Tadinya Linghu Chong mengira
Yue Lingshan datang dengan mengendap-endap adalah untuk memata-matai rumah itu
yang dikiranya merupakan kediaman musuh. Kini begitu mendengar gadis itu
tiba-tiba mengeluarkan suara jeritan aneh, mau tidak mau ia menjadi heran.
Namun kemudian terdengar suara seseorang menyahut dari dalam kamar, membuatnya
langsung paham apa yang sebenarnya terjadi.
Orang di dalam rumah itu
berkata, “Kakak, apa kau ingin membuatku mati kaget? Jika aku mati dan menjadi
setan, paling-paling akan serupa denganmu sekarang.”
Yue Lingshan menjawab ketus
sambil tertawa, “Lin busuk, Lin sial, kau berani memakiku sebagai setan, hah?
Awas, akan kucabut jantung hatimu keluar.”
“Tidak perlu kau cabut, akan
kucabut sendiri biar bisa kau lihat,” sahut orang di dalam kamar yang tidak
lain adalah Lin Pingzhi.
“Bagus, kau berani bicara
gila-gilaan kepadaku. Nanti lagi akan kulaporkan Ibu,” omel Yue Lingshan lagi.
“Tapi kalau Ibu Guru bertanya
padamu kapan dan di mana aku bicara demikian, lantas bagaimana kau akan
menjawab?” balas Lin Pingzhi tertawa.
“Akan kukatakan kau bicara
demikian pada waktu berlatih pedang siang tadi. Kau tidak berlatih
sungguh-sungguh, malah mengajakku mengobrol sembarangan,” jawab Yue Lingshan.
“Baik, bila Ibu Guru marah
tentu aku akan dikurung selama tiga bulan. Maka, selama tiga bulan kau tidak
dapat bertemu denganku,” kata Lin Pingzhi.
“Huh! Memangnya kenapa? Tidak
bertemu biarlah tidak bertemu!” ejek Yue Lingshan. “Hei, Lin Kecil busuk,
kenapa kau tidak lekas membuka jendela? Apa-apaan kau di dalam?”
Terdengar suara gelak tawa Lin
Pingzhi disertai berkeriutnya daun jendela dibuka. Kepala Lin Pingzhi tampak
melongok keluar. Namun Yue Lingshan telah mendekam bersembunyi di sebelah dan
tidak terlihat olehnya.
Terdengar Lin Pingzhi menggumam
sendiri, “Hei, kenapa tidak ada orang? Kukira Kakak yang datang?”
Lalu daun jendela
perlahan-lahan ditutupnya kembali. Namun sebelum tertutup, dengan cepat Yue
Lingshan melompat ke dalam.
Linghu Chong yang berjongkok
di atap rumah mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan perasaan linglung.
Kedua muda-mudi itu bersenda gurau seakan mereka lupa kalau masih berada di
dunia. Linghu Chong berusaha untuk tidak mendengar pembicaraan mereka lagi,
tapi setiap kata yang mereka ucapkan telah masuk ke telinganya begitu saja dan
terdengar sangat jelas. Terdengar pula kedua muda-mudi itu terpingkal-pingkal
di dalam kamar.
Jendela kamar tidak ditutup
sepenuhnya. Bayangan mereka berdua pun tertangkap pula pada kertas penutup
jendela. Kedua kepala muda-mudi itu tampak beradu, kemudian suara tawa mereka
berangsur-angsur lirih dan menghilang.
Linghu Chong merasa sangat
pedih. Ia menghela napas dan berniat melangkah pergi, tapi mendadak terdengar
Yue Lingshan berkata, “Sudah malam begini mengapa kau belum tidur?”
Lin Pingzhi menjawab dengan
tertawa, “Aku sedang menunggumu.”
“Huh, dasar pembohong! Dari
mana kau tahu aku akan datang?” sahut Yue Lingshan.
“Aku petapa yang pandai
meramal. Hanya dengan menghitung-hitung jari aku bisa mengetahui kakak seperguruanku
yang mulia malam ini akan berkunjung kemari,” kata Lin Pingzhi.
“Kamarmu berantakan begini,
jelas kau sedang mencari kitab pedang itu, betul tidak?” tanya Yue Lingshan.
Linghu Chong sudah beranjak
pergi beberapa langkah. Begitu mendengar “kitab pedang” disebut, seketika
hatinya tergerak dan ia pun berbalik kembali.
Terdengar Lin Pingzhi berkata,
“Selama beberapa bulan ini entah sudah berapa kali aku memeriksa dan
menggeledah seluruh rumah tua ini. Bahkan, genting rumah juga satu per satu
kubuka dan kuteliti. Sepertinya hanya dinding rumah saja yang belum kubongkar …
Kakak, rumah tua ini sudah tidak dipakai lagi, apa salahnya kalau kita bongkar
saja dindingnya untuk diperiksa? Bagaimana pendapatmu?”
“Rumah ini adalah milik
Keluarga Lin kalian. Dibongkar atau tidak adalah urusanmu. Untuk apa kau tanya
kepadaku?” sahut Yue Lingshan.
“Justru karena ini adalah
rumah Keluarga Lin, maka aku bertanya kepadamu,” kata Lin Pingzhi.
“Kenapa?” tanya Yue Lingshan.
Lin Pingzhi menjawab, “Jika
tidak kepadamu, lantas kepada siapa? Bukankah kelak … bukankah kelak kau juga
akan bermarga … bermarga … hmm … hehehe ….”
“Lin busuk! Lin sial! Kau
mencari kesempatan dalam kesempitan!” maki Yue Lingshan yang kemudian disusul
dengan plak-plok beberapa kali, mungkin tangannya sedang memukuli Lin Pingzhi.
Tentu saja beberapa pukulan mesra.
Linghu Chong merasa jantungnya
seperti disayat-sayat mendengar senda gurau itu. Ia sebenarnya ingin segera
pergi, tapi berita tentang Kitab Pedang Penakluk Iblis sangat berharga baginya.
Sewaktu kedua orang tua Lin Pingzhi meninggal dunia dan memberikan wasiat,
hanya ia seorang diri yang saat itu berada di samping mereka. Wasiat mereka
berdua yang harus disampaikan kepada Lin Pingzhi justru mendatangkan fitnah
baginya. Lebih-lebih setelah mendapatkan pelajaran dari Feng Qingyang tentang
Ilmu Sembilan Pedang Dugu, maka setiap orang Perguruan Huashan mengira dirinya
telah menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis tersebut. Bahkan, sang adik
kecil yang biasanya paling kenal wataknya itu juga menaruh curiga kepadanya.
Namun Linghu Chong berusaha memaklumi semua tuduhan itu. Bagaimanapun juga ia
telah disaksikan banyak orang tidak mampu menghadapi Ilmu Pedang Ning Tanpa
Tanding saat bertanding melawan Sang Ibu Guru. Anehnya, hanya dalam waktu beberapa
bulan saja, tiba-tiba ilmu pedangnya maju pesat. Ilmu pedangnya pun tidak mirip
gaya ilmu pedang Perguruan Huashan, sehingga wajar kalau mereka mencurigai
dirinya telah mencuri ilmu pedang pihak lain. Dan ilmu pedang yang dicuri itu,
apa lagi kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin?
Di sisi lain, Linghu Chong
telah berjanji untuk tidak membocorkan keberadaan Feng Qingyang, sehingga ia
tidak bisa menjelaskan begitu saja dari mana asal-usul ilmu pedagnya yang
cemerlang. Yue Buqun memang telah mengeluarkannya dari Perguruan Huashan dan
memutuskan segala ikatan dengannya dengan alasan karena ia bergaul dengan kaum
aliran sesat. Namun, ia sadar bahwa kemungkinan besar alasan yang sebenarnya
adalah karena Sang Guru percaya kalau dirinya telah menggelapkan Kitab Pedang
penakluk Iblis. Orang yang melakukan perbuatan hina macam itu jelas tidak bisa
untuk tetap menjadi murid Perguruan Huashan. Maka, meskipun kini hatinya pedih
mendengar senda gurau muda-mudi itu, terpaksa ia harus bersabar menahan diri
demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehubungan dengan kitab pedang
tersebut.
Terdengar Yue Lingshan
berkata, “Kau sudah mencari selama beberapa bulan tapi tidak juga menemukannya,
maka kitab itu jelas tidak ada di sini. Untuk apa kita harus susah payah
membongkar dinding segala? Kakak … Kakak Pertama suka bicara sembarangan,
kenapa kau menganggapnya sungguh-sungguh?”
Lagi-lagi Linghu Chong merasa
pedih. “Ternyata dia masih memanggilku ‘kakak pertama’,” pikirnya.
Lin Pingzhi menjawab, “Kakak
Pertama telah menyampaikan wasiat ayahku, bahwa ada barang tinggalan leluhur di
rumah lama keluarga kami di Gang Xiangyang sini yang tidak boleh sembarangan
dibaca dengan seksama. Kupikir kalau kitab itu telah dipinjam oleh Kakak
Pertama dan untuk sementara waktu tidak dikembalikan ….”
Linghu Chong tersenyum getir
mendengarnya. Dalam hati ia berkata, “Walaupun kau menggunakan kata-kata sopan
tidak menyebutku menggelapkan kitab segala, tetap saja kaukatakan aku telah
meminjamnya dan untuk sementara waktu tidak mengembalikannya. Huh, buat apa kau
berbelit-belit seperti itu?”
Lin Pingzhi melanjutkan, “Tapi
Kakak Pertama tidak mungkin mengarang perkataan ‘rumah lama Keluarga Lin di
Gang Xiangyang’, sehingga aku yakin apa yang disampaikannya kepadaku benar-benar
berasal dari wasiat Ayah dan Ibu. Kakak Pertama sebelumnya tidak pernah bertemu
keluarga kami, juga tidak pernah datang ke Fuzhou sini, maka ia sama sekali
tidak mungkin tahu kalau di kota ini ada sebuah jalan kecil bernama Gang
Xiangyang. Apalagi soal rumah lama leluhur kami di jalan ini, mana mungkin dia
tahu? Bahkan orang-orang Fuzhou juga sedikit yang tahu soal ini.”
“Baiklah, kalau seumpama
wasiat ayah dan ibumu itu benar, lantas bagaimana?” tanya Yue Lingshan.
Lin Pingzhi berkata, “Wasiat ayahku
yang disampaikan Kakak Pertama itu mengatakan ‘jangan membacanya dengan
seksama’, tentu yang dimaksud bukan Kitab Shishu Wujing atau catatan pembukuan
semacamnya. Setelah kupikir-pikir sekian lama, aku menjadi yakin wasiat itu
tentu ada sangkut pautnya dengan kitab pedang. Wasiat ayahku menyebut soal
rumah tua ini dan juga Gang Xiangyang. Seandainya kitab itu sudah tidak berada
di sini lagi, paling tidak dapat kuperoleh sedikit petunjuk atau semacamnya di
sini.”
Yue Lingshan menyahut, “Benar
juga katamu. Selama beberapa hari ini kulihat kau kurang bersemangat. Malam
hari kau tidak mau tinggal di gedung biro dan selalu ingin datang kemari. Aku
jadi khawatir, sehingga sengaja datang menengokmu. Ternyata di siang hari kau
sibuk berlatih pedang, juga lelah menemaniku, dan begitu malam tiba kau masih
sibuk memeriksa rumah tua ini.”
Lin Pingzhi tersenyum getir,
lalu menghela napas dan berkata, “Kematian ayah dan ibuku sangat menyedihkan.
Jika aku dapat menemukan kitab pedang itu dan membunuh musuh dengan tangan
sendiri menggunakan ilmu pedang warisan leluhur, barulah arwah Ayah dan Ibu
akan terhibur di alam baka.”
“Entah saat ini Kakak Pertama
ada di mana?” ujar Yue Lingshan. “Jika aku dapat bertemu dengannya tentu akan
kumintakan kitab itu untukmu. Ilmu pedangnya sekarang sudah sangat tinggi,
sudah seharusnya kitab itu dikembalikan kepada yang punya. Menurutku, sebaiknya
akhiri saja khayalanmu, tidak perlu lagi mengacak-acak seisi rumah tua ini.
Seandainya kitab keluargamu itu sudah tidak ada, kau bisa belajar ilmu Awan
Lembayung milik ayahku untuk membalaskan sakit hatimu.”
“Tentu saja,” kata Lin
Pingzhi. “Namun kematian ayah-ibuku sungguh mengenaskan. Sebelum ajal mereka
banyak disiksa dan dihina pula. Jika aku bisa membalas dendam menggunakan ilmu
pedang milik keluarga sendiri tentu rasanya benar-benar dapat melampiaskan
sakit hati Ayah dan Ibu. Lagipula, ilmu Awan Lembayung sejak dulu tidak
sembarangan diajarkan kepada setiap murid. Aku sendiri adalah murid yang paling
akhir masuk Perguruan. Meskipun Guru dan Ibu Guru sayang kepadaku dan berkenan
mengajarkan ilmu tersebut, namun para kakak seperguruan tidak akan menerimanya.
Bisa saja mereka berkata … pasti berkata ….”
“Berkata apa?” tukas Yue
Lingshan.
“Bisa saja mereka berkata
kalau aku belum tentu tulus kepadamu. Bahwa aku berbuat baik sebenarnya hanya
untuk mencari muka di hadapan Guru dan Ibu Guru supaya mendapatkan ilmu Awan
Lembayung,” jawab Lin Pingzhi.
“Huh, peduli apa dengan
anggapan mereka? Yang penting aku tahu kalau kau benar-benar tulus,” ujar Yue
Lingshan.
“Bagaimana kau tahu kalau aku
benar-benar tulus?” tanya Lin Pingzhi sambil tertawa.
Mendadak terdengar suara
pukulan Yue Lingshan mendarat pada badan Lin Pingzhi. “Ya, aku tahu kau ini
cuma pura-pura saja. Kau adalah manusia berhati serigala,” katanya.
“Sudahlah, malam sudah larut.
Mari kita pulang saja,” kata Lin Pingzhi sambil tertawa. “Tapi kalau kuantar
kau pulang ke gedung biro, bila ketahuan Guru dan Ibu Guru tentu bisa celaka.”
“Jadi kau ingin aku cepat
pulang? Baiklah, jika kau mengusirku, maka aku akan segera pergi. Tidak perlu
kau antar segala,” kata Yue Lingshan.
Mendengar nada suara gadis itu
yang terdengar tidak senang, Linghu Chong membayangkan pasti saat ini ia sedang
mencibirkan bibirnya yang mungil sambil pura-pura marah. Tentu wajahnya
terlihat semakin menawan.
Lin Pingzhi menjawab, “Guru
mengatakan, Ketua Sekte Iblis terdahulu, Ren Woxing telah muncul kembali di
dunia persilatan. Kabarnya ia sudah berada di wilayah Fujian sini. Orang itu
ilmu silatnya sangat tinggi tiada terkira, sifatnya juga kejam dan telengas.
Jika tengah malam kau berjalan sendiri dan kebetulan bertemu dia, lantas …
lantas bagaimana?”
Linghu Chong berpikir,
“Ternyata Guru sudah mendengar soal ini. Ketika aku membuat keributan di
Pegunungan Xianxia tempo hari, tentunya semua orang mengira Ren Woxing telah
mendekati Fujian. Kalau Guru sudah mengetahui, maka aku tidak perlu mengirim
surat lagi.”
Terdengar Yue Lingshan
menyahut, “Hm, kalau kau mengantarku pulang dan kebetulan bertemu dia, apakah kau
mampu membekuk atau membunuh dia?”
“Ya, aku sadar ilmu silatku
rendah. Kau sengaja mengolok-olok aku ya?” kata Lin Pingzhi. “Sudah jelas aku
bukan tandingannya. Tapi, asalkan aku bisa bersamamu, biarpun mati juga kita
mati bersama.”
Seketika suara Yue Lingshan
berubah lembut, “Lin Kecil, bukan maksudku mengatakan ilmu silatmu rendah.
Asalkan kau rajin dan tekun berlatih, tentu kelak lebih hebat daripada aku.
Meskipun saat ini belum semua ilmu pedang kaukuasai, tapi jika berkelahi
sungguh-sungguh juga aku belum tentu sanggup mengalahkanmu.”
Lin Pingzhi tertawa dan
berkata, “Ah, kalau kau memegang pedang dengan tangan kiri barulah kita bisa
bertanding.”
Yue Lingshan tidak ingin
pergi. Ia berkata, “Lin Kecil, mari kubantu mencari lagi. Benda-benda di rumah
tuamu ini sudah kau hafal dengan baik, sehingga tidak menarik perhatian lagi
bagimu. Mungkin sekali aku dapat menemukan suatu benda yang kuanggap mencolok.”
“Baiklah, kau boleh coba
mencari sesuatu yang kau rasa aneh,” ujar Lin Pingzhi.
Linghu Chong segera mendengar
suara laci ditarik dan meja-kursi digeser. Beberapa saat kemudian Yue Lingshan
berkata, “Semuanya biasa saja, tidak ada yang mecolok. Apakah di rumah ini ada
tempat-tempat yang luar biasa?”
Lin Pingzhi menggumam sendiri,
kemudian menjawab, “Tempat yang luar biasa? Tidak ada kurasa.”
Yue Lingshan bertanya, “Di
mana tempat keluargamu berlatih silat?”
“Tidak ada juga,” jawab Lin
Pingzhi. “Sejak Kakek Buyut mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei, keluarga kami pun
pindah ke rumah baru dan tinggal di sana. Kakek dan Ayah kalau berlatih silat
juga di sana. Dalam wasiat ayahku, ada kata-kata ‘jangan dibaca dengan seksama’
segala. Memangnya di tempat latihan silat ada yang perlu dibaca?”
“Nah, bagaimana kalau kita
lihat-lihat ruang perpustakaan keluargamu?” ajak Yue Lingshan.
“Kami adalah keluarga pengawal
turun-temurun. Kami tidak punya ruang perpustakaan, yang ada hanya ruang
pembukuan. Ruang pembukuan pun adanya di gedung biro sana,” jawab Lin Pingzhi.
“Kalau begitu sulit untuk
mencarinya,” kata Yue Lingshan. “Apakah di rumah ini ada sesuatu yang dapat
dibaca dengan seksama?”
Lin Pingzhi menjawab, “Aku
memikirkan wasiat Ayah yang disampaikan melalui Kakak Pertama, bahwa aku
dilarang membaca dengan seksama barang-barang peninggalan leluhur. Padahal kemungkinan
besar justru sebaliknya, aku harus membaca dengan seksama benda-benda
peninggalan leluhurku. Tapi di sini juga tidak ada benda-benda kuno yang bisa
dibaca. Setelah kupikir-pikir lagi, yang ada hanya beberapa kitab agama Buddha
milik Kakek Buyut saja.”
Yue Lingshan langsung melonjak
girang dan berkata, “Kitab Buddha? Bagus sekali! Biksu Bodhidharma adalah cikal
bakal ilmu silat. Tentu bukan hal yang aneh kalau kitab ilmu pedang keluargamu
disembunyikan di dalam kitab agama Buddha.”
Mendengar Yue Lingshan berkata
demikian, semangat Linghu Chong seketika ikut bangkit. Ia berpikir, “Jika Adik
Lin dapat menemukan kitab pedang itu di dalam kitab Buddha, tentu segala urusan
akan menjadi beres dan aku tidak akan dicurigai menggelapkan lagi.”
Tapi lantas terdengar Lin
Pingzhi menjawab, “Kitab-kitab itu sudah kuperiksa semua, bahkan sudah kubaca
beberapa kali, lembar demi lembar. Tak hanya sekali dua kali, bahkan mungkin
sudah puluhan kali. Bahkan aku juga membeli kitab-kitab Buddha seperti Kitab
Jinkang, Kitab Xin, Kitab Huafa, dan Kitab Lengqie untuk kubandingkan isinya
dengan kitab-kitab peninggalan Kakek Buyut tersebut, kata demi kata. Ternyata,
isinya sama persis dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jadi, kitab-kitab
yang ada di sini hanyalah kitab-kitab Buddha biasa.”
“Jika demikian tak ada gunanya
bagi kita memeriksa lagi kitab-kitab itu?” ujar Yue Lingshan. Setelah termenung
sebentar, mendadak ia bertanya, “Apakah lapisan dalam halaman kitab-kitab itu
juga sudah kau periksa?”
“Lapisan dalam? Ah, ini belum
terlintas dalam pikiranku,” sahut Lin Pingzhi. “Marilah sekarang juga kita
memeriksanya lagi.”
Mereka berdua lalu melangkah
bersama menuju ruang belakang dengan bergandeng tangan, sedangkan tangan yang
lain masing-masing memegang tatakan lilin. Linghu Chong mengikuti perjalanan
mereka dari atap rumah. Tampak sinar lilin itu menembus keluar dari balik
jendela kamar-kamar, sampai akhirnya berhenti di sebuah ruangan di sudut barat
laut. Dengan enteng Linghu Chong melompat turun dan mengintip ke dalam melalui
celah-celah jendela. Ternyata kamar itu adalah sebuah ruang sembahyang agama
Buddha. Di tengah ruangan itu tergantung sebuah lukisan cat air Biksu
Bodhidharma, cikal bakal Perguruan Shaolin yang terkenal. Tampak Biksu
Bodhidharma dilukis dalam posisi membelakangi, sepertinya diambil dari kisah
sewaktu ia sedang bersamadi menghadap tembok selama sembilan tahun. Di sebelah
kiri ruangan terdapat sebuah bantalan duduk yang sudah sangat tua. Kemudian di
atas meja sembahyang terdapat kentongan kayu berbentuk ikan, juga ada genta
kecil, serta setumpuk kitab Buddha.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Sesepuh Lin yang mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei pernah menggetarkan
dunia persilatan, tentunya tidak sedikit kawanan penjahat yang binasa di
tangannya. Rupanya setelah tua ia menghabiskan sisa hidupnya di sini untuk
menebus segala pembunuhan yang pernah dilakukannya.” Berpikir demikian ia pun
membayangkan seorang jago persilatan yang rambutnya telah memutih duduk
menyendiri di ruang sembahyang, menabuh kentongan ikan kayu sambil membaca
kitab suci.
Terlihat Yue Lingshan
mengambil sebuah kitab dan berkata, “Mari kita bongkar kitab ini. Coba periksa
apakah lapisan pada tiap-tiap halamannya terselip suatu benda atau tertulis
suatu kalimat. Jika tidak kita temukan apa-apa, kitab ini dapat kita jilid
kembali. Bagaimana menurutmu?”
“Baiklah,” sahut Lin Pingzhi.
Diambilnya kitab itu dan diputuskannya benang yang digunakan untuk menjilid.
Halaman-halaman kitab itu kemudian dibentang di atas lantai. Yue Lingshan juga
lantas membuka sebuah kitab lain serta mengangkatnya di depan lilin untuk
disoroti kalau-kalau di tengah halaman terdapat tulisan lain.
Linghu Chong dapat menyaksikan
potongan tubuh gadis itu dari balik celah jendela. Tangan Yue Lingshan tampak
putih bersih, pergelangan kirinya masih memakai gelang perak seperti dulu.
Terkadang wajahnya sedikit berpaling dan saling pandang dengan Lin Pingzhi,
lalu mereka sama-sama tersenyum penuh arti dan melanjutkan memeriksa
lembaran-lembaran kitab tersebut. Entah karena sorotan api lilin atau karena
pipi Yue Lingshan yang bersemu merah, tapi wajah gadis itu memang terlihat
sangat molek seperti buah persik musim semi. Linghu Chong sampai terkesima
sendiri di luar jendela.
Satu per satu kitab-kitab di
atas meja telah dibongkar oleh Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Ketika kitab-kitab
yang berjumlah dua belas jilid itu hampir semua habis diperiksa, tiba-tiba
Linghu Chong mendengar di belakangnya ada suara angin mendesir yang sangat
lirih. Ia segera bersembunyi dengan merapatkan tubuh ke dinding. Dilihatnya dua
sosok bayangan mendekat dari atap rumah sebelah selatan. Keduanya saling
memberi isyarat dengan tangan, lalu melompat turun ke dalam pekarangan tanpa
bersuara.
Kala itu Linghu Chong sudah
menyelinap ke pojok lain. Dilihatnya kedua orang itu mendekati ruangan
sembahyang, kemudian mengintip ke dalam mengamati apa yang sedang dikerjakan
Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.
Beberapa saat kemudian
terdengar Yue Lingshan berkata, “Sudah habis semua. Kita tidak menemukan
apa-apa.” Nadanya terdengar sangat kecewa. Tapi mendadak ia menyambung lagi,
“Eh, Lin Kecil, aku ingat sesuatu. Coba kita ambil sebaskom air.” Suaranya
terdengar kembali bersemangat.
“Untuk apa?” tanya Lin
Pingzhi.
Yue Lingshan menjawab, “Dulu
aku pernah mendengar Ayah bercerita bahwa ada sejenis rumput yang jika direndam
dengan semacam larutan asam, bisa digunakan untuk menulis. Sesudah kering huruf
yang tertulis akan menghilang, tapi kalau dibasahi dengan air, maka hurufnya
akan timbul kembali.”
Seketika hati Linghu Chong
terasa pedih saat mengenang Sang Guru bercerita demikian. Kala itu Yue Lingshan
baru berumur delapan atau sembilan tahun, sementara dirinya berumur lima belas
atau enam belas tahun. Kenangan masa silam mendadak membanjiri hatinya. Ia
ingat pada hari itu dirinya sedang menangkap jangkrik untuk diadu. Jangkrik
yang lebih besar dan kuat diberikannya kepada si adik kecil, sedangkan yang
kecil untuk dirinya. Namun tak disangka, justru jangkrik yang besar kalah. Yue
Lingshan pun menangis tak henti-hentinya. Dengan susah payah, Linghu Chong
menghiburnya hingga bisa tersenyum kembali. Mereka berdua lalu pulang dan
meminta Sang Guru bercerita. Terkenang kepada peristiwa masa silam yang
menyenangkan itu, membuat kedua matanya basah berkaca-kaca.
Terdengar Lin Pingzhi
menyahut, “Benar. Tidak ada salahnya kalau kita coba.”
Yue Lingshan mendahului
melangkah, namun kemudian berpaling dan berkata, “Kita pergi bersama.”
Kedua muda-mudi itu lagi-lagi
berjalan bergandeng tangan meninggalkan ruangan. Kedua orang yang mengintip di
luar jendela tampak menahan napas dan tidak bergerak sedikit pun. Tidak lama
kemudian Lin Pingzhi dan Yue Lingshan telah kembali. Mereka masing-masing
membawa sebaskom air sambil melangkah masuk ke ruang sembahyang tersebut.
Beberapa halaman kitab yang sudah terbongkar itu kemudian mereka rendam ke
dalam air.
Hanya merendam sebentar Lin
Pingzhi sudah tidak sabar lagi. Segera ia mengambil satu lembar halaman dan
menyorotnya di bawah cahaya lilin, namun tidak terlihat tulisan apa-apa selain
tulisan aslinya. Sebanyak dua puluh lembar telah mereka periksa namun tetap
saja hasilnya tidak tampak sesuatu yang aneh.
Terdengar Lin Pingzhi menghela
napas dan berkata, “Sudahlah, tidak perlu dilanjutkan lagi. Tidak ada tulisan
lain yang aneh.”
Baru selesai Lin Pingzhi
berkata demikian, tiba-tiba kedua orang yang mengintip di luar jendela tadi
sudah bergerak memutar ke depan rumah dengan langkah sangat gesit, kemudian
mendorong pintu dan menerobos masuk ke dalam.
“Siapa itu?” bentak Lin
Pingzhi kaget
Tapi gerakan kedua orang itu
sungguh cepat luar biasa. Begitu masuk ke dalam ruangan, mereka langsung
menerjang maju bagaikan angin. Baru saja Lin Pingzhi hendak melawan, tahu-tahu
iganya sudah kena totokan. Yue Lingshan sendiri baru saja melolos pedangnya
setengah, tiba-tiba jari musuh sudah menuju ke arah matanya. Terpaksa ia
melepaskan gagang pedang dan mengangkat tangannya untuk menangkis.
Berturut-turut pihak lawan mencakar tiga kali, semuanya mengarah ke tenggorokan
Yue Lingshan secara keji. Kontan saja Yue Lingshan terperanjat dan mundur dua
langkah sampai punggungnya merapat pada meja sembahyang. Mendadak sebelah
tangan orang itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Terpaksa Yue Lingshan
menangkis sekuatnya dengan kedua tangan. Tak disangka serangan musuh hanyalah
pancingan belaka. Jari tangan yang lain bergerak menotok pinggang Yue Lingshan
dengan jitu sehingga gadis itu tak bisa berkutik lagi dan jatuh telentang di
atas meja.
Semua kejadian itu disaksikan
dengan jelas oleh Linghu Chong. Namun dikarenakan jiwa Lin Pingzhi dan Yue
Lingshan untuk sementara tidak terancam, maka ia pun berpikir untuk tidak perlu
buru-buru menolong mereka. Ia ingin tahu siapa sebenarnya kedua penyergap
tersebut dan apa rencana mereka.
Kedua orang itu tampak
memandang ke segala penjuru ruang sembahyang seperti mencari-cari sesuatu.
Seorang di antaranya segera memungut bantalan kasur di lantai dan merobeknya
menjadi dua bagian. Seorang yang lain menghantam kentongan ikan kayu di atas
meja hingga pecah berantakan.
Lin Pingzhi dan Yue Lingshan
tidak bisa bicara, juga tidak bisa bergerak. Mereka hanya bisa melihat tenaga
kedua orang itu sedemikian kuat, merusak bantalan kasur dan menghancurkan
kentongan ikan kayu, jelas bertujuan untuk mencari Kitab Pedang Penakluk Iblis.
Kedua muda-mudi itu berpikir, “Kenapa tak terpikir oleh kami kalau kitab pedang
itu tersimpan di dalam bantalan kasur dan kentongan ikan kayu?” Namun mereka
merasa lega karena di dalam kedua benda tersebut tidak tersimpan suatu benda.
Kedua orang itu sama-sama
berusia lebih dari lima puluh tahun. Seorang di antaranya berkepala botak,
sedangkan yang seorang lagi berambut putih bersih. Gerak-gerik kedua orang itu
sama-sama cepat luar biasa. Hanya sebentar saja mereka telah menghancurkan
segala benda yang ada di dalam ruangan sembahyang itu, tapi tidak menemukan
apa-apa.
Ketika sudah tidak ada benda
lagi yang bisa dihancurkan, pandangan kedua orang itu serentak mengarah kepada
lukisan Bodhidharma yang tergantung di dinding. Si botak menjulurkan tangan
hendak mengambil lukisan itu, tapi si rambut putih mencegah dan berseru, “Nanti
dulu, coba kau lihat jarinya!”
Pandangan Lin Pingzhi, Yue
Lingshan, dan Linghu Chong serentak ikut tercurah kepada lukisan tersebut.
Tampak sosok Bodhidharma digambarkan membelakangi dengan tangan kiri memegang
sebuah kitab dan tangan kanan teracung ke atas menunjuk ke arah langit-langit
rumah.
“Ada apa dengan jarinya?”
tanya si botak.
“Aku belum yakin, tapi harus
kita coba dulu,” sahut si rambut putih. Ia segera meloncat ke atas dan
menghantamkan kedua tangannya ke arah titik yang ditunjuk Bodhidharma dalam
lukisan tersebut. Angin tenaga yang dikerahkannya seketika menghancurkan
langit-langit rumah tepat di atas lukisan.
Debu pasir dan kotoran pun
berhamburan. Si botak berkata, “Mana ada ….” belum habis ucapannya, tiba-tiba
selembar kain berwarna merah jatuh dari lubang yang tercipta pada langit-langit
rumah akibat pukulan tadi. Ternyata kain tersebut adalah jubah merah yang biasa
dipakai para biksu.
Dengan cepat si rambut putih
menangkap jubah itu dan memeriksanya di bawah cahaya lilin. Ia kemudian berseru
kegirangan, “Ini dia … ini dia! Ternyata di sini!” Karena senangnya,
sampai-sampai suaranya terdengar ikut gemetar.
“Apa … apa itu?” tanya si
botak.
“Lihatlah sendiri!” kata si rambut
putih.
Linghu Chong memicingkan
matanya mempertajam penglihatan. Samar-samar ia dapat melihat pada jubah
tersebut terdapat rangkaian huruf-huruf kecil yang tak terhitung banyaknya.
Si botak bertanya ragu,
“Apakah ini Kitab Pedang Penakluk Iblis?”
Si rambut putih berkata, “Bisa
jadi. Sepertinya memang inilah kitab pedang itu. Hahahaha, hari ini kita dua
bersaudara telah berjasa besar. Adik, kau saja yang simpan.”
Si botak begitu senang
sampai-sampai mulutnya menganga. Ia kemudian menerima jubah itu dan melipatnya
dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke balik baju. “Bagaimana dengan mereka?
Kita bunuh?” katanya sambil menunjuk Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.
Linghu Chong sudah menggenggam
gagang pedangnya erat-erat. Begitu si rambut putih mengiyakan pertanyaan si
botak untuk membunuh Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, maka ia akan segera
menerjang ke dalam untuk membinasakan kedua orang tua itu.
Namun ternyata si rambut putih
menjawab, “Kitab pedang sudah di tangan, tidak ada gunanya kita mencari perkara
dengan Perguruan Huashan. Biarkan mereka begini saja.”
Kedua orang tua itu lantas
melangkah keluar meninggalkan ruang sembahyang dan melompati pagar tembok
rumah.
Linghu Chong pun mengejar
mereka dengan melompati pagar tembok pula. Langkah kedua orang tua tersebut
sangat cepat. Khawatir kehilangan jejak dalam kegelapan malam, Linghu Chong
segera mempercepat langkahnya sehingga jarak mereka kini hanya tinggal beberapa
meter saja.
Setiap kali kedua kakek itu
mempercepat langkahnya, Linghu Chong pun ikut mempercepat langkahnya pula. Tapi
mendadak kedua kakek itu berhenti dan membalik tubuh. Tahu-tahu sinar dingin
berkelebat. Seketika Linghu Chong merasa kesakitan pada kedua pangkal
lengannya. Ternyata kedua lawan telah melakukan sabetan senjata ke arahnya secepat
kilat.
Gerakan kedua orang tua itu
yang berhenti mendadak, membalik tubuh, dan menyerang secara tiba-tiba
benar-benar terjadi dalam hitungan detik. Linghu Chong sendiri memang memiliki
tenaga dalam tinggi dan ilmu pedang dahsyat. Namun pengalamannya masih dangkal
jika menghadapi serangan kilat dan perubahan yang aneh semacam itu. Pengalaman
bertarungnya masih kalah jauh dibandingkan para jago silat kelas satu. Maka
kali ini ia benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan kilat lawan.
Jangankan menangkis atau balas menyerang, bahkan ujung jarinya belum sempat
menyentuh senjata sedikit pun, tahu-tahu kedua pangkal lengannya sudah terluka.
Ilmu golok kedua kakek itu
sungguh luar biasa. Sekali serangan pertama mereka berhasil, serangan kedua pun
dilancarkan pula. Linghu Chong sendiri terkejut luar biasa. Lekas-lekas ia
melompat ke belakang. Untung tenaga dalamnya sangat kuat, sehingga berhasil
melompat sejauh beberapa meter. Menyusul ia melompat sekali lagi dalam jarak
beberapa meter.
Kedua kakek itu ganti terkejut
menyaksikan kekuatan Linghu Chong yang sudah terluka, tapi masih sanggup
melompat sedemikian cepat dan jauh pula. Tanpa bicara mereka lantas menerjang
maju. Linghu Chong memutar tubuh hendak menghindar. Pundaknya yang terluka itu
semula tidak terasa sakit, tapi setelah terkena angin rasa sakitnya berubah
menjadi-jadi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena rasa sakitnya itu, namun ia
berpikir, “Jubah biksu yang dirampas kedua orang ini kemungkinan besar
bertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Aku sendiri difitnah karenanya,
maka bagaimanapun juga harus dapat kurebut kembali untuk diserahkan kepada Adik
Lin.”
Setelah berpikir demikian, ia
pun berusaha melolos pedangnya. Tak disangka, pedang itu hanya berhasil dicabut
setengah saja, selanjutnya sukar ditarik lagi. Rupanya luka yang cukup parah
pada pundaknya membuat lengan terasa lemas tak bertenaga. Tiba-tiba terdengar
angin menyambar dari belakang, rupanya golok musuh kembali disabetkan ke arah
kepalanya. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk melompat ke depan
sebisanya, sambil tangan kiri menarik kuat-kuat sampai ikat pinggangnya putus.
Tangan kirinya kemudian menggenggam gagang pedang dan sekuat tenaga ia
menghentakkan tangan sehingga sarung pedang pun terlempar ke tanah. Tapi baru saja
hendak membalik tubuh, angin tajam sudah berkesiur menyambar wajahnya. Kedua
golok musuh kembali menyerang sekaligus ke arahnya.
Lagi-lagi Linghu Chong
melompat mundur selangkah. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing, namun cuaca
saat itu masih gelap. Selain kilauan sinar golok yang berkelebat ke sana
kemari, boleh dikata sukar melihat apa-apa meskipun ia harus memicingkan mata. Padahal
prinsip utama Ilmu Sembilan Pedang Dugu adalah mencari celah kelemahan musuh
dan mematahkan setiap jurus serangan lawan. Namun kini gerakan tubuh dan arah
serangan musuh sama sekali tak terlihat sehingga ilmu pedangnya yang biasanya
dahsyat itu pun tidak dapat digunakan dengan baik. Bahkan tiba-tiba lengan
kirinya terasa sakit, rupanya kembali terkena sabetan golok musuh.
Karena sukar mengalahkan kedua
lawannya, Linghu Chong pun memilih lari menuju jalan raya dengan tangan kiri
memegang pedang, sedangkan tangan kanan mendekap luka di pundak agar darah
tidak mengucur terlalu banyak dan membuat tubuhnya jatuh lemas.
Kedua orang tua itu mengejar
di belakang. Setelah agak lama, mereka melihat langkah Linghu Chong sedemikian
cepatnya, jelas sukar untuk disusul. Kedua kakek itu lantas berpikir kitab
pedang yang dicari sudah ada di tangan, untuk apa mencari perkara lain? Maka,
mereka pun berhenti tidak mengejar lagi. Keduanya lantas berputar balik hendak
kembali ke arah semula.
Tapi Linghu Chong berteriak-teriak,
“Hei, kawanan bangsat! Habis mencuri lantas mau lari, ya?” Habis itu ia lantas
balik mengejar.
Kedua kakek itu menjadi gusar.
Mereka pun berputar balik dan menyabetkan golok masing-masing. Linghu Chong
tidak mau bertempur dan memilih kucing-kucingan dengan mereka. Ia segera
berputar balik untuk melarikan diri sambil berdoa, “Semoga ada orang lewat
dengan membawa lentera.”
Tiba-tiba terlintas akal di
dalam benaknya. Dengan cepat ia pun melompat ke atap rumah. Sekilas terlihat di
rumah depan sebelah kiri terdapat sinar lampu melalui celah jendela. Segera ia
pun berlari menuju ke rumah tersebut, tapi kedua kakek itu tidak mau
mengejarnya lagi.
Linghu Chong tidak kurang
akal. Segera ia membungkuk dan memungut pecahan genting lalu melemparkannya ke
arah mereka sambil berteriak, “Hei, kalian berdua maling pencuri Kitab Pedang
Penakluk Iblis milik keluarga Lin, yang satu botak, yang lain ubanan! Biarpun
lari ke ujung langit pun akan tetap dikejar oleh para kesatria dunia
persilatan! Bangkai kalian akan dicincang dan dicabik-cabik sampai hancur
berantakan!” Sedetik kemudian terdengar pecahan genting yang dilempar tadi
jatuh menghantam batu pelapis jalan raya.
Mendengar nama Kitab Pedang
Penakluk Iblis disebut-sebut, kedua kakek itu berpikiran sama bahwa orang ini
harus dibunuh agar tidak mendatangkan kesukaran di kemudian hari. Segera mereka
melompat ke atap rumah dan mengejar Linghu Chong.
Linghu Chong merasa kakinya
sudah lemas, tenaganya juga makin lama makin lemah. Dengan sisa tenaga ia
berlari sekencang-kencangnya ke arah sinar lampu tadi. Tiba-tiba tubuhnya
terhuyung-huyung dan terjungkal dari atap rumah. Namun ia lekas-lekas
menggunakan jurus Ikan Emas Melompat, sehingga tubuhnya berjumpalitan dan dapat
bangkit kembali, kemudian berdiri bersandar pada tembok.
Kedua orang tua itu pun
melompat turun dengan enteng, lalu melangkah maju dari arah kanan dan kiri
Linghu Chong. Si botak menyeringai dan berkata, “Hehe, kami sudah memberi jalan
kepadamu supaya menyelamatkan diri, tapi kau justru ingin mati.”
Linghu Chong dapat melihat
kepala orang itu botak licin mengkilap. Ia pun terkesiap dan baru menyadari
kalau pagi telah tiba. Merasa mendapat semangat baru, ia pun tertawa dan
menjawab, “Sebenarnya kalian berasal dari aliran mana? Kenapa kalian ingin membunuhku?”
“Tidak perlu banyak bicara
dengan dia,” kata si rambut putih yang kemudian mengangkat golok untuk
diayunkan ke ubun-ubun Linghu Chong.
Linghu Chong segera
memindahkan pedangnya ke tangan kanan dan menusukkannya ke depan secepat kilat.
Sungguh di luar dugaan, tahu-tahu leher si rambut putih sudah tertembus pedang.
Hanya dalam sekali serang saja, nyawa si rambut putih sudah melayang seketika.
Si botak terkejut tak percaya.
Dengan cepat ia memutar goloknya dan menubruk maju. Kembali pedang Linghu Chong
menebas dengan tepat mengenai pergelangan tangan orang itu, sehingga terpotong
seketika dalam keadaan masih memegang golok. Menyusul kemudian ujung pedang itu
sudah mengancam di depan leher si botak. Ia pun membentak, “Dari mana asal-usul
kalian berdua? Lekas mengaku terus terang maka jiwamu akan kuampuni!”
Si botak tertawa lalu menjawab
dengan nada putus asa, “Selama ini kami dua bersaudara malang melintang di
dunia persilatan jarang sekali bertemu tandingan sepadan. Tapi hari ini
ternyata kami harus mati di ujung pedangmu, sungguh aku sangat kagum. Hanya
saja aku belum tahu siapakah marga dan nama Tuan yang mulia, sampai mati pun
aku … aku masih penasaran.”
Meski sebelah tangannya sudah
buntung, tapi sikap orang tua botak itu tetap gagah dan tidak mau menyerah. Mau
tidak mau Linghu Chong merasa kagum juga terhadap sifat lawannya ini. Ia
kemudian berkata, “Aku terpaksa harus membela diri. Sesungguhnya aku tidak
pernah mengenal kalian berdua. Mohon maaf jika aku tanpa sengaja mencelakai
kalian. Asalkan jubah biksu itu kau serahkan kepadaku, maka kita bisa berpisah
secara baik-baik.”
Namun si botak menjawab tegas,
“Selamanya Elang Gundul tidak sudi menyerah kepada musuh.” Mendadak tangan
kirinya bergerak dan tahu-tahu sebilah belati telah menancap di ulu hatinya
sendiri.
Melihat lawannya bunuh diri,
Linghu Chong pun merenung, “Orang ini lebih suka mati daripada menyerah. Hm,
dia benar-benar seorang tokoh pilihan yang luar biasa.”
Ia lalu membungkuk untuk
mengambil jubah biksu dari balik baju orang itu. Mendadak kepalanya terasa
pening karena darahnya sudah terlalu banyak yang keluar. Lekas-lekas ia merobek
kain bajunya untuk membalut luka di kedua lengannya tersebut secara
sembarangan. Habis itu barulah ia mengambil jubah biksu dari balik baju si
botak.
Saat itu kepalanya kembali
terasa pusing. Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia lalu mencari arah yang
benar menuju ke rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang tadi. Namun baru
berjalan belasan meter ia sudah merasa payah. “Jika aku roboh di sini, bukan
saja jiwaku akan melayang, tapi juga akan dituduh sebagai pencuri Kitab Pedang
Penakluk Iblis. Barang bukti jelas-jelas berada padaku, setelah mati pun namaku
akan menjadi hina.”
Berpikir demikian membuatnya
memaksa diri untuk tetap bertahan. Selangkah demi selangkah akhirnya ia
berhasil melewati Gang Xiangyang. Akan tetapi pintu rumah tua itu masih
tertutup rapat. Lin Pingzhi dan Yue Lingshan jelas tidak bisa berkutik di dalam
karena tertotok oleh kedua kakek tadi, sehingga tak ada orang lain lagi yang bisa
membukakan pintu. Untuk melompat ke dalam dengan melintasi pagar tembok juga
sudah tidak mampu lagi. Terpaksa ia menggedor beberapa kali, kemudian sebelah
kakinya mendepak pintu keras-keras hingga tubuhnya berguncang.
Namun bukannya daun pintu itu yang
terbuka oleh tendangannya, justru guncangan tadi yang membuatnya roboh pingsan
tak sadarkan diri.
Ketika siuman kembali, Linghu
Chong mendapati dirinya sedang berbaring di atas tempat tidur. Begitu membuka
mata yang ia lihat adalah sosok Yue Buqun dan Ning Zhongze berdiri di depan
ranjang. Seketika ia pun berseru gembira, “Guru, Ibu Guru, aku … aku ….” karena
sangat terharu sampai-sampai air matanya pun bercucuran saat tubuhnya berusaha
untuk bangun.
Yue Buqun tidak menjawab,
tetapi justru bertanya, “Sebenarnya apa yang terjadi?”
Linghu Chong balas bertanya,
“Bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah dia … dia baik-baik saja?”
Ning Zhongze menjawab, “Dia
tidak apa-apa. Bagaimana … bagaimana kau bisa berada di Fuzhou sini?” Nada
suaranya terdengar lembut penuh perhatian.
Linghu Chong berkata, “Kitab
Pedang Penakluk Iblis milik Adik Lin telah direbut dua orang tua, tapi aku
telah membunuh kedua orang itu serta merebut kembali kitabnya. Kedua orang itu
kemungkinan besar adalah jago-jago Sekte Iblis.” Tapi begitu ia meraba saku
bajunya, ternyata jubah biksu yang penuh dengan rangkaian huruf kecil itu sudah
tidak ada. Segera ia pun bertanya, “Di mana … di mana jubah itu?”
“Jubah apa?” tanya Ning
Zhongze.
“Jubah biksu yang penuh dengan
tulisan. Kemungkinan besar itu berisi Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Adik
Lin,” kata Linghu Chong.
“Kalau memang benda itu milik
Pingzhi, maka sudah seharusnya diserahkan kepadanya,” jawab Ning Zhongze.
“Ibu Guru benar,” sahut Linghu
Chong. “Guru dan Ibu Guru apakah baik-baik saja? Apakah semua adik-adik
seperguruan juga baik-baik saja?”
“Semuanya baik-baik saja,”
jawab Ning Zhongze sambil mengusap air matanya yang meleleh menggunakan lengan
baju.
Linghu Chong bertanya,
“Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apakah Guru dan Ibu Guru yang menolongku?”
Ning Zhongze menjawab, “Tadi
pagi ketika aku pergi ke rumah Pingzhi di Gang Xiangyang, aku melihatmu
tergeletak tak sadarkan diri di luar pintu.”
“Untung Ibu Guru cepat datang.
Kalau para siluman Sekte Iblis yang lebih dulu melihatku, tentu nyawaku sudah
melayang,” ujar Linghu Chong. Ia paham ibu-gurunya pagi tadi tentu sengaja
mencari Yue Lingshan yang tidak pulang semalaman. Tempat yang dituju sudah
pasti rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang. Namun demikian, ia merasa tidak
pantas apabila mengungkit-ungkit soal itu.
Tiba-tiba Yue Buqun membuka
suara, “Kau bilang sudah membunuh dua orang anggota Sekte Iblis? Dari mana kau
tahu kalau mereka adalah anggota Sekte Iblis?”
Linghu Chong menjawab, “Dalam
perjalanan menuju ke selatan ini, murid banyak berjumpa anggota Sekte Iblis dan
beberapa kali bertempur melawan mereka. Ilmu silat kedua orang tua itu sangat
aneh, jelas mereka bukan anggota aliran lurus bersih seperti kita.” Diam-diam
ia merasa senang karena telah berhasil merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dan
mengembalikannya kepada Lin Pingzhi. Tentu setelah ini Sang Guru, Ibu Guru, dan
juga Adik Kecil tidak lagi menaruh curiga kepadanya. Selain itu ia juga telah
membunuh dua orang anggota Sekte Iblis sehingga dalam hati merasa yakin
perbuatannya tempo hari yang telah bergaul dengan orang-orang aliran sesat
pasti hari ini mendapatkan maaf.
Tak disangka wajah Yue Buqun
justru terlihat kaku. Ia berkata sambil mendengus, “Huh, sampai sekarang kau
masih juga berani mengoceh sembarangan. Memangnya aku mudah dibohongi?”
Linghu Chong tercengang.
Dengan cepat ia berseru, “Murid sama sekali tidak berani membohongi Guru.”
“Siapa gurumu? Si marga Yue
ini sudah lama memutuskan hubungan guru-murid denganmu,” sahut Yue Buqun tegas.
Linghu Chong menjatuhkan diri
ke lantai dan berlutut, lalu menyembah, “Murid telah banyak berbuat dosa dan
rela menerima hukuman apa saja dari Guru. Tetapi … tetapi untuk hukuman
pemecatan dari Perguruan, mohon kiranya Guru sudi menariknya kembali.”
Yue Buqun mengelak ke samping,
tidak mau menerima penghormatan itu. Dengan ketus ia berkata, “Sungguh besar
perhatian putri Ketua Ren dari Sekte Iblis itu kepadamu. Sudah lama kau
berkomplot dengan mereka, untuk apa masih menginginkan guru semacam aku?”
“Putri Ketua Ren dari Sekte
Iblis?” sahut Linghu Chong menegas. “Mengapa Guru berkata demikian? Walaupun
murid pernah mendengar bahwa Ren … Ren Woxing punya anak perempuan, tapi … tapi
murid belum pernah berjumpa dengannya.”
“Chong’er, mengapa sampai saat
ini kau masih saja berdusta?” sela Ning Zhongze sambil menghela napas. “Nona
Ren itu telah mengumpulkan orang-orang persilatan tak terhitung banyaknya di
atas Lembah Lima Tiran di Shandong untuk mengobati penyakitmu. Bukankah waktu
itu kami pergi ….”
“Hah, nona di Lembah Lima
Tiran itu?” sahut Linghu Chong menukas dengan suara gemetar. “Bukankah dia …
dia … Yingying? Jadi, dia … dia adalah putri Ketua Ren?”
“Kau berdirilah,” kata Ning
Zhongze.
Perlahan-lahan Linghu Chong
bangkit berdiri, namun mulutnya masih menggumam sendiri, “Yingying adalah …
putri Ketua Ren? Bagaimana mungkin?”
“Terhadap Guru dan Ibu Guru
kenapa kau masih saja berdusta?” ujar Ning Zhongze kurang senang.
“Siapa yang sudi menjadi
gurunya?” bentak Yue Buqun dengan nada gusar. Tiba-tiba telapak tangannya
menggebrak meja keras-keras hingga ujung meja itu rompal sebagian.
Linghu Chong menjawab, “Tapi …
tapi murid sama sekali tidak berani berdusta kepada Guru ….”
Yue Buqun menukas dengan nada
bengis, “Aku memang tidak punya mata, telah menerima anak tak tahu malu
sepertimu. Kau sudah membuatku kehilangan muka menghadapi para kesatria di muka
bumi ini. Apa kau sengaja ingin merusak nama baikku, hah? Sekali lagi kau
panggil ‘guru’ dan ‘ibu guru’, maka akan kucabut nyawamu!” Seketika rona ungu
lembayung memancar di wajahnya, pertanda kali ini ia benar-benar sangat murka.
“Baik,” jawab Linghu Chong
terpaksa mengiakan. Ia pun berdiri sambil bertopang pada tepi ranjang. Wajahnya
tampak pucat dan tubuhnya lemas terhuyung-huyung. Dengan suara gugup ia berkata,
“Mereka … mereka memang berusaha mengobati penyakitku, tetapi … tetapi tiada
seorang pun yang mengatakan kalau … kalau dia adalah putri Ketua Ren.”
Ning Zhongze menyahut,
“Biasanya kau sangat pintar dan cerdik, kenapa tidak menduga hal demikian? Dia
masih muda belia, tetapi hanya dengan satu ucapan saja sudah dapat mengumpulkan
orang-orang persilatan sebanyak itu, dan semuanya berlomba-lomba ingin
menyembuhkan penyakitmu. Coba pikir, selain Nona Ren dari Sekte Iblis, siapa
lagi yang memiliki kekuasaan sebesar itu?”
“Saat itu … aku mengira dia
seorang nenek-nenek peyot,” ujar Linghu Chong.
“Apakah dia menyamar dan
berganti rupa?” tanya Ning Zhongze.
“Tidak. Hanya saja … hanya
saja selama itu aku tidak … tidak pernah melihat mukanya,” sahut Linghu Chong.
“Haha!” sahut Yue Buqun
tertawa, tapi sedikit pun wajahnya tidak berubah, tetap terlihat kaku.
Ning Zhongze menghela napas,
kemudian berkata, “Chong’er, umurmu sudah semakin bertambah, watakmu juga sudah
berubah. Apa yang sering kukatakan sudah tidak kau perhatikan lagi.”
“Ibu … Ibu … terhadap
perkataanmu dulu aku tidak ….” sebenarnya ia hendak mengatakan “aku tidak
berani melanggar”, tapi pada kenyataannya ia telah melanggar larangan Sang Guru
dan Ibu Guru untuk tidak bergaul dengan orang-orang Sekte Iblis. Padahal
terhadap Yingying, Xiang Wentian, bahkan Ren Woxing hubungannya jelas lebih
dari sekadar teman.
Ning Zhongze melanjutkan,
“Kalaupun putri Ketua Ren itu sangat baik kepadamu, dan demi menyelamatkan
jiwamu terpaksa kau membiarkan dia mengumpulkan orang mengobatimu, maka hal ini
mungkin masih dapat dimaklumi ….”
“Dapat dimaklumi bagaimana?”
sahut Yue Buqun gusar. “Untuk menyelamatkan nyawa apakah lantas boleh berbuat
sesukanya?” Biasanya Yue Buqun sangat ramah dan saling menghormati terhadap
adik seperguruan yang juga istrinya itu. Tapi sekarang ia menukas dengan nada
kasar dan bengis, jelas kemarahannya sudah tidak tertahan lagi.
Ning Zhongze dapat memahami
perasaan sang suami, maka ia hanya berkata, “Tapi mengapa kau berkomplot dengan
gembong Sekte Iblis Xiang Wentian dan banyak membunuh orang-orang golongan
lurus? Kedua tanganmu telah berlumuran darah kesatria-kesatria aliran lurus,
maka sebaiknya, lekas … lekas kau pergi saja!”
Linghu Chong merinding begitu
teringat kejadian di mana ia bersama Xiang Wentian bahu membahu menghadapi
kepungan beratus-ratus orang. Walaupunnya tangannya tidak ikut membunuh, tapi
memang tidak sedikit orang golongan lurus yang menjadi korban mereka ketika
tiba di jurang yang berbahaya itu. Sekalipun waktu itu dalam keadaan terdesak,
di mana hanya ada pilihan antara membunuh atau dibunuh, tapi dalam peristiwa
berdarah itu bagaimanapun juga dirinya ikut bertanggung jawab.
Ning Zhongze menyambung lagi,
“Di bawah Lembah Lima Tiran kau juga bekerja sama dengan Nona Ren menewaskan
beberapa murid Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun. Chong’er, dulu aku sayang
padamu seperti anak kandung sendiri. Tapi sekarang urusan sudah terlanjur
begini, ibu … ibu-gurumu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku tidak sanggup
membelamu lagi.” Bicara sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang.
“Saya telah berbuat salah.
Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab. Saya tidak mungkin
membiarkan nama baik Perguruan Huashan ikut ternoda,” kata Linghu Chong. “Saya
mohon Guru berdua mengadakan sidang dan mengundang para kesatria dari berbagai
perguruan untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri saya. Dengan demikian tata
tertib Perguruan Huashan dapat ditegakkan.”
Yue Buqun menghela napas
panjang, dan berkata, “Pendekar Linghu, jika hari ini kau masih murid Huashan,
tentu saranmu dapat dilaksanakan dan biarpun jiwamu melayang juga nama baik
Perguruan Huashan takkan tercemar. Namun aku sudah telanjur menyebarkan surat
pemecatanmu ke segala penjuru. Setiap tindak tandukmu sudah lama tidak ada
sangkut pautnya lagi dengan Perguruan Huashan. Maka, atas dasar apa aku berhak
menghukummu? Kecuali … hehe, antara lurus dan sesat memang tidak pernah ada
kecocokan. Maka, lain kali jika kau berbuat kejahatan dan kepergok olehku,
tentunya aku pun tidak segan-segan membinasakanmu. Tak akan kubiarkan kau
berbuat seenakmu lagi.”
Bicara sampai di sini
tiba-tiba di luar terdengar seseorang berseru, “Guru, Ibu Guru!” Ternyata itu
suara Lao Denuo, murid nomor dua.
“Ada apa?” sahut Yue Buqun.
“Di luar ada orang mencari
Guru dan Ibu Guru, katanya ia bernama Zhong Zhen dari Perguruan Songshan,
disertai dua orang adik seperguruannya,” jawab Lao Denuo.
“Si Pedang Berlekuk Sembilan
Zhong Zhen juga datang ke Fujian sini?” kata Yue Buqun heran. “Baiklah, aku
segera keluar.” Ia kemudian meninggalkan kamar tanpa berpamitan.
Ning Zhongze memandang sekejap
kepada Linghu Chong dengan tatapan lembut, seakan-akan berpesan kepadanya
supaya menunggu sebentar, karena nanti pembicaraan masih akan dilanjutkan. Habis
itu ia pun keluar menyusul suaminya.
Sejak kecil Linghu Chong
menganggap sang ibu guru sudah seperti ibu kandung sendiri. Melihat tatapan
penuh kasih sayang itu, seketika timbul penyesalan dalam hatinya. “Semua yang
terjadi ini dikarenakan sifatku yang gegabah dan suka membantah. Baik dan
buruk, benar dan salah, tidak dapat kubedakan dengan tegas. Sudah jelas Kakak
Xiang bukan orang baik-baik, tapi tanpa pikir aku turun tangan membantu dia.
Kematianku tidak menjadi soal, tapi nama baik Guru dan Ibu Guru tetap saja ikut
tercemar. Gara-gara Perguruan Huashan memiliki murid durhaka sepertiku,
adik-adik seperguruan pun ikut menanggung malu.”
Kemudian terpikir pula
olehnya, “Ternyata Yingying adalah putri kandung Ketua Ren. Pantas saja Lao
Touzi, Zu Qianqiu, dan yang lain begitu hormat kepadanya. Hanya satu ucapannya
saja sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman pengasingan selama delapan tahun di
pulau tandus kepada jago-jago persilatan yang tidak sedikit jumlahnya. Aih, hal
ini harusnya sudah kusadari sejak lama. Selain gembong utama Sekte Iblis, siapa
lagi di dunia persilatan yang mempunyai kekuasaan sebesar itu? Tapi sewaktu
Yingying bersamaku, sifat malu-malunya bahkan lebih tinggi dibanding Adik
Kecil. Siapa yang menyangka kalau dia seorang tokoh penting dalam Sekte Iblis?
Akan tetapi saat itu Ketua Ren masih disekap Dongfang Bubai di penjara bawah
Danau Xihu, lantas bagaimana putrinya bisa berpengaruh seperti itu?”
Ketika berbagai pikiran
terlintas timbul tenggelam di benaknya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki
seseorang berjalan cepat, dan kemudian menyelinap masuk ke dalam kamar.
Ternyata yang datang adalah si adik kecil yang selama ini dirindukannya siang
dan malam.
Segera Linghu Chong berseru,
“Adik Kecil, kau ….” Namun ucapannya ini tak sanggup ia lanjutkan lagi.
“Kakak Pertama,” kata Yue
Lingshan, “lekas … lekas kau tinggalkan tempat ini. Orang-orang Perguruan
Songshan datang kemari mencarimu.”
Suara gadis itu terdengar
bernada cemas. Linghu Chong sendiri begitu melihat adik kecilnya, maka segala
masalah menjadi ringan, bahkan sekalipun langit runtuh juga tidak ia hiraukan,
apalagi hanya soal Perguruan Songshan segala. Ia pun memandangi Yue Lingshan
dengan termangu-mangu. Segala macam perasaan, manis, kecut, getir, semuanya
berkecamuk di dalam hatinya.
Wajah Yue Lingshan menjadi
bersemu merah melihat Linghu Chong memandangnya tanpa berkedip. Ia lalu
berkata, “Ada seorang bermarga Zhong datang bersama dua adik seperguruannya.
Katanya kau telah membunuh anggota Perguruan Songshan.”
Linghu Chong terperanjat, “Aku
telah membunuh orang Perguruan Songshan? Mana mungkin?”
“Brak!” tiba-tiba pintu kamar
didobrak orang. Sekejap kemudian Yue Buqun melangkah masuk dengan wajah sangat
gusar. Dengan suara bengis ia berkata, “Linghu Chong, bagus benar perbuatanmu!
Kau telah membunuh sesepuh Perguruan Songshan, tapi kau katakan kepadaku bahwa
yang kau bunuh adalah penjahat Sekte Iblis!”
Linghu Chong menjawab dengan
kebingungan, “Murid … murid … aku … aku membunuh orang Songshan? Bagaimana …
bagaimana itu bisa terjadi?”
“Bo Chen si Dewa Rambut Putih
dan Sha Tianjang si Elang Gundul, apa kau yang telah membunuh mereka?” bentak
Yue Buqun.
Begitu mendengar julukan kedua
orang itu, seketika Linghu Chong teringat pada si tua botak yang sebelum bunuh
diri mengucapkan, “Selamanya Elang Gundul tidak sudi menyerah kepada musuh.”
Jika benar demikian, tentu Si Dewa Rambut Putih adalah rekannya yang mati lebih
dulu.
Linghu Chong kemudian
menjawab, “Benar, aku telah membunuh seorang tua berambut putih dan seorang tua
berkepala botak. Tapi … tapi aku tidak tahu kalau mereka adalah orang Perguruan
Songshan. Mereka bersenjatakan golok pendek, jelas bukan ilmu silat Perguruan
Songshan.”
“Jadi kedua orang itu
benar-benar kau yang membunuh?” sahut Yue Buqun semakin bengis.
“Benar,” jawab Linghu Chong.
Tiba-tiba Yue Lingshan
menyahut, “Ayah, dua orang tua ubanan dan botak itu ….”
“Keluar kau!” bentak Yue Buqun
seketika. “Siapa suruh kau masuk ke sini? Aku sedang bicara, perlu apa kau ikut
menyela?”
Dengan kepala menunduk Yue
Lingshan keluar dari kamar dan berdiri di pintu. Hati Linghu Chong menjadi pilu
sekaligus senang. Ia berpikir, “Meskipun Adik Kecil sangat baik kepada Adik
Lin, tapi ternyata masih tetap memiliki perhatian kepadaku. Ia rela dimarahi
ayahnya demi untuk memberi peringatan agar aku lekas-lekas pergi menghindari
bahaya.”
Sementara itu Yue Buqun
kembali berkata, “Memangnya kau kenal semua ilmu silat Perguruan Songshan? Bo
Chen dan Sha Tianjang berasal dari cabang Perguruan Songshan. Entah dengan cara
rendah bagaimana kau bisa membunuh mereka, tapi yang jelas kau telah membawa
ceceran darah sampai ke rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang. Pihak
Perguruan Songshan kemudian melakukan penyelidikan dan akhirnya menuntun mereka
sampai kemari. Sekarang Saudara Zhong telah berada di luar sebagai tamuku dan
meminta pertanggungjawaban kepadaku. Apa lagi yang dapat kau katakan?”
Ning Zhongze menyusul masuk ke
dalam kamar dan berkata, “Kakak, bukankah mereka tidak menyaksikan sendiri
kalau Chong’er yang telah membunuh kedua orang itu? Kalau hanya menuruti
ceceran darah mana mungkin bisa dipakai sebagai bukti bahwa orang di dalam
kantor biro ini yang melakukannya? Kita tolak saja tuduhan mereka, habis
perkara.”
Yue Buqun menjawab tegas,
“Adik, ternyata sampai sekarang kau masih membela bajingan ini! Sebagai Ketua
Perguruan Huashan mana mungkin aku harus berdusta demi melindungi binatang
cilik seperti dia? Kalau … kalau itu kita lakukan, maka nama baik Perguruan
Huashan akan hancur.”
Selama ini Linghu Chong sangat
mengagumi hubungan rumah tangga guru dan ibu-gurunya yang juga saudara
seperguruan itu. Ia berpikir kalau dirinya dengan Yue Lingshan kelak bisa
menjadi suami-istri, tentu tidak ada lagi keinginan lain dalam hatinya.
Sekarang begitu melihat Sang Guru bicara bengis kepada Ibu Guru, tiba-tiba
timbul pikiran dalam benaknya, “Jika Adik Kecil menjadi istriku, maka segala
apa yang hendak diperbuatnya pasti akan kuturuti semua. Meskipun dia menyuruhku
melakukan kejahatan tak berampun juga takkan kutolak tanpa ragu.”
Sepasang mata Yue Buqun
menatap tajam ke arah Linghu Chong yang melamun sambil tersenyum lembut
memandang Yue Lingshan yang masih berdiri di luar pintu kamar. Ia pun membentak
gusar, “Binatang cilik, pada saat seperti ini pun kau masih berani punya pikiran
jahat, hah?”
Bentakan keras Yue Buqun
membuat Linghu Chong tersadar dari lamunannya. Begitu ia berpaling, dilihatnya
wajah Sang Guru sangat murka dengan memancarkan rona ungu lembayung. Sebelah
tangannya sudah terangkat pula dan siap menghantam ke arah batok kepala.
Seketika tiba-tiba timbul rasa bahagia di dalam hati Linghu Chong. Ia merasa
kehidupan di dunia teramat pahit dan getir, sehingga apabila hari ini bisa mati
di tangan Sang Guru maka itu berarti pembebasan dari segala derita. Lebih-lebih
Adik Kecil ikut menyaksikan kematiannya di tangan sang ayah, justru hal ini
yang sangat ia harapkan.
Terasa kesiuran angin
menyambar tiba, pertanda telapak tangan Yue Buqun sudah bergerak menghantam ke
bawah. Mendadak Ning Zhongze menjerit, “Jangan!” Ia lantas menerjang maju,
kemudian jarinya menotok titik Yuzhen di belakang kepala sang suami. Sebagai
kakak beradik seperguruan yang berlatih bersama sejak kecil, ia cukup kenal di
mana letak kelemahan sang kakak. Titik yang ditotoknya itu adalah titik
mematikan yang membuat Yue Buqun terpaksa harus menunda serangannya untuk
menyelamatkan diri lebih dulu. Maka ketika Yue Buqun membalik tangannya untuk
menangkis, dengan cepat Ning Zhongze menyelinap maju dan menghadangkan tubuhnya
di depan Linghu Chong.
Dengan muka merah padam Yue
Buqun membentak, “Kau … kau mau apa?”
Ning Zhongze berseru kepada
Linghu Chong dengan nada cemas, “Chong’er, lekas lari … lekas lari!”
“Tidak, aku takkan lari,”
jawab Linghu Chong menggeleng. “Kalau Guru ingin membunuhku, maka biarlah aku dibunuh
saja. Memang dosaku pantas mendapat hukuman mati.”
“Selama ada aku di sini, dia
takkan membunuhmu,” seru Nyonya Yue sambil menghentakkan kaki. “Lekas pergi,
lekas pergi! Pergilah sejauh-jauhnya dan selamanya jangan kembali lagi.”
Yue Buqun menyahut, “Huh,
kalau dia bisa pergi seenaknya, lantas bagaimana cara kita menghadapi tiga
orang Songshan di depan itu?”
Linghu Chong berpikir,
“Ternyata Guru khawatir tidak bisa menghadapi Zhong Zhen bertiga. Kalau begitu,
biarlah aku yang keluar melayani mereka.” Segera ia pun berseru lantang sambil
melangkah lebar, “Baiklah, aku yang akan menemui mereka!”
“Jangan keluar! Mereka akan
membunuhmu!” seru Ning Zhongze khawatir. Namun langkah kaki Linghu Chong
sungguh cepat. Dalam sekejap saja ia sudah memasuki ruang tamu.
Benar juga, di tempat itu
sudah menunggu Zhong Zhen si Pedang Berlekuk Sembilan, Teng Bagong si Cambuk
Sakti, dan Gao Kexin si Singa Berbulu Pirang. Ketiga orang Perguruan Songshan
itu sedang duduk dengan angkuh di sebelah barat ruangan. Linghu Chong segera
mengambil duduk di kursi utama paling besar di hadapan mereka, kemudian berkata
dengan sinis, “Kalian bertiga, ada perlu apa ke sini?”
Kali ini Linghu Chong memakai
baju pelayan penginapan dan telah membuang semua kumis dan cambang palsu dari
wajahnya, sehingga ketiga orang itu tidak mengenalinya sebagai perwira sinting
yang telah mengalahkan mereka di Nianbapu tempo hari. Melihat seorang pemuda
bermuka pucat dan berpakaian kotor penuh bercak darah yang berlagak seperti
tuan besar, kontan saja Zhong Zhen bertiga menjadi gusar bukan kepalang.
Gao Kexin segera membentak,
“Kurang ajar, kau ini makhluk macam apa?”
“Kalian bertiga ini kutu macam
apa?” balas Linghu Chong dengan tertawa.
“Kutu apa maksudmu?” tanya Gao
Kexin semakin gusar. Ia lantas berteriak, “Suruh Tuan Yue keluar! Untuk apa
jongos macam dirimu bicara dengan kami?”
Saat itu Yue Buqun, Ning
Zhongze, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan yang lain sudah berada di
belakang pintu angin dan ikut mendengarkan pembicaraan. Yue Lingshan merasa
geli di dalam hati ketika mendengar Linghu Chong menjawab dengan nada yang
kocak sesukanya. Ia tahu ketiga jago Perguruan Songshan ini sangatlah sakti.
Kakak Pertama sudah membunuh kedua kawan mereka dan sekarang bersikap
sedemikian angkuh, tentu sebentar lagi akan terjadi pertarungan dan kemungkinan
besar Ayah dan Ibu terpaksa tidak ikut campur. Memikirkan itu membuat hatinya
khawatir sehingga tidak sanggup tertawa meskipun perasaannya geli.
Sementara itu Linghu Chong
telah menjawab, “Siapa itu Tuan Yue? Oh, mungkin maksudmu Ketua Perguruan
Huashan? Kebetulan kedatanganku ke sini juga hendak mencari perkara dengannya.
Dua murid keparat dari Perguruan Songshan bernama Setan Rambut Putih Bo Chen
dan Kokokbeluk Gundul Sha Tianjang sudah kubunuh. Mereka telah berbuat lancang
mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis dan menotok dua muda mudi. Kabarnya ada
lagi tiga orang Perguruan Songshan yang sekarang bersembunyi di sini, maka aku
minta Tuan Yue lekas menyerahkan mereka kepadaku, tapi dia justru menolak. Menyebalkan,
sungguh menyebalkan!” Lalu ia sengaja berteriak-teriak keras, “Hei, Tuan Yue,
tiga orang bodoh dari Perguruan Songshan itu bernama Si Pedang Rongsokan Zhong
Zhen, Si Cambuk Setan Teng Bagong, dan Si Kucing Kurap Gao Kexin. Lekas kau
seret mereka keluar, supaya aku bisa membereskan mereka! Kau tidak perlu
melindungi mereka. Kalian Serikat Pedang Lima Gunung punya banyak cabang. Kalau
macam-macam, akan kubereskan kalian semua!”
Yue Buqun saling pandang
dengan istrinya. Mereka tahu Linghu Chong sengaja berteriak-teriak untuk
menegaskan bahwa Perguruan Huashan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
kematian kedua orang Songshan tadi malam itu. Hanya saja, Zhong Zhen bertiga
adalah tokoh terkemuka di mana mereka termasuk dalam “Tiga Belas Pelindung
Songshan”. Memang dalam pertempuran di depan kuil tua beberapa bulan silam,
Linghu Chong telah mengalahkan Feng Buping dan lima belas musuh bercadar. Akan
tetapi kali ini ia dalam keadaan terluka parah, mungkin berdiri saja tidak akan
kuat lama. Anehnya, mengapa ia begitu berani mengolok-olok dan memancing
kemarahan tiga orang itu? Lebih-lebih ia sepertinya sudah mengenal julukan
mereka bertiga sehingga tahu saat ini berhadapan dengan siapa.
Dengan perasaan gusar Gao
Kexin melompat bangun, kemudian menusukkan pedangnya ke arah Linghu Chong. Tapi
Zhong Zhen lebih dulu melambaikan tangan mencegah adik seperguruannya itu, lalu
bertanya kepada Linghu Chong, “Siapakah Tuan ini?”
“Hahahaha, aku kenal kalian,
tapi kalian tidak kenal aku,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Kalian dari
Perguruan Songshan bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu,
sehingga Perguruan Songshan bisa mencaplok empat perguruan yang lain. Kedatangan
kalian bertiga ke Fujian ini, pertama untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis
milik Keluarga Lin, dan yang kedua ingin mencelakai tokoh-tokoh penting
Perguruan Huashan dan Perguruan Henshan. Berbagai tipu muslihat kalian yang
licik itu sudah kuketahui semua. Rasanya perbuatan kalian akan sia-sia belaka,
tak ada gunanya sama sekali. Hehehehe, sungguh menggelikan, sungguh
menggelikan!”
Kembali Yue Buqun dan istrinya
saling pandang. Mereka berpikir ucapan Linghu Chong itu meskipun seenaknya
tetapi memiliki alasan yang masuk akal.
Di lain pihak, Zhong Zhen
sangat terkejut dan bertanya, “Dari aliran manakah Saudara ini sebenarnya?”
“Kau tanya dari mana aku?
Haha, aku hanyalah gelandangan biasa, yang ditolak kuil besar dan diusir kuil
kecil. Aku seorang hina kelana sebatang kara yang bergentayangan di hutan
belantara. Tenang saja, aku sama sekali tidak akan berebut rezeki dengan
Perguruan Songshan kalian. Hahahaha,” jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa,
namun penuh dengan perasaan pilu.
“Karena Saudara bukan orang
Perguruan Huashan, maka kita tidak boleh mengganggu ketenangan Tuan Yue. Mari
kita bicara di luar saja,” kata Zhong Zhen dengan nada datar, namun sorot
matanya memancarkan nafsu membunuh. Dikarenakan Linghu Chong telah membongkar
rencana rahasianya, maka ia pun bertekad harus membunuhnya. Namun di sisi lain
ia juga segan terhadap Yue Buqun dan tidak berani sembarangan membunuh orang di
dalam kantor Biro Ekspedisi Fuwei, sehingga Linghu Chong lebih dulu diajak
keluar untuk kemudian dibereskan di sana.
Hal ini justru sesuai dengan
harapan Linghu Chong. Segera ia berseru kepada pihak Perguruan Huashan, “Tuan
Yue, untuk selanjutnya kau harus selalu waspada. Ketua Sekte Iblis yang
terdahulu, Ren Woxing telah muncul kembali di dunia persilatan. Orang ini
memiliki Jurus Penyedot Bintang yang khusus digunakan menghisap tenaga dalam
lawan. Dia sudah menyatakan akan mengadakan perhitungan dengan Perguruan
Huashan. Selain itu Perguruan Songshan juga berniat mencaplok Perguruan
Huashan-mu. Kau seorang kesatria berbudi, maka harus berhati-hati terhadap
pihak lain yang berhati jahat.” Jauh-jauh ia datang ke Fuzhou adalah untuk
menyampaikan hal ini kepada Sang Guru. Maka begitu tujuannya terkabul, ia
lantas melangkah keluar disusul Zhong Zhen dan kedua rekannya.
Setibanya di luar gedung Biro
Fuwei, Linghu Chong melihat serombongan biksuni dan wanita awam berdiri di
depan gerbang. Mereka tidak lain adalah murid-murid Perguruan Henshan. Yihe dan
Zheng E berjalan paling depan dengan membawa kotak hadiah. Sepertinya mereka
datang ke Biro Fuwei untuk mengunjungi Yue Buqun suami-istri.
Linghu Chong terperanjat dan
lekas-lekas menyelinap ke arah lain agar tidak dilihat oleh murid-murid
Perguruan Henshan itu. Walaupun Yihe, Zheng E, dan beberapa lainnya sudah terlanjur
memandang ke arahnya, tapi untungnya Yilin berada di barisan belakang sehingga
tidak melihat kehadirannya.
Namun ketika Zhong Zhen, Teng
Bagong, dan Gao Gexin yang keluar dari pintu, Zheng E langsung mengenali
mereka. Gadis itu terperanjat dan seketika berhenti melangkah.
Linghu Chong diam-diam
berpikir, “Murid-murid Henshan itu sudah tahu Guru dan Ibu Guru berada di sini.
Mereka datang kemari jelas untuk berkunjung. Ada Guru dan Ibu Guru di sini,
tentu mereka akan mendapat perlindungan. Sebelum Adik Yilin melihatku, aku
harus segera menyingkir dari sini.”
Setelah berpikir demikian ia
pun menyelinap ke samping dan bermaksud pergi jauh-jauh. Tapi Zhong Zhen
bertiga lantas menghunus senjata dan menghadang di depannya. Serentak mereka
membentak, “Apa kau ingin lari?”
Sementara itu Yue Buqun, Ning
Zhongze, dan murid-murid Perguruan Huashan telah keluar pula di depan pintu
untuk menyaksikan bagaimana cara Linghu Chong menghadapi ketiga lawannya.
Linghu Chong berkata, “Aku
tidak punya senjata, bagaimana bisa berkelahi?”
Melihat itu Yue Lingshan
segera melolos pedangnya dan berseru, “Kakak ….”
Ia bermaksud melemparkan
pedangnya kepada Linghu Chong, tapi Yue Buqun telah menjulurkan kedua jarinya
untuk menahan batang pedang anak gadisnya itu sambil menggelengkan kepala.
“Ayah!” seru Yue Lingshan
cemas.
Tapi Yue Buqun kembali
menggelengkan kepala.
Kejadian itu dapat dilihat
oleh Linghu Chong, membuat hatinya sangat terhibur. Ia berpikir, “Ternyata Adik
Kecil masih mempunyai perhatian kepadaku seperti dulu.”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara jeritan kaget beberapa orang. Linghu Chong tahu tentu ada musuh
yang menyerangnya dari belakang. Tanpa menoleh, ia segera melompat ke depan.
Karena tenaga dalamnya melimpah ruah, lompatannya pun menjadi tinggi dan jauh
pula. Namun demikian tetap saja terasa ada kesiuran angin tajam menyambar di
belakang kepalanya. Rupanya pedang lawan telah menebas dengan ganas. Andai saja
lompatannya ke depan tadi terlambat sedetik saja, atau tenaga dalamnya kurang
kuat sehingga lompatannya kurang jauh, dapat dipastikan tubuhnya saat ini telah
terpotong menjadi dua. Benar-benar berbahaya.
Begitu kakinya mantap berdiri,
Linghu Chong segera menoleh ke belakang. Sungguh mengejutkan karena tampak
olehnya berkelebat belasan sinar pedang disertai suara bentakan ramai. Rupanya
murid-murid Perguruan Henshan telah turun tangan untuk membantu. Sebanyak tiga
regu yang masing-masing terdiri dari tujuh orang telah menerjang maju. Setiap
regu masing-masing mengepung Zhong Zhen, Teng Bagong, dan Gao Gexin. Gerakan
mereka saat menghunus pedang, melangkah maju, melancarkan jurus, dan mengepung
musuh, semuanya dilakukan dengan cepat dan lincah, tapi juga indah dipandang.
Jelas mereka sudah berlatih lama untuk membentuk formasi tujuh pedang tersebut.
Setiap ujung pedang menodong titik vital musuh, yaitu kepala, tenggorokan,
dada, perut, pinggang, punggung, dan iga. Setelah ketiga lawan terkepung rapat,
para wanita dan biksuni itu pun diam tanpa bergerak.
Yang tadi melakukan serangan
gelap terhadap Linghu Chong adalah Zhong Zhen. Perkataan Linghu Chong yang
membahayakan Perguruan Songshan membuatnya nekad menyerang saat itu juga. Zhong
Zhen memanfaatkan ketidaksiapan Linghu Chong untuk melancarkan serangan keji
demi melenyapkan saksi mata secepat-cepatnya. Bagaimanapun juga ia tidak ingin
Yue Buqun menaruh curiga apabila terus-menerus mendengarkan perkataan Linghu
Chong. Akan tetapi, serangannya yang ganas dan keji itu ternyata masih bisa
dihindari lawan. Secara tidak terduga, kali ini justru dirinya yang terkepung
formasi tujuh murid Perguruan Henshan. Meskipun ilmu silatnya tinggi, namun
tetap saja tidak dapat lolos dari kepungan tersebut. Begitu ia bergerak sedikit
saja, tentu pedang-pedang itu langsung bergerak menusuk tubuhnya.
Rupanya Zheng E, Yilin, dan
Qin Juan telah bercerita kepada kakak-kakak seperguruan mereka tentang
bagaimana Zhong Zhen telah mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa
mendiang Biksuni Dingjing supaya menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima
Gunung menjadi satu. Mereka semua marah atas pemaksaan itu, dan kini begitu
melihat Zhong Zhen menyerang Linghu Chong dari belakang, serentak mereka pun
membentuk tiga formasi barisan dan langsung turun tangan membantu.
Yue Buqun, Ning Zhongze, dan
murid-murid Perguruan Huashan sudah tentu tidak mengetahui bahwa rombongan
Perguruan Henshan telah bertemu dan berselisih dengan rombongan Perguruan
Songshan yang dipimpin Zhong Zhen di Nianbapu. Itu sebabnya mereka menjadi
terheran-heran ketika tiba-tiba melihat kedua pihak yang merupakan satu rumpun
itu entah mengapa kini berhadapan sendiri. Menyaksikan formasi pedang pihak
Perguruan Henshan yang amat indah tersebut sungguh membuat mereka kagum. Dua
puluh satu orang secara serentak langsung membagi diri menjadi tiga regu dan
mengacungkan pedang masing-masing. Kecuali lengan baju mereka yang
berkibar-kibar, masing-masing tidak bergerak sedikit pun. Meskipun demikian,
dalam formasi tiga regu ini tetap mengandung daya serang dan kekuatan membunuh
yang tidak terbatas.
Linghu Chong mengamati formasi
pedang Perguruan Henshan itu dengan seksama. Begitu terbentuk dan mengepung
lawan, mereka langsung diam tidak bergerak. Tujuh mata pedang telah menodong
titik vital musuh serta menjadi perlindungan pula, bagaikan cincin yang sama
sekali tidak memiliki celah kelemahan. Sepertinya formasi pedang ini dibuat
berdasarkan prinsip “tanpa jurus mengalahkan jurus” dalam Ilmu Sembilan Pedang
Dugu. Sambil terengah-engah, Linghu Chong pun berteriak memuji, “Bagus sekali!
Formasi pedang ini sangat cemerlang!”
Melihat pihaknya sudah tidak
bisa berkutik lagi, Zhong Zhen pun tertawa dan berkata, “Kita adalah kawan
sendiri, untuk apa bercanda seperti ini? Biarlah aku mengaku kalah saja,
bagaimana?” Habis itu ia lantas membuang pedangnya ke tanah.
Formasi tujuh pedang yang
mengepungnya dipimpin oleh Yihe. Melihat lawan sudah membuang senjata dan
mengaku kalah, ia pun segera menarik kembali pedangnya diikuti keenam anggota
yang lain.
Tak disangka-sangka, ujung
kaki kiri Zhong Zhen tiba-tiba menjungkit pedangnya yang tergeletak di tanah
itu. Begitu terlempar ke udara, secepat kilat tangannya menepuk gagang pedang
itu sehingga meluncur deras ke depan.
Yihe menjerit kaget karena
pedang itu telah menusuk lengan kanannya, sehingga pedangnya sendiri sampai terlepas
dari genggaman dan terjatuh ke tanah. Zhong Zhen bergelak tawa dan menyambar
pedangnya itu lalu mengayunkannya dengan gencar. Dalam sekejap sinar dingin
berkelebat dan murid-murid Henshan yang lain berturut-turut terluka pula.
Karena regu Yihe mengalami
kekacauan, kedua regu yang lain pun terpecah pikirannya sehingga kepungan
mereka menjadi longgar. Teng Bagong dan Gao Kexin segera memanfaatkan
kesempatan dengan melancarkan serangan balik. Dalam sekejap pun terdengar suara
dentang senjata beradu ramai.
Linghu Chong buru-buru
memungut pedang Yihe di tanah, dan mengayunkannya ke depan. Terdengar suara
dentang logam beradu satu kali disertai jeritan kaget beberapa kali. Dalam
sekejap tahu-tahu pergelangan tangan Gao Kexin sudah terluka dan pedangnya pun
jatuh ke tanah. Cambuk Teng Bagong yang lemas itu juga berputar balik dan
melibat lehernya sendiri, sementara punggung tangan Zhong Zhen juga terketuk
oleh pedang Linghu Chong sampai tergetar dan ia pun mundur beberapa langkah.
Meskipun pedangnya tidak sampai terlepas dari pegangan, namun lengannya terasa
lemas tak bertenaga.
Pada saat itulah terdengar dua
orang perempuan berteriak bersamaan. Yang satu berseru, “Jenderal Wu!” dan yang
satu lagi berseru, “Kakak Linghu!”
Yang memanggil “Jenderal Wu” adalah
Zheng E. Rupanya ia mengenali jurus yang digunakan Linghu Chong untuk
mengalahkan tiga lawannya itu ternyata mirip dengan yang ia lihat di Nianbapu
tempo hari. Pemandangan yang ia lihat sama persis: Gao Kexin kebingungan tidak
tahu harus berbuat apa, Teng Bagong tercekik oleh cambuknya sendiri, sedangkan
Zhong Zhen tampak terkejut sekaligus gusar. Zheng E berwatak cerdas dan
berpandangan jeli. Tempo hari ia melihat jurus ini digunakan untuk mengalahkan
ketiga orang itu, sehingga meskipun Linghu Chong sekarang tidak memakai pakaian
perwira dan juga tidak memakai kumis dan cambang, namun ia langsung
mengenalinya sebagai “Jenderal Wu”.
Sementara itu yang memanggil
“Kakak Linghu” tentu saja Yilin seorang. Tadinya ia berada dalam regu yang
dipimpin Yizhen mengepung Teng Bagong. Setiap anggota regu dalam formasi
mencurahkan segenap perhatiannya untuk menodong musuh yang dikepung, tanpa
pernah mengalihkan pandangan kepada hal lainnya. Yang menodong kepala hanya
melihat kepala, yang menodong leher hanya melihat leher, yang menodong dada
hanya melihat dada, demikian pula yang lainnya. Jangankan melihat adanya orang
lain, bahkan bagian tubuh lawan yang tidak ditodong pun tidak menjadi
perhatian. Begitu kekacauan terjadi barulah Yilin sempat melihat adanya Linghu Chong.
Seketika seluruh tubuh biksuni muda itu tergetar hebat karena berjumpa
laki-laki yang selalu dirindukannya itu. Hampir-hampir saja ia jatuh lemas
dibuatnya.
Karena keberadaannya sudah
diketahui, Linghu Chong pun tertawa dan mengomel, “Nenekmu, kalian bertiga kutu
busuk benar-benar kurang ajar. Para biksuni dari Perguruan Henshan sudah
mengampuni jiwa kalian, tapi kalian justru membalas air susu dengan air tuba.
Terpaksa aku … aku ….” sampai di sini mendadak kepalanya pusing, matanya
berkunang-kunang dan tubuhnya lantas roboh di tanah.
Yilin segera memburu maju
untuk memapahnya sambil berseru cemas, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!” Dilihatnya
pundak dan lengan Linghu Chong mengucurkan darah, pertanda luka tadi malam
kembali terbuka. Lekas-lekas ia menyingsingkan lengan baju dan mengeluarkan Pil
Empedu Beruang Putih buatan perguruannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam
mulut Linghu Chong.
Zheng E, Yizhen, dan yang lain
juga ramai-ramai mendekat. Mereka mengeluarkan Salep Penyambung Kahyangan untuk
dioleskan pada luka-luka tersebut. Karena sudah mengetahui kalau Linghu Chong
adalah si perwira gadungan, mereka pun merasa berhutang budi kepadanya. Andai
saja tempo hari Linghu Chong tidak datang menolong, tentu mereka sudah tewas
semua. Mungkin mereka tidak hanya tewas mengenaskan tapi juga mengalami
bermacam-macam penghinaan dari pihak musuh. Maka dengan penuh rasa syukur
sekaligus cemas mereka pun beramai-ramai mengobati Linghu Chong. Ada yang
mengambil obat, ada yang menyeka darah, ada yang mengusap keringat, ada yang
membalut luka, semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Pada umumnya kaum wanita
memang ceriwis, apalagi di saat menghadapi suatu peristiwa, pasti berebutan
bicara dan tak henti-hentinya berkomentar. Meskipun murid-murid Perguruan
Henshan tersebut adalah kaum pesilat, namun mereka tidak dapat menutupi sifat
dasar itu. Mereka pun saling berbisik, ada yang menghela napas penyesalan, ada
yang tampak cemas, ada yang bertanya-tanya gelisah mengapa tuan jenderal
penolong mereka sampai terluka, ada yang bertanya-tanya siapakah musuh yang
keji itu, dan ada pula yang memaki-maki sendiri. Mereka saling berebut bicara
dengan suara berisik, sambil sesekali diselingi ucapan “Amitabha”.
Melihat keadaan demikian,
orang-orang Perguruaan Huashan menjadi terheran-heran. Yue Buqun berpikir,
“Sejak dulu tata tertib Perguruan Henshan sangat ketat, tapi sekarang entah
mengapa murid-murid perempuan ini sampai tergoda kepada berandalan yang
kelakuannya tidak beres macam Linghu Chong? Bahkan di depan banyak orang mereka
tidak menjaga tata krama, ada yang memanggil ‘kakak’ kepadanya dengan begitu
mesra, ada yang memanggilnya ‘jenderal’ pula. Sejak kapan bangsat cilik ini
menjadi perwira? Sungguh tidak patut. Mengapa para sesepuh Perguruan Henshan
tidak melakukan pengawasan?”
Sementara itu Zhong Zhen telah
memberi isyarat kepada kedua adik seperguruannya untuk mempersiapkan senjata.
Serentak mereka bertiga menerjang maju bersama-sama karena tahu bila Linghu
Chong dibiarkan hidup tentu kelak akan banyak mendatangkan masalah. Lagipula
sudah dua kali mereka kalah olehnya. Maka saat ini begitu melihat Linghu Chong
mendadak roboh tak berdaya, mereka pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu
untuk menghabisi nyawanya.
Melihat itu, Yihe segera
memberi aba-aba. Serentak empat belas kawannya maju menjadi satu formasi
barisan. Pedang mereka bergerak menari-nari menangkis serangan Zhong Zhen
bertiga. Ilmu silat masing-masing murid Perguruan Henshan itu sebenarnya tidak
terlalu tinggi. Namun begitu membentuk formasi empat belas pedang, dalam
menyerang maupun bertahan, kekuatan mereka cukup untuk menghadapi empat atau
lima orang jago silat papan atas.
Semula Yue Buqun bermaksud
melerai pertempuran itu. Namun bermacam-macam masalah tersebut sama sekali di
luar dugaannya. Ia tidak tahu-menahu mengapa antara kedua pihak yang pada
awalnya satu rumpun itu kini tiba-tiba berselisih. Apalagi di hatinya sekarang
timbul perasaan kurang senang terhadap perbuatan orang-orang Perguruan Songshan
dan Henshan itu. Ia pikir sebaiknya menunggu perkembangan selanjutnya terlebih
dulu baru kemudian bertindak.
Formasi pedang keempat belas
murid Perguruan Henshan itu bertahan sangat rapat. Meski Zhong Zhen dan kedua
adiknya mencoba bermacam-macam gaya serangan namun tetap saja tidak dapat maju
lebih dekat. Bahkan sedikit lengah saja paha Gao Kexin tertusuk pedang Yiqing.
Meski lukanya tidak parah, tapi telah mengeluarkan darah bercucuran, sehingga
keadaannya menjadi agak runyam.
Dalam keadaan sadar dan tidak
sadar, Linghu Chong dapat mendengar suara dentingan senjata beradu. Ketika
matanya sedikit terbuka, tampak wajah Yilin penuh rasa cemas sedang membaca
doa, “Semua makhluk dalam marabahaya, menderita kesulitan tak tertahankan.
Namun berkat kekuatan dan kebijaksanaan Dewi Guanyin yang welas asih dapat
menyelamatkan dunia dari penderitaan ….” Seketika teringat olehnya kejadian di
luar Kota Hengshan dulu saat dirinya terluka. Dalam hati ia merasa sangat
berterima kasih.
Linghu Chong kemudian bangkit
dan berkata lirih, “Adik cilik, terima kasih banyak atas bantuanmu. Sekarang
berikan pedangmu kepadaku.”
Yilin menjawab, “Jangan … kau
jangan … jangan ….”
Linghu Chong tersenyum lembut.
Ia mengambil pedang dari tangan Yilin, kemudian tangan kirinya bertumpu pada
bahu kanan biksuni muda itu dan kakinya lantas melangkah sempoyongan ke depan.
Sebenarnya Yilin sangat cemas dan khawatir. Namun begitu bahunya mampu menahan
beban tubuh Linghu Chong, seketika timbul keberaniannya. Ia pun mengerahkan
kekuatannya pada bahu kanan tersebut dan ikut berjalan mengiringi ke mana
Linghu Chong pergi.
Linghu Chong berjalan
perlahan-lahan melewati formasi empat belas murid Henshan sehingga kini
berhadapan dengan Zhong Zhen bertiga. Sekali pedangnya menyambar, pedang Gao
Kexin kembali jatuh ke tanah. Ketika pedang bergerak untuk kedua kalinya, tanpa
ampun cambuk panjang Teng Bagong lagi-lagi melilit leher sendiri. Dan gerakan
pedang yang ketiga kalinya pun dengan tepat membentur pedang Zhong Zhen.
Zhong Zhen sadar ilmu pedang
Linghu Chong sangat aneh dan sukar ditandingi olehnya. Namun melihat langkah
Linghu Chong yang terhuyung-huyung, ia berpikir bahwa kali ini ada kesempatan
emas untuk mengalahkannya, yaitu dengan cara mengadu senjata sekuat tenaga
untuk membentur jatuh pedang lawan. Maka ketika kedua senjata mereka beradu, ia
pun mengerahkan segenap tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke pedang.
Tapi sungguh celaka baginya.
Begitu kedua pedang berbenturan, terasa tenaga dalamnya tiba-tiba membanjir
keluar dengan deras melalui batang pedangnya dan sukar ditahan lagi. Sebaliknya,
semangat Linghu Chong justru terasa bangkit kembali. Ternyata Jurus Penyedot
Bintang tanpa disadari makin hari makin sempurna. Tidak perlu anggota tubuh
saling bersentuhan, cukup hanya senjata yang beradu saja sudah bisa menghisap
tenaga dalam pihak lawan.
Zhong Zhen terperanjat dan
buru-buru menarik pedangnya kemudian menusuk ke depan. Linghu Chong melihat di
bawah ketiaknya terdapat celah yang terbuka. Ia hanya tinggal menunggu
kesempatan untuk membalas dengan satu tusukan saja tentu sudah dapat membuat
lawan binasa. Namun tangannya terasa lemas, lengannya terasa nyeri tak
bertenaga, sehingga terpaksa hanya melintangkan pedangnya untuk menangkis
serangan tersebut.
Sekejap kemudian pedang mereka
kembali berbenturan. Lagi-lagi tenaga dalam Zhong Zhen membanjir keluar,
jantungnya pun berdebar kencang, perasaannya terkejut bercampur gusar. Kembali
ia mengerahkan segenap tenaganya untuk menusuk. Namun sampai di tengah jalan
tiba-tiba pedangnya berganti arah, yaitu menuju dada Yilin yang berada di
samping Linghu Chong dan menjadi tumpuan berdirinya.
Serangan Zhong Zhen ini sangat
keji. Kalau Linghu Chong melintangkan pedangnya untuk menolong Yilin, tentu
lawan segera memutar balik senjata untuk menusuk perutnya. Namun jika Yilin
tidak ditolong, maka tusukan itu akan benar-benar mengenainya. Hal ini cukup
mengacaukan pikiran Linghu Chong sehingga kesempatan akan terbuka lebar bagi
lawan untuk menyerangnya secara lebih ganas.
Di tengah jerit khawatir
banyak orang, tampak ujung pedang Zhong Zhen sudah mengenai baju bagian dada
Yilin. Tiba-tiba pedang Linghu Chong menyambar dan tepat menindih di atas
batang pedang Zhong Zhen. Seketika pedang Zhong Zhen menjadi lengket dan
berhenti di tengah jalan tanpa bisa bergerak lagi, bagaikan terperangkap oleh
jepitan besi yang sangat kuat.
Sekuat tenaga Zhong Zhen
berusaha mendorong ke depan, tapi sedikit pun pedangnya tidak mampu bergerak
lagi. Pedang yang didorong dan ditahan dari atas itu tampak perlahan-lahan
mulai melengkung. Bersamaan itu Zhong Zhen merasakan pula tenaga dalamnya
kembali membanjir keluar dengan sangat cepat. Untungnya ia segera menyesuaikan
diri dengan menarik pedangnya dan melompat mundur. Namun saat itu semua
tenaganya telah habis, dan untuk mengerahkan tenaga baru juga tidak sempat
lagi. Maka ketika badannya masih terapung di udara rasanya sudah lemas lunglai.
Ia pun jatuh terbanting dengan keras dengan punggung menyentuh tanah lebih
dulu, seperti orang biasa yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat.
Zhong Zhen meringis dan
bermaksud merangkak bangun dengan kedua tangan bertumpu pada tanah. Namun baru
saja badannya terangkat sedikit mendadak ia kembali jatuh terbanting. Teng
Bagong dan Gao Kexin segera maju untuk memapahnya sambil bertanya, “Kakak, ada
apa?”
Sepasang mata Zhong Zhen
menatap tajam ke arah Linghu Chong sambil membayangkan saat tenaga dalamnya
terhisap keluar tadi. Seketika ia pun teringat pada Ren Woxing, Ketua Sekte
Iblis terdahulu yang puluhan tahun silam pernah menggetarkan dunia persilatan.
Akan tetapi lawan yang dihadapinya ini terlihat masih muda sehingga tidak
mungkin ia adalah Ren Woxing itu. Maka, dengan suara terputus-putus Zhong Zhen
pun berkata, “Kau … kau adalah … murid … Ren Woxing! Kau bisa menggunakan …
Jurus Penyedot Bintang!”
“Kakak, jadi tenaga dalammu
tadi dihisap olehnya?” tanya Gao Kexin kaget.
“Benar,” jawab Zhong Zhen
lesu. Namun ketika ia berdiri, tiba-tiba tenaganya terasa mulai pulih kembali.
Rupanya Jurus Penyedot Bintang
yang dipelajari Linghu Chong itu belum sempurna benar. Lagipula ia hanya memusnahkan
tenaga dalam yang dikerahkan oleh Zhong Zhen melalui batang pedang dan tidak
sungguh-sungguh ingin menghisap seluruh tenaga murninya. Hanya saja Zhong Zhen
sendiri terlanjur kaget dan ketakutan ketika merasa tenaga dalamnya membanjir
keluar tanpa bisa dibendung lagi, sehingga ia pun melompat mundur dan
terbanting jatuh dalam keadaan konyol.
Teng Bagong lantas berbisik,
“Kakak, sebaiknya kita pergi saja. Lain kali kita bisa membalas kekalahan ini.”
Zhong Zhen segera melambaikan
tangan, lalu berseru, “Siluman Sekte Iblis, kau telah menggunakan ilmu sesat,
tentu kau akan dimusuhi oleh para kesatria di muka bumi. Hari ini si marga
Zhong mengaku bukan tandinganmu. Tapi ribuan kesatria gagah dari kaum aliran
lurus seperti kami tidak mungkin sudi bertekuk lutut di bawah ancaman ilmu
silumanmu. Adik Teng, Adik Gao, gembong Sekte Iblis sudah muncul kembali.
Marilah kita pulang dan melaporkan ini kepada Ketua.” Habis itu ia lantas
memutar tubuh ke arah Yue Buqun dan berkata sambil memberi hormat, “Tuan Yue, apakah
siluman Sekte Iblis ini mempunyai hubungan denganmu?”
“Huh,” sahut Yue Buqun hanya
mendengus tanpa menjawab.
Sebenarnya Zhong Zhen juga
tidak berani bersikap kurang sopan di hadapan Yue Buqun. Ia lalu berkata,
“Urusan ini kelak pasti akan jelas dengan sendirinya.” Segera ia melangkah
pergi bersama kedua adik seperguruannya tanpa berpamitan.
Yue Buqun kemudian melangkah
menuruni undak-undakan batu di depan gerbang kantor biro. Dengan nada dingin ia
berkata, “Bagus sekali, Linghu Chong! Ternyata kau telah berhasil menguasai
Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing.”
Linghu Chong tidak bisa
membela diri karena ia memang telah mempelajari ilmu tersebut meskipun secara
tidak sengaja.
Yue Buqun membentak, “Linghu
Chong, aku tanya kepadamu. Apa benar demikian?”
“Benar,” jawab Linghu Chong.
Yue Buqun berkata, “Karena
benar demikian, sejak hari ini kau menjadi musuh bersama golongan lurus bersih.
Sekarang kau terluka parah, aku tidak sudi mengambil keuntungan dengan membunuh
orang yang sedang menderita. Tapi kelak jika bertemu lagi, kalau bukan aku yang
membunuhmu, maka biarlah kau yang membunuhku.” Kemudian ia berpaling kepada
murid-muridnya dan berkata, “Mulai sekarang orang ini adalah musuh bebuyutan
kalian. Barangsiapa yang menganggap dia sebagai saudara seperguruan, berarti
mengkhianati golongan lurus bersih. Kalian dengar, tidak?”
“Baik, Guru!” jawab
murid-murid Perguruan Huashan serentak.
Melihat bibir anak
perempuannya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, Yue Buqun segera
menambahkan, “Shan’er, meskipun kau adalah putriku, tapi peraturan ini juga
berlaku untukmu. Kau dengar, tidak?”
Yue Lingshan menunduk dan
menjawab lirih, “Dengar.”
Linghu Chong sudah sangat
lemas, dan begitu mendengar perkataan itu membuat tenaganya semakin lemas. Tak
terasa pedangnya pun jatuh ke tanah dan lututnya terkulai lunglai.
Yihe yang berdiri di dekatnya
segera menyangga bahu kanan Linghu Chong, lalu berseru, “Paman Guru Yue, di
dalam urusan ini tentu ada kesalahpahaman. Tanpa menyelidiki lebih dulu duduk perkaranya
kau lantas begitu saja mengambil keputusan keji seperti tadi. Rasanya kau
terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan.”
“Salah paham bagaimana?” tanya
Yue Buqun.
“Yang jelas beberapa kali
rombongan Perguruan Henshan kami disergap kaum siluman Sekte Iblis dan mendapat
penghinaan, Jenderal Wu inilah yang menyelamatkan kami. Jika dia satu komplotan
dengan Sekte Iblis, mana mungkin mau membantu kami dan berbalik menggempur
orang-orang Sekte Iblis sendiri?” kata Yihe. Meskipun ia telah mendengar Yilin
memanggil “Kakak Linghu” dan Yue Buqun memanggil “Linghu Chong”, namun ia
terlanjur mengenalnya sebagai “Jenderal Wu” sehingga tetap memanggil demikian.
“Kaum Sekte Iblis memiliki
banyak tipu muslihat. Hendaknya kalian jangan mudah terjebak olehnya,” ujar Yue
Buqun. “Kunjungan kalian ke selatan ini dipimpin oleh biksuni yang mana?”
Menurut dugaan Yue Buqun, para
biksuni dan perempuan muda ini tentu telah terpikat oleh Linghu Chong yang
pintar bicara dengan kata-kata manis. Hanya biksuni dari angkatan tua Perguruan
Henshan dan berpengalaman luas yang dapat menyelami tipu muslihat keji musuh.
Yihe menjawab dengan sedih,
“Sayang sekali guru kami Biksuni Dingjing telah dicelakai oleh Sekte Iblis.”
“Haaah!” seru Yue Buqun dan
istrinya bersamaan. Mereka terlihat sangat kaget.
Pada saat itulah dari ujung
jalan raya satunya tampak berlari seorang biksuni setengah baya sambil berseru,
“Ada surat datang dari merpati pos yang dikirim Biara Awan Putih!”
Biksuni setengah baya itu
mendekati Yihe lalu mengeluarkan sebuah tabung bambu kecil. Yihe menerima
tabung bambu itu dan membuka sumbatnya, lalu mengeluarkan segulung kertas
kecil. Perlahan ia membaca isinya kemudian tiba-tiba berseru khawatir, “Wah,
celaka!”
Begitu tadi mendengar ada
kiriman surat dari Biara Awan Putih, para murid Perguruan Henshan lainnya
segera mengerumuni Yihe. Maka begitu melihat wajah Yihe yang sedang cemas,
beramai-ramai mereka lantas bertanya, “Ada apa? Apanya yang celaka? Bagaimana
isi surat itu?”
“Adik, coba kau baca ini!”
kata Yihe sambil menyerahkan surat itu kepada Yiqing.
Yiqing menerimanya dan membaca
dengan suara lantang, “Aku dan Adik Dingyi terkepung musuh di Lembah Tempa
Pedang dekat Longquan.” Lalu ia menggumam sendiri, “Ini adalah tulisan darah
dari … dari Bibi Ketua. Mengapa Beliau sampai berada di Longquan?”
“Ayo kita lekas pergi ke
sana!” seru Yizhen.
“Tapi siapa pihak musuh yang
mengepung itu?” kata Yiqing.
“Tidak peduli apakah dia setan
belang segala. Yang penting kita harus segera berangkat ke sana,” ujar Yihe. “Sekalipun
harus mati, biarlah kita mati bersama kedua Bibi Guru saja.”
Yiqing yang mempunyai pikiran
panjang tidak segera menjawab. Ia menyadari ilmu silat kedua Bibi Guru
sedemikian hebat ternyata mereka masih bisa dikepung musuh. Andaikan rombongan
bergegas ke sana juga kemungkinan tiada gunanya.
Maka ia lantas membawa surat
berdarah itu mendekati Yue Buqun, kemudian memberi hormat dan berkata, “Paman
Guru Yue, menurut surat dari bibi guru kami, Beliau berdua saat ini terkurung
oleh musuh di Lembah Tempa Pedang dekat Longquan. Mohon Paman Guru Yue
mengingat hubungan abadi sesama Serikat Pedang Lima Gunung dan sudilah untuk
turun tangan membantu.”
Yue Buqun menerima surat itu
dan membaca isinya, kemudian berkata agak menggumam, “Biksuni Dingxian dan Biksuni
Dingyi mengapa bisa sampai ke Zhejiang Selatan? Ilmu silat Beliau berdua sangat
tinggi, tapi mengapa bisa terkepung musuh? Ini sangat aneh. Apakah surat ini
benar-benar ditulis oleh Beliau?”
“Memang benar, ini tulisan
tangan Bibi Ketua,” jawab Yiqing. “Mungkin sekali Beliau sudah terluka, dan
dalam keadaan tergesa-gesa surat ini ditulis menggunakan darah.”
“Siapakah musuh yang mengepung
itu?” tanya Yue Buqun.
“Kemungkinan besar orang-orang
Sekte Iblis. Perguruan kami tidak mempunyai musuh selain mereka,” jawab Yiqing.
Yue Buqun melirik sekejap ke
arah Linghu Chong, lalu berkata dengan perlahan, “Bisa jadi pihak Sekte Iblis
sengaja membuat surat palsu untuk memancing kalian masuk perangkap mereka. Para
siluman itu punya banyak tipu muslihat. Oleh sebab itu kalian harus waspada.”
Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Masalah ini perlu kita selidiki lebih
dulu dengan lebih seksama. Ada baiknya kita pertimbangkan semua masak-masak.”
Yihe yang tidak sabaran segera
berteriak, “Kedua bibi guru dalam bahaya, keadaan sangat mendesak. Lebih baik
kita lekas-lekas berangkat membantu Beliau berdua. Adik Yiqing, mari kita pergi
saja. Paman Guru Yue sedang sibuk, tidak ada gunanya kita memohon-mohon
kepadanya.”
Yizhen menambahkan, “Benar.
Sedikit saja kita terlambat mungkin akan menyesal selamanya.”
Melihat Yue Buqun enggan
memberi bantuan dengan bermacam-macam alasan dan tidak mengindahkan rasa setia
kawan sebagai sesama orang persilatan, apalagi sebagai sesama anggota Serikat
Pedang Lima Gunung, membuat murid-murid Perguruan Henshan merasa kesal.
Yilin kemudian berkata, “Kakak
Linghu, sebaiknya kau merawat lukamu di Fuzhou saja. Setelah kami menyelamatkan
Bibi Ketua dan Guru, tentu kami akan datang lagi untuk menjengukmu.”
Namun Linghu Chong berteriak, “Kawanan
penjahat kembali mengacau, mana boleh jenderalmu berpangku tangan? Ayo kita
berangkat bersama untuk menolong mereka!”
“Tapi … tapi kau terluka.
Bagaimana kau sanggup menempuh perjalanan jauh?” ujar Yilin.
“Jenderalmu sudah biasa
berkecimpung di medan perang, siap mengorbankan nyawa demi negara. Apa artinya
cuma luka kecil begini?” seru Linghu Chong. “Ayolah kita berangkat sekarang
juga. Lekas kita pergi!”
Sebenarnya murid-murid
Perguruan Henshan tidak yakin mampu menyelamatkan guru mereka. Namun sekarang
Linghu Chong ikut berangkat, jelas menambah keberanian mereka. Wajah para
biksuni dan perempuan itu terlihat senang. Yizhen pun berkata, “Terima kasih
banyak. Kami akan mencari kuda untuk kau tunggangi.”
Linghu Chong menjawab, “Kita
semua naik kuda. Pergi ke medan perang kalau tidak naik kuda lantas bagaimana?
Ayo berangkat sekarang, ayo berangkat sekarang!” Ia bersikap angkuh karena
hatinya geram sekaligus getir melihat Sang Guru begitu tega dan tak
berperasaan.
Yiqing kemudian memberi hormat
kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze sambil berkata, “Jika demikian, kami mohon
diri dulu.”
Yihe menyahut dengan kesal,
“Huh, untuk apa kau bersikap sopan kepada orang macam ini? Hanya buang-buang
waktu saja. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan, julukan ‘Si Pedang
Budiman’ hanya nama kosong belaka. Masih kalah jauh dengan ….”
“Adik, tidak perlu banyak
omong!” seru Yu Sao menukas.
Yue Buqun hanya tersenyum
pura-pura tidak dengar. Sebaliknya Lao Denuo lantas melompat maju karena
tersinggung gurunya dihina. Ia membentak, “Mulutmu yang kotor bicara apa?
Serikat Pedang Lima Gunung kita senapas sehaluan, satu akar dengan banyak
cabang. Tapi kalian telah berkomplot dengan bajingan Sekte Iblis bernama Linghu
Chong. Perbuatan kalian mencurigakan, sudah tentu guru kami harus
mempertimbangkan setiap tindakan lebih dulu. Buktikan kalau kalian bersih
dengan membunuh iblis Linghu Chong ini. Jika tidak, Perguruan Huashan kami
tidak sudi ikut berkubang lumpur bersama kalian.”
Yihe sangat marah dan
menghentakkan kakinya. Ia meraba gagang pedang sambil berkata lantang, “Apa
maksudmu dengan kata-kata ‘ikut berkubang lumpur’ segala?”
“Kalian bersekongkol dengan
Sekte Iblis, itu artinya ‘ikut berkubang lumpur’,” jawab Lao Denuo.
Yihe menyahut, “Pendekar
Linghu seorang budiman sejati, siap mengangkat senjata untuk membela keadilan
dan menolong yang kesusahan. Tidak seperti kalian yang menganggap diri sendiri
sebagai kesatria, tapi sesungguhnya hanyalah para budiman munafik yang berjiwa
rendah dan tidak peduli pada kesulitan orang lain!”
Di dunia persilatan Yue Buqun
berjuluk Si Pedang Budiman, sehingga sebutan “budiman munafik” jelas merupakan
penghinaan bagi Perguruan Huashan. Maka, Lao Denuo pun melolos pedangnya untuk
menusuk ke arah leher Yihe.
Yihe sendiri tidak menduga
akan diserang secara mendadak. Ia tidak sempat mencabut pedangnya untuk
menangkis. Dalam sekejap ujung pedang lawan sudah mendekati lehernya. Ia pun
menjerit kaget. Tapi bersamaan itu tampak beberapa sinar pedang berkelebat.
Rupanya ada tujuh pedang sekaligus telah menyerang ke arah Lao Denuo.
Begitu melihat Yihe dalam
bahaya, serentak tujuh orang saudarinya bergerak cepat membentuk formasi dan
menyerang Lao Denuo dengan pedang masing-masing. Lao Denuo segera mengayunkan
pedangnya, namun hanya bisa menangkis pedang yang menusuk ke dadanya saja. Pada
saat yang sama terdengar suara robeknya kain. Rupanya enam pedang yang lain
sudah merobek bajunya di enam tempat. Setiap robekan ada belasan senti
panjangnya. Namun murid-murid Henshan itu tidak bermaksud mencabut nyawanya
sehingga serangan tersebut segera mereka tarik kembali begitu menyentuh
bajunya. Hanya Zheng E yang paling muda masih kurang terampil dalam
mengendalikan pedangnya sehingga tidak hanya merobek lengan baju Lao Denuo,
tapi juga melukai tangan kanan orang tua itu.
Lao Denuo sangat terkejut tak
terkatakan. Lekas-lekas ia melompat mundur, namun mendadak dari balik bajunya
yang robek terjatuh sebuah kitab. Di bawah sinar matahari yang terang semua
orang dapat melihat dengan jelas pada sampul kitab itu tertulis judul “Rahasia
Ilmu Awan Lembayung”.
Seketika wajah Lao Denuo
tampak pucat pasi. Buru-buru ia melompat ke depan untuk memungut kembali kitab
yang terjatuh itu, tapi Linghu Chong segera berseru, “Hentikan dia!”
Saat itu Yihe sudah menghunus
pedangnya. Dengan cepat ia pun menusuk tiga kali sehingga Lao Denuo terpaksa
menangkis dan tidak mampu lagi melangkah maju.
Terdengar Yue Lingshan
berkata, “Ayah, mengapa kitab pusaka perguruan kita bisa berada di balik baju
Kakak Kedua?”
Linghu Chong pun berteriak,
“Lao Denuo, jadi kau yang telah membunuh Adik Keenam, benar tidak?”
Seketika pikiran Linghu Chong
pun kembali ke masa lalu saat menyaksikan Lu Dayou si Monyet Keenam yang
tiba-tiba tewas secara misterius, disertai hilangnya kitab Rahasia Ilmu Awan
Lembayung. Sejak itu ia menjadi tersangka yang selalu dicurigai. Namun kini
kitab pusaka tersebut telah ditemukan dari balik baju Lao Denuo yang robek
akibat serangan formasi tujuh pedang murid-murid Perguruan Henshan.
“Omong kosong!” seru Lao Denuo
yang kemudian berlari ke kiri dan menyusup masuk sekencang-kencangnya ke sebuah
gang kecil dan menghilang di sana.
Linghu Chong sangat marah dan
berusaha mengejar. Namun baru beberapa langkah ia sudah terhuyung-huyung dan
roboh di tanah. Melihat itu Yilin dan Zheng E segera memburu maju untuk
memapahnya bangun.
Yue Lingshan memungut kitab
Awan Lembayung yang jatuh itu dan menyerahkannya kepada sang ayah, kemudian
berkata, “Ayah, ternyata Kakak Kedua yang mencuri kitab ini.”
Wajah Yue Buqun tampak pucat
pasi saat menerima kitab itu. Ia kemudian memeriksa dan ternyata memang
benar-benar kitab pusaka Perguruan Huashan peninggalan leluhur yang telah lama
hilang. Untung saja isinya masih utuh tidak rusak sedikit pun. Ia kemudian
berkata dengan gemas, “Ini semua gara-gara dirimu. Kau yang mengambilnya untuk
diserahkan pada orang lain sehingga kemudian Lao Denuo bisa mencurinya.”
Yihe yang bermulut tajam
segera menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok, “Nah, itu namanya ‘ikut
berkubang dalam lumpur’.”
Sementara itu, Yu Sao telah
mendekati Linghu Chong dan bertanya, “Pendekar Linghu, bagaimana keadaanmu?”
Linghu Chong berkata, “Adik
seperguruanku telah dibunuh oleh pengkhianat itu. Sayang sekali aku tidak bisa
mengejarnya.” Melihat Yue Buqun dan murid-muridnya telah masuk kembali ke dalam
rumah dan menutup pintu begitu saja, ia pun berpikir, “Murid pertama telah
mempelajari ilmu sesat Sekte Iblis, sedangkan murid kedua mencuri kitab pusaka
perguruan dan membunuh sesama saudara, sungguh tidak mengherankan kalau Beliau
menjadi gusar.”
Ia kemudian berkata kepada
murid-murid Perguruan Henshan, “Guru kalian dalam bahaya, kita tidak boleh
membuang-buang waktu. Sekarang yang paling penting adalah kita harus segera
pergi menolong Beliau berdua. Si pengkhianat Lao Denuo itu suatu hari nanti
pasti akan jatuh ke tanganku.”
Yu Sao berkata dengan gugup,
“Tapi keadaanmu … tapi keadaanmu … aih, aku tidak tahu bagaimana
mengatakannya.” Perempuan setengah baya ini dulunya adalah pelayan Biksuni
Dingxian. Meskipun sekarang ilmu silatnya lumayan tinggi, namun tetap saja
pengalamannya terbatas sehingga tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya
yang terharu sekaligus berterima kasih kepada Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri berkata,
“Kita harus segera pergi membeli kuda. Tidak perlu tawar-menawar, aku punya
cukup uang.” Tangannya kemudian merogoh saku baju dan mengeluarkan sekantong
uang emas dan perak yang dirampasnya dari Wu Tiande tempo hari.
Yu Sao menerima uang tersebut.
Mereka lantas beramai-ramai menuju ke pasar. Namun sayangnya kuda yang mereka
temukan masih kurang dua belas ekor. Terpaksa beberapa murid yang bertubuh
ringan pun menunggang secara berboncengan. Setelah dirasa cukup mereka pun
berpacu menuju ke utara.
Setelah beberapa kilo
meninggalkan Kota Fuzhou, mereka melihat puluhan kuda sedang merumput di sebuah
tanah lapang. Tampak pula enam atau tujuh orang prajurit sedang berjaga.
Sepertinya kuda-kuda itu memang milik barak militer pasukan kerajaan.
Linghu Chong pun berkata,
“Kita rebut saja kuda-kuda itu.”
Yu Sao menjawab, “Tapi
kuda-kuda itu milik tentara, rasanya tidak pantas.”
Linghu Chong berkata, “Yang
paling penting adalah menolong orang. Tidak peduli itu kuda milik Kaisar juga
kalau perlu kita rampas.”
Yiqing menyahut, “Tapi kalau
kita menyinggung pejabat kekaisaran dan melanggar hukum bagaimana?
Jangan-jangan ….”
“Mana yang lebih penting,
menolong guru kalian ataukah mematuhi hukum?” tukas Linghu Chong. “Nenekmu, aku
ini Jenderal Wu juga pejabat kekaisaran. Kalau Jenderal minta kuda, mana mungkin
keroco-keroco itu berani membantah?”
Yihe yang lugu menjawab,
“Benar juga.”
Linghu Chong menambahkan,
“Totok saja mereka, lalu bawa kuda-kudanya kemari.”
Yiqing berkata, “Kalau begitu
kita ambil dua belas ekor saja.”
“Tidak!” kata Linghu Chong. “Kita
ambil semua saja, supaya di jalan bisa bertukar tunggangan.”
Suara Linghu Chong saat
memberi perintah terdengar penuh wibawa. Sejak kematian Biksuni Dingjing,
murid-murid Perguruan Henshan itu selalu merasa sedih dan cemas, tidak tahu
harus berbuat apa. Kini begitu mendengar perintah Linghu Chong, mereka seperti
mendapat semangat baru dan segera memacu kuda menuju sasaran. Sebagian dari
mereka menotok para prajurit yang sedang berjaga, sedangkan yang lain mengambil
puluhan kuda yang sedang merumput.
Para prajurit itu kebingungan
karena baru kali ini melihat sejumlah biksuni dan perempuan yang begitu liar.
“Apa yang kalian lakukan? Kalian sedang main apa?” seru mereka yang hanya bisa
berteriak-teriak, kemudian jatuh ke tanah dan tidak bisa berkutik lagi.
Murid-murid Henshan yang
sebagian besar masih muda belia itu bersenda gurau dan tertawa cekikikan. Bagi
mereka, mencuri dan merampas adalah perbuatan baru yang sama sekali belum
pernah dilakukan. Dengan penuh bersemangat, para biksuni dan perempuan itu
melompat ke punggung kuda tersebut dan berpacu melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari
sampailah mereka di sebuah kota kecil. Penduduk setempat terheran-heran melihat
ada rombongan biksuni dan perempuan awam membawa begitu banyaik kuda, dan di
antaranya terdapat pula seorang laki-laki.
Selesai mengisi perut, Yiqing
merogoh kantong namun uang yang tersisa ternyata tinggal sedikit. Dengan suara
lirih ia pun berbisik, “Kakak Linghu, uang kita tidak cukup.”
Rupanya sewaktu membeli kuda
di pasar Fuzhou tadi, mereka tidak sempat tawar-menawar karena sangat
terburu-buru demi menyelamatkan kedua guru. Akibatnya, saat ini di kantong yang
tersisa hanya beberapa keping uang tembaga saja. Maka, Linghu Chong pun
berkata, “Tidak apa-apa. Adik Zheng, kau pergilah bersama Yu Sao untuk menjual
seekor kuda. Tapi jangan kuda milik pemerintah yang dijual.”
Zheng E dan Yu Sao mengiakan
dan segera berangkat. Murid-murid yang lain cekikian sambil diam-diam berpikir,
“Yu Sao memang tidak bisa apa-apa, sedangkan Zheng E masih muda dan manis tapi
pergi ke pasar menjual kuda. Sungguh pemandangan yang menggelikan.”
Namun pada dasarnya Zheng E
memang gadis yang cerdas dan cekatan. Ia belum lama berada di Fujian tapi sudah
menguasai ratusan kata bahasa daerah selatan. Itu sebabnya tidak sukar baginya
untuk menjual kuda. Tidak lama kemudian ia dan Yu Sao sudah kembali dengan
membawa uang untuk membayar tagihan makan dan minum rombongan.
Menjelang senja mereka sampai
di sebuah kota yang cukup besar. Di situ terdapat sekitar delapan ratus rumah
yang berjajar rapat seperti sisik ikan. Selesai makan malam dan membayar
tagihan, ternyata sisa uang hasil penjualan kuda siang tadi tinggal sedikit.
Dengan penuh semangat Zheng E
tertawa lalu berkata, “Besok kita jual kuda lagi.”
Tapi Linghu Chong lantas
berbisik, “Tidak perlu. Coba kau jalan-jalan keluar, carilah keterangan siapa
hartawan paling kaya dan siapa yang paling jahat di kota ini.”
Zheng E manggut-manggut tanda
mengerti. Ia pun berangkat dengan mengajak Qin Juan sebagai kawan. Tidak sampai
satu jam mereka telah kembali dengan membawa laporan, “Di kota ini hanya ada
seorang hartawan kaya raya bermarga Bai. Ia dijuluki Si Tukang Menguliti. Orang
ini membuka gadai dan memiliki toko beras serta lain-lainnya. Dari julukannya
itu kita dapat membayangkan kalau dia pasti bukan manusia baik-baik.”
“Kalau begitu malam ini kita
akan minta sedekah kepadanya,” kata Linghu Chong dengan tertawa.
“Orang seperti itu pasti
sangat pelit, mana bisa dimintai sedekah? Jangankan memberi uang sekeping,
memberi sesuap nasi saja pasti menolak,” ujar Zheng E.
Tapi Linghu Chong hanya
tersenyum dan berkata, “Ayo kita berangkat.”
Sebenarnya hari sudah mulai
gelap. Namun demi keselamatan guru mereka, murid-murid Henshan itu tidak berani
membantah meskipun harus berjalan sepanjang malam. Segera mereka pun
melanjutkan perjalanan menuju ke utara.
Beberapa kilo kemudian mereka
telah keluar dari kota. Tiba-tiba Linghu Chong berkata, “Cukup di sini saja.
Kita beristirahat dulu.”
Semua orang pun menuruti
perkataannya. Mereka lantas duduk-duduk di tepi sungai kecil dekat pegunungan
tersebut.
Linghu Chong memejamkan mata
dan menenangkan pikiran. Satu jam kemudian barulah ia membuka mata dan berkata
kepada Yu Sao dan Yihe, “Kalian berdua masing-masing bawalah enam orang adik
pergi minta sedekah kepada Si Tukang Menguliti. Adik Zheng yang akan menjadi
penunjuk.”
Yu Sao dan Yihe diam-diam
merasa heran, tapi mereka lantas mengiakan.
Linghu Chong melanjutkan,
“Paling sedikit kalian harus minta sedekah lima ratus tahil perak, dan paling
bagus kalau bisa dua ribu tahil perak.”
Yihe bertanya dengan lantang,
“Untuk apa meminta sedekah sebanyak itu?”
“Dua ribu tahil itu kecil.
Jenderalmu hanya memandang dengan sebelah mata,” jawab Linghu Chong. “Nanti
yang seribu tahil kita pakai sendiri, dan yang seribu dapat kita bagi-bagikan
kepada fakir miskin di kota ini.”
Sampai di sini semua orang
menjadi paham apa maksudnya. Mereka pun saling berpandangan. Yihe bertanya,
“Jadi kau … kau mengajak kami merampok harta si kaya untuk dibagi-bagikan
kepada yang miskin?”
“Kita bukannya merampok, tapi
minta sedekah kepada orang kaya,” sahut Linghu Chong. “Kita sendiri kehabisan
uang saku dan kalau semua uang kita dikumpulkan, paling juga tidak lebih dari
dua tahil saja. Kita ini sama miskinnya dengan janda tua. Kalau kita tidak
meminta orang kaya untuk memberi sedekah kepada kaum miskin seperti kita ini,
lantas bagaimana kita dapat mencapai Lembah Tempa Pedang di Longquan?”
Begitu mendengar Longquan,
seketika murid-murid Henshan itu bersemangat dan tidak ragu-ragu lagi. Serentak
mereka berseru, “Ayo kita berangkat meminta sedekah!”
Linghu Chong menambahkan,
“Minta sedekah dengan cara seperti ini jangan-jangan belum pernah kalian
lakukan. Maka nanti harus dilakukan dengan cara lain daripada yang lain.
Setibanya di rumah Si Tukang Menguliti, kalian harus menutup wajah menggunakan
saputangan. Di waktu minta sedekah juga tidak perlu membuka suara. Asal melihat
emas dan perak langsung diambil saja.”
“Kalau dia tidak mau memberi,
bagaimana?” tanya Zheng E dengan tertawa.
“Kalau demikian berarti Si
Tukang Menguliti adalah orang yang tidak tahu diri,” ujar Linghu Chong. “Para
kesatria Perguruan Henshan bukanlah orang sembarangan di dunia persilatan.
Meskipun ada orang mengundang kalian untuk meminta sedekah kepadanya dan menjemput
dengan joli yang diusung delapan orang juga kalian belum tentu mau datang.
Sementara Si Tukang Menguliti hanyalah begundal kecil yang tidak punya
kedudukan apa-apa di dunia persilatan. Kalau ada lima belas orang sudi
berkunjung ke rumahnya, bukankah ini merupakan suatu kehormatan besar baginya?
Tapi kalau dia memang berkepala batu dan tidak sudi bertemu kalian, maka kalian
boleh mencoba-coba ilmunya. Lihat saja, apakah Si Tukang Menguliti itu tahan
menerima pukulan Adik Zheng?”
Semua orang tertawa mendengar
gurauan Linghu Chong itu. Murid yang berwawasan luas seperti Yiqing samar-samar
merasa meminta sedekah seperti ini sangat tidak pantas. Hal demikian jelas
melanggar tata tertib Perguruan Henshan yang sangat ketat dan melarang segala
jenis perampokan. Namun Yihe, Yu Sao, Zheng E, dan dua belas murid lainnya
sudah berangkat pergi dengan langkah cepat. Mereka merasa tidak mempunyai
pilihan lain.
Sewaktu menoleh, Linghu Chong
melihat Yilin sedang memandanginya dengan penuh perhatian. Ia pun tersenyum dan
menegur, “Adik cilik, apakah kau menganggap caraku ini tidak benar?”
Yilin agak menunduk untuk
menghindari sorot mata Linghu Chong. Perlahan ia menjawab, “Entahlah. Apa pun
yang kau katakan, aku … aku selalu menganggapnya benar.”
“Dulu ketika aku ingin makan
semangka, bukankah kau pernah pergi ke kebun meminta sedekah satu buah?” kata
Linghu Chong.
Wajah Yilin menjadi merah.
Teringat olehnya saat mereka berduaan di tengah hutan belantara dulu. Kebetulan
saat itu di angkasa terlihat sebuah bintang jatuh berkelebat. Linghu Chong yang
juga teringat pada kejadian itu lantas bertanya, “Apakah kau masih ingat pada
permohonan yang pernah kau panjatkan waktu itu?”
“Permohonan?” sahut Yilin
sambil berpaling kembali. “Kakak Linghu, permohonan waktu itu ternyata
terkabul.”
“Benarkah? Permohonan apa?”
tanya Linghu Chong.
Yilin menunduk tidak menjawab.
Ia hanya membatin, “Aku sudah memohon seribu kali semoga dapat bertemu lagi
denganmu. Akhirnya permohonanku benar-benar terkabul juga sekarang.”
Pada saat itulah tiba-tiba
dari jauh berkumandang suara derap kaki kuda yang berlari cepat dari arah Yihe
dan rombongan. Namun mereka teringat bahwa rombongan tadi berangkat dengan
berjalan kaki. Ada apakah sebenarnya yang terjadi?
Serentak semua orang berdiri
sambil memandang ke arah datangnya suara. Terdengar seorang perempuan sedang
berseru memanggil, “Linghu Chong! Linghu Chong!”
Hati Linghu Chong terguncang
begitu mendengar panggilan itu. “Adik Kecil, aku di sini!” jawabnya demikian,
karena suara tersebut tidak lain memang suara Yue Lingshan.
Yilin tergetar mendengarnya.
Wajahnya berubah pucat dan ia pun mundur dua langkah. Dalam kegelapan tampak
seekor kuda putih muncul mendekat. Kira-kira beberapa meter di depan mereka
mendadak kuda itu meringkik sambil berjingkrak berdiri dengan kedua kaki
belakang, habis itu baru berhenti. Hal ini jelas dikarenakan Yue Lingshan
secara tiba-tiba menarik tali kekang kudanya.
Melihat Yue Lingshan datang
tergesa-gesa, diam-diam Linghu Chong merasa ada firasat buruk. Ia berseru, “Adik
Kecil, apakah Guru dan Ibu Guru baik-baik saja?”
Di bawah sinar rembulan yang
remang-remang, Yue Lingshan tampak duduk di atas punggung kuda. Wajahnya hanya
terlihat sebelah saja, tapi tampak dingin dan pucat. Gadis itu lalu menjawab
dengan ketus, “Siapa guru dan ibu gurumu? Ayah dan ibuku apa ada hubungan
denganmu?”
Dada Linghu Chong terasa
seperti dihantam palu godam. Memang sikap Yue Buqun sangat bengis kepadanya.
Namun, sikap Ning Zhongze dan Yue Lingshan biasanya tidaklah demikian. Mereka
masih selalu mengingat akan hubungan baik di masa lalu dan tetap
memperlakukannya dengan ramah. Tapi sekarang begitu mendengar Yue Lingshan
bersikap galak, membuat Linghu Chong merasa pilu. Ia menjawab, “Aku memang
sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan, sehingga tidak berhak memanggil Guru
dan Ibu Guru lagi.”
“Sudah tahu begitu, mengapa
mulutmu masih terus mengoceh?” omel Yue Lingshan.
Linghu Chong menunduk dengan
lesu. Perasaannya seperti disayat-sayat sembilu.
Yue Lingshan menjalankan
kudanya ke depan kemudian berkata sambil menjulurkan tangan kanannya, “Berikan
kepadaku!”
“Berikan apa?” tanya Linghu
Chong lemah.
“Sampai sekarang kau masih
berlagak bodoh. Apa kau kira bisa mengelabui aku?” kata Yue Lingshan. Mendadak
ia meninggikan suaranya, “Serahkan padaku!”
“Aku tidak mengerti. Apa yang
kau inginkan?” tanya Linghu Chong sambil menggeleng.
“Apa yang kuinginkan? Tentu
saja Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin!” seru Yue Lingshan.
Linghu Chong tercengang
keheranan. Ia lalu bertanya balik, “Kitab Pedang Penakluk Iblis? Mengapa kau
memintanya kepadaku?”
“Kalau tidak minta kepadamu,
lantas harus minta kepada siapa?” sahut Yue Lingshan. “Aku tanya kepadamu,
siapa orang yang telah merampas jubah biksu itu dari rumah tua Keluarga Lin?”
“Itu perbuatan dua orang
Perguruan Songshan. Yang satu bernama Bo Chen si Dewa Rambut Putih, dan satu
lagi bernama Sha Tianjang si Elang Gundul.”
“Lalu kedua keparat itu
dibunuh oleh siapa?” desak Yue Lingshan.
“Aku,” jawab Linghu Chong
singkat.
“Dan jubah biksu itu kemudian
diambil oleh siapa?” desak Yue Lingshan.
“Aku,” jawab Lingu Chong.
“Bagus! Sekarang serahkan
jubah itu!” kata Yue Lingshan.
Linghu Chong berkata, “Tapi
aku terluka dan pingsan. Aku kemudian … kemudian ditolong oleh Ibu Gu… oleh
ibumu. Sekarang jubah biksu itu tidak lagi berada padaku.”
“Hahahaha!” Yue Lingshan
mendadak tertawa sambil menengadah, tapi sedikit pun tidak menunjukkan nada
tertawa. Gadis itu kemudian berkata, “Ucapanmu ini seakan-akan hendak
mengatakan kalau ibuku telah menggelapkan jubah biksu itu, benar tidak? Huh,
bisa-bisanya kau mengucapkan kata-kata rendah dan kotor seperti itu. Sungguh
tidak tahu malu.”
Linghu Chong menjawab, “Aku
sama sekali tidak mengatakan ibumu telah menggelapkan jubah biksu itu. Langit
menjadi saksi, dalam hatiku sedikit pun tidak ada perasaan kurang hormat kepada
ibumu. Yang kumaksudkan adalah … adalah ….”
“Adalah apa?” Yue Lingshan
menegas.
“Yang kumaksudkan adalah
sesudah ibumu melihat jubah biksu itu dan mengetahuinya bahwa itu adalah milik
Keluarga Lin, dengan sendirinya barang itu langsung dikembalikan kepada Adik
Lin,” ujar Linghu Chong.
Yue Lingshan tertawa dingin
dan menukas, “Mana mungkin ibuku menggeledah barang bawaanmu? Seandainya hendak
dikembalikan kepada Adik Lin juga Ibu akan menunggu setelah kau siuman supaya
kau yang mengembalikannya sendiri kepada Adik Lin, mengingat barang itu kau
dapatkan secara mati-matian. Mana mungkin Ibu tidak memikirkan hal demikian?”
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Benar juga ucapannya. Apa barangkali jubah biksu itu telah dicuri
orang lain?” Seketika keringat dingin merembes keluar di punggungnya. Ia
kemudian berkata, “Jika begitu, dalam hal ini pasti ada kejadian lain.” Lalu ia
mengibaskan bajunya sendiri dan berkata, “Seluruh barangku ada di sini. Jika
kau tidak percaya boleh menggeledah badanku.”
Kembali Yue Lingshan tertawa
dingin, “Kau ini licin dan licik. Barang yang sudah kau ambil mana mungkin kau
simpan di badanmu sendiri? Lagipula di sekitarmu ada banyak biksu dan biksuni,
serta perempuan-perempuan tidak jelas ini. Tentu mereka akan ikut
menyembunyikannya untukmu.”
Melihat Yue Lingshan
memperlakukan Linghu Chong seperti hakim menanyai terdakwa, membuat murid-murid
Perguruan Henshan sejak tadi merasa kesal. Kini begitu mendengar gadis itu
menyinggung mereka dengan kata-kata kasar, kontan mereka pun membentak-bentak,
“Omong kosong!”
“Apa maksudmu dengan perempuan
tidak jelas?”
“Di sini mana ada biksu?”
“Kau sendiri yang perempuan
tidak jelas!”
Yue Lingshan juga tidak
gentar. Sambil meraba gagang pedang ia menjawab, “Kalian adalah para pengikut
Buddha, tapi siang malam bergaul mengelilingi seorang laki-laki. Apakah
kelakuan demikian ini bukan perbuatan tidak jelas? Cis, dasar tidak tahu malu!”
Murid-murid Henshan menjadi
gusar. Serentak tujuh atau delapan orang di antaranya melolos pedang.
Yue Lingshan juga lantas
melolos pedangnya sambil berseru, “Kalian ingin mengandalkan jumlah banyak
untuk main keroyok, hah? Kalau mau membunuhku, ayo silakan maju! Jika Nona Yue
sampai gentar menghadapi kalian tentu bukan murid Perguruan Huashan!”
Linghu Chong segera
melambaikan tangan kirinya untuk mencegah murid-murid Henshan bertindak lebih
lanjut. Ia menghela napas, lalu berkata kepada Yue Lingshan, “Kalau kau telah
mencurigai aku, apa lagi yang dapat kukatakan? Tapi bagaimana dengan Lao Denuo,
mengapa tidak kau tanyakan padanya? Jika dia berani mencuri Kitab Awan
Lembayung, bukankah bisa jadi jubah biksu itu juga dicuri olehnya?”
“Oh, jadi kau menyuruhku pergi
bertanya kepada Lao Denuo?” sahut Yue Lingshan dengan nada keras.
“Tentu saja,” jawab Linghu
Chong.
“Baik, silakan kau habisi
nyawaku! Kau sudah mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis. Aku memang bukan
tandinganmu lagi!” kata Yue Lingshan.
“Mana … mana bisa aku
melukaimu?” sahut Linghu Chong tercengang.
“Habis, kau suruh aku pergi
menanyai Lao Denuo. Jika kau tidak membunuhku, bagaimana caraku dapat menyusul
Lao Denuo ke neraka?” balas Yue Lingshan.
Linghu Chong terkejut
bercampur gembira mendengarnya. Ia bertanya, “Jadi Lao Denuo telah … telah
dibinasakan oleh Gu… oleh ayahmu?” Ia paham sebelum masuk Perguruan Huashan,
Lao Denuo sudah memiliki bekal ilmu silat yang lumayan tinggi. Maka selain Yue
Buqun, rasanya tidak ada lagi yang bisa membunuhnya. Linghu Chong merasa
gembira karena kematian Lu Dayou, adik seperguruan yang paling dekat dengannya,
telah terbalaskan.
Namun lagi-lagi Yue Lingshan
tertawa dingin, “Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung
jawab. Kau yang telah membunuh Lao Denuo, kenapa tidak berani mengaku?”
“Kau bilang aku yang membunuh
Lao Denuo?” Linghu Chong menegas dengan heran. “Jika aku yang membunuhnya maka
aku tidak perlu menyangkal. Lao Denuo telah membunuh Adik Keenam, dia pantas
mati. Aku sungguh menyesal tidak dapat membunuhnya dengan tanganku sendiri.”
“Lalu kenapa kau membunuh
Kakak Kedelapan pula? Apa salahnya padamu? Kau … kau benar-benar kejam!” teriak
Yue Lingshan.
Linghu Chong terperanjat. Ia
menegas dengan suara agak gemetar, “Jadi, Adik Kedelapan juga … juga terbunuh?
Adik Kedelapan sangat baik kepadaku. Mana mungkin … mana mungkin aku
membunuhnya?”
“Hm, sejak kau bergaul dengan
para siluman Sekte Iblis, tingkah lakumu menjadi lain dari biasanya. Siapa yang
tahu mengapa tiba-tiba kau membunuh Kakak Kedelapan? Kau … kau ….” sampai di sini
air mata Yue Lingshan telah menetes.
Linghu Chong maju satu
langkah, kemudian berkata tegas, “Adik Kecil, janganlah kau berpikir tanpa
dasar. Usia Adik Kedelapan muda belia. Selama ini ia tidak punya musuh.
Jangankan aku, orang lain pun tidak mungkin tega membunuhnya.”
Mendadak alis Yue Lingshan
menegak. Ia lantas bertanya dengan bengis, “Dan mengapa pula kau tega
mencelakai Adik Lin?”
“Hah? Adik Lin, apa dia … dia
juga tewas?” sahut Linghu Chong terperanjat.
“Saat ini dia masih belum
mati. Seranganmu belum membinasakan dia. Tetapi siapa … yang tahu dia akan
sembuh atau tidak?” sampai di sini suara Yue Lingshan menjadi parau dan
terbata-bata.
Linghu Chong menghela napas
panjang, dan berkata, “Apa dia terluka sangat parah? Aku yakin dia pasti mengetahui
siapa yang menyerangnya. Bagaimana menurut pengakuannya?”
“Di dunia ini tiada seorang
pun yang licik melebihi dirimu. Kau telah menebasnya dari belakang. Memangnya
punggung Adik Lin punya mata?” ujar Yue Lingshan.
Perasaan getir dan pedih
bercampur aduk di hati Linghu Chong. Karena tidak tahan, ia pun melolos
pedangnya dan mengerahkan tenaga pada lengannya. Pedang itu dilemparkannya ke
samping, yang kemudian meluncur melintang dan menyambar sebatang pohon cemara.
Batang pohon tersebut berukuran hampir satu meter lebarnya seketika terpotong
menjadi dua, kemudian roboh di bagian tengah dan menimbulkan debu pasir
berhamburan.
Melihat pemandangan itu, tanpa
sadar Yue Lingshan menarik mundur kudanya dua langkah. Ia lalu berkata,
“Kenapa? Kau sudah mahir ilmu aliran sesat, sekarang sengaja pamer kehebatan di
depanku, ya?”
Linghu Chong menggeleng dan
berkata, “Bila aku ingin membunuh Adik Lin, maka aku tidak perlu menyerangnya
dari belakang. Juga tidak mungkin dalam sekali tebas aku tidak bisa membuatnya
tewas.”
“Hm, siapa yang tahu kau punya
maksud dan tujuan licik?” ejek Yue Lingshan. “Tentunya Kakak Kedelapan telah
melihat perbuatanmu yang rendah itu, sehingga kau membunuhnya sekaligus untuk
melenyapkan saksi mata. Bahkan, kau telah merusak mukanya, sama seperti apa
yang kau lakukan terhadap … terhadap Lao Denuo.”
“Jadi muka Lao Denuo dirusak
orang?” tanya Linghu Chong. Ia berusaha menahan perasaannya yang bergejolak,
karena yakin di balik peristiwa ini ada suatu misteri besar yang belum dapat ia
temukan jawabannya.
“Kau sendiri yang berbuat,
mengapa malah bertanya padaku?” balas Yue Lingshan.
“Siapa lagi murid Huashan yang
menjadi korban?” tanya Linghu Chong kemudian.
“Kau sudah membunuh dua orang
dan melukai satu orang sampai parah. Memangnya masih belum cukup?” sahut Yue
Lingshan.
Mendengar itu, Linghu Chong
agak lega karena mengetahui tidak ada orang lain lagi yang menjadi korban. Ia
merenung ini semua perbuatan siapa? Tiba-tiba timbul perasaan ngerinya, saat
teringat apa yang dikatakan Ren Woxing di Wisma Meizhuang dahulu. Gembong Sekte
Iblis itu mengancam apabila Linghu Chong tidak mau masuk menjadi anggota Sekte
Matahari dan Bulan, maka ia akan menghabisi orang-orang Perguruan Huashan.
Jangan-jangan Ren Woxing saat ini sudah berada di Fuzhou dan mulai turun
tangan?
Dengan nada cemas ia pun
berkata kepada Yue Lingshan, “Kau cepatlah pulang ke Fuzhou dan laporkan kepada
ayah-ibumu bahwa kemungkinan besar gembong Sekte Iblis telah datang dan
melakukan pembunuhan secara keji.”
Yue Lingshan mencibir dan
tertawa sinis, lalu berkata, “Memang benar ada gembong Sekte Iblis telah datang
dan turun tangan secara keji terhadap Perguruan Huashan kami. Tapi gembong
Sekte Iblis ini dulunya juga orang Huashan sendiri. Ini namanya memelihara anak
macan akan mendatangkan penyakit, air susu dibalas air tuba.”
Linghu Chong hanya tersenyum
getir. Ia pun merenung, “Aku sudah menyanggupi untuk pergi ke Longquan menolong
Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi, tapi sekarang Guru dan Ibu Guru sedang
menghadapi bahaya pula. Ini benar-benar membuatku serbasalah. Jika yang
mengganas itu benar-benar Ren Woxing, jelas aku tidak akan mampu menghadapinya.
Meskipun aku lekas-lekas kembali ke Fuzhou juga sia-sia belaka. Namun paling
tidak aku bisa gugur bersama Guru dan Ibu Guru yang kuhormati. Setiap masalah
harus bisa dipilah mana yang mendesak, mana yang tidak. Bagaimanapun juga
kesulitan Guru dan Ibu Guru harus diutamakan lebih dulu. Perguruan Henshan
terpaksa untuk sementara harus menyelesaikan urusan mereka sendiri. Bila nanti
masalah Ren Woxing sudah dapat diatasi, maka aku akan segera menyusul ke
Longquan untuk membantu pihak Henshan.”
Setelah mengambil keputusan
demikian, ia segera berkata, “Sejak berangkat dari Fuzhou, aku senantiasa
berada bersama para kakak dan adik dari Perguruan Henshan ini. Bagaimana
mungkin aku bisa pergi membunuh Adik Kedelapan dan Lao Denuo, serta melukai
Adik Lin? Bila perlu, kau bisa bertanya langsung kepada mereka.”
“Hm, kau suruh aku bertanya
pada mereka?” sahut Yue Lingshan. “Mereka telah berkubang lumpur bersamamu.
Sudah tentu mereka siap berdusta untukmu.”
Mendengar itu, sebagian murid
Henshan berteriak-teriak marah. Memang para biksuni masih menggunakan kata-kata
sopan. Tetapi para murid golongan awam banyak yang memaki dengan kata-kata
pedas.
Yue Lingshan menarik mundur
kudanya dan berkata, “Linghu Chong, luka Lin Kecil sangat parah. Namun dalam
keadaan setengah sadar ia masih terus menyebut-nyebut kitab pusaka keluarganya.
Jika kau masih punya hati nurani sebagai manusia, seharusnya kau mengembalikan
kitab itu kepadanya. Kalau tidak … kalau tidak ….”
“Apa kau yakin aku benar-benar
manusia hina seperti itu?” tukas Linghu Chong.
“Jika kau bukan manusia hina,
maka di dunia ini tidak ada manusia hina lagi,” seru Yue Lingshan dengan nada
murka.
Sejak tadi perasaan Yilin
terguncang mengikuti percakapan mereka. Sekarang ia tidak dapat menahan diri
lagi, sehingga akhirnya ikut bicara, “Nona Yue, Kakak Linghu teramat baik
kepadamu. Perasaannya benar-benar tulus kepadamu. Tapi mengapa kau memakinya dengan
begitu galak?”
Yue Lingshan menjawab dengan
tertawa dingin, “Kau ini seorang biarawati. Dia baik atau tidak kepadaku, dari
mana kau tahu?”
Seketika perasaan angkuh Yilin
tergugah. Ia merasa harus membela Linghu Chong yang difitnah sedemikian keji apa
pun akibatnya. Soal pantangan sebagai umat Buddha, juga bagaimana kelak ia akan
dimarahi oleh guru, semua itu sudah tidak dipikirkannya lagi. Dengan suara
lantang ia pun berkata, “Kakak Linghu sendiri yang mengatakannya padaku.”
“Hm, sampai hal-hal seperti
itu pun ia katakan padamu?” sahut Yue Lingshan. “Justru … justru karena ingin
memperbaiki hubungan denganku, maka ia mencelakai Lin Kecil.”
Linghu Chong menghela napas
dan berkata, “Adik Yilin, kau tidak perlu bicara panjang lebar lagi. Aku mohon kepadamu
agar sudi memberikan sedikit Salep Penyambung Kahyangan dan Pil Empedu Beruang
Putih yang mujarab milik perguruanmu yang mulia kepada Adik … kepada Nona Yue
untuk mengobati yang terluka.”
Namun Yue Lingshan lantas
memutar kudanya ke arah semula sambil berkata, “Kau tidak mampu membunuhnya
dalam sekali serang, kini kau hendak memakai racun, bukan? Mana bisa kau tipu
aku? Linghu Chong, bila Lin Kecil tidak sembuh, maka aku … aku ….” Sampai di
sini suaranya kembali serak. Gadis itu lalu melecutkan cambuk, kemudian
melarikan kudanyanya kembali ke selatan.
Mengikuti suara derap kaki
kuda yang makin lama makin menjauh, hati Linghu Chong menjadi bimbang
seakan-akan kehilangan sesuatu.
Terdengar Qin Juan berkata
gemas, “Benar-benar perempuan bawel, kasar keterlaluan. Biarkan mati saja Lin
Kecil-nya itu.”
Yizhen menyahut, “Amitabha,
Adik Qin, kita adalah umat Buddha, harus mengutamakan sikap welas asih.
Meskipun sikap nona tadi tidak benar, kita tidak boleh menyumpahi orang supaya
mati.”
Tiba-tiba terlintas pikiran
dalam benak Linghu Chong. Ia lalu berkata, “Adik Yizhen, aku ingin memohon
sesuatu padamu. Sudilah kau membantuku pergi ke suatu tempat, dan mungkin akan
sedikit melelahkanmu.”
“Apa pun yang Kakak Linghu
perintahkan, pasti akan kulaksanakan,” sahut Yizhen.
“Mana berani aku memerintah,”
ujar Linghu Chong. “Orang bermarga Lin yang disebut tadi adalah adik
seperguruanku. Menurut Nona Yue, katanya dia terluka parah. Aku tahu obat luka
milik Perguruan Henshan kalian sangat manjur ….”
“Apa kau memintaku
mengantarkan obat luka untuk dia?” Yizhen menukas. “Baiklah, aku akan segera
kembali ke Fuzhou. Adik Yiling, tolong kau temani aku ke sana.”
Linghu Chong memberi hormat
dan berkata, “Terima kasih banyak atas kesediaan Adik berdua. Mohon maaf telah
merepotkan.”
Yizhen menjawab, “Selama ini
Kakak Linghu selalu bersama kami, mana bisa dituduh membunuh orang? Fitnah yang
tidak berdasar ini harus kujelaskan kepada Paman Guru Yue.”
Linghu Chong hanya menggeleng
sambil tersenyum getir. Sang Guru telah menuduhnya bergabung dengan Sekte Iblis
dan berbuat banyak kejahatan, mana mungkin bisa percaya begitu saja kepada
penjelasan mereka?
Dilihatnya Yizhen dan Yiling
telah memacu kuda masing-masing ke arah Fuzhou. Ia kembali berpikir, “Mereka
begitu tulus dan peduli kepada masalahku. Jika aku benar-benar meninggalkan
mereka untuk kembali ke Biro Fuwei, rasanya tidak pantas. Apalagi Biksuni
Dingxian dan Biksuni Dingyi benar-benar terkurung musuh, sementara Ren Woxing
apa benar berada di Fuzhou juga belum diketahui dengan pasti ….”
Saat itu Qin Juan telah
memungut pedang yang tadi dilemparkan untuk memotong pohon. Ketika menerima
pedang tersebut, tiba-tiba Linghu Chong teringat sesuatu, “Aku tadi berkata
jika ingin membunuh Lin Pingzhi, untuk apa aku menyerangnya dari belakang dan
mana mungkin dalam sekali tebas tidak dapat membinasakannya? Tapi kalau yang
menyerang itu adalah Ren Woxing, jelas tidak mungkin dalam sekali tebas ia
tidak mampu membuatnya tewas? Aku yakin pelakunya pasti orang lain. Ya, karena
bukan Ren Woxing yang menyerang, tentu aku tidak perlu khawatir Guru takut
kepadanya.”
Berpikir demikian membuat
hatinya lega. Sejenak kemudian terdengar sayup-sayup suara derap kaki kuda dari
kejauhan. Dari suaranya yang riuh itu ia menduga pasti rombongan Yihe dan Yu
Sao telah kembali membawa sedekah. Benar juga, tidak lama kemudian tampak lima
belas penunggang kuda sudah mendekat.
Begitu tiba, Yu Sao langsung
melapor, “Pendekar Linghu, kami berhasil … berhasil meminta sedekah emas dan
perak banyak sekali. Kita tidak mungkin … tidak mungkin menghabiskan semuanya.
Di tengah malam gelap begini juga tidak mungkin membagikannya kepada fakir
miskin.”
Yihe menyahut, “Sekarang yang
paling penting adalah segera pergi ke Longquan. Soal menolong fakir miskin
dapat kita lakukan sambil jalan.” Ia kemudian berpaling ke arah Yiqing dan
berkata, “Tadi di tengah jalan kami bertemu seorang perempuan muda. Kalian tadi
melihat dia atau tidak? Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja dia mengajak kami
berkelahi.”
“Mengajak kalian berkelahi?”
seru Linghu Chong menegas dengan nada khawatir.
“Benar,” jawab Yihe. “Dalam
kegelapan perempuan itu memacu kudanya dengan cepat. Begitu melihat kami, ia
langsung memaki-maki. Katanya kami ini biksuni tidak jelas dan tidak tahu malu
segala.”
Linghu Chong mengeluh dalam
hati, kemudian bertanya, “Apakah dia terluka parah?”
“Eh, dari mana kau tahu kalau
dia terluka?” sahut Yihe heran.
Linghu Chong menjawab dalam
hati, “Watakmu berangasan, mana mungkin tahan dimaki dengan pedas seperti itu?
Lagipula dia sendirian menghadapi kalian berlima belas, tentu saja bisa
terluka.” Ia kemudian bertanya, “Ia terluka di bagian mana?”
Yihe menjawab, “Mula-mula aku
bertanya padanya mengapa datang-datang langsung memaki-maki, padahal belum
saling kenal. Dia menjawab, ‘Aku mengenal kalian. Kalian adalah para biksuni
Perguruan Henshan yang tidak menaati peraturan agama.’ Aku bertanya, ‘Apa
maksudmu dengan tidak menaati peraturan agama? Mulutmu itu perlu dicuci
bersih!’ Ia marah dan melecutkan cambuknya sambil membentak agar kami minggir.
Aku menangkap cambuknya dan kami mulai berkelahi.”
Yu Sao menyambung, “Begitu dia
menghunus pedang, kami segera tahu kalau dia adalah orang Perguruan Huashan.
Karena keadaan gelap, kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sampai akhirnya
ketika aku dapat mengenali kalau dia adalah putri Paman Guru Yue, maka aku pun
segera berteriak supaya adik-adik yang lain tidak melanjutkan serangan. Namun
demikian, Nona Yue sudah terlanjur luka di dua tempat pada lengannya. Hanya
saja kedua luka itu tidak begitu parah.”
“Sebenarnya aku sudah
mengenalinya,” kata Yihe dengan tertawa. “Tapi pihak Perguruan Huashan sudah
berlaku kasar terhadap Kakak Linghu di Kota Fuzhou kemarin. Mereka juga
berpangku tangan saat Perguruan Henshan kita dilanda kesulitan. Sama sekali
tidak punya rasa setia kawan. Maka itu, aku sengaja menyusahkan nona galak itu
biar tahu rasa.”
Zheng E menambahkan,
“Sesungguhnya Kakak Yihe telah bermurah hati terhadap Nona Yue itu. Dengan
menggunakan jurus Jarum Emas Menangkal Bahaya, pedang Kakak Yihe telah melukai
lengan nona itu. Tapi Kakak Yihe segera menariknya kembali sehingga lengan Nona
Yue hanya tergores sedikit. Andai saja Kakak Yihe bersungguh-sungguh, tentu
lengan itu sudah putus.”
Linghu Chong merasa
serbasalah. Apa yang baru saja terjadi bagaikan gelombang ombak yang baru saja
datang tiba-tiba disusul gelombang baru. Suatu masalah belum terselesaikan,
sudah muncul masalah lain lagi. Ia kenal baik bagaimana perangai Yue Lingshan
yang tinggi hati dan tidak mau kalah itu. Kejadian malam ini pasti akan
dianggapnya sebagai penghinaan besar dan kemungkinan akan diperhitungkan
sebagai kesalahan Linghu Chong. Namun semuanya sudah terjadi, terpaksa ia tidak
bisa berbuat banyak. Untung saja luka adik kecil tidak terlalu parah.
Zheng E yang cerdik mengetahui
sejak kemarin kalau Linghu Chong sangat memperhatikan Nona Yue itu. Maka ia pun
berkata, “Andai saja sejak awal kami mengetahui kalau dia adalah adik
seperguruan Kakak Linghu, tentu kami akan mengalah meskipun ia memaki kami macam-macam.
Sayang sekali keadaan cukup gelap, sehingga kami tidak bisa melihatnya dengan
jelas. Biarlah kelak di lain hari kalau bertemu lagi kami akan minta maaf
kepadanya.”
“Minta maaf apa?” sahut Yihe
kesal. “Kita tidak menyinggungnya, tapi dia justru yang langsung memaki kita.
Di seluruh dunia mana ada orang macam dia?”
Linghu Chong merasa pedih. Ia
pun berusaha mengalihkan pembicaraan, “Kalian sudah mendapatkan sedekah,
marilah sekarang kita berangkat. Bagaimana dengan Bai si Tukang Menguliti yang kalian
kunjungi itu?”
Begitu ditanya soal sedekah,
Yihe dan kawan-kawan menjadi bersemangat. Kata-kata mereka membanjir keluar
seperti air bah. Yihe berkata, “Biasanya kalau kami meminta derma satu dua
tahil perak kepada orang kaya seperti dia rasanya sulit minta ampun. Tapi malam
ini sekali meminta sedekah kami bisa mendapatkan beberapa ribu tahil perak.”
Zheng E menyambung sambil
tertawa, “Sungguh lucu, Si Tukang Menguliti itu menangis sambil
merangkak-rangkak. Ia bilang jerih payahnya selama berpuluh-puluh tahun telah
musnah dalam waktu semalam saja, seperti hanyut ditelan banjir.”
Qin Juan menanggapi, “Suruh
siapa dia bermarga Bai? Dia dijuluki Si Tukang Menguliti, suka memeras harta
benda rakyat kecil. Sekarang semua usahanya menjadi sia-sia.” Maksudnya, marga
“Bai” berarti “putih”, dan juga bisa bermakna “sia-sia”.
Murid-murid Perguruan Henshan
itu bergelak tawa. Namun begitu teringat pada kesulitan yang dialami kedua
guru, perasaan mereka kembali tertekan. Linghu Chong segera berkata, “Kita
sudah mempunyai bekal. Mari kita lanjutkan perjalanan!”
Mereka pun meneruskan
perjalanan menuju Longquan dengan memacu kuda secepat-cepatnya. Setiap hari
mereka hanya tidur tiga sampai empat jam saja. Akhirnya setelah beberapa hari
memacu kuda tanpa kenal lelah, rombongan itu sampai juga di Longquan yang
terletak di Zhejiang Selatan.
Luka yang diderita Linghu
Chong akibat sabetan golok Bo Chen dan Sha Tianjang walaupun banyak
mengeluarkan darah, tapi sebenarnya hanya luka luar yang tidak terlalu
berbahaya. Dengan tenaga dalamnya yang melimpah, ditambah obat Perguruan
Henshan yang mujarab, ketika sampai di Longquan luka itu sudah bisa dikatakan
sembuh lebih dari lima puluh persen.
Murid-murid Perguruan Henshan
itu tampak gelisah. Baru saja memasuki wilayah Zhejiang mereka langsung mencari
tahu di mana letak Lembah Tempa Pedang. Namun para penduduk di sepanjang jalan
yang ditanya tidak ada yang mengetahui tempatnya. Sesampainya di Kota Longquan,
mereka merlihat banyak sekali toko-toko senjata. Namun ketika ditanya di mana
itu Lembah Tempa Pedang, ternyata para pemilik toko dan pandai besi di situ
juga tidak mengetahui jawabannya.
Hal ini membuat semua orang
bertambah cemas. Mereka lalu bertanya apakah ada dua biksuni sepuh pernah
lewat, atau apakah pernah terjadi pertempuran di sekitar kota itu. Lagi-lagi
para pandai besi dan pemilik toko tidak dapat memberikan keterangan. Mereka
mengaku tidak pernah mendengar ada pertempuran di sekitar situ, sedangkan
mengenai biksuni silakan bertanya saja ke Biara Shuiyue di sebelah barat kota.
Di sana memang ada sejumlah biksuni tinggal di biara, namun sepertinya belum
terlalu tua.
Setelah bertanya di mana letak
Biara Shuiyue, rombongan itu lantas bergerak. Namun sesampainya di sana,
ternyata pintu biara dalam keadaan tertutup rapat. Zheng E maju mengetuk pintu,
tapi sampai lama sekali tidak terdengar suara dari dalam.
Yihe tidak sabar menunggu
lagi. Ia menghunus pedang kemudian melompati pagar tembok dan masuk ke dalam
biara. Khawatir sang kakak mengalami apa-apa, Yiqing segera ikut melompat
masuk.
“Coba lihat apa ini?” kata
Yihe sambil menunjuk tanah di depannya.
Ternyata di pelataran biara
itu terdapat tujuh atau delapan potong ujung pedang yang masih mengkilap
berserakan, jelas baru saja terpotong oleh senjata yang sangat tajam.
“Adakah orang di dalam?”
teriak Yihe sambil mencari ke ruangan belakang.
Yiqing sendiri lantas membuka
palang pintu agar yang lain bisa masuk ke dalam. Ia memungut sepotong ujung
pedang di atas tanah itu dan memberikannya kepada Linghu Chong sambil berkata,
“Kakak Linghu, di sini agaknya pernah terjadi pertempuran.”
Linghu Chong menerima potongan
pedang tersebut. Dilihatnya bagian yang terpotong itu sangat licin dan
mengkilap. Ia kemudian bertanya, “Apakah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi
menggunakan pedang?”
“Beliau berdua tidak memakai
pedang,” jawab Yiqing. “Bibi Ketua mengatakan, asalkan dapat menguasai ilmu
pedang dengan sempurna, sekalipun yang dipakai adalah pedang kayu atau pedang
bambu juga cukup untuk mengalahkan musuh. Beliau menyatakan pula bahwa pedang
atau golok terlalu berbahaya. Apabila sedikit kurang hati-hati, dapat
menghilangkan nyawa orang atau membuat cacat badan lawan ….”
“Jadi ujung pedang ini bukan
dipotong oleh Beliau berdua?” sela Linghu Chong menukas.
Yiqing mengangguk. Tiba-tiba
terdengar seruan Yihe dari ruangan belakang, “Hei, di sini juga ada potongan
ujung pedang.”
Beramai-ramai mereka lantas
menyusul ke belakang. Terlihat lantai maupun meja pada tiap-tiap ruangan biara
itu penuh tertutup debu. Pada umumnya lingkungan biara pasti terawat dengan
bersih. Melihat adanya debu yang memenuhi biara dapat diperkirakan sudah sekian
lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Setibanya di pekarangan
belakang, Linghu Chong dan yang lain dapat menyaksikan beberapa pohon juga
telah tumbang oleh tebasan senjata tajam. Dengan melihat bagian yang putus itu
dapat diperkirakan kejadiannya sudah beberapa hari yang lalu. Gerbang belakang
juga tampak terpentang lebar, dengan papan pintu terlempar beberapa meter
jauhnya. Sepertinya ada orang mendobrak gerbang tersebut secara paksa.
Di luar gerbang belakang
terlihat ada sebuah jalan kecil yang menuju ke lereng-lereng bukit. Setelah
menyusuri belasan meter, ternyata jalan itu bercabang ke dua arah.
Yiqing segera berseru, “Kita
berpencar ke dalam dua kelompok. Coba periksa apakah ada sesuatu yang
mencurigakan di sekitar sini.”
Murid-murid Henshan itu lantas
berpencar ke dalam dua kelompok yang masing-masing menelusuri kedua cabang
jalan tersebut. Tidak lama kemudian terdengar suara Qin Juan dari cabang jalan
sebelah kanan berseru keras, “Di sini adalah sebuah panah kecil!”
“Ya, di sini juga ada sebuah
bor terbang!” seru yang lain menambahkan.
Kelompok yang memeriksa cabang
jalan kiri segera ikut bergabung. Tampak jalanan sebelah kanan itu naik turun
menuju ke arah lereng-lereng bukit. Segera mereka berlari cepat ke depan.
Semakin berjalan semakin banyak ditemukan senjata rahasia serta potongan pedang
dan golok. Juga terlihat beberapa bercak darah tersebar di semak belukar.
Tiba-tiba Yiqing berseru
kaget. Dari semak-semak rumput dipungutnya sebilah pedang sambil berkata pada
Linghu Chong, “Ini senjata perguruan kami!”
Linghu Chong menanggapi,
“Tampaknya rombongan Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terlibat pertempuran
sengit dan melalui jalanan ini.”
Walaupun ia tidak menyatakan
Perguruan Henshan berada di pihak yang kalah, tapi Yihe dan yang lain paham
bahwa kedua biksuni sepuh tidak mampu melawan musuh dan memilih lari melalui
jalanan ini. Dari senjata yang berserakan di sepanjang jalan itu dapat
diketahui kalau pertempuran tersebut pasti sangat dahsyat dan sudah berlalu
beberapa hari. Dalam hati mereka bertanya-tanya apakah masih sempat menolong
atau tidak. Semua orang pun diliputi perasaan khawatir, dan langkah kaki mereka
menjadi bertambah cepat.
Jalan pegunungan itu makin
lama makin menanjak dan melingkar-lingkar ke belakang gunung. Beberapa kilo
kemudian, jalanan dipenuhi batu-batu berserakan dan semakin sulit dilalui.
Murid-murid yang berilmu rendah seperti Yilin, Qin Juan, dan beberapa lainnya
tertinggal jauh di belakang.
Semakin jauh dan menanjak,
jalanan semakin tak berbentuk dan akhirnya tidak dapat dilewati lagi, juga
tidak terdapat adanya senjata berserakan seperti tadi. Dalam keadaan bingung,
tiba-tiba mereka melihat di sebelah kiri gunung tampak asap tebal membumbung
tinggi ke angkasa.
“Lekas kita periksa ke sana!”
seru Linghu Chong sambil mendahului berlari ke depan.
Asap tebal itu semakin
membumbung tinggi. Sesudah mengitari lereng gunung, mereka melihat sebuah
lembah luas di depan. Api tampak berkobar-kobar dengan hebatnya disertai suara
peletak-peletok terbakarnya rumput dan kayu bakar.
Linghu Chong bersembunyi di
balik batu besar dan melambaikan tangan sebagai isyarat agar Yihe dan yang lain
jangan bersuara. Pada saat itulah terdengar suara teriakan laki-laki tua,
“Dingxian, Dingyi, hari ini kami antar kalian menuju ke nirwana untuk
mendapatkan kesempurnaan. Kalian tidak perlu berterima kasih kepada kami.”
Linghu Chong gembira karena
kedua biksuni sepuh itu masih hidup. Ia merasa beruntung kedatangannya belum
terlambat.
Lalu terdengar seruan seorang
laki-laki lain, “Ketua Dongfang meminta kalian agar menyerah. Tapi kalian
justru berkepala batu dan membangkang. Jangan salahkan kami kalau mulai
sekarang di dunia persilatan tidak ada lagi Perguruan Henshan.”
Orang tua yang pertama tadi
kembali berteriak, “Benar, kalian jangan menyalahkan Sekte Matahari dan Bulan
karena berlaku kejam. Salahkan diri kalian sendiri yang keras kepala sehingga
mengakibatkan banyak murid-muridmu yang masih muda ikut mati konyol,
mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Sungguh sayang, sungguh sayang. Hahahahaha!”
Api di tengah lembah itu
tampak berkobar semakin tinggi, jelas Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi
terkurung di tengah-tengah.
Linghu Chong segera menghunus
pedang, kemudian menarik napas dalam-dalam dan berteriak nyaring, “Kawanan
siluman Sekte Iblis, berani-beraninya kalian membuat susah para biksuni
Perguruan Henshan? Sekarang tokoh-tokoh Serikat Pedang Lima Gunung telah datang
membantu dari empat penjuru. Kalian kawanan siluman lekaslah menyerahkan diri!”
Sambil berseru demikian, ia lantas menerjang masuk ke dalam lembah.
Sampai di sana ia terhalang
oleh tumpukan kayu bakar dan rumput kering yang meninggi sampai beberapa meter.
Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas meloncat ke tengah gundukan api. Untungnya
rumput dan kayu bakar di tengah lingkaran api itu belum terbakar. Ia pun
memburu maju beberapa langkah. Terlihat kemudian dua buah gua pembakaran
gamping di depannya, tapi tidak tampak seorang pun di sana.
“Biksuni Dingxian, Biksuni
Dingyi, bala bantuan Perguruan Henshan sudah tiba!” serunya kemudian.
Yihe, Yiqing, Yu Sao, dan yang
lain juga berteriak-teriak dari luar lingkaran api, “Guru, Bibi, murid-murid
sudah datang!”
Menyusul kemudian terdengarlah
suara teriakan dari pihak musuh, “Mereka hanyalah kaum biksuni!”
“Bunuh mereka semua!”
“Mana ada jago-jago Serikat
Pedang Lima Gunung segala?”
Bentakan-bentakan itu kemudian
diikuti dengan suara benturan senjata yang ramai.
Dari mulut gua pembakaran
tiba-tiba muncul sesosok tinggi besar dengan sekujur tubuh berlumuran darah.
Dia adalah Biksuni Dingyi. Tangannya tampak menghunus pedang. Meski pakaiannya
sudah compang-camping dan wajahnya berdarah, tapi cara berdirinya masih terlihat
gagah berwibawa.
Begitu melihat Linghu Chong,
Biksuni Dingyi tercengang dan berkata, “Kau … kau ….”
“Saya Linghu Chong,” jawab
Linghu Chong.
“Aku sudah tahu kau Linghu
Chong!” seru Dingyi yang teringat kejadian di Wisma Kumala Kota Hengshan dulu.
Linghu Chong berkata, “Saya
akan membuka jalan, silakan Biksuni berdua ikut menerjang keluar.” Ia lantas
memungut sebatang kayu dan digunakannya untuk mengorak-arik gundukan rumput
yang terbakar.
Dingyi berkata, “Kau bukannya
sudah masuk Sekte .…”
Pada saat itulah seorang musuh
berteriak, “Siapa yang berani mengacau di sini?” Sinar golok kemudian
berkelebat di tengah cahaya api.
Melihat keadaan bertambah
genting dan api berkobar makin hebat, sedangkan Biksuni Dingyi menaruh curiga
kepadanya dan seperti tidak sudi ikut menerjang keluar, maka Linghu Chong
berpikir harus mengambil tindakan kilat dengan terpaksa mengambil nyawa musuh
demi untuk menyelamatkan tokoh-tokoh Perguruan Henshan itu. Secepat kilat ia
mundur dua langkah menghindari serangan golok tadi. Disusul kemudian golok
musuh kembali ditebaskan ke arahnya. Namun sekali pedang Linghu Chong bergerak,
seketika golok lawan terlempar beserta lengan yang memegang ikut terpotong.
Pada saat yang sama terdengar jeritan ngeri seorang perempuan di luar lingkaran
api, sepertinya seorang murid Henshan telah dicelakai musuh.
Linghu Chong terkejut dan
khawatir. Segera ia melompat keluar lingkaran api. Dilihatnya di lereng gunung
secara berkelompok-kelompok sudah terjadi pertempuran sengit. Setiap tujuh
murid Henshan membentuk formasi pedang bertempur melawan musuh. Namun ada juga
beberapa orang yang tetap sendiri karena tidak sempat bergabung dalam formasi
sehingga terpaksa bertempur melawan musuh secara nekat.
Beberapa formasi pedang yang
terbentuk itu meskipun belum bisa mengalahkan musuh, tapi paling tidak membuat
mereka tetap bertahan. Sementara para murid yang bertempur sendiri-sendiri
itulah yang tampak terdesak. Dalam waktu singkat sudah ada dua orang murid
perempuan yang tergeletak binasa.
Linghu Chong mengawasi
sekeliling medan pertempuran. Dilihatnya Yilin dan Qin Juan saling merapatkan
punggung untuk menghadapi tiga laki-laki yang menyerbu mereka. Segera ia pun
menerjang ke sana. Mendadak sebilah pedang berkelebat menusuk ke arah dadanya.
Namun sedikit pun langkah Linghu Chong tidak menjadi kendur. Pedangnya lantas
menusuk ke depan, tepat menembus leher orang itu.
Linghu Chong kemudian melompat
beberapa kali sehingga sampai di hadapan Yilin. Sekali pedangnya bergerak,
langsung menembus punggung seorang musuh. Gerakan pedang berikutnya merobek iga
musuh yang lain. Laki-laki yang ketiga tampak mengangkat ruyung baja hendak
menghantam ke ubun-ubun Qin Juan. Dengan cepat pedang Linghu Chong menjemput ke
atas. Kontan sebelah lengan laki-laki itu tertebas putus sebatas bahu.
Wajah Yilin tampak pucat pasi.
Senyumnya kemudian mengembang saat ia berkata, “Amitabha, Kakak Linghu!”
Linghu Chong kemudian melihat
Yu Sao juga sedang terdesak menghadapi serangan dua lawan tangguh. Segera ia
melompat maju ke sana. Dua kali pedangnya berkelebat, yang satu mengenai perut
musuh, dan satunya memutus pergelangan tangan lawan. Kembali dua jago musuh
dibereskan; satu tewas dan satu terluka. Tubuhnya kemudian berputar, dan
pedangnya terus menyambar ke mana-mana. Tanpa ampun, tiga orang musuh yang
sedang menggempur Yihe dan Yiqing roboh di tanah disertai jeritan ngeri.
Terdengar suara seorang tua
berseru, “Keroyok dia! Bereskan keparat ini!”
Menyusul kemudian tiga sosok
bayangan menerjang sekaligus ke arah Linghu Chong. Tiga pedang menyambar secara
bersamaan, masing-masing mengarah ke leher, dada, dan perutnya. Gerakan ketiga
musuh ini sangat aneh, benar-benar gencar dan ganas. Sungguh permainan tokoh
silat papan atas. Kontan Linghu Chong terkejut. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Bukankah
ini ilmu pedang Perguruan Songshan? Apakah mereka orang-orang Songshan?
Karena sedikit lengah, ujung
pedang ketiga lawan pun tak terasa sudah semakin dekat mengancam tempat-tempat
berbahaya pada tubuhnya. Segera Linghu Chong menggunakan Jurus Mematahkan
Pedang pada Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Pedangnya lantas berputar, dan dalam
sekaligus serangan ketiga musuh telah digagalkannya. Meskipun ia belum
mengerahkan segenap kemampuan, namun pihak lawan tampak terdesak mundur
dua-tiga langkah.
Sekarang Linghu Chong dapat
melihat dengan jelas, lawan yang di sebelah kiri adalah laki-laki gemuk,
usianya sekitar empat puluhan dan berjenggot pendek. Yang tengah seorang kakek
kurus berkulit hitam, kedua matanya berkilat-kilat tajam.
Linghu Chong tidak sempat memandang
orang ketiga, karena harus melompat ke samping. Pedangnya berputar dan menebas
dua kali. Seketika dua musuh yang sedang mengerubut Zheng E berhasil
dirobohkannya.
Sementara itu ketiga orang
tadi berteriak-teriak dan mengejar di belakangnya. Namun Linghu Chong tidak
menghiraukan mereka karena merasa kepandaian ketiga orang itu sangat tinggi.
Untuk membereskan mereka tentu memakan waktu cukup lama, sehingga orang-orang
Henshan akan banyak yang jatuh berguguran. Karena itu ia lantas mengerahkan
tenaga dalam untuk terus berlari dan menerjang tanpa henti. Di mana-mana ia
menusuk atau mengayunkan pedang. Setiap pedangnya menyambar tentu diikuti
jatuhnya seorang musuh, entah karena terluka atau langsung binasa.
Ketiga orang tadi masih terus
mengejar sambil membentak-bentak, tapi jarak mereka dengan Linghu Chong selalu
terpaut beberapa meter dan sukar untuk menyusul. Hanya dalam waktu singkat
sudah lebih dari tiga puluh orang musuh menjadi korban kehebatan Ilmu Sembilan
Pedang Dugu. Tiada seorang pun yang mampu menangkis atau menghindar.
Karena dalam sekejap pihak
musuh sudah kehilangan lebih dari tiga puluh orang, perbedaan kekuatan antara
kedua pihak langsung berubah. Setiap kali ada musuh yang roboh, segera murid
Henshan yang kehilangan lawan langsung pergi membantu yang lain. Tadinya jumlah
musuh lebih banyak, tapi lambat laun keadaan menjadi berbalik, makin lama pihak
Henshan berada di atas angin.
Linghu Chong sudah mengambil
keputusan bahwa dalam pertempuran hari ini sama sekali tidak boleh menaruh belas
kasihan. Jika dalam waktu singkat musuh tidak dihancurkan, tentu Biksuni
Dingxian dan Biksuni Dingyi yang terkurung di dalam gua pembakaran itu akan
sukar diselamatkan.
Begitulah, Linghu Chong terus
berlari ke sana kemari bagaikan terbang. Mendadak ia menerjang ke depan,
mendadak ia melompat ke samping. Jejak kakinya ada di mana-mana. Musuh yang
berada dalam jarak tiga meter darinya pasti tak dapat meloloskan diri. Tidak
lama kemudian sebanyak lebih dari dua puluh orang kembali dibuatnya roboh tak berdaya.
Biksuni Dingyi yang berdiri di
atap gua pembakaran menyaksikan bagaimana Linghu Chong bergerak bagaikan
bayangan untuk melukai atau membunuh musuh yang jumlahnya sebanyak itu. Ilmu
pedang yang dimainkannya sungguh aneh dan mengerikan. Seumur hidup baru kali
ini Dingyi menyaksikan pemandangan seperti itu, membuatnya gembira sekaligus
tercengang, hingga tak kuasa bicara apa-apa.
Musuh yang tersisa masih
sekitar empat puluh atau lima puluh orang. Mereka ngeri menyaksikan kehebatan
Linghu Chong yang bertarung seperti hantu, sukar dilawan dan ditangkis
serangannya. Salah satu dari mereka kemudian berseru keras dan seketika
setengah dari orang-orang itu berlarian ke dalam hutan.
Linghu Chong kembali
membinasakan belasan orang, membuat sisanya semakin putus asa. Mereka pun
buru-buru melarikan diri sekencang-kencangnya. Kini yang tersisa hanya tinggal
ketiga laki-laki tadi yang masih terus mengejar di belakang, tapi jaraknya
semakin renggang, jelas mereka pun mulai gentar.
Tiba-tiba Linghu Chong
berputar balik, kemudian bertanya, “Kalian dari Perguruan Songshan, bukan?”
Ketiga orang itu langsung
melompat mundur. Seorang di antaranya yang bertubuh tinggi besar balas
membentak, “Siapa kau?”
Linghu Chong tidak menjawab.
Ia berseru kepada Yu Sao dan yang lain, “Lekas kalian membuka jalan untuk
menolong teman-teman yang terkurung api.”
Murid-murid Henshan pun
berusaha memadamkan api yang sudah menjilat tumpukan rumput. Yihe dan beberapa
kawannya sudah melompat masuk ke tengah lingkaran api. Rumput dan kayu kering
yang sudah berkobar itu sulit dipadamkan lagi. Untung di bawah kerja sama
belasan orang itu, lingkaran api dapat dibobol menjadi suatu lorong jalan. Yihe
dan yang lain segera memapah keluar beberapa biksuni dari dalam gua pembakaran
yang sudah lemas karena terlalu banyak menghirup asap.
“Bagaimana dengan Biksuni
Dingxian?” tanya Linghu Chong.
“Terima kasih banyak atas
perhatianmu,” tiba-tiba terdengar suara wanita tua menanggapi. Menyusul
kemudian muncul seorang biksuni berbadan sedang melangkah keluar dengan tenang
dari lingkaran api. Jubahnya yang berwarna biru muda tampak bersih, tangannya
juga tidak memegang senjata, hanya tangan kiri membawa seuntai tasbih. Wajahnya
memancarkan rasa welas asih, sikapnya tenang dan kalem.
Diam-diam Linghu Chong berpikir,
“Biksuni Dingxian memiliki pembawaan yang tenang. Meskipun nyawanya terancam,
tetapi masih bisa menguasai diri. Nama besarnya benar-benar sesuai dengan
kenyataan.” Segera ia memberi hormat dan berkata, “Saya Linghu Chong
menyampaikan salam hormat kepada Biksuni.”
Biksuni Dingxian merangkap
tangan membalas hormat, tapi kemudian berkata, “Awas, ada orang menyerangmu!”
“Ya,” sahut Linghu Chong
sambil mengelak dan sedikit melirik. Pedangnya lantas diayun ke belakang.
Terdengar suara benturan satu kali dan tusukan pedang laki-laki gemuk telah
ditangkisnya. Lalu ia berkata, “Saya datang terlambat, mohon Bibi Biksuni sudi
memaafkan.” Bersamaan itu terdengar suara nyaring dua kali. Kembali serangan
kedua orang yang lain dari samping dapat ditangkisnya pula.
Saat itu belasan biksuni telah
terbebas dari lingkaran api, bahkan ada pula yang sudah menjadi mayat dan
digotong keluar. Biksuni Dingyi memaki dengan geram, “Kawanan bangsat tidak
tahu malu, kejam melebihi binatang ….” saat itu ujung jubahnya tampak terjilat
api, tapi ia seperti tak peduli. Yu Sao segera mendekat untuk memadamkannya.
Linghu Chong berkata, “Kedua
Biksuni tidak mengalami cedera, sungguh menggembirakan.”
Pada saat itu tiga pedang
lawan kembali menusuk bersamaan dari belakang. Namun Linghu Chong kini memiliki
tenaga dalam luar biasa tinggi sehingga kemampuannya merasakan sambaran angin
meningkat pesat, juga dalam sekejap dapat mengetahui dari mana asal serangan
musuh itu. Segera pedangnya kembali berputar. Di tengah kobaran api dalam sekaligus
ia balas menusuk pergelangan tangan lawan dengan cara terbalik.
Ilmu silat ketiga orang itu
memang tinggi, dan gerak perubahannya juga amat cepat. Lekas-lekas mereka
menghindari tusukan Linghu Chong. Namun, punggung tangan si laki-laki tinggi
besar sempat tergores dan mengucurkan darah.
Linghu Chong kembali berkata,
“Biksuni berdua, Perguruan Songshan adalah pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung.
Bersama Perguruan Henshan pun sama-sama senapas seirama. Tapi mengapa kini
tiba-tiba mereka melakukan serangan licik? Sungguh sukar dimengerti.”
Mendadak Biksuni Dingyi
bertanya kepada Yihe, “Di mana Kakak Dingjing? Kenapa tidak ikut datang?”
Qin Juan langsung menangis
saat menjawab, “Guru telah … Guru telah dicelakai kaum jahat. Beliau melawan
sekuat tenaga dan akhirnya … akhirnya gugur dalam pertempuran ….”
“Keparat!” seru Biksuni Dingyi
penuh kemarahan sekaligus sedih. Ia buru-buru berjalan ke depan dengan langkah
lebar, namun baru beberapa langkah tubuhnya lantas terhuyung-huyung dan jatuh
terduduk. Darah segar pun menyembur dari mulutnya.
Ketiga jago Songshan kembali
menyerang dengan berganti jurus susul-menyusul, namun tetap tidak bisa mengenai
Linghu Chong yang terlihat bercakap-cakap dengan kedua biksuni sepuh. Linghu
Chong sendiri melayani mereka dengan membelakangi, sambil sesekali melirik
ketiga orang itu. Ilmu pedangnya sedemikian hebat, susah diukur. Kalau ia
bertarung dengan berhadap-hadapan, mana mungkin mereka bertiga mampu
melawannya? Ketiga musuh itu hanya bisa mengeluh dan gelisah. Mereka menyesal
mengapa tidak sejak tadi melarikan diri.
Linghu Chong berbalik dan
melakukan serangan menarik. Jika musuh menyerang dari sebelah kiri, maka ia
membalas dengan menyerang sisi kirinya. Sementara bila musuh menyerang dari
sebelah kanan, maka ia pun menyerang sisi kanannya pula. Dengan demikian ketiga
orang itu makin lama makin rapat dan berdesakan sendiri. Berturut-turut Linghu
Chong menyerang lima belas kali melingkari mereka dan ketiga orang itu hanya
bisa menangkis tanpa mampu balas menyerang. Ilmu pedang yang dimainkan ketiga
orang itu adalah jurus andalan Perguruan Songshan yang paling lihai, tapi masih
tidak mampu menghadapi Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang ajaib.
Linghu Chong memang sengaja
memaksa lawan-lawannya mengeluarkan ilmu pedang Perguruan Songshan supaya
mereka tidak dapat menyangkal lagi. Begitulah, makin lama wajah ketiga orang
itu terlihat semakin basah oleh keringat yang bercucuran, juga sikap mereka
makin buas dan beringas. Namun demikian, ilmu pedang mereka masih teratur dan
tidak kacau, jelas mereka memang jago kawakan yang sudah berlatih puluhan
tahun.
Melihat asal-usul ketiga orang
itu telah terbongkar, Biksuni Dingxian pun berkata, “Amitabha, shanti, shanti,
shanti! Saudara Zhao, Saudara Zhang, dan Saudara Sima, selama ini Perguruan
Henshan kami bersaudara dengan Perguruan Songshan kalian yang mulia. Namun,
mengapa kalian bertiga terus memaksa kami sedemikian rupa, sampai-sampai hendak
membakar kami menjadi arang? Sungguh biksuni tua ini tidak paham apa sebabnya,
mohon kalian sudi memberi penjelasan.”
Jago-jago Perguruan Songshan
itu memang bermarga Zhao, Zhang, dan Sima. Ketiganya sangat jarang muncul di
dunia persilatan dan mengira keberadaan mereka tidak diketahui orang. Saat
menghadapi serangan Linghu Chong, mereka sudah kelabakan, kini bertambah kaget
oleh ucapan Biksuni Dingxian yang dengan tepat menyebut marga mereka. Tanpa
terasa pergelangan tangan kedua orang di antaranya tertusuk pedang Linghu
Chong, sehingga pedang mereka jatuh ke tanah.
Menyusul ujung pedang Linghu Chong
lantas mengancam di depan leher orang ketiga yang bertubuh kurus kering sambil
membentak, “Lemparkan pedangmu!”
Orang kurus itu menghela napas
panjang, lalu berkata, “Di dunia ini ternyata ada ilmu pedang sehebat ini. Aku
si marga Zhao hari ini terjungkal di bawah pedangmu memang sudah sepantasnya.”
Tangannya kemudian mengerahkan tenaga dalam, membuat pedangnya tergetar dan
patah menjadi tujuh atau delapan potong yang kemudian jatuh berserakan di
tanah.
Linghu Chong lantas melangkah
mundur, sedangkan Yihe dan enam kawannya mengacungkan pedang masing-masing
untuk mengepung ketiga orang itu di tengah.
Perlahan Biksuni Dingxian
berkata, “Perguruan Songshan kalian bermaksud melebur Serikat Pedang Lima
Gunung menjadi satu yang diberi nama Perguruan Lima Gunung. Perguruan Henshan
sendiri sudah memiliki riwayat ratusan tahun turun-temurun, mana mungkin aku
membiarkannya tamat di bawah kepemimpinanku? Maka itu, aku pun menolak ajakan
kalian. Sebenarnya urusan ini dapat dirundingkan lebih jauh, tapi mengapa
kalian lantas menyamar sebagai kaum Sekte Iblis dan berusaha membunuh
orang-orang kami dengan cara keji seperti ini? Perbuatan kalian ini bukankah
terlalu berlebihan?”
“Kakak, untuk apa banyak
bicara dengan mereka?” sela Biksuni Dingyi. “Mereka semua segera dibunuh saja
agar tidak mendatangkan bencana di kemudian hari. Uhuk, uhuk, ….” tiba-tiba ia
terbatuk-batuk dan kembali memuntahkan darah.
Laki-laki tinggi besar
bermarga Sima menjawab, “Kami hanya sekadar menjalankan tugas. Mengenai
seluk-beluk urusan ini juga sama sekali kami tidak tahu ….”
“Kalau mau bunuh, bunuh saja!
Kalau mau potong, potong saja! Untuk apa banyak bicara?” tukas si orang tua
bermarga Zhao membentak keras.
Mendengar itu si marga Sima
tidak berani bicara lagi. Wajahnya terlihat sangat malu.
Biksuni Dingxian berkata,
“Tiga puluh tahun yang lalu kalian bertiga pernah malang melintang di daerah
Hebei, kemudian mendadak menghilang begitu saja. Tadinya kukira kalian sudah
bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Siapa sangka kalian ternyata masuk
Perguruan Songshan dan mempunyai maksud tertentu. Aih, Ketua Zuo seorang tokoh
terkemuka di dunia persilatan, tapi Beliau telah menerima sekian banyak kaum …
kaum persilatan yang berkelakuan aneh untuk mempersulit sesama anggota Serikat
Pedang Lima Gunung. Sungguh sukar dipahami.”
Sebagai seorang biarawati
sepuh yang welas asih, meskipun menghadapi kejadian luar biasa ia tetap tidak
mau menggunakan kata-kata kasar terhadap lawan. Bahkan ia langsung terdiam
ketika merasa dirinya sudah terlalu banyak bicara. Setelah menghela napas
panjang, Dingxian melanjutkan bertanya, “Kakak kami, Biksuni Dingjing, apakah
juga tewas di tangan perguruan kalian yang mulia?”
Orang bermarga Sima yang tadi
merasa malu, sekarang ingin memperbaiki wibawanya. Maka dengan suara lantang ia
pun menjawab, “Benar, itu semua perbuatan Adik Zhong ….”
“Hei!” seru si orang tua
bermarga Zhao kepadanya dengan mata melotot.
Si marga Sima sadar kalau
dirinya lagi-lagi salah bicara. Maka, ia pun meanjutkan, “Urusan sudah begini, apa
gunanya disembunyikan lagi? Ketua Zuo memerintahkan kami untuk membagi diri
dalam dua kelompok, yang masing-masing melaksanakan tugas di Fujian dan
Zhejiang sini.”
“Amitabha!” ujar Biksuni
Dingxian. “Ketua Zuo sudah menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung,
kedudukannya sudah tinggi dan terhormat. Sekarang untuk apa Beliau ingin
melebur kelima perguruan menjadi satu dan diketuai satu orang? Beliau sengaja
menggunakan kekerasan dan bertindak begitu kejam terhadap sesama kaum sealiran,
apakah tidak takut ditertawai oleh para kesatria di seluruh jagat?”
Biksuni Dingyi kembali menyela
dengan suara keras, “Kakak, penjahat berhati binatang yang serakah seperti itu,
buat apa ….” sampai di sini kembali darah menyembur keluar dari mulutnya.
Biksuni Dingxian mengibaskan
tangannya dan berkata kepada ketiga orang itu, “Jaring langit teramat luas,
tiada yang lolos dari pengadilan-Nya. Siapa berbuat jahat pada akhirnya pasti
akan menerima balasan setimpal. Sekarang pergilah kalian semua. Tolong
sampaikan kepada Ketua Zuo bahwa mulai hari ini Perguruan Henshan tidak lagi
berada di bawah perintah Ketua Zuo. Meskipun perguruan kami terdiri atas kaum
wanita seluruhnya, tapi kami tidak akan tunduk di bawah ancaman kekerasan.
Tentang keinginan Ketua Zuo melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu,
sama sekali kami tidak bisa menuruti. Mohon maaf.”
“Bibi Ketua, mereka … mereka
sangat kejam ….” tukas Yihe.
Tapi Biksuni Dingxian telah
memberi perintah, “Bubarkan formasi pedang!”
“Baik!” jawab Yihe terpaksa
mengiakan. Pedangnya pun ditarik dan diikuti kawan-kawannya yang lain.
Ketiga jago Perguruan Songshan
itu sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan dibebaskan dengan cara seperti
itu. Mau tidak mau timbul rasa terima kasih mereka kepada Dingxian. Mereka pun
memberi hormat, kemudian memutar tubuh dan berlari pergi dengan cepat. Setelah
beberapa langkah, si tua bermarga Zhao berpaling dan bertanya dengan suara
lantang, “Mohon bertanya siapakah nama dan marga pendekar muda yang memiliki
ilmu pedang teramat hebat ini? Hari ini kami bertiga telah tumbang di tanganmu,
tapi sama sekali kami tidak bermaksud membalas dendam. Kami hanya ingin tahu
telah dikalahkan oleh orang gagah dari mana.”
Linghu Chong hanya tersenyum
tidak bersuara. Namun Yihe tiba-tiba menyahut dengan suara lantang, “Ini adalah
Pendekar Muda Linghu Chong. Dulu dia adalah anggota Perguruan Huashan, tetapi
sekarang tidak menjadi anggota aliran mana pun. Dia adalah pengelana yang
membela kebenaran dan menegakkan keadilan di dunia persilatan, sahabat Perguruan
Henshan kami.”
Orang tua bermarga Zhao itu
berkata, “Ilmu pedang Pendekar Muda Linghu sungguh hebat luar biasa. Kami
bertiga sangat kagum.” Usai berbicara ia lantas melanjutkan perjalanan bersama
kedua rekannya.
Sementara itu api berkobar
semakin hebat. Di tempat itu masih banyak orang Perguruan Songshan yang
bergelimpangan, baik yang sudah mati maupun terluka parah. Belasan di antara
mereka yang lukanya agak ringan berusaha merangkak bangun untuk menghindari
api, sementara yang terluka parah hanya bisa berkubang di genangan darah dan
tidak mampu bergerak, sehingga terpaksa berteriak-teriak minta tolong ketika
tubuh mereka mulai terbakar.
Biksuni Dingxian berkata,
“Semua kejadian ini adalah tanggung jawab Ketua Zuo. Mereka hanya sekadar
menjalankan perintah. Yu Sao, Yiqing, kalian pergilah menolong mereka.”
Para murid mengenal baik watak
Sang Ketua yang welas asih, sehingga tidak berani membantah. Mereka pun
bergegas memeriksa orang-orang Songshan itu. Apabila masih bernapas, segera
mereka pindahkan ke tempat yang aman untuk kemudian diberi obat.
Biksuni Dingxian menengadah ke
selatan, kedua matanya tampak berkaca-kaca. Ia kemudian berseru mengharukan,
“Kakak!” mendadak tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah.
Semua orang terkejut. Serentak
mereka mendukungnya untuk bangun. Tampak darah merembes keluar dari mulut
biksuni tua itu. Rupanya Dingxian bersama rombongannya telah dikepung musuh dan
terpaksa masuk ke dalam gua pembakaran gamping tersebut. Di dalamnya mereka
telah bertahan selama beberapa hari, tanpa makan atau minum serta tidak
beristirahat pula. Keadaan mereka sudah payah lahir batin seperti pelita yang
kehabisan minyak. Kini setelah musuh berhasil dihalau, hati Dingxian tak kuasa
menahan kesedihan, ditambah dengan berita kematian Biksuni Dingjing.
Seketika murid-murid Henshan
menjadi ribut. Mereka memanggil-manggil Sang Ketua dengan perasaan cemas. Di
sisi lain, luka Biksuni Dingyi juga sangat berat sehingga mereka semakin
kebingungan. Karena tidak tahu harus bagaimana, serentak mereka pun memandang
ke arah Linghu Chong untuk menunggu perintahnya.
Linghu Chong lantas berkata,
“Lekas kita berikan obat kepada kedua biksuni sepuh. Balutlah luka untuk
menghentikan darah yang mengalir. Hawa di tempat ini masih sangat panas,
marilah kita menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mohon bantuan kalian untuk
pergi mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa dimakan.”
Semua orang pun mematuhi
perintahnya dan segera sibuk bekerja. Zheng E dan Qin Juan mengisi teko dengan
air sungai lalu membantu meminumkan obat ke mulut Biksuni Dingxian, Biksuni
Dingyi, serta kawan-kawan lain yang terluka.
Pertempuran dahsyat di
Longquan ini ternyata memakan korban 37 orang Perguruan Henshan. Terkenang pada
kematian Biksuni Dingjing dan para saudari yang telah gugur, membuat
murid-murid Henshan itu semakin berduka. Begitu ada satu orang yang menangis
keras-keras, serentak yang lainnya pun ikut menangis pula. Maka dalam sekejap
bergemalah suara isak tangis di lembah pegunungan tersebut.
Biksuni Dingyi kemudian membentak
keras, “Yang mati sudah mati. Kenapa kalian tak bisa menguasai perasaan? Kalian
sudah banyak membaca kitab-kitab Buddha, mengapa masih tidak memahami makna
‘hidup’ dan ‘mati’? Mengapa harus segan meninggalkan kantong kulit bau ini?”
Murid-murid Henshan hafal
dengan wataknya yang keras itu, sehingga tiada seorang pun yang berani
membantah. Seketika suara tangis pun berhenti, hanya tinggal beberapa orang
saja yang masih tersedu-sedu.
Dingyi kembali berkata,
“Bagaimana Kakak Dingjing bisa mengalami celaka? Zheng E, bicaramu lebih
lancar. Coba kau ceritakan kepada Kakak Ketua dengan sejelas-jelasnya.”
“Baik!” jawab Zheng E
mengiakan. Ia kemudian bangkit dan mulai menguraikan apa yang terjadi di
Pegunungan Xianxia, di mana mereka masuk perangkap musuh, namun mendapat
bantuan Linghu Chong sehingga bisa selamat. Kemudian mereka terkena bius dan
tertawan musuh di Nianbapu, di mana Biksuni Dingjing didesak dan dipaksa oleh
Zhong Zhen dari Perguruan Songshan, kemudian dikerubut pula oleh orang-orang
berkedok. Untungnya Linghu Chong lagi-lagi datang membantu. Namun sayang, luka
Biksuni Dingjing sangat parah, sehingga akhirnya meninggal dunia. Semua ia
ceritakan dengan rinci satu per satu.
Biksuni Dingyi menanggapi,
“Ternyata begitu. Jelas sudah bahwa kawanan bangsat dari Perguruan Songshan itu
telah menyamar sebagai kaum Sekte Iblis untuk memaksa Kakak Dingjing menyetujui
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Huh, sungguh keji siasat mereka. Kalian
ditawan oleh mereka, kemudian mereka berlagak membebaskan kalian dari
cengkeraman musuh, sehingga akan sulit bagi Kakak untuk menolak ancaman
mereka.” Sampai di sini suaranya menjadi lemah. Ia terengah-engah sejenak, lalu
melanjutkan, “Kakak Dingjing dikepung musuh di Pegunungan Xianxia dan merasa
pihak lawan bukan orang-orang yang mudah dihadapi. Maka, Kakak pun mengirim
merpati pos untuk minta bantuan kepada Kakak Ketua dan aku. Tak disangka … tak
disangka hal ini pun sudah masuk dalam perhitungan musuh sehingga kami dapat
mereka hadang di sini.”
Melihat keadaan Dingyi yang
sudah lemah itu, seorang murid Dingxian yang bernama Yiwen membujuknya, “Bibi
Guru harap beristirahat saja. Biar saya yang menceritakan bagaimana pengalaman
kita bertemu musuh.”
“Pengalaman apa? Sudah jelas
sejak musuh menyerbu kita di Biara Shuiye pada malam buta itu, pertempuran
terus saja berlangsung sampai hari ini,” kata Dingyi.
“Benar,” jawab Yiwen
mengiakan. Namun ia tetap menguraikan secara singkat apa yang telah mereka
alami selama beberapa hari terakhir ini.
Rupanya malam itu orang-orang
Perguruan Songshan yang menyerbu Biara Shuiye juga memakai kedok dan menyamar
sebagai anggota Sekte Iblis. Karena diserang secara mendadak dan besar-besaran,
membuat rombongan Perguruan Henshan hampir saja mengalami kehancuran.
Untungnya, Biara Shuiye juga memiliki hubungan dengan dunia persilatan. Di
dalam biara itu masih tersimpan lima bilah pedang pusaka hasil tempaan Kota
Longquan. Ketua Biara Shuiye yang bernama Biksuni Qingxiao, dalam keadaan
bahaya telah membagi-bagikan pedang pusakanya kepada Biksuni Dingxian, Biksuni
Dingyi, dan beberapa lainnya. Pedang pusaka tersebut sangat tajam dan mampu
memotong besi seperti sayur. Banyak sekali senjata pihak musuh telah terpotong
oleh pedang-pedang pusaka itu, dan tidak sedikit juga anggota lawan yang terluka.
Dengan demikian rombongan tersebut dapat bertempur melawan musuh yang berjumlah
jauh lebih banyak, sambil mereka mengundurkan diri ke lembah pegunungan ini.
Sayangnya, Biksuni Qingxiao gugur dalam pertempuran.
Lembah pegunungan ini
dahulunya banyak menghasilkan bijih besi bermutu tinggi. Selama beberapa tahun
daerah ini pun terkenal sebagai “Lembah Tempa Pedang”. Kemudian setelah
simpanan bijih besi habis digali, tempat penempaan pedang selanjutnya berpindah
ke tempat lain. Sekarang yang tersisa di sini hanya tinggal tungku dan gua
pembakaran yang pernah dihuni para pandai besi itu. Berkat gua-gua pembakaran
tersebut, orang-orang Perguruan Henshan dapat bertahan selama beberapa hari.
Sampai akhirnya, orang-orang Songshan memutuskan untuk mengumpulkan kayu dan
rumput kering guna membakar mereka hidup-hidup. Andai saja Linghu Chong datang
terlambat sedikit saja, tentu keadaan menjadi sangat runyam.
Biksuni Dingyi tidak sabar
menunggu Yiwen selesai bercerita. Sepasang matanya tampak melotot ke arah
Linghu Chong, lalu tiba-tiba ia berkata, “Kau sangat … sangat baik. Tapi
mengapa gurumu mengeluarkanmu dari perguruan? Katanya kau berkomplot dengan
Sekte Iblis, benar tidak?”
Linghu Chong menjawab, “Saya
kurang hati-hati dalam berteman, sehingga sempat mengenal beberapa tokoh Sekte
Iblis.”
Dingyi mendengus, “Huh,
binatang-binatang dari Perguruan Songshan banyak yang berhati serigala dan
lebih jahat daripada orang-orang Sekte Iblis. Memangnya orang-orang yang
menamakan dirinya aliran lurus selalu lebih baik daripada yang dicap aliran
sesat?”
Tiba-tiba Yihe menyela, “Kakak
Linghu, aku tidak tahu dengan pasti apakah gurumu bersalah atau tidak. Beliau
mengetahui bahwa perguruan kami sedang mengalami kesulitan, tapi sengaja
berpangku tangan tidak mau membantu. Jangan-jangan … mungkin … Beliau sudah
menyetujui peleburan kelima perguruan menjadi satu seperti yang disarankan
Perguruan Songshan.”
Hati Linghu Chong tergerak
mendengar ucapan Yihe yang masuk akal itu. Tapi sejak kecil ia selalu memuja
Sang Guru, dan dalam hati sedikit pun tidak pernah menaruh prasangka kepada Yue
Buqun. Maka ia menjawab, “Aku rasa Guru tidak sengaja berpangku tangan.
Kemungkinan besar Beliau ada urusan penting lainnya, sehingga … sehingga ….”
Sejak tadi Dingxian memejamkan
mata untuk menghimpun tenaga. Kini perlahan-lahan ia membuka mata dan berkata,
“Perguruan Henshan mengalami bencana. Berkat bantuan Pendekar Muda Linghu, kita
semua bisa terbebas dari bencana. Budi baik ini ….”
“Ah, saya hanya melakukan
kewajiban sekadarnya. Ucapan Bibi Ketua tidak berani kuterima,” jawab Linghu
Chong menukas.
Dingxian menggeleng dan
berkata, “Pendekar Muda Linghu tidak perlu merendahkan diri. Saudara Yue tidak
punya waktu untuk turun tangan sendiri, sehingga mengutus murid pertamanya
datang ke sini membantu kami, ini juga sama saja. Yihe, kau jangan sembarangan
bicara dan kurang hormat kepada orang tua.”
“Saya tidak berani,” sahut
Yihe sambil membungkukkan tubuh. “Tapi … tapi Kakak Linghu sudah dikeluarkan
dari Perguruan Huashan. Paman Yue juga tidak mengakuinya sebagai murid lagi.
Kedatangannya ke sini juga bukan atas perintah Paman Yue.”
“Kau memang selalu tidak mau
kalah dan suka berdebat,” ujar Dingxian dengan tersenyum.
Mendadak Yihe menghela napas
dan berkata, “Aih, kalau saja Kakak Linghu seorang perempuan, tentu segalanya
menjadi baik.”
“Kenapa?” tanya Biksuni
Dingxian.
“Dia sudah dikeluarkan dari
Perguruan Huashan dan tidak dapat kembali lagi. Jika dia perempuan tentu bisa
bergabung dengan Perguruan Henshan kita,” jawab Yihe. “Dia telah bahu-membahu
dengan kita menghadapi segala kesulitan, sudah seperti orang sendiri ….”
“Omong kosong! Umurmu semakin
tua, tapi bicaramu masih seperti anak kecil,” bentak Biksuni Dingyi.
Biksuni Dingxian hanya
tersenyum, kemudian berkata, “Saudara Yue hanya salah paham. Kelak bila sudah
jelas duduk perkaranya tentu Pendekar Linghu akan diterima kembali. Rencana
jahat Perguruan Songshan tidak mungkin berhenti sampai di sini. Bukankah
Perguruan Huashan akan sangat mengandalkan tenaga dan ilmu pedang Pendekar Linghu?
Seandainya ia tidak kembali ke Huashan juga, dengan ilmu silatnya yang tinggi
dan keluhuran budinya, kalau ia mau mendirikan perguruan tersendiri juga bukan
masalah sulit.”
“Tepat sekali ucapan Bibi
Ketua,” sahut Zheng E. “Kakak Linghu, orang-orang Perguruan Huashan bersikap
jahat kepadamu. Mengapa kau tidak mendirikan … Perguruan Linghu saja? Hm,
kenapa kau harus kembali lagi ke Huashan? Memangnya kau ingin kembali ke sana?”
Linghu Chong tersenyum getir
dan menjawab, “Pujian Bibi Ketua benar-benar tidak berani saya terima. Saya
hanya berharap kelak di kemudian hari Guru sudi memaafkan kesalahan saya dan
berkenan menerima saya kembali. Selain itu saya tidak mempunyai keinginan
apa-apa.”
Qin Juan yang polos menyahut,
“Kau tidak punya keinginan selain itu? Bagaimana dengan adik kecilmu?”
Linghu Chong menggeleng dan
mengalihkan pembicaraan, “Marilah kita urus jasad para kakak dan adik yang
gugur. Akan kita makamkan atau diperabukan lalu dibawa pulang ke Henshan?”
“Kita perabukan saja,” ujar
Biksuni Dingxian dengan suara agak parau. Meskipun ilmu agamanya sudah sangat
mendalam, namun melihat sekian banyak murid-murid yang tergeletak menjadi
korban keganasan musuh, mau tidak mau perasaannya menjadi terguncang. Mendengar
itu beberapa murid kembali menangis tersedu-sedu.
Di antara mereka yang gugur,
ada beberapa murid sudah tewas beberapa hari lalu, ada pula yang menggeletak
jauh di sana. Beramai-ramai Yihe dan yang lain mengumpulkan jenazah
saudara-saudara seperguruan tersebut. Mereka tak kuasa menahan diri sehingga
mencaci-maki kekejaman orang-orang Songshan, terutama Zuo Lengchan sang ketua.
Hari sudah gelap ketika
semuanya selesai. Malam itu mereka meninggalkan lembah pegunungan sunyi
tersebut. Esok paginya para murid mengusung Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi,
serta saudara-saudara seperguruan yang terluka. Setelah sampai di Kota
Longquan, mereka menyewa tujuh buah perahu berkabin, untuk melanjutkan
perjalanan menuju ke utara melalui jalur air.
Khawatir pihak Perguruan
Songshan kembali menyerang di tengah jalan, Linghu Chong memutuskan tetap
menyertai rombongan tersebut. Karena sekarang di dalam rombongan terdapat dua
biksuni sepuh, Linghu Chong tidak berani lagi sembarangan bicara dengan para
murid. Sementara itu keadaan Dingxian, Dingyi, dan yang lain sudah berangsur
baik. Luka mereka sebenarnya tidak ringan, tetapi berkat obat Perguruan Henshan
yang mujarab, mereka boleh dikata sudah lolos dari maut begitu perjalanan
melewati Sungai Qiantang.
Sesampainya di muara Sungai
Yangtze, mereka lantas menukar perahu sewaan dan berlayar melawan arus ke hulu
sungai di wilayah Jiangxi. Perjalanan yang agak lambat itu diharapkan nanti
setelah tiba di Hankou, semua orang yang terluka sudah sembuh sehingga mereka
dapat melanjutkan perjalanan pulang melalui jalur darat dan berputar menuju
utara.
Beberapa hari kemudian
rombongan tersebut sampai di dekat Danau Poyang dan berlabuh di muara Sungai
Jiu. Perahu yang mereka sewa kali ini berukuran sangat besar, sehingga untuk
mengangkut puluhan orang tersebut cukup hanya dengan dua perahu saja. Ketika
malam tiba, Linghu Chong tidur bersama juru mudi dan para kelasi di buritan.
Tepat tengah malam, Linghu
Chong terbangun karena tiba-tiba mendengar di tepi sungai ada suara tepukan
perlahan. Terdengar olehnya suara tepukan tiga kali, berhenti sejenak, lalu
bertepuk lagi tiga kali. Tepukan tersebut sebenarnya tidak keras, tapi karena
tenaga dalam Linghu Chong saat ini sangat tinggi, sehingga pendengarannya pun
meningkat tajam. Begitu mendengar suara yang aneh itu ia segera bangkit dari
tidur. Ia paham tepukan tangan semacam ini adalah isyarat yang biasa digunakan
dalam dunia persilatan.
Selama beberapa hari ini
Linghu Chong selalu bersikap waspada mengawasi gerak-gerik sepanjang sungai
kalau-kalau ada musuh yang menyerang secara mendadak. Ia pun berpikir,
“Sebaiknya aku periksa dulu siapa yang datang itu. Bagus kalau mereka tidak ada
hubungannya dengan rombongan Perguruan Henshan. Tapi kalau mereka bermaksud
jahat, maka akan kubereskan secara diam-diam supaya tidak mengganggu Biksuni
Dingxian dan yang lain.”
Ia lalu menajamkan
penglihatannya untuk mengamati perahu di sebelah barat sana. Terlihat sesosok
bayangan melompat ke daratan. Sepertinya ilmu ringan tubuh orang itu
biasa-biasa saja. Linghu Chong pun melompat ke tepi sungai dengan enteng, lalu
mendarat tanpa bersuara. Ia mengambil jalan memutar sampai akhirnya berada di
belakang sederetan keranjang yang berisi gentong minyak di sebelah timur tepian
sungai.
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang berkata, “Biksuni-biksuni di atas kapal itu memang benar dari
Perguruan Henshan.”
Seorang lagi menjawab, “Lalu
bagaimana baiknya?”
Linghu Chong berjongkok tanpa
suara, kemudian perlahan-lahan mendekati mereka. Di bawah sinar rembulan yang
remang-remang dilihatnya dua orang sedang berbicara. Yang satu berperawakan
tegap dengan muka penuh cambang kasar. Yang satu lagi hanya tampak dari
samping, raut mukanya berbentuk panjang lancip seperti kuaci.
Terdengar si muka lancip
kembali berkata, “Kalau hanya mengandalkan kekuatan Partai Naga Putih kita,
jelas tidak akan mampu melawan mereka. Meskipun jumlah orang kita lebih banyak,
tapi ilmu silat mereka lebih bagus. Kalau bertarung kita tidak akan menang.”
“Siapa bilang kita akan
bertarung melawan mereka?” sahut si cambang. “Walaupun ilmu silat kawanan
biksuni itu sangat tinggi, tapi belum tentu mereka pandai berenang? Besok kita
tunggu saja sampai kapal mereka kembali berlayar ke tengah sungai. Kita lantas
menyelam ke dalam air untuk melubangi kapal mereka. Bukankah dengan cara demikian
kita bisa menangkap mereka satu per satu?”
“Akalmu ini sangat bagus,”
seru si muka lancip. “Jika cara ini berhasil tentu kita akan berjasa besar dan
nama Partai Naga Putih dari Sungai Jiu akan berkumandang di dunia persilatan.
Hanya saja, aku masih mengkhawatirkan sesuatu.”
“Mengkhawatirkan apa?” tanya
si cambang.
Si muka lancip menjawab,
“Serikat Pedang Lima Gunung senapas seirama. Aku khawatir Tuan Besar Mo Ketua
Perguruan Hengshan mengetahui perbuatan kita. Bisa-bisa dia marah besar dan
melabrak partai kita.”
Si cambang berkata, “Hm,
selama ini kita sudah kenyang menjadi bulan-bulanan Perguruan Hengshan. Maka
kali ini kita berdua harus berusaha sekuat tenaga, supaya kelak kalau ada
masalah maka kawan-kawan yang lain akan membantu kita. Padahal kalau usaha kita
ini berhasil, boleh jadi Perguruan Hengshan akan ikut hancur. Untuk apa kita
harus takut kepada si tua bermarga Mo segala?”
“Baik, kuterima rencanamu,”
sahut si muka lancip akhirnya. “Sekarang mari kita kumpulkan kawan-kawan yang
pandai menyelam.”
Pada saat itulah Linghu Chong
melompat keluar. Dengan menggunakan gagang pedang ia memukul kepala belakang si
muka lancip. Seketika orang itu pun jatuh pingsan. Si cambang lantas
menghantam, tapi tahu-tahu dahinya sudah terkena pukulan gagang pedang Linghu
Chong. Tubuh orang itu langsung berputar-putar seperti gasing dan akhirnya
jatuh terduduk.
Pedang Linghu Chong lantas
memotong dua buah tutup keranjang gentong minyak. Kedua orang itu lalu
diangkatnya untuk dijebloskan ke dalam keranjang yang penuh berisi minyak sayur
tersebut. Setiap keranjang berisi minyak tiga ratus kati. Rupanya
gentong-gentong minyak tersebut disiapkan di tepi sungai untuk esok harinya
dimuat ke dalam perahu menuju muara.
Begitu kedua orang itu masuk
ke dalam gentong minyak dengan kepala ditekan oleh tangan Linghu Chong,
seketika mulut dan hidung mereka terendam. Karena berada di dalam minyak dingin
mereka lantas siuman dan seketika gelagapan karena meneguk minyak beberapa
kali.
Tiba-tiba terdengar seseorang
berkata di belakang, “Pendekar Muda Linghu, jangan bunuh mereka!” Ternyata yang
datang adalah Biksuni Dingxian.
Linghu Chong terperanjat
karena kedatangan Dingxian begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak terdengar
olehnya. Segera ia menjawab, “Baik!” kemudian mengurangi tekanan tangannya yang
menahan di atas kepala kedua orang itu.
Begitu merasa tekanan di atas
kepala sudah berkurang, kedua orang itu bermaksud meloncat ke luar. Tapi Linghu
Chong segera berkata dengan tertawa, “Hei, jangan bergerak!” Bersamaan bilah
pedangnya kembali mengetuk dahi kedua orang itu sehingga kepala mereka masuk
lagi ke dalam minyak.
Kedua orang itu meringkuk di
dalam gentong dan terendam minyak sampai sebatas leher. Mata mereka terbelalak
bingung karena tidak mengetahui bagaimana tiba-tiba bisa mengalami nasib konyol
seperti ini.
Sementara itu sesosok bayangan
tampak melompat dari atas perahu. Ia tidak lain adalah Biksuni Dingyi, yang
kemudian bertanya, “Kakak, apakah ada yang tertangkap?”
Dingxian menjawab, “Ternyata
dua tetua dari Partai Naga Putih. Pendekar Muda Linghu hanya bercanda dengan
mereka.” Ia kemudian berpaling kepada si cambang dan bertanya, “Saudara ini
bermarga Yi ataukah Qi? Bagaimana kabar Ketua Shi?”
Si cambang terheran-heran dan
menjawab, “Aku bermarga Yi. Dari mana … dari mana kau tahu margaku? Ketua Shi
kami baik-baik saja.”
Dingxian tersenyum dan
berkata, “Tetua Yi dan Tetua Qi dari Partai Naga Putih memiliki julukan di
dunia persilatan sebagai ‘Sepasang Ikan Terbang Sungai Yangtze’. Nama besar
kalian sudah lama menggelegar seperti guntur di telinga biksuni tua ini.”
Rupanya Biksuni Dingxian
seorang yang sangat cermat dan teliti. Meskipun jarang meninggalkan Gunung
Henshan, tapi ia memiliki wawasan luas mengenai bermacam-macam tokoh dari
berbagai aliran dan perguruan di dunia persilatan. Si cambang bermarga Yi dan
si muka lancip bermarga Qi ini hanyalah jago kelas tiga atau empat di dunia
persilatan. Namun begitu melihat raut muka mereka, ia langsung dapat menebak
asal-usulnya.
Si muka lancip bermarga Qi
tampak sangat senang dan menjawab. “Ah, mana berani kami menerima istilah
‘menggelegar seperti guntur di telinga’ segala?”
Linghu Chong mengerahkan
tenaga pada bilah pedangnya untuk menekan kepala orang itu sehingga masuk
kembali ke dalam minyak, lalu mengendurkannya lagi. Dengan tertawa ia berkata,
“Aku pun sudah lama mendengar nama besar kalian seperti minyak menyusup ke
dalam telinga.”
Kontan si marga Qi menjadi
gusar. “Kau … kau ….” ia bermaksud memaki dengan kasar, tapi tidak berani.
Linghu Chong berkata, “Setiap
pertanyaanku harus kau jawab dengan jujur. Jika berdusta sedikit saja maka
julukan kalian ‘Ikan Terbang Sungai Yangtze’ akan berubah menjadi ‘Belut Mampus
Terendam Minyak’.” Habis berkata demikian ia lantas menekan pula kepala si
cambang ke dalam minyak. Orang bermarga Yi ini sudah bersiap-siap dengan
menutup mulutnya rapat-rapat. Namun tetap saja minyak masuk ke dalam hidungnya
dan jelas terasa sangat tidak enak.
Dingxian dan Dingyi tersenyum
geli. Mereka sama-sama berpikir, “Anak muda ini menang nakal dan suka iseng.
Tapi caranya ini memang bagus untuk menanyai tawanan.”
Linghu Chong mulai bertanya,
“Mulai kapan Partai Naga Putih kalian bersekongkol dengan Perguruan Songshan?
Siapa yang menyuruh kalian membuat susah Perguruan Henshan?”
“Bersekongkol dengan Perguruan
Songshan?” sahut si marga Yi. “Aneh sekali! Kami sama sekali tidak mengenal
seorang pun anggota Perguruan Songshan.”
“Haha, pertanyaan pertama saja
tidak kau jawab dengan jujur. Sekarang silakan minum minyak lagi biar lebih
kenyang,” seru Linghu Chong. Habis berkata, kembali ia menekan kepala orang itu
sehingga terendam minyak. Meskipun laki-laki bercambang itu bukan pendekar
papan atas, tetapi ilmu silatnya tidak tergolong lemah. Namun Linghu Chong
telah mengerahkan tenaga dalam pada bilah pedangnya sehingga orang itu merasa
kepalanya seperti ditindih batu seberat seribu kati. Sama sekali ia tidak bisa
berkutik dibuatnya.
Linghu Chong lalu berkata pada
si muka lancip, “Lekas kau jawab dengan jujur! Apa kau juga ingin menjadi belut
direndam minyak?”
Orang bermarga Qi itu
menjawab, “Bertemu kesatria seperti dirimu, jelas aku tidak ingin menjadi belut
rendaman. Tapi apa yang dikatakan Kakak Yi sama sekali bukan kebohongan. Kami
benar-benar tidak kenal orang-orang Perguruan Songshan. Lagipula Perguruan
Songshan dan Perguruan Henshan berasal dari perserikatan yang sama, setiap
orang persilatan juga tahu. Mana mungkin Perguruan Songshan menyuruh kami
membuat susah Perguruan Henshan kalian?”
Linghu Chong mengangkat gagang
pedangnya untuk mengurangi tekanan pada kepala orang bermarga Yi itu, lalu
bertanya, “Tadi kau bilang besok pagi akan melubangi kapal yang ditumpangi para
biksuni Henshan di tengah sungai supaya tenggelam. Reencana kalian benar-benar
keji. Sebenarnya apa salah Perguruan Henshan terhadap partai kalian?”
Biksuni Dingyi yang datang
belakangan belum mengetahui mengapa Linghu Chong memperlakukan mereka berdua
seperti itu. Sekarang begitu mendengar perkataan tersebut, seketika ia menjadi
gusar dan membentak, “Bangsat, kurang ajar! Jadi kalian bermaksud
menenggelamkan kami.”
Murid-murid Perguruan Henshan
adalah kaum wanita dari utara yang tidak dapat berenang. Jika benar kapal akan
ditenggelamkan di tengah sungai, tentu sukar bagi mereka untuk menghindarkan
diri sehingga bisa mati tenggelam dan menjadi santapan ikan. Membayangkan hal
itu membuat Dingyi bergidik ngeri.
Si cambang bermarga Yi takut
kalau kepalanya kembali dibenamkan ke dalam minyak. Lekas-lekas ia pun
menjawab, “Perguruan Henshan sama sekali tidak memiliki permusuhan dengan
Partai Naga Putih kami. Kami hanyalah para penyelundup yang mencari sesuap nasi
di tepian Sungai Jiu sini. Mana berani berani mencari perkara dengan Perguruan
Henshan segala? Hanya saja … hanya saja kami berpikir kalian adalah sesama
pemeluk agama Buddha. Perjalanan kalian menuju ke arah barat besar kemungkinan
untuk memberikan bantuan. Maka itu … maka itu kami tidak sadar pada kelemahan
diri sendiri sehingga secara gegabah membuat rencana busuk seperti tadi. Lain
kali kami tidak akan berani lagi.”
Linghu Chong semakin bingung
mendengar keterangan orang itu. Ia pun bertanya, “Apa maksudmu dengan sesama
pemeluk agama Buddha? Apa maksudmu dengan memberi bantuan segala? Bicaralah
yang jelas! Jangan membingungkan seperti itu!”
“Baik, baik!” sahut orang
bermarga Yi. “Meski Perguruan Shaolin bukan anggota Serikat Pedang Lima Gunung,
tapi kami kira biksu dan biksuni adalah satu keluarga ….”
“Kurang ajar!” bentak Dingyi
menyela.
Orang bermarga Yi itu kaget
dan tanpa sadar tubuhnya lantas meringkuk sehingga mulutnya kembali menelan
minyak. Karena lidahnya semakin licin membuat mulutnya sulit bicara lagi.
Dengan menahan tawa Dingyi
menunjuk si muka lancip, “Lekas kau saja yang bicara!”
“Baik, baik!” sahut orang
bermarga Qi itu. “Ada seorang bernama Tian Boguang yang dijuluki Si Pengelana
Tunggal Selaksa Li. Apakah Biksuni kenal baik dengannya?”
Dingyi sangat gusar
mendengarnya. Ia pun berpikir, “Tian Boguang itu seorang maling cabul yang
terkenal kebusukannya di dunia persilatan, mana mungkin aku kenal baik
dengannya? Berani-beraninya orang ini bertanya seperti itu kepadaku.
Benar-benar suatu penghinaan besar.” Segera tangan kanannya terangkat, hendak
memukul kepala orang bermarga Qi itu.