Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 46-50

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 46-50 Sudah biasa orang Cidan pandang orang Han seperti hewan, maka Sili malas untuk mengubur Goan-ci,
Jilid 46
Sudah biasa orang Cidan pandang orang Han seperti hewan, maka Sili malas untuk mengubur Goan-ci, ketika dilihatnya di tepi jalan ada sebuah sungai kecil, terus saja ia buang mayat Goan-ci ke dalam sungai, lalu pulang ke kota.

Dan karena keteledoran Sili inilah jiwa Yu Goan-ci jadi selamat malah.

Kiranya ketika jari Goan-ci kena digigit ular sutra, segera ia gunakan ilmu dalam "Ih-kin-keng” yang dilihatnya, yaitu lukisan si padri kurus yang berjungkir dengan gaya aneh itu, dengan demikian hawa berbisa ulat sutra itu dapat dipunahkan.

Ia tidak tahu bahwa "Ih-kin-keng” adalah buah kalam Budhi Dharma, apa yang diajarkan dalam kitab pusaka itu adalah pengantar ilmu lwekang yang maha tinggi, dan karena peniruan Goan-ci itu, sesudah darahnya disedot ulat sutra, kemudian ia dapat menarik kembali darahnya pula hingga sari bisa maha lihai daripada ulat sutra yang tiada bandingannya di dunia initelah ikut terisap ke dalam tubuh Goan-ci sendiri.

Mestinya, jika Goan-ci memahami kunci rahasia melakukan ilmu meditasi dalam Ih kinkeng, dengan sendirinya ia akan dapat memunahkan racun ulat itu secara bertahap, tapi sekarang dia cuma dapat melakuan suatu gaya saja, yaitu dengan berdiri menjungkir, maka racun ulat sutra yang maha aneh itu bersarang semua didalam tubuhnya.

Memangnya bisa ulat sutra itu adalah sejenis racun maha dingin yang tiada bandingannya, di tambah lagi dalam tubuh Goan-ci sudah terhimpun kadar racun dari kelabang, ular dan lain-lain, jadi sudah beracun ditambah racun lagi, keruan seketika ia beku kedinginan.

Bila Sili melaksanakan perintah A Ci dengan baik serta mengubur Goan-ci dalam tanah, pasti mayat itu akan menjadi kerangka "mummi” (jenasah yang tidak membusuk).

Tapi kini ia dibuang ke kali, maka terhanyutlah Goan-ci mengikuti arus. Dan sekali hanyut hingga sejauh lebih 20 li, akhirnya tersangkut pada sebuah batu karang di tikungan sungai yang sempit. Selang tak lama, air sungai disekeliling tubuhnya ikut membeku hingga Goan-ci seolah-olah terbungkus dalam peti mati hablur atau kristal.

Tapi karena diguyur terus oleh arus sungai, setitik demi setitik hawa dingin dalam tubuh Goan-ci tergesek-

gesek hilang, akhirnya es yang membeku di luar badannya mencair. Untung dia memakai kerudung besi, barang logam lebih cepat tertembus hawa dingin, tapi juga cepat panasnya. Maka es yang membeku di sekitar topeng besi cair paling dulu. Setelah digerujuk air sungai sejenak pula Goan-ci terbatuk-batuk dan pikirannya sadar kembali, segera ia merangkak naik dari dalam sungai.

Ia merasa seperti habis bermimpi. Ia duduk di tepi kali sambil menunggu mencairnya es yang masih melekat di sekujur badannya. Teringat olehnya betapa setianya kepada A Ci, ia korbankan awak sendiri digigit binatangbinatang berbisa untuk membantu gadis itu berlatih ilmu, tapi ketika dirinya disangka sudah mati, ternyata gadis itu sedikitpun tidak mengunjuk rasa menyesal, bahkan membuangnya ke kali seperti bangkai anjing saja.

Ia masih ingat ketika dirinya mulai beku, A Ci sendiri asyik memoles cairan darah ulat sutra pada telapak tangannya untuk meyakinkan ilmunya. Kemudian gadis itu hanya memandangnya dengan terheran-heran dan merasa geli, sedikitpun gadis itu tidak memperlihatkan rasa kasihan atau menyesal.

Kemudian ia pikir pula, "Begitu lihai racun ulat sutra itu, setelah nona mengisapnya ke dalam telapak tangan, terang ilmu sakti Tok-ciang (pukulan berbisa) kini sudah berhasil dilatihnya, kalau aku pulang ke sana untuk menemui … untuk menemui dia … ”

Berpikir sampai disini, sekonyong-konyong ia bergidik sendiri, katanya di dalam hati, "Ya, bila dia melihat aku lagi, pasti aku akan digunakan untuk menguji puklan saktinya yang berbisa itu. Dan jika betul ilmu saktinya itu sudah jadi tentu jiwaku akan melayang seketika oleh serangannya. Dan bila ilmu sakti itu belum jadi, tentu aku akan disuruh mencari binatang berbisa lain sehingga ilmu yang dilatihnya itu berhasil, akhirnya aku pula yang akan dipakai sebagai kelinci percobaan. Jadi jiwaku tetap akan melayang. Daripada mati konyol, buat apa aku pulang ke sana ?”

Ia berdiri dan meloncat-loncat beberapa kali agar batu es yang masih melekat dibadannya rontok. Kemudian ia merasa bingung kemana harus pergi? Rupanya ada seekor binatang, kalau bukan menjangan, tentu serigala!”

Tengah merasa bimbang, tiba-tiba didengarnya suara tertawa nyaring mengikik terbawa angin lalu suara seorang gadis sedang bicara, "Cihu, sudah lama sekali engkau tidak menemani aku pesiar keluar rumah, maka sekarang kita harus pesiar sepuas-puasnya!”

Dari suara yang merdu genit itu, segera Goan-ci mengenali pembicara itu tak-lain-tak-bukan adalah A Ci. Keruan ia terkejut, "Wah, celaka, rupanya dia sedang mencari diriku lagi? Agaknya dia datang bersama Kiau Hong.”

Tidak lama kemudian, terdengar suara derapan kaki kuda, dua penunggang kuda tampak datang dengan cepat. Karena disekitar situ tiada sesuatu tempat sembunyi yang baik, terpaksa Goan-ci menyusup ke dalam semaksemak rumput di belakang pohon.

Dan karena sedikit gerakan itu. Siau Hong yang bermata amat tajam sempat melihat di semak-semak rumput itu ada sesuatu yang mencurigakan. Serunya segera, "A Ci, dibalik pohon itu rupanya ada seekor binatang, kalau bukan menjangan tentu serigala!”

"Sungguh amat cengli, pandanganmu, begini jauh jaraknya engkau dapat mengetahui, "ujar A Ci dengan tertawa. Lalu ia larikan kudanya lebih dekat rupanya kuatir binatang buruannya akan lari, segera ia mendahului memanah.

Sudah tentu Goan-ci tidak berani bergerak, terpaksa ia pasrah nasib. Untung Siau Hong dan A Ci tidak melihat jelas jejaknya, maka panah itu menyambar lewat di samping kepalanya dan menancap di tanah. Coba kalau kena kerudung kepalanya itu, meski tidak terluka juga pasti akan mengeluarkan suara keras dan jejak Goan-ci tentu akan ketahuan.

Dan secara kebetulan pula di tengah semak-semak itu memang bersembunyi dua ekor kelinci ketika panah yang dibidikkan A Ci itu menancap disitu, kedua kelinci kaget dan melarikan diri.

Maka tertawalah A Ci, katanya, "Hahahaha, lihatlah, Cihu! Sekali ini engkau telah salah lihat hanya dua ekor kelinci, tapi kau sangka menjangan dan serigala!”

Segera ia memburu ke arah kelinci tadi dan berturut-turut ia panah roboh sasarannya itu.

Selagi A Ci menjulurkan badan dari atas kuda hendak menjemput binatang buruannya itu, tiba-tiba terdengar suara seorang menegur di seberang kali sana, "Nona cilik, kau lihat Han-giok-jan (ulat kemala dingin) piaraanku atau tidak?”

Ketika A Ci mendongak, ia lihat yang bicara itu adalah seorang hwesio berpotongan aneh, sudah gemuk, lagi pendek, hingga mirip sebuah bola raksasa.

Dari tempat sembunyinya Goan-ci dapat melihat jelas bahwa hwesio yang menegor A Ci itu adalah Sam-ceng yang dilihatnya di kebun sayur di kelenteng Bin-tiong-si itu. Padri itu menyatakan ulat yang dsebut Han-giokjan itu adalah piaraannya. Sedang orang yang membunuh ulat itu memang betul adalah A Ci, maka tepatlah orangnya yang hendak dicari padri itu. Demikian pikir Goan-ci.

Sementara itu A Ci kelihatan melengak oleh pertanyaan Sam-ceng tadi, tapi segera ia mengikik sambil mendekap di atas pelana kuda.

Sam-ceng menjadi gusar, katanya pula, "Aku tanya padamu, ada seekor ulat sutra putih piaraanku, dimana dia lewat disitu tentu meninggalkan bekas hangus. Nah, kaulihat atau tidak? Kalau melihatnya bilang melihat, kalau tidak bilang tidak, apa yang kau gelikan? Mengapa tertawa?”

Masih A Ci tidak menjawab, dengan tertawa ia berkata kepada Siau Hong malah, "Cihu, lihatlah bola raksasa itu, sungguh lucu!”

"Hus, "bentak Siau Hong. "Bocah cilik sembarang omong, jangan kurangajar kepada Taisuhu”.

Melihat potongan Sam-ceng yang luar biasa, suaranya sangat lantang pula, sejak mula Siau Hong sudah tahu padri itu pasti seorang persilatan. Ketika mendengar padri itu mencari ulat apa yang disebut "Han-giok jan” segala, ia menduga ulat itu pasti bukan sembarangan ulat, maka sedapatnya ia ingin menghindarkan percekcokan.

Dalam pada itu A Ci bertanya dengan tertawa, "He, Toahwesio, apakah ulat sutra itu piaraanmu?”

"Ya, ya, betul!” cepat Sam-ceng menyahut. "Jauh-jauh aku membawanya kemari dari puncak Kun-lun-san, bila nona melihat ulat itu, harap suka memberitahu.”

"Dimana ulatmu itu lalu, disitu lantas meninggalkan jalur bekas hangus, betul tidak?” tanya A Ci pula.

"Ya, ya, benar!” sahut Sam-ceng. Padahal pertanyaan A Ci itu hanya mengulangi apa yang dikatakannya tadi.

"Dan ulatmu itu maha dingin, bukan? Segala benda yang dekat dengan dia, seketika akan beku menjadi es, betul tidak?” tanya A Ci.

"Ya, benar! Benar! Sedikit pun tidak salah!” ulang Sam-ceng.

"Jika begitu, kemarin aku melihat ulat sutra itu bertarung melawan seekor kelabang dan ulatmu mati digigit kelabang itu, "kata A Ci.

"Kentut! Kentutmu busuk!” damprat Sam-ceng marah-marah. "Ulatku itu adalah raja dari segala binatang

berbisa di dunia ini, segala ular atau binatang berbisa lain kalau ketemu dia pasti akan ketakutan hingga tak berani berkutik, masakah dia dapat dikalahkan oleh kelabang apa?”

Karena dimaki, A Ci bertambah jail dan sengaja menggoda pula, katanya, "Jika kamu tidak percaya, masa bodoh! Yang mesti kemarin aku melihat seekor ulat sutra putih bening dan aneh, sekali injak segera kugecek mati ulat itu.”

Sekonyong-konyong Sam-ceng meloncat setinggi dua-tiga-meter hingga mirip sebuah bola raksasa yang membal ke udara. Ia berteriak-teriak, "Kentut! Kentut busuk! Ulatku itu gesitnya secepat angin, kalau kamu tidak mempunyai obat sakti ulat itu, mana dapat kaubunuh dia? Bila hendak kau injak dia sebelum kena mungkin kamu sudah digigit mampus olehnya.”

Segera A Ci merogoh saku, ia keluarkan suatu bungkusan kecil, sesudah dibuka, benar juga isinya adalah bangkai ulat sutra yang dimaksudkan itu. Badan ulat itu sudah kena digecek oleh pentung kayu A Ci, cairan darahnya juga sudah terpencet keluar, maka bangkai iu sudah berubah gepeng dan kering.

Rupanya A Ci tahu bahwa ulat sutra itu sangat luar biasa, ia duga bangkainya mungkin masih berguna, maka sengaja disimpannya dengan baik.

Melihat ulat sutra piarannya benar-benar sudah mati, seketika wajah Sam-ceng berubah pucat pasi bagai mayat. Tubuh tampak sempoyongan pula, mendadak ia mendoprak di tanah dan menangis tergerung-gerung. Sekonyong-konyong ia merampas bangkai ulat itu dari tangan A Ci, ia peluk erat-erat di depan dadanya, sambil menangis sembari sesambatan, "Oh, jantung hatiku! O, putraku yang manis! Dengan susah payah aku membawamu dari Kun-lun-san, tujuanku ingin piara dikau dengan baik. Tapi kamu justru tidak dengar kataku, kamu suka kelayapan sendirian, akhirnya kamu digecek mati oleh budak setan ini!”

Demikian makin menangis makin sedih, sampai akhirnya suara padri buntak itu menjadi serak dan hampir tak terdengar.

A Ci merasa geli, ia bersorak gembira, sebaliknya Siau Hong tahu padri buntak itu pasti tidak mau menyudahi persoalan ini dengan demikian saja. Segera ia meraik les kuda dan bermaksud mengaling di depan A Ci untuk menjaga segala kemungkinan, habis itu barulah ia minta maaf kepada padri pendek gemuk itu.

Tak terduga, belum berhenti menangis, tahu-tahu badan Sam-ceng membal lagi ke atas mirip sebuah bola raksasa, terus menumbuk ke arah A Ci.

Serangan ini datangnya teramat cepat, belum lagi kuda Siau Hong berada di depan A Ci dan tubuh Sam-ceng

yang bundar itu sudah menyambar tiba.

Mendengar sambaran angin yang keras itu, cepat Siau Hong membentak, "Jangan mengganggu orang!”

Berbareng tangan meraih ke depan, ia jambret punggung A Ci terus diangkat ke atas pelana kudanya.

Maka terdengarlah suara bluk yang keras, tubuh Sam-ceng yang mirip gentong itu kena tumbuk kuda tunggangan A Ci, begitu hebat tenaga tumbukan itu hingga kuda sebesar itu mencelat pergi dan terbanting mati seketika.

Muka A Ci sampai pucat saking kagetnya. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa tumbukan si padri kate yang lucu potongannya itu sedemikian lihainya.

Dan sekali tumbuk membinasakan kuda A Ci, menyusul Sam-ceng lantas membal lagi dan kembali menerjang ke arah A Ci.

Segera Siau Hong mengempit kudanya agar mencongklang ke depan untuk menghindarkan serangan itu. Namun datangnya Sam-ceng ternyata cepat luar biasa, langkah kuda pun kalah cepat.

Melihat gelagat jelek, untuk menahan serudukan hwesio buntak itu, terpaksa Siau Hong harus mengeluarkan tenaga pukulannya. Tapi terang A Ci yang bersalah, gadis itu telah membinasakan ulat sutra piaraan orang, mana boleh dia membalas pihak yang salah dan melukai orang?

Tanpa pikir segera Siau Hong rangkul A Ci, cepat ia melayang pergi beberapa meter jauhnya.

"Brak”, kembali kuda tunggangan Siau Hong menjadi korban, binatang itu kena ditumbuk oleh Sam-ceng hingga mencelat pula, Bahkan sekali ini jauh lebih keras daripada tadi, kuda itu menabrak sebatang pohon hingga perutnya tembus oleh dahan pohon yang patah tertumbuk itu.

Sama sekali Sam-ceng tidak ambil pusing apa yang terjadi itu, untuk ketiga kalinya ia menyeruduk ke arah Siau Hong dan A Ci.

Keruan Siau Hong terheran-heran, ia tidak habis mengerti cara menyerang orang yang aneh itu. Bilamana lawan bersenjata dan padri itu main seruduk begitu, apakah bukan berarti menggunakan badan daging untuk

diadu dengan senjata tajam dan akan mampus sendiri?

Dalam pada itu Sam-ceng masih belum kapok dan masih menyeruduk terus, sekali ini Siau Hong tidak mau menghindar lagi, serunya, "Taisuhu, mengapa kau desak orang sedemikian rupa? Biarlah aku minta maaf padamu dan mengaku salah saja.”

Sebenarnya Sam-ceng sudah mulai menyeruduk lagi, demi mendengar ucapan Siau Hong itu, mendadak ia bisa mengerem, sekonyong-konyong tubuhnya berjumpalitan ke atas hingga beberapa kali putaran. Kesempatan itu segera digunakan Siau Hong untuk melangkah mundur beberapa tindak bersama A Ci. Dan sejenak kemudian barulah Sam-ceng turun ke tanah dengan enteng.

Tapi begitu pundak menyentuh tanah, segera ia menggelinding maju pula, ia menerjang kaki Siau Hong sambil berteriak, "Kembalikan ulatku! Kembalikan ulatku!”

Cara Sam-ceng main gelinding di tanah itu ternyata sama sekali berbeda daripada ilmu silat yang biasa terdapat di dunia persilatan. Tertampak padri itu menekuk kaki dan tangan memegang kepala, jadi meringkuk bagaikan sebuah bola, lalu menggelinding cepat ke arah lawan.

Diam-diam Siau Hong heran pula oleh cara berkelahi si padri buntak yang bodoh ini, kalau mau, sekali hantam pasti padri itu akan dapat dihancurkan olehnya. Tapi ia tidak bermaksud jahat, ia banyak melangkah ke samping untuk mengelakkan terjangan musuh. Tapi ia tidak bermaksud jahat, ia hanya melangkah ke samping untuk mengelakkan terjangan musuh. Tapi kalau sekilas lantas terlihat olehnya di tanah situ tersebar sepetak bubuk kuning.

Syukur Siau Hong dapat bertindak menurut keadaan, meski ia tidak tahu dimana letak keganjilan bubuk kuning itu, yang terang, diatas tanah situ tadi tidak terdapat bubuk kuning seperti itu, jadi jelas ditebarkan oleh hwesio gendut ini ketika dia main gelinding tadi. Dan bila kaki sampai menginjak bubuk kuning itu, bukan mustahil akan kena diingusi lawan.

Segera Siau Hong meloncat ke atas, sambil bersuit nyaring, menyusul ia mengapung lebih tinggi sambil merangkul A Ci untuk menghindarkan bubuk kuning di bawah kaki.

Kiranya bubuk kuning itu memang benar adalah obat bubuk beracun yang ditebarkan oleh Sam-ceng Hwesio. Asal kaki Siau Hong menginjak ke bawah di mana bubuk beracun itu bertebaran, maka dia dan A Ci pasti akan menyedot bubuk kuning dan akibatnya sekujur badan akan lemah lunglai serta pasrah nasib kepada musuh.

Melihat Siau Hong teramat cerdik, tampaknya akan terpancing, tahu-tahu orangnya mengapung ke atas, Sam-

ceng segera menerjang lagi, tubuh yang bulat itu kembali membel ke atas untuk menumbuk Siau Hong. Ia pikir lawan merangkul seorang lagi, betapapun tenaga mengapungnya juga terbatas, asal dapat menumbuknya hingga ketiga orang terbanting bersama ke bawah, pasti lawan akan keracunan oleh perangkap yang telah dipasangnya itu.

Tapi ketika Siau Hong melihat padri itu membal lagi ke atas dan tampaknya benturan sukar dielakkan lagi, segera ia gunakan kaki tangan juga terbatas, asal dapat menumbuknya hingga ketiga orang terbanting bersama kebawah, pasti lawan akan keracunan oleh perangkap yang telah dipasangnya itu.

Tapi ketika Siau Hong melihat padri itu membal lagi ke atas dan tampaknya benturan sukar dielakkan lagi, segera ia gunakan kaki kanan untuk menjejak perlahan ke tubuh orang, dengan tenaga jejakan itu Siau Hong dapat melayang pergi sambil membawa A Ci.

Sebaliknya tumbukan Sam-ceng itu menggunakan antero tenaga yang ada, dan belum lagi kena menumbuk sasarannya atau dia sudah ditolak kembali oleh jejakan kaki Siau HOng. Keruan tenaga yang telah dikerahkan itu nyasar hingga susah dikuasai lagi. Tubuhnya anjlok ke bawah bagaikan sepotong batu.

Biasanya kalau tubuh jatuh ke tanah dapat segera membal ke atas lagi. Tapi sekali ini ia tak bisa menguasai stir lagi, kedua kaki terjulur kaku ke bawah, maka terdengarlah suara "krak, bluk”, tulang kaki patah dan tubuh terbanting hingga terguling.

Bagi Siau Hong, maksudnya menjejak tadi sebenarnya hanya untuk menghindarkan bubuk racun yang ditebarkan orang di tanah itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa lwekang yang dilatih padri kate itu sedemikian anehnya, sekali tenaga dalamnya nyasar, seketika tubuhnya tak bisa dikuasai lagi dan terbanting begitu saja.

Melihat kedua kaki Sam-ceng patah, Siau Hong merasa sangat menyesal, segera ia berkata, "Taisuhu, rebahlah dulu, jangan bergerak segera akan kusuruh orang mengantarmu pulang. Di kuil manakah engkau menetap?”

Sambil menahan rasa sakit, sedikitpun Sam-ceng tidak merintih, sahutnya dengan ketus, "Dimana-mana aku dapat menetap, buat apa kau pusing aku berasal dari kuil mana? Kakiku patah dapat kuobati sendiri, siapa ingin minta belas kasihanmu?”

"Itulah bagus jika kausendiri dapat menyembuhkan, "kata Siau Hong, "Adapun aku bernama Siau Hong, jika kau ingin menuntut balas, silahkan datang ke kota Lamkhia untuk mencari aku. A Ci, marilah kita pergi!”

Tapi sebelum melangkah pergi, sengaja A Ci menggoda Sam-ceng pula, ia mengiming-iming dengan muka

badut yang dibikin-bikin, lalu katanya, "Aku she Toan bernama Ci, jika kau ingin menuntut balas, silahkan datang ke Lamkhia untuk mencari aku.”

Lalu ia tinggal pergi sambil menggandeng tangan Siau Hong.

Sudah tentu apa yang terjadi itu dapat disaksikan oleh Yu Goan-ci yang bersembunyi di tengah semak-semak rumput itu. Ketika melihat A Ci sudah pergi, ia merasa lega. Tapi entah mengapa, terasa juga olehnya seolaholah kehilangan sesuatu. Lebih-lebih dilihatnya A Ci menggandeng tangan Siau Hong dengan mesra, tanpa terasa Goan-ci merasa iri.

Tiba-tiba terdengar Sam-ceng berteriak-teriak. "Air, air! Aku minta air!”

Sudah tentu teriakannya itu sia-sia belaka, sebab disekitar itu tiada orang lain lagi. Diam-diam Goan-ci membatin, "Ulat sutra piaraannya itu akulah yang mencurinya hingga mengakibatkan padri itu sangat berduka dan patah pula kakinya, sungguh aku berdosa padanya.”

Maka demi mendengar seruan Sam-ceng yang minta air, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan berkata, "Harap menunggu sebentar, Taisuhu, akan kuambilkan air untukmu.”

Ketika menoleh dan melihat kepala Goan-ci yang aneh itu, semula Sam-ceng kaget juga, tanyanya, "He, kamu .. kamu ini apa ?”

"Aku? Sudah tentu aku ini manusia, "sahut Goan-ci. "Tunggulah sebentar, akan kuambilkan air.”

Lalu ia lari ke tepi sungai, dengan kedua tangannya ia meraup air dan lari kembali untuk disiramkan ke mulut Sam-ceng.

"Kurang, belum cukup! Aku minta lagi!” kata Sam-ceng.

Goan-ci mengiakan, lalu mengambil lagi dua tangkup air. Kemudian katanya, "Taisuhu, gerak-gerikmu tidak leluasa, jaraknya dari sini ke Bin-tiong-si tidak terlalu jauh, biarlah aku menggendongmu pulang ke sana!”

Mendadak biji mata Sam-ceng yang bulat besar itu melotot, ia pandang Goan-ci dengan heran, cuma kepala pemuda itu tertutup oleh kerudung besi, maka bagaimana air mukanya sukar diketahui. Segera Sam-ceng

membentak, "Dari mana kau tahu aku padri dari Bin-tion-si?”

Karena teguran itu, Goan-ci menjadi gelagapan, ia mengeluh urusan bisa celaka, jangan-jangan perbuatannya akan diketahui orang. Terpaksa ia menjawab, "Disekitar sini hanya terdapat sebuah kuil saja, maka kuyakin Taisuhu pasti berasal dari sana.”

"O, pintar amat kamu, "kata Sam-ceng, "Tapi aku pun tidak perlu digendong, cukup asal kau ambilkan sebuah ho-lo yang kusembunyikan di kebun sayur Bin-tiong-si, dengan arak obat dalam ho-lo itu akan dapat menyembuhkan lukaku ini.”

"Masakah di kebun sayur itu masih ada sebuah ho-lo lagi? Bukankah … "baru sekian Goan-ci berkata, segera ia sadar telah salah mulut, cepat ia berhenti omong dengan kikuk.

"O, ya, aku sendiri yang pikun, memang ho-lo itu sudah hilang, terpaksa silahkan kau gendong aku pulang ke sana, "kata Sam-ceng.

"Baiklah, "sahut Goan-ci, segera ia berjongkok dan membiarkan Sam-ceng menggemblok di punggungnya.

Ia lihat tembok Bin-tiong-si itu kelihatan dari jauh, jaraknya paling-paling cuma satu-dua-li saja, tentu tidak terlalu sukar menggendong padri buntak itu ke sana.

Tak terduga baru dia melangkah beberapa tindak, sekonyong-konyong terasa sepuluh jari Sam-ceng yang kuat bagai cengkraman besi itu mencekik lehernya, begitu keras cekikan itu hingga napas Goan-ci terasa putus.

Keruan ia terkejut, segera ia bermaksud membanting padri itu ke tanah. Siapa duga cekikan Sam-ceng semakin kencang, bahkan kedua lutut kakinya juga mengepit kuat-kuat dipinggangnya. Maka waktu Goan-ci mengipatkan tubuh padri itu dengan maksud membantingnya ke tanah, bukannya padri itu terlepas dari gendongan, sebaliknya Goan-ci sendiri merasa pinggang kesakitan.

Maka terdengar Sam-ceng berkata, "Bagus jadi ho-lo yang kusembunyikan itu dicuri olehmu bukan? Ayolah, mengaku saja, maling cilik! Kau curi arakku, kenapa menggondol pula holo itu?”

Karena berada di bawah cengkraman orang terpaksa Goan-ci menyangkal mati-matian, "Tidak, tidak! Aku tidak mencuri holomu!”

"Ketika aku bilang di kebun sayur itu masih ada sebuah holo, segera kamu merasa heran, bukankah itu menandakan kamu telah mencuri holoku, kalau bukan kamu, habis siapa?” kata Sam-ceng.

Melihat orang tidak menyinggung tentang ulat sutra, Goan-ci pikir melulu urusan mencuri holo sja kan sepele, maka sahutnya, "Baiklah anggaplah holo itu memang betul telah kucuri, biarlah aku mengembalikan padamu nanti.”

Sam-ceng terbahak-bahak girang. Tapi sekonyong-konyong ia menangis pula, dengan terguguk-guguk ia tanya, "Siaucat (maling kecil), waktu kau curi holo itu, kau lihat mestikaku Han-giok-jan atau tidak?”

"Han-giok-jan apa itu? Aku tidak melihat apa-apa, hanya di tanah ada suatu lingkaran dan tiada ulat atau binatang lain, "sahut Goan-ci.

"Ai, dasar anak itu memang bandel, akhirnya kena digecek mati oleh orang, "kata Sam-ceng. "Siaucat, ayolah berjalan ke arah timur.”

"Ke timur? Kemana?” tanya Goan-ci.

Tapi lehernya lantas terasa dicekik lagi oleh Sam-ceng. Padri itu membentak, "Jika kukatakan ke timur, maka kamu kudu ke timur, jangan banyak cingcong, tahu?”

Karena dicekik hingga kesakitan, Goan-ci kapok dan terpaksa menurut perintah padri buntak itu.

Meski perawakan Sam-ceng itu kate, tapi gemuknya melebihi babi, maka bobotnya tidaklah enteng. Sesudah beberapa li jauhnya, Goan-ci merasa letih, napasnya megap-megap, ia mengeluh "Aku tidak kuat lagi, Taisu, marilah mengaso sebentar dulu!”

"Aktu tidak menyuruhmu mengaso, kau berani berhenti?” bentak Sam-ceng dengan gusar, "Ayo, lekas jalan terus!”

Sembari berkata, kakinya mengempit lebih kencang hingga mirip orang menunggang kuda saja..

Agar tidak tersiksa, terpaksa Goan-ci menurut sekuatnya melangkah ke depan, dan makin lama makin payah.

Sesudah beberapa li lagi, akhirnya ia benar-benar tidak kuat lagi, mendadak ia jatuh tersungkur, mulut berbusa dan napas senen-kemis, ngos-ngosan seperti kuda habis berpacu.

Tapi sama sekali Sam-ceng tidak peduli, ia masih mendesak terus, "Ayo, jalan, lekas jalan!”

Bahkan ia terus main gebuk pula ke punggung Goan-ci.

"Biarpun kau hantam mati diriku juga aku tidak sanggup lagi!” demikian sahut Goan-ci.

"Kamu tidak mau jalan? Apa minta kumampuskan sungguh-sungguh?” ancam Sam-ceng.

Syukur pada saat itu juga, tiba-tiba di belakang mereka ada suara bentakan orang lain.

"Sam-ceng besar amat nyalimu, kau berani melarikan diri ke sini? Ayo, lekas pulang, Hongtiang memerintahkan kami menangkapmu!”

Ketika Goan-ci berpaling. Ia lihat dari sana dua padri berjubah kelabu sedang mengejar kemari secepat terbang. Padri yang berada di depan adalah hewesio setengah umur yang pernah dilihatnya di kebun sayur itu dan hwesio dibelakangnya berusia lebih muda.

"Suheng, kedua kakiku dipatahkan musuh, sementara ini tidak sanggup bergerak, bila nanti kakiku sudah sembuh, tentu aku akan pulang sendiri untuk minta ampun kepada Hongtiang, "demikian Sam-ceng memohon.

"Tidak bisa, "bentak padri setengah umur itu, "Jika ada orang dapat menggendongmu melarikan diri, tentu orang ini pula harus menggendongmu pulang ke sana.. Eh, orang... orang ini aneh benar?”

Begitulah ia jadi melongo kaget demi melihat kepala besi Goan-ci yang aneh itu. Namun kawannya si padri yang lebih muda, lantas berkata, "Manusia siluman seperti ini pasti bukan orang baik-baik, ayolah sekalian kita tawan pulang ke kuil!”

"Jika kedua suheng sudah bertekad memaksa aku pulang, terpaksa aku menurut saja, "kata Sam-ceng kemudian. Lalu ia membentak kepada Goan-ci, "Siaucat, ayo ikut kedua suheng pulang ke sana!”

"Aku.. aku tidak kuat berjalan lagi, harus … harus mengaso dulu, "sahut Goan-ci.

"Tidak bisa !” bentak Sam-ceng pula, "Kita harus sampai di rumah sebelum hari gelap.”

"Benar, "si padri setengah umur tadi menimbrung. "Ayolah, lekas, pakai mengaso dulu apa segala ?”

Habis berkata, terus saja ia jemput sebatang ranting kayu terus menyambat pundak Goan-ci.

Keruan Goan-ci meringis kesakitan. Ia tidak paham mengapa seorang padri juga begitu jahat dan main pukul orang semau-maunya. Terpaksa ia meronta bangun, ia gendong Sam-ceng pula dan kembali ke arah datangnya tadi, sudah tentu dengan terhuyung-huyung dan sempoyongan.

Kedua padri itu mengawasi dari belakang Goan-ci, mereka lihat kedua tulang betis Sam-ceng memang betul patah, kedua kaki itu untal-antil, maka mereka menjadi lengah. Ketika sampai di suatu lereng di tepi jurang, sekonyong-konyong Sam-ceng menggunakan tangan kanan untuk menahan pundak Goan-ci, tahu-tahu tubuhnya melayang terus menumbuk ke arah padri setengah umur.

Keruan padri itu kaget, ia memaki, dan karena tidak sempat melolos senjata, segera ia memapak dengan sekali hantaman. Diluar dugaan, begitu mendekat Sam-ceng lantas menghantam juga hingga kedua tangan beradu, "plak”, tubuh Sam-ceng membal ke atas, segera ia menyeruduk pula ke arah si padri muda.

Cepat padri muda itu mundur dua tindak dengan gaya "Ji-liong-cut-tong” atau dua ekor naga keluar dari gua, kedua kepalan terus menghantam dada Sam-ceng.

Tapi di tengah jalan Sam-ceng telah ganti haluan, ia tidak menyeruduk terus, dengan tangan kiri menahan kepalan lawan, dengan tenaga tolakan itu, kemudian tubuhnya mumbul ke atas. Menyusul sebelah tangannya menghantam kepala lawan. Kemudian dengan sekali berjumpalitan, tahu-tahu ia sudah kembali lagi ke atas gendongan Goan-ci.

Tadi waktu Sam-ceng "terbang” meninggalkan gendongannya, segera Goan-ci merasa terbebas dari tindihan bobot ratusan kati, tapi belum lagi ia sempat melarikan diri, tahu-tahu Sam-ceng sudah "hinggap” kembali di atas punggungnya, bahkan terus mencekik lehernya pula hingga terpaksa Goan-ci tidak berani berkutik.

Dalam pada itu tertampak si padri setengah umur dan yang muda tadi perlahan mendoprak ke tanah, tubuh

mereka meringkuk bagai 'caing kena air abu' segera berkelojotan.

Heran dan kejut Goan-ci, pikirnya, "Dengan ilmu apakah hingga Sam-ceng hwesio ini dapat membinasakan mereka dengan secara begitu mudah?”

Hanya sebentar saja, kedua padri itu mengeluarkan suara rintihan, dan sesudah kejat-kejat lagi beberapa kali, lalu binasa.

"Ini, lihat!” tiba-tiba Sam-ceng berkata dengan bangga sembari memperlihatkan telapak tangan kanannya kepada Goan-ci.

Waktu Goan-ci memperhatikan, kiranya jari tengah tangan kanan padri itu menonjol keluar sebuah jarum emas yang sangat halus, dari batang jarum itu masih kelihatan ada noda-noda darah.

Maka tahulah Goan-ci, kiranya di tengah telapak tangan padri itu terdapat jarum dan mungkin berbisa pula, makanya duakali gablok lantas makan dua korban.

"Awas! Jika kau berani rewel, segera aku pun mampuskan kamu!” demikian Sam-ceng mengancam sambil pura-pura hendak menusuk mata Goan-ci dengan jarumnya. Segera ia memerintahkan pula. "Ayo jalan! Ke timur, lekas!”

Goan-ci tidak berani membantah, terutama ia pun ngeri melihat kekejian hwesio buntak itu. Aneh juga, entah dari mana datangnya tenaga, meski badan letih danhati takut, tapi ia dapat berjalan dengan cepat ke arah yang diminta.

Semnetara itu hari sudah mulai gelap, diam-diam Goan-ci membatin, "Kedua kakimu sudah patah, seketika tak mungkin sembuh, nanti bila kamu sudah tidur, pasti aku ada kesempatan untuk melarikan diri.”

Tak tersangka Sam-ceng juga bukan orang bodoh. Ketika hari sudah gelap, ia suruh Goan-ci menyusup ke tengah semak-semak rumput, ia suruh pemuda itu rebah, sedangkan ia sendiri lantas meringkuk seperti bola dan duduk di atas kerudung besi Yu Goan-ci, tidak lama kemudian ia pun mendengkur.

Sungguh mendongkol dan payah sekali Yu Goan-ci. Ia tahu bila dirinya berani bergerak pasti padri jahat itu akan terjaga bangun dan akibatnya ia sendiri akan dihajar. Terpaksa ia tahan sedapat mungkin, bayangkan saja betapa celakanya kalau kepala seseorang ditindih, sedangkan orang yang menindih itu mendengkur seenaknya

semalam suntuk. Sebaliknya bila terkadang Sam-ceng menggeser pantat, seketika kepala Goan-ci seakan-akan dipuntir, mukanya yang melekat dengan kerudung besi itu bagaikan disayat-sayat.

Dengan cara begitulah Goan-ci tersiksa hingga esok paginya. Meski Sam-ceng dapat menyambung tulang kakinya yang patah itu, tapi untuk bisa sembuh hingga dapat berjalan paling sedikit kudu sebulan atau dua bulan lagi. Diam-diam Goan-ci mengeluh apakah selama itu setiap saat dirinya diharuskan menggendong bola daging raksasa itu?

Waktu lohor, sampailah mereka di suatu kota kecil. Mereka mengaso untuk tangsal perut di suatu kedai bakmi.

Kebetulan Goan-ci lihat seorang belantik kuda lewat di situ dengan menggiring beberapa ekor kuda, segera ia berkata kepada sam-ceng.”Taisuhu, silahkan kaubeli seekor kuda untuk ditunggang, bukankah akan jauh lebih cepat daripada perjalanankuyang meski menggendongmu?”

"Ngaco-belo,”bentak sam-ceng. "Menunggang kuda apakah lebih leluasa digendong orang? Dapatkah kuda membawa aku ke dalam rumah dan menaikkan aku ke ranjang? Dapatkah kuda mengantar aku berak ke kakus?”

Benar pikir Goan-ci, maka ia hanya menghela napas dan tidak berkata lagi.

Agar supaya kuda tunggangannya dapat berjalan dengan cepat, maka sam-ceng membiarkan Goan-ci makan sekenyang-kenyang gaya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sore hari mereka membelok ke selatan. Sepanjang jalan tiba-tiba Sam-ceng memberi khotbah kepada Goan-ci tentang ajaran budha, katanya alam ini menciptakan segala makhluk hidup di dunia, apakah orang itu bahagia atau menderita, semua itu sudah ditakdirkan dan bila seorang berdosa pada jelmaan hidup yang lalu, maka akan terima karma pada hidup yang akan datang dan menjelma menjadi kuda atau kerbau guna tunggangan orang.

Ia perumpamakan Goan-ci, meski tidak dijelmakan menjadi kuda, tapi ia sudah ditakdirkan menjadi budak, maka itu pun karma, katanya. Untuk itu hidupnya harus mengabdi dengan baik-baik kepada orang, banyak berbuat kebajikan, supaya dalam titisan yang akan datang dapat hidup senang.

Tapi Goan-ci sangat meragukan ocehan hwesio yang lain di mulut lain dalam perbuatan itu. Pikirnya, "Kau sendiri sekaligus telah membunuh dua orang segolonganmu, caramu begitu kejam, bukan mustahil sebelumnya kaupun sudah banyak membunuh orang, tapi sekarang kau bicara tentang berbuat kebajikan apa segala ?”

Namun di bawah kekangan orang terpaksa Goan-ci tak berani mendebat apa-apa. Ia terus menuju ke selatan. Beberapa hari kemudian, hawa udara mulai hangat. Goan-ci mendengar Sam-ceng mencari keterangan pada

orang di tepi jalan tentang pantai laut. Diam-diam Goan-ci pikir, "Baik juga pergi ke laut, disana ada kapal, dan aku akan terbebas dijadikan kuda tunggangan terus menerus.”

Selang beberapa hari lagi, lewat lohor mereka mengaso dan beli minuman di suatu kedai di tepi jalan, Goan-ci basah kuyup oleh air keringat, berulang ia habiskan beberapa mangkuk air teh dingin, tapi rasa dahaganya masih belum lenyap.

Sekonyong-konyong terdengar suara mangkuk pecah, mangkuk teh yang dipegang Sam-ceng itu jatuh hancur, dengan suara tertahan paderiitu berkata kepada Goan-ci dengan rasa kuatir, "Lekas-lekas berangkat!”

Dan belum lagi Goan-ci sempat menaruh mangkuk teh, cepat sekali jari Sam-ceng yang kuat laksana kait baja sudah mencengkram pundaknya tubuh yang bundar itu lantas menggemblok di atas punggung Goan-ci.

"Lekas berangkat ke barat, makin cepat makin baik!” bentak Sam-ceng.

Terpaksa Goan-ci berbangkit dan melangkah pergi secepat mungkin. Namun sudah kasip, disekeliling sudah ramai suara orang mengucapkan sabda Budha, "Omitohud!”

Karena leher dicekik lagi oleh Sam-ceng, terpaksa Goan-ci berlari sekuatnya ke arah barat. Tapi tahu-tahu dua padri berjubah kuning dengan membawa siantheng (tongkat padri), sudah mengadang di depannya. Goan-ci miringkan tubuh dan bermaksud menyelinap ke samping, tapi kembali dicegat oleh dua padri jubah kuning yang lain. Menyusul dari berbagai penjuru merubung datang pula padri-padri dengan jubahyang sama, seluruhnya ada delapan orang, semuanya mengacungkan senjata mereka kepada Sam-ceng.

"Ya, sudahlah!” kata Sam-ceng akhirnya, "Para sute dan sutit, memang kepandaianmu sangat hebat, akhirnya aku dapat ditemukan kalian. Baiklah, segera aku akan ikut pulang bersama kalian. Nah, setan cilik, boleh kauikut berangkat dengan mereka!”

Diam-diam Goan-ci mengira padri-padri itu dari Bin-tiong-si, ia pikir sekali ini Sam-ceng pasti tak bisa berkutik lagi, tidak mungkin mampu membinasakan kedelapan padri itu sekaligus..

Benar juga, sepanjang jalan Sam-ceng tidak berani bertingkah lagi. Kedelapan padri itu pun tidak mengajak bicara padanya. Namun Goan-ci tetap sengsara, setiap hari ia masih diharuskan menggendong Sam-ceng. Cuma arahnya sekarang menuju selatan dan tidak kembali ke Bin-tiong-si.

Begitulah mereka telah menempuh perjalanan jauh hingga sebulan lebih, karena sudah biasa, Goan-ci tidak merasakan payah lagi. Semula ia pun sering berpikir kemanakah mereka hendak pergi, mengapa terus menuju ke selatan? Tapi lama kelamaan ia menjadi bosan, ia benar-benar mirip seekor kuda saja, terhadap nasib sendiri dan kemana padri-padri itu hendak membawanya pergi, sama sekali ia tidak ambil pusing lagi.

Sampai akhirnya, jalan yang mereka tempuh semakin berliku-liku dan terjal, yaitu jalan pegunungan yang sepi dan makin lama main meninggi.

Lewat lohor pada hari itu, akhirnya mereka sampai di depan sebuah kelenteng besar, waktu Goan-ci mendongak, ia lihat pigura pintu kelenteng itu tertulis tiga huruf besar "Siau-lim-si.”

Dahulu Goan-ci juga sering dengar cerita ayah dan pamannya bahwa Siau-lim-si itu adalah sumbernya ilmu silat di daerah Tionggoan, setiap orang sangat berharap dapat belajar di kuil pujaan itu. Namun selama setahun ini Goan-ci sudah kenyang menderita, terhadap segala urusan di luar ia tidak tertarik lagi. Yang diharapkan adalah setiap hari berkurang jalannya dan berkurang digebuk oleh Sam-ceng. Hal mana sudah dirasakan puas olehnya. Kini tahu-tahu sampai di Siau-lim-si, semula ia juga tergetar, tapi segera ia hadapi dengan sikap dingin saja. Jika nasibnya tetap begitu, biarpun saat itu ia berada diistana raja juga tidak menarik baginya.

Begitulah beramai-ramai mereka lantas masuk ke ruangan pendopo, seorang padri disitu berkata, "Bawa saja ke Kai-lut-ih (ruang hukuman)!”

Kedelapan padri itu mengiakan, lalu membawa Goan-ci keluar dari pintu samping, melalui sebuah jalan kecil, akhirnya sampai disuatu ruangan yang seram.

Dari ruangan itu keluar seorang padri tua, katanya dengan suara serak, "Atas titah Kai-lut-ih-sauco (kepala ruang hukum)!, karena tanpa izin tanpa izin sam-ceng berani turun gunung, lebih dulu dihukum rangket 100 kali dan boleh dilaksanakan dalam sepuluh hari. Habis itu akan diselidiki pula kejahatan yang telah diperbuatnya ketika turun gunung, hukuman akan dijatuhkan nanti sesuai perbuatannya.”

Tanpa bicara lagi segera dua padri yang berada disitu menarik sam-ceng yang ditiarapkan dilantai.

Seketika Goan-ci merasa enteng punggungnya, ia merasa sangat lega.

Kemudian dilihatnya salah seorang padri yang menangkap sam-ceng tadi mendekati padri tua itu dan bicara bisik-bisik sejenak sambil tuding-tuding Yu Goan-ci. Padri tua itu tampak manggut-manggut, lalu berkata, "Siau-cai she Yu itu membantu sam-ceng melarikan diri hingga merusak tata tertib kita, ia pun dihukum

rangket 100 kali, hukuman lain akan dijatuhkan pula jika kesalahan telah diketahui.”

Segera seorang padri mengetuk punggung Goan-ci sambil membentak, "Lekas tiarap untuk terima hukuman!”

Sedikitpun Goan-ci tidak membangkang, segera ia tiarap, pikirnya, "Apa yang kalian hendak perbuat atas diriku, boleh silahkan berbuat sesukamu. Kalian mengatakan aku bersalah, buat apa aku membantah?”

Dalam pada itu si padri tua lantas masuk ke ruangan dalam sesudah memutuskan hukuman tadi. Menyusul keluarlah empat padri lain, mereka terus menyeret Sam-ceng dan Goan-ci ke dalam ruangan hukuman yang luas. Beberapa padri diantaranya terus membekuk Sam-ceng, sedangkan tongkat kayu lantas menggebuk pantatnya. Setelah genap 30 kali Sam-ceng dirangket, kemudian menjadi giliran Goan-ci.

Goan-ci merasakan rangketan 30 kali itu jauh lebih keras daripada rangketan kepada Sam-ceng. Diam-diam ia penasaran, ia percaya padri-padri pelaksana hukuman itu berat sebelah, sudah tentu mengeloni sesama kawan sendiri.

Keruan 30 kali rangketan itu membikin pantat Goan-ci babak belur dan berbunga, darah berceceran membasahi celananya. Selang tujuh hari, belum lagi lukanya itu sembuh, kembali ia dihajar lagi sehingga genap 100 kali rangketan.

Kemudian seorang padri mengumumkan padanya, "Siaucat she Yu diputuskan kerja paksa di kebun sayur, disana harus menginsafi dosanya yang telah diperbuatnya supaya diampuni Budha yang maha kasih!”

Dengan limbung Goan-ci turut saja segala keputusan itu, ia ikut padri itu ke kebun sayur dan menghadap padri pengurus.

Padri pengurus kebun sayur itu bernama Yan-kin. Perawakannya kurus kecil, mukanya sempit mirip kunyuk, dua biji gigi depannya sudah rontok hingga kalau bicara selalu bocor.

Ia sangat ketarik demi melihat kerudung besi aneh yang dipakai Goan-ci itu. Ia duduk bertumpang kaki di sebuah bangku panjang seraya menanyakan asal-usul pemuda itu.

Sudah tentu Goan-ci tidak sudi berterus terang hingga nama baik ayah dan pamannya ikut tercemar. Maka ia mengaku sebagai seorang desa biasa yang ditawan oleh orang Cidan hingga banyak menderita sengsara.

Dasar Yan-kin itu memang sangat ceriwis, ia suka bicara yang tidak-tidak dan bertanya secara melilit, segala tetek-bengek juga ditanyakan hingga jelas. Namun Goan-ci sudah bertekad tidak mau mengaku terus terang, jika didesak, maka ia menjawab dengan singkat saja antara, "Ya, Tidak! Entah!”

Keruan Yan-kin kewalahan. Tapi ia tidak mau sudah, meski sudah waktunya makan, ia tidak makan tapi tanya terus. Tentu saja Goan-ci mendongkol tak terkatakan..

Dan sesudah benar-benar tidak dapat mengorek suatu pengakuan apa-apa dari Goan-ci, akhirnya Yan-kin berkata, "Baiklah, sekarang boleh mulai kerja. Pikul dulu 20 pikul kotoran untuk rabuk tanaman sayur. Ingat, disini tidak boleh malas. Kamu sudah bicara setengah harian disini, kerjamu nanti harus lebih giat untuk menambal tempo yang terbuang ini.”

Goan-ci mengiakan saja, tapi dalam hati ia menggerutu, "Kau sendiri yang cerewet dan bertanya tidak habishabis, tapi aku yang disalahkan!”

Walaupun tak diberi makan, luka rangketan dipantatnya belum sembuh pula, namun Goan-ci menahan semua derita itu dan tetap memikul kotoran untuk merabuk tanaman.

Kebun sayur siau-lim-si itu sangat luas, kira-kira ada sepuluh hektar. Para padri pekerja, kuli-kuli tetap dan pocokan seluruhnya ada 38 40 orang.

Sebagai orang baru, pula memakai kerudung besi yang aneh, maka Goan-ci menjadi sasaran ejekan dan bulan bulanan mereka, segala pekerjaan yang kotor dan kasar selalu diserahkan padanya.

Sesudah mengalami penderitaan selama ini, makin lama pikiran Goan-ci makin bebal, terhadap segala apa dianggapnya sepi saja, bahkan perbedaan antara suka dan duka juga sudah kabur baginya. Ia terima saja semua ejekan dan hinaan orang, ia hidup tanpa tujuan dan sekedar melewatkan waktu saja. Hanya dalam mimpi saja terkadang ia masih ingat kepada A Ci.

Suatu petang hari, sehabis memberi rabuk tanaman, Goan-ci merasa sangat capek. Ia dengar genta tanda waktu makan sudah berbunyi. Segera ia menuju ke ruangan makan bagi para pekerja kasar. Tiba-tiba didengarnya Yan-kin memanggilnya "A Yu, antarkan semangkuk nasi ini kepada Suhu yang berada di rumah kecil di tengah hutan bambu itu. Dia sakit, tak dapat bangun.”

Goan-ci mengiakan, semangkuk penuh terisi nasi dibawanya ke hutan bambu melalui sebuah jalan kecil. Hutan bambu itu sangat luas, sampai sekian lama masih belum tembus. Ia lihat di tengah hutan yang rindang itu ada

sebuah rumah batu kecil, ia dekati pintu rumah dan memanggil dari luar. "Suhu! Suhu! Aku mengantarkan nasi untukmu!”

Ia dengar ada suara sahutan orang yang lirih di dalam rumah. Segera Goan-ci mendorong pintu dan masuk ke dalam. Ia lihat di atas tikar yang digelar di tanah itu rebah seorang yang menghadap ke dinding. Di dalam rumah tiada ranjang, tiada meja, tiada kursi dan sebagainya, yang ada melalui tikar yang dibuat tidur itu di samping sebuah kendi air.

"Ini nasi untukmu, suhu!” demikian Goan-ci menyapa pula.

Tapi orang itu menjawab, "Aku tidak lapar, tidak mau makan, bawalah kembali!”

Suaranya kedengaran berat dan selama bicara pun tidak berpaling. Dan karena orang menyatakan tidak mau makan, tanpa rewel Goan-ci lantas membawa kembali nasi kepada Yan-kin.

Besok siangnya, kembali Yan-kin menyuruh dia mengantar nasi lagi kepada orang itu dan orang itu tetap tidak mau makan.

Begitulah berturut-turut empat lima hari Goan-ci disuruh mengantar nasi kepada orang itu dan orang itu tetap tidak mau makan, bahkan berpaling juga tidak pernah.

Goan-ci sekarang sudah ibarat orang yang tak punya otak, meski kelakuan orang itu agak luar biasa, sedikit pun ia tidak menaruh perhatian.

Siapakah orang itu? Mengapa tidak mau makan nasi? Apakah tidak mati kelaparan? Semua itu ia tidak ambil pusing. Cukup asal ia lakukan kewajibannya saja. Bila Yan-kin suruh dia antar nasi, dia lantas antar nasi. Orang itu menyatakan tidak mau makan, ia lantas bawa kembali. Habis perkara.

Sampai hari kelima, kembali ia antar nasi lagi dan orang itu tetap menyatakan, "Aku tidak lapar, tidak mau makan, bawalah kembali!”

"Baik!” sahut Goan-ci dengan dingin seperti biasa. Lalu putar tubuh keluar dari rumah batu kecil itu.

Di luar dugaan, sekali ini mendadak orang itu melompat bangun dari tikarnya, segera lengan Goan-ci dicengkram olehnya sambil memaki, "Kamu ini sungguh seorang yang tidak punya perasaan..”

Baru sekian ucapannya, tiba-tiba ia berseru heran ketika melihat kerudung besi di atas kepala Yu Goan-ci itu.

Sebaliknya sekarang Goan-ci juga dapat melihat jelas muka orang, yaitu seorang padri yang kurus lagi hitam, matanya celong dan hidungnya panjang, dari mukanya itu dapat dipastikan bukanlah padri bangsa Tionghoa. Mukanya penuh keriput pula, namun susah untuk menaksir usianya.

"Barang apakah di atas kepalamu ini?” demikian tanya padri itu.

"Kerudung besi!” sahut Goan-ci.

"Siapa yang memasangnya untukmu?”

"Orang Cidan!”

"Kenapa tidak dilepaskan?”

"Tidak dapat dibuka!”

"Selama empat hari beruntun akh tidak makan, kenapa kamu tidak peduli dan juga tidak minta Ti-khek ceng (padri urusan tamu) menjenguk diriku atau memanggilkan tabib, apa alasanmu?” demikian tanya padri itu. Meski dia bangsa barat, tapi sangat fasih berbahasa Tionghoa.

"Apakah engkau akan mati atau hidup, peduli apa dengan aku?” sahut Goan-ci ketus.

Keruan padri asing itu menjadi gusar, sekali sambar, segera pundak Goan-ci dicengkramnya. Seketika Goan-ci merasa tulang pundaknya sakit sekali seakan-akan remuk, tapi ia sudah biasa menahan sakit, dia tidak melawan, juga tidak meronta, bahkan juga tidak mengeluh. Ia anggap sepi saja siksaanitu.

Tentu saja padri asing itu terheran-heran. "Kamu merasa sakit tidak?” tanyanya.

"Sakit atau tidak, sangkut paut apa dengan aku?” sahut Goan-ci.

Padri itu tambah heran, tanyanya, "Mengapa 'tiada sangkut paut' apakah tulang pundak ini bukan punyamu? Kalau perlu akan kuremas lebih keras supaya tulangmu hancur!”

Habis berkata, benar juga ia meremas terlebih kuat.

Keruan Goan-ci meringis-ringis. Tapi meski badan tersiksa, jiwanya boleh dikata sudah mati rasa. Ia tidak melawan, juga tidak minta ampun. Dalam hati ia hanya berpikir, "Mungkin sudah takdir tulang pundakku ini akan diremas hancur olehnya, apa yang perlu kukatakan lagi?”

Dan padri asing itu menjadi kewalahan sendiri, akhirnya ia merasa kagum juga oleh keteguhan jiwa pemuda itu. Katanya kemudian, "Bagus bagus!” Hanya seorang pesuruh dalam Siau-lim-si saja sudah sehebat ini. Boleh kau pergi saja!”

Maka dengan membawa mangkuk nasi itu Goan-ci tinggalkan hutan bambu itu. Ternyata di tengah jalan ia sudah ditunggu oleh Yan-kin, dengan tertawa dingin Yan-kin berkata padanya, "A Yu, kejadian di Bin-tiong-si telah terbongkar, ayolah ikut ke Kai-lut-ih!”

Mendengar "Bin-tiong-si” disebut, Goan-ci pikir tentu Sam-ceng telah memperoleh bukti-bukti telah dicurinya ulat sutra itu, jika demikian terang ia tak bisa menyangkal lagi, terpaksa harus pasrah nasib.

Setiba di Kai-lut-ih, ia lihat padri tua yang pertama kali diketemukan di ruang hukum itu juga berdiri disitu, dengan tawar padri itu berkat, "Yu Goan-ci menurut pengakuan Sam-ceng, katanya segala kejahatan yang terjadi di Bin-tiong-si itu adalah perbuatanmu, betul tidak?”

"Benar, memang perbuatanku, "sahut Goan-ci tanpa pikir.

Padri tua itu agak heran juga mendengar pengakuan terus terang itu, katanya pula, "Jika kau sendiri sudah mengaku salah, aku pun tidak perlu bikin susah padamu. Tentang hukuman rangket akan kubatalkan. Sekarang pergilah ke Ciam-hwe-pang (kamar bertobat), hendaknya direnungkan dengan baik-baik, habis itu nanti memberi jawaban padaku.”

Segera Yan-kin membawa Goan-ci ke belakang Kai-lut-ih, yaitu suatu pekarangan kosong, ditengah

pekarangan terdapat empat pilar batu berbentuk persegi, pilar batu itu besar-besar dan berdiri berjajar.

Ketika Yan-kin menarik salah satu pilar batu itu, maka terbukalah sebuah pintu. Kiranya dalam pilar besar itu berwujud sebuah kamar batu yang sempit. Segera Yan-kin suruh Goan-ci masuk ke dalam kamar batu itu, lalu pintunya ditutup.

"Cian-hwe-pang” atau kamar bertobat itu daripada dikatakan sebagai kamar adalah lebih tepat dikatakan sebuah peti mati batu yang ditegakkan. Berada di dalam peti batu itu jangankan hendak duduk, bahkan berputar tubuhpun Goan-ci merasa sukar.

Diatas peti batu itu terdapat dua lubang kecil sekedar sebagai jalan hawa. Katanya di dalam hati, "Apasih yang harus kurenungkan? Apa sih yang harus kutobatkan?”

Pada saat itu juga, tiba-tiba didengarnya ada suara jeritan melengking bagai babi hendak disembelih, suara itu tembus masuk melalui lobang angin kecil itu. Ia kenal itulah suara Sam-ceng. Terdengar padri buntak itu lagi berteriak, "Jangan! Jangan! Badanku segemuk ini, mana dapat masuk ke dalam Cian-hwe-pang?”

Tapi padri tua Kai-lut-ih berkata, "Menurut peraturan biara kita selama ribuan tahun ini, setiap murid yang berdosa harus bertobat di dalam Cian-hwe-pang. Nah, masuklah, lekas!”

"Tapi..tapi badanku segede ini, mana bisa dijejalkan ke situ?” bantah Sam-ceng dengan kuatir.

Goan-ci merasa geli juga bila membayangkan badan Sam-ceng yang bulat laksana bola itu..

Dalam pada itu terdengar si padri tua sedang berkata dengan ketus, "Peduli badanmu gede atau tidak. Pendek kata kamu harus masuk ke situ. Ayolah dorong dia ke dalam dan tutup pintunya!”

Lamat-lamat terdengar beberapa orang mulai mendorong dan menggencet, sebaliknya terdengar Sam-ceng berteriak-teriak. Tapi padri tua itu sedikitpun tidak kenal ampun, dengan tegas ia laksanakan hukum biara.

"Biar akan kulaporkan kepada Hongtiang bahwa kalian menganiaya diriku, kalian sungguh kejam, masakah badanku segemuk ini kalian paksa dan jejalkan ke dalam kamar ba … auuuh! Wah, celaka …” demikian Samceng berteriak-teriak dan menjerit.

Tapi si padri tua tidak ambil pusing, katanya, "Ayo dorong lebih keras sedikit cepat! Satu, dua, tiga!”

"Ai, baunya! sampai ampasnya juga tergencet keluar!” tiba-tiba salah seorang padri yang ikut mendorong itu berseru sambil pencet hidung sendiri.

"Tak apa, lekas dorong lagi! Nah sudah masuk sebagian besar, tinggal kurang sedikit. Ayo, dorong lebih keras!” demikian kata si padri tua.

Begitulah, sesudah didorong dan digence secara paksa oleh orang banyak, akhirnya badan Sam-ceng yang gede itu kena dijejalkan ke dalam peti batu itu walaupun sampai terkencing-kencing dan terberak-berak.

Sam-ceng sendiri sudah lemas, sedikit pun tidak kuat melawan lagi. Ia menangis terguguk-guguk.

Diam-diam Goan-ci heran juga, peti batu sedemikian sempitnya, tapi badan Sam-ceng yang bulat buntak itu ternyata dapat dijejalkan ke dalamnya.

Sekonyong-konyong terdengar Sam-ceng berteriak-teriak, "Keluarkan aku, keluarkan aku! Aku akan mengaku, aku tak berani menyangkal lagi!”

"Kamu boleh mgaku dahulu, kemudian kulepaskan kau!” ujar si padri tua.

"Ya, aku..aku telah mencuri 33 tahil perak di Bin-tiong-si sana untuk membeli arak, aku pernah menyembelih tiga ekor anjing, pernah membunuh tujuh orang hwesio dan tiga orang biasa, aku …aku juga punya … punya gendak di luar dan .. dan berjudi segala.”

"Tadi kaubilang semua itu adalah perbuatan Thi-thau-jin itu?” kata si padri tua.

"O, ya, ya, memang perbuatan Thi-thau-jin itu dan bukan perbuatanku, aku lupa!”

"Ah rupanya pikiranmu masih kacau, boleh kamu mengaso sehari semalam dulu di dalam kamar batu ini, kalau besok pikiranmu sudah jernih bolehlah kaubicara lagi!” kata padri tua.

"He, he! Jangan! satu jam saja aku pasti akan mati gepeng disini!” seru Sam-ceng. "Baiklah, aku akan mengaku terus terang memang semua itu adalah perbuatanku.”

"Lalu perbuatan jahat apa yang dilakukan Thi-thau-jin itu?” tanya si padri tua.

"O, dia.. dia hanya mencuri holo dan minum arakku, "sahut Sam-ceng.

"Adakah perbuatan lainnya?” si padri tua menegas.

"Aku..aku tidak tahu. Lekas .. lekas keluarkan aku!” teriak Sam-ceng terengah-engah.

"Hah, kamu pintar memfitnah orang juga, "ujar si padri tua. "Nah keluarkan dulu Thi-thau-jin itu.

Segera padri yang lain mengiakan dan membuka pintu kamar batu, Yu Goan-ci lantas ditarik keluar.

Dari celah-celah pintu batu Goan-ci dapat melihat daging Sam-ceng yang gemuk itu sampai mencotot keluar. Coba kalau kamar batu itu batan dari kayu, tentu kamar itu akan pecah sendiri. Lalu si padri berkata kepada Goan-ci, "Tentang kejadian di Bin-tiong-si itu kini Sam-ceng sudah mengaku semua. Kenapa tadi kamu tidak mau menjelaskan duduknya perkara?”

"Ya, apa mau dikatakan lagi?” sahut Goan-ci sambil angkat pundak.

"Sebenarnya kamu pernah berbuat kejahatan tidak?” tanya si padri pula.

"Hidupku ini ternyata banyak rintangan dan kenyang derita, mungkin karma, karena hidupku pada jelmaan yang lalu banyak berbuat kejahatan, "sahut Goan-ci.

Mendengar itu, si padri tua merasa puas, ia merasa rikuh juga karena orang tak berdosa telah dibikin susah. Maka ia lantas pesan Yan-kin "Jiwa Thi-thau-jin ini ternyata sangat baik. Padri asing Polo Singh itu sedang sakit, boleh kausuruh Thi-thau-jin ini khusus meladeni dia, tidak perlu suruh dia bercocok tanam lagi di kebun.”

Yan-kin mengiakan atas perintah itu.

"Wah, matilah aku! Lekas keluarkan aku!” demikian terdengar Sam-ceng lagi berteriak-teriak. Terdengar pula suara pletak dan pletok, keriat dan keriut, kiranya seluruh tulang badan Sam-ceng itu tergencet, tatkala saling gesek, maka mengeluarkan suara.

Mendengar suara itu, Goan-ci menduga tulang iga Sam-ceng tentu telah patah beberapa buah.

"Aku sudah mengaku semua, mengapa belum melepaskan aku? Bukankah … bukankah kalian dusta belaka?” demikian Sam-ceng menggembor pula.

Segera Yan-kin suruh Goan-ci menjura pada padri tua pelaksana hukum itu untuk menghaturkan terima kasih karena memberikan pekerjaan ringan padanya.

Bagi Goan-ci sebenarnya sudah tidak kenal terimakasih apa segala kepada orang lain. Ia pun tidak merasakan apa faedahnya di tugaskan melayani si padri asing yang bernama Polo Singh itu. Tapi karena disuruh Yan-kin, ia hanya menurut saja, ia berlutut dan menghaturkan terima kasih.

Lalu Yan-kin membawanya ke rumah kecil tempat tinggal Polo Singh di hutan bambu itu. Padri asing itu masih tetap rebah menghadap dinding, sama sekali ia tidak peduli pada kedatangan mereka.

Sampai waktunya makan siang, seperti biasa Goan-ci menghantarkan nasi kepada Polo Singh. Tapi padri itu menyatakan tidak mau makan, lalu tidak gubris lagi padanya.

Dua hari berturut-turut keadaan begitu berlangsung terus, suara Polo Singh makin lama makin lemah. Ketika Ti khek-ceng mendapat tahu, datanglah dia untuk menjenguk. Habis itu belasan hwesio tua juga berturut-turut datang. Goan-ci melayani di samping, ia dapat mendengar Ti-khek-ceng memperkenalkan nama-nama padri tua itu sebagai kepala ruang Lo-han-tong, Tat-mo-ih, Kai-lut-ih dan lain-lain beserta wakil-wakilnya. Nyata padri-padri itu adalah gembong-gembong Siau-lim-si.

Diam-diam Goan-ci menaksir Polo Singh itu tentu bukan orang sembarangan, ditilik dari sikap para padri Siaulim-si yang sedemikian menghormatinya.

Sampai beberapa hari penyakit Polo Singh masih belum sembuh, terkadang ia pun mau makan sedikit bubur, tapi tak bisa bangun, setiap hari hanya rebah dengan menghadap dinding. Untung sifat Polo Singh cukup ramah hingga Goan-ci tidak tersiksa.

Selang dua hari lagi, mendadak Polo Singh merintih-rintih keras di tengah malam, ia sesambatan menyatakan kepalanya sakit seakan-akan pecah. Ia terguling-guling di lantai sambil memegangi kepala sendiri.

Goan-ci menjadi bingung, cepat ia lapor kepada Yan-kin, lalu Yan-kin mengundang seorang padri tabib dari Jing-kian-ih (ruang kesehatan) untuk memeriksa penyakit Polo Singh. Sesudah ditusuk jarum dan di beri obat segala, sampai pagi hari baru keadaan rada tenang.

Penyakit Polo Singh itu beruntun-runtun kumat lagi beberapa kali hingga padri tabib dari Jing-kian-si gelenggeleng kepala dan menyatakan, "Padri asing ini menderita semacam penyakit aneh dari negeri Thian-tok yang tak terdapat di sini, tampaknya sukar untuk disembuhkan.”

Keadaan Polo Sing makin lama makin lemah. Suatu kali ia bangun hendak buang air, tapi mendadak kaki terasa lemas dan jatuh terjungkal, kepala sampai bocor membentur dinding. Ketika para hwesio tua mendapat tahu, beramai-ramai mereka datang menjenguk lagi.

Begitulah penyakit Polo Singh itu makin payah hingga lebih sebulan lamanya.

Malam itu, mungkin pada siang harinya Goan-ci terlalu banyak gegares rujak atau gado-gado, maka tengah malam mendadak ia sakit perut dan kecirit. Lekas ia berlari-lari ke tengah hutan bambu untuk kuras perut.

Habis hajat, selagi ia membetulkan celananya, di bawah sinar bulan sekonyong-konyong dilihatnya dari bawah tanah di tempat beberapa meter jauhnya sana menongol keluar sebuah kepala manusia. Keruan Goan-ci kaget setengah mati dan hampir menjerit karena disangkanya ada setan.

Syukur sebelum ia bersuara, dengan cepat kepala itu sudah menerobos ke atas hingga kelihatan seluruh tubuhnya. Goan-ci melongo ketika mengetahui orang itu adalah Polo Singh. Sungguh sukar untuk dimengerti, Polo Singh yang sakitnya sudah payah, bergerak saja susah, tahu-tahu sekarang berubah sedemikian tangkasnya. Begitu ia menerobos keluar dari bawah tanah, "siut”, segesit kucing ia terus meloncat ke atas pohon bambu.

Tentu saja Goan-ci terheran-heran, "Jadi selama ini ia hanya pura-pura sakit saja. Tapi mengapa ia dapat menerobos keluar dari bawah tanah? Dan kini hendak kemana?”

Dalam pada itu pohon bambu tampak keresek sedikit, tahu-tahu Polo Singh sudah melayang dari pohon bambu

ini ke pohon bambu yang lain segesit kera. Ketika pohon bambuitu menyandal, seketika tubuh Polo Singh melayang lebih jauh lagi ke arah barat laut sana dengan cepat.

Coba kalau Goan-ci tidak menyaksikan sendiri, tentu ia takkan menyangka di atas pohon bambu itu ada orang menghinggap. Mestinya Goan-ci sudah apatis terhadap segala apa pun. Namun betapa pun juga dia masih muda, rasa ingin tahunya belum lenyap seluruhnya.

Segera ia pun tertarik oleh kejadian itu. Ia coba periksa tempat dimana Polo Singh menongol tadi. Kiranya di situ terdapat sebuah lubang, disamping lubang ada sebuah papan yang di uruk tanah dan daun kering.

Nyata papan itu adalah penutup lubang. Jika Polo Singh menerobos masuk lubang itu, lalu ia tutup kembali papan itu hingga tak kelihatan dari atas. Apalagi tempat itu pun jarang didatangi orang.

"Lubang ini entah tembus kemana? Coba kulihatnya, "demikian pikir Goan-ci. Segera ia pun menerobos ke dalam lubang tanah itu laksana gangsir.

Tak terduga lorong dibawah tanah itu ternyata sangat cekak. Baru dia melangkah beberapa meter, tahu-tahu ia lantas menyusup ke atas. Waktu Goan-ci menongol ke permukaan tanah, tiba-tiba ia merasa geli sendiri.

Kiranya tempat ia berada sekarang adalah tempat tidur Polo Singh sehari-hari itu. Lubang yang dipakai masuk keluar itu tertutup oleh tikar sehari-hari Polo Singh rebah di atas tikar itu hingga siapa pun tiada yang menyangka bahwa di bawah tikar terdapat sebuah lubang gangsir raksasa.

Diam-diam Goan-ci membatin, "Polo Singh ini sangat aneh kelakuannya, entah ke mana dia sekarang?”

Karena tertarik,segera Goan-ci mendatangi pula hutan bambu itu menurut arah yang dituju Polo Singh tadi. Lamat-lamat ia merasa tingkah laku padri asing secara sembunyi-sembunyi seperti maling kuatir kepergok tentu mempunyai suatu maksud tujuan tertentu. Dan kalau sekarang ia mengintai rahasia perbuatannya, bila ketahuan pasti padri asing itu takkan mengampuni jiwanya.

Begitulah, dari jauh ia lihat Polo Singh masih hinggap di atas pohon bambu. Segera Goan-ci merayap maju, sesudah agak dekat, ia tidak berani maju lagi.

Selang tak lama, tiba-tiba rembulan tertutup oleh segumpal awan tebal hingga keadaan menjadi gelap. Mendadak terdengar suara angin mendesir, bambu yang dihinggapi Polo Singh tadi tampak mendal sekali dan tahu-tahu padri asing itu melompat ke semak-semak pohon di depan sana.

Melihat ginkang orang sedemikian lihainya, Goan-ci sampai ternganga kagum, ia tidak berani mengintai lebih jauh lagi, cepat ia kembali ke kamarnya untuk tidur.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar di sebelah kamar Polo Singh itu ada suara orang mendengkur, terang padri itu sudah kembali. Diam-diam Goan-ci bersyukur dirinya kembali lebih dulu hingga tidak sampai diketahui.

Besok paginya waktu Goan-ci bangun, ia lihat Polo Singh masih tetap rebah menghadap dinding dan pura-pura tambah payah keadaan sakitnya.

Goan-ci tidak omong apa-apa, ia ambil cangkul dan pergi ke hutan bambu itu untuk mencari anak buluh atau rebung. Ia mendatangi semak-semak pohon tempat Polo Singh menyusup semalam.

Tapi beberapa meter ia masuk ke daerah situ, tiba-tiba dari balik pohon sana muncul seorang hwesio dan membentaknya dengan suara bengis, "Ada apa kau datang ke Cong-keng-lau (gedung perpustakaan) ini?”

"O, aku.. aku sedang mencari rebung, "sahut Goan-ci.

"Pergi, lekas pergi dari sini! Kalau tiada izin Hongtiang, sekali-kali tidak boleh mendekati Cong-keng-lau, "kata padri sambil memberi tanda agar Goan-ci lekas enyah.

Berulang Goan-ci mengiakan, lalu kembali ke hutan bambu untuk memotong rebung. Pikirnya "Kiranya di semak-semak pohon sana adalah tempat Cong-keng-lau, tanpa izin Hongtiang siapapun dilarang mendekat. Jika begitu, semalam diam-diam Polo Singh telah menyelundup ke dalam Cong-keng-lau, apakah dia sengaja datang ke sana untuk mencuri kitab ?”

Setelah mengetahui sebab Polo Singh pura-pura sakit dan menggaangsir, tujuannya ternyata melulu ingin menyelundup ke Cong-keng-lau maka Goan-ci tidak menaruh perhatian lagi. Sesudah mengumpulkan sekeranjang rebung, lalu membawanya ke kebun untuk diserahkan kepada Yan-kin.

"Ya, harus beginilah, kerjalah yang giat, supaya tidak sia-sia aku mendidikmu selama ini, "demikian Yan-kim memuji. "Nah, bawalah ke dapur sana!”

Goan-ci mengiakan dan membawa rebung itu ke dapur. Disana padri koki sedang masak suatu kuali besar kuah sayur. Segera padri koki itu mencandukkan semangkuk kuah itu untuk Goan-ci. Kemudian mengisi semangkuk kuah pula dan suruh Goan-ci mengantarkan untuk Polo Singh.

Maka dengan membawa semangkuk kuah itu Goan-ci datang ke kamar Polo Singh. Tapi hwesio itu tetap tidak mau minum.

Kuah itu bukan sembarang kuah, didalam kuah itu terdapat hio-koh (jamur kuping) yang wangi, terdapat kimcian (jarum emas, sejenis tumbuhan), sawi putih, rebung dan sebagainya hingga mengeluarkan bau sedap yang membangkitkan selera makan orang.

Polo Singh tidak tahan juga oleh bau sedap kuah itu, tiba-tiba ia berkata, "Baiklah, coba kuminum sedikit!”

Dengan pura-pura tak bisa berbangkit, ia terima mangkuk kuah itu dengan tetap rebah miring. Ketika ia taruh mangkuk kuah itu di lantai sekilas Goan-ci melihat kuah di dalam mangkuk yang bening itu mencerminkan bayangan sebagian kitab yang bertulisan aneh.

Hati Goan-ci tergerak, "Huruf-huruf asing itu agaknya mirip benar dengan tulisan dalam kitabku. Kiranya setiap hari Polo Singh ini rebah disini sebenarnya lagi membaca kitab yang bertulisan aneh ini. "Ah, tahulah aku sekarang, kiranya tengah malam buta ia menyelundup ke Cong-keng-lau tujuannya juga untuk mencuri kitab-kitab tulisan asing ini untuk dibacanya.”

Tapi sesudah dipikir pula bahwa hwesio memang seharusnya Liam-keng (membaca kitab suci), dengan sendirinya padru asing juga mesti membaca kitab bertulisan asing, ini adalah jamak, maka Goan-ci tidak merasa heran lagi, ia pikir mungkin orang asing ini memang suka main sembunyi-sembunyi seperti maling. Maka untuk selanjutnya ia pun tidak menaruh perhatian lagi kepada Polo Singh.

Kira-kira sebulan kemudian, pada suatu malam, selagi Goan-ci tidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh cahaya yang sangat terang, ia lihat cahaya terang itu tembus keluar dari kamar Polo Singh di sebelahnya. Cahaya itu menyilaukan mata, berpuluh kali lebih terang daripada cahaya lilin yang biasanya terpasang di kamar polo singh.

Sudah tentu Goan-ci sangat heran. Ia coba mengutip melalui sela-sela dinding. Tapi ia jadi terkejut mengetahui apa yang berada di kamar sebelah itu.

Kiranya di dalam kamar Polo Singh itu sedang duduk bersila lima hwesio tua, semuanya berkasa (kasa = jubah padri) merah. Tiga diantara kelima padri tua itu dikenal Goan-ci karena pernah datang menjenguk Polo Singh.

Goan-ci tahu kedudukan para padri tua itu sangat tinggi dalam siau-lim-si.

Kelima padri tua itu duduk mengitar di atas tikar, tikar yang biasa dibuat tidur Polo Singh itu sudah tersingkap hingga kelihatan lubang di bawah tanah. Polo Singh sendiri tidak kelihatan disitu. Goan-ci menduga padri asing itu pasti pergi mencuri kitab lagi, dan sekali ini maling itu pasti akan tertangkap tangan..

Waktu Goan-ci perhatikan kelima padri tua itu, ia lihat tangan kanan setiap orang terangkat di depan dada dengan memegang serenceng tasbih, namun biji tasbih itu tidak bergerak sebagaimana biasanya kalau hwesio sedang membaca kitab, tapi telapak tangan setiap orang itu terbuka menghadap ke depan, mengarah lubang di tanah yang digali Polo Singh itu.

Sebenarnya Goan-ci tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Polo Singh, cuma sejak ia ditugaskan melayani padri asing itu, ia tidak pernah menderita siksaan lagi, maka ia harap keadaan demikian bisa berlangsung terus. Kini melihat kepungan kelima padri tua Siau-lim-si, mau-tak-mau Goan-ci berkuatir bagi Polo Singh, tapi lamat-lamat ia merasa tertarik juga karena bakal menyaksikan suatu pertunjukan yang hebat.

Tidak lama kemudian, sekonyong-konyong lengan baju kiri kelima padri tua itu mengebas serentak, api lilin dalam kamar itu menjadi tertekan oleh angin kebasan itu, tapi segera sumbu api menganga lagi hingga bertambah terang kelihatannya.

Jilid 47
Ketika Goan-ci hilang silaunya, tahu-tahu di dalam kamar sudah bertambah seorang. Itulah dia Polo Singh yang baru saja menerobos keluar dari lubang bawah tanah. Tangan padri asing itu kelihatan memegang tiga jilid kitab. Sudah tentu ia pun terkejut demi nampak di tepi lubang itu sudah siap kelima padri tua.

Maka terdengarlah kelima padri tua itu serentak menyebut. "Omitohud!”

Lalu tangan kanan mereka perlahan menolak ke depan hingga lengan baju mereka perlahan menolak ke depan hingga lengan baju mereka tampak melambung seketika bagaikan lima helai layar.

Sekonyong-konyong Polo Singh berjumpalitan sekali terus menjungkir. Ia berdiri dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua kaki tiada hentinya berputar-putar di atas, makin putar makin cepat.

"Ciaaat!” mendadak kelima padri Siau-lim-si membentak berbareng, serentak mereka pun menghantam. "Blang”, terdengar suara keras, seketika hawa udara menjadi tegang dan menyesakkan napas, saking tak tahan Goan-ci terguncang pingsan seketika.

Selang sebentar, ketika ia siuman kembali, sayup-sayup ia dengar suara orang menyebut Budha. Ia coba tenangkan diri, lalu mengintip melalui sela-sela dinding. Kini dilihatnya Polo Singh sudah duduk bersila dengan sikap yang prihatin, kelima padri tua Siau-lim-si duduk mengelilinginya sambil liam-keng bersama. Kitab yang disuakan mereka itu sangat aneh, sama sekali Goan-ci tidak paham. Agaknya kedua pihak itu kini sudah damai dengan baik.

Sesudah agak lama keenam padri itu liam-keng, kemudian kelima padri Siau-lim-si berbangkit, mereka memberi salam dengan rangkap kedua tangan, lalu salah satu padri tua yang kurus kecil berkata, "Polo Singh Suheng, sejak kini bolehlah engkau masuk-keluar Cong-keng-lau dengan bebas, segala kitab yang ingin kau bawa boleh diambil dan dibaca, engkau tidak perlu main sembunyi-sembunyi dan mencuri pula.”

Polo Singh kelihatan mengangkat kepala dan termangu-mangu sejenak dengan penuh rasa sangsi. Kemudian bertanya, "Dan sampai kapan batas waktunya?

"Tak terbatas, sampai Suheng wafat kelak, "sahut padri tua kurus kecil itu.

"Apakah kalian hendak memaksa aku membakar diri?” tanya Polo Singh.

"Omitohud! Mengapa Suheng berkata demikian?” sahut padri tua itu. "Suheng datang dari negeri Thian-tok, sudah tentu kami sambut dengan segala hormat, masakah kami berani berlaku kasar padamu?”

"Sebagai murid Budha, lebih baik kita bicara secara blak-blakan, "kata Polo Singh. "Kitab yang tersimpan dalam biara kalian ini tidak sedikit diperoleh dari negeri kami. Selama beratus tahun ini keadaan negeri kami banyak terjadi huru-hara sehingga kitab-kitab aslinya banyak tercecer dan tak keruan, sebab itulah terpaksa kami harus mencari malah ke negeri kalian sini. Kaum Budha kita mengutamakan berbuat kebaikan, mengapa kalian berjiwa sesempit ini?”

"Omitohud! Mana kami berani berbuat seperti yang dimaksudkan Suheng, "sahut padri Siau-lim-si itu. "Bila yang dicari suheng adalah kitab suci Budha penolong manusia, sudah tentu kami tidak berani merahasiakannya untuk diri sendiri. Akan tetapi yang diambil dan dibaca Suheng itu justru adalah kitab pusaka ilmu silat biara kami, meski sumber ilmu silat itu berasal dari negerimu, namun selama seratus tahun ini telah banyak diolah dan dirombak serta ditambah oleh padri saleh biara kami, menurut aturan dan sopan santun, mestinya tidak dapat suheng ambil dan membacanya tanpa permisi.”

"Tadi kau katakan selanjutnya aku bebas masuk keluar Cong-keng-lau dan boleh membawa kitab di sana sesuka hati, apakah kau sengaja menyindir aku?” tanya Polo Singh.

"Tidak, memang itulah maksud kami sesungguhnya, "sahut si padri kurus kecil itu dengan membungkuk tubuh.

"Kalian tidak perlu bicara secara plintat plintut, apa yang kalian inginkan atas diriku, boleh katakan terus terang saja, "kata Polo Singh.

"Kami sangat kagum terhadap ilmu keagamaan suheng yang tinggi, maksud kami ialah supaya suheng dapat menetap di negeri kami ini untuk memberi khotbah secara luas dan menolong sesamanya menuju ke jalan yang mulia, "sahut si padri tua.

Seketika wajah Polo Singh berubah pucat bagai mayat. Katanya, "Jadi mak… maksudmu akan menahanku disini, selamanya aku dilarang pulang ke negeri asalku?”

"Biara kami merasa utang budi kepada negeri kalian, masakah kami berani berlaku kasar seperti ini?” sahut si padri tua. "Kami memang minta suheng tinggal di sini dengan sesungguh hati, harap suheng sudi menerima permohonan kami ini.”

Habis berkata, kembali ia membungkuk tubuh dan memberi salam, lalu berjalan keluar. Keempat hwesio lain ikut memberi hormat dan berturut-turut keluar juga.

Polo Singh tampak lesu, rupanya ia insyaf apa yang dimaksud hwesio-hwesio Siau-lim-si itu tak dapat ditarik kembali lagi, yaitu menahan dia selama hidup disini dan boleh bebas membaca kita di Cong-keng-lau, tapi dilarang pulang ke negeri asalnya. Jika begitu, apa gunanya biarpun seantero kitab di Cong-keng-lau itu dapat dibaca dan diapalkan di luar kepala?

"Munafik, munafik!” demikian Polo Singh bergumam sendiri. "Sudah terang aku ditahan di sini, tapi katanya aku dimohon dengan sangat agar tinggal di sini dan supaya sudi menerima permintaan mereka. Andaikan aku menolak, apakah boleh?”

Begitulah makin dipikir makin masgul hingga akhirnya ia memukuli batok kepala sendiri. Padahal sebabnya Polo Singh pura-pura jatuh sakit di Siau-lim-si adalah agar para hwesio Siau-lim-si itu tidak menaruh curiga padanya, dengan demikian ia dapat menyelundup ke Cong-keng-lau untuk mencuri kitab.

Pembawaan Polo Singh mempunyai daya ingat yang luar biasa, makanya ia diperintahkan oleh gurunya agar datang ke Siau-lim-si untuk membaca kitab dan mengingat semuanya dalam otak, sekembalinya di negeri Thian-tiok nanti ia dapat mengapalkan kembali.

Jadi kedatangannya bukanlah untuk mencuri kitab, melainkan mencuri baca saja. Dan selama ini setiap hari ia rebah di kamarnya dengan menghadap dinding, selama itu ia sudah mengapalkan lebih 30 jilid kitab. Siapa duga akhirnya perbuatannya itu diketahui oleh para hwesio Siau-lim-si.

Tapi hwesio-hwesio Siau-lim-si itu juga tidak membikin susah padanya, setelah tahu maksud tujuan Polo Singh, mereka hanya melarang dia pulang ke Thian-tok. Dengan sendirinya Polo Singh sangat kesal karena rindu kepada tanah airnya, pula hal mana berarti gagal memenuhi kewajiban yang diinginkan oleh gurunya itu. Maka semalam suntuk itu ia berkeluh kesah saja tanpa tidur hingga Goan-ci juga ikut terganggu tidurnya.

Beberapa hari kemudian, sekali ini Polo Singh benar-benar jatuh sakit, sering ia termenung-menung sendiri dengan mata mendelik ke arah barat. Goan-ci menjadi takut melihat sikap hwesio itu.

Suatu hari ketika Goan-ci membawakan nasi pula, sekali comot segera Polo Singh meraup sekepal nasi, dan selagi hendak dijejalkan ke dalam mulut, sekonyong-konyong air mukanya terkilas setitik rasa girang. Tibatiba ia berseru tertahan, "Hah, dapat, dapat!”

Segera ia habiskan daharannya dengan tergesa-gesa, lalu ia pegang tangan Goan-ci dan tanya kepadanya, "Aku akan mengajarkan suatu bagian perkataan dan harus kau apalkan di luar kepala, sekali-kali tidak boleh diketahui oleh hwesio di kelenteng ini, apakah kau mau melakukannya?”

Goan-ci tidak paham apa maksud Polo Singh itu, dengan bingung ia tanya, "Perkataan apakah itu?”

"Kamu harus berjanji dulu takkan bilang pada orang lain, dan segera akan kujelaskan padamu, "ujar Polo Singh.

Sejak Goan-ci menderita sengsara di negeri Liau tempo dulu, lalu ia menjadi seorang penurut apa yang dikatakan orang lain pasti di turutnya dengan baik tanpa membangkang sedikitpun.

Maka atas permintaan Polo Singh sekarang ia pun tidak banyak rewel, segera ia mengangguk dan menjawab, "Baiklah, jika demikian kehendak suhu, pasti takkan kukatakan kepada orang lain.”

Polo Singh berpikir sejenak, lalu katanya "Dan ada lagi sesuatu, setiap hari pasti banyak akan ku hajarmu hingga babak belur, itu namanya 'Kho-bak-khe' (tipu menyiksa diri) untuk mengelabui orang luar, untuk ini kamu tidak boleh berkeluh kesah kepada siapa pun juga.”

Goan-ci menjadi ragu, sahutnya kemudian. "Aku tidak berbuat kesalahan apa-apa, kenapa Suhu mesti menghajar diriku?”

Polo Singh menjadi gusar, tiba-tiba sorot matanya menjadi bengis, katanya, "Kamu tidak mau, boleh juga!”

Mendadak ia menggebrak tanah, "bluk”, seketika jubin hijau kamar itu pecah berantakan hingga berwujud sebuah cap tangan yang mendekuk, katanya, "Nah julurkan kepalamu ke sini biar kuhantam tiga kali kepalamu itu!”

"He, he! Jangan, jangan!” cepat Goan-ci minta ampun. "Kalau kau mau hantam, silahkan hantam benda lain saja, kepalaku mana tahan digaplok tiga kali olehmu.”

Polo Singh tertawa, katanya, "Makanya jangan membangkang! Nah, ingat dengan baik Sirohasak, wasnoderangpojlain, hindi, taalitualul sanluluosaru, manifisamo ….”

Begtulah ia mengoceh panjang lebar entah apa maksudnya, dan akhirnya ia berkata pula, "Nah, cukup sekian dulu, coba sekarang kau apalkan.”

Sudah tentu Goan-ci melongo bingung, bahasa asing yang panjang lebar tak diketahui artinya itu jangankan disuruh mengapalkan seluruhnya atau sebagian, bahkan satu kalimatpun ia tak becus.

Maka ketika Polo Singh mendesaknya lagi, paling-paling ia hanya dapat mengucapkan, "Si …si..si …” dan tak tak dapat meneruskan lagi.

Polo Singh menjadi gusar, kontan saja ia persen Goan-ci dengan sekali jotos hingga pemuda itu terpental dan menumbuk dinding, hampir Goan-ci jatuh kelenger karena hantaman itu.

"Siaucat, sudah kuajarkan sekian lama, masakah sedikit pun kamu tidak ingat?” demikian Polo Singh mendamprat.

"Aku …. aku tidak paham apa yang diucapkan suhu, maka tidak dapat menirukan, "sahut Goan-ci sambil memegangi dagunya yang ditoyor itu dan berbangkit.

Beralasan juga pikir Polo Singh, maka katanya pula, "Baiklah. Memang benar juga, tidak paham artinya, sudah tentu susah mengingatnya, marilah kuajarkan padamu.”

Lalu ia suruh Goan-ci mengumpulkan suatu tumpuk tanah kering dan diratakan di lantai, lalu ia mulai menulis dengan jari hingga berupa tiga huruf aneh, kemudian ia berkata kepada Goan-ci, "Nah, ikut melafalkan : A be r!”

Polo Singh bergirang, kembali ia mengajarkan tiga huruf lagi padanya dan dapat diikuti Goan-ci dengan baik.

"Apakah artinya, suhu?” tanya Goan-ci tiba-tiba.

"Hanya huruf biasa, tiada artinya, "sahut Polo Sing. "Nah, coba ulangi lagi!”

Lalu ia mengajarkan pula tiga huruf lain.

Tapi ketika kemudian ia suruh Goan-ci melafalkan "A-be-r”, ternyata Goan-ci sudah lupa, keruan Polo Singh jadi gemas, mendadak ia pegang Goan-ci dengan terjungkir, lalu dikocok-kocok dengan sengit hingga isi perut Goan-ci hampir-hampir rontok keluar.

"Sungguh sialan ketemu orang goblok seperti kamu ini, "damprat Polo Singh dengan murka. "Orang tolol semacammu, kalau suruh kuapalkan 36 jilid kitab pusaka, sampai kapan baru dapat kauapalkan!”

Habis itu, tiba-tiba ia pegang Goan-ci dan dilemparkan keluar pintu.

Keruan Goan-ci meringis kesakitan. Ia pikir daripada bangun untuk dihajar lagi, lebih baik menggeletak di sini saja. Maka sengaja ia tidak mau berbangkit.

Polo Singh menjadi kuatir pemuda itu terbanting mampus, segera ia mendekati Goan-ci dan memayangna ke dalam rumah, lalu ia bujuk dengan kata-kata manis agar pemuda itu belajar dengan baik-baik. Kemudian ia mengajarkan tulisan lain pula.

Kuatir digebuk lagi, terpaksa Goan-ci mengingat mati-matian huruf yang diajarkan Polo Singh itu. Akan tetapi huruf yang diajarkan Polo Singh itu adalah tulisan Hindu Kuno atau Sansekerta, hurufnya pelungkar-pelungker seperti cacing, pendek kata tulisan yang tidak mirip tulisan, dan sudah tentu sukar untuk diingat.

Bila Goan-ci tulisan bagian depan, tahu-tahu bagian belakang terlupa, kalau bagian belakang teringat dengan baik, kembali bagian depan lupa lagi, jadi yang satu ingat, yang lain lupa, yang lalu teringat kembali, yang tadi terlupa pula.

Tentu saja Polo Singh sangat mendongkol, jika dia sudah murka, segera Goan-ci digebuk. Dan makin digebuk Goan-ci makin bebal, dalam takut dan bingungnya, huruf-huruf yang sudah diingat olehnya menjadi terlupa malah. Jadi ingin cepat malah menjadi cupat, keruan Polo Singh makin uring-uringan.

Padahal bahasa Sansekerta termasuk salah satu bahasa yang paling sulit dipelajari di dunia ini. Biarpun orang yang cerdik pandai juga susah memahaminya dalam waktu singkat. Apalagi dasar pembawaan Goan-ci memang bukan seorang cerdas, ditambah pula Polo Singh ingin lekas berhasil, maka keadaan bukannya seperti yang diharapkan, sebalinya tambah runyam.

Untung saja, sesudah hampir sebulan, jelek-jelek dapatlah Goan-ci mengapalkan semua huruf pokok bahasa sangsekerta yang diajarkan itu. Lalu mulai pula Polo Singh mengajarkan pemuda itu membaca kalimat demi kalimat.

Begitulah dengan susah payah terpaksa Goan-ci mesti mengalami siksaan lahir batin lagi, setiap kali ia menderita dalam hal mengapalkan bahasa sansekerta itu, dalam mimpi di tengah malam juga sering dia terjaga kaget. Dulu ia kenyang disiksa di negeri Liau, tapi itu cuma siksaan lahirnya saja, siksaan badan belaka, sedangkan pikirannya bebas lepas, apalagi kalau melihat si gadis pujaannya si A Ci lagi tertawa menggiurkan, biarpun derita sengsara bagaimanapun juga tak terpikir olehnya.

Sekarang ia tersiksa rohani, otaknya penuh diisi dengan huruf cacing oleh Polo Singh yang susah dipahami itu, hal ini dirasakan jauh lebih sengsara daripada tersiksa badaniah.

Untuk mana beberapa kali ia bermaksud menceritakan kesusahannya itu kepada Yan-kin, tapi setiap kali bila ia akan membuka mulut tentu Yan-kin mendamprat lebih dulu, "Siaucat, baru diajar sedikit saja lantas berkeluh kesahya? Apa yang ditugaskan oleh atasanmu, betapa sulitnya juga mesti kau lakukan. Kata sang Budha, "Aku tidak masuk neraka, siapa ang mau masuk neraka? Coba masuk neraka saja beliau lakukan, sedangkan kamu cuma digebuk orang saja sudah mengeluh. Mengapa kamu tidak meniru jiwa sang Budha yang luhur itu, korbankan dirimu bagi sesamamu!”

Begitulah maka akhirnya Goan-ci tidak berani mengeluh lagi, terpaksa ia belajar bahasa Sangsekerta itu dengan mati-matian.

Mungkin juga sudah suratan nasib. Pada suatu malam selagi dia berkemas hendak tidur, tiba-tiba ia dapat meraba kitab yang terbungkus kertas minyak dan tersimpan di dalam bajunya itu. Tiba-tiba teringat olehnya, "He, tulisan dalam kitab ini mirip tulisan yang kupelajari sekarang dari suhu itu.”

Cepat ia buka kitab itu, benar juga, segera ia kenal dua huruf diantaranya, huruf yang satu adalah angka satu dan huruf yang lain adalah angka tiga …

Seketika Goan-ci sangat tertarik dan semangat belajarnya terbangkit, pikirnya, "Apa yang tertulis dalam kitab ini sedikitpun aku tidak paham, bila aku sudah belajar bahasa Hindu Kuno, sudah tentu aku dapat membacanya. Kitab ini adalah penolong jiwaku, tempo hari waktu si nona A Ci memaksa aku melolohi lebang dengan darahku, berkat kitab inilah jiwaku dapat diselamatkan. Tampaknya apa-apa yang tertulis dalam kitab ini sangat besar manfaatnya.”

Begitulah demi tahu akan kegunaannya, maka ia tidak merasa susah lagi untuk belajar bahasa Sangsekerta itu, sebaliknya ia mulai belajar dengan lebih giat. Sebisanya ia ingat dengan baik-baik dengan harapan dalam waktu singkat akan dapat membaca kitab itu dengan jelas.

Ia merasa apa yang tercatat dalam kitab itu tentu adalah sesuatu yang hebat dan sekali-kali tidak boleh

diketahui oleh Polo Singh, hanya pada waktu akan tidur saja ia suka membalik-balik kitab itu untuk mebacanya sebentar. Dan pada waktu membaca tulisannya, dengan sendirinya ia pun melihat gambar orang-orangan yang terlukis di samping tulisan-tulisanitu, pikiran menimbulkan hasrat, otomatis ia lantas melakukan cara yang dilihatnya dari garis-garis kuning halus yang terdapat dalam lukisan itu.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa kitab itu adalah "Ih-kin-keng ciptaan Tat-mo Loco, "itu cikal bakal Siau-lim-si yang termashur, kitab itu boleh dikatakan merupakan pusaka yang tak ternilai dalam dunia persilatan.

Caranya Goan-ci memahami Ih-kin-keng itu ada baiknya juga. Sebab kalau orang sengaja dan tekun mempelajari Ih-kin-keng, justru hasilnya akan nihil. Sebalikna bila memahami secara acuh tak acuh. Hasilnya justru menakjubkan.

Sebab itu meski selama ratusan tahun banyak hwesio pandai Siau-lim-si mempelajari Ih-kin-keng secara tekun, hasilnya malah tidak kelihatan. Hanya sekali peristiwa yaitu kira-kira seratus tahun yang lalu, pernah Siau-limsi mengeluarkan seorang hwesio sakti.

Orang itu sejak kecil sudah menjadi hwesio wataknya angin-anginan dan setengah sinting. Gurunya tidak berhasil meyakinkan Ih-kin-keng dan meninggal pada saat melakukan meditasi, kebetulan hwesio sinting itu menunggu di samping sang guru dan tanpa sengaja ia ambil Ih-kin-keng itu dan dibacanya secara acuh tak acuh. Eh siapa duga akhirnya ia menjadi seorang jago sakti.

Ketika ditanya dari mana ia memperoleh ilmu silat setinggi itu? Sampai mati pun ia tidak dapat menerangkan, orang luarjuga tidak tahu bahwa itu adalah jasa dari Ih-kin-keng.

Kini Goan-ci membaca kitab pusaka itu secara tidak sengaja, tanpa terasa dasar ilmu silatnya makin hari makin kuat, jalan yang ditempuhnya itu tak lain tak bukan adalah arah yang pernah dilakukan hwesio sinting dahulu itu.

Bahasa sansekerta itu memang sangat ruwet dan sulit di pelajari, terutama mengenai tata bahasanya. Tapi untung juga disebabkan bahasa sangsekerta itu susah dipelajari, maka Goan-ci tidak dapat memahami tulisan dalam kitab itu dengan baik, hanya pada waktu malam ia belajar menirukan garis-garis dalam lukisan itu.

Semula ia hanya menirukan secara iseng saja, tapi setengah bulan kemudian, terasalah jalur hawa dingin mengalir kian kemari dalam tubuh menurut bagian yang dilalui garis lukisan itu, dan dimana garis dingin itu sampai, disitu lantas terasa segar sekali.

Maka tanpa pikir panjang segala akibatnya, asal ada tempo luang, untuk seterusnya Goan-ci lantas

melakukannya, sampai akhirnya tanpa membaca kitab juga dia sudah apal jalan yang dilalui oleh garis yang menyegarkan badan itu, biarpun waktu malam, waktu kerja dan membaca, hawa murni itu tetap jalan terus tanpa berhenti.

Terkadang kalau jalur dingin dalam tubuh itu macet, tak dapat jalan menurut lukisan, maka untuk sementara Goan-ci mengesampingkannya. Aneh juga, lewat beberapa hari kemudian, otomatis jalan itu tembus dengan lancar….

Sang tempo berlalu dengan cepat, tanpa terasa sudah lebih setahun Goan-ci berada di Siau-lim-si. Semula ia juga ingin memahami bahasa Sangsekerta. Agar apa yang tertulis di dalam kitab itu dapat dipelajarinya denganbaik. Tapi karena makin lama makin sukar, bukan mustahil belajar sampai tua juga belum pandai, akhirnya ia batalkan niatnya.

Polo Sing sendiri juga putus asa menghadapi murid yang bandel lagi goblok itu. Saking gemasnya seringkali ia hanya memberi gebukan saja dan tidak mengajar lagi pada Goan-ci.

Tapi hal mana kebetulan malah bagi Goan-ci. Ia terima gebukan-gebukan itu dengan diam saja. Ia merasa pukulan dan tendangan Polo Singh itu makin lama makin tidak terasa sakit, sampai akhirnya hanya terasa gatal-gatal kesemutan saja, sedikitpun tidak sakit lagi.

Ia sangka Polo SIngh sudah bosan menghajarnya hingga cara memukulnya tidak sungguh-sungguh, padahal tenaga dalamnya yang kini sudah terpupuk sangat kuat, tanpa terasa lantas menimbulkan daya tahan baginya.

Suatu petang, kembali Polo Singh mengajarkan "huruf asing” kepada Yu Goan-ci dan sudah tentu tetap tidak masuk otak pemuda itu. Dalam gusarnya Polo Singh menggebuki lagi pemuda itu. Sesudah Goan-ci pergi, Polo Singh menjadi berduka dan menyesal.

Ia sendiri sudah terang berada dalam tahanan dan di bawah pengawasan hwesio Siau-lim-si dan sukar pulang ke tanah air, maka ia bermaksud mengajarkan Yu Goan-ci dengan bahasa Sangsekerta untuk mengapalkan kitab, lalu pemuda itu akan dikirim ke Thian-tiok untuk menyampaikan isi kitab yang sudah diapalkannya itu, dengan demikian walaupun ia terkubur di negeri orang lain dalam menunaikan kewajibannya atas perintah guru, namun dia juga sudah berjasa bagi perguruannya, diperolehnya kembali kitab-kitab pusaka yang sudah lama hilang itu.

Celakanya Thi-thau-jin yang diajarnya itu goblok seperti kerbau, meski sudah lebih setahun satu jilid kitab saja belum dapat mengapalkan, jangankan hendak disuruh mengapalkan 36 jilid kitab itu. Tampaknya sampai ajalnya juga sukar terkabul cita-citanya itu. Dalam dukanya, sungguh Polo Singh ingin menangis sepuaspuasnya.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari jauh terdengar kumandang suara seruling yang sangat aneh

Sementara itu lwekang Goan-ci sudah sangat tinggi, maka dengan sendirinya panca indranya juga sangat tajam. Segera suara seruling itu didengar juga olehnya. Padahal biasanya suasana Siau-lim-si itu tenang sunyi, selamanya tidak pernah terdengar suara alat musik, dari manakah datangnya suara seruling itu?

Meski Goan-ci tidak paham seni musik, tapi ia dapat mendengar suara seruling itu terkadang putus, lalu menyambung lagi, tiba-tiba melengking tajam, lain saat nadanya rendah, suaranya sangat aneh.

Selagi Goan-ci merasa heran, tiba-tiba didengarnya di kamar Polo Singh juga berkumandang suara seruling yang serupa. Waktu ia mengintip, ia lihat Polo Singh memegang sebatang seruling pendek dan sedang meniupnya. Tapi hanya tiga kali padri asing itu meniup serulingnya lalu seruling itu disimpan ke dalam baju, air mukanya tampak berseri-seri girang. Lalu orangnya berbaring dan dapat tidur nyenyak.

Sejak kenal Polo Singh belum pernah Goan-ci melihat padri itu sedemikian gembira. Pikirnya "Suara seruling ini tentu mengandung arti yang penting. Jangan-jangan ada kawannya dari Thian-tiok yang hendak menolongnya?”

Suara seruling tadi di dengar oleh Goan-ci dengan sendirinya dapat juga didengar oleh para hwesio sakti Siaulim-si. Segera Hongtiang memberi perintah agar penjagaan diperkeras untuk menghadapi kemungkinan diserbu musuh, berbareng itu pengawasan kepada Polo Singh juga bertambah keras agar tawanan itu tidak sampai lolos.

Siapa tahu, setengah bulan sudah lalu, keadaan tetap aman tentram saja, maka penjagaan dalam siau-lim-si lambat laun menjadi kendor.

Suatu malam, tengah Goan-ci tidur dengan nyenyak, sekonyong-konyong ia terjaga bangun oleh suara mendesis-desis yang sangat perlahan dan aneh. Dasar lwekang Yu Goan-ci sekarang memang sangat kuat, pula sejak kecil ia suka main binatang ular dan serangga, maka suara mendesis itu segera dikenalnya sebagai suara ular yang sedang mengamuk. Cepat ia bangkit duduk dan kembali didengarnya suara mendesis-desis beberapa kali, kini dapat diketahuinya dangan baik bahwa suara itu datang dari kamar sebelah.

Baru Goan-ci bermaksud berseru untuk memperingatkan Polo Singh, namun belum sempat ia buka mulut atau tiba-tiba terdengar pula beberapa kali suara seruling yang sama seperti suara seruling yang ditiup Polo Singh pada setengah bulan yang lalu itu.

Dengan heran Goan-ci mengintip lagi ke kamar sebelah, ia menjadi kaget dan merinding ternyata di dalam kamar Polo Singh itu telah penuh berbagai jenis ular berbisa yang tak terhitung banyaknya, setiap ekor ular itu sama menegak sambil menjulurkan lidah hingga mengeluarkan suara mendesis-desis.

"Wah, celaka! Cara bagaimana aku harus menolongnya?” demikian Goan-ci mengeluh. Tapi ketika ia perhatikan lagi, ia lihat kawanan ular berbisa itu sama meringkuk kira-kira dua meter di sekeliling tempat duduk Polo Singh, meski kawanan ular itu berjubel-jubel, namun tiada seekor pun yang berani melanggar lingkaran di sekitar padri itu.

Goan-ci sudah pernah menyaksikan Sam-ceng menggaris suatu lingkaran obat untuk mengurung ulat sutra putih tempo hari.. Maka ia menduga Polo Singh pasti juga menggunakan obat anti ular itu disekelilingnya itu. Maka ia tidak kuatir lagi, ia sama tetap tidak paham dari manakah mendadak bisa banjir ular berbisa sebanyak itu.

Kemudian dilihatnya Polo Singh mulai meniup serulingnya lagi, suara serulingnya sangat alem dan merdu. Diantara beratus-ratus ekor ular itu tiba-tiba ada dua ekor ular berbisa warna kuning tampak menegak ke atas, kepala ular itu bergerak-gerak kian kemari mengikuti irama seruling. Sebaliknya ular-ular lain yang beraneka ragamnya itu hanya diam saja. Dalam pada itu gerak-gerik yang menyerupai sedang menari dari kedua ekor ular kuning tadi tampak semakin nyata.

Lalu suara seruling yang ditiup Polo Singh itu makin keras, segera ada beberapa ekor ular itu merayap keluar kamar, menyusul belasan ekor yang lain juga ikut merayap keluar.

Maka terdengar suara jeritan kaget orang di luar kamar, "He, ada ular! Ada ular!”

Lalu yang lain berseru, "Wah, ular sebanyak ini, mungkin padri Thian-tok itu sudah digigit mati oleh ular-ular ini!”

"Ya, ya! Lekas lapor kepada Hian-lun supek!” demikian kata yang lain.

Dalam pada itu kedua ekor ular kuning itu masih terus menari dengan cepat, semakin keras tiupan suling Polo Singh, semakin banyak ular yang merayap keluarkamar, mungkin karena tidak tahan oleh getaran suara seruling itu hingga sama menyingkir pergi. Hanya kedua ekor ular kuning itu yang sangat bersemangat, kepala mereka menegak, hanya ekor yang digunakan untuk menahan tubuh sambil bergoyang-goyang.

Selang sebentar lagi, tiupan Polo Singh semakin cepat hingga dia sendiri sampai megap-megap. Sedangkan kawanan ular sudah merayap keluar semua, hanya tinggal kedua ekor ular kuning itu yang masih berputar-putar

dan bergoyang dengan cepat.

Mendadak bluk sekali, seekor ular kuning ia tidak tahan dan menggeletak ditanah, menyusul seekor lagi juga jatuh ke tanah sambil kelejetan.

Polo Singh berhenti meniup seruling. Segera ia pegang seekor ular kuning itu, ia gunakan sepotong kain tebel yang sudah disiapkan untuk membungkus kepala ular, lalu ia balik perut ular ke atas, ia keluarkan sebilah pisau kecil, ia belah satu garis panjang lima-enam senti pada perut ular itu, kemudian perut ular itu dipencetnya beberapa kali, akhirnya dikeluarkannya sebatang tabung kecil sepanjang beberapa senti. Tabung itu mirip potongan batang padi, hanya lebih besar sedikit.

Tangan Polo Singh tampak sedikit gemetar, cepat ia belah tabung itu, dan ternyata di tengah tabung itu ada isinya. Ketika isi itu dibuka, kira secarik kertas yang sangat tipis, diatas kertas putih tertulis huruf aneh.

Goan-ci menjadi heran, ketika ia mengintip lebih cermat, ia lihat huruf-huruf di atas kertas kecil itu adalah tulisan sangsekerta. Maka tahulah dia, tentu ular itu adalah penghubung yang dikirim oleh kawannya.

Dalam pada itu Polo Singh sedang membelah perut ular satunya lagi dengan cara yang sama dari dalam perut ular kembali dikeluarkan lagi sebuah tabung kecil dan terisi secarik kertas juga.

Waktu Goan-ci perhatikan, ia lihat tulisan kertas kedua ini agak mirip dengan kertas pertama. Benar juga, hanya sekilas baca saja lantas Polo Singh menaruh kertas itu disampingnya.

Goan-ci membatin, "Cara mengatur kawannya benar-benar sangat hati-hati, dengan menggunakan dua ekor ular, mereka yakin salah seekor tentu dapat menyampaikan surat itu, andaikan seekor lainnya tidak sampai tempat tujuan.”

Lalu terlihat Polo Singh mengeluarkan dua carik kertas tipis, dari bawah tikar, ia gunakan arak untuk menulis, kemudian kertas-kertas itu dimasukkan juga ke dalam tabung dan disembunyikan lagi ke dalam perut ular. Ia robek dua potong kain untuk membalut luka di perut ular itu, habis itu, ia buka daun jendela dan melepaskan seekor ular kuning itu ke semak-semak.

Selagi ia hendak melepaskan ular yang lain, sekonyong-konyong daun pintu di dobrak orang dengan tenaga pukulan yang dahsyat hingga terpentang, dibawah sinar lilin yang bergoyang, tahu-tahu di dalam kamar sudah bertambah empat hwesio tua. Dari jauh tangan hwesio di sebelah kiri sana memotong lengan kanan Polo Singh hingga mengeluarkan suara angin yang keras.

Rupanya lengan Polo Singh tak tahan hingga ular kuning kedua yang belum sempat dilepaskan itu jatuh ke tanah. Berulang-ulang hwesio disebelah kiri iu menjentik lagi dan setiap kali ia menjentik, ular kuning itu pun melonjak sekali. Sesudah menjentik tujuh atau delapan kali, kepala ular itu tampak bengkok, menyusul lantas hancur dan mati.

Sungguh kejut Goan-ci tak terkatakan, ilmu sakti hwesio tua itu ternyata sedemikian lihainya, hanya menjentik dari jauh saja sudah dapat membunuh ular berbisa itu.

Kemudian terdengar hwesio yang memukul dari jauh itu berkata dengan nada dingin, "Mengingat sesama murid Budha, kami sudah memberi kelonggaran kepada segala dosa suheng, mengapa sekarang suheng sengaja mendatangkan ular sebanyak ini untuk mengganggu ketentraman tempat suci kami ini? Bukankah perbuatan suheng ini agak keterlaluan?”

Tapi Polo Singh diam saja, ia pejamkan mata dan merangkap tangan di depan dada, sama sekali ia tidak ambil pusing teguran itu.

"Bukan mustahil ada sesuatu yang tidak beres pada ular ini, "kata hwesio tua yang lain, "Sim Cong, coba bawa ular ini dan periksa dengan teliti, mengapa badan ular itu dibalut sepotong kain?”

Mendengar itu, Polo Singh sadar usahanya sudah gagal, sekali bergerak, segera ia menghantam ke arah ular mati itu.

Tapi berbareng hwesio tua satunya lagi yang berdiri di dekat pintu juga mengebaskan lengan bajunya hingga serangkum angin keras tepat menahan angin pukulan Polo Singh, seketika padamlah api lilin.

Segera masuklah seorang hwesio setengah umur, yaitu Sim Cong, ia jemput ular mati itu dan mengundurkan diri.

Kemudian keempat hwesio itu bersabda berbareng, "Siancai! Siancai!”

Lengan jubah kanan mereka mengebas sekaligus, ketika angin menderu hebat, tahu-tahu daun pintu terlepas dari engselnya dan mencelat keluar hingga jauh.

Menyusul keempat hwesio itu lantas melompat keluar. Mengingat pintu yang tidak terlalu lebar itu, tapi keempat padri itu dapat melayang keluar berbareng tanpa desak mendesak, suatu tanda betapa lihai ginkang mereka.

Sungguh tak tersangka oleh Goan-ci bahwa kepandaian para hwesio itu sedemikian lihainya bahkan musuh besarnya, yaitu Kiau Hong yang dianggapnya mempunyai kepandaian tiada tandingannya, kalau dibanding dengan beberapa hwesio tua ini mungkin masih kalah jauh.

Pada lwekang keempat hwesio ini meski sangat tinggi, tapi kalau dibandingkan ilmu sakti Siau Hong yang hebat itu, selisihnya sebenarnya masih sangat jauh. Bahkan lwekang Goan-ci sendiri sekarang juga sudah lebih hebat daripada keempat hwesio tua itu, cuma saja ia sendiri tidak sadar.

Dalam pada itu sesudah keempat hwesio tua tadi pergi, karena daun pintunyo copot, angin malam lantas meniup silir ke dalam kamar.

Polo Singh yakin sekali ular kuning mati itu sudah dirampas padri Siau-lim-si, tentu diantara mereka ada yang kenal bahasa Sangsekerta dan rahasianya pasti akan terbongkar. Dengan demikian usahanya agar dapat pulang negeri asalnya menjadi gagal sama sekali. Makin dipikir Polo Singh makin merasa sedih hingga akhirnya ia menangis menggerung-gerung.

Mendengar suara tangisan orang memilukan itu, Goan-ci merasa tidak tega. Segera ia menghiburnya, "Suhu, meski salah seekor ularmu terbunuh, toh ular yang satu lagi dapat lolos dan tentu beritamu akan sampai di tempat tujuan, buat apa engkau merasa sedih pula?”

Seketika Polo Singh berhenti menangis oleh teguran itu, katanya, "Kem .. kemarilah kau!”

Goan-ci menurut ia datang ke kamar Polo Singh, katanya, "Biarlah kubetulkan daun pintumu itu!”

"Nanti dulu, "kata Polo Singh. "Darimana kau tahu masih ada seekor ularku yang berhasil lolos?”

"Aku menyaksikan sendiri, kulihat engkau memasukkan secarik kertas ke dalam tabung kecil dan disembunyikan dalam perut ular itu, "sahut Goan-ci.

"Hm, janganlah kau salahkan aku, sekali kau tahu rahasiaku, maka tak bisa kuampunimu lagi,” kata Polo Singh tiba-tiba. Mendadak ia menubruk maju, ia tunggangi punggung Yu Goan-ci sambil mencekik lehernya dengan

kuat.

Goan-ci ingin berteriak, tapi karena tercekik, ia tak bisa bersuara. Ia merasa jeri orang bagaikan kaitan kuatnya, makin lama makin kencang kesakitan.

Ia sudah biasa dianiaya orang, maka sama sekali tidak pikiran buat melawan, hanya dalam hati ia memohon, "Suhu, lepaskan tanganmu, tentang ularmu yang sudah lari itu takkan diberitakan kepada siapapun.”

Tapi karena dia tak bisa bersuara, dengan sendirinya Polo Singh tak mendengar apa-apa. Padahal biarpun dengar juga tidak nanti orang mengampuni dia.

Dalam keadaan tak bersuara, dengan sendirinya Polo Singh tak mendengar apa-apa. Padahal biarpun dengar juga tidak nanti orang mengampuni dia.

Dalam keadaan tak berdaya dan takut kaki Goan-ci menjadi lemas dan tekuk lutut. Tapi Polo Singh menindih di atas tubuhnya sambil mencekik terlebih keras.

Lambat-laun Goan-ci merasa pandangannya menjadi gelap, katanya dalam hati, "Tamatlah riwayatku sekali ini.”

Untung pada saat itu juga tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang berdehem, lalu berkata, "Polo Singh suheng, kejahatan apa lagi yang sedang kau lakukan?”

Melihat ada dua hwesio masuk ke kamarnya terpaksa Polo Singh melepaskan Goan-ci katanya dengan marahmarah, "Ada keperluan apa kalian datang ke sini,”

Tapi kedua padri Siau-lim-si itu tidak menjawab. Satu diantaranya lantas mundur dan bersembunyi di belakang kawannya, lalu ia haturkan secarik kertas dan membaca beberapa kalimat yang tak diketahui apa artinya, kemudian ia berkata. "Dalam suratmu ini kauminta agar pada malam bulan purnama nanti supaya kamu dijemput. Tapi, hehehe, sayang. Sungguh sayang!”

"Sayang apa?” sahut Polo Singh dengan gusar.

"Sayang karena usahamu ini kepergok hingga suratmu ini dapat kami rampas, "kata padri itu.

"Kalian ini manusia tak kenal budi, bangsa kalian mengambil kitab dari negeri kami, sejak itu kalian kangkangi sebagai milik sendiri, "damprat Polo Singh. "Padahal aku cuma pinjam barang yang berasal dari negeri kami sendiri, namun kalian sengaja mempersulit padaku. Minta air harus ingat sumbernya. Seharusnya kalian juga mesti ingat dari manakah asal-usul kitab yang ingin kubaca itu.”

"Jika kitab yang hendak di baca Suheng itu adalah kitab kuno berasal dari Thian-tiok, sekali-kali kami takkan merintangi maksudmu itu, jangankan hanya membaca, sekalipun hendak menyalinnya juga Siau-lim-si bersedia membantu, "sahut Hwesio Siau-lim-si itu. "Tetapi apa yang diincar suheng itu adalah intisari ilmu silat hasil jerih payah padri saleh siau-lim-pai selama turun menurun ini, maka persoalannya menjadi tidak sama seperti apa yang dikatakan olehmu itu.”

"Kitab yang kubaca itu bahasa Hindu, apakah padri bangsa kalian bisa menulisnya dengan huruf Hindu?” sahut Polo Singh dengan gusar.

"Ya, anehnya urusan justru terletak disini.. ” ujar padri Siau-lim-si itu.

Sampai disini, Goan-ci tidak minat buat mendengarkan perdebatan mereka itu. Ia pikir daripada nanti mati konyol dibunuh oleh padri asing itu, lebih baik sekarang juga aku melarikan diri.

Segera ia menyusur hutan bambu dan keluar dari kebun sayur sana. Ia lihat di sekitar situ tiada seorang pun, segera ia lari ke pegunungan di belakang Siau-lim-si itu.

Makin lari cepat hingga dalam sekejap saja ia sudah melintasi dua lereng bukit. Ia merasakan kaki sangat enteng, langkahnya cepat, dengan mudah saja ia meninggalkan Siau-lim-si hingga jauh.

Ketika ia berhenti sejenak, ia sendiri menjadi heran, sesudah berlari-lari sekian lama sedikitpun tidak merasa lelah.

Ia tidak tahu bahwa sejak melatih "Ih-kin-keng”, selama beberapa bulan ini tenaga dalamnya sudah terpupuk sangat kuat, Yu Goan-ci kini bukan lagi Yu Goan-ci yang dulu. Soalnya ia tidak pernah keluar dari biara itu sehingga lwekangnya yang sudah terpupuk kuat itu tidak diketahuinya sama sekali.

Ia pikir saat itu bukan mustahil dirinya sedang dicari Polo Singh atau Yan-kin, kalau tidak bertemu, tentu akan gempar dan mereka pasti akan mengejarnya. Dan bila tertangkap kembali ke siau-lim-si, pasti celakalah dia. Maka segera Goan-ci tancap gas lagi, ia lari lebih cepat seperti orang kesetanan.

Larinya itu tidak memilih jalan dan membedakan arah lagi, yang dituju adalah hutan belukar yang sepi, semakin jauh meninggalkan siau-lim-si semakin baik baginya. Maka sekaligus tanpa berhenti ia lari hingga lebih dua jam lamanya. Ketika ia berpaling, ia lihat Siau-lim-si sudah tertutup oleh berlapis-lapis lereng gunung, barulah hatinya agak lega.

Untuk mengaso, ia menyusup ke dalam semak-semak rumput ia dengar di sekitarnya sunyi senyap. Untuk sejenak ia ingin rebah. Tapi tiba-tiba dari arah barat laut sana didengarnya suara seruling yang melengking tajam.

Kejut Goan-ci tak terkira, suara seruling itu serupa dengan suara seruling yang ditiup Polo Singh, yaitu pada waktu padri itu mengundang ular-ular berbisa. Ia bermaksud berbangkit untuk melarikan diri lagi, tapi entah mengapa, kakinya terpaku di situ. Ia menjadi bingung.

Rupanya saking ketakutan hingga kaki terasa lemas, maka ia tidak dapat menguasai kakinya lagi.

Sementara itu suara seruling tadi makin dekat. Ketika Goan-ci mengintip dari tempat sembunyinya, dilihatnya dari sana muncul belasan padri asing berjubah kuning, lengan kiri mereka telanjang di luar jubah, semuanya bermuka hitam dan bermata celong, terang kawanan padri ini adalah sebangsa dengan Polo Singh.

Setiba di tanah landai sebelah kiri sana, padri-padri asing itu lantas duduk bersila, empat orang menjadi satu baris, semuanya ada empat baris, jumlahnya menjadi 16 orang.

Diam-diam Goan-ci heran, hendak berbuat apakah ke-16 padri asing ini berada di tempat sunyi itu? Ia menjadi kuatir jangan-jangan dirinya yang sedang dicari mereka.

Walaupun keadaan sebenarnya tidak begitu, tapi rupanya Goan-ci sudah kapok hingga sedikitpun ia tidak berani bergerak di tempat sembunyinya.

Ia lihat sesudah ke 16 orang itu duduk, lalu mereka berkomat-kamit, semula tidak terdengar, tapi lambat laun bertambah keras, hingga akhirnya Goan-ci dapat mendengar apa yang disuarakan mereka adalah sebangsa mantera Hindu.

Makin lama makin keras mantera yang dibaca padri-padri asing itu, mantera yang dibaca ke 16 orang itu sama dan senada. Ditengah suara mantera yang makin keras itu, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari arah timur laut sana, suaranya lirih, tapi menyeramkan hingga mendirikan bulu roma bagi yang mendengar.

Begitu suara mendesis itu berjangkit, seketika suara mantera ke 16 padri asing itu agak kacau, tapi segera mereka dapat memulihkan paduan suara yang senada. Ketika suara menyeramkan tadi mendesis-desis dua kali lagi, kembali suara mantera padri asing dikacaukan pula.

Waktu Goan-ci memperhatikan wajah padri asing itu, ia lihat ada diantaranya mengunjuk rasa gusar, ada pula yang merasa kuatir. Tiba-tiba suara mantera mereka berubah, mereka terbagi menjadi dua kelompok hingga mantera yang mereka baca juga terbagi menjadi dua macam.

Sekonyong-konyong suara mendesis seram tadi juga berubah menjadi "desas-desis”, maka mantera padri asing itu kembali kacau lagi, segera mereka membagi diri pula menjadi empat kelompok hingga mantera yang dibaca mereka sekarang ada empat macam.

Melihat gelagat itu, dapatlah Goan-ci menduga bahwa padri-padri asing itu sedang mengadu ilmu dengan pihak lain. Dan siapakah lawan mereka? Dengan sendirinya adalah hwesio Siau-lim-si. Tentu padri-padri asing ini hendak menolong Polo Singh yang ditahan secara halus di Siau-lim-si itu tapi hwesio Siau-lim-si tetap tidak mau membebaskan Polo Singh.

Tapi yang diduga Goan-ci lantas dibantah oleh kenyataan, tiba-tiba dilihatnya dari arah timur-laut sana muncul suatu rombongan orang. Berdiri di tengah-tengah adalah seorang kakek yang berperawakan tinggi besar, sedikitnya lebih tinggi dua puluh senti dari pada orang-orang disekitarnya hingga kelihatan sangat menyolok.

Dari mulut kakek itulah bersiul suara desas-desis yang menyeramkan tadi.

Rombongan orang itu semuanya memakai baju kain belacu kuning setiap orang membawa toya baja yang panjang tinggi besar. Sebaliknya kakek itu enak-enak mengipas dengan sebuah kipas bulu angsa putih yang lebar. Air muka kakek itu merah bercahaya, halus lagi seperti anak muda, sebaliknya rambutnya sudah beruban semua, begitu pula jenggotnya yang panjang itu sudah memutih perak. Muka muda rambut tua, jadi mirip benar dengan malaikat dewata yang sering dilukiskan dalam gambar.

Kira-kira belasan meter jauhnya rombongan orang itu mendekati padri-padri asing itu, lalu berhenti. Ketika si kakek bersuit dengan kuatnya hingga mengeluarkan suara melengking tajam maka padri-padri asing itu tidak tahan lagi, tiga di antaranya yang berilmu yang lebih cetek kontan roboh.

Kemudian si kakek goyang-goyang kipasnya beberapa kali, ketiak ia bersuit pula beberapa kali lalu mengebas dengan kipasnya hingga suara suitan itu ditiup ke depan, kontan empat padri asing diantaranya roboh pula.

Dengan demikian, maka mantera yang dibaca padri-padri asing itu menjadi kacau balau

Sisa kesembilan padri itu masih bertahan sekuat tenaga, mendadak mereka menjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas terus berputar dengan cepat.

Goan-ci pernah menyaksika Polo Singh melawan empat hwesio tua Siau-lim-si dengan cara menjungkir seperti itu, ia tahu ilmu jungkir (Yoga) yang dimainkan mereka itu sangat hebat.

Tapi si kakek tersenyum saja, ia incar dengan baik, bila ada kesempatan, segera ia bersuit sekali dan kontan pasti ada padri di pihak lawan yang roboh atau bergoyang-goyang, kemudian berputar cepat lagi. Suara suitan si kakek mirip semacam am-gi atau senjata gelap yang tak berwujud. Maka hanya sebentar saja diantara sembilan padri itu kembali ada empat orang roboh lagi.

Serentak terdengarlah suara puja-puji orang di sekeliling si kakek, ada yang memuji ilmu sakti guru mereka yang dikatakan tiada tandingannya. Ada yang mengejek pihak lawan sebagai kunang-kunang yang berani berlomba dengan sinar matahari. Pendek kata puji sanjung mereka itu muluk-muluk seakan-akan guru mereka adalah malaikat dewata yang maha sakti.

Ditengah sorak puji yang berisik itu, asalkan kakek bersuit, seketika lengking tajam suara suitan itu memecahkan suara berisik dan tampaknya sebentar lagi sisa padri asing yang lain pasti akan dirobohkan seluruhnya.

"Tit-tit-tit”, tiba-tiba diantara padri asing itu ada yang mengeluarkan suara seruling yang aneh. Ketika Goan-ci memperhatikan, dilihatnya seorang diantara kelima padri yang masih menjungkir itu sedang meniup seruling, sekuatnya, sedangkan keempat orang kawannya masih terus berputar dengan cepat sambil berjajar di depan padri yang meniup seruling sebagai pengaling serangan suara suitan si kakek.

"Untuk apa dia meniup seruling?” pikir Goan-ci heran.

Tapi segera ia dengar di temah semak-semak di sebelah ada suara kresekan, seekor ular besar loreng merayap tiba.

Goan-ci kenal ular itu sangat berbisa. Tapi ia pun tahu meski manusia pada umumnya takut ular, tapi sebenarnya segala binatang, termask ular, juga takut kepada manusia. Asal manusia tidak mengganggu mereka, pada umumya ular juga takkan menyerang manusia.

Maka ia hanya meringkuk saja di tengah semak-semak rumput itu tanpa bergerak sedikit pun. Ia lihat ular berbisa besar itu merayap langsung ke arah si kakek.

Dan belum lagi ular itu merayap keluar semak-semak rumput, sebagian anak murid si kakek sudah lantas menjerit kaget, "Hai ada ular! Ada ular! Wah celaka! Dari manakah datangnya ular sebanyak ini? Awas, Suhu, ular-ular berbisa ini seperti hendak menyerang kita!”

Waktu Goan-ci memandang kearah teriakan orang-orang itu, benar juga dilihatnya dari segenap penjuru sedang membanjir tiba bermacam jenis ular berbisa yang besar dan kecil ke arah si kakek dan rombongannya.

Keruan anak murid si kakek menjadi panik segera banyak di antaranya berteriak-teriak pula, "Wah, celaka! Sayang pusaka kita anti ular 'Pek-giok-giok-ting' tiada berada disini!”

"Ya, si budak maling A Ci itu bila kelak kita bekuk, kita harus cencang dia hingga hancur lebur!”

"Benar, kalau Pek-giok-giok ting itu tidak dicuri oelh si budak setan A Ci itu, tentu kita .. ah tidak perlu banyak cingcong, lekas bunuh ular! Wah, celaka! Dari sana datang lagi ular yang lebih besar! Lekas bunuh! Lekas!”

Mendengar nama A Ci disinggung, juga nama A Ci dihubungkan dengan "Giok-ting”, katanya Giok-ting itu adalah pusaka anti ular, maka tergetarlah hati Goan-ci, terang A Ci yang dimaksudkan mereka adalah si nona yang dikenalnya di negeri Liau itu. Ia jadi heran apakah nona itu telah mencuri Giok-ting mereka?

Dalam pada itu anak murid si kakek tampak mengangkat toya baja mereka untuk menghantam ular yang sudah mendekat itu. Sebaliknya si kakek masih tenang-tenang saja, ia tetap bersuit untuk menyerang musuh. Sedangkan si padri asing yang meniup seruling itu masih terus meniup seruling tanpa berhenti, dan keempat padri lain juga berputar lebih cepat dengan menjungkir.

Diam-diam Goan-ci membatin, "Di tanah lapang yang luas ini, kawanan ular ini dengan mudah dapat dibunuh oleh mereka, apa gunanya ular-ular ini?”

Ketika ular-ular sawah itu merayap tiba, sekali ekornya membalik, seketika dua murid si kakek kena dililitnya. Menyusul dua orang kena dibelit lagi.

Sebenarnya kalau orang-orang itu mau melarikan diri, sudah tentu kawanan ular itu tak mampu mengejar. Tapi

guru mereka sedang menghadapi musuh, dengan sendirinya anak muridnya tidak berani melarikan diri. Maka mereka hanya putar senjata untuk membacok dan mengemplang serabutan, dan ular yang dibinasakan mereka sedikitnya lebih seratus ekor, sebaliknya kawan mereka yang luka digigit ular juga ada tujuh atau delapan orang.

Ular-ular sawah raksasa itu sangat kuat, biarpun kena digebuk toya baja juga tidak terasa. Sebaliknya bila ada orang kena dibelit, seketika terlilit dengan kencang dan tak terlepas lagi.

Di tengah lengking suara seruling yang makin keras, jumlah ular sawah itupun bertambah banyak. Hanya sebentar saja sudah berkumpul 17 atau 18 ekor ular sawah raksasa.

Melihat gelagat jelek, segera si kakak bermaksud menyingkir. Tak terduga pada saat itu juga ada dua ekor ular kecil mendadak melonjak dan memagut mukanya. Dengan sekali membentak kakek itu mengebaskan kipasnya, serangkum angin keras menyambar ke depan hingga kedua ekor ular kecil itu tersampuk jatuh ke tanah.

Pada saat lain sekonyong-konyong si kakek merasa betisnya ditubruk oleh makhluk lain, ia tidak berani ayal, cepat ia mengapungkan tubuh ke atas. Tapi celaka, tiba-tiba suara seruling si padri asing tadi mencuit nyaring sekali, berbareng empat ekor ular sawah raksasa memutar ekornya terus membelit ke arah si kakek.

Dalam keadaan terapung di udara, sedapatnya si kakek menghantam dengan kedua tangannya, kontan dua ekor ular kena dihantam pergi, kesempatan itu digunakan olehnya untuk meloncat ke samping sejauh dua tiga meter. Tapi pada saat yang hampir sama, ekor panjang ular ketiga dan keempat juga menyambar tiba.

Dengan gugup terpaksa si kakek menghantam lagi dengan tenaga pukulan, dimana angin pukulannya sampai, seketika kepala seekor ular sawah raksasa itu hancur lebur.

Dan karena si kakek harus mencurahkan perhatiannya untuk menempur ular sawah raksasa itu, ia tidak sempat bersuit lagi, maka keempat padri ang berputar dengan menjungkir itu ada kesempatan untuk mengeluarkan seruling, berbareng mereka meniup. Dibawah paduan suara lima seruling, kawanan ular semakin membanjir datang.

Dalam pada itu si kakek telah membinasakan tiga ekor ular sawah raksasa yang lain tapi tidak urung pinggang dan kakinya kena dililit oleh dua ekor ular sawah ang lain lagi.

Mendadak si kakek menggertak sekali, ia kerahkan tenaga sepenuhnya, ular sawah yang melilit pinggangnya kena dibetotnya hingga putus menjadi dua, darah muncrat hingga membasahi tubuhnya. Tapi nyawa ular itu memang panjang, biarpun badan putus, ular itu tidak lantas mati, ketika merasa sakit ular itu lantas membelit

mati-matian dengan lebih erat dan kuat hingga tulang pinggang si kakek terasa hendak patah.

Cepat si kakek meronta beberapa kali hingga badan ular itu mengendur. Tapi segera dua ekor ular sawah lain menggubat lagi beberapa lilitan di badannya hingga lengannya ikut tergubat keruan ia mati kutu dan tak bisa melawan lagi.

Apa yang terjadi itu disaksikan dengan jelas oleh Goan-ci, saking tegangnya sampai ia ikut menahan napas. Sudah terang dilihatnya kakek itu sangat lihai, dengan ilmu sejati yang dimilikinya dengan mudah saja ia dapat merobohkan ke 16 padri asing itu. Siapa tahu kawanan padri asing itu memiliki semacam ilmu sihir yang dapat mengerahkan ular dengan suara seruling, akhirnya dari kalah mereka berubah menjadi menang.

Begitulah, sesudah melihat semua musuh terlilit oleh kawanan ular sawah raksasa, selain merintih atau mencaci maki, musuh sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, maka kawanan padri asing itu pun berhenti meniup seruling, sekali melejit segera mereka berdiri tegak kembali.

Padri yang meniup seruling pertama tadi berwajah berewok, agaknya dia pemimpin rombongan, segera ia maju ke depan dan berseru, "Sing siok Lokoai, kita sama-sama datang ke Tionggoan sini, air sungai tidak menggenangi air sumur, mengapa tanpa sebab kamu menangkap ular piaraan kami untuk disembelih secara sewenang-wenang?”

Kiranya kakek yang bermuka muda seperti dewa itu tak lain tak bukan adalah Sing-siok-hai yang ditakuti orang-orang persilatan di Tionggoan.

Berhubung satu diantara ketiga pusakanya yaitu Pek-giok-giok-ting, dicuri dan dibawa lari murid perempuannya, yaitu A Ci, maka berturut-turut ia mengirimkan anak muridnya yang lain untuk menguber gadis cilik itu, bahkan murid tertua Ti-sing-cu juga dikerahkan untuk mencari A Ci, tapi sial benar, laporan yang diterimanya selalu tidak menguntungkan.

Paling akhir ia dengar A Ci mempunyai sandaran Pangcu Kai-pang hingga Ti-sing-cu dihajar setengah mati, keruan Sing-siok-Lokai Ting Jun-jiu terkejut dan murka pula. Ia tahu Kai-pang adalah organisasi terbesar di dunia persilatan Tionggoan, untuk melawannya adalah tidak mudah, maka ia sendiri lantas tampil ke timur.

Tujuan utama perjalanannya itu adalah menemukan kembali Pek-giok-giok ting, ada pun mengenai pertengkaran dengan Kiau Hong, tentang A Ci yang akan ditangkapnya kembali untuk diberi hukuman setimpal, semua itu adalah soal kedua. Sebab itulah sepanjang jalan ia tidak menimbulkan onar atau mengganggu orang lain.

Ting Jun-jiu memiliki ilmu jahat yang istimewa, yaitu Hoa-kang-tai-hoat, ilmu yang khusus dapat memunahkan kepandaian lawan, ilmu Hoa-kang-tai-hoat itu dalam waktu tertentu harus dipelihara dengan baik, yaitu dengan menaruh cairan berbisa pada telapak tangannya untuk di sedot ke dalam tubuh.

Jadi selama tujuh hari hal itu tidak dilakukan, maka ilmu yang dilatihnya itu akan mundur khasiatnya, bahkan kadar racun yang sudah terhimpun selama berpuluh tahun dalam tubuh itu bila tidak dipupuk dengan racun baru, maka lambat laun racun lama akan bekerja dan akan membahayakan diri sendiri.

Dalam hal ini ia pernah menyaksikan seorang angkatan tua perguruannya setelah berhasil meyakinkan Hoakang-tai-hoat, tapi ketika bertanding telah dikalahkan oleh gurunya serta dikurung dalam sebuah kamar batu hingga orang itu tidak dapat menangkap binatang berbisa untuk memupuk racun lama dalam tubuh, keruan kadar racun lantas mengamuk dengan hebat hingga saking tak tahan, akhirnya orang itu membeset kulit daging sendiri, kemudian masih harus tersiksa oleh luka-luka itu hingga lebih sebulan baru mati orangnya.

Karena itu, biarpun Sing-siok Lokoai adalah seorang maha kejam, tapi bila teringat kejadian mengerikan yang pernah dilihatnya itu, mau-tak-mau ia sendiri pun merinding.

Untuk menghindarkan kegagalan Hoa-kang-tai-hoat yang dilatihnya itu, maka ia perlu menangkap binatang berbisa dengan Pek-giok-giok-ting yang dapat memancing makhluk-makhluk berbisa dengan mengeluarkan dupa yang wangi.

Dengan memiliki Giok-ting itu, tidak sulit bagi Ting-Jun-jiu untuk menangkap binatang berbisa yang anehaneh dan lihai, Hoa-kang-tai-hoat yang dilatihnya itu juga semakin hebat dan sempurna.

Orang yang melatih ilmu aneh itu mirip orang yang gemar minum arak, sekali sudah menyandu, maka setiap hari akan ketagihan, setiap hari harus minum dan makin minum makin banyak.

Yang luar biasa adalah ilmu itu harus digunakan terhadap musuh, dengan demikian sebagian kadar racun yang terhimpun dalam tubuh dapat ditularkan kepada musuh. Tapi Sing-siok-hai terletak di tempat terpencil sejauh itu, ratusan li diseputarnya tiada seorangpun yang berani mendekat, darimana bisa diperoleh musuh untuk melampiaskan racunnya setiap waktu?

Lantara itu, maka setiap 7 hari sekali racun terus bertambah, sebaliknya tidak pernah dilampiaskan, sudah tentu makin lama makin tertimbun kadar racun dalam tubuhnya dengan sendirinya luar biasa hebatnya Hoa-kang-taihoat nya.

Dasar A Ci memang licin, ia menunggu pada waktu Giok-ting digunakan gurunya untuk menangkap binatang

berbisa, lalu ia mohon diri pergi pesiar. Ketika Sing-siok-Lokoai mengetahui Giok-ting itu dicuri hal itu sudah tujuh hari kemudian, yaitu ketika dia hendak menangkap binatang berbisa lagi dengan menggunakan Giok-ting itu.

Dan sudah tentu sementara itu A Ci sudah pergi jauh, jalan yang dipilih selalu jalan kecil yang sepi, meski ia diuber-uber oleh para suhengnya yang jauh lebih lihai, tapi mereka kalah cerdik, selalu mereka kena diakali hingga tiada seorang pun dapat menemukan dia.

Setelah kehilangan Giok-ting, dengan sendirinya Sing-siok Lokoai sukar menangkap binatang berbisa yang istimewa lagi, yang diperoleh hanya sebangsa ular yang kecil dan tidak besar manfaatnya.

Hal ini tidak terlalu merisaukan dia, yang dikuatirkan ialah kemungkinan Giok-ting yang dibawa lari A Ci itu akan dikenali orang persilatan Tionggoan hingga dihancurkan oleh mereka. Maka selama benda pusaka itu belum ditemukan kembali, selama itu pula ia merasa tidak tentram.

Sebab itulah, biarpun ia tidak ingin menjelajahi Tionggoan lagi, akhirnya ia muncul sendiri juga untuk mencari Giok-ting itu mengingat usaha anak muridnya telah gagal satu per satu.

Diwilayah Siamsai dia bertemu dengan anak muridnya, diketahui ilmu silat murid tertua, Ti-sing-cu, sudah punah dan sepanjang jalan selalu dibuat sasaran ejekan dan gebukan oleh anak murid yang lain. Sementara itu murid kedua, yaitu si hidung singa Gian-ho-cu, sudah naik kedudukannya sebagai Toasuheng.

Demi bertemu dengan sang guru, sudah tentu anak muridnya ketakutan setengah mati, sebab kuatir diberi hukuman berhubung mereka tidak mampu melaksanakan perintah gurunya. Untung saat itu Sing-siok Lokoai perlu pakai tenaga mereka, maka sementara mereka tak dihukum, tapi mereka harus ikut mencari jejak si A Ci. Dan begitulah mereka lantas datang ke Tionggoan.

Sepanjang jalan mereka mencari kabar tentang Kai-pang. Tapi pertama karena bentuk muka mereka itu ratarata sangat aneh, tutur kata mereka pun menjemukan orang, maka siapa pun tidak sudi memberitahukan berita yang mereka cari. Apalagi saat itu Siau Hong sudah berada di negeri Liau dengan pangkat Lam-ih Taiong, hal ini belum diketahui oleh orang Bu-lim, sebab itulah mereka tidak mendapat sesuatu kabar, bahkan dimana markas besar Kai-pang saat itu juga tak diketahui.

Sudah tentu Ting Jin-jiu semakin kelabakan ia pikir Siau-lim-si adalah pusat persilatan Tiong-goan, setiap gerak-gerik orang persilatan tentu diketahui oleh padri saleh disitu.

Meski ia tidak ingin terang-terangan bermusuhan dengan siau-lim-pai, tapi mengingat selamanya ia pun tiada

pertengkaran dengan Siau-lim-pai, kalau ia berkunjung ke sana untuk tanya sesuatu berita secara beraturan, boleh jadi ketua Siau-lim-si akan memberitahu sekadarnya. Maka dengan membawa anak muridnya mereka lantas mendatangi Siau-sit-san di Holam.

Sepanjang jalan bila tiba waktunya mengisi racun, ia lantas menangkap ular berbisa untuk menyedot racunnya.

Ketika rombongan mereka baru masuk wilayah Holam, suatu hari mendadak mereka lihat gerombolan ular berbisa secara besar-besaran. Keruan Sing-siok Lokoai sangat girang, segera ia perintahkan anak muridnya menangkap ular untuk mengisi racun "Hoa-kang-tai-hoat” yang lihai itu.

Sebenarnya ia pun heran melihat ular sebanyak itu, tapi dasarnya memang tinggi hati, sudah biasa ia berkuasa di Sing-siok-hai, terhadap segala apa tidak pernah pusing apakah itu milik orang lain atau bukan. Tak terduga bahwa kawanan ular berbisa itu memang benar ada pemiliknya.

Kiranya sesudah Polo Singh dikirim ke siau-lim-si untuk mencuri kitab, sampai sekian lama tiada kabar beritanya. Maka gurunya telah mengirim pula 16 padri Thian-tiok untuk memapaknya.

Ilmu silat kawanan padri Thian-tiok itu tidak terlalu tinggi, tapi mereka mahir semacam ilmu, yaitu menggunakan suara seruling untuk menggiring ular. Maka sepanjang jalan sudah banyak sekali ular berbisa yang ikut mereka ke Tionggoan.

Meski banyak juga ular itu mati di tengah jalan karena tidak cocok dengan iklim setempat tapi setiba di wilayah Holam toh jumlah ular itu masih sangat banyak. Terutama belasan ekor di antaranya adalah ular sawah raksasa yang mengikuti mereka sejak dari rimba purba di wilayah Thian-tiok, ular-ular sawah itu adalah jenis yang jarang terdapat di Tiongkok.

Rupanya padri Thian-tiok itu tahu ilmu silat mereka tidak mungkin melawan pihak Siau-lim-pai kalau mereka menyerang secara mendadak dengan barisan ular itu, tentulawan akan kelabakan, andaikan tak bisa menghancurkan Siau-lim-si, paling sedikit Polo Singh dapat tertolong dandapat merampas sedikit kitab dalam biara itu.

Begitulah kawanan padri Thian-tiok itu melanjutkan perjalanan pada malam hari. Kalau siang hari mereka mengaso, dengan demikian kawanan ular mereka takkan mengejutkan penduduk setempat. Tidak lama sesudah masuk wilayah Holam, mereka mengetahui banyak ular mereka dbunuh orang. Ketika diselidiki, ternyata pembunuh ular itu adalah Sing-siok Lokoai.

Jarak Sing-siok-hai tidak terlalu jauh dengan negeri Thian-tiok, maka tindak-tanduk Sing-siok-Lokoai yang aneh dan kejam itu juga telah didengar oleh orang persilatan Thian-tiok, sebab itulah para padri Thian-tiok tidak ingin cekcok dengan dia.

Tak terduga makin lama makin menjadi ular yang dibunuh Sing-siok Lokoai makin banyak dan selalu dipilih ular yang paling berbisa hingga kekuatan barisan ular yang dikerahkan padri Thian-tiok itu sangat berkurang.

Saking tak tahan lagi, akhirnya tercetuslah pertarungan sengit antara kedua belah pihak dan berkat bantuan kawanan ular yang hebat itu, pihak padri Thian-tiok telah menang, bahkan Sing-siok Lokoai yang tersohor itu terlilit oleh ular sawah raksasa yang tak bisa berkutik lagi.

Ketika padri Thian-tiok tanya apa dia membunuh ularnya, maka Ting Jun-jiu menjawab, Sungguh menggelikan pertanyaanmu ini. Segala binatang buas, terutama ular berbisa yang suka mencelakakan manusia, siapa saja yang melihatnya tentu akan membunuhnya. Dari mana kutahu bahwa ular-ular itu adalah piaraanmu?”

"Aku pernah memberi isyarat padamu agar jangan membunuh ular piaraan itu, tapi kau sama sekali tidak ambil pusing, sebab apa?” tanya padri asing itu.

"Hehehehe!” Ting Jun-jiu tertawa dingin. "Sejak kecil hingga besar, selama hidupku ini hanya aku yang menyuruh orang harus begini dan begitu, tapi tidak pernah ada orang yang dapat memerintah aku harus begitu dan begini. Bahkan guruku sendiri dahulu ketika mengomeli aku sedikit saja lantas kubunuh. Sekarang hanya beberapa hwesio busuk dari negeri asing seperti kalian ini dengan hak apa berani memberi perintah padaku, hehehehe!

Melihat Sing-siok Lokoai sudah tergugat ular, sama sekali tak bisa berkutik lagi, tapi bicaranya masih sangat angkuh, sedikit pun tidak mau tunduk, maka padri asing itu tahu permusuhan ini sudah terlanjur mendalam, jika jiwa lokoai diampuni, kelak pasti akan mendatangkan bahaya yang tidak habis-habis. Segera katanya, "Nama Sing-siok Lokoai terkenal diseluruh jagat, siapa tahu hanya nama kosong belaka, sampai beberapa ekor ular juga mampu melawan. Nah maaf biarlah hari ini kami membasmi racun dunia yang paling dibenci seperti dirimu ini!”

"Hah, soalnya aku kurang hati-hati hingga terjungkal di tangan kawanan binatang berdarah dingin seperti kalian ini, andaikan harus pulang ke nirwana juga tak perlu menyesal … ”

Baru sekian ucapan Ting Jun-jiu, tiba-tiba suaranya terputus oleh teriakan seorang muridnya yang juga terlilit oleh ular sawah, "Toasuhu, harap lepaskan aku dan kita akan saling menguntungkan. Guruku itu banyak tipu muslihatnya, sukar bagimu untuk melawannya. Sekali kau lengah, pasti engkau akan diselomoti.”

"Apa untungnya jika kulepaskanmu?” tanya si padri asing dengan dingin.

"Sing-siok-pai kami memiliki tiga macam pusaka yang disebut Sing-siok-sam-po, "tutur orang itu. "Jika jiwaku diampuni, sesudah membunuh iblis tua itu nanti, tentu ketiga macam pusaka itu akan kupersembahkan padamu. Sebaliknya bila kaubunuh seluruh orang Sing-siok-pai kami, maka Sing-siok-sam-po itu takkan kau dapatkan untuk selamanya, bukankah sangat sayang?”

Dari tempat sembunyinya Goan-ci lihat pembicara itu adalah seorang laki-laki tegap, meski kepala dililit ular sawah, namun semangatnya masih gagah, siapa duga jiwanya justru begitu kotor dan rendah, demi menyelamatkan diri sendiri tidak segan menual gurunya sendiri secara terang-terangan.

Dalam pada itu seorang murid Sing-siok-pai yang lain ikut berteriak juga, "Toasuhu, jangan kaupercaya padanya. Satu diantara Sing-siok-sam-po kami itu sudah dicuri orang. Lebih baik aku saja yang kalian lepaskan, hanya akulah orang yang paling setia padamu, pasti takkan menipumu.”

Begitulah dalam sekejap itu suasana menjadi ramai oleh teriakan anak murid Sing-siok-pai yang pada pokoknya menjilat dan mengumpak pihak lawan, sebaliknya mengolok-olok guru sendiri. Bahkan banyak diantaranya yang sudah terluka oleh gigitan ular dan terhimpit di tengah badan ular sawah yang melilit erat itu juga tidak mau ketinggalan untuk minta ampun dengan macam-macam janji yang muluk-muluk dan segala macam kata-kata bohong pula.

Sama sekali padri Thian-tiok itu tidak menyangka anak murid Sing-siok-pai sedemikian rendah jiwanya, mereka memandang hina, dan heran pula. Mereka sama melangkah maju untuk mendengarkan ocehan murid Sing-siok-pai yang lucu itu.

"Terhadap guru sendiri saja tidak setia, manakah kalian dapat dipercaya akan setia kepada bangsa lain? Hahaha, bukankah menggelikan bualan kalian ini?” demikian padri Thian-tiok yang merupakan pemimpinnya itu mengejek.

"Bukan begitu halnya, lain soalnya, "seru seorang murid Sing-siok-pai, "Kepandaian Sing-siok Lokoai terlalu cetek, apa gunanya kami ikut padanya? Dan apa faedahnya pula kami setia padanya? Sebaliknya Toasuhu memiliki ilmu silat yang tiada bandingannya di jagat ini, mana Sing-siok Lokoai dapat dinilai sama dengan toasuhu?”

"Benar, siapakah yang tidak kenal 'padri saleh' seperti kalian ini, malahan lebih tepat kalian disebut 'padri sakti', Eh, bahkan harus disebut 'Budha Hidup'!”demikian seru murid Sing-siok pai yang lain. Lalu kawankawannya lantas membumbu-bumbui lagi dengan kata-kata muluk yang menyanjung puji.

"Huh, suara manusia rendah dan pengecut sebagai kalian ini sungguh menjemukan, "kata padri Thian-tiok itu sambil berkerut kening, "Sing-siok Lokoai, mengapa kamu begini tak becus, mencari murid saja mengapa cari sebangsa manusia yang tak kenal malu seperti mereka ini. Baiklah akan kuantarkanmu ke nirwana dulu, kemudian murid-muridmu yang memalukan itu juga akan kami susulkan padamu!”

Habis berkata, mendadak lengan bajunya mengebas ke atas kepala Ting Jun-jiu.

Waktu itu Sing-siok Lokoai Ting Jun-jiu tak bisa berkutik sedikit pun karena tergubat oleh ular sawah, kebasan lengan jubah padri Thian-tiok yang kuat itu kalau mengenai sasarannya, andaikan tidak mati juga pasti Tingjin-jiu akan terluka parah.

Tak terduga serangan itu dianggap sepi saja oleh Ting Jun-jiu, sebaliknya padri Thian-tiok itu tahu-tahu lemas terkulai di tanah dan meringkuk bagai cacing, hanya tampak berkejat dua kejat lalu tidak bergerak lagi.

Keruan padri Thian-tiok yang lain sangat terkejut, beramai-ramai mereka berteriak, "Suheng! Suheng!”

Segera dua orang diantaranya mengulur tangan hendak membangunkan kawannya itu.

Tapi baru tangan kedua orang itu menjamah tubuh kawannya, seketika kepala mereka pusing, kaki pun lemas akhirnya roboh juga.

Dengan sendirinya tiga padri lain yang berdiri dibelakang mereka lekas hendak memayang kawan-kawannya. Tapi sekali mereka menyentuh badan kedua orang, lagi-lagi ketiga padri itu pun ikut roboh hingga diam sekejap saja enam padri asing itu sama roboh tak berkutik.

Melihat gelagat jelek, sisa padri yang lain terkesima, mereka tidak berani menjamah badan kawan yang jatuh itu. Seorang diantaranya lantas membentak dengan gusar, "Ilmu sihir apa yang kau gunakan, Sing-siok Lokoai ? Ini rasakan pukulanku!”

Berbareng itu ia terus menghantam. Tapi Ting Jin-jiu hanya tertawa saja, pukulan padri itu seperti terpental balik dari sasarannya, lalu padri itu melongo lebar dan jatuh terjungkal.

Sisa kesembilan padri yang lain sudah pernah dirobohkan oleh suara suitan Ting Jun-jiu, maka mereka tidak berani sembarangan menyerang, mereka berbisik-bisik dalam bahasa Thian-tiok untuk berunding, sejenak

kemudian, sekonyong-konyong mereka menggertak bersama, dimana lengan jubah mereka mengebas, sembilan bilah pisau sekaligus menyambar ke arah Ting Jun-jiu.

Tapi Ting Jun-jiu juga membentak, kepala goyang tiga kali, seketika rambutnya yang putih menegak kaku bagaikan kawat, maka terdengarlah suara "trang-tring” beberapa kali, kesembilan pisau musuh kenadisapu jatuh semua. Sedangkan kesembilan padri Thian-tiok itu tahu-tahu sudah menggeletak binasa semua.

Dari tempat sembunyinya Yu Goan-ci dapat mengendus bau amis busuk yang sangat menusuk hidung hingga mata terasa pedas dan mengucurkan air mata. Ia heran sekali, ia tidak tahu dengan ilmu apakah Ting Jun-jiu membunuh ke 16 orang musuhnya.

Jilid 48
Ketinggalan kawanan ular itu sudah tentu tak tahu tentang membalas sakit hati majikan mereka segala, binatang itu masih terus melilit Ting Jun-jiu dan murid-muridnya untuk menunggu perintah selanjutnya dari majikan mereka. Suasana di tanah pegunungan itu menjadi sunyi senyap. Namun ular adalah makhluk yang bodoh, lama-lama bukan mustahil mereka akan mengganas sendiri tanpa komando.

Di tengah kepungan kawanan ular itu, orang-orang Sing-siok-hay tidak berani sembarangan berkutik, sebab khawatir menimbulkan reaksi ular-ular itu hingga mengamuk dan itu berarti jiwa mereka bisa amblas.

Sesudah tenang sebentar, tampaknya tiada bahaya lain lagi kecuali masih menghadapi kawanan ular itu, segera ada seorang murid Ting Jun-jiu membuka suara, "Suhu, ilmu saktimu tiada tandingannya di jagat ini, hanya sambil bicara dan tertawa saja ke-16 musuh jahanam sudah terbunuh semua olehmu....”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba seorang murid lain memotong, "Suhu, jangan kau dengar ocehannya! Justru orang yang memuji-muji ‘padri sakti’ dan ‘Buddha hidup’ kepada musuh tadi adalah dia sendiri!”

Mendadak ada di antara muridnya menangis tergerung-gerung dan bertobat, "Suhu! Ampun! Seribu kali ampun, Suhu! Memang Tecu terlalu bodoh, paling takut mati hingga sudi menyerah kepada musuh, sungguh Tecu merasa menyesal sekali. Kini Tecu lebih suka mati dalam perut ular sawa ini dan tidak berani minta hidup kepada Suhu!”

Mendengar perkataan orang terakhir itu, seketika yang lain-lain sadar. Biasanya Sing-siok Lokoay paling benci bila ada muridnya suka menjilat-jilat dan memuji secara berlebihan, jalan hidup satu-satunya bagi mereka adalah mengakui dosa dan mencaci maki diri sendiri yang tolol, dengan demikian jiwa mereka ada kemungkinan akan diampuni gurunya.

Karena itu, segera semua orang ganti haluan, semuanya menyatakan diri mereka bersalah, berdosa, dan tolol, harus dihukum mati dan macam-macam lagi, sampai Goan-ci yang mendengarkan di tempat sembunyinya itu menjadi bingung dan heran mengapa jiwa anak murid Sing-siok-pay itu sedemikian rendah, bicaranya plintatplintut seperti kentut.

Begitulah anak murid Sing-siok-pay ramai mengoceh tak keruan, tapi Ting Jun-jiu sama sekali tidak menggubris, diam-diam ia sudah mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari lilitan ular sawa raksasa. Celakanya ular sawa yang melilit dia itu seluruhnya ada dua ekor, badan ular sawa itu dapat mulur-mengkeret pula hingga untuk melepaskan diri boleh dibilang mahasulit.

Cara yang digunakan Ting Jun-jiu untuk membinasakan lawan-lawannya tadi adalah menggunakan hawa beracun dalam tubuhnya yang terhimpun selama berpuluh tahun itu. Ketika padri Thian-tiok yang pertama menyerangnya, segera ia kerahkan unsur racun itu ke bagian tubuh yang dihantam itu, dan dengan cara "pinjam tenaga untuk memukul kembali lawan”, ia embuskan unsur racun itu pada saat pukulan lawan terpental. Jadi binasanya padri Thian-tiok itu bukan terkena sesuatu ilmu sihir Ting Jun-jiu melainkan disebabkan keracunan.

Sedangkan kulit ular sawa itu sangat tebal lagi licin, kadar racun Ting Jun-jiu tidak dapat menyesap ke badan ular hingga dia tak berdaya lagi.

Ia dengar anak muridnya masih cerewet tak henti-hentinya, segera katanya, "Kita terkurung oleh kawanan ular, kalau ada yang dapat pikirkan suatu akal untuk mengusir ular, segera jiwanya kuampuni. Masakah kalian tidak kenal watakku? Siapa yang berguna bagiku tentu takkan kubunuh. Tapi kalau cuma mengoceh saja tanpa berguna, lebih baik kalian tutup mulut!”

Maka terdiamlah seketika anak muridnya itu. Selang sejenak, tiba-tiba seorang di antaranya berkata, "Asal ada seorang membawakan obor dan menyelomot badan ular sawa ini, tentu binatang ini akan ketakutan dan lari.”

"Kentut makmu!” damprat Ting Jun-jiu. "Di tanah pegunungan yang sepi seperti ini dari mana bisa muncul seorang membawakan obor? Andaikan ada orang lalu di sini, bila melihat ular sebanyak ini juga pasti akan lari terbirit-birit!”

Kemudian anak murid yang lain sama mengemukakan usul lagi, tapi tiada satu pun yang masuk di akal dan berguna. Sebabnya mereka mengoceh terus tidak lain hanya untuk mengambil hati sang guru saja agar kelihatan bahwa mereka benar-benar ikut memeras otak untuk mencari akal.

Maka sang tempo berlalu dengan cepat, dua-tiga jam kemudian, tiba-tiba seorang murid yang dililit ular sawa itu megap-megap, dalam keadaan bingung tanpa terasa ia meronta dan menggigit ular yang melilitnya. Jadi bukan ular menggigit manusia, tapi manusia menggigit ular.

Karena kesakitan, tentu saja ular sawa itu mengamuk, sekali ia memagut, kontan murid Sing-siok-hay itu menjerit dan binasa.

Ting Jun-jiu makin khawatir. Jika dikurung musuh, dalam waktu beberapa jam itu tentu ia dapat mengatasi dengan macam-macam tipu muslihatnya yang licik untuk meloloskan diri. Celakanya kawanan ular ini adalah binatang yang bodoh, jangan-jangan bila ular sawa ini merasa lapar, sekali caplok mungkin dirinya akan ditelan mentah-mentah.

Dan benar juga, apa yang dikhawatirkan itu segera menjadi kenyataan. Karena sudah sekian lama tidak mendengar suara seruling, perut seekor ular sawa di antaranya sudah kelaparan, segera mulutnya terbuka lebarlebar terus mencaplok murid Sing-siok-pay yang dililitnya itu.

Keruan murid itu menjerit ketakutan. "Tolong, Suhu! Tolong!”

Dan yang dicaplok lebih dulu ternyata bagian kaki hingga tanpa kuasa badan tertelan ke dalam perut ular sawa sedikit demi sedikit, sedangkan murid Sing-siok-pay itu menjerit-jerit.

Gigi ular sawa itu bentuknya mengait ke dalam hingga segala makhluk yang tergigit olehnya tidak mungkin bisa lolos selain perlahan ditelan ke dalam perutnya.

Maka murid Sing-siok-pay yang tertelan itu lambat laun sudah sampai bagian pinggang, lalu dada dan sebentar lagi tentu akan kepalanya. Seketika orang itu tidak mati, ia masih bisa berteriak dan menjerit ngeri hingga ia membikin kawan-kawannya ikut ketakutan setengah mati bila membayangkan nasib mereka sebentar lagi juga akan mengikuti jejak kawannya itu.

Melihat Sing-siok Lokoay sendiri juga tak berdaya sama sekali, segera ada seorang muridnya mulai penasaran dan gemas, terus saja ia mencaci maki sang guru, katanya gara-gara iblis tua yang kejam itu hingga dirinya yang semula hidup aman tenteram menggembala di sekitar Sing-siok-hay tertipu masuk perguruan Sing-siokpay, tapi hari ini harus mati terkubur dalam perut ular sawa, di akhirat nanti pasti dia akan menagih nyawa kepada Sing-siok Lokoay.

Begitulah seorang mulai memaki, maka yang lain-lain juga tidak mau ketinggalan, segera ramailah suara caci maki mereka. Biasanya mereka sudah kenyang disiksa dan dianiaya Sing-siok Lokoay, kini mereka bakal mati semua, mumpung masih ada kesempatan, maka mereka mencaci maki sepuas-puasnya sekadar melampiaskan rasa dendam kepada guru mereka yang jahat itu.

Seorang di antaranya mungkin terlalu nafsu memaki hingga badannya ikut bergoyang, hal ini membuat ular sawa yang melilitnya itu menjadi gusar, tanpa permisi lagi ular itu menggigit pundaknya. Saking kesakitan orang itu menjerit, "Aduh! Tolong! Tolong!”

Mendengar jeritan minta tolong yang mengerikan itu, Goan-ci tidak tahan lagi, ia terus berbangkit dari tempat sembunyinya dan berseru, "Jangan khawatir, biar kunyalakan api untuk mengusir kawanan ular ini!”

Ketika mendadak melihat muncul seorang dengan kepala bertopi baja yang aneh, semula anak murid Singsiok-pay itu sama terkejut. Tapi demi mendengar orang aneh itu bersedia menyalakan api untuk mengusir ular, itu berarti ada harapan hidup bagi mereka, keruan mereka sangat senang dan menyatakan terima kasih berbareng.

Kepandaian mencaci maki anak murid Sing-siok-pay itu sangat pintar, boleh dikata kelas pilihan, sebaliknya bakat mereka dalam hal memuji dan mengumpak juga sudah terlatih dan mahapandai. Terus saja mereka memuji Yu Goan-ci sebagai "kesatria besar”, "pendekar besar”, "tuan penolong yang budiman”, "pahlawan yang tiada bandingannya di jagat ini” dan macam-macam sanjungan lain.

Pada umumnya manusia itu senang dipuji, tidak terkecuali pula Goan-ci yang dipuji setinggi langit itu, seketika ia merasa dirinya seakan-akan menjadi orang besar, ia merasa berharga biarpun mesti menyerempet bahaya bagi orang-orang itu.

Segera ia mengeluarkan ketikan api, ia mengepal segebung rumput kering dan dinyalakan sebagai obor. Tapi ia menjadi takut juga melihat kawanan ular sedemikian banyak, terutama ular sawa raksasa yang ganas itu, ia khawatir jangan-jangan kawanan ular itu akan mengamuk, boleh jadi dirinya akan menjadi korban juga.

Ia pikir sejenak, lalu ia kumpulkan sedikit kayu kering dan dinyalakan sebagai api unggun di depannya sebagai aling-aling. Habis itu ia jemput sepotong ranting kayu kering yang sudah terbakar itu dan ditimpukkan ke arah ular yang paling dekat, berbareng itu ia terus bersembunyi di belakang api unggun sambil bersiap-siap bila ular yang ditimpuk itu menerjang ke arahnya, segera ia akan angkat langkah seribu alias kabur, segala gelar "kesatria besar” dan "pendekar besar” tak terpikir lagi olehnya dan lebih baik diretur saja kepada anak muridnya Sing-siok-pay itu.

Di luar dugaan, memang benar juga kawanan ular itu takut kepada api dan demi melihat api membakar tiba, segera ular itu melepaskan mangsa yang dililitnya dan merayap pergi ke dalam semak-semak rumput.

Tampak hasil serangan api itu, di bawah sorak gembira anak murid Sing-siok-pay segera Goan-ci mengulangi perbuatannya, setangkai demi setangkai ia timpukkan ranting kayu berapi itu ke arah ular. Seketika kawanan ular itu ketakutan dan kacau-balau, ramai-ramai mereka melarikan diri, begitu pula ular sawa raksasa itu juga takut pada serangan api, mereka meninggalkan mangsa yang terlilit itu, hanya dalam waktu singkat saja beratus ekor ular itu sama melarikan diri hingga bersih.

Lalu terdengar suara sanjung puji anak murid Sing-siok-hay, "Suhu memang mahapintar, perhitungannya sangat tepat. Dengan serangan api ternyata benar kawanan ular lantas terusir lari semua! Benar, berkat rezeki yang mahabesar dan kekuasaan mahasakti Suhu hingga jiwa kita dapat diselamatkan!”

Begitulah bukan mereka memuji Goan-ci, tapi semua jasa itu kini ditumplak atas diri guru mereka.

Keruan Goan-ci terheran-heran, "Aku yang menolong kalian, mengapa suhu kalian yang dipuji, padahal baru saja kalian mencaci maki gurumu habis-habisan, seakan sepeser pun tidak berharga.”

Ia tidak tahu bahwa sesudah terbebas dari ancaman ular, maka jiwa orang-orang itu kembali tergantung di tangan Sing-siok Lokoay lagi. Kalau mereka tidak mengumpak dan menjilat mati-matian, bukan mustahil jiwa mereka akan melayang dibunuh oleh Ting Jun-jiu. Sedangkan mengenai jasa pertolongan Yu Goan-ci sudah tentu tak terpikir oleh mereka, apa sih artinya seorang keroco bertopi baja bagi mereka?

Demikianlah Ting Jun-jiu lantas memanggil Goan-ci, "He, Thi-thau-siaucu (Bocah Berkepala Besi), coba kemari! Siapa namamu?”

Kurang ajar, pikir Goan-ci, sudah kutolong jiwamu, sama sekali tidak mengucapkan terima kasih, sebaliknya memanggil semaunya. Tapi dia sudah terbiasa dihina orang, meski orang bersikap kasar padanya juga tak menjadi soal baginya. Segera ia menyahut sambil melangkah maju, "Namaku Yu Goan-ci.”

"Apakah padri asing lain sudah mati? Coba kau periksa hidung mereka, apa mereka masih bernapas atau tidak?” kata Ting Jun-jiu tiba-tiba.

Goan-ci mengiakan, lalu berjongkok untuk memeriksa pernapasan salah seorang padri Thian-tiok yang menggeletak di tanah itu. Ia merasa badan orang sudah dingin beku, sejak tadi padri itu sudah mati. Ketika ia periksa padri yang lain, keadaannya serupa. Maka katanya sambil menegak, "Sudah mati semua!”

Dalam sekejap itu, dilihatnya sikap mengejek orang-orang itu lambat laun berubah menjadi terheran-heran, lalu berubah lagi menjadi terkejut tak terkatakan. Begitu pula Ting Jun-jiu tampak heran, katanya, "Coba kau periksa lagi tiap-tiap hwesio itu, adakah di antaranya masih dapat tertolong?”

Goan-ci menurut pula, akhirnya ia periksa semua padri Thian-tiok itu dan melapor, "Sudah mati semuanya, ilmu sakti Losiansing sungguh sangat lihai!”

"Ya, dan ilmu menolak racun yang kau miliki itu juga sangat lihai,” sahut Ting Jun-jiu dengan tertawa dingin.

Sudah tentu Goan-ci merasa bingung. "Ilmu... ilmu menolak racun apa?” tanyanya tak paham.

"Hahahaha! Bagus, bagus!” Ting Jun-jiu bergelak tertawa. "Dari perawakanmu dan suaramu, kukira usiamu

masih sangat muda, tapi kepandaianmu ternyata sedemikian hebat, sungguh orang muda yang tak boleh dipandang enteng!”

Goan-ci tambah bingung, ia tidak paham apa yang dimaksudkan orang. Ia tidak tahu bahwa setiap kali ia periksa pernapasan padri Thian-tiok yang sudah mati itu, hal itu berarti tiap kali dia sudah "piknik” ke pintu gerbang akhirat. Jadi memeriksa 16 padri asing itu berarti pula lolos 16 kali dari cengkeraman maut.

Apa sebabnya? Kiranya meski Sing-siok Lokoay dapat diselamatkan oleh Goan-ci, tapi selaku seorang guru besar ilmu persilatan, sedikit pun ia tak bisa berkutik ketika dililit ular, bahkan perlu ditolong seorang pemuda keroco, hal ini kalau tersiar ke dunia Kangouw tentu akan menghilangkan mukanya. Sebab itulah, maka sesudah terlepas dari lilitan ular sawa, segera timbul maksudnya membunuh Goan-ci agar kejadian memalukan itu tak diketahui umum.

Adapun binasanya padri Thian-tiok itu adalah terkena racun yang terembus dari tubuhnya, kini Ting Jun-jiu menyuruh Goan-ci memeriksa pernapasan hidung padri-padri itu, ini berarti pemuda itu dibiarkan juga terkena racunnya yang jahat itu.

Siapa duga secara kebetulan sekali Goan-ci sudah pernah mengisap cairan darah ulat sutra putih yang maha berbisa, dengan lwekang mahatinggi yang dibacanya dari Ih-kin-keng, sesudah mengalami gemblengan selama beberapa bulan ini racun aneh dari ulat sutra yang mengeram dalam tubuh Goan-ci itu sudah terbaur menjadi satu dengan badannya. Jadi sekarang unsur racun yang berada pada tubuh Goan-ci itu adalah racun yang tak bisa dibandingi racun dari makhluk berbisa mana pun juga. Dan dengan sendirinya racun yang dikeluarkan Ting Jun-jiu itu tak dapat mencelakai dia.

Padahal tadi tanpa menggunakan api juga Goan-ci dapat mengalahkan kawanan ular itu, asal dia berjalan berlenggang dengan gaya bebas saja kawanan ular itu akan ketakutan dan bila berani menggigit dia, tentu ular itu akan binasa sendiri terkena racun dalam tubuh Goan-ci yang jauh lebih lihai.

Cuma Goan-ci sama sekali tidak tahu keadaan sendiri itu, dan sudah tentu Sing-siok Lokoay lebih-lebih tidak menyangka akan hal itu. Semula Sing-siok Lokoay berharap sekali Goan-ci menjamah padri Thian-tiok yang pertama tentu akan segera meringkuk binasa, siapa duga meski ke-16 padri Thian-tiok itu diraba, tetap Goan-ci hidup segar bugar tak kurang suatu apa pun. Keruan hal ini menggemparkan Sing-siok Lokoay dan anak muridnya.

Diam-diam Ting Jun-jiu membatin, "Melihat usianya yang masih muda belia ini tentu belum mempunyai kepandaian apa-apa, besar kemungkinan karena dia membawa sesuatu benda mestika antiular atau mungkin sebelumnya dia pernah minum obat mukjizat, maka tidak takut terkena racunku yang lihai itu.”

Maka katanya kemudian, "Eh Saudara Yu, mari kita omong-omong!”

Melihat orang bicara dengan nada yang lebih ramah daripada tadi, pula Goan-ci sudah menyaksikan caranya membinasakan ke-16 padri Thian-tiok secara kejam, juga mendengar pembicaraan kaum Sing-siok-hay mereka yang sebentar menjilat-jilat dan lain saat mencaci maki, betapa pun Goan-ci merasa muak terhadap mereka, ia pikir lebih baik menjauhi manusia rendah seperti mereka ini. Maka ia pun menjawab, "Ah, tak perlu kita omong-omong lagi, aku ada urusan lain, biarlah kumohon diri saja!”

Habis berkata, ia memberi soja, lalu tinggal pergi ke arah timur sana.

Tapi baru dua-tiga langkah ia berjalan, sekonyong-konyong terdengar angin berkesiur di sebelahnya. Tahu-tahu kedua tangannya kena dipegang orang. Datangnya orang sangat cepat hingga sebelum Goan-ci tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tangan sudah terpegang.

Ketika Goan-ci berpaling, ia lihat yang menangkap tangannya itu adalah seorang anak murid Sing-siok-pay. Ia tidak tahu apa maksud orang, yang terang orang itu menyeringai, pasti orang tak bermaksud baik. Dalam khawatirnya segera Goan-ci meronta sekerasnya sambil berteriak, "Lepaskan aku!”

Mendadak sosok tubuh yang besar itu mencelat pergi melampaui kepalanya dan tertumbuk dinding batu di depan sana, "prak”, kepala orang itu pecah dan tulang patah. Goan-ci menjadi heran dari mana datangnya orang itu dan siapakah yang melemparkan sekeras itu hingga tertumbuk mati seketika?

Tapi ketika ia perhatikan, ternyata orang itu adalah murid Sing-siok-hay yang barusan memegang kedua tangannya itu. Keruan ia tambah heran, "Barusan saja orang itu memegang tanganku, mengapa mendadak bisa membunuh diri dengan menumbukkan kepalanya ke dinding batu?”

Sama sekali tak terkira olehnya, bahwa sebenarnya laki-laki itu bukan membunuh diri, tapi karena tenaga merontanya tadi yang hebat hingga orang itu kena disengkelit dan terpental serta mati tertumbuk batu karang. Maklum, tentang tenaga dalamnya yang makin hari makin kuat itu memang tidak disadarinya, pula selama ini ia pun tidak pernah berkelahi dengan orang. Semalam waktu ia dicekik Polo Singh, lantaran ketakutan hingga tidak berani melawan, padahal asal dia meronta sekuatnya, pasti Polo Singh tak mampu mencekiknya.

Begitulah, maka anak murid Sing-siok-pay yang lain sama menjerit kaget demi menyaksikan sekali sengkelit saja seorang suheng mereka sudah terbunuh oleh bocah kepala besi itu.

Sing-siok Lokoay adalah seorang tokoh termasyhur, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cara sengkelit Goan-ci yang tidak sengaja itu dapat dilihatnya dengan jelas, ia pikir tenaga pembawaan bocah ini memang luar biasa, tapi ilmu silatnya tiada sesuatu yang istimewa. Maka sekali melompat maju, segera sebelah

tangannya memegang topi baja pemuda itu terus ditekan ke bawah.

Karena tidak berjaga-jaga, seketika Goan-ci tertindih hingga tekuk lutut oleh tenaga mahakuat itu, ia hendak menegak lagi, tapi kepalanya serasa menyunggi sebuah gunung hingga tak bisa berkutik sama sekali, terpaksa ia memohon, "Ampun, Losiansing! Ampun!”

Mendengar itu, hati Ting Jun-jiu tambah lega lagi. Katanya segera, "Besar sekali nyalimu ya, berani kau bunuh muridku? Siapakah gurumu, hah?”

"Aku... aku tidak punya guru, aku... aku pun tidak berani membunuh muridmu!” sahut Goan-ci dengan gelagapan.

Ting Jun-jiu pikir orang toh tak mampu berbuat apa-apa lagi, lebih baik dibinasakan saja. Maka ia lantas angkat tangannya, waktu Goan-ci berdiri, terus saja telapak tangannya memukul dada anak muda itu.

Keruan Goan-ci kaget setengah mati, cepat ia menangkis sebisanya, dan karena datangnya pukulan Sing-siok Lokoay itu sangat lambat, maka tangan Goan-ci segera menempel telapak tangan iblis tua itu.

Justru hal inilah yang diinginkan Ting Jun-jiu, segera racun yang sudah terhimpun pada telapak tangan disalurkan melalui arus tenaga dalamnya yang mahakuat.

Itulah "Hoa-kang-tay-hoat” yang terkenal selama berpuluh tahun. Selama hidupnya hanya pernah satu kali dikalahkan orang, biasanya lawan pasti akan binasa seketika di bawah ilmu saktinya yang lihai itu.

Sebenarnya ia tidak perlu menggunakan ilmu sakti itu untuk menghadapi seorang bocah hijau pelonco seperti Goan-ci, terutama mengingat setiap kali ilmu itu digunakan juga akan mengurangi sebagian tenaga murninya dan melemahkan kadar racun yang mengeram dalam tubuhnya itu. Tapi ia menyaksikan sendiri Goan-ci sedikit pun tidak keracunan meski telah meraba ke-16 padri Thian-tiok itu, maka ia tidak berani gegabah dan terpaksa mengeluarkan ilmu saktinya yang khas itu.

Dan begitu kedua tangan beradu, tubuh Goan-ci lantas menggeliat dan tergetar mundur enam atau tujuh langkah. Bahkan tenaga sodokan lawan itu masih belum habis, akhirnya ia jatuh terjungkal, malahan terus berjungkir balik hingga tiga kali, habis itu baru berhenti.

Sebaliknya ketika tangan Ting Jun-jiu kebentur tangan pemuda itu, tiba-tiba dada terasa "nyes” dingin. Menyusul arus tenaga dalam yang tersedia di telapak tangan mendadak membanjir keluar dengan cepat luar

biasa. Lekas-lekas ia mengerem sekuatnya, tapi arus tenaga dalam itu masih hendak menuang keluar, terpaksa ia menjungkir, dengan kepala di bawah dan kaki di atas ia putar beberapa kali, ia gunakan cara menguatkan tenaga bertahan dari perguruannya, dengan demikian barulah keluarnya tenaga murni itu dapat dihentikan.

Kemudian ia melompat bangun, seketika rambut dan jenggot menjengkit dan muka pucat pasi, sikapnya sangat menakutkan, sambil pentang kedua tangan yang lebar, segera ia bermaksud menubruk pula ke arah Goan-ci.

Saat itu Goan-ci sedang berlutut sambil menyembah dan berseru, "Ampun, Losiansing! Ampun! Ampun!”

Sesudah gebrakan barusan ini, Ting Jun-jiu merasa apa yang digunakan pemuda itu adalah Hoa-kang-tay-hoat dari perguruannya, malahan dengan latihannya yang sudah berpuluh tahun dan sudah sempurna, kecuali tenaga dalamnya sedikit lebih kuat daripada pemuda itu, kalau bicara tentang lihainya racun dalam tubuh, malah dirinya kalah setingkat, sehingga dalam gebrakan ini dirinya yang kecundang.

Biasanya hubungan persaudaraan dalam Sing-siok-pay hanya mengutamakan kuat dan lemahnya ilmu silat masing-masing, sama sekali tiada persoalan budi kebaikan segala, semakin tinggi kepandaiannya semakin tidak kenal ampun di antara mereka dan pasti saling membunuh. Kalau dikalahkan orang luar, mungkin pihak lawan masih mau mengampuni jiwanya, tapi bila kecundang di tangan saudara seperguruan sendiri pasti jiwa tak berampun.

Dan sekarang sudah terang gamblang Goan-ci berada di pihak yang menang, mengapa malah berteriak minta ampun? Apakah sengaja mempermainkan aku? Dari mana pula pemuda itu berhasil meyakinkan "Hoa-kangtay-hoat”? Demikianlah Sing-siok Lokoay Ting Jun-jiu merasa heran, curiga, dan malu pula.

Tapi dasar dia memang licik dan licin, lahirnya sedikit pun tidak kentara akan perasaannya itu. Sekali lompat segera ia melayang ke depan Goan-ci dan bertanya, "Kau minta ampun padaku dengan sungguh-sungguh atau pura-pura?”

Berulang-ulang Goan-ci menyembah, sahutnya, "Dengan hati tulus hamba mohon Losiansing suka mengampuni jiwaku!”

"Jadi kau... kau....” tiba-tiba tergerak hati Ting Jun-jiu sebelum lanjut ucapannya. Segera ia ganti suara, "Kau telah mencuri Pek-giok-giok-tingku, sekarang kau sembunyikan di mana barang itu?”

Dasar Sing-siok Lokoay itu memang cerdik, ia pikir orang yang mampu meyakinkan Hoa-kang-tay-hoat, harus menggunakan Pek-giok-giok-ting dan kalau dia tanya di mana beradanya giok-ting itu boleh jadi akan dapat

diketahui asal usul bocah bertopi baja ini.

Maka Goan-ci telah menjawab, "Ti... tidak, Siaujin tidak mencuri giok-ting milik Losiansing itu. Setiap kali habis dipakai, selalu Nona sendiri menyimpannya lagi, Siaujin tidak pernah diperbolehkan memegangnya.”

Hanya sekali tanya saja sudah dapat diperoleh berita tentang Pek-giok-giok-ting itu, keruan girang Ting Jun-jiu tidak kepalang. Segera katanya pula, "Hah, kau berani menyangkal? Justru Nona bilang kau yang mencurinya?”

"Ampun, Losiansing, Siaujin benar-benar tidak mencuri!” demikian Goan-ci bertobat. "Malahan sejak Nona selesai melebur ulat sutra itu, lalu Siaujin tidak pernah melihat giok-ting itu lagi, mengapa Siaujin dituduh mencurinya? Jika Losiansing tidak percaya, boleh silakan memanggil Nona untuk ditanyai.”

"Baik, jika begitu pengakuanmu, marilah kita pergi menemui Nona dan kalian berdua boleh membuktikan siapa yang benar,” kata Ting Jun-jiu.

"Men... menemui Nona, kata Losiansing?” Goan-ci menegas.

"Ya,” sahut Ting Jun-jiu. "Sekarang juga kita pergi mencarinya agar perkara yang sebenarnya menjadi jelas. Apakah kau yang mencuri atau bukan tentu hari ini akan ketahuan.”

"Tapi... tapi Nona jauh berada di negeri Liau sana, mana dapat diketemukan hari ini juga?” ujar Goan-ci. "Namun... namun....”

Tanpa sengaja Sing-siok Lokoay dapat mengetahui jejak A Ci, keruan girangnya tidak kepalang. Segera ia tanya, "Namun apa?”

"Namun kalau Losiansing ingin pergi juga ke Lamkhia, dengan sendirinya Siaujin bersedia mengiringi ke sana,” kata Goan-ci.

Sing-siok Lokoay memang benar seorang mahacerdik, biarpun tidak dapat melihat air muka Goan-ci, cukup mendengar ucapannya saja segera ia tahu pemuda itu sangat berharap bertemu dengan A Ci.

Ia kenal watak manusia, siapakah gerangannya yang tidak suka pada wanita cantik. Sedangkan A Ci itu, gadis remaja yang cantik menggiurkan, maka ia duga Thi-thau-jin ini tentu sangat kesengsem kepada anak dara itu.

Tapi dengan sengaja ia coba memancing lagi, "Ah, buat apa jauh-jauh pergi ke Lamkhia sana? Biarlah kukirim beberapa pembantuku yang lihai ke sana untuk membunuh budak itu saja dan merampas kembali giok-ting itu.”

Benar juga Goan-ci menjadi gugup demi mendengar A Ci hendak dibunuh, cepat katanya, "Tidak, tidak! Jangan, jangan....”

Maka makin yakinlah Ting Jun-jiu akan kebenaran dugaannya itu, ia pura-pura tanya, "Jangan apa?”

Wajah Goan-ci menjadi merah, dengan gelagapan ia menjawab, "Ini... ini....”

"Ini apa? Kau ingin memperistrikan si budak A Ci itu, betul tidak?” tanya Ting Jun-jiu dengan terbahak-bahak.

"Memperistrikan A Ci”, hal ini sudah tentu menjadi idam-idaman Goan-ci, cuma ia tidak berani membayangkan kemungkinan itu, hanya diam-diam tersimpan dalam lubuk hatinya.

Ia menghormati A Ci, memuji A Ci, yang dia harapkan asal dapat dijadikan kuda atau budak anak dara itu agar sekadar dapat melihatnya setiap hari dan itu pun sudah puas baginya dan sekali-kali tidak pernah timbul maksudnya yang lebih dari itu.

Kini Ting Jun-jiu tanya secara terang-terangan padanya, seketika ia jadi terkesima, kepala menjadi pusing dan berdirinya limbung, akhirnya ia jawab juga, "O, ti... tidak....”

Melihat sikapnya itu, makin yakinlah Sing-siok Lokoay akan dugaannya. Segera ia mempunyai rekaan, "Entah dengan cara apa dan entah karena kebetulan, maka unsur racun yang tersimpan dalam tubuh bocah ini ternyata jauh lebih hebat daripada diriku. Aku harus menerimanya untuk menyelidiki rahasia ilmunya, kemudian mengisap unsur racun dalam tubuhnya itu, habis itu barulah kubunuh dia.”

Bagi Sing-siok Lokoay, jiwa orang itu dianggapnya tiada bedanya seperti jiwa binatang. Dalam tubuh Yu Goan-ci terdapat racun yang aneh dan hebat, itu berarti suatu mestika yang susah dicari, maka dia bertekad akan menguras racunnya itu, kemudian pemuda itu akan dibunuh.

Menangkap ular atau binatang berbisa harus menggunakan Pek-giok-giok-ting, sekarang untuk memancing "manusia berbisa” sebagai Yu Goan-ci juga diperlukan sesuatu umpan. Dan umpan yang paling baik adalah si A Ci yang sangat dirindukan pemuda itu.

Mendapatkan "manusia berbisa”, menemukan kembali giok-ting, kemudian memberi hukuman setimpal kepada A Ci. Sekali jalan tiga hasil, sungguh hal ini sangat menyenangkan Sing-siok Lokoay Ting Jun-jiu.

Maka ia tanya pula, "Ingin kutanya padamu, jika kujodohkan A Ci sebagai istrimu, kau mau tidak?”

Sudah tentu seribu kali Goan-ci mau, biarpun suruh dia mati mendadak juga mau. Tapi ia tidak berani menjawab terus terang, katanya dengan gugup, "Mana... mana bisa jadi? Siaujin adalah... adalah budaknya Nona, hanya sesuai untuk dimaki dan digebuk olehnya. Mana Siaujin berani mimpi memperistrikan bidadari sebagai... sebagai Nona itu. Harap jangan lagi Losiansing bicara demikian, bila diketahui Nona, wah, tentu... tentu akan celakalah diriku.”

"Celaka apa?” ujar Ting Jun-jiu. "A Ci adalah muridku, dan murid harus turut pada perintah guru. Kalau aku suruh dia menjadi istrimu, masakah dia berani membangkang? Dia mencuri giok-tingku, jika aku tidak membunuh dia itu sudah merupakan kemurahan hatiku, masakah dia berani membantah lagi pada perintahku?”

"Apakah betul Nona itu... murid Losiansing?” tanya Goan-ci ragu.

Tadi di tempat sembunyinya ia dengar tanya-jawab Sing-siok Lokoay dengan anak muridnya dan diketahui A Ci memang betul adalah murid si kakek, cuma ia sangsi gadis yang cantik agung sebagai A Ci itu masakah seperguruan dengan manusia-manusia yang rendah dan pengecut itu, sungguh hal ini sangat janggal.

Maka dengan terbahak Ting Jun-jiu menjawab, "Eh, kau tidak percaya? Hahahaha!”

Lalu ia tuding muridnya si hidung singa dan menyambung pula, "Coba uraikan, bagaimana bentuk gadis itu?”

Segera si hidung singa bercerita, "Tahun ini A Ci berumur 16, muka potongan daun sirih, janggutnya agak lancip, di bawah bibir sebelah kanan terdapat andeng-andeng kecil. Perawakannya lencir, kulitnya putih bersih, ia suka pakai baju warna ungu dan ikat pinggang warna kuning telur.”

Apa yang diuraikan itu memang betul adalah bentuk A Ci, maka setiap kali si hidung singa mengucap satu

kalimat, setiap kali pula jantung Goan-ci berdebur. Akhirnya Goan-ci tidak sangsi lagi, katanya dengan suara rendah, "Betul, memang begitulah keadaan Nona.”

"Nah, jika kau ingin mengambil sebagai istri, itulah soal gampang,” kata Ting Jun-jiu. "Cuma dalam perguruan kami ada suatu peraturan, murid perempuan tidak boleh menikah dengan orang luar, tapi harus dengan saudara seperguruannya sendiri. Maka... ya, sudahlah, biarpun macammu ini sangat aneh, mengingat jasamu tadi, jika kau mau mengangkat aku sebagai guru, dapat juga aku menerimamu.”

Tentang "memperistrikan A Ci” sebenarnya tidak berani diharapkan Goan-ci akan menjadi kenyataan, tapi lantas terpikir olehnya, "Ya, jika aku mengangkat Losiansing ini sebagai guru, maka aku akan menjadi saudara seperguruan dengan Nona....”

Melihat pemuda itu masih ragu tanpa memberi reaksi apa-apa, segera Ting Jun-jiu berkata pula, "Si budak cilik A Ci itu sebenarnya cukup cantik juga, banyak sekali di antara saudara seperguruannya ingin memperistrikan dia. Tapi bila kau menjadi muridku, mengingat jasamu tadi, boleh juga akan kuberikan hak istimewa kepadamu.”

Sudah tentu Goan-ci sangat tertarik oleh janji itu, pikirnya, "Kalau aku melepaskan kesempatan baik ini, tentu aku akan menyesal selama hidup. Betapa pun aku... aku tidak ingin Nona diperistri oleh kawanan manusia rendah mirip binatang seperti mereka ini.”

Terdorong oleh pikiran itu, terus saja ia berlutut dan menyembah, "Suhu, Tecu Yu Goan-ci ingin masuk perguruanmu, mohon Suhu suka menerima.”

"Tapi dalam perguruan kami banyak sekali peraturan-peraturan keras, apakah kau sanggup menaati? Jika diperintah guru, apakah kau menurut dengan sungguh hati?” tanya Ting Jun-jiu.

"Tecu akan taat dan akan tunduk pada segala perintah Suhu,” sahut Goan-ci.

"Andaikan guru hendak mengambil nyawamu apakah kau mau mati dengan rela?” tanya pula Ting Jun-jiu.

"Tentang ini... ini....” Goan-ci menjadi ragu.

"Coba pikir dulu, kalau rela bilang rela, kalau tidak katakan tidak,” ujar Sing-siok Lokoay.

"Kalau bisa aku ingin hidup seribu tahun lagi, sudah tentu aku tidak rela jika kau cabut nyawaku,” demikian Goan-ci membatin. "Walaupun begitu, toh bila perlu kelak aku dapat lari, andaikan tidak dapat lari, biarpun tidak rela juga tak dapat berbuat apa-apa bila dia sudah berkeras akan mencabut nyawaku.”

Karena itu, segera ia menjawab, "Atas segala budi kebaikan Suhu, Tecu rela mati demi Suhu.”

"Bagus, bagus!” seru Ting Jun-jiu dengan tertawa. "Nah, kau boleh bersumpah untuk itu.”

Pikiran Goan-ci tergerak, segera katanya, "Tecu Yu Goan-ci kalau tidak memenuhi janji itu, biarlah kelak akan mati di bawah hukuman Suhu yang mengerikan, boleh dicencang hingga hancur luluh dan mayat tak terkubur.”

Ting Jun-jiu terdiam sekejap, segera ia berkata dengan tertawa, "Kau bocah kepala besi ini licin juga. Kau katakan bila tidak turut perintah guru sudah tentu dihukum mati olehku. Maka sumpahmu ini sama saja seperti tidak diucapkan. Tapi biarlah, asal kau ingat baik-baik janjimu ini. Nah, sekarang coba ceritakan pengalaman selama hidupmu, uraikan sejelas-jelasnya.”

Karena tak dapat menolak, terpaksa Goan-ci menceritakan secara ringkas penghidupannya yang sengsara selama ini, tapi ia tidak mau mencemarkan nama baik ayahnya, maka ia tidak mengaku berasal dari keluarga Yu di Cip-hian-ceng, ia hanya mengaku sebagai anak petani yang diculik oleh orang-orang Cidan, di negeri Liau sana bertemu dengan A Ci, lalu diajak si gadis untuk menangkap ular dan binatang berbisa lainnya.

Ketika Goan-ci bercerita tentang menangkap ulat sutra yang aneh itu, tampak Ting Jun-jiu sangat tertarik dan mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan ia tanya pula keadaan dan bentuk ulat sutra itu dengan teliti. Dari air mukanya tertampak iblis tua itu mengiler sekali kepada ulat sutra yang hebat itu.

Diam-diam Goan-ci membatin, "Suhu ini bukan manusia baik-baik, jika aku ceritakan tentang kitab bahasa Sanskerta yang kuperoleh itu tentu akan dirampas olehnya.”

Sebab itulah ketika Ting Jun-jiu berulang-ulang tanya ilmu aneh apakah yang pernah diyakinkan olehnya, tetap Goan-ci tidak cerita tentang kitab Ih-kin-keng itu.

Ting Jun-jiu sendiri tidak kenal ilmu sakti dalam Ih-kin-keng, maka ia cuma menyangka kepandaian yang terdapat pada diri pemuda bertopi baja itu adalah khasiat dari ulat sutra dingin. Dalam hati ia mencaci maki habis-habisan, "Sungguh sayang, makhluk mestika yang susah dicari itu tanpa sengaja dapat disedot ke dalam tubuh setan ini, benar-benar sangat sayang!”

Dan ketika Goan-ci bercerita tentang Sam-ceng dan akhirnya ditawan ke Siau-lim-si, mendadak Ting Jun-jiu menepuk paha dan berseru, "Hah, jadi Sam-ceng Hwesio mengatakan ulat sutra dingin itu diperoleh dari puncak Kun-lun-san? Itulah bagus! Jika ada satu, tentu ada dua dan tiga. Cuma luas pegunungan Kun-lun itu ada beribu-ribu li, jika tiada penunjuk jalan, tentu ulat dingin itu akan sukar ditangkap.”

Karena ia sendiri tadi sudah merasakan betapa mukjizatnya Han-giok-jan, yaitu racun ulat sutra yang terdapat dalam tubuh Goan-ci ketika mereka saling gebrak, maka ia rasa makhluk kecil itu jauh lebih berharga daripada Pek-giok-giok-ting apa segala. Tentang mencari kembali giok-ting dan membunuh A Ci boleh dikesampingkan dahulu, mendapatkan ulat sutra dingin itu lebih penting.

Maka ia lantas tanya, "Sam-ceng Hwesio itu sekarang masih berada di Siau-lim-si, bukan? Hah, bagus, bagus! Boleh kita suruh dia menunjukkan jalan dan membawa kita ke Kun-lun-san untuk menangkap ulat dingin itu.”

"He, tidak bisa jadi!” kata Goan-ci sambil goyang-goyang kepalanya yang berat itu. "Sam-ceng itu sangat galak, belum tentu dia mau pergi bersama kita. Lagi pula dia sedang menjalani hukuman dan dikurung dalam sebuah kamar batu oleh hwesio di Siau-lim-si sana, dia tidak dapat keluar sesukanya.”

"Hahaha, dia galak? Dia tidak mau pergi bersama kita? Kan aneh?” ujar Ting Jun-jiu dengan tertawa, "Baiklah, mari kita pergi ke Siau-lim-si dan mencari akal untuk mengeluarkan dia dari sana!”

Goan-ci tidak menjawab, ia ragu apakah Sam-ceng dapat dibawa lari begitu saja mengingat di Siau-lim-si tidak sedikit hwesio sakti.

"Kenapa diam saja?” tegur Ting Jun-jiu demi tampak pemuda itu tidak bersuara.

"Tecu khawatir para toahwesio Siau-lim-si itu tidak mau melepaskan Sam-ceng,” sahut Goan-ci.

Biarpun Sing-siok Lokoay suka malang melintang dalam segala hal, tapi terhadap Siau-lim-si betapa pun ia tidak berani memandang ringan. Tapi terdorong oleh keinginan menangkap ulat sutra sakti itu, bahaya apa pun juga akan ditempuhnya.

Ia pikir tidak perlu bertempur dengan para kepala gundul Siau-lim-si, cukup asal diam-diam Sam-ceng Hwesio dibawa lari, kan beres urusannya. Masakah untuk menculik seorang hwesio gendut saja Sing-siok Lokoay tidak mampu?

Tapi Goan-ci masih takut-takut.

"Kau didampingi suhumu, apa yang kau takutkan?” tanya Lokoay.

"Tapi... tapi di Siau-lim-si terdapat juga seorang padri dari Se-ek (benua barat), dia... dia akan membunuhku,” tutur Goan-ci.

"Padri dari Se-ek? Bagaimana ilmu silatnya? Apakah lebih tinggi daripada ke-16 padri Se-ek yang sudah mati ini?” tanya Ting Jun-jiu.

"Tecu tidak tahu,” sahut Goan-ci. "Cuma dia berada dalam tahanan hwesio Siau-lim-si, maka dapat diduga ilmu silatnya tidak terlalu tinggi.”

"Dengan mudah saja ke-16 padri asing ini telah kubinasakan, kalau cuma seorang saja masakah aku takut?” demikian Ting Jun-jiu terbahak-bahak. "Marilah sini, hari ini kau telah mengangkat guru padaku, biar Suhu memberi hadiah perkenalan padamu, nah, tempelkan telingamu ke sini!”

Dengan takut-takut Goan-ci mendekati orang dengan perlahan. Lalu Ting Jun-jiu berbisik di telinganya, "Jika kau bertemu dengan hwesio asing itu, asal dalam hati kau berkata ‘Sing-siok Losian, Sing-siok Losian, lindungilah Tecu, atasi musuh dan rebut kemenangan, satu-tiga-lima-tujuh-sembilan.’ Habis itu pukul sekali di tempat ini, di bahu kirinya, dengan demikian meski gurumu berada betapa jauhnya juga akan mengetahui kesukaranmu dan mengeluarkan ilmu saktinya untuk membantumu. Seterusnya hwesio itu pasti akan sangat menghormat padamu, sedikit pun tidak berani membikin susah lagi padamu. Nah, ini adalah ilmu pertama ajaran gurumu ini, harus kau ingat baik-baik.”

"Apakah di tempat ini?” tanya Goan-ci sambil meraba pundak kiri sendiri.

"Benar,” sahut Ting Jun-jiu. "Dan jangan sekali-kali kau beri tahukan kepada orang lain, sebab ini adalah ilmu mukjizat perguruan kita sendiri. Hendaknya ingat dengan baik kalimat mantra tadi.”

Segera Goan-ci menghafalkan sekali lagi dengan suara perlahan. Ting Jun-jiu mengangguk-angguk, katanya, "Ehm, bagus, ingatanmu ternyata tidak jelek. Ayolah sekarang kita berangkat ke Siau-lim-si!”

Goan-ci tidak berani membantah, segera ia bawa rombongan orang-orang itu menuju Siau-lim-si. Waktu magrib, dari jauh sudah kelihatan bangunan biara yang termasyhur itu.

Ting Jun-jiu berkata kepada para muridnya, "Kalian tidak becus apa-apa, kalau ikut ke sana akan mengganggu malah, maka lebih baik kalian sembunyi saja di hutan sini, hanya A Yu saja yang ikut ke sana bersamaku.”

Para muridnya sama mengiakan, bahkan si hidung singa lantas berkata, "Sesudah Suhu bunuh habis keledai gundul Siau-lim-si itu, harap memberi tanda agar Tecu sekalian segera menyusul ke sana untuk memberi selamat pada Suhu.”

Di luar dugaan Sing-siok Lokoay mendelik padanya, semprotnya, "Selamanya hwesio Siau-lim-si tidak berani mengutik seujung rambut pun Sing-siok-pay kita, tanpa sebab buat apa membunuh mereka?”

Mestinya si hidung singa bermaksud menjilat pantat, tapi keliru alamat hingga dipersen dengan dampratan malah. Keruan ia menyengir dan mengiakan berulang-ulang.

Segera Goan-ci ikut sang suhu menuju ke Siau-lim-si. Berjalan di belakang Ting Jun-jiu, dengan jelas Goan-ci melihat lengan baju kakek itu longgar berkibar tertiup angin, langkahnya gesit dan enteng mirip dewa dalam lukisan saja, mau-tak-mau timbul juga semacam rasa hormatnya.

"Dengan mengangkat guru kepada seorang tokoh seperti ini, sengaja dicari pun mungkin sukar didapatkan. Tentang urusan Nona A Ci segala tak perlu dipersoalkan, yang terang dengan sandaran seorang guru sehebat ini, paling tidak aku takkan takut lagi dianiaya orang.”

Dalam pada itu mereka sudah sampai di jalan besar yang menuju ke atas gunung. Ketika mereka hampir sampai di gardu di luar biara, yaitu gardu yang merupakan ruangan tunggu bagi kaum pengunjung, tiba-tiba mereka mendengar suara derapan kaki kuda dari belakang, dua penunggang tampak datang secepat terbang.

Sebagai orang yang kenyang dihajar orang, demi tampak ada kuda lari datang, segera Goan-ci berkata kepada Sing-siok Lokoay, "Suhu, ada kuda lewat! Suhu!”

Berbareng ia lantas menyingkir ke tepi jalan.

Sebaliknya Ting Jun-jiu anggap sepi saja terhadap apa yang dikatakan Goan-ci itu, ia masih berjalan dengan gaya bebas menurut arahnya sendiri. Maka ketika kedua ekor kuda, seekor hitam dan seekor kuning itu kirakira beberapa meter sampai di belakang Ting Jun-jiu, mendadak kuda-kuda itu menyisih ke samping dan melampauinya dari kanan-kiri.

Tiba-tiba kedua penunggang kuda itu menoleh dan memandang sekejap pada Ting Jun-jiu dan Yu Goan-ci. Ternyata penunggang kuda hitam itu pun berbaju hitam mulus, perawakannya kurus kecil, tapi penuh semangat dan tampak sangat cekatan. Adapun penunggang kuda kuning juga memakai jubah warna kuning, raut mukanya juga sangat kurus, tapi perawakannya jangkung, alisnya panjang, sikapnya agak aneh, usianya lebih tua daripada si baju hitam.

Melihat Goan-ci memakai kerudung besi pada kepalanya, kedua orang itu merasa sangat heran. Tapi segera mereka berpaling kembali, setiba di gardu tunggu, mereka melompat turun dan menambat kuda mereka itu di pilar gardu.

Kemudian si baju kuning mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia angkat kotak itu sambil berseru keras-keras, "Pay-san!”

Siau-lim-si adalah pusat persilatan Tionggoan, maka sepanjang tahun tiada sedikit orang gagah dari segenap lapisan yang datang berkunjung, yaitu apa yang biasa disebut "pay-san” (menyembah gunung). Di sebelah gardu tunggu itu ada sebuah rumah kecil, di situ tinggal Ti-khek-ceng atau hwesio penyambut tamu.

Maka demi mendengar suara tadi, segera padri penerima tamu memapak keluar. Katanya sambil memberi hormat, "Silakan mengaso sebentar tuan tamu. Siauceng bernama Hi-hong, terimalah hormatku.”

Si baju kuning balas menghormat sambil mengucapkan kata-kata merendah. Begitu pula si baju hitam juga memberi hormat.

Pada saat itulah Ting Jun-jiu bersama Goan-ci juga sudah sampai di gardu tunggu itu.

Terdengar Hi-hong, si padri penyambut tamu itu sedang tanya, "Numpang tanya siapakah nama tuan-tuan yang mulia?”

"Kanglam Buyung Hok yang datang pay-san!” sahut si baju kuning.

"Lam Buyung, Pak Kiau Hong”, istilah ini boleh dikata terkenal oleh setiap orang Bu-lim. Maka demi mendengar nama Kanglam Buyung Hok, segera hati Ting Jun-jiu tergetar. Ia coba melirik si baju kuning, dilihatnya orang itu tinggi kurus, melihat air mukanya yang pucat itu orang lebih percaya kalau dia pasti seorang penderita tebese, sungguh tidak sesuai dengan nama "Lam Buyung” yang mahasohor di seluruh jagat itu. Maka diam-diam ia merasa sangsi.

Hi-hong juga terkejut, tanyanya segera, "Jadi... jadi tuan sendiri ini Buyung-kongcu?”

Si baju kuning tersenyum, sahutnya, "Bukan! Aku she Pau, bernama Put-tong!”

Lalu ia tunjuk si baju hitam dan menyambung, "Dan dia ini saudara angkat kami It-tin-hong....”

"Hah, kiranya Hong Po-ok, Hong-siya. Kagum, kagum sekali, sudah lama kami kenal nama Hong-siya!” demikian seru si padri penyambut tamu, Hi-hong, sebelum ucapan Pau Put-tong selesai.

Maka tertawalah si baju hitam yang bukan lain adalah Hong Po-ok itu, katanya, "Apakah Hui-jiu Suhu dari biara kalian baik-baik saja?”

"Baik, Hui-jiu Susiok sangat baik,” sahut Hi-hong. "Beliau sering mengatakan bahwa Hong-siya adalah seorang laki-laki sejati, seorang kesatria dengan ilmu silat yang tinggi, Susiok sudah lama merindukan dirimu.”

"Haha, tempatku ini pernah dipukul sekali oleh dia hingga rasa jarum itu tidak hilang selama sebulan,” kata Hong Po-ok dengan tertawa sambil meraba pundak kirinya. "Tapi punggungnya juga kena kutendang, rasanya tendangan itu juga tidak enteng.”

Lalu tertawalah ketiga orang itu bersama.

Seperti sudah dikenal, Hong Po-ok itu seorang yang tangkas dan suka berkelahi, paling suka mencari onar dan bertengkar, sebab itulah beberapa tahun yang lalu pernah ia berkelahi dengan Hui-jiu Siansu dari Siau-lim-si, kesudahannya seri, sama kuat. Dan dari berkelahi akhirnya kedua orang menjadi sahabat baik malah.

Begitulah, kemudian Hi-hong beralih kepada Ting Jun-jiu dan bertanya, "Dan siapakah she yang mulia Losiansing ini?”

"Aku she Ting,” sahut Sing-siok Lokoay dengan angkuh.

Pada saat itu juga kembali dua penunggang kuda datang dengan cepat, mendengar suara lari kuda itu, Hi-hong menoleh, ia lihat seekor kuda itu berwarna merah cokelat, penunggangnya juga memakai jubah panjang warna merah yang sama, itulah seorang laki-laki gagah dan kekar. Sedang kuda yang lain berwarna hijau kelabu,

penunggangnya juga memakai jubah dengan warna sama.

Sesudah dekat, kedua orang itu melompat turun dari kuda mereka. Maka jelas kelihatan si jubah merah itu bermuka lebar, telinganya besar, usianya sekitar setengah abad, sikapnya yang berwibawa itu mirip seorang pembesar. Sedangkan si baju hijau tua itu adalah seorang siucay (gelar ujian sastra) berusia sedikit lebih muda daripada si baju merah, kedua matanya redup sepat seperti orang kurang tidur.

Segera Hong Po-ok menyapa, "Toako, Jiko, ini Hi-hong Taysu dari Siau-lim-si!”

Lalu ia pun memperkenalkan mereka kepada Hi-hong, "Dan ini adalah Ting-toako kami, Ting Pek-jwan!”

Menyusul ia tunjuk si siucay dan berkata, "Dan yang itu adalah jiko kami, Kongya Kian.”

Hi-hong memberi hormat dan berkata, "Sudah lama kami dengar nama Ting-toaya dan Kongya-jiya yang terhormat, hari ini sudi berkunjung ke biara kami, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami.”

"Ah, Taysu terlalu memuji,” sahut Ting Pek-jwan dan Kongya Kian berbareng.

Mereka hanya bicara satu kalimat saja, tapi suaranya memekak dan mendengung telinga pendengarnya. Kiranya suara Ting Pek-jwan itu sangat lantang, meski bicaranya seperti perlahan saja, tapi sudah cukup memekakkan anak telinga orang lain.

"Sekejap lagi kongcu kami akan tiba, harap Taysu suka melaporkan,” segera Kongya Kian berkata.

"Baik,” sahut Hi-hong. "Silakan kalian tunggu sebentar di sini, segera Siauceng laporkan kepada para Supek dan Susiok agar menyambut kemari.”

"Terima kasih,” kata Ting Pek-jwan sambil melirik ke arah Ting Jun-jiu dan Yu Goan-ci, ia tidak tahu bagaimanakah asal-usul kedua orang ini.

Sementara itu Hi-hong lantas masuk ke Siau-lim-si dengan terburu-buru. Ia tahu belum lama berselang di Siaulim-si telah berkumpul banyak kesatria Tionggoan untuk berunding cara bagaimana menghadapi Buyungkongcu yang serbamahir dalam berbagai macam ilmu silat di dunia ini. Tapi tidak lama berunding lantas terjadi peristiwa Kiau Hong membikin rusuh di Siau-lim-si dan menempur para kesatria di Cip-hian-ceng.

Karena itu, perhatian para kesatria lantas berpindah atas diri "Pak Kiau Hong” hingga dengan sendirinya melupakan "Lam Buyung”, banyak perbuatan keji di dunia Kangouw orang sama menyangka dilakukan oleh "Koh-soh Buyung”, tapi karena peristiwa Kiau Hong itu hingga sebagian tuduhan kepada Lam Buyung itu berpindah atas diri Kiau Hong.

Siapa duga dalam keadaan sekarang inilah tahu-tahu Buyung-kongcu datang di sini, keruan hal ini sama sekali tak tersangka oleh ketua Siau-lim-si, Hian-cu Siansu, dan padri sakti lainnya. Segera Tat-mo-ih Siuco, ketua ruang Tat-mo yaitu Hian-lan Taysu diperintahkan menyambut keluar dengan memimpin 15 orang padri saleh yang lain.

Dari Hi-hong mereka mendapat tahu bahwa empat orang yang dikirim datang lebih dulu oleh Buyung-kongcu itu sangat sopan, tampaknya tidak bermaksud jahat, apalagi Hui-jiu Siansu juga memuji Hong Po-ok adalah seorang kawan sejati, maka Hian-lan dan kawannya tidak membawa senjata apa-apa, mereka yakin dengan nama Buyung-kongcu yang termasyhur, sekalipun ingin mencari perkara ke Siau-lim-si juga tidak mungkin datang-datang lantas main hantam begitu saja....

Sementara itu sesudah Hi-hong pergi melapor akan kedatangan Buyung-kongcu, segera Hong Po-ok bertingkah lagi, sesuai wataknya suka cari onar itu. Dengan keheran-heranan ia lantas mengincar dan mengamat-amati kerudung besi di atas kepala Yu Goan-ci.

Makin dilihat makin tertarik, hingga akhirnya ia mengitari Goan-ci, ia lihat kerudung besi itu dilas dengan sangat rapat, untuk membukanya terang sukar. Melihat tingkahnya itu sungguh ia ingin ketok beberapa kali kerudung besi itu.

Ting Pek-jwan sudah kenal watak saudara angkatnya yang suka cari perkara itu, kalau dicegah malah makin menjadi-jadi, maka ia pun tidak ambil pusing padanya.

Dan sesudah Hong Po-ok mengitar sejenak, tiba-tiba ia menegur Goan-ci, "Hai, Sobat, selamat!”

"Ya, aku... aku selamat, kau pun selamat, sama-sama selamat!” sahut Goan-ci dengan takut-takut demi melihat potongan Hong Po-ok yang tangkas, petantang-petenteng dan agresif itu.

"Eh sobat, apa-apaan kerudung besi yang kau pakai ini?” tanya Hong Po-ok pula. "Aku sudah pernah menjelajahi antero dunia, tapi tidak pernah melihat muka orang semacam dirimu ini.”

Goan-ci merasa malu dan menunduk, sahutnya dengan tak lancar, "Ya, aku... aku sendiri tidak kuasa... tidak berdaya....”

Dasar Hong Po-ok memang berjiwa kesatria, suka membela kaum lemah dan mendobrak segala ketidakadilan. Mendengar ucapan Goan-ci yang mengharukan itu, segera ia tanya, "Siapakah orang yang jahil itu hingga membuat kepalamu sedemikian rupa? Coba katakan, aku orang she Hong justru ingin kenal cecongor orang itu?”

Sembari bicara, berulang ia pun melirik ke arah Sing-siok Lokoay, ia sangka apa yang dikeluhkan Goan-ci itu tentulah perbuatan kakek itu.

Namun Ting Jun-jiu hanya tersenyum-senyum saja sambil balas menatap orang dengan sinar mata yang tajam.

"Bu... bukan perbuatan guruku,” demikian Goan-ci menjelaskan.

"Habis siapa? Orang baik-baik kenapa mesti dikerudung selapis besi seperti ini, apa sih maksudnya? Marilah, biar kulepaskan saja!” habis berkata terus saja Po-ok mencabut sebilah belati yang mengilap tajam, lalu hendak membuka kerudung besi di kepala Goan-ci.

Keruan Goan-ci ketakutan, ia tahu kerudung besi itu sudah lengket dengan kulit dagingnya, kalau dibuka secara paksa, itu berarti akan membahayakan jiwanya. Maka cepatan ia goyang-goyang kedua tangannya sambil berseru, "He, jangan, jangan!”

"Tidak perlu takut,” kata Hong Po-ok. "Belatiku ini memotong besi bagaikan memotong sayur saja, akan kukupas kerudung besi itu dan pasti takkan melukai kulitmu.”

Tapi Goan-ci tetap menolak, "Tidak, jangan!”

"O, apa barangkali kau takut kepada orang yang memasang kerudung ini, ya?” tanya Po-ok. "Jangan khawatir, bila ketemu dia, katakan bahwa It-tin-hong yang menanggalkan kerudungmu ini, karena kau tidak berdaya apaapa, jika dia marah, boleh suruh jahanam itu cari padaku.”

Habis berkata, segera ia pegang tangan kiri Goan-ci.

Melihat belati orang mengilap tajam itu, Goan-ci jadi ketakutan, ia berteriak-teriak, "Suhu! Tolong, Suhu!”

Tapi saat itu Sing-siok Lokoay Ting Jun-jiu lagi enak-enak berjalan santai di luar gardu untuk menikmati pemandangan alam yang indah, terhadap seruan Goan-ci itu ia sengaja pura-pura tidak dengar.

Dalam gugupnya, Goan-ci ingat kepada ilmu membela diri yang pernah diajarkan Ting Jun-jiu, segera ia mengucapkan mantra itu dalam hati, "Sing-siok Losian, Sing-siok Losian, lindungilah muridmu, mengatasi musuh dan rebut kemenangan, satu-tiga-lima-tujuh-sembilan!”

"Plok”, tiba-tiba dengan tangan kanan ia gaplok sekali di belakang bahu kiri Hong Po-ok.

Tak tersangka bahwa tempat yang ditepuknya itu adalah "thian-cong-hiat”, suatu tempat hiat-to penting di punggung orang.

Padahal saat itu Hong Po-ok mencurahkan perhatiannya hendak mengupas kerudung besi Goan-ci, khawatir kalau mengupasnya kurang tepat hingga melukai kepalanya, maka sama sekali tidak menduga akan diserang secara mendadak dari belakang. Bahkan tenaga gaplokan itu kuat luar biasa, tempat yang diarah adalah tempat berbahaya pula di tubuh manusia.

Keruan Hong Po-ok bersuara tertahan sekali, kontan ia roboh terjungkal. Syukur ia seorang cekatan, meski terkena serangan itu, sekuatnya ia masih bertahan, cepat tangan kiri menahan tanah, sekali tolak segera ia lompat bangun, tapi darah segar lantas menyembur juga dari mulutnya.

Tentu saja Ting Pek-jwan, Kongya Kian, dan Pau Put-tong sangat terkejut demi tampak Goan-ci mendadak turun tangan keji dan saudara angkat mereka kecundang, mereka menjadi lebih kaget ketika melihat air muka Hong Po-ok pucat lesi.

Cepat Kongya Kian memegang nadi Hong Po-ok, terasa denyut nadinya sangat cepat dan keras, itulah tanda keracunan hebat. Tergerak pikiran Kongya Kian, segera ia tuding Goan-ci dan memaki, "Anak setan, kiranya kau ini anak murid Sing-siok Lokoay yang celaka itu dan sekali turun tangan lantas melukai orang secara keji!”

Sembari bicara, segera ia keluarkan sebuah botol kecil dan menuang sebiji pil penawar racun dan dijejalkan ke mulut Hong Po-ok.

Sedang Ting Pek-jwan dan Pau Put-tong berbareng melompat maju untuk mengadang di depan Ting Jun-jiu

dan Yu Goan-ci.

Sifat Pau Put-tong yang berangasan sesungguhnya tidak di bawah Hong Po-ok, bahkan ia lebih gapah, lebih agresif dan ngotot tidak mau kalah. Saat itu sudah kumpulkan tenaga pada tangan kiri, kelima jari sudah siap mencengkeram dada Goan-ci.

Syukurlah Pek-jwan keburu mencegahnya, "Nanti dulu, Samte!”

Maka Pau Put-tong sempat menahan serangannya, ia berpaling menanti komando saudara angkat itu lebih lanjut.

Tapi Pek-jwan berkata, "Di sini adalah wilayah kekuasaan Siau-lim-si, siapa yang benar dan salah tentu akan diputuskan oleh Hongtiang di sini secara adil dan bijaksana, kalau kita saling gebrak begini saja, ini berarti tidak mengindahkan orang Siau-lim-si.”

Memang tidak salah pikir Pau Put-tong, kalau dia sembarangan bertempur dengan orang di luar Siau-lim-si, tentu dia akan dituduh memandang enteng kepada tuan rumah. Apalagi Siau-lim-pay sudah mempunyai kesan buruk terhadap "Koh-soh Buyung”, lebih baik dirinya jangan membuat onar lagi. Adapun murid Sing-siok-pay itu tampaknya juga tidak seberapa kepandaiannya, tidak perlu khawatir orang akan dapat melarikan diri.

Pula dilihatnya Ting Jun-jiu itu bermuka muda dan berambut tua, sikapnya berwibawa, terang seorang kosen yang berilmu, meski didengarnya Goan-ci memanggil suhu padanya, tapi tampaknya kakek itu seorang baikbaik dari kalangan cing-pay, tidak mungkin orang dari Sing-siok-pay. Kalau dirinya ngotot terus, bukan mustahil akan membuat runyam urusan Kongcu.

Karena itu perlahan Pau Put-tong menurunkan kembali tangannya. Dalam pada itu Kongya Kian telah memayang Hong Po-ok untuk didudukkan ke lantai, tertampak badan adik angkat itu gemetaran dan gigi gemertukan, menggigil kedinginan seperti orang terjeblos dalam jurang es.

Biasanya Hong Po-ok itu sangat tangkas, entah berapa kali ia terluka dalam pertempuran yang pernah dilakukannya. Biarpun terluka parah biasanya juga dapat ditahannya, sedikit pun tidak mau unjuk kelemahan.

Tapi sekali ini, ia benar-benar tidak berkuasa lagi, selang sejenak bahkan bibirnya juga membiru saking kedinginan, mukanya yang pucat tadi juga bersemu hijau.

Mestinya pil penawar racun milik Kongya Kian itu sangat manjur, tapi sesudah diminum Hong Po-ok, hasilnya

ternyata nihil, sedikit pun tidak memberi reaksi apa-apa.

Keruan Kongya Kian heran dan khawatir, cepat ia periksa pernapasan saudara angkat itu, tapi mendadak tangan terasa ditiup oleh serangkum angin mahadingin dan merasuk tulang. Lekas ia tarik kembali tangannya dan berseru, "Celaka! Mengapa sedemikian lihai dinginnya?”

Ia pikir jika napas yang diembuskan Hong Po-ok itu sudah sedemikian dinginnya, maka racun dingin yang mengeram dalam tubuhnya terang terlebih bukan main dinginnya.

Ia tahu keadaan sudah sangat mendesak, tidak sempat lagi untuk menunggu datangnya padri Siau-lim-si, segera ia berpaling dan menegur Ting Jun-jiu, "Apakah Anda ini guru si orang bertopi besi ini? Saudara angkatku terkena pukulan kejinya, harap suka memberi obat penawarnya.”

Padahal racun yang mengenai Hong Po-ok itu adalah bisa ulat sutra dingin yang dicurahkan dengan lwekang yang diperoleh Goan-ci dari Ih-kin-keng, jangankan Ting Jun-jiu tidak mungkin memiliki obat penawarnya, andaikan punya juga tidak nanti dia mau kasih.

Dalam pada itu Ting Jun-jiu lihat pintu gerbang Siau-lim-si telah dibuka, berpuluh hwesio berbaris keluar berturut-turut, dipandang dari jauh, terlihat tujuh atau delapan orang yang berjalan di depan itu memakai kasa, terang hwesio tua yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Siau-lim-si dan kini keluar hendak menyambut Buyung-kongcu.

Ia pikir jika kawanan hwesio itu sudah datang, untuk meloloskan diri tentu sukar, sebaliknya dengan keluarnya hwesio sebanyak itu, tentu penjagaan dalam biara menjadi kendur dan ada kesempatan baik untuk menyergap dari arah belakang sana untuk menculik Sam-ceng Hwesio.

Karena pikiran itu, segera Sing-siok Lokoay mengebaskan lengan bajunya hingga menjangkitkan serangkum angin keras.

Seketika Ting Pek-jwan dan kawan-kawan merasa sambaran angin itu sangat menusuk mata, segera air mata mereka bercucuran karena terasa pedas dan susah dibuka lagi. Diam-diam mereka mengeluh, "Celaka!”

Mereka tahu lengan baju si kakek itu mengandung bubuk racun yang halus dan ditebarkan dengan lwekang ketika mengebas tadi.

Begitu mereka pikir, tanpa urus musuh lagi segera mereka mengadang di depan Hong Po-ok lebih dulu, sebab khawatir pihak lawan akan turun tangan lebih keji.

Pada saat lain, tiba-tiba Pek-jwan merasa dari samping ada angin berkesiur, tanpa pikir lagi sebelah tangannya menghantam ke depan, maka terdengarlah suara gemuruh, batu pasir berhamburan, kiranya pukulannya tepat mengenai pilar gardu hingga pilar yang cukup besar itu dihantam patah, sebagian gardu itu lantas ambruk hingga genting pecah bertebaran. Ketika mereka membuka mata lagi, sementara itu Ting Jun-jiu dan Yu Goanci sudah menghilang entah ke mana.

Melihat Ting Pek-jwan merusak gardu, padri Siau-lim-si yang hendak menyambut itu mengira dia sengaja cari perkara dan mengacau, semuanya menjadi gusar, dengan langkah cepat mereka memapak ke gardu itu.

Saat itu Ting Pek-jwan dan Pau Put-tong sudah mengejar musuh dari dua jurusan, hanya tinggal Kongya Kian saja yang masih menjaga Hong Po-ok di situ.

Melihat keadaan kedua orang itu, Tat-mo-ih Siuco Hian-lan Taysu lantas tahu ada kejadian luar biasa, segera ia tanya, "Apa yang terjadi, para Sicu?”

"Seorang bocah bertopi besi menghantam sekali pada saudara angkat kami ini, pukulannya berbisa lihai, Toako dan Samte sedang mengejar mereka!” sahut Kongya Kian.

Hian-lan melengak oleh keterangan itu, katanya, "Bocah bertopi besi katamu? Orang itu kan tidak tahu ilmu silat! Bukankah dia pekerja kasar di kebun sayur sana?”

Segera seorang hwesio di sebelahnya mengiakan.

Tengah keadaan masih kacau, tiba-tiba terdengar lagi suara derapan kuda lari dari bawah gunung, kembali seorang penunggang kuda datang dengan cepat.

Seketika Kongya Kian berseri-seri girang, katanya, "Itulah dia Kongcu!”

Tapi demi melihat kuda yang datang itu berwarna hijau muda, air mukanya berubah muram lagi.

Mendengar orang menyebut "kongcu”, segera padri-padri Siau-lim-si itu menduga pasti Buyung-kongcu

sendiri yang datang, maka mereka sama memerhatikan pendatang itu.

Sejenak kemudian, sampailah penunggang kuda itu di depan gardu. Ternyata penunggang kuda ini seorang gadis cilik berbaju warna hijau muda. Setelah dia melompat turun dari kuda kelihatan tubuhnya langsing, potongannya menggiurkan.

Melihat Kongya Kian, cepat gadis itu berseru, "Jiko, apakah Enci A Cu berada di sini?”

Kiranya gadis cilik yang cantik ini adalah dayang Buyung-kongcu, yaitu pemilik Khim-im-siau-tiok, A Pik adanya.

Tempo hari waktu A Cu berpisah dengan dia dan menyamar sebagai hwesio untuk mencuri kitab ke Siau-limsi, sudah sekian lama A Cu belum kembali sehingga A Pik sangat khawatir, setiap hari ia mendesak agar Buyung Hok suka mencari A Cu.

Tapi karena Buyung Hok sendiri lagi banyak urusan, ia tidak ingin bercekcok dengan Siau-lim-pay hanya karena membela seorang pelayan nakal. Dan sesudah tertunda sekian lama, mau-tak-mau ia khawatir juga atas keselamatan A Cu, pula setiap hari direcoki oleh A Pik, akhirnya terpaksa ia bawa penggawa-penggawanya datang ke Siau-lim-si.

Kongya Kian tidak menjawab pertanyaan A Pik tadi, sebaliknya ia berseru, "Di manakah Kongcu? Di mana beliau?”

Dengar suara orang yang khawatir dan cemas itu, segera A Pik memburu ke dalam gardu dan berkata, "Di tengah jalan Kongcu melihat seorang hwesio sedang menguber seorang nona, beliau ingin menolong gadis itu untuk membela keadilan, maka aku disuruh berangkat ke sini dulu dan beliau akan segera menyusul.... He, Siko, kenapa engkau?” demikian dengan terkejut ia memburu ke samping Hong Po-ok, ia lihat rambut Hongsiko itu sudah berubah karena terbeku selapis es yang tipis.

Segera A Pik bermaksud menjamah tangan Hong Po-ok, tapi dicegah Kongya Kian dengan berkata, "Site terkena racun yang jahat, jangan kau sentuh dia.”

Di antara penggawa Buyung-kongcu, yaitu Ting Pek-jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong, Hong Po-ok, A Cu, dan A Pik, biasanya mereka saling sebut sebagai kakak dan adik, hubungan mereka melebihi saudara sekandung. Maka demi mendengar siko mereka keracunan, A Pik gusar dan terkejut. Seketika ia melototi hwesio-hwesio Siau-lim-si dan berkata, "Apakah kawanan toahwesio ini yang mencelakai Siko? Hei, Toahwesio, lekas serahkan obat penawarnya untuk menolong Siko!”

Tapi Kongya Kian lantas berkata, "Bukan perbuatan mereka!”

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara genta di Siau-lim-si ditabuh bertalu-talu, seketika air muka para hwesio itu berubah.

Bunyi genta yang keras dan gencar itu tak diketahui apa maksudnya oleh Kongya Kian dan A Pik, tapi mereka dapat menduga pasti di biara itu terjadi sesuatu yang gawat.

Maka tertampaklah dari pintu samping Siau-lim-si berlari keluar dua hwesio berjubah kelabu dan menuju ke arah gardu tunggu. Ginkang kedua hwesio itu sangat hebat hingga dalam sekejap saja mereka sudah sampai di depan gardu, segera seorang di antaranya memberi hormat kepada Hian-lan dan berkata, "Lapor Supek, belakang gunung kemasukan musuh. Hian-thong Supek telah terluka!”

Hian-lan mengangguk-angguk tanda tahu, segera ia tanya, "Musuh ada berapa orang? Bagaimana macamnya?”

Ia tanya dengan sikap tenang, tapi sebenarnya sangat terperanjat atas kekuatan musuh, sebab Hian-thong terhitung salah satu jago terkemuka angkatan "Hian” dalam Siau-lim-si, yaitu angkatan yang tertua, betapa lihainya musuh juga Hian-thong mampu melawannya dalam waktu tertentu, siapa duga datang-datang musuh lantas dapat melukainya, hal ini benar-benar sangat luar biasa.

Maka padri tadi melapor lagi, "Entah berjumlah berapa orang musuh itu, juga tak diketahui bagaimana macam mereka.”

Hian-lan berkerut kening dan melirik sekejap ke arah Kongya Kian. Dalam hati ia menduga itu pasti siasat komplotan Koh-soh Buyung yang sengaja hendak menyergap Siau-lim-si dan orang yang sekali gebrak melukai Hian-thong itu pasti Buyung Hok sendiri.

Namun saat itu Kongya Kian lagi sibuk mengawasi keadaan Hong Po-ok, maka ia tidak memerhatikan sikap Hian-lan yang mencurigai pihaknya.

Dalam pada itu para hwesio yang berada di situ sudah lantas terpencar hingga Kongya Kian bertiga terkepung di tengah.

Keluarnya padri-padri Siau-lim-si secara besar-besaran itu adalah ingin menyambut kedatangan Buyung Hok, tapi yang akan disambut tidak kelihatan batang hidungnya, hal ini memang sudah menimbulkan rasa curiga mereka, kini mendengar pula suara genta tanda bahaya dan diketahui pula Hian-thong dilukai musuh, sudah tentu mereka menaruh tuduhan keras kepada orang-orangnya Buyung Hok.

Sementara itu suara genta tadi mendadak berhenti, lalu seorang hwesio berlari datang memberi lapor lagi, "Di belakang biara dipergoki dua orang, seorang mengaku she Ting, katanya bawahan Buyung-si dari Koh-soh, seorang lagi menggeletak terluka, sedangkan musuh sudah lari entah ke mana!”

Keruan Kongya Kian terkejut, cepat ia tanya, "Siapakah yang terluka itu? Apakah seorang laki-laki kurus berbaju kuning?”

Hwesio yang melapor itu tidak menjawab pertanyaannya, tapi sinar matanya penuh mengunjuk rasa waspada terhadap musuh, dan dari air mukanya itu dapat terlihat nyata bahwa orang yang terluka itu memang betul seorang lelaki berbaju kuning, yaitu Pau Put-tong.

Sudah tentu Kongya Kian sangat khawatir, tapi demi teringat Hong Po-ok juga terluka, terang dirinya tidak dapat tinggal pergi. Mengenai samte yang juga terluka itu, rasanya takkan beralangan karena didampingi oleh sang toako.

Melihat Kongya Kian tiada maksud jahat dan A Pik juga seorang gadis jelita yang lemah lembut dan tidak membahayakan, maka berkatalah Hian-lan, "Apakah Buyung-kongcu akan segera tiba? Kami siap menyambutnya dengan hormat!”

"Terima kasih,” sahut A Pik sambil memberi hormat. "Cuma baru saja di tengah jalan Kongcu melihat seorang hwesio jahat sedang menguber seorang nona, maka beliau telah tampil untuk menolongnya, terpaksa kedatangan beliau akan sedikit terlambat....”

Hian-lan merasa kurang senang, katanya, "Para padri biara kami biasanya sangat prihatin dan sopan, mana mungkin ada yang membikin susah kaum wanita? Apa yang dikatakan Nona barusan kuanggap saja sebagai ucapan anak kecil, lain kali kalau bicara hendaknya hati-hati.”

Jilid 49
"Tapi... tapi memang betul begitu,” ujar A Pik gugup, "dan... dan hwesio itu kan belum tentu dari Siau-lim-si sini.”

"Berpuluh li di sekitar Siau-sit-san ini setiap hwesio tentu ada sangkut pautnya dengan biara kami, tapi nona bicara....” sebenarnya ia hendak mendamprat A Pik, tapi melihat kelemahlembutannya, ia jadi tidak tega dan urung melanjutkan ucapannya.

Sesudah termenung sejenak, ia menduga kedatangan Buyung Hok pasti tidak mengandung maksud baik, tidak perlu ditunggu lagi, maka katanya pula, "Silakan kalian bertiga mengaso dulu ke dalam biara kami untuk menantikan datangnya Buyung-kongcu.”

Dengan ucapan itu, maksudnya adalah untuk menahan Kongya Kian bertiga secara halus, jika Kongya Kian menolak undangan itu, boleh jadi terpaksa akan dipakai kekerasan.

Tak terduga Kongya Kian terus menerimanya dengan baik, katanya, "Terima kasih, kami terpaksa mesti membikin repot Taysu sekalian!”

Lalu ia pondong Hong Po-ok dan mendahului melangkah ke pintu biara dengan cepat.

Sambil berjalan A Pik bertanya juga kepada padri yang melapor tadi, "Thaysuhu, luka samko kami itu berat atau tidak? Yaitu lelaki kurus berbaju kuning yang kumaksudkan. Bagaimana keadaan lukanya, apakah... apakah kawanmu yang melukainya?”

Waktu itu semua orang sedang berjalan dengan langkah cepat, apalagi Hian-lan masih berada di situ, sebenarnya hwesio itu tidak berani bicara, cuma A Pik bertanya dengan ramah tamah, ucapannya enak didengar, hingga mau-tidak-mau hwesio itu menjawabnya dengan suara perlahan, "Sicu berbaju kuning itu....”

Sampai di sini ia tuding Hong Po-ok dan melanjutkan, "lukanya serupa dengan tuan ini, dan bukan kami yang menyerangnya.”

Tapi sesudah merandek sejenak, kembali ia berkata, "Agaknya... agaknya orang dari sia-pay yang

menyerangnya.”

Lalu ia pun berpaling dan berkata kepada Hian-lan lagi, "Luka yang dialami Hian-thong Supek itu pun sama seperti mereka.”

Hian-lan melengak kaget. "Jadi Hian-thong Sute juga kedinginan dari menggigil seperti ini?” tanyanya cepat.

"Betul,” sahut hwesio itu.

Hian-lan terheran-heran. Ia bergumam sambil berpikir, "Jadi luka mereka bertiga serupa?”

"Badan Hian-thong Supek terasa dingin sebagai es, maka Hongtiang telah menyalurkan Kim-kong-ciang-lik (tenaga sakti) untuk menolongnya, tapi belum lagi sembuh,” tutur hwesio itu.

Mendengar ucapan "belum lagi sembuh” itu nadanya tidak meyakinkan, segera Hian-lan dapat menduga bahwa murid keponakan itu tidak ingin unjuk kelemahan di hadapan orang luar, maka cuma mengatakan "belum lagi sembuh,” padahal yang benar adalah "sama sekali tidak manjur.”

Hian-lan sudah menyaksikan penderitaan Hong Po-ok akibat serangan racun dingin itu, lalu ia khawatir juga atas diri sang sute, tanpa bicara lagi mendadak ia melayang ke depan, begitu cepat hingga dalam sekejap saja hanya tertampak bayangan merah menyelinap hilang di balik pintu sana.

"Kepandaian yang hebat!” diam-diam Kongya Kian memuji dan tercengang oleh ginkang padri tua itu.

Setelah rombongan mereka sampai ruangan tamu di samping pendopo Tay-hiong-po-tian, karena padri Siaulim-si memandang Kongya Kian bertiga pasti adalah musuh mereka, maka sikap mereka agak kurang hormat, cuma demi kehormatan mereka sebagai tuan rumah yang ternama, mau-tak-mau mereka menyilakan duduk dan menyuguhkan minuman kepada para tamu.

"Di manakah saudara angkat kami yang terluka itu? Di mana dia?” demikian Kongya Kian lantas tanya dengan tak sabar.

Tiba-tiba dari ruangan belakang ada suara sahutan orang yang keras lantang, "Jite, aku berada di sini! Samte juga kena serangan musuh secara keji!”

Menyusul tertampaklah Ting Pek-jwan masuk ruangan tamu dengan memondong Pau Put-tong, mukanya tampak muram sedih, kemudian Pau Put-tong diletakkannya di kursi.

Segera Kongya Kian menuang tiga butir pil penawar racun dan dijejalkan ke mulut Pau Put-tong.

"Wah, Thi-thau-siaucu (Si Bocah Kepala Besi) itu benar-benar sang... sangat aneh, aku... aku kena....” baru sekian Pau Put-tong bicara atau giginya lantas gemertukan karena menggigil kedinginan hingga tidak sanggup meneruskan.

Segera A Pik mengeluarkan saputangan untuk mengusap keringat di kening kedua saudara angkat itu, tapi lantas diketahuinya bahwa dalam sekejap saja butiran keringat itu sudah membeku menjadi es.

Tengah A Pik merasa bingung dan heran, sementara itu dari ruangan belakang telah masuk empat hwesio tua. Seorang di antaranya lantas berkata kepada Pek-jwan, "Ting-sicu, Hian-thong Suheng kami juga dilukai oleh Thi-thau-jin itu, ilmu sihir bocah itu memang sangat lihai, maka Hongtiang bilang agar kedua saudara angkat tuan yang juga terluka itu harap minum dulu ‘Cing-gi-liok-yang-tan’ buatan biara kami, lalu kami akan memberi bantuan tenaga pula dengan ‘Sun-yang-lo-han-kang’.”

Sungguh girang Ting Pek-jwan tidak kepalang. Ia tahu obat Cing-gi-liok-yang-tan itu adalah obat mujarab Siau-lim-si yang terkenal di seluruh jagat, untuk menyembuhkan racun dingin khasiatnya boleh dikata "cespleng”, sekali minum obat itu pasti akan sembuh.

Sedangkan "Sun-yang-lo-han-kang” adalah semacam lwekang khas yang cuma dimiliki oleh orang Siau-lim-si. Orang yang meyakinkan Sun-yang-lo-han-kang harus masih jejaka, dan sedikitnya harus melatih diri dengan giat selama 40-50 tahun untuk bisa mencapai tingkatan yang sempurna.

Pada umumnya orang yang dapat meyakinkan Sun-yang-lo-han-kang itu adalah padri Siau-lim-si yang menjadi hwesio sejak kanak-kanak hingga tua, makanya masih bertubuh jejaka. Kalau orang biasa yang sudah pernah kawin pasti takkan jadi meyakinkan ilmu sakti itu.

Tahu akan betapa hebatnya lwekang itu, segera Ting Pek-jwan dan Kongya Kian menyatakan terima kasih.

Lalu hwesio tua itu mengeluarkan dua butir pil sebesar biji kelengkeng, warnanya merah tua dan diminumkan kepada Pau Put-tong dan Hong Po-ok. Keempat hwesio tua itu terbagi dalam dua kelompok, dua orang melayani seorang, segera mereka gunakan telapak tangan masing-masing untuk menahan bagian dada dan

punggung Pau Put-tong dan Hong Po-ok, mereka menyalurkan lwekang murni ke tubuh penderita.

Selang agak lama, rasa menggigil dingin Pau Put-tong dan Hong Po-ok lantas berhenti, air muka mereka yang pucat kehijau-hijauan itu pun hilang lambat laun.

Akhirnya keempat hwesio tua itu menarik kembali tangan masing-masing. Hwesio yang menjadi tertua tadi berkata, "Kedua Sicu sekarang tak beralangan lagi!”

"Terima kasih atas pertolongan para Taysu, Buyung-kongcu dan kami sekalian merasa utang budi,” kata Ting Pek-jwan dengan rendah hati.

"Ah, hanya urusan kecil saja kenapa mesti dipersoalkan?” sahut si padri tua.

Sebaliknya Pau Put-tong merasa penasaran meski sudah ditolong, omelnya, "Huh, terima kasih? Kita dilukai oleh pekerja kasar di biara ini, ayolah kita mencari ketua mereka untuk membikin perhitungan.”

Pek-jwan kenal perangai saudara angkatnya yang berangasan dan suka ngotot itu, tidak peduli apa yang dikatakan orang, tentu dia debat dan bantah menurut pendiriannya. Apalagi menurut pembicaraan padri Siaulim-si tadi, katanya bocah bertopi besi itu memang betul adalah pekerja kasar biara mereka sendiri. Jika begitu, apa yang dikatakan Put-tong itu juga bukan tiada beralasan sama sekali. Namun apa pun juga orang sudah menyembuhkan lukanya yang parah tadi, patut juga kalau menyatakan rasa terima kasih kepada mereka.

Maka dengan tertawa Pek-jwan berkata kepada hwesio tua, "Maaf Taysu, saudara kami ini memang demikian wataknya, suka ribut dengan siapa pun juga....”

Belum selesai ia berkata, tertampak Ti-khek-ceng Hi-hong masuk ke situ dan berkata, "Hongtiang mengundang tuan-tuan ke sana!”

Segera Pek-jwan berlima ikut para padri itu menuju ke belakang, lalu keluar biara induk dan menuju ke suatu rumah samping di sebelah barat.

Biasanya hongtiang atau ketua Siau-lim-si kalau menemui tetamu tentu diadakan di ruangan resmi dalam biara induk mereka, tapi sekali ini telah pindah ke rumah samping.

Pek-jwan saling pandang sekejap dengan Kongya Kian, mereka tahu hal ini disebabkan ikut hadirnya A Pik. Sebab selamanya kaum wanita dilarang masuk ke Siau-lim-si, tapi demi menghormati tetamunya, hongtiang mau juga menerima A Pik dan mengalah menemui mereka di ruangan samping. Hal ini boleh dikata suatu kehormatan besar bagi para penggawa Buyung Hok itu.

Sesudah Hi-hong membawa para tamunya masuk ke rumah itu, maka tertampaklah di situ sudah duduk lima hwesio tua. Seorang yang duduk di tengah beralis putih panjang, berwajah welas asih. Segera hwesio tua itu berbangkit menyambut kedatangan tetamunya.

Pek-jwan tahu hwesio itu adalah Hian-cu Taysu, ketua Siau-lim-si yang termasyhur di seluruh jagat itu, cepat ia melangkah maju dan memberi hormat.

Hanya Pau Put-tong saja meski ikut juga memberi hormat, tapi ia mengomel, katanya Siau-lim-si adalah bengbun-cing-pay (aliran suci dan golongan ternama), tapi dalam biara ternyata ada orang yang mahir menggunakan segala macam ilmu sesat yang jahat, kalau tersiar, tentu Siau-lim-si akan ditertawai kesatria seluruh jagat, dan macam-macam gerundelan lagi.

Hian-lan duduk di ujung pinggir, ia dapat mendengar omelan Pau Put-tong itu, seketika ia menarik muka, ia tuding seorang tua yang berperawakan tinggi besar tapi lesu, katanya, "Hian-thong Sute kami juga kena serangan musuh. Penjahat itu sengaja dikirim oleh orang sia-pay untuk memata-matai Siau-lim-si kami, kenapa kami yang disalahkan?”

Lalu ia berpaling kepada Hi-hong dan berkata pula, "Lekas panggil Sam-ceng, asal-usul Thi-thau-jin itu harus ditanya secara jelas, mengapa sampai dia dapat menyelundup ke dalam biara kita?”

"Lapor Susiokco, Sam-ceng telah dibawa lari orang,” tutur Hi-hong. "Serangan mendadak kawanan penjahat sekali ini agaknya memang bertujuan hendak menolong Sam-ceng.”

Seketika air muka Hian-lan berubah, ia termenung tanpa bicara lagi.

"Sam-ceng sedang dihukum dalam Ciam-hwe-pang, ketika penjahat menyerbu masuk, Hian-thong Susiokco telah berusaha merintangi, dan karena itulah beliau dilukai musuh,” demikian tutur Hi-hong pula.

Sinar mata Hian-lan beralih ke arah Hian-thong dengan penuh tanda tanya.

Segera berceritalah Hian-thong, "Ketika aku lalu di belakang Kay-lut-ih, kebetulan kulihat seorang kakek bermuka merah dan berambut putih sedang berlari keluar sambil menggendong Sam-ceng. Melihat gelagat yang mencurigakan itu, segera aku menegurnya. Tapi mendadak kakek itu melontarkan pukulan ke arahku. Cepat aku menangkis, tak terduga tenaga pukulan kakek itu ternyata sangat aneh, telapak tangannya seperti timbul daya sedot hingga tenaga dalamku terbetot melalui telapak tanganku yang beradu dengan tangannya itu....”

Seketika air muka Hian-lan bertambah gelisah, katanya, "Hah, apakah itu Hoa-kang-sia-sut (Ilmu Pemunah Tenaga) dari Sing-siok-pay?”

"Tatkala itu aku pun berpikir demikian,” kata Hian-thong, "maka lekas kukerahkan tenaga untuk melawannya. Tiba-tiba kakek itu membentak, ‘Lekas turun tangan!’ Dan tahu-tahu seorang mendekati punggungku, tanpa terasakan angin pukulan apa-apa, tahu-tahu bahu kiriku belakang kena digaplok sekali. Pukulan itu menimbulkan rasa dingin yang merasuk tulang dan susah ditahan. Ketika aku menoleh, kiranya yang menyerangku itu adalah Thi-thau-jin yang bekerja dalam biara kita itu.... Kukira... kukira Thi-thau-jin itu mungkin... ooohh!” sampai di sini mendadak tubuhnya tergeliat dan giginya gemertukan.

Dan pada saat itu pula Pau Put-tong dan Hong Po-ok juga kumat racun dingin yang mengeram dalam tubuh mereka. Saking tak tahan kaki mereka jadi lemas dan terkulai ke lantai, cepat mereka mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk bertahan sedapatnya.

Pau Put-tong dan Hong Po-ok adalah dua tokoh ternama dalam Bu-lim, biasanya mereka sangat menjaga harga diri, apalagi watak mereka memang angkuh dan tidak sembarangan mau mengaku kalah, kalau tidak terpaksa tidak nanti mereka mau berlaku sesuatu yang memalukan di hadapan padri Siau-lim-si seperti sekarang ini.

Dan selagi semua orang terperanjat oleh kejadian mendadak itu, di sebelah sana Hian-thong lantas memberosot juga ke lantai dari tempat duduknya.

Dengan demikian, mau-tak-mau Hian-cu Hongtiang ikut terkesiap. Ia tahu "Cing-gi-liok-yang-tan” buatan Siau-lim-si mereka adalah semacam obat mujarab yang khusus dapat menyembuhkan keracunan apa pun, ditambah lagi bantuan tenaga murni "Sun-yang-lo-han-kang” para hwesio tua yang berbadan jejaka tadi, sekalipun racun dingin dalam tubuh penderita seketika tidak punah semua, paling tidak juga dapat mencegahnya untuk sementara agar dalam waktu singkat racun dingin itu tidak kumat lagi.

Dengan sendirinya beberapa hwesio tua tadi juga ikut heran dan kehilangan muka. Segera mereka mengulangi lagi membantu dengan lwekang sakti dan sesudah sekian lama barulah ketiga orang itu terhindar dari siksaan racun dingin itu.

"Lohongtiang,” tiba-tiba A Pik membuka suara, "apakah Enci A Cu berbuat sesuatu kesalahan di biara sini

hingga kalian mengurungnya sekian lamanya? Kumohon dengan sangat agar sudilah membebaskan dia,” habis berkata, ia memberi hormat dengan sungguh-sungguh.

Hian-cu menjadi bingung, cepat ia membalas hormat dan balas tanya, "Harap nona jangan banyak memakai peradatan. Kau bilang siapa yang kami kurung di sini?”

"A Cu, Enci A Cu,” A Pik menegaskan. "Dia masih sangat muda dan suka sembrono, hendaknya para Suhu dapat memaafkan dia. Sebenarnya aku sudah mohon pada Kongcuya agar suka mengirim surat untuk minta maaf pada Hongtiang atas kesalahan A Cu itu, tapi Kongcu bilang Enci A Cu terlalu nakal, kalau diberi sedikit hukuman oleh para Thaysuhu juga pantas, maka beliau sengaja menunggu setelah A Cu merasakan sedikit kegetiran barulah sekarang beliau berkunjung kemari untuk minta maaf sendiri pada kalian.”

Uraian A Pik itu lancar dan enak didengar, tetapi para hwesio tua itu hanya saling pandang saja, sebab tidak tahu duduknya perkara yang dimaksudkan.

Seperti diketahui, A Cu yang nakal itu telah menyelundup ke Siau-lim-si dengan menyamar sebagai hwesio dan berhasil mencuri kitab Ih-kin-keng edisi aslinya dalam bahasa Hindu kuno. Tapi dia dipergoki oleh Hiancu Hongtiang hingga terkena pukulan sakti "Tay-pan-yak-kim-kong-ciang” yang hebat itu, untung dia ditolong oleh Siau Hong hingga cuma menderita luka dalam saja, tapi jiwanya tidak sampai melayang.

Ketika Hian-cu menyerang A Cu, sudah tentu ia tidak tahu bahwa hwesio gadungan itu adalah samaran seorang gadis cilik yang bernama A Cu segala.

Kemudian waktu Siau Hong membawa A Cu ke Cip-hian-ceng untuk minta obat pada Sih-sin-ih di sana A Cu berdusta bahwa dia kena dilukai oleh seorang kongcu muda, meski Hian-cit dan Hian-lan tatkala itu juga hadir di Cip-hian-ceng, tapi sekali-kali mereka tidak menyangka bahwa A Cu adalah "hwesio” yang mencuri kitab pusaka mereka dan kena serangan Hian-cu Hongtiang.

Sebab itulah, maka Hian-cu menjadi bingung demi mendengar uraian A Pik yang tak diketahui ujung pangkalnya itu. Padahal di dunia ini yang tahu betul duduk perkaranya hanya Siau Hong seorang.

Begitulah, maka Hian-cu menjawab dengan ramah, "Mungkin kabar bohong yang didengar nona tentang kawanmu ditahan dalam biara kami. Sebagai tempat suci yang bersejarah beribu tahun, tidak nanti ada anak murid kami berani berbuat sewenang-wenang.”

"Aku tidak menuduh kalian berbuat jahat, tapi kukira Enci A Cu yang nakal itulah yang berbuat sesuatu kesalahan pada kalian, sebab itulah hari ini Kongcu sendiri akan datang kemari untuk minta maaf,” demikian

sahut A Pik. "Nah, sekali lagi kumohon kemurahan hati Hongtiang, sudilah membebaskan Enci A Cu.”

Ia lihat muka Hian-cu welas asih, sebaliknya Hian-lan berwajah kereng, ia menduga mungkin ada hwesio tua lain sengaja mempersulit pembebasan A Cu itu, maka segera ia berlutut untuk menjura juga kepada Hian-cit, Hian-lan, Hian-thong dan lain-lain.

Tapi mendadak Hian-lan mengebas lengan bajunya, kontan suatu arus tenaga halus tapi mahakuat, menolak ke depan hingga tubuh A Pik tertahan dan tidak dapat berlutut.

Kepandaian Hian-lan itu disebut "Siu-li-kian-gun” atau Jagat Dalam Lengan Baju, adalah ilmu yang tiada bandingannya dari Siau-lim-pay. Keruan A Pik terperanjat juga melihat betapa hebat kepandaian hwesio tua itu.

Dalam pada itu Hian-lan telah berkata, "Menurut peraturan Siau-lim-si, selama ini kami tidak menerima tamu wanita. Tentang Enci nona itu jangankan kami tidak berani menahannya di sini, bahkan masuk ke sini pasti akan kami tolak. Adapun ruangan ini sudah di luar lingkungan biara induk kami, demi nona, maka Hongtiang mau menemui kalian di sini.”

Karena jawaban orang yang sungguh-sungguh itu, A Pik merasa sedih, katanya dengan mewek-mewek, "Jika begitu ke manakah perginya Enci A Cu? Tempo hari dia katakan padaku akan datang ke Siau-lim-si.”

Paras A Pik cantik molek, tutur katanya lemah lembut, berlainan dengan A Cu yang lincah dan nakal. Para padri Siau-lim-si itu sudah tirakat sedikitnya berpuluh tahun lamanya, semuanya sudah jauh daripada rasa hubungan sanak keluarga, tapi kini demi mendengar ucapan A Pik yang merawan hati itu, mau tak mau dalam hati kecil para hwesio tua itu timbul semacam rasa welas asih dan memandang gadis cilik di hadapan mereka itu seakan-akan putri atau cucu perempuan sendiri.

Maka berkatalah Hian-cit akhirnya, "Hi-hong, boleh kau minta Hui-gwat Supek dari ‘Sian-yan-tong’ supaya menyelidiki di mana beradanya enci nona ini, sesudah diperoleh kabarnya supaya segera memberitahukan Buyung-kongcu di Koh-soh.”

Ting Pek-jwan dan A Pik tahu ‘Sian-yan-tong’ (Ruang Penghubung Luar) adalah bagian yang mengurus semua dengan para kesatria Kangouw. Jika Hian-cit sudah memberi perintah begitu, terang A Cu memang betul tidak pernah datang ke Siau-lim-si. Dan sekali Siau-lim-si sudah mau bantu mencari, dengan hubungannya yang luas dengan orang Kangouw, rasanya tidak lama tentu dapat diperoleh kabarnya A Cu. Maka Pek-jwan dan A Pik sama mengucapkan terima kasih.

Kemudian menjadi giliran Pau Put-tong untuk ditanya pengalamannya waktu diserang musuh. Maka dengan mata melotot Put-tong menutur, "Adapun pengalamanku sama saja seperti apa yang dialami Hian-thong Taysu. Sekalipun nama baik keluarga Buyung Koh-soh hari ini jatuh habis-habisan, tapi pamor para padri sakti Siaulim-si hari ini juga ikut luntur, jadi setali tiga uang, satu nasib sama menderita, tidak perlu kita saling tanya segala.”

Dengan penasaran dan gemas Hong Po-ok ikut bersuara, "Belum berkelahi apa-apa sudah lantas terluka, benarbenar aku penasaran dan tidak puas. Jika sudah bertempur lebih dulu 300 jurus dan akhirnya dirobohkan Thithau-jin itu, dengan begitu baru aku tunduk dan rela.”

Lalu beramai-ramai semua orang sama membicarakan asal-usul Yu Goan-ci. Semua orang berpendapat lwekang orang bertopi besi itu tergolong cing-pay murni, tetapi racun dingin pukulannya itu terlalu jahat dan terang dari aliran sia-pay.

Jadi dalam kepandaiannya yang jahat itu juga ada dasar lwekang dari aliran baik, hal ini menimbulkan kesangsian apakah betul dia anak murid Sing-siok-pay?

"Huh, peduli apakah dia berasal dari kaum cing-pay atau sia-pay,” demikian Put-tong menjengek, "yang terang tenaga pukulannya itu berbeda tidak jauh daripada ‘Tat-mo-sin-ciang’ Siau-lim-pay kalian.”

Hian-cu saling pandang sekejap dengan Hian-lan, Hian-cit dan Hian-thong, mereka bungkam saja tanpa menjawab. Memang dalam hati mereka juga sudah memikirkan hal itu. Tenaga pukulan yang digunakan Thithau-jin itu memang mirip "Tat-mo-sin-ciang”, bahkan boleh dikata memang Tat-mo-sin-ciang. Cuma saja di hadapan orang luar, sejak tadi mereka tidak enak untuk membicarakannya.

Kini secara blakblakan Pau Put-tong menunjukkan hal itu, betapa pun padri-padri itu menjadi tidak enak buat membantah. Hanya dalam hati mereka berpikir, "Urusan ini agak ruwet, rasanya sergapan secara mendadak ini tidak melulu dilakukan oleh kaum siluman dari Sing-siok-pay saja.”

Agar Pau Put-tong tidak mendesak terus tentang Tat-mo-sin-ciang itu, segera Hian-lan bertanya kepada Pekjwan, "Ting-sicu, apakah Buyung-kongcu segera akan datang? Sekarang kita berdua pihak sedang menghadapi musuh yang sama, kita harus bersatu untuk melawannya. Jika Buyung-kongcu sudah tiba, tentu beliau akan dapat memberi pandangan luas untuk menghilangkan kesangsian kita.”

Pek-jwan tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia memandang pada A Pik.

Maka berkatalah A Pik, "Sudah kukatakan tadi bahwa di tengah jalan Kongcu teralang oleh karena ingin

menolong seorang nona yang sedang diuber-uber seorang hwesio. Nona itu memakai kerudung kain hitam, perawakannya langsing, ilmu silatnya juga tidak lemah, cuma hwesio yang mengubernya itu jauh lebih lihai, dari jauh kulihat hwesio itu seperti Hoat-ong dari negeri Turfan bernama Tay-lun-beng-ong Ciumoti....”

"Hah, Tay-lun-beng-ong dari negeri Turfan datang ke Tionggoan sini?” seru Hian-cit dan Hian-lan berbareng dengan terkejut.

"Begitulah menurut pengakuannya, apakah betul atau tidak, aku pun tidak tahu,” sahut A Pik. "Mereka lari cepat sekali hingga aku tidak jelas melihatnya. Kongcu lantas suruh aku berangkat dulu ke sini dan beliau lantas mengejar ke sana.”

Mendengar jawaban itu, Hian-cu dan Hian-cit kembali saling pandang sekejap lagi. Pikir mereka, "Jika benar Tay-lun-beng-ong Ciumoti dari Turfan telah datang ke Tionggoan, maka akan makin banyaklah keonaran di dunia persilatan. Apakah mungkin Thi-thau-jin ini ada hubungannya dengan Ciumoti? Ilmu silat kalangan Buddha di Turfan juga berasal dari Thian-tiok, kalau mereka mahir Tat-mo-sin-ciang juga tidak mengherankan.”

Walaupun dugaannya itu sama sekali salah, tapi toh masuk akal juga hingga sementara ini dapat membebaskan mereka dari rasa curiga yang tak terjawab.

Lalu Hian-cu berkata, "Para tamu datang dari jauh, harap Hian-cit Sute mewakilkan aku melayani mereka dengan baik, kita akan tunggu kedatangan Buyung-kongcu untuk berunding lebih jauh.”

Dalam hati para hwesio Siau-lim-si itu sebenarnya paling khawatir terhadap Buyung-kongcu. Tahun yang lalu mereka pernah mengundang para kesatria seluruh negeri untuk berunding cara menghadapi Koh-soh Buyung, tapi berhubung pertarungan sengit di Cip-hian-ceng di mana Siau Hong dikeroyok, maka enghiong-tay-hwe atau pertemuan besar para kesatria itu tidak jadi diadakan. Kini melihat Ting Pek-jwan yang merupakan pembantu utama Buyung-kongcu itu bersikap ramah, meski rasa permusuhan telah banyak berkurang, tidak urung tetap harus waspada.

Seperti diketahui salah satu padri saleh Siau-lim-si, yaitu Hian-pi Taysu telah terbunuh di kaki Gunung Siongsan, dan pukulan yang membinasakannya itu justru adalah "Kim-kong-cu” yang merupakan kepandaian Hianpi sendiri yang paling diandalkan, sebab itu para tokoh Siau-lim-si menyangka keras atas diri Koh-soh Buyung yang suka "menyerang lawan berdasarkan kepandaian lawan” itu.

Kini mendengar orang she Buyung itu akan berkunjung kemari, mereka sudah bertekad akan bertempur matimatian untuk membalas sakit hati Hian-pi, siapa tahu mendadak terjadi peristiwa lain, Buyung-kongcu belum muncul, sebaliknya dua orang pembantu Buyung-kongcu dan Hian-thong Taysu dari Siau-lim-si telah sama-

sama dilukai oleh ilmu silat sia-pay yang lihai.

Dilihatnya pula tingkah laku Ting Pek-jwan sangat agung dan berwibawa, begitu pula kawan-kawannya juga bukan manusia jahat, meski Pau Put-tong agak kasar dan selalu menantang ucapan siapa pun, dan Hong Po-ok lagaknya petantang-petenteng menantang, namun tampaknya juga tidak jahat.

Kalau pembantu-pembantunya baik, rasanya atasannya juga takkan jelek, tapi segala sesuatu terpaksa harus menunggu dulu kedatangan Buyung-kongcu sendiri, setelah bertemu dengan tokoh muda yang selama ini tidak pernah muncul itu barulah dapat ditentukan tindakan selanjutnya.

Maka setelah pesan sang sute agar melayani baik-baik tetamunya lalu Hian-cu hendak melangkah pergi.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara gedebuk sekali, tahu-tahu Hong Po-ok jatuh terjungkal. Lekas Kongya Kian membangunkannya. Tapi di sebelah sana Hian-thong dan Pau Put-tong juga sama roboh.

Ternyata racun dingin dalam tubuh ketiga orang itu kumat lagi. Padahal "Cing-gi-liok-yang-tan” adalah obat penawar racun yang paling mustajab milik Siau-lim-si, kalau obat itu tidak manjur menyembuhkan penyakit mereka, pula "Sun-yang-lo-han-kang” para hwesio jejaka itu juga tak dapat menyembuhkan, maka jelas tiada obat lain yang bisa menolong lagi.

Maka untuk seterusnya setiap satu jam tentu penyakit ketiga orang itu akan kumat satu kali, kalau habis diberi minum obat, rasa menderita itu lantas hilang, tapi sejam kemudian akan kumat pula penyakit itu. Sampai esok paginya, tetap semua orang tak berdaya, sedangkan Buyung-kongcu masih belum tampak tiba.

Karena itu, ketiga orang itu kembali tersiksa lagi selama satu hari suntuk, kalau terus-menerus begitu, semua orang yakin ketiga orang penderita itu pasti tak tahan.

Maka Ting Pek-jwan lantas mohon diri kepada Hian-lan, "Luka kedua saudara angkat kami ini tidaklah enteng, banyak terima kasih atas segala bantuan dan pertolongan para Taysu yang telah dilakukan ini, tapi melihat penyakitnya toh sukar disembuhkan, maka ada maksudku akan pergi minta tolong kepada Sih-sin-ih saja.”

Sejak tadi memang Hian-lan ada pikiran yang sama, maka jawabnya segera, "Bagus, bagus. Sih-sin-ih kenal baik dengan Lolap, jika mohon pertolongannya, rasanya beliau takkan menolak. Dia tinggal di Liu-cong-tin di barat Lokyang, jaraknya tidak terlalu jauh dari sini, marilah kita segera berangkat saja.”

Pek-jwan sangat girang, katanya, "Dengan bantuan Taysu, tentu kedua saudara kami akan tertolonglah.”

Segera ia minta pinjam pensil dan kertas, buru-buru ia tulis sepucuk surat dan ditinggalkan di Siau-lim-si untuk Buyung-kongcu kalau beliau itu datang.

Sementara itu sudah tersedia tiga kereta dorong, Hian-lan pimpin enam orang murid angkatan "Hui” mengawal ketiga kereta itu. Keenam murid dari angkatan Hui itu usia cukup tua, semuanya ahli dalam ilmu "Sun-yang-lohan-kang”, dengan demikian mereka akan dapat membantu sepanjang jalan bila diperlukan para penderita.

Mestinya A Pik ingin tinggal di Siau-lim-si untuk menantikan datangnya Buyung-kongcu, tapi demi tampak keadaan Pau Put-tong dan Hong Po-ok sangat payah, ia tidak tega dan ikut bersama rombongan mereka.

Jarak antara Siau-lim-si dan Liu-cong-tin itu hanya beberapa ratus li saja, meski jalan pegunungan berliku-liku, tapi pada hari ketiga mereka sudah sampai di tempat tujuan.

Kediaman Sih-sin-ih itu ternyata terletak 30 li di utara Liu-cong-tin, yaitu di tengah pegunungan, tapi dengan tidak terlalu susah akhirnya rombongan Hian-lan dan Pek-jwan dapat sampai di depan rumah tabib sakti itu.

Hian-lan menunggang kuda berjalan di depan, ia lihat di tepi sungai kecil sana berdiri beberapa gedung dengan dinding terkapur putih dan genting warna hitam gelap. Di depan rumah-rumah itu terdapat sebuah kebun obatobatan yang luas, ia yakin inilah kediaman Sih-sin-ih.

Segera ia larikan kudanya lebih mendekat, tapi ia jadi terkejut ketika melihat di depan pintu rumah gantung dua buah tanglung (lampion) besar terbuat dari kertas putih, yaitu tanglung yang biasanya tergantung di rumah orang kematian.

Waktu makin mendekat dan memerhatikan lebih teliti, ia lihat di atas pintu terpantek beberapa helai kain belacu, di samping pintu terpancang sehelai panji kertas yang biasa dipakai kias orang mati, nyata benar memang di rumah itu ada kematian orang. Bahkan lantas dapat dibacanya pula di pinggir tanglung kertas yang besar itu tertulis dua baris huruf yang berbunyi, "Sih Boh-hoa, meninggal dalam usia 65 tahun”.

Keruan Hian-lan terkejut, sungguh ia tidak percaya bahwa di rumah Sih-sin-ih ada orang sakit yang tak dapat disembuhkan? Ia tidak tahu apakah "Sih Boh-hoa” itu nama asli Sih-sin-ih? Tapi usianya memang mendekati tabib sakti itu, jika Sih-sin-ih tak mampu mengobati penyakit sendiri hingga sudah meninggal dunia, maka celakalah dan percuma saja perjalanan ini.

Ketika Hian-lan berhentikan kudanya sambil termangu-mangu, sementara itu Ting Pek-jwan dan Kongya Kian

juga sudah menyusul tiba dan menyaksikan keadaan di rumah tabib sakti itu, sesaat mereka hanya saling pandang saja dengan ragu.

Mendadak suara tangis berjangkit di dalam gedung itu. Suara seorang wanita sedang sesambatan, "O, Loya! Ilmu pertabibanmu sangat sakti, siapa duga mendadak engkau sendiri terkena penyakit dan meninggalkan kami secepat ini. O, Loya! Engkau berjuluk ‘Giam-ong-tek’, tapi akhirnya engkau tak dapat melawan raja akhirat keparat itu, mungkin setiba di akhirat engkau akan disiksa pula!”

Dalam pada itu ketiga kereta, A Pik dan keenam padri angkatan Hui juga sudah tiba. Ketika mendengar suara orang menangisi kematian Sih-sin-ih, A Pik menjadi pucat, katanya dengan berduka, "Toako, apa benar kita begini sial?”

Ting Pek-jwan tidak menjawab, ia melompat turun dari kuda, lalu berseru, "Hian-lan Taysu dari Siau-lim-si bersama para kawan ada urusan penting ingin mohon pertolongan kepada Sih-sin-ih!”

Suara Pek-jwan sangat lantang, kini berteriak pula, keruan suaranya keras berkumandang hingga jauh. Seketika juga suara tangis di dalam rumah itu berhenti.

Selang sebentar, keluarlah dua orang tua, satu lelaki dan yang lain perempuan, semuanya berdandan sebagai kaum hamba, air mata mereka tertampak masih meleleh dan masih tersedu-sedan dengan sedih.

Begitu keluar, hamba tua itu lantas pukul-pukul dada sendiri sambil sesambatan, "Loya telah meninggal kemarin sore secara mendadak, kalian... kalian takkan dapat menemuinya lagi!”

"Penyakit apakah yang menyebabkan meninggalnya Sih-siansing?” tanya Hian-lan sambil merangkap tangan.

"Hamba sendiri tidak tahu,” sahut hamba tua itu, "mendadak saja Loya mengembuskan napas terakhir. Biasanya badan Loya sangat sehat, usianya juga tidak terlalu lanjut, sungguh tidak nyana, sungguh tidak terduga!”

"Di rumah Sih-siansing masih ada siapa lagi?” tanya Hian-lan pula.

"Tidak ada, tidak ada siapa-siapa lagi,” sahut hamba tua itu.

Kongya Kian saling pandang sekejap dengan Ting Pek-jwan, mereka merasa ucapan orang tua itu agak gugup, nadanya juga tidak wajar.

"Ai, mati atau hidup manusia itu sudah ditakdirkan,” demikian Hian-lan berkata pula. "Bolehkah kami berziarah sejenak di depan layon sobat lama?”

"Tentang ini... tentang ini... ya, ya baiklah....” demikian hamba tua itu menjawab dengan gelagapan. Lalu ia membawa para tamunya masuk ke dalam rumah.

Kongya Kian sengaja berjalan di belakang, diam-diam ia membisiki Ting Pek-jwan, "Toako, agaknya dalam urusan ini ada udang di balik batu, hamba tua ini agak mencurigakan.”

Pek-jwan mengangguk tanda sependapat. Lalu mereka ikut hamba tua itu sampai di ruangan layon. Pepajangan di ruangan itu tertampak sangat sederhana, segalanya kurang lengkap, seperti diadakan dalam keadaan tergesagesa.

Pada meja layon terdapat sebuah leng-pay yang bertuliskan, "Layon tuan Sih Boh-hoa.”

Dari tulisan yang kuat dan indah itu terang adalah buah tangan kaum terpelajar, tidak mungkin ditulis oleh hamba tua itu.

Semuanya itu menarik perhatian Kongya Kian, tapi ia diam saja, berturut-turut para tamu lantas memberi hormat kepada layon Sih-sin-ih.

Waktu berpaling, Kongya Kian lihat di pelataran dalam sana ada dua batang bambu dan sedang dijemur belasan helai baju, ada baju kaum wanita dan ada beberapa helai baju kanak-kanak. Pikirnya diam-diam, "Terang Sih-sin-ih mempunyai anggota keluarga lain, mengapa budak tua itu tadi mengatakan tiada orang lain lagi di rumah ini?”

Tapi ia pun tidak membongkar kebohongan orang, ia tetap diam saja.

Kemudian Hian-lan bicara pula, "Kami datang dari Siong-san, Siau-lim-si dengan maksud minta obat kepada Sih-siansing, sungguh tidak tersangka bahwa Sih-siansing ternyata sudah wafat. Kini sudah dekat magrib, terpaksa malam ini mesti mohon memondok di sini.”

Air muka hamba tua itu tampak serbasulit, katanya dengan tergegap, "Soal ini... ini... baiklah! Silakan tuantuan duduk dulu di ruangan tamu, biar hamba membuatkan daharan seperlunya.”

"Harap Koankeh (pengurus rumah) jangan repot-repot, cukup sedikit bubur dan sayur saja dan kami sudah merasa terima kasih,” kata Hian-lan.

"Ya, ya, silakan tuan-tuan duduk dulu di ruangan tamu,” sahut si hamba. Lalu ia membawa para tamu ke ruangan tamu bagian depan, kemudian ia tinggal masuk ke dalam bersama kawannya.

Tapi aneh, sampai lama sekali budak tua itu tidak tampak keluar, sudah tentu semua orang sangat mendongkol, lebih-lebih Pau Put-tong, ia jadi tidak sabar lagi, serunya, "Biar kupergi mencari air minum!”

"Jangan!” sela A Pik tiba-tiba. "Engkau mengaso saja Samko, biar aku masuk ke sana untuk membantu bapak tua itu memasak air.”

Habis berkata, segera ia bertindak ke ruangan dalam.

Khawatir kalau terjadi apa-apa atas diri anak dara itu, segera Kongya Kian berbangkit, katanya, "Biar aku mengiringimu!”

Rumah keluarga Sih itu ternyata tidak kecil, seluruhnya terdiri dari lima bagian, tapi dari luar sampai belakang, tetap A Pik dan Kongya Kian tidak melihat bayangan seorang pun. Setiba di dapur, ternyata budak-budak tua lelaki dan wanita itu pun sudah lenyap.

Kongya Kian tahu ada sesuatu yang tidak beres, cepat ia kembali ke ruangan depan dan berkata, "Keadaan di rumah ini memang ada sesuatu yang tidak beres, kukira Sih-sin-ih itu hanya pura-pura mati saja.”

"Hah, apa betul?” tanya Hian-lan dengan heran sambil berbangkit.

"Taysu, coba kita periksa peti mati ini,” ujar Kongya Kian. Dan sekali lompat, segera ia memburu ke depan layon Sih-sin-ih terus hendak mengangkat peti matinya.

Tapi mendadak hatinya tergerak, ia tarik kembali tangannya, ia mengambil sepotong baju yang dijemur di

pelataran itu sebagai pembungkus tangan.

"Apa kau khawatir pada peti mati dilumuri racun?” tanya A Pik.

"Hati orang sukar diduga, tiada jeleknya kita berlaku hati-hati,” sahut Kongya Kian. Segera ia coba angkat peti mati itu, terasa sangat berat, dalam peti mati itu pasti bukan berisi jenazah. Maka katanya kepada para kawan, "Ya, memang benar Sih-sin-ih hanya pura-pura mati.”

"Sret,” tiba-tiba Hong Po-ok mencabut golok katanya, "Coba kita buka peti mati ini!”

"Orang ini berjuluk tabib sakti, tentu dia mahir menggunakan racun, hendaknya Site berlaku hati-hati,” pesan Kongya Kian.

"Ya, aku tahu,” sahut Po-ok. Segera ia sisipkan ujung golok ke celah-celah peti mati, terus dicungkil ke atas, maka terdengarlah suara keriang-keriut, tutup peti mati perlahan tersingkap. Hong Po-ok menahan napas khawatir kena bau racun yang teruar dari dalam peti mati.

Melihat kelakuan Po-ok yang lucu dan khawatir pada orang mati itu, salah seorang padri Siau-lim-si yang bernama Hui-te merasa geli dan tertawa.

"Apa yang kau tertawakan?” jengek Pau Put-tong. Mendadak ia lompat ke pelataran, di mana dua ekor ayam betina sedang mencari makan di bawah pohon, sekali raih, Put-tong tangkap kedua ekor ayam itu terus dilemparkan hingga ayam melayang lewat di atas peti mati.

Kedua ekor ayam itu berkotek keras dan jatuh di sebelah sana, lalu berlari-lari lagi ke pelataran. Tapi tidak seberapa jauh, mendadak ayam-ayam itu jatuh terjungkal, kaki berkelojotan beberapa kali, lalu tidak berkutik lagi, kebetulan saat itu ada angin meniup, tahu-tahu bulu kedua ekor ayam itu beterbangan terbawa angin.

Menyaksikan keadaan itu, tentu saja semua orang terkesiap. Maka tahulah Hui-te bahwa dalam peti mati itu memang tertaruh racun yang amat jahat, racun itu tanpa bau dan tanpa wujud hingga sukar diketahui, tapi melihat kematian kedua ekor ayam dan kontan antero bulunya terlepas habis, maka dapat dibayangkan betapa lihainya racun itu.

Nyata dalam hal ini Pau Put-tong dan Hong Po-ok jauh lebih berpengalaman daripada padri Siau-lim-si yang tidak banyak berkecimpung di dunia Kangouw itu.

"Ting-heng, mengapa bisa begini? Apakah benar Sih-sin-ih hanya pura-pura mati saja?” demikian Hian-lan bertanya dengan ragu.

Habis berkata, mendadak ia lompat ke atas, dengan sebelah tangan menggantol di belandar rumah, lalu ia melongok ke bawah, ia melihat isi peti mati itu hanya batu belaka, di bawah batu tertaruh sebuah mangkuk besar yang penuh terisi air jernih. Nyata air dalam mangkuk itulah racun yang mahajahat.

Hian-lan menggeleng-geleng kepala, lalu melayang turun, katanya, "Andaikan Sih-heng tidak mau mengobati kita, rasanya juga tidak perlu memasang perangkap sekeji ini untuk membikin celaka kita. Selamanya Siaulim-si tiada permusuhan apa-apa dengan dia, perbuatan demikian terang keterlaluan. Jangan-jangan... janganjangan....”

Tiba-tiba ia berhenti, dalam hati ia berpikir, "Jangan-jangan Sih-heng mempunyai dendam kesumat kepada Koh-soh Buyung?”

Namun Pau Put-tong lantas berkata, "Engkau tidak perlu menduga yang tidak-tidak, selamanya Buyungkongcu tidak kenal Sih-sin-ih, apalagi bermusuhan. Jika di antara kami ada sesuatu permusuhan, biarpun penderitaan kami bertambah sepuluh kali lipat juga kami tidak sudi merendah diri datang kemari untuk memohon pertolongan kepada musuh. Memangnya kau kira orang she Pau ini manusia pengecut?”

"Ya, benar, akulah yang sembarangan menduga,” sahut Hian-lan. Sebagai seorang padri saleh, biarpun apa yang dipikirnya itu tak diutarakan, tapi ia pun berani mengaku terus terang akan pikiran yang salah itu.

"Hawa berbisa di sini terlampau jahat, marilah kita ke ruangan depan saja untuk bicara lagi,” kata Pek-jwan.

Sesudah berada di ruangan tamu lagi, maka ramailah saling mengemukakan pendapat masing-masing, namun tetap tidak dapat memecahkan sebab apa Sih-sin-ih memasang perangkap dengan pura-pura mati.

"Tabib setan she Sih ini terlalu menggemaskan, marilah kita bakar saja sarang setannya ini,” ujar Pau Put-tong.

"He, jangan,” cegah Pek-jwan. "Betapa pun Sih-siansing adalah sahabat baik para Taysu dari Siau-lim-si, kita tidak boleh berbuat sembrono padanya.”

Sementara itu hari sudah gelap, di ruangan itu tiada sesuatu penerangan, semua orang merasa lapar lagi haus, tapi tiada seorang pun berani sembarangan menyentuh sesuatu benda dalam rumah ini.

"Marilah kita keluar sana, kita dapat minta bantuan sedikit makanan dan minuman kepada penduduk di sekitar sini,” ujar Hian-lan.

"Ya, tapi dalam jarak 30 li di sekitar sini lebih baik kita jangan minum dan makan apa-apa,” ujar Pek-jwan. "Sih-siansing ini sangat licin, tidak nanti ia cuma pasang perangkap dengan sebuah peti mati saja. Bila para Taysu sampai ikut terembet, sungguh kami akan merasa tidak enak sekali.”

Meski dia dan Kongya Kian tidak paham duduk perkara yang sebenarnya, tapi mereka menduga bisa jadi Kohsoh Buyung yang terkenal dengan "Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin” dan telah banyak mengikat permusuhan di kalangan Kangouw, mungkin ada sesuatu sanak famili Sih-sin-ih terbunuh, lalu utang darah itu dicatat atas rekening Koh-soh Buyung.

Begitulah maka semua orang lantas berbangkit, tapi baru saja mereka melangkah keluar pintu sekonyongkonyong di udara sebelah barat-laut sana terlihat terang benderang, menyusul sejalur cahaya api warna merah tersebar luas, lalu cahaya merah itu berubah menjadi hijau dan berhamburan ke bawah bagaikan bunga api yang berwarna-warni dengan indah sekali.

"Hah, indah benar! Siapakah yang sedang main kembang api?” seru A Pik sambil bertepuk tangan.

Padahal waktu itu permulaan musim rontok, Cap-go-meh sudah lama lewat, hari Tiongciu juga masih jauh, mana mungkin ada orang main bunga api?

Selang tak lama, kembali sebuah bunga api warna kuning meluncur lagi ke udara, lalu pecah menjadi beratus ribu buah bintang yang saling berhamburan dengan sangat indah.

Main bunga api adalah sesuatu kesenangan di zaman damai, kini mereka sedang menghadapi urusan penting dengan beberapa kawan menderita sakit aneh, sudah tentu mereka tiada minat buat menikmati kembang api segala. Meski A Pik tergolong paling muda dan masih bersifat kanak-kanak, ia pun prihatin atas penderitaan samko dan sikonya itu. Segera katanya, "Sudahlah, kita lekas berangkat saja!”

"Itu bukan kembang api, tapi tanda serangan total musuh yang akan datang,” kata Kongya Kian tiba-tiba.

"Bagus, bagus! Bisa berkelahi sepuas-puasnya lagi!” teriak Hong Po-ok, lalu ia berlari balik ke dalam ruangan tadi.

Segera Ting Pek-jwan berkata juga, "Samte, Lakmoay, harap kalian juga masuk ke dalam rumah, biar kujaga di depan dan Jite mengawal dari belakang. Hian-lan Taysu, urusan ini terang tiada sangkut pautnya dengan Siaulim-si, maka silakan kalian diam dan menonton saja, asal kalian tidak membela salah satu pihak, untuk mana Buyung-si sudah berterima kasih.”

Tengah bicara, Kongya Kian, Pau Put-tong, dan A Pik bertiga juga mundur ke dalam menurut perintah Ting Pek-jwan. Meski di pihak Buyung-si cuma terdiri dari tiga orang, malah dua orang sudah terluka, ada pula seorang anak dara, namun sedikit pun Ting Pek-jwan tidak gentar terhadap perbawa musuh yang akan menyerang secara besar-besaran sebagaimana kelihatan dari isyarat bunga api yang dilepaskan di udara itu, bahkan ia tidak minta bantuan kepada Siau-lim-pay.

Maka jawablah Hian-lan, "Kenapa Ting-heng bicara demikian? Kalau penyerang nanti adalah musuh yang dendam kepada kalian, tentang siapa yang benar atau salah juga mesti kita putuskan secara adil, tidak boleh mereka mengandalkan berjumlah lebih banyak untuk menyerang lawan pada saat lagi menderita kesukaran. Sebaliknya jika pendatang nanti adalah komplotan Sih-sin-ih, mereka telah sengaja memasang perangkap dan membikin celaka kita secara keji, maka kita akan sama-sama menghadapi musuh, mana boleh kami tinggal diam tanpa ikut campur tangan? Nah, para Sutit, bersiaplah menghadapi musuh!”

Keenam padri angkatan Hui itu serentak mengiakan.

Lalu Hian-thong juga berkata, "Ting-heng, aku dan para saudara angkatmu senasib sependeritaan, sudah tentu kita harus menghadapi musuh bersama-sama.”

Sedang bicara, kembali ada dua jalur bunga api melayang ke udara lagi, sekali ini jaraknya sudah makin dekat.

Lewat sejenak, lagi-lagi melayang dua buah kembang api, jadi berturut-turut telah dilepaskan enam buah bunga api yang bentuk dan warnanya berbeda-beda, ada yang lurus tinggi terus bertebaran, ada yang terpencar persegi bagaikan papan catur, ada yang mirip kapak, ada pula yang menyerupai sekuntum bunga botan raksasa. Setelah enam buah bunga api itu dilepas, udara kembali gelap gulita dan tiada sesuatu isyarat lagi.

Dalam pada itu Hian-lan telah memberi perintah, ia mengatur anak murid Siau-lim-pay itu bersembunyi di sekeliling rumah untuk menanti serangan musuh. Tapi meski sudah ditunggu sekian lama masih tidak terdengar sesuatu gerak-gerik musuh.

Dengan menahan napas semua orang menunggu dengan sabar. Selang sebentar lagi, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita di sebelah timur sana sedang menembang:

Alis lentik lama nian tak terlukis

setangan penuh bedak bercampur air mata

Hati dinda hampa mengiring tangis

dapatkah mutiara sebagai pelipur lara?

Suara nyanyian itu merdu menggiurkan dan sedih merawan.

Hian-lan saling pandang sekejap dengan Ting Pek-jwan, mereka merasa sangat heran.

Dan sehabis menembang, suara tadi lantas berubah menjadi suara orang lelaki dan berkata, "Ai, adindaku, sudah lama aku tidak melihatmu, sungguh hatiku amat merindukan dikau, makanya kuberi hadiah seuntai mutiara ini, harap dinda suka menerimanya.”

Habis itu, lalu suara itu berganti menjadi wanita tadi dan berkata, "Baginda sudah didampingi oleh Nyo-kuihui, bilakah Baginda pernah memikirkan diriku yang bernasib jelek ini. O, Baginda....”

Sampai di sini, menangislah wanita itu.

Para padri Siau-lim-si itu tidak banyak mengenal seluk-beluk kehidupan khalayak ramai, mereka tidak tahu orang yang sebentar menjadi lelaki dan lain saat berubah wanita itu lagi main gila apa, tapi tidak urung mereka ikut terharu juga oleh suara tangisan itu.

Sebaliknya Ting Pek-jwan dan kawan-kawan mengetahui bahwa orang yang tak kelihatan itu sedang main sandiwara dengan lakon "Tong-beng-ong gandrung pada Bwe-kuihui”. Orang itu sebentar sebagai raja Dinasti Tong yang romantis itu, lain saat berganti nada dan memainkan peran sebagai selir kesayangan raja, Bwe-

kuihui. Suaranya sangat mirip, lakonnya menarik.

Semua orang menjadi waswas apa maksud kedatangan seorang seniman yang tak diundang pada saat genting itu.

Sementara itu orang tadi berkata lagi dalam nada raja Tong-beng-ong, "Harap dinda jangan menangis, lekas menyiapkan santapan, marilah kita bersenang-senang, dinda meniup suling, biar aku menyanyi untuk menghibur hati dinda nan sedih.”

Lalu orang itu berganti suara wanita, "Siang malam dinda mencuci muka dengan air mata dengan harapan dapat berjumpa dengan Baginda, hari ini dapat bertemu, biar mati pun dinda rela. O, huk-huk-huk....”

Pau Put-tong menjadi tidak sabar, mendadak ia berteriak, "Ini dia An Lok-san berada di sini! Hai, Li Liong-ki Raja Tong, kau seorang raja yang linglung, lekas kau serahkan Nyo Giok-goan padaku!”

Dahulu raja Tong-beng-ong mempunyai dua selir yang cantik dan sangat disayang, yaitu Bwe-kuihui dan Nyokuihui (nama lengkapnya Nyo Giok-goan), karena mabuk dalam romannya dengan wanita cantik itu hingga raja itu lupa daratan tanpa mengurus negara lagi. An Lok-san adalah raja pemberontak yang kemudian membunuh Tong-beng-ong dan merampas Nyo-kuihui yang cantik itu, sebab itulah, dalam dongkolnya Pau Put-tong juga menirukan nada seniman itu dan mengaku sebagai An Lok-san.

Mestinya Ting Pek-jwan hendak mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. Dan rupanya orang itu jadi kaget, suara tangisnya dalam peran sebagai wanita mendadak berhenti, seketika suasana berubah menjadi sunyi senyap lagi.

Selang tidak lama, tiba-tiba semua orang mengendus bau harum bunga yang tipis. Cepat Hian-lan berseru, "Awas, musuh memakai gas racun, lekas tahan napas dan siapkan obat penawar!”

Sekonyong-konyong suara seniman tadi berkata lagi, "Jitci, apakah kau sudah tiba? Di rumah Goko ada seorang aneh yang mengaku sebagai An Lok-san.”

Mendengar suara bicaranya itu, baru sekarang Pek-jwan dan lain-lain mengetahui bahwa sebenarnya orang itu adalah lelaki. Dan setelah mengatur pernapasan ternyata tiada sesuatu yang mereka rasakan, bahkan pikiran terasa segar, agaknya bau harum tadi tiada mengandung racun.

Maka terdengarlah suara seorang wanita sedang menjawab si seniman tadi, "Hanya Toako yang belum datang.

Nah, Jiko, Samko, Siko, Lakko dan Patte, marilah kita unjuk diri semua!”

Baru selesai ucapannya, pandangan Ting Pek-jwan dan kawan-kawan mendadak terbeliak, keadaan berubah terang benderang hingga menyilaukan mata. Tertampak di depan pintu sana segulung cahaya aneh membungkus lima orang lelaki dan seorang wanita.

Seorang kakek berjenggot hitam di antaranya berseru, "Longo (Si Lima), lekas menggelinding keluar!”

Tangan kanan kakek itu membawa sepotong pelat besi persegi seperti sebuah papan catur. Wanita itu adalah seorang nyonya cantik setengah umur. Keempat orang lainnya, dua di antaranya berdandan sebagai kaum cendekia, seorang lagi seperti tukang kayu, tangan membawa kapak bergagang pendek dan orang terakhir bermuka bengis menakutkan, rambutnya merah dan jenggotnya hijau, daripada dikatakan manusia, muka orang itu lebih tepat dikatakan siluman.

Tapi setelah diperhatikan, segera Hian-lan dapat mengetahui bahwa orang terakhir itu sengaja melukis mukanya sendiri dengan air cat, dirias sebagaimana seniman umumnya tatkala main di atas pentas. Orang yang tadi membawakan lakon Tong-beng-ong dan Bwe-kuihui tentu dia.

Segera Ting Pek-jwan mendahului menegur, "Siapakah nama tuan-tuan yang terhormat, Ting Pek-jwan ingin mohon petunjuk.”

Dan belum lagi pihak sana menjawab, sekonyong-konyong dari dalam menerjang keluar sesosok bayangan, sinar golok berkelebat, sekaligus orang itu membacok tujuh kali kepada pemain sandiwara tadi. Penyerang itu bukan lain adalah It-tin-hong Hong Po-ok.

Karena dilabrak secara mendadak, pemain sandiwara itu jadi kelabakan, ia menghindar ke kanan dan berkelit ke kiri dengan kerepotan. Tapi mulut masih sempat menyanyi pula dalam lakon sebagai Co-pa-ong, itu raja pemberontak yang perkasa musuh Lau Pang.

Tapi karena serangan Hong Po-ok teramat gencar, maka baru setengah jalan tembangnya lantas berhenti.

Si kakek berjenggot hitam di sebelahnya lantas memaki, "Hai, kau ini sungguh tidak tahu aturan, datang-datang lantas main bacok serabutan, coba rasakan ‘kue serabi’ ini!” dan mendadak papan persegi yang dipegangnya mengepruk kepala Hong Po-ok.

Diam-diam Po-ok merasa heran, "Selama hidupku entah sudah berapa ratus kali menghadapi pertempuran, tapi tidak pernah kulihat senjata persegi seperti ini.”

Segera ia menangkis dengan goloknya, maka terdengarlah "creng” sekali, golok tepat membacok tepi papan itu, tapi papan itu sedikit pun tidak lecet. Kiranya papan itu terbuat dari baja, di luarnya dicat dengan kembangan kayu.

Cepat Po-ok bermaksud menarik kembali goloknya untuk menyerang pula, tapi celaka, meski ia tarik sekuatnya, tetap golok bergeming, ternyata tersedot oleh papan baja itu. Keruan ia terkejut, sekuatnya ia memuntir dan membetot, dengan demikian barulah golok dapat dipisahkan dari lengketan papan baja musuh.

"Aneh sekali, apa papan besimu ini terbuat dari besi sembrani?” bentaknya.

Orang tua itu tertawa, sahutnya, "Terima kasih! Ini adalah alat pencari nafkahku!”

Sekilas Po-ok mengamati senjata musuh itu, ia lihat di atas papan terdapat garis malang melintang, nyata adalah sebuah papan catur, segera katanya pula, "Aneh bin ajaib! Mari kutempurmu lagi!”

Maka ia melancarkan serangan lagi, makin lama makin cepat, tapi golok tidak berani membentur lagi dengan papan catur lawan yang terbuat dari besi sembrani itu.

Dengan demikian si pemain sandiwara tadi merasa lega, kembali ia menembang lagi sebagai Co-pa-ong, lalu berganti suara sebagai wanita.

Pau Put-tong mendongkol, tiba-tiba ia membentak, "Hai, Co-pa-ong keparat, lekas kau bunuh diri saja, aku Han Sin adanya!”

Berbareng ia terus menerjang maju, dengan "Kim-liong-jiu” (Ilmu Menangkap Naga), kedua tangan mencengkeram pundak tukang tembang itu.

Dalam cerita sejarah yang sering dipentaskan, Han Sin adalah panglima kepercayaan Raja Han-ko-cou Lau Pang yang menguber-uber Co-pa-ong hingga di tepi Sungai Oh-kang, di situ Co-pa-ong terpaksa membunuh diri.

Tapi pemain sandiwara itu sempat mendakkan tubuh untuk menghindar, lalu hendak menembang lagi, tapi sebelum lanjut, terpaksa ia menjerit, "Haya, aku Han-ko-cou adanya dan akan membunuhmu Han Sin!”

Berbareng tangan kirinya melolos keluar sebatang ruyung lemas terus menyabet pinggang Pau Put-tong.

Melihat pertarungan beberapa orang itu sangat sengit dan lucu pula, tapi kepandaian kedua pihak sama hebatnya, entah pihak musuh akan datang lagi berapa banyak bala bantuan, maka cepat Hian-lan membentak, "Harap semua orang berhenti dulu, marilah kita bikin terang dulu duduknya perkara dan pertarungan dapat dilanjutkan lagi nanti.”

Tapi sekali Hong Po-ok sudah berkelahi mana dapat disuruh berhenti? Apalagi ia tahu tenaga sendiri sudah banyak berkurang setelah keracunan, serangan racun itu pun setiap saat bisa timbul dan membahayakan, maka ia putar golok secepat kitiran dengan maksud selekasnya mengalahkan lawan.

Di tengah pertarungan sengit keempat orang itu, dari dalam kembali melompat keluar seorang dengan sepasang golok terhunus, "creng,” kedua golok saling bentur hingga mengeluarkan suara nyaring.

Orang itu gagah perkasa, kiranya Hian-thong Siansu. Ia berseru, "Kalian kawanan jahanam yang suka meracun orang, hari ini hwesio tua terpaksa melanggar pantangan membunuh!”

Sudah beberapa hari Hian-thong disiksa racun, ia memang sudah gemas, kebetulan musuh datang, maka tanpa banyak bicara lagi ia terus menerjang kedua orang setengah umur yang berdandan sebagai kaum cendekia itu.

Cepat salah seorang sastrawan itu merogoh keluar sebatang senjata yang menyerupai boan-koan-pit, yaitu senjata berbentuk potlot, dengan gesit sekali ia lawan Hian-thong.

Sebaliknya sastrawan yang lain itu berkata dengan tingkah laku yang tengik, "Aneh bin ajaib! Masakah seorang padri juga berangasan seperti ini, entah terdapat dalam kamus mana?”

Lalu ia ulur tangan ke dalam saku untuk merogoh tapi tiba-tiba ia berseru, "He, ke mana perginya?”

Bahkan ia meraba-raba saku yang lain dan merogoh pula saku belakang, lengan baju dikebas-kebaskan, baju bagian dada ditepuk-tepuk pula, tapi tetap tidak menemukan sesuatu.

A Pik heran, ia tanya, "Siansing, apa yang kau cari?”

"Ilmu silat Toahwesio ini sangat tinggi, kami bersaudara terang tak bisa melawannya, maka akan kucari senjataku untuk membantu kawan-kawanku itu. Tapi, he, aneh, di manakah senjataku itu?” demikian sahut si sastrawan. Lalu ia ketuk-ketuk jidat sendiri dan mengingat-ingat sebisanya.

A Pik tertawa geli melihat kelakuan orang, pikirnya, "Sudah di garis depan baru tahu senjatanya hilang, orang linglung begini belum pernah kulihat, orang ketolol-tololan semacam ini tampaknya bukan sengaja pura-pura dungu.”

Maka A Pik coba tanya pula, "Siansing, macam apakah bentuk senjatamu itu?”

"Seorang laki-laki sejati lebih dulu harus berlaku cara halus baru kemudian pakai kekerasan, maka senjataku yang pertama adalah sejilid kitab,” sahut sastrawan itu.

"Kitab apa? Apakah bu-kang-pit-koat (kitab ilmu silat)?” tanya A Pik.

"Bukan, bukan! Tapi sejilid lun-gi (kitab yang berisi kata-kata emas Khonghucu),” sahut sastrawan itu. "Aku akan menginsafkan, pihak lawan dengan ajaran-ajaran nabi.”

Kembali A Pik tertawa geli, katanya, "Kau seorang terpelajar, masakah lun-gi saja tidak hafal, habis kitab apa yang kau baca biasanya?”

"Nona hanya tahu satu, tapi tidak tahu dua,” sahut si sastrawan. "Bicara tentang lun-gi, beng-cu, chun-ciu, dan kitab-kitab nabi yang lain sudah tentu semuanya sudah kuhafalkan di luar kepala. Tapi pihak lawan kan belum tentu pernah membacanya! Bila aku menyebutkan isi kitab itu dan dia tidak tahu, kan percuma? Makanya harus kutunjukkan kitab yang bersangkutan, dengan demikian lawan takkan dapat menyangkal dan mendebat, dan usahaku barulah akan berhasil. Ini namanya bukti menjadi saksi.”

Sembari bicara, ia terus meraba-raba dan merogoh-rogoh saku di sana sini, tapi tetap tiada sesuatu yang ditemukannya.

Sementara itu si orang yang berdandan sebagai tukang kayu menjadi khawatir demi melihat kawannya dicecar secepat kilat oleh goloknya Hian-thong, tampaknya dalam beberapa jurus lagi tentu jiwanya akan terancam, segera ia ayun kapaknya hendak membantu.

Namun Kongya Kian sudah siap siaga, kontan ia menghantam lebih dulu ke arah tukang kayu itu. Jangan kira Kongya Kian lahirnya lemah lembut, ternyata tenaga pukulannya sangat hebat.

Dahulu di atas Ciulau di daerah Kanglam ia pernah berlomba minum arak dan mengadu tenaga pukulan dengan Siau Hong, meski kalah, tapi Siau Hong juga sangat kagum padanya, hal itu menandakan lwekang Kongya Kian bukan golongan lemah.

Begitulah maka si tukang kayu tadi telah mengegos, menyusul kapaknya terus memotong dari samping.

Dalam pada itu si sastrawan tetap tidak menemukan kitab "lun-gi” yang dicari, sebaliknya ia lihat sastrawan kawannya itu sudah terdesak, permainan boan-koan-pitnya sudah kacau, sebaliknya serangan golok Hian-thong masih terus menyambar dengan gencar. Segera ia berkata kepada Hian-thong, "Hai, Toahwesio! Kata Khonghucu, ‘mengekang perasaan sendiri dan membalas orang dengan sopan, bila demikian halnya maka dunia akan aman sentosa,’ — Kata beliau pula, ‘Tidak sopan jangan didengar, tidak sopan jangan bicara, tidak sopan jangan berbuat.’ Tapi kau putar golok ingin membunuh orang, perbuatan demikian sedikit pun tidak dapat mengekang perasaan sendiri dan terlebih ‘tidak sopan’.”

Melihat tingkah laku sastrawan itu, diam-diam A Pik bertanya kepada Ting Pek-jwan, "Toako, orang ini memang seorang sastrawan tolol tulen atau pura-pura dungu saja?”

"Entah, asal waspada saja,” sahut Pek-jwan. "Hati orang Kangouw sukar dijajaki, segala macam perbuatan licik dapat dilakukannya.”

Sementara itu sastrawan tolol itu sedang berkata kepada Hian-thong, "Toahwesio, Nabi Khonghucu bersabda, ‘Orang bijaksana tentu perkasa, orang perkasa belum tentu bijaksana.’ Kau sih memang perkasa, tapi jelas tidak bijaksana, maka tak dapat dianggap sebagai seorang kesatria sejati. Nabi Khonghucu bersabda pula, ‘Apa yang kita sendiri tidak mau, jangan diberikan kepada orang lain.’ Jika orang hendak membunuhmu, sudah tentu engkau tidak mau. Dan kalau kau sendiri tidak mau dibunuh, kenapa kau ingin membunuh orang?”

Begitulah ia terus mengoceh memberi "ceramah” kepada Hian-thong. Anehnya, terang ilmu silat sastrawan tolol ini tidak lemah, buktinya setiap kali Hian-thong dan si sastrawan itu saling gebrak sambil melompat kiankemari, maka sastrawan tolol ini pun dapat ikut melompat dan selalu berada di samping mereka.

Diam-diam Hian-thong menaruh perhatian, pikirnya, "Orang ini sengaja mengoceh tak keruan, dan kalau ada kesempatan, segera ia akan balas menyerang. Ilmu silat orang ini terang lebih tinggi daripada sastrawan yang kulawan ini.”

Karena itu, maka perhatian Hian-thong menjadi lebih banyak dicurahkan untuk berjaga-jaga kalau disergap si sastrawan tolol itu. Dengan demikian sastrawan bersenjata boan-koan-pit jadi terhindar dari tekanan yang berat dari Hian-thong.

Setelah belasan jurus lagi dan si sastrawan tolol itu masih mengoceh terus, akhirnya Hian-thong menjadi gemas, bentaknya, "Jika kau tidak enyah, jangan kau salahkan aku!”

Mendadak ia gunakan gagang golok untuk menyodok dada sastrawan tolol itu.

"Ai, ai! Kulihat ilmu silat Taysu teramat tinggi, kami berdua belum tentu dapat menang, maka aku ingin menasihatimu agar lebih baik kita sudahi pertempuran ini,” demikian seru sastrawan tolol itu. "Sebagai manusia, kita harus berbudi dan dapat memaafkan sesamanya, janganlah terlalu ngotot dan mau menang sendiri.”

Hian-thong menjadi gusar, "sret”, mendadak ia tebas orang sekali sambil mendamprat, "Kau bicara tentang budi memaafkan apa segala? Kalian sengaja menaruh racun dalam peti mati untuk menjebak orang, apakah itu berbudi, apakah itu bijaksana? Coba kalau kami kurang waspada, tentu saat ini sudah menuju ke nirwana. Huh, masih kau bicara tentang ‘apa yang kita tidak mau jangan diberikan kepada orang lain.’ Coba jawab, kau sendiri mau diracun atau tidak?”

"Ai, ai! Aneh! Siapakah yang menaruh racun di dalam peti mati?” sahut sastrawan tolol itu sambil menyingkir dua tindak. "Peti mati itu tempat jenazah. Kalau dalam peti mati ditaruh racun, bukankah jenazah itu pun akan keracunan? Ai, salah, jenazah itu memang sudah mati!”

Ucapan yang lucu itu membikin A Pik tertawa geli, katanya, "Ya, jenazah dalam peti mati sudah tentu sudah mati. Tapi kalian terlalu licik, peti mati bukan berisi jenazah, tapi ditaruh racun untuk membunuh kami.”

"Bukan, bukan begitu!” sahut sastrawan itu dengan geleng-geleng kepala. "Kau orang perempuan, usiamu masih muda pula, pantas omonganmu berliku-liku.”

"Dia juga wanita, kau anggap dia orang baik atau orang jahat?” ujar A Pik sambil tunjuk si wanita cantik setengah umur, yaitu kawan si sastrawan sendiri.

"Ai, ai! Ucapanmu menyeleweng dari pokok persoalan, maka aku takkan gubris dan tak mau menjawab,” sahut sastrawan tolol.

Karena sastrawan itu bertanya jawab dengan A Pik, Hian-thong menjadi bebas dari gangguan, segera ia putar golok terlebih kencang hingga si sastrawan bersenjata boan-koan-pit itu kewalahan lagi.

Melihat itu, si sastrawan tolol cepat melompat lagi mendekati Hian-thong dan berkata, "Kata Khonghucu, ‘Manusia tidak bijaksana, dapatkah berlaku sopan? Manusia tidak bijaksana dapatkah hidup senang?’ Toahwesio adalah manusia dan tidak bijaksana, ai, sungguh berdosa!”

Dengan gusar Hian-thong menjawab, "Aku adalah murid Buddha, kau mengoceh tentang ajaran Khonghucu apa segala, mana dapat mengetuk hati nuraniku?”

Sastrawan tolol itu ketuk-ketuk pula jidat sendiri, katanya, "Ya, benar, benar! Aku ini mungkin sudah linglung, boleh jadi terlalu banyak baca hingga berubah menjadi orang yang tolol. Toahwesio adalah anak murid Buddha, tapi aku bicara tentang ajaran nabi Khonghucu padamu, sudah barang tentu salah alamat.”

Dalam pada itu Hong Po-ok masih terus bertempur melawan orang yang bersenjatakan papan catur baja itu dan sukar merebut kemenangan, lama-kelamaan perut mulai dingin, itulah tanda serangan racun akan berjangkit lagi.

Di sebelah sana Pau Put-tong juga sedang melabrak si pemain sandiwara tadi, ia merasa ilmu silat lawan tidak terlalu tinggi, cuma gerak perubahannya sangat aneh dan macam-macam variasinya, sebentar ia menembang sebagai Se Si, itu wanita cantik yang termasyhur, ia menirukan suara wanita dengan persis, bahkan lenggaklenggoknya juga menyerupai wanita cantik. Dan lain saat ia main sebagai Li Thay-pek, itu penyair yang terkenal dengan langkahnya yang sempoyongan tatkala mabuk arak.

Anehnya setiap kali ia ganti peranan, setiap kali pula ia dapat memainkan sejurus ilmu silat yang sesuai dengan pelaku yang dibawakannya itu. Senjata ruyung emas yang dipegangnya itu sebentar digunakan sebagai lengan baju kaum wanita yang panjang, lain saat dipakai sebagai pensil kaum terpelajar. Keruan Pau Put-tong geli-geli dongkol, seketika ia pun tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara itu si sastrawan linglung tadi mendadak menembang lagi, "Jika kuberi obatnya, apakah hatiku lantas tenteram? Bila tidak membawa hasil, sama saja tidak memberi. Omong kosong tak berisi, memang bukan pada tempatnya.... Eh, Toahwesio, dua kalimat selanjutnya bagaimana bunyinya?”

Demikian ia mengoceh beberapa bait sabda padri saleh zaman dahulu, maka Hian-thong menjawab, "Yang bijaksana akan mencapai tujuannya, mohon sudi memberi petunjuk seperlunya.”

Sastrawan linglung itu terbahak-bahak, katanya, "Bagus, bagus! Bukankah kaum Buddha kalian juga bicara tentang ‘bijaksana’ segala? Memang pada hakikatnya segala ajaran nabi di dunia ini sama tujuannya. Maka kunasihatkan lebih baik kau berpaling kembali ke tepian, taruhlah golok jagalmu saja!”

Hian-thong terkesiap, sekonyong-konyong ia sadar dan terbuka pikirannya, katanya segera, "Siancay! Siancay!”

Mendadak ia lemparkan kedua goloknya ke lantai hingga mengeluarkan suara nyaring, lalu ia duduk bersila, dengan wajah tersenyum ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.

Si sastrawan bersenjata boan-koan-pit tadi mestinya lagi sengit menempur Hian-thong, ia jadi heran ketika mendadak melihat kelakuan lawan yang aneh itu. Tapi ia pun tidak melancarkan serangan lagi.

Di pihak lain dua padri angkatan Hui dari Siau-lim-si lantas berseru, "Susiok, apakah penyakitmu kumat lagi?”

Segera mereka bermaksud memburu maju untuk memayang sang susiok.

Namun Hian-lan membentak, "Jangan!”

Waktu ia periksa napas Hian-thong, nyata pernapasan sang sute sudah berhenti, betul-betul sudah wafat dengan tenang. Hian-lan merangkap tangan dan memanjatkan doa.

Para padri angkatan Hui menjadi sedih dan gusar demi mengetahui susiok mereka telah mati, berbareng mereka mengeluarkan senjata terus hendak melabrak kedua susing atau sastrawan tadi.

Tapi Hian-lan mencegahnya, "Jangan! Susiok kalian wafat dengan menemukan ajaran sejati, beliau mangkat ke nirwana dengan sempurna, seharusnya kalian bersyukur baginya.”

Karena kejadian di luar dugaan itu, semua orang yang sedang bertempur itu pun lantas berhenti.

Segera si sastrawan linglung berteriak-teriak lagi, "Longo (Kelima)! Wahai, Sih-longo, lekas keluar, ada orang mati, lekas keluar menolong jiwanya! Ai, kau setan Sih-sin-ih, kalau tidak lekas keluar, wah celakalah aku!”

"Sih-sin-ih rupanya tidak di rumah, apakah saudara ada....” demikian mestinya Ting Pek-jwan hendak minta keterangan.

Tapi sastrawan linglung itu tidak gubris padanya, ia masih terus menggembor, "Wahai, Sih Boh-hoa, Sih-longo, Giam-ong-tek, Sih-sin-ih, lekas menggelinding keluar untuk menolong orang, samkomu ini telah membikin mati orang dan orang hendak minta ganti nyawa pada kita!”

Pau Put-tong menjadi gusar, dampratnya, "Kau sudah menewaskan orang, masih berteriak-teriak seenaknya!”

Kontan ia memukul, menyusul tangan kiri menyusup dari bawah, pukulan itu terus menjambret kumis sastrawan itu dengan tipu "Lau-liong-tam-cu” atau naga tua mengambil mutiara.

Memangnya pertarungan tadi kurang memuaskan selera Hong Po-ok dan Kongya Kian, maka sekarang mereka mencari lawan dan mulai bergebrak lagi.

"Robohlah!” mendadak Ting Pek-jwan membentak, ia juga sudah mendapatkan lawan, yaitu si pemain sandiwara, dan sekali cengkeram, kontan baju leher orang itu kena dipegangnya.

Pek-jwan adalah jago utama di antara empat pembantu Buyung-kongcu, ilmu silatnya tinggi, lwekangnya hebat, meski namanya kurang terkenal di kalangan Kangouw, tapi setiap orang yang kenal dia pasti sangat kagum akan kepandaiannya. Maka begitu si pemain sandiwara kena dicengkeramnya, seketika tak bisa berkutik segera Pek-jwan banting tawanan itu ke tanah.

Pemain sandiwara itu memang sangat gesit dan cekatan, sekali bahunya menyentuh tanah, segera ia putar kaki kanan terus mendepak paha Ting Pek-jwan.

Serangan ini sangat cepat, pula badan Pek-jwan agak gemuk, gerak-geriknya kurang gesit, ia lihat depakan itu sukar dielakkan, segera ia kerahkan tenaga ke bagian bawah, ia terima mentah-mentah depakan itu.

Jilid 50
Maka terdengarlah suara "krak” sekali, di antara dua kaki yang terbentur itu ada salah satu yang patah.

Beberapa kali seniman itu terguling-guling di tanah hingga sejauh beberapa meter, lalu ia berseru sebagai peranan dalam sandiwara, "Wahai Mo Yan-siu jahanam, biar kucencangmu... aduh, kakiku!” demikian pada akhirnya mendadak ia menjerit.

Kiranya ketika kedua kaki beradu, tenaga seniman itu kalah kuat hingga tulang kakinya patah.

Wanita cantik setengah umur yang berbaju jambon itu sejak tadi berdiri diam saja di samping tidak membuka suara juga tidak bertindak. Kini demi melihat seniman kawannya itu patah kaki, kawan yang lain juga dicecar musuh dan berbahaya, barulah ia mulai membuka suara, "Hai, kalian ini apa-apaan? Sudah mengangkangi rumah goko kami, datang-datang lantas melabrak orang sesukanya tanpa tanya dulu.”

Dalam pada itu si pemain sandiwara masih jatuh telentang di tanah dan tiba-tiba ia lihat kedua buah tanglung besar yang tergantung di depan pintu itu, ia terkejut dan berteriak, "Apa? Sih Boh-hoa meninggal? Goko sudah wafat?”

Kedua susing dan orang tua yang membawa papan catur, si tukang kayu, wanita cantik itu pun ikut memandang ke arah yang ditunjuk, maka dapatlah mereka membaca semua tulisan pada tanglung putih itu.

Api dalam tanglung sejak tadi sudah padam, begitu datang mereka lantas saling gebrak pula hingga tiada seorang pun menaruh perhatian keadaan di rumah itu, baru sesudah seniman itu menggeletak di tanah, barulah ia dapat melihat tanglung orang mati itu.

Seketika seniman itu menangis dan menembang menurut irama sandiwara, "O, saudaraku tercinta, kita mengangkat saudara di kebun tho, engkau membobol lima benteng, membunuh enam panglima, betapa gagah perkasamu, oi....”

Semula ia menembang dalam lakon "menangisi kematian Kwan Kong”, tapi kemudian ia benar-benar berduka hingga tak keruan lagi suaranya.

Kawan-kawan yang lain segera berteriak juga, "Hai, siapa yang membunuh goko kami? Goko, Goko! Bangsat terkutuk manakah yang membunuhmu? Biarlah hari ini kami mengadu jiwa dengan kalian, keparat!”

Hian-lan dan Pek-jwan saling pandang dengan serbasalah, diri ucapan mereka itu, agaknya mereka adalah saudara angkat Sih-sin-ih.

Pek-jwan lantas berkata, "Sebenarnya kami datang untuk minta pertolongan Sih-sin-ih agar suka mengobati dua-tiga orang kawan kami yang terluka, tak terduga....”

"Tak terduga dia tak mau mengobati dan kalian lantas membunuhnya, begitu bukan?” potong si wanita cantik.

"Ti....” belum lagi ucapan "tidak” tercetus dari mulut Ting Pek-jwan, sekonyong-konyong wanita cantik itu mengebas lengan bajunya, kontan Pek-jwan mengendus bau harum semerbak, kepala lantas pusing dan berdirinya seakan-akan mengambang tak bertenaga.

"Roboh, robohlah!” demikian si wanita cantik berseru.

Pek-jwan menjadi gusar. "Wanita siluman!” dampratnya, berbareng ia terus menghantam ke depan.

Daya guna "Pek-hoa-bi-sian-hiang” (Dupa Pemabuk Dewa Sari Seratus Bunga) yang disebarkan wanita cantik itu sebenarnya sangat keras, betapa pun tinggi kepandaian lawan biasanya juga akan dirobohkannya. Tadi sudah dilihatnya keadaan Ting Pek-jwan agak sempoyongan, terang sudah kena dupa biusnya itu, siapa duga pada saat terakhir masih mampu melontarkan pukulan dahsyat.

Keruan ia tidak sempat menghindar, kontan tubuhnya serasa ditumbuk oleh suatu tenaga bagai gugur gunung dahsyatnya, napas seketika sesak dan tubuh pun terbanting hingga jauh. Bahkan terdengar suara "krak-kruk”, rupanya tulang iga dipatahkan beberapa buah oleh pukulan Ting Pek-jwan, maka sebelum tubuh terbanting lebih dulu orangnya sudah kelengar.

Pek-jwan sendiri lantas merasa pandangan menjadi gelap, akhirnya ia pun jatuh tersungkur.

Kedua pihak sama-sama roboh satu orang, sisanya lantas saling gebrak dengan sengit.

Hian-lan sendiri lagi berpikir, "Di balik semua kejadian ini tentu ada sesuatu yang janggal, kini terpaksa harus

kutawan dulu semua lawan, supaya kedua pihak tidak jatuh korban lebih banyak.”

Setelah ambil keputusan itu, segera ia berseru, "Bawakan tongkatku!”

Seorang padri angkatan Hui mengiakan dan segera membawakan sian-theng (tongkat padri) yang disandarkan di samping pintu itu kepada Hian-lan.

Tiba-tiba si sastrawan bersenjata boan-koan-pit itu menerjang maju terus menutuk dada padri Siau-lim-si yang mengambilkan tongkat itu, tapi sebelum tiba, lebih dulu Hian-lan menghantamkan sebelah tangannya, belum lagi tangannya menyentuh tubuh musuh, lebih dulu tenaga pukulan Hian-lan sudah mengenai punggung sastrawan itu, tanpa ampun lagi orang itu roboh tak berkutik.

Hian-lan tertawa panjang, dengan menjinjing tongkat ia maju ke samping, segera tongkatnya mengemplang kepala orang yang bersenjata papan catur itu.

Melihat serangan hebat, orang itu tidak berani gegabah, dengan kedua tangan memegang papan caturnya terus ditangkis ke atas. "Trang”, terdengar suara nyaring keras disertai meletiknya lelatu api. Kontan orang itu merasa tangan linu pegal. Dan ketika Hian-lan mengangkat kembali tongkatnya, tahu-tahu papan catur musuh ikut terangkat.

Kiranya daya sembrani papan catur itu sangat kuat, biasanya digunakan menyedot senjata lawan. Tapi sekarang tenaga lawan lebih kuat, maka berbalik papan catur itu kena disedot oleh tongkat Hian-lan. Setelah berhasil merampas senjata musuh, menyusul tongkat Hian-lan lantas mengemplang lagi.

"Haya, celaka! Hancurlah kepalaku sekali ini!” teriak orang itu dan cepat berlari ke samping.

Mendadak Hian-lan membentak pula, "Su-tay-cu (pelajar tolol), robohlah!”

Tongkat terus menyabet ke samping dengan luar biasa dahsyatnya.

"Ai, ai! Belum waktunya aku disuruh tidur! Ya, apa boleh buat!” seru Su-tay-cu itu dan belum lenyap suaranya orangnya sudah mendahului bertiarap.

Dengan cepat padri Siau-lim-si lantas memburu maju untuk membekuknya.

Nyata siuco dari Tat-mo-ih Siau-lim-si memang bukan jago sembarangan, hanya sekali turun tangan lantas mengalahkan tiga jago musuh yang tangguh, dengan sendirinya kekuatan kedua pihak segera berubah.

Tapi A Pik senang mengkhawatirkan keadaan Ting Pek-jwan, para padri Siau-lim-si juga berduka atas wafatnya Hian-thong, maka mereka tidak menjadi girang karena kemenangan itu.

Sementara itu si tukang kayu yang berkapak sedang dikeroyok Pau Put-tong dan Hong Po-ok, terang sebentar lagi ia pun akan dirobohkan.

Mendadak si orang tua bersenjata papan catur tadi berseru, "Sudahlah! Lakte, kita mengaku kalah saja, tidak perlu bertempur lagi! Toahwesio, aku hanya ingin tanya padamu, sebenarnya apa kesalahan gote kami hingga kalian membunuh dia? Dan mengapa mencuri bunga apinya untuk memancing kedatangan kami ke sini?”

"Dari mana bisa jadi begitu....” baru sekian Hian-lan menjawab, sekonyong-konyong terdengar suara "crangcring” dua kali, yaitu suara khim (alat musik sejenis kecapi) suaranya nyaring berkumandang dari jauh.

Anehnya, begitu mendengar suara itu, seketika jantung juga terguncang dengan keras. Selagi Hian-lan melengak heran, kembali suara kecapi berbunyi "crang-creng” dua kali lagi. Malahan suaranya bertambah dekat hingga detak jantung semua orang pun tambah keras.

Karena habis diserang racun, diguncang pula suara kecapi yang nyaring itu, seketika Hong Po-ok merasa kusut pikirannya, "trang”, tanpa terasa golok terlepas dari cekalan. Coba kalau Pau Put-tong tidak keburu melindunginya, tentu bahu Po-ok sudah sempal sebelah kena bacokan kapak musuh yang sementara itu telah dilontarkan.

Demi mendengar suara kecapi itu, Su-tay-cu atau si sastrawan tolol tadi menjadi girang, ia berteriak-teriak, "Lekas kemari, Toako, lekas! Segerombolan bangsat ini telah membunuh Gote, kini kami tertawan pula, Jitmoay juga dipukul mati oleh mereka. Wah, celaka, lekas kemari!”

Kembali suara kecapi dalam hutan sana bergema pula, sekali ini berturut-turut dipetik lima kali hingga jantung semua orang terguncang lebih hebat, napas serasa hendak putus.

Keruan Hian-lan sangat heran dan terkesiap, "Ilmu sihir apakah ini? Aku telah menenangkan perasaan dengan lwekang Siau-lim-pay yang tinggi, tapi jantungku tetap berguncang mengikuti irama kecapi. Sungguh lihai sekali pemain kecapi itu.”

Suara kecapi itu makin lama makin cepat, debur jantung semua orang juga makin keras. Hian-lan, Kongya Kian, Pau Put-tong, Hong Po-ok, dan para padri sama duduk di tanah sambil mengerahkan lwekang masingmasing untuk melawan. Tapi hanya Hian-lan dan Kongya Kian saja yang mampu mengatasi getaran jantung, sedang padri Siau-lim-si angkatan Hui sudah tidak tahan lagi, mereka menjerit-jerit dan sangat menderita. Mereka berusaha menutup telinga sendiri dengan kedua tangan, tapi aneh, betapa pun telinga mereka didekap, tetap suara kecapi dapat menyusup ke dalam telinga, dan jantung lantas bergetar menurut irama musik itu.

Bahkan sampai akhirnya, irama kecapi itu bertambah cepat bagaikan lagu orang gila dan jantung semua orang seakan-akan putus terguncang.

Hian-lan tahu tidak boleh tinggal diam saja tapi harus melakukan serangan belasan. Segera ia angkat tongkat dan menerjang ke arah datangnya suara kecapi itu. Tapi aneh, suara kecapi seperti timbul dari bawah tanah saja, meski Hian-lan sudah mengitari hutan itu, tetap tiada bayangan seorang pun yang dilihatnya. Dan baru saja ia kembali, tahu-tahu suara itu bergema pula di sebelah belakang sana.

Mendadak Hong Po-ok berteriak sekali, kedua tangan merobek baju sendiri, dan sesudah bajunya koyakkoyak, lalu mencakar dada sendiri sambil menjerit, "Korek keluar jantung ini, tahan dia, supaya tidak melonjak-lonjak, tidak boleh melonjak-lonjak!”

Hanya sebentar saja dada sendiri sudah penuh guratan kuku dan darah berceceran.

Cepat Kongya Kian pentang kedua tangan dan menyikap kencang saudara angkatnya itu sambil berseru, "Jangan gopoh, Site, kau harus berusaha mematahkan pengaruh suara kecapi setan itu dan menganggap seperti tidak mendengarnya.”

Tapi karena sedikit terpencar perhatiannya, segera jantung Kongya Kian sendiri terguncang hebat.

Anehnya si orang bersenjata papan catur, si sastrawan tolol, orang berkapak, sastrawan bersenjata boan-koanpit dan si pemain sandiwara, mereka sedikit pun tidak terpengaruh oleh getaran suara kecapi itu, terang mereka mempunyai cara yang mudah untuk melawan suara itu.

"Lakmoay, kau bagaimana? Marilah duduk di sebelahku saja!” demikian Pau Put-tong teringat kepada A Pik. Ia pikir usia anak dara itu terlalu muda, lwekangnya masih cetek, tentu akan lebih menderita daripada orang lain, maka ia merasa kasihan dan ingin membantunya.

Siapa duga mendadak dilihatnya gadis itu lagi duduk bersila, wajahnya berseri-seri, sama saja seperti orang tidak merasakan sesuatu. Keruan kejut Pau Put-tong lebih hebat, pikirnya, "Wah, celaka, jangan-jangan Lakmoay telah meninggal terpengaruh oleh getaran suara kecapi itu? Biasanya ia suka seni musik, suka memetik kecapi dan menyanyi, kepandaiannya dalam hal ini harus dipuji. Dan orang yang paham seni musik tentu akan lebih tajam pula daya tariknya kepada getaran suara kecapi itu.”

Dalam khawatirnya, dengan menahan getaran jantung sendiri, segera Put-tong berlari mendekati A Pik, selagi hendak memeriksa pernapasan hidung anak dara itu, tiba-tiba terlihat tangan A Pik bisa bergerak perlahan.

Put-tong tambah kaget, "Mengapa orang mati bisa bergerak?” demikian pikirnya.

Ia lihat anak dara itu memasukkan tangan ke dalam baju, lalu mengeluarkan sesuatu, karena keadaan gelap gulita, maka tidak jelas benda apakah yang dikeluarkan A Pik.

Tapi segera terdengar suara "tring-tring” dua kali, suara itu timbul dari depan A Pik. Suara nyaring merdu, terang bunyi semacam alat musik kecil. Dan begitu suara itu lenyap, lamban laun suara kecapi dalam hutan sana yang berirama cepat lantas berubah menjadi lambat.

Waktu alat musik di pangkuan A Pik itu berbunyi lagi dua kali, maka suara kecapi pihak sana menjadi lebih lambat pula.

Sungguh girang Kongya Kian, Hian-lan dan lain-lain tak terkatakan, lebih-lebih Pau Put-tong, ia berjingkrak senang. Mereka sama pikir, "Sungguh tidak nyana nona cilik A Pik ini bisa memiliki kepandaian seperti ini, dapat menggunakan suara musik untuk melawan suara musik musuh, dengan suara perlahan melawan suara keras hingga suara kecapi lawan dapat dipengaruhi.”

Dalam pada itu suara kecapi dalam hutan telah berubah lagi iramanya, tiba-tiba bernada tinggi lalu dibunyikan dalam nada rendah. Begitu pula A Pik lantas membunyikan kecapinya mengikuti irama orang.

Dengan demikian, Hong Po-ok dan para padri Siau-lim-si telah terlepas dari siksaan suara kecapi tadi. Setelah menarik napas dalam-dalam, Po-ok berteriak, "Bangsat itu telah bikin susah kita, ayolah kita terjang dia!”

Habis berkata, segera ia mendahului menyerbu ke dalam hutan sana dengan golok terhunus.

Waktu Kongya Kian memondong Ting Pek-jwan, ia merasa napas sang toako sangat lemah, tapi tidak putus,

itulah tanda keracunan hawa berbisa yang disebarkan wanita cantik tadi, namun jiwanya sementara ini tidak beralangan. Hanya dikhawatirkan musuh terlalu lihai, Hong Po-ok sudah keracunan, jangan-jangan akan terjebak musuh lagi, maka sesudah meletakkan Pek-jwan, segera Kongya Kian bersama Pau Put-tong menyusul saudara angkat itu.

Begitu pula para padri Siau-lim-si karena tadi telah tersiksa oleh guncangan suara kecapi, dengan menghunus senjata masing-masing segera mereka pun memburu ke dalam hutan.

Tapi aneh bin ajaib, di tengah hutan ternyata tiada bayangan seorang pun, sebaliknya suara kecapi itu selalu berpindah-pindah, sebentar di timur, lain saat di barat, terkadang seperti di depan sana tahu-tahu sudah di belakang, hingga membikin bingung orang bagai digoda setan iblis.

Cuma suara kecapi itu sekarang sudah lambat dan merdu enak didengar serta tidak membikin guncang jantung pendengarnya, sebaliknya membuat orang merasa segar malah.

Karena tidak ketemukan musuh, dengan gemas Hong Po-ok mencaci maki serabutan, kemudian mereka keluar dari hutan. Sementara itu suara kecapi A Pik telah dapat bergabung dengan suara kecapi pihak lawan hingga terjadi perpaduan suara yang sangat indah.

Kongya Kian dan lain-lain cukup berpengalaman, mereka tahu di dunia persilatan ada segolongan orang yang tinggi lwekangnya dapat menggetar sukma pihak lawan dengan berbagai suara yang aneh, lalu membunuh lawan itu. Walaupun sekarang terdengar suara kecapi A Pik tidak mirip sedang bertempur dengan orang melainkan lebih pantas dikatakan sedang latihan, namun kejadian aneh di dunia Kangouw susah diduga, maka mereka tetap waspada, Pau Put-tong dan Hong Po-ok pun berjaga-jaga di depan anak dara itu. Begitu pula Hian-lan siap berdiri di belakang A Pik untuk membantu bilamana perlu.

Selang sejenak, suara kecapi dalam hutan itu mulai cepat, semula A Pik masih bisa mengikutinya, tapi dalam sekejap saja sudah ketinggalan.

"Hahahaha! Nona cilik, kau berani mengadu kecapi dengan Khim-sian Toako (Kakak Dewa Kecapi) kami, itu namanya kau cari penyakit sendiri,” demikian si sastrawan linglung tadi tiba-tiba bergelak tertawa. "Nah, lekas menyerah kalah saja, mengingat usiamu masih muda, mungkin toako kami akan suka mengampuni jiwamu.”

Kongya Kian dan lain-lain juga sudah mendengar suara kecapi A Pik kalah cepat daripada lawan, juga kalah nyaring dan kalah jelas iramanya, tampaknya pertandingan suara kecapi ini A Pik telah dikalahkan. Maka semua orang saling pandang dengan muram.

Selang sejenak lagi, meski A Pik berusaha sebisanya tetap suara kecapinya tak bisa mengikuti irama kecapi lawan. Mendadak ia petik keras dua kali, lalu berhenti dan berseru dengan tertawa, "Suhu, aku tak sanggup lagi mengikutimu!”

Segera suara kecapi dalam hutan juga berhenti, lalu terdengar suara seorang tua bergelak tertawa dan menyahut, "Dara cilik dapat mencapai tingkatan ini sudah lumayanlah!”

Sungguh girang dan kejut sekali semua orang. Dari tanya-jawab mereka itu, agaknya si pemetik kecapi di hutan itu adalah guru A Pik. Hal ini bukan saja membuat Hian-lan terkejut, bahkan Kongya Kian dan si sastrawan linglung dengan kawan-kawannya juga terheran-heran.

Maka tertampaklah dari dalam hutan muncul seorang tua dengan lengan baju yang longgar, wajah orang tua ini sangat aneh, jidatnya nonong, tulang pipinya menonjol, selalu berseri-seri, tampaknya sangat ramah tamah.

Dan demi tampak orang tua aneh, itu, segera A Pik berseru dengan gembira, "Suhu, baik-baikkah engkau!”

Segera ia pun berlari-lari memapak ke sana.

"Toako!” demikian si sastrawan linglung dan kawan-kawannya juga lantas menyapa.

Orang tua itu menjulurkan kedua tangan ke depan, ia pegang tangan A Pik dan berkata dengan tertawa, "A Pik, wah, sudah begini besar kau sekarang!”

Air muka A Pik menjadi kemerah-merahan, dan belum lagi menjawab, tiba-tiba si orang tua berkata kepada Hian-lan sambil soja, "Padri saleh Siau-lim-si manakah yang berada di sini, barusan Siauloji (orang tua) banyak mengganggu, harap maaf.”

"Lolap Hian-lan adanya,” sahut Hian-lan sambil balas hormat.

"Aha, kiranya Hian-lan Suheng,” kata orang tua itu. "Dan Hian-koh Taysu tentu saudara seperguruanmu bukan? Siauloji dulu sering bertemu dengan beliau dan satu sama lain sangat cocok, keadaan beliau tentu sehat-sehat saja, bukan?”

Tapi dengan muram Hian-lan menjawab, "Hian-koh Suheng telah wafat disergap oleh muridnya yang khianat itu.”

Orang tua itu tampak melengak sekejap, mendadak ia meloncat setinggi beberapa meter ke atas, belum lagi turun kembali ia sudah menangis tergerung-gerung di udara.

Hian-lan dan Kongya Kian terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa watak orang tua itu ternyata mirip anak kecil saja, sesudah turun ke tanah, orang tua itu lantas duduk sambil membubut-bubuti jenggot sendiri dan kedua kaki mengentak tanah serta sesambatan pula, "O, Hian-koh, kau mau mati, kenapa tidak memberitahukan lebih dulu padaku? Ai, terlalu kau! Untuk selanjutnya laguku ‘Hoan-im-bo-ciau’ (Nyanyian Memuji Buddha) takkan ada yang paham lagi, hanya engkau yang mengatakan bahwa laguku ini berisi jiwa Buddha dan dapat menambah kemajuanmu, maka berulang-ulang engkau ingin mendengarkan. Hian-lan sutemu ini belum tentu memiliki kesadaran setinggi dirimu, kepadanya akan sama saja seperti aku memetik kecapi di depan kerbau! O, nasibku ini memang malang!”

Ketika mendengar orang tua itu menangisi kematian suhengnya, semula Hian-lan mengira tentu dia seorang sahabat yang baik, tapi makin didengar makin tak genah, kiranya yang ditangisi orang tua itu adalah karena merasa kehilangan seorang pendengarnya yang dapat menyelami lagu kecapi yang digubahnya, bahkan akhirnya Hian-lan dianggap sebagai kerbau yang bodoh dan tak dapat memahami seni suara.

Tapi Hian-lan adalah seorang padri saleh, ia tidak marah meski mendengar ucapan yang menyinggung martabatnya itu, hanya tersenyum saja dan berkata dalam hati, "Rombongan mereka ini memang orang sinting semua, susah untuk diajak bicara benar. Lwekang orang tua ini sangat tinggi, tapi wataknya juga angin-anginan kawan-kawannya, dasar!”

Dalam pada itu si orang tua lagi menangis pula. "Hian-koh, wahai, Hian-koh, guna membalas kebaikanmu, dengan susah payah aku telah menggubah sebuah lagu baru untukmu, tapi belum lagi sempat mendengar kau sudah keburu mendaftarkan diri ke akhirat!”

Tiba-tiba ia berpaling kepada Hian-lan dan bertanya, "Di manakah letak kuburan Hian-koh Suheng? Lekas membawa aku ke sana, lekas! Makin cepat makin baik. Setiba di sana, aku akan membawakan lagu gubahanku yang baru ini, boleh jadi sesudah mendengar dia akan hidup kembali!”

"Hendaknya Sicu jangan sembarangan bicara,” sahut Hian-lan. "Sesudah Suheng wafat, sudah tentu beliau telah diabukan!”

Orang tua itu tertegun sejenak, mendadak ia melompat bangun dan berseru, "Bagus! Nah, boleh kau serahkan abu tulangnya padaku, akan kubuat menjadi semen dan kulebur pada kecapiku, dengan demikian dia akan selalu mendengar laguku setiap kali kupetik. Nah, caraku sini sangat bagus, bukan? Hahaha!”

Saking senangnya hingga dia lupa daratan, ia bergelak tertawa sambil bertepuk tangan. Tapi mendadak dilihatnya si wanita cantik tadi menggeletak di sebelah sana, ia berseru kaget, "Hai, Jitmoay, kau kenapa? Siapa yang melukaimu?”

"Suhu,” lekas-lekas A Pik menerangkan, "dalam urusan ini telah terjadi sedikit salah paham, syukurlah sekarang Suhu sudah datang, tentu segala sesuatu dapat dibicarakan dengan baik.”

"Salah paham apa? Siapa yang salah paham?” demikian orang tua itu menegas. "Pendek kata, orang yang mencelakai Jitmoay pasti bukan orang baik. Wah, kiranya Patte juga terluka, dan orang yang melukai Patte tentu juga bukan manusia baik-baik. Ayo, siapa itu yang bukan manusia baik-baik, lekas laporkan diri untuk diambil tindakan yang adil. A Pik, coba pergi ke atas pohon sana untuk mengambilkan alat tetabuhanku.”

A Pik mengiakan terus berlari ke tengah hutan tadi. Dari jauh semua orang dapat melihat bayangan A Pik melompat dari satu pohon ke lain pohon, setelah turun ke tanah, lalu melompat lagi ke atas pohon yang lain.

Baru sekarang Hian-lan, Kongya Kian dan lain-lain paham duduknya perkara. Kiranya orang tua itu telah menaruh beberapa buah kecapi di atas pohon, lalu dipetiknya dari jauh dengan tenaga dalam yang kuat, sebab itulah suara harpa tadi bisa mendadak di timur, lalu di barat, tiba-tiba di depan, tahu-tahu di belakang lagi hingga membingungkan mereka yang mencarinya.

Cuma kalau melihat cara A Pik naik-turun pohon itu, jarak di antara pohon-pohon itu sedikitnya ada belasan meter jauhnya, masakah lwekang si orang tua sudah sedemikian tingginya hingga dapat mencapai jarak sejauh itu? Apalagi mesti memetik kecapi menurut irama tertentu sungguh kepandaian sehebat ini sukar untuk dibayangkan.

Dalam pada itu kelihatan A Pik sudah berlari kembali dengan membawa beberapa buah harpa. Sampai di tengah jalan, mendadak gadis itu tergeliat dan jatuh tersungkur.

Keruan si orang tua penabuh harpa, Kongya Kian dan lain-lain terkejut. Cepat Kongya Kian berlari mendekati A Pik. Tapi mendadak di sebelahnya angin berkesiur, si orang tua sudah mendahului melayang ke depan dan A Pik lantas dipondongnya dengan kedua tangan.

Diam-diam Kongya Kian memuji kehebatan ginkang orang tua itu. Ketika ia susul sampai di depan mereka, ia lihat wajah A Pik merah segar, malahan mengulum senyum, maka hilanglah rasa khawatirnya. Katanya menggoda, "Lakmoay, jangan sok manja pada gurumu. Ai, aku benar-benar kaget barusan.”

A Pik ternyata tidak menjawab, sekonyong-konyong ada beberapa tetes air menjatuhi muka A Pik yang ayu itu. Kongya Kian tercengang, waktu ia perhatikan, tiba-tiba dilihatnya wajah si orang tua muram sedih dan air matanya bercucuran. Sudah tentu ia heran, katanya, "Kembali penyakit gila kakek ini angot lagi?”

Tapi si kakek mendadak melotot sekali kepada Kongya Kian sambil membisiki, "Jangan bersuara!”

Lalu ia pondong A Pik dan sepat melangkah ke arah rumah.

"Lakmoay, kenapa kau....” baru sekian ucapan Hong Po-ok yang sementara itu telah memapak, tiba-tiba si kakek memotong ucapannya, "Ssst, jangan bersuara! Bencana tiba, bencana tiba!”

Lalu ia celingukan kian-kemari seperti maling khawatir kepergok, air mukanya tampak penuh rasa khawatir, kemudian ia berkata pula, "Wah, tidak keburu lari lagi! Ayo, lekas masuk ke dalam rumah!”

Dasar Pau Put-tong memang paling suka menyanggah setiap kehendak orang lain, demi mendengar ucapan orang tua itu sampai gemetar suaranya, segera ia berteriak, "Bencana apa? Apakah langit akan ambruk?”

"Lekas, lekas masuk ke dalam sana!” seru orang tua itu.

"Mau masuk, silakan! Aku orang she Pau masih ingin makan angin di sini, Lakmoay....” baru sekian Pau Puttong menjawab, mendadak orang tua yang memondong A Pik itu menjulurkan sebelah tangannya dan kontan hiat-to di dada Pau Put-tong kena dijambretnya.

Saking cepat serangan si orang tua hingga sedikit pun Pau Put-tong tak bisa berkelit dan tahu-tahu tak bisa berkutik lagi, ia merasa tubuh sendiri terangkat ke atas, kaki terapung di atas tanah, tanpa kuasa ia dicangking masuk ke dalam rumah oleh si orang tua.

Keruan Hian-lan dan Kongya Kian sangat terperanjat. Selagi mereka hendak bicara, namun si orang bersenjata papan catur tadi sudah berkata, "Toasuhu, lekas kita masuk ke dalam rumah, ada seorang iblis raksasa mahalihai sebentar lagi akan datang!”

Ilmu silat Hian-lan sendiri jarang ada tandingannya di dunia persilatan, sudah tentu ia tidak takut kepada segala iblis besar atau kecil. Segera ia tanya, "Iblis raksasa siapa? Apakah Kiau Hong?”

"Bukan, bukan! Jauh lebih lihai daripada Kiau Hong,” sahut orang itu sambil menggeleng kepala. "Ialah Singsiok Lokoay.”

"Hah, Sing-siok Lokoay?” Hian-lan menegas dengan kaget. "Itulah kebetulan, memang Lolap hendak mencari dia.”

"Ilmu silatmu tinggi, sudah tentu tidak takut padanya,” kata orang itu. "Tapi kalau semua orang yang berada di sini terbunuh dan tinggal kau sendiri yang hidup, wah, engkau ini sungguh seorang welas asih!”

Sindiran terakhir ini ternyata sangat manjur, sebab Hian-lan lantas tercengang, ia pikir ucapan orang memang betul juga, maka katanya, "Baiklah, mari kita masuk semua!”

Dan pada saat itu juga Suhu A Pik setelah meletakkan anak dara itu dan Pau Put-tong di dalam rumah, ia lari keluar lagi sambil mendesak berulang-ulang, "Ayo, lekas, lekas! Tunggu apa lagi!”

Ia lihat di antara orang-orang itu yang paling bandel adalah Hong Po-ok, orangnya petantang-petenteng tak mau menurut, langsung ia tampar mukanya. Meski Po-ok sangat gemar berkelahi dan cekatan pula, tapi sama sekali tak terduga olehnya bahwa guru sang lakmoay tidak segan-segan melabrak dia, sedangkan waktu itu racun dingin dalam tubuhnya terasa akan kumat lagi, maka ketika serangan si orang tua tiba, sedapatnya ia menunduk untuk menghindari. Siapa tahu tangan si orang tua mendadak diturunkan juga hingga tengkuk Hong Po-ok cepat kena dicengkeram.

"Lekas, lekas masuk sana!” demikian seru si orang tua pula. Dan seperti elang mencengkeram anak ayam, Pook terus dicangking masuk ke dalam rumah.

Keruan Kongya Kian merasa kehilangan muka, dua orang saudara angkatnya hanya sekali gebrak saja sudah kena dibikin tak berkutik oleh si kakek, meski kakek itu adalah guru A Pik dan tak bisa dikatakan orang luar, tapi betapa gagah dan terkenalnya nama Koh-soh Buyung, masakah anak buah Buyung-kongcu sedemikian tak becus dan terjungkal habis-habisan di hadapan para padri Siau-lim-si.

Hian-lan dapat melihat sikap Kongya Kian yang lesu itu dan dapat pula menerka perasaannya. Ia lihat si orang tua aneh membekuk Pau Put-tong dan Hong Po-ok dengan cara yang sangat cepat sekali, tapi toh begitu ketakutan terhadap Sing-siok Lokoay, hal ini menandakan bahwa gembong iblis itu memang tidak boleh dipandang remeh. Maka katanya segera, "Kongya-sicu, lebih baik masuk saja ke dalam, nanti kita rundingkan lebih jauh lagi.”

Maka para padri Siau-lim-si lantas menggotong jenazah Hian-thong, Kongya Kian pun memondong Ting Pekjwan dan beramai-ramai masuk ke dalam rumah dengan cepat.

Saat itu guru A Pik sudah keluar lagi untuk mendesak, melihat semua orang sudah masuk rumah, segera ia tutup pintu rapat-rapat dan mestinya akan dipalang sekalian, tapi si orang bersenjata papan catur tadi telah mencegahnya, "Toako, pintu ini lebih baik dibiarkan terbuka saja. Dengan demikian tentu dia akan ragu dan tidak berani sembarangan menerjang masuk.”

"O, begitukah kiranya? Baiklah, kuturut saranmu!” sahut si kakek, namun nadanya jelas meragukan hasilnya.

Sungguh Hian-lan dan Kongya Kian tidak habis heran, ilmu silat si kakek sudah terang sangat tinggi, mengapa menghadapi musuh yang belum kelihatan sudah sedemikian gugupnya? Padahal soal pintu itu ditutup atau tidak apa artinya bagi Sing-siok Lokoay yang mahasakti itu? Mereka menduga kakek ini dahulu pasti pernah mengalami siksaan hebat dari Sing-siok Lokoay hingga sekarang ia kapok benar-benar terhadap iblis itu, makanya begitu mencium bau lantas ketakutan setengah mati.

Begitulah terdengar si kakek berulang-ulang mendesak kawannya si tukang kayu, "Lakte, lekas cari jalan, lekas mencari akal!”

Betapa pun sabarnya Hian-lan, akhirnya menjadi dongkol juga melihat kelakuan si kakek yang penakut itu. Segera katanya, "Lotiang (bapak), andaikan Sing-siok Lokoay itu memang mahajahat dan lihai, kalau kita mau bersatu untuk melawannya juga belum tentu akan kalah, mengapa mesti... mesti begitu hati-hati?”

Sebenarnya ia hendak mengatakan "kenapa mesti ketakutan”, tapi ia khawatir menyinggung perasaan orang hingga kalimat itu digantinya sebelum terucapkan.

Sementara itu di ruangan situ sudah dinyalakan api lilin, di bawah cahaya lilin Hian-lan melihat bukan saja si kakek tadi tampak khawatir bahkan si orang bersenjata papan catur, kedua susing dan lain-lain juga kelihatan sangat takut. Padahal tadi telah disaksikannya ilmu silat orang-orang itu cukup tinggi, apalagi sifat mereka itu semuanya seperti orang sinting, segala urusan dianggap seperti permainan saja, siapa duga kini begitu ketakutan dan berubah menjadi pengecut, sungguh susah untuk dimengerti.

Dalam pada itu si tukang kayu yang diminta mencari akal itu hanya mengangguk saja, lalu ia keluarkan sebuah meteran, ia mengukur-ukur di sudut ruangan, lantas geleng-geleng kepala. Kemudian ia bawa cektay (tatakan lilin) dan menuju ke belakang. Semua orang lantas mengikut di belakangnya.

Sepanjang jalan tukang kayu itu meneliti kian-kemari dan ukur sini dan ukur sana, tapi hasilnya selalu gelenggeleng kepala. Setiba di ruangan dalam, mendadak ia meloncat ke atas dan mengukur belandar rumah, kembali ia geleng-geleng kepala pula dan turun kembali serta melanjutkan ke ruangan lebih belakang lagi.

Setiba di ruangan layon, ia teliti beberapa kali di sekitar peti mati Sih-sin-ih yang kosong itu lalu geleng-geleng kepala pula dan berkata, "Sayang, sayang!”

"Bagaimana? Apa tak berguna?” tanya si kakek penabuh kecapi.

"Ya, tentu akan diketahui Susiok,” sahut si tukang kayu.

"Masih kau panggil dia sebagai... sebagai susiok?” seru si kakek dengan gusar.

Si tukang kayu hanya menggeleng kepala saja lalu berjalan pula ke belakang.

"Selain menggeleng kepala, rupanya orang ini tidak becus apa-apa lagi,” demikian pikir Kongya Kian.

Sepanjang jalan si tukang kayu itu masih terus ukur sini dan ukur sana sambil menghitung-hitung setiap langkah, lagaknya persis seorang arsitek, seorang pemborong lagi merancang bangunan yang akan didirikannya. Dan akhirnya sampailah di tengah taman di belakang rumah.

Sambil memegang tatakan lilin si tukang kayu merenung sejenak, tiba-tiba ia mendekati sederetan lumpang batu yang berjumlah lima buah banyaknya, ia pikir pula sebentar, lalu taruh tatakan lilin di tanah, jalan ke sisi kiri ke samping lumpang batu yang kedua, ia raup beberapa tangkup pasir dan dimasukkan ke dalam lumpang itu, lalu ia angkat sebuah alu batu bertangkai yang terletak di samping lumpang dan mulai ia menumbuk, maka terdengarlah suara "blang-blung” yang keras.

Diam-diam Kongya Kian mengurut dada, pikirnya, "Sialan benar! Dasar orang gila semua, dalam keadaan begini dia masih bisa iseng main tumbuk padi segala. Kalau yang ditumbuk memang padi sih dapat dimengerti, tapi dalam lumpang itu sudah terang cuma pasir belaka, memangnya dia akan makan pasir? Sungguh sialan!”

Syukurlah ia lihat sang toako, yaitu Ting Pek-jwan, keadaannya baik-baik saja, meski tak sadarkan diri, tapi seperti orang tertidur karena mabuk arak dan tiada tanda bahaya.

Dalam pada itu suara "blang-blung-blang-blung” masih terdengar terus, sesudah belasan kali si tukang kayu menumbuk lumpang batu itu, sekonyong-konyong sejauh belasan meter di pojok taman sebelah timur sana terdengar mengeluarkan suara keriang-keriut.

Suara keriang-keriut itu sangat perlahan, tapi betapa tajam telinga Hian-lan dan Kongya Kian sedikit mendengar sesuatu suara yang mencurigakan, segera pandangan mereka beralih ke arah sana. Maka tertampaklah dari arah yang bersuara keriang-keriut itu tumbuh empat batang pohon besar secara berjajar.

Sedangkan suara "blang-blung” masih terus berbunyi karena si tukang kayu tiada hentinya menumbuk lumpang batu itu. Aneh juga, pohon kedua di sebelah timur itu tiba-tiba bisa bergeser memisahkan diri dengan perlahan.

Selang sejenak pula, kini semua orang dapat melihatnya dengan jelas bahwa setiap kali alu di tangan si tukang kayu itu menumbuk lumpang, maka pohon itu lantas bergeser sedikit ke samping.

Mendadak si kakek berjidat nonong itu berseru girang, terus saja ia berlari ke pohon itu, katanya dengan suara perlahan, "Ya, benar, inilah dia!”

Waktu semua orang ikut mendekat, maka tertampaklah tempat pohon bergeser itu kelihatan sepotong papan batu yang besar, di atas papan batu itu terpasang sebuah gelang besi.

Kejut, kagum, dan malu pula Kongya Kian. Katanya dalam hati, "Alat rahasia di bawah tanah ini teratur dengan sangat bagus hingga susah dibayangkan oleh siapa pun juga. Tapi si tukang kayu berkapak ini dalam waktu singkat saja dapat menemukan tempat rahasia ini, betapa pintar dan cerdiknya sungguh tidak di bawah pembuat alat rahasia ini.”

Dan sesudah menumbuk lagi belasan kali, papan besar itu kelihatan seluruhnya. Segera si kakek aneh memegang gelang besi itu dan menariknya, tapi tidak bergerak sedikit pun. Selagi ia hendak menarik lebih kuat lagi, tiba-tiba si tukang kayu berseru, "Nanti dulu, Toako!”

Mendadak ia lompat ke atas lumpang batu ujung kanan sana, ia buka celana terus membuang air sambil berseru, "Ayo, semuanya ke sini, kencinglah beramai-ramai!”

Semula si kakek melengak, tapi segera ia lepaskan gelang besi itu dan memburu ke tempat kawannya. Seketika si orang bersenjata papan catur, kedua susing, ditambah si kakek nonong dan si tukang kayu sendiri beramairamai mereka membuang air kecil ke dalam lumpang batu.

Dalam suasana lain mungkin Kongya Kian dan lain-lain akan merasa geli atas tingkah laku orang-orang sinting itu. Tapi hanya sebentar saja semua orang lantas mengendus bau belerang, bau obat pasang. Lalu terdengar si tukang kayu berseru, "Cukuplah sudah, tak berbahaya lagi!”

Kalau kawan-kawannya lantas berhenti kencing, hanya si kakek nonong belum mau sudah, air seninya masih terus mancur bagaikan air leding, bahkan mulutnya ikut mengomel pula, "Sayang, kembali kurusak sebuah perangkap rahasia lagi! Eh, Lakte, untung kau keburu mencegah kalau tidak, wah, tentu sekarang kita sudah menjadi perkedel semua!”

Setelah mencium bau belerang itu, maka Kongya Kian dan lain-lain merasa ngeri juga. Mereka insaf dalam saat sesingkat itu mereka telah lolos dari lubang jarum dan nyaris hancur.

Nyata di bawah gelang besi yang ditarik-tarik si kakek itu tergandeng kabel obat pasang, sekali gelang besi itu terangkat hingga meledak dinamit yang sudah dipendam di situ, maka pasti hancur lebur mereka. Untung si tukang kayu sangat cerdik dan cepat mengajak kawan-kawannya mengencingi sumbu dinamit itu hingga basah, dengan demikian barulah mereka terbebas dari bencana.

Kemudian si tukang layu memutar sekuatnya lumpang ujung kanan itu tiga kali, lalu ia menengadah dan berkomat-kamit entah menghafalkan apa, sesudah berpikir sejenak segera lumpang itu diputar lagi ke arah yang berlawanan, maka terdengarlah suara berkeriut perlahan, tahu-tahu papan batu tadi tertarik masuk ke bawah tanah hingga berwujudlah sebuah lubang.

Sekali ini si kakek nonong tidak berani sembrono lagi, ia memberi tanda agar si tukang kayu berjalan di depan.

Namun si tukang kayu diam saja dan tiba-tiba berjongkok untuk memeriksa lumpang batu pojok kiri. Pada saat lain sekonyong-konyong dari bawah tanah terdengar suara orang memaki, "Sing-siok Lokoay, kakek moyangmu ya! Kau jahanam keparat, haram jadah! Bagus, bagus, akhirnya dapat kau temukan aku. Baiklah, anggaplah kau memang lihai. Kejahatanmu sudah kelewat takaran, pada suatu hari pasti akan kau terima ganjaranmu! Nah, masuklah sini, masuklah untuk membunuh aku!”

Suatu itu dikenal betul Hian-lan adalah suara Sih-sin-ih. Keruan ia sangat girang.

Tapi si kakek nonong tadi lantas berseru, "Gote, akulah adanya! Kami sudah datang dengan komplet!”

Suara di dalam lubang itu berhenti sejenak lalu berseru, "He, apa betul di situ Toako adanya?”

"Ya,” sahut si kakek. "Kalau tiada Lakte, masakah kami mampu membuka kulit kura-kuramu yang keras ini!”

Sekejap kemudian, "siut” mendadak dari bawah tanah menongol keluar seorang, siapa lagi dia kalau bukan Sih-sin-ih? Rupanya ia tidak menduga bahwa selain si kakek nonong dan kawan-kawannya masih terdapat pula Hian-lan dan banyak lagi, maka ia kelihatan tercengang.

Buru-buru si kakek nonong berkata, "Sementara ini tidak sempat buat bicara, ayolah lekas menyusup masuk lagi, bawa serta Jitmoay dan muridku untuk diberi obat. Apa tempat di bawah dapat memuat orang sebanyak ini?”

"Eh, Taysu, engkau juga berada di sini? Beberapa orang ini apa juga kawan sendiri?” segera Sih-sin-ih menyapa Hian-lan.

Untuk sejenak Hian-lan ragu, tapi akhirnya menjawab juga, "Ya, semuanya kawan sendiri!”

Sebenarnya pihak Siau-lim-si sudah anggap Hian-pi Taysu ditewaskan oleh Koh-soh Buyung-si maka orang she Buyung itu dipandang sebagai musuh terbesar. Tapi sekali ini mereka telah mohon obat bersama ke tempat Sih-sin-ih ini, sepanjang jalan Pek-jwan dan Kongya Kian telah memberi penjelasan bahwa sekali-kali Hian-pi Siansu bukan dibunuh oleh Buyung-kongcu, untuk ini Hian-lan sudah percaya sebagian besar, apalagi mereka lalu menghadapi musuh bersama dan senasib seperjuangan, maka sekarang ia pun tidak sangsi lagi untuk mengaku rombongan Kongya Kian sebagai kawan.

Mendengar jawaban Hian-lan itu, Kongya Kian juga balas mengangguk kepada padri itu sebagai tanda terima kasih yang tak terucapkan.

Dalam pada itu Sih-sin-ih telah menyahut pertanyaan si kakek tadi, "Di bawah sana cukup luas, tiga kali jumlah ini juga dapat muat, ayolah masuk semua ke bawah. Silakan Hian-lan Taysu lebih dulu!”

Walaupun begitu katanya, tidak urung ia mendahului menyusup ke bawah. Ia cukup tahu peraturan Kangouw, di tempat yang gelap gulita penuh rahasia itu betapa pun orang tentu merasa sangsi, jika ia sendiri mendahului di depan barulah akan menghindarkan rasa sangsi orang lain.

Dan sesudah Sih-sin-ih menyusup ke bawah, Hian-lan juga tidak sungkan-sungkan lagi, segera ia pun menyusul masuk ke dalam, lalu diikuti yang lain, jenazah Hian-thong juga digotong masuk.

Waktu Sih-sin-ih putar tombol alat rahasia itu maka papan batu besar tadi lantas mumbul ke atas hingga tertutup dengan rapat. Ketika tombol diputar lagi, pohon yang menggeser minggir tadi lantas kembali juga di atas papan batu.

Di dalam situ adalah sebuah lorong batu, semua orang harus berjalan dengan setengah berjongkok. Tak lama kemudian, jalan lorong itu makin naik ke atas, kiranya mereka berada di dalam sebuah terowongan alam yang panjang.

Setelah berjalan puluhan meter jauhnya, akhirnya mereka sampai di suatu gua yang amat luas. Di pojok gua tertampak berkumpul belasan orang, ada tua-muda, laki-perempuan dan anak-anak. Ketika mendengar suara tindakan orang, maka orang-orang itu sama menoleh.

"Mereka ini anggota keluargaku,” tutur Sih-sin-ih. "Dalam keadaan bahaya, tidak sempat untuk diperkenalkan satu per satu. Nah, Toako, Jiko, ceritakanlah cara bagaimana kalian bisa sampai di sini.”

Sebagai seorang tabib ulung, tanpa menunggu jawaban si kakek nonong ia lantas memeriksa keadaan yang terluka. Yang pertama diperiksa adalah Hian-thong.

"Taysu ini wafat dengan sempurna, sungguh harus dibuat girang dan diberi selamat,” katanya kemudian. Dan setelah memeriksa Ting Pek-jwan ia berkata dengan tersenyum, "Serbuk bunga Jitmoay kami hanya membuat orang mabuk saja, sebentar lagi dia akan sadar sendiri dan tak berbahaya.”

Sedangkan luka si wanita cantik dan si pemain sandiwara adalah luka luar, hal ini bagi Sih-sin-ih sudah tentu dianggap perkara kecil saja.

Ketika giliran A Pik diperiksa, sekonyong-konyong Sih-sin-ih berseru, "Hah, Sing-siok... Sing-siok Lokoay benar-benar sudah datang. Wah... racunnya ini aku tidak sanggup menyembuhkannya.”

"Wah, lantas bagaimana baiknya? Harap tabib sakti suka menolongnya sedapat mungkin,” seru Kongya Kian dengan khawatir.

"Uwaaaahh!” tiba-tiba di sebelah sana si kakek nonong menangis seperti anak kecil.

"Toako,” kata Ceng-cu, "‘Manusia zaman purba tidak kenal kegembiraan hidup, dan tidak kenal sedih kalau mati’. Sekarang muridmu terkena racun Susiok jahanam kita itu, jika tak bisa disembuhkan, ya, sudahlah, buat apa mesti menangis segala?” demikian si sastrawan linglung ikut berkata.

"Tapi sudah delapan tahun muridku yang baik ini berpisah dengan aku dan baru saja kami berjumpa kembali, jika dia mati tentu saja aku sedih,” demikian sahut si kakek dengan marah-marah. "O, A Pik, kau tidak boleh mati, seribu kali tidak boleh mati.”

Ketika Kongya Kian, Pau Put-tong dan lain-lain memandang A Pik, tertampak air maka anak dara itu bertambah merah hingga makin cantik menyenangkan. Tapi darah di bawah kakinya seakan-akan merembes keluar.

"Sih-sin-ih, keracunan apakah adik kami ini?” tanya Kongya Kian.

Mendadak si sastrawan linglung menyela, "Nona cilik ini adalah murid Toako kami dan aku terhitung susioknya. Sedang kau adalah saudara angkat si nona cilik, kalau diurutkan terang kau lebih rendah satu angkatan daripada kami. Kata Khonghucu, ‘Sebutan yang tepat harus ditaati’!”

"Pantasnya kau mesti panggil aku sebagai susiok dan juga tidak boleh memanggil Sih-sin-ih secara sembarangan melainkan harus menyebut Sih-susiok, tahu?”

Sementara itu Sih-sin-ih duga sudah memeriksa nadi Pau Put-tong dan Hong Po-ok, sudah diperiksanya pula lidah kedua orang. Lalu memejamkan mata dan memeras otak. Orang lain tidak berani mengganggu renungannya dan tiada seorang pun memedulikan tangisan si kakek dan ocehan si sastrawan linglung yang sok nabi itu.

Selang tak lama, tiba-tiba Sih-sin-ih menggeleng-geleng kepala, katanya, "Aneh, aneh sekali! Siapa orang yang melukai kedua saudara ini?”

"Seorang pemuda berkerudung besi,” tutur Kongya Kian.

"Pemuda? Ah, mustahil masih muda?” kata Sih-sin-ih pula. "Ilmu silat orang ini meliputi golongan cing dan sia yang hebat. Lwekangnya tinggi, sedikitnya sudah melatih diri selama 30 tahun, mana bisa seorang muda?”

"Orang itu pernah menyelundup ke Siau-lim-si dan sama sekali kami tidak mengetahui, sungguh kami harus merasa malu,” ujar Hian-lan.

"Ai, memalukan juga, tentang racun yang mengeram di tubuh kedua saudara ini aku pun tak bisa berbuat apaapa, sungguh menyesal, gelaran ‘sin-ih’ untuk selanjutnya aku tidak berani terima lagi,” demikian kata Sih-sinih akhirnya.

"Sih-siansing, jika begitu, biarlah kami mohon pamit saja,” tiba-tiba suara seorang lantang berseru.

Kiranya Ting Pek-jwan adanya. Dia jatuh pingsan karena ditaburi serbuk bunga si wanita cantik, tapi dasar lwekangnya teramat tinggi, kini sudah siuman kembali.

"Ya, benar!” segera Pau Put-tong menanggapi sang toako. "Buat apa main sembunyi di liang ini? Mati-hidup seorang laki-laki sejati sudah ditakdirkan Ilahi, mana boleh meniru sebangsa kura-kura dan celurut, selalu mengeram di dalam liang saja?”

"Huh, besar amat mulut Sicu ini!” jengek Sih-sin-ih. "Apakah kau tahu siapakah gerangan yang akan datang itu?”

"Sudah tentu kami tahu!” mendadak Po-ok menimbrung. "Kalian takut kepada Sing-siok Lokoay, tidak nanti aku pun takut. Percuma saja kalian sebagai jago silat, sekali mendengar nama Sing-siok Lokoay lantas ketakutan setengah mati seperti ini!”

Di lain pihak si kakek nonong sedang meraba-raba bahu A Pik dengan perlahan, katanya sambil menangis, "A Pik! O, A Pik! Orang yang membunuhmu adalah kau punya susiokco, Suhu sendiri tidak mampu membalaskan sakit hatimu lagi.”

Mendengar orang-orang sinting itu semuanya menyebut Sing-siok Lokoay sebagai susiok (paman guru), diamdiam Kongya Kian sangat heran. Pikirnya, "Sebelum tinggal pergi harus kuselidiki dulu seluk-beluk orangorang ini, agar ada suatu patokan dalam usaha menolong Lakmoay nanti.”

Karena pikiran segera ia bertanya, "Berulang-ulang kalian menyebut Sing-siok Lokoay sebagai susiok, lalu sebenarnya kalian ini orang dari aliran mana?”

Walaupun sudah beberapa tahun mengabdi kepada Buyung-kongcu dan mengangkat saudara dengan Ting Pekjwan dan Kongya Kian berempat ditambah pula A Cu, tentang asal-usul anak dara itu, selama ini tidak pernah ditanyakan.

Maka Hian-lan lantas menyokong, "Ya, benar, apa yang kulihat dan dengar hari ini banyak sekali yang membingungkan, memang Lolap ingin minta keterangan kepada Sih-heng sekalian.”

"Kami berdelapan saudara seperguruan dan berjuluk ‘Yu-kok-pat-yu’ (Delapan Sekawan dari Lembah Sunyi),” demikian Sih-sin-ih mulai menutur. Lalu ia tunjuk si kakek nonong penabuh kecapi dan berkata, "Dia ini toasuko kami. Aku sendiri adalah longo (kelima). Cerita tentang kami ini teramat panjang, rasanya juga tidak perlu diketahui orang luar....”

Baru sekian dia bicara, terdengar suara seorang yang halus tajam sedang berseru, "Sih Boh-hoa, kenapa kau tidak keluar menemui aku? Kheng Kong-leng, kenapa kau tidak memetik kecapi?”

Suara itu halus sekali, tapi sekata demi sekata dapat didengar dengan jelas oleh semua orang yang berada di dalam gua, suara itu seakan-akan dapat menyusup melalui permukaan tanah yang tebal dan tersiar ke dalam telinga setiap orang melalui terowongan di bawah tanah yang berliku-liku itu.

Mendengar itu, si kakek nonong berseru kaget sambil melonjak bangun, serunya, "Itu dia Sing-siok Lokoay!”

Segera Hong Po-ok juga melompat bangun, teriaknya, "Toako, Jiko, marilah kita keluar untuk menempurnya mati-matian!”

"Jangan, jangan!” si kakek mencegah. "Sekali kalian keluar pasti jiwa kalian akan melayang percuma. Ini sih tidak menjadi soal, tapi akibatnya tempat rahasia di bawah tanah ini akan ketahuan musuh dan jiwa berpuluh orang di sini juga akan ikut berkorban karena kecerobohanmu ini!”

"Jika suaranya mampu berkumandang sampai di sini, masakah dia tidak tahu tempat sembunyi kita ini?” ujar Pau Put-tong. "Kukira, biar kau sembunyi seperti kura-kura mengkeret juga akhirnya akan diketemukan dia.”

"Dalam waktu sejam dua jam belum tentu ia mampu masuk ke sini,” ujar si kakek. "Marilah lebih baik kita merundingkan suatu cara yang untuk menyelamatkan diri.”

Orang yang membawa kapak dan berdandan sebagai ahli pertukangan itu sejak masuk dalam gua itu hanya diam saja, kini tiba-tiba menceletuk, "Meski kepandaian Susiok sangat tinggi, tapi untuk bisa memecahkan rahasia gua di bawah tanah ini paling sedikit diperlukan dua jam lamanya. Dan untuk mendapatkan cara agar bisa menyerbu masuk kemari, paling sedikit diperlukan pula dua jam lagi.”

"Jika begitu, jadi kita ada tempo untuk berunding selama empat jam, begitu bukan?” kata si kakek.

"Empat setengah jam,” sahut si tukang kayu.

"Lho, dari mana lagi datangnya setengah jam itu?” tanya si kakek.

"Dalam waktu empat jam ini, aku dapat mengatur tiga perangkap rahasia untuk merintangi serbuannya selama setengah jam,” sahut si tukang.

"Ehm, bagus!” kata si kakek. "Hian-lan Taysu, sebentar kalau berhadapan dengan iblis besar itu kami sudah terang sukar lolos dari tangannya. Tapi kalian adalah orang luar, begitu ketemu tentu iblis itu mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi kami, dan kalian menjadi ada kesempatan untuk melarikan diri. Hendaklah kalian jangan sok kesatria dan menantang dia. Perlu diketahui bahwa selama ini barang siapa mampu lolos di bawah tangan Sing-siok Lokoay dengan selamat, maka orang itu terhitung seorang kesatria gagah perkasa.”

"Ai, baunya, bacin benar bau ini,” mendadak Pau Put-tong berteriak.

Semua orang melengak, segera mereka mengendus-endus dengan hidung, tapi tak tercium sesuatu bau apa-apa, maka dengan wajah penuh tanda tanya semua orang berpaling kepada Pau Put-tong.

"Bukan gas racun, tapi orang ini baru saja kentut, wah, baunya tak tahan,” kata Pau Put-tong sambil menuding si kakek nonong dan tangan yang lain tetap mendekap hidung.

Tadi hanya sekali gebrak saja Pau Put-tong kena dibekuk orang tua itu, maka sampai sekarang ia masih penasaran. Dasar jiwanya memang gagah berani, tidak takut langit, tidak gentar bumi, biar tahu kepandaian sendiri bukan tandingan lawan juga tidak mau menyerah, maka ia masih terus mencaci maki.

Orang yang bersenjata papan catur melotot sekali pada Pau Put-tong, lalu mengejek, "Huh, untuk lolos dari tangan Toasuheng kami saja kau tidak mampu, apalagi ilmu silat susiok kami itu berpuluh kali lebih lihai daripada Toasuheng. Nah, katakanlah, siapakah sebenarnya yang kentut?”

Diam-diam Ting Pek-jwan berpikir, "Apa yang dikatakan orang-orang ini cukup beralasan juga. Kalau Pausamte cekcok terus dengan mereka hanya akan membuang waktu saja.”

Maka ia lantas buka suara, "Tentang asal-usul kalian sama sekali kami tidak tahu, tadi telah terjadi salah paham hingga salah melukai nyonya ini, sungguh aku sangat menyesal dan sukalah dimaafkan. Jika sekarang kita harus bersatu untuk melawan musuh, maka kita terhitung orang sendiri. Sebentar bila musuh tiba, meski anak buah Koh-soh Buyung tidak becus juga tidak nanti melarikan diri. Dan kalau betul kita tak dapat melawan musuh, biarlah kita gugur bersama saja di sini.”

"Hui-keng, Hui-si.” demikian Hian-lan lantas memberi pesan kepada dua padri Siau-lim-si, "Ginkang kalian lebih tinggi, sebentar kalian harus mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari pulang ke biara untuk memberi lapor kepada Hongtiang Supek. Celakalah kalau kita ditumpas habis oleh musuh hingga berita kematian kita tak diketahui para kawan.”

"Kami akan melaksanakan titah Supek dengan baik,” sahut Hui-keng dan Hui-si sambil memberi hormat.

Mendengar ucapan Ting Pek-jwan dan Hian-lan itu tahulah Sih-sin-ih bahwa mereka sudah bertekad akan gugur bersama dengan orang banyak untuk menghadapi musuh. Sebabnya Hui-keng dan Hui-si disuruh mencari kesempatan untuk meloloskan diri tentu agar supaya Siau-lim-si mengetahui siapakah musuh mereka dan kelak dapat menuntut balas.

Si kakek nonong tampak termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia bertepuk tangan sambil tertawa, katanya, "Memangnya semua orang akan mati, A Pik yang keracunan ini paling-paling juga mati saja kenapa aku mesti berduka segala? Ai, ada orang bilang aku Kheng Kong-leng adalah orang tolol, untuk mana aku tidak dapat terima. Tapi tampaknya sekarang aku memang tolol, andaikan bukan si tolol besar tentu juga si tolol kecil.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar