk membantu
bilamana perlu.
Selang sejenak, suara kecapi
dalam hutan itu mulai cepat, semula A Pik masih bisa mengikutinya, tapi dalam
sekejap saja sudah ketinggalan.
"Hahahaha! Nona cilik,
kau berani mengadu kecapi dengan Khim-sian Toako (Kakak Dewa Kecapi) kami, itu
namanya kau cari penyakit sendiri,” demikian si sastrawan linglung tadi
tiba-tiba bergelak tertawa. "Nah, lekas menyerah kalah saja, mengingat
usiamu masih muda, mungkin toako kami akan suka mengampuni jiwamu.”
Kongya Kian dan lain-lain juga
sudah mendengar suara kecapi A Pik kalah cepat daripada lawan, juga kalah
nyaring dan kalah jelas iramanya, tampaknya pertandingan suara kecapi ini A Pik
telah dikalahkan. Maka semua orang saling pandang dengan muram.
Selang sejenak lagi, meski A
Pik berusaha sebisanya tetap suara kecapinya tak bisa mengikuti irama kecapi
lawan. Mendadak ia petik keras dua kali, lalu berhenti dan berseru dengan
tertawa, "Suhu, aku tak sanggup lagi mengikutimu!”
Segera suara kecapi dalam
hutan juga berhenti, lalu terdengar suara seorang tua bergelak tertawa dan
menyahut, "Dara cilik dapat mencapai tingkatan ini sudah lumayanlah!”
Sungguh girang dan kejut
sekali semua orang. Dari tanya-jawab mereka itu, agaknya si pemetik kecapi di
hutan itu adalah guru A Pik. Hal ini bukan saja membuat Hian-lan terkejut,
bahkan Kongya Kian dan si sastrawan linglung dengan kawan-kawannya juga
terheran-heran.
Maka tertampaklah dari dalam
hutan muncul seorang tua dengan lengan baju yang longgar, wajah orang tua ini
sangat aneh, jidatnya nonong, tulang pipinya menonjol, selalu berseri-seri,
tampaknya sangat ramah tamah.
Dan demi tampak orang tua
aneh, itu, segera A Pik berseru dengan gembira, "Suhu, baik-baikkah
engkau!”
Segera ia pun berlari-lari
memapak ke sana.
"Toako!” demikian si
sastrawan linglung dan kawan-kawannya juga lantas menyapa.
Orang tua itu menjulurkan
kedua tangan ke depan, ia pegang tangan A Pik dan berkata dengan tertawa,
"A Pik, wah, sudah begini besar kau sekarang!”
Air muka A Pik menjadi
kemerah-merahan, dan belum lagi menjawab, tiba-tiba si orang tua berkata kepada
Hian-lan sambil soja, "Padri saleh Siau-lim-si manakah yang berada di
sini, barusan Siauloji (orang tua) banyak mengganggu, harap maaf.”
"Lolap Hian-lan adanya,”
sahut Hian-lan sambil balas hormat.
"Aha, kiranya Hian-lan
Suheng,” kata orang tua itu. "Dan Hian-koh Taysu tentu saudara
seperguruanmu bukan? Siauloji dulu sering bertemu dengan beliau dan satu sama
lain sangat cocok, keadaan beliau tentu sehat-sehat saja, bukan?”
Tapi dengan muram Hian-lan
menjawab, "Hian-koh Suheng telah wafat disergap oleh muridnya yang khianat
itu.”
Orang tua itu tampak melengak
sekejap, mendadak ia meloncat setinggi beberapa meter ke atas, belum lagi turun
kembali ia sudah menangis tergerung-gerung di udara.
Hian-lan dan Kongya Kian
terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa watak orang tua itu ternyata
mirip anak kecil saja, sesudah turun ke tanah, orang tua itu lantas duduk
sambil membubut-bubuti jenggot sendiri dan kedua kaki mengentak tanah serta
sesambatan pula, "O, Hian-koh, kau mau mati, kenapa tidak memberitahukan
lebih dulu padaku? Ai, terlalu kau! Untuk selanjutnya laguku ‘Hoan-im-bo-ciau’
(Nyanyian Memuji Buddha) takkan ada yang paham lagi, hanya engkau yang
mengatakan bahwa laguku ini berisi jiwa Buddha dan dapat menambah kemajuanmu,
maka berulang-ulang engkau ingin mendengarkan. Hian-lan sutemu ini belum tentu
memiliki kesadaran setinggi dirimu, kepadanya akan sama saja seperti aku
memetik kecapi di depan kerbau! O, nasibku ini memang malang!”
Ketika mendengar orang tua itu
menangisi kematian suhengnya, semula Hian-lan mengira tentu dia seorang sahabat
yang baik, tapi makin didengar makin tak genah, kiranya yang ditangisi orang
tua itu adalah karena merasa kehilangan seorang pendengarnya yang dapat
menyelami lagu kecapi yang digubahnya, bahkan akhirnya Hian-lan dianggap
sebagai kerbau yang bodoh dan tak dapat memahami seni suara.
Tapi Hian-lan adalah seorang
padri saleh, ia tidak marah meski mendengar ucapan yang menyinggung martabatnya
itu, hanya tersenyum saja dan berkata dalam hati, "Rombongan mereka ini
memang orang sinting semua, susah untuk diajak bicara benar. Lwekang orang tua
ini sangat tinggi, tapi wataknya juga angin-anginan kawan-kawannya, dasar!”
Dalam pada itu si orang tua
lagi menangis pula. "Hian-koh, wahai, Hian-koh, guna membalas kebaikanmu,
dengan susah payah aku telah menggubah sebuah lagu baru untukmu, tapi belum
lagi sempat mendengar kau sudah keburu mendaftarkan diri ke akhirat!”
Tiba-tiba ia berpaling kepada
Hian-lan dan bertanya, "Di manakah letak kuburan Hian-koh Suheng? Lekas
membawa aku ke sana, lekas! Makin cepat makin baik. Setiba di sana, aku akan
membawakan lagu gubahanku yang baru ini, boleh jadi sesudah mendengar dia akan
hidup kembali!”
"Hendaknya Sicu jangan
sembarangan bicara,” sahut Hian-lan. "Sesudah Suheng wafat, sudah tentu
beliau telah diabukan!”
Orang tua itu tertegun
sejenak, mendadak ia melompat bangun dan berseru, "Bagus! Nah, boleh kau
serahkan abu tulangnya padaku, akan kubuat menjadi semen dan kulebur pada
kecapiku, dengan demikian dia akan selalu mendengar laguku setiap kali kupetik.
Nah, caraku sini sangat bagus, bukan? Hahaha!”
Saking senangnya hingga dia
lupa daratan, ia bergelak tertawa sambil bertepuk tangan. Tapi mendadak
dilihatnya si wanita cantik tadi menggeletak di sebelah sana, ia berseru kaget,
"Hai, Jitmoay, kau kenapa? Siapa yang melukaimu?”
"Suhu,” lekas-lekas A Pik
menerangkan, "dalam urusan ini telah terjadi sedikit salah paham,
syukurlah sekarang Suhu sudah datang, tentu segala sesuatu dapat dibicarakan
dengan baik.”
"Salah paham apa? Siapa
yang salah paham?” demikian orang tua itu menegas. "Pendek kata, orang
yang mencelakai Jitmoay pasti bukan orang baik. Wah, kiranya Patte juga
terluka, dan orang yang melukai Patte tentu juga bukan manusia baik-baik. Ayo,
siapa itu yang bukan manusia baik-baik, lekas laporkan diri untuk diambil
tindakan yang adil. A Pik, coba pergi ke atas pohon sana untuk mengambilkan
alat tetabuhanku.”
A Pik mengiakan terus berlari
ke tengah hutan tadi. Dari jauh semua orang dapat melihat bayangan A Pik
melompat dari satu pohon ke lain pohon, setelah turun ke tanah, lalu melompat
lagi ke atas pohon yang lain.
Baru sekarang Hian-lan, Kongya
Kian dan lain-lain paham duduknya perkara. Kiranya orang tua itu telah menaruh
beberapa buah kecapi di atas pohon, lalu dipetiknya dari jauh dengan tenaga
dalam yang kuat, sebab itulah suara harpa tadi bisa mendadak di timur, lalu di
barat, tiba-tiba di depan, tahu-tahu di belakang lagi hingga membingungkan
mereka yang mencarinya.
Cuma kalau melihat cara A Pik
naik-turun pohon itu, jarak di antara pohon-pohon itu sedikitnya ada belasan
meter jauhnya, masakah lwekang si orang tua sudah sedemikian tingginya hingga
dapat mencapai jarak sejauh itu? Apalagi mesti memetik kecapi menurut irama
tertentu sungguh kepandaian sehebat ini sukar untuk dibayangkan.
Dalam pada itu kelihatan A Pik
sudah berlari kembali dengan membawa beberapa buah harpa. Sampai di tengah
jalan, mendadak gadis itu tergeliat dan jatuh tersungkur.
Keruan si orang tua penabuh
harpa, Kongya Kian dan lain-lain terkejut. Cepat Kongya Kian berlari mendekati
A Pik. Tapi mendadak di sebelahnya angin berkesiur, si orang tua sudah
mendahului melayang ke depan dan A Pik lantas dipondongnya dengan kedua tangan.
Diam-diam Kongya Kian memuji
kehebatan ginkang orang tua itu. Ketika ia susul sampai di depan mereka, ia
lihat wajah A Pik merah segar, malahan mengulum senyum, maka hilanglah rasa
khawatirnya. Katanya menggoda, "Lakmoay, jangan sok manja pada gurumu. Ai,
aku benar-benar kaget barusan.”
A Pik ternyata tidak menjawab,
sekonyong-konyong ada beberapa tetes air menjatuhi muka A Pik yang ayu itu.
Kongya Kian tercengang, waktu ia perhatikan, tiba-tiba dilihatnya wajah si
orang tua muram sedih dan air matanya bercucuran. Sudah tentu ia heran,
katanya, "Kembali penyakit gila kakek ini angot lagi?”
Tapi si kakek mendadak melotot
sekali kepada Kongya Kian sambil membisiki, "Jangan bersuara!”
Lalu ia pondong A Pik dan sepat
melangkah ke arah rumah.
"Lakmoay, kenapa kau....”
baru sekian ucapan Hong Po-ok yang sementara itu telah memapak, tiba-tiba si
kakek memotong ucapannya, "Ssst, jangan bersuara! Bencana tiba, bencana
tiba!”
Lalu ia celingukan kian-kemari
seperti maling khawatir kepergok, air mukanya tampak penuh rasa khawatir,
kemudian ia berkata pula, "Wah, tidak keburu lari lagi! Ayo, lekas masuk
ke dalam rumah!”
Dasar Pau Put-tong memang
paling suka menyanggah setiap kehendak orang lain, demi mendengar ucapan orang
tua itu sampai gemetar suaranya, segera ia berteriak, "Bencana apa? Apakah
langit akan ambruk?”
"Lekas, lekas masuk ke
dalam sana!” seru orang tua itu.
"Mau masuk, silakan! Aku
orang she Pau masih ingin makan angin di sini, Lakmoay....” baru sekian Pau
Puttong menjawab, mendadak orang tua yang memondong A Pik itu menjulurkan
sebelah tangannya dan kontan hiat-to di dada Pau Put-tong kena dijambretnya.
Saking cepat serangan si orang
tua hingga sedikit pun Pau Put-tong tak bisa berkelit dan tahu-tahu tak bisa
berkutik lagi, ia merasa tubuh sendiri terangkat ke atas, kaki terapung di atas
tanah, tanpa kuasa ia dicangking masuk ke dalam rumah oleh si orang tua.
Keruan Hian-lan dan Kongya
Kian sangat terperanjat. Selagi mereka hendak bicara, namun si orang bersenjata
papan catur tadi sudah berkata, "Toasuhu, lekas kita masuk ke dalam rumah,
ada seorang iblis raksasa mahalihai sebentar lagi akan datang!”
Ilmu silat Hian-lan sendiri
jarang ada tandingannya di dunia persilatan, sudah tentu ia tidak takut kepada
segala iblis besar atau kecil. Segera ia tanya, "Iblis raksasa siapa?
Apakah Kiau Hong?”
"Bukan, bukan! Jauh lebih
lihai daripada Kiau Hong,” sahut orang itu sambil menggeleng kepala.
"Ialah Singsiok Lokoay.”
"Hah, Sing-siok Lokoay?”
Hian-lan menegas dengan kaget. "Itulah kebetulan, memang Lolap hendak
mencari dia.”
"Ilmu silatmu tinggi,
sudah tentu tidak takut padanya,” kata orang itu. "Tapi kalau semua orang
yang berada di sini terbunuh dan tinggal kau sendiri yang hidup, wah, engkau
ini sungguh seorang welas asih!”
Sindiran terakhir ini ternyata
sangat manjur, sebab Hian-lan lantas tercengang, ia pikir ucapan orang memang
betul juga, maka katanya, "Baiklah, mari kita masuk semua!”
Dan pada saat itu juga Suhu A
Pik setelah meletakkan anak dara itu dan Pau Put-tong di dalam rumah, ia lari
keluar lagi sambil mendesak berulang-ulang, "Ayo, lekas, lekas! Tunggu apa
lagi!”
Ia lihat di antara orang-orang
itu yang paling bandel adalah Hong Po-ok, orangnya petantang-petenteng tak mau
menurut, langsung ia tampar mukanya. Meski Po-ok sangat gemar berkelahi dan
cekatan pula, tapi sama sekali tak terduga olehnya bahwa guru sang lakmoay
tidak segan-segan melabrak dia, sedangkan waktu itu racun dingin dalam tubuhnya
terasa akan kumat lagi, maka ketika serangan si orang tua tiba, sedapatnya ia
menunduk untuk menghindari. Siapa tahu tangan si orang tua mendadak diturunkan
juga hingga tengkuk Hong Po-ok cepat kena dicengkeram.
"Lekas, lekas masuk
sana!” demikian seru si orang tua pula. Dan seperti elang mencengkeram anak
ayam, Pook terus dicangking masuk ke dalam rumah.
Keruan Kongya Kian merasa
kehilangan muka, dua orang saudara angkatnya hanya sekali gebrak saja sudah kena
dibikin tak berkutik oleh si kakek, meski kakek itu adalah guru A Pik dan tak
bisa dikatakan orang luar, tapi betapa gagah dan terkenalnya nama Koh-soh
Buyung, masakah anak buah Buyung-kongcu sedemikian tak becus dan terjungkal
habis-habisan di hadapan para padri Siau-lim-si.
Hian-lan dapat melihat sikap
Kongya Kian yang lesu itu dan dapat pula menerka perasaannya. Ia lihat si orang
tua aneh membekuk Pau Put-tong dan Hong Po-ok dengan cara yang sangat cepat
sekali, tapi toh begitu ketakutan terhadap Sing-siok Lokoay, hal ini menandakan
bahwa gembong iblis itu memang tidak boleh dipandang remeh. Maka katanya
segera, "Kongya-sicu, lebih baik masuk saja ke dalam, nanti kita
rundingkan lebih jauh lagi.”
Maka para padri Siau-lim-si
lantas menggotong jenazah Hian-thong, Kongya Kian pun memondong Ting Pekjwan
dan beramai-ramai masuk ke dalam rumah dengan cepat.
Saat itu guru A Pik sudah
keluar lagi untuk mendesak, melihat semua orang sudah masuk rumah, segera ia
tutup pintu rapat-rapat dan mestinya akan dipalang sekalian, tapi si orang
bersenjata papan catur tadi telah mencegahnya, "Toako, pintu ini lebih
baik dibiarkan terbuka saja. Dengan demikian tentu dia akan ragu dan tidak
berani sembarangan menerjang masuk.”
"O, begitukah kiranya?
Baiklah, kuturut saranmu!” sahut si kakek, namun nadanya jelas meragukan
hasilnya.
Sungguh Hian-lan dan Kongya
Kian tidak habis heran, ilmu silat si kakek sudah terang sangat tinggi, mengapa
menghadapi musuh yang belum kelihatan sudah sedemikian gugupnya? Padahal soal
pintu itu ditutup atau tidak apa artinya bagi Sing-siok Lokoay yang mahasakti
itu? Mereka menduga kakek ini dahulu pasti pernah mengalami siksaan hebat dari
Sing-siok Lokoay hingga sekarang ia kapok benar-benar terhadap iblis itu,
makanya begitu mencium bau lantas ketakutan setengah mati.
Begitulah terdengar si kakek
berulang-ulang mendesak kawannya si tukang kayu, "Lakte, lekas cari jalan,
lekas mencari akal!”
Betapa pun sabarnya Hian-lan,
akhirnya menjadi dongkol juga melihat kelakuan si kakek yang penakut itu.
Segera katanya, "Lotiang (bapak), andaikan Sing-siok Lokoay itu memang
mahajahat dan lihai, kalau kita mau bersatu untuk melawannya juga belum tentu
akan kalah, mengapa mesti... mesti begitu hati-hati?”
Sebenarnya ia hendak
mengatakan "kenapa mesti ketakutan”, tapi ia khawatir menyinggung perasaan
orang hingga kalimat itu digantinya sebelum terucapkan.
Sementara itu di ruangan situ
sudah dinyalakan api lilin, di bawah cahaya lilin Hian-lan melihat bukan saja
si kakek tadi tampak khawatir bahkan si orang bersenjata papan catur, kedua
susing dan lain-lain juga kelihatan sangat takut. Padahal tadi telah
disaksikannya ilmu silat orang-orang itu cukup tinggi, apalagi sifat mereka itu
semuanya seperti orang sinting, segala urusan dianggap seperti permainan saja,
siapa duga kini begitu ketakutan dan berubah menjadi pengecut, sungguh susah
untuk dimengerti.
Dalam pada itu si tukang kayu
yang diminta mencari akal itu hanya mengangguk saja, lalu ia keluarkan sebuah
meteran, ia mengukur-ukur di sudut ruangan, lantas geleng-geleng kepala.
Kemudian ia bawa cektay (tatakan lilin) dan menuju ke belakang. Semua orang
lantas mengikut di belakangnya.
Sepanjang jalan tukang kayu
itu meneliti kian-kemari dan ukur sini dan ukur sana, tapi hasilnya selalu
gelenggeleng kepala. Setiba di ruangan dalam, mendadak ia meloncat ke atas dan
mengukur belandar rumah, kembali ia geleng-geleng kepala pula dan turun kembali
serta melanjutkan ke ruangan lebih belakang lagi.
Setiba di ruangan layon, ia
teliti beberapa kali di sekitar peti mati Sih-sin-ih yang kosong itu lalu
geleng-geleng kepala pula dan berkata, "Sayang, sayang!”
"Bagaimana? Apa tak
berguna?” tanya si kakek penabuh kecapi.
"Ya, tentu akan diketahui
Susiok,” sahut si tukang kayu.
"Masih kau panggil dia
sebagai... sebagai susiok?” seru si kakek dengan gusar.
Si tukang kayu hanya menggeleng
kepala saja lalu berjalan pula ke belakang.
"Selain menggeleng
kepala, rupanya orang ini tidak becus apa-apa lagi,” demikian pikir Kongya
Kian.
Sepanjang jalan si tukang kayu
itu masih terus ukur sini dan ukur sana sambil menghitung-hitung setiap langkah,
lagaknya persis seorang arsitek, seorang pemborong lagi merancang bangunan yang
akan didirikannya. Dan akhirnya sampailah di tengah taman di belakang rumah.
Sambil memegang tatakan lilin
si tukang kayu merenung sejenak, tiba-tiba ia mendekati sederetan lumpang batu
yang berjumlah lima buah banyaknya, ia pikir pula sebentar, lalu taruh tatakan
lilin di tanah, jalan ke sisi kiri ke samping lumpang batu yang kedua, ia raup
beberapa tangkup pasir dan dimasukkan ke dalam lumpang itu, lalu ia angkat sebuah
alu batu bertangkai yang terletak di samping lumpang dan mulai ia menumbuk,
maka terdengarlah suara "blang-blung” yang keras.
Diam-diam Kongya Kian mengurut
dada, pikirnya, "Sialan benar! Dasar orang gila semua, dalam keadaan
begini dia masih bisa iseng main tumbuk padi segala. Kalau yang ditumbuk memang
padi sih dapat dimengerti, tapi dalam lumpang itu sudah terang cuma pasir belaka,
memangnya dia akan makan pasir? Sungguh sialan!”
Syukurlah ia lihat sang toako,
yaitu Ting Pek-jwan, keadaannya baik-baik saja, meski tak sadarkan diri, tapi
seperti orang tertidur karena mabuk arak dan tiada tanda bahaya.
Dalam pada itu suara "blang-blung-blang-blung”
masih terdengar terus, sesudah belasan kali si tukang kayu menumbuk lumpang
batu itu, sekonyong-konyong sejauh belasan meter di pojok taman sebelah timur
sana terdengar mengeluarkan suara keriang-keriut.
Suara keriang-keriut itu sangat
perlahan, tapi betapa tajam telinga Hian-lan dan Kongya Kian sedikit mendengar
sesuatu suara yang mencurigakan, segera pandangan mereka beralih ke arah sana.
Maka tertampaklah dari arah yang bersuara keriang-keriut itu tumbuh empat
batang pohon besar secara berjajar.
Sedangkan suara
"blang-blung” masih terus berbunyi karena si tukang kayu tiada hentinya
menumbuk lumpang batu itu. Aneh juga, pohon kedua di sebelah timur itu
tiba-tiba bisa bergeser memisahkan diri dengan perlahan.
Selang sejenak pula, kini
semua orang dapat melihatnya dengan jelas bahwa setiap kali alu di tangan si
tukang kayu itu menumbuk lumpang, maka pohon itu lantas bergeser sedikit ke
samping.
Mendadak si kakek berjidat
nonong itu berseru girang, terus saja ia berlari ke pohon itu, katanya dengan
suara perlahan, "Ya, benar, inilah dia!”
Waktu semua orang ikut
mendekat, maka tertampaklah tempat pohon bergeser itu kelihatan sepotong papan
batu yang besar, di atas papan batu itu terpasang sebuah gelang besi.
Kejut, kagum, dan malu pula
Kongya Kian. Katanya dalam hati, "Alat rahasia di bawah tanah ini teratur
dengan sangat bagus hingga susah dibayangkan oleh siapa pun juga. Tapi si
tukang kayu berkapak ini dalam waktu singkat saja dapat menemukan tempat
rahasia ini, betapa pintar dan cerdiknya sungguh tidak di bawah pembuat alat
rahasia ini.”
Dan sesudah menumbuk lagi
belasan kali, papan besar itu kelihatan seluruhnya. Segera si kakek aneh
memegang gelang besi itu dan menariknya, tapi tidak bergerak sedikit pun.
Selagi ia hendak menarik lebih kuat lagi, tiba-tiba si tukang kayu berseru,
"Nanti dulu, Toako!”
Mendadak ia lompat ke atas
lumpang batu ujung kanan sana, ia buka celana terus membuang air sambil
berseru, "Ayo, semuanya ke sini, kencinglah beramai-ramai!”
Semula si kakek melengak, tapi
segera ia lepaskan gelang besi itu dan memburu ke tempat kawannya. Seketika si
orang bersenjata papan catur, kedua susing, ditambah si kakek nonong dan si
tukang kayu sendiri beramairamai mereka membuang air kecil ke dalam lumpang
batu.
Dalam suasana lain mungkin
Kongya Kian dan lain-lain akan merasa geli atas tingkah laku orang-orang
sinting itu. Tapi hanya sebentar saja semua orang lantas mengendus bau
belerang, bau obat pasang. Lalu terdengar si tukang kayu berseru,
"Cukuplah sudah, tak berbahaya lagi!”
Kalau kawan-kawannya lantas
berhenti kencing, hanya si kakek nonong belum mau sudah, air seninya masih
terus mancur bagaikan air leding, bahkan mulutnya ikut mengomel pula,
"Sayang, kembali kurusak sebuah perangkap rahasia lagi! Eh, Lakte, untung
kau keburu mencegah kalau tidak, wah, tentu sekarang kita sudah menjadi
perkedel semua!”
Setelah mencium bau belerang
itu, maka Kongya Kian dan lain-lain merasa ngeri juga. Mereka insaf dalam saat
sesingkat itu mereka telah lolos dari lubang jarum dan nyaris hancur.
Nyata di bawah gelang besi
yang ditarik-tarik si kakek itu tergandeng kabel obat pasang, sekali gelang
besi itu terangkat hingga meledak dinamit yang sudah dipendam di situ, maka
pasti hancur lebur mereka. Untung si tukang kayu sangat cerdik dan cepat
mengajak kawan-kawannya mengencingi sumbu dinamit itu hingga basah, dengan demikian
barulah mereka terbebas dari bencana.
Kemudian si tukang layu
memutar sekuatnya lumpang ujung kanan itu tiga kali, lalu ia menengadah dan
berkomat-kamit entah menghafalkan apa, sesudah berpikir sejenak segera lumpang
itu diputar lagi ke arah yang berlawanan, maka terdengarlah suara berkeriut
perlahan, tahu-tahu papan batu tadi tertarik masuk ke bawah tanah hingga
berwujudlah sebuah lubang.
Sekali ini si kakek nonong
tidak berani sembrono lagi, ia memberi tanda agar si tukang kayu berjalan di
depan.
Namun si tukang kayu diam saja
dan tiba-tiba berjongkok untuk memeriksa lumpang batu pojok kiri. Pada saat
lain sekonyong-konyong dari bawah tanah terdengar suara orang memaki,
"Sing-siok Lokoay, kakek moyangmu ya! Kau jahanam keparat, haram jadah! Bagus,
bagus, akhirnya dapat kau temukan aku. Baiklah, anggaplah kau memang lihai.
Kejahatanmu sudah kelewat takaran, pada suatu hari pasti akan kau terima
ganjaranmu! Nah, masuklah sini, masuklah untuk membunuh aku!”
Suatu itu dikenal betul
Hian-lan adalah suara Sih-sin-ih. Keruan ia sangat girang.
Tapi si kakek nonong tadi
lantas berseru, "Gote, akulah adanya! Kami sudah datang dengan komplet!”
Suara di dalam lubang itu
berhenti sejenak lalu berseru, "He, apa betul di situ Toako adanya?”
"Ya,” sahut si kakek. "Kalau
tiada Lakte, masakah kami mampu membuka kulit kura-kuramu yang keras ini!”
Sekejap kemudian, "siut”
mendadak dari bawah tanah menongol keluar seorang, siapa lagi dia kalau bukan
Sih-sin-ih? Rupanya ia tidak menduga bahwa selain si kakek nonong dan kawan-kawannya
masih terdapat pula Hian-lan dan banyak lagi, maka ia kelihatan tercengang.
Buru-buru si kakek nonong
berkata, "Sementara ini tidak sempat buat bicara, ayolah lekas menyusup
masuk lagi, bawa serta Jitmoay dan muridku untuk diberi obat. Apa tempat di
bawah dapat memuat orang sebanyak ini?”
"Eh, Taysu, engkau juga
berada di sini? Beberapa orang ini apa juga kawan sendiri?” segera Sih-sin-ih
menyapa Hian-lan.
Untuk sejenak Hian-lan ragu,
tapi akhirnya menjawab juga, "Ya, semuanya kawan sendiri!”
Sebenarnya pihak Siau-lim-si
sudah anggap Hian-pi Taysu ditewaskan oleh Koh-soh Buyung-si maka orang she
Buyung itu dipandang sebagai musuh terbesar. Tapi sekali ini mereka telah mohon
obat bersama ke tempat Sih-sin-ih ini, sepanjang jalan Pek-jwan dan Kongya Kian
telah memberi penjelasan bahwa sekali-kali Hian-pi Siansu bukan dibunuh oleh
Buyung-kongcu, untuk ini Hian-lan sudah percaya sebagian besar, apalagi mereka
lalu menghadapi musuh bersama dan senasib seperjuangan, maka sekarang ia pun
tidak sangsi lagi untuk mengaku rombongan Kongya Kian sebagai kawan.
Mendengar jawaban Hian-lan
itu, Kongya Kian juga balas mengangguk kepada padri itu sebagai tanda terima
kasih yang tak terucapkan.
Dalam pada itu Sih-sin-ih
telah menyahut pertanyaan si kakek tadi, "Di bawah sana cukup luas, tiga
kali jumlah ini juga dapat muat, ayolah masuk semua ke bawah. Silakan Hian-lan
Taysu lebih dulu!”
Walaupun begitu katanya, tidak
urung ia mendahului menyusup ke bawah. Ia cukup tahu peraturan Kangouw, di
tempat yang gelap gulita penuh rahasia itu betapa pun orang tentu merasa
sangsi, jika ia sendiri mendahului di depan barulah akan menghindarkan rasa
sangsi orang lain.
Dan sesudah Sih-sin-ih
menyusup ke bawah, Hian-lan juga tidak sungkan-sungkan lagi, segera ia pun
menyusul masuk ke dalam, lalu diikuti yang lain, jenazah Hian-thong juga
digotong masuk.
Waktu Sih-sin-ih putar tombol
alat rahasia itu maka papan batu besar tadi lantas mumbul ke atas hingga tertutup
dengan rapat. Ketika tombol diputar lagi, pohon yang menggeser minggir tadi
lantas kembali juga di atas papan batu.
Di dalam situ adalah sebuah
lorong batu, semua orang harus berjalan dengan setengah berjongkok. Tak lama
kemudian, jalan lorong itu makin naik ke atas, kiranya mereka berada di dalam
sebuah terowongan alam yang panjang.
Setelah berjalan puluhan meter
jauhnya, akhirnya mereka sampai di suatu gua yang amat luas. Di pojok gua
tertampak berkumpul belasan orang, ada tua-muda, laki-perempuan dan anak-anak.
Ketika mendengar suara tindakan orang, maka orang-orang itu sama menoleh.
"Mereka ini anggota
keluargaku,” tutur Sih-sin-ih. "Dalam keadaan bahaya, tidak sempat untuk
diperkenalkan satu per satu. Nah, Toako, Jiko, ceritakanlah cara bagaimana
kalian bisa sampai di sini.”
Sebagai seorang tabib ulung,
tanpa menunggu jawaban si kakek nonong ia lantas memeriksa keadaan yang
terluka. Yang pertama diperiksa adalah Hian-thong.
"Taysu ini wafat dengan
sempurna, sungguh harus dibuat girang dan diberi selamat,” katanya kemudian.
Dan setelah memeriksa Ting Pek-jwan ia berkata dengan tersenyum, "Serbuk
bunga Jitmoay kami hanya membuat orang mabuk saja, sebentar lagi dia akan sadar
sendiri dan tak berbahaya.”
Sedangkan luka si wanita
cantik dan si pemain sandiwara adalah luka luar, hal ini bagi Sih-sin-ih sudah
tentu dianggap perkara kecil saja.
Ketika giliran A Pik
diperiksa, sekonyong-konyong Sih-sin-ih berseru, "Hah, Sing-siok...
Sing-siok Lokoay benar-benar sudah datang. Wah... racunnya ini aku tidak
sanggup menyembuhkannya.”
"Wah, lantas bagaimana
baiknya? Harap tabib sakti suka menolongnya sedapat mungkin,” seru Kongya Kian
dengan khawatir.
"Uwaaaahh!” tiba-tiba di
sebelah sana si kakek nonong menangis seperti anak kecil.
"Toako,” kata Ceng-cu, "‘Manusia
zaman purba tidak kenal kegembiraan hidup, dan tidak kenal sedih kalau mati’.
Sekarang muridmu terkena racun Susiok jahanam kita itu, jika tak bisa
disembuhkan, ya, sudahlah, buat apa mesti menangis segala?” demikian si
sastrawan linglung ikut berkata.
"Tapi sudah delapan tahun
muridku yang baik ini berpisah dengan aku dan baru saja kami berjumpa kembali,
jika dia mati tentu saja aku sedih,” demikian sahut si kakek dengan
marah-marah. "O, A Pik, kau tidak boleh mati, seribu kali tidak boleh mati.”
Ketika Kongya Kian, Pau
Put-tong dan lain-lain memandang A Pik, tertampak air maka anak dara itu
bertambah merah hingga makin cantik menyenangkan. Tapi darah di bawah kakinya
seakan-akan merembes keluar.
"Sih-sin-ih, keracunan
apakah adik kami ini?” tanya Kongya Kian.
Mendadak si sastrawan linglung
menyela, "Nona cilik ini adalah murid Toako kami dan aku terhitung
susioknya. Sedang kau adalah saudara angkat si nona cilik, kalau diurutkan
terang kau lebih rendah satu angkatan daripada kami. Kata Khonghucu, ‘Sebutan
yang tepat harus ditaati’!”
"Pantasnya kau mesti
panggil aku sebagai susiok dan juga tidak boleh memanggil Sih-sin-ih secara
sembarangan melainkan harus menyebut Sih-susiok, tahu?”
Sementara itu Sih-sin-ih duga
sudah memeriksa nadi Pau Put-tong dan Hong Po-ok, sudah diperiksanya pula lidah
kedua orang. Lalu memejamkan mata dan memeras otak. Orang lain tidak berani
mengganggu renungannya dan tiada seorang pun memedulikan tangisan si kakek dan
ocehan si sastrawan linglung yang sok nabi itu.
Selang tak lama, tiba-tiba
Sih-sin-ih menggeleng-geleng kepala, katanya, "Aneh, aneh sekali! Siapa
orang yang melukai kedua saudara ini?”
"Seorang pemuda
berkerudung besi,” tutur Kongya Kian.
"Pemuda? Ah, mustahil
masih muda?” kata Sih-sin-ih pula. "Ilmu silat orang ini meliputi golongan
cing dan sia yang hebat. Lwekangnya tinggi, sedikitnya sudah melatih diri
selama 30 tahun, mana bisa seorang muda?”
"Orang itu pernah
menyelundup ke Siau-lim-si dan sama sekali kami tidak mengetahui, sungguh kami
harus merasa malu,” ujar Hian-lan.
"Ai, memalukan juga,
tentang racun yang mengeram di tubuh kedua saudara ini aku pun tak bisa berbuat
apaapa, sungguh menyesal, gelaran ‘sin-ih’ untuk selanjutnya aku tidak berani
terima lagi,” demikian kata Sih-sinih akhirnya.
"Sih-siansing, jika
begitu, biarlah kami mohon pamit saja,” tiba-tiba suara seorang lantang
berseru.
Kiranya Ting Pek-jwan adanya.
Dia jatuh pingsan karena ditaburi serbuk bunga si wanita cantik, tapi dasar
lwekangnya teramat tinggi, kini sudah siuman kembali.
"Ya, benar!” segera Pau
Put-tong menanggapi sang toako. "Buat apa main sembunyi di liang ini?
Mati-hidup seorang laki-laki sejati sudah ditakdirkan Ilahi, mana boleh meniru
sebangsa kura-kura dan celurut, selalu mengeram di dalam liang saja?”
"Huh, besar amat mulut
Sicu ini!” jengek Sih-sin-ih. "Apakah kau tahu siapakah gerangan yang akan
datang itu?”
"Sudah tentu kami tahu!”
mendadak Po-ok menimbrung. "Kalian takut kepada Sing-siok Lokoay, tidak
nanti aku pun takut. Percuma saja kalian sebagai jago silat, sekali mendengar
nama Sing-siok Lokoay lantas ketakutan setengah mati seperti ini!”
Di lain pihak si kakek nonong
sedang meraba-raba bahu A Pik dengan perlahan, katanya sambil menangis, "A
Pik! O, A Pik! Orang yang membunuhmu adalah kau punya susiokco, Suhu sendiri
tidak mampu membalaskan sakit hatimu lagi.”
Mendengar orang-orang sinting
itu semuanya menyebut Sing-siok Lokoay sebagai susiok (paman guru), diamdiam
Kongya Kian sangat heran. Pikirnya, "Sebelum tinggal pergi harus
kuselidiki dulu seluk-beluk orangorang ini, agar ada suatu patokan dalam usaha
menolong Lakmoay nanti.”
Karena pikiran segera ia
bertanya, "Berulang-ulang kalian menyebut Sing-siok Lokoay sebagai susiok,
lalu sebenarnya kalian ini orang dari aliran mana?”
Walaupun sudah beberapa tahun
mengabdi kepada Buyung-kongcu dan mengangkat saudara dengan Ting Pekjwan dan
Kongya Kian berempat ditambah pula A Cu, tentang asal-usul anak dara itu,
selama ini tidak pernah ditanyakan.
Maka Hian-lan lantas
menyokong, "Ya, benar, apa yang kulihat dan dengar hari ini banyak sekali
yang membingungkan, memang Lolap ingin minta keterangan kepada Sih-heng
sekalian.”
"Kami berdelapan saudara
seperguruan dan berjuluk ‘Yu-kok-pat-yu’ (Delapan Sekawan dari Lembah Sunyi),”
demikian Sih-sin-ih mulai menutur. Lalu ia tunjuk si kakek nonong penabuh
kecapi dan berkata, "Dia ini toasuko kami. Aku sendiri adalah longo
(kelima). Cerita tentang kami ini teramat panjang, rasanya juga tidak perlu
diketahui orang luar....”
Baru sekian dia bicara,
terdengar suara seorang yang halus tajam sedang berseru, "Sih Boh-hoa,
kenapa kau tidak keluar menemui aku? Kheng Kong-leng, kenapa kau tidak memetik
kecapi?”
Suara itu halus sekali, tapi
sekata demi sekata dapat didengar dengan jelas oleh semua orang yang berada di
dalam gua, suara itu seakan-akan dapat menyusup melalui permukaan tanah yang
tebal dan tersiar ke dalam telinga setiap orang melalui terowongan di bawah
tanah yang berliku-liku itu.
Mendengar itu, si kakek nonong
berseru kaget sambil melonjak bangun, serunya, "Itu dia Sing-siok Lokoay!”
Segera Hong Po-ok juga
melompat bangun, teriaknya, "Toako, Jiko, marilah kita keluar untuk
menempurnya mati-matian!”
"Jangan, jangan!” si
kakek mencegah. "Sekali kalian keluar pasti jiwa kalian akan melayang
percuma. Ini sih tidak menjadi soal, tapi akibatnya tempat rahasia di bawah
tanah ini akan ketahuan musuh dan jiwa berpuluh orang di sini juga akan ikut
berkorban karena kecerobohanmu ini!”
"Jika suaranya mampu
berkumandang sampai di sini, masakah dia tidak tahu tempat sembunyi kita ini?”
ujar Pau Put-tong. "Kukira, biar kau sembunyi seperti kura-kura mengkeret
juga akhirnya akan diketemukan dia.”
"Dalam waktu sejam dua
jam belum tentu ia mampu masuk ke sini,” ujar si kakek. "Marilah lebih
baik kita merundingkan suatu cara yang untuk menyelamatkan diri.”
Orang yang membawa kapak dan
berdandan sebagai ahli pertukangan itu sejak masuk dalam gua itu hanya diam
saja, kini tiba-tiba menceletuk, "Meski kepandaian Susiok sangat tinggi,
tapi untuk bisa memecahkan rahasia gua di bawah tanah ini paling sedikit diperlukan
dua jam lamanya. Dan untuk mendapatkan cara agar bisa menyerbu masuk kemari,
paling sedikit diperlukan pula dua jam lagi.”
"Jika begitu, jadi kita
ada tempo untuk berunding selama empat jam, begitu bukan?” kata si kakek.
"Empat setengah jam,”
sahut si tukang kayu.
"Lho, dari mana lagi
datangnya setengah jam itu?” tanya si kakek.
"Dalam waktu empat jam
ini, aku dapat mengatur tiga perangkap rahasia untuk merintangi serbuannya
selama setengah jam,” sahut si tukang.
"Ehm, bagus!” kata si
kakek. "Hian-lan Taysu, sebentar kalau berhadapan dengan iblis besar itu
kami sudah terang sukar lolos dari tangannya. Tapi kalian adalah orang luar,
begitu ketemu tentu iblis itu mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi kami,
dan kalian menjadi ada kesempatan untuk melarikan diri. Hendaklah kalian jangan
sok kesatria dan menantang dia. Perlu diketahui bahwa selama ini barang siapa
mampu lolos di bawah tangan Sing-siok Lokoay dengan selamat, maka orang itu
terhitung seorang kesatria gagah perkasa.”
"Ai, baunya, bacin benar
bau ini,” mendadak Pau Put-tong berteriak.
Semua orang melengak, segera
mereka mengendus-endus dengan hidung, tapi tak tercium sesuatu bau apa-apa,
maka dengan wajah penuh tanda tanya semua orang berpaling kepada Pau Put-tong.
"Bukan gas racun, tapi
orang ini baru saja kentut, wah, baunya tak tahan,” kata Pau Put-tong sambil
menuding si kakek nonong dan tangan yang lain tetap mendekap hidung.
Tadi hanya sekali gebrak saja
Pau Put-tong kena dibekuk orang tua itu, maka sampai sekarang ia masih penasaran.
Dasar jiwanya memang gagah berani, tidak takut langit, tidak gentar bumi, biar
tahu kepandaian sendiri bukan tandingan lawan juga tidak mau menyerah, maka ia
masih terus mencaci maki.
Orang yang bersenjata papan
catur melotot sekali pada Pau Put-tong, lalu mengejek, "Huh, untuk lolos
dari tangan Toasuheng kami saja kau tidak mampu, apalagi ilmu silat susiok kami
itu berpuluh kali lebih lihai daripada Toasuheng. Nah, katakanlah, siapakah
sebenarnya yang kentut?”
Diam-diam Ting Pek-jwan
berpikir, "Apa yang dikatakan orang-orang ini cukup beralasan juga. Kalau
Pausamte cekcok terus dengan mereka hanya akan membuang waktu saja.”
Maka ia lantas buka suara,
"Tentang asal-usul kalian sama sekali kami tidak tahu, tadi telah terjadi
salah paham hingga salah melukai nyonya ini, sungguh aku sangat menyesal dan
sukalah dimaafkan. Jika sekarang kita harus bersatu untuk melawan musuh, maka
kita terhitung orang sendiri. Sebentar bila musuh tiba, meski anak buah Koh-soh
Buyung tidak becus juga tidak nanti melarikan diri. Dan kalau betul kita tak
dapat melawan musuh, biarlah kita gugur bersama saja di sini.”
"Hui-keng, Hui-si.”
demikian Hian-lan lantas memberi pesan kepada dua padri Siau-lim-si,
"Ginkang kalian lebih tinggi, sebentar kalian harus mencari kesempatan untuk
meloloskan diri dari pulang ke biara untuk memberi lapor kepada Hongtiang
Supek. Celakalah kalau kita ditumpas habis oleh musuh hingga berita kematian
kita tak diketahui para kawan.”
"Kami akan melaksanakan
titah Supek dengan baik,” sahut Hui-keng dan Hui-si sambil memberi hormat.
Mendengar ucapan Ting Pek-jwan
dan Hian-lan itu tahulah Sih-sin-ih bahwa mereka sudah bertekad akan gugur
bersama dengan orang banyak untuk menghadapi musuh. Sebabnya Hui-keng dan
Hui-si disuruh mencari kesempatan untuk meloloskan diri tentu agar supaya Siau-lim-si
mengetahui siapakah musuh mereka dan kelak dapat menuntut balas.
Si kakek nonong tampak
termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia bertepuk tangan sambil tertawa, katanya,
"Memangnya semua orang akan mati, A Pik yang keracunan ini paling-paling
juga mati saja kenapa aku mesti berduka segala? Ai, ada orang bilang aku Kheng
Kong-leng adalah orang tolol, untuk mana aku tidak dapat terima. Tapi tampaknya
sekarang aku memang tolol, andaikan bukan si tolol besar tentu juga si tolol
kecil.”