Pendekar Laknat Jilid 21-30

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Laknat Jilid 21-30
Pendekar Laknat Jilid 21-30

21. Telur di ujung tanduk

Pada saat tangan Naga Terkutuk hampir mencengkeram bahu Siau-liong, tiba-tiba Harimau Iblis meluncur kesamping saudaranya dan mencekal tangan Naga Terkutuk.

Sudah tentu Naga Terkutuk terperanjat, tegurnya, “Dinda, engkau ......”

Harimau Iblis tertawa, “Gerakan Naga-sakti-mencengkeram kanda itu, belum tentu dapat mengenai budak itu!"

Sekalian orang terkejut mendengar kata-kata itu. Bahkan Naga Terkutuk pun deliki mata kepada adiknya itu lalu membentaknya, “Apakah maksudmu?"

Hampir ia tak percaya apa yang dikatakan Harimau Iblis itu.

Kata Harimau Iblis, “Kemarin tatkala dipuncak Ngo-siong-nia, aku pernah adu kepandaian dengan dia, tetapi akhirnya ......” ia tertawa menyeringai, “akhirnya kami sama-sama terluka!"

Mendengar itu Iblis Penakluk-dunia dan isterinya, Naga Terkutuk dan Po Ceng-in terbeliak kaget. Semua mata tertumpah ke arah Siau-liong.

Benar-benar suatu hal yang mustahil. Tetapi karena mulut Harimau Iblis sendiri yang mengatakan, mau tak mau harus percaya.

Reaksi pertama timbul dari Po Ceng-in. Nona pemilik lembah itu kejut girang lalu memegang lengan Siau-liong dan bertanya lembut, “Apakah yang dikatakan itu benar?"

Siau-liong mendengus lalu menyurut mundur selangkah, menghindarkan lengannya.

Naga Terkutuk dan Harimau Iblis tertawa mengekeh menyaksikan penolakan Siau-liong.

Po Ceng in tertegun. Tanpa menghiraukan ejek tertawa kedua momok serta sikap Siau-liong dingin, ia melesat kesamping pemuda itu seraya berseru cemas, “Jangan percaya omongan iblis tua itu. Aku memang baru berumur ......”

Ia tak lanjutkan kata-kata melainkan menatap wajah Siau-liong dan dengan nada meratap ia berkata: "Tanpa kukatakan engkau tentu dapat melihat sendiri apakah aku ini mirip dengan wanita yang berumur 40 tahun?"

Kembali Po Ceng-in tertawa mengikik tetapi jelas tertawa yang dibuat-buat untuk menutupi rasa malunya.

Siau-liong terpaksa memandangnya. wajah wanita itu memang menimbulkan rasa kasihan tetapi pancaran matanya penuh dengan nafsu kecabulan. Memang andaikata Naga Terkutuk tak membuka rahasianya, Siau-liong tentu percaya nona itu masih berumur duapuluhan tahun.

Beberapa saat Siau-liong tergugu kehilangan paham. Ia tak tahu bagaimana harus bertindak. Namun ia menyadari bahwa saat itu dirinya berada dalam sarang harimau buas.

Juga ia menginsyafi akan beban kewajibannya yang berat. Ia harus menolong Mawar Putih, merebut kembali separoh bagian dari Giok-pwe, menyelamatkan dunia persilatan, membalas dendam dan mencari ibunya ......

Ia menimang lebih lanjut Dalam lembah Semi yang penuh dengan perkakas rahasia, musuh lebih menang tempat. Begitu pula jumlah mereka jauh lebih besar. Untuk mengahadapi keempat momok itu, jelas bukan hal yang mudah.

Demi menyelamatkan kesemuanya itu, terpaksa ia harus bermain sandiwara. Walaupun sesungguhnya ia muak terhadap wanita itu, namun terpaksa ia memandangnya dengan pandang mata lemah lembut dan mesra.

Po Ceng-in menyambut pandangan itu dengan semangat terbuai-buai. Tiba-tiba ia berkata kepada ibunya, “Mah, ijinkan kami pergi!" — ia terus menarik tangan Siau-liong diajak keluar.

“Tunggu!" tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia membentak.

Po Ceng-in terbeliak. Belum pernah selama ini ayahnya membentaknya sedemikian bengis.

Dewi Neraka berobah wajahnya dan melengking kepada suaminya, “Tolol! Mengapa engkau menakuti anak kita begitu rupa!"

“Plak,” Iblis Penakluk-dunia mendebur meja, dengusnya, “Jika aku terus menerus menuruti engkau saja. Bukan saja usaha menguasai dunia persilatan akan hancur berantakan. Pun kemungkinan kita akan menelan pahitnya kekalahan seperti duapuluh tahun berselang itu lagi. Aku ......”

Dewi Neraka hujamkan tongkatnya kelantai lalu berbangkit, teriaknya, “Tolol! Jika banyak tingkah, lebih baik kita berpisah dan bekerja sendiri-sendiri saja! Apa engkau kira aku hanya mengandalkan engkau saja?"

Habis berkata wanita bengis itu melangkah kehadapan Po Ceng-in, ujarnya, “Tanyalah pada anak itu. Jika dia benar-benar bersungguh hati kepadamu, mari kita berangkat sekarang juga. Mama akan membawamu pulang ke Se-pak. Tak perlu kita hiraukan lagi soal harta pusaka dan segala macam kekuasaan dunia persilatan!"

Po Ceng-in memandang ibunya dengan penuh rasa syukur. Tetapi pada saat hendak bertanya penegasan kepada Siau-liong, tiba-tiba Naga Terkutuk dan Harimau Iblis tertawa gelak.

Kemudian berserulah Harimau Iblis dengan suara nyaring, “Aha, nyata perangai saudara masih belum berubah seperti dahulu ......”

Dan Naga Terkutuk pun menumpangi, “Hubungan saudara suami isteri berdua yang berkumpul dan berpisah tak menentu itu benar-benar menjadi buah pembicaraan indah dalam dunia persilatan. Hari ini bercerai entah kapan akan bertemu pula!"

Demikianlah kedua saudara momok itu bergantian saling memberi komentar. Bukan melerai dan mendamaikan kedua suami isteri itu tetapi kebalikannya menyiram minyak pada api kemarahan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka supaya putus hubungan.

Seketika berobahlah wajah Iblis Penakluk-dunia. Sepasang alisnya yang panjang melekat satu sama lain dan sejenak melirik ke arah kedua tetamunya, cepat ia melesat kemuka Dewi Neraka.

“Isteriku, jangan marah. Hal ini menyangkut kepentingan kita bersama. Sekali salah langkah, kita pasti kalah. Oleh karena itu aku perlu berhati-hati ......”

Lalu ia menunjuk Siau-liong, serunya, “Budak itu bukan pemuda biasa. Janganlah engkau sampai kena dikelabuhinya!"

Dewi Neraka mendengus, “Sampai dimanakah kemampuan seorang anak yang baru berumur belasan tahun itu? Bukankah kalian sendiri yang ketakutan dan menduga yang bukan-bukan ......”

Namun sekali pun mulut mengatakan begitu tetapi diam-diam Dewi Neraka mengingat juga akan keterangan Harimau Iblis tentang pertempurannya dengan Siau-liong. Maka ia tak mau ayunkan langkah melainkan masih mengamati Siau-liong dengan teliti.

Iblis Penakluk-dunia paksakan tertawa, “Munculnya budak itu bersama seorang budak perempuan ke dalam barisan Tujuh Maut, menandakan bahwa mereka tentu ikut dalam rombongan It Hang si imam hidung kerbau itu. Kalau malam gelap, anak buahku tak dapat melihatnya, tetapi ......”

“Ah, soalnya sederhana sekali," Naga Terkutuk menyelutuk, “kalau saudara tak sampai hati turun tangan kepada menantu yang tercinta, perintahkan orang supaya menyiksa budak perempuan itu. Dia tentu akan mengaku semua."

Iblis Penakluk-dunia alihkan pandang matanya ke arah Naga Terkutuk, ia tertawa iblis: “Ah, saudara memang pintar. Tetapi, Akupun memang sudah mempunyai pikiran begitu. Bahkan sebelum saudara datang kemari, aku sudah suruh orang untuk memeriksa budak perempuan itu. Tetapi diluar dugaan ......”

Ia berhenti sejenak untuk mengelus jenggotnya yang memanjang sampai kelutut, lalu melanjutkan, “Diluar dugaan budak perempuan itu lenyap."

Sekalian orang tersentak kaget. Dan yang paling kaget sendiri adalah Siau-liong. Kemanakah gerangan Mawar Putih itu ......

Naga Terkutuk keliarkan biji matanya beberapa kali lalu berkata, “Tujuh Maut itu merupakan barisan yang paling ketat dan rapat. Sampai pun bangsa binatang dan burung tak dapat keluar masuk dalam barisan itu. Maka betapa lihaynya kepandaian seseorang, pun tak mungkin dapat masuk keluar menurut sekehendak hatinya ......”

Dia geleng-geleng kepala dan berkata seorang diri, “Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih sudah terperangkap dalam barisan Tujuh Maut tetapi dapat melenyapkan diri. Sebagai gantinya dalam barisan itu terdapat tawanan sepasang muda mudi. Si anak perempuan sudah dimasukkan ke dalam Lembah Maut tetapi lenyap lagi ......”

Tiba-tiba ia tertawa keras, “Ha, ha, apakah kita sedang melihat hantu?"

Dewi Neraka segera gunakan ilmu menyusup suara bertanya kepada Iblis Penakluk-dunia, “Tolol, apakah keteranganmu itu sungguh-sungguh?"

Iblis Penakluk-dunia kerutkan dahi lalu menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Sudah tentu sungguh-sungguh ......”

Ia memberi isyarat kicupan mata kepada isterinya lalu berkata, “Soal hilangnya budak perempuan yang baru berumur belasah tahun itu tak perlu kita cemaskan. Dan budak laki itu, jika engkau suka, ambillah sebagai menantu. Tetapi menurut hematku, saat ini Lembah Semi sudah kemasukan seorang tokoh yang sakti. Hilangnya budak perempuan itu merupakan salah satu bukti ......”

Kembali Iblis Penakluk-dunia berhenti. Diam-diam ia memperhatikan Naga Terkutuk dan Harimau Iblis lalu berkata lagi, “Si tua Naga dan Harimau itu tamak akan harta pusaka dan menghendaki separoh bagian. Sudah tentu di dunia tiada hal yang semurah itu. Sekarang baiklah kita gunakan keserakahan mereka itu untuk mengadu mereka dengan orang sakti yang menyelundup ke dalam lembah ini. Atau kalau perlu, kita dapat gunakan alat-alat rahasia dalam barisan Tujuh Maut untuk melenyapkan kedua iblis itu!"

"Apakah engkau kira mereka mau tunduk pada perintahmu?" tanya Dewi Neraka.

Sahut Iblis Penakluk-dunia dengan gembira, “Mereka berdua hanya mengandalkan pada kegagahan saja. Jika engkau tak mudah naik pitam dengan gunakan siasat saja mereka tentu suka melakukan perintahku!"

Dewi Neraka mendengus lain melengking, “Tolol! Kalau memang bisa, silahkan engkau kerjakan. Perlu apa aku harus mengadu biru?"

Percakapan kedua suami isteri itu menggunakan ilmu menyusup Suara. Dengan begitu lain orang tiada dapat mendengarnya. Hanya bibir mereka yang tampak bergerak-gerak, tetapi sama sekali tak mengeluarkan suara apa-apa.

Beberapa saat kemudian, Naga Terkutuk memekik keras, “Budak perempuan itu lenyap, tak jadi apa. Kita dapat memeriksa budak laki ini!"

Habis berkata iblis itu terus tebarkan kesepuluh jari tangannya. Sekali tubuh bergerak, ia gunakan jurus Naga-sakti-mengambil-air. Kesepuluh jarinya itu mengeluarkan desis angin lalu mencengkeram kedua bahu Siau-liong.

Siau-liong benar-benar tak mau berkelahi. Buru-buru ia mundur dua langkah kesamping. Tetapi serangan kedua dari Naga Terkutuk sudah menyusul. Tanpa menarik pulang jarinya, tiba-tiba ditengah jalan jarinya itu dirobah dalam jurus Menyapu-buyar-awan. Cengkeraman diganti dengan tabasan. Kedua tangannya susul menyusul menyerang Siau-liong.

Melihat calon menantunya diserang seganas itu, Dewi Neraka melengking tajam. Sekali hujamkan tongkatnya kelantai, kepala tongkat yang merupakan pangkal kepala naga, meluncur lepas dari batang dan melayang kelambung Naga Terkutuk!

Serempak dengan itu, kepala naga-nagaan tongkat itu hidungnya mengeluarkan beberapa lembar kumis sepanjang limabelas senti. Kumis itu terbuat dari pada kawat baja yang halus dan runcing. Warnanya berkilat kebiru-biruan. Jelas kalau dilumuri racun.

Naga Terkutuk terkejut sekali dan cepat menarik pulang serangannya seraya menyurut mundur. Dengan demikian terluputlah ia dari bahaya maut.

Dewi Neraka tertawa dingin. Sekali gentakkan tongkatnya kelantai, kepala naga itu melayang balik dan hinggap pada hulu tongkat lagi. Juga kumis naga yang memancar keluar tadi, segera menyusup masuk pula.

Ternyata kepala tongkat yang diukir seperti kepala naga itu, diikat dengan kawat halus yang ulet sekali. Dapat dipijat keluar untuk menyerang musuh.

Naga Terkutuk tak mau balas menyerang melainkan berseru keras, “Apakah benar-benar engkau hendak memusuhi kami berdua saudara?"

Tetapi Dewi Neraka tak mau menyahut.

Sedang Iblis Penakluk-dunia segera mengangkat kedua tangannya, “Maafkan, maafkan! Harap saudara berdua jangan mengambil dihati. Kita sedang berunding mengatur siasat!"

Merah padam selembar muka Naga Terkutuk. Pada saat ia hendak lampiaskan kemarahannya, tiba-tiba Harimau Iblis gunakan Ilmu menyusup suara mencegahnya, “Harap toako jangan cari gara-gara! Jika bertempur, mereka menang orang dan tempat. Belum tentu kita menang ......”

Naga Terkutuk mendengus lalu menjawab dengan ilmu Menyusup Suara, “Apakah adik takut?"

Harimau Iblis tak menghiraukan dan berkata pula, “Apalagi masih ada budak lelaki itu yang jelas memiliki kepandaian sakti. Menurut pengakuannya dia murid pewaris dari Pengemis Tengkorak dan sudah memahami ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Pada waktu aku bertanding melawannya, ternyata dia masih memiliki lain ilmu sakti ......”

Sejenak berhenti ia berkata pula, “Ilmu saktinya itu, rasanya aku kenal! Tetapi sampai saat ini masih belum kuketahui termasuk perguruan mana. Seperti tenaga sakti Mo-ya-kong-lat dari paderi Liau Hoan gunung Thian-san, tetapipun seperti tenaga Bu-kek-sin-kang dari Pendekar Laknat. Jadi bukan Mo-ya-kong-lat pun bukan Bu-kek-sin-kang. Tetapi yang jelas, budak itu tentu mempunyai latar belakang yang hebat. Jika dia bersatu dengan suami isteri iblis, tentu akan makin menyulitkan kita. Memang diketemukannya sepasang muda mudi dalam barisan Tujuh-maut itu tentulah hanya omong kosong. Dan tentang lenyapnya budak perempuan dalam Lembah Maut itu, benar-benar juga tak mungkin terjadi."

Naga Terkutuk mendengarkan dengan termangu. Rupanya ia tak pernah memikir sampai disitu.

Setelah termenung sejenak, Harimau Iblis melanjutkan lagi, “Turut pendapatku kita menghadapi dua kemungkinan. Pertama, mungkin Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih memang sudah bersekutu dengan suami isteri iblis itu. It Hang dan rombongan tokoh-tokoh partai persilatan sudah terjaring dalam perangkap mereka. Tujuan keempat iblis itu tak lain karena hendak menghadapi kita berdua!"

Kemungkinan kedua, Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih telah binasa ditangan suami isteri iblis itu. Separoh bagian dari Giok-pwe pun sudah jatuh ketangan mereka. Bahwa Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih terjebak dalam selat buntu tetapi dapat melenyapkan diri, hanyalah cerita karangan kedua suami isteri iblis itu saja. Suatu siasat untuk menghapus perhatian orang ......”

Harimau Iblis sejenak melirik ke arah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka lalu berkata lagi kepada Naga Terkutuk: "Salah satu dari kedua kemungkinan itu atau kedua-duanya tak mungkin terjadi, tetapi tetap tak menguntungkan bagi kita kakak beradik?"

Iblis Penakluk-dunia dan isterinya tahu juga bahwa kedua saudara iblis itu tengah melakukan pembicaraan dengan gunakan ilmu Menyusup Suara. Tetapi mereka pura-pura tak tahu.

Melanjutkan pula percakapan Harimau Iblis kepada Naga Terkutuk, “Keadaan yang kita hadapi saat ini, betapapun kedua suami isteri itu memainkan siasat apa saja, kita tak boleh mengundurkan diri karena ketakutan. Jika kedua suami isteri itu benar telah berhasil mendapat kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong, mereka tentu takkan membiarkan kita berdua hidup di dunia. Maka kalau hari ini kita tak membereskan mereka, kelak tentu akan lebih sukar lagi!"

"Benar!" dengus Naga Terkutuk. Ia merenung sesaat lalu berkata pula, “Karena aku tak dapat mengawasi siasat mereka, harap adik yang waspada terhadap gerak-gerik mereka!"

Harimau Iblis mengangguk, kemudian ia berpaling ke arah kedua suami-isteri iblis, memberi hormat seraya berseru, “Karena tengah merundingkan urusan pribadi maka kami telah bercakap-cakap dengan ilmu Menyusup Suara. Harap saudara berdua jangan salah paham!"

Iblis Penakluk-dunia hanya ganda tertawa mengiakan. Lalu ia menanyakan pendapat kedua kakak beradik itu mengenai situasi yang dibadapi saat itu.

"Kami berdua saudara termasuk orang bodoh. Sudah tentu kami hanya menurut keputusan saudara saja. Kami bersedia membantu!” sahut Harimau Iblis.

"Ah, saudara keliwat merendah diri," kata Iblis Penakluk-dunia.

Sejenak keliarkan mata, berkatalah ia, “Peristiwa lenyapnya Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih dari barisan Tujuh Maut itu adalah berdasar laporan dari anak buahku. Aku sendiri belum memeriksa hal itu ......” ia melirik ke arah Harimau Iblis dan Naga Terkutuk lalu melanjutkan, “Kami berdua suami isteri hendak menyelidiki barisan Tujuh Maut, saudara berdua ......”

"Sudah tentu kami akan ikut juga!" cepat-cepat Harimau Iblis menukas.

Diam-diam Iblis Penakluk-dunia terkejut mendengar pernyataan itu. Ia merasa heran kalau kedua kakak beradik itu tak tahu bahwa dalam barisan Tujuh Maut penuh dilengkapi dengan alat rahasia dan jebakan-jebakan yang berbahaya.

Namun ia menghapus rasa herannya dengan mengulum senyum dan menganggukkan kepala. Lalu bertepuk tangan tiga kali.

Dari luar gedung masuklah enambelas orang laki perempuan menghadap dan memberi hormat kepada Iblis Penakluk-dunia. Mereka mengenakan pakaian ringkas dan menyelinap senjata.

“Lekas beritahukan kepada Soh-beng Ki-su bahwa aku beramai-ramai hendak memeriksa ke dalam barisan Tujuh Maut!"

Sepasang lelaki dan perempuan memberi hormat lalu melangkah keluar. Yang lain-lain segera berbaris pada kedua tepi pintu.

Iblis Penakluk-dunia segera mempersilahkan kedua tetamunya ikut.

Naga Terkutuk melirik ke arah Harimau Iblis dengan pandang penuh kesangsian.

Harimau Iblis tertawa gelak-gelak, “Ah, sebagai tetamu, aku tak boleh berlaku kurang hormat terhadap tuan rumah. Silahkan saudara berjalan lebih dulu."

Iblis Penakluk-dunia tertawa hambar. Diam-diam ia menertawakan kedua tetamunya itu. Sekalipun mereka mempunyai rencana bagaimana, pun takkan terlepas dari genggamannya. Maka ia memberi isyarat kicupan mata kepada isterinya. Dan kedua suami isteri lalu melangkah keluar.

Pada saat keempat durjana itu sedang siapkan rencana masing-masing secara diam-diam, adalah Siau-liong tetap mengawasi gerak-gerik mereka dengan tak acuh. Diam-diam ia sudah dapat menyelami apa isi hati keempat orang itu.

Pikirnya, asal keempat iblis itu masing-masing mempunyai kecurigaan dan saling tak percaya, ia tentu mendapat kelonggaran dan kesempatan untuk mengadu domba mereka.

Setelah keempat iblis itu pergi, buru-buru Siau-liong bermain sandiwara. Dengan mesra ia menarik tangan Po Ceng-in dan membisiki kedekat telinganya, “Hayo, kita ikut melihat juga."

Melihat Siau-liong begitu mesra kepadanya, Po Ceng-in menjadi lupa daratan. Setelah memberi tatapan mata yang penuh arti, tanpa banyak pikir lagi ia segera menggandeng tangan Siau-liong dan melangkah keluar untuk mengikuti gerak gerik keempat iblis itu.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka berhenti dan berpaling. Ketika melihat anak perempuannya bergandengan tangan Siau-liong, mereka tersenyum lalu melanjutkan perjalanan lagi.

Harimau Iblis dan Naga Terkutuk berjalan di belakang sendiri. Seolah-olah tanpa disengaja Naga terkutuk berjalan disamping Po Ceng-in. jaraknya hanya lebih kurang setengah meter sehingga jika mengulurkan tangan tentu dapat mencapai.

Siau-liong sudah siap siaga menghadapi keempat iblis itu. Diam-diam dia sudah membentengi tubuhnya dengan saluran Bu-kek-sin-kang. Maka tenang-tenang saja ia mengikuti di belakang mereka.

Memang bangunan dalam Lembah Semi itu dicipta sedemikian hebat. Jalanan di tengah halaman berbilak-biluk. Loh-gik-thia atau pagoda termpat beristirahat penuh bertaburan disana sini.

Bangunan pada setiap tempat selalu disusun menurut bentuk Pat-kwa dan Kiu-kong. Bahkan setiap pohon dan setiap batang bunga, pun ditanam menurut aturan barisan.

Selama berjalan itu diam-diam Siau-liong memperhatikan dan mencatat dalam hati semua yang dilihatnya. Tetapi ternyata kedua suami isteri iblis itu sengaja berjalan berputar-putar kian kemari sehingga sesudah delapan kali membelok, sukar bagi orang untuk mengenal arah lagi.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, tibalah mereka dimulut sebuah selat lembah yang sempit. Iblis Penakluk-dunia berhenti.

Sambil tertawa ia menerangkan, “Itulah mulut Lembah Maut. Didalamnya penuh dengan berbagai perkakas rahasia. Sekali salah langkah, sukar dibayangkan akibatnya ......”

Memandang ke arah kedua saudara iblis, ia berkata pula, “Misalnya kalau keliru melangkah ke Pintu-mati, tentu akan terjerumus ke dalam liang dan pasti akan hancur lebur. Aku sendiripun tak berdaya menolong. Saudara berdua hendaknya ikut saja di belakang kami, jangan bergerak sembarangan!"

Jelas ucapan Iblis Penakluk-dunia mengandung ancaman untuk menakuti hati orang.

Harimau Iblis tertawa gelak, serunya, “Jangan kuatir, andaikata kami sampai mengalami nasib sial keluar menginjak tempat maut pun takkan meminta ganti jiwa kepada saudara berdua'"

Iblis Penakluk dunia tertawa sinis lalu melanjutkan berjalan lagi. Harimau Iblis pun memberi isyarat mata kepada saudaranya. Mereka tetap berjalan di belakang Po Ceng-in dengan mengambil jarak dekat.

Belasan anak buah lembah yang terdiri dari lelaki dan perempuan dan bersenjata pedang tadi, bertindak sebagai pelopor dimuka. Begitu masuk ke dalam selat, mereka berjalan pelahan-lahan dan tak henti-hentinya menggerakkan tubuh kekanan dan kiri. Mirip seperti kupu-kupu yang berterbangan menerobos gerumbul bunga.

Selama memperhatikan keadaan tempat yang dilaluinya itu, diam-diam Siau-liong heran juga. Jelas semalam ketika bersama Mawar Putih, ia dikejar suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka masuk ke dalam selat lembah itu, disitu terdapat sebuah telaga yang besar.

Tetapi mengapa saat ini ia tak melihat telaga itu lagi? Heran, adakah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu mempunyai ilmu untuk memindah gunung dan menyingkirkan laut?
22. Asmara Puteri Lembah Maut

Tak berapa lama rombongan itu telah keluar dari jalanan selat yang sempit. Kini mereka berhadapan dengan sebuah tanah lapang yang luas. Tanah lapang yang merupakan tanah rendah mirip seperti dasar sumur.

Kedua barisan pelopor lembah Semi itu, tiba-tiba cepatkan langkahnya menuju ke kaki batu karang disebelah bawah. Kemudian mereka lalu menyusup ke dalam gerombol pohon.

Kini barulah Siau-liong mengetahui jelas bahwa jalan keluar dari lembah Tujuh Maut itu bukan hanya satu saja. Kemarin ia datang dan masuk dari salah sebuah jalan.

Tampak hutan pohon siong itu berada ditengah tanah lapang. Tetapi ia tak dapat menentukan arahnya yang tepat.

Ke enambelas barisan lelaki perempuan dari lembah Semi tadi muncul dari tempat masing dalam gerumbul semak sambil mencekal bendera warna hijau yang dilambaikan ke arah kiri. Setelah itu mereka menyelinap bersembunyi lagi.

Dari empat penjuru kaki karang, sayup-sayup terdengar suara menderu pelahan dan menyusul mulailah kabut tipis bertebaran keluar. Tak berapa lama ke tujuh gua dan sekeliling penjuru segera tertutup kabut.

"Apakah maksud saudara?" tanya Harimau Iblis kepada tuan rumah.

Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Agar barisan Tujuh Maut tetap aktif. Menjaga kemungkinan musuh menyusup kemari!"

Harimau Iblis tertawa keras: “Bagus saudara sungguh cermat sekali!"

Iblis Penakluk dunia saling berpandang mata dengan isterinya lalu mereka melangkah ke arah hutan. Begitu masuk ke dalam hutan, Iblis Penakluk-dunia berhenti dan memandang kesekeliling.

Sesaat kemudian ia berkata kepada kedua tetamunya, “Barisan Tujuh Maut itu diciptakan oleh seorang cianpwe yang sakti. Lebih dari setahun lamanya barulah aku dapat mempelajari rahasia-rahasia perobahan dalam barisan itu. Sungguh suatu ciptaan yang luar biasa hebatnya ......”

Habis berkata ia lekatkan pandang mata kepada Harimau Iblis, lalu katanya, “Sayang barisan hebat ini sudah berpuluh tahun tak pernah digunakan. Kecuali kemarin malam itu, barulah barisan itu bekerja untuk menangkap rombongan It Hang si hidung kerbau. Sejak ini ......”

Tanpa menunggu tuan rumah menyelesaikan kata-katanya, Harimau Iblis cepat menukas dengan tertawa nyaring. Nadanya ngeri menusuk telinga, tak ubah seperti raung singa kelaparan sehingga daun-daun dalam hutan itu bergetaran.

Cukup lama tertawa, barulah ia berhenti, serunya, “Sayang karena barisan itu sudah lama tak digunakan, kemungkinan tentu tak begitu lancar. Kalau tidak, tentu tak mungkin Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih serta budak perempuan baju putih itu dapat melenyapkan diri!"

Iblis Penakluk-dunia tahu bahwa Harimau Iblis sedang berusaha untuk membakar hatinya. Merahlah selebar muka iblis itu. Sinar matanya mulai memancarkan sinar pembunuhan.

Beberapa saat kemudian, wajah Iblis Penakluk-dunia itu mulai tenang lagi. Ia tertawa seram,

“Barisan Tujuh Maut mempunyai tujuhpuluh dua perobahan. Asal masuk ke dalam selat, berarti sudah masuk perangkap. Sekalipun paham akan ilmu Ngo-heng, Pat-kwa dan Kiu-kiong, tetap tak mungkin dapat keluar dari barisan itu!"

Seketika berobahlah wajah Harimau Iblis, serunya, “Maksud saudara hendak mengatakan bahwa kami berdua saudara saat ini pun sudah masuk dalam perangkap?"

Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Saudara berdua sedang menjadi sekutu kami. Menguasai dunia persilatan dan menikmati harta karun yang tak ternilai harganya itu. Sudah tentu kami tak mempunyai maksud hendak mencelakai saudara berdua!"

Harimau Iblis balas tertawa dengan nada dingin, “Hm, sesungguhnya kami berdua ini sudah tak berguna lagi. Adakah saudara masih tetap hendak mengajak kami kerja-sama dan membagi rata harta karun itu?"

Iblis Penakluk-dunia tertawa keras, “Ah, jangan memikirkan yang bukan-bukan. Saat ini ......”

"It Hang dan rombongan orang gagah sudah masuk dalam perangkap. Dewasa ini dunia persilatan tentu memerlukan seorang pemimpin. Kalau Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih pun sudah jatuh ke dalam tangan saudara, tentulah harta karun yang dapat dibelikan sebuah negara itu, mudah engkau dapatkan. Dapat menguasai dunia persilatan dan memperoleh harta karun yang berlimpah-limpah ......”

Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Masakan saudara masih rela membagi rejeki dengan lain orang lagi?"

Dewi Neraka getarkan tongkat berkepala naga, lalu berteriak sengit, “Kalian sungguh cerdik sekali!"

Namun seperti tak tersinggung oleh sindiran tajam dari wanita iblis itu, Harimau Iblis berseru pula, “Jika tak pintar, kami berdua tentu tak berani masuk mencari kematian ke dalam barisan ini!"

Harimau Iblis menutup kata-katanya dengan tersenyum. Sepintas pandang seperti orang yang sudah yakin pada dirinya.

Iblis Penakluk-dunia kerutkan alis. Setelah keliarkan pandang mata kesekeliling, ia melangkah ke tengah Naga Terkutuk dengan Po Ceng-in.

Ia memandang kelain tempat seolah-olah tak mengacuhkan Po Ceng-in.

Melihat tindakan tuan rumah itu, diam-diam Harimau Iblis memberi isyarat mata kepada kakaknya, Naga Terkutuk. Naga Terkutuk tersenyum tetapi tak berkata apa-apa.

Pada saat Iblis Penakluk-dunia akan tiba ditengah-tengah Po Ceng-in dengan dirinya, tiba-tiba Naga Terkutuk menggembor keras dan dengan sebuah jurus Naga-sakti-mencengkeram dengan secepat kilat tangan kanannya menyambar siku lengan kiri dari Po Ceng-in ......

Saat itu Po Ceng-in sedangn terbuai dalam lamunan asmara. Tangan kirinya mencekal tangan kanan Siau-liong erat-erat. Seolah-olah ia takut kehilangan pemuda itu. Nona pemilik lembah itu benar-benar sedang dimabuk kepayang sehingga lupalah ia akan keadaan saat itu. Hampir ia tak mengetahui serangan mendadak dari Naga Terkutuk itu.

Barulah setelah pergelangan tangannya tercengkeram, ia tersadar kaget. ”Aih....” buru-buru ia salurkan tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-sin-kang kelengan kiri untuk menolak serangan orang.

Tetapi tenaga-dalam Naga Terkutuk itu hebat sekali. Dan memang rencananya, ia hendak mencekal Poh Ceng-in untuk dijadikan sandera sebagai alat penekan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Oleh karena itu maka ia harus dapat menguasai Po Ceng-in.

Dengan tertawa dingin, ia tambahkan tenaga dalam ketangannya. Po Ceng-in rasakan tangannya seperti terjepit kait baja. Tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-sin-kang yang dipancarkan itu, bukan saja tak mampu menghalau tenaga lawan, bahkan malah terdesak masuk kembali dan hampir menyerang jatungnya.

Seketika ia rasakan lengan kirinya seperti patah, wajahnya pucat, gerahamnya mengerat kencang dan meringislah ia hendak menangis.

“Lepaskan!" teriak Dewi Neraka seraya gentakkan tongkatnya.

Naga Terkutuk memandang kelain jurusan, sahutnya, “Asal berani maju selangkah lagi, urat jantung puterimu tentu akan kuremukkan."

Dewi Neraka mengerenyutkan gigi seperti hendak menelan si Naga Terkutuk. Tetapi apa daya, ia terpaksa harus menurut perintah orang.

Iblis Penakluk-dunia tertawa tawar, “Tindakan saudara itu tentu saudara anggap pintar. Tetapi sesungguhnya tolol sekali."

Harimau Iblis tertawa mengejek, “Ah, tujuan saudara kan hanya menguasai dunia persilatan dan mendapat harta karun. Masakan saudara.... ingat akan puteri saudara. Asal sudah mendapat tujuan yang saudara cita-citakan, peduli apa dengan yang lain-lain hal. Hanya saja ......”

Ia berhenti sejenak untuk beralih memandang Dewi Neraka, serunya pula, “Tetapi berbeda dengan nyonya. Tentulah lebih mencintai anak daripada segala kekuasaan dan kekayaan. bukan?"

Dewi Neraka tertegun. Buru-buru ia berseru kepada suaminya, “Tolol! Jika engkau nekad turun tangan dan sampai menyebabkan jiwa anak kita celaka, aku tentu akan mengadu jiwa denganmu!"

Ternyata Harimau Iblis sudah dapat menyelami hubungan antara kedua suami isteri itu. Dewi Neraka amat mencintai sekali anaknya. Diperhitungkan, wanita itu tentu lebih sayang anak dari pada segala apa di dunia.

Psikologi atau perasaan hati wanita itu, dapat dimanfaatkan oleh Harimau Iblis. Ia suruh Naga Terkutuk membekuk Po Ceng-in agar dapat dijadikan alat penekan kedua suami isteri iblis itu.

Iblis Penakluk-dunia melambaikan tangannya, “Jangan kuatir isteriku. Kutanggung anak kita tentu takkan menderita apa-apa ......”

Ia menutup kata-kata sambil mengangkat jari ke atas. Serangkum api merah segera meluncur ke udara.

Harimau Iblis tertegun, teriaknya, “Hai, jangan main gila dihadapanku! Ketahuilah ......”

“Ah, harap saudara jangan banyak curiga," Iblis Penakluk-dunia tertawa, “aku hanya memberi perintah kepada anak buah barisan supaya melakukan penyelidikan yang lebih cermat lagi ......”

Sejenak keliarkan mata, ia melanjutkan, “Terus terang kuberitahukan kepada saudara bahwa saudara berdua memang sudah masuk ke dalam barisan Tujuh Maut. Dengan cara dan siasat apapun, jangan harap saudara dapat menghindar ......”

“Tetapi paling tidak juga akan bersama mati dengan puterimu!" tukas Naga Terkutuk.

Tetapi acuh tak acuh Iblis Penakluk-dunia mengurut jenggotnya yang panjang dan berkata pula, “Sesungguhnya aku tak mengandung sikap bermusuhan dengan saudara. Paling tidak dalam saat kita perlu bekerja-sama untuk menghadapi musuh yang sakti."

Harimau Iblis tertawa, “Sudahlah, jangan banyak bermain lidah, kami berdua tiada waktu mendengarkan Lekas beritahukan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Apakah Pendekar Laknat itu bersekongkol dengan kalian berdua atau memang benar-benar sudah mati dalam barisan Tujuh Maut. Dimanakah sekarang Giok-pwe yang separoh bagian itu?"

Wajah Iblis Penakluk-dunia mengerut gelap, sahutnya, “Jika saudara tetap tak mau percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Pendekar Laknat dan wanita Ki Ih itu benar-benar memang telah tertangkap dalam barisan Tujuh-maut, tetapi mereka dapat melenyapkan diri tanpa meninggalkan suatu jejak apapun juga ......”

Berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Setelah menghilang selama duapuluh tahun, Pendekar Laknat memang makin tinggi ilmu kesaktiannya. Berapa kali mengadu kepandaian, kami berdua suami isteri hampir celaka ditangannya. Tetapi jika dia dan Ki Ih mampu menghilang dari barisan Tujuh Maut aku benar-benar tak percaya sama sekali! Taruh kata mereka mempunyai sayap dapat terbang, pun tentu tetap diketahui oleh anak buah barisan. Oleh karena itu....” — wajah iblis itu makin berobah gelap, "berani pastikan bahwa dalam barisan Tujuh Maut ini tentu sudah kedatangan lagi seorang sakti yang luar biasa!"

Bermula kedua saudara Harimau dan Naga hanya tertawa sinis. Tetapi demi melihat sikap Iblis Penakluk-dunia begitu bersungguh-sungguh, tergerakklah hati mereka.

Naga Terkutuk mendengus, “Lalu siapakah kiranya orang yang menyelundup ke dalam barisan Tujuh Maut itu?"

Dan tanpa menunggu jawaban Iblis Penakluk dunia, ia melanjutkan lagi, “Apakah tidak mungkin paderi Liau Hoan dari gunung Thian-san ... atau Kiu Tiong-beng si Manusia Aneh dari Pak-ciang?.... atau Sepasang Imam dari gunung Mo-san.... atau Empat Manusia Buruk dari gunung Imsan ......?"

Iblis Penakluk-dunia berturut-turut gelengkan kepala.

"Orang-orang itu adalah tokoh-tokoh aneh yang sakti pada jaman ini. Mereka telah mencapai tataran yang tinggi sekali. Tetapi kalau mereka dapat keluar masuk ke dalam barisan Tujuh Maut tanpa diketahui orang, benar-benar tak mungkin!"

Hampir saja Siau-liong tertawa geli mendengar percakapan mereka. Betapa tidak! Kalau mereka tahu bahwa yang menjadi Pendekar Laknat dan Ki Ih bukan lain adalah dirinya dan Mawar Putih, bukankah mereka akan ditelan bulat-bulat oleh kawanan iblis durjana itu?

Tetapi ketika teringat akan Mawar Putih yang nasibnya belum ketahuan, seketika hatinya pilu dan rawan.

Ia gelisah sekali. Jika budak perempuan baju putih itu benar-benar lenyap seperti yang dikatakan Iblis Penakluk-dunia, jelas kalau Mawar Putih sudah lolos dari barisan Tujuh Maut. Lalu kemanakah nanti ia hendak mencari dara itu ......?

Saat itu kabut dari keempat dinding karang makin tebal dan mulai merembes ketengah. Persis seperti kemarin malam ketika Siau-liong berada disitu.

Mata si Naga Terkutuk tak henti-hentinya berkeliaran memperhatikan keadaan kesekeliling. Sedang tangan kanannya tetap mencengkeram bahu kanan Po Ceng-in erat-erat. Sementara tangan kiri nona itu menggandeng tangan kanan Siau-liong, sehingga mereka saling gandeng menggandeng tangan.

Tetapi po Ceng-in tenang-tenang saja. Rupanya ia sudah dapat menangkap isyarat kedua orang tuanya supaya tak usah berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Naga Terkutuk.

Dewi Neraka bersiap-siap dengan tongkat kepala ular naganya. Ia memandang lekat-lekat ke arah Naga Terkutuk. Bagaikan seekor burung rajawali yang menunggu saat-saat si ular naga lengah mencengkeram korbannya.

Iblis Penakluk-dunia kebalikannya malah memandang kian kemari dengan sikap acuh tak acuh. Seolah-olah seperti menunggu sesuatu dari lingkaran kabut tebal itu.

Suasana tampak sunyi. Rupanya Harimau Iblis tergerak hatinya mendengar kata-kata Iblis Penakluk-dunia tadi. Matanya bergantian memandang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Sekonyong-konyong dari jauh terdengar beberapa suitan nyaring. Dan sayup-sayup dari dalam kabut tebal itu meluncur tiga larik sinar api berwarna hijau kebiru-biruan ke atas angkasa. Diperkirakan, api itu tentu berasal dari tengah dinding karang yang terpisah sepuluh tombak lebih jaraknya.

“Apakah sudah ada hasil dari penyelidikan anak buah saudara?" tanya Harimau Iblis.

Iblis Penakluk-dunia gelengkan kepala, “Aneh, masih belum ketemu apa-apa ......” — tiba-tiba ia menunduk kepala dan berjalan beberapa langkah lalu berhenti.

Memandang ke arah Naga Terkutuk dan Harimau Iblis, ia berkata pula, “Sudah tiga kali menyelidiki, hasilnya tak menemukan apa-apa. Baik Pendekar Laknat, Ki Ih, budak perempuan baju putih dan lain-lain orang yang diduga menyelundup ke dalam barisan itu!"'

Naga Terkutuk dan Harimau Iblis saling berpandangan dengan heran. Kedua saudara itu benar bingung menghadapi gerak-gerik Iblis Penakluk-dunia yang sukar diraba itu. Sesaat kedua saudara itu kehilangan paham.

Tetapi mereka tetap tak lepaskan pendirian semula. Asal masih dapat menguasai Po Ceng-in, bagaimanapun kedua suami isteri iblis itu hendak bermain siasat, tentu tetap dapat diatasi.

Iblis Penakluk-dunia berjalan lagi. Tiba-tiba ia lontarkan pertandaan api lagi. Api itu terbuat daripada bahan phosporus sehingga sinarnya amat kuat sekali. Paling tidak tentu dapat dilihat sampai jarak satu li jauhnya.

Timbul pula kecurigaan Harimau Iblis terhadap gerak-gerik tuan rumah. Cepat ia berseru menegur, “Apa lagi itu?"

Tawar-tawar saja Iblis Penakluk-dunia memandang Harimau Iblis. Dan berkatalah ia tanpa menyinggung pertanyaan tadi, “Kini setelah jelas tiada orang yang menyusup ke dalam barisan Tujuh Maut, untuk sementara waktu ini tak perlu kuminta bantuan saudara berdua. Lebih dahulu kami suami isteri menghaturkan terima kasih kepada saudara berdua ......”

Harimau Iblis dan Naga Terkutuk terbeliak kaget. Sepasang mata Harimau Iblis yang bundar besar, melingkar-lingkar memandang Iblis Penakluk-dunia lalu membentak keras, “Jangan main gila dihadapanku ......”

Lalu beralih memandang Dewi Neraka, ia mengancam, “Awas, jiwa puterimu yang engkau sayangi itu!"

Diluar dugaan, Dewi Neraka tak menghiraukan ancamannya. Ia tetap lekatkan pandang matanya kepada Naga Terkutuk.

Sejenak berhenti, Iblis Penakluk-dunia berkata pula, “Sesungguhnya cita-citaku hanyalah untuk mendapat harta pusaka itu dan menguasai dunia persilatan. Walaupun It Hang dan rombongannya sudah terperangkap ke dalam barisan Tujuh Maut, tetapi si Pendekar Laknat itu masih belum ketahuan jejaknya. Rasanya jalan untuk mencapai cita-cita itu masih banyak rintangannya ......”

Ia menghela napas lalu memandang ke arah Harimau Iblis, “Saudara berdua memiliki ilmu kesaktian yang jarang tandingannya. Maka kami hendak mengadakan hubungan kerja-sama dengan saudara dalam jarak waktu yang lama. Setelah mendapat harta pusaka dan menguasai dunia persilatan ......”

“Yang penting bagaimanakah sikap saudara dalam kerjasama itu." karena tak sabar mendengar bicara orang yang berbelit-belit, Harimau Iblis cepat menukas.

Iblis Penakluk-dunia tertawa gelak-gelak, serunya, “Bukan aku segan kerjasama itu, melainkan yang kuminta janganlah saudara terlalu memperhitungkan balas jasa dan janganlah menanyakan sebab-sebabnya. Lakukanlah perintah kami tanpa syarat."

Naga Terkutuk dan Harimau Iblis terbeliak.

"Ngaco! Jangan bicara ngelantur!" teriak kedua saudara itu serempak.

Iblis Penakluk dunia hanya ganda tersenyum, tiba-tiba ia berputar tubuh terus melangkah pergi.

Kedua saudara Naga dan Harimau itu benar-benar tak mengerti apa yang sedang dilakukan tuan rumah. Naga Terkutuk segera memperkeras cekalan tangannya pada lengan Po Ceng-in.

“Aih....” Po Ceng-in mengerang kesakitan namun terpaksa ditahannya juga, ia berpaling memandang Siau-liong dengan sinar mengharap.

Siau-liong memang sedang menunggu suatu peluang yang baik. Oleh Karena ia juga tak mengerti apa yang terkandung dalam ucapan Iblis Penakluk-dunia, maka sampai saat itu ia belum berani bertindak.

Tiba-tiba bau harum berhembus ketempat situ dan berserulah Harimau Iblis, “Huh, apakah ini?"

“Masakan saudara tak mengetahui bahwa sepanjang tahun lembah ini selalu berada dalam suasana musim semi. Pabila angin berhembus, tentu mengantar bau bunga yang harum membuai semangat orang."

Setelah menyedot bau itu sejenak, berobahlah seketika wajah Harimau Iblis dan segera ia menggembor marah, “Aku tak tahan lagi melihat permainan ini....” — ia berpaling kepada Naga Terkutuk dan suruh memaksa Po Ceng-in berjalan menunjukkan jalan keluar dari situ.

Naga Terkutuk pun menyadari sesuatu yang tak menguntungkan. Maka cepat ia menyeret Po Ceng-in supaya berjalan. Karena tangan nona itu masih tetap mencekal tangan Siau-liong maka Siau-liong pun ikut terseret bangun.

Melihat Naga Terkutuk dan Harimau Iblis sudah mulai bertindak dan mengingat bahwa bau harum itu tentu mengandung obat bius, Siau-liong mengambil putusan untuk turun tangan saat itu juga.

Sekali kaki mengisar, ia segera membentak Naga Terkutuk, “Lepas!'"

Naga Terkutuk tertegun, bentaknya, “Ho, budak, apakah engkau juga sudah bosan hidup?"

Siau-liong tertawa keras. Nadanya laksana guntur berkumandang ditengah musim semi. Naga Terkutuk terbeliak kaget sekali. Dari nada tertawanya, jelas diketahui bahwa pemuda itu memiliki tenaga dalam yang sakti.

Mendengar tertawa itu, cepat-cepat Harimau Iblis memberi peringatan kepada saudaranya, “Awas, budak itu ......”

Tetapi peringatannya itu sudah terlambat datangnya. Pada saat Naga Terkutuk masih terpukau, Siau-liong sudah segera pancarkan tenaga saktinya ke tubuh Po Ceng-in.

Setitikpun Naga Terkutuk tak mimpi bahwa pemuda yang baru berumur belasan tahun itu, mampu menyalurkan tenaga dalamnya untuk membantu Po Ceng-in menolak tekanan tangan Naga Terkutuk.

Seketika Naga Terkutuk rasakan tangannya yang mencengkeram lengan Po Ceng-in itu seperti dilanda oleh gelombang tenaga sakti yang dahsyat sehingga tangannya terasa linu kesemutan dan lemah lunglai.

Po Ceng-in pun mengetahui peristiwa itu. Ia rasakan tubuhnya dilanda oleh arus tenaga sakti dan tahu-tahu dilihatnya Naga Terkutuk menarik pulang cengkeramannya. Nona itu kejut-kejut girang.

Tanpa mensia-siakan kesempatan lagi, ia segera mendorong iblis itu. Karena Naga Terkutuk sedang terpukau oleh peristiwa yang mengejutkan tadi, ia tak sempat lagi mengerahkan tenaga dalam untuk menolak dorongan Po Ceng-in. Maka terhuyung-huyunglah iblis itu sampai beberapa langkah jauhnya.

Melihat itu dengan meraung keras. Harimau Iblis segera menyerbu. Tetapi Dewi Neraka yang sejak tadi sudah siap siaga, cepat menghantamkan tongkatnya ke arah Harimau Iblis.

Harimau Iblis terpaksa berputar menghindarkan diri. Tetapi Dewi Neraka tak mau berhenti. Dengan mangukuk seram seperti seekor burung hantu, wanita tua itu putar tongkatnya membabat perut Harimau Iblis.

Sementara Naga Terkutuk, setelah menyalurkan tenaga-dalam, tangannya yang kesakitan tadi sudah pulih kembali. Lalu ia gunakan jurus Naga-sakti-bermain-diair, menyerang Po Ceng-in dengan kalap.

Iblis Penakluk-dunia tertawa mengekeh. Begitu tangan Naga Terkutuk hendak menyambar lengan Po Ceng-in, Iblis Penakluk dunia segera menyongsong dengan sebuah hantaman. Naga Terkutuk terpaksa hentikan serangan untuk turun ke tanah seraya dorongkan kedua tangan menyambut pukulan iblis Penakluk-dunia.

”Bum”.... terdengar letupan keras dan keduanya masing-masing menyurut mundur tiga langkah.
23. Manusia Dalam Tanah

Saat itu pecahlah pertempuran seru antara sepasang suami isteri lawan sepasang saudara. Angin pukulan mereka menderu-deru memancarkan sambaran dahsyat. Mereka bertempur amat sengit sehingga sukar dikenal ciri-ciri orangnya.

Siau-liong mengawasi pertempuran keempat iblis dengan tersenyum dingin.

Sementara kabut yang bertebaran dari empat penjuru karang makin tebal. Kecuali di luar hutan, digelanggang pertempuran itu terbungkus oleh kabut tebal sehingga sejauh dua meter saja, orang tak dapat melihat apa-apa lagi. Bau wangi dari kabut itu makin keras juga.

Tiba-tiba Siau-liong rasakan kepalanya agak pening. Ia terkejut dan buru-buru salurkan tenaga dalam untuk melindungi diri.

Sekalipun sudah bebas dari cengkeraman Naga Terkutuk namun Po Ceng-in tetap rasakan lengan kirinya tak dapat diangkat ke atas. Lentuk dan lunglai. Tentulah Naga Terkutuk telah gunakan tenaga untuk mencengkeram lengan nona itu sampai patah.

Ia bahagia sekali karena merasa telah diurut-urut oleh Siau-liong. Tetapi ketika melirik, dilihatnya pemuda itu tengah memandang kesekeliling penjuru. Sedikitpun tak mengacuhkan dirinya.

Diam-diam nona itu heran atas sikap pemuda itu. Aneh, benar-benar aneh. Setempo ia merasa Siau-liong menyambut cintanya. Tetapi setempo ia dapatkan pemuda itu bersikap dingin padanya.

Sejenak menghela napas, ia gerak-gerakkan lengannya bekas yang dicengkeram Naga Terkutuk tadi. Setelah terasa agak baik, barulah ia menghampiri kesamping Siau-liong dan menegurnya dengan mesra, “Engkoh.... Liong!"

Siau-liong terpaksa berpaling, “Mengapa?" — habis mengucap, hatinya terasa amat muak.

Dengan pancaran mata yang berkilat-kilat, Po Ceng-in memandang Siau-liong lalu berseru, “Hatimu amat ganas benar!"

Siau-liong tertegun. Tetapi saat itu ia sedang menimang-nimang tindakan yang akan dilakukan setelah pertempuran diantara keempat iblis itu selesai. Maka acuh tak acuh, ia hanya menjawab singkat saja: "Benarkah begitu?"

Po Ceng-in berkata pula, “Ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian yang begitu sakti. Tetapi mengapa engkau tak lekas menolong aku dan membiarkan diriku disiksa sampai setengah hari oleh iblis terkutuk itu ......?"

Siau-liong kerutkan alis, “Setiap tindakan harus disesuaikan dengan saat dan keadaan. Jika tidak ...... mungkin akan runyam!"'

Sekali pun mulut menjawab Po Ceng-in tetapi mata Siau-liong terus memperhatikan lekat-lekat pada jalannya pertempuran ke empat iblis itu.

Dengan geram Po Ceng-in ulurkan lengan kirinya kemuka Siau-liong, “Nih, lihatlah ......”

Siau-liong terpaksa memandangnya juga lalu paksakan diri bertanya, “Apa masih sakit?"

Po Ceng-in tempelkan tubuhnya kebahu Siau-liong dan menyahut dengan manja, “Sakitnya hampir tak tertahan lagi, lho ......!"

Siau-liong hanya mendengus, “Sayang saat ini aku tak membawa obat maka tak dapat berbuat apa-apa."

Tiba-tiba Po Ceng-in menarik pulang lengannya dan tertawa mengikik, “Tak apa, aku sudah membawa obat sendiri. Tetapi obat itu harus dimakan kita berdua!"

Siau-liong terbeliak. Baru hendak membuka mulut. tiba-tiba ia rasakan darahnya bergolak keras. Mata berpudar-pudar dan hampir ia rubuh.

Saat itu Po Ceng-in sudah mengeluarkan sebuah botol kecil dari bahan kumala dan menuang dua butir pil berwarna merah darah. Yang sebutir ditelannya dan yang sebutir disusupkan ketangan Siau-liong, serunya, “Lekas telanlah!"

Siau-liong cepat dapat menduga bahwa pil ilu tentulah sebuah obat anti racun. Maka tanpa berayal lagi terus menelannya.

Pil itu pahit rasanya tetapi setelah masuk ke kerongkongan, terasa menyegarkan tubuh. Rasa pusing dan darah yang bergolak tadi, pun segera lenyap.

Saat itu pertempuran antara suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka lawan Harimau Iblis dan Naga Terkutuk kuatir akan alat-alat rahasia dalam barisan Tujuh Maut. Maka keduanya bertempur dengan hati-hati dan sejengkal pun tak mau keluar dari hutan siong itu.

Tetapi suami isteri Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia pun tak dapat berbuat apa-apa terhadap kedua lawannya itu.

Po Ceng-in yang masih menyandarkan tubuhnya kebahu Siau-liong, tiba-tiba menunjuk ke arah gelanggang pertempuran dan tertawa, “Naga dan Harimau kedua Iblis itu sudah tamat riwayatnya."

Siau-liong terkejut. Ketika memperhatikan, memang kuda-kuda kaki kedua iblis itu sudah terhuyung-huyung tak mantap lagi. Begitu pula jurus serangannya sudah tak bertenaga lagi. Jelas mereka tentu akan remuk ditangan Iblis Penakluk dunia dan isterinya.

Siau-liong terkesiap. Ia tahu bahwa kedua iblis itu terkena kabut beracun. Kalau tidak tak mungkin begitu keadaannya.

Bermula ia kira kepandaian iblis bersaudara itu seimbang dengan suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka. Jika kedua pihak bertempur, kedua-duanya tentu akan menderita luka. Walaupun karena menang tempat dan orang, tuan rumah dapat mengalahkan tetamunya tetapi paling tidak pihak tetamu pun tentu dapat membuat Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka terluka parah.

Tetapi tak terduga ternyata Iblis Penakluk-dunia dapat menggunakan siasat licik, menebarkan kabut beracun sehingga kedua saudara Naga dan Harimau itu mengalami kekalahan dengan cepat. Melihat keadaan itu mau tak mau Siau-liong harus merobah lagi rencananya.

"Sejak saat ini Naga dan Harimau kedua iblis tua itu tentu akan berganti nama menjadi anak buah ayah bundaku!" Po Ceng-in tertawa riang.

Siau-liong terbeliak tetapi ia pura-pura bertanya, “Tetapi menilik watak mereka, masakan mereka mau tunduk?"

Po Ceng-in tertawa, “Tolol, biar mereka tak mau tetapi mereka pun terpaksa harus mau juga. Pil buatan ayah yang disebut Pian-sing-ih-sin (merobah watak, melenyapkan perasaan) akan membuat mereka lupa segala-galanya ......”

Tiba-tiba ia berhenti berkata. Rupanya menyadari kalau kelepasan omong. Dipandangnya anak muda itu tanpa berkata sepatah pun juga.

Saat itu keadaan Naga Terkutuk dan Harimau iblis makin pontang-panting. Mereka terus menerus main mundur saja sehingga hampir terdesak keluar hutan.

Melihat itu gelisahlah Siau-liong. Jika menunggu sampai kedua suami isteri iblis itu mendapat kemenangan, tentulah sukar baginya hendak meloloskan diri. Usaha untuk menyelidiki Mawar Putih tentu gagal.

Segera ia berpaling ke arah Po Ceng-in, katanya, “Alat perkakas rahasia dalam barisan Tujuh Maut itu, kiranya nona tentu paham semua, bukan?"

Po Ceng-in terbeliak, serunya, “Eh, perlu apa engkau menanyakan hal itu?"

“Tak dapat disangsikan lagi kedua locianpwe ayah-bunda nona itu tentu akan menang. Kita tak perlu menguatirkan mereka. Maka.... inginlah kugunakan kesempatan saat ini untuk menambah pengalaman!"

Po Ceng-in tertawa mengikik, “Tolol, mengapa engkau begitu terburu nafsu? Kan besok masih banyak waktu. Engkau boleh melihat-lihat sepuas-puasmulah. Perlu apa harus sekarang?"

Tiba-tiba dari keempat iblis yang sedang bertempur itu terdengar suara erang tertahan. Menyusul terdengar getaran keras dari tubuh seseorang yang terhantam mencelat sampai satu tombak jauhnya.

Tanpa berpaling melihatnya, Siau-liong sudah dapat menduga bahwa yang rubuh itu tentulah Harimau Iblis.

Wajah pemuda itu makin menggelap, ia mendesak Po Ceng-in, “Kalau aku ingin melihat-lihat sekarang, apakah nona suka menemani?"

Po Ceng-in memandang penuh tanya ke arah pemuda itu, “Eh, engkau ini mengapa .....?” tiba-tiba ia menyurut mundur dengan wajah gelisah, serunya, “kalau mau kesana pun harus mendapat ijin dari ayah-bundaku dulu. Karena .... karena perkakas rahasia dalam barisan itu rumit dan pelik sekali. Bahkan aku sendiri pun ada beberapa tempat yang tak mengetahui kegunaannya!"

Saat itu pertempuran sudah mendekati penyelesaian. Harimau Iblis kena terhantam lengannya oleh Iblis Penakluk-dunia dan terlempar di tepi hutan, tak ingat diri lagi. Sedangkan Naga Terkutuk walaupun masih dapat bertahan mati-matian tetapi saat itu sedang diserang dari muka belakang oleh kedua suami isteri iblis. Paling banyak dalam tiga empat jurus lagi, dia tentu akan mengalami nasib serupa dengan Harimau Iblis tadi.

Dalam detik-detik yang mendesak itu, Siau-liong cepat bertindak. Ia mendengus lalu tiba-tiba mencengkeram lengan kiri Po Ceng-in yang masih sakit tadi seraya berseru dingin, “Sebagai pemilik lembah ini, jika engkau tak tahu jelas akan perobahan barisan itu, bukankah berarti engkau hendak membohongi orang saja?"

Walaupun hanya menggunakan seperlima bagian tenaganya, tetapi karena yang dicengkeram Siau-liong itu tepat pada bagian luka akibat bekas cengkeraman Naga Terkutuk tadi, menjeritlah Po Ceng-in dengan amat kesakitan sekali.

Siau-liong kendorkan sedikit tekanannya sambil membentak, “Apakah sekarang mau meluluskan?"

Po Ceng-in tegakkan tubuhnya yang meliuk kesakitan tadi dan mendamprat geram, “Memang kutahu engkau hanya berpura-pura suka kepadaku....” dari kedua matanya, turunlah beberapa titik air mata. Rupanya tindakan Siau-liong itu benar-benar menyakitkan lengan dan hatinya.

Melihat itu Siau-liong hampir tak sampai hati. Namun terpaksa ia berkata menerangkan, “Karena keadaan terdesak, terpaksa kuharus membuat nona menderita sedikit. Kelak dikemudian ......”

"Apa yang engkau maksudkan dengan keadaan terdesak itu kalau bukan karena engkau hendak buru-buru mencari jejak nona baju putih itu!"

Tiba-tiba ia tertawa rawan dan banting-banting kaki, serunya, “Baik, akan kutemani engkau kesana!"

Karena sudah berpengalaman, maka Siau-liong tak mudah mempercayai mulut orang. Ia tetap mencekal lengan nona itu sembari diajak berjalan bersama.

Y

Diluar hutan kabut amat tebal. Memandang ke belakang, hutan itu hilang lenyap ditelan kabut tebal.

Po Ceng-in tak menghiraukan keadaan disekelilingnya. Ia biarkan dirinya ditarik Siau-liong. Adalah pemuda itu sendiri yang gelisah. Pikirnya, jika wanita itu nekad hendak mati bersama-sama, bukankah akan runyam akibatnya nanti?

"Ceng-in! Ceng.... in....!" sekonyong-konyong dari arah hutan terdengar Dewi Neraka berseru memanggil puterinya.

Po Ceng-in tertegun dan berhenti. Katanya, “Ayah seorang berhati besi. Jika mengetahui kecuranganmu, walaupun ada aku disampingmu, tetap dia akan menggerakkan alat rahasia dalam barisan Tujuh Maut!"

Siau-liong tertawa hambar, “Jika tak masuk ke dalam sarang harimau, masakan mampu memperoleh anaknya. Dalam keadaan seperti sekarang, tak ada lain pilihan lagi!"

Po Ceng-in ayunkan langkah lagi, ujarnya, “Nona yang datang bersamamu itu tentulah benar-benar sudah menghilang. Karena ayah tentu tak bohong. Begitu pula setelah dilakukan penyelidikan ke dalam barisan Tujuh Maut dan Lembah Maut, tetap tak dapat menemukan jejak nona itu!"

Siau-liong tak sabar, “Aku melakukan amal kemanusiaan tetapi terserah saja pada nasib. Tak dapat menemukannya, pun tak apalah."

“Bukankah kalian berdua ......” baru Po Ceng-in berkata sampai disitu.

Siau-liong cepat menukas, “Lebih baik jangan membuang waktu!"

Po Ceng-in menghela napas panjang. Sambil menggusap peluh dimukanya, ia segera berjalan. Bahkan kali ini jalannya lebih cepat. Siau-liong tetap siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Tiba-tiba dalam selimut kabut tebal itu samar-samar tampak sebuah dinding batu menghadang ditengah jalan. Kiranya mereka sudah tiba diujung tanah bengkah. Po Ceng-in berhenti dimuka sebuah gua.

Gua itu tingginya hampir dua meter, mulut gua tertutup sarang labah-labah dan gerumbul semak. Jelas bukan gua yang kemarin Siau-liong masuki.

Setelah memeriksa beberapa saat, Po Ceng-in mengatakan salah jalan. Bukan kesitu tetapi seharusnya belok kekiri, Siau-liong tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti nona itu menuju kesebelah kiri.

Setelah melalui tiga buah gua, akhirnya Po Ceng-in berhenti lagi, “Disinilah! Hanya disini terdapat satu-satunya jalan keluar!”

Gua itu hanya satu setengah meter tingginya hingga orang harus menundukkan kepala kalau melangkah masuk.

Tiba-tiba Po Ceng-in menampar ke arah gua itu. Dari samping mulut gua yang gelap, melesat keluar seorang lelaki tinggi besar menghunus pedang. Dia adalah salah seorang anggauta barisan Lembah Semi yang menunjukkan jalan pada rombongan tetamu kemarin.

Saat itu wajahnya membesi. Tegak melintang dipintu gua dengan mata tak berkesiap memandang Po Ceng-in dan Siau-liong.

Po Ceng-in menghela napas pelahan lalu lambaikan tangan memanggil orang itu, “Kemarilah!"

Tetapi orang itu tetap tegak seperti patung dan tak menyahut.

"Kemarilah engkau! Thian-cun akan segera datang!" seru Po Ceng-in tertawa tawar.

Thian-cun adalah sebutan kehormatan bagi Iblis Penakluk dunia. Setiap anak buah Lembah Semi memangggil Iblis Penakluk-dunia dengan sebutan Thian-cun.

Orang itu terkesiap lalu maju menghampiri. Waktu tiba pada jarak satu meter dihadapan Po Ceng-in, sekonyong-konyong nona pemilik Lembah Semi itu ayunkan tangan kanannya, menghantam dada orang itu.

“Bluk....!” tubuh penjaga gua yang tinggi besar itu, bagaikan layang-layang putus tali, melayang ke belakang dan membentur batu karang!

Siau-liong terkejut. Setitikpun ia tak mengira bahwa Po Ceng-in akan menghantam mati anak buahnya sendiri. Ia hendak menolong tetapi sudah terlambat. Orang itu pecah kepalanya. Benak berhamburan dan nyawanya melayang ......

Kata Po Ceng-in dengan napas agak terengah, “Apa boleh buat, tak ada lain jalan lagi."

Kemudian memandang Siau-liong, ia berkata pula, “Dia adalah anak buah ayah. Kecuali ayah, dia tak mau mendengar perintah dari siapa saja. Jika tak dilenyapkan, dia tentu akan menggerakkan perkakas rahasia sehingga kita berdua tentu mati."

Tanpa menunggu tanggapan Siau-liong, nona itu terus masuk ke dalam gua. Bermula memang sempit tetapi setelah melangkah setombak jauhnya, keadaannya makin lebar dan tinggi sehingga tak perlu berjalan dengan kepala menunduk.

Kira-kira dua puluh tombak jauhnya, barulah mereka tiba disebuah persimpangan tiga. Sejenak merenung, Po Ceng-in memilih jalan sebelah kanan. Tak lama mereka tiba di ujung jalan terdapat sebuah kamar batu. Tak ada perkakas apa-apa dalam kamar itu. Hanya pada dinding tengah, terdapat lima buah tombol dari baja.

Po Ceng-in menghampiri lalu menekan salah sebuah tombol itu. Segera terdengar bunyi berderak-derak. Dinding bagian tengah dan kanan kirinya pelahan-lahan berkisar dan tampaklah tiga buah pintu berjajar-jajar rapi.

Siau-liong memandang cermat. Pintu yang tengah lebar dan bersih. Disebelah dalam samar-samar tampak penerangannya. Sedang pintu yang sebelah kanan, sempit kecil tetapi cukup dimasuki seseorang.

Sedang pintu yang kiri, hanya semeter tingginya. Bagian dalam gelap dan lembab. Bau yang busuk menghambur keluar dari pintu itu, memuakkan sekali.

Sejenak berdiri merenung, Po Ceng-in segera masuk ke dalam pintu sebelah kanan, ialah pintu yang terkecil.

"Eh, apakah nona tak keliru?" karena curiga, Siau-liong cepat menarik nona itu.

Po Ceng-in tertawa dingin, “Jika aku memang bermaksud mencelakaimu, tentu akan kubawamu masuk ke dalam pintu yang lain ......”

Tiba-tiba nada suara nona itu berobah rawan-rawan gemas, “Tak apa untuk menemani engkau mati! Hanya dengan cara itu barulah hatiku tenteram. Tetapi ah, sayang. Hatiku tetap tak sampai ......”

Seketika ngerilah hati Siau-liong. Dengusnya dalam hati, “Huh, wanita yang cabul ini ternyata bisa jatuh cinta mati-matian padaku ......”

Pada lain saat Po Ceng-in segera menerobos ke dalam pintu kecil itu. Siau-liong terkejut. Karena pintu amat sempit sekali maka ia terpaksa lepaskan cekalan pada tangan Po Ceng-in. Nona itu terus melangkah maju dengan cepat.

Siau-liong terkesiap. Diam-diam ia memaki dirinya mengapa begitu lengah. Bagaimana kalau nona itu menipunya agar dapat lolos?

Buru-buru ia menyusul. Untunglah tak berani jauh, lorong dalam gua itu mulai melebar dan beberapa saat kemudian tibalah mereka disebuah tanah yang luas. Ditengah tanah seluas lima tombak itu, terdapat sebuah pintu batu yang kecil.

Tiba-tiba Po Ceng-in berputar tubuh dan tertawa mengikik sembari angsurkan lengan kirinya ke arah Siau-liong, “Peganglah lagi erat-erat! Supaya jangan sampai aku dapat lari atau menggerakkan perkakas rahasia disini!"

Siau-liong tersipu-sipu malu dan menolak, “Sudah cukup kusuruh nona menderita tadi. Hal itupun karena terpaksa juga!"

Po Ceng-in pun menarik pulang tangannya lalu menunjuk pada pintu batu itu, “Melalui pintu itu berjalan sepuluhan tombak, sudah keluar dari barisan Tujuh Maut, masuk ke dalam Lembah Maut ......”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, “Sekalipun dalam Lembah Maut itu tiada dipasang perkakas rahasia, tetapi lembah itu merupakan tempat berbahaya sekali. Sekali masuk tak mungkin orang mampu keluar lagi!"

Siau-liong diam saja. Sudah hampir setengah hari ia mengikuti nona itu menerobos keluar dari barisan Tujuh Maut, tetapi yang dilaluinya selama itu hanyalah lorong gua saja. Dan lagi perjalanan itu mengalami berpuluh-puluh tikungan yang berbelok-belok. Selama itu ia tak berjumpa dengan seseorang pun juga.

Setelah meragu sebentar, Po Ceng-in tiba-tiba ulurkan tangan menekan batu marmar hijau yang menonjol di tepi pintu. Pintu berderak-derak berkisar. Begitu terbuka separoh bagian, Po Ceng-in terus menarik tangan Siau-liong diajak menerobos masuk.

Heran Siau-liong dibuatnya mengapa Po Ceng-in begitu tergopoh-gopoh sekali. Tetapi ia duga tentu ada sebabnya. Ia diam saja dan hanya mengikuti di belakang si nona.

Terowongan dalam pintu itu, lurus membujur kemuka. Tak berapa jauh dari pintu, terdapat sebuah kamar yang melekuk masuk.

Siau-liong hanya memperhatikan untuk mengikuti di belakang Po Ceng-in. Ia tak sempat memperhatikan apa yang berada dalam kamar itu.

Kira-kira lari sejauh dua tombak dari kamar itu, terdengarlah suara orang berteriak, “Kembali!"

Suara itu amat lemah sekali seperti dilontarkan dari mulut seseorang yang tengah meregang jiwa. Tetapi sekalipun begitu, nadanya memiliki perbawa yang amat kuat. Seketika Po Ceng-in tampak menggigil dan seperti anak kecil, ia menurut untuk berhenti.

Dengan menghela napas, nona itu berseru, “Jong Leng lojin ......!"

Siau-liong tak tahu siapakah Jong Leng lojin itu. Tetapi dari nada suaranya tadi, dapatlah ia menduga orang itu tentu seorang tua yan sakit parah. Seketika timbullah rasa herannya. Mengapa dalam ruang gua dibawah tanah yang tak pernah diinjak manusia, terdapat seorang manusia, seorang tua yang sakit? Dan apa pula sebabnya, Po Ceng-in begitu takut sekali kepada orang itu?

Berkata Po Ceng-in dengan setengah berbisik, “Orangtua itu menjaga dijalan tembusan Lembah Maut sini. Selamanya, ia terus tidur. Setiap setengah bulan baru terjaga sekali. Ah, mengapa hari ini kebetulan dia sedang bangun?"

Siau-liong pun berputar tubuh. Dilihatnya bagian dinding gua yang cekung ke dalam itu merupakan sebuah kamar. Tetapi orang yang berteriak tadi tak muncul sehingga tak dapat diketahui bagaimana perwujudannya!

Siau-liong ingin lekas keluar dari Lembah Maut untuk mencari Mawar Putih dan lain-lain tokoh yang belum ketahuan jejaknya itu. Serunya, “Tak perlu menghiraukannya, aku hendak lekas-lekas ......”

“Tidak bisa!" wajah Po Ceng-in berobah tegang kemudian berkata dengan bisik-bisik, ”Kecuali engkau tak ingin hidup."

Habis berkata ia terus melangkah ke dalam ruang itu. Siau-liong tertegun tetapi terpaksa ia mengikuti juga.

Bukan kepalang kejutnya ketika masuk ke dalam ruangan itu. Ditengah ruangan duduk seorang tua yang kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja. Rambutnya panjang kusut masai menutup dahi. Orang itu tengah duduk bersila.

Yang luar biasa adalah sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam sekali. Po Ceng-in dan Siau-liong berganti-ganti ditatapnya. Entah berapa umurnya tetapi yang jelas dia seorang yang sudah lanjut sekali umurnya.

Dia hanya mengenakan baju tipis dan tidak bersepatu. Sepintas tak ubah seperti sesosok mayat hidup yang menyeramkan.

"Maju sedikit kemari!" seru orang tua kurus itu dengan nada gemetar.

Po Ceng-in memberi isyarat ekor mata kepada Siau-liong lalu melangkah maju tiga langkah kemuka.
24. Peta Barisan Tujuh Maut

Diam-diam Siau-liong menimang. Kecuali sepasang matanya yang masih memancarkan sinar, orang aneh itu sudah tak ubah seperti orang mati. Tetapi mengapa masih begitu bengis? Sikap orang tua itu mengurangkan rasa kasihan Siau-liong kepadanya.

Setelah mengawasi Po Ceng-in beberapa saat, orang itu tertawa ketolol-tololan, “Ho, aku kenal padamu!" lalu ia menuding Siau-liong, serunya, “Kemarilah engkau!"

Saat itu barulah Siau-liong menyadari bahwa orang tua itu seorang gila. Ia segera melangkah maju dan memberi hormat. ”Karena ada urusan penting, maaf aku tak dapat lama-lama disini. Dan lagi.... saat ini aku sendiri masih dalam bahaya sehingga tak dapat menolong locianpwe!"

Berulang kali Po Ceng-in mengisar tubuh memberi isyarat mata kepada Siau-liong. Nona itu gelisah sekali tampaknya.

Tetapi Siau-liong tak mengerti apa sebab nona pemilik lembah sedemikian ketakutan terhadap orang tua gila itu.

Setelah memandang lekat-lekat pada Siau-liong tiba-tiba orang tua itu ayunkan tangannya mencengkeram kemuka. Gerakannya lamban tiada bertenaga.

Siau-liong mengira kalau memang begitu kebiasaan orang gila, suka menggerak-gerakan tangan dan kaki sekehendak hatinya. Apalagi gerak mencengkeram itu sama sekali tak mengeluarkan suara dan ditujukan tempat kosong.

Tetapi alangkah kejut Siau-liong ketika tahu-tahu ia rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh segelombang tenaga yang amat dahsyat. Tak sempat lagi ia hendak melawan dan diluar kehendaknya, tubuhnya meluncur maju kehadapan orang tua aneh itu ......

Siau-liong gelagapan seperti orang disiram air dingin. Dipandangnya orang tua itu. Ah, benar-benar seorang tengkorak hidup. Tetapi mengapa orang tua itu memiliki ilmu tenaga yang sedemikian saktinya? Apakah dia pandai ilmu sihir?

Tetapi Siau-liong tak sempat lagi membuat penilaian karena saat itu si orang tua kurus tertawa mengikik, “Budak, ho, engkau takut padaku atau tidak?"

Merahlah muka Siau-liong. Ia menundukkan kepala tak menjawab. Ia sudah menerima saluran tenaga sakti dari Pendekar Laknat, sudah pula mendapat pelajaran ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak ketua Kay-pang, makan buah Im-yang-som dan minum darah binyawak purba dari pusar bumi. Dalam dunia persilatan kepandaiannya dapatlah digolong dalam tingkatan jago kelas satu.

Tetapi setitik pun tak pernah ia mengira bahwa gerak cengkeraman ke udara dari orang tua yang dianggap gila itu telah membuatnya tak berdaya sama sekali. Hal itu membuatnya terlongong-longong kecewa dan putus asa....

“Aku muncul di dunia persilatan sebagai Pendekar Laknat. Tetapi ternyata kepandaianku masih begini tak berguna. Hanya akan mencemarkan nama baik Pendekar Laknat saja!" pikirnya.

“Budak, engkau takut kepadaku atau tidak!" kembali orangtua aneh itu berseru.

“Sudah tentu takut," buru-buru Po Ceng-in mewakili untuk menjawab, “siapa orang di dunia yang tak gemetar mendengar nama Jong Leng lojin?"

“Siapa suruh engkau usil mulut!" bentak orang tua aneh yang bernama Jong Leng lojin seraya tamparkan tangannya.

“Uh ....!” Po Ceng-in terlempar dua tiga meter ke belakang. Nona itu terpaksa merangkak bangun.

Jong Leng lojin terbahak-bahak dan membentak Siau-liong lagi, “Hai, budak! Lekas bilang, engkau takut kepadaku atau tidak!"

Sikap dan tingkah laku Jong Leng lojin yang bengis itu menimbulkan kemarahan Siau-liong. Anak muda itu tengadahkan kepala dan tertawa keras, “Aku merasa kasihan kepadamu!"

Jong Leng lojin deliki mata kepada Siau-liong. Tiba-tiba sinar matanya padam dan iapun menghela napas, “Budak, engkau benar, aku.... aku.... memang mengenaskan sekali!"

Po Ceng-in terbeliak. Ia tak duga kalau Jong Leng lojin dapat berobah sedemikian merawankan.

"Ya, sesungguhnya tak perlulah engkau takut kepadaku....” tiba-tiba Jong Leng lojin berbangkit.

“Tring, tring....” terdengar bunyi bergemerincingan yang nyaring melengking memekak telinga.

Dan terkejutlah Siau-liong. Ternyata bunyi bergemerincing itu berasal dari dua utas rantai baja yang diikatkan pada lutut kaki orang aneh itu. Rantai masuk ke dalam tulang lutut dan tembus keluar, dimasukkan ke dalam lubang tanah.

Karena sudah bertahun-tahun rantai itu masuk ke dalam tulang. maka sudah seolah-olah menjadi satu dengan daging. Ngeri, benar-benar suatu siksaan yang menegakkan bulu roma....!

Siau-liong bergidik juga. Dengan geram ia memandang pada Po Ceng-in. Tetapi nona itu cepat-cepat memalingkan muka kesamping, tak berani menghadapi pandang mata menuntut dari pemuda itu.

Kini Siau-liong cepat dapat menduga bahwa tentulah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Nerakalah yang mengikat orang itu. Tetapi iapun merasa heran mengapa Jong Leng lojin yang memiliki kepandaian bagitu sakti, tak mampu memutuskan rantai yang hanya sebesar jempol tangan saja? Dan mengapa orang tua sakti itu sampai dapat dirantai oleh suami isteri iblis.

"Mengapa locianpwe rela dirantai disini?" segera ia bertanya.

Mata Jong Leng lojin berkeliar sejenak lalu menyahut, “Siapa bilang?"

"Dengan kesaktian yang locianpwe miliki, masakan tak mampu memutus rantai yang hanya sejempol tangan besarnya itu?" tanyanya pula.

Jong Leng lojin gelengkan kepala, “Rantai ini terbuat dari baja murni. Merupakan logam yang paling lemas tetapi ulet sekali. Tak mungkin kudapat memutuskannya kecuali engkau bisa mendapatkan semacam obat untukku!"

Siau-liong menghela napas. Dia sendiri masih dalam bahaya. Entah dapat selamat entah tidak. Bagaimana ia dapat mencarikan obat untuk orang tua itu?

“Sekali pun aku senang sekali membantu locianpwe, tetapi pasti hanya akan mengecewakan harapan locianpwe saja. Karena aku benar-benar tak mempunyai kemampuan begitu besar!"

Jong Leng lojin tampak kecewa. Tiba-tiba ia berkata kepada Siau-liong, “Takkan kusuruh engkau mencari obat itu dengan sia-sia. Akan kuberimu sebuah hadiah!"

Siau-liong tertawa tawar, “Bukan aku menginginkan hadiah locianpwe, tetapi pada saat dan tempat seperti sekarang ini, tenagaku benar-benar tak mencapai. Kecuali ......” ia berhenti sejenak lalu, “kecuali aku mempunyai peta dari barisan Tujuh Maut."

Jong Leng lojin bertepuk tangan, “Tepat sekali permintaanmu itu, budak! Barisan Tujuh Maut itu memang aku yang menciptakan. Dan justeru peta barisan itulah yang hendak kuberikan kepadamu!"

Girang Siau-liong bukan buatan. Bergegas ia bertanya, “Apakah ucapan locianpwe itu sungguh-sungguh?"

Jong Leng lojin mendengus lalu mengambil sebuah lipatan kain warna kuning yang sudah kumal, diberikan kepada Siau-liong, “Ambillah!"

Dan serentak iapun mengeluarkan selembar bungkusan kain sebesar jari tangan, katanya, “Resep! Jangan lupa, paling lama sebulan, engkau harus mengantarkan obat itu kemari!"

Siau-liong buru-buru menyambuti dan menyimpannya baik-baik dalam baju, “Harap locianpwe jangan kuatir. Tentu akan kulaksanakan sebaik-baiknya."

Orang tua kurus itu pejamkan mata. Dari kedua lekuk pipinya yang cekung tinggal tulang itu, tampak menampil senyum gembira.

Siau-liong pun segera ayunkan langkah pelahan-lahan keluar dari ruang itu. Po Ceng-in tetap mengikuti dibelakangnya. Beberapa saat kemudian nona itu menarik tangan Siau-liong, "Karena sudah mempunyai peta dari Jong Leng lojin, kiranya engkau tentu tak memerlukan bantuanku lagi sebagai penunjuk jalan.

Siau-liong berhenti memandangnya sejenak katanya, “Jika nona hendak pulang, silahkan. Hanya kuharap janganlah nona memberitahu urusanku ini kepada ayah-bunda nona ......”

Siau-liong berhenti sejenak lalu tertawa, “Dengan cara apapun juga, sesungguhnya aku harus menghaturkan terima kasih kepada nona."

“Tak perlu," sahut Po Ceng-in rawan. Dengan menahan haru air matanya yang hendak mengucur, ia berkata dengan sekat, “Ada sebuah hal yang harus kuberitahukan kepadamu."

Siau-liong mengangguk, “Silahkan."

“Memang sebelumnya aku sudah merasa, tak mungkin engkau menaruh cinta sesungguhnya kepadaku. Oleh karena itu ......” ia berhenti untuk menenangkan diri lalu dengan nada gemetar ia berkata pula, “kuberimu minum racun Jong-tok!"

Siau-liong seperti disambar petir kejutnya, “Perempuan siluman, engkau!" teriaknya marah.

Tetapi Po Ceng-in tenang-tenang saja menyahut, “Sekarang terserah saja engkau hendak mengapakan diriku. Tetapi kukatakan, percuma saja. Karena racun Jong-tok itu tiada obatnya lagi ......”

“Tetapi jika engkau ingin hidup, masih ada sebuah jalan....” kata wanita itu pula.

"Bagaimana?"

"Menjadi suami isteri dengan aku ......” sahut Po Ceng-in tenang sekali.

Hati Siau-liong seperti disayat sembilu. Geram, dan marah sekali sehingga untuk beberapa saat ia termangu-mangu seperti patung.

Tiba-tiba Po Ceng-in meramkan mata dan berkata dengan rawan, “Aku sendiri pun minum racun itu. Dengan begitu kita menjadi dua nyawa satu badan. Hidup sama hidup, mati ikut mati!"

Siau-liong terpaku. Sekonyong-konyong ia menggerung sekeras-kerasnya, “Perempuan siluman, serahkan nyawamu lebih dulu!"

Dengan pukulan Tay-lo-kim-kong, Siau-liong hantamkan tangan kanannya kedada Po Ceng-in ......

Tetapi wanita itu tenang sekali sikapnya. Tidak mau menangkis, pun tak mau menghindar. Bahkan pejamkan kedua mata sambil menyungging senyum. Seolah-olah menghadapi kematian seperti hendak pulang kerumah ......

Pada saat tinju hendak tiba di dada, entah bagaimana, tiba-tiba Siau-liong menariknya kembali.

“Pukullah! Jika tak mau memperisteri aku, bunuh sajalah!" Po Ceng-in menentang.

Dada Siau-liong serasa meledak. Ia memakinya, “Perempuan siluman, engkau perempuan iblis yang buta ......!"

Po Ceng-in menatapnya, mendadak ia tertawa nyaring macam orang-utan meraung-raung, nadanya.

“Dengan mahluk macam apa saja engkau hendak mempersamakan diriku, siluman perempuan atau iblis perempuan ......, pokok nasib hidupmu sudah ditentukan tak dapat berpisah dengan diriku ......!"

Wanita pemilik lembah itu berhenti sejenak, menghela napas lalu melanjutkan kata-katanya, “Jika engkau membunuh aku, engkau pun takkan dapat hidup lebih lama dari tiga hari. Begitu racun Jong-tok itu bekerja, sekalipun dewa tak mungkin dapat menolongmu!"

Jong-tok adalah ramuan racun dari segala jenis binatang berbisa.

Siau-liong menggemeretakkan gigi. Namun tak dapat berbuat apa-apa. Ia percaya perempuan itu tentu tak bohong. Dengan minum racun Jong-tok yang ganas, setiap saat jiwanya dapat diputuskan menurut kekehendak perempuan itu!

Siau-liong menghela napas dalam ......

Dia tak takut mati. Hanya tugas yang dibebankan pada dirinya masih banyak yang belum selesai. Jika mati ditangan perempuan siluman itu. bukanlah suatu kematian yang teramat sia-sia ......?

Teringat ia akan kematian ayahnya ditangan Toh Hun-ki. ibunya yang sedang mengidap sakit di seberang lautan, gurunya Kongsun Sin-tho yang telah merawatnya belasan tahun, Pendekar Laknat yang telah memberi saluran tenaga dalam kepadanya serta Pengemis Tengkorak yang telah menurunkan ilmu pukulan Thay-siang-ciang ......

Mereka masing-masing menumpahkan harapannya kepada dirinya. Walaupun permintaan mereka itu berlainan satu sama lain, tetapi ia merasa telah menerima budi mereka. Budi yang wajib ia balas dengan jiwa raga. Jika ia sampai mati dilembah situ, bukankah ia akan mengecewakan harapan mereka ......

Dan juga masih ada Tiau Bok-kun serta Mawar Putih ...... ah, teringat akan kesemuanya itu, hatinya amat pilu sekali. Bahkan timbul juga perasaan tak puas atas keadilan Yang Maha Kuasa, mengapa menggariskan suratan nasibnya dalam keadaan yang sedemikian rumit ......

Diam-diam Po Ceng-in melirik ke arahnya lalu tertawa pelahan, “Sesungguhnya engkau tak perlu bersedih begitu rupa. Apakah kerugianmu mengambil aku sebagai isteri? Bukankah tak lama lagi ayahku bakal menjadi pemimpin dunia persilatan? Pada saat itu, dikolong dunia ini ......

“Tutup mulutmu!" bentak Siau-liong.

Po Ceng-in mendengus, “Hm, dalam hal apakah aku tak dapat dibandingkan dengan budak perempuan baju putih itu? Mengapa hatimu begitu kemati-matian terpikat padanya? Budak perempuan hina itu kemungkinan sudah mati!"

Memang Po Ceng-in berani mengatakan begitu karena ada kenyataannya. Walaupun umurnya sudah empatpuluhan tahun, tetapi wajahnya masih berseri secantik gadis-gadis remaja. Terutama sepasang mata dan bibirnya, benar-benar mengandung daya tarik yang hebat. Tak kalah menariknya dengan wajah Mawar Putih mau pun Tiau Bok-kun.

Tetapi Siau-liong tetap muak terhadap perempuan itu. Ingin ia menghantamnya hancur lebur.

Dengan menahan kegeraman, ia paksakan menegur, “Berapa lamakah racun itu akan bekerja?"

Sambil memandang pemuda itu, Po Ceng-in menjawab, “Hal itu tergantung padamu sendiri. Setiap saat dapat bekerja. Mungkin seumur hidup racun takkan bekerja. Syaratnya asal engkau memperisteri aku, tentu selamat selama-lamanya!"

Siau-liong tertawa dingin, “Hapus saja impianmu itu!"

Po Ceng-in menghela napas, “Terserah saja padamulah! Karena hal itu memang tak dapat dipaksakan ......"

Dengan tajam ia melirik anak muda itu lalu berkata pula, “Begini sajalah! engkau tak sudi mengambil isteri aku, tetapi pun jangan dengan budak baju putih itu. Paling tidak, takkan bersatu seumur hidup ......”

Habis berkata ia tertawa keras. Tetapi nadanya mengandung rintihan hati yang putus asa.

Siau-liong menghela napas. Benar-benar ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap wanita yang sudah diamuk dendam asmara itu ......

Puas tertawa, Po Ceng-in berseru dengan terengah-engah, “Apa yang tak dapat kuperoleh. Lain orang pun jangan harap bisa mendapatkannya!.... lekas, lekaslah bunuh aku.... bunuhlah....!"

Dengan kalap ia menyongsong Siau-liong seraya berteriak-teriak, “Kalau engkau tak mau membunuhku, tak apalah. Aku dapat bunuh diri sendiri. Tetapi kalau aku mati, engkau pun hanya dapat hidup tiga hari lagi. Pergilah silahkan kalau mau pergi....!"

Entah bagaima mendadak Siau-liong kasihan juga. Lepas bagaimana pribadi wanita itu tetapi yang nyata ia begitu mencintainya mati-matian. Kalau tidak masakan dia sampai nekad makan racun ganas berdua supaya dapat sehidup semati dengannya.

Segera Siau-liong mencengkeram bahu Po Ceng-in dan menguncang-guncangkannya: ”Nona.... nona....”

Po Ceng-in agak tenang, sambil mengangkat muka ia bertanya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah menyadari?"

Siau-liong tertawa masam, “Aku tak dapat membohongi engkau. Tetapi memang benar-benar aku tak dapat memperisteri engkau, hanya ......”

“Tak perlu mengatakan!" tukas Po Ceng-in.

“Hanya aku dapat meluluskan, untuk mati bersama-sama engkau!" kata Siau-liong tanpa peduli.

“Engkau meluluskan atau tidak, tetap sama saja. Racun Jong-tok itu tiada obatnya!"

Siau-liong mengangguk, “Kutahu.... hanya saja marilah kita cari tempat yang bagus untuk membuat liang dan mati dalam satu lubang kubur!"

Po Ceng-in tertawa rawan. Itulah liang kubur 'Mati bersama hidup berbeda' ditatapnya Siau-liong, tanyanya, “Apakah engkau benar-benar sudah memutuskan begitu?"

Siau-liong mengangguk, “Sekali sudah memutuskan, tak nanti aku menyesal. Tetapi engkau harus meluluskan sebuah hal dulu."

"Katakanlah!"

"Dalam waktu setahun lamanya, harap engkau jangan membuat racun Jong-tok itu bekerja dulu. Dan jangan bertanya apa yang akan kulakukan. Apapun juga tindakanku, jangan sekali-kali engkau turut campur ......"

Po Ceng-in menolak, “Tidak, bagaimana kalau engkau mencari budak baju putih dan bercumbu-cumbuan dengannya ......?"

Siau-liong banting-banting kaki menghela napas jengkel, “Percaya atau tidak, terserah. Tetapi aku tak punya hati apa-apa terhadap nona itu. Dan lagi aku masih mempunyai tugas berat yang belum kuselesaikan. Mana aku mau menyeleweng untuk bermain cinta?"

Setelah merenung beberapa jenak, Po Ceng-in menyatakan setuju.

Siau-liong menghela napas panjang, katanya, “Kalau begitu pada nanti hari raya Musim Rontok tahun depan, harap engkau menunggu aku dipuncak Sin-li-hong gunung Busan!"

Po Ceng-in tertegun: “Lembah Semi mempunyai alam musim semi sepanjang tahun. Benar-benar merupakan tempat peristirahatan selama-lamanya yang bagus. Mengapa harus menuju ke gunung Busan?"

Tetapi Siau-liong berkeras, “Hal itu termasuk salah satu syarat perjanjian. Kalau tak setuju, katakan sekarang juga!"

Po Ceng-in tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyetujui juga, “Baiklah, akan kutunggu engkau dipuncak Sin-li-hong pada nanti pertengahan musim rontok. Jika engkau tak datang. Jangan salahkan aku berhati ganas ...... terpaksa akan ku buatmu supaya mati secara pelahan-lahan dengan tubuh membusuk!"

Siau-liong paksakan tertawa, “Aku bukan orang yang suka ingkar janji. Asal engkau benar-benar melaksanakan perjanjian setahun itu, aku pasti datang!"

Tiba-tiba Po Ceng-in menatap pemuda itu dengan mesra, ujarnya, “Mungkin tak lama lagi aku akan ke Sin-li-hong. Lebih dulu hendak kubangun makam itu seindah-indahnya agar kelak hatimu puas ......”

Berhenti sebentar, ia melanjutkan kata-katanya lagi, “Kita dapat tinggal disana, mengasingkan diri dari keramaian dunia. Tetapi kalau niatmu tetap tak berobah, kitapun dapat mati berkubur di makam itu!"

Siau-liong tertawa masam, “Terserah! Tetapi menurut pendapatku, baiklah makam itu jangan diberi payon. Biarkan saja terbuka. Memang lebih baik kalau engkau dapat secepatnya membangun makam itu kesana!"

Po Ceng-in diam beberapa saat. Kemudian ia mengangkat muka memandang Siau-liong. Tiba-tiba ia mengambil sebuah botol kecil dari batu kumala lalu diserahkan kepada Siau-liong.

"Obat ini untukmu. Sekeluarnya dari lembah mungkin ada gunanya....” berputar tubuh, ia terus lari menyusuri lorong terowongan yang panjang.

Siau-liong tegak mematung sambil mencekal botol obat itu. Dia seperti tersadar dari mimpi buruk. Ia merasa seperti habis keluar dari Neraka. Hatinya segelap terowongan dibawah tanah yang baru saja disusurinya tadi. Kini nasibnya sudah ditentukan. Ia bakal hanya dapat hidup selama satu tahun saja ......

Dalam waktu setahun itu, ia harus sudah dapat menyelesaikan budi dan dendam. Mengajak Mawar Putih menemui ibunya di seberang laut. Kemudian pada musim rontok tahun muka, harus mewakili Pendekar Laknat memenuhi tantangan digunung Busan. Dan terakhir baru menunaikan perjanjiannya dengan Po Ceng-in.

Tiba-tiba saja pada saat itu ia merasa bahwa tempo amat berharga sekali. Tak boleh ia mensia-siakan setiap detikpun juga. Maka segera ia menyimpan botol obat lalu mengeluarkan peta pemberian Jong Leng lojin.

Peta itu tenyata dibuat dengan cermat tetapi amat jelas sekali. Ditambah dengan kecerdasan otaknya, setelah meneliti beberapa saat, Siau-liong segera dapat mengingat semua jalan tembusan serta tembusannya.

Ujung dari jalan tembusan yang terbentang dihadapannya saat itu, merupakan sebuah dinding batu. Menurut petunjuk dalam peta, Siau-liong dapat menemukan sebuah tombol pembuka pintu. Sekali tekan, pintu batu itupun segera terbuka.

Ternyata diluar pintu itu adalah daerah Lembah Maut. Segera ia melangkah keluar. Sambil berjalan ia merangkai rencana. Lebih dulu ia hendak mencari Mawar Putih, kemudian mencari Toh Hun-ki serta keempat Su-lo, membunuh mereka lalu mengambil batang kepala mereka untuk diserahkan kepada Mawar Putih.

Rencana kedua, ia akan menuju kekota Siok-ciu mencari Tiau Bok-kun, sekalian membelikan obat untuk Jong Leng lojin. Setelah itu akan masuk ke dalam Lembah Semi lagi. Menyerahkan obat kepada Jong Leng lojin lalu membunuh Soh-beng Ki-su untuk membalaskan dendam kematian Pendekar Laknat.

Tiba-tiba terdengar seekor burung gagak terbang di atas kepalanya seraya berbunyi nyaring.

Siau-liong terkejut. Saat itu sudah menjelang magrib. Suasana dalam Lembah Maut makin menyeramkan. Siau-liong mempertinggi kewaspadaannya, siap menghadapi setiap kemungkinan.

Sekonyong-konyong dari balik beberapa gunduk batu yang berserak-serak kira-kira lima tombak jauhnya disebelah muka, meluncur seuntai sinar berkilat kemilau menyambar ke arah burung gagak itu. Dan serempak pun terdengar suara bentakan yang nyaring seperti memecah angkasa.

"Binatang, engkau berani jual lagak dihadapanku ......”
25. Menyusun Tenaga

“HUAK....” burung gagak itu bergaok dan miringkan tubuh menghindar. Setelah berputar-putar, burung itu balik ke dalam lembah lagi.

Jelas benda berkilat itu adalah senjata rahasia yang dilepaskan oleh seorang ahli. Tetapi ternyata burung itu dapat menghindari. Terang burung itu bukan burung biasa.

Tiba-tiba dari balik gundukan batu terdengar suara orang berseru, “Losiansu, harap sabarkan diri. Saat ini kita berada dalam perangkap musuh. Hendaknya jangan mempertunjukan diri."

Mendengar kata-kata itu, Siau-liong terkejut girang. Jelas ia kenal nada orang itu sebagai To Kiu-kong dan Ti Gong taysu.

Ti Gong mendengus, “Huh, pengemis busuk, engkau juga berani mencampuri urusanku?"

To Kiu-kong pun marah juga. Sahutnya dengan tajam, “Losiansu, tak perlu losiansu mengagulkan diri. Sekalipun aku seorang pengemis tua, tetapi juga merupakan salah sebuah aliran Putih dalam dunia persilatan. Rasanya tak lebih rendah dari losiansu!"

Mendengar percakapan yang tajam itu, Siau-liong tak dapat mengendalikan diri lagi. Dengan gunakan gerak Naga-melingkar-18-kali, ia apungkan tubuh ke arah tempat persembunyian mereka.

Ternyata dibalik gundukan batu itu terdapat tak kurang dari sepuluhan orang. Ada yang rebah, ada yang duduk tersebar diantara semak rumput.

Mereka adalah ketua Siau-lim-si Ti Gong taysu, To Kiu-kong dan Pengemis-tertawa Tio tay-tong serta si Pincang-kanan dan si Pincang-kiri. Dan yang membangkitkan semangat Siau-liong, ternyata ketua Kong-tong-pay Ton Hun-ki dan keempat Su-lo pun berada diantara mereka.

Pakaian mereka compang-camping, sekujur tubuh berlumuran darah dan kotoran. Jubah Ti Gong taysu rompal-rompal tak keruan.

Kemunculan Siau-liong, mengejutkan sekalian orang. Ti Gong taysu yang hendak bertindak terhadap To Kiu-kong, pun terpaksa berhenti. Secepat berputar tubuh ia menghantam Siau-liong.

To Kiu-kong dan kawan-kawannya terkejut girang sekali. Kehadiran ketua mereka pada tempat dan saat seperti itu, benar-benar membuat mereka tercengang heran sehingga tak dapat berkata apa-apa.

Setelah lepaskan pukulan, Ti Gong taysu menggembor dan hendak menyerang. Tetapi dicegah oleh Toh Hun-ki, “Harap bersabar dulu. Jika memang harus berkelahi, nanti saja setelah persoalan sudah jelas!"

Ti Gong terpaksa tarik pulang tinjunya dan membentak, “Apanya yang perlu dijelaskan lagi? Budak itu jelas anak buah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka! Bukankah ketika di puncak Ngo-siong-nia tempo hari engkau juga melihatnya menolong Dewi Ular Ki Ih?"

“Benar," sahut Toh Hun-ki, "tetapi aku pun juga menyaksikan dia menempur Harimau Iblis!"

Toh Hun-ki tak mau melayani ketua Siau-lim-si itu lagi. Ia terus berpaling memberi hormat kepada Siau-liong, “Ah, Kongsun-hiapsu ....”

Siau-liong hanya mengangguk dan mendengus. Matanya berkilat-kilat memandang orang-orang disitu, lalu bertanya, “Dimanakah It Hang totiang dan rombongannya?"

Toh Hun-ki menghela napas, “It Hang totiang, Kun-lun Sam-cu dan rombongannya, belum ketahuan jejaknya. Turut pendapatku, kemungkinan mereka .... tertimpah kemalangan ....”

Siau-liong terbeliak, serunya, “Apakah kalian melihat ketua Tong-thing-pang Cu Kong-leng dan ketua Ji-tok-kau Tan Ih-hong serta seorang gadis baju putih?"

Toh Hun-ki gelengkan kepala, “Sejak masuk ke dalam Lembah, Tan Ih-hong dan Cu Kong-leng sudah tak ada berita. Kami sekalian didesak ke dalam Lembah Maut sini dan tak pernah melihat si dara baju putih itu!"

Siau-Liong gelisah. Jika Mawar Putih benar-benar masuk ke dalam Lembah Maut, tak mungkin dia menghilang. Sekalipun benar ada seorang sakti yang menyelundup ke dalam lembah seperti yang diduga Iblis Penakluk-dunia itu tetapi tanpa memiliki peta dari Jong Ling lojin, tak mungkin bisa keluar. Apalagi disekeliling penjuru lembah itu dijaga ketat oleh anak buah Iblis Penakluk-dunia.

Rupanya Ti Gong taysu masih membekal dalam tentang peristiwa dipuncak Ngo-siong-nia tempo hari. Tetapi karena ia menyadari takkan mampu mengalahkan Siau-liong, maka ia mau juga dicegah Toh Hun-ki tadi. Ia berdiri disamping tak bicara apa. Tetapi matanya tetap memandang Siau-liong dengan gusar.

Melihat Siau-liong termenung diam, Toh Hun-ki berkata pula, “Pertemuan di puncak Ngo-siong-nia telah dihadiri oleh duaratus tokoh-tokoh persilatan ternama. Tetapi ternyata kedua suami isteri iblis itu telah mempersiapkan jaring-jaring perangkap yang hebat sekali. Dalam pertempuran di lembah mereka, kami telah kehilangan banyak sekali kawan-kawan sehingga yang masih hidup hanya tinggal beberapa orang ini!"

Siau-liong tindas ketegangan hatinya, menyahut, “Lembah Maut ini memang berhubungan dengan barisan Tujuh Maut. Penuh dilengkapi dengan alat-alat rahasia dan barisan pendam. Iblis Penakluk-dunia menggunakan tempat ini sebagai tempat tawanan. Kemungkinan saudara-saudara memang sukar untuk lolos dari sini!"

Toh Hun-ki mengangguk, “Ya, memang hal itu sudah kuduga, tetapi .... betapapun juga. Kebenaran pasti akan mengalahkan kejahatan. Memang untuk sementara ini Iblis Penakluk-dunia menang, tetapi akhirnya dia tentu takkan lolos dari kekalahan juga! Pengorbanan It Hang totiang dan ke duaratus orang gagah itu, pasti takkan sia-sia. Tentu akan menggugah hati nurani segenap kaum persilatan untuk serentak berbangkit menentang kedua suami isteri iblis!"

Siau-liong tertawa dingin, “Ucapan saudara memang benar. Suami isteri Iblis Penakluk-dunia dengan gerombolannya berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuannya untuk menguasai dunia persilatan. Tetapi betapapun, usaha mereka yang ganas itu pasti akan menemui kegagalan.

Namun kehancuran dari rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang totiang itu, benar-benar merupakan pukulan berat bagi kubu kekuatan dunia persilatan. Dalam beberapa waktu, kiranya sukar untuk menyusun tenaga, menghadapi ancaman kedua iblis itu. Dunia persilatan pasti akan menderita kekosongan tokoh sehingga mudah dikuasai mereka. Dengan demikian dunia persilatan pasti akan mengalami suatu kehancuran banjir darah yang belum pernah terjadi selamanya!"

“Jika tak timbul suatu keajaiban, memang banjir darah itu tak mungkin dapat dihindari lagi," sahut Toh Hun-ki.

“Apakah yang engkau maksudkan dengan keajaiban itu?" tanya Siau-liong.

Sepasang mata ketua Kong-tong-pay itu berkilat-kilat memancar api. Sambil mengurut-urut jenggotnya yang panjang sampai kedada, ia berkata pelahan-lahan, “Sejak dunia persilatan tenteram kembali dari pengacauan keempat momok Iblis Penakluk-dunia. Dewi Neraka, Harimau Iblis dan Naga Terkutuk, banyaklah sudah para cianpwe persilatan yang berilmu sakti sama mengasingkan diri dari dunia ramai.

Misalnya, Ketua partai Kun-lun-pay yang dahulu yakni Ceng Hi totiang, Liau Hoan siansu paderi sakti dari gunung Thian-san, Sepasang imam dari gunung Busan dan lain-lain .... Mereka termasuk tokoh-tokoh yang telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu silat. Jika mendengar gerombolan iblis itu muncul dan mengacau lagi, kemungkinan besar para cianpwe itupun tentu akan keluar lagi untuk menentramkan suasana. Selain itu ......

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Masih ada seorang yang dapat diandalkan ialah ......”

“Siapa?" Siau-liong menyeletuk.

"Orang itu bukan lain adalah momok yang sejajar tingkatannya dengan keempat iblis lainnya, ialah Pendekar Laknat! Walaupun dia berwatak sombong dan dendam, malang melintang di dunia persilatan seorang diri, namun setelah beberapa kali bertemu dengannya, kutahu dia ternyata amat baik hati budinya ......”

Toh Hun-ki berhenti mencari kesan pada sekalian orang. Kemudian menyambung pula, “Dan lagi dia sudah mau menerima permintaanku! Kemungkinan setiap saat dia akan muncul membantu perjuangan kita melawan kedua suami isteri iblis itu. Maka pada hematku, walaupun keadaan saat ini memang teramat buruk, tetapi belum berarti kalau sudah hancur lebur!"

Toh Hun-ki berbicara dengan sikap seorang ketua partai persilatan yang berwibawa. Jelas ia masih menaruh kepercayaan penuh pada Pendekar Laknat.

Diam-diam malulah Siau-liong pada dirinya sendiri. Sebenarnya saat itu ia hendak membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, lalu menyerahkan batang kepala mereka kepada Mawar Putih dan bersama dara itu pulang ke seberang laut menemui ibunya.

Tetapi sikap Toh Hun-ki yang mengunjukkan pribadi seorang tokoh aliran Putih yang tak kenal takut, diam-diam telah menggerakkan hatinya. Bukan saja tak sampai hati untuk membunuhnya, pun tak sampai pula ia untuk berpeluk tangan mengawasi bencana berdarah yang akan menimpah dunia persilatan.

Tanpa disadari, tangannya merabah baju dan terjamahlah separoh Giok-pwe yang diberikan Toh Hun-ki kepadanya. Pikirannya makin kabur dan hilanglah pahamnya untuk bertindak.

Sampai beberapa saat ia termenung-menung. Akhirnya ia menghela napas, “Kalau Pendekar Laknat itu sejajar tingkatannya dengan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, terang kalau dia tidak lebih sakti dari kedua suami isteri itu. Sekalipun dia muncul membantu rombongan orang gagah, juga belum tentu dapat mengalahkan suami isteri iblis itu!"

Pada saat Toh Hin-ki hendak menyahut, Ti Gong taysu rupanya tak sabar menunggu lagi. Ia menyeletuk nyaring, “Perlu apa engkau meributi orang itu! Pendekar Laknat sejenis dengan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Bagaimana mungkin dia akan berbalik haluan membantu kita?

Dan lagi ia mendengus. lalu melanjutkan, "kalau hasil kemenangan terhadap suami isteri iblis itu berkat bantuan Pendekar Laknat, rasanya juga merupakan suatu hal yang menghilang muka seluruh kaum persilatan golongan Putih!"

Siau-liong meluap tetapi ia masih paksakan diri untuk menekan kemarahannya. Serunya dengan tertawa dingin, “Andaikata Pendekar Laknat benar-benar muncul disini dan menolong sekalian saudara dari lembah ini. Entah apakah losiansu akan ikut atau tetap tinggal seorang diri disini!"

Ti Gong terkesiap, bentaknya, “Suatu hal yang mustahil terjadi! Dan lagi aku tetap tak percaya bahwa seorang iblis ganas yang gemar membunuh orang, dapat berobah seratus derajat pendiriannya ....!"

Habis berkata ketua Siau-lim-pay itu maju selangkah dan membentak, “Budak, katakanlah engkau sendiri datang dari mana?"

"Apa engkau berhak mengurus aku?" sahut Siau-liong marah.

"Omitohud!" seru Ti Gong taysu. Lalu ia berpaling kepada Toh Hun-ki, “Budak itu jelas menjadi anak buah Iblis Penakluk-dunia! Coba bayangkanlah. Sedang kita yang berjumlah puluhan orang tetap sukar menghadapi serangan Iblis Penakluk-dunia dan akhirnya digiring masuk ke dalam lembah ini, mengapa dia seorang diri dapat muncul lenyap sekehendak hatinya?"

Sejenak ketua Siau-lim-si itu memandang sekalian orang lalu berseru lantang, “Turut hematku, lebih baik kita bersatu untuk membasmi budak itu!"

Benar-benar dada Siau-liong seperti hendak meledak. Marah dan kecewalah ia. Jika setiap kaum persilatan golongan Putih mempunyai pendirian semacam Ti Gong, bersikap bengis dan keras kepala seperti paderi itu, terang dunia persilatan pasti akan kiamat!

Toh Hun-ki kerutkan alis memandang Ti Gong, “Harap losiansu suka redakan nafsu amarah losiansu. Pada saat dan tempat seperti sekarang ini bagaimana kita hendak menambah musuh lagi? Walaupun memang sepak terjang Kongsun-hiapsu ini dapat menimbulkan kecurigaan orang tetapi menurut pengamatanku, dia bukanlah golongan orang semacam Iblis Penakluk-dunia dan rekan-rekannya itu ....”

Kemudian ketua Kong-tong pay itu memandang Siau-liong dan memberi sebuah senyuman, “Entah begaimanakah cara Kongsun-hiapsu dapat masuk ke dalam lembah ini, apakah ....”

“Terlalu panjang kalau diceritakan," tukas Siau-liong tak sabar, "saat ini tiada waktu lagi untuk bercerita. Tetapi memang aku sendiri juga terjebak dalam barisan Tujuh Maut itu. Jika Cu Kong-leng dan Tan Ih-hong belum mati, mereka tentu dapat memberi kesaksian ....”

Ia menghela napas, sambungnya, “Jika tidak bertemu seorang cianpwe yang aneh, saat ini aku tentu tak dapat berada disini!"

Ti Gong mendengus, “Hm, keterangan yang sukar dipercaya!"

Ketua Siau-lim-si itu walaupun bengis dan keras kepala tetapi ia agak gentar juga terhadap Siau-liong. Oleh karena itu ia pun tak berani bertindak apa-apa kecuali hanya memandang anak muda itu dengan mata penuh kemarahan.

Siau-liong tertawa dingin. Ia tak mempedulikan ketua Siau-lim-si itu dan berpaling ke arah To Kiu-kong, “Kiu kong!"

“Cousu-ya!" buru-buru tokoh pengemis itu menyahut.

Siau-liong tertawa masam, “Saat ini diriku sedang dicurigai orang. Apakah kalian masih tetap menganggap diriku sebagai Cousu-ya?"

Dengan masih menundukkan kepala To Kiu-kong menyahut, “Bagaimanapun halnya adalah pewaris dari kakek guru kami Pengemis Tengkorak. Selama-lamanya tetap menjadi Cousu-ya partai kami. Aku dan sekalian anak murid ....”

Tokoh Kay-pang itu menghela napas. Sepasang matanya berlinang-linang dan dengan suara rawan melanjutkan kata-kata lagi: "Bertahun-tahun ini pamor partai kita makin menyuram. Kami harap Cousu-ya suka mengembalikan cahaya gemilang dari partai kita. Jika benar-benar Cousu-ya sampai tersesat dan mau bersekutu dengan kedua suami isteri iblis itu, itupun memang sudah menjadi kehendak Allah untuk melenyapkan Kay-pang. Setitik pun aku dan sekalian anak murid Kay-pang takkan mendendam kepada Cousu-ya!"

Mendengar pernyataan tokoh Kay-pang yang penuh bernada kesungguhan dan kesetiaan hati itu, mau tak mau hati Siau-liong pilu juga. Kemudian ia melolos lencana Tengkorak yang tergantung pada lehernya lalu diserahkan kepada To Kiu-kong, “Ambillah lencana ini. Sejak saat ini aku bukan lagi Cousu-ya dari Kay-pang!"

To Kiu-kong terkejut sekali. Ia menyurut mundur dan berseru gugup, “Mengapa begitu? Bagaimana nanti pertanggungan jawabku kepada sekalian anak murid Kay pang yang berjumlah puluhan ribu itu?"

Siau-liong menghela napas. "Memang aku sudah mererima budi dari Pengemis Tengkorak yang telah memberikan ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang. Tetapi sedikitpun aku belum dapat membalas ....”

Ia berhenti merenung. Tiba-tiba dengan nada tegas ia berseru, “Pilihlah diantara anak murid Kay-pang seorang yang berbakat bagus. Akan kuberinya pelajaran ilmu Thay-siang-ciang itu kepadanya agar dapat melanjutkan usaha untuk mengembangkan pamor partai Kay-pang ....”

“Ini .... ini ...” To Kiu-kong makin bingung dan tak mengerti maksud Siau-liong. Sampai beberapa saat ia tergugu tak dapat berkata yang jelas.

Siau-liong tahu isi hati tokoh Kay-pang itu. Dengan tersenyum ia berkata, “Kiu-kong, jangan meragu. Aku akan bersumpah takkan memberikan ilmu pelajaran itu kepada lain orang lagi. Tentang diriku ....”

Ditatapnya To Kiu-kong lekat-lekat, lalu berkata pula dengan tenang, “Setelah urusan itu selesai, aku hendak pergi jauh keseberang lautan. Mungkin dalam kehidupan sekarang, aku takkan kembali lagi. Dengan begitu ilmu pukulan Thay-siang-ciang, tetap menjadi milik partai Kay-pang."

Oleh karena tak mau menceritakan tentang perjanjian mati dengan Po Ceng-in pemilik lembah Semi, maka Siau-liong hanya menggunakan alasan hendak pergi jauh keluar lautan.

To Kiu-kong benar-benar dicengkam oleh rasa keheranan dan tak mengerti atas ucapan Cou-suya mereka. Ia berpaling dan bertukar pandang mata dengan kedua pengemis Pincang, lalu mengiakan.

"Karena begitu yang menjadi kehendak Cousu-ya, akupun tak berani menolak. Tetapi hal itu mempunyai akibat besar. Apabila kami beruntung dapat keluar dari bahaya maut saat ini, pun harus mengundang seluruh anak murid Kay-pang dalam sebuah pertemuan besar. Lalu memilih calon yang tepat untuk melaksanakan perintah Cousu-ya tadi. Kemudian barulah kami dapat mengundang Cousu-ya untuk memberi ilmu pelajaran."

Siau-liong mengangguk, “Baiklah, tetapi hal itu harus segera terlaksana secepat mungkin. Karena aku benar-benar ingin lekas tinggalkan tempat ini!"

“Perintah Cousu-ya pasti akan kulaksanakan, tetapi .... saat ini kita sekalian sedang terkurung dalam Lembah Maut. Dapatkah lolos dari sini, masih sukar diramalkan ....”

Siau-liong hendak membuka mulut, tetapi Ti Gong taysu dan Toh Hun-ki kedengaran mendesah pelahan. Rupanya mereka telah mencium sesuatu hawa yang harum.

“Ini tentulah gerombolan siluman itu yang mengacau. Bau ini bukan sewajarnya!" seru Ti Gong dengan geram.

Memang saat itu Siau-liong pun terbaur oleh angin yang mengantar bau harum. Diam-diam ia heran. Jelas diketahui dalam lembah itu hanya terdapat pakis yang tak enak baunya. Dari manakah datangnya bau harum itu?

“Awas!" tiba-tiba Toh Hun-ki berseru, "bau harum ini tentu mengandung racun. Kemarin pun aku sudah terkena. Harap saudara lekas menutup pernapasan!"

Tetapi bau itu makin lama makin keras. Sedang menutup pernapasan pun tak dapat berlangsung lama. Saat itu mereka benar-benar menyerupai kawanan ikan dalam jaring yang tak dapat lolos. Tak lama mereka pasti akan rubuh.

Kira-kira tak sampai sepeminum teh lamanya, Su-lo dari Kong-tong-pay, Pengemis Tertawa Tio Tay-tong serta kedua pengemis pincang tampak tak kuat. Mereka terus menerus batuk-batuk dan tubuhnya terhuyung-huyung ......

Saat itu hari makin malam. Suasana dalam lembah itu makin menyeramkan. Ditambah pula dengan tebaran kabut, benar-benar menyerupai sebuah tempat di Neraka.

Ti Gong taysu, To Kiu-kong dan Toh Hun-ki yang lebih tinggi ilmu lwekangnya, masih lebih dapat bertahan. Tetapi makin lama kepala mereka makin pusing, mata makin berkunang-kunang dan lalu makin kantuk.

Apabila setiap saat musuh datang menyerang, habislah tentu riwayat mereka ......

Y

Siau-liong amat gelisah. Tiba-tiba ia teringat akan botol obat pemberian Po Ceng-in. Nona itu mengatakan bahwa botol itu mungkin berguna dalam perjalanan keluar lembah. Ah, kemungkinan yang dimaksudkan itu tentulah kabut beracun.

Segera ia mengeluarkan botol itu dan segera menuang sebutir lalu menelannya sendiri. Ternyata khasiatnya hebat sekali. Ia rasakan semangatnya segar lagi. Rasa lemas dan pening akibat kabut itu hilang seketika.

Setelah mengetahui khasiatnya, segera ia membagikan pil itu kepada To Kiu-kong, kedua pengemis pincang, Toh Hun-ki serta keempat Su-lo. Tak lama mereka segar kembali.

Ti Gong yang menggeletak di tanah. Melihat orang-orang sudah segar lagi, ia paksakan diri bangun dan berseru, “Hai, mengapa aku tak diberi pil?"

Dalam pakaian jubah yang sudah compang camping dan sekujur badan berlumur noda darah, ketua Siau-lim-si itu tampak tak karuan keadaannya. Mau tak mau orang tentu geli melihatnya.

Toh Hun-ki benar-benar amat berterima kasih sekali kepada Siau-liong. Rasa kesangsiannya terhadap pemuda itu lenyap sama sekali. Serta-merta ia menghaturkan terima kasih.

Tetapi Siau-liong mengatakan, yang penting saat itu harus segera bersiap menghadapi kemungkinan lain. Musuh tentu akan segera datang menyergap.

"Lebih baik kita pedayakan mereka. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa kita tak kurang suatu apa ....” katanya, "begitu mereka datang, kita basmi habis dan terus keluar dari lembah celaka ini!"

Toh Hun-ki memuji buah pikiran pemuda itu. Ia menyatakan akan menurut apa yang direncanakan pemuda itu. Selain itu ia pun memintakan obat juga untuk Ti Gong Taysu. Karena walaupun ketua Siau-lim-si itu berwatak kasar dan bengis tetapi dia tetap seorang tokoh golongan Putih yang menentang kejahatan.

Siau-liong mendengus lalu menghampiri Ti Gong, serunya tertawa, “Tadi losiansu menuduh aku seorang kaki tangan Iblis Penakluk-dunia. Dengan begitu pil ini tentu mengandung racun. Apakah losiansu tak kuatir?"

Ketua Siau-lim-si itu paksakan membuka mata dan hendak berkata. Tetapi baru bibirnya bergerak, ia sudah tak kuat.

Siau-liong tak sampai hatinya. Segera ia menyusupkan sebutir pil kemulut paderi itu. Tak berapa lama paderi itu dapat merangkak bangun. Sejenak memandang ke arah Siau-liong, ia duduk kembali. Walaupun tak membuka mulut tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia menyesal dengan tuduhannya terhadap Siau-liong.

Saat itu sesuai dengan rencana Siau-liong lalu mereka semua menggeletak di tanah, pura-pura pingsan seperti terkena racun.

Tiba-tiba Siau-liong mendapat pikiran. Segera ia mengatakan kepada To Kiu-kong yang berada disebelahnya, “Aku hendak menyelidiki keadaan lembah ini .... siapa tahu aku dapat menemukan jalan keluar dari lembah ini. Pada saat itu kalian harus lekas-lekas menerobos keluar tak perlu tunggu aku!"

“Baik Cousu-ya!" kata To Kiu-kong yang saat itu sudah pulih seratus persen kepercayaannya terhadap Siau-liong.

Setelah memberi pesan supaya berhati-hati, Siau-liong melesat lenyap ditelan kabut.

Dalam tempat yang penuh dengan pohon dan saat itu sedang terbungkus kabut tebal, jika tak memiliki mata yang amat tajam, tentu akan celakalah.

Toh Hun-ki dan lain-lain orang, menghela napas. Mereka benar-benar tak mengerti akan sepak terjang Siau-liong. Tetapi yang jelas, kini mereka sudah yakin bahwa pemuda itu bukanlah kaki tangan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Hanya To Kiu-Kong yang paling bingung. Ketika dipuncak Ngo-song-nia, ia melihat Siau-liong menolong Dewi Ular Ki Ih yang terluka. Lalu sekarang Cousu-ya itu hendak mencari sigadis baju putih serta Tiau Bok-kun. Mengapa Cousu-ya itu dimana-mana tempat selalu terlibat dengan wanita saja?
26. Hilang Tak Berbekas

Sepeminum teh dari kepergian Siau-liong, suasana dalam Lembah Maut makin sunyi. Hanya hawa wangi itu tetap berhamburan memenuhi lembah. Tetapi karena sudah minum pil pemberian Siau-liong, mereka tak kurang suatu apa. Bahkan mereka merasa segar semangatnya karena menghirup hawa wangi itu.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara suitan pelahan. Seperti suitan dari mulut orang tetapi juga mirip tiupan seruling. Tak berapa lama sepetik api kehijau-hijauan meluncur ke udara. Sekalian orang gagah segera bersiap-siap. Mereka berbaring di tanah, pura-pura pingsan.

Tak berapa lama, mereka mencuri lirik. Tampak seorang tua bermuka kurus, rambut dikucir, tubuhnya kurus kering seperti tulang terbungkus kulit, mengenakan pakaian pertapaan. Dandanannya mirip imam bukan imam, orang biasapun juga bukan. Punggung menyanggul sebuah senjata yang aneh.

Orang itu bukan lain adalah murid tunggal dari Iblis Penakluk-dunia yakni Soh-beng ki-su atau Pertapa-percabut-nyawa. Setelah memandang kesekeliling penjuru dan melihat rombongan Ti Gong dan Toh Hun-ki menggeletak pingsan di tanah, tiba-tiba ia kebutkan lengan jubahnya melambai “Anak-anak, lekas kemari!"

Lebih dari duapuluh orang berpakaian hitam, muncul dan memberi hormat dihadapan Soh-beng Ki-su, menunggu perintah. Sikap dan gerak-gerik rombongan baju hitam itu seperti tak wajar. Seperti orang tolol. Mereka masing-masing memandang ke ujung kakinya.

"Ikatlah tulang bahu mereka dengan rantai besi dan terus bawa ke dalam lembah!" seru Soh-beng Ki-su dengan nada macam iblis merintih.

Ke duapuluh orang baju hitam itu gemuruh mengiakan. Beberapa orang diantaranya segera mengeluarkan rantai besi terus hendak mengikat Toh Hun-ki dan rombongannya.

Yang paling tak tahan hatinya adalah Ti Gong taysu. Diam-diam ia gunakan ujung kaki untuk menjejak Toh Hun-ki, lalu tiba-tiba menggembor keras dan loncat menghantam dengan jurus Air terjun-membuka-gunung kepada Soh-beng Ki-su.

Soh-beng Ki-su tersentak kaget. Benar-benar ia tak menduga akan serangan mendadak itu. Sekali kaki menekan tanah, ia loncat sampai dua tombak ke udara menghindari pukulan Ti Gong taysu.

Melihat ketua Siau-lim-si sudah bergerak, Toh Hun-ki dan lain-lain orang gagah segera loncat bangun. Toh Hun-ki, To Kiu-kong serempak menyerang Soh-beng Ki-su. Pengemis-tertawa Tio Tay-tong, kedua pengemis Pincang dan Su-lo Kong-tong-pay, mengamuk ke duapuluh orang anak buah Soh-beng Ki-su.

Terdengar jeritan ngeri berkumandang memenuhi lembah. Ke duapuluh orang baju hitam itu hanya bertindak dari komando Soh-beng Ki-su, Karena Soh-beng Ki-su pontang panting sendiri sehingga tak dapat memberi komando, ke duapuluh orang berpakaian hitam itupun kacau balau. Mereka mundur ke gunduk batu.

Ketika Soh-beng Ki-su melayang turun ke tanah. To Kiu-kong dan Toh Hun-ki serentak menyerangnya. Mereka gunakan jurus dahsyat dari ilmu simpanan partai masing-masing.

“Brett....” Soh-beng Ki-su dapat menghindari tongkat Kumala Hijau To Kiu-kong tetapi tak urung pakaianya robek sampai panjang. Sedangkan Toh Hun-ki lebih beruntung. Ia dapat menghantam lengan kiri pertapa pencabut nyawa itu sehingga Soh-beng ki-su menguak-uak karena kesakitan. Soh-beng Ki-su murka. Setelah mundur beberapa langkah ia menekuk kedua tangannya.

“Krek, krek....” Soh-beng Ki-su rentangkan kesepuluh jarinya. Dari ujung jari itu menghambur asap putih mirip dengan ribuan ekor ular meluncur ke arah Toh Kun-ki dan kawan-kawannya. Ti Gong taysu dan To Kiu-kong segera berkumpul merapat.

Belum asap putih itu melanda datang, sekonyong-konyong ketiga orang itu dilanda oleh semacam hawa dingin sekali.

"Awas, dia sedang melancarkan ilmunya Pek-kut-kang!" teriak Toh Hun-ki.

Ti Gong taysu baru pertama kali itu bertempur lawan Soh-beng-Ki-su sehingga ia tak tahu pertapa Pencabut-nyawa itu memiliki ilmu tenaga sakti luar biasa, yakni tenaga Tulang Putih atau Pek-kut-kang. Ketua Siau-lim-si itu menganggap ilmu tenaga dalamnya mampu menghadapi.

Ketua Siau-lim-si itu segera mendorongkan kedua tangannya untuk menghalau kabut. Tetapi diluar dugaan, begitu terkena angin pukulan, asap putih itu malah bergulung-gulung melanda Ti Gong taysu.

Seketika Ti Gong seperti didampar oleh hawa yang luar biasa dinginnya sehingga ia menggigil kedinginan. Darahnya serasa membeku.

Melihat serangannya berhasil, Soh-beng Ki-su loncat mundur lalu taburkan segumpal asap merah dan tertawa nyaring, “Tengkorak menari!"

Saat itu Ti Gong berusaha untuk mengerah tenaga dalam melawan hawa dingin. Tetapi tenaganya lenyap, tulang serasa berhamburan lepas dari sendinya. Ia benar-benar telah kehilangan tenaga untuk melawan.

Teriakan Soh-beng Ki-su itu mengejutkan sekalian orang gagah. Jelas pertapa pencabut nyawa itu tentu melepaskan pertandaan ke arah lembah Semi. Hal itu diinsyafi oleh Toh Hun-ki dan kawan-kawannya.

Lembah Semi tentu akan mengirim bala bantuan. Kemungkinan malah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sendiri akan datang.

Tetapi kekuatiran Toh Hun-ki dan rombongannya itu, tidak tepat. Ternyata bukan bala bantuan dari Lembah Semi yang muncul, melainkan berpuluh-puluh kerangka tengkorak yang berloncatan menyerbu rombongan Toh Hun-ki.

Selama berpuluh tahun berkecimpung dalam dunia persilatan, tak pernah Ti Gong menyaksikan peristiwa seaneh itu, bahwa kerangka tengkorak dapat diperintah untuk menyerang. Tetapi karena saat itu ia sudah kehilangan tenaga, maka ia tak dapat berbuat suatu apa lagi kecuali hanya menghela napas, “Omitohud! Habislah riwayatku sekarang!"

Ia segera duduk bersemadhi di tanah. Pejamkan mata menunggu ajal.

"Barisan tengkorak!" teriak Toh Hun-ki dan To Kiu-kong serempak.

"Im dan Yang silang menyilang!" terdengar pula Soh-beng Ki-su berseru nyaring.

Berpuluh kerangka tengkorak itu segera menari-nari dan berbondong-bondong menyerbu sekalian orang.

Toh Hun-ki dan kawan-kawan menyadari bahwa saat itu mereka terancam bahaya maut. Tetapi mereka sudah bertekad bulat, lebih baik pecah sebagai ratna daripada menyerah.

Mereka segera mengelompok menjadi sebuah lingkaran. Bahu membahu mereka lancarkan pukulan ke arah barisan Tengkorak itu.

Sekalipun barisan tengkorak itu tak dapat main silat tetapi gerakan mereka menghamburkan angin dingin dan bau busuk yang memuakkan sekali.

Karena tak bernyawa, barisan tengkorak hanya bergerak menurut perintah So-beng Ki-su.

Selama tidak diperintah mundur, mereka tetap maju. Sekalipun separoh dari kerangka tubuhnya hancur terkena pukulan, atau bahkan hanya tinggal sebuah kaki dan tangan saja, mereka tetap berloncatan menyerang. Pendek kata, kalau tak hancur sama sekali, mereka takkan berhenti.

Beberapa saat kemudian, serangan barisan Tengkorak itu makin menghebat. Lingkaran kepungan mereka pun makin menyempit. Keadaan rombongan Toh Hun-ki makin gawat.

Soh-beng Ki-su tak henti-hentinya berteriak dan tertawa-tawa.

Sekonyong-konyong terdengar sebuah suara raungan yang dahsyat. Dan menyusul terdengar suara tertawa panjang yang tak kalah congkak perbawanya dengan tertawa Soh-beng Ki-su.

Sekalian orang gagah terkejut sekali. Ketika mencuri kesempatan melirik, mereka makin terkejut.

Soh-beng Ki-su tampak terhuyung-huyung ke belakang. Tak jauh disebelah mukanya, muncul seorang aneh berpakaian biru. Rambutnya memanjang sampai kebahu. Mata sebesar kelinting, mulut besar dan merah, jenggotnya berserabutan lempang seperti duri. Amboi.... itulah Pendekar Laknat!

Sudah beberapa kali Soh-beng Ki-su menderita kekalahan dari Pendekar Laknat. Sudah tentu ia kaget setengah mati ketika mendadak momok yang ditakuti itu muncul. Ia terhuyung-huyung mundur mencari jalan untuk lolos.

Karena tak diberi komando lagi, barisan Tengkorak pun macet. Mereka tertegun diam.

"Pendekar Laknat!" serentak Toh Hun-ki berteriak girang. Ia segera bersama To Kiu-kong menghantam barisan tengkorak itu hingga hancur lebur berhamburan ke dalam semak.

Pendekar Laknat yang muncul itu sudah tentu Siau-liong yang menyamar. Kiranya, kepergiannya untuk menyelidiki keadaan lembah itu tadi hanya suatu alasan untuk berganti sebagai Pendekar Laknat.

Tetapi memang tadi ia telah menyelidiki juga. Berkat bantuan peta pemberian Jong Ling lojin, dapatlah ia dengan leluasa mengetahui seluk beluk keadaan lembah itu. Tetapi, ah.... si dara Mawar Putih tetap tak dapat diketemukannya.

Kemanakah gerangan lenyapnya dara itu?

Akhirnya ia terpaksa kembali lagi untuk menyelamatkan rombongan orang gagah. Tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendengar teriakan Soh-beng Ki-su memberi komando kepada barisan Tengkorak. Cepat ia menyamar lagi sebagai Pendekar Laknat.

"Tua bangka Laknat.... dari mana engkau masuk ke dalam lembah ini!" seru Soh-beng Ki-su seraya mundur beberapa langkah.

Sambil maju menghampiri, Siau-liong tertawa liar, “Disegala tempat, baik di puncak gunung mau pun dilembah belantara, aku bebas pergi dan datang menurut sekehendak hatiku .....”

Diam-diam Siau-liong teringat akan nasib Koay suhu atau Pendekar Laknat asli, yang dianiaya pertapa Pencabut-nyawa itu. Geramnya, “Hm, kalau saat ini tak kubunuhnya, sampai kapan lagi ......?"

Serentak ia salurkan ilmu tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke lengannya. Setelah telapaknya merah membara ia segera menghantam Soh-beng Ki-su sekuat tenaganya. Dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat, Siau-liong bebas menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

Tahu kelihayan ilmu pukulan itu, Soh-beng Ki-su tak berani menangkis. Cepat ia berputar tubuh terus lari ngiprit. Tanpa menghiraukan gundukan batu yang tajam dan runcing, ia nekad berguling-guling sampai beberapa belas langkah jauh. Dengan cara nekad itu, barulah ia dapat terhindar dari pukulan maut.

Tubuh pertapa itu berlumuran darah. Pakaian robek-robek kulit lecet-lecet berdarah!

Secepat kilat Siau-liong memburu tiba dan hendak menyusuli hantaman lagi. Soh-beng Ki-su sudah tak mungkin dapat menghindar lagi. Dia pasti mati!

Tetapi tiba-tiba pertapa ganas itu berteriak sekuat-kuatnya, “Tunggu!"

Entah bagaimana Siau-liong mau juga menahan pukulannya, “Apa engkau masih mau bicara lagi?"

"Ada sebuah hal yang aneh, mungkin engkau ingin mengetahui?!"

"Soal apa? Lekas katakan!"

Soh-beng Ki su sengaja bersikap ayal memberi jawaban, “Engkau datang bersama Dewi Ular Ki Ih .....” - ia berhenti memandang reaksi Siau-liong lalu melanjutkan pelahau-lahan, “apakah engkau tahu kemanakah ia sekarang?"

Siau-liong terkesiap. Pikirnya, “Kemungkinan merasa benar Mawar Putih menyamar lagi sebagai Ki Ih ....."

Melihat Siau-liong tertegun. Soh-beng Ki-su dapat menduga kalau orang itu sudah mulai tertarik perhatiannya. Ia tertawa mengekeh dan berkata pula dengan lambat-lambat, “Malah akulah yang pernah melihat ia muncul dalam lembah ini tetapi kemudian dibawa oleh seorang wanita baju Hitam melintasi puncak gunung itu!" - ia menunjuk ke arah sebuah puncak gunung yang landai.

Menurut arah yang ditunjuk itu, Siau-liong dapatkan puncak gunung itu tegak melandai. Jika disitu memang tiada alat perangkap, Sia-liong sanggup untuk mencapai ke atas. Hanya keterangan Soh-beng Ki-su bahwa Mawar Putih telah dibawa oleh wanita baju hitam melintasi puncak gunung itu, rasanya tak mungkin terjadi.

Tetapi tiba-tiba ia teringat akan kekuatiran yang dinyatakan Iblis Penakluk-dunia bahwa seorang sakti yang tak dikenal telah menyelundup masuk ke dalam Lembah Maut.

“Apakah engkau melihat sendiri?" akhirnya ia menegas dengan penuh kesangsian.

“Bukan melainkan melihat sendiri, pun dibawah puncak itu terdapat tusuk kundai Kumala yang dipakai oleh Dewi Ular Ki Ih. Kalau tak percaya, bolehlah kubawa engkau kesana!" sahut Soh-beng Ki-su.

Siau-liong merenung. Dari sikap dan nadanya, rupanya Soh-beng Ki-su itu tak bohong. Cepat ia mencengkeram leher baju orang itu dan mengancamnya, “Bawalah aku kesana .... tetapi kalau engkau berani menipu aku, hm, tulang belulangmu pasti kuhancur leburkan!"

Soh-beng Ki-Su tergugu mengiakan lalu berjalan karena didorong Siau-liong.

"Pendekar Laknat, jangan termakan siasatnya!" Toh Hun-ki berseru memberi peringatan.

Siau-Long tertegun sejenak. Tetapi pada lain saat ia tertawa meliar lalu tanpa berpaling ke arah Toh Hun-ki, ia terus menyeret Soh-beng Ki-su lari ke arah puncak itu.

Walaupun puncak itu berbahaya sekali keadaannya tetapi dalam Lembah Maut, puncak itu termasuk satu-satunya tempat yang dapat ditempuh.

Tak berapa lama tibalah mereka di kaki puncak. Soh-beng Ki-su melirik Siau-liong, katanya, “Aku toh sudah berada dalam genggamanmu, masakan mampu lolos? Tetapi dengan cara menyeret dan menggusur seperti ini, bagaimana aku mampu mencari tusuk kundai Kumala itu?"

"Hm, tak mungkin engkau lolos dari tanganku!" Siau-liong lepaskan cengkeramannya.

Setelah menghela napas untuk melonggarkan lehernya yang sesak ia pura-pura seperti mulai mencari. Dihampirinya sebuah semak belukar. Tetapi pada saat Siau-liong tak waspada, ia terus loncat menyusup ke belakang sebuah batu disebelah kiri.

Ternyata di belakang batu itu terdapat sebuah gua rahasia yang tembus ke Barisan Tujuh Maut dan Lembah Semi. Sesungguhnya dalam peta pemberian Jong Ling lojin, tempat itu memang disebut. Tetapi karena Siau-liong sedang terbenam memikirkan Mawar Putih, ia sampai tak ingat lagi sehingga Soh-beng Ki-su dapat lolos.

Tetapi Soh beng Ki-su masih tongolkan kepalanya dari balik batu dan tertawa mengekeh, “Heh, heh, tua bangka Laknat! Aku tak mau seratus persen membohongimu. Memang ada seorang wanita baju hitam menolong seorang wanita .... tetapi bukan Dewi Ular Ki Ih, melainkan seorang gadis baju putih .... Ki Ih mungkin sudah binasa dalam barisan Tujuh Maut!"

Siau-liong tertegun dan lupalah ia untuk menghantam pertapa itu. Pada lain saat ketika tersadar, ternyata Soh-beng Ki-su sudah lenyap. Ia marah karena ditipu mentah-mentah oleh Soh-beng Ki-su. Tetapi ia terhibur juga hatinya karena nyata Mawar Putih telah ditolong orang.

Terpaksa ia kembali ketempat rombongan Toh Hun-ki lagi. Ketua Kong-tong-pay itu amat girang sekali melihat Pendekar Laknat kembali. Cepat ia memberi hormat, “Pendekar Laknat, dua kali sudah engkau telah memberi pertolongan. Budimu itu takkan kulupakan selama-lamanya!"

Tawar-tawar Siau-liong menyahut, “Perlu apa engkau ribut-ribut? Aku dapat memberi hidup tetapi pun dapat membunuh, ditatapnya ketua Kong-tong-pay itu dengan mata berapi-api lalu tertawalah ia senyaring-nyaringnya.

Tetapi Toh Hun-ki sudah biasa mendengar tertawa yang penuh kecongkakan itu. Kemudian ia berkata, “Pesanmu ketika di Lembah Semi tempo hari, telah kulaksanakan. Racun pada luka nona Tiau Bok-kun sudah terobati. Ketika kutinggalkan Siok-ciu, dia masih beristirahat di rumah penginapan. Tetapi saat ini dia tentu sudah sembuh!"

“Tahu!" sahut Siau-liong hambar, lalu menghampiri Ti Gong taysu.

To Kiu-kong, Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan kedua pengemis Pincang, diam-diam terkejut menyaksikan Pendekar Laknat dapat muncul dan lenyap di Lembah Maut. Sekalipun Toh Hun-ki telah memperlakukan Pendekar Laknat sebagai seorang pendekar budiman, tetapi orang-orang Kay-pang itu tetap gelisah. Maka mereka menjauhkan diri dan tak ikut bicara.

Sikap Ti Gong taysu tampak lucu. Wajahnya menampil kejut dan ketakutan. Ia terlongong-longong memandang Siau-liong.

Duapuluh tahun berselang, ia ikut dalam rombongan yang dipimpin Ceng Hi totiang ketua Kun-lun-pay untuk membunuh kelima momok. Sudah tentu saat itu ia melihat Pendekar Laknat juga.

Seingatnya Pendekar Laknat itu tak setinggi yang di hadapannya sekarang. Begitupun suaranya yang menggeledek itu, tak sama dengan dahulu. Tetapi memang pakaian, wajah dan dandanannya tiada beda dengan Pendekar Laknat dahulu.

Karena kuatir nanti timbul salah paham sehingga terjadi perkelahian antara Pendekar Laknat dengan Ti Gong taysu, buru-buru Toh Hun-ki menyelinap ke tengah mereka dan memperkenalkan ....” Inilah ketua Siau-lim-si Ti....”

“Sahabat lama pada duapuluh tahun yang lalu, masakan perlu engkau perkenalkan!" bentak Siau-liong.

Memang untuk menyempurnakan penyamarannya sebagai Pendekar Laknat, diam-diam Siau-liong menyelidiki tentang peristiwa kelima momok mengadu biru di dunia persilatan pada duapuluh tahun berselang. Diketahuinya bahwa Ti Gong taysu termasuk salah seorang tokoh yang ikut gerakan membasmi kelima momok itu.

Ti Gong taysu menyebut 'Omitohud' lalu memalingkan muka. Sudah tentu Toh Hun-ki gugup dan kuatir Pendekar Laknat marah. Buru-buru ia berkata lagi kepada Siau-liong:

“Demi memberantas gerakan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang hendak mencengkeram dunia persilatan, maka It Hang totiang telah memimpin rombongan orang gagah menyerang ke Lembah Semi. Tetapi ternyata rombongan gagah banyak yang gugur dan sekarang hanya tinggal kami beberapa orang ini ....” - ia menghela napas dan mata berlinang-linang.

"Menilik kenyataan sekarang ini, tentulah kedua suami isteri durjana itu segera akan bergerak. Keamanan dunia persilatan jiwa para tokoh-tokoh persilatan, menghadapi ancaman. Satu-satunya harapan, hanya terletak pada Pendekar Laknat seorang saja!" kata ketua Kong-tong-pay itu lebih lanjut.

Memang agak berkelebihanlah ucapan Toh Hun-ki itu. Tetapi sesungguhnya hal itu memang suatu fakta. Makin mengindahkanlah Siau-liong terhadap pribadi ketua Kong-tong-pay itu.

Namun ia terpaksa deliki mata dan berseru, “Aku tak sanggup menyanggul beban seberat itu dan tak ingin mencampuri urusan yang tiada sangkut pautnya dengan diriku!"

Berdiam sebentar, Siau-liong tertawa keras dan menegur Ti Gong taysu, “Paderi tua, Siau-lim-si termasyhur diseluruh dunia. Ilmu pukulan Tat-mo-kim-kong merajai dunia persilatan dan engkau pun seorang ketua. Terapi mengapa engkau dapat dikurung dalam Lembah Maut sini?"

Ti Gong taysu mendengus, “Aku memang merasa malu karena kepandaianku masih rendah. Dan lagi memang suami isteri iblis itu licin sekali memasang jerat .... tetapi, ah, hal itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Paling banyak kan mati!"

Ucapan itu menunjukkan kepribadian seorang ketua partai persilatan seperti Siau-lim-si Keras, pantang mundur. Semula Siau-liong tak puas melihat sikap congkak dari ketua Siau-lim-si itu. Tetapi setelah mendengar pernyataannya itu, kemarahannya pun agak reda.

Toh Hun-ki makin gelisah. Pada saat ia hendak membuka mulut melerai, tiba-tiba dari arah barisan Tujuh Maut dan terowongan yang tembus ke Lembah Maut, terdengar suitan pelahan.

Siau-liong mendengarkan dengan seksama, lalu berkata dingin, “Hendak kubawa kalian keluar dan Lembah Maut ini, tetapi entah ....” - ia memandang Ti Gong taysu, berkata pula, "Apakah kalian percaya padaku?"

Ti Gong taysu tetap membisu. Adalah Toh Hun-ki yang cepat menghampiri dan berkata tegang, “Musuh kuat segera datang, jika Pendekar Laknat dapat membawa kami keluar dari lembah ini, itulah yang paling bagus ....”

Siau-liong tertawa. Sejenak memandang sekalian orang, ia berputar tubuh lalu ayunkan langkah.

Berkat peta dari Jong Ling lojin, dapatlah ia mengetahui keadaan lembah itu dengan jelas. Ternyata Lembah Maut itu mempunyai sepuluh buah jalanan yang tembus keluar. Tetapi hampir seluruhnya akan tembus ke dalam Barisan Tujuh Maut. Hanya ada sebuah jalan yang dapat menembus keluar Lembah Semi.

Siau-liong menyadari bahwa tak lama lagi Iblis Penakluk-dunia dan isterinya tentu akan datang membawa anak buahnya. Maka cepat ia menuju kejalan tembusan yang gelap.

Berpaling ke belakang, dilihatnya Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay mengikuti dibelakangnya, lalu To Kiu-kong, Pengemis-tertawa Tio Tay-tong, kedua pengemis Pincang dan paling akhir Ti Gong taysu. Ketua Siau-lim-si itu berjalan dengan kepala menunduk. Sikapnya seperti orang yang puas.

Jalan tembusan itu berada di kaki sebuah dinding karang. Siau-liong berhenti lalu menghantam segerumbul semak belukar setinggi orang.

Toh Hun-ki terkejut karena mengira Pendekar Laknat tentu menemukan jejak musuh. Mereka buru-buru berpencar dan siap-siap. Terdengar bunyi berderak-derak lalu berhamburan pecahan batu dari balik semak itu. Dan pada dinding karang segera terbuka sebuah lubang terowongan yang cukup untuk seorang.

Tanpa bersangsi lagi, Siau-liong terus menerobos masuk. Toh Hun-ki dan rombongannya pun segera mengikuti. Karena tubuhnya tinggi besar, terpaksa Ti Gong taysu harus agak menunduk baru dapat masuk.

Terowongan itu memang terowongan alam. Penuh liku-liku dan berlekuk-lekuk jalannya. Selain lembab, pun amat licin sekali. Agaknya dinding langit terowongan itu mengucurkan air ke bawah.

Untung makin ke dalam terowongan itu makin lebar. Berkat makan buah Im-yang-som dan minum darah binyawak purba dalam pusar bumi, mata Siau-liong luar biasa tajamnya. Walaupun terowongan amat gelap, ia dapat berjalan pesat.
27. Wanita Gubuk Pemburu

Toh Hun-ki dan kawan-kawannya, walaupun memiliki tenaga dalam yang tinggi, namun tetap kalah awas dengan mata Siau-liong. Terpaksa mereka harus jalan dengan hati-hati.

Terowongan itu ternyata amat panjang. Kira-kira satu li jauhnya, barulah tiba dimulut gua sebelah luar. Siau-liong cepat loncat keluar.

Disekeliling tempat situ merupakan sebuah lamping gunung yang jauh dari Lembah Semi. Ia menghela napas longgar.

Diperhatikan keadaan empat penjuru. Ternyata sekeliling penjuru merupakan jajaran puncak gunung yang saling bergandengan. Lembah Semi berada ditengah lingkup jajaran puncak gunung itu.

Tiba-tiba ia terperanjat. Dibalik sebatang pohon pada jarak beberapa tombak jauhnya, tampak sesosok bayangan berkelebat. Gerakannya amat cepat sekali. Sekejap saja bayangan itu sudah menghilang dalam kegelapan.

Saat itu baru menjelang tengah malam. Setelah menunggu sebentar, ternyata tak tampak sesuatu yang mencurigakan lagi. Diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri yang begitu keliwat perasa. Bukankah dalam hutan tentu banyak binatang-binatang yang menghuni?

Saat itu Toh Hun-ki dan lain-lain orang pun sudah keluar dari terowongan gua. Pakaian dan tubuh mereka kumal dan kotor.

Tetapi mereka tak menghiraukan hal itu. Mereka lebih tercengkeram oleh kegirangan yang meluap-luap karena sudah terlepas dari Lembah Semi. Semua mata terarah kepada Siau-liong dengan pandang terima kasih yang tak terhingga.

Ti Gong taysu menghela napas panjang. Tiba-tiba ia melangkah kehadapan Siau-liong dan memberi hormat. "Aku selalu menjunjung budi dan dendam. Sejak saat ini seluruh anak murid Siau-lim-si akan menghormat saudara sebagai seorang pendekar budiman, bukan tokoh golongan Hitam lagi!"

Siau-liong hanya tertawa hambar: “Aku tak memusingkan hal itu. Terserah saja kepadamu!"

Tiba-tiba To Kiu-kong banting-banting kaki, serunya, “Walaupun aku dapat lolos keluar tetapi Cousu-ya kami masih berada dalam Lembah Maut. Jika kedua suami isteri iblis itu melakukan serangan besar-besaran, Cousu-ya tentu terancam bahaya!"

Diam-diam Siau-liong geli dalam hati. Lalu berkata, “Tokoh perwira Kongsun Liong itu, seorang pendekar muda yang paling kuindahkan. Dia dapat muncul lenyap secara aneh. Siapa tahu saat ini dia pun sudah lolos dari Lembah Maut. Harap kalian jangan gelisah!"

Sekalian orang terbelalak. Belum pernah terdengar bahwa Pendekar Laknat mau menghargai sebagai itu. Lebih-lebih terhadap seorang pemuda tak terkenal.

Melihat sekalian orang mengawasi dirinya. karena kuatir akan terbuka kedoknya, Siau-liong tertawa nyaring lalu berkata kepada Toh Hun-ki, “Bagaimana tujuan kalian?"

Ketua Kong-tong-pay menghela napas panjang. Memandang Ti Gong taysu dan Tio Kiu-kong, lalu berkata, “Saat ini di Siok-ciu tentu masih banyak tokoh-tokoh persilatan yang berbondong-bondong datang. Kemungkinan mereka tentu belum mendengar tentang kekalahan yang kami derita dalam penyerangan ke Lembah Semi kali ini. Tiada jalan lain lagi kecuali hanya menyusun kekuatan dengan sahabat-sahabat persilatan itu ....”

Memandang Siau-liong, ia berkata setengah meminta, “Jika Pendekar Laknak tak tega melihat kehancuran dunia persilatan, maka ....”

“Baik, aku bersedia membantu gerakan kalian untuk membasmi Iblis Penakluk dunia dan isterinya. Tetapi ....” Siau-liong berhenti menatap wajah Toh Hun-ki lekat, serunya pula: “Setelah kedua iblis itu dapat ditindas, aku hendak minta beberapa barang kepadamu sebagai upahnya!"

“Asal kami mampu saja, tentu akan memberikan," Toh Hun-ki menyahut gopoh.

Siau-liong tertawa dingin, "Mungkin barang yang hendak kuminta terlampau berharga sekali sehingga tak mungkin engkau mau memberikan!"

Sambil menunjuk kelangit, Toh Hun-ki bersumpah, “Apapun yang hendak engkau minta, aku takkan sayang memberikan. Sekali pun jiwaku juga akan kuserahkan!"

Siau-liong mendengus, “Toh Hun-ki, engkau benar, yang kuminta justeru batang kepalamu dan keempat Su-lo Kong-tong-pay!"

Sekalian orang tersentak kaget. Toh Hun-ki termenung lama, akhirnya ia mengangguk. Serunya tertawa, “Jika memang itu yang engkau kehendaki, akupun setuju. Begitu kedua suami isteri iblis itu sudah dibasmi, terserah kapan saja engkau hendak mengambilnya ....”

Ketua Kong-tong-pay itu berpaling ke belakang dan memandang keempat Su-lo, lalu berkata dengan tenang, “Tentang batang kepala dari keempat suteku ini, aku pun dapat memberi keputusan. Akan kami serahkan bersama-sama sekaligus!"

Keempat Su-lo itu tenang-tenang saja wajahnya, Seakan-akan mereka sudah pasrah nasib pada ketuanya.

Sikap dan ucapan yang perwira dari ketua Kong-tong-pay itu mengharukan hati Siau-liong. Tetapi terpaksa ia paksakan diri tertawa dingin, “Perjanjian telah kita setujui, pada saat itu harap engkau jangan menyesa!."

Wajah Toh Hun-ki mengerut sarat dan tertawalah ia selapang-lapangnya, "Aku bukanlah manusia yang suka menjilat ludah. Asal dapat menyelamatkan dunia persilatan, aku tak menghiraukan nasibku!"

Siau-liong termenung. Pada lain saat ia mempersilahkan rombongan tokoh persilatan itu lanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah menuruni gunung, tiba-tiba Toh Hun-ki berhenti dan berpaling, “Apakah Pendekar Laknat hendak ......”

Siau-liong mendengus, “Aku pun tak pernah ingkar janji. Tiga hari lagi aku tentu datang ke Siok-ciu untuk berunding dengan kalian."

Demikian Toh Hun-ki dan rombongan, segera menuruni gunung menuju ke Siok-ciu. Setelah mereka jauh, Siau-liong menghela napas terharu. Beberapa butir air mata menitik turun .... Dia sendiri tak tahu mengapa ia begitu terharu perasaannya dan sampai menangis.

Keharuan itu sama sekali bukan karena umurnya tinggal setahun ia serahkan pada nasib. Apalagi dalam waktu setahun itu, cukuplah baginya untuk bertemu dengan ibunya, melaksanakan balas dendam dan lain-lain, habis itu, mati pun ia tak menyesal.

Tengah hatinya dirundung kepiluan, tiba-tiba dari balik pohon besar disebelah muka tadi, bayangan itu mulai muncul lagi.

Siau-liong terkejut. Terang bayangan itu bukan binatang liar melainkan seorang persilatan yang memiliki gerakan tangkas sekali. Dari potongan tubuhnya yang langsing, tentulah dia seorang wanita.

Ketika memandang dengan seksama, makin besarlah rasa kejut Siau-liong, yang datang itu ternyata si dara baju hijau tua, ialah dara dari gubuk keluarga pemburu yang pernah Siau-liong dan Mawar Putih datangi tempo hari.

Tiba dihadapan Siau-liong, dara itu memandang lekat-lekat kepadanya dan bertanya dengan geram, “Tua bangka, siapa namamu?"

Semula Siau-liong hendak menegurnya. Tetapi ketika menyadari bahwa saat itu ia masih dalam penyamaran sebapai Pendekar Laknat, ia batalkan niatnya. Tentulah dara itu takkan mengenalinya.

“Nona kecil, mengapa tengah malam engkau berjalan-jalan di puncak gunung sini?" Siau-liong balas bertanya.

Dara itu kerutkan alis lalu melengking, “Apakah engkau tuli? Tak mendengar apa yang kutanyakan?"

Siau-liong tertegun. Diam-diam ia memuji dara itu benar-benar bernyali besar. Tengah malam di tempat sunyi bertemu dengan Pendekar Laknat yang berwajah seram, namun dara itu setitik pun tak takut!

Saat itu mereka berada disebuah belantara yang tak pernah didatangi orang. Siau-liong anggap tak perlu ia bertingkah seperti Pendekar Laknat lagi.

"Nona kecil, pernahkah engkau mendengar nama Pendekar Laknat?" serunya.

Dara itu menyahut dengan berteriak nyaring. "Apakah engkau Pendekar Laknat itu?"

Siau-liong memandang wajah si dara yang masih kekanak-kanakan, tertawa, “Benar aku memang Pendekar Laknat!"

Diluar dugaan, dara itu malah membentak, “Bagus, setan tua! Akhirnya aku dapat menemukan engkau!" – “wut....” ia terus ayunkan tangan menampar.

Siau-liong benar-benar tak mengerti mengapa dara itu sedemikian bengisnya. Terhadap tamparannya, ia tak menaruh kekuatiran, Diluar dugaan, hampir saja ia celaka!

Tampaknya biasa saja gerak tamparan dara itu sehingga Siau-liong sama sekali tak berjaga-jaga. Pikirnya, tak apalah andaikata sampai mengenai bagian jalan darah yang penting. Tentu takkan menderita.

Adalah pada saat tenaga tamparan itu hampir tiba, barulah Siau-liong kaget setengah mati. Ia sudah tak sempat menangkis lagi. Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.

Ternyata tamparan dara itu mengandung tenaga dalam lunak yang istimewa. Tampaknya lemah sekali tetapi hebatnya bukan kepalang. Dapat menghancurkan tulang-tulang dari sendinya. Dan yang istimewa lagi, pukulan itu sama sekali tak bersuara.

“Dess....!” dada Siau-liong terkena pukulan si dara dengan tepat sekali. Walaupun ia sudah kerahkan lima bagian tenaga dalamnya, namun dadanya seperti dihantam dengan palu godam.

Darah bergolak keras, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai tujuh delapan langkah baru ia dapat paksakan diri berdiri tegak.

Melihat pukulannya berhasil dara itu melengking dan secepat kilat loncat maju ia menghantam dengan kedua tangannya lagi!

Sudah tentu Siau-liong kejut bukan kepalang. Menurut penilaiannya, tenaga dalam dari pukulan si dara serta gerakannya dalam ilmu meringankan tubuh, tidak dibawah kedua suami isteri Iblis Penakluk dunia. Kalau ia tak balas menyerang, terang tentu akan terluka berat.

Tiba-tiba Siau-liong menggembor keras. Dengan salurkan delapan bagian dari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, iapun menyongsong dengan kedua tangannya. Ketika dua tenaga sakti saling beradu sama sekali tak mengeluarkan suara.

Kiranya tenaga sakti yang dilepas Siau-liong itu bersifat Keras. Sedang tenaga sakti si dara merupakan tenaga sakti lunak. Keras beradu Lunak, hilang sirna kedua-duanya!

Siau-liong mendengus. Ia hendak menarik pulang tenaga pukulannya. Tetapi diluar dugaan si dara menyerang lagi.

Dara itu juga seorang pemarah. Melihat pukulannya tak mampu merubuhkan Siau-liong, marahlah ia. Dorongkan kedua tangan kemuka, ia pancarkan seluruh tenaga saktinya ke arah Siau-liong.

Siau-liong pucat seketika. Ia menyadari bahwa apabila dua jenis tenaga sakti saling beradu, salah satu atau mungkin kedua-duanya, tentu akan menderita luka parah. Bahkan mungkin binasa. Dara itu tak mempunyai dendam permusuhan dengan dirinya. Tetapi mengapa begitu kalap hendak mengadu jiwa?

Juga dara itu tak mau memberi kesempatan kepadanya untuk bicara. Dan celakanya, ternyata dara itu memiliki kepandaian yang sakti. Dua kali dara itu menyerang hebat. Dan kalau sekarang dibiarkan juga, kemungkinan ia tentu celaka.

Dengan mengerat gigi, terpaksa Siau-liong kerahkan tenaga sakti untuk menyongsong serangan si dara.

Tetapi alangkah kejut Siau-liong. Sudah delapan bagian dari tenaga saktinya yang ia lancarkan namun tetap berimbang dengan tenaga sakti si dara.

"Celaka," keluhnya dalam hati, “aku tak kenal dan tak mempunyai dendam suatu apa kepada budak perempuan ini. Kalau sampai binasa ditangannya, bukankah amat penasaran?"

Dan tak habislah heran Siau-liong. Ia sudah menerima penyaluran tenaga sakti dari Pendekar Laknat, sudah makan buah Im-yang-som dan sudah pula minum darah binyawak purba dalam pusar bumi. Karena hal-hal yang luar biasa itu, barulah ia memiliki kesaktian seperti saat itu.

Tetapi dara itu? Ya, dara itu tentu lebih muda dari dia. Tetapi mengapa kepandaiannya begitu hebat, tak dibawah kepandaiannya? Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba Siau-liong rasakan tekanan tenaga lawan makin bertambah keras sehingga tubuhnya mulai terdorong ke belakang.

Siau-liong gelagapan kaget. Buru-buru ia menambahkan tenaga dalamnya lagi.

Namun rupanya dara baju hijau itu amat penasaran sekali. Kalau dapat, hendak dihancurkan saja Siau-liong saat itu juga. Melihat Siau-liong menambahkan tenaga saktinya, dara itu geregetan sekali.

Sekonyong-konyong dara itu gentakkan kedua kakinya menekan tanah. Dengan segenap tenaga ia memberi tekanan kepada Siau-liong.

Siau-liong gelagapan sekali ia tak kira kalau dara itu begitu kalap hendak mengadu jiwa kepadanya. Apabila terjadi benturan, tak dapat tidak keduanya akan celaka semua.

Namun untuk menghindari, Siau-liong sudah tak sempat lagi. Dan terjadilah getaran dahsyat. Siau-liong dan dara itu sama-sama terpental setombak dan rubuh ke tanah!

“Aduh....” dara itu mengerang pelahan lalu tak bersuara lagi. Tampaknya tentu menderita luka parah dan mungkin sudah binasa, mungkin hanya pingsan.

Siau-liong walaupun masih sadar tetapi juga sudah terlongong-longong. Darah dalam tubuhnya bergolak keras sehingga kepalanya pening mata pudar. Kemungkinan setiap saat ia akan pingsan dan mati.

Dengan kuatkan diri Siau-liong kerahkan tenaga murni untuk memulihkan peredaran darahnya. Tetapi begitu kerahkan tenaga murni, darahnya melancar keras, meluap kemulut dan "huak".... ia muntah darah sampai dua kali .....

Mata Siau-liong mulai kabur. Sekeliling alam terasa berputar-putar. Dalam keadaan antara sadar tak sadar iiu, ia masih dapat menghela napas. Kalau ia harus mati saat itu, sungguh mengenaskan sekali....

Sekonyong-konyong dari jauh terdengar orang berseru memanggil-manggil, “Leng-ji! Lengji....”

Walaupun Siau-liong mendengar juga suara itu. tetapi ia sudah seperti terbuai dalam keadaan mabuk. Pikirannya tak dapat lagi mengetahui keadaan disekelilingnya.

Suara itu makin lama makin dekat. Nadanya mengunjuk rasa kegelisahan. Tak lama kemudian sesosok bayangan meluncur pesat kesamping dara itu. Dia menjerit lalu berjongkok memeriksa si dara.

Ternyata pendatang itu ada wanita dari gubuk keluarga pemburu atau ibu dari dara itu, ialah nyonya rumah yang menemui Siau-liong ketika pemuda itu bersama Mawar Putih mencari tempat bermalam di hutan.

Wanita baju hitam itu mendukung si dara seraya mengiang-ngiang: ,,Anakku, oh, anakku ....”

Dara itu sudah pingsan. Kaki tangannya lunglai, mata meram seperti orang mati.

Wanita itu lekatkan telinganya ke dada puterinya. Didengarnya jantung dara itu masih mendebur. Cepat ia mengambil sebutir pil lalu disusupkan kemulut si dara.

Terdengar perut dara itu kerucukan. Tak lama kemudian bibirnya bergetar lalu "huak" ...... mulutnya muntahkan segumpal darah hitam!

Ketegangan wajah wanita baju hitam itu agak menurun. Sambil membopong tubuh si dara, ia pelahan-lahan menghampiri ketempat Siau-liong. dengan mata berkilat-kilat gusar ia membentak Siau-liong,

“Tua bangka laknat!"

Siau-liong pikirannya masih sadar. Baru ia gerakkan mulut hendak memberi keterangan, wanita baju hitam itu sudah membentaknya, “Walaupun aku sudah mengasingkan diri dan sudah cuci tangan, tetapi engkau sendiri yang cari mati....”

Wajah wanita itu tiba-tiba berobah pilu. Matanya berlinang-linang. Setelah termenung beberapa saat ia berkata pula, “Karena engkau berani mencelakai puteriku. Terpaksa aku pun harus berlaku kejam kepadamu!"

Ia menutup kata-katanya dengan mengangkat kaki kanannya. Sekali tendang, tubuh Siau-liong berguling-guling beberapa langkah.

“Hai, tua bangka Laknat! Apakah engkau dengar kata-kataku tadi?" serunya.

Tendangan wanita itu membuat Siau-liong meregang setengah mati! Tulang belulangnya serasa copot dari persendiannya. Ia hanya mengerang, tertahan.

Wanita baju hitam itu tertegak diam. Pada lain saat ia menghela napas panjang, memandang Siau-liong yang menggeletak tak berkutik ditanah, ia berkata seorang diri, “Pada saat dan tempat sekarang ini, kuampuni jiwamu. Tetapi besok pada pertengahan hari....”

Habis berkata wanita itu terus membawa si dara baju hijau pergi. Tak berapa lama lenyap dalam kegelapan.

Siau-liong dalam keadaan sadar tak sadar. Semangatnya seperti melayang-layang di angkasa. Ia tak berani mengerahkan hawa murni untuk menjalankan peredaran darah. Karena dengan berbuat begitu bahkan akan membuat darahnya sungsal sumbal.

Dan pasti matilah ia saat itu. Apa boleh buat ia biarkan saja apa yang terjadi dalam tubuhnya. Ia pasrahkan dirinya pada kehendak Nasib.

Rasa sakit telah menyebabkan kesadaran pikirannya hilang. Seolah olah anggauta badannya, bukan lagi menjadi miliknya.

Malam merayap panjang, Sudah hampir tiga jam lamanya Siau-liong dalam keadaan sedemikian itu. Saat itu haripun hampir terang tanah. Angin di malam musim rontok yang dingin membuat Siau-liong tersadar. Mulai ia gelisah. Tenaganya lemah lunglai tak dapat bergerak lagi.

Saat itu ia masih berada tak berapa jauh dari mulut gua tembusan. Jika suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka muncul, tentu ia akan diseret ke dalam lembah lagi.

Namun apa daya. Ia benar-benar tak kuat untuk menggerakkan tubuhnya. Kembali ia harus menyerah pada nasib.

Y

Sekonyong - konyong terdengar derap langkah orang. Bermula lapat-lapat tetapi makin lama makin dekat. Dan beberapa saat kemudian tiba di belakang Siau-liong.

Diam-diam Siau-liong mengeluh. Jelas Toh Hun-ki dan rombongannya sudah pergi. Yang mungkin datang tentulah suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Atau anak buah Lembah Semi. Tetapi pada lain kilas ia anggap dugaannya itu kurang tepat. Karena baik Iblis Penakluk-dunia atau Dewi Neraka, mau pun Soh-beng Ki-su tentu tak mungkin datang seorang diri. Pada hal jelas yang datang itu adalah seorang.

Dengan telinganya yang tajam apalagi keadaan sekeliling tempat itu sunyi senyap, dapatlah ia mengikuti gerak-gerik pendatang itu. Setelah tiba dibelakangnya, orang itu tertegun diam.

Pada lain saat tiba-tiba orang itu berjongkok dan berteriak cemas, “Locianpwe, locianpwe .... engkau ....”

Siau-liong tak asing lagi dengan nada suara itu. Ya, itulah Tiau Bok-kun. Tak mungkin salah.

Dengan paksakan diri, Siau-liong bergeliat berseru. "Tiau .... nona .... Tiau ....!"

Luka dalam yang dideritanya benar-benar parah. Setelah berseru tiga patah kata, napasnya terengah dan tak dapat melanjutkan lagi. Darahnya bergolak sehingga ia hampir pingsan.

“Locianpwe, mengapa engkau menderita luka yang begitu parah....?” tanya Tiau Bok-kun cemas.

Setelah ditolong oleh Pendekar Laknat dari Lembah Semi, Tiau Bok-kun merasa berhutang budi kepada orang tua yang berwajah seram itu.

Siau-Liong hanya tersenyum hambar tetapi tak menjawab. Diam-diam ia cemas juga mengapa pada waktu larut malam begini, Tiau Bok-kun datang kesitu. Apabila orang Lembah Semi keluar, bukankah nona itu akan celaka!

Sejenak memandang keempat penjuru, Tiau Bok-kun berkata, “Locianpwe, lekaslah engkau salurkan tenaga dalam. Kita .... kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini!"

“Aku .... sudah tak ada harapan lagi! Lekaslah engkau .... pergi .... jangan ...... jangan pedulikan aku!"

Tampak mata Tiau Bok-kun berlinang-linang, katanya meratap, "Jika tak ketemu, itu lain soal. Tetapi sekali aku berjumpa dengan locianpwe, tak mungkin aku tak mempedulikan ....... Tempo hari jika tak ditolong locianpwe, aku tentu sudah mati dalam Lembah Semi!"

Melihat nona itu berkeras kepala, Siau-liong gugup dan membentaknya, “Pergi .... engkau! Aku ....”

Karena hatinya goncang, darah meluap dan pingsan lagilah ia.

Tiau Bok-kun gugup sekali. Setelah bersangsi sejenak, ia terus memanggul tubuh Pendekar Laknat lalu dibawanya turun gunung.

Kira-kira setengah li jauhnya, mereka tiba di kaki puncak. Tiau Bok-kun memilih sebuah tempat yang tersembunyi dan meletakkan tubuh Siau-liong.

Setelah menyandarkan tubuh Siau-liong pada batu, Tiau Bok-kun mulai lekatkan kedua tangannya pada perut Siau-liong untuk menyalurkan tenaga dalamnya
28. Mawar Dan Melati

Berkat makan buah Im-yang-som dan minum darah binyawak dalam pusar bumi, Siau-liong memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang lebih tinggi dari orang biasa. Maka begitu mendapat saluran tenaga dalam dari Tiau Bok-kun, cepat sekali darah Siau-liong yang bergolak keras itu dapat ditenangkan kembali.

Setelah beberapa waktu lamanya, Siau-liong membuka mata. "HuaK", ia muntahkan segumpal darah hitam. Tetapi dengan begini, napasnya agak longgar, semangat lebih segar.

Tiau Bok-kun hentikan penyalurannya dan berkata dengan terengah-engah, “Locianpwe, lekas salurkan tenagamu. Engkau sudah makin baik!"

Tetapi Siau-liong tersenyum tawar dan gelengkan kepala, “Percuma! Tak mungkin aku sembuh! Aku dapat merasakan sendiri .... Nona Tiau ....” ia berkata pula.

"Locianpwe ......”

"Mengapa tengah malam begini engkau datang kemari?"

"Aku hendak mencari seseorang!"

Siau-liong tergetar hatinya, “Siapa?"

Nona itu menghela napas panjang. Sampai lama ia tak berkata.

“Apakah bukan pemuda yang bernama Kong-sun Liong itu ....”

Tiau Bok-kun teringat ketika dalam Lembah semi ia pernah minta tolong kepada Pendekar Laknat supaya menyampaikan pesan kepada Kong-sun Liong. Wajah nona itu tersipu merah ketika mengangguk, “Kutahu dia tentu sudah masuk ke dalam Lembah Semi, maka ....”

Diam-diam Siau-liong mengucurkan dua titik air mata. Lalu dengan halaukan rasa haru, ia berkata, “Harap nona suka mendengar nasehatku. Lebih baik nona jangan mencarinya!"

“Mengapa? Apakah locianpwe pernah melihatnya?" tanya Tiau Bok-kun gugup.

Siau-liong tidak menyahut melainkan melanjutkan kata-katanya lagi, “Nona takkan dapat menemukannya selama-lamanya!"

"Mengapa?" Tiau Bok-kun makin tegang Siau-liong menghela napas, “Mungkin dia sudah pergi keseberang lautan dan takkan kembali lagi ....”

Tiau Bok-kun meregang kedua matanya lebar-lebar memandang Siau-liong. Dua butir air mata bercucuran dari pelupuknya. Beberapa saat kemudian ia membesut air matanya lalu berkata dengan tersekat, “Tidak, tidak mungkin dia berbuat begitu. Paling tidak dia tentu akan membawaku pergi!"

Berhenti sejenak ia berkata pula, “Dia tahu bahwa diriku senasib dengan dia. Tiada ayah bunda, hidup sebatang kara!"

Hati Siau-liong seperti disayat sembilu. Batinnya, “Ah, tahukah engkau bahwa Kongsun Liong yang engkau cari itu berada dihadapanmu? Tahukah pula engkau bahwa aku hanya dapat hidup dalam satu tahun saja?"

Sau-liong termangu tegak seperti patung. Perasaannya melayang-layang tak keruan. Nasib malang tak putus-putusnya merundung dirinya.

Poh Ceng-in si wanita pemilik Lembah Semi telah memberinya minum racun Jong-tok. Dalam waktu satu tahun ia tentu mati. Belum sempat ia melakukan tujuan mencari ibu dan membalas musuh-musuh, diluar dugaan ia bertemu dengan si dara baju hijau yang menyerangnya sehingga sama-sama menderita luka parah ......

"Locianpwe, mengapa engkau .... juga tampak bersedih?" tiba-tiba Tiau Bok-kun bertanya cemas seraya mengeluarkan sapu tangan.

Ternyata Siau-liong tak dapat mengendalikan kesedihan hatinya sehingga menitikkan air mata juga.

Setelah Tiau Bok-kun menyeka air matanya, barulah ia tersadar. Ia paksakan tertawa. "Dengan Kongsun Liong itu, aku memang pernah bertemu ....”

“Oh ....” desis Tiau Bok-kun tegang, “Dimanakah dia? Locianpwe, dimanakah dia sekarang?"

Sejenak merenung Siau-liong menyahut, “Pada waktu berjumpa dia sedang siap-siap hendak pergi jauh kelain tempat. Dia tentu dicelakai secara licik oleh orang dengan racun yang ganas. Menurut keterangannya, dia hanya dapat hidup selama setahun lagi .....”

"Locianpwe!" Tiau Bok-kun menjerit, "Apakah keteranganmu itu benar?"

Siau-liong menghela napas, “Menurut keterangannya pula, dia masih mempunyai seorang keluarga yang tinggal diseberang laut. Sebelum mati dia hendak bertemu muka dengan keluarganya itu. Maka ia bergegas-gegas menuju keseberang laut!"

"Tahukah locianpwe letak tempatnya diseberang lautan itu?" Tiau Bok-kun mendesak.

Siau-liong gelengkan kepala, “Ini .... aku tak mendengar jelas!"

Sejenak melirik pada Tiau Bok-kun, kembali Siau-liong melanjutkan kata-kata, “Pada saat pergi, Kongsun Liong telah minta tolong kepadaku supaya menyampaikan sebuah pesan kepada nona!"

Dengan berlinang-linang air mata Tiau Bok-kun bergegas menanyakan. Tetapi Siau-liong tak tahan berhadapan mata dengan si nona.

Cepat palingkan muka dan berkata, “Dia mengatakan .... supaya nona lupakan saja kepadanya. Anggaplah nona tak pernah bertemu dengannya!"

Hampir saja ia tak kuat menahan air matanya tetapi dengan kuatkan hati ia menahan diri.

Tiau Bok-kun terpukau lalu berkata seorang diri, “Melupakannya? Seperti tak pernah kenal padanya ....? Enak sekali ia mengucap kata-kata itu ....”

Serentak berpaling menatap Siau-liong, Tiau Bok-kun membentaknya, “Bohong! Tak mungkin dia mengatakan begitul Kutahu isi hati dan pribadinya. Dia bukanlah seorang pemuda yang mudah melupakan budi dan cinta ......”

Berhenti sejenak untuk menekan haru penasarannya, Tiau Bok-kun melanjutkan berkata pula, “Tentu karena tak dapat menyembuhkan racun itu maka ia lantas tak mau bertemu dengan aku lagi ......!"

Siau-liong menghela napas panjang.

"Rasanya itu lebih baik agar nona dan dia jangan sampai menderita!"

"Tetapi tak bisa begitu! Sekalipun dia hanya dapat hidup satu tahun, satu tahun aku akan menemaninya. Kemudian.... aku rela menemani mati bersamanya!"

Diam-diam Siau-liong terkejut, serunya, “Nona, tindakan nona itu bodoh sekali. Sekalipun nona rela berkorban tetapi baginya, tentu akan lebih menambah penderitaan batin!"

Ditatapnya Siau-liong dan berkatalah Tiau Bok-kun, “Bagaimana locianpwe tahu kalau dia akan menderita ......?"

Ia tenangkan ketegangan hati dan menghela napas, ujarnya, “Tak peduli dia hendak pergi kemana, aku tetap akan mencarinya!"

Siau-liong terpukau. Tak tahu ia bagaimana harus berkata .... Ia kehilangan paham.

Saat itu sudah hampir menjelang fajar. Angin pagi mulai berhembus menggigit tulang. Tiau Bok-kun memandang ke sekeliling penjuru lalu berkata, “Locianpwe, mari kubawa locianpwe ke Siok-ciu lah!"

Siau-liong gelengkan kepala, “Percuma, lukaku ini tak mungkin sembuh lagi. Biarlah aku menggeletak disini saja!"

"Dikota Siok-ciu banyak tabib yang pandai. Tentu dapat menyembuhkan luka locianpwe!"

Tanpa menunggu persetujuan Siau-liong lagi, Tiau Bok-kun terus memanggul tubuh pemuda itu dan mulai ayunkan langkah.

Siau-liong hendak meronta tetapi dia sudah tak bertenaga lagi. Terpaksa ia menghela napas dan pasrah bongkokan.

Hatinya gundah kelana tak keruan. Sedih bahagia, pedih dan gembira bercampur aduk jadi satu dalam sanubarinya. Mati tak dapat, hidup pun tak bisa ......

Kira-kira sepeminum teh lamanya, mereka tiba di jalan besar. Tengah Tiau Bok-kun berjalan, sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak bengis, “Berhenti!"

Tiau Bok-kun terkejut dan berhenti, Dari balik sebuah batu di tepi jalan, melesat keluar seorang dara.

Dara itu memandang lekat-lekat pada Pendekar Laknat yang dipanggul Tiau Bok-kun lalu mendengus tajam: “Bagus! Kiranya kalian begitu mesra sekali!"

Setelah menenangkan kegoncangan hatinya, Tiau Bok-kun menyahut, “Apakah engkau bukan taci Mawar Putih?"

Kiranya dara itu memang si Mawar Putih. Ketika dirumah penginapan dalam kota Siok-Ciu, tempo hari mereka memang pernah berjumpa.

Mawar Putih tak menghiraukan teguran Tiau Bok-kun. Menunjuk pada Pendekar Laknat, Mawar Putih melengking, “Perlu apa engkau memanggulnya?"

Habis berkata ia terus hendak merebut. Tiau Bok-kun menghindar seraya berteriak, “Jangan, dia sedang terluka berat!"

Mawar Putih tertegun. “Mengapa terluka?"

"Menurut keterangannya, lukanya sudah tak ada harapan lagi!"

Mawar Putih memandang tajam-tajam. Ah, benar. Wajah Siau-liong pucat lesi, napasnya lemah. Dara itu terkejut sekali. Tetapi karena Tiau Bok-kun memanggil Siau-liong sebagai Pendekar Laknat, ia duga nona itu belum tahu kalau yang dipanggulnya itu bukan lain adalah Kongsun Liong. Diam-diam Mawar Putih legah hatinya.

Kini ia tersenyum, “Baik, harap serahkan dia kepadaku!"

Tiau Bok-kun meragu. Dipandangnya wajah Siau-liong. Kedua matanya memejam, rupanya pingsan. Nona itu cemas, serunya: "Beliau orang tua ini menderita luka dalam. Harus cepat-cepat diobati, kalau tidak ....”

“Kutahu!" Mawar Putih tertawa dingin, “masakan aku sampai hati membiarkannya mati!"

Walaupun heran mengapa dara itu menghendaki Pendekar Laknat yang sedang terluka parah, namun karena melihat dara itu begitu bersungguh-sungguh, terpaksa ia menyerahkannya juga.

Sesungguhnya Siau-liong tidak pingsan. Ia tahu kalau dirinya dibuat rebutan oleh kedua gadis itu. Namun kalau membuka mulut, ia kuatir akan menimbulkan salah paham diantara kedua dara itu. Maka ia pura-pura pingsan.

Setelah membopong Siau-liong, Mawar Putih lalu berkata: “Kami hendak berangkat, silahkan engkau melanjutkan perjalananmu sendiri!"

Tiau Bok-kun mengangguk, “Baiklah, ah, membikin repot taci saja ......”

“Tak apa," sahut Mawar Putih tersenyum. Lalu berputar diri dan melangkah pergi.

Tiau Bok-kun memandang bayangan dara itu sampai beberapa saat. Tiba-tiba ia berteriak memanggilnya, “Taci Mawar Putih!"

Mawar Putih berhenti dan menanyakan apalagi yang hendak dikehendaki nona itu.

“Apakah taci pernah mendengar tentang diri .... Kongsun .... liong?"

Mawar Putih kerutkan alis, “Mengapa engkau menanyakannya?"

Tiau Bok-kun menghela napas, “Kabarnya dia telah menderita luka akibat diracuni secara licik oleh seseorang. Mungkin .... hanya dapat hidup sampai satu tahun saja!"

Mawar Putih tertegun, “Siapa bilang?"

"Locianpwe ini," kata Tiau Bok-kun menunjuk Siau-liong. Dua butir air matanya menitik turun dan berkata lagi, "Dan lagi, katanya dia sudah berangkat keseberang laut .... Taci Mawar, tahukah engkau seberang lautan yang ditujunya itu?" Tiau Bok-kun menyusuli pertanyaan pula.

"Tidak tahu," sahut Mawar Putih dingin. Ditatapnya Tiau Bok-kun tajam-tajam lalu menegur, “Eh, mengapa engkau terus menerus menanyakan tentang dirinya?.... Kukasih tahu padamu. Sekalipun andaikata dia tak jadi menuju keseberang lautan, tak nanti dia mempedulikan dirimu....! Lekas engkau lanjutkan perjalananmu, dan jangan bertanya atau menyelidiki beritanya lagi!"

Dengan rawan kepiluan, Tiau Bok-kun menyahut, “Tak apa dia akan mempedulikan aku atau tidak. tetapi dia telah menolong jiwaku ....”

"Dia banyak sekali menolong orang!" tukas Mawar Putih, "mungkin itu hanya merupakan suatu kewajiban baginya. Tetapi jelas dia tentu tak menghendaki engkau membalas budinya .... mungkin dia sudah melupakan dirimu!"

Tiau Bok-kun menghela napas, lalu pamitan dan terus melangkah pergi. Tampak langkahnya agak terhuyung-huyung. Jelas nona itu telah menderita pukulan batin yang berat!

Diam-diam Siau-liong mencuri lirik. Dilihatnya nona itu menuju ke Siok-ciu. Ia menghela napas panjang ....

Setelah Tiau Bok-kun lenyap dari pandangannya, Mawar Putih segera bertanya kepada Siau-liong,

“Apakah engkau benar-benar terluka parah? Apakah engkau dilukai Iblis Penakluk-dunia dan isterinya ketika dalam barisan Tujuh Maut?"

Siau-liong hanya menghela napas rawan dan minta nona itu supaya meletakkan dirinya.

“Tidak boleh membuang waktu. Aku akan mencari orang supaya mengobati lukamu!" kata Mawar Putih, terus melangkah pesat.

“Percuma! Jangan buang waktu dan tenaga sia-sia!" teriak Siau-liong gugup.

Tetapi dengan yakin Mawar Putih mengatakan “Betapa berat lukamu itu, aku kenal seseorang yang dapat menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa!"

Siau-liong kenal watak dara yang keras kepala itu. Apalagi ia lemah lunglai tak bertenaga. Terpaksa ia membiarkan saja dibawa Mawar Putih. Tetapi ia yakin, lukanya itu tak mungkin diobati lagi.

“Kalau engkau berkeras hendak mencari penolong, harap tolong bukakan kedok muka dan jubahku .... aku tak ingin dikabarkan orang bahwa Pendekar Laknat terluka berat dan mati ....”

Habis berkata karena kehabisan tenaga murni, Siau-liong pingsan pula.

Mawar Putih memaki dirinya sendiri yang begitu tolol. Ia segera mengerjakan permintaan pemuda itu. Membuka kedok muka dan jubah Pendekar Laknat sehingga menjadi Siau-liong lagi. Mawar Putih lalu memanggulnya dan lanjutkan perjalanan.

Tak berapa lama ia tiba disebuah gubuk dilereng gunung. Gubuk itu adalah tempat Mawar Putih dahulu dibawa Siau-liong untuk merawat lukanya.

Siau-liong masih pingsan sehingga tak tahu apa yang terjadi saat itu.

Setelah mendebur pelahan-lahan tiga kali pada pintu, ia segera mendorong daun pintu. Wanita baju hitam sudah berdiri tegak dalam ruang. Matanya berkilat-kilat memandang Mawar Putih dan Siau-liong.

“Kemana engkau?" tegurnya.

Dengan tersipu-sipu malu. Mawar Putih memberi keterangan, “Tadi ketika aku berjalan-jalan disekitar gunung, tak terduga telah menemukannya!"

“Siapa? Apakah anak itu?"

“Ya, benar dia. Putera dari guruku!" sahut Mawar Putih.

Wanita baju hitam itu mendesah lalu suruh Mawar Putih masuk. Sambil mengikuti di belakang wanita itu, Mawar Putih berkata setengah meratap, “Bibi, harap suka menolongnya, kalau tidak dia tentu mati!"

Wanita baju hitam itu berhenti, menghela napas, “Ai, adikmu si Ling juga menderita luka dalam yang parah. Sampai saat ini masih berbahaya keadaannya!"

"Hai, mengapa .......!" Mawar Putih terkejut.

Wanita baju hitam itu gelengkan kepala dan menghela napas, “Seperti engkau, diapun tengah malam keluyuran dalam hutan .... jika aku tak datang pada saat yang tepat, mungkin dia tentu sudah mati ditangan Pendekar Laknat!"

Kejut Mawar Putih bukan alang kepalang, serunya: Pendekar Laknat? Adik Ling terluka ditangan Pendekar Laknat?"

Wanita baju hitam itu menatap Mawar Putih, “Mengapa? Apa engkau anggap hal itu mustahil terjadi?"

Mawar Putih gugup, “Tidak, Tidak begitu .... ku maksudkan mengapa adik Ling sampai bertempur dengan Pendekar Laknat. Apakah dia mempunyai dendam permusuhan dengan orang itu?"

Wanita baju hitam hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Ia menghela napas lalu mengeluh, “Ah, sukar dikatakan."

Saat itu perasaan Mawar Putih benar-benar tak keruan rasanya. Jika wanita baju hitam itu sampai mengetahui bahwa yang menjadi Pendekar Laknat itu tak lain adalah Siau-liong, apakah dia masih mau menolongnya?

Ia berusaha untuk menenangkan kegelisahan dan mengikuti di belakang wanita itu.

Ketika berada di dalam ruangan, dilihatnya si dara baju hijau memang sedang rebah di atas ranjang. Serupa dengan Siau-liong, dara itupun sedang pingsan.

Wanita baju hitam memeriksa dan meraba-raba dahi puterinya, kemudian berkata, “Mungkin tak berbahaya. Tetapi paling tidak harus beristirahat sepuluh hari baru sembuh .... ah, dengan peristiwa ini mungkin akan mengabaikan urusanku yang penting!”

Melihat betapa sayang wanita itu kepada puterinya dan kuatir Siau-liong akan diketahui sebagai Pendekar Laknat, Mawar Putih tak mau mendesak wanita itu supaya cepat-cepat mengobati Siau-Liong.

Wanita itu gelengkan kepala lalu menghela napas dan menatap Mawar Putih, “Mari kita lihat anak itu!"

Demikian Mawar Putih segera mengikuti masuk ke dalam ruangan. Tetapi apa yang disaksikan saat itu benar-benar membuatnya terbelalak kaget seperti melihat hantu!

Ranjang dimana Siau-liong berbaring tadi, ternyata kosong melompong. Siau-liong lenyap!

"Mana orangnya?" wanita baju hitam itu pun bertanya kaget.

Mawar Putih berdiri terlongong-Longong, ia gelagapan mendapat pertanyaan itu lalu sibuk mencari kian kemari. Bahkan sampai kekolong ranjang dan meja pun diperiksanya. Namun Siau-liong tetap menghilang seperti ditelan bumi ....

Geli-geli mengkal wanita baju hitam itu berkata, “Tolol, dengan caramu itu bagaimana engkau mampu menemukannya?"

Mawar Putih tertegun, “Dia terluka parah sampai tak sadarkan diri. Bagaimana mampu pergi ....” berhenti sejerak memandang wanita baju hitam, Mawar Putih berkata pula, “pula tak mungkin tanpa sebab dia melarikan diri!"

Wanita baju hitam tertawa hambar, “Sekali pun dia tak dapat berjalan tetapi lain orang kan bisa membawanya lari!"

Mawar Putih terbeliak kaget, “Bibi mengatakan .... dia dilarikan orang?"

"Mungkin diculik .... mungkin hendak ditolong. Sekarang masih sukar dikatakan!" kata wanita baju hitam itu.

Mawar Putih seperti orang tidur disiram air dingin. Dia gelagapan terus loncat lari keluar.

Tepat pada saat tubuh Mawar Putih melambung di udara, wanita baju hitam itu pun balikkan tangannya ke belakang. Serangkum angin keras melanda Mawar Putih.

Ternyata angin dari gerakan tangan wanita itu mengandung tenaga sakti menyedot. Mawar Putih seperti terlibat tali yang tak kelihatan dan pada lain saat tubuhnya ditarik ke belakang.

Dara itu berusaha untuk berdiri tegak pada saat kakinya menginjak tanah. Kemudian menatap wanita itu dengan cemas, “Bibi ......”

“Tak perduli pendatang itu hendak menculik atau hendak menolongnya. Tetapi dia mampu datang kemari tanpa kuketahui sama sekali, jelas bukan orang sembarangan. Saat ini tentu sudah jauh, percuma engkau hendak mengejarnya ....” wanita baju hitam itu mondar-mandir beberapa saat. Pada lain saat ia berkata seorang diri, “Tetapi, siapakah dia ......?”

Mawar Putih yang terlongong-longong memandang wanita itu, tak sabar lagi terus bertanya, “Tentulah perbuatan kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu. Selain mereka, rasanya tiada lain orang lagi .... ah, kasihan dia ....”

Mawar Putih menangis terisak, “Kasihan dia sedang menderita luka yang amat parah, tentu akan mati!"

"Engkau tahu apa!" bentak wanita itu, "meskipun kedua suami isteri iblis itu hendak menguasai dunia persilatan tetapi mereka setempo juga terpaksa datang kemari. Mungkin perbuatan Pendekar Laknat ......”

"Tidak mungkin Pendekar Laknat, dia ......” tiba-tiba Mawar Putih merasa telah kelepasan omong.

Buru-buru ia diam.

"Bagaimana engkau tahu kalau bukan Pendekar Laknat?" tegur wanita itu dengan tajam.

Dengan tersekat-sekat Mawar Putih menyahut, “Karena ...... karena dia dengan adik Ling."

"Benar, Pendekar Laknat dan Ling-ji sudah sama-sama terluka, tak mungkin dia. Lalu siapakah orang itu? Apakah ....” tiba-tiba wanita baju hitam itu tertawa dingin, “Ya, tentulah dia!"

"Siapakah yang bibi maksudkan?"

“Kukatakan pun engkau tak tahu. Tetapi ....” wanita itu berhenti, menarik Mawar Putih duduk di atas ranjang lalu melanjutkan kata-katanya, “Aku mengerti Ilmu meramal. Anak itu tak mengunjuk pendek usia. Sekalipun menderita berbagai kesulitan dan siksaan tetapi tetap tak berbahaya. Hanya engkau dengan dia....” wanita itu memandang beberapa kali wajah Mawar Putih tetapi tak berkata apa-apa.

"Apakah bibi sudah meramalkan wajah kami?" tanya Mawar Putih terkejut.

"Tak perlu melihat dengan teliti. Cukup melihat sebentar saja sudah tahu!"

Wajah Mawar Putih tersipu merah. Dengan tersendat-sendat ia bertanya, “Tadi bibi mengatakan.... aku dan dia ......”
29. Sin-kang Panca Sakti

Wanita baju hitam itu menghela napas.

“Masalah manusia hidup itu semua tergantung pada jodoh. Misalnya kutolong engkau dari Lembah Maut dan kemudian engkau mengangkat aku sebagai ibu-angkat, itu juga jodoh. Dan jodoh itu rupanya sudah digariskan dalam kehidupan kita.

Sejenak memandang Mawar Putih, ia berkata pula, “Tentang perhatianmu terhadap pemuda itu, aku pun sudah mengetahui jelas. Hanya aku mempunyai dua buah kata pesan kepadamu. Engkau dan dia tak mempunyai keberuntungan untuk terangkap sebagai suami isteri. Dan itu sudah menjadi garis hidupmu!”

Seketika pucat lesilah wajah Mawar Putih. Tubuhnya menggigil dan dengan suara tersendat-sendat ia berkata,

“Aku tak mempunyai pikiran sejauh itu ...... Hanya karena aku telah dirawat dan dianggap sebagai anak sendiri oleh guruku atau ibu dari pemuda itu, maka aku pun merasa terikat kewajiban untuk mencari putera guruku itu. Sekarang setelah dapat menemukannya tetapi tak dapat membawanya kehadapan guruku, bagaimanakah pertanggungan jawabku kepada guru?"

Habis berkata air mata dara itu berderai-derai mengucur. Ia mendekap tempat tidur dan menangis terisak-isak.

Wanita baju hitam itu menepuk pelahan bahu Mawar Putih, “Hal itu tergantung dari rejeki atau jodoh ibu dan anak itu. Jika jodoh belum terputus, tentu akan dapat bertemu. Tetapi kalau memang sudah tiada jodoh lagi, bagaimanapun dipaksa, tetap tak dapat!"

Puas menangis, Mawar Putih mengusap air matanya lalu mengangkat muka bertanya, “Bi, apakah aku masih dapat bertemu dengan dia."

Wanita baju hitam itu mengangguk, “Sudah tentu bisa!"

“Asal bisa ketemu lagi, aku tentu segera membawa ke seberang laut!" katanya seorang diri.

Wanita itu menghela napas pelahan tetapi tak berkata apa-apa lagi.

Tiba-tiba terdengar suara orang pelahan dari si dara baju hijau. Wanita baju hitam cepat masuk ke dalam ruangan.

Kemanakah sebenarnya Siau-liong?

Y

Sesungguhnya ketika Mawar Putih meletakkan Siau-liong ke atas tempat tidur dan si wanita baju hitam pun ikut masuk, saat itu Siau-liong sudah tersadar. Diam-diam ia melirik bayangan wanita baju hitam itu.

Sesaat Mawar Putih dan wanita baju hitam keluar, tiba-tiba Siau-liong melihat sesosok bayangan melesat dari tepi pintu lalu seperti sesosok hantu, muncullah di dalam ruang itu seorang lelaki bertubuh tinggi besar.

Orang itu mengenakan pakaian biru, mukanya ditutup kain kerudung hitam. Siau-liong terkejut. Diingatnya orang itu pernah muncul ketika di biara Tay-hud-si dan barisan pohon bunga dalam lembah Semi, untuk memberi petunjuk dan mengajaknya keluar dari bahaya.

Siau-liong kejut-kejut girang. Ketika ia hendak bergerak dan membuka mulut, orang aneh baju biru itu secepat kilat telah menutuk jalan darahnya. Kemudian dengan kecepatan yang sukar dipercaya. orang itu segera mendukung Siau-liong. Selain gerakannya amat cepat sekali, sedikitpun tak mengeluarkan suara apa-apa.

Tutukan itu telah membuat Siau-liong pingsan. Sejak itu ia merasa seperti bermimpi. Sesaat ia rasakan sekujur Tubuhnya sakit sekali seperti digigiti ribuan ekor ular. Sesaat lagi ia merasa lubuhnya lemas lunglai.

Entah berselang berapa lama, barulah ia dapat sadar lagi. Ketika membuka mata ia dapatkan dirinya terbaring di sebuah biara rusak. Orang aneh baju biru sedang duduk dihadapannya.

Siau-liong hampir tak percaya kepada matanya. Ia kira masih bermimpi. Kemudian ia mengigit lidahnya sendiri ah ..... ternyata sakit. Jelas ia tak bermimpi, Apa yang disaksikan saat itu, benar suatu kenyataan. Girangnya bukan alang kepalang!

Ternyata orang aneh baju biru sudah melepas kerudung mukanya. Dan tampaklah wajah yang sebenarnya. Dia bukan lain adalah guru yang sejak kecil merawat dan mendidiknya ..... Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho!

Buru-buru Siau-liong merangkak bangun dan berlutut memberi hormat dihadapan gurunya, “Suhu....”

Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Lupa rasa girang dan haru telah membanjirkan air matanya mengalir turun ...... Seketika teringatlah ia mengapa luka berat yang dideritanya dalam pertempuran lawan si dara baju hijau kemarin, saat itu sama sekali sudah terasa sembuh.

Ditatapnya Kongsun Sin-tho dengan mata melongong, kemudian dengan nada haru sesal ia berkata, “Terima kasih atas pertolongan suhu ......”

Dengan wajah membesi, Kongsun Sin-tho memberi isyarat tangan, “Lukamu baru saja sembuh, perlu beristirahat. Jangan pikirkan apa-apa, lekas bersemadhi salurkan tenaga murnimu .....”

Kemudian tabib sakti itu menghela napas pelahan dan berkata pula, “Tenaga sakti dari Randa gunung Bu-san, termasuk salah satu ilmu dari Panca sakti. Jika engkau tak makan buah Im-yang-som dan darah binyawak purba, aku pun tak dapat menolongmu!"

Siau-liong tak berani berkata apa-apa. Buru-buru ia melakukan perintah suhunya. Duduk bersemadhi mengosong pikiran dan melakukan penyaluran hawa murni.

Oleh karena lukanya sudah disembuhkan Kongsun Sin-tho, maka setelah melakukan persemadhian beberapa waktu, ia rasakan tubuhnya segar dan nyaman. Tak lama kemudian tenggelamlah ia dalam kehampaan ......

Tak terasa empat jam telah berlalu dan Siau-liong pun segera menyudahi persemadhiannya. Ia dapatkan semangatnya segar, lukanya sembuh sama sekali.

Saat itu hari pun sudah malam. Sinar rembulan memancar masuk ke dalam jendela. Melihat Siau-liong sudah sadar, Kongsun Sin-tho yang sejak tadi pun bersemadhi disampingnya, segera bangun dan memberi senyuman.

Tetapi Siau-liong tampak terpaku memandang rembulan bundar. Seingatnya, saat itu baru permulaan bulan delapan. Tetapi mengapa bulan sebundar purnama?

Kongsun Sin-tho menyulut lilin dan membawakan senampan makan. Melihat Siau-liong terlongong, ia tertawa, “Malam ini memang sudah bulan delapan tanggal empat belas. Liong-ji, engkau sudah tertidur selama duabelas hari!"

Siau-liong tersentak kaget. Yang dirasakan hanya sehari semalam, tetapi mengapa ia sampai tidur selama duabelas hari!

Setelah meletakkan makan dihadapan Siau-liong Kongsun Sin-tho berkata pula, “Sudah sepuluhan hari tak makan, tentulah engkau lapar sekali. Hayo, lekas makanlah!"

Memang Siau-liong merasa lapar sekali. Segera ia melahap hidangan itu sampai habis.

Wajah Kongsun Sin-tho tampak mengerut gelap. Walaupun tidak marah, tetapi nyata orang tua itu tidak senang hati. Setelah Siau-liong habis makan, ia memanggilnya, "Liong-ji!"

Tersipu-sipu Siau-liong berlutut dihadapan gurunya itu dan berkata dengan tersendat, “Suhu ..... murid telah melanggar pesan suhu masuk ke belakang gunung. Karena itu ......”

"Yang sudah lalu, jangan diungkat lagi....!" tukas Kongsun Sin-tho. Kemudian dengan tertawa ia berseru, ”Pendekar Laknat dan Pengemis Tengkorak, kini sudah terikat guru dengan engkau. Sekarang engkau bukan lagi mempunyai suhu aku seorang!"

Siau-liong gugup dan cepat menganggukkan kepala, “Pada saat itu murid dalam keadaan terpaksa. Tetapi dalam hati kecil murid, tetap hanya mempunyai seorang guru yakni suhu .....”

Dalam mengucap kata-kata terakhir itu, Siau-liong amat terharu sehingga matanya berlinang-linang. Ia teringat akan dirinya yang telah diracuni wanita pemilik Lembah Semi dan janji kepada wanita itu akan mati bersama-sama pada nanti pertengahan musim rontok tahun depan. Ia merasa dirinya telah menyia-nyiakan budi kebaikan dari Kongsun Sin-tho selama belasan tahun.

Kongsun Sin-tho menghela napas.

“Mati hidup dan kumpul berpisah itu sudah menjadi garis hidup manusia. Siapapun tak mungkin dapat mengubah garis hidup itu. Memang pada saat kutinggalkan gunung untuk mencari obat, sudah kuduga engkau tentu akan mengalami peristiwa-peristiwa itu. Tetapi ku tak tahu apakah peristiwa-peristiwa itu akan merupakan malapetaka atau keberuntungan bagimu. Kesemuanya tergantung pada tindakanmu sendiri dikemudian hari .....”

Tabib-sakti itu berhenti sejenak untuk memandang wajah Siau-liong.

“Gurumu ini dikenal dalam dunia persilatan sebagai seorang ahli pengobatan yang sukar dicari tandingnya. Sedikit sekali orang persilatan yang tahu sampai dimana kepandaianku dalam ilmu silat. Bahkan pelajaran silat yang kuberikan kepadamu itu, hanyalah semata-mata sebagai pelajaran dasar saja. Sedang sebenarnya ilmu kepandaian yang kumiliki itu sudah tak berbekas dalam dunia persilatan itu, sesungguhnya termasuk salah satu dari ilmu Panca-sakti ......”

Mendengar penjelasan itu diam-diam Siau-liong terkejut. Serentak ia teringat akan ilmu pelajaran silat yang diberikan gurunya dahulu. Rasanya ilmu silat itu hanya biasa saja. Ternyata gurunya memang belum menurunkan ilmu saktinya kepadanya.

“Tentang tenaga sakti Bu-kek-sin-kang yang engkau miliki saat ini serta tenaga sakti Thay-kek-bu-wi dari Iblis Penakluk dunia, tenaga sakti Thay-im-ki-bun-kang dari Dewi Neraka itu, walaupun amat dahsyat dan ganas sekali, tetapi tenaga sakti mereka itu hanya termasuk golongan ilmu liar. Hanya dapat mencapai pada tingkat tataran tertentu saja. Tidak demikian dengan Panca-sakti yang tergolongan dalam ilmu sejati aliran Ceng-cong-bu-hak. Ilmu itu luasnya tak terbatas ......”

Kongsun Sin-tho berhenti sejenak dan menghela napas, lalu melanjutkan lagi.

"Pada ketika itu kutaruh harapan besar sekali kepada dirimu. Sebenarnya segera hendak kuajarkan ilmuku yang disebut tenaga sakti Thian-jim-sin-kang (tenaga sakti lemas tapi ulet) kepadamu. Agar engkau menjadi satu-satunya murid pewarisku .... Untuk keperluan itulah maka aku pergi untuk mencari daun obat, agar dapat merobah sifat tubuhmu .... ah, tetapi tak terduga ternyata engkau mempunyai lain rejeki sehingga harapanku menjadi hampa. Terpaksa dalam sisa hidupku sekarang ini, aku harus mencari lagi seorang tunas yang berbakat ....”

Agak terharu nada Kongsun Sin-tho dalam mengucapkan kata-kata terachir itu. Setelah berhenti sejenak iapun meneruskan lagi, “Hanya tunas yang benar-benar berbakat itu sukar didapatkan. Adakah nanti aku berhasil mendapatkan murid pewaris atau tidak, juga masih sukar dikata!"

Kata-kata Kongsun Sin-tho yang bernada menyesali Siau-liong itu, dirasakan sepatah demi sepatah seperti sembilu yang menyayat hati Siau-liong.

Siau-liong hanya dapat tundukkan kepala penuh dengan rasa sesal.

Setelah mengurut jenggot yang terurai kedada. Kongsun Sin-tho melanjutkan pula, “Telah kukatakan tadi, jodoh dan peruntungan orang itu sudah ada garisnya sendiri-sendiri ..... Barang siapa hendak melanggarnya. tentu tertimpah kemalangan. Sekali pun sejak saat ini engkau tak berjodoh lagi untuk menerima pelajaran ilmu tenaga sakti Thian-jin-sin-kang itu, tetap .....”

Kongsun Sin-tho kembali berhenti lagi. Matanya berkilat-kilat memandarjg Siau-liong.

"Bukankah separoh dari peta Giok-pwe itu berada dalam tanganmu?" tanyanya.

Buru-buru Siau-liong meraba bajunya. Ah, peta itu memang masih disimpannya. Buru-buru ia menjawab, “Separoh dari Giok-pwe itu sebenarnya Toh Hun-ki .....”

Kongsun Sin-tho mengangguk. "Hai itu sudah kuketahui semua. Kabarnya harta pusaka yang terpendam dalam tempat itu adalah Tio Sam-hong pendiri partai Bu-tong-pay sendiri yang memendamnya sebelum ia menutup mata. Harta pusaka itu ratusan tahun telah menjadi pembicaraan hangat dan diidam-idamkan oleh setiap kaum persilatan. Tetapi karena peta yang dilukis pada Giok-pwe itu dipecah dua bagian maka sampai sekarang belum ada seorang pun yang mampu mendapatkan harta pusaka itu.

Kongsun Sin-tho terpaksa berhenti karena tersekat batuk-batuk.

"Diantara harta pusaka itu yang paling berharga adalah sebuah kitab pusaka yang ditulis oleh Tio Sam-hong sendiri .....“

“Ketahuilah, yang kusebut sebagai tenaga sakti Panca sakti itu, selain tenaga sakti Thian-jim-sin-kang yang kumiliki dan Ya-li-sin-kang (tenaga sakti mengenal suara) dari si Randa gunung Bu-san itu, masih terdapat lagi tiga jenis tenaga sakti lainnya ialah, Cek-ci-sin-kang (tenaga sakti Gema-merah), Jit-hua-sin-kang (tenaga sakti Tujuh Robah) dan Thian-kong-sin-kang ......”

Mendengar itu hati Siau-liong tak keruan rasanya. Semula ia mengira bahwa ia telah memiliki ilmu kepandaian sakti dari Pendekar Laknat dan Pengemis Tengkorak. Siapa kira ilmu kepandaian itu bukanlah tergolong ilmu sejati yang tiada tandingannya di dunia persilatan. Bahkan termasuk ilmu liar atau ilmu samping-pintu yang tak mungkin akan mencapai tataran kesempurnaan.

Takkala ia bertempur dengan Randa Bu-san, hampir saja ia kehilangan nyawa. Diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan suhunya itu. Serentak timbullah penyesalannya yang amat mendalam kepadanya dirinya yang tempo hari karena menuruti hawa nafsu, telah melanggar perintah gurunya dan gegabah masuk ke dalam belakang gunung.

Bukan saja ia telah kehilangan kesempatan mewarisi kepandaian sakti dari gurunya. Pun karena kesalahan itu ia harus menebus mahal. Menderita peristiwa dan pengalaman yang serba aneh dan hebat dan akhirnya harus menderita keracunan dari wanita pemilik Lembah Semi. Akibatnya, ia hanya dapat hidup setahun lagi .....

Dengan wajah serius Kongsun Sin-tho melanjutkan keterangannya pula, “Pewaris terakhir dari ilmu sakti Cek-ci-sin-kang adalah Rahib sakti dari Lam-hay ialah To Teng nikoh. Sedang pewaris dari ilmu sakti Jit-hua-sin-kang adalah Jong Leng lojin yang bergelar orang-sakti terpedam dari Su-jwan. Kedua orang itu sudah berpuluh tahun tak muncul lagi di dunia persilatan. Entah apakah mereka sudah mempunyai murid pewaris lagi. Atau apakah mereka memang sudah muksah, tiada seorangpun dalam dunia persilatan yang mengetahui ....”

Tergeraklah hati Siau-liong. Segera ia teringat akan orang tua yang dirantai dalam penjara dibawah tanah dalam barisan Tujuh Maut. Serentak ia berseru, “Jong Leng lojin itu, murid pernah....”

Tetapi tampaknya Kongsun Sin-tho tak menghiraukan kata-kata Siau-liong dan sambil memberi isyarat tangan supaya anak itu diam, ia melanjutkan keterangannya lagi.

"Cek-ci, Jit-hua, Thiam-jim dan Ya-li keempat ilmu sakti itu, sudah berpuluh tahun tak muncul lagi di dunia persilatan. Tentang diriku, walaupun telah memiliki salah satu dari ilmu Panca Sakti itu, tetapi karena selama ini aku tak mau menonjolkan diri, maka orang persilatan pun tak mengetahui. Tetapi .... keempat ilmu sakti yang kukatakan tadi, berpangkal pada pengutamaan Hawa murni .... Sedang Thian-kong-sin-kang mengutamakan kesempurnaan Sin atau Semangat ....”

Tiba-tiba mata Kongsun Sin-tho berkilat-kilat memandang Siau-liong lalu berkatalah ia dengan serius, “Semangat dapat mengambil Hawa, Hawa tak dapat menguasai Semangat. Oleh karena itulah maka Thian-kong-sin-kang termasuk yang paling unggul diantara ke empat ilmu sakti itu.

Sayang sejak Tio Sam-hong Cousu meninggal dunia, tiada muncul lagi pewarisnya .... Sementara orang persilatan sama menduga bahwa dalam kitab pusaka yang tersimpan dalam harta karun rahasia itu, terdapat tulisan tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu ....”

Siau-liong mendengarkan seperti orang mabuk. Diam-diam ia terkejut. Apabila kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, setelah mereka berhasil memahami ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, siapa lagikah tokoh persilatan yang mampu menandingi mereka? Bukankah dunia persilatan akan mengalami banjir darah dan penjagalan besar-besaran ....?

Kongsun Sin-tho menghela napas pelahan. "Engkau telah kemasukan ilmu sakti Samping. Sekalipun engkau tak mungkin dapat mempelajari ilmu sakti yang kumiliki yang mendasarkan pada Hawa, tetapi engkau masih ada harapan untuk mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang yang mendasarkan pada Semangat. Oleh karena itu jika engkau berhasil menemukan Giok-pwe yang separoh bagian lainnya dan menemukan harta pusaka itu, engkau tetap masih ada harapan untuk menjadi tokoh utama dalam dunia persilatan. Tetapi sejak ini jodoh kita sebagai murid dan guru, akan berakhir. Sejak saat ini hanya tergantung pada dirimu sendiri bagaimana akan mengatur langkah hidupmu!"

Hati Siau-liong seperti disayat sembilu rasanya. Menyahutlah ia dengan nada pilu, “Murid sudah tiada mempunyai harapan apa-apa lagi. Kecuali hanya ingin lekas-lekas dapat bertemu muka dengan ibu yang sedang menderita sakit diseberang laut. Hanya saja, murid terpaksa harus tinggal ditempat ini lagi untuk beberapa hari ....."

Ia teringat dalam penyamarannya sebagai Pendekar Laknat telah menolong Toh Hun-ki dan rombongannya dari Lembah Maut lalu berjanji untuk bertemu dengan mereka di Siok-ciu nanti tiga hari kemudian. Dimana dia akan ikut dalam pemusyawarahan untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Tetapi ah .... saat itu karena tertidur selama duabelas hari, entah bagaimana dengan keadaan mereka. Adakah rombongan Toh Hun-ki masih berada di Siok-ciu menunggunya? Apakah tindakan baru dari suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dalam langkah mereka untuk menguasai dunia persilatan?

Memikirkan hal-hal itu, hati Siau-liong resah gelisah. Dia harus menepati janji, membantu Toh Hun-ki dan rombongan orang gagah, untuk melenyapkan kedua suami isteri durjana itu. Kemudian baru ia mengambil batang kepala Toh Hun-ki dan keempat Su-lo untuk bersama-sama Mawar Putih menghadap ibunya di seberang laut.

Tetapi saat itu setelah mendengar penjelasan dari Kongsun Sin-tho, ia merasa menyesal. Apa yang hendak dilakukan itu, terasa sukar. Maka menegurlah Kongsun Sin-tho, “Liong-ji, rupanya hatimu amat resah. Adakah karena memikirkan ibumu atau ....”

Hati Siau-liong makin pilu. Air matanya berderai-derai turun. Sejak kecil ia diasuh dan dididik Kongsun Sin-tho. Dalam perasaannya Kongsun Sin-tho itu sudah seperti orang tuanya sendiri.

Pada saat mendengar bahwa mereka sudah tak berjodoh atau sudah putus hubungan, apa lagi dirinya sudah terkena racun Jong-tok dan hidupnya hanya tinggal setahun. Maka pecahlah beteng pertahanan hatinya.

Ia menangis pilu dibawah kaki sang guru. Lalu menuturkan apa yang telah dialaminya selama di dalam Lembah Semi, diracuni Poh Ceng-in dan hidupnya yang hanya tinggal setahun itu .....

Selesai mendengar, sambil mengurut jenggot Kongsun Sin-tho berkata, “0, makanya ketika kuobati, kudapatkan semua jalan darah ditubuhmu terdapat perobahan yang tak wajar. Semula kukira akibat dari makan buah Im-yang-som dan darah binyawak purba itu, kiranya .....”

Tabib sakti itu menghela napas, ujarnya pula, “Memang perempuan siluman itu benar. Setelah racun jong-tok itu menyerap keseluruh jalan darah di tubuh, di dunia tiada terdapat obatnya lagi. "

Ditatapnya wajah anak itu, mau berkata tetapi tak jadi.

Bermula Siau-liong masih mengandung harapan bahwa gurunya itu tentu mampu mengobati. Tetapi melihat nada kata-katanya, habislah sudah harapan Siau-liong. Ia pun hanya memandang pada Kongsun Sin-tho dengan melongong kehampaan.

Setelah merenung beberapa saat, Kongsun Sin-tho berkata pelahan-lahan, “Boleh dikata seluruh hidupku kuabdikan pada ilmu pengobatan. Sekali pun tidak sesakti tabib Hoa To pada jaman Sak-Kok dahulu, tetapi kepandaianku termasuk jarang terdapat tandingannya. Menurut pengetahuanku masih dapat juga racun Jong-tok itu diobati, tetapi .....”

Mendengar masih ada setitik harapan. seketika menyalalah harapan Siau-liong. Buru-buru ia mencurahkan seluruh perhatiannya.

“Karena perempuan siluman itu juga meminum racun, maka racun Jong-tok itu tentu terdiri dari dua jenis racun Im dan Yang. Sekalipun engkau terpisah jauh sekali dengan dia, tetapi apabila ada salah seorang yang mati, yang seorangpun tentu ikut mati. Kecuali .....”

"Kecuali bagimana?" Siau-liong mulai tegang perasaannya.

"Kecuali engkau minum habis darahnya!" sahut Kongsun Sin-tho, atau dengan gunakan darah anjing atau ayam hitam untuk memikat darahnya, mengorek keluar hatinya lalu memakannya mentah-mentah. Hanya dengan jalan begitu, dapatlah racun dalam tubuhmu itu hilang. Selain itu, tiada lain obat yang dapat menyembuhkan lagi.

Siau-liong menghela napas rawan, "Sekalipun cara itu dapat menyelamatkan jiwaku tetapi ..... aku tak tega menggunakannya ......”

“Kutahu engkau tentu tak mau. Engkau berhati welas asih sekali, ah ...... semuanya terserah saja kepada nasibmu ......”

Kongsun Sin-tho berbangkit dan ayunkan langkah pelahan-lahan seraya berkata, “Kini engkau sudah dewasa. Segala apa harus dapat menjaga diri sendiri. Dewasa ini Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sedang berusaha untuk menguasai dunia persilatan. Tokoh-tokoh persilatan dari berbagai aliran dan partai telah bersiap-siap menyusun kekuatan. Suatu pertempuran antara golongan Putih dan Hitam pasti akan terjadi, sesungguhnya .....”

Ia berhenti sejenak menghela napas, ujarnya lebih lanjut, "Pada umumnya mereka bertujuan hendak mendapatkan harta pusaka terutama kitab pusaka tulisan Tio Sam-hong. Siapa yang mendapatkan pusaka itu, dialah yang akan dapat menguasai dunia persilatan!"

Timbullah pikiran Siau-liong. Separoh bagian dari Giok-pwe itu masih berada ditangan suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Untuk merebutnya tentu sukar sekali. Hidupnya hanya tinggal setahun. Segala kitab pusaka tak berguna lagi baginya. Dan apabila separoh bagian Giok-pwe yang disimpannya itu sampai jatuh ketangan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, bukankah akan hebat sekali akibatnya bagi keselamatan dunia persilatan!

Seketika tergugahlah pikirannya. Serentak ia mengeluarkan separoh Giok-pwe dari dalam bajunya lalu diserahkan kepada Kongsun Sin-tho.

“Oleh karena murid sudah terkena racun jong-tok, hidup murid pun takkan lama. Sekalipun dapat merebut yang separoh bagian lagi dan menemukan kitab pusaka ilmu sakti Thian-kong-sinkang, bagi murid pun sudah tak berguna lagi. Oleh karena itu....”

Dengan tahankan kepiluan hatinya, Siau-liong lanjutkan kata-katanya, “Hendak murid persembahkan separoh bagian Giok-pwe ini kepada suhu, agar suhu dapat memberikan kepada orang yang benar-benar berjodoh ......”

Kongsun Sin-tho tertawa gelak-gelak, “Muridku, aku sudah cukup puas karena telah memiliki salah satu ilmu sakti dari Panca Sakti. Dan selama ini belum pernah kuunjukkan kesaktianku itu di dunia persilatan. Begitupun dalam sisa hidupku yang tak berapa banyak itu, takkan kutonjolkan kepandaianku itu. Maka kitab pusaka Thian-kong sin-kang itu, juga tak penting bagiku. Soal aku hendak menjadi lain orang untuk menjadi pewaris, tak lain tak bukan hanyalah sekedar agar ilmu sakti Thian-jim-sin-kang itu jangan sampai lenyap ditanganku!"

Setelah mengetahui bahwa gurunya tak mau menerima Giok-pwe, Siau-liong berkata, “Kalau begitu biarlah murid pendam kitab pusaka itu selama-lamanya agar jangan ada orang yang mengganggu usik!"

Tanpa menunggu persetujuan Kongsun Sin-tho. Siau-liong terus meremas Giok-pwe itu hingga hancur lebur, lalu dibuang ke tanah.
30. Ahliwaris Cek-ci dan Ya-li

Siau-liong termenung-menung dalam kepekaan. Ia tersenyum getir karena dapat menghamburkan kesesakan dadanya.

Ada dua sebab yang mendorongnya menghancurkan separoh Giok-pwe itu. Pertama, dengan lenyapnya ilmu Thian-kong-sin-kang dalam kitab pusaka itu berarti ilmu sakti Thian-jim-sin-kang dari gurunya itu bakal merajai di dunia persilatan.... Kedua, menjaga jangan sampai ilmu sesakti Thian-kong sin-kang itu sampai jatuh ketangan orang yang tak bertanggung jawab, misalnya Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Setelah memandang beberapa jenak pada hancuran Giok-pwe yang berhemburan di tanah, Kongsun Sin-tho menghela napas, “Walaupun tindakanmu terdorong dari rasa kesungguhan tetapi membuat ilmu sakti terpendam selama-lamanya di tanah, merupakan perbuatan yang melanggar hukum alam!"

Siau-liong diam tak menyahut. Saat itu malam makin larut. Sisa lilin yang menerangi tempat itu sudah habis. Untung rembulan memberi cukup penerangan. Guru dan murid duduk saling berhadapan dalam suasana yang merawankan.

Tak berapa lama, Kongsun Sin-tho berkata, “Siau-liong aku akan berangkat!"

"Suhu, engkau....” Siau-liong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dicengkam oleh isak keharuan.

Belasan tahun ia berkumpul dengan guru yang tercinta itu. Baru berjumpa lagi terus akan berpisah. Air mata anak itu berderai-derai.

Dalam berkata-kata tadi, Kongsun Sin-tho sudah tiba diambang pintu. Ia berpaling dan tertawa tenang, “Di dunia tiada perjamuan yang takkan bubar. Ada waktu berkumpul, pun ada waktu berpisah. Sekalipun ikatan guru dan murid sudah habis, tetapi bukan berarti kita takkan berjumpa lagi. Siapa tahu ......”

Entah bagaimana Kongsun Sin-tho tak melanjutkan kata-katanya. Sekali bahunya bergetar, tabib sakti itu sudah melayang keluar.

Ketika Siau-liong memburu keluar, ternyata gurunya itu sudah lenyap. Dia terlongong-longong. Masih diingat-ingatnya kata-kata terakhir dari gurunya itu Siapa tahu ...... ah, mengapa tak dilanjutkan lalu terus pergi?

Angin berhembus dan keresahan pikiran Siau-liong pun agak reda. Memandang kesekeliling, didapatinya biara itu sudah rusak semua, penuh ditumbuhi semak rumput.

Ia segera melangkah keluar. Empat penjuru tegak berjajar puncak gunung. Dia tak tahu saat itu berada dimana. Setelah memeriksa bekalannya, kecuali separuh bagian Giok-pwe yang telah dihancurkan, semuanya masih lengkap, antara lain peta dan resep obat pemberian Jong Leng lojin, botol berisi pil dari Poh Ceng-in dan kedok serta pakaian dari Pendekar Laknat.

Setelah termenung beberapa saat, akhirnya ia menyamar lagi sebagai Pendekar Laknat, lalu ayunkan langkah. Ia tak tahu yang akan dituju, langkahnya hanya ditujukan pada puncak gunung yang paling rendah sendiri. Dari situ ia hendak ke Siok-ciu. Menjenguk Toh Hun-ki dan rombongannya lalu membelikan obat untuk Jong Leng lojin.

Menurut perhitungannya, saat itu tepat kurang setahun dengan pertengahan musim rontok tahun muka. Suatu hal yang membuatnya menyadari betapa berhargalah waktu itu. Setiap detik dan setiap saat, harus digunakan dengan sebaik-baiknya.

Riwayat dirinya yang menyedihkan ditambah pula dengan peristiwa-peristiwa yang selalu merundung dirinya dengan kesialan dan malapetaka, membuat hatinya serasa tertindih oleh sebuah batu besar.

Sekonyong-konyong ia mengadah dan tertawa nyaring sekali! Nadanya bergema menembus awan. Dalam malam sunyi dan ditengah alam pegunungan yang lelap, tertawa itu benar-benar menyerupai suara raksasa tengah mengumbar tertawa .......

Puas tertawa ia terus menyusur sepanjang hutan yang panjang. Tiba-tiba ia terhenti. Cepat-cepat ia gunakan gerak Naga-melingkar-18 kali, melayang ke atas sebatang pohon setinggi beberapa tombak.

Tak berapa lama tampak beberapa sosok bayangan lari mendatangi. Dari atas pohon dapatlah Siau-liong melihat dengan jelas. Orang-orang itu mengenakan pakaian persilatan dan menghunus senjata. Begitu tiba di tepi hutan mereka berhenti lalu berjalan pelahan-lahan masuk ke dalam hutan. Sikap mereka seperti menghadapi seorang musuh berbahaya.

Salah seorang dari kawanan orang itu, berseru, .... ”Aneh! Mengapa mendadak hilang?"

"Sekalipun ilmu meringankan tubuhnya hebat sekali tetapi tak mungkin ia dapat terbang ke langit!" sahut kawannya.

“Setiap jalan keluar dari lembah, telah dijaga ketat. Karena dari kawan-kawan kita tiada memberi tanda apa-apa, tentulah orang itu masih berada dalam hutan ini. Hayo, kita cari lagi yang teliti," Kata orang yang pertama tadi.

“Huh, tahukah kalian siapa orang yang hendak kita tangkap itu? kalau nada suara tertawanya, tentulah Pendekar Laknat. Momok itu amat ganas sekali. Lebih baik kita lapor saja pada Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka!"

Kawan-kawannya menyetujui. Mereka segera berputar tubuh terus lari keluar hutan.

Siau-liong hendak loncat turun, tetapi tiba-tiba dari belakang terdengar kesiur angin tajam menyambar dirinya.

Siau-liong terkejut sekali. Itulah serangan gelap dari suatu senjata rahasia. Dengan ilmu Thing-hong-pian-wi atau Mendengar-suara-menentukan-letak, cepat ia gerakkan tangan kirinya dan berhasillah ia menjepit sebuah senjata rahasia dengan dua buah jari!

Tetapi seketika ia melongo. Ternyata yang dijepit itu bukanlah senjata rahasia, melainkan sehelai daun yang kering .....

Pada saat ia kesima, telinganya terngiang suara orang tertawa pelahan. Cepat ia memandang ke arah suara tertawa itu dan dapatkan pada puncak sebatang pohon setinggi lima tombak duduk dengan rapi seorang rahib berjubah kuning. Sepasang mata rahib itu berkilat-kilat memancar ke arah Siau-liong.

Dari jarak lima tombak dapat melontarkan sehelai daun kering menjadi seperti senjata rahasia dan gerakan daun kering itu dapat menimbulkan desis angin yang begitu tajam, benar-benar suatu ilmu kesaktian yang bukan olah-olah hebatnya!

Tetapi masih ada lagi hal yang membuat Siau-liong lebih terkejut. Ialah suara ketawa rahib itu. Tertawa itu kedengarannya pelahan dan lirih tetapi nyatanya telinga Siau-liong seperti mau pecah .....

Rahib itu hentikan tertawanya, berseru, “Apakah engkau Pendekar Laknat?"

“Ya, akulah!" sahut Siau-liong.

"Berapakah umurmu sekarang?" tanya rahib itu pula.

Siau-liong tertegun. Hampir ia tak dapat menjawab pertanyaan itu. Karena ia memang tak tahu umur Pendekar Laknat itu.

Setelah meragu beberapa saat, ia menyahut agak tersendat, “Perlu apa harus menghitung umur, pokok aku sudah tua sekali!"

Tiba-tiba ia teringat. Sebagai Pendekar Laknat ia harus membawa sikap yang sesuai. Maka setelah mejawab, iapun terus tertawa mengekeh.

Karena terpisah pada jarak lima tombak, ia tak dapat melihat jelas wajah dan sikap rahib itu. Tetapi ia dapat melihat bagaimana tajam kilat mata rahib itu memancarkan sinar.

“Engkau hendak membanggakan ketuaanmu dihadapanku?" bentak rahib itu.

Siau-liong tertawa lepas, sahutnya, “Tidak, tidak!"

Rahib tua itu tidak marah melainkan tertawa dalam, “Apakah engkau juga hendak mencari pusaka itu?"

Siau-liong tertegun. pikirnya, “Menurut nada katanya, tentulah dia datang untuk mencari pusaka itu. Tetapi dia tentu tak mungkin mengira bahwa peta pusaka itu telah kuhancurkan sehingga pusaka itu akan terpendam selama-lamanya!"

Maka tertawalah ia dengan dingin, “Aku seorang tua bangka yang sudah menjelang masuk kubur. Segala harta pusaka di dunia tak mungkin menggerakkan hatiku lagi ....”

Tiba-tiba rahib tua itu berteriak pelahan dan tahu-tahu tubuhnya dalam keadaan tetap duduk melayang ke batang pohon dihadapan pohon tempatnya berdiri.

Caranya rahib melayang itu tak ubah seperti sekuntum awan yang 'terbang' melayang tertiup angin.

Siau-liong terbeliak. Pikirnya, “Ah, ternyata di dunia ini memang penuh dengan orang sakti. Di atas gunung terdapat awan dan di atas awan masih terdapat langit yang luas ....”

Pada saat ia masih tercengang, tiba-tiba rahib itu membentaknya, “Kalau tak mencari pusaka, perlu apa engkau datang kemari?"

Siau-liong tertawa hambar. Tanpa menyahut apa yang ditanyakan, ia berkata, “Pusaka itu tak mudah didapat!"

Rahib tua tersenyum, “Sukar atau tidak, asal benar-benar di dunia ini terdapat pusaka itu, aku tentu dapat menemukannya!"

Nadanya penuh dengan keyakinan atas kemampuannya. Walaupun dahinya berhias keriput usia tua tetapi matanya masih bersinar terang, seri wajahnya pun masih berseri. Terutama ketika tertawa, tampak dua baris giginya yang putih mengkilap. Sepintas pandang memang sukar untuk menaksir umurnya. Lebih-lebih tak mudah untuk mcngetahui asal-usul dirinya .....

Sejenak tertegun, berkatalah Siau-liong, "Untuk mencari pusaka itu. Pertama-tama, harus dapat memperoleh sepasang Giok-pwe. Giok-pwe itu merupakan peta dari tempat penyimpanan pusaka. Sengaja dijadikan dua buah Giok-pwe agar orang sukar untuk mengumpulkan. Tanpa peta dari Giok-pwe itu tak mungkin engkau tahu tempat pusaka itu!"

“Kalau begitu akan kucari kedua Giok-pwe itu lebih dulu baru nanti mencari pusaka!" kata si rahib tua. Dari kerut dahinya menampilkan sinar kemauan ambisi yang besar. Diam-diam Siau-liong muak melihat wajah rahib itu.

Setelah sejenak mengeliarkan pandang matanya, rahib itu berkata dengan lembut, “Apakah engkau sungguh-sungguh tahu jelas bahwa peta itu terbagi menjadi dua buah Giok-pwe?"

Diam-diam Siau-liong mendapat kesimpulan bahwa rahib itu memang tak tahu sama sekali tentang Giok-pwe. Tetapi disamping itu iapun diam-diam menertawakannya karena tak mungkin lagi orang dapat mencari Giok-pwe itu. Yang satu telah dihancurkannya!

“Ya," sahutnya.

"Tahukah engkau ditangan siapakah Giok-pwe itu sekarang?" tanya sirahib dengan lembut.

Tergerak hati Siau-liong, serunya. "Yang separoh bagian berada ditangan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka!"

"Iblis Penakluk-dunia .... Dewi Neraka....” rahib tua itu berkata seorang diri.

Kemudian ia tersenyum, “Itu mudah, akan kutanyakan kepada mereka!"

Melihat betapa yakin dan congkak sikap rahib tua itu, diam-diam Siau-liong geli dalam hati.

"Dan yang separoh lainnya?" tiba-tiba rahib itu bertanya.

Siau-liong tertawa keras, “Yang separoh bagian itu .... mungkin sukar dicari!"

Seketika membesilah wajah sirahib tua. Serunya dengan kurang senang, “Mengapa sukar dicari?"

"Mungkin sudah dihancurkan orang!"

Rahib itu tertegun. Tiba-tiba ia juga tertawa keras, “Tolol! Siapa yang memiliki benda itu tak mungkin rela menghancurkan!"

Siau-liong hanya ganda tertawa terus.

“Tutup mulutmu!” bentak si rahib.

Siau-liong tertegun dan hentikan tertawanya. Tampak rahib itu tengah pasang telinga. Pun telinga Siau-liong yang tajam segera mendengarkan suara orang berjalan dari kejauhan.

Tak berapa lama, berpuluh-puluh sosok bayangan menerobos ke dalam hutan. Jumlahnya tak kurang dari empat sampai limapuluh orang.

Rahib tua mengicupkan ekor mata kepada Siau-liong dan tertawa, “Tuh, Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia telah datang."

Siau-liong hanya tertawa dingin. Dipandangnya kawanan orang yang datang itu. Ternyata dua orang yang memimpin rombongan itu adalah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sendiri. Tetapi Soh-beng Ki-su dan Poh Ceng-in tak tampak ikut serta.

Tak berapa lama rombongan Iblis Penakluk-dunia itu tiba di luar hutan. Iblis Penakluk-dunia bertanya kepada salah seorang anak buahnya, “Apakah kalian tak salah dengar?"

Orang itu tersipu-sipu menyahut, “Hamba mendengar jelas, suara tertawa itu adalah tertawa Pendekar Laknat!"

Iblis Penakluk-dunia memberi isyarat. Rombongan anak buahnya segera pencar diri, mengepung hutan itu.

Beberapa saat kemudian, Iblis Penakluk-dunia berteriak nyaring “Hai tua bangka Laknat! Lekas keluar! Tak mungkin engkau mampu lolos lagi!"

Bentakan itu nyaring sekali sehingga daun-daun pohon sama bergetaran.

Memandang Siau-liong, rahib tua itu tertawa, “Mari .....” tahu-tahu tubuhnya yang sedang duduk bersila di atas puncak pohon, terbang melayang keluar hutan.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka mengira kalau yang muncul itu Pendekar Laknat. Buru-buru mereka lari menghampiri. Begitu Pendekar Laknat belum sempat berdiri di tanah, mereka hendak mendahului menyerangnya.

Tetapi ketika melihat yang muncul itu bukan Pendekar Laknat, mereka terbelalak kaget. Iblis Penakluk-dunia menyurut mundur lima langkah. Mata menatap rahib tua itu dan serentak ia mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Ah, aku telah keliru menerima laporan dari anak buah. Ternyata sin-ni yang berkunjung!" serunya dengan hormat.

“Ih, engkau masih kenal aku?" seru rahib itu tertawa gembira.

“Sin-ni termasyur di empat samudera. Walaupun sudah berpuluh tahun tak berjumpa tetapi aku tak pernah melupakan sin-ni!" buru-buru Iblis Penakluk-dunia berseru.

Sin-ni artinya rahib sakti.

Siau-liong yang masih bersembunyi di atas pohon, diam-diam terkejut. Segera ia menyadari bahwa rahib itu adalah rahib sakti To Teng yang dikatakan gurunya (Kongsun Sin-tho). Rahib yang memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang, salah sebuah ilmu sakti dari Panca Sakti.

Kongsun Sin-tho dengan ilmu sakti Thian-jim-sin-kang. Randa Bu-san dengan Ya-li-sin-kangnya, Jong Leng lojin dengan Jit-hua-sin-kang serta rahib sakti dari Lam-hay dengan Cek-ci-sin-kang.

Merupakan empat datuk dari Panca Sakti. Yang masih kurang adalah Thian-kong-sin-kang, ilmu sakti yang masih terpendam dalam suatu tempat seperti terlukis pada peta pusaka Giok-pwe. Mungkin ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu tak mungkin didapat orang lagi untuk selama-lamanya ......!

Sambil tersenyum rahib tua itu memandang Dewi Neraka, tegurnya, “Apakah selama ini kalian baik-baik saja?"

"Terima kasih, berkat restu sin-ni kami berdua tak kurang suatu apa", sahut kedua suami istri Iblis Penakluk-dunia.

Setelah berdiam beberapa saat, Iblis Penakluk-dunia coba-coba menyelidiki, tanyanya, “Sudah berpuluh tahun sin-ni mensucikan diri digunung Bu-ih-san, tetapi kali ini ......”

Lam-hay-sin-ni tertawa mengekeh, “Kabarnya kitab pusaka yang ditulis Tio Sam-hong telah diketahui orang terpendam dalam Lembah Semi dipegunungan Tay-liang-san sini. Benarkah itu?"

Iblis Penakluk-dunia kerutkan alis. "Kudengar juga begitu".

“Dan orang mengatakan pula bahwa separoh dari Giok-pwe itu berada ditanganmu, apakah benar?"

Iblis Penakluk-dunia berdiam beberapa saat, lalu berkata tersendat-sendat, "Ini ....”.

"Bilanglah!" tiba-tiba rahib sakti dari Lam-hay itu berubah wajahnya.

Buru-buru Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Benar, tetapi yang separoh lagi ....”.

Lam-hay-sin-ni maju selangkah, “Yang separoh itu, nanti akan kuusahakan sendiri. Yang berada padamu, lekas berikan kepadaku!"

Sesungguhnya wajah Iblis Penakluk-dunia sudah mendelik seperti dicekik setan. Tetapi dia tetap paksakan diri tertawa kecut, “Ini.... ini....”

”Hm, tidak mau memberikan?" wajah rahib sakti mengkerut gelap.

Sepasang alis Iblis Penakluk-dunia makin merapat. Tiba-tiba ia melirik kepada isterinya lalu tertawa-tawa, “Karena sin-ni menghendaki, sudah tentu akan kuberikan, tetapi ....” ia berhenti sejenak, lalu, “Giok-pwe itu sesungguhnya tak berada padaku melainkan disimpan dalam sebuah tempat rahasia di Lembah Semi. Adakah sin-ni bersedia bersama kami mengambil kesana atau Sin-ni sendiri yang akan mengambilnya?"

Dengan mata berkilat berserulah rahib sakti itu tajam-tajam, “Bukankah kalian bermaksud hendak menipu aku?"

"Sin-ni adalah satu-satunya locianpwe dunia persilatan yang paling kuindahkan. Masakan aku berani berbuat kurang ajar terhadap sin-ni?" buru-buru Iblis Penakluk-dunia menyanggapi.

Wajah Lam-hay-sin-ni berseri girang, “Baik, aku akan ikut kalian mengambilnya!"

Iblis Penakluk-dunia tertawa sinis, “Kalau begitu silahkan sin-ni ikut kami!"

Bersama isterinya, Iblis Penakluk-dunia segera berputar diri dan ayunkan langkah.

Rombongan pengawal suami isteri Iblis Penakluk-dunia pun segera memberi isyarat kepada sekalian anak buah Lembah Semi untuk kembali ke dalam lembah.

Rahib sakti dari Lam-hay mengikuti di belakang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dengan wajah berseri girang.

Tetapi ketika rombongan Iblis Penakluk-dunia itu baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar suara bentakan.

“Berhenti!"

Iblis Penakluk-dunia berhenti seraya balas membentak marah, “Siapa!"

Dari balik sebatang pohon di tepi jalan muncul dua orang. Iblis Penakluk-dunia dan rombongannya terkejut sekali. Bahkan Siau-liong yang masih bersembunyi di atas pohon pun tersentak kaget sehingga hampir terpelanting jatuh.

Ternyata kedua orang yang muncul dari balik pohon itu adalah Randa Bu-san dan puterinya.

Dengan lincah dara baju hijau itu mengikuti di belakang ibunya. Jelas lukanya ketika bertempur dengan Siau-liong tempo hari, sudah sembuh.

Teringat seketika Siau-liong akan pertempurannya dengan dara itu. Betapa gemas dan mati-matian dara itu menyerangnya ketika menganggap Siau-liong itu Pendekar Laknat.

“Hm, mengapa dia begitu membenci kemati-matian kepada Pendekar Laknat?” diam-diam Siau-liong menimang.

Begitu juga ia masih teringat pada saat dalam keadaan sadar tak sadar karena menderita luka dan dibawa Mawar Putih ke pondok janda itu, samar-samar ia mendengar janda itu berkata dengan geram, “Hm, Besok pada pertengahan musim rontok tahun depan, takkan kuampuni jiwamu lagi....”

Siau-liong pun teringat akan pesan dari tulisan Pendekar Laknat yang diguratkan pada dinding gua. Dalam pesan itu, Pendekar Laknat memintanya supaya mewakili datang kepuncak Sin-li-hong gunung Bu-san guna memenuhi undangan pada pertengahan musim rontok tahun depan. Tak tahu Siau-liong undangan apa yang dimaksud oleh Pendekar Laknat itu. Yang jelas tentu undangan untuk mengadu kesaktian. Tetapi mengadu kesaktian dengan siapa?

Pikiran Siau-liong melayang lebih lanjut. Ia teringat, pada waktu berada di Lembah Maut, Soh-beng Ki-su pernah mengatakan bahwa Mawar Putih telah ditolong oleh seorang perempuan baju hitam. Oleh karena Mawar Putih membawanya dirinya kepondok janda itu, apakah tidak mungkin perempuan baju hitam yang dimaksud Soh-beng Ki-su itu bukan Randa gunung Bu-san itu?

Tetapi mengapa yang muncul di hutan situ hanya si janda dan puterinya? Dimanakah Mawar Putih sekarang? Apakah dara itu disuruh jaga pondok atau sudah pergi ke lain tempat lagi?

Sebelum semua pertanyaan yang menghuni benak Siau-liong itu terjawab. Tiba-tiba Randa Bu-san kedengaran berseru kepada rombongan Iblis Penakluk-dunia, “Apa kenal pada kami ibu dan anak?"

Belum Iblis Penakluk-dunia sempat menyahut, Lam-hay Sin-ni sudah melangkah maju dan membentak, “Tidak kenal! Lekas enyah!"

Randa Bu-san tertawa dingin, serunya, “He, rupanya engkau cepat-cepat menjadi jompo!”

Sekali mengangkat tangan kirinya, Randa Bu-san menampar pelahan-lahan sebuah batu besar yang berada dimukanya.

Tamparan itu pelahan sekali dan batu itupun tampaknya tak kurang suatu apa. Tetapi ketika Randa Bu-san menyepak dengan kaki kanannya, batu besar itu sudah berguguran remuk bubuk .....

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka terkejut bukan kepalang.

Lam-hay Sin-ni pun belalakkan kedua matanya dan melengking tajam, “Ya-li-sin-kang....”

Randa Bu-san tersenyum, “Sekarang sudah kenal padaku?”

Lam-hay Sin-ni tercengang-cengang, serunya, ”Ya-li, Thian-jim dan Jit-hua-sin-kang. Bukankah sudah lama lenyap dari dunia persilatan? Engkau .....”

Randa Bu-san menghela napas, “Kecuali Thian-kong-sin-kang, keempat ilmu sakti itu masih terdapat di dunia persilatan .....”

Tiba-tiba rahib sakti itu membentak, “Kalau begitu engkau ...., engkau juga hendak mencari pusaka itu!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar