Pendekar Hina Kelana Jilid 76-80

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 76-80 Tadinya Linghu Chong mengira Yue Lingshan datang dengan mengendap-endap adalah untuk memata-matai rumah itu yang dikiranya merupakan kediaman musuh.
Tadinya Linghu Chong mengira Yue Lingshan datang dengan mengendap-endap adalah untuk memata-matai rumah itu yang dikiranya merupakan kediaman musuh. Kini begitu mendengar gadis itu tiba-tiba mengeluarkan suara jeritan aneh, mau tidak mau ia menjadi heran. Namun kemudian terdengar suara seseorang menyahut dari dalam kamar, membuatnya langsung paham apa yang sebenarnya terjadi.

Orang di dalam rumah itu berkata, “Kakak, apa kau ingin membuatku mati kaget? Jika aku mati dan menjadi setan, paling-paling akan serupa denganmu sekarang.”

Yue Lingshan menjawab ketus sambil tertawa, “Lin busuk, Lin sial, kau berani memakiku sebagai setan, hah? Awas, akan kucabut jantung hatimu keluar.”

“Tidak perlu kau cabut, akan kucabut sendiri biar bisa kau lihat,” sahut orang di dalam kamar yang tidak lain adalah Lin Pingzhi.

“Bagus, kau berani bicara gila-gilaan kepadaku. Nanti lagi akan kulaporkan Ibu,” omel Yue Lingshan lagi.

“Tapi kalau Ibu Guru bertanya padamu kapan dan di mana aku bicara demikian, lantas bagaimana kau akan menjawab?” balas Lin Pingzhi tertawa.

“Akan kukatakan kau bicara demikian pada waktu berlatih pedang siang tadi. Kau tidak berlatih sungguh-sungguh, malah mengajakku mengobrol sembarangan,” jawab Yue Lingshan.

“Baik, bila Ibu Guru marah tentu aku akan dikurung selama tiga bulan. Maka, selama tiga bulan kau tidak dapat bertemu denganku,” kata Lin Pingzhi.

“Huh! Memangnya kenapa? Tidak bertemu biarlah tidak bertemu!” ejek Yue Lingshan. “Hei, Lin Kecil busuk, kenapa kau tidak lekas membuka jendela? Apa-apaan kau di dalam?”

Terdengar suara gelak tawa Lin Pingzhi disertai berkeriutnya daun jendela dibuka. Kepala Lin Pingzhi tampak melongok keluar. Namun Yue Lingshan telah mendekam bersembunyi di sebelah dan tidak terlihat olehnya.

Terdengar Lin Pingzhi menggumam sendiri, “Hei, kenapa tidak ada orang? Kukira Kakak yang datang?”

Lalu daun jendela perlahan-lahan ditutupnya kembali. Namun sebelum tertutup, dengan cepat Yue Lingshan melompat ke dalam.

Linghu Chong yang berjongkok di atap rumah mendengarkan semua pembicaraan mereka dengan perasaan linglung. Kedua muda-mudi itu bersenda gurau seakan mereka lupa kalau masih berada di dunia. Linghu Chong berusaha untuk tidak mendengar pembicaraan mereka lagi, tapi setiap kata yang mereka ucapkan telah masuk ke telinganya begitu saja dan terdengar sangat jelas. Terdengar pula kedua muda-mudi itu terpingkal-pingkal di dalam kamar.

Jendela kamar tidak ditutup sepenuhnya. Bayangan mereka berdua pun tertangkap pula pada kertas penutup jendela. Kedua kepala muda-mudi itu tampak beradu, kemudian suara tawa mereka berangsur-angsur lirih dan menghilang.

Linghu Chong merasa sangat pedih. Ia menghela napas dan berniat melangkah pergi, tapi mendadak terdengar Yue Lingshan berkata, “Sudah malam begini mengapa kau belum tidur?”

Lin Pingzhi menjawab dengan tertawa, “Aku sedang menunggumu.”

“Huh, dasar pembohong! Dari mana kau tahu aku akan datang?” sahut Yue Lingshan.

“Aku petapa yang pandai meramal. Hanya dengan menghitung-hitung jari aku bisa mengetahui kakak seperguruanku yang mulia malam ini akan berkunjung kemari,” kata Lin Pingzhi.

“Kamarmu berantakan begini, jelas kau sedang mencari kitab pedang itu, betul tidak?” tanya Yue Lingshan.

Linghu Chong sudah beranjak pergi beberapa langkah. Begitu mendengar “kitab pedang” disebut, seketika hatinya tergerak dan ia pun berbalik kembali.

Terdengar Lin Pingzhi berkata, “Selama beberapa bulan ini entah sudah berapa kali aku memeriksa dan menggeledah seluruh rumah tua ini. Bahkan, genting rumah juga satu per satu kubuka dan kuteliti. Sepertinya hanya dinding rumah saja yang belum kubongkar … Kakak, rumah tua ini sudah tidak dipakai lagi, apa salahnya kalau kita bongkar saja dindingnya untuk diperiksa? Bagaimana pendapatmu?”

“Rumah ini adalah milik Keluarga Lin kalian. Dibongkar atau tidak adalah urusanmu. Untuk apa kau tanya kepadaku?” sahut Yue Lingshan.

“Justru karena ini adalah rumah Keluarga Lin, maka aku bertanya kepadamu,” kata Lin Pingzhi.

“Kenapa?” tanya Yue Lingshan.

Lin Pingzhi menjawab, “Jika tidak kepadamu, lantas kepada siapa? Bukankah kelak … bukankah kelak kau juga akan bermarga … bermarga … hmm … hehehe ….”

“Lin busuk! Lin sial! Kau mencari kesempatan dalam kesempitan!” maki Yue Lingshan yang kemudian disusul dengan plak-plok beberapa kali, mungkin tangannya sedang memukuli Lin Pingzhi. Tentu saja beberapa pukulan mesra.

Linghu Chong merasa jantungnya seperti disayat-sayat mendengar senda gurau itu. Ia sebenarnya ingin segera pergi, tapi berita tentang Kitab Pedang Penakluk Iblis sangat berharga baginya. Sewaktu kedua orang tua Lin Pingzhi meninggal dunia dan memberikan wasiat, hanya ia seorang diri yang saat itu berada di samping mereka. Wasiat mereka berdua yang harus disampaikan kepada Lin Pingzhi justru mendatangkan fitnah baginya. Lebih-lebih setelah mendapatkan pelajaran dari Feng Qingyang tentang Ilmu Sembilan Pedang Dugu, maka setiap orang Perguruan Huashan mengira dirinya telah menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis tersebut. Bahkan, sang adik kecil yang biasanya paling kenal wataknya itu juga menaruh curiga kepadanya. Namun Linghu Chong berusaha memaklumi semua tuduhan itu. Bagaimanapun juga ia telah disaksikan banyak orang tidak mampu menghadapi Ilmu Pedang Ning Tanpa Tanding saat bertanding melawan Sang Ibu Guru. Anehnya, hanya dalam waktu beberapa bulan saja, tiba-tiba ilmu pedangnya maju pesat. Ilmu pedangnya pun tidak mirip gaya ilmu pedang Perguruan Huashan, sehingga wajar kalau mereka mencurigai dirinya telah mencuri ilmu pedang pihak lain. Dan ilmu pedang yang dicuri itu, apa lagi kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin?

Di sisi lain, Linghu Chong telah berjanji untuk tidak membocorkan keberadaan Feng Qingyang, sehingga ia tidak bisa menjelaskan begitu saja dari mana asal-usul ilmu pedagnya yang cemerlang. Yue Buqun memang telah mengeluarkannya dari Perguruan Huashan dan memutuskan segala ikatan dengannya dengan alasan karena ia bergaul dengan kaum aliran sesat. Namun, ia sadar bahwa kemungkinan besar alasan yang sebenarnya adalah karena Sang Guru percaya kalau dirinya telah menggelapkan Kitab Pedang penakluk Iblis. Orang yang melakukan perbuatan hina macam itu jelas tidak bisa untuk tetap menjadi murid Perguruan Huashan. Maka, meskipun kini hatinya pedih mendengar senda gurau muda-mudi itu, terpaksa ia harus bersabar menahan diri demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehubungan dengan kitab pedang tersebut.

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Kau sudah mencari selama beberapa bulan tapi tidak juga menemukannya, maka kitab itu jelas tidak ada di sini. Untuk apa kita harus susah payah membongkar dinding segala? Kakak … Kakak Pertama suka bicara sembarangan, kenapa kau menganggapnya sungguh-sungguh?”

Lagi-lagi Linghu Chong merasa pedih. “Ternyata dia masih memanggilku ‘kakak pertama’,” pikirnya.

Lin Pingzhi menjawab, “Kakak Pertama telah menyampaikan wasiat ayahku, bahwa ada barang tinggalan leluhur di rumah lama keluarga kami di Gang Xiangyang sini yang tidak boleh sembarangan dibaca dengan seksama. Kupikir kalau kitab itu telah dipinjam oleh Kakak Pertama dan untuk sementara waktu tidak dikembalikan ….”

Linghu Chong tersenyum getir mendengarnya. Dalam hati ia berkata, “Walaupun kau menggunakan kata-kata sopan tidak menyebutku menggelapkan kitab segala, tetap saja kaukatakan aku telah meminjamnya dan untuk sementara waktu tidak mengembalikannya. Huh, buat apa kau berbelit-belit seperti itu?”

Lin Pingzhi melanjutkan, “Tapi Kakak Pertama tidak mungkin mengarang perkataan ‘rumah lama Keluarga Lin di Gang Xiangyang’, sehingga aku yakin apa yang disampaikannya kepadaku benar-benar berasal dari wasiat Ayah dan Ibu. Kakak Pertama sebelumnya tidak pernah bertemu keluarga kami, juga tidak pernah datang ke Fuzhou sini, maka ia sama sekali tidak mungkin tahu kalau di kota ini ada sebuah jalan kecil bernama Gang Xiangyang. Apalagi soal rumah lama leluhur kami di jalan ini, mana mungkin dia tahu? Bahkan orang-orang Fuzhou juga sedikit yang tahu soal ini.”

“Baiklah, kalau seumpama wasiat ayah dan ibumu itu benar, lantas bagaimana?” tanya Yue Lingshan.

Lin Pingzhi berkata, “Wasiat ayahku yang disampaikan Kakak Pertama itu mengatakan ‘jangan membacanya dengan seksama’, tentu yang dimaksud bukan Kitab Shishu Wujing atau catatan pembukuan semacamnya. Setelah kupikir-pikir sekian lama, aku menjadi yakin wasiat itu tentu ada sangkut pautnya dengan kitab pedang. Wasiat ayahku menyebut soal rumah tua ini dan juga Gang Xiangyang. Seandainya kitab itu sudah tidak berada di sini lagi, paling tidak dapat kuperoleh sedikit petunjuk atau semacamnya di sini.”

Yue Lingshan menyahut, “Benar juga katamu. Selama beberapa hari ini kulihat kau kurang bersemangat. Malam hari kau tidak mau tinggal di gedung biro dan selalu ingin datang kemari. Aku jadi khawatir, sehingga sengaja datang menengokmu. Ternyata di siang hari kau sibuk berlatih pedang, juga lelah menemaniku, dan begitu malam tiba kau masih sibuk memeriksa rumah tua ini.”

Lin Pingzhi tersenyum getir, lalu menghela napas dan berkata, “Kematian ayah dan ibuku sangat menyedihkan. Jika aku dapat menemukan kitab pedang itu dan membunuh musuh dengan tangan sendiri menggunakan ilmu pedang warisan leluhur, barulah arwah Ayah dan Ibu akan terhibur di alam baka.”

“Entah saat ini Kakak Pertama ada di mana?” ujar Yue Lingshan. “Jika aku dapat bertemu dengannya tentu akan kumintakan kitab itu untukmu. Ilmu pedangnya sekarang sudah sangat tinggi, sudah seharusnya kitab itu dikembalikan kepada yang punya. Menurutku, sebaiknya akhiri saja khayalanmu, tidak perlu lagi mengacak-acak seisi rumah tua ini. Seandainya kitab keluargamu itu sudah tidak ada, kau bisa belajar ilmu Awan Lembayung milik ayahku untuk membalaskan sakit hatimu.”

“Tentu saja,” kata Lin Pingzhi. “Namun kematian ayah-ibuku sungguh mengenaskan. Sebelum ajal mereka banyak disiksa dan dihina pula. Jika aku bisa membalas dendam menggunakan ilmu pedang milik keluarga sendiri tentu rasanya benar-benar dapat melampiaskan sakit hati Ayah dan Ibu. Lagipula, ilmu Awan Lembayung sejak dulu tidak sembarangan diajarkan kepada setiap murid. Aku sendiri adalah murid yang paling akhir masuk Perguruan. Meskipun Guru dan Ibu Guru sayang kepadaku dan berkenan mengajarkan ilmu tersebut, namun para kakak seperguruan tidak akan menerimanya. Bisa saja mereka berkata … pasti berkata ….”

“Berkata apa?” tukas Yue Lingshan.

“Bisa saja mereka berkata kalau aku belum tentu tulus kepadamu. Bahwa aku berbuat baik sebenarnya hanya untuk mencari muka di hadapan Guru dan Ibu Guru supaya mendapatkan ilmu Awan Lembayung,” jawab Lin Pingzhi.

“Huh, peduli apa dengan anggapan mereka? Yang penting aku tahu kalau kau benar-benar tulus,” ujar Yue Lingshan.

“Bagaimana kau tahu kalau aku benar-benar tulus?” tanya Lin Pingzhi sambil tertawa.

Mendadak terdengar suara pukulan Yue Lingshan mendarat pada badan Lin Pingzhi. “Ya, aku tahu kau ini cuma pura-pura saja. Kau adalah manusia berhati serigala,” katanya.

“Sudahlah, malam sudah larut. Mari kita pulang saja,” kata Lin Pingzhi sambil tertawa. “Tapi kalau kuantar kau pulang ke gedung biro, bila ketahuan Guru dan Ibu Guru tentu bisa celaka.”

“Jadi kau ingin aku cepat pulang? Baiklah, jika kau mengusirku, maka aku akan segera pergi. Tidak perlu kau antar segala,” kata Yue Lingshan.

Mendengar nada suara gadis itu yang terdengar tidak senang, Linghu Chong membayangkan pasti saat ini ia sedang mencibirkan bibirnya yang mungil sambil pura-pura marah. Tentu wajahnya terlihat semakin menawan.

Lin Pingzhi menjawab, “Guru mengatakan, Ketua Sekte Iblis terdahulu, Ren Woxing telah muncul kembali di dunia persilatan. Kabarnya ia sudah berada di wilayah Fujian sini. Orang itu ilmu silatnya sangat tinggi tiada terkira, sifatnya juga kejam dan telengas. Jika tengah malam kau berjalan sendiri dan kebetulan bertemu dia, lantas … lantas bagaimana?”

Linghu Chong berpikir, “Ternyata Guru sudah mendengar soal ini. Ketika aku membuat keributan di Pegunungan Xianxia tempo hari, tentunya semua orang mengira Ren Woxing telah mendekati Fujian. Kalau Guru sudah mengetahui, maka aku tidak perlu mengirim surat lagi.”

Terdengar Yue Lingshan menyahut, “Hm, kalau kau mengantarku pulang dan kebetulan bertemu dia, apakah kau mampu membekuk atau membunuh dia?”

“Ya, aku sadar ilmu silatku rendah. Kau sengaja mengolok-olok aku ya?” kata Lin Pingzhi. “Sudah jelas aku bukan tandingannya. Tapi, asalkan aku bisa bersamamu, biarpun mati juga kita mati bersama.”

Seketika suara Yue Lingshan berubah lembut, “Lin Kecil, bukan maksudku mengatakan ilmu silatmu rendah. Asalkan kau rajin dan tekun berlatih, tentu kelak lebih hebat daripada aku. Meskipun saat ini belum semua ilmu pedang kaukuasai, tapi jika berkelahi sungguh-sungguh juga aku belum tentu sanggup mengalahkanmu.”

Lin Pingzhi tertawa dan berkata, “Ah, kalau kau memegang pedang dengan tangan kiri barulah kita bisa bertanding.”

Yue Lingshan tidak ingin pergi. Ia berkata, “Lin Kecil, mari kubantu mencari lagi. Benda-benda di rumah tuamu ini sudah kau hafal dengan baik, sehingga tidak menarik perhatian lagi bagimu. Mungkin sekali aku dapat menemukan suatu benda yang kuanggap mencolok.”

“Baiklah, kau boleh coba mencari sesuatu yang kau rasa aneh,” ujar Lin Pingzhi.

Linghu Chong segera mendengar suara laci ditarik dan meja-kursi digeser. Beberapa saat kemudian Yue Lingshan berkata, “Semuanya biasa saja, tidak ada yang mecolok. Apakah di rumah ini ada tempat-tempat yang luar biasa?”

Lin Pingzhi menggumam sendiri, kemudian menjawab, “Tempat yang luar biasa? Tidak ada kurasa.”

Yue Lingshan bertanya, “Di mana tempat keluargamu berlatih silat?”

“Tidak ada juga,” jawab Lin Pingzhi. “Sejak Kakek Buyut mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei, keluarga kami pun pindah ke rumah baru dan tinggal di sana. Kakek dan Ayah kalau berlatih silat juga di sana. Dalam wasiat ayahku, ada kata-kata ‘jangan dibaca dengan seksama’ segala. Memangnya di tempat latihan silat ada yang perlu dibaca?”

“Nah, bagaimana kalau kita lihat-lihat ruang perpustakaan keluargamu?” ajak Yue Lingshan.

“Kami adalah keluarga pengawal turun-temurun. Kami tidak punya ruang perpustakaan, yang ada hanya ruang pembukuan. Ruang pembukuan pun adanya di gedung biro sana,” jawab Lin Pingzhi.

“Kalau begitu sulit untuk mencarinya,” kata Yue Lingshan. “Apakah di rumah ini ada sesuatu yang dapat dibaca dengan seksama?”

Lin Pingzhi menjawab, “Aku memikirkan wasiat Ayah yang disampaikan melalui Kakak Pertama, bahwa aku dilarang membaca dengan seksama barang-barang peninggalan leluhur. Padahal kemungkinan besar justru sebaliknya, aku harus membaca dengan seksama benda-benda peninggalan leluhurku. Tapi di sini juga tidak ada benda-benda kuno yang bisa dibaca. Setelah kupikir-pikir lagi, yang ada hanya beberapa kitab agama Buddha milik Kakek Buyut saja.”

Yue Lingshan langsung melonjak girang dan berkata, “Kitab Buddha? Bagus sekali! Biksu Bodhidharma adalah cikal bakal ilmu silat. Tentu bukan hal yang aneh kalau kitab ilmu pedang keluargamu disembunyikan di dalam kitab agama Buddha.”

Mendengar Yue Lingshan berkata demikian, semangat Linghu Chong seketika ikut bangkit. Ia berpikir, “Jika Adik Lin dapat menemukan kitab pedang itu di dalam kitab Buddha, tentu segala urusan akan menjadi beres dan aku tidak akan dicurigai menggelapkan lagi.”

Tapi lantas terdengar Lin Pingzhi menjawab, “Kitab-kitab itu sudah kuperiksa semua, bahkan sudah kubaca beberapa kali, lembar demi lembar. Tak hanya sekali dua kali, bahkan mungkin sudah puluhan kali. Bahkan aku juga membeli kitab-kitab Buddha seperti Kitab Jinkang, Kitab Xin, Kitab Huafa, dan Kitab Lengqie untuk kubandingkan isinya dengan kitab-kitab peninggalan Kakek Buyut tersebut, kata demi kata. Ternyata, isinya sama persis dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jadi, kitab-kitab yang ada di sini hanyalah kitab-kitab Buddha biasa.”

“Jika demikian tak ada gunanya bagi kita memeriksa lagi kitab-kitab itu?” ujar Yue Lingshan. Setelah termenung sebentar, mendadak ia bertanya, “Apakah lapisan dalam halaman kitab-kitab itu juga sudah kau periksa?”

“Lapisan dalam? Ah, ini belum terlintas dalam pikiranku,” sahut Lin Pingzhi. “Marilah sekarang juga kita memeriksanya lagi.”

Mereka berdua lalu melangkah bersama menuju ruang belakang dengan bergandeng tangan, sedangkan tangan yang lain masing-masing memegang tatakan lilin. Linghu Chong mengikuti perjalanan mereka dari atap rumah. Tampak sinar lilin itu menembus keluar dari balik jendela kamar-kamar, sampai akhirnya berhenti di sebuah ruangan di sudut barat laut. Dengan enteng Linghu Chong melompat turun dan mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela. Ternyata kamar itu adalah sebuah ruang sembahyang agama Buddha. Di tengah ruangan itu tergantung sebuah lukisan cat air Biksu Bodhidharma, cikal bakal Perguruan Shaolin yang terkenal. Tampak Biksu Bodhidharma dilukis dalam posisi membelakangi, sepertinya diambil dari kisah sewaktu ia sedang bersamadi menghadap tembok selama sembilan tahun. Di sebelah kiri ruangan terdapat sebuah bantalan duduk yang sudah sangat tua. Kemudian di atas meja sembahyang terdapat kentongan kayu berbentuk ikan, juga ada genta kecil, serta setumpuk kitab Buddha.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Sesepuh Lin yang mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei pernah menggetarkan dunia persilatan, tentunya tidak sedikit kawanan penjahat yang binasa di tangannya. Rupanya setelah tua ia menghabiskan sisa hidupnya di sini untuk menebus segala pembunuhan yang pernah dilakukannya.” Berpikir demikian ia pun membayangkan seorang jago persilatan yang rambutnya telah memutih duduk menyendiri di ruang sembahyang, menabuh kentongan ikan kayu sambil membaca kitab suci.

Terlihat Yue Lingshan mengambil sebuah kitab dan berkata, “Mari kita bongkar kitab ini. Coba periksa apakah lapisan pada tiap-tiap halamannya terselip suatu benda atau tertulis suatu kalimat. Jika tidak kita temukan apa-apa, kitab ini dapat kita jilid kembali. Bagaimana menurutmu?”

“Baiklah,” sahut Lin Pingzhi. Diambilnya kitab itu dan diputuskannya benang yang digunakan untuk menjilid. Halaman-halaman kitab itu kemudian dibentang di atas lantai. Yue Lingshan juga lantas membuka sebuah kitab lain serta mengangkatnya di depan lilin untuk disoroti kalau-kalau di tengah halaman terdapat tulisan lain.

Linghu Chong dapat menyaksikan potongan tubuh gadis itu dari balik celah jendela. Tangan Yue Lingshan tampak putih bersih, pergelangan kirinya masih memakai gelang perak seperti dulu. Terkadang wajahnya sedikit berpaling dan saling pandang dengan Lin Pingzhi, lalu mereka sama-sama tersenyum penuh arti dan melanjutkan memeriksa lembaran-lembaran kitab tersebut. Entah karena sorotan api lilin atau karena pipi Yue Lingshan yang bersemu merah, tapi wajah gadis itu memang terlihat sangat molek seperti buah persik musim semi. Linghu Chong sampai terkesima sendiri di luar jendela.

Satu per satu kitab-kitab di atas meja telah dibongkar oleh Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Ketika kitab-kitab yang berjumlah dua belas jilid itu hampir semua habis diperiksa, tiba-tiba Linghu Chong mendengar di belakangnya ada suara angin mendesir yang sangat lirih. Ia segera bersembunyi dengan merapatkan tubuh ke dinding. Dilihatnya dua sosok bayangan mendekat dari atap rumah sebelah selatan. Keduanya saling memberi isyarat dengan tangan, lalu melompat turun ke dalam pekarangan tanpa bersuara.

Kala itu Linghu Chong sudah menyelinap ke pojok lain. Dilihatnya kedua orang itu mendekati ruangan sembahyang, kemudian mengintip ke dalam mengamati apa yang sedang dikerjakan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Beberapa saat kemudian terdengar Yue Lingshan berkata, “Sudah habis semua. Kita tidak menemukan apa-apa.” Nadanya terdengar sangat kecewa. Tapi mendadak ia menyambung lagi, “Eh, Lin Kecil, aku ingat sesuatu. Coba kita ambil sebaskom air.” Suaranya terdengar kembali bersemangat.

“Untuk apa?” tanya Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menjawab, “Dulu aku pernah mendengar Ayah bercerita bahwa ada sejenis rumput yang jika direndam dengan semacam larutan asam, bisa digunakan untuk menulis. Sesudah kering huruf yang tertulis akan menghilang, tapi kalau dibasahi dengan air, maka hurufnya akan timbul kembali.”

Seketika hati Linghu Chong terasa pedih saat mengenang Sang Guru bercerita demikian. Kala itu Yue Lingshan baru berumur delapan atau sembilan tahun, sementara dirinya berumur lima belas atau enam belas tahun. Kenangan masa silam mendadak membanjiri hatinya. Ia ingat pada hari itu dirinya sedang menangkap jangkrik untuk diadu. Jangkrik yang lebih besar dan kuat diberikannya kepada si adik kecil, sedangkan yang kecil untuk dirinya. Namun tak disangka, justru jangkrik yang besar kalah. Yue Lingshan pun menangis tak henti-hentinya. Dengan susah payah, Linghu Chong menghiburnya hingga bisa tersenyum kembali. Mereka berdua lalu pulang dan meminta Sang Guru bercerita. Terkenang kepada peristiwa masa silam yang menyenangkan itu, membuat kedua matanya basah berkaca-kaca.

Terdengar Lin Pingzhi menyahut, “Benar. Tidak ada salahnya kalau kita coba.”

Yue Lingshan mendahului melangkah, namun kemudian berpaling dan berkata, “Kita pergi bersama.”

Kedua muda-mudi itu lagi-lagi berjalan bergandeng tangan meninggalkan ruangan. Kedua orang yang mengintip di luar jendela tampak menahan napas dan tidak bergerak sedikit pun. Tidak lama kemudian Lin Pingzhi dan Yue Lingshan telah kembali. Mereka masing-masing membawa sebaskom air sambil melangkah masuk ke ruang sembahyang tersebut. Beberapa halaman kitab yang sudah terbongkar itu kemudian mereka rendam ke dalam air.

Hanya merendam sebentar Lin Pingzhi sudah tidak sabar lagi. Segera ia mengambil satu lembar halaman dan menyorotnya di bawah cahaya lilin, namun tidak terlihat tulisan apa-apa selain tulisan aslinya. Sebanyak dua puluh lembar telah mereka periksa namun tetap saja hasilnya tidak tampak sesuatu yang aneh.

Terdengar Lin Pingzhi menghela napas dan berkata, “Sudahlah, tidak perlu dilanjutkan lagi. Tidak ada tulisan lain yang aneh.”

Baru selesai Lin Pingzhi berkata demikian, tiba-tiba kedua orang yang mengintip di luar jendela tadi sudah bergerak memutar ke depan rumah dengan langkah sangat gesit, kemudian mendorong pintu dan menerobos masuk ke dalam.

“Siapa itu?” bentak Lin Pingzhi kaget

Tapi gerakan kedua orang itu sungguh cepat luar biasa. Begitu masuk ke dalam ruangan, mereka langsung menerjang maju bagaikan angin. Baru saja Lin Pingzhi hendak melawan, tahu-tahu iganya sudah kena totokan. Yue Lingshan sendiri baru saja melolos pedangnya setengah, tiba-tiba jari musuh sudah menuju ke arah matanya. Terpaksa ia melepaskan gagang pedang dan mengangkat tangannya untuk menangkis. Berturut-turut pihak lawan mencakar tiga kali, semuanya mengarah ke tenggorokan Yue Lingshan secara keji. Kontan saja Yue Lingshan terperanjat dan mundur dua langkah sampai punggungnya merapat pada meja sembahyang. Mendadak sebelah tangan orang itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Terpaksa Yue Lingshan menangkis sekuatnya dengan kedua tangan. Tak disangka serangan musuh hanyalah pancingan belaka. Jari tangan yang lain bergerak menotok pinggang Yue Lingshan dengan jitu sehingga gadis itu tak bisa berkutik lagi dan jatuh telentang di atas meja.

Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh Linghu Chong. Namun dikarenakan jiwa Lin Pingzhi dan Yue Lingshan untuk sementara tidak terancam, maka ia pun berpikir untuk tidak perlu buru-buru menolong mereka. Ia ingin tahu siapa sebenarnya kedua penyergap tersebut dan apa rencana mereka.

Kedua orang itu tampak memandang ke segala penjuru ruang sembahyang seperti mencari-cari sesuatu. Seorang di antaranya segera memungut bantalan kasur di lantai dan merobeknya menjadi dua bagian. Seorang yang lain menghantam kentongan ikan kayu di atas meja hingga pecah berantakan.

Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tidak bisa bicara, juga tidak bisa bergerak. Mereka hanya bisa melihat tenaga kedua orang itu sedemikian kuat, merusak bantalan kasur dan menghancurkan kentongan ikan kayu, jelas bertujuan untuk mencari Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kedua muda-mudi itu berpikir, “Kenapa tak terpikir oleh kami kalau kitab pedang itu tersimpan di dalam bantalan kasur dan kentongan ikan kayu?” Namun mereka merasa lega karena di dalam kedua benda tersebut tidak tersimpan suatu benda.

Kedua orang itu sama-sama berusia lebih dari lima puluh tahun. Seorang di antaranya berkepala botak, sedangkan yang seorang lagi berambut putih bersih. Gerak-gerik kedua orang itu sama-sama cepat luar biasa. Hanya sebentar saja mereka telah menghancurkan segala benda yang ada di dalam ruangan sembahyang itu, tapi tidak menemukan apa-apa.

Ketika sudah tidak ada benda lagi yang bisa dihancurkan, pandangan kedua orang itu serentak mengarah kepada lukisan Bodhidharma yang tergantung di dinding. Si botak menjulurkan tangan hendak mengambil lukisan itu, tapi si rambut putih mencegah dan berseru, “Nanti dulu, coba kau lihat jarinya!”

Pandangan Lin Pingzhi, Yue Lingshan, dan Linghu Chong serentak ikut tercurah kepada lukisan tersebut. Tampak sosok Bodhidharma digambarkan membelakangi dengan tangan kiri memegang sebuah kitab dan tangan kanan teracung ke atas menunjuk ke arah langit-langit rumah.

“Ada apa dengan jarinya?” tanya si botak.

“Aku belum yakin, tapi harus kita coba dulu,” sahut si rambut putih. Ia segera meloncat ke atas dan menghantamkan kedua tangannya ke arah titik yang ditunjuk Bodhidharma dalam lukisan tersebut. Angin tenaga yang dikerahkannya seketika menghancurkan langit-langit rumah tepat di atas lukisan.

Debu pasir dan kotoran pun berhamburan. Si botak berkata, “Mana ada ….” belum habis ucapannya, tiba-tiba selembar kain berwarna merah jatuh dari lubang yang tercipta pada langit-langit rumah akibat pukulan tadi. Ternyata kain tersebut adalah jubah merah yang biasa dipakai para biksu.

Dengan cepat si rambut putih menangkap jubah itu dan memeriksanya di bawah cahaya lilin. Ia kemudian berseru kegirangan, “Ini dia … ini dia! Ternyata di sini!” Karena senangnya, sampai-sampai suaranya terdengar ikut gemetar.

“Apa … apa itu?” tanya si botak.

“Lihatlah sendiri!” kata si rambut putih.

Linghu Chong memicingkan matanya mempertajam penglihatan. Samar-samar ia dapat melihat pada jubah tersebut terdapat rangkaian huruf-huruf kecil yang tak terhitung banyaknya.

Si botak bertanya ragu, “Apakah ini Kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Si rambut putih berkata, “Bisa jadi. Sepertinya memang inilah kitab pedang itu. Hahahaha, hari ini kita dua bersaudara telah berjasa besar. Adik, kau saja yang simpan.”

Si botak begitu senang sampai-sampai mulutnya menganga. Ia kemudian menerima jubah itu dan melipatnya dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke balik baju. “Bagaimana dengan mereka? Kita bunuh?” katanya sambil menunjuk Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Linghu Chong sudah menggenggam gagang pedangnya erat-erat. Begitu si rambut putih mengiyakan pertanyaan si botak untuk membunuh Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, maka ia akan segera menerjang ke dalam untuk membinasakan kedua orang tua itu.

Namun ternyata si rambut putih menjawab, “Kitab pedang sudah di tangan, tidak ada gunanya kita mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Biarkan mereka begini saja.”

Kedua orang tua itu lantas melangkah keluar meninggalkan ruang sembahyang dan melompati pagar tembok rumah.

Linghu Chong pun mengejar mereka dengan melompati pagar tembok pula. Langkah kedua orang tua tersebut sangat cepat. Khawatir kehilangan jejak dalam kegelapan malam, Linghu Chong segera mempercepat langkahnya sehingga jarak mereka kini hanya tinggal beberapa meter saja.

Setiap kali kedua kakek itu mempercepat langkahnya, Linghu Chong pun ikut mempercepat langkahnya pula. Tapi mendadak kedua kakek itu berhenti dan membalik tubuh. Tahu-tahu sinar dingin berkelebat. Seketika Linghu Chong merasa kesakitan pada kedua pangkal lengannya. Ternyata kedua lawan telah melakukan sabetan senjata ke arahnya secepat kilat.

Gerakan kedua orang tua itu yang berhenti mendadak, membalik tubuh, dan menyerang secara tiba-tiba benar-benar terjadi dalam hitungan detik. Linghu Chong sendiri memang memiliki tenaga dalam tinggi dan ilmu pedang dahsyat. Namun pengalamannya masih dangkal jika menghadapi serangan kilat dan perubahan yang aneh semacam itu. Pengalaman bertarungnya masih kalah jauh dibandingkan para jago silat kelas satu. Maka kali ini ia benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan kilat lawan. Jangankan menangkis atau balas menyerang, bahkan ujung jarinya belum sempat menyentuh senjata sedikit pun, tahu-tahu kedua pangkal lengannya sudah terluka.

Ilmu golok kedua kakek itu sungguh luar biasa. Sekali serangan pertama mereka berhasil, serangan kedua pun dilancarkan pula. Linghu Chong sendiri terkejut luar biasa. Lekas-lekas ia melompat ke belakang. Untung tenaga dalamnya sangat kuat, sehingga berhasil melompat sejauh beberapa meter. Menyusul ia melompat sekali lagi dalam jarak beberapa meter.

Kedua kakek itu ganti terkejut menyaksikan kekuatan Linghu Chong yang sudah terluka, tapi masih sanggup melompat sedemikian cepat dan jauh pula. Tanpa bicara mereka lantas menerjang maju. Linghu Chong memutar tubuh hendak menghindar. Pundaknya yang terluka itu semula tidak terasa sakit, tapi setelah terkena angin rasa sakitnya berubah menjadi-jadi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena rasa sakitnya itu, namun ia berpikir, “Jubah biksu yang dirampas kedua orang ini kemungkinan besar bertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Aku sendiri difitnah karenanya, maka bagaimanapun juga harus dapat kurebut kembali untuk diserahkan kepada Adik Lin.”

Setelah berpikir demikian, ia pun berusaha melolos pedangnya. Tak disangka, pedang itu hanya berhasil dicabut setengah saja, selanjutnya sukar ditarik lagi. Rupanya luka yang cukup parah pada pundaknya membuat lengan terasa lemas tak bertenaga. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dari belakang, rupanya golok musuh kembali disabetkan ke arah kepalanya. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk melompat ke depan sebisanya, sambil tangan kiri menarik kuat-kuat sampai ikat pinggangnya putus. Tangan kirinya kemudian menggenggam gagang pedang dan sekuat tenaga ia menghentakkan tangan sehingga sarung pedang pun terlempar ke tanah. Tapi baru saja hendak membalik tubuh, angin tajam sudah berkesiur menyambar wajahnya. Kedua golok musuh kembali menyerang sekaligus ke arahnya.

Lagi-lagi Linghu Chong melompat mundur selangkah. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing, namun cuaca saat itu masih gelap. Selain kilauan sinar golok yang berkelebat ke sana kemari, boleh dikata sukar melihat apa-apa meskipun ia harus memicingkan mata. Padahal prinsip utama Ilmu Sembilan Pedang Dugu adalah mencari celah kelemahan musuh dan mematahkan setiap jurus serangan lawan. Namun kini gerakan tubuh dan arah serangan musuh sama sekali tak terlihat sehingga ilmu pedangnya yang biasanya dahsyat itu pun tidak dapat digunakan dengan baik. Bahkan tiba-tiba lengan kirinya terasa sakit, rupanya kembali terkena sabetan golok musuh.

Karena sukar mengalahkan kedua lawannya, Linghu Chong pun memilih lari menuju jalan raya dengan tangan kiri memegang pedang, sedangkan tangan kanan mendekap luka di pundak agar darah tidak mengucur terlalu banyak dan membuat tubuhnya jatuh lemas.

Kedua orang tua itu mengejar di belakang. Setelah agak lama, mereka melihat langkah Linghu Chong sedemikian cepatnya, jelas sukar untuk disusul. Kedua kakek itu lantas berpikir kitab pedang yang dicari sudah ada di tangan, untuk apa mencari perkara lain? Maka, mereka pun berhenti tidak mengejar lagi. Keduanya lantas berputar balik hendak kembali ke arah semula.

Tapi Linghu Chong berteriak-teriak, “Hei, kawanan bangsat! Habis mencuri lantas mau lari, ya?” Habis itu ia lantas balik mengejar.

Kedua kakek itu menjadi gusar. Mereka pun berputar balik dan menyabetkan golok masing-masing. Linghu Chong tidak mau bertempur dan memilih kucing-kucingan dengan mereka. Ia segera berputar balik untuk melarikan diri sambil berdoa, “Semoga ada orang lewat dengan membawa lentera.”

Tiba-tiba terlintas akal di dalam benaknya. Dengan cepat ia pun melompat ke atap rumah. Sekilas terlihat di rumah depan sebelah kiri terdapat sinar lampu melalui celah jendela. Segera ia pun berlari menuju ke rumah tersebut, tapi kedua kakek itu tidak mau mengejarnya lagi.

Linghu Chong tidak kurang akal. Segera ia membungkuk dan memungut pecahan genting lalu melemparkannya ke arah mereka sambil berteriak, “Hei, kalian berdua maling pencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga Lin, yang satu botak, yang lain ubanan! Biarpun lari ke ujung langit pun akan tetap dikejar oleh para kesatria dunia persilatan! Bangkai kalian akan dicincang dan dicabik-cabik sampai hancur berantakan!” Sedetik kemudian terdengar pecahan genting yang dilempar tadi jatuh menghantam batu pelapis jalan raya.

Mendengar nama Kitab Pedang Penakluk Iblis disebut-sebut, kedua kakek itu berpikiran sama bahwa orang ini harus dibunuh agar tidak mendatangkan kesukaran di kemudian hari. Segera mereka melompat ke atap rumah dan mengejar Linghu Chong.

Linghu Chong merasa kakinya sudah lemas, tenaganya juga makin lama makin lemah. Dengan sisa tenaga ia berlari sekencang-kencangnya ke arah sinar lampu tadi. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung-huyung dan terjungkal dari atap rumah. Namun ia lekas-lekas menggunakan jurus Ikan Emas Melompat, sehingga tubuhnya berjumpalitan dan dapat bangkit kembali, kemudian berdiri bersandar pada tembok.

Kedua orang tua itu pun melompat turun dengan enteng, lalu melangkah maju dari arah kanan dan kiri Linghu Chong. Si botak menyeringai dan berkata, “Hehe, kami sudah memberi jalan kepadamu supaya menyelamatkan diri, tapi kau justru ingin mati.”

Linghu Chong dapat melihat kepala orang itu botak licin mengkilap. Ia pun terkesiap dan baru menyadari kalau pagi telah tiba. Merasa mendapat semangat baru, ia pun tertawa dan menjawab, “Sebenarnya kalian berasal dari aliran mana? Kenapa kalian ingin membunuhku?”

“Tidak perlu banyak bicara dengan dia,” kata si rambut putih yang kemudian mengangkat golok untuk diayunkan ke ubun-ubun Linghu Chong.

Linghu Chong segera memindahkan pedangnya ke tangan kanan dan menusukkannya ke depan secepat kilat. Sungguh di luar dugaan, tahu-tahu leher si rambut putih sudah tertembus pedang. Hanya dalam sekali serang saja, nyawa si rambut putih sudah melayang seketika.

Si botak terkejut tak percaya. Dengan cepat ia memutar goloknya dan menubruk maju. Kembali pedang Linghu Chong menebas dengan tepat mengenai pergelangan tangan orang itu, sehingga terpotong seketika dalam keadaan masih memegang golok. Menyusul kemudian ujung pedang itu sudah mengancam di depan leher si botak. Ia pun membentak, “Dari mana asal-usul kalian berdua? Lekas mengaku terus terang maka jiwamu akan kuampuni!”

Si botak tertawa lalu menjawab dengan nada putus asa, “Selama ini kami dua bersaudara malang melintang di dunia persilatan jarang sekali bertemu tandingan sepadan. Tapi hari ini ternyata kami harus mati di ujung pedangmu, sungguh aku sangat kagum. Hanya saja aku belum tahu siapakah marga dan nama Tuan yang mulia, sampai mati pun aku … aku masih penasaran.”

Meski sebelah tangannya sudah buntung, tapi sikap orang tua botak itu tetap gagah dan tidak mau menyerah. Mau tidak mau Linghu Chong merasa kagum juga terhadap sifat lawannya ini. Ia kemudian berkata, “Aku terpaksa harus membela diri. Sesungguhnya aku tidak pernah mengenal kalian berdua. Mohon maaf jika aku tanpa sengaja mencelakai kalian. Asalkan jubah biksu itu kau serahkan kepadaku, maka kita bisa berpisah secara baik-baik.”

Namun si botak menjawab tegas, “Selamanya Elang Gundul tidak sudi menyerah kepada musuh.” Mendadak tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu sebilah belati telah menancap di ulu hatinya sendiri.

Melihat lawannya bunuh diri, Linghu Chong pun merenung, “Orang ini lebih suka mati daripada menyerah. Hm, dia benar-benar seorang tokoh pilihan yang luar biasa.”

Ia lalu membungkuk untuk mengambil jubah biksu dari balik baju orang itu. Mendadak kepalanya terasa pening karena darahnya sudah terlalu banyak yang keluar. Lekas-lekas ia merobek kain bajunya untuk membalut luka di kedua lengannya tersebut secara sembarangan. Habis itu barulah ia mengambil jubah biksu dari balik baju si botak.

Saat itu kepalanya kembali terasa pusing. Setelah menghirup napas dalam-dalam, ia lalu mencari arah yang benar menuju ke rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang tadi. Namun baru berjalan belasan meter ia sudah merasa payah. “Jika aku roboh di sini, bukan saja jiwaku akan melayang, tapi juga akan dituduh sebagai pencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Barang bukti jelas-jelas berada padaku, setelah mati pun namaku akan menjadi hina.”

Berpikir demikian membuatnya memaksa diri untuk tetap bertahan. Selangkah demi selangkah akhirnya ia berhasil melewati Gang Xiangyang. Akan tetapi pintu rumah tua itu masih tertutup rapat. Lin Pingzhi dan Yue Lingshan jelas tidak bisa berkutik di dalam karena tertotok oleh kedua kakek tadi, sehingga tak ada orang lain lagi yang bisa membukakan pintu. Untuk melompat ke dalam dengan melintasi pagar tembok juga sudah tidak mampu lagi. Terpaksa ia menggedor beberapa kali, kemudian sebelah kakinya mendepak pintu keras-keras hingga tubuhnya berguncang.

Namun bukannya daun pintu itu yang terbuka oleh tendangannya, justru guncangan tadi yang membuatnya roboh pingsan tak sadarkan diri.

Ketika siuman kembali, Linghu Chong mendapati dirinya sedang berbaring di atas tempat tidur. Begitu membuka mata yang ia lihat adalah sosok Yue Buqun dan Ning Zhongze berdiri di depan ranjang. Seketika ia pun berseru gembira, “Guru, Ibu Guru, aku … aku ….” karena sangat terharu sampai-sampai air matanya pun bercucuran saat tubuhnya berusaha untuk bangun.

Yue Buqun tidak menjawab, tetapi justru bertanya, “Sebenarnya apa yang terjadi?”

Linghu Chong balas bertanya, “Bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah dia … dia baik-baik saja?”

Ning Zhongze menjawab, “Dia tidak apa-apa. Bagaimana … bagaimana kau bisa berada di Fuzhou sini?” Nada suaranya terdengar lembut penuh perhatian.

Linghu Chong berkata, “Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Adik Lin telah direbut dua orang tua, tapi aku telah membunuh kedua orang itu serta merebut kembali kitabnya. Kedua orang itu kemungkinan besar adalah jago-jago Sekte Iblis.” Tapi begitu ia meraba saku bajunya, ternyata jubah biksu yang penuh dengan rangkaian huruf kecil itu sudah tidak ada. Segera ia pun bertanya, “Di mana … di mana jubah itu?”

“Jubah apa?” tanya Ning Zhongze.

“Jubah biksu yang penuh dengan tulisan. Kemungkinan besar itu berisi Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Adik Lin,” kata Linghu Chong.

“Kalau memang benda itu milik Pingzhi, maka sudah seharusnya diserahkan kepadanya,” jawab Ning Zhongze.

“Ibu Guru benar,” sahut Linghu Chong. “Guru dan Ibu Guru apakah baik-baik saja? Apakah semua adik-adik seperguruan juga baik-baik saja?”

“Semuanya baik-baik saja,” jawab Ning Zhongze sambil mengusap air matanya yang meleleh menggunakan lengan baju.

Linghu Chong bertanya, “Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apakah Guru dan Ibu Guru yang menolongku?”

Ning Zhongze menjawab, “Tadi pagi ketika aku pergi ke rumah Pingzhi di Gang Xiangyang, aku melihatmu tergeletak tak sadarkan diri di luar pintu.”

“Untung Ibu Guru cepat datang. Kalau para siluman Sekte Iblis yang lebih dulu melihatku, tentu nyawaku sudah melayang,” ujar Linghu Chong. Ia paham ibu-gurunya pagi tadi tentu sengaja mencari Yue Lingshan yang tidak pulang semalaman. Tempat yang dituju sudah pasti rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang. Namun demikian, ia merasa tidak pantas apabila mengungkit-ungkit soal itu.

Tiba-tiba Yue Buqun membuka suara, “Kau bilang sudah membunuh dua orang anggota Sekte Iblis? Dari mana kau tahu kalau mereka adalah anggota Sekte Iblis?”

Linghu Chong menjawab, “Dalam perjalanan menuju ke selatan ini, murid banyak berjumpa anggota Sekte Iblis dan beberapa kali bertempur melawan mereka. Ilmu silat kedua orang tua itu sangat aneh, jelas mereka bukan anggota aliran lurus bersih seperti kita.” Diam-diam ia merasa senang karena telah berhasil merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dan mengembalikannya kepada Lin Pingzhi. Tentu setelah ini Sang Guru, Ibu Guru, dan juga Adik Kecil tidak lagi menaruh curiga kepadanya. Selain itu ia juga telah membunuh dua orang anggota Sekte Iblis sehingga dalam hati merasa yakin perbuatannya tempo hari yang telah bergaul dengan orang-orang aliran sesat pasti hari ini mendapatkan maaf.

Tak disangka wajah Yue Buqun justru terlihat kaku. Ia berkata sambil mendengus, “Huh, sampai sekarang kau masih juga berani mengoceh sembarangan. Memangnya aku mudah dibohongi?”

Linghu Chong tercengang. Dengan cepat ia berseru, “Murid sama sekali tidak berani membohongi Guru.”

“Siapa gurumu? Si marga Yue ini sudah lama memutuskan hubungan guru-murid denganmu,” sahut Yue Buqun tegas.

Linghu Chong menjatuhkan diri ke lantai dan berlutut, lalu menyembah, “Murid telah banyak berbuat dosa dan rela menerima hukuman apa saja dari Guru. Tetapi … tetapi untuk hukuman pemecatan dari Perguruan, mohon kiranya Guru sudi menariknya kembali.”

Yue Buqun mengelak ke samping, tidak mau menerima penghormatan itu. Dengan ketus ia berkata, “Sungguh besar perhatian putri Ketua Ren dari Sekte Iblis itu kepadamu. Sudah lama kau berkomplot dengan mereka, untuk apa masih menginginkan guru semacam aku?”

“Putri Ketua Ren dari Sekte Iblis?” sahut Linghu Chong menegas. “Mengapa Guru berkata demikian? Walaupun murid pernah mendengar bahwa Ren … Ren Woxing punya anak perempuan, tapi … tapi murid belum pernah berjumpa dengannya.”

“Chong’er, mengapa sampai saat ini kau masih saja berdusta?” sela Ning Zhongze sambil menghela napas. “Nona Ren itu telah mengumpulkan orang-orang persilatan tak terhitung banyaknya di atas Lembah Lima Tiran di Shandong untuk mengobati penyakitmu. Bukankah waktu itu kami pergi ….”

“Hah, nona di Lembah Lima Tiran itu?” sahut Linghu Chong menukas dengan suara gemetar. “Bukankah dia … dia … Yingying? Jadi, dia … dia adalah putri Ketua Ren?”

“Kau berdirilah,” kata Ning Zhongze.

Perlahan-lahan Linghu Chong bangkit berdiri, namun mulutnya masih menggumam sendiri, “Yingying adalah … putri Ketua Ren? Bagaimana mungkin?”

“Terhadap Guru dan Ibu Guru kenapa kau masih saja berdusta?” ujar Ning Zhongze kurang senang.

“Siapa yang sudi menjadi gurunya?” bentak Yue Buqun dengan nada gusar. Tiba-tiba telapak tangannya menggebrak meja keras-keras hingga ujung meja itu rompal sebagian.

Linghu Chong menjawab, “Tapi … tapi murid sama sekali tidak berani berdusta kepada Guru ….”

Yue Buqun menukas dengan nada bengis, “Aku memang tidak punya mata, telah menerima anak tak tahu malu sepertimu. Kau sudah membuatku kehilangan muka menghadapi para kesatria di muka bumi ini. Apa kau sengaja ingin merusak nama baikku, hah? Sekali lagi kau panggil ‘guru’ dan ‘ibu guru’, maka akan kucabut nyawamu!” Seketika rona ungu lembayung memancar di wajahnya, pertanda kali ini ia benar-benar sangat murka.

“Baik,” jawab Linghu Chong terpaksa mengiakan. Ia pun berdiri sambil bertopang pada tepi ranjang. Wajahnya tampak pucat dan tubuhnya lemas terhuyung-huyung. Dengan suara gugup ia berkata, “Mereka … mereka memang berusaha mengobati penyakitku, tetapi … tetapi tiada seorang pun yang mengatakan kalau … kalau dia adalah putri Ketua Ren.”

Ning Zhongze menyahut, “Biasanya kau sangat pintar dan cerdik, kenapa tidak menduga hal demikian? Dia masih muda belia, tetapi hanya dengan satu ucapan saja sudah dapat mengumpulkan orang-orang persilatan sebanyak itu, dan semuanya berlomba-lomba ingin menyembuhkan penyakitmu. Coba pikir, selain Nona Ren dari Sekte Iblis, siapa lagi yang memiliki kekuasaan sebesar itu?”

“Saat itu … aku mengira dia seorang nenek-nenek peyot,” ujar Linghu Chong.

“Apakah dia menyamar dan berganti rupa?” tanya Ning Zhongze.

“Tidak. Hanya saja … hanya saja selama itu aku tidak … tidak pernah melihat mukanya,” sahut Linghu Chong.

“Haha!” sahut Yue Buqun tertawa, tapi sedikit pun wajahnya tidak berubah, tetap terlihat kaku.

Ning Zhongze menghela napas, kemudian berkata, “Chong’er, umurmu sudah semakin bertambah, watakmu juga sudah berubah. Apa yang sering kukatakan sudah tidak kau perhatikan lagi.”

“Ibu … Ibu … terhadap perkataanmu dulu aku tidak ….” sebenarnya ia hendak mengatakan “aku tidak berani melanggar”, tapi pada kenyataannya ia telah melanggar larangan Sang Guru dan Ibu Guru untuk tidak bergaul dengan orang-orang Sekte Iblis. Padahal terhadap Yingying, Xiang Wentian, bahkan Ren Woxing hubungannya jelas lebih dari sekadar teman.

Ning Zhongze melanjutkan, “Kalaupun putri Ketua Ren itu sangat baik kepadamu, dan demi menyelamatkan jiwamu terpaksa kau membiarkan dia mengumpulkan orang mengobatimu, maka hal ini mungkin masih dapat dimaklumi ….”

“Dapat dimaklumi bagaimana?” sahut Yue Buqun gusar. “Untuk menyelamatkan nyawa apakah lantas boleh berbuat sesukanya?” Biasanya Yue Buqun sangat ramah dan saling menghormati terhadap adik seperguruan yang juga istrinya itu. Tapi sekarang ia menukas dengan nada kasar dan bengis, jelas kemarahannya sudah tidak tertahan lagi.

Ning Zhongze dapat memahami perasaan sang suami, maka ia hanya berkata, “Tapi mengapa kau berkomplot dengan gembong Sekte Iblis Xiang Wentian dan banyak membunuh orang-orang golongan lurus? Kedua tanganmu telah berlumuran darah kesatria-kesatria aliran lurus, maka sebaiknya, lekas … lekas kau pergi saja!”

Linghu Chong merinding begitu teringat kejadian di mana ia bersama Xiang Wentian bahu membahu menghadapi kepungan beratus-ratus orang. Walaupunnya tangannya tidak ikut membunuh, tapi memang tidak sedikit orang golongan lurus yang menjadi korban mereka ketika tiba di jurang yang berbahaya itu. Sekalipun waktu itu dalam keadaan terdesak, di mana hanya ada pilihan antara membunuh atau dibunuh, tapi dalam peristiwa berdarah itu bagaimanapun juga dirinya ikut bertanggung jawab.

Ning Zhongze menyambung lagi, “Di bawah Lembah Lima Tiran kau juga bekerja sama dengan Nona Ren menewaskan beberapa murid Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun. Chong’er, dulu aku sayang padamu seperti anak kandung sendiri. Tapi sekarang urusan sudah terlanjur begini, ibu … ibu-gurumu tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku tidak sanggup membelamu lagi.” Bicara sampai di sini air matanya lantas berlinang-linang.

“Saya telah berbuat salah. Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab. Saya tidak mungkin membiarkan nama baik Perguruan Huashan ikut ternoda,” kata Linghu Chong. “Saya mohon Guru berdua mengadakan sidang dan mengundang para kesatria dari berbagai perguruan untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri saya. Dengan demikian tata tertib Perguruan Huashan dapat ditegakkan.”

Yue Buqun menghela napas panjang, dan berkata, “Pendekar Linghu, jika hari ini kau masih murid Huashan, tentu saranmu dapat dilaksanakan dan biarpun jiwamu melayang juga nama baik Perguruan Huashan takkan tercemar. Namun aku sudah telanjur menyebarkan surat pemecatanmu ke segala penjuru. Setiap tindak tandukmu sudah lama tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Perguruan Huashan. Maka, atas dasar apa aku berhak menghukummu? Kecuali … hehe, antara lurus dan sesat memang tidak pernah ada kecocokan. Maka, lain kali jika kau berbuat kejahatan dan kepergok olehku, tentunya aku pun tidak segan-segan membinasakanmu. Tak akan kubiarkan kau berbuat seenakmu lagi.”

Bicara sampai di sini tiba-tiba di luar terdengar seseorang berseru, “Guru, Ibu Guru!” Ternyata itu suara Lao Denuo, murid nomor dua.

“Ada apa?” sahut Yue Buqun.

“Di luar ada orang mencari Guru dan Ibu Guru, katanya ia bernama Zhong Zhen dari Perguruan Songshan, disertai dua orang adik seperguruannya,” jawab Lao Denuo.

“Si Pedang Berlekuk Sembilan Zhong Zhen juga datang ke Fujian sini?” kata Yue Buqun heran. “Baiklah, aku segera keluar.” Ia kemudian meninggalkan kamar tanpa berpamitan.

Ning Zhongze memandang sekejap kepada Linghu Chong dengan tatapan lembut, seakan-akan berpesan kepadanya supaya menunggu sebentar, karena nanti pembicaraan masih akan dilanjutkan. Habis itu ia pun keluar menyusul suaminya.

Sejak kecil Linghu Chong menganggap sang ibu guru sudah seperti ibu kandung sendiri. Melihat tatapan penuh kasih sayang itu, seketika timbul penyesalan dalam hatinya. “Semua yang terjadi ini dikarenakan sifatku yang gegabah dan suka membantah. Baik dan buruk, benar dan salah, tidak dapat kubedakan dengan tegas. Sudah jelas Kakak Xiang bukan orang baik-baik, tapi tanpa pikir aku turun tangan membantu dia. Kematianku tidak menjadi soal, tapi nama baik Guru dan Ibu Guru tetap saja ikut tercemar. Gara-gara Perguruan Huashan memiliki murid durhaka sepertiku, adik-adik seperguruan pun ikut menanggung malu.”

Kemudian terpikir pula olehnya, “Ternyata Yingying adalah putri kandung Ketua Ren. Pantas saja Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan yang lain begitu hormat kepadanya. Hanya satu ucapannya saja sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman pengasingan selama delapan tahun di pulau tandus kepada jago-jago persilatan yang tidak sedikit jumlahnya. Aih, hal ini harusnya sudah kusadari sejak lama. Selain gembong utama Sekte Iblis, siapa lagi di dunia persilatan yang mempunyai kekuasaan sebesar itu? Tapi sewaktu Yingying bersamaku, sifat malu-malunya bahkan lebih tinggi dibanding Adik Kecil. Siapa yang menyangka kalau dia seorang tokoh penting dalam Sekte Iblis? Akan tetapi saat itu Ketua Ren masih disekap Dongfang Bubai di penjara bawah Danau Xihu, lantas bagaimana putrinya bisa berpengaruh seperti itu?”

Ketika berbagai pikiran terlintas timbul tenggelam di benaknya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang berjalan cepat, dan kemudian menyelinap masuk ke dalam kamar. Ternyata yang datang adalah si adik kecil yang selama ini dirindukannya siang dan malam.

Segera Linghu Chong berseru, “Adik Kecil, kau ….” Namun ucapannya ini tak sanggup ia lanjutkan lagi.

“Kakak Pertama,” kata Yue Lingshan, “lekas … lekas kau tinggalkan tempat ini. Orang-orang Perguruan Songshan datang kemari mencarimu.”

Suara gadis itu terdengar bernada cemas. Linghu Chong sendiri begitu melihat adik kecilnya, maka segala masalah menjadi ringan, bahkan sekalipun langit runtuh juga tidak ia hiraukan, apalagi hanya soal Perguruan Songshan segala. Ia pun memandangi Yue Lingshan dengan termangu-mangu. Segala macam perasaan, manis, kecut, getir, semuanya berkecamuk di dalam hatinya.

Wajah Yue Lingshan menjadi bersemu merah melihat Linghu Chong memandangnya tanpa berkedip. Ia lalu berkata, “Ada seorang bermarga Zhong datang bersama dua adik seperguruannya. Katanya kau telah membunuh anggota Perguruan Songshan.”

Linghu Chong terperanjat, “Aku telah membunuh orang Perguruan Songshan? Mana mungkin?”

“Brak!” tiba-tiba pintu kamar didobrak orang. Sekejap kemudian Yue Buqun melangkah masuk dengan wajah sangat gusar. Dengan suara bengis ia berkata, “Linghu Chong, bagus benar perbuatanmu! Kau telah membunuh sesepuh Perguruan Songshan, tapi kau katakan kepadaku bahwa yang kau bunuh adalah penjahat Sekte Iblis!”

Linghu Chong menjawab dengan kebingungan, “Murid … murid … aku … aku membunuh orang Songshan? Bagaimana … bagaimana itu bisa terjadi?”

“Bo Chen si Dewa Rambut Putih dan Sha Tianjang si Elang Gundul, apa kau yang telah membunuh mereka?” bentak Yue Buqun.

Begitu mendengar julukan kedua orang itu, seketika Linghu Chong teringat pada si tua botak yang sebelum bunuh diri mengucapkan, “Selamanya Elang Gundul tidak sudi menyerah kepada musuh.” Jika benar demikian, tentu Si Dewa Rambut Putih adalah rekannya yang mati lebih dulu.

Linghu Chong kemudian menjawab, “Benar, aku telah membunuh seorang tua berambut putih dan seorang tua berkepala botak. Tapi … tapi aku tidak tahu kalau mereka adalah orang Perguruan Songshan. Mereka bersenjatakan golok pendek, jelas bukan ilmu silat Perguruan Songshan.”

“Jadi kedua orang itu benar-benar kau yang membunuh?” sahut Yue Buqun semakin bengis.

“Benar,” jawab Linghu Chong.

Tiba-tiba Yue Lingshan menyahut, “Ayah, dua orang tua ubanan dan botak itu ….”

“Keluar kau!” bentak Yue Buqun seketika. “Siapa suruh kau masuk ke sini? Aku sedang bicara, perlu apa kau ikut menyela?”

Dengan kepala menunduk Yue Lingshan keluar dari kamar dan berdiri di pintu. Hati Linghu Chong menjadi pilu sekaligus senang. Ia berpikir, “Meskipun Adik Kecil sangat baik kepada Adik Lin, tapi ternyata masih tetap memiliki perhatian kepadaku. Ia rela dimarahi ayahnya demi untuk memberi peringatan agar aku lekas-lekas pergi menghindari bahaya.”

Sementara itu Yue Buqun kembali berkata, “Memangnya kau kenal semua ilmu silat Perguruan Songshan? Bo Chen dan Sha Tianjang berasal dari cabang Perguruan Songshan. Entah dengan cara rendah bagaimana kau bisa membunuh mereka, tapi yang jelas kau telah membawa ceceran darah sampai ke rumah tua Keluarga Lin di Gang Xiangyang. Pihak Perguruan Songshan kemudian melakukan penyelidikan dan akhirnya menuntun mereka sampai kemari. Sekarang Saudara Zhong telah berada di luar sebagai tamuku dan meminta pertanggungjawaban kepadaku. Apa lagi yang dapat kau katakan?”

Ning Zhongze menyusul masuk ke dalam kamar dan berkata, “Kakak, bukankah mereka tidak menyaksikan sendiri kalau Chong’er yang telah membunuh kedua orang itu? Kalau hanya menuruti ceceran darah mana mungkin bisa dipakai sebagai bukti bahwa orang di dalam kantor biro ini yang melakukannya? Kita tolak saja tuduhan mereka, habis perkara.”

Yue Buqun menjawab tegas, “Adik, ternyata sampai sekarang kau masih membela bajingan ini! Sebagai Ketua Perguruan Huashan mana mungkin aku harus berdusta demi melindungi binatang cilik seperti dia? Kalau … kalau itu kita lakukan, maka nama baik Perguruan Huashan akan hancur.”

Selama ini Linghu Chong sangat mengagumi hubungan rumah tangga guru dan ibu-gurunya yang juga saudara seperguruan itu. Ia berpikir kalau dirinya dengan Yue Lingshan kelak bisa menjadi suami-istri, tentu tidak ada lagi keinginan lain dalam hatinya. Sekarang begitu melihat Sang Guru bicara bengis kepada Ibu Guru, tiba-tiba timbul pikiran dalam benaknya, “Jika Adik Kecil menjadi istriku, maka segala apa yang hendak diperbuatnya pasti akan kuturuti semua. Meskipun dia menyuruhku melakukan kejahatan tak berampun juga takkan kutolak tanpa ragu.”

Sepasang mata Yue Buqun menatap tajam ke arah Linghu Chong yang melamun sambil tersenyum lembut memandang Yue Lingshan yang masih berdiri di luar pintu kamar. Ia pun membentak gusar, “Binatang cilik, pada saat seperti ini pun kau masih berani punya pikiran jahat, hah?”

Bentakan keras Yue Buqun membuat Linghu Chong tersadar dari lamunannya. Begitu ia berpaling, dilihatnya wajah Sang Guru sangat murka dengan memancarkan rona ungu lembayung. Sebelah tangannya sudah terangkat pula dan siap menghantam ke arah batok kepala. Seketika tiba-tiba timbul rasa bahagia di dalam hati Linghu Chong. Ia merasa kehidupan di dunia teramat pahit dan getir, sehingga apabila hari ini bisa mati di tangan Sang Guru maka itu berarti pembebasan dari segala derita. Lebih-lebih Adik Kecil ikut menyaksikan kematiannya di tangan sang ayah, justru hal ini yang sangat ia harapkan.

Terasa kesiuran angin menyambar tiba, pertanda telapak tangan Yue Buqun sudah bergerak menghantam ke bawah. Mendadak Ning Zhongze menjerit, “Jangan!” Ia lantas menerjang maju, kemudian jarinya menotok titik Yuzhen di belakang kepala sang suami. Sebagai kakak beradik seperguruan yang berlatih bersama sejak kecil, ia cukup kenal di mana letak kelemahan sang kakak. Titik yang ditotoknya itu adalah titik mematikan yang membuat Yue Buqun terpaksa harus menunda serangannya untuk menyelamatkan diri lebih dulu. Maka ketika Yue Buqun membalik tangannya untuk menangkis, dengan cepat Ning Zhongze menyelinap maju dan menghadangkan tubuhnya di depan Linghu Chong.

Dengan muka merah padam Yue Buqun membentak, “Kau … kau mau apa?”

Ning Zhongze berseru kepada Linghu Chong dengan nada cemas, “Chong’er, lekas lari … lekas lari!”

“Tidak, aku takkan lari,” jawab Linghu Chong menggeleng. “Kalau Guru ingin membunuhku, maka biarlah aku dibunuh saja. Memang dosaku pantas mendapat hukuman mati.”

“Selama ada aku di sini, dia takkan membunuhmu,” seru Nyonya Yue sambil menghentakkan kaki. “Lekas pergi, lekas pergi! Pergilah sejauh-jauhnya dan selamanya jangan kembali lagi.”

Yue Buqun menyahut, “Huh, kalau dia bisa pergi seenaknya, lantas bagaimana cara kita menghadapi tiga orang Songshan di depan itu?”

Linghu Chong berpikir, “Ternyata Guru khawatir tidak bisa menghadapi Zhong Zhen bertiga. Kalau begitu, biarlah aku yang keluar melayani mereka.” Segera ia pun berseru lantang sambil melangkah lebar, “Baiklah, aku yang akan menemui mereka!”

“Jangan keluar! Mereka akan membunuhmu!” seru Ning Zhongze khawatir. Namun langkah kaki Linghu Chong sungguh cepat. Dalam sekejap saja ia sudah memasuki ruang tamu.

Benar juga, di tempat itu sudah menunggu Zhong Zhen si Pedang Berlekuk Sembilan, Teng Bagong si Cambuk Sakti, dan Gao Kexin si Singa Berbulu Pirang. Ketiga orang Perguruan Songshan itu sedang duduk dengan angkuh di sebelah barat ruangan. Linghu Chong segera mengambil duduk di kursi utama paling besar di hadapan mereka, kemudian berkata dengan sinis, “Kalian bertiga, ada perlu apa ke sini?”

Kali ini Linghu Chong memakai baju pelayan penginapan dan telah membuang semua kumis dan cambang palsu dari wajahnya, sehingga ketiga orang itu tidak mengenalinya sebagai perwira sinting yang telah mengalahkan mereka di Nianbapu tempo hari. Melihat seorang pemuda bermuka pucat dan berpakaian kotor penuh bercak darah yang berlagak seperti tuan besar, kontan saja Zhong Zhen bertiga menjadi gusar bukan kepalang.

Gao Kexin segera membentak, “Kurang ajar, kau ini makhluk macam apa?”

“Kalian bertiga ini kutu macam apa?” balas Linghu Chong dengan tertawa.

“Kutu apa maksudmu?” tanya Gao Kexin semakin gusar. Ia lantas berteriak, “Suruh Tuan Yue keluar! Untuk apa jongos macam dirimu bicara dengan kami?”

Saat itu Yue Buqun, Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan yang lain sudah berada di belakang pintu angin dan ikut mendengarkan pembicaraan. Yue Lingshan merasa geli di dalam hati ketika mendengar Linghu Chong menjawab dengan nada yang kocak sesukanya. Ia tahu ketiga jago Perguruan Songshan ini sangatlah sakti. Kakak Pertama sudah membunuh kedua kawan mereka dan sekarang bersikap sedemikian angkuh, tentu sebentar lagi akan terjadi pertarungan dan kemungkinan besar Ayah dan Ibu terpaksa tidak ikut campur. Memikirkan itu membuat hatinya khawatir sehingga tidak sanggup tertawa meskipun perasaannya geli.

Sementara itu Linghu Chong telah menjawab, “Siapa itu Tuan Yue? Oh, mungkin maksudmu Ketua Perguruan Huashan? Kebetulan kedatanganku ke sini juga hendak mencari perkara dengannya. Dua murid keparat dari Perguruan Songshan bernama Setan Rambut Putih Bo Chen dan Kokokbeluk Gundul Sha Tianjang sudah kubunuh. Mereka telah berbuat lancang mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis dan menotok dua muda mudi. Kabarnya ada lagi tiga orang Perguruan Songshan yang sekarang bersembunyi di sini, maka aku minta Tuan Yue lekas menyerahkan mereka kepadaku, tapi dia justru menolak. Menyebalkan, sungguh menyebalkan!” Lalu ia sengaja berteriak-teriak keras, “Hei, Tuan Yue, tiga orang bodoh dari Perguruan Songshan itu bernama Si Pedang Rongsokan Zhong Zhen, Si Cambuk Setan Teng Bagong, dan Si Kucing Kurap Gao Kexin. Lekas kau seret mereka keluar, supaya aku bisa membereskan mereka! Kau tidak perlu melindungi mereka. Kalian Serikat Pedang Lima Gunung punya banyak cabang. Kalau macam-macam, akan kubereskan kalian semua!”

Yue Buqun saling pandang dengan istrinya. Mereka tahu Linghu Chong sengaja berteriak-teriak untuk menegaskan bahwa Perguruan Huashan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian kedua orang Songshan tadi malam itu. Hanya saja, Zhong Zhen bertiga adalah tokoh terkemuka di mana mereka termasuk dalam “Tiga Belas Pelindung Songshan”. Memang dalam pertempuran di depan kuil tua beberapa bulan silam, Linghu Chong telah mengalahkan Feng Buping dan lima belas musuh bercadar. Akan tetapi kali ini ia dalam keadaan terluka parah, mungkin berdiri saja tidak akan kuat lama. Anehnya, mengapa ia begitu berani mengolok-olok dan memancing kemarahan tiga orang itu? Lebih-lebih ia sepertinya sudah mengenal julukan mereka bertiga sehingga tahu saat ini berhadapan dengan siapa.

Dengan perasaan gusar Gao Kexin melompat bangun, kemudian menusukkan pedangnya ke arah Linghu Chong. Tapi Zhong Zhen lebih dulu melambaikan tangan mencegah adik seperguruannya itu, lalu bertanya kepada Linghu Chong, “Siapakah Tuan ini?”

“Hahahaha, aku kenal kalian, tapi kalian tidak kenal aku,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Kalian dari Perguruan Songshan bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, sehingga Perguruan Songshan bisa mencaplok empat perguruan yang lain. Kedatangan kalian bertiga ke Fujian ini, pertama untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin, dan yang kedua ingin mencelakai tokoh-tokoh penting Perguruan Huashan dan Perguruan Henshan. Berbagai tipu muslihat kalian yang licik itu sudah kuketahui semua. Rasanya perbuatan kalian akan sia-sia belaka, tak ada gunanya sama sekali. Hehehehe, sungguh menggelikan, sungguh menggelikan!”

Kembali Yue Buqun dan istrinya saling pandang. Mereka berpikir ucapan Linghu Chong itu meskipun seenaknya tetapi memiliki alasan yang masuk akal.

Di lain pihak, Zhong Zhen sangat terkejut dan bertanya, “Dari aliran manakah Saudara ini sebenarnya?”

“Kau tanya dari mana aku? Haha, aku hanyalah gelandangan biasa, yang ditolak kuil besar dan diusir kuil kecil. Aku seorang hina kelana sebatang kara yang bergentayangan di hutan belantara. Tenang saja, aku sama sekali tidak akan berebut rezeki dengan Perguruan Songshan kalian. Hahahaha,” jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa, namun penuh dengan perasaan pilu.

“Karena Saudara bukan orang Perguruan Huashan, maka kita tidak boleh mengganggu ketenangan Tuan Yue. Mari kita bicara di luar saja,” kata Zhong Zhen dengan nada datar, namun sorot matanya memancarkan nafsu membunuh. Dikarenakan Linghu Chong telah membongkar rencana rahasianya, maka ia pun bertekad harus membunuhnya. Namun di sisi lain ia juga segan terhadap Yue Buqun dan tidak berani sembarangan membunuh orang di dalam kantor Biro Ekspedisi Fuwei, sehingga Linghu Chong lebih dulu diajak keluar untuk kemudian dibereskan di sana.

Hal ini justru sesuai dengan harapan Linghu Chong. Segera ia berseru kepada pihak Perguruan Huashan, “Tuan Yue, untuk selanjutnya kau harus selalu waspada. Ketua Sekte Iblis yang terdahulu, Ren Woxing telah muncul kembali di dunia persilatan. Orang ini memiliki Jurus Penyedot Bintang yang khusus digunakan menghisap tenaga dalam lawan. Dia sudah menyatakan akan mengadakan perhitungan dengan Perguruan Huashan. Selain itu Perguruan Songshan juga berniat mencaplok Perguruan Huashan-mu. Kau seorang kesatria berbudi, maka harus berhati-hati terhadap pihak lain yang berhati jahat.” Jauh-jauh ia datang ke Fuzhou adalah untuk menyampaikan hal ini kepada Sang Guru. Maka begitu tujuannya terkabul, ia lantas melangkah keluar disusul Zhong Zhen dan kedua rekannya.

Setibanya di luar gedung Biro Fuwei, Linghu Chong melihat serombongan biksuni dan wanita awam berdiri di depan gerbang. Mereka tidak lain adalah murid-murid Perguruan Henshan. Yihe dan Zheng E berjalan paling depan dengan membawa kotak hadiah. Sepertinya mereka datang ke Biro Fuwei untuk mengunjungi Yue Buqun suami-istri.

Linghu Chong terperanjat dan lekas-lekas menyelinap ke arah lain agar tidak dilihat oleh murid-murid Perguruan Henshan itu. Walaupun Yihe, Zheng E, dan beberapa lainnya sudah terlanjur memandang ke arahnya, tapi untungnya Yilin berada di barisan belakang sehingga tidak melihat kehadirannya.

Namun ketika Zhong Zhen, Teng Bagong, dan Gao Gexin yang keluar dari pintu, Zheng E langsung mengenali mereka. Gadis itu terperanjat dan seketika berhenti melangkah.

Linghu Chong diam-diam berpikir, “Murid-murid Henshan itu sudah tahu Guru dan Ibu Guru berada di sini. Mereka datang kemari jelas untuk berkunjung. Ada Guru dan Ibu Guru di sini, tentu mereka akan mendapat perlindungan. Sebelum Adik Yilin melihatku, aku harus segera menyingkir dari sini.”

Setelah berpikir demikian ia pun menyelinap ke samping dan bermaksud pergi jauh-jauh. Tapi Zhong Zhen bertiga lantas menghunus senjata dan menghadang di depannya. Serentak mereka membentak, “Apa kau ingin lari?”

Sementara itu Yue Buqun, Ning Zhongze, dan murid-murid Perguruan Huashan telah keluar pula di depan pintu untuk menyaksikan bagaimana cara Linghu Chong menghadapi ketiga lawannya.

Linghu Chong berkata, “Aku tidak punya senjata, bagaimana bisa berkelahi?”

Melihat itu Yue Lingshan segera melolos pedangnya dan berseru, “Kakak ….”

Ia bermaksud melemparkan pedangnya kepada Linghu Chong, tapi Yue Buqun telah menjulurkan kedua jarinya untuk menahan batang pedang anak gadisnya itu sambil menggelengkan kepala.

“Ayah!” seru Yue Lingshan cemas.

Tapi Yue Buqun kembali menggelengkan kepala.

Kejadian itu dapat dilihat oleh Linghu Chong, membuat hatinya sangat terhibur. Ia berpikir, “Ternyata Adik Kecil masih mempunyai perhatian kepadaku seperti dulu.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget beberapa orang. Linghu Chong tahu tentu ada musuh yang menyerangnya dari belakang. Tanpa menoleh, ia segera melompat ke depan. Karena tenaga dalamnya melimpah ruah, lompatannya pun menjadi tinggi dan jauh pula. Namun demikian tetap saja terasa ada kesiuran angin tajam menyambar di belakang kepalanya. Rupanya pedang lawan telah menebas dengan ganas. Andai saja lompatannya ke depan tadi terlambat sedetik saja, atau tenaga dalamnya kurang kuat sehingga lompatannya kurang jauh, dapat dipastikan tubuhnya saat ini telah terpotong menjadi dua. Benar-benar berbahaya.

Begitu kakinya mantap berdiri, Linghu Chong segera menoleh ke belakang. Sungguh mengejutkan karena tampak olehnya berkelebat belasan sinar pedang disertai suara bentakan ramai. Rupanya murid-murid Perguruan Henshan telah turun tangan untuk membantu. Sebanyak tiga regu yang masing-masing terdiri dari tujuh orang telah menerjang maju. Setiap regu masing-masing mengepung Zhong Zhen, Teng Bagong, dan Gao Gexin. Gerakan mereka saat menghunus pedang, melangkah maju, melancarkan jurus, dan mengepung musuh, semuanya dilakukan dengan cepat dan lincah, tapi juga indah dipandang. Jelas mereka sudah berlatih lama untuk membentuk formasi tujuh pedang tersebut. Setiap ujung pedang menodong titik vital musuh, yaitu kepala, tenggorokan, dada, perut, pinggang, punggung, dan iga. Setelah ketiga lawan terkepung rapat, para wanita dan biksuni itu pun diam tanpa bergerak.

Yang tadi melakukan serangan gelap terhadap Linghu Chong adalah Zhong Zhen. Perkataan Linghu Chong yang membahayakan Perguruan Songshan membuatnya nekad menyerang saat itu juga. Zhong Zhen memanfaatkan ketidaksiapan Linghu Chong untuk melancarkan serangan keji demi melenyapkan saksi mata secepat-cepatnya. Bagaimanapun juga ia tidak ingin Yue Buqun menaruh curiga apabila terus-menerus mendengarkan perkataan Linghu Chong. Akan tetapi, serangannya yang ganas dan keji itu ternyata masih bisa dihindari lawan. Secara tidak terduga, kali ini justru dirinya yang terkepung formasi tujuh murid Perguruan Henshan. Meskipun ilmu silatnya tinggi, namun tetap saja tidak dapat lolos dari kepungan tersebut. Begitu ia bergerak sedikit saja, tentu pedang-pedang itu langsung bergerak menusuk tubuhnya.

Rupanya Zheng E, Yilin, dan Qin Juan telah bercerita kepada kakak-kakak seperguruan mereka tentang bagaimana Zhong Zhen telah mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa mendiang Biksuni Dingjing supaya menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Mereka semua marah atas pemaksaan itu, dan kini begitu melihat Zhong Zhen menyerang Linghu Chong dari belakang, serentak mereka pun membentuk tiga formasi barisan dan langsung turun tangan membantu.

Yue Buqun, Ning Zhongze, dan murid-murid Perguruan Huashan sudah tentu tidak mengetahui bahwa rombongan Perguruan Henshan telah bertemu dan berselisih dengan rombongan Perguruan Songshan yang dipimpin Zhong Zhen di Nianbapu. Itu sebabnya mereka menjadi terheran-heran ketika tiba-tiba melihat kedua pihak yang merupakan satu rumpun itu entah mengapa kini berhadapan sendiri. Menyaksikan formasi pedang pihak Perguruan Henshan yang amat indah tersebut sungguh membuat mereka kagum. Dua puluh satu orang secara serentak langsung membagi diri menjadi tiga regu dan mengacungkan pedang masing-masing. Kecuali lengan baju mereka yang berkibar-kibar, masing-masing tidak bergerak sedikit pun. Meskipun demikian, dalam formasi tiga regu ini tetap mengandung daya serang dan kekuatan membunuh yang tidak terbatas.

Linghu Chong mengamati formasi pedang Perguruan Henshan itu dengan seksama. Begitu terbentuk dan mengepung lawan, mereka langsung diam tidak bergerak. Tujuh mata pedang telah menodong titik vital musuh serta menjadi perlindungan pula, bagaikan cincin yang sama sekali tidak memiliki celah kelemahan. Sepertinya formasi pedang ini dibuat berdasarkan prinsip “tanpa jurus mengalahkan jurus” dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Sambil terengah-engah, Linghu Chong pun berteriak memuji, “Bagus sekali! Formasi pedang ini sangat cemerlang!”

Melihat pihaknya sudah tidak bisa berkutik lagi, Zhong Zhen pun tertawa dan berkata, “Kita adalah kawan sendiri, untuk apa bercanda seperti ini? Biarlah aku mengaku kalah saja, bagaimana?” Habis itu ia lantas membuang pedangnya ke tanah.

Formasi tujuh pedang yang mengepungnya dipimpin oleh Yihe. Melihat lawan sudah membuang senjata dan mengaku kalah, ia pun segera menarik kembali pedangnya diikuti keenam anggota yang lain.

Tak disangka-sangka, ujung kaki kiri Zhong Zhen tiba-tiba menjungkit pedangnya yang tergeletak di tanah itu. Begitu terlempar ke udara, secepat kilat tangannya menepuk gagang pedang itu sehingga meluncur deras ke depan.

Yihe menjerit kaget karena pedang itu telah menusuk lengan kanannya, sehingga pedangnya sendiri sampai terlepas dari genggaman dan terjatuh ke tanah. Zhong Zhen bergelak tawa dan menyambar pedangnya itu lalu mengayunkannya dengan gencar. Dalam sekejap sinar dingin berkelebat dan murid-murid Henshan yang lain berturut-turut terluka pula.

Karena regu Yihe mengalami kekacauan, kedua regu yang lain pun terpecah pikirannya sehingga kepungan mereka menjadi longgar. Teng Bagong dan Gao Kexin segera memanfaatkan kesempatan dengan melancarkan serangan balik. Dalam sekejap pun terdengar suara dentang senjata beradu ramai.

Linghu Chong buru-buru memungut pedang Yihe di tanah, dan mengayunkannya ke depan. Terdengar suara dentang logam beradu satu kali disertai jeritan kaget beberapa kali. Dalam sekejap tahu-tahu pergelangan tangan Gao Kexin sudah terluka dan pedangnya pun jatuh ke tanah. Cambuk Teng Bagong yang lemas itu juga berputar balik dan melibat lehernya sendiri, sementara punggung tangan Zhong Zhen juga terketuk oleh pedang Linghu Chong sampai tergetar dan ia pun mundur beberapa langkah. Meskipun pedangnya tidak sampai terlepas dari pegangan, namun lengannya terasa lemas tak bertenaga.

Pada saat itulah terdengar dua orang perempuan berteriak bersamaan. Yang satu berseru, “Jenderal Wu!” dan yang satu lagi berseru, “Kakak Linghu!”

Yang memanggil “Jenderal Wu” adalah Zheng E. Rupanya ia mengenali jurus yang digunakan Linghu Chong untuk mengalahkan tiga lawannya itu ternyata mirip dengan yang ia lihat di Nianbapu tempo hari. Pemandangan yang ia lihat sama persis: Gao Kexin kebingungan tidak tahu harus berbuat apa, Teng Bagong tercekik oleh cambuknya sendiri, sedangkan Zhong Zhen tampak terkejut sekaligus gusar. Zheng E berwatak cerdas dan berpandangan jeli. Tempo hari ia melihat jurus ini digunakan untuk mengalahkan ketiga orang itu, sehingga meskipun Linghu Chong sekarang tidak memakai pakaian perwira dan juga tidak memakai kumis dan cambang, namun ia langsung mengenalinya sebagai “Jenderal Wu”.

Sementara itu yang memanggil “Kakak Linghu” tentu saja Yilin seorang. Tadinya ia berada dalam regu yang dipimpin Yizhen mengepung Teng Bagong. Setiap anggota regu dalam formasi mencurahkan segenap perhatiannya untuk menodong musuh yang dikepung, tanpa pernah mengalihkan pandangan kepada hal lainnya. Yang menodong kepala hanya melihat kepala, yang menodong leher hanya melihat leher, yang menodong dada hanya melihat dada, demikian pula yang lainnya. Jangankan melihat adanya orang lain, bahkan bagian tubuh lawan yang tidak ditodong pun tidak menjadi perhatian. Begitu kekacauan terjadi barulah Yilin sempat melihat adanya Linghu Chong. Seketika seluruh tubuh biksuni muda itu tergetar hebat karena berjumpa laki-laki yang selalu dirindukannya itu. Hampir-hampir saja ia jatuh lemas dibuatnya.

Karena keberadaannya sudah diketahui, Linghu Chong pun tertawa dan mengomel, “Nenekmu, kalian bertiga kutu busuk benar-benar kurang ajar. Para biksuni dari Perguruan Henshan sudah mengampuni jiwa kalian, tapi kalian justru membalas air susu dengan air tuba. Terpaksa aku … aku ….” sampai di sini mendadak kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang dan tubuhnya lantas roboh di tanah.

Yilin segera memburu maju untuk memapahnya sambil berseru cemas, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!” Dilihatnya pundak dan lengan Linghu Chong mengucurkan darah, pertanda luka tadi malam kembali terbuka. Lekas-lekas ia menyingsingkan lengan baju dan mengeluarkan Pil Empedu Beruang Putih buatan perguruannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulut Linghu Chong.

Zheng E, Yizhen, dan yang lain juga ramai-ramai mendekat. Mereka mengeluarkan Salep Penyambung Kahyangan untuk dioleskan pada luka-luka tersebut. Karena sudah mengetahui kalau Linghu Chong adalah si perwira gadungan, mereka pun merasa berhutang budi kepadanya. Andai saja tempo hari Linghu Chong tidak datang menolong, tentu mereka sudah tewas semua. Mungkin mereka tidak hanya tewas mengenaskan tapi juga mengalami bermacam-macam penghinaan dari pihak musuh. Maka dengan penuh rasa syukur sekaligus cemas mereka pun beramai-ramai mengobati Linghu Chong. Ada yang mengambil obat, ada yang menyeka darah, ada yang mengusap keringat, ada yang membalut luka, semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Pada umumnya kaum wanita memang ceriwis, apalagi di saat menghadapi suatu peristiwa, pasti berebutan bicara dan tak henti-hentinya berkomentar. Meskipun murid-murid Perguruan Henshan tersebut adalah kaum pesilat, namun mereka tidak dapat menutupi sifat dasar itu. Mereka pun saling berbisik, ada yang menghela napas penyesalan, ada yang tampak cemas, ada yang bertanya-tanya gelisah mengapa tuan jenderal penolong mereka sampai terluka, ada yang bertanya-tanya siapakah musuh yang keji itu, dan ada pula yang memaki-maki sendiri. Mereka saling berebut bicara dengan suara berisik, sambil sesekali diselingi ucapan “Amitabha”.

Melihat keadaan demikian, orang-orang Perguruaan Huashan menjadi terheran-heran. Yue Buqun berpikir, “Sejak dulu tata tertib Perguruan Henshan sangat ketat, tapi sekarang entah mengapa murid-murid perempuan ini sampai tergoda kepada berandalan yang kelakuannya tidak beres macam Linghu Chong? Bahkan di depan banyak orang mereka tidak menjaga tata krama, ada yang memanggil ‘kakak’ kepadanya dengan begitu mesra, ada yang memanggilnya ‘jenderal’ pula. Sejak kapan bangsat cilik ini menjadi perwira? Sungguh tidak patut. Mengapa para sesepuh Perguruan Henshan tidak melakukan pengawasan?”

Sementara itu Zhong Zhen telah memberi isyarat kepada kedua adik seperguruannya untuk mempersiapkan senjata. Serentak mereka bertiga menerjang maju bersama-sama karena tahu bila Linghu Chong dibiarkan hidup tentu kelak akan banyak mendatangkan masalah. Lagipula sudah dua kali mereka kalah olehnya. Maka saat ini begitu melihat Linghu Chong mendadak roboh tak berdaya, mereka pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menghabisi nyawanya.

Melihat itu, Yihe segera memberi aba-aba. Serentak empat belas kawannya maju menjadi satu formasi barisan. Pedang mereka bergerak menari-nari menangkis serangan Zhong Zhen bertiga. Ilmu silat masing-masing murid Perguruan Henshan itu sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun begitu membentuk formasi empat belas pedang, dalam menyerang maupun bertahan, kekuatan mereka cukup untuk menghadapi empat atau lima orang jago silat papan atas.

Semula Yue Buqun bermaksud melerai pertempuran itu. Namun bermacam-macam masalah tersebut sama sekali di luar dugaannya. Ia tidak tahu-menahu mengapa antara kedua pihak yang pada awalnya satu rumpun itu kini tiba-tiba berselisih. Apalagi di hatinya sekarang timbul perasaan kurang senang terhadap perbuatan orang-orang Perguruan Songshan dan Henshan itu. Ia pikir sebaiknya menunggu perkembangan selanjutnya terlebih dulu baru kemudian bertindak.

Formasi pedang keempat belas murid Perguruan Henshan itu bertahan sangat rapat. Meski Zhong Zhen dan kedua adiknya mencoba bermacam-macam gaya serangan namun tetap saja tidak dapat maju lebih dekat. Bahkan sedikit lengah saja paha Gao Kexin tertusuk pedang Yiqing. Meski lukanya tidak parah, tapi telah mengeluarkan darah bercucuran, sehingga keadaannya menjadi agak runyam.

Dalam keadaan sadar dan tidak sadar, Linghu Chong dapat mendengar suara dentingan senjata beradu. Ketika matanya sedikit terbuka, tampak wajah Yilin penuh rasa cemas sedang membaca doa, “Semua makhluk dalam marabahaya, menderita kesulitan tak tertahankan. Namun berkat kekuatan dan kebijaksanaan Dewi Guanyin yang welas asih dapat menyelamatkan dunia dari penderitaan ….” Seketika teringat olehnya kejadian di luar Kota Hengshan dulu saat dirinya terluka. Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih.

Linghu Chong kemudian bangkit dan berkata lirih, “Adik cilik, terima kasih banyak atas bantuanmu. Sekarang berikan pedangmu kepadaku.”

Yilin menjawab, “Jangan … kau jangan … jangan ….”

Linghu Chong tersenyum lembut. Ia mengambil pedang dari tangan Yilin, kemudian tangan kirinya bertumpu pada bahu kanan biksuni muda itu dan kakinya lantas melangkah sempoyongan ke depan. Sebenarnya Yilin sangat cemas dan khawatir. Namun begitu bahunya mampu menahan beban tubuh Linghu Chong, seketika timbul keberaniannya. Ia pun mengerahkan kekuatannya pada bahu kanan tersebut dan ikut berjalan mengiringi ke mana Linghu Chong pergi.

Linghu Chong berjalan perlahan-lahan melewati formasi empat belas murid Henshan sehingga kini berhadapan dengan Zhong Zhen bertiga. Sekali pedangnya menyambar, pedang Gao Kexin kembali jatuh ke tanah. Ketika pedang bergerak untuk kedua kalinya, tanpa ampun cambuk panjang Teng Bagong lagi-lagi melilit leher sendiri. Dan gerakan pedang yang ketiga kalinya pun dengan tepat membentur pedang Zhong Zhen.

Zhong Zhen sadar ilmu pedang Linghu Chong sangat aneh dan sukar ditandingi olehnya. Namun melihat langkah Linghu Chong yang terhuyung-huyung, ia berpikir bahwa kali ini ada kesempatan emas untuk mengalahkannya, yaitu dengan cara mengadu senjata sekuat tenaga untuk membentur jatuh pedang lawan. Maka ketika kedua senjata mereka beradu, ia pun mengerahkan segenap tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke pedang.

Tapi sungguh celaka baginya. Begitu kedua pedang berbenturan, terasa tenaga dalamnya tiba-tiba membanjir keluar dengan deras melalui batang pedangnya dan sukar ditahan lagi. Sebaliknya, semangat Linghu Chong justru terasa bangkit kembali. Ternyata Jurus Penyedot Bintang tanpa disadari makin hari makin sempurna. Tidak perlu anggota tubuh saling bersentuhan, cukup hanya senjata yang beradu saja sudah bisa menghisap tenaga dalam pihak lawan.

Zhong Zhen terperanjat dan buru-buru menarik pedangnya kemudian menusuk ke depan. Linghu Chong melihat di bawah ketiaknya terdapat celah yang terbuka. Ia hanya tinggal menunggu kesempatan untuk membalas dengan satu tusukan saja tentu sudah dapat membuat lawan binasa. Namun tangannya terasa lemas, lengannya terasa nyeri tak bertenaga, sehingga terpaksa hanya melintangkan pedangnya untuk menangkis serangan tersebut.

Sekejap kemudian pedang mereka kembali berbenturan. Lagi-lagi tenaga dalam Zhong Zhen membanjir keluar, jantungnya pun berdebar kencang, perasaannya terkejut bercampur gusar. Kembali ia mengerahkan segenap tenaganya untuk menusuk. Namun sampai di tengah jalan tiba-tiba pedangnya berganti arah, yaitu menuju dada Yilin yang berada di samping Linghu Chong dan menjadi tumpuan berdirinya.

Serangan Zhong Zhen ini sangat keji. Kalau Linghu Chong melintangkan pedangnya untuk menolong Yilin, tentu lawan segera memutar balik senjata untuk menusuk perutnya. Namun jika Yilin tidak ditolong, maka tusukan itu akan benar-benar mengenainya. Hal ini cukup mengacaukan pikiran Linghu Chong sehingga kesempatan akan terbuka lebar bagi lawan untuk menyerangnya secara lebih ganas.

Di tengah jerit khawatir banyak orang, tampak ujung pedang Zhong Zhen sudah mengenai baju bagian dada Yilin. Tiba-tiba pedang Linghu Chong menyambar dan tepat menindih di atas batang pedang Zhong Zhen. Seketika pedang Zhong Zhen menjadi lengket dan berhenti di tengah jalan tanpa bisa bergerak lagi, bagaikan terperangkap oleh jepitan besi yang sangat kuat.

Sekuat tenaga Zhong Zhen berusaha mendorong ke depan, tapi sedikit pun pedangnya tidak mampu bergerak lagi. Pedang yang didorong dan ditahan dari atas itu tampak perlahan-lahan mulai melengkung. Bersamaan itu Zhong Zhen merasakan pula tenaga dalamnya kembali membanjir keluar dengan sangat cepat. Untungnya ia segera menyesuaikan diri dengan menarik pedangnya dan melompat mundur. Namun saat itu semua tenaganya telah habis, dan untuk mengerahkan tenaga baru juga tidak sempat lagi. Maka ketika badannya masih terapung di udara rasanya sudah lemas lunglai. Ia pun jatuh terbanting dengan keras dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu, seperti orang biasa yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat.

Zhong Zhen meringis dan bermaksud merangkak bangun dengan kedua tangan bertumpu pada tanah. Namun baru saja badannya terangkat sedikit mendadak ia kembali jatuh terbanting. Teng Bagong dan Gao Kexin segera maju untuk memapahnya sambil bertanya, “Kakak, ada apa?”

Sepasang mata Zhong Zhen menatap tajam ke arah Linghu Chong sambil membayangkan saat tenaga dalamnya terhisap keluar tadi. Seketika ia pun teringat pada Ren Woxing, Ketua Sekte Iblis terdahulu yang puluhan tahun silam pernah menggetarkan dunia persilatan. Akan tetapi lawan yang dihadapinya ini terlihat masih muda sehingga tidak mungkin ia adalah Ren Woxing itu. Maka, dengan suara terputus-putus Zhong Zhen pun berkata, “Kau … kau adalah … murid … Ren Woxing! Kau bisa menggunakan … Jurus Penyedot Bintang!”

“Kakak, jadi tenaga dalammu tadi dihisap olehnya?” tanya Gao Kexin kaget.

“Benar,” jawab Zhong Zhen lesu. Namun ketika ia berdiri, tiba-tiba tenaganya terasa mulai pulih kembali.

Rupanya Jurus Penyedot Bintang yang dipelajari Linghu Chong itu belum sempurna benar. Lagipula ia hanya memusnahkan tenaga dalam yang dikerahkan oleh Zhong Zhen melalui batang pedang dan tidak sungguh-sungguh ingin menghisap seluruh tenaga murninya. Hanya saja Zhong Zhen sendiri terlanjur kaget dan ketakutan ketika merasa tenaga dalamnya membanjir keluar tanpa bisa dibendung lagi, sehingga ia pun melompat mundur dan terbanting jatuh dalam keadaan konyol.

Teng Bagong lantas berbisik, “Kakak, sebaiknya kita pergi saja. Lain kali kita bisa membalas kekalahan ini.”

Zhong Zhen segera melambaikan tangan, lalu berseru, “Siluman Sekte Iblis, kau telah menggunakan ilmu sesat, tentu kau akan dimusuhi oleh para kesatria di muka bumi. Hari ini si marga Zhong mengaku bukan tandinganmu. Tapi ribuan kesatria gagah dari kaum aliran lurus seperti kami tidak mungkin sudi bertekuk lutut di bawah ancaman ilmu silumanmu. Adik Teng, Adik Gao, gembong Sekte Iblis sudah muncul kembali. Marilah kita pulang dan melaporkan ini kepada Ketua.” Habis itu ia lantas memutar tubuh ke arah Yue Buqun dan berkata sambil memberi hormat, “Tuan Yue, apakah siluman Sekte Iblis ini mempunyai hubungan denganmu?”

“Huh,” sahut Yue Buqun hanya mendengus tanpa menjawab.

Sebenarnya Zhong Zhen juga tidak berani bersikap kurang sopan di hadapan Yue Buqun. Ia lalu berkata, “Urusan ini kelak pasti akan jelas dengan sendirinya.” Segera ia melangkah pergi bersama kedua adik seperguruannya tanpa berpamitan.

Yue Buqun kemudian melangkah menuruni undak-undakan batu di depan gerbang kantor biro. Dengan nada dingin ia berkata, “Bagus sekali, Linghu Chong! Ternyata kau telah berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing.”

Linghu Chong tidak bisa membela diri karena ia memang telah mempelajari ilmu tersebut meskipun secara tidak sengaja.

Yue Buqun membentak, “Linghu Chong, aku tanya kepadamu. Apa benar demikian?”

“Benar,” jawab Linghu Chong.

Yue Buqun berkata, “Karena benar demikian, sejak hari ini kau menjadi musuh bersama golongan lurus bersih. Sekarang kau terluka parah, aku tidak sudi mengambil keuntungan dengan membunuh orang yang sedang menderita. Tapi kelak jika bertemu lagi, kalau bukan aku yang membunuhmu, maka biarlah kau yang membunuhku.” Kemudian ia berpaling kepada murid-muridnya dan berkata, “Mulai sekarang orang ini adalah musuh bebuyutan kalian. Barangsiapa yang menganggap dia sebagai saudara seperguruan, berarti mengkhianati golongan lurus bersih. Kalian dengar, tidak?”

“Baik, Guru!” jawab murid-murid Perguruan Huashan serentak.

Melihat bibir anak perempuannya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, Yue Buqun segera menambahkan, “Shan’er, meskipun kau adalah putriku, tapi peraturan ini juga berlaku untukmu. Kau dengar, tidak?”

Yue Lingshan menunduk dan menjawab lirih, “Dengar.”

Linghu Chong sudah sangat lemas, dan begitu mendengar perkataan itu membuat tenaganya semakin lemas. Tak terasa pedangnya pun jatuh ke tanah dan lututnya terkulai lunglai.

Yihe yang berdiri di dekatnya segera menyangga bahu kanan Linghu Chong, lalu berseru, “Paman Guru Yue, di dalam urusan ini tentu ada kesalahpahaman. Tanpa menyelidiki lebih dulu duduk perkaranya kau lantas begitu saja mengambil keputusan keji seperti tadi. Rasanya kau terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan.”

“Salah paham bagaimana?” tanya Yue Buqun.

“Yang jelas beberapa kali rombongan Perguruan Henshan kami disergap kaum siluman Sekte Iblis dan mendapat penghinaan, Jenderal Wu inilah yang menyelamatkan kami. Jika dia satu komplotan dengan Sekte Iblis, mana mungkin mau membantu kami dan berbalik menggempur orang-orang Sekte Iblis sendiri?” kata Yihe. Meskipun ia telah mendengar Yilin memanggil “Kakak Linghu” dan Yue Buqun memanggil “Linghu Chong”, namun ia terlanjur mengenalnya sebagai “Jenderal Wu” sehingga tetap memanggil demikian.

“Kaum Sekte Iblis memiliki banyak tipu muslihat. Hendaknya kalian jangan mudah terjebak olehnya,” ujar Yue Buqun. “Kunjungan kalian ke selatan ini dipimpin oleh biksuni yang mana?”

Menurut dugaan Yue Buqun, para biksuni dan perempuan muda ini tentu telah terpikat oleh Linghu Chong yang pintar bicara dengan kata-kata manis. Hanya biksuni dari angkatan tua Perguruan Henshan dan berpengalaman luas yang dapat menyelami tipu muslihat keji musuh.

Yihe menjawab dengan sedih, “Sayang sekali guru kami Biksuni Dingjing telah dicelakai oleh Sekte Iblis.”

“Haaah!” seru Yue Buqun dan istrinya bersamaan. Mereka terlihat sangat kaget.

Pada saat itulah dari ujung jalan raya satunya tampak berlari seorang biksuni setengah baya sambil berseru, “Ada surat datang dari merpati pos yang dikirim Biara Awan Putih!”

Biksuni setengah baya itu mendekati Yihe lalu mengeluarkan sebuah tabung bambu kecil. Yihe menerima tabung bambu itu dan membuka sumbatnya, lalu mengeluarkan segulung kertas kecil. Perlahan ia membaca isinya kemudian tiba-tiba berseru khawatir, “Wah, celaka!”

Begitu tadi mendengar ada kiriman surat dari Biara Awan Putih, para murid Perguruan Henshan lainnya segera mengerumuni Yihe. Maka begitu melihat wajah Yihe yang sedang cemas, beramai-ramai mereka lantas bertanya, “Ada apa? Apanya yang celaka? Bagaimana isi surat itu?”

“Adik, coba kau baca ini!” kata Yihe sambil menyerahkan surat itu kepada Yiqing.

Yiqing menerimanya dan membaca dengan suara lantang, “Aku dan Adik Dingyi terkepung musuh di Lembah Tempa Pedang dekat Longquan.” Lalu ia menggumam sendiri, “Ini adalah tulisan darah dari … dari Bibi Ketua. Mengapa Beliau sampai berada di Longquan?”

“Ayo kita lekas pergi ke sana!” seru Yizhen.

“Tapi siapa pihak musuh yang mengepung itu?” kata Yiqing.

“Tidak peduli apakah dia setan belang segala. Yang penting kita harus segera berangkat ke sana,” ujar Yihe. “Sekalipun harus mati, biarlah kita mati bersama kedua Bibi Guru saja.”

Yiqing yang mempunyai pikiran panjang tidak segera menjawab. Ia menyadari ilmu silat kedua Bibi Guru sedemikian hebat ternyata mereka masih bisa dikepung musuh. Andaikan rombongan bergegas ke sana juga kemungkinan tiada gunanya.

Maka ia lantas membawa surat berdarah itu mendekati Yue Buqun, kemudian memberi hormat dan berkata, “Paman Guru Yue, menurut surat dari bibi guru kami, Beliau berdua saat ini terkurung oleh musuh di Lembah Tempa Pedang dekat Longquan. Mohon Paman Guru Yue mengingat hubungan abadi sesama Serikat Pedang Lima Gunung dan sudilah untuk turun tangan membantu.”

Yue Buqun menerima surat itu dan membaca isinya, kemudian berkata agak menggumam, “Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi mengapa bisa sampai ke Zhejiang Selatan? Ilmu silat Beliau berdua sangat tinggi, tapi mengapa bisa terkepung musuh? Ini sangat aneh. Apakah surat ini benar-benar ditulis oleh Beliau?”

“Memang benar, ini tulisan tangan Bibi Ketua,” jawab Yiqing. “Mungkin sekali Beliau sudah terluka, dan dalam keadaan tergesa-gesa surat ini ditulis menggunakan darah.”

“Siapakah musuh yang mengepung itu?” tanya Yue Buqun.

“Kemungkinan besar orang-orang Sekte Iblis. Perguruan kami tidak mempunyai musuh selain mereka,” jawab Yiqing.

Yue Buqun melirik sekejap ke arah Linghu Chong, lalu berkata dengan perlahan, “Bisa jadi pihak Sekte Iblis sengaja membuat surat palsu untuk memancing kalian masuk perangkap mereka. Para siluman itu punya banyak tipu muslihat. Oleh sebab itu kalian harus waspada.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Masalah ini perlu kita selidiki lebih dulu dengan lebih seksama. Ada baiknya kita pertimbangkan semua masak-masak.”

Yihe yang tidak sabaran segera berteriak, “Kedua bibi guru dalam bahaya, keadaan sangat mendesak. Lebih baik kita lekas-lekas berangkat membantu Beliau berdua. Adik Yiqing, mari kita pergi saja. Paman Guru Yue sedang sibuk, tidak ada gunanya kita memohon-mohon kepadanya.”

Yizhen menambahkan, “Benar. Sedikit saja kita terlambat mungkin akan menyesal selamanya.”

Melihat Yue Buqun enggan memberi bantuan dengan bermacam-macam alasan dan tidak mengindahkan rasa setia kawan sebagai sesama orang persilatan, apalagi sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, membuat murid-murid Perguruan Henshan merasa kesal.

Yilin kemudian berkata, “Kakak Linghu, sebaiknya kau merawat lukamu di Fuzhou saja. Setelah kami menyelamatkan Bibi Ketua dan Guru, tentu kami akan datang lagi untuk menjengukmu.”

Namun Linghu Chong berteriak, “Kawanan penjahat kembali mengacau, mana boleh jenderalmu berpangku tangan? Ayo kita berangkat bersama untuk menolong mereka!”

“Tapi … tapi kau terluka. Bagaimana kau sanggup menempuh perjalanan jauh?” ujar Yilin.

“Jenderalmu sudah biasa berkecimpung di medan perang, siap mengorbankan nyawa demi negara. Apa artinya cuma luka kecil begini?” seru Linghu Chong. “Ayolah kita berangkat sekarang juga. Lekas kita pergi!”

Sebenarnya murid-murid Perguruan Henshan tidak yakin mampu menyelamatkan guru mereka. Namun sekarang Linghu Chong ikut berangkat, jelas menambah keberanian mereka. Wajah para biksuni dan perempuan itu terlihat senang. Yizhen pun berkata, “Terima kasih banyak. Kami akan mencari kuda untuk kau tunggangi.”

Linghu Chong menjawab, “Kita semua naik kuda. Pergi ke medan perang kalau tidak naik kuda lantas bagaimana? Ayo berangkat sekarang, ayo berangkat sekarang!” Ia bersikap angkuh karena hatinya geram sekaligus getir melihat Sang Guru begitu tega dan tak berperasaan.

Yiqing kemudian memberi hormat kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze sambil berkata, “Jika demikian, kami mohon diri dulu.”

Yihe menyahut dengan kesal, “Huh, untuk apa kau bersikap sopan kepada orang macam ini? Hanya buang-buang waktu saja. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan, julukan ‘Si Pedang Budiman’ hanya nama kosong belaka. Masih kalah jauh dengan ….”

“Adik, tidak perlu banyak omong!” seru Yu Sao menukas.

Yue Buqun hanya tersenyum pura-pura tidak dengar. Sebaliknya Lao Denuo lantas melompat maju karena tersinggung gurunya dihina. Ia membentak, “Mulutmu yang kotor bicara apa? Serikat Pedang Lima Gunung kita senapas sehaluan, satu akar dengan banyak cabang. Tapi kalian telah berkomplot dengan bajingan Sekte Iblis bernama Linghu Chong. Perbuatan kalian mencurigakan, sudah tentu guru kami harus mempertimbangkan setiap tindakan lebih dulu. Buktikan kalau kalian bersih dengan membunuh iblis Linghu Chong ini. Jika tidak, Perguruan Huashan kami tidak sudi ikut berkubang lumpur bersama kalian.”

Yihe sangat marah dan menghentakkan kakinya. Ia meraba gagang pedang sambil berkata lantang, “Apa maksudmu dengan kata-kata ‘ikut berkubang lumpur’ segala?”

“Kalian bersekongkol dengan Sekte Iblis, itu artinya ‘ikut berkubang lumpur’,” jawab Lao Denuo.

Yihe menyahut, “Pendekar Linghu seorang budiman sejati, siap mengangkat senjata untuk membela keadilan dan menolong yang kesusahan. Tidak seperti kalian yang menganggap diri sendiri sebagai kesatria, tapi sesungguhnya hanyalah para budiman munafik yang berjiwa rendah dan tidak peduli pada kesulitan orang lain!”

Di dunia persilatan Yue Buqun berjuluk Si Pedang Budiman, sehingga sebutan “budiman munafik” jelas merupakan penghinaan bagi Perguruan Huashan. Maka, Lao Denuo pun melolos pedangnya untuk menusuk ke arah leher Yihe.

Yihe sendiri tidak menduga akan diserang secara mendadak. Ia tidak sempat mencabut pedangnya untuk menangkis. Dalam sekejap ujung pedang lawan sudah mendekati lehernya. Ia pun menjerit kaget. Tapi bersamaan itu tampak beberapa sinar pedang berkelebat. Rupanya ada tujuh pedang sekaligus telah menyerang ke arah Lao Denuo.

Begitu melihat Yihe dalam bahaya, serentak tujuh orang saudarinya bergerak cepat membentuk formasi dan menyerang Lao Denuo dengan pedang masing-masing. Lao Denuo segera mengayunkan pedangnya, namun hanya bisa menangkis pedang yang menusuk ke dadanya saja. Pada saat yang sama terdengar suara robeknya kain. Rupanya enam pedang yang lain sudah merobek bajunya di enam tempat. Setiap robekan ada belasan senti panjangnya. Namun murid-murid Henshan itu tidak bermaksud mencabut nyawanya sehingga serangan tersebut segera mereka tarik kembali begitu menyentuh bajunya. Hanya Zheng E yang paling muda masih kurang terampil dalam mengendalikan pedangnya sehingga tidak hanya merobek lengan baju Lao Denuo, tapi juga melukai tangan kanan orang tua itu.

Lao Denuo sangat terkejut tak terkatakan. Lekas-lekas ia melompat mundur, namun mendadak dari balik bajunya yang robek terjatuh sebuah kitab. Di bawah sinar matahari yang terang semua orang dapat melihat dengan jelas pada sampul kitab itu tertulis judul “Rahasia Ilmu Awan Lembayung”.

Seketika wajah Lao Denuo tampak pucat pasi. Buru-buru ia melompat ke depan untuk memungut kembali kitab yang terjatuh itu, tapi Linghu Chong segera berseru, “Hentikan dia!”

Saat itu Yihe sudah menghunus pedangnya. Dengan cepat ia pun menusuk tiga kali sehingga Lao Denuo terpaksa menangkis dan tidak mampu lagi melangkah maju.

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Ayah, mengapa kitab pusaka perguruan kita bisa berada di balik baju Kakak Kedua?”

Linghu Chong pun berteriak, “Lao Denuo, jadi kau yang telah membunuh Adik Keenam, benar tidak?”

Seketika pikiran Linghu Chong pun kembali ke masa lalu saat menyaksikan Lu Dayou si Monyet Keenam yang tiba-tiba tewas secara misterius, disertai hilangnya kitab Rahasia Ilmu Awan Lembayung. Sejak itu ia menjadi tersangka yang selalu dicurigai. Namun kini kitab pusaka tersebut telah ditemukan dari balik baju Lao Denuo yang robek akibat serangan formasi tujuh pedang murid-murid Perguruan Henshan.

“Omong kosong!” seru Lao Denuo yang kemudian berlari ke kiri dan menyusup masuk sekencang-kencangnya ke sebuah gang kecil dan menghilang di sana.

Linghu Chong sangat marah dan berusaha mengejar. Namun baru beberapa langkah ia sudah terhuyung-huyung dan roboh di tanah. Melihat itu Yilin dan Zheng E segera memburu maju untuk memapahnya bangun.

Yue Lingshan memungut kitab Awan Lembayung yang jatuh itu dan menyerahkannya kepada sang ayah, kemudian berkata, “Ayah, ternyata Kakak Kedua yang mencuri kitab ini.”

Wajah Yue Buqun tampak pucat pasi saat menerima kitab itu. Ia kemudian memeriksa dan ternyata memang benar-benar kitab pusaka Perguruan Huashan peninggalan leluhur yang telah lama hilang. Untung saja isinya masih utuh tidak rusak sedikit pun. Ia kemudian berkata dengan gemas, “Ini semua gara-gara dirimu. Kau yang mengambilnya untuk diserahkan pada orang lain sehingga kemudian Lao Denuo bisa mencurinya.”

Yihe yang bermulut tajam segera menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok, “Nah, itu namanya ‘ikut berkubang dalam lumpur’.”

Sementara itu, Yu Sao telah mendekati Linghu Chong dan bertanya, “Pendekar Linghu, bagaimana keadaanmu?”

Linghu Chong berkata, “Adik seperguruanku telah dibunuh oleh pengkhianat itu. Sayang sekali aku tidak bisa mengejarnya.” Melihat Yue Buqun dan murid-muridnya telah masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu begitu saja, ia pun berpikir, “Murid pertama telah mempelajari ilmu sesat Sekte Iblis, sedangkan murid kedua mencuri kitab pusaka perguruan dan membunuh sesama saudara, sungguh tidak mengherankan kalau Beliau menjadi gusar.”

Ia kemudian berkata kepada murid-murid Perguruan Henshan, “Guru kalian dalam bahaya, kita tidak boleh membuang-buang waktu. Sekarang yang paling penting adalah kita harus segera pergi menolong Beliau berdua. Si pengkhianat Lao Denuo itu suatu hari nanti pasti akan jatuh ke tanganku.”

Yu Sao berkata dengan gugup, “Tapi keadaanmu … tapi keadaanmu … aih, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.” Perempuan setengah baya ini dulunya adalah pelayan Biksuni Dingxian. Meskipun sekarang ilmu silatnya lumayan tinggi, namun tetap saja pengalamannya terbatas sehingga tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya yang terharu sekaligus berterima kasih kepada Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri berkata, “Kita harus segera pergi membeli kuda. Tidak perlu tawar-menawar, aku punya cukup uang.” Tangannya kemudian merogoh saku baju dan mengeluarkan sekantong uang emas dan perak yang dirampasnya dari Wu Tiande tempo hari.

Yu Sao menerima uang tersebut. Mereka lantas beramai-ramai menuju ke pasar. Namun sayangnya kuda yang mereka temukan masih kurang dua belas ekor. Terpaksa beberapa murid yang bertubuh ringan pun menunggang secara berboncengan. Setelah dirasa cukup mereka pun berpacu menuju ke utara.

Setelah beberapa kilo meninggalkan Kota Fuzhou, mereka melihat puluhan kuda sedang merumput di sebuah tanah lapang. Tampak pula enam atau tujuh orang prajurit sedang berjaga. Sepertinya kuda-kuda itu memang milik barak militer pasukan kerajaan.

Linghu Chong pun berkata, “Kita rebut saja kuda-kuda itu.”

Yu Sao menjawab, “Tapi kuda-kuda itu milik tentara, rasanya tidak pantas.”

Linghu Chong berkata, “Yang paling penting adalah menolong orang. Tidak peduli itu kuda milik Kaisar juga kalau perlu kita rampas.”

Yiqing menyahut, “Tapi kalau kita menyinggung pejabat kekaisaran dan melanggar hukum bagaimana? Jangan-jangan ….”

“Mana yang lebih penting, menolong guru kalian ataukah mematuhi hukum?” tukas Linghu Chong. “Nenekmu, aku ini Jenderal Wu juga pejabat kekaisaran. Kalau Jenderal minta kuda, mana mungkin keroco-keroco itu berani membantah?”

Yihe yang lugu menjawab, “Benar juga.”

Linghu Chong menambahkan, “Totok saja mereka, lalu bawa kuda-kudanya kemari.”

Yiqing berkata, “Kalau begitu kita ambil dua belas ekor saja.”

“Tidak!” kata Linghu Chong. “Kita ambil semua saja, supaya di jalan bisa bertukar tunggangan.”

Suara Linghu Chong saat memberi perintah terdengar penuh wibawa. Sejak kematian Biksuni Dingjing, murid-murid Perguruan Henshan itu selalu merasa sedih dan cemas, tidak tahu harus berbuat apa. Kini begitu mendengar perintah Linghu Chong, mereka seperti mendapat semangat baru dan segera memacu kuda menuju sasaran. Sebagian dari mereka menotok para prajurit yang sedang berjaga, sedangkan yang lain mengambil puluhan kuda yang sedang merumput.

Para prajurit itu kebingungan karena baru kali ini melihat sejumlah biksuni dan perempuan yang begitu liar. “Apa yang kalian lakukan? Kalian sedang main apa?” seru mereka yang hanya bisa berteriak-teriak, kemudian jatuh ke tanah dan tidak bisa berkutik lagi.

Murid-murid Henshan yang sebagian besar masih muda belia itu bersenda gurau dan tertawa cekikikan. Bagi mereka, mencuri dan merampas adalah perbuatan baru yang sama sekali belum pernah dilakukan. Dengan penuh bersemangat, para biksuni dan perempuan itu melompat ke punggung kuda tersebut dan berpacu melanjutkan perjalanan.

Menjelang tengah hari sampailah mereka di sebuah kota kecil. Penduduk setempat terheran-heran melihat ada rombongan biksuni dan perempuan awam membawa begitu banyaik kuda, dan di antaranya terdapat pula seorang laki-laki.

Selesai mengisi perut, Yiqing merogoh kantong namun uang yang tersisa ternyata tinggal sedikit. Dengan suara lirih ia pun berbisik, “Kakak Linghu, uang kita tidak cukup.”

Rupanya sewaktu membeli kuda di pasar Fuzhou tadi, mereka tidak sempat tawar-menawar karena sangat terburu-buru demi menyelamatkan kedua guru. Akibatnya, saat ini di kantong yang tersisa hanya beberapa keping uang tembaga saja. Maka, Linghu Chong pun berkata, “Tidak apa-apa. Adik Zheng, kau pergilah bersama Yu Sao untuk menjual seekor kuda. Tapi jangan kuda milik pemerintah yang dijual.”

Zheng E dan Yu Sao mengiakan dan segera berangkat. Murid-murid yang lain cekikian sambil diam-diam berpikir, “Yu Sao memang tidak bisa apa-apa, sedangkan Zheng E masih muda dan manis tapi pergi ke pasar menjual kuda. Sungguh pemandangan yang menggelikan.”

Namun pada dasarnya Zheng E memang gadis yang cerdas dan cekatan. Ia belum lama berada di Fujian tapi sudah menguasai ratusan kata bahasa daerah selatan. Itu sebabnya tidak sukar baginya untuk menjual kuda. Tidak lama kemudian ia dan Yu Sao sudah kembali dengan membawa uang untuk membayar tagihan makan dan minum rombongan.

Menjelang senja mereka sampai di sebuah kota yang cukup besar. Di situ terdapat sekitar delapan ratus rumah yang berjajar rapat seperti sisik ikan. Selesai makan malam dan membayar tagihan, ternyata sisa uang hasil penjualan kuda siang tadi tinggal sedikit.

Dengan penuh semangat Zheng E tertawa lalu berkata, “Besok kita jual kuda lagi.”

Tapi Linghu Chong lantas berbisik, “Tidak perlu. Coba kau jalan-jalan keluar, carilah keterangan siapa hartawan paling kaya dan siapa yang paling jahat di kota ini.”

Zheng E manggut-manggut tanda mengerti. Ia pun berangkat dengan mengajak Qin Juan sebagai kawan. Tidak sampai satu jam mereka telah kembali dengan membawa laporan, “Di kota ini hanya ada seorang hartawan kaya raya bermarga Bai. Ia dijuluki Si Tukang Menguliti. Orang ini membuka gadai dan memiliki toko beras serta lain-lainnya. Dari julukannya itu kita dapat membayangkan kalau dia pasti bukan manusia baik-baik.”

“Kalau begitu malam ini kita akan minta sedekah kepadanya,” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Orang seperti itu pasti sangat pelit, mana bisa dimintai sedekah? Jangankan memberi uang sekeping, memberi sesuap nasi saja pasti menolak,” ujar Zheng E.

Tapi Linghu Chong hanya tersenyum dan berkata, “Ayo kita berangkat.”

Sebenarnya hari sudah mulai gelap. Namun demi keselamatan guru mereka, murid-murid Henshan itu tidak berani membantah meskipun harus berjalan sepanjang malam. Segera mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke utara.

Beberapa kilo kemudian mereka telah keluar dari kota. Tiba-tiba Linghu Chong berkata, “Cukup di sini saja. Kita beristirahat dulu.”

Semua orang pun menuruti perkataannya. Mereka lantas duduk-duduk di tepi sungai kecil dekat pegunungan tersebut.

Linghu Chong memejamkan mata dan menenangkan pikiran. Satu jam kemudian barulah ia membuka mata dan berkata kepada Yu Sao dan Yihe, “Kalian berdua masing-masing bawalah enam orang adik pergi minta sedekah kepada Si Tukang Menguliti. Adik Zheng yang akan menjadi penunjuk.”

Yu Sao dan Yihe diam-diam merasa heran, tapi mereka lantas mengiakan.

Linghu Chong melanjutkan, “Paling sedikit kalian harus minta sedekah lima ratus tahil perak, dan paling bagus kalau bisa dua ribu tahil perak.”

Yihe bertanya dengan lantang, “Untuk apa meminta sedekah sebanyak itu?”

“Dua ribu tahil itu kecil. Jenderalmu hanya memandang dengan sebelah mata,” jawab Linghu Chong. “Nanti yang seribu tahil kita pakai sendiri, dan yang seribu dapat kita bagi-bagikan kepada fakir miskin di kota ini.”

Sampai di sini semua orang menjadi paham apa maksudnya. Mereka pun saling berpandangan. Yihe bertanya, “Jadi kau … kau mengajak kami merampok harta si kaya untuk dibagi-bagikan kepada yang miskin?”

“Kita bukannya merampok, tapi minta sedekah kepada orang kaya,” sahut Linghu Chong. “Kita sendiri kehabisan uang saku dan kalau semua uang kita dikumpulkan, paling juga tidak lebih dari dua tahil saja. Kita ini sama miskinnya dengan janda tua. Kalau kita tidak meminta orang kaya untuk memberi sedekah kepada kaum miskin seperti kita ini, lantas bagaimana kita dapat mencapai Lembah Tempa Pedang di Longquan?”

Begitu mendengar Longquan, seketika murid-murid Henshan itu bersemangat dan tidak ragu-ragu lagi. Serentak mereka berseru, “Ayo kita berangkat meminta sedekah!”

Linghu Chong menambahkan, “Minta sedekah dengan cara seperti ini jangan-jangan belum pernah kalian lakukan. Maka nanti harus dilakukan dengan cara lain daripada yang lain. Setibanya di rumah Si Tukang Menguliti, kalian harus menutup wajah menggunakan saputangan. Di waktu minta sedekah juga tidak perlu membuka suara. Asal melihat emas dan perak langsung diambil saja.”

“Kalau dia tidak mau memberi, bagaimana?” tanya Zheng E dengan tertawa.

“Kalau demikian berarti Si Tukang Menguliti adalah orang yang tidak tahu diri,” ujar Linghu Chong. “Para kesatria Perguruan Henshan bukanlah orang sembarangan di dunia persilatan. Meskipun ada orang mengundang kalian untuk meminta sedekah kepadanya dan menjemput dengan joli yang diusung delapan orang juga kalian belum tentu mau datang. Sementara Si Tukang Menguliti hanyalah begundal kecil yang tidak punya kedudukan apa-apa di dunia persilatan. Kalau ada lima belas orang sudi berkunjung ke rumahnya, bukankah ini merupakan suatu kehormatan besar baginya? Tapi kalau dia memang berkepala batu dan tidak sudi bertemu kalian, maka kalian boleh mencoba-coba ilmunya. Lihat saja, apakah Si Tukang Menguliti itu tahan menerima pukulan Adik Zheng?”

Semua orang tertawa mendengar gurauan Linghu Chong itu. Murid yang berwawasan luas seperti Yiqing samar-samar merasa meminta sedekah seperti ini sangat tidak pantas. Hal demikian jelas melanggar tata tertib Perguruan Henshan yang sangat ketat dan melarang segala jenis perampokan. Namun Yihe, Yu Sao, Zheng E, dan dua belas murid lainnya sudah berangkat pergi dengan langkah cepat. Mereka merasa tidak mempunyai pilihan lain.

Sewaktu menoleh, Linghu Chong melihat Yilin sedang memandanginya dengan penuh perhatian. Ia pun tersenyum dan menegur, “Adik cilik, apakah kau menganggap caraku ini tidak benar?”

Yilin agak menunduk untuk menghindari sorot mata Linghu Chong. Perlahan ia menjawab, “Entahlah. Apa pun yang kau katakan, aku … aku selalu menganggapnya benar.”

“Dulu ketika aku ingin makan semangka, bukankah kau pernah pergi ke kebun meminta sedekah satu buah?” kata Linghu Chong.

Wajah Yilin menjadi merah. Teringat olehnya saat mereka berduaan di tengah hutan belantara dulu. Kebetulan saat itu di angkasa terlihat sebuah bintang jatuh berkelebat. Linghu Chong yang juga teringat pada kejadian itu lantas bertanya, “Apakah kau masih ingat pada permohonan yang pernah kau panjatkan waktu itu?”

“Permohonan?” sahut Yilin sambil berpaling kembali. “Kakak Linghu, permohonan waktu itu ternyata terkabul.”

“Benarkah? Permohonan apa?” tanya Linghu Chong.

Yilin menunduk tidak menjawab. Ia hanya membatin, “Aku sudah memohon seribu kali semoga dapat bertemu lagi denganmu. Akhirnya permohonanku benar-benar terkabul juga sekarang.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derap kaki kuda yang berlari cepat dari arah Yihe dan rombongan. Namun mereka teringat bahwa rombongan tadi berangkat dengan berjalan kaki. Ada apakah sebenarnya yang terjadi?

Serentak semua orang berdiri sambil memandang ke arah datangnya suara. Terdengar seorang perempuan sedang berseru memanggil, “Linghu Chong! Linghu Chong!”

Hati Linghu Chong terguncang begitu mendengar panggilan itu. “Adik Kecil, aku di sini!” jawabnya demikian, karena suara tersebut tidak lain memang suara Yue Lingshan.

Yilin tergetar mendengarnya. Wajahnya berubah pucat dan ia pun mundur dua langkah. Dalam kegelapan tampak seekor kuda putih muncul mendekat. Kira-kira beberapa meter di depan mereka mendadak kuda itu meringkik sambil berjingkrak berdiri dengan kedua kaki belakang, habis itu baru berhenti. Hal ini jelas dikarenakan Yue Lingshan secara tiba-tiba menarik tali kekang kudanya.

Melihat Yue Lingshan datang tergesa-gesa, diam-diam Linghu Chong merasa ada firasat buruk. Ia berseru, “Adik Kecil, apakah Guru dan Ibu Guru baik-baik saja?”

Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, Yue Lingshan tampak duduk di atas punggung kuda. Wajahnya hanya terlihat sebelah saja, tapi tampak dingin dan pucat. Gadis itu lalu menjawab dengan ketus, “Siapa guru dan ibu gurumu? Ayah dan ibuku apa ada hubungan denganmu?”

Dada Linghu Chong terasa seperti dihantam palu godam. Memang sikap Yue Buqun sangat bengis kepadanya. Namun, sikap Ning Zhongze dan Yue Lingshan biasanya tidaklah demikian. Mereka masih selalu mengingat akan hubungan baik di masa lalu dan tetap memperlakukannya dengan ramah. Tapi sekarang begitu mendengar Yue Lingshan bersikap galak, membuat Linghu Chong merasa pilu. Ia menjawab, “Aku memang sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan, sehingga tidak berhak memanggil Guru dan Ibu Guru lagi.”

“Sudah tahu begitu, mengapa mulutmu masih terus mengoceh?” omel Yue Lingshan.

Linghu Chong menunduk dengan lesu. Perasaannya seperti disayat-sayat sembilu.

Yue Lingshan menjalankan kudanya ke depan kemudian berkata sambil menjulurkan tangan kanannya, “Berikan kepadaku!”

“Berikan apa?” tanya Linghu Chong lemah.

“Sampai sekarang kau masih berlagak bodoh. Apa kau kira bisa mengelabui aku?” kata Yue Lingshan. Mendadak ia meninggikan suaranya, “Serahkan padaku!”

“Aku tidak mengerti. Apa yang kau inginkan?” tanya Linghu Chong sambil menggeleng.

“Apa yang kuinginkan? Tentu saja Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin!” seru Yue Lingshan.
Linghu Chong tercengang keheranan. Ia lalu bertanya balik, “Kitab Pedang Penakluk Iblis? Mengapa kau memintanya kepadaku?”

“Kalau tidak minta kepadamu, lantas harus minta kepada siapa?” sahut Yue Lingshan. “Aku tanya kepadamu, siapa orang yang telah merampas jubah biksu itu dari rumah tua Keluarga Lin?”

“Itu perbuatan dua orang Perguruan Songshan. Yang satu bernama Bo Chen si Dewa Rambut Putih, dan satu lagi bernama Sha Tianjang si Elang Gundul.”

“Lalu kedua keparat itu dibunuh oleh siapa?” desak Yue Lingshan.

“Aku,” jawab Linghu Chong singkat.

“Dan jubah biksu itu kemudian diambil oleh siapa?” desak Yue Lingshan.

“Aku,” jawab Lingu Chong.

“Bagus! Sekarang serahkan jubah itu!” kata Yue Lingshan.

Linghu Chong berkata, “Tapi aku terluka dan pingsan. Aku kemudian … kemudian ditolong oleh Ibu Gu… oleh ibumu. Sekarang jubah biksu itu tidak lagi berada padaku.”

“Hahahaha!” Yue Lingshan mendadak tertawa sambil menengadah, tapi sedikit pun tidak menunjukkan nada tertawa. Gadis itu kemudian berkata, “Ucapanmu ini seakan-akan hendak mengatakan kalau ibuku telah menggelapkan jubah biksu itu, benar tidak? Huh, bisa-bisanya kau mengucapkan kata-kata rendah dan kotor seperti itu. Sungguh tidak tahu malu.”

Linghu Chong menjawab, “Aku sama sekali tidak mengatakan ibumu telah menggelapkan jubah biksu itu. Langit menjadi saksi, dalam hatiku sedikit pun tidak ada perasaan kurang hormat kepada ibumu. Yang kumaksudkan adalah … adalah ….”

“Adalah apa?” Yue Lingshan menegas.

“Yang kumaksudkan adalah sesudah ibumu melihat jubah biksu itu dan mengetahuinya bahwa itu adalah milik Keluarga Lin, dengan sendirinya barang itu langsung dikembalikan kepada Adik Lin,” ujar Linghu Chong.

Yue Lingshan tertawa dingin dan menukas, “Mana mungkin ibuku menggeledah barang bawaanmu? Seandainya hendak dikembalikan kepada Adik Lin juga Ibu akan menunggu setelah kau siuman supaya kau yang mengembalikannya sendiri kepada Adik Lin, mengingat barang itu kau dapatkan secara mati-matian. Mana mungkin Ibu tidak memikirkan hal demikian?”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Benar juga ucapannya. Apa barangkali jubah biksu itu telah dicuri orang lain?” Seketika keringat dingin merembes keluar di punggungnya. Ia kemudian berkata, “Jika begitu, dalam hal ini pasti ada kejadian lain.” Lalu ia mengibaskan bajunya sendiri dan berkata, “Seluruh barangku ada di sini. Jika kau tidak percaya boleh menggeledah badanku.”

Kembali Yue Lingshan tertawa dingin, “Kau ini licin dan licik. Barang yang sudah kau ambil mana mungkin kau simpan di badanmu sendiri? Lagipula di sekitarmu ada banyak biksu dan biksuni, serta perempuan-perempuan tidak jelas ini. Tentu mereka akan ikut menyembunyikannya untukmu.”

Melihat Yue Lingshan memperlakukan Linghu Chong seperti hakim menanyai terdakwa, membuat murid-murid Perguruan Henshan sejak tadi merasa kesal. Kini begitu mendengar gadis itu menyinggung mereka dengan kata-kata kasar, kontan mereka pun membentak-bentak, “Omong kosong!”

“Apa maksudmu dengan perempuan tidak jelas?”

“Di sini mana ada biksu?”

“Kau sendiri yang perempuan tidak jelas!”

Yue Lingshan juga tidak gentar. Sambil meraba gagang pedang ia menjawab, “Kalian adalah para pengikut Buddha, tapi siang malam bergaul mengelilingi seorang laki-laki. Apakah kelakuan demikian ini bukan perbuatan tidak jelas? Cis, dasar tidak tahu malu!”

Murid-murid Henshan menjadi gusar. Serentak tujuh atau delapan orang di antaranya melolos pedang.

Yue Lingshan juga lantas melolos pedangnya sambil berseru, “Kalian ingin mengandalkan jumlah banyak untuk main keroyok, hah? Kalau mau membunuhku, ayo silakan maju! Jika Nona Yue sampai gentar menghadapi kalian tentu bukan murid Perguruan Huashan!”

Linghu Chong segera melambaikan tangan kirinya untuk mencegah murid-murid Henshan bertindak lebih lanjut. Ia menghela napas, lalu berkata kepada Yue Lingshan, “Kalau kau telah mencurigai aku, apa lagi yang dapat kukatakan? Tapi bagaimana dengan Lao Denuo, mengapa tidak kau tanyakan padanya? Jika dia berani mencuri Kitab Awan Lembayung, bukankah bisa jadi jubah biksu itu juga dicuri olehnya?”

“Oh, jadi kau menyuruhku pergi bertanya kepada Lao Denuo?” sahut Yue Lingshan dengan nada keras.

“Tentu saja,” jawab Linghu Chong.

“Baik, silakan kau habisi nyawaku! Kau sudah mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis. Aku memang bukan tandinganmu lagi!” kata Yue Lingshan.

“Mana … mana bisa aku melukaimu?” sahut Linghu Chong tercengang.

“Habis, kau suruh aku pergi menanyai Lao Denuo. Jika kau tidak membunuhku, bagaimana caraku dapat menyusul Lao Denuo ke neraka?” balas Yue Lingshan.

Linghu Chong terkejut bercampur gembira mendengarnya. Ia bertanya, “Jadi Lao Denuo telah … telah dibinasakan oleh Gu… oleh ayahmu?” Ia paham sebelum masuk Perguruan Huashan, Lao Denuo sudah memiliki bekal ilmu silat yang lumayan tinggi. Maka selain Yue Buqun, rasanya tidak ada lagi yang bisa membunuhnya. Linghu Chong merasa gembira karena kematian Lu Dayou, adik seperguruan yang paling dekat dengannya, telah terbalaskan.

Namun lagi-lagi Yue Lingshan tertawa dingin, “Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kau yang telah membunuh Lao Denuo, kenapa tidak berani mengaku?”

“Kau bilang aku yang membunuh Lao Denuo?” Linghu Chong menegas dengan heran. “Jika aku yang membunuhnya maka aku tidak perlu menyangkal. Lao Denuo telah membunuh Adik Keenam, dia pantas mati. Aku sungguh menyesal tidak dapat membunuhnya dengan tanganku sendiri.”

“Lalu kenapa kau membunuh Kakak Kedelapan pula? Apa salahnya padamu? Kau … kau benar-benar kejam!” teriak Yue Lingshan.

Linghu Chong terperanjat. Ia menegas dengan suara agak gemetar, “Jadi, Adik Kedelapan juga … juga terbunuh? Adik Kedelapan sangat baik kepadaku. Mana mungkin … mana mungkin aku membunuhnya?”

“Hm, sejak kau bergaul dengan para siluman Sekte Iblis, tingkah lakumu menjadi lain dari biasanya. Siapa yang tahu mengapa tiba-tiba kau membunuh Kakak Kedelapan? Kau … kau ….” sampai di sini air mata Yue Lingshan telah menetes.

Linghu Chong maju satu langkah, kemudian berkata tegas, “Adik Kecil, janganlah kau berpikir tanpa dasar. Usia Adik Kedelapan muda belia. Selama ini ia tidak punya musuh. Jangankan aku, orang lain pun tidak mungkin tega membunuhnya.”

Mendadak alis Yue Lingshan menegak. Ia lantas bertanya dengan bengis, “Dan mengapa pula kau tega mencelakai Adik Lin?”

“Hah? Adik Lin, apa dia … dia juga tewas?” sahut Linghu Chong terperanjat.

“Saat ini dia masih belum mati. Seranganmu belum membinasakan dia. Tetapi siapa … yang tahu dia akan sembuh atau tidak?” sampai di sini suara Yue Lingshan menjadi parau dan terbata-bata.

Linghu Chong menghela napas panjang, dan berkata, “Apa dia terluka sangat parah? Aku yakin dia pasti mengetahui siapa yang menyerangnya. Bagaimana menurut pengakuannya?”

“Di dunia ini tiada seorang pun yang licik melebihi dirimu. Kau telah menebasnya dari belakang. Memangnya punggung Adik Lin punya mata?” ujar Yue Lingshan.

Perasaan getir dan pedih bercampur aduk di hati Linghu Chong. Karena tidak tahan, ia pun melolos pedangnya dan mengerahkan tenaga pada lengannya. Pedang itu dilemparkannya ke samping, yang kemudian meluncur melintang dan menyambar sebatang pohon cemara. Batang pohon tersebut berukuran hampir satu meter lebarnya seketika terpotong menjadi dua, kemudian roboh di bagian tengah dan menimbulkan debu pasir berhamburan.

Melihat pemandangan itu, tanpa sadar Yue Lingshan menarik mundur kudanya dua langkah. Ia lalu berkata, “Kenapa? Kau sudah mahir ilmu aliran sesat, sekarang sengaja pamer kehebatan di depanku, ya?”

Linghu Chong menggeleng dan berkata, “Bila aku ingin membunuh Adik Lin, maka aku tidak perlu menyerangnya dari belakang. Juga tidak mungkin dalam sekali tebas aku tidak bisa membuatnya tewas.”

“Hm, siapa yang tahu kau punya maksud dan tujuan licik?” ejek Yue Lingshan. “Tentunya Kakak Kedelapan telah melihat perbuatanmu yang rendah itu, sehingga kau membunuhnya sekaligus untuk melenyapkan saksi mata. Bahkan, kau telah merusak mukanya, sama seperti apa yang kau lakukan terhadap … terhadap Lao Denuo.”

“Jadi muka Lao Denuo dirusak orang?” tanya Linghu Chong. Ia berusaha menahan perasaannya yang bergejolak, karena yakin di balik peristiwa ini ada suatu misteri besar yang belum dapat ia temukan jawabannya.

“Kau sendiri yang berbuat, mengapa malah bertanya padaku?” balas Yue Lingshan.

“Siapa lagi murid Huashan yang menjadi korban?” tanya Linghu Chong kemudian.

“Kau sudah membunuh dua orang dan melukai satu orang sampai parah. Memangnya masih belum cukup?” sahut Yue Lingshan.

Mendengar itu, Linghu Chong agak lega karena mengetahui tidak ada orang lain lagi yang menjadi korban. Ia merenung ini semua perbuatan siapa? Tiba-tiba timbul perasaan ngerinya, saat teringat apa yang dikatakan Ren Woxing di Wisma Meizhuang dahulu. Gembong Sekte Iblis itu mengancam apabila Linghu Chong tidak mau masuk menjadi anggota Sekte Matahari dan Bulan, maka ia akan menghabisi orang-orang Perguruan Huashan. Jangan-jangan Ren Woxing saat ini sudah berada di Fuzhou dan mulai turun tangan?

Dengan nada cemas ia pun berkata kepada Yue Lingshan, “Kau cepatlah pulang ke Fuzhou dan laporkan kepada ayah-ibumu bahwa kemungkinan besar gembong Sekte Iblis telah datang dan melakukan pembunuhan secara keji.”

Yue Lingshan mencibir dan tertawa sinis, lalu berkata, “Memang benar ada gembong Sekte Iblis telah datang dan turun tangan secara keji terhadap Perguruan Huashan kami. Tapi gembong Sekte Iblis ini dulunya juga orang Huashan sendiri. Ini namanya memelihara anak macan akan mendatangkan penyakit, air susu dibalas air tuba.”

Linghu Chong hanya tersenyum getir. Ia pun merenung, “Aku sudah menyanggupi untuk pergi ke Longquan menolong Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi, tapi sekarang Guru dan Ibu Guru sedang menghadapi bahaya pula. Ini benar-benar membuatku serbasalah. Jika yang mengganas itu benar-benar Ren Woxing, jelas aku tidak akan mampu menghadapinya. Meskipun aku lekas-lekas kembali ke Fuzhou juga sia-sia belaka. Namun paling tidak aku bisa gugur bersama Guru dan Ibu Guru yang kuhormati. Setiap masalah harus bisa dipilah mana yang mendesak, mana yang tidak. Bagaimanapun juga kesulitan Guru dan Ibu Guru harus diutamakan lebih dulu. Perguruan Henshan terpaksa untuk sementara harus menyelesaikan urusan mereka sendiri. Bila nanti masalah Ren Woxing sudah dapat diatasi, maka aku akan segera menyusul ke Longquan untuk membantu pihak Henshan.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia segera berkata, “Sejak berangkat dari Fuzhou, aku senantiasa berada bersama para kakak dan adik dari Perguruan Henshan ini. Bagaimana mungkin aku bisa pergi membunuh Adik Kedelapan dan Lao Denuo, serta melukai Adik Lin? Bila perlu, kau bisa bertanya langsung kepada mereka.”

“Hm, kau suruh aku bertanya pada mereka?” sahut Yue Lingshan. “Mereka telah berkubang lumpur bersamamu. Sudah tentu mereka siap berdusta untukmu.”

Mendengar itu, sebagian murid Henshan berteriak-teriak marah. Memang para biksuni masih menggunakan kata-kata sopan. Tetapi para murid golongan awam banyak yang memaki dengan kata-kata pedas.

Yue Lingshan menarik mundur kudanya dan berkata, “Linghu Chong, luka Lin Kecil sangat parah. Namun dalam keadaan setengah sadar ia masih terus menyebut-nyebut kitab pusaka keluarganya. Jika kau masih punya hati nurani sebagai manusia, seharusnya kau mengembalikan kitab itu kepadanya. Kalau tidak … kalau tidak ….”

“Apa kau yakin aku benar-benar manusia hina seperti itu?” tukas Linghu Chong.

“Jika kau bukan manusia hina, maka di dunia ini tidak ada manusia hina lagi,” seru Yue Lingshan dengan nada murka.

Sejak tadi perasaan Yilin terguncang mengikuti percakapan mereka. Sekarang ia tidak dapat menahan diri lagi, sehingga akhirnya ikut bicara, “Nona Yue, Kakak Linghu teramat baik kepadamu. Perasaannya benar-benar tulus kepadamu. Tapi mengapa kau memakinya dengan begitu galak?”

Yue Lingshan menjawab dengan tertawa dingin, “Kau ini seorang biarawati. Dia baik atau tidak kepadaku, dari mana kau tahu?”

Seketika perasaan angkuh Yilin tergugah. Ia merasa harus membela Linghu Chong yang difitnah sedemikian keji apa pun akibatnya. Soal pantangan sebagai umat Buddha, juga bagaimana kelak ia akan dimarahi oleh guru, semua itu sudah tidak dipikirkannya lagi. Dengan suara lantang ia pun berkata, “Kakak Linghu sendiri yang mengatakannya padaku.”

“Hm, sampai hal-hal seperti itu pun ia katakan padamu?” sahut Yue Lingshan. “Justru … justru karena ingin memperbaiki hubungan denganku, maka ia mencelakai Lin Kecil.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Adik Yilin, kau tidak perlu bicara panjang lebar lagi. Aku mohon kepadamu agar sudi memberikan sedikit Salep Penyambung Kahyangan dan Pil Empedu Beruang Putih yang mujarab milik perguruanmu yang mulia kepada Adik … kepada Nona Yue untuk mengobati yang terluka.”

Namun Yue Lingshan lantas memutar kudanya ke arah semula sambil berkata, “Kau tidak mampu membunuhnya dalam sekali serang, kini kau hendak memakai racun, bukan? Mana bisa kau tipu aku? Linghu Chong, bila Lin Kecil tidak sembuh, maka aku … aku ….” Sampai di sini suaranya kembali serak. Gadis itu lalu melecutkan cambuk, kemudian melarikan kudanyanya kembali ke selatan.

Mengikuti suara derap kaki kuda yang makin lama makin menjauh, hati Linghu Chong menjadi bimbang seakan-akan kehilangan sesuatu.

Terdengar Qin Juan berkata gemas, “Benar-benar perempuan bawel, kasar keterlaluan. Biarkan mati saja Lin Kecil-nya itu.”

Yizhen menyahut, “Amitabha, Adik Qin, kita adalah umat Buddha, harus mengutamakan sikap welas asih. Meskipun sikap nona tadi tidak benar, kita tidak boleh menyumpahi orang supaya mati.”

Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Linghu Chong. Ia lalu berkata, “Adik Yizhen, aku ingin memohon sesuatu padamu. Sudilah kau membantuku pergi ke suatu tempat, dan mungkin akan sedikit melelahkanmu.”

“Apa pun yang Kakak Linghu perintahkan, pasti akan kulaksanakan,” sahut Yizhen.

“Mana berani aku memerintah,” ujar Linghu Chong. “Orang bermarga Lin yang disebut tadi adalah adik seperguruanku. Menurut Nona Yue, katanya dia terluka parah. Aku tahu obat luka milik Perguruan Henshan kalian sangat manjur ….”

“Apa kau memintaku mengantarkan obat luka untuk dia?” Yizhen menukas. “Baiklah, aku akan segera kembali ke Fuzhou. Adik Yiling, tolong kau temani aku ke sana.”

Linghu Chong memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak atas kesediaan Adik berdua. Mohon maaf telah merepotkan.”

Yizhen menjawab, “Selama ini Kakak Linghu selalu bersama kami, mana bisa dituduh membunuh orang? Fitnah yang tidak berdasar ini harus kujelaskan kepada Paman Guru Yue.”

Linghu Chong hanya menggeleng sambil tersenyum getir. Sang Guru telah menuduhnya bergabung dengan Sekte Iblis dan berbuat banyak kejahatan, mana mungkin bisa percaya begitu saja kepada penjelasan mereka?

Dilihatnya Yizhen dan Yiling telah memacu kuda masing-masing ke arah Fuzhou. Ia kembali berpikir, “Mereka begitu tulus dan peduli kepada masalahku. Jika aku benar-benar meninggalkan mereka untuk kembali ke Biro Fuwei, rasanya tidak pantas. Apalagi Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi benar-benar terkurung musuh, sementara Ren Woxing apa benar berada di Fuzhou juga belum diketahui dengan pasti ….”

Saat itu Qin Juan telah memungut pedang yang tadi dilemparkan untuk memotong pohon. Ketika menerima pedang tersebut, tiba-tiba Linghu Chong teringat sesuatu, “Aku tadi berkata jika ingin membunuh Lin Pingzhi, untuk apa aku menyerangnya dari belakang dan mana mungkin dalam sekali tebas tidak dapat membinasakannya? Tapi kalau yang menyerang itu adalah Ren Woxing, jelas tidak mungkin dalam sekali tebas ia tidak mampu membuatnya tewas? Aku yakin pelakunya pasti orang lain. Ya, karena bukan Ren Woxing yang menyerang, tentu aku tidak perlu khawatir Guru takut kepadanya.”

Berpikir demikian membuat hatinya lega. Sejenak kemudian terdengar sayup-sayup suara derap kaki kuda dari kejauhan. Dari suaranya yang riuh itu ia menduga pasti rombongan Yihe dan Yu Sao telah kembali membawa sedekah. Benar juga, tidak lama kemudian tampak lima belas penunggang kuda sudah mendekat.

Begitu tiba, Yu Sao langsung melapor, “Pendekar Linghu, kami berhasil … berhasil meminta sedekah emas dan perak banyak sekali. Kita tidak mungkin … tidak mungkin menghabiskan semuanya. Di tengah malam gelap begini juga tidak mungkin membagikannya kepada fakir miskin.”

Yihe menyahut, “Sekarang yang paling penting adalah segera pergi ke Longquan. Soal menolong fakir miskin dapat kita lakukan sambil jalan.” Ia kemudian berpaling ke arah Yiqing dan berkata, “Tadi di tengah jalan kami bertemu seorang perempuan muda. Kalian tadi melihat dia atau tidak? Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja dia mengajak kami berkelahi.”

“Mengajak kalian berkelahi?” seru Linghu Chong menegas dengan nada khawatir.

“Benar,” jawab Yihe. “Dalam kegelapan perempuan itu memacu kudanya dengan cepat. Begitu melihat kami, ia langsung memaki-maki. Katanya kami ini biksuni tidak jelas dan tidak tahu malu segala.”

Linghu Chong mengeluh dalam hati, kemudian bertanya, “Apakah dia terluka parah?”

“Eh, dari mana kau tahu kalau dia terluka?” sahut Yihe heran.

Linghu Chong menjawab dalam hati, “Watakmu berangasan, mana mungkin tahan dimaki dengan pedas seperti itu? Lagipula dia sendirian menghadapi kalian berlima belas, tentu saja bisa terluka.” Ia kemudian bertanya, “Ia terluka di bagian mana?”

Yihe menjawab, “Mula-mula aku bertanya padanya mengapa datang-datang langsung memaki-maki, padahal belum saling kenal. Dia menjawab, ‘Aku mengenal kalian. Kalian adalah para biksuni Perguruan Henshan yang tidak menaati peraturan agama.’ Aku bertanya, ‘Apa maksudmu dengan tidak menaati peraturan agama? Mulutmu itu perlu dicuci bersih!’ Ia marah dan melecutkan cambuknya sambil membentak agar kami minggir. Aku menangkap cambuknya dan kami mulai berkelahi.”

Yu Sao menyambung, “Begitu dia menghunus pedang, kami segera tahu kalau dia adalah orang Perguruan Huashan. Karena keadaan gelap, kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sampai akhirnya ketika aku dapat mengenali kalau dia adalah putri Paman Guru Yue, maka aku pun segera berteriak supaya adik-adik yang lain tidak melanjutkan serangan. Namun demikian, Nona Yue sudah terlanjur luka di dua tempat pada lengannya. Hanya saja kedua luka itu tidak begitu parah.”

“Sebenarnya aku sudah mengenalinya,” kata Yihe dengan tertawa. “Tapi pihak Perguruan Huashan sudah berlaku kasar terhadap Kakak Linghu di Kota Fuzhou kemarin. Mereka juga berpangku tangan saat Perguruan Henshan kita dilanda kesulitan. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan. Maka itu, aku sengaja menyusahkan nona galak itu biar tahu rasa.”

Zheng E menambahkan, “Sesungguhnya Kakak Yihe telah bermurah hati terhadap Nona Yue itu. Dengan menggunakan jurus Jarum Emas Menangkal Bahaya, pedang Kakak Yihe telah melukai lengan nona itu. Tapi Kakak Yihe segera menariknya kembali sehingga lengan Nona Yue hanya tergores sedikit. Andai saja Kakak Yihe bersungguh-sungguh, tentu lengan itu sudah putus.”

Linghu Chong merasa serbasalah. Apa yang baru saja terjadi bagaikan gelombang ombak yang baru saja datang tiba-tiba disusul gelombang baru. Suatu masalah belum terselesaikan, sudah muncul masalah lain lagi. Ia kenal baik bagaimana perangai Yue Lingshan yang tinggi hati dan tidak mau kalah itu. Kejadian malam ini pasti akan dianggapnya sebagai penghinaan besar dan kemungkinan akan diperhitungkan sebagai kesalahan Linghu Chong. Namun semuanya sudah terjadi, terpaksa ia tidak bisa berbuat banyak. Untung saja luka adik kecil tidak terlalu parah.

Zheng E yang cerdik mengetahui sejak kemarin kalau Linghu Chong sangat memperhatikan Nona Yue itu. Maka ia pun berkata, “Andai saja sejak awal kami mengetahui kalau dia adalah adik seperguruan Kakak Linghu, tentu kami akan mengalah meskipun ia memaki kami macam-macam. Sayang sekali keadaan cukup gelap, sehingga kami tidak bisa melihatnya dengan jelas. Biarlah kelak di lain hari kalau bertemu lagi kami akan minta maaf kepadanya.”

“Minta maaf apa?” sahut Yihe kesal. “Kita tidak menyinggungnya, tapi dia justru yang langsung memaki kita. Di seluruh dunia mana ada orang macam dia?”

Linghu Chong merasa pedih. Ia pun berusaha mengalihkan pembicaraan, “Kalian sudah mendapatkan sedekah, marilah sekarang kita berangkat. Bagaimana dengan Bai si Tukang Menguliti yang kalian kunjungi itu?”

Begitu ditanya soal sedekah, Yihe dan kawan-kawan menjadi bersemangat. Kata-kata mereka membanjir keluar seperti air bah. Yihe berkata, “Biasanya kalau kami meminta derma satu dua tahil perak kepada orang kaya seperti dia rasanya sulit minta ampun. Tapi malam ini sekali meminta sedekah kami bisa mendapatkan beberapa ribu tahil perak.”

Zheng E menyambung sambil tertawa, “Sungguh lucu, Si Tukang Menguliti itu menangis sambil merangkak-rangkak. Ia bilang jerih payahnya selama berpuluh-puluh tahun telah musnah dalam waktu semalam saja, seperti hanyut ditelan banjir.”

Qin Juan menanggapi, “Suruh siapa dia bermarga Bai? Dia dijuluki Si Tukang Menguliti, suka memeras harta benda rakyat kecil. Sekarang semua usahanya menjadi sia-sia.” Maksudnya, marga “Bai” berarti “putih”, dan juga bisa bermakna “sia-sia”.

Murid-murid Perguruan Henshan itu bergelak tawa. Namun begitu teringat pada kesulitan yang dialami kedua guru, perasaan mereka kembali tertekan. Linghu Chong segera berkata, “Kita sudah mempunyai bekal. Mari kita lanjutkan perjalanan!”

Mereka pun meneruskan perjalanan menuju Longquan dengan memacu kuda secepat-cepatnya. Setiap hari mereka hanya tidur tiga sampai empat jam saja. Akhirnya setelah beberapa hari memacu kuda tanpa kenal lelah, rombongan itu sampai juga di Longquan yang terletak di Zhejiang Selatan.

Luka yang diderita Linghu Chong akibat sabetan golok Bo Chen dan Sha Tianjang walaupun banyak mengeluarkan darah, tapi sebenarnya hanya luka luar yang tidak terlalu berbahaya. Dengan tenaga dalamnya yang melimpah, ditambah obat Perguruan Henshan yang mujarab, ketika sampai di Longquan luka itu sudah bisa dikatakan sembuh lebih dari lima puluh persen.

Murid-murid Perguruan Henshan itu tampak gelisah. Baru saja memasuki wilayah Zhejiang mereka langsung mencari tahu di mana letak Lembah Tempa Pedang. Namun para penduduk di sepanjang jalan yang ditanya tidak ada yang mengetahui tempatnya. Sesampainya di Kota Longquan, mereka merlihat banyak sekali toko-toko senjata. Namun ketika ditanya di mana itu Lembah Tempa Pedang, ternyata para pemilik toko dan pandai besi di situ juga tidak mengetahui jawabannya.

Hal ini membuat semua orang bertambah cemas. Mereka lalu bertanya apakah ada dua biksuni sepuh pernah lewat, atau apakah pernah terjadi pertempuran di sekitar kota itu. Lagi-lagi para pandai besi dan pemilik toko tidak dapat memberikan keterangan. Mereka mengaku tidak pernah mendengar ada pertempuran di sekitar situ, sedangkan mengenai biksuni silakan bertanya saja ke Biara Shuiyue di sebelah barat kota. Di sana memang ada sejumlah biksuni tinggal di biara, namun sepertinya belum terlalu tua.

Setelah bertanya di mana letak Biara Shuiyue, rombongan itu lantas bergerak. Namun sesampainya di sana, ternyata pintu biara dalam keadaan tertutup rapat. Zheng E maju mengetuk pintu, tapi sampai lama sekali tidak terdengar suara dari dalam.

Yihe tidak sabar menunggu lagi. Ia menghunus pedang kemudian melompati pagar tembok dan masuk ke dalam biara. Khawatir sang kakak mengalami apa-apa, Yiqing segera ikut melompat masuk.

“Coba lihat apa ini?” kata Yihe sambil menunjuk tanah di depannya.

Ternyata di pelataran biara itu terdapat tujuh atau delapan potong ujung pedang yang masih mengkilap berserakan, jelas baru saja terpotong oleh senjata yang sangat tajam.

“Adakah orang di dalam?” teriak Yihe sambil mencari ke ruangan belakang.

Yiqing sendiri lantas membuka palang pintu agar yang lain bisa masuk ke dalam. Ia memungut sepotong ujung pedang di atas tanah itu dan memberikannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Kakak Linghu, di sini agaknya pernah terjadi pertempuran.”

Linghu Chong menerima potongan pedang tersebut. Dilihatnya bagian yang terpotong itu sangat licin dan mengkilap. Ia kemudian bertanya, “Apakah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi menggunakan pedang?”

“Beliau berdua tidak memakai pedang,” jawab Yiqing. “Bibi Ketua mengatakan, asalkan dapat menguasai ilmu pedang dengan sempurna, sekalipun yang dipakai adalah pedang kayu atau pedang bambu juga cukup untuk mengalahkan musuh. Beliau menyatakan pula bahwa pedang atau golok terlalu berbahaya. Apabila sedikit kurang hati-hati, dapat menghilangkan nyawa orang atau membuat cacat badan lawan ….”

“Jadi ujung pedang ini bukan dipotong oleh Beliau berdua?” sela Linghu Chong menukas.

Yiqing mengangguk. Tiba-tiba terdengar seruan Yihe dari ruangan belakang, “Hei, di sini juga ada potongan ujung pedang.”

Beramai-ramai mereka lantas menyusul ke belakang. Terlihat lantai maupun meja pada tiap-tiap ruangan biara itu penuh tertutup debu. Pada umumnya lingkungan biara pasti terawat dengan bersih. Melihat adanya debu yang memenuhi biara dapat diperkirakan sudah sekian lama ditinggalkan oleh penghuninya.

Setibanya di pekarangan belakang, Linghu Chong dan yang lain dapat menyaksikan beberapa pohon juga telah tumbang oleh tebasan senjata tajam. Dengan melihat bagian yang putus itu dapat diperkirakan kejadiannya sudah beberapa hari yang lalu. Gerbang belakang juga tampak terpentang lebar, dengan papan pintu terlempar beberapa meter jauhnya. Sepertinya ada orang mendobrak gerbang tersebut secara paksa.

Di luar gerbang belakang terlihat ada sebuah jalan kecil yang menuju ke lereng-lereng bukit. Setelah menyusuri belasan meter, ternyata jalan itu bercabang ke dua arah.

Yiqing segera berseru, “Kita berpencar ke dalam dua kelompok. Coba periksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar sini.”

Murid-murid Henshan itu lantas berpencar ke dalam dua kelompok yang masing-masing menelusuri kedua cabang jalan tersebut. Tidak lama kemudian terdengar suara Qin Juan dari cabang jalan sebelah kanan berseru keras, “Di sini adalah sebuah panah kecil!”

“Ya, di sini juga ada sebuah bor terbang!” seru yang lain menambahkan.

Kelompok yang memeriksa cabang jalan kiri segera ikut bergabung. Tampak jalanan sebelah kanan itu naik turun menuju ke arah lereng-lereng bukit. Segera mereka berlari cepat ke depan. Semakin berjalan semakin banyak ditemukan senjata rahasia serta potongan pedang dan golok. Juga terlihat beberapa bercak darah tersebar di semak belukar.

Tiba-tiba Yiqing berseru kaget. Dari semak-semak rumput dipungutnya sebilah pedang sambil berkata pada Linghu Chong, “Ini senjata perguruan kami!”

Linghu Chong menanggapi, “Tampaknya rombongan Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terlibat pertempuran sengit dan melalui jalanan ini.”

Walaupun ia tidak menyatakan Perguruan Henshan berada di pihak yang kalah, tapi Yihe dan yang lain paham bahwa kedua biksuni sepuh tidak mampu melawan musuh dan memilih lari melalui jalanan ini. Dari senjata yang berserakan di sepanjang jalan itu dapat diketahui kalau pertempuran tersebut pasti sangat dahsyat dan sudah berlalu beberapa hari. Dalam hati mereka bertanya-tanya apakah masih sempat menolong atau tidak. Semua orang pun diliputi perasaan khawatir, dan langkah kaki mereka menjadi bertambah cepat.

Jalan pegunungan itu makin lama makin menanjak dan melingkar-lingkar ke belakang gunung. Beberapa kilo kemudian, jalanan dipenuhi batu-batu berserakan dan semakin sulit dilalui. Murid-murid yang berilmu rendah seperti Yilin, Qin Juan, dan beberapa lainnya tertinggal jauh di belakang.

Semakin jauh dan menanjak, jalanan semakin tak berbentuk dan akhirnya tidak dapat dilewati lagi, juga tidak terdapat adanya senjata berserakan seperti tadi. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba mereka melihat di sebelah kiri gunung tampak asap tebal membumbung tinggi ke angkasa.

“Lekas kita periksa ke sana!” seru Linghu Chong sambil mendahului berlari ke depan.

Asap tebal itu semakin membumbung tinggi. Sesudah mengitari lereng gunung, mereka melihat sebuah lembah luas di depan. Api tampak berkobar-kobar dengan hebatnya disertai suara peletak-peletok terbakarnya rumput dan kayu bakar.

Linghu Chong bersembunyi di balik batu besar dan melambaikan tangan sebagai isyarat agar Yihe dan yang lain jangan bersuara. Pada saat itulah terdengar suara teriakan laki-laki tua, “Dingxian, Dingyi, hari ini kami antar kalian menuju ke nirwana untuk mendapatkan kesempurnaan. Kalian tidak perlu berterima kasih kepada kami.”

Linghu Chong gembira karena kedua biksuni sepuh itu masih hidup. Ia merasa beruntung kedatangannya belum terlambat.

Lalu terdengar seruan seorang laki-laki lain, “Ketua Dongfang meminta kalian agar menyerah. Tapi kalian justru berkepala batu dan membangkang. Jangan salahkan kami kalau mulai sekarang di dunia persilatan tidak ada lagi Perguruan Henshan.”

Orang tua yang pertama tadi kembali berteriak, “Benar, kalian jangan menyalahkan Sekte Matahari dan Bulan karena berlaku kejam. Salahkan diri kalian sendiri yang keras kepala sehingga mengakibatkan banyak murid-muridmu yang masih muda ikut mati konyol, mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Sungguh sayang, sungguh sayang. Hahahahaha!”

Api di tengah lembah itu tampak berkobar semakin tinggi, jelas Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di tengah-tengah.

Linghu Chong segera menghunus pedang, kemudian menarik napas dalam-dalam dan berteriak nyaring, “Kawanan siluman Sekte Iblis, berani-beraninya kalian membuat susah para biksuni Perguruan Henshan? Sekarang tokoh-tokoh Serikat Pedang Lima Gunung telah datang membantu dari empat penjuru. Kalian kawanan siluman lekaslah menyerahkan diri!” Sambil berseru demikian, ia lantas menerjang masuk ke dalam lembah.

Sampai di sana ia terhalang oleh tumpukan kayu bakar dan rumput kering yang meninggi sampai beberapa meter. Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas meloncat ke tengah gundukan api. Untungnya rumput dan kayu bakar di tengah lingkaran api itu belum terbakar. Ia pun memburu maju beberapa langkah. Terlihat kemudian dua buah gua pembakaran gamping di depannya, tapi tidak tampak seorang pun di sana.

“Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, bala bantuan Perguruan Henshan sudah tiba!” serunya kemudian.

Yihe, Yiqing, Yu Sao, dan yang lain juga berteriak-teriak dari luar lingkaran api, “Guru, Bibi, murid-murid sudah datang!”

Menyusul kemudian terdengarlah suara teriakan dari pihak musuh, “Mereka hanyalah kaum biksuni!”

“Bunuh mereka semua!”

“Mana ada jago-jago Serikat Pedang Lima Gunung segala?”

Bentakan-bentakan itu kemudian diikuti dengan suara benturan senjata yang ramai.

Dari mulut gua pembakaran tiba-tiba muncul sesosok tinggi besar dengan sekujur tubuh berlumuran darah. Dia adalah Biksuni Dingyi. Tangannya tampak menghunus pedang. Meski pakaiannya sudah compang-camping dan wajahnya berdarah, tapi cara berdirinya masih terlihat gagah berwibawa.

Begitu melihat Linghu Chong, Biksuni Dingyi tercengang dan berkata, “Kau … kau ….”

“Saya Linghu Chong,” jawab Linghu Chong.

“Aku sudah tahu kau Linghu Chong!” seru Dingyi yang teringat kejadian di Wisma Kumala Kota Hengshan dulu.

Linghu Chong berkata, “Saya akan membuka jalan, silakan Biksuni berdua ikut menerjang keluar.” Ia lantas memungut sebatang kayu dan digunakannya untuk mengorak-arik gundukan rumput yang terbakar.

Dingyi berkata, “Kau bukannya sudah masuk Sekte .…”

Pada saat itulah seorang musuh berteriak, “Siapa yang berani mengacau di sini?” Sinar golok kemudian berkelebat di tengah cahaya api.

Melihat keadaan bertambah genting dan api berkobar makin hebat, sedangkan Biksuni Dingyi menaruh curiga kepadanya dan seperti tidak sudi ikut menerjang keluar, maka Linghu Chong berpikir harus mengambil tindakan kilat dengan terpaksa mengambil nyawa musuh demi untuk menyelamatkan tokoh-tokoh Perguruan Henshan itu. Secepat kilat ia mundur dua langkah menghindari serangan golok tadi. Disusul kemudian golok musuh kembali ditebaskan ke arahnya. Namun sekali pedang Linghu Chong bergerak, seketika golok lawan terlempar beserta lengan yang memegang ikut terpotong. Pada saat yang sama terdengar jeritan ngeri seorang perempuan di luar lingkaran api, sepertinya seorang murid Henshan telah dicelakai musuh.

Linghu Chong terkejut dan khawatir. Segera ia melompat keluar lingkaran api. Dilihatnya di lereng gunung secara berkelompok-kelompok sudah terjadi pertempuran sengit. Setiap tujuh murid Henshan membentuk formasi pedang bertempur melawan musuh. Namun ada juga beberapa orang yang tetap sendiri karena tidak sempat bergabung dalam formasi sehingga terpaksa bertempur melawan musuh secara nekat.

Beberapa formasi pedang yang terbentuk itu meskipun belum bisa mengalahkan musuh, tapi paling tidak membuat mereka tetap bertahan. Sementara para murid yang bertempur sendiri-sendiri itulah yang tampak terdesak. Dalam waktu singkat sudah ada dua orang murid perempuan yang tergeletak binasa.

Linghu Chong mengawasi sekeliling medan pertempuran. Dilihatnya Yilin dan Qin Juan saling merapatkan punggung untuk menghadapi tiga laki-laki yang menyerbu mereka. Segera ia pun menerjang ke sana. Mendadak sebilah pedang berkelebat menusuk ke arah dadanya. Namun sedikit pun langkah Linghu Chong tidak menjadi kendur. Pedangnya lantas menusuk ke depan, tepat menembus leher orang itu.

Linghu Chong kemudian melompat beberapa kali sehingga sampai di hadapan Yilin. Sekali pedangnya bergerak, langsung menembus punggung seorang musuh. Gerakan pedang berikutnya merobek iga musuh yang lain. Laki-laki yang ketiga tampak mengangkat ruyung baja hendak menghantam ke ubun-ubun Qin Juan. Dengan cepat pedang Linghu Chong menjemput ke atas. Kontan sebelah lengan laki-laki itu tertebas putus sebatas bahu.

Wajah Yilin tampak pucat pasi. Senyumnya kemudian mengembang saat ia berkata, “Amitabha, Kakak Linghu!”

Linghu Chong kemudian melihat Yu Sao juga sedang terdesak menghadapi serangan dua lawan tangguh. Segera ia melompat maju ke sana. Dua kali pedangnya berkelebat, yang satu mengenai perut musuh, dan satunya memutus pergelangan tangan lawan. Kembali dua jago musuh dibereskan; satu tewas dan satu terluka. Tubuhnya kemudian berputar, dan pedangnya terus menyambar ke mana-mana. Tanpa ampun, tiga orang musuh yang sedang menggempur Yihe dan Yiqing roboh di tanah disertai jeritan ngeri.

Terdengar suara seorang tua berseru, “Keroyok dia! Bereskan keparat ini!”

Menyusul kemudian tiga sosok bayangan menerjang sekaligus ke arah Linghu Chong. Tiga pedang menyambar secara bersamaan, masing-masing mengarah ke leher, dada, dan perutnya. Gerakan ketiga musuh ini sangat aneh, benar-benar gencar dan ganas. Sungguh permainan tokoh silat papan atas. Kontan Linghu Chong terkejut. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Bukankah ini ilmu pedang Perguruan Songshan? Apakah mereka orang-orang Songshan?

Karena sedikit lengah, ujung pedang ketiga lawan pun tak terasa sudah semakin dekat mengancam tempat-tempat berbahaya pada tubuhnya. Segera Linghu Chong menggunakan Jurus Mematahkan Pedang pada Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Pedangnya lantas berputar, dan dalam sekaligus serangan ketiga musuh telah digagalkannya. Meskipun ia belum mengerahkan segenap kemampuan, namun pihak lawan tampak terdesak mundur dua-tiga langkah.

Sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas, lawan yang di sebelah kiri adalah laki-laki gemuk, usianya sekitar empat puluhan dan berjenggot pendek. Yang tengah seorang kakek kurus berkulit hitam, kedua matanya berkilat-kilat tajam.

Linghu Chong tidak sempat memandang orang ketiga, karena harus melompat ke samping. Pedangnya berputar dan menebas dua kali. Seketika dua musuh yang sedang mengerubut Zheng E berhasil dirobohkannya.

Sementara itu ketiga orang tadi berteriak-teriak dan mengejar di belakangnya. Namun Linghu Chong tidak menghiraukan mereka karena merasa kepandaian ketiga orang itu sangat tinggi. Untuk membereskan mereka tentu memakan waktu cukup lama, sehingga orang-orang Henshan akan banyak yang jatuh berguguran. Karena itu ia lantas mengerahkan tenaga dalam untuk terus berlari dan menerjang tanpa henti. Di mana-mana ia menusuk atau mengayunkan pedang. Setiap pedangnya menyambar tentu diikuti jatuhnya seorang musuh, entah karena terluka atau langsung binasa.

Ketiga orang tadi masih terus mengejar sambil membentak-bentak, tapi jarak mereka dengan Linghu Chong selalu terpaut beberapa meter dan sukar untuk menyusul. Hanya dalam waktu singkat sudah lebih dari tiga puluh orang musuh menjadi korban kehebatan Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Tiada seorang pun yang mampu menangkis atau menghindar.

Karena dalam sekejap pihak musuh sudah kehilangan lebih dari tiga puluh orang, perbedaan kekuatan antara kedua pihak langsung berubah. Setiap kali ada musuh yang roboh, segera murid Henshan yang kehilangan lawan langsung pergi membantu yang lain. Tadinya jumlah musuh lebih banyak, tapi lambat laun keadaan menjadi berbalik, makin lama pihak Henshan berada di atas angin.

Linghu Chong sudah mengambil keputusan bahwa dalam pertempuran hari ini sama sekali tidak boleh menaruh belas kasihan. Jika dalam waktu singkat musuh tidak dihancurkan, tentu Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi yang terkurung di dalam gua pembakaran itu akan sukar diselamatkan.

Begitulah, Linghu Chong terus berlari ke sana kemari bagaikan terbang. Mendadak ia menerjang ke depan, mendadak ia melompat ke samping. Jejak kakinya ada di mana-mana. Musuh yang berada dalam jarak tiga meter darinya pasti tak dapat meloloskan diri. Tidak lama kemudian sebanyak lebih dari dua puluh orang kembali dibuatnya roboh tak berdaya.

Biksuni Dingyi yang berdiri di atap gua pembakaran menyaksikan bagaimana Linghu Chong bergerak bagaikan bayangan untuk melukai atau membunuh musuh yang jumlahnya sebanyak itu. Ilmu pedang yang dimainkannya sungguh aneh dan mengerikan. Seumur hidup baru kali ini Dingyi menyaksikan pemandangan seperti itu, membuatnya gembira sekaligus tercengang, hingga tak kuasa bicara apa-apa.

Musuh yang tersisa masih sekitar empat puluh atau lima puluh orang. Mereka ngeri menyaksikan kehebatan Linghu Chong yang bertarung seperti hantu, sukar dilawan dan ditangkis serangannya. Salah satu dari mereka kemudian berseru keras dan seketika setengah dari orang-orang itu berlarian ke dalam hutan.

Linghu Chong kembali membinasakan belasan orang, membuat sisanya semakin putus asa. Mereka pun buru-buru melarikan diri sekencang-kencangnya. Kini yang tersisa hanya tinggal ketiga laki-laki tadi yang masih terus mengejar di belakang, tapi jaraknya semakin renggang, jelas mereka pun mulai gentar.

Tiba-tiba Linghu Chong berputar balik, kemudian bertanya, “Kalian dari Perguruan Songshan, bukan?”

Ketiga orang itu langsung melompat mundur. Seorang di antaranya yang bertubuh tinggi besar balas membentak, “Siapa kau?”

Linghu Chong tidak menjawab. Ia berseru kepada Yu Sao dan yang lain, “Lekas kalian membuka jalan untuk menolong teman-teman yang terkurung api.”

Murid-murid Henshan pun berusaha memadamkan api yang sudah menjilat tumpukan rumput. Yihe dan beberapa kawannya sudah melompat masuk ke tengah lingkaran api. Rumput dan kayu kering yang sudah berkobar itu sulit dipadamkan lagi. Untung di bawah kerja sama belasan orang itu, lingkaran api dapat dibobol menjadi suatu lorong jalan. Yihe dan yang lain segera memapah keluar beberapa biksuni dari dalam gua pembakaran yang sudah lemas karena terlalu banyak menghirup asap.

“Bagaimana dengan Biksuni Dingxian?” tanya Linghu Chong.

“Terima kasih banyak atas perhatianmu,” tiba-tiba terdengar suara wanita tua menanggapi. Menyusul kemudian muncul seorang biksuni berbadan sedang melangkah keluar dengan tenang dari lingkaran api. Jubahnya yang berwarna biru muda tampak bersih, tangannya juga tidak memegang senjata, hanya tangan kiri membawa seuntai tasbih. Wajahnya memancarkan rasa welas asih, sikapnya tenang dan kalem.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Biksuni Dingxian memiliki pembawaan yang tenang. Meskipun nyawanya terancam, tetapi masih bisa menguasai diri. Nama besarnya benar-benar sesuai dengan kenyataan.” Segera ia memberi hormat dan berkata, “Saya Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Biksuni.”

Biksuni Dingxian merangkap tangan membalas hormat, tapi kemudian berkata, “Awas, ada orang menyerangmu!”

“Ya,” sahut Linghu Chong sambil mengelak dan sedikit melirik. Pedangnya lantas diayun ke belakang. Terdengar suara benturan satu kali dan tusukan pedang laki-laki gemuk telah ditangkisnya. Lalu ia berkata, “Saya datang terlambat, mohon Bibi Biksuni sudi memaafkan.” Bersamaan itu terdengar suara nyaring dua kali. Kembali serangan kedua orang yang lain dari samping dapat ditangkisnya pula.

Saat itu belasan biksuni telah terbebas dari lingkaran api, bahkan ada pula yang sudah menjadi mayat dan digotong keluar. Biksuni Dingyi memaki dengan geram, “Kawanan bangsat tidak tahu malu, kejam melebihi binatang ….” saat itu ujung jubahnya tampak terjilat api, tapi ia seperti tak peduli. Yu Sao segera mendekat untuk memadamkannya.

Linghu Chong berkata, “Kedua Biksuni tidak mengalami cedera, sungguh menggembirakan.”

Pada saat itu tiga pedang lawan kembali menusuk bersamaan dari belakang. Namun Linghu Chong kini memiliki tenaga dalam luar biasa tinggi sehingga kemampuannya merasakan sambaran angin meningkat pesat, juga dalam sekejap dapat mengetahui dari mana asal serangan musuh itu. Segera pedangnya kembali berputar. Di tengah kobaran api dalam sekaligus ia balas menusuk pergelangan tangan lawan dengan cara terbalik.

Ilmu silat ketiga orang itu memang tinggi, dan gerak perubahannya juga amat cepat. Lekas-lekas mereka menghindari tusukan Linghu Chong. Namun, punggung tangan si laki-laki tinggi besar sempat tergores dan mengucurkan darah.

Linghu Chong kembali berkata, “Biksuni berdua, Perguruan Songshan adalah pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Bersama Perguruan Henshan pun sama-sama senapas seirama. Tapi mengapa kini tiba-tiba mereka melakukan serangan licik? Sungguh sukar dimengerti.”

Mendadak Biksuni Dingyi bertanya kepada Yihe, “Di mana Kakak Dingjing? Kenapa tidak ikut datang?”

Qin Juan langsung menangis saat menjawab, “Guru telah … Guru telah dicelakai kaum jahat. Beliau melawan sekuat tenaga dan akhirnya … akhirnya gugur dalam pertempuran ….”

“Keparat!” seru Biksuni Dingyi penuh kemarahan sekaligus sedih. Ia buru-buru berjalan ke depan dengan langkah lebar, namun baru beberapa langkah tubuhnya lantas terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Darah segar pun menyembur dari mulutnya.

Ketiga jago Songshan kembali menyerang dengan berganti jurus susul-menyusul, namun tetap tidak bisa mengenai Linghu Chong yang terlihat bercakap-cakap dengan kedua biksuni sepuh. Linghu Chong sendiri melayani mereka dengan membelakangi, sambil sesekali melirik ketiga orang itu. Ilmu pedangnya sedemikian hebat, susah diukur. Kalau ia bertarung dengan berhadap-hadapan, mana mungkin mereka bertiga mampu melawannya? Ketiga musuh itu hanya bisa mengeluh dan gelisah. Mereka menyesal mengapa tidak sejak tadi melarikan diri.

Linghu Chong berbalik dan melakukan serangan menarik. Jika musuh menyerang dari sebelah kiri, maka ia membalas dengan menyerang sisi kirinya. Sementara bila musuh menyerang dari sebelah kanan, maka ia pun menyerang sisi kanannya pula. Dengan demikian ketiga orang itu makin lama makin rapat dan berdesakan sendiri. Berturut-turut Linghu Chong menyerang lima belas kali melingkari mereka dan ketiga orang itu hanya bisa menangkis tanpa mampu balas menyerang. Ilmu pedang yang dimainkan ketiga orang itu adalah jurus andalan Perguruan Songshan yang paling lihai, tapi masih tidak mampu menghadapi Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang ajaib.

Linghu Chong memang sengaja memaksa lawan-lawannya mengeluarkan ilmu pedang Perguruan Songshan supaya mereka tidak dapat menyangkal lagi. Begitulah, makin lama wajah ketiga orang itu terlihat semakin basah oleh keringat yang bercucuran, juga sikap mereka makin buas dan beringas. Namun demikian, ilmu pedang mereka masih teratur dan tidak kacau, jelas mereka memang jago kawakan yang sudah berlatih puluhan tahun.

Melihat asal-usul ketiga orang itu telah terbongkar, Biksuni Dingxian pun berkata, “Amitabha, shanti, shanti, shanti! Saudara Zhao, Saudara Zhang, dan Saudara Sima, selama ini Perguruan Henshan kami bersaudara dengan Perguruan Songshan kalian yang mulia. Namun, mengapa kalian bertiga terus memaksa kami sedemikian rupa, sampai-sampai hendak membakar kami menjadi arang? Sungguh biksuni tua ini tidak paham apa sebabnya, mohon kalian sudi memberi penjelasan.”

Jago-jago Perguruan Songshan itu memang bermarga Zhao, Zhang, dan Sima. Ketiganya sangat jarang muncul di dunia persilatan dan mengira keberadaan mereka tidak diketahui orang. Saat menghadapi serangan Linghu Chong, mereka sudah kelabakan, kini bertambah kaget oleh ucapan Biksuni Dingxian yang dengan tepat menyebut marga mereka. Tanpa terasa pergelangan tangan kedua orang di antaranya tertusuk pedang Linghu Chong, sehingga pedang mereka jatuh ke tanah.

Menyusul ujung pedang Linghu Chong lantas mengancam di depan leher orang ketiga yang bertubuh kurus kering sambil membentak, “Lemparkan pedangmu!”

Orang kurus itu menghela napas panjang, lalu berkata, “Di dunia ini ternyata ada ilmu pedang sehebat ini. Aku si marga Zhao hari ini terjungkal di bawah pedangmu memang sudah sepantasnya.” Tangannya kemudian mengerahkan tenaga dalam, membuat pedangnya tergetar dan patah menjadi tujuh atau delapan potong yang kemudian jatuh berserakan di tanah.

Linghu Chong lantas melangkah mundur, sedangkan Yihe dan enam kawannya mengacungkan pedang masing-masing untuk mengepung ketiga orang itu di tengah.

Perlahan Biksuni Dingxian berkata, “Perguruan Songshan kalian bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu yang diberi nama Perguruan Lima Gunung. Perguruan Henshan sendiri sudah memiliki riwayat ratusan tahun turun-temurun, mana mungkin aku membiarkannya tamat di bawah kepemimpinanku? Maka itu, aku pun menolak ajakan kalian. Sebenarnya urusan ini dapat dirundingkan lebih jauh, tapi mengapa kalian lantas menyamar sebagai kaum Sekte Iblis dan berusaha membunuh orang-orang kami dengan cara keji seperti ini? Perbuatan kalian ini bukankah terlalu berlebihan?”

“Kakak, untuk apa banyak bicara dengan mereka?” sela Biksuni Dingyi. “Mereka semua segera dibunuh saja agar tidak mendatangkan bencana di kemudian hari. Uhuk, uhuk, ….” tiba-tiba ia terbatuk-batuk dan kembali memuntahkan darah.

Laki-laki tinggi besar bermarga Sima menjawab, “Kami hanya sekadar menjalankan tugas. Mengenai seluk-beluk urusan ini juga sama sekali kami tidak tahu ….”

“Kalau mau bunuh, bunuh saja! Kalau mau potong, potong saja! Untuk apa banyak bicara?” tukas si orang tua bermarga Zhao membentak keras.

Mendengar itu si marga Sima tidak berani bicara lagi. Wajahnya terlihat sangat malu.

Biksuni Dingxian berkata, “Tiga puluh tahun yang lalu kalian bertiga pernah malang melintang di daerah Hebei, kemudian mendadak menghilang begitu saja. Tadinya kukira kalian sudah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Siapa sangka kalian ternyata masuk Perguruan Songshan dan mempunyai maksud tertentu. Aih, Ketua Zuo seorang tokoh terkemuka di dunia persilatan, tapi Beliau telah menerima sekian banyak kaum … kaum persilatan yang berkelakuan aneh untuk mempersulit sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Sungguh sukar dipahami.”

Sebagai seorang biarawati sepuh yang welas asih, meskipun menghadapi kejadian luar biasa ia tetap tidak mau menggunakan kata-kata kasar terhadap lawan. Bahkan ia langsung terdiam ketika merasa dirinya sudah terlalu banyak bicara. Setelah menghela napas panjang, Dingxian melanjutkan bertanya, “Kakak kami, Biksuni Dingjing, apakah juga tewas di tangan perguruan kalian yang mulia?”

Orang bermarga Sima yang tadi merasa malu, sekarang ingin memperbaiki wibawanya. Maka dengan suara lantang ia pun menjawab, “Benar, itu semua perbuatan Adik Zhong ….”

“Hei!” seru si orang tua bermarga Zhao kepadanya dengan mata melotot.

Si marga Sima sadar kalau dirinya lagi-lagi salah bicara. Maka, ia pun meanjutkan, “Urusan sudah begini, apa gunanya disembunyikan lagi? Ketua Zuo memerintahkan kami untuk membagi diri dalam dua kelompok, yang masing-masing melaksanakan tugas di Fujian dan Zhejiang sini.”

“Amitabha!” ujar Biksuni Dingxian. “Ketua Zuo sudah menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, kedudukannya sudah tinggi dan terhormat. Sekarang untuk apa Beliau ingin melebur kelima perguruan menjadi satu dan diketuai satu orang? Beliau sengaja menggunakan kekerasan dan bertindak begitu kejam terhadap sesama kaum sealiran, apakah tidak takut ditertawai oleh para kesatria di seluruh jagat?”

Biksuni Dingyi kembali menyela dengan suara keras, “Kakak, penjahat berhati binatang yang serakah seperti itu, buat apa ….” sampai di sini kembali darah menyembur keluar dari mulutnya.

Biksuni Dingxian mengibaskan tangannya dan berkata kepada ketiga orang itu, “Jaring langit teramat luas, tiada yang lolos dari pengadilan-Nya. Siapa berbuat jahat pada akhirnya pasti akan menerima balasan setimpal. Sekarang pergilah kalian semua. Tolong sampaikan kepada Ketua Zuo bahwa mulai hari ini Perguruan Henshan tidak lagi berada di bawah perintah Ketua Zuo. Meskipun perguruan kami terdiri atas kaum wanita seluruhnya, tapi kami tidak akan tunduk di bawah ancaman kekerasan. Tentang keinginan Ketua Zuo melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, sama sekali kami tidak bisa menuruti. Mohon maaf.”

“Bibi Ketua, mereka … mereka sangat kejam ….” tukas Yihe.

Tapi Biksuni Dingxian telah memberi perintah, “Bubarkan formasi pedang!”

“Baik!” jawab Yihe terpaksa mengiakan. Pedangnya pun ditarik dan diikuti kawan-kawannya yang lain.

Ketiga jago Perguruan Songshan itu sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan dibebaskan dengan cara seperti itu. Mau tidak mau timbul rasa terima kasih mereka kepada Dingxian. Mereka pun memberi hormat, kemudian memutar tubuh dan berlari pergi dengan cepat. Setelah beberapa langkah, si tua bermarga Zhao berpaling dan bertanya dengan suara lantang, “Mohon bertanya siapakah nama dan marga pendekar muda yang memiliki ilmu pedang teramat hebat ini? Hari ini kami bertiga telah tumbang di tanganmu, tapi sama sekali kami tidak bermaksud membalas dendam. Kami hanya ingin tahu telah dikalahkan oleh orang gagah dari mana.”

Linghu Chong hanya tersenyum tidak bersuara. Namun Yihe tiba-tiba menyahut dengan suara lantang, “Ini adalah Pendekar Muda Linghu Chong. Dulu dia adalah anggota Perguruan Huashan, tetapi sekarang tidak menjadi anggota aliran mana pun. Dia adalah pengelana yang membela kebenaran dan menegakkan keadilan di dunia persilatan, sahabat Perguruan Henshan kami.”

Orang tua bermarga Zhao itu berkata, “Ilmu pedang Pendekar Muda Linghu sungguh hebat luar biasa. Kami bertiga sangat kagum.” Usai berbicara ia lantas melanjutkan perjalanan bersama kedua rekannya.

Sementara itu api berkobar semakin hebat. Di tempat itu masih banyak orang Perguruan Songshan yang bergelimpangan, baik yang sudah mati maupun terluka parah. Belasan di antara mereka yang lukanya agak ringan berusaha merangkak bangun untuk menghindari api, sementara yang terluka parah hanya bisa berkubang di genangan darah dan tidak mampu bergerak, sehingga terpaksa berteriak-teriak minta tolong ketika tubuh mereka mulai terbakar.

Biksuni Dingxian berkata, “Semua kejadian ini adalah tanggung jawab Ketua Zuo. Mereka hanya sekadar menjalankan perintah. Yu Sao, Yiqing, kalian pergilah menolong mereka.”

Para murid mengenal baik watak Sang Ketua yang welas asih, sehingga tidak berani membantah. Mereka pun bergegas memeriksa orang-orang Songshan itu. Apabila masih bernapas, segera mereka pindahkan ke tempat yang aman untuk kemudian diberi obat.

Biksuni Dingxian menengadah ke selatan, kedua matanya tampak berkaca-kaca. Ia kemudian berseru mengharukan, “Kakak!” mendadak tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah.

Semua orang terkejut. Serentak mereka mendukungnya untuk bangun. Tampak darah merembes keluar dari mulut biksuni tua itu. Rupanya Dingxian bersama rombongannya telah dikepung musuh dan terpaksa masuk ke dalam gua pembakaran gamping tersebut. Di dalamnya mereka telah bertahan selama beberapa hari, tanpa makan atau minum serta tidak beristirahat pula. Keadaan mereka sudah payah lahir batin seperti pelita yang kehabisan minyak. Kini setelah musuh berhasil dihalau, hati Dingxian tak kuasa menahan kesedihan, ditambah dengan berita kematian Biksuni Dingjing.

Seketika murid-murid Henshan menjadi ribut. Mereka memanggil-manggil Sang Ketua dengan perasaan cemas. Di sisi lain, luka Biksuni Dingyi juga sangat berat sehingga mereka semakin kebingungan. Karena tidak tahu harus bagaimana, serentak mereka pun memandang ke arah Linghu Chong untuk menunggu perintahnya.

Linghu Chong lantas berkata, “Lekas kita berikan obat kepada kedua biksuni sepuh. Balutlah luka untuk menghentikan darah yang mengalir. Hawa di tempat ini masih sangat panas, marilah kita menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mohon bantuan kalian untuk pergi mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa dimakan.”

Semua orang pun mematuhi perintahnya dan segera sibuk bekerja. Zheng E dan Qin Juan mengisi teko dengan air sungai lalu membantu meminumkan obat ke mulut Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, serta kawan-kawan lain yang terluka.

Pertempuran dahsyat di Longquan ini ternyata memakan korban 37 orang Perguruan Henshan. Terkenang pada kematian Biksuni Dingjing dan para saudari yang telah gugur, membuat murid-murid Henshan itu semakin berduka. Begitu ada satu orang yang menangis keras-keras, serentak yang lainnya pun ikut menangis pula. Maka dalam sekejap bergemalah suara isak tangis di lembah pegunungan tersebut.

Biksuni Dingyi kemudian membentak keras, “Yang mati sudah mati. Kenapa kalian tak bisa menguasai perasaan? Kalian sudah banyak membaca kitab-kitab Buddha, mengapa masih tidak memahami makna ‘hidup’ dan ‘mati’? Mengapa harus segan meninggalkan kantong kulit bau ini?”

Murid-murid Henshan hafal dengan wataknya yang keras itu, sehingga tiada seorang pun yang berani membantah. Seketika suara tangis pun berhenti, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tersedu-sedu.

Dingyi kembali berkata, “Bagaimana Kakak Dingjing bisa mengalami celaka? Zheng E, bicaramu lebih lancar. Coba kau ceritakan kepada Kakak Ketua dengan sejelas-jelasnya.”

“Baik!” jawab Zheng E mengiakan. Ia kemudian bangkit dan mulai menguraikan apa yang terjadi di Pegunungan Xianxia, di mana mereka masuk perangkap musuh, namun mendapat bantuan Linghu Chong sehingga bisa selamat. Kemudian mereka terkena bius dan tertawan musuh di Nianbapu, di mana Biksuni Dingjing didesak dan dipaksa oleh Zhong Zhen dari Perguruan Songshan, kemudian dikerubut pula oleh orang-orang berkedok. Untungnya Linghu Chong lagi-lagi datang membantu. Namun sayang, luka Biksuni Dingjing sangat parah, sehingga akhirnya meninggal dunia. Semua ia ceritakan dengan rinci satu per satu.

Biksuni Dingyi menanggapi, “Ternyata begitu. Jelas sudah bahwa kawanan bangsat dari Perguruan Songshan itu telah menyamar sebagai kaum Sekte Iblis untuk memaksa Kakak Dingjing menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Huh, sungguh keji siasat mereka. Kalian ditawan oleh mereka, kemudian mereka berlagak membebaskan kalian dari cengkeraman musuh, sehingga akan sulit bagi Kakak untuk menolak ancaman mereka.” Sampai di sini suaranya menjadi lemah. Ia terengah-engah sejenak, lalu melanjutkan, “Kakak Dingjing dikepung musuh di Pegunungan Xianxia dan merasa pihak lawan bukan orang-orang yang mudah dihadapi. Maka, Kakak pun mengirim merpati pos untuk minta bantuan kepada Kakak Ketua dan aku. Tak disangka … tak disangka hal ini pun sudah masuk dalam perhitungan musuh sehingga kami dapat mereka hadang di sini.”

Melihat keadaan Dingyi yang sudah lemah itu, seorang murid Dingxian yang bernama Yiwen membujuknya, “Bibi Guru harap beristirahat saja. Biar saya yang menceritakan bagaimana pengalaman kita bertemu musuh.”

“Pengalaman apa? Sudah jelas sejak musuh menyerbu kita di Biara Shuiye pada malam buta itu, pertempuran terus saja berlangsung sampai hari ini,” kata Dingyi.

“Benar,” jawab Yiwen mengiakan. Namun ia tetap menguraikan secara singkat apa yang telah mereka alami selama beberapa hari terakhir ini.

Rupanya malam itu orang-orang Perguruan Songshan yang menyerbu Biara Shuiye juga memakai kedok dan menyamar sebagai anggota Sekte Iblis. Karena diserang secara mendadak dan besar-besaran, membuat rombongan Perguruan Henshan hampir saja mengalami kehancuran. Untungnya, Biara Shuiye juga memiliki hubungan dengan dunia persilatan. Di dalam biara itu masih tersimpan lima bilah pedang pusaka hasil tempaan Kota Longquan. Ketua Biara Shuiye yang bernama Biksuni Qingxiao, dalam keadaan bahaya telah membagi-bagikan pedang pusakanya kepada Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, dan beberapa lainnya. Pedang pusaka tersebut sangat tajam dan mampu memotong besi seperti sayur. Banyak sekali senjata pihak musuh telah terpotong oleh pedang-pedang pusaka itu, dan tidak sedikit juga anggota lawan yang terluka. Dengan demikian rombongan tersebut dapat bertempur melawan musuh yang berjumlah jauh lebih banyak, sambil mereka mengundurkan diri ke lembah pegunungan ini. Sayangnya, Biksuni Qingxiao gugur dalam pertempuran.

Lembah pegunungan ini dahulunya banyak menghasilkan bijih besi bermutu tinggi. Selama beberapa tahun daerah ini pun terkenal sebagai “Lembah Tempa Pedang”. Kemudian setelah simpanan bijih besi habis digali, tempat penempaan pedang selanjutnya berpindah ke tempat lain. Sekarang yang tersisa di sini hanya tinggal tungku dan gua pembakaran yang pernah dihuni para pandai besi itu. Berkat gua-gua pembakaran tersebut, orang-orang Perguruan Henshan dapat bertahan selama beberapa hari. Sampai akhirnya, orang-orang Songshan memutuskan untuk mengumpulkan kayu dan rumput kering guna membakar mereka hidup-hidup. Andai saja Linghu Chong datang terlambat sedikit saja, tentu keadaan menjadi sangat runyam.

Biksuni Dingyi tidak sabar menunggu Yiwen selesai bercerita. Sepasang matanya tampak melotot ke arah Linghu Chong, lalu tiba-tiba ia berkata, “Kau sangat … sangat baik. Tapi mengapa gurumu mengeluarkanmu dari perguruan? Katanya kau berkomplot dengan Sekte Iblis, benar tidak?”

Linghu Chong menjawab, “Saya kurang hati-hati dalam berteman, sehingga sempat mengenal beberapa tokoh Sekte Iblis.”

Dingyi mendengus, “Huh, binatang-binatang dari Perguruan Songshan banyak yang berhati serigala dan lebih jahat daripada orang-orang Sekte Iblis. Memangnya orang-orang yang menamakan dirinya aliran lurus selalu lebih baik daripada yang dicap aliran sesat?”

Tiba-tiba Yihe menyela, “Kakak Linghu, aku tidak tahu dengan pasti apakah gurumu bersalah atau tidak. Beliau mengetahui bahwa perguruan kami sedang mengalami kesulitan, tapi sengaja berpangku tangan tidak mau membantu. Jangan-jangan … mungkin … Beliau sudah menyetujui peleburan kelima perguruan menjadi satu seperti yang disarankan Perguruan Songshan.”

Hati Linghu Chong tergerak mendengar ucapan Yihe yang masuk akal itu. Tapi sejak kecil ia selalu memuja Sang Guru, dan dalam hati sedikit pun tidak pernah menaruh prasangka kepada Yue Buqun. Maka ia menjawab, “Aku rasa Guru tidak sengaja berpangku tangan. Kemungkinan besar Beliau ada urusan penting lainnya, sehingga … sehingga ….”

Sejak tadi Dingxian memejamkan mata untuk menghimpun tenaga. Kini perlahan-lahan ia membuka mata dan berkata, “Perguruan Henshan mengalami bencana. Berkat bantuan Pendekar Muda Linghu, kita semua bisa terbebas dari bencana. Budi baik ini ….”

“Ah, saya hanya melakukan kewajiban sekadarnya. Ucapan Bibi Ketua tidak berani kuterima,” jawab Linghu Chong menukas.

Dingxian menggeleng dan berkata, “Pendekar Muda Linghu tidak perlu merendahkan diri. Saudara Yue tidak punya waktu untuk turun tangan sendiri, sehingga mengutus murid pertamanya datang ke sini membantu kami, ini juga sama saja. Yihe, kau jangan sembarangan bicara dan kurang hormat kepada orang tua.”

“Saya tidak berani,” sahut Yihe sambil membungkukkan tubuh. “Tapi … tapi Kakak Linghu sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan. Paman Yue juga tidak mengakuinya sebagai murid lagi. Kedatangannya ke sini juga bukan atas perintah Paman Yue.”

“Kau memang selalu tidak mau kalah dan suka berdebat,” ujar Dingxian dengan tersenyum.

Mendadak Yihe menghela napas dan berkata, “Aih, kalau saja Kakak Linghu seorang perempuan, tentu segalanya menjadi baik.”

“Kenapa?” tanya Biksuni Dingxian.

“Dia sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan dan tidak dapat kembali lagi. Jika dia perempuan tentu bisa bergabung dengan Perguruan Henshan kita,” jawab Yihe. “Dia telah bahu-membahu dengan kita menghadapi segala kesulitan, sudah seperti orang sendiri ….”

“Omong kosong! Umurmu semakin tua, tapi bicaramu masih seperti anak kecil,” bentak Biksuni Dingyi.

Biksuni Dingxian hanya tersenyum, kemudian berkata, “Saudara Yue hanya salah paham. Kelak bila sudah jelas duduk perkaranya tentu Pendekar Linghu akan diterima kembali. Rencana jahat Perguruan Songshan tidak mungkin berhenti sampai di sini. Bukankah Perguruan Huashan akan sangat mengandalkan tenaga dan ilmu pedang Pendekar Linghu? Seandainya ia tidak kembali ke Huashan juga, dengan ilmu silatnya yang tinggi dan keluhuran budinya, kalau ia mau mendirikan perguruan tersendiri juga bukan masalah sulit.”

“Tepat sekali ucapan Bibi Ketua,” sahut Zheng E. “Kakak Linghu, orang-orang Perguruan Huashan bersikap jahat kepadamu. Mengapa kau tidak mendirikan … Perguruan Linghu saja? Hm, kenapa kau harus kembali lagi ke Huashan? Memangnya kau ingin kembali ke sana?”

Linghu Chong tersenyum getir dan menjawab, “Pujian Bibi Ketua benar-benar tidak berani saya terima. Saya hanya berharap kelak di kemudian hari Guru sudi memaafkan kesalahan saya dan berkenan menerima saya kembali. Selain itu saya tidak mempunyai keinginan apa-apa.”

Qin Juan yang polos menyahut, “Kau tidak punya keinginan selain itu? Bagaimana dengan adik kecilmu?”

Linghu Chong menggeleng dan mengalihkan pembicaraan, “Marilah kita urus jasad para kakak dan adik yang gugur. Akan kita makamkan atau diperabukan lalu dibawa pulang ke Henshan?”

“Kita perabukan saja,” ujar Biksuni Dingxian dengan suara agak parau. Meskipun ilmu agamanya sudah sangat mendalam, namun melihat sekian banyak murid-murid yang tergeletak menjadi korban keganasan musuh, mau tidak mau perasaannya menjadi terguncang. Mendengar itu beberapa murid kembali menangis tersedu-sedu.

Di antara mereka yang gugur, ada beberapa murid sudah tewas beberapa hari lalu, ada pula yang menggeletak jauh di sana. Beramai-ramai Yihe dan yang lain mengumpulkan jenazah saudara-saudara seperguruan tersebut. Mereka tak kuasa menahan diri sehingga mencaci-maki kekejaman orang-orang Songshan, terutama Zuo Lengchan sang ketua.

Hari sudah gelap ketika semuanya selesai. Malam itu mereka meninggalkan lembah pegunungan sunyi tersebut. Esok paginya para murid mengusung Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, serta saudara-saudara seperguruan yang terluka. Setelah sampai di Kota Longquan, mereka menyewa tujuh buah perahu berkabin, untuk melanjutkan perjalanan menuju ke utara melalui jalur air.

Khawatir pihak Perguruan Songshan kembali menyerang di tengah jalan, Linghu Chong memutuskan tetap menyertai rombongan tersebut. Karena sekarang di dalam rombongan terdapat dua biksuni sepuh, Linghu Chong tidak berani lagi sembarangan bicara dengan para murid. Sementara itu keadaan Dingxian, Dingyi, dan yang lain sudah berangsur baik. Luka mereka sebenarnya tidak ringan, tetapi berkat obat Perguruan Henshan yang mujarab, mereka boleh dikata sudah lolos dari maut begitu perjalanan melewati Sungai Qiantang.

Sesampainya di muara Sungai Yangtze, mereka lantas menukar perahu sewaan dan berlayar melawan arus ke hulu sungai di wilayah Jiangxi. Perjalanan yang agak lambat itu diharapkan nanti setelah tiba di Hankou, semua orang yang terluka sudah sembuh sehingga mereka dapat melanjutkan perjalanan pulang melalui jalur darat dan berputar menuju utara.

Beberapa hari kemudian rombongan tersebut sampai di dekat Danau Poyang dan berlabuh di muara Sungai Jiu. Perahu yang mereka sewa kali ini berukuran sangat besar, sehingga untuk mengangkut puluhan orang tersebut cukup hanya dengan dua perahu saja. Ketika malam tiba, Linghu Chong tidur bersama juru mudi dan para kelasi di buritan.

Tepat tengah malam, Linghu Chong terbangun karena tiba-tiba mendengar di tepi sungai ada suara tepukan perlahan. Terdengar olehnya suara tepukan tiga kali, berhenti sejenak, lalu bertepuk lagi tiga kali. Tepukan tersebut sebenarnya tidak keras, tapi karena tenaga dalam Linghu Chong saat ini sangat tinggi, sehingga pendengarannya pun meningkat tajam. Begitu mendengar suara yang aneh itu ia segera bangkit dari tidur. Ia paham tepukan tangan semacam ini adalah isyarat yang biasa digunakan dalam dunia persilatan.

Selama beberapa hari ini Linghu Chong selalu bersikap waspada mengawasi gerak-gerik sepanjang sungai kalau-kalau ada musuh yang menyerang secara mendadak. Ia pun berpikir, “Sebaiknya aku periksa dulu siapa yang datang itu. Bagus kalau mereka tidak ada hubungannya dengan rombongan Perguruan Henshan. Tapi kalau mereka bermaksud jahat, maka akan kubereskan secara diam-diam supaya tidak mengganggu Biksuni Dingxian dan yang lain.”

Ia lalu menajamkan penglihatannya untuk mengamati perahu di sebelah barat sana. Terlihat sesosok bayangan melompat ke daratan. Sepertinya ilmu ringan tubuh orang itu biasa-biasa saja. Linghu Chong pun melompat ke tepi sungai dengan enteng, lalu mendarat tanpa bersuara. Ia mengambil jalan memutar sampai akhirnya berada di belakang sederetan keranjang yang berisi gentong minyak di sebelah timur tepian sungai.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Biksuni-biksuni di atas kapal itu memang benar dari Perguruan Henshan.”

Seorang lagi menjawab, “Lalu bagaimana baiknya?”

Linghu Chong berjongkok tanpa suara, kemudian perlahan-lahan mendekati mereka. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang dilihatnya dua orang sedang berbicara. Yang satu berperawakan tegap dengan muka penuh cambang kasar. Yang satu lagi hanya tampak dari samping, raut mukanya berbentuk panjang lancip seperti kuaci.

Terdengar si muka lancip kembali berkata, “Kalau hanya mengandalkan kekuatan Partai Naga Putih kita, jelas tidak akan mampu melawan mereka. Meskipun jumlah orang kita lebih banyak, tapi ilmu silat mereka lebih bagus. Kalau bertarung kita tidak akan menang.”

“Siapa bilang kita akan bertarung melawan mereka?” sahut si cambang. “Walaupun ilmu silat kawanan biksuni itu sangat tinggi, tapi belum tentu mereka pandai berenang? Besok kita tunggu saja sampai kapal mereka kembali berlayar ke tengah sungai. Kita lantas menyelam ke dalam air untuk melubangi kapal mereka. Bukankah dengan cara demikian kita bisa menangkap mereka satu per satu?”

“Akalmu ini sangat bagus,” seru si muka lancip. “Jika cara ini berhasil tentu kita akan berjasa besar dan nama Partai Naga Putih dari Sungai Jiu akan berkumandang di dunia persilatan. Hanya saja, aku masih mengkhawatirkan sesuatu.”

“Mengkhawatirkan apa?” tanya si cambang.

Si muka lancip menjawab, “Serikat Pedang Lima Gunung senapas seirama. Aku khawatir Tuan Besar Mo Ketua Perguruan Hengshan mengetahui perbuatan kita. Bisa-bisa dia marah besar dan melabrak partai kita.”

Si cambang berkata, “Hm, selama ini kita sudah kenyang menjadi bulan-bulanan Perguruan Hengshan. Maka kali ini kita berdua harus berusaha sekuat tenaga, supaya kelak kalau ada masalah maka kawan-kawan yang lain akan membantu kita. Padahal kalau usaha kita ini berhasil, boleh jadi Perguruan Hengshan akan ikut hancur. Untuk apa kita harus takut kepada si tua bermarga Mo segala?”

“Baik, kuterima rencanamu,” sahut si muka lancip akhirnya. “Sekarang mari kita kumpulkan kawan-kawan yang pandai menyelam.”

Pada saat itulah Linghu Chong melompat keluar. Dengan menggunakan gagang pedang ia memukul kepala belakang si muka lancip. Seketika orang itu pun jatuh pingsan. Si cambang lantas menghantam, tapi tahu-tahu dahinya sudah terkena pukulan gagang pedang Linghu Chong. Tubuh orang itu langsung berputar-putar seperti gasing dan akhirnya jatuh terduduk.

Pedang Linghu Chong lantas memotong dua buah tutup keranjang gentong minyak. Kedua orang itu lalu diangkatnya untuk dijebloskan ke dalam keranjang yang penuh berisi minyak sayur tersebut. Setiap keranjang berisi minyak tiga ratus kati. Rupanya gentong-gentong minyak tersebut disiapkan di tepi sungai untuk esok harinya dimuat ke dalam perahu menuju muara.

Begitu kedua orang itu masuk ke dalam gentong minyak dengan kepala ditekan oleh tangan Linghu Chong, seketika mulut dan hidung mereka terendam. Karena berada di dalam minyak dingin mereka lantas siuman dan seketika gelagapan karena meneguk minyak beberapa kali.

Tiba-tiba terdengar seseorang berkata di belakang, “Pendekar Muda Linghu, jangan bunuh mereka!” Ternyata yang datang adalah Biksuni Dingxian.

Linghu Chong terperanjat karena kedatangan Dingxian begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak terdengar olehnya. Segera ia menjawab, “Baik!” kemudian mengurangi tekanan tangannya yang menahan di atas kepala kedua orang itu.

Begitu merasa tekanan di atas kepala sudah berkurang, kedua orang itu bermaksud meloncat ke luar. Tapi Linghu Chong segera berkata dengan tertawa, “Hei, jangan bergerak!” Bersamaan bilah pedangnya kembali mengetuk dahi kedua orang itu sehingga kepala mereka masuk lagi ke dalam minyak.

Kedua orang itu meringkuk di dalam gentong dan terendam minyak sampai sebatas leher. Mata mereka terbelalak bingung karena tidak mengetahui bagaimana tiba-tiba bisa mengalami nasib konyol seperti ini.

Sementara itu sesosok bayangan tampak melompat dari atas perahu. Ia tidak lain adalah Biksuni Dingyi, yang kemudian bertanya, “Kakak, apakah ada yang tertangkap?”

Dingxian menjawab, “Ternyata dua tetua dari Partai Naga Putih. Pendekar Muda Linghu hanya bercanda dengan mereka.” Ia kemudian berpaling kepada si cambang dan bertanya, “Saudara ini bermarga Yi ataukah Qi? Bagaimana kabar Ketua Shi?”

Si cambang terheran-heran dan menjawab, “Aku bermarga Yi. Dari mana … dari mana kau tahu margaku? Ketua Shi kami baik-baik saja.”

Dingxian tersenyum dan berkata, “Tetua Yi dan Tetua Qi dari Partai Naga Putih memiliki julukan di dunia persilatan sebagai ‘Sepasang Ikan Terbang Sungai Yangtze’. Nama besar kalian sudah lama menggelegar seperti guntur di telinga biksuni tua ini.”

Rupanya Biksuni Dingxian seorang yang sangat cermat dan teliti. Meskipun jarang meninggalkan Gunung Henshan, tapi ia memiliki wawasan luas mengenai bermacam-macam tokoh dari berbagai aliran dan perguruan di dunia persilatan. Si cambang bermarga Yi dan si muka lancip bermarga Qi ini hanyalah jago kelas tiga atau empat di dunia persilatan. Namun begitu melihat raut muka mereka, ia langsung dapat menebak asal-usulnya.

Si muka lancip bermarga Qi tampak sangat senang dan menjawab. “Ah, mana berani kami menerima istilah ‘menggelegar seperti guntur di telinga’ segala?”

Linghu Chong mengerahkan tenaga pada bilah pedangnya untuk menekan kepala orang itu sehingga masuk kembali ke dalam minyak, lalu mengendurkannya lagi. Dengan tertawa ia berkata, “Aku pun sudah lama mendengar nama besar kalian seperti minyak menyusup ke dalam telinga.”

Kontan si marga Qi menjadi gusar. “Kau … kau ….” ia bermaksud memaki dengan kasar, tapi tidak berani.

Linghu Chong berkata, “Setiap pertanyaanku harus kau jawab dengan jujur. Jika berdusta sedikit saja maka julukan kalian ‘Ikan Terbang Sungai Yangtze’ akan berubah menjadi ‘Belut Mampus Terendam Minyak’.” Habis berkata demikian ia lantas menekan pula kepala si cambang ke dalam minyak. Orang bermarga Yi ini sudah bersiap-siap dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun tetap saja minyak masuk ke dalam hidungnya dan jelas terasa sangat tidak enak.

Dingxian dan Dingyi tersenyum geli. Mereka sama-sama berpikir, “Anak muda ini menang nakal dan suka iseng. Tapi caranya ini memang bagus untuk menanyai tawanan.”

Linghu Chong mulai bertanya, “Mulai kapan Partai Naga Putih kalian bersekongkol dengan Perguruan Songshan? Siapa yang menyuruh kalian membuat susah Perguruan Henshan?”

“Bersekongkol dengan Perguruan Songshan?” sahut si marga Yi. “Aneh sekali! Kami sama sekali tidak mengenal seorang pun anggota Perguruan Songshan.”

“Haha, pertanyaan pertama saja tidak kau jawab dengan jujur. Sekarang silakan minum minyak lagi biar lebih kenyang,” seru Linghu Chong. Habis berkata, kembali ia menekan kepala orang itu sehingga terendam minyak. Meskipun laki-laki bercambang itu bukan pendekar papan atas, tetapi ilmu silatnya tidak tergolong lemah. Namun Linghu Chong telah mengerahkan tenaga dalam pada bilah pedangnya sehingga orang itu merasa kepalanya seperti ditindih batu seberat seribu kati. Sama sekali ia tidak bisa berkutik dibuatnya.

Linghu Chong lalu berkata pada si muka lancip, “Lekas kau jawab dengan jujur! Apa kau juga ingin menjadi belut direndam minyak?”

Orang bermarga Qi itu menjawab, “Bertemu kesatria seperti dirimu, jelas aku tidak ingin menjadi belut rendaman. Tapi apa yang dikatakan Kakak Yi sama sekali bukan kebohongan. Kami benar-benar tidak kenal orang-orang Perguruan Songshan. Lagipula Perguruan Songshan dan Perguruan Henshan berasal dari perserikatan yang sama, setiap orang persilatan juga tahu. Mana mungkin Perguruan Songshan menyuruh kami membuat susah Perguruan Henshan kalian?”

Linghu Chong mengangkat gagang pedangnya untuk mengurangi tekanan pada kepala orang bermarga Yi itu, lalu bertanya, “Tadi kau bilang besok pagi akan melubangi kapal yang ditumpangi para biksuni Henshan di tengah sungai supaya tenggelam. Reencana kalian benar-benar keji. Sebenarnya apa salah Perguruan Henshan terhadap partai kalian?”

Biksuni Dingyi yang datang belakangan belum mengetahui mengapa Linghu Chong memperlakukan mereka berdua seperti itu. Sekarang begitu mendengar perkataan tersebut, seketika ia menjadi gusar dan membentak, “Bangsat, kurang ajar! Jadi kalian bermaksud menenggelamkan kami.”

Murid-murid Perguruan Henshan adalah kaum wanita dari utara yang tidak dapat berenang. Jika benar kapal akan ditenggelamkan di tengah sungai, tentu sukar bagi mereka untuk menghindarkan diri sehingga bisa mati tenggelam dan menjadi santapan ikan. Membayangkan hal itu membuat Dingyi bergidik ngeri.

Si cambang bermarga Yi takut kalau kepalanya kembali dibenamkan ke dalam minyak. Lekas-lekas ia pun menjawab, “Perguruan Henshan sama sekali tidak memiliki permusuhan dengan Partai Naga Putih kami. Kami hanyalah para penyelundup yang mencari sesuap nasi di tepian Sungai Jiu sini. Mana berani berani mencari perkara dengan Perguruan Henshan segala? Hanya saja … hanya saja kami berpikir kalian adalah sesama pemeluk agama Buddha. Perjalanan kalian menuju ke arah barat besar kemungkinan untuk memberikan bantuan. Maka itu … maka itu kami tidak sadar pada kelemahan diri sendiri sehingga secara gegabah membuat rencana busuk seperti tadi. Lain kali kami tidak akan berani lagi.”

Linghu Chong semakin bingung mendengar keterangan orang itu. Ia pun bertanya, “Apa maksudmu dengan sesama pemeluk agama Buddha? Apa maksudmu dengan memberi bantuan segala? Bicaralah yang jelas! Jangan membingungkan seperti itu!”

“Baik, baik!” sahut orang bermarga Yi. “Meski Perguruan Shaolin bukan anggota Serikat Pedang Lima Gunung, tapi kami kira biksu dan biksuni adalah satu keluarga ….”

“Kurang ajar!” bentak Dingyi menyela.

Orang bermarga Yi itu kaget dan tanpa sadar tubuhnya lantas meringkuk sehingga mulutnya kembali menelan minyak. Karena lidahnya semakin licin membuat mulutnya sulit bicara lagi.

Dengan menahan tawa Dingyi menunjuk si muka lancip, “Lekas kau saja yang bicara!”

“Baik, baik!” sahut orang bermarga Qi itu. “Ada seorang bernama Tian Boguang yang dijuluki Si Pengelana Tunggal Selaksa Li. Apakah Biksuni kenal baik dengannya?”

Dingyi sangat gusar mendengarnya. Ia pun berpikir, “Tian Boguang itu seorang maling cabul yang terkenal kebusukannya di dunia persilatan, mana mungkin aku kenal baik dengannya? Berani-beraninya orang ini bertanya seperti itu kepadaku. Benar-benar suatu penghinaan besar.” Segera tangan kanannya terangkat, hendak memukul kepala orang bermarga Qi itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar