Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 66-70

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 66-70 Habis berkata, segera ia putar tubuh dan melangkah ke atas undak-undakan. Ia kuatir Tong-lo menutuknya pula untuk meríntangi keberatannya,
Habis berkata, segera ia putar tubuh dan melangkah ke atas undak-undakan. Ia kuatir Tong-lo menutuknya pula untuk meríntangi keberatannya, maka begitu menginjak undak-undakan batu, segera ia melesat ke atas, dengan Pak-beng-cing-gi yang hebat dalam sekejap saja ia sudah lari sampai di tingkat pertama gudàng es itu dan segera tangannya dipakai mendorong pintu.

Tapi baru saja tangannya memegang pintu, sekonyong-konyong kedua kaki dan pinggang terasa kesakitan, ia menjerit aduh dan insaf terkena serangan Tong-lo pula, ketika tubuhnya sempoyongan kembali kedua bahu terasa sakit seperti tertusuk jarum, ia tidak tahan lagi dan roboh terjungkal.

"Hm, kamu sudah terkena senjata rahasiaku, tahu?" terdengar Tong-lo berkata dengan suara menyeramkan,

"Sudah tentu tahu,” sahut Hi-tiok sambil menahan rasa sakit linu pegal, di tempat luka serangan yang mirip digigit oleh beribu ekor semut.

"Hm, apakah kau tahu senjata rahasia apa?" tanya Tong-Io dengan tertawa dingin. "Ketahuilah bahwa itu adalah 'Sing-si-hu"

Telinga Hi-tiok serasa mendengung demi mendengar kata-kata 'Sing-si-hu' itu. Seketika teringat olehnya Ohlotoa dan begundalnya sedemikian ketakutan bila mendengar nama "Sing-si-hu" itu.

Tadinya Hi-tiok menyangka apa yang disebut "Sing-si hu" atau jimat mati dan hidup itu adalah sejenis benda yang mempunyai daya sakti, mana tahu adalah sejenis seniata rahasia. Padahal Oh-lotoa dan begundalnya itu adalah orang-orang jahat yang ganas dan tidak kenal apa artinya takut, tapi mereka justr mati kutu di bawah ancaman "Sing-si-hu," maka betapa lihainya "Sing-si-hu" itu dapatlah dibayangkan.

Ia dengar Tong-lo berkata pula, "Sesudah Sing-si-hu masuk ke dalam badan, maka selamanya tiada obat penyembuhnya lagi. Oh-lotoa dan kawanan binatang itu berani memberontak kepada Biau-biau-hong. sebabnya adalah karena tidak tahan oleh siksaan Sing-si-hu, mereka bermaksud menyerbu ko Leng-ciu-kiong untuk merebut ilmu pemunah Sing-si-hu, Tapi kawanan anjing itu cuma mimpi belaka, masakah ilmu pemunah Sing-si-hu nenekmu dapat dicuri oleh mereka dengan begitu gampang?"

Sesudah bicara begitu, lalu ia duduk bersila dan tak bersuara lagi. Sebaliknya Hi-tiok merasa tempat-tempat luka itu gatalnya tidak kepalang, bahkan seperti meresap ke dalam badan, tidak lama kemudian sampai bagian

perut dan seluruh isinya juga terasa gatal sekali, saking tak tahan ia benar-benar ingin menghancurkan kepala ke dinding agar mati saja dari pada hidup tersiksa. Dan akhirnya karena tidak tahan ia menjerit sekeraskerasnya,

"Coba kau terka apa artinya kata hidup dan mati dari nama Sing-si-hu itu? Sekarang kamu tentu paham, bukan?" kata Tong-lo

Tapi Hi-tiok hanya sanggup merintih saja dan tidak kuat bicara lagi, cuma dalam hati ia menjawab. "Sudah tentu paham, yaitu maksudnya hidup tidak bisa dan mati pun tidak dapat."

Lalu Tong-lo berkata lagi, "Tadi waktu hendak pergi kamu berulang pesan supaya aku menjaga diri dengan baik-baik, dari nada ucapanmu itu tampaknya kamu agak berat meninggalkan aku, nyata kamu masih cukup mempunyai perasaan baik, apalagi kamu pernah menyelamatkan jiwa nenek, selamanya Thian-san Tong lo membedakan budi dan benci dengan tegas, budi dibalas, benci dituntut.

Biar bagaimana kamu memang berbeda daripada Oh-lotoa dan begundalnya itu Sing-si-hu yang nenek tanam dalam tubuhmu termasuk hukuman, tapi aku akan memunahkan nya pula, ini adalah balas budiku."

"Ti.... tidak, biarlah kita tegaskan dimuka, jika engkau hendak menggunakan Sing-si-hu untuk me ... memaksa aku berbuat kejahatan, maka ....maka biarpun mati aku tidak ... tidak mau tunduk," demikian sahut Hi-tiok sambil merintih.

"Hm, tidak nyana kau pun seorang lelaki berwatak keras," jengek Tong-lo "Tapi apa kau tahu sebab apa bicaramu sekarang menjadi tergegap-gegap? Apa kau tahu mengapa cara bicara Au-tongcu itu menjadi tergegap-gegap?"

"Tentu ... tentu dahulu ia pun ter ... terkena kau punya Sing ... Sing si-hu sehingga .. , , sehingga saking kesakitan ia menjadi .... menjadi .."

"Ya, asal kau tahu saja," sela Tong-lo. "Bila Sing-si-hu mulai kumat, maka tiap hari akan bertambah lihai, rasa sakit dan gatal pegal itu berturut-turut akan berlangsung selama 9 x 9= 81 hari, habis itu akan mereda kembali selama 81 hari untuk kemudian mulai menanjak lagi secara bergiliran dan tiada berhenti. Karena itu setiap tahun aku kirim orang untuk memeriksa tempat Oh-lotoa dan begundalnya itu untuk memberikan obat pencegah sakit dan gatal, sekali diberi obat selama setahun Sing-si-hu itu takkan bekerja."

Baru sekarang Hi-tiok mengerti sebabnya Oh-lotoa dan kawan-kawannya itu sedemikian takut kepada Thiansan Tong-lo dan memujanya serupa malaikat dewata, rela dimaki dan dihajar, kiranya disebabkan ingin

mendapatkan obat yang dapat menjamin keselamatannya selama setahun itu. Jika demikian, bukankah sekarang dirinya juga akan terkekang selama hidup dan demi memperoleh obat penawar itu terpaksa mesti diperbudak oleh nenek jahat ini.

Watak Hi-tiok adalah halus di luar dan keras di dalam, meski sangat ramah-tamah kepada orang, tapi batinnya sangat kuat dan sekali-kali tidak mau tunduk di bawah ancaman orang. Hal ini cukup diketahui Tong-lo sesudah berkumpul bersama selama tiga bulan ini.

Maka kata Tong-lo kemudian, "Sudah kukatakan bahwa kamu berbeda daripada Oh-lotoa dan kawanan binatang itu, maka nenek takkan memberikan obat penewar setiap tahun seperti mereka. Sekarang badanmu seluruhnya sudah tertanam sembilan macam Sing-si-hu, aku dapat sekaligus memunahkan seluruhnya sampai ke akar-akarnya bagimu dan takkan kumat untuk selamanya."

"Baa ... banyak te ... te ... " kata Hi-tiok dengan tergegap-gegap, tapi kata-kata terima kasih" itu tetap sukar diucapkan.

Lalu Tong-lo memberikan sebutir pil, sesudah diminum, hanya sebentar saja rasa gatal dan sakit Hi-tiok lantas lenyap,

"Untuk melenyapkan bibit Sing-si-hu itu harus digunakan tenaga dalam pukulan," kata Tong-lo.

"Tapi selama beberapa hari ini ilmu saktiku mendekati pulih kembali dan tidak boleh membuang tenaga murni bagimu. Biarlah, aku mengajarkan caranya dan kamu boleh memunahkannya sendiri."

Terpaksa Hi-tiok mengiakan.

Segera Tong-lo mengajarkan cara mengerjakan Pak-beng-cin-gi dan cara mengerahkannya. Sesudah berlatih dua hari, akhirnya dapatlah Hi-tiok memahaminya dengan baik.

Kemudian Tong-lo berkata pula, "Oh-lotoa dan begundalnya itu sangat jahat, tapi ilmu silat mereka juga tidak rendah, banyak pula di antaranya mempunyai Iwekang yang tinggi, namun tiada seorang pun yang mampu memunahkan Sing si-hu apakah kau tahu sebabnya?"

Ia merandek sejenak dan tahu Hi-tiok tidak dapat menjawabnya, maka ia lantas menyambung, sendiri, "Sebabnya ialah karena Sing-si-hu yang kutanam di tubuh mereka itu terdiri dari berbagai macam dengan cara

yang berbeda-beda pula. Jika mereka berani sembarangan menggunakan tenaga untuk memunahkan Sing-si-hu, maka bukannya sembuh, sebaliknya akan tambah parah dan susah tertolong lagi. Sekarang tubuhmu terkena sembilan macam Sing-si-hu, untuk memunahkannya juga diperlukan sembilan macam cara yang tidak sama."

Segera ia mengajarkan suatu cara kepada Hi-tiok, sesudah Hi-tiok paham, lalu saling gebrak, Tong-lo menggunakan macam-maeam cara keji dan ruwet untuk menyerang dan menyuruh Hi-tiok menggunakan cara yang diajarkan itu untuk menangkis.

Pesan Tong-lo pula "Sing-si-hu dari Biau-biau-hong beraneka macam perubahannya, pada waktu memunahkan harus mengikuti keadaan untuk menghadapinya, bila ayal sedikit saja tentu akan celaka sendiri, kalau tidak binasa, sedikitnya juga akan lumpuh untuk selamanya. Kamu harus pandang Sing-si-hu sebagai musuh besar dan menghadapinya dengan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak boleh ayal."

Hi-tiok menerima semua ajaran itu dan melatihnya dengan giat, ia merasa ilmu yang diajarkan Tong-lo itu sangat bagus, tak peduli Tong-lo menyerang dengan betapa kejinya selalu dapat ditangkisnya dengan mudah saja, bahkan ketika mematahkan serangan Tong-lo itu selalu diikuti dengan daya serang balasan yang hebat.

Makin berlatih makin kagumlah Hi-tiok. Baru sekarang tahu sebabnya "Sing-si-hu" dapat membuat para Tongcu dan Tocu itu ketakutan setengah mati memang bukan tiada beralasan, Sungguh kalau Hi-tiok tidak melatihnya sendiri dari ajaran Tong-lo tentu juga takkan percaya dí dunia ini ada ilmu pemunah sehebat itu?"

Hi-tiok mengorbankan empat hari lamanya baru dapat melatih kesembilan cara pemunah Sing-si-hu itu dengan baik.

Tong-lo sangat girang, katanva, "Kamu ternyata tidak terlalu bodoh dan dapat memahami ajaranku sangat cepat. Menurut ajaran ilmu militer, bila tahu keadaan pihak sendiri dan paham keadaan pihak musuh, maka seratus kali bertempur akan seratus kali menang. Karena itu untuk mengatasi Sing-si-hu, kaupun harus paham cara menggunakan Sing-si-hu. Apa kau tahu benda apakah Sing-si-hu itu?"

"Semacam senjata rahasia," sahut Hi-tiok.

"Benar, tapi senjata rahasia macam apa? Apakah mirip anak panah, mirip pisau atau mirip jarum?" tanya Tonglo.

Hi-tiok jadi bingung dan tak bisa menjawab, Meski dia terkena sembilan macam senjata rahasia itu, rasanya sakit dan gatal tapi bila diraba toh tiada terdapat sesuatu apa sehingga tidak diketahui bagaimana bentuk senjata rahasia itu.

"Nah, inilah yang disebut Sing-si-hu, coba kau rabanya dengan jelas," kata Tong-lo kemudian.

Teringat Sing-si-hu itu adalah senjata rahasia paling lihai di dunia ini, hati Hi-tiok menjadi kebat-kebit. Waktu senjata itu dipegangnya, segera terasa benda itu sangat dingin dan enteng sekali, hanya berbentuk satu lapisan kecil bundar, besarnya kira-kira sama dengan uang logam, pinggirnya tajam, tipisnya seperti kertas.

Selagi Hi-tiok hendak meraba senjata itu dengan lebih jelas, tiba-tiba terasa telapak tangan nyes dingin, selang sejenak, tahu-tahu Sing-si-hu itu telah menghilang tanpa bekas. Keruan Hi-tiok terkejut sekali. Jelas Tong-lo tidak merampas kembali, mengapa senjata rahasia itu bisa menghilang sendiri, benar-benar luar biasa dan susah dimengerti.

Mendadak teringat sesuatu oleh Hi-tiok, ia berseru kuatir, ia pikir dirinya pasti akan celaka karena telah kemasukan Sing-si-hu yang hilang itu.

Maka terdengar Tong-lo bertanya. "Kamu sudah jelas belum?"

"Aku ... aku ti ... " sahut Hi-tiok gelagapan,

"Nah, ketahuilah bahwa Sing-si-hu ini adalah sepotong es yang kecil dan tipis" kata Tong-lo pula.

Baru sekarang Hi-tiok paham duduknya perkara. Kiranya potongan es yang tipis itu telah cair oleh karena hawa panas telapakannya sehingga menguap, maka datam sekejap saja potongan es itu menghilang tanpa meninggalkan setetes air pun.

"Nah, jika kamu hendak belajar cara memunahkan Sing-si-hu. maka harus belajar dulu cara meggunakannya. hendak belajar cara menggunakannya harus lebih dulu belajar pula cara membuatnya," demikian tutur Tong-lo hbih lanjut.

"Jangan kau pandang sepele potongan es yang kecil dan tipis ini, untuk membuatnya tidaklah semudah perkiraanmu. Cara membuatnya ialah taruh beberapa tetes air ia ditengah telapak tanganmu' lalu mengerahkan tenagamu secara terbalik sehingga hawa murni jang keluar dari telapak tanganmu itu tidaklah panas, sebaliknya maha dingin, sehingga tetesan air itu akan membeku menjadi es,"

Begitulah lalu ia mengajarkan cara bagaimana mengerahkan tenaga secara membalik untuk mengubah tenaga maha panas menjadi maha dingin.

Dasar Pak-beng-cin-gi yang diterima Hi-tiok dari Bu-gai-cui itu memang serba guna, maka sekali diberi petunjuk Tong-lo, setiap pelajaran lantas dapat diterima dengan mudah.

Selesai melatih cara membuat Sing-si-hu, kemudian Tong-lo mengajarkan cara menggunakan senjata rahasia yang ampuh itu, ia memberi petunjuk cara menguasai dan cara mengerahkan tenaga secara jitu, dan cara-cara lain dengan aneka maeam perubahannya. Untuk ini Hi-tiok berlatih dengan giat selama tiga hari barulah dapat paham dengan baik.

Hari berikutnya Tong-lo suruh Hi-tiok mengatur napasnya dengan baik, kedua tangannya menghimpun tenaga dalam sepenuhnya. Lalu katanya.

"Salah satu Sing-si-hu yang mengenai tubuhmu itu terletak di Yang-leng hiat, bagian lututmu, coba kearahkan tenaga 'Yang' pada tangan kanan untuk menepuknya menurut pukulan kedua ajaranku, berbareng tangan kiri mengerahkan tenaga 'Im' untuk menyedokan dengan perlahan, beruntun-runtun kau lakukan tiga kali dan segera racun panas (Yang) dan racun dingin (Im) yang timbul dari Sing-si-hu itu akan dapat kau punahkan."

Hi-tiok menurut saja dan melakukan petunjuk itu. Benar juga bagian lutut itu lantas terasa lemas dan gesit kembali, rasanya sangat segar.

Begitulah selangkah demi selangkah Tong-lo memberi petunjuk dan dapat dilakukan oleh Hi-tiok dengan baik. Sesudah Sing-si-hu ketujuh dipunahkan, lalu Tong-lo berkata, "Sekarang tinggal dua Sing-si-hu lagi dan boleh kamu memunahkannya sendiri. Coba jalankan hawa murni keseluruh bagian tubuh untuk menjajaki di manakah letak tempat yang kedua Sing-si-hu, habis itu perlahan mengukur betapa hebat racun panas dan dingin yang timbul dan memikirkan cara pemunahannya. Sesudah kau tetapkan cara-caranya, coba nanti katakan padaku, ingin kulihat apakah, tepat atau tidak, tapi jangan sembarangan dilaksanakan lebih dulu."

Hi-tiok mengiakan.

Tapi mendadak Tong-lo menghela napas sedih katanya pula "Besok lohor ilmu saktiku akan dapat pulih seluruhnya. Tatkala mengakhirinya, latihan itu akan menghadapi macam-macam ujian yang sangat berbahaya. Maka hari ini aku akan tirakat untuk berpikir dengan baik, sebelum latihanku berakhir hendaknya kamu jangan mengajak bicara lagi padaku agar tidak mengganggu pemusatan pikiranku."

Kembali Hi-tiok mengiakan. Pikirnya diam-diam. "Sungguh cepat sekali hilangnya sang waktu, tanpa terasa

tiga bulan sudah berlalu."

Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara yang sangat halus, sangat lirih sebagai bunyi nyamuk, menyusup ke dalam telinga Hi-tiok terdengar suara itu sedang berseru. "Suci, Suci! Dimanakah engkau bersembunyi? Sungguh adik sangat merindukanmu, sesudah berkunjung ke rumah adik, mengapa engkau tidak mau menemui aku?"

Meski suara itu sangat lirih, tapi setiap kata terdengar dengan jelas, terang itu suara Li Jin-sui.

Jelas Hi-tiok sangat terkejut dan berseru, "Ai, dia ... dia .."

"Diam!" bentak Tong-lo mendadak "Kenapa ribut?"

"Dia ... dia telah menemukan jejak kita," bisik Hi-tiok dengan perlahan.

"Dia mengetahui aku berada dalam istananya, tapi tidak tahu aku sembunyi di sini" kata Tong-lo. "Perumahan istana ini beratus-ratus buah banyaknya, kalau dia menggeledah serumah demi serumah juga belumtentu dapat menggeledah ke sini selain waktu setengah bulan atau sepuluh hari."

Hi-tiok merasa lega oleh keterangan itu, katanya pula, "Asal lewat lohor esok kita pun takkan takut lagi,"

Benar juga lantas terdengar suara Li Jiu-sui perlahan mulai menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi, sesudah tenangkan diri, lalu Hi-tiok menuruti petunjuk Tong-lo tadi, ia mengerahkan Pak-beng-cin-gi ke seluruh badan untuk mencari di mana letak Sing-si-hu.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba suara lirih sebagai nyamuk tadi memusup pula ke dalam telinga Hi-tiok kata suara itu, "Suci ysng baik, apakah engkau sudah lupa kepada Bu-gai-cu Suheng? Sekarang juga dia berada dalam istana Siaumoai, dia sedang menantikanmu. ada sesuatu yang sangat penting hendak dibicarakannya denganmu, lekaslah engkau keluar!"

"Omong kosong!" kata Hi-tiok dengan bisik-bisik. "Bu-gai Cu Locianpwe sudah lama wafat, jangan-jangan tertipu olehnya."

"Bicaralah seperti biasa, tidak perlu bisik-bisik biar kita berteriak-teriak di sini juga takkan didengar olehnya."

ujar Tong-lo. "Dia sengaja menggunakan 'Thoan-jin-Sau-hun-tai-hiat' untuk memaksa aku keluar. Dia menyebut namaa Suheng, tujuannya tidak lain ialah hendak mengacaukan pikiranku. Mana aku dapat ditipu olehnya"

Tapi suara Lì Jiu-sui itu masih terus berlangsung tanpa berhenti, sejam demi sejam tanpa kenal lelah. Sebentarsebentar dia mengenangkan kejadian pada waktu belajar bersama dalam perguruan, lain saat menyatakan betapa cinta Bu-gaì-cu kepadanya, kemudiaa dia mencaci-maki Tong-lo, nenek itu dikatakan sebagai wanita paling cabul di dunia ini, perempuan paling rendah dan hina.

Hi-tiok mendekap telinganya, tapi suara itu masih tetap terdengar tak tercegah sedikit pun,

"Bohong! Bohong semua! Aku tidak percaya!" seru Hi-tiok saking tak tahan, ia coba merobek kain baju hendak menyumbat lubang telinga sendiri.

Tapi Tong-lo berkata padanya, "Suara itu tidak mungkin dapat ditahan. Perempuan hina itu menggunakan tenaga dalamnya untuk mengumandangkan suaranya, gudang es di bawah tanah ini pun ditembus oleh suaranya, apalagi telingamu hanya disumbat dengan kain, apa gunanya? Kamu tenangkan diri dan anggap tidak mendengar, anggap saja suara perempuann hina itu sebagai anjing menggonggong dan ayam berkotek"

Hi-tiok mengiakan pesan Tong-lo itu. Tapi demi mendengar Li Jin-sui yang terus mengungkat macam-macam kejelekan Tong-lo masa dahulu, mau tidak mau ia turut menjadi kepingin mendengarkan dan merasa sangsi apa yang dikatakan itu entah benar atau tidak.

Selang sejenak, tiba-tiha Hi-tiok ingat sesuatu, katanya, "Cianpwe, waktu latihanmu sudah hampir tiba sekali ini adalah latihanmu yang terakhir dan sangat penting bagimu, bila engkau mendengarkan ocehan kotor di luar itu, apakah pikiranmu takkan terganggu?"

"Masakah baru sekarang kau tahu. Justru perempuan hina itu telah menghitung persis waktunya, ia tahu bila ilmu saktiku sudah pulih tentu dia tak dapat menandingi aku, makanya sepenuh tenaga ia hendak menggagalkan latihanku ini."

"Jika begitu, sementara ini Cianpwe tunda dulu saja. Dengan gangguan hebat ini, jangan-jangan ... janganjangan , .. "

"Anak bodoh," kata Tong-lo. "Kamu lebih suka mati daripada membantu aku melawan perempuan hina itu daa sekarang mengapa menguatirkan késelamatanku?"

Hi-tiok tertegun, sahutnya kemudian, "Aku .. . aku tidak mau membantu Cianpwe membunuh orang, tapi juga tidak membiarkao orang lain membikin susah Cianpwe."

"Baik juga hatimu," kata Tong-lo. "Tapi urusanku ini sudah kupikirkan dengan masak-masak. Di samping mengganggu pikiranku dengan 'Thoan-im-sau-hun-tai-hoat, tentu pula perempuan hina itu akan mengerahkan anjing-anjing buruannya untuk mencari jejakku. Maka dapat diduga di seliling istana ini tentu sudah terkurung rapat bagai pagar besi kuatnya. Uutuk meloloskan diri terang susah tapi tambah lama sembunyi di sini juga tambah berbahaya".

"Ai, untung juga kita berani menyerempet bahaya dan sembunyi di rumahnya ini, kalau tidak, mungkin dua bulan yang lalu aku sudah ditemukan olehnya. Tatkala itu kekuatanku masih belum pulih, bila mendengar suaranya yang menggetar sukma ini tentu aku tak tahan dan harus keluar dari tempat sembunyi untuk menerima nasib. Nah, waktu lohor sudah tiba, sekarang nenek hendak berlatih lagi."

Habis berkata ia lantas menggigit leher seekor bangau yang terakhir untuk mengisap darahnya. Lalu ia duduk berila untuk melatih Tok-cun-kang.

Dalam pada itu terdengar pula suara Li Jin-sui makin lama makin seram, mungkin ia pun tahu saat ini adalah saat yang menentukan, maka pada detik yang paling genting itu masih berusaha sekuat tenaga untuk memaksa Tong-lo keluar dari tempat persembunyiannya. Sekonyong-konyong suara Li Jiu-sui berubah menjadi lemahlembut dan menggiurkan, katanya, "Oh, Suko, kiranya engkau? Ehm, aku minta peluk, cium, peluklah lebih erat! Aku minta cium, ciumlah di sini!"

Hi-tiok tercengang, pikirnya, "Kenapa dia bicara demikian?"

Sebaliknya terdengar Tong-lo mendengus sekali, lalu memaki dengan gusar, "Perempuan hinadina!"

Keruan Hi-tiok terkejut, ia tahu detik itu adalah detik paling genting bagi Tong-lo yang sedang melatih diri itu, kalau sampai perhatiannya terpencar dan perasaannya marah, tentu nenek itu bisa celaka dan bukan mustahil akan binasa oleh ilmunya sendiri yang gagal itu.

Terdengar suara Li Jiu-sui yang merayu kalbu tadi masih terus berlangsung, apa yang dikatakan adalah katakata cinta tatkala dia bercumbu-cumbuan dengan Bu-gai-cu.

Hi-tiok jadi terkenang juga pada lakonnya sendiri waktu berkumpul dengan nona cantik beberapa hari yang

lalu, seketika napsunya juga berkobar-kobar, darah bergolak dan badan terasa panas.

Terdengar napas Tong-lo juga sangat kasar, suatu tanda perasaannya juga sangat terguncang.

Tiba-tiba nenek itu memaki. "Perempuan bangsat selamanya Sute tidak pernah suka padamu dengan sungguhsungguh, tapi kau serndiri yang menggoda dia dan memikat dia, sungguh tidak tahu malu!"

"He, Cianpwe, dia , .. dia sengaja hendak memancingmu, jangan kau anggap sungguh-sungguh" kata Hi-tiok dengan kuatir.

Tapi Tong-lo memaki lagi, "Perempuan tidak kenal malu. Jika betul dia mencintaimu, mengapa pada sebelum ajalnya jauh-jauh dia datang ka Biau-biau-hong dan menyerahkan cincin besi ini padaku? Dan mengapa dia memberitahukan pula padaku cara memecahkan problem caturnya itu? Dia .... dia juga memperlihatkan sebuah lukisanku waktu berumur 18 tahun yang ditukisnya. Dia menyatakan bahwa selama lebih dari 60 tahun ini lukisan itu selalu mendampingi dia, selalu dia bawa ke mana pun dia pergi. Hehe. untuk semua ini tidak perlu kamu merasa menyesal .... "

Begitulah Tong-lo sekarang pun balas menyerang dengan macam-macam cemoohan sehingga Hi-tiok menjadi tercengang karena apa yang dikatakan itu adalah bohong semua, tapi mengapa Tong-lo sengaja omong begitu? Apakah barang kali ilmunya tersesat sehingga pikiran sehatnya terganggu?

Mendadak terdengar suara "blang'" yang keras pintu gerbang gudang es itu didobrak orang hingga terpentang, kembali Lalu terdengar suara Li jin-sui sedang berkata dengan parau, "Kamu bohong, kamu bohong! Suko hanya . men ... mencintai aku seorang. Tidak .. . tidak mungkin dia melukis dirimu. Tidak mungkin dia mencintai seorang kerdil sebagai dirimu. Kamu sembarangan mengoceh untuk menipu orang .... ".

Menyusul terdengar suara gedebrakan yang keras laksana bunyi guntur di tingliat pertama gudang es itu.

Selagi Hi-tiok terkejut, tiba-tiba terdengar Tong-lo tertawa terbahak-bahak, serunya "Hahaha, perempuan hina, apa kau sangka Bu-gai-cu cuma mencintaimu seorang saja? Haha, mungkin kamu sudah keblingar! Biarpun aku seorang kerdil, ya, memang tidak secantik molek dirimu, namun sesudah berpuluh tahun ini Sute telah paham segalanya. Sebab selama hidupmu ini memang paling suka menggoda dan memelet pemuda tampan..."

Ternyata suara Tong-lo itu pun berada di tingkat pertama gudang es itu. Bilakah nenek itu naik ke atas sama sekali tak diketahui Hi-tiok.

Maka terdengar Tong-lo berkaya lagi dengan tertawa, "Sudah berpuluh tahun kita kakak beradik tidak bertemu, seharusnya sekarang kita meski saling bermesra-mesraan, maka pintu gudang ini sudah kusumbat agar oraog luar tidak mengganggu pertemuan kita. Haha, biasanya kau suka mengandalkan orang banyak, jika kamu hendak memanggil bala bantuan juga boleh, nah lekas kau pindahkan batu-batu es itu atau boleh juga kumandangkan suaramu yang melengking seprti setan kelaparan itu,"

Saking Hi-tiok memperoleh macam-macam pikiran. "Jadi Jadi Tong-lo sengaja membikin marah Li Jiu-sui untuk memancingnya masuk ke dalam gudang es, lalu menyumbat pintu gudang dengan batu es raksasa. Nyata nenek itu sudah bertekat akan menempur Sumoainya dengan mati-matian. Dengan demikian biarpun Li Jiu-sui mempunyai kekuasaan maha besar di negeri Se He juga tiadagunanya lagi. "

Terkurung di dalam gudang es itu dengan sendirinya tidak dapat memanggil bala bantuan. Tapi mengapa dia tidak menggugurkan batu es dengan iwekangnya yang sakti? Mengapa tidak mengumandangkan suaranya yang tajam seperti tadi untuk memanggil bala bantuan? Boleh jadi perbuatan-perbuatan itu akan memencarkan perhatian dan mengorbankan tenaga Li Jiu-sui, hal itu tentu akan digunakan oleh Tong-lo untuk menyerangnya. Atau mungkin juga lantaran Li Jiu-sui berwatak angkuh dan tidak sudi minta bantuan orang lain, tapi ingin membunuh saingan asmara ini dengan tangan sendiri.

Lalu terpikir pula oleh Hi-tiok, "Tempo hari waktu Tong-lo berlatih 'Tok-cun-kang' kelihatan tidak bergerak dan tidak mau bicara, dan sekarang terpaksa ia harus bersuara untuk menempur Li Jiu-sui, maka dapat diduga latihan Tok-cun-kang itu tentu belum sempurna betul dan diakhiri sebelum waktunya. Entah perlarungan ini akan dimenangkan oleh siapa? Jika Tong-lo yang menang apakah dia juga dapat meloloskan diri keluar istana?"

Begitulah selagi Hi-tiok pikir ke barat dan ke timur, di sebelah atas sana sudah terdengar suara gerakan yang keras dan ramai, terang Li Jiusui dan Thian-san Tong-lo sedang saling timpuk dengan batu es raksasa untuk merobohkan lawan.

Selama tiga bulan berkumpul dengan Tong-lo, walaupun sifat nenek itu susah diladeni, tingkah lakunya suka menang-menangan sehingga tidak sedikit Hi-tiok menderita, tapi siang malam tinggal bersama, betapapun timbul juga rasa kekeluargaannya.

Sekarang nenek itu sedang bertempur, Hi-tiok menjadi kuatir juga, segera ia naik ke tingkat dua, biarpun di tempat gelap dan tidak dapat menyaksikan keadaan pertempuran, namun dapat juga mendengar dengan lebih jelas.

Tapi biru saja ia naik ke atas, segera terdengar Li Jiu-sui telah membentaknya, "Siapa itu?" dan serentak suara gedobrakan tadi pun terhenti.

Dengan menahan napas, Hi-tiok hanya diam saJa dan tidak berani menjawab.

Sebaliknya Tong-lo lantas berkata, "Dia adalah pemuda paling romantis di dunia persilatan Tionggoan, orang memberi julukan padanya sebagai 'si kumbang perusak bunga, si Poa An (nama pemuda tampan dalam cerita roman Tiongkok kuno) penggetar sukma'. Kamu ingin melihat nya atau tidak?"

"Ai, tampangku sedemikian jelek, masakah aku diumpamakan sebagai Poa An dnn diberi julukan 'si kumbang perusak bunga' segala, Cianpwe ini memang suka berolok-olok padaku saja," demikian pikir Hi-tiok.

Maka terdengar Li jiu-sui menjawab, "Persetan! Aku adalah nini-nini reyot, masakah masih suka pada anak muda? Huh, si Poa An penggetar sukma apa segala besar kemungkinan adalah Hwesio cilik sejelek siluman yang pernah menggendong dirimu itu."

Lalu ia perkeras suaranya dan berseru. "Hai, Hwesio cilik, betul kamu atau bukan?"

Hati Hi-tiok berdebar-debar, ia tidak tahu apakah mpsti menjawab atau diam saja.

Segera terdengar Tong-lo juga berseru, "Kakanda dalam impian apakah engkau Hwesio cilik? Haha, pemuda tampan dan romantik sebagai dirimu disangka orang sebagai hwesio cilik sungguh menggelikan?"

Seketika wajah Hi-tiok berubah merah jengah demi mendengar panggilan "kakanda dalam impian" itu, sungguh malunya tidak kepalang, dalam hati ia cuma mengeluh. "Wah, celaka, runyam! Apa yang dibicarakan dengan nona itu telah didengar oleh Tong-lo, padahal kata-kata mesra itu mana boleh diperdengarkan kepada orang ketiga?"

Sementara itu Tong-lo telah menanya pula, "Kakanda impian, lekas jawab, engkau ini hwesio cilik atau bukan?"

Dengan suara lirih Hi-tiok menjawab, '"Bu..,. bukan!"

Meski ucapannya sangat perlahan, namun didengar jelas dapat didengar oleh Li Jin-sui dan Tong-lo.

Maka Tong-lo terbahak-bahak pula, "Kakanda impian, engkau tidak perlu risau, tidak lama lagi engkau tentu dapat bertemu pula dengan dewi impianmu. Dia juga tergila-gila merindukan dikau, selama beberapa hari ini

tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur, tapi senantiasa mengenangkan dirimu. Nah, lekas katakan terus terang padaku, engkau merindukan dia tidak?"

Hi-tiok memang sudah jatuh cinta benar-benar terhadap nona jelita yang tak dikenal itu, selama beberapa hari ini meski tekun meyakinkan ilmu Sing-si-hu, tapi senantiasa terkenang kepada nona yang menggetar sukma itu. Sekarang mendadak ditanya Tong-lo, tanpa terasa ia terus menjawab, "Ya!"

Maka terdengar Li Jiu-sui lagi bergumam sendiri, "Kakanda impian, Kakanda impian? Kiranya engkau memang benar seorang pemuda tampan. Coba naik ke sini, ingin kulihat pemuda paling romantis dari dunia persilatan Tionggoan itu bagaimana tampangnya?"

Bicara tentang umur, maka Li Jiu-sui sekarang adalah nini-nini yang berusia antara 80-90 tahun tapi ucapannya itu ternyata sangat enak didengar, sangat mengiurkan sehingga mau tidak mau mengguncangkan perasaan Hitiok, sekejap itu dia merasa dirinya benar-benar sudah berubah "pemuda paling romantis dari dunia persilatan Tionggoan."

Tapi segera ia merasa geli sendiri, pikirnya, "Aku adalah lelaki bermuka jekek, bodoh lagi kasar, mana dapat disebut sebagai pemuda yang romantis. Hah, benar-benar orang bisa mati mentertawakan diriku."

Tapi seketika terpikir puia olehnya, "Di hadapan musuh tangguh mengapa Tong-lo masih ada waktu iseng untuk mengolok-olok diriku? Ah mungkin dia mampunyai maksud tujuan tertentu. ya, tempo hari waktu Bugai-cu Locianpwe hendak menerima aku sebagai ahliwaris Siau-yau-pai, beliau berulang juga mencemohkan rupaku yang buruk kemudian So Sing ho mengatakan bahwa untuk mengatasi Ting Jun-jiu harus dicari seorang pemuda yang gagah dan tampan dengan bakat yang tinggi. Tatkala mana aku merasa tidak paham, tapi kalau dipikir sekarang tentu hal itu ada sangkutpautnya dengan Li Jiu-sui."

Tengah Hi-tiok termenung, mendadak cahaya api berkelebat di tingkat pertama gudang es itu dan mamancarkan cahaya terang, menyusul terdengar suara menderu-deru ramai.

Cepat Hi-tiok naik ke atas undak-udakan dan memandang ke atas, terlihat sesosok bayangan putih dan secsosok bayangan kelabu sedang berputar-putar dengan cepat, terkadang merapat dan segera terpisah pula sambil mengeluarkan suara "plak-plok" yang riuh. Terang Tong-lo sedang menempur Li Jiu-sui dengan sengit.

Di atas batu es ada obor yang masih menyala dan mengeluarkan cahaya yang suram. Dari gerak cepat pertarungan kedua orang itu Hi-tíok dapat membedakan yang mana Tong-lo dan mana Li Jiu-sui.

Cahaya api itu hanya sebentar saja lantas padam, seketika gudang es itu berubah menjadi gelap gulita pula. Tapi suara angin pukulan yang menderu-deru masih terus menyambar dengan dahsyat.

Diam-diam Hi-tiok ikut merasa tegang pikirannya, "Tong-lo sudah buntung sebelah kakinya tentu takkan menguntungkan bila bertempur terlalu lama, cara bagaimana harus kubantu dia? Tapi Tong-lo ini juga kejam dan tidak kenal ampun, bila dia yang menang, tentu jiwa Li Jiu-sui pun akan dihabisi olehnya dan hal ini punbukan keinginanku. Apalagi ilmu silat mereka teramat tinggi, cara bagaimaná aku dapat ikut campur tangan?"

Selagi Hi-tiok merasa, bingung,, tiba-tiba terdengar suara "plek"yang keras disusul dengan jeritan Tong-lo, agaknya nenek itu telah terluka dan dikalahkan.

Terdengar Lì Jiu-sui bergelak tertawa dan berkata. "Suci, bagaimana seranganku ini? Harap kau beri petunjuk sedikit"

Habis itu mandadak ia membentak pula, "Hendak lari kemana!"

Segera Hi-tiok merasa serangkum angin menyerempet lewat di sisinya, berbareng terdengar bisikan Tong-lo di sebelahnya, "Gunakan gerakan jurus kedua, lekas hantam!"

Tapi Hi-tiok tidak paham apa maksudnya, selagi ia hendak tanya, sekonyong-konyong terasa angin dingin menyambar ke mukanya, serangkum tenaga pukulan yang maha dahsyat menyerang tiba.

Karena tidak sempat pikir lagi segera Hi-tiok menggunakan jurus kedua untuk memunahkan Sing si-hu menurut ajaran Thian-san Tong-lo itu untuk menangkis. Dalam kegelapan terdengar suara beradunya dua tangan, kontan tubuh Hi-tiok tergetar darah seakan-akan menyembur keluar dari mulutnya, lekas ia gunakan gerakan cara ketujuh yang pernah dipelajari untuk mematahkan daya serangan lawan.

Maka terdengar Li Jiu-sui bersuara heran sekali, bentaknya, "Siapa kau? Mengapa dapat menggunakan Thiansan-liok-yang-ciang ? Siapa yang mengajarkan padamu?"

Hi-tiok menjadi heran, "Thian-san-liok-yang-ciang apa?" balasnya tanya.

"Masih kau menyangkal!? Barusan adalah jurus kedua yang bernama 'Yang-cing-pek-kui dan gerakkan selanjutnya adalah jurus ke tujuh yang disebut 'Yang-koan-sam-tiap', semuanya itu adalah kungfu perguruanku yang dirahasiakan, dari siapa kau dapat mempelajarinya?"

Hi-tiok tambah beran oleh nama-nama jurus yang disebut itu. Ia menjadi bingung, lamat-lamat ia merasa dirinya telah tertipu oleh Tong-lo.

Dalam pada itu Tong-lo masih berdiri di belakangnya, katanya sambil tertawa dingin, "Kanda impian ini bergelar pemuda paling romantis di dunia persilatan Tionggoan. dengan sendirinya ia serba bisa dan serba pandai, baik ilmu silat maupun ilmu surat, baik ilmu bintang, maupun ilmu bumi, semuanya ia tahu. Hal inilah yang mencocoki jiwa Bu-gai-cu Sute sehingga dia telah menerimanya sebadai murid terakhir. Tentang Ting Jun-jiu yang murtad itu Bu-gai-cu sudah memberi perintah agar kakanda impian ini membasminya."

"Kakanda Impian, siapa yang dia katakan itu benar atau tidak?" tanya Li Jiu-sui

Mendengar kedua orang nu sama memangilnya dengan istilah "kakanda impian," Hi-tiok menjadi merah jengah.

Apa yang dikatakan Tong-lo tadi ada sebagian memang benar dan sebagian lainnya dusta, tapi Hi-tiok toh tidak dapat membenarkan dan tak dapat menyangkal pula, sebab beberapa jurus ilmu pukulan itu memang ajaran Tong-lo untuk digunakan memunahkan Sing-si-hu, siapa duga sekarang Li Jiu-sui menyebutnya sebagai "Thian-san-lok-yang-ciang."

Memang Tong-lo juga pernah menyatakan hendak mengajarkan "Thian-san-liok-yang-ciang" untuk melawan Li Jiu-sui, tapi Hi-tiok tetap tidak mau belajar, apa barangkali beberapa jurus pukulan itu memang betul adalah Thian-san-lok-yang-ciang

Karena tidak mendapat jawaban. Li Jiu-sui menjadi aseran, segera ia membentak dengan bengis "Bibi tanya padamu, kenapa kamu diam saja?"

Berbareng tangannya terus hendak mencengkeram pundak Hi-tiok.

Namun Hi-tiok sudah apal betul waktu latihan bergeprak dengan Tong-lo, bahkan dilatihnya dalam kegelapan, dengan sendirinya ia dapat mendengarkan suara untuk membedakan arah dan dapat bertindak menurut keadaan, maka begitu merasa jari Li Jin-sui hampir menyentil pundak, segera ia mendak tubuh dan menggeser ke samping, berbareng tangannya membalik untuk balas menahan lengan orang.

"Kepandaian hebat! Jurus 'Yang ke-thian-kau' ini sudah terlatih sangat sempurna dan kuat," kata Li Jiu-Sui sambil menarik kembali tangannya. "Apakah segenap kepandaian Bu-gai-cu Suheng telah diajarkan kepadamu,

ya?"

"Ya, dia ... dia memang telah mencurahkan segenap ... segenap kekuatannya kepadaku," jawab Hi-tiok dengan terputus-putus.

Hi-tiok mengatakan Bu-gai-cu mencurahkan seluruh "kekuatan" padanya dan maksudnya bukan "kepandaian", namun bagi pendengaran Li Jiu-sui sedang bimbang, jawaban Hi-tiok itu menjadi tiada berbeda baginya. Maka ia tanya pula, "Dan bila Suko sudah menerima dirimu sebagai murid, kenapa tidak kau panggil aku sebagai Susiok?"

Tiba-tiba hati Hi-tiok tergerak, katanya, "Ya Supek dan Susiok, kalian adalah orang sekeluarga kenapa permusuhan ini tiada habis-habisan dan masih bertempur dengan mati-matian. Menurut hematku apa yang sudah lalu sebaiknya dilupakan saja."

"Kakanda impian, usiamu masih muda, engkau tidak tahu betapa keji dan culasnya tua bangka itu, biarlah engkau berdiri menyaksikan di pinggir saja ..."

Begitu habis Li Jiu-sui bicara, sekonyong-konyong ia menjerit, "Auuuh!"

Kiranya Tong-lo yang berdiri di belakang Hi-tiok itu mendadak membokongnya dengan sekali pukulan. Pukulan yang tak bersuara itu menggunakan tenaga lunak yang murni jarak mereka, cukup dekat pula sehingga Li Jiu-sui sama sekali tidak sempat menghindar atau menangkis. Terpaksa ia berusaha hendaki melompat mundur, namun tetap terlambat sedetik, ia merasa napasnya menjadi sesak, urat nadi telah terluka.

"Sumoai, bagaimana dengan pukulanku ini harap suka memberi petunjuk," demikian ejek Tong-lo dengan menirukan nada Li Jiu-sui tadi.

Karena buru-buru ingin mengatur pernapasan untuk mencegah meluasnya luka, Li jiu-sui tidak berani membuka mulut.

Sebaliknya sekali Tong-lo berhasil menyergap lawan, ia tidak memberi ampun lagi, segera ia lompat maju dengan kakinya yang tunggal dan melancarkan serangan lagi.

"He, Cianpwe, jangan terlalu kejam!" seru Hi-tiok sambil menggunakan ajaran Tong-lo untuk menangkis serangan yang dilontarkan kepada Li Jiu-sui secara berarti itu.

"Bangsat cilik, kamu melawan aku dengan kepandaian apa?"' bentak Tong-lo.

Rupanya Tong-lo insaf akan menghadapi kesukaran besar di kemudian hari, demi untuk mendapatkan seorang pembantu yangkuat, maka ketika mengajarkan cara memunahkan Sing-si-hu, Tong-lo sengaja mengajarkan Liok-yang-ciang kepada Hi-tiok, meski dengan keras Hi-tiok pernah menolak belajar ilmu pukulan itu. Tatkala latihan bergebrak, Tong-lo mengajarkan pula segenap perubahan dan cara yang aneh dan bagus itu kepada Hitiok.

Siapa duga setelah sekarang dirinya menang angin, sebaliknya Hi-tiok malah ganti haluan dan membantu Li Jiu-sui. Saking gusarnya, ia tidak mau mengatakan pula bahwa Liok-yang-ciang itu adalah ajarannya, maka hawa amarahnya menjadi susah terlampias dan hanya berjingkrak-jingrak saja.

"Cianpwe, harap suka ingat sesama saudara seperguruan kita sudilah bermurab hati padanya" pinta Hi-tiok.

Tapi Tong-lo menjadi murka, dampratnya, "Lekas enyah! Minggir sana!"

Dalam pada itu berkat pertolongan Hi-tiok yang menangkiskan serangan Tong-lo, maka pernapasan Li Jiu-sui dapat dipulihkan kembali. Katanya, "Kakanda impian, aku sudah tidak beralangan lagi, boleh engkau berdiri ke samping saja!"

Habis berkata segera tangan kiri menarik dari jauh sehingga Hi-tiok terseret minggir, menyusul tangan kanan terus menghantam ke arah Tonglo dengan mengitari badan Hi-tiok.

Diam-diam Tong-lo terkejut dan segera balas menyerang. Pikirnya, "Ternyata perempuan hal ini telah berhasil meyakinkan 'Pek-hong-ciang-lik' (tenaga pukulan pelangi putih) yang dapat dilontarkan secara lurus atau bengkok sesuka hatinya kungfu ini tidak boleh dibuat main-main."

Hi-tiok tahu kepandaian sendiri terbatas dan susah untuk melerai mereka, terpaksa ia tanya menghela napas panjang dan segera mundur ke pinggir.

Lama sekali kedua orang itu bertempur dengan sengit, sambaran angin pukulan setajam pisau, karena tidak tahan, selagi Hi-tiok hendak mundur ke tingkat ketiga gudang es itu, mendadak terdengar, "plak" sekali, Tonglo menjerit tertahan, tubuhnya tampak terpental dan menubruk dinding es.

Keruan Hi-tiok kaget cepat ia berseru, "Hei, berhenti, berhenti!"

Beruntun-runtun ia pun melancarkan dua jurus Liok-yang-ciang untuk mematahkan serangan susulan Lì jiusui.

Kesempatan itu segera digunakan oleh Tong-lo untuk meloncat ke tingkat ketiga di bawah. Tapi tiba-tiba terdengar jeritannya yang ngeri, nenek itu jatuh terguling ke undak-undakan baru yang menurun itu.

"He, Cianpwe, kenapa kau?"' seru Hi-tiok kuatir, Segera ia memburu turun ke bawah, dengan tergagap-gagap akhirnya ia dapat memayang bangun Tong-lo. Ia merasa kedua tangan si nenek sedingin es, waktu diperiksa pernapasannya dan ternyata sudah putus.

Hi-tiok menjadi bingung dan berduka pula, serunya dengan menangis:"O.. Susiok, engkau telah memukul mati Supek, engkau ... sungguh amat kejami"

"Tua bangka ini sangat licik, pukulan tadi belum tentu dapat mampuskan dia," ujar Li Jiu-sui.

"Masih bilang belum mati, sedangkan napasnya juga sudah putus," kata Hi-tiok sambil menangis. "O, Cianpwe ... Supek, kuharap engkau jangan dendam di alam baka."

Segera Li Jiu-sui mengeluarkan geretan api dan dinyatakan. Maka tertampak jelas di atas undak-undakan batu itu berceceran darah segar, di pinggiran mulut dan di depan dada Tong-lo juga penuh darah.

Pada waktu melatih "Tok-cun-kang" setiap hari Tong-lo harus minum darah segar. Tapi kalau hawa murninya membalik dan urat nadinya putus, maka darah segar akan tertumpah keluar asal tumpah satu cangkir saja sudah cukup membuatnya binasa seketika, apalagi sekarang darah yang berceceran di undak-undakan baru itu tampaknya ada beberapa mangkuk banyaknya.

Li jiu-sui tunggal guru dengan Tong-lo dan sudah tentu cukup mengetahui di mana untung ruginya melatih ilmu Tok-cun-kang, sebabnya dia tidak berani menyakinkan ilmu itu justru lantaran terlalu berbahaya,

Sekarang dilihatnya sang Suci benar-benar tumpati darah dan jiwa sudah melayang, sudah tentu ia merasa girang karena musuh terbesar itu akhirnya binasa di tangannya tapi di samping itu ia pun merasa hampa dan sedih.

Dengan mata mendelik ia pandang Tong-lo sambil berdiri terpaku di undak-undakan batu, meski Hi-tiok memondong Tong-lo di bawahnya sambil menangis terguguk-guguk, tapi ia anggap seperti tidak melihatnya.

Selang agak lama barulah ia melangkah turun sambil memegang geretan api, katanya dengan pelahan, "Suci, apa engkau benar-benar sudah mati? Tapi aku masih tidak percaya."

Ketika dua-tiga meter jaraknya dengan Tong-lo, ia gunakan cahaya api yang agak suram itu untuk menerangi muka Tong-lo. Tertampak jelas wajah nenek itu penuh keriput, pinggir mulut penuh berlepotan darah, keadaanaya sangat menyeramkan.

"Suci, selama hidupku telah kenyang disiksa olehmu, sekarang engkau jangan pura-pura mati untuk menipu aku lagi," kata Li Jui-sui dengan perlahan. Dan sekali tangannya bergerak, segera ia menghantam dada jenazah Tong-lo, tulang iganya patah beberapa batang.

Hi-tiok menjadi gusar, teriaknya, 'Dia sudah kau bunuh, mengapa masih kau rusak jenazahnya?"

Dalam pada itu serangan kedua Li Jiu-sui sudah tiba pula, maka cepat ia menangkisnya."

Ketika Li Jiu-sui melirik, sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa 'pemuda paling romantis dari dunia persilatan Tionggoan' ini ternyata bermata besar, berhidung pesek, bertelinga lebar dan bermulut besar, jidatnya lebar, alisnya ketal, mukanya sangat kasar, sedikitpun tidak kelihatan tampan. Untuk sejenak Li Jiu-sui tercengang, segera ia pun sadar telah ditipu Tong-lo, Sekali tangan kanan menjulur, segera pundak Hi-tiok hendak dicengkeramnya.

Namun dengan gesit Hi-tiok sempat meng'hindar ke samping, katanya, "Aku takkan bertempur denganmu, aku hanya minta jangan kau ganggu jenazah Sucimu!"

Berulang-ulang Li Jiu-sui menyerang empat kali, di luar dugaannya Hi-tiok sudah sangat hapal atas Thian-sanliok-yang-ciang sehingga setiap serangannya dapat ditangkis bahkan dari tangkisan itu membawa pula pula tenaga tekanan balasan yang berat.

'He, siapa itu?" tiba-tiba Jiu-sui membentak sambil menuding ke belaKang Hi-tiok.

Hi-tiok masih hijau, tidak berpetigalaman, ketika dia menoleh, tahu-tahu dadanya terasa sakit nyata ia kena di

tutuk Li Jiu-sui menyusul bahu dan kakinya juga tertutuk sehingga sekujur badan terasa lemas dan roboh di samping jenazah Tong-lo.

"Engkau adalah angkatan tua, mengapa menyerang kaum muda secara licik?" teriak Hi-tiok dengan gusar.

Li Jiu-sui tertawa terkekeh-kekeh, katanya "Ilmu perang tidak pantang menipu musuh, hari ini aku harus memberi hajaran dulu padamu!"

Waktu dia memandang pula ke arah Tong-lo tertampak sebelah tangannya bertumpang di atas perut, jari kecilnya sudah terkutung, tapi cincin besi tanda Ciangbunjin itu matih terpakai dengan baik pada jari itu. Melihat itu, seketika timbul pula rasa cemburunya, katanya dengan penasaran "Hm, Tiau-ci-goan Suheng itu mengapa diberikan padamu?"

Segera ia mendekati, ia berjongkok dan bermaksud mengambil cincin besi itu.

Diluar dugaan, sekonyong-konyong tangan kanan Tong-lo bisa bergerak "plak", tahu-tahu kena hantam "Ciyang-hiat" di punggung Li Jiu-sui dengan keras, manyusul kepalan kiri juga menggenjot dan tepat pada "Tantiong-hiat" di dada Li Jiu-sui,

Kedua serangan itu dilakukan dari jarak dekat, jangankan Li Jiu-sui hendak menangkis atau menghindari, buruburu hendak mengerahkan tenaga untuk menutup hiat-to juga tidak sempat lagi Kontan saja tubuhnya terpental oleh hantaman Tong-lo itu dan terbanting di undak-undukan batu, geretan api yang dipegangnya juga terlepas dan mencelat ke atas.

Rupanya serangan itu sudah disiapkan Tong-lo dan dengan tekad harus berhasil, maka kerasnya luar biasa sehingga geretan api yang mencelat itu terus melayang ke atas dan bahkan mencapai tingkatan pertama dan jatuh di sana.

Seketika di ruang tingkat ketiga itu menjadi gelap gulita lagi, hanya terdengar suara tertawa dingin Tong-lo yang terkekeh-kekeh tanpa berhenti.

Hi-tiok terkejut dan bergirang, cepat ia berseru, "He, Cianpwe, engkau sudah hidup kembali? Hah, bagus sekali!"

Kiranya pada detik terakhir Tong-lo gagal menyelesaikan pemulihan ilmu sakti Tok-cun-kang, pula sebelah

kakinya telah ditabas kutung oleh Li Jui-Sui sehingga Iwekangnya banyak surut. Sesudah pertarungan sengit dan berlangsung hampir lebih 200 jurus, ia tahu hari ini pasti akan kalah, lebih-lebih sesudah terkena sekali pukulan Li Jiu-sui.

Celakanya Hi-tiok yang dipercayakan akan memberi, bantuan itu sama sekali tidak mau membela pihak mana pun melainkan ingin netral. Walaupun seraagan Li Jiu-sui yang lain dapat dipatahkan Hi-tiok tapi tipu daya sendiri yang sudah, teratur itu pun tak terlaksana. Maka ia tahu bila pertempuran dilanjutkan, akhirnya dirinya pasti akan dikalahkan dengan lebih seram.

Karena itu Tong-lo menjadi nekat, ia terima mentah-mentah sekali pukulan Li jiu-sui dan pura-pura mati. Adapun darah yang berceceran d' undak-undakan dan mengalir dari mulutnya adalah darah menjangan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk menipu musuh. Tak terduga Li jiu-sui teramat cerdik, sudah terang melihat Tong-lo tak bernapas lagi toh masih menambahi sekali pukulan sehingga mematahkàn beberapa batang tulang iganya.

Sekali sudah nekat, rupanya Tong-lo bertambah nekat pula, kembali ia terima mentah-mentah pukulan Li Jiusui itu, coba kalau tidak dirintangi Hi-tiok, tentu Li Jiu-sui akan melancarkan pukulan lain pula untuk menghancurkan jenazahnya dan Tong-lo tentu tak berdaya sama sekali.

Untung Hi-tiok telah merintanginya, pula ketika Lì Jiu-íui. melihat cincin besi itu lantas terbelah perhatiannya dan segera tertarik serta hendak merampasnya, Walaupun Li Jiu-sui juga tahu Tong-lo sangat licin, tapi sama sekali tak tersangka olehnya bahwa sang Suci itu dapat pura-pura mati dan mandah dihantam dan baru sekarang melancarkan surangan balasan secara tiba-tiba.

Karena terhantam dari muka dan belakang hingga terluka parah, tenaga dalam yang dihimpun Li jiu-sui selama berpuluh tahun itu kehilangan kemudi, seketika tenaga dalam itu bagai air bah melanda tanggul yang bobol.

Ilmu silat Siau-yau-pai sebenarnya adalah kungfu kelas wahid, tapi kalau tak bisa menguasai tenaga dalam yang dilatihnya, maka penderitaan keadaan demikian itu sungguh susah dilukiskan.

Maka dalam sekejap saja Li Jiu-sui merasa hiat-to di seluruh tubuh seperti diantup oleh tawon yang beribu-ribu banyaknya, sakitnya tidak kepalang dan gatalnya susah dikatakan, ia insaf luka dalam itu tak mungkin disembuhkan, cepat ia berseru, "Kakanda impian engkau suka berbuat bajik, lekas kau hantam sekali pada Pekhwe-hiatku!"

Tadi waktu melihat Tong-lo dapat hidup kembali, Hi-tiok merasa sangat senang. Tapi sekarang demi melihat tubuh Li Jiu-sui sedemikian gemetar saking menderitanyu, ia menjadi tidak tega pula. Rupanya saking tidak tahan, maka Li jui-suiterus menyingkap kain sutra kerudung mukanya, lalu muka sendiri dicakar-cakar

sehingga babak belur.

Sebenarnya Hi-tiok ada maksud hendak mencegah perbuatan Li Jiu-sui yang merusak muka sendiri itu, celakanya dia sendiri tertutuk dan tak bisa bergerak.

Maka Li Jiu-jui berteriak pula, "Kakanda impian, harap kau han... hantam mati diriku saja."

"Hm, kamu telah menutuk hiat-tonya dan sekarang ingin dia menolongmu pula, haha, ini namanya memukul air di dulang, terpercik muka sendiri. Nah, rasakan sekarang hasil perbuatanmu sendiri, inilah yang disebut kualat!" tiba-tiba Tong-lo mengejek.

Segera Li Jiu-sui meronta-ronta dengan maksud hendak mendekati Hi-tiok untuk membuka hiat-to yang tertutuk itu, tapi tubuhnya terasa lemas linu semua, sampai jari pun sukar digerakkan jangankan tubuhnya.

Sebaliknya Hi-tiok hanya dapat memandang Li Jiu-sui dan memandang pula Tong-lo. Ia lihat Tong-lo sendiri meski dapat mengakali Li Jiu-sui dan memukulnya, tapi luka Tong-lo sendiri juga amat parah, hal ini terbukti Tong-lo juga menggeletak di atas undak-undakan batu sambil tiada hentinya merintih-rintih.

Sesudah memandang, ke sana dan ke sini, makin lama makin jelas penglihatan Hi-tiok sehingga gudang es yang tadinya gelap itu seakan-akan menjadi terang.

Ia merasa heran, ketika berpaling, tiba-tiba tertampak di tingkat pertama sana ada cahaya api.

"Hah, ada orang datang!" seru Hi-tiok dengan girang.

Sebaliknya Tong-lo terkejut dan kuatir, pikirnya. "Jika ada orang datang, akhirnya tetap aku yang akan terjungkal di tangan perempuan hina-dina ini."

Sekuat tenaga ia hendak berbangkit, tapi betapapun tetap tidak kuat, baru saja tangannya menyanggah atau segera terbanting jatuh lagi. Pelahan ia coba merangkak untuk mendekati Li Jiu-sui agar dapat mencekik mati lawannya itu sebelum bala bantuannya datang.

Tapi belum lagi ada orang datang, tiba-tiba terdengar suara meneteskan air, seperti ada air yang menetes diundak-undakkan batu itu.

Li Jiu-sui dan Hi-tiok juga mendengar air menetes, berbareng mereka berpaling dan melihat air yang menetes diundak-undakan batu, ketika orang sama-sama mereka heran, dari manakah datangnya air itu?

Sejenak Kemudian, ternyata gudang es itu menjadi semakin terang, suara air yang gemercik juga makin deras, akhirnya tetesan air itu berubah menjadi air mengalir dari atas. Waktu mereka memandang ke tingkat atas, tertampak di atas sana api berkobar-kobar dengan dahsyatnya, tapi tiada seorang pun yang kelihatan.

"Ah, api ... api tadi tdah membakar ka .... kapas dalam karung sana," demikian Li Jiu-sui berkata.

Rupanya tumpukan karung goni yang memenuhi jalan masuk gudang es yang tadinya disangka sebagai bahan makanan oleh Hi-tiok dan disangka pasir krikil oleh Thian-san Tong-lo, sebenarnya isi karung itu adalah kapas.

Harus diketahui bahwa benda sebangsa kapas paling baik untuk menolak hawa dingin dan mempertahankan hawa hangat. Sebabnya pinggir pintu gudang es itu ditumpuki kapas berkarung-karung banyaknya itu adalah supaya hawa panas dari luar tidak menembus ke dalam sehingga batu es yang disimpan dalam gudang itu tidak cair dan tetap membeku.

Tak terduga ketika Li Jin-sui kena dipukul roboh oleh Tong-lo tadi, geretan api yang dipegangnya mencelat ke tingkat teratas dan persis jatuh di atas karung yang berisi kapas dan seketika terbakar, Api yang panas itu telah mencairkan batu es sehingga berubah menjadi air dan mencurah ke bawah.

Kapas adalah benda yang mudah terbakar, satu karung terjilat api, segera karung yang lainikut terbakar sehingga makin lama api semakin berkobar dengan hebatnya dan air yang mengalir ke bawah tambah banyak pula.

Selang tidak lama , air es yang menggenang tingkat terbawah itu sudah sebatas dengkul, tapi air masih terus mengalir turun melalui undak-undakan batu.

Makin lama makin tinggi genangan air itu sehingga perlahan mencapai pinggang ketiga orang itu. Li Jiu-sui menghela napas putus asa, katanya, "Suci, kita berdua lelah sama-sama terluka dan tiada seorang pun dapat hidup lagi, Bo ... boleh melepaskan hiat-to kakanda impian yang tertutuk itu dan biar ... biar dia pergi saja dari sini."

MereKa cukup tahu bahwa tidak lama lagi, asal genangan air dalam gudang es sudah naik pasang, maka mereka pasti akan mati kelelap.

Namun Tong-lo tertawa dingin, sahutnya, "Kalau mau aku dapat bertindak sendiri buat apa kamu banyak omong? Sebenarnya ada maksudku hendak melepaskan tutukannya, tapi karena perbuatanmu barusan, aku menjadi sangsi dan tak mau melepaskan dia. He, hwesio cilik jiwamu ini justru amblas di bawah ucapannya tadi, kau tahu tidak?"

Habis berkata, perlahan ia hendak merangkak ke atas undak-undakan batu itu, asal día dapat merayap beberapa undak lebih tinggi, maka dia akan dapat menyaksikan Li Jiu-sui mati tergenang air Walaupun dia sendiri akhirnya juga tak terlepas dari kematian, tapi asal dia dapat menyaksikan dulu kematian Li Jiu-sui, maka dia akan merasa puas dan anggap sakit hatinya sudah terbalas.

Begitulah Li Jiu-sui ményaksikan Tong-lo sedang merayap ke atas, sementara itu air es yang dingin menusuk tulang sudah meninggi pula sebatas dada, sedangkan hawa murni di dalam badan yang bergolak itu tetap menyiksanya, karena itu ia malah berharap air lekas naik terus tinggi dan biar mati kelelap air saja.

Mendadak terdengar Tong-lo menjerit satu kali dan tahu-tahu orangnya terjungkal ke bawah, "plung". air muncrat berhamburan, ternyata nenek itu sudah tersungkur dalam genangan air.

Rupanya dalam keadaan terluka parah Tong-lo menjadi kehabisan tenaga, sesudah merayap beberapa tingkat undak-undakan batu itu tiba-tiba sepotong pecahan es terhanyut dari atas dan tepat menimpa dengkulnya sehingga Tong-lo tidak tahan dan jatuh terguling ke bawah. Dan kebetulan juga jatuhnya justru menumbuk di atas badan Hi-tiok, dan ketika terperosot ke bawah, lagi-lagi bahu kanan Li Jiu-sui juga terseruduk. Maka terjadilah ketiga orang itu tumpang tindih di dalam genangan air.

Tatkala itu air baru mencapai sebatas dada Li Jiu-sui, tapi karena perawakan Tong-lo lebih pendek, maka tinggi air itu sudah mencapai lehernya.

Luka dalam Tong-lo sangat parah, tapi pikirannya masih cukup jernih. Karena ilmu silat yang dilatihnya adalah satu aliran dengan Li Jiu-sui, maka saat itu dia juga sedang menderita siksaan buyarnya Iwekang sendiri seperti Li Jiu-sui. Namun begitu ia tetap berusaha agar sang Sumoai harus dibikin mati dulu sebelum ia sendiri meninggal dunia.

Segera ia barmaksud melontarkan serangan sekuatnya, tapi di antara mereka, berdua teraling-aling Hi-tiok. Apalagi hakikatnya tenaganya sudah habis meski iwekangnya bergolak dalam badan dan tak tersalurkan.

Saat itu dilihatnya bahwa Hi-tiok mendempel bahu Li Jiu-siu, tiba-tiba Tong-lo mendapat akal, katanya, "Hwesio cilik, jangan sekali-kali mengerahkan tenaga untuk melawan, kalau melawan, itu berarti karau

mencari mampus sendiri."

Sebelum Hi-tiok tahu apa yang dimaksud, segera Tong-lo kerahkan Iwekangnya yang bergolak itu untuk menyerang Hi-tiok.

Kontan juga tubuh Li Jiu-sui tergetar, segera ia pun tahu sang Suci sedang menyerangnya dengan iwekang yang hebat,

Sebenarnya dengan perbuatan Tong-lo itu justru akan mempercepat kematiannya sendiri, sebab waktu itu dia tidak kuat menjalankan hawa murninya sehingga tenâga dalam itu tidak dapat bertambah, sebaliknya makin banyak terbuang dan makin cepat pula dia akan binasa. Tapi kalau dia tidak lantas menyerang, asal genangan air naik sedikit lebih tinggi lagi, maka di antara ketiga orang itu pasti dia sendiri yang akan mati lebih dulu kareua perawakannya paling pendek.

Maka terdéngar Li Jiu-sui menghela napas katanya, "Suci, engkau yaug memaksa aku gugur bersama denganmu,"

Segera ia puu mengerahkan Iwekangnya yang bergolak tak tersalurkan itu untuk balas menyerang.

Hi-tiok berada di tengah-tengah kedua wanita itu, lebih dulu ia merasakan tangan yang memegang tubuh Tonglo itu disaluri serangkum hawa panas. Menyusul bahunya yang mendempel bahu Li Jiu-sui itu juga kemasukan semacam hawa panas.

Hanya dalam sekejap saja dua rangkum hawa panas itu saling terjang dan bergolak dengan hebat sekali dalam tubuh Hi-tiok.

Kiranva ilmu yang dilatih Li Jiu-sut dan Thian-san Tong-lo adalah satu aliran, kekuatan mereka pun setanding, sesudah sama-sama terluka parah, kekuatan mereka masih seimbang sehingga sukar di tentukan siapa lebih unggul dan siapa lebih asor.

Karena itulah begitu Iwekang kedua orang dikerahkan, seketika macet di tengah jalan dan terhenti dalam tubuh Hi-tiok, tiada seorang pun di antara mereka dapat menyerang lawannya.

Dengan demikian yang celaka adalah Hi-tiok yang tergencet oleh dua arus tenaga itu. Untung dia sudah mendapat kekuatan Bu-gai-cu yang terlatih lebih 70 tahun iiu. Dengan kekuatan tiga saudara seperguruan yang setingkat itu, keadaan mereka menjadi saling bertahan saja dan Hi-tiok tidak sampai celaka di bawah gencetan

tenaga Li Jiu-sui dan Tong-lo.

Di antara mereka bertiga cuma Tong-lo yang paling kuatir, ia merasa air es sudah makin tinggi, dari leher sudah mencapai dagunya dan dari dagu sudah menggenang sampai bibirnya. Berulang-ulang ia mengerahkan Iwekangnya agar dalam detik terakhir itu dapat membinasakan lawan cintanya, tapi tenaga dalam Li Jiu sui justru masih terus menyerangnya juga dan terang susah dikalahkan dalam waktu singkat

Sementara itu suara gemercik air semakin keras, tiba-tiba mulut Tong-lo terasa dingin, sepotong es kecil telah menyusup ke dalam mulutnya. Kerena Tong-lo terkejut dan dengan sendirinya tubuhnya terangkat sedikit ke atas sehingga duduknya tidak mantap lagi, akhirnya tubuhnya terapung di dalam air.

Rupanya karena sebelah kakinya buntung bobotnya menjadi jauh lebih ringan dari pada biasa dan dengan sendirinya menjadi lebih mudah terapung. Dengan demikian Tong-lo nyaris mati kelelap. Bahkan ia lantas tidur telentang di permukaan air, mulut dan hidungnya dapat dipakai bernapas, ia sangat girang dan lega. Sedang tangannya masih tiada, hentinya mengerahkan Iwekang untuk menyerang pula.

Karena digencet dari kanan kiri, sudah tentu Hi-tiok sangat payah, ia mengeluh, "Supek dan Susiok, meski kalian bertempur terus juga tetap sukar diketahui siapa yang akan menang atau kalah, sekaliknya akulah yang akan mati tergencet oleh tenaga kalian,"

Namun dalam keadaan mengadu Iwekang, pertarungan Tong-lo dan Li Jiu-sui sekarang adalah pertarungan yang paling berbahaya, siapa yang berhenti dulu tentu akan melayang jiwanya, apalagi kedua orang sama-sama tahu baik menang atau kalah dari pertandingan ini, akhirnya kedua orang juga akan gugur bersama, yang mereka perebutkan sekarang hanya memaksa pihak lawan mati lebih dulu. Dan karena kedua oraug sama-sama tidak mau kalah, dengan sendirinya tiada seorang pun di antara mereka mau berhenti dulu.

Selang agak lama lagi, air es itu sudah lebih tinggi dan mencapai dagu Li Jiu-sui, dia tidak pandai berenang, maka tidak berani meniru cara Tong-lo mengapung di permukaan air. sebaliknya dia lantas menahan pernapasannya, dengan "Ku-sik-heng" (ilmu kura-kura istirahat) ia tahan terus sampai detik terakhir.

Ketika air sudah menggenangi mulut lalu melampaui hidungnya, matanya, jidatnya dan akhirnya seluruh kepalanya terbenam, tapi ia masih tetap mengerahkan tenaga dengan sekuatnya.

Perawakan Hi-tiok lebih tinggi daripada Li Jiu-sui. tapi akhirnya air pun mencapai mulutnya, ia tak tahan dan kelabakan, teriaknya, "Wah, celaka! aku ... krok-krok ... aku krok-krok"

Begitulah untuk beberapa kali ia minum air bah itu sehingga tidak dapat bersuara lagi.

Dalam keadaan bingung dan panik itu, mandadak keadaan yang terang tadi menjadi gelap dan akhirnya tidak terlihat apa-apa lagi. Lekas ia tutup mulut dan gunakan hidung untuk bernapas, tapi sekali bernapas rasa dada menjadi sesak.

Kiranya gudang es itu tertutup dengan sangat rapat, sesudah tumpukan kapas di atas itu terbakar sekian lama, maka zat asam dalam ruang gudang itu sudah habis terbakar. Dan karena tidak mendapat hawa, akhirnya api menjadi guram dan padam sendiri.

Dengan sendirinya Hi-tiok dan Tong-lo menjadi susah bernapas.Sebaliknya Li Jiu-sui yang sedang menggunakan "Ku-sik-kang" malah tidak merasakan kesukaran bernapas.

Walaupun api sudah padam, tapi air es masih terus mengalir ke bawah.

Dalam keadaan gelap gulita Hi-tiok merasa air sudah menggenang melampaui mulutnya dan perlahan mendekati hidungnya. Diam-diam ia mengeluh, "Wah, matilah aku, matilah aku!"

Sebaliknya Tong-lo dan Li Jiu-sui masih terus saling menyerang dari kanan kiri. Hi-tiok merasa hawa murni dalam tubuhnya bergolak hebat. seakan-akan semua isi perutnya telah berganti tempat, sedangkan air sudah hampir menutup lubang hidung, asal naik sedikit lagi tentu dia takkan bisa bernapas. Celakanya hiat-tonya tetutuk, hendak mendongakkan kepala juga tak dapat.

Akan tetapi aneh juga, tunggu punya tunggu sudah sekian lamanya air es itu ternyata tidak naik pasang lagi. Kiranya api yang membakar kapas itu telah padam dan dengan sendirinya batu es tidak mencair pula.

Lewat agak lama lagi, tiba-tiba Hi-tiok merasa bibir di bawah hidung agak sakit, rasa sakit seperti tertusuk makin lama makin sakit sehingga menjalar ku dagu dan leher.

Kiranya batu es yang tertimbun di tingkat bawah itu sama sekali tidak mencair, sesudah air berhenti mengalir dari atas, dengan sendirinya ruang yang sangat dingin itu segera membeku menjadi es pula sehingga lambat laun Tong-lo, Li Jiu-sui dan Hi-tiok bertiga ikut terbeku di dalam lapisan es. Dan sekali mambeku menjadi es yang keras, dengan sendirinya tenaga dalam Tong-lo dan Li Jiu-sui lantas terpisah dan tak dapat tersalur lagi ke dalam tubuh Hi-tiok.

Akan tetapi, lantaran itu juga maka sembilan dari sepuluh bagian tenaga murni kedua orang itu lantas bersarang

di dalam tubuh Hi-tiok dan tetap saling terjang dan bergolak dengan hebat, makin lama makin lihai, sehingga Hi-tiok merasa antero badan seakan-akan meledak. Walaupum terbeku dalam lapisan es, tapi rasanya masih sangat panas seperti dibakar.

Entah sudah berapa lama lagi, ketika mendadak seluruh tubuh Hi-tiok tergetar, dua arus hawa panas yang bergejolak saling terjang itu tiba-tiba tergabung dengan hawa murni dalam tubuh Hi-tiok sendiri dan tanpa dikerahkan hawa murni yang maha kuat itu terus berputar-putar dengan cepat melalui segenap urat nadi yang menghubungkan satu hiat-to dengan hiat-to lainnya.

Rupanya lantaran tubuh Hi-tiok terbungkus lapisan es, sedangkan tenaga murni Tong-lo dari Li Jiu-sui yang ketinggalan di dalam badannya itu masih aaling terjang tanpa jalan keluar sehingga akhirnya tergabung dengan tenaga murni Hi-tiok sendiri yang diperolehnya dari Bu gai-cu itu. Tiga bergabung menjadi satu, sudah tentu tenaga dalam itu hebat tak terkirakan kemana tenaga itu menerjang, seketika hiat-to yang tertutuk jadi lantas terbuka dengan sendirinya.

Begitulah demi merasa badan bebas dari ke kangan dan hawa murni dalam badan masih terus bergolak dengan tebat, Hi-tiok coba pentang tangan perlahan. Di luar dugaan lantas terdengar suara "krak-krek" berulang-ulang, lapisan es yang membeku di tubuhnya retak semua. Ketika ia berbangkit, ia merasa hawa sengat sesak, bernapas pun susah. Pikirnya, "Entah bagaimana dangan Supek dan Susiok, aku harus menolong mereka keluar dulu dari sini."

Ketika ia meraba, ia meraba kedua paman guru itu pun sudah terbeku di tengah es yang dingin dan keras. Dalam gugupnya tanpa pikir lagi ia terus angkat kedua paman guru itu berikut la pisan es yang masih melengket di badan mereka dan naik ketingkat pertama gudang es itu. Sesudah membuka kedua lapis pintu gudang, tiba-tiba terasa hawa segar menghembus masuk, ia hanya menghirup hawa sedikit saja rasanya pun segar luar biasa.

Di luar ternyata sunyi senyap, sang dewi malam menghias tengah cakrawala nan biru kelam, nyata waktu itu sudah jauh malam.

Hi-tiok menjadi girang, melarikan diri dalam keadaan gelap sudah tentu jauh lebih mudah baginya. Segera ia jinjing kedua potong batu es bermanusia itu,dan berlari ke tepi pagar tembok, sekali ia kerahkan tenaga dan meloncat ke atas, mendadak tubuhnya membumbung ke atas sehingga jauh lebih tinggi daripada tembok yang hendak dilintasi itu,

Ia tidak tahu bahwa hawa murni dalam tubuhnya itu ternyata mempunyai khasiat sehebat itu. Keruan ia kaget dan kuatir ketika tubuhnya semakin mumbul ke udara, tanpa terasa ia menjerit sekali.

Karena suaranya itu, empat pengawal yang sedang meronda di sekiiar situ terkejut dan memburu datang untuk memeriksa apa yang terjadi.

Tapi tiba-tiba mereka melihat dua potong batu es raksasa berikut sesosok bayangan melayang keluar pagar tembok, mereka tidak tahu makhluk aneh apakah itu sehingga mereka ternganga kaget.

Ketika mereka sadar kembali dan memburu ke tempat menghilangnya bayangan tadi, namun tiada sesuatu lagi yang diketemukan. Mereka menjadi curiga dan saling berdebat, yang satu mengatakan bayangan tadi tentu setan, yang lain bilang pasti siluman.

Sementara, itu Hi-tiok berlari keluar istana dan melintasi tembok kota, sesudah belasan li jauhnya akhirnya Hitiok berhenti di tempat yang sepi, Ia taruh kedua paman gurunya yang masih terbungkus es, ia pikir tindakan pertama harus menghapuskan dulu lapisan es itu. Segera ia mencari sebuah sungai kecil, ia rendam kedua potong es raksasa itu di dalam air.

Di bawah sinar bulan kelihatan mulut dan hidung Tong-lolo menongol diluar lapisan es, hanya kedua matanya terpejam rapat, entah sudah mati atau masih hidup.

Begitulah lapisan es itu mulai mencair dan ternyata air, ditambah Hi-tiok ikut membeset dan mengelotoki pula sehingga es yang kantil di tubuh kedua paman guru itu dicuci bersih, lalu ia angkat pula kedua paman guru ke atas tanah, ia coba meraba jidat mereka dan ternyata masih hangat, segera ia memisahkan mereka agak jauh, ia kuatir kedua paman guru itu akan gontok-gontokkan pula siuman kembali

Sesudah sibuk setengah harian, cuaca sudah mulai remang-remang, subuh sudah tiba.

Ketika sang suryá mulai mengintip di timur dan burung di atas pohon ramai berkicau, tiba-tiba terdengar Thian-san Tong-lo yang mcnggeletak dibawah pohon sebelah kanan sana bersuara "uh" sekali, menyusul Li jiu-sui yang ditaruh di bawah pohon sebelah kiri juga bersuara "oh" kedua orang ternyata siuman berbareng.

Tentu saja Hi-tiok sangat girang, cepat ia lompat bangun dan berdiri di tengah-tengah kedua paman guru itu dan berulang merangkap tangan memberi hormat, katanya "Supek dan Susiok, kita bertiga telah nyaris dari kematian, maka perkelahian ini harap jangan disambung lagi."

"Tidak, perempuan hina itu belum mampus, mana boleh selesai!" sahut Tong-lo.

Li Jiu-sui juga berkata, "Ya, sakit hati sedalam lautan ini takkan berakhir sebelum dia mati!"

Mendengar ucapan kedua orang itu masih tetap penuh rasa benci dan dendam, Hi-tiok menjadi kuatir dan berulang-ulang menggoyang tangannya, katanya, "Jika kalian masih tetap akan bertempur mati-matian, terpaksa aku ... "

Sampai di sini, tiba-tiba dilihatnya Li jiu-sui sedang berusaha berbangkit dan hendak menubruk ke arah Tonglo. Sebaliknya Tong-lo juga siapkan kedua tangan hendak memapak serangan musuh.

Tak terduga, baru saja Li Jiu-sui sempat berdiri, mendadak ia menjerit dan roboh kembali sedang kedua tangan Tong-lo juga susah diangkat lagi, jangan kan hendak mengerahkan tenaga, bahkan napas pun tampak terengah-

engah sambil bersandar di batang pohon.

Hendaklah maklum bahwa sesudah mereka saling gebrak dengan sengit, kemudian tenaga murni mereka tersalur hampir seluruhnya ke tubuh Hi-tiok, sisanya boleh dikata tiada artinya dan hanya sekedar dapat menyambung nyawa mereka saja.

Sekarang biarpun mereka tetap ingin bertempur, namun keinginan ada dan tenaga habis, karena karena usia mereka sudah sangat lanjut, maka keadaan mereka boleh diibaratkan pelita yang kehabisan minyak dan tinggal padamnya saja.

Melihat kedua orang dalam keadaan payah dan tak bisa bertempur lagi, Hi-tiok menjadi girang, katanya, "Begini memang lebih baik! Kalian boleh mengaso dulu, biarlah kupergi mencari sedikit makanan."

Ia lihat Tong-lo dan Li Jiu-sui sedang duduk semadi dengan gaya yang sama ia tahu kedua saudara seperguruan itu sedang mengerahkan tenaga, asal salah seorang dapat mengumpul sedikit tenaga lebih dulu dan tentu akan segera menyerang agar lawannya tidak mampu menangkis.

Karenanya Hi-tiok menjadi ragu untuk tinggal pergi, ia kuatir jangan-jangan pulangnya nanti salah seorang sudah mengeletak menjadi mayat.

Ia pandang Tong-lo dan pandang pula Li Jiu-sui, ia lihat muka kedua nenek itu penuh keriput dan kurus kering, pikirnya, "Kedua orang sudah sama-sama tua bangka, tapi masih ngotot dan tidak mau saling mengalah."

Tatkala itu sang surya sudah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang, baju Hi-tiok yang tadinya basah kuyup sekarang sudah kering, waktu ia betulkan pakaiannya, "bluk", mendadak! jatuh sesuatu, yaitu lukisan yang diterimanya dari Bu-gai-cu

Lukisan itu adalah lukisan kain sutra sehingga tidak rusak mesti kena air. Tapi keadaan lukisannya sendiri menjadi agak samar-samar karena luntur. Ia menjereng lukisan itu di atas batu untuk dijemur.

Mendengar suara keresek itu, Li Jiu-sui pentang matanya dan dapat meliliat lukisan itu, langsung ia berseru. "He, coba perlihatkan lukisan itu padaku. Aku tidak percaya bahwa Suko sudi melukis gambar perempuan bejat itu."

Tapi Tong-lo juga lantas berseru, "Jangan perlihatkan dia, aku harus mampuskan dia dengan tanganku sendiri.

Jika perempuan hina itu keburu mati keki kan terlalu untung baginya"

"Hahabaha" Li Jiu-sui tertawa. "Sudahlah, aku tidaK jadi lihat. Huh, kau kuatir aku melihat lukisan itu, hal ini menandakan apa yang dilukiskan itu bukan gambarmu, Suko sangat pandai melukis, masakah dia sudi melukis seorang kerdil yang lebih mirip setan semacam dirimu ini? Hahaha!"

Hal yang paling menyesalkan Tong-lo selama hidup adalah latìhan Iwekangnya tersesat sehingga membuat badannya menjadi ciri, yaitu kerdil untuk selamanya. Hal ini boleh juga adalah gara-gara perbuatan Li Jiu-sui dahulu, yaitu tatkala latihan Thian-san Tong-lo berada pada yang menentukan, dari samping mendadak Li Jiusui berteriak keras-keras sekali sehingga Tong-lo kaget dan hawa murninya sesat jalan, sejak itu sukar di pulihkan kembali dan menganggu pertumbuhan badannya pula.

Sekarang didengarnya Li jiu-sui mengolok-olok ciri yang paling dikesalkan itu, keruan ia menjadi gusar tidak kepalang. Segera ia menjerit, "Perempuan bangsat, jika aku ... aku ... "

"Kau mau apa?" jengek Li Jiu-sui

"Ya, masih untung juga bagi perempuan hina ini karena dapat menemukan aku pada saat aku belum menyelesaikan Tok-cun-kangku, coba kalau telat satu hari saja, hm, telat hari saja pasti kamu akan tahu rasa," demikian kata Tong-lo,

"Huh, kau dapat melatih ilmu sakti, memangnya selama berpuluh tahun ini aku hanya hidup percuma?" sahut Li Jiu-sui. "Biarlah kukatakan padamu bahwa "Thian-lam-sin-yang' yang tertera pada 360 buah cermin perunggu itu sudah dapat kuyakinkan dengan baik. Andaikata kamu memang berhasil menyakinkan ilmu setan segala, masakah 'Thian-lam-sin-kang' tidak dapat melawannya?"

Thian-san Tong-lo tampak tertegun sejenak, lalu berkata, "Thian-lam-sin-kang katamu? Kamu telah dapat menyakinkannya? Huh, aku tidak percaya, omong kosong, membual belaka!"

"Hm, memangnya siapa, ingin kau percaya?" jengek Li Jiu-sui. "Cuma sayang, aku ....aku telah tertipu olehmu, kalau tidak, hm, boleh kau rasakan betapa lihainya Thian-lam-sin-kang."

"Ya, anggaplah kamu sudah mahir Thian-lam-sin-kang, tapi apa kamu mampu melawan Thian-he-tok-cin-kang yang sudah kulatih itu? Hm, melulu satu jurus Ciam-hoa-wi-jiau (petik bunga dengan tersenyum) saja pasti akan membikinmu kelabakan."

"Huh, siapa yang pernah melihat jurus Ciam-hoa-wi-jiau itu bagaimana macamnya? Ha ha si kerdil hendak "petik bunga dengan tersenyum", betapapun cantiknya si kerdil paling-paling juga cuma begitu-gitu saja."

Tong-lo menjadi gusar, ia meronta-ronta hendak bangun untuk melontarkan jurus mematikan yang bernama "Ciam-hoa--wi-jiau" itu. Tapi biarpun ia sudah berkutekkan sekian lamanya, tetap sukar berbagkit. Dalam keadaan tak berdaya akhirnya ia berkata kepada Hi-tiok, "Coba kamu ke sini!"

"Supek ada pesan apa?" tanya Hi-tiok sesudah mendekatinya.

"Akan kuajarkan jurus Ciam-hoa-wi-jiau ini padamu, lalu kau gunakannya untuk menyerang perempuan hina itu. Ingin kulihat cara bagaimana dia mampu menangkis," demikian pesan Tong-lo

Tapi Hi-tiok menggeleng kepala, sahutnya "Tidak, aku takkan membantu pihak mana pun dan tak mau menyerang Susiok"

Tong-lo tambah gusar, bentaknya, "Goblok kamu kan tidak perlu menyerang dia dengan sungguh-sungguh, cukup kau pertunjukkan gaya serangan itu saja."

Melihat kedua paman guru itu sama-sama ngotot, asal terkumpul sedikit tenaga tentu akan saling labrak, dan kalau kedua orang saling bergumul lagi, maka pastilah akan berakhir dengan mati atau hidup. Sekarang Tonglo cuma minta dia belajar lalu pertunjukan gaya serangannya kepada Li Jiu-sui, hal ini toh takkan melukai dan mengganggu salah satu pihak, maka ia menurut dan berkata, "Baiklah, aku akan belajar dan silakan Supek memberi petunjuk"

"Coba tempelkan telingamu sini supaya rahasia ilmu ini tidak didengar oleh perempuan hina itu," kata Tong-lo.

"Cis, hanyà sedikit kepandaianmu yang sepele itu masakah aku kepingin tahu?" jengek Li Jiu-sui.

Segera Hi-tiok mendempelkan telinganya ke tepi mulut Thian-san Tong-lo. Si nenek lantas menjelaskan gerak tipu, "Ciam-hoa-wi-jiau" yang dikatakan tadi dan mengajarkan cara mengerahkan tenaga dan cara melontarkan serangan. Karena sebelumnya Hi-tiok sudah dipupuk oleh Tong-lo dan mempunyai dasar yang kuat, dengan sendirinya jurus Ciam-hoa-wi-jiau itu dengan gampang dapat dipahaminya.

Setelah mengapalkan pula satu kali, lalu ia mendekati Li Jiu-sui dan berkata, "Susiok, aku disuruh Supek untuk memainkan sejurus kepandaiannya dan minta Susiok suka memberi kritik yang sehat,"

Wajah Li Jiu-sui berubah pucat, pikirnya, "Selama ini dia selalu berada bersama si kerdil dan sudah tentu, dia adalah orang kepercayaannya tampaknya hari ini ajalku sudah sampai dan aku pasti akan diserang olehnya."

Maka tertampak Hi-tiok angkat tangan kirinya, jari jempol dan jari telunjuk bergaya seperti orang hendak memetik bunga, mukanya tersenyum simpul dan ramah-tamah. lalu tangan kanan juga terangkat pelahan, kedua jarinya lantas menyentak pelahan seperti orang menghilangkan butiran embun di atas daun bunga. Tapi lantas terdengar suara "crit" yang pelahan, pada dahan pohon Siong yang terletak dua-tiga meter jauhnya sana lantas kelihatan sebuah lubang kecil.

Li Jiu-sui terkejut atas tenaga selentikan yang sangat lihai itu.

Sedangkan Tong-lo lantas mendamprat, "Goblok! Kenapa sampai bersuara? Tenagamu kurang tepat, tahu tidak?"

Hi-tiok mengiakan dan kembali mencoba sekali lagi, sekali ini gerakannya lebih halus dan lebih luwes, batang pohon kembali kelihatan sebuah lubang kecil, namun selentikan itu tetap mengeluarkan suara cuma sangat lirih.

"Hm, tetap mengeluarkan suara!" jengek Tong-lo. "Tapi cara melakukannya sudah tepat. Nah, perempuan hina, jika jurus ini aku sendiri yang melontarkannya pasti takkan mengeluarkan suara sedikit pun dan kamu mampu menangkisnya?"

Sekarang Li Jiu-sui sudah tahu bahwa Hi-tiok memang betul tiada maksud menyerang dirinya, ia menjadi lega. Dan sudah tentu ia tidak mau kalah terhadap Thian-san Tong-lo. Segera ia pun berkata, "Siapakah namamu yang sebenarnya, Hiantit (keponakan baik)?"

Mendengar sang Susiok bertanya dengan sopan, cepat Hi-tiok menjawab. "Ah, Siautit sebenarnya adalah hwesio Siau-lim-si dan bergelar Hi-tiok. Sungguh harus disesalkan karena imanku kurang teguh sehingga telah melanggar peraturan Budha, terang aku telah gagal menjadi hwesio. Sejak kecil aku sudah ..sudah piatu. Hingga aku sendiri tidak tahu she dan namaku yang sebenarnya."

Melihat Hi-tiok menjadi sedih ketika bercerita tentang dirinya sendiri, Li Jiu-sui manggut-manggut, katanya, "Hiantit, kaupun tidak perlu sedih. Hati sendiri adalah Budha, demikian kata kaum pemeluk agama Budha, biarpun kamu gagal menjadi hwesio, asal kamu banyak berbuat kebajikan, tetap kamu akan dapat mencapai kesempurnaan hidup. Sekarang kamu sudah masuk perguruan kita gurumu bergelar Bu-gai-cu, maka untuk selanjutnya gelarmu boleh disebut 'Hi-tiok-cu' saja."

Sebenarnya Hi-tiok sangat bingung karena karena telah gagal menjadi hwesio yang suci, sekarang Li Jiu-sui membuka jalan baginya sehingga dia mempunyai pegangan hidup, ia menjadi girang dan memberi hormat, katanya, "Banyak terima kasih atas kebaikan Susiok."

Sebagai ibu suri kerajaan Se He, ditambah ilmu silatnya juga sangat tinggi, sudah tentu Li Jui-sui tidak pandang sebelah mata kepada siapa pun. Sebabnya sekarang dia begini ramah terhadap Hi-tiok adalah lantaran ia merasa kepepet dan kuatir Hi-tiok akan membikin susah padanya, intinya ia sengaja merebut hati Hi-tiok dengan ucapan-ucapan yang menyenangkan, ketika melihat Hi-tiok sangat senang, lalu ia menyambung lagi, "Kamu sangat baik, Hiantit, maka sekali lihat aku lantas suka padamu. Tentu kamu akan banyak menerima kebaikan dariku,"'

"Kentut, kentut busuk!" damprat Tong-lo dengan gusar, "He, Hwesio cilik, jangan kau percaya kepada obrolannya yang muluk-muluk!. Selamanya perempuan hina ini suka memikat pemuda yang tampan. Terhadap mukamu yang buruk itu sebenarnya ia sangat jemu dan tidak sudi bicara pada mu, tapi sekarang dia mengatakan 'suka padamu' ha ha, benar-benar pembohong besar. Nah, perempuan hina, kau tidak mampu menangkis seranganku 'Ciam-hoa-wi-jiau' ini lekas mengaku kalah saja dan tidak perlu main kasak-kusuk kepada hwesio cilik ini."

"Hm, Ciam-hoa-wi-jiau, nama ini memang boleh, semula kusangka dengan nama yang bagus pasti tipu serangan ini pun sangat hebat, siapa tahu hanya demikian saja, ha, sungguh menggelikan. Padahal asal aku menggunakan 'Leng-po-wi-poh', semacam langkah ajaib dalam Thian-lam-sin-kang, maka dengan gesit dan cepat dapat kuhindarkan serangan tenaga jari itu."

"Kau mahir Leng-po-wi-poh?" Tong-lo menegas dengan terkejut. "He he, jangan omong besar, siapa mau percaya bualanmu?"

Tapi Li-jiu-sui lantas berkata kepada Hi-tiok, "Hiantit, Long-po-wi-poh adalah semacam langkah ajaib yang tiada bandingannya, sesudah kau pelajari, musuh tangguh bagaimana pun juga pasti akan dapat kau hindarkan dengan sangat mudah."

"Wah, bagus sekali jika begitu." seru Hi-tiok kegirangan. "Memangnya aku tidak suka berkelahi dengan orang, jika aku dapat mengelakkan lawan tanpa bertempur dengan dia maka cara demikian yang paling kuharapkan."

"Ehm. hatimu sangat baik, kelak pasti akan menjadi Seorang pahlawan besar" puji Li jiu-sui dengan tersenyum.

Hi-tiok jengah karena dipuji tanpa berjasa.

Sebaliknya Tong-lo lantas mendamprat, "huh tidak malu, selain menjilat pantat kamu mempunyai kepandaian lain tidak?"

Tapi Li Jiu-su tidak menggubrisnya dan tetap berkata kepada Hi-tiok, "Leng po-wi-poh ini berasal dari perubahan perhitungan Pat-kwa dari kitab Ih-keng, kau pernah belajar Ih-keng tidak?"

Ih-keng adalah kitab pelajaran Khong-kau, Sudah tentu golongan agama Budha tidak mempelajarinya.

Maka Hi-tiok menjawab, "Tidak pernah."

"Biarlah, lain hari akan kuajarkan padamu, sekarang akan kuajarkan satu langkah saja, yaitu dari sudut 'tongjin'menuju ke sudut 'kui-moai'" demikian kata Li Jiu-sui lebih jauh. Lalu ia mencabut tusuk kundainya dan melukis sebuah peta di atas tanah dan mengajarkan pada Hi-tiok cara melangkahnya menurut peta.

Sesudah mengingat sudut-sudut yang dikatakan menurut peta dan mengapalkan petunjuknya Li Jiu-sui, ternyata Hi-tiok dapat melakukannya dengan tepat dan baik.

Dari jauh Tong-lo dapat mengikuti gerak-gerik Hi-tiok itu, diam-diam ia menghela napas dan mengakui bahwa Leng-po-wi-poh itu ternyata memang benar sudah dapat dipahami oleh lawan besarnya itu. Dasar wataknya memang tidak sabaran segera ia berseru, "Baik, anggaplah langkahmu itu memang tepat dan dapat menghindarkan seranganku. Tapi sesudah jurus Ciam-hoa-wi-jiau itu segera akan menyusul jurus lain yang bernama 'Sam-liong-su-siang (tiga naga empat gajah), suatu serangan yang maha dahsyat antara tenaga pukulan bercampur tenaga jari. Nah, cara bagaimana akan dapat kau hindar lagi? Sini, hwesio cilik, lekas kemari, biar kuajarkan pula jurus Sam-liong-su-sing ini."

Dengan tersenyum Li Jui-sui juga berkata kepada Hi-tiok. "Hiantit, Supekmu hendak mengajar lagi padamu, boleh ke sana lebih banyak belajar kan lebih baik bagimu."

Maka Hi-tiok lantas mendekati Tong-lo dan kembali mempelajari jurus 'Sam-liong-su-siang' itu.

Ketika jurus itu dimainkan, benar juga keras dan dahsyat sekali, sepuluh jari maju sekaligus dan batang pohon seketika kena ditusuk sepuluh lubang kecil. menyusul tenaga pukulan kedua telapak tangan juga tiba,"prak", batang pohon patah menjadi dua. Sungguh sama sekali tak tersangka oleh Hi-tiok bahwa jurus serangan itu akan sedemikian lihainya, karuan ia kaget sendiri.

"Jurus serangan itu memang benar-b«nar sangat dahsyat, sekali sudah menyerang, maka tanpa ampun lagi jiwa musuh pasti akan melayang," demikian komentar Li Jiu-sui.

"Benar, aku pun merasa jurus ini agak kurang baik," kata Hi-tiok sambil mengangguk,

"Hwesio busuk, kau berani mengikuti suara perempuan hina itu dan mencela ilmu kepandaianku!” bentak Tong lo dengan gusar.

"Bukan mencela, aku cuma merasakan terlalu kejam sedekit," sahut Hi-tiok.

"Terhadap orang jahat harus kejam, semakin kejam semakin baik, kalau bisa jangan diberi kesempatan hidup, harus dibasmi sampai akar-akarnya," ujar Tong-lo,

Segera Li Jiu-sui berkata, "Hiantit, jika Suci benar-benar melontarkan jurus serangan dahsyat itu kepada ku, walaupun aku dapat menghindar dengan Leng po-wi-poh yang ajaib, tapi terang aku akan terdesak dan paling sedikit aku akan dicecar belasan serangan lain tanpa, sempat balas menyerang."

Tiong-lo berseri-seri, katanya, "Ya, asal tahu saja!"

Tapi Li Jiu-sui lantas menambahkan lagi, "Dan cara paling baik untuk menghadapinya ialah mengikuti tenaga pukulan itu sambil melompat mundur, dan selagi tenaga pihak lawan belum sempat berubah lagi, mendadak kita balas menyerang tatkala dia belum siap ..."

Habis berkata, lalu ia mengajarkan satu jurus lagi.

Sudah tentu Tong-lo menjadi penasaran, segera ia memanggil pula, "Hwesio cilik, lekas kemari,, coba apalkan lagi jurus ketiga ini, pasti dia akan mati kutu'"

Begitulah kedua saudara seperguruan itu secara bergiliran mengajarkan kepandaian mereka kepada Hi-tiok dengan tujuan hendak menaklukkan pihak lawan. Dasar ilmu silat kedua nenek itu memang maha tinggi dan sama-sama mencapai tingkatan yang tiada taranya, maka satu sama lain menjadi susah menentukan kalah atau menang.

Tipu-tipu serangan yang diajarkan kedua nenek itu makin lama makin sulit, baiknya Hi-tiok. sendiri bukan lagi Hi-tiok yang dulu, sekarang dia telah memiliki tenaga dalam dari tiga tokoh terkemuka Siau-yau-pai, ia dapat mengerahkan tenaga dalam itu dengan sesukanya, betapapun aneh dan sukar tipu serangan itu, sesudah diapalkan seketika ia dapat memainkannya denganbaik dan tepat.

Tong-lo dan Li Jui-sui tetap ngotot tak mau saling mengalah, sebaliknya Hi-tiok juga asyik mempelajari setiap kepandaian yang diajarkan padanya sehingga mereka sama-sama lupa daratan, lupa makan,dan lupa minum.

Sampai hari sudah hampir gelap, karena gerak-gerik permainan Hi-tiok sudah sukar dilihat dengai jelas lagi, dalam keadaan terpaksa barulah kedua nenek itu berhenti bertanding.

Segera Hi-tiok menggunakan batu krikil untuk menimpuk jatuh belasan ekor burung yang sedang pulang ke sarangnya, lalu ia menyembelih dan mencucinya di tepi suggai, kemudian dipanggang: Setelah ketiga orang makan burung panggang itu, lalu Hi-tiok mencakupkan air sungai untuk diminumkan kepada Tong-lo dan Li Jiu-sui.

Sejak Hi-tiok Hwesio berubah menjadi Hi-tiok-cu, sekarang ia tidak pantang makan daging dan membunuh segala.

Besoknya, pagi-pagi sekali selagi Hi-tiok masih tidur dengan nyenyak, tiba-tiba ia dibentak bangun oleh Tonglo. katanya ada satu jurus serangan lihai hendak diajarkan padanya agar segera dapat dipakai untuk menguji Li Jiu-sui.

Dan sesudah Hi-tiok memahami dengan baik dan dimainkan, segera Li Jiu-sui membalas lagi tiga jurus serangan yang lihai.

Begitulah sehari demi sehari, dalam sekejap saja tanpa terasa sudah lewat lebih 20 hari. Keadaan luka kedua nenek itu sudah sembuh kembali, ditambah setiap hari perang otak sehingga hanya memakan pikiran. Maka makin lama muka kedua nenek itu tampak makin kurus, tatkala bicara juga semakin lemah

Meski Hi-tiok sudah menganjurkan agar mereka berhenti bertanding, tapi Tong-lo dan Li Jiu-sui. tahu luka mereka terlalu parah, kesempatan bertanding pada lain kali pasti tidak mungkin ada, maka sekarang juga masing-masing berusaha menciptakan tipu serangan yang hebat untuk mengalahkan lawan dan agar dapat menyaksikan kematian pihak lawan lebih dulu.

Tempat di mana mereka berada itu sebenarnya tidak jauh dari Leng-cui, ibu kota Se He cuma tempatnya sangat terpencil dilereng gunung yang sunyi sehingga tidak diketahui oleh jagoan La-bin-tong kerajaan Se He.

Dengan demikian beberapa hari telah dilalui lagi sekarang tipu serangan yang dikemukakan Tong-lo dan Li Jiu-sui terkadang sudah ulangan saja dari jurus-jurus jang terdahulu, meski kadang-kadang masih tercipta jurus baru yang bagus, tapi untuk ini mereka terpaksa harus memeras otak cukup lama.

Diam-diam juga pernah Hi-tiok berpikir "Pertandingan seperti ini entah akan berakhir sampai kapan? Rasanya terpaksa aku harus memisahkan mereka saja sejauh mungkin, jika mereka tidak dapat melihat muka dan tak mendengar suara masing-masing, mungkin pertandingan ini dapat dilerai, andaikan aku nanti akan diomeli juga masa bodoh!"'

Namun demikian, sekarang jurus-jurus ilmu silat yang telah dipelajarinya sudah terlalu luas dan aneka macam karena tenggelam dalam ilmu silat selama beberapa bulan, kini berbalik timbul hasrat besar pada diri Hi-tiok untuk lebih memperdalam pengetahuannya...

Sebab itulah tatkala Tong-lo mengeluarkan sejurus, segera ia ingin mengetaui cara bagaimana Li Jiu-sui akan menangkisnya, sebaliknya bila Li jiu-sui juga mengeluarkan jurus serangan yang bagus, Hi-tiok pun sangat ingin lihat cara bagaimana Thian-san Tong-lo akan balas menyerang lagi. Saking asyiknya mengikuti pertandingan itu sehingga Hi-tiok sendiri lupa daratan dan makin berlarut-larut.

Hari itu sudah lewat lohor, kembali Tong-lo mengajarkan sejurus serangan padanya, tapi belum selesai ia memberi penjelasan, tiba-tiba napasnya sesak dan hampir-hampir pingsan.

Kontan Li Jiu-sui mengejek, "Huh, kau mau mengaku kalah tidak? Kalau bertempur benar-benar, masakah boleh... boleh .... "

Hanya sekian ia bicara, tiba-tiba ia sendiri terbatuk-batuk tanpa berhenti.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari jurusan barat daya sana terdengar suara kelintang-kelinting nyaring disusul dengan suara melengkingnya unta.

Mendengar itu, seketika semangat Tong-lo terbangkit, cepat ia mengeluarkan sebuah bumbung hitam kecil dari bajunya dan berkata kepada Hi-tiok, "Lekas selentikan bumbung ini ke udara!"

Sementara itu Li Jiu-siu masih terus terbatuk-batuk dengan keras.

Karena tidak tahu seluk beluknya, segera Hi-tiok menurut permintaan Tong-lo dan menjelentikkan bumbung kecil tadi ke udara. Maka terdengarlah suara mendenging yang nyaring keras, betapa hebat tenaga jari Hi-tiok sekarang sehingga bumbung kecil itu masih terus meluncur melecit ke angkasa dan menghilangkan di balik awan sambil mengeluarkan suara mendenging nyaring.

Baru sekarang Hi-tiok terkesiap "Wah, celaka, bumbung kecil ini adalah isyarat Supek yang memanggil bala bantuan untuk menghadapi Lu susiok,"

Segera ia berlari ke depan Li Jiu-sui dan. berkata kepadanya dengan bisik bisik, "Susiok, Supek kedatangan bala bantuan, biarlah kugendong engkau untuk melarikan diri"

Tapi Li Jiu-sui tetap menunduk dan diam saja, batuknya juga, sudah berhenti dan tidak bergerak lagi. Hi-tiok terkejut, ia coba memeriksa napasnya, ternyata sudah berhenti. Keruan Hi-tiok tambah kaget, teriaknya, "He, Susiok, Susiok!"

Waktu ia mendorongnya perlahan, mendadak tubuhnya terus roboh, nyata orangnya sudah meninggal dunia.

Tong-lo bergelak tertawa, katanya, "Bagus, bagus! Perempuan hina itu telah mati ketakutan! Ha..ha..ha.. bagus, bagus!. Sekarang sakit hatiku sudah terbalas, akhitnya perempuan hina itu mati lebih dulu daripada diriku, hahaha!"

Begitulah saking senanguya sehingga ia terbahak-bahak Terus sampai napaspun tersengal-sengal, akhirnya darah segar lantas menyembur keluar dari mulutnya.

Dalam pada itu suara mendenging tadi terdengar dari atas merendah ke bawah, kiranya bumbung kecil tadi telah jatuh dari langit dan segera ditangkap oleh Hi-tiok, waktu dia hendak memeriksa Tong-Io, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki binatang yang riuh diselingi dengan suara kelintingan yang ramai, beberapa puluh ekor unta tampak berlari datang dari arah barat-daya secepat terbang.

Waktu Hi-tiok menoleh, ia lihai para penanggung unta itu adalah kaum wanita, semuanya menggunakan baju hijau. Sesudah agak dekat, segera terdengar teriakan seorang wanita itu, '"Kaucu, hamba terlambat menyusul kemari, sungguh harus dihukum mati!"

Sesudah rombongan unta itu mendekat, demi melihat Tong-l'o berada di situ, dari jauh para wanita itu lantas melompat turun dari unta mereka serta mendekati Tong-lo dengan berjalan, lalu semua menyembah dengan penuh hormat.

Hi-tiok lihat pemimpin rombongan wanita itu adalah seorang nenek berusia 60 tahunan, Wanita lain ada yang tua dan ada yang muda, ada yang berumur antara 40-an. tapi yang berumur 17 atau 18 tahun juga ada. Semuanyasangat takut dan hormat kepada Tong-lo, semuanya menyembah di atas tanah dsngan takut dan tidak berani mendongak.

"Hm, kalian sangka aku sudah mati, ya? Makanya tiada seorang pun yang memikirkan aku lagi?" demikian datang-datang Tong-lo lantas mendamprat mereka. "Ya. jika aku sudah mati, maka tiada orang yang mampu memerintah kalian, tentu saja: kalian dapat berbuat semau-maunya dengan bebas!"

Sambil mandengarkan omelan Tong-lo itu, si nenek pemimpin rambongan tadi tiada hentinya mcnjura sambil berkata, "Tidak, tidak berani!"

"Apa, tidak berani?" semprot Tong-lo pula. "Hm, jika kalian benar-benar masih ingat padaku, mengapa yang datang hanya beberapa gelintir manusia ini saja?"

"Lapor Kaucu," kata si nenek, "Sejak Kaucu menghilang pada malam itu, sungguh hamba sekalian kuatir setengah mati ..."

"Huh, apa.betul?" jengek Tong-lo. "Jika kuatir, mengapa tidak cepat turun gunung dan mencari diriku?"

"Betul-betul demikian," sahut si nenek. "Sesudah hamba dari sembilan Thian dansembilan

Poh berunding, lalu bcramai-ramai turun gunung secara terpancar untuk; memapak pulangnya Kaucu Kinthian-poh. di bawah pimpinan hamba bertugas memapak Kaucu ke arah timur. Selebihnya ada yang menuju ke barat, ke selatan dan arah lain hanya Kin-thian-poh saja yang bertugas menjaga istana. Hamba sendiri tidak becus sehingga terlambat memapak kemari, sungguh bodoh, sunggul pantas dihukum"

Sambil berkata ia pun menjura terus "Pakaian kalian sudah koyak-koyak, selama empat bulan dalam perjalanan tentu banyak menderita!" ujar Tong-lo.

Mendengar ucapan Tong-lo itu mengandung nada memberi pujian, air muka si nenek menjadi girang, sahutnya, "Asal dapat mengabdi bagi keselamatan kaucu, biarpun masuk lautan api, atau terjun ke dalam air mendidih juga tidak soal, apa lagi cuma sedikit tugas enteng yang memang menjadi kewajiban hamba sekalian."

"Aku kepergok musuh tangguh tatkala kepandaianku belum pulih sehingga sebelah kakiku kena ditabas buntung oleh perempuan hina bangsat itu, bahkan jiwaku hampir saja melayang, untung

Sutitku Hi-tiok-cu menolong aku, tentang pengalamanlu sungguh terlalu panjang untuk diceritakan,"

Rombongan wanita berbaju hijau itu segera mamutar tubuh dan menghaturkan terima kasih kapada Hi-tiok, "Atas budi kebaikan Siansiug, biarpun hancur lebur badan kami juga sukar membalasnya."

Hi-tiok menjadi kelabakan karena mendadak disembah oleh wanita sebanyak itu. Cepat ia menjawab, '"Ah, jangan banyak adat!"..

Dan, segera ia pun berlutut, buat membalas hormat.

Tapi Tong-lo lantas membentaknya, "Hi-tiok, lekas bangun! Mereka adalah budakku, mana boleh merendahkan derajat dirimu"

Namun, Hi-tiok masih mengucapkan kata-kata ramah, habis itu barulah berbangkit

Tiba-tiba Tong-lo menanggalkan cincin besi terus dilemparkan ke arah Hi-tiok. Cepat Hi-tiok menangkap benda itu.

"Kamu adalah ketua Siau-yau-pai, pula sudahkuajarkan Sing-si-hu, Ciat-bwe jiu, Liok-yang-ciang dankepandaian-kepandaian lain padamu maka mulai hari ini juga kamu adalah majikan Leng-ciu-kiong di Biau-biau hong, adapun para budak yang terbagi dalam sembilan regu itu untuk selanjutnya mati-hidup mereka juga tergantung padamu," demikian kata Tong-lo.

"Hai. supek, mana ... mana boleh jadi begini?" seru Hi-tiok gugup.

"Mengapa tidak boleh jadi?" bentak Tong-lo dengan gusar. "Para budak ini kurang giat bekerja sehingga aku terpaksa meringkuk dalam karung goni dan menerima macam-macam hinaan kasar. Oh-lotoa dan para keroco sebangsanya, paling akhir kakiku sampai buntung dan ... dan jiwa akan melayang pula ... . "

Para wanita itu menjadi ketakutan hingga gemetar, "Hamba sekalian memang pantas mati harap Kaucu suka memberi ampun," demikian mereka memohon.

"Para budak ini dari regu Thian, akhirnya mereka terhitung dapat menemukan aku. Maka hukuman mereka boleh diringankan sedikit, sedang para budak kedelapan bagian lain, apakah akan dihukum potong kaki atau ditabas lengan boleh terserah padamu," kata Tong-lo kepada Hi-tiok..

"Terima kasih atas kebijaksanaan Kaucu," cepat para wanita baju hijau tadi menjura.

"Kenapa tidak menghaturkan terima kasih kepada Kaucu baru!" bentakTong-lo.

Cepat para wanita itu mengucapkan. terima kasih pula kepada Hi-tiok.

Tapi Hi-tiok goyang-goyang kedua tangannya sambil berkata, "Sudahlah, sudahlah! Mana aku dapat menjadi Kaucu kalian?'

"Jiwaku tinggal sekejap lagi, tapi dengan mata kepala sendiri telah kusaksikan perempuan hina itu mati mendahului aku, sedang ilmu silatku telah dapat kuwariskan lagi padamu, mati pun aku akan merasa puas, masakah kamu masih tidak mau terima?" kata Tong-lo.

"Tentang ini ...ini aku tidak dapat ... . " sahut Hi-tiok bingung.

"Apa kamu sudah lupa pada 'dewi impian' itu? Nah, kau mau terima menjadi majikan Leng-ciu-kiong atau tidak?" tiba-tiba Tong-Jo tertawa.

Hati Hi-tiok tergetar mendengar disebutnya "dewi impian", terpaksa ia tidak berani menolak lagi dengan muka merah ia mengangguk.

"Bagus, bagus!" kata Tong-lo dengan tertawa menang. "Coba bawa lukisan itu ke sini, biar aku merobeknya dengan tanganku sendiri, setelah tiada sesuatu urusan yang menjadi ganjalan hatiku, akan segara kutunjukkan padamu kemana dapat kau cari dewi impianmu itu."

Hi-tiok pikir Li Jiu-sui sudah mati, lukisan itu tiada gunanya lagi, jika Tong-lo hendak merobeknya untuk melampiaskan marahnya juga tiada beralangan. Maka ia lantas mengambilkan lukisan itu.

Sesudah terima lukisan itu, ketika Tong-lo memeriksanya di bawah sinar matahari yang terang, sekonyongkonyong ia bersuara heran sekali, wajahnya, menampilkan rasa kejut dan girang tak terkira. Waktu ia periksa lebih teliti, mendadak ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak, "Haha! Bukan dia, bukan dia! Hahahaha! Bukan dia! Hahahaha!

Di tengah galak tertawanya itu tiba-tiba air matanya bercucuran pula, ketika lehernya tampak lemas, kepalanya terus menunduk dan untuk seterusnya tidak bersuara dan tidak bergerak lagi

Keruan Hi-tiok terkejut, cepat ia hendak memayangnya, tapi terasa badan nenek itu lemah lunglai dan seakanakan mengkerut semakin kecil. Nyata orangnya sudah meninggal dunia.

Serentak para wanita baju hijau dari An than-poh tadi merubung maju sambil menangis tergerung-gerung penuh duka. Kiranya para wanita iiu semuanya pernah ditolong oleh Tong-lo pada waktu mereka menghadapi jalan buntu, meski watak Tong-lo sangat keras, tapi setiap orang tetap sangat menghormat dan merasa utang budi padanya.

Hi-tiok juga teringat selama empat bulan ini berdampingan dengan Tong-lo dan telah banyak memperoleh ilmu silat dari nenek itu. Berbareng dapat diketahui pula bahwa watak nenek itu meski aneh, namun terhadap Hitiok sendiri boleh dikata sangat baik. Sekarang menyaksikan nenek itu wafat dengan tertawa, mau-tak-mau Hitiok merasa sedih juga dan ikut menangis.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar di belakangnya ada suara orang tertawa mengejek, "Hehe, Suci, akhirnya kau sendiri yang mati lebih dulu, Huh, kamu yang menang atau aku yang menang;"

Mengenali suara itu adalah suara Li Jiu-sui, Hi-tiok sangat terkejut, ia heran mengapa orang mati bisa hidup lagi? Maka cepat ia melompat ba ngun dan membalik tubuh, ia lihat Li jiu-sui sudah duduk tegak bersandar pohon dan sedang berkata pula, "Hiantit, coba bawa lukisan itu kesini, ingin kulihat apa sebabnya Suci menangis dan tertawa pula untuk kemudian lantas mampus!"

Pelahan Hi-tiok melepaskan jari Tong-lo yang memegangi lukisan itu, sekilas ia lihat lukisan itu. tetap wanita cantik berpakaian keraton, wajahnya mirip sekali dengan Ong Giok-yan, cuma lukisan itu sudah ken air dan beberapa bagian sudah agak luntur. Segera ia bawa lukisan itu dan diserahkan kepada Li Jiu-sui.

Sesudah Li Jiu-sui menerima lukisan itu, dengan tersenyum ia berkata, "Kaucu kalian telah bergebrak selama beberapa puluh hari dengan aku, akhirnya ia tidak mampu melawan dan mampus sendiri. Sekarang kalian yang cuma tergolong keroco ini juga berani main-main denganku?”

Ketika Hi-tiak menoleh, kiranya yang dimaksudkan Li Jiu-sui adalah para wanita berbaju hijau tadi. Si nenek yang menjadi pemimpin rombongan itu tampak sangat gusar sambil memegang pedang, tampaknya setiap saat dapat mengerubut maju serentak untuk membalas sakit hati Thian-san Tong-Io, cuma saja mereka belum mendapat aba-aba dari majikan baru, maka tidak berani sembarangan bergerak.

Segera Hi-tiok berkata, "Susiok, kau .... kau.... "

"Supekmu sebenarnya sangat lihai, cuma terkadang dia memang kurang cermat," demikian Li Jiu-sui menukasnya. "Sebenarnya dengan datangnya bala bantuannya, pasti aku tidak mampu melawan lagi, maka aku terpaksa pura-pura mati dan hehe, akhirnya dia sendiri yang mati lebih dulu. Seluruh ruas tulangnya telah remuk, hawa murninya sudah buyar, kematiannya ini teraig bukan pura-pura lagi"

"Tapi dalam gudang es sana Supek juga pernah pura-pura mati untuk mengakali Susiok, maka stand boleh dikata 1 – 1 seri, sama-sama tiada yang menang atau kalah," demikian kata Hi-tiok.

"Ya, dalam hatimu kamu tetap condong kepada pihak Supekmu walau pun kau bilang akan netral, " ucap Li Jin-sui sambil menghela napas. Sembari bicara ia terus membentang lukisan tadi dengan pelahan.

Tak terduga, sekilas pandang sajamendadak air mukanya berubah hebat, tangannya juga gemetar, ia berseru dengan suara sedih, "Ah, kiranya dia kiranya dia! Haha, kiranya dia, Haha, hahaha, hahaha!"

Begitulah ia berseru dengan tertawa pula, tapi makin lama suara tawanya, makin lemah, penuh rasa pedih dan penyesalan.

Tanpa terasa Hi-tiok ikut sedih juga bagi sang Susiok, ia coba tanya, "Susiok, ada apakah?"

Tapi diam-diam Hi-tiok juga heran mengapa sesudah melihat lukisan tadi Thian-san Tong-lo berseru "bukan dia", dan sekarang Li jiu-sui berbalik mengatakan "kiranya dia". Lantas siapakah "dia" yang dimaksudkan mereka itu?

Begitulah Li jiu-sui tampak termangu-mangu memandangi gambar wanita cantik dalam lukisan itu. Akhirnya ia berkata kepada Hi-tiok "Coba kau lihat, pipi wanita ini ada sebuah dokik dan ditepi mata kanan ada sebuah andeng-andeng kecil, betul tidak?"

Hi-tiok coba mengamat-amati lukisan itu, lalu mengangguk, "Ya, benar!"

"Dia ... dia adalah adik perempuanku" kata Li Jiu-sui dengan muram durja.

"Adik perempuanmu?" Hi-tiok menegas dengan heran,

"Ya, wajah adik perempuanku sangat mirip denganku, cuma pipinya lesung, sedangkan aku tidak, ditepi mata kanannya ada sebuah andeng-andeng kecil dan aku pun tidak ada,"

"O," Hi-tiok bersuara singkat.

Lalu Li Jiu-sui berkata pula. "Suci suka sombong dia pamer padaku, katanya Suko telah melukis gambarnya dan siang malam, selalu dipandang, sejak mula-aku memang tidak percaya, tapi .... tapi tak terduga bahwa .... bahwa yang dilukiskanya adalah adik perempuanku!. Sebenarnya cara...cara bagaimana kau dapatkan lukisan ini?"

Segera hi-tiok menceritakan pengalamannya waktu Bu-gai-cu menyerahkan lukisan itu padanya dan suruh dia datang ke Thian-san untuk mencari orang yangdigambarnya itu buat belajar ilmu silat. Kemudian Tong-Io marah-marah ketika melihat lukisan itu, Hi-tiok tuturkan semua itu.

"Ya, ketika mula-mula melihat lukisan ini tentu Suci menyangka yang dilukis Suko adalah diriku” ujar Li Jiusui dengan gegetun. "Maklum pertama karena wajahku memang mirip dengan adik perempuanku. Kedua. Suko memang selalu sangat baik apalagi .... apalagi waktu Suci mulai berebut Suko denganku, tatkala itu adikku baru berumur belasan dan sama sekali tidak mahir ilmu silat, dengan sendirinya Suci tidak mungkin mencurigai dia sehingga tidak memperhatikan tentang dekik pipi dan andeng-andeng kecil dalam lukisan. Ai, adikku manis, sungguh baik sekali kau, baik sekali kau!"

Begitulah beberapa kali Li Jiu-sui mengatakan !”baik sekali kau," akhirnya air mata pun bercucuran."

Diam-diam Hi-tiok membatin, "Rupanyameski Supek dan Susiok sangat mencintai Suhu, tapi dalam hati sanubari Suhu justru terisi oleh orang lain. Cuma entah adik perempuan Susiok itu apakah sekarang masih hidup di dunia ini? Susiok mengatakan adiknya tak bisa ilmu silat tapi mengapa Suhu suruh aku membawa lukisan ini untuk mencarinya dan belajar ilmu silat padanya?"

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar teriakan Li Jiu-sui yang tajam, "Oo Suci, kita berdua sebenarnya adalah

senasib dan sama-sama harus di kasihani karena kita telah tertipu oleh manusia yang tidak punya perasaan itu.Hahaha,hahahahaha'

Habis terbahak-bahak, sekali tubuhnya tergeliat, terus saja roboh dan tak berkutik lagi.

Cepat Hi-tiok memeriksanya, ternyata mulut dan hidung nenek itu mengeluarkan darah dan orangnya sudah tak bernapas, tampaknya sekali ini si nenek tidak pura-pura mati lagi. Hi-tiok menjadi bingung menyaksikan kedua sosok jenazah Itu,

Maka. terdengar si nenek pemimpin rombongan An-thian-poh tadi berkata, "Cujiu (majikan), apakah kita akan membawa pulang jenazah Kaucu dan dimakamkan dengan segala kehormatan, harap Cujiu memberi petunjuk!"

"Menurut pendapatku” kata Hi-tiok sambil menunjuk jenazah Li Jiu-sui, "Dia ... dia adalah Sumoai Kaucu kalian, msski pada masa hidupnya mereka bermusuhan, tapi waktu ajalnya permusuhan mereka sudah diselesaikan, maka kukira lebih baik di ...diangkut sekalian ke Leng-ciu-kong, entah bagaimana pendapatmu?"

"Hamba sekalian tunduk kepada perintah Cujiu," sahut nenek itu dengan hormat.

Hi-tiok merasa lega. Sebenarnya ia kuatir kawanan wanita baju hijau itu masih dendam pada Li jiu-sui dan tidak mau mengubur jenazahnya, bahkan bukan mustahil akan menghancurkan mayatnya untuk melampiaskan sakit hati, tak tersangka mereka lantas akur begitu saja.

Hi-tiok tidak tahu bahwa sekarang dia sendiri adalah majikan baru kawanku wanita itu, dengan sendirinya mereka hanya menurut belaka seperti halnya mereka tunduk kepada Thian-san Tong-lo.

Begitulah si nenek lantas memerintahkan beberapa anak buahnya untuk membungkus kedua jenazah dengan selimut, lalu dimuat ke atas unta. Kemudian Hi-tiok disilahkan naik unta juga.

Hi-tiok pikir urusan sudah telanjur sedemikian jauhnya, terpaksa harus menyaksikan penguburan Tong-lo dan Li Jiu-sui, habis itu barulah akan pulang ke Siau-lim-si untuk menerima hukuman atau terpaksa mesti kembali menjadi orang preman lagi, semuanya bergantung keputusan Hongtiang dan Suhu nanti.

Maka ia lantas tanya siapa nama nenek itu.

"Suami' hamba berasal she Sia., Kaucu biasa memanggil hamba sebagai "Siau-Sia' (si Sia-kecil)' maka Cujin boleh panggil apa saja sesukanya," sahut si nenek.

Thian-san Tong-lo sudah hampir se abad usianya sudah tentu ia dapat memanggil si Sia kecil kepada nenek itu, tapi Hi-tiok merasa tidak pantas memanggil demikian, maka katanya, "Sia-popo (nenek Sia), gelarku adalah Hi-tiok-cu, maka kita boleh saling panggil dalam tingkatan yang sama saja, tidak perlu kau panggil 'Cujin' segala, sungguh aku merasa risih”

Tapi mendadak si nenek she Sia itu menjura sambil menangis, "Ampun Cujin! Apakah Cujin akan menghajar atau membunuh hamba, akan hamba terima dengan rela, asal Cujin jangan mengusir hamba keluar dari Lengcui-kiong!”

"He, mengapa kau bilang demikian? Lekas bangun, lekas'" sahut Hi-tiik heran.

Dalam pada itu para wanita lain juga berlutut semua dan memohon, "Ampun, Cujiu'"

Kiranya, pada waktu Tong-lo marah, biasanya ia suka bicara secara terbalik., kalau dia ramah-tamah kepada orang, maka orang itu pasti akan celaka dan menerima siksaan yang tak terhingga kejamnya

Sebab itulah maka Oh-loloa dan lain-lain akan pesta pora jika Tong-lo mengutus orang untuk mendamprat dan menghajar mereka, sebab mereka tahu untuk selanjutnya akan selamatlah. Sebaliknya jika mereka dipuji dan delus-elus nenek itu, maka itu berarti mereka bakal celaka tiga belas.

Sekarang Hi-tiok sangat sopan dan bicara halus kepada Sia-popo, maka para wanita itu mengira dia juga sama seperti Tong-lo dan akan menghukum mereka dengan kejam, dengan takut mereka serentak menjura dan minta ampun.

Sesudah Hi-tiok tanya jelas persoalannya, lalu ia menghiburnya berulang-ulang. Namun demikian para wanita itu masih tetap kebat-kabit dan takut Setelah Hi-tiok naik. ke atas unta, betapapun para wanita itu tidak berani memegang unta juga, mereka hanya menuntun binatang tunggangan masing-masing dan mengikut dari belakang dengan berjalan kaki.

Terpaksa Hi-tiok berkata, "Kalian harus lekas pulang ke Leng-ciu-hong. jika terlambat sampai di sana, bisa jadi jenazah Kaucu akan rusak!"

Maka para wanita itu tidak berani membantah lagi dan segera naik unta masing-masing, tapi mereka cuma ikut dari jauh dan tidak berani dekat-dekat, Karena iit Hi-tiok menjadi tidak sempat bertanya tentang keadaan di Leng-ciu-hong mereka

Begitulah rombongan mereka terus menuju ke arah barat. Dua hari kemudian, di tengah jalan mereka bertemu pengintai dari Yang thian-poh, yaitu salah satu barisan Kiu-thian atau sembilan Thian. Segera Sia-popo mengeluarkan tanda pengenal dan pengintai itu terus putar kembali ke sana untuk melapor pemimpinnya.

Tidak lama kemudian rombongan Yang-thian poh yang terdiri dari wanita berbaju ungu telah memapak tiba. Lebih dulu mereka memberi hormat kepada layon Thian-san Tong-lo, kemudian menyembah majikan baru.

Pemimpin Yang-thian-poh itu she Ciok, usianya baru 30-an tahun, maka Hi-tiok memanggilnya "Ciok-sah" (engso Ciok),

Kuatir para wanita itu akan sangsi lagi seperti Sia-popo dan kawan-kawannya, maka Hi-tiok tidak berani bicara terlalu ramah ia hanya menghibur sekadarnya tentang perjalanan mereka yang lelah, Maka rombongan Yangthian-poh menjadi girang dan menghaturkan terima kasih atas perhatian majikan baru itu.

Mereka terus berjalan ke barat, sementara itu penghubung yang dikirim An-thian-poh dan Yu-thian poh sudah dapat mendatangkan Jik-thian-poh, Hian-thian-poh, Yu-thian-poh dan Seng-thian poh. Hanya Ciu-lhian-poh yang berada amat jauh di ujung barat untuk mencari Tong-lo, maka belum dapat dihubungi.

Penghuni Leng ciu-kiong memang tiada terdapat seorang lelaki pun, sekarang Hi-tiok berada di tengah beberapa ratus orang perempuan kerena ia sangat kikuk. Untung para wanita itu sangat menghormat padanya, kecuali Hi-tiok tanya mereka maka tiada seorang pun berani tanya atau mengajak bicara padanya, hal ini justru menghindarkan Hi-tiok dari banyak kesulitan.

Hari ini mereka masih dalam perjalanan, seonyong-konyong seorang wanita, berbaju hitam tampak melarikan untanya secepat terbang datang kembali. Itulah pengintai Hian-thian-poh yang disuruh merintis jalan di depan.

Perempuan itu tampak menggoyang-goyangkan panji hitam yang mengisyaratkan di depan sana terjadi sesuatu.

Sesudah mendekati pimpinannya, dengan cepat pengintai Hian-thian-poh itu melaporkan apa yang terjadi.

Pimpinan Hian-thian-poh adalah seorang nona berusia 20-an tahun, namanya Hu Gin-gi. Selesai menerima laporan, segera ia melompat turun diri untanya dan berlari ke depan Hi-tiok, katanya, "Lapor Cujiu, pangintai

bagian hamba dapat mengetahui bahwa para budak pengikut kita dari ke-36 gua dan ke-27 pulau, selagi Kaucu dalam kesukaran dan telah memberontak. Sekarang mereka sedang menyerang Biau-biau-hong kita. Kawankawan dari Kin-thian-poh telah menjaga ketat jalan yang menuju ke atas gunung sehingga keganasan kawanan bangsat itu dapat dibendung, cuma saudara yang dikirim Kin-thian-poh untuk minta bala bantuan telah terbunuh di tengah jalan!"

Tentang, para Tongcu dan Tocu itu hendak berontak memang sudah diketahui oleh Hi-tiok, tadinya ia menduga sesudah tidak berhasil menangkap Tong-lo, Put-peng Tojin sudah binasa pula, sedang Oh-lotoa terluka parah dan nasibnya belum terang, bisa jadi lantaran itu pemberontakan para Tongcu dan Tocu itu akan gagal tanpa pimpinan. Siapa duga sesudah lewat empat bulan kawanan petualang itu masih tetap berkumpul menjadi satu dan mulai menyerang Biau-biau-hong.

Sejak kecil Hi-tiok tinggal di Siau-lim-si dan tidak pernah keluar, maka segala macam kehidupan manusia sama sekali tak dipahaminya, kini menghadapi parsoalan ini., ia menjadi bingung, katanya sesudah pikir sejenak, "Tentang Ini..ini ..."

Dalam pada itu terdengar suara derapan kaki, kuda yang ramai, kembali dua datang penunggang kuda. Yang di depan adalah pengintai Hian-thian-poh dia di atas kuda kedua yang mengikut di belakangnya termuat melintang sesosok tubuh yang tertampak jelas adalah seorang wanita berbaju kuning penuh berlepotan darah, lengan kirinya terkutung ditabas orang.

Melihat itu dengan penuh rasa dendam dan marah Bin-gi berkata, "Cujin, saudara itu adalah Thian-cici, wakil pemimpin Kin-thian-poh, tampaknya jiwanya tak tertolong lagi."

Rupanya wanita she Thia yang dikatakan itu hanya pingsan Saja maka cepat wanita lain memberi.pertolongan, tertampak napas, penderita itu sudah sangat lemah dan susah ditolong.

Melihat keadaan luka wanita itu, Hi-tiok teringat kepada ilmu menyembuhkan luka yang dipelajarinya dari Cong-pian Siansing So Singho tempo hari. Cepat ia larikan untanya mendekat, dengan jari tengah berulang ia menyelentik dari jauh, sekaligus ia menutup hiat-to yang dekat dengan lengan putus itu untuk menghentikan darah yang masih terus mengalir itu.

Dan untuk seletikan terakhir ia sengaja salurkan Pak-beng cin-gi ke "Tiong-hu-hiat" di pangkal lengan wanita she Thia itu, jurus yang digunakan adalah "Sing-wan-cau-teh" (bintang terlepas meluncur ke depan) ajaran Thian-san Tong-lo

Maka terdengarlah wanita itu berteriak sekali dan siuman, bahkan terus berteriak-teriak, "Saudara-saudara sekalian, lekas, lekas membantu ke Biau-biau-hong, kami, .. kami tidak tahan lagi!"

Cara Hi-tiok menyelentik dari jauh itu bukan sengaja hendak pamer kepandaiannya yang sakti itu, soalnya penderita itu adalah seorang wanita muda, meski Hi-tiok sekarang bukan hwesio lagi tapi ia tetap taat kepada kebiasaan agama Budha, yang mengharuskan menghindari kaum wanita, ia merasa tidak enak untuk menyentuh badannya, makanya menyelentik dari jauh.

Tak terduga beberapa kali. selentikan itu ternyata sangat jitu dan sangat mempan. Maklum, tenaga dalam. Hitiok sekarang sudah mencakup lwekang tiga tokoh Siau-yau-pai, yaitu Bu-gai-cu, Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui. Dengan sendirinya kekuatanya sukar diukur dan gerak serangannya maha dahsyat, biarpun sekarang Tong-lo bertiga hidup kembali juga Iwekang dan ilmu silat mereka kalah hebat daripada Hi-tiok.

Para wanita itu cuma tunduk kepada perintah Tong-lo, maka mau mengangkat Hi-tiok sebagai majikan baru, tapi demi melihat usianya masih muda, tindak-tanduknya juga agak lamban dan ketolol-tololan dalam hati sebenarnya tidak begitu segan padanya, apalagi para wanita dari Leng-ciu-kiong itu boleh dikata setiap orang sudah pernah tertipu oleh kaum lelaki, kalau bukan dimadu atau dibuang oleh suami, tentu karena keluarganya dibunuh musuh.

Di bawah pengaruh watak Tong-lo yang aneh dan menyendiri ini, mereka memandang kaum Ielaki bagai binatang berbisa saja. Sekarang ketika melihat Hi-tiok sekali turun tangan lantas mengeluarkan ilmu kepandaian Long-ciu-kiong yang tulen dengan daya maha sakti, dalam kejutnya serentak semua orang serentak terus menyembah.

Sebaliknya Hi-tiok menjadi kaget, serunya, "Lho, apa-apaan ini. Lekas bangun, lekas bangun semua!"

Dalam pada itu sudah ada kawan yang memberitahukan wanita she Thia tadi tentang wafatnya sang Kaucuj dan bahwa pemuda itu adalah penolong Kaucu dan penolongnya pula serta adalah majikan baru mereka.

Wanita she Thia itu bernama Jing-siang, segera ia merosot turun dari kudanya dan menyembah kepada Hi-tiok katanya, "Terima kasih atas pertolongan Cujin, harap Cujin lekas... lekas menolongg pula para saudara di atas gunung, mereka bersama-sama telah bertahan selama empat bulan, tapi jumlah musuh terlalu banyak, sungguh keadaan mereka terancam sekali."

Rupanya saking terguncang perasaannya memikirkan nasib saudara-saudararya yang masih tekepung musuh, maka suaranya menjadi terputus-putus dan kepalanya tidak kuat mendongak lagi.

Lekas Hi-tiok berkata, "Ada apa silakan bicara saja, tidak perlu banyak adat, He, Ciok-sah lekas bangunkan dia. Sia-popo, menurut pendapat mu, cara.. cara bagaimana kita harus bertindak.”

Sesudah berada bersama majikan baru ini selama beberapa hari, meski baru hari ini menyaksikan dia mengeluarkan kepandaiannya yang sejati tapi Sia-popo sudah mengetahui bahwa majikan baru itu sangat jujur dan tulus, masih hijau dalam seluk-beluk orang hidup, maka ia menjawab, "Harap Cujin maklum bahwa perjalanan dari sini ke Biau-biau-hong masih diperlukan waktu dua hari lagi, maka paling baik silakan Cujin memerintah kan hamba memimpin barisanku sendiri untuk segera pergi membantu lebih dulu. Sedang Cujin boleh menyusul kemudian. Dan bila Cujin sampai di sana, pasti kawanan perusuh itu tidak perlu dikuatirkan lagi.

Hi-tiok mengangguk setuju, tapi lamat-lamat ia merasa ada sesuatu yang tidak sempurua, cuma ia tidak tahu apa.

Dalam pada itu Sia popo lantas menoleh kepada Hu Bin-gi, katanya, "Adik Hu sekali berggerak saja kesaktian Cujin sudah cukup menggetarkan para perusuh, tapi pakaian kebesaran beliau tampaknya tidak cukup. Kamu adalah jarum sakti kita, hendaklah lekas kau buatkan seperangkat pakaian bagi beliau."

"Benar, memang adik sendiri juga sedang memikirkan hal ini," sahut Bin-gi.

Hi-tiok merasa heran, ia tidak mengerti pada saat yang genting itu mengapa mereka bicara tentang pakaian segala. Dasar wanita, demikian pikirnya.

Sementara itu semua orang sedang menatap Hi-tiok, mereka lagi menunggu perintah sangg majikan.

Ketika Hi-tiok menunduk, baru sekarang ia memperhatikan jubah padri sendiri sudah koyak-koyak dan kotor, selama empat bulan tidak salin pakaian dan tidak mandi, sungguh ia sendiri pun merasa berbau bacin. Sekarang ia berada di tengah-tengah kamu wanita sebanyak itu dengan pakaian yang indah dan mewah, mau tak mau ia merasa malu sendiri, apalagi sekarang dia sudah bukan hwesio lagi, tapi masih tetap memakai jubah padri, sungguh tidak keruan macamnya. Padahal para waiita itu sudah menjunjung dia sebagai majikan, sudah tentu tidak berani mentertawakan pakaiannya yang buruk dan berbau busuk itu. Adapun semua orang menatap padanya juga bukan memandang pakaiannya melainkan menunggu perintahnya. Tapi Hi-tiok sendiri yang merasa malu sehingga sikapnya menjadi kikuk. Dan karena sudah sekian lama Hi-tiok berdiam saja, maka Siapopo lantas bertanya pula "Cujin, bukankah hamba boleh segera berangkat?”

"Menolong orang adalah maha penting, biarlah kita pergi bersama saja," kata Hi-tiok. "Cuma pakaianku sesungguhnya terlalu dekil, biarlah sebentar aku ...aku mandi dulu."

Habis berkata ia terus keprak untanya dan mendahului larike depan.

Memangnya para wanita itu sudah tidak sabar Iagi, segera mereka pun melarikan unta mereka dengan cepat,

Unta adalah binatang yang paling kuat daya tahannya, bila lari juga tidak kalah cepatnya daripada kuda. Sesudah mereka menempuh beberapa puluh li jauhnya, lalu mereka mencari tempat untuk mengaso dan menyalakan api untuk menanak nasi.

"Cujin, puncak gunung itulah letak Biau-biau-hong kita," kata Sia-popo sambil menunjuk sebuah puncak yang menembus awan di sebelah barat-laut sana. "Puncak itu senantiasa dikelilingi mega, dipandang dari jauh menjadi samar-samar, seperti ada dan seperti tidak ada, katanya disebut biau-biau-hong (puncak samarsamar)."

"O, jika demikian, mungkin masih ada ratusan li jauhnya," ujar Hi-tiok. "Rasanya makin cepat sampai di sana akan lebih baik, marilah kita melanjutkan perjalanan malam ini juga."

Serentak para wanita mengiakan dan menyatakan terima kasih atas perhatian sang Cujin atas keselamatan kawan-kawan Kin-thiau poh yang terkurung musuh itu. Maka selesai makan, segera mereka melanjutkan perjalanan.

Karena perjalanan cepat tanpa berhenti itu, di tengah jalan banyak unta yang tidak tahan dan roboh binasa. Setiba di kaki gunung sementara itu fajar sudah menyingsing.

Tiba-tiba tertampak Hu Bin-gi menghaturkan segulung benda beraneka warna dan berkata kepada Hi-tiok dengan hormat, "Hasil Kerjaan hamba terlalu kasar, harap Cujin suka menerimanya dengan senang hati"

"Apakah itu?'" tanya Hi-tiok dengan heran. Waktu dia terima benda itu dan diperiksa, eh, kiranya sepotong baju panjang atau jubah yang terbuat dari beraneka ragam warna kain sutra kecil-kecil yang dijahit secara rajin.

Jadi jubah itu terdiri dari aneka warna kain sutra, di samping warna-warni yang indah itu kelihatan mentereng pula. Rupanya kain sutra itu sengaja dipotong-potong oleh Hu Bin-gi dari baju setiap wanita itu sehingga dapat dijadikan sebuah jubah bagi Hi-tiok.

Hi-tiok terkesiap dan bergirang pula, pujinya. "Wah, gelar jarum sakti nona Hu memang bukan omong kosong dalam perjalanan cepat begini engkau masih dapat membuat pakaian sebagus ini."

Latas ia menanggalkan pakaian padri yang sudah rombeng itu dan memakai jubah baru itu, ternyata

panjangnya dan benarnya sangat pas, bahkan ujung lengan dan bagian kerah diberi berlapis kulit harimau tutul, rupanya kulit itu pun bolehnya memotong dari pakaian orang perempuan yang memakai baju kulit.

Sesudah memakai jubah baru itu, sekarang Hi-tiok benar-benar seperti lelaki ganti bulu meski mukanya jelek, tapi dengan memakai jubah yang indah dan mentereng itu, seketika sikapnya menjadi agung sehingga para wanita sama bersorak memuji.

Saat itu rombongan mereka sudah sampai di jalan yang menuju ke atas puncak gunung. Di tengah jalan Thian Jing-siang sudah memberitahu kepada kawan-kawannya bahwa waktu dia turun gunung, saat itu musuh sudah Menyerbu sampai di Toan-hun-khe (karang putus nyawa), jadi di antara pos penjagaan Biau-biau-hong yang penting telah kehilangan 13 tempat, anggota Kin-thiau-poh juga lebih separoh yang terluka atau binasa, keadaan pertahanan di atas gunung sangatlah gawat.

Hi-tiok melihat di kaki gunung sunyi senyap, tiada bayangan seorang pun, sama sekali tiada tanda-tanda bahwa di balik kesunyian itu tersembunyi pembunuhan besar-besaran, ia lihat para wanita itu sangat gopoh, sangat menguatirkan keselamatan saudara mereka dari Kin-thian-poh.

Tiba-tiba Ciok-soh mencabut goloknya dan berseru dengan bersemangat, "Di antara barisan sembilan Thian dari Biau-biau-hong sudah ada delapan barisan yang turun gunung, hanya tinggal Kin-thian-poh saja yang menjaga istana, sekurang kawanan bangsat itu menggunakan kesempatan itu untuk meyerang, sungguh mereka terlalu pengecut, Cujin, harap memberi perintah sekarang juga agar beramai-ramai kita dapat menyerbu ke atas untuk melabrak musuh."

"Harap adik sabar dulu," kata Sia-popo, "hendaklah maklum bahwa kekuatan musuh sangat besar, berkat ke-I8 pos penjagaan yang baik dari gunung kita ini, maka kawan-kawan Kin-thian-poh dapat bertahan sampai sekarang. Kini kita berada di bawah dan musuh berada di atas kedudukan ini terang tidak menguntungkan kita ....

"Habis bagaimana pendapatmu?" sela Ciok-soh. "Jauh-jauh kita sudah memburu kemari, apa kita lantas berpeluk tangan.'"

'Sudah tentu tidak," sahut Sil-popo dengun tersenyum. "Cuma kita harus naik ke atas secara diam-diam, jangan sampai diketahui musuh."

"Ya, usul Sia-popo ini memang tepat," kata Hi-tiok.

Sekali Hi-tiok sudah berkata demikian, dengan sendirinya tiada seorang punberani membangkang lagi. Segera

mereka terpencar dalam regu masing-masing dan diam-diam merayap ke atas gunung.

Tatkala mendaki gunung, kekuatan ginkang masing-masing segera kelihatan. Hi-tiok melihat Sia-popo, Cioksoh, Hu bin-gi dan beberapa pemimpin regu dapat berlari dengan sangai cepat dan tangkas, diam-diam Hi-tiok merasa kagum, "Di bawah panglima jempolan tiada prajurit lemah, nyata bawahan Supek ini memang sangat hebat,"

Mereka terus mendaki ke atas, setiap tempat yang dilalui banyak terdapat bekas-bekas bacokan senjata dan darah berceceran, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat pertempuran yang telah terjadi.

Sesudah lewat Toan-hun-khe, lalu Sit-ciok-giam (karang kaki terpeleset), kemudian Pek-tiang-kan (celah-celah seratus meter) dan sampailah di Siap-thian-kio (jembatan penyambung langit), maka tertampak jembatan rantai besi yang menghubungkan kedua sisi tebing jurang ternyata sudah terkutung. menjadi dua dibacok oleh senjata tajam. Jarak kedua tebing itu kira-kira kurang dari sepuluh meter dan sukar diseberangi,

Keruan para wanita saling pandang dengan kuatir, pikir mereka, "Apakah para saudara Kin-thian-poh itu sudah gugur semua?"

Sebabnya mereka berpikir demikian adalah karena Ciap-thian-kio itu adalah suatu tempat yang menentukan, meski namanya "jembatan'* tapi sebenarnya cuma sebuah rantai besi yang menghubungkan kedua sisi tebing yang curam, di bawahnya adalah jurang yang tak terkira dalamnya.

Orang-orang Leng-ciu-kiong sama berkepandaian tinggi dan dapat melintasi jembatan rantai itu dengan mudah. Ketika Thia Jing-siang turun gunung mencari bantuan, tatkala itu musuh baru menyerang sampai di Toan-hunkhe dan masih jauh dari Ciap-thian-kio, namun orang-orang Kin-thian-poh sudah siap sedia dan menjaga jembatan rantai itu, bila musuh menyerang sampai di situ, jembatan rantai akan segera dibuka sehingg hubungan terputus, jurang selebar itu dengan sendirinya sukar untuk dicapai dengan ginkang yang paling tinggi sekalipun.

Sekarang tertampak, rantai itu. putus ditabas oleh senjata tajam, terang itu adalah perbuatan musuh. Rupanya, musuh mendadak menyerbu ke sini sehingga kawan-kawan- Kin-thian-poh tidak. sempat membuka gembok rantai dan mengundurkan diri dalam keadaan kacau.

Melihat itu, segera Ciok-soh putar golok sambil berteriak, "Sia-popo, lekas mencari suatu akal untuk menyeberang ke sana!"

"Ya, untuk menyeberang ks sana memang tidak, gampang,” ujar Sia-popo.

Pada saat itulah tiba-tiba dari balik gunung sana terdengar suara jeritan ngeri dua kali, terang itu suara kaum wanita. Seketika darah Ciok-soh dan kawan-kawannya serasa mendidih, mereka tahu kawan-kawan Kin-thianpoh telah jatuh menjadi korban musuh, sungguh mereka ingin tumbuh sayap agar bisa terbang ke seberang tebing untuk melabrak musuh. Tapi biarpun mereka gusar dan kelabakan tetap mereka tidak berdaya menyeberang jurang yang lebar itu.

Tiba-tiba Hi-tiok ingat ketika Thian-san Tong-lo bertanding dengan Li Jiu-sui, nenek yang tersebut belakangan itu pernah mengajarkan sejurus "Sin-liu-jun-yain" (pohon Liu baru dan burung seriti musim semi) padanya. Ketika ia mainkan jurus itu, daya serangnya memang sangat dahsyat sehingga Tong-lo juga merasa sukar untuk menangkisnya.

Sekarang ia coba mengapalkan kembali jurus serangan itu. lalu memandang keadaan jarak antara kedua tebing, ia menaksir dapat mencapainya maka segera katanya, "Ciok-soh, tolong pinjam senjatamu sebentar."

Cepat Ciok-soh mengiakan dan menyodorkan goloknya.

Sesudah terima golok itu. Segera Hi-tiok mengerahkan Pak-beng-cin-gi pada batang golok dan sekali tabas dengan pelahan.. "sret"', tahu-tahu ssbagian rantai putus yang tergantung di dinding tebing itu dapat dikutungi.

Liu-yap-to atau golok daun Liu, yaitu Karang bentuknya yang sempit lancip, sebenarnya sangat tipis, walaupun tajam juga, tapi juga bukan mustika. segala. Namun sekali, tersalur tenaga murni Hi-tiok, seketika dapat dipakai menabas ini seperti memotong kayu saja.

Bagian rantai yang putus dan tergantung didinding tebing ini ada tiga-empat meter panjangnya. Sesudah memegang rantai itu, lalu Hi-tiok mengembalikan golok kepadaCiok-soh. Dengan membawa rantai besi itu ia lompat ke seberang jurang sana.

Perbuatan Hi-tiok itu sama sekali di luar dugaan para wanita, keruan semuanya menjerit kaget. Bahkan Siapopo, Hu Bin-gi dan lain-lain sama memanggilnya supaya jangan berbuat nekat.

Namun di tengah seruan orang banyak itu tubuh Hi-tiok sudah terapung di tengah selat yang dipisahkan dua tebing dengan ginkang yang dipelajari dari Tong-lo, seperti burung saja Hi-tiok melayang ke depan.

Mendadak tenaga murninya tak tahan lama dan badannya terus menurun ke bawah. cepat Hi-tiok mengayun

rantainya dan sekali belit, tahu-tahu rantai bagian lain yang menggelantung di tebing seberang itu kena dililit dan ditarik dengan tenaga tarikan itu dapatlah badan. Hi-tiok menarik ke atas lagi untuk kemudian tancapkan kakinya di seberang. Lalu Ia menoleh'dan berkata, "Kalian boleh istirahat dulu di sini, biar kupergi menyelidiki dulu."

Melihat kepandaian Hi-tiok yang maha hebat itu Sia-popo dan lain-lain sama merasa kagum. Berulang mereka mengiakan dan minta majikan baru itu hati-hati.

Segera Hi-tiok lari ke arah datangnya suara jeritan tadi. Sesudah lewat di suatu jalan pegunungan yang sempit tertampaklah di tanah menggeletak dua sosok mayat wanita yang kepalang sudah terpisah dengan badannya, darah masih terus merembes keluar dari leher yang putus itu. Hi-tiok merangkap tangan dan berdoa bagi arwah kedua korban itu. Habis itu cepat ia mendekati ke atas dengan berlari.

Makin lama makin tinggi jalanan itu sehingga awan yang mengeliling di sekitarnya juga tambah tebal. Tidak lama kemudian sampailah dia di puncak tertinggi dari Biau-biau-hong itu, Di tengah kabut dan mega yang tebal itu adalah pohon Siong belaka, keadaan pun sunyi senyap. Diam-diam Hi-tiok menjadi ragu, apa barangkali orang-orang Kin-thian-poh telah terbunuh semua?

Sesudah memasuki hutan pohon Siong, segera tertampak di situ terdapat sebuah jalan buatan dari batu hijau yang panjang dan rajin. Di puncak gunung terdapat jalan batu sebaik ini, sungguh boleh dikatakan suatu "proyek" raksasa dan tampaknya bukan hasil karya para wanita bawahan Tong-lo itu.

Jalan batu itu panjangnya kira-kira dua li, pada penghabisan jalan itu tertampak sebuah tembok benteng yang juga terbuat dari batu. Di kanan-kiri gerbang benteng itu masing-masing terdapat seekor burung Ciu (rajawali) ukiran batu yang tingginya lebih dari dua meter sehingga sangat menakutkan. Pintu gerbang itu tampak setengah terbuka tapi tiada terdapat seorangpun,

Dengan perlakan, Hi-tiok masuk ke dalam benteng karang itu, sesudah menyusur dua pekarangan tiba-tiba terdengar suara seorang berkata dengan bengis, "Di mana nenek bangsat itu menyembunyikan pusakanya, lekas kalianmengaku.'"

Segera suara seorang wanita balas mendamprat, "Anjing buduk, tidak perlu kau tanya! Pendek kata kami pun tidak ingin hidup Iagi, hendaklah kalian jangan mimpi muluk-muluk ingin mendapatkan pusaka."

Menyusu! lantas terdengar pula suara seorang lelaki berkata, "In-heng, hendaknya bicara secara baik-baik saja, kenapa mesti main kekerasan? Caramu menghadapi seorang wanita ini kan tidak pantas?"

Hi-tiok kenal suara orang terakhir itu adalah suara Toan-kongcu dari Tayli. Tempo hari ketika Oh-lotoa dan begundalnya hendak membunuh Tong-lo juga Toan-kongcu itu telah merintanginya. Diam-diam Hi-tiok merata kagum kepada Toan Ki yang meski tidak mahir ilmu silat, tapi mempunyai keberanian dan Jiwa ksatria yang harus di puji.

Lalu terdengar orang she In tadi berkata, "Hm, apa susahnya jika kalian ingin mampus? Tapi tiada urusan semudah ini di dunia ini. Pek-in-tong kami ada 17 macam hukuman siksa badan, sebentar aku harus mencobanya setiap macam pada badan kalian. Kabarnya Hek-ciok-tong (gua batu hitam) dan Hok-so-to (pulau penakluk ikan-hiu) juga banyak cara hukum siksa yang aneh, sebentar boleh juga dikeluarkan supaya para saudara tambah pengalaman."'

Serentak terdengar sorakan orang banyak yang menyatakan setuju. Bahkan ada yang bilang "Bagus, beramairamai kita boleh berlomba, coba hukum siksa dari gua atau pulau mana yang paling baik dan membawa hasil."

Dari suara orang banyak itu dapat di taksir orang-orang yaiig berada di dalam pendopo sana tentu ada beberapa ratus orag banyaknya, ditambah lagi kumandang suara yang membalik, keruan suasana menjadi gaduh memekak telinga.

Hi-tiok bermaksud mencari sesuatu lubang atau celah-celah pintu untuk mengintip, tapi ruang itu adalah bangunan dari batu-batu besar sehingga tiada celah-celah sedikit pun, tiba-tiba ia mendapat akal tangannya menggosok-gosok di tanah beberapa kali, lalu mukaa sendiri diusap sehingga menjadi kotor, Kemudian ia melangkah masuk ke dalam ruang besar itu.

Ternyata di ataa meja dan kursi di tengah ruangan itu sudah penuh diduduki orang, bahkan sebagian besar tidak kebagian tempat duduk sehingga terpaksa duduk di lantai, ada yang berjalan mondar-mandir sambil bersendagurau secara bebas seperti tiada pimpinan.

Di lantai tengah ruangan itu pun duduk 20-an wanita berbaju kuning, rupanya hiat-to mereka tertutuk sehingga tak bisa berkutik. Sebagian besar di antaranya badan berlepotan darah, terang luka mereka tidak ringan dan dapat dipastikan mereka adalah anggota Kin-Thian-poh.

Dalam keadaan gaduh Hi-tiok masuk ke dalam situ, ada juga beberapa orang melihatnya, tapi demi melihat Hitiok bukan wanita, mereka yakin dia pasti bukan orang Leng Ciu-kiong, boleh jadi adalah anak murid salah seorang Tongcu atau Tocu yang hadir di situ, maka mereka tidak memperhatikan Hi-tiok lebih jauh.

Karena tiada tempat luang lagi, Hi-tiok duduk di ambang pintu sambil memandang keadaan dalam ruangan itu. Ia lihat Oh-lotoa duduk di suatu kursi di sebelah kiri sana, air mukanya pucat kurus, tapi sikapnya yang garang dan tangkas itu masih tertampak dari sinar matanya yang bengis. Sedangkan di samping para wanita berbaju kuning itu berdiri seorang lelaki kekar dengan membawa cambuk! dan sedang membentak dan memaki agar para wanita itu mengaku di mana Thian-san Tong-lo menyimpan benda pusakannya. Namun para wanita itu tetap tidak mau rnengaku biarpun diancam.

Maka terdengar Oh-lotoa membuka suara, "Kalian budak-budak yang tidak tahu adat ini barangkali ingin mampus juga ini, biar kukatakan pada kalian bahwa tong-lo sudah lama dibunuh oleh Sumoainya yang bernama Li Jiu-sui, Kejadian itu kusaksikan sendiri, masakah aku sengaja mendustai kalian? Maka lebih baik kalian lekas menyerah saja, kami pasti takkan membikin susah kalian!"

"Kamu tidak perlu ngaco belo," demikian teriak seorang wanita baju kuning setengah umur, "Betapa hebat kesaktian Kaucu kami, beliau sudah mencapai tingkatan tak terkalahkan, masakah ada orang yang mampu mencelakai beliau. Kalian ingin rebut rahasia pemunah 'Sing-sihu' untuk ini hendaklah kalian jangan mimpi. Janganlah Kaucu kami pasti dalam keadaan selamat dan sebentar lagi pasti akan pulang untuk memberi hajaran setimpal pada kalian, andaikan beliau benar telah wafat, maka Sing-si-hu yang mengeram dalam tubuh kalian juga pasti akan bekerja dalam waktu setahun dan Kalian akhirnya akan mati konyol dengan merintih-rintih tersiksa."

Mendadak Oh-lotoa berkata pula dengan mendengus, "Hm, kalian tidak percaya?. Baik akan kuperlihatkan sesuatu pada kalian!"

Habis berkata ia terus keluarkan sebuah buntelan kecil dari gendongannya dan dibuka ternyata isinya adalah sebuah kaki manutia.

Hi-tiok dan para wanita Leng-ciu-kiong mengenali celana dan kaos pada kaki itu, terang kaki itu adalah anggota badan Tong-lo, tanpa terasa para wanita itu sama menjerit kaget.

Maka Oh-lotoa berkata pula, "Nah, Li Jiu-sui telah memotong badan Tong-lo menjadi beberapa bagian dan dilemparkan ke jurang kebetulan aku dapat menemukan sebagian jika tidak percaya, boleh juga kalian memeriksanya lebih teliti kaki ini."

Para anggota Kin-thian-poh sudah tentu mengenali betul kaki Thian-san Tong-lo itu, mereka menduga apa yang dikatakan Oh-lotoa tentu tidak bohong, maka menangislah mereka dengan sedih.

Sebaliknya para Tongcu dan Tocu menjadi senang, mereka bersorak gembira dan berteriak-teriak, "Hore, nenek bangsat sudah mampus! Bagus sungguh bagus!"

"Ya, sejak kini kita dapat hidup aman sentosa!"

Dan ada di antaranya yang menegur Oh-lotoa, "He, Oh-lotoa, ada berita sebagus ini, mengapa kau simpan saja selama ini dan tidak memberitahukan pada kami?"

Tapi ada juga yang berkata, "jika nenek keparat itu sudah mampus, lalu bagaimana Sing- si-hu yang mengeram dalam tubuh kita, ai, apakah di dunia ini ada orang lagi yang mampu memunahkannya

Pada saat itulah mendadak di antara orang banyak itu terdengar suara "Huuh..Hauuuh!" seperti suara serigala menyalak dan mirip suara anjing gila, suaranya sangat menyeramkan.

Mendengar suara itu, seketika semua orang ketakutan dan diam sehingga dalam ruangan itu tiada suara lain kecuali suara yang mirip serigala. Maka tertampaklah seorang laki laki gemuk bergelindingan di lantai sambil kedua tangan mencakar-cakar muka sendiri dan merobek baju sehingga kelihatan simbar dadanya yang hitam ketel. Malahan orang itu terus mencacar-cakar dada sendiri sekuat-kuatnya seperti isi dadanya hendak dikorek keluar.

Hanya sekejap saja kedua tangan laki-laki gemuk itu sudah berlumuran darah, begitu pula muka dan dada juga penuh darah, bahkan cara mencakarnya makin lama makin ganas -dan suaranya yang menyeramkan juga makin mengerikan sehingga para penonton sama menyurut mundur ke pinggir dengan takut.

"Wah, Sing-si-hu telah mulai menagih nyawa!' demikian terdengar beberapa orang saling berbisik.

Hi-tiok sendiri juga pernah terkena Sing-si-hu, tapi segera ia diajari oleh Tong-lo cara memunahkannya sehingga tidak pernah mengalami siksaan apa-apa. Sekarang ia menyaksikan keadaan si gemuk yang mengerikan itu, barulah ia tahu bukannya tidak berdasar jika para Tongcu dan Tocu itu tadinya sangat takut kepada Tong-lo.

Rupanya semua orang kuatir kalau racun Sing-si-hu menjalar ke badan mereka, maka tiada seorang pun berani maju menolong. Hanya dalam sekejap saja si gemuk sudah merobek hancur pakaiannya sendiri dan sekujur badannya juga penuh luka cakaran yang berjalur-jalur.

Sekonyong-konyong di antara orang banyak melompat keluar seorang sambil berteriak, "Koko, koko! Tenanglah sedikit, biar kututuk, hiat-tomu dul, Kemudian dapat kita. mencari jalan lain untuk menyembuhkan dirimu!"

Tapi aki-laki itu sudah seperti orang gila, sama sekali tidak gubris ucapan orang lain.

Pembicaraan tadi mukanya agak memper si gemuk hanya usianya lebih muda dan badannya sedikit kurus, nampaknya mereka adalah saudara sekandung. Maka dengan pelahan orang itu mendekati si gemuk dengan rasa jeri sekonyong-konyong ia menutuk "Koh-cing-hiat" di bahu si gemuk. Tapi si gemuk sempat mengegos sehingga tutukan itu luput, bahkan si gemuk terus membalik tubuh dan tahu-tahu si kurus kena di rangkulnya sekali si gemuk pentang mulut terus saja muka si kurus digigitnya.

Keruan orang itu beteriak-teriak, "He, Koko koko! Jangan, akulah! Jangan gigit! Lepaskan!"

Namun si gemuk seperti sudah kehilangan pikiran sehatnya, ia masih terus menggigit sekenanya mirip seekor anjing gila. Saudaranya berusaha melepaskan, diri dengan sekuat-kuatnya, tapi sukar melepaskan diri sehingga dalam sekejap saja mukanya dedel-dowel kena digigit dan darah bercucuran, saking kesakitan sampai dia menjerit ngeri.

Di sebelah sana Toan Ki lantas tanya kapada Giok-yan, "Nona Ong, cara bagaimana kita harus menolong mereka?"

Tapi Ong Giok-yan berkerut kening dan berkata, "Orang itu sudah gila, tenaganya sungat kuat, pula tidak main silat menurut teori sehingga aku pun tidak berdaya."

Toan Ki menoleh kepada Buyung Hok, katanya, "Buyung heng, kepandaianmu menggunakan caranya untuk digunakan atas dirinya yang termashur itu apakah sekarang dapat dimanfaatkan ?"

Namun Buyung Hok tampak kurang senang atas pertanyaan Toan Ki itu dan belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba Pau Put-tong mendahului berseru, "Apa kau suruh Kongcu kami meniru caranya seperti anjing gila itu dan menggigitnya?"

"O, ya, akulah yang salah omong, harap Pau-heng jangan marah," sahut Toan Ki dan minta maaf. Terpaksa ia sendiri mendekati si gemuk dan berkata padanya, "Saudara yang terhormat, yang kau rangkul ini adalah adikmu hendaknya lekas kau lepaskan dia?"

Tapi rangkulan si gerauk tambah kencang dan mulut saudaranya pun mulai mengeluarkan suara "hauh-hauh" yang mengerikan.

Segera laki-laki she In tadi mencengkeram seorang Wanita baju kuning dan berkata, "Semua orang yang berada di sini sebagian besar terkena Sing-si-hu nenek bangsat itu, sekarang semua orang telah berkumpul di sini dan bila penyakit mereka kumat, serentak kaupun akan digigit mereka hingga hancur luluh. Nah, apa kamu tidak takut?"

Wanita itu memandang sekejap pada si gemuk yang masih mengamuk itu dengan air muka ketakutan. maka laki-laki she In itu berkata, pula, "Toh sekarang Tong lolo sudah mati, asal kau katakan di mana dia menyimpan benda pusakanya agar semua orang dapat disembuhkan, maka kami pasti takkan bikin susah kalian bahkan merasa terima kasih malah."

"Bukan aku tidak mau mengaku, sesungguhnya tiada seorang pun di antara kami yang tahu”, sahut wanita itu. "Biasanya setiap tindakan Kaucu tidak mungkin diperlihatkan kepada kami kaum budak ini."

Melihat wanita itu sangat ketakutan agaknya tidak berani berdusta. Dengan sendirinya semua orang jadi tak berdaya. Begitu pula dengan Buyung Hok dan kawannya.

Sebabnya mereka ikut Oh-lotoa dan begundalnya menyerbu Biau-biau-hong ialah dengan harapan sebagai balas jasa kelak Oh-lotoa dan kawan-kawannya itu dapat diperalat bagi pergerakannya dalam menegakkan kerajaan Yan, Tapi sekaran melihat Sing-si-hu yang lihai itu telah tertanam, dalam badan para Tongcu dan Toou serta sukar untuk disembuhkan, jika Sing-si-hu bekerja, tentu Oh-lotoa dan kawan-kawannya akan binasa semua dan cita-cita Buyung Hok pun akan sia-sia belaka.

Karena itu ia juga cuma geleng-geleng kepala dan saling pardang dengan Ting Pek-jwa , Kongya Kian dan lain-lain dengan tak berdaya.

Dalam keadaan putus asa, laki-laki she ln tadi merasakan Sing-si-hu yang mengeram di tubuhnya juga lamatlamat mulai bekerja, hiat-to yang bersangkutan terasa linu pegal. Keruan ia menjadi kuatir dan gusar pula segera ia membentak, "Apa kamu tetap tidak mau mengaku? Biar kumampuskan kau dulu!"

Habis berkata, "tar!", mendadak ia angkat cambuknya terus menyabet kepala wanita itu.

Sabetan itu sedemikian kerasnya, bila kena bukan mustahil kepala wanita itu bisa pecah. Pada saat itulah tibatiba terdengar suara mendesir perahan sekali semacam am-gi atau senjata rahasia menyambar dari pintu menuju ke dinding ruangan sekali behda itu membentur dinding dan terpental kembali, tahu-tahu pinggang wanita yang hendak di cambuk tadi tepat kena tertimpuk sehingga badannya ikut terpental ke arah pintu sejauh satu-dua meter. Menyusul terdengarlah suara "plok" yang keras, cambuk si lelaki she In tadi mengenai, lantai batu sehingga batu krikil muncrat, bertebaran.

Kejadian itu hanya berlangsung dalam sekejap saja sehingga tiada seorang pun yang tahu am-gi tadi disambitkan oleh siapa. Hanya di lantai lantas kelihatan ada sebuah bola kecil warna coklat sedang berputarputar, ternyata satu biji cemara.

Keruan semua orang terkejut, hanya dengari satu biji cemara sekecil itu dapat bikin seorang terpental dengan tenaga benturan membalik dari dinding, maka dapat dibayangkan betapa hebat lwekang dan caranya menimpuk am-gi itu, siapakah gerangannya?

Seketika Oh-lotoa teringat pada seorang, tanpa terasa ia berteriak, "He, Tong-lo! Itulah Thian-san Tong-lo"

Tempo hari di tempat sembunyinya Oh-lotoa telah menyaksikan sebelah kaki Tong-lo ditabas kutung olah Li Jiu-sui, kemudian dilihatnya pula Tong-lo digendong lari oleh Hi-tiok dan terjeblos ke bawah jurang, dengan sendirinya Oh-lotoa yakin kedua orang itu pasti sudah mati terbanting hancur. Maka ia berani membungkus kaki kutung Tong-lo itu dengan kain minyak dan disimpan baik-baik sebagai "jimat"..

Namun sekarang demi melihat cara menimpuk biji cemara untuk menolong wanita baju kuning yang maha lihai itu, seketika ia menjadi ragu dan menyangsikan kematian Thian-san Tong-lo, orang pertama-tama yang teringat olehnya justru adalah nenek itu.

Hal ini disebabkan Oh-lotoa sendiri pernah merasakan betapa lihainya biji cemara seperti sekarang ini ketika dia tertimpuk perutnya oleh Hi-tiok yang mendapat ajaran dari Tong-lo. Maka ia benar-benar sudah kapok bila melihat biji cemara serupa itu.

Dalam pada itu demi mendengar Oh-lotoa berteriak "Tong-lo," serentak semua oraug memutar tubuh ke arah pintu dan berbareng menyiapkan senjata sehingga terdengar suara gemerantang yang riuh rarnai banyak yang menyurut mundur karena jeri.

Hanya Buyung Hok saja yang malah mendekati pintu, ia ingin tahu macam apakah Thian-san Tong-lo yang ditakuti, itu? Padahal dia sebenarnya sudah pernah melihatnya, yaitu pada waktu Tong-lo digendong Hi-tiok dan dibuat lempar kian kemari sebagai bola oleh dia senidiri bersama Ting Jun jiu, Cumoti dan Toan Ki. Cuma sama sekali tak terduga olehnya bahwa si nenek yang tersohor itu ternyata berbentuk seorang nona cilik.

Di sebelah sana Toan Ki juga lantas mengadang di depan Ong Giok-yan karena kuatir nota itu diserang orang lain. Sebaliknya Giok-yan terus berseru, "Piauko, harap hati-hati!"

Tapi meski sudah sekian lamanya semua orang menatap ke luar pintu, tetap tiada sesuatu suara atau gerak-gerik apa-apa.

Yang pertarna-tama tidak sabar lagi adalah Pau put tong, ia terus berteriak, "Tong-lolo, jika engkau marah kepada tamu-tamu yang tak diundang ini, bolehlah kau masuk kemari untuk bertempur!"

Namun keadaan tetap sunyi senyap.

"Baiklah mari, biar aku dulu yang belajar kenal dengan kepandaian Tong-lo." seru Hong Po-ok, "Biarpun tahu bukan tandinganmu, tetapi aku ingin bertempur denganmu. Memang inilah watak orang she Hong yang tak bisa berubah sampai mati,"

Habis berkata terus saja ia putar goloknya diri menerjang keluar pintu.

Meski kepandaian Hong Po-ok belum mencapai tingkatan nomor wahid, tapi dia gemar berkelahi dan sangat tangkas. Sebagai saudara angkatnya, Ting Pek-jwan, Kongya Kian dan Pau Put-tonj cukup tahu dia bukan tandingan Tong-lo, maka beramai-ramai mereka pun menyusul keluar.

Para Tongcu dan Tocu itu ada yang kagum pada kegagahberanian keempat orang itu, ada yang mentertawai mereka tidak tahu diri dan belum kenal betapa lihainya Thian-san Tong-lo, kalau sebentar tubuh dihajar nenek itu barulah tahu rasa.

Dalam pada itu terdengar Hong po-ok dan Pau Put tong sedang berteriak-teriak menantang Tong-lo di luar sana, namun tetap tidak terdengar jawaban.

Kiranya biji cemara yang menolong wanita baju kuning tadi adalah timpukkan Hi-tiok. Diam-diam ia merasa geli melihat Pau Put-tong dan semua orang sama was-was dan penuh curiga. Namun Hi-tiok adalah seorang baik hati, ia tidak ingin orang lain kelabakan terus, segera ia berkata "Harap para hadirin jangan kaget dan sangsi, Tong-lo memang betul-betul sudah meninggal dunia."

Dan ketika dilihatnya si gemuk tadi masih terus menggigiti saudaranya, diam-diam Hi-tiok merasa kasihan, ia tidak paham mengapa di antara, hadirin itu tiada seorang pun dapat menolongnya. Mestinya ia sendiri tidak suka pamer, tapi untuk menyelamatlan jiwa kedua orang itu terpaksa ia harus bertindak. Maka segera ia mendekati kedua orang itu, ia tepuk sekali punggung si gemuk.

Tepukan yang digunakan Hi-tiok itu adalah "Liok yang-jiu" ajaran Tong-lo yang merupakan obat mujarab untuk memunahkan Sing-si-hu, seketika suatu arus hawa hangat menembus hiat-to si gemuk sehingga racun Sing-si-hu yang bekerja di badannya itu dihancurkan.

Mendadak si gemuk melepaskan rangkulannya kepada si kurus dia jatuh terduduk dengan napas terengahengah dan semangat lesu. Ketika melihat saudaranya babah belur mukanya, segera ia tanya, "He, kenapa kau terluka sedemikian rupa? Siapakah yang menyerangmu, lekas katakan, biar kubalaskan sakit hatimu!"

Melihat pikiran sehat kakaknya sudah pulih, si kurus menjadi girang, tanpa menghiraukan lukanya sendiri, terus saja ia menarik bangun kakaknya dan berkala, "Koko, engkau sudah sembuh sekarang, sudah sembuh!"

Kemudian. Hi-tiok menepuk sekali juga di pundak si wanita baju kuning dan berkala, "Kalian adalah anggota Kin-thian-poh bukan? Saudara-saudara kalian dari Yang-thian-poh, Cu thian-poh dan Lain-lain sudah berada di seberang Ciap-hian-kio, cuma jembatan rantai sudah putus. Semenntara ini mereka tak dapat menyeberang kesini. Jika di sini tersedia rantai atau tambang, ayolah lekas kita pergi memapak mereka.”

Habis berkata, ia tepuk wanita yang lain, sekali tepuk seketika hiat-to para wanita itu lancar kembali tanpa alangan sedikitpun. Keruan para wanita itu sangat berterima kasih, beramai-ramai merek berbangkit dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan tuan, tolong tanya siapakah nama tuan yang mulia?"

Ada beberapa orang wanita sudah yang tak aabaran lagi segera lari keluar sambil berteriak "Lekas, lekas kita papak datangnya, saudara kita untuk kemudian melabrak kembali kawanan bangsat ini!"

Sedangkan Hi-tiok lantas membalas hormat dan menjawab, "Ah, kalian tidak perlusungkan-sungkan, sebenarnya yang menolong kalian bukalah aku melainkan oranglain yang pinjam tanganku saja."

Ia maksudkan bahwa kepandaiannya itu ia peroleh dari Tong-lo bertiga, jadi sebenarnya Tong-lo sendiri yang menolong wanita-wanita itu.

Melihat cara Hi-tiok menolong para wanita baju kuning itu hanya setiap orang ditepuk sekali saja dan hiat-to masing-masing lantas terbuka, cara demikian bukan saja tidak pernah disaksikan Oh-lotoa dan begundalnya Itu. bahkan mendengarpun tidak pernah, Sekarang melihat muka Hi-tiok juga tiada sesuatu yang istimewa, usianya masih muda pula, mereka menduga Hi-tiok pasti tidak mempunyai Iwekang yang luar biasa, apalagi dia mengaku orang lain yang menolong kawan wanita itu dengan meminjam tangannya, makaOh-lotoa dan kawan-kawannya semakin percaya kalau Tong-lo berada di Leng-ciu-kiong situ.

Oh-lotoa pernah kumpul bersama Hi-tiok walau hanya beberapa hari di atas puncak.gunung salju sekarang meski rambut Hi-tiok sudah tumbuh panjang, dandanannya juga sudah, berubah tapi sekali buka suara segara dapat, dikenali Oh-lotoa.

Cepat Oh-lotoa melompat maju dan pegang urat nadi tangan kanan Hi-tiok sambil membentak "Hwesio cilik, apa ... apa Tong-lo sudah berada disini ?”

"Oh-siansing, apa luka di perutmu sudah sembuh!" sahut Hi-tiok . "Se... sekarang aku bukan murid Budha lagi, sungguh memalukan kalau diceritakan."

Habis berkata sebenarnya mukanya sudah merasa jengah, cuma sekarang mukanya kotor penuh debu, maka orang lain tidak tahu.

Sekali pegang urat nadi tangan Hi-tiok terus Oh-lotoa mengerahkan tenaga dalam dengan penuh agar Hi-tiok merasa kesakitan dan minta ampun. Siapa duga, biarpun ia pencet sekeras-kerasnya tetap Hi-tiok seperti tidak merasa apa-apa, dan tenaga dalam yang dikerahkanOh-lotoa

tiba-tiba lenyap tanpa bebas seperti air mengalir kelaut. Keruan Oh-lotoa menjadi takut dan tidak berani mengerahkan tanaga lagi, tapi tetap tidak mau melepaskan pegangannya.

Melihat Oh-lotoa dapat membekuk Hi-tiok dan tampaknya bocah itu tidak dapat berkutik lagi, andaikan bocah itu punya kepandaian tinggi tentu takkan sedemikian gampang dipegang oleh Oh-lotoa, maka semua orang lantas ikut-ikut membentak dan katanya, "Hai,, anak setan, siap kamu? Dari mana kau? Siapa namamu? Siapa gururmu? Siapa yang suruh kau kemari? Di mana Tong-lolo? Dia sudah mampus atau masih hidup!”

Begitulah pertanyaan bengis serentak diajukan kepada Hi-tiok, tapi dengan sikap merendah Hi-tiok menjawab, "Cayhe ber... bergelar. Hi-tiok cu. Tong-lolo memang betul sudah meninggal dunia, jenazah beliau juga sudah dibawa pulang sekarang berada di seberang Ciap-hian-kio. Tentang perguruanku, ai, sungguh memalukan kalau kukatakan, maka lebih baik jangan dibicaraka. Adapun kedatanganku ini adalah untuk mengubur layon Tonglolo, jika kalian tidak percaya, sebentar lagi tentu kalian dapat menyaksikan jenazah beliau. Kalian kan bekas bawahan beliau, kuharap kalian jangan dendam kepada kejadian yang telah lampau, hendaknya kalian memberi penghormatan terakhir kepada beliau dan segala permusuhan sekaligus dihapus saja, dengan demikiann bukankah segala sesuatu menjadi selesai?"

Ia menjawab dengan tidak teratur sebentar merasa malu dan lain saat bilang menyesal, ucapannya yang terakhir itu pun seperti orang memohon dengan sangat.

Keruan para petualang itu merasa Hi-tiok sengaja ngaco-belo, boleh jadi pikirannya agak miring. Maka rasa jeri mereka kepada Hi-tiok mulai lenyap, sebaliknya timbul kembali kecongkakan mereka, segera banyak di antaranya memaki-maki, "Anak keparat, kamu ini kutu apa, kau berani suruh kami menjura kepada layon nenek bangsat itu? Setan alas, kami tanya padamu cara bagaimana mampusnya nenek bangsat itu? Apakah dia binasa di tangan Sumoainya? Dan kaki ini benar kakinya atau bukan?"

"Ai, kenapa kalian memakinya dengan kotor, beliau kan sudah meninggal dunia, segala dendam kesumat juga tidak perlu dipikirkan lagi,” sahut Hi-tiok dengan ramah. "Apa yang dikatakan Oh-siansing memang tak salah, beliau benar-benar meningga! di tangan sang Sumoai dan kaki ini memang juga bagian tubuh beliau. Ai, orang hidup laksana mimpi belaka, meski ilmu silat beliau maha tinggi, akhirnya juga meninggal dengan begitu saja. Omitohud, Budha maha kasih somoga arwah Tong-lo dapat diterima di surga”

Melihat Hi-tiok mengoceh panjang lebar, namun para petualang itu masih ragu atas kernatian Tong-lo, segera ada yang tanya lagi, "Waktu mati Tong-lo nya apa kamu berada di tempatnya?”

"Ya," sahut Hi-tiok, "beberapa bulan paling akhir ini aku selalu melayani beliau."

Para petualang itu saling pandang sekejap, dalam hati masing-trjasing seketika timbul suatu pikiran yang sama, "Rahasia memunahkan Sing si-hu bisa jadi berada pada bocah ini,"

Mendadak sesosok bayangan melayang ke depan tahu tahu urat nadi tangan kiri Hi-tiok terpegang, menyusul Oh-totoa yang memegangi pergelangan tangan kanan Hi-tiok merasa kuduknya dingin di tempel sesuatu senjata tajam, lalu seorang berkata dengan suara melengking, Oh-lotoa, lepaskan dia!"

Ketika sekilat melihat orang yang memegang tangan kiri Hi-tiok itu, segera Oh-looa menduga kawannya pasti akan maju berbareng, dan baru saja ia hendak siap menjaga diri, namun sudah, terlambat sedetik, kuduknya sudah terancam dulu oleh senjata lawan, terpaksa ia tidak berani sembarangan bergerak.

"Lekas lepaskan! Apa kau minta lehermu terpenggal!?" bentak orang dibelakang Oh-lotoa itu.

Terpaksa Oh-lotoa menurut sambil melompat ke depan, lalu ia membalik tubuh dan berkata, "Cu-gai Siangkoai, tidak nanti aku melupakan kebaikan kalian ini"

Orang yang mengancam Oh-lotoa dengan pedang itu adalah seorang laki-laki kurus tinggi, sahutnya dsngan menyeringai, "Oh-lotoa, permainan apa pun yang akan ka keluarkan, setiap saat kami Cu-gai Siang-gi siap melayani,'*

Kiranya kedua orang itu adalah saudara sekandung, orang kangouw menyebut mereka "Cu-gai Siang-koai" atau dua siluman dari Cu-gai. sebaliknya mereka sendiri mengaku sebagai Cu-gai Siang-gi atau dua saudara pendekar dari Cu-gai.

Orang yang mencengkeram tangan kiri Hi-tiok itu adalah Toa-koai, siluman pertama, dan Ji-koai atau siluman kedua lantas menggeledah baju Hi-tiok

Diam-diam Hi-tiok membatin, "Boleh kalian geledah sesukamu, toh aku tiada membawa sesuatu barang yang perlu dirahasiakan."

Maka satu per satu Ji koai merogoh keluar barang-barang yang berada dalam baju Hi-tiok, yang pertama dikeluarkan adalah lukisan pemberian Bu-gai-cu, Ketika lukisan di dijereng oleh Ji-koai, serentak pandangan semua orang terpusat ke arah lukisan.

Seperti diketahui lukisan itu pernah diinjak-injak Tong-lo, kemudian kena air dan, sudah agak luntur, namun wanita dalam lukisan itu masih tetap sangat indah dan hidup memang suatu lukisan yang sangat bagus, Maka begitu semua orang melihat lukisan itu, serentak mereka berpaling dan memandang ke arah Ong Giok-yan. Sebagian berseru "hah!" ada yarg bersuara "O!' ada pula yang berkata "Cisl" dan ada juga yang menjengek '"Huh!"

Yang berseru "Hai" menandakan lukisan itu di luar dugaan mereka, yang bersuara "O' menyatakan bahwa kiranya demikian, sedang yang bersuara "Cis" menyatakan rasa gusar mereka, sebaliknya yang bersuara "Huh" mengunjuk rasa mencemooh.

Toan Ki, Buyung Hok dan Ong Giok-yan juga berbareng bersuara, "Ah!" Adapun arti suara "Ah" itu masingmasingg juga tidak sama pula.

Tadinya para petualang itu mengira lukisan itu tentu menggambarkan pemandangan yarg mungkin dapat memberi petunjuk di mana dapat diketemukan obat atau rahasia pemunah Sing-si hu siapa tahu adalah sebuah potret Ong Giok-yan, keruan mereka sangat kecewa.

Maka Ji-koai lantas membuang lukisan itu ke lantai, lalu menggeledah Hi-tiok pula. Namun yang diketemukan hanya secarik tanda anggota Siau-lim-si waktu Hi-tiok dicukur menjadi hwesio lalu beberapa tahil perak dan beberapa potong penganan kering, sepasang kaus kaki, nyata semuanya itit tiada sangkut-pautnya dengan Singsi-hu,

Dalam pada itu Giolt-yan menjadi heran dan malu pula melihat Hi-tiok menyimpan gambarnya Pikirnya, "Apa barangkali sejak orang ini melihat aku ketika memecahkan problem catur, lalu seperti halnya dengan Toan Ki lantas menyukai aku? Kalau tidak mengapa dia menggambar diriku dan tersimpan dalam sakunya?"

Sebaliknya Toan Ki juga sedang berpikir "Dasar nona Ong memang secantik bidadari, jika Siau suhu ini juga kesengsem padanya, hal ini pun. tidak mengherankan. Cuma, ai, kepandaianku melukis tidak sepandai Siau suhu itu, kalau aku juga dapat melukisnya sehelai kenang-kenangan bila kelak berpiasah, paling sedikit boleh juga dibuat, pelipur hatiku nan rindu dendam."

Ketika Cu-gai Ji koai menggeledah Hi-tiok karena kuatir kedua Tocu iru mencaplok sendiri obat mujarab atau benda mestika yang di ketemukan di baju Hi-tiok, maka semua orang senantiasa mengawasi setiap barang yang

dikeluarkan oleh Ji-koat. Siapa duga hasilnya nihil, keruan Toa-koai menjadi gusar, terus saja ia memaki, "Keparat, ketika tua bangka itu akan mampus apa yang dia katakan padamu?"

"Apakah kau ingin tau apa yang dikatakan Tong-lo ketika akan wafat?" Hi-tiok menegas. "Ya, waktu itu beliau berseru,, 'Hahaha. bukan dia! Hahaha! Bukan dia! Hahahabal' Habis itu beliau lantas mengembuskan napas yang penghabisan."

Para petualang menjadi bingung, mereka tidak mengerti apa artinya ucapan Tong-lo dan gelak tertawanya itu, meski mereka coba merenung dan berusaha memecahkan arti yang terkandung di balik kata-kata Tong-lo itu, namun tetap sukar dimengerti. Seketika para petualang yang merasa tak sabar itu mencaci maki lagi.

"Keparat! Persetan dengan bukan dia apa segala! Selain itu tua bangka itu omong apa lagi?" bentak Toa-koai dengan gusar.

"Tuan yang terhormat, bila engkau menyebut Tong-lolo, hendaknya mengindahkan sedikit pada beliau dan janganlah sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor,” ujar Hi-tiok.

Padahal biasanya Toa-koai membunuh orang juga tidak pernah berkedip apalagi cuma memaki orang. Sekarang Hi-tiok berani mencela dia, keruan ia menjadi murka, sekali tangan terangkat, segara ia hantam kepala Hi-tiok sambil memaki, "Maling busuk, aku justru ingin memaki tua bangka nenek bangsat itu, habis kau mau apa?'

Tapi baru saja tangannya hampir mengenai sasarannya, sekonyong-konyong sinar dingin berkelebat, sebatang pedang secepat kilat terjulur tiba dan melintang di atas kepala Hi-tiok dengan mata pedang menghadap ke atas, dalam keadaan demikian bila tabokan Toa-koai itu diteruskan, maka sebelum mengenai kepala Hi-tiok tentu tangannya akan terkutung dahulu oleh pedang yang sudah terpasang di situ.

Keruau Toa-koai sangat terkejut dan cepat menarik kembali tangannya, Saking gugupnya sehingga pegangannya kepada Hi-tiok juga terpaksa dilepaskan. Waktu ia periksa tangannya, ternyata terdapat tanda garis luka dan mengeluarkan darah Keruan ia terkesiap dan gusar pula untung ia cukup sigap kalau tidak tentu tangannya sudah kutung. Dengan melotot ia pandang orang yang bersenjata pedang Itu ternyata orang Itu berpakaian hijau, usianya 50-an berjenggot panjang, mukanya cakap.

Toa-koai kenal orang ini bukan termasuk salah seorang Tongcu atau Tocu, tapi orang yang disebut "Kiam-sin" oleh Put-peng Tojin itu. Dari kecepatan dan jitunya orang itu mainkan pedangnya, nyata kepandaiannya sudah mencapai tingkatan yang susah diukur. Maka biarpun watak Toa koai biasanya sangat berangasan juga tidak berani sembarangan ainn kayu dengan tokoh sakti ini, segera ia menegur, "Tanpa sebab tuan melukaiku, apa maksudmu sebenarnya?"

Orang tua itu tersenyum dan menjawab, "Kita ingin memperoleh pengakuan orang ini untuk mencari tahu cara bagaimana memunahkan Sing-si-hu, tapi saudara mendadak mengamuk dan hendak membunuh dia. Jika sebentar para hadirin tersiksa oleh Sing-si-hu. cara bagaimana akan kau cari tanggung jawab?"

Toa-koai tak bisa menjawab, dengan gelagapan ia berkata, "Ini ... ini .... "

Tadi taktik orang tua itu memaksa Toa-koai lepas tangan, berbareng seperti sengaja dan seperti tidak sengaja ia tumbuk bahu Ji-koai pula sehingga Ji-koai terhuyung-huyung mundur beberapa tindak dan hampir roboh, untung dia masih dapat terdiri dengan tegak, dalam kejutnya ia tidak turut memaki orang tua itu.

Maka orang tua itu berkata kepada Hi-tiok, "Saudara cilik, sebelum Tong-lo mati, selain mengucapkan 'bukan dia' beberapa kali sambil bergelak tertawa, lalu apalagi yang dikatakan?”

Mendadak wajah Hi-tiok menjadi merah dan sikapnya kikuk serta pelahan menunduk. Kiranya dia menjadi teringat kepada ucapan Tong-lo waktu itu, "Coba bawa lukisan itu kemari, biar aku menghancurkannya. Nanti aku akan memberi petunjuk ajar kamu bisa menemukan dewi impianmu itu,"

Tapi sesudah melihat lukisan itu, Tong-lo lantas berteriak dan tertawa, kemudian menghembuskan napas penghabisan dan tidak tempat memenuhi janjinya. Maka Hi-tiok yakin dengan matinya Tong-lo, di dunia ini rasanya tiada seorang pun yang tahu siapa dewi impiannya itu dan untuk seterusnya tentu tak dapat bertemu lagi dengan dia. Berpikir demikian, tanpa terasa Hi-tiok menjadi lesu dan muram durja.

Melihat sikap Hi-tiok yang aneh itu, si orang tua mengira pemuda Itu menyimpan sesuatu rahasia penting. Maka dengan ramah ia berkata pula, "Saudara cilik, apa yang telah dikatakan Tong-lo kepadamu? Cobalah katakan dengan jujur, aku orang she Tok pasti takkan membikin susah padamu, bahkan akan membalas kebaikanmu."

Namun muka Hi-tiok semakin merah jengah, ia geleng-geleng kepala dan berkata, "Hal ini tak dapat dikatakan" ,

"Mengapa tidak?." desak si orang tua she Tok.

"Kalau dibicarakan ... Ai, pendek kata, hal ini tak dapat kukatakan, biarpun kau bunuh aku juga tak dapat kukatakan," sahut Hi-tiok.

"Betul-betul tak rnau bicara? desak pula si orang tua.

"Ya, tidak," sahut, Hi-tiok tegas,

Orang tua itu pandang lekat-lekat sejenak kepada Hi-tiok, melihat sikaap pemuda itu demikian teguhnya, "sret", sekonyong konyong ia ayun pedangnya sinar pedang berkelebat, menyusul terdengar suara "crattt..crat" beberapa kali tahu-tahu sebuah meja besar di samping terbelah menjadi sembilan potong dengan ukuran yang sama besarnya. Betapa cepat dan jitunya sungguh susah dibayangkan.

Melihat itu, sketika terdengar sorak gemuruh yang memuji kemahiran ilmu pedang orang tua itu. Banyak juga di antara para Tongcu dan Tocu itu yang mahir ilmu pedang, tapi biar bagaimana mereka, merasa bukan apaapa lagi kalau dibandingkan kepada si orang tua she Tok.

Di sebelah lain terdengar Ong Giok-yan sedang berkata dengan perlahan "Ciu-kong-kiam ini adalah kepandaian khas ' It-ji-hui-kiam-bun" dari Kiangyang di Hokkian. Tuan tua ini she Tok, berjuluk Kiam-sin pula maka besar kemungkinan dia adalah Tok Put-hoan Locianpwe, Ciangbunjin It-Ji-hui-kiam-bun”

Meski ucapannya itu sangat lirik, tapi sesudah bersorak tadi, serentak pandangan semua orang terpusat pula kepada si orang tua sehingga suasana menjadi sunyi kembali, maka ucapan Giok-yan itu dengan jelas dapat didengar oleh mereka.

Segera terdengar si orang tua bergelak tawa dan berkata, "Tajam benar pandangan nona ini, sekali lihat saja dapat menyebut golongan dua ilmu pedangku, bahkan, dapat menerka namaku, sungguh sangat pintar,"

Sebaliknya semua orang merasa tidak kenal nama "Ii-ji-hui-kiam bun.", 'Ilmu pedang selihai itu seharusnya dikenal di dunia kangouw, mengapa selama ini tidak pernah terdengar namanya.

Dalam pada itu si orang tua yang memang bernama Tok-Put-hoan itu berkata pula sambil menghela napas, "Ciangbunjin seperti diriku hanya Ciangbun kosong belaka, sebab orang-orang It-ji-hui-kiam-bun tiga keturunan sebanyak 62 jiwa sudah dibunuh habis-habisan oleh Thian-san Tong-lo pada 33 tahun yang lalu.".

Semua orang terkesiap mendengar pengakuan itu, pikir mereka, "Kiranya kedatangannya Itu Lang-ciu-kiong ini adalah-untuk membalas sakit hati perguruannya."

Kemudian tampak Tok Put-hoan angkat pedangnya dan berkata kepada Hi-tiok„ "Saudara cilik, apa kau suka

bila aku mengajarkan beberapa jurus ilmu pedangku ini padamu?"

Sungguh kagum dan kaget sekali para, petualang lain demi mendengar tawaran Toh Put-hoan itu. Mereka tahu ilmu pedang "Khiam-sin", si dewa pedang, sudah mencapai tingkatan yang susah diukur, sekarang dengan suka hati mau mangajarkan kepandaiannya kepada Hi-tiok tanpa diminta sungguh hal ini jarang terjadi. Mereka menduga maksud tujuan Tok Put-hoan tentu ingin mengetaui apa pesan sebelum meninggal Tong-lo kepada Hitiok tentang rahasia Sing-si-hu.

Belum lagi Hi-tiok menjawab, sekonyong-konyong seorang dengan nada- mengejek menimbrung "Toksianslng, apa kau sendiri juga terkena Sing-si-hu?"

Tok Put-hoan melihat pembicara itu adalah seorang Tojin setengah umur, segera ia balas tanya, 'Kenapa Totiang bertanya demikian padaku?”

"Habis, kalau Tok-siansing tidak terkena Sing-si-hu, buat apa dengan segala daya upaya hendak mencari tahu cara memunahkan racun. Sing-si-hu?” sahut Tojiu itu. "Dan bila maksud tujuari Tok-siansing hendak rnenggunakannya untuk menekan kami. maka kami para Tocu dan Tongcu betapapun tidak rela setelah lolos dari mulut harimau mesti jatuh lagi ke mulut serigala. Biarpun ilmu pedang Tok-siansing maha hebat juga kami terpaksa akan menghadapi dengan segala akibatnya."

Ucapan Tojin itu cekak-aos, tapi dengan jitu telah membongkar maksud jahat Tok Put-hoan. Keruan serentak para petualang lain juga membuka. suara, "Benar, apa yang dikatakan Cut-tim Totiang dari Sing-pit-to memang cocok dengan pikiranku!"

"Hei. bocah itu, kalau Tong-lo benar-benar meninggalkan pesan padamu, hendaknyalekas kau umumkan. secara terbuka saja, kalau tidak, sekaligus kami mengkrubut maju, dalam sekejap badanmu pasti akan dicencang hancur luluh"

Namun Tok Put-hoan lantas putar pedangnya ke atas sehingga mengeluarkau suara mendenging katanya, "Jangan takut, saudara cilik! Berada di sampingku boleh coba lihat siapa yang berani menganggu seujung rambutmu. Tentang pesan Tong-lolo cukup kau beritahukan padaku saja, bila didengar orang ketiga, terpaksa ilmu pedangku tak dapat kuajarkan padamu,"

"Tidak," sahut Hi-tiok dengan mengeleng kepala. "Pesan Tong-lolo itu hanya menyangkut diriku sendiri, biarpun kalian mengetahui juga tiada gunanya. Jadi biar, bagaimanapun tidak mungkin kukatakan. Tentang ilmu pedangmu meski teramat bagus juga aku tidak mau belajar."

Mendengar jawaban tegas itu merentak para petualang bersorak memuji, "Bagus bagus Anak gagah, cukup berani. Memangnya apa gunanya belajar ilmu pedangnya? Dari kata-kata si nona tadi sudah kentara kepandaiannya tiada sesuatu yang luar biasa."

"Ya, jika nona itu dapat mengenali asal-usul ilmu pedangnya, dengan sendirinya juga mempunyai kepandaian untuk memecahkan ilmu pedangnya," kata seorang lagi. "Maka, saudara cilik, jika engkau ingin mengangkat guru seharusnya kau belajar saja pada nona cilik itu,"

Memangnya Tok Put-hoan lagi mendongkol karena Giok-yan dapat membongkar asal-usul perguruannya, sekarang mendengar macam-macam sindiran dan olok-olok itu, tentu saja ia tambah gemas. Ia coba melirik Giok-yan, dilihatnya dengan mesra nona itu sedang memandang Buyung Hok dengan termangu-mangu tanpa menghiraukan ucapan orang lain.

Sepantasnya jika ada orang mengatakan dia dapat mematahkan ilmu pedangnya Tok Put-hoan maka seharusnya dia lekas menyangkal kalau tidak itu berarti diam-diam ia mengakui akan kebenaran hal itu. Padahal saat itu yang sedang dipikirkan Giok-yan adalah "Kenapa Piauko tampak kurang gembira, apakah dia marah padaku? Kesalahan apakah yang kulakukan ? Ah, jangan-jangan karen... karena 'Siansuhu itu telah melukis gambarku dan disimpan dalam bajunya, maka piauko menjadi marah?"

Sebaliknya demi melihat Giok-yan diam-diam saja, tidak menyangkal juga tidak mengiakan, keruan Tok Puthoan menjadi murka. Sekilas dilihatnya lukisan yang tertaruh di atas meja sebelahnya tiba-tiba timbul pikirannya, "Bocah ini telah melukis gambar nona itu dan disimpan dengan baik-baik, dengan sendirinya karena dia sangat mencintai nona itu," Agar dia mau mengaku tentang pesan Tong-lo rasanya aku harus memperalat nona yang disukainya itu. Ya, ya, harus demikian!"

Maka segera ia berkata pula, "Saudara cilik aku mengetahui isi hatimu seluruhnya! hehe, yang laki-laki gagah, yang perempuan cantik, memang suatu pasangan yang sangat setimpal, tapi tanpa orang perantara, rasanya cita-citamu juga sukar terkabul. Baik begini saja, segalanya serahkan saja padaku, nona ini akan kujodohkan padamu sebagai istri, sekarang juga upacara dapat dilangsungkan dan malam ini juga kalian boleh menggunakan Leng-ciu-kiong ini sebagai kamarpenganten baru. Bagaimana, mau?"

Sambil bertanya, jarinja pun menunjuk ke arah Giok-yan.

Keruan muka Hi-tiok berubah merah, cepat sahutnya, "Tidak, tidak!Siansing jangan salah paham" .

"Ah, buat apa pura-pura?" ujar Tok Put-hoan. "Manusia kalau sudah dewasa harus menikah, setiap orang suka memperistrikan nona manis, siapa di dunia ini yang tidak suka wanita cantik-cantik. Kenapa mesti malu?"

Apa yang menjadi idam-idaman hati Hi-tiok adalah "dewi impian" yang tak bisa dilupakan itu, sekarang mendadaK. rnendengar ucapan Tok Put-hoan itu, seketika ia menjadi rikuh dan berkata dengan gugup, "Aku ... aku,... . "

"Sudahlah, tidak perlu 'aku.. aku' segala, ha-ha beres, dah" demikian kata Tok Put-hoan dan pedangnya segera bergerak ke kanan dan ke kiri, dalam jurus "Thian-ju-kiong-lo" (langit seluas daun kelor) serta "Pek-lo-bonghong" (kabut kobat ke mana pergi), dua jurus ilmu pedang mengepung kanan-kiri Ong Giok yan, dengan begini ia menduga si nona pasti akan terkejut dan melangkah maju untuk menghindari dengan demikian secara mudah ia dapat menyeret Giok-yan ke depannya.

Kiranya sejak tua-muda dan laki perempuan seluruh, anggota It-ji hui-kiam-bun dibunuh bersih olehTong-lo, hanya tertinggal Tok Put hoan yang berhasil melarikan diri ke Tiang-pek-san di timur laut yang dingin itu. Dengan giat ia melatih ilmu pedangnya dan secara kebetulan, ia dapat menentukan sejilid kitab ilmu pedang tinggalan orang kosen "Bu-liang-kiam," dengan tekun ia melatih selama 30 tahun, akhirnya ilmu pedang sakti itu dapat diyakinkan dengan baik, ia percaya jarang ada tandingannya lagi didunia ini, maka ia lantas berangkat ke selatan untuk menuntut balas.

Di tengah jalan, sekaligus ia telah membunuh beberapa tokoh persilatan terkenal sehingga namanya termasyur. Karena itu ia ..menjadi tambah congkak dan. merasa "dunia ini aku punya" dan segala apa yang dia katakan cepat akan diturut arang lain. Sekarang ia bermaksud menawan Giok-yan dulu, dengan demikian ia dapat menggunakan nona itu sebagai sandera untuk rnenukar rahasia Sing-si-hu kepada Hi-tiok.

Giok-yan sendiri msski pengetahuannya sangat luas, tapi ilmu silatnya sebenarnya biasa saja. Demi melihat Tok Put-hoan menyerang, segera ia tahu jurus serangan apa itu dan bagainiara cara memunahkannya. Tapi biar pikirannya bekerja untuk mempratekkan justru tidak bisa. Dalam pada itu sinar pedang sudah mengurung tiba ia menjadi gugup dan menjerit.

Buyung Hok yarig berdiri di sebelah Giok-yan dapat melihat serangan Tok-Pu-hoan itu tidak bermaksud mencelakai Giok-yan, pikirnya, "Biarlah aku diam saja, ingin kulihat orang she Tok ini hendak main gila apaapa. Dan apakah Siauhwesio ini akan membeberkan rahasianya demi Piaumoai?"

Sebaliknya Toan Ki menjadi kuatir demi melihat Giok-yan diserang Tok Put-hoan, tanpa pikir lagi segera ia keluarkan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh" dan menerjang maju, langsung ia mengadang di depan Giok-yan. Ternyata gerakan pedang Tok Put-hoan masih kalah cepat daripada langkah Toan Ki yang hebat itu.

Namun demikian, entah sengaja atau kuatir tidak keburu menarik kembali senjatanya, "crit" di mana sinar pedang menyambar tahu-tahu dada, Toan ki tergores mulai dari leher sampai ke perut sepanjang belasan senti, seketika bajunya bedah dan kulitnya terluka. Rupanya Tok Put-hoan juga tiada maksud hendak membunuh orang, maka goresan itu, hanya satu-dua mili dalamnya, meski panjang lukanya, tapi tidak parah.

Namun Toan Ki sudah ketakutan hingga terkesima. Waktu menunduk dan rnelihat dada sendiri tetruka sedemikian panjangnya dan darah merembes keluar, la sangka perutnya sudah terbedah dan segera akan binasa, maka ia terus berteriak, "Nona Ong, le ... leskas engkau menyingkir pergi, biar aku merintangi dia lagi!"

"Huh, kau sendiri setiap saat bisa mampus, tapi justru ingin membela orang lain," jengek Tok Put-hoan. Lalu ia menoleh kepada Hi-tiok dan berkata, "Saudara cilik, rupanya banyak juga yang penujui nona ini, biarlah kulenyapkan dulu seorang saingan asmara bagimu!"

Sembari berkata ujung pedang terus menuding di depan dada Toan Ki asal dia mendorong perlahan, seketika ulu hati pangeran Tayli itu bisa tertembus.

"Karuan Hi-tiok kaget, serunya, "Jangan! Sekali-kali jangan!”

Dan karena kuatir Tok Put-hoan benar-benar membunuh Toan Ki, cepat ia gunakan jari kiri untuk menjelentik pelahan "Thai-yan-hiat" tangan Tok Put-haon.

Seketika Tok Put-hoan merasa lengannya linu tak bertenaga sehingga cekalannya menjadi kendur, kesempatan itu segera digunakan Hi-tiok untuk merampas pedangnva. Tampaknya enak saja Hi-tiok merampas pedang lawan, tapi sebenarnya dia telah menggunakan "Siau-bu-siang-kang" yang maha hebat dari Thian-san-ciatbwe-jiu ajaran Tong-lo, biarpun kepandaian Tok Put-hoan lebih tinggi tiga kali lipat juga tak mampu melawan.

Lalu Hi-tiok berkata, "Tok-siansing, Toan-kongcu ini adalah orang baik, tidak boleh kau ganggu dia."

Habis berkata, ia kembalikan pedang itu kepada Tok Put-hoan dan kemudian memeriksa luka Toan Ki.

Toan Ki sendiri berkata pula dengan putus asa, "O, nona Ong. aku .. aku akan mati, semoga engkau hidup bahagia dengan Buyung-heng sampai hari tua. O, ayah, O, ibu, aku ... aku”

Padahal ia hanya terluka-lecet saja, cuma ia sangka dada dan perutnya sendiri sudah dibedah orang dan pasti akan mati, dalam keadaan lemah segera ia roboh ke belakang.

Ong Giok-yan memburu maju untuk memayangnya, katanya dengan menangis, "O, Toan-kongcu, engkau ... engkau telah berkorban bagiku”

Kepandaian Hi-tiok dalam hal menyembuhkan luka segala adalah ajaran Liong-ah Lojin So Sing-ho, meski tidak cekatan seperti Sih-sin-ih, tapi iapun paham di mana letak tempat yang penting dari setiap luka yang bersangkutan, maka dengan cepat ia tutuk beberapa hiat-to di atas luka Toan Ki, kemudian barulah ia periksa jalur luka yang panjang itu, ia merasa lega dan berkata dengan tertawa, "Toan-kongcu, lukamu ini sangat ringan, dua tiga hari saja pasti sembuh,"

Badan Toan Ki dipegang oleh Giok-yan, gadis itu kelihatan menangis pula baginya, kerena sukma Toan Ki seakan-akan terbang ke awang-awang, girangnya seperti orang ketomplok rejeki, katanya, "No..... nona Ong, apa ... apa engkau menangis bagiku?"

Giok-yan mengangguk dam air matanya kembali bercucuran pula.

"O, aku Toan ki bisa hidup seperti sekarang ini, biarpun dia membacok seratus kali lagi padaku pun aku rela mati seratus kali bagimu," ujar Toan Ki.

Begitulah mereka bicara sendiri sehingga apa yang dikatakan Hi-tiok tadi sama sekali tidak diperhatikan. Sebabnya Giok-yan menangis adalah karena terharu dan berterima kasih. Sebaliknya, demi melihat nona yang dicintainya itu menangis baginya, dengan sendirinya Toan Ki tidak pedulikan lagi akan mati atau hidupnya sendiri.

Kejadian Hi-tiok merampas dan mengembalikan pedang hanya dilakukan dalam sekejap saja, selain Buyung Hok dapat mengikuti dengan jelas dan Tok Put-hoan sendiri pun paham, bagi orang lain tetap menyangka Tok Put-hoan yang tidak tega dan sengaja mengampuni jiwa Toan Ki,

Padahal rasa gusar Tok Put-hoan sangat sukar dilukiskan. Terpikir olehnya, "Ilmu pedangku ini adalah hasil penemuanku secara kebetulan dari kitab pusaka yang kuperoleh dan telah kulatih selama 30 tahun, mengapa di dunia ini masih ada yang mampu menandingiku? Ah, bisa jadi secara kebetulan saja Thian-yaa-hiat di tanganku terbentur olehnya, ya, segala sesuatu di dunia isi memang sering terjadi secara kebetulan. Jika ia betul-betul mempunyai kepandaian, mengapa sesudah merampas pegangku lantas dikembalikan lagi padaku? Apalagi usia bocah ini masih muda belia, betapa kekuatannya sehingga dia mampu merampaa pedang dari tanganku”

Berpikir demikian, segera timbul lagi semangatnya, segera bentaknya, "Bocah keparat, berani kau ikut banyak cingcong!'”

Sekali bergerak, ujung pedangnya lantas menempel di punggung Hi-tiok. Sedikit ia dorong pedangnya ke depan dengan maksud melukai Hi-tiok sebagaimana dia melukai Toan Ki dengan demikian ia menduga pemuda itu pasti juga akan ketakutan.

Siapa tahu sekarang dalam badan Hi-tiok sudah penuh Pak-beng-cin-gi, sekali ujung pedang Put-hoan membangkitkan reaksi Cin-gi atau hawa murni, mendadak ujung pedang itu meleset kesamping tubuh Hi-tiok.

Karuan Tok Put-hoan terkejut, tapi perubahan-nyaa juga, sangat cepat, segera ia ganti serangan menabas dari samping ke iga Hi-tiok dalam jurus "Giok-tai-wi-yau" (ikat pinggang, kemala melilit pinggang), sekali ini serangannya cukup ganas dan tidak kenal ampun lagi. Kini ia tahu ilmu silat Hi-tiok sebenarnya sangat tinggi, maka tidak berani semberono lagi.

Sebaliknya Hi-tiok bersuara heran, sambil sedikit mengegos ia tidak paham mengapa mendadak Tok Put-hoan menyerangnya lagi, padahal barusan masih membujuknya dengan ramah tamah. Maka terdengar "bret" sekali ujung pedang menyambit lewat di bawah ketiaknya sehingga jubahnya yang baru itu terobek.

Karena serangan kedua luput lagi, dalam kagetnya timbul juga rasa takut Tok Put-boan. Tapi ia masih belum kapok, sedikit tubuhnya berputar, secepat kilat pedangnya menusuk pula, sekali ini mendadak ujung pedang memancarkan cahaya hijau dan yang di arah adalah dada Hi-tiok.

Serentak terdengar para petualang menjerit kaget dan kagum, terhadap cahaya pedang yang tajam itu. Begitu pula Hi-tiok terkesiap demi nampak cahaya pedang yang aneh itu, dilihatnya pula wajah Tok Put-hoan menyeringai bengis, ia kuatir dirinya tidak mampu menangkis, maka cepat kakinya menggeser pergi dengan langkah "Leng-po-Wi-poh".

Sekarang Tok Put-hoan ini dilancarkan dengan sepenuh tenaga dan sukar dihentikan, maka terdengar "craak" sekali ujung pedang menancap dipilar batu di belakang Hi-tiok tadi sedalam bebeberapa senti.

Pilar batu itu adalah batu pualam yang keras, tapi toh dapat ditembus oleh ujung pedang yang lemas, maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga dalam yang dikerahkan oleh Put-hoan itu. Tanpa terasa para petualang sama bersorak memuji.

Dua kali menyerang tidak kena, segera Tok Put-hoan mencabut kembali pedangnya dan memburu ke arah Hitiok sambil membentak, "Saudara cilik, kamu akan lari ke mana?"

Hi-tiok menjadi takut, cepat kakinya menggelar lagi dalam langkah ajaib itu.

Pada saat itulah mendadak di sebelah kiri ada orangg menyindir, "Hwesio cilik, lebih baik rebahan!"

Pembicara itu adalah seorang wanita, di mana sinar berkelebat, dua batang pisau terbang menyambar lewat di depan Hi-tiok.

Biar Leng-po wi-poh yang dilatih Hi-tiok itu tidak semahir Toan Ki, tapi langkah ajaib itu benar-benar sangat hebat, dimana tubuhnya berputar; betapapun cepat menyambar pisau terbang musuh juga dapat dihindarkan Hitiok dengan gampang.

Maka tertampaklah seorang wanita cantik setengah umur berbaju jambon sedang angkat kedua tangannya dan tahu-tahu kedua batang pisau terbang tadi kembali terpegang olehnya, kedua tangannya seperti mempunyai daya sedot yang sangat sehingga sehingga kedua pisau itu dapat ditarik kembali.

Seketika Tok Put-hoan memuji, "Kepandaian menimpuk hui-to (pisau terbang) Hu-yong Siancu memang maha sakti, sungguh telah menambah pengalaman kita!"

Hi-tiok jadi ingat bahwa Kiam-sin Tok Put-hoan dan Hu-yong Siancu ini adalah sekomplotan dengan Put-peng Tojin. Sekarang Tojin itu telah binasa tertimpuk biji cemara di puncak salju maka tidak heran bila kedua orang ini hendak membalas dendam bagi kawannya itu.

Karena merasa menyesal, segera Hi-tiok berhenti di tempatnya dan memberi hormat kepada Kiarn-sin serta Hu-yong Siancu, katanya dengan merendah, "Caihe memang telah berbuat salah, sungguh aku sangat menyesal Jika kalian hendak memukul atau memaki diriku, biar bagaimanapun akan kuterima dengan baik."

Nama asli Hu-yong Siancu adalah Cui Lik-hoa, la saling pandang sekejap dengan Tok Put-hoan dan samasamaa menganggap Hi-tiok merasa takut kepada mereka. Taapa ayal lagi mereka terus melompat maju dan masing-masing memegang sebelah tangan Hi-tiok.

Hi-tiok benar-benar sangat menyesal bila teringat pada kematian Put-peng Tojin yang mengerikan itu, maka tiada hentinya mulutnya meminta ampun, "Ya, ya, Caihe memang salah, silakan kalian memberi hukuman setimpal, dengan rela akan kuterima, biarpun, aku harus mengganti juwa juga tidak berani melawan."

"Jika kamu ingin diampuni juga tidak sukar asal kamu mengaku terus terang apa pesan tinggalan Tong-lo waktu akan mati," kata Put-hoan "Nah, lekas katakan padaku dan segera kuampuni jiwamu."

"Siaumoai boleh ikut mendengarkan tidak, Tok-siansing?" dengan tersenyum Hu-yong Siancu bertanya.

"AsaI kita dapat, menemukan cara memunahkan Sing-si-hu, maka para kawan yang hadir di sini akan mendapatkan berkahnya semua, bukan aku sendiri saja yang akan mendapat kebaikannya?" ujar Put-hoan. Ia tidak menjawab boleh atau tidak Cui Lik-hoa ikut rnendengarkan, tapi di balik arti kata-katanya itu terang ia sendiri ingin mengangkangi hasilnya.

Maka dengan tersenyum Cui Lik-hoa alias Hu-yong Siancu berkata, "Namun aku tidak sebajik dirimu, aku justru tidak suka kepada bocah macam begini."

Habis berkata, sekaki tangan Hi-tiok yang di pegangnya itu diangkat, berbareng tangan lain yang memegang kedua bilah hui-to tadi terus menikam dada Hi-tiok.

Kiranya tujuan Tok Put-hoan adalah ingin mendapatkan rahasia pemunah Sing-si-hu, dengan ini ia dapat mempengaruhi para petualang di bawah perintahnya.

Sebaliknya Cui Lik-hoa mempunyai tujuan berbeda. Soalnya dia mempunyai saudara yang bernama Cui Serig telah dibunuh oleh tiga orang Tongcu dari ke 36 gua itu, maka ia bertekad hendak menuntut balas, ia inginkan rahasia Sing si-hu itu akan hilang untuk selamanya sehingga tiada seorang pun yang dapat memunahkan racun dalam tubuh para Tongcu itu, dengan demikian ketiga Tongcu musuhnya itu tentu akan mati konyol. Sebab itulah mendadak ia menyerang Hi-tiok, orang satu-satunya yang mungkin mengetahui rahasia Sing-si-hu tinggalan Thian-san Tong-lo.

Saat itu pedang Tok Put-hoan sudah dikembalikan ke dalam sarungnya, untuk menangkis terang tidak keburu lagi. Dalam kagetnya dengan Sendirinya dan tanpa pikir Hi-tiok terus mengadakan perlawanan. Sekali kedua tangannya diangkat dan dikipaskan, kontan Tok Put-hoan dan Cui Lik-hoa tergetar mundur beberapa tindak sehingga tikamannya meleset.

Cui Lik-hoa lantas membentak dan kedua pisau terbang ditimpukkan ke arah Hi-tiok. Sekali ini Tok Put-hoan sudah sempat melolos pedang dan menangkis ke atas. Namun Cui Lik-hoa sudah menduga akan kemungkinan itu, maka menyusul belasan pisau terbang lain menyambar pula secara berantai. Bahkan tiga batang di antaranya, sengaja ditujukan ke arah Toh Put-hoan agar dia terhambat, dengan demikian pisau lain dapat menghambur ke muka, leher, dada, perut dan bagian mematikan di tubuh Hi-tiok.

Di sinilah Hi-tioK memperlihatkan ketangkasannya, ia menancap ke sana dan menyambar ke sini, ia keluarkan 'Thian-san-ciat-kwe-jiu' yang sakti, sambil menangkap seraya membuang sehingga terdengar suara gemerincing nyaring, dalam sekejap saja tiga belas batang senjata telah terlempar di samping kakinya, 12 batang adalah pisau terbang Hu-yoig Siancu dan sebatang lagi adalah pedang Tok Put-hoan.

Rupanya sekali Hi-tiok sudah "main", ia tidak perhatikan lagi siapa lawannya, sehingga pedang Tok Put-hoan

juga turut dirampas.

Sesudah merampas. 13 batang senjata, ketika melihat wajah Tok Put-hoan pucat pasi, begitu pula Cui Lik-hoa tampak sangat jeri, diam-diam Hi-tiok mengeluh, "Wah, celaka, kembali aku membuat orang marah lagi."

Maka cepat ia berkata, "Harap kalian jangan marah atas perbuatanku barusan inil"

Kemudian ia cakup ke13 batang senjata itu dan dihaturkan ke depan Tok Put-hoan dan Cui Lik-hoa.

Dasar jiwa Cui Lik-hoa memang sempit, ia sangka Hi-tiok sengaja hendak mengejeknya, tanpa bicara lagi kedua telapak tangannya terus memukulke dada Hi-tok, "Plak', dengan tepat sasarannya kena dihantam, tapi mendadak suatu kekuatan maha dahsyat menyeang balik, Cui Lik-hoa berteriak kaget, kontan tubuhnya mencelat ke belakang, "Bang" dengan tepat menumbuk dinding batu dan menyemburkan darah,

Nyata ia terpental sendiri oleh karena tenaga tolakan Pak-beng-cin-gi dalam tubuh Hi-tiok yang hebat itu.

Tok Put-hoan tidak banyak lebih lihai daripada Cui Lik-hoa, sekarang melihat Cui Lik-hoa menghantam dan terpental sendiri serta terluka parah, ia sadar sama sekali bukan tandingan Hi-tiok. Tapi ia cukup pintar melihat gelagat, segera ia memberi hitrmat kepada Hi-tiok dan berkata, 'Kagum, sungguh kagum. Selamat tinggal, sampai bertemu pula!"

"Nanti dulu, harap Cianpwe ambil kembali pedangmu ini," seru Hi-tiok. "Tanpa sengaja Caihe membikin marah Cianpwe, harap dimaafkan. Bila Cianpwe hendak mengejar atau mendamprat diriku sekali-kali aku ... aku tidak berani melawan,”

Kata-kata Hi-tiok itu sebenarnya diucapkan dengan tulus, tapi bagi pendengaran Tok Put-hoan menjadi sindiran tajam. Dengan pucat pasi ia terus melangkah keluar pendopo dengan langkah lebar.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan orang perempuan, "Jangan bergerak Tempat apakah Lengciu-kiong ini sehingga kalian boleh pergi-datang seenaknya?"

Tok Put-hoan terkejut dan serentak meraba pedangnya, tapi sekali meraba tempat kosong, baru ia ingat pedangnya telah dirampas Hi-tiok waktu mendongak, ia tidak melihat pembicara tadi, hanya terlihat di depan pintu telah ditutup oleh sebuah batu raksasa sehingga rapat sekali. Batu raksasa itu entah sejak kapan diangkut ke situ, ternyata tiada seorang pun yang tahu.

Melihat itu, segera para petualang sadar telah masuk perangkap dalam Leng-ciu-kiong itu. Ketika mereka menyerbu ke atas gunung sepanjang jalan mereka telah membunuh para wanita baju kuning banyak pula yang di tawan, ketika masuk ke dalam ruang pendopo itu pun mereka mengadakan pembersihan lebih dulu. Tapi habis itu mereka lantas terpengaruh deh urusan Sing-si-hu sehingga lupa bahwa di sekitar situ masih sangat berbahaya bagi mereka

Sekarang dengan nampak pintu gerbang telah disumbat rapat oleh sepotong batu raksasa, baru sadarlah mereka bahwa sekali ini mereka pasti akan celaka.

Tiba-tiba di bagian atas terdengar suara wanita tadi berkata pula, "Empat dayang pribadi Tong-lo menyampaikain sembah bakti kepada Hi-tiok Siansing!"

Waktu Hi-tiok menengadah, dilihatnya dekat dengan atas ruang pendopo yang dibangun dengan balok batu itu menonjol empat batu karang sehingga mirip sembilan buah balkon, empat balkon di antaranya masing-masing terdapat seorang nona cilik berusia antara 18 tahun dan sedang memberi hormat padanya.

Balkon itu kira-kira 6-7 meter tingginya, tapi sesudah memberi hormat, serentak keempat dara cilik itu melompat ke bawah, ketika tubuh masih terapung di udara, tahu-tahu tangan masing-masing sudah menghunus pedang, lalu melayang turun dengan gaya seindah bidadari turun dari kahyangan.

Melihat gaya lompatan keempat nona itu segera semua orang tahu ginknng mereka sangat tinggi, keruan semua orang sangat kagum dan jeri pula.

Warna pakaian keempat nona itu tidak sama, yang satu berwarna merah jambun, yang kedua berwarna putih, yang ketiga berwarna hijau pupus dan keempat berwarna kuning muda.

Sesudah berdiri di tanah, kembali mereka menyembah lagi kepada Hi-tiok dan berkata, "Hamba sekalian telah terlambat menyambut kedatangan Cujin, harap Cujin memberi ampun!"

Cepat Hi-tiok membalas hormat dan berkata, "Keempat saudari jangan banyak adat, lekas bangun!"

Sesudah keempat nona itu berdiri, kembali semua orang terkesiap. Ternyata tinggi pendek mereka serupa, bahkan muka mereka pun tiada ubahnya seperti 'pinang dibelah empat'. Sama-sama beraut muka bulat telur, bermata hitam jeli, semuanya cantik cantik.

"Siapakah nama kalian?" tanya Hi-tiok. Segera nona si baju jambon menjawab, "Hamba berempat adalah saudara kembar empat,Tong-lo memberi nama kepada hamba sebagaiBwe-kiam, dan ketiga adikku ini masingmasing bernama Lam-kiam, dan Kiok-kiam, tadi kami bertemu dengan saudari-saudari dari An-thian-poh dan lain-lain serta mengetahui semua perbuatan para budak keparat yang kurangajar ini. Sekarang tindakan apa yang harus kami lakukan, silakan Cujin memberi, keputusan”

Mendengar nona itu mengaku saudara kembar empat, baru sekarang semua orang paham duduknya perkara, pantas muka dan badan mereka serupa. Mestinya semua orang sangat suka karena melihat muka mereka cantik-cantik dan suara mereka enak. didengar. Tapi demi mendengar kata-kata terakhir tentang "budak keparat yang kurangajar" itu, para petualang menjadi gusar karena merasa telah dimaki.

Segera ada dua orang memburu maju, seorang bersenjata golok dan yang lain memakai sepasang Boan-koanpit (potlot) berbareng mereka membentak, "Dara cilik, rnulai kalian berani sembarangan . … "

Sampai disini, sekonyong-konycmg sinar tajam berkelebat, Lang-kiam dan Tiok-kiam berbareng melancarkan serangan, menyusul terdengar suara "trang-tring" dua kali, tahu-tahu tangan kedua lelaki tadi terkutung sebatas pergelangan tangan, kutungan tangan itu jatuh ke lantai dengan masih memegang senjata masing-masing.

Saking cepatnya serangan itu sehingga mesti tangan mereka sudah putus, tapi mereka masih terus bicara," .... mengoceh seperti kentut! .... Aduh!" dan sesudah menjerit, cepat mereka melompat mundur sehingga darahpun berceceran.

Hi-tiok kenal jurus serangan Lara-kiam berdua itu adalah sejurus ilmu pedang ciptaan Tong-lo yang pernah dipakai menguji Li Jiu-sui, sudah tentu kedua lelaki itu tidak dapat menghindarkan serangan maha lihai itu.'

Hanya sekali serang kedua nona cilik sudah menabas kutung tangan dua orang, keruan yang lain-lain menjadi jeri. Apalagi mereka terkurung dalam ruang yang dibangun dengan balok-balok batu, disekitarnya entah terdapat perangkap apa pula, seketika para petualang hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun berani bersuara.

Di tengah kesunyian itu, tiba tiba di antara orang banyak ada lagi seorang mulai kumat racun Sing-si-hu nya sehingga mengeluarkan suara yang menyeramkan.

Selagi semua orang saling pandang dengan takut tiba-tiba seorang lelaki tinggi besar berlari maju, kedua matanya tampak merah beringas, kedua

tangannya juga mencakar-cakar dada dan muka sendiri sehingga baju robek dan badan hancur.

"Wah, Ha Tai-pa, Tocu dari Thi-go-to!" demikian ada orang berseru

Lelaki yang bernama Ha Tai-pa itu masih terus menggerang-gerang dan mengamuk seperti harimau terluka. "Blang", sebuah meja dihantam remuk oleh kepalanya yang sebesar mangkuk. Habis itu ia terus menerjang ke arah Kiok-kiam.

Melihat muka yang beringas dan potongan tubuh yang menakutkan itu, Kiok-kiam menjadi lupa kepada ilmu pedangnya sendiri yang lihai, saking takutnya ia terus menubruk ke dalam pelukan Hi-tiok. Segera Ha Tai-pa berganti sasaran dengan pentang tangan yang lebar ia hendak rnencakar Bwe-kiam.

Saudara kembar empat itu mempunyai satuperasaan, karena Kiok-kiam ketakutan, muka Bwe kiam ikut ketularan, melihat Ha Tai-pa, menubruk ke arahnya, sambil menjerit takut ia pun lari dan sembunyi di belakaog Hi-tiok.

Karena tubruk sini-sana tidak kena sasarannya, segara Ha Tai-pa membalik kedua tangannya dan mencakar matanya sendiri. Para petualang ikut kuatir dan takut, mereka tahu pikiran Ha Tai-pa sudah gelap saking tak tahan siksaan racun Sing-si-hu yang bekerja dalam tubuh.

Syukur Hi-tiok lantas berseru, "Hei, jangan begitu!"

Berbareng lengan bajunya terus mengibas sehingga, kena siku kedua tangan. Ha Tai-pa, kedua tangan itu lantas terjulur lemas ke bawah.

"Rupanya Sing-si-hu yang tertanam di tubuh saudara ini sedang kumat, biarlah kupunahkan bagimu," kata Hitiok. Segera ia keluarkan satu jurus Liok-yang-ciang dan menepuk sekali punggung Ha Tai-pa.

Seketika Ha Tai-pa tergetar, seluruh tubuhnya serasa kehilangan tenaga dan duduk terkulai ke lantai.

Pada saat itulah secepat kilat dua batang pedang menusuk juga ke hulu hati Ha Tai-pa, rupanya kesempatan itu telah digunakan oleh Lam--kiam dan Tiok-kiam untuk menyerang.

"Ha, jangan!"cepat Hi-tiok berseru dan sekali tangannya menjulur, dengan mudah kedua pedang dirampasnya.

Lalu terdengar ia bergumam sendiri, "Wah, gawat! Entah Sing-si-hunya terletak di bagian mana?"

Kiranya meski Hi-tiok sudah mahir caranya memunahkan Sing-si hu, tapi karena pengalamannya masih cetek sehingga dia tidak tahu bahwa Ha Tai-pa jatuh karena tidak tahan oleh tenaga dalamnya yang dahsyat.

Tak terduga Ha Tai-pa lantas berkata, 'Terletak di ... di Koan ... Koan-ki-hiat.”

Segera Hi-tiok menggunakan tenaga Liok-yang-jiu untuk memunahkan pula racun dingin Sing-si-hu yang bekerja di bagian hiat-to yang disebut itu.

Seketika Ha Tai-pa terbangkit ia berjingkrak keigirangan seperti orang gila, mendadak ia berlutut dan menyembah sehingga kepalanya membentur lantai dan berkata, "Inkong (tuan penolong) yang mulia, jiwa Ha Tai-pa telah ditolongmu, untuk selanjutnya segala perintah Inkong, baik masuk lautan api maupun terjun ke air mendidih, tidak nanti berani kutolak"

Biasanya Hi-tiok sangat sopan terhadap siapapun juga, demi melihat Ha Tai-pa menjalankan penghormatan setinggi itu padanya, cepat ia pun berlutut dan Balas menjura sambil berkata, "Caihe tidak berani terima penghormatan setinggi ini terimalah kembali hormatku ini.”

"Harap Inkong lekas bangun, engkau telah menolong jiwaku, mana kuberani terima penghormatan ini!" teriak Ha Tai-pa. Dan sebagai tanda terima kasihnya, kembali ia menyembah pula.

Melihat orang menjura segera Hi-tiok balas menjura juga.

Selagi kedua orang itu saling menjura tidak habis-habisnya. Mendadak terdengar teriakan orang banyak, "Punahkan juga Sing-si-hu dalam badanku. Tolong punahkan juga Sing-si-hu dalam badanku”

Serentak orang-orang yang merasa terkena Sing si-hu lantas merubung maju sehingga Hi-tiok dan Ha Tai-pà terkurung di tengah.

Seorang tua lantas menarik bangun Ha Tài pa, katanya, "Sudahlah, jangan menjura lagi kita beramaì-ramaì juga ingin minta tolong pada Inkong."

Melihat Ha Tai-pa sudah bangkit, baruilah Hi-tiok ikùt berdiri kembali, katanya, "Harap kalian Jangan ribut dulu, dengarkan ucapanku!"

Mendengar-bakal tuan penolong mereka hendak "pidato”, seketika suasana menjadi sunyi senyap.

Dan sesudah semua orang tidak bersuara lagi itu Hi-tiok angkat bicara, "untuk memunahkan sing-si-hu boleh dikatakan tidak sulit bagiku. Tapi harus kuketahui dulu dengan tepat tempat mana yang terkena penyakit ítü, apakáh kalian masing-masing mengetahui sendiri?"

Maka semua orang menjadi ribut lagí, ada yang menyatakan tahu. ada yang bilang tempat hiat-to yang terkena 'Sing-si-hu, dan ada yang mencaci maki karena tidak tahu letak tempat yang keracunan.

Mendadak seorang di antaranya membentak, "Diam! Diam semua! Cara ribut seperti kalian ini, tentu Hi-tiokcu Siansing tidak dapat mendengarkan dengan baik."

Ternyata yang bersuara itu adalah, kepala para petualang itu, yaitu Oh-loloa. Maka keadaan menjadi tenang seketika.

Lalu Hi-tiok berkata, "Meski Caihe mendapatkan ajaran Tong-Io tentang cara memunahkan Sing-si-hu .... "

Belum habis ia bicara, serentak beberapa orang lantas berteriak. "Bagus, bagus sekali!"

"Hahahahaaaaha Jiwa kita bakal selamat semua!"

Maka Hi-tiok melanjutkan, "Tapi dalam hal memeriksa dan menentukan tempat penyakit mungkin sungguh harus kukatakan kepandaianku terlalu dangkal. Tapi kalian juga tidak perlu kuatir asal tahu betul letak tempat yang terkena Sing-si-hu, tentu akan kutolong untuk memunahkannya. Andaikan tidak tahu tempatnya, kita juga bisa tukar pikiran dan dapat memecahkannya, pendek kata akhirnya pasti akan kusémbuhkan kalian."

Seketika para petualang itu bersorak gembira sehingga seluruh ruang terguncang seakan-akan runtuh.

Dan sesudah sùara sorak-sorai itu mereda, tiba-tiba Bwe-kiam berkata dengan dingin "Hm, jika Cujin hendak memunahkan Sing-si-hu kalian hal ini adalah berkat belas kasihan beliau. Akan tetapi kalian telah berani mati membikin Tong-lo menghilang dari istana dan àkhirnya beliau wafat di rantau, kalian berani menyerbu pula ke sini sehingga mengakibatkan tidak sedikit korban di antara kawan Kia-thian-poh. Coba katakan yang kalian ini cara bagaimana harus diperhitungkan?”

Para petualang saling pandang dengan kebat-kebit mereka tahu apa yang dikatakan Bwe-kiam itu memang betul. Jika Hi-tiok adalah ahli waris Thian-san Tòng-lo, maka terhadap dosa méreka tentu takkan dibiarkan begitu saja. Mereka menjadi takut dan bingung.

Untunglah Oh-lotoa segera berkata pula, "Tentang ucapan nona ini memang benar. Dosa kami memang terlalu besar, maka kami rela menerima hukuman dari Hi-tiok Cu Siansing."

Mendengar ucapan Oh-lotoa itu, para petualang yang lain paham juga maksudnya, segera mereka ikut berseru. "Benar, dosa kami terlalu banyak, hukuman apa yang hendak dijatuhkan Hi-tiok cu Siansing kepada kami, dengan rela kami siap menerimanya."

Ada di antaranya yang kapok benar-benar oleh siksaan Sing-si-hu, terus saja mereka menyembah berulangulang sambil minta ampun.

Hi-tiok sendiri menjadi bingung malah katanya kepada Bwe-kiam, "Enci Bwe-kiam, bagaimana menurut pendapatmu?”

"Mereka ini bukan manusia baik, mereka telah membunuh kawan kita sebanyak ini, harus suruh mereka mengganti nyawa," sahut bwe-kiam.

Tongcu dari Giok-sian-tong adalah seorang kakek berumur 70-an tahun, ia memberi hormat kepada bwe-kiam dan berkata,' "Nona, karena kami terlalu tak tahan oleh siksaan Sing-si-hu, dalam keadaan, kalap sehingga

tanpa pikir berani main gila ke Biau-biàu-hong sini, untuk, ini mohon nona sudi memberi ampun."

Tapi Bwe-kiam lantas mênarik muka dan berkata, "Tidak, mereka yang pernah membunuh orang harus segera menahan lengan kanan sendiri ini adalah hukuman yang paling ringan."

Sampai di sini ia merasa telah mendahului perintah sang majikan, maka cepat ia berpaling kepada Hi-tiok dan berkata, "Betul tidak, Cujin?"

Hi-tiok merasa hukuman demikian terlalu kejam, tapi ia pun tidak ingin membikin menyesal Bwe-kiam maka sahutnya, ' "Ini….ini....kukira......”

Sekonyong-konyong di antara orang banyak itu tampil ke muka seorang pemuda yang ganteng dan tampan, itulah dia Toan Ki, pangeran dari Tayli.

Dasar Toan Ki memang suka usilan, suka ikut campur urusan orang lain yang dianggapnya tidak adil. Maka ia memberi salam kepada Hi-tiok, dan berkata dengan tertawa,. "Saudara Hi-tiok, ketika orang-orang ini hendak menyerbu Biau-biau-hong, seják mula juga aku tidak setuju biarpun aku telah memberi nasihat, tetapi mereka tidak msu gubris, dan hari ini mereka telah berdosa, untuk ini adalah pantas jika saudara Hi-tiok memberi hukuman yáng setimpal. Maka sekarang ingin kuminta suatu tugas dari saudara apa boleh serahkan kepadaku untuk memberikan hukuman kepada kawan-kawan ini?"

Tempo hari Hi-tiok juga dengar sendiri ketika Toan Ki mencegah para petualang itu menyerang biau-biauhong. Maka ia cukup kenal watak pangeran Tayli yang berbudi ini, diam-diam ia pun sangat menghormat padanya. Memangnya sekarang ia sedang b¡ngung mengambil keputusan maka ia menjadi girang atas ucapan Toan Ki itu sahutnya, "Bagus,. bagus! Jika Toan-kongcu sudi membantu memecahkan soal ini, sungguh aku merasa sangat berterima kasih.”

Semula para petualang itu sangat mendongkol karena Toan Ki berani ikut campur urusan dan bahkan mendamprat mereka, segera banyak di antaranya hendak mencaci-maki, Di luar dugaan Hi-tiok lantas menerima saran Toan Ki tanpa pikir, karuan méreka mengkeret dan menekan kembali caci-maki yang hamper dílontarkan itu.

Toan Ki berdehem dulu sekali üntuk melicinkan tenggokkannya, lalu ia menarik suara, "Terima kasih atas kepercayaan saudara Hi-tiok kepádaku tentang dosa para hadirin ini memang térlalu besar, tapi hukuman yang kujatuhkan juga tidak ringan. SekárangHí-tiok cu Siansing sudah menyerahkán tugas penyelesaian ini padaku, bila di antara kalian ada yang membangkang tentu Hi tiok-cu Siansing tak mau memunahkan lagi Sing-si-hu kalian. Sekarang hukuman pertama adalah…… adalah kalian harus menyembah delapan kali dengan penuh khitmad di hadapan layon tong-lolo, kalian harus berdoa dan menyatakan kalian telah insaf atas segala dosa yang pernah diperbuat kalian, jika kalian tidak berdoa dengan bersungguh-sungguh, maka dosa kalian akan

tambah satu kali lipat.”

"Bagus, bagus! Hukumán pertama ini sangat tepat!" kata Hi-tiok dengan senang.

Semulá para petualang itu tidak tahu Kongcu yang ketolol-tololan ini entah dengan cara bagaimaná akan menghukum mereka, maka hati mereka sebenarnya sedang kebat kebit sekarang demi mendengar bahwa merekà hanya dihukum menyembáh di depan layoñ Tong-lolo, keruan mereka girang setengah mati dan serentak menyatákan tùnduk kepada hukuman itu, andaikan nanti sambil menyembah dan diam-diam mereka mengutuk Tòng lolo kan juga tiada orang tahu.

Sebaliknya Toan Ki tambah bersemangat karena syarat pertama yang dikemukakan itu serentak diteríma semua orang, segera ia berkata pula, "Dan syarat kedua, kalian juga diharuskan menjura di depan layon para saudari Kin-thian-poh yang telah gugur. Barang siapa di antara kalian yang telah membunuh diharuskan juga menyembah dan berdoa, disamping itu harus berkabung pula sebagai tanda berduka cita. Dan bagi yang tidak membunuh dengan segera saudara Hi tiok-cu akan menyembuhkan penyakitnya sebagai tanda restu."

Memangnya sebágian besar dí antará para petualang tidakmembunuh orang diatas Biau-biau-hong, dengan sendirinya mereka lantas berseru menyatakan tunduk. Sedangkan sebagian lain yang merasa telah membunuh anggota Kin-thian-poh tadinya mereka hendak dihukum oleb Bwe-kiam dengan menyuruh mereka menebas lengan kanan sendiri, tapi sekarang mereka cuma di hukum menyembah, dan berkabung saja, hukuman ringan yang berbeda seperti langit dan bumi itu tentu saja cepat-cepat diterima mereka dengan baik.

Akhirnya Toan Ki berkata pula, "Dan syarat yang ketiga, kalian diharuskah tunduk kepada perintah Leng-ciukiong untuk selama-selamanya, dilarang mempunyai maksud jahat apa yang dikatakan Hi-tiok-cu Siansing kalian harus tunduk padanya. Bukan saja harus menghormati Hi-tiok cu Siansing, bahkan terhadap saudari Bwe-kiam berempat juga kalian mesti menghormat padanya, tidak boleh bersikap kasar dan kurang ajar pada mereka. Nah, sekian saja. Jika diantara kalian ada yang merasa tidak setuju, bolehlah lekas maju untuk cobacoba ukur tenaga dengan Hi tiok-cu Siansing, bukan mustahil kalian akan diberi hajaran yang setimpal olehnya."

Sudah tentu para-petualang itu tidak berani banyak cingcong, serentak mereka menyatakan taat dan tunduk bahkan ada yang menyatakan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka itu terlalu ringan dan minta ditinjau kembali.

Namun Toan Ki tetap menyatakan Cuma sekian saja pidatonya, lalu katanya kepada Hi-tiok, "Saudara Hi tiok bagaimana pendapatmu atas ketiga syarat hukuman yang kusebut inl?"

"Tepat sekali, banyak terima kasih,"' sahut Hi-tiok. Lalu ia pun berpaling kepada Bwe-kiam berempat dan berkata, "Kalian tentu setuju pula atas syarat-syarat hukuman itu, bukan?"

Sahut Bwe-kiam, "Cujin, engkau adalah penguasa tertinggi di Leng cu-kiong ini, apa yang Cujin rasakan baik, sudah tentu hamba sekalian menurut saja."

Hi-tiok tersenyum dan berkata pula, "Akhirnya aku ... aku ingin bicara lagi sedikit, entah ... entah pantas tidak kalau kukatakan terus terang?"

"Hamba dari ke-36 gua dan ke-72 pulau selamanya berada di bawah perintah-Biau-biau-hong, jika Kaucu ada perintah. Apa-apa, tiada satu pun di antara hamba sekalian berani membangkang." seru Oh-lotoa selaku kepala para petualang itu,

"Tantang ketiga syarat hukuman yang diputuskan Toan kongcu barusan itu sesungguhnya terlalu longgar dan sangat menguntungkan kami yang berdósa ini. Andaikan Kaucu sendiri akan menjatuhkan hukuman lain pula, hamba sekalian tetap akan taat dan rela menerimanya."

Maka berkatalah Hi-tiok, "Usiaku masih terlalu mudà dan pengalamanku sangat cetek, hanya berkat mendapat ajaran beberapa jurus ilmu silat dari Tong-lolo saja, sebenarnya aku malu untuk dipanggil sebagai "Kaucu” segala. Aku hanya mempunyai dua titik pikiran, entah ... entah benar tidak, biarlah kukatakan terus terang dan harap para hadirin mempertimbangkannya."

Sejak kecil Hi-tiok selalu menduduki tempat yang rendah, kerjanya cuma dibentak dan diperintah orang, selamanya dia tidak pernah punya hak untuk mengemukakan pendapat segala, sekarang dia mesti bicara di hadapan orang banyak, dengan sendirlnya ia tambah kikuk dan tergegap suaranya.

Diam-diam Bwe-kiam berempat sama berpikir "Mengapa Cujìn.bersikap demikian masakah terhàdap kaum hamba yang pantas dihukum mati juga mesti sungkan-sungkan?"

Maka terdengar Oh lotoa berkata, "Sedemikian baik dan ramah Kaucu terhadap kami sungguh biarpun hancurlebur juga hamba sekalian merasa tidak cukup untuk membalas budi kebaikan Kaucu Ini. Maka bila Kaucu ada perintah apa-apa, silakan bicara saja!”

"Ya, ya, aku tidak pandai bicarä, hendaklah kalian jangün ... jangan mentertawai aku," ujar Hi-tiok. "Adapun dua Soal yang hendak kukatakan adalah. pertama, ini rasanya terlalu bersifat pribadi, sebab aku berasal ... berasal dari Siau-lim-si, maka dari itu ingin kuminta bantuan kalian agar selajutnya di kalangan kongouw janganlah membikin susah anak murid Siau-lim-pai. Ini adalah permintaanku dengan tulus hati dan berani kukatakansebagai perintah."

Segera Oh-lötoa berteriak kepada orang banyak. "Nah, menurut perintah Kaucu, untuk selanjutnya bila para saudara bertemu dengan para taisu dari Siau-lim-pai, kalian harus menaruh hormat pada mereka, sekali-kali tidak boleh berbuat kurangajar!"

Serentak para petualang berseru menyatakan taat.

Mendengar permintaan pertama telah disanggupi semua orang dengan bulat maka Hi-tiok menjadi tambah besar, segera ia berkata pula, "Terima kasih atas kesediaan kalian. Tentang hal Kedua tak lain ialah kuharap kalian suka mengingat sesamanya dan jangan sembarangan membunuh orang. Paling baik kalau segala mahluk berjiwa jangan kalian bunuh, kalau semut sajasayang pada jiwa mereka, apalagi makhluk hidup lainya. Bahkan kalau bisa hendaknya pantang makan barang berjiwa pula. Cuma pantangan ini memang tidak mudah untuk dilakoni sebab aku sendiri akhirnya juga melanggar larangan demikian ini. Pendek ....pendek kata membunuh orang adalah perbuatan yang tidak baik maka hendaknya jangan membunuh!"

"Nah, dengarkan para kerabat bawahan Leng ciu-kiong, Kaucu memberi perintah agar selanjutnya jangan sembarangan membunuh orang tak berdosa dan makhluk berjiwa, kalau melanggar tentu akan mendapat hukuman yang setimpal." demikian seru Oh-Lotoa.

Dan kembali para petualang itu berseru menyatakan tunduk.

"Oh-siansing engkau memang lebih pandai bicara dengan singkat saja mereka telah menerima kata-katamu," ujar Hi-tiok dengan tertawa. "Eh, di manakah letak bagian badanmu yang terkena Sing-si-hu. Coba katakan, biar segera kupunahkan bagimu.”

Sebabnya Oh lotoa berani menyérempet bahaya memimpin pemberontakan ini tiadà lain ialah ingin memunahkan penyakit Sing-si-hu yang menyiksa jiwa raganya itu, sekarang mendengar Hi Tiok siap untuk menyembuhkan dia keruan girangnya tak terkatakan saking terima kasihnya ia terus berlutut dan menyembah pada Hi-tiòk."

Lekas Hi-tiok juga berlutut untuk membalas hormat dan bertanya pula, "Oh-siànsing luka perutmu yang tertimpuk biji cemara tempo hari apakah sekarang sudah sembuh?"

Sementara itu Bwe-kiam berempat sudah menggerakan pesawat rahasia sehingga batu raksasa yang menyumbat pintu gerbang pendopo itu terbuka dan serentak para anggota Cù-thian-poh, Hian-Thian-poh dan lain-lain,membanjir masuk berbarengterdengar pula suàra bentakkan dan teriakan Ting Pek-Jwan, Pau Put-tong dan kawan-kawannya berbondong-bondong mereka pun menerobos ke dalam.

Kiranya tadi mereka telah keluar hendak bertempur dengan Thian-san Tong-lo, tapi mereka tidak menemukan si nenek, sebaliknya kebentur para anggota Cu-thian-poh dan lain-lain yang sudah tiba di depan Leng ciu-kiong dengan mengusung layon Tong-lo, dasar ucapan Pau Tut-ong memang kasar, watak Hong Po-ok juga paling gemar berkelàhi maka tanpa banyak omong terus saja merekà bergebrak dengan orang-orang Leng cui-kiong.

Sudah tentu.Ting Pek-jwàn berempat kewalahan melawan keroyokan para wanita Leng-ciu-kiong yang cukup lihai itu, maka mereka terdesak mundur dan menderita luka yang tidak ringan. Untung pada saat yang gawat itu pintu gerbang dibuka olah Bwe-kiam berempat dan berseru untuk menghentikan pertempuran mereka, dengan demikian Ting Pekjwan berempat tidak sampai binasa dikerubut lawan yang jauh lebih banyak itu.

Begitulah segera para wanita dari kesembilan bagian Leng-ciu-kiong itu lantas maju memberi hormat kepada Hi-tiok dan atas perintah Hi-tiok di ruang pendopo itu lantas diadakan perjamuan untuk melayani para petualang.

Buyung Hok merasa dirinya tiada gunanya tinggal lagi disitu,segera ia membawa Ting Pek jwan dan lain-lain memohon diri. Sementara ítu Kiam-sin Tok Put-hoan dan Hü-long Siancu Cui Lik-boa entah sejak kapan sudah mengeluyur pergi.

Melihat Buyung Hok hendak pergi, dengan sangat Hi-tiok menahannya. Tapi Buyung Hok berkata, " Aku turut bersalah pada Biau-biau-hong, berkat kemurahan hati saudara, maka kesalahanku itü tidak diusut lebih jauh, sungguh kami merasa berterima kasih."

Dengan rendah hati Hi-tiok menjawab, "Ai, jangan berkata demikian. Kepandaian kedua Kongcu (maksúdnya Buyung Hok dan Toan Ki) serba pintar dan hebat, aku sendiri merasa kagum tak terhingga dan ingin ... ingin bisa banyak meminta petunjuk kepada Kongcu berdua, sebab .... sebab aku sendiri sesungguhnya terlalu .. . terlalu bodoh!”

Sesudah mengalami pertempuran tadi dan menderita beberapa luka, memangnya Pau-Put-tong lagi mendongkol, sekarang mendengar ucapan Hi tiok yang seperti sengaja dibikin-bikin itu, ditambah Hi-tiok ternyata menyimpan gambar Ong Gook yan, keruan Put-tong menjadi curiga dari mana keledai gundul ini memperoleh gambar nona Ong itu, terang dia seorang hwesio munafik dan cabul. Karena itu, segera Put-tong berseru, "Haha, Siausuhu minta kedua Kongcu tinggal terus di sini yang benar kau ingin si cantik yang tinggal di sini. Kenapa tidak kau katakan terus terang minta nona Ong tinggal di Biau-biau-hong"

Hi tiok menjadi bingung safiutnya, "Ap ...apa maksudmu? Nona , .. nona Ong apa?"

"Alah pakai pura-pura tldak tahu?" ejek Put tong. "Pikiranmu tidak tulus, memangnya kaukira orang dari keluarga Koh-soh Buyung semuanya dungu dan tidak tahu maksudmu! Hehe, sungguh menggelikan!"

"Aku tidak paham apa yang Siansing maksudkan," sahut Hi-tiok. "Entah urusan apa yang menggelikan?"

Dasar watak Pau Put-tong memang kukuh dan tidak mau kalah, sekali penyakitnya angot, biarpun menghadapi bahaya juga tak terpikir lagi olehnya. Terus saja ia mencak-mencak dan berteriak-teriak, "Kau keledai gundul cilik ini mengaku sebagai hwesio Siau-lim-si, jika benar kamu murid suatu golongan yang tersohor mengapa kauganti bulu masuk ke golongan yang terkenal jahat dan bergaul dengan kaum setan iblis yang tak keruan ini? Hm, asal melihat dirimu aku lantas dongkol. Seorang hweslo mempunyai gendak beratus wanita merasa tidak cukup, sekarang mala hendak menaksir nona Ong pula, Hm..ingin kukatakan padamu bahwa nona Ong adalah kepunyaan Buyung-kongcu kami, katak buduk macam dirimu ini hendaklah jangan mengimpikan sang bidadari lebih baik lekas sadar kembali dari lamunan itu."

Begitulah makin bicara makin semangat, sampai akhirnya ia benar-benar mencak-mencak dan memaki-maki sambil menuding hidung Hi-tiok.

Tentu saja Hi-tiok tambah bingung, sahutnya "Aku ... aku ti... tidak …..”

Pada saat itulah mendadak Oh-lotoa dan Hi Tai-pa serentak menubruk maju sambil membentak dan mengacungkan senjatamereka yang berupa golok dan ganden raksasa, berbareng mereka menyerang Pau Puttong.

Buyung Hok tahu para petualang yang lagi disembuhkan oleh Hi-tiok itu sekarang tentu akan membantu Hitiok dengan mati-matian jika sampai terjadi pertempuran tentu akan sukar meloloskan diri. Maka cepat ia pun melompat maju, ia keluarkan kepandaiannya yang khas "Tau-coan-sing-ih” sekali bergerak ia putar balikkan serangan lawan, bacokan golok Oh-lotoa diputar membacok ke arah Ha Tai-pa, sebaliknya ganden Ha Tai pa digeser menjadi menghantam ke arah Oh-lotoa. Màka terdengar suara "trang" yang keras kedua senjata saling bentur sendiri dan lelatu api meletik.

Menyusul itu Buyung Hok terus mendorong pundak, Pau Put-tong sehingga punggawanya itu terpental keluar pintu. Habis itu ia memberi hormat kepada Hi-tiok dan bertata, "Maaf, mohon pamit!"

Dan sedikit ìa melompat, tahu-tahu ia sudah berade di luar pintu.

Ia tahu pintu pendopo itu terpasang pesawat rahasia, bila batu raksasa tadi digeser untuk menyumbat pula, maka mereka pasti tidak bisa lari.

Sebaliknya sama sekali tiada maksud Hi-tiok hendak memùsuhi Buyung Hok, maka cepat sahutnya. "Nanti dulu, Kongcu, bukan .... bukan begitu maksudku, aku... aku ...."

Mendadak Buyung Hok membalik tubuh dan berseru dengan kencang, "Apakah, saudara menganggap dirimu tiadatandingannya di dunia ini ingin memberi putunjuk beberapa jurus padaku?”

"O, ti ... tidak, aku ti ... tidak..... " sahut Hi-tiok dengan gelagapan sambil goyang tangannya.

"Kunjunganku ke sini memang agak sembrono, apa barangkali saudara ingin menahan kami di sini?" seru Buyung Hok pula.

Tetap Hi-tiok menggeleng kepala dan berkata, "Bu ... bukan begitu maksudku”

Dengan angkuh Buyung Hok memandang pada Tongcu dan Tocu serta Bwe-kiam berempat dan para anggota Kim-thian-poh. Karena terpengaruh oleh sikapnya yang kereng, seketika tiada seorang pun berani maju.

Selang sejenak, tiba-tiba Buyung Hok mengebaskan lengan bajunya dan berkata "Mari berangkat!"

Segera ia melangkah pergi dengan cepat di iringi kawan-kawannya.

"Kaucu," seru Oh-lotoa kepada Hi-tiok jika dia dibiarkan pergi dari Biau-bian-hong. Lantas ke mana pamor kita akan ditaruh? Harap Kaucu lekas memberi perintah untuk menahan mereka."

"Sudahlah," ujar Hl-tiok sambil geleng kepala "Aku ... aku pun tidak tahu mengapa día marah-marah padaku? Ai, tungguh aku tidak paham .. "

Sementara itu Giok-yan ikut pergi di antara rombongan Buyung Hok itu, ketika tidak, melihat Toan Ki tiba-tiba ia berpaling dan berseru, "Sampai bertemu lagi, Toan-kongcu!"

Hati Toan Ki tergetar rasanya menjadi pedih dan tenggorokannya seakan-akan tersumbat, dengan sekuatnya, ia pun menjawab, "Ya, sam….sampai bertemu!"

Ia lihat bayangan Ong Giok-yan semakin menjauh dan tidak pernah berpaling pula, hanya telinganya masih berkumandang ucapan Pau Put-hong tadi yang mengatakan, "Nona Ong adalah kepunyaan Buyung-kongcu, orang lain hendaknya jangan menaksirnya sepertí katak buduk mengimpikan bidadari. Ya, memang benar ketika berdiri dí depan pintu tadí betapa gagah perkasanya Buyung-kongcu. Hanya sekàlì saja dia telah mematahkan serangan dua lawan kuat, caranya itu menunjukkan betapa tinggi ilmu silatnya. Sebaliknya orang tak punya kepandaian apa-apa.

Seperti diriku ini, dimana-mana hanya dibuat buah tertawaan orang, sudah tentu tidak dipandang sebelah mata oleh si día? Ai, betapa mesra dan kasih sayangnya nona Ong ketika menandangi piaukonya itu. Sebaliknya aku Toan Ki lah, benar-benar seperti, seekor katak buduk yang mengimpikan bidadari!"

Begitulah sesaat itu dì ruang pendopo itu tengah tertegun dua orang pemuda, Hi-tiok dan Toan Ki.

Hi-tiok merasa heran dan sangsi, la garuk-garuk kepala dan bingung.

Sebaliknya Toan Ki termangu-mangu dan muram durja. Kedua orang saling berhadapan dan diam saja sehingga mirip dua pemuda linglung.

Sampai agak lama baru Toan Ki menghela napas dan berkata, "Saudara Hi-tiok rupanya kita senasib dan setanggungan. Rasa rindu dendam yang terukir dalam hati sanubari cara bagaimana menghiburnya?"

Muka Hi-tiok menjadi merah jengah. Disangkanya Toan Ki mengetahui hubungannya dengan si dewi impian? Maka dengan tergegap-gegap ia tanya, "Da ... dari mana Toan-heng meng ... ….mengetahuinya?"

"Hendaklah saudara Hi-tiok jangan kuatir, menyukai wanita cantik adalah sifat pembawaan setiap manusia," ujar Toan Ki, "Kita sebenarnya senasib dan mempunyaì pangalaman yang sama, sayang kita tidak kenal sejak dulu-dulu. Ilmu silat saudara maha tinggi, tetapi dalam soal asmara yang diutamakan adalah jodoh satu sama lain. tidak peduli betapa tinggi ilmu silatmu atau pengetahuanmu sangat luas, kalau tiada jodoh, tetap tidak jadi,"

"Hanya bergantung jodoh satu sama lain, ya, jodoh itu memang cuma dapat di .. ditemukan dan tak dapat dicar¡ sendiri ... Ya, sesudah berpisah, dunia seluas Ini, ke mana lagi dapat mencarinya?" demikian Hi-tiok berguman sendiri.

Yang dimaksudkan Hí-tíok dengan sendírinya ialah "Dewi impiannya," sebaliknya Toan Ki menyangka jika Hi-tíok menyimpan gámbar Ong Giok-yan, terang dia juga cinta pada nona itu seperti Toan Ki sendiri. Dan sebabnya Hi-tiok cekcok dengan Buyung Hok tadi disangka oleh Toan Ki tentu juga lantaran berebut Ong

Giok-yan.

Dasar Hi-tiok dan Toan-Ki mempunyai sifat ketolol-tololan yang sama maka makin bicara makin melantur, tapi juga makin cocok satu sama lain. sementara itu para wanita Leng-ciu-kiong sudah menyiapkan perjamuan, segera Hi tiok menggandeng tangan Toan Ki dan diajak dahar bersama.

Para Tongcu dan Tocu terhitung bawahan Leng-ciu-kiong dengan sendirinya tiada seorang pun berani bersatu meja dengan Hi-tiok. Sebaliknya Hi-tiok sendiri tidak paham tata-krama segala maka ia pun tidak mengajak mereka, ia hanya asyik bicara sendiri dengan Toan Ki.

Memangnya Toan Ki sangat kesemsem terhadap Ong Giok-yan, maka dia tiada habis-habis memuji nona itu, memuji perangainya yang halus dan kecantikannya yang tiada taranya.

Sebaliknya Hi-tiok menyangka yang dipuji Toan Ki adalah "dewi impiannya", dengan sendirinya ia tidak berani tanya Toan Ki, mengapa kenal si "dia", lebih-lebih tidak berani Hi-tiok mencari keterangan asal-usul dewi impannya itu, hanya hatinya saja yang berdebar-debar, pikirnya,

"Sesudah Tong-lo meninggal, kusangka di dunia ini tiada seorang pun yang tahu lagi akan si dewi impianku, tak tersangka, Tuhan Maha Kasih. Toan-kongcu juga mengeotahuinya, Tapi dari ucapan-ucapan Toan-kongcu ini. tampaknya ia pun sangat kesemsem padanya, jika aku membeberkan kejadian dalam gudang es, di sana aku telah main cinta dengan si dia. Ah, tentu Toan-kongcu akan gusar dan segera pergi dari sini, han ini berarti aku, tak dapat mencari tahu, hal keterangan dewi impianku itu."

Begitulah maka segera ia pun memberi suara dan ikut memuji si nona yang dikatakan Toan Ki. Dan karena kedua orang sama-sama tidak menyebut nama si nona yang mereka bicarakan, biarpun sudah sekian lama mereka mengobrol, tetap mereka tidak tahu bahwa di antara mereka telah "salah wesel."

Dalam pada itu Bwe-kiam berempat bergiliran menyuguhkanarak, kalau Toan Ki menegak secawan, maka Hitiok juga lantas mengiringi secawan sambil masih terus bicara dan memuji si jelita.

Sampai tengah malam, para petualang sama berbangkit untuk memohon diri dan ditunjukkan tempat mengaso oleh para dayang. Sedangkan Hi tiok masih terus minum arak bersama Toan Ki meski sudah tidak sedikit mereka menenggak.

Dahulu waktu Toan Ki berlomba minum dengan Sian Hong di kota Bu-sik, dengan sengaja Toan Ki mendesak arak yang diminumnya itu keluar melalui jarinya, tapi sekarang ia minum arak sebagai pelipur hati nan lara, maka la minum dengan sungguh-sungguh, setiap cawan arak itu benar-benar masuk seluruhnya ke dalam perut.

Dalam keadaan sudah agak sinting ia berkata kepada Hi-tiok. "Saudara, aku mempunyai seorang saudara angkat, namanya Siau Hong. Orang itu adalah ksatria sejati, pahlawan tulen, takaran minum arak juga tiada bandingannya. Jika. Saudara bertemu dengan dia, kuyakin saudara akan kagum dan suka padanya. Cuma sayang dia tidak berada di sini. Kalau ada, kita bertiga dapat mengikat persaudaran dan minum bersama dengan sepuas-puasnya, sungguh akan merupakan suatu kesenangan hidup yang bahagia."

Selama hidup Hi-tiok tidak minum arak, sekarang dia minum sekian banyak berkat Iwekangnya yang tinggi, namun begitu toh pikirannya juga sudah kabur, lidahnya terasa kelu. Wataknya yang biasanya takut-takut sekarang berubah menjadi pemberani, tiba-tiba ia pun berkata, "Toan-heng, jika ... jika engkau tidak mencela diriku, bolehlah kita berdua mengangkat saudara lebih dulu. kelak bila berjumpa dengan Siau-tauko boleh kita mengulangi mengangkat saudara sekali lagi."

Toan Ki sangat girang, sahutnya, "Bagus. Bagus! Entah berapa umur saudara , sekarang?"

Begitulah kedua orang lantas mengemukakan usia masing-masing dan ternyata Hi-tiok lebih tua dua tahun.

"Jiko" segera Toan Ki memanggilnya sebagai kakak kedua. "terimalah hormat Siaute ini!"

Dan segera ia berbangkit dan menjura kepada kakak angkat itu.

Cepat Hi-tiok hendak membalas hormat tapi karena terpengaruh oleh bekerjanya arak kakinya terasa lemas, mendadak sempoyongan dan jatuh terduduk.

Lekás Toan Ki membangunkan Hi-tíok dan tanpa sengaja hawa murni kedua orang saling beradu sama-sama merasakan tenaga dalam masing-masing sangat kuat, cepat mereka sama, sama menahan kembali tenaga sendiri.

Saat itu Toan Ki juga agak mabuk sehingga langkahnya sempoyongan, sekonyong-konyong kedua orang berbahak-bahak dan saling rangkul sehingga sama-sama terguling di lantai.

"Jika, Siaute tidak mabuk, marilah kita minum lagi seratus cawan," seru Toan Ki.

"Baik, kakak tentu akan mengiringimu minum sepuasnya" sahut Hi-tiok.

"Orang hidup harus bergembira sepuasnya, marilah kita habiskan secawan ini, hahaha!" seru Toan Ki.

Kedua orang makin lama makin kelelep sehingga akhirnya sama sekali tak sabarkan diri.

Esok paginya ketika Hi-tiok mendusin. Ia merasa dirinya tidur di atas sebuah ranjang yang sangat empuk dan halus. Waktu ia buka mata dan memandang keluar kelambu, dilihatnya ia berada di dalam sebuah kamer tidur yang sangat luas, tidak banyak alat perabot dalam kamar besar itu sehingga kelihatan longgar tapi banyak terdapat hiasan barang antik dan lukisan kuno yang indah.

Dalam pada itu kelihatan seorang dara cilik membawa sebuah nampan porselen sedang mendekati tempat tidurnya. Segera Hi-tiok mengenalinya sebagai lam kiam, "Silakan cuci muka dulu."

Karena semalam terlalu banyak minum arak, mulut Hi-tiok terasa sangat sepat dan tenggorokan terasa kering. Ketika dilihatnya di atas nampan yang dibawakan Lam-kiam itu ada semangkuk air teh, terus saja ia angkat dan diminumnya hingga habis.

Kiranya air itu bukanlah air teh melainkan wedang kolosom yang selama hidup Hi-tiok belum pernah merasakannya, habis minum la pun tidak tahu air Apakah yang terasa manis-manis pahit itu.

Kemudian ia berkata kepada Lam-kiam, "Terima kasih atas pelayananmu. Sekarang aku ...aku hendak bangun boleh kaukeluar dulul"

Tapi belum lagi Lam-kiam keluar, tiba-tiba dari luar masuk lagi seorang nona cilik lain, yaitu Kiok-kiam. Dengan tersenyum ia berkata, "Kami taci beradik akan melayani Cujin berganti pakaian!"

Sembari berkata ia terus mengambilkan serangkat baju dan celana dalam, warna hijau pupus yang sudah tersedia di kursi yang terletak di ujung tempat tidur sana.

Keruan Hi-tiok serba kikuk, mukanya merah jengah, sahutnya, "Tidak, tidak!" Aku tidak perlu dilayani kalian, aku kan tidak sakit, cuma habis mabuk arak saja. Wah, cilaka, baru sekarang aku ingat telah melanggar pantangan ajaran Budha lagi, Eh, di manakah Samte? Di manakah Toan-kongcu, ke mana dia pergi? Apa kalian melihat dia?”

Sambil tertawa Lam-kiam menjawab, "Toan-kongcu telah berangkat menyusul kekasihnya. Sebelum pergi beliau suruh hamba menyampaikan pesan kepada Cujin, katanya bila urusan di sini udah selesai, Cujin diminta berkunjung ke tonggoan dan dapat bertemu ia sana."

"Ai, masih ada urusan penting yang hendak kutanyakan padanya, mengapa día pergi begitu saja” seru Hi-tiók terkejut atas pérginya Toan Ki secará mendadak tanpa pamit itu. Segera ia melompat bangun dari tempat tidür dengan maksud hendak menyusul ToanKi untuk menanyakan dimana tempat-tinggal "dewi impian" yang di rindukannya itu.

Tapi demi mendadak melihat dirinya hanya menggunakan baju dalam yang putih bersih, tiba-tiba ia menjerit kaget dan cepat menutup badannya dengan selimut.

Serunya dengan heran, "Hei, mengapa aku sudah ganti pakaian?'

Rúpányá waktu ia keluar dari Siau lim-si, baju dalam yang dipakai adalah büatán dari kain kasar dan karena sudah, terpakai sekian bulan pakaian dalam itu pula sudah rombeng dan kotor. Sebaliknya baju yang melekat pada badannya sekarang tipis halus dan bersih pula, ia sendiri tidak tahu baju itu terbuat dari bahan sutra atau katun, pendek kata pastilah bahan yang sangat mahal.

Maka dengan tertawa Kiok-kiam menjawab, "Semalam Cujin mabuk, maka kami berempat saudara melakukannya, apakah Cujin sama sekali tidak berasa?"

Hi-tiok tambah kaget mendengar keterangan itu, sekilas ia lihatKiok-kiam dan Lam-kiam yang cantík manís seketika hati Hi-tiok berdebar-debar. Waktu ia coba melihat dada sendiri, ia lihat kotoran dan daki-daki yang biasa tertimbun di situ sekarang sudah tergosok bersih. Ia menjadi ragu dan berkata, "Wah, aku benar-benar mabuk untung masih dapat mandi sendiri."

"Semalam Cujin sama sekali tidak sadarkan diri lagi," kata Lam-tiam dengan tartawa, "dan kami berempatlah yang mencuci badan Cujin."

"Haaah?" teriak Hi-tiok kaget dan hampir-hampir jatuh keblengar, berulang-ulang ia menjerit pula. "Wah. cialat!"

Keruan Kiok-kiam dan Lam-kiam ketakutan oleh sikap Hi tiok itu, cepat mereka bertanya, "Cujin, apakah ada suatu yang tidak betul?"

"Aku adalah orang lelaki, badanku kotor lagi berbau busuk, mana boleh kalian berempat mengerjakan tugastügas yang tidak baik ini.” ujar Hi-tiok dengan menyengir.

"Kami berempat adalah hamba Cujin yang setia andaikan hamba sekalian ada berbuat sesuatu kesalahan, mohon Cujin memberi hukuman yang setimpal," kata Lim-kiam dengan khitmad. Habis berkata bersama Kiokkiam mereka terus berlutut dan menyembah.

Melihat kedua dara cilik itu marasa takut-takut padanya Hi-tiok menjadi teringat kepada Siopopo, Cio-soh dan lain-lain yang pernah juga merasa takut ketika dirinya membalas hormat mereka sekarang Kiok-kiam berdua juga ketakutan karena mendengar ucapannya yang ramah-tamah, boleh jadi mereka sudah biasa dibawab pengaruh Tong lo yang berwatak aneh itu, semakin nenek itu bersikap ramah dan berkata dengan halus, itu berarti maut bagi orang yang diperlakukan dengan ramah-tamah itu.

Maka Hi-tiok berkata lagi, "Ya, baiklah kalian boleh Keluar sana, aku sendiri dapat berpakaian dan tidak perlu dilayanl kalian."

Terpaksa Kiok-kiam berdua berbangkit dengan air mata berlinang-linang, mereka mengundurkan diri keluar dengan menangis.

Hi-tiok menjadi heran, cepat ia tanya pula, "He, ada apakahMengapa kalian menangis? Apa barangkali ucapanku ada yang salah?"

Kiok-klam berdua berhenti di luar pintu dan berkata, "Cujin, hal ini tentu disebabkan Cujin sudah ... sudah jemu kepada kami..." Belum habis ucapannya air mata merekapun bercucuran.

"O, tidak, tidak," sahut Hi-tiok sambil goyang-goyang tangan. "Mungkin aku tidak pandai bicara sehingga kalian tidak paham rnaksudku. Soalnya aku adalah seorang lelaki dari kálián adalah wanlta. ini menjadi……… menjádi kurang leluasa dan ...dan sungguh aku tiáda bermaksud lain, Budha menjadi saksi, sungguh mati aku tidak mendustai kalian."

Melihat gerak-gerik Hi-tiok yang serba kikuk dan lucu itu. Kiok-kiam berdua menjadi geli, kata mereka kemudian, "Maafkan kaml jika demikian halnya. Selamanya penghuni Leng-ciu-kiong tidak pernah terdapat orang laki dan kami pun belum selamanya tidak pernah melihat kaum lelaki. Cujin adalah langit dan hamba sekalian adalah bumi masakah mesti dibeda-bedakan antara lelaki dan perempuan ségala?"

Dan segera Lam-kiam berdua mendekati Hi tiok lagi untuk melayaninya berpakaian dan bersepatu. Tidak lama kemudian Tlok-kiam dan Bwe-kiam juga datang, yang lalu menyisirkan rambut Hi-tiok, yang lain mencucí

mukanya.

Karuan Hi tiok serba kikuk, tapi juga tidak beranl bersuara lagi karena kuatir menimbulkan rasa kurang senang keempat dayang itu.

Ia menduga Toan Ki tentu sudah pergi jauh, untuk menyusulnya juga tidak keburu lagi, apalagi para TongCu dan Tocu itu sedang memerlukan pértolongannya untuk memunahkan ,Sing-si-hu. mereka, maka sesudah sarapan pagi, lalu ia menuju ke ruang pendopo untuk menemui para.petualang itu kemudian ia menyembuhkan dulu dua orang yang paling menderita karena siksaan racun Sing-si-hu.

Tapi untuk melenyapkan racun Sing-sl-hu itu harus digunakan tenaga murni dengan memainkan "Thian-sanliok-yan-Jiu,". Bagi Iwekang Hi-Tiok yang tinggi sekarang sudah tentu tidak merasa lelah biarpun sekaligus berpuluh-puluh orang harus di sembuhkannya. Soalnya Sing-si-hu yang dltanamkan Tong-lo pada badan para petualang itu masing-masing berbeda tempatnya, untuk mencari tempatnya dan memikirkan jalan memusnahkannya. hal inilah yang agak memusingkan Hi-tìok. Sebab itulah, sampai lohor baru beberapa orang saja yang dapat disembuhkan oleh Hi-tiok.

Sesudah mekan slang dan istlrahat sébentar diam-diam Hi-tiok merasa kesal karéna tldak dapat memunahkan para penderita itu dengan lancar.

Melihat sang majikan berkerut kening dan pusing oleh cara memunahkan Sing-si-hu, tiba-tiba Bwe-kiam memberitahu, "Cujin, di belakang istana leng-ciu-kiong ini terdapat banyak ukiran dinding tinggalan majikanmajikan lama dari ratusan tahun yang lalu, Hamba pernah mendengar cerita Tong lo yang mengatakan bahwà ukiran dinding itu ada sangkut pautnya dengan Sing-si-hu. Apakah barangkali Cujin ada minat untuk melihatnya?”

Hi-tiok melonjak girang. "Bagus" serunya dan segera ia minta Bwe-kiam berémpat mengantarnya.

Setiba di taman bunga belakang Leng-ciu-long, beramai-ramai Bwe-kiam berempat memindahkan sebuah gunung-gunungan sehingga dibawahnya terlihatlah sebuah lubang masuK Ke suatu jalan di bawah tanah. Dengan membawa obor segera Bwe-kiam mendahului masuk ke situ di ikuti Hi-tiok dan ketiga dayang lain.

Sepanjang jalan lorong itu Bwe-kiam berkali-kali mematilkan pesawat rahasia yang dipasang di sltu agar tidak menghamburkan senjata berbisa dan sebagainya. Jalan itu berliku-liku, terkadang agak longgar dan lain saat menyempit lagi, nyata jalan itu dibuat di dalam gua yang menembus kedalam perut gunung.

Sesudah sekian jauhnya mereka menyusur jalan dalam gua alam itu, akhirnya Bwe-kiam manolak sebuah batu

besar sehingga terbukalah sebuah pintu di bagian dalamnya adalah sebuah ruangan. Bwe-kiam berdiri menyisih lalu berkata, "Silakan Cujin masuk, di dalam situ adalah sebuah kamar batu, hamba sekalian tidak berani ikut masuk."

"Mengapa tidak berani? Apakah di dalam itu berbahaya?"' tanya Hi-liok.

"Bukan karena berbahaya, tapi ini adalah tempat suci Leng-ciu-kiorg kita, hamba sekalian tidak boleh sembarangan masuk ke situ," sahut bwe-kiam.

"Ah, tidak apa-apa, ayolah ikut masuk saja,” ujar Hi-tiok, "Jalan di luar sini terlalu sempit, tentu kalian tak leluasa berdiri terus di sini."

Keempat dara cilik itu tampak saling pandang dengan rasa girang. Maka Bwe-kiam berkata pula, "Cujin, menurut pesan Tong lolo sebelum wafat,beliau menyatakan kepada hamba, berempat bila kami tetap taat dan setia melayani beliau, tanpa berbuat sesuatu kesalahan, maka setelah kami berusia 40 tahun, kami akan diperbolehkan masuk ke dalam kamar batu ini, setiap tahun kami boleh tinggal satu hari di sini, untuk mempelajari kungfu yang terukir didinding kamar itu. Sekarang walaupun Cujin sangat berbudi baik hati, tapi apa yang pernah dikatakan Tong-lolo sekali-kali kami tak boleh melangarnya, kami harus menunggu lagi selama 22 tahun."

"Hah, 22 tahun lagi? Kan barabe? Tak kala mana kalian sendiri tentu juga sudah tua, lalu masih mampu apa belajar ilmu silat lagi?" demikian kata Hi tiok. "Ayolah masuk saja sekarang bersama aku!"

Keempat dayang itu menjadi girang. Cepat mereka berlulut dan menyembah.

"Bangunlah, lekas bangun!" kata Hi-tiok. "Tempat ini sangat sempit, tidak perlu banyak adat.”

Kemudian mereka berlima memasuki kamar batu itu bersama. Ternyata dinding sekeliling kamar itu tergosok sangat licin, dinding dinding itu penuh terukir lingkaran-lingkaran sebenar mangkuk im tiap-tiap lingkaran itu terukir pula gambar, ada gambar manusia, ada gambar binatang, ada huruf-huruf yang sudah tidak lengkap lagi, ada pula gambaran tanda-tanda dan garis-garis yang susah dipahami. Di sisi setiap lingkaran itu, sedikitnya ada beberapa ratus buah, untuk melihatnya lagi tak bisa habis seketika.

"Cujin, marilah kita mengikutinya mulai dari nomor pertama, betul tidak?” ujar Bwe-kiam.

Hi-tiok mengangguk setuju. Lalu dengan penerangan obor mereka berlima mulai meneliti gambar ukiran pertama. Dan sekali pandang saja saja Hi-tiok mengenali lukisan itu menunjukkan jurus pembukaan gaya Thian-san-ciat-bwe-jiu. Waktu memandang pula gambar kedua, benar juga jurus kedua dari Thian san-ciatbwe-jiu dan begitu seterusnya.

Selesai gambar Thian-san-ciat-bwe-jiu, menyusul adalah gambar penjelasan Thian-san-lion yang-jiu, setiap gerak-geriknya dan setiap kunci sarinya telah ditulis semua di dalam lingkaran yang terukir di dinding batu itu.

Sesudah gambar Thian-san-lion-yang-jiu, selanjutnya adalah gerak tipu ilmu silat lain-lain.

Jurus ilmu silat itu meliputi ilmu silat yang pernah diajarkan Tong-lo kepada Hi-tiok ketika nenek itu bertanding dengan Li Jiu sui setelah lolos dari gudang es. Cuma penjelasan-penjelasan dalam gambar sekarang ini dirasakan oleh Hi-tiok jauh lebih jelas dan lebih lengkap daripada apa yang pernah didengarnya dari Tong lo itu. Maka sedikit ia pikir saja segera ia dapat memahaminya dengan baik."

Tempo hari waktu Thian san Tong Lo mengajarkan tipu-tipu silat itu kepada Hi-tiok untuk mengalahkan Li Jiusui, saat itu karena terbatas oleh waktu, maka apa yang diajarkan nenek itu hanya garis besarnya daripada setiap tipu silat itu, sedangkan saripati yang paling bagus dan secara terperinci tak diajarkan. Sekarang Hi-tiok mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya menurut petunjuk-petunjuk yang dibacanya pada gambar-gambar di dinding itu seketika ia merasa badannya sangat ringan dan seakan-akan hendak mengapung sendiri.

Selagi Hi-tiok merasa semangatnya berkobar-kobar dan tenaganya memuncak sekonyong-konyong didengarnya suara jerit kaget orang. Hi-tiok terkejut ia menoleh dan melihat Lam-kiam dan Tiok-kiam sedang terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh ke lantai. Bwe-kiam dan Biok-kiam juga tampak sempoyongan sambil berpegangan dinding, wajahnya tampak pucat.

Lekas-lekas Hi-tiok mendekat dan membangunkan mereka, katanya, "Hai, ada apakah?"

"Cu ... Cujin," sahut Bwe-kiam dengan tak lancar, "kekuatan kami terlalu ... terlalu rendah dan tidak dapat mengi ... mengikuti gambar-gambar dinding ini, biarlah kami ... kami menunggu di luar saja,"

Habis berkata, keempat dara itu lantas berjalan keluar, kamar batu itu dengan merambat dinding.

Hi-tiok tertegun sejenak, kemudian ia pun menyusul keluar. Ia lihat keempat dayang itu duduk bersila di jalan lorong itu dan sedang mengerahkan tenaga, badan mereka tertampak agak gemetar dengan wajah pucat menderita.

Segera Hi-tiok tahu keempat dayang itu telah terluka dalam yang tidak ringan, cepat ia gunakan Thian-sanhok-yang-jiu untuk menepuk masing-masing satu kali di punggung mereka, Seketika suatu arus hawa hangat segar menembus jalan darah keempat dayang itu dan air muka mereka lantas segar kembali, tidak lama kemudian jidat meraka tampak berkeringat, kemudian berturut-turut mendongak dan berseru, "Terima kasih atas pertolongan Cujin.” Dan berbareng mereka pun menyembah.

"Sudahlah apa yang telah terjadi, tanpa sebab kenapa kalian bisa terluka?" tanya Hi-tiok sambil membangunkan mereka.

"Cujin," tutur Bwe-kiam sambil, menghela napas, "baru sekarang kami tahu bahwa sebabnya Tong-lolo suruh kami masuk ke kamar batu ini bila usia kami sudah 40 tahun, ternyata beliau memang tidak ingin membikin susah kami. Ternyata gambar-gambar dinding ini teramat hebat dan tinggi, kekuatan hamba sekalian masih belum mencapai tarap yang cukup untuk mempelajarinya, Tapi dengan sembrono tadi hamba berani coba-coba berlatih dengan mengikuti gambar-gambar itu, dan karena tenaga tidak cukup, seketika hawa murni yang bergolak dalam tubuh nyasar ke urat nadi. Coba kalau Cujin tidak lantasmenolong, tentu hamba sekalian akan celaka."

"O, kiranya demikian, jika begitu, akulah yang salah, mestinya aku tidak boleh menyuruh kalian ikut masuk ke situ." kata Hi-tiok.

Serentak-keempat, dayang itu menyembah lagi dan minta ampun, " Ai, itu kan maksud baik Cujin adalah salah hamba sendiri yang berani ikut-ikut berlatih secara sembrono."

Kemudian Bwe-kiam berkata, "Dengan kekuatan Cujin yang maha tinggi, untuk melatih ilmu sakti menurut gambar dinding itu tentu akan sangat besar manfaatnya. Dahulu Tong-lo sering tinggal sampai berbulan-bulan dalam kamar batu itu untuk mempelajari ilmu sakti itu. Sebabnya para keparat Tongcu dan Tocu itu berani menyerang Leng-ciu-kiong tujuan mereka juga ingin mencari tahu di mana tempat penyimpanan benda pusaka Tong lolo. Tapi para saudara tetap setia dan jujur, biarpun mati tidak maumenyerah kepada mereka. Mestinya, kami berempat brrmaksud memancing kawanan bangsat itu masuk ke jalan lorong batu ini, sekali hamba membuka pesawat rahasia, sekaligus mereka akan binasa semua di sini."

"Ilmu sakti menurut gambar di dinding itu memang maha hebat," ujar Hi-tiok. "Aku Cuma melatih beberapa jurus di antaranya dan semangatku lantas terasa berkibar-kibar dan tenagaku penuh, biarlah kita kembali saja dan akan ku sembuhkan sing-si-humereka itu. Kalian sendiri boleh pergi mengaso dulu."

Segera mereka berlima keluar dari jauh di bawah tanah itu, Hi-tiok kembali ke ruang pendopo dan beberapa orang Tongcu di antaranya telah disembuhkan lagi.

Dan begitulah seterusnya, singkatnya saja, setiap hari Hi-tiok tentu menggunakan Thian-san-liok-yang-jiu untuk memunahkan racun Sing-si-hu para Tongcu dan Tocu itu. Bila semangatnya terasa lesu dan tenaga kurang, segera ia pergi ke kamar batu untuk menyakinkan ilmu sakti dengan ditunggui oleh Bwe-kiam berempat, mereka ...tidak pernah ikut masuk lagi ke dalam kamar batu.

Di samping itu setiap hari Hi-tiok juga memberi petunjuk ilmu silat kepada Bwe-kiam berempat dan para wànita lain, ia mengajar dengan sungguh-sungguh dan secara adil tanpa pandang bulu atau pilih kasih.

Keadaan begitu berlangsung sampai hampir sebulan lamanya barulah Sing-si-hu para petualang itu dipunahkan seluruhnya. Sebaliknya setiap hari Hi-tiok mempelajari ilmu sakti yang tertera di dinding kamar batu. Itu sehingga kepandaiannya juga maju sangat pesat, jauh berbeda daripada waktu mula-mula datang ke Biau-biauhong.

Sesudah racun Siag-si-hu merasa disembuhkan, para Tongcu dan Tocu itu sudah tentu sangat berterima kasih kepada Hi-tiok, apalagi Hi-tiok sangat ramah kepada mereka, biarpun mereka adalah manusia yang tidak kenal apa artinya kebaikan, sekarang mau-tak-mau mereka pun merasakan utang budi dan takluk betul-betul kepada Hi tiok.

Akhirnya mereka pun mohon diri dan kembali ke tempatnya masing-masing sesudah menyatakan terima kasih.

Dengan perginya para petualang itu, suasana di Biau-biau-hong menjadi sunyi, sekarang di atas gunung itu hanya tinggal Hi-tiok sendiri merupakan satu-satunya orang lelaki. Dalam keadaan kesepian Hi-tiok termenung, "Sejak kecil aku sudah yatim piatu dan diberikan oleh Suhu di Siau-lin-si. Jika sejak kini aku tidak pulang ke Siau-lim-si, rasanya aku menjadi lupa budi dan tidak ingat kebaikan Suhu. Maka aku harus pulang ka sana. aku harus mengaku dosaku di depan Suhu dan tongtiang."

Karena pikiran itu, segera ia memberitahukan maksudnya itu kepada Bwe kiam berempat dan para wanita, hari itu juga ia hendak berangkat dan segala urusan di Leng-ciu-hong ia serahkan kepada. pimpinan Sio-popo dan Giok-soh sekalian.

Bwe-kiam berempat minta ikut agar dapat selalu melayani sang majikan, tapi Hi-tiok berkata. "Kepergianku ke Siau-lim-ti adalah untuk menjadi hwesio pula. Masakah di dunia ini ada hwesio yang hidup dengan dilayani kaum dayang?”

Tapi Bwe-kiam berempat tidak percaya dan tetap ingin ikut. Terpaksa Hi-tiok mengambil pisau cukur dan mencukur rambut sendiri sehingga halus klimis dan kelihatan bintik-bintik hitam bekas momotan api dupa di atas kepalanya.

Melihat itu barulah Bwe-kiam berempat mau percaya, terpaksa mereka mengantar keberangkatan Hi-tiok dengan rasa berat.

Sementara itu Hi-tiok sudah berpakaian asalnya, yaitu pakaian hwesió Siau-lim-si. Dengan langkah lebar ia langsung menuju pegunungan Siaw-lim-san. Karena wataknya suka mengalah, dengan sendirinya sepanjang jalan tiada terjadi percekcokan dengan orang begitu pula kaum penjahat juga tiada yang menaksir seorang hwesio miskin seperti dia. Maka dengan aman akhirnya dia pulang sampai Siau-lim-si.

Sesudah pulang kandang, tanpa terasa timbul rasa malu dan terharu Hi-tiok. Hanya dalam beberapa bulan saja ia meninggalkan biara suci itu, tapi dirinya sudah melanggar pantangan agama tentang membunuh, makanan barang berjiwa, minum arak dan wanita. Untuk dosanya itu entah nanti Hong tiang dan gurunya akan mengampuninya atau tidak.

Begitulah dengan rasa tidak tentram ia memasuki Siau-lim si dan langsung menemui gurunya Hui-Lun.

Melihat pulangnya Hi tiok secara mendadak Hui-lun terperanjat juga dan segerà bertanya, "Aku menyuruhmu mengirim surat, mengapa sampai sekarang baru pulang?"

Hi-tiok berlutut dan menyembah dengan penuh menyesal sambil menangis mengerung-gerung, Tuturnya, "Suhu, Tecu pun ... pantas dihukum mati. Sesudah Tecu turun gunung, Tecu menjadi lupa daratan dan melanggar semua ajaran yang rasanya sering Suhuperingatkan padaku."

Air muka Hui-lun berubah seketika, ia menegaskan, "Apa? Kau ... kamu sembarangan makan?"

"Ya," sahut Hi-tiok. "Bahkan lebih dari itu, akuu juga melanggar larangan lain,"

"Wah, dasar sontoloyo," seru Hui-lun. "Jadi kamu ... juga telah minum arak segala?"

"Ya, bahkan Tecu minum sampai mabuk dan lupa daratan," sahut Hi-tiok.

Hui-lun menghela napas panjang dan tiba-tiba air matanya berlinang-linang, katanya. "Sejak kecil kamu tampaknya sangat jujur dan teguh imanmu, mengapa baru menginjak dunia ramai lantas terjerumus ke kolam lumpur sedemikian pa? Ai, ei .... "

Melihat Suhu sangat berduka, Hi-tiok bertambah gugup, katanya, "Suhu, larangan yang Tecu langgar bahkan lebih dari itu, Tecu telah melanggar ... melanggar pula ... "

Belum lagi Hi-tiok sempat menjelaskan dirinya telah melanggar pantangan membunuh dan main perempuan, tiba-tiba terdengar suara genta tanda berkumpulnya para padri angkàtan Huí dalam Siau-lim-si.

Maka Hui-lun lantas berbangkit, iá mengusap air matanya dan berkata, "Terlalu banyak pelanggaranmu maka aku pun sukar membelamu, bolehlah kaupergi sendiri ke Kai-lut-ih (bagian pelaksana hukum) untuk melaporkan diri saja dan mungkin kamu akan mendapat keringanan, Malahan aku sendiri pun takkan terluput dari hukuman."

Habis berkata, ia ambil Kai-to (golok paderi) yang tergantung di dinding dan buru-buru pergi ke ruang pendopo.

Segera Hi-tiok melapor sendiri ke Kai lut-ih, setiba di depan ruangan, itu, dengan hormat ia berkata, "Tecu Hitiok telah melanggar pantangan Budha, maka dengan sangat berharap Tianglo menjatuhkan hukuman yang setimpal."

Berulang-ulang Hi-tiok melapor, tapi tiada jawaban dari tertua Kai-lut-ih. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang padri setengah umur dan berkata padanya, "Siucu dan Cianglut (kepala dan pelaksana) Susiok setiang ada urusan penting dan tiada tempo buat mendengarkan laporanmu, boleh kamu berlutut dan tunggu saja di sini!"

Hi-tiok mengiakan dan menurut. Tapi dari lohor ia tunggusehingga petang tetap tiada seorang pun yang menggubris padanya. Untung iwekang Hi-tiok sekarang sudah sangat tinggi, biarpun tidak makan minum dan berlutut setengah harian, tetap dia bertahan tanpa merasa letih.

Sementara itu terdengar beduk berbunyi, sudah waktunya para padri bersembahyang magrib, Pelahan Hi tiok juga mengapalkan kitab suci dan berdoa menyatakan penyesalan atas dosanya.

Kemudian datang pula padri setengah umur tadi dan berkata padanya, "Hi-tiok, dalam beberapa hari ini biara kita sedang menghadapi urusan penting para Tianglo tiada tempo buat mengurus perkaramu. Dengan sujud kamu telah berlutut dan berdoa di sini, tampaknya kamu memang ingin memperbaiki kesalahanmu dengan sunggub-sungguh. Maka boleh begini saja, sementara ini kau pergi ke kebun sayur untuk membantu pikul rabuk dan menyiram tananam sambil menunggu panggilan. Jika para Tianglo sudah senggang, tentu kamu akan dipanggil dan perkaramu akan diputuskan menurut kesalahanmu yang sebenarnya.”

Dengan penuh khitmad Hi-tiok mengiakan dan menyatakan terima kasih. Dan sasudah memberi hormat, lalui ia berbangkit, karena dia tidak seketika diusir, maka ia menaruh harapan bahwa dosanya mungkin akan dapat diampuni.

Segera ia menuju ke kebun sayur untuk menemui padri pengurus kebun, yaitu Yan-kian Hwesio, kata Hi-tiok, "Suheng aku telah melanggar peraturan biara kita, maka para Tianglo menghukum aku bekerja berat di kebun sini."

Yan-kin itu seorang hwesio yang tidak punya kepandaian, tapi suka usilan, suka ikut campur urusan tetekbengek. Luas kebun sayur itu ada beberapa hektar, kuli kebun ada 30-40 orang, seterusnya di bawah pimpinan Yan-kin, maka sedikit banyak Yan-kis, suka berlagak sebagai mandor besar. Sekarang mendengar laporan Hitiok itu, Yan kin sangat girang segera ia tanya, "Larangan apa yang telah káulanggar?"

"Terlalu banyak dan sukar diceritakan satu per satu," sahut Hi-tiok.

"Sukar diceritakan satu per satu apa? Aku justru minta kamu mengaku secara jujur dan katakan padaku dengan terus terang," ujar Yan-kin dengan gusar, "Jangankan cuma seorang hwesio keroco sebagai dirimu, sekalipun para Tianglo bila dijatuhi hukuman kerja di kebun ini, tentu juga akan kutanya apa dosa mereka dengan jelas dan mereka harus menjawab dengan terus terang. Hm, melihat mukamu ini merah gemuk, huh, tentu kamu telah melanggar pantangan makan, belum tidak."

"Ya, memang benar," sahut Hi-tiok.

"Nah, apa katamu, sekali terka saja lantas kena," demikian kata Yan-kin dengan sòmbong.

"Huh, bukan mustahil diam-diam kaupun telah minum arak.”

"Ya, memang betul, pada suatu hari aku telah minum arak sehingga mabuk dan tidak sadarkan diri," sahut Hitiok.

"Wah, berani betul kamu ini, ya!” omel Yan-kin. "Dan biasanya bila kamu sudah kenyang menenggak arak tentu hatimu akan terkilin dan memikirkan hal yang tidak-tidak, ya, terasakan timbul napsu berahimu dan ingin tidur dengan orang perempuan, bahkan tidak cuma ingin satu kali, sedikitnya kamu ingin tujuh atau delapan kali. Ayo kamu berani mungkir?"

'Manaku berani berdusta kepada Suheng," sahut Hi-tiok. "Bukan saja aku pernah ingin, bahkan sudah pernah berbuat."

"Hah, malahan kamu sudah pernah berbuat?" damprat Yan-kin dengan marah-marah, tapi hatinya sangat senang karena tuduhannya diakui Hi-tiok. "Dasar kamu ini hwesio sontoloyo, kamu telah merusak nama baik Siau-lim-si kita. Nah, selain melanggar pantangan main perempuan, pelanggaran lain apa yang telah kaulakukan lagi? Mencuri? kamu pernah nyolong barang milik orang lain, atau pernah berkelahi dengan orang tidak?"

"Tidak cuma berkelahi saja, bahkan pernah membunuh orang, malahan beberapa orang yang telah kubunuh." sahut Hi-tiok dengan kepala menunduk.

"Hah, kamu pernah membunuh orang?" Yan-kin menegas dengan, terkejut sambil menyurut mundur beberapa tindak.

Dasar Yan-kin memang pengecut, kepada kaum lemah dia suka menindas, terhadap orang jahat dia takut. Demi mendengar Hi-tiòk mengaku pernah mambunuh orang, babkan lebih dari Seorang yang dibunuhnya, karuan ia menjadi ketakutan dan kuatir kelau mendadak Hi-tiok mengamuk tentu dia bukan tandingannya.

Sesudah menenangkan diri, kemudian ia berbicara dengan nada ramah dan tertawa-tawa yang dibuat-buat, "Biasanya ilmu silat memang pegang peranan pokok di dunia ini, bila mahir ilmu silat, tentu suatu waktu bias membunuh orang. Wah kepandaian Sute tentu sangat lihai."

"Sunguh memalukan kalau kuceritakan, sedikit kepandaian yang kudapat dari perguruan kita sekarang sudah punah semua, sedikit pun tidak tertinggal lagi," sahut Hl-tiok.

Kembali Yan-kin bergirang pula, katanya, "Ehm, bagus, bagusi"

Ia sangka ilmu silat Hi-tiok itu tentu dimusnahkan oleh Tianglo Siau-lím-si berhubung dosa Hi-tiok terlalu besar.

Tapi segera terpikir pula olehnya, "Walaupun ilmu silatnya katanya sudah punah, tapi bila ada sisa sedikit saja tentu juga sukar kulawan."

Karena itu timbul suatu akalnya, katanya segera, "Sute, kamu dihukum kerja berat di kebun sayur kan juga ada

baiknya untuk menggembleng jiwarnu agat kelak lebih teguh. Menurut peraturan kita di sini, barang siapa melanggar pantangan agama, terutama yang tangannya pernah berlumuran darah, maka untuk bekerja di sini dia harus diborgol kaki dan tangannya. Ini adalah peraturan turun temurun leluhur kita, entah Suté mau tunduk tidak pada peraturan ini. Jika tidak mau, biarlah aku meneruskan persoalan ini kepada Kai-lut-ih,"

"Jika memang begitu peraturannya sudah tentu aku menurut saja," kata Hi-tiok.

Diam-diam Yan-kin bergirang, segera ia mengeluarkan borgo! Dan membelenggu tangan dan kaki Hi-tiok. Di bagian pelaksana hukum biara dan kebun sayur itu memang selain tersedia borgol yang biasanya digunakan untuk menghukum padri jahat yang melanggar peraturan. Maklum, padri-padri Sau-llm-si itu berjumlah tidak sedikit dan dengan sendirinya terkadang ada satu-dua di antaranya yang berbuat kejahatan.

Begitulah, maka Yan-kin menjadi besar pula hatinya setelah Hi-tiok diborgol. Dengan mentang-mentang ia lantas mendamprat, "Hwesío geblek, usiamu masih semuda ini tapi nyalimu sudah sebesar langit dan berani melanggar pantangan apa pun. Hari ini kalau tidak kuberi hukuman yang setimpal padamu rasanya sukar melampiaskan hatiku yang gemas."

Habis berkata la terus mengambil sebatang ranting kayu dan menyabet serabulan pada kepala Hi-tíok. Sedikit pun Hi-tiok tidak mengelak dan tidak melawan, dia cuma berdoa saja sambil menahan rasa sakit dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya dan tidak berani menolak dangan tenaga dalam yang kuat. Karena itu, hanya sebentar saja kepala dan mukanya sudah babak-belur dan berdarah.

Melihat Hi-tiok diam saja dihajar,tidak mengelak dan tidak membantah, keruan Yan-kin tambah dapat hati, ia percaya penuh Ilmu silat Hi-liok tentu sudah punah semua, maka ia boleh menviiksanya sepuas-puasnya. Apalagi kalau mengingat Hi-tiok telah makan daging dan minum arak sampai mabuk, main perempuan pula dengan segala kenikmatan, sebaliknya dirinya sendiri hidup percuma selama lebih 40 tahun dan selamanya tidak pernah mencicip apa-apa yang telah dirasakan oleh Hi tiok itu, teringat semua itu, seketika timbul rasa dengki dan siriknya, segera ia menghajar dengan lebih keras sampai ranting kayu itu patah barulah dia berhenti.

Akhirnya dengan suara gemas ia berkata pula, "Sekarang pergilah, setiap hari kamu hurus mengangkut 300 pikul air rabuk untuk menyiram tananam sayur, kalau kurang satu pikul saja tentu akan kuhantam patah kedua kakimu dengan pentung atau kayu pikulan."

Sesudah dihajar Yan-kin, bukannya dendam, sebaliknya Hi-tiok merasa lega malah. Pikirnya, "Aku telah melanggar peraturan sebanyak itu, memangnya aku pantas dihukum berat, semakin berat hukuman yarg kuterima, semakin ringan pula dosa yang kutanggung ini."

Maka cepat ia menyatakan taat kepada perintah Yan-kin Itu, ia pergi ke serambi belakang untuk mengambil tong rabuk dan pikulan, lalu pergi mengambil air rabuk untuk menyiram sayur.

Menyiram sayur adalah pekerjaan yang makan waktu dan kudu sabar, segayung demi segayung diciduk dari tong air untuk menghabiskan 300 Pikul sudah tentu bukan pekerjaan sekejap waktu.

Namun sedikit pun Hi-tiok tidak berhenti kerja giat dan rajin, malahan untuk itu ia kerja lembur, sampai fajar menyingsing pun belum rampung. Untung tenaga dalam Hi-tiok sangat kuat, ia tidak merasa letih, sesudah 300 pikul air rabuk dan sedemikian dikerjakan barulah dia pergi ke kandang kayu untuk tidur.

Tapi baru sebentar saja ia Lepus, Yan-kin sudah datang dan membangunkan dia dengan tendangan dan gebukan sambil memaki, "Hwesio malas pagi-pagi begini sudah tidur di sini! Ayo lekas pergi memotong kayu!"

Hi-tiok mengiakan saja tanpa membantah, segera perintah itu dikerjakan dengan baik.

Begitulah berturut-turut lima atau enam hari Hi-tiok memotong kayu dan menyiram sayur, dicambuk dan dihajar sehingga sekujur badannya penuh luka, entah berapa kali dia dipentung dan dicambuk oleh Yan-kin.

Sampai hari ketujuh, ketika Hi-tiok sedang menyiram sayur, tiba-tiba terdengar Yan-kin mendatanginya. Hitiok tidak heran bila bakal terima dampratan dan bayaran pula.

Di luar dugaan, tiba-tiba Yan-kin menyapa padanya, "Wah, Sute tentu sangat lelah!"

Berbareng ia terus mengeluarkan kunci untuk membuka borgol Hi-tiok.

"Ah, sudah biasa masih kurang sedikit, bila selesai barulah aku pergi mengaso," sahut Hi-tiok.

"Sudahlah Sute boleh pergi mengaso saja hari ini biar kukerjakan untukmu." kata Yan-kin.

"Silakan sute pergi makan dulu, daharan sudah tersedia di dalam rumah sana. Selama beberapa hari ini aku telah banyak berbuat kajur padamu, sungguh aku sangat menyesal, harap Sute suka memaafkan."

Mendengar nada Yan-kin itu mendadak berubah 160 derajat, Hi-tiok sangat heran. Ketika ia berpaling, ia lihat mata dan hidung Yan-king matang biru seperti habis dihajar orang. Keruan Hi-tiok tambah heran.

Sebaliknyn Yan-kin tampah takut-takut, dan merengek-rangek, "Ai, dasar mataku sudah lamur dan buram berbuat kasar pada Sute, jika ... jika sute tidak sudi mengampuni aku hatiku ... celaka... celakalah diriku."

"Aku sendiri berdosa dan pantas dihukum, apa yang dilakukan Suheng juga sudah pada tempatnya," ujar Hitiok.

Air rnuka Yan-kin mendadak berubah, "plak-plok", plak-plok tiba-tiba ia tempeleng muka sendiri beberapa kali, lalu berkata, "Sute, O, Sute, mohon belas kasihanmu, Jangan……janganlah marah padaku, aku .... "

Habis berkata, kembali berulang-ulang ia tampar muka sendiri dengan keras. Tentu saja Hi-tiok terheran-heran, tanyanya,.

"Hei, kenapa Suheng ini? Mengapa berbuat demikian!"

Tapi Yan-kin terus berlutut, ia pegang, baju Hi-tiok dan berkata, "Mohon ... mohon Sute memberi ampuun, kalau ... kalau tidak, maka kedua biji mataku ini sukar diselamatkan lagi.

"Ah. bagaimana Suheng ini sama sekali aku tidak paham maksudmu," sahut Hi-tiok dengan bingung.

"Ya, asal Sute suka mengampuni aku dan takkan mencukil biji mataku, maka selama hidup aku akan mengabdi padamu sebagai balas budimu yang besar ini," kata pula yan-kin.

"Sungguh aneh Suheng ini, bilakah aku pernah menyatakan hendak mencukil matamu?" sahut Hi tiok dengan melongo.

Air muka Yan-kin tampah pucat pasi, katanya, "Jika Sute berkeras tidak sudi memberi ampun, dasar mataku sendiri yang sudah lamur, terpaksa aku melaksanakan hukumanku sendiri."

Habis berkata terus ia menjulurkan dua jari tangan dan bertidak mencolok matanya sendiri.

Namun Hi-tiok sempat memegang tangan Yan-kin dan bertanya, "Siapakah yang memaksamu mencukit mata sendiri?"

"Aku ... aku tak berani bilang, kalau ... tahu kukatakan tentüJi ... jiwaku akan melayang," sahut Yan-kin dengan ketakutan.

Hi-tiok tambah heran, ia tidak tahu siapakah orang dalam siau-lim-si yang mempunyai pengaruh sedemikian besar sehingga membuat Yan-kin ketakutan setengah mati."

Ia coba tanya lagi, "Apakah kaumaksud tadi Hongtiang (ketua)?" .

"Bukan," sahut Yan-kin.

"Habis siapa? Apa para Tianglo dari Tat-hi jiu, Lo-li tin-ih atau Kai-hit-ih?" Hi-tiok mendesak pula.

Tapi Yan-kin tetap menjawab bukan katanya, "Sute, aku tidak berani menjelaskan siapa orangnya, aku hanya mohon engkau suka mengampuni aku. Kata mereka jika aku ingin menyelamatkan mataku, asal engkau sendiri yang mengucapkan mengampunì dosaku, maka selamatlah aku."

Sembari bicara tampak dia melirik ke samping dengan rasa takut. Waktu Hi-tiok memandang ke arah yang dilirik Yan-kin itu, ia lihat di bawah emper rumah sana duduk empat padri, semuanya berjubah padrì warna kelabu dan berkopiah, muka mereka menghadap ke sana sehingga tidak jelas terlihat.

Diam-diam Hi-tiok heran, "Apakah ke empat suheng ini yang dia maksudkan. Tentu mereka adalah orang penting dalam biara, karena Yan-kin suka mengganas pada hwesio yang dihukum kerja di kebun, maka sekarang mereka memberi ganjaran setimpal kepada Yan-kin.

Tapi akhirnya Hi-tiok berkata juga, "Sudahlah aku tidak marah pada suheng, sudah sejak tadi aku mengampuni kesalahanmu."

Sungguh girang Yan-kin tidak kepalang, cepat ia menyembah pula sehingga kepalanya penuh berlepotan air rabuk yang berbau busuk, tapi sedikit pun dia tidak menghiraukan.

"Lekas bangun, suheng jangan melakukan penghormatan sebesar ini," kata Hi-tiok.

Sesudah berdiri dengan penuh hormat Yan-kin mengundang Hi-tiok ke ruang makan, ia menuangkan teh dan mengambilkan nasi dan lauk-pauk, ia melayani Hi-tiok sendiri dengan servis lengkap.

Karena tak bisa menolak lagi, terpaksa Hi-tiok membiarkan Yan-kin melayaninya. Bahkan tiba-tiba Yan-kin berbisik-bisik padanya, "Apa sute ingín minum arak? Dan daging anjing? Mau? jika mau segera akan kucarikan."

"Wah, Omitohud! Dosa-dosa! Mana boleh ini!" demikian Hi-tiok terkejut dan berdoa.

Sebaliknya Yan-kin malah mengedip dan memicingkan matanya dengan penuh rahasia, lalu berbisik pula, "Jangan kuatir, segala dosa aku yang tanggung. Biarpun segera kupergi mengambilkan untuk dinikmati Sute."

"Jangan, jangan! Perbuatan yang melanggar pantangan ini sekali kali jangan Suheng sebut-sebut lagi," cepat Hi-tiok memerintahnya.

"Jika Sute merasa tidak aman makan minum puasnya di sini, boleh juga Sute keluar biara dan turun gunung sana," ujar Yan-kin pula. "Bila nanti Kai-lut-ih tanya, biarlah kukatakan Sute sedang kusuruh pergi membeli bahan keperluan kebun, tentu akan kututupi apa yang terjadi ini, tidak perlu kuatir."

Hi tiok menjadi kurang senang oleh ucapan Yan-kin yang makin tidak pantas itu, katanya dangan goyanggoyang tangan, "Dengan sujud kau menyadari dosaku yang sudah-sudah, maka segala larangan tak berani kulanggar lagi. Apa yang Suheng katakan barusan ini jangan disinggung-singgung pula."

Tarpaksa Yan-kin mengiakan, Tapi dalam hati ia mengomel, "Huh, dasar hwesio Sontoloyo, pakai pura-pura segala."

Karena Hi-tiok sudah berkata begitu, terpaksa ia tidak berani banyak rewel lagi, gegerutu ia melayani Hi-tiok dahar apa adanya, lalu menyilahkannya mengaso ke kamar tidur Yan-kin sendiri.

Begitulah selama beberapa hari Yan-kin terus melayani Hi-tiok dengan penuh hormat dan sangat baik melebihi melayani kakek-moyangnya.

Pada hari ketiga sesudah Hi-tiok makan siang, Yan-kin menyeduh satu teko teh wangi, ia menuangkan secawan dan disuguhkan kepada Hi tiok dengan hormat.

"Ai, mengapa Suheng sedemikian sungkan padaku," kata Hi-tiok. "Aku adalah seorang berdosa yang sedang menunggu hukuman, sungguh aku merasa tidak enak bila Suheng sedemikian baik padaku."

Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara genta ditabuh bertalu-talu dan tak terputus-putus, itulah tanda berkumpulnya semua padri Siau-lim-si. Suara demikian jarang dibunyikan kecuali hari-hari penting, setiap tahun belum tentu terjadi itu-dua kali.

Muka berkatalah Yan-kin, "Hongtiang membunyikan genta untuk mengumpulkan kita mari kita pergi ke Taihiong-po-tian (pendopo utama)."

Hi-tiok menyatakan setuju dan beramai-ramai dengan belasan padri lain buru-buru mereka menuju ke ruang pendopo.

Di sana tertampak sudah berkumpul dua ratus orang sedang padri lain masih berbondong-bondong datang. Hanya dalam sekejap saja seluruh penghuni biara, sebanyak 500 orang lebih sudah berkumpul di situ dan berbaris menurut urut-urutan tingkatan masing-masing.

Walaupun jumlah orang sangat banyak, tapi semuanya sangat prihatin dan diam saja sehingga suasana pendopo sunyi lenyap. Hi-tiok berbaris di antara padri angkatan yang memakai gelar "Hi". Sekilas ia lihat wajah padri

angkatan yang lebih tua tampak sangat serius, sangat prihatin.

Diam-diam Hi-tiok kebat-kebit, "Wah, jangan-jangan dosaku terlalu besar, maka Hongtiang sengaja mengumpulkan segenap padri untuk menyaksikan hukumanku. Melihat gelagatnya, naga-naganya bukan mustahil aku akan dipecat dan diusir pula dari sini."

Tengah berpikir dan kuatir, tiba-tiba terdengar mara genta dipalu tiga kali, serentak semua padri mengucapkan, "Omitohud!"

Lalu ketua Siau lim-ii, Hian-cu dan tiga padri angkatan "Hian" diiringi tujuh padri lain muncul dari belakang sana. Serentak para padri membungkuk tubuh untuk memberi hormat, Kemudian. Kian-cu mengambil tempal duduk masing-masing dan ketujuh padri yang tak dikenal itu pun menduduki tempat tamu.

Waktu Hi-tiok memperhatikan ketujuh padri itu, usia mereka tampak sudah tua dan dari dandanan mereka terang adalah padri tamu dari biara lain. Padri pertama yang duduk di ujung atas berusia paling tua, kira-kira ada 70 tahun, tubuhnya kecil tapi sinar matanya tajam berkilat-kìlat dan berwibawa.

Segera Hian-cu berseru kepeda para padri, "Ini adalah Sin-kong Siangjiu, Hongtiang jing liong-si di Ngo-tailan, harap kalian memberi hormat."

Diam-diam para padri Siau-lim-si berseru heran. Mereka tahu Sin-kong Siangjin sangat terkenal di dunia persilatan, dia dan Hian-cu Taisu disebut orang Bu-lim sebagal Hang-liong-lo han dan Hok-hou-lo-han, yaitu nama dua Budha penakluk naga dan harimau sebagai tanda penghargaan kepada mereka.

Melulu bicara tentang ilmu adat, konon kepandaian Sin-kong Siangjin masih di atas Hian-cu.

Cuma Jing-liang-si lebih kecil, kedudukannya di dunia persilatan jugi jauh di bawah Siau-lim-si, maka bicara tenteng nama sebaliknya Hian-cu lebih terkenal dan disegani.

Biasanya Sin-kong Siangjin terkenal sangatangkuh, jarang dia bergaul dengan dunia persilatan hubungan dengan Siau-lim-si juga tidak baik tapi sekarang dia berkunjung sendiri ke Siau-lim-si maka dapat dikatakan tentu ada sesuatu yang luar biasa.

Begitulah sesudah para padri memberi hormat kepada Sin-kong, lalu Hian-cu memperkenalkan pula keenam padri yang lain.

Keenam Taisu ini juga ada yang datang dari Jing-liang-si, adapula Cuma kenalan Sin-kong Siangjin saja. Tapi semuanya adalah pada agung dan saleh.

"Sungguh kita harus merasa bahagia hari ini mendapatkehormatan atas kunjungan mereka, maka aku sengaja mengumpulkan kalian untuk berkenalan dengan Siangjin, diharap Siangjin suka memberikan ceramah seperlunya demi perkembangan agama kita.”

Untuk itu segenap padri Siau-lim-si mengucapkan terima kasih.

"Jangan sungkan," sahut Sin-kong Siangjin. Dia bertubuh pendek kecil, tapi suaranya kecil nyaring dan keras sebagai auman siaga heran semua orang terkejut.

Maka terdengar sih kong Siangjiu melanjutkan, "Siau-lim-si adalah sebuah biara suci yang terpuji, sudah lama sekali aku sangat mengaguminya maka pada 60 tahun yang lalu pernah kudatang kemari untuk mohon diterima sebagai murid tetapi rupanya aku tidak memenuhi syarat dan ditolak. Kini 60 tahun kemudian aku berkunjung kemari lagi, keadaan tempat tampaknya masih tetap sama, cuma orangnya yang sudah jauh berbeda, sungguh halus dibuat gegetun."

Mendengar ucapan Sin-kong itu, kembali para padri terkesiap. Dari nadanya itu terang dia agak dendam pada Siau-lim-si, maka bukan mustahil kedatangannya ini bertujuan hendak cari perkara.

Watak Hian-cu agak ramah dan sabar, maka dengan tenang ia menjawab, " O , kiranya dahulu Suheng pernah ingin masuki Siau-Lim-si kita. Walaupun tidak jadi, tapi biara agung di dunla ini sama saja, buktinya hari ini Suheng dapat menjadi pemimpin Jing-liang-si, hal ini pun merupakan kehormatan bagi murid-murid Budha seluruhnya, Adapun dahulu Suheng telah ditolak oleh Siau-lim-si sehingga membuat Suheng kurang senang untuk itu di sini kumuhonkan maaf sebesar-besanya. Namun begitu akhirnya Suhong dapat memimpin suatu cabang tersendiri dan sangat berjasa bagi agama kita, kalau diingat rasanya pertemuan ini memang sudah takdir dan jodoh."

Habis berkata ia merangkap tangannya dan memberi hormat,

Sin-liong Siangjin berbangkit dan membalas hormat Hian-cu lalu sahutnya, "Sebenarnya dahulu kumohon diterima di Siau-lim-si adalah lantaran sangat kagum kepada kepemimpinan Siau-Lim-si yang terkenal di dunia persilatan, tapi yang lebih penting adalah karena Siau-lim-si terkenal mempunyai disiplin yang keras dan peraturan yang baik, segala apa mengutamakan pri-keadilan."

Sampai di sini, mendadak sinar matanya (sng berkilat-kilat itu mengerling patung Budha yang terpuja di ruang pendopo itu, lalu sambungnya dengan mengejek, "Tapi tidak nyana bahwa di dunia ini ternyata banyak terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tahu begini jauh baik dahulu aku tidak perluberkunjung ke sini."

Ucapan Sin-kong yang terakhir im seketika membuat para padri Siau-lim-si merasa kurang sening. Cuma disiplin Siau-lim-si sangat keras biarpun mereka merasa gusar, tetap mareka diam saja.

Maka Hian-cu Hongtiong lantas menjawab,”Sancai, Siancai! Mengapa suheng berkata demikian? Andaikan di antara anggota biara kami yang sangat banyak ini ada yang berbuat salah untuk ini harap suheng suka bicara terang agar kalau salah biar dihukum, kalau keliru biar diperbaiki. Tapi dengan ucapan Suheng barusan seakanakan nama baik Siau lim-si yang bersejarah beratus tahun ini telah Suheng hapus dengan sekaligus, hal ini sesungguhnya agak keterlaluan."

"Numpang tanya Suheng, biara kita ini apakah kantor pembesar negeri atau sarang penyamun?” tanya Sìnkong Siang jin.

"Siaucang tidak paham apa maksud perkataan suheng, mohon diberi penjelasan," sahut Hian-cu.

"Kalau pembesar negeri memang suka menangkap dan memenjarakan orang penyamun suka menculik orang dan minta tebusan, semua itu adalah kejadian biasa," kata Sin-kong. "Tetapi siau-lim-si bukan kantor pembesar dan juga bukan sarang penyamun, mengapa boleh sembarangan menahan orang dan dilarang pergi. Numpang tanya Suheng dengan perbuatan Siau-lim-si yang sewenang-wenang ini apakah masih dapat disebut sebagai tempat suci agama Budha?"

Sekilas Hian-cu melirik padri keempat yang duduk dibaris Sin-kong itu diam-diam ia membatin, "Mata padri itu cekung, kulitnya hitam, memang tidak sangsi dia bukan padri sini, sekarang hadir disini dan memang datang dari Thian-lok terang kedatangannya ini hendak memintaPolo Sing cuma tidak diketahui mengapa dia bisa bersekongkol dengan Sin-kong dari Jing-liang-pai.”

Tiba-tiba ia mendapat pikiran, segera ia bertanya, "Suheng ada sesuatu yang tidak jelas, mohon Suheng memberi keterangan. Umpama kalau seseorang mengerayangi Ngo-tai-san dan hendak mencuri kitab pusaka kalian "Hok-hou-boh” dan laia-lain lantas cara bagaimana Suheng akan mengambil tindakan terhadap orang itu."

Sin-kong bergelak tertawa, ia berpaling dan berkata kepada padri bermuka hitam itu. "Maha,dengan demikian jadi Hian-cu Taisu telah mengaku sendiri bahwa Polo Singh Suheng memang betul di Sian-lim-si sini."

Kiranya paderi muka hitam itu tak lain tak bukan adalah Cilo Singh, Suheng Polo Singh yang tempo hari pernah bertemu dengan Goan-cl di tengah jalan dan telah dikalahkan serta ngacir kembali ke Thian-tiok, tapi di tengah jalan dia bertemu dangan seorang padri Tionghoa yang tua dan bertongkat baja, padri tua itu tiada hentinya mengamat-amati Cilo Singh dengan sikap yang mencurigakan.

Memangnya Ciio Singh lagi msndongkol, karena dia fasih bahasa Tionghoa, segera ia tegur padri tua itu secara kasar dan menyuruh dia lekas enyah. Dasar watak padri tua itupun berangasan sekali cekcok maka bertempuriah kedua orang itu.

Lebih satu jam lamanya mereka bertempur dan tetap sama kuat, Sampai hari sudah hampir gelap, tiba-tiba padri tua itu berteriak minta pertempuran diberhentikan, katanya, "Hai, padri asing ilmu silatmu sangat tinggi, cuma sayang perangaimu terlalu kasar dan kurang sopan.”

"Ah, kaupun setali tiga uang, tidak perlu mengolok-olok aku," sahut Cilo Singh.

Memang di antara mereka tiada bermusùhan apa-apa, sesudah bertarung sekian lama, timbul rasa suka satu sama lain di antara mereka, maka mereka lantas saling tanya nama masing-masing.

Ternyata padri tua itu bergelar Sin-im, dia adalah Sute Sin-kong Siangjin, ketua Jing-liang-si, Kemudian Sinlm tanya maksud kedatangan Cilo Singh ke Tionghoa ini yang dijawab oieh Cilo Singh tentang ditahannys Polo Singh di Siau-lim-si.

Dasar sifat Sin-im memang suka usilan, suka cari perkara, pula sudah lama dia merase iri kepada Siau Lim Si yang tersohor itu, terdorong lagl oleh perangainya yang sok dihadapan sahabat baru itu, maka ia berkata, "ilmusilat Suhengku Sin kong tiada tandingannya di dunia ini, selama ini S¡au-lim-si juga tak dipandang sebelah mata oleh beliau. Marilah kuperkenal kan engkau kepada suhengku itu, tentu beliau dapat membantumu menolong Sutemu.”

Begitulah maka Sin-im membawa Cilo Singh pulang ke Jìng-Liang-si untuk menemui Sin-kong.

Kalau Sin im itu seorang yang kasar, sebaliknya sin-kong adaiah seorang yang pintar menggunakan otak. Ia pikir ketua Siau-lim-sl adalah seorang yang ramah tamah, kalau dia sampai menahan Polo Singh, dapat diduga pasti ada sebab pula yang penting.

Segera ia melayani Cilo Singh dengan baik dan perlahan memancing keterangannya, tidak sampai setengah bulan, segala rahasia Cilo Singh telah dapat dikorek. Dapat diketahui oleh Sin-kong bahwa kepergian polo Singh ke Siau lim si itu adalah ingin mendapatkan kitab pusaka jika kitab itu belum didapat dan tertangkap

paling-paling Polo Singh akan digebah pergi dan selesailah urusannya.

Tapi sekarang Polo Singh ditahan dan dilarang pergi, jelas karena kitab yang hendaki dicuri itu sudah terpegang oleh Polo Singh dan tentu pula sudah diapalkan isinya. Pula kalau kitab yang dicuri itu adalah kitab ajaran agama biasa, tentu siau-lim-si tidak perlu ribut, bila sekarang Polo singh sampai ditahan, maka dapat dipastikan kitab yang dicuri tentu kitab pusaka tentang ilmu rahasia Siau-lim-si.

Teringat akan "kitab pusaka ilmu silat Siau-lim-si," seketika Sin-kong sangat, tertarik dan berhasrat memilikinya.

Hendaklah maklum bahwa Sin-kong ini sesungguhnya seorang yang berbakat sangat tinggi. seorang jenius yang jarang ada. Cuma sayang sumber Ilmu silat Jing-liong-si itu jauh dibandingkan Siau-lim-si, apa yang dapat diyakinkan Sin kong itu sangat terbatas dan sebagian besar juga tergolong kepandaian kasaran yang tak bisa dianggap sebagai kungfu kelas satu. Namun begitu toh ilmu silat Sin-kong juga terlatih sampai tingkatan yang tinggi sekali ini membuktikan betapa cerdas dan tinggi bakat pambawaan Sin-kong.

Dahulu waktu dia mohon masuk menjadi murid Siau-lim-si, tatkala itu ia baru berumur 17 tahunan, Biau-yap Siansu, ketua Siau-lim-si pada waktu itu, merasa kecerdasan Sin-kong itu terlalu menonjol, sebaliknya jiwanya kerdil dan bukan seorang ahli waris baik, jika diterima masuk siau-lim-si tentu di kemudian hari akan menimbulkan gara-gara, maka dia telah menolaknya dengan kata-kata halus. Lantaran itulah Sin-kong akhirnya masuk Jing-liang-si dan ketika usianya baru 30 tahun kepandainnya sudah menjago seluruh biara itu, bahkan tidak lama kemudian diangkat pula sebagai ahli waris dan menjadi ketua Jing-liong-si.

Dengan kepandaiannya sekarang Sin-kong tentu sudah jauh melampaui segala kitab pusaka Jing liong-si yang ada, untuk bisa menanjak lebih tinggi lagi terang sukar kecuali mencari jalan keluar lain.

Sekarang ia dengar keterangan Cilo Singh itu, setelah dipikir beberapa hari akhirnya ia mengambil suatu keputusan, ia akan tampil ke muka untuk membantu Cilo Singh dan membebaskan Polo Singh dari tahanan Siau-lim-si.

Ia tahu jumlah orang Siau lim-si sangat banyak tapi tentunya alim dan suka bicara tentang kebenaran, sebagai murid Budha masakah mereka berani menahan orang secara paksa dan asal Polo Singh dapat dikeluarkan, rasanya tidak susah untuk mengorek rahasianya tentang ilmu silat biara Siau lim-si.

Karena itulah, segera ia mengirim anak buahnya untuk menyampaikan undangan kepada Hong-beng Taisu dari Tai-siang-kok-si di thai-long-hu. To-jing Taisu dari Bo-to-si di daerah kanglam, Kat-hian Taisu dari Tong-limsi di Lo-San dan Yong-ti Taisu dari Ceng-eng-si di Tiang lam. Bersama keempat padri agung itu, ditambah Kim-im dan Cilo Singh, mereka bertujuh lantas mendatangi Siau-lim-si.

Kedudukan keempat padri agung itu meski bukan ketua sesuatu golongan tapi nama mereka cukup terkenal di Bu-lim, cuma mereka labih mengutamakan ajaran agama daripada ilmu silatnya, tapi kedudukan mereka menjadi kurang menonjol di biara masing-masing.

Kembali tadi demi mendengar Sin-kong Sianjin mengatakan dia telah mengaku sendiri adanya Polo Singh, nada Sin-kong itu pun penuh itu, biarpun Hian-cu biasanya sangat sabar, tanpa terasa timbul juga rasa gusarnya, segera ia berkata, "Padri Thian liok yang bernama Polo singh itu memang benar pernah berkunjung kesini, mengenai hal ini bilakah aku pernah memenyangkal?”

”Kalau tidak menyangkal, itulah paling baik” Seru Sin-kong sambil terbahak bahak. "Nah, mereka adalah Liong-beng Taisu dan Siang-kok-si di si-hong, dan ini adalah Kat-hian Taisu dari tong-lim-si di Lo-san, yang itu adalah Yong-ti Taisu dari Ceng-eng-si di Tiang an dan yang terakhir itu adalah To-jing Taisu dari Bo-to-si dari Kang lam. Mereka semuanya padri agung dari biara paling terkenal di negarl ini, aku sengaja mengundang meraka ke sini dengan permohonan mereka suka menjadi saksi. Baru saja Hong lang Suheng mengaku Polo Singh dari Thian-liok memang berada di biara kalian ini, maka diharap sekarang juga suka bebaskan dia agar dapat pulang ke negeri asalnya dan supaya sesama kaum kita di negeri sahabat itu tidak mengatakan kita berlaku sewenang-wenang dan menahan saudara sendiri sesama agama."

Begitulah dengan kata-kata tajam Sin-kong menuduh Siau-lim-si menahan kawan sesama agama maka bagi orang Siau lim-si yang tak tahu kejadian sebenarnya, mereka menduga Hian-cu tentu akan terpaksa membebaskan Polo Singh.

Maka terdengarlah Hian-cu menjawab, "O, kiranya keempat Taisu itu adalah tokoh yang sangat terkenal di Bulim, sudah lama sekali kukagum kepada nama mereka, sekarang dapat berkenalan, sungguh sangat beruntung!"

Habis berkata, segera ia merangkap tangan untuk memberi hormat. Ia sengaja bicara menyimpang kepada halhal yang bukan mengenai persoalan pokok untuk mengulur tempo sembari mencari akal cara bagaimana harus menghadapi Sin-kong Siangjìn.

Keempat padri agung itu berbangkit untuk membalas hormat, sahut mereka, "Jika Polo Singh Suheng dari Thian-tiok memang betul berada di sini, bila dia telah melanggar sesuatu pentangan dan membikin marah Hong-tiang, untuk itu diharapkan Hongtiang suka mengingat sesama agama dan membiarkan Cilo Singh Suheng ini membawa kembali Sutenya, untuk itu kami merasa sangat berterima kasih."

Diam-diam Hian-cu membatin, "Tidaklah susah untuk melepaskan Polo Singh, tapi sekali dia dibebaskan, itu berarti rahasia ilmu silat Siau-lim-si untuk seterusnya akan terbuka bagi pihak luar."

Begitulah dengan rasa serba susah, Hian-cu menjadi bingung Cara bagaimana harus menjawab, untuk mengulur waktu terpaksa berulang ulang ia menyebut "Omitohud!"

Sesudah agak lama katanya kemudian, "Polo singh Suheng berkunjung ke biara kami ini, semua anggota kami telah menyambut dan melayani dia sebagai kawan yang datang darí negerí budha yang terhormat. Tak terduga diam-diam menggali torowongan di bawah tanah dan menyelundup ke gedung perpustakaan untuk mencuri kitab pusaka ilmu silat kami yang sudah turun-temurun ini. "Nah, Sin-kong Siangjin, apa yang kutanyakan tadi belum kaujawab, coba umpamanya Jing-liang-si kalian yang digerayang, lalu Suheng sendiri selaku Hongtiang akan Ambil tindakan apa?"

Sin-kong tersenyum, sahutnya, "Tinggi atau rendahnya ilmu silat setiap orang bergantung keyakinan masingmasing. Soal kitab pusaka segala adalah soal sekunder. Bila kebetulan ada satu-dua orang ksatria sudi berkunjung ke Jing-liang dan mampu mencuri kitab pusaka kami, maka aku akan mengaku diri sendiri tak becus dan apa mau dikatakan lagi. Habis orang cuma membaca kadarnya sekedar ilmu silatmu, apakah jiwa orang ikut dihabiskan atau menahannya selama hidup? Ehh, bukankah keterlaluan!”

Hian-cu tersenyum, katanya, "Jika kitab yang di curi itu hanya kitab pasaran yang tiada harganya, sudah tentu tiada alangannya untuk diketahui oleh umum. Tapi kalau Intisari kitab pusaka kalian memang sangat hebat dan sangat berguna, sesudah dicuri lalu kebetulan jatuh di tangan manusia yang sombong dan berjiwa kerdil, maka akibatnya tentu akan celaka, tentu akan merupakan bencana bagi dunia persilatan."

Ucapan Hian-cu tetap ramah-tamah, tapi kata-kata "manusia vang sombong dan berjiwa kerdil" jelas sengaja ditujukan kepada Sin-kong SianJin.

Keruan Sia-kong Siang-jin kurang senang, sahutnya, "Ucapan Hong-tiang ini hanya alasan sepihak saja, besar kemungkinan masih ada persoalan lain lagi. Yang terang Cilo Singh sudah jauh-jauh datang kemari mamakah Hongtiang tidak mengizinkan dia menemui suteya!"

Hian-cu pikir kalau tetap melarang Polo singh bertemu dengan Cilo Singh hal ini tentu akan disangka Siau limsi bersalah dan para padri agung dari Bo-to-il dan lain-lain tentu juga akan kurang puas, maka katanya kemudian, "Baik, undang Polo Singh Suheng kemari!"

Sesudah perintah itu diteruskan, tidah lama kemudian empat padri tua telah membawa Polo Singh ke ruang pendopo.

Melihat Cilo Singh hadir disitu, saking gìrang dan terharu sampai Polo Singh meneteskan air mata terus menubruk maju untuk merangkulnya. Maka bicaralah mereka dalam bahasa mereka yang sukar dipahami, tapi dapat diduga Polo singh lagi menuturkàn pengalamannya tentang mencuri kitab dan tertangkap serta dikurung

oleh pihak Siau-lim-si.

Sebaliknya Cilo Singh tampak mengangguk-angguk, akhirnya dengan, suara yang lantang Cilo singh berseru dalam bahasa Tionghoa "Hongtiang siau-lim-si bohong. Polo Singh tidak pernah mencuri kitab ilmu silat apa segala dia cuma mencuri kitab ajaran Budha, yang memang berasal dari negeri Thian-liok kami. Dia hanya membacanya saja dan bukan sesuatu pelanggaran kejahatan apalagi karena Cosu adalah bangsa kami beliau telah mengajarkan ilmu silat pada kalian sebaliknya kalian malah mengurung padri Thian-liok terang ini sangat tidak bersahabat dan .... dan tak kenal budi kebaikan."

Karena alasan Cilo Singh yang cukup kuat dan seketika padri Siau lim si menjadi bungkam. Kalau Polo Singh tetap menyangkal mencuri kitab ilmu silat, sedangkan barang bukti tidak ada, dengan sendirinya tuduhan pihak Siau-lim-si kurang kuat.

Akhirnya Hian-cu berkata, "Siancai! Orang beragama tidak boleh berdusta. Polo Singh Suheng jika engkau berdusta apa engkau tidak akan masuk neraka. Coba jawab, Tai-kim-kong kun-keng (kitap ilmu pukulan sakti) pernah kau curi dan membacanya atau tidak?"

"Tidak, yang pernah kupinjam baca hanya kitab Kim-kong-keng (nama kitap agama Budha)." sahut Polo Singh.

"Dan Pan-yak-ciang-hoat-keng milik Siau lim-si kami pernah kaucuri dan membacanya iya tidak?" tanya Hiancu pula.

"Tidak, aku cuma pernah pinjam baca sebentar pan-yak-po-mi-sim-kong," sahut Polo Singh. Tapi kitab-kitab itu hanya kubaca saja, kitab itu sudah seharusnyá dipelajari oleh murid budha kita sekalian, Siauceng hanya pinjam baca dan sekedar memperdalam pengetahuanku tentang agama kita, entah di mana jelek kesalahanku?"

Perlu diketahui bahwa Polo Singh itu memang seorang yang pintar dan cerdik, pengetahuan juga sangat luas, makanya dia dikirim oleh kerabat-kerabatnya dari Thian-liok untuk mencuri kitab ke Siau-lim-si. Sekarang dia berdebat dengan menitik beratkan pada ajaran agama, ia tak semua tuduhan tentang mencuri kitab ilmu silat segala, dengan demikian Siau-lim-si berbalik kelihatan di pihak yang salah dan pelit, masakah ilmu ajaran agama dipinjam baca saja tidak boleh.

Hian-cu juga tidak tanya lagi, ia hanya menyebut, "Omitohud!"

Mendadak sesosok bayangan melesat maju di sebelahnya dan kontan menghantam punggung Polo Singh. Pukulan itu sangat dahsyat dan cepat luar biasa, tempat yang diarah juga Ci-yang-hiat yang mematikan di punggung Polo Singh. Serangan yang maha hebat itu datangnya juga mendadak sehingga tampaknya sukar

dicegah lagi.

Tiba-tiba Polo Sing membaliki kedua tangan belakang sehingga pukulan penyerang tadi seperti kebentur dinding baja. Tapi menyusul terus orang itu berubah menjadi telapak tangan ia memotong kuduk Polo Singh.

Baru sekarang tertampak jelas penyerang itu adaláh saorang padri Siau lim-si yang memakai kasa (jubah padri) merah.

Gerakan Polo Singh juga sangat cepat, ia putar tubuh dan menunduk kepala, berbareng jari kirinya menujuk telapak tanganpenyerangnya. Jika padri, Siau-lim-si itu tidak tarik kembali tangannya, itu berarti tangannya disodorkan sendiri untuk ditutuk Polo Singh dan bukan mustahil tangannya akan cacat untuk selamanya.

Maka cepat padri tua itu tarik kembali tangannya dan menggeser ke samping Polo Singh, menyusul ia menyerang pula secara bertubi-tubi sehingga dalam sekejab saja sudah memberondong tujuh kali pukulan yuug mengarah tujuh tempat yang berbeda-béda, cepatnya susah dilukiskan.

Karena tiada jalan buat menghindari, terpaksa Polo Sing juga balas menghantam tujuh kali. maka terdengarlah suara "plak-plok" yang ramai. pukulan kedua orang saling bentur, cepat dan tepat sekali kepalan kedua orang itu saling beradu sehingga mirip dua saudara seperguruan yang sedang berlatih.

Sesudah saling hantam, mendadak Polo Singh teringat sesuatu, ia bersuara sadar dan segera melompat mundur. Padri Siau-lim-si itu pun tidàk menyerang lagi, tapi pelahan mengundurkan diri sambil memberi hormat kepada Hian-cu.

Dengan tersenyum Hian-cu berkata kepada Sin-kong Siangjin. "Bagaimana, Siangjin?"

Lalu ia pun berpaling kepada Liong-beng To jing dan lain-lain, "Harap para Suheng suka memberi peradilan dengan bijaksana!"

Seketika suasana ruang pendopo menjadi sunyi senyap, hanya terdengar Sin-kong mendengus sekali atas pertanyaan Hian-Cu itu.

Sejak Hi-tiok mendengar Sin-kong menyinggung soal Siau-lim-si menahan padri Thian-liok, maka tahulah dia bahwa urusan yang hendak dibicarakan sekarang tiada sangkut-pautnya dengan urusan sendiri, maka ia menjadi lega. Ketika menyaksikan seorang kakek gurunya menyerang Polo singh dan setiap serangannya dapat dipatahkan oleh padri asing itu, sesudah beberapa gebrak lalu kedua orang berhenti bertempur.

Dengan kepandaian, Hi-tiok sekarang dapat dilihatnya bahwa jurus-jurus serangan kedua orang itu belum mencapai tingkatan yang tertinggi, entah mengapa mereka cuma bergebrak dua-tiga kali lantas berhenti, Hongtiang sendiri tampak agak senang dan pihak lawan seperti merasa malu, padahal dalam beberapa gebrakan itu sana sekali Polo Singh tidak kelah.

Kemudian terdengar Liong-beng Taisu berdehem sekali, lalu berkata, "Tadi Polo Singh Suheng telah menggunakan tiga jurus serangan yang berbeda-beda dan seperti berasal dari Pan-yak sing-hoat, Mo-ko-ci-hoat dan Kim-kong-kun-hoat."

"Hahahal" Sin-kong menanggapi dengan tertawa. "Ternyata kalangan agama Budha di negeri kita ini tidak sedikit mendapat kebaikan dari negeri Thian-tiok, Dahulu Budhitama datang ke timur sini dengan membawa kepandaiannya dan mendirikan Siau-lim-si yang agung, ilmu silat berasal dari Thian-tiok itu ternyata turun temurun sampai sekarang dan cara yang dimainkan Siau-lim-si tadi juga cocok satu sama lain dengan Ilmu silat padri agung dari Thian-liok, sungguh harus dibuat girang dan dipuji."

Para padri Siau-lim-si merasa gusar atas ucapan Sin-kong yang memutar balikkan persoalan itu. Barusan padri yang perkasa merah, Hian siang, Sute Hian-cu, secara mendadak menjajal Polo Singh yang menyangkal telah mencuri baca kitab ilmu silat siau-lim-pai, dengan serangannya ia paksa Polo Singh mau-tak-mau harus menangkis dengan Pan-yak-ci sing-hoat dan lain-lain kepandaian yang jelas adalah kungfu Siau-lim-si.

Dari bukti nyata yang dimainkan Polo Singh tadi benar terjadi seperti dugaan Hian-sing. Siapa tahu Sin-kong Sianjin justru sengaja memutar balikkan kenyataan dan mengatakan kepandaian Polo Singh itu berasal dari negeri Thian-tiok sendiri.

Maka Hian-cu lantas menjawab, "Bahwasanya agama biara kami dan ilmu silatnya berasal dari ujaran Dharma Cosu, hal ini memang tidak salah Dan kalau Polo Singh bicara terus terang untuk memintanya, dengin hormat kami pasti akan memberikan kitab tinggalan Dharma Cosu Itu. Akan tetapi pencipta Pan-yak ciang-hoat adalah Goan-goan Taisu, Hongtiang angkatan ke-8 biara kami. Mo-ko ci-hoat adalah ciptaan Pat-ci Thau-to, seorang tokoh terpandai angkatan tua kami begitu pula Kim-kong-ciang-hoat juga ciptaan gabungan beberapa padri agung angkatan ke-11 biara kami tiga macam kungfu itu sama sekali berbeda dengan ilmu silat dari Thian-liok, bagi tokoh-tokoh yang hadir di sini tentu tidak sulit untuk membedakannya dan tidak perlu banyak kuberi penjelasan."

Liong-beng berempat merasa apa yang dikatakan hian-cu memang tidak salah, maka bersama-sama mereka tanya Sin-kong, "Bagaimana pendapatmu, Siang-jin?"

Sin-kong tersenyum, sahutnya, "Apa yang dikatakan Hongtiang barusan hanya pembelaan sepihak saja. Padahal tempo hari Cilo Singh sudah pernah bilang padaku tentang ilmu silat thian-liok yang mirip dengan

ilmu silat Tiongkok di antaranya juga disebut-sebut Tan-yak-ciang-hoat dan lain-lain, dia mengatakan jurus Thian-lu-hong yang dimainkan Hian-sing Suheng tadi itu bahasa hindu kuno disebut 'abisnitor', dan apa yang dikatakan Cilo Singh Suheng itu benar atau tidak!"

Dengan terkejut bercampur marah Hian-cu menjawab, "Pandangan Suheng memang sangat teliti, Kagum, sungguh kagum!"

Kiranya sin-kong Siangjin memang sangat cerdas, hanya melihat sekejap saja pertarungan Polo Singh melawan Hian-sing tadi segera dapat dikehuinya di mana letak intisari jurus Pan-yak-cing-hoat yang dikatakan itu, maka dia sengaja menyatakan mendengar cerita dari Cilo Singh untuk membuktikan bahwa ilmu silat itu memang berasal dari Thian-liok. Apalagi ia sendiri pun sangat keruk kepada ilmu silat Siau-lim-pai.

Sesudah menyaksikan beberapa gebrakan Hian-sing tadi, ia anggap padri Siau-lim-si itu benar-benar terlalu goblok, masakah ilmu sakti tinggi angkatan tua mereka cuma dipahami sedikit saja kalau aku diberi kesempatan mempelajari bukan mustahil aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia ini.

Bagi Hian-cu, sudah tentu tahu apa yang dikatakan Sin-kong itu bohong belaka dan sengaja mau menang sendiri saja. Tapi diam-diam memuji juga atas bakat dan kecerdasan Sin-kong yang luar biasa itu. Sesudah berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Hian sing, "Sute, hendaknya kau pergi ke Cong keng-kak (gedung perpustakaan) dan bawa kemari ketiga kitab yang tercatat ketiga ilmu ilmu silat tadi."

Hìan-sing menyatakan baik dan segera keluar. Tidak lama kemudian ia datang kembal dengan membawa ketiga jilid kitab yang dminta itu. padahal jarak ruang pendopo itu dengan Cong-keng kok cukup jauh, maka dapat di bayangkan betapa hebat ginkang Hian-sing. diam-diam para padri Siau lim-si sangat mengagumi Jago mereka yang lihai itu.

Ketiga kitab itu tampak sudah sangat tua kertasnya sudah kuning. Sesudah kitab-kiiab itu terletak di atas meja, lalu Hian-cu berkata, "Para Suheng silakan periksa, dalam kitab-kitab itu tercatat asal-usul terciptanya ilmuilmu tadi. Andaikan para Suheng tidak percaya pada omonganku apakah bukti tinggalan tokoh-tokoh angkatan tua Siau-lim-si ini juga dapat dianggap bohong? Apakah mungkin para tertua Siau-lim-si yang dulu sudah melakukan tindakan-tindakan yang tidak tahu malu?"

Ucapannya yang terakhir itu sengaja hendak menyinggung perasaan Sin-kong, tapi Sin-kong pura-pura tidak tahu, ia ambil kitab Pan-yak-ciang-hóat, lalu membacanya sehalaman demi sehalaman. Kedua kitab yang lain masing-masing diambil dan dibaca oleh Liong-beng Tiansu dan To jiu Taisu, Tapi Liong-bcos berdua Cuma membaca kata pengantarnya dan catatan-catatan penting laìn dengan sekedarnya, lalu diserahkan kepada Katthian dan Yong-ti Taisu.

Keempat padri agung itu merasa kitab-kitab itu adalah kitab pusaka Siau-lim-si dan tidak pantas dibaca oleh

orang luar. Apalagi Hian-cu telah berani memperlihatkan kitab pusakanya, tentu tuduhannya kepada Polo Singh tidak beralasan, kalau mereka membaca dengan teliti akan berarti menyangsikan ucapan Hian-cu dan hal ini berarti tidak sopan.

Tidak demikian halnya dengan Sin-kong, dia tidak sungkan-sungkan lagi dan membaca dengan teliti jelas dia sangaja mencari ciri-ciri kelemahan kitab itu untuk digunakan sebagai bahan bantahan terhadap Hian-cu. Seketika itu suasana ruang pendopo menjadi sunyi, hanya terdengar suara keresekan Sin Kong membalik-balik halaman kitab.

Sampai sekian lamanya Sin-kong membaca kilat itu dengan teliti, tapi air mukanya tetap tenang tanpa menujuk sesuatu perasaan, Selesai membaca kitab yang satu kemudian kitab yang lain dibacanya pula. Dan setelah dia menutup halaman terakhir kitap ketiga, kemudian ia serahkan semuanya kepada Hian-cu. Lalu memejamkan mata dan termenung.

Melihat kelakuan Sin kong itu Hian-Cu menjadi sangsi dan heran pula.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Sin-kong membuka mata dan berkata kepada Cilo Singh. "Cilo Suheng, tempo hari engkau telah menguraikan segala rahasia yak-ciang-hoat itu padaku, aku masih ingat dalam bahasa Hindu yang kauuraikan itu berbunyi.... "

Begitulah Sin kong lantas mengucapkan serentetan kalimat dalam bahasa Hindu kuno, kemudian ia uraikan pula terjemahannya dalam bahasa Tionghoa akhirnya ia tanya pula pada Cilo Singh,

"Betut tidak bunyi kunci rahasia yaug merupakan inti Pan-yak-ciang-hoat yang kauuraikan padaku itu Cilo Suheng?"

"Benar, benar! Memang begitulah bunyinya!" sahut Cilo Singh tanpa piker.

"Dan tentang isi Kim-kong-kun-hoat dan ko-ko ci-hoat yang pernah Suheng uraikan itu, bagian-bagian yang penting juga masih kuingat dengan baik," ujar Sin-kong pula. Lalu ia mengapalkan di luar kepala dalam bahasa Hindu kuno, kemudian terjemahannya dalam bahasa Tionghoa.

Seketika air muka Hian-cu dan padri agung Siau-lim-si yang lain sama berubah pucat. Sebab apa yang diapalkan Sin-kong itu memang sedikit pun tidak salah adalah isi ketiga kitab yang dikatakan itu.

Sungguh tidak nyana bahwa ingatan Sin-kong sedemikian baiknya, hanya sekali baca saja sudah dapat mengapalkan di luar kepala, pula dia mahir bahasa hindu kuno sehingga lebih dulu ia menjemahkannya ke dalam bahasa Hindu, lalu mengapalkan kembali dalam bahasa Tionghoa seperti apa yang telah dibacanya, dengan demikian menjadi seakan-akan kitab itu awal mulanya adalah bahasa Hindu, kemudian baru diterjemahkan dalam bahasa Tionghoa.

Dengan begini dosa Polo Singh yang mencuri kitab itu dapat dicuci bersih, sebaliknya pihak Siau-lim-si menjadi tertundukmalah sebagai pihak yang menjiplak. Kalau berdebat belum tentu dapat mengalahkan Sinkong yang pintar main lidah itu, maka Hian-cu menjadi sangat dongkol, tapi tidak berdaya.

Tiba-tiba Hian sing tampil ke muka lagi dan berkata kepada Cilo Singh, "Taisu bilang Pan-yak ciang dan lainlain diperoleh Siau-lim-si dari negeri kalian dan dengan sendirinya taisu juga sangat mahir. Untuk membuktikan benar tidaknya urusan ini adalah sangat mudah. Sekarang ingin kupelajari kenal dengan ke tigamacam kepandaian Taisu yang hebat ini, kita sama-sama menggunakan ketiga macam Ilmu silat itu, harap Taisu sudi memberi petunjuk."

Habis berkata, sekali lompat, tahu-tahu la sudah berdiri di depan Cilo Singh. Diam-diam Hian-cu mengakui tindakan sing Sute yang tepat itu, mengapa dirinya tidak teringat pada akaldemlkian ini? Sebaliknya Sin-kong Siangjin juga terkesiap, sebab Cilo Singh sudah tentu tidak paham Pan-yak-ciang segala. Lantas bagaimana harus melayani tantangan Hian-sing itu?”

Benar juga tampak wajah Cilo Singh menunjuk rasa serba susah, tapi la pun berkata, "llmu silat negeri kami terlalu luas dan banyak sama halnya seperti Siau-lim-si terkenal mempunyai 72 macam ilmu silat khaas yang lihai. Sekarang ingin kutanya juga kepada Taisu, apakah Taisu sendiri mahir seluruh kepandaian Siau-lim-si itu. Jika aku juga menyebut tiga macam diantaranya apakah Taisu sanggup memainkannya?"

Bantahan ini membuat Hian-sing tertegun. Memang di antara tokoh-tokoh Siau-lim si jarang sekali ada seorang memiliki beberapa macam kepandaian dari ke 72 macam ilmu silat Itu. Hian-sing sendiri sudah terhitung sangat luas pengetahuannya, tapi juga cuma paham enam macam saja dari ke-72 macam ilmu silat itu.

Selagi Hian-sing mencari jawaban yang tepat sekonyong-konyong dari luar berkumandang suara seorang yang nyaring lantang, "Para padri agung dari Thian-tiok dan Thianggoan berkumpul di Siau-lim-si untuk membicarakan ilmu silat, sungguh suatu peristiwa yang menarik. Untung Siaùceng ada Jodoh dan dapat ikut menyaksikan, entah para padri agung kedua pihak memperbolehkan atau tidak!"

Suara orang itu kedengaran sangat jelas walaupun berkumandang dari jauh, maka dapat dibayangkan betapa hebat Iwekang orang Itu.

Hian-cu tercengang juga segera ia menjawab dengan mengerahkan tenaga dalamnya,”Jika lawan sesama agama

marilah silahkan masuk saja!"

Lalu dengan pelahan katanya pula, "Hian-bin dan Hian-sik Sute, harap mewakilkan aku menyambut tamu."

Selagi Hian-bin dan Hain-sik mengiakan dan belum keluar, tiba-tiba orang di luar itu sudah menanggapi, "Tidak usah menyambut, tamunya sudah datang! Sudah lama kudengar Hian-hin Taisu dan Hian-sik Taisu tersohor dengan kepandaian masing-masing yang tiada bandingannya di dunia ini hari ini dapat berkenalan, sungguh sangat beruntung.”

Setiap dia berkata satu kalimat dan setiap kali suaranya makin mendekat. Ketika selesai ucapannya, tahu-íahu di pintu pendopo itu pun sudah muncul seorang padri setengah umur berwajah keren dan agung, dengan merangkap kedua tangannya padri ¡tu berkata dengan tersenyum, "Padri gunung dari negeri Turfan, Cumoti menyampaikan salam hormat kepada Hongtiang Siau-lim si!"

Memang semua orang sudah sangat terperanjat oleh kepandaiannya, sekarang mendengar pula namanya sebagai Cumoti, seketika banyak di antaranya bersuara, "Ah, kiranya Kok-su negeri Turfan Tin lun Beng-ong!"

Segera Hian-cu berbangkit dan melangkah maju. ia membalas hormat dan berkata, "Beng ong adalah imam sesuatu negara dan sudi berkunjung kemari, sungguh kami merasa sangat bahagia. Kebetulan hari ini biasa kami sedang menghadapi sesuatu kesulitan yang harus diputuskan secara adil maka mohon kebijaksanaan Beng-ong agar suka ikut memberi pandapat."

Habis berkata. lalu ia perkenalkan Sin-kong Siangjin, Cilo dan Polo Singh serta Liong beng Taisu dan lain-lain.

Cilo Singh sudah pernah bertemu dengan Cumoti, malahan '"Ih-kin-keng" yang direbutnya dengan susah payah dari Yu Goan-ci telah diampas pula oleh Cumoti. Sekarang bertemu lagi di sini diam-diam Cilo Singh merasa kuatir dan jeri, tapi jugamendongkol. Namun apa daya, ia tahu kepandaian sendiri jauh di bawah orang, terpaksa ia diam saja, in hanya memberi hormat ketika diperkenalkan oleh Hian-cu.

Sebaliknya Cumoti Juga cuma tersenyum saja kepadanya dan tidak mengungkit apa yang pernah terjadi.

Selesai berkenalan, Hian-cu menyediakan suatu tempat terhormat di bagian tengah sehingga lebih terhormat daripada tempat duduk Sin-kong.

Cumoti merendah sejenak dan kemudian berduduk. Sebaliknya Sin-kong sangat mendongkol diam-diam ia ambil keputusan nanti pasti akan menjajal sampai di mana kepandaian padri, Turfan Itu.

Lalu Cumoti membuka suara. "Tadi Hongtiang minta Siauceng ikut ambil bagian untuk mempertimbangkan urusan kalian ini, sebenarnya sama sekali Siauceng tidab berani ikut campur.Cuma tadi Siauceng telah mendengar perdebatan antara Hian-sing Taisu dau Cilo Singh Taisu mengenal ilmu silat masing-masing, untuk itu aku meraba kedua Taisu sama-sama ada bagian yang salah."

Para hadirin terkesiap oleh ucapan Cumoti yang sombong ini, Cilo Singh sudah pernah kenal lihainya Cumoti, maka ia tidak berani menantangnya. Tapi watak Hian-sing Taisu sangat keras pula, tidak kenal kepandaian Cumoti yang sejati, maka ia yang pertama-tama tidak tahan, segera ia melangkah maju dan bertanya, "Di manakah bagian kesalahanku, mohon petunjuk."

Cumoti tersenyum sahutnya, "Tadi Cilo Singh Suheng membantah ucapan Taisu, maksudnya seakan-akan hendak bilang tak mungkin ada orang yang mampu memahami seluruh ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-pai, maka ingin kukatakan ucapan ini salah. Siau-lim-pai, selain murid golongan kalian, orang lain tidak mungkin bisa kalau bisa, pastilah hasil mencuri belajar dari golonganmu. Untuk Ini ingin kukataksn bahwa ucapan Taisu ini pun keliru."

Semua orang menjadi bingung. Cumoti mencela kesalahan kedua belah pihak, lantas apa maksut tujuannya yang sebenarnya?

Maka dengan suara lantang Hian-sing bertanya, "Jika menurut ucapan Beng-ong barusan, jadi engkau hendak mengatakan bahwa benar ada orang yang sekaligus mahir ke-72 macam ilmu silat dari Siau-lim-pai kami?"

"Benar," sahut Cumoti dengan mengangguk.

"Numpang tanya, siapakah gerangan ksatria besar itu?" tanya Hian-sing.

"Terima Kasih, sebutan itu terlalu hormat bagiku," sahut Cumoti.

"Apa? Jadi orang itu adalah Beng-ong sendiri.” Hian-san menegas dengan melotot.

Cimoti merangkap tangannya dengan sikap sangat khidmat, sahutnya, "Ya, betul!"

Jawaban ini membuat padri Siau-lim-si semua melonjak, pikir mereka, "Orang ini berani omong besar

sedemikian rupa, apa barangkali orang gila?”

Hendaklah maklum bahwa pada umumnya padri Siau-lim-si itu ada yang mempelajari ilmu pukulan, Ada yang belajar ilmu tendangan dan ada pula yang menyakinkan ginkang, ada yang mengutamakan senjata dan sebagainya, masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri dari ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si, Menurut sejarah di antara padri angkatan dulu hanya pernah terjadi seorang yang mahir 13 macam ilmu silat dari Ke-72 macam itu dan mendapatkan gelar "Cap san-coat-sin-ceng" atau padri sakti tiga belas ilmu. Selama sejarah Siau-lim-si hanya padri 13 ilmu sakti itulah yang luar biasa dan belum pernah ada yang lebih dari itu. jangankan lagi hendak menyakinkan ke-72 macam ilmu silat itu secara lengkap. Maka darì itu tentü saja tiada seorang pun percaya atas bualan Cumoti itu.

Apalagi dari ke-72 macam ilmu silat Siau lim-pai itu ada belasan macam di antaranya boleh dikatakan sangat sulit dilatih, dengan jumlah padri Siau-lim-si sekarang yang lebih dari 500 orang, kalau di kumpulkan kepandaian mereka juga belum tentu lengkap meliputi ke-72 macam ilmu silat itu.

Sekarang usía Cumoti yang kelihatan baru setengah umur, andaikan sejak "brojol" dari kandungan ibunya sudah mulai belajar silat juga belum tentu dapat lengkap mempelajari ke-72 macam ilmu silai itu, pula dia bukan orang Siau lim-pai, dari mana dia dapat mempelajarinya?

Begitulah, maka diam-diam Hian-sing menyangsikan kata-kata Cumoti itu tapi lahirnya ia tetap sopan, katanya pula. "Beng-ong sendiri bukan orang Siau lim-pai kami, apakah terhadap Pan-yak-ciang Mo-ko-ci dan Kimkong-kun juga pernah mempelajarinya!"

"Ah, hanya sedikit saja, diharap Taisu memberi petunjuk,” sahut Cumoti dengan tersenyum.

Habis itu, tubuhnya sedikit miring, telapak tangan kiri terangkat lurus dan kepalan kanan terus menyodok ka depan, maka terdengarlah "trang" sekali, sebuah wajan perunggu yang biasanya dipakai membakar kertas dupa terangkat ke atas.

Itulah sejurus pukulan Kim-kong-kuh-hoat yang hebat, wajan itu terpukul dan berbunyi, tapi tidak terpental pergi melainkan cuma meloncat ke atas. Bahkan sebelum wajan itu jatuh ke tanah, menyusul telapak tangan kiri Cumoti terus dipukulnya pula, gayanya adalah jurus pukulan Pan-yak-ciang yang lihai, maka terdengar suara "bluk" sekali. banyak abu dupa dalam wajan itu tertumpah keluar, di tengah berhamburnya debu, dari atas wajan seperti jatuh sesuatu benda entah apa kurang jelas.

Tatkala mana wajan itu sudah mulai menurun ke bawah dengan tiba-tiba Cumoti menjulurkan jempolnya dan rnenggasut ke depan, seketika suatu arus tenaga jari memancar ke depan sehingga wajan yang sedang menurun itu tergeser pergi se tengah meter jauhnya.

Beruntun-runtun Cumoti menggeser tiga kali dan wajan itu pun tertolak sejauh satu setengah meter. lalu jatuh di alas lantai batu. di ruang pendopo itu.

Sungguh kagum tak terhingga Hian-cu, Hian-sing dan padri agung Siau-lim-si yang lain. Mereka kenal tiga kali menggesut dengan jari jempol disebut "Sam-jip-te-gik", yaitu salah satu jurus yang hebat dari ilmu jari Mo-gi-ci-hoat yang tua. Namanya disebut "Sam-jip-ta-gik" atau tiga masuk neraka, yaitu menggambarkan betapa bahaya mempelajari ilmu itu ibarat untuk mempelajarinya, gesutan saja mesti masuk neraka satu kali.

Sementara itu debu dupa sudab mulai jatuh lantai sehingga kelihatan di atas lantai terdapat sepotong benda sebesar telapak tangan. Waktu d¡perhatikan tanpa terasa para padri sama berseru kaget.

Kiranya benda itu adalah sepotong perunggu berbentuk telapak tangan. Dari pinggiran wajan perunggu yang masih baru dan mengkilap terang baru saja terkupas dari wajan perunggu.

"Permainan "Kasa-hok-mo-kang” ini bila kurang sempurna, harap Hungtiang Suheng suka memberi petunjuk seperlùnya," DemìkìanCumoti berkata dengan tersenyum sambil mengebaskan jubahnya dan tahu-tahu wajan perunggu yang terletak baberapa meter jauhny? itu tiba-tiba berputar sendiri seperti hidup.

Setelah berputar beberapa kali, ketika berhentì sisi wajan yang tadinya menghadap keluar sekarang berubah menhadap ke dalam sehingga kelihatan di pinggir badan wajan itu terkupas selapis dalam bentuk telapak tangan, bagian wajan yang terkupas itu pun tampak kuning mengkilap.

Bagi padri Siau-lim-si yang agak rendah kepandaiannya baru sekarang paham duduknya perkara, kiranya tenaga pukulan telapak tangan Cumoti tadi setajam golok pusaka, sehingga wajan itu terkupas mentah-mentah sepotong. Yang hebat kalah bagian yang terkupas bukan sisi sini melainkan sisi yang melainkan sisi yang tadinya menghadap ke sana.

Diam-diam Hian-sing menaksir dirinya juga sanggup mengupas lapisan wajan itu dengan telapak tangan, tapi untuk mengupas bagian wajan sebelah sana yang tak kelihatan itu harus diakui tidak mampu.

Seketika ia menjadi putus asa, pikirnya, Rupanya apa yang dikatakan padri asing ini memang tidak bohong, ke72 macam ilmu silat Siau-lim-si kami memang berasal dari Thian-liok dan dia telah dapat mempelajari di tempat asalnya sehingga jauh lebih pandai daripada apa yang kami pelajari.

Karena itu, segera Hian-sing merangkap, tangan dan memberi hormat, katanya, "Ilmu sakti beng-ong memang tiada taranya, sungguh Siauceng, sangat kagum."

"Kasa-hok-mo-kang” atau ilmu jubah penakluk iblis, yaitu kepandaian kebahasan jubah yang dimainkan Cumoti terakhir tadi adalah ilmu andalan Hian-cu yang dilatihnya selama hidup ini dia yakin dengan ilmu saktinya itu sudah dapat menjagoi dunia ini, siapa duga sekarang Cumoti juga mahir ilmu itu, bahkan sembari bicara sambil mengebaskan lengan jubah tanpa mengurangi kekuatannya, hal ini sekali-kali tak mungkin dilakukan oleh Hian-cu sendiri, seketika ia menjadi berduka dan menyesal tak terhingga.

Saat itu ruang pandopo itu menjadi sunyi sepi, semua orang ternganga kesima di bawah pengaruh ilmu sakti Cumoti itu.

Tiba-tiba terdengar Hian-cu menghela napas panjang, katanya, "Baru sekarang kupercaya bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masin ada orang yang lebih pandai. Aku sendiri sùdah melatih diri selama berpuluh tahun, tapi sesungguhnya tiada arti apa-apa dalam pandangan Tai-lun Bong-ong. Ya, Polo Singh Suheng, Siau lim-si adalah tempat miskin yang tiada harganya untuk dibuat tempat tinggal, maka silakan boleh kau pergi!"

Ucapan Hian-cu itu membuat Cilo dan Polo Singh sangat girang. Sebaliknya Sin-kong Siangjin merasa girang dan juga sedih.Girangnya karena diketahui Polo Singh benar-benar mahir ilmu silat Siau-lim-si yang tiada bandingannya, dan sekarang Hian-cu mau melepaskan dia. Sebaliknya ia sedih karena dibebaskannya Polo Singh adalah Jasa Cumoti yang berkepandaian maha tinggi, maka sulitlah kalau dirinya sekarang bendak mendapatkan ilmu silat Siau lim-si dari tangan Polo Singh.

Sedangkan Cumoti tenang-tenang saja atas tindakan Hian-cu itu, katanya sambil mengangkat tangan, "siancai! Hongtiang Suheng jangan terlalu rendah hati."

Seketika para padri Sian-lim-si menunduk dengan patah semangat. Bahwasannya Hian Cu terpaksa sampai mengucapkan kata-kata tadi, itu berarti dia mengakui ilmu silat Siau-lim-si memang lebih asor daripada kepandaian Cumoti.

Selama bebarapa ratus tahun Siau-lim-sl mempunyai nama di dunia persilatan dan tidak pernah mengalami kekalahan seperti hari ini. Memang masih ad a jalan lain yaitu bila main keroyok, dengan jumlah padri Siaulim-si yang lebih 500 orang itu memang cukup kuat untuk mengalahkan musuh, tapi perbuatan demikian kalau terdengar bukankah nama Siau-lim-si akan runtuh habis-habisan?"

Kalau Hian-cu merasa serbà susah dan kehabisan akal, Liong-beng, To-jing dan padri lain juga merasa ikut malu, bahwa keadaan bisa berubah menjadi demikian sungguh bukan maksud tujuan mereka semula.

Begitulah segala apa yang terjadi di ruang pendopo itù sejak semula disaksikan hi-tiok, Ketika mendengar ucapan Hongtiangyang terakhir tadi lalu para padri Siau-lim-si sama menunduk lesu, waktu ia melirik ke arah gurunya, yaitu Hui-lun, air mata padri itu tampak berlinang-linang sangat duka, bahkan ada beberapa Susioknya tampak memukuli dada sendiri sambil menangis sedih.

Walaupun Hi-tiok tidak paham seluk-beluknya, tapi ia tahu ilmu silat yang ditunjukkan Cumoti tadi tiada tandingannya maka dengan bebas dia dapat membawa pergi Polo Singh. Cuma ada sesuatu yang membingungkan Hi-tiok, yaitu ilmu silat Pan-yak-ciang dun lain-lain yang dimainkan Cumoti tadi, apakah cara mainnya itu benar atau salah, karena dia sendiri tidak pernah belajar ilmu silat itu, dengan sendirinya tidak tahu, tapi iwekang yang digunakan Cumoti untuk mainkan ilmu-ilmu silat itu dapat dilihatnya dengan jelas yaitu "Siau-bu-siang-kang."

Siau-bu-siang-kang itu pernah Hi-tiok pelajari dari Bu-gai-cu, kemudian ketika Thian san Tong-lo mengajarkan "Thian-san-ciat-bwe-jiu" padanya nenek itu merasakan Hi-tiok memiliki ilmu- Iwekang yang hebat itu sehingga marah dan berduka, sebab Siau-bu-siang-kang itu setahu si nenek oleh guru mereka hanya diajarkan kepada Li Jiu sui seorang saja, sekarang Bu-gai-cu dapat menurunkan ilmu itu kepada Hi-tiok, maka tidak perlu disangsikan lagi bahwa diantara Bu-gai cu dan Li Jin-Sui tentu mempunyai hubungan istimewa.

Kemudian setelah tong-lo tenang kembali dengan jelas ia uraikan cara mengerahkan Siau bu-siang-kang itu kepada Hi-tiok, tapi bagian yang penting yang lebih sempurna baru diperolehnya dari Li jiu-sui ketika kedua orang itu bertanding ilmu silat ciptaan masing-masing.

Pengetahuan Hi-tiok dalam ilmu silat bukan saja sangat dangkal, bahkan boleh dikatakan sangat sederhana. Hanya Siau-bu-siang-kang saja Ia belajar benar sudah apal sekali. Ditambah pula dia banyak membaca ukiran dinding di bawah tanah Leng-ciu-kiong sehingga Siau-bu-siang-kang itu dapat dipahaminya dengan lebih sempurna.

Siau-bu-siang-kang ita sebenarnya adalah ilmu golongan To (Taoisme), samanya sama dengan "Bu-sing" ajaran agama Budha, namun pada hakikatnya berbeda. Tadi begitu mendengar suara datangnya Cumotl segara Hi-tiok terkesiap dan tahu iwekang padri itu sangat tinggi. Kemudian menyaksikan pula Cumoti memainkan ilmu silatnya, kelihaiannya banyak perubahannya, semua itu berkat tenaga Siau-bu-siang-kang. Iadengar Cümoti mengaku mahir ke-72 macam ilmu silat Síau-lim-si, tapi waktu main yang diandalkan hanya tenaga Siau-bu-siang kang saja untuk mengelabui pandangan orang.

Jadi Hi-tiok merasa heran, apa yang dimainkan Cumoti itu sudah terang adalah Siau-bu-siang kang, mengapa orang mengaku sebagai ilma silat Siau-lim-pai dan tampaknya Hian-cu Hongtiang dan padri agung lain tiada seorang pun yang berani menyingkap kepalsuannya itu.

Ia tidak tahu bahwa ilmu Sian-bu-siang-kang dari golongan To itu sangat hebat dan luas sekalî, sedangkan tokoh-tokoh yang berada di pendopo Siau-lim-si sekarang adalah hwasio seluruhnya dari dengan sendirinya tidak pernah belajar Iwekang dari golongan To, sebab itulah dengan mudah mereka dapat dikelabui antara Bu-

sing-kang dari agama Budha dan Siau-bu-siang-kang agama To.

Karena melihat keadaan semakin suram, para Tionglo tampakberduka, marah, lesu, tapi tak bisa berbuat apaapa, terang Síau-lim-si bakal menghadapi malapetaka, mestinya Hi tiok bermaksud tampil untuk membongkar kepalsuan ilmu silat Cimoti tadi. tapi Hi-tiok hanya seorang hwesio keroco angkatan muda yang biasanya tidak ada hak bicara di dalam Siau-lim-si, sekarang melihat suasana dalarn pendopo sangat hikdmat dan tegang, kata-kata yàng sudah siap di mulutnya itu akhìrnya ditelannya kembali mentah-mentah.

Maka terdengar Cimoti membuka suara pula, "Jadi kalau menurut ucapan Hongtiang tadi itu berarti Hongtiang mengakui ke-72 macam ilmu silat itu bukan hasil ciptaan biara kalian. Maka dari itu, sejak kini kata-kata 'coat' yang menyatakan kungfu khas ciptaan biara kalian haruslah diganti kalau tidak mau dihapus."

Hiau cu diam saja dengan rasa pedih seperti di sayat-sayat.

Tiba-tiba Seorang padri tua bertubuh tinggi besar berseru, "Beng ong sudah berada di pihak yang menang, Hongtiang kami juga telah mengizinkan kepergian padri thian-liok itu, mengapa Beng-ong masih terus mendesak orang tanpa memberi kelonggaran sedikit pun?"

"Siauceug hanya ingin Hongtiang mengucapkan sesuatu untuk dipermaklumkan kepada kawan-kawan Bu-lim," sahut Cumoti dengan tersenyum.

"Menurut pondapatku ada baiknya sejak kini Siau-lim-si dibubarkan saja dan para padri boleh menggabungkan diri kepada Jing liang-si, Bo to-si dan biara lain untuk mencari hari depan sendiri-sendiri, dengan demikian bukankah lebih baik dari pada sekadar cari hidup di dalam Siau-lim-si yang hanya bernama kosong belaka ini?"

Ucapan Cumoti ini membuat padri Siau lim-si tidak tahan lagi betapapun sabarnya, seketika ramailah suara dampratan mereka. Baru. Sekarang para padri Siau-Iim-si itu mulai sadar bahwa kedatangan Cumoti itu kiranya bermaksud meruntuhkan Siau-lim-si agar dunia persilatan di Tiongkok kehilangan tulang punggungnya yang paling kuat.

Maka terdengar Cumoti berkata pula dengan lantang, "Seorang diri Siauceng terjunjung kemari sebenarnya ingin belajar kenal dengan Siau-lim-si yang terkenal sebagal tiang penegak dunia persilatan Tionggoan. Tapi sesudah mendengar kata-kata para Taisu dengan perbuatannya, hehehe. Terpaksa harus kukatakan bahwa Siaulim-si agaknya masih kalah daripada Thian-liong-siyang jauh terletak di negeri Tayli yang terpencil sana. Ai, benar-benar sangat, mengecewakan perjalananku ini.”

Tiba-tiba seorang padri angkatan "Hian" berteriak, "Koh-ong Tuisu dan Thian-in Hongtiang dari Thian-lion-si di negeri Tayli adalah padri saleh yang tinggi agamanya, setiap kawan agama memang sangat mengaguminya. Orang beragama sudah lama tidak punya pikiran ingin unggul, buat apa Beng-Ong mesti membandingbandingkan antara Siau-lim-si kaml dengan Thian-Hong-si di Tailî."

Sembari berkata seorang padri tua dengan muka merah maju ke depan dengan pelahan sambil jari jempol dan jari telunjuk terkatup di depan dada, wajahnya tersenyum simpul dengan sikap ramah. Kiranya dia ini Hian-to Taisu, terhitung Suhengnya, Hian-cu.

Cimoti juga menghadapinya dengan tersenyum, katanya, "Sudah lama kagum kepada 'Ciam-hoa-ci' (ilmu jari petik bunga) Hian-to Taisu yang maha saktî, hari ini dapat berkenalan, sungguh sangat beruntung!"

Sembari bicara kedua jarinya juga terkatup dengan gaya hendak memetik bunga dan Siap di depan dada.

Begitulah kedua orang sama-sama mengangkat tangan ke-depan dan berbareng menyentikan tiga jari terhadap pihak lawan, Maka terdengarlah suara "pluk-pluk-pluk" tiga kali tenaga jari kedua orang saling beradu, Tubuh Hian-to Taisu sempoyongan ke belakang dan mendadak dari dadanya mancur keluar tiga jalur darah bagai air mancur.

Kiranya sesudah mengadu tenaga jari, hian-to ternyata kalah kuat dan dada kana tenaga sentikan Cumoti sehingga mirip ditikam tiga kali oleh senjata tajam. Seketika darah menyembur keluar melalui lubang tikaman jari itu.

Hian-to Taisu itu seorang yang baik hati dan sangat ramah, dia sangat disukai oleh padri muda di Siau-lim-si. Dahulu Hi-tiok juga pernah melayani Hian-to selama beberapa bulan, pada waktu senggang sering juga Hian-to memberi petunjuk ilmu silat padanya, maka Hi-tiok mempunyai kesan sangat baik pada Hian-to. Sekarang melihat padri itu terluka parah, kalau tidak segera ditolong tentu akan membahayakan jiwanya.

Maka tanpa pikir lagi segera Hi-tiok menyelinap keluar dan mendekati Hian-to. Sebelum tiba orangnya sebelah tangan Hi-tiok lebih dulu menolak ke depan, dan cepat luar biasa tahu-tahu tiga jalur air darah yang menyambar keluar dari dada Hian-to itu tertolak kembali masuk ke dalam rongga dada padri tua itu.

Hi-tiok pernah mendapat didikan ilmu pengobatan dari So Sing-ho, kemudian dapat belajar pula ilmu pemunah Sing si-hu, maka dalam urusan menolong dan menyembuhkan luka orang boleh dikata tiada seorang pun di dunia ini lebih mahir daripada Hi-tiok sekarang.

Begitulah dengan cepat luar biasa tangan Hi-tiok bekerja, ia tutuk beberapa kali, dalam sekejap saja belasan

hiat-to tubuh padri tua itu telah ditutuknya untuk menghentikan mengucurnya darah. Menyusul ia jejalin sebutir pil Kiu-coan-bim-coawan buatan leng-ciu-kiong ke mulut Hian-to Taisu.

Tempo hari waktu Hi-tiok mendapat petunjuk Toan Yan-khíng sehingga berhasil memecahkan problem catut ciptaan Bu-gai-cu, tatkala mana Cumoti pernah bertemu sakall dangan Hi-tiok. tapi kemudian Hi-tiok masuk ke dalam rumah sampai lama sekali, dálam pada itu Cumoti sudah meninggalkan tempat itu sehingga tidak ikut menyaksikan Hi-tiok menyembuhkan luka Hui-hong Pau Put tong dan lain-lain.

Kemudian Waktu Hi tiok menggendong Thian san Tong-lo dan tergelincir dari puncak gunung di situ Cimoti bersama Buyung Hok, Ting Jin jiu dan Toan Ki telah menggunakan Hi-tiok sebagai bola dan dioper ke sana dan ke sini. Dan beberapa kali pertemuan itu sama sekali ia tidak merasa ada sesuatu yang luar biasa atas diri Hi-tiok.

Siapa duga Sekarang ia melihat hwesio keroco itu tampil lagi dan dengan cara yang sangat cepat dan lihai telah menutup jalan darah Hian to, sungguh kepandaian yang luar biasa dan belum pernah terlihat selama hidupnya, keruan Cumoti terperanjat.

Bagi orang Siau-lim-si, tentang Hi-tiok memukul mati Hían-lan Taisu dan menjadi Clangbunjin Siau-yan-pai, semua itu telah dilaporkan oleh Hui-hong dan kawan-kawannya ketika mereka pulang dengan membawa jenazah Hian-lan, Tapi kemudian Hian cu dan padri agung Siau-lim-si yang lain dapat mengetahui dari janazah Hian lan bahwa kematian Hian-lan itu adalah akibat serangan "Sam-siau-siau-yau-san”, bubuk berbisa yang ditebarkan oleh Ting Jun-Jiu. Mereka menunggu pulangnya Hi-tiok yang tidak kunjung datang, pernah juga mengirim orang untuk mencarinya tapi tidak ketemu.

Ketika beberapa hari yang lalu Hi-tiok pulang di Siau-lim-si, Kebetulan di biara Agung itu sedang menghadapi kesulitan.

Kiranya Siau-lim-si telah terima surat dari Pangcu Kai-pang yang mengaku bernama 'Ong Sing-thian, dengan permintaan Sian-lim-pai mengakui Ong Sing-thian itu sebagai Bu-lim Beng-cu (pemimpin duaia persilatan) di Tionggoan.

Berhubungan dengan itu, selama beberapa hari itu Hian-cu berunding dengan para padri tua angkatan "Hian" dan "Hui" untuk mencari jalan cara menghadapi manusia Ong Sing-thian yang tidak pernah dikenal itu (siapa Ong Sing-thian tentu pembaca masih ingat —pen).

Padahal Kai-pang adalah suatu organisasi terbesar di dunia kangouw dan terkenal sebagai Suatu golongan yang baik dan berjuang demi keadilan, biasanya jugá mempunya! hubungan yang baik dengan Siau-lim-sí dan samasama membela kebenaran begi sesama orang Bu-lím, masakah sekarang mendadak ingin berdiri di atas Siau-

lim-si seakan-akan memandang síau-lim-si sebagai saingan terbesar, hal ini benar-benar membuat Hian cu dan para padri menjadi bingung.

Karena melihat Hongtiang dan para paman guru sedang sibuk, Hui-lun, guru Hi-tiok, menjadi tidak berani malaporkan tentang pulangnya Hi-tiok, sebab itulah tentang Hi-tlok kerja di kebun sayur juga tidak diketahui oleh para padri agung. Sekarang mendadak nampak Hi-tiok tampil ke muka dan dengan cara yang maha sakti telah menolong Hian-to, keruan semua orang terheran-heran dan terkejut.

Begitulah, sesudah memberi obat kepada Hian-to, lalu Hi-tiok berkata, "Thaisupek, hendaknya engkau jangan mengerahkan tenaga agar lukarnu tidak berdarah lagi."

Berbareng ia robek kain jubah sendiri untuk membalut luka di dada kakek guru itu.

"Tai-lun Beng-Ong punya Ciam-hoa-ci sungguh maha ... maha hebat, aku. meng ... mengaku kalah." kata Hianto dengan tersenyum getir.

"Toasupek, yang dia gunakan itu bukan Ciam-hoa-ci, juga bukan kungfu dari kalangan Budha," tutur Hi-tiok.

Mendengar ucapan Hi-tiok itu, diam-diam para padri siau-lim-si menggeleng kepala atas kedangkalan pengetahuannya. Sudah terang permainan ilmu jari Cimoti tadi serupa dongan caranya Hian-to, masakah dikatakan bukan Ciam-hoa-ci yang merupakan salah satu kepandaian khas siau-lim-si? Sedangkan Tai-lun Beng-ong itu adalah imam negara turfan, setiap lima tahun sekali tentu beliau mengadakan khotbah sscara terbuka di Tai-lun-si di atas gunung Tai-goat-san dan dari segenap penjuru banyak kaum padri berkumpul ke sana untuk mendengarkan khotbahnya. Jadi terang Cumoti adalah padri Budha yang tersohor masakan ilmu silat yang dimainkan tadi dikatakan bukan kepandaian kalangan Budha?

Sebaliknya tidak demikian dengan Cumoti ia terkejut mendengar ucapan Hi-tiok tadi. Tapi sebagai seorang yang berpengalaman luas dan belum pernah terkalahkan, di Tayli ia telah mengalahkan Thian-sin, Thian-siang dan Koh-eng Taisu, sampai di Tionggoanpernah juga bergebrak dengan Buyung hok, Ting Jun-jiu dan lain-lain, walaupun belum berakhir dengan kalah atau menang, tapi terang dirinya lebih unggul. Sekarang melibat Hitiok cuma seorang hwesio keroco baru 20 tahun lebih, biarpun memiliki kepandaian sakti juga terbatas.

Kedatangan Cumoti ke Siau-lim-si ini memang bertujuan merobohkan nama baik biara agung yang bersejarah ribuan tahun itu, sudah tentu dia tidak mau mengkarel di depan seorang hwesio cilik saja. Maka dengan tersenyum ia lantas berkata, "Siausuhu bilang kepandaian ku ini bukan ilmu silat kalangan Budha, ei, kamu benar-benar terlalu meremehkan ilmu silat Siau-lim si yang tersohor ini!"

Hi-tiolc tldak pandai berdebat, maka ia hanya, menjawab, "Ciam-hoa-ci yang di mainkan Hian-to Thaisupek sudah tentu ilmu silat ajaran Budha, tapi kau ... kau punya itu bukan .... "

Sembari bicara ia pun angkat tangan kirinya dan menirukan gaya Hian-to tadi, beruntun-runtun ia menyentik tiga kali dengan menggunakan tenaga Siau-bu-siang-kang.

Selentikan Hi-tiok itu tidak berani ditujukan ke arah Cumoti, tapi dia menyelentikan ke arah sebuah genta besar yang tergantung di samping. Maka terdengarlah suara "tang tang tang" tiga kali. Tenaga selentikan Hi tiok itu mengenai genta besar dan menumbulkan suara keras bagai dipalu.

"Kepandaian hebat!" seru Cimoti. "Silakan coba jurus Pan-yat-ciangku ini!"

Berbareng ia angkat kedua telapak tangannya seperti memberi hormat, tapi tidak merangkap, melainkan terbuka ke depan maka terdengarlah suara mendesir pelahan, serangkum tenaga pukulan menyambar ke arah Hi-tiok dengan sangat dahsyat. ltulah jurus "Kiap-kok-thian-hong" (angin mendesir di lembah gunung) dari ilmu pukulan Pan-yak ciang-hoat....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar