Pendekar Hina Kelana Jilid 26-30

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 26-30 Sejenak kemudian Linghu Chong bertanya, “Adik Keenam, mengapa kau bisa berlatih pedang bersama Adik Lin?”
Sejenak kemudian Linghu Chong bertanya, “Adik Keenam, mengapa kau bisa berlatih pedang bersama Adik Lin?”

“Gara-gara kemarin sore,” jawab Lu Dayou, “sepulang dari sini Adik Kecil terus-menerus menggerutu kepadaku. Esok harinya, ia menyeret tanganku untuk mengajak latihan bersama. Aku pun menuruti tanpa curiga sedikit pun. Ternyata dia menyuruhku bertanding melawan Lin Pingzhi. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bocah itu baru saja mempelajari jurus baru sehingga diriku dapat dikalahkannya. Aku benar-benar dipecundangi mentah-mentah oleh mereka.”

Linghu Chong semakin paham apa yang sebenarnya terjadi. Lu Dayou yang akrab dengannya tidak suka melihat kedekatan antara Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Itulah sebabnya kemarin sore Lu Dayou berulang kali melontarkan sindiran kepada Yue Lingshan.

Linghu Chong kemudian bertanya, “Apakah kau sering memarahi Adik Lin?”

Lu Dayou menjawab, “Tentu saja. Bocah sombong seperti dia apa tidak pantas dimaki? Selama ini dia selalu takut kepadaku. Setiap kami bertemu dia selalu menghindar. Sungguh tak disangka bocah itu ternyata... ternyata begitu tega. Huh, kalau saja tidak didukung Adik Kecil, mana mungkin dia bisa mengalahkan aku?”

Linghu Chong juga ikut kesal mendengar cerita Lu Dayou. Begitu teringat gambar-gambar di dinding gua tentang bagaimana cara mematahkan jurus Burung Feng Datang Menyembah, ia pun memungut sebatang ranting dan bersiap mengajarkannya kepada Monyet Keenam. Namun tiba-tiba terpikir olehnya, “Adik Keenam sudah terlalu benci kepada Adik Lin. Bila jurus penangkal ini kuajarkan kepadanya, bisa-bisa Adik Lin terluka parah. Dan kalau Guru atau Ibu Guru sampai tahu dan mengusut masalah ini, tentu kami berdua yang akan menerima hukuman berat.”

Berpikir demikian, Linghu Chong pun membuang ranting di tangannya kemudian berkata, “Sudahlah, Adik Keenam. Urusan ini anggap saja sebagai pengalamanmu supaya lain kali kau tidak ceroboh lagi. Kita ini sesama saudara, kalah atau menang dalam berlatih adalah hal biasa. Jangan dianggap masalah berat.”

“Kakak Pertama,” sahut Lu Dayou sambil menatap tajam. “Kalau untukku memang tidak menjadi soal. Tapi bagaimana denganmu? Apa kau menganggap ini masalah kecil?”

Linghu Chong menyadari kalau yang dimaksud Lu Dayou adalah perihal kedekatan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Mendengar pertanyaan itu hatinya terasa pilu dan kepalanya pun tertunduk lesu.

Lu Dayou merasa bersalah atas ucapannya yang menyinggung perasaan sang kakak pertama. Dengan cepat ia berkata, “Maafkan aku jika... jika salah bicara!”

“Kau tidak salah,” ujar Linghu Chong sambil memegang lengan Lu Dayou. “Hanya saja... hanya saja.... Ah, sudahlah! Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan urusan ini lagi.”

“Baiklah,” sahut Lu Dayou. “Kakak, dulu kau telah mengajariku jurus Burung Feng Datang Menyembah dan aku kurang memperhatikan dengan seksama sehingga bocah bermarga Lin itu bisa mengalahkanku. Untuk selanjutnya, aku akan berlatih dengan lebih giat lagi. Biar bocah bermarga Lin itu mengetahui mana yang lebih bagus, hasil didikan Kakak Pertama ataukah hasil didikan Adik Kecil?”

Linghu Chong tersenyum getir dan berkata, “Sebenarnya... dalam jurus itu tidak ada sesuatu yang istimewa.”

Melihat sikap Linghu Chong yang lesu, Lu Dayou mengira kakak pertamanya itu sedang patah hati. Maka, ia pun tidak berani bertanya macam-macam lagi. Setelah Linghu Chong menghabiskan makanannya, Lu Dayou mohon diri meninggalkan puncak tebing tersebut.

Setelah beristirahat sejenak, Linghu Chong menyalakan obor dan kembali masuk ke dalam gua belakang untuk melanjutkan pengamatannya terhadap gambar-gambar yang terukir di dinding batu. Namun karena pikirannya sedang kalut, gambar-gambar itu dalam pandangannya tampak menyerupai Yue Lingshan dan Lin Pingzhi sedang berlatih bersama dengan sangat mesra. Yang satu mengajari, yang lain mempelajari, demikian yang terlintas di benak Linghu Chong.

Bayangan wajah Lin Pingzhi yang tampan juga semakin menghantui pikiran Linghu Chong. Tanpa terasa ia menghela napas dan berkata, “Wajah Adik Lin jauh lebih tampan dariku. Selain itu, usianya dengan Adik Kecil juga hanya selisih sedikit, mungkin setahun atau dua tahun. Wajar saja kalau mereka berdua bisa bergaul lebih akrab.”

Tiba-tiba Linghu Chong menemukan gambar yang menarik perhatiannya. Gambar tersebut adalah gambar seorang yang mengacungkan pedang dengan gerakan sama persis menyerupai Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Ia pun berseru, “Tidak mungkin! Jurus ini adalah ciptaan Ibu Guru. Mengapa bisa... mengapa bisa terukir lebih dulu di sini? Sungguh aneh!”

Setelah mengamati gambar itu dengan teliti barulah ia menemukan perbedaan jurus tersebut dengan jurus ciptaan sang ibu-guru. Jurus tersebut lebih sederhana namun sangat kuat, dan pantas digunakan oleh seorang laki-laki. Sementara itu jurus pedang Ning Zhongze lebih rumit dan sukar diduga karena memiliki berbagai gerak perubahan yang rahasia. Meskipun demikian, tetap saja keduanya memiliki gaya serangan yang mirip.

Menyadari hal itu, Linghu Chong pun berpikir, “Sebenarnya tidak mengejutkan mengapa jurus pedang ciptaan Ibu Guru sama persis dengan yang terukir di sini. Ilmu silat dan kepandaian Ibu Guru tentu sudah setara dengan tokoh sesepuh yang menggunakan jurus ini. Apalagi dasar ilmu silat Ibu Guru dan Sesepuh tersebut sama-sama dari Perguruan Huashan. Itulah sebabnya jurus pedang ciptaan mereka sama persis, hanya beda sedikit saja. Hm, bahkan jurus-jurus yang tergambar di sini banyak yang tidak diketahui Guru dan Ibu Guru.”

Kemudian ia memerhatikan gaya serangan toya lawan. Dalam gambar tersebut terlihat si pemegang toya tetap mengacungkan senjatanya ke depan. Ujung pedang tepat bertemu dengan ujung toya sehingga membentuk sebuah garis lurus.

“Celaka!” seru Linghu Chong terkejut sampai-sampai obor di tangannya jatuh di lantai. Susasna pun seketika menjadi gelap gulita. “Bagaimana ini? Bagaimana ini?” ujar pemuda itu dengan perasaan khawatir luar biasa.

Rupanya Linghu Chong dapat membayangkan jika ujung toya beradu dengan ujung pedang dengan kekuatan penuh, tentu toya yang lebih unggul karena lebih keras dan kuat. Sebaliknya, pedang yang bentuknya pipih akan patah sementara toya tetap mengarah ke depan dan sulit dihindari. Dengan didorong tenaga yang hebat, tentu toya akan membahayakan si pemegang pedang. Benar-benar hal yang sulit dihindari.

Linghu Chong berpikir keras bagaimana caranya mematahkan serangan toya yang seperti itu, “Apakah benar-benar tidak bisa dihindari? Aku rasa tidak. Jika pedang patah menjadi dua akibat benturan itu, maka untuk menghindari serangan toya, si pemegang pedang bisa menunduk dan berlutut atau tiarap di tanah. Ah, tapi Guru dan Ibu Guru mana mungkin menggunakan cara memalukan seperti itu? Beliau lebih baik mati daripada terhina. Aduh, ini benar-benar kekalahan telak.”

Setelah diam terpaku cukup lama, Linghu Chong akhirnya menyalakan obor baru dan kembali mempelajari gambar-gambar di dinding gua. Ia melihat bermacam-macam jurus pedang yang indah namun mematikan. Lebih-lebih beberapa jurus terakhir terlihat sederhana namun menyimpan kekuatan yang luar biasa dan sulit ditebak. Akan tetapi, tidak peduli bagaimanapun hebatnya jurus pedang yang disajikan dalam gambar, tetap saja si pemegang toya dapat mematahkannya. Pada akhirnya, Linghu Chong menemukan gambar si pemegang pedang berlutut dengan kepala menunduk di hadapan si pemegang toya. Rasa kesal dan marah sudah lama lenyap di hati pemuda itu dan kini telah berganti menjadi perasaan putus asa dan gelisah yang menjadi-jadi. Meskipun gambar tersebut terkesan sombong dan arogan, namun pada kenyataannya ilmu Pedang Huashan benar-benar kalah telak oleh ilmu toya pihak lawan. Benar-benar kenyataan pahit yang menyedihkan.

Semalam suntuk Linghu Chong mondar-mandir mengamati gambar-gambar di dinding gua itu. Seumur hidup baru sekarang ia merasakan tekanan batin sehebat ini. “Perguruan Huashan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung, yang selama ini diakui sebagai perguruan terkemuka dan memiliki nama besar di dunia persilatan. Siapa sangka justru memiliki ilmu silat yang sedemikian rapuh, mudah dihancurkan dengan jurus yang sangat sederhana? Jurus-jurus yang terukir di sini jumlahnya ratusan, bahkan sebagian belum diketahui Guru dan Ibu Guru. Tapi, meskipun aku menguasai semua ilmu Pedang Huashan melebihi kepandaian Guru juga tetap saja percuma. Tidak ada gunanya. Sehebat apapun seorang murid Huashan, tetap saja lebih baik bertekuk lutut jika bertemu musuh yang bisa memainkan jurus toya seperti dalam gambar itu. Jika tidak menyerah kalah, maka pilihan yang lain hanyalah bunuh diri,” demikian pikirnya.

Linghu Chong melangkah gontai dengan perasaan tertekan. Setiap obor yang dipegangnya padam, segera ia menyalakan obor yang baru. Menyaksikan gambar si pemegang pedang bertekuk lutut membuatnya semakin kesal. Ia pun melolos pedang hendak merusak gambar tersebut namun begitu ujung pedang nyaris menyentuh dinding gua, hatinya pun berkata, “Laki-laki sejati harus berpikiran terbuka dan apa adanya. Menang ya menang, kalah ya kalah. Perguruan Huashan kami jelas-jelas dikalahkan. Kami tidak punya alasan apa-apa lagi.” Usai berpikir demikian ia pun menghirup napas dalam.

Pemuda itu kemudian melangkah dan mengamati gambar-gambar selanjutnya. Hatinya sama sekali tidak terkejut menyaksikan berbagai jurus pedang Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan juga mengalami kekalahan dan kehancuran. Di akhir gambar juga dilukiskan para pendekar dari masing-masing perguruan tersebut bertekuk lutut di hadapan lawan.

Linghu Chong telah lama belajar di Perguruan Huashan dan memiliki wawasan luas mengenai berbagai macam ilmu pedang perguruan lain. Meskipun ia tidak mengetahui kunci dan intisari ilmu pedang lainnya, namun dasar-dasar ilmu pedang tersebut telah ia ketahui. Setiap ilmu pedang dari perguruan lain dilukis dengan sangat bagus, namun demikian, semua dapat dikalahkan pihak lawan.

Dalam hatinya selain rasa ngeri dan takut yang mencekam, juga dipenuhi tanda tanya yang cukup besar. “Fan Song, Zhao He, Zhang Chengfeng, Zhang Chengyun. Siapa sebenarnya mereka ini? Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka begitu berhasrat mengukir jurus-jurus mereka untuk menghancurkan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung di dinding gua ini? Tapi mengapa pula nama-nama mereka tidak dikenal di dunia persilatan? Mengapa justru Serikat Pedang Lima Gunung tetap berjaya hingga sekarang?” Demikian pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di benak Linghu Chong. Ia merasa Serikat Pedang Lima Gunung tidak sepantasnya mendapatkan kejayaan di dunia persilatan seperti sekarang ini. Atau mungkin, serikat ini mendapatkan nama besar karena keberuntungan yaitu gambar-gambar di gua tidak tersebar luas.

Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di dalam benak Linghu Chong, “Mengapa aku tidak menghapus gambar-gambar di dinding ini saja, sehingga jurus-jurus yang bisa mengalahkan ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung akan lenyap untuk selamanya dari muka bumi? Dengan begitu aku bisa menjaga nama baik perguruanku. Setelah itu aku akan melupakan kalau aku pernah menemukan gua rahasia ini.”

Segera ia kembali ke lorong sempit dan memungut kapak tajam untuk dipakainya merusak gambar-gambar itu. Namun belum sempat mengayunkan kapak tersebut, tiba-tiba ia berkata pada diri sendiri, “Seorang laki-laki sejati harus berani mengakui kekalahan. Terima saja kenyataan kalau kami memang benar-benar kalah. Huh, kenapa aku harus menipu diri sendiri dan menipu orang lain?”

Tiba-tiba ia teringat pada pria bercadar yang ia temui kemarin. Ia pun bertanya dalam hati, “Laki-laki kemarin memiliki ilmu pedang yang sangat hebat. Mungkin ada sangkut pautnya dengan gambar-gambar di gua ini. Siapa dia sebenarnya? Siapa dia sebenarnya?”

Linghu Chong membuang kapak di tangannya dan membatalkan niat untuk merusak gambar-gambar di dinding gua tersebut. Ia kemudian keluar menuju gua depan dengan memikirkan berbagai pertanyaan sampai tengah hari, dan kemudian masuk lagi ke gua belakang untuk mempelajari gambar-gambar di dinding. Begitulah, seperti orang bingung ia mondar-mandir keluar masuk gua tersebut sampai empat kali. Tak terasa sore pun tiba. Saat itu terdengar suara langkah kaki mendaki ke puncak tebing. Rupanya Yue Lingshan yang datang mengantarkan makanan.

Dengan perasaan gembira Linghu Chong berlari keluar gua dan menyambutnya di tepi tebing. Ia kemudian berseru memanggil, “Adik Kecil!” Karena terlalu gugup bercampur senang sampai-sampai suaranya terdengar gemetar.

Akan tetapi, Yue Lingshan sama sekali tidak menjawab. Begitu sampai di puncak ia langsung menaruh keranjang nasi yang ia bawa di atas batu. Setelah itu, ia memutar badan dan pergi begitu saja tanpa menyapa Linghu Chong sedikit pun.

Tentu saja Linghu Chong menjadi bingung. Seketika ia bertanya, “Adik Kecil, kau ini kenapa?”

Yue Lingshan hanya mendengus dan segera melompat turun meninggalkan puncak gunung tersebut. Meskipun berkali-kali Linghu Chong memanggil, tetap saja gadis itu tidak menjawab ataupun menoleh.

Perasaan Linghu Chong sangat terguncang sehingga ia hanya termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa. Dibukanya keranjang yang hanya berisi nasi dan sayuran tanpa sebotol arak seperti sebelumnya. Selama beberapa saat ia hanya berdiri memandangi isi keranjang tersebut seperti orang linglung.

Meskipun perutnya lapar dan ingin makan, namun baru menyuap dua kali langsung kehilangan selera. Ia pun berpikir, “Kenapa Adik Kecil tidak mau bicara denganku? Bahkan, melirik sekejap pun tidak. Kalau dia marah padaku mengapa masih mau mengantarkan makanan ke sini? Tapi kalau dia tidak marah kepadaku kenapa tidak sudi bicara sedikit pun? Atau, jangan-jangan Adik Keenam sedang sakit. Tapi, bukankah masih ada Adik Kelima, atau yang lain yang bisa mewakilinya. Kenapa harus Adik Kecil sendiri yang mengantar?” Demikian ia berpikir keras mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai-sampai melupakan gambar-gambar pada gua belakang.

Sore hari berikutnya, Yue Lingshan kembali datang mengantar makanan. Sama seperti kemarin, tetap saja ia tidak sudi menyapa atau memandang Linghu Chong. Bahkan, yang lebih menyakitkan, sewaktu pulang dan menuruni jalanan tebing, ia menyanyikan lagu daerah Fujian dengan suara yang sangat keras.

“Rupanya dia sengaja ingin melukai perasaanku,” ujar Linghu Chong dengan hati pedih seperti disayat-sayat.

Sore berikutnya, tetap Yue Lingshan yang mengantarkan makanan untuk Linghu Chong. Namun kali ini Linghu Chong sudah tidak tahan lagi. Begitu gadis itu selesai menaruh keranjang nasinya dan hendak memutar tubuh kembali pulang, dengan cepat Linghu Chong berteriak, “Adik Kecil, aku ingin bicara denganmu!”

Yue Lingshan menghentikan langkahnya dan berpaling. “Kau ingin bicara apa? Katakan saja!” jawabnya dengan ketus. Wajahnya terlihat sangat dingin tanpa senyum sedikit pun.

Melihat sikap Yue Lingshan yang dingin itu, Linghu Chong menjadi tergagap-gagap, “Kau... kau....”

“Aku kenapa?” tanya si gadis.

Linghu Chong masih saja kelu lidahnya. Padahal biasanya ia sangat lincah dan riang gembira. Melihat itu. Yue Lingshan memutar tubuh hendak melangkah kembali, “Kalau tidak segera bicara lebih baik aku pergi saja.”

Melihat itu Linghu Chong sangat khawatir. Apabila saat itu ia kehilangan kesempatan, tentu malam nanti ia akan kembali dilanda penasaran dan baru bisa bertemu Yue Lingshan sore berikutnya. Dan apabila saat ini ia tidak memperoleh jawaban, bagaimana mungkin bisa melewati malam nanti dengan tenang? Dan melihat dari paras wajah si gadis, bisa jadi besok sore ia tidak mau lagi datang, juga hari-hari berikutnya.

Maka tanpa sengaja karena didorong perasaan gelisah dan takut kehilangan kesempatan, ia nekad menarik lengan baju Yue Lingshan sambil berseru, “Adik, tunggu dulu!”

“Lepaskan!” bentak Yue Lingshan sambil meronta. Akibatnya, kain bajunya itu pun robek sampai-sampai bahunya yang putih bersih terlihat jelas. Sebagai seorang persilatan ia tidak takut pada percikan darah. Namun bagaimanapun juga ia hanya seorang gadis muda yang seketika langsung tersipu malu begitu bagian tubuhnya yang selama ini tertutup dan kini terlihat jelas.

Ia pun membentak, “Berani.. berani sekali kau!”

“Maafkan aku, maafkan aku, Adik Kecil!” sahut Linghu Chong sambil melepaskan pegangannya. “Aku tidak... aku tidak sengaja.”

Lekas-lekas Yue Lingshan menutupi bahunya yang terbuka itu dengan lengan baju yang satunya. Ia kemudian menegur dengan suara yang tidak sabar, “Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?”

“Adik Kecil,” sahut Linghu Chong. “Aku sungguh tidak mengerti mengapa kau bersikap demikian kepadaku? Jika memang aku bersalah kepadamu tinggal kau cabut pedang dan kau tusuk aku sepuluh kali juga tidak akan kulawan.”

“Huh, kau itu kakak pertama,” ujar Yue Lingshan. “Mana berani kami membantahmu, apalagi menusukkan pedang sepuluh kali? Kami hanyalah adik seperguruanmu. Asalkan kau tidak sewenang-wenang saja, kami sudah bersyukur kepada Langit.”

Linghu Chong berkata, “Tapi aku benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya apa kesalahanku padamu?”

Yue Lingshan menjawab, “Apa kau pura-pura tidak tahu? Bukankah kau yang menyuruh Monyet Keenam mengadu kepada Ayah dan Ibu?”

“Menyuruh Adik Keenam mengadu apa?” tanya Linghu Chong dengan heran. “Memangnya dia telah mengadu bagaimana tentang dirimu?”

Yue Lingshan menjawab, “Kau tahu betapa Ayah dan Ibu sangat menyayangi diriku, sehingga percuma saja kau mengadu tentang aku. Tapi kau sungguh pintar! Kau mengadu tentang… mengadu tentang… huh! Mengapa kau masih juga berpura-pura? Apa kau benar-benar tidak tahu perbuatanmu sendiri?”

Seketika Linghu Chong bisa menebak apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia pun berkata, “Apakah Guru dan Ibu Guru telah mengetahui tentang Lu Dayou yang terluka akibat berlatih bersama Adik Lin? Apakah Beliau berdua kemudian menghukum Adik Lin?” Dalam hati ia sangat kesal karena Yue Lingshan marah-marah kepadanya karena suatu hal yang menyangkut Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menjawab dengan galak, “Berlatih bersama di antara saudara seperguruan itu hal yang biasa. Kalau sampai terluka itu hanyalah suatu ketidaksengajaan. Tapi Ayah justru membela Monyet Keenam. Ayah bilang Lin Kecil belum waktunya mempelajari jurus Burung Feng Datang Menyembah. Maka, mulai sekarang aku tidak boleh mengajar Lim Kecil lagi. Bagus sekali, sekarang kau yang menang! Tapi aku tidak... aku tidak mau peduli lagi kepadamu. Tidak akan! Tidak akan!”

Biasanya Yue Lingshan suka bercanda dengan mengatakan “tidak akan peduli lagi pada Linghu Chong” dengan nada main-main disertai senyuman di bibir. Akan tetapi kali ini berbeda. Wajahnya nampak serius dan bersungguh-sungguh. Sepertinya ia benar-benar ingin memutuskan hubungan persaudaraan dengan kakak pertamanya itu.

Linghu Chong melangkah maju dan berkata, “Adik, aku....” Sebenarnya ia hendak membantah bahwa dirinya sama sekali tidak pernah menyuruh Lu Dayou untuk mengadu kepada guru dan ibu-guru. Namun hatinya kemudian berkata bahwa selama dirinya memang tidak pernah berbuat demikian, untuk apa harus meminta belas kasihan kepada Yue Lingshan?

Sebaliknya, Yue Lingshan balas membentak, “Kau kenapa?”

“Aku... aku tidak apa-apa,” sahut Linghu Chong sambil menggeleng. “Tapi kalau Guru melarangmu mengajar Adik Lin, bukankah itu hanya masalah kecil? Kenapa kau sedemikian marah kepadaku?”

Wajah Yue Lingshan menjadi merah. Ia pun berkata, “Aku marah kepadamu. Aku marah kepadamu. Ternyata diam-diam kau menyimpan maksud buruk. Kau pikir jika aku berhenti mengajar Adik Lin, lalu aku akan menemanimu setiap hari di sini? Huh, jangan bermimpi! Aku justru tidak peduli lagi padamu.”

Sambil berkata demikian Yue Lingshan membanting kaki sekeras-kerasnya, kemudian memutar tubuh dan pergi meninggalkan puncak tersebut. Sambil menuruni tebing ia menyanyikan lagu daerah Fujian dengan suara lantang dan merdu. Linghu Chong memandangi kepergian Yue Lingshan dengan hati pedih sampai menghilang di balik bukit bawah. Samar-samar ia dapat melihat bahu kiri gadis itu yang masih ditutupi dengan lengan baju kanan, membuat perasaannya bertambah khawatir.

“Aku telah merobek lengan baju Adik Kecil. Jangan-jangan dia mengadu pada Guru dan Ibu Guru. Aduh, bagaimana jadinya kalau Guru dan Ibu Guru menuduhku berniat kurang ajar kepada Adik Kecil? Bagaimana jadinya kalau berita ini sampai tersiar kepada adik-adik yang lain? Tentu aku akan dipandang rendah oleh mereka semua.” Tapi kemudian terpikir olehnya, “Ah, aku tidak punya niat buruk kepadanya. Asalkan aku bisa mempertanggungjawabkan perbuatanku dengan benar, untuk apa harus takut pada pendapat orang lain?”

Meskipun demikian tetap saja Linghu Chong gelisah saat memikirkan sikap Yue Lingshan yang marah-marah akibat dilarang mengajar Lin Pingzhi. Ia berusaha menghibur diri sendiri dengan mengatakan bahwa hubungan mereka berdua hanya sebatas saudara seperguruan yang berusia sebaya. “Adik Kecil masih belia dan sangat lincah. Aku harus berada di sini sehingga Adik Lin yang menemani dia berlatih dan bermain sepanjang hari. Apalagi usia mereka hanya selisih sedikit. Aku yakin tidak ada perasaan apa-apa di hati Adik Kecil terhadap Adik Lin,” demikian pikirnya.

Akan tetapi, kemudian terlintas pikiran di dalam benaknya yang membuatnya bertambah pedih, “Aku dibesarkan bersama-sama dengan Adik Kecil, sedangkan Adik Lin baru beberapa bulan menjadi murid Huashan. Namun mengapa Adik Kecil begitu peduli dan memperlakukan Addik Lin sebaik ini? Perlakuannya sungguh istimewa.”

Malam itu entah berapa ratus kali Linghu Chong berjalan bolak-balik dari ujung jalan setapak di tepi tebing ke mulut gua. Bahkan, sampai siang hari ia tetap mondar-mandir tanpa istirahat. Yang ada di pikirannya hanyalah sikap Yue Lingshan yang benar-benar berubah kepadanya. Gambar-gambar di gua belakang, ataupun pria bercadar misterius seolah-olah lenyap dari ingatannya.

Ketika sore tiba, Lu Dayou yang kali ini datang mengantarkan makanan. Ia langsung menaruh kiriman tersebut di atas batu sambil berkata, “Kakak Pertama, mari makan!”

Linghu Chong tidak menjawab hanya menghela napas saja sambil tangannya mengambil sedikit nasi di atas mangkuk. Namun, begitu ia menyuap dua kali ke dalam mulut yang terasa hanyalah pahit dan juga sulit untuk ditelan. Pemuda itu memandang sekejap ke bawah tebing, kemudian menaruh mangkuknya di atas batu.

Melihat itu Lu Dayou bertanya, “Kakak, wajahmu kelihatan pucat. Apa kau kurang sehat?”

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

“Kemarin aku sengaja memetik jamur ini untukmu. Cobalah kau cicipi rasanya,” ucap Lu Dayou membujuk.

Karena tidak tega mengecewakan maksud baik adik seperguruannya itu, Linghu Chong pun memakan jamur itu dua suapan dan memuji kelezatannya. Padahal, dalam lidahnya terasa hambar.

“Kakak Pertama, aku membawa kabar gembira untukmu,” sahut Lu Dayou sambil tersenyum. “Mulai kemarin Guru dan Ibu Guru melarang Adik Kecil berlatih bersama Adik Lin.”

Linghu Chong menanggapi dengan nada dingin, “Kau dikalahkan Adik Lin, kemudian mengadu kepada Guru, benar begitu?”

Lu Dayou melonjak dan berkata, “Siapa bilang aku kalah olehnya? Aku hanya... aku hanya....”

Linghu Chong menyadari sebenarnya ilmu silat Lu Dayou lebih unggul daripada Lin Pingzhi. Kekalahannya waktu itu hanya karena lengah dan meremehkan lawan. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Jadi semua adik-adik seperguruan kasihan kepadaku. Aku dan Adik Kecil dibesarkan bersama, dan kini Adik Lin muncul dan merebut perhatian Adik Kecil. Tujuan Adik Keenam mengadu kepada Guru hanya karena kasihan pada diriku. Apalagi dia adalah adikku yang paling akrab, sudah tentu berusaha keras membela diriku. Huh, seorang laki-laki sejati mana pantas menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain?”

Berpikir demikian membuat Linghu Chong marah dan bertingkah seperti orang gila. Dilemparkannya mangkuk dan sumpit ke dalam jurang sambil berteriak, “Siapa yang memintamu mencampuri urusanku?”

Tentu saja Lu Dayou terkejut. Selama ini ia selalu hormat dan patuh kepada si kakak pertama. Siapa sangka pertolongannya justru membuat Linghu Chong marah. Dengan gemetar ia melangkah mundur sambil berkata, “Kakak Pertama, jika aku bersalah... silakan kau hajar aku saja!”

Setelah melemparkan mangkuk dan sumpit ke dasar jurang tadi, perasaan Linghu Chong sedikit agak lega. Ia hendak melanjutkan dengan melemparkan sebongkah batu sambil berkata, “Mengapa kau merasa bersalah?”

“Entahlah… aku tidak tahu,” jawab Lu Dayou sambil melangkah mundur lagi.

Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam kemudian melemparkan batu di tangannya ke dasar jurang. Sambil memegangi tangan Lu Dayou, ia lalu berkata, “Maafkan aku, Adik Keenam. Perasaanku memang sedang kesal, tapi tidak ada sangkut-pautnya denganmu.”

Lu Dayou merasa lega dan berkata, “Tenang saja, Kakak. Aku akan pulang untuk mengambilkan makanan yang baru.”

“Tidak perlu, tidak perlu,” sahut Linghu Chong. “Aku sedang tidak enak makan.”

Lu Dayou melihat sendiri keranjang nasi yang kemarin masih utuh isinya. Ia pun bertanya, “Kakak, makananmu yang kemarin tidak kau sentuh?”

Linghu Chong menjawab dengan senyum yang dipaksakan, “Kau jangan khawatir. Aku hanya sedang tidak selera makan.”

Lu Dayou tidak berani bertanya-tanya lagi. Ia kemudian mohon diri untuk meninggalkan puncak tebing tersebut.

Sore hari berikutnya Lu Dayou menambahkan sebotol arak di dalam keranjang makanan yang ia bawa untuk menghibur kesedihan Linghu Chong. Akan tetapi ketika sampai di puncak dilihatnya sang kakak pertama sedang terbaring malas di atas batu besar. Wajahnya juga tampak sangat pucat.

“Kakak Pertama, coba tebak apa yang kubawa?” seru Lu Dayou sambil membuka tutup botol di tangannya. Bau arak yang harum menyengat langsung menyebar.

Linghu Chong pun bangkit dan menerima botol itu. Sekali teguk ia langsung menghabiskan setengah isinya. “Hm, arak ini lumayan enak!”

Lu Dayou merasa senang. Segera ia mengambil mangkuk dan berkata, “Biar kuisikan nasi untukmu.”

“Tidak perlu, aku tidak mau makan!” jawab Linghu Chong sambil menggoyang tangan.

“Semangkuk saja,” ujar Lu Dayou sambil tetap mengisi mangkuk di tangannya dengan nasi sampai penuh.

Tidak ingin membuat adiknya susah, Linghu Chong terpaksa menjawab, “Baiklah, nanti akan kumakan sehabis minum.”

Akan tetapi nasi itu tetap berada di mangkuk tanpa disentuh sedikit pun oleh Linghu Chong. Sore berikutnya, Lu Dayou datang kembali dan melihat nasi di mangkuk tersebut telah basi, sementara Linghu Chong terbaring lemah di lantai gua.

Lu Dayou terkejut melihat wajah kakaknya yang pucat pasi. Segera ia memeriksa dahi Linghu Chong ternyata sangat panas seperti terbakar. “Kakak Pertama, apa kau sakit?” serunya khawatir.

Namun Linghu Chong justru menjawab lemah, “Arak, arak, mana araknya? Aku mau minum arak.” Ia kemudian bangkit dari tidur dan melambaikan tangannya kepada Lu Dayou.

Meskipun hari itu Lu Dayou membawa arak, namun ia tidak berani mengeluarkannya dari dalam keranjang. Pemuda itu hanya mengisi mangkuk dengan air sampai penuh dan menyerahkannya kepada sang kakak pertama. Linghu Chong menerimanya dan meminumnya sampai habis. “Arak bagus! Arak bagus!” ujarnya seperti orang linglung. Setelah merebahkan diri kembali, tetap saja mulutnya menggumam, “Arak bagus! Arak bagus!”

Lu Dayou ketakutan melihat penyakit Linghu Chong tersebut. Karena saat itu sang guru dan ibu-guru sedang ada urusan di tempat jauh, ia pun turun untuk memberi tahu Lao Denuo dan saudara-saudara yang lain bahwa kakak pertama jatuh sakit dan cukup parah.

Yue Buqun telah menetapkan peraturan yang sangat ketat terhadap para muridnya untuk tidak seenaknya menemui Linghu Chong di puncak Huashan. Akan tetapi, saat ini kondisi Linghu Chong sedang sakit parah sehingga datang untuk menjenguk sebenarnya bukan suatu pelanggaran. Meskipun demikian, tetap saja para murid takut untuk menjenguk beramai-ramai. Maka diputuskan untuk menjenguk si kakak pertama secara bergantian. Hari ini yang mengantarkan makanan sekaligus menjenguk adalah Lao Denuo dan Liang Fa. Esok harinya giliran Shi Daizi dan Gao Genming, dan begitulah seterusnya.

Lu Dayou sendiri telah memberitahukan perihal sakitnya Linghu Chong kepada Yue Lingshan. Akan tetapi gadis itu menanggapi dengan tidak percaya, “Tenaga dalam Kakak Pertama sangat tinggi. Tidak mungkin ia bisa jatuh sakit. Aku tidak percaya. Aku tidak mau ditipu mentah-mentah.”

Para saudara yang menjenguk menyampaikan bahwa keadaan Linghu Chong ternyata bertambah parah. Bahkan, empat hari empat malam ia tak sadarkan diri. Lu Dayou kembali memohon dengan sangat supaya Yue Lingshan sudi menjenguk ke puncak. Akhirnya, perasaan Yue Lingshan luluh juga karena melihat Lu Dayou yang terlihat sangat memelas bahkan hampir saja berlutut di hadapannya.

Maka, berangkatlah Yue Lingshan naik ke puncak ditemani Lu Dayou. Di sana ia melihat Linghu Chong terbaring lemah dengan muka kurus dan cekung. Janggutnya pun tak terawat. Keadaannya terlihat memprihatinkan padahal biasanya ceria dan riang gembira.

Dengan rasa penyesalan yang teramat dalam, Yue Lingshan berjalan mendekat ke sisi Linghu Chong dan berkata, “Kakak Pertama, ini aku yang datang. Tolong kau jangan marah lagi, ya!”

Namun Linghu Chong hanya termangu-mangu seperti orang linglung. Dengan perasaan bingung ia memandangi Yue Lingshan seperti tidak mengenali gadis itu lagi.

“Kakak Pertama, ini aku! Mengapa kau tidak peduli kepadaku?” lanjut Yue Lingshan tidak sabar.

Sekali lagi Linghu Chong hanya termangu-mangu. Kali ini ia memejamkan mata dan kemudian tertidur pulas. Sampai Lu Dayou dan Yue Lingshan meninggalkannya, ia tetap tidak membuka mata.

Sakit yang diderita Linghu Chong berlangsung hingga satu bulan lamanya. Selama itu Yue Lingshan datang menjenguknya sebanyak tiga kali. Sejak kunjungan yang pertama, kesehatan Linghu Chong berangsur-angsur pulih. Pada kunjungan kedua, Linghu Chong sudah memperoleh kembali kesadarannya dan gembira menyambut gadis itu. Ketika Yue Lingshan datang untuk yang ketiga kalinya, ia sudah kuat untuk duduk dan menyambut makanan yang dibawa Yue Lingshan. Namun setelah itu, si gadis tidak pernah lagi datang menjenguk.

Setelah kuat berjalan, setiap hari Linghu Chong selalu memandang ke bawah menantikan kedatangan Yue Lingshan untuk mengunjunginya. Namun harapannya sia-sia, karena yang ia lihat hanyalah keheningan pegunungan, serta Lu Dayou yang selalu datang mengantarkan makanan dengan langkahnya yang ringan dan cepat.

Tiba-tiba pada suatu sore Linghu Chong melihat dua sosok bayangan datang mengunjunginya dengan kecepatan luar biasa. Yang berjalan di depan berpakaian wanita sedangkan yang di belakang jelas seorang pria. Keduanya terlihat memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Mereka melintasi jalanan terjal dan curam bagaikan berjalan di atas tanah datar saja. Linghu Chong memandangi kedua orang itu dengan seksama, kemudian berseru dengan gembira, “Guru! Ibu Guru!”

Ternyata yang datang mengantarkan makanan sore itu adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze sendiri. Sungguh kunjungan ini terasa sangat istimewa. Karena menurut tradisi hampir tidak pernah seorang guru datang mengunjungi muridnya yang sedang menjalani hukuman kurung di Tebing Perenungan.

Dengan perasaan sangat gembira Linghu Chong berlutut dan memeluk kaki Yue Buqun, “Guru, Ibu Guru, Murid sangat rindu ingin bertemu.”

Yue Buqun memandangi Linghu Chong dengan seksama. Sebagai murid nomor satu, Linghu Chong dianggapnya kurang bisa membawa diri dan kurang patuh terhadap tata tertib perguruan, padahal ilmu silat dan tenaga dalamnya paling tinggi di antara sesama murid. Mengenai berita sakitnya Linghu Chong sudah didengar oleh Yue Buqun suami-istri. Meskipun para murid tidak ada yang berani bercerita terus terang, namun Yue Buqun dan Ning Zhongze dapat menebak ini pasti ada sangkut pautnya dengan Yue Lingshan. Dari Yue Lingshan sendiri mereka memperoleh jawaban yang kurang tegas sehingga keduanya dapat memastikan kalau putri mereka itulah penyebab sakitnya Linghu Chong. Kini setelah melihat langsung keadaan Linghu Chong, Yue Buqun dapat menyimpulkan kalau murid pertamanya itu tidak ada kemajuan sama sekali meskipun sudah enam bulan menghabiskan waktu di Tebing Perenungan. Ia pun mendengus memperlihatkan kekecewaan.

Sebaliknya, Ning Zhongze membangunkan Linghu Chong dengan lembut dan penuh kasih. Dipandanginya wajah murid pertama suaminya yang cekung dan kurus itu dengan rasa haru, kemudian ia berkata, “Chong’er, gurumu dan aku baru saja pulang dari utara. Kami dengar kau baru saja jatuh sakit, apa sekarang sudah lebih baik?”

Mendengar suara Nyonya Yue yang halus dan lembut itu dada Linghu Chong terasa sesak dan air matanya pun berlinang. Ia menjawab, “Murid sudah lebih baik. Guru dan Ibu Guru tentu sangat letih baru saja kembali dari perjalanan jauh, tapi menyempatkan diri datang menjenguk... menjenguk kemari.” Suaranya terdengar parau karena tak kuasa menahan haru. Ia pun memalingkan muka dan mengusap air matanya yang mengalir keluar.

Ning Zhongze mengeluarkan nasi dan semangkuk sup ginseng dari dalam keranjang. Wanita itu kemudian berkata, “Ini adalah ginseng liar yang kubawa dari utara. Akan sangat bermanfaat untuk kesehatanmu. Lekaslah kau minum sampai habis.”

Mengetahui betapa sang guru dan ibu-guru telah membawa ginseng mujarab jauh-jauh dari utara dan langsung diberikan kepadanya membuat Linghu Chong semakin terharu dan berterima kasih. Dengan tangan gemetar ia menerima mangkuk sup tersebut. Ning Zhongze bermaksud untuk menyuapinya, namun Linghu Chong sudah lebih dulu meneguk isi mangkuk itu sampai habis.

“Terima kasih banyak, Ibu Guru. Terima kasih banyak, Guru,” katanya.

Yue Buqun meraih pegelangan tangan Linghu Chong untuk memeriksa denyut nadi muridnya itu. Terasa olehnya urat nadi Linghu Chong berdenyut cepat. Ia pun berkata, “Sakitmu memang sudah sembuh.” Setelah terdiam sejenak, ketua Perguruan Huashan itu lantas melanjutkan dengan raut wajah kurang senang, “Huh, Chong’er, apa saja yang kau kerajakan selama setengah tahun ini? Mengapa tenaga dalammu banyak mengalami kemunduran?”

Mendengar itu Linghu Chong kembali menyembah dan menjawab, “Murid memang bodoh. Mohon Guru dan Ibu Guru sudi mengampuni!”

Ning Zhongze menukas, “Chong’er baru saja sembuh. Pantas saja kalau dia mengalami kemunduran tenaga dalam. Apa yang kau harapkan dari seorang yang baru saja pulih dari sakit?”

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Aku tidak bicara soal kesehatannya. Aku bicara soal tenaga dalamnya, dan ini tidak ada hubungannya dengan kondisi kesehatannya. Ilmu tenaga dalam perguruan kita berbeda dengan perguruan lain. Asalkan berlatih dengan giat dan disiplin, sekalipun di waktu tidur tenaga dalam akan bertambah dengan sendirinya. Apalagi Chong’er sudah belasan tahun belajar tenaga dalam Huashan. Asalkan tidak terluka dalam pertarungan, dia tidak mungkin jatuh sakit. Ini semua karena kebodohannya yang tidak bisa mengendalikan nafsu dan perasaan. Oleh karena itu, tenaga dalamnya pun tidak mengalami kemajuan pula.”

Menyadari ucapan suaminya benar, Ning Zhongze menambahkan, “Chong’er, gurumu sudah berulang kali memberi nasihat supaya kau belajar dan berlatih, baik itu ilmu pedang ataupun tenaga dalam dengan rajin. Sesungguhnya gurumu mengurung kau di sini bukan karena ia ingin menghukummu, tapi semata-mata untuk memberimu kesempatan supaya bisa berlatih dengan bebas dan tidak terganggu urusan-urusan remeh. Kami berharap selama setahun ini kau memperoleh banyak kemajuan, tapi siapa sangka... siapa sangka....”

Linghu Chong merasa malu dan gugup. Dengan menundukkan kepala ia menjawab, “Mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Guru dan Ibu Guru! Murid benar-benar khilaf dan berjanji akan berlatih dengan sepenuh hati.”

Yue Buqun kembali berkata, “Dalam beberapa tahun ini kami berdua sering turun gunung untuk melihat dan menumpas langsung kejahatan di dunia persilatan. Apalagi akhir-akhir ini huru hara semakin sering terjadi. Kami yakin kelak di kemudian hari, bencana besar pasti tak dapat dielakkan lagi.” Berhenti sejenak, ia kemudian melanjutkan, “Kau adalah murid pertamaku. Kami berdua menaruh harapan besar kepadamu, semoga kelak kau bisa bahu-membahu bersama kami menegakkan keadilan dan kebenaran, serta mengharumkan nama besar Perguruan Huashan. Tapi kalau kau lebih suka larut dalam urusan muda-mudi, dan mengesampingkan berlatih ilmu silat sehingga tidak ada kemajuan, sungguh kami merasa sangat kecewa.”

Melihat wajah sang guru yang tampak murung, Linghu Chong seketika kembali menyembah, “Sekali lagi murid mohon maaf karena telah mengecewakan Guru dan Ibu Guru.”

Yue Buqun membangunkan murid pertamanya itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Jika kau sudah menyadari kesalahanmu, kami merasa lega. Kelak, setengah bulan lagi kami akan datang ke sini untuk menguji ilmu pedangmu.” Usai berkata demikian, ia pun memutar badan hendak kembali pulang.

Teringat pada gambar-gambar di gua belakang, serta munculnya pria bercadar membuat Linghu Chong ingin bertanya kepada sang guru, “Guru, ada sesuatu hal yang....”

Namun Yue Buqun sudah melesat pergi.

Ning Zhongze sendiri juga beranjak sambil berkata, “Selama setengah bulan ke depan kau harus lebih giat belajar. Urusan ini sangat penting karena menyangkut masa depanmu. Jangan anggap remeh.”

“Baik, Ibu Guru....” jawab Linghu Chong. Sebenarnya ia juga berniat memberi tahu Nyonya Yue tentang gambar yang ia temukan di dalam gua belakang serta pria bercadar misterius. Namun, ibu-gurunya itu sudah melambaikan tangan diiringi senyuman hangat, kemudian melesat pergi menyusul sang suami dengan langkah lebar.

Kini tinggal Linghu Chong seorang diri. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa Ibu Guru berkata urusan belajar ilmu silat bisa menyangkut masa depanku? Mengapa untuk menyampaikan pesan ini Beliau harus menunggu sampai Guru pergi? Jangan-jangan... jangan-jangan....”

Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya, membuat jantung berdebar-debar. Tak terasa pipinya pun bersemu merah menahan malu. Ia tidak berani berpikir lebih dalam lagi, namun di lubuk hatinya yang paling dalam timbul sebuah harapan, “Jangan-jangan Guru dan Ibu Guru mengetahui kalau sakitku ini karena memikirkan Adik Kecil. Apakah Beliau berdua berniat menjodohkan kami? Namun syaratnya aku harus rajin berlatih supaya dapat mewarisi semua kepandaian Guru, baik itu tenaga dalam ataupun ilmu pedang. Agaknya Guru merasa segan bicara terang-terangan. Sebaliknya, Ibu Guru sudah menganggapku seperti anak sendiri sehingga setelah Guru pergi, diam-diam Beliau menyampaikan pesan ini kepadaku.”

Menyadari hal itu, semangat Linghu Chong bangkit kembali. Ia pun menghunus pedangnya dan mulai memainkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah diajarkan sang guru. Akan tetapi bayangan gambar di dalam gua senantiasa menghantui pikirannya. Maka, setiap kali ia memainkan suatu jurus dengan sendirinya pada saat itu pula ia membayangkan bahwa jurusnya itu dapat dipatahkan musuh.

Pikiran Linghu Chong menjadi terpecah dan sulit untuk diajak berkonsentrasi. “Mengenai ukiran-ukiran itu aku belum sempat menyampaikannya kepada Guru dan Ibu Guru. Ah, nanti saja kalau Beliau berdua datang lagi kemari dan mengamati gambar-gambar itu, tentu semua tanda tanya bisa dipecahkan.”

Begitulah, meskipun ucapan Ning Zhongze mengandung dukungan dan memberikan semangat Linghu Chong namun latihannya selama sehari penuh itu tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, ia kembali berkhayal tentang hubungannya dengan Yue Lingshan.
“Kalau benar Guru dan Ibu Guru berniat menjodohkan Adik Kecil dengan aku, apakah Adik Kecil bersedia menerimaku secara suka rela? Jika kami menjadi suami-istri, apakah dia bisa melupakan Adik Lin? Ah, aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Adik Lin baru beberapa bulan masuk Huashan. Ia hanya berlatih bersama dengan Adik Kecil untuk meminta petunjuk darinya, serta menjadi teman bermain Adik Kecil pula. Mereka berdua tidak memiliki hubungan istimewa selain sebagai saudara seperguruan sehingga tidak bisa dibandingkan dengan hubungan kami yang dibesarkan bersama sejak kecil. Lagipula, Adik Lin pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku pun tidak boleh melupakan jasanya. Kelak, jika aku sudah kembali ke perguruan, aku harus selalu baik kepadanya. Jika dia tertimpa masalah dan terancam bahaya, aku siap melindunginya meskipun bertaruh jiwa dan raga.”

Singkat kata, waktu setengah bulan pun terlewati dengan cepat. Sesuai yang pernah dijanjikan, pada suatu sore Yue Buqun dan Ning Zhongze datang untuk menguji kemajuan ilmu silat Linghu Chong. Selain mereka ikut pula beberapa orang murid yang menemani, yaitu Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan.

Linghu Chong menyambut kedatangan mereka dengan hati berdebar. Lebih-lebih begitu melihat si adik kecil ternyata juga ikut serta.

Ning Zhongze tersenyum melihat semangat pemuda itu yang terlihat lebih segar dan tubuhnya lebih sehat dibanding sebelumnya. Ia pun berkata kepada Yue Lingshan, “Shan’er, tolong kau ambilkan nasi untuk Kakak Pertama. Biarkan dia makan sampai kenyang sebelum ujian dimulai.”

Yue Lingshan mengiakan dan segera membawa keranjang nasi ke dalam gua diikuti Linghu Chong. Gadis itu mengisi sebuah mangkuk sampai penuh dengan nasi dan menyerahkannya kepada Linghu Chong. “Silakan makan, Kakak pertama!” katanya sambil tersenyum.

Linghu Chong menerimanya dengan gugup, “Terima... terima kasih.”

Yue Lingshan tertawa melihatnya kemudian bertanya, “Hei, apa kau masih demam? Mengapa suaramu gemetar lagi?”

“Ti... tidak apa-apa,” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia berpikir kelak setiap hari gadis itu yang akan melayaninya makan. Jika terjadi demikian tentu di hatinya sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Pemuda itu makan dengan lahap, dan dalam waktu singkat sudah menghabiskan isi mangkuknya.

Yue Lingshan berkata, “Aku tambah lagi nasinya?”

“Terima kasih, ini saja sudah cukup,” jawab Linghu Chong. “Guru dan Ibu Guru sudah menunggu.

Keduanya pun keluar gua. Tampak Yue Buqun dan Ning Zhongze duduk berjajar di atas batu. Linghu Chong membungkuk memberi hormat namun lidahnya terasa kelu sulit diajak bicara. Kemudian ia menoleh ke arah Lu Dayou. Dalam hati ia berkata, “Adik Keenam terlihat begitu gembira. Apakah dia baru saja menerima kabar gembira tentang diriku sehingga ikut merasa senang?”

Yue Buqun memandang tajam ke arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia membuka suara, “Kemarin Genming baru saja pulang dari Chang’an. Ia melaporkan bahwa si penjahat Tian Boguang baru saja membuat beberapa masalah di kota itu.”

“Tian Boguang ada di Chang’an?” sahut Linghu Chong menegas. “Sudah pasti ia melakukan perbuatan yang tidak baik.”

“Tentu saja! Kenapa kau masih bertanya?” ujar Yue Buqun. “Dia telah mencuri di tujuh rumah dalam satu malam. Tidak hanya itu, ia bahkan berani meninggalkan tulisan di masing-masing rumah yang berbunyi, ‘Barang-barangmu dipinjam Tian Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li.’”

“Apa?” sahut Linghu Chong terkejut. Dengan perasaan geram ia berkata, “Kota Chang’an dekat dari sini. Dia benar-benar menganggap remeh Perguruan Huashan kita. Guru, kita harus….”

“Kita harus apa?” Yue Buqun menukas.

Linghu Chong melanjutkan, “Guru dan Ibu Guru berkedudukan tinggi juga terhormat, jadi tidak perlu mengotori tangan dengan darah penjahat itu. Sayang sekali kepandaian murid masih belum cukup untuk menandinginya. Selain itu murid juga masih menjalani masa hukuman. Tapi kalau keparat itu dibiarkan malang melintang di dekat Gunung Huashan, tentu hal ini patut disayangkan.”

“Jika kau benar-benar mampu, sudah tentu aku mengizinkanmu turun gunung. Masa hukumanmu kuanggap selesai sampai di sini apabila kau bisa menebusnya dengan membunuh penjahat itu,” ujar Yue Buqun. “Tapi sebelumnya aku ingin melihat kemajuan ilmu silatmu lebih dulu. Coba kau mainkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang pernah diajarkan ibu-gurumu dulu. Selama setengah tahun lebih tentu kau sudah mempelajarinya. Ditambah lagi petunjuk-petunjuk yang akan diberikan ibu-gurumu hari ini tentu sudah cukup untuk membunuh si keparat bermarga Tian.”

Linghu Chong terperanjat. Ia baru sadar kalau ibu-gurunya dahulu telah mengajarkan secara tidak resmi Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. “Meskipun tidak mengajarkan secara langsung, namun Ibu Guru yakin dengan pengalaman dan kemampuanku, tentu bisa memahami dan menyerap intisari dari apa yang Beliau peragakan waktu itu. Guru juga memperhitungkan selama setengah tahun ini aku seharusnya sudah bisa menguasai jurus tersebut,” demikian ia berpikir. Tak terasa keringat dingin membasahi dahinya.

Memang pada permulaan menjalani hukuman, setiap hari Linghu Chong berlatih untuk bisa menguasai jurus ampuh tersebut. Akan tetapi, setelah menemukan gambar-gambar di dalam gua belakang membuat semangatnya hilang dan tidak pernah lagi melatih jurus tersebut begitu pula dengan jurus-jurus ilmu pedang Huashan lainnya. Ia menjadi yakin bahwa sehebat apapun ilmu pedang yang ia pelajari ternyata bisa dipatahkan musuh sehingga rasa percaya dirinya terhadap semua ilmu pedang Huashan menjadi lenyap. Ingin sekali ia berkata bahwa Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding memiliki kelemahan dan mudah untuk dipatahkan, namun tidak ingin membuat ibu-gurunya malu di hadapan Shi Daizi dan Lu Dayou.

Melihat raut wajah muridnya yang menunjukkan sikap ragu-ragu, Yue Buqun segera menanggapi, “Apa kau belum berlatih jurus tunggal itu? Baiklah, tidak mengapa. Jurus tersebut sesungguhnya merupakan intisari ilmu pedang Huashan. Mungkin kau sudah mengetahui caranya, namun tenaga dalammu belum sampai di tingkat itu. Lambat laun kau tentu dapat menguasainya.”

Linghu Chong diam tertunduk. Melihat itu Ning Zhongze berkata, “Chong’er, mengapa kau tidak segera berterima kasih? Gurumu berniat mengajarkan ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja kepadamu?”

Linghu Chong terperanjat. Dengan cepat ia pun berkata sambil berlutut di tanah, “Terima kasih, Guru!”

Yue Buqun segera menahan tubuh muridnya itu, dan berkata, “Jangan terburu-buru. Ilmu Kabut Lembayung Senja adalah intisari tertinggi dari ilmu tenaga dalam di perguruan kita. Aku tidak mau sembarangan mengajarkannya. Jika belajar ilmu ini, maka latihan harus giat, pemusatan pikiran harus sungguh-sungguh. Tidak boleh sampai terputus di tengah jalan karena akan sangat berbahaya dan bisa berakibat fatal. Maka itu, aku ingin melihat lebih dulu sampai di mana kemajuan ilmu silatmu yang kau capai selama ini. Baru setelah itu, aku bisa memutuskan untuk mengajarkannya atau tidak.”

Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan kagum luar biasa mendengar kakak pertama mereka diizinkan untuk mempelajari ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja. Mereka mengetahui kalau Kabut Lembayung Senja adalah ilmu tenaga dalam tertinggi yang dimiliki Perguruan Huashan, dan bisa dikatakan sebagai pemimpin dari sembilan ilmu Huashan. Meskipun mereka bertiga mengetahui kalau ilmu silat Linghu Chong adalah yang paling hebat di antara para murid, namun mereka tidak menyangka kalau sang kakak pertama akan mewarisi ilmu tenaga dalam itu secepat ini.

Lu Dayou pun berkata, “Kakak Pertama selalu berlatih dengan giat. Setiap kali saya mengantar makanan ke sini, saya selalu melihat Kakak Pertama sedang belajar. Kalau tidak duduk bermeditasi tentu sedang berlatih pedang.”

Mendengar itu Yue Lingshan melirik dan mencibir. Dalam hati ia menggerutu, “Monyet Keenam, berani sekali kau berbohong di hadapan Ayah dan Ibu. Huh, selalu saja kau membela Kakak Pertama.”

Sementara itu Ning Zhongze berkata, “Chong’er, segera kau siapkan pedangmu. Kita bertiga akan pergi melabrak Tian Boguang. Kita akan berusaha keras untuk mengakhiri kejahatannya. Pepatah mengatakan, ‘Lebih baik mengasah tombak sebelum berangkat berperang daripada tidak membawa apa-apa.’”

“Kita bertiga?” sahut Linghu Chong tidak percaya. “Apakah Guru dan Ibu Guru akan bersama-sama membantu saya mengeroyok Tian Boguang, begitu?”

“Ya, begitulah kira-kira,” ujar Nyonya Yue tertawa. “Pada dasarnya kau yang menantang dan menghadapinya. Kami berdua hanya membantu dari belakang. Tidak peduli pedang siapa yang mencabut nyawanya, tetap saja kami akan mengatakan bahwa kau yang telah membunuh Tian Boguang. Dengan demikian, gurumu dan aku tidak akan kehilangan nama baik di dunia persilatan.”

“Bagus sekali,” seru Yue Lingshan. “Jika Ayah dan Ibu diam-diam membantu, tidak perlu Kakak Pertama yang maju, aku juga berani menghadapinya. Setelah penjahat itu mati, tinggal katakan saja kalau aku yang telah membunuhnya.”

“Enak saja kau bicara,” sahut Nyonya Yue. “Kakak pertamamu pernah bertanding melawan penjahat itu dan nyaris kehilangan nyawa, tentu ia sudah mengenali jurus-jurusnya. Sebaliknya, dengan kepandaianmu yang rendah itu, apa yang bisa kau andalkan? Lagipula kau ini seorang perempuan, maka jangan sekali-kali kau sebut namanya apalagi berharap bisa bertemu dengannya!”

Usai berkata demikian dengan sangat tiba-tiba wanita itu sudah mengacungkan pedang tepat di depan jantung Linghu Chong. Gerakannya sungguh cepat, padahal sedetik yang lalu ia baru saja bicara kepada putrinya sambil tersenyum.

Di lain pihak, Linghu Chong juga bergerak dengan cepat melolos pedang untuk menangkis tusukan sang ibu-guru sambil sedikit melangkah mundur. Kedua pedang pun bertemu dan menimbulkan suara benturan yang sangat keras.

Selanjutnya, berturut-turut Ning Zhongze melancarkan enam serangan, namun bersamaan dengan itu Linghu Chong juga melancarkan enam kali tangkisan.

“Serang aku ganti!” bentak Nyonya Yue sambil mengubah gaya permainan. Kali ini ia menebas dan mencincang seolah-olah pedangnya berfungsi sebagai golok. Jelas ini bukan ilmu pedang Huashan. Linghu Chong segera menyadari kalau ibu-gurunya itu sedang memainkan jurus golok kilat andalan Tian Boguang. Serangan itu pun bertambah cepat dan semakin cepat.

Yue Lingshan menyksikan dengan takjub, lalu berkata, “Ayah, gerakan Ibu sangat cepat, tapi tidak seperti jurus pedang, juga tidak seperti jurus golok. Aku khawatir jangan-jangan ilmu golok Tian Boguang tidak seperti itu.”

Yue Buqun menjawab, “Ilmu silat Tian Boguang sangat hebat. Tentu saja sulit bagi ibumu untuk meniru jurus goloknya dengan sama persis. Lagipula yang dilakukan ibumu bukan meniru jurus golok penjahat itu, tapi meniru kecepatannya. Sekali lagi, kecepatannya. Karena, kunci untuk mengalahkan Tian Boguang adalah bagaimana kita bisa menghadapi kecepatan ilmu goloknya… Lihat itu! Bagus sekali! Jurus Burung Feng Datang Menyembah!”

Yue Buqun berseru memuji karena Linghu Chong menggunakan jurus yang tepat di saat yang tepat pula. Sewaktu Linghu Chong merendahkan sedikit bahu kirinya sambil menarik siku kanan dan kemudian mengacungkan tangan kiri ke samping, ia lantas melancarkan Jurus Burung Feng Datang Menyembah. Akan tetapi pujian Yue Buqun berubah menjadi kecaman saat melihat tusukan Linghu Chong terlihat lemah dan arahnya melenceng sehingga gagal menembus lingkaran sinar pedang Ning Zhongze.

“Bodoh, salah besar!” seru Yue Buqun kesal.

Nyonya Yue sendiri tidak memberi ampun. Berturut-turut ia menyerang Linghu Chong sebanyak tiga kali. Pemuda itu tampak sangat kewalahan menangkisnya. Permainan pedangnya semakin kacau dan tidak terarah, bahkan beberapa jurus di antaranya bukan merupakan ilmu pedang Huashan. Menyaksikan ini membuat Yue Buqun bertambah gusar.

Meskipun gerakan pedangnya kacau, Linghu Chong masih tetap berusaha menangkis pedang Ning Zhongze. Setelah terdesak mundur sampai ke dekat gua, ia tiba-tiba ganti menyerang menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Pedangnya berkelebat dan menusuk ke arah pelipis Nyonya Yue. Namun wanita itu dapat menangkis serangan tersebut diiringi suara benturan dua pedang yang sangat keras.

Nyonya Yue segera menyilangkan pedang di depan dada untuk pertahanan. Wanita itu menyadari kehebatan jurus yang dipakai Linghu Chong. Meskipun ia yakin Linghu Chong sudah menguasai jurus itu dengan sangat baik dan tidak mungkin melukai dirinya, namun ia tetap berjaga-jaga atas kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Maka, Ning Zhongze pun mengubah gaya permainannya dari menyerang menjadi bertahan.

Akan tetapi, siapa sangka lagi-lagi Linghu Chong memperlihatkan kelemahannya. Serangannya kali ini kembali melambat dan tidak membawa daya tekanan terhadap lawan.

“Chong’er, perhatikan gerakanmu! Pikiranmu sedang melayang ke mana?” seru Nyonya Yue sambil menebas tiga kali.

Linghu Chong melompat untuk menghindari serangan itu. Ning Zhongze semakin kesal dan berseru, “Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu macam apa pula ini? Apa kau kehilangan semua ilmu silatmu gara-gara sakit?”

“Maaf!” jawab Linghu Chong dengan wajah bersemu merah menahan malu. Kemudian ia pun berbalik dengan melancarkan dua serangan.

Sementara itu Yue Buqun menyaksikan pertandingan tersebut dengan tatapan tajam. Shi Daizi dan Lu Dayou sampai ketakutan melihat raut wajah sang guru yang menampilkan perasaan gusar luar biasa.

Suasana di puncak tebing itu terdengar ramai oleh desingan suara pedang Ning Zhongze. Gaun berwarna hijau yang ia kenakan sudah tidak terlihat dengan jelas lagi, karena yang kini terlihat hanyalah bayangan hijau yang berkelebat ke sana kemari. Ditambah lagi dengan kilatan sinar pedang membuat gerakan jurusnya semakin sulit tertangkap mata.

Linghu Chong sendiri menghadapi serangan ibu-gurunya dengan pikiran semakin kacau. Dalam hati ia berkata, “Jika aku menggunakan jurus Kuda Menerjang, tentu musuh akan menangkis dengan cara seperti itu… Jika aku memaksakan diri menyerang dari samping, pasti aku akan terluka sendiri.”

Rupanya selama pertandingan ini berlangsung, yang ada dalam pikiran Linghu Chong hanyalah gambar-gambar di gua belakang. Ketika melancarkan jurus Burung Feng Datang Menyembah tadi, pikirannya langsung membayangkan jurus penangkal yang terukir di dinding gua. Begitu pula ketika menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu, langsung dalam benaknya terbayang jurus yang bisa mematahkan jurus ini. Itulah sebabnya mengapa gerakan pemuda itu terlihat kacau dan tidak menentu. Bayangan gambar-gambar di gua belakang itu membuatnya khawatir dan mengubah gerakan menjadi bertahan.

Sebaliknya, Nyonya Yue mengayunkan pedangnya dengan cepat adalah untuk memaksa Linghu Chong mengeluarkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Namun Linghu Chong yang sedang bimbang justru menangkis dengan gerakan sekenanya. Pemuda itu sama sekali tidak bisa memusatkan pikiran. Jelas sekali terlihat bahwa ia sedang dicekam ketakutan dan rasa khawatir yang teramat sangat.

Ning Zhongze sendiri kesal melihat Linghu Chong yang biasanya pemberani, tapi entah mengapa hari itu terlihat begitu lemah dan gelisah. Belum pernah ia menyaksikan Linghu Chong bertarung seperti ini. Wanita itu pun berteriak, “Chong’er, mengapa jurus tunggal itu belum keluar juga?”

“Baiklah!” jawab Linghu Chong sambil mengacungkan pedangnya ke depan, pertanda ia hendak mengerahkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding.

“Bagus, gayamu sudah benar!” sahut Nyonya Yue. Karena mengetahui kehebatan jurus ini, wanita itu tidak berani menghadapinya secara langsung, namun bergerak ke samping untuk mengambil ancang-ancang. Kemudian ia pun menangkis pedang Linghu Chong dari atas sekuat tenaga.

Di lain pihak, Linghu Chong kembali bimbang karena teringat gambar di dalam gua. “Jurus ini masih bisa dikalahkan... Jurus ini masih bisa dikalahkan….”

Akibatnya, tenaganya pun melemah sehingga tangkisan Ning Zhongze membuat pedangnya terlepas dari genggaman dan melayang di udara.

“Aaaah!” seru Linghu Chong karena tangannya kesakitan.

Tidak berhenti sampai di sini, Ning Zhongze pun mengacungkan pedangnya lurus ke depan, yang tidak lain adalah Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Namun kali ini, jurus tersebut jauh lebih hebat daripada dulu, karena sudah lebih terarah dan terlatih.

Sejak menciptakan jurus pedang andalan tersebut, Ning Zhongze selalu memikirkan cara bagaimana membuat jurus ini lebih cepat dan lebih dahsyat sehingga lawan yang menghadapi tidak mempunyai kesempatan untuk emnghindar atau menangkis. Diam-diam ia sangat tersinggung karena Linghu Chong telah memainkan jurus kebanggaannya dengan sangat buruk, yaitu pada awalnya mirip namun pada akhirnya melenceng dan tak bertenaga. Seolah-olah Linghu Chong hendak menggambar harimau namun yang terbentuk hanya seekor kucing. Ning Zhongze menganggap Linghu Chong sebagai murid yang tidak berguna karena telah memainkan jurus pedang dahsyat yang menjadi kebanggaannya dengan cara yang buruk dan tidak teratur. Maka, ia pun mengambil alih penggunaan jurus tersebut untuk menyerang Linghu Chong.

Meskipun Nyonya Yue tidak bersungguh-sungguh hendak melukai muridnya, namun Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding sangat dahsyat dan berbahaya. Meskipun ujung pedang belum mengenai sasaran, namun tenaga dalam yang menyertai tusukan membuat pihak lawan merasa diselubungi kekuatan yang membuatnya sulit bergerak.

Yue Buqun merasa ngeri membayangkan Linghu Chong tidak mungkin mampu untuk menangkis ataupun menghindar, apalagi menyerang balik. Dulu sewaktu pertama kali menciptakan jurus itu, Ning Zhongze hanya menusuk baju Linghu Chong, kemudian menghentakkan tenaga dalam sehingga pedang di tangannya hancur berkeping-keping. Namun kali ini sungguh berbeda. Ning Zhongze sudah terbawa emosi sehingga tenaga dalamnya pun tercurah sedemikian besar dan tersalurkan ke ujung pedang. Dalam keadaan seperti ini wanita itu sama sekali tidak punya kesempatan untuk menarik serangannya kembali.

“Celaka!” seru Yue Buqun sambil kemudian mencabut pedang yang tergantung di pinggang Yue Lingshan dan kakinya melangkah maju. Ia berjaga-jaga kalau sampai sang istri kehilangan kendali dan membahayakan nyawa Linghu Chong, maka ia pun segera melompat maju untuk menangkis serangan tersebut.

Antara Yue Buqun dan Ning Zhongze adalah saudara seperguruan sebelum mereka menikah, sehingga saling mengenal kehebatan masing-masing. Meskipun tenaga dalam Yue Buqun lebih tinggi, namun dalam keadaan ini Ning Zhongze sudah lebih dulu menerjang sambil mengerahkan segenap kemampuan sehingga Yue Buqun tidak yakin apakah tangkisannya nanti bisa berhasil atau tidak. Dalam hati ia hanya bisa berharap semoga Linghu Chong tidak terluka cukup parah.

Sementara itu Linghu Chong juga berusaha membela diri. Tanpa sadar tangannya meraih sarung pedang yang tergantung di pinggang. Dengan cepat ia kemudian berjongkok sambil mengacungkan sarung pedang tersebut ke arah Nyonya Yue dengan lubang mengarah ke depan lurus searah tusukan pedang. Sesungguhnya gerakan ini mengacu pada gambar di dalam gua belakang tentang cara mematahkan jurus tusukan pedang Perguruan Huashan menggunakan toya. Jika ujung toya bertemu dengan ujung pedang membentuk sebuah garis lurus, maka pedang yang bentuknya pipih akan patah dan toya akan terus mengarah ke depan sehingga melukai si pembawa pedang.

Pertarungan melawan sang ibu-guru membuat pikiran Linghu Chong kacau balau. Berbagai bayangan gambar di gua belakang terlintas silih berganti di dalam benaknya. Apalagi sewaktu pedangnya terlempar ke udara dan melihat Ning Zhongze mengerahkan jurus andalan, Linghu Chong tidak mempunyai pilihan lain kecuali meniru gambar yang terlukis di gua. Kejadiannya begitu tiba-tiba membuat Linghu Chong tanpa sadar dan tanpa berpikir langsung menghadapinya dengan jurus penangkal demi menyelamatkan nyawa sendiri. Serangan pedang yang kuat dan sangat cepat harus dihadapi dengan tangkisan toya yang cepat pula. Tidak ada lagi waktu untuk berpikir darimana mendapatkan toya di saat-saat genting seperti itu. Karena tanpa sengaja tangannya menyentuh sarung pedang yang tergantung di pinggang, maka pemuda itu langsung mengacungkan benda tersebut sebagai pengganti toya. Bahkan, andai saja waktu itu yang terpegang adalah batu bata, tentu batu bata pun akan diacungkan pula untuk menahan tusukan pedang Ning Zhongze.

Namun dalam keadaan gugup dan terdesak, Linghu Chong tanpa sadar memutar sarung pedang di tangannya sehingga bagian mulut menghadap ke depan. Akibatnya, ketika kedua senjata bertemu tidak terjadi benturan yang mengakibatkan patahnya pedang seperti gambar di dinding gua, melainkan ujung pedang Ning Zhongze langsung masuk ke dalam sarung pedang di tangan Linghu Chong.

Dalam keterkejutan, Nyonya Yue hanya merasakan tangannya tergetar kesakitan. Pedang pun terlepas dari pegangan setelah masuk secara sempurna ke dalam sarung pedang di tangan Linghu Chong. Tanpa bisa dicegah, sarung pedang tersebut terus saja disodorkan sehingga gagang pedang mengarah ke tenggorokan Ning Zhongze.

Heran bercampur terkejut perasaan Yue Buqun melihat keadaan telah berbalik di mana jiwa istrinya yang kini terancam bahaya. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga disertai ilmu Kabut Lembayung Senja untuk menangkis gagang pedang yang disodorkan Linghu Chong. Perasaan hangat menggelora pun merasuki badan Linghu Chong namun kemudian menyesakkan dada. Pemuda itu mundur tiga langkah sampai akhirnya terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk. Sarung pedang di tangannya telah terlepas dan hancur berkeping-keping sekaligus dengan pedang Ning Zhongze yang ada di dalamnya akibat berbenturan dengan pedang yang diayunkan Yue Buqun.

Pada saat yang bersamaan pedang Linghu Chong yang tadi terlempar ke udara akibat tangkisan Nyonya Yue jatuh pula ke tanah dan menancap hampir sebatas gagang.

Rangkaian peristiwa ini terjadi begitu cepat, mulai dari terlemparnya pedang Linghu Chong, serangan balasan Ning Zhongze menggunakan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang disambut sarung pedang Linghu Chong, sampai tampilnya Yue Buqun menyelamatkan nyawa sang istri benar-benar terjadi dalam waktu beberapa detik saja. Sudah pasti ini semua membuat Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan terkesima begitu menyadarinya.

Yue Buqun kemudian melompat maju dan menampar masing-masing pipi Linghu Chong dengan keras sambil membentak, “Dasar binatang! Apa yang telah kau lakukan?”

Linghu Chong merasa kepalanya pusing dan tubuhnya sempoyongan. Ia kemudian berlutut dan berkata, “Guru dan Ibu Guru, saya pantas dihukum mati.”

Dengan amarah meledak-ledak, Yue Buqun kembali membentak, “Selama setengah tahun ini apa saja yang kau kerjakan? Ilmu silat apa yang kau latih di sini?”

“Murid tidak... murid tidak berlatih ilmu silat baru,” jawab Linghu Chong ketakutan.

“Dari mana kau dapatkan pikiran liar sehingga mampu menciptakan jurus yang nyaris mencelakakan nyawa ibu-gurumu tadi?” bentak Yue Buqun dengan suara nyaring.

“Jurus yang tadi datang begitu saja. Murid… murid tidak pernah merencanakan apalagi melatihnya. Semua itu terjadi tanpa sengaja,” jawab Linghu Chong gugup.

Yue Buqun menghela napas panjang. “Baiklah, aku juga menduga kau mengerahkan jurus tadi tanpa berpikir lebih dulu. Jurus tadi kau peroleh tanpa sengaja karena terdesak,” lanjutnya. “Hanya saja apa yang kau lakukan tadi sudah mulai mengarah ke jalan salah dan jika terlanjur akan sulit bagimu untuk melepaskan diri.”

“Jalan yang salah?” sahut Linghu Chong sambil menyembah. “Mohon Guru sudi memberikan petunjuk.”

Sementara itu perasaan Ning Zhongze sudah mulai tenang. Melihat kedua pipi Linghu Chong yang merah bengkak akibat tamparan suaminya, segera timbul rasa kasihnya. Ia pun berkata lembut, “Sudahlah, lekas kau bangun! Kunci persoalan ini memang kau belum mengetahuinya.”

Wanita itu kemudian berpaling ke arah suaminya, “Kakak, bakat Chong’er sebenarnya sangat bagus. Namun sayang, selama beberapa bulan ini kita membiarkannya berlatih sendiri sehingga ia pun tersesat menuju jalan yang salah. Namun untungnya, dia belum terjerumurs terlalu dalam, sehingga masih bisa kita arahkan untuk kembali ke jalan yang benar.”

Yue Buqun termangu-mangu kemudian berkata pada Linghu Chong, “Bangunlah!”

Linghu Chong lekas merangkak bangun. Menyaksikan pedang dan sarungnya yang hancur menjadi tiga bagian dan berserakan di tanah membuatnya bergidik ngeri. Selain itu ia juga merqasa heran mengapa guru dan ibu-guru menyebutnya telah menempuh jalan yang salah dalam berlatih ilmu silat.

Yue Buqun kemudian memanggil pula ketiga murid yang lain, “Kalian bertiga lekas kemari!”

“Baik, Guru,” jawab Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan bersamaan. Mereka segera berlari mendekat dan kemudian berkumpul di hadapan sang guru.

Perlahan Yue Buqun duduk di atas sebongkah batu dan mulai bercerita, “Dua puluh lima tahun yang lalu, ilmu silat perguruan kita telah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok benar dan kelompok salah....”

Para murid terkejut dan sama-sama berpikir, “Ilmu silat Huashan terbagi menjadi dua? Bagaimana bisa ada kelompok benar dan kelompok salah? Mengapa selama ini kami belum pernah mendengarnya?”

Yue Lingshan yang tidak sabaran menukas, “Ayah, apakah ilmu silat yang kita pelajari selama ini termasuk kelompok yang benar?”

“Sudah tentu. Lagipula untuk apa kita mempelajari ilmu yang salah?” sahut Yue Buqun balik bertanya. “Sebaliknya, kelompok mereka juga mengaku ilmu mereka adalah ilmu yang benar, dan kelompok kita dikatakan salah. Namun akhirnya kelompok mereka bubar begitu saja. Selama beberapa tahun ini keberadaan mereka sudah tidak lagi terdengar di dunia persilatan.”

“Pantas saja aku tidak pernah mendengar berita ini,” kata Yue Lingshan. “Tapi Ayah, kalau kelompok salah itu sudah musnah, maka tidak perlu kita khawatirkan lagi, bukan?”

“Kau ini tahu apa?” gerutu Yue Buqun. “Mereka tetap saja saudara kita. Hanya saja mereka itu melakukan kesalahan dalam mempelajari ilmu. Coba katakan, bagian mana yang lebih dulu kuajarkan kepada kalian?” Sambil bertanya demikian ia memandang ke arah Linghu Chong.

Dengan cepat Linghu Chong menjawab, “Guru lebih dulu mengajarkan rumus dan cara mengatur napas. Yang kita pelajari adalah ilmu tenaga dalam sebelum belajar jurus pedang.”

“Benar sekali,” sahut Yue Buqun. “Inti ilmu silat Huashan terletak pada latihan tenaga dalam. Bila tenaga dalam sudah dikuasai, maka jurus-jurus silat pun mudah dipelajari. Tidak peduli senjata apapun yang kita pergunakan, baik itu pedang, tombak, ataupun pukulan dan tendangan, semuanya akan menjadi serangan yang ampuh. Sebaliknya, kelompok mereka lebih menekankan pada teknik penguasaan jurus pedang. Meskipun tenaga dalam rendah, tapi kalau jurus pedang sudah dikuasai maka sudah bisa digunakan untuk mengalahkan musuh. Perbedaan inilah yang menyebabkan perguruan kita terpecah menjadi dua kelompok.”

“Ayah,” sela Yue Lingshan kembali. “Apakah Ayah berjanji tidak akan marah jika aku punya pendapat yang berbeda?”

“Pendapat bagaimana?” tanya Yue Buqun.

“Meskipun tenaga dalam sangat penting, jurus pedang juga tidak boleh diabaikan, bukan? Meskipun memiliki tenaga dalam yang hebat tapi kalau tidak bisa menguasai pedang tetap saja tidak bisa menunjukkan kehebatan perguruan kita,” lanjut Yue Lingshan.

“Huh, kau ini tahu apa?” ujar Yue Buqun. “Siapa bilang jurus pedang lebih penting? Yang lebih penting tentu saja yang mengendalikan pedang, dalam hal ini tentu saja tenaga yang mengendalikan pedang.”

“Apa tidak sebaiknya tenaga dalam dan jurus pedang dilatih beriringan sehingga keduanya sama-sama sempurna?” sahut Yue Lingshan kembali bertanya.

Yue Buqun menjawab, “Ucapanmu barusan bisa membuatmu terjerumus ke jalan salah. Saat kau berkata kedua-duanya sama-sama penting, sama artinya kau mengatakan bahwa kedua-duanya saling mengendalikan. Waktu itu keadaan begitu tidak menentu. Ucapanmu tadi terkesan menentang kelompok tenaga dalam, tapi juga merendahkan kelompok pedang. Kalau saja ucapanmu itu disampaikan tiga puluh tahun silam, bisa-bisa kau akan kehilangan kepalamu dalam beberapa jam saja.

“Hah? Hanya karena bicara seperti itu kepala langsung dipenggal? Wah, mereka sungguh keterlaluan,” ujar Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah.

Yue Buqun menjawab, “Saat itu aku masih remaja. Perselisihan antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang tidak memperoleh titik temu. Jika ucapanmu disampaikan saat perselisihan itu terjadi, maka Kelompok Pedang akan membunuhmu, sedangkan Kelompok Tenaga Dalam juga tidak akan membiarkanmu hidup. Kau mengatakan bahwa tenaga dalam dan jurus pedang bisa dipelajari bersama-sama dan keduanya sama-sama penting. Kelompok Tenaga Dalam akan menganggapmu telah menyejajarkan Kelompok Pedang sederajat dengan mereka; sebaliknya, Kelompok Pedang menuduhmu mencampur aduk dua hal yang tidak bisa disejajarkan. Begitulah, kedua kelompok sama-sama merasa unggul dan tidak sudi untuk disejajarkan.”

Yue Lingshan kembali berkata, “Untuk apa mereka berselisih panjang lebar? Kenapa mereka tidak bertanding saja biar semuanya menjadi jelas.”

Yue Buqun menghela napas dan melanjutkan ceritanya, “Tiga puluh tahun silam Kelompok Tenaga Dalam kita jumlahnya lebih sedikit. Sebaliknya, jumlah pengikut Kelompok Pedang lebih banyak. Apalagi mempelajari jurus pedang cenderung lebih cepat dan lebih mudah daripada mempelajari tenaga dalam. Jika sama-sama berlatih dalam sepuluh tahun, tentu Kelompok Pedang lebih unggul. Kalau berlatih hingga dua puluh tahun, kedua kelompok sama-sama punya peluang untuk menjadi pemenang. Akan tetapi kalau berlatih selama tiga puluh tahun, tentu Kelompok Tenaga Dalam yang lebih unggul. Namun ini berarti paling tidak membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk bersaing dan membuktikan mana yang lebih unggul. Kau bisa membayangkan betapa dahsyat pertarungan yang terjadi apabila dua kelompok yang sama-sama berlatih selama dua puluh tahun.”

“Jika demikian, apakah Kelompok Pedang akhirnya mengaku kalah?” sahut Yue Lingshan.

Yue Buqun menggeleng perlahan. Sejenak kemudian ia kembali bercerita, “Mereka tetap keras kepala bahwa jalan yang mereka tempuh adalah benar, dan mereka tidak mau mengakui kekalahan. Dalam pertandingan yang digelar di Puncak Gadis Kumala ini, mereka menderita kekalahan habis-habisan. Namun sebagian besar dari mereka… sebagian besar dari mereka memilih bunuh diri daripada mengakui kekalahan. Sisanya tinggal beberapa orang memilih mengasingkan diri dalam kesunyian, serta tidak mau menampakkan diri lagi di dunia persilatan.”

Linghu Chong dan yang lain sampai menjerit karena terkejut mendengar cerita itu.

Yue Lingshan kembali bertanya, “Hanya karena kalah bertanding sesama saudara seperguruan kenapa sampai nekad bunuh diri segala?”

“Masalahnya tidak sesederhana itu, karena ini menyangkut prinsip dan pondasi dalam berlatih ilmu silat,” ujar Yue Buqun. “Dalam Serikat Pedang Lima Gunung, perguruan kita memiliki jagoan paling banyak, juga ilmu silat paling hebat. Namun gara-gara pertandingan di Puncak Gadis Kumala ini, lebih dari dua puluh orang sesepuh perguruan kita menjadi korban. Bukan hanya para sesepuh Kelompok Pedang yang mati bunuh diri, bahkan sesepuh Kelompok Tenaga Dalam juga banyak yang gugur. Itulah sebabnya, mengapa jabatan ketua serikat akhirnya bisa direbut oleh Perguruan Songshan. Peristiwa waktu itu sungguh sangat mengerikan dan memprihatinkan.”

Linghu Chong dan yang lain kembali mengangguk dengan perasaan ngeri membayangkan apa yang telah terjadi.

Yue Buqun melanjutkan, “Memang benar perguruan kita tidak bisa menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Memang benar nama besar Perguruan Huashan kita merosot tajam. Namun yang lebih mengerikan adalah murid-murid dalam perguruan kita saling bunuh tanpa ampun padahal sebelumnya bagaikan saudara kandung satu sama lain. ‘Jika kau tidak membunuhku, maka aku yang akan membunuhmu.’ Sungguh brutal dan keji. Tiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dicekam kengerian teramat sangat. Bagaimana tidak? Setiap detik setiap waktu kita bisa kehilangan nyawa di tangan saudara sendiri.” Usai berkata demikian ia melirik ke arah sang istri.

Raut wajah Ning Zhongze juga terlihat tegang. Perasaan wanita itu kembali dicekam ketakutan karena teringat peristiwa dahsyat tersebut, di mana para jagoan Perguruan Huashan saling bunuh satu sama lain.

Perlahan-lahan Yue Buqun membuka bajunya. Tampak sebuah bekas luka cukup panjang menghiasi dadanya. Dari bahu kiri memanjang sampai dada sebelah kanan. Meskipun luka itu sudah sembuh namun masih terlihat kemerah-merahan. Sepertinya luka itu sangat dalam dan nyaris merenggut nyawa Yue Buqun kala itu.

Melihat itu Yue Lingshan menjerit ngeri, “Aih, Ayah! Dadamu itu... dadamu itu....”

Meskipun sejak kecil tinggal di Huashan, namun baru kali ini Linghu Chong dan Yue Lingshan mengetahui kalau sang guru memiliki bekas luka parah di dada.

Yue Buqun kembali mengenakan pakaiannya dan berkata, “Waktu itu di Puncak Gadis Kumala ini, seorang paman guru menebas dadaku sehingga aku jatuh pingsan. Mungkin Beliau mengira aku sudah mati sehingga tidak peduli lagi kepadaku. Kalau saja pedangnya menyambar lagi, tentu nyawaku saat itu sudah melayang.”

“Kalau Ayah tiada, tentu aku sendiri tidak akan lahir di dunia ini,” sahut Yue Lingshan tertawa.

Yue Buqun tersenyum. Tapi sekejap kemudian ia kembali berkata dengan galak, “Ceritaku tadi benar-benar sebuah rahasia besar dalam perguruan kita. Jangan sampai kalian mebocorkan berita ini keluar! Orang-orang dari perguruan lainnya hanya mengetahui kalau dalam waktu sehari saja perguruan kita sudah kehilangan lebih dari dua puluh orang jagoan. Namun, tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Yang kita sampaikan ke luar hanyalah berita bohong, bahwa telah terjadi wabah penyakit yang nyaris menghancurkan Perguruan Huashan. Jangan sampai cerita memalukan ini tersebar ke pihak luar. Kali ini aku terpaksa bercerita karena masalah ini sungguh sangat penting. Apabila Chong’er meneruskan langkah yang diambilnya, tentu tidak sampai tiga tahun ia akan lebih mengutamakan jurus pedang daripada tenaga dalam. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi dirimu sendiri, bahkan, pengorbanan para sesepuh kita juga akan sia-sia. Tidak hanya itu, Perguruan Huashan juga akan mengalami kehancuran.”

Linghu Chong mengucurkan keringat dingin. Ia pun berkata sambil membungkuk serendah-rendahnya, “Murid telah melakukan kesalahan besar. Mohon Guru dan Ibu Guru menghukum seberat-beratnya.”

Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Apa yang telah kau lakukan sesungguhnya di luar kesengajaan, sehingga tidak sepantasnya aku menyalahkanmu. Namun, coba bayangkan apa saja yang telah dilakukan para sesepuh di Kelompok Pedang? Mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas kejayaan Perguruan Huashan, namun terlanjur menempuh jalan yang salah sehingga tidak mampu keluar dari kesesatan itu. Apabila aku tidak menamparmu dan memberikan nasihat kepadamu, tentu kau akan terjerumus pula ke dalam kesesatan Kelompok Pedang. Apalagi dengan kepandaianmu yang berada di atas rata-rata murid-muridku, maka kau akan jatuh ke dalam jalan yang salah lebih cepat dari yang kau duga.”

“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong.

Ning Zhongze tiba-tiba bertanya, “Chong’er, jurus yang tadi kau gunakan untuk merebut pedangku kau peroleh dari mana?”

Linghu Chong menjawab dengan wajah bersemu merah menahan malu, “Saya tadi hanya berusaha menangkis serangan Ibu Guru yang sangat dahsyat itu. Saya sama sekali tidak mengira kalau... kalau....”

“Ya, sudahlah,” ujar Nyonya Yue. “Sekarang kau sudah tahu mana yang lebih unggul di antara Kelompok Tenaga Dalam ataukah Kelompok Pedang. Sebenarnya jurusmu tadi sangat bagus. Namun begitu terbentur oleh tenaga dalam gurumu yang luar biasa, betapapun bagusnya jurusmu tadi menjadi tidak berguna lagi. Dahulu sewaktu pertandingan di puncak sini entah berapa banyak sesepuh kita yang membanggakan jurus pedangnya. Namun berkat ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja yang dikuasai kakek gurumu, jurus-jurus mereka berhasil dipatahkan. Lebih dari sepuluh orang jagoan Kelompok Pedang yang mengalami kekalahan di tangan kakek-gurumu. Oleh karena itu, mulai sekarang kalian harus ingat baik-baik apa yang telah disampaikan guru kalian, bahwa inti dari ilmu silat perguruan kita terletak pada tenaga dalam. Tenaga dalam mengendalikan jurus pedang. Jurus pedang hanya sebagai pelengkap saja. Jika latihan tenaga dalam gagal, maka betapa pun bagus jurus pedang yang dikuasai tetap saja tidak ada gunanya.”

Linghu Chong, Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan membungkukkan badan menerima nasihat tersebut.

Yue Buqun kembali berbicara, “Chong’er, sebenarnya hari ini aku berniat mengajarkan dasar-dasar ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja kepadamu. Setelah itu aku ingin membawamu turun gunung untuk membunuh si keparat Tian Boguang. Tapi sepertinya urusan ini terpaksa harus ditunda lebih dulu. Selama dua bulan ke depan hendaknya kau ulangi lagi pelajaran tenaga dalam yang pernah kuajarkan semuanya. Buanglah ilmu pedang aneh-aneh yang menyesatkan itu. Kelak aku akan datang kembali untuk mengujimu. Aku ingin melihat, apakah kau ada kemajuan atau tidak.” Sampai di sini wajah Yue Buqun berubah galak, “Tapi jika kau tetap tidak mau sadar dan masih terus mengarah ke jalan salah yang pernah ditempuh Kelompok Pedang, maka jangan menyesal jika kau harus menerima akibatnya. Hukuman yang berat adalah hukuman mati, dan hukuman yang ringan adalah aku akan memusnahkan semua ilmu silatmu dan mengusirmu dari perguruan. Jangan salahkan aku karena aku sudah mengingatkanmu tentang ini.”

“Baik, Guru!” sahut Linghu Chong dengan keringat dingin membasahi dahinya. “Murid tidak akan berani mengulanginya lagi.”

Yue Buqun lantas berkata kepada Yue Lingshan dan Lu Dayou, “Juga kepada kalian berdua, Shan’er dan Dayou. Watak kalian juga kurang sabar. Apa yang kukatakan kepada Kakak Pertama tadi juga berlaku untuk kalian.”

Lu Dayou mengiakan dengan penuh hormat. Sementara Yue Lingshan menjawab, “Watak kami berdua memang tidak sabaran. Tapi kami berdua tidak secerdas Kakak Pertama. Jadi, mana mungkin kami bisa menciptakan jurus pedang segala? Ayah tidak perlu khawatir.”

“Hm, apa benar tidak mampu?” tanya Yue Buqun. “Bukankah kau dan Chong’er telah menciptakan jurus Pedang Chong-Ling?”

Wajah Linghu Chong dan Yue Lingshan sama-sama bersemu merah. Dengan cepat Linghu Chong memohon ampun, “Guru, maafkan kelancangan kami!”

Sementara itu Yue Lingshan masih saja menjawab, “Kejadian itu sudah lama berlalu. Waktu itu kami hanya main-main saja. Dari mana Ayah tahu?”

Yue Buqun menjawab, “Sebagai ketua perguruan, kalau gerak-gerik muridnya saja tidak tahu, akan jadi apa Perguruan Huashan ini?”

“Ayah… kau jangan mengolok-olok aku,” jawab Yue Lingshan manja sambil menarik-narik lengan baju ayahnya.

Di lain pihak, Linghu Chong sama sekali tidak melihat kesan bercanda di wajah ataupun suara Yue Buqun. Ia sangat yakin kalau sang guru sama sekali tidak mengolok-olok.

Yue Buqun kemudian berdiri dan melanjutkan, “Apabila tenaga dalam kita sudah mencapai tingkat sempurna, setiap gerakan yang paling ringan sekalipun sudah cukup mematikan. Boleh dikatakan, rumput dan bunga bisa jadi senjata. Orang luar menganggap Huashan hanya sekadar perguruan pedang. Pendapat seperti itu sungguh sangat merendahkan kita.”

Usai berkata demikian Yue Buqun mengibaskan lengan baju kirinya dan tahu-tahu pedang yang tergantung di pinggang Lu Dayou sudah melayang keluar. Kemudian lengan baju yang kanan dikibaskan pula dan menyapu pedang tersebut. Secara ajaib, pedang murid nomor enam tersebut langsung patah menjadi beberapa bagian dan berjatuhan di tanah.

Tentu saja pemandangan ini membuat para murid terkejut bukan main. Bahkan, Ning Zhongze yang siang malam tinggal bersama Yue Buqun tidak menyangka tenaga dalam sang suami sudah mencapai tingkatan setinggi itu.

“Mari kita pulang!” kata Yue Buqun sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan puncak tebing bersama istrinya. Yue Lingshan, Shi Daizi, dan Lu Dayou segera mengikuti dari belakang.

Linghu Chong yang tinggal seorang diri termenung memandangi pedang Lu Dayou yang patah dan berserakan di tanah. Perasaan terkejut dan gembira bercampur menjadi satu. “Ternyata ilmu silat Huashan sedemikian hebatnya. Setiap jurus yang dilancarkan Guru rasanya tidak akan mampu ditahan oleh siapa pun juga. Sebenarnya inti ilmu silat kami terletak pada tenaga dalam. Sementara gambar-gambar di dinding gua hanyalah cara untuk mematahkan jurusnya saja. Memang harus diakui, gambar-gambar itu menunjukkan kalau ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung bisa dipatahkan. Namun mereka tidak sadar kalau setiap ilmu pedang dari kelima perguruan pasti disertai aliran tenaga dalam. Tentu saja yang demikian ini tidak bisa dipatahkan dengan mudah. Sebenarnya masalah ini sangat sederhana, namun tidak terbayangkan olehku sehingga pikiranku hanya menemui jalan buntu. Sama-sama jurus Burung Feng Datang Menyembah apabila dimainkan Adik Lin dengan dimainkan oleh Guru tentu akan berbeda hasilnya. Aku yakin jurus toya yang terukir di gua sudah pasti bisa mematahkan serangan Adik Lin, tetapi tidak mungkin berhasil jika digunakan untuk menangkis serangan Guru.”

Menyadari segala teka-teki akhirnya bisa terpecahkan membuat Linghu Chong merasa sangat bergembira. Meskipun sang guru tidak jadi mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja ataupun menjodohkan Yue Lingshan dengannya, namun semangatnya telah bangkit kembali karena kepercayaannya terhadap ilmu silat Perguruan Huashan kembali pulih. Saat teringat bahwa dirinya pernah berpikir tentang perjodohan dengan Yue Lingshan, tanpa sadar pipinya pun bersemu merah menahan malu.

Sore hari berikutnya Lu Dayou kembali datang mengantarkan makanan.

“Kakak Pertama, pagi tadi Guru dan Ibu Guru berangkat menuju Shanxi Utara,” demikian ia berkata.

“Shanxi Utara? Mengapa bukan ke Chang’an?” sahut Linghu Chong menegas.

“Si bajingan Tian Boguang melakukan beberapa kejahatan di Kota Yan’an. Ini membuktikan kalau dia sudah meninggalkan Chang’an,” jawab Lu Dayou.

Mendengar itu diam-diam Linghu Chong berpikir, “Kali ini Guru dan Ibu Guru turun gunung untuk membinasakan Tian Boguang. Tentu penjahat cabul itu tidak bisa lolos dari maut. Mengingat kejahatan yang ia lakukan sudah sedemikian banyak, maka hukuman mati mungkin terlalu ringan untuknya. Sayang sekali, padahal ilmu silatnya sangat tinggi. Kami sudah bertanding sebanyak dua kali, dan aku merasa bahwa dia sebenarnya berjiwa kesatria dan sangat terbuka. Sayang sekali ia menempuh jalan hitam sehingga menjadi musuh bersama kaum persilatan.”

Selama dua hari berikutnya Linghu Chong semakin giat belajar tenaga dalam. Sekarang ia merasa takut pergi melihat gambar-gambar di gua belakang. Jangankan pergi ke sana, bahkan memikirkan saja ia tidak punya keberanian.

“Aku bersyukur karena Guru dan Ibu Guru telah menyadarkan aku dan menyelamatkan aku dari jalan salah. Hampir saja aku menjadi pengkhianat di Perguruan Huashan,” demikian pikirnya.

Sore hari berikutnya, sesudah makan ia kembali duduk bermeditasi. Beberapa jam kemudian tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang menaiki jalan setapak menuju puncak tebing tersebut. Dari suara langkah kakinya yang cepat dan ringan dapat diketahui kalau orang yang datang kali ini tentu berilmu tinggi. Seketika Linghu Chong merasa jantungnya berdebar kencang.

“Ia bukan berasal dari Perguruan Huashan. Mungkinkah dia pria bercadar tempo hari? Kenapa ia datang lagi ke sini?” Usai berpikir demikian, Linghu Chong pun mengambil pedang dan bersiap melangkah keluar dari gua.

Pada saat itu orang yang mendaki tebing telah muncul dan berdiri di hadapan Linghu Chong. Orang itu berteriak, “Saudara Linghu, sahabat lama, aku yang datang mengunjungimu!”

Linghu Chong terperanjat karena suara tersebut ia kenal dengan baik, yaitu suara Tian Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li. Padahal Yue Buqun dan Ning Zhongze sedang turun gunung mencarinya, tapi sekarang ia malah datang sendirian ke puncak Huashan. Sungguh berani.

Segera Linghu Chong keluar gua sambil berkata ramah, “Sungguh tidak kusangka Saudara Tian berkunjung kemari.”

Penjahat cabul itu tampak membawa pikulan yang berisi dua buah keranjang bambu. Dari dalam keranjang tersebut ia mengeluarkan dua buah guci berisi arak sambil tersenyum lebar. “Kabarnya Saudara Linghu sedang meringkuk di dalam gua hukuman di puncak Huashan sini. Aku yakin mulutmu sudah ketagihan merindukan arak enak. Maka itu, waktu di Chang’an aku sengaja mengambilkan untukmu arak berusia seratus tiga puluh tahun simpanan Rumah Minum Peri Terbuang. Mari kita nikmati bersama-sama, Saudara Linghu!”

Linghu Chong berjalan maju beberapa langkah. Di bawah sinar rembulan ia dapat membaca guci arak tersebut ditempeli label usang bertuliskan “Rumah Minum Peri Terbuang”, sebuah rumah arak terbesar di Kota Chang’an. Melihat itu ia tertawa senang, “Kau sengaja memikul arak seberat ini ke puncak Huashan? Wah, kebaikan hatimu patut untuk dipuji. Mari, mari kita nikmati bersama-sama, Saudara Tian!”

Segera ia berlari masuk ke dalam gua dan kembali dengan membawa dua buah mangkuk besar. Sementara itu Tian Boguang sudah membuka penutup guci sehingga bau harum arak yang semerbak itu tercium sampai jauh.

“Baunya saja sudah cukup memabukkan,” ujar Linghu Chong tidak sabar.

Tian Boguang pun menuang semangkuk penuh dan menyerahkannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Sungguh arak yang lezat! Coba kau cicipi dulu, bagaimana rasanya.”

Tanpa menolak Linghu Chong langsung menghabiskan isi mangkuk itu dalam sekali teguk. “Hm, benar-benar arak yang nikmat! Jarang ada bandingannya di dunia ini,” serunya memuji sambil mengacungkan ibu jari.

Tian Boguang tertawa dan berkata, “Menurut pendapat kaum ahli, arak yang paling bagus adalah arak Fen dari Utara, dan arak Shao dari Selatan. Arak Fen sendiri yang paling enak bukan dari Shanxi, tetapi dari Kota Chang’an, dan yang paling terkenal dibuat oleh Rumah Minum Peri Terbuang, di mana Li Taiba si penyair terkenal dari zaman Dinasti Tang pernah mabuk di sana. Apa kau tahu, pada saat ini arak bagus di Rumah Minum Peri Terbuang hanya tinggal dua guci ini saja?”

Linghu Chong menjadi heran, “Mana mungkin di dalam gudang Rumah Minum Peri Terbuang hanya tersisa dua guci ini saja?”

Tian Boguang tertawa dan menjawab, “Setelah aku mengambil dua guci, sebenarnya masih tersisa sekitar dua ratus guci lainnya. Tapi kupikir-pikir semua pejabat dan orang kaya di Kota Chang’an bisa datang ke Rumah Minum Peri Terbuang dan mencicipi arak-arak bagus itu. Kalau seperti itu tentu arak yang dinikmati Pendekar Linghu sebagai pecinta arak menjadi tidak istimewa lagi. Maka, aku pun menghancurkan semua guci di dalam gudang itu sehingga terjadi banjir arak hampir sepinggang tingginya.”

Linghu Chong tertawa geli dan bertanya menegas, “Jadi, kau telah menghancurkan semua guci arak di gudang Rumah Minum Peri Terbuang?”

“Ya, begitulah. Saat ini di dunia hanya tersisa dua guci ini saja arak Rumah Minum Peri Terbuang. Dengan demikian oleh-olehku ini menjadi lebih berharga, bukan? Hahahaha!” seru Tian Boguang sambil tertawa tgerbahak-bahak.

“Terima kasih, terima kasih!” kata Linghu Chong sambil meneguk isi mangkuk kedua sampai habis. “Saudara Tian sudah bersusah payah menjengukku sambil memikul dua guci arak ini saja aku sudah memberikan penghargaan setinggi-tingginya. Jangankan membawa oleh-oleh arak nomor satu di dunia, bahkan membawa air tawar saja aku sudah sangat berterima kasih.”

Tian Boguang memandangi Linghu Chong dengan seksama, kemudian berseru sambil mengacungkan jempol, “Bagus sekali! Kau memang laki-laki sejati!”

“Mengapa Saudara Tian memuji seperti itu?” tanya Linghu Chong.

“Kau tahu kalau orang bermarga Tian ini seorang penjahat cabul yang suka berbuat kejahatan. Aku juga pernah membuatmu terluka parah, serta melakukan banyak perbuatan buruk di dekat Gunung Huashan ini. Setiap orang Huashan ingin membunuhku,” jawab Tian Boguang. “Tapi sekarang aku datang membawa dua guci arak dan Saudara Linghu berani minum bersamaku tanpa khawatir jangan-jangan arak ini sudah kucampur dengan racun. Maka itu, aku menyebutmu sebagai laki-laki sejati karena hanya yang berjiwa besar saja yang berhak meneguk arak istimewa ini.”

“Ah, Saudara Tian terlalu memuji,” sahut Linghu Chong. “Kita sudah bertarung dua kali. Pertama di gua, kedua di rumah makan. Meskipun Saudara Tian suka berbuat cabul dan tidak senonoh, namun aku yakin segala perbuatan licik dan pengecut tentu kau tak sudi melakukannya. Lagipula ilmu silat Saudara Tian lebih tinggi dariku. Kalau kau ingin aku mati, tinggal ayunkan golok saja – mengapa harus repot-repot menaruh racun segala?”

“Benar juga ucapanmu, Saudara Linghu,” seru Tian Boguang sambil tertawa. “Tapi apa kau tahu kalau kedua guci ini tidak langsung kubawa dari Chang’an menuju Gunung Huashan? Kedua guci ini sempat kubawa mampir ke Shanxi Utara untuk melakukan dua perampokan, kemudian kubawa ke Shanxi Selatan untuk menemaniku melakukan dua pencurian pula. Baru setelah itu aku bawa naik ke Huashan sini.”

Linghu Chong terperanjat. Setelah termenung sejenak ia lantas berkata, “Aku tahu sekarang. Saudara Tian sengaja mampir ke Shanxi untuk membuat onar dengan tujuan memancing Guru dan Ibu Guru supaya turun gunung mengejarmu. Padahal tujuanmu yang sebenarnya adalah mengunjungi aku di sini. Ini namanya siasat ‘memancing harimau turun gunung’. Sebenarnya, apa yang kau inginkan dariku, Saudara Tian?”

“Boleh juga tebakan Saudara Linghu ini,” ujar Tian Boguang sambil tersenyum.

“Baiklah kalau begitu,” kata Linghu Chong sambil menuang arak ke dalam mangkuk. “Saudara Tian adalah tamu kehormatanku. Di puncak sunyi ini aku tidak bisa menyuguhkan apa-apa. Biarlah kupinjam arakmu untuk menjamu kedatanganmu ini. Silakan menikmati kelezatan arak nomor satu di dunia.”

“Terima kasih,” jawabTian Boguang sambil menerima mangkuk tersebut dan kemudian meneguk isinya.

Linghu Chong lantas meneguk pula semangkuk arak. Sambil bergelak tawa mereka saling memperlihatkan mangkuk masing-masing yang telah kosong.

Setelah menaruh mangkuknya di atas batu, tiba-tiba Linghu Chong menendang kedua guci arak di depannya sehingga jatuh ke dalam jurang dekat tebing. Selang agak lama barulah terdengar suara guci-guci itu pecah berantakan karena terbanting di dasar jurang yang sangat dalam.

Tian Boguang terkejut dan bertanya, “Hei, kenapa Saudara Linghu membuang kedua guci arak itu?”

Linghu Chong menjawab, “Tian Boguang, jalan hidup kita berbeda. Kejahatanmu sudah melampaui batas. Setiap orang di dunia persilatan ingin mencabut nyawamu. Linghu Chong menghormatimu karena kau punya sifat yang kesatria dan tidak pengecut. Maka itu, aku bersedia minum tiga mangkuk arak bersama dirimu. Tapi, persahabatan kita terpaksa berakhir sampai di sini. Jangankan cuma dua guci arak, sedangkan segala benda perhiasan dan permata di dunia ini andai kau suguhkan kepadaku juga tidak akan aku sentuh.” Usai berkata demikian ia pun bangkit dan mencabut pedangnya sambil berseru, “Tian Boguang, biarlah malam ini aku berkenalan lebih lanjut dengan jurus golokmu yang hebat itu.”

Namun Tian Boguang hanya tersenyum sambil menggeleng. “Saudara Linghu, ilmu pedang Perguruan Huashan memang hebat, tapi penguasaanmu belum sempurna. Kau masih bukan tandinganku.”

Teringat pada pertandingan sebelumnya, Linghu Chong mengangguk setuju. Ia kemudian menyarungkan pedangnya kembali sambil berkata, “Ucapan Saudara Tian memang benar. Meskipun sepuluh tahun lagi aku masih belum yakin bisa membunuhmu.”

Tian Boguang tertawa lebar lalu berkata, “Orang yang bisa membaca gelagat adalah laki-laki sejati.”

Linghu Chong menjawab, “Aku, Linghu Chong, hanya seorang keroco di dunia persilatan. Saudara Tian yang berilmu tinggi bersusah payah naik kemari tentu bukan untuk mengambil nyawaku. Tapi harap dimaklumi, kita ini bukan lawan juga bukan kawan. Kehendak Saudara Tian sama sekali tidak bisa kupenuhi.”

“Kehandak apa?” tanya Tian Boguang. “Aku belum mengutarakan maksudku tapi kau sudah menolaknya.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Tidak peduli apa pun kehendakmu, aku tetap tidak sudi menurutinya. Ilmu silatku jauh lebih rendah, maka lebih baik aku menyingkir saja. Selamat tinggal!”

Belum sampai selesai berbicara, Linghu Chong sudah memutar badan untuk melesat pergi ke balik tebing. Ia sadar betapa tinggi ilmu meringankan tubuh Tian Boguang. Penjahat tersebut memiliki ilmu golok yang sangat hebat dan suka berbuat kejahatan, baik itu perampokan ataupun pemerkosaan. Namun karena ilmu meringankan tubuhnya yang teramat tinggi, sehingga membuatnya selalu lolos dari kejaran pihak lain yang ingin menangkapnya. Itulah sebabnya mengapa Linghu Chong ingin lekas-lekas pergi dan berusaha sekuat tenaga menghindari penjahat cabul tersebut.

Namun demikian, meskipun ia merasa sudah berlari secepat-cepatnya, namun Tian Boguang ternyata masih lebih cepat. Hanya dalam jarak sepuluh meter tahu-tahu penjahat itu sudah menghadang di hadapannya. Meskipun Linghu Chong memutar badan untuk melompat ke lembah yang lebih rendah, namun tetap saja Tian Boguang berhasil menghadangnya lagi dalam jarak sepuluh langkah.

“Tidak dapat lari, terpaksa berkelahi,” seru Linghu Chong sambil mencabut pedang. “Mari kita coba lagi, Saudara Tian! Tapi mohon maaf kalau aku terpaksa berteriak meminta bantuan.”

Tian Boguang menjawab, “Kalau gurumu yang terhormat datang kemari, tentu aku yang memilih kabur sejauh-jauhnya. Tapi sayang, Tuan dan Nyonya Yue sedang berada di Shanxi yang jaraknya sekitar seratus lima puluh Li dari sini. Tentu saja kau tidak bisa mengharapkan mereka kembali kemari dalam waktu singkat untuk membantumu. Sementara adik-adikmu meskipun berjumlah banyak juga tidak ada gunanya. Kalau mereka datang ke sini, maka yang laki-laki akan mati sia-sia, sementara yang perempuan, hehe... malah kebetulan...”

Linghu Chong tertegun menyadari kebenaran ucapan penjahat itu. Dalam hati ia berpikir, “Tebing Perenungan ini letaknya sangat jauh dari gedung utama Perguruan Huashan. Meskipun aku berteriak sekuat tenaga, belum tentu adik-adikku bisa mendengar suaraku. Penjahat cabul ini sungguh keji. Apabila dia melihat Adik Kecil, bisa-bisa… aih! Untungnya, aku tidak berhasil kabur atau melarikan diri. Andai saja aku tadi berhasil lolos, tentu dia akan mengobrak-abrik gedung perguruan untuk mencariku. Apabila dia sampai menemukan dan menangkap Adik Kecil, maka… maka aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Mati ribuan kali juga tidak bisa menebus kesalahanku.” Setelah berkedip beberapa kali, pemuda itu seolah menemukan jalan keluar. “Sepertinya cara terbaik untuk menghadapi penjahat ini adalah mengulur waktu selama-lamanya. Asalkan aku bisa menahan dia di sini sampai Guru dan Ibu Guru kembali ke Huashan, tentu ini menjadi jalan yang terbaik.”

Usai berpikir demikian, Linghu Chong pun berkata sambil mengangkat bahu, “Baiklah, aku memang tidak bisa menghindar darimu, juga tidak bisa mencari bantuan. Apa hendak dikata?”

“Aduh, Saudara Linghu,” sahut Tian Boguang dengan tertawa, “kedatanganku kemari bukan untuk menyusahkanmu. Malah sebaliknya, aku ingin membuatmu senang. Aku yakin, kelak kau akan berterima kasih kepadaku.”

Linghu Chong menjawab, “Saudara Tian adalah maling cabul yang suka berbuat macam-macam kejahatan. Tidak peduli kehendakmu bermanfaat atau tidak, aku tetap tidak sudi menjadi begundalmu.”

Tian Boguang berkata, “Memang benar aku ini maling cabul yang mahatega. Sebaliknya, Saudara Linghu adalah murid utama pendekar paling budiman di dunia persilatan – Tuan Yue. Tapi baru sekarang kau berkata demikian dan bukan sejak dulu saja?”

“Sejak dulu bagaimana?” sahut Linghu Chong.

“Bukankah di Rumah Minum Huiyan antara kau dan aku pernah minum bersama dalam satu meja?” jawab Tian Boguang balik bertanya.

“Hanya minum bersama apalah artinya?” ujar Linghu Chong. “Dalam sejarah juga tidak sedikit kaum pahlawan yang minum bersama musuh. Misalnya, Liu Bei dan Cao Cao pada zaman Tiga Negara.”

“Benar juga,” sahut Tian Boguang. “Waktu di Wisma Kumala kita juga pernah main perempuan bersama.”

“Hus!” bentak Linghu Chong. “Waktu itu aku sedang terluka parah dan kehilangan kesadaran. Mana bisa dikatakan main perempuan segala?”

“Akan tetapi, bukankah waktu itu kau tidur satu ranjang dengan kedua nona yang cantik jelita itu?” desak Tian Boguang sambil tertawa.

Hati Linghu Chong tergetar. Segera ia membentak, “Tian Boguang, hendaknya mulutmu itu dijaga supaya sedikit lebih bersih. Linghu Chong selamanya selalu menjaga kehormatan, dan kedua gadis itu juga masih suci bersih. Jika kau masih sembarangan bicara, terpaksa aku tak perlu segan-segan lagi.”

“Apa gunanya kau bicara seperti itu?” sahut Tian Boguang sambil tertawa. “Jika kau memang menjaga kehormatan dan kesucian mereka, mengapa waktu itu kau terang-terangan main gila dengan kedua nona itu di hadapan orang-orang Perguruan Qingcheng, Hengshan, dan Henshan, hah?”

Linghu Chong semakin gusar. Segera ia menghantam ke depan namun tidak mengenai sasaran karena Tian Boguang lebih dulu mengelak. Penjahat itu kembali mengejek, “Apa yang terjadi malam itu tidak bisa kau pungkiri. Kalau kau memang tidak pernah main gila dengan kedua gadis itu, mengapa sekarang mereka sangat merindukanmu?”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Bajingan ini sungguh tidak tahu malu. Segala macam fitnah bisa saja keluar dari mulut kotornya. Sepertinya dia mencoba memancing amarahku dengan segala ucapan yang tidak benar. Hm, aku harus membalas dengan mengungkit pertandingan di Rumah Minum Huiyan tempo hari, di mana ia jatuh ke dalam siasatku. Aku yakin itu merupakan peristiwa memalukan seumur hidup baginya.”

Menyadari hal itu, Linghu Chong pun berkata, “Aha, aku tahu sekarang! Kedatangan Saudara Tian kemari karena disuruh gurumu, bukan? Sepertinya Adik Yilin mengirimkan dua guci arak sebagai ucapan terima kasih karena aku telah membantunya mencarikan seorang murid yang baik, hahahaha!”

Seketika wajah Tian Boguang bersemu merah dan mulutnya berhenti tertawa. Ia lantas berkata, “Kedua guci arak itu adalah oleh-olehku sendiri. Hanya saja, kedatanganku kemari memang ada hubungannya dengan Biksuni Kecil Yilin.”

Linghu Chong menukas, “Guru ya guru! Kenapa masih kau panggil dia biksuni kecil segala? Laki-laki sejati harus memegang janji. Adik Yilin itu murid Perguruan Henshan yang ternama di dunia persilatan. Sungguh beruntung kau bisa berguru kepadanya. Hahahaha!”

Kini Tian Boguang benar-benar marah. Hampir saja ia mencabut golok yang tergantung di pinggang, namun untungnya masih bisa menahan diri. Ia lantas berkata dengan nada dingin, “Saudara Linghu, kepandaianmu biasa-biasa saja, tapi mulutmu sungguh lihai.”

Linghu Chong menjawab, “Karena ilmu silatku kalah darimu, maka aku gunakan mulut ini untuk melawanmu, Saudara Tian.”

“Soal adu mulut jelas aku mengaku kalah. Sekarang, mau tidak mau kau harus ikut denganku,” ajak Tian Boguang.

“Tidak mau,” jawab Linghu Chong. “Meskipun dibunuh aku tetap tidak mau.”

“Apa kau tahu hendak kuajak ke mana?” sahut Tian Boguang bertanya.

“Tidak tahu dan tidak perlu tahu,” jawab Linghu Chong. “Pendek kata, meskipun kau bawa aku naik ke langit atau masuk ke dalam bumi, aku tetap tidak sudi ikut denganmu.”

“Sebenarnya aku hendak mengajakmu menemui Biksuni Yilin,” lanjut Tian Boguang sambil mengangguk perlahan.

Linghu Chong terkejut, “Hei, apakah Adik Yilin kembali jatuh ke dalam cengkeramanmu? Sungguh kurang ajar kau berani berbuat tidak senonoh kepada gurumu sendiri.”

Tian Boguang semakin gusar. Ia pun berkata lantang, “Guruku yang asli sudah lama meninggal. Jangan lagi kau campur adukkan antara guruku dengan Biksuni Yilin!” Setelah agak tenang, ia melanjutkan, “Saudara Linghu, siang dan malam Biksuni Yilin selalu terkenang kepadamu. Karena dirimu sudah kuanggap sebagai sahabat, maka sejak itu aku pun tidak berani kurang ajar kepadanya. Ya, untuk masalah ini kau boleh percaya padaku. Apakah kita bisa berangkat sekarang?”

“Tidak mau, aku tidak mau!” sahut Linghu Chong. “Sekali tidak mau selamanya tetap tidak mau.”

Tian Boguang hanya tersenyum. Melihat itu Linghu Chong bertanya dengan heran, “Apanya yang lucu? Ilmu silatmu lebih unggul. Apa kau hendak memaksaku menggunakan kekerasan?”

Tian Boguang menjawab, “Aku sama sekali tidak ingin bersikap kasar padamu, juga tidak akan memaksamu dengan kekerasan. Tapi jauh-jauh aku kemari, tentu tidak boleh pulang dengan tangan hampa.”

“Tian Boguang,” sahut Linghu Chong, “ilmu golokmu sangat hebat. Tentu tidak sulit bagimu membunuh orang sepertiku. Tapi Linghu Chong lebih suka mati daripada dihina. Jika kau ingin menawanku hidup-hidup, huh, jangan harap!”

Tian Boguang memandang tajam ke arah Linghu Chong. Ia kenal sifat pemuda itu memang suka nekad dan tidak takut mati. Maka, ia pun berkata, “Saudara Linghu, sebenarnya ada orang yang menyuruhku untuk membawamu menemui Biksuni Yilin. Itulah yang sebenarnya terjadi. Kenapa pula kau harus mengadu nyawa denganku?”

“Kalau aku sudah bilang tidak mau, maka tidak seorang pun bisa memaksaku,” kata Linghu Chong. “Meskipun Guru, Ibu Guru, Ketua Serikat, atau Kaisar sekalipun yang menyuruh tetap aku akan menolaknya. Meskipun berkali-kali kau meminta, jawabanku tetap saja sama. Pendek kata, aku tidak mau pergi denganmu!”

Tian Boguang bertambah gusar. Ia pun mencabut goloknya dan berkata, “Baik, kalau begitu! Jangan salahkan aku jika berbuat kasar kepadamu!”

Linghu Chong pun menghunus pedangnya dan menjawab, “Kau bermaksud memaksaku ikut denganmu, itu sudah termasuk perbuatan kasar. Biarlah hari ini Puncak Gadis Kumala menjadi tempat persemayaman abadiku.”

Tian Boguang mundur selangkah sambil mengernyitkan dahi. Ia kemudian berkata, “Saudara Linghu, kita tidak punya permusuhan juga tidak ada dendam. Untuk apa bertarung mengadu nyawa? Bagaimana kalau sebaiknya kita bertaruh saja?”

Diam-diam Linghu Chong merasa gembira. Dengan cara demikian ia berharap paling tidak bisa mengulur waktu menunggu kehadiran sang guru. Maka, ia lantas berkata dengan lagak jual mahal, “Taruhan apa? Menang atau kalah aku tetap tidak mau pergi.”

Tian Boguang menjawab, “Memangnya murid pertama Perguruan Huashan sedemikian takutnya menghadapi ilmu golok kilat Tian Boguang? Tiga puluh jurus saja, bagaimana?”

“Apa yang aku takuti?” sahut Linghu Chong. “Paling-paling aku hanya mati saja. Kenapa harus takut?”

Tian Boguang berkata, “Saudara Linghu, bukannya aku meremehkan dirimu atau bagaimana, tapi tiga puluh jurus golokku ini sukar bagimu untuk menghadapinya. Jika kau bisa menangkis ketiga puluh jurusku ini maka aku akan mohon diri dari sini. Tapi kalau aku yang menang, maka kau harus berjanji ikut pergi denganku menemui Biksuni Yilin. Tidak ada lagi tawar-menawar.”

Linghu Chong merenung sejenak. Dengan berbekal pengalaman dua kali bertarung yang pernah didapatkan sebelumnya, ditambah lagi dengan petunjuk yang pernah ia peroleh dari guru dan ibu-guru, maka ia pun menjawab, “Baik, akan aku layani tiga puluh jurus seranganmu.”

Bersamaan dengan itu ia pun menusukkan pedangnya terlebih dahulu. Jurus yang ia gunakan adalah Burung Feng Datang Menyembah. Dalam waktu singkat tubuh Tian Boguang terbungkus sinar pedang pemuda itu.

“Ilmu pedang yang bagus!” seru Tian Boguang memuji sambil menangkis dengan goloknya dan melangkah mundur.

“Itu jurus pertama!” seru Linghu Chong sambil menyerang menggunakan gerakan Cemara Tua Menyambut Tamu.

Tian Boguang kembali memuji. Menyadari kehebatan jurus tersebut, ia pun bergeser ke samping untuk menghindar. Meskipun gerakan menghindar tidak boleh dihitung sebagai jurus, namun Linghu Chong tidak peduli. Ia tetap saja berseru, “Itu jurus kedua!” sambil melancarkan serangan lain.

Begitulah, berturut-turut Linghu Chong menyerang lima kali sementara Tian Boguang hanya menghindar atau menangkis saja. Meskipun demikian, Linghu Chong tetap menghitungnya sebagai jurus dan jumlah yang dikerahkan sudah jatuh pada hitungan kelima.

Maka ketika Linghu Chong melancarkan serangan keenam dari bawah menusuk ke atas, mendadak Tian Boguang menggertak dengan keras dan mengayunkan goloknya sampai beradu dengan pedang lawannya itu, “Keenam! Ketujuh! Kedelapan! Kesembilan! Kesepuluh!”

Setiap kali berseru menghitung, setiap kali pula golok Tian Boguang mengayun ke bawah. Satu kali hitungan, satu kali serangan. Jadi, berturut-turut ia menyerang dengan jurus yang sama sebanyak lima kali. Semakin lama serangannya semakin dahsyat. Akibatnya, Linghu Chong pun merasa kewalahan menangkisnya. Setiap kali senjata mereka beradu, Linghu Chong merasa sesak napas dan tangannya tergetar kesakitan. Sampai akhirnya, pada serangan keenam ia tidak tahan lagi dan pedangnya pun jatuh ke tanah. Dan pada serangan ketujuh ia hanya menutup mata menanti ajal.

“Hahahaha!” Tian Boguang tertawa menghentikan serangannya. “Jurus keberapa ini?”

Linghu Chong menjawab, “Tidak hanya ilmu golokmu yang sangat hebat, bahkan tenagamu juga lebih kuat dariku. Linghu Chong mengaku kalah.”

“Bagus kalau demikian. Mari kita berangkat!” ajak Tian Boguang.

“Tidak mau! Aku tidak mau!” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

Melihat itu Tian Boguang berkata, “Saudara Linghu, aku menghormatimu sebagai seorang kesatria sejati yang bisa memegang janji. Dalam perjanjian tadi kau sudah kalah, mengapa sekarang mencoba ingkar?”

Linghu Chong menjawab, “Aku memang melayani tantanganmu. Tapi, apa aku tadi berjanji jika aku kalah akan menuruti permintaanmu?”

Tian Boguang terdiam seketika. Ia baru sadar kalau Linghu Chong tidak pernah berjanji jika kalah akan menuruti kemauannya. Ia kemudian berkata, “Hm, kau punya marga mengandung kata ‘Hu’ yang membuatmu licik seperti seekor rubah. Baiklah, bagaimana selanjutnya?”

Linghu Chong menjawab, “Aku kalah karena tenagamu lebih kuat dariku. Untuk ini aku masih penasaran. Biarkan aku istirahat sebentar, nanti kita lanjutkan lagi.”

“Baik, aku turuti permintaanmu,” ujar Tian Boguang. “Akan kubuat kau nanti menyerah lahir batin.” Usai berkata demikian, Tian Boguang pun duduk di atas batu sambil tersenyum lebar memandangi Linghu Chong.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Keparat ini memaksaku untuk mengikutinya pergi meninggalkan Gunung Huashan. Entah apa tujuan dia sebenarnya? Jika hanya untuk menemui Adik Yilin saja, rasanya sulit dipercaya. Dia tidak mau mengakui Adik Yilin sebagai gurunya, juga Adik Yilin tidak mungkin berani menemuinya. Jadi, mana mungkin Adik Yilin memintanya datang kemari? Tapi di atas itu semua, aku harus menemukan cara untuk melarikan diri.”

Linghu Chong kemudian merenungi keenam serangan Tian Boguang tadi. “Hm, sebenarnya jurusnya tadi tidak ada yang istimewa. Hanya saja, tenaganya sangat kuat membuat tanganku kesakitan menangkisnya.” Setelah terdiam sejenak, ia kemudian teringat peristiwa beberapa bulan yang lalu, “Waktu itu Paman Mo membinasakan Fei Bin dengan jurus yang sangat cepat dan tak terduga. Mungkin aku bisa menggunakannya untuk menghadapi penjahat ini. Selain itu di gua belakang juga banyak terdapat gambar-gambar jurus pedang Perguruan Hengshan yang hebat dan mematikan. Aku bisa mempelajarinya untuk mengalahkan penjahat itu. Tapi... tunggu dulu, bagaimanapun hebatnya ilmu pedang Perguruan Hengshan, mana bisa aku mempelajarinya dalam waktu singkat? Aih, sungguh tidak masuk akal.”

Melihat raut muka Linghu Chong yang sebantar gembira sebentar kemudian murung, Tian Boguang tertawa dan berkata, “Saudara Linghu, apa kau sudah mendapat akal bulus lagi untuk mengalahkan aku?”

Ucapan Tian Boguang yang mengejeknya sebagai “bulus” membuat Linghu Chong marah dan berteriak, “Untuk mematahkan ilmu golokmu buat apa menggunakan akal bulus segala? Aku tahu kau sengaja banyak bicara untuk memecah konsentrasiku. Sudahlah... biar aku pikirkan di dalam gua saja! Aku butuh ketenangan. Kau jangan ikut masuk dan mengganggu aku!”

“Baiklah, kau boleh pergi ke sana memeras otak. Aku tak akan mengganggu” ujar Tian Boguang sambil tertawa.

Ucapan “memeras otak” yang diteriakkan Tian Boguang semakin membuat Linghu Chong kesal. Ia pun masuk ke dalam gua dan langsung menyalakan obor untuk kemudian dibawanya menelusuri lorong rahasia hingga sampai ke dalam gua belakang. Di antara gambar-gambar jurus Serikat Pedang Lima Gunung yang terukir di dinding gua, ia segera mengamati beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Hengshan dengan seksama. Melihat betapa indah namun juga dahsyat jurus-jurus tersebut membuat Linghu Chong berdecak kagum. Seolah tidak ada hentinya dan memiliki variasi tak terbatas jumlahnya. Seandainya tidak melihat langsung, mungkin ia tak akan percaya di dunia terdapat ilmu pedang seaneh itu.

“Dalam waktu singkat jelas tidak mungkin bagiku untuk mempelajari ilmu pedang ini dengan baik. Sebaiknya aku ambil saja beberapa jurus yang paling aneh dan memiliki serangan tak terduga. Aku harus menghafalkannya dengan cepat dan setelah keluar nanti, akan kugunakan untuk menyerang penjahat itu. Siapa tahu dengan jurus aneh dari Hengshan ini aku bisa mengalahkannya,” demikian pikirnya.

Begitu menentukan pilihan, Linghu Chong langsung membaca dan berusaha menghafalkannya. Meskipun jurus pada gambar tersebut dapat dipatahkan pihak lawan, namun ia berpikir Tian Boguang tentu belum mengenalnya, sehingga ada peluang untuk menang.

Satu jam telah berlalu. Linghu Chong berusaha keras menghafalkan beberapa jurus Perguruan Hengshan yang telah dipilih dan memperagakannnya beberapa kali. Tak lama kemudian terdengar suara Tian Boguang berteriak dari luar gua.

“Saudara Linghu, kalau kau tidak segera keluar, maka aku yang akan melabrakmu ke dalam.”

Buru-buru Linghu Chong berlari keluar dengan menghunus pedang sambil berteriak, “Baiklah, akan kucoba ketiga puluh jurus seranganmu.”

Tian Boguang menyambutnya dengan pertanyaan, “Sekali ini kalau Saudara Linghu yang kalah bagaimana?”

“Bukan kali yang pertama aku kalah darimu. Jadi, mengapa masih bertanya harus bagaimana?” sahut Linghu Chong sambil melompat menerjang. Belum selesai bicara ia sudah melancarkan tujuh serangan tanpa henti. Semuanya adalah jurus yang baru ia pelajari di gua belakang.

Tian Boguang terkejut bukan main. Ia tidak menduga dalam ilmu pedang Perguruan Hengshan terdapat jurus pedang seperti itu. Sejenak ia merasa kewalahan sampai pada jurus kesepuluh. “Celaka, kalau aku hanya bertahan, bisa-bisa tiga puluh jurus terlewatkan begitu saja.”

Maka, penjahat itu pun ganti menyerang dengan sangat keras. Karena jurus pedang Hengshan mengandalkan kecepatan, maka Linghu Chong tidak kuasa untuk menangkis serangan golok yang dahsyat tersebut. Akibatnya, pada jurus kesembilan belas pedangnya pun kembali terlempar ke udara.

Linghu Chong melompat mundur dua langkah dan berseru, “Saudara Tian hanya mengandalkan kekuatan otot untuk mengalahkanku, sama sekali bukan mengandalkan jurus golok. Kekalahan ini tidak bisa kuterima. Biarkan aku masuk lagi ke dalam gua untuk mencari cara lain agar bisa mengalahkanmu.”

“Hahahaha, biarpun kau main siasat mengulur waktu juga percuma saja,” ejek Tian Boguang sambil tertawa. “Kedua gurumu saat ini paling tidak berada ratusan Li dari sini untuk mengejarku. Paling cepat mereka mungkin kembali kemari dalam waktu sepuluh atau lima belas hari lagi. Jadi, jangan kau sia-siakan tenagamu.”

“Huh, siapa bilang demikian?” sahut Linghu Chong. “Pahlawan macam apa aku ini kalau hanya bisa mengandalkan guru untuk mengalahkanmu? Sebenarnya kekalahanku ini karena baru saja sembuh dari sakit. Tenagaku belum pulih benar. Itulah sebabnya aku pasti kalah kalau adu tenaga. Kau pikir jika aku sedang sehat apa kau kira bisa menang dariku?”

“Huh, tidak perlu bersilat lidah!” sahut Tian Boguang. “Aku tidak peduli menang pakai tenaga atau pakai jurus. Kalau kalah ya kalah, menang ya menang. Kau hanya mencari-cari alasan.”

“Baik, coba kau tunggu lagi di sini! Jika memang laki-laki sejati jangan coba-coba untuk pergi. Aku tidak sudi mengejarmu,” ujar Linghu Chong.

Tian Boguang tertawa terbahak-bahak, kemudian mundur dua langkah dan duduk di atas batu.

Linghu Chong kembali masuk ke dalam gua belakang sambil merenung, “Tian Boguang pernah bertarung dan mengalahkan Pendeta Tiansong dari Perguruan Taishan. Dia juga pernah bertarung melawan Adik Yilin dari Perguruan Henshan. Kini harapanku hanya tinggal menggunakan ilmu pedang Perguruan Songshan saja. Mungkin ia belum pernah menghadapinya.”

Sesampainya di gua belakang, ia langsung mencari dan mengamati ukiran gambar di dinding batu yang memuat jurus-jurus pedang Perguruan Songshan. Dengan cepat ia mempelajari belasan jurus dari perguruan tersebut, kemudian memadukannya dengan jurus-jurus pedang Perguruan Hengshan yang tadi belum sempat ia mainkan. “Hm, kalau jurus-jurus ini aku gabungkan lagi dengan jurus pedang Huashan, pasti dia kewalahan.”

Maka, sebelum Tian Boguang berteriak-teriak memanggil, Linghu Chong sudah berlari keluar dan menyerang penjahat itu. Mula-mula ia menggunakan ilmu pedang Songshan. Satu menit berikutnya ia menggunakan ilmu pedang Hengshan, dan satu menit selanjutnya ia menggunakan ilmu pedang Huashan.

“Kacau! Ini sungguh kacau!” seru Tian Boguang yang terdesak kewalahan. Namun pada jurus kedua puluh dua ia berhasil membalik keadaan. Dengan serangan cepat tiga kali berturut-turut ia berhasil menodongkan goloknya di leher Linghu Chong dan membuat pemuda itu mengaku kalah.

Namun Linghu Chong masih berusaha bersikap tenang. Ia berkata sambil tertawa, “Hahahaha. Pertarungan pertama tadi aku hanya sanggup bertahan sepuluh jurus. Pertarungan kedua aku bertahan delapan belas jurus. Sementara pertarungan ketiga barusan aku bisa bertahan dua puluh satu jurus. Apa kau tidak takut, Saudara Tian?”

“Huh, apa yang harus aku takuti?” sahut Tian Boguang.

“Kalau aku merenung lagi di dalam gua, aku tentu bisa mengalahkanmu dalam tiga puluh jurus. Meskipun aku tidak membunuhmu, namun sudah pasti ini membuatmu takut,” jawab Linghu Chong.

Tian Boguang menukas, “Sudah bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, dan Saudara Linghu aku anggap sebagai lawan paling cerdas yang pernah kutemui. Namun tetap saja ilmu silatmu masih kalah jauh di bawahku. Meskipun kau berlatih lagi dalam satu jam tetap saja tidak akan mampu mengalahkan tiga puluh jurusku.”

Linghu Chong berkata, “Saudara Tian adalah lawanku yang paling ceroboh. Jelas-jelas Linghu Chong semakin bertambah kuat dan kuat, namun kau tetap saja bandel tidak mau kabur dari sini. Nah, Saudara Tian, apakah kau izinkan aku masuk lagi ke dalam gua untuk merenung?”

“Kalau kau masih penasaran, silakan kau pergi lagi memeras otak sana!” seru Tian Boguang sambil tersenyum.

“Baik, kau tunggu saja di sini. Jangan coba-coba kabur!” ujar Linghu Chong sambil kemudian masuk kembali ke dalam gua.

Dalam perjalanan menyusuri lorong sempit menuju gua belakang pikiran Linghu Chong berkecamuk macam-macam. “Bajingan Tian Boguang pasti datang ke Gunung Huashan ini dengan maksud jahat. Ia mengetahui bahwa Guru dan Ibu Guru sedang turun gunung untuk mengejarnya, namun ia berani menentang bahaya dan mendaki kemari. Meskipun tidak bermaksud membunuhku, namun dia seolah-olah ingin menahanku di sini. Kalau memang dia berniat menangkapku, mengapa tadi ia tidak langsung saja menotok titik nadiku? Mengapa dia membiarkan aku bebas keluar masuk ke dalam gua ini? Sebenarnya apa yang dia inginkan?”

Usai terdiam sejenak, pemuda itu kembali berpikir, “Jangan-jangan dia berusaha mengulur waktu dan menahanku di puncak sini, sementara ada orang lain yang menyerang adik-adik di bawah sana. Lalu, mengapa dia tidak membunuhku saja? Bukankah itu lebih mudah?”

Linghu Chong merenung di dalam gua belakang. Ia akhirnya melompat bangkit setelah mengambil keputusan. “Tidak peduli apapun yang terjadi di balik ini semua, aku berkewajiban menjaga keselamatan Perguruan Huashan. Selama Guru dan Ibu Guru turun gunung, maka untuk sementara waktu yang memimpin di Huashan sini adalah aku sebagai murid pertama. Bagaimanapun beratnya, harus kuhadapi sendiri. Tak peduli apa yang menjadi alasannya, pasti maksud dan tujuannya tidak baik. Aku harus berusaha menahan dia di sini. Nanti jika ia lengah, aku harus membunuhnya tanpa ragu-ragu.”

Setelah hatinya merasa mantap, Linghu Chong kembali mempelajari gambar-gambar jurus pedang di dinding gua. Namun kali ini yang ia pilih untuk dihafalkan hanyalah jurus-jurus yang paling mematikan. Satu jam kemudian ia pun keluar gua dan menjumpai hari ternyata sudah mulai terang.

Meskipun hatinya sudah bertekad bulat untuk membunuh Tian Boguang, namun mulutnya masih berusaha tersenyum ramah. “Saudara Tian, jauh-jauh kau datang kemari tapi aku belum memenuhi kewajibanku sebagai tuan rumah yang baik. Sungguh aku merasa tidak enak. Sesudah pertandingan ini aku tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Aku tetap membuka tangan yang selebar-lebarnya mengundang Saudara Tian kemari sekadar menikmati hasil bumi pegunungan ini.”

“Terima kasih banyak,” jawab Tian Boguang sambil tertawa.

Linghu Chong berkata, “Dan kelak kalau kita bertemu lagi di lain tempat dan bertarung lagi, tentu bukan lagi pertandingan seperti saat ini. Tapi pertarungan mati-matian.”

“Sebenarnya teman seperti Saudara Linghu ini sangat sayang kalau terbunuh,” ujar Tian Boguang. “Tapi kalau kau tidak kubunuh tentu akan membahayakan diriku. Ilmu silatmu bisa maju pesat dalam waktu singkat. Kelak saat kau bisa lebih unggul dariku tentu kau tidak mau mengampuni nyawa seorang penjahat cabul sepertiku ini.”

“Betul juga,” kata Linghu Chong. “Kegiatan bertukar pikiran seperti yang kita lakukan saat ini kelak mungkin tidak ada lagi. Nah, Saudara Tian! Kita akan mulai kembali. Harap beri petunjuk seperlunya!”

“Saudara Linghu, kau terlalu memuji,” jawab Tian Boguang.

“Semakin aku pikirkan, semakin aku merasa bukan tandinganmu, Saudara Tian,” ujar Linghu Chong. Belum selesai ia bicara, pedangnya sudah menusuk kencang ke arah Tian Boguang. Namun ketika pedangnya masih berjarak satu meter dari sasaran, tiba-tiba ia menarik senjatanya itu ke samping dan secepat kilat menusuk kembali.

Tian Boguang mengangkat golok hendak menangkis. Namun sebelum kedua senjata beradu, tahu-tahu Linghu Chong memutar pedangnya dan menebas dari atas ke bawah selangkangan. Serangan yang tak terduga dan sangat keji ini membuat Tian Boguang terperanjat. Ia pun meloncat ke atas. Namun Linghu Chong telah melancarkan lagi tiga kali serangan yang semuanya mengarah ke titik mematikan pada tubuh penjahat itu.

Kali ini Tian Boguang dalam keadaan terdesak dan kewalahan menangkis serangan-serangan Linghu Chong. Bahkan, celananya sampai robek terkena tusukan pemuda itu namun tidak sampai melukai kulitnya. Tiba-tiba ia melancarkan serangan balik berupa pukulan yang sangat cepat dan berhasil membuat Linghu Chong roboh terpelanting.

“Serangan Saudara Linghu benar-benar berbahaya dan mengarah ke tempat-tempat mematikan,” ujar Tian Boguang. “Apa seperti ini yang disebut ‘minta petunjuk’?”

Linghu Chong bangkit sambil berkata, “Bagaimanapun juga seranganku tetap saja tidak mampu mengganggu seujung rambut Saudara Tian. Kau benar-benar memiliki lengan yang perkasa.”

“Maaf atas hal itu,” ujar Tian Boguang.

“Aku rasa beberapa tulang igaku ada yang patah,” jawab Linghu Chong sambil tersenyum lebar. Sambil berkata demikian Linghu Chong tiba-tiba teringat kalau Tian Boguang hanya ingin menangkapnya hidup-hidup, bukan untuk membunuhnya. Ia pun berpikir, “Hm, penjahat ini tidak mau membunuhku. Kalau begitu ini kesempatanku untuk menyerangnya habis-habisan. Aku tidak perlu memikirkan keselamatanku karena dia tidak ingin melukaiku.”

Maka begitu dekat, tiba-tiba saja Linghu Chong menyerang lengan kiri Tian Boguang. Kali ini jurus yang ia gunakan adalah jurus pedang Perguruan Henshan. Tian Boguang terkejut karena tahu-tahu ujung pedang lawan sudah berada tepat di depan perutnya. Penjahat itu pun menjatuhkan diri sambil berguling-guling di tanah. Namun demikian, pedang Linghu Chong tetap saja mengejarnya dan melancarkan empat kali tusukan.

Tak disangka kaki Tian Boguang dengan cepat menendang pergelangan tangan Linghu Chong sehingga pedang pemuda itu terlepas dari genggaman. Menyusul kaki yang lain dengan sangat keras menendang perut pemuda itu hingga jatuh terjengkang.

Tanpa membuang waktu, Tian Boguang bangkit dan mengacungkan goloknya di leher Linghu Chong sambil tertawa dingin, “Hahaha, keji sekali ilmu pedangmu ini. Hampir saja nyawaku melayang. Bagaimana? Kali ini kau menyerah atau tidak?”

“Tentu saja tidak!” sahut Linghu Chong dengan tertawa pula. “Kita telah sepakat bertanding adu senjata. Tapi kenapa kakimu ikut menendang? Apa ini termasuk dalam hitungan?”

“Meskipun pukulan dan tendanganku dihitung tetap saja belum ada tiga puluh jurus,” sahut Tian Boguang sambil menarik kembali goloknya. Mulutnya mencibir seperti mengejek.

Linghu Chong segera bangun dan berkata, “Meskipun ilmu silatmu tinggi dan bisa mengalahkan aku sebelum tiga puluh jurus, lantas mau apa? Kalau mau bunuh silakan bunuh, mengapa masih juga mengejek?”

“Teguran Saudara Linghu sungguh membuatku sadar. Untuk ini aku mohon maaf yang sebesar-besarnya,” ujar Tian Boguang.

Jawaban Tian Boguang tersebut membuat Linghu Chong semakin heran mengapa seorang pemenang masih sempat meminta maaf. Tanpa membuang waktu ia pun balas memberi hormat, sambil berpikir, “Seorang pemenang memberi hormat, pasti menyimpan muslihat tertentu di balik ini semua.”

Karena tidak juga menemukan apa maksud dan tujuan lawan, pemuda itu lantas berkata, “Saudara Tian, aku mempunyai sebuah pertanyaan. Entah Saudara Tian sudi menjawab atau tidak?”

Tian Boguang berkata, “Bagiku tidak ada sesuatu pun yang perlu untuk dirahasiakan. Membunuh, merampok, memerkosa, atau apa saja, kalau berani berbuat ya harus berani mengakuinya. Untuk apa main rahasia segala?”

“Bagus kalau demikian,” sahut Linghu Chong. “Saudara Tian memang seorang laki-laki sejati yang berani mengakui perbuatannya sendiri.”

Tian Boguang tertawa dan menjawab, “Sebutan ‘laki-laki sejati’ tidak pantas kuterima. Aku ini hanya seorang hina yang hanya bisa menepati janji saja.”

“Hehehe, tokoh seperti Saudara Tian ini jarang ada di dunia persilatan,” kata Linghu Chong sambil tertawa. “Sekarang aku ingin bertanya, kau telah memancing guru dan ibu-guruku pergi menjauh supaya kau bisa datang kemari dan mengajakku pergi ke suatu tempat. Sebenarnya, apa yang kau inginkan?”

“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku mengundangmu menemui Biksuni Kecil Yilin untuk sekadar memenuhi rasa rindunya,” jawab Tian Boguang.

“Tidak mungkin,” sahut Linghu Chong cepat. “Jawabanmu itu terlalu aneh dan lucu. Linghu Chong bukan anak kecil, mana mungkin percaya dengan jawabanmu itu?”

Tian Boguang menjadi gusar dan berseru, “Aku memandangmu sebagai seorang kesatria sejati, tapi kau malah menuduhku sebagai jahanam kotor yang kata-katanya tidak dapat dipercaya. Memangnya ucapanku ini bukan ucapan manusia? Nah, dengarlah ini! Jika ucapan orang bermarga Tian ini bohong belaka, lebih baik kau anggap aku ini sebagai binatang saja.”

Melihat itu, mau tidak mau Linghu Chong percaya juga pada ucapan Tian Boguang. Ia pun bertanya, “Aku masih heran bukankah Saudara Tian mengangkat biksuni kecil itu sebagai guru hanya gurauan saja? Tapi mengapa sekarang kau sudi datang jauh-jauh kemari untuk mengundangku demi kepentingannya?”

Tian Boguang menjawab dengan malu-malu, “Dalam hal ini tentu ada penyebab lainnya.”

Melihat sikap Tian Boguang tersebut, Linghu Chong kembali bertanya, “Jangan-jangan Saudara Tian jatuh cinta pada Adik Yilin, kemudian sekarang kau bertobat untuk memperbaiki diri dan dosa-dosamu di masa lalu, begitu?”

“Ah, mana mungkin seperti itu? Saudara Linghu jangan sembarangan bicara,” sahut Tian Boguang.

Linghu Chong bertanya, “Sebenarnya ada apa di balik ini semua? Mohon Saudara Tian sudi memberi tahu!”

“Masalah ini menyangkut nasibku yang sial,” sahut Tian Boguang. “Pendek kata, jika aku tidak bisa mengajakmu turun gunung, tentu sebulan lagi aku akan mati dengan tubuh membusuk tak terkatakan.”

Linghu Chong sangat terkejut. Tapi wajahnya pura-pura tidak paham. “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?”

Tian Boguang menghela napas dan kemudian membuka bajunya. Tampak di bawah puting dadanya terdapat masing-masing sebuah titik merah sebesar uang logam. “Aku telah diracun orang dan dipaksa datang kemari untuk mengajakmu turun gunung menemui Biksuni Yilin. Jika aku tidak mendapatkan penawarnya, maka sebulan kemudian titik merah ini mulai membusuk dan menjalar ke seluruh tubuh dan saat itu sudah terlambat untuk diobati. Selama tiga setengah tahun aku akan hidup menderita dan akhirnya mati.”

Dengan wajah bersungguh-sungguh Tian Boguang melanjutkan cerita, “Maksud hatiku mengutarakan ini semua bukan untuk meminta belas kasihan darimu, tetapi supaya kau tahu bahwa aku akan melakukan apa saja demi untuk mendapatkan obat penawar itu. Aku sudah terbiasa berbuat kejam. Apalagi saat ini dalam keadaan terdesak. Tentu memaksamu bukan suatu hal yang berat.”

Dalam hati Linghu Chong memercayai cerita Tian Boguang. Ia pun mencari cara untuk mengulur waktu sampai lebih dari sebulan. Dengan demikian Tian Boguang bisa mati dengan sendirinya, sehingga dunia akan kehilangan satu penjahat cabul tanpa harus bersusah payah untuk membunuhnya. Berpikir demikian, pemuda itu pun tertawa dan berkata, “Sungguh usil orang yang meracuni Saudara Tian itu. Kalau boleh tahu siapakah orang hebat itu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika tubuhmu membusuk akibat racun. Tapi sehebat-hebatnya racun, pasti ada penawarnya.”

“Mengenai siapa orang yang telah meracuniku terpaksa tidak bisa kukatakan kepadamu,” sahut Tian Boguang. “Di dunia ini satu-satunya orang yang bisa mengobatiku mungkin hanya Ping Yizhi alias Si Tabib Pembunuh. Tapi, mana mungkin ia sudi mengobati diriku?”

Linghu Chong menukas, “Bukankah kau bisa meletakkan golokmu di lehernya dan memaksanya menghilangkan racun dalam tubuhmu?”

Tian Boguang menjawab, “Simpan saja semua ocehanmu itu. Pendek kata, jika aku benar-benar tidak berhasil mengundangmu turun gunung, jika aku sampai mati, maka kau pun takkan kubiarkan selamat.”

“Ya, sudah tentu,” jawab Linghu Chong. “Tapi Saudara Tian harus mengalahkan aku secara jantan terlebih dulu barulah aku menyerah lahir batin. Untuk ini, silakan kau menunggu lagi barang sebentar. Aku akan masuk kembali untuk memeras otak.”

Usai berkata demikian, Linghu Chong pun berlari masuk ke dalam gua sambil berpikir, “Saat bertarung sambil duduk waktu itu, aku mampu menahan serangannya sebanyak lebih dari tiga puluh jurus. Tapi mengapa sekarang aku mengalami kemunduran dan hanya bisa bertahan kurang dari tiga puluh jurus? Ah, aku tahu sekarang! Saat bertarung melawan Tian Boguang tempo hari aku tidak peduli nyawa sendiri dan siap mati setiap saat. Aku tidak peduli entah berapa jurus yang sudah terlewati saat itu dan aku hanya berusaha untuk menangkis dan membalas saja. Kali ini pikiranku hanya terpusat pada jumlah jurus yang ia keluarkan. Mataku sibuk menghitung jurus goloknya mulai awal sampai akhir. Dengan demikian pikiranku menjadi terpecah sehingga ilmu pedangku menjadi jauh lebih lemah daripada dahulu. Linghu Chong, Linghu Chong, betapa bodohnya dirimu!”

Setelah menemukan letak permasalahannya, pemuda itu segera bergegas ke gua belakang untuk kembali melatih jurus yang terukir di dinding. Sesampainya di sana ia langsung memilih jurus pedang Perguruan Taishan karena cenderung stabil dan memiliki daya serang kuat. Dalam waktu singkat tentu saja tidak mungkin menemukan intisari ilmu pedang tersebut. Di samping itu, Linghu Chong juga merasa terburu-buru dan tidak sudi untuk mempelajarinya dengan tenang dan sabar. Setelah merasa cukup dan hendak meninggalkan gua, tiba-tiba pandangannya tertarik pada gambar orang memegang tombak yang berhasil mematahkan jurus pedang Taishan tersebut. Semakin ia mengamati jurus tombak tersebut, semakin hatinya merasa kagum. Sampai akhirnya terdengar suara teriakan Tian Boguang memanggil-manggil di luar.

Linghu Chong kembali bertarung melawan Tian Boguang. Namun kali ini ia bertindak lebih bijak tanpa menghitung sama sekali. Hanya tangannya yang mengayunkan pedang ke segala arah bagaikan hempasan badai. Di lain pihak, Tian Boguang tidak berani bersikap gegabah karena pihak lawan dinilai mengalami kemajuan pesat dan melancarkan jurus-jurus baru tiap kali selesai berlatih di dalam gua.

Pertarungan antara Linghu Chong dan Tian Boguang berlangsung semakin cepat dan dahsyat. Berbagai jurus dilancarkan hanya dalam waktu singkat. Tiba-tiba Tian Boguang mendapatkan kesempatan bagus. Tangannya bergerak secepat kilat dan berhasil memegang lengan Linghu Chong, kemudian mengarahkan lengan itu sedemikian rupa sehingga ujung pedang Linghu Chong berbalik menodong leher sendiri. Jika Tian Boguang menambah tenaga sedikit saja, tentu leher Linghu Chong sudah tembus oleh pedang sendiri.

“Kau kalah!” kata Tian Boguang.

“Tidak, bukan aku. Tapi kau yang kalah!” balas Linghu Chong.

“Bagaimana bisa aku yang kalah?” tanya Tian Boguang gusar.

“Karena jurus ini adalah jurus ketiga puluh dua,” jawab Linghu Chong.

“Jurus ketiga puluh dua bagaimana?” tanya Tian Boguang menegas.

“Tepat sekali. Ini jurus ketiga puluh dua,” ujar Linghu Chong yakin.

“Memangnya kau tidak menghitung?” sahut Tian Boguang.

“Aku menghitungnya dalam hati. Jurus yang terakhir ini jurus ketiga puluh dua,” jawab Linghu Chong dengan yakin, padahal sesungguhnya ia sama sekali tidak menghitung.

Tian Boguang melepaskan lengan pemuda itu dan berkata, “Tidak bisa. Jurus pertama tadi begini, aku menangkis seperti ini, kemudian kau menyerang lagi dengan cara begini. Jurus kedua begini dan....” begitulah seterusnya. Satu per satu jurus pertarungan mereka tadi diperagakannya dengan baik. Ternyata Linghu Chong tertangkap pada jurus kedua puluh delapan.

Linghu Chong tertegun menyaksikan daya ingat Tian Boguang yang luar biasa. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi, namun Tian Boguang mampu mengingat setiap gerakan dengan jelas dan benar. Sungguh suatu kemampuan yang jarang ada di dunia persilatan. Sambil mengacungkan jempol, Linghu Chong pun memuji, “Daya ingat Saudara Tian sangat hebat. Aku benar-benar kagum. Ternyata diriku ini yang salah menghitung. Baiklah, aku akan masuk kembali untuk memeras otak.”

“Tunggu dulu!” seru Tian Boguang tiba-tiba. “Sebenarnya ada rahasia apa di dalam gua sana? Apa terdapat kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi? Mengapa setiap kali kau keluar selalu bertambah dengan jurus-jurus baru?” selesai berkata demikian ia pun melangkah hendak memasuki gua.

Tentu saja Linghu Chong berusaha mencegah, jangan sampai penjahat itu menemukan gambar-gambar di dinding gua belakang karena bisa menjadi bencana bagi Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, ia pun pura-pura memperlihatkan wajah senang dan langsung berubah khawatir, sambil merentangkan kedua lengannya menghalangi Tian Boguang. “Saudara Tian jangan masuk! Di dalam terdapat kitab-kitab pusaka perguruan kami. Saudara Tian adalah orang luar. Tidak boleh melihat seenaknya!”

Melihat perubahan raut wajah Linghu Chong yang tiba-tiba itu, mau tidak mau membuat Tian Boguang merasa curiga. Dalam hati ia berpikir, “Mengapa bocah ini memperlihatkan wajah gembira saat aku mengatakan ingin masuk ke dalam gua, tapi kemudian mendadak berubah menjadi khawatir? Hm, rupanya dia ingin memancingku supaya penasaran. Dia ingin supaya aku menerobos masuk ke dalam gua tersebut. Huh, apa kau kira aku tidak tahu kalau di dalam sana sudah kau siapkan perangkap? Mungkin di dalam sudah ada orang lain yang bersiap menyergapku, atau mungkin ada ular berbisa, atau mungkin ada asap beracun. Hehe, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah ditipu oleh permainan wajahmu.”

Menyadari itu Tian Boguang pun memutar tubuh dan berkata, “Oh, rupanya di dalam ada kitab rahasia ilmu pedang perguruanmu yang mulia. Memang tidak sepantasnya aku masuk ke dalam.”

Linghu Chong gembira melihat tipu muslihatnya berhasil dengan baik. Ia pun bergegas masuk ke dalam gua belakang dan beberapa waktu kemudian kembali menantang Tian Boguang. Namun demikian, tetap saja pemuda itu mengalami kekalahan.

Begitulah, berkali-kali Linghu Chong keluar masuk gua namun tetap saja tidak mampu melewati tiga puluh jurus dalam pertandingan melawan Tian Boguang. Tidak hanya ilmu pedang aneh dan rumit milik Serikat Pedang Lima Gunung saja yang ia mainkan, bahkan ilmu silat milik orang-orang yang mematahkan jurus-jurus pedang tersebut juga ia pelajari. Namun karena terburu-buru tentu saja ia tidak mampu menangkap intisari jurus-jurus yang tergambar pada dinding gua tersebut sehingga kekuatannya tidak bisa menembus ilmu golok kilat milik lawan. Lagi-lagi Tian Boguang memperoleh kemenangan.

Di lain pihak, Tian Boguang merasa curiga mengapa tiap kali keluar gua, Linghu Chong selalu memainkan jurus-jurus baru yang aneh dan seolah tidak ada habisnya. Memang jurus-jurus tersebut tidak mampu mengalahkan ilmu golok kilat miliknya, namun tetap saja membuat Tian Boguang berdecak kagum karena keindahan dan kehebatannya. Andai saja ini bukan pertandingan, ingin rasanya ia mengamati jurus-jurus aneh dan unik yang dimainkan Linghu Chong dengan seksama.

Setelah mengingat-ingat semua pertandingan yang terlewati, Tian Boguang menyadari kalau jurus-jurus tersebut tidak hanya milik Perguruan Huashan, tapi juga milik Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan. Ia pun berpikir, “Apakah mungkin para sesepuh Serikat Pedang Lima Gunung bersembunyi di dalam gua? Tiap kali bocah ini masuk ke dalam, apakah para sesepuh mengajarkan suatu jurus baru kepadanya? Hm, untung saja aku tidak jadi masuk ke dalam. Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkan para sesepuh kelima perguruan besar tersebut?”

Karena berpikir demikian, Tian Boguang pun bertanya, “Mengapa mereka tidak keluar saja?”

“Siapa yang kau maksud?” sahut Linghu Chong bingung.

“Mereka, para sesepuh yang bersembunyi di dalam gua. Bukankah mereka yang telah mengajarimu? Mengapa mereka tidak keluar saja dan mencoba kepandaianku?” jawab Tian Boguang yakin.

Linghu Chong terperanjat. Namun ia akhirnya sadar kalau Tian Boguang hanya salah paham. Maka, ia pun tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Para sesepuh itu merasa... merasa enggan bertanding dengan Saudara Tian.”

Tian Boguang tersinggung mendengarnya. Sambil mendengus tidak puas, ia pun membentak, “Aku tahu orang-orang macam apa mereka itu! Mereka suka mengumpulkan pujian dan nama besar sehingga merasa tidak sederajat jika bertarung melawan penjahat cabul macam diriku. Sebaiknya kau panggil saja mereka semua supaya keluar. Selama kami bertarung satu lawan satu, tak peduli sehebat apa nama besar mereka tetap saja tidak mampu melukai diriku.”

Linghu Chong menggeleng dan berkata, “Saudara Tian, kalau kau berminat menemui mereka, aku persilakan kau masuk ke dalam gua dan menemui sebelas sesepuh di sana untuk meminta petunjuk dari Beliau sekalian. Aku yakin Beliau semua akan menghargai ilmu golok Saudara Tian.”

Linghu Chong paham bagaimana Tian Boguang telah melakukan banyak kejahatan di dunia persilatan dan juga memiliki banyak musuh. Dalam setiap tindak-tanduknya, penjahat cabul itu selalu berhati-hati. Kini dengan mengira bahwa di dalam gua terdapat para tokoh papan atas dari berbagai perguruan, tentu ia tidak akan berani mengambil risiko untuk masuk ke dalam. Sengaja Linghu Chong mengatakan bahwa di dalam gua terdapat sebelas orang sesepuh, karena dengan menyebut angka ganjil membuat ucapannya lebih meyakinkan.

Tian Boguang sendiri tampak mendengus dan menjawab, “Tokoh papan atas macam apa? Jangan-jangan mereka hanyalah para sesepuh yang terasing karena berkepandaian rendah. Jika tidak, kenapa mereka berulang kali mengajarimu namun tetap saja kau tidak mempu mengalahkan ketiga puluh jurusku?”

Sebenarnya Tian Boguang dalam hati merasa sedikit gentar. Namun mengingat dirinya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat, sekalipun sebelas sesepuh itu menyerang serentak, tentu ia dapat melarikan diri dengan cepat apabila keadaan kurang menguntungkan baginya. Di samping itu, para sesepuh dari perguruan terhormat semacam Serikat Pedang Lima Gunung tidak mungkin merendahkan diri mereka dengan main keroyok.

Linghu Chong memasang wajah serius dan kembali berkata, “Meskipun para sesepuh mengajariku di dalam gua, namun tetap saja aku yang bodoh tidak bisa memahami ajaran mereka sehingga kalah di tanganmu berkali-kali. Namun demikian, hendaknya Saudara Tian berhati-hati jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Kalau saja ada seorang yang keluar dari gua dan menghadapimu, tentu tidak perlu menunggu sebulan lagi untuk mati. Sekarang juga kau akan kehilangan kepalamu di Tebing Perenungan ini.”

Tian Boguang bertanya, “Coba kau jelaskan, siapa saja yang berada di dalam gua sana?”

Raut wajah Linghu Chong seolah menyembunyikan sesuatu saat menjawab, “Ah, para sesepuh itu sudah lama mengasingkan diri. Sudah bertahun-tahun mereka mengundurkan diri dari dunia persilatan. Mereka berkumpul di sini juga tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Nama-nama para sesepuh itu tidak boleh sampai diketahui orang luar. Andai kukatakan juga kau belum tentu kenal.”

Tian Boguang bertambah penasaran melihat wajah Linghu Chong. Ia berkata, “Para sesepuh dari Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan memang masih tersisa sedikit. Namun Perguruan Huashan sudah lama kehabisan tokoh-tokoh tua. Hal ini sudah diketahui setiap orang di dunia persilatan. Ucapan Saudara Linghu bagiku sungguh sukar dipercaya.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Para sesepuh Perguruan Huashan kami memang sudah wafat. Beberapa tahun silam perguruan kami diserang wabah penyakit menular sehingga banyak di antara para sesepuh yang meninggal dunia. Dugaan Saudara Tian sungguh tepat. Di dalam gua ini memang tidak terdapat sesepuh dari Huashan.”

Meskipun Linghu Chong berkata benar, namun Tian Boguang sudah sering dibohongi sehingga ia pun yakin kalau kalimat terakhir tersebut juga salah satu tipuan pemuda itu. Jika Linghu Chong berkata tidak ada seorang pun sesepuh Huashan di dalam gua, tentu yang benar ialah sebaliknya, demikian pikir penjahat itu.

Setelah merenung sejenak, Tian Boguang seolah menyadari sesuatu. Sambil memukulkan tangan kanan ke telapak tangan kiri ia pun berkata, “Aku ingat sekarang! Dalam Perguruan Huashan masih terdapat seorang sesepuh. Dia pasti... dia pasti Feng Qingyang.”

Linghu Chong tertegun sejenak. Seketika ia pun teringat pada sebuah nama yang terukir di dinding gua depan, yaitu nama “Feng Qingyang” tersebut. Tanpa sadar mulutnya pun berseru karena terkejut karena sama sekali tidak menyangka kalau tokoh sepuh bernama Feng Qingyang ternyata masih hidup, setidaknya demikian menurut perkiraan Tian Boguang.

Sambil mengibaskan tangan pemuda itu berkata, “Saudara Tian, kau jangan bicara sembarangan.. Eh.. eh…” karena Feng Qingyang memiliki nama “Qing” dan itu berarti satu angkatan di atas gurunya yang memakai nama “Bu”, maka Linghu Chong pun melanjutkan perkataannya, “Kakek Guru... Kakek Guru Feng sudah puluhan tahun menghilang entah ke mana. Apakah Beliau masih hidup atau tidak di dunia ini juga kami tidak tahu. Jadi bagaimana mungkin Beliau ada di Gunung Huashan sini? Tapi apabila Saudara Tian tidak percaya silakan masuk saja ke dalam untuk memeriksa langsung.”

Semakin Linghu Chong mempersilakan masuk ke gua, semakin Tian Boguang merasa itu jebakan. Penjahat itu pun berpikir, “Raut wajah bocah ini benar-benar menunjukkan sikap khawatir. Jangan-jangan ini perangkapnya. Aku harus berhati-hati. Cerita yang pernah aku dengar bahwa dalam satu malam saja terjadi kematian besar-besaran di Gunung Huashan. Entah apa sebabnya, yang jelas hampir semua sesepuh Perguruan Huashan meninggal dunia. Konon saat itu Feng Qingyang sedang berada jauh entah di mana sehingga lolos dari bencana. Sejak saat itu kabar tentang dirinya tidak diketahui lagi. Andaikan saat ini ia masih hidup dan berada di dalam gua itu, tentu usianya sudah tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Hm, tidak peduli sehebat apa ilmu pedangnya tetap saja tenagaku lebih kuat darinya. Persetan dengan orang itu. Untuk apa aku takut pada seorang tua bangka?”

Maka, Tian Boguang lantas berkata, “Saudara Linghu, kita sudah bertempur sehari semalam. Walaupun diteruskan tetap saja kau bukan tandinganku. Sekalipun Kakek Guru Feng-mu itu berkali-kali memberikan petunjuk padamu juga sia-sia belaka. Sebaiknya kau segera ikut denganku. Kita segera berangkat sekarang.”

Belum sempat Linghu Chong menjawab tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang pria menanggapi dengan nada dingin, “Jika aku benar-benar memberikan petunjuk beberapa jurus, mana mungkin kau bisa mengalahkannya?”

Linghu Chong terkejut bukan main. Begitu menoleh ke belakang ia pun melihat seorang pria tua berjanggut putih, berbadan tinggi kurus, dan berdiri di depan mulut gua depan. Laki-laki tua itu mengenakan pakaian berwarna hijau, dengan raut muka seram dan pucat pasi seperti mayat.

Linghu Chong terheran-heran. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Dari mana munculnya kakek ini? Apakah dia... apakah dia pria bercadar yang telah memainkan jurus Pedang Gadis Kumala di hadapanku malam itu? Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di belakangku?”

Sementara itu Tian Boguang bertanya dengan suara gemetar, “Apakah Anda... Sesepuh Feng?”

Orang tua itu menghela napas dan berkata, “Tidak kusangka di dunia ini masih ada orang yang mengenal namaku.”

Mendengar jawaban tersebut seketika dalam benak Linghu Chong terlintas beberapa pertanyaan. “Apakah orang ini adalah sesepuh Perguruan Huashan yang masih tersisa? Mengapa Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita soal ini? Ataukah dia hanya seseorang yang mengaku-aku gara-gara ucapan Tian Boguang tadi? Jika benar demikian, apakah aku tidak akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan apabila berlutut memberi hormat kepadanya? Tentu saja ini aneh. Begitu Tian Boguang menyebut nama ‘Feng Qingyang’, mengapa langsung muncul orang tua yang mengaku bernama ‘Feng Qingyang’? Sungguh tidak masuk akal,” demikian pikirnya.

Tiba-tiba terdengar kakek itu berkata, “Linghu Chong, dasar bocah tidak becus! Coba sini, akan kuajari kau mengalahkan keparat ini. Seharusnya kau gunakan jurus Cahaya Fajar Membuka Hari, disusul jurus Burung Feng Datang Menyembah, kemudian jurus Angsa Emas Membelah Angkasa, kemudian jurus....” begitulah seterusnya ia menyebutkan satu per satu sampai tiga puluh jurus.

Linghu Chong sudah hafal ketiga puluh jurus itu dengan baik. Namun ia heran mengapa orang tua itu menyebutkannya secara tidak berurutan sehingga rasanya sulit apabila digunakan dalam suatu rangkaian yang sambung menyambung.

Melihat Linghu Chong termangu-mangu, orang tua itu membentak, “Apa lagi yang kau tunggu? Dengan ilmu silatmu saat ini memang sulit untuk memainkan ketiga puluh jurus itu dalam waktu serentak. Tapi kalau kau tidak percaya, mengapa tidak kau coba dengan gerakan perlahan dulu?”

Suara kakek itu pelan namun dalam, serta wajahnya terlihat sangat dingin. Apa yang ia ucapkan seolah disertai perasaan tertekan namun terdengar berwibawa.

Linghu Chong menjawab dalam hati, “Baiklah, tiada salahnya jika aku mencoba.”

Pemuda itu lantas memainkan jurus-jurus sesuai urutan yang telah disebutkan si kakek tadi. Pertama ia memainkan jurus Cahaya Fajar Membuka Hari yang berakhir dengan mengacungkan pedang ke atas. Kemudian disusul dengan jurus Burung Feng Datang Menyembah yang harus menusuk dari bawah ke atas. Tentu saja kedua jurus tersebut tidak bisa disambungkan begitu saja.

Kakek tua itu menghela napas dan menggerutu, “Bodoh! Goblok! Hanya melulu mengikuti aturan tanpa bisa melakukan penyesuaian. Aku tidak heran karena kau ini murid Yue Buqun yang kaku dan tidak bisa melihat gelagat. Tidak bisa mengubah haluan sesuai keadaan. Suatu ilmu pedang harus dapat dimainkan secara bebas menurut keinginan. Terbang seperti awan, mengalir seperti air. Alami dan lembut; datang dan pergi dengan merdeka. Jurus pertama tadi memang berakhir dengan pedang mengacung ke atas. Lantas apa kau tidak bisa menariknya kembali sambil menusuk? Meskipun tidak ada teori ilmu pedang seperti itu, apa kemudian kau tidak bisa menciptakannya sendiri sesuai kebutuhan?”

Petunjuk ini seketika menyadarkan Linghu Chong bagaikan lonceng yang berbunyi dekat telinga. Tangannya lantas mengayunkan pedang tanpa keraguan untuk memainkan ketiga puluh jurus yang disebutkan si kakek tadi. Mula-mula ia memeragakan jurus Burung Feng Datang Menyembah. Belum tuntas jurus itu dimainkan, Linghu Chong melanjutkan dengan jurus Angsa Emas Membelah Angkasa. Jurus-jurus lainnya pun sambung menyambung diperagakan Linghu Chong tanpa cacad dan tenpa jeda. Dengan pikiran gembira tanpa beban ia memainkan semua jurus yang diperintahkan si orang tua dengan sempurna. Tepat pada jurus ketiga puluh yaitu jurus Denting Lonceng Dentum Tambur ia pun menghentikan permainan. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat gembira; semacam perasaan bahagia yang selama ini belum pernah ia rasakan.

“Boleh juga,” sahut si kakek memuji namun dengan wajah datar tanpa senyuman. “Hanya saja, gerakanmu masih kaku dan lambat. Bagiku, masih jauh dari bagus. Namun kalau untuk melayani bangsat keparat ini aku rasa sudah cukup. Nah, sekarang majulah!”

Meskipun hatinya belum sepenuhnya percaya kalau si orang tua adalah Feng Qingyang, namun Linghu Chong yakin kalau laki-laki tersebut adalah ahli pedang papan atas. Maka, ia pun membungkuk memberi hormat sambil memegang pedang dengan ujung menghadap ke bawah.

Setelah itu, ia pun berpaling ke arah Tian Boguang dan berkata, “Saudara Tian, mari kita mulai lagi!”

“Untuk apa?” tanya Tian Boguang. “Aku sudah hafal ketiga puluh jurusmu itu. Jika kita bertanding lagi, tentu aku akan menang dengan tidak terhormat.”

“Jika kau tidak ingin bertarung, baiklah! Silakan kau pergi saja dari sini!” ujar Linghu Chong. “Aku masih ingin meminta banyak petunjuk dari sesepuh ini. Aku tidak ada waktu mengobrol denganmu. Maaf, aku tidak bisa menemanimu lagi.”

“Enak saja ucapanmu itu!” bentak Tian Boguang. “Jika kau tidak mau pergi denganku, itu berarti nyawaku melayang sia-sia karenamu.” Setelah berkata demikian ia pun menoleh ke arah si kakek tua. “Sesepuh Feng, Tian Boguang ini hanya bocah kemarin sore. Sudah pasti aku tidak pantas beradu jurus denganmu. Bila kau sampai turun tangan membantu dia, itu sama artinya dengan merendahkan kedudukanmu sendiri.”

Kakek tua itu menghela napas sambil mengangukkan kepala. Tanpa menjawab ia lantas mendekati sebongkah batu besar dan duduk di atasnya.

Melihat itu Tian Boguang merasa lega dan membentak ke arah Linghu Chong, “Awas seranganku!”

Bersamaan dengan itu golok Tian Boguang berkelebat ke arah kepala lawannya. Linghu Chong pun mengelak ke samping dan membalas tusukan sesuai petunjuk si kakek. Begitu serangan pertamanya lancar, serangan lainnya pun membanjir tanpa halangan. Yang ia gunakan kadang-kadang sesuai petunjuk si kakek, namun kadang pula di luar jurus-jurus tersebut.

Setelah memahami intisari ilmu pedang yang bebas bergerak, alami, dan merdeka, seketika itu pula kehebatan Linghu Chong maju pesat. Dengan sengit ia bertanding melawan Tian Boguang sampai lebih dari seratus jurus dan masih belum jelas siapa yang menang. Sampai akhirnya pemuda itu kehabisan tenaga sehingga gerakannya mulai lamban.

Tian Boguang pun membentak dan mengayunkan goloknya dengan ganas. Menyadari serangan tersebut sulit untuk dihindari, Linghu Chong pun nekad mengacungkan pedang ke arah dada lawan. Secepat kilat Tian Boguang memutar goloknya ke samping dan menangkis pedang Linghu Chong. Tanpa memberi kesempatan Linghu Chong menarik pedangnya, Tian Boguang lalu membuang goloknya dan melompat maju sekuat tenaga. Kedua tangannya lantas mencekik leher Linghu Chong sekuat tenaga.

Linghu Chong merasa sesak napas. Pedangnya pun terlepas dari genggaman. Terdengar suara Tian Boguang mengancam, “Jika kau masih bersikeras menolak turun gunung bersamaku, biar kucekik saja sampai mampus.”

Tadinya Tian Boguang menganggap Linghu Chong sebagai sahabat yang patut dihormati. Namun setelah bertanding sengit melewati seratus jurus, penjahat itu kehilangan kesabarannya dan mencekik leher si pemuda dengan kedua tangannya.

Wajah Linghu Chong terlihat kebiru-biruan menahan sesak. Namun ia masih berusaha menggelengkan kepala untuk menjawab ancaman musuhnya itu.

Tian Boguang semakin gusar dan berteriak, “Aku tidak peduli seratus jurus atau dua ratus jurus. Yang penting aku menang dan kau harus ikut denganku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan batasan tiga puluh jurus! Aku tidak peduli dengan sesepuh itu pula!”

Linghu Chong ingin sekali tertawa mengolok-olok penjahat itu. Namun karena lehernya dicekik rapat membuat mulutnya hanya bisa menyeringai tanpa bersuara.

Tiba-tiba terdengar si orang tua berteriak, “Goblok! Sungguh goblok! Tangan tidak memegang pedang, berarti jari bisa menjadi pedang. Apakah jurus Giok Emas Memenuhi Ruangan hanya bisa dimainkan dengan pedang asli?”

Kata-kata si kakek benar-benar bagaikan sihir. Mendengar itu Linghu Chong langsung menggerakkan tangan kanannya dan memainkan jurus tersebut. Jari tengah dan jari telunjuk pemuda itu berpadu menotok titik Tanzhong di dada Tian Boguang. Akibatnya sungguh fatal. Tian Boguang pun roboh di tanah, dan melepaskan cengkeraman tangannya pada leher Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri termangu-mangu menyadari tusukan tangannya telah berhasil merobohkan Tian Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li yang memiliki nama besar di dunia persilatan. Perlahan ia meraba leher sendiri yang masih sakit akibat cekikan tadi, kemudian kedua matanya memandangi tubuh si penjahat cabul yang kejang-kejang dan terkulai di tanah. Setelah mengetahui kalau Tian Boguang kehilangan kesadarannya, pemuda itu merasa sangat gembira. Ia lantas berjalan ke arah si kakek tua dan kemudian menyembah beberapa kali sambil berseru, “Kakek Guru Feng, maafkan saya yang tadi telah bersikap kurang hormat!”

“Jadi, sekarang kau sudah tidak sangsi lagi bahwa aku ini bukan penipu?” tanya si kakek sambil tertawa hambar.

“Ampun, mana mungkin saya berani?” sahut Linghu Chong sambil menyembah lagi. “Saya sungguh beruntung bisa berjumpa dengan angkatan tua dari perguruan sendiri. Kejadian ini sungguh sangat menggembirakan bagi saya.”

“Kau boleh bangun,” ujar si kakek yang tidak lain bernama Feng Qingyang itu.

Setelah memberi hormat beberapa kali lagi Linghu Chong pun merangkak bangun. Dilihatnya wajah Feng Qingyang pucat pasi dan kurus kering. Segera ia bertanya, “Apakah Kakek Guru lapar? Di gua ada sedikit makanan. Mari kita ke dalam.”

“Tidak perlu,” jawab Feng Qingyang sambil menggeleng.

Sambil memandang sinar matahari yang menyilaukan, orang tua itu berkata lirih, “Sungguh hangat sinar mentari ini. Sudah puluhan tahun aku tidak berjemur di bawah sinar matahari.”

Dalam hati Linghu Chong merasa sangat heran, namun sedikit pun tidak berani bertanya.

Feng Qingyang kemudian menoleh ke arah Tian Boguang yang masih tergeletak tidak berdaya. Ia berkata, “Kau telah menotok titik Tanzhong orang itu. Mengingat tenaga dalamnya cukup hebat, aku yakin dalam dua jam lagi ia akan terbebas dari totokan dan kembali mengganggumu. Kau harus bisa mengalahkan dia lagi, dan sesudah itu paksa dia supaya menutup mulut tidak menyebarkan keberadaanku di sini.”

“Saya tadi sudah bertanding berkali-kali melawannya namun selalu kalah. Kemenangan yang baru saja terjadi hanya karena kebetulan dan tiba-tiba. Sampai saat ini saya masih belum yakin bisa memngalahkannya,” ujar Linghu Chong ragu-ragu.

Feng Qingyang menghela napas dan berkata lirih, “Kau adalah murid Yue Buqun. Seharusnya aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat kepadamu. Hari itu… hari itu… aku bersumpah untuk tidak akan bertarung lagi sepanjang sisa hidupku. Saat aku muncul dan memainkan jurus pedang di hadapanmu malam itu, aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala bukan ilmu sembarangan. Apabila dimainkan dengan cara yang benar, mana ada orang yang bisa sembarangan menyentil pedang hingga lepas dari pegangan? Nah, sekarang aku perlu meminjam tanganmu untuk memaksa bajingan Tian Boguang untuk bersumpah dan tutup mulut supaya tidak membocorkan keberadaanku. Sekarang, ikutlah denganku!”

Usai berkata demikian, orang tua itu lantas menyusuri lorong sempit menuju gua belakang. Linghu Chong mengikuti sambil berpikir ternyata Feng Qingyang juga mengetahui keberadaan gua rahasia tersebut.

Setelah sampai di dalam, Feng Qingyang menunjuk gambar-gambar di dinding sambil berkata, “Gambar-gambar jurus pedang Huashan ini tentu sudah kau amati semua dan kau hafalkan dengan baik. Namun begitu kau gunakan dalam pertarungan, semua menjadi tidak berguna.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Ternyata saat aku mempelajari jurus-jurus yang terukir di gua ini, Kakek Guru Feng mengintai dan mengamati perbuatanku. Walaupun berkali-kali aku keluar masuk gua ini namun tidak sedikit pun aku menyadari kehadiran Beliau; mungkin karena aku terlalu memusatkan perhatianku kepada gambar-gambar ini. Aih, andai saja Kakek Guru Feng seorang musuh yang berniat jahat… hm, bagaimana mungkin aku bisa menghindar dari maut?”

Terdengar Feng Qingyang berkata, “Si bocah Yue Buqun benar-benar tolol. Tidak becus menjadi guru. Padahal, sebenarnya bakatmu sangat cemerlang. Tapi karena didikannya, kau jadi sebodoh kerbau.”

Mendengar ucapan Feng Qingyang yang merendahkan gurunya itu Linghu Chong merasa sakit hati. Ia pun menukas dengan nada tegas, “Kakek Guru, saya tidak jadi minta diajari. Biar saya keluar saja mengalahkan Tian Boguang dan memaksanya tutup mulut tentang keberadaan Kakek Guru di sini. Habis perkara.”

Feng Qingyang terperanjat namun segera menyadari sebab-musababnya. Ia pun bertanya, “Bagaimana kalau dia menolak bersumpah? Apakah kau akan membunuhnya?”

Linghu Chong termangu-mangu dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Selama ini ia selalu kalah dalam menghadapi Tian Boguang, namun lawannya itu tidak pernah menurunkan tangan untuk membunuhnya. Sebaliknya, bagaimana mungkin dirinya begitu keji membunuh Tian Boguang hanya karena menang satu kali saja? Demikian pikir Linghu Chong.

“Apakah kau tersinggung karena aku mengolok-olok gurumu?” lanjut Feng Qingyang. “Baiklah kalau begitu aku tidak akan menyebut namanya lagi. Dia sendiri memanggil ‘paman’ kepadaku. Maka, cukup pantas rasanya kalau aku memanggil ‘bocah’ kepadanya, bagaimana?”

“Apabila Kakek Guru tidak lagi merendahkan guruku yang mulia, tentu saya akan mengikuti semua petunjuk dan mendengarkan dengan seksama,” jawab Linghu Chong.

“Hei, ini sepertinya aku yang memohon kepadamu supaya belajar dariku, begitu?” ujar Feng Qingyang tersenyum geli.

“Saya tidak berani berpikir demikian. Mohon Kakek Guru sudi memaafkan,” sahut Linghu Chong.

Feng Qingyang kemudian menunjuk gambar-gambar jurus pedang Huashan di dinding gua, kemudian mulai menjelaskan, “Gambar-gambar yang terukir ini memang jurus andalan perguruan kita. Beberapa di antaranya bahkan ada yang tidak terwariskan sehingga punah begitu saja. Bahkan si Yue… Yue.... hm, gurumu juga tidak mengetahuinya. Namun, meskipun jurus-jurus ini sangat bagus, tapi kalau dipisah-pisah cara memakainya tetap saja bisa dipecahkan musuh....”

Mendengar sampai di sini membuat hati Linghu Chong terasa berbunga-bunga. Ia merasa baru sekarang mengetahui intisari ilmu pedang yang sudah lama dipelajarinya. Wajahnya tampak memancarkan kebahagiaan luar biasa.

“Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau sudah paham?” tanya Feng Qingyang.

“Jadi, menurut Kakek Guru jika jurus demi jurus itu dimainkan menjadi suatu rangkaian, maka musuh tidak mampu memecahkannya?” tanya Linghu Chong.

Feng Qingyang manggut-manggut dengan perasaan gembira. “Sudah kubilang kau ini sebenarnya sangat cerdas. Daya tangkapmu tinggi,” ujarnya sambil kemudian menunjuk salah satu gambar orang bersenjata toya yang terukir di dinding gua itu. “Para tetua aliran sesat ini....”

“Apa? Mereka tetua aliran sesat?” sahut Linghu Chong mempertegas.

“Apa kau belum tahu?” tanya Feng Qingyang sambil kemudian menunjuk beberapa kerangka yang berserakan di lantai gua. “Semua kerangka yang terkurung di sini dulunya adalah sepuluh orang anggota aliran sesat. Bahkan, mereka adalah tetua aliran sesat.”

“Mengapa... mengapa mereka bisa mati di sini?” Linghu Chong balik bertanya dengan heran.

“Dua jam lagi Tian Boguang akan terbebas dari totokan. Silakan kalau kau ingin menghabiskan waktu hanya untuk mengungkit-ungkit masa lalu. Apa kau tidak ingin belajar silat dariku?” sahut Feng Qingyang.

“Benar, benar!” jawab Linghu Chong. “Saya menunggu petunjuk Kakek Guru.”

Dengan menghela napas Feng Qingyang berkata, “Para tetua aliran sesat ini sebenarnya sangat cerdas dan pandai. Mereka berhasil memecahkan semua ilmu silat andalan Serikat Pedang Lima Gunung. Sayang sekali, mereka semua harus mati terperangkap di sini.”

Meskipun bibirnya tersenyum namun hati Linghu Chong berkata, “Tadi aku tidak boleh mengungkit-ungkit kematian mereka, tapi sekarang justru Kakek Guru yang bercerita panjang lebar.”

Feng Qingyang melanjutkan cerita, ”Sebenarnya ilmu silat bukan melulu tentang jurus, tapi juga meliputi kecerdikan, rencana, tipu daya, dan jebakan. Tidak peduli apakah kau pandai menghancurkan segala jurus, tapi kalau bertemu seseorang yang pandai membuat tipu daya, maka semuanya akan sia-sia…” Bercerita sampai di sini, Feng Qingyang lantas mengangkat kepala seolah membayangkan kenangan masa lalu.

Mendengar nada bicara dan melihat raut muka Feng Qingyang membuat Linghu Chong tidak berani menyela dan hanya bertanya di dalam hati, “Mungkinkah saat itu para tokoh Serikat Pedang Lima Gunung sudah merasa kalah apabila bertarung secara jantan, sehingga mereka menggunakan jebakan dan tipu muslihat? Kakek Guru Feng adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung yang mungkin juga tidak keberatan dengan cara-cara tersebut. Bagiku, untuk menghadapi musuh-musuh kuat dari aliran sesat, menggunakan cara-cara licik adalah hal yang bisa dimaklumi.”

Feng Qingyang melanjutkan cerita, “Jika kita menilai kehebatan dan penguasaan ilmu silat seseorang berdasarkan pemahaman mereka tentang teori, maka para tetua aliran sesat ini tidak seharusnya masuk ke dalam jajaran tokoh silat papan atas. Mereka tidak paham kalau jurus adalah ‘mati’, sedangkan orang yang memainkan jurus adalah ‘hidup’. Tidak peduli betapa hebatnya gerakan untuk mematahkan jurus yang mati, namun itu semua akan sia-sia jika bertemu lawan yang menyerang dengan hidup. Jika bertemu lawan yang demikian, secepat mungkin mereka akan terpuruk dan bertekuk lutut memohon ampun. Maka, dalam hal ini kau harus selalu mengingat kata ‘hidup’. Jika kau berlatih jurus, kau harus melatihnya dengan cara yang hidup; jika kau memainkan jurus, maka kau harus memainkannya dengan cara yang hidup. Jika kau melakukannya dengan cara kaku dan terikat aturan tata tertib tanpa memadukannya dengan keahlianmu yang hidup, maka tak peduli kau menguasai ratusan atau ribuan jurus yang ampuh akan tetap tidak berguna jika kau bertemu dengan lawan tangguh yang sesungguhnya. Setiap jurusmu akan dengan mudah dipatahkan olehnya.

Mendengar penjelasan tersebut, Linghu Chong merasakan kebahagiaan yang teramat sangat. Pada dasarnya ia memang bersifat terbuka dengan pemikiran yang merdeka. Setiap kata-kata Feng Qingyang terasa menggetarkan relung hatinya. Ia hanya bisa berkata, “Aih, benar sekali! Harus mempelajarinya dengan hidup dan menggunakannya secara hidup.”

Feng Qingyang kembali berkata, “Di dalam Serikat Pedang Lima Gunung banyak terdapat orang-orang tolol yang mengira asalkan bisa belajar sebaik-baiknya dari petunjuk guru maka dengan sendirinya mereka bisa menjadi jago silat papan atas.” Sampai di sini orang tua itu menghela napas kemudian melanjutkan, “Padahal, apa gunanya bersyair tanpa memahami makna syair itu sendiri? Ada pepatah berbunyi, ‘mampu menghafalkan tiga ribu judul syair, tentu bisa mencipta satu syair’. Memang benar, setelah menghafal beberapa syair dengan lancar, seseorang bisa menulis satu atau dua judul syair pasaran. Tapi kalau tidak timbul dari jiwa seninya yang hidup, apa bisa menjadi penyair sejati?”

Sebenarnya ucapan Feng Qingyang tersebut juga untuk menyindir Yue Buqun sebagai orang “tolol”, namun karena uraiannya disertai alasan-alasan yang masuk akal, serta tidak langsung menyebut nama, membuat Linghu Chong tidak menyatakan keberatan.

“Belajar dan menggunakannya secara hidup hanya langkah pertama saja,” lanjut Feng Qingyang. “Harus dapat menyerang tanpa jurus itulah tingkatan yang paling sempurna. Tadi kau bilang jurus demi jurus dilancarkan menjadi suatu rangkaian sehingga musuh tak mampu melawan. Ucapanmu itu hanya benar setengahnya. Seharusnya, bukan cuma sekaligus dilancarkan menjadi suatu rangkaian serangan, tapi pada hakikatnya harus tidak jelas jurus apa yang dilancarkan. Betapapun hebatnya kau merangkai jurus menjadi satu kesatuan, tetap saja ada peluang bagi musuhmu untuk mematahkannya. Sebaliknya, kalau kita menyerang tanpa jurus yang jelas, maka dengan sendirinya musuh akan kesulitan dan tidak bisa mematahkan serangan kita.”

Linghu Chong berdebar-debar mendengar ajaran itu. Sampai-sampai ia menggumam sendiri, “Menyerang tanpa jurus? Bagaimana cara memecahkannya? Menyerang tanpa jurus? Bagaimana cara memecahkannya?” Sampai di sini ia merasa seolah-olah menemukan dunia baru terhampar luas di depan matanya.

Feng Qingyang melanjutkan, “Jika kau ingin memotong daging, maka terlebih dulu harus ada daging; jika kau ingin memotong kayu bakar, maka terlebih dulu harus ada kayu bakar; jika musuhmu ingin mematahkan jurusmu, maka kau harus ada jurus untuk dipatahkan. Misalnya ada seorang yang tidak kenal ilmu silat sama sekali dan dia menyerang secara serabutan. Bagaimanapun pandainya dirimu juga tidak akan tahu ke arah mana orang itu akan menyerang, apalagi bisa mematahkan serangannya. Seorang ahli silat papan atas sekalipun juga merasa kesulitan kalau harus mematahkan serangan yang serabutan. Akan tetapi, orang seperti itu masih mudah untuk ditaklukkan, misalnya, ia kurang mampu menguasai diri. Beda halnya dengan serangan tanpa jurus yang dilancarkan oleh seorang ahli silat. Tidak ada jurus yang bisa dipatahkan, juga tidak mudah orang itu dirobohkan.”

Usai berkata demikian Feng Qingyang memungut sebatang tulang paha yang berserakan di atas tanah dan kemudian mengacungkannya ke arah Linghu Chong sambil bertanya, “Ayo, bagaimana caramu mematahkan seranganku ini?”

Linghu Chong terperanjat. Selang agak lama barulah ia menjawab, “Ini bukan jurus sehingga tidak bisa dipecahkan.”

“Betul sekali,” ujar Feng Qingyang tersenyum. “Apapun senjata yang digunakan musuh, ataupun hanya memakai tangan kosong dan tendangan belaka, tetap saja ada jurus yang mendasarinya. Asalkan kau mengetahui arah serangannya, maka sudah pasti kau bisa mematahkannya, serta merobohkan dia.”

“Tapi jika musuh juga tidak memakai jurus, lantas bagaimana?” tanya Linghu Chong.

“Jika demikian, tentu dia seorang ahli silat kelas satu. Kalau seperti ini tinggal menunggu hasil akhirnya. Mungkin dia lebih mahir daripadamu, atau kau yang lebih pandai darinya,” jawab Feng Qingyang sambil menghela napas. “Tapi, di zaman sekarang sudah sulit menemukan tokoh-tokoh hebat seperti itu. Mungkin suatu saat nanti kau bisa kebetulan bertemu dengan mereka. Sungguh, kau akan termasuk orang yang sangat beruntung. Sepanjang hidupku, aku hanya bisa bertemu tiga orang yang bisa seperti itu.”

“Tiga orang? Siapa sajakah mereka itu?” tanya Linghu Chong.

Feng Qingyang memandangnya sejenak, kemudian tersenyum dan menjawab, “Sungguh tidak kusangka di antara murid-murid Yue Buqun ternyata ada yang suka mengurusi masalah remeh, tapi tidak mau belajar secara tekun. Hm, bagus, bagus!”

Wajah Linghu Chong bersemu merah dan segera ia memberi hormat sambil berkata, “Maaf, Kakek Guru! Saya mengaku salah.”

“Tidak, kau tidak salah,” seru Feng Qingyang sambil tertawa. “Kau memiliki semangat yang hidup, cocok sekali dengan seleraku. Hanya saja, saat ini waktumu cuma sedikit. Sekarang kau harus menggabungkan tiga atau empat puluh macam jurus pedang Huashan yang paling hebat. Kemudian bayangkan bagaimana cara memainkannya secara sekaligus dalam satu rangkaian, tapi setelah itu lupakanlah semuanya. Ya, lupakanlah semuanya tanpa kecuali. Jangan ada satu jurus pun yang tersisa di dalam benakmu! Nah, sebentar lagi kalau Tian Boguang sudah sadar dan melabrakmu, maka kau bisa menggunakan Ilmu Pedang Huashan Tanpa Jurus tersebut untuk menghadapi penjahat itu.”

“Baik!” jawab Linghu Chong dengan perasaan terkejut bercampur gembira. Ia kemudian mengamati gambar-gambar di dinding gua dengan seksama. Sebenarnya selama beberapa bulan terakhir ini ia sudah mengamati semua gambar itu dengan baik, sehingga sekarang hanya tinggal merangkainya menjadi satu kesatuan yang utuh.

“Segala sesuatu harus berjalan apa adanya,” ujar Feng Qingyang sambil menunjuk. “Lakukan apa yang bisa dilakukan, hentikan apa yang harus dihentikan. Jika jurus yang satu dengan lainnya sukar dirangkaikan, maka jangan sekali-kali dipaksakan!”

Linghu Chong mengangguk. Petunjuk tersebut semakin memudahkan dirinya untuk merangkai jurus-jurus yang ia pilih. Tidak lama kemudian sebanyak tiga sampai empat puluh jurus pedang Huashan sudah dapat dirangkainya menjadi satu. Namun bagaimana cara melebur jurus-jurus tersebut menjadi satu kesatuan sehingga tanpa celah sedikit pun masih merupakan hal yang sulit.

Maka, pemuda itu lantas mengayunkan pedangnya menebas ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, tanpa menghiraukan apakah gerakannya itu mirip dengan gambar di gua atau tidak. Ia mengerahkan serangan sesuka hatinya. Kadang apabila serangannya itu menjadi sangat lancar membuat hatinya merasa senang.

Selama belasan tahun berguru di Huashan ia selalu berlatih dengan tekun dan terarah, serta tidak boleh gegabah sedikit pun. Apalagi Yue Buqun adalah guru yang sangat disiplin dan ketat. Apabila ada murid yang berlatih suatu jurus dan ada sedikit saja gerakan tangan atau kaki yang kurang pas, maka ia buru-buru membetulkannya. Bagi Yue Buqun, siapapun yang berlatih gerakan jurus, harus melakukannya dengan sempurna tanpa kesalahan sedikit pun. Linghu Chong selaku murid nomor satu senantiasa ingin menjadi yang terbaik di antara sesama murid Huashan. Demi mendapat pujian dari sang guru dan ibu-guru, tidak jarang ia berlatih keras dengan penuh daya upaya.

Namun kali ini yang ia alami adalah kebalikan dari yang sudah-sudah. Feng Qingyang justru menyuruhnya untuk bermain pedang sesuka hati. Semakin bebas, semakin baik. Ia pun terus-menerus mengayunkan pedangnya dengan penuh kebebasan. Perasaannya begitu senang tidak terlukiskan, bahkan lebih gembira dibanding saat meneguk arak berusia setengah abad.

Saat pikirannya mabuk kepayang karena pengalaman baru tersebut, tiba-tiba terdengar suara Tian Boguang memanggil dari luar gua, “Saudara Linghu, saatnya keluar untuk bertanding kembali!”

Linghu Chong tersadar dari alam khayal. Ia pun menghentikan permainan pedangnya dan bertanya, “Kakek Guru, apakah kali ini aku sudah mampu menahan serangan golok kilatnya dengan ayunan pedangku yang tanpa arah ini?”

“Jika kau ingin menahan serangan goloknya, tentu tidak bisa. Tapi untuk apa kau ingin menahan serangannya?” ujar Feng Qingyang balik bertanya.

“Benar sekali!” seru Linghu Chong gembira. “Dia ingin sekali mengajakku turun gunung sehingga sedikit pun ia tidak berani melukaiku, apalagi membunuhku. Kali ini aku tidak akan peduli lagi pada ilmu goloknya. Yang penting aku harus terus menyerang dan menyerang tanpa henti.”

Pemuda itu lantas keluar gua dengan pedang terhunus. Tampak Tian Boguang sudah berdiri dengan golok di tangan. Penjahat itu menegur, “Saudara Linghu, kau sudah mendapat petunjuk dari Sesepuh Feng, tentu sekarang ilmu pedangmu maju pesat. Aku tadi roboh karena lengah sehingga tertotok olehmu. Kali ini aku lebih penasaran dan pantang menyerah. Mari kita bertanding lagi!”

“Baik!” sahut Linghu Chong sambil menusukkan pedangnya secara miring dan melenceng. Pedangnya itu tampak bergoyang-goyang, sedikit pun tidak tampak bertenaga.

Namun demikian, serangan ini justru membuat Tian Boguang kebingungan. “Hei, jurus macam apa pula ini?”

Melihat pedang Linghu Chong semakin dekat, Tian Boguang buru-buru berniat menangkis. Namun tiba-tiba Linghu Chong menarik pedangnya dan menusuk ke tempat kosong. Kemudian pedang itu ditarik mundur seolah hendak menusuk dada sendiri, tapi setelah itu pergelangan tangannya memutar sehingga gagang pedang tersebut menuju ke tempat kosong pula di samping badan sebelah kanan.

Melihat itu Tian Boguang bertambah heran. Dengan gerakan lembut ia mencoba mengayunkan goloknya. Namun, Linghu Chong sama sekali tidak menghindar, justru sebaliknya, ia menusukkan pedang ke arah perut lawannya itu.

“Aneh sekali!” seru Tian Boguang sambil membatalkan serangannya dan menangkis pedang itu ke bawah.

Setelah melewati beberapa jurus, Linghu Chong mulai memainkan jurus-jurus pedang Huashan yang tergambar di dinding. Semuanya adalah jurus menyerang, tanpa gerakan bertahan sedikit pun. Serangan yang sambung-menyambung menjadi satu ini mau tidak mau membuat Tian Boguang kalang kabut menghadapinya.

Tian Boguang pun berkata, “Jika kau tidak peduli dengan golokku lagi, maka jangan salahkan aku jika aku bersungguh-sungguh memotong lenganmu!”

“Tidak semudah itu!” jawab Linghu Chong sambil tertawa sambil melancarkan tiga tusukan, yang kesemuanya terlihat aneh dan janggal. Berkat ketajaman mata dan kecepatan tangannya, Tian Boguang mampu menangkis ketiga serangan tersebut. Namun begitu mencoba serangan balasan, tak disangka-sangka Linghu Chong justru melemparkan pedangnya ke udara membuat Tian Boguang ikut menengadah ke atas. Pada saat itulah tahu-tahu hidungnya terkena pukulan Linghu Chong hingga mengeluarkan darah. Selanjutnya, Linghu Chong pun menggunakan jari tangannya sebagai pedang dan secepat kilat menotok titik Tanzhong penjahat itu seperti tadi. Tanpa ampun, tubuh Tian Boguang pun jatuh terkulai di tanah dengan wajah penuh rasa heran bercampur marah.

Linghu Chong berbalik ke arah gua dan mendengar suara Feng Qingyang memanggil, “Kau punya kesempatan tiga jam untuk berlatih kembali. Dia sudah roboh untuk kedua kalinya dan keadaannya bertambah payah. Untuk sementara ini ia tidak mampu bangun kembali. Namun karena semakin marah, bisa jadi saat bangun nanti dia akan melancarkan serangan yang lebih berbahaya. Kau harus berhati-hati. Nah, sekarang coba kau latih ilmu pedang Hengshan!”

Setelah mendapatkan beberapa petunjuk dan nasihat dari Feng Qingyang, Linghu Chong kini mampu merangkai beberapa jurus menjadi kesatuan tanpa jurus. Artinya, ia menyerang dengan intisari jurus tanpa terikat pada susunan gerakan jurus tersebut. Ilmu pedang Hengshan yang unik dan susah ditebak gerak perubahannya, kini di tangan Linghu Chong menjadi lebih sulit lagi untuk ditemukan celahnya.

Setelah totokannya terbuka, Tian Boguang kembali bertarung melawan Linghu Chong. Setelah melewati tujuh atau delapan puluh jurus, Linghu Chong kembali berhasil membuat penjahat itu roboh terkapar. Saat itu matahari sudah condong ke barat. Linghu Chong pun menarik tubuh Tian Boguang dan menyembunyikannya di balik batu besar.

Tak lama kemudian Lu Dayou pun datang mengantar makanan. Saat itu Feng Qingyang sudah bersembunyi di gua belakang.

Linghu Chong segera makan dengan lahap, sambil berkata, “Adik Keenam, nafsu makanku sekarang sudah pulih kembali. Besok kau bisa membawakan aku makanan lebih banyak.”

Lu Dayou sendiri bisa melihat dengan jelas raut wajah Linghu Chong yang berseri-seri dan tampak bercahaya, sepertinya memang jauh lebih sehat dibanding sebelumnya. Ia juga melihat pakaian yang dikenakan sang kakak tampak basah oleh keringat pertanda Linghu Chong baru saja berlatih pedang dengan sangat giat. Tak terlukiskan betapa gembira perasaan hati Lu Dayou menyaksikan hal itu.

“Bagus sekali!” katanya dengan nada gembira. “Besok akan kubawakan keranjang penuh dengan makanan.”

Setelah Lu Dayou pergi, Linghu Chong membuka totokan pada tubuh Tian Boguang dan memanggil Feng Qingyang keluar untuk mengajak mereka makan bersama. Feng Qingyang hanya makan setengah mangkuk, sedangkan Tian Boguang yang masih kesal makan tanpa selera. Ia lantas membanting mangkuk di tangannya sampai pecah dan isinya berserakan di tanah.

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak dan bertanya, “Untuk apa Saudara Tian marah-marah kepada sebuah mangkuk nasi?”

“Aku marah kepadamu, keparat!” bentak Tian Boguang. “Gara-gara aku tidak ingin membunuhmu, maka kau bisa seenaknya menyerangku dengan gencar tanpa gerakan bertahan sedikit pun. Huh, tentu saja kau yang diuntungkan! Jika bukan karena aku menaruh kasihan kepadamu, tentu kepalamu sudah putus kupenggal dari tadi. Huh, ini semua gara-gara biksuni… biksuni…”

Dalam hati ingin sekali Tian Boguang memaki Biksuni Yilin. Namun entah mengapa ia menelan ucapannya itu dan segera berdiri sambil menghunus golok.

“Ayo, Linghu Chong, kita bertanding lagi!” serunya kemudian

“Baik!” jawab Linghu Chong sambil berdiri pula dengan pedang di tangan.

Dengan menggunakan siasat yang sama, Linghu Chong menyerang Tian Boguang tanpa memedulikan tebasan golok lawan. Dengan gerakan sesuka hati namun cerdas, ia menusukkan pedang ke arah lawan. Namun kali ini Tian Boguang juga menyerang dengan lebih ganas. Setelah dua puluh jurus terlewati, ia mengayunkan goloknya sebanyak dua kali yang masing-masing melukai lengan kiri dan paha Linghu Chong. Meskipun hanya luka ringan, namun ini menunjukkan permainan golok Tian Boguang sudah tidak mengenal belas kasihan lagi. Sebaliknya, akibat menahan rasa sakit tersebut permainan Linghu Chong menjadi kacau balau. Beberapa jurus kemudian sebuah tendangan Tian Boguang berhasil membuatnya roboh di tanah.

“Kau masih ingin bertarung lagi?” bentak Tian Boguang sambil meletakkan goloknya di leher Linghu Chong. “Setiap kali bertanding lagi, maka kau akan kuhadiahi dengan dua luka goresan. Memang aku tidak ingin membunuhmu. Tapi itu sudah cukup membuatmu jera dan kesakitan.”

“Sudah pasti aku ingin bertanding lagi,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Meskipun aku kalah darimu, tidak mungkin Kakek Guru Feng berpeluk tangan begitu saja dan membiarkanmu berbuat seenaknya.”

“Sesepuh Feng adalah tokoh angkatan tua. Tidak mungkin Beliau sudi bertarung denganku,” ujar Tian Boguang sambil menyarungkan goloknya. Diam-diam ia merasa gentar juga kalau-kalau Feng Qingyang sampai turun tangan. Meskipun terlihat sudah sangat tua, namun Feng Qingyang bukan manusia pikun dan jompo. Ia memiliki sorot mata yang tajam, membuat Tian Boguang yakin bahwa orang tua itu memiliki tenaga dalam sangat tinggi, belum lagi ditambah dengan ilmu pedangnya yang sempurna bagaikan dewa. Meskipun jika terjadi pertarungan nanti Feng Qingyang tidak akan membunuhnya, namun jika dirinya harus dipaksa turun meninggalkan puncak Gunung Huashan tanpa hasil juga sama buruknya dengan kematian.

Linghu Chong lantas merobek kain bajunya sendiri untuk membalut kedua lukanya itu. Ia kemudian masuk ke dalam gua dengan wajah kecewa. “Kakek Guru, dia sudah mengganti siasat. Sekarang dia menyerang dengan sungguh-sungguh. Bila lengan kanan saya sampai terluka, tentu saya tidak bisa memegang senjata lagi. Rasanya masih mustahil untuk bisa mengalahkan dia.”

Feng Qingyang menjawab, “Untungnya, sekarang sudah malam. Lebih baik kau berjanji untuk melanjutkan pertandingan esok pagi. Malam ini kau harus berlatih dengan giat. Akan kuajarkan tiga jurus padamu.”

“Hanya tiga jurus?” sahut Linghu Chong heran. “Mengapa harus semalam suntuk?”

Feng Qingyang menjawab, “Aku lihat kau ini cukup pintar. Entah benar-benar pintar atau hanya sok pintar. Jika kau benar-benar pintar, maka tiga jurus ini tentu bisa kau kuasai dalam waktu semalam. Tapi jika bakatmu kurang baik, maka… esok pagi tidak perlu susah payah berkelahi dengan dia. Kau mengaku kalah saja dan ikut pergi bersamanya.”

Mendengar itu, Linghu Chong yakin kalau tiga jurus yang dijanjikan Feng Qingyang tentu jurus yang sangat istimewa dan sulit untuk dipelajari. Dengan tegas ia pun menjawab, “Kakek Guru, seandainya saya gagal menguasai ketiga jurus tersebut dalam semalam, maka lebih baik saya mati dibunuh Tian Boguang daripada menyerah kalah dan ikut pergi bersamanya.”

“Bagus sekali!” jawab Feng Qingyang sambil tersenyum. Orang tua itu menengadah sambil memikirkan sesuatu. Sejenak kemudian ia berkata, “Mempelajari tiga jurus dalam semalam tentu rasanya seperti dipaksakan. Baiklah, kalau begitu jurus kedua ditunda saja. Kau pelajari saja jurus pertama dan ketiga. Tapi… tapi… dalam jurus ketiga banyak terdapat variasi atau gerak perubahan yang berasal dari jurus kedua. Kalau begitu kita kesampingkan saja bagian-bagian yang ada hubungannya dengan jurus kedua. Kita coba lain waktu.”

Orang tua itu terlihat berbicara sendiri, merenung, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Hal ini membuat Linghu Chong semakin tertarik dan penasaran. Ia membayangkan suatu ilmu semakin sulit dipelajari tentu semakin besar nilai manfaatnya.

Kemudian terdengar Feng Qingyang menggumam lagi, “Jurus pertama mengandung tiga ratus enam puluh gerak perubahan. Jika kau lupa satu gerakan saja pada jurus ini, maka akan berakibat jurus ketiga sukar dimainkan dengan tepat. Wah, ini rasanya sulit.”

Linghu Chong semakin terheran-heran karena baru satu jurus saja sudah mengandung tiga ratus enam puluh gerak perubahan.

Feng Qingyang kemudian berhitung dengan menggunakan jari, “Gumei menuju Wuwang; Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju Dayou; Jia berubah menjadi Bing; Bing berubah menjadi Geng; Geng berubah menjadi Kui. Zi menyambung dengan Chou; Chen menyambung dengan Si; Wu menyambung dengan Wei. Angin ke petir adalah satu perubahan; gunung ke danau adalah satu perubahan; air ke api adalah satu perubahan. Qian dan Kun saling mengaktifkan; Zhen dan Dui saling mengaktifkan; Li dan Si saling mengaktifkan. Tiga berkembang menjadi lima; lima berkembang menjadi sembilan….”

Semakin Feng Qingyang menghitung, wajahnya terlihat semakin tegang. Akhirnya sambil menghela napas ia pun berkata, “Chong’er, dulu aku membutuhkan waktu tiga bulan untuk berlatih jurus pertama ini. Memaksamu belajar jurus pertama dan jurus ketiga dalam waktu semalam rasanya seperti lelucon. Coba pikirkan ini, ‘Gumei menuju Wuwang.’” Sampai di sini ia kemudian terdiam karena larut dalam pikiran. Selang agak lama barulah ia berkata, “Sampai di mana tadi?”

Linghu Chong menjawab, “Kakek Guru tadi berkata Gumei menuju Wuwang, maka lanjutannya adalah Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju Dayou.”

“Hei, ternyata kau punya ingatan yang tajam!” seru Feng Qingyang sambil mengernyitkan dahi. “Bagaimana selanjutnya?”

“Kakek Guru tadi berkata, ‘Jia berubah menjadi Bing; Bing berubah menjadi Geng; Geng berubah menjadi Kui.…” Linghu Chong mampu menyebutkan hampir semua yang disampaikan Feng Qingyang tadi, meskipun ada beberapa di bagian akhir yang luput dari ingatannya.

Feng Qingyang bertanya dengan nada heran, “Apakah sebelum ini kau pernah belajar rumus umum ilmu Sembilan Pedang Dugu?”

Linghu Chong menjawab, “Tidak pernah sama sekali. Bahkan baru kali ini saya mendengar ada ilmu Sembilan Pedang Dugu.”

“Jika tidak pernah mempelajari, bagaimana kau mampu menyebutkan teorinya?” desak Feng Qingyang.

Linghu Chong menjawab, “Saya hanya menirukan apa yang diucapkan Kakek Guru tadi.”

“Sepertinya ini akan berhasil!” seru Feng Qingyang dengan perasaan sangat gembira. “Meskipun kau tidak mungkin mampu mempelajari kedua jurus ini dalam waktu semalam, tapi setidaknya kau bisa memaksa diri untuk mengingatnya saja. Jurus pertama cukup diingat, sedangkan jurus ketiga cukup dipelajari setengahnya saja. Coba dengar baik-baik, Guimei menuju Wuwang; Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju Dayou....”

Orang tua itu pun menguraikan satu per satu rumus ilmu yang diajarkannya, dan setelah melewati lebih dari tiga ratus kata barulah ia berhenti, lalu berkata, “Sekarang coba kau ulangi perkataanku.”

Linghu Chong sejak tadi memperhatikan uraian Feng Qingyang dengan seksama. Kini, begitu ia diminta mengulangi, maka ia pun menyampaikan dengan lancar awal sampai akhir, dan tercatat ada belasan kata yang salah. Setelah Feng Qingyang membetulkan, Linghu Chong pun mengulangi lagi dari awal sampai akhir, dan kini ada tujuh kata yang salah. Setelah mengulangi untuk yang ketiga kalinya, barulah Linghu Chong dapat menghafalkan rumus umum tersebut secara sempurna.

“Bagus sekali! Bagus sekali!” seru Feng Qingyang gembira. Ia lantas mengajarkan tiga ratus kata baru sebagai kelanjutan yang tadi dan Linghu Chong pun menghafalkannya. Setelah dinilai hafal dengan sempurna, Feng Qingyang pun mengajarkan tiga ratus kata lanjutan sesudah itu, dan Linghu Chong pun menghafalkannya dengan baik.

Rumus umum ilmu Sembilan Pedang Dugu memiliki lebih dari tiga ribu kata. Selain itu, isi dari rumusan tersebut tidak benar-benar saling terhubung secara nalar. Itu sebabnya, meskipun Linghu Chong memiliki daya ingat yang luar biasa, ia tetap hanya mampu mengingat satu bagian apabila lupa dengan bagian yang lainnya. Maka, setidaknya butuh waktu lebih dari dua jam serta Feng Qingyang juga sering kali mengingatkan, sehingga pada akhirnya pemuda itu mampu menghafal semuanya secara sempurna tanpa kesalahan. Setelah itu, Feng Qingyang menguji hafalan Linghu Chong dengan menyuruhnya membacakan semua isi rumusan tersebut mulai awal sampai akhir sebanyak tiga kali pengulangan.

Feng Qingyang kemudian berkata, “Rumus umum yang baru saja kau pelajari tadi adalah kunci dasar dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Meskipun sekarang kau sudah hafal, tapi karena tujuannya hanya sekadar asal ingat tanpa menyelami maksudnya, maka kelak pasti mudah terlupakan. Maka itu, untuk selanjutnya setiap pagi dan sore kau harus mengulangi hafalanmu sampai benar-benar ingat di luar kepala.”

“Baik!” jawab Linghu Chong mengiakan.

Feng Qingyang melanjutkan, “Rumus umum tersebut adalah jurus pertama dalam Sembilan Pedang Dugu yang memiliki banyak variasi dan perubahan dalam penerapannya. Kau sudah menghafalkannya dan untuk saat ini kau tidak perlu bersusah payah untuk mendalaminya. Jurus kedua adalah Cara Memecahkan Ilmu Pedang. Jurus kedua ini bisa kau gunakan untuk mematahkan segala jenis jurus pedang dari berbagai perguruan dan perkumpulan di dunia persilatan. Namun jurus kedua ini bisa kau tunda lain waktu untuk mempelajarinya. Nah, jurus ketiga yaitu Cara Memecahkan Ilmu Golok, digunakan untuk melumpuhkan segala jenis senjata golok, baik itu golok besar, golok tunggal, golok kembar, golok bertangkai, golok pemenggal kepala, golok pemotong kuda, dan sebagainya. Ilmu Golok Kilat yang digunakan Tian Boguang termasuk jenis golok tunggal. Maka itu, marilah kita pelajari jurus ketiga tersebut malam ini juga.”

Mendengar uraian Feng Qingyang bahwa jurus kedua bisa mematahkan segala jenis ilmu pedang dari berbagai perguruan dan perkumpulan, serta jurus ketiga yang mampu mematahkan segala jenis ilmu golok di dunia persilatan membuat perasaan Linghu Chong terkejut bercampur gembira. Ia pun berkata dengan penuh kekaguman, “Kesembilan jurus ciptaan Pendekar Dugu sedemikian hebatnya. Sungguh baru kali ini saya mendengarnya.”

Feng Qingyang menyahut, “Mungkin gurumu belum pernah melihat seperti apa Ilmu Sembilan Pedang Dugu, namun aku yakin dia pasti pernah mendengarnya. Hanya saja ia enggan menceritakan hal ini pada kalian.”

Linghu Chong heran dan bertanya, “Mengapa demikian?”

Feng Qingyang tidak menjawab, namun melanjutkan uraiannya, “Jurus ketiga yaitu Cara Memecahkan Ilmu Golok mengutamakan cepat untuk mengalahkan lambat, dan ringan untuk mengalahkan berat. Ilmu golok Tian Boguang itu memang sangat cepat dan gesit, maka kau harus lebih cepat darinya. Untuk bocah yang masih muda seperti dirimu tentu punya harapan untuk menghadapi kecepatannya. Aku bilang, kau punya harapan menang, tapi bukan berarti kau pasti menang. Sedangkan untuk tua bangka seperti diriku tentu sukar untuk bermain cepat melawannya. Satu-satunya jalan adalah mendahului serangan. Asalkan kau tahu dia hendak melancarkan jurus apa, maka bisa kau dahului secepatnya. Sebelum tangan musuh terangkat, maka ujung pedangmu harus sudah mengancamnya di titik yang berbahaya. Dengan demikian tidak peduli secepat apa serangan musuhmu, tetap saja kau lebih unggul darinya.”

Linghu Chong mengangguk-angguk sambil berkata, “Benar sekali. Rupanya Sembilan Pedang Dugu ini mengajarkan bagaimana cara menaksir dan mendahului serangan musuh.”

“Bagus! Bagus! Kau memang bocah yang cepat paham!” seru Feng Qingyang gembira, bahkan sampai bertepuk tangan. “Memang itulah intisari dan keistimewaan Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Setiap orang sewaktu hendak menyerang tentu memperlihatkan tanda-tanda. Misalnya, jika dia hendak menebas bahu kirimu, maka dia akan melirik ke arah bahumu itu. Bila goloknya dipegang rendah di tangan kanan, tentu dia akan memutar setengah lingkaran ke atas untuk kemudian barulah mengayun miring ke sebelah kiri….”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar