Pendekar Laknat Jilid 21-30
21. Telur di ujung tanduk
Pada saat tangan Naga Terkutuk
hampir mencengkeram bahu Siau-liong, tiba-tiba Harimau Iblis meluncur kesamping
saudaranya dan mencekal tangan Naga Terkutuk.
Sudah tentu Naga Terkutuk
terperanjat, tegurnya, “Dinda, engkau ......”
Harimau Iblis tertawa,
“Gerakan Naga-sakti-mencengkeram kanda itu, belum tentu dapat mengenai budak
itu!"
Sekalian orang terkejut
mendengar kata-kata itu. Bahkan Naga Terkutuk pun deliki mata kepada adiknya
itu lalu membentaknya, “Apakah maksudmu?"
Hampir ia tak percaya apa yang
dikatakan Harimau Iblis itu.
Kata Harimau Iblis, “Kemarin
tatkala dipuncak Ngo-siong-nia, aku pernah adu kepandaian dengan dia, tetapi
akhirnya ......” ia tertawa menyeringai, “akhirnya kami sama-sama
terluka!"
Mendengar itu Iblis
Penakluk-dunia dan isterinya, Naga Terkutuk dan Po Ceng-in terbeliak kaget.
Semua mata tertumpah ke arah Siau-liong.
Benar-benar suatu hal yang
mustahil. Tetapi karena mulut Harimau Iblis sendiri yang mengatakan, mau tak
mau harus percaya.
Reaksi pertama timbul dari Po
Ceng-in. Nona pemilik lembah itu kejut girang lalu memegang lengan Siau-liong
dan bertanya lembut, “Apakah yang dikatakan itu benar?"
Siau-liong mendengus lalu
menyurut mundur selangkah, menghindarkan lengannya.
Naga Terkutuk dan Harimau
Iblis tertawa mengekeh menyaksikan penolakan Siau-liong.
Po Ceng in tertegun. Tanpa
menghiraukan ejek tertawa kedua momok serta sikap Siau-liong dingin, ia melesat
kesamping pemuda itu seraya berseru cemas, “Jangan percaya omongan iblis tua itu.
Aku memang baru berumur ......”
Ia tak lanjutkan kata-kata
melainkan menatap wajah Siau-liong dan dengan nada meratap ia berkata:
"Tanpa kukatakan engkau tentu dapat melihat sendiri apakah aku ini mirip
dengan wanita yang berumur 40 tahun?"
Kembali Po Ceng-in tertawa
mengikik tetapi jelas tertawa yang dibuat-buat untuk menutupi rasa malunya.
Siau-liong terpaksa
memandangnya. wajah wanita itu memang menimbulkan rasa kasihan tetapi pancaran
matanya penuh dengan nafsu kecabulan. Memang andaikata Naga Terkutuk tak
membuka rahasianya, Siau-liong tentu percaya nona itu masih berumur duapuluhan
tahun.
Beberapa saat Siau-liong
tergugu kehilangan paham. Ia tak tahu bagaimana harus bertindak. Namun ia
menyadari bahwa saat itu dirinya berada dalam sarang harimau buas.
Juga ia menginsyafi akan beban
kewajibannya yang berat. Ia harus menolong Mawar Putih, merebut kembali separoh
bagian dari Giok-pwe, menyelamatkan dunia persilatan, membalas dendam dan
mencari ibunya ......
Ia menimang lebih lanjut Dalam
lembah Semi yang penuh dengan perkakas rahasia, musuh lebih menang tempat.
Begitu pula jumlah mereka jauh lebih besar. Untuk mengahadapi keempat momok
itu, jelas bukan hal yang mudah.
Demi menyelamatkan kesemuanya
itu, terpaksa ia harus bermain sandiwara. Walaupun sesungguhnya ia muak
terhadap wanita itu, namun terpaksa ia memandangnya dengan pandang mata lemah
lembut dan mesra.
Po Ceng-in menyambut pandangan
itu dengan semangat terbuai-buai. Tiba-tiba ia berkata kepada ibunya, “Mah,
ijinkan kami pergi!" — ia terus menarik tangan Siau-liong diajak keluar.
“Tunggu!" tiba-tiba Iblis
Penakluk-dunia membentak.
Po Ceng-in terbeliak. Belum
pernah selama ini ayahnya membentaknya sedemikian bengis.
Dewi Neraka berobah wajahnya
dan melengking kepada suaminya, “Tolol! Mengapa engkau menakuti anak kita
begitu rupa!"
“Plak,” Iblis Penakluk-dunia
mendebur meja, dengusnya, “Jika aku terus menerus menuruti engkau saja. Bukan
saja usaha menguasai dunia persilatan akan hancur berantakan. Pun kemungkinan
kita akan menelan pahitnya kekalahan seperti duapuluh tahun berselang itu lagi.
Aku ......”
Dewi Neraka hujamkan
tongkatnya kelantai lalu berbangkit, teriaknya, “Tolol! Jika banyak tingkah,
lebih baik kita berpisah dan bekerja sendiri-sendiri saja! Apa engkau kira aku
hanya mengandalkan engkau saja?"
Habis berkata wanita bengis
itu melangkah kehadapan Po Ceng-in, ujarnya, “Tanyalah pada anak itu. Jika dia
benar-benar bersungguh hati kepadamu, mari kita berangkat sekarang juga. Mama
akan membawamu pulang ke Se-pak. Tak perlu kita hiraukan lagi soal harta pusaka
dan segala macam kekuasaan dunia persilatan!"
Po Ceng-in memandang ibunya
dengan penuh rasa syukur. Tetapi pada saat hendak bertanya penegasan kepada
Siau-liong, tiba-tiba Naga Terkutuk dan Harimau Iblis tertawa gelak.
Kemudian berserulah Harimau
Iblis dengan suara nyaring, “Aha, nyata perangai saudara masih belum berubah
seperti dahulu ......”
Dan Naga Terkutuk pun
menumpangi, “Hubungan saudara suami isteri berdua yang berkumpul dan berpisah
tak menentu itu benar-benar menjadi buah pembicaraan indah dalam dunia
persilatan. Hari ini bercerai entah kapan akan bertemu pula!"
Demikianlah kedua saudara
momok itu bergantian saling memberi komentar. Bukan melerai dan mendamaikan
kedua suami isteri itu tetapi kebalikannya menyiram minyak pada api kemarahan
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka supaya putus hubungan.
Seketika berobahlah wajah
Iblis Penakluk-dunia. Sepasang alisnya yang panjang melekat satu sama lain dan
sejenak melirik ke arah kedua tetamunya, cepat ia melesat kemuka Dewi Neraka.
“Isteriku, jangan marah. Hal
ini menyangkut kepentingan kita bersama. Sekali salah langkah, kita pasti
kalah. Oleh karena itu aku perlu berhati-hati ......”
Lalu ia menunjuk Siau-liong,
serunya, “Budak itu bukan pemuda biasa. Janganlah engkau sampai kena
dikelabuhinya!"
Dewi Neraka mendengus, “Sampai
dimanakah kemampuan seorang anak yang baru berumur belasan tahun itu? Bukankah
kalian sendiri yang ketakutan dan menduga yang bukan-bukan ......”
Namun sekali pun mulut
mengatakan begitu tetapi diam-diam Dewi Neraka mengingat juga akan keterangan
Harimau Iblis tentang pertempurannya dengan Siau-liong. Maka ia tak mau ayunkan
langkah melainkan masih mengamati Siau-liong dengan teliti.
Iblis Penakluk-dunia paksakan
tertawa, “Munculnya budak itu bersama seorang budak perempuan ke dalam barisan
Tujuh Maut, menandakan bahwa mereka tentu ikut dalam rombongan It Hang si imam
hidung kerbau itu. Kalau malam gelap, anak buahku tak dapat melihatnya, tetapi
......”
“Ah, soalnya sederhana
sekali," Naga Terkutuk menyelutuk, “kalau saudara tak sampai hati turun
tangan kepada menantu yang tercinta, perintahkan orang supaya menyiksa budak
perempuan itu. Dia tentu akan mengaku semua."
Iblis Penakluk-dunia alihkan
pandang matanya ke arah Naga Terkutuk, ia tertawa iblis: “Ah, saudara memang
pintar. Tetapi, Akupun memang sudah mempunyai pikiran begitu. Bahkan sebelum
saudara datang kemari, aku sudah suruh orang untuk memeriksa budak perempuan
itu. Tetapi diluar dugaan ......”
Ia berhenti sejenak untuk
mengelus jenggotnya yang memanjang sampai kelutut, lalu melanjutkan, “Diluar
dugaan budak perempuan itu lenyap."
Sekalian orang tersentak
kaget. Dan yang paling kaget sendiri adalah Siau-liong. Kemanakah gerangan
Mawar Putih itu ......
Naga Terkutuk keliarkan biji
matanya beberapa kali lalu berkata, “Tujuh Maut itu merupakan barisan yang
paling ketat dan rapat. Sampai pun bangsa binatang dan burung tak dapat keluar
masuk dalam barisan itu. Maka betapa lihaynya kepandaian seseorang, pun tak
mungkin dapat masuk keluar menurut sekehendak hatinya ......”
Dia geleng-geleng kepala dan
berkata seorang diri, “Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih sudah terperangkap
dalam barisan Tujuh Maut tetapi dapat melenyapkan diri. Sebagai gantinya dalam
barisan itu terdapat tawanan sepasang muda mudi. Si anak perempuan sudah
dimasukkan ke dalam Lembah Maut tetapi lenyap lagi ......”
Tiba-tiba ia tertawa keras,
“Ha, ha, apakah kita sedang melihat hantu?"
Dewi Neraka segera gunakan
ilmu menyusup suara bertanya kepada Iblis Penakluk-dunia, “Tolol, apakah
keteranganmu itu sungguh-sungguh?"
Iblis Penakluk-dunia kerutkan
dahi lalu menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Sudah tentu
sungguh-sungguh ......”
Ia memberi isyarat kicupan
mata kepada isterinya lalu berkata, “Soal hilangnya budak perempuan yang baru
berumur belasah tahun itu tak perlu kita cemaskan. Dan budak laki itu, jika
engkau suka, ambillah sebagai menantu. Tetapi menurut hematku, saat ini Lembah
Semi sudah kemasukan seorang tokoh yang sakti. Hilangnya budak perempuan itu
merupakan salah satu bukti ......”
Kembali Iblis Penakluk-dunia
berhenti. Diam-diam ia memperhatikan Naga Terkutuk dan Harimau Iblis lalu
berkata lagi, “Si tua Naga dan Harimau itu tamak akan harta pusaka dan
menghendaki separoh bagian. Sudah tentu di dunia tiada hal yang semurah itu.
Sekarang baiklah kita gunakan keserakahan mereka itu untuk mengadu mereka
dengan orang sakti yang menyelundup ke dalam lembah ini. Atau kalau perlu, kita
dapat gunakan alat-alat rahasia dalam barisan Tujuh Maut untuk melenyapkan
kedua iblis itu!"
"Apakah engkau kira
mereka mau tunduk pada perintahmu?" tanya Dewi Neraka.
Sahut Iblis Penakluk-dunia
dengan gembira, “Mereka berdua hanya mengandalkan pada kegagahan saja. Jika
engkau tak mudah naik pitam dengan gunakan siasat saja mereka tentu suka
melakukan perintahku!"
Dewi Neraka mendengus lain
melengking, “Tolol! Kalau memang bisa, silahkan engkau kerjakan. Perlu apa aku
harus mengadu biru?"
Percakapan kedua suami isteri
itu menggunakan ilmu menyusup Suara. Dengan begitu lain orang tiada dapat
mendengarnya. Hanya bibir mereka yang tampak bergerak-gerak, tetapi sama sekali
tak mengeluarkan suara apa-apa.
Beberapa saat kemudian, Naga
Terkutuk memekik keras, “Budak perempuan itu lenyap, tak jadi apa. Kita dapat
memeriksa budak laki ini!"
Habis berkata iblis itu terus
tebarkan kesepuluh jari tangannya. Sekali tubuh bergerak, ia gunakan jurus
Naga-sakti-mengambil-air. Kesepuluh jarinya itu mengeluarkan desis angin lalu
mencengkeram kedua bahu Siau-liong.
Siau-liong benar-benar tak mau
berkelahi. Buru-buru ia mundur dua langkah kesamping. Tetapi serangan kedua
dari Naga Terkutuk sudah menyusul. Tanpa menarik pulang jarinya, tiba-tiba
ditengah jalan jarinya itu dirobah dalam jurus Menyapu-buyar-awan. Cengkeraman
diganti dengan tabasan. Kedua tangannya susul menyusul menyerang Siau-liong.
Melihat calon menantunya
diserang seganas itu, Dewi Neraka melengking tajam. Sekali hujamkan tongkatnya
kelantai, kepala tongkat yang merupakan pangkal kepala naga, meluncur lepas
dari batang dan melayang kelambung Naga Terkutuk!
Serempak dengan itu, kepala
naga-nagaan tongkat itu hidungnya mengeluarkan beberapa lembar kumis sepanjang
limabelas senti. Kumis itu terbuat dari pada kawat baja yang halus dan runcing.
Warnanya berkilat kebiru-biruan. Jelas kalau dilumuri racun.
Naga Terkutuk terkejut sekali
dan cepat menarik pulang serangannya seraya menyurut mundur. Dengan demikian
terluputlah ia dari bahaya maut.
Dewi Neraka tertawa dingin.
Sekali gentakkan tongkatnya kelantai, kepala naga itu melayang balik dan
hinggap pada hulu tongkat lagi. Juga kumis naga yang memancar keluar tadi,
segera menyusup masuk pula.
Ternyata kepala tongkat yang
diukir seperti kepala naga itu, diikat dengan kawat halus yang ulet sekali.
Dapat dipijat keluar untuk menyerang musuh.
Naga Terkutuk tak mau balas
menyerang melainkan berseru keras, “Apakah benar-benar engkau hendak memusuhi
kami berdua saudara?"
Tetapi Dewi Neraka tak mau
menyahut.
Sedang Iblis Penakluk-dunia
segera mengangkat kedua tangannya, “Maafkan, maafkan! Harap saudara berdua
jangan mengambil dihati. Kita sedang berunding mengatur siasat!"
Merah padam selembar muka Naga
Terkutuk. Pada saat ia hendak lampiaskan kemarahannya, tiba-tiba Harimau Iblis
gunakan Ilmu menyusup suara mencegahnya, “Harap toako jangan cari gara-gara!
Jika bertempur, mereka menang orang dan tempat. Belum tentu kita menang ......”
Naga Terkutuk mendengus lalu
menjawab dengan ilmu Menyusup Suara, “Apakah adik takut?"
Harimau Iblis tak menghiraukan
dan berkata pula, “Apalagi masih ada budak lelaki itu yang jelas memiliki
kepandaian sakti. Menurut pengakuannya dia murid pewaris dari Pengemis
Tengkorak dan sudah memahami ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Pada waktu aku
bertanding melawannya, ternyata dia masih memiliki lain ilmu sakti ......”
Sejenak berhenti ia berkata
pula, “Ilmu saktinya itu, rasanya aku kenal! Tetapi sampai saat ini masih belum
kuketahui termasuk perguruan mana. Seperti tenaga sakti Mo-ya-kong-lat dari
paderi Liau Hoan gunung Thian-san, tetapipun seperti tenaga Bu-kek-sin-kang
dari Pendekar Laknat. Jadi bukan Mo-ya-kong-lat pun bukan Bu-kek-sin-kang.
Tetapi yang jelas, budak itu tentu mempunyai latar belakang yang hebat. Jika
dia bersatu dengan suami isteri iblis, tentu akan makin menyulitkan kita.
Memang diketemukannya sepasang muda mudi dalam barisan Tujuh-maut itu tentulah
hanya omong kosong. Dan tentang lenyapnya budak perempuan dalam Lembah Maut
itu, benar-benar juga tak mungkin terjadi."
Naga Terkutuk mendengarkan
dengan termangu. Rupanya ia tak pernah memikir sampai disitu.
Setelah termenung sejenak,
Harimau Iblis melanjutkan lagi, “Turut pendapatku kita menghadapi dua
kemungkinan. Pertama, mungkin Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih memang sudah
bersekutu dengan suami isteri iblis itu. It Hang dan rombongan tokoh-tokoh
partai persilatan sudah terjaring dalam perangkap mereka. Tujuan keempat iblis
itu tak lain karena hendak menghadapi kita berdua!"
Kemungkinan kedua, Pendekar
Laknat dan Dewi Ular Ki Ih telah binasa ditangan suami isteri iblis itu.
Separoh bagian dari Giok-pwe pun sudah jatuh ketangan mereka. Bahwa Pendekar
Laknat dan Dewi Ular Ki Ih terjebak dalam selat buntu tetapi dapat melenyapkan
diri, hanyalah cerita karangan kedua suami isteri iblis itu saja. Suatu siasat
untuk menghapus perhatian orang ......”
Harimau Iblis sejenak melirik
ke arah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka lalu berkata lagi kepada Naga
Terkutuk: "Salah satu dari kedua kemungkinan itu atau kedua-duanya tak
mungkin terjadi, tetapi tetap tak menguntungkan bagi kita kakak beradik?"
Iblis Penakluk-dunia dan
isterinya tahu juga bahwa kedua saudara iblis itu tengah melakukan pembicaraan
dengan gunakan ilmu Menyusup Suara. Tetapi mereka pura-pura tak tahu.
Melanjutkan pula percakapan
Harimau Iblis kepada Naga Terkutuk, “Keadaan yang kita hadapi saat ini,
betapapun kedua suami isteri itu memainkan siasat apa saja, kita tak boleh
mengundurkan diri karena ketakutan. Jika kedua suami isteri itu benar telah
berhasil mendapat kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong, mereka tentu takkan
membiarkan kita berdua hidup di dunia. Maka kalau hari ini kita tak membereskan
mereka, kelak tentu akan lebih sukar lagi!"
"Benar!" dengus Naga
Terkutuk. Ia merenung sesaat lalu berkata pula, “Karena aku tak dapat mengawasi
siasat mereka, harap adik yang waspada terhadap gerak-gerik mereka!"
Harimau Iblis mengangguk,
kemudian ia berpaling ke arah kedua suami-isteri iblis, memberi hormat seraya
berseru, “Karena tengah merundingkan urusan pribadi maka kami telah
bercakap-cakap dengan ilmu Menyusup Suara. Harap saudara berdua jangan salah
paham!"
Iblis Penakluk-dunia hanya
ganda tertawa mengiakan. Lalu ia menanyakan pendapat kedua kakak beradik itu
mengenai situasi yang dibadapi saat itu.
"Kami berdua saudara
termasuk orang bodoh. Sudah tentu kami hanya menurut keputusan saudara saja.
Kami bersedia membantu!” sahut Harimau Iblis.
"Ah, saudara keliwat
merendah diri," kata Iblis Penakluk-dunia.
Sejenak keliarkan mata,
berkatalah ia, “Peristiwa lenyapnya Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih dari
barisan Tujuh Maut itu adalah berdasar laporan dari anak buahku. Aku sendiri
belum memeriksa hal itu ......” ia melirik ke arah Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk lalu melanjutkan, “Kami berdua suami isteri hendak menyelidiki barisan
Tujuh Maut, saudara berdua ......”
"Sudah tentu kami akan
ikut juga!" cepat-cepat Harimau Iblis menukas.
Diam-diam Iblis Penakluk-dunia
terkejut mendengar pernyataan itu. Ia merasa heran kalau kedua kakak beradik
itu tak tahu bahwa dalam barisan Tujuh Maut penuh dilengkapi dengan alat rahasia
dan jebakan-jebakan yang berbahaya.
Namun ia menghapus rasa
herannya dengan mengulum senyum dan menganggukkan kepala. Lalu bertepuk tangan
tiga kali.
Dari luar gedung masuklah
enambelas orang laki perempuan menghadap dan memberi hormat kepada Iblis Penakluk-dunia.
Mereka mengenakan pakaian ringkas dan menyelinap senjata.
“Lekas beritahukan kepada
Soh-beng Ki-su bahwa aku beramai-ramai hendak memeriksa ke dalam barisan Tujuh
Maut!"
Sepasang lelaki dan perempuan
memberi hormat lalu melangkah keluar. Yang lain-lain segera berbaris pada kedua
tepi pintu.
Iblis Penakluk-dunia segera
mempersilahkan kedua tetamunya ikut.
Naga Terkutuk melirik ke arah
Harimau Iblis dengan pandang penuh kesangsian.
Harimau Iblis tertawa
gelak-gelak, “Ah, sebagai tetamu, aku tak boleh berlaku kurang hormat terhadap
tuan rumah. Silahkan saudara berjalan lebih dulu."
Iblis Penakluk-dunia tertawa
hambar. Diam-diam ia menertawakan kedua tetamunya itu. Sekalipun mereka
mempunyai rencana bagaimana, pun takkan terlepas dari genggamannya. Maka ia
memberi isyarat kicupan mata kepada isterinya. Dan kedua suami isteri lalu
melangkah keluar.
Pada saat keempat durjana itu
sedang siapkan rencana masing-masing secara diam-diam, adalah Siau-liong tetap
mengawasi gerak-gerik mereka dengan tak acuh. Diam-diam ia sudah dapat
menyelami apa isi hati keempat orang itu.
Pikirnya, asal keempat iblis
itu masing-masing mempunyai kecurigaan dan saling tak percaya, ia tentu
mendapat kelonggaran dan kesempatan untuk mengadu domba mereka.
Setelah keempat iblis itu
pergi, buru-buru Siau-liong bermain sandiwara. Dengan mesra ia menarik tangan
Po Ceng-in dan membisiki kedekat telinganya, “Hayo, kita ikut melihat
juga."
Melihat Siau-liong begitu
mesra kepadanya, Po Ceng-in menjadi lupa daratan. Setelah memberi tatapan mata
yang penuh arti, tanpa banyak pikir lagi ia segera menggandeng tangan
Siau-liong dan melangkah keluar untuk mengikuti gerak gerik keempat iblis itu.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka berhenti dan berpaling. Ketika melihat anak perempuannya bergandengan
tangan Siau-liong, mereka tersenyum lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk berjalan di belakang sendiri. Seolah-olah tanpa disengaja Naga
terkutuk berjalan disamping Po Ceng-in. jaraknya hanya lebih kurang setengah
meter sehingga jika mengulurkan tangan tentu dapat mencapai.
Siau-liong sudah siap siaga
menghadapi keempat iblis itu. Diam-diam dia sudah membentengi tubuhnya dengan
saluran Bu-kek-sin-kang. Maka tenang-tenang saja ia mengikuti di belakang
mereka.
Memang bangunan dalam Lembah
Semi itu dicipta sedemikian hebat. Jalanan di tengah halaman berbilak-biluk.
Loh-gik-thia atau pagoda termpat beristirahat penuh bertaburan disana sini.
Bangunan pada setiap tempat
selalu disusun menurut bentuk Pat-kwa dan Kiu-kong. Bahkan setiap pohon dan
setiap batang bunga, pun ditanam menurut aturan barisan.
Selama berjalan itu diam-diam
Siau-liong memperhatikan dan mencatat dalam hati semua yang dilihatnya. Tetapi
ternyata kedua suami isteri iblis itu sengaja berjalan berputar-putar kian
kemari sehingga sesudah delapan kali membelok, sukar bagi orang untuk mengenal
arah lagi.
Kira-kira sepeminum teh
lamanya, tibalah mereka dimulut sebuah selat lembah yang sempit. Iblis
Penakluk-dunia berhenti.
Sambil tertawa ia menerangkan,
“Itulah mulut Lembah Maut. Didalamnya penuh dengan berbagai perkakas rahasia.
Sekali salah langkah, sukar dibayangkan akibatnya ......”
Memandang ke arah kedua
saudara iblis, ia berkata pula, “Misalnya kalau keliru melangkah ke Pintu-mati,
tentu akan terjerumus ke dalam liang dan pasti akan hancur lebur. Aku
sendiripun tak berdaya menolong. Saudara berdua hendaknya ikut saja di belakang
kami, jangan bergerak sembarangan!"
Jelas ucapan Iblis
Penakluk-dunia mengandung ancaman untuk menakuti hati orang.
Harimau Iblis tertawa gelak,
serunya, “Jangan kuatir, andaikata kami sampai mengalami nasib sial keluar
menginjak tempat maut pun takkan meminta ganti jiwa kepada saudara
berdua'"
Iblis Penakluk dunia tertawa
sinis lalu melanjutkan berjalan lagi. Harimau Iblis pun memberi isyarat mata
kepada saudaranya. Mereka tetap berjalan di belakang Po Ceng-in dengan
mengambil jarak dekat.
Belasan anak buah lembah yang
terdiri dari lelaki dan perempuan dan bersenjata pedang tadi, bertindak sebagai
pelopor dimuka. Begitu masuk ke dalam selat, mereka berjalan pelahan-lahan dan
tak henti-hentinya menggerakkan tubuh kekanan dan kiri. Mirip seperti kupu-kupu
yang berterbangan menerobos gerumbul bunga.
Selama memperhatikan keadaan
tempat yang dilaluinya itu, diam-diam Siau-liong heran juga. Jelas semalam
ketika bersama Mawar Putih, ia dikejar suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka masuk ke dalam selat lembah itu, disitu terdapat sebuah telaga yang
besar.
Tetapi mengapa saat ini ia tak
melihat telaga itu lagi? Heran, adakah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu
mempunyai ilmu untuk memindah gunung dan menyingkirkan laut?
22. Asmara Puteri Lembah Maut
Tak berapa lama rombongan itu
telah keluar dari jalanan selat yang sempit. Kini mereka berhadapan dengan sebuah
tanah lapang yang luas. Tanah lapang yang merupakan tanah rendah mirip seperti
dasar sumur.
Kedua barisan pelopor lembah
Semi itu, tiba-tiba cepatkan langkahnya menuju ke kaki batu karang disebelah
bawah. Kemudian mereka lalu menyusup ke dalam gerombol pohon.
Kini barulah Siau-liong
mengetahui jelas bahwa jalan keluar dari lembah Tujuh Maut itu bukan hanya satu
saja. Kemarin ia datang dan masuk dari salah sebuah jalan.
Tampak hutan pohon siong itu
berada ditengah tanah lapang. Tetapi ia tak dapat menentukan arahnya yang
tepat.
Ke enambelas barisan lelaki
perempuan dari lembah Semi tadi muncul dari tempat masing dalam gerumbul semak
sambil mencekal bendera warna hijau yang dilambaikan ke arah kiri. Setelah itu
mereka menyelinap bersembunyi lagi.
Dari empat penjuru kaki
karang, sayup-sayup terdengar suara menderu pelahan dan menyusul mulailah kabut
tipis bertebaran keluar. Tak berapa lama ke tujuh gua dan sekeliling penjuru
segera tertutup kabut.
"Apakah maksud
saudara?" tanya Harimau Iblis kepada tuan rumah.
Iblis Penakluk-dunia tertawa,
“Agar barisan Tujuh Maut tetap aktif. Menjaga kemungkinan musuh menyusup
kemari!"
Harimau Iblis tertawa keras:
“Bagus saudara sungguh cermat sekali!"
Iblis Penakluk dunia saling
berpandang mata dengan isterinya lalu mereka melangkah ke arah hutan. Begitu
masuk ke dalam hutan, Iblis Penakluk-dunia berhenti dan memandang kesekeliling.
Sesaat kemudian ia berkata
kepada kedua tetamunya, “Barisan Tujuh Maut itu diciptakan oleh seorang cianpwe
yang sakti. Lebih dari setahun lamanya barulah aku dapat mempelajari
rahasia-rahasia perobahan dalam barisan itu. Sungguh suatu ciptaan yang luar
biasa hebatnya ......”
Habis berkata ia lekatkan
pandang mata kepada Harimau Iblis, lalu katanya, “Sayang barisan hebat ini
sudah berpuluh tahun tak pernah digunakan. Kecuali kemarin malam itu, barulah
barisan itu bekerja untuk menangkap rombongan It Hang si hidung kerbau. Sejak
ini ......”
Tanpa menunggu tuan rumah
menyelesaikan kata-katanya, Harimau Iblis cepat menukas dengan tertawa nyaring.
Nadanya ngeri menusuk telinga, tak ubah seperti raung singa kelaparan sehingga
daun-daun dalam hutan itu bergetaran.
Cukup lama tertawa, barulah ia
berhenti, serunya, “Sayang karena barisan itu sudah lama tak digunakan,
kemungkinan tentu tak begitu lancar. Kalau tidak, tentu tak mungkin Pendekar
Laknat dan Dewi Ular Ki Ih serta budak perempuan baju putih itu dapat
melenyapkan diri!"
Iblis Penakluk-dunia tahu
bahwa Harimau Iblis sedang berusaha untuk membakar hatinya. Merahlah selebar
muka iblis itu. Sinar matanya mulai memancarkan sinar pembunuhan.
Beberapa saat kemudian, wajah
Iblis Penakluk-dunia itu mulai tenang lagi. Ia tertawa seram,
“Barisan Tujuh Maut mempunyai
tujuhpuluh dua perobahan. Asal masuk ke dalam selat, berarti sudah masuk
perangkap. Sekalipun paham akan ilmu Ngo-heng, Pat-kwa dan Kiu-kiong, tetap tak
mungkin dapat keluar dari barisan itu!"
Seketika berobahlah wajah
Harimau Iblis, serunya, “Maksud saudara hendak mengatakan bahwa kami berdua
saudara saat ini pun sudah masuk dalam perangkap?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa,
“Saudara berdua sedang menjadi sekutu kami. Menguasai dunia persilatan dan
menikmati harta karun yang tak ternilai harganya itu. Sudah tentu kami tak
mempunyai maksud hendak mencelakai saudara berdua!"
Harimau Iblis balas tertawa
dengan nada dingin, “Hm, sesungguhnya kami berdua ini sudah tak berguna lagi.
Adakah saudara masih tetap hendak mengajak kami kerja-sama dan membagi rata
harta karun itu?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
keras, “Ah, jangan memikirkan yang bukan-bukan. Saat ini ......”
"It Hang dan rombongan
orang gagah sudah masuk dalam perangkap. Dewasa ini dunia persilatan tentu
memerlukan seorang pemimpin. Kalau Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih pun
sudah jatuh ke dalam tangan saudara, tentulah harta karun yang dapat dibelikan
sebuah negara itu, mudah engkau dapatkan. Dapat menguasai dunia persilatan dan
memperoleh harta karun yang berlimpah-limpah ......”
Berhenti sejenak ia
melanjutkan pula, “Masakan saudara masih rela membagi rejeki dengan lain orang
lagi?"
Dewi Neraka getarkan tongkat
berkepala naga, lalu berteriak sengit, “Kalian sungguh cerdik sekali!"
Namun seperti tak tersinggung
oleh sindiran tajam dari wanita iblis itu, Harimau Iblis berseru pula, “Jika
tak pintar, kami berdua tentu tak berani masuk mencari kematian ke dalam
barisan ini!"
Harimau Iblis menutup
kata-katanya dengan tersenyum. Sepintas pandang seperti orang yang sudah yakin
pada dirinya.
Iblis Penakluk-dunia kerutkan
alis. Setelah keliarkan pandang mata kesekeliling, ia melangkah ke tengah Naga
Terkutuk dengan Po Ceng-in.
Ia memandang kelain tempat
seolah-olah tak mengacuhkan Po Ceng-in.
Melihat tindakan tuan rumah
itu, diam-diam Harimau Iblis memberi isyarat mata kepada kakaknya, Naga
Terkutuk. Naga Terkutuk tersenyum tetapi tak berkata apa-apa.
Pada saat Iblis Penakluk-dunia
akan tiba ditengah-tengah Po Ceng-in dengan dirinya, tiba-tiba Naga Terkutuk
menggembor keras dan dengan sebuah jurus Naga-sakti-mencengkeram dengan secepat
kilat tangan kanannya menyambar siku lengan kiri dari Po Ceng-in ......
Saat itu Po Ceng-in sedangn
terbuai dalam lamunan asmara. Tangan kirinya mencekal tangan kanan Siau-liong
erat-erat. Seolah-olah ia takut kehilangan pemuda itu. Nona pemilik lembah itu
benar-benar sedang dimabuk kepayang sehingga lupalah ia akan keadaan saat itu.
Hampir ia tak mengetahui serangan mendadak dari Naga Terkutuk itu.
Barulah setelah pergelangan
tangannya tercengkeram, ia tersadar kaget. ”Aih....” buru-buru ia salurkan
tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-sin-kang kelengan kiri untuk menolak serangan
orang.
Tetapi tenaga-dalam Naga
Terkutuk itu hebat sekali. Dan memang rencananya, ia hendak mencekal Poh
Ceng-in untuk dijadikan sandera sebagai alat penekan Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka. Oleh karena itu maka ia harus dapat menguasai Po Ceng-in.
Dengan tertawa dingin, ia
tambahkan tenaga dalam ketangannya. Po Ceng-in rasakan tangannya seperti
terjepit kait baja. Tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-sin-kang yang dipancarkan itu,
bukan saja tak mampu menghalau tenaga lawan, bahkan malah terdesak masuk
kembali dan hampir menyerang jatungnya.
Seketika ia rasakan lengan
kirinya seperti patah, wajahnya pucat, gerahamnya mengerat kencang dan
meringislah ia hendak menangis.
“Lepaskan!" teriak Dewi
Neraka seraya gentakkan tongkatnya.
Naga Terkutuk memandang kelain
jurusan, sahutnya, “Asal berani maju selangkah lagi, urat jantung puterimu
tentu akan kuremukkan."
Dewi Neraka mengerenyutkan
gigi seperti hendak menelan si Naga Terkutuk. Tetapi apa daya, ia terpaksa
harus menurut perintah orang.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
tawar, “Tindakan saudara itu tentu saudara anggap pintar. Tetapi sesungguhnya
tolol sekali."
Harimau Iblis tertawa
mengejek, “Ah, tujuan saudara kan hanya menguasai dunia persilatan dan mendapat
harta karun. Masakan saudara.... ingat akan puteri saudara. Asal sudah mendapat
tujuan yang saudara cita-citakan, peduli apa dengan yang lain-lain hal. Hanya
saja ......”
Ia berhenti sejenak untuk
beralih memandang Dewi Neraka, serunya pula, “Tetapi berbeda dengan nyonya.
Tentulah lebih mencintai anak daripada segala kekuasaan dan kekayaan.
bukan?"
Dewi Neraka tertegun.
Buru-buru ia berseru kepada suaminya, “Tolol! Jika engkau nekad turun tangan
dan sampai menyebabkan jiwa anak kita celaka, aku tentu akan mengadu jiwa
denganmu!"
Ternyata Harimau Iblis sudah
dapat menyelami hubungan antara kedua suami isteri itu. Dewi Neraka amat
mencintai sekali anaknya. Diperhitungkan, wanita itu tentu lebih sayang anak
dari pada segala apa di dunia.
Psikologi atau perasaan hati
wanita itu, dapat dimanfaatkan oleh Harimau Iblis. Ia suruh Naga Terkutuk
membekuk Po Ceng-in agar dapat dijadikan alat penekan kedua suami isteri iblis
itu.
Iblis Penakluk-dunia
melambaikan tangannya, “Jangan kuatir isteriku. Kutanggung anak kita tentu
takkan menderita apa-apa ......”
Ia menutup kata-kata sambil
mengangkat jari ke atas. Serangkum api merah segera meluncur ke udara.
Harimau Iblis tertegun,
teriaknya, “Hai, jangan main gila dihadapanku! Ketahuilah ......”
“Ah, harap saudara jangan
banyak curiga," Iblis Penakluk-dunia tertawa, “aku hanya memberi perintah
kepada anak buah barisan supaya melakukan penyelidikan yang lebih cermat lagi
......”
Sejenak keliarkan mata, ia
melanjutkan, “Terus terang kuberitahukan kepada saudara bahwa saudara berdua
memang sudah masuk ke dalam barisan Tujuh Maut. Dengan cara dan siasat apapun,
jangan harap saudara dapat menghindar ......”
“Tetapi paling tidak juga akan
bersama mati dengan puterimu!" tukas Naga Terkutuk.
Tetapi acuh tak acuh Iblis
Penakluk-dunia mengurut jenggotnya yang panjang dan berkata pula, “Sesungguhnya
aku tak mengandung sikap bermusuhan dengan saudara. Paling tidak dalam saat
kita perlu bekerja-sama untuk menghadapi musuh yang sakti."
Harimau Iblis tertawa,
“Sudahlah, jangan banyak bermain lidah, kami berdua tiada waktu mendengarkan
Lekas beritahukan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Apakah Pendekar Laknat
itu bersekongkol dengan kalian berdua atau memang benar-benar sudah mati dalam
barisan Tujuh Maut. Dimanakah sekarang Giok-pwe yang separoh bagian itu?"
Wajah Iblis Penakluk-dunia
mengerut gelap, sahutnya, “Jika saudara tetap tak mau percaya, akupun tak dapat
berbuat apa-apa. Pendekar Laknat dan wanita Ki Ih itu benar-benar memang telah
tertangkap dalam barisan Tujuh-maut, tetapi mereka dapat melenyapkan diri tanpa
meninggalkan suatu jejak apapun juga ......”
Berhenti sejenak, ia
melanjutkan, “Setelah menghilang selama duapuluh tahun, Pendekar Laknat memang
makin tinggi ilmu kesaktiannya. Berapa kali mengadu kepandaian, kami berdua
suami isteri hampir celaka ditangannya. Tetapi jika dia dan Ki Ih mampu
menghilang dari barisan Tujuh Maut aku benar-benar tak percaya sama sekali!
Taruh kata mereka mempunyai sayap dapat terbang, pun tentu tetap diketahui oleh
anak buah barisan. Oleh karena itu....” — wajah iblis itu makin berobah gelap,
"berani pastikan bahwa dalam barisan Tujuh Maut ini tentu sudah kedatangan
lagi seorang sakti yang luar biasa!"
Bermula kedua saudara Harimau
dan Naga hanya tertawa sinis. Tetapi demi melihat sikap Iblis Penakluk-dunia
begitu bersungguh-sungguh, tergerakklah hati mereka.
Naga Terkutuk mendengus, “Lalu
siapakah kiranya orang yang menyelundup ke dalam barisan Tujuh Maut itu?"
Dan tanpa menunggu jawaban
Iblis Penakluk dunia, ia melanjutkan lagi, “Apakah tidak mungkin paderi Liau
Hoan dari gunung Thian-san ... atau Kiu Tiong-beng si Manusia Aneh dari
Pak-ciang?.... atau Sepasang Imam dari gunung Mo-san.... atau Empat Manusia
Buruk dari gunung Imsan ......?"
Iblis Penakluk-dunia
berturut-turut gelengkan kepala.
"Orang-orang itu adalah
tokoh-tokoh aneh yang sakti pada jaman ini. Mereka telah mencapai tataran yang
tinggi sekali. Tetapi kalau mereka dapat keluar masuk ke dalam barisan Tujuh
Maut tanpa diketahui orang, benar-benar tak mungkin!"
Hampir saja Siau-liong tertawa
geli mendengar percakapan mereka. Betapa tidak! Kalau mereka tahu bahwa yang
menjadi Pendekar Laknat dan Ki Ih bukan lain adalah dirinya dan Mawar Putih,
bukankah mereka akan ditelan bulat-bulat oleh kawanan iblis durjana itu?
Tetapi ketika teringat akan
Mawar Putih yang nasibnya belum ketahuan, seketika hatinya pilu dan rawan.
Ia gelisah sekali. Jika budak
perempuan baju putih itu benar-benar lenyap seperti yang dikatakan Iblis
Penakluk-dunia, jelas kalau Mawar Putih sudah lolos dari barisan Tujuh Maut.
Lalu kemanakah nanti ia hendak mencari dara itu ......?
Saat itu kabut dari keempat
dinding karang makin tebal dan mulai merembes ketengah. Persis seperti kemarin
malam ketika Siau-liong berada disitu.
Mata si Naga Terkutuk tak
henti-hentinya berkeliaran memperhatikan keadaan kesekeliling. Sedang tangan
kanannya tetap mencengkeram bahu kanan Po Ceng-in erat-erat. Sementara tangan
kiri nona itu menggandeng tangan kanan Siau-liong, sehingga mereka saling
gandeng menggandeng tangan.
Tetapi po Ceng-in tenang-tenang
saja. Rupanya ia sudah dapat menangkap isyarat kedua orang tuanya supaya tak
usah berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Naga Terkutuk.
Dewi Neraka bersiap-siap
dengan tongkat kepala ular naganya. Ia memandang lekat-lekat ke arah Naga Terkutuk.
Bagaikan seekor burung rajawali yang menunggu saat-saat si ular naga lengah
mencengkeram korbannya.
Iblis Penakluk-dunia
kebalikannya malah memandang kian kemari dengan sikap acuh tak acuh.
Seolah-olah seperti menunggu sesuatu dari lingkaran kabut tebal itu.
Suasana tampak sunyi. Rupanya
Harimau Iblis tergerak hatinya mendengar kata-kata Iblis Penakluk-dunia tadi.
Matanya bergantian memandang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Sekonyong-konyong dari jauh
terdengar beberapa suitan nyaring. Dan sayup-sayup dari dalam kabut tebal itu
meluncur tiga larik sinar api berwarna hijau kebiru-biruan ke atas angkasa.
Diperkirakan, api itu tentu berasal dari tengah dinding karang yang terpisah
sepuluh tombak lebih jaraknya.
“Apakah sudah ada hasil dari
penyelidikan anak buah saudara?" tanya Harimau Iblis.
Iblis Penakluk-dunia gelengkan
kepala, “Aneh, masih belum ketemu apa-apa ......” — tiba-tiba ia menunduk
kepala dan berjalan beberapa langkah lalu berhenti.
Memandang ke arah Naga
Terkutuk dan Harimau Iblis, ia berkata pula, “Sudah tiga kali menyelidiki,
hasilnya tak menemukan apa-apa. Baik Pendekar Laknat, Ki Ih, budak perempuan
baju putih dan lain-lain orang yang diduga menyelundup ke dalam barisan
itu!"'
Naga Terkutuk dan Harimau
Iblis saling berpandangan dengan heran. Kedua saudara itu benar bingung
menghadapi gerak-gerik Iblis Penakluk-dunia yang sukar diraba itu. Sesaat kedua
saudara itu kehilangan paham.
Tetapi mereka tetap tak
lepaskan pendirian semula. Asal masih dapat menguasai Po Ceng-in, bagaimanapun
kedua suami isteri iblis itu hendak bermain siasat, tentu tetap dapat diatasi.
Iblis Penakluk-dunia berjalan
lagi. Tiba-tiba ia lontarkan pertandaan api lagi. Api itu terbuat daripada
bahan phosporus sehingga sinarnya amat kuat sekali. Paling tidak tentu dapat
dilihat sampai jarak satu li jauhnya.
Timbul pula kecurigaan Harimau
Iblis terhadap gerak-gerik tuan rumah. Cepat ia berseru menegur, “Apa lagi
itu?"
Tawar-tawar saja Iblis
Penakluk-dunia memandang Harimau Iblis. Dan berkatalah ia tanpa menyinggung
pertanyaan tadi, “Kini setelah jelas tiada orang yang menyusup ke dalam barisan
Tujuh Maut, untuk sementara waktu ini tak perlu kuminta bantuan saudara berdua.
Lebih dahulu kami suami isteri menghaturkan terima kasih kepada saudara berdua
......”
Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk terbeliak kaget. Sepasang mata Harimau Iblis yang bundar besar,
melingkar-lingkar memandang Iblis Penakluk-dunia lalu membentak keras, “Jangan
main gila dihadapanku ......”
Lalu beralih memandang Dewi
Neraka, ia mengancam, “Awas, jiwa puterimu yang engkau sayangi itu!"
Diluar dugaan, Dewi Neraka tak
menghiraukan ancamannya. Ia tetap lekatkan pandang matanya kepada Naga
Terkutuk.
Sejenak berhenti, Iblis
Penakluk-dunia berkata pula, “Sesungguhnya cita-citaku hanyalah untuk mendapat
harta pusaka itu dan menguasai dunia persilatan. Walaupun It Hang dan
rombongannya sudah terperangkap ke dalam barisan Tujuh Maut, tetapi si Pendekar
Laknat itu masih belum ketahuan jejaknya. Rasanya jalan untuk mencapai
cita-cita itu masih banyak rintangannya ......”
Ia menghela napas lalu
memandang ke arah Harimau Iblis, “Saudara berdua memiliki ilmu kesaktian yang
jarang tandingannya. Maka kami hendak mengadakan hubungan kerja-sama dengan
saudara dalam jarak waktu yang lama. Setelah mendapat harta pusaka dan
menguasai dunia persilatan ......”
“Yang penting bagaimanakah
sikap saudara dalam kerjasama itu." karena tak sabar mendengar bicara
orang yang berbelit-belit, Harimau Iblis cepat menukas.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
gelak-gelak, serunya, “Bukan aku segan kerjasama itu, melainkan yang kuminta
janganlah saudara terlalu memperhitungkan balas jasa dan janganlah menanyakan
sebab-sebabnya. Lakukanlah perintah kami tanpa syarat."
Naga Terkutuk dan Harimau
Iblis terbeliak.
"Ngaco! Jangan bicara
ngelantur!" teriak kedua saudara itu serempak.
Iblis Penakluk dunia hanya
ganda tersenyum, tiba-tiba ia berputar tubuh terus melangkah pergi.
Kedua saudara Naga dan Harimau
itu benar-benar tak mengerti apa yang sedang dilakukan tuan rumah. Naga Terkutuk
segera memperkeras cekalan tangannya pada lengan Po Ceng-in.
“Aih....” Po Ceng-in mengerang
kesakitan namun terpaksa ditahannya juga, ia berpaling memandang Siau-liong
dengan sinar mengharap.
Siau-liong memang sedang
menunggu suatu peluang yang baik. Oleh Karena ia juga tak mengerti apa yang
terkandung dalam ucapan Iblis Penakluk-dunia, maka sampai saat itu ia belum
berani bertindak.
Tiba-tiba bau harum berhembus
ketempat situ dan berserulah Harimau Iblis, “Huh, apakah ini?"
“Masakan saudara tak mengetahui
bahwa sepanjang tahun lembah ini selalu berada dalam suasana musim semi. Pabila
angin berhembus, tentu mengantar bau bunga yang harum membuai semangat
orang."
Setelah menyedot bau itu
sejenak, berobahlah seketika wajah Harimau Iblis dan segera ia menggembor
marah, “Aku tak tahan lagi melihat permainan ini....” — ia berpaling kepada
Naga Terkutuk dan suruh memaksa Po Ceng-in berjalan menunjukkan jalan keluar
dari situ.
Naga Terkutuk pun menyadari
sesuatu yang tak menguntungkan. Maka cepat ia menyeret Po Ceng-in supaya
berjalan. Karena tangan nona itu masih tetap mencekal tangan Siau-liong maka
Siau-liong pun ikut terseret bangun.
Melihat Naga Terkutuk dan
Harimau Iblis sudah mulai bertindak dan mengingat bahwa bau harum itu tentu
mengandung obat bius, Siau-liong mengambil putusan untuk turun tangan saat itu
juga.
Sekali kaki mengisar, ia
segera membentak Naga Terkutuk, “Lepas!'"
Naga Terkutuk tertegun,
bentaknya, “Ho, budak, apakah engkau juga sudah bosan hidup?"
Siau-liong tertawa keras.
Nadanya laksana guntur berkumandang ditengah musim semi. Naga Terkutuk
terbeliak kaget sekali. Dari nada tertawanya, jelas diketahui bahwa pemuda itu
memiliki tenaga dalam yang sakti.
Mendengar tertawa itu,
cepat-cepat Harimau Iblis memberi peringatan kepada saudaranya, “Awas, budak
itu ......”
Tetapi peringatannya itu sudah
terlambat datangnya. Pada saat Naga Terkutuk masih terpukau, Siau-liong sudah
segera pancarkan tenaga saktinya ke tubuh Po Ceng-in.
Setitikpun Naga Terkutuk tak
mimpi bahwa pemuda yang baru berumur belasan tahun itu, mampu menyalurkan
tenaga dalamnya untuk membantu Po Ceng-in menolak tekanan tangan Naga Terkutuk.
Seketika Naga Terkutuk rasakan
tangannya yang mencengkeram lengan Po Ceng-in itu seperti dilanda oleh
gelombang tenaga sakti yang dahsyat sehingga tangannya terasa linu kesemutan
dan lemah lunglai.
Po Ceng-in pun mengetahui
peristiwa itu. Ia rasakan tubuhnya dilanda oleh arus tenaga sakti dan tahu-tahu
dilihatnya Naga Terkutuk menarik pulang cengkeramannya. Nona itu kejut-kejut girang.
Tanpa mensia-siakan kesempatan
lagi, ia segera mendorong iblis itu. Karena Naga Terkutuk sedang terpukau oleh
peristiwa yang mengejutkan tadi, ia tak sempat lagi mengerahkan tenaga dalam
untuk menolak dorongan Po Ceng-in. Maka terhuyung-huyunglah iblis itu sampai
beberapa langkah jauhnya.
Melihat itu dengan meraung
keras. Harimau Iblis segera menyerbu. Tetapi Dewi Neraka yang sejak tadi sudah
siap siaga, cepat menghantamkan tongkatnya ke arah Harimau Iblis.
Harimau Iblis terpaksa
berputar menghindarkan diri. Tetapi Dewi Neraka tak mau berhenti. Dengan
mangukuk seram seperti seekor burung hantu, wanita tua itu putar tongkatnya
membabat perut Harimau Iblis.
Sementara Naga Terkutuk,
setelah menyalurkan tenaga-dalam, tangannya yang kesakitan tadi sudah pulih
kembali. Lalu ia gunakan jurus Naga-sakti-bermain-diair, menyerang Po Ceng-in
dengan kalap.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
mengekeh. Begitu tangan Naga Terkutuk hendak menyambar lengan Po Ceng-in, Iblis
Penakluk dunia segera menyongsong dengan sebuah hantaman. Naga Terkutuk
terpaksa hentikan serangan untuk turun ke tanah seraya dorongkan kedua tangan
menyambut pukulan iblis Penakluk-dunia.
”Bum”.... terdengar letupan
keras dan keduanya masing-masing menyurut mundur tiga langkah.
23. Manusia Dalam Tanah
Saat itu pecahlah pertempuran
seru antara sepasang suami isteri lawan sepasang saudara. Angin pukulan mereka
menderu-deru memancarkan sambaran dahsyat. Mereka bertempur amat sengit
sehingga sukar dikenal ciri-ciri orangnya.
Siau-liong mengawasi pertempuran
keempat iblis dengan tersenyum dingin.
Sementara kabut yang
bertebaran dari empat penjuru karang makin tebal. Kecuali di luar hutan,
digelanggang pertempuran itu terbungkus oleh kabut tebal sehingga sejauh dua
meter saja, orang tak dapat melihat apa-apa lagi. Bau wangi dari kabut itu
makin keras juga.
Tiba-tiba Siau-liong rasakan
kepalanya agak pening. Ia terkejut dan buru-buru salurkan tenaga dalam untuk
melindungi diri.
Sekalipun sudah bebas dari
cengkeraman Naga Terkutuk namun Po Ceng-in tetap rasakan lengan kirinya tak
dapat diangkat ke atas. Lentuk dan lunglai. Tentulah Naga Terkutuk telah
gunakan tenaga untuk mencengkeram lengan nona itu sampai patah.
Ia bahagia sekali karena
merasa telah diurut-urut oleh Siau-liong. Tetapi ketika melirik, dilihatnya
pemuda itu tengah memandang kesekeliling penjuru. Sedikitpun tak mengacuhkan
dirinya.
Diam-diam nona itu heran atas
sikap pemuda itu. Aneh, benar-benar aneh. Setempo ia merasa Siau-liong
menyambut cintanya. Tetapi setempo ia dapatkan pemuda itu bersikap dingin
padanya.
Sejenak menghela napas, ia
gerak-gerakkan lengannya bekas yang dicengkeram Naga Terkutuk tadi. Setelah
terasa agak baik, barulah ia menghampiri kesamping Siau-liong dan menegurnya
dengan mesra, “Engkoh.... Liong!"
Siau-liong terpaksa berpaling,
“Mengapa?" — habis mengucap, hatinya terasa amat muak.
Dengan pancaran mata yang
berkilat-kilat, Po Ceng-in memandang Siau-liong lalu berseru, “Hatimu amat
ganas benar!"
Siau-liong tertegun. Tetapi
saat itu ia sedang menimang-nimang tindakan yang akan dilakukan setelah
pertempuran diantara keempat iblis itu selesai. Maka acuh tak acuh, ia hanya
menjawab singkat saja: "Benarkah begitu?"
Po Ceng-in berkata pula,
“Ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian yang begitu sakti. Tetapi mengapa
engkau tak lekas menolong aku dan membiarkan diriku disiksa sampai setengah
hari oleh iblis terkutuk itu ......?"
Siau-liong kerutkan alis,
“Setiap tindakan harus disesuaikan dengan saat dan keadaan. Jika tidak ......
mungkin akan runyam!"'
Sekali pun mulut menjawab Po
Ceng-in tetapi mata Siau-liong terus memperhatikan lekat-lekat pada jalannya
pertempuran ke empat iblis itu.
Dengan geram Po Ceng-in
ulurkan lengan kirinya kemuka Siau-liong, “Nih, lihatlah ......”
Siau-liong terpaksa
memandangnya juga lalu paksakan diri bertanya, “Apa masih sakit?"
Po Ceng-in tempelkan tubuhnya
kebahu Siau-liong dan menyahut dengan manja, “Sakitnya hampir tak tertahan
lagi, lho ......!"
Siau-liong hanya mendengus,
“Sayang saat ini aku tak membawa obat maka tak dapat berbuat apa-apa."
Tiba-tiba Po Ceng-in menarik
pulang lengannya dan tertawa mengikik, “Tak apa, aku sudah membawa obat
sendiri. Tetapi obat itu harus dimakan kita berdua!"
Siau-liong terbeliak. Baru
hendak membuka mulut. tiba-tiba ia rasakan darahnya bergolak keras. Mata
berpudar-pudar dan hampir ia rubuh.
Saat itu Po Ceng-in sudah
mengeluarkan sebuah botol kecil dari bahan kumala dan menuang dua butir pil
berwarna merah darah. Yang sebutir ditelannya dan yang sebutir disusupkan
ketangan Siau-liong, serunya, “Lekas telanlah!"
Siau-liong cepat dapat menduga
bahwa pil ilu tentulah sebuah obat anti racun. Maka tanpa berayal lagi terus
menelannya.
Pil itu pahit rasanya tetapi
setelah masuk ke kerongkongan, terasa menyegarkan tubuh. Rasa pusing dan darah
yang bergolak tadi, pun segera lenyap.
Saat itu pertempuran antara
suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka lawan Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk kuatir akan alat-alat rahasia dalam barisan Tujuh Maut. Maka keduanya
bertempur dengan hati-hati dan sejengkal pun tak mau keluar dari hutan siong
itu.
Tetapi suami isteri Dewi
Neraka dan Iblis Penakluk-dunia pun tak dapat berbuat apa-apa terhadap kedua
lawannya itu.
Po Ceng-in yang masih
menyandarkan tubuhnya kebahu Siau-liong, tiba-tiba menunjuk ke arah gelanggang
pertempuran dan tertawa, “Naga dan Harimau kedua Iblis itu sudah tamat
riwayatnya."
Siau-liong terkejut. Ketika
memperhatikan, memang kuda-kuda kaki kedua iblis itu sudah terhuyung-huyung tak
mantap lagi. Begitu pula jurus serangannya sudah tak bertenaga lagi. Jelas
mereka tentu akan remuk ditangan Iblis Penakluk dunia dan isterinya.
Siau-liong terkesiap. Ia tahu
bahwa kedua iblis itu terkena kabut beracun. Kalau tidak tak mungkin begitu
keadaannya.
Bermula ia kira kepandaian
iblis bersaudara itu seimbang dengan suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka. Jika kedua pihak bertempur, kedua-duanya tentu akan menderita luka.
Walaupun karena menang tempat dan orang, tuan rumah dapat mengalahkan tetamunya
tetapi paling tidak pihak tetamu pun tentu dapat membuat Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka terluka parah.
Tetapi tak terduga ternyata
Iblis Penakluk-dunia dapat menggunakan siasat licik, menebarkan kabut beracun
sehingga kedua saudara Naga dan Harimau itu mengalami kekalahan dengan cepat.
Melihat keadaan itu mau tak mau Siau-liong harus merobah lagi rencananya.
"Sejak saat ini Naga dan
Harimau kedua iblis tua itu tentu akan berganti nama menjadi anak buah ayah
bundaku!" Po Ceng-in tertawa riang.
Siau-liong terbeliak tetapi ia
pura-pura bertanya, “Tetapi menilik watak mereka, masakan mereka mau
tunduk?"
Po Ceng-in tertawa, “Tolol,
biar mereka tak mau tetapi mereka pun terpaksa harus mau juga. Pil buatan ayah
yang disebut Pian-sing-ih-sin (merobah watak, melenyapkan perasaan) akan membuat
mereka lupa segala-galanya ......”
Tiba-tiba ia berhenti berkata.
Rupanya menyadari kalau kelepasan omong. Dipandangnya anak muda itu tanpa
berkata sepatah pun juga.
Saat itu keadaan Naga Terkutuk
dan Harimau iblis makin pontang-panting. Mereka terus menerus main mundur saja
sehingga hampir terdesak keluar hutan.
Melihat itu gelisahlah
Siau-liong. Jika menunggu sampai kedua suami isteri iblis itu mendapat
kemenangan, tentulah sukar baginya hendak meloloskan diri. Usaha untuk
menyelidiki Mawar Putih tentu gagal.
Segera ia berpaling ke arah Po
Ceng-in, katanya, “Alat perkakas rahasia dalam barisan Tujuh Maut itu, kiranya
nona tentu paham semua, bukan?"
Po Ceng-in terbeliak, serunya,
“Eh, perlu apa engkau menanyakan hal itu?"
“Tak dapat disangsikan lagi
kedua locianpwe ayah-bunda nona itu tentu akan menang. Kita tak perlu
menguatirkan mereka. Maka.... inginlah kugunakan kesempatan saat ini untuk
menambah pengalaman!"
Po Ceng-in tertawa mengikik,
“Tolol, mengapa engkau begitu terburu nafsu? Kan besok masih banyak waktu.
Engkau boleh melihat-lihat sepuas-puasmulah. Perlu apa harus sekarang?"
Tiba-tiba dari keempat iblis
yang sedang bertempur itu terdengar suara erang tertahan. Menyusul terdengar
getaran keras dari tubuh seseorang yang terhantam mencelat sampai satu tombak
jauhnya.
Tanpa berpaling melihatnya,
Siau-liong sudah dapat menduga bahwa yang rubuh itu tentulah Harimau Iblis.
Wajah pemuda itu makin
menggelap, ia mendesak Po Ceng-in, “Kalau aku ingin melihat-lihat sekarang,
apakah nona suka menemani?"
Po Ceng-in memandang penuh
tanya ke arah pemuda itu, “Eh, engkau ini mengapa .....?” tiba-tiba ia menyurut
mundur dengan wajah gelisah, serunya, “kalau mau kesana pun harus mendapat ijin
dari ayah-bundaku dulu. Karena .... karena perkakas rahasia dalam barisan itu
rumit dan pelik sekali. Bahkan aku sendiri pun ada beberapa tempat yang tak
mengetahui kegunaannya!"
Saat itu pertempuran sudah
mendekati penyelesaian. Harimau Iblis kena terhantam lengannya oleh Iblis
Penakluk-dunia dan terlempar di tepi hutan, tak ingat diri lagi. Sedangkan Naga
Terkutuk walaupun masih dapat bertahan mati-matian tetapi saat itu sedang
diserang dari muka belakang oleh kedua suami isteri iblis. Paling banyak dalam
tiga empat jurus lagi, dia tentu akan mengalami nasib serupa dengan Harimau
Iblis tadi.
Dalam detik-detik yang
mendesak itu, Siau-liong cepat bertindak. Ia mendengus lalu tiba-tiba
mencengkeram lengan kiri Po Ceng-in yang masih sakit tadi seraya berseru
dingin, “Sebagai pemilik lembah ini, jika engkau tak tahu jelas akan perobahan
barisan itu, bukankah berarti engkau hendak membohongi orang saja?"
Walaupun hanya menggunakan
seperlima bagian tenaganya, tetapi karena yang dicengkeram Siau-liong itu tepat
pada bagian luka akibat bekas cengkeraman Naga Terkutuk tadi, menjeritlah Po
Ceng-in dengan amat kesakitan sekali.
Siau-liong kendorkan sedikit
tekanannya sambil membentak, “Apakah sekarang mau meluluskan?"
Po Ceng-in tegakkan tubuhnya
yang meliuk kesakitan tadi dan mendamprat geram, “Memang kutahu engkau hanya
berpura-pura suka kepadaku....” dari kedua matanya, turunlah beberapa titik air
mata. Rupanya tindakan Siau-liong itu benar-benar menyakitkan lengan dan
hatinya.
Melihat itu Siau-liong hampir
tak sampai hati. Namun terpaksa ia berkata menerangkan, “Karena keadaan
terdesak, terpaksa kuharus membuat nona menderita sedikit. Kelak dikemudian
......”
"Apa yang engkau
maksudkan dengan keadaan terdesak itu kalau bukan karena engkau hendak
buru-buru mencari jejak nona baju putih itu!"
Tiba-tiba ia tertawa rawan dan
banting-banting kaki, serunya, “Baik, akan kutemani engkau kesana!"
Karena sudah berpengalaman,
maka Siau-liong tak mudah mempercayai mulut orang. Ia tetap mencekal lengan
nona itu sembari diajak berjalan bersama.
◄
Y ►
Diluar hutan kabut amat tebal.
Memandang ke belakang, hutan itu hilang lenyap ditelan kabut tebal.
Po Ceng-in tak menghiraukan
keadaan disekelilingnya. Ia biarkan dirinya ditarik Siau-liong. Adalah pemuda
itu sendiri yang gelisah. Pikirnya, jika wanita itu nekad hendak mati bersama-sama,
bukankah akan runyam akibatnya nanti?
"Ceng-in! Ceng....
in....!" sekonyong-konyong dari arah hutan terdengar Dewi Neraka berseru
memanggil puterinya.
Po Ceng-in tertegun dan
berhenti. Katanya, “Ayah seorang berhati besi. Jika mengetahui kecuranganmu,
walaupun ada aku disampingmu, tetap dia akan menggerakkan alat rahasia dalam
barisan Tujuh Maut!"
Siau-liong tertawa hambar,
“Jika tak masuk ke dalam sarang harimau, masakan mampu memperoleh anaknya.
Dalam keadaan seperti sekarang, tak ada lain pilihan lagi!"
Po Ceng-in ayunkan langkah
lagi, ujarnya, “Nona yang datang bersamamu itu tentulah benar-benar sudah
menghilang. Karena ayah tentu tak bohong. Begitu pula setelah dilakukan
penyelidikan ke dalam barisan Tujuh Maut dan Lembah Maut, tetap tak dapat
menemukan jejak nona itu!"
Siau-liong tak sabar, “Aku
melakukan amal kemanusiaan tetapi terserah saja pada nasib. Tak dapat
menemukannya, pun tak apalah."
“Bukankah kalian berdua
......” baru Po Ceng-in berkata sampai disitu.
Siau-liong cepat menukas,
“Lebih baik jangan membuang waktu!"
Po Ceng-in menghela napas
panjang. Sambil menggusap peluh dimukanya, ia segera berjalan. Bahkan kali ini
jalannya lebih cepat. Siau-liong tetap siap siaga menghadapi segala
kemungkinan.
Tiba-tiba dalam selimut kabut
tebal itu samar-samar tampak sebuah dinding batu menghadang ditengah jalan.
Kiranya mereka sudah tiba diujung tanah bengkah. Po Ceng-in berhenti dimuka
sebuah gua.
Gua itu tingginya hampir dua
meter, mulut gua tertutup sarang labah-labah dan gerumbul semak. Jelas bukan
gua yang kemarin Siau-liong masuki.
Setelah memeriksa beberapa
saat, Po Ceng-in mengatakan salah jalan. Bukan kesitu tetapi seharusnya belok
kekiri, Siau-liong tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti nona itu menuju
kesebelah kiri.
Setelah melalui tiga buah gua,
akhirnya Po Ceng-in berhenti lagi, “Disinilah! Hanya disini terdapat
satu-satunya jalan keluar!”
Gua itu hanya satu setengah
meter tingginya hingga orang harus menundukkan kepala kalau melangkah masuk.
Tiba-tiba Po Ceng-in menampar
ke arah gua itu. Dari samping mulut gua yang gelap, melesat keluar seorang
lelaki tinggi besar menghunus pedang. Dia adalah salah seorang anggauta barisan
Lembah Semi yang menunjukkan jalan pada rombongan tetamu kemarin.
Saat itu wajahnya membesi.
Tegak melintang dipintu gua dengan mata tak berkesiap memandang Po Ceng-in dan
Siau-liong.
Po Ceng-in menghela napas
pelahan lalu lambaikan tangan memanggil orang itu, “Kemarilah!"
Tetapi orang itu tetap tegak
seperti patung dan tak menyahut.
"Kemarilah engkau!
Thian-cun akan segera datang!" seru Po Ceng-in tertawa tawar.
Thian-cun adalah sebutan
kehormatan bagi Iblis Penakluk dunia. Setiap anak buah Lembah Semi memangggil
Iblis Penakluk-dunia dengan sebutan Thian-cun.
Orang itu terkesiap lalu maju
menghampiri. Waktu tiba pada jarak satu meter dihadapan Po Ceng-in,
sekonyong-konyong nona pemilik Lembah Semi itu ayunkan tangan kanannya,
menghantam dada orang itu.
“Bluk....!” tubuh penjaga gua
yang tinggi besar itu, bagaikan layang-layang putus tali, melayang ke belakang
dan membentur batu karang!
Siau-liong terkejut.
Setitikpun ia tak mengira bahwa Po Ceng-in akan menghantam mati anak buahnya
sendiri. Ia hendak menolong tetapi sudah terlambat. Orang itu pecah kepalanya.
Benak berhamburan dan nyawanya melayang ......
Kata Po Ceng-in dengan napas
agak terengah, “Apa boleh buat, tak ada lain jalan lagi."
Kemudian memandang Siau-liong,
ia berkata pula, “Dia adalah anak buah ayah. Kecuali ayah, dia tak mau
mendengar perintah dari siapa saja. Jika tak dilenyapkan, dia tentu akan
menggerakkan perkakas rahasia sehingga kita berdua tentu mati."
Tanpa menunggu tanggapan
Siau-liong, nona itu terus masuk ke dalam gua. Bermula memang sempit tetapi
setelah melangkah setombak jauhnya, keadaannya makin lebar dan tinggi sehingga
tak perlu berjalan dengan kepala menunduk.
Kira-kira dua puluh tombak
jauhnya, barulah mereka tiba disebuah persimpangan tiga. Sejenak merenung, Po
Ceng-in memilih jalan sebelah kanan. Tak lama mereka tiba di ujung jalan
terdapat sebuah kamar batu. Tak ada perkakas apa-apa dalam kamar itu. Hanya
pada dinding tengah, terdapat lima buah tombol dari baja.
Po Ceng-in menghampiri lalu
menekan salah sebuah tombol itu. Segera terdengar bunyi berderak-derak. Dinding
bagian tengah dan kanan kirinya pelahan-lahan berkisar dan tampaklah tiga buah
pintu berjajar-jajar rapi.
Siau-liong memandang cermat.
Pintu yang tengah lebar dan bersih. Disebelah dalam samar-samar tampak
penerangannya. Sedang pintu yang sebelah kanan, sempit kecil tetapi cukup dimasuki
seseorang.
Sedang pintu yang kiri, hanya
semeter tingginya. Bagian dalam gelap dan lembab. Bau yang busuk menghambur
keluar dari pintu itu, memuakkan sekali.
Sejenak berdiri merenung, Po
Ceng-in segera masuk ke dalam pintu sebelah kanan, ialah pintu yang terkecil.
"Eh, apakah nona tak
keliru?" karena curiga, Siau-liong cepat menarik nona itu.
Po Ceng-in tertawa dingin,
“Jika aku memang bermaksud mencelakaimu, tentu akan kubawamu masuk ke dalam
pintu yang lain ......”
Tiba-tiba nada suara nona itu
berobah rawan-rawan gemas, “Tak apa untuk menemani engkau mati! Hanya dengan
cara itu barulah hatiku tenteram. Tetapi ah, sayang. Hatiku tetap tak sampai
......”
Seketika ngerilah hati
Siau-liong. Dengusnya dalam hati, “Huh, wanita yang cabul ini ternyata bisa
jatuh cinta mati-matian padaku ......”
Pada lain saat Po Ceng-in
segera menerobos ke dalam pintu kecil itu. Siau-liong terkejut. Karena pintu
amat sempit sekali maka ia terpaksa lepaskan cekalan pada tangan Po Ceng-in.
Nona itu terus melangkah maju dengan cepat.
Siau-liong terkesiap.
Diam-diam ia memaki dirinya mengapa begitu lengah. Bagaimana kalau nona itu
menipunya agar dapat lolos?
Buru-buru ia menyusul.
Untunglah tak berani jauh, lorong dalam gua itu mulai melebar dan beberapa saat
kemudian tibalah mereka disebuah tanah yang luas. Ditengah tanah seluas lima
tombak itu, terdapat sebuah pintu batu yang kecil.
Tiba-tiba Po Ceng-in berputar
tubuh dan tertawa mengikik sembari angsurkan lengan kirinya ke arah Siau-liong,
“Peganglah lagi erat-erat! Supaya jangan sampai aku dapat lari atau
menggerakkan perkakas rahasia disini!"
Siau-liong tersipu-sipu malu
dan menolak, “Sudah cukup kusuruh nona menderita tadi. Hal itupun karena
terpaksa juga!"
Po Ceng-in pun menarik pulang
tangannya lalu menunjuk pada pintu batu itu, “Melalui pintu itu berjalan
sepuluhan tombak, sudah keluar dari barisan Tujuh Maut, masuk ke dalam Lembah
Maut ......”
Ia berhenti sejenak lalu
melanjutkan lagi, “Sekalipun dalam Lembah Maut itu tiada dipasang perkakas
rahasia, tetapi lembah itu merupakan tempat berbahaya sekali. Sekali masuk tak
mungkin orang mampu keluar lagi!"
Siau-liong diam saja. Sudah
hampir setengah hari ia mengikuti nona itu menerobos keluar dari barisan Tujuh
Maut, tetapi yang dilaluinya selama itu hanyalah lorong gua saja. Dan lagi
perjalanan itu mengalami berpuluh-puluh tikungan yang berbelok-belok. Selama
itu ia tak berjumpa dengan seseorang pun juga.
Setelah meragu sebentar, Po
Ceng-in tiba-tiba ulurkan tangan menekan batu marmar hijau yang menonjol di tepi
pintu. Pintu berderak-derak berkisar. Begitu terbuka separoh bagian, Po Ceng-in
terus menarik tangan Siau-liong diajak menerobos masuk.
Heran Siau-liong dibuatnya
mengapa Po Ceng-in begitu tergopoh-gopoh sekali. Tetapi ia duga tentu ada
sebabnya. Ia diam saja dan hanya mengikuti di belakang si nona.
Terowongan dalam pintu itu,
lurus membujur kemuka. Tak berapa jauh dari pintu, terdapat sebuah kamar yang
melekuk masuk.
Siau-liong hanya memperhatikan
untuk mengikuti di belakang Po Ceng-in. Ia tak sempat memperhatikan apa yang
berada dalam kamar itu.
Kira-kira lari sejauh dua
tombak dari kamar itu, terdengarlah suara orang berteriak, “Kembali!"
Suara itu amat lemah sekali
seperti dilontarkan dari mulut seseorang yang tengah meregang jiwa. Tetapi
sekalipun begitu, nadanya memiliki perbawa yang amat kuat. Seketika Po Ceng-in
tampak menggigil dan seperti anak kecil, ia menurut untuk berhenti.
Dengan menghela napas, nona
itu berseru, “Jong Leng lojin ......!"
Siau-liong tak tahu siapakah
Jong Leng lojin itu. Tetapi dari nada suaranya tadi, dapatlah ia menduga orang
itu tentu seorang tua yan sakit parah. Seketika timbullah rasa herannya.
Mengapa dalam ruang gua dibawah tanah yang tak pernah diinjak manusia, terdapat
seorang manusia, seorang tua yang sakit? Dan apa pula sebabnya, Po Ceng-in
begitu takut sekali kepada orang itu?
Berkata Po Ceng-in dengan
setengah berbisik, “Orangtua itu menjaga dijalan tembusan Lembah Maut sini.
Selamanya, ia terus tidur. Setiap setengah bulan baru terjaga sekali. Ah,
mengapa hari ini kebetulan dia sedang bangun?"
Siau-liong pun berputar tubuh.
Dilihatnya bagian dinding gua yang cekung ke dalam itu merupakan sebuah kamar.
Tetapi orang yang berteriak tadi tak muncul sehingga tak dapat diketahui
bagaimana perwujudannya!
Siau-liong ingin lekas keluar
dari Lembah Maut untuk mencari Mawar Putih dan lain-lain tokoh yang belum
ketahuan jejaknya itu. Serunya, “Tak perlu menghiraukannya, aku hendak
lekas-lekas ......”
“Tidak bisa!" wajah Po
Ceng-in berobah tegang kemudian berkata dengan bisik-bisik, ”Kecuali engkau tak
ingin hidup."
Habis berkata ia terus
melangkah ke dalam ruang itu. Siau-liong tertegun tetapi terpaksa ia mengikuti
juga.
Bukan kepalang kejutnya ketika
masuk ke dalam ruangan itu. Ditengah ruangan duduk seorang tua yang kurus
kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja. Rambutnya panjang kusut
masai menutup dahi. Orang itu tengah duduk bersila.
Yang luar biasa adalah
sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam sekali. Po Ceng-in dan Siau-liong
berganti-ganti ditatapnya. Entah berapa umurnya tetapi yang jelas dia seorang
yang sudah lanjut sekali umurnya.
Dia hanya mengenakan baju
tipis dan tidak bersepatu. Sepintas tak ubah seperti sesosok mayat hidup yang
menyeramkan.
"Maju sedikit
kemari!" seru orang tua kurus itu dengan nada gemetar.
Po Ceng-in memberi isyarat
ekor mata kepada Siau-liong lalu melangkah maju tiga langkah kemuka.
24. Peta Barisan Tujuh Maut
Diam-diam Siau-liong menimang.
Kecuali sepasang matanya yang masih memancarkan sinar, orang aneh itu sudah tak
ubah seperti orang mati. Tetapi mengapa masih begitu bengis? Sikap orang tua
itu mengurangkan rasa kasihan Siau-liong kepadanya.
Setelah mengawasi Po Ceng-in
beberapa saat, orang itu tertawa ketolol-tololan, “Ho, aku kenal padamu!"
lalu ia menuding Siau-liong, serunya, “Kemarilah engkau!"
Saat itu barulah Siau-liong
menyadari bahwa orang tua itu seorang gila. Ia segera melangkah maju dan
memberi hormat. ”Karena ada urusan penting, maaf aku tak dapat lama-lama
disini. Dan lagi.... saat ini aku sendiri masih dalam bahaya sehingga tak dapat
menolong locianpwe!"
Berulang kali Po Ceng-in
mengisar tubuh memberi isyarat mata kepada Siau-liong. Nona itu gelisah sekali
tampaknya.
Tetapi Siau-liong tak mengerti
apa sebab nona pemilik lembah sedemikian ketakutan terhadap orang tua gila itu.
Setelah memandang lekat-lekat
pada Siau-liong tiba-tiba orang tua itu ayunkan tangannya mencengkeram kemuka.
Gerakannya lamban tiada bertenaga.
Siau-liong mengira kalau
memang begitu kebiasaan orang gila, suka menggerak-gerakan tangan dan kaki
sekehendak hatinya. Apalagi gerak mencengkeram itu sama sekali tak mengeluarkan
suara dan ditujukan tempat kosong.
Tetapi alangkah kejut
Siau-liong ketika tahu-tahu ia rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh
segelombang tenaga yang amat dahsyat. Tak sempat lagi ia hendak melawan dan
diluar kehendaknya, tubuhnya meluncur maju kehadapan orang tua aneh itu ......
Siau-liong gelagapan seperti
orang disiram air dingin. Dipandangnya orang tua itu. Ah, benar-benar seorang
tengkorak hidup. Tetapi mengapa orang tua itu memiliki ilmu tenaga yang
sedemikian saktinya? Apakah dia pandai ilmu sihir?
Tetapi Siau-liong tak sempat
lagi membuat penilaian karena saat itu si orang tua kurus tertawa mengikik,
“Budak, ho, engkau takut padaku atau tidak?"
Merahlah muka Siau-liong. Ia
menundukkan kepala tak menjawab. Ia sudah menerima saluran tenaga sakti dari
Pendekar Laknat, sudah pula mendapat pelajaran ilmu pukulan Thay-siang-ciang
dari Pengemis Tengkorak ketua Kay-pang, makan buah Im-yang-som dan minum darah
binyawak purba dari pusar bumi. Dalam dunia persilatan kepandaiannya dapatlah
digolong dalam tingkatan jago kelas satu.
Tetapi setitik pun tak pernah
ia mengira bahwa gerak cengkeraman ke udara dari orang tua yang dianggap gila
itu telah membuatnya tak berdaya sama sekali. Hal itu membuatnya
terlongong-longong kecewa dan putus asa....
“Aku muncul di dunia
persilatan sebagai Pendekar Laknat. Tetapi ternyata kepandaianku masih begini
tak berguna. Hanya akan mencemarkan nama baik Pendekar Laknat saja!"
pikirnya.
“Budak, engkau takut kepadaku
atau tidak!" kembali orangtua aneh itu berseru.
“Sudah tentu takut,"
buru-buru Po Ceng-in mewakili untuk menjawab, “siapa orang di dunia yang tak
gemetar mendengar nama Jong Leng lojin?"
“Siapa suruh engkau usil
mulut!" bentak orang tua aneh yang bernama Jong Leng lojin seraya
tamparkan tangannya.
“Uh ....!” Po Ceng-in
terlempar dua tiga meter ke belakang. Nona itu terpaksa merangkak bangun.
Jong Leng lojin terbahak-bahak
dan membentak Siau-liong lagi, “Hai, budak! Lekas bilang, engkau takut kepadaku
atau tidak!"
Sikap dan tingkah laku Jong
Leng lojin yang bengis itu menimbulkan kemarahan Siau-liong. Anak muda itu
tengadahkan kepala dan tertawa keras, “Aku merasa kasihan kepadamu!"
Jong Leng lojin deliki mata
kepada Siau-liong. Tiba-tiba sinar matanya padam dan iapun menghela napas,
“Budak, engkau benar, aku.... aku.... memang mengenaskan sekali!"
Po Ceng-in terbeliak. Ia tak
duga kalau Jong Leng lojin dapat berobah sedemikian merawankan.
"Ya, sesungguhnya tak
perlulah engkau takut kepadaku....” tiba-tiba Jong Leng lojin berbangkit.
“Tring, tring....” terdengar
bunyi bergemerincingan yang nyaring melengking memekak telinga.
Dan terkejutlah Siau-liong.
Ternyata bunyi bergemerincing itu berasal dari dua utas rantai baja yang
diikatkan pada lutut kaki orang aneh itu. Rantai masuk ke dalam tulang lutut
dan tembus keluar, dimasukkan ke dalam lubang tanah.
Karena sudah bertahun-tahun
rantai itu masuk ke dalam tulang. maka sudah seolah-olah menjadi satu dengan
daging. Ngeri, benar-benar suatu siksaan yang menegakkan bulu roma....!
Siau-liong bergidik juga.
Dengan geram ia memandang pada Po Ceng-in. Tetapi nona itu cepat-cepat
memalingkan muka kesamping, tak berani menghadapi pandang mata menuntut dari
pemuda itu.
Kini Siau-liong cepat dapat
menduga bahwa tentulah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Nerakalah yang mengikat
orang itu. Tetapi iapun merasa heran mengapa Jong Leng lojin yang memiliki
kepandaian bagitu sakti, tak mampu memutuskan rantai yang hanya sebesar jempol
tangan saja? Dan mengapa orang tua sakti itu sampai dapat dirantai oleh suami
isteri iblis.
"Mengapa locianpwe rela
dirantai disini?" segera ia bertanya.
Mata Jong Leng lojin berkeliar
sejenak lalu menyahut, “Siapa bilang?"
"Dengan kesaktian yang
locianpwe miliki, masakan tak mampu memutus rantai yang hanya sejempol tangan
besarnya itu?" tanyanya pula.
Jong Leng lojin gelengkan
kepala, “Rantai ini terbuat dari baja murni. Merupakan logam yang paling lemas
tetapi ulet sekali. Tak mungkin kudapat memutuskannya kecuali engkau bisa
mendapatkan semacam obat untukku!"
Siau-liong menghela napas. Dia
sendiri masih dalam bahaya. Entah dapat selamat entah tidak. Bagaimana ia dapat
mencarikan obat untuk orang tua itu?
“Sekali pun aku senang sekali
membantu locianpwe, tetapi pasti hanya akan mengecewakan harapan locianpwe
saja. Karena aku benar-benar tak mempunyai kemampuan begitu besar!"
Jong Leng lojin tampak kecewa.
Tiba-tiba ia berkata kepada Siau-liong, “Takkan kusuruh engkau mencari obat itu
dengan sia-sia. Akan kuberimu sebuah hadiah!"
Siau-liong tertawa tawar,
“Bukan aku menginginkan hadiah locianpwe, tetapi pada saat dan tempat seperti
sekarang ini, tenagaku benar-benar tak mencapai. Kecuali ......” ia berhenti
sejenak lalu, “kecuali aku mempunyai peta dari barisan Tujuh Maut."
Jong Leng lojin bertepuk
tangan, “Tepat sekali permintaanmu itu, budak! Barisan Tujuh Maut itu memang
aku yang menciptakan. Dan justeru peta barisan itulah yang hendak kuberikan
kepadamu!"
Girang Siau-liong bukan buatan.
Bergegas ia bertanya, “Apakah ucapan locianpwe itu sungguh-sungguh?"
Jong Leng lojin mendengus lalu
mengambil sebuah lipatan kain warna kuning yang sudah kumal, diberikan kepada
Siau-liong, “Ambillah!"
Dan serentak iapun
mengeluarkan selembar bungkusan kain sebesar jari tangan, katanya, “Resep!
Jangan lupa, paling lama sebulan, engkau harus mengantarkan obat itu
kemari!"
Siau-liong buru-buru
menyambuti dan menyimpannya baik-baik dalam baju, “Harap locianpwe jangan
kuatir. Tentu akan kulaksanakan sebaik-baiknya."
Orang tua kurus itu pejamkan
mata. Dari kedua lekuk pipinya yang cekung tinggal tulang itu, tampak menampil
senyum gembira.
Siau-liong pun segera ayunkan
langkah pelahan-lahan keluar dari ruang itu. Po Ceng-in tetap mengikuti
dibelakangnya. Beberapa saat kemudian nona itu menarik tangan Siau-liong,
"Karena sudah mempunyai peta dari Jong Leng lojin, kiranya engkau tentu
tak memerlukan bantuanku lagi sebagai penunjuk jalan.
Siau-liong berhenti
memandangnya sejenak katanya, “Jika nona hendak pulang, silahkan. Hanya kuharap
janganlah nona memberitahu urusanku ini kepada ayah-bunda nona ......”
Siau-liong berhenti sejenak
lalu tertawa, “Dengan cara apapun juga, sesungguhnya aku harus menghaturkan
terima kasih kepada nona."
“Tak perlu," sahut Po
Ceng-in rawan. Dengan menahan haru air matanya yang hendak mengucur, ia berkata
dengan sekat, “Ada sebuah hal yang harus kuberitahukan kepadamu."
Siau-liong mengangguk,
“Silahkan."
“Memang sebelumnya aku sudah
merasa, tak mungkin engkau menaruh cinta sesungguhnya kepadaku. Oleh karena itu
......” ia berhenti untuk menenangkan diri lalu dengan nada gemetar ia berkata
pula, “kuberimu minum racun Jong-tok!"
Siau-liong seperti disambar
petir kejutnya, “Perempuan siluman, engkau!" teriaknya marah.
Tetapi Po Ceng-in
tenang-tenang saja menyahut, “Sekarang terserah saja engkau hendak mengapakan
diriku. Tetapi kukatakan, percuma saja. Karena racun Jong-tok itu tiada obatnya
lagi ......”
“Tetapi jika engkau ingin
hidup, masih ada sebuah jalan....” kata wanita itu pula.
"Bagaimana?"
"Menjadi suami isteri
dengan aku ......” sahut Po Ceng-in tenang sekali.
Hati Siau-liong seperti
disayat sembilu. Geram, dan marah sekali sehingga untuk beberapa saat ia
termangu-mangu seperti patung.
Tiba-tiba Po Ceng-in meramkan
mata dan berkata dengan rawan, “Aku sendiri pun minum racun itu. Dengan begitu
kita menjadi dua nyawa satu badan. Hidup sama hidup, mati ikut mati!"
Siau-liong terpaku.
Sekonyong-konyong ia menggerung sekeras-kerasnya, “Perempuan siluman, serahkan
nyawamu lebih dulu!"
Dengan pukulan
Tay-lo-kim-kong, Siau-liong hantamkan tangan kanannya kedada Po Ceng-in ......
Tetapi wanita itu tenang
sekali sikapnya. Tidak mau menangkis, pun tak mau menghindar. Bahkan pejamkan
kedua mata sambil menyungging senyum. Seolah-olah menghadapi kematian seperti
hendak pulang kerumah ......
Pada saat tinju hendak tiba di
dada, entah bagaimana, tiba-tiba Siau-liong menariknya kembali.
“Pukullah! Jika tak mau
memperisteri aku, bunuh sajalah!" Po Ceng-in menentang.
Dada Siau-liong serasa
meledak. Ia memakinya, “Perempuan siluman, engkau perempuan iblis yang buta
......!"
Po Ceng-in menatapnya,
mendadak ia tertawa nyaring macam orang-utan meraung-raung, nadanya.
“Dengan mahluk macam apa saja
engkau hendak mempersamakan diriku, siluman perempuan atau iblis perempuan
......, pokok nasib hidupmu sudah ditentukan tak dapat berpisah dengan diriku
......!"
Wanita pemilik lembah itu
berhenti sejenak, menghela napas lalu melanjutkan kata-katanya, “Jika engkau
membunuh aku, engkau pun takkan dapat hidup lebih lama dari tiga hari. Begitu
racun Jong-tok itu bekerja, sekalipun dewa tak mungkin dapat menolongmu!"
Jong-tok adalah ramuan racun
dari segala jenis binatang berbisa.
Siau-liong menggemeretakkan
gigi. Namun tak dapat berbuat apa-apa. Ia percaya perempuan itu tentu tak
bohong. Dengan minum racun Jong-tok yang ganas, setiap saat jiwanya dapat
diputuskan menurut kekehendak perempuan itu!
Siau-liong menghela napas
dalam ......
Dia tak takut mati. Hanya
tugas yang dibebankan pada dirinya masih banyak yang belum selesai. Jika mati
ditangan perempuan siluman itu. bukanlah suatu kematian yang teramat sia-sia
......?
Teringat ia akan kematian
ayahnya ditangan Toh Hun-ki. ibunya yang sedang mengidap sakit di seberang
lautan, gurunya Kongsun Sin-tho yang telah merawatnya belasan tahun, Pendekar
Laknat yang telah memberi saluran tenaga dalam kepadanya serta Pengemis
Tengkorak yang telah menurunkan ilmu pukulan Thay-siang-ciang ......
Mereka masing-masing
menumpahkan harapannya kepada dirinya. Walaupun permintaan mereka itu berlainan
satu sama lain, tetapi ia merasa telah menerima budi mereka. Budi yang wajib ia
balas dengan jiwa raga. Jika ia sampai mati dilembah situ, bukankah ia akan
mengecewakan harapan mereka ......
Dan juga masih ada Tiau
Bok-kun serta Mawar Putih ...... ah, teringat akan kesemuanya itu, hatinya amat
pilu sekali. Bahkan timbul juga perasaan tak puas atas keadilan Yang Maha
Kuasa, mengapa menggariskan suratan nasibnya dalam keadaan yang sedemikian
rumit ......
Diam-diam Po Ceng-in melirik
ke arahnya lalu tertawa pelahan, “Sesungguhnya engkau tak perlu bersedih begitu
rupa. Apakah kerugianmu mengambil aku sebagai isteri? Bukankah tak lama lagi
ayahku bakal menjadi pemimpin dunia persilatan? Pada saat itu, dikolong dunia
ini ......
“Tutup mulutmu!" bentak
Siau-liong.
Po Ceng-in mendengus, “Hm,
dalam hal apakah aku tak dapat dibandingkan dengan budak perempuan baju putih
itu? Mengapa hatimu begitu kemati-matian terpikat padanya? Budak perempuan hina
itu kemungkinan sudah mati!"
Memang Po Ceng-in berani
mengatakan begitu karena ada kenyataannya. Walaupun umurnya sudah empatpuluhan
tahun, tetapi wajahnya masih berseri secantik gadis-gadis remaja. Terutama
sepasang mata dan bibirnya, benar-benar mengandung daya tarik yang hebat. Tak
kalah menariknya dengan wajah Mawar Putih mau pun Tiau Bok-kun.
Tetapi Siau-liong tetap muak
terhadap perempuan itu. Ingin ia menghantamnya hancur lebur.
Dengan menahan kegeraman, ia
paksakan menegur, “Berapa lamakah racun itu akan bekerja?"
Sambil memandang pemuda itu,
Po Ceng-in menjawab, “Hal itu tergantung padamu sendiri. Setiap saat dapat
bekerja. Mungkin seumur hidup racun takkan bekerja. Syaratnya asal engkau
memperisteri aku, tentu selamat selama-lamanya!"
Siau-liong tertawa dingin,
“Hapus saja impianmu itu!"
Po Ceng-in menghela napas,
“Terserah saja padamulah! Karena hal itu memang tak dapat dipaksakan
......"
Dengan tajam ia melirik anak
muda itu lalu berkata pula, “Begini sajalah! engkau tak sudi mengambil isteri
aku, tetapi pun jangan dengan budak baju putih itu. Paling tidak, takkan
bersatu seumur hidup ......”
Habis berkata ia tertawa
keras. Tetapi nadanya mengandung rintihan hati yang putus asa.
Siau-liong menghela napas.
Benar-benar ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap wanita yang sudah diamuk
dendam asmara itu ......
Puas tertawa, Po Ceng-in
berseru dengan terengah-engah, “Apa yang tak dapat kuperoleh. Lain orang pun
jangan harap bisa mendapatkannya!.... lekas, lekaslah bunuh aku....
bunuhlah....!"
Dengan kalap ia menyongsong
Siau-liong seraya berteriak-teriak, “Kalau engkau tak mau membunuhku, tak
apalah. Aku dapat bunuh diri sendiri. Tetapi kalau aku mati, engkau pun hanya
dapat hidup tiga hari lagi. Pergilah silahkan kalau mau pergi....!"
Entah bagaima mendadak Siau-liong
kasihan juga. Lepas bagaimana pribadi wanita itu tetapi yang nyata ia begitu
mencintainya mati-matian. Kalau tidak masakan dia sampai nekad makan racun
ganas berdua supaya dapat sehidup semati dengannya.
Segera Siau-liong mencengkeram
bahu Po Ceng-in dan menguncang-guncangkannya: ”Nona.... nona....”
Po Ceng-in agak tenang, sambil
mengangkat muka ia bertanya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah menyadari?"
Siau-liong tertawa masam, “Aku
tak dapat membohongi engkau. Tetapi memang benar-benar aku tak dapat
memperisteri engkau, hanya ......”
“Tak perlu mengatakan!"
tukas Po Ceng-in.
“Hanya aku dapat meluluskan,
untuk mati bersama-sama engkau!" kata Siau-liong tanpa peduli.
“Engkau meluluskan atau tidak,
tetap sama saja. Racun Jong-tok itu tiada obatnya!"
Siau-liong mengangguk,
“Kutahu.... hanya saja marilah kita cari tempat yang bagus untuk membuat liang
dan mati dalam satu lubang kubur!"
Po Ceng-in tertawa rawan.
Itulah liang kubur 'Mati bersama hidup berbeda' ditatapnya Siau-liong,
tanyanya, “Apakah engkau benar-benar sudah memutuskan begitu?"
Siau-liong mengangguk, “Sekali
sudah memutuskan, tak nanti aku menyesal. Tetapi engkau harus meluluskan sebuah
hal dulu."
"Katakanlah!"
"Dalam waktu setahun
lamanya, harap engkau jangan membuat racun Jong-tok itu bekerja dulu. Dan
jangan bertanya apa yang akan kulakukan. Apapun juga tindakanku, jangan
sekali-kali engkau turut campur ......"
Po Ceng-in menolak, “Tidak,
bagaimana kalau engkau mencari budak baju putih dan bercumbu-cumbuan dengannya
......?"
Siau-liong banting-banting
kaki menghela napas jengkel, “Percaya atau tidak, terserah. Tetapi aku tak
punya hati apa-apa terhadap nona itu. Dan lagi aku masih mempunyai tugas berat
yang belum kuselesaikan. Mana aku mau menyeleweng untuk bermain cinta?"
Setelah merenung beberapa
jenak, Po Ceng-in menyatakan setuju.
Siau-liong menghela napas
panjang, katanya, “Kalau begitu pada nanti hari raya Musim Rontok tahun depan,
harap engkau menunggu aku dipuncak Sin-li-hong gunung Busan!"
Po Ceng-in tertegun: “Lembah
Semi mempunyai alam musim semi sepanjang tahun. Benar-benar merupakan tempat
peristirahatan selama-lamanya yang bagus. Mengapa harus menuju ke gunung
Busan?"
Tetapi Siau-liong berkeras,
“Hal itu termasuk salah satu syarat perjanjian. Kalau tak setuju, katakan
sekarang juga!"
Po Ceng-in tak dapat berbuat
apa-apa kecuali menyetujui juga, “Baiklah, akan kutunggu engkau dipuncak
Sin-li-hong pada nanti pertengahan musim rontok. Jika engkau tak datang. Jangan
salahkan aku berhati ganas ...... terpaksa akan ku buatmu supaya mati secara
pelahan-lahan dengan tubuh membusuk!"
Siau-liong paksakan tertawa,
“Aku bukan orang yang suka ingkar janji. Asal engkau benar-benar melaksanakan
perjanjian setahun itu, aku pasti datang!"
Tiba-tiba Po Ceng-in menatap
pemuda itu dengan mesra, ujarnya, “Mungkin tak lama lagi aku akan ke
Sin-li-hong. Lebih dulu hendak kubangun makam itu seindah-indahnya agar kelak
hatimu puas ......”
Berhenti sebentar, ia
melanjutkan kata-katanya lagi, “Kita dapat tinggal disana, mengasingkan diri
dari keramaian dunia. Tetapi kalau niatmu tetap tak berobah, kitapun dapat mati
berkubur di makam itu!"
Siau-liong tertawa masam,
“Terserah! Tetapi menurut pendapatku, baiklah makam itu jangan diberi payon.
Biarkan saja terbuka. Memang lebih baik kalau engkau dapat secepatnya membangun
makam itu kesana!"
Po Ceng-in diam beberapa saat.
Kemudian ia mengangkat muka memandang Siau-liong. Tiba-tiba ia mengambil sebuah
botol kecil dari batu kumala lalu diserahkan kepada Siau-liong.
"Obat ini untukmu. Sekeluarnya
dari lembah mungkin ada gunanya....” berputar tubuh, ia terus lari menyusuri
lorong terowongan yang panjang.
Siau-liong tegak mematung
sambil mencekal botol obat itu. Dia seperti tersadar dari mimpi buruk. Ia
merasa seperti habis keluar dari Neraka. Hatinya segelap terowongan dibawah
tanah yang baru saja disusurinya tadi. Kini nasibnya sudah ditentukan. Ia bakal
hanya dapat hidup selama satu tahun saja ......
Dalam waktu setahun itu, ia
harus sudah dapat menyelesaikan budi dan dendam. Mengajak Mawar Putih menemui
ibunya di seberang laut. Kemudian pada musim rontok tahun muka, harus mewakili
Pendekar Laknat memenuhi tantangan digunung Busan. Dan terakhir baru menunaikan
perjanjiannya dengan Po Ceng-in.
Tiba-tiba saja pada saat itu
ia merasa bahwa tempo amat berharga sekali. Tak boleh ia mensia-siakan setiap
detikpun juga. Maka segera ia menyimpan botol obat lalu mengeluarkan peta
pemberian Jong Leng lojin.
Peta itu tenyata dibuat dengan
cermat tetapi amat jelas sekali. Ditambah dengan kecerdasan otaknya, setelah
meneliti beberapa saat, Siau-liong segera dapat mengingat semua jalan tembusan
serta tembusannya.
Ujung dari jalan tembusan yang
terbentang dihadapannya saat itu, merupakan sebuah dinding batu. Menurut
petunjuk dalam peta, Siau-liong dapat menemukan sebuah tombol pembuka pintu.
Sekali tekan, pintu batu itupun segera terbuka.
Ternyata diluar pintu itu
adalah daerah Lembah Maut. Segera ia melangkah keluar. Sambil berjalan ia
merangkai rencana. Lebih dulu ia hendak mencari Mawar Putih, kemudian mencari
Toh Hun-ki serta keempat Su-lo, membunuh mereka lalu mengambil batang kepala
mereka untuk diserahkan kepada Mawar Putih.
Rencana kedua, ia akan menuju
kekota Siok-ciu mencari Tiau Bok-kun, sekalian membelikan obat untuk Jong Leng
lojin. Setelah itu akan masuk ke dalam Lembah Semi lagi. Menyerahkan obat
kepada Jong Leng lojin lalu membunuh Soh-beng Ki-su untuk membalaskan dendam
kematian Pendekar Laknat.
Tiba-tiba terdengar seekor
burung gagak terbang di atas kepalanya seraya berbunyi nyaring.
Siau-liong terkejut. Saat itu
sudah menjelang magrib. Suasana dalam Lembah Maut makin menyeramkan. Siau-liong
mempertinggi kewaspadaannya, siap menghadapi setiap kemungkinan.
Sekonyong-konyong dari balik
beberapa gunduk batu yang berserak-serak kira-kira lima tombak jauhnya
disebelah muka, meluncur seuntai sinar berkilat kemilau menyambar ke arah
burung gagak itu. Dan serempak pun terdengar suara bentakan yang nyaring
seperti memecah angkasa.
"Binatang, engkau berani
jual lagak dihadapanku ......”
25. Menyusun Tenaga
“HUAK....” burung gagak itu
bergaok dan miringkan tubuh menghindar. Setelah berputar-putar, burung itu
balik ke dalam lembah lagi.
Jelas benda berkilat itu
adalah senjata rahasia yang dilepaskan oleh seorang ahli. Tetapi ternyata burung
itu dapat menghindari. Terang burung itu bukan burung biasa.
Tiba-tiba dari balik gundukan
batu terdengar suara orang berseru, “Losiansu, harap sabarkan diri. Saat ini
kita berada dalam perangkap musuh. Hendaknya jangan mempertunjukan diri."
Mendengar kata-kata itu,
Siau-liong terkejut girang. Jelas ia kenal nada orang itu sebagai To Kiu-kong
dan Ti Gong taysu.
Ti Gong mendengus, “Huh,
pengemis busuk, engkau juga berani mencampuri urusanku?"
To Kiu-kong pun marah juga.
Sahutnya dengan tajam, “Losiansu, tak perlu losiansu mengagulkan diri.
Sekalipun aku seorang pengemis tua, tetapi juga merupakan salah sebuah aliran
Putih dalam dunia persilatan. Rasanya tak lebih rendah dari losiansu!"
Mendengar percakapan yang
tajam itu, Siau-liong tak dapat mengendalikan diri lagi. Dengan gunakan gerak
Naga-melingkar-18-kali, ia apungkan tubuh ke arah tempat persembunyian mereka.
Ternyata dibalik gundukan batu
itu terdapat tak kurang dari sepuluhan orang. Ada yang rebah, ada yang duduk
tersebar diantara semak rumput.
Mereka adalah ketua
Siau-lim-si Ti Gong taysu, To Kiu-kong dan Pengemis-tertawa Tio tay-tong serta
si Pincang-kanan dan si Pincang-kiri. Dan yang membangkitkan semangat
Siau-liong, ternyata ketua Kong-tong-pay Ton Hun-ki dan keempat Su-lo pun
berada diantara mereka.
Pakaian mereka
compang-camping, sekujur tubuh berlumuran darah dan kotoran. Jubah Ti Gong
taysu rompal-rompal tak keruan.
Kemunculan Siau-liong,
mengejutkan sekalian orang. Ti Gong taysu yang hendak bertindak terhadap To
Kiu-kong, pun terpaksa berhenti. Secepat berputar tubuh ia menghantam
Siau-liong.
To Kiu-kong dan kawan-kawannya
terkejut girang sekali. Kehadiran ketua mereka pada tempat dan saat seperti
itu, benar-benar membuat mereka tercengang heran sehingga tak dapat berkata
apa-apa.
Setelah lepaskan pukulan, Ti
Gong taysu menggembor dan hendak menyerang. Tetapi dicegah oleh Toh Hun-ki,
“Harap bersabar dulu. Jika memang harus berkelahi, nanti saja setelah persoalan
sudah jelas!"
Ti Gong terpaksa tarik pulang
tinjunya dan membentak, “Apanya yang perlu dijelaskan lagi? Budak itu jelas
anak buah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka! Bukankah ketika di puncak
Ngo-siong-nia tempo hari engkau juga melihatnya menolong Dewi Ular Ki Ih?"
“Benar," sahut Toh
Hun-ki, "tetapi aku pun juga menyaksikan dia menempur Harimau Iblis!"
Toh Hun-ki tak mau melayani
ketua Siau-lim-si itu lagi. Ia terus berpaling memberi hormat kepada
Siau-liong, “Ah, Kongsun-hiapsu ....”
Siau-liong hanya mengangguk
dan mendengus. Matanya berkilat-kilat memandang orang-orang disitu, lalu
bertanya, “Dimanakah It Hang totiang dan rombongannya?"
Toh Hun-ki menghela napas, “It
Hang totiang, Kun-lun Sam-cu dan rombongannya, belum ketahuan jejaknya. Turut
pendapatku, kemungkinan mereka .... tertimpah kemalangan ....”
Siau-liong terbeliak, serunya,
“Apakah kalian melihat ketua Tong-thing-pang Cu Kong-leng dan ketua Ji-tok-kau
Tan Ih-hong serta seorang gadis baju putih?"
Toh Hun-ki gelengkan kepala,
“Sejak masuk ke dalam Lembah, Tan Ih-hong dan Cu Kong-leng sudah tak ada
berita. Kami sekalian didesak ke dalam Lembah Maut sini dan tak pernah melihat
si dara baju putih itu!"
Siau-Liong gelisah. Jika Mawar
Putih benar-benar masuk ke dalam Lembah Maut, tak mungkin dia menghilang.
Sekalipun benar ada seorang sakti yang menyelundup ke dalam lembah seperti yang
diduga Iblis Penakluk-dunia itu tetapi tanpa memiliki peta dari Jong Ling
lojin, tak mungkin bisa keluar. Apalagi disekeliling penjuru lembah itu dijaga
ketat oleh anak buah Iblis Penakluk-dunia.
Rupanya Ti Gong taysu masih membekal
dalam tentang peristiwa dipuncak Ngo-siong-nia tempo hari. Tetapi karena ia
menyadari takkan mampu mengalahkan Siau-liong, maka ia mau juga dicegah Toh
Hun-ki tadi. Ia berdiri disamping tak bicara apa. Tetapi matanya tetap
memandang Siau-liong dengan gusar.
Melihat Siau-liong termenung
diam, Toh Hun-ki berkata pula, “Pertemuan di puncak Ngo-siong-nia telah
dihadiri oleh duaratus tokoh-tokoh persilatan ternama. Tetapi ternyata kedua
suami isteri iblis itu telah mempersiapkan jaring-jaring perangkap yang hebat
sekali. Dalam pertempuran di lembah mereka, kami telah kehilangan banyak sekali
kawan-kawan sehingga yang masih hidup hanya tinggal beberapa orang ini!"
Siau-liong tindas ketegangan
hatinya, menyahut, “Lembah Maut ini memang berhubungan dengan barisan Tujuh
Maut. Penuh dilengkapi dengan alat-alat rahasia dan barisan pendam. Iblis
Penakluk-dunia menggunakan tempat ini sebagai tempat tawanan. Kemungkinan
saudara-saudara memang sukar untuk lolos dari sini!"
Toh Hun-ki mengangguk, “Ya,
memang hal itu sudah kuduga, tetapi .... betapapun juga. Kebenaran pasti akan
mengalahkan kejahatan. Memang untuk sementara ini Iblis Penakluk-dunia menang,
tetapi akhirnya dia tentu takkan lolos dari kekalahan juga! Pengorbanan It Hang
totiang dan ke duaratus orang gagah itu, pasti takkan sia-sia. Tentu akan
menggugah hati nurani segenap kaum persilatan untuk serentak berbangkit
menentang kedua suami isteri iblis!"
Siau-liong tertawa dingin,
“Ucapan saudara memang benar. Suami isteri Iblis Penakluk-dunia dengan gerombolannya
berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuannya untuk menguasai dunia
persilatan. Tetapi betapapun, usaha mereka yang ganas itu pasti akan menemui
kegagalan.
Namun kehancuran dari
rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang totiang itu, benar-benar merupakan
pukulan berat bagi kubu kekuatan dunia persilatan. Dalam beberapa waktu,
kiranya sukar untuk menyusun tenaga, menghadapi ancaman kedua iblis itu. Dunia
persilatan pasti akan menderita kekosongan tokoh sehingga mudah dikuasai
mereka. Dengan demikian dunia persilatan pasti akan mengalami suatu kehancuran
banjir darah yang belum pernah terjadi selamanya!"
“Jika tak timbul suatu
keajaiban, memang banjir darah itu tak mungkin dapat dihindari lagi,"
sahut Toh Hun-ki.
“Apakah yang engkau maksudkan
dengan keajaiban itu?" tanya Siau-liong.
Sepasang mata ketua
Kong-tong-pay itu berkilat-kilat memancar api. Sambil mengurut-urut jenggotnya
yang panjang sampai kedada, ia berkata pelahan-lahan, “Sejak dunia persilatan
tenteram kembali dari pengacauan keempat momok Iblis Penakluk-dunia. Dewi
Neraka, Harimau Iblis dan Naga Terkutuk, banyaklah sudah para cianpwe
persilatan yang berilmu sakti sama mengasingkan diri dari dunia ramai.
Misalnya, Ketua partai
Kun-lun-pay yang dahulu yakni Ceng Hi totiang, Liau Hoan siansu paderi sakti
dari gunung Thian-san, Sepasang imam dari gunung Busan dan lain-lain ....
Mereka termasuk tokoh-tokoh yang telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu silat.
Jika mendengar gerombolan iblis itu muncul dan mengacau lagi, kemungkinan besar
para cianpwe itupun tentu akan keluar lagi untuk menentramkan suasana. Selain
itu ......
Ia berhenti sejenak lalu
berkata pula, “Masih ada seorang yang dapat diandalkan ialah ......”
“Siapa?" Siau-liong
menyeletuk.
"Orang itu bukan lain
adalah momok yang sejajar tingkatannya dengan keempat iblis lainnya, ialah
Pendekar Laknat! Walaupun dia berwatak sombong dan dendam, malang melintang di
dunia persilatan seorang diri, namun setelah beberapa kali bertemu dengannya,
kutahu dia ternyata amat baik hati budinya ......”
Toh Hun-ki berhenti mencari
kesan pada sekalian orang. Kemudian menyambung pula, “Dan lagi dia sudah mau
menerima permintaanku! Kemungkinan setiap saat dia akan muncul membantu
perjuangan kita melawan kedua suami isteri iblis itu. Maka pada hematku,
walaupun keadaan saat ini memang teramat buruk, tetapi belum berarti kalau
sudah hancur lebur!"
Toh Hun-ki berbicara dengan
sikap seorang ketua partai persilatan yang berwibawa. Jelas ia masih menaruh
kepercayaan penuh pada Pendekar Laknat.
Diam-diam malulah Siau-liong
pada dirinya sendiri. Sebenarnya saat itu ia hendak membunuh Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo, lalu menyerahkan batang kepala mereka kepada Mawar Putih dan
bersama dara itu pulang ke seberang laut menemui ibunya.
Tetapi sikap Toh Hun-ki yang
mengunjukkan pribadi seorang tokoh aliran Putih yang tak kenal takut, diam-diam
telah menggerakkan hatinya. Bukan saja tak sampai hati untuk membunuhnya, pun
tak sampai pula ia untuk berpeluk tangan mengawasi bencana berdarah yang akan
menimpah dunia persilatan.
Tanpa disadari, tangannya
merabah baju dan terjamahlah separoh Giok-pwe yang diberikan Toh Hun-ki
kepadanya. Pikirannya makin kabur dan hilanglah pahamnya untuk bertindak.
Sampai beberapa saat ia
termenung-menung. Akhirnya ia menghela napas, “Kalau Pendekar Laknat itu
sejajar tingkatannya dengan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, terang kalau
dia tidak lebih sakti dari kedua suami isteri itu. Sekalipun dia muncul
membantu rombongan orang gagah, juga belum tentu dapat mengalahkan suami isteri
iblis itu!"
Pada saat Toh Hin-ki hendak
menyahut, Ti Gong taysu rupanya tak sabar menunggu lagi. Ia menyeletuk nyaring,
“Perlu apa engkau meributi orang itu! Pendekar Laknat sejenis dengan Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Bagaimana mungkin dia akan berbalik haluan
membantu kita?
Dan lagi ia mendengus. lalu
melanjutkan, "kalau hasil kemenangan terhadap suami isteri iblis itu
berkat bantuan Pendekar Laknat, rasanya juga merupakan suatu hal yang
menghilang muka seluruh kaum persilatan golongan Putih!"
Siau-liong meluap tetapi ia
masih paksakan diri untuk menekan kemarahannya. Serunya dengan tertawa dingin,
“Andaikata Pendekar Laknat benar-benar muncul disini dan menolong sekalian
saudara dari lembah ini. Entah apakah losiansu akan ikut atau tetap tinggal
seorang diri disini!"
Ti Gong terkesiap, bentaknya,
“Suatu hal yang mustahil terjadi! Dan lagi aku tetap tak percaya bahwa seorang
iblis ganas yang gemar membunuh orang, dapat berobah seratus derajat
pendiriannya ....!"
Habis berkata ketua Siau-lim-pay
itu maju selangkah dan membentak, “Budak, katakanlah engkau sendiri datang dari
mana?"
"Apa engkau berhak
mengurus aku?" sahut Siau-liong marah.
"Omitohud!" seru Ti
Gong taysu. Lalu ia berpaling kepada Toh Hun-ki, “Budak itu jelas menjadi anak buah
Iblis Penakluk-dunia! Coba bayangkanlah. Sedang kita yang berjumlah puluhan
orang tetap sukar menghadapi serangan Iblis Penakluk-dunia dan akhirnya
digiring masuk ke dalam lembah ini, mengapa dia seorang diri dapat muncul
lenyap sekehendak hatinya?"
Sejenak ketua Siau-lim-si itu
memandang sekalian orang lalu berseru lantang, “Turut hematku, lebih baik kita
bersatu untuk membasmi budak itu!"
Benar-benar dada Siau-liong
seperti hendak meledak. Marah dan kecewalah ia. Jika setiap kaum persilatan
golongan Putih mempunyai pendirian semacam Ti Gong, bersikap bengis dan keras
kepala seperti paderi itu, terang dunia persilatan pasti akan kiamat!
Toh Hun-ki kerutkan alis
memandang Ti Gong, “Harap losiansu suka redakan nafsu amarah losiansu. Pada
saat dan tempat seperti sekarang ini bagaimana kita hendak menambah musuh lagi?
Walaupun memang sepak terjang Kongsun-hiapsu ini dapat menimbulkan kecurigaan
orang tetapi menurut pengamatanku, dia bukanlah golongan orang semacam Iblis
Penakluk-dunia dan rekan-rekannya itu ....”
Kemudian ketua Kong-tong pay
itu memandang Siau-liong dan memberi sebuah senyuman, “Entah begaimanakah cara
Kongsun-hiapsu dapat masuk ke dalam lembah ini, apakah ....”
“Terlalu panjang kalau
diceritakan," tukas Siau-liong tak sabar, "saat ini tiada waktu lagi
untuk bercerita. Tetapi memang aku sendiri juga terjebak dalam barisan Tujuh
Maut itu. Jika Cu Kong-leng dan Tan Ih-hong belum mati, mereka tentu dapat
memberi kesaksian ....”
Ia menghela napas, sambungnya,
“Jika tidak bertemu seorang cianpwe yang aneh, saat ini aku tentu tak dapat
berada disini!"
Ti Gong mendengus, “Hm,
keterangan yang sukar dipercaya!"
Ketua Siau-lim-si itu walaupun
bengis dan keras kepala tetapi ia agak gentar juga terhadap Siau-liong. Oleh
karena itu ia pun tak berani bertindak apa-apa kecuali hanya memandang anak
muda itu dengan mata penuh kemarahan.
Siau-liong tertawa dingin. Ia
tak mempedulikan ketua Siau-lim-si itu dan berpaling ke arah To Kiu-kong, “Kiu
kong!"
“Cousu-ya!" buru-buru
tokoh pengemis itu menyahut.
Siau-liong tertawa masam,
“Saat ini diriku sedang dicurigai orang. Apakah kalian masih tetap menganggap
diriku sebagai Cousu-ya?"
Dengan masih menundukkan
kepala To Kiu-kong menyahut, “Bagaimanapun halnya adalah pewaris dari kakek
guru kami Pengemis Tengkorak. Selama-lamanya tetap menjadi Cousu-ya partai
kami. Aku dan sekalian anak murid ....”
Tokoh Kay-pang itu menghela
napas. Sepasang matanya berlinang-linang dan dengan suara rawan melanjutkan
kata-kata lagi: "Bertahun-tahun ini pamor partai kita makin menyuram. Kami
harap Cousu-ya suka mengembalikan cahaya gemilang dari partai kita. Jika
benar-benar Cousu-ya sampai tersesat dan mau bersekutu dengan kedua suami
isteri iblis itu, itupun memang sudah menjadi kehendak Allah untuk melenyapkan
Kay-pang. Setitik pun aku dan sekalian anak murid Kay-pang takkan mendendam
kepada Cousu-ya!"
Mendengar pernyataan tokoh
Kay-pang yang penuh bernada kesungguhan dan kesetiaan hati itu, mau tak mau
hati Siau-liong pilu juga. Kemudian ia melolos lencana Tengkorak yang
tergantung pada lehernya lalu diserahkan kepada To Kiu-kong, “Ambillah lencana
ini. Sejak saat ini aku bukan lagi Cousu-ya dari Kay-pang!"
To Kiu-kong terkejut sekali.
Ia menyurut mundur dan berseru gugup, “Mengapa begitu? Bagaimana nanti
pertanggungan jawabku kepada sekalian anak murid Kay pang yang berjumlah
puluhan ribu itu?"
Siau-liong menghela napas.
"Memang aku sudah mererima budi dari Pengemis Tengkorak yang telah
memberikan ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang. Tetapi sedikitpun aku belum
dapat membalas ....”
Ia berhenti merenung.
Tiba-tiba dengan nada tegas ia berseru, “Pilihlah diantara anak murid Kay-pang
seorang yang berbakat bagus. Akan kuberinya pelajaran ilmu Thay-siang-ciang itu
kepadanya agar dapat melanjutkan usaha untuk mengembangkan pamor partai
Kay-pang ....”
“Ini .... ini ...” To Kiu-kong
makin bingung dan tak mengerti maksud Siau-liong. Sampai beberapa saat ia
tergugu tak dapat berkata yang jelas.
Siau-liong tahu isi hati tokoh
Kay-pang itu. Dengan tersenyum ia berkata, “Kiu-kong, jangan meragu. Aku akan
bersumpah takkan memberikan ilmu pelajaran itu kepada lain orang lagi. Tentang
diriku ....”
Ditatapnya To Kiu-kong
lekat-lekat, lalu berkata pula dengan tenang, “Setelah urusan itu selesai, aku
hendak pergi jauh keseberang lautan. Mungkin dalam kehidupan sekarang, aku
takkan kembali lagi. Dengan begitu ilmu pukulan Thay-siang-ciang, tetap menjadi
milik partai Kay-pang."
Oleh karena tak mau
menceritakan tentang perjanjian mati dengan Po Ceng-in pemilik lembah Semi,
maka Siau-liong hanya menggunakan alasan hendak pergi jauh keluar lautan.
To Kiu-kong benar-benar
dicengkam oleh rasa keheranan dan tak mengerti atas ucapan Cou-suya mereka. Ia
berpaling dan bertukar pandang mata dengan kedua pengemis Pincang, lalu
mengiakan.
"Karena begitu yang
menjadi kehendak Cousu-ya, akupun tak berani menolak. Tetapi hal itu mempunyai
akibat besar. Apabila kami beruntung dapat keluar dari bahaya maut saat ini,
pun harus mengundang seluruh anak murid Kay-pang dalam sebuah pertemuan besar.
Lalu memilih calon yang tepat untuk melaksanakan perintah Cousu-ya tadi.
Kemudian barulah kami dapat mengundang Cousu-ya untuk memberi ilmu
pelajaran."
Siau-liong mengangguk,
“Baiklah, tetapi hal itu harus segera terlaksana secepat mungkin. Karena aku
benar-benar ingin lekas tinggalkan tempat ini!"
“Perintah Cousu-ya pasti akan
kulaksanakan, tetapi .... saat ini kita sekalian sedang terkurung dalam Lembah
Maut. Dapatkah lolos dari sini, masih sukar diramalkan ....”
Siau-liong hendak membuka
mulut, tetapi Ti Gong taysu dan Toh Hun-ki kedengaran mendesah pelahan. Rupanya
mereka telah mencium sesuatu hawa yang harum.
“Ini tentulah gerombolan
siluman itu yang mengacau. Bau ini bukan sewajarnya!" seru Ti Gong dengan
geram.
Memang saat itu Siau-liong pun
terbaur oleh angin yang mengantar bau harum. Diam-diam ia heran. Jelas
diketahui dalam lembah itu hanya terdapat pakis yang tak enak baunya. Dari
manakah datangnya bau harum itu?
“Awas!" tiba-tiba Toh
Hun-ki berseru, "bau harum ini tentu mengandung racun. Kemarin pun aku
sudah terkena. Harap saudara lekas menutup pernapasan!"
Tetapi bau itu makin lama
makin keras. Sedang menutup pernapasan pun tak dapat berlangsung lama. Saat itu
mereka benar-benar menyerupai kawanan ikan dalam jaring yang tak dapat lolos.
Tak lama mereka pasti akan rubuh.
Kira-kira tak sampai sepeminum
teh lamanya, Su-lo dari Kong-tong-pay, Pengemis Tertawa Tio Tay-tong serta
kedua pengemis pincang tampak tak kuat. Mereka terus menerus batuk-batuk dan
tubuhnya terhuyung-huyung ......
Saat itu hari makin malam.
Suasana dalam lembah itu makin menyeramkan. Ditambah pula dengan tebaran kabut,
benar-benar menyerupai sebuah tempat di Neraka.
Ti Gong taysu, To Kiu-kong dan
Toh Hun-ki yang lebih tinggi ilmu lwekangnya, masih lebih dapat bertahan.
Tetapi makin lama kepala mereka makin pusing, mata makin berkunang-kunang dan
lalu makin kantuk.
Apabila setiap saat musuh
datang menyerang, habislah tentu riwayat mereka ......
◄
Y ►
Siau-liong amat gelisah.
Tiba-tiba ia teringat akan botol obat pemberian Po Ceng-in. Nona itu mengatakan
bahwa botol itu mungkin berguna dalam perjalanan keluar lembah. Ah, kemungkinan
yang dimaksudkan itu tentulah kabut beracun.
Segera ia mengeluarkan botol
itu dan segera menuang sebutir lalu menelannya sendiri. Ternyata khasiatnya
hebat sekali. Ia rasakan semangatnya segar lagi. Rasa lemas dan pening akibat
kabut itu hilang seketika.
Setelah mengetahui khasiatnya,
segera ia membagikan pil itu kepada To Kiu-kong, kedua pengemis pincang, Toh
Hun-ki serta keempat Su-lo. Tak lama mereka segar kembali.
Ti Gong yang menggeletak di
tanah. Melihat orang-orang sudah segar lagi, ia paksakan diri bangun dan
berseru, “Hai, mengapa aku tak diberi pil?"
Dalam pakaian jubah yang sudah
compang camping dan sekujur badan berlumur noda darah, ketua Siau-lim-si itu
tampak tak karuan keadaannya. Mau tak mau orang tentu geli melihatnya.
Toh Hun-ki benar-benar amat
berterima kasih sekali kepada Siau-liong. Rasa kesangsiannya terhadap pemuda
itu lenyap sama sekali. Serta-merta ia menghaturkan terima kasih.
Tetapi Siau-liong mengatakan,
yang penting saat itu harus segera bersiap menghadapi kemungkinan lain. Musuh
tentu akan segera datang menyergap.
"Lebih baik kita
pedayakan mereka. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa kita tak kurang suatu
apa ....” katanya, "begitu mereka datang, kita basmi habis dan terus
keluar dari lembah celaka ini!"
Toh Hun-ki memuji buah pikiran
pemuda itu. Ia menyatakan akan menurut apa yang direncanakan pemuda itu. Selain
itu ia pun memintakan obat juga untuk Ti Gong Taysu. Karena walaupun ketua
Siau-lim-si itu berwatak kasar dan bengis tetapi dia tetap seorang tokoh
golongan Putih yang menentang kejahatan.
Siau-liong mendengus lalu
menghampiri Ti Gong, serunya tertawa, “Tadi losiansu menuduh aku seorang kaki
tangan Iblis Penakluk-dunia. Dengan begitu pil ini tentu mengandung racun.
Apakah losiansu tak kuatir?"
Ketua Siau-lim-si itu paksakan
membuka mata dan hendak berkata. Tetapi baru bibirnya bergerak, ia sudah tak
kuat.
Siau-liong tak sampai hatinya.
Segera ia menyusupkan sebutir pil kemulut paderi itu. Tak berapa lama paderi
itu dapat merangkak bangun. Sejenak memandang ke arah Siau-liong, ia duduk
kembali. Walaupun tak membuka mulut tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia
menyesal dengan tuduhannya terhadap Siau-liong.
Saat itu sesuai dengan rencana
Siau-liong lalu mereka semua menggeletak di tanah, pura-pura pingsan seperti
terkena racun.
Tiba-tiba Siau-liong mendapat
pikiran. Segera ia mengatakan kepada To Kiu-kong yang berada disebelahnya, “Aku
hendak menyelidiki keadaan lembah ini .... siapa tahu aku dapat menemukan jalan
keluar dari lembah ini. Pada saat itu kalian harus lekas-lekas menerobos keluar
tak perlu tunggu aku!"
“Baik Cousu-ya!" kata To
Kiu-kong yang saat itu sudah pulih seratus persen kepercayaannya terhadap
Siau-liong.
Setelah memberi pesan supaya
berhati-hati, Siau-liong melesat lenyap ditelan kabut.
Dalam tempat yang penuh dengan
pohon dan saat itu sedang terbungkus kabut tebal, jika tak memiliki mata yang
amat tajam, tentu akan celakalah.
Toh Hun-ki dan lain-lain
orang, menghela napas. Mereka benar-benar tak mengerti akan sepak terjang
Siau-liong. Tetapi yang jelas, kini mereka sudah yakin bahwa pemuda itu
bukanlah kaki tangan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Hanya To Kiu-Kong yang paling
bingung. Ketika dipuncak Ngo-song-nia, ia melihat Siau-liong menolong Dewi Ular
Ki Ih yang terluka. Lalu sekarang Cousu-ya itu hendak mencari sigadis baju
putih serta Tiau Bok-kun. Mengapa Cousu-ya itu dimana-mana tempat selalu
terlibat dengan wanita saja?
26. Hilang Tak Berbekas
Sepeminum teh dari kepergian
Siau-liong, suasana dalam Lembah Maut makin sunyi. Hanya hawa wangi itu tetap
berhamburan memenuhi lembah. Tetapi karena sudah minum pil pemberian
Siau-liong, mereka tak kurang suatu apa. Bahkan mereka merasa segar semangatnya
karena menghirup hawa wangi itu.
Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara suitan pelahan. Seperti suitan dari mulut orang tetapi juga
mirip tiupan seruling. Tak berapa lama sepetik api kehijau-hijauan meluncur ke
udara. Sekalian orang gagah segera bersiap-siap. Mereka berbaring di tanah,
pura-pura pingsan.
Tak berapa lama, mereka
mencuri lirik. Tampak seorang tua bermuka kurus, rambut dikucir, tubuhnya kurus
kering seperti tulang terbungkus kulit, mengenakan pakaian pertapaan. Dandanannya
mirip imam bukan imam, orang biasapun juga bukan. Punggung menyanggul sebuah
senjata yang aneh.
Orang itu bukan lain adalah
murid tunggal dari Iblis Penakluk-dunia yakni Soh-beng ki-su atau
Pertapa-percabut-nyawa. Setelah memandang kesekeliling penjuru dan melihat
rombongan Ti Gong dan Toh Hun-ki menggeletak pingsan di tanah, tiba-tiba ia
kebutkan lengan jubahnya melambai “Anak-anak, lekas kemari!"
Lebih dari duapuluh orang
berpakaian hitam, muncul dan memberi hormat dihadapan Soh-beng Ki-su, menunggu
perintah. Sikap dan gerak-gerik rombongan baju hitam itu seperti tak wajar.
Seperti orang tolol. Mereka masing-masing memandang ke ujung kakinya.
"Ikatlah tulang bahu
mereka dengan rantai besi dan terus bawa ke dalam lembah!" seru Soh-beng
Ki-su dengan nada macam iblis merintih.
Ke duapuluh orang baju hitam
itu gemuruh mengiakan. Beberapa orang diantaranya segera mengeluarkan rantai
besi terus hendak mengikat Toh Hun-ki dan rombongannya.
Yang paling tak tahan hatinya
adalah Ti Gong taysu. Diam-diam ia gunakan ujung kaki untuk menjejak Toh
Hun-ki, lalu tiba-tiba menggembor keras dan loncat menghantam dengan jurus Air
terjun-membuka-gunung kepada Soh-beng Ki-su.
Soh-beng Ki-su tersentak
kaget. Benar-benar ia tak menduga akan serangan mendadak itu. Sekali kaki
menekan tanah, ia loncat sampai dua tombak ke udara menghindari pukulan Ti Gong
taysu.
Melihat ketua Siau-lim-si
sudah bergerak, Toh Hun-ki dan lain-lain orang gagah segera loncat bangun. Toh
Hun-ki, To Kiu-kong serempak menyerang Soh-beng Ki-su. Pengemis-tertawa Tio
Tay-tong, kedua pengemis Pincang dan Su-lo Kong-tong-pay, mengamuk ke duapuluh
orang anak buah Soh-beng Ki-su.
Terdengar jeritan ngeri
berkumandang memenuhi lembah. Ke duapuluh orang baju hitam itu hanya bertindak
dari komando Soh-beng Ki-su, Karena Soh-beng Ki-su pontang panting sendiri
sehingga tak dapat memberi komando, ke duapuluh orang berpakaian hitam itupun
kacau balau. Mereka mundur ke gunduk batu.
Ketika Soh-beng Ki-su melayang
turun ke tanah. To Kiu-kong dan Toh Hun-ki serentak menyerangnya. Mereka
gunakan jurus dahsyat dari ilmu simpanan partai masing-masing.
“Brett....” Soh-beng Ki-su
dapat menghindari tongkat Kumala Hijau To Kiu-kong tetapi tak urung pakaianya
robek sampai panjang. Sedangkan Toh Hun-ki lebih beruntung. Ia dapat menghantam
lengan kiri pertapa pencabut nyawa itu sehingga Soh-beng ki-su menguak-uak
karena kesakitan. Soh-beng Ki-su murka. Setelah mundur beberapa langkah ia
menekuk kedua tangannya.
“Krek, krek....” Soh-beng
Ki-su rentangkan kesepuluh jarinya. Dari ujung jari itu menghambur asap putih
mirip dengan ribuan ekor ular meluncur ke arah Toh Kun-ki dan kawan-kawannya.
Ti Gong taysu dan To Kiu-kong segera berkumpul merapat.
Belum asap putih itu melanda
datang, sekonyong-konyong ketiga orang itu dilanda oleh semacam hawa dingin
sekali.
"Awas, dia sedang
melancarkan ilmunya Pek-kut-kang!" teriak Toh Hun-ki.
Ti Gong taysu baru pertama
kali itu bertempur lawan Soh-beng-Ki-su sehingga ia tak tahu pertapa
Pencabut-nyawa itu memiliki ilmu tenaga sakti luar biasa, yakni tenaga Tulang
Putih atau Pek-kut-kang. Ketua Siau-lim-si itu menganggap ilmu tenaga dalamnya
mampu menghadapi.
Ketua Siau-lim-si itu segera
mendorongkan kedua tangannya untuk menghalau kabut. Tetapi diluar dugaan,
begitu terkena angin pukulan, asap putih itu malah bergulung-gulung melanda Ti
Gong taysu.
Seketika Ti Gong seperti
didampar oleh hawa yang luar biasa dinginnya sehingga ia menggigil kedinginan.
Darahnya serasa membeku.
Melihat serangannya berhasil,
Soh-beng Ki-su loncat mundur lalu taburkan segumpal asap merah dan tertawa
nyaring, “Tengkorak menari!"
Saat itu Ti Gong berusaha
untuk mengerah tenaga dalam melawan hawa dingin. Tetapi tenaganya lenyap,
tulang serasa berhamburan lepas dari sendinya. Ia benar-benar telah kehilangan tenaga
untuk melawan.
Teriakan Soh-beng Ki-su itu
mengejutkan sekalian orang gagah. Jelas pertapa pencabut nyawa itu tentu
melepaskan pertandaan ke arah lembah Semi. Hal itu diinsyafi oleh Toh Hun-ki
dan kawan-kawannya.
Lembah Semi tentu akan
mengirim bala bantuan. Kemungkinan malah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka
sendiri akan datang.
Tetapi kekuatiran Toh Hun-ki
dan rombongannya itu, tidak tepat. Ternyata bukan bala bantuan dari Lembah Semi
yang muncul, melainkan berpuluh-puluh kerangka tengkorak yang berloncatan
menyerbu rombongan Toh Hun-ki.
Selama berpuluh tahun
berkecimpung dalam dunia persilatan, tak pernah Ti Gong menyaksikan peristiwa
seaneh itu, bahwa kerangka tengkorak dapat diperintah untuk menyerang. Tetapi
karena saat itu ia sudah kehilangan tenaga, maka ia tak dapat berbuat suatu apa
lagi kecuali hanya menghela napas, “Omitohud! Habislah riwayatku
sekarang!"
Ia segera duduk bersemadhi di
tanah. Pejamkan mata menunggu ajal.
"Barisan tengkorak!"
teriak Toh Hun-ki dan To Kiu-kong serempak.
"Im dan Yang silang
menyilang!" terdengar pula Soh-beng Ki-su berseru nyaring.
Berpuluh kerangka tengkorak
itu segera menari-nari dan berbondong-bondong menyerbu sekalian orang.
Toh Hun-ki dan kawan-kawan
menyadari bahwa saat itu mereka terancam bahaya maut. Tetapi mereka sudah
bertekad bulat, lebih baik pecah sebagai ratna daripada menyerah.
Mereka segera mengelompok
menjadi sebuah lingkaran. Bahu membahu mereka lancarkan pukulan ke arah barisan
Tengkorak itu.
Sekalipun barisan tengkorak
itu tak dapat main silat tetapi gerakan mereka menghamburkan angin dingin dan
bau busuk yang memuakkan sekali.
Karena tak bernyawa, barisan
tengkorak hanya bergerak menurut perintah So-beng Ki-su.
Selama tidak diperintah
mundur, mereka tetap maju. Sekalipun separoh dari kerangka tubuhnya hancur
terkena pukulan, atau bahkan hanya tinggal sebuah kaki dan tangan saja, mereka
tetap berloncatan menyerang. Pendek kata, kalau tak hancur sama sekali, mereka
takkan berhenti.
Beberapa saat kemudian,
serangan barisan Tengkorak itu makin menghebat. Lingkaran kepungan mereka pun
makin menyempit. Keadaan rombongan Toh Hun-ki makin gawat.
Soh-beng Ki-su tak
henti-hentinya berteriak dan tertawa-tawa.
Sekonyong-konyong terdengar
sebuah suara raungan yang dahsyat. Dan menyusul terdengar suara tertawa panjang
yang tak kalah congkak perbawanya dengan tertawa Soh-beng Ki-su.
Sekalian orang gagah terkejut
sekali. Ketika mencuri kesempatan melirik, mereka makin terkejut.
Soh-beng Ki-su tampak
terhuyung-huyung ke belakang. Tak jauh disebelah mukanya, muncul seorang aneh
berpakaian biru. Rambutnya memanjang sampai kebahu. Mata sebesar kelinting,
mulut besar dan merah, jenggotnya berserabutan lempang seperti duri. Amboi....
itulah Pendekar Laknat!
Sudah beberapa kali Soh-beng
Ki-su menderita kekalahan dari Pendekar Laknat. Sudah tentu ia kaget setengah
mati ketika mendadak momok yang ditakuti itu muncul. Ia terhuyung-huyung mundur
mencari jalan untuk lolos.
Karena tak diberi komando
lagi, barisan Tengkorak pun macet. Mereka tertegun diam.
"Pendekar Laknat!"
serentak Toh Hun-ki berteriak girang. Ia segera bersama To Kiu-kong menghantam
barisan tengkorak itu hingga hancur lebur berhamburan ke dalam semak.
Pendekar Laknat yang muncul
itu sudah tentu Siau-liong yang menyamar. Kiranya, kepergiannya untuk
menyelidiki keadaan lembah itu tadi hanya suatu alasan untuk berganti sebagai
Pendekar Laknat.
Tetapi memang tadi ia telah
menyelidiki juga. Berkat bantuan peta pemberian Jong Ling lojin, dapatlah ia
dengan leluasa mengetahui seluk beluk keadaan lembah itu. Tetapi, ah.... si
dara Mawar Putih tetap tak dapat diketemukannya.
Kemanakah gerangan lenyapnya
dara itu?
Akhirnya ia terpaksa kembali
lagi untuk menyelamatkan rombongan orang gagah. Tetapi alangkah kagetnya ketika
ia mendengar teriakan Soh-beng Ki-su memberi komando kepada barisan Tengkorak.
Cepat ia menyamar lagi sebagai Pendekar Laknat.
"Tua bangka Laknat....
dari mana engkau masuk ke dalam lembah ini!" seru Soh-beng Ki-su seraya
mundur beberapa langkah.
Sambil maju menghampiri,
Siau-liong tertawa liar, “Disegala tempat, baik di puncak gunung mau pun
dilembah belantara, aku bebas pergi dan datang menurut sekehendak hatiku .....”
Diam-diam Siau-liong teringat
akan nasib Koay suhu atau Pendekar Laknat asli, yang dianiaya pertapa
Pencabut-nyawa itu. Geramnya, “Hm, kalau saat ini tak kubunuhnya, sampai kapan
lagi ......?"
Serentak ia salurkan ilmu
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke lengannya. Setelah telapaknya merah membara ia
segera menghantam Soh-beng Ki-su sekuat tenaganya. Dalam penyamaran sebagai
Pendekar Laknat, Siau-liong bebas menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Tahu kelihayan ilmu pukulan
itu, Soh-beng Ki-su tak berani menangkis. Cepat ia berputar tubuh terus lari
ngiprit. Tanpa menghiraukan gundukan batu yang tajam dan runcing, ia nekad
berguling-guling sampai beberapa belas langkah jauh. Dengan cara nekad itu,
barulah ia dapat terhindar dari pukulan maut.
Tubuh pertapa itu berlumuran
darah. Pakaian robek-robek kulit lecet-lecet berdarah!
Secepat kilat Siau-liong
memburu tiba dan hendak menyusuli hantaman lagi. Soh-beng Ki-su sudah tak
mungkin dapat menghindar lagi. Dia pasti mati!
Tetapi tiba-tiba pertapa ganas
itu berteriak sekuat-kuatnya, “Tunggu!"
Entah bagaimana Siau-liong mau
juga menahan pukulannya, “Apa engkau masih mau bicara lagi?"
"Ada sebuah hal yang
aneh, mungkin engkau ingin mengetahui?!"
"Soal apa? Lekas
katakan!"
Soh-beng Ki su sengaja
bersikap ayal memberi jawaban, “Engkau datang bersama Dewi Ular Ki Ih .....” -
ia berhenti memandang reaksi Siau-liong lalu melanjutkan pelahau-lahan, “apakah
engkau tahu kemanakah ia sekarang?"
Siau-liong terkesiap.
Pikirnya, “Kemungkinan merasa benar Mawar Putih menyamar lagi sebagai Ki Ih
....."
Melihat Siau-liong tertegun.
Soh-beng Ki-su dapat menduga kalau orang itu sudah mulai tertarik perhatiannya.
Ia tertawa mengekeh dan berkata pula dengan lambat-lambat, “Malah akulah yang
pernah melihat ia muncul dalam lembah ini tetapi kemudian dibawa oleh seorang
wanita baju Hitam melintasi puncak gunung itu!" - ia menunjuk ke arah
sebuah puncak gunung yang landai.
Menurut arah yang ditunjuk
itu, Siau-liong dapatkan puncak gunung itu tegak melandai. Jika disitu memang
tiada alat perangkap, Sia-liong sanggup untuk mencapai ke atas. Hanya
keterangan Soh-beng Ki-su bahwa Mawar Putih telah dibawa oleh wanita baju hitam
melintasi puncak gunung itu, rasanya tak mungkin terjadi.
Tetapi tiba-tiba ia teringat
akan kekuatiran yang dinyatakan Iblis Penakluk-dunia bahwa seorang sakti yang
tak dikenal telah menyelundup masuk ke dalam Lembah Maut.
“Apakah engkau melihat
sendiri?" akhirnya ia menegas dengan penuh kesangsian.
“Bukan melainkan melihat
sendiri, pun dibawah puncak itu terdapat tusuk kundai Kumala yang dipakai oleh
Dewi Ular Ki Ih. Kalau tak percaya, bolehlah kubawa engkau kesana!" sahut
Soh-beng Ki-su.
Siau-liong merenung. Dari
sikap dan nadanya, rupanya Soh-beng Ki-su itu tak bohong. Cepat ia mencengkeram
leher baju orang itu dan mengancamnya, “Bawalah aku kesana .... tetapi kalau
engkau berani menipu aku, hm, tulang belulangmu pasti kuhancur leburkan!"
Soh-beng Ki-Su tergugu
mengiakan lalu berjalan karena didorong Siau-liong.
"Pendekar Laknat, jangan
termakan siasatnya!" Toh Hun-ki berseru memberi peringatan.
Siau-Long tertegun sejenak.
Tetapi pada lain saat ia tertawa meliar lalu tanpa berpaling ke arah Toh
Hun-ki, ia terus menyeret Soh-beng Ki-su lari ke arah puncak itu.
Walaupun puncak itu berbahaya
sekali keadaannya tetapi dalam Lembah Maut, puncak itu termasuk satu-satunya
tempat yang dapat ditempuh.
Tak berapa lama tibalah mereka
di kaki puncak. Soh-beng Ki-su melirik Siau-liong, katanya, “Aku toh sudah
berada dalam genggamanmu, masakan mampu lolos? Tetapi dengan cara menyeret dan
menggusur seperti ini, bagaimana aku mampu mencari tusuk kundai Kumala
itu?"
"Hm, tak mungkin engkau
lolos dari tanganku!" Siau-liong lepaskan cengkeramannya.
Setelah menghela napas untuk
melonggarkan lehernya yang sesak ia pura-pura seperti mulai mencari.
Dihampirinya sebuah semak belukar. Tetapi pada saat Siau-liong tak waspada, ia
terus loncat menyusup ke belakang sebuah batu disebelah kiri.
Ternyata di belakang batu itu
terdapat sebuah gua rahasia yang tembus ke Barisan Tujuh Maut dan Lembah Semi.
Sesungguhnya dalam peta pemberian Jong Ling lojin, tempat itu memang disebut.
Tetapi karena Siau-liong sedang terbenam memikirkan Mawar Putih, ia sampai tak
ingat lagi sehingga Soh-beng Ki-su dapat lolos.
Tetapi Soh beng Ki-su masih
tongolkan kepalanya dari balik batu dan tertawa mengekeh, “Heh, heh, tua bangka
Laknat! Aku tak mau seratus persen membohongimu. Memang ada seorang wanita baju
hitam menolong seorang wanita .... tetapi bukan Dewi Ular Ki Ih, melainkan
seorang gadis baju putih .... Ki Ih mungkin sudah binasa dalam barisan Tujuh
Maut!"
Siau-liong tertegun dan lupalah
ia untuk menghantam pertapa itu. Pada lain saat ketika tersadar, ternyata
Soh-beng Ki-su sudah lenyap. Ia marah karena ditipu mentah-mentah oleh Soh-beng
Ki-su. Tetapi ia terhibur juga hatinya karena nyata Mawar Putih telah ditolong
orang.
Terpaksa ia kembali ketempat
rombongan Toh Hun-ki lagi. Ketua Kong-tong-pay itu amat girang sekali melihat
Pendekar Laknat kembali. Cepat ia memberi hormat, “Pendekar Laknat, dua kali
sudah engkau telah memberi pertolongan. Budimu itu takkan kulupakan selama-lamanya!"
Tawar-tawar Siau-liong
menyahut, “Perlu apa engkau ribut-ribut? Aku dapat memberi hidup tetapi pun
dapat membunuh, ditatapnya ketua Kong-tong-pay itu dengan mata berapi-api lalu
tertawalah ia senyaring-nyaringnya.
Tetapi Toh Hun-ki sudah biasa
mendengar tertawa yang penuh kecongkakan itu. Kemudian ia berkata, “Pesanmu
ketika di Lembah Semi tempo hari, telah kulaksanakan. Racun pada luka nona Tiau
Bok-kun sudah terobati. Ketika kutinggalkan Siok-ciu, dia masih beristirahat di
rumah penginapan. Tetapi saat ini dia tentu sudah sembuh!"
“Tahu!" sahut Siau-liong
hambar, lalu menghampiri Ti Gong taysu.
To Kiu-kong, Pengemis-tertawa
Tio Tay-tong dan kedua pengemis Pincang, diam-diam terkejut menyaksikan
Pendekar Laknat dapat muncul dan lenyap di Lembah Maut. Sekalipun Toh Hun-ki
telah memperlakukan Pendekar Laknat sebagai seorang pendekar budiman, tetapi
orang-orang Kay-pang itu tetap gelisah. Maka mereka menjauhkan diri dan tak
ikut bicara.
Sikap Ti Gong taysu tampak
lucu. Wajahnya menampil kejut dan ketakutan. Ia terlongong-longong memandang
Siau-liong.
Duapuluh tahun berselang, ia
ikut dalam rombongan yang dipimpin Ceng Hi totiang ketua Kun-lun-pay untuk
membunuh kelima momok. Sudah tentu saat itu ia melihat Pendekar Laknat juga.
Seingatnya Pendekar Laknat itu
tak setinggi yang di hadapannya sekarang. Begitupun suaranya yang menggeledek
itu, tak sama dengan dahulu. Tetapi memang pakaian, wajah dan dandanannya tiada
beda dengan Pendekar Laknat dahulu.
Karena kuatir nanti timbul
salah paham sehingga terjadi perkelahian antara Pendekar Laknat dengan Ti Gong
taysu, buru-buru Toh Hun-ki menyelinap ke tengah mereka dan memperkenalkan
....” Inilah ketua Siau-lim-si Ti....”
“Sahabat lama pada duapuluh
tahun yang lalu, masakan perlu engkau perkenalkan!" bentak Siau-liong.
Memang untuk menyempurnakan
penyamarannya sebagai Pendekar Laknat, diam-diam Siau-liong menyelidiki tentang
peristiwa kelima momok mengadu biru di dunia persilatan pada duapuluh tahun
berselang. Diketahuinya bahwa Ti Gong taysu termasuk salah seorang tokoh yang
ikut gerakan membasmi kelima momok itu.
Ti Gong taysu menyebut
'Omitohud' lalu memalingkan muka. Sudah tentu Toh Hun-ki gugup dan kuatir
Pendekar Laknat marah. Buru-buru ia berkata lagi kepada Siau-liong:
“Demi memberantas gerakan Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang hendak mencengkeram dunia persilatan, maka
It Hang totiang telah memimpin rombongan orang gagah menyerang ke Lembah Semi.
Tetapi ternyata rombongan gagah banyak yang gugur dan sekarang hanya tinggal
kami beberapa orang ini ....” - ia menghela napas dan mata berlinang-linang.
"Menilik kenyataan
sekarang ini, tentulah kedua suami isteri durjana itu segera akan bergerak.
Keamanan dunia persilatan jiwa para tokoh-tokoh persilatan, menghadapi ancaman.
Satu-satunya harapan, hanya terletak pada Pendekar Laknat seorang saja!"
kata ketua Kong-tong-pay itu lebih lanjut.
Memang agak berkelebihanlah
ucapan Toh Hun-ki itu. Tetapi sesungguhnya hal itu memang suatu fakta. Makin
mengindahkanlah Siau-liong terhadap pribadi ketua Kong-tong-pay itu.
Namun ia terpaksa deliki mata
dan berseru, “Aku tak sanggup menyanggul beban seberat itu dan tak ingin
mencampuri urusan yang tiada sangkut pautnya dengan diriku!"
Berdiam sebentar, Siau-liong
tertawa keras dan menegur Ti Gong taysu, “Paderi tua, Siau-lim-si termasyhur
diseluruh dunia. Ilmu pukulan Tat-mo-kim-kong merajai dunia persilatan dan
engkau pun seorang ketua. Terapi mengapa engkau dapat dikurung dalam Lembah
Maut sini?"
Ti Gong taysu mendengus, “Aku
memang merasa malu karena kepandaianku masih rendah. Dan lagi memang suami
isteri iblis itu licin sekali memasang jerat .... tetapi, ah, hal itu bukanlah
sesuatu yang memalukan. Paling banyak kan mati!"
Ucapan itu menunjukkan
kepribadian seorang ketua partai persilatan seperti Siau-lim-si Keras, pantang
mundur. Semula Siau-liong tak puas melihat sikap congkak dari ketua Siau-lim-si
itu. Tetapi setelah mendengar pernyataannya itu, kemarahannya pun agak reda.
Toh Hun-ki makin gelisah. Pada
saat ia hendak membuka mulut melerai, tiba-tiba dari arah barisan Tujuh Maut
dan terowongan yang tembus ke Lembah Maut, terdengar suitan pelahan.
Siau-liong mendengarkan dengan
seksama, lalu berkata dingin, “Hendak kubawa kalian keluar dan Lembah Maut ini,
tetapi entah ....” - ia memandang Ti Gong taysu, berkata pula, "Apakah
kalian percaya padaku?"
Ti Gong taysu tetap membisu.
Adalah Toh Hun-ki yang cepat menghampiri dan berkata tegang, “Musuh kuat segera
datang, jika Pendekar Laknat dapat membawa kami keluar dari lembah ini, itulah
yang paling bagus ....”
Siau-liong tertawa. Sejenak
memandang sekalian orang, ia berputar tubuh lalu ayunkan langkah.
Berkat peta dari Jong Ling
lojin, dapatlah ia mengetahui keadaan lembah itu dengan jelas. Ternyata Lembah
Maut itu mempunyai sepuluh buah jalanan yang tembus keluar. Tetapi hampir
seluruhnya akan tembus ke dalam Barisan Tujuh Maut. Hanya ada sebuah jalan yang
dapat menembus keluar Lembah Semi.
Siau-liong menyadari bahwa tak
lama lagi Iblis Penakluk-dunia dan isterinya tentu akan datang membawa anak
buahnya. Maka cepat ia menuju kejalan tembusan yang gelap.
Berpaling ke belakang,
dilihatnya Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay mengikuti
dibelakangnya, lalu To Kiu-kong, Pengemis-tertawa Tio Tay-tong, kedua pengemis
Pincang dan paling akhir Ti Gong taysu. Ketua Siau-lim-si itu berjalan dengan
kepala menunduk. Sikapnya seperti orang yang puas.
Jalan tembusan itu berada di
kaki sebuah dinding karang. Siau-liong berhenti lalu menghantam segerumbul
semak belukar setinggi orang.
Toh Hun-ki terkejut karena
mengira Pendekar Laknat tentu menemukan jejak musuh. Mereka buru-buru berpencar
dan siap-siap. Terdengar bunyi berderak-derak lalu berhamburan pecahan batu
dari balik semak itu. Dan pada dinding karang segera terbuka sebuah lubang
terowongan yang cukup untuk seorang.
Tanpa bersangsi lagi,
Siau-liong terus menerobos masuk. Toh Hun-ki dan rombongannya pun segera
mengikuti. Karena tubuhnya tinggi besar, terpaksa Ti Gong taysu harus agak
menunduk baru dapat masuk.
Terowongan itu memang
terowongan alam. Penuh liku-liku dan berlekuk-lekuk jalannya. Selain lembab,
pun amat licin sekali. Agaknya dinding langit terowongan itu mengucurkan air ke
bawah.
Untung makin ke dalam
terowongan itu makin lebar. Berkat makan buah Im-yang-som dan minum darah
binyawak purba dalam pusar bumi, mata Siau-liong luar biasa tajamnya. Walaupun
terowongan amat gelap, ia dapat berjalan pesat.
27. Wanita Gubuk Pemburu
Toh Hun-ki dan kawan-kawannya,
walaupun memiliki tenaga dalam yang tinggi, namun tetap kalah awas dengan mata
Siau-liong. Terpaksa mereka harus jalan dengan hati-hati.
Terowongan itu ternyata amat
panjang. Kira-kira satu li jauhnya, barulah tiba dimulut gua sebelah luar.
Siau-liong cepat loncat keluar.
Disekeliling tempat situ
merupakan sebuah lamping gunung yang jauh dari Lembah Semi. Ia menghela napas
longgar.
Diperhatikan keadaan empat
penjuru. Ternyata sekeliling penjuru merupakan jajaran puncak gunung yang
saling bergandengan. Lembah Semi berada ditengah lingkup jajaran puncak gunung
itu.
Tiba-tiba ia terperanjat.
Dibalik sebatang pohon pada jarak beberapa tombak jauhnya, tampak sesosok
bayangan berkelebat. Gerakannya amat cepat sekali. Sekejap saja bayangan itu
sudah menghilang dalam kegelapan.
Saat itu baru menjelang tengah
malam. Setelah menunggu sebentar, ternyata tak tampak sesuatu yang mencurigakan
lagi. Diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri yang begitu keliwat perasa.
Bukankah dalam hutan tentu banyak binatang-binatang yang menghuni?
Saat itu Toh Hun-ki dan
lain-lain orang pun sudah keluar dari terowongan gua. Pakaian dan tubuh mereka
kumal dan kotor.
Tetapi mereka tak menghiraukan
hal itu. Mereka lebih tercengkeram oleh kegirangan yang meluap-luap karena
sudah terlepas dari Lembah Semi. Semua mata terarah kepada Siau-liong dengan
pandang terima kasih yang tak terhingga.
Ti Gong taysu menghela napas
panjang. Tiba-tiba ia melangkah kehadapan Siau-liong dan memberi hormat.
"Aku selalu menjunjung budi dan dendam. Sejak saat ini seluruh anak murid
Siau-lim-si akan menghormat saudara sebagai seorang pendekar budiman, bukan
tokoh golongan Hitam lagi!"
Siau-liong hanya tertawa
hambar: “Aku tak memusingkan hal itu. Terserah saja kepadamu!"
Tiba-tiba To Kiu-kong
banting-banting kaki, serunya, “Walaupun aku dapat lolos keluar tetapi Cousu-ya
kami masih berada dalam Lembah Maut. Jika kedua suami isteri iblis itu
melakukan serangan besar-besaran, Cousu-ya tentu terancam bahaya!"
Diam-diam Siau-liong geli
dalam hati. Lalu berkata, “Tokoh perwira Kongsun Liong itu, seorang pendekar
muda yang paling kuindahkan. Dia dapat muncul lenyap secara aneh. Siapa tahu
saat ini dia pun sudah lolos dari Lembah Maut. Harap kalian jangan
gelisah!"
Sekalian orang terbelalak.
Belum pernah terdengar bahwa Pendekar Laknat mau menghargai sebagai itu.
Lebih-lebih terhadap seorang pemuda tak terkenal.
Melihat sekalian orang
mengawasi dirinya. karena kuatir akan terbuka kedoknya, Siau-liong tertawa
nyaring lalu berkata kepada Toh Hun-ki, “Bagaimana tujuan kalian?"
Ketua Kong-tong-pay menghela
napas panjang. Memandang Ti Gong taysu dan Tio Kiu-kong, lalu berkata, “Saat
ini di Siok-ciu tentu masih banyak tokoh-tokoh persilatan yang
berbondong-bondong datang. Kemungkinan mereka tentu belum mendengar tentang
kekalahan yang kami derita dalam penyerangan ke Lembah Semi kali ini. Tiada jalan
lain lagi kecuali hanya menyusun kekuatan dengan sahabat-sahabat persilatan itu
....”
Memandang Siau-liong, ia
berkata setengah meminta, “Jika Pendekar Laknak tak tega melihat kehancuran
dunia persilatan, maka ....”
“Baik, aku bersedia membantu
gerakan kalian untuk membasmi Iblis Penakluk dunia dan isterinya. Tetapi ....”
Siau-liong berhenti menatap wajah Toh Hun-ki lekat, serunya pula: “Setelah
kedua iblis itu dapat ditindas, aku hendak minta beberapa barang kepadamu
sebagai upahnya!"
“Asal kami mampu saja, tentu
akan memberikan," Toh Hun-ki menyahut gopoh.
Siau-liong tertawa dingin,
"Mungkin barang yang hendak kuminta terlampau berharga sekali sehingga tak
mungkin engkau mau memberikan!"
Sambil menunjuk kelangit, Toh
Hun-ki bersumpah, “Apapun yang hendak engkau minta, aku takkan sayang
memberikan. Sekali pun jiwaku juga akan kuserahkan!"
Siau-liong mendengus, “Toh
Hun-ki, engkau benar, yang kuminta justeru batang kepalamu dan keempat Su-lo
Kong-tong-pay!"
Sekalian orang tersentak
kaget. Toh Hun-ki termenung lama, akhirnya ia mengangguk. Serunya tertawa,
“Jika memang itu yang engkau kehendaki, akupun setuju. Begitu kedua suami
isteri iblis itu sudah dibasmi, terserah kapan saja engkau hendak mengambilnya
....”
Ketua Kong-tong-pay itu
berpaling ke belakang dan memandang keempat Su-lo, lalu berkata dengan tenang,
“Tentang batang kepala dari keempat suteku ini, aku pun dapat memberi
keputusan. Akan kami serahkan bersama-sama sekaligus!"
Keempat Su-lo itu
tenang-tenang saja wajahnya, Seakan-akan mereka sudah pasrah nasib pada
ketuanya.
Sikap dan ucapan yang perwira
dari ketua Kong-tong-pay itu mengharukan hati Siau-liong. Tetapi terpaksa ia
paksakan diri tertawa dingin, “Perjanjian telah kita setujui, pada saat itu
harap engkau jangan menyesa!."
Wajah Toh Hun-ki mengerut
sarat dan tertawalah ia selapang-lapangnya, "Aku bukanlah manusia yang
suka menjilat ludah. Asal dapat menyelamatkan dunia persilatan, aku tak
menghiraukan nasibku!"
Siau-liong termenung. Pada
lain saat ia mempersilahkan rombongan tokoh persilatan itu lanjutkan
perjalanan. Baru beberapa langkah menuruni gunung, tiba-tiba Toh Hun-ki
berhenti dan berpaling, “Apakah Pendekar Laknat hendak ......”
Siau-liong mendengus, “Aku pun
tak pernah ingkar janji. Tiga hari lagi aku tentu datang ke Siok-ciu untuk
berunding dengan kalian."
Demikian Toh Hun-ki dan
rombongan, segera menuruni gunung menuju ke Siok-ciu. Setelah mereka jauh,
Siau-liong menghela napas terharu. Beberapa butir air mata menitik turun ....
Dia sendiri tak tahu mengapa ia begitu terharu perasaannya dan sampai menangis.
Keharuan itu sama sekali bukan
karena umurnya tinggal setahun ia serahkan pada nasib. Apalagi dalam waktu
setahun itu, cukuplah baginya untuk bertemu dengan ibunya, melaksanakan balas
dendam dan lain-lain, habis itu, mati pun ia tak menyesal.
Tengah hatinya dirundung
kepiluan, tiba-tiba dari balik pohon besar disebelah muka tadi, bayangan itu
mulai muncul lagi.
Siau-liong terkejut. Terang
bayangan itu bukan binatang liar melainkan seorang persilatan yang memiliki
gerakan tangkas sekali. Dari potongan tubuhnya yang langsing, tentulah dia
seorang wanita.
Ketika memandang dengan
seksama, makin besarlah rasa kejut Siau-liong, yang datang itu ternyata si dara
baju hijau tua, ialah dara dari gubuk keluarga pemburu yang pernah Siau-liong
dan Mawar Putih datangi tempo hari.
Tiba dihadapan Siau-liong,
dara itu memandang lekat-lekat kepadanya dan bertanya dengan geram, “Tua
bangka, siapa namamu?"
Semula Siau-liong hendak
menegurnya. Tetapi ketika menyadari bahwa saat itu ia masih dalam penyamaran
sebapai Pendekar Laknat, ia batalkan niatnya. Tentulah dara itu takkan
mengenalinya.
“Nona kecil, mengapa tengah
malam engkau berjalan-jalan di puncak gunung sini?" Siau-liong balas
bertanya.
Dara itu kerutkan alis lalu melengking,
“Apakah engkau tuli? Tak mendengar apa yang kutanyakan?"
Siau-liong tertegun. Diam-diam
ia memuji dara itu benar-benar bernyali besar. Tengah malam di tempat sunyi
bertemu dengan Pendekar Laknat yang berwajah seram, namun dara itu setitik pun tak
takut!
Saat itu mereka berada
disebuah belantara yang tak pernah didatangi orang. Siau-liong anggap tak perlu
ia bertingkah seperti Pendekar Laknat lagi.
"Nona kecil, pernahkah
engkau mendengar nama Pendekar Laknat?" serunya.
Dara itu menyahut dengan
berteriak nyaring. "Apakah engkau Pendekar Laknat itu?"
Siau-liong memandang wajah si
dara yang masih kekanak-kanakan, tertawa, “Benar aku memang Pendekar
Laknat!"
Diluar dugaan, dara itu malah
membentak, “Bagus, setan tua! Akhirnya aku dapat menemukan engkau!" –
“wut....” ia terus ayunkan tangan menampar.
Siau-liong benar-benar tak
mengerti mengapa dara itu sedemikian bengisnya. Terhadap tamparannya, ia tak
menaruh kekuatiran, Diluar dugaan, hampir saja ia celaka!
Tampaknya biasa saja gerak
tamparan dara itu sehingga Siau-liong sama sekali tak berjaga-jaga. Pikirnya,
tak apalah andaikata sampai mengenai bagian jalan darah yang penting. Tentu
takkan menderita.
Adalah pada saat tenaga
tamparan itu hampir tiba, barulah Siau-liong kaget setengah mati. Ia sudah tak
sempat menangkis lagi. Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi
tubuhnya.
Ternyata tamparan dara itu
mengandung tenaga dalam lunak yang istimewa. Tampaknya lemah sekali tetapi
hebatnya bukan kepalang. Dapat menghancurkan tulang-tulang dari sendinya. Dan
yang istimewa lagi, pukulan itu sama sekali tak bersuara.
“Dess....!” dada Siau-liong
terkena pukulan si dara dengan tepat sekali. Walaupun ia sudah kerahkan lima
bagian tenaga dalamnya, namun dadanya seperti dihantam dengan palu godam.
Darah bergolak keras, mata
berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai tujuh delapan
langkah baru ia dapat paksakan diri berdiri tegak.
Melihat pukulannya berhasil
dara itu melengking dan secepat kilat loncat maju ia menghantam dengan kedua
tangannya lagi!
Sudah tentu Siau-liong kejut
bukan kepalang. Menurut penilaiannya, tenaga dalam dari pukulan si dara serta
gerakannya dalam ilmu meringankan tubuh, tidak dibawah kedua suami isteri Iblis
Penakluk dunia. Kalau ia tak balas menyerang, terang tentu akan terluka berat.
Tiba-tiba Siau-liong
menggembor keras. Dengan salurkan delapan bagian dari tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang, iapun menyongsong dengan kedua tangannya. Ketika dua tenaga
sakti saling beradu sama sekali tak mengeluarkan suara.
Kiranya tenaga sakti yang
dilepas Siau-liong itu bersifat Keras. Sedang tenaga sakti si dara merupakan
tenaga sakti lunak. Keras beradu Lunak, hilang sirna kedua-duanya!
Siau-liong mendengus. Ia
hendak menarik pulang tenaga pukulannya. Tetapi diluar dugaan si dara menyerang
lagi.
Dara itu juga seorang pemarah.
Melihat pukulannya tak mampu merubuhkan Siau-liong, marahlah ia. Dorongkan
kedua tangan kemuka, ia pancarkan seluruh tenaga saktinya ke arah Siau-liong.
Siau-liong pucat seketika. Ia
menyadari bahwa apabila dua jenis tenaga sakti saling beradu, salah satu atau
mungkin kedua-duanya, tentu akan menderita luka parah. Bahkan mungkin binasa.
Dara itu tak mempunyai dendam permusuhan dengan dirinya. Tetapi mengapa begitu
kalap hendak mengadu jiwa?
Juga dara itu tak mau memberi
kesempatan kepadanya untuk bicara. Dan celakanya, ternyata dara itu memiliki
kepandaian yang sakti. Dua kali dara itu menyerang hebat. Dan kalau sekarang
dibiarkan juga, kemungkinan ia tentu celaka.
Dengan mengerat gigi, terpaksa
Siau-liong kerahkan tenaga sakti untuk menyongsong serangan si dara.
Tetapi alangkah kejut
Siau-liong. Sudah delapan bagian dari tenaga saktinya yang ia lancarkan namun
tetap berimbang dengan tenaga sakti si dara.
"Celaka," keluhnya
dalam hati, “aku tak kenal dan tak mempunyai dendam suatu apa kepada budak
perempuan ini. Kalau sampai binasa ditangannya, bukankah amat penasaran?"
Dan tak habislah heran
Siau-liong. Ia sudah menerima penyaluran tenaga sakti dari Pendekar Laknat,
sudah makan buah Im-yang-som dan sudah pula minum darah binyawak purba dalam
pusar bumi. Karena hal-hal yang luar biasa itu, barulah ia memiliki kesaktian
seperti saat itu.
Tetapi dara itu? Ya, dara itu
tentu lebih muda dari dia. Tetapi mengapa kepandaiannya begitu hebat, tak dibawah
kepandaiannya? Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba Siau-liong rasakan tekanan
tenaga lawan makin bertambah keras sehingga tubuhnya mulai terdorong ke
belakang.
Siau-liong gelagapan kaget.
Buru-buru ia menambahkan tenaga dalamnya lagi.
Namun rupanya dara baju hijau
itu amat penasaran sekali. Kalau dapat, hendak dihancurkan saja Siau-liong saat
itu juga. Melihat Siau-liong menambahkan tenaga saktinya, dara itu geregetan
sekali.
Sekonyong-konyong dara itu
gentakkan kedua kakinya menekan tanah. Dengan segenap tenaga ia memberi tekanan
kepada Siau-liong.
Siau-liong gelagapan sekali ia
tak kira kalau dara itu begitu kalap hendak mengadu jiwa kepadanya. Apabila
terjadi benturan, tak dapat tidak keduanya akan celaka semua.
Namun untuk menghindari, Siau-liong
sudah tak sempat lagi. Dan terjadilah getaran dahsyat. Siau-liong dan dara itu
sama-sama terpental setombak dan rubuh ke tanah!
“Aduh....” dara itu mengerang
pelahan lalu tak bersuara lagi. Tampaknya tentu menderita luka parah dan
mungkin sudah binasa, mungkin hanya pingsan.
Siau-liong walaupun masih
sadar tetapi juga sudah terlongong-longong. Darah dalam tubuhnya bergolak keras
sehingga kepalanya pening mata pudar. Kemungkinan setiap saat ia akan pingsan
dan mati.
Dengan kuatkan diri Siau-liong
kerahkan tenaga murni untuk memulihkan peredaran darahnya. Tetapi begitu
kerahkan tenaga murni, darahnya melancar keras, meluap kemulut dan
"huak".... ia muntah darah sampai dua kali .....
Mata Siau-liong mulai kabur.
Sekeliling alam terasa berputar-putar. Dalam keadaan antara sadar tak sadar
iiu, ia masih dapat menghela napas. Kalau ia harus mati saat itu, sungguh
mengenaskan sekali....
Sekonyong-konyong dari jauh
terdengar orang berseru memanggil-manggil, “Leng-ji! Lengji....”
Walaupun Siau-liong mendengar
juga suara itu. tetapi ia sudah seperti terbuai dalam keadaan mabuk. Pikirannya
tak dapat lagi mengetahui keadaan disekelilingnya.
Suara itu makin lama makin
dekat. Nadanya mengunjuk rasa kegelisahan. Tak lama kemudian sesosok bayangan
meluncur pesat kesamping dara itu. Dia menjerit lalu berjongkok memeriksa si
dara.
Ternyata pendatang itu ada
wanita dari gubuk keluarga pemburu atau ibu dari dara itu, ialah nyonya rumah
yang menemui Siau-liong ketika pemuda itu bersama Mawar Putih mencari tempat bermalam
di hutan.
Wanita baju hitam itu
mendukung si dara seraya mengiang-ngiang: ,,Anakku, oh, anakku ....”
Dara itu sudah pingsan. Kaki
tangannya lunglai, mata meram seperti orang mati.
Wanita itu lekatkan telinganya
ke dada puterinya. Didengarnya jantung dara itu masih mendebur. Cepat ia
mengambil sebutir pil lalu disusupkan kemulut si dara.
Terdengar perut dara itu
kerucukan. Tak lama kemudian bibirnya bergetar lalu "huak" ......
mulutnya muntahkan segumpal darah hitam!
Ketegangan wajah wanita baju
hitam itu agak menurun. Sambil membopong tubuh si dara, ia pelahan-lahan
menghampiri ketempat Siau-liong. dengan mata berkilat-kilat gusar ia membentak
Siau-liong,
“Tua bangka laknat!"
Siau-liong pikirannya masih
sadar. Baru ia gerakkan mulut hendak memberi keterangan, wanita baju hitam itu
sudah membentaknya, “Walaupun aku sudah mengasingkan diri dan sudah cuci
tangan, tetapi engkau sendiri yang cari mati....”
Wajah wanita itu tiba-tiba
berobah pilu. Matanya berlinang-linang. Setelah termenung beberapa saat ia
berkata pula, “Karena engkau berani mencelakai puteriku. Terpaksa aku pun harus
berlaku kejam kepadamu!"
Ia menutup kata-katanya dengan
mengangkat kaki kanannya. Sekali tendang, tubuh Siau-liong berguling-guling
beberapa langkah.
“Hai, tua bangka Laknat!
Apakah engkau dengar kata-kataku tadi?" serunya.
Tendangan wanita itu membuat
Siau-liong meregang setengah mati! Tulang belulangnya serasa copot dari
persendiannya. Ia hanya mengerang, tertahan.
Wanita baju hitam itu tertegak
diam. Pada lain saat ia menghela napas panjang, memandang Siau-liong yang
menggeletak tak berkutik ditanah, ia berkata seorang diri, “Pada saat dan
tempat sekarang ini, kuampuni jiwamu. Tetapi besok pada pertengahan hari....”
Habis berkata wanita itu terus
membawa si dara baju hijau pergi. Tak berapa lama lenyap dalam kegelapan.
Siau-liong dalam keadaan sadar
tak sadar. Semangatnya seperti melayang-layang di angkasa. Ia tak berani
mengerahkan hawa murni untuk menjalankan peredaran darah. Karena dengan berbuat
begitu bahkan akan membuat darahnya sungsal sumbal.
Dan pasti matilah ia saat itu.
Apa boleh buat ia biarkan saja apa yang terjadi dalam tubuhnya. Ia pasrahkan
dirinya pada kehendak Nasib.
Rasa sakit telah menyebabkan
kesadaran pikirannya hilang. Seolah olah anggauta badannya, bukan lagi menjadi
miliknya.
Malam merayap panjang, Sudah
hampir tiga jam lamanya Siau-liong dalam keadaan sedemikian itu. Saat itu
haripun hampir terang tanah. Angin di malam musim rontok yang dingin membuat
Siau-liong tersadar. Mulai ia gelisah. Tenaganya lemah lunglai tak dapat
bergerak lagi.
Saat itu ia masih berada tak
berapa jauh dari mulut gua tembusan. Jika suami isteri Iblis Penakluk dunia dan
Dewi Neraka muncul, tentu ia akan diseret ke dalam lembah lagi.
Namun apa daya. Ia benar-benar
tak kuat untuk menggerakkan tubuhnya. Kembali ia harus menyerah pada nasib.
◄
Y ►
Sekonyong - konyong terdengar
derap langkah orang. Bermula lapat-lapat tetapi makin lama makin dekat. Dan
beberapa saat kemudian tiba di belakang Siau-liong.
Diam-diam Siau-liong mengeluh.
Jelas Toh Hun-ki dan rombongannya sudah pergi. Yang mungkin datang tentulah
suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Atau anak buah Lembah Semi.
Tetapi pada lain kilas ia anggap dugaannya itu kurang tepat. Karena baik Iblis
Penakluk-dunia atau Dewi Neraka, mau pun Soh-beng Ki-su tentu tak mungkin
datang seorang diri. Pada hal jelas yang datang itu adalah seorang.
Dengan telinganya yang tajam
apalagi keadaan sekeliling tempat itu sunyi senyap, dapatlah ia mengikuti gerak-gerik
pendatang itu. Setelah tiba dibelakangnya, orang itu tertegun diam.
Pada lain saat tiba-tiba orang
itu berjongkok dan berteriak cemas, “Locianpwe, locianpwe .... engkau ....”
Siau-liong tak asing lagi
dengan nada suara itu. Ya, itulah Tiau Bok-kun. Tak mungkin salah.
Dengan paksakan diri,
Siau-liong bergeliat berseru. "Tiau .... nona .... Tiau ....!"
Luka dalam yang dideritanya
benar-benar parah. Setelah berseru tiga patah kata, napasnya terengah dan tak
dapat melanjutkan lagi. Darahnya bergolak sehingga ia hampir pingsan.
“Locianpwe, mengapa engkau
menderita luka yang begitu parah....?” tanya Tiau Bok-kun cemas.
Setelah ditolong oleh Pendekar
Laknat dari Lembah Semi, Tiau Bok-kun merasa berhutang budi kepada orang tua
yang berwajah seram itu.
Siau-Liong hanya tersenyum
hambar tetapi tak menjawab. Diam-diam ia cemas juga mengapa pada waktu larut
malam begini, Tiau Bok-kun datang kesitu. Apabila orang Lembah Semi keluar,
bukankah nona itu akan celaka!
Sejenak memandang keempat
penjuru, Tiau Bok-kun berkata, “Locianpwe, lekaslah engkau salurkan tenaga
dalam. Kita .... kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini!"
“Aku .... sudah tak ada
harapan lagi! Lekaslah engkau .... pergi .... jangan ...... jangan pedulikan
aku!"
Tampak mata Tiau Bok-kun
berlinang-linang, katanya meratap, "Jika tak ketemu, itu lain soal. Tetapi
sekali aku berjumpa dengan locianpwe, tak mungkin aku tak mempedulikan .......
Tempo hari jika tak ditolong locianpwe, aku tentu sudah mati dalam Lembah
Semi!"
Melihat nona itu berkeras
kepala, Siau-liong gugup dan membentaknya, “Pergi .... engkau! Aku ....”
Karena hatinya goncang, darah
meluap dan pingsan lagilah ia.
Tiau Bok-kun gugup sekali.
Setelah bersangsi sejenak, ia terus memanggul tubuh Pendekar Laknat lalu dibawanya
turun gunung.
Kira-kira setengah li jauhnya,
mereka tiba di kaki puncak. Tiau Bok-kun memilih sebuah tempat yang tersembunyi
dan meletakkan tubuh Siau-liong.
Setelah menyandarkan tubuh
Siau-liong pada batu, Tiau Bok-kun mulai lekatkan kedua tangannya pada perut
Siau-liong untuk menyalurkan tenaga dalamnya
28. Mawar Dan Melati
Berkat makan buah Im-yang-som
dan minum darah binyawak dalam pusar bumi, Siau-liong memiliki dasar ilmu
tenaga dalam yang lebih tinggi dari orang biasa. Maka begitu mendapat saluran
tenaga dalam dari Tiau Bok-kun, cepat sekali darah Siau-liong yang bergolak
keras itu dapat ditenangkan kembali.
Setelah beberapa waktu
lamanya, Siau-liong membuka mata. "HuaK", ia muntahkan segumpal darah
hitam. Tetapi dengan begini, napasnya agak longgar, semangat lebih segar.
Tiau Bok-kun hentikan
penyalurannya dan berkata dengan terengah-engah, “Locianpwe, lekas salurkan
tenagamu. Engkau sudah makin baik!"
Tetapi Siau-liong tersenyum
tawar dan gelengkan kepala, “Percuma! Tak mungkin aku sembuh! Aku dapat
merasakan sendiri .... Nona Tiau ....” ia berkata pula.
"Locianpwe ......”
"Mengapa tengah malam
begini engkau datang kemari?"
"Aku hendak mencari
seseorang!"
Siau-liong tergetar hatinya,
“Siapa?"
Nona itu menghela napas
panjang. Sampai lama ia tak berkata.
“Apakah bukan pemuda yang
bernama Kong-sun Liong itu ....”
Tiau Bok-kun teringat ketika
dalam Lembah semi ia pernah minta tolong kepada Pendekar Laknat supaya
menyampaikan pesan kepada Kong-sun Liong. Wajah nona itu tersipu merah ketika mengangguk,
“Kutahu dia tentu sudah masuk ke dalam Lembah Semi, maka ....”
Diam-diam Siau-liong
mengucurkan dua titik air mata. Lalu dengan halaukan rasa haru, ia berkata,
“Harap nona suka mendengar nasehatku. Lebih baik nona jangan mencarinya!"
“Mengapa? Apakah locianpwe
pernah melihatnya?" tanya Tiau Bok-kun gugup.
Siau-liong tidak menyahut
melainkan melanjutkan kata-katanya lagi, “Nona takkan dapat menemukannya
selama-lamanya!"
"Mengapa?" Tiau
Bok-kun makin tegang Siau-liong menghela napas, “Mungkin dia sudah pergi
keseberang lautan dan takkan kembali lagi ....”
Tiau Bok-kun meregang kedua
matanya lebar-lebar memandang Siau-liong. Dua butir air mata bercucuran dari
pelupuknya. Beberapa saat kemudian ia membesut air matanya lalu berkata dengan
tersekat, “Tidak, tidak mungkin dia berbuat begitu. Paling tidak dia tentu akan
membawaku pergi!"
Berhenti sejenak ia berkata
pula, “Dia tahu bahwa diriku senasib dengan dia. Tiada ayah bunda, hidup
sebatang kara!"
Hati Siau-liong seperti
disayat sembilu. Batinnya, “Ah, tahukah engkau bahwa Kongsun Liong yang engkau
cari itu berada dihadapanmu? Tahukah pula engkau bahwa aku hanya dapat hidup
dalam satu tahun saja?"
Sau-liong termangu tegak
seperti patung. Perasaannya melayang-layang tak keruan. Nasib malang tak
putus-putusnya merundung dirinya.
Poh Ceng-in si wanita pemilik
Lembah Semi telah memberinya minum racun Jong-tok. Dalam waktu satu tahun ia
tentu mati. Belum sempat ia melakukan tujuan mencari ibu dan membalas
musuh-musuh, diluar dugaan ia bertemu dengan si dara baju hijau yang
menyerangnya sehingga sama-sama menderita luka parah ......
"Locianpwe, mengapa
engkau .... juga tampak bersedih?" tiba-tiba Tiau Bok-kun bertanya cemas
seraya mengeluarkan sapu tangan.
Ternyata Siau-liong tak dapat
mengendalikan kesedihan hatinya sehingga menitikkan air mata juga.
Setelah Tiau Bok-kun menyeka
air matanya, barulah ia tersadar. Ia paksakan tertawa. "Dengan Kongsun
Liong itu, aku memang pernah bertemu ....”
“Oh ....” desis Tiau Bok-kun
tegang, “Dimanakah dia? Locianpwe, dimanakah dia sekarang?"
Sejenak merenung Siau-liong
menyahut, “Pada waktu berjumpa dia sedang siap-siap hendak pergi jauh kelain
tempat. Dia tentu dicelakai secara licik oleh orang dengan racun yang ganas.
Menurut keterangannya, dia hanya dapat hidup selama setahun lagi .....”
"Locianpwe!" Tiau
Bok-kun menjerit, "Apakah keteranganmu itu benar?"
Siau-liong menghela napas,
“Menurut keterangannya pula, dia masih mempunyai seorang keluarga yang tinggal
diseberang laut. Sebelum mati dia hendak bertemu muka dengan keluarganya itu.
Maka ia bergegas-gegas menuju keseberang laut!"
"Tahukah locianpwe letak
tempatnya diseberang lautan itu?" Tiau Bok-kun mendesak.
Siau-liong gelengkan kepala,
“Ini .... aku tak mendengar jelas!"
Sejenak melirik pada Tiau
Bok-kun, kembali Siau-liong melanjutkan kata-kata, “Pada saat pergi, Kongsun
Liong telah minta tolong kepadaku supaya menyampaikan sebuah pesan kepada
nona!"
Dengan berlinang-linang air
mata Tiau Bok-kun bergegas menanyakan. Tetapi Siau-liong tak tahan berhadapan
mata dengan si nona.
Cepat palingkan muka dan
berkata, “Dia mengatakan .... supaya nona lupakan saja kepadanya. Anggaplah
nona tak pernah bertemu dengannya!"
Hampir saja ia tak kuat
menahan air matanya tetapi dengan kuatkan hati ia menahan diri.
Tiau Bok-kun terpukau lalu
berkata seorang diri, “Melupakannya? Seperti tak pernah kenal padanya ....?
Enak sekali ia mengucap kata-kata itu ....”
Serentak berpaling menatap
Siau-liong, Tiau Bok-kun membentaknya, “Bohong! Tak mungkin dia mengatakan begitul
Kutahu isi hati dan pribadinya. Dia bukanlah seorang pemuda yang mudah
melupakan budi dan cinta ......”
Berhenti sejenak untuk menekan
haru penasarannya, Tiau Bok-kun melanjutkan berkata pula, “Tentu karena tak
dapat menyembuhkan racun itu maka ia lantas tak mau bertemu dengan aku lagi
......!"
Siau-liong menghela napas
panjang.
"Rasanya itu lebih baik
agar nona dan dia jangan sampai menderita!"
"Tetapi tak bisa begitu!
Sekalipun dia hanya dapat hidup satu tahun, satu tahun aku akan menemaninya. Kemudian....
aku rela menemani mati bersamanya!"
Diam-diam Siau-liong terkejut,
serunya, “Nona, tindakan nona itu bodoh sekali. Sekalipun nona rela berkorban
tetapi baginya, tentu akan lebih menambah penderitaan batin!"
Ditatapnya Siau-liong dan
berkatalah Tiau Bok-kun, “Bagaimana locianpwe tahu kalau dia akan menderita
......?"
Ia tenangkan ketegangan hati
dan menghela napas, ujarnya, “Tak peduli dia hendak pergi kemana, aku tetap
akan mencarinya!"
Siau-liong terpukau. Tak tahu
ia bagaimana harus berkata .... Ia kehilangan paham.
Saat itu sudah hampir
menjelang fajar. Angin pagi mulai berhembus menggigit tulang. Tiau Bok-kun
memandang ke sekeliling penjuru lalu berkata, “Locianpwe, mari kubawa locianpwe
ke Siok-ciu lah!"
Siau-liong gelengkan kepala, “Percuma,
lukaku ini tak mungkin sembuh lagi. Biarlah aku menggeletak disini saja!"
"Dikota Siok-ciu banyak
tabib yang pandai. Tentu dapat menyembuhkan luka locianpwe!"
Tanpa menunggu persetujuan
Siau-liong lagi, Tiau Bok-kun terus memanggul tubuh pemuda itu dan mulai
ayunkan langkah.
Siau-liong hendak meronta
tetapi dia sudah tak bertenaga lagi. Terpaksa ia menghela napas dan pasrah
bongkokan.
Hatinya gundah kelana tak
keruan. Sedih bahagia, pedih dan gembira bercampur aduk jadi satu dalam
sanubarinya. Mati tak dapat, hidup pun tak bisa ......
Kira-kira sepeminum teh
lamanya, mereka tiba di jalan besar. Tengah Tiau Bok-kun berjalan,
sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak bengis, “Berhenti!"
Tiau Bok-kun terkejut dan
berhenti, Dari balik sebuah batu di tepi jalan, melesat keluar seorang dara.
Dara itu memandang lekat-lekat
pada Pendekar Laknat yang dipanggul Tiau Bok-kun lalu mendengus tajam: “Bagus!
Kiranya kalian begitu mesra sekali!"
Setelah menenangkan
kegoncangan hatinya, Tiau Bok-kun menyahut, “Apakah engkau bukan taci Mawar
Putih?"
Kiranya dara itu memang si
Mawar Putih. Ketika dirumah penginapan dalam kota Siok-Ciu, tempo hari mereka
memang pernah berjumpa.
Mawar Putih tak menghiraukan
teguran Tiau Bok-kun. Menunjuk pada Pendekar Laknat, Mawar Putih melengking,
“Perlu apa engkau memanggulnya?"
Habis berkata ia terus hendak
merebut. Tiau Bok-kun menghindar seraya berteriak, “Jangan, dia sedang terluka
berat!"
Mawar Putih tertegun. “Mengapa
terluka?"
"Menurut keterangannya,
lukanya sudah tak ada harapan lagi!"
Mawar Putih memandang
tajam-tajam. Ah, benar. Wajah Siau-liong pucat lesi, napasnya lemah. Dara itu
terkejut sekali. Tetapi karena Tiau Bok-kun memanggil Siau-liong sebagai
Pendekar Laknat, ia duga nona itu belum tahu kalau yang dipanggulnya itu bukan
lain adalah Kongsun Liong. Diam-diam Mawar Putih legah hatinya.
Kini ia tersenyum, “Baik,
harap serahkan dia kepadaku!"
Tiau Bok-kun meragu.
Dipandangnya wajah Siau-liong. Kedua matanya memejam, rupanya pingsan. Nona itu
cemas, serunya: "Beliau orang tua ini menderita luka dalam. Harus
cepat-cepat diobati, kalau tidak ....”
“Kutahu!" Mawar Putih
tertawa dingin, “masakan aku sampai hati membiarkannya mati!"
Walaupun heran mengapa dara
itu menghendaki Pendekar Laknat yang sedang terluka parah, namun karena melihat
dara itu begitu bersungguh-sungguh, terpaksa ia menyerahkannya juga.
Sesungguhnya Siau-liong tidak
pingsan. Ia tahu kalau dirinya dibuat rebutan oleh kedua gadis itu. Namun kalau
membuka mulut, ia kuatir akan menimbulkan salah paham diantara kedua dara itu.
Maka ia pura-pura pingsan.
Setelah membopong Siau-liong,
Mawar Putih lalu berkata: “Kami hendak berangkat, silahkan engkau melanjutkan
perjalananmu sendiri!"
Tiau Bok-kun mengangguk,
“Baiklah, ah, membikin repot taci saja ......”
“Tak apa," sahut Mawar
Putih tersenyum. Lalu berputar diri dan melangkah pergi.
Tiau Bok-kun memandang
bayangan dara itu sampai beberapa saat. Tiba-tiba ia berteriak memanggilnya,
“Taci Mawar Putih!"
Mawar Putih berhenti dan
menanyakan apalagi yang hendak dikehendaki nona itu.
“Apakah taci pernah mendengar
tentang diri .... Kongsun .... liong?"
Mawar Putih kerutkan alis,
“Mengapa engkau menanyakannya?"
Tiau Bok-kun menghela napas,
“Kabarnya dia telah menderita luka akibat diracuni secara licik oleh seseorang.
Mungkin .... hanya dapat hidup sampai satu tahun saja!"
Mawar Putih tertegun, “Siapa
bilang?"
"Locianpwe ini,"
kata Tiau Bok-kun menunjuk Siau-liong. Dua butir air matanya menitik turun dan
berkata lagi, "Dan lagi, katanya dia sudah berangkat keseberang laut ....
Taci Mawar, tahukah engkau seberang lautan yang ditujunya itu?" Tiau
Bok-kun menyusuli pertanyaan pula.
"Tidak tahu," sahut
Mawar Putih dingin. Ditatapnya Tiau Bok-kun tajam-tajam lalu menegur, “Eh,
mengapa engkau terus menerus menanyakan tentang dirinya?.... Kukasih tahu
padamu. Sekalipun andaikata dia tak jadi menuju keseberang lautan, tak nanti
dia mempedulikan dirimu....! Lekas engkau lanjutkan perjalananmu, dan jangan
bertanya atau menyelidiki beritanya lagi!"
Dengan rawan kepiluan, Tiau
Bok-kun menyahut, “Tak apa dia akan mempedulikan aku atau tidak. tetapi dia
telah menolong jiwaku ....”
"Dia banyak sekali
menolong orang!" tukas Mawar Putih, "mungkin itu hanya merupakan
suatu kewajiban baginya. Tetapi jelas dia tentu tak menghendaki engkau membalas
budinya .... mungkin dia sudah melupakan dirimu!"
Tiau Bok-kun menghela napas,
lalu pamitan dan terus melangkah pergi. Tampak langkahnya agak
terhuyung-huyung. Jelas nona itu telah menderita pukulan batin yang berat!
Diam-diam Siau-liong mencuri
lirik. Dilihatnya nona itu menuju ke Siok-ciu. Ia menghela napas panjang ....
Setelah Tiau Bok-kun lenyap
dari pandangannya, Mawar Putih segera bertanya kepada Siau-liong,
“Apakah engkau benar-benar
terluka parah? Apakah engkau dilukai Iblis Penakluk-dunia dan isterinya ketika
dalam barisan Tujuh Maut?"
Siau-liong hanya menghela
napas rawan dan minta nona itu supaya meletakkan dirinya.
“Tidak boleh membuang waktu.
Aku akan mencari orang supaya mengobati lukamu!" kata Mawar Putih, terus
melangkah pesat.
“Percuma! Jangan buang waktu
dan tenaga sia-sia!" teriak Siau-liong gugup.
Tetapi dengan yakin Mawar
Putih mengatakan “Betapa berat lukamu itu, aku kenal seseorang yang dapat
menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa!"
Siau-liong kenal watak dara
yang keras kepala itu. Apalagi ia lemah lunglai tak bertenaga. Terpaksa ia
membiarkan saja dibawa Mawar Putih. Tetapi ia yakin, lukanya itu tak mungkin
diobati lagi.
“Kalau engkau berkeras hendak
mencari penolong, harap tolong bukakan kedok muka dan jubahku .... aku tak
ingin dikabarkan orang bahwa Pendekar Laknat terluka berat dan mati ....”
Habis berkata karena kehabisan
tenaga murni, Siau-liong pingsan pula.
Mawar Putih memaki dirinya
sendiri yang begitu tolol. Ia segera mengerjakan permintaan pemuda itu. Membuka
kedok muka dan jubah Pendekar Laknat sehingga menjadi Siau-liong lagi. Mawar
Putih lalu memanggulnya dan lanjutkan perjalanan.
Tak berapa lama ia tiba
disebuah gubuk dilereng gunung. Gubuk itu adalah tempat Mawar Putih dahulu
dibawa Siau-liong untuk merawat lukanya.
Siau-liong masih pingsan
sehingga tak tahu apa yang terjadi saat itu.
Setelah mendebur pelahan-lahan
tiga kali pada pintu, ia segera mendorong daun pintu. Wanita baju hitam sudah
berdiri tegak dalam ruang. Matanya berkilat-kilat memandang Mawar Putih dan
Siau-liong.
“Kemana engkau?"
tegurnya.
Dengan tersipu-sipu malu.
Mawar Putih memberi keterangan, “Tadi ketika aku berjalan-jalan disekitar
gunung, tak terduga telah menemukannya!"
“Siapa? Apakah anak itu?"
“Ya, benar dia. Putera dari
guruku!" sahut Mawar Putih.
Wanita baju hitam itu mendesah
lalu suruh Mawar Putih masuk. Sambil mengikuti di belakang wanita itu, Mawar
Putih berkata setengah meratap, “Bibi, harap suka menolongnya, kalau tidak dia tentu
mati!"
Wanita baju hitam itu
berhenti, menghela napas, “Ai, adikmu si Ling juga menderita luka dalam yang
parah. Sampai saat ini masih berbahaya keadaannya!"
"Hai, mengapa
.......!" Mawar Putih terkejut.
Wanita baju hitam itu
gelengkan kepala dan menghela napas, “Seperti engkau, diapun tengah malam
keluyuran dalam hutan .... jika aku tak datang pada saat yang tepat, mungkin
dia tentu sudah mati ditangan Pendekar Laknat!"
Kejut Mawar Putih bukan alang
kepalang, serunya: Pendekar Laknat? Adik Ling terluka ditangan Pendekar
Laknat?"
Wanita baju hitam itu menatap
Mawar Putih, “Mengapa? Apa engkau anggap hal itu mustahil terjadi?"
Mawar Putih gugup, “Tidak,
Tidak begitu .... ku maksudkan mengapa adik Ling sampai bertempur dengan
Pendekar Laknat. Apakah dia mempunyai dendam permusuhan dengan orang itu?"
Wanita baju hitam hendak
membuka mulut tetapi tak jadi. Ia menghela napas lalu mengeluh, “Ah, sukar
dikatakan."
Saat itu perasaan Mawar Putih
benar-benar tak keruan rasanya. Jika wanita baju hitam itu sampai mengetahui
bahwa yang menjadi Pendekar Laknat itu tak lain adalah Siau-liong, apakah dia
masih mau menolongnya?
Ia berusaha untuk menenangkan
kegelisahan dan mengikuti di belakang wanita itu.
Ketika berada di dalam
ruangan, dilihatnya si dara baju hijau memang sedang rebah di atas ranjang.
Serupa dengan Siau-liong, dara itupun sedang pingsan.
Wanita baju hitam memeriksa
dan meraba-raba dahi puterinya, kemudian berkata, “Mungkin tak berbahaya.
Tetapi paling tidak harus beristirahat sepuluh hari baru sembuh .... ah, dengan
peristiwa ini mungkin akan mengabaikan urusanku yang penting!”
Melihat betapa sayang wanita
itu kepada puterinya dan kuatir Siau-liong akan diketahui sebagai Pendekar
Laknat, Mawar Putih tak mau mendesak wanita itu supaya cepat-cepat mengobati
Siau-Liong.
Wanita itu gelengkan kepala
lalu menghela napas dan menatap Mawar Putih, “Mari kita lihat anak itu!"
Demikian Mawar Putih segera
mengikuti masuk ke dalam ruangan. Tetapi apa yang disaksikan saat itu
benar-benar membuatnya terbelalak kaget seperti melihat hantu!
Ranjang dimana Siau-liong
berbaring tadi, ternyata kosong melompong. Siau-liong lenyap!
"Mana orangnya?"
wanita baju hitam itu pun bertanya kaget.
Mawar Putih berdiri
terlongong-Longong, ia gelagapan mendapat pertanyaan itu lalu sibuk mencari
kian kemari. Bahkan sampai kekolong ranjang dan meja pun diperiksanya. Namun
Siau-liong tetap menghilang seperti ditelan bumi ....
Geli-geli mengkal wanita baju
hitam itu berkata, “Tolol, dengan caramu itu bagaimana engkau mampu menemukannya?"
Mawar Putih tertegun, “Dia
terluka parah sampai tak sadarkan diri. Bagaimana mampu pergi ....” berhenti
sejerak memandang wanita baju hitam, Mawar Putih berkata pula, “pula tak
mungkin tanpa sebab dia melarikan diri!"
Wanita baju hitam tertawa
hambar, “Sekali pun dia tak dapat berjalan tetapi lain orang kan bisa
membawanya lari!"
Mawar Putih terbeliak kaget,
“Bibi mengatakan .... dia dilarikan orang?"
"Mungkin diculik ....
mungkin hendak ditolong. Sekarang masih sukar dikatakan!" kata wanita baju
hitam itu.
Mawar Putih seperti orang
tidur disiram air dingin. Dia gelagapan terus loncat lari keluar.
Tepat pada saat tubuh Mawar
Putih melambung di udara, wanita baju hitam itu pun balikkan tangannya ke
belakang. Serangkum angin keras melanda Mawar Putih.
Ternyata angin dari gerakan
tangan wanita itu mengandung tenaga sakti menyedot. Mawar Putih seperti
terlibat tali yang tak kelihatan dan pada lain saat tubuhnya ditarik ke
belakang.
Dara itu berusaha untuk
berdiri tegak pada saat kakinya menginjak tanah. Kemudian menatap wanita itu
dengan cemas, “Bibi ......”
“Tak perduli pendatang itu
hendak menculik atau hendak menolongnya. Tetapi dia mampu datang kemari tanpa
kuketahui sama sekali, jelas bukan orang sembarangan. Saat ini tentu sudah
jauh, percuma engkau hendak mengejarnya ....” wanita baju hitam itu
mondar-mandir beberapa saat. Pada lain saat ia berkata seorang diri, “Tetapi,
siapakah dia ......?”
Mawar Putih yang
terlongong-longong memandang wanita itu, tak sabar lagi terus bertanya, “Tentulah
perbuatan kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu. Selain
mereka, rasanya tiada lain orang lagi .... ah, kasihan dia ....”
Mawar Putih menangis terisak,
“Kasihan dia sedang menderita luka yang amat parah, tentu akan mati!"
"Engkau tahu apa!"
bentak wanita itu, "meskipun kedua suami isteri iblis itu hendak menguasai
dunia persilatan tetapi mereka setempo juga terpaksa datang kemari. Mungkin
perbuatan Pendekar Laknat ......”
"Tidak mungkin Pendekar
Laknat, dia ......” tiba-tiba Mawar Putih merasa telah kelepasan omong.
Buru-buru ia diam.
"Bagaimana engkau tahu
kalau bukan Pendekar Laknat?" tegur wanita itu dengan tajam.
Dengan tersekat-sekat Mawar
Putih menyahut, “Karena ...... karena dia dengan adik Ling."
"Benar, Pendekar Laknat
dan Ling-ji sudah sama-sama terluka, tak mungkin dia. Lalu siapakah orang itu?
Apakah ....” tiba-tiba wanita baju hitam itu tertawa dingin, “Ya, tentulah
dia!"
"Siapakah yang bibi
maksudkan?"
“Kukatakan pun engkau tak
tahu. Tetapi ....” wanita itu berhenti, menarik Mawar Putih duduk di atas
ranjang lalu melanjutkan kata-katanya, “Aku mengerti Ilmu meramal. Anak itu tak
mengunjuk pendek usia. Sekalipun menderita berbagai kesulitan dan siksaan
tetapi tetap tak berbahaya. Hanya engkau dengan dia....” wanita itu memandang
beberapa kali wajah Mawar Putih tetapi tak berkata apa-apa.
"Apakah bibi sudah
meramalkan wajah kami?" tanya Mawar Putih terkejut.
"Tak perlu melihat dengan
teliti. Cukup melihat sebentar saja sudah tahu!"
Wajah Mawar Putih tersipu merah.
Dengan tersendat-sendat ia bertanya, “Tadi bibi mengatakan.... aku dan dia
......”
29. Sin-kang Panca Sakti
Wanita baju hitam itu menghela
napas.
“Masalah manusia hidup itu
semua tergantung pada jodoh. Misalnya kutolong engkau dari Lembah Maut dan
kemudian engkau mengangkat aku sebagai ibu-angkat, itu juga jodoh. Dan jodoh
itu rupanya sudah digariskan dalam kehidupan kita.
Sejenak memandang Mawar Putih,
ia berkata pula, “Tentang perhatianmu terhadap pemuda itu, aku pun sudah
mengetahui jelas. Hanya aku mempunyai dua buah kata pesan kepadamu. Engkau dan
dia tak mempunyai keberuntungan untuk terangkap sebagai suami isteri. Dan itu
sudah menjadi garis hidupmu!”
Seketika pucat lesilah wajah
Mawar Putih. Tubuhnya menggigil dan dengan suara tersendat-sendat ia berkata,
“Aku tak mempunyai pikiran
sejauh itu ...... Hanya karena aku telah dirawat dan dianggap sebagai anak
sendiri oleh guruku atau ibu dari pemuda itu, maka aku pun merasa terikat
kewajiban untuk mencari putera guruku itu. Sekarang setelah dapat menemukannya
tetapi tak dapat membawanya kehadapan guruku, bagaimanakah pertanggungan
jawabku kepada guru?"
Habis berkata air mata dara
itu berderai-derai mengucur. Ia mendekap tempat tidur dan menangis
terisak-isak.
Wanita baju hitam itu menepuk
pelahan bahu Mawar Putih, “Hal itu tergantung dari rejeki atau jodoh ibu dan
anak itu. Jika jodoh belum terputus, tentu akan dapat bertemu. Tetapi kalau
memang sudah tiada jodoh lagi, bagaimanapun dipaksa, tetap tak dapat!"
Puas menangis, Mawar Putih
mengusap air matanya lalu mengangkat muka bertanya, “Bi, apakah aku masih dapat
bertemu dengan dia."
Wanita baju hitam itu
mengangguk, “Sudah tentu bisa!"
“Asal bisa ketemu lagi, aku
tentu segera membawa ke seberang laut!" katanya seorang diri.
Wanita itu menghela napas
pelahan tetapi tak berkata apa-apa lagi.
Tiba-tiba terdengar suara
orang pelahan dari si dara baju hijau. Wanita baju hitam cepat masuk ke dalam
ruangan.
Kemanakah sebenarnya
Siau-liong?
◄
Y ►
Sesungguhnya ketika Mawar
Putih meletakkan Siau-liong ke atas tempat tidur dan si wanita baju hitam pun
ikut masuk, saat itu Siau-liong sudah tersadar. Diam-diam ia melirik bayangan
wanita baju hitam itu.
Sesaat Mawar Putih dan wanita
baju hitam keluar, tiba-tiba Siau-liong melihat sesosok bayangan melesat dari
tepi pintu lalu seperti sesosok hantu, muncullah di dalam ruang itu seorang
lelaki bertubuh tinggi besar.
Orang itu mengenakan pakaian
biru, mukanya ditutup kain kerudung hitam. Siau-liong terkejut. Diingatnya
orang itu pernah muncul ketika di biara Tay-hud-si dan barisan pohon bunga
dalam lembah Semi, untuk memberi petunjuk dan mengajaknya keluar dari bahaya.
Siau-liong kejut-kejut girang.
Ketika ia hendak bergerak dan membuka mulut, orang aneh baju biru itu secepat
kilat telah menutuk jalan darahnya. Kemudian dengan kecepatan yang sukar
dipercaya. orang itu segera mendukung Siau-liong. Selain gerakannya amat cepat
sekali, sedikitpun tak mengeluarkan suara apa-apa.
Tutukan itu telah membuat
Siau-liong pingsan. Sejak itu ia merasa seperti bermimpi. Sesaat ia rasakan
sekujur Tubuhnya sakit sekali seperti digigiti ribuan ekor ular. Sesaat lagi ia
merasa lubuhnya lemas lunglai.
Entah berselang berapa lama,
barulah ia dapat sadar lagi. Ketika membuka mata ia dapatkan dirinya terbaring
di sebuah biara rusak. Orang aneh baju biru sedang duduk dihadapannya.
Siau-liong hampir tak percaya
kepada matanya. Ia kira masih bermimpi. Kemudian ia mengigit lidahnya sendiri
ah ..... ternyata sakit. Jelas ia tak bermimpi, Apa yang disaksikan saat itu,
benar suatu kenyataan. Girangnya bukan alang kepalang!
Ternyata orang aneh baju biru
sudah melepas kerudung mukanya. Dan tampaklah wajah yang sebenarnya. Dia bukan
lain adalah guru yang sejak kecil merawat dan mendidiknya .....
Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho!
Buru-buru Siau-liong merangkak
bangun dan berlutut memberi hormat dihadapan gurunya, “Suhu....”
Ia tak dapat melanjutkan
kata-katanya. Lupa rasa girang dan haru telah membanjirkan air matanya mengalir
turun ...... Seketika teringatlah ia mengapa luka berat yang dideritanya dalam
pertempuran lawan si dara baju hijau kemarin, saat itu sama sekali sudah terasa
sembuh.
Ditatapnya Kongsun Sin-tho
dengan mata melongong, kemudian dengan nada haru sesal ia berkata, “Terima
kasih atas pertolongan suhu ......”
Dengan wajah membesi, Kongsun
Sin-tho memberi isyarat tangan, “Lukamu baru saja sembuh, perlu beristirahat.
Jangan pikirkan apa-apa, lekas bersemadhi salurkan tenaga murnimu .....”
Kemudian tabib sakti itu
menghela napas pelahan dan berkata pula, “Tenaga sakti dari Randa gunung
Bu-san, termasuk salah satu ilmu dari Panca sakti. Jika engkau tak makan buah
Im-yang-som dan darah binyawak purba, aku pun tak dapat menolongmu!"
Siau-liong tak berani berkata
apa-apa. Buru-buru ia melakukan perintah suhunya. Duduk bersemadhi mengosong
pikiran dan melakukan penyaluran hawa murni.
Oleh karena lukanya sudah
disembuhkan Kongsun Sin-tho, maka setelah melakukan persemadhian beberapa
waktu, ia rasakan tubuhnya segar dan nyaman. Tak lama kemudian tenggelamlah ia
dalam kehampaan ......
Tak terasa empat jam telah
berlalu dan Siau-liong pun segera menyudahi persemadhiannya. Ia dapatkan
semangatnya segar, lukanya sembuh sama sekali.
Saat itu hari pun sudah malam.
Sinar rembulan memancar masuk ke dalam jendela. Melihat Siau-liong sudah sadar,
Kongsun Sin-tho yang sejak tadi pun bersemadhi disampingnya, segera bangun dan
memberi senyuman.
Tetapi Siau-liong tampak
terpaku memandang rembulan bundar. Seingatnya, saat itu baru permulaan bulan
delapan. Tetapi mengapa bulan sebundar purnama?
Kongsun Sin-tho menyulut lilin
dan membawakan senampan makan. Melihat Siau-liong terlongong, ia tertawa,
“Malam ini memang sudah bulan delapan tanggal empat belas. Liong-ji, engkau
sudah tertidur selama duabelas hari!"
Siau-liong tersentak kaget.
Yang dirasakan hanya sehari semalam, tetapi mengapa ia sampai tidur selama
duabelas hari!
Setelah meletakkan makan
dihadapan Siau-liong Kongsun Sin-tho berkata pula, “Sudah sepuluhan hari tak
makan, tentulah engkau lapar sekali. Hayo, lekas makanlah!"
Memang Siau-liong merasa lapar
sekali. Segera ia melahap hidangan itu sampai habis.
Wajah Kongsun Sin-tho tampak
mengerut gelap. Walaupun tidak marah, tetapi nyata orang tua itu tidak senang
hati. Setelah Siau-liong habis makan, ia memanggilnya, "Liong-ji!"
Tersipu-sipu Siau-liong
berlutut dihadapan gurunya itu dan berkata dengan tersendat, “Suhu ..... murid
telah melanggar pesan suhu masuk ke belakang gunung. Karena itu ......”
"Yang sudah lalu, jangan
diungkat lagi....!" tukas Kongsun Sin-tho. Kemudian dengan tertawa ia
berseru, ”Pendekar Laknat dan Pengemis Tengkorak, kini sudah terikat guru
dengan engkau. Sekarang engkau bukan lagi mempunyai suhu aku seorang!"
Siau-liong gugup dan cepat
menganggukkan kepala, “Pada saat itu murid dalam keadaan terpaksa. Tetapi dalam
hati kecil murid, tetap hanya mempunyai seorang guru yakni suhu .....”
Dalam mengucap kata-kata
terakhir itu, Siau-liong amat terharu sehingga matanya berlinang-linang. Ia
teringat akan dirinya yang telah diracuni wanita pemilik Lembah Semi dan janji
kepada wanita itu akan mati bersama-sama pada nanti pertengahan musim rontok
tahun depan. Ia merasa dirinya telah menyia-nyiakan budi kebaikan dari Kongsun
Sin-tho selama belasan tahun.
Kongsun Sin-tho menghela
napas.
“Mati hidup dan kumpul
berpisah itu sudah menjadi garis hidup manusia. Siapapun tak mungkin dapat
mengubah garis hidup itu. Memang pada saat kutinggalkan gunung untuk mencari
obat, sudah kuduga engkau tentu akan mengalami peristiwa-peristiwa itu. Tetapi
ku tak tahu apakah peristiwa-peristiwa itu akan merupakan malapetaka atau
keberuntungan bagimu. Kesemuanya tergantung pada tindakanmu sendiri dikemudian
hari .....”
Tabib-sakti itu berhenti
sejenak untuk memandang wajah Siau-liong.
“Gurumu ini dikenal dalam
dunia persilatan sebagai seorang ahli pengobatan yang sukar dicari tandingnya.
Sedikit sekali orang persilatan yang tahu sampai dimana kepandaianku dalam ilmu
silat. Bahkan pelajaran silat yang kuberikan kepadamu itu, hanyalah semata-mata
sebagai pelajaran dasar saja. Sedang sebenarnya ilmu kepandaian yang kumiliki
itu sudah tak berbekas dalam dunia persilatan itu, sesungguhnya termasuk salah
satu dari ilmu Panca-sakti ......”
Mendengar penjelasan itu
diam-diam Siau-liong terkejut. Serentak ia teringat akan ilmu pelajaran silat
yang diberikan gurunya dahulu. Rasanya ilmu silat itu hanya biasa saja.
Ternyata gurunya memang belum menurunkan ilmu saktinya kepadanya.
“Tentang tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang yang engkau miliki saat ini serta tenaga sakti Thay-kek-bu-wi
dari Iblis Penakluk dunia, tenaga sakti Thay-im-ki-bun-kang dari Dewi Neraka
itu, walaupun amat dahsyat dan ganas sekali, tetapi tenaga sakti mereka itu
hanya termasuk golongan ilmu liar. Hanya dapat mencapai pada tingkat tataran
tertentu saja. Tidak demikian dengan Panca-sakti yang tergolongan dalam ilmu
sejati aliran Ceng-cong-bu-hak. Ilmu itu luasnya tak terbatas ......”
Kongsun Sin-tho berhenti
sejenak dan menghela napas, lalu melanjutkan lagi.
"Pada ketika itu kutaruh
harapan besar sekali kepada dirimu. Sebenarnya segera hendak kuajarkan ilmuku
yang disebut tenaga sakti Thian-jim-sin-kang (tenaga sakti lemas tapi ulet)
kepadamu. Agar engkau menjadi satu-satunya murid pewarisku .... Untuk keperluan
itulah maka aku pergi untuk mencari daun obat, agar dapat merobah sifat tubuhmu
.... ah, tetapi tak terduga ternyata engkau mempunyai lain rejeki sehingga
harapanku menjadi hampa. Terpaksa dalam sisa hidupku sekarang ini, aku harus
mencari lagi seorang tunas yang berbakat ....”
Agak terharu nada Kongsun Sin-tho
dalam mengucapkan kata-kata terachir itu. Setelah berhenti sejenak iapun
meneruskan lagi, “Hanya tunas yang benar-benar berbakat itu sukar didapatkan.
Adakah nanti aku berhasil mendapatkan murid pewaris atau tidak, juga masih
sukar dikata!"
Kata-kata Kongsun Sin-tho yang
bernada menyesali Siau-liong itu, dirasakan sepatah demi sepatah seperti
sembilu yang menyayat hati Siau-liong.
Siau-liong hanya dapat
tundukkan kepala penuh dengan rasa sesal.
Setelah mengurut jenggot yang
terurai kedada. Kongsun Sin-tho melanjutkan pula, “Telah kukatakan tadi, jodoh
dan peruntungan orang itu sudah ada garisnya sendiri-sendiri ..... Barang siapa
hendak melanggarnya. tentu tertimpah kemalangan. Sekali pun sejak saat ini
engkau tak berjodoh lagi untuk menerima pelajaran ilmu tenaga sakti
Thian-jin-sin-kang itu, tetap .....”
Kongsun Sin-tho kembali
berhenti lagi. Matanya berkilat-kilat memandarjg Siau-liong.
"Bukankah separoh dari
peta Giok-pwe itu berada dalam tanganmu?" tanyanya.
Buru-buru Siau-liong meraba
bajunya. Ah, peta itu memang masih disimpannya. Buru-buru ia menjawab, “Separoh
dari Giok-pwe itu sebenarnya Toh Hun-ki .....”
Kongsun Sin-tho mengangguk.
"Hai itu sudah kuketahui semua. Kabarnya harta pusaka yang terpendam dalam
tempat itu adalah Tio Sam-hong pendiri partai Bu-tong-pay sendiri yang
memendamnya sebelum ia menutup mata. Harta pusaka itu ratusan tahun telah
menjadi pembicaraan hangat dan diidam-idamkan oleh setiap kaum persilatan.
Tetapi karena peta yang dilukis pada Giok-pwe itu dipecah dua bagian maka
sampai sekarang belum ada seorang pun yang mampu mendapatkan harta pusaka itu.
Kongsun Sin-tho terpaksa
berhenti karena tersekat batuk-batuk.
"Diantara harta pusaka
itu yang paling berharga adalah sebuah kitab pusaka yang ditulis oleh Tio
Sam-hong sendiri .....“
“Ketahuilah, yang kusebut
sebagai tenaga sakti Panca sakti itu, selain tenaga sakti Thian-jim-sin-kang
yang kumiliki dan Ya-li-sin-kang (tenaga sakti mengenal suara) dari si Randa
gunung Bu-san itu, masih terdapat lagi tiga jenis tenaga sakti lainnya ialah,
Cek-ci-sin-kang (tenaga sakti Gema-merah), Jit-hua-sin-kang (tenaga sakti Tujuh
Robah) dan Thian-kong-sin-kang ......”
Mendengar itu hati Siau-liong
tak keruan rasanya. Semula ia mengira bahwa ia telah memiliki ilmu kepandaian
sakti dari Pendekar Laknat dan Pengemis Tengkorak. Siapa kira ilmu kepandaian
itu bukanlah tergolong ilmu sejati yang tiada tandingannya di dunia persilatan.
Bahkan termasuk ilmu liar atau ilmu samping-pintu yang tak mungkin akan
mencapai tataran kesempurnaan.
Takkala ia bertempur dengan
Randa Bu-san, hampir saja ia kehilangan nyawa. Diam-diam ia mengakui kebenaran
ucapan suhunya itu. Serentak timbullah penyesalannya yang amat mendalam
kepadanya dirinya yang tempo hari karena menuruti hawa nafsu, telah melanggar perintah
gurunya dan gegabah masuk ke dalam belakang gunung.
Bukan saja ia telah kehilangan
kesempatan mewarisi kepandaian sakti dari gurunya. Pun karena kesalahan itu ia
harus menebus mahal. Menderita peristiwa dan pengalaman yang serba aneh dan
hebat dan akhirnya harus menderita keracunan dari wanita pemilik Lembah Semi.
Akibatnya, ia hanya dapat hidup setahun lagi .....
Dengan wajah serius Kongsun
Sin-tho melanjutkan keterangannya pula, “Pewaris terakhir dari ilmu sakti
Cek-ci-sin-kang adalah Rahib sakti dari Lam-hay ialah To Teng nikoh. Sedang
pewaris dari ilmu sakti Jit-hua-sin-kang adalah Jong Leng lojin yang bergelar
orang-sakti terpedam dari Su-jwan. Kedua orang itu sudah berpuluh tahun tak
muncul lagi di dunia persilatan. Entah apakah mereka sudah mempunyai murid
pewaris lagi. Atau apakah mereka memang sudah muksah, tiada seorangpun dalam
dunia persilatan yang mengetahui ....”
Tergeraklah hati Siau-liong.
Segera ia teringat akan orang tua yang dirantai dalam penjara dibawah tanah
dalam barisan Tujuh Maut. Serentak ia berseru, “Jong Leng lojin itu, murid
pernah....”
Tetapi tampaknya Kongsun
Sin-tho tak menghiraukan kata-kata Siau-liong dan sambil memberi isyarat tangan
supaya anak itu diam, ia melanjutkan keterangannya lagi.
"Cek-ci, Jit-hua, Thiam-jim
dan Ya-li keempat ilmu sakti itu, sudah berpuluh tahun tak muncul lagi di dunia
persilatan. Tentang diriku, walaupun telah memiliki salah satu dari ilmu Panca
Sakti itu, tetapi karena selama ini aku tak mau menonjolkan diri, maka orang
persilatan pun tak mengetahui. Tetapi .... keempat ilmu sakti yang kukatakan
tadi, berpangkal pada pengutamaan Hawa murni .... Sedang Thian-kong-sin-kang
mengutamakan kesempurnaan Sin atau Semangat ....”
Tiba-tiba mata Kongsun Sin-tho
berkilat-kilat memandang Siau-liong lalu berkatalah ia dengan serius, “Semangat
dapat mengambil Hawa, Hawa tak dapat menguasai Semangat. Oleh karena itulah
maka Thian-kong-sin-kang termasuk yang paling unggul diantara ke empat ilmu
sakti itu.
Sayang sejak Tio Sam-hong
Cousu meninggal dunia, tiada muncul lagi pewarisnya .... Sementara orang
persilatan sama menduga bahwa dalam kitab pusaka yang tersimpan dalam harta
karun rahasia itu, terdapat tulisan tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu
....”
Siau-liong mendengarkan
seperti orang mabuk. Diam-diam ia terkejut. Apabila kitab pusaka itu sampai
jatuh ketangan suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, setelah
mereka berhasil memahami ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, siapa lagikah tokoh
persilatan yang mampu menandingi mereka? Bukankah dunia persilatan akan
mengalami banjir darah dan penjagalan besar-besaran ....?
Kongsun Sin-tho menghela napas
pelahan. "Engkau telah kemasukan ilmu sakti Samping. Sekalipun engkau tak
mungkin dapat mempelajari ilmu sakti yang kumiliki yang mendasarkan pada Hawa,
tetapi engkau masih ada harapan untuk mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang yang
mendasarkan pada Semangat. Oleh karena itu jika engkau berhasil menemukan
Giok-pwe yang separoh bagian lainnya dan menemukan harta pusaka itu, engkau
tetap masih ada harapan untuk menjadi tokoh utama dalam dunia persilatan.
Tetapi sejak ini jodoh kita sebagai murid dan guru, akan berakhir. Sejak saat
ini hanya tergantung pada dirimu sendiri bagaimana akan mengatur langkah
hidupmu!"
Hati Siau-liong seperti disayat
sembilu rasanya. Menyahutlah ia dengan nada pilu, “Murid sudah tiada mempunyai
harapan apa-apa lagi. Kecuali hanya ingin lekas-lekas dapat bertemu muka dengan
ibu yang sedang menderita sakit diseberang laut. Hanya saja, murid terpaksa
harus tinggal ditempat ini lagi untuk beberapa hari ....."
Ia teringat dalam
penyamarannya sebagai Pendekar Laknat telah menolong Toh Hun-ki dan
rombongannya dari Lembah Maut lalu berjanji untuk bertemu dengan mereka di
Siok-ciu nanti tiga hari kemudian. Dimana dia akan ikut dalam pemusyawarahan
untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Tetapi ah .... saat itu karena
tertidur selama duabelas hari, entah bagaimana dengan keadaan mereka. Adakah
rombongan Toh Hun-ki masih berada di Siok-ciu menunggunya? Apakah tindakan baru
dari suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dalam langkah mereka
untuk menguasai dunia persilatan?
Memikirkan hal-hal itu, hati
Siau-liong resah gelisah. Dia harus menepati janji, membantu Toh Hun-ki dan
rombongan orang gagah, untuk melenyapkan kedua suami isteri durjana itu.
Kemudian baru ia mengambil batang kepala Toh Hun-ki dan keempat Su-lo untuk
bersama-sama Mawar Putih menghadap ibunya di seberang laut.
Tetapi saat itu setelah
mendengar penjelasan dari Kongsun Sin-tho, ia merasa menyesal. Apa yang hendak
dilakukan itu, terasa sukar. Maka menegurlah Kongsun Sin-tho, “Liong-ji,
rupanya hatimu amat resah. Adakah karena memikirkan ibumu atau ....”
Hati Siau-liong makin pilu.
Air matanya berderai-derai turun. Sejak kecil ia diasuh dan dididik Kongsun
Sin-tho. Dalam perasaannya Kongsun Sin-tho itu sudah seperti orang tuanya
sendiri.
Pada saat mendengar bahwa
mereka sudah tak berjodoh atau sudah putus hubungan, apa lagi dirinya sudah
terkena racun Jong-tok dan hidupnya hanya tinggal setahun. Maka pecahlah beteng
pertahanan hatinya.
Ia menangis pilu dibawah kaki
sang guru. Lalu menuturkan apa yang telah dialaminya selama di dalam Lembah
Semi, diracuni Poh Ceng-in dan hidupnya yang hanya tinggal setahun itu .....
Selesai mendengar, sambil
mengurut jenggot Kongsun Sin-tho berkata, “0, makanya ketika kuobati,
kudapatkan semua jalan darah ditubuhmu terdapat perobahan yang tak wajar.
Semula kukira akibat dari makan buah Im-yang-som dan darah binyawak purba itu,
kiranya .....”
Tabib sakti itu menghela
napas, ujarnya pula, “Memang perempuan siluman itu benar. Setelah racun
jong-tok itu menyerap keseluruh jalan darah di tubuh, di dunia tiada terdapat
obatnya lagi. "
Ditatapnya wajah anak itu, mau
berkata tetapi tak jadi.
Bermula Siau-liong masih
mengandung harapan bahwa gurunya itu tentu mampu mengobati. Tetapi melihat nada
kata-katanya, habislah sudah harapan Siau-liong. Ia pun hanya memandang pada
Kongsun Sin-tho dengan melongong kehampaan.
Setelah merenung beberapa
saat, Kongsun Sin-tho berkata pelahan-lahan, “Boleh dikata seluruh hidupku
kuabdikan pada ilmu pengobatan. Sekali pun tidak sesakti tabib Hoa To pada
jaman Sak-Kok dahulu, tetapi kepandaianku termasuk jarang terdapat
tandingannya. Menurut pengetahuanku masih dapat juga racun Jong-tok itu
diobati, tetapi .....”
Mendengar masih ada setitik
harapan. seketika menyalalah harapan Siau-liong. Buru-buru ia mencurahkan
seluruh perhatiannya.
“Karena perempuan siluman itu
juga meminum racun, maka racun Jong-tok itu tentu terdiri dari dua jenis racun
Im dan Yang. Sekalipun engkau terpisah jauh sekali dengan dia, tetapi apabila
ada salah seorang yang mati, yang seorangpun tentu ikut mati. Kecuali .....”
"Kecuali bagimana?"
Siau-liong mulai tegang perasaannya.
"Kecuali engkau minum
habis darahnya!" sahut Kongsun Sin-tho, atau dengan gunakan darah anjing
atau ayam hitam untuk memikat darahnya, mengorek keluar hatinya lalu memakannya
mentah-mentah. Hanya dengan jalan begitu, dapatlah racun dalam tubuhmu itu
hilang. Selain itu, tiada lain obat yang dapat menyembuhkan lagi.
Siau-liong menghela napas
rawan, "Sekalipun cara itu dapat menyelamatkan jiwaku tetapi ..... aku tak
tega menggunakannya ......”
“Kutahu engkau tentu tak mau.
Engkau berhati welas asih sekali, ah ...... semuanya terserah saja kepada
nasibmu ......”
Kongsun Sin-tho berbangkit dan
ayunkan langkah pelahan-lahan seraya berkata, “Kini engkau sudah dewasa. Segala
apa harus dapat menjaga diri sendiri. Dewasa ini Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka sedang berusaha untuk menguasai dunia persilatan. Tokoh-tokoh persilatan
dari berbagai aliran dan partai telah bersiap-siap menyusun kekuatan. Suatu
pertempuran antara golongan Putih dan Hitam pasti akan terjadi, sesungguhnya
.....”
Ia berhenti sejenak menghela
napas, ujarnya lebih lanjut, "Pada umumnya mereka bertujuan hendak
mendapatkan harta pusaka terutama kitab pusaka tulisan Tio Sam-hong. Siapa yang
mendapatkan pusaka itu, dialah yang akan dapat menguasai dunia
persilatan!"
Timbullah pikiran Siau-liong.
Separoh bagian dari Giok-pwe itu masih berada ditangan suami isteri Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Untuk merebutnya tentu sukar sekali. Hidupnya
hanya tinggal setahun. Segala kitab pusaka tak berguna lagi baginya. Dan
apabila separoh bagian Giok-pwe yang disimpannya itu sampai jatuh ketangan
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, bukankah akan hebat sekali akibatnya bagi
keselamatan dunia persilatan!
Seketika tergugahlah
pikirannya. Serentak ia mengeluarkan separoh Giok-pwe dari dalam bajunya lalu
diserahkan kepada Kongsun Sin-tho.
“Oleh karena murid sudah
terkena racun jong-tok, hidup murid pun takkan lama. Sekalipun dapat merebut
yang separoh bagian lagi dan menemukan kitab pusaka ilmu sakti
Thian-kong-sinkang, bagi murid pun sudah tak berguna lagi. Oleh karena itu....”
Dengan tahankan kepiluan
hatinya, Siau-liong lanjutkan kata-katanya, “Hendak murid persembahkan separoh
bagian Giok-pwe ini kepada suhu, agar suhu dapat memberikan kepada orang yang
benar-benar berjodoh ......”
Kongsun Sin-tho tertawa
gelak-gelak, “Muridku, aku sudah cukup puas karena telah memiliki salah satu
ilmu sakti dari Panca Sakti. Dan selama ini belum pernah kuunjukkan kesaktianku
itu di dunia persilatan. Begitupun dalam sisa hidupku yang tak berapa banyak
itu, takkan kutonjolkan kepandaianku itu. Maka kitab pusaka Thian-kong sin-kang
itu, juga tak penting bagiku. Soal aku hendak menjadi lain orang untuk menjadi
pewaris, tak lain tak bukan hanyalah sekedar agar ilmu sakti Thian-jim-sin-kang
itu jangan sampai lenyap ditanganku!"
Setelah mengetahui bahwa
gurunya tak mau menerima Giok-pwe, Siau-liong berkata, “Kalau begitu biarlah
murid pendam kitab pusaka itu selama-lamanya agar jangan ada orang yang
mengganggu usik!"
Tanpa menunggu persetujuan
Kongsun Sin-tho. Siau-liong terus meremas Giok-pwe itu hingga hancur lebur,
lalu dibuang ke tanah.
30. Ahliwaris Cek-ci dan Ya-li
Siau-liong termenung-menung
dalam kepekaan. Ia tersenyum getir karena dapat menghamburkan kesesakan
dadanya.
Ada dua sebab yang
mendorongnya menghancurkan separoh Giok-pwe itu. Pertama, dengan lenyapnya ilmu
Thian-kong-sin-kang dalam kitab pusaka itu berarti ilmu sakti
Thian-jim-sin-kang dari gurunya itu bakal merajai di dunia persilatan....
Kedua, menjaga jangan sampai ilmu sesakti Thian-kong sin-kang itu sampai jatuh
ketangan orang yang tak bertanggung jawab, misalnya Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka.
Setelah memandang beberapa
jenak pada hancuran Giok-pwe yang berhemburan di tanah, Kongsun Sin-tho
menghela napas, “Walaupun tindakanmu terdorong dari rasa kesungguhan tetapi membuat
ilmu sakti terpendam selama-lamanya di tanah, merupakan perbuatan yang
melanggar hukum alam!"
Siau-liong diam tak menyahut.
Saat itu malam makin larut. Sisa lilin yang menerangi tempat itu sudah habis.
Untung rembulan memberi cukup penerangan. Guru dan murid duduk saling
berhadapan dalam suasana yang merawankan.
Tak berapa lama, Kongsun
Sin-tho berkata, “Siau-liong aku akan berangkat!"
"Suhu, engkau....”
Siau-liong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dicengkam oleh isak
keharuan.
Belasan tahun ia berkumpul
dengan guru yang tercinta itu. Baru berjumpa lagi terus akan berpisah. Air mata
anak itu berderai-derai.
Dalam berkata-kata tadi,
Kongsun Sin-tho sudah tiba diambang pintu. Ia berpaling dan tertawa tenang, “Di
dunia tiada perjamuan yang takkan bubar. Ada waktu berkumpul, pun ada waktu
berpisah. Sekalipun ikatan guru dan murid sudah habis, tetapi bukan berarti
kita takkan berjumpa lagi. Siapa tahu ......”
Entah bagaimana Kongsun
Sin-tho tak melanjutkan kata-katanya. Sekali bahunya bergetar, tabib sakti itu
sudah melayang keluar.
Ketika Siau-liong memburu
keluar, ternyata gurunya itu sudah lenyap. Dia terlongong-longong. Masih
diingat-ingatnya kata-kata terakhir dari gurunya itu Siapa tahu ...... ah,
mengapa tak dilanjutkan lalu terus pergi?
Angin berhembus dan keresahan
pikiran Siau-liong pun agak reda. Memandang kesekeliling, didapatinya biara itu
sudah rusak semua, penuh ditumbuhi semak rumput.
Ia segera melangkah keluar.
Empat penjuru tegak berjajar puncak gunung. Dia tak tahu saat itu berada
dimana. Setelah memeriksa bekalannya, kecuali separuh bagian Giok-pwe yang
telah dihancurkan, semuanya masih lengkap, antara lain peta dan resep obat
pemberian Jong Leng lojin, botol berisi pil dari Poh Ceng-in dan kedok serta
pakaian dari Pendekar Laknat.
Setelah termenung beberapa
saat, akhirnya ia menyamar lagi sebagai Pendekar Laknat, lalu ayunkan langkah.
Ia tak tahu yang akan dituju, langkahnya hanya ditujukan pada puncak gunung
yang paling rendah sendiri. Dari situ ia hendak ke Siok-ciu. Menjenguk Toh
Hun-ki dan rombongannya lalu membelikan obat untuk Jong Leng lojin.
Menurut perhitungannya, saat
itu tepat kurang setahun dengan pertengahan musim rontok tahun muka. Suatu hal
yang membuatnya menyadari betapa berhargalah waktu itu. Setiap detik dan setiap
saat, harus digunakan dengan sebaik-baiknya.
Riwayat dirinya yang
menyedihkan ditambah pula dengan peristiwa-peristiwa yang selalu merundung
dirinya dengan kesialan dan malapetaka, membuat hatinya serasa tertindih oleh
sebuah batu besar.
Sekonyong-konyong ia mengadah
dan tertawa nyaring sekali! Nadanya bergema menembus awan. Dalam malam sunyi
dan ditengah alam pegunungan yang lelap, tertawa itu benar-benar menyerupai
suara raksasa tengah mengumbar tertawa .......
Puas tertawa ia terus menyusur
sepanjang hutan yang panjang. Tiba-tiba ia terhenti. Cepat-cepat ia gunakan
gerak Naga-melingkar-18 kali, melayang ke atas sebatang pohon setinggi beberapa
tombak.
Tak berapa lama tampak
beberapa sosok bayangan lari mendatangi. Dari atas pohon dapatlah Siau-liong
melihat dengan jelas. Orang-orang itu mengenakan pakaian persilatan dan
menghunus senjata. Begitu tiba di tepi hutan mereka berhenti lalu berjalan
pelahan-lahan masuk ke dalam hutan. Sikap mereka seperti menghadapi seorang
musuh berbahaya.
Salah seorang dari kawanan
orang itu, berseru, .... ”Aneh! Mengapa mendadak hilang?"
"Sekalipun ilmu
meringankan tubuhnya hebat sekali tetapi tak mungkin ia dapat terbang ke
langit!" sahut kawannya.
“Setiap jalan keluar dari
lembah, telah dijaga ketat. Karena dari kawan-kawan kita tiada memberi tanda
apa-apa, tentulah orang itu masih berada dalam hutan ini. Hayo, kita cari lagi
yang teliti," Kata orang yang pertama tadi.
“Huh, tahukah kalian siapa
orang yang hendak kita tangkap itu? kalau nada suara tertawanya, tentulah
Pendekar Laknat. Momok itu amat ganas sekali. Lebih baik kita lapor saja pada
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka!"
Kawan-kawannya menyetujui.
Mereka segera berputar tubuh terus lari keluar hutan.
Siau-liong hendak loncat
turun, tetapi tiba-tiba dari belakang terdengar kesiur angin tajam menyambar
dirinya.
Siau-liong terkejut sekali.
Itulah serangan gelap dari suatu senjata rahasia. Dengan ilmu
Thing-hong-pian-wi atau Mendengar-suara-menentukan-letak, cepat ia gerakkan
tangan kirinya dan berhasillah ia menjepit sebuah senjata rahasia dengan dua
buah jari!
Tetapi seketika ia melongo.
Ternyata yang dijepit itu bukanlah senjata rahasia, melainkan sehelai daun yang
kering .....
Pada saat ia kesima,
telinganya terngiang suara orang tertawa pelahan. Cepat ia memandang ke arah
suara tertawa itu dan dapatkan pada puncak sebatang pohon setinggi lima tombak
duduk dengan rapi seorang rahib berjubah kuning. Sepasang mata rahib itu
berkilat-kilat memancar ke arah Siau-liong.
Dari jarak lima tombak dapat
melontarkan sehelai daun kering menjadi seperti senjata rahasia dan gerakan
daun kering itu dapat menimbulkan desis angin yang begitu tajam, benar-benar
suatu ilmu kesaktian yang bukan olah-olah hebatnya!
Tetapi masih ada lagi hal yang
membuat Siau-liong lebih terkejut. Ialah suara ketawa rahib itu. Tertawa itu
kedengarannya pelahan dan lirih tetapi nyatanya telinga Siau-liong seperti mau
pecah .....
Rahib itu hentikan tertawanya,
berseru, “Apakah engkau Pendekar Laknat?"
“Ya, akulah!" sahut
Siau-liong.
"Berapakah umurmu
sekarang?" tanya rahib itu pula.
Siau-liong tertegun. Hampir ia
tak dapat menjawab pertanyaan itu. Karena ia memang tak tahu umur Pendekar
Laknat itu.
Setelah meragu beberapa saat,
ia menyahut agak tersendat, “Perlu apa harus menghitung umur, pokok aku sudah
tua sekali!"
Tiba-tiba ia teringat. Sebagai
Pendekar Laknat ia harus membawa sikap yang sesuai. Maka setelah mejawab, iapun
terus tertawa mengekeh.
Karena terpisah pada jarak
lima tombak, ia tak dapat melihat jelas wajah dan sikap rahib itu. Tetapi ia
dapat melihat bagaimana tajam kilat mata rahib itu memancarkan sinar.
“Engkau hendak membanggakan
ketuaanmu dihadapanku?" bentak rahib itu.
Siau-liong tertawa lepas,
sahutnya, “Tidak, tidak!"
Rahib tua itu tidak marah melainkan
tertawa dalam, “Apakah engkau juga hendak mencari pusaka itu?"
Siau-liong tertegun. pikirnya,
“Menurut nada katanya, tentulah dia datang untuk mencari pusaka itu. Tetapi dia
tentu tak mungkin mengira bahwa peta pusaka itu telah kuhancurkan sehingga
pusaka itu akan terpendam selama-lamanya!"
Maka tertawalah ia dengan
dingin, “Aku seorang tua bangka yang sudah menjelang masuk kubur. Segala harta
pusaka di dunia tak mungkin menggerakkan hatiku lagi ....”
Tiba-tiba rahib tua itu
berteriak pelahan dan tahu-tahu tubuhnya dalam keadaan tetap duduk melayang ke
batang pohon dihadapan pohon tempatnya berdiri.
Caranya rahib melayang itu tak
ubah seperti sekuntum awan yang 'terbang' melayang tertiup angin.
Siau-liong terbeliak.
Pikirnya, “Ah, ternyata di dunia ini memang penuh dengan orang sakti. Di atas
gunung terdapat awan dan di atas awan masih terdapat langit yang luas ....”
Pada saat ia masih tercengang,
tiba-tiba rahib itu membentaknya, “Kalau tak mencari pusaka, perlu apa engkau
datang kemari?"
Siau-liong tertawa hambar.
Tanpa menyahut apa yang ditanyakan, ia berkata, “Pusaka itu tak mudah
didapat!"
Rahib tua tersenyum, “Sukar
atau tidak, asal benar-benar di dunia ini terdapat pusaka itu, aku tentu dapat
menemukannya!"
Nadanya penuh dengan keyakinan
atas kemampuannya. Walaupun dahinya berhias keriput usia tua tetapi matanya
masih bersinar terang, seri wajahnya pun masih berseri. Terutama ketika
tertawa, tampak dua baris giginya yang putih mengkilap. Sepintas pandang memang
sukar untuk menaksir umurnya. Lebih-lebih tak mudah untuk mcngetahui asal-usul
dirinya .....
Sejenak tertegun, berkatalah
Siau-liong, "Untuk mencari pusaka itu. Pertama-tama, harus dapat
memperoleh sepasang Giok-pwe. Giok-pwe itu merupakan peta dari tempat
penyimpanan pusaka. Sengaja dijadikan dua buah Giok-pwe agar orang sukar untuk
mengumpulkan. Tanpa peta dari Giok-pwe itu tak mungkin engkau tahu tempat
pusaka itu!"
“Kalau begitu akan kucari
kedua Giok-pwe itu lebih dulu baru nanti mencari pusaka!" kata si rahib
tua. Dari kerut dahinya menampilkan sinar kemauan ambisi yang besar. Diam-diam
Siau-liong muak melihat wajah rahib itu.
Setelah sejenak mengeliarkan
pandang matanya, rahib itu berkata dengan lembut, “Apakah engkau
sungguh-sungguh tahu jelas bahwa peta itu terbagi menjadi dua buah
Giok-pwe?"
Diam-diam Siau-liong mendapat
kesimpulan bahwa rahib itu memang tak tahu sama sekali tentang Giok-pwe. Tetapi
disamping itu iapun diam-diam menertawakannya karena tak mungkin lagi orang
dapat mencari Giok-pwe itu. Yang satu telah dihancurkannya!
“Ya," sahutnya.
"Tahukah engkau ditangan
siapakah Giok-pwe itu sekarang?" tanya sirahib dengan lembut.
Tergerak hati Siau-liong,
serunya. "Yang separoh bagian berada ditangan Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka!"
"Iblis Penakluk-dunia ....
Dewi Neraka....” rahib tua itu berkata seorang diri.
Kemudian ia tersenyum, “Itu
mudah, akan kutanyakan kepada mereka!"
Melihat betapa yakin dan
congkak sikap rahib tua itu, diam-diam Siau-liong geli dalam hati.
"Dan yang separoh
lainnya?" tiba-tiba rahib itu bertanya.
Siau-liong tertawa keras,
“Yang separoh bagian itu .... mungkin sukar dicari!"
Seketika membesilah wajah
sirahib tua. Serunya dengan kurang senang, “Mengapa sukar dicari?"
"Mungkin sudah
dihancurkan orang!"
Rahib itu tertegun. Tiba-tiba
ia juga tertawa keras, “Tolol! Siapa yang memiliki benda itu tak mungkin rela
menghancurkan!"
Siau-liong hanya ganda tertawa
terus.
“Tutup mulutmu!” bentak si
rahib.
Siau-liong tertegun dan
hentikan tertawanya. Tampak rahib itu tengah pasang telinga. Pun telinga
Siau-liong yang tajam segera mendengarkan suara orang berjalan dari kejauhan.
Tak berapa lama,
berpuluh-puluh sosok bayangan menerobos ke dalam hutan. Jumlahnya tak kurang
dari empat sampai limapuluh orang.
Rahib tua mengicupkan ekor
mata kepada Siau-liong dan tertawa, “Tuh, Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia
telah datang."
Siau-liong hanya tertawa
dingin. Dipandangnya kawanan orang yang datang itu. Ternyata dua orang yang
memimpin rombongan itu adalah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sendiri.
Tetapi Soh-beng Ki-su dan Poh Ceng-in tak tampak ikut serta.
Tak berapa lama rombongan
Iblis Penakluk-dunia itu tiba di luar hutan. Iblis Penakluk-dunia bertanya
kepada salah seorang anak buahnya, “Apakah kalian tak salah dengar?"
Orang itu tersipu-sipu
menyahut, “Hamba mendengar jelas, suara tertawa itu adalah tertawa Pendekar
Laknat!"
Iblis Penakluk-dunia memberi
isyarat. Rombongan anak buahnya segera pencar diri, mengepung hutan itu.
Beberapa saat kemudian, Iblis
Penakluk-dunia berteriak nyaring “Hai tua bangka Laknat! Lekas keluar! Tak
mungkin engkau mampu lolos lagi!"
Bentakan itu nyaring sekali
sehingga daun-daun pohon sama bergetaran.
Memandang Siau-liong, rahib
tua itu tertawa, “Mari .....” tahu-tahu tubuhnya yang sedang duduk bersila di
atas puncak pohon, terbang melayang keluar hutan.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka mengira kalau yang muncul itu Pendekar Laknat. Buru-buru mereka lari
menghampiri. Begitu Pendekar Laknat belum sempat berdiri di tanah, mereka
hendak mendahului menyerangnya.
Tetapi ketika melihat yang
muncul itu bukan Pendekar Laknat, mereka terbelalak kaget. Iblis Penakluk-dunia
menyurut mundur lima langkah. Mata menatap rahib tua itu dan serentak ia
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Ah, aku telah keliru
menerima laporan dari anak buah. Ternyata sin-ni yang berkunjung!" serunya
dengan hormat.
“Ih, engkau masih kenal
aku?" seru rahib itu tertawa gembira.
“Sin-ni termasyur di empat
samudera. Walaupun sudah berpuluh tahun tak berjumpa tetapi aku tak pernah
melupakan sin-ni!" buru-buru Iblis Penakluk-dunia berseru.
Sin-ni artinya rahib sakti.
Siau-liong yang masih
bersembunyi di atas pohon, diam-diam terkejut. Segera ia menyadari bahwa rahib
itu adalah rahib sakti To Teng yang dikatakan gurunya (Kongsun Sin-tho). Rahib
yang memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang, salah sebuah ilmu sakti dari Panca
Sakti.
Kongsun Sin-tho dengan ilmu
sakti Thian-jim-sin-kang. Randa Bu-san dengan Ya-li-sin-kangnya, Jong Leng
lojin dengan Jit-hua-sin-kang serta rahib sakti dari Lam-hay dengan
Cek-ci-sin-kang.
Merupakan empat datuk dari
Panca Sakti. Yang masih kurang adalah Thian-kong-sin-kang, ilmu sakti yang
masih terpendam dalam suatu tempat seperti terlukis pada peta pusaka Giok-pwe.
Mungkin ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu tak mungkin didapat orang lagi untuk
selama-lamanya ......!
Sambil tersenyum rahib tua itu
memandang Dewi Neraka, tegurnya, “Apakah selama ini kalian baik-baik
saja?"
"Terima kasih, berkat
restu sin-ni kami berdua tak kurang suatu apa", sahut kedua suami istri
Iblis Penakluk-dunia.
Setelah berdiam beberapa saat,
Iblis Penakluk-dunia coba-coba menyelidiki, tanyanya, “Sudah berpuluh tahun
sin-ni mensucikan diri digunung Bu-ih-san, tetapi kali ini ......”
Lam-hay-sin-ni tertawa
mengekeh, “Kabarnya kitab pusaka yang ditulis Tio Sam-hong telah diketahui
orang terpendam dalam Lembah Semi dipegunungan Tay-liang-san sini. Benarkah
itu?"
Iblis Penakluk-dunia kerutkan
alis. "Kudengar juga begitu".
“Dan orang mengatakan pula
bahwa separoh dari Giok-pwe itu berada ditanganmu, apakah benar?"
Iblis Penakluk-dunia berdiam
beberapa saat, lalu berkata tersendat-sendat, "Ini ....”.
"Bilanglah!"
tiba-tiba rahib sakti dari Lam-hay itu berubah wajahnya.
Buru-buru Iblis Penakluk-dunia
tertawa, “Benar, tetapi yang separoh lagi ....”.
Lam-hay-sin-ni maju selangkah,
“Yang separoh itu, nanti akan kuusahakan sendiri. Yang berada padamu, lekas
berikan kepadaku!"
Sesungguhnya wajah Iblis
Penakluk-dunia sudah mendelik seperti dicekik setan. Tetapi dia tetap paksakan
diri tertawa kecut, “Ini.... ini....”
”Hm, tidak mau
memberikan?" wajah rahib sakti mengkerut gelap.
Sepasang alis Iblis
Penakluk-dunia makin merapat. Tiba-tiba ia melirik kepada isterinya lalu
tertawa-tawa, “Karena sin-ni menghendaki, sudah tentu akan kuberikan, tetapi
....” ia berhenti sejenak, lalu, “Giok-pwe itu sesungguhnya tak berada padaku
melainkan disimpan dalam sebuah tempat rahasia di Lembah Semi. Adakah sin-ni
bersedia bersama kami mengambil kesana atau Sin-ni sendiri yang akan
mengambilnya?"
Dengan mata berkilat
berserulah rahib sakti itu tajam-tajam, “Bukankah kalian bermaksud hendak
menipu aku?"
"Sin-ni adalah
satu-satunya locianpwe dunia persilatan yang paling kuindahkan. Masakan aku
berani berbuat kurang ajar terhadap sin-ni?" buru-buru Iblis
Penakluk-dunia menyanggapi.
Wajah Lam-hay-sin-ni berseri
girang, “Baik, aku akan ikut kalian mengambilnya!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
sinis, “Kalau begitu silahkan sin-ni ikut kami!"
Bersama isterinya, Iblis
Penakluk-dunia segera berputar diri dan ayunkan langkah.
Rombongan pengawal suami
isteri Iblis Penakluk-dunia pun segera memberi isyarat kepada sekalian anak
buah Lembah Semi untuk kembali ke dalam lembah.
Rahib sakti dari Lam-hay
mengikuti di belakang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dengan wajah berseri
girang.
Tetapi ketika rombongan Iblis
Penakluk-dunia itu baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara
bentakan.
“Berhenti!"
Iblis Penakluk-dunia berhenti
seraya balas membentak marah, “Siapa!"
Dari balik sebatang pohon di tepi
jalan muncul dua orang. Iblis Penakluk-dunia dan rombongannya terkejut sekali.
Bahkan Siau-liong yang masih bersembunyi di atas pohon pun tersentak kaget
sehingga hampir terpelanting jatuh.
Ternyata kedua orang yang
muncul dari balik pohon itu adalah Randa Bu-san dan puterinya.
Dengan lincah dara baju hijau
itu mengikuti di belakang ibunya. Jelas lukanya ketika bertempur dengan
Siau-liong tempo hari, sudah sembuh.
Teringat seketika Siau-liong
akan pertempurannya dengan dara itu. Betapa gemas dan mati-matian dara itu
menyerangnya ketika menganggap Siau-liong itu Pendekar Laknat.
“Hm, mengapa dia begitu
membenci kemati-matian kepada Pendekar Laknat?” diam-diam Siau-liong menimang.
Begitu juga ia masih teringat
pada saat dalam keadaan sadar tak sadar karena menderita luka dan dibawa Mawar
Putih ke pondok janda itu, samar-samar ia mendengar janda itu berkata dengan
geram, “Hm, Besok pada pertengahan musim rontok tahun depan, takkan kuampuni
jiwamu lagi....”
Siau-liong pun teringat akan
pesan dari tulisan Pendekar Laknat yang diguratkan pada dinding gua. Dalam
pesan itu, Pendekar Laknat memintanya supaya mewakili datang kepuncak
Sin-li-hong gunung Bu-san guna memenuhi undangan pada pertengahan musim rontok
tahun depan. Tak tahu Siau-liong undangan apa yang dimaksud oleh Pendekar
Laknat itu. Yang jelas tentu undangan untuk mengadu kesaktian. Tetapi mengadu
kesaktian dengan siapa?
Pikiran Siau-liong melayang
lebih lanjut. Ia teringat, pada waktu berada di Lembah Maut, Soh-beng Ki-su
pernah mengatakan bahwa Mawar Putih telah ditolong oleh seorang perempuan baju
hitam. Oleh karena Mawar Putih membawanya dirinya kepondok janda itu, apakah
tidak mungkin perempuan baju hitam yang dimaksud Soh-beng Ki-su itu bukan Randa
gunung Bu-san itu?
Tetapi mengapa yang muncul di
hutan situ hanya si janda dan puterinya? Dimanakah Mawar Putih sekarang? Apakah
dara itu disuruh jaga pondok atau sudah pergi ke lain tempat lagi?
Sebelum semua pertanyaan yang
menghuni benak Siau-liong itu terjawab. Tiba-tiba Randa Bu-san kedengaran
berseru kepada rombongan Iblis Penakluk-dunia, “Apa kenal pada kami ibu dan
anak?"
Belum Iblis Penakluk-dunia
sempat menyahut, Lam-hay Sin-ni sudah melangkah maju dan membentak, “Tidak
kenal! Lekas enyah!"
Randa Bu-san tertawa dingin,
serunya, “He, rupanya engkau cepat-cepat menjadi jompo!”
Sekali mengangkat tangan
kirinya, Randa Bu-san menampar pelahan-lahan sebuah batu besar yang berada
dimukanya.
Tamparan itu pelahan sekali
dan batu itupun tampaknya tak kurang suatu apa. Tetapi ketika Randa Bu-san
menyepak dengan kaki kanannya, batu besar itu sudah berguguran remuk bubuk
.....
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka terkejut bukan kepalang.
Lam-hay Sin-ni pun belalakkan
kedua matanya dan melengking tajam, “Ya-li-sin-kang....”
Randa Bu-san tersenyum,
“Sekarang sudah kenal padaku?”
Lam-hay Sin-ni
tercengang-cengang, serunya, ”Ya-li, Thian-jim dan Jit-hua-sin-kang. Bukankah
sudah lama lenyap dari dunia persilatan? Engkau .....”
Randa Bu-san menghela napas,
“Kecuali Thian-kong-sin-kang, keempat ilmu sakti itu masih terdapat di dunia
persilatan .....”
Tiba-tiba rahib sakti itu
membentak, “Kalau begitu engkau ...., engkau juga hendak mencari pusaka itu!”