Habis berkata, segera ia putar
tubuh dan melangkah ke atas undak-undakan. Ia kuatir Tong-lo menutuknya pula
untuk meríntangi keberatannya, maka begitu menginjak undak-undakan batu, segera
ia melesat ke atas, dengan Pak-beng-cing-gi yang hebat dalam sekejap saja ia
sudah lari sampai di tingkat pertama gudàng es itu dan segera tangannya dipakai
mendorong pintu.
Tapi baru saja tangannya
memegang pintu, sekonyong-konyong kedua kaki dan pinggang terasa kesakitan, ia
menjerit aduh dan insaf terkena serangan Tong-lo pula, ketika tubuhnya
sempoyongan kembali kedua bahu terasa sakit seperti tertusuk jarum, ia tidak
tahan lagi dan roboh terjungkal.
"Hm, kamu sudah terkena
senjata rahasiaku, tahu?" terdengar Tong-lo berkata dengan suara
menyeramkan,
"Sudah tentu tahu,” sahut
Hi-tiok sambil menahan rasa sakit linu pegal, di tempat luka serangan yang
mirip digigit oleh beribu ekor semut.
"Hm, apakah kau tahu
senjata rahasia apa?" tanya Tong-Io dengan tertawa dingin.
"Ketahuilah bahwa itu adalah 'Sing-si-hu"
Telinga Hi-tiok serasa
mendengung demi mendengar kata-kata 'Sing-si-hu' itu. Seketika teringat olehnya
Ohlotoa dan begundalnya sedemikian ketakutan bila mendengar nama
"Sing-si-hu" itu.
Tadinya Hi-tiok menyangka apa
yang disebut "Sing-si hu" atau jimat mati dan hidup itu adalah
sejenis benda yang mempunyai daya sakti, mana tahu adalah sejenis seniata
rahasia. Padahal Oh-lotoa dan begundalnya itu adalah orang-orang jahat yang
ganas dan tidak kenal apa artinya takut, tapi mereka justr mati kutu di bawah
ancaman "Sing-si-hu," maka betapa lihainya "Sing-si-hu" itu
dapatlah dibayangkan.
Ia dengar Tong-lo berkata
pula, "Sesudah Sing-si-hu masuk ke dalam badan, maka selamanya tiada obat
penyembuhnya lagi. Oh-lotoa dan kawanan binatang itu berani memberontak kepada
Biau-biau-hong. sebabnya adalah karena tidak tahan oleh siksaan Sing-si-hu,
mereka bermaksud menyerbu ko Leng-ciu-kiong untuk merebut ilmu pemunah
Sing-si-hu, Tapi kawanan anjing itu cuma mimpi belaka, masakah ilmu pemunah
Sing-si-hu nenekmu dapat dicuri oleh mereka dengan begitu gampang?"
Sesudah bicara begitu, lalu ia
duduk bersila dan tak bersuara lagi. Sebaliknya Hi-tiok merasa tempat-tempat
luka itu gatalnya tidak kepalang, bahkan seperti meresap ke dalam badan, tidak
lama kemudian sampai bagian
perut dan seluruh isinya juga
terasa gatal sekali, saking tak tahan ia benar-benar ingin menghancurkan kepala
ke dinding agar mati saja dari pada hidup tersiksa. Dan akhirnya karena tidak
tahan ia menjerit sekeraskerasnya,
"Coba kau terka apa
artinya kata hidup dan mati dari nama Sing-si-hu itu? Sekarang kamu tentu
paham, bukan?" kata Tong-lo
Tapi Hi-tiok hanya sanggup
merintih saja dan tidak kuat bicara lagi, cuma dalam hati ia menjawab.
"Sudah tentu paham, yaitu maksudnya hidup tidak bisa dan mati pun tidak
dapat."
Lalu Tong-lo berkata lagi,
"Tadi waktu hendak pergi kamu berulang pesan supaya aku menjaga diri
dengan baik-baik, dari nada ucapanmu itu tampaknya kamu agak berat meninggalkan
aku, nyata kamu masih cukup mempunyai perasaan baik, apalagi kamu pernah
menyelamatkan jiwa nenek, selamanya Thian-san Tong lo membedakan budi dan benci
dengan tegas, budi dibalas, benci dituntut.
Biar bagaimana kamu memang
berbeda daripada Oh-lotoa dan begundalnya itu Sing-si-hu yang nenek tanam dalam
tubuhmu termasuk hukuman, tapi aku akan memunahkan nya pula, ini adalah balas
budiku."
"Ti.... tidak, biarlah
kita tegaskan dimuka, jika engkau hendak menggunakan Sing-si-hu untuk me ...
memaksa aku berbuat kejahatan, maka ....maka biarpun mati aku tidak ... tidak
mau tunduk," demikian sahut Hi-tiok sambil merintih.
"Hm, tidak nyana kau pun
seorang lelaki berwatak keras," jengek Tong-lo "Tapi apa kau tahu
sebab apa bicaramu sekarang menjadi tergegap-gegap? Apa kau tahu mengapa cara
bicara Au-tongcu itu menjadi tergegap-gegap?"
"Tentu ... tentu dahulu
ia pun ter ... terkena kau punya Sing ... Sing si-hu sehingga .. , , sehingga
saking kesakitan ia menjadi .... menjadi .."
"Ya, asal kau tahu
saja," sela Tong-lo. "Bila Sing-si-hu mulai kumat, maka tiap hari
akan bertambah lihai, rasa sakit dan gatal pegal itu berturut-turut akan
berlangsung selama 9 x 9= 81 hari, habis itu akan mereda kembali selama 81 hari
untuk kemudian mulai menanjak lagi secara bergiliran dan tiada berhenti. Karena
itu setiap tahun aku kirim orang untuk memeriksa tempat Oh-lotoa dan begundalnya
itu untuk memberikan obat pencegah sakit dan gatal, sekali diberi obat selama
setahun Sing-si-hu itu takkan bekerja."
Baru sekarang Hi-tiok mengerti
sebabnya Oh-lotoa dan kawan-kawannya itu sedemikian takut kepada Thiansan
Tong-lo dan memujanya serupa malaikat dewata, rela dimaki dan dihajar, kiranya
disebabkan ingin
mendapatkan obat yang dapat
menjamin keselamatannya selama setahun itu. Jika demikian, bukankah sekarang
dirinya juga akan terkekang selama hidup dan demi memperoleh obat penawar itu
terpaksa mesti diperbudak oleh nenek jahat ini.
Watak Hi-tiok adalah halus di
luar dan keras di dalam, meski sangat ramah-tamah kepada orang, tapi batinnya
sangat kuat dan sekali-kali tidak mau tunduk di bawah ancaman orang. Hal ini
cukup diketahui Tong-lo sesudah berkumpul bersama selama tiga bulan ini.
Maka kata Tong-lo kemudian,
"Sudah kukatakan bahwa kamu berbeda daripada Oh-lotoa dan kawanan binatang
itu, maka nenek takkan memberikan obat penewar setiap tahun seperti mereka.
Sekarang badanmu seluruhnya sudah tertanam sembilan macam Sing-si-hu, aku dapat
sekaligus memunahkan seluruhnya sampai ke akar-akarnya bagimu dan takkan kumat
untuk selamanya."
"Baa ... banyak te ... te
... " kata Hi-tiok dengan tergegap-gegap, tapi kata-kata terima
kasih" itu tetap sukar diucapkan.
Lalu Tong-lo memberikan
sebutir pil, sesudah diminum, hanya sebentar saja rasa gatal dan sakit Hi-tiok
lantas lenyap,
"Untuk melenyapkan bibit
Sing-si-hu itu harus digunakan tenaga dalam pukulan," kata Tong-lo.
"Tapi selama beberapa
hari ini ilmu saktiku mendekati pulih kembali dan tidak boleh membuang tenaga
murni bagimu. Biarlah, aku mengajarkan caranya dan kamu boleh memunahkannya
sendiri."
Terpaksa Hi-tiok mengiakan.
Segera Tong-lo mengajarkan
cara mengerjakan Pak-beng-cin-gi dan cara mengerahkannya. Sesudah berlatih dua
hari, akhirnya dapatlah Hi-tiok memahaminya dengan baik.
Kemudian Tong-lo berkata pula,
"Oh-lotoa dan begundalnya itu sangat jahat, tapi ilmu silat mereka juga
tidak rendah, banyak pula di antaranya mempunyai Iwekang yang tinggi, namun
tiada seorang pun yang mampu memunahkan Sing si-hu apakah kau tahu
sebabnya?"
Ia merandek sejenak dan tahu
Hi-tiok tidak dapat menjawabnya, maka ia lantas menyambung, sendiri,
"Sebabnya ialah karena Sing-si-hu yang kutanam di tubuh mereka itu terdiri
dari berbagai macam dengan cara
yang berbeda-beda pula. Jika
mereka berani sembarangan menggunakan tenaga untuk memunahkan Sing-si-hu, maka
bukannya sembuh, sebaliknya akan tambah parah dan susah tertolong lagi.
Sekarang tubuhmu terkena sembilan macam Sing-si-hu, untuk memunahkannya juga
diperlukan sembilan macam cara yang tidak sama."
Segera ia mengajarkan suatu
cara kepada Hi-tiok, sesudah Hi-tiok paham, lalu saling gebrak, Tong-lo
menggunakan macam-maeam cara keji dan ruwet untuk menyerang dan menyuruh
Hi-tiok menggunakan cara yang diajarkan itu untuk menangkis.
Pesan Tong-lo pula
"Sing-si-hu dari Biau-biau-hong beraneka macam perubahannya, pada waktu
memunahkan harus mengikuti keadaan untuk menghadapinya, bila ayal sedikit saja
tentu akan celaka sendiri, kalau tidak binasa, sedikitnya juga akan lumpuh
untuk selamanya. Kamu harus pandang Sing-si-hu sebagai musuh besar dan menghadapinya
dengan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak boleh ayal."
Hi-tiok menerima semua ajaran
itu dan melatihnya dengan giat, ia merasa ilmu yang diajarkan Tong-lo itu
sangat bagus, tak peduli Tong-lo menyerang dengan betapa kejinya selalu dapat
ditangkisnya dengan mudah saja, bahkan ketika mematahkan serangan Tong-lo itu
selalu diikuti dengan daya serang balasan yang hebat.
Makin berlatih makin kagumlah
Hi-tiok. Baru sekarang tahu sebabnya "Sing-si-hu" dapat membuat para
Tongcu dan Tocu itu ketakutan setengah mati memang bukan tiada beralasan,
Sungguh kalau Hi-tiok tidak melatihnya sendiri dari ajaran Tong-lo tentu juga
takkan percaya dí dunia ini ada ilmu pemunah sehebat itu?"
Hi-tiok mengorbankan empat
hari lamanya baru dapat melatih kesembilan cara pemunah Sing-si-hu itu dengan
baik.
Tong-lo sangat girang,
katanva, "Kamu ternyata tidak terlalu bodoh dan dapat memahami ajaranku
sangat cepat. Menurut ajaran ilmu militer, bila tahu keadaan pihak sendiri dan
paham keadaan pihak musuh, maka seratus kali bertempur akan seratus kali
menang. Karena itu untuk mengatasi Sing-si-hu, kaupun harus paham cara
menggunakan Sing-si-hu. Apa kau tahu benda apakah Sing-si-hu itu?"
"Semacam senjata
rahasia," sahut Hi-tiok.
"Benar, tapi senjata
rahasia macam apa? Apakah mirip anak panah, mirip pisau atau mirip jarum?"
tanya Tonglo.
Hi-tiok jadi bingung dan tak
bisa menjawab, Meski dia terkena sembilan macam senjata rahasia itu, rasanya
sakit dan gatal tapi bila diraba toh tiada terdapat sesuatu apa sehingga tidak
diketahui bagaimana bentuk senjata rahasia itu.
"Nah, inilah yang disebut
Sing-si-hu, coba kau rabanya dengan jelas," kata Tong-lo kemudian.
Teringat Sing-si-hu itu adalah
senjata rahasia paling lihai di dunia ini, hati Hi-tiok menjadi kebat-kebit.
Waktu senjata itu dipegangnya, segera terasa benda itu sangat dingin dan enteng
sekali, hanya berbentuk satu lapisan kecil bundar, besarnya kira-kira sama
dengan uang logam, pinggirnya tajam, tipisnya seperti kertas.
Selagi Hi-tiok hendak meraba
senjata itu dengan lebih jelas, tiba-tiba terasa telapak tangan nyes dingin,
selang sejenak, tahu-tahu Sing-si-hu itu telah menghilang tanpa bekas. Keruan
Hi-tiok terkejut sekali. Jelas Tong-lo tidak merampas kembali, mengapa senjata
rahasia itu bisa menghilang sendiri, benar-benar luar biasa dan susah
dimengerti.
Mendadak teringat sesuatu oleh
Hi-tiok, ia berseru kuatir, ia pikir dirinya pasti akan celaka karena telah
kemasukan Sing-si-hu yang hilang itu.
Maka terdengar Tong-lo bertanya.
"Kamu sudah jelas belum?"
"Aku ... aku ti ...
" sahut Hi-tiok gelagapan,
"Nah, ketahuilah bahwa
Sing-si-hu ini adalah sepotong es yang kecil dan tipis" kata Tong-lo pula.
Baru sekarang Hi-tiok paham
duduknya perkara. Kiranya potongan es yang tipis itu telah cair oleh karena
hawa panas telapakannya sehingga menguap, maka datam sekejap saja potongan es
itu menghilang tanpa meninggalkan setetes air pun.
"Nah, jika kamu hendak
belajar cara memunahkan Sing-si-hu. maka harus belajar dulu cara meggunakannya.
hendak belajar cara menggunakannya harus lebih dulu belajar pula cara
membuatnya," demikian tutur Tong-lo hbih lanjut.
"Jangan kau pandang
sepele potongan es yang kecil dan tipis ini, untuk membuatnya tidaklah semudah
perkiraanmu. Cara membuatnya ialah taruh beberapa tetes air ia ditengah telapak
tanganmu' lalu mengerahkan tenagamu secara terbalik sehingga hawa murni jang
keluar dari telapak tanganmu itu tidaklah panas, sebaliknya maha dingin,
sehingga tetesan air itu akan membeku menjadi es,"
Begitulah lalu ia mengajarkan
cara bagaimana mengerahkan tenaga secara membalik untuk mengubah tenaga maha
panas menjadi maha dingin.
Dasar Pak-beng-cin-gi yang
diterima Hi-tiok dari Bu-gai-cui itu memang serba guna, maka sekali diberi
petunjuk Tong-lo, setiap pelajaran lantas dapat diterima dengan mudah.
Selesai melatih cara membuat
Sing-si-hu, kemudian Tong-lo mengajarkan cara menggunakan senjata rahasia yang
ampuh itu, ia memberi petunjuk cara menguasai dan cara mengerahkan tenaga
secara jitu, dan cara-cara lain dengan aneka maeam perubahannya. Untuk ini
Hi-tiok berlatih dengan giat selama tiga hari barulah dapat paham dengan baik.
Hari berikutnya Tong-lo suruh
Hi-tiok mengatur napasnya dengan baik, kedua tangannya menghimpun tenaga dalam
sepenuhnya. Lalu katanya.
"Salah satu Sing-si-hu
yang mengenai tubuhmu itu terletak di Yang-leng hiat, bagian lututmu, coba
kearahkan tenaga 'Yang' pada tangan kanan untuk menepuknya menurut pukulan
kedua ajaranku, berbareng tangan kiri mengerahkan tenaga 'Im' untuk menyedokan
dengan perlahan, beruntun-runtun kau lakukan tiga kali dan segera racun panas
(Yang) dan racun dingin (Im) yang timbul dari Sing-si-hu itu akan dapat kau
punahkan."
Hi-tiok menurut saja dan
melakukan petunjuk itu. Benar juga bagian lutut itu lantas terasa lemas dan
gesit kembali, rasanya sangat segar.
Begitulah selangkah demi
selangkah Tong-lo memberi petunjuk dan dapat dilakukan oleh Hi-tiok dengan
baik. Sesudah Sing-si-hu ketujuh dipunahkan, lalu Tong-lo berkata,
"Sekarang tinggal dua Sing-si-hu lagi dan boleh kamu memunahkannya
sendiri. Coba jalankan hawa murni keseluruh bagian tubuh untuk menjajaki di
manakah letak tempat yang kedua Sing-si-hu, habis itu perlahan mengukur betapa
hebat racun panas dan dingin yang timbul dan memikirkan cara pemunahannya.
Sesudah kau tetapkan cara-caranya, coba nanti katakan padaku, ingin kulihat
apakah, tepat atau tidak, tapi jangan sembarangan dilaksanakan lebih
dulu."
Hi-tiok mengiakan.
Tapi mendadak Tong-lo menghela
napas sedih katanya pula "Besok lohor ilmu saktiku akan dapat pulih
seluruhnya. Tatkala mengakhirinya, latihan itu akan menghadapi macam-macam
ujian yang sangat berbahaya. Maka hari ini aku akan tirakat untuk berpikir
dengan baik, sebelum latihanku berakhir hendaknya kamu jangan mengajak bicara
lagi padaku agar tidak mengganggu pemusatan pikiranku."
Kembali Hi-tiok mengiakan.
Pikirnya diam-diam. "Sungguh cepat sekali hilangnya sang waktu, tanpa
terasa
tiga bulan sudah
berlalu."
Pada saat itu juga tiba-tiba
terdengar suara yang sangat halus, sangat lirih sebagai bunyi nyamuk, menyusup
ke dalam telinga Hi-tiok terdengar suara itu sedang berseru. "Suci, Suci!
Dimanakah engkau bersembunyi? Sungguh adik sangat merindukanmu, sesudah
berkunjung ke rumah adik, mengapa engkau tidak mau menemui aku?"
Meski suara itu sangat lirih,
tapi setiap kata terdengar dengan jelas, terang itu suara Li Jin-sui.
Jelas Hi-tiok sangat terkejut
dan berseru, "Ai, dia ... dia .."
"Diam!" bentak
Tong-lo mendadak "Kenapa ribut?"
"Dia ... dia telah
menemukan jejak kita," bisik Hi-tiok dengan perlahan.
"Dia mengetahui aku
berada dalam istananya, tapi tidak tahu aku sembunyi di sini" kata
Tong-lo. "Perumahan istana ini beratus-ratus buah banyaknya, kalau dia
menggeledah serumah demi serumah juga belumtentu dapat menggeledah ke sini
selain waktu setengah bulan atau sepuluh hari."
Hi-tiok merasa lega oleh
keterangan itu, katanya pula, "Asal lewat lohor esok kita pun takkan takut
lagi,"
Benar juga lantas terdengar
suara Li Jiu-sui perlahan mulai menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi,
sesudah tenangkan diri, lalu Hi-tiok menuruti petunjuk Tong-lo tadi, ia
mengerahkan Pak-beng-cin-gi ke seluruh badan untuk mencari di mana letak
Sing-si-hu.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
suara lirih sebagai nyamuk tadi memusup pula ke dalam telinga Hi-tiok kata
suara itu, "Suci ysng baik, apakah engkau sudah lupa kepada Bu-gai-cu
Suheng? Sekarang juga dia berada dalam istana Siaumoai, dia sedang
menantikanmu. ada sesuatu yang sangat penting hendak dibicarakannya denganmu,
lekaslah engkau keluar!"
"Omong kosong!" kata
Hi-tiok dengan bisik-bisik. "Bu-gai Cu Locianpwe sudah lama wafat,
jangan-jangan tertipu olehnya."
"Bicaralah seperti biasa,
tidak perlu bisik-bisik biar kita berteriak-teriak di sini juga takkan didengar
olehnya."
ujar Tong-lo. "Dia
sengaja menggunakan 'Thoan-jin-Sau-hun-tai-hiat' untuk memaksa aku keluar. Dia
menyebut namaa Suheng, tujuannya tidak lain ialah hendak mengacaukan pikiranku.
Mana aku dapat ditipu olehnya"
Tapi suara Lì Jiu-sui itu
masih terus berlangsung tanpa berhenti, sejam demi sejam tanpa kenal lelah.
Sebentarsebentar dia mengenangkan kejadian pada waktu belajar bersama dalam
perguruan, lain saat menyatakan betapa cinta Bu-gaì-cu kepadanya, kemudiaa dia
mencaci-maki Tong-lo, nenek itu dikatakan sebagai wanita paling cabul di dunia
ini, perempuan paling rendah dan hina.
Hi-tiok mendekap telinganya,
tapi suara itu masih tetap terdengar tak tercegah sedikit pun,
"Bohong! Bohong semua!
Aku tidak percaya!" seru Hi-tiok saking tak tahan, ia coba merobek kain
baju hendak menyumbat lubang telinga sendiri.
Tapi Tong-lo berkata padanya,
"Suara itu tidak mungkin dapat ditahan. Perempuan hina itu menggunakan
tenaga dalamnya untuk mengumandangkan suaranya, gudang es di bawah tanah ini
pun ditembus oleh suaranya, apalagi telingamu hanya disumbat dengan kain, apa
gunanya? Kamu tenangkan diri dan anggap tidak mendengar, anggap saja suara
perempuann hina itu sebagai anjing menggonggong dan ayam berkotek"
Hi-tiok mengiakan pesan
Tong-lo itu. Tapi demi mendengar Li Jin-sui yang terus mengungkat macam-macam
kejelekan Tong-lo masa dahulu, mau tidak mau ia turut menjadi kepingin
mendengarkan dan merasa sangsi apa yang dikatakan itu entah benar atau tidak.
Selang sejenak, tiba-tiha
Hi-tiok ingat sesuatu, katanya, "Cianpwe, waktu latihanmu sudah hampir
tiba sekali ini adalah latihanmu yang terakhir dan sangat penting bagimu, bila
engkau mendengarkan ocehan kotor di luar itu, apakah pikiranmu takkan
terganggu?"
"Masakah baru sekarang
kau tahu. Justru perempuan hina itu telah menghitung persis waktunya, ia tahu
bila ilmu saktiku sudah pulih tentu dia tak dapat menandingi aku, makanya
sepenuh tenaga ia hendak menggagalkan latihanku ini."
"Jika begitu, sementara
ini Cianpwe tunda dulu saja. Dengan gangguan hebat ini, jangan-jangan ...
janganjangan , .. "
"Anak bodoh," kata
Tong-lo. "Kamu lebih suka mati daripada membantu aku melawan perempuan
hina itu daa sekarang mengapa menguatirkan késelamatanku?"
Hi-tiok tertegun, sahutnya
kemudian, "Aku .. . aku tidak mau membantu Cianpwe membunuh orang, tapi
juga tidak membiarkao orang lain membikin susah Cianpwe."
"Baik juga hatimu,"
kata Tong-lo. "Tapi urusanku ini sudah kupikirkan dengan masak-masak. Di
samping mengganggu pikiranku dengan 'Thoan-im-sau-hun-tai-hoat, tentu pula
perempuan hina itu akan mengerahkan anjing-anjing buruannya untuk mencari
jejakku. Maka dapat diduga di seliling istana ini tentu sudah terkurung rapat
bagai pagar besi kuatnya. Uutuk meloloskan diri terang susah tapi tambah lama
sembunyi di sini juga tambah berbahaya".
"Ai, untung juga kita
berani menyerempet bahaya dan sembunyi di rumahnya ini, kalau tidak, mungkin
dua bulan yang lalu aku sudah ditemukan olehnya. Tatkala itu kekuatanku masih
belum pulih, bila mendengar suaranya yang menggetar sukma ini tentu aku tak
tahan dan harus keluar dari tempat sembunyi untuk menerima nasib. Nah, waktu
lohor sudah tiba, sekarang nenek hendak berlatih lagi."
Habis berkata ia lantas
menggigit leher seekor bangau yang terakhir untuk mengisap darahnya. Lalu ia
duduk berila untuk melatih Tok-cun-kang.
Dalam pada itu terdengar pula
suara Li Jin-sui makin lama makin seram, mungkin ia pun tahu saat ini adalah
saat yang menentukan, maka pada detik yang paling genting itu masih berusaha
sekuat tenaga untuk memaksa Tong-lo keluar dari tempat persembunyiannya. Sekonyong-konyong
suara Li Jiu-sui berubah menjadi lemahlembut dan menggiurkan, katanya,
"Oh, Suko, kiranya engkau? Ehm, aku minta peluk, cium, peluklah lebih
erat! Aku minta cium, ciumlah di sini!"
Hi-tiok tercengang, pikirnya,
"Kenapa dia bicara demikian?"
Sebaliknya terdengar Tong-lo
mendengus sekali, lalu memaki dengan gusar, "Perempuan hinadina!"
Keruan Hi-tiok terkejut, ia
tahu detik itu adalah detik paling genting bagi Tong-lo yang sedang melatih
diri itu, kalau sampai perhatiannya terpencar dan perasaannya marah, tentu
nenek itu bisa celaka dan bukan mustahil akan binasa oleh ilmunya sendiri yang
gagal itu.
Terdengar suara Li Jiu-sui
yang merayu kalbu tadi masih terus berlangsung, apa yang dikatakan adalah
katakata cinta tatkala dia bercumbu-cumbuan dengan Bu-gai-cu.
Hi-tiok jadi terkenang juga
pada lakonnya sendiri waktu berkumpul dengan nona cantik beberapa hari yang
lalu, seketika napsunya juga
berkobar-kobar, darah bergolak dan badan terasa panas.
Terdengar napas Tong-lo juga
sangat kasar, suatu tanda perasaannya juga sangat terguncang.
Tiba-tiba nenek itu memaki.
"Perempuan bangsat selamanya Sute tidak pernah suka padamu dengan
sungguhsungguh, tapi kau serndiri yang menggoda dia dan memikat dia, sungguh
tidak tahu malu!"
"He, Cianpwe, dia , ..
dia sengaja hendak memancingmu, jangan kau anggap sungguh-sungguh" kata
Hi-tiok dengan kuatir.
Tapi Tong-lo memaki lagi,
"Perempuan tidak kenal malu. Jika betul dia mencintaimu, mengapa pada
sebelum ajalnya jauh-jauh dia datang ka Biau-biau-hong dan menyerahkan cincin
besi ini padaku? Dan mengapa dia memberitahukan pula padaku cara memecahkan
problem caturnya itu? Dia .... dia juga memperlihatkan sebuah lukisanku waktu
berumur 18 tahun yang ditukisnya. Dia menyatakan bahwa selama lebih dari 60
tahun ini lukisan itu selalu mendampingi dia, selalu dia bawa ke mana pun dia
pergi. Hehe. untuk semua ini tidak perlu kamu merasa menyesal .... "
Begitulah Tong-lo sekarang pun
balas menyerang dengan macam-macam cemoohan sehingga Hi-tiok menjadi tercengang
karena apa yang dikatakan itu adalah bohong semua, tapi mengapa Tong-lo sengaja
omong begitu? Apakah barang kali ilmunya tersesat sehingga pikiran sehatnya
terganggu?
Mendadak terdengar suara
"blang'" yang keras pintu gerbang gudang es itu didobrak orang hingga
terpentang, kembali Lalu terdengar suara Li jin-sui sedang berkata dengan
parau, "Kamu bohong, kamu bohong! Suko hanya . men ... mencintai aku
seorang. Tidak .. . tidak mungkin dia melukis dirimu. Tidak mungkin dia
mencintai seorang kerdil sebagai dirimu. Kamu sembarangan mengoceh untuk menipu
orang .... ".
Menyusul terdengar suara
gedebrakan yang keras laksana bunyi guntur di tingliat pertama gudang es itu.
Selagi Hi-tiok terkejut,
tiba-tiba terdengar Tong-lo tertawa terbahak-bahak, serunya "Hahaha,
perempuan hina, apa kau sangka Bu-gai-cu cuma mencintaimu seorang saja? Haha,
mungkin kamu sudah keblingar! Biarpun aku seorang kerdil, ya, memang tidak
secantik molek dirimu, namun sesudah berpuluh tahun ini Sute telah paham segalanya.
Sebab selama hidupmu ini memang paling suka menggoda dan memelet pemuda
tampan..."
Ternyata suara Tong-lo itu pun
berada di tingkat pertama gudang es itu. Bilakah nenek itu naik ke atas sama
sekali tak diketahui Hi-tiok.
Maka terdengar Tong-lo berkaya
lagi dengan tertawa, "Sudah berpuluh tahun kita kakak beradik tidak
bertemu, seharusnya sekarang kita meski saling bermesra-mesraan, maka pintu
gudang ini sudah kusumbat agar oraog luar tidak mengganggu pertemuan kita.
Haha, biasanya kau suka mengandalkan orang banyak, jika kamu hendak memanggil
bala bantuan juga boleh, nah lekas kau pindahkan batu-batu es itu atau boleh
juga kumandangkan suaramu yang melengking seprti setan kelaparan itu,"
Saking Hi-tiok memperoleh
macam-macam pikiran. "Jadi Jadi Tong-lo sengaja membikin marah Li Jiu-sui
untuk memancingnya masuk ke dalam gudang es, lalu menyumbat pintu gudang dengan
batu es raksasa. Nyata nenek itu sudah bertekat akan menempur Sumoainya dengan
mati-matian. Dengan demikian biarpun Li Jiu-sui mempunyai kekuasaan maha besar
di negeri Se He juga tiadagunanya lagi. "
Terkurung di dalam gudang es
itu dengan sendirinya tidak dapat memanggil bala bantuan. Tapi mengapa dia
tidak menggugurkan batu es dengan iwekangnya yang sakti? Mengapa tidak
mengumandangkan suaranya yang tajam seperti tadi untuk memanggil bala bantuan?
Boleh jadi perbuatan-perbuatan itu akan memencarkan perhatian dan mengorbankan
tenaga Li Jiu-sui, hal itu tentu akan digunakan oleh Tong-lo untuk
menyerangnya. Atau mungkin juga lantaran Li Jiu-sui berwatak angkuh dan tidak
sudi minta bantuan orang lain, tapi ingin membunuh saingan asmara ini dengan
tangan sendiri.
Lalu terpikir pula oleh
Hi-tiok, "Tempo hari waktu Tong-lo berlatih 'Tok-cun-kang' kelihatan tidak
bergerak dan tidak mau bicara, dan sekarang terpaksa ia harus bersuara untuk
menempur Li Jiu-sui, maka dapat diduga latihan Tok-cun-kang itu tentu belum
sempurna betul dan diakhiri sebelum waktunya. Entah perlarungan ini akan
dimenangkan oleh siapa? Jika Tong-lo yang menang apakah dia juga dapat meloloskan
diri keluar istana?"
Begitulah selagi Hi-tiok pikir
ke barat dan ke timur, di sebelah atas sana sudah terdengar suara gerakan yang
keras dan ramai, terang Li Jiusui dan Thian-san Tong-lo sedang saling timpuk
dengan batu es raksasa untuk merobohkan lawan.
Selama tiga bulan berkumpul
dengan Tong-lo, walaupun sifat nenek itu susah diladeni, tingkah lakunya suka
menang-menangan sehingga tidak sedikit Hi-tiok menderita, tapi siang malam
tinggal bersama, betapapun timbul juga rasa kekeluargaannya.
Sekarang nenek itu sedang
bertempur, Hi-tiok menjadi kuatir juga, segera ia naik ke tingkat dua, biarpun
di tempat gelap dan tidak dapat menyaksikan keadaan pertempuran, namun dapat
juga mendengar dengan lebih jelas.
Tapi biru saja ia naik ke
atas, segera terdengar Li Jiu-sui telah membentaknya, "Siapa itu?"
dan serentak suara gedobrakan tadi pun terhenti.
Dengan menahan napas, Hi-tiok
hanya diam saJa dan tidak berani menjawab.
Sebaliknya Tong-lo lantas
berkata, "Dia adalah pemuda paling romantis di dunia persilatan Tionggoan,
orang memberi julukan padanya sebagai 'si kumbang perusak bunga, si Poa An
(nama pemuda tampan dalam cerita roman Tiongkok kuno) penggetar sukma'. Kamu
ingin melihat nya atau tidak?"
"Ai, tampangku sedemikian
jelek, masakah aku diumpamakan sebagai Poa An dnn diberi julukan 'si kumbang
perusak bunga' segala, Cianpwe ini memang suka berolok-olok padaku saja,"
demikian pikir Hi-tiok.
Maka terdengar Li jiu-sui
menjawab, "Persetan! Aku adalah nini-nini reyot, masakah masih suka pada
anak muda? Huh, si Poa An penggetar sukma apa segala besar kemungkinan adalah
Hwesio cilik sejelek siluman yang pernah menggendong dirimu itu."
Lalu ia perkeras suaranya dan
berseru. "Hai, Hwesio cilik, betul kamu atau bukan?"
Hati Hi-tiok berdebar-debar,
ia tidak tahu apakah mpsti menjawab atau diam saja.
Segera terdengar Tong-lo juga
berseru, "Kakanda dalam impian apakah engkau Hwesio cilik? Haha, pemuda
tampan dan romantik sebagai dirimu disangka orang sebagai hwesio cilik sungguh
menggelikan?"
Seketika wajah Hi-tiok berubah
merah jengah demi mendengar panggilan "kakanda dalam impian" itu,
sungguh malunya tidak kepalang, dalam hati ia cuma mengeluh. "Wah, celaka,
runyam! Apa yang dibicarakan dengan nona itu telah didengar oleh Tong-lo,
padahal kata-kata mesra itu mana boleh diperdengarkan kepada orang
ketiga?"
Sementara itu Tong-lo telah
menanya pula, "Kakanda impian, lekas jawab, engkau ini hwesio cilik atau
bukan?"
Dengan suara lirih Hi-tiok
menjawab, '"Bu..,. bukan!"
Meski ucapannya sangat
perlahan, namun didengar jelas dapat didengar oleh Li Jin-sui dan Tong-lo.
Maka Tong-lo terbahak-bahak
pula, "Kakanda impian, engkau tidak perlu risau, tidak lama lagi engkau
tentu dapat bertemu pula dengan dewi impianmu. Dia juga tergila-gila merindukan
dikau, selama beberapa hari ini
tidak enak makan dan tidak
nyenyak tidur, tapi senantiasa mengenangkan dirimu. Nah, lekas katakan terus
terang padaku, engkau merindukan dia tidak?"
Hi-tiok memang sudah jatuh
cinta benar-benar terhadap nona jelita yang tak dikenal itu, selama beberapa
hari ini meski tekun meyakinkan ilmu Sing-si-hu, tapi senantiasa terkenang
kepada nona yang menggetar sukma itu. Sekarang mendadak ditanya Tong-lo, tanpa
terasa ia terus menjawab, "Ya!"
Maka terdengar Li Jiu-sui lagi
bergumam sendiri, "Kakanda impian, Kakanda impian? Kiranya engkau memang
benar seorang pemuda tampan. Coba naik ke sini, ingin kulihat pemuda paling
romantis dari dunia persilatan Tionggoan itu bagaimana tampangnya?"
Bicara tentang umur, maka Li
Jiu-sui sekarang adalah nini-nini yang berusia antara 80-90 tahun tapi
ucapannya itu ternyata sangat enak didengar, sangat mengiurkan sehingga mau
tidak mau mengguncangkan perasaan Hitiok, sekejap itu dia merasa dirinya
benar-benar sudah berubah "pemuda paling romantis dari dunia persilatan
Tionggoan."
Tapi segera ia merasa geli
sendiri, pikirnya, "Aku adalah lelaki bermuka jekek, bodoh lagi kasar,
mana dapat disebut sebagai pemuda yang romantis. Hah, benar-benar orang bisa
mati mentertawakan diriku."
Tapi seketika terpikir puia
olehnya, "Di hadapan musuh tangguh mengapa Tong-lo masih ada waktu iseng
untuk mengolok-olok diriku? Ah mungkin dia mampunyai maksud tujuan tertentu.
ya, tempo hari waktu Bugai-cu Locianpwe hendak menerima aku sebagai ahliwaris
Siau-yau-pai, beliau berulang juga mencemohkan rupaku yang buruk kemudian So
Sing ho mengatakan bahwa untuk mengatasi Ting Jun-jiu harus dicari seorang
pemuda yang gagah dan tampan dengan bakat yang tinggi. Tatkala mana aku merasa
tidak paham, tapi kalau dipikir sekarang tentu hal itu ada sangkutpautnya
dengan Li Jiu-sui."
Tengah Hi-tiok termenung,
mendadak cahaya api berkelebat di tingkat pertama gudang es itu dan mamancarkan
cahaya terang, menyusul terdengar suara menderu-deru ramai.
Cepat Hi-tiok naik ke atas
undak-udakan dan memandang ke atas, terlihat sesosok bayangan putih dan
secsosok bayangan kelabu sedang berputar-putar dengan cepat, terkadang merapat
dan segera terpisah pula sambil mengeluarkan suara "plak-plok" yang
riuh. Terang Tong-lo sedang menempur Li Jiu-sui dengan sengit.
Di atas batu es ada obor yang
masih menyala dan mengeluarkan cahaya yang suram. Dari gerak cepat pertarungan
kedua orang itu Hi-tíok dapat membedakan yang mana Tong-lo dan mana Li Jiu-sui.
Cahaya api itu hanya sebentar
saja lantas padam, seketika gudang es itu berubah menjadi gelap gulita pula.
Tapi suara angin pukulan yang menderu-deru masih terus menyambar dengan
dahsyat.
Diam-diam Hi-tiok ikut merasa
tegang pikirannya, "Tong-lo sudah buntung sebelah kakinya tentu takkan
menguntungkan bila bertempur terlalu lama, cara bagaimana harus kubantu dia?
Tapi Tong-lo ini juga kejam dan tidak kenal ampun, bila dia yang menang, tentu
jiwa Li Jiu-sui pun akan dihabisi olehnya dan hal ini punbukan keinginanku. Apalagi
ilmu silat mereka teramat tinggi, cara bagaimaná aku dapat ikut campur
tangan?"
Selagi Hi-tiok merasa,
bingung,, tiba-tiba terdengar suara "plek"yang keras disusul dengan
jeritan Tong-lo, agaknya nenek itu telah terluka dan dikalahkan.
Terdengar Lì Jiu-sui bergelak
tertawa dan berkata. "Suci, bagaimana seranganku ini? Harap kau beri
petunjuk sedikit"
Habis itu mandadak ia
membentak pula, "Hendak lari kemana!"
Segera Hi-tiok merasa
serangkum angin menyerempet lewat di sisinya, berbareng terdengar bisikan
Tong-lo di sebelahnya, "Gunakan gerakan jurus kedua, lekas hantam!"
Tapi Hi-tiok tidak paham apa
maksudnya, selagi ia hendak tanya, sekonyong-konyong terasa angin dingin
menyambar ke mukanya, serangkum tenaga pukulan yang maha dahsyat menyerang tiba.
Karena tidak sempat pikir lagi
segera Hi-tiok menggunakan jurus kedua untuk memunahkan Sing si-hu menurut
ajaran Thian-san Tong-lo itu untuk menangkis. Dalam kegelapan terdengar suara
beradunya dua tangan, kontan tubuh Hi-tiok tergetar darah seakan-akan menyembur
keluar dari mulutnya, lekas ia gunakan gerakan cara ketujuh yang pernah
dipelajari untuk mematahkan daya serangan lawan.
Maka terdengar Li Jiu-sui
bersuara heran sekali, bentaknya, "Siapa kau? Mengapa dapat menggunakan
Thiansan-liok-yang-ciang ? Siapa yang mengajarkan padamu?"
Hi-tiok menjadi heran,
"Thian-san-liok-yang-ciang apa?" balasnya tanya.
"Masih kau menyangkal!?
Barusan adalah jurus kedua yang bernama 'Yang-cing-pek-kui dan gerakkan
selanjutnya adalah jurus ke tujuh yang disebut 'Yang-koan-sam-tiap', semuanya
itu adalah kungfu perguruanku yang dirahasiakan, dari siapa kau dapat
mempelajarinya?"
Hi-tiok tambah beran oleh
nama-nama jurus yang disebut itu. Ia menjadi bingung, lamat-lamat ia merasa
dirinya telah tertipu oleh Tong-lo.
Dalam pada itu Tong-lo masih
berdiri di belakangnya, katanya sambil tertawa dingin, "Kanda impian ini
bergelar pemuda paling romantis di dunia persilatan Tionggoan. dengan
sendirinya ia serba bisa dan serba pandai, baik ilmu silat maupun ilmu surat,
baik ilmu bintang, maupun ilmu bumi, semuanya ia tahu. Hal inilah yang
mencocoki jiwa Bu-gai-cu Sute sehingga dia telah menerimanya sebadai murid
terakhir. Tentang Ting Jun-jiu yang murtad itu Bu-gai-cu sudah memberi perintah
agar kakanda impian ini membasminya."
"Kakanda Impian, siapa
yang dia katakan itu benar atau tidak?" tanya Li Jiu-sui
Mendengar kedua orang nu sama
memangilnya dengan istilah "kakanda impian," Hi-tiok menjadi merah
jengah.
Apa yang dikatakan Tong-lo
tadi ada sebagian memang benar dan sebagian lainnya dusta, tapi Hi-tiok toh
tidak dapat membenarkan dan tak dapat menyangkal pula, sebab beberapa jurus
ilmu pukulan itu memang ajaran Tong-lo untuk digunakan memunahkan Sing-si-hu,
siapa duga sekarang Li Jiu-sui menyebutnya sebagai "Thian-san-lok-yang-ciang."
Memang Tong-lo juga pernah
menyatakan hendak mengajarkan "Thian-san-liok-yang-ciang" untuk
melawan Li Jiu-sui, tapi Hi-tiok tetap tidak mau belajar, apa barangkali
beberapa jurus pukulan itu memang betul adalah Thian-san-lok-yang-ciang
Karena tidak mendapat jawaban.
Li Jiu-sui menjadi aseran, segera ia membentak dengan bengis "Bibi tanya
padamu, kenapa kamu diam saja?"
Berbareng tangannya terus
hendak mencengkeram pundak Hi-tiok.
Namun Hi-tiok sudah apal betul
waktu latihan bergeprak dengan Tong-lo, bahkan dilatihnya dalam kegelapan,
dengan sendirinya ia dapat mendengarkan suara untuk membedakan arah dan dapat
bertindak menurut keadaan, maka begitu merasa jari Li Jin-sui hampir menyentil
pundak, segera ia mendak tubuh dan menggeser ke samping, berbareng tangannya
membalik untuk balas menahan lengan orang.
"Kepandaian hebat! Jurus
'Yang ke-thian-kau' ini sudah terlatih sangat sempurna dan kuat," kata Li
Jiu-Sui sambil menarik kembali tangannya. "Apakah segenap kepandaian
Bu-gai-cu Suheng telah diajarkan kepadamu,
ya?"
"Ya, dia ... dia memang
telah mencurahkan segenap ... segenap kekuatannya kepadaku," jawab Hi-tiok
dengan terputus-putus.
Hi-tiok mengatakan Bu-gai-cu
mencurahkan seluruh "kekuatan" padanya dan maksudnya bukan
"kepandaian", namun bagi pendengaran Li Jiu-sui sedang bimbang,
jawaban Hi-tiok itu menjadi tiada berbeda baginya. Maka ia tanya pula,
"Dan bila Suko sudah menerima dirimu sebagai murid, kenapa tidak kau
panggil aku sebagai Susiok?"
Tiba-tiba hati Hi-tiok
tergerak, katanya, "Ya Supek dan Susiok, kalian adalah orang sekeluarga
kenapa permusuhan ini tiada habis-habisan dan masih bertempur dengan
mati-matian. Menurut hematku apa yang sudah lalu sebaiknya dilupakan
saja."
"Kakanda impian, usiamu
masih muda, engkau tidak tahu betapa keji dan culasnya tua bangka itu, biarlah
engkau berdiri menyaksikan di pinggir saja ..."
Begitu habis Li Jiu-sui
bicara, sekonyong-konyong ia menjerit, "Auuuh!"
Kiranya Tong-lo yang berdiri
di belakang Hi-tiok itu mendadak membokongnya dengan sekali pukulan. Pukulan
yang tak bersuara itu menggunakan tenaga lunak yang murni jarak mereka, cukup
dekat pula sehingga Li Jiu-sui sama sekali tidak sempat menghindar atau
menangkis. Terpaksa ia berusaha hendaki melompat mundur, namun tetap terlambat
sedetik, ia merasa napasnya menjadi sesak, urat nadi telah terluka.
"Sumoai, bagaimana dengan
pukulanku ini harap suka memberi petunjuk," demikian ejek Tong-lo dengan
menirukan nada Li Jiu-sui tadi.
Karena buru-buru ingin
mengatur pernapasan untuk mencegah meluasnya luka, Li jiu-sui tidak berani
membuka mulut.
Sebaliknya sekali Tong-lo
berhasil menyergap lawan, ia tidak memberi ampun lagi, segera ia lompat maju
dengan kakinya yang tunggal dan melancarkan serangan lagi.
"He, Cianpwe, jangan
terlalu kejam!" seru Hi-tiok sambil menggunakan ajaran Tong-lo untuk
menangkis serangan yang dilontarkan kepada Li Jiu-sui secara berarti itu.
"Bangsat cilik, kamu
melawan aku dengan kepandaian apa?"' bentak Tong-lo.
Rupanya Tong-lo insaf akan
menghadapi kesukaran besar di kemudian hari, demi untuk mendapatkan seorang
pembantu yangkuat, maka ketika mengajarkan cara memunahkan Sing-si-hu, Tong-lo
sengaja mengajarkan Liok-yang-ciang kepada Hi-tiok, meski dengan keras Hi-tiok
pernah menolak belajar ilmu pukulan itu. Tatkala latihan bergebrak, Tong-lo
mengajarkan pula segenap perubahan dan cara yang aneh dan bagus itu kepada
Hitiok.
Siapa duga setelah sekarang
dirinya menang angin, sebaliknya Hi-tiok malah ganti haluan dan membantu Li
Jiu-sui. Saking gusarnya, ia tidak mau mengatakan pula bahwa Liok-yang-ciang
itu adalah ajarannya, maka hawa amarahnya menjadi susah terlampias dan hanya
berjingkrak-jingrak saja.
"Cianpwe, harap suka
ingat sesama saudara seperguruan kita sudilah bermurab hati padanya" pinta
Hi-tiok.
Tapi Tong-lo menjadi murka,
dampratnya, "Lekas enyah! Minggir sana!"
Dalam pada itu berkat
pertolongan Hi-tiok yang menangkiskan serangan Tong-lo, maka pernapasan Li
Jiu-sui dapat dipulihkan kembali. Katanya, "Kakanda impian, aku sudah
tidak beralangan lagi, boleh engkau berdiri ke samping saja!"
Habis berkata segera tangan
kiri menarik dari jauh sehingga Hi-tiok terseret minggir, menyusul tangan kanan
terus menghantam ke arah Tonglo dengan mengitari badan Hi-tiok.
Diam-diam Tong-lo terkejut dan
segera balas menyerang. Pikirnya, "Ternyata perempuan hal ini telah
berhasil meyakinkan 'Pek-hong-ciang-lik' (tenaga pukulan pelangi putih) yang
dapat dilontarkan secara lurus atau bengkok sesuka hatinya kungfu ini tidak
boleh dibuat main-main."
Hi-tiok tahu kepandaian
sendiri terbatas dan susah untuk melerai mereka, terpaksa ia tanya menghela
napas panjang dan segera mundur ke pinggir.
Lama sekali kedua orang itu
bertempur dengan sengit, sambaran angin pukulan setajam pisau, karena tidak
tahan, selagi Hi-tiok hendak mundur ke tingkat ketiga gudang es itu, mendadak
terdengar, "plak" sekali, Tonglo menjerit tertahan, tubuhnya tampak
terpental dan menubruk dinding es.
Keruan Hi-tiok kaget cepat ia
berseru, "Hei, berhenti, berhenti!"
Beruntun-runtun ia pun
melancarkan dua jurus Liok-yang-ciang untuk mematahkan serangan susulan Lì jiusui.
Kesempatan itu segera
digunakan oleh Tong-lo untuk meloncat ke tingkat ketiga di bawah. Tapi
tiba-tiba terdengar jeritannya yang ngeri, nenek itu jatuh terguling ke
undak-undakan baru yang menurun itu.
"He, Cianpwe, kenapa
kau?"' seru Hi-tiok kuatir, Segera ia memburu turun ke bawah, dengan
tergagap-gagap akhirnya ia dapat memayang bangun Tong-lo. Ia merasa kedua
tangan si nenek sedingin es, waktu diperiksa pernapasannya dan ternyata sudah
putus.
Hi-tiok menjadi bingung dan
berduka pula, serunya dengan menangis:"O.. Susiok, engkau telah memukul
mati Supek, engkau ... sungguh amat kejami"
"Tua bangka ini sangat
licik, pukulan tadi belum tentu dapat mampuskan dia," ujar Li Jiu-sui.
"Masih bilang belum mati,
sedangkan napasnya juga sudah putus," kata Hi-tiok sambil menangis.
"O, Cianpwe ... Supek, kuharap engkau jangan dendam di alam baka."
Segera Li Jiu-sui mengeluarkan
geretan api dan dinyatakan. Maka tertampak jelas di atas undak-undakan batu itu
berceceran darah segar, di pinggiran mulut dan di depan dada Tong-lo juga penuh
darah.
Pada waktu melatih
"Tok-cun-kang" setiap hari Tong-lo harus minum darah segar. Tapi
kalau hawa murninya membalik dan urat nadinya putus, maka darah segar akan
tertumpah keluar asal tumpah satu cangkir saja sudah cukup membuatnya binasa
seketika, apalagi sekarang darah yang berceceran di undak-undakan baru itu
tampaknya ada beberapa mangkuk banyaknya.
Li jiu-sui tunggal guru dengan
Tong-lo dan sudah tentu cukup mengetahui di mana untung ruginya melatih ilmu
Tok-cun-kang, sebabnya dia tidak berani menyakinkan ilmu itu justru lantaran
terlalu berbahaya,
Sekarang dilihatnya sang Suci
benar-benar tumpati darah dan jiwa sudah melayang, sudah tentu ia merasa girang
karena musuh terbesar itu akhirnya binasa di tangannya tapi di samping itu ia
pun merasa hampa dan sedih.
Dengan mata mendelik ia
pandang Tong-lo sambil berdiri terpaku di undak-undakan batu, meski Hi-tiok
memondong Tong-lo di bawahnya sambil menangis terguguk-guguk, tapi ia anggap
seperti tidak melihatnya.
Selang agak lama barulah ia
melangkah turun sambil memegang geretan api, katanya dengan pelahan,
"Suci, apa engkau benar-benar sudah mati? Tapi aku masih tidak
percaya."
Ketika dua-tiga meter jaraknya
dengan Tong-lo, ia gunakan cahaya api yang agak suram itu untuk menerangi muka
Tong-lo. Tertampak jelas wajah nenek itu penuh keriput, pinggir mulut penuh
berlepotan darah, keadaanaya sangat menyeramkan.
"Suci, selama hidupku
telah kenyang disiksa olehmu, sekarang engkau jangan pura-pura mati untuk
menipu aku lagi," kata Li Jui-sui dengan perlahan. Dan sekali tangannya
bergerak, segera ia menghantam dada jenazah Tong-lo, tulang iganya patah beberapa
batang.
Hi-tiok menjadi gusar,
teriaknya, 'Dia sudah kau bunuh, mengapa masih kau rusak jenazahnya?"
Dalam pada itu serangan kedua
Li Jiu-sui sudah tiba pula, maka cepat ia menangkisnya."
Ketika Li Jiu-sui melirik,
sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa 'pemuda paling romantis dari dunia
persilatan Tionggoan' ini ternyata bermata besar, berhidung pesek, bertelinga
lebar dan bermulut besar, jidatnya lebar, alisnya ketal, mukanya sangat kasar,
sedikitpun tidak kelihatan tampan. Untuk sejenak Li Jiu-sui tercengang, segera
ia pun sadar telah ditipu Tong-lo, Sekali tangan kanan menjulur, segera pundak
Hi-tiok hendak dicengkeramnya.
Namun dengan gesit Hi-tiok
sempat meng'hindar ke samping, katanya, "Aku takkan bertempur denganmu,
aku hanya minta jangan kau ganggu jenazah Sucimu!"
Berulang-ulang Li Jiu-sui
menyerang empat kali, di luar dugaannya Hi-tiok sudah sangat hapal atas
Thian-sanliok-yang-ciang sehingga setiap serangannya dapat ditangkis bahkan
dari tangkisan itu membawa pula pula tenaga tekanan balasan yang berat.
'He, siapa itu?"
tiba-tiba Jiu-sui membentak sambil menuding ke belaKang Hi-tiok.
Hi-tiok masih hijau, tidak
berpetigalaman, ketika dia menoleh, tahu-tahu dadanya terasa sakit nyata ia
kena di
tutuk Li Jiu-sui menyusul bahu
dan kakinya juga tertutuk sehingga sekujur badan terasa lemas dan roboh di
samping jenazah Tong-lo.
"Engkau adalah angkatan
tua, mengapa menyerang kaum muda secara licik?" teriak Hi-tiok dengan
gusar.
Li Jiu-sui tertawa
terkekeh-kekeh, katanya "Ilmu perang tidak pantang menipu musuh, hari ini
aku harus memberi hajaran dulu padamu!"
Waktu dia memandang pula ke
arah Tong-lo tertampak sebelah tangannya bertumpang di atas perut, jari
kecilnya sudah terkutung, tapi cincin besi tanda Ciangbunjin itu matih terpakai
dengan baik pada jari itu. Melihat itu, seketika timbul pula rasa cemburunya,
katanya dengan penasaran "Hm, Tiau-ci-goan Suheng itu mengapa diberikan
padamu?"
Segera ia mendekati, ia
berjongkok dan bermaksud mengambil cincin besi itu.
Diluar dugaan,
sekonyong-konyong tangan kanan Tong-lo bisa bergerak "plak",
tahu-tahu kena hantam "Ciyang-hiat" di punggung Li Jiu-sui dengan
keras, manyusul kepalan kiri juga menggenjot dan tepat pada
"Tantiong-hiat" di dada Li Jiu-sui,
Kedua serangan itu dilakukan
dari jarak dekat, jangankan Li Jiu-sui hendak menangkis atau menghindari,
buruburu hendak mengerahkan tenaga untuk menutup hiat-to juga tidak sempat lagi
Kontan saja tubuhnya terpental oleh hantaman Tong-lo itu dan terbanting di
undak-undukan batu, geretan api yang dipegangnya juga terlepas dan mencelat ke
atas.
Rupanya serangan itu sudah
disiapkan Tong-lo dan dengan tekad harus berhasil, maka kerasnya luar biasa
sehingga geretan api yang mencelat itu terus melayang ke atas dan bahkan
mencapai tingkatan pertama dan jatuh di sana.
Seketika di ruang tingkat
ketiga itu menjadi gelap gulita lagi, hanya terdengar suara tertawa dingin
Tong-lo yang terkekeh-kekeh tanpa berhenti.
Hi-tiok terkejut dan
bergirang, cepat ia berseru, "He, Cianpwe, engkau sudah hidup kembali?
Hah, bagus sekali!"
Kiranya pada detik terakhir
Tong-lo gagal menyelesaikan pemulihan ilmu sakti Tok-cun-kang, pula sebelah
kakinya telah ditabas kutung
oleh Li Jui-Sui sehingga Iwekangnya banyak surut. Sesudah pertarungan sengit
dan berlangsung hampir lebih 200 jurus, ia tahu hari ini pasti akan kalah,
lebih-lebih sesudah terkena sekali pukulan Li Jiu-sui.
Celakanya Hi-tiok yang
dipercayakan akan memberi, bantuan itu sama sekali tidak mau membela pihak mana
pun melainkan ingin netral. Walaupun seraagan Li Jiu-sui yang lain dapat
dipatahkan Hi-tiok tapi tipu daya sendiri yang sudah, teratur itu pun tak
terlaksana. Maka ia tahu bila pertempuran dilanjutkan, akhirnya dirinya pasti
akan dikalahkan dengan lebih seram.
Karena itu Tong-lo menjadi
nekat, ia terima mentah-mentah sekali pukulan Li jiu-sui dan pura-pura mati.
Adapun darah yang berceceran d' undak-undakan dan mengalir dari mulutnya adalah
darah menjangan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk menipu musuh. Tak terduga
Li jiu-sui teramat cerdik, sudah terang melihat Tong-lo tak bernapas lagi toh
masih menambahi sekali pukulan sehingga mematahkàn beberapa batang tulang
iganya.
Sekali sudah nekat, rupanya
Tong-lo bertambah nekat pula, kembali ia terima mentah-mentah pukulan Li Jiusui
itu, coba kalau tidak dirintangi Hi-tiok, tentu Li Jiu-sui akan melancarkan
pukulan lain pula untuk menghancurkan jenazahnya dan Tong-lo tentu tak berdaya
sama sekali.
Untung Hi-tiok telah
merintanginya, pula ketika Lì Jiu-íui. melihat cincin besi itu lantas terbelah
perhatiannya dan segera tertarik serta hendak merampasnya, Walaupun Li Jiu-sui
juga tahu Tong-lo sangat licin, tapi sama sekali tak tersangka olehnya bahwa
sang Suci itu dapat pura-pura mati dan mandah dihantam dan baru sekarang
melancarkan surangan balasan secara tiba-tiba.
Karena terhantam dari muka dan
belakang hingga terluka parah, tenaga dalam yang dihimpun Li jiu-sui selama
berpuluh tahun itu kehilangan kemudi, seketika tenaga dalam itu bagai air bah
melanda tanggul yang bobol.
Ilmu silat Siau-yau-pai
sebenarnya adalah kungfu kelas wahid, tapi kalau tak bisa menguasai tenaga
dalam yang dilatihnya, maka penderitaan keadaan demikian itu sungguh susah
dilukiskan.
Maka dalam sekejap saja Li
Jiu-sui merasa hiat-to di seluruh tubuh seperti diantup oleh tawon yang
beribu-ribu banyaknya, sakitnya tidak kepalang dan gatalnya susah dikatakan, ia
insaf luka dalam itu tak mungkin disembuhkan, cepat ia berseru, "Kakanda
impian engkau suka berbuat bajik, lekas kau hantam sekali pada
Pekhwe-hiatku!"
Tadi waktu melihat Tong-lo
dapat hidup kembali, Hi-tiok merasa sangat senang. Tapi sekarang demi melihat
tubuh Li Jiu-sui sedemikian gemetar saking menderitanyu, ia menjadi tidak tega
pula. Rupanya saking tidak tahan, maka Li jui-suiterus menyingkap kain sutra
kerudung mukanya, lalu muka sendiri dicakar-cakar
sehingga babak belur.
Sebenarnya Hi-tiok ada maksud
hendak mencegah perbuatan Li Jiu-sui yang merusak muka sendiri itu, celakanya
dia sendiri tertutuk dan tak bisa bergerak.
Maka Li Jiu-jui berteriak
pula, "Kakanda impian, harap kau han... hantam mati diriku saja."
"Hm, kamu telah menutuk
hiat-tonya dan sekarang ingin dia menolongmu pula, haha, ini namanya memukul
air di dulang, terpercik muka sendiri. Nah, rasakan sekarang hasil perbuatanmu
sendiri, inilah yang disebut kualat!" tiba-tiba Tong-lo mengejek.
Segera Li Jiu-sui
meronta-ronta dengan maksud hendak mendekati Hi-tiok untuk membuka hiat-to yang
tertutuk itu, tapi tubuhnya terasa lemas linu semua, sampai jari pun sukar
digerakkan jangankan tubuhnya.
Sebaliknya Hi-tiok hanya dapat
memandang Li Jiu-sui dan memandang pula Tong-lo. Ia lihat Tong-lo sendiri meski
dapat mengakali Li Jiu-sui dan memukulnya, tapi luka Tong-lo sendiri juga amat
parah, hal ini terbukti Tong-lo juga menggeletak di atas undak-undakan batu
sambil tiada hentinya merintih-rintih.
Sesudah memandang, ke sana dan
ke sini, makin lama makin jelas penglihatan Hi-tiok sehingga gudang es yang
tadinya gelap itu seakan-akan menjadi terang.
Ia merasa heran, ketika
berpaling, tiba-tiba tertampak di tingkat pertama sana ada cahaya api.
"Hah, ada orang
datang!" seru Hi-tiok dengan girang.
Sebaliknya Tong-lo terkejut
dan kuatir, pikirnya. "Jika ada orang datang, akhirnya tetap aku yang akan
terjungkal di tangan perempuan hina-dina ini."
Sekuat tenaga ia hendak
berbangkit, tapi betapapun tetap tidak kuat, baru saja tangannya menyanggah
atau segera terbanting jatuh lagi. Pelahan ia coba merangkak untuk mendekati Li
Jiu-sui agar dapat mencekik mati lawannya itu sebelum bala bantuannya datang.
Tapi belum lagi ada orang
datang, tiba-tiba terdengar suara meneteskan air, seperti ada air yang menetes
diundak-undakkan batu itu.
Li Jiu-sui dan Hi-tiok juga
mendengar air menetes, berbareng mereka berpaling dan melihat air yang menetes
diundak-undakan batu, ketika orang sama-sama mereka heran, dari manakah
datangnya air itu?
Sejenak Kemudian, ternyata
gudang es itu menjadi semakin terang, suara air yang gemercik juga makin deras,
akhirnya tetesan air itu berubah menjadi air mengalir dari atas. Waktu mereka
memandang ke tingkat atas, tertampak di atas sana api berkobar-kobar dengan
dahsyatnya, tapi tiada seorang pun yang kelihatan.
"Ah, api ... api tadi
tdah membakar ka .... kapas dalam karung sana," demikian Li Jiu-sui
berkata.
Rupanya tumpukan karung goni
yang memenuhi jalan masuk gudang es yang tadinya disangka sebagai bahan makanan
oleh Hi-tiok dan disangka pasir krikil oleh Thian-san Tong-lo, sebenarnya isi
karung itu adalah kapas.
Harus diketahui bahwa benda
sebangsa kapas paling baik untuk menolak hawa dingin dan mempertahankan hawa
hangat. Sebabnya pinggir pintu gudang es itu ditumpuki kapas berkarung-karung
banyaknya itu adalah supaya hawa panas dari luar tidak menembus ke dalam
sehingga batu es yang disimpan dalam gudang itu tidak cair dan tetap membeku.
Tak terduga ketika Li Jin-sui
kena dipukul roboh oleh Tong-lo tadi, geretan api yang dipegangnya mencelat ke
tingkat teratas dan persis jatuh di atas karung yang berisi kapas dan seketika
terbakar, Api yang panas itu telah mencairkan batu es sehingga berubah menjadi
air dan mencurah ke bawah.
Kapas adalah benda yang mudah
terbakar, satu karung terjilat api, segera karung yang lainikut terbakar
sehingga makin lama api semakin berkobar dengan hebatnya dan air yang mengalir
ke bawah tambah banyak pula.
Selang tidak lama , air es
yang menggenang tingkat terbawah itu sudah sebatas dengkul, tapi air masih
terus mengalir turun melalui undak-undakan batu.
Makin lama makin tinggi
genangan air itu sehingga perlahan mencapai pinggang ketiga orang itu. Li
Jiu-sui menghela napas putus asa, katanya, "Suci, kita berdua lelah
sama-sama terluka dan tiada seorang pun dapat hidup lagi, Bo ... boleh
melepaskan hiat-to kakanda impian yang tertutuk itu dan biar ... biar dia pergi
saja dari sini."
MereKa cukup tahu bahwa tidak
lama lagi, asal genangan air dalam gudang es sudah naik pasang, maka mereka
pasti akan mati kelelap.
Namun Tong-lo tertawa dingin,
sahutnya, "Kalau mau aku dapat bertindak sendiri buat apa kamu banyak
omong? Sebenarnya ada maksudku hendak melepaskan tutukannya, tapi karena
perbuatanmu barusan, aku menjadi sangsi dan tak mau melepaskan dia. He, hwesio
cilik jiwamu ini justru amblas di bawah ucapannya tadi, kau tahu tidak?"
Habis berkata, perlahan ia
hendak merangkak ke atas undak-undakan batu itu, asal día dapat merayap
beberapa undak lebih tinggi, maka dia akan dapat menyaksikan Li Jiu-sui mati
tergenang air Walaupun dia sendiri akhirnya juga tak terlepas dari kematian,
tapi asal dia dapat menyaksikan dulu kematian Li Jiu-sui, maka dia akan merasa
puas dan anggap sakit hatinya sudah terbalas.
Begitulah Li Jiu-sui
ményaksikan Tong-lo sedang merayap ke atas, sementara itu air es yang dingin
menusuk tulang sudah meninggi pula sebatas dada, sedangkan hawa murni di dalam
badan yang bergolak itu tetap menyiksanya, karena itu ia malah berharap air
lekas naik terus tinggi dan biar mati kelelap air saja.
Mendadak terdengar Tong-lo
menjerit satu kali dan tahu-tahu orangnya terjungkal ke bawah,
"plung". air muncrat berhamburan, ternyata nenek itu sudah tersungkur
dalam genangan air.
Rupanya dalam keadaan terluka
parah Tong-lo menjadi kehabisan tenaga, sesudah merayap beberapa tingkat
undak-undakan batu itu tiba-tiba sepotong pecahan es terhanyut dari atas dan
tepat menimpa dengkulnya sehingga Tong-lo tidak tahan dan jatuh terguling ke
bawah. Dan kebetulan juga jatuhnya justru menumbuk di atas badan Hi-tiok, dan
ketika terperosot ke bawah, lagi-lagi bahu kanan Li Jiu-sui juga terseruduk.
Maka terjadilah ketiga orang itu tumpang tindih di dalam genangan air.
Tatkala itu air baru mencapai
sebatas dada Li Jiu-sui, tapi karena perawakan Tong-lo lebih pendek, maka
tinggi air itu sudah mencapai lehernya.
Luka dalam Tong-lo sangat
parah, tapi pikirannya masih cukup jernih. Karena ilmu silat yang dilatihnya
adalah satu aliran dengan Li Jiu-sui, maka saat itu dia juga sedang menderita
siksaan buyarnya Iwekang sendiri seperti Li Jiu-sui. Namun begitu ia tetap
berusaha agar sang Sumoai harus dibikin mati dulu sebelum ia sendiri meninggal
dunia.
Segera ia barmaksud
melontarkan serangan sekuatnya, tapi di antara mereka, berdua teraling-aling
Hi-tiok. Apalagi hakikatnya tenaganya sudah habis meski iwekangnya bergolak
dalam badan dan tak tersalurkan.
Saat itu dilihatnya bahwa
Hi-tiok mendempel bahu Li Jiu-siu, tiba-tiba Tong-lo mendapat akal, katanya,
"Hwesio cilik, jangan sekali-kali mengerahkan tenaga untuk melawan, kalau
melawan, itu berarti karau
mencari mampus sendiri."
Sebelum Hi-tiok tahu apa yang
dimaksud, segera Tong-lo kerahkan Iwekangnya yang bergolak itu untuk menyerang
Hi-tiok.
Kontan juga tubuh Li Jiu-sui
tergetar, segera ia pun tahu sang Suci sedang menyerangnya dengan iwekang yang
hebat,
Sebenarnya dengan perbuatan
Tong-lo itu justru akan mempercepat kematiannya sendiri, sebab waktu itu dia
tidak kuat menjalankan hawa murninya sehingga tenâga dalam itu tidak dapat
bertambah, sebaliknya makin banyak terbuang dan makin cepat pula dia akan
binasa. Tapi kalau dia tidak lantas menyerang, asal genangan air naik sedikit
lebih tinggi lagi, maka di antara ketiga orang itu pasti dia sendiri yang akan
mati lebih dulu kareua perawakannya paling pendek.
Maka terdéngar Li Jiu-sui
menghela napas katanya, "Suci, engkau yaug memaksa aku gugur bersama
denganmu,"
Segera ia puu mengerahkan
Iwekangnya yang bergolak tak tersalurkan itu untuk balas menyerang.
Hi-tiok berada di
tengah-tengah kedua wanita itu, lebih dulu ia merasakan tangan yang memegang
tubuh Tonglo itu disaluri serangkum hawa panas. Menyusul bahunya yang mendempel
bahu Li Jiu-sui itu juga kemasukan semacam hawa panas.
Hanya dalam sekejap saja dua
rangkum hawa panas itu saling terjang dan bergolak dengan hebat sekali dalam
tubuh Hi-tiok.
Kiranva ilmu yang dilatih Li
Jiu-sut dan Thian-san Tong-lo adalah satu aliran, kekuatan mereka pun
setanding, sesudah sama-sama terluka parah, kekuatan mereka masih seimbang
sehingga sukar di tentukan siapa lebih unggul dan siapa lebih asor.
Karena itulah begitu Iwekang
kedua orang dikerahkan, seketika macet di tengah jalan dan terhenti dalam tubuh
Hi-tiok, tiada seorang pun di antara mereka dapat menyerang lawannya.
Dengan demikian yang celaka
adalah Hi-tiok yang tergencet oleh dua arus tenaga itu. Untung dia sudah
mendapat kekuatan Bu-gai-cu yang terlatih lebih 70 tahun iiu. Dengan kekuatan
tiga saudara seperguruan yang setingkat itu, keadaan mereka menjadi saling
bertahan saja dan Hi-tiok tidak sampai celaka di bawah gencetan
tenaga Li Jiu-sui dan Tong-lo.
Di antara mereka bertiga cuma
Tong-lo yang paling kuatir, ia merasa air es sudah makin tinggi, dari leher
sudah mencapai dagunya dan dari dagu sudah menggenang sampai bibirnya.
Berulang-ulang ia mengerahkan Iwekangnya agar dalam detik terakhir itu dapat
membinasakan lawan cintanya, tapi tenaga dalam Li Jiu sui justru masih terus
menyerangnya juga dan terang susah dikalahkan dalam waktu singkat
Sementara itu suara gemercik
air semakin keras, tiba-tiba mulut Tong-lo terasa dingin, sepotong es kecil telah
menyusup ke dalam mulutnya. Kerena Tong-lo terkejut dan dengan sendirinya
tubuhnya terangkat sedikit ke atas sehingga duduknya tidak mantap lagi,
akhirnya tubuhnya terapung di dalam air.
Rupanya karena sebelah kakinya
buntung bobotnya menjadi jauh lebih ringan dari pada biasa dan dengan
sendirinya menjadi lebih mudah terapung. Dengan demikian Tong-lo nyaris mati
kelelap. Bahkan ia lantas tidur telentang di permukaan air, mulut dan hidungnya
dapat dipakai bernapas, ia sangat girang dan lega. Sedang tangannya masih
tiada, hentinya mengerahkan Iwekang untuk menyerang pula.
Karena digencet dari kanan
kiri, sudah tentu Hi-tiok sangat payah, ia mengeluh, "Supek dan Susiok,
meski kalian bertempur terus juga tetap sukar diketahui siapa yang akan menang
atau kalah, sekaliknya akulah yang akan mati tergencet oleh tenaga
kalian,"
Namun dalam keadaan mengadu
Iwekang, pertarungan Tong-lo dan Li Jiu-sui sekarang adalah pertarungan yang
paling berbahaya, siapa yang berhenti dulu tentu akan melayang jiwanya, apalagi
kedua orang sama-sama tahu baik menang atau kalah dari pertandingan ini,
akhirnya kedua orang juga akan gugur bersama, yang mereka perebutkan sekarang
hanya memaksa pihak lawan mati lebih dulu. Dan karena kedua oraug sama-sama
tidak mau kalah, dengan sendirinya tiada seorang pun di antara mereka mau
berhenti dulu.
Selang agak lama lagi, air es
itu sudah lebih tinggi dan mencapai dagu Li Jiu-sui, dia tidak pandai berenang,
maka tidak berani meniru cara Tong-lo mengapung di permukaan air. sebaliknya
dia lantas menahan pernapasannya, dengan "Ku-sik-heng" (ilmu
kura-kura istirahat) ia tahan terus sampai detik terakhir.
Ketika air sudah menggenangi
mulut lalu melampaui hidungnya, matanya, jidatnya dan akhirnya seluruh
kepalanya terbenam, tapi ia masih tetap mengerahkan tenaga dengan sekuatnya.
Perawakan Hi-tiok lebih tinggi
daripada Li Jiu-sui. tapi akhirnya air pun mencapai mulutnya, ia tak tahan dan
kelabakan, teriaknya, "Wah, celaka! aku ... krok-krok ... aku
krok-krok"
Begitulah untuk beberapa kali
ia minum air bah itu sehingga tidak dapat bersuara lagi.
Dalam keadaan bingung dan
panik itu, mandadak keadaan yang terang tadi menjadi gelap dan akhirnya tidak
terlihat apa-apa lagi. Lekas ia tutup mulut dan gunakan hidung untuk bernapas,
tapi sekali bernapas rasa dada menjadi sesak.
Kiranya gudang es itu tertutup
dengan sangat rapat, sesudah tumpukan kapas di atas itu terbakar sekian lama,
maka zat asam dalam ruang gudang itu sudah habis terbakar. Dan karena tidak
mendapat hawa, akhirnya api menjadi guram dan padam sendiri.
Dengan sendirinya Hi-tiok dan
Tong-lo menjadi susah bernapas.Sebaliknya Li Jiu-sui yang sedang menggunakan
"Ku-sik-kang" malah tidak merasakan kesukaran bernapas.
Walaupun api sudah padam, tapi
air es masih terus mengalir ke bawah.
Dalam keadaan gelap gulita
Hi-tiok merasa air sudah menggenang melampaui mulutnya dan perlahan mendekati
hidungnya. Diam-diam ia mengeluh, "Wah, matilah aku, matilah aku!"
Sebaliknya Tong-lo dan Li
Jiu-sui masih terus saling menyerang dari kanan kiri. Hi-tiok merasa hawa murni
dalam tubuhnya bergolak hebat. seakan-akan semua isi perutnya telah berganti
tempat, sedangkan air sudah hampir menutup lubang hidung, asal naik sedikit
lagi tentu dia takkan bisa bernapas. Celakanya hiat-tonya tetutuk, hendak mendongakkan
kepala juga tak dapat.
Akan tetapi aneh juga, tunggu
punya tunggu sudah sekian lamanya air es itu ternyata tidak naik pasang lagi.
Kiranya api yang membakar kapas itu telah padam dan dengan sendirinya batu es
tidak mencair pula.
Lewat agak lama lagi,
tiba-tiba Hi-tiok merasa bibir di bawah hidung agak sakit, rasa sakit seperti
tertusuk makin lama makin sakit sehingga menjalar ku dagu dan leher.
Kiranya batu es yang tertimbun
di tingkat bawah itu sama sekali tidak mencair, sesudah air berhenti mengalir
dari atas, dengan sendirinya ruang yang sangat dingin itu segera membeku
menjadi es pula sehingga lambat laun Tong-lo, Li Jiu-sui dan Hi-tiok bertiga
ikut terbeku di dalam lapisan es. Dan sekali mambeku menjadi es yang keras,
dengan sendirinya tenaga dalam Tong-lo dan Li Jiu-sui lantas terpisah dan tak
dapat tersalur lagi ke dalam tubuh Hi-tiok.
Akan tetapi, lantaran itu juga
maka sembilan dari sepuluh bagian tenaga murni kedua orang itu lantas bersarang
di dalam tubuh Hi-tiok dan
tetap saling terjang dan bergolak dengan hebat, makin lama makin lihai,
sehingga Hi-tiok merasa antero badan seakan-akan meledak. Walaupum terbeku
dalam lapisan es, tapi rasanya masih sangat panas seperti dibakar.
Entah sudah berapa lama lagi,
ketika mendadak seluruh tubuh Hi-tiok tergetar, dua arus hawa panas yang
bergejolak saling terjang itu tiba-tiba tergabung dengan hawa murni dalam tubuh
Hi-tiok sendiri dan tanpa dikerahkan hawa murni yang maha kuat itu terus
berputar-putar dengan cepat melalui segenap urat nadi yang menghubungkan satu
hiat-to dengan hiat-to lainnya.
Rupanya lantaran tubuh Hi-tiok
terbungkus lapisan es, sedangkan tenaga murni Tong-lo dari Li Jiu-sui yang
ketinggalan di dalam badannya itu masih aaling terjang tanpa jalan keluar
sehingga akhirnya tergabung dengan tenaga murni Hi-tiok sendiri yang
diperolehnya dari Bu gai-cu itu. Tiga bergabung menjadi satu, sudah tentu
tenaga dalam itu hebat tak terkirakan kemana tenaga itu menerjang, seketika
hiat-to yang tertutuk jadi lantas terbuka dengan sendirinya.
Begitulah demi merasa badan
bebas dari ke kangan dan hawa murni dalam badan masih terus bergolak dengan
tebat, Hi-tiok coba pentang tangan perlahan. Di luar dugaan lantas terdengar
suara "krak-krek" berulang-ulang, lapisan es yang membeku di tubuhnya
retak semua. Ketika ia berbangkit, ia merasa hawa sengat sesak, bernapas pun
susah. Pikirnya, "Entah bagaimana dangan Supek dan Susiok, aku harus
menolong mereka keluar dulu dari sini."
Ketika ia meraba, ia meraba
kedua paman guru itu pun sudah terbeku di tengah es yang dingin dan keras.
Dalam gugupnya tanpa pikir lagi ia terus angkat kedua paman guru itu berikut la
pisan es yang masih melengket di badan mereka dan naik ketingkat pertama gudang
es itu. Sesudah membuka kedua lapis pintu gudang, tiba-tiba terasa hawa segar
menghembus masuk, ia hanya menghirup hawa sedikit saja rasanya pun segar luar
biasa.
Di luar ternyata sunyi senyap,
sang dewi malam menghias tengah cakrawala nan biru kelam, nyata waktu itu sudah
jauh malam.
Hi-tiok menjadi girang,
melarikan diri dalam keadaan gelap sudah tentu jauh lebih mudah baginya. Segera
ia jinjing kedua potong batu es bermanusia itu,dan berlari ke tepi pagar
tembok, sekali ia kerahkan tenaga dan meloncat ke atas, mendadak tubuhnya membumbung
ke atas sehingga jauh lebih tinggi daripada tembok yang hendak dilintasi itu,
Ia tidak tahu bahwa hawa murni
dalam tubuhnya itu ternyata mempunyai khasiat sehebat itu. Keruan ia kaget dan
kuatir ketika tubuhnya semakin mumbul ke udara, tanpa terasa ia menjerit
sekali.
Karena suaranya itu, empat
pengawal yang sedang meronda di sekiiar situ terkejut dan memburu datang untuk
memeriksa apa yang terjadi.
Tapi tiba-tiba mereka melihat
dua potong batu es raksasa berikut sesosok bayangan melayang keluar pagar
tembok, mereka tidak tahu makhluk aneh apakah itu sehingga mereka ternganga
kaget.
Ketika mereka sadar kembali
dan memburu ke tempat menghilangnya bayangan tadi, namun tiada sesuatu lagi
yang diketemukan. Mereka menjadi curiga dan saling berdebat, yang satu
mengatakan bayangan tadi tentu setan, yang lain bilang pasti siluman.
Sementara, itu Hi-tiok berlari
keluar istana dan melintasi tembok kota, sesudah belasan li jauhnya akhirnya
Hitiok berhenti di tempat yang sepi, Ia taruh kedua paman gurunya yang masih
terbungkus es, ia pikir tindakan pertama harus menghapuskan dulu lapisan es
itu. Segera ia mencari sebuah sungai kecil, ia rendam kedua potong es raksasa
itu di dalam air.
Di bawah sinar bulan kelihatan
mulut dan hidung Tong-lolo menongol diluar lapisan es, hanya kedua matanya
terpejam rapat, entah sudah mati atau masih hidup.
Begitulah lapisan es itu mulai
mencair dan ternyata air, ditambah Hi-tiok ikut membeset dan mengelotoki pula
sehingga es yang kantil di tubuh kedua paman guru itu dicuci bersih, lalu ia
angkat pula kedua paman guru ke atas tanah, ia coba meraba jidat mereka dan
ternyata masih hangat, segera ia memisahkan mereka agak jauh, ia kuatir kedua
paman guru itu akan gontok-gontokkan pula siuman kembali
Sesudah sibuk setengah harian,
cuaca sudah mulai remang-remang, subuh sudah tiba.
Ketika sang suryá mulai
mengintip di timur dan burung di atas pohon ramai berkicau, tiba-tiba terdengar
Thian-san Tong-lo yang mcnggeletak dibawah pohon sebelah kanan sana bersuara
"uh" sekali, menyusul Li jiu-sui yang ditaruh di bawah pohon sebelah
kiri juga bersuara "oh" kedua orang ternyata siuman berbareng.
Tentu saja Hi-tiok sangat
girang, cepat ia lompat bangun dan berdiri di tengah-tengah kedua paman guru
itu dan berulang merangkap tangan memberi hormat, katanya "Supek dan
Susiok, kita bertiga telah nyaris dari kematian, maka perkelahian ini harap
jangan disambung lagi."
"Tidak, perempuan hina
itu belum mampus, mana boleh selesai!" sahut Tong-lo.
Li Jiu-sui juga berkata,
"Ya, sakit hati sedalam lautan ini takkan berakhir sebelum dia mati!"
Mendengar ucapan kedua orang
itu masih tetap penuh rasa benci dan dendam, Hi-tiok menjadi kuatir dan
berulang-ulang menggoyang tangannya, katanya, "Jika kalian masih tetap
akan bertempur mati-matian, terpaksa aku ... "
Sampai di sini, tiba-tiba
dilihatnya Li jiu-sui sedang berusaha berbangkit dan hendak menubruk ke arah
Tonglo. Sebaliknya Tong-lo juga siapkan kedua tangan hendak memapak serangan
musuh.
Tak terduga, baru saja Li
Jiu-sui sempat berdiri, mendadak ia menjerit dan roboh kembali sedang kedua tangan
Tong-lo juga susah diangkat lagi, jangan kan hendak mengerahkan tenaga, bahkan
napas pun tampak terengah-
engah sambil bersandar di
batang pohon.
Hendaklah maklum bahwa sesudah
mereka saling gebrak dengan sengit, kemudian tenaga murni mereka tersalur
hampir seluruhnya ke tubuh Hi-tiok, sisanya boleh dikata tiada artinya dan
hanya sekedar dapat menyambung nyawa mereka saja.
Sekarang biarpun mereka tetap
ingin bertempur, namun keinginan ada dan tenaga habis, karena karena usia
mereka sudah sangat lanjut, maka keadaan mereka boleh diibaratkan pelita yang
kehabisan minyak dan tinggal padamnya saja.
Melihat kedua orang dalam
keadaan payah dan tak bisa bertempur lagi, Hi-tiok menjadi girang, katanya,
"Begini memang lebih baik! Kalian boleh mengaso dulu, biarlah kupergi
mencari sedikit makanan."
Ia lihat Tong-lo dan Li
Jiu-sui sedang duduk semadi dengan gaya yang sama ia tahu kedua saudara
seperguruan itu sedang mengerahkan tenaga, asal salah seorang dapat mengumpul
sedikit tenaga lebih dulu dan tentu akan segera menyerang agar lawannya tidak
mampu menangkis.
Karenanya Hi-tiok menjadi ragu
untuk tinggal pergi, ia kuatir jangan-jangan pulangnya nanti salah seorang
sudah mengeletak menjadi mayat.
Ia pandang Tong-lo dan pandang
pula Li Jiu-sui, ia lihat muka kedua nenek itu penuh keriput dan kurus kering,
pikirnya, "Kedua orang sudah sama-sama tua bangka, tapi masih ngotot dan
tidak mau saling mengalah."
Tatkala itu sang surya sudah
memancarkan sinarnya yang gilang gemilang, baju Hi-tiok yang tadinya basah kuyup
sekarang sudah kering, waktu ia betulkan pakaiannya, "bluk",
mendadak! jatuh sesuatu, yaitu lukisan yang diterimanya dari Bu-gai-cu
Lukisan itu adalah lukisan
kain sutra sehingga tidak rusak mesti kena air. Tapi keadaan lukisannya sendiri
menjadi agak samar-samar karena luntur. Ia menjereng lukisan itu di atas batu
untuk dijemur.
Mendengar suara keresek itu,
Li Jiu-sui pentang matanya dan dapat meliliat lukisan itu, langsung ia berseru.
"He, coba perlihatkan lukisan itu padaku. Aku tidak percaya bahwa Suko
sudi melukis gambar perempuan bejat itu."
Tapi Tong-lo juga lantas
berseru, "Jangan perlihatkan dia, aku harus mampuskan dia dengan tanganku
sendiri.
Jika perempuan hina itu keburu
mati keki kan terlalu untung baginya"
"Hahabaha" Li
Jiu-sui tertawa. "Sudahlah, aku tidaK jadi lihat. Huh, kau kuatir aku
melihat lukisan itu, hal ini menandakan apa yang dilukiskan itu bukan gambarmu,
Suko sangat pandai melukis, masakah dia sudi melukis seorang kerdil yang lebih
mirip setan semacam dirimu ini? Hahaha!"
Hal yang paling menyesalkan
Tong-lo selama hidup adalah latìhan Iwekangnya tersesat sehingga membuat
badannya menjadi ciri, yaitu kerdil untuk selamanya. Hal ini boleh juga adalah
gara-gara perbuatan Li Jiu-sui dahulu, yaitu tatkala latihan Thian-san Tong-lo
berada pada yang menentukan, dari samping mendadak Li Jiusui berteriak
keras-keras sekali sehingga Tong-lo kaget dan hawa murninya sesat jalan, sejak
itu sukar di pulihkan kembali dan menganggu pertumbuhan badannya pula.
Sekarang didengarnya Li
jiu-sui mengolok-olok ciri yang paling dikesalkan itu, keruan ia menjadi gusar
tidak kepalang. Segera ia menjerit, "Perempuan bangsat, jika aku ... aku
... "
"Kau mau apa?"
jengek Li Jiu-sui
"Ya, masih untung juga
bagi perempuan hina ini karena dapat menemukan aku pada saat aku belum
menyelesaikan Tok-cun-kangku, coba kalau telat satu hari saja, hm, telat hari
saja pasti kamu akan tahu rasa," demikian kata Tong-lo,
"Huh, kau dapat melatih
ilmu sakti, memangnya selama berpuluh tahun ini aku hanya hidup percuma?"
sahut Li Jiu-sui. "Biarlah kukatakan padamu bahwa
"Thian-lam-sin-yang' yang tertera pada 360 buah cermin perunggu itu sudah
dapat kuyakinkan dengan baik. Andaikata kamu memang berhasil menyakinkan ilmu
setan segala, masakah 'Thian-lam-sin-kang' tidak dapat melawannya?"
Thian-san Tong-lo tampak
tertegun sejenak, lalu berkata, "Thian-lam-sin-kang katamu? Kamu telah
dapat menyakinkannya? Huh, aku tidak percaya, omong kosong, membual
belaka!"
"Hm, memangnya siapa,
ingin kau percaya?" jengek Li Jiu-sui. "Cuma sayang, aku ....aku
telah tertipu olehmu, kalau tidak, hm, boleh kau rasakan betapa lihainya
Thian-lam-sin-kang."
"Ya, anggaplah kamu sudah
mahir Thian-lam-sin-kang, tapi apa kamu mampu melawan Thian-he-tok-cin-kang
yang sudah kulatih itu? Hm, melulu satu jurus Ciam-hoa-wi-jiau (petik bunga
dengan tersenyum) saja pasti akan membikinmu kelabakan."
"Huh, siapa yang pernah
melihat jurus Ciam-hoa-wi-jiau itu bagaimana macamnya? Ha ha si kerdil hendak
"petik bunga dengan tersenyum", betapapun cantiknya si kerdil
paling-paling juga cuma begitu-gitu saja."
Tong-lo menjadi gusar, ia
meronta-ronta hendak bangun untuk melontarkan jurus mematikan yang bernama
"Ciam-hoa--wi-jiau" itu. Tapi biarpun ia sudah berkutekkan sekian
lamanya, tetap sukar berbagkit. Dalam keadaan tak berdaya akhirnya ia berkata
kepada Hi-tiok, "Coba kamu ke sini!"
"Supek ada pesan
apa?" tanya Hi-tiok sesudah mendekatinya.
"Akan kuajarkan jurus
Ciam-hoa-wi-jiau ini padamu, lalu kau gunakannya untuk menyerang perempuan hina
itu. Ingin kulihat cara bagaimana dia mampu menangkis," demikian pesan
Tong-lo
Tapi Hi-tiok menggeleng
kepala, sahutnya "Tidak, aku takkan membantu pihak mana pun dan tak mau
menyerang Susiok"
Tong-lo tambah gusar,
bentaknya, "Goblok kamu kan tidak perlu menyerang dia dengan
sungguh-sungguh, cukup kau pertunjukkan gaya serangan itu saja."
Melihat kedua paman guru itu
sama-sama ngotot, asal terkumpul sedikit tenaga tentu akan saling labrak, dan kalau
kedua orang saling bergumul lagi, maka pastilah akan berakhir dengan mati atau
hidup. Sekarang Tonglo cuma minta dia belajar lalu pertunjukan gaya serangannya
kepada Li Jiu-sui, hal ini toh takkan melukai dan mengganggu salah satu pihak,
maka ia menurut dan berkata, "Baiklah, aku akan belajar dan silakan Supek
memberi petunjuk"
"Coba tempelkan telingamu
sini supaya rahasia ilmu ini tidak didengar oleh perempuan hina itu," kata
Tong-lo.
"Cis, hanyà sedikit
kepandaianmu yang sepele itu masakah aku kepingin tahu?" jengek Li
Jiu-sui.
Segera Hi-tiok mendempelkan
telinganya ke tepi mulut Thian-san Tong-lo. Si nenek lantas menjelaskan gerak
tipu, "Ciam-hoa-wi-jiau" yang dikatakan tadi dan mengajarkan cara
mengerahkan tenaga dan cara melontarkan serangan. Karena sebelumnya Hi-tiok
sudah dipupuk oleh Tong-lo dan mempunyai dasar yang kuat, dengan sendirinya
jurus Ciam-hoa-wi-jiau itu dengan gampang dapat dipahaminya.
Setelah mengapalkan pula satu
kali, lalu ia mendekati Li Jiu-sui dan berkata, "Susiok, aku disuruh Supek
untuk memainkan sejurus kepandaiannya dan minta Susiok suka memberi kritik yang
sehat,"
Wajah Li Jiu-sui berubah
pucat, pikirnya, "Selama ini dia selalu berada bersama si kerdil dan sudah
tentu, dia adalah orang kepercayaannya tampaknya hari ini ajalku sudah sampai
dan aku pasti akan diserang olehnya."
Maka tertampak Hi-tiok angkat
tangan kirinya, jari jempol dan jari telunjuk bergaya seperti orang hendak
memetik bunga, mukanya tersenyum simpul dan ramah-tamah. lalu tangan kanan juga
terangkat pelahan, kedua jarinya lantas menyentak pelahan seperti orang
menghilangkan butiran embun di atas daun bunga. Tapi lantas terdengar suara
"crit" yang pelahan, pada dahan pohon Siong yang terletak dua-tiga
meter jauhnya sana lantas kelihatan sebuah lubang kecil.
Li Jiu-sui terkejut atas
tenaga selentikan yang sangat lihai itu.
Sedangkan Tong-lo lantas
mendamprat, "Goblok! Kenapa sampai bersuara? Tenagamu kurang tepat, tahu
tidak?"
Hi-tiok mengiakan dan kembali
mencoba sekali lagi, sekali ini gerakannya lebih halus dan lebih luwes, batang
pohon kembali kelihatan sebuah lubang kecil, namun selentikan itu tetap
mengeluarkan suara cuma sangat lirih.
"Hm, tetap mengeluarkan
suara!" jengek Tong-lo. "Tapi cara melakukannya sudah tepat. Nah,
perempuan hina, jika jurus ini aku sendiri yang melontarkannya pasti takkan
mengeluarkan suara sedikit pun dan kamu mampu menangkisnya?"
Sekarang Li Jiu-sui sudah tahu
bahwa Hi-tiok memang betul tiada maksud menyerang dirinya, ia menjadi lega. Dan
sudah tentu ia tidak mau kalah terhadap Thian-san Tong-lo. Segera ia pun
berkata, "Siapakah namamu yang sebenarnya, Hiantit (keponakan baik)?"
Mendengar sang Susiok bertanya
dengan sopan, cepat Hi-tiok menjawab. "Ah, Siautit sebenarnya adalah
hwesio Siau-lim-si dan bergelar Hi-tiok. Sungguh harus disesalkan karena imanku
kurang teguh sehingga telah melanggar peraturan Budha, terang aku telah gagal
menjadi hwesio. Sejak kecil aku sudah ..sudah piatu. Hingga aku sendiri tidak
tahu she dan namaku yang sebenarnya."
Melihat Hi-tiok menjadi sedih
ketika bercerita tentang dirinya sendiri, Li Jiu-sui manggut-manggut, katanya,
"Hiantit, kaupun tidak perlu sedih. Hati sendiri adalah Budha, demikian
kata kaum pemeluk agama Budha, biarpun kamu gagal menjadi hwesio, asal kamu
banyak berbuat kebajikan, tetap kamu akan dapat mencapai kesempurnaan hidup.
Sekarang kamu sudah masuk perguruan kita gurumu bergelar Bu-gai-cu, maka untuk
selanjutnya gelarmu boleh disebut 'Hi-tiok-cu' saja."
Sebenarnya Hi-tiok sangat
bingung karena karena telah gagal menjadi hwesio yang suci, sekarang Li Jiu-sui
membuka jalan baginya sehingga dia mempunyai pegangan hidup, ia menjadi girang
dan memberi hormat, katanya, "Banyak terima kasih atas kebaikan
Susiok."
Sebagai ibu suri kerajaan Se
He, ditambah ilmu silatnya juga sangat tinggi, sudah tentu Li Jui-sui tidak
pandang sebelah mata kepada siapa pun. Sebabnya sekarang dia begini ramah
terhadap Hi-tiok adalah lantaran ia merasa kepepet dan kuatir Hi-tiok akan
membikin susah padanya, intinya ia sengaja merebut hati Hi-tiok dengan
ucapan-ucapan yang menyenangkan, ketika melihat Hi-tiok sangat senang, lalu ia
menyambung lagi, "Kamu sangat baik, Hiantit, maka sekali lihat aku lantas
suka padamu. Tentu kamu akan banyak menerima kebaikan dariku,"'
"Kentut, kentut
busuk!" damprat Tong-lo dengan gusar, "He, Hwesio cilik, jangan kau
percaya kepada obrolannya yang muluk-muluk!. Selamanya perempuan hina ini suka
memikat pemuda yang tampan. Terhadap mukamu yang buruk itu sebenarnya ia sangat
jemu dan tidak sudi bicara pada mu, tapi sekarang dia mengatakan 'suka padamu'
ha ha, benar-benar pembohong besar. Nah, perempuan hina, kau tidak mampu
menangkis seranganku 'Ciam-hoa-wi-jiau' ini lekas mengaku kalah saja dan tidak
perlu main kasak-kusuk kepada hwesio cilik ini."
"Hm, Ciam-hoa-wi-jiau,
nama ini memang boleh, semula kusangka dengan nama yang bagus pasti tipu
serangan ini pun sangat hebat, siapa tahu hanya demikian saja, ha, sungguh
menggelikan. Padahal asal aku menggunakan 'Leng-po-wi-poh', semacam langkah ajaib
dalam Thian-lam-sin-kang, maka dengan gesit dan cepat dapat kuhindarkan
serangan tenaga jari itu."
"Kau mahir
Leng-po-wi-poh?" Tong-lo menegas dengan terkejut. "He he, jangan
omong besar, siapa mau percaya bualanmu?"
Tapi Li-jiu-sui lantas berkata
kepada Hi-tiok, "Hiantit, Long-po-wi-poh adalah semacam langkah ajaib yang
tiada bandingannya, sesudah kau pelajari, musuh tangguh bagaimana pun juga
pasti akan dapat kau hindarkan dengan sangat mudah."
"Wah, bagus sekali jika
begitu." seru Hi-tiok kegirangan. "Memangnya aku tidak suka berkelahi
dengan orang, jika aku dapat mengelakkan lawan tanpa bertempur dengan dia maka
cara demikian yang paling kuharapkan."
"Ehm. hatimu sangat baik,
kelak pasti akan menjadi Seorang pahlawan besar" puji Li jiu-sui dengan
tersenyum.
Hi-tiok jengah karena dipuji
tanpa berjasa.
Sebaliknya Tong-lo lantas
mendamprat, "huh tidak malu, selain menjilat pantat kamu mempunyai
kepandaian lain tidak?"
Tapi Li Jiu-su tidak
menggubrisnya dan tetap berkata kepada Hi-tiok, "Leng po-wi-poh ini
berasal dari perubahan perhitungan Pat-kwa dari kitab Ih-keng, kau pernah
belajar Ih-keng tidak?"
Ih-keng adalah kitab pelajaran
Khong-kau, Sudah tentu golongan agama Budha tidak mempelajarinya.
Maka Hi-tiok menjawab,
"Tidak pernah."
"Biarlah, lain hari akan
kuajarkan padamu, sekarang akan kuajarkan satu langkah saja, yaitu dari sudut
'tongjin'menuju ke sudut 'kui-moai'" demikian kata Li Jiu-sui lebih jauh.
Lalu ia mencabut tusuk kundainya dan melukis sebuah peta di atas tanah dan
mengajarkan pada Hi-tiok cara melangkahnya menurut peta.
Sesudah mengingat sudut-sudut
yang dikatakan menurut peta dan mengapalkan petunjuknya Li Jiu-sui, ternyata
Hi-tiok dapat melakukannya dengan tepat dan baik.
Dari jauh Tong-lo dapat
mengikuti gerak-gerik Hi-tiok itu, diam-diam ia menghela napas dan mengakui
bahwa Leng-po-wi-poh itu ternyata memang benar sudah dapat dipahami oleh lawan
besarnya itu. Dasar wataknya memang tidak sabaran segera ia berseru, "Baik,
anggaplah langkahmu itu memang tepat dan dapat menghindarkan seranganku. Tapi
sesudah jurus Ciam-hoa-wi-jiau itu segera akan menyusul jurus lain yang bernama
'Sam-liong-su-siang (tiga naga empat gajah), suatu serangan yang maha dahsyat
antara tenaga pukulan bercampur tenaga jari. Nah, cara bagaimana akan dapat kau
hindar lagi? Sini, hwesio cilik, lekas kemari, biar kuajarkan pula jurus
Sam-liong-su-sing ini."
Dengan tersenyum Li Jui-sui
juga berkata kepada Hi-tiok. "Hiantit, Supekmu hendak mengajar lagi padamu,
boleh ke sana lebih banyak belajar kan lebih baik bagimu."
Maka Hi-tiok lantas mendekati
Tong-lo dan kembali mempelajari jurus 'Sam-liong-su-siang' itu.
Ketika jurus itu dimainkan,
benar juga keras dan dahsyat sekali, sepuluh jari maju sekaligus dan batang
pohon seketika kena ditusuk sepuluh lubang kecil. menyusul tenaga pukulan kedua
telapak tangan juga tiba,"prak", batang pohon patah menjadi dua.
Sungguh sama sekali tak tersangka oleh Hi-tiok bahwa jurus serangan itu akan
sedemikian lihainya, karuan ia kaget sendiri.
"Jurus serangan itu
memang benar-b«nar sangat dahsyat, sekali sudah menyerang, maka tanpa ampun
lagi jiwa musuh pasti akan melayang," demikian komentar Li Jiu-sui.
"Benar, aku pun merasa
jurus ini agak kurang baik," kata Hi-tiok sambil mengangguk,
"Hwesio busuk, kau berani
mengikuti suara perempuan hina itu dan mencela ilmu kepandaianku!” bentak Tong
lo dengan gusar.
"Bukan mencela, aku cuma
merasakan terlalu kejam sedekit," sahut Hi-tiok.
"Terhadap orang jahat
harus kejam, semakin kejam semakin baik, kalau bisa jangan diberi kesempatan
hidup, harus dibasmi sampai akar-akarnya," ujar Tong-lo,
Segera Li Jiu-sui berkata,
"Hiantit, jika Suci benar-benar melontarkan jurus serangan dahsyat itu
kepada ku, walaupun aku dapat menghindar dengan Leng po-wi-poh yang ajaib, tapi
terang aku akan terdesak dan paling sedikit aku akan dicecar belasan serangan
lain tanpa, sempat balas menyerang."
Tiong-lo berseri-seri,
katanya, "Ya, asal tahu saja!"
Tapi Li Jiu-sui lantas
menambahkan lagi, "Dan cara paling baik untuk menghadapinya ialah
mengikuti tenaga pukulan itu sambil melompat mundur, dan selagi tenaga pihak
lawan belum sempat berubah lagi, mendadak kita balas menyerang tatkala dia
belum siap ..."
Habis berkata, lalu ia
mengajarkan satu jurus lagi.
Sudah tentu Tong-lo menjadi
penasaran, segera ia memanggil pula, "Hwesio cilik, lekas kemari,, coba
apalkan lagi jurus ketiga ini, pasti dia akan mati kutu'"
Begitulah kedua saudara
seperguruan itu secara bergiliran mengajarkan kepandaian mereka kepada Hi-tiok
dengan tujuan hendak menaklukkan pihak lawan. Dasar ilmu silat kedua nenek itu
memang maha tinggi dan sama-sama mencapai tingkatan yang tiada taranya, maka
satu sama lain menjadi susah menentukan kalah atau menang.
Tipu-tipu serangan yang
diajarkan kedua nenek itu makin lama makin sulit, baiknya Hi-tiok. sendiri
bukan lagi Hi-tiok yang dulu, sekarang dia telah memiliki tenaga dalam dari
tiga tokoh terkemuka Siau-yau-pai, ia dapat mengerahkan tenaga dalam itu dengan
sesukanya, betapapun aneh dan sukar tipu serangan itu, sesudah diapalkan
seketika ia dapat memainkannya denganbaik dan tepat.
Tong-lo dan Li Jui-sui tetap
ngotot tak mau saling mengalah, sebaliknya Hi-tiok juga asyik mempelajari
setiap kepandaian yang diajarkan padanya sehingga mereka sama-sama lupa
daratan, lupa makan,dan lupa minum.
Sampai hari sudah hampir
gelap, karena gerak-gerik permainan Hi-tiok sudah sukar dilihat dengai jelas
lagi, dalam keadaan terpaksa barulah kedua nenek itu berhenti bertanding.
Segera Hi-tiok menggunakan
batu krikil untuk menimpuk jatuh belasan ekor burung yang sedang pulang ke
sarangnya, lalu ia menyembelih dan mencucinya di tepi suggai, kemudian
dipanggang: Setelah ketiga orang makan burung panggang itu, lalu Hi-tiok
mencakupkan air sungai untuk diminumkan kepada Tong-lo dan Li Jiu-sui.
Sejak Hi-tiok Hwesio berubah
menjadi Hi-tiok-cu, sekarang ia tidak pantang makan daging dan membunuh segala.
Besoknya, pagi-pagi sekali
selagi Hi-tiok masih tidur dengan nyenyak, tiba-tiba ia dibentak bangun oleh
Tonglo. katanya ada satu jurus serangan lihai hendak diajarkan padanya agar
segera dapat dipakai untuk menguji Li Jiu-sui.
Dan sesudah Hi-tiok memahami
dengan baik dan dimainkan, segera Li Jiu-sui membalas lagi tiga jurus serangan
yang lihai.
Begitulah sehari demi sehari,
dalam sekejap saja tanpa terasa sudah lewat lebih 20 hari. Keadaan luka kedua
nenek itu sudah sembuh kembali, ditambah setiap hari perang otak sehingga hanya
memakan pikiran. Maka makin lama muka kedua nenek itu tampak makin kurus,
tatkala bicara juga semakin lemah
Meski Hi-tiok sudah
menganjurkan agar mereka berhenti bertanding, tapi Tong-lo dan Li Jiu-sui. tahu
luka mereka terlalu parah, kesempatan bertanding pada lain kali pasti tidak
mungkin ada, maka sekarang juga masing-masing berusaha menciptakan tipu
serangan yang hebat untuk mengalahkan lawan dan agar dapat menyaksikan kematian
pihak lawan lebih dulu.
Tempat di mana mereka berada
itu sebenarnya tidak jauh dari Leng-cui, ibu kota Se He cuma tempatnya sangat
terpencil dilereng gunung yang sunyi sehingga tidak diketahui oleh jagoan
La-bin-tong kerajaan Se He.
Dengan demikian beberapa hari
telah dilalui lagi sekarang tipu serangan yang dikemukakan Tong-lo dan Li
Jiu-sui terkadang sudah ulangan saja dari jurus-jurus jang terdahulu, meski
kadang-kadang masih tercipta jurus baru yang bagus, tapi untuk ini mereka
terpaksa harus memeras otak cukup lama.
Diam-diam juga pernah Hi-tiok
berpikir "Pertandingan seperti ini entah akan berakhir sampai kapan?
Rasanya terpaksa aku harus memisahkan mereka saja sejauh mungkin, jika mereka
tidak dapat melihat muka dan tak mendengar suara masing-masing, mungkin
pertandingan ini dapat dilerai, andaikan aku nanti akan diomeli juga masa
bodoh!"'
Namun demikian, sekarang
jurus-jurus ilmu silat yang telah dipelajarinya sudah terlalu luas dan aneka
macam karena tenggelam dalam ilmu silat selama beberapa bulan, kini berbalik
timbul hasrat besar pada diri Hi-tiok untuk lebih memperdalam pengetahuannya...
Sebab itulah tatkala Tong-lo
mengeluarkan sejurus, segera ia ingin mengetaui cara bagaimana Li Jiu-sui akan
menangkisnya, sebaliknya bila Li jiu-sui juga mengeluarkan jurus serangan yang
bagus, Hi-tiok pun sangat ingin lihat cara bagaimana Thian-san Tong-lo akan
balas menyerang lagi. Saking asyiknya mengikuti pertandingan itu sehingga
Hi-tiok sendiri lupa daratan dan makin berlarut-larut.
Hari itu sudah lewat lohor,
kembali Tong-lo mengajarkan sejurus serangan padanya, tapi belum selesai ia
memberi penjelasan, tiba-tiba napasnya sesak dan hampir-hampir pingsan.
Kontan Li Jiu-sui mengejek,
"Huh, kau mau mengaku kalah tidak? Kalau bertempur benar-benar, masakah
boleh... boleh .... "
Hanya sekian ia bicara,
tiba-tiba ia sendiri terbatuk-batuk tanpa berhenti.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong dari jurusan barat daya sana terdengar suara
kelintang-kelinting nyaring disusul dengan suara melengkingnya unta.
Mendengar itu, seketika
semangat Tong-lo terbangkit, cepat ia mengeluarkan sebuah bumbung hitam kecil dari
bajunya dan berkata kepada Hi-tiok, "Lekas selentikan bumbung ini ke
udara!"
Sementara itu Li Jiu-siu masih
terus terbatuk-batuk dengan keras.
Karena tidak tahu seluk
beluknya, segera Hi-tiok menurut permintaan Tong-lo dan menjelentikkan bumbung
kecil tadi ke udara. Maka terdengarlah suara mendenging yang nyaring keras,
betapa hebat tenaga jari Hi-tiok sekarang sehingga bumbung kecil itu masih
terus meluncur melecit ke angkasa dan menghilangkan di balik awan sambil
mengeluarkan suara mendenging nyaring.
Baru sekarang Hi-tiok
terkesiap "Wah, celaka, bumbung kecil ini adalah isyarat Supek yang
memanggil bala bantuan untuk menghadapi Lu susiok,"
Segera ia berlari ke depan Li
Jiu-sui dan. berkata kepadanya dengan bisik bisik, "Susiok, Supek
kedatangan bala bantuan, biarlah kugendong engkau untuk melarikan diri"
Tapi Li Jiu-sui tetap menunduk
dan diam saja, batuknya juga, sudah berhenti dan tidak bergerak lagi. Hi-tiok
terkejut, ia coba memeriksa napasnya, ternyata sudah berhenti. Keruan Hi-tiok
tambah kaget, teriaknya, "He, Susiok, Susiok!"
Waktu ia mendorongnya
perlahan, mendadak tubuhnya terus roboh, nyata orangnya sudah meninggal dunia.
Tong-lo bergelak tertawa,
katanya, "Bagus, bagus! Perempuan hina itu telah mati ketakutan!
Ha..ha..ha.. bagus, bagus!. Sekarang sakit hatiku sudah terbalas, akhitnya
perempuan hina itu mati lebih dulu daripada diriku, hahaha!"
Begitulah saking senanguya
sehingga ia terbahak-bahak Terus sampai napaspun tersengal-sengal, akhirnya
darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya.
Dalam pada itu suara
mendenging tadi terdengar dari atas merendah ke bawah, kiranya bumbung kecil
tadi telah jatuh dari langit dan segera ditangkap oleh Hi-tiok, waktu dia
hendak memeriksa Tong-Io, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki binatang yang
riuh diselingi dengan suara kelintingan yang ramai, beberapa puluh ekor unta
tampak berlari datang dari arah barat-daya secepat terbang.
Waktu Hi-tiok menoleh, ia
lihai para penanggung unta itu adalah kaum wanita, semuanya menggunakan baju
hijau. Sesudah agak dekat, segera terdengar teriakan seorang wanita itu,
'"Kaucu, hamba terlambat menyusul kemari, sungguh harus dihukum
mati!"
Sesudah rombongan unta itu
mendekat, demi melihat Tong-l'o berada di situ, dari jauh para wanita itu
lantas melompat turun dari unta mereka serta mendekati Tong-lo dengan berjalan,
lalu semua menyembah dengan penuh hormat.
Hi-tiok lihat pemimpin
rombongan wanita itu adalah seorang nenek berusia 60 tahunan, Wanita lain ada
yang tua dan ada yang muda, ada yang berumur antara 40-an. tapi yang berumur 17
atau 18 tahun juga ada. Semuanyasangat takut dan hormat kepada Tong-lo,
semuanya menyembah di atas tanah dsngan takut dan tidak berani mendongak.
"Hm, kalian sangka aku
sudah mati, ya? Makanya tiada seorang pun yang memikirkan aku lagi?"
demikian datang-datang Tong-lo lantas mendamprat mereka. "Ya. jika aku
sudah mati, maka tiada orang yang mampu memerintah kalian, tentu saja: kalian
dapat berbuat semau-maunya dengan bebas!"
Sambil mandengarkan omelan
Tong-lo itu, si nenek pemimpin rambongan tadi tiada hentinya mcnjura sambil
berkata, "Tidak, tidak berani!"
"Apa, tidak berani?"
semprot Tong-lo pula. "Hm, jika kalian benar-benar masih ingat padaku,
mengapa yang datang hanya beberapa gelintir manusia ini saja?"
"Lapor Kaucu," kata
si nenek, "Sejak Kaucu menghilang pada malam itu, sungguh hamba sekalian
kuatir setengah mati ..."
"Huh, apa.betul?"
jengek Tong-lo. "Jika kuatir, mengapa tidak cepat turun gunung dan mencari
diriku?"
"Betul-betul
demikian," sahut si nenek. "Sesudah hamba dari sembilan Thian
dansembilan
Poh berunding, lalu
bcramai-ramai turun gunung secara terpancar untuk; memapak pulangnya Kaucu
Kinthian-poh. di bawah pimpinan hamba bertugas memapak Kaucu ke arah timur.
Selebihnya ada yang menuju ke barat, ke selatan dan arah lain hanya
Kin-thian-poh saja yang bertugas menjaga istana. Hamba sendiri tidak becus
sehingga terlambat memapak kemari, sungguh bodoh, sunggul pantas dihukum"
Sambil berkata ia pun menjura
terus "Pakaian kalian sudah koyak-koyak, selama empat bulan dalam
perjalanan tentu banyak menderita!" ujar Tong-lo.
Mendengar ucapan Tong-lo itu
mengandung nada memberi pujian, air muka si nenek menjadi girang, sahutnya,
"Asal dapat mengabdi bagi keselamatan kaucu, biarpun masuk lautan api,
atau terjun ke dalam air mendidih juga tidak soal, apa lagi cuma sedikit tugas
enteng yang memang menjadi kewajiban hamba sekalian."
"Aku kepergok musuh
tangguh tatkala kepandaianku belum pulih sehingga sebelah kakiku kena ditabas
buntung oleh perempuan hina bangsat itu, bahkan jiwaku hampir saja melayang,
untung
Sutitku Hi-tiok-cu menolong
aku, tentang pengalamanlu sungguh terlalu panjang untuk diceritakan,"
Rombongan wanita berbaju hijau
itu segera mamutar tubuh dan menghaturkan terima kasih kapada Hi-tiok,
"Atas budi kebaikan Siansiug, biarpun hancur lebur badan kami juga sukar
membalasnya."
Hi-tiok menjadi kelabakan
karena mendadak disembah oleh wanita sebanyak itu. Cepat ia menjawab,
'"Ah, jangan banyak adat!"..
Dan, segera ia pun berlutut,
buat membalas hormat.
Tapi Tong-lo lantas
membentaknya, "Hi-tiok, lekas bangun! Mereka adalah budakku, mana boleh
merendahkan derajat dirimu"
Namun, Hi-tiok masih mengucapkan
kata-kata ramah, habis itu barulah berbangkit
Tiba-tiba Tong-lo menanggalkan
cincin besi terus dilemparkan ke arah Hi-tiok. Cepat Hi-tiok menangkap benda
itu.
"Kamu adalah ketua
Siau-yau-pai, pula sudahkuajarkan Sing-si-hu, Ciat-bwe jiu, Liok-yang-ciang
dankepandaian-kepandaian lain padamu maka mulai hari ini juga kamu adalah
majikan Leng-ciu-kiong di Biau-biau hong, adapun para budak yang terbagi dalam
sembilan regu itu untuk selanjutnya mati-hidup mereka juga tergantung
padamu," demikian kata Tong-lo.
"Hai. supek, mana ...
mana boleh jadi begini?" seru Hi-tiok gugup.
"Mengapa tidak boleh
jadi?" bentak Tong-lo dengan gusar. "Para budak ini kurang giat
bekerja sehingga aku terpaksa meringkuk dalam karung goni dan menerima
macam-macam hinaan kasar. Oh-lotoa dan para keroco sebangsanya, paling akhir
kakiku sampai buntung dan ... dan jiwa akan melayang pula ... . "
Para wanita itu menjadi
ketakutan hingga gemetar, "Hamba sekalian memang pantas mati harap Kaucu
suka memberi ampun," demikian mereka memohon.
"Para budak ini dari regu
Thian, akhirnya mereka terhitung dapat menemukan aku. Maka hukuman mereka boleh
diringankan sedikit, sedang para budak kedelapan bagian lain, apakah akan
dihukum potong kaki atau ditabas lengan boleh terserah padamu," kata
Tong-lo kepada Hi-tiok..
"Terima kasih atas
kebijaksanaan Kaucu," cepat para wanita baju hijau tadi menjura.
"Kenapa tidak
menghaturkan terima kasih kepada Kaucu baru!" bentakTong-lo.
Cepat para wanita itu
mengucapkan. terima kasih pula kepada Hi-tiok.
Tapi Hi-tiok goyang-goyang
kedua tangannya sambil berkata, "Sudahlah, sudahlah! Mana aku dapat
menjadi Kaucu kalian?'
"Jiwaku tinggal sekejap
lagi, tapi dengan mata kepala sendiri telah kusaksikan perempuan hina itu mati
mendahului aku, sedang ilmu silatku telah dapat kuwariskan lagi padamu, mati
pun aku akan merasa puas, masakah kamu masih tidak mau terima?" kata
Tong-lo.
"Tentang ini ...ini aku
tidak dapat ... . " sahut Hi-tiok bingung.
"Apa kamu sudah lupa pada
'dewi impian' itu? Nah, kau mau terima menjadi majikan Leng-ciu-kiong atau
tidak?" tiba-tiba Tong-Jo tertawa.
Hati Hi-tiok tergetar
mendengar disebutnya "dewi impian", terpaksa ia tidak berani menolak
lagi dengan muka merah ia mengangguk.
"Bagus, bagus!" kata
Tong-lo dengan tertawa menang. "Coba bawa lukisan itu ke sini, biar aku
merobeknya dengan tanganku sendiri, setelah tiada sesuatu urusan yang menjadi
ganjalan hatiku, akan segara kutunjukkan padamu kemana dapat kau cari dewi
impianmu itu."
Hi-tiok pikir Li Jiu-sui sudah
mati, lukisan itu tiada gunanya lagi, jika Tong-lo hendak merobeknya untuk
melampiaskan marahnya juga tiada beralangan. Maka ia lantas mengambilkan
lukisan itu.
Sesudah terima lukisan itu,
ketika Tong-lo memeriksanya di bawah sinar matahari yang terang,
sekonyongkonyong ia bersuara heran sekali, wajahnya, menampilkan rasa kejut dan
girang tak terkira. Waktu ia periksa lebih teliti, mendadak ia tertawa
terbahak-bahak dan berteriak, "Haha! Bukan dia, bukan dia! Hahahaha! Bukan
dia! Hahahaha!
Di tengah galak tertawanya itu
tiba-tiba air matanya bercucuran pula, ketika lehernya tampak lemas, kepalanya
terus menunduk dan untuk seterusnya tidak bersuara dan tidak bergerak lagi
Keruan Hi-tiok terkejut, cepat
ia hendak memayangnya, tapi terasa badan nenek itu lemah lunglai dan seakanakan
mengkerut semakin kecil. Nyata orangnya sudah meninggal dunia.
Serentak para wanita baju
hijau dari An than-poh tadi merubung maju sambil menangis tergerung-gerung
penuh duka. Kiranya para wanita iiu semuanya pernah ditolong oleh Tong-lo pada
waktu mereka menghadapi jalan buntu, meski watak Tong-lo sangat keras, tapi
setiap orang tetap sangat menghormat dan merasa utang budi padanya.
Hi-tiok juga teringat selama
empat bulan ini berdampingan dengan Tong-lo dan telah banyak memperoleh ilmu
silat dari nenek itu. Berbareng dapat diketahui pula bahwa watak nenek itu
meski aneh, namun terhadap Hitiok sendiri boleh dikata sangat baik. Sekarang
menyaksikan nenek itu wafat dengan tertawa, mau-tak-mau Hitiok merasa sedih
juga dan ikut menangis.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar di belakangnya ada suara orang tertawa mengejek, "Hehe, Suci,
akhirnya kau sendiri yang mati lebih dulu, Huh, kamu yang menang atau aku yang
menang;"
Mengenali suara itu adalah
suara Li Jiu-sui, Hi-tiok sangat terkejut, ia heran mengapa orang mati bisa
hidup lagi? Maka cepat ia melompat ba ngun dan membalik tubuh, ia lihat Li
jiu-sui sudah duduk tegak bersandar pohon dan sedang berkata pula,
"Hiantit, coba bawa lukisan itu kesini, ingin kulihat apa sebabnya Suci
menangis dan tertawa pula untuk kemudian lantas mampus!"
Pelahan Hi-tiok melepaskan
jari Tong-lo yang memegangi lukisan itu, sekilas ia lihat lukisan itu. tetap
wanita cantik berpakaian keraton, wajahnya mirip sekali dengan Ong Giok-yan,
cuma lukisan itu sudah ken air dan beberapa bagian sudah agak luntur. Segera ia
bawa lukisan itu dan diserahkan kepada Li Jiu-sui.
Sesudah Li Jiu-sui menerima
lukisan itu, dengan tersenyum ia berkata, "Kaucu kalian telah bergebrak
selama beberapa puluh hari dengan aku, akhirnya ia tidak mampu melawan dan
mampus sendiri. Sekarang kalian yang cuma tergolong keroco ini juga berani
main-main denganku?”
Ketika Hi-tiak menoleh,
kiranya yang dimaksudkan Li Jiu-sui adalah para wanita berbaju hijau tadi. Si
nenek yang menjadi pemimpin rombongan itu tampak sangat gusar sambil memegang
pedang, tampaknya setiap saat dapat mengerubut maju serentak untuk membalas
sakit hati Thian-san Tong-Io, cuma saja mereka belum mendapat aba-aba dari
majikan baru, maka tidak berani sembarangan bergerak.
Segera Hi-tiok berkata,
"Susiok, kau .... kau.... "
"Supekmu sebenarnya
sangat lihai, cuma terkadang dia memang kurang cermat," demikian Li
Jiu-sui menukasnya. "Sebenarnya dengan datangnya bala bantuannya, pasti
aku tidak mampu melawan lagi, maka aku terpaksa pura-pura mati dan hehe,
akhirnya dia sendiri yang mati lebih dulu. Seluruh ruas tulangnya telah remuk,
hawa murninya sudah buyar, kematiannya ini teraig bukan pura-pura lagi"
"Tapi dalam gudang es
sana Supek juga pernah pura-pura mati untuk mengakali Susiok, maka stand boleh
dikata 1 – 1 seri, sama-sama tiada yang menang atau kalah," demikian kata
Hi-tiok.
"Ya, dalam hatimu kamu
tetap condong kepada pihak Supekmu walau pun kau bilang akan netral, "
ucap Li Jin-sui sambil menghela napas. Sembari bicara ia terus membentang
lukisan tadi dengan pelahan.
Tak terduga, sekilas pandang
sajamendadak air mukanya berubah hebat, tangannya juga gemetar, ia berseru
dengan suara sedih, "Ah, kiranya dia kiranya dia! Haha, kiranya dia, Haha,
hahaha, hahaha!"
Begitulah ia berseru dengan
tertawa pula, tapi makin lama suara tawanya, makin lemah, penuh rasa pedih dan
penyesalan.
Tanpa terasa Hi-tiok ikut
sedih juga bagi sang Susiok, ia coba tanya, "Susiok, ada apakah?"
Tapi diam-diam Hi-tiok juga
heran mengapa sesudah melihat lukisan tadi Thian-san Tong-lo berseru
"bukan dia", dan sekarang Li jiu-sui berbalik mengatakan "kiranya
dia". Lantas siapakah "dia" yang dimaksudkan mereka itu?
Begitulah Li jiu-sui tampak
termangu-mangu memandangi gambar wanita cantik dalam lukisan itu. Akhirnya ia
berkata kepada Hi-tiok "Coba kau lihat, pipi wanita ini ada sebuah dokik
dan ditepi mata kanan ada sebuah andeng-andeng kecil, betul tidak?"
Hi-tiok coba mengamat-amati
lukisan itu, lalu mengangguk, "Ya, benar!"
"Dia ... dia adalah adik
perempuanku" kata Li Jiu-sui dengan muram durja.
"Adik perempuanmu?"
Hi-tiok menegas dengan heran,
"Ya, wajah adik
perempuanku sangat mirip denganku, cuma pipinya lesung, sedangkan aku tidak,
ditepi mata kanannya ada sebuah andeng-andeng kecil dan aku pun tidak
ada,"
"O," Hi-tiok
bersuara singkat.
Lalu Li Jiu-sui berkata pula.
"Suci suka sombong dia pamer padaku, katanya Suko telah melukis gambarnya
dan siang malam, selalu dipandang, sejak mula-aku memang tidak percaya, tapi
.... tapi tak terduga bahwa .... bahwa yang dilukiskanya adalah adik
perempuanku!. Sebenarnya cara...cara bagaimana kau dapatkan lukisan ini?"
Segera hi-tiok menceritakan
pengalamannya waktu Bu-gai-cu menyerahkan lukisan itu padanya dan suruh dia
datang ke Thian-san untuk mencari orang yangdigambarnya itu buat belajar ilmu
silat. Kemudian Tong-Io marah-marah ketika melihat lukisan itu, Hi-tiok
tuturkan semua itu.
"Ya, ketika mula-mula
melihat lukisan ini tentu Suci menyangka yang dilukis Suko adalah diriku” ujar
Li Jiusui dengan gegetun. "Maklum pertama karena wajahku memang mirip
dengan adik perempuanku. Kedua. Suko memang selalu sangat baik apalagi ....
apalagi waktu Suci mulai berebut Suko denganku, tatkala itu adikku baru berumur
belasan dan sama sekali tidak mahir ilmu silat, dengan sendirinya Suci tidak
mungkin mencurigai dia sehingga tidak memperhatikan tentang dekik pipi dan
andeng-andeng kecil dalam lukisan. Ai, adikku manis, sungguh baik sekali kau,
baik sekali kau!"
Begitulah beberapa kali Li
Jiu-sui mengatakan !”baik sekali kau," akhirnya air mata pun
bercucuran."
Diam-diam Hi-tiok membatin,
"Rupanyameski Supek dan Susiok sangat mencintai Suhu, tapi dalam hati
sanubari Suhu justru terisi oleh orang lain. Cuma entah adik perempuan Susiok
itu apakah sekarang masih hidup di dunia ini? Susiok mengatakan adiknya tak
bisa ilmu silat tapi mengapa Suhu suruh aku membawa lukisan ini untuk
mencarinya dan belajar ilmu silat padanya?"
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar teriakan Li Jiu-sui yang tajam, "Oo Suci, kita berdua sebenarnya
adalah
senasib dan sama-sama harus di
kasihani karena kita telah tertipu oleh manusia yang tidak punya perasaan
itu.Hahaha,hahahahaha'
Habis terbahak-bahak, sekali
tubuhnya tergeliat, terus saja roboh dan tak berkutik lagi.
Cepat Hi-tiok memeriksanya,
ternyata mulut dan hidung nenek itu mengeluarkan darah dan orangnya sudah tak
bernapas, tampaknya sekali ini si nenek tidak pura-pura mati lagi. Hi-tiok
menjadi bingung menyaksikan kedua sosok jenazah Itu,
Maka. terdengar si nenek
pemimpin rombongan An-thian-poh tadi berkata, "Cujiu (majikan), apakah
kita akan membawa pulang jenazah Kaucu dan dimakamkan dengan segala kehormatan,
harap Cujiu memberi petunjuk!"
"Menurut pendapatku” kata
Hi-tiok sambil menunjuk jenazah Li Jiu-sui, "Dia ... dia adalah Sumoai
Kaucu kalian, msski pada masa hidupnya mereka bermusuhan, tapi waktu ajalnya
permusuhan mereka sudah diselesaikan, maka kukira lebih baik di ...diangkut
sekalian ke Leng-ciu-kong, entah bagaimana pendapatmu?"
"Hamba sekalian tunduk
kepada perintah Cujiu," sahut nenek itu dengan hormat.
Hi-tiok merasa lega.
Sebenarnya ia kuatir kawanan wanita baju hijau itu masih dendam pada Li jiu-sui
dan tidak mau mengubur jenazahnya, bahkan bukan mustahil akan menghancurkan
mayatnya untuk melampiaskan sakit hati, tak tersangka mereka lantas akur begitu
saja.
Hi-tiok tidak tahu bahwa
sekarang dia sendiri adalah majikan baru kawanku wanita itu, dengan sendirinya
mereka hanya menurut belaka seperti halnya mereka tunduk kepada Thian-san
Tong-lo.
Begitulah si nenek lantas
memerintahkan beberapa anak buahnya untuk membungkus kedua jenazah dengan
selimut, lalu dimuat ke atas unta. Kemudian Hi-tiok disilahkan naik unta juga.
Hi-tiok pikir urusan sudah
telanjur sedemikian jauhnya, terpaksa harus menyaksikan penguburan Tong-lo dan
Li Jiu-sui, habis itu barulah akan pulang ke Siau-lim-si untuk menerima hukuman
atau terpaksa mesti kembali menjadi orang preman lagi, semuanya bergantung
keputusan Hongtiang dan Suhu nanti.
Maka ia lantas tanya siapa
nama nenek itu.
"Suami' hamba berasal she
Sia., Kaucu biasa memanggil hamba sebagai "Siau-Sia' (si Sia-kecil)' maka
Cujin boleh panggil apa saja sesukanya," sahut si nenek.
Thian-san Tong-lo sudah hampir
se abad usianya sudah tentu ia dapat memanggil si Sia kecil kepada nenek itu,
tapi Hi-tiok merasa tidak pantas memanggil demikian, maka katanya,
"Sia-popo (nenek Sia), gelarku adalah Hi-tiok-cu, maka kita boleh saling
panggil dalam tingkatan yang sama saja, tidak perlu kau panggil 'Cujin' segala,
sungguh aku merasa risih”
Tapi mendadak si nenek she Sia
itu menjura sambil menangis, "Ampun Cujin! Apakah Cujin akan menghajar
atau membunuh hamba, akan hamba terima dengan rela, asal Cujin jangan mengusir
hamba keluar dari Lengcui-kiong!”
"He, mengapa kau bilang
demikian? Lekas bangun, lekas'" sahut Hi-tiik heran.
Dalam pada itu para wanita
lain juga berlutut semua dan memohon, "Ampun, Cujiu'"
Kiranya, pada waktu Tong-lo
marah, biasanya ia suka bicara secara terbalik., kalau dia ramah-tamah kepada
orang, maka orang itu pasti akan celaka dan menerima siksaan yang tak terhingga
kejamnya
Sebab itulah maka Oh-loloa dan
lain-lain akan pesta pora jika Tong-lo mengutus orang untuk mendamprat dan
menghajar mereka, sebab mereka tahu untuk selanjutnya akan selamatlah.
Sebaliknya jika mereka dipuji dan delus-elus nenek itu, maka itu berarti mereka
bakal celaka tiga belas.
Sekarang Hi-tiok sangat sopan
dan bicara halus kepada Sia-popo, maka para wanita itu mengira dia juga sama
seperti Tong-lo dan akan menghukum mereka dengan kejam, dengan takut mereka
serentak menjura dan minta ampun.
Sesudah Hi-tiok tanya jelas
persoalannya, lalu ia menghiburnya berulang-ulang. Namun demikian para wanita
itu masih tetap kebat-kabit dan takut Setelah Hi-tiok naik. ke atas unta,
betapapun para wanita itu tidak berani memegang unta juga, mereka hanya
menuntun binatang tunggangan masing-masing dan mengikut dari belakang dengan
berjalan kaki.
Terpaksa Hi-tiok berkata,
"Kalian harus lekas pulang ke Leng-ciu-hong. jika terlambat sampai di
sana, bisa jadi jenazah Kaucu akan rusak!"
Maka para wanita itu tidak
berani membantah lagi dan segera naik unta masing-masing, tapi mereka cuma ikut
dari jauh dan tidak berani dekat-dekat, Karena iit Hi-tiok menjadi tidak sempat
bertanya tentang keadaan di Leng-ciu-hong mereka
Begitulah rombongan mereka
terus menuju ke arah barat. Dua hari kemudian, di tengah jalan mereka bertemu
pengintai dari Yang thian-poh, yaitu salah satu barisan Kiu-thian atau sembilan
Thian. Segera Sia-popo mengeluarkan tanda pengenal dan pengintai itu terus
putar kembali ke sana untuk melapor pemimpinnya.
Tidak lama kemudian rombongan
Yang-thian poh yang terdiri dari wanita berbaju ungu telah memapak tiba. Lebih
dulu mereka memberi hormat kepada layon Thian-san Tong-lo, kemudian menyembah
majikan baru.
Pemimpin Yang-thian-poh itu
she Ciok, usianya baru 30-an tahun, maka Hi-tiok memanggilnya
"Ciok-sah" (engso Ciok),
Kuatir para wanita itu akan
sangsi lagi seperti Sia-popo dan kawan-kawannya, maka Hi-tiok tidak berani
bicara terlalu ramah ia hanya menghibur sekadarnya tentang perjalanan mereka
yang lelah, Maka rombongan Yangthian-poh menjadi girang dan menghaturkan terima
kasih atas perhatian majikan baru itu.
Mereka terus berjalan ke
barat, sementara itu penghubung yang dikirim An-thian-poh dan Yu-thian poh
sudah dapat mendatangkan Jik-thian-poh, Hian-thian-poh, Yu-thian-poh dan
Seng-thian poh. Hanya Ciu-lhian-poh yang berada amat jauh di ujung barat untuk
mencari Tong-lo, maka belum dapat dihubungi.
Penghuni Leng ciu-kiong memang
tiada terdapat seorang lelaki pun, sekarang Hi-tiok berada di tengah beberapa
ratus orang perempuan kerena ia sangat kikuk. Untung para wanita itu sangat
menghormat padanya, kecuali Hi-tiok tanya mereka maka tiada seorang pun berani
tanya atau mengajak bicara padanya, hal ini justru menghindarkan Hi-tiok dari
banyak kesulitan.
Hari ini mereka masih dalam
perjalanan, seonyong-konyong seorang wanita, berbaju hitam tampak melarikan
untanya secepat terbang datang kembali. Itulah pengintai Hian-thian-poh yang
disuruh merintis jalan di depan.
Perempuan itu tampak
menggoyang-goyangkan panji hitam yang mengisyaratkan di depan sana terjadi
sesuatu.
Sesudah mendekati pimpinannya,
dengan cepat pengintai Hian-thian-poh itu melaporkan apa yang terjadi.
Pimpinan Hian-thian-poh adalah
seorang nona berusia 20-an tahun, namanya Hu Gin-gi. Selesai menerima laporan,
segera ia melompat turun diri untanya dan berlari ke depan Hi-tiok, katanya,
"Lapor Cujiu, pangintai
bagian hamba dapat mengetahui
bahwa para budak pengikut kita dari ke-36 gua dan ke-27 pulau, selagi Kaucu
dalam kesukaran dan telah memberontak. Sekarang mereka sedang menyerang
Biau-biau-hong kita. Kawankawan dari Kin-thian-poh telah menjaga ketat jalan
yang menuju ke atas gunung sehingga keganasan kawanan bangsat itu dapat
dibendung, cuma saudara yang dikirim Kin-thian-poh untuk minta bala bantuan
telah terbunuh di tengah jalan!"
Tentang, para Tongcu dan Tocu
itu hendak berontak memang sudah diketahui oleh Hi-tiok, tadinya ia menduga
sesudah tidak berhasil menangkap Tong-lo, Put-peng Tojin sudah binasa pula,
sedang Oh-lotoa terluka parah dan nasibnya belum terang, bisa jadi lantaran itu
pemberontakan para Tongcu dan Tocu itu akan gagal tanpa pimpinan. Siapa duga
sesudah lewat empat bulan kawanan petualang itu masih tetap berkumpul menjadi
satu dan mulai menyerang Biau-biau-hong.
Sejak kecil Hi-tiok tinggal di
Siau-lim-si dan tidak pernah keluar, maka segala macam kehidupan manusia sama
sekali tak dipahaminya, kini menghadapi parsoalan ini., ia menjadi bingung,
katanya sesudah pikir sejenak, "Tentang Ini..ini ..."
Dalam pada itu terdengar suara
derapan kaki, kuda yang ramai, kembali dua datang penunggang kuda. Yang di
depan adalah pengintai Hian-thian-poh dia di atas kuda kedua yang mengikut di
belakangnya termuat melintang sesosok tubuh yang tertampak jelas adalah seorang
wanita berbaju kuning penuh berlepotan darah, lengan kirinya terkutung ditabas
orang.
Melihat itu dengan penuh rasa
dendam dan marah Bin-gi berkata, "Cujin, saudara itu adalah Thian-cici,
wakil pemimpin Kin-thian-poh, tampaknya jiwanya tak tertolong lagi."
Rupanya wanita she Thia yang
dikatakan itu hanya pingsan Saja maka cepat wanita lain memberi.pertolongan,
tertampak napas, penderita itu sudah sangat lemah dan susah ditolong.
Melihat keadaan luka wanita
itu, Hi-tiok teringat kepada ilmu menyembuhkan luka yang dipelajarinya dari
Cong-pian Siansing So Singho tempo hari. Cepat ia larikan untanya mendekat,
dengan jari tengah berulang ia menyelentik dari jauh, sekaligus ia menutup
hiat-to yang dekat dengan lengan putus itu untuk menghentikan darah yang masih
terus mengalir itu.
Dan untuk seletikan terakhir
ia sengaja salurkan Pak-beng cin-gi ke "Tiong-hu-hiat" di pangkal
lengan wanita she Thia itu, jurus yang digunakan adalah
"Sing-wan-cau-teh" (bintang terlepas meluncur ke depan) ajaran
Thian-san Tong-lo
Maka terdengarlah wanita itu
berteriak sekali dan siuman, bahkan terus berteriak-teriak,
"Saudara-saudara sekalian, lekas, lekas membantu ke Biau-biau-hong, kami,
.. kami tidak tahan lagi!"
Cara Hi-tiok menyelentik dari
jauh itu bukan sengaja hendak pamer kepandaiannya yang sakti itu, soalnya
penderita itu adalah seorang wanita muda, meski Hi-tiok sekarang bukan hwesio
lagi tapi ia tetap taat kepada kebiasaan agama Budha, yang mengharuskan
menghindari kaum wanita, ia merasa tidak enak untuk menyentuh badannya, makanya
menyelentik dari jauh.
Tak terduga beberapa kali.
selentikan itu ternyata sangat jitu dan sangat mempan. Maklum, tenaga dalam.
Hitiok sekarang sudah mencakup lwekang tiga tokoh Siau-yau-pai, yaitu
Bu-gai-cu, Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui. Dengan sendirinya kekuatanya sukar
diukur dan gerak serangannya maha dahsyat, biarpun sekarang Tong-lo bertiga
hidup kembali juga Iwekang dan ilmu silat mereka kalah hebat daripada Hi-tiok.
Para wanita itu cuma tunduk
kepada perintah Tong-lo, maka mau mengangkat Hi-tiok sebagai majikan baru, tapi
demi melihat usianya masih muda, tindak-tanduknya juga agak lamban dan
ketolol-tololan dalam hati sebenarnya tidak begitu segan padanya, apalagi para
wanita dari Leng-ciu-kiong itu boleh dikata setiap orang sudah pernah tertipu
oleh kaum lelaki, kalau bukan dimadu atau dibuang oleh suami, tentu karena
keluarganya dibunuh musuh.
Di bawah pengaruh watak
Tong-lo yang aneh dan menyendiri ini, mereka memandang kaum Ielaki bagai
binatang berbisa saja. Sekarang ketika melihat Hi-tiok sekali turun tangan
lantas mengeluarkan ilmu kepandaian Long-ciu-kiong yang tulen dengan daya maha
sakti, dalam kejutnya serentak semua orang serentak terus menyembah.
Sebaliknya Hi-tiok menjadi
kaget, serunya, "Lho, apa-apaan ini. Lekas bangun, lekas bangun
semua!"
Dalam pada itu sudah ada kawan
yang memberitahukan wanita she Thia tadi tentang wafatnya sang Kaucuj dan bahwa
pemuda itu adalah penolong Kaucu dan penolongnya pula serta adalah majikan baru
mereka.
Wanita she Thia itu bernama
Jing-siang, segera ia merosot turun dari kudanya dan menyembah kepada Hi-tiok
katanya, "Terima kasih atas pertolongan Cujin, harap Cujin lekas... lekas
menolongg pula para saudara di atas gunung, mereka bersama-sama telah bertahan
selama empat bulan, tapi jumlah musuh terlalu banyak, sungguh keadaan mereka
terancam sekali."
Rupanya saking terguncang
perasaannya memikirkan nasib saudara-saudararya yang masih tekepung musuh, maka
suaranya menjadi terputus-putus dan kepalanya tidak kuat mendongak lagi.
Lekas Hi-tiok berkata,
"Ada apa silakan bicara saja, tidak perlu banyak adat, He, Ciok-sah lekas
bangunkan dia. Sia-popo, menurut pendapat mu, cara.. cara bagaimana kita harus
bertindak.”
Sesudah berada bersama majikan
baru ini selama beberapa hari, meski baru hari ini menyaksikan dia mengeluarkan
kepandaiannya yang sejati tapi Sia-popo sudah mengetahui bahwa majikan baru itu
sangat jujur dan tulus, masih hijau dalam seluk-beluk orang hidup, maka ia
menjawab, "Harap Cujin maklum bahwa perjalanan dari sini ke Biau-biau-hong
masih diperlukan waktu dua hari lagi, maka paling baik silakan Cujin memerintah
kan hamba memimpin barisanku sendiri untuk segera pergi membantu lebih dulu.
Sedang Cujin boleh menyusul kemudian. Dan bila Cujin sampai di sana, pasti
kawanan perusuh itu tidak perlu dikuatirkan lagi.
Hi-tiok mengangguk setuju,
tapi lamat-lamat ia merasa ada sesuatu yang tidak sempurua, cuma ia tidak tahu
apa.
Dalam pada itu Sia popo lantas
menoleh kepada Hu Bin-gi, katanya, "Adik Hu sekali berggerak saja
kesaktian Cujin sudah cukup menggetarkan para perusuh, tapi pakaian kebesaran
beliau tampaknya tidak cukup. Kamu adalah jarum sakti kita, hendaklah lekas kau
buatkan seperangkat pakaian bagi beliau."
"Benar, memang adik
sendiri juga sedang memikirkan hal ini," sahut Bin-gi.
Hi-tiok merasa heran, ia tidak
mengerti pada saat yang genting itu mengapa mereka bicara tentang pakaian
segala. Dasar wanita, demikian pikirnya.
Sementara itu semua orang
sedang menatap Hi-tiok, mereka lagi menunggu perintah sangg majikan.
Ketika Hi-tiok menunduk, baru
sekarang ia memperhatikan jubah padri sendiri sudah koyak-koyak dan kotor,
selama empat bulan tidak salin pakaian dan tidak mandi, sungguh ia sendiri pun
merasa berbau bacin. Sekarang ia berada di tengah-tengah kamu wanita sebanyak
itu dengan pakaian yang indah dan mewah, mau tak mau ia merasa malu sendiri,
apalagi sekarang dia sudah bukan hwesio lagi, tapi masih tetap memakai jubah
padri, sungguh tidak keruan macamnya. Padahal para waiita itu sudah menjunjung
dia sebagai majikan, sudah tentu tidak berani mentertawakan pakaiannya yang
buruk dan berbau busuk itu. Adapun semua orang menatap padanya juga bukan
memandang pakaiannya melainkan menunggu perintahnya. Tapi Hi-tiok sendiri yang
merasa malu sehingga sikapnya menjadi kikuk. Dan karena sudah sekian lama
Hi-tiok berdiam saja, maka Siapopo lantas bertanya pula "Cujin, bukankah
hamba boleh segera berangkat?”
"Menolong orang adalah
maha penting, biarlah kita pergi bersama saja," kata Hi-tiok. "Cuma
pakaianku sesungguhnya terlalu dekil, biarlah sebentar aku ...aku mandi
dulu."
Habis berkata ia terus keprak
untanya dan mendahului larike depan.
Memangnya para wanita itu
sudah tidak sabar Iagi, segera mereka pun melarikan unta mereka dengan cepat,
Unta adalah binatang yang
paling kuat daya tahannya, bila lari juga tidak kalah cepatnya daripada kuda.
Sesudah mereka menempuh beberapa puluh li jauhnya, lalu mereka mencari tempat
untuk mengaso dan menyalakan api untuk menanak nasi.
"Cujin, puncak gunung
itulah letak Biau-biau-hong kita," kata Sia-popo sambil menunjuk sebuah
puncak yang menembus awan di sebelah barat-laut sana. "Puncak itu
senantiasa dikelilingi mega, dipandang dari jauh menjadi samar-samar, seperti
ada dan seperti tidak ada, katanya disebut biau-biau-hong (puncak
samarsamar)."
"O, jika demikian,
mungkin masih ada ratusan li jauhnya," ujar Hi-tiok. "Rasanya makin
cepat sampai di sana akan lebih baik, marilah kita melanjutkan perjalanan malam
ini juga."
Serentak para wanita mengiakan
dan menyatakan terima kasih atas perhatian sang Cujin atas keselamatan
kawan-kawan Kin-thiau poh yang terkurung musuh itu. Maka selesai makan, segera
mereka melanjutkan perjalanan.
Karena perjalanan cepat tanpa
berhenti itu, di tengah jalan banyak unta yang tidak tahan dan roboh binasa.
Setiba di kaki gunung sementara itu fajar sudah menyingsing.
Tiba-tiba tertampak Hu Bin-gi
menghaturkan segulung benda beraneka warna dan berkata kepada Hi-tiok dengan
hormat, "Hasil Kerjaan hamba terlalu kasar, harap Cujin suka menerimanya
dengan senang hati"
"Apakah itu?'" tanya
Hi-tiok dengan heran. Waktu dia terima benda itu dan diperiksa, eh, kiranya
sepotong baju panjang atau jubah yang terbuat dari beraneka ragam warna kain
sutra kecil-kecil yang dijahit secara rajin.
Jadi jubah itu terdiri dari
aneka warna kain sutra, di samping warna-warni yang indah itu kelihatan
mentereng pula. Rupanya kain sutra itu sengaja dipotong-potong oleh Hu Bin-gi
dari baju setiap wanita itu sehingga dapat dijadikan sebuah jubah bagi Hi-tiok.
Hi-tiok terkesiap dan
bergirang pula, pujinya. "Wah, gelar jarum sakti nona Hu memang bukan
omong kosong dalam perjalanan cepat begini engkau masih dapat membuat pakaian
sebagus ini."
Latas ia menanggalkan pakaian
padri yang sudah rombeng itu dan memakai jubah baru itu, ternyata
panjangnya dan benarnya sangat
pas, bahkan ujung lengan dan bagian kerah diberi berlapis kulit harimau tutul,
rupanya kulit itu pun bolehnya memotong dari pakaian orang perempuan yang
memakai baju kulit.
Sesudah memakai jubah baru
itu, sekarang Hi-tiok benar-benar seperti lelaki ganti bulu meski mukanya
jelek, tapi dengan memakai jubah yang indah dan mentereng itu, seketika
sikapnya menjadi agung sehingga para wanita sama bersorak memuji.
Saat itu rombongan mereka
sudah sampai di jalan yang menuju ke atas puncak gunung. Di tengah jalan Thian
Jing-siang sudah memberitahu kepada kawan-kawannya bahwa waktu dia turun
gunung, saat itu musuh sudah Menyerbu sampai di Toan-hun-khe (karang putus
nyawa), jadi di antara pos penjagaan Biau-biau-hong yang penting telah
kehilangan 13 tempat, anggota Kin-thiau-poh juga lebih separoh yang terluka
atau binasa, keadaan pertahanan di atas gunung sangatlah gawat.
Hi-tiok melihat di kaki gunung
sunyi senyap, tiada bayangan seorang pun, sama sekali tiada tanda-tanda bahwa
di balik kesunyian itu tersembunyi pembunuhan besar-besaran, ia lihat para
wanita itu sangat gopoh, sangat menguatirkan keselamatan saudara mereka dari
Kin-thian-poh.
Tiba-tiba Ciok-soh mencabut
goloknya dan berseru dengan bersemangat, "Di antara barisan sembilan Thian
dari Biau-biau-hong sudah ada delapan barisan yang turun gunung, hanya tinggal
Kin-thian-poh saja yang menjaga istana, sekurang kawanan bangsat itu
menggunakan kesempatan itu untuk meyerang, sungguh mereka terlalu pengecut,
Cujin, harap memberi perintah sekarang juga agar beramai-ramai kita dapat
menyerbu ke atas untuk melabrak musuh."
"Harap adik sabar
dulu," kata Sia-popo, "hendaklah maklum bahwa kekuatan musuh sangat
besar, berkat ke-I8 pos penjagaan yang baik dari gunung kita ini, maka
kawan-kawan Kin-thian-poh dapat bertahan sampai sekarang. Kini kita berada di
bawah dan musuh berada di atas kedudukan ini terang tidak menguntungkan kita
....
"Habis bagaimana
pendapatmu?" sela Ciok-soh. "Jauh-jauh kita sudah memburu kemari, apa
kita lantas berpeluk tangan.'"
'Sudah tentu tidak,"
sahut Sil-popo dengun tersenyum. "Cuma kita harus naik ke atas secara
diam-diam, jangan sampai diketahui musuh."
"Ya, usul Sia-popo ini
memang tepat," kata Hi-tiok.
Sekali Hi-tiok sudah berkata
demikian, dengan sendirinya tiada seorang punberani membangkang lagi. Segera
mereka terpencar dalam regu
masing-masing dan diam-diam merayap ke atas gunung.
Tatkala mendaki gunung,
kekuatan ginkang masing-masing segera kelihatan. Hi-tiok melihat Sia-popo,
Cioksoh, Hu bin-gi dan beberapa pemimpin regu dapat berlari dengan sangai cepat
dan tangkas, diam-diam Hi-tiok merasa kagum, "Di bawah panglima jempolan
tiada prajurit lemah, nyata bawahan Supek ini memang sangat hebat,"
Mereka terus mendaki ke atas,
setiap tempat yang dilalui banyak terdapat bekas-bekas bacokan senjata dan
darah berceceran, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat pertempuran yang telah
terjadi.
Sesudah lewat Toan-hun-khe,
lalu Sit-ciok-giam (karang kaki terpeleset), kemudian Pek-tiang-kan
(celah-celah seratus meter) dan sampailah di Siap-thian-kio (jembatan penyambung
langit), maka tertampak jembatan rantai besi yang menghubungkan kedua sisi
tebing jurang ternyata sudah terkutung. menjadi dua dibacok oleh senjata tajam.
Jarak kedua tebing itu kira-kira kurang dari sepuluh meter dan sukar
diseberangi,
Keruan para wanita saling
pandang dengan kuatir, pikir mereka, "Apakah para saudara Kin-thian-poh
itu sudah gugur semua?"
Sebabnya mereka berpikir
demikian adalah karena Ciap-thian-kio itu adalah suatu tempat yang menentukan,
meski namanya "jembatan'* tapi sebenarnya cuma sebuah rantai besi yang
menghubungkan kedua sisi tebing yang curam, di bawahnya adalah jurang yang tak
terkira dalamnya.
Orang-orang Leng-ciu-kiong
sama berkepandaian tinggi dan dapat melintasi jembatan rantai itu dengan mudah.
Ketika Thia Jing-siang turun gunung mencari bantuan, tatkala itu musuh baru
menyerang sampai di Toan-hunkhe dan masih jauh dari Ciap-thian-kio, namun
orang-orang Kin-thian-poh sudah siap sedia dan menjaga jembatan rantai itu,
bila musuh menyerang sampai di situ, jembatan rantai akan segera dibuka sehingg
hubungan terputus, jurang selebar itu dengan sendirinya sukar untuk dicapai
dengan ginkang yang paling tinggi sekalipun.
Sekarang tertampak, rantai
itu. putus ditabas oleh senjata tajam, terang itu adalah perbuatan musuh. Rupanya,
musuh mendadak menyerbu ke sini sehingga kawan-kawan- Kin-thian-poh tidak.
sempat membuka gembok rantai dan mengundurkan diri dalam keadaan kacau.
Melihat itu, segera Ciok-soh
putar golok sambil berteriak, "Sia-popo, lekas mencari suatu akal untuk
menyeberang ke sana!"
"Ya, untuk menyeberang ks
sana memang tidak, gampang,” ujar Sia-popo.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari balik gunung sana terdengar suara jeritan ngeri dua kali, terang itu suara
kaum wanita. Seketika darah Ciok-soh dan kawan-kawannya serasa mendidih, mereka
tahu kawan-kawan Kin-thianpoh telah jatuh menjadi korban musuh, sungguh mereka
ingin tumbuh sayap agar bisa terbang ke seberang tebing untuk melabrak musuh.
Tapi biarpun mereka gusar dan kelabakan tetap mereka tidak berdaya menyeberang
jurang yang lebar itu.
Tiba-tiba Hi-tiok ingat ketika
Thian-san Tong-lo bertanding dengan Li Jiu-sui, nenek yang tersebut belakangan
itu pernah mengajarkan sejurus "Sin-liu-jun-yain" (pohon Liu baru dan
burung seriti musim semi) padanya. Ketika ia mainkan jurus itu, daya serangnya
memang sangat dahsyat sehingga Tong-lo juga merasa sukar untuk menangkisnya.
Sekarang ia coba mengapalkan
kembali jurus serangan itu. lalu memandang keadaan jarak antara kedua tebing,
ia menaksir dapat mencapainya maka segera katanya, "Ciok-soh, tolong
pinjam senjatamu sebentar."
Cepat Ciok-soh mengiakan dan
menyodorkan goloknya.
Sesudah terima golok itu.
Segera Hi-tiok mengerahkan Pak-beng-cin-gi pada batang golok dan sekali tabas
dengan pelahan.. "sret"', tahu-tahu ssbagian rantai putus yang
tergantung di dinding tebing itu dapat dikutungi.
Liu-yap-to atau golok daun
Liu, yaitu Karang bentuknya yang sempit lancip, sebenarnya sangat tipis,
walaupun tajam juga, tapi juga bukan mustika. segala. Namun sekali, tersalur
tenaga murni Hi-tiok, seketika dapat dipakai menabas ini seperti memotong kayu
saja.
Bagian rantai yang putus dan
tergantung didinding tebing ini ada tiga-empat meter panjangnya. Sesudah
memegang rantai itu, lalu Hi-tiok mengembalikan golok kepadaCiok-soh. Dengan
membawa rantai besi itu ia lompat ke seberang jurang sana.
Perbuatan Hi-tiok itu sama
sekali di luar dugaan para wanita, keruan semuanya menjerit kaget. Bahkan
Siapopo, Hu Bin-gi dan lain-lain sama memanggilnya supaya jangan berbuat nekat.
Namun di tengah seruan orang
banyak itu tubuh Hi-tiok sudah terapung di tengah selat yang dipisahkan dua
tebing dengan ginkang yang dipelajari dari Tong-lo, seperti burung saja Hi-tiok
melayang ke depan.
Mendadak tenaga murninya tak
tahan lama dan badannya terus menurun ke bawah. cepat Hi-tiok mengayun
rantainya dan sekali belit,
tahu-tahu rantai bagian lain yang menggelantung di tebing seberang itu kena
dililit dan ditarik dengan tenaga tarikan itu dapatlah badan. Hi-tiok menarik
ke atas lagi untuk kemudian tancapkan kakinya di seberang. Lalu Ia menoleh'dan
berkata, "Kalian boleh istirahat dulu di sini, biar kupergi menyelidiki
dulu."
Melihat kepandaian Hi-tiok
yang maha hebat itu Sia-popo dan lain-lain sama merasa kagum. Berulang mereka
mengiakan dan minta majikan baru itu hati-hati.
Segera Hi-tiok lari ke arah
datangnya suara jeritan tadi. Sesudah lewat di suatu jalan pegunungan yang
sempit tertampaklah di tanah menggeletak dua sosok mayat wanita yang kepalang
sudah terpisah dengan badannya, darah masih terus merembes keluar dari leher
yang putus itu. Hi-tiok merangkap tangan dan berdoa bagi arwah kedua korban
itu. Habis itu cepat ia mendekati ke atas dengan berlari.
Makin lama makin tinggi
jalanan itu sehingga awan yang mengeliling di sekitarnya juga tambah tebal.
Tidak lama kemudian sampailah dia di puncak tertinggi dari Biau-biau-hong itu,
Di tengah kabut dan mega yang tebal itu adalah pohon Siong belaka, keadaan pun
sunyi senyap. Diam-diam Hi-tiok menjadi ragu, apa barangkali orang-orang
Kin-thian-poh telah terbunuh semua?
Sesudah memasuki hutan pohon
Siong, segera tertampak di situ terdapat sebuah jalan buatan dari batu hijau
yang panjang dan rajin. Di puncak gunung terdapat jalan batu sebaik ini,
sungguh boleh dikatakan suatu "proyek" raksasa dan tampaknya bukan
hasil karya para wanita bawahan Tong-lo itu.
Jalan batu itu panjangnya
kira-kira dua li, pada penghabisan jalan itu tertampak sebuah tembok benteng
yang juga terbuat dari batu. Di kanan-kiri gerbang benteng itu masing-masing
terdapat seekor burung Ciu (rajawali) ukiran batu yang tingginya lebih dari dua
meter sehingga sangat menakutkan. Pintu gerbang itu tampak setengah terbuka
tapi tiada terdapat seorangpun,
Dengan perlakan, Hi-tiok masuk
ke dalam benteng karang itu, sesudah menyusur dua pekarangan tiba-tiba
terdengar suara seorang berkata dengan bengis, "Di mana nenek bangsat itu
menyembunyikan pusakanya, lekas kalianmengaku.'"
Segera suara seorang wanita
balas mendamprat, "Anjing buduk, tidak perlu kau tanya! Pendek kata kami
pun tidak ingin hidup Iagi, hendaklah kalian jangan mimpi muluk-muluk ingin
mendapatkan pusaka."
Menyusu! lantas terdengar pula
suara seorang lelaki berkata, "In-heng, hendaknya bicara secara baik-baik
saja, kenapa mesti main kekerasan? Caramu menghadapi seorang wanita ini kan
tidak pantas?"
Hi-tiok kenal suara orang
terakhir itu adalah suara Toan-kongcu dari Tayli. Tempo hari ketika Oh-lotoa
dan begundalnya hendak membunuh Tong-lo juga Toan-kongcu itu telah
merintanginya. Diam-diam Hi-tiok merata kagum kepada Toan Ki yang meski tidak
mahir ilmu silat, tapi mempunyai keberanian dan Jiwa ksatria yang harus di
puji.
Lalu terdengar orang she In
tadi berkata, "Hm, apa susahnya jika kalian ingin mampus? Tapi tiada
urusan semudah ini di dunia ini. Pek-in-tong kami ada 17 macam hukuman siksa
badan, sebentar aku harus mencobanya setiap macam pada badan kalian. Kabarnya
Hek-ciok-tong (gua batu hitam) dan Hok-so-to (pulau penakluk ikan-hiu) juga
banyak cara hukum siksa yang aneh, sebentar boleh juga dikeluarkan supaya para
saudara tambah pengalaman."'
Serentak terdengar sorakan
orang banyak yang menyatakan setuju. Bahkan ada yang bilang "Bagus,
beramairamai kita boleh berlomba, coba hukum siksa dari gua atau pulau mana
yang paling baik dan membawa hasil."
Dari suara orang banyak itu
dapat di taksir orang-orang yaiig berada di dalam pendopo sana tentu ada
beberapa ratus orag banyaknya, ditambah lagi kumandang suara yang membalik,
keruan suasana menjadi gaduh memekak telinga.
Hi-tiok bermaksud mencari sesuatu
lubang atau celah-celah pintu untuk mengintip, tapi ruang itu adalah bangunan
dari batu-batu besar sehingga tiada celah-celah sedikit pun, tiba-tiba ia
mendapat akal tangannya menggosok-gosok di tanah beberapa kali, lalu mukaa
sendiri diusap sehingga menjadi kotor, Kemudian ia melangkah masuk ke dalam
ruang besar itu.
Ternyata di ataa meja dan
kursi di tengah ruangan itu sudah penuh diduduki orang, bahkan sebagian besar
tidak kebagian tempat duduk sehingga terpaksa duduk di lantai, ada yang
berjalan mondar-mandir sambil bersendagurau secara bebas seperti tiada
pimpinan.
Di lantai tengah ruangan itu
pun duduk 20-an wanita berbaju kuning, rupanya hiat-to mereka tertutuk sehingga
tak bisa berkutik. Sebagian besar di antaranya badan berlepotan darah, terang
luka mereka tidak ringan dan dapat dipastikan mereka adalah anggota
Kin-Thian-poh.
Dalam keadaan gaduh Hi-tiok
masuk ke dalam situ, ada juga beberapa orang melihatnya, tapi demi melihat
Hitiok bukan wanita, mereka yakin dia pasti bukan orang Leng Ciu-kiong, boleh
jadi adalah anak murid salah seorang Tongcu atau Tocu yang hadir di situ, maka
mereka tidak memperhatikan Hi-tiok lebih jauh.
Karena tiada tempat luang
lagi, Hi-tiok duduk di ambang pintu sambil memandang keadaan dalam ruangan itu.
Ia lihat Oh-lotoa duduk di suatu kursi di sebelah kiri sana, air mukanya pucat
kurus, tapi sikapnya yang garang dan tangkas itu masih tertampak dari sinar
matanya yang bengis. Sedangkan di samping para wanita berbaju kuning itu
berdiri seorang lelaki kekar dengan membawa cambuk! dan sedang membentak dan
memaki agar para wanita itu mengaku di mana Thian-san Tong-lo menyimpan benda
pusakannya. Namun para wanita itu tetap tidak mau rnengaku biarpun diancam.
Maka terdengar Oh-lotoa
membuka suara, "Kalian budak-budak yang tidak tahu adat ini barangkali
ingin mampus juga ini, biar kukatakan pada kalian bahwa tong-lo sudah lama
dibunuh oleh Sumoainya yang bernama Li Jiu-sui, Kejadian itu kusaksikan
sendiri, masakah aku sengaja mendustai kalian? Maka lebih baik kalian lekas menyerah
saja, kami pasti takkan membikin susah kalian!"
"Kamu tidak perlu ngaco
belo," demikian teriak seorang wanita baju kuning setengah umur,
"Betapa hebat kesaktian Kaucu kami, beliau sudah mencapai tingkatan tak
terkalahkan, masakah ada orang yang mampu mencelakai beliau. Kalian ingin rebut
rahasia pemunah 'Sing-sihu' untuk ini hendaklah kalian jangan mimpi. Janganlah
Kaucu kami pasti dalam keadaan selamat dan sebentar lagi pasti akan pulang
untuk memberi hajaran setimpal pada kalian, andaikan beliau benar telah wafat,
maka Sing-si-hu yang mengeram dalam tubuh kalian juga pasti akan bekerja dalam
waktu setahun dan Kalian akhirnya akan mati konyol dengan merintih-rintih
tersiksa."
Mendadak Oh-lotoa berkata pula
dengan mendengus, "Hm, kalian tidak percaya?. Baik akan kuperlihatkan
sesuatu pada kalian!"
Habis berkata ia terus
keluarkan sebuah buntelan kecil dari gendongannya dan dibuka ternyata isinya
adalah sebuah kaki manutia.
Hi-tiok dan para wanita
Leng-ciu-kiong mengenali celana dan kaos pada kaki itu, terang kaki itu adalah
anggota badan Tong-lo, tanpa terasa para wanita itu sama menjerit kaget.
Maka Oh-lotoa berkata pula,
"Nah, Li Jiu-sui telah memotong badan Tong-lo menjadi beberapa bagian dan
dilemparkan ke jurang kebetulan aku dapat menemukan sebagian jika tidak
percaya, boleh juga kalian memeriksanya lebih teliti kaki ini."
Para anggota Kin-thian-poh
sudah tentu mengenali betul kaki Thian-san Tong-lo itu, mereka menduga apa yang
dikatakan Oh-lotoa tentu tidak bohong, maka menangislah mereka dengan sedih.
Sebaliknya para Tongcu dan
Tocu menjadi senang, mereka bersorak gembira dan berteriak-teriak, "Hore,
nenek bangsat sudah mampus! Bagus sungguh bagus!"
"Ya, sejak kini kita
dapat hidup aman sentosa!"
Dan ada di antaranya yang
menegur Oh-lotoa, "He, Oh-lotoa, ada berita sebagus ini, mengapa kau
simpan saja selama ini dan tidak memberitahukan pada kami?"
Tapi ada juga yang berkata,
"jika nenek keparat itu sudah mampus, lalu bagaimana Sing- si-hu yang
mengeram dalam tubuh kita, ai, apakah di dunia ini ada orang lagi yang mampu
memunahkannya
Pada saat itulah mendadak di
antara orang banyak itu terdengar suara "Huuh..Hauuuh!" seperti suara
serigala menyalak dan mirip suara anjing gila, suaranya sangat menyeramkan.
Mendengar suara itu, seketika
semua orang ketakutan dan diam sehingga dalam ruangan itu tiada suara lain
kecuali suara yang mirip serigala. Maka tertampaklah seorang laki laki gemuk
bergelindingan di lantai sambil kedua tangan mencakar-cakar muka sendiri dan
merobek baju sehingga kelihatan simbar dadanya yang hitam ketel. Malahan orang
itu terus mencacar-cakar dada sendiri sekuat-kuatnya seperti isi dadanya hendak
dikorek keluar.
Hanya sekejap saja kedua
tangan laki-laki gemuk itu sudah berlumuran darah, begitu pula muka dan dada
juga penuh darah, bahkan cara mencakarnya makin lama makin ganas -dan suaranya
yang menyeramkan juga makin mengerikan sehingga para penonton sama menyurut
mundur ke pinggir dengan takut.
"Wah, Sing-si-hu telah
mulai menagih nyawa!' demikian terdengar beberapa orang saling berbisik.
Hi-tiok sendiri juga pernah
terkena Sing-si-hu, tapi segera ia diajari oleh Tong-lo cara memunahkannya
sehingga tidak pernah mengalami siksaan apa-apa. Sekarang ia menyaksikan
keadaan si gemuk yang mengerikan itu, barulah ia tahu bukannya tidak berdasar
jika para Tongcu dan Tocu itu tadinya sangat takut kepada Tong-lo.
Rupanya semua orang kuatir
kalau racun Sing-si-hu menjalar ke badan mereka, maka tiada seorang pun berani
maju menolong. Hanya dalam sekejap saja si gemuk sudah merobek hancur
pakaiannya sendiri dan sekujur badannya juga penuh luka cakaran yang berjalur-jalur.
Sekonyong-konyong di antara
orang banyak melompat keluar seorang sambil berteriak, "Koko, koko!
Tenanglah sedikit, biar kututuk, hiat-tomu dul, Kemudian dapat kita. mencari
jalan lain untuk menyembuhkan dirimu!"
Tapi aki-laki itu sudah
seperti orang gila, sama sekali tidak gubris ucapan orang lain.
Pembicaraan tadi mukanya agak
memper si gemuk hanya usianya lebih muda dan badannya sedikit kurus, nampaknya
mereka adalah saudara sekandung. Maka dengan pelahan orang itu mendekati si
gemuk dengan rasa jeri sekonyong-konyong ia menutuk "Koh-cing-hiat"
di bahu si gemuk. Tapi si gemuk sempat mengegos sehingga tutukan itu luput,
bahkan si gemuk terus membalik tubuh dan tahu-tahu si kurus kena di rangkulnya
sekali si gemuk pentang mulut terus saja muka si kurus digigitnya.
Keruan orang itu
beteriak-teriak, "He, Koko koko! Jangan, akulah! Jangan gigit!
Lepaskan!"
Namun si gemuk seperti sudah
kehilangan pikiran sehatnya, ia masih terus menggigit sekenanya mirip seekor
anjing gila. Saudaranya berusaha melepaskan, diri dengan sekuat-kuatnya, tapi
sukar melepaskan diri sehingga dalam sekejap saja mukanya dedel-dowel kena
digigit dan darah bercucuran, saking kesakitan sampai dia menjerit ngeri.
Di sebelah sana Toan Ki lantas
tanya kapada Giok-yan, "Nona Ong, cara bagaimana kita harus menolong
mereka?"
Tapi Ong Giok-yan berkerut
kening dan berkata, "Orang itu sudah gila, tenaganya sungat kuat, pula
tidak main silat menurut teori sehingga aku pun tidak berdaya."
Toan Ki menoleh kepada Buyung
Hok, katanya, "Buyung heng, kepandaianmu menggunakan caranya untuk
digunakan atas dirinya yang termashur itu apakah sekarang dapat dimanfaatkan
?"
Namun Buyung Hok tampak kurang
senang atas pertanyaan Toan Ki itu dan belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba
Pau Put-tong mendahului berseru, "Apa kau suruh Kongcu kami meniru caranya
seperti anjing gila itu dan menggigitnya?"
"O, ya, akulah yang salah
omong, harap Pau-heng jangan marah," sahut Toan Ki dan minta maaf.
Terpaksa ia sendiri mendekati si gemuk dan berkata padanya, "Saudara yang
terhormat, yang kau rangkul ini adalah adikmu hendaknya lekas kau lepaskan
dia?"
Tapi rangkulan si gerauk
tambah kencang dan mulut saudaranya pun mulai mengeluarkan suara
"hauh-hauh" yang mengerikan.
Segera laki-laki she In tadi
mencengkeram seorang Wanita baju kuning dan berkata, "Semua orang yang
berada di sini sebagian besar terkena Sing-si-hu nenek bangsat itu, sekarang
semua orang telah berkumpul di sini dan bila penyakit mereka kumat, serentak
kaupun akan digigit mereka hingga hancur luluh. Nah, apa kamu tidak
takut?"
Wanita itu memandang sekejap
pada si gemuk yang masih mengamuk itu dengan air muka ketakutan. maka laki-laki
she In itu berkata, pula, "Toh sekarang Tong lolo sudah mati, asal kau
katakan di mana dia menyimpan benda pusakanya agar semua orang dapat
disembuhkan, maka kami pasti takkan bikin susah kalian bahkan merasa terima
kasih malah."
"Bukan aku tidak mau
mengaku, sesungguhnya tiada seorang pun di antara kami yang tahu”, sahut wanita
itu. "Biasanya setiap tindakan Kaucu tidak mungkin diperlihatkan kepada
kami kaum budak ini."
Melihat wanita itu sangat
ketakutan agaknya tidak berani berdusta. Dengan sendirinya semua orang jadi tak
berdaya. Begitu pula dengan Buyung Hok dan kawannya.
Sebabnya mereka ikut Oh-lotoa
dan begundalnya menyerbu Biau-biau-hong ialah dengan harapan sebagai balas jasa
kelak Oh-lotoa dan kawan-kawannya itu dapat diperalat bagi pergerakannya dalam
menegakkan kerajaan Yan, Tapi sekaran melihat Sing-si-hu yang lihai itu telah
tertanam, dalam badan para Tongcu dan Toou serta sukar untuk disembuhkan, jika
Sing-si-hu bekerja, tentu Oh-lotoa dan kawan-kawannya akan binasa semua dan
cita-cita Buyung Hok pun akan sia-sia belaka.
Karena itu ia juga cuma
geleng-geleng kepala dan saling pardang dengan Ting Pek-jwa , Kongya Kian dan
lain-lain dengan tak berdaya.
Dalam keadaan putus asa,
laki-laki she ln tadi merasakan Sing-si-hu yang mengeram di tubuhnya juga
lamatlamat mulai bekerja, hiat-to yang bersangkutan terasa linu pegal. Keruan
ia menjadi kuatir dan gusar pula segera ia membentak, "Apa kamu tetap
tidak mau mengaku? Biar kumampuskan kau dulu!"
Habis berkata,
"tar!", mendadak ia angkat cambuknya terus menyabet kepala wanita
itu.
Sabetan itu sedemikian
kerasnya, bila kena bukan mustahil kepala wanita itu bisa pecah. Pada saat
itulah tibatiba terdengar suara mendesir perahan sekali semacam am-gi atau
senjata rahasia menyambar dari pintu menuju ke dinding ruangan sekali behda itu
membentur dinding dan terpental kembali, tahu-tahu pinggang wanita yang hendak
di cambuk tadi tepat kena tertimpuk sehingga badannya ikut terpental ke arah
pintu sejauh satu-dua meter. Menyusul terdengarlah suara "plok" yang
keras, cambuk si lelaki she In tadi mengenai, lantai batu sehingga batu krikil
muncrat, bertebaran.
Kejadian itu hanya berlangsung
dalam sekejap saja sehingga tiada seorang pun yang tahu am-gi tadi disambitkan
oleh siapa. Hanya di lantai lantas kelihatan ada sebuah bola kecil warna coklat
sedang berputarputar, ternyata satu biji cemara.
Keruan semua orang terkejut,
hanya dengari satu biji cemara sekecil itu dapat bikin seorang terpental dengan
tenaga benturan membalik dari dinding, maka dapat dibayangkan betapa hebat
lwekang dan caranya menimpuk am-gi itu, siapakah gerangannya?
Seketika Oh-lotoa teringat
pada seorang, tanpa terasa ia berteriak, "He, Tong-lo! Itulah Thian-san
Tong-lo"
Tempo hari di tempat
sembunyinya Oh-lotoa telah menyaksikan sebelah kaki Tong-lo ditabas kutung olah
Li Jiu-sui, kemudian dilihatnya pula Tong-lo digendong lari oleh Hi-tiok dan
terjeblos ke bawah jurang, dengan sendirinya Oh-lotoa yakin kedua orang itu
pasti sudah mati terbanting hancur. Maka ia berani membungkus kaki kutung
Tong-lo itu dengan kain minyak dan disimpan baik-baik sebagai "jimat"..
Namun sekarang demi melihat
cara menimpuk biji cemara untuk menolong wanita baju kuning yang maha lihai
itu, seketika ia menjadi ragu dan menyangsikan kematian Thian-san Tong-lo,
orang pertama-tama yang teringat olehnya justru adalah nenek itu.
Hal ini disebabkan Oh-lotoa
sendiri pernah merasakan betapa lihainya biji cemara seperti sekarang ini
ketika dia tertimpuk perutnya oleh Hi-tiok yang mendapat ajaran dari Tong-lo.
Maka ia benar-benar sudah kapok bila melihat biji cemara serupa itu.
Dalam pada itu demi mendengar
Oh-lotoa berteriak "Tong-lo," serentak semua oraug memutar tubuh ke
arah pintu dan berbareng menyiapkan senjata sehingga terdengar suara
gemerantang yang riuh rarnai banyak yang menyurut mundur karena jeri.
Hanya Buyung Hok saja yang
malah mendekati pintu, ia ingin tahu macam apakah Thian-san Tong-lo yang
ditakuti, itu? Padahal dia sebenarnya sudah pernah melihatnya, yaitu pada waktu
Tong-lo digendong Hi-tiok dan dibuat lempar kian kemari sebagai bola oleh dia
senidiri bersama Ting Jun jiu, Cumoti dan Toan Ki. Cuma sama sekali tak terduga
olehnya bahwa si nenek yang tersohor itu ternyata berbentuk seorang nona cilik.
Di sebelah sana Toan Ki juga
lantas mengadang di depan Ong Giok-yan karena kuatir nota itu diserang orang
lain. Sebaliknya Giok-yan terus berseru, "Piauko, harap hati-hati!"
Tapi meski sudah sekian
lamanya semua orang menatap ke luar pintu, tetap tiada sesuatu suara atau
gerak-gerik apa-apa.
Yang pertarna-tama tidak sabar
lagi adalah Pau put tong, ia terus berteriak, "Tong-lolo, jika engkau
marah kepada tamu-tamu yang tak diundang ini, bolehlah kau masuk kemari untuk
bertempur!"
Namun keadaan tetap sunyi
senyap.
"Baiklah mari, biar aku
dulu yang belajar kenal dengan kepandaian Tong-lo." seru Hong Po-ok,
"Biarpun tahu bukan tandinganmu, tetapi aku ingin bertempur denganmu.
Memang inilah watak orang she Hong yang tak bisa berubah sampai mati,"
Habis berkata terus saja ia
putar goloknya diri menerjang keluar pintu.
Meski kepandaian Hong Po-ok
belum mencapai tingkatan nomor wahid, tapi dia gemar berkelahi dan sangat
tangkas. Sebagai saudara angkatnya, Ting Pek-jwan, Kongya Kian dan Pau Put-tonj
cukup tahu dia bukan tandingan Tong-lo, maka beramai-ramai mereka pun menyusul
keluar.
Para Tongcu dan Tocu itu ada
yang kagum pada kegagahberanian keempat orang itu, ada yang mentertawai mereka
tidak tahu diri dan belum kenal betapa lihainya Thian-san Tong-lo, kalau
sebentar tubuh dihajar nenek itu barulah tahu rasa.
Dalam pada itu terdengar Hong
po-ok dan Pau Put tong sedang berteriak-teriak menantang Tong-lo di luar sana,
namun tetap tidak terdengar jawaban.
Kiranya biji cemara yang
menolong wanita baju kuning tadi adalah timpukkan Hi-tiok. Diam-diam ia merasa
geli melihat Pau Put-tong dan semua orang sama was-was dan penuh curiga. Namun
Hi-tiok adalah seorang baik hati, ia tidak ingin orang lain kelabakan terus,
segera ia berkata "Harap para hadirin jangan kaget dan sangsi, Tong-lo
memang betul-betul sudah meninggal dunia."
Dan ketika dilihatnya si gemuk
tadi masih terus menggigiti saudaranya, diam-diam Hi-tiok merasa kasihan, ia
tidak paham mengapa di antara, hadirin itu tiada seorang pun dapat menolongnya.
Mestinya ia sendiri tidak suka pamer, tapi untuk menyelamatlan jiwa kedua orang
itu terpaksa ia harus bertindak. Maka segera ia mendekati kedua orang itu, ia
tepuk sekali punggung si gemuk.
Tepukan yang digunakan Hi-tiok
itu adalah "Liok yang-jiu" ajaran Tong-lo yang merupakan obat mujarab
untuk memunahkan Sing-si-hu, seketika suatu arus hawa hangat menembus hiat-to
si gemuk sehingga racun Sing-si-hu yang bekerja di badannya itu dihancurkan.
Mendadak si gemuk melepaskan
rangkulannya kepada si kurus dia jatuh terduduk dengan napas terengahengah dan
semangat lesu. Ketika melihat saudaranya babah belur mukanya, segera ia tanya,
"He, kenapa kau terluka sedemikian rupa? Siapakah yang menyerangmu, lekas
katakan, biar kubalaskan sakit hatimu!"
Melihat pikiran sehat kakaknya
sudah pulih, si kurus menjadi girang, tanpa menghiraukan lukanya sendiri, terus
saja ia menarik bangun kakaknya dan berkala, "Koko, engkau sudah sembuh
sekarang, sudah sembuh!"
Kemudian. Hi-tiok menepuk
sekali juga di pundak si wanita baju kuning dan berkala, "Kalian adalah
anggota Kin-thian-poh bukan? Saudara-saudara kalian dari Yang-thian-poh, Cu
thian-poh dan Lain-lain sudah berada di seberang Ciap-hian-kio, cuma jembatan
rantai sudah putus. Semenntara ini mereka tak dapat menyeberang kesini. Jika di
sini tersedia rantai atau tambang, ayolah lekas kita pergi memapak mereka.”
Habis berkata, ia tepuk wanita
yang lain, sekali tepuk seketika hiat-to para wanita itu lancar kembali tanpa
alangan sedikitpun. Keruan para wanita itu sangat berterima kasih,
beramai-ramai merek berbangkit dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan
tuan, tolong tanya siapakah nama tuan yang mulia?"
Ada beberapa orang wanita
sudah yang tak aabaran lagi segera lari keluar sambil berteriak "Lekas,
lekas kita papak datangnya, saudara kita untuk kemudian melabrak kembali
kawanan bangsat ini!"
Sedangkan Hi-tiok lantas
membalas hormat dan menjawab, "Ah, kalian tidak perlusungkan-sungkan,
sebenarnya yang menolong kalian bukalah aku melainkan oranglain yang pinjam
tanganku saja."
Ia maksudkan bahwa
kepandaiannya itu ia peroleh dari Tong-lo bertiga, jadi sebenarnya Tong-lo
sendiri yang menolong wanita-wanita itu.
Melihat cara Hi-tiok menolong
para wanita baju kuning itu hanya setiap orang ditepuk sekali saja dan hiat-to
masing-masing lantas terbuka, cara demikian bukan saja tidak pernah disaksikan
Oh-lotoa dan begundalnya Itu. bahkan mendengarpun tidak pernah, Sekarang
melihat muka Hi-tiok juga tiada sesuatu yang istimewa, usianya masih muda pula,
mereka menduga Hi-tiok pasti tidak mempunyai Iwekang yang luar biasa, apalagi
dia mengaku orang lain yang menolong kawan wanita itu dengan meminjam
tangannya, makaOh-lotoa dan kawan-kawannya semakin percaya kalau Tong-lo berada
di Leng-ciu-kiong situ.
Oh-lotoa pernah kumpul bersama
Hi-tiok walau hanya beberapa hari di atas puncak.gunung salju sekarang meski
rambut Hi-tiok sudah tumbuh panjang, dandanannya juga sudah, berubah tapi
sekali buka suara segara dapat, dikenali Oh-lotoa.
Cepat Oh-lotoa melompat maju
dan pegang urat nadi tangan kanan Hi-tiok sambil membentak "Hwesio cilik,
apa ... apa Tong-lo sudah berada disini ?”
"Oh-siansing, apa luka di
perutmu sudah sembuh!" sahut Hi-tiok . "Se... sekarang aku bukan
murid Budha lagi, sungguh memalukan kalau diceritakan."
Habis berkata sebenarnya
mukanya sudah merasa jengah, cuma sekarang mukanya kotor penuh debu, maka orang
lain tidak tahu.
Sekali pegang urat nadi tangan
Hi-tiok terus Oh-lotoa mengerahkan tenaga dalam dengan penuh agar Hi-tiok
merasa kesakitan dan minta ampun. Siapa duga, biarpun ia pencet
sekeras-kerasnya tetap Hi-tiok seperti tidak merasa apa-apa, dan tenaga dalam
yang dikerahkanOh-lotoa
tiba-tiba lenyap tanpa bebas
seperti air mengalir kelaut. Keruan Oh-lotoa menjadi takut dan tidak berani
mengerahkan tanaga lagi, tapi tetap tidak mau melepaskan pegangannya.
Melihat Oh-lotoa dapat
membekuk Hi-tiok dan tampaknya bocah itu tidak dapat berkutik lagi, andaikan
bocah itu punya kepandaian tinggi tentu takkan sedemikian gampang dipegang oleh
Oh-lotoa, maka semua orang lantas ikut-ikut membentak dan katanya, "Hai,,
anak setan, siap kamu? Dari mana kau? Siapa namamu? Siapa gururmu? Siapa yang
suruh kau kemari? Di mana Tong-lolo? Dia sudah mampus atau masih hidup!”
Begitulah pertanyaan bengis
serentak diajukan kepada Hi-tiok, tapi dengan sikap merendah Hi-tiok menjawab,
"Cayhe ber... bergelar. Hi-tiok cu. Tong-lolo memang betul sudah meninggal
dunia, jenazah beliau juga sudah dibawa pulang sekarang berada di seberang
Ciap-hian-kio. Tentang perguruanku, ai, sungguh memalukan kalau kukatakan, maka
lebih baik jangan dibicaraka. Adapun kedatanganku ini adalah untuk mengubur
layon Tonglolo, jika kalian tidak percaya, sebentar lagi tentu kalian dapat
menyaksikan jenazah beliau. Kalian kan bekas bawahan beliau, kuharap kalian
jangan dendam kepada kejadian yang telah lampau, hendaknya kalian memberi
penghormatan terakhir kepada beliau dan segala permusuhan sekaligus dihapus
saja, dengan demikiann bukankah segala sesuatu menjadi selesai?"
Ia menjawab dengan tidak
teratur sebentar merasa malu dan lain saat bilang menyesal, ucapannya yang
terakhir itu pun seperti orang memohon dengan sangat.
Keruan para petualang itu
merasa Hi-tiok sengaja ngaco-belo, boleh jadi pikirannya agak miring. Maka rasa
jeri mereka kepada Hi-tiok mulai lenyap, sebaliknya timbul kembali kecongkakan
mereka, segera banyak di antaranya memaki-maki, "Anak keparat, kamu ini
kutu apa, kau berani suruh kami menjura kepada layon nenek bangsat itu? Setan
alas, kami tanya padamu cara bagaimana mampusnya nenek bangsat itu? Apakah dia
binasa di tangan Sumoainya? Dan kaki ini benar kakinya atau bukan?"
"Ai, kenapa kalian
memakinya dengan kotor, beliau kan sudah meninggal dunia, segala dendam kesumat
juga tidak perlu dipikirkan lagi,” sahut Hi-tiok dengan ramah. "Apa yang
dikatakan Oh-siansing memang tak salah, beliau benar-benar meningga! di tangan
sang Sumoai dan kaki ini memang juga bagian tubuh beliau. Ai, orang hidup
laksana mimpi belaka, meski ilmu silat beliau maha tinggi, akhirnya juga
meninggal dengan begitu saja. Omitohud, Budha maha kasih somoga arwah Tong-lo
dapat diterima di surga”
Melihat Hi-tiok mengoceh
panjang lebar, namun para petualang itu masih ragu atas kernatian Tong-lo,
segera ada yang tanya lagi, "Waktu mati Tong-lo nya apa kamu berada di
tempatnya?”
"Ya," sahut Hi-tiok,
"beberapa bulan paling akhir ini aku selalu melayani beliau."
Para petualang itu saling pandang
sekejap, dalam hati masing-trjasing seketika timbul suatu pikiran yang sama,
"Rahasia memunahkan Sing si-hu bisa jadi berada pada bocah ini,"
Mendadak sesosok bayangan
melayang ke depan tahu tahu urat nadi tangan kiri Hi-tiok terpegang, menyusul
Oh-totoa yang memegangi pergelangan tangan kanan Hi-tiok merasa kuduknya dingin
di tempel sesuatu senjata tajam, lalu seorang berkata dengan suara melengking,
Oh-lotoa, lepaskan dia!"
Ketika sekilat melihat orang
yang memegang tangan kiri Hi-tiok itu, segera Oh-looa menduga kawannya pasti
akan maju berbareng, dan baru saja ia hendak siap menjaga diri, namun sudah,
terlambat sedetik, kuduknya sudah terancam dulu oleh senjata lawan, terpaksa ia
tidak berani sembarangan bergerak.
"Lekas lepaskan! Apa kau
minta lehermu terpenggal!?" bentak orang dibelakang Oh-lotoa itu.
Terpaksa Oh-lotoa menurut
sambil melompat ke depan, lalu ia membalik tubuh dan berkata, "Cu-gai
Siangkoai, tidak nanti aku melupakan kebaikan kalian ini"
Orang yang mengancam Oh-lotoa
dengan pedang itu adalah seorang laki-laki kurus tinggi, sahutnya dsngan
menyeringai, "Oh-lotoa, permainan apa pun yang akan ka keluarkan, setiap
saat kami Cu-gai Siang-gi siap melayani,'*
Kiranya kedua orang itu adalah
saudara sekandung, orang kangouw menyebut mereka "Cu-gai Siang-koai"
atau dua siluman dari Cu-gai. sebaliknya mereka sendiri mengaku sebagai Cu-gai
Siang-gi atau dua saudara pendekar dari Cu-gai.
Orang yang mencengkeram tangan
kiri Hi-tiok itu adalah Toa-koai, siluman pertama, dan Ji-koai atau siluman
kedua lantas menggeledah baju Hi-tiok
Diam-diam Hi-tiok membatin,
"Boleh kalian geledah sesukamu, toh aku tiada membawa sesuatu barang yang
perlu dirahasiakan."
Maka satu per satu Ji koai
merogoh keluar barang-barang yang berada dalam baju Hi-tiok, yang pertama
dikeluarkan adalah lukisan pemberian Bu-gai-cu, Ketika lukisan di dijereng oleh
Ji-koai, serentak pandangan semua orang terpusat ke arah lukisan.
Seperti diketahui lukisan itu
pernah diinjak-injak Tong-lo, kemudian kena air dan, sudah agak luntur, namun
wanita dalam lukisan itu masih tetap sangat indah dan hidup memang suatu
lukisan yang sangat bagus, Maka begitu semua orang melihat lukisan itu,
serentak mereka berpaling dan memandang ke arah Ong Giok-yan. Sebagian berseru
"hah!" ada yarg bersuara "O!' ada pula yang berkata
"Cisl" dan ada juga yang menjengek '"Huh!"
Yang berseru "Hai"
menandakan lukisan itu di luar dugaan mereka, yang bersuara "O' menyatakan
bahwa kiranya demikian, sedang yang bersuara "Cis" menyatakan rasa
gusar mereka, sebaliknya yang bersuara "Huh" mengunjuk rasa
mencemooh.
Toan Ki, Buyung Hok dan Ong
Giok-yan juga berbareng bersuara, "Ah!" Adapun arti suara
"Ah" itu masingmasingg juga tidak sama pula.
Tadinya para petualang itu
mengira lukisan itu tentu menggambarkan pemandangan yarg mungkin dapat memberi
petunjuk di mana dapat diketemukan obat atau rahasia pemunah Sing-si hu siapa
tahu adalah sebuah potret Ong Giok-yan, keruan mereka sangat kecewa.
Maka Ji-koai lantas membuang
lukisan itu ke lantai, lalu menggeledah Hi-tiok pula. Namun yang diketemukan
hanya secarik tanda anggota Siau-lim-si waktu Hi-tiok dicukur menjadi hwesio
lalu beberapa tahil perak dan beberapa potong penganan kering, sepasang kaus
kaki, nyata semuanya itit tiada sangkut-pautnya dengan Singsi-hu,
Dalam pada itu Giolt-yan
menjadi heran dan malu pula melihat Hi-tiok menyimpan gambarnya Pikirnya,
"Apa barangkali sejak orang ini melihat aku ketika memecahkan problem
catur, lalu seperti halnya dengan Toan Ki lantas menyukai aku? Kalau tidak
mengapa dia menggambar diriku dan tersimpan dalam sakunya?"
Sebaliknya Toan Ki juga sedang
berpikir "Dasar nona Ong memang secantik bidadari, jika Siau suhu ini juga
kesengsem padanya, hal ini pun. tidak mengherankan. Cuma, ai, kepandaianku
melukis tidak sepandai Siau suhu itu, kalau aku juga dapat melukisnya sehelai
kenang-kenangan bila kelak berpiasah, paling sedikit boleh juga dibuat, pelipur
hatiku nan rindu dendam."
Ketika Cu-gai Ji koai
menggeledah Hi-tiok karena kuatir kedua Tocu iru mencaplok sendiri obat mujarab
atau benda mestika yang di ketemukan di baju Hi-tiok, maka semua orang senantiasa
mengawasi setiap barang yang
dikeluarkan oleh Ji-koat.
Siapa duga hasilnya nihil, keruan Toa-koai menjadi gusar, terus saja ia memaki,
"Keparat, ketika tua bangka itu akan mampus apa yang dia katakan
padamu?"
"Apakah kau ingin tau apa
yang dikatakan Tong-lo ketika akan wafat?" Hi-tiok menegas. "Ya,
waktu itu beliau berseru,, 'Hahaha. bukan dia! Hahaha! Bukan dia! Hahahabal'
Habis itu beliau lantas mengembuskan napas yang penghabisan."
Para petualang menjadi
bingung, mereka tidak mengerti apa artinya ucapan Tong-lo dan gelak tertawanya
itu, meski mereka coba merenung dan berusaha memecahkan arti yang terkandung di
balik kata-kata Tong-lo itu, namun tetap sukar dimengerti. Seketika para
petualang yang merasa tak sabar itu mencaci maki lagi.
"Keparat! Persetan dengan
bukan dia apa segala! Selain itu tua bangka itu omong apa lagi?" bentak
Toa-koai dengan gusar.
"Tuan yang terhormat,
bila engkau menyebut Tong-lolo, hendaknya mengindahkan sedikit pada beliau dan
janganlah sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor,” ujar Hi-tiok.
Padahal biasanya Toa-koai
membunuh orang juga tidak pernah berkedip apalagi cuma memaki orang. Sekarang
Hi-tiok berani mencela dia, keruan ia menjadi murka, sekali tangan terangkat,
segara ia hantam kepala Hi-tiok sambil memaki, "Maling busuk, aku justru
ingin memaki tua bangka nenek bangsat itu, habis kau mau apa?'
Tapi baru saja tangannya
hampir mengenai sasarannya, sekonyong-konyong sinar dingin berkelebat, sebatang
pedang secepat kilat terjulur tiba dan melintang di atas kepala Hi-tiok dengan
mata pedang menghadap ke atas, dalam keadaan demikian bila tabokan Toa-koai itu
diteruskan, maka sebelum mengenai kepala Hi-tiok tentu tangannya akan terkutung
dahulu oleh pedang yang sudah terpasang di situ.
Keruau Toa-koai sangat
terkejut dan cepat menarik kembali tangannya, Saking gugupnya sehingga
pegangannya kepada Hi-tiok juga terpaksa dilepaskan. Waktu ia periksa
tangannya, ternyata terdapat tanda garis luka dan mengeluarkan darah Keruan ia
terkesiap dan gusar pula untung ia cukup sigap kalau tidak tentu tangannya
sudah kutung. Dengan melotot ia pandang orang yang bersenjata pedang Itu
ternyata orang Itu berpakaian hijau, usianya 50-an berjenggot panjang, mukanya
cakap.
Toa-koai kenal orang ini bukan
termasuk salah seorang Tongcu atau Tocu, tapi orang yang disebut
"Kiam-sin" oleh Put-peng Tojin itu. Dari kecepatan dan jitunya orang
itu mainkan pedangnya, nyata kepandaiannya sudah mencapai tingkatan yang susah
diukur. Maka biarpun watak Toa koai biasanya sangat berangasan juga tidak
berani sembarangan ainn kayu dengan tokoh sakti ini, segera ia menegur,
"Tanpa sebab tuan melukaiku, apa maksudmu sebenarnya?"
Orang tua itu tersenyum dan
menjawab, "Kita ingin memperoleh pengakuan orang ini untuk mencari tahu cara
bagaimana memunahkan Sing-si-hu, tapi saudara mendadak mengamuk dan hendak
membunuh dia. Jika sebentar para hadirin tersiksa oleh Sing-si-hu. cara
bagaimana akan kau cari tanggung jawab?"
Toa-koai tak bisa menjawab,
dengan gelagapan ia berkata, "Ini ... ini .... "
Tadi taktik orang tua itu
memaksa Toa-koai lepas tangan, berbareng seperti sengaja dan seperti tidak
sengaja ia tumbuk bahu Ji-koai pula sehingga Ji-koai terhuyung-huyung mundur
beberapa tindak dan hampir roboh, untung dia masih dapat terdiri dengan tegak,
dalam kejutnya ia tidak turut memaki orang tua itu.
Maka orang tua itu berkata
kepada Hi-tiok, "Saudara cilik, sebelum Tong-lo mati, selain mengucapkan
'bukan dia' beberapa kali sambil bergelak tertawa, lalu apalagi yang
dikatakan?”
Mendadak wajah Hi-tiok menjadi
merah dan sikapnya kikuk serta pelahan menunduk. Kiranya dia menjadi teringat
kepada ucapan Tong-lo waktu itu, "Coba bawa lukisan itu kemari, biar aku
menghancurkannya. Nanti aku akan memberi petunjuk ajar kamu bisa menemukan dewi
impianmu itu,"
Tapi sesudah melihat lukisan
itu, Tong-lo lantas berteriak dan tertawa, kemudian menghembuskan napas
penghabisan dan tidak tempat memenuhi janjinya. Maka Hi-tiok yakin dengan
matinya Tong-lo, di dunia ini rasanya tiada seorang pun yang tahu siapa dewi
impiannya itu dan untuk seterusnya tentu tak dapat bertemu lagi dengan dia.
Berpikir demikian, tanpa terasa Hi-tiok menjadi lesu dan muram durja.
Melihat sikap Hi-tiok yang
aneh itu, si orang tua mengira pemuda Itu menyimpan sesuatu rahasia penting.
Maka dengan ramah ia berkata pula, "Saudara cilik, apa yang telah
dikatakan Tong-lo kepadamu? Cobalah katakan dengan jujur, aku orang she Tok
pasti takkan membikin susah padamu, bahkan akan membalas kebaikanmu."
Namun muka Hi-tiok semakin
merah jengah, ia geleng-geleng kepala dan berkata, "Hal ini tak dapat
dikatakan" ,
"Mengapa tidak?."
desak si orang tua she Tok.
"Kalau dibicarakan ...
Ai, pendek kata, hal ini tak dapat kukatakan, biarpun kau bunuh aku juga tak
dapat kukatakan," sahut Hi-tiok.
"Betul-betul tak rnau
bicara? desak pula si orang tua.
"Ya, tidak," sahut,
Hi-tiok tegas,
Orang tua itu pandang
lekat-lekat sejenak kepada Hi-tiok, melihat sikaap pemuda itu demikian
teguhnya, "sret", sekonyong konyong ia ayun pedangnya sinar pedang berkelebat,
menyusul terdengar suara "crattt..crat" beberapa kali tahu-tahu
sebuah meja besar di samping terbelah menjadi sembilan potong dengan ukuran
yang sama besarnya. Betapa cepat dan jitunya sungguh susah dibayangkan.
Melihat itu, sketika terdengar
sorak gemuruh yang memuji kemahiran ilmu pedang orang tua itu. Banyak juga di
antara para Tongcu dan Tocu itu yang mahir ilmu pedang, tapi biar bagaimana
mereka, merasa bukan apaapa lagi kalau dibandingkan kepada si orang tua she
Tok.
Di sebelah lain terdengar Ong
Giok-yan sedang berkata dengan perlahan "Ciu-kong-kiam ini adalah
kepandaian khas ' It-ji-hui-kiam-bun" dari Kiangyang di Hokkian. Tuan tua
ini she Tok, berjuluk Kiam-sin pula maka besar kemungkinan dia adalah Tok Put-hoan
Locianpwe, Ciangbunjin It-Ji-hui-kiam-bun”
Meski ucapannya itu sangat
lirik, tapi sesudah bersorak tadi, serentak pandangan semua orang terpusat pula
kepada si orang tua sehingga suasana menjadi sunyi kembali, maka ucapan
Giok-yan itu dengan jelas dapat didengar oleh mereka.
Segera terdengar si orang tua
bergelak tawa dan berkata, "Tajam benar pandangan nona ini, sekali lihat
saja dapat menyebut golongan dua ilmu pedangku, bahkan, dapat menerka namaku,
sungguh sangat pintar,"
Sebaliknya semua orang merasa
tidak kenal nama "Ii-ji-hui-kiam bun.", 'Ilmu pedang selihai itu
seharusnya dikenal di dunia kangouw, mengapa selama ini tidak pernah terdengar
namanya.
Dalam pada itu si orang tua
yang memang bernama Tok-Put-hoan itu berkata pula sambil menghela napas,
"Ciangbunjin seperti diriku hanya Ciangbun kosong belaka, sebab
orang-orang It-ji-hui-kiam-bun tiga keturunan sebanyak 62 jiwa sudah dibunuh
habis-habisan oleh Thian-san Tong-lo pada 33 tahun yang lalu.".
Semua orang terkesiap
mendengar pengakuan itu, pikir mereka, "Kiranya kedatangannya Itu
Lang-ciu-kiong ini adalah-untuk membalas sakit hati perguruannya."
Kemudian tampak Tok Put-hoan
angkat pedangnya dan berkata kepada Hi-tiok„ "Saudara cilik, apa kau suka
bila aku mengajarkan beberapa
jurus ilmu pedangku ini padamu?"
Sungguh kagum dan kaget sekali
para, petualang lain demi mendengar tawaran Toh Put-hoan itu. Mereka tahu ilmu
pedang "Khiam-sin", si dewa pedang, sudah mencapai tingkatan yang
susah diukur, sekarang dengan suka hati mau mangajarkan kepandaiannya kepada
Hi-tiok tanpa diminta sungguh hal ini jarang terjadi. Mereka menduga maksud
tujuan Tok Put-hoan tentu ingin mengetaui apa pesan sebelum meninggal Tong-lo
kepada Hitiok tentang rahasia Sing-si-hu.
Belum lagi Hi-tiok menjawab,
sekonyong-konyong seorang dengan nada- mengejek menimbrung "Toksianslng,
apa kau sendiri juga terkena Sing-si-hu?"
Tok Put-hoan melihat pembicara
itu adalah seorang Tojin setengah umur, segera ia balas tanya, 'Kenapa Totiang
bertanya demikian padaku?”
"Habis, kalau
Tok-siansing tidak terkena Sing-si-hu, buat apa dengan segala daya upaya hendak
mencari tahu cara memunahkan racun. Sing-si-hu?” sahut Tojiu itu. "Dan
bila maksud tujuari Tok-siansing hendak rnenggunakannya untuk menekan kami.
maka kami para Tocu dan Tongcu betapapun tidak rela setelah lolos dari mulut
harimau mesti jatuh lagi ke mulut serigala. Biarpun ilmu pedang Tok-siansing
maha hebat juga kami terpaksa akan menghadapi dengan segala akibatnya."
Ucapan Tojin itu cekak-aos,
tapi dengan jitu telah membongkar maksud jahat Tok Put-hoan. Keruan serentak
para petualang lain juga membuka. suara, "Benar, apa yang dikatakan
Cut-tim Totiang dari Sing-pit-to memang cocok dengan pikiranku!"
"Hei. bocah itu, kalau
Tong-lo benar-benar meninggalkan pesan padamu, hendaknyalekas kau umumkan.
secara terbuka saja, kalau tidak, sekaligus kami mengkrubut maju, dalam sekejap
badanmu pasti akan dicencang hancur luluh"
Namun Tok Put-hoan lantas
putar pedangnya ke atas sehingga mengeluarkau suara mendenging katanya,
"Jangan takut, saudara cilik! Berada di sampingku boleh coba lihat siapa
yang berani menganggu seujung rambutmu. Tentang pesan Tong-lolo cukup kau
beritahukan padaku saja, bila didengar orang ketiga, terpaksa ilmu pedangku tak
dapat kuajarkan padamu,"
"Tidak," sahut
Hi-tiok dengan mengeleng kepala. "Pesan Tong-lolo itu hanya menyangkut
diriku sendiri, biarpun kalian mengetahui juga tiada gunanya. Jadi biar,
bagaimanapun tidak mungkin kukatakan. Tentang ilmu pedangmu meski teramat bagus
juga aku tidak mau belajar."
Mendengar jawaban tegas itu
merentak para petualang bersorak memuji, "Bagus bagus Anak gagah, cukup
berani. Memangnya apa gunanya belajar ilmu pedangnya? Dari kata-kata si nona
tadi sudah kentara kepandaiannya tiada sesuatu yang luar biasa."
"Ya, jika nona itu dapat
mengenali asal-usul ilmu pedangnya, dengan sendirinya juga mempunyai kepandaian
untuk memecahkan ilmu pedangnya," kata seorang lagi. "Maka, saudara
cilik, jika engkau ingin mengangkat guru seharusnya kau belajar saja pada nona
cilik itu,"
Memangnya Tok Put-hoan lagi
mendongkol karena Giok-yan dapat membongkar asal-usul perguruannya, sekarang
mendengar macam-macam sindiran dan olok-olok itu, tentu saja ia tambah gemas.
Ia coba melirik Giok-yan, dilihatnya dengan mesra nona itu sedang memandang
Buyung Hok dengan termangu-mangu tanpa menghiraukan ucapan orang lain.
Sepantasnya jika ada orang
mengatakan dia dapat mematahkan ilmu pedangnya Tok Put-hoan maka seharusnya dia
lekas menyangkal kalau tidak itu berarti diam-diam ia mengakui akan kebenaran
hal itu. Padahal saat itu yang sedang dipikirkan Giok-yan adalah "Kenapa
Piauko tampak kurang gembira, apakah dia marah padaku? Kesalahan apakah yang
kulakukan ? Ah, jangan-jangan karen... karena 'Siansuhu itu telah melukis
gambarku dan disimpan dalam bajunya, maka piauko menjadi marah?"
Sebaliknya demi melihat
Giok-yan diam-diam saja, tidak menyangkal juga tidak mengiakan, keruan Tok
Puthoan menjadi murka. Sekilas dilihatnya lukisan yang tertaruh di atas meja
sebelahnya tiba-tiba timbul pikirannya, "Bocah ini telah melukis gambar
nona itu dan disimpan dengan baik-baik, dengan sendirinya karena dia sangat
mencintai nona itu," Agar dia mau mengaku tentang pesan Tong-lo rasanya
aku harus memperalat nona yang disukainya itu. Ya, ya, harus demikian!"
Maka segera ia berkata pula,
"Saudara cilik aku mengetahui isi hatimu seluruhnya! hehe, yang laki-laki
gagah, yang perempuan cantik, memang suatu pasangan yang sangat setimpal, tapi
tanpa orang perantara, rasanya cita-citamu juga sukar terkabul. Baik begini
saja, segalanya serahkan saja padaku, nona ini akan kujodohkan padamu sebagai
istri, sekarang juga upacara dapat dilangsungkan dan malam ini juga kalian
boleh menggunakan Leng-ciu-kiong ini sebagai kamarpenganten baru. Bagaimana,
mau?"
Sambil bertanya, jarinja pun
menunjuk ke arah Giok-yan.
Keruan muka Hi-tiok berubah
merah, cepat sahutnya, "Tidak, tidak!Siansing jangan salah paham" .
"Ah, buat apa
pura-pura?" ujar Tok Put-hoan. "Manusia kalau sudah dewasa harus
menikah, setiap orang suka memperistrikan nona manis, siapa di dunia ini yang
tidak suka wanita cantik-cantik. Kenapa mesti malu?"
Apa yang menjadi idam-idaman
hati Hi-tiok adalah "dewi impian" yang tak bisa dilupakan itu,
sekarang mendadaK. rnendengar ucapan Tok Put-hoan itu, seketika ia menjadi
rikuh dan berkata dengan gugup, "Aku ... aku,... . "
"Sudahlah, tidak perlu
'aku.. aku' segala, ha-ha beres, dah" demikian kata Tok Put-hoan dan
pedangnya segera bergerak ke kanan dan ke kiri, dalam jurus
"Thian-ju-kiong-lo" (langit seluas daun kelor) serta
"Pek-lo-bonghong" (kabut kobat ke mana pergi), dua jurus ilmu pedang
mengepung kanan-kiri Ong Giok yan, dengan begini ia menduga si nona pasti akan
terkejut dan melangkah maju untuk menghindari dengan demikian secara mudah ia
dapat menyeret Giok-yan ke depannya.
Kiranya sejak tua-muda dan
laki perempuan seluruh, anggota It-ji hui-kiam-bun dibunuh bersih olehTong-lo,
hanya tertinggal Tok Put hoan yang berhasil melarikan diri ke Tiang-pek-san di
timur laut yang dingin itu. Dengan giat ia melatih ilmu pedangnya dan secara
kebetulan, ia dapat menentukan sejilid kitab ilmu pedang tinggalan orang kosen
"Bu-liang-kiam," dengan tekun ia melatih selama 30 tahun, akhirnya
ilmu pedang sakti itu dapat diyakinkan dengan baik, ia percaya jarang ada
tandingannya lagi didunia ini, maka ia lantas berangkat ke selatan untuk
menuntut balas.
Di tengah jalan, sekaligus ia
telah membunuh beberapa tokoh persilatan terkenal sehingga namanya termasyur.
Karena itu ia ..menjadi tambah congkak dan. merasa "dunia ini aku
punya" dan segala apa yang dia katakan cepat akan diturut arang lain. Sekarang
ia bermaksud menawan Giok-yan dulu, dengan demikian ia dapat menggunakan nona
itu sebagai sandera untuk rnenukar rahasia Sing-si-hu kepada Hi-tiok.
Giok-yan sendiri msski
pengetahuannya sangat luas, tapi ilmu silatnya sebenarnya biasa saja. Demi
melihat Tok Put-hoan menyerang, segera ia tahu jurus serangan apa itu dan
bagainiara cara memunahkannya. Tapi biar pikirannya bekerja untuk mempratekkan
justru tidak bisa. Dalam pada itu sinar pedang sudah mengurung tiba ia menjadi
gugup dan menjerit.
Buyung Hok yarig berdiri di
sebelah Giok-yan dapat melihat serangan Tok-Pu-hoan itu tidak bermaksud
mencelakai Giok-yan, pikirnya, "Biarlah aku diam saja, ingin kulihat orang
she Tok ini hendak main gila apaapa. Dan apakah Siauhwesio ini akan membeberkan
rahasianya demi Piaumoai?"
Sebaliknya Toan Ki menjadi
kuatir demi melihat Giok-yan diserang Tok Put-hoan, tanpa pikir lagi segera ia
keluarkan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh" dan menerjang maju, langsung
ia mengadang di depan Giok-yan. Ternyata gerakan pedang Tok Put-hoan masih
kalah cepat daripada langkah Toan Ki yang hebat itu.
Namun demikian, entah sengaja
atau kuatir tidak keburu menarik kembali senjatanya, "crit" di mana
sinar pedang menyambar tahu-tahu dada, Toan ki tergores mulai dari leher sampai
ke perut sepanjang belasan senti, seketika bajunya bedah dan kulitnya terluka.
Rupanya Tok Put-hoan juga tiada maksud hendak membunuh orang, maka goresan itu,
hanya satu-dua mili dalamnya, meski panjang lukanya, tapi tidak parah.
Namun Toan Ki sudah ketakutan
hingga terkesima. Waktu menunduk dan rnelihat dada sendiri tetruka sedemikian
panjangnya dan darah merembes keluar, la sangka perutnya sudah terbedah dan
segera akan binasa, maka ia terus berteriak, "Nona Ong, le ... leskas
engkau menyingkir pergi, biar aku merintangi dia lagi!"
"Huh, kau sendiri setiap
saat bisa mampus, tapi justru ingin membela orang lain," jengek Tok
Put-hoan. Lalu ia menoleh kepada Hi-tiok dan berkata, "Saudara cilik,
rupanya banyak juga yang penujui nona ini, biarlah kulenyapkan dulu seorang saingan
asmara bagimu!"
Sembari berkata ujung pedang
terus menuding di depan dada Toan Ki asal dia mendorong perlahan, seketika ulu
hati pangeran Tayli itu bisa tertembus.
"Karuan Hi-tiok kaget,
serunya, "Jangan! Sekali-kali jangan!”
Dan karena kuatir Tok Put-hoan
benar-benar membunuh Toan Ki, cepat ia gunakan jari kiri untuk menjelentik
pelahan "Thai-yan-hiat" tangan Tok Put-haon.
Seketika Tok Put-hoan merasa
lengannya linu tak bertenaga sehingga cekalannya menjadi kendur, kesempatan itu
segera digunakan Hi-tiok untuk merampas pedangnva. Tampaknya enak saja Hi-tiok
merampas pedang lawan, tapi sebenarnya dia telah menggunakan
"Siau-bu-siang-kang" yang maha hebat dari Thian-san-ciatbwe-jiu
ajaran Tong-lo, biarpun kepandaian Tok Put-hoan lebih tinggi tiga kali lipat
juga tak mampu melawan.
Lalu Hi-tiok berkata,
"Tok-siansing, Toan-kongcu ini adalah orang baik, tidak boleh kau ganggu
dia."
Habis berkata, ia kembalikan
pedang itu kepada Tok Put-hoan dan kemudian memeriksa luka Toan Ki.
Toan Ki sendiri berkata pula
dengan putus asa, "O, nona Ong. aku .. aku akan mati, semoga engkau hidup
bahagia dengan Buyung-heng sampai hari tua. O, ayah, O, ibu, aku ... aku”
Padahal ia hanya terluka-lecet
saja, cuma ia sangka dada dan perutnya sendiri sudah dibedah orang dan pasti
akan mati, dalam keadaan lemah segera ia roboh ke belakang.
Ong Giok-yan memburu maju
untuk memayangnya, katanya dengan menangis, "O, Toan-kongcu, engkau ...
engkau telah berkorban bagiku”
Kepandaian Hi-tiok dalam hal
menyembuhkan luka segala adalah ajaran Liong-ah Lojin So Sing-ho, meski tidak
cekatan seperti Sih-sin-ih, tapi iapun paham di mana letak tempat yang penting
dari setiap luka yang bersangkutan, maka dengan cepat ia tutuk beberapa hiat-to
di atas luka Toan Ki, kemudian barulah ia periksa jalur luka yang panjang itu,
ia merasa lega dan berkata dengan tertawa, "Toan-kongcu, lukamu ini sangat
ringan, dua tiga hari saja pasti sembuh,"
Badan Toan Ki dipegang oleh
Giok-yan, gadis itu kelihatan menangis pula baginya, kerena sukma Toan Ki
seakan-akan terbang ke awang-awang, girangnya seperti orang ketomplok rejeki,
katanya, "No..... nona Ong, apa ... apa engkau menangis bagiku?"
Giok-yan mengangguk dam air
matanya kembali bercucuran pula.
"O, aku Toan ki bisa
hidup seperti sekarang ini, biarpun dia membacok seratus kali lagi padaku pun
aku rela mati seratus kali bagimu," ujar Toan Ki.
Begitulah mereka bicara
sendiri sehingga apa yang dikatakan Hi-tiok tadi sama sekali tidak
diperhatikan. Sebabnya Giok-yan menangis adalah karena terharu dan berterima
kasih. Sebaliknya, demi melihat nona yang dicintainya itu menangis baginya,
dengan sendirinya Toan Ki tidak pedulikan lagi akan mati atau hidupnya sendiri.
Kejadian Hi-tiok merampas dan
mengembalikan pedang hanya dilakukan dalam sekejap saja, selain Buyung Hok
dapat mengikuti dengan jelas dan Tok Put-hoan sendiri pun paham, bagi orang
lain tetap menyangka Tok Put-hoan yang tidak tega dan sengaja mengampuni jiwa
Toan Ki,
Padahal rasa gusar Tok
Put-hoan sangat sukar dilukiskan. Terpikir olehnya, "Ilmu pedangku ini
adalah hasil penemuanku secara kebetulan dari kitab pusaka yang kuperoleh dan
telah kulatih selama 30 tahun, mengapa di dunia ini masih ada yang mampu
menandingiku? Ah, bisa jadi secara kebetulan saja Thian-yaa-hiat di tanganku
terbentur olehnya, ya, segala sesuatu di dunia isi memang sering terjadi secara
kebetulan. Jika ia betul-betul mempunyai kepandaian, mengapa sesudah merampas
pegangku lantas dikembalikan lagi padaku? Apalagi usia bocah ini masih muda
belia, betapa kekuatannya sehingga dia mampu merampaa pedang dari tanganku”
Berpikir demikian, segera
timbul lagi semangatnya, segera bentaknya, "Bocah keparat, berani kau ikut
banyak cingcong!'”
Sekali bergerak, ujung
pedangnya lantas menempel di punggung Hi-tiok. Sedikit ia dorong pedangnya ke
depan dengan maksud melukai Hi-tiok sebagaimana dia melukai Toan Ki dengan
demikian ia menduga pemuda itu pasti juga akan ketakutan.
Siapa tahu sekarang dalam
badan Hi-tiok sudah penuh Pak-beng-cin-gi, sekali ujung pedang Put-hoan
membangkitkan reaksi Cin-gi atau hawa murni, mendadak ujung pedang itu meleset
kesamping tubuh Hi-tiok.
Karuan Tok Put-hoan terkejut,
tapi perubahan-nyaa juga, sangat cepat, segera ia ganti serangan menabas dari
samping ke iga Hi-tiok dalam jurus "Giok-tai-wi-yau" (ikat pinggang,
kemala melilit pinggang), sekali ini serangannya cukup ganas dan tidak kenal
ampun lagi. Kini ia tahu ilmu silat Hi-tiok sebenarnya sangat tinggi, maka
tidak berani semberono lagi.
Sebaliknya Hi-tiok bersuara
heran, sambil sedikit mengegos ia tidak paham mengapa mendadak Tok Put-hoan
menyerangnya lagi, padahal barusan masih membujuknya dengan ramah tamah. Maka
terdengar "bret" sekali ujung pedang menyambit lewat di bawah
ketiaknya sehingga jubahnya yang baru itu terobek.
Karena serangan kedua luput
lagi, dalam kagetnya timbul juga rasa takut Tok Put-boan. Tapi ia masih belum
kapok, sedikit tubuhnya berputar, secepat kilat pedangnya menusuk pula, sekali
ini mendadak ujung pedang memancarkan cahaya hijau dan yang di arah adalah dada
Hi-tiok.
Serentak terdengar para
petualang menjerit kaget dan kagum, terhadap cahaya pedang yang tajam itu.
Begitu pula Hi-tiok terkesiap demi nampak cahaya pedang yang aneh itu,
dilihatnya pula wajah Tok Put-hoan menyeringai bengis, ia kuatir dirinya tidak
mampu menangkis, maka cepat kakinya menggeser pergi dengan langkah
"Leng-po-Wi-poh".
Sekarang Tok Put-hoan ini
dilancarkan dengan sepenuh tenaga dan sukar dihentikan, maka terdengar
"craak" sekali ujung pedang menancap dipilar batu di belakang Hi-tiok
tadi sedalam bebeberapa senti.
Pilar batu itu adalah batu
pualam yang keras, tapi toh dapat ditembus oleh ujung pedang yang lemas, maka
dapat dibayangkan betapa hebat tenaga dalam yang dikerahkan oleh Put-hoan itu.
Tanpa terasa para petualang sama bersorak memuji.
Dua kali menyerang tidak kena,
segera Tok Put-hoan mencabut kembali pedangnya dan memburu ke arah Hitiok
sambil membentak, "Saudara cilik, kamu akan lari ke mana?"
Hi-tiok menjadi takut, cepat
kakinya menggelar lagi dalam langkah ajaib itu.
Pada saat itulah mendadak di
sebelah kiri ada orangg menyindir, "Hwesio cilik, lebih baik
rebahan!"
Pembicara itu adalah seorang
wanita, di mana sinar berkelebat, dua batang pisau terbang menyambar lewat di
depan Hi-tiok.
Biar Leng-po wi-poh yang
dilatih Hi-tiok itu tidak semahir Toan Ki, tapi langkah ajaib itu benar-benar
sangat hebat, dimana tubuhnya berputar; betapapun cepat menyambar pisau terbang
musuh juga dapat dihindarkan Hitiok dengan gampang.
Maka tertampaklah seorang
wanita cantik setengah umur berbaju jambon sedang angkat kedua tangannya dan
tahu-tahu kedua batang pisau terbang tadi kembali terpegang olehnya, kedua
tangannya seperti mempunyai daya sedot yang sangat sehingga sehingga kedua
pisau itu dapat ditarik kembali.
Seketika Tok Put-hoan memuji,
"Kepandaian menimpuk hui-to (pisau terbang) Hu-yong Siancu memang maha
sakti, sungguh telah menambah pengalaman kita!"
Hi-tiok jadi ingat bahwa
Kiam-sin Tok Put-hoan dan Hu-yong Siancu ini adalah sekomplotan dengan Put-peng
Tojin. Sekarang Tojin itu telah binasa tertimpuk biji cemara di puncak salju
maka tidak heran bila kedua orang ini hendak membalas dendam bagi kawannya itu.
Karena merasa menyesal, segera
Hi-tiok berhenti di tempatnya dan memberi hormat kepada Kiarn-sin serta Hu-yong
Siancu, katanya dengan merendah, "Caihe memang telah berbuat salah,
sungguh aku sangat menyesal Jika kalian hendak memukul atau memaki diriku, biar
bagaimanapun akan kuterima dengan baik."
Nama asli Hu-yong Siancu
adalah Cui Lik-hoa, la saling pandang sekejap dengan Tok Put-hoan dan samasamaa
menganggap Hi-tiok merasa takut kepada mereka. Taapa ayal lagi mereka terus
melompat maju dan masing-masing memegang sebelah tangan Hi-tiok.
Hi-tiok benar-benar sangat
menyesal bila teringat pada kematian Put-peng Tojin yang mengerikan itu, maka
tiada hentinya mulutnya meminta ampun, "Ya, ya, Caihe memang salah,
silakan kalian memberi hukuman setimpal, dengan rela akan kuterima, biarpun,
aku harus mengganti juwa juga tidak berani melawan."
"Jika kamu ingin diampuni
juga tidak sukar asal kamu mengaku terus terang apa pesan tinggalan Tong-lo
waktu akan mati," kata Put-hoan "Nah, lekas katakan padaku dan segera
kuampuni jiwamu."
"Siaumoai boleh ikut
mendengarkan tidak, Tok-siansing?" dengan tersenyum Hu-yong Siancu
bertanya.
"AsaI kita dapat,
menemukan cara memunahkan Sing-si-hu, maka para kawan yang hadir di sini akan
mendapatkan berkahnya semua, bukan aku sendiri saja yang akan mendapat
kebaikannya?" ujar Put-hoan. Ia tidak menjawab boleh atau tidak Cui
Lik-hoa ikut rnendengarkan, tapi di balik arti kata-katanya itu terang ia
sendiri ingin mengangkangi hasilnya.
Maka dengan tersenyum Cui
Lik-hoa alias Hu-yong Siancu berkata, "Namun aku tidak sebajik dirimu, aku
justru tidak suka kepada bocah macam begini."
Habis berkata, sekaki tangan
Hi-tiok yang di pegangnya itu diangkat, berbareng tangan lain yang memegang
kedua bilah hui-to tadi terus menikam dada Hi-tiok.
Kiranya tujuan Tok Put-hoan
adalah ingin mendapatkan rahasia pemunah Sing-si-hu, dengan ini ia dapat
mempengaruhi para petualang di bawah perintahnya.
Sebaliknya Cui Lik-hoa
mempunyai tujuan berbeda. Soalnya dia mempunyai saudara yang bernama Cui Serig
telah dibunuh oleh tiga orang Tongcu dari ke 36 gua itu, maka ia bertekad
hendak menuntut balas, ia inginkan rahasia Sing si-hu itu akan hilang untuk
selamanya sehingga tiada seorang pun yang dapat memunahkan racun dalam tubuh
para Tongcu itu, dengan demikian ketiga Tongcu musuhnya itu tentu akan mati
konyol. Sebab itulah mendadak ia menyerang Hi-tiok, orang satu-satunya yang
mungkin mengetahui rahasia Sing-si-hu tinggalan Thian-san Tong-lo.
Saat itu pedang Tok Put-hoan
sudah dikembalikan ke dalam sarungnya, untuk menangkis terang tidak keburu
lagi. Dalam kagetnya dengan Sendirinya dan tanpa pikir Hi-tiok terus mengadakan
perlawanan. Sekali kedua tangannya diangkat dan dikipaskan, kontan Tok Put-hoan
dan Cui Lik-hoa tergetar mundur beberapa tindak sehingga tikamannya meleset.
Cui Lik-hoa lantas membentak
dan kedua pisau terbang ditimpukkan ke arah Hi-tiok. Sekali ini Tok Put-hoan
sudah sempat melolos pedang dan menangkis ke atas. Namun Cui Lik-hoa sudah
menduga akan kemungkinan itu, maka menyusul belasan pisau terbang lain
menyambar pula secara berantai. Bahkan tiga batang di antaranya, sengaja
ditujukan ke arah Toh Put-hoan agar dia terhambat, dengan demikian pisau lain
dapat menghambur ke muka, leher, dada, perut dan bagian mematikan di tubuh
Hi-tiok.
Di sinilah Hi-tioK
memperlihatkan ketangkasannya, ia menancap ke sana dan menyambar ke sini, ia
keluarkan 'Thian-san-ciat-kwe-jiu' yang sakti, sambil menangkap seraya membuang
sehingga terdengar suara gemerincing nyaring, dalam sekejap saja tiga belas
batang senjata telah terlempar di samping kakinya, 12 batang adalah pisau
terbang Hu-yoig Siancu dan sebatang lagi adalah pedang Tok Put-hoan.
Rupanya sekali Hi-tiok sudah
"main", ia tidak perhatikan lagi siapa lawannya, sehingga pedang Tok
Put-hoan
juga turut dirampas.
Sesudah merampas. 13 batang
senjata, ketika melihat wajah Tok Put-hoan pucat pasi, begitu pula Cui Lik-hoa
tampak sangat jeri, diam-diam Hi-tiok mengeluh, "Wah, celaka, kembali aku
membuat orang marah lagi."
Maka cepat ia berkata,
"Harap kalian jangan marah atas perbuatanku barusan inil"
Kemudian ia cakup ke13 batang
senjata itu dan dihaturkan ke depan Tok Put-hoan dan Cui Lik-hoa.
Dasar jiwa Cui Lik-hoa memang
sempit, ia sangka Hi-tiok sengaja hendak mengejeknya, tanpa bicara lagi kedua
telapak tangannya terus memukulke dada Hi-tok, "Plak', dengan tepat
sasarannya kena dihantam, tapi mendadak suatu kekuatan maha dahsyat menyeang
balik, Cui Lik-hoa berteriak kaget, kontan tubuhnya mencelat ke belakang,
"Bang" dengan tepat menumbuk dinding batu dan menyemburkan darah,
Nyata ia terpental sendiri
oleh karena tenaga tolakan Pak-beng-cin-gi dalam tubuh Hi-tiok yang hebat itu.
Tok Put-hoan tidak banyak
lebih lihai daripada Cui Lik-hoa, sekarang melihat Cui Lik-hoa menghantam dan
terpental sendiri serta terluka parah, ia sadar sama sekali bukan tandingan
Hi-tiok. Tapi ia cukup pintar melihat gelagat, segera ia memberi hitrmat kepada
Hi-tiok dan berkata, 'Kagum, sungguh kagum. Selamat tinggal, sampai bertemu
pula!"
"Nanti dulu, harap
Cianpwe ambil kembali pedangmu ini," seru Hi-tiok. "Tanpa sengaja
Caihe membikin marah Cianpwe, harap dimaafkan. Bila Cianpwe hendak mengejar
atau mendamprat diriku sekali-kali aku ... aku tidak berani melawan,”
Kata-kata Hi-tiok itu
sebenarnya diucapkan dengan tulus, tapi bagi pendengaran Tok Put-hoan menjadi
sindiran tajam. Dengan pucat pasi ia terus melangkah keluar pendopo dengan
langkah lebar.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara bentakan orang perempuan, "Jangan bergerak Tempat apakah
Lengciu-kiong ini sehingga kalian boleh pergi-datang seenaknya?"
Tok Put-hoan terkejut dan
serentak meraba pedangnya, tapi sekali meraba tempat kosong, baru ia ingat pedangnya
telah dirampas Hi-tiok waktu mendongak, ia tidak melihat pembicara tadi, hanya
terlihat di depan pintu telah ditutup oleh sebuah batu raksasa sehingga rapat
sekali. Batu raksasa itu entah sejak kapan diangkut ke situ, ternyata tiada
seorang pun yang tahu.
Melihat itu, segera para
petualang sadar telah masuk perangkap dalam Leng-ciu-kiong itu. Ketika mereka
menyerbu ke atas gunung sepanjang jalan mereka telah membunuh para wanita baju
kuning banyak pula yang di tawan, ketika masuk ke dalam ruang pendopo itu pun
mereka mengadakan pembersihan lebih dulu. Tapi habis itu mereka lantas
terpengaruh deh urusan Sing-si-hu sehingga lupa bahwa di sekitar situ masih
sangat berbahaya bagi mereka
Sekarang dengan nampak pintu
gerbang telah disumbat rapat oleh sepotong batu raksasa, baru sadarlah mereka
bahwa sekali ini mereka pasti akan celaka.
Tiba-tiba di bagian atas
terdengar suara wanita tadi berkata pula, "Empat dayang pribadi Tong-lo
menyampaikain sembah bakti kepada Hi-tiok Siansing!"
Waktu Hi-tiok menengadah,
dilihatnya dekat dengan atas ruang pendopo yang dibangun dengan balok batu itu
menonjol empat batu karang sehingga mirip sembilan buah balkon, empat balkon di
antaranya masing-masing terdapat seorang nona cilik berusia antara 18 tahun dan
sedang memberi hormat padanya.
Balkon itu kira-kira 6-7 meter
tingginya, tapi sesudah memberi hormat, serentak keempat dara cilik itu
melompat ke bawah, ketika tubuh masih terapung di udara, tahu-tahu tangan
masing-masing sudah menghunus pedang, lalu melayang turun dengan gaya seindah
bidadari turun dari kahyangan.
Melihat gaya lompatan keempat
nona itu segera semua orang tahu ginknng mereka sangat tinggi, keruan semua
orang sangat kagum dan jeri pula.
Warna pakaian keempat nona itu
tidak sama, yang satu berwarna merah jambun, yang kedua berwarna putih, yang
ketiga berwarna hijau pupus dan keempat berwarna kuning muda.
Sesudah berdiri di tanah,
kembali mereka menyembah lagi kepada Hi-tiok dan berkata, "Hamba sekalian
telah terlambat menyambut kedatangan Cujin, harap Cujin memberi ampun!"
Cepat Hi-tiok membalas hormat
dan berkata, "Keempat saudari jangan banyak adat, lekas bangun!"
Sesudah keempat nona itu
berdiri, kembali semua orang terkesiap. Ternyata tinggi pendek mereka serupa,
bahkan muka mereka pun tiada ubahnya seperti 'pinang dibelah empat'. Sama-sama
beraut muka bulat telur, bermata hitam jeli, semuanya cantik cantik.
"Siapakah nama
kalian?" tanya Hi-tiok. Segera nona si baju jambon menjawab, "Hamba
berempat adalah saudara kembar empat,Tong-lo memberi nama kepada hamba
sebagaiBwe-kiam, dan ketiga adikku ini masingmasing bernama Lam-kiam, dan
Kiok-kiam, tadi kami bertemu dengan saudari-saudari dari An-thian-poh dan
lain-lain serta mengetahui semua perbuatan para budak keparat yang kurangajar
ini. Sekarang tindakan apa yang harus kami lakukan, silakan Cujin memberi,
keputusan”
Mendengar nona itu mengaku
saudara kembar empat, baru sekarang semua orang paham duduknya perkara, pantas
muka dan badan mereka serupa. Mestinya semua orang sangat suka karena melihat
muka mereka cantik-cantik dan suara mereka enak. didengar. Tapi demi mendengar
kata-kata terakhir tentang "budak keparat yang kurangajar" itu, para
petualang menjadi gusar karena merasa telah dimaki.
Segera ada dua orang memburu
maju, seorang bersenjata golok dan yang lain memakai sepasang Boan-koanpit
(potlot) berbareng mereka membentak, "Dara cilik, rnulai kalian berani
sembarangan . … "
Sampai disini,
sekonyong-konycmg sinar tajam berkelebat, Lang-kiam dan Tiok-kiam berbareng
melancarkan serangan, menyusul terdengar suara "trang-tring" dua
kali, tahu-tahu tangan kedua lelaki tadi terkutung sebatas pergelangan tangan,
kutungan tangan itu jatuh ke lantai dengan masih memegang senjata
masing-masing.
Saking cepatnya serangan itu
sehingga mesti tangan mereka sudah putus, tapi mereka masih terus bicara,"
.... mengoceh seperti kentut! .... Aduh!" dan sesudah menjerit, cepat
mereka melompat mundur sehingga darahpun berceceran.
Hi-tiok kenal jurus serangan
Lara-kiam berdua itu adalah sejurus ilmu pedang ciptaan Tong-lo yang pernah
dipakai menguji Li Jiu-sui, sudah tentu kedua lelaki itu tidak dapat
menghindarkan serangan maha lihai itu.'
Hanya sekali serang kedua nona
cilik sudah menabas kutung tangan dua orang, keruan yang lain-lain menjadi
jeri. Apalagi mereka terkurung dalam ruang yang dibangun dengan balok-balok
batu, disekitarnya entah terdapat perangkap apa pula, seketika para petualang
hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun berani bersuara.
Di tengah kesunyian itu, tiba
tiba di antara orang banyak ada lagi seorang mulai kumat racun Sing-si-hu nya
sehingga mengeluarkan suara yang menyeramkan.
Selagi semua orang saling
pandang dengan takut tiba-tiba seorang lelaki tinggi besar berlari maju, kedua
matanya tampak merah beringas, kedua
tangannya juga mencakar-cakar
dada dan muka sendiri sehingga baju robek dan badan hancur.
"Wah, Ha Tai-pa, Tocu
dari Thi-go-to!" demikian ada orang berseru
Lelaki yang bernama Ha Tai-pa
itu masih terus menggerang-gerang dan mengamuk seperti harimau terluka.
"Blang", sebuah meja dihantam remuk oleh kepalanya yang sebesar
mangkuk. Habis itu ia terus menerjang ke arah Kiok-kiam.
Melihat muka yang beringas dan
potongan tubuh yang menakutkan itu, Kiok-kiam menjadi lupa kepada ilmu
pedangnya sendiri yang lihai, saking takutnya ia terus menubruk ke dalam
pelukan Hi-tiok. Segera Ha Tai-pa berganti sasaran dengan pentang tangan yang lebar
ia hendak rnencakar Bwe-kiam.
Saudara kembar empat itu
mempunyai satuperasaan, karena Kiok-kiam ketakutan, muka Bwe kiam ikut
ketularan, melihat Ha Tai-pa, menubruk ke arahnya, sambil menjerit takut ia pun
lari dan sembunyi di belakaog Hi-tiok.
Karena tubruk sini-sana tidak
kena sasarannya, segara Ha Tai-pa membalik kedua tangannya dan mencakar matanya
sendiri. Para petualang ikut kuatir dan takut, mereka tahu pikiran Ha Tai-pa
sudah gelap saking tak tahan siksaan racun Sing-si-hu yang bekerja dalam tubuh.
Syukur Hi-tiok lantas berseru,
"Hei, jangan begitu!"
Berbareng lengan bajunya terus
mengibas sehingga, kena siku kedua tangan. Ha Tai-pa, kedua tangan itu lantas
terjulur lemas ke bawah.
"Rupanya Sing-si-hu yang
tertanam di tubuh saudara ini sedang kumat, biarlah kupunahkan bagimu,"
kata Hitiok. Segera ia keluarkan satu jurus Liok-yang-ciang dan menepuk sekali
punggung Ha Tai-pa.
Seketika Ha Tai-pa tergetar,
seluruh tubuhnya serasa kehilangan tenaga dan duduk terkulai ke lantai.
Pada saat itulah secepat kilat
dua batang pedang menusuk juga ke hulu hati Ha Tai-pa, rupanya kesempatan itu
telah digunakan oleh Lam--kiam dan Tiok-kiam untuk menyerang.
"Ha, jangan!"cepat
Hi-tiok berseru dan sekali tangannya menjulur, dengan mudah kedua pedang
dirampasnya.
Lalu terdengar ia bergumam
sendiri, "Wah, gawat! Entah Sing-si-hunya terletak di bagian mana?"
Kiranya meski Hi-tiok sudah
mahir caranya memunahkan Sing-si hu, tapi karena pengalamannya masih cetek
sehingga dia tidak tahu bahwa Ha Tai-pa jatuh karena tidak tahan oleh tenaga
dalamnya yang dahsyat.
Tak terduga Ha Tai-pa lantas
berkata, 'Terletak di ... di Koan ... Koan-ki-hiat.”
Segera Hi-tiok menggunakan
tenaga Liok-yang-jiu untuk memunahkan pula racun dingin Sing-si-hu yang bekerja
di bagian hiat-to yang disebut itu.
Seketika Ha Tai-pa terbangkit
ia berjingkrak keigirangan seperti orang gila, mendadak ia berlutut dan
menyembah sehingga kepalanya membentur lantai dan berkata, "Inkong (tuan
penolong) yang mulia, jiwa Ha Tai-pa telah ditolongmu, untuk selanjutnya segala
perintah Inkong, baik masuk lautan api maupun terjun ke air mendidih, tidak
nanti berani kutolak"
Biasanya Hi-tiok sangat sopan
terhadap siapapun juga, demi melihat Ha Tai-pa menjalankan penghormatan
setinggi itu padanya, cepat ia pun berlutut dan Balas menjura sambil berkata,
"Caihe tidak berani terima penghormatan setinggi ini terimalah kembali
hormatku ini.”
"Harap Inkong lekas
bangun, engkau telah menolong jiwaku, mana kuberani terima penghormatan
ini!" teriak Ha Tai-pa. Dan sebagai tanda terima kasihnya, kembali ia
menyembah pula.
Melihat orang menjura segera
Hi-tiok balas menjura juga.
Selagi kedua orang itu saling
menjura tidak habis-habisnya. Mendadak terdengar teriakan orang banyak,
"Punahkan juga Sing-si-hu dalam badanku. Tolong punahkan juga Sing-si-hu
dalam badanku”
Serentak orang-orang yang
merasa terkena Sing si-hu lantas merubung maju sehingga Hi-tiok dan Ha Tai-pà
terkurung di tengah.
Seorang tua lantas menarik
bangun Ha Tài pa, katanya, "Sudahlah, jangan menjura lagi kita
beramaì-ramaì juga ingin minta tolong pada Inkong."
Melihat Ha Tai-pa sudah
bangkit, baruilah Hi-tiok ikùt berdiri kembali, katanya, "Harap kalian
Jangan ribut dulu, dengarkan ucapanku!"
Mendengar-bakal tuan penolong
mereka hendak "pidato”, seketika suasana menjadi sunyi senyap.
Dan sesudah semua orang tidak
bersuara lagi itu Hi-tiok angkat bicara, "untuk memunahkan sing-si-hu
boleh dikatakan tidak sulit bagiku. Tapi harus kuketahui dulu dengan tepat
tempat mana yang terkena penyakit ítü, apakáh kalian masing-masing mengetahui
sendiri?"
Maka semua orang menjadi ribut
lagí, ada yang menyatakan tahu. ada yang bilang tempat hiat-to yang terkena
'Sing-si-hu, dan ada yang mencaci maki karena tidak tahu letak tempat yang
keracunan.
Mendadak seorang di antaranya
membentak, "Diam! Diam semua! Cara ribut seperti kalian ini, tentu
Hi-tiokcu Siansing tidak dapat mendengarkan dengan baik."
Ternyata yang bersuara itu
adalah, kepala para petualang itu, yaitu Oh-loloa. Maka keadaan menjadi tenang
seketika.
Lalu Hi-tiok berkata,
"Meski Caihe mendapatkan ajaran Tong-Io tentang cara memunahkan Sing-si-hu
.... "
Belum habis ia bicara,
serentak beberapa orang lantas berteriak. "Bagus, bagus sekali!"
"Hahahahaaaaha Jiwa kita
bakal selamat semua!"
Maka Hi-tiok melanjutkan,
"Tapi dalam hal memeriksa dan menentukan tempat penyakit mungkin sungguh
harus kukatakan kepandaianku terlalu dangkal. Tapi kalian juga tidak perlu
kuatir asal tahu betul letak tempat yang terkena Sing-si-hu, tentu akan
kutolong untuk memunahkannya. Andaikan tidak tahu tempatnya, kita juga bisa
tukar pikiran dan dapat memecahkannya, pendek kata akhirnya pasti akan
kusémbuhkan kalian."
Seketika para petualang itu
bersorak gembira sehingga seluruh ruang terguncang seakan-akan runtuh.
Dan sesudah sùara sorak-sorai
itu mereda, tiba-tiba Bwe-kiam berkata dengan dingin "Hm, jika Cujin
hendak memunahkan Sing-si-hu kalian hal ini adalah berkat belas kasihan beliau.
Akan tetapi kalian telah berani mati membikin Tong-lo menghilang dari istana dan
àkhirnya beliau wafat di rantau, kalian berani menyerbu pula ke sini sehingga
mengakibatkan tidak sedikit korban di antara kawan Kia-thian-poh. Coba katakan
yang kalian ini cara bagaimana harus diperhitungkan?”
Para petualang saling pandang
dengan kebat-kebit mereka tahu apa yang dikatakan Bwe-kiam itu memang betul.
Jika Hi-tiok adalah ahli waris Thian-san Tòng-lo, maka terhadap dosa méreka
tentu takkan dibiarkan begitu saja. Mereka menjadi takut dan bingung.
Untunglah Oh-lotoa segera
berkata pula, "Tentang ucapan nona ini memang benar. Dosa kami memang
terlalu besar, maka kami rela menerima hukuman dari Hi-tiok Cu Siansing."
Mendengar ucapan Oh-lotoa itu,
para petualang yang lain paham juga maksudnya, segera mereka ikut berseru.
"Benar, dosa kami terlalu banyak, hukuman apa yang hendak dijatuhkan
Hi-tiok cu Siansing kepada kami, dengan rela kami siap menerimanya."
Ada di antaranya yang kapok
benar-benar oleh siksaan Sing-si-hu, terus saja mereka menyembah berulangulang
sambil minta ampun.
Hi-tiok sendiri menjadi
bingung malah katanya kepada Bwe-kiam, "Enci Bwe-kiam, bagaimana menurut
pendapatmu?”
"Mereka ini bukan manusia
baik, mereka telah membunuh kawan kita sebanyak ini, harus suruh mereka
mengganti nyawa," sahut bwe-kiam.
Tongcu dari Giok-sian-tong
adalah seorang kakek berumur 70-an tahun, ia memberi hormat kepada bwe-kiam dan
berkata,' "Nona, karena kami terlalu tak tahan oleh siksaan Sing-si-hu,
dalam keadaan, kalap sehingga
tanpa pikir berani main gila
ke Biau-biàu-hong sini, untuk, ini mohon nona sudi memberi ampun."
Tapi Bwe-kiam lantas mênarik
muka dan berkata, "Tidak, mereka yang pernah membunuh orang harus segera
menahan lengan kanan sendiri ini adalah hukuman yang paling ringan."
Sampai di sini ia merasa telah
mendahului perintah sang majikan, maka cepat ia berpaling kepada Hi-tiok dan
berkata, "Betul tidak, Cujin?"
Hi-tiok merasa hukuman
demikian terlalu kejam, tapi ia pun tidak ingin membikin menyesal Bwe-kiam maka
sahutnya, ' "Ini….ini....kukira......”
Sekonyong-konyong di antara orang
banyak itu tampil ke muka seorang pemuda yang ganteng dan tampan, itulah dia
Toan Ki, pangeran dari Tayli.
Dasar Toan Ki memang suka
usilan, suka ikut campur urusan orang lain yang dianggapnya tidak adil. Maka ia
memberi salam kepada Hi-tiok, dan berkata dengan tertawa,. "Saudara
Hi-tiok, ketika orang-orang ini hendak menyerbu Biau-biau-hong, seják mula juga
aku tidak setuju biarpun aku telah memberi nasihat, tetapi mereka tidak msu
gubris, dan hari ini mereka telah berdosa, untuk ini adalah pantas jika saudara
Hi-tiok memberi hukuman yáng setimpal. Maka sekarang ingin kuminta suatu tugas
dari saudara apa boleh serahkan kepadaku untuk memberikan hukuman kepada
kawan-kawan ini?"
Tempo hari Hi-tiok juga dengar
sendiri ketika Toan Ki mencegah para petualang itu menyerang biau-biauhong.
Maka ia cukup kenal watak pangeran Tayli yang berbudi ini, diam-diam ia pun
sangat menghormat padanya. Memangnya sekarang ia sedang b¡ngung mengambil
keputusan maka ia menjadi girang atas ucapan Toan Ki itu sahutnya, "Bagus,.
bagus! Jika Toan-kongcu sudi membantu memecahkan soal ini, sungguh aku merasa
sangat berterima kasih.”
Semula para petualang itu
sangat mendongkol karena Toan Ki berani ikut campur urusan dan bahkan
mendamprat mereka, segera banyak di antaranya hendak mencaci-maki, Di luar
dugaan Hi-tiok lantas menerima saran Toan Ki tanpa pikir, karuan méreka
mengkeret dan menekan kembali caci-maki yang hamper dílontarkan itu.
Toan Ki berdehem dulu sekali
üntuk melicinkan tenggokkannya, lalu ia menarik suara, "Terima kasih atas
kepercayaan saudara Hi-tiok kepádaku tentang dosa para hadirin ini memang
térlalu besar, tapi hukuman yang kujatuhkan juga tidak ringan. SekárangHí-tiok
cu Siansing sudah menyerahkán tugas penyelesaian ini padaku, bila di antara
kalian ada yang membangkang tentu Hi tiok-cu Siansing tak mau memunahkan lagi
Sing-si-hu kalian. Sekarang hukuman pertama adalah…… adalah kalian harus
menyembah delapan kali dengan penuh khitmad di hadapan layon tong-lolo, kalian
harus berdoa dan menyatakan kalian telah insaf atas segala dosa yang pernah
diperbuat kalian, jika kalian tidak berdoa dengan bersungguh-sungguh, maka dosa
kalian akan
tambah satu kali lipat.”
"Bagus, bagus! Hukumán
pertama ini sangat tepat!" kata Hi-tiok dengan senang.
Semulá para petualang itu
tidak tahu Kongcu yang ketolol-tololan ini entah dengan cara bagaimaná akan
menghukum mereka, maka hati mereka sebenarnya sedang kebat kebit sekarang demi
mendengar bahwa merekà hanya dihukum menyembáh di depan layoñ Tong-lolo, keruan
mereka girang setengah mati dan serentak menyatákan tùnduk kepada hukuman itu,
andaikan nanti sambil menyembah dan diam-diam mereka mengutuk Tòng lolo kan
juga tiada orang tahu.
Sebaliknya Toan Ki tambah
bersemangat karena syarat pertama yang dikemukakan itu serentak diteríma semua
orang, segera ia berkata pula, "Dan syarat kedua, kalian juga diharuskan
menjura di depan layon para saudari Kin-thian-poh yang telah gugur. Barang
siapa di antara kalian yang telah membunuh diharuskan juga menyembah dan
berdoa, disamping itu harus berkabung pula sebagai tanda berduka cita. Dan bagi
yang tidak membunuh dengan segera saudara Hi tiok-cu akan menyembuhkan
penyakitnya sebagai tanda restu."
Memangnya sebágian besar dí
antará para petualang tidakmembunuh orang diatas Biau-biau-hong, dengan
sendirinya mereka lantas berseru menyatakan tunduk. Sedangkan sebagian lain
yang merasa telah membunuh anggota Kin-thian-poh tadinya mereka hendak dihukum
oleb Bwe-kiam dengan menyuruh mereka menebas lengan kanan sendiri, tapi
sekarang mereka cuma di hukum menyembah, dan berkabung saja, hukuman ringan
yang berbeda seperti langit dan bumi itu tentu saja cepat-cepat diterima mereka
dengan baik.
Akhirnya Toan Ki berkata pula,
"Dan syarat yang ketiga, kalian diharuskah tunduk kepada perintah
Leng-ciukiong untuk selama-selamanya, dilarang mempunyai maksud jahat apa yang
dikatakan Hi-tiok-cu Siansing kalian harus tunduk padanya. Bukan saja harus
menghormati Hi-tiok cu Siansing, bahkan terhadap saudari Bwe-kiam berempat juga
kalian mesti menghormat padanya, tidak boleh bersikap kasar dan kurang ajar
pada mereka. Nah, sekian saja. Jika diantara kalian ada yang merasa tidak
setuju, bolehlah lekas maju untuk cobacoba ukur tenaga dengan Hi tiok-cu
Siansing, bukan mustahil kalian akan diberi hajaran yang setimpal
olehnya."
Sudah tentu para-petualang itu
tidak berani banyak cingcong, serentak mereka menyatakan taat dan tunduk bahkan
ada yang menyatakan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka itu terlalu ringan
dan minta ditinjau kembali.
Namun Toan Ki tetap menyatakan
Cuma sekian saja pidatonya, lalu katanya kepada Hi-tiok, "Saudara Hi tiok
bagaimana pendapatmu atas ketiga syarat hukuman yang kusebut inl?"
"Tepat sekali, banyak
terima kasih,"' sahut Hi-tiok. Lalu ia pun berpaling kepada Bwe-kiam
berempat dan berkata, "Kalian tentu setuju pula atas syarat-syarat hukuman
itu, bukan?"
Sahut Bwe-kiam, "Cujin,
engkau adalah penguasa tertinggi di Leng cu-kiong ini, apa yang Cujin rasakan
baik, sudah tentu hamba sekalian menurut saja."
Hi-tiok tersenyum dan berkata
pula, "Akhirnya aku ... aku ingin bicara lagi sedikit, entah ... entah
pantas tidak kalau kukatakan terus terang?"
"Hamba dari ke-36 gua dan
ke-72 pulau selamanya berada di bawah perintah-Biau-biau-hong, jika Kaucu ada
perintah. Apa-apa, tiada satu pun di antara hamba sekalian berani
membangkang." seru Oh-lotoa selaku kepala para petualang itu,
"Tantang ketiga syarat
hukuman yang diputuskan Toan kongcu barusan itu sesungguhnya terlalu longgar
dan sangat menguntungkan kami yang berdósa ini. Andaikan Kaucu sendiri akan
menjatuhkan hukuman lain pula, hamba sekalian tetap akan taat dan rela menerimanya."
Maka berkatalah Hi-tiok,
"Usiaku masih terlalu mudà dan pengalamanku sangat cetek, hanya berkat
mendapat ajaran beberapa jurus ilmu silat dari Tong-lolo saja, sebenarnya aku
malu untuk dipanggil sebagai "Kaucu” segala. Aku hanya mempunyai dua titik
pikiran, entah ... entah benar tidak, biarlah kukatakan terus terang dan harap
para hadirin mempertimbangkannya."
Sejak kecil Hi-tiok selalu
menduduki tempat yang rendah, kerjanya cuma dibentak dan diperintah orang,
selamanya dia tidak pernah punya hak untuk mengemukakan pendapat segala,
sekarang dia mesti bicara di hadapan orang banyak, dengan sendirlnya ia tambah
kikuk dan tergegap suaranya.
Diam-diam Bwe-kiam berempat
sama berpikir "Mengapa Cujìn.bersikap demikian masakah terhàdap kaum hamba
yang pantas dihukum mati juga mesti sungkan-sungkan?"
Maka terdengar Oh lotoa
berkata, "Sedemikian baik dan ramah Kaucu terhadap kami sungguh biarpun
hancurlebur juga hamba sekalian merasa tidak cukup untuk membalas budi kebaikan
Kaucu Ini. Maka bila Kaucu ada perintah apa-apa, silakan bicara saja!”
"Ya, ya, aku tidak pandai
bicarä, hendaklah kalian jangün ... jangan mentertawai aku," ujar Hi-tiok.
"Adapun dua Soal yang hendak kukatakan adalah. pertama, ini rasanya
terlalu bersifat pribadi, sebab aku berasal ... berasal dari Siau-lim-si, maka
dari itu ingin kuminta bantuan kalian agar selajutnya di kalangan kongouw
janganlah membikin susah anak murid Siau-lim-pai. Ini adalah permintaanku
dengan tulus hati dan berani kukatakansebagai perintah."
Segera Oh-lötoa berteriak
kepada orang banyak. "Nah, menurut perintah Kaucu, untuk selanjutnya bila
para saudara bertemu dengan para taisu dari Siau-lim-pai, kalian harus menaruh
hormat pada mereka, sekali-kali tidak boleh berbuat kurangajar!"
Serentak para petualang
berseru menyatakan taat.
Mendengar permintaan pertama
telah disanggupi semua orang dengan bulat maka Hi-tiok menjadi tambah besar,
segera ia berkata pula, "Terima kasih atas kesediaan kalian. Tentang hal
Kedua tak lain ialah kuharap kalian suka mengingat sesamanya dan jangan
sembarangan membunuh orang. Paling baik kalau segala mahluk berjiwa jangan
kalian bunuh, kalau semut sajasayang pada jiwa mereka, apalagi makhluk hidup
lainya. Bahkan kalau bisa hendaknya pantang makan barang berjiwa pula. Cuma
pantangan ini memang tidak mudah untuk dilakoni sebab aku sendiri akhirnya juga
melanggar larangan demikian ini. Pendek ....pendek kata membunuh orang adalah
perbuatan yang tidak baik maka hendaknya jangan membunuh!"
"Nah, dengarkan para
kerabat bawahan Leng ciu-kiong, Kaucu memberi perintah agar selanjutnya jangan
sembarangan membunuh orang tak berdosa dan makhluk berjiwa, kalau melanggar
tentu akan mendapat hukuman yang setimpal." demikian seru Oh-Lotoa.
Dan kembali para petualang itu
berseru menyatakan tunduk.
"Oh-siansing engkau
memang lebih pandai bicara dengan singkat saja mereka telah menerima
kata-katamu," ujar Hi-tiok dengan tertawa. "Eh, di manakah letak
bagian badanmu yang terkena Sing-si-hu. Coba katakan, biar segera kupunahkan
bagimu.”
Sebabnya Oh lotoa berani
menyérempet bahaya memimpin pemberontakan ini tiadà lain ialah ingin memunahkan
penyakit Sing-si-hu yang menyiksa jiwa raganya itu, sekarang mendengar Hi Tiok
siap untuk menyembuhkan dia keruan girangnya tak terkatakan saking terima
kasihnya ia terus berlutut dan menyembah pada Hi-tiòk."
Lekas Hi-tiok juga berlutut
untuk membalas hormat dan bertanya pula, "Oh-siànsing luka perutmu yang
tertimpuk biji cemara tempo hari apakah sekarang sudah sembuh?"
Sementara itu Bwe-kiam
berempat sudah menggerakan pesawat rahasia sehingga batu raksasa yang menyumbat
pintu gerbang pendopo itu terbuka dan serentak para anggota Cù-thian-poh,
Hian-Thian-poh dan lain-lain,membanjir masuk berbarengterdengar pula suàra
bentakkan dan teriakan Ting Pek-Jwan, Pau Put-tong dan kawan-kawannya
berbondong-bondong mereka pun menerobos ke dalam.
Kiranya tadi mereka telah
keluar hendak bertempur dengan Thian-san Tong-lo, tapi mereka tidak menemukan
si nenek, sebaliknya kebentur para anggota Cu-thian-poh dan lain-lain yang
sudah tiba di depan Leng ciu-kiong dengan mengusung layon Tong-lo, dasar ucapan
Pau Tut-ong memang kasar, watak Hong Po-ok juga paling gemar berkelàhi maka
tanpa banyak omong terus saja merekà bergebrak dengan orang-orang Leng
cui-kiong.
Sudah tentu.Ting Pek-jwàn
berempat kewalahan melawan keroyokan para wanita Leng-ciu-kiong yang cukup
lihai itu, maka mereka terdesak mundur dan menderita luka yang tidak ringan.
Untung pada saat yang gawat itu pintu gerbang dibuka olah Bwe-kiam berempat dan
berseru untuk menghentikan pertempuran mereka, dengan demikian Ting Pekjwan
berempat tidak sampai binasa dikerubut lawan yang jauh lebih banyak itu.
Begitulah segera para wanita
dari kesembilan bagian Leng-ciu-kiong itu lantas maju memberi hormat kepada
Hi-tiok dan atas perintah Hi-tiok di ruang pendopo itu lantas diadakan
perjamuan untuk melayani para petualang.
Buyung Hok merasa dirinya
tiada gunanya tinggal lagi disitu,segera ia membawa Ting Pek jwan dan lain-lain
memohon diri. Sementara ítu Kiam-sin Tok Put-hoan dan Hü-long Siancu Cui
Lik-boa entah sejak kapan sudah mengeluyur pergi.
Melihat Buyung Hok hendak
pergi, dengan sangat Hi-tiok menahannya. Tapi Buyung Hok berkata, " Aku
turut bersalah pada Biau-biau-hong, berkat kemurahan hati saudara, maka
kesalahanku itü tidak diusut lebih jauh, sungguh kami merasa berterima
kasih."
Dengan rendah hati Hi-tiok
menjawab, "Ai, jangan berkata demikian. Kepandaian kedua Kongcu (maksúdnya
Buyung Hok dan Toan Ki) serba pintar dan hebat, aku sendiri merasa kagum tak
terhingga dan ingin ... ingin bisa banyak meminta petunjuk kepada Kongcu
berdua, sebab .... sebab aku sendiri sesungguhnya terlalu .. . terlalu bodoh!”
Sesudah mengalami pertempuran
tadi dan menderita beberapa luka, memangnya Pau-Put-tong lagi mendongkol,
sekarang mendengar ucapan Hi tiok yang seperti sengaja dibikin-bikin itu,
ditambah Hi-tiok ternyata menyimpan gambar Ong Gook yan, keruan Put-tong
menjadi curiga dari mana keledai gundul ini memperoleh gambar nona Ong itu,
terang dia seorang hwesio munafik dan cabul. Karena itu, segera Put-tong
berseru, "Haha, Siausuhu minta kedua Kongcu tinggal terus di sini yang
benar kau ingin si cantik yang tinggal di sini. Kenapa tidak kau katakan terus
terang minta nona Ong tinggal di Biau-biau-hong"
Hi tiok menjadi bingung
safiutnya, "Ap ...apa maksudmu? Nona , .. nona Ong apa?"
"Alah pakai pura-pura tldak
tahu?" ejek Put tong. "Pikiranmu tidak tulus, memangnya kaukira orang
dari keluarga Koh-soh Buyung semuanya dungu dan tidak tahu maksudmu! Hehe,
sungguh menggelikan!"
"Aku tidak paham apa yang
Siansing maksudkan," sahut Hi-tiok. "Entah urusan apa yang
menggelikan?"
Dasar watak Pau Put-tong
memang kukuh dan tidak mau kalah, sekali penyakitnya angot, biarpun menghadapi
bahaya juga tak terpikir lagi olehnya. Terus saja ia mencak-mencak dan
berteriak-teriak, "Kau keledai gundul cilik ini mengaku sebagai hwesio
Siau-lim-si, jika benar kamu murid suatu golongan yang tersohor mengapa
kauganti bulu masuk ke golongan yang terkenal jahat dan bergaul dengan kaum
setan iblis yang tak keruan ini? Hm, asal melihat dirimu aku lantas dongkol.
Seorang hweslo mempunyai gendak beratus wanita merasa tidak cukup, sekarang
mala hendak menaksir nona Ong pula, Hm..ingin kukatakan padamu bahwa nona Ong
adalah kepunyaan Buyung-kongcu kami, katak buduk macam dirimu ini hendaklah
jangan mengimpikan sang bidadari lebih baik lekas sadar kembali dari lamunan
itu."
Begitulah makin bicara makin
semangat, sampai akhirnya ia benar-benar mencak-mencak dan memaki-maki sambil
menuding hidung Hi-tiok.
Tentu saja Hi-tiok tambah
bingung, sahutnya "Aku ... aku ti... tidak …..”
Pada saat itulah mendadak
Oh-lotoa dan Hi Tai-pa serentak menubruk maju sambil membentak dan mengacungkan
senjatamereka yang berupa golok dan ganden raksasa, berbareng mereka menyerang
Pau Puttong.
Buyung Hok tahu para petualang
yang lagi disembuhkan oleh Hi-tiok itu sekarang tentu akan membantu Hitiok
dengan mati-matian jika sampai terjadi pertempuran tentu akan sukar meloloskan
diri. Maka cepat ia pun melompat maju, ia keluarkan kepandaiannya yang khas
"Tau-coan-sing-ih” sekali bergerak ia putar balikkan serangan lawan,
bacokan golok Oh-lotoa diputar membacok ke arah Ha Tai-pa, sebaliknya ganden Ha
Tai pa digeser menjadi menghantam ke arah Oh-lotoa. Màka terdengar suara
"trang" yang keras kedua senjata saling bentur sendiri dan lelatu api
meletik.
Menyusul itu Buyung Hok terus
mendorong pundak, Pau Put-tong sehingga punggawanya itu terpental keluar pintu.
Habis itu ia memberi hormat kepada Hi-tiok dan bertata, "Maaf, mohon
pamit!"
Dan sedikit ìa melompat,
tahu-tahu ia sudah berade di luar pintu.
Ia tahu pintu pendopo itu
terpasang pesawat rahasia, bila batu raksasa tadi digeser untuk menyumbat pula,
maka mereka pasti tidak bisa lari.
Sebaliknya sama sekali tiada
maksud Hi-tiok hendak memùsuhi Buyung Hok, maka cepat sahutnya. "Nanti
dulu, Kongcu, bukan .... bukan begitu maksudku, aku... aku ...."
Mendadak Buyung Hok membalik
tubuh dan berseru dengan kencang, "Apakah, saudara menganggap dirimu
tiadatandingannya di dunia ini ingin memberi putunjuk beberapa jurus padaku?”
"O, ti ... tidak, aku ti
... tidak..... " sahut Hi-tiok dengan gelagapan sambil goyang tangannya.
"Kunjunganku ke sini
memang agak sembrono, apa barangkali saudara ingin menahan kami di sini?"
seru Buyung Hok pula.
Tetap Hi-tiok menggeleng
kepala dan berkata, "Bu ... bukan begitu maksudku”
Dengan angkuh Buyung Hok
memandang pada Tongcu dan Tocu serta Bwe-kiam berempat dan para anggota
Kim-thian-poh. Karena terpengaruh oleh sikapnya yang kereng, seketika tiada
seorang pun berani maju.
Selang sejenak, tiba-tiba
Buyung Hok mengebaskan lengan bajunya dan berkata "Mari berangkat!"
Segera ia melangkah pergi
dengan cepat di iringi kawan-kawannya.
"Kaucu," seru
Oh-lotoa kepada Hi-tiok jika dia dibiarkan pergi dari Biau-bian-hong. Lantas ke
mana pamor kita akan ditaruh? Harap Kaucu lekas memberi perintah untuk menahan
mereka."
"Sudahlah," ujar
Hl-tiok sambil geleng kepala "Aku ... aku pun tidak tahu mengapa día
marah-marah padaku? Ai, tungguh aku tidak paham .. "
Sementara itu Giok-yan ikut
pergi di antara rombongan Buyung Hok itu, ketika tidak, melihat Toan Ki
tiba-tiba ia berpaling dan berseru, "Sampai bertemu lagi,
Toan-kongcu!"
Hati Toan Ki tergetar rasanya
menjadi pedih dan tenggorokannya seakan-akan tersumbat, dengan sekuatnya, ia
pun menjawab, "Ya, sam….sampai bertemu!"
Ia lihat bayangan Ong Giok-yan
semakin menjauh dan tidak pernah berpaling pula, hanya telinganya masih berkumandang
ucapan Pau Put-hong tadi yang mengatakan, "Nona Ong adalah kepunyaan
Buyung-kongcu, orang lain hendaknya jangan menaksirnya sepertí katak buduk
mengimpikan bidadari. Ya, memang benar ketika berdiri dí depan pintu tadí
betapa gagah perkasanya Buyung-kongcu. Hanya sekàlì saja dia telah mematahkan
serangan dua lawan kuat, caranya itu menunjukkan betapa tinggi ilmu silatnya.
Sebaliknya orang tak punya kepandaian apa-apa.
Seperti diriku ini,
dimana-mana hanya dibuat buah tertawaan orang, sudah tentu tidak dipandang
sebelah mata oleh si día? Ai, betapa mesra dan kasih sayangnya nona Ong ketika
menandangi piaukonya itu. Sebaliknya aku Toan Ki lah, benar-benar seperti,
seekor katak buduk yang mengimpikan bidadari!"
Begitulah sesaat itu dì ruang
pendopo itu tengah tertegun dua orang pemuda, Hi-tiok dan Toan Ki.
Hi-tiok merasa heran dan
sangsi, la garuk-garuk kepala dan bingung.
Sebaliknya Toan Ki
termangu-mangu dan muram durja. Kedua orang saling berhadapan dan diam saja
sehingga mirip dua pemuda linglung.
Sampai agak lama baru Toan Ki
menghela napas dan berkata, "Saudara Hi-tiok rupanya kita senasib dan
setanggungan. Rasa rindu dendam yang terukir dalam hati sanubari cara bagaimana
menghiburnya?"
Muka Hi-tiok menjadi merah
jengah. Disangkanya Toan Ki mengetahui hubungannya dengan si dewi impian? Maka
dengan tergegap-gegap ia tanya, "Da ... dari mana Toan-heng meng ...
….mengetahuinya?"
"Hendaklah saudara
Hi-tiok jangan kuatir, menyukai wanita cantik adalah sifat pembawaan setiap
manusia," ujar Toan Ki, "Kita sebenarnya senasib dan mempunyaì
pangalaman yang sama, sayang kita tidak kenal sejak dulu-dulu. Ilmu silat
saudara maha tinggi, tetapi dalam soal asmara yang diutamakan adalah jodoh satu
sama lain. tidak peduli betapa tinggi ilmu silatmu atau pengetahuanmu sangat
luas, kalau tiada jodoh, tetap tidak jadi,"
"Hanya bergantung jodoh
satu sama lain, ya, jodoh itu memang cuma dapat di .. ditemukan dan tak dapat
dicar¡ sendiri ... Ya, sesudah berpisah, dunia seluas Ini, ke mana lagi dapat
mencarinya?" demikian Hi-tiok berguman sendiri.
Yang dimaksudkan Hí-tíok
dengan sendírinya ialah "Dewi impiannya," sebaliknya Toan Ki
menyangka jika Hi-tíok menyimpan gámbar Ong Giok-yan, terang dia juga cinta
pada nona itu seperti Toan Ki sendiri. Dan sebabnya Hi-tiok cekcok dengan
Buyung Hok tadi disangka oleh Toan Ki tentu juga lantaran berebut Ong
Giok-yan.
Dasar Hi-tiok dan Toan-Ki
mempunyai sifat ketolol-tololan yang sama maka makin bicara makin melantur,
tapi juga makin cocok satu sama lain. sementara itu para wanita Leng-ciu-kiong
sudah menyiapkan perjamuan, segera Hi tiok menggandeng tangan Toan Ki dan
diajak dahar bersama.
Para Tongcu dan Tocu terhitung
bawahan Leng-ciu-kiong dengan sendirinya tiada seorang pun berani bersatu meja
dengan Hi-tiok. Sebaliknya Hi-tiok sendiri tidak paham tata-krama segala maka
ia pun tidak mengajak mereka, ia hanya asyik bicara sendiri dengan Toan Ki.
Memangnya Toan Ki sangat
kesemsem terhadap Ong Giok-yan, maka dia tiada habis-habis memuji nona itu,
memuji perangainya yang halus dan kecantikannya yang tiada taranya.
Sebaliknya Hi-tiok menyangka
yang dipuji Toan Ki adalah "dewi impiannya", dengan sendirinya ia
tidak berani tanya Toan Ki, mengapa kenal si "dia", lebih-lebih tidak
berani Hi-tiok mencari keterangan asal-usul dewi impannya itu, hanya hatinya
saja yang berdebar-debar, pikirnya,
"Sesudah Tong-lo
meninggal, kusangka di dunia ini tiada seorang pun yang tahu lagi akan si dewi
impianku, tak tersangka, Tuhan Maha Kasih. Toan-kongcu juga mengeotahuinya,
Tapi dari ucapan-ucapan Toan-kongcu ini. tampaknya ia pun sangat kesemsem
padanya, jika aku membeberkan kejadian dalam gudang es, di sana aku telah main
cinta dengan si dia. Ah, tentu Toan-kongcu akan gusar dan segera pergi dari
sini, han ini berarti aku, tak dapat mencari tahu, hal keterangan dewi impianku
itu."
Begitulah maka segera ia pun
memberi suara dan ikut memuji si nona yang dikatakan Toan Ki. Dan karena kedua
orang sama-sama tidak menyebut nama si nona yang mereka bicarakan, biarpun
sudah sekian lama mereka mengobrol, tetap mereka tidak tahu bahwa di antara
mereka telah "salah wesel."
Dalam pada itu Bwe-kiam
berempat bergiliran menyuguhkanarak, kalau Toan Ki menegak secawan, maka Hitiok
juga lantas mengiringi secawan sambil masih terus bicara dan memuji si jelita.
Sampai tengah malam, para
petualang sama berbangkit untuk memohon diri dan ditunjukkan tempat mengaso
oleh para dayang. Sedangkan Hi tiok masih terus minum arak bersama Toan Ki
meski sudah tidak sedikit mereka menenggak.
Dahulu waktu Toan Ki berlomba
minum dengan Sian Hong di kota Bu-sik, dengan sengaja Toan Ki mendesak arak
yang diminumnya itu keluar melalui jarinya, tapi sekarang ia minum arak sebagai
pelipur hati nan lara, maka la minum dengan sungguh-sungguh, setiap cawan arak
itu benar-benar masuk seluruhnya ke dalam perut.
Dalam keadaan sudah agak
sinting ia berkata kepada Hi-tiok. "Saudara, aku mempunyai seorang saudara
angkat, namanya Siau Hong. Orang itu adalah ksatria sejati, pahlawan tulen,
takaran minum arak juga tiada bandingannya. Jika. Saudara bertemu dengan dia,
kuyakin saudara akan kagum dan suka padanya. Cuma sayang dia tidak berada di
sini. Kalau ada, kita bertiga dapat mengikat persaudaran dan minum bersama
dengan sepuas-puasnya, sungguh akan merupakan suatu kesenangan hidup yang
bahagia."
Selama hidup Hi-tiok tidak
minum arak, sekarang dia minum sekian banyak berkat Iwekangnya yang tinggi,
namun begitu toh pikirannya juga sudah kabur, lidahnya terasa kelu. Wataknya
yang biasanya takut-takut sekarang berubah menjadi pemberani, tiba-tiba ia pun
berkata, "Toan-heng, jika ... jika engkau tidak mencela diriku, bolehlah
kita berdua mengangkat saudara lebih dulu. kelak bila berjumpa dengan
Siau-tauko boleh kita mengulangi mengangkat saudara sekali lagi."
Toan Ki sangat girang,
sahutnya, "Bagus. Bagus! Entah berapa umur saudara , sekarang?"
Begitulah kedua orang lantas
mengemukakan usia masing-masing dan ternyata Hi-tiok lebih tua dua tahun.
"Jiko" segera Toan
Ki memanggilnya sebagai kakak kedua. "terimalah hormat Siaute ini!"
Dan segera ia berbangkit dan
menjura kepada kakak angkat itu.
Cepat Hi-tiok hendak membalas
hormat tapi karena terpengaruh oleh bekerjanya arak kakinya terasa lemas,
mendadak sempoyongan dan jatuh terduduk.
Lekás Toan Ki membangunkan
Hi-tíok dan tanpa sengaja hawa murni kedua orang saling beradu sama-sama
merasakan tenaga dalam masing-masing sangat kuat, cepat mereka sama, sama
menahan kembali tenaga sendiri.
Saat itu Toan Ki juga agak
mabuk sehingga langkahnya sempoyongan, sekonyong-konyong kedua orang
berbahak-bahak dan saling rangkul sehingga sama-sama terguling di lantai.
"Jika, Siaute tidak
mabuk, marilah kita minum lagi seratus cawan," seru Toan Ki.
"Baik, kakak tentu akan
mengiringimu minum sepuasnya" sahut Hi-tiok.
"Orang hidup harus
bergembira sepuasnya, marilah kita habiskan secawan ini, hahaha!" seru
Toan Ki.
Kedua orang makin lama makin
kelelep sehingga akhirnya sama sekali tak sabarkan diri.
Esok paginya ketika Hi-tiok
mendusin. Ia merasa dirinya tidur di atas sebuah ranjang yang sangat empuk dan
halus. Waktu ia buka mata dan memandang keluar kelambu, dilihatnya ia berada di
dalam sebuah kamer tidur yang sangat luas, tidak banyak alat perabot dalam
kamar besar itu sehingga kelihatan longgar tapi banyak terdapat hiasan barang
antik dan lukisan kuno yang indah.
Dalam pada itu kelihatan
seorang dara cilik membawa sebuah nampan porselen sedang mendekati tempat
tidurnya. Segera Hi-tiok mengenalinya sebagai lam kiam, "Silakan cuci muka
dulu."
Karena semalam terlalu banyak
minum arak, mulut Hi-tiok terasa sangat sepat dan tenggorokan terasa kering.
Ketika dilihatnya di atas nampan yang dibawakan Lam-kiam itu ada semangkuk air
teh, terus saja ia angkat dan diminumnya hingga habis.
Kiranya air itu bukanlah air
teh melainkan wedang kolosom yang selama hidup Hi-tiok belum pernah
merasakannya, habis minum la pun tidak tahu air Apakah yang terasa manis-manis
pahit itu.
Kemudian ia berkata kepada
Lam-kiam, "Terima kasih atas pelayananmu. Sekarang aku ...aku hendak
bangun boleh kaukeluar dulul"
Tapi belum lagi Lam-kiam
keluar, tiba-tiba dari luar masuk lagi seorang nona cilik lain, yaitu
Kiok-kiam. Dengan tersenyum ia berkata, "Kami taci beradik akan melayani
Cujin berganti pakaian!"
Sembari berkata ia terus
mengambilkan serangkat baju dan celana dalam, warna hijau pupus yang sudah
tersedia di kursi yang terletak di ujung tempat tidur sana.
Keruan Hi-tiok serba kikuk,
mukanya merah jengah, sahutnya, "Tidak, tidak!" Aku tidak perlu
dilayani kalian, aku kan tidak sakit, cuma habis mabuk arak saja. Wah, cilaka,
baru sekarang aku ingat telah melanggar pantangan ajaran Budha lagi, Eh, di
manakah Samte? Di manakah Toan-kongcu, ke mana dia pergi? Apa kalian melihat
dia?”
Sambil tertawa Lam-kiam
menjawab, "Toan-kongcu telah berangkat menyusul kekasihnya. Sebelum pergi
beliau suruh hamba menyampaikan pesan kepada Cujin, katanya bila urusan di sini
udah selesai, Cujin diminta berkunjung ke tonggoan dan dapat bertemu ia
sana."
"Ai, masih ada urusan
penting yang hendak kutanyakan padanya, mengapa día pergi begitu saja” seru
Hi-tiók terkejut atas pérginya Toan Ki secará mendadak tanpa pamit itu. Segera
ia melompat bangun dari tempat tidür dengan maksud hendak menyusul ToanKi untuk
menanyakan dimana tempat-tinggal "dewi impian" yang di rindukannya
itu.
Tapi demi mendadak melihat
dirinya hanya menggunakan baju dalam yang putih bersih, tiba-tiba ia menjerit
kaget dan cepat menutup badannya dengan selimut.
Serunya dengan heran,
"Hei, mengapa aku sudah ganti pakaian?'
Rúpányá waktu ia keluar dari
Siau lim-si, baju dalam yang dipakai adalah büatán dari kain kasar dan karena
sudah, terpakai sekian bulan pakaian dalam itu pula sudah rombeng dan kotor.
Sebaliknya baju yang melekat pada badannya sekarang tipis halus dan bersih
pula, ia sendiri tidak tahu baju itu terbuat dari bahan sutra atau katun,
pendek kata pastilah bahan yang sangat mahal.
Maka dengan tertawa Kiok-kiam
menjawab, "Semalam Cujin mabuk, maka kami berempat saudara melakukannya,
apakah Cujin sama sekali tidak berasa?"
Hi-tiok tambah kaget mendengar
keterangan itu, sekilas ia lihatKiok-kiam dan Lam-kiam yang cantík manís
seketika hati Hi-tiok berdebar-debar. Waktu ia coba melihat dada sendiri, ia
lihat kotoran dan daki-daki yang biasa tertimbun di situ sekarang sudah
tergosok bersih. Ia menjadi ragu dan berkata, "Wah, aku benar-benar mabuk
untung masih dapat mandi sendiri."
"Semalam Cujin sama
sekali tidak sadarkan diri lagi," kata Lam-tiam dengan tartawa, "dan
kami berempatlah yang mencuci badan Cujin."
"Haaah?" teriak
Hi-tiok kaget dan hampir-hampir jatuh keblengar, berulang-ulang ia menjerit
pula. "Wah. cialat!"
Keruan Kiok-kiam dan Lam-kiam
ketakutan oleh sikap Hi tiok itu, cepat mereka bertanya, "Cujin, apakah
ada suatu yang tidak betul?"
"Aku adalah orang lelaki,
badanku kotor lagi berbau busuk, mana boleh kalian berempat mengerjakan
tugastügas yang tidak baik ini.” ujar Hi-tiok dengan menyengir.
"Kami berempat adalah
hamba Cujin yang setia andaikan hamba sekalian ada berbuat sesuatu kesalahan,
mohon Cujin memberi hukuman yang setimpal," kata Lim-kiam dengan khitmad.
Habis berkata bersama Kiokkiam mereka terus berlutut dan menyembah.
Melihat kedua dara cilik itu
marasa takut-takut padanya Hi-tiok menjadi teringat kepada Siopopo, Cio-soh dan
lain-lain yang pernah juga merasa takut ketika dirinya membalas hormat mereka
sekarang Kiok-kiam berdua juga ketakutan karena mendengar ucapannya yang
ramah-tamah, boleh jadi mereka sudah biasa dibawab pengaruh Tong lo yang berwatak
aneh itu, semakin nenek itu bersikap ramah dan berkata dengan halus, itu
berarti maut bagi orang yang diperlakukan dengan ramah-tamah itu.
Maka Hi-tiok berkata lagi,
"Ya, baiklah kalian boleh Keluar sana, aku sendiri dapat berpakaian dan
tidak perlu dilayanl kalian."
Terpaksa Kiok-kiam berdua
berbangkit dengan air mata berlinang-linang, mereka mengundurkan diri keluar
dengan menangis.
Hi-tiok menjadi heran, cepat
ia tanya pula, "He, ada apakahMengapa kalian menangis? Apa barangkali
ucapanku ada yang salah?"
Kiok-klam berdua berhenti di
luar pintu dan berkata, "Cujin, hal ini tentu disebabkan Cujin sudah ...
sudah jemu kepada kami..." Belum habis ucapannya air mata merekapun
bercucuran.
"O, tidak, tidak,"
sahut Hi-tiok sambil goyang-goyang tangan. "Mungkin aku tidak pandai
bicara sehingga kalian tidak paham rnaksudku. Soalnya aku adalah seorang lelaki
dari kálián adalah wanlta. ini menjadi……… menjádi kurang leluasa dan ...dan
sungguh aku tiáda bermaksud lain, Budha menjadi saksi, sungguh mati aku tidak
mendustai kalian."
Melihat gerak-gerik Hi-tiok
yang serba kikuk dan lucu itu. Kiok-kiam berdua menjadi geli, kata mereka
kemudian, "Maafkan kaml jika demikian halnya. Selamanya penghuni Leng-ciu-kiong
tidak pernah terdapat orang laki dan kami pun belum selamanya tidak pernah
melihat kaum lelaki. Cujin adalah langit dan hamba sekalian adalah bumi masakah
mesti dibeda-bedakan antara lelaki dan perempuan ségala?"
Dan segera Lam-kiam berdua mendekati
Hi tiok lagi untuk melayaninya berpakaian dan bersepatu. Tidak lama kemudian
Tlok-kiam dan Bwe-kiam juga datang, yang lalu menyisirkan rambut Hi-tiok, yang
lain mencucí
mukanya.
Karuan Hi tiok serba kikuk,
tapi juga tidak beranl bersuara lagi karena kuatir menimbulkan rasa kurang
senang keempat dayang itu.
Ia menduga Toan Ki tentu sudah
pergi jauh, untuk menyusulnya juga tidak keburu lagi, apalagi para TongCu dan
Tocu itu sedang memerlukan pértolongannya untuk memunahkan ,Sing-si-hu. mereka,
maka sesudah sarapan pagi, lalu ia menuju ke ruang pendopo untuk menemui
para.petualang itu kemudian ia menyembuhkan dulu dua orang yang paling
menderita karena siksaan racun Sing-si-hu.
Tapi untuk melenyapkan racun
Sing-sl-hu itu harus digunakan tenaga murni dengan memainkan
"Thian-sanliok-yan-Jiu,". Bagi Iwekang Hi-Tiok yang tinggi sekarang
sudah tentu tidak merasa lelah biarpun sekaligus berpuluh-puluh orang harus di
sembuhkannya. Soalnya Sing-si-hu yang dltanamkan Tong-lo pada badan para
petualang itu masing-masing berbeda tempatnya, untuk mencari tempatnya dan
memikirkan jalan memusnahkannya. hal inilah yang agak memusingkan Hi-tìok.
Sebab itulah, sampai lohor baru beberapa orang saja yang dapat disembuhkan oleh
Hi-tiok.
Sesudah mekan slang dan
istlrahat sébentar diam-diam Hi-tiok merasa kesal karéna tldak dapat memunahkan
para penderita itu dengan lancar.
Melihat sang majikan berkerut
kening dan pusing oleh cara memunahkan Sing-si-hu, tiba-tiba Bwe-kiam
memberitahu, "Cujin, di belakang istana leng-ciu-kiong ini terdapat banyak
ukiran dinding tinggalan majikanmajikan lama dari ratusan tahun yang lalu,
Hamba pernah mendengar cerita Tong lo yang mengatakan bahwà ukiran dinding itu
ada sangkut pautnya dengan Sing-si-hu. Apakah barangkali Cujin ada minat untuk melihatnya?”
Hi-tiok melonjak girang.
"Bagus" serunya dan segera ia minta Bwe-kiam berémpat mengantarnya.
Setiba di taman bunga belakang
Leng-ciu-long, beramai-ramai Bwe-kiam berempat memindahkan sebuah
gunung-gunungan sehingga dibawahnya terlihatlah sebuah lubang masuK Ke suatu
jalan di bawah tanah. Dengan membawa obor segera Bwe-kiam mendahului masuk ke
situ di ikuti Hi-tiok dan ketiga dayang lain.
Sepanjang jalan lorong itu
Bwe-kiam berkali-kali mematilkan pesawat rahasia yang dipasang di sltu agar tidak
menghamburkan senjata berbisa dan sebagainya. Jalan itu berliku-liku, terkadang
agak longgar dan lain saat menyempit lagi, nyata jalan itu dibuat di dalam gua
yang menembus kedalam perut gunung.
Sesudah sekian jauhnya mereka
menyusur jalan dalam gua alam itu, akhirnya Bwe-kiam manolak sebuah batu
besar sehingga terbukalah
sebuah pintu di bagian dalamnya adalah sebuah ruangan. Bwe-kiam berdiri
menyisih lalu berkata, "Silakan Cujin masuk, di dalam situ adalah sebuah
kamar batu, hamba sekalian tidak berani ikut masuk."
"Mengapa tidak berani?
Apakah di dalam itu berbahaya?"' tanya Hi-liok.
"Bukan karena berbahaya,
tapi ini adalah tempat suci Leng-ciu-kiorg kita, hamba sekalian tidak boleh
sembarangan masuk ke situ," sahut bwe-kiam.
"Ah, tidak apa-apa,
ayolah ikut masuk saja,” ujar Hi-tiok, "Jalan di luar sini terlalu sempit,
tentu kalian tak leluasa berdiri terus di sini."
Keempat dara cilik itu tampak
saling pandang dengan rasa girang. Maka Bwe-kiam berkata pula, "Cujin,
menurut pesan Tong lolo sebelum wafat,beliau menyatakan kepada hamba, berempat bila
kami tetap taat dan setia melayani beliau, tanpa berbuat sesuatu kesalahan,
maka setelah kami berusia 40 tahun, kami akan diperbolehkan masuk ke dalam
kamar batu ini, setiap tahun kami boleh tinggal satu hari di sini, untuk
mempelajari kungfu yang terukir didinding kamar itu. Sekarang walaupun Cujin
sangat berbudi baik hati, tapi apa yang pernah dikatakan Tong-lolo sekali-kali
kami tak boleh melangarnya, kami harus menunggu lagi selama 22 tahun."
"Hah, 22 tahun lagi? Kan
barabe? Tak kala mana kalian sendiri tentu juga sudah tua, lalu masih mampu apa
belajar ilmu silat lagi?" demikian kata Hi tiok. "Ayolah masuk saja
sekarang bersama aku!"
Keempat dayang itu menjadi
girang. Cepat mereka berlulut dan menyembah.
"Bangunlah, lekas
bangun!" kata Hi-tiok. "Tempat ini sangat sempit, tidak perlu banyak
adat.”
Kemudian mereka berlima
memasuki kamar batu itu bersama. Ternyata dinding sekeliling kamar itu tergosok
sangat licin, dinding dinding itu penuh terukir lingkaran-lingkaran sebenar
mangkuk im tiap-tiap lingkaran itu terukir pula gambar, ada gambar manusia, ada
gambar binatang, ada huruf-huruf yang sudah tidak lengkap lagi, ada pula
gambaran tanda-tanda dan garis-garis yang susah dipahami. Di sisi setiap
lingkaran itu, sedikitnya ada beberapa ratus buah, untuk melihatnya lagi tak
bisa habis seketika.
"Cujin, marilah kita
mengikutinya mulai dari nomor pertama, betul tidak?” ujar Bwe-kiam.
Hi-tiok mengangguk setuju.
Lalu dengan penerangan obor mereka berlima mulai meneliti gambar ukiran
pertama. Dan sekali pandang saja saja Hi-tiok mengenali lukisan itu menunjukkan
jurus pembukaan gaya Thian-san-ciat-bwe-jiu. Waktu memandang pula gambar kedua,
benar juga jurus kedua dari Thian san-ciatbwe-jiu dan begitu seterusnya.
Selesai gambar
Thian-san-ciat-bwe-jiu, menyusul adalah gambar penjelasan Thian-san-lion
yang-jiu, setiap gerak-geriknya dan setiap kunci sarinya telah ditulis semua di
dalam lingkaran yang terukir di dinding batu itu.
Sesudah gambar
Thian-san-lion-yang-jiu, selanjutnya adalah gerak tipu ilmu silat lain-lain.
Jurus ilmu silat itu meliputi
ilmu silat yang pernah diajarkan Tong-lo kepada Hi-tiok ketika nenek itu
bertanding dengan Li Jiu sui setelah lolos dari gudang es. Cuma
penjelasan-penjelasan dalam gambar sekarang ini dirasakan oleh Hi-tiok jauh
lebih jelas dan lebih lengkap daripada apa yang pernah didengarnya dari Tong lo
itu. Maka sedikit ia pikir saja segera ia dapat memahaminya dengan baik."
Tempo hari waktu Thian san
Tong Lo mengajarkan tipu-tipu silat itu kepada Hi-tiok untuk mengalahkan Li
Jiusui, saat itu karena terbatas oleh waktu, maka apa yang diajarkan nenek itu
hanya garis besarnya daripada setiap tipu silat itu, sedangkan saripati yang
paling bagus dan secara terperinci tak diajarkan. Sekarang Hi-tiok mengerahkan
hawa murni dalam tubuhnya menurut petunjuk-petunjuk yang dibacanya pada
gambar-gambar di dinding itu seketika ia merasa badannya sangat ringan dan
seakan-akan hendak mengapung sendiri.
Selagi Hi-tiok merasa
semangatnya berkobar-kobar dan tenaganya memuncak sekonyong-konyong didengarnya
suara jerit kaget orang. Hi-tiok terkejut ia menoleh dan melihat Lam-kiam dan
Tiok-kiam sedang terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh ke lantai. Bwe-kiam dan
Biok-kiam juga tampak sempoyongan sambil berpegangan dinding, wajahnya tampak
pucat.
Lekas-lekas Hi-tiok mendekat
dan membangunkan mereka, katanya, "Hai, ada apakah?"
"Cu ... Cujin,"
sahut Bwe-kiam dengan tak lancar, "kekuatan kami terlalu ... terlalu rendah
dan tidak dapat mengi ... mengikuti gambar-gambar dinding ini, biarlah kami ...
kami menunggu di luar saja,"
Habis berkata, keempat dara
itu lantas berjalan keluar, kamar batu itu dengan merambat dinding.
Hi-tiok tertegun sejenak,
kemudian ia pun menyusul keluar. Ia lihat keempat dayang itu duduk bersila di
jalan lorong itu dan sedang mengerahkan tenaga, badan mereka tertampak agak
gemetar dengan wajah pucat menderita.
Segera Hi-tiok tahu keempat
dayang itu telah terluka dalam yang tidak ringan, cepat ia gunakan
Thian-sanhok-yang-jiu untuk menepuk masing-masing satu kali di punggung mereka,
Seketika suatu arus hawa hangat segar menembus jalan darah keempat dayang itu
dan air muka mereka lantas segar kembali, tidak lama kemudian jidat meraka
tampak berkeringat, kemudian berturut-turut mendongak dan berseru, "Terima
kasih atas pertolongan Cujin.” Dan berbareng mereka pun menyembah.
"Sudahlah apa yang telah
terjadi, tanpa sebab kenapa kalian bisa terluka?" tanya Hi-tiok sambil
membangunkan mereka.
"Cujin," tutur
Bwe-kiam sambil, menghela napas, "baru sekarang kami tahu bahwa sebabnya
Tong-lolo suruh kami masuk ke kamar batu ini bila usia kami sudah 40 tahun,
ternyata beliau memang tidak ingin membikin susah kami. Ternyata gambar-gambar
dinding ini teramat hebat dan tinggi, kekuatan hamba sekalian masih belum
mencapai tarap yang cukup untuk mempelajarinya, Tapi dengan sembrono tadi hamba
berani coba-coba berlatih dengan mengikuti gambar-gambar itu, dan karena tenaga
tidak cukup, seketika hawa murni yang bergolak dalam tubuh nyasar ke urat nadi.
Coba kalau Cujin tidak lantasmenolong, tentu hamba sekalian akan celaka."
"O, kiranya demikian,
jika begitu, akulah yang salah, mestinya aku tidak boleh menyuruh kalian ikut
masuk ke situ." kata Hi-tiok.
Serentak-keempat, dayang itu
menyembah lagi dan minta ampun, " Ai, itu kan maksud baik Cujin adalah
salah hamba sendiri yang berani ikut-ikut berlatih secara sembrono."
Kemudian Bwe-kiam berkata,
"Dengan kekuatan Cujin yang maha tinggi, untuk melatih ilmu sakti menurut
gambar dinding itu tentu akan sangat besar manfaatnya. Dahulu Tong-lo sering
tinggal sampai berbulan-bulan dalam kamar batu itu untuk mempelajari ilmu sakti
itu. Sebabnya para keparat Tongcu dan Tocu itu berani menyerang Leng-ciu-kiong
tujuan mereka juga ingin mencari tahu di mana tempat penyimpanan benda pusaka
Tong lolo. Tapi para saudara tetap setia dan jujur, biarpun mati tidak
maumenyerah kepada mereka. Mestinya, kami berempat brrmaksud memancing kawanan
bangsat itu masuk ke jalan lorong batu ini, sekali hamba membuka pesawat
rahasia, sekaligus mereka akan binasa semua di sini."
"Ilmu sakti menurut
gambar di dinding itu memang maha hebat," ujar Hi-tiok. "Aku Cuma
melatih beberapa jurus di antaranya dan semangatku lantas terasa berkibar-kibar
dan tenagaku penuh, biarlah kita kembali saja dan akan ku sembuhkan
sing-si-humereka itu. Kalian sendiri boleh pergi mengaso dulu."
Segera mereka berlima keluar
dari jauh di bawah tanah itu, Hi-tiok kembali ke ruang pendopo dan beberapa
orang Tongcu di antaranya telah disembuhkan lagi.
Dan begitulah seterusnya,
singkatnya saja, setiap hari Hi-tiok tentu menggunakan Thian-san-liok-yang-jiu
untuk memunahkan racun Sing-si-hu para Tongcu dan Tocu itu. Bila semangatnya
terasa lesu dan tenaga kurang, segera ia pergi ke kamar batu untuk menyakinkan
ilmu sakti dengan ditunggui oleh Bwe-kiam berempat, mereka ...tidak pernah ikut
masuk lagi ke dalam kamar batu.
Di samping itu setiap hari
Hi-tiok juga memberi petunjuk ilmu silat kepada Bwe-kiam berempat dan para
wànita lain, ia mengajar dengan sungguh-sungguh dan secara adil tanpa pandang
bulu atau pilih kasih.
Keadaan begitu berlangsung
sampai hampir sebulan lamanya barulah Sing-si-hu para petualang itu dipunahkan
seluruhnya. Sebaliknya setiap hari Hi-tiok mempelajari ilmu sakti yang tertera
di dinding kamar batu. Itu sehingga kepandaiannya juga maju sangat pesat, jauh
berbeda daripada waktu mula-mula datang ke Biau-biauhong.
Sesudah racun Siag-si-hu
merasa disembuhkan, para Tongcu dan Tocu itu sudah tentu sangat berterima kasih
kepada Hi-tiok, apalagi Hi-tiok sangat ramah kepada mereka, biarpun mereka
adalah manusia yang tidak kenal apa artinya kebaikan, sekarang mau-tak-mau
mereka pun merasakan utang budi dan takluk betul-betul kepada Hi tiok.
Akhirnya mereka pun mohon diri
dan kembali ke tempatnya masing-masing sesudah menyatakan terima kasih.
Dengan perginya para petualang
itu, suasana di Biau-biau-hong menjadi sunyi, sekarang di atas gunung itu hanya
tinggal Hi-tiok sendiri merupakan satu-satunya orang lelaki. Dalam keadaan
kesepian Hi-tiok termenung, "Sejak kecil aku sudah yatim piatu dan
diberikan oleh Suhu di Siau-lin-si. Jika sejak kini aku tidak pulang ke
Siau-lim-si, rasanya aku menjadi lupa budi dan tidak ingat kebaikan Suhu. Maka
aku harus pulang ka sana. aku harus mengaku dosaku di depan Suhu dan
tongtiang."
Karena pikiran itu, segera ia
memberitahukan maksudnya itu kepada Bwe kiam berempat dan para wanita, hari itu
juga ia hendak berangkat dan segala urusan di Leng-ciu-hong ia serahkan kepada.
pimpinan Sio-popo dan Giok-soh sekalian.
Bwe-kiam berempat minta ikut
agar dapat selalu melayani sang majikan, tapi Hi-tiok berkata.
"Kepergianku ke Siau-lim-ti adalah untuk menjadi hwesio pula. Masakah di
dunia ini ada hwesio yang hidup dengan dilayani kaum dayang?”
Tapi Bwe-kiam berempat tidak
percaya dan tetap ingin ikut. Terpaksa Hi-tiok mengambil pisau cukur dan
mencukur rambut sendiri sehingga halus klimis dan kelihatan bintik-bintik hitam
bekas momotan api dupa di atas kepalanya.
Melihat itu barulah Bwe-kiam
berempat mau percaya, terpaksa mereka mengantar keberangkatan Hi-tiok dengan
rasa berat.
Sementara itu Hi-tiok sudah
berpakaian asalnya, yaitu pakaian hwesió Siau-lim-si. Dengan langkah lebar ia
langsung menuju pegunungan Siaw-lim-san. Karena wataknya suka mengalah, dengan
sendirinya sepanjang jalan tiada terjadi percekcokan dengan orang begitu pula
kaum penjahat juga tiada yang menaksir seorang hwesio miskin seperti dia. Maka
dengan aman akhirnya dia pulang sampai Siau-lim-si.
Sesudah pulang kandang, tanpa
terasa timbul rasa malu dan terharu Hi-tiok. Hanya dalam beberapa bulan saja ia
meninggalkan biara suci itu, tapi dirinya sudah melanggar pantangan agama
tentang membunuh, makanan barang berjiwa, minum arak dan wanita. Untuk dosanya
itu entah nanti Hong tiang dan gurunya akan mengampuninya atau tidak.
Begitulah dengan rasa tidak
tentram ia memasuki Siau-lim si dan langsung menemui gurunya Hui-Lun.
Melihat pulangnya Hi tiok
secara mendadak Hui-lun terperanjat juga dan segerà bertanya, "Aku
menyuruhmu mengirim surat, mengapa sampai sekarang baru pulang?"
Hi-tiok berlutut dan menyembah
dengan penuh menyesal sambil menangis mengerung-gerung, Tuturnya, "Suhu,
Tecu pun ... pantas dihukum mati. Sesudah Tecu turun gunung, Tecu menjadi lupa
daratan dan melanggar semua ajaran yang rasanya sering Suhuperingatkan
padaku."
Air muka Hui-lun berubah
seketika, ia menegaskan, "Apa? Kau ... kamu sembarangan makan?"
"Ya," sahut Hi-tiok.
"Bahkan lebih dari itu, akuu juga melanggar larangan lain,"
"Wah, dasar
sontoloyo," seru Hui-lun. "Jadi kamu ... juga telah minum arak
segala?"
"Ya, bahkan Tecu minum
sampai mabuk dan lupa daratan," sahut Hi-tiok.
Hui-lun menghela napas panjang
dan tiba-tiba air matanya berlinang-linang, katanya. "Sejak kecil kamu
tampaknya sangat jujur dan teguh imanmu, mengapa baru menginjak dunia ramai
lantas terjerumus ke kolam lumpur sedemikian pa? Ai, ei .... "
Melihat Suhu sangat berduka,
Hi-tiok bertambah gugup, katanya, "Suhu, larangan yang Tecu langgar bahkan
lebih dari itu, Tecu telah melanggar ... melanggar pula ... "
Belum lagi Hi-tiok sempat
menjelaskan dirinya telah melanggar pantangan membunuh dan main perempuan, tiba-tiba
terdengar suara genta tanda berkumpulnya para padri angkàtan Huí dalam
Siau-lim-si.
Maka Hui-lun lantas
berbangkit, iá mengusap air matanya dan berkata, "Terlalu banyak
pelanggaranmu maka aku pun sukar membelamu, bolehlah kaupergi sendiri ke Kai-lut-ih
(bagian pelaksana hukum) untuk melaporkan diri saja dan mungkin kamu akan
mendapat keringanan, Malahan aku sendiri pun takkan terluput dari
hukuman."
Habis berkata, ia ambil Kai-to
(golok paderi) yang tergantung di dinding dan buru-buru pergi ke ruang pendopo.
Segera Hi-tiok melapor sendiri
ke Kai lut-ih, setiba di depan ruangan, itu, dengan hormat ia berkata,
"Tecu Hitiok telah melanggar pantangan Budha, maka dengan sangat berharap
Tianglo menjatuhkan hukuman yang setimpal."
Berulang-ulang Hi-tiok
melapor, tapi tiada jawaban dari tertua Kai-lut-ih. Tiba-tiba dari dalam keluar
seorang padri setengah umur dan berkata padanya, "Siucu dan Cianglut
(kepala dan pelaksana) Susiok setiang ada urusan penting dan tiada tempo buat
mendengarkan laporanmu, boleh kamu berlutut dan tunggu saja di sini!"
Hi-tiok mengiakan dan menurut.
Tapi dari lohor ia tunggusehingga petang tetap tiada seorang pun yang
menggubris padanya. Untung iwekang Hi-tiok sekarang sudah sangat tinggi,
biarpun tidak makan minum dan berlutut setengah harian, tetap dia bertahan
tanpa merasa letih.
Sementara itu terdengar beduk
berbunyi, sudah waktunya para padri bersembahyang magrib, Pelahan Hi tiok juga
mengapalkan kitab suci dan berdoa menyatakan penyesalan atas dosanya.
Kemudian datang pula padri
setengah umur tadi dan berkata padanya, "Hi-tiok, dalam beberapa hari ini
biara kita sedang menghadapi urusan penting para Tianglo tiada tempo buat
mengurus perkaramu. Dengan sujud kamu telah berlutut dan berdoa di sini,
tampaknya kamu memang ingin memperbaiki kesalahanmu dengan sunggub-sungguh.
Maka boleh begini saja, sementara ini kau pergi ke kebun sayur untuk membantu
pikul rabuk dan menyiram tananam sambil menunggu panggilan. Jika para Tianglo
sudah senggang, tentu kamu akan dipanggil dan perkaramu akan diputuskan menurut
kesalahanmu yang sebenarnya.”
Dengan penuh khitmad Hi-tiok
mengiakan dan menyatakan terima kasih. Dan sasudah memberi hormat, lalui ia
berbangkit, karena dia tidak seketika diusir, maka ia menaruh harapan bahwa
dosanya mungkin akan dapat diampuni.
Segera ia menuju ke kebun
sayur untuk menemui padri pengurus kebun, yaitu Yan-kian Hwesio, kata Hi-tiok,
"Suheng aku telah melanggar peraturan biara kita, maka para Tianglo
menghukum aku bekerja berat di kebun sini."
Yan-kin itu seorang hwesio
yang tidak punya kepandaian, tapi suka usilan, suka ikut campur urusan
tetekbengek. Luas kebun sayur itu ada beberapa hektar, kuli kebun ada 30-40
orang, seterusnya di bawah pimpinan Yan-kin, maka sedikit banyak Yan-kis, suka
berlagak sebagai mandor besar. Sekarang mendengar laporan Hitiok itu, Yan kin
sangat girang segera ia tanya, "Larangan apa yang telah káulanggar?"
"Terlalu banyak dan sukar
diceritakan satu per satu," sahut Hi-tiok.
"Sukar diceritakan satu
per satu apa? Aku justru minta kamu mengaku secara jujur dan katakan padaku
dengan terus terang," ujar Yan-kin dengan gusar, "Jangankan cuma
seorang hwesio keroco sebagai dirimu, sekalipun para Tianglo bila dijatuhi
hukuman kerja di kebun ini, tentu juga akan kutanya apa dosa mereka dengan
jelas dan mereka harus menjawab dengan terus terang. Hm, melihat mukamu ini
merah gemuk, huh, tentu kamu telah melanggar pantangan makan, belum
tidak."
"Ya, memang benar,"
sahut Hi-tiok.
"Nah, apa katamu, sekali
terka saja lantas kena," demikian kata Yan-kin dengan sòmbong.
"Huh, bukan mustahil
diam-diam kaupun telah minum arak.”
"Ya, memang betul, pada
suatu hari aku telah minum arak sehingga mabuk dan tidak sadarkan diri,"
sahut Hitiok.
"Wah, berani betul kamu
ini, ya!” omel Yan-kin. "Dan biasanya bila kamu sudah kenyang menenggak
arak tentu hatimu akan terkilin dan memikirkan hal yang tidak-tidak, ya,
terasakan timbul napsu berahimu dan ingin tidur dengan orang perempuan, bahkan
tidak cuma ingin satu kali, sedikitnya kamu ingin tujuh atau delapan kali. Ayo
kamu berani mungkir?"
'Manaku berani berdusta kepada
Suheng," sahut Hi-tiok. "Bukan saja aku pernah ingin, bahkan sudah
pernah berbuat."
"Hah, malahan kamu sudah
pernah berbuat?" damprat Yan-kin dengan marah-marah, tapi hatinya sangat
senang karena tuduhannya diakui Hi-tiok. "Dasar kamu ini hwesio sontoloyo,
kamu telah merusak nama baik Siau-lim-si kita. Nah, selain melanggar pantangan
main perempuan, pelanggaran lain apa yang telah kaulakukan lagi? Mencuri? kamu
pernah nyolong barang milik orang lain, atau pernah berkelahi dengan orang
tidak?"
"Tidak cuma berkelahi
saja, bahkan pernah membunuh orang, malahan beberapa orang yang telah
kubunuh." sahut Hi-tiok dengan kepala menunduk.
"Hah, kamu pernah
membunuh orang?" Yan-kin menegas dengan, terkejut sambil menyurut mundur
beberapa tindak.
Dasar Yan-kin memang pengecut,
kepada kaum lemah dia suka menindas, terhadap orang jahat dia takut. Demi
mendengar Hi-tiòk mengaku pernah mambunuh orang, babkan lebih dari Seorang yang
dibunuhnya, karuan ia menjadi ketakutan dan kuatir kelau mendadak Hi-tiok
mengamuk tentu dia bukan tandingannya.
Sesudah menenangkan diri,
kemudian ia berbicara dengan nada ramah dan tertawa-tawa yang dibuat-buat,
"Biasanya ilmu silat memang pegang peranan pokok di dunia ini, bila mahir
ilmu silat, tentu suatu waktu bias membunuh orang. Wah kepandaian Sute tentu
sangat lihai."
"Sunguh memalukan kalau
kuceritakan, sedikit kepandaian yang kudapat dari perguruan kita sekarang sudah
punah semua, sedikit pun tidak tertinggal lagi," sahut Hl-tiok.
Kembali Yan-kin bergirang
pula, katanya, "Ehm, bagus, bagusi"
Ia sangka ilmu silat Hi-tiok
itu tentu dimusnahkan oleh Tianglo Siau-lím-si berhubung dosa Hi-tiok terlalu
besar.
Tapi segera terpikir pula
olehnya, "Walaupun ilmu silatnya katanya sudah punah, tapi bila ada sisa
sedikit saja tentu juga sukar kulawan."
Karena itu timbul suatu akalnya,
katanya segera, "Sute, kamu dihukum kerja berat di kebun sayur kan juga
ada
baiknya untuk menggembleng
jiwarnu agat kelak lebih teguh. Menurut peraturan kita di sini, barang siapa
melanggar pantangan agama, terutama yang tangannya pernah berlumuran darah,
maka untuk bekerja di sini dia harus diborgol kaki dan tangannya. Ini adalah
peraturan turun temurun leluhur kita, entah Suté mau tunduk tidak pada
peraturan ini. Jika tidak mau, biarlah aku meneruskan persoalan ini kepada
Kai-lut-ih,"
"Jika memang begitu
peraturannya sudah tentu aku menurut saja," kata Hi-tiok.
Diam-diam Yan-kin bergirang,
segera ia mengeluarkan borgo! Dan membelenggu tangan dan kaki Hi-tiok. Di
bagian pelaksana hukum biara dan kebun sayur itu memang selain tersedia borgol
yang biasanya digunakan untuk menghukum padri jahat yang melanggar peraturan.
Maklum, padri-padri Sau-llm-si itu berjumlah tidak sedikit dan dengan
sendirinya terkadang ada satu-dua di antaranya yang berbuat kejahatan.
Begitulah, maka Yan-kin
menjadi besar pula hatinya setelah Hi-tiok diborgol. Dengan mentang-mentang ia
lantas mendamprat, "Hwesío geblek, usiamu masih semuda ini tapi nyalimu
sudah sebesar langit dan berani melanggar pantangan apa pun. Hari ini kalau
tidak kuberi hukuman yang setimpal padamu rasanya sukar melampiaskan hatiku
yang gemas."
Habis berkata la terus
mengambil sebatang ranting kayu dan menyabet serabulan pada kepala Hi-tíok.
Sedikit pun Hi-tiok tidak mengelak dan tidak melawan, dia cuma berdoa saja
sambil menahan rasa sakit dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya dan
tidak berani menolak dangan tenaga dalam yang kuat. Karena itu, hanya sebentar
saja kepala dan mukanya sudah babak-belur dan berdarah.
Melihat Hi-tiok diam saja
dihajar,tidak mengelak dan tidak membantah, keruan Yan-kin tambah dapat hati,
ia percaya penuh Ilmu silat Hi-liok tentu sudah punah semua, maka ia boleh
menviiksanya sepuas-puasnya. Apalagi kalau mengingat Hi-tiok telah makan daging
dan minum arak sampai mabuk, main perempuan pula dengan segala kenikmatan, sebaliknya
dirinya sendiri hidup percuma selama lebih 40 tahun dan selamanya tidak pernah
mencicip apa-apa yang telah dirasakan oleh Hi tiok itu, teringat semua itu,
seketika timbul rasa dengki dan siriknya, segera ia menghajar dengan lebih
keras sampai ranting kayu itu patah barulah dia berhenti.
Akhirnya dengan suara gemas ia
berkata pula, "Sekarang pergilah, setiap hari kamu hurus mengangkut 300
pikul air rabuk untuk menyiram tananam sayur, kalau kurang satu pikul saja
tentu akan kuhantam patah kedua kakimu dengan pentung atau kayu pikulan."
Sesudah dihajar Yan-kin,
bukannya dendam, sebaliknya Hi-tiok merasa lega malah. Pikirnya, "Aku
telah melanggar peraturan sebanyak itu, memangnya aku pantas dihukum berat,
semakin berat hukuman yarg kuterima, semakin ringan pula dosa yang kutanggung
ini."
Maka cepat ia menyatakan taat
kepada perintah Yan-kin Itu, ia pergi ke serambi belakang untuk mengambil tong
rabuk dan pikulan, lalu pergi mengambil air rabuk untuk menyiram sayur.
Menyiram sayur adalah
pekerjaan yang makan waktu dan kudu sabar, segayung demi segayung diciduk dari
tong air untuk menghabiskan 300 Pikul sudah tentu bukan pekerjaan sekejap
waktu.
Namun sedikit pun Hi-tiok
tidak berhenti kerja giat dan rajin, malahan untuk itu ia kerja lembur, sampai
fajar menyingsing pun belum rampung. Untung tenaga dalam Hi-tiok sangat kuat,
ia tidak merasa letih, sesudah 300 pikul air rabuk dan sedemikian dikerjakan
barulah dia pergi ke kandang kayu untuk tidur.
Tapi baru sebentar saja ia
Lepus, Yan-kin sudah datang dan membangunkan dia dengan tendangan dan gebukan
sambil memaki, "Hwesio malas pagi-pagi begini sudah tidur di sini! Ayo
lekas pergi memotong kayu!"
Hi-tiok mengiakan saja tanpa
membantah, segera perintah itu dikerjakan dengan baik.
Begitulah berturut-turut lima
atau enam hari Hi-tiok memotong kayu dan menyiram sayur, dicambuk dan dihajar
sehingga sekujur badannya penuh luka, entah berapa kali dia dipentung dan
dicambuk oleh Yan-kin.
Sampai hari ketujuh, ketika
Hi-tiok sedang menyiram sayur, tiba-tiba terdengar Yan-kin mendatanginya.
Hitiok tidak heran bila bakal terima dampratan dan bayaran pula.
Di luar dugaan, tiba-tiba
Yan-kin menyapa padanya, "Wah, Sute tentu sangat lelah!"
Berbareng ia terus
mengeluarkan kunci untuk membuka borgol Hi-tiok.
"Ah, sudah biasa masih
kurang sedikit, bila selesai barulah aku pergi mengaso," sahut Hi-tiok.
"Sudahlah Sute boleh
pergi mengaso saja hari ini biar kukerjakan untukmu." kata Yan-kin.
"Silakan sute pergi makan
dulu, daharan sudah tersedia di dalam rumah sana. Selama beberapa hari ini aku
telah banyak berbuat kajur padamu, sungguh aku sangat menyesal, harap Sute suka
memaafkan."
Mendengar nada Yan-kin itu
mendadak berubah 160 derajat, Hi-tiok sangat heran. Ketika ia berpaling, ia
lihat mata dan hidung Yan-king matang biru seperti habis dihajar orang. Keruan
Hi-tiok tambah heran.
Sebaliknyn Yan-kin tampah
takut-takut, dan merengek-rangek, "Ai, dasar mataku sudah lamur dan buram
berbuat kasar pada Sute, jika ... jika sute tidak sudi mengampuni aku hatiku
... celaka... celakalah diriku."
"Aku sendiri berdosa dan
pantas dihukum, apa yang dilakukan Suheng juga sudah pada tempatnya," ujar
Hitiok.
Air rnuka Yan-kin mendadak
berubah, "plak-plok", plak-plok tiba-tiba ia tempeleng muka sendiri
beberapa kali, lalu berkata, "Sute, O, Sute, mohon belas kasihanmu,
Jangan……janganlah marah padaku, aku .... "
Habis berkata, kembali
berulang-ulang ia tampar muka sendiri dengan keras. Tentu saja Hi-tiok
terheran-heran, tanyanya,.
"Hei, kenapa Suheng ini?
Mengapa berbuat demikian!"
Tapi Yan-kin terus berlutut,
ia pegang, baju Hi-tiok dan berkata, "Mohon ... mohon Sute memberi ampuun,
kalau ... kalau tidak, maka kedua biji mataku ini sukar diselamatkan lagi.
"Ah. bagaimana Suheng ini
sama sekali aku tidak paham maksudmu," sahut Hi-tiok dengan bingung.
"Ya, asal Sute suka
mengampuni aku dan takkan mencukil biji mataku, maka selama hidup aku akan
mengabdi padamu sebagai balas budimu yang besar ini," kata pula yan-kin.
"Sungguh aneh Suheng ini,
bilakah aku pernah menyatakan hendak mencukil matamu?" sahut Hi tiok
dengan melongo.
Air muka Yan-kin tampah pucat
pasi, katanya, "Jika Sute berkeras tidak sudi memberi ampun, dasar mataku
sendiri yang sudah lamur, terpaksa aku melaksanakan hukumanku sendiri."
Habis berkata terus ia
menjulurkan dua jari tangan dan bertidak mencolok matanya sendiri.
Namun Hi-tiok sempat memegang
tangan Yan-kin dan bertanya, "Siapakah yang memaksamu mencukit mata
sendiri?"
"Aku ... aku tak berani
bilang, kalau ... tahu kukatakan tentüJi ... jiwaku akan melayang," sahut
Yan-kin dengan ketakutan.
Hi-tiok tambah heran, ia tidak
tahu siapakah orang dalam siau-lim-si yang mempunyai pengaruh sedemikian besar
sehingga membuat Yan-kin ketakutan setengah mati."
Ia coba tanya lagi,
"Apakah kaumaksud tadi Hongtiang (ketua)?" .
"Bukan," sahut
Yan-kin.
"Habis siapa? Apa para
Tianglo dari Tat-hi jiu, Lo-li tin-ih atau Kai-hit-ih?" Hi-tiok mendesak
pula.
Tapi Yan-kin tetap menjawab
bukan katanya, "Sute, aku tidak berani menjelaskan siapa orangnya, aku
hanya mohon engkau suka mengampuni aku. Kata mereka jika aku ingin
menyelamatkan mataku, asal engkau sendiri yang mengucapkan mengampunì dosaku,
maka selamatlah aku."
Sembari bicara tampak dia
melirik ke samping dengan rasa takut. Waktu Hi-tiok memandang ke arah yang
dilirik Yan-kin itu, ia lihat di bawah emper rumah sana duduk empat padri,
semuanya berjubah padrì warna kelabu dan berkopiah, muka mereka menghadap ke
sana sehingga tidak jelas terlihat.
Diam-diam Hi-tiok heran,
"Apakah ke empat suheng ini yang dia maksudkan. Tentu mereka adalah orang
penting dalam biara, karena Yan-kin suka mengganas pada hwesio yang dihukum
kerja di kebun, maka sekarang mereka memberi ganjaran setimpal kepada Yan-kin.
Tapi akhirnya Hi-tiok berkata
juga, "Sudahlah aku tidak marah pada suheng, sudah sejak tadi aku
mengampuni kesalahanmu."
Sungguh girang Yan-kin tidak
kepalang, cepat ia menyembah pula sehingga kepalanya penuh berlepotan air rabuk
yang berbau busuk, tapi sedikit pun dia tidak menghiraukan.
"Lekas bangun, suheng
jangan melakukan penghormatan sebesar ini," kata Hi-tiok.
Sesudah berdiri dengan penuh
hormat Yan-kin mengundang Hi-tiok ke ruang makan, ia menuangkan teh dan
mengambilkan nasi dan lauk-pauk, ia melayani Hi-tiok sendiri dengan servis
lengkap.
Karena tak bisa menolak lagi,
terpaksa Hi-tiok membiarkan Yan-kin melayaninya. Bahkan tiba-tiba Yan-kin
berbisik-bisik padanya, "Apa sute ingín minum arak? Dan daging anjing?
Mau? jika mau segera akan kucarikan."
"Wah, Omitohud!
Dosa-dosa! Mana boleh ini!" demikian Hi-tiok terkejut dan berdoa.
Sebaliknya Yan-kin malah mengedip
dan memicingkan matanya dengan penuh rahasia, lalu berbisik pula, "Jangan
kuatir, segala dosa aku yang tanggung. Biarpun segera kupergi mengambilkan
untuk dinikmati Sute."
"Jangan, jangan!
Perbuatan yang melanggar pantangan ini sekali kali jangan Suheng sebut-sebut
lagi," cepat Hi-tiok memerintahnya.
"Jika Sute merasa tidak
aman makan minum puasnya di sini, boleh juga Sute keluar biara dan turun gunung
sana," ujar Yan-kin pula. "Bila nanti Kai-lut-ih tanya, biarlah
kukatakan Sute sedang kusuruh pergi membeli bahan keperluan kebun, tentu akan
kututupi apa yang terjadi ini, tidak perlu kuatir."
Hi tiok menjadi kurang senang
oleh ucapan Yan-kin yang makin tidak pantas itu, katanya dangan goyanggoyang
tangan, "Dengan sujud kau menyadari dosaku yang sudah-sudah, maka segala
larangan tak berani kulanggar lagi. Apa yang Suheng katakan barusan ini jangan
disinggung-singgung pula."
Tarpaksa Yan-kin mengiakan,
Tapi dalam hati ia mengomel, "Huh, dasar hwesio Sontoloyo, pakai pura-pura
segala."
Karena Hi-tiok sudah berkata
begitu, terpaksa ia tidak berani banyak rewel lagi, gegerutu ia melayani
Hi-tiok dahar apa adanya, lalu menyilahkannya mengaso ke kamar tidur Yan-kin
sendiri.
Begitulah selama beberapa hari
Yan-kin terus melayani Hi-tiok dengan penuh hormat dan sangat baik melebihi
melayani kakek-moyangnya.
Pada hari ketiga sesudah
Hi-tiok makan siang, Yan-kin menyeduh satu teko teh wangi, ia menuangkan
secawan dan disuguhkan kepada Hi tiok dengan hormat.
"Ai, mengapa Suheng
sedemikian sungkan padaku," kata Hi-tiok. "Aku adalah seorang berdosa
yang sedang menunggu hukuman, sungguh aku merasa tidak enak bila Suheng
sedemikian baik padaku."
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong terdengar suara genta ditabuh bertalu-talu dan tak
terputus-putus, itulah tanda berkumpulnya semua padri Siau-lim-si. Suara
demikian jarang dibunyikan kecuali hari-hari penting, setiap tahun belum tentu
terjadi itu-dua kali.
Muka berkatalah Yan-kin,
"Hongtiang membunyikan genta untuk mengumpulkan kita mari kita pergi ke
Taihiong-po-tian (pendopo utama)."
Hi-tiok menyatakan setuju dan
beramai-ramai dengan belasan padri lain buru-buru mereka menuju ke ruang
pendopo.
Di sana tertampak sudah
berkumpul dua ratus orang sedang padri lain masih berbondong-bondong datang.
Hanya dalam sekejap saja seluruh penghuni biara, sebanyak 500 orang lebih sudah
berkumpul di situ dan berbaris menurut urut-urutan tingkatan masing-masing.
Walaupun jumlah orang sangat
banyak, tapi semuanya sangat prihatin dan diam saja sehingga suasana pendopo
sunyi lenyap. Hi-tiok berbaris di antara padri angkatan yang memakai gelar
"Hi". Sekilas ia lihat wajah padri
angkatan yang lebih tua tampak
sangat serius, sangat prihatin.
Diam-diam Hi-tiok kebat-kebit,
"Wah, jangan-jangan dosaku terlalu besar, maka Hongtiang sengaja
mengumpulkan segenap padri untuk menyaksikan hukumanku. Melihat gelagatnya,
naga-naganya bukan mustahil aku akan dipecat dan diusir pula dari sini."
Tengah berpikir dan kuatir,
tiba-tiba terdengar mara genta dipalu tiga kali, serentak semua padri
mengucapkan, "Omitohud!"
Lalu ketua Siau lim-ii,
Hian-cu dan tiga padri angkatan "Hian" diiringi tujuh padri lain
muncul dari belakang sana. Serentak para padri membungkuk tubuh untuk memberi
hormat, Kemudian. Kian-cu mengambil tempal duduk masing-masing dan ketujuh
padri yang tak dikenal itu pun menduduki tempat tamu.
Waktu Hi-tiok memperhatikan
ketujuh padri itu, usia mereka tampak sudah tua dan dari dandanan mereka terang
adalah padri tamu dari biara lain. Padri pertama yang duduk di ujung atas
berusia paling tua, kira-kira ada 70 tahun, tubuhnya kecil tapi sinar matanya
tajam berkilat-kìlat dan berwibawa.
Segera Hian-cu berseru kepeda
para padri, "Ini adalah Sin-kong Siangjiu, Hongtiang jing liong-si di
Ngo-tailan, harap kalian memberi hormat."
Diam-diam para padri
Siau-lim-si berseru heran. Mereka tahu Sin-kong Siangjin sangat terkenal di
dunia persilatan, dia dan Hian-cu Taisu disebut orang Bu-lim sebagal
Hang-liong-lo han dan Hok-hou-lo-han, yaitu nama dua Budha penakluk naga dan
harimau sebagai tanda penghargaan kepada mereka.
Melulu bicara tentang ilmu
adat, konon kepandaian Sin-kong Siangjin masih di atas Hian-cu.
Cuma Jing-liang-si lebih
kecil, kedudukannya di dunia persilatan jugi jauh di bawah Siau-lim-si, maka
bicara tenteng nama sebaliknya Hian-cu lebih terkenal dan disegani.
Biasanya Sin-kong Siangjin
terkenal sangatangkuh, jarang dia bergaul dengan dunia persilatan hubungan dengan
Siau-lim-si juga tidak baik tapi sekarang dia berkunjung sendiri ke Siau-lim-si
maka dapat dikatakan tentu ada sesuatu yang luar biasa.
Begitulah sesudah para padri
memberi hormat kepada Sin-kong, lalu Hian-cu memperkenalkan pula keenam padri
yang lain.
Keenam Taisu ini juga ada yang
datang dari Jing-liang-si, adapula Cuma kenalan Sin-kong Siangjin saja. Tapi
semuanya adalah pada agung dan saleh.
"Sungguh kita harus
merasa bahagia hari ini mendapatkehormatan atas kunjungan mereka, maka aku
sengaja mengumpulkan kalian untuk berkenalan dengan Siangjin, diharap Siangjin
suka memberikan ceramah seperlunya demi perkembangan agama kita.”
Untuk itu segenap padri
Siau-lim-si mengucapkan terima kasih.
"Jangan sungkan,"
sahut Sin-kong Siangjin. Dia bertubuh pendek kecil, tapi suaranya kecil nyaring
dan keras sebagai auman siaga heran semua orang terkejut.
Maka terdengar sih kong
Siangjiu melanjutkan, "Siau-lim-si adalah sebuah biara suci yang terpuji,
sudah lama sekali aku sangat mengaguminya maka pada 60 tahun yang lalu pernah
kudatang kemari untuk mohon diterima sebagai murid tetapi rupanya aku tidak
memenuhi syarat dan ditolak. Kini 60 tahun kemudian aku berkunjung kemari lagi,
keadaan tempat tampaknya masih tetap sama, cuma orangnya yang sudah jauh
berbeda, sungguh halus dibuat gegetun."
Mendengar ucapan Sin-kong itu,
kembali para padri terkesiap. Dari nadanya itu terang dia agak dendam pada
Siau-lim-si, maka bukan mustahil kedatangannya ini bertujuan hendak cari
perkara.
Watak Hian-cu agak ramah dan
sabar, maka dengan tenang ia menjawab, " O , kiranya dahulu Suheng pernah
ingin masuki Siau-Lim-si kita. Walaupun tidak jadi, tapi biara agung di dunla
ini sama saja, buktinya hari ini Suheng dapat menjadi pemimpin Jing-liang-si,
hal ini pun merupakan kehormatan bagi murid-murid Budha seluruhnya, Adapun
dahulu Suheng telah ditolak oleh Siau-lim-si sehingga membuat Suheng kurang
senang untuk itu di sini kumuhonkan maaf sebesar-besanya. Namun begitu akhirnya
Suhong dapat memimpin suatu cabang tersendiri dan sangat berjasa bagi agama
kita, kalau diingat rasanya pertemuan ini memang sudah takdir dan jodoh."
Habis berkata ia merangkap
tangannya dan memberi hormat,
Sin-liong Siangjin berbangkit
dan membalas hormat Hian-cu lalu sahutnya, "Sebenarnya dahulu kumohon
diterima di Siau-lim-si adalah lantaran sangat kagum kepada kepemimpinan
Siau-Lim-si yang terkenal di dunia persilatan, tapi yang lebih penting adalah
karena Siau-lim-si terkenal mempunyai disiplin yang keras dan peraturan yang
baik, segala apa mengutamakan pri-keadilan."
Sampai di sini, mendadak sinar
matanya (sng berkilat-kilat itu mengerling patung Budha yang terpuja di ruang
pendopo itu, lalu sambungnya dengan mengejek, "Tapi tidak nyana bahwa di
dunia ini ternyata banyak terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Tahu begini jauh baik dahulu aku tidak perluberkunjung ke sini."
Ucapan Sin-kong yang terakhir
im seketika membuat para padri Siau-lim-si merasa kurang sening. Cuma disiplin
Siau-lim-si sangat keras biarpun mereka merasa gusar, tetap mareka diam saja.
Maka Hian-cu Hongtiong lantas
menjawab,”Sancai, Siancai! Mengapa suheng berkata demikian? Andaikan di antara
anggota biara kami yang sangat banyak ini ada yang berbuat salah untuk ini
harap suheng suka bicara terang agar kalau salah biar dihukum, kalau keliru
biar diperbaiki. Tapi dengan ucapan Suheng barusan seakanakan nama baik Siau
lim-si yang bersejarah beratus tahun ini telah Suheng hapus dengan sekaligus,
hal ini sesungguhnya agak keterlaluan."
"Numpang tanya Suheng,
biara kita ini apakah kantor pembesar negeri atau sarang penyamun?” tanya
Sìnkong Siang jin.
"Siaucang tidak paham apa
maksud perkataan suheng, mohon diberi penjelasan," sahut Hian-cu.
"Kalau pembesar negeri
memang suka menangkap dan memenjarakan orang penyamun suka menculik orang dan
minta tebusan, semua itu adalah kejadian biasa," kata Sin-kong.
"Tetapi siau-lim-si bukan kantor pembesar dan juga bukan sarang penyamun,
mengapa boleh sembarangan menahan orang dan dilarang pergi. Numpang tanya
Suheng dengan perbuatan Siau-lim-si yang sewenang-wenang ini apakah masih dapat
disebut sebagai tempat suci agama Budha?"
Sekilas Hian-cu melirik padri
keempat yang duduk dibaris Sin-kong itu diam-diam ia membatin, "Mata padri
itu cekung, kulitnya hitam, memang tidak sangsi dia bukan padri sini, sekarang
hadir disini dan memang datang dari Thian-lok terang kedatangannya ini hendak
memintaPolo Sing cuma tidak diketahui mengapa dia bisa bersekongkol dengan
Sin-kong dari Jing-liang-pai.”
Tiba-tiba ia mendapat pikiran,
segera ia bertanya, "Suheng ada sesuatu yang tidak jelas, mohon Suheng
memberi keterangan. Umpama kalau seseorang mengerayangi Ngo-tai-san dan hendak
mencuri kitab pusaka kalian "Hok-hou-boh” dan laia-lain lantas cara
bagaimana Suheng akan mengambil tindakan terhadap orang itu."
Sin-kong bergelak tertawa, ia
berpaling dan berkata kepada padri bermuka hitam itu. "Maha,dengan
demikian jadi Hian-cu Taisu telah mengaku sendiri bahwa Polo Singh Suheng
memang betul di Sian-lim-si sini."
Kiranya paderi muka hitam itu
tak lain tak bukan adalah Cilo Singh, Suheng Polo Singh yang tempo hari pernah
bertemu dengan Goan-cl di tengah jalan dan telah dikalahkan serta ngacir
kembali ke Thian-tiok, tapi di tengah jalan dia bertemu dangan seorang padri
Tionghoa yang tua dan bertongkat baja, padri tua itu tiada hentinya
mengamat-amati Cilo Singh dengan sikap yang mencurigakan.
Memangnya Ciio Singh lagi
msndongkol, karena dia fasih bahasa Tionghoa, segera ia tegur padri tua itu
secara kasar dan menyuruh dia lekas enyah. Dasar watak padri tua itupun
berangasan sekali cekcok maka bertempuriah kedua orang itu.
Lebih satu jam lamanya mereka
bertempur dan tetap sama kuat, Sampai hari sudah hampir gelap, tiba-tiba padri
tua itu berteriak minta pertempuran diberhentikan, katanya, "Hai, padri
asing ilmu silatmu sangat tinggi, cuma sayang perangaimu terlalu kasar dan
kurang sopan.”
"Ah, kaupun setali tiga
uang, tidak perlu mengolok-olok aku," sahut Cilo Singh.
Memang di antara mereka tiada
bermusùhan apa-apa, sesudah bertarung sekian lama, timbul rasa suka satu sama
lain di antara mereka, maka mereka lantas saling tanya nama masing-masing.
Ternyata padri tua itu
bergelar Sin-im, dia adalah Sute Sin-kong Siangjin, ketua Jing-liang-si,
Kemudian Sinlm tanya maksud kedatangan Cilo Singh ke Tionghoa ini yang dijawab
oieh Cilo Singh tentang ditahannys Polo Singh di Siau-lim-si.
Dasar sifat Sin-im memang suka
usilan, suka cari perkara, pula sudah lama dia merase iri kepada Siau Lim Si
yang tersohor itu, terdorong lagl oleh perangainya yang sok dihadapan sahabat
baru itu, maka ia berkata, "ilmusilat Suhengku Sin kong tiada tandingannya
di dunia ini, selama ini S¡au-lim-si juga tak dipandang sebelah mata oleh
beliau. Marilah kuperkenal kan engkau kepada suhengku itu, tentu beliau dapat
membantumu menolong Sutemu.”
Begitulah maka Sin-im membawa
Cilo Singh pulang ke Jìng-Liang-si untuk menemui Sin-kong.
Kalau Sin im itu seorang yang
kasar, sebaliknya sin-kong adaiah seorang yang pintar menggunakan otak. Ia
pikir ketua Siau-lim-sl adalah seorang yang ramah tamah, kalau dia sampai
menahan Polo Singh, dapat diduga pasti ada sebab pula yang penting.
Segera ia melayani Cilo Singh
dengan baik dan perlahan memancing keterangannya, tidak sampai setengah bulan,
segala rahasia Cilo Singh telah dapat dikorek. Dapat diketahui oleh Sin-kong
bahwa kepergian polo Singh ke Siau lim si itu adalah ingin mendapatkan kitab
pusaka jika kitab itu belum didapat dan tertangkap
paling-paling Polo Singh akan
digebah pergi dan selesailah urusannya.
Tapi sekarang Polo Singh
ditahan dan dilarang pergi, jelas karena kitab yang hendaki dicuri itu sudah
terpegang oleh Polo Singh dan tentu pula sudah diapalkan isinya. Pula kalau
kitab yang dicuri itu adalah kitab ajaran agama biasa, tentu siau-lim-si tidak
perlu ribut, bila sekarang Polo singh sampai ditahan, maka dapat dipastikan
kitab yang dicuri tentu kitab pusaka tentang ilmu rahasia Siau-lim-si.
Teringat akan "kitab
pusaka ilmu silat Siau-lim-si," seketika Sin-kong sangat, tertarik dan
berhasrat memilikinya.
Hendaklah maklum bahwa
Sin-kong ini sesungguhnya seorang yang berbakat sangat tinggi. seorang jenius
yang jarang ada. Cuma sayang sumber Ilmu silat Jing-liong-si itu jauh
dibandingkan Siau-lim-si, apa yang dapat diyakinkan Sin kong itu sangat
terbatas dan sebagian besar juga tergolong kepandaian kasaran yang tak bisa
dianggap sebagai kungfu kelas satu. Namun begitu toh ilmu silat Sin-kong juga
terlatih sampai tingkatan yang tinggi sekali ini membuktikan betapa cerdas dan
tinggi bakat pambawaan Sin-kong.
Dahulu waktu dia mohon masuk
menjadi murid Siau-lim-si, tatkala itu ia baru berumur 17 tahunan, Biau-yap
Siansu, ketua Siau-lim-si pada waktu itu, merasa kecerdasan Sin-kong itu
terlalu menonjol, sebaliknya jiwanya kerdil dan bukan seorang ahli waris baik,
jika diterima masuk siau-lim-si tentu di kemudian hari akan menimbulkan
gara-gara, maka dia telah menolaknya dengan kata-kata halus. Lantaran itulah
Sin-kong akhirnya masuk Jing-liang-si dan ketika usianya baru 30 tahun
kepandainnya sudah menjago seluruh biara itu, bahkan tidak lama kemudian
diangkat pula sebagai ahli waris dan menjadi ketua Jing-liong-si.
Dengan kepandaiannya sekarang
Sin-kong tentu sudah jauh melampaui segala kitab pusaka Jing liong-si yang ada,
untuk bisa menanjak lebih tinggi lagi terang sukar kecuali mencari jalan keluar
lain.
Sekarang ia dengar keterangan
Cilo Singh itu, setelah dipikir beberapa hari akhirnya ia mengambil suatu
keputusan, ia akan tampil ke muka untuk membantu Cilo Singh dan membebaskan
Polo Singh dari tahanan Siau-lim-si.
Ia tahu jumlah orang Siau
lim-si sangat banyak tapi tentunya alim dan suka bicara tentang kebenaran,
sebagai murid Budha masakah mereka berani menahan orang secara paksa dan asal
Polo Singh dapat dikeluarkan, rasanya tidak susah untuk mengorek rahasianya
tentang ilmu silat biara Siau lim-si.
Karena itulah, segera ia
mengirim anak buahnya untuk menyampaikan undangan kepada Hong-beng Taisu dari
Tai-siang-kok-si di thai-long-hu. To-jing Taisu dari Bo-to-si di daerah
kanglam, Kat-hian Taisu dari Tong-limsi di Lo-San dan Yong-ti Taisu dari
Ceng-eng-si di Tiang lam. Bersama keempat padri agung itu, ditambah Kim-im dan
Cilo Singh, mereka bertujuh lantas mendatangi Siau-lim-si.
Kedudukan keempat padri agung
itu meski bukan ketua sesuatu golongan tapi nama mereka cukup terkenal di
Bu-lim, cuma mereka labih mengutamakan ajaran agama daripada ilmu silatnya,
tapi kedudukan mereka menjadi kurang menonjol di biara masing-masing.
Kembali tadi demi mendengar
Sin-kong Sianjin mengatakan dia telah mengaku sendiri adanya Polo Singh, nada
Sin-kong itu pun penuh itu, biarpun Hian-cu biasanya sangat sabar, tanpa terasa
timbul juga rasa gusarnya, segera ia berkata, "Padri Thian liok yang
bernama Polo singh itu memang benar pernah berkunjung kesini, mengenai hal ini
bilakah aku pernah memenyangkal?”
”Kalau tidak menyangkal,
itulah paling baik” Seru Sin-kong sambil terbahak bahak. "Nah, mereka
adalah Liong-beng Taisu dan Siang-kok-si di si-hong, dan ini adalah Kat-hian
Taisu dari tong-lim-si di Lo-san, yang itu adalah Yong-ti Taisu dari
Ceng-eng-si di Tiang an dan yang terakhir itu adalah To-jing Taisu dari
Bo-to-si dari Kang lam. Mereka semuanya padri agung dari biara paling terkenal
di negarl ini, aku sengaja mengundang meraka ke sini dengan permohonan mereka
suka menjadi saksi. Baru saja Hong lang Suheng mengaku Polo Singh dari
Thian-liok memang berada di biara kalian ini, maka diharap sekarang juga suka
bebaskan dia agar dapat pulang ke negeri asalnya dan supaya sesama kaum kita di
negeri sahabat itu tidak mengatakan kita berlaku sewenang-wenang dan menahan
saudara sendiri sesama agama."
Begitulah dengan kata-kata
tajam Sin-kong menuduh Siau-lim-si menahan kawan sesama agama maka bagi orang
Siau lim-si yang tak tahu kejadian sebenarnya, mereka menduga Hian-cu tentu
akan terpaksa membebaskan Polo Singh.
Maka terdengarlah Hian-cu
menjawab, "O, kiranya keempat Taisu itu adalah tokoh yang sangat terkenal
di Bulim, sudah lama sekali kukagum kepada nama mereka, sekarang dapat
berkenalan, sungguh sangat beruntung!"
Habis berkata, segera ia
merangkap tangan untuk memberi hormat. Ia sengaja bicara menyimpang kepada
halhal yang bukan mengenai persoalan pokok untuk mengulur tempo sembari mencari
akal cara bagaimana harus menghadapi Sin-kong Siangjìn.
Keempat padri agung itu
berbangkit untuk membalas hormat, sahut mereka, "Jika Polo Singh Suheng
dari Thian-tiok memang betul berada di sini, bila dia telah melanggar sesuatu
pentangan dan membikin marah Hong-tiang, untuk itu diharapkan Hongtiang suka
mengingat sesama agama dan membiarkan Cilo Singh Suheng ini membawa kembali
Sutenya, untuk itu kami merasa sangat berterima kasih."
Diam-diam Hian-cu membatin,
"Tidaklah susah untuk melepaskan Polo Singh, tapi sekali dia dibebaskan,
itu berarti rahasia ilmu silat Siau-lim-si untuk seterusnya akan terbuka bagi
pihak luar."
Begitulah dengan rasa serba
susah, Hian-cu menjadi bingung Cara bagaimana harus menjawab, untuk mengulur
waktu terpaksa berulang ulang ia menyebut "Omitohud!"
Sesudah agak lama katanya
kemudian, "Polo singh Suheng berkunjung ke biara kami ini, semua anggota
kami telah menyambut dan melayani dia sebagai kawan yang datang darí negerí
budha yang terhormat. Tak terduga diam-diam menggali torowongan di bawah tanah
dan menyelundup ke gedung perpustakaan untuk mencuri kitab pusaka ilmu silat
kami yang sudah turun-temurun ini. "Nah, Sin-kong Siangjin, apa yang
kutanyakan tadi belum kaujawab, coba umpamanya Jing-liang-si kalian yang
digerayang, lalu Suheng sendiri selaku Hongtiang akan Ambil tindakan apa?"
Sin-kong tersenyum, sahutnya,
"Tinggi atau rendahnya ilmu silat setiap orang bergantung keyakinan
masingmasing. Soal kitab pusaka segala adalah soal sekunder. Bila kebetulan ada
satu-dua orang ksatria sudi berkunjung ke Jing-liang dan mampu mencuri kitab
pusaka kami, maka aku akan mengaku diri sendiri tak becus dan apa mau dikatakan
lagi. Habis orang cuma membaca kadarnya sekedar ilmu silatmu, apakah jiwa orang
ikut dihabiskan atau menahannya selama hidup? Ehh, bukankah keterlaluan!”
Hian-cu tersenyum, katanya,
"Jika kitab yang di curi itu hanya kitab pasaran yang tiada harganya,
sudah tentu tiada alangannya untuk diketahui oleh umum. Tapi kalau Intisari
kitab pusaka kalian memang sangat hebat dan sangat berguna, sesudah dicuri lalu
kebetulan jatuh di tangan manusia yang sombong dan berjiwa kerdil, maka
akibatnya tentu akan celaka, tentu akan merupakan bencana bagi dunia
persilatan."
Ucapan Hian-cu tetap
ramah-tamah, tapi kata-kata "manusia vang sombong dan berjiwa kerdil"
jelas sengaja ditujukan kepada Sin-kong SianJin.
Keruan Sia-kong Siang-jin
kurang senang, sahutnya, "Ucapan Hong-tiang ini hanya alasan sepihak saja,
besar kemungkinan masih ada persoalan lain lagi. Yang terang Cilo Singh sudah
jauh-jauh datang kemari mamakah Hongtiang tidak mengizinkan dia menemui
suteya!"
Hian-cu pikir kalau tetap
melarang Polo singh bertemu dengan Cilo Singh hal ini tentu akan disangka Siau
limsi bersalah dan para padri agung dari Bo-to-il dan lain-lain tentu juga akan
kurang puas, maka katanya kemudian, "Baik, undang Polo Singh Suheng
kemari!"
Sesudah perintah itu
diteruskan, tidah lama kemudian empat padri tua telah membawa Polo Singh ke
ruang pendopo.
Melihat Cilo Singh hadir
disitu, saking gìrang dan terharu sampai Polo Singh meneteskan air mata terus
menubruk maju untuk merangkulnya. Maka bicaralah mereka dalam bahasa mereka
yang sukar dipahami, tapi dapat diduga Polo singh lagi menuturkàn pengalamannya
tentang mencuri kitab dan tertangkap serta dikurung
oleh pihak Siau-lim-si.
Sebaliknya Cilo Singh tampak
mengangguk-angguk, akhirnya dengan, suara yang lantang Cilo singh berseru dalam
bahasa Tionghoa "Hongtiang siau-lim-si bohong. Polo Singh tidak pernah
mencuri kitab ilmu silat apa segala dia cuma mencuri kitab ajaran Budha, yang
memang berasal dari negeri Thian-liok kami. Dia hanya membacanya saja dan bukan
sesuatu pelanggaran kejahatan apalagi karena Cosu adalah bangsa kami beliau
telah mengajarkan ilmu silat pada kalian sebaliknya kalian malah mengurung
padri Thian-liok terang ini sangat tidak bersahabat dan .... dan tak kenal budi
kebaikan."
Karena alasan Cilo Singh yang
cukup kuat dan seketika padri Siau lim si menjadi bungkam. Kalau Polo Singh
tetap menyangkal mencuri kitab ilmu silat, sedangkan barang bukti tidak ada,
dengan sendirinya tuduhan pihak Siau-lim-si kurang kuat.
Akhirnya Hian-cu berkata,
"Siancai! Orang beragama tidak boleh berdusta. Polo Singh Suheng jika
engkau berdusta apa engkau tidak akan masuk neraka. Coba jawab, Tai-kim-kong
kun-keng (kitap ilmu pukulan sakti) pernah kau curi dan membacanya atau
tidak?"
"Tidak, yang pernah
kupinjam baca hanya kitab Kim-kong-keng (nama kitap agama Budha)." sahut
Polo Singh.
"Dan
Pan-yak-ciang-hoat-keng milik Siau lim-si kami pernah kaucuri dan membacanya
iya tidak?" tanya Hiancu pula.
"Tidak, aku cuma pernah
pinjam baca sebentar pan-yak-po-mi-sim-kong," sahut Polo Singh. Tapi
kitab-kitab itu hanya kubaca saja, kitab itu sudah seharusnyá dipelajari oleh
murid budha kita sekalian, Siauceng hanya pinjam baca dan sekedar memperdalam
pengetahuanku tentang agama kita, entah di mana jelek kesalahanku?"
Perlu diketahui bahwa Polo
Singh itu memang seorang yang pintar dan cerdik, pengetahuan juga sangat luas,
makanya dia dikirim oleh kerabat-kerabatnya dari Thian-liok untuk mencuri kitab
ke Siau-lim-si. Sekarang dia berdebat dengan menitik beratkan pada ajaran
agama, ia tak semua tuduhan tentang mencuri kitab ilmu silat segala, dengan
demikian Siau-lim-si berbalik kelihatan di pihak yang salah dan pelit, masakah
ilmu ajaran agama dipinjam baca saja tidak boleh.
Hian-cu juga tidak tanya lagi,
ia hanya menyebut, "Omitohud!"
Mendadak sesosok bayangan
melesat maju di sebelahnya dan kontan menghantam punggung Polo Singh. Pukulan
itu sangat dahsyat dan cepat luar biasa, tempat yang diarah juga Ci-yang-hiat
yang mematikan di punggung Polo Singh. Serangan yang maha hebat itu datangnya
juga mendadak sehingga tampaknya sukar
dicegah lagi.
Tiba-tiba Polo Sing membaliki
kedua tangan belakang sehingga pukulan penyerang tadi seperti kebentur dinding
baja. Tapi menyusul terus orang itu berubah menjadi telapak tangan ia memotong
kuduk Polo Singh.
Baru sekarang tertampak jelas
penyerang itu adaláh saorang padri Siau lim-si yang memakai kasa (jubah padri)
merah.
Gerakan Polo Singh juga sangat
cepat, ia putar tubuh dan menunduk kepala, berbareng jari kirinya menujuk
telapak tanganpenyerangnya. Jika padri, Siau-lim-si itu tidak tarik kembali
tangannya, itu berarti tangannya disodorkan sendiri untuk ditutuk Polo Singh
dan bukan mustahil tangannya akan cacat untuk selamanya.
Maka cepat padri tua itu tarik
kembali tangannya dan menggeser ke samping Polo Singh, menyusul ia menyerang
pula secara bertubi-tubi sehingga dalam sekejab saja sudah memberondong tujuh
kali pukulan yuug mengarah tujuh tempat yang berbeda-béda, cepatnya susah
dilukiskan.
Karena tiada jalan buat
menghindari, terpaksa Polo Sing juga balas menghantam tujuh kali. maka
terdengarlah suara "plak-plok" yang ramai. pukulan kedua orang saling
bentur, cepat dan tepat sekali kepalan kedua orang itu saling beradu sehingga
mirip dua saudara seperguruan yang sedang berlatih.
Sesudah saling hantam,
mendadak Polo Singh teringat sesuatu, ia bersuara sadar dan segera melompat
mundur. Padri Siau-lim-si itu pun tidàk menyerang lagi, tapi pelahan
mengundurkan diri sambil memberi hormat kepada Hian-cu.
Dengan tersenyum Hian-cu
berkata kepada Sin-kong Siangjin. "Bagaimana, Siangjin?"
Lalu ia pun berpaling kepada
Liong-beng To jing dan lain-lain, "Harap para Suheng suka memberi
peradilan dengan bijaksana!"
Seketika suasana ruang pendopo
menjadi sunyi senyap, hanya terdengar Sin-kong mendengus sekali atas pertanyaan
Hian-Cu itu.
Sejak Hi-tiok mendengar
Sin-kong menyinggung soal Siau-lim-si menahan padri Thian-liok, maka tahulah
dia bahwa urusan yang hendak dibicarakan sekarang tiada sangkut-pautnya dengan
urusan sendiri, maka ia menjadi lega. Ketika menyaksikan seorang kakek gurunya
menyerang Polo singh dan setiap serangannya dapat dipatahkan oleh padri asing
itu, sesudah beberapa gebrak lalu kedua orang berhenti bertempur.
Dengan kepandaian, Hi-tiok
sekarang dapat dilihatnya bahwa jurus-jurus serangan kedua orang itu belum
mencapai tingkatan yang tertinggi, entah mengapa mereka cuma bergebrak dua-tiga
kali lantas berhenti, Hongtiang sendiri tampak agak senang dan pihak lawan
seperti merasa malu, padahal dalam beberapa gebrakan itu sana sekali Polo Singh
tidak kelah.
Kemudian terdengar Liong-beng
Taisu berdehem sekali, lalu berkata, "Tadi Polo Singh Suheng telah
menggunakan tiga jurus serangan yang berbeda-beda dan seperti berasal dari
Pan-yak sing-hoat, Mo-ko-ci-hoat dan Kim-kong-kun-hoat."
"Hahahal" Sin-kong
menanggapi dengan tertawa. "Ternyata kalangan agama Budha di negeri kita
ini tidak sedikit mendapat kebaikan dari negeri Thian-tiok, Dahulu Budhitama
datang ke timur sini dengan membawa kepandaiannya dan mendirikan Siau-lim-si
yang agung, ilmu silat berasal dari Thian-tiok itu ternyata turun temurun
sampai sekarang dan cara yang dimainkan Siau-lim-si tadi juga cocok satu sama
lain dengan Ilmu silat padri agung dari Thian-liok, sungguh harus dibuat girang
dan dipuji."
Para padri Siau-lim-si merasa
gusar atas ucapan Sin-kong yang memutar balikkan persoalan itu. Barusan padri
yang perkasa merah, Hian siang, Sute Hian-cu, secara mendadak menjajal Polo
Singh yang menyangkal telah mencuri baca kitab ilmu silat siau-lim-pai, dengan
serangannya ia paksa Polo Singh mau-tak-mau harus menangkis dengan Pan-yak-ci
sing-hoat dan lain-lain kepandaian yang jelas adalah kungfu Siau-lim-si.
Dari bukti nyata yang
dimainkan Polo Singh tadi benar terjadi seperti dugaan Hian-sing. Siapa tahu
Sin-kong Sianjin justru sengaja memutar balikkan kenyataan dan mengatakan
kepandaian Polo Singh itu berasal dari negeri Thian-tiok sendiri.
Maka Hian-cu lantas menjawab,
"Bahwasanya agama biara kami dan ilmu silatnya berasal dari ujaran Dharma
Cosu, hal ini memang tidak salah Dan kalau Polo Singh bicara terus terang untuk
memintanya, dengin hormat kami pasti akan memberikan kitab tinggalan Dharma
Cosu Itu. Akan tetapi pencipta Pan-yak ciang-hoat adalah Goan-goan Taisu,
Hongtiang angkatan ke-8 biara kami. Mo-ko ci-hoat adalah ciptaan Pat-ci
Thau-to, seorang tokoh terpandai angkatan tua kami begitu pula
Kim-kong-ciang-hoat juga ciptaan gabungan beberapa padri agung angkatan ke-11
biara kami tiga macam kungfu itu sama sekali berbeda dengan ilmu silat dari
Thian-liok, bagi tokoh-tokoh yang hadir di sini tentu tidak sulit untuk
membedakannya dan tidak perlu banyak kuberi penjelasan."
Liong-beng berempat merasa apa
yang dikatakan hian-cu memang tidak salah, maka bersama-sama mereka tanya
Sin-kong, "Bagaimana pendapatmu, Siang-jin?"
Sin-kong tersenyum, sahutnya,
"Apa yang dikatakan Hongtiang barusan hanya pembelaan sepihak saja.
Padahal tempo hari Cilo Singh sudah pernah bilang padaku tentang ilmu silat
thian-liok yang mirip dengan
ilmu silat Tiongkok di
antaranya juga disebut-sebut Tan-yak-ciang-hoat dan lain-lain, dia mengatakan
jurus Thian-lu-hong yang dimainkan Hian-sing Suheng tadi itu bahasa hindu kuno
disebut 'abisnitor', dan apa yang dikatakan Cilo Singh Suheng itu benar atau
tidak!"
Dengan terkejut bercampur
marah Hian-cu menjawab, "Pandangan Suheng memang sangat teliti, Kagum,
sungguh kagum!"
Kiranya sin-kong Siangjin
memang sangat cerdas, hanya melihat sekejap saja pertarungan Polo Singh melawan
Hian-sing tadi segera dapat dikehuinya di mana letak intisari jurus
Pan-yak-cing-hoat yang dikatakan itu, maka dia sengaja menyatakan mendengar
cerita dari Cilo Singh untuk membuktikan bahwa ilmu silat itu memang berasal
dari Thian-liok. Apalagi ia sendiri pun sangat keruk kepada ilmu silat
Siau-lim-pai.
Sesudah menyaksikan beberapa
gebrakan Hian-sing tadi, ia anggap padri Siau-lim-si itu benar-benar terlalu
goblok, masakah ilmu sakti tinggi angkatan tua mereka cuma dipahami sedikit
saja kalau aku diberi kesempatan mempelajari bukan mustahil aku akan menjadi
jagoan nomor satu di dunia ini.
Bagi Hian-cu, sudah tentu tahu
apa yang dikatakan Sin-kong itu bohong belaka dan sengaja mau menang sendiri
saja. Tapi diam-diam memuji juga atas bakat dan kecerdasan Sin-kong yang luar
biasa itu. Sesudah berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Hian sing,
"Sute, hendaknya kau pergi ke Cong keng-kak (gedung perpustakaan) dan bawa
kemari ketiga kitab yang tercatat ketiga ilmu ilmu silat tadi."
Hìan-sing menyatakan baik dan
segera keluar. Tidak lama kemudian ia datang kembal dengan membawa ketiga jilid
kitab yang dminta itu. padahal jarak ruang pendopo itu dengan Cong-keng kok
cukup jauh, maka dapat di bayangkan betapa hebat ginkang Hian-sing. diam-diam
para padri Siau lim-si sangat mengagumi Jago mereka yang lihai itu.
Ketiga kitab itu tampak sudah
sangat tua kertasnya sudah kuning. Sesudah kitab-kiiab itu terletak di atas
meja, lalu Hian-cu berkata, "Para Suheng silakan periksa, dalam kitab-kitab
itu tercatat asal-usul terciptanya ilmuilmu tadi. Andaikan para Suheng tidak
percaya pada omonganku apakah bukti tinggalan tokoh-tokoh angkatan tua
Siau-lim-si ini juga dapat dianggap bohong? Apakah mungkin para tertua
Siau-lim-si yang dulu sudah melakukan tindakan-tindakan yang tidak tahu
malu?"
Ucapannya yang terakhir itu
sengaja hendak menyinggung perasaan Sin-kong, tapi Sin-kong pura-pura tidak
tahu, ia ambil kitab Pan-yak-ciang-hóat, lalu membacanya sehalaman demi
sehalaman. Kedua kitab yang lain masing-masing diambil dan dibaca oleh
Liong-beng Tiansu dan To jiu Taisu, Tapi Liong-bcos berdua Cuma membaca kata
pengantarnya dan catatan-catatan penting laìn dengan sekedarnya, lalu
diserahkan kepada Katthian dan Yong-ti Taisu.
Keempat padri agung itu merasa
kitab-kitab itu adalah kitab pusaka Siau-lim-si dan tidak pantas dibaca oleh
orang luar. Apalagi Hian-cu
telah berani memperlihatkan kitab pusakanya, tentu tuduhannya kepada Polo Singh
tidak beralasan, kalau mereka membaca dengan teliti akan berarti menyangsikan
ucapan Hian-cu dan hal ini berarti tidak sopan.
Tidak demikian halnya dengan
Sin-kong, dia tidak sungkan-sungkan lagi dan membaca dengan teliti jelas dia
sangaja mencari ciri-ciri kelemahan kitab itu untuk digunakan sebagai bahan
bantahan terhadap Hian-cu. Seketika itu suasana ruang pendopo menjadi sunyi,
hanya terdengar suara keresekan Sin Kong membalik-balik halaman kitab.
Sampai sekian lamanya Sin-kong
membaca kilat itu dengan teliti, tapi air mukanya tetap tenang tanpa menujuk
sesuatu perasaan, Selesai membaca kitab yang satu kemudian kitab yang lain
dibacanya pula. Dan setelah dia menutup halaman terakhir kitap ketiga, kemudian
ia serahkan semuanya kepada Hian-cu. Lalu memejamkan mata dan termenung.
Melihat kelakuan Sin kong itu
Hian-Cu menjadi sangsi dan heran pula.
Sejenak kemudian, tiba-tiba
Sin-kong membuka mata dan berkata kepada Cilo Singh. "Cilo Suheng, tempo
hari engkau telah menguraikan segala rahasia yak-ciang-hoat itu padaku, aku
masih ingat dalam bahasa Hindu yang kauuraikan itu berbunyi.... "
Begitulah Sin kong lantas
mengucapkan serentetan kalimat dalam bahasa Hindu kuno, kemudian ia uraikan
pula terjemahannya dalam bahasa Tionghoa akhirnya ia tanya pula pada Cilo
Singh,
"Betut tidak bunyi kunci
rahasia yaug merupakan inti Pan-yak-ciang-hoat yang kauuraikan padaku itu Cilo
Suheng?"
"Benar, benar! Memang
begitulah bunyinya!" sahut Cilo Singh tanpa piker.
"Dan tentang isi
Kim-kong-kun-hoat dan ko-ko ci-hoat yang pernah Suheng uraikan itu,
bagian-bagian yang penting juga masih kuingat dengan baik," ujar Sin-kong
pula. Lalu ia mengapalkan di luar kepala dalam bahasa Hindu kuno, kemudian
terjemahannya dalam bahasa Tionghoa.
Seketika air muka Hian-cu dan
padri agung Siau-lim-si yang lain sama berubah pucat. Sebab apa yang diapalkan
Sin-kong itu memang sedikit pun tidak salah adalah isi ketiga kitab yang
dikatakan itu.
Sungguh tidak nyana bahwa
ingatan Sin-kong sedemikian baiknya, hanya sekali baca saja sudah dapat
mengapalkan di luar kepala, pula dia mahir bahasa hindu kuno sehingga lebih
dulu ia menjemahkannya ke dalam bahasa Hindu, lalu mengapalkan kembali dalam
bahasa Tionghoa seperti apa yang telah dibacanya, dengan demikian menjadi
seakan-akan kitab itu awal mulanya adalah bahasa Hindu, kemudian baru
diterjemahkan dalam bahasa Tionghoa.
Dengan begini dosa Polo Singh
yang mencuri kitab itu dapat dicuci bersih, sebaliknya pihak Siau-lim-si
menjadi tertundukmalah sebagai pihak yang menjiplak. Kalau berdebat belum tentu
dapat mengalahkan Sinkong yang pintar main lidah itu, maka Hian-cu menjadi
sangat dongkol, tapi tidak berdaya.
Tiba-tiba Hian sing tampil ke
muka lagi dan berkata kepada Cilo Singh, "Taisu bilang Pan-yak ciang dan
lainlain diperoleh Siau-lim-si dari negeri kalian dan dengan sendirinya taisu
juga sangat mahir. Untuk membuktikan benar tidaknya urusan ini adalah sangat
mudah. Sekarang ingin kupelajari kenal dengan ke tigamacam kepandaian Taisu
yang hebat ini, kita sama-sama menggunakan ketiga macam Ilmu silat itu, harap
Taisu sudi memberi petunjuk."
Habis berkata, sekali lompat, tahu-tahu
la sudah berdiri di depan Cilo Singh. Diam-diam Hian-cu mengakui tindakan sing
Sute yang tepat itu, mengapa dirinya tidak teringat pada akaldemlkian ini?
Sebaliknya Sin-kong Siangjin juga terkesiap, sebab Cilo Singh sudah tentu tidak
paham Pan-yak-ciang segala. Lantas bagaimana harus melayani tantangan Hian-sing
itu?”
Benar juga tampak wajah Cilo
Singh menunjuk rasa serba susah, tapi la pun berkata, "llmu silat negeri
kami terlalu luas dan banyak sama halnya seperti Siau-lim-si terkenal mempunyai
72 macam ilmu silat khaas yang lihai. Sekarang ingin kutanya juga kepada Taisu,
apakah Taisu sendiri mahir seluruh kepandaian Siau-lim-si itu. Jika aku juga
menyebut tiga macam diantaranya apakah Taisu sanggup memainkannya?"
Bantahan ini membuat Hian-sing
tertegun. Memang di antara tokoh-tokoh Siau-lim si jarang sekali ada seorang
memiliki beberapa macam kepandaian dari ke 72 macam ilmu silat Itu. Hian-sing
sendiri sudah terhitung sangat luas pengetahuannya, tapi juga cuma paham enam
macam saja dari ke-72 macam ilmu silat itu.
Selagi Hian-sing mencari
jawaban yang tepat sekonyong-konyong dari luar berkumandang suara seorang yang
nyaring lantang, "Para padri agung dari Thian-tiok dan Thianggoan
berkumpul di Siau-lim-si untuk membicarakan ilmu silat, sungguh suatu peristiwa
yang menarik. Untung Siaùceng ada Jodoh dan dapat ikut menyaksikan, entah para
padri agung kedua pihak memperbolehkan atau tidak!"
Suara orang itu kedengaran
sangat jelas walaupun berkumandang dari jauh, maka dapat dibayangkan betapa hebat
Iwekang orang Itu.
Hian-cu tercengang juga segera
ia menjawab dengan mengerahkan tenaga dalamnya,”Jika lawan sesama agama
marilah silahkan masuk
saja!"
Lalu dengan pelahan katanya
pula, "Hian-bin dan Hian-sik Sute, harap mewakilkan aku menyambut tamu."
Selagi Hian-bin dan Hain-sik
mengiakan dan belum keluar, tiba-tiba orang di luar itu sudah menanggapi,
"Tidak usah menyambut, tamunya sudah datang! Sudah lama kudengar Hian-hin
Taisu dan Hian-sik Taisu tersohor dengan kepandaian masing-masing yang tiada
bandingannya di dunia ini hari ini dapat berkenalan, sungguh sangat beruntung.”
Setiap dia berkata satu
kalimat dan setiap kali suaranya makin mendekat. Ketika selesai ucapannya,
tahu-íahu di pintu pendopo itu pun sudah muncul seorang padri setengah umur
berwajah keren dan agung, dengan merangkap kedua tangannya padri ¡tu berkata
dengan tersenyum, "Padri gunung dari negeri Turfan, Cumoti menyampaikan
salam hormat kepada Hongtiang Siau-lim si!"
Memang semua orang sudah
sangat terperanjat oleh kepandaiannya, sekarang mendengar pula namanya sebagai
Cumoti, seketika banyak di antaranya bersuara, "Ah, kiranya Kok-su negeri
Turfan Tin lun Beng-ong!"
Segera Hian-cu berbangkit dan
melangkah maju. ia membalas hormat dan berkata, "Beng ong adalah imam
sesuatu negara dan sudi berkunjung kemari, sungguh kami merasa sangat bahagia.
Kebetulan hari ini biasa kami sedang menghadapi sesuatu kesulitan yang harus
diputuskan secara adil maka mohon kebijaksanaan Beng-ong agar suka ikut memberi
pandapat."
Habis berkata. lalu ia
perkenalkan Sin-kong Siangjin, Cilo dan Polo Singh serta Liong beng Taisu dan
lain-lain.
Cilo Singh sudah pernah
bertemu dengan Cumoti, malahan '"Ih-kin-keng" yang direbutnya dengan
susah payah dari Yu Goan-ci telah diampas pula oleh Cumoti. Sekarang bertemu
lagi di sini diam-diam Cilo Singh merasa kuatir dan jeri, tapi jugamendongkol.
Namun apa daya, ia tahu kepandaian sendiri jauh di bawah orang, terpaksa ia
diam saja, in hanya memberi hormat ketika diperkenalkan oleh Hian-cu.
Sebaliknya Cumoti Juga cuma
tersenyum saja kepadanya dan tidak mengungkit apa yang pernah terjadi.
Selesai berkenalan, Hian-cu
menyediakan suatu tempat terhormat di bagian tengah sehingga lebih terhormat
daripada tempat duduk Sin-kong.
Cumoti merendah sejenak dan
kemudian berduduk. Sebaliknya Sin-kong sangat mendongkol diam-diam ia ambil
keputusan nanti pasti akan menjajal sampai di mana kepandaian padri, Turfan
Itu.
Lalu Cumoti membuka suara.
"Tadi Hongtiang minta Siauceng ikut ambil bagian untuk mempertimbangkan
urusan kalian ini, sebenarnya sama sekali Siauceng tidab berani ikut
campur.Cuma tadi Siauceng telah mendengar perdebatan antara Hian-sing Taisu dau
Cilo Singh Taisu mengenal ilmu silat masing-masing, untuk itu aku meraba kedua
Taisu sama-sama ada bagian yang salah."
Para hadirin terkesiap oleh
ucapan Cumoti yang sombong ini, Cilo Singh sudah pernah kenal lihainya Cumoti,
maka ia tidak berani menantangnya. Tapi watak Hian-sing Taisu sangat keras
pula, tidak kenal kepandaian Cumoti yang sejati, maka ia yang pertama-tama
tidak tahan, segera ia melangkah maju dan bertanya, "Di manakah bagian
kesalahanku, mohon petunjuk."
Cumoti tersenyum sahutnya,
"Tadi Cilo Singh Suheng membantah ucapan Taisu, maksudnya seakan-akan
hendak bilang tak mungkin ada orang yang mampu memahami seluruh ke-72 macam
ilmu silat Siau-lim-pai, maka ingin kukatakan ucapan ini salah. Siau-lim-pai,
selain murid golongan kalian, orang lain tidak mungkin bisa kalau bisa,
pastilah hasil mencuri belajar dari golonganmu. Untuk Ini ingin kukataksn bahwa
ucapan Taisu ini pun keliru."
Semua orang menjadi bingung.
Cumoti mencela kesalahan kedua belah pihak, lantas apa maksut tujuannya yang
sebenarnya?
Maka dengan suara lantang
Hian-sing bertanya, "Jika menurut ucapan Beng-ong barusan, jadi engkau
hendak mengatakan bahwa benar ada orang yang sekaligus mahir ke-72 macam ilmu
silat dari Siau-lim-pai kami?"
"Benar," sahut
Cumoti dengan mengangguk.
"Numpang tanya, siapakah
gerangan ksatria besar itu?" tanya Hian-sing.
"Terima Kasih, sebutan
itu terlalu hormat bagiku," sahut Cumoti.
"Apa? Jadi orang itu
adalah Beng-ong sendiri.” Hian-san menegas dengan melotot.
Cimoti merangkap tangannya
dengan sikap sangat khidmat, sahutnya, "Ya, betul!"
Jawaban ini membuat padri
Siau-lim-si semua melonjak, pikir mereka, "Orang ini berani omong besar
sedemikian rupa, apa
barangkali orang gila?”
Hendaklah maklum bahwa pada
umumnya padri Siau-lim-si itu ada yang mempelajari ilmu pukulan, Ada yang
belajar ilmu tendangan dan ada pula yang menyakinkan ginkang, ada yang
mengutamakan senjata dan sebagainya, masing-masing mempunyai kepandaian
sendiri-sendiri dari ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si, Menurut sejarah di
antara padri angkatan dulu hanya pernah terjadi seorang yang mahir 13 macam
ilmu silat dari Ke-72 macam itu dan mendapatkan gelar "Cap
san-coat-sin-ceng" atau padri sakti tiga belas ilmu. Selama sejarah
Siau-lim-si hanya padri 13 ilmu sakti itulah yang luar biasa dan belum pernah
ada yang lebih dari itu. jangankan lagi hendak menyakinkan ke-72 macam ilmu
silat itu secara lengkap. Maka darì itu tentü saja tiada seorang pun percaya
atas bualan Cumoti itu.
Apalagi dari ke-72 macam ilmu
silat Siau lim-pai itu ada belasan macam di antaranya boleh dikatakan sangat
sulit dilatih, dengan jumlah padri Siau-lim-si sekarang yang lebih dari 500
orang, kalau di kumpulkan kepandaian mereka juga belum tentu lengkap meliputi
ke-72 macam ilmu silat itu.
Sekarang usía Cumoti yang
kelihatan baru setengah umur, andaikan sejak "brojol" dari kandungan
ibunya sudah mulai belajar silat juga belum tentu dapat lengkap mempelajari
ke-72 macam ilmu silai itu, pula dia bukan orang Siau lim-pai, dari mana dia
dapat mempelajarinya?
Begitulah, maka diam-diam
Hian-sing menyangsikan kata-kata Cumoti itu tapi lahirnya ia tetap sopan,
katanya pula. "Beng-ong sendiri bukan orang Siau lim-pai kami, apakah
terhadap Pan-yak-ciang Mo-ko-ci dan Kimkong-kun juga pernah
mempelajarinya!"
"Ah, hanya sedikit saja,
diharap Taisu memberi petunjuk,” sahut Cumoti dengan tersenyum.
Habis itu, tubuhnya sedikit
miring, telapak tangan kiri terangkat lurus dan kepalan kanan terus menyodok ka
depan, maka terdengarlah "trang" sekali, sebuah wajan perunggu yang
biasanya dipakai membakar kertas dupa terangkat ke atas.
Itulah sejurus pukulan
Kim-kong-kuh-hoat yang hebat, wajan itu terpukul dan berbunyi, tapi tidak
terpental pergi melainkan cuma meloncat ke atas. Bahkan sebelum wajan itu jatuh
ke tanah, menyusul telapak tangan kiri Cumoti terus dipukulnya pula, gayanya
adalah jurus pukulan Pan-yak-ciang yang lihai, maka terdengar suara
"bluk" sekali. banyak abu dupa dalam wajan itu tertumpah keluar, di
tengah berhamburnya debu, dari atas wajan seperti jatuh sesuatu benda entah apa
kurang jelas.
Tatkala mana wajan itu sudah
mulai menurun ke bawah dengan tiba-tiba Cumoti menjulurkan jempolnya dan
rnenggasut ke depan, seketika suatu arus tenaga jari memancar ke depan sehingga
wajan yang sedang menurun itu tergeser pergi se tengah meter jauhnya.
Beruntun-runtun Cumoti
menggeser tiga kali dan wajan itu pun tertolak sejauh satu setengah meter. lalu
jatuh di alas lantai batu. di ruang pendopo itu.
Sungguh kagum tak terhingga
Hian-cu, Hian-sing dan padri agung Siau-lim-si yang lain. Mereka kenal tiga
kali menggesut dengan jari jempol disebut "Sam-jip-te-gik", yaitu
salah satu jurus yang hebat dari ilmu jari Mo-gi-ci-hoat yang tua. Namanya
disebut "Sam-jip-ta-gik" atau tiga masuk neraka, yaitu menggambarkan
betapa bahaya mempelajari ilmu itu ibarat untuk mempelajarinya, gesutan saja
mesti masuk neraka satu kali.
Sementara itu debu dupa sudab
mulai jatuh lantai sehingga kelihatan di atas lantai terdapat sepotong benda
sebesar telapak tangan. Waktu d¡perhatikan tanpa terasa para padri sama berseru
kaget.
Kiranya benda itu adalah
sepotong perunggu berbentuk telapak tangan. Dari pinggiran wajan perunggu yang
masih baru dan mengkilap terang baru saja terkupas dari wajan perunggu.
"Permainan
"Kasa-hok-mo-kang” ini bila kurang sempurna, harap Hungtiang Suheng suka
memberi petunjuk seperlùnya," DemìkìanCumoti berkata dengan tersenyum
sambil mengebaskan jubahnya dan tahu-tahu wajan perunggu yang terletak baberapa
meter jauhny? itu tiba-tiba berputar sendiri seperti hidup.
Setelah berputar beberapa
kali, ketika berhentì sisi wajan yang tadinya menghadap keluar sekarang berubah
menhadap ke dalam sehingga kelihatan di pinggir badan wajan itu terkupas
selapis dalam bentuk telapak tangan, bagian wajan yang terkupas itu pun tampak
kuning mengkilap.
Bagi padri Siau-lim-si yang
agak rendah kepandaiannya baru sekarang paham duduknya perkara, kiranya tenaga
pukulan telapak tangan Cumoti tadi setajam golok pusaka, sehingga wajan itu
terkupas mentah-mentah sepotong. Yang hebat kalah bagian yang terkupas bukan
sisi sini melainkan sisi yang melainkan sisi yang tadinya menghadap ke sana.
Diam-diam Hian-sing menaksir
dirinya juga sanggup mengupas lapisan wajan itu dengan telapak tangan, tapi
untuk mengupas bagian wajan sebelah sana yang tak kelihatan itu harus diakui
tidak mampu.
Seketika ia menjadi putus asa,
pikirnya, Rupanya apa yang dikatakan padri asing ini memang tidak bohong, ke72
macam ilmu silat Siau-lim-si kami memang berasal dari Thian-liok dan dia telah
dapat mempelajari di tempat asalnya sehingga jauh lebih pandai daripada apa
yang kami pelajari.
Karena itu, segera Hian-sing
merangkap, tangan dan memberi hormat, katanya, "Ilmu sakti beng-ong memang
tiada taranya, sungguh Siauceng, sangat kagum."
"Kasa-hok-mo-kang” atau
ilmu jubah penakluk iblis, yaitu kepandaian kebahasan jubah yang dimainkan
Cumoti terakhir tadi adalah ilmu andalan Hian-cu yang dilatihnya selama hidup
ini dia yakin dengan ilmu saktinya itu sudah dapat menjagoi dunia ini, siapa
duga sekarang Cumoti juga mahir ilmu itu, bahkan sembari bicara sambil
mengebaskan lengan jubah tanpa mengurangi kekuatannya, hal ini sekali-kali tak
mungkin dilakukan oleh Hian-cu sendiri, seketika ia menjadi berduka dan
menyesal tak terhingga.
Saat itu ruang pandopo itu
menjadi sunyi sepi, semua orang ternganga kesima di bawah pengaruh ilmu sakti
Cumoti itu.
Tiba-tiba terdengar Hian-cu
menghela napas panjang, katanya, "Baru sekarang kupercaya bahwa di atas
langit masih ada langit, di atas orang pandai masin ada orang yang lebih
pandai. Aku sendiri sùdah melatih diri selama berpuluh tahun, tapi sesungguhnya
tiada arti apa-apa dalam pandangan Tai-lun Bong-ong. Ya, Polo Singh Suheng,
Siau lim-si adalah tempat miskin yang tiada harganya untuk dibuat tempat
tinggal, maka silakan boleh kau pergi!"
Ucapan Hian-cu itu membuat
Cilo dan Polo Singh sangat girang. Sebaliknya Sin-kong Siangjin merasa girang
dan juga sedih.Girangnya karena diketahui Polo Singh benar-benar mahir ilmu
silat Siau-lim-si yang tiada bandingannya, dan sekarang Hian-cu mau melepaskan
dia. Sebaliknya ia sedih karena dibebaskannya Polo Singh adalah Jasa Cumoti
yang berkepandaian maha tinggi, maka sulitlah kalau dirinya sekarang bendak
mendapatkan ilmu silat Siau lim-si dari tangan Polo Singh.
Sedangkan Cumoti tenang-tenang
saja atas tindakan Hian-cu itu, katanya sambil mengangkat tangan,
"siancai! Hongtiang Suheng jangan terlalu rendah hati."
Seketika para padri
Sian-lim-si menunduk dengan patah semangat. Bahwasannya Hian Cu terpaksa sampai
mengucapkan kata-kata tadi, itu berarti dia mengakui ilmu silat Siau-lim-si
memang lebih asor daripada kepandaian Cumoti.
Selama bebarapa ratus tahun
Siau-lim-sl mempunyai nama di dunia persilatan dan tidak pernah mengalami
kekalahan seperti hari ini. Memang masih ad a jalan lain yaitu bila main
keroyok, dengan jumlah padri Siaulim-si yang lebih 500 orang itu memang cukup
kuat untuk mengalahkan musuh, tapi perbuatan demikian kalau terdengar bukankah
nama Siau-lim-si akan runtuh habis-habisan?"
Kalau Hian-cu merasa serbà
susah dan kehabisan akal, Liong-beng, To-jing dan padri lain juga merasa ikut
malu, bahwa keadaan bisa berubah menjadi demikian sungguh bukan maksud tujuan
mereka semula.
Begitulah segala apa yang
terjadi di ruang pendopo itù sejak semula disaksikan hi-tiok, Ketika mendengar
ucapan Hongtiangyang terakhir tadi lalu para padri Siau-lim-si sama menunduk
lesu, waktu ia melirik ke arah gurunya, yaitu Hui-lun, air mata padri itu
tampak berlinang-linang sangat duka, bahkan ada beberapa Susioknya tampak
memukuli dada sendiri sambil menangis sedih.
Walaupun Hi-tiok tidak paham
seluk-beluknya, tapi ia tahu ilmu silat yang ditunjukkan Cumoti tadi tiada
tandingannya maka dengan bebas dia dapat membawa pergi Polo Singh. Cuma ada
sesuatu yang membingungkan Hi-tiok, yaitu ilmu silat Pan-yak-ciang dun lain-lain
yang dimainkan Cumoti tadi, apakah cara mainnya itu benar atau salah, karena
dia sendiri tidak pernah belajar ilmu silat itu, dengan sendirinya tidak tahu,
tapi iwekang yang digunakan Cumoti untuk mainkan ilmu-ilmu silat itu dapat
dilihatnya dengan jelas yaitu "Siau-bu-siang-kang."
Siau-bu-siang-kang itu pernah
Hi-tiok pelajari dari Bu-gai-cu, kemudian ketika Thian san Tong-lo mengajarkan
"Thian-san-ciat-bwe-jiu" padanya nenek itu merasakan Hi-tiok memiliki
ilmu- Iwekang yang hebat itu sehingga marah dan berduka, sebab
Siau-bu-siang-kang itu setahu si nenek oleh guru mereka hanya diajarkan kepada
Li Jiu sui seorang saja, sekarang Bu-gai-cu dapat menurunkan ilmu itu kepada
Hi-tiok, maka tidak perlu disangsikan lagi bahwa diantara Bu-gai cu dan Li Jin-Sui
tentu mempunyai hubungan istimewa.
Kemudian setelah tong-lo
tenang kembali dengan jelas ia uraikan cara mengerahkan Siau bu-siang-kang itu
kepada Hi-tiok, tapi bagian yang penting yang lebih sempurna baru diperolehnya
dari Li jiu-sui ketika kedua orang itu bertanding ilmu silat ciptaan
masing-masing.
Pengetahuan Hi-tiok dalam ilmu
silat bukan saja sangat dangkal, bahkan boleh dikatakan sangat sederhana. Hanya
Siau-bu-siang-kang saja Ia belajar benar sudah apal sekali. Ditambah pula dia
banyak membaca ukiran dinding di bawah tanah Leng-ciu-kiong sehingga
Siau-bu-siang-kang itu dapat dipahaminya dengan lebih sempurna.
Siau-bu-siang-kang ita
sebenarnya adalah ilmu golongan To (Taoisme), samanya sama dengan
"Bu-sing" ajaran agama Budha, namun pada hakikatnya berbeda. Tadi
begitu mendengar suara datangnya Cumotl segara Hi-tiok terkesiap dan tahu
iwekang padri itu sangat tinggi. Kemudian menyaksikan pula Cumoti memainkan
ilmu silatnya, kelihaiannya banyak perubahannya, semua itu berkat tenaga
Siau-bu-siang-kang. Iadengar Cümoti mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat
Síau-lim-si, tapi waktu main yang diandalkan hanya tenaga Siau-bu-siang kang
saja untuk mengelabui pandangan orang.
Jadi Hi-tiok merasa heran, apa
yang dimainkan Cumoti itu sudah terang adalah Siau-bu-siang kang, mengapa orang
mengaku sebagai ilma silat Siau-lim-pai dan tampaknya Hian-cu Hongtiang dan
padri agung lain tiada seorang pun yang berani menyingkap kepalsuannya itu.
Ia tidak tahu bahwa ilmu
Sian-bu-siang-kang dari golongan To itu sangat hebat dan luas sekalî, sedangkan
tokoh-tokoh yang berada di pendopo Siau-lim-si sekarang adalah hwasio
seluruhnya dari dengan sendirinya tidak pernah belajar Iwekang dari golongan
To, sebab itulah dengan mudah mereka dapat dikelabui antara Bu-
sing-kang dari agama Budha dan
Siau-bu-siang-kang agama To.
Karena melihat keadaan semakin
suram, para Tionglo tampakberduka, marah, lesu, tapi tak bisa berbuat apaapa,
terang Síau-lim-si bakal menghadapi malapetaka, mestinya Hi tiok bermaksud
tampil untuk membongkar kepalsuan ilmu silat Cimoti tadi. tapi Hi-tiok hanya
seorang hwesio keroco angkatan muda yang biasanya tidak ada hak bicara di dalam
Siau-lim-si, sekarang melihat suasana dalarn pendopo sangat hikdmat dan tegang,
kata-kata yàng sudah siap di mulutnya itu akhìrnya ditelannya kembali
mentah-mentah.
Maka terdengar Cimoti membuka
suara pula, "Jadi kalau menurut ucapan Hongtiang tadi itu berarti
Hongtiang mengakui ke-72 macam ilmu silat itu bukan hasil ciptaan biara kalian.
Maka dari itu, sejak kini kata-kata 'coat' yang menyatakan kungfu khas ciptaan
biara kalian haruslah diganti kalau tidak mau dihapus."
Hiau cu diam saja dengan rasa
pedih seperti di sayat-sayat.
Tiba-tiba Seorang padri tua
bertubuh tinggi besar berseru, "Beng ong sudah berada di pihak yang menang,
Hongtiang kami juga telah mengizinkan kepergian padri thian-liok itu, mengapa
Beng-ong masih terus mendesak orang tanpa memberi kelonggaran sedikit
pun?"
"Siauceug hanya ingin
Hongtiang mengucapkan sesuatu untuk dipermaklumkan kepada kawan-kawan Bu-lim,"
sahut Cumoti dengan tersenyum.
"Menurut pondapatku ada
baiknya sejak kini Siau-lim-si dibubarkan saja dan para padri boleh
menggabungkan diri kepada Jing liang-si, Bo to-si dan biara lain untuk mencari
hari depan sendiri-sendiri, dengan demikian bukankah lebih baik dari pada
sekadar cari hidup di dalam Siau-lim-si yang hanya bernama kosong belaka
ini?"
Ucapan Cumoti ini membuat
padri Siau lim-si tidak tahan lagi betapapun sabarnya, seketika ramailah suara
dampratan mereka. Baru. Sekarang para padri Siau-Iim-si itu mulai sadar bahwa
kedatangan Cumoti itu kiranya bermaksud meruntuhkan Siau-lim-si agar dunia
persilatan di Tiongkok kehilangan tulang punggungnya yang paling kuat.
Maka terdengar Cumoti berkata
pula dengan lantang, "Seorang diri Siauceng terjunjung kemari sebenarnya
ingin belajar kenal dengan Siau-lim-si yang terkenal sebagal tiang penegak dunia
persilatan Tionggoan. Tapi sesudah mendengar kata-kata para Taisu dengan
perbuatannya, hehehe. Terpaksa harus kukatakan bahwa Siaulim-si agaknya masih
kalah daripada Thian-liong-siyang jauh terletak di negeri Tayli yang terpencil
sana. Ai, benar-benar sangat, mengecewakan perjalananku ini.”
Tiba-tiba seorang padri
angkatan "Hian" berteriak, "Koh-ong Tuisu dan Thian-in Hongtiang
dari Thian-lion-si di negeri Tayli adalah padri saleh yang tinggi agamanya,
setiap kawan agama memang sangat mengaguminya. Orang beragama sudah lama tidak
punya pikiran ingin unggul, buat apa Beng-Ong mesti membandingbandingkan antara
Siau-lim-si kaml dengan Thian-Hong-si di Tailî."
Sembari berkata seorang padri
tua dengan muka merah maju ke depan dengan pelahan sambil jari jempol dan jari
telunjuk terkatup di depan dada, wajahnya tersenyum simpul dengan sikap ramah.
Kiranya dia ini Hian-to Taisu, terhitung Suhengnya, Hian-cu.
Cimoti juga menghadapinya
dengan tersenyum, katanya, "Sudah lama kagum kepada 'Ciam-hoa-ci' (ilmu
jari petik bunga) Hian-to Taisu yang maha saktî, hari ini dapat berkenalan,
sungguh sangat beruntung!"
Sembari bicara kedua jarinya
juga terkatup dengan gaya hendak memetik bunga dan Siap di depan dada.
Begitulah kedua orang
sama-sama mengangkat tangan ke-depan dan berbareng menyentikan tiga jari
terhadap pihak lawan, Maka terdengarlah suara "pluk-pluk-pluk" tiga
kali tenaga jari kedua orang saling beradu, Tubuh Hian-to Taisu sempoyongan ke
belakang dan mendadak dari dadanya mancur keluar tiga jalur darah bagai air
mancur.
Kiranya sesudah mengadu tenaga
jari, hian-to ternyata kalah kuat dan dada kana tenaga sentikan Cumoti sehingga
mirip ditikam tiga kali oleh senjata tajam. Seketika darah menyembur keluar
melalui lubang tikaman jari itu.
Hian-to Taisu itu seorang yang
baik hati dan sangat ramah, dia sangat disukai oleh padri muda di Siau-lim-si.
Dahulu Hi-tiok juga pernah melayani Hian-to selama beberapa bulan, pada waktu
senggang sering juga Hian-to memberi petunjuk ilmu silat padanya, maka Hi-tiok
mempunyai kesan sangat baik pada Hian-to. Sekarang melihat padri itu terluka
parah, kalau tidak segera ditolong tentu akan membahayakan jiwanya.
Maka tanpa pikir lagi segera
Hi-tiok menyelinap keluar dan mendekati Hian-to. Sebelum tiba orangnya sebelah
tangan Hi-tiok lebih dulu menolak ke depan, dan cepat luar biasa tahu-tahu tiga
jalur air darah yang menyambar keluar dari dada Hian-to itu tertolak kembali
masuk ke dalam rongga dada padri tua itu.
Hi-tiok pernah mendapat
didikan ilmu pengobatan dari So Sing-ho, kemudian dapat belajar pula ilmu
pemunah Sing si-hu, maka dalam urusan menolong dan menyembuhkan luka orang
boleh dikata tiada seorang pun di dunia ini lebih mahir daripada Hi-tiok
sekarang.
Begitulah dengan cepat luar
biasa tangan Hi-tiok bekerja, ia tutuk beberapa kali, dalam sekejap saja
belasan
hiat-to tubuh padri tua itu
telah ditutuknya untuk menghentikan mengucurnya darah. Menyusul ia jejalin
sebutir pil Kiu-coan-bim-coawan buatan leng-ciu-kiong ke mulut Hian-to Taisu.
Tempo hari waktu Hi-tiok
mendapat petunjuk Toan Yan-khíng sehingga berhasil memecahkan problem catut
ciptaan Bu-gai-cu, tatkala mana Cumoti pernah bertemu sakall dangan Hi-tiok.
tapi kemudian Hi-tiok masuk ke dalam rumah sampai lama sekali, dálam pada itu
Cumoti sudah meninggalkan tempat itu sehingga tidak ikut menyaksikan Hi-tiok
menyembuhkan luka Hui-hong Pau Put tong dan lain-lain.
Kemudian Waktu Hi tiok
menggendong Thian san Tong-lo dan tergelincir dari puncak gunung di situ Cimoti
bersama Buyung Hok, Ting Jin jiu dan Toan Ki telah menggunakan Hi-tiok sebagai
bola dan dioper ke sana dan ke sini. Dan beberapa kali pertemuan itu sama
sekali ia tidak merasa ada sesuatu yang luar biasa atas diri Hi-tiok.
Siapa duga Sekarang ia melihat
hwesio keroco itu tampil lagi dan dengan cara yang sangat cepat dan lihai telah
menutup jalan darah Hian to, sungguh kepandaian yang luar biasa dan belum
pernah terlihat selama hidupnya, keruan Cumoti terperanjat.
Bagi orang Siau-lim-si,
tentang Hi-tiok memukul mati Hían-lan Taisu dan menjadi Clangbunjin
Siau-yan-pai, semua itu telah dilaporkan oleh Hui-hong dan kawan-kawannya
ketika mereka pulang dengan membawa jenazah Hian-lan, Tapi kemudian Hian cu dan
padri agung Siau-lim-si yang lain dapat mengetahui dari janazah Hian lan bahwa
kematian Hian-lan itu adalah akibat serangan "Sam-siau-siau-yau-san”,
bubuk berbisa yang ditebarkan oleh Ting Jun-Jiu. Mereka menunggu pulangnya
Hi-tiok yang tidak kunjung datang, pernah juga mengirim orang untuk mencarinya
tapi tidak ketemu.
Ketika beberapa hari yang lalu
Hi-tiok pulang di Siau-lim-si, Kebetulan di biara Agung itu sedang menghadapi
kesulitan.
Kiranya Siau-lim-si telah
terima surat dari Pangcu Kai-pang yang mengaku bernama 'Ong Sing-thian, dengan
permintaan Sian-lim-pai mengakui Ong Sing-thian itu sebagai Bu-lim Beng-cu
(pemimpin duaia persilatan) di Tionggoan.
Berhubungan dengan itu, selama
beberapa hari itu Hian-cu berunding dengan para padri tua angkatan
"Hian" dan "Hui" untuk mencari jalan cara menghadapi
manusia Ong Sing-thian yang tidak pernah dikenal itu (siapa Ong Sing-thian
tentu pembaca masih ingat —pen).
Padahal Kai-pang adalah suatu
organisasi terbesar di dunia kangouw dan terkenal sebagai Suatu golongan yang
baik dan berjuang demi keadilan, biasanya jugá mempunya! hubungan yang baik
dengan Siau-lim-sí dan samasama membela kebenaran begi sesama orang Bu-lím,
masakah sekarang mendadak ingin berdiri di atas Siau-
lim-si seakan-akan memandang
síau-lim-si sebagai saingan terbesar, hal ini benar-benar membuat Hian cu dan
para padri menjadi bingung.
Karena melihat Hongtiang dan
para paman guru sedang sibuk, Hui-lun, guru Hi-tiok, menjadi tidak berani
malaporkan tentang pulangnya Hi-tiok, sebab itulah tentang Hi-tlok kerja di
kebun sayur juga tidak diketahui oleh para padri agung. Sekarang mendadak
nampak Hi-tiok tampil ke muka dan dengan cara yang maha sakti telah menolong
Hian-to, keruan semua orang terheran-heran dan terkejut.
Begitulah, sesudah memberi
obat kepada Hian-to, lalu Hi-tiok berkata, "Thaisupek, hendaknya engkau
jangan mengerahkan tenaga agar lukarnu tidak berdarah lagi."
Berbareng ia robek kain jubah
sendiri untuk membalut luka di dada kakek guru itu.
"Tai-lun Beng-Ong punya
Ciam-hoa-ci sungguh maha ... maha hebat, aku. meng ... mengaku kalah."
kata Hianto dengan tersenyum getir.
"Toasupek, yang dia
gunakan itu bukan Ciam-hoa-ci, juga bukan kungfu dari kalangan Budha,"
tutur Hi-tiok.
Mendengar ucapan Hi-tiok itu,
diam-diam para padri siau-lim-si menggeleng kepala atas kedangkalan
pengetahuannya. Sudah terang permainan ilmu jari Cimoti tadi serupa dongan
caranya Hian-to, masakah dikatakan bukan Ciam-hoa-ci yang merupakan salah satu
kepandaian khas siau-lim-si? Sedangkan Tai-lun Beng-ong itu adalah imam negara turfan,
setiap lima tahun sekali tentu beliau mengadakan khotbah sscara terbuka di
Tai-lun-si di atas gunung Tai-goat-san dan dari segenap penjuru banyak kaum
padri berkumpul ke sana untuk mendengarkan khotbahnya. Jadi terang Cumoti
adalah padri Budha yang tersohor masakan ilmu silat yang dimainkan tadi
dikatakan bukan kepandaian kalangan Budha?
Sebaliknya tidak demikian
dengan Cumoti ia terkejut mendengar ucapan Hi-tiok tadi. Tapi sebagai seorang
yang berpengalaman luas dan belum pernah terkalahkan, di Tayli ia telah
mengalahkan Thian-sin, Thian-siang dan Koh-eng Taisu, sampai di Tionggoanpernah
juga bergebrak dengan Buyung hok, Ting Jun-jiu dan lain-lain, walaupun belum
berakhir dengan kalah atau menang, tapi terang dirinya lebih unggul. Sekarang
melibat Hitiok cuma seorang hwesio keroco baru 20 tahun lebih, biarpun memiliki
kepandaian sakti juga terbatas.
Kedatangan Cumoti ke
Siau-lim-si ini memang bertujuan merobohkan nama baik biara agung yang
bersejarah ribuan tahun itu, sudah tentu dia tidak mau mengkarel di depan
seorang hwesio cilik saja. Maka dengan tersenyum ia lantas berkata,
"Siausuhu bilang kepandaian ku ini bukan ilmu silat kalangan Budha, ei,
kamu benar-benar terlalu meremehkan ilmu silat Siau-lim si yang tersohor
ini!"
Hi-tiolc tldak pandai
berdebat, maka ia hanya, menjawab, "Ciam-hoa-ci yang di mainkan Hian-to
Thaisupek sudah tentu ilmu silat ajaran Budha, tapi kau ... kau punya itu bukan
.... "
Sembari bicara ia pun angkat
tangan kirinya dan menirukan gaya Hian-to tadi, beruntun-runtun ia menyentik
tiga kali dengan menggunakan tenaga Siau-bu-siang-kang.
Selentikan Hi-tiok itu tidak
berani ditujukan ke arah Cumoti, tapi dia menyelentikan ke arah sebuah genta
besar yang tergantung di samping. Maka terdengarlah suara "tang tang
tang" tiga kali. Tenaga selentikan Hi tiok itu mengenai genta besar dan
menumbulkan suara keras bagai dipalu.
"Kepandaian hebat!"
seru Cimoti. "Silakan coba jurus Pan-yat-ciangku ini!"
Berbareng ia angkat kedua
telapak tangannya seperti memberi hormat, tapi tidak merangkap, melainkan
terbuka ke depan maka terdengarlah suara mendesir pelahan, serangkum tenaga
pukulan menyambar ke arah Hi-tiok dengan sangat dahsyat. ltulah jurus
"Kiap-kok-thian-hong" (angin mendesir di lembah gunung) dari ilmu
pukulan Pan-yak ciang-hoat....