Sejenak kemudian Linghu Chong
bertanya, “Adik Keenam, mengapa kau bisa berlatih pedang bersama Adik Lin?”
“Gara-gara kemarin sore,”
jawab Lu Dayou, “sepulang dari sini Adik Kecil terus-menerus menggerutu
kepadaku. Esok harinya, ia menyeret tanganku untuk mengajak latihan bersama.
Aku pun menuruti tanpa curiga sedikit pun. Ternyata dia menyuruhku bertanding
melawan Lin Pingzhi. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bocah itu baru saja
mempelajari jurus baru sehingga diriku dapat dikalahkannya. Aku benar-benar
dipecundangi mentah-mentah oleh mereka.”
Linghu Chong semakin paham apa
yang sebenarnya terjadi. Lu Dayou yang akrab dengannya tidak suka melihat
kedekatan antara Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Itulah sebabnya kemarin sore Lu
Dayou berulang kali melontarkan sindiran kepada Yue Lingshan.
Linghu Chong kemudian
bertanya, “Apakah kau sering memarahi Adik Lin?”
Lu Dayou menjawab, “Tentu
saja. Bocah sombong seperti dia apa tidak pantas dimaki? Selama ini dia selalu
takut kepadaku. Setiap kami bertemu dia selalu menghindar. Sungguh tak disangka
bocah itu ternyata... ternyata begitu tega. Huh, kalau saja tidak didukung Adik
Kecil, mana mungkin dia bisa mengalahkan aku?”
Linghu Chong juga ikut kesal
mendengar cerita Lu Dayou. Begitu teringat gambar-gambar di dinding gua tentang
bagaimana cara mematahkan jurus Burung Feng Datang Menyembah, ia pun memungut
sebatang ranting dan bersiap mengajarkannya kepada Monyet Keenam. Namun
tiba-tiba terpikir olehnya, “Adik Keenam sudah terlalu benci kepada Adik Lin.
Bila jurus penangkal ini kuajarkan kepadanya, bisa-bisa Adik Lin terluka parah.
Dan kalau Guru atau Ibu Guru sampai tahu dan mengusut masalah ini, tentu kami
berdua yang akan menerima hukuman berat.”
Berpikir demikian, Linghu
Chong pun membuang ranting di tangannya kemudian berkata, “Sudahlah, Adik
Keenam. Urusan ini anggap saja sebagai pengalamanmu supaya lain kali kau tidak
ceroboh lagi. Kita ini sesama saudara, kalah atau menang dalam berlatih adalah
hal biasa. Jangan dianggap masalah berat.”
“Kakak Pertama,” sahut Lu
Dayou sambil menatap tajam. “Kalau untukku memang tidak menjadi soal. Tapi
bagaimana denganmu? Apa kau menganggap ini masalah kecil?”
Linghu Chong menyadari kalau
yang dimaksud Lu Dayou adalah perihal kedekatan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi.
Mendengar pertanyaan itu hatinya terasa pilu dan kepalanya pun tertunduk lesu.
Lu Dayou merasa bersalah atas
ucapannya yang menyinggung perasaan sang kakak pertama. Dengan cepat ia
berkata, “Maafkan aku jika... jika salah bicara!”
“Kau tidak salah,” ujar Linghu
Chong sambil memegang lengan Lu Dayou. “Hanya saja... hanya saja.... Ah,
sudahlah! Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan urusan ini lagi.”
“Baiklah,” sahut Lu Dayou.
“Kakak, dulu kau telah mengajariku jurus Burung Feng Datang Menyembah dan aku
kurang memperhatikan dengan seksama sehingga bocah bermarga Lin itu bisa
mengalahkanku. Untuk selanjutnya, aku akan berlatih dengan lebih giat lagi.
Biar bocah bermarga Lin itu mengetahui mana yang lebih bagus, hasil didikan
Kakak Pertama ataukah hasil didikan Adik Kecil?”
Linghu Chong tersenyum getir
dan berkata, “Sebenarnya... dalam jurus itu tidak ada sesuatu yang istimewa.”
Melihat sikap Linghu Chong
yang lesu, Lu Dayou mengira kakak pertamanya itu sedang patah hati. Maka, ia
pun tidak berani bertanya macam-macam lagi. Setelah Linghu Chong menghabiskan
makanannya, Lu Dayou mohon diri meninggalkan puncak tebing tersebut.
Setelah beristirahat sejenak,
Linghu Chong menyalakan obor dan kembali masuk ke dalam gua belakang untuk
melanjutkan pengamatannya terhadap gambar-gambar yang terukir di dinding batu.
Namun karena pikirannya sedang kalut, gambar-gambar itu dalam pandangannya
tampak menyerupai Yue Lingshan dan Lin Pingzhi sedang berlatih bersama dengan
sangat mesra. Yang satu mengajari, yang lain mempelajari, demikian yang
terlintas di benak Linghu Chong.
Bayangan wajah Lin Pingzhi
yang tampan juga semakin menghantui pikiran Linghu Chong. Tanpa terasa ia
menghela napas dan berkata, “Wajah Adik Lin jauh lebih tampan dariku. Selain
itu, usianya dengan Adik Kecil juga hanya selisih sedikit, mungkin setahun atau
dua tahun. Wajar saja kalau mereka berdua bisa bergaul lebih akrab.”
Tiba-tiba Linghu Chong
menemukan gambar yang menarik perhatiannya. Gambar tersebut adalah gambar
seorang yang mengacungkan pedang dengan gerakan sama persis menyerupai Jurus
Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Ia pun berseru, “Tidak mungkin! Jurus ini
adalah ciptaan Ibu Guru. Mengapa bisa... mengapa bisa terukir lebih dulu di
sini? Sungguh aneh!”
Setelah mengamati gambar itu
dengan teliti barulah ia menemukan perbedaan jurus tersebut dengan jurus
ciptaan sang ibu-guru. Jurus tersebut lebih sederhana namun sangat kuat, dan
pantas digunakan oleh seorang laki-laki. Sementara itu jurus pedang Ning
Zhongze lebih rumit dan sukar diduga karena memiliki berbagai gerak perubahan
yang rahasia. Meskipun demikian, tetap saja keduanya memiliki gaya serangan
yang mirip.
Menyadari hal itu, Linghu
Chong pun berpikir, “Sebenarnya tidak mengejutkan mengapa jurus pedang ciptaan
Ibu Guru sama persis dengan yang terukir di sini. Ilmu silat dan kepandaian Ibu
Guru tentu sudah setara dengan tokoh sesepuh yang menggunakan jurus ini.
Apalagi dasar ilmu silat Ibu Guru dan Sesepuh tersebut sama-sama dari Perguruan
Huashan. Itulah sebabnya jurus pedang ciptaan mereka sama persis, hanya beda
sedikit saja. Hm, bahkan jurus-jurus yang tergambar di sini banyak yang tidak
diketahui Guru dan Ibu Guru.”
Kemudian ia memerhatikan gaya
serangan toya lawan. Dalam gambar tersebut terlihat si pemegang toya tetap
mengacungkan senjatanya ke depan. Ujung pedang tepat bertemu dengan ujung toya
sehingga membentuk sebuah garis lurus.
“Celaka!” seru Linghu Chong
terkejut sampai-sampai obor di tangannya jatuh di lantai. Susasna pun seketika
menjadi gelap gulita. “Bagaimana ini? Bagaimana ini?” ujar pemuda itu dengan
perasaan khawatir luar biasa.
Rupanya Linghu Chong dapat
membayangkan jika ujung toya beradu dengan ujung pedang dengan kekuatan penuh,
tentu toya yang lebih unggul karena lebih keras dan kuat. Sebaliknya, pedang
yang bentuknya pipih akan patah sementara toya tetap mengarah ke depan dan
sulit dihindari. Dengan didorong tenaga yang hebat, tentu toya akan
membahayakan si pemegang pedang. Benar-benar hal yang sulit dihindari.
Linghu Chong berpikir keras
bagaimana caranya mematahkan serangan toya yang seperti itu, “Apakah
benar-benar tidak bisa dihindari? Aku rasa tidak. Jika pedang patah menjadi dua
akibat benturan itu, maka untuk menghindari serangan toya, si pemegang pedang
bisa menunduk dan berlutut atau tiarap di tanah. Ah, tapi Guru dan Ibu Guru
mana mungkin menggunakan cara memalukan seperti itu? Beliau lebih baik mati
daripada terhina. Aduh, ini benar-benar kekalahan telak.”
Setelah diam terpaku cukup
lama, Linghu Chong akhirnya menyalakan obor baru dan kembali mempelajari gambar-gambar
di dinding gua. Ia melihat bermacam-macam jurus pedang yang indah namun
mematikan. Lebih-lebih beberapa jurus terakhir terlihat sederhana namun
menyimpan kekuatan yang luar biasa dan sulit ditebak. Akan tetapi, tidak peduli
bagaimanapun hebatnya jurus pedang yang disajikan dalam gambar, tetap saja si
pemegang toya dapat mematahkannya. Pada akhirnya, Linghu Chong menemukan gambar
si pemegang pedang berlutut dengan kepala menunduk di hadapan si pemegang toya.
Rasa kesal dan marah sudah lama lenyap di hati pemuda itu dan kini telah
berganti menjadi perasaan putus asa dan gelisah yang menjadi-jadi. Meskipun
gambar tersebut terkesan sombong dan arogan, namun pada kenyataannya ilmu
Pedang Huashan benar-benar kalah telak oleh ilmu toya pihak lawan. Benar-benar
kenyataan pahit yang menyedihkan.
Semalam suntuk Linghu Chong
mondar-mandir mengamati gambar-gambar di dinding gua itu. Seumur hidup baru
sekarang ia merasakan tekanan batin sehebat ini. “Perguruan Huashan adalah
anggota Serikat Pedang Lima Gunung, yang selama ini diakui sebagai perguruan
terkemuka dan memiliki nama besar di dunia persilatan. Siapa sangka justru
memiliki ilmu silat yang sedemikian rapuh, mudah dihancurkan dengan jurus yang
sangat sederhana? Jurus-jurus yang terukir di sini jumlahnya ratusan, bahkan
sebagian belum diketahui Guru dan Ibu Guru. Tapi, meskipun aku menguasai semua
ilmu Pedang Huashan melebihi kepandaian Guru juga tetap saja percuma. Tidak ada
gunanya. Sehebat apapun seorang murid Huashan, tetap saja lebih baik bertekuk lutut
jika bertemu musuh yang bisa memainkan jurus toya seperti dalam gambar itu.
Jika tidak menyerah kalah, maka pilihan yang lain hanyalah bunuh diri,”
demikian pikirnya.
Linghu Chong melangkah gontai
dengan perasaan tertekan. Setiap obor yang dipegangnya padam, segera ia
menyalakan obor yang baru. Menyaksikan gambar si pemegang pedang bertekuk lutut
membuatnya semakin kesal. Ia pun melolos pedang hendak merusak gambar tersebut
namun begitu ujung pedang nyaris menyentuh dinding gua, hatinya pun berkata, “Laki-laki
sejati harus berpikiran terbuka dan apa adanya. Menang ya menang, kalah ya
kalah. Perguruan Huashan kami jelas-jelas dikalahkan. Kami tidak punya alasan
apa-apa lagi.” Usai berpikir demikian ia pun menghirup napas dalam.
Pemuda itu kemudian melangkah
dan mengamati gambar-gambar selanjutnya. Hatinya sama sekali tidak terkejut
menyaksikan berbagai jurus pedang Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan
Henshan juga mengalami kekalahan dan kehancuran. Di akhir gambar juga
dilukiskan para pendekar dari masing-masing perguruan tersebut bertekuk lutut
di hadapan lawan.
Linghu Chong telah lama
belajar di Perguruan Huashan dan memiliki wawasan luas mengenai berbagai macam
ilmu pedang perguruan lain. Meskipun ia tidak mengetahui kunci dan intisari
ilmu pedang lainnya, namun dasar-dasar ilmu pedang tersebut telah ia ketahui.
Setiap ilmu pedang dari perguruan lain dilukis dengan sangat bagus, namun
demikian, semua dapat dikalahkan pihak lawan.
Dalam hatinya selain rasa
ngeri dan takut yang mencekam, juga dipenuhi tanda tanya yang cukup besar. “Fan
Song, Zhao He, Zhang Chengfeng, Zhang Chengyun. Siapa sebenarnya mereka ini?
Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka begitu berhasrat mengukir jurus-jurus
mereka untuk menghancurkan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung di dinding gua
ini? Tapi mengapa pula nama-nama mereka tidak dikenal di dunia persilatan?
Mengapa justru Serikat Pedang Lima Gunung tetap berjaya hingga sekarang?”
Demikian pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di benak Linghu Chong. Ia merasa
Serikat Pedang Lima Gunung tidak sepantasnya mendapatkan kejayaan di dunia
persilatan seperti sekarang ini. Atau mungkin, serikat ini mendapatkan nama
besar karena keberuntungan yaitu gambar-gambar di gua tidak tersebar luas.
Tiba-tiba terlintas sebuah
pikiran di dalam benak Linghu Chong, “Mengapa aku tidak menghapus gambar-gambar
di dinding ini saja, sehingga jurus-jurus yang bisa mengalahkan ilmu pedang
Serikat Pedang Lima Gunung akan lenyap untuk selamanya dari muka bumi? Dengan
begitu aku bisa menjaga nama baik perguruanku. Setelah itu aku akan melupakan
kalau aku pernah menemukan gua rahasia ini.”
Segera ia kembali ke lorong
sempit dan memungut kapak tajam untuk dipakainya merusak gambar-gambar itu.
Namun belum sempat mengayunkan kapak tersebut, tiba-tiba ia berkata pada diri
sendiri, “Seorang laki-laki sejati harus berani mengakui kekalahan. Terima saja
kenyataan kalau kami memang benar-benar kalah. Huh, kenapa aku harus menipu
diri sendiri dan menipu orang lain?”
Tiba-tiba ia teringat pada
pria bercadar yang ia temui kemarin. Ia pun bertanya dalam hati, “Laki-laki
kemarin memiliki ilmu pedang yang sangat hebat. Mungkin ada sangkut pautnya
dengan gambar-gambar di gua ini. Siapa dia sebenarnya? Siapa dia sebenarnya?”
Linghu Chong membuang kapak di
tangannya dan membatalkan niat untuk merusak gambar-gambar di dinding gua
tersebut. Ia kemudian keluar menuju gua depan dengan memikirkan berbagai
pertanyaan sampai tengah hari, dan kemudian masuk lagi ke gua belakang untuk
mempelajari gambar-gambar di dinding. Begitulah, seperti orang bingung ia
mondar-mandir keluar masuk gua tersebut sampai empat kali. Tak terasa sore pun
tiba. Saat itu terdengar suara langkah kaki mendaki ke puncak tebing. Rupanya
Yue Lingshan yang datang mengantarkan makanan.
Dengan perasaan gembira Linghu
Chong berlari keluar gua dan menyambutnya di tepi tebing. Ia kemudian berseru
memanggil, “Adik Kecil!” Karena terlalu gugup bercampur senang sampai-sampai
suaranya terdengar gemetar.
Akan tetapi, Yue Lingshan sama
sekali tidak menjawab. Begitu sampai di puncak ia langsung menaruh keranjang
nasi yang ia bawa di atas batu. Setelah itu, ia memutar badan dan pergi begitu
saja tanpa menyapa Linghu Chong sedikit pun.
Tentu saja Linghu Chong
menjadi bingung. Seketika ia bertanya, “Adik Kecil, kau ini kenapa?”
Yue Lingshan hanya mendengus
dan segera melompat turun meninggalkan puncak gunung tersebut. Meskipun
berkali-kali Linghu Chong memanggil, tetap saja gadis itu tidak menjawab
ataupun menoleh.
Perasaan Linghu Chong sangat
terguncang sehingga ia hanya termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa.
Dibukanya keranjang yang hanya berisi nasi dan sayuran tanpa sebotol arak
seperti sebelumnya. Selama beberapa saat ia hanya berdiri memandangi isi
keranjang tersebut seperti orang linglung.
Meskipun perutnya lapar dan
ingin makan, namun baru menyuap dua kali langsung kehilangan selera. Ia pun
berpikir, “Kenapa Adik Kecil tidak mau bicara denganku? Bahkan, melirik sekejap
pun tidak. Kalau dia marah padaku mengapa masih mau mengantarkan makanan ke
sini? Tapi kalau dia tidak marah kepadaku kenapa tidak sudi bicara sedikit pun?
Atau, jangan-jangan Adik Keenam sedang sakit. Tapi, bukankah masih ada Adik
Kelima, atau yang lain yang bisa mewakilinya. Kenapa harus Adik Kecil sendiri
yang mengantar?” Demikian ia berpikir keras mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai-sampai melupakan gambar-gambar pada gua
belakang.
Sore hari berikutnya, Yue
Lingshan kembali datang mengantar makanan. Sama seperti kemarin, tetap saja ia
tidak sudi menyapa atau memandang Linghu Chong. Bahkan, yang lebih menyakitkan,
sewaktu pulang dan menuruni jalanan tebing, ia menyanyikan lagu daerah Fujian
dengan suara yang sangat keras.
“Rupanya dia sengaja ingin
melukai perasaanku,” ujar Linghu Chong dengan hati pedih seperti disayat-sayat.
Sore berikutnya, tetap Yue
Lingshan yang mengantarkan makanan untuk Linghu Chong. Namun kali ini Linghu
Chong sudah tidak tahan lagi. Begitu gadis itu selesai menaruh keranjang
nasinya dan hendak memutar tubuh kembali pulang, dengan cepat Linghu Chong
berteriak, “Adik Kecil, aku ingin bicara denganmu!”
Yue Lingshan menghentikan
langkahnya dan berpaling. “Kau ingin bicara apa? Katakan saja!” jawabnya dengan
ketus. Wajahnya terlihat sangat dingin tanpa senyum sedikit pun.
Melihat sikap Yue Lingshan
yang dingin itu, Linghu Chong menjadi tergagap-gagap, “Kau... kau....”
“Aku kenapa?” tanya si gadis.
Linghu Chong masih saja kelu
lidahnya. Padahal biasanya ia sangat lincah dan riang gembira. Melihat itu. Yue
Lingshan memutar tubuh hendak melangkah kembali, “Kalau tidak segera bicara
lebih baik aku pergi saja.”
Melihat itu Linghu Chong
sangat khawatir. Apabila saat itu ia kehilangan kesempatan, tentu malam nanti
ia akan kembali dilanda penasaran dan baru bisa bertemu Yue Lingshan sore
berikutnya. Dan apabila saat ini ia tidak memperoleh jawaban, bagaimana mungkin
bisa melewati malam nanti dengan tenang? Dan melihat dari paras wajah si gadis,
bisa jadi besok sore ia tidak mau lagi datang, juga hari-hari berikutnya.
Maka tanpa sengaja karena didorong
perasaan gelisah dan takut kehilangan kesempatan, ia nekad menarik lengan baju
Yue Lingshan sambil berseru, “Adik, tunggu dulu!”
“Lepaskan!” bentak Yue
Lingshan sambil meronta. Akibatnya, kain bajunya itu pun robek sampai-sampai
bahunya yang putih bersih terlihat jelas. Sebagai seorang persilatan ia tidak
takut pada percikan darah. Namun bagaimanapun juga ia hanya seorang gadis muda
yang seketika langsung tersipu malu begitu bagian tubuhnya yang selama ini
tertutup dan kini terlihat jelas.
Ia pun membentak, “Berani..
berani sekali kau!”
“Maafkan aku, maafkan aku,
Adik Kecil!” sahut Linghu Chong sambil melepaskan pegangannya. “Aku tidak...
aku tidak sengaja.”
Lekas-lekas Yue Lingshan
menutupi bahunya yang terbuka itu dengan lengan baju yang satunya. Ia kemudian
menegur dengan suara yang tidak sabar, “Sebenarnya, apa yang ingin kau
katakan?”
“Adik Kecil,” sahut Linghu
Chong. “Aku sungguh tidak mengerti mengapa kau bersikap demikian kepadaku? Jika
memang aku bersalah kepadamu tinggal kau cabut pedang dan kau tusuk aku sepuluh
kali juga tidak akan kulawan.”
“Huh, kau itu kakak pertama,”
ujar Yue Lingshan. “Mana berani kami membantahmu, apalagi menusukkan pedang
sepuluh kali? Kami hanyalah adik seperguruanmu. Asalkan kau tidak
sewenang-wenang saja, kami sudah bersyukur kepada Langit.”
Linghu Chong berkata, “Tapi
aku benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya apa kesalahanku padamu?”
Yue Lingshan menjawab, “Apa
kau pura-pura tidak tahu? Bukankah kau yang menyuruh Monyet Keenam mengadu
kepada Ayah dan Ibu?”
“Menyuruh Adik Keenam mengadu
apa?” tanya Linghu Chong dengan heran. “Memangnya dia telah mengadu bagaimana
tentang dirimu?”
Yue Lingshan menjawab, “Kau
tahu betapa Ayah dan Ibu sangat menyayangi diriku, sehingga percuma saja kau
mengadu tentang aku. Tapi kau sungguh pintar! Kau mengadu tentang… mengadu
tentang… huh! Mengapa kau masih juga berpura-pura? Apa kau benar-benar tidak
tahu perbuatanmu sendiri?”
Seketika Linghu Chong bisa
menebak apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia pun berkata, “Apakah Guru dan Ibu
Guru telah mengetahui tentang Lu Dayou yang terluka akibat berlatih bersama
Adik Lin? Apakah Beliau berdua kemudian menghukum Adik Lin?” Dalam hati ia
sangat kesal karena Yue Lingshan marah-marah kepadanya karena suatu hal yang
menyangkut Lin Pingzhi.
Yue Lingshan menjawab dengan
galak, “Berlatih bersama di antara saudara seperguruan itu hal yang biasa.
Kalau sampai terluka itu hanyalah suatu ketidaksengajaan. Tapi Ayah justru
membela Monyet Keenam. Ayah bilang Lin Kecil belum waktunya mempelajari jurus
Burung Feng Datang Menyembah. Maka, mulai sekarang aku tidak boleh mengajar Lim
Kecil lagi. Bagus sekali, sekarang kau yang menang! Tapi aku tidak... aku tidak
mau peduli lagi kepadamu. Tidak akan! Tidak akan!”
Biasanya Yue Lingshan suka
bercanda dengan mengatakan “tidak akan peduli lagi pada Linghu Chong” dengan
nada main-main disertai senyuman di bibir. Akan tetapi kali ini berbeda.
Wajahnya nampak serius dan bersungguh-sungguh. Sepertinya ia benar-benar ingin
memutuskan hubungan persaudaraan dengan kakak pertamanya itu.
Linghu Chong melangkah maju
dan berkata, “Adik, aku....” Sebenarnya ia hendak membantah bahwa dirinya sama
sekali tidak pernah menyuruh Lu Dayou untuk mengadu kepada guru dan ibu-guru.
Namun hatinya kemudian berkata bahwa selama dirinya memang tidak pernah berbuat
demikian, untuk apa harus meminta belas kasihan kepada Yue Lingshan?
Sebaliknya, Yue Lingshan balas
membentak, “Kau kenapa?”
“Aku... aku tidak apa-apa,”
sahut Linghu Chong sambil menggeleng. “Tapi kalau Guru melarangmu mengajar Adik
Lin, bukankah itu hanya masalah kecil? Kenapa kau sedemikian marah kepadaku?”
Wajah Yue Lingshan menjadi
merah. Ia pun berkata, “Aku marah kepadamu. Aku marah kepadamu. Ternyata
diam-diam kau menyimpan maksud buruk. Kau pikir jika aku berhenti mengajar Adik
Lin, lalu aku akan menemanimu setiap hari di sini? Huh, jangan bermimpi! Aku
justru tidak peduli lagi padamu.”
Sambil berkata demikian Yue
Lingshan membanting kaki sekeras-kerasnya, kemudian memutar tubuh dan pergi
meninggalkan puncak tersebut. Sambil menuruni tebing ia menyanyikan lagu daerah
Fujian dengan suara lantang dan merdu. Linghu Chong memandangi kepergian Yue
Lingshan dengan hati pedih sampai menghilang di balik bukit bawah. Samar-samar
ia dapat melihat bahu kiri gadis itu yang masih ditutupi dengan lengan baju
kanan, membuat perasaannya bertambah khawatir.
“Aku telah merobek lengan baju
Adik Kecil. Jangan-jangan dia mengadu pada Guru dan Ibu Guru. Aduh, bagaimana
jadinya kalau Guru dan Ibu Guru menuduhku berniat kurang ajar kepada Adik
Kecil? Bagaimana jadinya kalau berita ini sampai tersiar kepada adik-adik yang
lain? Tentu aku akan dipandang rendah oleh mereka semua.” Tapi kemudian
terpikir olehnya, “Ah, aku tidak punya niat buruk kepadanya. Asalkan aku bisa
mempertanggungjawabkan perbuatanku dengan benar, untuk apa harus takut pada
pendapat orang lain?”
Meskipun demikian tetap saja
Linghu Chong gelisah saat memikirkan sikap Yue Lingshan yang marah-marah akibat
dilarang mengajar Lin Pingzhi. Ia berusaha menghibur diri sendiri dengan
mengatakan bahwa hubungan mereka berdua hanya sebatas saudara seperguruan yang
berusia sebaya. “Adik Kecil masih belia dan sangat lincah. Aku harus berada di
sini sehingga Adik Lin yang menemani dia berlatih dan bermain sepanjang hari.
Apalagi usia mereka hanya selisih sedikit. Aku yakin tidak ada perasaan apa-apa
di hati Adik Kecil terhadap Adik Lin,” demikian pikirnya.
Akan tetapi, kemudian
terlintas pikiran di dalam benaknya yang membuatnya bertambah pedih, “Aku
dibesarkan bersama-sama dengan Adik Kecil, sedangkan Adik Lin baru beberapa
bulan menjadi murid Huashan. Namun mengapa Adik Kecil begitu peduli dan
memperlakukan Addik Lin sebaik ini? Perlakuannya sungguh istimewa.”
Malam itu entah berapa ratus
kali Linghu Chong berjalan bolak-balik dari ujung jalan setapak di tepi tebing
ke mulut gua. Bahkan, sampai siang hari ia tetap mondar-mandir tanpa istirahat.
Yang ada di pikirannya hanyalah sikap Yue Lingshan yang benar-benar berubah
kepadanya. Gambar-gambar di gua belakang, ataupun pria bercadar misterius
seolah-olah lenyap dari ingatannya.
Ketika sore tiba, Lu Dayou
yang kali ini datang mengantarkan makanan. Ia langsung menaruh kiriman tersebut
di atas batu sambil berkata, “Kakak Pertama, mari makan!”
Linghu Chong tidak menjawab
hanya menghela napas saja sambil tangannya mengambil sedikit nasi di atas
mangkuk. Namun, begitu ia menyuap dua kali ke dalam mulut yang terasa hanyalah
pahit dan juga sulit untuk ditelan. Pemuda itu memandang sekejap ke bawah
tebing, kemudian menaruh mangkuknya di atas batu.
Melihat itu Lu Dayou bertanya,
“Kakak, wajahmu kelihatan pucat. Apa kau kurang sehat?”
“Ah, tidak apa-apa,” jawab
Linghu Chong sambil menggeleng.
“Kemarin aku sengaja memetik
jamur ini untukmu. Cobalah kau cicipi rasanya,” ucap Lu Dayou membujuk.
Karena tidak tega mengecewakan
maksud baik adik seperguruannya itu, Linghu Chong pun memakan jamur itu dua
suapan dan memuji kelezatannya. Padahal, dalam lidahnya terasa hambar.
“Kakak Pertama, aku membawa
kabar gembira untukmu,” sahut Lu Dayou sambil tersenyum. “Mulai kemarin Guru
dan Ibu Guru melarang Adik Kecil berlatih bersama Adik Lin.”
Linghu Chong menanggapi dengan
nada dingin, “Kau dikalahkan Adik Lin, kemudian mengadu kepada Guru, benar
begitu?”
Lu Dayou melonjak dan berkata,
“Siapa bilang aku kalah olehnya? Aku hanya... aku hanya....”
Linghu Chong menyadari
sebenarnya ilmu silat Lu Dayou lebih unggul daripada Lin Pingzhi. Kekalahannya
waktu itu hanya karena lengah dan meremehkan lawan. Dalam hati Linghu Chong
berpikir, “Jadi semua adik-adik seperguruan kasihan kepadaku. Aku dan Adik
Kecil dibesarkan bersama, dan kini Adik Lin muncul dan merebut perhatian Adik
Kecil. Tujuan Adik Keenam mengadu kepada Guru hanya karena kasihan pada diriku.
Apalagi dia adalah adikku yang paling akrab, sudah tentu berusaha keras membela
diriku. Huh, seorang laki-laki sejati mana pantas menggantungkan hidup pada
belas kasihan orang lain?”
Berpikir demikian membuat
Linghu Chong marah dan bertingkah seperti orang gila. Dilemparkannya mangkuk
dan sumpit ke dalam jurang sambil berteriak, “Siapa yang memintamu mencampuri
urusanku?”
Tentu saja Lu Dayou terkejut.
Selama ini ia selalu hormat dan patuh kepada si kakak pertama. Siapa sangka
pertolongannya justru membuat Linghu Chong marah. Dengan gemetar ia melangkah
mundur sambil berkata, “Kakak Pertama, jika aku bersalah... silakan kau hajar
aku saja!”
Setelah melemparkan mangkuk
dan sumpit ke dasar jurang tadi, perasaan Linghu Chong sedikit agak lega. Ia
hendak melanjutkan dengan melemparkan sebongkah batu sambil berkata, “Mengapa
kau merasa bersalah?”
“Entahlah… aku tidak tahu,”
jawab Lu Dayou sambil melangkah mundur lagi.
Linghu Chong menghirup napas
dalam-dalam kemudian melemparkan batu di tangannya ke dasar jurang. Sambil
memegangi tangan Lu Dayou, ia lalu berkata, “Maafkan aku, Adik Keenam.
Perasaanku memang sedang kesal, tapi tidak ada sangkut-pautnya denganmu.”
Lu Dayou merasa lega dan
berkata, “Tenang saja, Kakak. Aku akan pulang untuk mengambilkan makanan yang
baru.”
“Tidak perlu, tidak perlu,”
sahut Linghu Chong. “Aku sedang tidak enak makan.”
Lu Dayou melihat sendiri
keranjang nasi yang kemarin masih utuh isinya. Ia pun bertanya, “Kakak,
makananmu yang kemarin tidak kau sentuh?”
Linghu Chong menjawab dengan
senyum yang dipaksakan, “Kau jangan khawatir. Aku hanya sedang tidak selera
makan.”
Lu Dayou tidak berani
bertanya-tanya lagi. Ia kemudian mohon diri untuk meninggalkan puncak tebing
tersebut.
Sore hari berikutnya Lu Dayou
menambahkan sebotol arak di dalam keranjang makanan yang ia bawa untuk
menghibur kesedihan Linghu Chong. Akan tetapi ketika sampai di puncak
dilihatnya sang kakak pertama sedang terbaring malas di atas batu besar.
Wajahnya juga tampak sangat pucat.
“Kakak Pertama, coba tebak apa
yang kubawa?” seru Lu Dayou sambil membuka tutup botol di tangannya. Bau arak
yang harum menyengat langsung menyebar.
Linghu Chong pun bangkit dan
menerima botol itu. Sekali teguk ia langsung menghabiskan setengah isinya. “Hm,
arak ini lumayan enak!”
Lu Dayou merasa senang. Segera
ia mengambil mangkuk dan berkata, “Biar kuisikan nasi untukmu.”
“Tidak perlu, aku tidak mau
makan!” jawab Linghu Chong sambil menggoyang tangan.
“Semangkuk saja,” ujar Lu
Dayou sambil tetap mengisi mangkuk di tangannya dengan nasi sampai penuh.
Tidak ingin membuat adiknya
susah, Linghu Chong terpaksa menjawab, “Baiklah, nanti akan kumakan sehabis
minum.”
Akan tetapi nasi itu tetap
berada di mangkuk tanpa disentuh sedikit pun oleh Linghu Chong. Sore
berikutnya, Lu Dayou datang kembali dan melihat nasi di mangkuk tersebut telah
basi, sementara Linghu Chong terbaring lemah di lantai gua.
Lu Dayou terkejut melihat
wajah kakaknya yang pucat pasi. Segera ia memeriksa dahi Linghu Chong ternyata
sangat panas seperti terbakar. “Kakak Pertama, apa kau sakit?” serunya
khawatir.
Namun Linghu Chong justru
menjawab lemah, “Arak, arak, mana araknya? Aku mau minum arak.” Ia kemudian
bangkit dari tidur dan melambaikan tangannya kepada Lu Dayou.
Meskipun hari itu Lu Dayou
membawa arak, namun ia tidak berani mengeluarkannya dari dalam keranjang. Pemuda
itu hanya mengisi mangkuk dengan air sampai penuh dan menyerahkannya kepada
sang kakak pertama. Linghu Chong menerimanya dan meminumnya sampai habis. “Arak
bagus! Arak bagus!” ujarnya seperti orang linglung. Setelah merebahkan diri
kembali, tetap saja mulutnya menggumam, “Arak bagus! Arak bagus!”
Lu Dayou ketakutan melihat
penyakit Linghu Chong tersebut. Karena saat itu sang guru dan ibu-guru sedang
ada urusan di tempat jauh, ia pun turun untuk memberi tahu Lao Denuo dan
saudara-saudara yang lain bahwa kakak pertama jatuh sakit dan cukup parah.
Yue Buqun telah menetapkan
peraturan yang sangat ketat terhadap para muridnya untuk tidak seenaknya
menemui Linghu Chong di puncak Huashan. Akan tetapi, saat ini kondisi Linghu
Chong sedang sakit parah sehingga datang untuk menjenguk sebenarnya bukan suatu
pelanggaran. Meskipun demikian, tetap saja para murid takut untuk menjenguk
beramai-ramai. Maka diputuskan untuk menjenguk si kakak pertama secara
bergantian. Hari ini yang mengantarkan makanan sekaligus menjenguk adalah Lao
Denuo dan Liang Fa. Esok harinya giliran Shi Daizi dan Gao Genming, dan
begitulah seterusnya.
Lu Dayou sendiri telah
memberitahukan perihal sakitnya Linghu Chong kepada Yue Lingshan. Akan tetapi
gadis itu menanggapi dengan tidak percaya, “Tenaga dalam Kakak Pertama sangat
tinggi. Tidak mungkin ia bisa jatuh sakit. Aku tidak percaya. Aku tidak mau
ditipu mentah-mentah.”
Para saudara yang menjenguk
menyampaikan bahwa keadaan Linghu Chong ternyata bertambah parah. Bahkan, empat
hari empat malam ia tak sadarkan diri. Lu Dayou kembali memohon dengan sangat
supaya Yue Lingshan sudi menjenguk ke puncak. Akhirnya, perasaan Yue Lingshan
luluh juga karena melihat Lu Dayou yang terlihat sangat memelas bahkan hampir
saja berlutut di hadapannya.
Maka, berangkatlah Yue
Lingshan naik ke puncak ditemani Lu Dayou. Di sana ia melihat Linghu Chong
terbaring lemah dengan muka kurus dan cekung. Janggutnya pun tak terawat.
Keadaannya terlihat memprihatinkan padahal biasanya ceria dan riang gembira.
Dengan rasa penyesalan yang
teramat dalam, Yue Lingshan berjalan mendekat ke sisi Linghu Chong dan berkata,
“Kakak Pertama, ini aku yang datang. Tolong kau jangan marah lagi, ya!”
Namun Linghu Chong hanya
termangu-mangu seperti orang linglung. Dengan perasaan bingung ia memandangi
Yue Lingshan seperti tidak mengenali gadis itu lagi.
“Kakak Pertama, ini aku!
Mengapa kau tidak peduli kepadaku?” lanjut Yue Lingshan tidak sabar.
Sekali lagi Linghu Chong hanya
termangu-mangu. Kali ini ia memejamkan mata dan kemudian tertidur pulas. Sampai
Lu Dayou dan Yue Lingshan meninggalkannya, ia tetap tidak membuka mata.
Sakit yang diderita Linghu
Chong berlangsung hingga satu bulan lamanya. Selama itu Yue Lingshan datang
menjenguknya sebanyak tiga kali. Sejak kunjungan yang pertama, kesehatan Linghu
Chong berangsur-angsur pulih. Pada kunjungan kedua, Linghu Chong sudah
memperoleh kembali kesadarannya dan gembira menyambut gadis itu. Ketika Yue
Lingshan datang untuk yang ketiga kalinya, ia sudah kuat untuk duduk dan
menyambut makanan yang dibawa Yue Lingshan. Namun setelah itu, si gadis tidak
pernah lagi datang menjenguk.
Setelah kuat berjalan, setiap
hari Linghu Chong selalu memandang ke bawah menantikan kedatangan Yue Lingshan
untuk mengunjunginya. Namun harapannya sia-sia, karena yang ia lihat hanyalah
keheningan pegunungan, serta Lu Dayou yang selalu datang mengantarkan makanan
dengan langkahnya yang ringan dan cepat.
Tiba-tiba pada suatu sore
Linghu Chong melihat dua sosok bayangan datang mengunjunginya dengan kecepatan
luar biasa. Yang berjalan di depan berpakaian wanita sedangkan yang di belakang
jelas seorang pria. Keduanya terlihat memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat tinggi. Mereka melintasi jalanan terjal dan curam bagaikan berjalan di
atas tanah datar saja. Linghu Chong memandangi kedua orang itu dengan seksama,
kemudian berseru dengan gembira, “Guru! Ibu Guru!”
Ternyata yang datang
mengantarkan makanan sore itu adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze sendiri.
Sungguh kunjungan ini terasa sangat istimewa. Karena menurut tradisi hampir
tidak pernah seorang guru datang mengunjungi muridnya yang sedang menjalani
hukuman kurung di Tebing Perenungan.
Dengan perasaan sangat gembira
Linghu Chong berlutut dan memeluk kaki Yue Buqun, “Guru, Ibu Guru, Murid sangat
rindu ingin bertemu.”
Yue Buqun memandangi Linghu
Chong dengan seksama. Sebagai murid nomor satu, Linghu Chong dianggapnya kurang
bisa membawa diri dan kurang patuh terhadap tata tertib perguruan, padahal ilmu
silat dan tenaga dalamnya paling tinggi di antara sesama murid. Mengenai berita
sakitnya Linghu Chong sudah didengar oleh Yue Buqun suami-istri. Meskipun para
murid tidak ada yang berani bercerita terus terang, namun Yue Buqun dan Ning
Zhongze dapat menebak ini pasti ada sangkut pautnya dengan Yue Lingshan. Dari
Yue Lingshan sendiri mereka memperoleh jawaban yang kurang tegas sehingga
keduanya dapat memastikan kalau putri mereka itulah penyebab sakitnya Linghu
Chong. Kini setelah melihat langsung keadaan Linghu Chong, Yue Buqun dapat
menyimpulkan kalau murid pertamanya itu tidak ada kemajuan sama sekali meskipun
sudah enam bulan menghabiskan waktu di Tebing Perenungan. Ia pun mendengus
memperlihatkan kekecewaan.
Sebaliknya, Ning Zhongze
membangunkan Linghu Chong dengan lembut dan penuh kasih. Dipandanginya wajah
murid pertama suaminya yang cekung dan kurus itu dengan rasa haru, kemudian ia
berkata, “Chong’er, gurumu dan aku baru saja pulang dari utara. Kami dengar kau
baru saja jatuh sakit, apa sekarang sudah lebih baik?”
Mendengar suara Nyonya Yue
yang halus dan lembut itu dada Linghu Chong terasa sesak dan air matanya pun
berlinang. Ia menjawab, “Murid sudah lebih baik. Guru dan Ibu Guru tentu sangat
letih baru saja kembali dari perjalanan jauh, tapi menyempatkan diri datang
menjenguk... menjenguk kemari.” Suaranya terdengar parau karena tak kuasa
menahan haru. Ia pun memalingkan muka dan mengusap air matanya yang mengalir
keluar.
Ning Zhongze mengeluarkan nasi
dan semangkuk sup ginseng dari dalam keranjang. Wanita itu kemudian berkata,
“Ini adalah ginseng liar yang kubawa dari utara. Akan sangat bermanfaat untuk
kesehatanmu. Lekaslah kau minum sampai habis.”
Mengetahui betapa sang guru
dan ibu-guru telah membawa ginseng mujarab jauh-jauh dari utara dan langsung
diberikan kepadanya membuat Linghu Chong semakin terharu dan berterima kasih.
Dengan tangan gemetar ia menerima mangkuk sup tersebut. Ning Zhongze bermaksud
untuk menyuapinya, namun Linghu Chong sudah lebih dulu meneguk isi mangkuk itu
sampai habis.
“Terima kasih banyak, Ibu
Guru. Terima kasih banyak, Guru,” katanya.
Yue Buqun meraih pegelangan
tangan Linghu Chong untuk memeriksa denyut nadi muridnya itu. Terasa olehnya
urat nadi Linghu Chong berdenyut cepat. Ia pun berkata, “Sakitmu memang sudah
sembuh.” Setelah terdiam sejenak, ketua Perguruan Huashan itu lantas
melanjutkan dengan raut wajah kurang senang, “Huh, Chong’er, apa saja yang kau
kerajakan selama setengah tahun ini? Mengapa tenaga dalammu banyak mengalami
kemunduran?”
Mendengar itu Linghu Chong
kembali menyembah dan menjawab, “Murid memang bodoh. Mohon Guru dan Ibu Guru
sudi mengampuni!”
Ning Zhongze menukas,
“Chong’er baru saja sembuh. Pantas saja kalau dia mengalami kemunduran tenaga dalam.
Apa yang kau harapkan dari seorang yang baru saja pulih dari sakit?”
Yue Buqun menggeleng dan
berkata, “Aku tidak bicara soal kesehatannya. Aku bicara soal tenaga dalamnya,
dan ini tidak ada hubungannya dengan kondisi kesehatannya. Ilmu tenaga dalam
perguruan kita berbeda dengan perguruan lain. Asalkan berlatih dengan giat dan
disiplin, sekalipun di waktu tidur tenaga dalam akan bertambah dengan
sendirinya. Apalagi Chong’er sudah belasan tahun belajar tenaga dalam Huashan.
Asalkan tidak terluka dalam pertarungan, dia tidak mungkin jatuh sakit. Ini
semua karena kebodohannya yang tidak bisa mengendalikan nafsu dan perasaan.
Oleh karena itu, tenaga dalamnya pun tidak mengalami kemajuan pula.”
Menyadari ucapan suaminya
benar, Ning Zhongze menambahkan, “Chong’er, gurumu sudah berulang kali memberi
nasihat supaya kau belajar dan berlatih, baik itu ilmu pedang ataupun tenaga
dalam dengan rajin. Sesungguhnya gurumu mengurung kau di sini bukan karena ia
ingin menghukummu, tapi semata-mata untuk memberimu kesempatan supaya bisa
berlatih dengan bebas dan tidak terganggu urusan-urusan remeh. Kami berharap
selama setahun ini kau memperoleh banyak kemajuan, tapi siapa sangka... siapa
sangka....”
Linghu Chong merasa malu dan
gugup. Dengan menundukkan kepala ia menjawab, “Mohon maaf yang sebesar-besarnya
kepada Guru dan Ibu Guru! Murid benar-benar khilaf dan berjanji akan berlatih
dengan sepenuh hati.”
Yue Buqun kembali berkata,
“Dalam beberapa tahun ini kami berdua sering turun gunung untuk melihat dan
menumpas langsung kejahatan di dunia persilatan. Apalagi akhir-akhir ini huru
hara semakin sering terjadi. Kami yakin kelak di kemudian hari, bencana besar
pasti tak dapat dielakkan lagi.” Berhenti sejenak, ia kemudian melanjutkan,
“Kau adalah murid pertamaku. Kami berdua menaruh harapan besar kepadamu, semoga
kelak kau bisa bahu-membahu bersama kami menegakkan keadilan dan kebenaran,
serta mengharumkan nama besar Perguruan Huashan. Tapi kalau kau lebih suka
larut dalam urusan muda-mudi, dan mengesampingkan berlatih ilmu silat sehingga
tidak ada kemajuan, sungguh kami merasa sangat kecewa.”
Melihat wajah sang guru yang
tampak murung, Linghu Chong seketika kembali menyembah, “Sekali lagi murid
mohon maaf karena telah mengecewakan Guru dan Ibu Guru.”
Yue Buqun membangunkan murid
pertamanya itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Jika kau sudah menyadari
kesalahanmu, kami merasa lega. Kelak, setengah bulan lagi kami akan datang ke
sini untuk menguji ilmu pedangmu.” Usai berkata demikian, ia pun memutar badan
hendak kembali pulang.
Teringat pada gambar-gambar di
gua belakang, serta munculnya pria bercadar membuat Linghu Chong ingin bertanya
kepada sang guru, “Guru, ada sesuatu hal yang....”
Namun Yue Buqun sudah melesat
pergi.
Ning Zhongze sendiri juga
beranjak sambil berkata, “Selama setengah bulan ke depan kau harus lebih giat
belajar. Urusan ini sangat penting karena menyangkut masa depanmu. Jangan
anggap remeh.”
“Baik, Ibu Guru....” jawab
Linghu Chong. Sebenarnya ia juga berniat memberi tahu Nyonya Yue tentang gambar
yang ia temukan di dalam gua belakang serta pria bercadar misterius. Namun,
ibu-gurunya itu sudah melambaikan tangan diiringi senyuman hangat, kemudian
melesat pergi menyusul sang suami dengan langkah lebar.
Kini tinggal Linghu Chong
seorang diri. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa Ibu Guru berkata urusan belajar
ilmu silat bisa menyangkut masa depanku? Mengapa untuk menyampaikan pesan ini
Beliau harus menunggu sampai Guru pergi? Jangan-jangan... jangan-jangan....”
Tiba-tiba sebuah pikiran
terlintas di benaknya, membuat jantung berdebar-debar. Tak terasa pipinya pun
bersemu merah menahan malu. Ia tidak berani berpikir lebih dalam lagi, namun di
lubuk hatinya yang paling dalam timbul sebuah harapan, “Jangan-jangan Guru dan
Ibu Guru mengetahui kalau sakitku ini karena memikirkan Adik Kecil. Apakah
Beliau berdua berniat menjodohkan kami? Namun syaratnya aku harus rajin
berlatih supaya dapat mewarisi semua kepandaian Guru, baik itu tenaga dalam
ataupun ilmu pedang. Agaknya Guru merasa segan bicara terang-terangan.
Sebaliknya, Ibu Guru sudah menganggapku seperti anak sendiri sehingga setelah
Guru pergi, diam-diam Beliau menyampaikan pesan ini kepadaku.”
Menyadari hal itu, semangat
Linghu Chong bangkit kembali. Ia pun menghunus pedangnya dan mulai memainkan
jurus-jurus paling ampuh yang pernah diajarkan sang guru. Akan tetapi bayangan
gambar di dalam gua senantiasa menghantui pikirannya. Maka, setiap kali ia
memainkan suatu jurus dengan sendirinya pada saat itu pula ia membayangkan
bahwa jurusnya itu dapat dipatahkan musuh.
Pikiran Linghu Chong menjadi
terpecah dan sulit untuk diajak berkonsentrasi. “Mengenai ukiran-ukiran itu aku
belum sempat menyampaikannya kepada Guru dan Ibu Guru. Ah, nanti saja kalau
Beliau berdua datang lagi kemari dan mengamati gambar-gambar itu, tentu semua
tanda tanya bisa dipecahkan.”
Begitulah, meskipun ucapan
Ning Zhongze mengandung dukungan dan memberikan semangat Linghu Chong namun
latihannya selama sehari penuh itu tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, ia
kembali berkhayal tentang hubungannya dengan Yue Lingshan.
“Kalau benar Guru dan Ibu Guru
berniat menjodohkan Adik Kecil dengan aku, apakah Adik Kecil bersedia
menerimaku secara suka rela? Jika kami menjadi suami-istri, apakah dia bisa
melupakan Adik Lin? Ah, aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Adik Lin baru
beberapa bulan masuk Huashan. Ia hanya berlatih bersama dengan Adik Kecil untuk
meminta petunjuk darinya, serta menjadi teman bermain Adik Kecil pula. Mereka
berdua tidak memiliki hubungan istimewa selain sebagai saudara seperguruan
sehingga tidak bisa dibandingkan dengan hubungan kami yang dibesarkan bersama
sejak kecil. Lagipula, Adik Lin pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku pun
tidak boleh melupakan jasanya. Kelak, jika aku sudah kembali ke perguruan, aku
harus selalu baik kepadanya. Jika dia tertimpa masalah dan terancam bahaya, aku
siap melindunginya meskipun bertaruh jiwa dan raga.”
Singkat kata, waktu setengah
bulan pun terlewati dengan cepat. Sesuai yang pernah dijanjikan, pada suatu
sore Yue Buqun dan Ning Zhongze datang untuk menguji kemajuan ilmu silat Linghu
Chong. Selain mereka ikut pula beberapa orang murid yang menemani, yaitu Shi
Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan.
Linghu Chong menyambut
kedatangan mereka dengan hati berdebar. Lebih-lebih begitu melihat si adik
kecil ternyata juga ikut serta.
Ning Zhongze tersenyum melihat
semangat pemuda itu yang terlihat lebih segar dan tubuhnya lebih sehat
dibanding sebelumnya. Ia pun berkata kepada Yue Lingshan, “Shan’er, tolong kau
ambilkan nasi untuk Kakak Pertama. Biarkan dia makan sampai kenyang sebelum
ujian dimulai.”
Yue Lingshan mengiakan dan
segera membawa keranjang nasi ke dalam gua diikuti Linghu Chong. Gadis itu
mengisi sebuah mangkuk sampai penuh dengan nasi dan menyerahkannya kepada
Linghu Chong. “Silakan makan, Kakak pertama!” katanya sambil tersenyum.
Linghu Chong menerimanya
dengan gugup, “Terima... terima kasih.”
Yue Lingshan tertawa
melihatnya kemudian bertanya, “Hei, apa kau masih demam? Mengapa suaramu
gemetar lagi?”
“Ti... tidak apa-apa,” jawab
Linghu Chong. Dalam hati ia berpikir kelak setiap hari gadis itu yang akan
melayaninya makan. Jika terjadi demikian tentu di hatinya sudah tidak
menginginkan apa-apa lagi. Pemuda itu makan dengan lahap, dan dalam waktu
singkat sudah menghabiskan isi mangkuknya.
Yue Lingshan berkata, “Aku
tambah lagi nasinya?”
“Terima kasih, ini saja sudah
cukup,” jawab Linghu Chong. “Guru dan Ibu Guru sudah menunggu.
Keduanya pun keluar gua.
Tampak Yue Buqun dan Ning Zhongze duduk berjajar di atas batu. Linghu Chong
membungkuk memberi hormat namun lidahnya terasa kelu sulit diajak bicara.
Kemudian ia menoleh ke arah Lu Dayou. Dalam hati ia berkata, “Adik Keenam
terlihat begitu gembira. Apakah dia baru saja menerima kabar gembira tentang
diriku sehingga ikut merasa senang?”
Yue Buqun memandang tajam ke
arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia membuka suara, “Kemarin Genming baru
saja pulang dari Chang’an. Ia melaporkan bahwa si penjahat Tian Boguang baru
saja membuat beberapa masalah di kota itu.”
“Tian Boguang ada di Chang’an?”
sahut Linghu Chong menegas. “Sudah pasti ia melakukan perbuatan yang tidak
baik.”
“Tentu saja! Kenapa kau masih
bertanya?” ujar Yue Buqun. “Dia telah mencuri di tujuh rumah dalam satu malam.
Tidak hanya itu, ia bahkan berani meninggalkan tulisan di masing-masing rumah
yang berbunyi, ‘Barang-barangmu dipinjam Tian Boguang si Pengelana Tunggal
Selaksa Li.’”
“Apa?” sahut Linghu Chong
terkejut. Dengan perasaan geram ia berkata, “Kota Chang’an dekat dari sini. Dia
benar-benar menganggap remeh Perguruan Huashan kita. Guru, kita harus….”
“Kita harus apa?” Yue Buqun
menukas.
Linghu Chong melanjutkan,
“Guru dan Ibu Guru berkedudukan tinggi juga terhormat, jadi tidak perlu
mengotori tangan dengan darah penjahat itu. Sayang sekali kepandaian murid
masih belum cukup untuk menandinginya. Selain itu murid juga masih menjalani
masa hukuman. Tapi kalau keparat itu dibiarkan malang melintang di dekat Gunung
Huashan, tentu hal ini patut disayangkan.”
“Jika kau benar-benar mampu,
sudah tentu aku mengizinkanmu turun gunung. Masa hukumanmu kuanggap selesai
sampai di sini apabila kau bisa menebusnya dengan membunuh penjahat itu,” ujar
Yue Buqun. “Tapi sebelumnya aku ingin melihat kemajuan ilmu silatmu lebih dulu.
Coba kau mainkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang pernah diajarkan
ibu-gurumu dulu. Selama setengah tahun lebih tentu kau sudah mempelajarinya.
Ditambah lagi petunjuk-petunjuk yang akan diberikan ibu-gurumu hari ini tentu
sudah cukup untuk membunuh si keparat bermarga Tian.”
Linghu Chong terperanjat. Ia
baru sadar kalau ibu-gurunya dahulu telah mengajarkan secara tidak resmi Jurus
Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. “Meskipun tidak mengajarkan secara langsung,
namun Ibu Guru yakin dengan pengalaman dan kemampuanku, tentu bisa memahami dan
menyerap intisari dari apa yang Beliau peragakan waktu itu. Guru juga
memperhitungkan selama setengah tahun ini aku seharusnya sudah bisa menguasai
jurus tersebut,” demikian ia berpikir. Tak terasa keringat dingin membasahi
dahinya.
Memang pada permulaan
menjalani hukuman, setiap hari Linghu Chong berlatih untuk bisa menguasai jurus
ampuh tersebut. Akan tetapi, setelah menemukan gambar-gambar di dalam gua
belakang membuat semangatnya hilang dan tidak pernah lagi melatih jurus
tersebut begitu pula dengan jurus-jurus ilmu pedang Huashan lainnya. Ia menjadi
yakin bahwa sehebat apapun ilmu pedang yang ia pelajari ternyata bisa
dipatahkan musuh sehingga rasa percaya dirinya terhadap semua ilmu pedang
Huashan menjadi lenyap. Ingin sekali ia berkata bahwa Jurus Tunggal Pedang Ning
Tanpa Tanding memiliki kelemahan dan mudah untuk dipatahkan, namun tidak ingin
membuat ibu-gurunya malu di hadapan Shi Daizi dan Lu Dayou.
Melihat raut wajah muridnya
yang menunjukkan sikap ragu-ragu, Yue Buqun segera menanggapi, “Apa kau belum
berlatih jurus tunggal itu? Baiklah, tidak mengapa. Jurus tersebut sesungguhnya
merupakan intisari ilmu pedang Huashan. Mungkin kau sudah mengetahui caranya,
namun tenaga dalammu belum sampai di tingkat itu. Lambat laun kau tentu dapat
menguasainya.”
Linghu Chong diam tertunduk.
Melihat itu Ning Zhongze berkata, “Chong’er, mengapa kau tidak segera berterima
kasih? Gurumu berniat mengajarkan ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja
kepadamu?”
Linghu Chong terperanjat.
Dengan cepat ia pun berkata sambil berlutut di tanah, “Terima kasih, Guru!”
Yue Buqun segera menahan tubuh
muridnya itu, dan berkata, “Jangan terburu-buru. Ilmu Kabut Lembayung Senja
adalah intisari tertinggi dari ilmu tenaga dalam di perguruan kita. Aku tidak
mau sembarangan mengajarkannya. Jika belajar ilmu ini, maka latihan harus giat,
pemusatan pikiran harus sungguh-sungguh. Tidak boleh sampai terputus di tengah
jalan karena akan sangat berbahaya dan bisa berakibat fatal. Maka itu, aku
ingin melihat lebih dulu sampai di mana kemajuan ilmu silatmu yang kau capai
selama ini. Baru setelah itu, aku bisa memutuskan untuk mengajarkannya atau
tidak.”
Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue
Lingshan kagum luar biasa mendengar kakak pertama mereka diizinkan untuk
mempelajari ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja. Mereka mengetahui kalau
Kabut Lembayung Senja adalah ilmu tenaga dalam tertinggi yang dimiliki
Perguruan Huashan, dan bisa dikatakan sebagai pemimpin dari sembilan ilmu
Huashan. Meskipun mereka bertiga mengetahui kalau ilmu silat Linghu Chong
adalah yang paling hebat di antara para murid, namun mereka tidak menyangka
kalau sang kakak pertama akan mewarisi ilmu tenaga dalam itu secepat ini.
Lu Dayou pun berkata, “Kakak
Pertama selalu berlatih dengan giat. Setiap kali saya mengantar makanan ke
sini, saya selalu melihat Kakak Pertama sedang belajar. Kalau tidak duduk
bermeditasi tentu sedang berlatih pedang.”
Mendengar itu Yue Lingshan
melirik dan mencibir. Dalam hati ia menggerutu, “Monyet Keenam, berani sekali
kau berbohong di hadapan Ayah dan Ibu. Huh, selalu saja kau membela Kakak
Pertama.”
Sementara itu Ning Zhongze
berkata, “Chong’er, segera kau siapkan pedangmu. Kita bertiga akan pergi
melabrak Tian Boguang. Kita akan berusaha keras untuk mengakhiri kejahatannya.
Pepatah mengatakan, ‘Lebih baik mengasah tombak sebelum berangkat berperang
daripada tidak membawa apa-apa.’”
“Kita bertiga?” sahut Linghu
Chong tidak percaya. “Apakah Guru dan Ibu Guru akan bersama-sama membantu saya
mengeroyok Tian Boguang, begitu?”
“Ya, begitulah kira-kira,”
ujar Nyonya Yue tertawa. “Pada dasarnya kau yang menantang dan menghadapinya.
Kami berdua hanya membantu dari belakang. Tidak peduli pedang siapa yang
mencabut nyawanya, tetap saja kami akan mengatakan bahwa kau yang telah
membunuh Tian Boguang. Dengan demikian, gurumu dan aku tidak akan kehilangan
nama baik di dunia persilatan.”
“Bagus sekali,” seru Yue
Lingshan. “Jika Ayah dan Ibu diam-diam membantu, tidak perlu Kakak Pertama yang
maju, aku juga berani menghadapinya. Setelah penjahat itu mati, tinggal katakan
saja kalau aku yang telah membunuhnya.”
“Enak saja kau bicara,” sahut
Nyonya Yue. “Kakak pertamamu pernah bertanding melawan penjahat itu dan nyaris
kehilangan nyawa, tentu ia sudah mengenali jurus-jurusnya. Sebaliknya, dengan
kepandaianmu yang rendah itu, apa yang bisa kau andalkan? Lagipula kau ini
seorang perempuan, maka jangan sekali-kali kau sebut namanya apalagi berharap
bisa bertemu dengannya!”
Usai berkata demikian dengan
sangat tiba-tiba wanita itu sudah mengacungkan pedang tepat di depan jantung
Linghu Chong. Gerakannya sungguh cepat, padahal sedetik yang lalu ia baru saja
bicara kepada putrinya sambil tersenyum.
Di lain pihak, Linghu Chong
juga bergerak dengan cepat melolos pedang untuk menangkis tusukan sang ibu-guru
sambil sedikit melangkah mundur. Kedua pedang pun bertemu dan menimbulkan suara
benturan yang sangat keras.
Selanjutnya, berturut-turut
Ning Zhongze melancarkan enam serangan, namun bersamaan dengan itu Linghu Chong
juga melancarkan enam kali tangkisan.
“Serang aku ganti!” bentak
Nyonya Yue sambil mengubah gaya permainan. Kali ini ia menebas dan mencincang
seolah-olah pedangnya berfungsi sebagai golok. Jelas ini bukan ilmu pedang
Huashan. Linghu Chong segera menyadari kalau ibu-gurunya itu sedang memainkan
jurus golok kilat andalan Tian Boguang. Serangan itu pun bertambah cepat dan
semakin cepat.
Yue Lingshan menyksikan dengan
takjub, lalu berkata, “Ayah, gerakan Ibu sangat cepat, tapi tidak seperti jurus
pedang, juga tidak seperti jurus golok. Aku khawatir jangan-jangan ilmu golok
Tian Boguang tidak seperti itu.”
Yue Buqun menjawab, “Ilmu
silat Tian Boguang sangat hebat. Tentu saja sulit bagi ibumu untuk meniru jurus
goloknya dengan sama persis. Lagipula yang dilakukan ibumu bukan meniru jurus
golok penjahat itu, tapi meniru kecepatannya. Sekali lagi, kecepatannya.
Karena, kunci untuk mengalahkan Tian Boguang adalah bagaimana kita bisa
menghadapi kecepatan ilmu goloknya… Lihat itu! Bagus sekali! Jurus Burung Feng
Datang Menyembah!”
Yue Buqun berseru memuji
karena Linghu Chong menggunakan jurus yang tepat di saat yang tepat pula.
Sewaktu Linghu Chong merendahkan sedikit bahu kirinya sambil menarik siku kanan
dan kemudian mengacungkan tangan kiri ke samping, ia lantas melancarkan Jurus
Burung Feng Datang Menyembah. Akan tetapi pujian Yue Buqun berubah menjadi
kecaman saat melihat tusukan Linghu Chong terlihat lemah dan arahnya melenceng
sehingga gagal menembus lingkaran sinar pedang Ning Zhongze.
“Bodoh, salah besar!” seru Yue
Buqun kesal.
Nyonya Yue sendiri tidak
memberi ampun. Berturut-turut ia menyerang Linghu Chong sebanyak tiga kali.
Pemuda itu tampak sangat kewalahan menangkisnya. Permainan pedangnya semakin
kacau dan tidak terarah, bahkan beberapa jurus di antaranya bukan merupakan
ilmu pedang Huashan. Menyaksikan ini membuat Yue Buqun bertambah gusar.
Meskipun gerakan pedangnya
kacau, Linghu Chong masih tetap berusaha menangkis pedang Ning Zhongze. Setelah
terdesak mundur sampai ke dekat gua, ia tiba-tiba ganti menyerang menggunakan
jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Pedangnya berkelebat dan menusuk ke arah
pelipis Nyonya Yue. Namun wanita itu dapat menangkis serangan tersebut diiringi
suara benturan dua pedang yang sangat keras.
Nyonya Yue segera menyilangkan
pedang di depan dada untuk pertahanan. Wanita itu menyadari kehebatan jurus
yang dipakai Linghu Chong. Meskipun ia yakin Linghu Chong sudah menguasai jurus
itu dengan sangat baik dan tidak mungkin melukai dirinya, namun ia tetap
berjaga-jaga atas kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Maka, Ning Zhongze
pun mengubah gaya permainannya dari menyerang menjadi bertahan.
Akan tetapi, siapa sangka lagi-lagi
Linghu Chong memperlihatkan kelemahannya. Serangannya kali ini kembali melambat
dan tidak membawa daya tekanan terhadap lawan.
“Chong’er, perhatikan
gerakanmu! Pikiranmu sedang melayang ke mana?” seru Nyonya Yue sambil menebas
tiga kali.
Linghu Chong melompat untuk
menghindari serangan itu. Ning Zhongze semakin kesal dan berseru, “Jurus Cemara
Tua Menyambut Tamu macam apa pula ini? Apa kau kehilangan semua ilmu silatmu
gara-gara sakit?”
“Maaf!” jawab Linghu Chong
dengan wajah bersemu merah menahan malu. Kemudian ia pun berbalik dengan
melancarkan dua serangan.
Sementara itu Yue Buqun
menyaksikan pertandingan tersebut dengan tatapan tajam. Shi Daizi dan Lu Dayou
sampai ketakutan melihat raut wajah sang guru yang menampilkan perasaan gusar
luar biasa.
Suasana di puncak tebing itu
terdengar ramai oleh desingan suara pedang Ning Zhongze. Gaun berwarna hijau
yang ia kenakan sudah tidak terlihat dengan jelas lagi, karena yang kini
terlihat hanyalah bayangan hijau yang berkelebat ke sana kemari. Ditambah lagi
dengan kilatan sinar pedang membuat gerakan jurusnya semakin sulit tertangkap
mata.
Linghu Chong sendiri
menghadapi serangan ibu-gurunya dengan pikiran semakin kacau. Dalam hati ia
berkata, “Jika aku menggunakan jurus Kuda Menerjang, tentu musuh akan menangkis
dengan cara seperti itu… Jika aku memaksakan diri menyerang dari samping, pasti
aku akan terluka sendiri.”
Rupanya selama pertandingan
ini berlangsung, yang ada dalam pikiran Linghu Chong hanyalah gambar-gambar di
gua belakang. Ketika melancarkan jurus Burung Feng Datang Menyembah tadi,
pikirannya langsung membayangkan jurus penangkal yang terukir di dinding gua.
Begitu pula ketika menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu, langsung dalam
benaknya terbayang jurus yang bisa mematahkan jurus ini. Itulah sebabnya
mengapa gerakan pemuda itu terlihat kacau dan tidak menentu. Bayangan
gambar-gambar di gua belakang itu membuatnya khawatir dan mengubah gerakan
menjadi bertahan.
Sebaliknya, Nyonya Yue
mengayunkan pedangnya dengan cepat adalah untuk memaksa Linghu Chong
mengeluarkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Namun Linghu Chong yang
sedang bimbang justru menangkis dengan gerakan sekenanya. Pemuda itu sama
sekali tidak bisa memusatkan pikiran. Jelas sekali terlihat bahwa ia sedang
dicekam ketakutan dan rasa khawatir yang teramat sangat.
Ning Zhongze sendiri kesal
melihat Linghu Chong yang biasanya pemberani, tapi entah mengapa hari itu
terlihat begitu lemah dan gelisah. Belum pernah ia menyaksikan Linghu Chong
bertarung seperti ini. Wanita itu pun berteriak, “Chong’er, mengapa jurus
tunggal itu belum keluar juga?”
“Baiklah!” jawab Linghu Chong
sambil mengacungkan pedangnya ke depan, pertanda ia hendak mengerahkan Jurus
Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding.
“Bagus, gayamu sudah benar!”
sahut Nyonya Yue. Karena mengetahui kehebatan jurus ini, wanita itu tidak
berani menghadapinya secara langsung, namun bergerak ke samping untuk mengambil
ancang-ancang. Kemudian ia pun menangkis pedang Linghu Chong dari atas sekuat
tenaga.
Di lain pihak, Linghu Chong
kembali bimbang karena teringat gambar di dalam gua. “Jurus ini masih bisa
dikalahkan... Jurus ini masih bisa dikalahkan….”
Akibatnya, tenaganya pun
melemah sehingga tangkisan Ning Zhongze membuat pedangnya terlepas dari
genggaman dan melayang di udara.
“Aaaah!” seru Linghu Chong
karena tangannya kesakitan.
Tidak berhenti sampai di sini,
Ning Zhongze pun mengacungkan pedangnya lurus ke depan, yang tidak lain adalah
Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Namun kali ini, jurus tersebut jauh
lebih hebat daripada dulu, karena sudah lebih terarah dan terlatih.
Sejak menciptakan jurus pedang
andalan tersebut, Ning Zhongze selalu memikirkan cara bagaimana membuat jurus
ini lebih cepat dan lebih dahsyat sehingga lawan yang menghadapi tidak
mempunyai kesempatan untuk emnghindar atau menangkis. Diam-diam ia sangat
tersinggung karena Linghu Chong telah memainkan jurus kebanggaannya dengan
sangat buruk, yaitu pada awalnya mirip namun pada akhirnya melenceng dan tak
bertenaga. Seolah-olah Linghu Chong hendak menggambar harimau namun yang
terbentuk hanya seekor kucing. Ning Zhongze menganggap Linghu Chong sebagai
murid yang tidak berguna karena telah memainkan jurus pedang dahsyat yang
menjadi kebanggaannya dengan cara yang buruk dan tidak teratur. Maka, ia pun
mengambil alih penggunaan jurus tersebut untuk menyerang Linghu Chong.
Meskipun Nyonya Yue tidak
bersungguh-sungguh hendak melukai muridnya, namun Jurus Tunggal Pedang Ning
Tanpa Tanding sangat dahsyat dan berbahaya. Meskipun ujung pedang belum
mengenai sasaran, namun tenaga dalam yang menyertai tusukan membuat pihak lawan
merasa diselubungi kekuatan yang membuatnya sulit bergerak.
Yue Buqun merasa ngeri
membayangkan Linghu Chong tidak mungkin mampu untuk menangkis ataupun
menghindar, apalagi menyerang balik. Dulu sewaktu pertama kali menciptakan
jurus itu, Ning Zhongze hanya menusuk baju Linghu Chong, kemudian menghentakkan
tenaga dalam sehingga pedang di tangannya hancur berkeping-keping. Namun kali
ini sungguh berbeda. Ning Zhongze sudah terbawa emosi sehingga tenaga dalamnya
pun tercurah sedemikian besar dan tersalurkan ke ujung pedang. Dalam keadaan
seperti ini wanita itu sama sekali tidak punya kesempatan untuk menarik
serangannya kembali.
“Celaka!” seru Yue Buqun
sambil kemudian mencabut pedang yang tergantung di pinggang Yue Lingshan dan
kakinya melangkah maju. Ia berjaga-jaga kalau sampai sang istri kehilangan
kendali dan membahayakan nyawa Linghu Chong, maka ia pun segera melompat maju
untuk menangkis serangan tersebut.
Antara Yue Buqun dan Ning
Zhongze adalah saudara seperguruan sebelum mereka menikah, sehingga saling
mengenal kehebatan masing-masing. Meskipun tenaga dalam Yue Buqun lebih tinggi,
namun dalam keadaan ini Ning Zhongze sudah lebih dulu menerjang sambil
mengerahkan segenap kemampuan sehingga Yue Buqun tidak yakin apakah
tangkisannya nanti bisa berhasil atau tidak. Dalam hati ia hanya bisa berharap
semoga Linghu Chong tidak terluka cukup parah.
Sementara itu Linghu Chong
juga berusaha membela diri. Tanpa sadar tangannya meraih sarung pedang yang
tergantung di pinggang. Dengan cepat ia kemudian berjongkok sambil mengacungkan
sarung pedang tersebut ke arah Nyonya Yue dengan lubang mengarah ke depan lurus
searah tusukan pedang. Sesungguhnya gerakan ini mengacu pada gambar di dalam
gua belakang tentang cara mematahkan jurus tusukan pedang Perguruan Huashan
menggunakan toya. Jika ujung toya bertemu dengan ujung pedang membentuk sebuah
garis lurus, maka pedang yang bentuknya pipih akan patah dan toya akan terus
mengarah ke depan sehingga melukai si pembawa pedang.
Pertarungan melawan sang
ibu-guru membuat pikiran Linghu Chong kacau balau. Berbagai bayangan gambar di
gua belakang terlintas silih berganti di dalam benaknya. Apalagi sewaktu
pedangnya terlempar ke udara dan melihat Ning Zhongze mengerahkan jurus
andalan, Linghu Chong tidak mempunyai pilihan lain kecuali meniru gambar yang
terlukis di gua. Kejadiannya begitu tiba-tiba membuat Linghu Chong tanpa sadar
dan tanpa berpikir langsung menghadapinya dengan jurus penangkal demi menyelamatkan
nyawa sendiri. Serangan pedang yang kuat dan sangat cepat harus dihadapi dengan
tangkisan toya yang cepat pula. Tidak ada lagi waktu untuk berpikir darimana
mendapatkan toya di saat-saat genting seperti itu. Karena tanpa sengaja
tangannya menyentuh sarung pedang yang tergantung di pinggang, maka pemuda itu
langsung mengacungkan benda tersebut sebagai pengganti toya. Bahkan, andai saja
waktu itu yang terpegang adalah batu bata, tentu batu bata pun akan diacungkan
pula untuk menahan tusukan pedang Ning Zhongze.
Namun dalam keadaan gugup dan
terdesak, Linghu Chong tanpa sadar memutar sarung pedang di tangannya sehingga
bagian mulut menghadap ke depan. Akibatnya, ketika kedua senjata bertemu tidak
terjadi benturan yang mengakibatkan patahnya pedang seperti gambar di dinding
gua, melainkan ujung pedang Ning Zhongze langsung masuk ke dalam sarung pedang
di tangan Linghu Chong.
Dalam keterkejutan, Nyonya Yue
hanya merasakan tangannya tergetar kesakitan. Pedang pun terlepas dari pegangan
setelah masuk secara sempurna ke dalam sarung pedang di tangan Linghu Chong.
Tanpa bisa dicegah, sarung pedang tersebut terus saja disodorkan sehingga
gagang pedang mengarah ke tenggorokan Ning Zhongze.
Heran bercampur terkejut
perasaan Yue Buqun melihat keadaan telah berbalik di mana jiwa istrinya yang
kini terancam bahaya. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga disertai ilmu
Kabut Lembayung Senja untuk menangkis gagang pedang yang disodorkan Linghu
Chong. Perasaan hangat menggelora pun merasuki badan Linghu Chong namun kemudian
menyesakkan dada. Pemuda itu mundur tiga langkah sampai akhirnya
terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk. Sarung pedang di
tangannya telah terlepas dan hancur berkeping-keping sekaligus dengan pedang
Ning Zhongze yang ada di dalamnya akibat berbenturan dengan pedang yang
diayunkan Yue Buqun.
Pada saat yang bersamaan
pedang Linghu Chong yang tadi terlempar ke udara akibat tangkisan Nyonya Yue
jatuh pula ke tanah dan menancap hampir sebatas gagang.
Rangkaian peristiwa ini
terjadi begitu cepat, mulai dari terlemparnya pedang Linghu Chong, serangan
balasan Ning Zhongze menggunakan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang
disambut sarung pedang Linghu Chong, sampai tampilnya Yue Buqun menyelamatkan
nyawa sang istri benar-benar terjadi dalam waktu beberapa detik saja. Sudah
pasti ini semua membuat Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan terkesima begitu
menyadarinya.
Yue Buqun kemudian melompat
maju dan menampar masing-masing pipi Linghu Chong dengan keras sambil
membentak, “Dasar binatang! Apa yang telah kau lakukan?”
Linghu Chong merasa kepalanya
pusing dan tubuhnya sempoyongan. Ia kemudian berlutut dan berkata, “Guru dan
Ibu Guru, saya pantas dihukum mati.”
Dengan amarah meledak-ledak,
Yue Buqun kembali membentak, “Selama setengah tahun ini apa saja yang kau
kerjakan? Ilmu silat apa yang kau latih di sini?”
“Murid tidak... murid tidak
berlatih ilmu silat baru,” jawab Linghu Chong ketakutan.
“Dari mana kau dapatkan
pikiran liar sehingga mampu menciptakan jurus yang nyaris mencelakakan nyawa
ibu-gurumu tadi?” bentak Yue Buqun dengan suara nyaring.
“Jurus yang tadi datang begitu
saja. Murid… murid tidak pernah merencanakan apalagi melatihnya. Semua itu
terjadi tanpa sengaja,” jawab Linghu Chong gugup.
Yue Buqun menghela napas
panjang. “Baiklah, aku juga menduga kau mengerahkan jurus tadi tanpa berpikir
lebih dulu. Jurus tadi kau peroleh tanpa sengaja karena terdesak,” lanjutnya.
“Hanya saja apa yang kau lakukan tadi sudah mulai mengarah ke jalan salah dan
jika terlanjur akan sulit bagimu untuk melepaskan diri.”
“Jalan yang salah?” sahut
Linghu Chong sambil menyembah. “Mohon Guru sudi memberikan petunjuk.”
Sementara itu perasaan Ning
Zhongze sudah mulai tenang. Melihat kedua pipi Linghu Chong yang merah bengkak
akibat tamparan suaminya, segera timbul rasa kasihnya. Ia pun berkata lembut,
“Sudahlah, lekas kau bangun! Kunci persoalan ini memang kau belum
mengetahuinya.”
Wanita itu kemudian berpaling
ke arah suaminya, “Kakak, bakat Chong’er sebenarnya sangat bagus. Namun sayang,
selama beberapa bulan ini kita membiarkannya berlatih sendiri sehingga ia pun
tersesat menuju jalan yang salah. Namun untungnya, dia belum terjerumurs
terlalu dalam, sehingga masih bisa kita arahkan untuk kembali ke jalan yang
benar.”
Yue Buqun termangu-mangu kemudian
berkata pada Linghu Chong, “Bangunlah!”
Linghu Chong lekas merangkak
bangun. Menyaksikan pedang dan sarungnya yang hancur menjadi tiga bagian dan
berserakan di tanah membuatnya bergidik ngeri. Selain itu ia juga merqasa heran
mengapa guru dan ibu-guru menyebutnya telah menempuh jalan yang salah dalam
berlatih ilmu silat.
Yue Buqun kemudian memanggil
pula ketiga murid yang lain, “Kalian bertiga lekas kemari!”
“Baik, Guru,” jawab Shi Daizi,
Lu Dayou, dan Yue Lingshan bersamaan. Mereka segera berlari mendekat dan
kemudian berkumpul di hadapan sang guru.
Perlahan Yue Buqun duduk di
atas sebongkah batu dan mulai bercerita, “Dua puluh lima tahun yang lalu, ilmu
silat perguruan kita telah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok benar
dan kelompok salah....”
Para murid terkejut dan
sama-sama berpikir, “Ilmu silat Huashan terbagi menjadi dua? Bagaimana bisa ada
kelompok benar dan kelompok salah? Mengapa selama ini kami belum pernah
mendengarnya?”
Yue Lingshan yang tidak
sabaran menukas, “Ayah, apakah ilmu silat yang kita pelajari selama ini
termasuk kelompok yang benar?”
“Sudah tentu. Lagipula untuk
apa kita mempelajari ilmu yang salah?” sahut Yue Buqun balik bertanya.
“Sebaliknya, kelompok mereka juga mengaku ilmu mereka adalah ilmu yang benar,
dan kelompok kita dikatakan salah. Namun akhirnya kelompok mereka bubar begitu
saja. Selama beberapa tahun ini keberadaan mereka sudah tidak lagi terdengar di
dunia persilatan.”
“Pantas saja aku tidak pernah
mendengar berita ini,” kata Yue Lingshan. “Tapi Ayah, kalau kelompok salah itu
sudah musnah, maka tidak perlu kita khawatirkan lagi, bukan?”
“Kau ini tahu apa?” gerutu Yue
Buqun. “Mereka tetap saja saudara kita. Hanya saja mereka itu melakukan
kesalahan dalam mempelajari ilmu. Coba katakan, bagian mana yang lebih dulu
kuajarkan kepada kalian?” Sambil bertanya demikian ia memandang ke arah Linghu
Chong.
Dengan cepat Linghu Chong
menjawab, “Guru lebih dulu mengajarkan rumus dan cara mengatur napas. Yang kita
pelajari adalah ilmu tenaga dalam sebelum belajar jurus pedang.”
“Benar sekali,” sahut Yue
Buqun. “Inti ilmu silat Huashan terletak pada latihan tenaga dalam. Bila tenaga
dalam sudah dikuasai, maka jurus-jurus silat pun mudah dipelajari. Tidak peduli
senjata apapun yang kita pergunakan, baik itu pedang, tombak, ataupun pukulan
dan tendangan, semuanya akan menjadi serangan yang ampuh. Sebaliknya, kelompok
mereka lebih menekankan pada teknik penguasaan jurus pedang. Meskipun tenaga
dalam rendah, tapi kalau jurus pedang sudah dikuasai maka sudah bisa digunakan
untuk mengalahkan musuh. Perbedaan inilah yang menyebabkan perguruan kita
terpecah menjadi dua kelompok.”
“Ayah,” sela Yue Lingshan
kembali. “Apakah Ayah berjanji tidak akan marah jika aku punya pendapat yang
berbeda?”
“Pendapat bagaimana?” tanya
Yue Buqun.
“Meskipun tenaga dalam sangat
penting, jurus pedang juga tidak boleh diabaikan, bukan? Meskipun memiliki
tenaga dalam yang hebat tapi kalau tidak bisa menguasai pedang tetap saja tidak
bisa menunjukkan kehebatan perguruan kita,” lanjut Yue Lingshan.
“Huh, kau ini tahu apa?” ujar
Yue Buqun. “Siapa bilang jurus pedang lebih penting? Yang lebih penting tentu
saja yang mengendalikan pedang, dalam hal ini tentu saja tenaga yang
mengendalikan pedang.”
“Apa tidak sebaiknya tenaga
dalam dan jurus pedang dilatih beriringan sehingga keduanya sama-sama
sempurna?” sahut Yue Lingshan kembali bertanya.
Yue Buqun menjawab, “Ucapanmu
barusan bisa membuatmu terjerumus ke jalan salah. Saat kau berkata kedua-duanya
sama-sama penting, sama artinya kau mengatakan bahwa kedua-duanya saling
mengendalikan. Waktu itu keadaan begitu tidak menentu. Ucapanmu tadi terkesan
menentang kelompok tenaga dalam, tapi juga merendahkan kelompok pedang. Kalau
saja ucapanmu itu disampaikan tiga puluh tahun silam, bisa-bisa kau akan kehilangan
kepalamu dalam beberapa jam saja.
“Hah? Hanya karena bicara
seperti itu kepala langsung dipenggal? Wah, mereka sungguh keterlaluan,” ujar
Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah.
Yue Buqun menjawab, “Saat itu
aku masih remaja. Perselisihan antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang
tidak memperoleh titik temu. Jika ucapanmu disampaikan saat perselisihan itu
terjadi, maka Kelompok Pedang akan membunuhmu, sedangkan Kelompok Tenaga Dalam
juga tidak akan membiarkanmu hidup. Kau mengatakan bahwa tenaga dalam dan jurus
pedang bisa dipelajari bersama-sama dan keduanya sama-sama penting. Kelompok
Tenaga Dalam akan menganggapmu telah menyejajarkan Kelompok Pedang sederajat
dengan mereka; sebaliknya, Kelompok Pedang menuduhmu mencampur aduk dua hal yang
tidak bisa disejajarkan. Begitulah, kedua kelompok sama-sama merasa unggul dan
tidak sudi untuk disejajarkan.”
Yue Lingshan kembali berkata,
“Untuk apa mereka berselisih panjang lebar? Kenapa mereka tidak bertanding saja
biar semuanya menjadi jelas.”
Yue Buqun menghela napas dan
melanjutkan ceritanya, “Tiga puluh tahun silam Kelompok Tenaga Dalam kita
jumlahnya lebih sedikit. Sebaliknya, jumlah pengikut Kelompok Pedang lebih
banyak. Apalagi mempelajari jurus pedang cenderung lebih cepat dan lebih mudah
daripada mempelajari tenaga dalam. Jika sama-sama berlatih dalam sepuluh tahun,
tentu Kelompok Pedang lebih unggul. Kalau berlatih hingga dua puluh tahun,
kedua kelompok sama-sama punya peluang untuk menjadi pemenang. Akan tetapi
kalau berlatih selama tiga puluh tahun, tentu Kelompok Tenaga Dalam yang lebih
unggul. Namun ini berarti paling tidak membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk
bersaing dan membuktikan mana yang lebih unggul. Kau bisa membayangkan betapa
dahsyat pertarungan yang terjadi apabila dua kelompok yang sama-sama berlatih
selama dua puluh tahun.”
“Jika demikian, apakah
Kelompok Pedang akhirnya mengaku kalah?” sahut Yue Lingshan.
Yue Buqun menggeleng perlahan.
Sejenak kemudian ia kembali bercerita, “Mereka tetap keras kepala bahwa jalan
yang mereka tempuh adalah benar, dan mereka tidak mau mengakui kekalahan. Dalam
pertandingan yang digelar di Puncak Gadis Kumala ini, mereka menderita
kekalahan habis-habisan. Namun sebagian besar dari mereka… sebagian besar dari
mereka memilih bunuh diri daripada mengakui kekalahan. Sisanya tinggal beberapa
orang memilih mengasingkan diri dalam kesunyian, serta tidak mau menampakkan
diri lagi di dunia persilatan.”
Linghu Chong dan yang lain
sampai menjerit karena terkejut mendengar cerita itu.
Yue Lingshan kembali bertanya,
“Hanya karena kalah bertanding sesama saudara seperguruan kenapa sampai nekad
bunuh diri segala?”
“Masalahnya tidak sesederhana
itu, karena ini menyangkut prinsip dan pondasi dalam berlatih ilmu silat,” ujar
Yue Buqun. “Dalam Serikat Pedang Lima Gunung, perguruan kita memiliki jagoan
paling banyak, juga ilmu silat paling hebat. Namun gara-gara pertandingan di
Puncak Gadis Kumala ini, lebih dari dua puluh orang sesepuh perguruan kita
menjadi korban. Bukan hanya para sesepuh Kelompok Pedang yang mati bunuh diri,
bahkan sesepuh Kelompok Tenaga Dalam juga banyak yang gugur. Itulah sebabnya,
mengapa jabatan ketua serikat akhirnya bisa direbut oleh Perguruan Songshan.
Peristiwa waktu itu sungguh sangat mengerikan dan memprihatinkan.”
Linghu Chong dan yang lain
kembali mengangguk dengan perasaan ngeri membayangkan apa yang telah terjadi.
Yue Buqun melanjutkan, “Memang
benar perguruan kita tidak bisa menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung.
Memang benar nama besar Perguruan Huashan kita merosot tajam. Namun yang lebih
mengerikan adalah murid-murid dalam perguruan kita saling bunuh tanpa ampun
padahal sebelumnya bagaikan saudara kandung satu sama lain. ‘Jika kau tidak
membunuhku, maka aku yang akan membunuhmu.’ Sungguh brutal dan keji. Tiap kali aku
mengingat peristiwa itu, aku selalu dicekam kengerian teramat sangat. Bagaimana
tidak? Setiap detik setiap waktu kita bisa kehilangan nyawa di tangan saudara
sendiri.” Usai berkata demikian ia melirik ke arah sang istri.
Raut wajah Ning Zhongze juga terlihat
tegang. Perasaan wanita itu kembali dicekam ketakutan karena teringat peristiwa
dahsyat tersebut, di mana para jagoan Perguruan Huashan saling bunuh satu sama
lain.
Perlahan-lahan Yue Buqun
membuka bajunya. Tampak sebuah bekas luka cukup panjang menghiasi dadanya. Dari
bahu kiri memanjang sampai dada sebelah kanan. Meskipun luka itu sudah sembuh
namun masih terlihat kemerah-merahan. Sepertinya luka itu sangat dalam dan
nyaris merenggut nyawa Yue Buqun kala itu.
Melihat itu Yue Lingshan
menjerit ngeri, “Aih, Ayah! Dadamu itu... dadamu itu....”
Meskipun sejak kecil tinggal
di Huashan, namun baru kali ini Linghu Chong dan Yue Lingshan mengetahui kalau
sang guru memiliki bekas luka parah di dada.
Yue Buqun kembali mengenakan
pakaiannya dan berkata, “Waktu itu di Puncak Gadis Kumala ini, seorang paman
guru menebas dadaku sehingga aku jatuh pingsan. Mungkin Beliau mengira aku
sudah mati sehingga tidak peduli lagi kepadaku. Kalau saja pedangnya menyambar
lagi, tentu nyawaku saat itu sudah melayang.”
“Kalau Ayah tiada, tentu aku
sendiri tidak akan lahir di dunia ini,” sahut Yue Lingshan tertawa.
Yue Buqun tersenyum. Tapi
sekejap kemudian ia kembali berkata dengan galak, “Ceritaku tadi benar-benar
sebuah rahasia besar dalam perguruan kita. Jangan sampai kalian mebocorkan
berita ini keluar! Orang-orang dari perguruan lainnya hanya mengetahui kalau
dalam waktu sehari saja perguruan kita sudah kehilangan lebih dari dua puluh
orang jagoan. Namun, tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Yang kita sampaikan ke luar hanyalah berita bohong, bahwa telah
terjadi wabah penyakit yang nyaris menghancurkan Perguruan Huashan. Jangan
sampai cerita memalukan ini tersebar ke pihak luar. Kali ini aku terpaksa
bercerita karena masalah ini sungguh sangat penting. Apabila Chong’er
meneruskan langkah yang diambilnya, tentu tidak sampai tiga tahun ia akan lebih
mengutamakan jurus pedang daripada tenaga dalam. Hal ini tentu sangat berbahaya
bagi dirimu sendiri, bahkan, pengorbanan para sesepuh kita juga akan sia-sia.
Tidak hanya itu, Perguruan Huashan juga akan mengalami kehancuran.”
Linghu Chong mengucurkan
keringat dingin. Ia pun berkata sambil membungkuk serendah-rendahnya, “Murid
telah melakukan kesalahan besar. Mohon Guru dan Ibu Guru menghukum seberat-beratnya.”
Yue Buqun menghela napas dan
berkata, “Apa yang telah kau lakukan sesungguhnya di luar kesengajaan, sehingga
tidak sepantasnya aku menyalahkanmu. Namun, coba bayangkan apa saja yang telah
dilakukan para sesepuh di Kelompok Pedang? Mereka yang seharusnya bertanggung
jawab atas kejayaan Perguruan Huashan, namun terlanjur menempuh jalan yang
salah sehingga tidak mampu keluar dari kesesatan itu. Apabila aku tidak
menamparmu dan memberikan nasihat kepadamu, tentu kau akan terjerumus pula ke
dalam kesesatan Kelompok Pedang. Apalagi dengan kepandaianmu yang berada di
atas rata-rata murid-muridku, maka kau akan jatuh ke dalam jalan yang salah
lebih cepat dari yang kau duga.”
“Baik, Guru!” jawab Linghu
Chong.
Ning Zhongze tiba-tiba
bertanya, “Chong’er, jurus yang tadi kau gunakan untuk merebut pedangku kau
peroleh dari mana?”
Linghu Chong menjawab dengan
wajah bersemu merah menahan malu, “Saya tadi hanya berusaha menangkis serangan
Ibu Guru yang sangat dahsyat itu. Saya sama sekali tidak mengira kalau...
kalau....”
“Ya, sudahlah,” ujar Nyonya
Yue. “Sekarang kau sudah tahu mana yang lebih unggul di antara Kelompok Tenaga
Dalam ataukah Kelompok Pedang. Sebenarnya jurusmu tadi sangat bagus. Namun
begitu terbentur oleh tenaga dalam gurumu yang luar biasa, betapapun bagusnya
jurusmu tadi menjadi tidak berguna lagi. Dahulu sewaktu pertandingan di puncak
sini entah berapa banyak sesepuh kita yang membanggakan jurus pedangnya. Namun
berkat ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja yang dikuasai kakek gurumu, jurus-jurus
mereka berhasil dipatahkan. Lebih dari sepuluh orang jagoan Kelompok Pedang
yang mengalami kekalahan di tangan kakek-gurumu. Oleh karena itu, mulai
sekarang kalian harus ingat baik-baik apa yang telah disampaikan guru kalian,
bahwa inti dari ilmu silat perguruan kita terletak pada tenaga dalam. Tenaga
dalam mengendalikan jurus pedang. Jurus pedang hanya sebagai pelengkap saja.
Jika latihan tenaga dalam gagal, maka betapa pun bagus jurus pedang yang
dikuasai tetap saja tidak ada gunanya.”
Linghu Chong, Shi Daizi, Lu
Dayou, dan Yue Lingshan membungkukkan badan menerima nasihat tersebut.
Yue Buqun kembali berbicara,
“Chong’er, sebenarnya hari ini aku berniat mengajarkan dasar-dasar ilmu tenaga
dalam Kabut Lembayung Senja kepadamu. Setelah itu aku ingin membawamu turun
gunung untuk membunuh si keparat Tian Boguang. Tapi sepertinya urusan ini
terpaksa harus ditunda lebih dulu. Selama dua bulan ke depan hendaknya kau
ulangi lagi pelajaran tenaga dalam yang pernah kuajarkan semuanya. Buanglah
ilmu pedang aneh-aneh yang menyesatkan itu. Kelak aku akan datang kembali untuk
mengujimu. Aku ingin melihat, apakah kau ada kemajuan atau tidak.” Sampai di
sini wajah Yue Buqun berubah galak, “Tapi jika kau tetap tidak mau sadar dan
masih terus mengarah ke jalan salah yang pernah ditempuh Kelompok Pedang, maka
jangan menyesal jika kau harus menerima akibatnya. Hukuman yang berat adalah
hukuman mati, dan hukuman yang ringan adalah aku akan memusnahkan semua ilmu
silatmu dan mengusirmu dari perguruan. Jangan salahkan aku karena aku sudah
mengingatkanmu tentang ini.”
“Baik, Guru!” sahut Linghu
Chong dengan keringat dingin membasahi dahinya. “Murid tidak akan berani
mengulanginya lagi.”
Yue Buqun lantas berkata
kepada Yue Lingshan dan Lu Dayou, “Juga kepada kalian berdua, Shan’er dan
Dayou. Watak kalian juga kurang sabar. Apa yang kukatakan kepada Kakak Pertama
tadi juga berlaku untuk kalian.”
Lu Dayou mengiakan dengan
penuh hormat. Sementara Yue Lingshan menjawab, “Watak kami berdua memang tidak
sabaran. Tapi kami berdua tidak secerdas Kakak Pertama. Jadi, mana mungkin kami
bisa menciptakan jurus pedang segala? Ayah tidak perlu khawatir.”
“Hm, apa benar tidak mampu?”
tanya Yue Buqun. “Bukankah kau dan Chong’er telah menciptakan jurus Pedang
Chong-Ling?”
Wajah Linghu Chong dan Yue
Lingshan sama-sama bersemu merah. Dengan cepat Linghu Chong memohon ampun,
“Guru, maafkan kelancangan kami!”
Sementara itu Yue Lingshan
masih saja menjawab, “Kejadian itu sudah lama berlalu. Waktu itu kami hanya
main-main saja. Dari mana Ayah tahu?”
Yue Buqun menjawab, “Sebagai
ketua perguruan, kalau gerak-gerik muridnya saja tidak tahu, akan jadi apa
Perguruan Huashan ini?”
“Ayah… kau jangan
mengolok-olok aku,” jawab Yue Lingshan manja sambil menarik-narik lengan baju
ayahnya.
Di lain pihak, Linghu Chong
sama sekali tidak melihat kesan bercanda di wajah ataupun suara Yue Buqun. Ia
sangat yakin kalau sang guru sama sekali tidak mengolok-olok.
Yue Buqun kemudian berdiri dan
melanjutkan, “Apabila tenaga dalam kita sudah mencapai tingkat sempurna, setiap
gerakan yang paling ringan sekalipun sudah cukup mematikan. Boleh dikatakan,
rumput dan bunga bisa jadi senjata. Orang luar menganggap Huashan hanya sekadar
perguruan pedang. Pendapat seperti itu sungguh sangat merendahkan kita.”
Usai berkata demikian Yue
Buqun mengibaskan lengan baju kirinya dan tahu-tahu pedang yang tergantung di
pinggang Lu Dayou sudah melayang keluar. Kemudian lengan baju yang kanan
dikibaskan pula dan menyapu pedang tersebut. Secara ajaib, pedang murid nomor
enam tersebut langsung patah menjadi beberapa bagian dan berjatuhan di tanah.
Tentu saja pemandangan ini
membuat para murid terkejut bukan main. Bahkan, Ning Zhongze yang siang malam
tinggal bersama Yue Buqun tidak menyangka tenaga dalam sang suami sudah
mencapai tingkatan setinggi itu.
“Mari kita pulang!” kata Yue
Buqun sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan puncak tebing bersama
istrinya. Yue Lingshan, Shi Daizi, dan Lu Dayou segera mengikuti dari belakang.
Linghu Chong yang tinggal
seorang diri termenung memandangi pedang Lu Dayou yang patah dan berserakan di
tanah. Perasaan terkejut dan gembira bercampur menjadi satu. “Ternyata ilmu
silat Huashan sedemikian hebatnya. Setiap jurus yang dilancarkan Guru rasanya
tidak akan mampu ditahan oleh siapa pun juga. Sebenarnya inti ilmu silat kami
terletak pada tenaga dalam. Sementara gambar-gambar di dinding gua hanyalah
cara untuk mematahkan jurusnya saja. Memang harus diakui, gambar-gambar itu
menunjukkan kalau ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung bisa dipatahkan. Namun
mereka tidak sadar kalau setiap ilmu pedang dari kelima perguruan pasti
disertai aliran tenaga dalam. Tentu saja yang demikian ini tidak bisa
dipatahkan dengan mudah. Sebenarnya masalah ini sangat sederhana, namun tidak
terbayangkan olehku sehingga pikiranku hanya menemui jalan buntu. Sama-sama
jurus Burung Feng Datang Menyembah apabila dimainkan Adik Lin dengan dimainkan
oleh Guru tentu akan berbeda hasilnya. Aku yakin jurus toya yang terukir di gua
sudah pasti bisa mematahkan serangan Adik Lin, tetapi tidak mungkin berhasil
jika digunakan untuk menangkis serangan Guru.”
Menyadari segala teka-teki
akhirnya bisa terpecahkan membuat Linghu Chong merasa sangat bergembira.
Meskipun sang guru tidak jadi mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja ataupun
menjodohkan Yue Lingshan dengannya, namun semangatnya telah bangkit kembali
karena kepercayaannya terhadap ilmu silat Perguruan Huashan kembali pulih. Saat
teringat bahwa dirinya pernah berpikir tentang perjodohan dengan Yue Lingshan,
tanpa sadar pipinya pun bersemu merah menahan malu.
Sore hari berikutnya Lu Dayou
kembali datang mengantarkan makanan.
“Kakak Pertama, pagi tadi Guru
dan Ibu Guru berangkat menuju Shanxi Utara,” demikian ia berkata.
“Shanxi Utara? Mengapa bukan
ke Chang’an?” sahut Linghu Chong menegas.
“Si bajingan Tian Boguang
melakukan beberapa kejahatan di Kota Yan’an. Ini membuktikan kalau dia sudah
meninggalkan Chang’an,” jawab Lu Dayou.
Mendengar itu diam-diam Linghu
Chong berpikir, “Kali ini Guru dan Ibu Guru turun gunung untuk membinasakan
Tian Boguang. Tentu penjahat cabul itu tidak bisa lolos dari maut. Mengingat
kejahatan yang ia lakukan sudah sedemikian banyak, maka hukuman mati mungkin
terlalu ringan untuknya. Sayang sekali, padahal ilmu silatnya sangat tinggi.
Kami sudah bertanding sebanyak dua kali, dan aku merasa bahwa dia sebenarnya
berjiwa kesatria dan sangat terbuka. Sayang sekali ia menempuh jalan hitam
sehingga menjadi musuh bersama kaum persilatan.”
Selama dua hari berikutnya
Linghu Chong semakin giat belajar tenaga dalam. Sekarang ia merasa takut pergi
melihat gambar-gambar di gua belakang. Jangankan pergi ke sana, bahkan
memikirkan saja ia tidak punya keberanian.
“Aku bersyukur karena Guru dan
Ibu Guru telah menyadarkan aku dan menyelamatkan aku dari jalan salah. Hampir saja
aku menjadi pengkhianat di Perguruan Huashan,” demikian pikirnya.
Sore hari berikutnya, sesudah
makan ia kembali duduk bermeditasi. Beberapa jam kemudian tiba-tiba terdengar
suara langkah kaki seseorang menaiki jalan setapak menuju puncak tebing tersebut.
Dari suara langkah kakinya yang cepat dan ringan dapat diketahui kalau orang
yang datang kali ini tentu berilmu tinggi. Seketika Linghu Chong merasa
jantungnya berdebar kencang.
“Ia bukan berasal dari
Perguruan Huashan. Mungkinkah dia pria bercadar tempo hari? Kenapa ia datang
lagi ke sini?” Usai berpikir demikian, Linghu Chong pun mengambil pedang dan
bersiap melangkah keluar dari gua.
Pada saat itu orang yang
mendaki tebing telah muncul dan berdiri di hadapan Linghu Chong. Orang itu
berteriak, “Saudara Linghu, sahabat lama, aku yang datang mengunjungimu!”
Linghu Chong terperanjat
karena suara tersebut ia kenal dengan baik, yaitu suara Tian Boguang si
Pengelana Tunggal Selaksa Li. Padahal Yue Buqun dan Ning Zhongze sedang turun
gunung mencarinya, tapi sekarang ia malah datang sendirian ke puncak Huashan.
Sungguh berani.
Segera Linghu Chong keluar gua
sambil berkata ramah, “Sungguh tidak kusangka Saudara Tian berkunjung kemari.”
Penjahat cabul itu tampak
membawa pikulan yang berisi dua buah keranjang bambu. Dari dalam keranjang
tersebut ia mengeluarkan dua buah guci berisi arak sambil tersenyum lebar.
“Kabarnya Saudara Linghu sedang meringkuk di dalam gua hukuman di puncak
Huashan sini. Aku yakin mulutmu sudah ketagihan merindukan arak enak. Maka itu,
waktu di Chang’an aku sengaja mengambilkan untukmu arak berusia seratus tiga
puluh tahun simpanan Rumah Minum Peri Terbuang. Mari kita nikmati bersama-sama,
Saudara Linghu!”
Linghu Chong berjalan maju
beberapa langkah. Di bawah sinar rembulan ia dapat membaca guci arak tersebut
ditempeli label usang bertuliskan “Rumah Minum Peri Terbuang”, sebuah rumah
arak terbesar di Kota Chang’an. Melihat itu ia tertawa senang, “Kau sengaja
memikul arak seberat ini ke puncak Huashan? Wah, kebaikan hatimu patut untuk dipuji.
Mari, mari kita nikmati bersama-sama, Saudara Tian!”
Segera ia berlari masuk ke
dalam gua dan kembali dengan membawa dua buah mangkuk besar. Sementara itu Tian
Boguang sudah membuka penutup guci sehingga bau harum arak yang semerbak itu
tercium sampai jauh.
“Baunya saja sudah cukup
memabukkan,” ujar Linghu Chong tidak sabar.
Tian Boguang pun menuang
semangkuk penuh dan menyerahkannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Sungguh
arak yang lezat! Coba kau cicipi dulu, bagaimana rasanya.”
Tanpa menolak Linghu Chong
langsung menghabiskan isi mangkuk itu dalam sekali teguk. “Hm, benar-benar arak
yang nikmat! Jarang ada bandingannya di dunia ini,” serunya memuji sambil
mengacungkan ibu jari.
Tian Boguang tertawa dan
berkata, “Menurut pendapat kaum ahli, arak yang paling bagus adalah arak Fen
dari Utara, dan arak Shao dari Selatan. Arak Fen sendiri yang paling enak bukan
dari Shanxi, tetapi dari Kota Chang’an, dan yang paling terkenal dibuat oleh
Rumah Minum Peri Terbuang, di mana Li Taiba si penyair terkenal dari zaman
Dinasti Tang pernah mabuk di sana. Apa kau tahu, pada saat ini arak bagus di
Rumah Minum Peri Terbuang hanya tinggal dua guci ini saja?”
Linghu Chong menjadi heran,
“Mana mungkin di dalam gudang Rumah Minum Peri Terbuang hanya tersisa dua guci
ini saja?”
Tian Boguang tertawa dan
menjawab, “Setelah aku mengambil dua guci, sebenarnya masih tersisa sekitar dua
ratus guci lainnya. Tapi kupikir-pikir semua pejabat dan orang kaya di Kota
Chang’an bisa datang ke Rumah Minum Peri Terbuang dan mencicipi arak-arak bagus
itu. Kalau seperti itu tentu arak yang dinikmati Pendekar Linghu sebagai
pecinta arak menjadi tidak istimewa lagi. Maka, aku pun menghancurkan semua
guci di dalam gudang itu sehingga terjadi banjir arak hampir sepinggang tingginya.”
Linghu Chong tertawa geli dan
bertanya menegas, “Jadi, kau telah menghancurkan semua guci arak di gudang
Rumah Minum Peri Terbuang?”
“Ya, begitulah. Saat ini di
dunia hanya tersisa dua guci ini saja arak Rumah Minum Peri Terbuang. Dengan
demikian oleh-olehku ini menjadi lebih berharga, bukan? Hahahaha!” seru Tian
Boguang sambil tertawa tgerbahak-bahak.
“Terima kasih, terima kasih!”
kata Linghu Chong sambil meneguk isi mangkuk kedua sampai habis. “Saudara Tian
sudah bersusah payah menjengukku sambil memikul dua guci arak ini saja aku
sudah memberikan penghargaan setinggi-tingginya. Jangankan membawa oleh-oleh
arak nomor satu di dunia, bahkan membawa air tawar saja aku sudah sangat
berterima kasih.”
Tian Boguang memandangi Linghu
Chong dengan seksama, kemudian berseru sambil mengacungkan jempol, “Bagus
sekali! Kau memang laki-laki sejati!”
“Mengapa Saudara Tian memuji
seperti itu?” tanya Linghu Chong.
“Kau tahu kalau orang bermarga
Tian ini seorang penjahat cabul yang suka berbuat kejahatan. Aku juga pernah
membuatmu terluka parah, serta melakukan banyak perbuatan buruk di dekat Gunung
Huashan ini. Setiap orang Huashan ingin membunuhku,” jawab Tian Boguang. “Tapi
sekarang aku datang membawa dua guci arak dan Saudara Linghu berani minum
bersamaku tanpa khawatir jangan-jangan arak ini sudah kucampur dengan racun.
Maka itu, aku menyebutmu sebagai laki-laki sejati karena hanya yang berjiwa
besar saja yang berhak meneguk arak istimewa ini.”
“Ah, Saudara Tian terlalu
memuji,” sahut Linghu Chong. “Kita sudah bertarung dua kali. Pertama di gua,
kedua di rumah makan. Meskipun Saudara Tian suka berbuat cabul dan tidak
senonoh, namun aku yakin segala perbuatan licik dan pengecut tentu kau tak sudi
melakukannya. Lagipula ilmu silat Saudara Tian lebih tinggi dariku. Kalau kau
ingin aku mati, tinggal ayunkan golok saja – mengapa harus repot-repot menaruh
racun segala?”
“Benar juga ucapanmu, Saudara
Linghu,” seru Tian Boguang sambil tertawa. “Tapi apa kau tahu kalau kedua guci
ini tidak langsung kubawa dari Chang’an menuju Gunung Huashan? Kedua guci ini
sempat kubawa mampir ke Shanxi Utara untuk melakukan dua perampokan, kemudian
kubawa ke Shanxi Selatan untuk menemaniku melakukan dua pencurian pula. Baru
setelah itu aku bawa naik ke Huashan sini.”
Linghu Chong terperanjat.
Setelah termenung sejenak ia lantas berkata, “Aku tahu sekarang. Saudara Tian
sengaja mampir ke Shanxi untuk membuat onar dengan tujuan memancing Guru dan
Ibu Guru supaya turun gunung mengejarmu. Padahal tujuanmu yang sebenarnya
adalah mengunjungi aku di sini. Ini namanya siasat ‘memancing harimau turun
gunung’. Sebenarnya, apa yang kau inginkan dariku, Saudara Tian?”
“Boleh juga tebakan Saudara
Linghu ini,” ujar Tian Boguang sambil tersenyum.
“Baiklah kalau begitu,” kata
Linghu Chong sambil menuang arak ke dalam mangkuk. “Saudara Tian adalah tamu
kehormatanku. Di puncak sunyi ini aku tidak bisa menyuguhkan apa-apa. Biarlah
kupinjam arakmu untuk menjamu kedatanganmu ini. Silakan menikmati kelezatan
arak nomor satu di dunia.”
“Terima kasih,” jawabTian
Boguang sambil menerima mangkuk tersebut dan kemudian meneguk isinya.
Linghu Chong lantas meneguk
pula semangkuk arak. Sambil bergelak tawa mereka saling memperlihatkan mangkuk
masing-masing yang telah kosong.
Setelah menaruh mangkuknya di
atas batu, tiba-tiba Linghu Chong menendang kedua guci arak di depannya
sehingga jatuh ke dalam jurang dekat tebing. Selang agak lama barulah terdengar
suara guci-guci itu pecah berantakan karena terbanting di dasar jurang yang
sangat dalam.
Tian Boguang terkejut dan
bertanya, “Hei, kenapa Saudara Linghu membuang kedua guci arak itu?”
Linghu Chong menjawab, “Tian
Boguang, jalan hidup kita berbeda. Kejahatanmu sudah melampaui batas. Setiap
orang di dunia persilatan ingin mencabut nyawamu. Linghu Chong menghormatimu
karena kau punya sifat yang kesatria dan tidak pengecut. Maka itu, aku bersedia
minum tiga mangkuk arak bersama dirimu. Tapi, persahabatan kita terpaksa
berakhir sampai di sini. Jangankan cuma dua guci arak, sedangkan segala benda
perhiasan dan permata di dunia ini andai kau suguhkan kepadaku juga tidak akan
aku sentuh.” Usai berkata demikian ia pun bangkit dan mencabut pedangnya sambil
berseru, “Tian Boguang, biarlah malam ini aku berkenalan lebih lanjut dengan
jurus golokmu yang hebat itu.”
Namun Tian Boguang hanya
tersenyum sambil menggeleng. “Saudara Linghu, ilmu pedang Perguruan Huashan
memang hebat, tapi penguasaanmu belum sempurna. Kau masih bukan tandinganku.”
Teringat pada pertandingan
sebelumnya, Linghu Chong mengangguk setuju. Ia kemudian menyarungkan pedangnya
kembali sambil berkata, “Ucapan Saudara Tian memang benar. Meskipun sepuluh
tahun lagi aku masih belum yakin bisa membunuhmu.”
Tian Boguang tertawa lebar
lalu berkata, “Orang yang bisa membaca gelagat adalah laki-laki sejati.”
Linghu Chong menjawab, “Aku,
Linghu Chong, hanya seorang keroco di dunia persilatan. Saudara Tian yang
berilmu tinggi bersusah payah naik kemari tentu bukan untuk mengambil nyawaku.
Tapi harap dimaklumi, kita ini bukan lawan juga bukan kawan. Kehendak Saudara Tian
sama sekali tidak bisa kupenuhi.”
“Kehandak apa?” tanya Tian
Boguang. “Aku belum mengutarakan maksudku tapi kau sudah menolaknya.”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Tidak peduli apa pun kehendakmu, aku tetap tidak sudi menurutinya. Ilmu
silatku jauh lebih rendah, maka lebih baik aku menyingkir saja. Selamat
tinggal!”
Belum sampai selesai
berbicara, Linghu Chong sudah memutar badan untuk melesat pergi ke balik
tebing. Ia sadar betapa tinggi ilmu meringankan tubuh Tian Boguang. Penjahat
tersebut memiliki ilmu golok yang sangat hebat dan suka berbuat kejahatan, baik
itu perampokan ataupun pemerkosaan. Namun karena ilmu meringankan tubuhnya yang
teramat tinggi, sehingga membuatnya selalu lolos dari kejaran pihak lain yang
ingin menangkapnya. Itulah sebabnya mengapa Linghu Chong ingin lekas-lekas
pergi dan berusaha sekuat tenaga menghindari penjahat cabul tersebut.
Namun demikian, meskipun ia
merasa sudah berlari secepat-cepatnya, namun Tian Boguang ternyata masih lebih
cepat. Hanya dalam jarak sepuluh meter tahu-tahu penjahat itu sudah menghadang
di hadapannya. Meskipun Linghu Chong memutar badan untuk melompat ke lembah
yang lebih rendah, namun tetap saja Tian Boguang berhasil menghadangnya lagi
dalam jarak sepuluh langkah.
“Tidak dapat lari, terpaksa
berkelahi,” seru Linghu Chong sambil mencabut pedang. “Mari kita coba lagi,
Saudara Tian! Tapi mohon maaf kalau aku terpaksa berteriak meminta bantuan.”
Tian Boguang menjawab, “Kalau
gurumu yang terhormat datang kemari, tentu aku yang memilih kabur sejauh-jauhnya.
Tapi sayang, Tuan dan Nyonya Yue sedang berada di Shanxi yang jaraknya sekitar
seratus lima puluh Li dari sini. Tentu saja kau tidak bisa mengharapkan mereka
kembali kemari dalam waktu singkat untuk membantumu. Sementara adik-adikmu
meskipun berjumlah banyak juga tidak ada gunanya. Kalau mereka datang ke sini,
maka yang laki-laki akan mati sia-sia, sementara yang perempuan, hehe... malah
kebetulan...”
Linghu Chong tertegun
menyadari kebenaran ucapan penjahat itu. Dalam hati ia berpikir, “Tebing Perenungan
ini letaknya sangat jauh dari gedung utama Perguruan Huashan. Meskipun aku
berteriak sekuat tenaga, belum tentu adik-adikku bisa mendengar suaraku.
Penjahat cabul ini sungguh keji. Apabila dia melihat Adik Kecil, bisa-bisa…
aih! Untungnya, aku tidak berhasil kabur atau melarikan diri. Andai saja aku
tadi berhasil lolos, tentu dia akan mengobrak-abrik gedung perguruan untuk
mencariku. Apabila dia sampai menemukan dan menangkap Adik Kecil, maka… maka
aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Mati ribuan kali juga tidak
bisa menebus kesalahanku.” Setelah berkedip beberapa kali, pemuda itu seolah
menemukan jalan keluar. “Sepertinya cara terbaik untuk menghadapi penjahat ini
adalah mengulur waktu selama-lamanya. Asalkan aku bisa menahan dia di sini sampai
Guru dan Ibu Guru kembali ke Huashan, tentu ini menjadi jalan yang terbaik.”
Usai berpikir demikian, Linghu
Chong pun berkata sambil mengangkat bahu, “Baiklah, aku memang tidak bisa
menghindar darimu, juga tidak bisa mencari bantuan. Apa hendak dikata?”
“Aduh, Saudara Linghu,” sahut
Tian Boguang dengan tertawa, “kedatanganku kemari bukan untuk menyusahkanmu.
Malah sebaliknya, aku ingin membuatmu senang. Aku yakin, kelak kau akan
berterima kasih kepadaku.”
Linghu Chong menjawab,
“Saudara Tian adalah maling cabul yang suka berbuat macam-macam kejahatan.
Tidak peduli kehendakmu bermanfaat atau tidak, aku tetap tidak sudi menjadi
begundalmu.”
Tian Boguang berkata, “Memang
benar aku ini maling cabul yang mahatega. Sebaliknya, Saudara Linghu adalah
murid utama pendekar paling budiman di dunia persilatan – Tuan Yue. Tapi baru
sekarang kau berkata demikian dan bukan sejak dulu saja?”
“Sejak dulu bagaimana?” sahut
Linghu Chong.
“Bukankah di Rumah Minum
Huiyan antara kau dan aku pernah minum bersama dalam satu meja?” jawab Tian
Boguang balik bertanya.
“Hanya minum bersama apalah
artinya?” ujar Linghu Chong. “Dalam sejarah juga tidak sedikit kaum pahlawan
yang minum bersama musuh. Misalnya, Liu Bei dan Cao Cao pada zaman Tiga
Negara.”
“Benar juga,” sahut Tian
Boguang. “Waktu di Wisma Kumala kita juga pernah main perempuan bersama.”
“Hus!” bentak Linghu Chong.
“Waktu itu aku sedang terluka parah dan kehilangan kesadaran. Mana bisa
dikatakan main perempuan segala?”
“Akan tetapi, bukankah waktu
itu kau tidur satu ranjang dengan kedua nona yang cantik jelita itu?” desak
Tian Boguang sambil tertawa.
Hati Linghu Chong tergetar.
Segera ia membentak, “Tian Boguang, hendaknya mulutmu itu dijaga supaya sedikit
lebih bersih. Linghu Chong selamanya selalu menjaga kehormatan, dan kedua gadis
itu juga masih suci bersih. Jika kau masih sembarangan bicara, terpaksa aku tak
perlu segan-segan lagi.”
“Apa gunanya kau bicara
seperti itu?” sahut Tian Boguang sambil tertawa. “Jika kau memang menjaga
kehormatan dan kesucian mereka, mengapa waktu itu kau terang-terangan main gila
dengan kedua nona itu di hadapan orang-orang Perguruan Qingcheng, Hengshan, dan
Henshan, hah?”
Linghu Chong semakin gusar.
Segera ia menghantam ke depan namun tidak mengenai sasaran karena Tian Boguang
lebih dulu mengelak. Penjahat itu kembali mengejek, “Apa yang terjadi malam itu
tidak bisa kau pungkiri. Kalau kau memang tidak pernah main gila dengan kedua
gadis itu, mengapa sekarang mereka sangat merindukanmu?”
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Bajingan ini sungguh tidak tahu malu. Segala macam fitnah bisa saja
keluar dari mulut kotornya. Sepertinya dia mencoba memancing amarahku dengan
segala ucapan yang tidak benar. Hm, aku harus membalas dengan mengungkit
pertandingan di Rumah Minum Huiyan tempo hari, di mana ia jatuh ke dalam
siasatku. Aku yakin itu merupakan peristiwa memalukan seumur hidup baginya.”
Menyadari hal itu, Linghu
Chong pun berkata, “Aha, aku tahu sekarang! Kedatangan Saudara Tian kemari
karena disuruh gurumu, bukan? Sepertinya Adik Yilin mengirimkan dua guci arak
sebagai ucapan terima kasih karena aku telah membantunya mencarikan seorang
murid yang baik, hahahaha!”
Seketika wajah Tian Boguang
bersemu merah dan mulutnya berhenti tertawa. Ia lantas berkata, “Kedua guci
arak itu adalah oleh-olehku sendiri. Hanya saja, kedatanganku kemari memang ada
hubungannya dengan Biksuni Kecil Yilin.”
Linghu Chong menukas, “Guru ya
guru! Kenapa masih kau panggil dia biksuni kecil segala? Laki-laki sejati harus
memegang janji. Adik Yilin itu murid Perguruan Henshan yang ternama di dunia
persilatan. Sungguh beruntung kau bisa berguru kepadanya. Hahahaha!”
Kini Tian Boguang benar-benar
marah. Hampir saja ia mencabut golok yang tergantung di pinggang, namun
untungnya masih bisa menahan diri. Ia lantas berkata dengan nada dingin,
“Saudara Linghu, kepandaianmu biasa-biasa saja, tapi mulutmu sungguh lihai.”
Linghu Chong menjawab, “Karena
ilmu silatku kalah darimu, maka aku gunakan mulut ini untuk melawanmu, Saudara
Tian.”
“Soal adu mulut jelas aku
mengaku kalah. Sekarang, mau tidak mau kau harus ikut denganku,” ajak Tian
Boguang.
“Tidak mau,” jawab Linghu
Chong. “Meskipun dibunuh aku tetap tidak mau.”
“Apa kau tahu hendak kuajak ke
mana?” sahut Tian Boguang bertanya.
“Tidak tahu dan tidak perlu
tahu,” jawab Linghu Chong. “Pendek kata, meskipun kau bawa aku naik ke langit
atau masuk ke dalam bumi, aku tetap tidak sudi ikut denganmu.”
“Sebenarnya aku hendak
mengajakmu menemui Biksuni Yilin,” lanjut Tian Boguang sambil mengangguk
perlahan.
Linghu Chong terkejut, “Hei,
apakah Adik Yilin kembali jatuh ke dalam cengkeramanmu? Sungguh kurang ajar kau
berani berbuat tidak senonoh kepada gurumu sendiri.”
Tian Boguang semakin gusar. Ia
pun berkata lantang, “Guruku yang asli sudah lama meninggal. Jangan lagi kau
campur adukkan antara guruku dengan Biksuni Yilin!” Setelah agak tenang, ia
melanjutkan, “Saudara Linghu, siang dan malam Biksuni Yilin selalu terkenang
kepadamu. Karena dirimu sudah kuanggap sebagai sahabat, maka sejak itu aku pun
tidak berani kurang ajar kepadanya. Ya, untuk masalah ini kau boleh percaya
padaku. Apakah kita bisa berangkat sekarang?”
“Tidak mau, aku tidak mau!”
sahut Linghu Chong. “Sekali tidak mau selamanya tetap tidak mau.”
Tian Boguang hanya tersenyum.
Melihat itu Linghu Chong bertanya dengan heran, “Apanya yang lucu? Ilmu silatmu
lebih unggul. Apa kau hendak memaksaku menggunakan kekerasan?”
Tian Boguang menjawab, “Aku
sama sekali tidak ingin bersikap kasar padamu, juga tidak akan memaksamu dengan
kekerasan. Tapi jauh-jauh aku kemari, tentu tidak boleh pulang dengan tangan
hampa.”
“Tian Boguang,” sahut Linghu
Chong, “ilmu golokmu sangat hebat. Tentu tidak sulit bagimu membunuh orang
sepertiku. Tapi Linghu Chong lebih suka mati daripada dihina. Jika kau ingin
menawanku hidup-hidup, huh, jangan harap!”
Tian Boguang memandang tajam
ke arah Linghu Chong. Ia kenal sifat pemuda itu memang suka nekad dan tidak
takut mati. Maka, ia pun berkata, “Saudara Linghu, sebenarnya ada orang yang
menyuruhku untuk membawamu menemui Biksuni Yilin. Itulah yang sebenarnya
terjadi. Kenapa pula kau harus mengadu nyawa denganku?”
“Kalau aku sudah bilang tidak
mau, maka tidak seorang pun bisa memaksaku,” kata Linghu Chong. “Meskipun Guru,
Ibu Guru, Ketua Serikat, atau Kaisar sekalipun yang menyuruh tetap aku akan
menolaknya. Meskipun berkali-kali kau meminta, jawabanku tetap saja sama.
Pendek kata, aku tidak mau pergi denganmu!”
Tian Boguang bertambah gusar.
Ia pun mencabut goloknya dan berkata, “Baik, kalau begitu! Jangan salahkan aku
jika berbuat kasar kepadamu!”
Linghu Chong pun menghunus
pedangnya dan menjawab, “Kau bermaksud memaksaku ikut denganmu, itu sudah
termasuk perbuatan kasar. Biarlah hari ini Puncak Gadis Kumala menjadi tempat
persemayaman abadiku.”
Tian Boguang mundur selangkah
sambil mengernyitkan dahi. Ia kemudian berkata, “Saudara Linghu, kita tidak
punya permusuhan juga tidak ada dendam. Untuk apa bertarung mengadu nyawa?
Bagaimana kalau sebaiknya kita bertaruh saja?”
Diam-diam Linghu Chong merasa
gembira. Dengan cara demikian ia berharap paling tidak bisa mengulur waktu
menunggu kehadiran sang guru. Maka, ia lantas berkata dengan lagak jual mahal,
“Taruhan apa? Menang atau kalah aku tetap tidak mau pergi.”
Tian Boguang menjawab,
“Memangnya murid pertama Perguruan Huashan sedemikian takutnya menghadapi ilmu
golok kilat Tian Boguang? Tiga puluh jurus saja, bagaimana?”
“Apa yang aku takuti?” sahut
Linghu Chong. “Paling-paling aku hanya mati saja. Kenapa harus takut?”
Tian Boguang berkata, “Saudara
Linghu, bukannya aku meremehkan dirimu atau bagaimana, tapi tiga puluh jurus
golokku ini sukar bagimu untuk menghadapinya. Jika kau bisa menangkis ketiga
puluh jurusku ini maka aku akan mohon diri dari sini. Tapi kalau aku yang
menang, maka kau harus berjanji ikut pergi denganku menemui Biksuni Yilin.
Tidak ada lagi tawar-menawar.”
Linghu Chong merenung sejenak.
Dengan berbekal pengalaman dua kali bertarung yang pernah didapatkan
sebelumnya, ditambah lagi dengan petunjuk yang pernah ia peroleh dari guru dan
ibu-guru, maka ia pun menjawab, “Baik, akan aku layani tiga puluh jurus
seranganmu.”
Bersamaan dengan itu ia pun
menusukkan pedangnya terlebih dahulu. Jurus yang ia gunakan adalah Burung Feng
Datang Menyembah. Dalam waktu singkat tubuh Tian Boguang terbungkus sinar
pedang pemuda itu.
“Ilmu pedang yang bagus!” seru
Tian Boguang memuji sambil menangkis dengan goloknya dan melangkah mundur.
“Itu jurus pertama!” seru
Linghu Chong sambil menyerang menggunakan gerakan Cemara Tua Menyambut Tamu.
Tian Boguang kembali memuji.
Menyadari kehebatan jurus tersebut, ia pun bergeser ke samping untuk
menghindar. Meskipun gerakan menghindar tidak boleh dihitung sebagai jurus,
namun Linghu Chong tidak peduli. Ia tetap saja berseru, “Itu jurus kedua!”
sambil melancarkan serangan lain.
Begitulah, berturut-turut
Linghu Chong menyerang lima kali sementara Tian Boguang hanya menghindar atau
menangkis saja. Meskipun demikian, Linghu Chong tetap menghitungnya sebagai
jurus dan jumlah yang dikerahkan sudah jatuh pada hitungan kelima.
Maka ketika Linghu Chong
melancarkan serangan keenam dari bawah menusuk ke atas, mendadak Tian Boguang
menggertak dengan keras dan mengayunkan goloknya sampai beradu dengan pedang
lawannya itu, “Keenam! Ketujuh! Kedelapan! Kesembilan! Kesepuluh!”
Setiap kali berseru
menghitung, setiap kali pula golok Tian Boguang mengayun ke bawah. Satu kali
hitungan, satu kali serangan. Jadi, berturut-turut ia menyerang dengan jurus
yang sama sebanyak lima kali. Semakin lama serangannya semakin dahsyat.
Akibatnya, Linghu Chong pun merasa kewalahan menangkisnya. Setiap kali senjata
mereka beradu, Linghu Chong merasa sesak napas dan tangannya tergetar
kesakitan. Sampai akhirnya, pada serangan keenam ia tidak tahan lagi dan
pedangnya pun jatuh ke tanah. Dan pada serangan ketujuh ia hanya menutup mata
menanti ajal.
“Hahahaha!” Tian Boguang
tertawa menghentikan serangannya. “Jurus keberapa ini?”
Linghu Chong menjawab, “Tidak
hanya ilmu golokmu yang sangat hebat, bahkan tenagamu juga lebih kuat dariku.
Linghu Chong mengaku kalah.”
“Bagus kalau demikian. Mari
kita berangkat!” ajak Tian Boguang.
“Tidak mau! Aku tidak mau!”
jawab Linghu Chong sambil menggeleng.
Melihat itu Tian Boguang
berkata, “Saudara Linghu, aku menghormatimu sebagai seorang kesatria sejati
yang bisa memegang janji. Dalam perjanjian tadi kau sudah kalah, mengapa
sekarang mencoba ingkar?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
memang melayani tantanganmu. Tapi, apa aku tadi berjanji jika aku kalah akan
menuruti permintaanmu?”
Tian Boguang terdiam seketika.
Ia baru sadar kalau Linghu Chong tidak pernah berjanji jika kalah akan menuruti
kemauannya. Ia kemudian berkata, “Hm, kau punya marga mengandung kata ‘Hu’ yang
membuatmu licik seperti seekor rubah. Baiklah, bagaimana selanjutnya?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
kalah karena tenagamu lebih kuat dariku. Untuk ini aku masih penasaran. Biarkan
aku istirahat sebentar, nanti kita lanjutkan lagi.”
“Baik, aku turuti
permintaanmu,” ujar Tian Boguang. “Akan kubuat kau nanti menyerah lahir batin.”
Usai berkata demikian, Tian Boguang pun duduk di atas batu sambil tersenyum
lebar memandangi Linghu Chong.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Keparat ini memaksaku untuk mengikutinya pergi meninggalkan Gunung
Huashan. Entah apa tujuan dia sebenarnya? Jika hanya untuk menemui Adik Yilin
saja, rasanya sulit dipercaya. Dia tidak mau mengakui Adik Yilin sebagai
gurunya, juga Adik Yilin tidak mungkin berani menemuinya. Jadi, mana mungkin
Adik Yilin memintanya datang kemari? Tapi di atas itu semua, aku harus
menemukan cara untuk melarikan diri.”
Linghu Chong kemudian merenungi
keenam serangan Tian Boguang tadi. “Hm, sebenarnya jurusnya tadi tidak ada yang
istimewa. Hanya saja, tenaganya sangat kuat membuat tanganku kesakitan
menangkisnya.” Setelah terdiam sejenak, ia kemudian teringat peristiwa beberapa
bulan yang lalu, “Waktu itu Paman Mo membinasakan Fei Bin dengan jurus yang
sangat cepat dan tak terduga. Mungkin aku bisa menggunakannya untuk menghadapi
penjahat ini. Selain itu di gua belakang juga banyak terdapat gambar-gambar
jurus pedang Perguruan Hengshan yang hebat dan mematikan. Aku bisa
mempelajarinya untuk mengalahkan penjahat itu. Tapi... tunggu dulu,
bagaimanapun hebatnya ilmu pedang Perguruan Hengshan, mana bisa aku
mempelajarinya dalam waktu singkat? Aih, sungguh tidak masuk akal.”
Melihat raut muka Linghu Chong
yang sebantar gembira sebentar kemudian murung, Tian Boguang tertawa dan
berkata, “Saudara Linghu, apa kau sudah mendapat akal bulus lagi untuk
mengalahkan aku?”
Ucapan Tian Boguang yang
mengejeknya sebagai “bulus” membuat Linghu Chong marah dan berteriak, “Untuk
mematahkan ilmu golokmu buat apa menggunakan akal bulus segala? Aku tahu kau
sengaja banyak bicara untuk memecah konsentrasiku. Sudahlah... biar aku
pikirkan di dalam gua saja! Aku butuh ketenangan. Kau jangan ikut masuk dan
mengganggu aku!”
“Baiklah, kau boleh pergi ke
sana memeras otak. Aku tak akan mengganggu” ujar Tian Boguang sambil tertawa.
Ucapan “memeras otak” yang
diteriakkan Tian Boguang semakin membuat Linghu Chong kesal. Ia pun masuk ke
dalam gua dan langsung menyalakan obor untuk kemudian dibawanya menelusuri
lorong rahasia hingga sampai ke dalam gua belakang. Di antara gambar-gambar
jurus Serikat Pedang Lima Gunung yang terukir di dinding gua, ia segera
mengamati beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Hengshan dengan seksama. Melihat
betapa indah namun juga dahsyat jurus-jurus tersebut membuat Linghu Chong
berdecak kagum. Seolah tidak ada hentinya dan memiliki variasi tak terbatas
jumlahnya. Seandainya tidak melihat langsung, mungkin ia tak akan percaya di
dunia terdapat ilmu pedang seaneh itu.
“Dalam waktu singkat jelas
tidak mungkin bagiku untuk mempelajari ilmu pedang ini dengan baik. Sebaiknya
aku ambil saja beberapa jurus yang paling aneh dan memiliki serangan tak
terduga. Aku harus menghafalkannya dengan cepat dan setelah keluar nanti, akan
kugunakan untuk menyerang penjahat itu. Siapa tahu dengan jurus aneh dari
Hengshan ini aku bisa mengalahkannya,” demikian pikirnya.
Begitu menentukan pilihan,
Linghu Chong langsung membaca dan berusaha menghafalkannya. Meskipun jurus pada
gambar tersebut dapat dipatahkan pihak lawan, namun ia berpikir Tian Boguang
tentu belum mengenalnya, sehingga ada peluang untuk menang.
Satu jam telah berlalu. Linghu
Chong berusaha keras menghafalkan beberapa jurus Perguruan Hengshan yang telah
dipilih dan memperagakannnya beberapa kali. Tak lama kemudian terdengar suara
Tian Boguang berteriak dari luar gua.
“Saudara Linghu, kalau kau
tidak segera keluar, maka aku yang akan melabrakmu ke dalam.”
Buru-buru Linghu Chong berlari
keluar dengan menghunus pedang sambil berteriak, “Baiklah, akan kucoba ketiga
puluh jurus seranganmu.”
Tian Boguang menyambutnya
dengan pertanyaan, “Sekali ini kalau Saudara Linghu yang kalah bagaimana?”
“Bukan kali yang pertama aku
kalah darimu. Jadi, mengapa masih bertanya harus bagaimana?” sahut Linghu Chong
sambil melompat menerjang. Belum selesai bicara ia sudah melancarkan tujuh
serangan tanpa henti. Semuanya adalah jurus yang baru ia pelajari di gua
belakang.
Tian Boguang terkejut bukan
main. Ia tidak menduga dalam ilmu pedang Perguruan Hengshan terdapat jurus
pedang seperti itu. Sejenak ia merasa kewalahan sampai pada jurus kesepuluh.
“Celaka, kalau aku hanya bertahan, bisa-bisa tiga puluh jurus terlewatkan
begitu saja.”
Maka, penjahat itu pun ganti
menyerang dengan sangat keras. Karena jurus pedang Hengshan mengandalkan
kecepatan, maka Linghu Chong tidak kuasa untuk menangkis serangan golok yang
dahsyat tersebut. Akibatnya, pada jurus kesembilan belas pedangnya pun kembali
terlempar ke udara.
Linghu Chong melompat mundur
dua langkah dan berseru, “Saudara Tian hanya mengandalkan kekuatan otot untuk
mengalahkanku, sama sekali bukan mengandalkan jurus golok. Kekalahan ini tidak
bisa kuterima. Biarkan aku masuk lagi ke dalam gua untuk mencari cara lain agar
bisa mengalahkanmu.”
“Hahahaha, biarpun kau main
siasat mengulur waktu juga percuma saja,” ejek Tian Boguang sambil tertawa.
“Kedua gurumu saat ini paling tidak berada ratusan Li dari sini untuk
mengejarku. Paling cepat mereka mungkin kembali kemari dalam waktu sepuluh atau
lima belas hari lagi. Jadi, jangan kau sia-siakan tenagamu.”
“Huh, siapa bilang demikian?”
sahut Linghu Chong. “Pahlawan macam apa aku ini kalau hanya bisa mengandalkan
guru untuk mengalahkanmu? Sebenarnya kekalahanku ini karena baru saja sembuh
dari sakit. Tenagaku belum pulih benar. Itulah sebabnya aku pasti kalah kalau
adu tenaga. Kau pikir jika aku sedang sehat apa kau kira bisa menang dariku?”
“Huh, tidak perlu bersilat
lidah!” sahut Tian Boguang. “Aku tidak peduli menang pakai tenaga atau pakai jurus.
Kalau kalah ya kalah, menang ya menang. Kau hanya mencari-cari alasan.”
“Baik, coba kau tunggu lagi di
sini! Jika memang laki-laki sejati jangan coba-coba untuk pergi. Aku tidak sudi
mengejarmu,” ujar Linghu Chong.
Tian Boguang tertawa
terbahak-bahak, kemudian mundur dua langkah dan duduk di atas batu.
Linghu Chong kembali masuk ke
dalam gua belakang sambil merenung, “Tian Boguang pernah bertarung dan
mengalahkan Pendeta Tiansong dari Perguruan Taishan. Dia juga pernah bertarung
melawan Adik Yilin dari Perguruan Henshan. Kini harapanku hanya tinggal
menggunakan ilmu pedang Perguruan Songshan saja. Mungkin ia belum pernah
menghadapinya.”
Sesampainya di gua belakang,
ia langsung mencari dan mengamati ukiran gambar di dinding batu yang memuat
jurus-jurus pedang Perguruan Songshan. Dengan cepat ia mempelajari belasan
jurus dari perguruan tersebut, kemudian memadukannya dengan jurus-jurus pedang
Perguruan Hengshan yang tadi belum sempat ia mainkan. “Hm, kalau jurus-jurus
ini aku gabungkan lagi dengan jurus pedang Huashan, pasti dia kewalahan.”
Maka, sebelum Tian Boguang
berteriak-teriak memanggil, Linghu Chong sudah berlari keluar dan menyerang
penjahat itu. Mula-mula ia menggunakan ilmu pedang Songshan. Satu menit
berikutnya ia menggunakan ilmu pedang Hengshan, dan satu menit selanjutnya ia
menggunakan ilmu pedang Huashan.
“Kacau! Ini sungguh kacau!”
seru Tian Boguang yang terdesak kewalahan. Namun pada jurus kedua puluh dua ia
berhasil membalik keadaan. Dengan serangan cepat tiga kali berturut-turut ia
berhasil menodongkan goloknya di leher Linghu Chong dan membuat pemuda itu
mengaku kalah.
Namun Linghu Chong masih
berusaha bersikap tenang. Ia berkata sambil tertawa, “Hahahaha. Pertarungan
pertama tadi aku hanya sanggup bertahan sepuluh jurus. Pertarungan kedua aku
bertahan delapan belas jurus. Sementara pertarungan ketiga barusan aku bisa
bertahan dua puluh satu jurus. Apa kau tidak takut, Saudara Tian?”
“Huh, apa yang harus aku
takuti?” sahut Tian Boguang.
“Kalau aku merenung lagi di
dalam gua, aku tentu bisa mengalahkanmu dalam tiga puluh jurus. Meskipun aku
tidak membunuhmu, namun sudah pasti ini membuatmu takut,” jawab Linghu Chong.
Tian Boguang menukas, “Sudah
bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, dan Saudara Linghu aku anggap
sebagai lawan paling cerdas yang pernah kutemui. Namun tetap saja ilmu silatmu
masih kalah jauh di bawahku. Meskipun kau berlatih lagi dalam satu jam tetap
saja tidak akan mampu mengalahkan tiga puluh jurusku.”
Linghu Chong berkata, “Saudara
Tian adalah lawanku yang paling ceroboh. Jelas-jelas Linghu Chong semakin
bertambah kuat dan kuat, namun kau tetap saja bandel tidak mau kabur dari sini.
Nah, Saudara Tian, apakah kau izinkan aku masuk lagi ke dalam gua untuk
merenung?”
“Kalau kau masih penasaran,
silakan kau pergi lagi memeras otak sana!” seru Tian Boguang sambil tersenyum.
“Baik, kau tunggu saja di
sini. Jangan coba-coba kabur!” ujar Linghu Chong sambil kemudian masuk kembali
ke dalam gua.
Dalam perjalanan menyusuri
lorong sempit menuju gua belakang pikiran Linghu Chong berkecamuk macam-macam.
“Bajingan Tian Boguang pasti datang ke Gunung Huashan ini dengan maksud jahat.
Ia mengetahui bahwa Guru dan Ibu Guru sedang turun gunung untuk mengejarnya,
namun ia berani menentang bahaya dan mendaki kemari. Meskipun tidak bermaksud
membunuhku, namun dia seolah-olah ingin menahanku di sini. Kalau memang dia
berniat menangkapku, mengapa tadi ia tidak langsung saja menotok titik nadiku?
Mengapa dia membiarkan aku bebas keluar masuk ke dalam gua ini? Sebenarnya apa
yang dia inginkan?”
Usai terdiam sejenak, pemuda
itu kembali berpikir, “Jangan-jangan dia berusaha mengulur waktu dan menahanku
di puncak sini, sementara ada orang lain yang menyerang adik-adik di bawah
sana. Lalu, mengapa dia tidak membunuhku saja? Bukankah itu lebih mudah?”
Linghu Chong merenung di dalam
gua belakang. Ia akhirnya melompat bangkit setelah mengambil keputusan. “Tidak
peduli apapun yang terjadi di balik ini semua, aku berkewajiban menjaga
keselamatan Perguruan Huashan. Selama Guru dan Ibu Guru turun gunung, maka
untuk sementara waktu yang memimpin di Huashan sini adalah aku sebagai murid
pertama. Bagaimanapun beratnya, harus kuhadapi sendiri. Tak peduli apa yang
menjadi alasannya, pasti maksud dan tujuannya tidak baik. Aku harus berusaha menahan
dia di sini. Nanti jika ia lengah, aku harus membunuhnya tanpa ragu-ragu.”
Setelah hatinya merasa mantap,
Linghu Chong kembali mempelajari gambar-gambar jurus pedang di dinding gua.
Namun kali ini yang ia pilih untuk dihafalkan hanyalah jurus-jurus yang paling
mematikan. Satu jam kemudian ia pun keluar gua dan menjumpai hari ternyata
sudah mulai terang.
Meskipun hatinya sudah
bertekad bulat untuk membunuh Tian Boguang, namun mulutnya masih berusaha
tersenyum ramah. “Saudara Tian, jauh-jauh kau datang kemari tapi aku belum
memenuhi kewajibanku sebagai tuan rumah yang baik. Sungguh aku merasa tidak
enak. Sesudah pertandingan ini aku tidak peduli siapa yang menang atau kalah.
Aku tetap membuka tangan yang selebar-lebarnya mengundang Saudara Tian kemari sekadar
menikmati hasil bumi pegunungan ini.”
“Terima kasih banyak,” jawab
Tian Boguang sambil tertawa.
Linghu Chong berkata, “Dan
kelak kalau kita bertemu lagi di lain tempat dan bertarung lagi, tentu bukan
lagi pertandingan seperti saat ini. Tapi pertarungan mati-matian.”
“Sebenarnya teman seperti
Saudara Linghu ini sangat sayang kalau terbunuh,” ujar Tian Boguang. “Tapi
kalau kau tidak kubunuh tentu akan membahayakan diriku. Ilmu silatmu bisa maju
pesat dalam waktu singkat. Kelak saat kau bisa lebih unggul dariku tentu kau
tidak mau mengampuni nyawa seorang penjahat cabul sepertiku ini.”
“Betul juga,” kata Linghu
Chong. “Kegiatan bertukar pikiran seperti yang kita lakukan saat ini kelak
mungkin tidak ada lagi. Nah, Saudara Tian! Kita akan mulai kembali. Harap beri
petunjuk seperlunya!”
“Saudara Linghu, kau terlalu
memuji,” jawab Tian Boguang.
“Semakin aku pikirkan, semakin
aku merasa bukan tandinganmu, Saudara Tian,” ujar Linghu Chong. Belum selesai
ia bicara, pedangnya sudah menusuk kencang ke arah Tian Boguang. Namun ketika
pedangnya masih berjarak satu meter dari sasaran, tiba-tiba ia menarik
senjatanya itu ke samping dan secepat kilat menusuk kembali.
Tian Boguang mengangkat golok
hendak menangkis. Namun sebelum kedua senjata beradu, tahu-tahu Linghu Chong
memutar pedangnya dan menebas dari atas ke bawah selangkangan. Serangan yang
tak terduga dan sangat keji ini membuat Tian Boguang terperanjat. Ia pun
meloncat ke atas. Namun Linghu Chong telah melancarkan lagi tiga kali serangan
yang semuanya mengarah ke titik mematikan pada tubuh penjahat itu.
Kali ini Tian Boguang dalam
keadaan terdesak dan kewalahan menangkis serangan-serangan Linghu Chong.
Bahkan, celananya sampai robek terkena tusukan pemuda itu namun tidak sampai
melukai kulitnya. Tiba-tiba ia melancarkan serangan balik berupa pukulan yang
sangat cepat dan berhasil membuat Linghu Chong roboh terpelanting.
“Serangan Saudara Linghu
benar-benar berbahaya dan mengarah ke tempat-tempat mematikan,” ujar Tian
Boguang. “Apa seperti ini yang disebut ‘minta petunjuk’?”
Linghu Chong bangkit sambil
berkata, “Bagaimanapun juga seranganku tetap saja tidak mampu mengganggu
seujung rambut Saudara Tian. Kau benar-benar memiliki lengan yang perkasa.”
“Maaf atas hal itu,” ujar Tian
Boguang.
“Aku rasa beberapa tulang
igaku ada yang patah,” jawab Linghu Chong sambil tersenyum lebar. Sambil
berkata demikian Linghu Chong tiba-tiba teringat kalau Tian Boguang hanya ingin
menangkapnya hidup-hidup, bukan untuk membunuhnya. Ia pun berpikir, “Hm,
penjahat ini tidak mau membunuhku. Kalau begitu ini kesempatanku untuk
menyerangnya habis-habisan. Aku tidak perlu memikirkan keselamatanku karena dia
tidak ingin melukaiku.”
Maka begitu dekat, tiba-tiba
saja Linghu Chong menyerang lengan kiri Tian Boguang. Kali ini jurus yang ia
gunakan adalah jurus pedang Perguruan Henshan. Tian Boguang terkejut karena
tahu-tahu ujung pedang lawan sudah berada tepat di depan perutnya. Penjahat itu
pun menjatuhkan diri sambil berguling-guling di tanah. Namun demikian, pedang
Linghu Chong tetap saja mengejarnya dan melancarkan empat kali tusukan.
Tak disangka kaki Tian Boguang
dengan cepat menendang pergelangan tangan Linghu Chong sehingga pedang pemuda
itu terlepas dari genggaman. Menyusul kaki yang lain dengan sangat keras
menendang perut pemuda itu hingga jatuh terjengkang.
Tanpa membuang waktu, Tian
Boguang bangkit dan mengacungkan goloknya di leher Linghu Chong sambil tertawa
dingin, “Hahaha, keji sekali ilmu pedangmu ini. Hampir saja nyawaku melayang.
Bagaimana? Kali ini kau menyerah atau tidak?”
“Tentu saja tidak!” sahut
Linghu Chong dengan tertawa pula. “Kita telah sepakat bertanding adu senjata.
Tapi kenapa kakimu ikut menendang? Apa ini termasuk dalam hitungan?”
“Meskipun pukulan dan
tendanganku dihitung tetap saja belum ada tiga puluh jurus,” sahut Tian Boguang
sambil menarik kembali goloknya. Mulutnya mencibir seperti mengejek.
Linghu Chong segera bangun dan
berkata, “Meskipun ilmu silatmu tinggi dan bisa mengalahkan aku sebelum tiga
puluh jurus, lantas mau apa? Kalau mau bunuh silakan bunuh, mengapa masih juga
mengejek?”
“Teguran Saudara Linghu
sungguh membuatku sadar. Untuk ini aku mohon maaf yang sebesar-besarnya,” ujar
Tian Boguang.
Jawaban Tian Boguang tersebut
membuat Linghu Chong semakin heran mengapa seorang pemenang masih sempat
meminta maaf. Tanpa membuang waktu ia pun balas memberi hormat, sambil
berpikir, “Seorang pemenang memberi hormat, pasti menyimpan muslihat tertentu
di balik ini semua.”
Karena tidak juga menemukan
apa maksud dan tujuan lawan, pemuda itu lantas berkata, “Saudara Tian, aku
mempunyai sebuah pertanyaan. Entah Saudara Tian sudi menjawab atau tidak?”
Tian Boguang berkata, “Bagiku
tidak ada sesuatu pun yang perlu untuk dirahasiakan. Membunuh, merampok,
memerkosa, atau apa saja, kalau berani berbuat ya harus berani mengakuinya.
Untuk apa main rahasia segala?”
“Bagus kalau demikian,” sahut
Linghu Chong. “Saudara Tian memang seorang laki-laki sejati yang berani
mengakui perbuatannya sendiri.”
Tian Boguang tertawa dan
menjawab, “Sebutan ‘laki-laki sejati’ tidak pantas kuterima. Aku ini hanya
seorang hina yang hanya bisa menepati janji saja.”
“Hehehe, tokoh seperti Saudara
Tian ini jarang ada di dunia persilatan,” kata Linghu Chong sambil tertawa.
“Sekarang aku ingin bertanya, kau telah memancing guru dan ibu-guruku pergi
menjauh supaya kau bisa datang kemari dan mengajakku pergi ke suatu tempat.
Sebenarnya, apa yang kau inginkan?”
“Sejak awal sudah kukatakan
bahwa aku mengundangmu menemui Biksuni Kecil Yilin untuk sekadar memenuhi rasa
rindunya,” jawab Tian Boguang.
“Tidak mungkin,” sahut Linghu
Chong cepat. “Jawabanmu itu terlalu aneh dan lucu. Linghu Chong bukan anak
kecil, mana mungkin percaya dengan jawabanmu itu?”
Tian Boguang menjadi gusar dan
berseru, “Aku memandangmu sebagai seorang kesatria sejati, tapi kau malah
menuduhku sebagai jahanam kotor yang kata-katanya tidak dapat dipercaya.
Memangnya ucapanku ini bukan ucapan manusia? Nah, dengarlah ini! Jika ucapan
orang bermarga Tian ini bohong belaka, lebih baik kau anggap aku ini sebagai binatang
saja.”
Melihat itu, mau tidak mau
Linghu Chong percaya juga pada ucapan Tian Boguang. Ia pun bertanya, “Aku masih
heran bukankah Saudara Tian mengangkat biksuni kecil itu sebagai guru hanya
gurauan saja? Tapi mengapa sekarang kau sudi datang jauh-jauh kemari untuk
mengundangku demi kepentingannya?”
Tian Boguang menjawab dengan
malu-malu, “Dalam hal ini tentu ada penyebab lainnya.”
Melihat sikap Tian Boguang
tersebut, Linghu Chong kembali bertanya, “Jangan-jangan Saudara Tian jatuh
cinta pada Adik Yilin, kemudian sekarang kau bertobat untuk memperbaiki diri
dan dosa-dosamu di masa lalu, begitu?”
“Ah, mana mungkin seperti itu?
Saudara Linghu jangan sembarangan bicara,” sahut Tian Boguang.
Linghu Chong bertanya,
“Sebenarnya ada apa di balik ini semua? Mohon Saudara Tian sudi memberi tahu!”
“Masalah ini menyangkut
nasibku yang sial,” sahut Tian Boguang. “Pendek kata, jika aku tidak bisa
mengajakmu turun gunung, tentu sebulan lagi aku akan mati dengan tubuh membusuk
tak terkatakan.”
Linghu Chong sangat terkejut.
Tapi wajahnya pura-pura tidak paham. “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?”
Tian Boguang menghela napas
dan kemudian membuka bajunya. Tampak di bawah puting dadanya terdapat
masing-masing sebuah titik merah sebesar uang logam. “Aku telah diracun orang
dan dipaksa datang kemari untuk mengajakmu turun gunung menemui Biksuni Yilin.
Jika aku tidak mendapatkan penawarnya, maka sebulan kemudian titik merah ini
mulai membusuk dan menjalar ke seluruh tubuh dan saat itu sudah terlambat untuk
diobati. Selama tiga setengah tahun aku akan hidup menderita dan akhirnya
mati.”
Dengan wajah
bersungguh-sungguh Tian Boguang melanjutkan cerita, “Maksud hatiku mengutarakan
ini semua bukan untuk meminta belas kasihan darimu, tetapi supaya kau tahu
bahwa aku akan melakukan apa saja demi untuk mendapatkan obat penawar itu. Aku
sudah terbiasa berbuat kejam. Apalagi saat ini dalam keadaan terdesak. Tentu
memaksamu bukan suatu hal yang berat.”
Dalam hati Linghu Chong
memercayai cerita Tian Boguang. Ia pun mencari cara untuk mengulur waktu sampai
lebih dari sebulan. Dengan demikian Tian Boguang bisa mati dengan sendirinya,
sehingga dunia akan kehilangan satu penjahat cabul tanpa harus bersusah payah
untuk membunuhnya. Berpikir demikian, pemuda itu pun tertawa dan berkata,
“Sungguh usil orang yang meracuni Saudara Tian itu. Kalau boleh tahu siapakah
orang hebat itu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika tubuhmu
membusuk akibat racun. Tapi sehebat-hebatnya racun, pasti ada penawarnya.”
“Mengenai siapa orang yang
telah meracuniku terpaksa tidak bisa kukatakan kepadamu,” sahut Tian Boguang.
“Di dunia ini satu-satunya orang yang bisa mengobatiku mungkin hanya Ping Yizhi
alias Si Tabib Pembunuh. Tapi, mana mungkin ia sudi mengobati diriku?”
Linghu Chong menukas,
“Bukankah kau bisa meletakkan golokmu di lehernya dan memaksanya menghilangkan
racun dalam tubuhmu?”
Tian Boguang menjawab, “Simpan
saja semua ocehanmu itu. Pendek kata, jika aku benar-benar tidak berhasil
mengundangmu turun gunung, jika aku sampai mati, maka kau pun takkan kubiarkan
selamat.”
“Ya, sudah tentu,” jawab
Linghu Chong. “Tapi Saudara Tian harus mengalahkan aku secara jantan terlebih
dulu barulah aku menyerah lahir batin. Untuk ini, silakan kau menunggu lagi
barang sebentar. Aku akan masuk kembali untuk memeras otak.”
Usai berkata demikian, Linghu
Chong pun berlari masuk ke dalam gua sambil berpikir, “Saat bertarung sambil
duduk waktu itu, aku mampu menahan serangannya sebanyak lebih dari tiga puluh
jurus. Tapi mengapa sekarang aku mengalami kemunduran dan hanya bisa bertahan
kurang dari tiga puluh jurus? Ah, aku tahu sekarang! Saat bertarung melawan
Tian Boguang tempo hari aku tidak peduli nyawa sendiri dan siap mati setiap
saat. Aku tidak peduli entah berapa jurus yang sudah terlewati saat itu dan aku
hanya berusaha untuk menangkis dan membalas saja. Kali ini pikiranku hanya
terpusat pada jumlah jurus yang ia keluarkan. Mataku sibuk menghitung jurus
goloknya mulai awal sampai akhir. Dengan demikian pikiranku menjadi terpecah
sehingga ilmu pedangku menjadi jauh lebih lemah daripada dahulu. Linghu Chong,
Linghu Chong, betapa bodohnya dirimu!”
Setelah menemukan letak
permasalahannya, pemuda itu segera bergegas ke gua belakang untuk kembali
melatih jurus yang terukir di dinding. Sesampainya di sana ia langsung memilih
jurus pedang Perguruan Taishan karena cenderung stabil dan memiliki daya serang
kuat. Dalam waktu singkat tentu saja tidak mungkin menemukan intisari ilmu
pedang tersebut. Di samping itu, Linghu Chong juga merasa terburu-buru dan tidak
sudi untuk mempelajarinya dengan tenang dan sabar. Setelah merasa cukup dan
hendak meninggalkan gua, tiba-tiba pandangannya tertarik pada gambar orang
memegang tombak yang berhasil mematahkan jurus pedang Taishan tersebut. Semakin
ia mengamati jurus tombak tersebut, semakin hatinya merasa kagum. Sampai
akhirnya terdengar suara teriakan Tian Boguang memanggil-manggil di luar.
Linghu Chong kembali bertarung
melawan Tian Boguang. Namun kali ini ia bertindak lebih bijak tanpa menghitung
sama sekali. Hanya tangannya yang mengayunkan pedang ke segala arah bagaikan
hempasan badai. Di lain pihak, Tian Boguang tidak berani bersikap gegabah
karena pihak lawan dinilai mengalami kemajuan pesat dan melancarkan jurus-jurus
baru tiap kali selesai berlatih di dalam gua.
Pertarungan antara Linghu
Chong dan Tian Boguang berlangsung semakin cepat dan dahsyat. Berbagai jurus
dilancarkan hanya dalam waktu singkat. Tiba-tiba Tian Boguang mendapatkan
kesempatan bagus. Tangannya bergerak secepat kilat dan berhasil memegang lengan
Linghu Chong, kemudian mengarahkan lengan itu sedemikian rupa sehingga ujung
pedang Linghu Chong berbalik menodong leher sendiri. Jika Tian Boguang menambah
tenaga sedikit saja, tentu leher Linghu Chong sudah tembus oleh pedang sendiri.
“Kau kalah!” kata Tian
Boguang.
“Tidak, bukan aku. Tapi kau
yang kalah!” balas Linghu Chong.
“Bagaimana bisa aku yang
kalah?” tanya Tian Boguang gusar.
“Karena jurus ini adalah jurus
ketiga puluh dua,” jawab Linghu Chong.
“Jurus ketiga puluh dua
bagaimana?” tanya Tian Boguang menegas.
“Tepat sekali. Ini jurus
ketiga puluh dua,” ujar Linghu Chong yakin.
“Memangnya kau tidak
menghitung?” sahut Tian Boguang.
“Aku menghitungnya dalam hati.
Jurus yang terakhir ini jurus ketiga puluh dua,” jawab Linghu Chong dengan yakin,
padahal sesungguhnya ia sama sekali tidak menghitung.
Tian Boguang melepaskan lengan
pemuda itu dan berkata, “Tidak bisa. Jurus pertama tadi begini, aku menangkis
seperti ini, kemudian kau menyerang lagi dengan cara begini. Jurus kedua begini
dan....” begitulah seterusnya. Satu per satu jurus pertarungan mereka tadi
diperagakannya dengan baik. Ternyata Linghu Chong tertangkap pada jurus kedua
puluh delapan.
Linghu Chong tertegun
menyaksikan daya ingat Tian Boguang yang luar biasa. Mereka bertarung dengan
kecepatan tinggi, namun Tian Boguang mampu mengingat setiap gerakan dengan
jelas dan benar. Sungguh suatu kemampuan yang jarang ada di dunia persilatan.
Sambil mengacungkan jempol, Linghu Chong pun memuji, “Daya ingat Saudara Tian
sangat hebat. Aku benar-benar kagum. Ternyata diriku ini yang salah menghitung.
Baiklah, aku akan masuk kembali untuk memeras otak.”
“Tunggu dulu!” seru Tian
Boguang tiba-tiba. “Sebenarnya ada rahasia apa di dalam gua sana? Apa terdapat
kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi? Mengapa setiap kali kau keluar
selalu bertambah dengan jurus-jurus baru?” selesai berkata demikian ia pun
melangkah hendak memasuki gua.
Tentu saja Linghu Chong
berusaha mencegah, jangan sampai penjahat itu menemukan gambar-gambar di
dinding gua belakang karena bisa menjadi bencana bagi Serikat Pedang Lima
Gunung. Maka, ia pun pura-pura memperlihatkan wajah senang dan langsung berubah
khawatir, sambil merentangkan kedua lengannya menghalangi Tian Boguang.
“Saudara Tian jangan masuk! Di dalam terdapat kitab-kitab pusaka perguruan
kami. Saudara Tian adalah orang luar. Tidak boleh melihat seenaknya!”
Melihat perubahan raut wajah
Linghu Chong yang tiba-tiba itu, mau tidak mau membuat Tian Boguang merasa
curiga. Dalam hati ia berpikir, “Mengapa bocah ini memperlihatkan wajah gembira
saat aku mengatakan ingin masuk ke dalam gua, tapi kemudian mendadak berubah
menjadi khawatir? Hm, rupanya dia ingin memancingku supaya penasaran. Dia ingin
supaya aku menerobos masuk ke dalam gua tersebut. Huh, apa kau kira aku tidak
tahu kalau di dalam sana sudah kau siapkan perangkap? Mungkin di dalam sudah
ada orang lain yang bersiap menyergapku, atau mungkin ada ular berbisa, atau
mungkin ada asap beracun. Hehe, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah
ditipu oleh permainan wajahmu.”
Menyadari itu Tian Boguang pun
memutar tubuh dan berkata, “Oh, rupanya di dalam ada kitab rahasia ilmu pedang
perguruanmu yang mulia. Memang tidak sepantasnya aku masuk ke dalam.”
Linghu Chong gembira melihat
tipu muslihatnya berhasil dengan baik. Ia pun bergegas masuk ke dalam gua
belakang dan beberapa waktu kemudian kembali menantang Tian Boguang. Namun
demikian, tetap saja pemuda itu mengalami kekalahan.
Begitulah, berkali-kali Linghu
Chong keluar masuk gua namun tetap saja tidak mampu melewati tiga puluh jurus
dalam pertandingan melawan Tian Boguang. Tidak hanya ilmu pedang aneh dan rumit
milik Serikat Pedang Lima Gunung saja yang ia mainkan, bahkan ilmu silat milik
orang-orang yang mematahkan jurus-jurus pedang tersebut juga ia pelajari. Namun
karena terburu-buru tentu saja ia tidak mampu menangkap intisari jurus-jurus
yang tergambar pada dinding gua tersebut sehingga kekuatannya tidak bisa
menembus ilmu golok kilat milik lawan. Lagi-lagi Tian Boguang memperoleh
kemenangan.
Di lain pihak, Tian Boguang
merasa curiga mengapa tiap kali keluar gua, Linghu Chong selalu memainkan
jurus-jurus baru yang aneh dan seolah tidak ada habisnya. Memang jurus-jurus
tersebut tidak mampu mengalahkan ilmu golok kilat miliknya, namun tetap saja
membuat Tian Boguang berdecak kagum karena keindahan dan kehebatannya. Andai
saja ini bukan pertandingan, ingin rasanya ia mengamati jurus-jurus aneh dan
unik yang dimainkan Linghu Chong dengan seksama.
Setelah mengingat-ingat semua
pertandingan yang terlewati, Tian Boguang menyadari kalau jurus-jurus tersebut
tidak hanya milik Perguruan Huashan, tapi juga milik Perguruan Songshan,
Taishan, Hengshan, dan Henshan. Ia pun berpikir, “Apakah mungkin para sesepuh
Serikat Pedang Lima Gunung bersembunyi di dalam gua? Tiap kali bocah ini masuk
ke dalam, apakah para sesepuh mengajarkan suatu jurus baru kepadanya? Hm,
untung saja aku tidak jadi masuk ke dalam. Bagaimana mungkin aku mampu
mengalahkan para sesepuh kelima perguruan besar tersebut?”
Karena berpikir demikian, Tian
Boguang pun bertanya, “Mengapa mereka tidak keluar saja?”
“Siapa yang kau maksud?” sahut
Linghu Chong bingung.
“Mereka, para sesepuh yang
bersembunyi di dalam gua. Bukankah mereka yang telah mengajarimu? Mengapa
mereka tidak keluar saja dan mencoba kepandaianku?” jawab Tian Boguang yakin.
Linghu Chong terperanjat.
Namun ia akhirnya sadar kalau Tian Boguang hanya salah paham. Maka, ia pun
tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Para sesepuh itu merasa... merasa
enggan bertanding dengan Saudara Tian.”
Tian Boguang tersinggung
mendengarnya. Sambil mendengus tidak puas, ia pun membentak, “Aku tahu
orang-orang macam apa mereka itu! Mereka suka mengumpulkan pujian dan nama
besar sehingga merasa tidak sederajat jika bertarung melawan penjahat cabul
macam diriku. Sebaiknya kau panggil saja mereka semua supaya keluar. Selama
kami bertarung satu lawan satu, tak peduli sehebat apa nama besar mereka tetap
saja tidak mampu melukai diriku.”
Linghu Chong menggeleng dan
berkata, “Saudara Tian, kalau kau berminat menemui mereka, aku persilakan kau
masuk ke dalam gua dan menemui sebelas sesepuh di sana untuk meminta petunjuk
dari Beliau sekalian. Aku yakin Beliau semua akan menghargai ilmu golok Saudara
Tian.”
Linghu Chong paham bagaimana
Tian Boguang telah melakukan banyak kejahatan di dunia persilatan dan juga
memiliki banyak musuh. Dalam setiap tindak-tanduknya, penjahat cabul itu selalu
berhati-hati. Kini dengan mengira bahwa di dalam gua terdapat para tokoh papan
atas dari berbagai perguruan, tentu ia tidak akan berani mengambil risiko untuk
masuk ke dalam. Sengaja Linghu Chong mengatakan bahwa di dalam gua terdapat
sebelas orang sesepuh, karena dengan menyebut angka ganjil membuat ucapannya
lebih meyakinkan.
Tian Boguang sendiri tampak
mendengus dan menjawab, “Tokoh papan atas macam apa? Jangan-jangan mereka
hanyalah para sesepuh yang terasing karena berkepandaian rendah. Jika tidak,
kenapa mereka berulang kali mengajarimu namun tetap saja kau tidak mempu
mengalahkan ketiga puluh jurusku?”
Sebenarnya Tian Boguang dalam
hati merasa sedikit gentar. Namun mengingat dirinya memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sangat hebat, sekalipun sebelas sesepuh itu menyerang serentak,
tentu ia dapat melarikan diri dengan cepat apabila keadaan kurang menguntungkan
baginya. Di samping itu, para sesepuh dari perguruan terhormat semacam Serikat
Pedang Lima Gunung tidak mungkin merendahkan diri mereka dengan main keroyok.
Linghu Chong memasang wajah
serius dan kembali berkata, “Meskipun para sesepuh mengajariku di dalam gua,
namun tetap saja aku yang bodoh tidak bisa memahami ajaran mereka sehingga
kalah di tanganmu berkali-kali. Namun demikian, hendaknya Saudara Tian
berhati-hati jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Kalau saja ada seorang
yang keluar dari gua dan menghadapimu, tentu tidak perlu menunggu sebulan lagi
untuk mati. Sekarang juga kau akan kehilangan kepalamu di Tebing Perenungan
ini.”
Tian Boguang bertanya, “Coba
kau jelaskan, siapa saja yang berada di dalam gua sana?”
Raut wajah Linghu Chong seolah
menyembunyikan sesuatu saat menjawab, “Ah, para sesepuh itu sudah lama
mengasingkan diri. Sudah bertahun-tahun mereka mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Mereka berkumpul di sini juga tidak ada sangkut-pautnya denganmu.
Nama-nama para sesepuh itu tidak boleh sampai diketahui orang luar. Andai
kukatakan juga kau belum tentu kenal.”
Tian Boguang bertambah
penasaran melihat wajah Linghu Chong. Ia berkata, “Para sesepuh dari Perguruan
Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan memang masih tersisa sedikit. Namun
Perguruan Huashan sudah lama kehabisan tokoh-tokoh tua. Hal ini sudah diketahui
setiap orang di dunia persilatan. Ucapan Saudara Linghu bagiku sungguh sukar
dipercaya.”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Para sesepuh Perguruan Huashan kami memang sudah wafat. Beberapa tahun silam
perguruan kami diserang wabah penyakit menular sehingga banyak di antara para
sesepuh yang meninggal dunia. Dugaan Saudara Tian sungguh tepat. Di dalam gua
ini memang tidak terdapat sesepuh dari Huashan.”
Meskipun Linghu Chong berkata
benar, namun Tian Boguang sudah sering dibohongi sehingga ia pun yakin kalau
kalimat terakhir tersebut juga salah satu tipuan pemuda itu. Jika Linghu Chong
berkata tidak ada seorang pun sesepuh Huashan di dalam gua, tentu yang benar
ialah sebaliknya, demikian pikir penjahat itu.
Setelah merenung sejenak, Tian
Boguang seolah menyadari sesuatu. Sambil memukulkan tangan kanan ke telapak
tangan kiri ia pun berkata, “Aku ingat sekarang! Dalam Perguruan Huashan masih
terdapat seorang sesepuh. Dia pasti... dia pasti Feng Qingyang.”
Linghu Chong tertegun sejenak.
Seketika ia pun teringat pada sebuah nama yang terukir di dinding gua depan,
yaitu nama “Feng Qingyang” tersebut. Tanpa sadar mulutnya pun berseru karena
terkejut karena sama sekali tidak menyangka kalau tokoh sepuh bernama Feng
Qingyang ternyata masih hidup, setidaknya demikian menurut perkiraan Tian
Boguang.
Sambil mengibaskan tangan
pemuda itu berkata, “Saudara Tian, kau jangan bicara sembarangan.. Eh.. eh…”
karena Feng Qingyang memiliki nama “Qing” dan itu berarti satu angkatan di atas
gurunya yang memakai nama “Bu”, maka Linghu Chong pun melanjutkan perkataannya,
“Kakek Guru... Kakek Guru Feng sudah puluhan tahun menghilang entah ke mana.
Apakah Beliau masih hidup atau tidak di dunia ini juga kami tidak tahu. Jadi
bagaimana mungkin Beliau ada di Gunung Huashan sini? Tapi apabila Saudara Tian
tidak percaya silakan masuk saja ke dalam untuk memeriksa langsung.”
Semakin Linghu Chong
mempersilakan masuk ke gua, semakin Tian Boguang merasa itu jebakan. Penjahat itu
pun berpikir, “Raut wajah bocah ini benar-benar menunjukkan sikap khawatir.
Jangan-jangan ini perangkapnya. Aku harus berhati-hati. Cerita yang pernah aku
dengar bahwa dalam satu malam saja terjadi kematian besar-besaran di Gunung
Huashan. Entah apa sebabnya, yang jelas hampir semua sesepuh Perguruan Huashan
meninggal dunia. Konon saat itu Feng Qingyang sedang berada jauh entah di mana
sehingga lolos dari bencana. Sejak saat itu kabar tentang dirinya tidak
diketahui lagi. Andaikan saat ini ia masih hidup dan berada di dalam gua itu,
tentu usianya sudah tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Hm, tidak peduli
sehebat apa ilmu pedangnya tetap saja tenagaku lebih kuat darinya. Persetan
dengan orang itu. Untuk apa aku takut pada seorang tua bangka?”
Maka, Tian Boguang lantas
berkata, “Saudara Linghu, kita sudah bertempur sehari semalam. Walaupun
diteruskan tetap saja kau bukan tandinganku. Sekalipun Kakek Guru Feng-mu itu
berkali-kali memberikan petunjuk padamu juga sia-sia belaka. Sebaiknya kau
segera ikut denganku. Kita segera berangkat sekarang.”
Belum sempat Linghu Chong
menjawab tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang pria menanggapi
dengan nada dingin, “Jika aku benar-benar memberikan petunjuk beberapa jurus,
mana mungkin kau bisa mengalahkannya?”
Linghu Chong terkejut bukan
main. Begitu menoleh ke belakang ia pun melihat seorang pria tua berjanggut
putih, berbadan tinggi kurus, dan berdiri di depan mulut gua depan. Laki-laki
tua itu mengenakan pakaian berwarna hijau, dengan raut muka seram dan pucat
pasi seperti mayat.
Linghu Chong terheran-heran.
Dalam hati ia bertanya-tanya, “Dari mana munculnya kakek ini? Apakah dia...
apakah dia pria bercadar yang telah memainkan jurus Pedang Gadis Kumala di
hadapanku malam itu? Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di belakangku?”
Sementara itu Tian Boguang
bertanya dengan suara gemetar, “Apakah Anda... Sesepuh Feng?”
Orang tua itu menghela napas
dan berkata, “Tidak kusangka di dunia ini masih ada orang yang mengenal
namaku.”
Mendengar jawaban tersebut
seketika dalam benak Linghu Chong terlintas beberapa pertanyaan. “Apakah orang
ini adalah sesepuh Perguruan Huashan yang masih tersisa? Mengapa Guru dan Ibu
Guru tidak pernah bercerita soal ini? Ataukah dia hanya seseorang yang
mengaku-aku gara-gara ucapan Tian Boguang tadi? Jika benar demikian, apakah aku
tidak akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan apabila berlutut memberi
hormat kepadanya? Tentu saja ini aneh. Begitu Tian Boguang menyebut nama ‘Feng
Qingyang’, mengapa langsung muncul orang tua yang mengaku bernama ‘Feng
Qingyang’? Sungguh tidak masuk akal,” demikian pikirnya.
Tiba-tiba terdengar kakek itu
berkata, “Linghu Chong, dasar bocah tidak becus! Coba sini, akan kuajari kau
mengalahkan keparat ini. Seharusnya kau gunakan jurus Cahaya Fajar Membuka
Hari, disusul jurus Burung Feng Datang Menyembah, kemudian jurus Angsa Emas
Membelah Angkasa, kemudian jurus....” begitulah seterusnya ia menyebutkan satu
per satu sampai tiga puluh jurus.
Linghu Chong sudah hafal
ketiga puluh jurus itu dengan baik. Namun ia heran mengapa orang tua itu
menyebutkannya secara tidak berurutan sehingga rasanya sulit apabila digunakan
dalam suatu rangkaian yang sambung menyambung.
Melihat Linghu Chong
termangu-mangu, orang tua itu membentak, “Apa lagi yang kau tunggu? Dengan ilmu
silatmu saat ini memang sulit untuk memainkan ketiga puluh jurus itu dalam
waktu serentak. Tapi kalau kau tidak percaya, mengapa tidak kau coba dengan
gerakan perlahan dulu?”
Suara kakek itu pelan namun
dalam, serta wajahnya terlihat sangat dingin. Apa yang ia ucapkan seolah
disertai perasaan tertekan namun terdengar berwibawa.
Linghu Chong menjawab dalam
hati, “Baiklah, tiada salahnya jika aku mencoba.”
Pemuda itu lantas memainkan
jurus-jurus sesuai urutan yang telah disebutkan si kakek tadi. Pertama ia
memainkan jurus Cahaya Fajar Membuka Hari yang berakhir dengan mengacungkan
pedang ke atas. Kemudian disusul dengan jurus Burung Feng Datang Menyembah yang
harus menusuk dari bawah ke atas. Tentu saja kedua jurus tersebut tidak bisa
disambungkan begitu saja.
Kakek tua itu menghela napas
dan menggerutu, “Bodoh! Goblok! Hanya melulu mengikuti aturan tanpa bisa
melakukan penyesuaian. Aku tidak heran karena kau ini murid Yue Buqun yang kaku
dan tidak bisa melihat gelagat. Tidak bisa mengubah haluan sesuai keadaan.
Suatu ilmu pedang harus dapat dimainkan secara bebas menurut keinginan. Terbang
seperti awan, mengalir seperti air. Alami dan lembut; datang dan pergi dengan
merdeka. Jurus pertama tadi memang berakhir dengan pedang mengacung ke atas.
Lantas apa kau tidak bisa menariknya kembali sambil menusuk? Meskipun tidak ada
teori ilmu pedang seperti itu, apa kemudian kau tidak bisa menciptakannya
sendiri sesuai kebutuhan?”
Petunjuk ini seketika
menyadarkan Linghu Chong bagaikan lonceng yang berbunyi dekat telinga.
Tangannya lantas mengayunkan pedang tanpa keraguan untuk memainkan ketiga puluh
jurus yang disebutkan si kakek tadi. Mula-mula ia memeragakan jurus Burung Feng
Datang Menyembah. Belum tuntas jurus itu dimainkan, Linghu Chong melanjutkan
dengan jurus Angsa Emas Membelah Angkasa. Jurus-jurus lainnya pun sambung
menyambung diperagakan Linghu Chong tanpa cacad dan tenpa jeda. Dengan pikiran
gembira tanpa beban ia memainkan semua jurus yang diperintahkan si orang tua
dengan sempurna. Tepat pada jurus ketiga puluh yaitu jurus Denting Lonceng
Dentum Tambur ia pun menghentikan permainan. Dalam hati Linghu Chong merasa
sangat gembira; semacam perasaan bahagia yang selama ini belum pernah ia
rasakan.
“Boleh juga,” sahut si kakek
memuji namun dengan wajah datar tanpa senyuman. “Hanya saja, gerakanmu masih
kaku dan lambat. Bagiku, masih jauh dari bagus. Namun kalau untuk melayani
bangsat keparat ini aku rasa sudah cukup. Nah, sekarang majulah!”
Meskipun hatinya belum
sepenuhnya percaya kalau si orang tua adalah Feng Qingyang, namun Linghu Chong
yakin kalau laki-laki tersebut adalah ahli pedang papan atas. Maka, ia pun
membungkuk memberi hormat sambil memegang pedang dengan ujung menghadap ke
bawah.
Setelah itu, ia pun berpaling
ke arah Tian Boguang dan berkata, “Saudara Tian, mari kita mulai lagi!”
“Untuk apa?” tanya Tian
Boguang. “Aku sudah hafal ketiga puluh jurusmu itu. Jika kita bertanding lagi,
tentu aku akan menang dengan tidak terhormat.”
“Jika kau tidak ingin
bertarung, baiklah! Silakan kau pergi saja dari sini!” ujar Linghu Chong. “Aku
masih ingin meminta banyak petunjuk dari sesepuh ini. Aku tidak ada waktu
mengobrol denganmu. Maaf, aku tidak bisa menemanimu lagi.”
“Enak saja ucapanmu itu!”
bentak Tian Boguang. “Jika kau tidak mau pergi denganku, itu berarti nyawaku
melayang sia-sia karenamu.” Setelah berkata demikian ia pun menoleh ke arah si
kakek tua. “Sesepuh Feng, Tian Boguang ini hanya bocah kemarin sore. Sudah
pasti aku tidak pantas beradu jurus denganmu. Bila kau sampai turun tangan
membantu dia, itu sama artinya dengan merendahkan kedudukanmu sendiri.”
Kakek tua itu menghela napas
sambil mengangukkan kepala. Tanpa menjawab ia lantas mendekati sebongkah batu
besar dan duduk di atasnya.
Melihat itu Tian Boguang
merasa lega dan membentak ke arah Linghu Chong, “Awas seranganku!”
Bersamaan dengan itu golok
Tian Boguang berkelebat ke arah kepala lawannya. Linghu Chong pun mengelak ke
samping dan membalas tusukan sesuai petunjuk si kakek. Begitu serangan
pertamanya lancar, serangan lainnya pun membanjir tanpa halangan. Yang ia
gunakan kadang-kadang sesuai petunjuk si kakek, namun kadang pula di luar
jurus-jurus tersebut.
Setelah memahami intisari ilmu
pedang yang bebas bergerak, alami, dan merdeka, seketika itu pula kehebatan
Linghu Chong maju pesat. Dengan sengit ia bertanding melawan Tian Boguang
sampai lebih dari seratus jurus dan masih belum jelas siapa yang menang. Sampai
akhirnya pemuda itu kehabisan tenaga sehingga gerakannya mulai lamban.
Tian Boguang pun membentak dan
mengayunkan goloknya dengan ganas. Menyadari serangan tersebut sulit untuk
dihindari, Linghu Chong pun nekad mengacungkan pedang ke arah dada lawan.
Secepat kilat Tian Boguang memutar goloknya ke samping dan menangkis pedang
Linghu Chong. Tanpa memberi kesempatan Linghu Chong menarik pedangnya, Tian
Boguang lalu membuang goloknya dan melompat maju sekuat tenaga. Kedua tangannya
lantas mencekik leher Linghu Chong sekuat tenaga.
Linghu Chong merasa sesak
napas. Pedangnya pun terlepas dari genggaman. Terdengar suara Tian Boguang
mengancam, “Jika kau masih bersikeras menolak turun gunung bersamaku, biar
kucekik saja sampai mampus.”
Tadinya Tian Boguang
menganggap Linghu Chong sebagai sahabat yang patut dihormati. Namun setelah
bertanding sengit melewati seratus jurus, penjahat itu kehilangan kesabarannya
dan mencekik leher si pemuda dengan kedua tangannya.
Wajah Linghu Chong terlihat
kebiru-biruan menahan sesak. Namun ia masih berusaha menggelengkan kepala untuk
menjawab ancaman musuhnya itu.
Tian Boguang semakin gusar dan
berteriak, “Aku tidak peduli seratus jurus atau dua ratus jurus. Yang penting
aku menang dan kau harus ikut denganku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan
batasan tiga puluh jurus! Aku tidak peduli dengan sesepuh itu pula!”
Linghu Chong ingin sekali
tertawa mengolok-olok penjahat itu. Namun karena lehernya dicekik rapat membuat
mulutnya hanya bisa menyeringai tanpa bersuara.
Tiba-tiba terdengar si orang
tua berteriak, “Goblok! Sungguh goblok! Tangan tidak memegang pedang, berarti
jari bisa menjadi pedang. Apakah jurus Giok Emas Memenuhi Ruangan hanya bisa
dimainkan dengan pedang asli?”
Kata-kata si kakek benar-benar
bagaikan sihir. Mendengar itu Linghu Chong langsung menggerakkan tangan
kanannya dan memainkan jurus tersebut. Jari tengah dan jari telunjuk pemuda itu
berpadu menotok titik Tanzhong di dada Tian Boguang. Akibatnya sungguh fatal.
Tian Boguang pun roboh di tanah, dan melepaskan cengkeraman tangannya pada
leher Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri
termangu-mangu menyadari tusukan tangannya telah berhasil merobohkan Tian
Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li yang memiliki nama besar di dunia
persilatan. Perlahan ia meraba leher sendiri yang masih sakit akibat cekikan
tadi, kemudian kedua matanya memandangi tubuh si penjahat cabul yang kejang-kejang
dan terkulai di tanah. Setelah mengetahui kalau Tian Boguang kehilangan
kesadarannya, pemuda itu merasa sangat gembira. Ia lantas berjalan ke arah si
kakek tua dan kemudian menyembah beberapa kali sambil berseru, “Kakek Guru
Feng, maafkan saya yang tadi telah bersikap kurang hormat!”
“Jadi, sekarang kau sudah
tidak sangsi lagi bahwa aku ini bukan penipu?” tanya si kakek sambil tertawa
hambar.
“Ampun, mana mungkin saya
berani?” sahut Linghu Chong sambil menyembah lagi. “Saya sungguh beruntung bisa
berjumpa dengan angkatan tua dari perguruan sendiri. Kejadian ini sungguh
sangat menggembirakan bagi saya.”
“Kau boleh bangun,” ujar si
kakek yang tidak lain bernama Feng Qingyang itu.
Setelah memberi hormat
beberapa kali lagi Linghu Chong pun merangkak bangun. Dilihatnya wajah Feng
Qingyang pucat pasi dan kurus kering. Segera ia bertanya, “Apakah Kakek Guru
lapar? Di gua ada sedikit makanan. Mari kita ke dalam.”
“Tidak perlu,” jawab Feng
Qingyang sambil menggeleng.
Sambil memandang sinar
matahari yang menyilaukan, orang tua itu berkata lirih, “Sungguh hangat sinar
mentari ini. Sudah puluhan tahun aku tidak berjemur di bawah sinar matahari.”
Dalam hati Linghu Chong merasa
sangat heran, namun sedikit pun tidak berani bertanya.
Feng Qingyang kemudian menoleh
ke arah Tian Boguang yang masih tergeletak tidak berdaya. Ia berkata, “Kau
telah menotok titik Tanzhong orang itu. Mengingat tenaga dalamnya cukup hebat,
aku yakin dalam dua jam lagi ia akan terbebas dari totokan dan kembali
mengganggumu. Kau harus bisa mengalahkan dia lagi, dan sesudah itu paksa dia
supaya menutup mulut tidak menyebarkan keberadaanku di sini.”
“Saya tadi sudah bertanding
berkali-kali melawannya namun selalu kalah. Kemenangan yang baru saja terjadi
hanya karena kebetulan dan tiba-tiba. Sampai saat ini saya masih belum yakin
bisa memngalahkannya,” ujar Linghu Chong ragu-ragu.
Feng Qingyang menghela napas
dan berkata lirih, “Kau adalah murid Yue Buqun. Seharusnya aku tidak boleh
mengajarkan ilmu silat kepadamu. Hari itu… hari itu… aku bersumpah untuk tidak
akan bertarung lagi sepanjang sisa hidupku. Saat aku muncul dan memainkan jurus
pedang di hadapanmu malam itu, aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa
Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala bukan ilmu sembarangan. Apabila dimainkan
dengan cara yang benar, mana ada orang yang bisa sembarangan menyentil pedang
hingga lepas dari pegangan? Nah, sekarang aku perlu meminjam tanganmu untuk
memaksa bajingan Tian Boguang untuk bersumpah dan tutup mulut supaya tidak
membocorkan keberadaanku. Sekarang, ikutlah denganku!”
Usai berkata demikian, orang
tua itu lantas menyusuri lorong sempit menuju gua belakang. Linghu Chong
mengikuti sambil berpikir ternyata Feng Qingyang juga mengetahui keberadaan gua
rahasia tersebut.
Setelah sampai di dalam, Feng
Qingyang menunjuk gambar-gambar di dinding sambil berkata, “Gambar-gambar jurus
pedang Huashan ini tentu sudah kau amati semua dan kau hafalkan dengan baik.
Namun begitu kau gunakan dalam pertarungan, semua menjadi tidak berguna.”
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Ternyata saat aku mempelajari jurus-jurus yang terukir di gua ini,
Kakek Guru Feng mengintai dan mengamati perbuatanku. Walaupun berkali-kali aku
keluar masuk gua ini namun tidak sedikit pun aku menyadari kehadiran Beliau;
mungkin karena aku terlalu memusatkan perhatianku kepada gambar-gambar ini.
Aih, andai saja Kakek Guru Feng seorang musuh yang berniat jahat… hm, bagaimana
mungkin aku bisa menghindar dari maut?”
Terdengar Feng Qingyang
berkata, “Si bocah Yue Buqun benar-benar tolol. Tidak becus menjadi guru.
Padahal, sebenarnya bakatmu sangat cemerlang. Tapi karena didikannya, kau jadi
sebodoh kerbau.”
Mendengar ucapan Feng Qingyang
yang merendahkan gurunya itu Linghu Chong merasa sakit hati. Ia pun menukas
dengan nada tegas, “Kakek Guru, saya tidak jadi minta diajari. Biar saya keluar
saja mengalahkan Tian Boguang dan memaksanya tutup mulut tentang keberadaan
Kakek Guru di sini. Habis perkara.”
Feng Qingyang terperanjat
namun segera menyadari sebab-musababnya. Ia pun bertanya, “Bagaimana kalau dia
menolak bersumpah? Apakah kau akan membunuhnya?”
Linghu Chong termangu-mangu
dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Selama ini ia selalu kalah dalam
menghadapi Tian Boguang, namun lawannya itu tidak pernah menurunkan tangan
untuk membunuhnya. Sebaliknya, bagaimana mungkin dirinya begitu keji membunuh
Tian Boguang hanya karena menang satu kali saja? Demikian pikir Linghu Chong.
“Apakah kau tersinggung karena
aku mengolok-olok gurumu?” lanjut Feng Qingyang. “Baiklah kalau begitu aku tidak
akan menyebut namanya lagi. Dia sendiri memanggil ‘paman’ kepadaku. Maka, cukup
pantas rasanya kalau aku memanggil ‘bocah’ kepadanya, bagaimana?”
“Apabila Kakek Guru tidak lagi
merendahkan guruku yang mulia, tentu saya akan mengikuti semua petunjuk dan mendengarkan
dengan seksama,” jawab Linghu Chong.
“Hei, ini sepertinya aku yang
memohon kepadamu supaya belajar dariku, begitu?” ujar Feng Qingyang tersenyum
geli.
“Saya tidak berani berpikir
demikian. Mohon Kakek Guru sudi memaafkan,” sahut Linghu Chong.
Feng Qingyang kemudian
menunjuk gambar-gambar jurus pedang Huashan di dinding gua, kemudian mulai
menjelaskan, “Gambar-gambar yang terukir ini memang jurus andalan perguruan
kita. Beberapa di antaranya bahkan ada yang tidak terwariskan sehingga punah begitu
saja. Bahkan si Yue… Yue.... hm, gurumu juga tidak mengetahuinya. Namun,
meskipun jurus-jurus ini sangat bagus, tapi kalau dipisah-pisah cara memakainya
tetap saja bisa dipecahkan musuh....”
Mendengar sampai di sini
membuat hati Linghu Chong terasa berbunga-bunga. Ia merasa baru sekarang
mengetahui intisari ilmu pedang yang sudah lama dipelajarinya. Wajahnya tampak
memancarkan kebahagiaan luar biasa.
“Apa yang sedang kau pikirkan?
Apa kau sudah paham?” tanya Feng Qingyang.
“Jadi, menurut Kakek Guru jika
jurus demi jurus itu dimainkan menjadi suatu rangkaian, maka musuh tidak mampu
memecahkannya?” tanya Linghu Chong.
Feng Qingyang manggut-manggut
dengan perasaan gembira. “Sudah kubilang kau ini sebenarnya sangat cerdas. Daya
tangkapmu tinggi,” ujarnya sambil kemudian menunjuk salah satu gambar orang
bersenjata toya yang terukir di dinding gua itu. “Para tetua aliran sesat
ini....”
“Apa? Mereka tetua aliran
sesat?” sahut Linghu Chong mempertegas.
“Apa kau belum tahu?” tanya
Feng Qingyang sambil kemudian menunjuk beberapa kerangka yang berserakan di
lantai gua. “Semua kerangka yang terkurung di sini dulunya adalah sepuluh orang
anggota aliran sesat. Bahkan, mereka adalah tetua aliran sesat.”
“Mengapa... mengapa mereka
bisa mati di sini?” Linghu Chong balik bertanya dengan heran.
“Dua jam lagi Tian Boguang
akan terbebas dari totokan. Silakan kalau kau ingin menghabiskan waktu hanya
untuk mengungkit-ungkit masa lalu. Apa kau tidak ingin belajar silat dariku?”
sahut Feng Qingyang.
“Benar, benar!” jawab Linghu
Chong. “Saya menunggu petunjuk Kakek Guru.”
Dengan menghela napas Feng
Qingyang berkata, “Para tetua aliran sesat ini sebenarnya sangat cerdas dan
pandai. Mereka berhasil memecahkan semua ilmu silat andalan Serikat Pedang Lima
Gunung. Sayang sekali, mereka semua harus mati terperangkap di sini.”
Meskipun bibirnya tersenyum
namun hati Linghu Chong berkata, “Tadi aku tidak boleh mengungkit-ungkit
kematian mereka, tapi sekarang justru Kakek Guru yang bercerita panjang lebar.”
Feng Qingyang melanjutkan
cerita, ”Sebenarnya ilmu silat bukan melulu tentang jurus, tapi juga meliputi
kecerdikan, rencana, tipu daya, dan jebakan. Tidak peduli apakah kau pandai
menghancurkan segala jurus, tapi kalau bertemu seseorang yang pandai membuat
tipu daya, maka semuanya akan sia-sia…” Bercerita sampai di sini, Feng Qingyang
lantas mengangkat kepala seolah membayangkan kenangan masa lalu.
Mendengar nada bicara dan
melihat raut muka Feng Qingyang membuat Linghu Chong tidak berani menyela dan
hanya bertanya di dalam hati, “Mungkinkah saat itu para tokoh Serikat Pedang
Lima Gunung sudah merasa kalah apabila bertarung secara jantan, sehingga mereka
menggunakan jebakan dan tipu muslihat? Kakek Guru Feng adalah anggota Serikat
Pedang Lima Gunung yang mungkin juga tidak keberatan dengan cara-cara tersebut.
Bagiku, untuk menghadapi musuh-musuh kuat dari aliran sesat, menggunakan
cara-cara licik adalah hal yang bisa dimaklumi.”
Feng Qingyang melanjutkan
cerita, “Jika kita menilai kehebatan dan penguasaan ilmu silat seseorang berdasarkan
pemahaman mereka tentang teori, maka para tetua aliran sesat ini tidak
seharusnya masuk ke dalam jajaran tokoh silat papan atas. Mereka tidak paham
kalau jurus adalah ‘mati’, sedangkan orang yang memainkan jurus adalah ‘hidup’.
Tidak peduli betapa hebatnya gerakan untuk mematahkan jurus yang mati, namun
itu semua akan sia-sia jika bertemu lawan yang menyerang dengan hidup. Jika
bertemu lawan yang demikian, secepat mungkin mereka akan terpuruk dan bertekuk
lutut memohon ampun. Maka, dalam hal ini kau harus selalu mengingat kata
‘hidup’. Jika kau berlatih jurus, kau harus melatihnya dengan cara yang hidup;
jika kau memainkan jurus, maka kau harus memainkannya dengan cara yang hidup.
Jika kau melakukannya dengan cara kaku dan terikat aturan tata tertib tanpa
memadukannya dengan keahlianmu yang hidup, maka tak peduli kau menguasai
ratusan atau ribuan jurus yang ampuh akan tetap tidak berguna jika kau bertemu
dengan lawan tangguh yang sesungguhnya. Setiap jurusmu akan dengan mudah
dipatahkan olehnya.
Mendengar penjelasan tersebut,
Linghu Chong merasakan kebahagiaan yang teramat sangat. Pada dasarnya ia memang
bersifat terbuka dengan pemikiran yang merdeka. Setiap kata-kata Feng Qingyang
terasa menggetarkan relung hatinya. Ia hanya bisa berkata, “Aih, benar sekali!
Harus mempelajarinya dengan hidup dan menggunakannya secara hidup.”
Feng Qingyang kembali berkata,
“Di dalam Serikat Pedang Lima Gunung banyak terdapat orang-orang tolol yang
mengira asalkan bisa belajar sebaik-baiknya dari petunjuk guru maka dengan
sendirinya mereka bisa menjadi jago silat papan atas.” Sampai di sini orang tua
itu menghela napas kemudian melanjutkan, “Padahal, apa gunanya bersyair tanpa
memahami makna syair itu sendiri? Ada pepatah berbunyi, ‘mampu menghafalkan
tiga ribu judul syair, tentu bisa mencipta satu syair’. Memang benar, setelah
menghafal beberapa syair dengan lancar, seseorang bisa menulis satu atau dua
judul syair pasaran. Tapi kalau tidak timbul dari jiwa seninya yang hidup, apa
bisa menjadi penyair sejati?”
Sebenarnya ucapan Feng
Qingyang tersebut juga untuk menyindir Yue Buqun sebagai orang “tolol”, namun
karena uraiannya disertai alasan-alasan yang masuk akal, serta tidak langsung
menyebut nama, membuat Linghu Chong tidak menyatakan keberatan.
“Belajar dan menggunakannya
secara hidup hanya langkah pertama saja,” lanjut Feng Qingyang. “Harus dapat
menyerang tanpa jurus itulah tingkatan yang paling sempurna. Tadi kau bilang
jurus demi jurus dilancarkan menjadi suatu rangkaian sehingga musuh tak mampu
melawan. Ucapanmu itu hanya benar setengahnya. Seharusnya, bukan cuma sekaligus
dilancarkan menjadi suatu rangkaian serangan, tapi pada hakikatnya harus tidak
jelas jurus apa yang dilancarkan. Betapapun hebatnya kau merangkai jurus
menjadi satu kesatuan, tetap saja ada peluang bagi musuhmu untuk mematahkannya.
Sebaliknya, kalau kita menyerang tanpa jurus yang jelas, maka dengan sendirinya
musuh akan kesulitan dan tidak bisa mematahkan serangan kita.”
Linghu Chong berdebar-debar
mendengar ajaran itu. Sampai-sampai ia menggumam sendiri, “Menyerang tanpa
jurus? Bagaimana cara memecahkannya? Menyerang tanpa jurus? Bagaimana cara
memecahkannya?” Sampai di sini ia merasa seolah-olah menemukan dunia baru
terhampar luas di depan matanya.
Feng Qingyang melanjutkan,
“Jika kau ingin memotong daging, maka terlebih dulu harus ada daging; jika kau
ingin memotong kayu bakar, maka terlebih dulu harus ada kayu bakar; jika
musuhmu ingin mematahkan jurusmu, maka kau harus ada jurus untuk dipatahkan.
Misalnya ada seorang yang tidak kenal ilmu silat sama sekali dan dia menyerang
secara serabutan. Bagaimanapun pandainya dirimu juga tidak akan tahu ke arah
mana orang itu akan menyerang, apalagi bisa mematahkan serangannya. Seorang
ahli silat papan atas sekalipun juga merasa kesulitan kalau harus mematahkan
serangan yang serabutan. Akan tetapi, orang seperti itu masih mudah untuk
ditaklukkan, misalnya, ia kurang mampu menguasai diri. Beda halnya dengan
serangan tanpa jurus yang dilancarkan oleh seorang ahli silat. Tidak ada jurus
yang bisa dipatahkan, juga tidak mudah orang itu dirobohkan.”
Usai berkata demikian Feng
Qingyang memungut sebatang tulang paha yang berserakan di atas tanah dan
kemudian mengacungkannya ke arah Linghu Chong sambil bertanya, “Ayo, bagaimana
caramu mematahkan seranganku ini?”
Linghu Chong terperanjat.
Selang agak lama barulah ia menjawab, “Ini bukan jurus sehingga tidak bisa
dipecahkan.”
“Betul sekali,” ujar Feng
Qingyang tersenyum. “Apapun senjata yang digunakan musuh, ataupun hanya memakai
tangan kosong dan tendangan belaka, tetap saja ada jurus yang mendasarinya.
Asalkan kau mengetahui arah serangannya, maka sudah pasti kau bisa
mematahkannya, serta merobohkan dia.”
“Tapi jika musuh juga tidak
memakai jurus, lantas bagaimana?” tanya Linghu Chong.
“Jika demikian, tentu dia
seorang ahli silat kelas satu. Kalau seperti ini tinggal menunggu hasil
akhirnya. Mungkin dia lebih mahir daripadamu, atau kau yang lebih pandai
darinya,” jawab Feng Qingyang sambil menghela napas. “Tapi, di zaman sekarang
sudah sulit menemukan tokoh-tokoh hebat seperti itu. Mungkin suatu saat nanti
kau bisa kebetulan bertemu dengan mereka. Sungguh, kau akan termasuk orang yang
sangat beruntung. Sepanjang hidupku, aku hanya bisa bertemu tiga orang yang
bisa seperti itu.”
“Tiga orang? Siapa sajakah
mereka itu?” tanya Linghu Chong.
Feng Qingyang memandangnya
sejenak, kemudian tersenyum dan menjawab, “Sungguh tidak kusangka di antara
murid-murid Yue Buqun ternyata ada yang suka mengurusi masalah remeh, tapi
tidak mau belajar secara tekun. Hm, bagus, bagus!”
Wajah Linghu Chong bersemu
merah dan segera ia memberi hormat sambil berkata, “Maaf, Kakek Guru! Saya
mengaku salah.”
“Tidak, kau tidak salah,” seru
Feng Qingyang sambil tertawa. “Kau memiliki semangat yang hidup, cocok sekali
dengan seleraku. Hanya saja, saat ini waktumu cuma sedikit. Sekarang kau harus
menggabungkan tiga atau empat puluh macam jurus pedang Huashan yang paling
hebat. Kemudian bayangkan bagaimana cara memainkannya secara sekaligus dalam
satu rangkaian, tapi setelah itu lupakanlah semuanya. Ya, lupakanlah semuanya
tanpa kecuali. Jangan ada satu jurus pun yang tersisa di dalam benakmu! Nah,
sebentar lagi kalau Tian Boguang sudah sadar dan melabrakmu, maka kau bisa
menggunakan Ilmu Pedang Huashan Tanpa Jurus tersebut untuk menghadapi penjahat
itu.”
“Baik!” jawab Linghu Chong
dengan perasaan terkejut bercampur gembira. Ia kemudian mengamati gambar-gambar
di dinding gua dengan seksama. Sebenarnya selama beberapa bulan terakhir ini ia
sudah mengamati semua gambar itu dengan baik, sehingga sekarang hanya tinggal
merangkainya menjadi satu kesatuan yang utuh.
“Segala sesuatu harus berjalan
apa adanya,” ujar Feng Qingyang sambil menunjuk. “Lakukan apa yang bisa
dilakukan, hentikan apa yang harus dihentikan. Jika jurus yang satu dengan lainnya
sukar dirangkaikan, maka jangan sekali-kali dipaksakan!”
Linghu Chong mengangguk.
Petunjuk tersebut semakin memudahkan dirinya untuk merangkai jurus-jurus yang
ia pilih. Tidak lama kemudian sebanyak tiga sampai empat puluh jurus pedang
Huashan sudah dapat dirangkainya menjadi satu. Namun bagaimana cara melebur
jurus-jurus tersebut menjadi satu kesatuan sehingga tanpa celah sedikit pun
masih merupakan hal yang sulit.
Maka, pemuda itu lantas
mengayunkan pedangnya menebas ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, tanpa
menghiraukan apakah gerakannya itu mirip dengan gambar di gua atau tidak. Ia
mengerahkan serangan sesuka hatinya. Kadang apabila serangannya itu menjadi
sangat lancar membuat hatinya merasa senang.
Selama belasan tahun berguru
di Huashan ia selalu berlatih dengan tekun dan terarah, serta tidak boleh
gegabah sedikit pun. Apalagi Yue Buqun adalah guru yang sangat disiplin dan
ketat. Apabila ada murid yang berlatih suatu jurus dan ada sedikit saja gerakan
tangan atau kaki yang kurang pas, maka ia buru-buru membetulkannya. Bagi Yue
Buqun, siapapun yang berlatih gerakan jurus, harus melakukannya dengan sempurna
tanpa kesalahan sedikit pun. Linghu Chong selaku murid nomor satu senantiasa
ingin menjadi yang terbaik di antara sesama murid Huashan. Demi mendapat pujian
dari sang guru dan ibu-guru, tidak jarang ia berlatih keras dengan penuh daya
upaya.
Namun kali ini yang ia alami
adalah kebalikan dari yang sudah-sudah. Feng Qingyang justru menyuruhnya untuk
bermain pedang sesuka hati. Semakin bebas, semakin baik. Ia pun terus-menerus
mengayunkan pedangnya dengan penuh kebebasan. Perasaannya begitu senang tidak
terlukiskan, bahkan lebih gembira dibanding saat meneguk arak berusia setengah
abad.
Saat pikirannya mabuk kepayang
karena pengalaman baru tersebut, tiba-tiba terdengar suara Tian Boguang
memanggil dari luar gua, “Saudara Linghu, saatnya keluar untuk bertanding
kembali!”
Linghu Chong tersadar dari
alam khayal. Ia pun menghentikan permainan pedangnya dan bertanya, “Kakek Guru,
apakah kali ini aku sudah mampu menahan serangan golok kilatnya dengan ayunan
pedangku yang tanpa arah ini?”
“Jika kau ingin menahan
serangan goloknya, tentu tidak bisa. Tapi untuk apa kau ingin menahan
serangannya?” ujar Feng Qingyang balik bertanya.
“Benar sekali!” seru Linghu
Chong gembira. “Dia ingin sekali mengajakku turun gunung sehingga sedikit pun
ia tidak berani melukaiku, apalagi membunuhku. Kali ini aku tidak akan peduli
lagi pada ilmu goloknya. Yang penting aku harus terus menyerang dan menyerang
tanpa henti.”
Pemuda itu lantas keluar gua
dengan pedang terhunus. Tampak Tian Boguang sudah berdiri dengan golok di
tangan. Penjahat itu menegur, “Saudara Linghu, kau sudah mendapat petunjuk dari
Sesepuh Feng, tentu sekarang ilmu pedangmu maju pesat. Aku tadi roboh karena
lengah sehingga tertotok olehmu. Kali ini aku lebih penasaran dan pantang
menyerah. Mari kita bertanding lagi!”
“Baik!” sahut Linghu Chong
sambil menusukkan pedangnya secara miring dan melenceng. Pedangnya itu tampak
bergoyang-goyang, sedikit pun tidak tampak bertenaga.
Namun demikian, serangan ini
justru membuat Tian Boguang kebingungan. “Hei, jurus macam apa pula ini?”
Melihat pedang Linghu Chong
semakin dekat, Tian Boguang buru-buru berniat menangkis. Namun tiba-tiba Linghu
Chong menarik pedangnya dan menusuk ke tempat kosong. Kemudian pedang itu
ditarik mundur seolah hendak menusuk dada sendiri, tapi setelah itu pergelangan
tangannya memutar sehingga gagang pedang tersebut menuju ke tempat kosong pula
di samping badan sebelah kanan.
Melihat itu Tian Boguang
bertambah heran. Dengan gerakan lembut ia mencoba mengayunkan goloknya. Namun,
Linghu Chong sama sekali tidak menghindar, justru sebaliknya, ia menusukkan
pedang ke arah perut lawannya itu.
“Aneh sekali!” seru Tian
Boguang sambil membatalkan serangannya dan menangkis pedang itu ke bawah.
Setelah melewati beberapa
jurus, Linghu Chong mulai memainkan jurus-jurus pedang Huashan yang tergambar
di dinding. Semuanya adalah jurus menyerang, tanpa gerakan bertahan sedikit
pun. Serangan yang sambung-menyambung menjadi satu ini mau tidak mau membuat
Tian Boguang kalang kabut menghadapinya.
Tian Boguang pun berkata,
“Jika kau tidak peduli dengan golokku lagi, maka jangan salahkan aku jika aku
bersungguh-sungguh memotong lenganmu!”
“Tidak semudah itu!” jawab
Linghu Chong sambil tertawa sambil melancarkan tiga tusukan, yang kesemuanya
terlihat aneh dan janggal. Berkat ketajaman mata dan kecepatan tangannya, Tian
Boguang mampu menangkis ketiga serangan tersebut. Namun begitu mencoba serangan
balasan, tak disangka-sangka Linghu Chong justru melemparkan pedangnya ke udara
membuat Tian Boguang ikut menengadah ke atas. Pada saat itulah tahu-tahu
hidungnya terkena pukulan Linghu Chong hingga mengeluarkan darah. Selanjutnya,
Linghu Chong pun menggunakan jari tangannya sebagai pedang dan secepat kilat
menotok titik Tanzhong penjahat itu seperti tadi. Tanpa ampun, tubuh Tian
Boguang pun jatuh terkulai di tanah dengan wajah penuh rasa heran bercampur
marah.
Linghu Chong berbalik ke arah
gua dan mendengar suara Feng Qingyang memanggil, “Kau punya kesempatan tiga jam
untuk berlatih kembali. Dia sudah roboh untuk kedua kalinya dan keadaannya
bertambah payah. Untuk sementara ini ia tidak mampu bangun kembali. Namun
karena semakin marah, bisa jadi saat bangun nanti dia akan melancarkan serangan
yang lebih berbahaya. Kau harus berhati-hati. Nah, sekarang coba kau latih ilmu
pedang Hengshan!”
Setelah mendapatkan beberapa
petunjuk dan nasihat dari Feng Qingyang, Linghu Chong kini mampu merangkai
beberapa jurus menjadi kesatuan tanpa jurus. Artinya, ia menyerang dengan
intisari jurus tanpa terikat pada susunan gerakan jurus tersebut. Ilmu pedang
Hengshan yang unik dan susah ditebak gerak perubahannya, kini di tangan Linghu
Chong menjadi lebih sulit lagi untuk ditemukan celahnya.
Setelah totokannya terbuka,
Tian Boguang kembali bertarung melawan Linghu Chong. Setelah melewati tujuh
atau delapan puluh jurus, Linghu Chong kembali berhasil membuat penjahat itu
roboh terkapar. Saat itu matahari sudah condong ke barat. Linghu Chong pun
menarik tubuh Tian Boguang dan menyembunyikannya di balik batu besar.
Tak lama kemudian Lu Dayou pun
datang mengantar makanan. Saat itu Feng Qingyang sudah bersembunyi di gua
belakang.
Linghu Chong segera makan
dengan lahap, sambil berkata, “Adik Keenam, nafsu makanku sekarang sudah pulih
kembali. Besok kau bisa membawakan aku makanan lebih banyak.”
Lu Dayou sendiri bisa melihat
dengan jelas raut wajah Linghu Chong yang berseri-seri dan tampak bercahaya,
sepertinya memang jauh lebih sehat dibanding sebelumnya. Ia juga melihat
pakaian yang dikenakan sang kakak tampak basah oleh keringat pertanda Linghu
Chong baru saja berlatih pedang dengan sangat giat. Tak terlukiskan betapa
gembira perasaan hati Lu Dayou menyaksikan hal itu.
“Bagus sekali!” katanya dengan
nada gembira. “Besok akan kubawakan keranjang penuh dengan makanan.”
Setelah Lu Dayou pergi, Linghu
Chong membuka totokan pada tubuh Tian Boguang dan memanggil Feng Qingyang
keluar untuk mengajak mereka makan bersama. Feng Qingyang hanya makan setengah
mangkuk, sedangkan Tian Boguang yang masih kesal makan tanpa selera. Ia lantas
membanting mangkuk di tangannya sampai pecah dan isinya berserakan di tanah.
Linghu Chong tertawa
terbahak-bahak dan bertanya, “Untuk apa Saudara Tian marah-marah kepada sebuah
mangkuk nasi?”
“Aku marah kepadamu, keparat!”
bentak Tian Boguang. “Gara-gara aku tidak ingin membunuhmu, maka kau bisa
seenaknya menyerangku dengan gencar tanpa gerakan bertahan sedikit pun. Huh,
tentu saja kau yang diuntungkan! Jika bukan karena aku menaruh kasihan
kepadamu, tentu kepalamu sudah putus kupenggal dari tadi. Huh, ini semua
gara-gara biksuni… biksuni…”
Dalam hati ingin sekali Tian
Boguang memaki Biksuni Yilin. Namun entah mengapa ia menelan ucapannya itu dan
segera berdiri sambil menghunus golok.
“Ayo, Linghu Chong, kita
bertanding lagi!” serunya kemudian
“Baik!” jawab Linghu Chong
sambil berdiri pula dengan pedang di tangan.
Dengan menggunakan siasat yang
sama, Linghu Chong menyerang Tian Boguang tanpa memedulikan tebasan golok
lawan. Dengan gerakan sesuka hati namun cerdas, ia menusukkan pedang ke arah
lawan. Namun kali ini Tian Boguang juga menyerang dengan lebih ganas. Setelah
dua puluh jurus terlewati, ia mengayunkan goloknya sebanyak dua kali yang
masing-masing melukai lengan kiri dan paha Linghu Chong. Meskipun hanya luka
ringan, namun ini menunjukkan permainan golok Tian Boguang sudah tidak mengenal
belas kasihan lagi. Sebaliknya, akibat menahan rasa sakit tersebut permainan
Linghu Chong menjadi kacau balau. Beberapa jurus kemudian sebuah tendangan Tian
Boguang berhasil membuatnya roboh di tanah.
“Kau masih ingin bertarung
lagi?” bentak Tian Boguang sambil meletakkan goloknya di leher Linghu Chong.
“Setiap kali bertanding lagi, maka kau akan kuhadiahi dengan dua luka goresan.
Memang aku tidak ingin membunuhmu. Tapi itu sudah cukup membuatmu jera dan
kesakitan.”
“Sudah pasti aku ingin
bertanding lagi,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Meskipun aku kalah
darimu, tidak mungkin Kakek Guru Feng berpeluk tangan begitu saja dan
membiarkanmu berbuat seenaknya.”
“Sesepuh Feng adalah tokoh
angkatan tua. Tidak mungkin Beliau sudi bertarung denganku,” ujar Tian Boguang
sambil menyarungkan goloknya. Diam-diam ia merasa gentar juga kalau-kalau Feng
Qingyang sampai turun tangan. Meskipun terlihat sudah sangat tua, namun Feng
Qingyang bukan manusia pikun dan jompo. Ia memiliki sorot mata yang tajam,
membuat Tian Boguang yakin bahwa orang tua itu memiliki tenaga dalam sangat
tinggi, belum lagi ditambah dengan ilmu pedangnya yang sempurna bagaikan dewa.
Meskipun jika terjadi pertarungan nanti Feng Qingyang tidak akan membunuhnya,
namun jika dirinya harus dipaksa turun meninggalkan puncak Gunung Huashan tanpa
hasil juga sama buruknya dengan kematian.
Linghu Chong lantas merobek kain
bajunya sendiri untuk membalut kedua lukanya itu. Ia kemudian masuk ke dalam
gua dengan wajah kecewa. “Kakek Guru, dia sudah mengganti siasat. Sekarang dia
menyerang dengan sungguh-sungguh. Bila lengan kanan saya sampai terluka, tentu
saya tidak bisa memegang senjata lagi. Rasanya masih mustahil untuk bisa
mengalahkan dia.”
Feng Qingyang menjawab,
“Untungnya, sekarang sudah malam. Lebih baik kau berjanji untuk melanjutkan
pertandingan esok pagi. Malam ini kau harus berlatih dengan giat. Akan
kuajarkan tiga jurus padamu.”
“Hanya tiga jurus?” sahut
Linghu Chong heran. “Mengapa harus semalam suntuk?”
Feng Qingyang menjawab, “Aku
lihat kau ini cukup pintar. Entah benar-benar pintar atau hanya sok pintar.
Jika kau benar-benar pintar, maka tiga jurus ini tentu bisa kau kuasai dalam
waktu semalam. Tapi jika bakatmu kurang baik, maka… esok pagi tidak perlu susah
payah berkelahi dengan dia. Kau mengaku kalah saja dan ikut pergi bersamanya.”
Mendengar itu, Linghu Chong
yakin kalau tiga jurus yang dijanjikan Feng Qingyang tentu jurus yang sangat
istimewa dan sulit untuk dipelajari. Dengan tegas ia pun menjawab, “Kakek Guru,
seandainya saya gagal menguasai ketiga jurus tersebut dalam semalam, maka lebih
baik saya mati dibunuh Tian Boguang daripada menyerah kalah dan ikut pergi
bersamanya.”
“Bagus sekali!” jawab Feng
Qingyang sambil tersenyum. Orang tua itu menengadah sambil memikirkan sesuatu.
Sejenak kemudian ia berkata, “Mempelajari tiga jurus dalam semalam tentu
rasanya seperti dipaksakan. Baiklah, kalau begitu jurus kedua ditunda saja. Kau
pelajari saja jurus pertama dan ketiga. Tapi… tapi… dalam jurus ketiga banyak
terdapat variasi atau gerak perubahan yang berasal dari jurus kedua. Kalau
begitu kita kesampingkan saja bagian-bagian yang ada hubungannya dengan jurus
kedua. Kita coba lain waktu.”
Orang tua itu terlihat
berbicara sendiri, merenung, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Hal ini
membuat Linghu Chong semakin tertarik dan penasaran. Ia membayangkan suatu ilmu
semakin sulit dipelajari tentu semakin besar nilai manfaatnya.
Kemudian terdengar Feng
Qingyang menggumam lagi, “Jurus pertama mengandung tiga ratus enam puluh gerak
perubahan. Jika kau lupa satu gerakan saja pada jurus ini, maka akan berakibat
jurus ketiga sukar dimainkan dengan tepat. Wah, ini rasanya sulit.”
Linghu Chong semakin
terheran-heran karena baru satu jurus saja sudah mengandung tiga ratus enam
puluh gerak perubahan.
Feng Qingyang kemudian
berhitung dengan menggunakan jari, “Gumei menuju Wuwang; Wuwang menuju Tongren;
Tongren menuju Dayou; Jia berubah menjadi Bing; Bing berubah menjadi Geng; Geng
berubah menjadi Kui. Zi menyambung dengan Chou; Chen menyambung dengan Si; Wu
menyambung dengan Wei. Angin ke petir adalah satu perubahan; gunung ke danau
adalah satu perubahan; air ke api adalah satu perubahan. Qian dan Kun saling
mengaktifkan; Zhen dan Dui saling mengaktifkan; Li dan Si saling mengaktifkan.
Tiga berkembang menjadi lima; lima berkembang menjadi sembilan….”
Semakin Feng Qingyang
menghitung, wajahnya terlihat semakin tegang. Akhirnya sambil menghela napas ia
pun berkata, “Chong’er, dulu aku membutuhkan waktu tiga bulan untuk berlatih
jurus pertama ini. Memaksamu belajar jurus pertama dan jurus ketiga dalam waktu
semalam rasanya seperti lelucon. Coba pikirkan ini, ‘Gumei menuju Wuwang.’”
Sampai di sini ia kemudian terdiam karena larut dalam pikiran. Selang agak lama
barulah ia berkata, “Sampai di mana tadi?”
Linghu Chong menjawab, “Kakek
Guru tadi berkata Gumei menuju Wuwang, maka lanjutannya adalah Wuwang menuju
Tongren; Tongren menuju Dayou.”
“Hei, ternyata kau punya
ingatan yang tajam!” seru Feng Qingyang sambil mengernyitkan dahi. “Bagaimana
selanjutnya?”
“Kakek Guru tadi berkata, ‘Jia
berubah menjadi Bing; Bing berubah menjadi Geng; Geng berubah menjadi Kui.…”
Linghu Chong mampu menyebutkan hampir semua yang disampaikan Feng Qingyang
tadi, meskipun ada beberapa di bagian akhir yang luput dari ingatannya.
Feng Qingyang bertanya dengan
nada heran, “Apakah sebelum ini kau pernah belajar rumus umum ilmu Sembilan
Pedang Dugu?”
Linghu Chong menjawab, “Tidak
pernah sama sekali. Bahkan baru kali ini saya mendengar ada ilmu Sembilan
Pedang Dugu.”
“Jika tidak pernah
mempelajari, bagaimana kau mampu menyebutkan teorinya?” desak Feng Qingyang.
Linghu Chong menjawab, “Saya
hanya menirukan apa yang diucapkan Kakek Guru tadi.”
“Sepertinya ini akan
berhasil!” seru Feng Qingyang dengan perasaan sangat gembira. “Meskipun kau
tidak mungkin mampu mempelajari kedua jurus ini dalam waktu semalam, tapi
setidaknya kau bisa memaksa diri untuk mengingatnya saja. Jurus pertama cukup
diingat, sedangkan jurus ketiga cukup dipelajari setengahnya saja. Coba dengar
baik-baik, Guimei menuju Wuwang; Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju
Dayou....”
Orang tua itu pun menguraikan
satu per satu rumus ilmu yang diajarkannya, dan setelah melewati lebih dari
tiga ratus kata barulah ia berhenti, lalu berkata, “Sekarang coba kau ulangi
perkataanku.”
Linghu Chong sejak tadi
memperhatikan uraian Feng Qingyang dengan seksama. Kini, begitu ia diminta
mengulangi, maka ia pun menyampaikan dengan lancar awal sampai akhir, dan
tercatat ada belasan kata yang salah. Setelah Feng Qingyang membetulkan, Linghu
Chong pun mengulangi lagi dari awal sampai akhir, dan kini ada tujuh kata yang
salah. Setelah mengulangi untuk yang ketiga kalinya, barulah Linghu Chong dapat
menghafalkan rumus umum tersebut secara sempurna.
“Bagus sekali! Bagus sekali!”
seru Feng Qingyang gembira. Ia lantas mengajarkan tiga ratus kata baru sebagai
kelanjutan yang tadi dan Linghu Chong pun menghafalkannya. Setelah dinilai
hafal dengan sempurna, Feng Qingyang pun mengajarkan tiga ratus kata lanjutan
sesudah itu, dan Linghu Chong pun menghafalkannya dengan baik.
Rumus umum ilmu Sembilan
Pedang Dugu memiliki lebih dari tiga ribu kata. Selain itu, isi dari rumusan
tersebut tidak benar-benar saling terhubung secara nalar. Itu sebabnya,
meskipun Linghu Chong memiliki daya ingat yang luar biasa, ia tetap hanya mampu
mengingat satu bagian apabila lupa dengan bagian yang lainnya. Maka, setidaknya
butuh waktu lebih dari dua jam serta Feng Qingyang juga sering kali
mengingatkan, sehingga pada akhirnya pemuda itu mampu menghafal semuanya secara
sempurna tanpa kesalahan. Setelah itu, Feng Qingyang menguji hafalan Linghu
Chong dengan menyuruhnya membacakan semua isi rumusan tersebut mulai awal
sampai akhir sebanyak tiga kali pengulangan.
Feng Qingyang kemudian
berkata, “Rumus umum yang baru saja kau pelajari tadi adalah kunci dasar dari
ilmu Sembilan Pedang Dugu. Meskipun sekarang kau sudah hafal, tapi karena
tujuannya hanya sekadar asal ingat tanpa menyelami maksudnya, maka kelak pasti
mudah terlupakan. Maka itu, untuk selanjutnya setiap pagi dan sore kau harus
mengulangi hafalanmu sampai benar-benar ingat di luar kepala.”
“Baik!” jawab Linghu Chong
mengiakan.
Feng Qingyang melanjutkan,
“Rumus umum tersebut adalah jurus pertama dalam Sembilan Pedang Dugu yang
memiliki banyak variasi dan perubahan dalam penerapannya. Kau sudah
menghafalkannya dan untuk saat ini kau tidak perlu bersusah payah untuk
mendalaminya. Jurus kedua adalah Cara Memecahkan Ilmu Pedang. Jurus kedua ini
bisa kau gunakan untuk mematahkan segala jenis jurus pedang dari berbagai
perguruan dan perkumpulan di dunia persilatan. Namun jurus kedua ini bisa kau
tunda lain waktu untuk mempelajarinya. Nah, jurus ketiga yaitu Cara Memecahkan
Ilmu Golok, digunakan untuk melumpuhkan segala jenis senjata golok, baik itu
golok besar, golok tunggal, golok kembar, golok bertangkai, golok pemenggal
kepala, golok pemotong kuda, dan sebagainya. Ilmu Golok Kilat yang digunakan
Tian Boguang termasuk jenis golok tunggal. Maka itu, marilah kita pelajari
jurus ketiga tersebut malam ini juga.”
Mendengar uraian Feng Qingyang
bahwa jurus kedua bisa mematahkan segala jenis ilmu pedang dari berbagai
perguruan dan perkumpulan, serta jurus ketiga yang mampu mematahkan segala
jenis ilmu golok di dunia persilatan membuat perasaan Linghu Chong terkejut
bercampur gembira. Ia pun berkata dengan penuh kekaguman, “Kesembilan jurus
ciptaan Pendekar Dugu sedemikian hebatnya. Sungguh baru kali ini saya
mendengarnya.”
Feng Qingyang menyahut,
“Mungkin gurumu belum pernah melihat seperti apa Ilmu Sembilan Pedang Dugu,
namun aku yakin dia pasti pernah mendengarnya. Hanya saja ia enggan
menceritakan hal ini pada kalian.”
Linghu Chong heran dan
bertanya, “Mengapa demikian?”
Feng Qingyang tidak menjawab,
namun melanjutkan uraiannya, “Jurus ketiga yaitu Cara Memecahkan Ilmu Golok
mengutamakan cepat untuk mengalahkan lambat, dan ringan untuk mengalahkan
berat. Ilmu golok Tian Boguang itu memang sangat cepat dan gesit, maka kau
harus lebih cepat darinya. Untuk bocah yang masih muda seperti dirimu tentu
punya harapan untuk menghadapi kecepatannya. Aku bilang, kau punya harapan
menang, tapi bukan berarti kau pasti menang. Sedangkan untuk tua bangka seperti
diriku tentu sukar untuk bermain cepat melawannya. Satu-satunya jalan adalah
mendahului serangan. Asalkan kau tahu dia hendak melancarkan jurus apa, maka
bisa kau dahului secepatnya. Sebelum tangan musuh terangkat, maka ujung
pedangmu harus sudah mengancamnya di titik yang berbahaya. Dengan demikian
tidak peduli secepat apa serangan musuhmu, tetap saja kau lebih unggul
darinya.”
Linghu Chong mengangguk-angguk
sambil berkata, “Benar sekali. Rupanya Sembilan Pedang Dugu ini mengajarkan
bagaimana cara menaksir dan mendahului serangan musuh.”
“Bagus! Bagus! Kau memang
bocah yang cepat paham!” seru Feng Qingyang gembira, bahkan sampai bertepuk
tangan. “Memang itulah intisari dan keistimewaan Ilmu Sembilan Pedang Dugu.
Setiap orang sewaktu hendak menyerang tentu memperlihatkan tanda-tanda.
Misalnya, jika dia hendak menebas bahu kirimu, maka dia akan melirik ke arah
bahumu itu. Bila goloknya dipegang rendah di tangan kanan, tentu dia akan
memutar setengah lingkaran ke atas untuk kemudian barulah mengayun miring ke
sebelah kiri….”