Pendekar Laknat Jilid 51-60
51. Kepiawaian
Thian-jim-sin-kang
Semula Siau-liong masih
ringan, tetapi setelah Randa Bu-san berobah memberingas, ia menjadi sibuk juga.
Ia masih belum sembuh. Lama kelamaan tenaganya makin lemah, darah mulai
bergolak. Keringat dingin mulai mengucur deras, napas pun terengah-engah keras.
Siau-liong mulai payah. Setiap
saat ia terancam kehancuran dari serangan-serangan yang berbahaya dari Randa
Bu-san.
Suara tertawa Iblis
Penakluk-dunia sebentar putus sebentar melengking. Tak ubahnya seperti seorang
iblis yang sedang menikmati korban yang disiksanya.
Terdengar pada jerit rintihan
yang ngeri. Anak buah Lu Bu-ki kena ditendang perutnya oleh Ti-ki-cu (salah
seorang Kun-lun Sam-cu), sehingga terlempar sampai setombak jauhnya, terbentur
tembok dan rubuh tak berkutik lagi....
Walaupun keempat anak buahnya
sudah rubuh, namun Lu Bu-ki tetap tak gentar menghadapi ketiga Kun-lun Sam-cu.
Kematian keempat kawannya itu membuatnya sedih dan marah. Ia memberingas
laksana seekor singa. Ruyung besi dimainkan sederas hujan.
Diam-diam tangan kirinya
mempersiapkan tiga butir pelor baja. Lu Bu-ki termasyhur dengan gelar
Thiat-pian sin-tan atau si Ruyung besi Pelor-sakti. Ilmunya melontar senjata
rahasia itu, memang bukan olah-olah hebatnya.
Demikianlah pada saat ia mainkan
ruyung dengan gencar, tiba-tiba ia susuli dengan menimpukkan tiga pelor besi ke
arah Kun-lun Sam-cu.
Jaraknya amat dekat dan ilmu
lontaran dari Lu Bu-ki itu amat tepat dan dahsyat. Ti-ki-cu yang menyerang
paling depan sendiri, lebih dulu yang menderita. Mata kirinya terhantam sebutir
pelor sehingga biji matanya meluncur keluar. Darah mengucur deras sehingga
seketika berobah ia seperti seorang manusia bermuka merah.
Tetapi Ti-ki-cu memang luar
biasa. Walaupun sebuah biji matanya sudah coplok dan menderita luka berat,
tetapi ia agaknya seperti tak merasa dan tetap menyerang hebat.
Betapapun dingin hati Lu Bu-ki
membunuh orang, tetapi menghadapi seorang manusia luar biasa seperti Ti-ki-cu,
gentarlah hatinya. Permainannya ruyung pun kacau.
Liau Hoan dan Song Ling yang
menghadapi It Hang totiang berempat, masih dapat bertempur dengan berimbang.
Tetapi setelah Iblis Penakluk-dunia tertawa tadi, It Hang totiang menyerang
kalap sehingga Liau Hoan dan Song Ling kelabakan.
Liau Hoan menyambar tubuh Poh
Ceng-in dan ditegakkan di tangan sudut ruang. Ia melayani serangan musuh dengan
sebelah tangan. Tetapi makin lama ia tak sabar lagi. Tiba-tiba ia melantangkan
doa 'Omitohud’, lalu berseru, “Untung celaka tiada pintunya. Hanya manusia
sendiri yang membuatnya. Terpaksa aku harus membuka pantangan membunuh!"
Siau-liong terkejut dan
buru-buru berteriak, “Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang telah
dilenyapkan kesadaran pikirannya oleh Iblis Penakluk-dunia. Harap losiansu suka
bermurah hati agar jangan sampai saling bunuh membunuh sendiri....”
Liau Hoan tertawa panjang,
“Bunuh membunuh sudah sejak tadi terjadi. Jika engkau masih tak tegah, tentu
kita sukar lolos dari sini!"
Ucapan itu mengandung anjuran
supaya Siau-liong jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang.
Rupanya Song-ling dapat
menangkap maksud paderi itu. Cepat ia berseru, “Siau-liong.... bagaimanapun
halnya, jangan melukai mama!"
“Jangan kuatir! Sekalipun
tubuhku hancur lebur, tetapi tak nanti akan melukai mamamu!" seru Siau-liong.
“Nona, jagalah wanita siluman
ini!" tiba-tiba Liau Hoan membentak dan terus dorongkan tubuh Poh Ceng-in.
Song Ling tak berani
membantah. Pada saat ia menyambuti tubuh Poh Ceng-in, Liau Hoan sudah berputar
tubuh dan lepaskan tiga tamparan dan lima pukulan.
Angin menderu hebat dan It
Hang totiang berlima terpaksa mundur sampai lima langkah. Tetapi secepat itu
juga mereka segera maju lagi. Mereka benar-benar seperti tak menghiraukan
keselamatanya dan menyerang kalap.
Liau Hoan agak tertegun.
Begitu kawanan penyerangnya maju, tiba-tiba ia menggembor keras dan hamburkan
pukulan bertubi-tubi lagi.
Ilmu kepandaian dari paderi
Liau Hoan itu lebih tinggi dari kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka. Paderi itu termasyhur dengan ilmu jari sakti Kim-kong-ci (Jari
baja), amat getarkan dunia persilatan. Tetapi karena ia jarang ke luar ke dunia
persilatan, maka namanya pun jarang dibicarakan orang.
Dalam menghadapi pertempuran
saat itu, ia sudah menyadari bahwa jika tak menggunakan serangan kilat untuk
mengakhiri pertempuran, tentulah kedua durjana Iblis Penakluk-dunia akan
mengeluarkan lain rencana yang lebih ganas lagi.
Amukan Liau Hoan itu telah
memberi hasil. Tiba-tiba Tan It-hong ketua Ji-tok-kau terjungkal rubuh di
tanah. Dia kena tertutuk jalan darah diperutnya.
Dengan rubuhnya seorang,
tekanan pihak It Hang totiang menjadi berkurang. Tetapi sekonyong-konyong Iblis
Penakluk-dunia tertawa memanjang lagi. Dan secepat berhenti tertawa, iblis itu
berseru, “Apa yang kukatakan tentu kulakukan. Pembebasan tawanan gelombang
ketiga, segera berlangsung!"
Tak berapa lama dua sosok
tubuh menerobos masuk. Ketika Siau-liong memandang kedua pendatang itu,
diam-diam ia mengeluh, “Celaka!" Ternyata yang datang itu adalah Naga
Terkutuk dan Harimau Iblis.
Begitu masuk tanpa berkata
apa-apa, kedua durjana itu terus menyerang. Naga Terkutuk menerjang Siau-liong,
Harimau Iblis merabu Liau Hoan siansu.
Walaupun sudah dapat menutuk
rubuh Tan Ih-hong, tetapi Liau Hoan masih mengalami kesulitan menghadapi tokoh-tokoh
utama semacam It Hang totiang.
Dan kini bertambah pula dengan
seorang Harimau Iblis. Dengan serangan yang dahsyat sebanyak tiga jurus,
Harimau Iblis dapat membuat Liau Hoan kelabakan. Liau Hoan gagal untuk merebut
kedudukan. Keadaannya dibawah angin lagi.
Keadaan Siau-liong pun begitu
juga. Dia diserang dari muka dan belakang oleh Naga Terkutuk serta Randa
Bu-san. Dia kelabakan dan hanya mampu bertahan diri saja.
Melihat Liau Hoan siansu
terdesak mundur, Song Ling terpaksa bertindak. Ia lepaskan Poh Ceng-in dan ikut
terjun dalam pertempuran.
Keadaan Lu Bu-ki makin payah
lagi Ruyung besinya sudah terpental. Bajunya sudah compang camping. Sepintas
pandang, keadaannya mirip dengan orang gila.
Dalam himpitan kedua tokoh
Naga Terkutuk dan Randa Bu-san, keadaan Siau-liong benar-benar berbahaya
sekali. Sekali ia lengah atau salah tangan tentulah ia akan remuk binasa.
Betapapun ia berlaku hati-hati dan cermat, namun akhirnya dadanya kena
tertampar angin pukulan Randa Bu-san. Namun angin itu bukanlah angin biasa,
melainkan angin dari Ilmu Ya li-sin-kang.
Seketika Siau-liong rasakan
tulang belulangnya seperti hancur berantakan, darahnya bergolak keras. Mata
serasa gelap dan ia tak dapat menahan lagi. Segumpal darah segar menghambur
dari mulutnya....
Namun ia menyadari bahwa saat
itu sedang berada dalam pertempuran mati hidup. Sekali ia lengah, jiwanya pasti
amblas. Dalam keadaan terancam itu, akhirnya ia terpaksa berjuang. Dengan
kerahkan sisa tenaganya, ia lepaskan pukulan jurus Tonggak-menyanggah-langit ke
arah Randa Bu-san dan gunakan jurus Sapu-jagad menghantam Naga Terkutuk.
Kedua pukulan itu adalah jurus
dari ilmu Thian-kong-sin-kang. Serangkum sinar emas memancar, walaupun Randa
Bu-san cepat-cepat gerakkan kedua tangannya untuk menyongsong, tetapi tubuhnya
tetap berguncang-guncang keras mau rubuh.
Sedang Naga Terkutuk pun
terhuyung-huyung mundur sampai tujuh-delapan langkah, membentur meja
sembahyang. Berulang kali ia hendak berusaha menegakkan tubuh tetapi gagal.
Akhirnya ia rubuh dengan menderita luka parah.
Setelah menghantam, Siau-liong
rasakan tenaganya telah habis. Tulang-belulangnya serasa berhamburan lepas,
sehingga ia tak kuat lagi untuk berdiri tegak. Lukanya masih belum sembuh sama
sekali. Dan saat itu ia menderita luka lagi. Betapa kokoh tenaga-dalamnya,
tetapi ia benar-benar sudah kehabisan tenaga....
Setelah melakukan pernapasan
beberapa jenak, Randa Bu-san rasakan lukanya sudah sembuh. Dengan melengking
nyaring, wanita itu hantamkan kedua tangannya ke arah Siau-liong.
Saat itu Siau-liong sudah tak
berdaya lagi. hanya memandang kesima ke arah pukulan maut dari Randa Bu-san
itu....
Liau Hoan siansu, Song Ling
dan Lu Bu-ki pun sudah kenabisan tenaga. Walaupun mengetahui Siau-liong
terancam bahaya tetap mereka sendiri sudah payah. Tak mungkin dapat memberi
pertolongan lagi. Apalagi yang mengancam Siau-liong itu adalah tenaga sakti
Ya-lin-sin-kang.
Sekali pun ketiga orang itu
serempak maju menolong pun juga tak berguna. Bahkan malah akan menambah jumlah
korban saja.
Karena tak dapat melepaskan
diri dari serangan It Hang totiang dan Cu Kong-leng, maka menangislah Song Ling
seraya menjerit, “Ma, jangan membunuhnya, engkau tak boleh....”
Tetapi Randa Bu-san tak
menghiraukan. Ia tetap lancarkan kedua pukulan mautnya ke arah Siau-liong.
Tahu kalau detik itu harus
mati, Siau-liong pejamkan mata menunggu ajal.
Sekonyong-konyong dari luar
biara melesat masuk sesosok bayangan. Dan sebelum berdiri tegak, orang itu
secepat kilat untuk menutuk lengan Randa Bu-san.
Kedatangan orang itu sama sekali
tiada mengeluarkan suara. Gerakannya secepat angin. Jika tak mengetahui dengan
mata kepala sendiri, orang tentu mengira pendatang itu bukan manusia tetap
bangsa setan.
Tokoh semacam Randa Bu-san
yang memiliki Ya-li-sin-kang, pun tak mampu mendengar kedatangan orang itu.
Baru ia gelagapan kaget ketika lengannya hendak ditutuk orang itu.
Tetapi Randa Bu-san tak kecewa
diagungkan orang sebagai tokoh sakti jaman itu. Ia tak mau berputar tubuh
melainkan malah maju ke muka seraya mengganti kedua pukulannya tadi dengan
jurus Angin-puyuh-menyambar-pohon, untuk menyapu pendatang itu.
Orang itu mendengus dingin.
Begitu kakinya menginjak tanah, ia balikkan tangan kanan yang hendak menutuk
lengan Randa Bu-san tadi, untuk menyongsong kedua pukulan wanita Bu-san itu.
Baik pukulan Randa Bu-san
maupun gerakan tangan orang itu, sama-sama tergolong tenaga dalam lunak.
Sedikit pun tak mengeluarkan suara apa-apa. Walaupun gerak pukulannya mereka
tak begitu dahsyat, tetapi angin halus dari pukulan itu telah menimbulkan badai
keras yang memekakkan telinga.
Begitu pukulan saling beradu,
tubuh kedua tokoh itu sama-sama berguncang. Rupanya kekuatan mereka berimbang.
Siau-liong yang pejamkan mata
tadi karena merasa sampai beberapa jenak pukulan Randa Bu-san belum juga tiba,
tetapi ia mendengar deru angin menyambar di udara, buru-buru ia membuka mata.
Begitu membuka mata, ia
terkejut girang. Yang datang itu bukan lain adalah Tabib-sakti-jenggot-naga
Kongsun Sin-tho, gurunya sendiri.
"Suhu! Engkau....”
Belum Siau-liong selesai
berteriak, Kongsun Sin-tho sudah cepat goyangkan tangannya, “Jangan banyak
omong! Lekas beristirahat salurkan tenagamu!"
Habis berseru, tabib itu
segera dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong pukulan Randa Bu-san.
Seperti orang yang hidup lagi
dari kematian apalagi mendapat kunjungan dari suhu yang dicintainya, legalah
hati Siau-liong. Cepat ia melakukan perintah suhunya. Duduk bersemadhi
menyalurkan pernapasan dan tenaga murni.
Tetapi ia menyadari bahwa
keadaannya saat itu benar-benar berbahaya sekali. Ia harus cepat-cepat pulihkan
tenaganya agar dapat menghadapi situasi saat itu.
Diluar dugaan ketika ia
menguapkan hawa-murni dalam perut, ia rasakan serangkum hawa panas mengalir
naik. Suatu hal yang tak sama seperti biasanya. Diam-diam ia girang, pikirnya,
“Adakah dalam beberapa hari ini aku memperoleh kemajuan luar biasa dalam ilmu
tenaga-dalam."
Segera ia mulai mengatur hawa
panas itu menurut jalan darah yang tersebar diseluruh tubuhnya. Dan pada
beberapa kejap kemudian, ia telah mencapai dalam kehampaan. Pikiran dan
semangatnya manunggal. Ia tak ingat lagi apa yang terjadi disekeliling tempat
situ. Semua kosong melompong....
Karena diganggu oleh
Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho, marahlah Randa Bu-san. Dengan meraung
seperti singa betina yang kehilangan anak, ia menyerang tabib itu dengan gencar
sekali. Hanya dalam sekejap mata saja, ia sudah lancarkan lebih dari duapuluh
jurus.
Tetapi Kongsun Sin-tho
melayani dengan tenang. Serangan dari wanita Bu-san yang menggunakan jurus
ganas itu, satu demi satu dapat dihapusnya. Betapapun Randa Bu-san seperti
orang yang kalap, tetapi sedikitpun tak mampu berbuat apa-apa terhadap tabib
sakti itu.
Ilmu tenaga sakti
Thian-jim-sin-kang yang dimiliki Kongsun Sin-tho itu, walaupun sederajat dengan
tenaga sakti Ya-li-sin-kang, Jit-hua sin-kang dan Cek-ci-sin-kang, tetapi
Than-jim-sin-kang itu mempunyai keefektifan tersendiri. Dan karena Kongsun
Sin-tho telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pelajaran ilmu
Thian-jim-sin-kang itu, maka kepandaiannya pun setingkat lebih tinggi dari
Randa Bu-san.
Melihat perkembangan itu,
semangat Liau Hoan dan Lu Bu-ki pun bangkit kembali. Tetapi Song Ling makin
gelisah. Ia tak kenal siapa Kongsun Sin-tho itu. Maka ia kuatir kalau mamanya
sampai terluka oleh kakek tua berjenggot putih itu.
Kongsun Sin-tho memang sakti.
Sambil melayani Randa Bu-sam, diam-diam iapun pancarkan tenaga kisar (putar)
untuk melanda Harimau Iblis dan Kun-lun Sam-cu.
Tenaga kisar dari
Thian-jim-sin-kang itu, walaupun tidak sampai melukai orang, namun mampu juga
untuk memaksa Harimau Iblis dan kawan-kawannya sempoyongan jatuh.
Bantuan Kongsun Sin-tho itu
benar-benar meringankan Liau Hoan siansu dan Lu Bu-ki. Saat itu mereka siap
untuk merebut kemenangan lagi.
Sekonyong konyong terdengar
suitan nyaring dan panjang. Nada dan suaranya amat ngeri sekali, mirip dengan
suara harpa yang dipetik sekeras-kerasnya. Membuat anak telinga serasa pecah.
Dan memang pada saat suitan
itu berhenti, nadanya tak ubah seperti senar harpa yang putus!
Randa Bu-san, Harimau Iblis
dan rombongannya tertegun. Pada lain saat, mereka segera mengamuk lagi,
menyerang dengan dahsyat dan ganas. Tiba-tiba Harimau Iblis menyambar tubuh Tan
Ih-hong yang terluka di tanah. Sekali enjot, ia membawanya menerobos ke luar.
Randa Bu-san lancarkan
serangan gencar. Setelah berhasil mengundurkan Kongsun Sin-tho, cepat ia
menyambar tubuh Naga Terkutuk yang duduk bersandar pada meja sembahyang, lalu
dibawah kabur keluar.
It Hang totiang, Shin Bu-seng,
Cu Kong-leng dan ketiga tokoh Kun-lun Sam-cu, pun mulai mengundurkan diri. Satu
demi satu mereka melangkah keluar biara dan lenyap dalam kegelapan malam.
Dengan begitu dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa suitan panjang tadi tentu berasal dari Iblis Penakluk-dunia
yang memberi komando supaya jago-jagonya mundur.
Kala itu sudah menjelang
tengah malam. Angin meniup keras dan tak lama kemudian hujan pun mencurah
lebat.
◄
Y ►
Ruang biara kembali sunyi
senyap. Siau-liong dan rombongan orang gagah, masih terengah-engah napasnya
karena kehabisan tenaga. Untunglah Poh Ceng-in masih berada pada mereka.
Song Ling menangis
tersedu-sedu. Tak henti-hentinya ia mengoceh tetapi tak jelas apa yang
diocehkan itu. Tentulah karena memikirkan nasib ibunya. Dara itu sampai hancur
hatinya.
Kongsun Sin-tho melangkah
beberapa tindak, tiba-tiba berhenti dan menghela napas panjang.
Setelah napasnya agak tenang,
Lu Bu-ki terlongong-longong memandang kedua anak buahnya yang binasa itu.
Setelah merapikan pakaiannya, si tinggi besar itu menghampiri kemuka Kongsun
Sin-tho Memberi hormat, serunya, “Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe.
Entah siapakah nama locianpwe yang mulia?"
Kongsun Sin-tho tersenyum,
“Aku bernama Kongsun sin-tho, seorang tabib yang suka berkelana dalam dunia
persilatan."
Lu Bu-ki tersentak kaget, “0,
kiranya Kong-sun cianpwe....” si tinggi besar terlongong-longong sehingga tak
dapat melanjutkan kata-katanya.
Memang ia pernah mendengar
nama Kongsun Sin-tho yang termasyhur sebagai seorang tabib sakti. Setitikpun ia
tak menyangka bahwa tabib itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang teramat
sakti.
Liau Hoan siansu juga
menghampiri, serunya sambil memberi hormat, “Ilmu ketabiban sicu yang telah
menyelamatkan jiwa manusia, tersebar harum dalam dunia persilatan. Ah, tak kira
kalau sicu ternyata pewaris dari ilmu sakti Thian-jim-sin-kang. Maafkan karena
lengah menghaturkan hormat!"
Kongsun Sin-tho tertawa,
“Sedikit ilmu kepandaian yang tak berarti itu, masakan dapat lolos dari
pengawasan losiansu....”
Behenti sejenak ia melanjutkan
berkata lagi, “Walaupun saat ini musuh sudah mundur, tetapi menurut hematku,
pengunduran mereka itu tentu mengandung siasat. Setiap saat mereka mungkin akan
menyerang lagi. sebaiknya saudara-saudara suka beristirahat memulangkan
tenaga!" Habis berkata tabib itu terus duduk numprah di tanah.
Lu Bu-ki memang sudah
kehabisan tenaga. Tanpa diulang lagi, ia segera menurut anjuran Kongsun
Sin-tho. Ia duduk sandarkan diri pada meja sembahyang.
Demikianpun Liau Hoan siansu.
Bertempur lawan Harimau Iblis dan rombongannya, paderi kurus itu kehabisan
tenaga. Terpaksa ia duduk numprah. Hanya Song Ling seorang yang masih tak
henti-hentinya menangis.
Setelah beristirahat sepeminum
teh lamanya Siau-liong berbangkit dan menghampiri Kongsun Sin-tho. Ia berlutut
di hadapan guru itu.
"Lukamu masih parah. Jika
tak cepat dirawat, kecuali akan gagal mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang, pun
engkau bakal cacad seumur hidup! " seru Kongsun Sin-tho.
"Harap suhu jangan
kuatir, murid sudah banyak baikan," Siau-liong tertawa.
Kongsun Sin-tho mengamati
wajah pemuda itu. Lalu menjamah bahu dan keningnya. Tiba-tiba mulutnya
menghambur puji, “Benar-benar ilmu sakti nomor satu di dunia. Liong-ji,
rejekimu benar-benar besar sekali!"
Ilmu Thian-kong-sin-kang
memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Kongsun Sin-tho tak tahu sampai
dimanakah kesaktian Thian-kong-sin-kang itu. Tetapi ia anggap, segala macam
ilmu sakti walaupun aliran ajarannya berbeda, tetapi semua ilmu sakti itu tentu
berpusat pada ajaran pokok yakni melatih Tenaga dan Khi (hawa murni).
Thian-kong-sin-kang walaupun
mengutamakan Sin (semangat) sebagai sumber pokoknya, tetapi caranya berlatih
tentu tak jauh bedanya dengan lain-lain ilmu. Demikian anggapan Kongsun
Sin-tho.
Tetapi alangkah kejutnya,
ketika ia dapatkan luka yang diderita Siau-liong sudah enam tujuh bagian sembuh
setelah pemuda itu menjalankan penyaluran hawa murni hanya dalam waktu yang
singkat saja. Saat itu barulah Kongsun Sin-tho benar-benar mengakui bahwa ilmu
Thian-kong-sin-kang itu memang nyata lebih unggul dari segala ilmu sakti yang
terdapat dalam dunia persilatan.
Berkata pula tabib itu kepada
Siau-liong, “Karena engkau telah makan buah Im-yang-som dan minum darah
binyawak purba, maka engkau dapat mempelajari Thian-kong-sin-kang dengan cepat.
Sekarang engkau sudah mempunyai dasar-dasar tenaga dalam Thian-kong-sin-kang.
Dengan begitu, apabila engkau terus giat berlatih dalam beberapa waktu lagi,
paling tidak engkau tentu sudah dapat menguasai separoh bagian dari ilmu itu.
Cukup dengan mencapai lima bagian saja, cukup bagimu untuk menjagoi dunia
persilatan. Hanya saja....”
Tabib itu menghela napas,
sambungnya pula, “Pada dewasa ini dunia persilatan sedang diamuk pergolakan
besar. Mungkin tak memberi kesempatan padamu untuk meyakinkan ilmu itu dengan
tenang."
Song Ling masih menangis saja.
Kongsu Sin-tho heran dan menanyakan pada Siau-liong: "Apakah dia puteri
dari Randa Bu-san?"
"Ya," sahut
Siau-liong, "Randa Bu-san pernah menolong jiwa murid. tetapi saat ini....”
ia menyhela napas tak melanjutkan kata-katanya.
Sambil mengusap-usap tangan,
Kongsun Sin-tho suruh Siau-liong menghibur dara itu.
Memang Siau-liong bermaksud
hendak menghibur dara itu tetapi sungkan terhadap gurunya Setelah Kongsun
Sin-tho menyuruhnya, cepat-cepat ia menghampiri dara itu.
Siau-liong membisiki beberapa
patah kata ke dekat telinga Song Ling. Entah bagaimana dara itu terus berhenti
menangis dengan mendadak ia berbangkit, menarik tangan Siau-liong diajak
kehadapan Konsun Sin-tho.
"Locianpwe," kata
dara itu dengan menangis sesunggukan, "mohon locianpwe suka menolong
mamaku.... mohon locianpwe suka menolong mamaku....”
Dara itu mendekap kaki kanan
Kongsun Sin-tho dan menangis tersedu-sedu amat mengibakan sekali.
Tabib tua itu kerutkan alis
lalu bertanya kepada Siau-liong, “Liong-ji, engkau bilang apa saja
kepadanya?"
Siau-liong tundukkan kepala
menyahut sendat, “Murid tak mengatakan apa-apa, hanya memberitahu bahwa
kemungkinan suhu dapat menolong ibunya."
52. Kekurangan Pil Mujijad
Kongsun Sin-tho menghela
napas, “Karena keadaan sudah begini, sudah tentu aku tak dapat berpeluk tangan.
Tetapi ketahuilah. Kemampuanku terbatas. Sedang saat ini Iblis Penakluk-dunia
sudah menguasai "tiga tokoh pemilik ilmu Ya-li-in-kang, Jit-hua-sin-kang
dan Ce-ci-sin-kang. Kekuatan mereka tentu dapat menguasai dunia persilatan. Dan
lagi....”
Tabib tua itU berhenti
sejenak, lalu melanjutkan, “Yang kukuatirkan, menilik kecerdikan iblis itu,
kemungkinan dia akan minta secara paksa ketiga ilmu sakti Ya-li, Jit-hua dan
Ce-ci itu. Jika hal itu terdjadi dia pasti akan memiliki tiga macam ilmu sakti
dan sukar dicari tandingannya lagi!"
Siau-liong tertegun. Apa yang
dikatakan suhunya itu, benar-benar belum pernah dipikirkan. Sedang Song Ling
masih tetap mendekap kaki Kongsun Sin-tho seraya menangis merengek-rengek.
Akhirnya Kongsun Sin-tho
mengangkat bangun Siau-liong dan Song Ling, ujarnya, “Akan kuusahakan sekuat
tenagaku. Sudahlah jangan menangis saja. Karena keadaan tak dapat ditolong
dengan menangis!"
Song Ling berhenti menangis.
Sepasang kelopak matanya membenjul. Ditatapnya Kongsun Sin-tho dengan pandang
memohon.
“Pertempuran antara golongan
Hitam dan Putih pada beberapa hari yang lalu memang dahsyat sekali," kata
Kongsun Sin-tho pula, "Bukan karena aku bermaksud hendak berpeluk tangan
saja. Tetapi memang ada beberapa pertimbangan. Dengan menguasai ketiga tokoh
pewaris ilmu Ya-li-sin-kang, Jit-hua-sin-kang dan Ce-ci-sin-kang itu, berarti
Iblis Penakluk-dunia sudah memperoleh tiga dari lima buah ilmu sakti dalam
dunia persilatan. Sekali pun Ceng Hi totiang mengundang seluruh orang gagah
dalam dunia, tetap sia-sia saja, seperti kawanan kambing hendak menyerbu
kesarang harimau....”
Tabib itu menghela napas,
katanya lanjut: “Sudah beberapa kali aku masuk ke dalam Lembah Semi dan secara
diam-diam menyelidiki keadaan Jong Leng lojin yang telah dihilangkan kesadaran
pikirannya itu. Pikirku hendak mengusahakan obat untuk memulih kesadaran
mereka. Tetapi akhirnya kurasa, keadaan tokoh itu memang tak dapat ditolong
lagi....”
Mendengar itu Song Ling menangis
lagi, “Kalau begitu mamaku juga tak mungkin dapat disembuhkan lagi....?"
Kongsun Sin-tho cepat-cepat
gelengkan kepalanya, “Boleh dikata hidupku kuabdikan pada ilmu pengobatan. Aku
tak mengatakan pasti bahwa keadaan mereka tak dapat disembuhkan. Apalagi soal
ini menyangkut hidup matinya dunia persilatan. Maka dalam beberapa hari ini aku
pergi mencari obat ke perbagai tempat. Rencanaku hendak membuat pil mujijad
untuk menyembuhkan segala penyakit!"
"Apakah dapat
menyembuhkan Randa Bu-san yang terkena ilmu sihir itu?" buru-buru
Siau-liong menukas.
Wajah tabib itu berobah
serius, “Apakah mampu mengobati atau tidak, sekarang masih sukar kukatakan.
Tetapi dalam penyelidikan sekali yang lebih mendalam, aku berhasil menemukan
suatu obat.... Jika obat itu tetap gagal, akupun tak dapat berbuat apa-apa lagi
kecuali harus mundur teratur....”
"Apakah pil buatan
locianpwe itu sudah selesai?" tukas Song Ling.
Kongsun Shin-tho tertawa, “Pil
yang kunamakan Sip-siau-cwan-soh-sin-tan itu memerlukan sepuluh macam obat.
Caranya membuat mudah saja. Dalam empat jam saja sudah selesai. Tetapi
kesepuluh bahan obat itu, ada tiga macam yang sukar dicari!"
Ia berhenti sejenak memandang
Siau-liong dan Song Ling, katanya pula, “Kesatu, sebatang Ho-siu-oh berumur
seribu tahun. Kedua, buah som salju berumur ratusan tahun....”
Siau-liong menghela napas:
“Ah, memang bahan itu tak mungkin didapatkan. Walaupun orang menggunakan
waktunya seumur hidup, belum dapat memperolehnya. Apalagi saat ini kita didesak
oleh keadaan!"
Kongsun Sin-tho tersenyum,
“Kemasyhuran namaku dalam dunia persilatan adalah karena pandai mencari
bahan-bahan ramuan obat. Untung dua dua macam bahan obat itu sudah kuperoleh.
Dan kini tinggal yang ketiga saja....”
“Apakah yang ketiga itu?”
buru-buru Siau-liong mendesak.
"Ramuan obat yang ketiga
adalah seekor Tenggoret-emas-berkaki-tiga. Beberapa tahun yang lalu aku sudah
menjelajahi seluruh gunung dan sungai, tetapi belum pernah bertemu dengan
binatang itu. Kabarnya paderi Kim Ting dari Go-bi-pay memelihara seekor. Tetapi
paderi tua itu berwatak aneh. Mungkin sukar memintanya....”
“Rasanya paderi Kim Ting itu
tentu seorang paderi yang saleh. Asal kita menuturkan tentang ancaman Iblis
Penakluk-dunia yang hendak menguasai dunia persilatan, tentulah paderi itu akan
suka memberikan kepada kita!" kata Siau-liong.
“Hal itu masih sukar
dikata," kata Kongsun Sin-tho, "kita boleh berusaha tetapi nasib yang
akan menentukan!"
Tiba-tiba tabib itu mengambil
buli-buli arak pada punggungnya. Ia mengambil sumbat penutupnya lalu dengan
hati-hati sekali mengeluarkan dua bungkusan sutera. Yang sebuah diserahkan
kepada Siau-liong.
“Dua macam ramuan obat dan
tujuh macam ramuan yang lain, telah kubungkus menjadi dua. Di dalam bungkusan
itu terdapat resep untuk membuat obat itu. Asal sudah mendapat Tenggoret emas
berkaki tiga dari paderi Kim Ting, bolehlah ramuan obat itu segera
dikerjakan."
Berkata Kongsun Sin-tho dengan
wajah gelap: "Saat ini kita masih terkepung disini. Iblis Penakluk-dunia
itu bukan olah-olah licin serta ganasnya. Jika dia menyuruh ketiga tokoh
pewaris ilmu sakti dan beberapa anak buahnya kemari, aku tak yakin mampu lolos
dari sini!"
Siau-liong terkejut. Ia
menyadari ucapan gurunya itu tentu bukan sendau gurau. Siau-liong tergagap
melongo.
Kongsun Sin-tho tertawa hambar,
ujarnya, “Orang pandai yang kaya akan pertimbangan, sekali pasti jatuh juga.
Ingat kata pepatah Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali pasti akan jatuh
juga. Dalam hal itu, aku memang mengutamakan tindakan yang hati-hati. Mati
hidupnya, timbul lenyapnnya dunia persilatan dewasa ini, seolah-olah telah
jatuh dibahu kita berdua. Selama salah satu diantara kita masih hidup, tentulah
masih ada harapan untuk membasmi kawanan iblis durjana yang hendak merajalela
menyebar keganasan dan kelaliman itu....”
Siau-liong anggukkan kepala.
Kini baru ia terbuka matanya. Suhu yang dianggapnya tak mau campur tangan
urusan dunia persilatan itu, ternyata orang yang paling memperhatikan
gejolak-gejolak dunia persilatan. Demi menyelamatkan tokoh-tokoh persilatan yang
terancam bahaya maut, suhunya ini tak menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.
“Lekas engkau simpan dalam
bajumu. Lebih baik engkau lekatkan pada tubuhmu. Selekas tenaga sekalian kawan
pulih kembali, kita segera tinggalkan tempat ini....”
Wajah tabib itu berobah
bengis, katanya pula, “Setelah dapat keluar dari sini, segera saja menuju ke
gunung Go-bi. Jangan sekali-kali berhenti ditengah jalan. Dan jangan memikirkan
aku dan kawan-kawanmu. Ingat, apabila aku sudah keluar dari tempat ini, tentu
takkan balik kanan disini lagi. Jika tak kuat mengekang hati untuk hal-hal yang
kecil, tentu bisa mengakibatkan gagalnya rencana besar!"
Siau-liong kerutkan alis.
Tetapi demi melihat wajah suhunya tampak serius, ia tak berani membantah dan
terpaksa mengiakan sambil tundukkan kepala.
Setelah melakukan pernapasan
untuk menyalurkan darah, Lu Bu-ki dan Liau Hoan pun sudah pulih tenaganya.
Menyambar tubuh Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah, Liau Hoan segera menuju
ke belakang Siau-liong dan duduk.
Kongsun Sin-tho sejenak
memandang ke arah Poh Ceng-in, kerutkan dahi tetapi tak berkata apa-apa.
"Perempuan ini adalah
anak perempuan dari suami isteri Penakluk-dunia dan Dewi Neraka,
"buru-buru Siau-liong memberi keterangan, "jika membawanya menerobos
keluar dari kepungan, mungkin kedua suami isteri iblis itu tak berani terlalu
mendesak kita!"
Kongsun Sin-tho tertawa
hambar. ”Apakah dalam pertempuran tadi engkau tak pernah menggunakan wanita itu
untuk menekan Iblis Penakluk-dunia!"
Siau-liong terbeliak. Ia ingat
bagaimana sikap Iblis Penakluk-dunia dan isterinya waktu diancam dengan jiwa
anaknya. Jelas kedua suami isteri itu tak takut.
Merahlah wajah Siau-liong. Ia
tundukkan kepala tersipu-sipu.
Saat itu, guruh dan guntur tak
henti-hentinya bersahut-sahutan. Hujan makin deras.
Puncak wuwungan biara yang
sudah tak terurus itu pecah-pecah sehingga air hujan meluncur masuk. Lantai
penuh air.
Sudah beberapa hari Siau-liong
tak mandi. Pakaiannya berlumuran debu kotor dan noda darah. Juga keadaan Lu
Bu-ki dan Liau Hoan tak keruan.
Melihat keadaan orang-orang
itu, Kongsun Sin-tho menghela napas pelahan.
Sekonyong-konyong angin
berembus. membawa hawa yang harum sekali. Siau-liong terkejut. Ia tak asing
lagi dengan bau harum itu.
"Iblis Penakluk-dunia
sedang menyebarkan hawa beracun pemusnah jiwa!" serunya, "orang yang
mencium bau itu tentu lemah lunglai tak bertenaga....”
Tiba-tiba ia teringat botol
obat penawar pemberian Poh Ceng-in yang masih separoh isinya. Tetapi obat
penawar itu telah dimakannya habis. Dalam gugup, terlintas sesuatu pada
pikirannya. Cepat ia berputar tubuh lalu menerkam Poh Ceng-in.
Tetapi setelah beberapa saat
merabah-rabah pakaian wanita itu, tetap ia tak menemukan apa-apa.
Tiba-tiba sepasang mata
Kongsun Sin-tho terentang lebar-lebar dan memancarkan sinar yang menakutkan
orang. Rupanya tabib itu sedang membenam diri dalam renungan. Sampai lama baru
ia tertawa dan berkata seorang diri.
"Aneh, benar-benar suatu
hal yang sukar dimengerti!" seru tabib itu.
Mendengar kata-kata suhunya,
Siau-liong hentikan penggeledahannya.
Saat itu hawa yang mengandung
bau harum itu makin menebal. Diantara rombongannya, Lu Bu-ki lah yang paling
rendah kepandaiannya. Tampaknya ia sudah mulai tak tahan. Beberapa kali ia
batuk-batuk.
"Bau ini hanya sejenis
obat bius biasa," kata Kongsun Sin-tho, "kedua suami isteri iblis itu
tentu sudah tahu kemasyhuranku sebagai tabib. Tetapi mengapa mereka
mengeluarkan permainan yang tak berarti itu....”
Berhenti sejenak, ia
melanjutkan, “Tentulah dia masih menyiapkan siasat lain yang lebih ganas lagi.
Yang dikeluarkan sekarang ini hanya tipu muslihat kosong!"
Habis berkata tabib itu
mengambil buli-buli merah yang dipanggul di punggung. Ia mengeluarkan beberapa
pil merah dan dibagi-bagikan kepada rombongan Siau-liong.
Begitu masuk ke dalam perut,
pil itu terasa menyegarkan semangat. Rasa muak dari hawa wangi tadi, lenyap
seketika.
Dan tak berapa lama, hawa
harum itupun lenyap sama sekali.
Kongsun Sin-tho kerutkan dahi
seperti tengah merenungkan soal yang penting tetapi belum dapat memecahkan.
Tiba-tiba terdengar lengking
suara yang nyaring dan tajam sekali. Sekalian orang gagah seperti robek anak
telinganya. Menyusul terdengar pula suara yang memuakkan telinga. Mirip dengan
seruling, pun mirip dengan gemerincing golok saling beradu.
Suara yang hiruk itu setempo
melengking tinggi setempo pelahan. Tetapi terus menerus tak henti-hentinya,
sehingga mengganggu ketenangan hati sekalian orang.
Kongsun Sin-tho berseru
lantang, “Ah, itu hanya suatu permainan tak berarti untuk mengacau pikiran
orang. Tetapi mengapa Iblis Penakluk-dunia menggunakan permainan itu terhadap
aku?"
Kemudian tabib itu minta
kepada sekalian orang supaya memusatkan semangat dan pikirannya! Jangan sampai
tercengkam dengan suara itu.
Setelah melakukan perintah,
ternyata sekalian orang merasa tenang lagi pikirannya. Tak berapa lama
kemudian, suara kacau itupun lenyap.
Kongsun Sin-tho pelahan-lahan
bangkit dari tempat duduknya. Sambil mendukung kedua tangan di punggung, ia
berjalan mondar-mandir. Rupanya ia sedang memeras otak untuk mencari daya.
Tiba-tiba ia berhenti dan
memandang sekali orang, serunya, “Betapapun halnya, tempat ini sudah tak sesuai
lagi. Kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini!"
Saat itu hujan amat lebatnya.
Tetapi setelah berkata, Kongsun Sin-tho terus melangkah keluar. Sekali loncat,
ia sudah tiba ditengah halaman.
Siau-liong dan kawan-kawan,
begitu tiba diambang pintu tak mau cepat-cepat meniru tindakan Kongsun Sin-tho
melainkan berhenti dan mengawasi sepak terjangnya tabib itu.
Begitu tegak ditengah halaman,
sekonyong-konyong tubuh Kongsun Sin-tho meluncur lima enam tombak ke udara. Dia
berputar-putar di atas udara Kemudian ia melayang turun.
Selain gemuruh hujan, saat itu
tiada terdengar suara apa-apa lagi Siau-liong dan Song Ling menjaga dipintu
sedang Liau Hoan sambil menjinjing tubuh Poh Ceng-in mengikuti di belakang
mereka. Lu Bu-ki siap dengan senjatanya. Tangan kanan mencekal ruyung besi,
tangan kiri menggenggam pelor baja.
Keempat orang itu tegang
sekali.
Tiba-tiba Siau-liong berkata
kepada Liau Hoan dengan nada menyesal, “Ah, membikin repot locianpwe saja.
Baiklah aku yang akan membuka jalan!"
“Jangan kuatir!" sahut
Liau Hoan, “asal aku masih bernapas saja, tentu takkan melepaskan perempuan
siluman ini!"
Tiba Kongsun Sin-tho melambai
dan memanggil Siau-liong berempat. Siau-liong dan kawan-kawannya cepat menyusul
tabib itu. Tetapi dalam hujan yang selebat itu, pandangan mata mereka tak dapat
menembus lebih dari setombak jauhnya.
Kongsun Sin-tho segera
mempelopori berjalan dimuka. Dia tak mau keluar dari pintu besar melainkan
menerobos dari sebuah lubang ditembok.
Pada saat rombongan Siau-liong
hendak menyusup lubang itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring memecah
angkasa. Pada lain saat muncul belasan orang yang mengepung mereka.
Ah, ternyata rombongan Iblis
Penakluk dunia. Bahkan iblis itu sendiri yang memimpinnya. Disamping kanan
kirinya tampak Lam-hay Sin-m Jong Leng lojin, Randa Bu-san, It Hang totiang,
Harimau Iblis dan beberapa anak buah lainnya.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
mengekeh, “Kongsun tua, Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali akan
tergelincir juga .... ha, ha, tepat sekali kata-katamu itu. Tahukah engkau
bahwa aku memiliki ilmu Menembus-langit meneropong-bumi sehingga apa yang
kalian bicarakan tadi, dapat kudengar semua?"
Kongsun Sin-tho mendengus
dingin. Tanpa berkata apa-apa, ia terus songsongkan kedua tangannya ke arah
rombongan Iblis Penakluk-dunia seraya berseru kepada Siau-liong, “Liong-ji,
lekas lari!"
Diantara kelima ilmu sakti, adalah
ilmu Thian-jim-sin-kang yang dimiliki Kongsun Sin-tho itu yang paling hebat
sesudah Thian-kong-sin-kang.
Dua buah hantaman Kongsun
Sin-tho yang dilancarkan dengan sekuat tenaga itu, cepat dan dahsyatnya bukan
main. Karena tak sempat menghindar maka Iblis Penakluk-dunia, Lam-hay Sin-ni
Jong Leng lojin, Randa Bu-san dan lain-lain, terhuyung-huyung mundur beberapa
langkah. Setelah kerahkan tenaga, barulah mereka dapat berdiri tegak.
Pukulan Kongsun Sin-tho itu
menimbulkan deru gelombang angin yang dahsyat sehingga lumpur muncrat
berhamburan kemana-mana. Hujan lebat angin keras dan lumpur berhamburan.
Benar-benar membuat rombongan Iblis Penakluk-dunia tak dapat membuka mata.
Sedang Siau-liong dan
kawan-kawan pun segera melakukan perintah Kongsun Sin-tho. Siau-liong menarik
tangan Song Ling terus diajak loncat menerobos lubang tembok.
Iblis Penakluk-dunia marah
sekali. Setelah berdiri tegak, ia segera tertawa nyaring. Tar, tar, ia getarkan
cambuknya beberapa kali di udara.
Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san,
Jong Leng lojin serempak menggerung. Bagaikan tiga ekor singa buas, mereka
menerjang dan menyerang Kongsun Sin-tho dengan kalap.
Hujan pukulan dari ketiga
tokoh itu telah menimbulkan badai sedahsyat gunung rubuh ......
Saat itu Siau-liong dan Song
Ling sudah lari sejauh belasan tombak. Ketika berpaling, Siau-liong tak dapat
melihat apa-apa karena lebatnya hujan ia terkejut dan berhenti. Dipandangnya
dengan seksama, namun tetap tak tampak suhunya menyusul ia makin gelisah.
“Harap nona melintasi hutan ini
dulu aku hendak kembali membantu suhuku!" katanya.
“Akupun hendak menolong
mama!" sahut si dara.
Dan pada saat Siau-liong
berputar tubuh Song Ling pun mengikuti juga. Tetapi pada saat kedua anak muda
itu hendak ayun tubuh, tiba-tiba terdengar Kongsun Sin-tho membentak dengan
ilmu Menyusup-suara, “Liong-ji, lekas pergi ke puncak Go-bi. Aku akan menyusul
belakangan!"
Siau-liong tertegun. Cepat ia
menarik tangan si dara.
"Eh, mengapa
engkau?" seru Song Ling.
Siau-liong menghela napas dan
menerangkan bahwa suhunya tak memperbolehkan ia masuk ke dalam biara lagi.
“Jika kembali masuk, pun belum
tentu dapat menolong mamamu. Lebih baik kita turut perintah suhu mencari
Tenggoret-emas kepuncak Go-bi!” katanya pula.
Song Ling meragu, katanya,
“Sehari tak dapat menolong mama, sehari hatiku tak tenteram. Ah.... kalau mau
pergi, cepat saja!"
Kedua anak muda itu segera
gunakan ilmu meringankan tubuh. Melintasi hutan terus menuju ketimur. Hanya
dalam waktu sepeminum teh saja, mereka sudah mencapai lima-enam li jauhnya.
Bermula kedua anak muda itu
masih dapat mendengar suara tertawa Iblis Penakluk-dunia dan teriakan jeritan
orang-orang yang bertempur. Tetapi makin lama suara itu makin jauh dan akhirnya
lenyap ditelan kelebatan hujan.
Siau-liong mengajak Song Ling
berhenti dan meneduh dibawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya.
“Rasanya tak perlu kita lari
ke mati-matian begini. Iblis Penakluk-dunia tak mengejar kita. Kita tentukan
arah dulu baru lanjutkan perjalanan lagi!" kata Siau-liong.
“Aneh, mengapa Iblis
Penakluk-dunia dua kali sengaja lepaskan kita lolos, ini....” kata Song Ling.
Siau-liong pun heran tetapi ia
tak dapat berkata apa-apa. Hanya diam-diam ia gelisah, memikirkan keselamatan
suhunya, Liau Hoan siansu, Lu Bu-ki dan Poh Ceng-in. Betapapun bencinya
terhadap Poh Ceng-in tetapi karena hidup matinya harus bersama wanita itu,
terpaksa ia harus memikirkan keselamatan wanita itu. Jika dalam keadaan
terdesak paderi itu sampai menutuk mati Poh Ceng-in, tentulah ia juga akan ikut
binasa.
Dan lagi tadi Iblis
Penakluk-dunia mengatakan bahwa iblis itu dengan ilmu
Menembus-langit-meneropong-bumi dapat mendengar pembicaraannya dengan Kongsun
Sin-tho. Lalu mengapa iblis itu tak mau suruh anak buahnya merintangi? Adakah
iblis itu tak begitu menganggap penting ataukah memang mempunyai lain rencana
lagi?
Melihat Siau-liong diam saja,
Song Ling berseru pula, “Iblis Penakluk-dunia sangat menginginkan ilmu
Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki. Tetapi mengapa dia tak mau menawanmu?
Apakah dia tak kuatir engkau lolos? Bukankah amat berbahaya sekali apabila
engkau dapat meloloskan diri? Karena setelah mempelajari ilmu
Thian-kong-sin-kang, engkau tentu akan mencarinya?"
Siau-liong menghela napas,
“Iblis itu tentu sudah memperhitungkan bahwa tak mungkin dalam keadaan saat
ini, aku akan melarikan diri untuk belajar ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Tetapi
mengapa dia tak mau menawanku, memang benar-benar mengherankan sekali!"
Siau-liong duga Iblis
Penakluk-dunia itu tentu sudak dapat menduga bahwa dialah yang menyamar sebagai
Pendekar Laknat. Dugaan itu makin diperkuat, ketika di dalam biara rusak Iblis
Penakluk-dunia memanggilnya dengan sebutan "Pendekar Laknat tua."
Siau-liong masih melanjutkan
renungannya. Sewaktu dalam barisan Pohon Bunga bertempur lawan Lam-hay Sin-ni
dan Jong Leng lojin, ia telah menderita luka. Begitu pula ketika Randa Bu-san
dapat ditawan Iblis Penakluk dunia. Siau-liong ingat, paling tidak dua kali
sebenarnya ia sudah jatuh ketangan Iblis Penakluk-dunia. Tetapi mengapa iblis
itu sengaja membiarkan dirinya lolos?
Sudah pasti Iblis
Penakluk-dunia itu tahu bahwa dialah (Siau-liong) yang menemukan kitab pusaka
Thian-kong-sin-kang dan menghancurkan kitab itu. Jika Iblis Penakluk-dunia
hendak memburu ilmu itu, seharusnya menangkap dan memaksanya supaya mengajarkan
ilmu itu.
Sejak siasat Iblis
Penakluk-dunia menggunakan si Mulut Besi Ong Tiat-go gagal, Siau-liong memang
lebih waspada. Tetapi terhadap gerak gerik iblis itu yang membiarkan dirinya
lolos begitu saja, benar-benar Siau-liong tak mengerti!
Karena makin memikir makin
gelisah, akhirnya Siau-liong menghela napas, ujarnya, “Setelah tiba di Go-bi,
lebih dulu akan kuturunkan ilmu Thian kong-sin-kang itu kepadamu. Apabila Iblis
Penakluk-dunia telah berhasil menguasai dunia persilatan, sebaiknya nona
mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk meyakinkan Thian-kong-sin-kang.
Setelah berhasil barulah nona berusaha untuk mencari balas!"
“Sudahlah, jangan banyak
omong. Aku sudah mempunyai rencana sendiri dan takkan menerima ilmu
Thian-kong-sin-kang itu....” sahut si dara, "jangan pindahkan beban berat
itu kepadaku."
"Sama sekali aku tak
bermaksud hendak mengalihkan tanggung jawab kepadamu....”
“Tak peduli engkau bilang apa
saja, toh percuma! Lebih baik engkau tentukan arah yang harus kita tempuh sekarang
ini!" tukas Song Ling.
Siau-liong menghela napas,
“Apakah nona sungguh-sungguh tak mau meluluskan?"
Rupanya Song Ling tak sabar
lagi.
“Tidak! Tidak! Huh, tak malu
engkau sebagai anak lelaki, mengapa merengek-rengek begini macam!"
Tiba-tiba dara itu loncat
menerjang hujan....
53. Pelayan Rumah Penginapan
Siau-liong tertegun dan malu
hati. Cepat ia loncat mengikuti dara itu. Mereka tak paham jalan-jalan di
pegunungan Tay-liang-san. Apalagi tengah malam hujan angin seperti saat itu
mereka tak tahu arah yang akan ditempuh. Terpaksa mereka hanya berjalan menurut
apa yang dapat dilalui.
Dalam waktu singkat mereka
telah mencapai dua li jauhnya. Hujanpun sudah berkurang. Tiba-tiba mereka
tertegun berhenti. Ternyata mereka berhadapan dengan dua simpang jalan. Sesaat
tak tahu mereka harus mengambil jalan yang mana.
Song Ling menatap Siau-liong
dengan pandang bertanya. Tetapi pemuda itupun bimbang sendiri. Ia menyadari
bahwa Tay-liang-san itu merupakan pegunungan dan beribu puncak. Sekali kesasar,
tentu sukar keluar.
Pada saat ia belum dapat
mengambil putusan, tiba-tiba dari jauh terdengar derap kaki orang menghampiri.
Langkah kaki itu amat pelahan
sekali apalagi sedang hujan. Tetapi berkat telinganya yang tajam, dapatlah
Siau-liong menangkap suara langkah itu. Apalagi saat itu ia pasang telinga
dengan seksama sehingga dapat mendengar jelas.
Ia terkejut dan cepat menarik
tangan Song Ling lalu diajak bersembunyi digerumbul semak.
Song Ling tak mendengar
apa-apa, tetapi karena ditarik Siau-liong ia duga pemuda itu tentu mendengar
sesuatu.
Saat itu keduanya berada
diujung jalan kecil yang terletak diatas. Dan gerumbul semak itu terletak di
tepi jalan. Apabila pendatang dari jalan kecil juga, tentulah akan mengetahui
mereka.
Langkah kaki itu makin lama makin
dekat dan jelas langkahnya berat. Terang bukan orang persilatan.
"Apakah dia seorang
pemburu? Tetapi mengapa keluar tengah malam hujan lebat?" pikir
Siau-liong.
Tepat pada saat itu dilihatnya
sesosok tubuh yang terhuyung-huyung meughampiri. Segera Siau-liong mengenali
siapa pendatang itu. Girangnya bukan kepaang. Buru-buru ia berkata kepada Song
Ling, "Itulah Lu Bu-ki!"
Samar-samar Song Ling juga
melihatnya. Serunya heran, “Mengapa hanya dia seorang? Dan mengapa tampaknya
terluka?"
Memang orang itu
terhuyung-huyung sehingga sampai beberapa saat baru tiba ditempat Siau-liong
bersembunyi.
Tubuhnya berlumuran darah,
pakaian compang-camping dan berjalan dengan susah payah .......
Siau-liong cepat meneriakinya,
“Saudara Lu!"
Lu Bu-ki tersentak kaget dan
cepat mencabut pedang dipunggungnya. Tetapi setelah melihat siapa yang
memanggil itu, ia menghela napas, “Ah, kiranya saudara Kongsun dan nona Song.
Mengapa kalian disini?"
Siau-liong tak menjawab
melainkan melanjutkan pertanyaannya, “Apakah saudara Lu melihat suhuku dan Liau
Hoan taysu....”
Lu Bu-ki menukas dengan helaan
napas, “Ah, hidup selama empatpuluh tahun lebih, baru hari ini mataku terbuka.
Kongsun Sin-tho locianpwe itu, ternyata seorang sakti. Seorang diri dia mampu
menghadapi empat tokoh sakti si Iblis Penakluk-dunia, Lam-hay Sin-ni, Jong Leng
lojin dan Randa Bu-san. Benar-benar suatu pertempuran yang belum pernah terjadi
dalam sejarah persilatan ......”
Sambil terengah-engah. Lu
Bu-ki seperti menggambarkan pertempuran itu dengan gerak-gerak yang
bersemangat.
Siau-liong tergopoh
menukasnya, “Bagaimanakah kesudahannya pertempuran itu? Suhuku....?"
Lu Bu-ki tertegun, sahutnya,
“Aku dan Liau Hoan taysu pun bertempur sendiri dengan Harimau Iblis dan It Hang
totiang .......”
Berhenti sejenak ia berkata
pula, “Tetapi karena kepandaianku jelek, dalam tiga jurus saja aku sudah
menderita luka. Sedang Liau Hoan taysu karena mencengkeram perempuan baju merah
itu, gerakannya tak leluasa. Pihak kita hanya mengandalkan kekuatan Kongsun
locianpwe seorang....”
Tiba-tiba ia berhenti lagi dan
terengah-engah. Sesungguhnya Siau-liong gelisah sekali tetapi ia sungkan untuk
mendesak. Terpaksa dengan sabar ia bertanya, “Apakah engkau terluka
parah?"
Setelah terengah sejenak, Lu
Bu-ki paksakan tertawa, “Hanya beberapa luka luar saja, tidak jadi apa
........”
Tetapi tampaknya kedua kakinya
sudah tak kuat berdiri lagi. Maka duduklah ia di tepi jalan lalu berkata
pelahan-lahan.
"Sebenarnya dalam
pertempuran itu aku sudah bertekad untuk mengadu jiwa. Tetapi karena Kongsun
locianpwe berulang kali menyerukan supaya aku dan Liau Hoan taysu segera
mengundurkan diri, bahkan dalam kesibukan menghadapi keroyokan keempat lawannya
yang tangguh itu, Kongsun locianpwe masih sempat juga untuk membantu aku
......”
Mata si tinggi besar itu
berkaca-kaca dan berseru dengan nada tegang, “Saat itu aku dan Liau Hoan taysu
terdesak musuh. Tetapi karena dibantu Kongsun locianpwe dengan sebuah hantaman
yang memaksa Harimau Iblis dan It Hang totiang mundur bahkan Shin Bu-seng dari
Tiam-jong-pay menderita luka, sambil menyeret perempuan siluman baju merah itu,
segera menerobos keluar dari biara. Kemudian akupun menyusul keluar Tetapi
karena malam Itu hujan lebat dan angin kencang, suasana di luar gelap pekat.
Begitu keluar aku tak melihat Liau Hoan taysu lagi. Tentulah dia sudah lari
jauh....”
Siau-liong banting-banting
kaki dan menghela napas, “Kalau begitu engkau tak mengetahui bagaimana
kesudahan pertempuran suhuku itu?"
Lu Bu-ki gelengkan kepala
menghela napas, “Karena tak melihat Liau Hoan taysu dan menderita luka, sedang
keadaan diluar gelap gulita sekali dan saat itu Kongsun locianpwe gunakan ilmu
Menyusup suara untuk menyuruh aku lekas.... aku lekas pergi dan lagi....”
Ia berhenti memandang
Siau-liong, “Suhumu suruh aku apabila bertemu dengan engkau, supaya
menyampaikan pesannya suruh engkau lekas menuju ke gunung Go-bi, menemui paderi
sakti Kim Ting. Minta Tenggoret-berkaki-tiga dari paderi itu. Suhumu mengatakan
pula. Beban berat untuk menyelamatkan dunia persilatan dewasa ini, terletak
dibahumu. Suruh engkau menyadari tugas berat itu. Setiap tindakan harus
hati-hati....”
Siau-liong menghela napas,
“Kalau begitu, suhu kemungkinan besar tentu tertimpah bahaya!" sesaat ia
gelisah dan cemas sekali.
"Kalau aku bisa
meloloskan diri, tentulah Kongsun-cianpwe takkan tertimpah apa-apa ......” Lu
Bu-ki menatap Siau-liong dan tiba-tiba diam.
Siau-liong menghela napas,
“Itulah karena Iblis Penakluk-dunia tak berniat menangkapmu. Tetapi terhadap
suhu .... dengan mengandalkan pada ketiga tokoh sakti yang telah menjadi
orangnya itu, betapa pun sakti kepandaian suhu tetapi mungkin .... ah!
Tertawannya Randa Bu-san merupakan salah satu contoh....”
Makin memikir, makin
gelisahlah Siau-liong. Ia merasa pasti bahwa suhunya tentu celaka ......
Song Ling yang selama itu
hanya mendengarkan mereka bicara, pikirannya pun agak tenang. Tetapi mukanya
basah dengan airmata campur hujan. Setelah menghela napas panjang ia bertanya
kepada Lu Bu-ki, “Mamaku.... apakah masih linglung pikirannya?"
Lu Bu-ki terpaksa mengangguk,
“Selama ilmu siluman dari kedua suami isteri iblis itu belum dapat dipecahkan,
keadaan ibu nona tentu sukar sembuh....”
"Lalu berpaling dan
berkata kepada Siau-liong, “Menurut hematku, baiklah saudara melakukan pesan
Kongsun-cianpwe untuk lekas mencari paderi sakti Kim-Ting di Go-bi dan minta
Tenggoret-emas-berkaki-tiga itu!"
Siau-liong mengangguk. Lalu ia
menanyakan bagaimana dengan luka si tinggi besar itu.
Dengan gagah Lu Bu-ki tertawa,
“Aku masih kuat menahan!" — Habis berkata ia terus loncat bangun. Tetapi
sebelum kakinya tegak, iapun terhuyung-huyung mau jatuh lagi. Jelas bahwa
lukanya memang berat tetapi ia paksakan diri bertahan.
Siau-liong cepat-cepat
memapahnya tetapi si tinggi besar itu menghindar ke samping lalu tertawa garang,
“Habis hujan, tanah licin. Sama sekali bukan karena aku tak dapat
berjalan!"
Ia terus ayunkan langkah lebar
berjalan. Hampir setengah dari umurnya telah dipergunakan berkecimpung dalam
Rimba Hijau. Sekali pun jarang sekali datang ke gunung Tay-liang-san, tetapi Lu
Bu-ki cukup mengenal jalan di daerah itu. Maka berjalanlah ia menempuh hujan
yang masih belum reda dengan diikuti Siau-liong dan Song Ling.
Untunglah makin lama hujan pun
makin reda dan akhirnya berhenti. Langitpun cerah juga. Rembulan muncul
bagaikan sebuah bola lampu yang tergantung di atas barisan puncak gunung.
Tetapi karena sudah terlanjur
basah kuyup ketika dihembus angin malam, ketiga orang itu menggigil kedinginan.
Song Ling yang bermula mengikuti persis di belakang Lu Bu-ki, lama kelamaan
merasa letih juga dan akhirnya ia berjalan menjajari Siau-liong. Berkali-kali
ia sandarkan tubuhnya ke bahu pemuda itu.
Siau-liong diam-diam kerahkan
tenaga dalam. Ia memperhatikan keadaan sekeliling penjuru. Maka bermula ia tak
memperhatikan Song Ling. Baru setelah dara itu gemetar keras, ia terkejut,
“Apakah engkau kedinginan?"
Suatu pertanyaan yang
sesungguhnya dapat dijawab sendiri karena dia juga gemetar kedinginan.
"Tidak," sahut Song
Ling.
Siau-liong terkejut mendengar
nada suara dara itu lain dari biasanya. Buru-buru ia berhenti. Ternyata wajah
Song Ling berobah pucat, giginya bercaterukan keras. Tangannya dingin sekali
tetapi dahinya amat panas.
"Engkau sakit!" seru
Siau-liong.
Song Ling paksakan diri,
“Hanya cape sedikit, tetapi tak mengapa....” — tetapi mendadak ia mencengkeram
lengan Siau-liong dan meronta, “Pelahan-lahan saja!"
Siau-liong iba sekali melihat
keadaan dara itu sehingga hampir menangis. Song Ling menderita luka parah pada
tubuh dan hatinya. Lalu menempuh perjalanan ditengah malam yang berhujan lebat,
angin keras. Sudah tentu dara itu tak kuat bertahan.
Tetapi sikap si dara yang
tetap gagah, sinar matanya yang memancar kekerasan hati dan katup bibirnya yang
angkuh pantang mundur, diam-diam menimbulkan rasa kagum pada Siau-liong.
Tak berapa lama malam pun
berganti pagi. Pemandangan sekeliling penjuru, makin terang. Diam-diam
Siau-liong gelisah. Jika saat itu Iblis Penakluk-dunia melakukan pengejaran,
tentulah sukar untuk meloloskan diri lagi.
Lu Bu-ki benar-benar tak
kecewa sebagai seorang jantan perkasa. Walaupun tubuhnya berhias luka-luka
tetapi ia tetap kuat berjalan. Mendengar berulang kali Siau-liong menghela
napas, ia tahu isi hati pemuda itu. Segera ia berhenti, katanya, “Tay-liang-san
walaupun terdiri dari ribuan puncak, tetapi mempunyai jalan keluar sampai
berpuluh-puluh buah. Kongsun locianpwe dan Liau Hoan siansu tentu sudah
meloloskan diri dari lain jalan!"
"Eh, apakah nona
sakit?" tiba-tiba ia terkejut melihat keadaan Song Ling.
"Entah masih berapa jauh lagi
dapat keluar dari pegunungan ini? Kecuali nona Song tak kuat bertahan lagi....”
tiba-tiba Siau-liong alihkan kata-katanya, “Dalam keadaan berlumuran darah
begini tidaklah leluasa kalau bertemu orang. Lebih baik kita cari tempat
beristirahat dulu."
Sambil menunjuk jauh kesebelah
muka, Lu Bu-ki mengatakan, “Setelah melintasi gunduk gunung itu, segera kita
sudah keluar dari Tay-liang-san.... dibawah gunung kita akan tiba dikota
Ma-pian-koan. Disana nanti kita cari hotel. untuk mengobati sakit nona Song dan
sekalian beristirahat."
Mendengar itu timbullah
semangat Siau-liong. Tetapi saat itu Song Ling benar-benar sudah tak kuat lagi.
Dengan napas memburu keras, ia sandarkan tubuh ke bahu Siau-liong.
"Nona....” seru
Siau-liong.
"Hm....," gumam Song
Ling terus rubuh.
Siau-liong terkejut. Terpaksa
ia memondong dara itu terus lanjutkan perjalanan lagi.
Ternyata Lu Bu-ki memang kenal
jalanan disitu. Setelah melintasi gunduk, mereka tiba di tanah datar. Dari jauh
tampak sebuah kota. Paling jauh hanya tiga li jaraknya.
Sekalipun ingat akan pesan
suhunya supaya jangan menunda perjalanan ke Go-bi tetapi jarak ke Go-bi tak
kurang dari tujuh-delapanpuluh li. Sedang saat itu Song Ling menderita sakit
sehingga tak kuat berjalan lagi. Maka Siau-liong terpaksa memutuskan untuk
beristirahat dulu di kota Ma-pian-koan.
Ternyata kota itu tak berapa
besar, kalah besar dan ramai dengan kota Sok-ciu.... Karena saat itu baru saja
terang tanah maka rumah-rumah dan jalanan masih sepi.
Lu Bu-ki dan Siau-liong
berhenti disebuah rumah penginapan di gang yang sepi. Papan nama yang
tergantung pada rumah penginapan itu berbunyi, “Pondok Toa Ong Ki". Sebuah
pondok penginapan yang sudah tua dan kecil.
Lu Bu-ki mengetuk pintu tetapi
sampai lama tiada penyahutan. Si tinggi besar yang beradat berangasan lalu
mendebur sekeras-kerasnya seraya berteriak, “Hai, pintu, lekas bukakan
pintu!"
Siau-liong terkejut. Ia
memperingatkan siberangasan supaya hati-hati karena kota itu masih masuk
lingkungan daerah Tay-liang-san.
Lu Bu-ki terpaksa bersabar dan
menunggu. Paling tidak sepeminum teh lamanya baru terdengar langkah kaki orang
dan pada lain saat terdengarlah pintu dibuka. Seorang lelaki tua muncul. Tetapi
begitu melihat kedua pendatang yang berlumuran darah dan bahkan yang seorang
memondong seorang gadis, orang tua itu menjerit kaget lalu bergegas-gegas
hendak menutup pintu lagi.
Lu Bu-ki mendorong daun pintu
dan membentak, “Tua bangka, bukankah engkau membuka rumah penginapan? Aku
membawa uang....”
Siau-liong cepat melangkah
maju, “Losianseng, kami mendapat kesulitan dalam perjalanan. Minta tolong
menyewa kamar disini. Semua rekening tentu akan bayar lunas!"
"Apakah kalian ini....”
tanya orang tua itu tak henti-hentinya memandang bergantian kepada tetamunya.
Siau-liong takut si tinggi
besar omong keliru, buru-buru ia mendahului, “Kami adalah.... pedagang yang
baru pertama kali ini menjual kain kedaerah Biau sini. Tak terduga ketika
melintasi pegunungan Tay-liang-san kami telah mendapat kesulitan karena
dihadang oleh orang Biau. Barang-barang dagangan kami telah dirampas semua....”
Kemudian memandang ke arah
Song Ling yang dipondongnya, Siau-liong menghela napas, “Adikku ini menderita
kegoncangan kaget dan karena kehujanan, terserang sakit.... harap losianseng
suka menolongi."
Rupanya pemilik pondok itu
percaya, katanya, “Memang tahun ini berdagang keluar daerah tidak mudah. Masih
untung kalian bisa selamat. Beberapa hari yang lalu, ada rombongan pedagang
kain yang yang masuk ke daerah Biau, ketika melintasi pegunungan Tay-liang-san
pun dibegal orang Biau liar. Dari lima orang yang dapat lolos hanya seorang
saja selamat. Kabarnya yang empat orang itu mati terkena panah beracun dari
orang Biau.... ai.... silahkan masuk!"
Rupanya pemilik pondok yang
tua itu kasihan pada Siau-liong. Sambil menunjukkan jalan, ia mengingau,
“Memang tak mengherankan kalau nona itu jatuh sakit.... jangankan hanya seorang
wanita, bahkan lelaki yang gagah perkasa pun tentu terserang penyakit kalau
menempuh perjalanan yang begitu berat....”
"Apakah kalian terluka
oleh mereka?" tanya orang tua itu sambil mengawasi pakaian Siau-liong dan
Lu Bu-ki yang berlumuran darah.
"Tidak, melainkan diwaktu
meloloskan diri telah jatuh beberapa kali sampai terluka. Tetapi tak jadi
apa," sahut Siau-liong.
Pemilik pondok itu membawa tetamunya
kebagian ruang belakang. Saat itu dari sebuah kamar, muncul seorang lelaki
berumur kira-kira tigapuluhan tahun. Kepala besar, mata kecil, wajahnya
menyeramkan. Tak henti-hentinya dia memandang Siau-liong saja.
Setelah mempersilahkan
Siau-liong bertiga masuk ke dalam sebuah kamar, pemilik pondok berseru
memanggil lelaki tadi, “Tho Tao-ciang lekas hangatkan arak dan hidangan
tuan-tuan tetamu ini. Lalu masak lagi air panas untuk mereka."
Siau-liong menghaturkan terima
kasih. Setelah orang tua itu mengingau seorang diri, lalu pergi.
Ruang kamar ternyata teramat
bersih. Tetapi hanya terdapat ranjang besar untuk dua orang. Siau-liong segera
letakkan Song Ling di atas kasur. Tepat pada saat itu pelayan yang disebut Tho
Tao-cing tadipun datang membawa arak hangat.
Setelah meminumkan dua cawan
arak kepada Song Ling, tampaklah dara itu sadar. Ketika membuka mata, serentak
ia hendak meronta bangun.
“Jangan kuatir,
beristirahatlah dengan tenang. Sekarang kita berada dalam pondok penginapan.
Setelah engkau sembuh, kita lanjutkan perjalanan lagi," kata Siau-liong.
Tetapi Song Ling gelisah.
Dengan napas gopoh ia berkata, “Aku hanya menderita sedikit angin dingin. Sama
sekali tidak merasa sakit. Setelah istirahat, kita pergi. Apakah engkau lupa
akan pesan suhumu....”
Siau-liong memberi isyarat
mata, “Karena sudah berada di tempat yang aman, sekarang atau nanti akhirnya
toh kita akan kesana juga!"
Rupanya Song Ling cukup
cerdas. Ia tahu Siau-liong tentu mencurigai pelayan yang berwajah seram itu.
Maka iapun tak mau bicara lagi.
Lu Bu-ki mengambil sekeping
perak sepuluhan tail lalu diberikan kepada pelayan itu:"Harap belikan
pakaian untuk bertiga, sediakan hidangan dan sisanya untukmu!"
Dengan tertawa-tawa, pelayan
menyambuti perak terus melangkah pergi. Cepat sekali ia sudah menyediakan
pesanan Lu Bu-ki. Ia datang membawa tiga stel pakaian baru.
Saat itu hari sudah siang.
Tetamu-tetamu lain yang jumlahnya hanya empat-lima orang sudah berkemas untuk
melanjutkan perjalanan.
Setelah mandi air hangat dan
ganti pakaian, agak segarlah perasaan Siau-liong bertiga. Kemudian mereka
menutup pintu dan makan. Tetapi walaupun sakitnya sudah agak berkurang, Song
Ling tetap tak dapat menelan nasi. Terpaksa ia tidur saja di ranjang.
Sesuai dengan tubuhnya yang
tinggi perkasa, Lu Bu-ki gemar sekali minum. Setelah menghabiskan tiga cawan,
semangatnya makin beringas. Lukanya seolah-olah dilupakan. Siau-liong hanya
makan sedikit Setelah Lu Bu-ki habis makan, Siau-liong suruh dia beristirahat
di tempat tidur untuk memulangkan tenaga.
Tetapi si tinggi besar tetap
menolak, “Aku tidak lelah. Lebih baik engkau yang beristirahat dulu.“
Karena Lu Bu-ki tetap menolak,
Siau-liong terpaksa naik ketempat tidur. Karena letih, ia jatuh pulas.
Entah berapa lama ia tertidur,
tiba-tiba ia terkejut mendengar suara berisik yang lembut sekali. Dilihatnya
Song Ling masih tidur pulas, Lu Bu-ki pun mendengkur di atas kursi.
Suara gemersik itu berasal
dari jendela. Ia duga tentulah perbuatan sipelayan. Maka sengaja ia batuk-batuk
lalu duduk diranjang.
Orang yang mengintai diluar
kamar itu segera berjingkat-jingkat pergi. Dia meninggalkan sebuah lubang pada
kertas jendela.
Sekalipun sudah berhati-hati
sekali, tetap terdengar Siau-liong. Jelas orang itu tak mengerti ilmu silat.
"Betapapun lihaynya
tetapi tak mungkin Iblis Penakluk-dunia menanam pengaruhnya sampai di tempat
semacam ini. Tentulah pelayan itu mencurigai gerak-gerik kita," pikir
Siau-liong.
Diluar ruangan, sunyi senyap.
Kecuali Siau-liong bertiga, pondok penginapan itu sudah tak ada tetamu lain
lagi.
Saat itu matahari sudah
condong ke barat. Ia berjalan keluar. Terasa tubuhnya ringan sekali. Rasa letih
sudah hilang. Ia menghampiri ketempat Song Ling. Dilihatnya pipi dara itu merah
sekali. Dirabanya pipi dara itu. Panas sekali tetapi kaki tangannya dingin,
napasnya sesak.
“Ah, dia benar-benar keras
hati. Sakitnya begini berat, masih paksa diri bertahan," pikir Siau-liong.
Ia memanggil pelayan minta
alat tulis.
Lu Bu-ki terkejut bangun dan
melonjak dari kursinya, ia tertawa sendiri, “Ho, baru liyer-liyer sebentar,
sudah jatuh pulas!"
"Bagaimana dengan
lukamu?" tanya Siau-liong.
Orang tinggi besar itu
mengatakan sudah sembuh. Saat itu pelayan datang membawa alat tulis.
Entah bagaimana, ia tampak
ketakutan berhadapan dengan Siau-liong dan Lu Bu-ki.
Siau-liong duga pelayan itu
ketakutan karena merasa perbuatannya mengintai tadi, tentu diketahui
Siau-liong.
Sejak kecil Siau-liong ikut
pada Kongsun Sin-tho. Walaupun tabib sakti itu tak mengajarkan ilmu pengobatan,
tetapi karena biasa mendengar dan melihat suhunya meramu obat, maka Siau-liong
pun mengerti juga sedikit-sedikit. Segera ia menulis resep dan suruh pelayan
iiu membelikan ke rumah obat.
Setelah pelayan pergi,
bertanyalah Siau-liong kepada Lu Bu-ki, “masih jauhkah perjalanan ke gunung
Go-bi itu?"
“Dari sini kita menyeberang
sungai, kira-kira hanya empatpuluhan li. Jadi semua hanya tujuhpuluhan li.
Tetapi.... perjalanan itu merupakan daerah pegunungan, tiada jalan datar. Tak
bisa ditempuh dengan kuda atau kereta. Bahkan jalan kaki saja sukar. Mengingat
nona Song masih sakit....”
54. Kaki-tangan Iblis di Kota
Siau-liong cepat menukas
dengan serius, “Kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu sudah jelas hendak
berusaha menguasai dunia persilatan. Ceng Hi totiang terpaksa menuruti
perintahnya untuk menghadiri pertemuan di Go-bi. Tentulah saat ini mereka sudah
menuju ke Go-bi. Kemarin malam dengan gunakan ilmu
Mendengar-langit-menembus-bumi, dia telah mencuri dengar pembicaraanku.
Tentulah dia sudah mengetuhui perjalanan kita ke Go-bi ini. Sekalipun dia tak
muncul tetap tentu sudah mengatur rencana untuk menangkap kita. Menurut
penilaianku, di gunung Go-bi sudah dirobah menjadi suatu perangkap. Kaki tangan
Iblis Penakluk-dunia sudah tersebar diseluruh pelosok gunung itu. Lebih baik
kita berangkat pada malam hari saja dan besok pagi-pagi sudah dapat mencapai
puncak Kim-ting dari gunung Go-bi....”
"Hai!" tiba-tiba Lu
Bu-ki menggebrak meja, mengapa aku lupa? Ya, aku teringat akan sebuah jalan
singkat yang dapat mencapai belakang gunung Go-bi. Jalan itu sepi sekali
sehingga tak diketahui orang. Biarlah nanti malam aku yang menjadi penunjuk
jalan!"
Siau-liong gembira
mendengarkan. Setelah setengah hari beristirahat, semangat merekapun sudah
segar kembali. Tetapi Song Ling masih tidur sedang Siau-liong dan Lu Bu-ki
duduk bersemadhi memulangkan semangat.
Tak berapa lama si pelayan
tadi muncul dengan membawa obat yang sudah dimasaknya. Lebih dulu Siau-liong
mencicipi obat itu baru ia angkat tubuh si dara dan pelahan-lahan
meminumkannya.
Ternyata manjur juga obat
buatan Siau-liong itu. Tak berapa lama semangat si dara pun mulai
berangsur-angsur pulih. Tetapi berulang kali dara itu berteriak-teriak hendak
melanjutkan perjalanan dan tak henti-hentinya mengoceh seorang diri, menangis
dan menghela napas. Terang dara itu menanggung kedukaan yang menggoncangkan
perasaannya sehingga belum pulih.
Siau-liong menghiburnya dan
menjelaskan mengapa baru berangkat nanti malam. Rupanya dara itu mau menerima
penjelasan dan sikapnya pun agak tenang. Demikian mereka bertiga segera
bersemadhi memulangkan semangat. Pada saat matahari hampir silam, pelayan tadi
pun mengetuk pintu dan berseru:
“Tuan-tuan.... ada seorang
tetamu hendak bertemu!"
Siau-liong dan Lu Bu-ki
terkejut, pikir mereka, “Pagi-pagi sekali kita datang ke pondok penginapan ini
dan sepanjang hari tak pernah keluar. Mengapa ada orang yang hendak menemui
kita?"
Belum mereka mengambil putusan
menemui orang itu atau tidak, tiba-tiba terdengar derap kaki orang berjalan
masuk Siau-liong cepat menarik Lu Bu-ki. Keduanya siap-siap.
"Apakah tinggal dideretan
kamar timur?" teriak orang itu dengan nyaring.
"Ya, ya, " sahut
sipelayan tadi, "kamar yang inilah."
“Hayo, engkau keluar!"
bentak orang itu seraya terus masuk ke dalam pintu.
Lu Bu-ki terkejut tetapi
setelah mengetahui siapa pendatang itu, ia segera tertawa gelak-gelak, “Ah!
kiranya Auyang pangcu!"
"Benarkah saudara Lu yang
bicara ini?" seru orang itu.
Lu Bu-ki cepat membuka pintu
untuk pendatang itu. Seorang lelaki tua berumur enampuluhan tahun rambut dan
jenggotnya sudah menjunjung uban, pinggang menyelip sepasang senjata
Poan-kwan-pit melangkah masuk. Mata orang itu berbentuk segi tiga hidung
bengkok macam burung wulung. Wajahnya menampilkan seorang licin.
Orang itu memandang Siau-liong
sampai beberapa jenak baru memberi hormat dan berseru dengan tertawa, “Saudara
ini tentulah Kongsun-siauhiap, bukan?"
Siau-liong mengiakan lalu
minta tanya nama orang itu juga.
Lu Bu-ki menerangkan, “Saudara
Auyang Pa ini, adalah pangcu (ketua) dari duapuluh delapan kelompok yang
tersebar diperairan telaga Poh-yang-ou. Kali ini memenuhi undangan Ceng Hi
totiang untuk menggempur sarang Iblis Penakluk-dunia."
Siau-liong menatap Auyang Pa,
tanyanya dengan nada serius, “Apakah Auyang pangcu belum berjumpa dengan
rombongan Ceng Hi totiang? Mengapa tahu kalau aku dan kawan-kawan berada
disini?"
Sejenak mengeliarkan mata,
Auyang Pa menyahut, “Karena kuatir ditengah jalan menemui kesulitan, maka Ceng
Hi totiang dan rombongan mengambil jalan singkat yaitu melalui jembatan
Ngo-tong-kiau, gunung Lok-san lalu mengitari gunung. Aku mendapat perintah
supaya menjaga ditempat ini untuk menyelidiki gerak-gerik Iblis Penakluk-dunia.
Tak terduga semalam dipuncak Lok-beng-nia aku telah berjumpa dengan seorang
cianpwe yang ternama....”
Ia berhenti untuk menatap
wajah Siau-liong dan tertawa, “Locianpwe itu semula termasyhur sebagai seorang
tabib sakti. Tak pernah dunia persilatan mengetahui kalau dia ternyata memiliki
kepandaian sakti. Karena tak seorangpun yang tahu bahwa sebenarnya dia adalah
pewaris dari ilmu tenaga sakti Thian-jim-sin-kang!”
Siau-liong terbeliak kaget
sekali. Serunya gopoh, “Auyang pangcu maksudkan....”
Auyang Pa tertawa, “Benar,
memang suhumu Tabib-sakti jenggot-naga Kongsun locianpwe!"
"Dimanakah suhuku sekarang."
Tenang-tenang Auyang Pa
menjawab, “Semalam menjelang tengah malam aku bertemu dengan Kongsun-cianpwe di
biara Leng-hun-si dipuncak Lok-beng-nia. Rupanya beliau menderita luka kecil,
sedang beristirahat dalam biara itu....”
Berhenti sejenak ia melanjutkan
pula, “Beliau minta tolong kepadaku apabila berjumpa dengan Kongsun-siauhiap
supaya menyampaikan pesan. Beliau....”
“Apakah suhu tak ke
Go-bi?" tanya Siau-liong.
Auyang Pa tertawa pula,
“Beliau mengatakan pasti kesana. Tetapi untuk sementara ini beliau hendak
mengerjakan suatu urusan yang penting sekali. Mungkin akan terlambat beberapa
waktu. Beliau mengatakan malam nanti akan datang ke Ma-koan dan minta engkau
menunggu disini!"
Siau-liong kerutkan alis
bertanya, “Apakah luka suhuku itu tak berbahaya?"
"Hanya menderita luka
ringan. Ketika beristirahat dalam biara, dia tetap tertawa-tawa seperti biasa.
Jelas tentu tak apa-apa." .
Siau-liong merenung sejenak.
Tiba-tiba dengan mata berkilat-kilat ia mengajukan pertanyaan pula, “Apakah
suhu tak bilang apa-apa lagi? Apakah dia tak mengatakan mengapa suruh aku
tunggu disini?"
Auyang Pa tersenyum menepuk
keningnya sendiri, “Benar! Kongsun-cianpwe mengatakan, karena saat itu
keadaannya berbahaya maka suruh engkau cepat-cepat menuju ke Go-bi. Tetapi karena
sekarang bahaya itu sudah lewat dan memperhitungkan tak mungkin kedua suami
isteri durjana itu akan menyergap di tengah jalan, maka ia minta engkau
menunggunya agar dapat bersama-sama ke Go-bi. Paderi sakti di puncak Kim-ting
itu beradat aneh. Jika bicara kurang sesuai sedikit saja, tentu sukar untuk
mendapat tenggoret berkaki tiga itu!"
Rupanya Lu Bu-ki cepat percaya
penuh. Maka menyelutuklah ia, “Kalau begitu, kita tunggu saja disini,
tetapi....” ia kerutkan dahi lalu berkata pula, "eh, mengapa Kongsun-cianpwe
tahu kalau kita berada di pondok sini?"
Auyang Pa tertawa, “Itu mudah.
Aku membawa dua orang pengikut. Sekarang mereka menunggu diluar. Suruh mereka
menunggu kedatangan Kongsun-cianpwe dijalan."
Habis berkata ia terus
melangkah keluar.
“Memang kubuktikan sendiri
kesaktian Kongsun-cianpwe itu. Dan kuyakin dia tentu dapat lolos dari
bahaya....” kata Lu Bu-ki dengan gembira.
Siau-liong tetap merenung
diam. Sudah tentu si tinggi besar heran, “Eh, mengapa saudara malah kelihatan
kurang senang?"
“Apakah saudara kenal baik
dengan Auyang Pa itu?" Siau-liong balas menegur.
Lu Bu-ki terkesiap, sahutnya,
“Meskipun tak erat tetapi kami sudah kenal lama. Dan lagi kali ini kami
bersama-sama memenuhi undangan Ceng Hi totiang. Dia merupakan seorarg dari berpuluh
jago-jago ternama yang diundang Ceng Hi totiang. Baru dua hari ini aku berpisah
dengan dia.... tentu tak mungkin sampai....”
“Menilik ucapan dan sikapnya,
kurasa ada sesuatu yang tak wajar pada dirinya," tukas Siau-liong.
Lu Bu-ki hendak menjawab
tetapi tiba-tiba saat itu Auyang Pa melangkah masuk lagi seraya tertawa
nyaring, “Telah kuatur beres dan juga sudah kusuruh jongos menyediakan hidangan
untuk kita. Malam ini aku yang menjadi tuan rumah. Minum sampai puas dulu baru
kita berangkat!"
Begitulah ketika lilin mulai
dipasang, si pelayan Tho Thau-ciang pun masuk membawa dua teratak lilin,
ditaruh di meja lalu beringsut-ingsut keluar. Tingkah lakunya mirip seperti
tikus yang takut keluar.
Siau-liong memperhatikan bahwa
tiada seorang tetamu lagi yang datang ke pondok penginapan situ Auyang Pa
bergembira ria, bercakap-cakap sambil minum. Sedang Song Ling masih duduk
bersandar pada ranjang. Gadis itupun memandang tingkah laku Auyang Pa dengan
heran.
Siau-liong lebih dulu
mengambilkan makanan untuk Song Ling agar dara itu tak usah turun dari tempat
tidur. Dan Song Ling pun segera makan. Rupanya ia tak senang dengan Auyang Pa
maka tak mau ikut campur bicara.
Si tinggi besar Lu Bu-ki
walaupun juga mempunyai sedikit rasa curiga terhadap Auyang Pa, tetapi ia tetap
makan dan minum dengan gembira bersama orang itu.
Auyang Pa tampaknya bersikap
lapang dan wajar. Tetapi diam-diam pandang matanya tak putus-putusnya melirik
ke arah Siau-liong.
Siau-liong menuang secawan
arak lalu disongsongkan ke muka Auyang Pa, “Auyang-pangcu termashyur di dunia
persilatan tetapi baru pertama kali ini aku beruntung dapat bertemu muka. Maka
dalam kesempatan ini aku hendak menghaturkan arak kehormatan kepada
Auyang-pangcu!"
Auyang Pa tergopoh menyambuti,
“Apa yang disohorkan orang itu hanya nama kosong belaka. Aku sendiri merasa
malu. Adalah Kongsun-siauhiap yang harus dikagumi. Karena dalam usia semuda itu
sudah mendapat warisan ilmu sakti Thian-kong-sin-kang!" — habis berkata ia
terus meneguk habis cawan arak itu.
Siau-liong hanya tertawa
dingin. Tiba-tiba ia bertanya dengan serius, “Bagaimana Auyang-pangcu tahu
kalau aku menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang?"
Auyang Pa tersentak kaget,
sesaat tampak ia agak gugup dan hampir tak dapat menjawab. Akhirnya ia
pura-pura batuk dan menyahut dengan ter-sendat-sendat, “Aku.... hanya....
mendengar dari Kongsun-cianpwe....”
Siau-liong mengangguk tertawa,
“O, kiranya begitu....” — kemudian ia berpaling kepada Lu Bu-ki lalu bertanya
pula kepada Auyang Pa, “Apakah Auyang pangcu suruh anak buah menunggu suhuku di
tengah jalan?"
Auyang Pa paksakan tertawa,
“Benar, asal tahu suhu saudara lewat disini, tentu akan diketahui."
"Sayang aku segera
berangkat, tak sempat menunggunya lagi," tiba-tiba Siau-liong berkata
dengan nada dingin.
Auyang Pa terkejut sekali,
serunya, “Mengapa Kongsun-siauhiap hendak buru-buru....” — tiba-tiba kisarkan
tubuh. Rupanya ia hendak menunggu kesempatan pada saat Siau-liong lengah, harus
hendak loncat kabur.
Siau-liong pura-pura tak
melihat dan masih lanjutkan kata-katanya, “Jika tak mengalami peristiwa semacam
diri Ong Tiat-go, mungkin aku tentu dapat engkau kelabuhi!"
Lu Bu-ki mulai curiga,
“Saudara Kongsun, apakah dia....”
"Kongsun siauhiap, apa
maksudmu!" Auyang Pa menukas dengan berteriak keras. Dan tiba-tiba ia
melesat dari tempat duduknya.
Tetapi Siau-liong lebih cepat.
Pada saat Auyang Pa hendak bergerak, ia sudah cepat mencengkeram pergelangan
tangan kirinya. Seketika itu juga Auyang Pa rasakan lengan kirinya kesemutan.
sakitnya bukan kepalang....
Siau-liong tertawa kepada Lu
Bu-ki, “Pada saat kutanya mengapa suhu tahu kita berada disini, dia gelagapan
tak dapat menjawab lancar. Sebenarnya dia tak mungkin tahu kita disini kecuali
si pelayan The Thau-ciang itu menjadi kaki tangannya......"
"Brak," Lu Bu-ki
menghantam meja dan menggembor, “Ya, benar! Mengapa aku tak dapat memikir
sampai disitu....”
Siau-liong mendengus, “Kedua
kalinya, suhu tak pernah merobah pesan yang telah diberikan. Karena beliau
sudah suruh aku lekas ke Go-bi, tak mungkin dia akan merobah perintah suruh aku
menunggunya disini....”
Lu Bu-ki berjingkrak seperti
orang yang kebakaran jenggot, “Keparat, sungguh tak kira kalau si tua ini mau
juga menjadi kaki tangan Iblis Penakluk-dunia....”
Tetapi pada lain saat, ia
bertanya dengan nada meragu, “Tetapi dia adalah ketua dari Poh-yang-pang. Dan
baru dua hari aku berpisah dengan dia. Mengapa cepat sekali ia sudah berganti
haluan?"
Sekalipun Auyang Pa itu
seorang jago yang dapat digolongkan kelas satu tetapi ditangan Siau-liong, dia
tak mampu berkutik sama sekali.
Siau-liong menghela napas,
“Memang Iblis Penakluk-dunia itu benar-benar hendak melaksanakan cita-citanya
untuk menguasai dunia persilatan dan memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang. Segala
rencana dan siasat akan ditempuhnya!"
"Apakah Auyang Pa juga
terkena ilmu siluman dari Iblis Penakluk-dunia?" Lu Bu-ki belalakkan
matanya lebar-lebar.
"Belum dapat
dipastikan....” kata Siau-liong lalu memandang Auyang Pa dengan cermat, katanya
pula, “Lebih baik tanya saja padanya!"
Habis berkata ia terus memijat
lebih keras sehingga Auyang Pa menjerit kesakitan dan meronta-ronta, “Ampun!
Ampunilah.... jiwaku!"
Siau-liong tertawa dingin. Ia
hentikan pijatannya, “Hayo bilang! Bagaimana engkau dapat bersekutu dengan
Iblis Penakluk-dunia itu? Apakah engkau sungguh ketemu dengan suhuku? Apakah
rencana Iblis Penakluk-dunia mengirim engkau ke mari?"
Auyang Pa menghela napas, “Ah,
kalau Kongsun-siauhiap tetap tak mau percaya omonganku, akupun tak dapat
berbuat apa-apa. Tetapi apa yang kukatakan tadi memang benar seluruhnya.
Sebelum tengah malam nanti, suhu Kongsun-siauhiap tentu datang kemari. Nah,
saat itu barulah Kongsun-siauhiap percaya pada omonganku!"
Siau-liong tertawa dingin,
“Aku berani memastikan bahwa engkau tak pernah bertemu dengan suhuku. Coba saja
bayangkan. Suhu berhadapan dengan tiga pewaris ilmu sakti. Jika tak menderita
luka parah, pun tentu tak dapat lolos dari cengkeraman Iblis Penakluk
dunia....”
Berhenti sejenak, ia berkata
pula, “Kalau kemungkinan itu tidak menimpa pada suhu, pun tak mungkin dia akan
berhenti ditengah jalan memberi pesan kepadamu. Suhu tentu sudah melintasi
sungai!"
Seketika pucatlah wajah Auyang
Pa. Dia tak dapat membantah lagi dan hanya meratap minta ampun.
"Plak," tiba-tiba Lu
Bu-ki menampar muka Auyang Pa, “Apakah engkau masih tak mau bicara terus
terang....?" - kemudian orang tinggi besar itu minta ijin kepada Siau-long
untuk 'menyelesaikan' Auyang Pa. Dan sebelum Siau-liong sempat buka suara, si
tinggi besar sudah mencengkeram bahu Auyang Pa dan dipijit sekeras-kerasnya.
Lu Bu-ki gunakan ilmu
Hun-kin-jo-kut atau Pencarkan-urat-sesatkan-tulang.
Waktu ditampar tadi tadi,
mulut Auyang Pa mengucur darah dan matanya berkunang-kunang hampir pingsan.
Kemudian ketika dipelintir oleh si tinggi besar, seketika ia rasakan sekujur
tubuhnya seperti digigiti ribuan ekor semut. Gemetarlah kaki tangannya, giginya
pun berceterukan keras. Keringat berderai-derai membanjir.
Beberapa saat kemudian barulah
Lu Bu-ki membuka jalan darah Auyang Pa lagi lalu membentaknya, “Hayo, mau
bilang atau tidak!"
Auyang Pa rasakan tubuhnya
seperti setengah mati. Akhirnya ia tak kuat dan berteriak, “Ya, ya, aku
bilang....”
Ia melirik Siau-liong dan
melanjutkan kata-katanya, “ Suhumu Kongsun-cianpwe, sudah....”
Tetapi belum ia menyelesaikan
kata-katanya, tiba-tiba dari luar jendela melayang setitik sinar kemilau yang
langsung menyasar ketenggorokan Auyang Pa. Cepat dan tepat sekali senjata
rahasia itu menyusup ke dalam tenggorokan Auyang Pa.
Siau-liong dan Lu Bu-ki
terkejut sekali. Bahkan Song Ling pun menjerit kaget, terus loncat turun dari
ranjang.
Siau-liong menampar padam
lilin. Lalu ia memeriksa Auyang Pa. Tetapi ternyata ketua Poh-yang-pang itu
sudah mati. Kematiannya serupa dengan Ong Tiat-go. mati terkena panah Ngo-tok-tui-han-cian
dari Iblis Penakluk-dunia!
"Menilik gelagat, mungkin
kedua suami isteri iblis itu sudah mengejar kemari. Jika mereka membawa anak
buah, kita tentu sukar lolos!" bisik Siau-liong.
Diam-diam ia menyesal karena
tak mengindahkan pesan suhunya supaya ia jangan menunda perjalanan ke Go-bi.
Tiba-tiba Song Ling berbisik
kedekat telinga Siau-liong, “Yang melepas panah Ngo-tok-tui-hun-cian,
kemungkinan tentu anak buah Iblis Penakluk-dunia. Kalau kita tetap berada
disini, jelas tentu makin berbahaya. Lebih baik kita menerjang keluar
saja!"
"Apakah engkau dapat
bertahan diri?" tanya Siau-liong.
Si dara tersenyum, “Aku hanya
menderita serangan angin dingin. Setelah minum obat tadi, dan tidur satu hari
penuh, semangatku sudah pulih segar lagi!"
Siau-liong lega hatinya.
Kemudian ia membagi tugas. Ia yang akan mempelopori menerjang keluar, Lu Bu-ki
dan Song Ling supaya mengikuti dari belakang. Habis memesan, ia membuka daun
jendela terus loncat ke ruang tengah.
Pada waktu meloncat itu,
diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti untuk melindungi diri. Pikirnya,
sekalipun musuh melepas panah beracun, tetap tak dapat melukainya.
Tetapi diluar dugaan, ternyata
ruang tengah sunyi-sunyi saja. Tiada terancam serangan panah gelap. Siau-liong
berhenti sejenak lalu enjot tubuhnya melayang ke puncak rumah.
Saat itu hampir menjelang
tengah malam. Sekeliling penjuru pondok penginapan itu gelap dan sunyi.
Seolah-olah kosong dengan tetamu. Sedang di ruang pemilik pondok pun tak
kedengaran suara apa-apa.
Tetapi Siau-liong tak sempat
meneliti. Cepat ia melayang turun dan melambai kepada Lu Bu-ki, “Hayo, lekas
kemari!"
Demikianlah dengan dipelopori
Siau-liong dimuka dan diikuti Lu Bu-ki dan Song Ling dari belakang, mereka lari
tinggalkan pondok penginapan itu. Tak berapa kejap, merekapun sudah berada
diluar kota.
Setelah tak tampak orang
mengejar, Siau-liong longgar hatinya. Ia berpaling kepada Song Ling dan Lu
Bu-ki, “Sungguh diluar dugaan! Orang yang lepaskan panah kepada Auyang Pa tadi,
seharusnya menjaga jangan sampai kita lolos. Tetapi mengapa orang itu tak
merintangi sama sekali?"
Lu Bu-ki kerutkan dahi. Ia
heran juga atas kejadian itu.
Song Ling maju selangkah
kesisi Siau-liong, katanya, “Saat ini kita tetap belum terlepas dari lingkungan
jaring Iblis Penakluk-dunia. Siapa tahu sembarang saat kita akan diserang. Maka
janganlah meninggalkan kewaspadaan!"
"Benar," Siau-liong
mengiakan.
Kini ganti Lu Bu-ki yang
menjadi pelopor jalan. Mereka bertiga berlarian di sepanjang jalan kecil yang
tinggi rendah tak rata.
Untung luka Song Ling sudah
baik. Sambil bergandengan tangan dengan Siau-liong, keduanya dapat berlari
dengan cepat. Tak berapa lama tibalah mereka di tepi sungai.
Bengawan Bin-kiang amat luas.
Lu Bu-ki membuat sebuah perahu kecil. Setelah selesai mereka bertiga segera
naik perahu itu. Dengan tenaganya yang besar, Lu Bu-ki dapat mendayung perahu
itu hingga mencapai tepi seberang.
"Dari sini ke Go-bi hanya
tinggal tigapuluhan li jauhnya!" seru Lu Bu-ki gembira.
Baru mereka bertiga naik ke
daratan, tiba-tiba tampak sebuah perahu meluncur datang dengan kecepatan yang
tinggi. Ditengah perahu itu duduk seorang laki-laki tua. Belum perahu tiba
ditepi, orang itu sudah berseru, “Hai, apakah Liong-ji yang berada di daratan
situ?"
Melihat munculnya perahu itu,
diam-diam Siau-liong terkejut girang. Apalagi setelah mendengar orang yang
berada dalam perahu, ia makin girang sekali.
"Ya, benar,"
sahutnya. Lalu berpaling kepada Song Ling dan Lu Bu-ki, “Suhuku datang!"
Selekas merapat ketepi, orang
itu segera loncat kedaratan lalu lemparkan sekeping perak kepada tukang perahu
dan suruh tukang perahu pergi.
Siau-liong tercengang.
Dilihatnya tukang perahu itu seorang lelaki pertengahan umur, memakai caping
dan berpakaian seperti seorang pencari ikan.
Kongsun Sin-tho bergantian
memandang kepada Siau-liong lalu berkata, “Sudah sehari semalam mengapa kalian
baru tiba disini?"
"Karena murid....”
Tetapi tanpa menunggu
Siau-liong menyelesaikan kata-katanya, Kongsun Sin-tho sudah menukas, “Tak
apalah, asal aku sudah dapat bertemu kalian di sini, segera akan kuselesaikan
hal itu."
Siau-liong tertegun, “Apakah
suhu terluka dalam pertempuran itu?"
Kongsun Sin-tho tersenyum,
“Jika terluka, masakan saat ini aku bisa berada disini?"
55. Ah, Suhu Juga ......??
Siau-liong merenung sejenak,
lalu bertanya, “Apakah suhu bertemu dengan Auyang Pa dan memberi pesan supaya
murid menunggu di kota Ma-koan?"
“Tidak!" sahut Kongsun
Sin-tho, "apakah kalian bersua sesuatu ditengah jalan?"
Siau-liong menghela napas,
“Iblis Penakluk-dunia mengirim orangnya pura-pura bertemu suhu dan mengaku
menerima perintah supaya aku menunggu kedatangan suhu di Ma-koan,"
Siau-liong lalu menuturkan pengalamannya dengan Auyang Pa, "syukur tipu
muslihat itu dapat kuketahui dan dapat murid segera lanjutkan perjalanan lagi!"
Kongsun Sin-tho menghela
napas. Ia segera mengajak Siau-liong bertiga untuk melanjutkan perjalanan.
Karena melihat sikap dan
bicara Kongsun Sin-tho dingin, Song Ling dan Lu Bu-ki tak berani ikut campur
bicara. Keduanya hanya mengikuti di belakang Siau-liong saja.
Saat itu jalanan pun agak
datar. Kongsun Sin-tho diam saja. Setelah berjalan dua li, tiba-tiba ia
melintas keseberang dan belok ke barat. Sebuah jalan kecil yang kedua tepi
penuh ditumbuhi gerumbul pohon lebat.
“Kongsun-cianpwe!" seru
Lu Bu-ki seraya maju dua langkah.
Tabib sakti itu berhenti dan
menanyakan apa maksud si tinggi besar.
"Aku cukup paham dengan
jalanan di daerah sini. Jalan kecil yang cianpwe tempuh ini akan menuju kelain
jurusan. Makin lama tentu makin jauh dari Go-bi!" kata Lu Bu-ki.
Siau-liong dan Song Ling
terkesiap.
“Jika Kongsun-cianpwe suka
percaya padaku, biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan!" kata Lu Bu-ki
pula.
Kongsun Sin-tho tertawa
gelak-gelak, “Dahulu aku pernah berkeliaran di sini mencari daun obat. Tak mungkin
tersesat jalan, hanya....”
Lu Bu-ki seorang kasar yang
berwatak polos. Tanpa menunggu tabib itu habis berkata, ia terus menyelutuk,
“Tahun yang lalu aku pun lewat dijalanan ini sampai dua kali. Kecuali takkan
menuju ke Go-bi, pun jalanan ini sunyi dan terasing, penuh dengan tanjakan yang
sukar dilalui....”
Tiba-tiba Kongsun Sin-tho
membentaknya, “Justeru aku memang hendak mencari tempat yang sunyi untuk
menyelesaikan suatu urusan besar. Adakah engkau kira aku benar-benar tak kenal
jalan?"
Lu Bu-ki tergagap tak dapat
menyahut. Tersipu-sipu ia tundukkan kepala.
Sejenak berdiam diri,
tiba-tiba Kongsun Sin-tho berseru, “Lu tayhiap!"
Lu Bu-ki buru-buru mengiakan.
"Aku hendak bicara dengan
muridku dan nona Song mengenai suatu urusan yang penting. Bolehkah kuminta Lu
tayhiap menunggu disini saja?" kata Kongsun Sin-tho.
Lu Bu-ki melirik Siau-liong
lalu buru-buru mengiakan, “Karena Kongsun-cianpwe yang memberi perintah, sudah
tentu aku menurut saja!"
Tabib sakti itu tersenyum,
“Terima kasih atas kesediaan Lu tayhiap " — Kemudian ia berkata kepada
Siau-liong, “Tak jauh dari sini terdapat sebuah pondok. Mari engkau dan nona
Song ikut aku kesana untuk merundingkan suatu hal yang penting!"
Siau-liong heran. Tetapi
melihat suhunya bersikap sungguh-sungguh, ia duga tentu ada suatu urusan
penting yang hendak dibicarakan. Maka segera ia menarik tangan si dara untuk
menyusul Kongsun Sin-tho.
Jalanan berkelak-kelok naik
turun dan berbiluk-biluk. Setelah beberapa saat, mereka melihat sebuah gubuk di
atas sebuah bukit kecil yang tak berapa jauh jaraknya. Gubuk itu seperti baru
saja dibangun.
Sejenak Kongsun Sin-tho
berpaling memandang Siau-liong berdua lalu melangkah kegubuk itu.
Ternyata gubuk di puncak bukit
kecil itu, merupakan tempat peristirahatan dari para pencari kayu dan pemburu
yang masuk ke daerah situ. Tetapi menilik bahan-bahannya, gubuk itu tentu belum
lama didirikan. Dan menilik halamannya, seperti belum pernah didatangi orang.
Siau-liong resah. Tak tahu ia
apa yang hendak dibicarakan suhunya nanti. Mengapa suhunya begitu serius
mengajaknya bicara di tempat yang sesunyi itu?
Begitu masuk ke dalam gubuk,
Kongsun Sin-tho terus duduk di tanah dan suruh Siau-liong berdua duduk di
sampingnya.
Anak bukit tempat gubuk itu
didirikan, ternyata dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang lebih tinggi dan
hutan-hutan lebat.
Kongsun Sin-tho menghela
napas, ujarnya, “Dewasa ini pengaruh kekuatan Iblis Penakluk-dunia sukar
dilawan. Semalam apabila tak terlindung oleh hujan deras, kemungkinan aku sukar
meloloskan diri....”
Siau-liong diam saja. Ia tahu
dan mengakui bahwa dewasa itu Iblis Penakluk-dunia memang berhasil menyusun
kekuasaan besar. Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san, Jong Leng lojin dan beberapa
tokoh sakti sudah dapat dikuasainya.
Kongsun Sin-tho berkata pula,
“Menyelamatkan kehancuran, mempertahankan kelangsungan hidup. Tugas berat itu
terletak dibahu kita berdua. Apabila kita ini tertimpah bahaya maka habislah
harapan dunia persilatan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya....”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,
“Dalam rangka itu, kurasa kepergian kita ke Go-bi itu, tidaklah banyak
manfaatnya."
Siau-liong tersentak kaget,
serunya gopoh, “Adakah suhu kuatir paderi sakti Kim Ting itu tak mau
mermberikan Tenggoret-kaki-tiga?"
Kongsun Sin-tho menghela napas,
“Itu hanya salah satu sebab. Andaikata ia mau menyerahkan binatang mustika itu,
belum tentu pil mujijad Cap-siau-cwan-soh-sin-tan buatanku itu dapat
menyembuhkan Lam-hay Sin-ni dan beberapa tokoh rombongannya....”
Siau-liong teringat bahwa
ketika dalam biara rusak dahulu, suhunya memang pernah menyatakan hal itu. Ia
kerutkan alis, mengepal tangan untuk menekan kegelisahan hatinya.
"Sekalipun pil buatanku
itu mempunyai khasiat untuk menyembuhkan Lam-hay Sin-ni dan kawan-kawan, tetapi
pun masih suatu pertanyaan, bagaimanakah cara untuk meminumkan kepada mereka.
Apa lagi Iblis Penakluk-dunia itu seorang tokoh yang licin dan cerdik sekali.
Bukankah dia sudah dapat menangkap pembicaraan kita dalam biara rusak itu?
Masakan dia tak segera bersiap mengadakan penjagaan. Maka....”
Siau-liong terlongong dan
berseru geram, “Kalau begitu, pertumpahan darah tak mungkin terhindar dalam
dunia persilatan lagi!"
Kongsun Sin-tho tiba-tiba
tertawa, “Hal-hal yang kukatakan tadi hanyalah timbul dari kecemasanku sendiri.
Mungkin keadaan tak sedemikian berbahaya. Tetapi....”
Seketika berobahlah wajah
tabib sakti itu lalu berkata dengan nada serius, “Kusuruh engkau datang kemari
ini, adalah justeru hendak merundingkan rencana yang sesuai."
"Murid bersedia mendengar
apapun yang suhu perintahkan!"
Kongsun Sin-tho merenung
sejenak lalu berkata pula,
“Dalam dunia persilatan, hanya
ilmu sakti Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki itu benar-benar tiada
tandingnya. Ilmu yang paling ditakuti Iblis Penakluk-dunia! Sayang penemuanmu
ilmu sakti itu, terlalu pendek sekali waktunya hingga engkau belum sempat
meyakinkan dengan sempurna. Paling tidak harus membutuhkan waktu berbulan-bulan
untuk mempelajari ilmu itu sampai pada tataran tertentu. Tetapi keadaan saat
ini, tidaklah menyempatkan engkau melakukan latihan. Karena setiap saat keadaan
bisa berobah makin memburuk. Kita tak sempat menunggu hasilmu....”
Siau-liong memandang wajah
suhunya tanpa berkata sepatahpun juga.
“Saat ini walaupun kurang
tepat kalau menghapus rencana menuju ke gunung Go-bi. Tetapi resiko yang kita
hadapipun tak kecil. Misalnya sampai terjadi sesuatu digunung itu, katakanlah,
kita ini akan kehilangan jiwa di sana. Lalu siapakah yang akan muncul untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari cengkeraman Iblis Penakluk-dunia nanti?
Maka setelah kupertimbangkan lagi dengan seksama, lebih baik kita mengatur
persiapan yang tepat lebih dulu....”
Kongsun Sin-tho melirik Song
Ling lalu melanjutkan kata-katanya, “Nona Song mempunyai tulang dan bakat yang
amat bagus sekali. Lagi pula berotak cerdas. Disamping itu ia sudah memiliki
dasar-dasar latihan ilmu Ya-li-sin-kang. Menurut pendapatku, baiklah
engkau....”
Tanpa menunggu suhunya selesai
bicara, Siau-liong cepat menukas, “Bukankah suhu menghendaki supaya kuajarkan
ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada nona Song?"
Wajah Kongsun Sin-tho membesi,
ujarnya,
“Memang begitulah maksudku.
Setelah mendapat pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang, sebaiknya nona Song
mencari tempat yang tersembunyi untuk meyakinkannya. Paling lambat setengah
tahun kemudian, tentu sudah ada hasilnya. Sekalipun andaikata dalam pertemuan
Go-bi nanti kita sampai terluka atau binasa, nona Song tetap masih ada dan
kelak pasti dapat membasmi gerombolan durjana itu!"
Siau-liong berulang anggukkan
kepala, ujarnya, “Memang sejak semula aku sudah mengandung maksud begitu. Hanya
nona Song masih belum mau....”
Kongsun Sin-tho beralih
memandang Song Ling, serunya, “Dunia persilatan harus tetap menghidupkan
setitik Hawa Murni agar jangan sampai ludas selama-lamanya. Nona juga memikul
beban berat, mengapa menolak?"
Agak tersipu Song Ling
memandang ke arah tabib sakti itu, tiba-tiba ia berteriak dengan nada gemetar,
“Aku tak mau! Aku tak mau lepaskan usahaku untuk menolong ibuku hanya karena
mengurusi soal Thian-kong-sin-kang. Sekalipun dalam waktu setengah tahun akan
berhasil mempelajari, tetapi mungkin pada waktu itu aku sudah tak dapat melihat
wajah ibuku lagi."
Dara itu menangis
tersedu-sedu.
Tetapi rupanya Kongsun Sin-tho
tak menghirau. Ia membentaknya bengis,
“Usahaku ini bukan semata-mata
hanya untuk menyelamatkan dunia persilatan, pun juga untuk menolong ibumu dan
lain-lain tokoh yang sedang menderita dibawah cengkeraman Iblis Penakluk-dunia.
Ingatlah, apabila pertemuan di Go-bi itu sampai gagal dan kita menderita
kekalahan, engkaupun takkan mempunyai harapan untuk berjumpa dengan mamamu
untuk selama-lamanya!"
Siau-liong pun ikut menghibur
dan membujuk Song Ling Sampai lama ia memberi penjelasan panjang lebar,
sehingga dara itu agak tenang.
Tiba-tiba Kongsun Sin-tho
berseru, “Waktu sudah tak banyak lagi, hayo segeralah mulai!"
Memandang kesekeliling
penjuru, Siau-liong bertanya, “Apakah ditempat ini juga?"
"Telah kusiapkan
penyelidikan yang teliti, ternyata tempat ini yang paling aman. Sudahlah,
jangan engkau kuatirkan apa-apa lagi dan segeralah engkau turunkan pelajaran
itu dengan sepenuh hati!"
Tiba-tiba terlintas sesuatu
pada benak Siau-liong. Ia agak bimbang. Sejak kecil ia hidup bersama gurunya
itu maka ia kenal baik sekali akan adat perangai gurunya. Tetapi apa yang
dilihatnya saat itu, memberinya kesan bahwa sikap dan tingkah laku gurunya itu
agak berbeda dengan biasanya.
Dan lagi setelah melintasi
sungai barulah gurunya itu muncul dengan naik perahu. Tetapi mengapa mengatakan
kalau sudah lebih dulu tiba di tempat situ dan mempersiapkan tempat dipondok
sunyi itu? Bukankah itu membingungkan. Diam-diam Siau-liong curiga.
Melihat pemuda itu masih
berayal, Kongsun Sin-tho cepat mendesaknya, “Mengapa engkau membuang-buang
waktu saja? Mengapa masih tak lekas-lekas mulai menurunkan pelajaran?"
Dalam pada berdiam diri itu,
Siau-liong diam-diam menimang. Atas teguran suhunya, ia segera menjawab, “Jika
hendak menurunkan seluruh isi kitab pusaka itu, paling tidak tentu memerlukan
waktu empat jam. Mungkin besok pagi baru dapat habis!"
"Soal waktu, tak jadi
apa. Aku akan menjaga disini. Curahkan pikiranmu untuk menurunkan pelajaran,
lain-lain hal aku yang mengatur!"
Siau-liong tak dapat berbuat
apa-apa. Tetapi ia tetap meragu. Tiba-tiba Song Ling mendekati dan berbisik
kedekat telinganya, “Perhatikanlah sorot mata suhumu itu!"
Siau-liong terkejut. Buru-buru
ia menatap wajah suhunya. Dilihat sepasang mata Kongsun Sin-tho itu lurus
menyorot kemuka. Sinarnya memancarkan cahaya yang aneh.
Seketika hati Siau-liong seperti
diguyur es. Tubuhnya menggigil. Jelas diketahuinya bahwa sorot mata suhunya itu
tidak wajar lagi....
Suatu pancaran sinar yang
mengandung keganasan, kelinglungan dan ketololan. Suatu keadaan yang Siau-liong
tak asing lagi. Karena hai itu serupa seperti yang terjadi pada diri Randa
Bu-san.
Siau-liong terkejut dan
gelisah. Pikirnya, “Adakah suhu juga....”
Tak berani ia melanjutkan
dugaannya. Tetapi diam-diam ia kerahkan tenaga untuk bersiap.
Tiba-tiba Kongsun Sin-tho
berpaling dan menegurnya, “Bagaimana? Mengapa masih belum mulai?"
Siau-liong berusaha menekan
kegelisahannya. Sahutnya, “Murid pertimbangkan lagi. Soal ini agaknya.... masih
terdapat hal-hal yang tak leluasa....”
Ditatapnya wajah Kongsun
Sin-tho, lalu melanjutkan berkata, “Kalau suhu sudah mendengar pendapat murid,
baiklah soal itu dipertangguhkan saja setelah nanti habis dari Go-bi, baru....”
“Apakah engkau hendak
menentang perintahku?" cepat Kongsun Sin-tho membentak.
Buru-buru Siau-liong menyahut
dengan kepala menunduk,
“Budi suhu kepadaku sedalam
lautan. Sekalipun tubuh murid hancur-lebur, murid tentu akan melaksanakan
perintah suhu. Tetapi maaf, ilmu Thian-kong sin-kang itu bukanlah suhu yang
mengajarkan kepada murid. Dan sejauh yang murid ketahui, rasanya suhu tak
pernah memaksa murid untuk mengajarkan suatu ilmu kepada lain orang!"
Gemetarlah tubuh Kongsun
Sin-tho mendengar penyahutan itu. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Lalu
membentak,
“Muridku! Tampaknya engkau
memang sudah tak mau menurut perintahku lagi!"
Siau-liong hendak menyahut
tetapi saat itu tiba-tiba dari jauh terdengar derap langkah orang mendatangi.
Dan tak berapa lama terdengar suara parau dari Lu Bu-ki,
“Kongsun-cianpwe....
Kongsun-siauhiap....”
Siau-liong terkejut. Cepat ia
berpaling. Dilihatnya si tinggi besar Lu Bu-ki tengah berlari-lari mendatangi
kepondok itu.
Sekonyong-konyong Kongsun
Sin-tho berbangkit seraya membentak keras,
“Berhenti!"
Lu Bu-ki tertegun tetapi ia
tetap melangkah masuk dan berseru, “Kongsun-cianpwe, dari tepi seberang sungai....”
Kongsun Sin-tho membentak
marah dan tiba-tiba ia menghantam Lu Bu-ki!
Si tinggi besar terkejut. Ia
tak menduga sama sekali kalau bakal menerima kemarahan Kongsun Sin-tho. Dalam
gugup ia tak dapat berusaha menghindari lagi. Pun andaikata ia sudah siap, juga
tak mungkin ia mampu menerima pukulan sakti dari Kongsun Sin-tho itu.
Dalam keadaan seperti saat
itu, tak boleh tidak, si tinggi besar Lu Bu-ki pasti celaka!
Untunglah sejak melihat
keadaan suhunya tak wajar itu, Siau-liong sudah siap-siap. Melihat suhunya
menghantam Lu Bu-ki yang tak bersiap-siap itu, kejut Siau-liong bukan kepalang.
Ia tahu bahwa pukulan ilmu
sakti Thian-jim-sin-kang dari suhunya itu pasti akan menghancurkan Lu Bu-ki.
Siau-liong tak banyak berpikir lagi untuk menyelamatkan tokoh tinggi besar itu,
ia harus cepat bertindak.
Serentak melonjak bangun ia
songsongkan tangannya ke arah pukulan suhunya "Bum".... terdengar
getaran keras. Akibatnya gubuk yang baru didirikan itu hancur lebur berantakan
.......
Lu Bu-ki tercengang. Serunya
gopoh, “Ini.... ini.... Kongsun-siauhiap.... apakah sebenarnya....”
Tetapi Siau-liong tak sempat
menjawab. Segera ia berseru kepada suhunya, “Suhu.... engkau.... ini bagaimana?
Apakah engkau juga....”
Akibat dari pukulan dihapus
oleh pukulan Siau-liong, tubuh Kongsun Sin-tho agak berguncang. Dipandangnya
Siau-liong tajam-tajam lalu membentaknya,
“Murid, sungguh tak nyana
kalau engkau berani menghantam aku!"
"Suhu! Murid sungguh
terpaksa. Engkau....” air mata Siau-liong bercucuran.
Dipandangnya wajah suhunya.
Tiba-tiba ia mendapat kesan bahwa sikap suhunya itu berobah seperti asing. Jauh
sekali bedanya dengan suhunya yang dulu.
Apa yang dilakukan tadi,
benar-benar suatu hal yang tak pernah diimpikan semula. Walaupun hal itu
terdesak oleh keadaan namun hati Siau-liong seperti diiris-iris rasanya.
Sambil menatap Siau-liong,
Kongsun Sin-tho membentak, “Apakah engkau tahu bahwa jika engkau tak mau
menurut perintah suhu, hanya jalan kematian yang engkau peroleh?"
Begitu saling bertatap pandang
dengan suhunya, Siau-liong tiba-tiba menangis, “Suhu, murid rela mati ditangan
suhu! Engkau.... bunuhlah murid! Matipun murid takkan penasaran....”
Habis berkata, Siau-liong
terus berlutut dihadapan Kongsun Sin-tho, tundukkan kepala siap menunggu kematian!
Song Ling dan Lu Bu-ki yang
berdiri di samping hanya terlongong-longong menyaksikan adegan itu tanpa dapat
berbuat sesuatu apa.
"Apakah engkau
benar-benar rela mati?" bentak Kongsun Sin-tho.
"Benar, mati dibawah
tangan suhu, murid merasa ikhlas dan akan mati dengan meram!"
Kongsun Sin-tho rentangkan
kedua matanya lebar-lebar. Dipandangnya Siau-liong dan mulailah ia mengangkat
tangan kanannya pelahan-lahan ke atas.
Tetapi wajahnya tiba-tiba
memantulkan kesedihan. Dan tangan kanannya itupun berhenti di atas saja. Sampai
lama tak juga dihantamkan ke bawah.
Karena sampai lama belum juga
gurunya memukul, Siau-liong pelahan-lahan mengangkat kepala. Tepat matanya
bertatapan dengan mata suhunya.
Dilihatnya mata suhunya
tiba-tiba mengucurkan beberapa titik air mata. Dan air mata itu tepat menetes
ke muka Siau-liong.
Siau-liong menghela napas,
serunya rawan: "Suhu, suhu....”
"Muridku....” sahut
Kongsun Sin-tho dengan iba.
"Suhu, lebih baik kita
menuju ke Go-bi dulu," kembali Siau-liong mengulang permintaannya.
Tiba-tiba wajah Kongsun
Sin-tho berobah lagi dan segera membentaknya bengis,
“Tetapi engkau lebih dulu
engkau harus menurut perintahku untuk memberikan ilmu Thian-kong-sin-kang itu
kepada nona Song."
Siau-liong menghela napas,
“Suhu, apakah engkau benar-benar juga terkena ilmu siluman dari Iblis
Penakluk-dunia....”
"Tutup mulutmu!"
bentak Kongsun Sin-tho dengan mata berapi-api,.... untuk yang terakhir kali
jawablah. Engkau mau menurut perintahku atau tidak?"
Siau-liong merenung sejenak
lalu menyahut tegas,
“Murid hanya menurut perintah
yang sehat, bukan perintah yang kacau! Apabila suhu hendak memaksa murid
melakukan perbuatan yang mencelakai dunia persilatan, biar mati murid tetap tak
mau menurut!"
Seketika tegaklah rambut
Kongsun Sin-tho. Dengan menggembor keras ia mengangkat tangan kanan terus
hendak dihantamkan ke arah kepala Siau-liong.
Song Ling dan Lu Bu-ki sudah
siap-siap. Tetapi karena berdiri pada jarak beberapa langkah, mereka tak
berdaya membendung pukulan Kongsun Sin-tho yang dilancarkan secepat kilat.
56. Pertapa Sakti Mata Satu
“Bum....” terdengar letupan
dahsyat disertai hamburan debu dan pasir serta ranting-ranting pohon yang
berhamburan keempat penjuru. Suatu keadaan yang mirip dengan ledakkan
halilintar.
Song Ling terkejut pucat.
Dalam hamburan debu yang masih menebal, ia menjerit sekuatnya, “Siau-liong!
Siau-liong....” - terus loncat menyusup ke tempat Siau-liong.
Tetapi apa yang disaksikan
saat itu, benar-benar membuatnya terlongong-longong.
Kongsun Sin-tho berdiri
beberapa langkah jauhnya. Wajahnya tenang, terlongong-longong tak bicara
apa-apa.
Sedang Siau-liong pun tak
kurang suatu apa. Dan sudah bangun berdiri. Disampingnya tampak seorang tua
berbaju ungu. Orang tua tak dikenal itu tengah tertawa dingin.
Karena tak menduga sama
sekali, maka Song Ling tak dapat mengetahui kapankah orang tua baju ungu itu
munculnya? Tetapi cepat ia dapat menduga bahwa tentulah orang tua baju ungu itu
yang telah menyelamatkan jiwa Siau-liong.
Dandanan orang tua itu memang
aneh. Selain pakaiannya yang berwarna ungu, pun mukanya tertutup dengan sutera
ungu yang tebal.
Dari bayang-bayang sutera ungu
tampak jelas jenggotnya yang putih memanjang sampai keperut. Tetapi wajahnya
tak tampak jelas.
Siau-liong memandang Kongsun
Sin-tho lalu memandang ke arah orang tua yang tak dikenal itu. Kemudian memberi
hormat,
“Mohon tanya mengapa locianpwe
menolong diriku?"
Orang tua baju ungu itu
tertawa dingin,
“Ada dua macam kematian. Mati
segempar gunung Thaysan rubuh dan mati sepele seperti jatuhnya bulu burung.
Mati seperti yang hendak engkau tempuh ini, mati yang tak berharga....”
Kemudian menuding pada Kongsun
Sin-tho ia berkata pula,
“Sekalipun dia merupakan guru
yang telah melepas budi besar kepadamu! Tetapi kesadarannya sudah hilang. Apa
yang dilakukannya, semata-mata hanya menurut apa yang diperintahkan orang yang
menguasainya dengan ilmu hitam. Jika engkau relakan dirimu dihantamnya,
bukankah engkau akan mati dengan penasaran?"
Siau-liong merenung ucapan
orang tua baju ungu itu dan merasa memang benar. Serentak teringatlah ia akan
tindakan suhunya ketika berada dalam biara rusak yang lalu.
Saat itu Kongsun Sin-tho
memberi padanya separoh dari pil Cap-siau-cwan-soh-sin-tan. Mungkin saat itu
gurunya sudah menduga akan terjadi kemungkinan yang menimpah dirinya seperti
saat ini.
Maka jelaslah maksudnya,
Kongsun Sin-tho menugaskannya ke puncak Kim-ting untuk meminta
Terggoret-emas-kaki-tiga kepada paderi sakti. Karena hanya binatang pusaka
itulah yang harus menjadi campuran ramuan pil Cap-siau-cwan-soh-sin-tan agar
benar-benar dapat menjadi obat mujijad untuk menolong suhunya dan sekalian
tokoh-tokoh yang dibius Iblis Penakluk-dunia.
Diam-diam Siau-liong kucurkan
keringat dingin. Pikirnya,
“Jika orang tua baju ungu ini
tak menolong pada waktu yang tepat, tentulah saat itu dirinya sudah mati.
Bukankah aku bakal menjadi seorang yang berdosa karena telah menelantarkan
tugas berat yang dipikulnya?"
Memandang ke arah Kongsun
Sin-tho, dilihatnya mata gurunya itu sudah redup. Pandang matanya sudah hampa
seperti orang tolol. Kongsun Sin-tho memandang berkesiap kepada dirinya dan
orang tua baju ungu itu.
Tiba-tiba terdengar lengking
suitan ngeri yang menusuk telinga. Berasal dari tengah hutan. Kumandang suitan
itu sampai lama belum hilang.
Dan serentak terbeliak
kagetlah Kongsun Sin-tho mendengar suitan itu. Ia memandang kesekeliling
penjuru lalu menghela napas. Tanpa berkata apa, tiba-tiba ia loncat ke udara.
Dalam dua tiga loncatan saja, ia sudah menghilang dalam gerumbul pohon yang
lebat.
Siau-liong bercucuran air mata
memandang bayangan suhunya. Sesaat ia berdiri terlongong-longong.
Tiba-tiba ia berputar tubuh
lalu berlutut dihadapan orang tua baju ungu, “Terima kasih atas budi
pertolongan locianpwe. Bolehkah kumohon tanya nama locianpwe yang mulia?"
Orang tua baju ungu itu
tertawa gelak-gelak. Ia mengangkat bangun Siau-liong, serunya,
“Karena engkau ini sudah
menjadi pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, tak perlulah engkau menjalankan
peradatan begitu.... Aku sungguh-sungguh tak berani menerima....”
Berhenti sejenak ia
melanjutkan berkata, “Dahulu rasanya aku pun pernah punya nama. Tetapi karena
tinggal dipegunungan sampai belasan tahun, telah kulupakan semua!"
Siau-liong terkesiap. Ia
anggap orang tua itu benar-benar seorang aneh.
Saat itu Lu Bu-ki dan Song
Ling pun sudah menghampiri. Keduanya serta-merta memberi hormat kepada orang
tua aneh itu.
Orang tua itu mengangguk
tertawa lalu membelai rambut Song Ling, tegurnya, “Nak, berapakah umurmu
sekarang?"
Song Ling terkesiap, sahutnya,
“Delapan belas tahun!"
Orang tua aneh itu tiba-tiba
menghela napas, ujarnya, “Ah, waktu benar-benar cepat sekali! Dalam sekejap
mata saja sudah limabelas tahun....”
Tampaknya dia sayang sekali
kepada Song Ling. Sambil mengelus-elus kedua bahu dan pipi si dara, ia berkata,
“Kuingat ketika melihatmu
dulu, engkau baru seorang budak kecil berumur tiga tahun."
"Locianpwe, apakah engkau
tak salah lihat?" seru Song Ling heran.
Orang tua baju ungu itu
tertawa gelak, “Sekalipun burung yang terbang pada limabelas tahun berselang,
aku pasti masih mengenalinya!"
Habis berkata tiba-tiba orang
tua itu menarik sutera kerudung mukanya....
Seorang tua yang wajahnya
masih merah segar, jenggotnya putih seperti salju tetapi matanya sebelah kiri
buta. Melihat itu serta-merta Song Ling berlutut dan berseru dengan isak
tangis,
“Ah, kiranya kakek guru....
Pertapa-sakti-mata-satu!"
Pertapa-sakti itu
menepuk-nepuk bahu si dara dan tertawa gelak-gelak, “Nak, engkau seperti ibumu,
cerdas sekali!"
Makin sedih dan air matanya
pun berderai-derai seperti banjir. Ia memeluk kaki orang tua itu seraya
meratap, “Mohon, kakek guru suka menolong ibu. Dia sekarang....”
Orang tua itu mengangkat si
dara bangun, ujarnya, “Sudah tentu, sudah tentu.... tetapi....”
Rupanya orang tua itu tak yakin
mampu melakukan hal itu. Maka sampai lama sekali ia tak dapat melanjutkan
kata-katanya.
Walaupun belum mendengar
kesanggupan yang positip, tetapi bertemu dengan kakek gurunya itu, cukup
membuat hati Song Ling terhibur. Ia berpaling ke arah Siau-liong dan suruh anak
muda itu menghadap kakek gurunya.
"Aku yang rendah,
menghaturkan hormat kepada locianpwe!" kata Siau-liong seraya memberi
hormat.
“Ah, jangan banyak
peradatan....” orang tua menganggukkan kepala lalu bertanya, “Apakah engkau ini
putera dari Tong Gun-liong dan murid dari Kongsun Sin-tho?"
Siau-liong tertegun, katanya
tergagap, “Ya benar."
Ia heran mengapa orang tua itu
tahu asal usulnya begitu jelas. Jika begitu, kemungkinan orang tua itu tentu
tahu juga bagaimana peristiwa yang dialaminya ketika masuk ke dalam pusar bumi
dan mendapat rejeki yang luar biasa.
Song Ling dan Lu Bu-ki pun
terperanjat juga. Mereka hanya tahu bahwa Siau-liong itu memakai she Kongsun.
Tak pernah mereka mendengar bahwa pemuda itu putera dari Tong Gun-liong.
Setelah tertegun beberapa
saat, si tinggi besar Lu Bu-ki maju kehadapan Pertapa-sakti-mata-satu itu,
memberi hormat, “Aku yang rendah Lu Bu-ki, menghadap locianpwe."
Pertapa-sakti-mata-satu
tertawa, “Ah, sungguh menggembirakan sekali dapat bertemu dengan Lu-tayhiap
yang menguasai Rimba Hijau wilayah selatan!"
“Ah, locianpwe keliwat
memuji....” tersipu-sipu si tinggi besar menyahut, "Tadi aku telah melihat
beberapa sosok bayangan menyusup kegerumbul pohon. Mungkin Iblis Penakluk-dunia
sudah datang bersama anak buahnya....”
Pertapa-sakti-mata-satu itu
tertawa meloroh, “Ah, mungkin mataku yang tinggal satu ini kurang awas. Tetapi
aku memang tak melihat seseorang yang bersembunyi disekeliling sini....”
Sejenak pertapa itu memandang
Lu Bu-ki lalu Siau-liong, katanya pula, “Karena kalian hendak menuju ke Go-bi,
marilah bersama sama dengan aku kesana!" — Habis berkata ia terus menarik
tangan Song Ling dan diajak berjalan.
Lu Bu-ki terlongong
sejenak....
Suara suitan tinggi tadi
tentulah tanda dari Iblis Penakluk-dunia untuk memanggil Kongsun Sin-tho.
Tetapi mengapa pertapa mata-satu itu mengatakan tak melihat orang bersembunyi
disekeliling tempat situ?
Tetapi walaupun kasar, Lu
Bu-ki itu cerdas juga. Ia memperhatikan kilatan mata pertapa-sakti itu seperti
memberi isyarat rahasia kepadanya. Maka iapun tak mau banyak bicara. Ia
melangkah pelahan-lahan mengikuti Pertapa-sakti-mata satu.
Tenang sekali pertapa-sakti
itu ayunkan langkah memimpin tangan Song Ling sambil tanya ini itu. Begitu
lambat ia berjalan hingga sepenyala dupa lamanya barulah ia keluar dari
persimpangan jalan itu lalu belok menuju, kejalanan yang menjurus ke Go-bi.
Siau-liong masih sedih
memikirkan suhunya yang juga telah menjadi korban kehilangan kesadaran
pikirannya. Ia berjalan di belakang Pertapa-sakti-mata-satu itu tanpa bicara
apa-apa.
Lu Bu-ki tak henti-hentinya
memandang kian kemari. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap, kecuali deru air
sungai yang bergemuruh dari kejauhan, hanya angin yang mendesis-desis
menghembus pohon-pohon.
Tetapi diam-diam kepala Rimba
Hijau wilayah selatan itu sudah menduga bahwa Iblis Penakluk-dunia tentu telah
menyembunyikan anak buahnya. Gerak-gerik dan pembicaraan kawan-kawannya tentu
sudah didengar mereka.
Tetapi ia memperhatikan betapa
tenang Pertapa-sakti-mata-satu itu berjalan. Sedikit pun tak mengacuhkan
keadaan di sekelilingnya. Mau tak mau terpengaruh juga hati Lu Bu-ki. Iapun
berlaku setenang mungkin.
Tiba-tiba
Pertapa-sakti-mata-satu percepat langkahnya.... Tak berapa lama gunung Go-bi pun
sudah tampak dari kejauhan. Lebih kurang hanya tinggal duapuluhan li jauhnya.
Tiba-tiba orang tua aneh itu
berhenti lalu tertawa meloroh, “Sungguh tak nyana, dalam usia setua ini, aku
masih menemani kalian untuk menikmati pemandangan alam yang permai....”
Sekonyong-konyong orang tua
itu berputar tubuh ke arah Lu Bu-ki, serunya,
“Iblis Penakluk-dunia sudah
membawa anak buahnya bersembunyi dalam gerumbul pohon. Berkat peyakinanku
selama berpuluh tahun dalam ilmu Hun-yu-than-bi atau Menyiak-sunyi-menyusup-kelebatan,
aku dapat mendengar suara ulat atau unggas yang bergerak pada jarak sepuluh li
jauhnya. Gerak gerik mereka tak lepas dari pendengaranku. Tetapi aku memang
sengaja pura-pura tak mendengar agar dapat mengelabuhi perhatian mereka. Kalau
tidak....”
Ia tersenyum dan berkata pula,
“Aku tentu tak mampu menghadapi serangan gabungan dari Empat tenaga
sakti!"
"Apakah ibu juga....
datang?" tanya Song Ling.
"Datang sih datang tetapi
aku tak berdaya menolongnya!" kata Pertapa-sakti-mata-satu.
Siau-liong memandang ke arah
jalan yang dipandang pertapa itu. Tiba-tiba ia melihat beberapa sosok bayangan
berkelebat dan lenyap lagi.
Kiranya perkataan
Pertapa-sakti-mata-satu itu memang benar. Iblis Penakluk-dunia telah datang
bersama rombongan anak buahnya. Segera Siau-liong berkata kepada orang tua
sakti itu,
“Apakah locianpwe melihat
dalam gerumbul pohon itu....”
Pertapa-sakti-mata-satu
tertawa, “Sudah kukatakan, setiap ulat dan unggas yang bergerak dalam
lingkungan sepuluh li, tak mungkin lolos dari telingaku....”
Siau-liong menundukkan kepala
tak membantah. Tetapi diam-diam ia merasa orang tua itu terlalu besar
omongannya. Pikirnya,
“Biarpun telingamu amat tajam,
tak mungkin engkau mampu mendengar gerak-gerik ulat dan burung sejauh sepuluh
li. Apalagi matamu hanya tinggal satu."
Tiba-tiba
Pertapa-sakti-mata-satu berkata pula, “Memang Iblis Penakluk-dunia agak takut
juga kepadaku. Kalau tadi dia tak berani keluar, saat inipun tentu tak berani
mengejar kita."
Ia tertawa meloroh lalu
berseru nyaring, “Hayo, kita lanjutkan jalan lagi!" — ia terus menggandeng
tangan Song Ling dan melangkah kemuka. Siau-liong dan Lu Bu-ki terpaksa
mengikuti.
Saat itu mereka sudah menyusur
jalanan gunung. Puncak Go-bi tampak menjulang tinggi kelangit. Gunung yang
berselaput rimba hijau, bertaburan dengan gumpal awan putih yang tak
henti-hentinya berarak-arakan kian kemari.
Gunung Go-bi benar-benar
merupakan gunung keramat tempat para dewa yang indah tenang alamnya.
Pertapa-sakti-mata-satu itu
tetap berjalan pelahan-lahan. Tetapi ternyata langkahnya itu amat cepat sekali
sehingga Lu Bu-ki terpaksa harus mengejar dengan berlari agar jangan sampai
ketinggalan jauh.
Gua Ko-hud-tong itu terletak
di belakang gunung. Maka setelah mendaki beberapa waktu,
Pertapa-sakti-mata-satu lalu mengajak rombongannya mengitari ke belakang
gunung.
Walaupun dalam hati ingin
sekali segera mendapatkan paderi sakti Kim Ting untuk meminta
Tenggoret-berkaki-tiga. Tetapi ia tak kenal jalanan dan tak kenal pula pada
paderi sakti itu.
Oleh karena ia sungkan untuk
bertanya kepada Pertapa-sakti-mata-satu, terpaksa ia hanya mengikuti di
belakang orang tua itu saja. Hanya diam-diam ia memperhatikan keadaan
disekeliling penjuru.
Rupanya pertapa sakti itu tahu
akan kegelisahan si dara. Tak henti-hentinya ia tertawa-tawa menghibur hati
dara itu.
Siau-liong tak dapat menangkap
apa yang dikatakan Pertapa-sakti itu kepada Song Ling. Tetapi dilihatnya
berulang kali si dara berpaling memandang ke arahnya dan memberi isyarat
kicupan mata kepadanya.
"Sudahlah, jangan
mempedulikan dia!" Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, "dia memang
seorang budak tolol!"
Ia berpaling memandang
Siau-liong. Siau-liong tertegun. Cepat-cepat ia maju selangkah, “Apakah
locianpwe hendak bicara kepadaku?"
Song Ling tertawa mengikik,
“Apakah engkau tuli? Kakek guru bilang engkau ini....” - tiba-tiba ia berhenti
dan menutup mulutnya yang tertawa.
Merah telinga Siau-liong. Ia
menunduk diam. Pertapa sakti-mata-satu itu menganggukkan kepala, katanya, “Aku
hendak menjelaskan dulu namamu yang sesungguhnya agar dapat memanggil dengan
tepat."
Siau-liong tersipu-sipu tak
berani mengangkat muka. Mulutnya tergagap menyambut,
“Aku sebenarnya memang orang
she Tong. Karena hendak menghindari ancaman dunia persilatan dan demi usahaku
untuk membalas sakit hati orang tua, maka aku terpaksa berganti memakai she
suhuku Kongsun. Tetapi....”
"Kalau begitu baik tetap
kupanggil Kongsun-siauhiap sajalah!"' cepat-cepat orang tua itu menukas.
"Ah, jangan, locianpwe.
Harap locianpwa cukup panggil namaku saja!"
Pertapa-sakti-mata satu itu
tertawa, “Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu sakti nomor satu di dunia
persilatan. Saat ini Kongsun-siauhiap merupakan jago nomor satu di dunia.
Masakan aku berani berlaku kurang hormat?" sahut pertapa-mata-satu itu.
“Ah, masakan aku berani
menerima sanjung pujian yang begitu tinggi," buru-buru Siau-liong berseru.
Tetapi orang tua itu tak
menghiraukan kata-kata Siau-liong, ia menghela napas,
“Sayang ilmu sakti itu belum
dapat engkau pelajari sempurna. Apabila sudah dapat engkau kuasai, Iblis
Penakluk-dunia dan keempat tokoh ilmu sakti itu, tak mungkin mampu menandingi
kesaktianmu. Cukup engkau seorang diri saja, sudah pasti dapat membasmi
gerombolan Iblis Penakluk-dunia dan menyelamatkan dunia persilatan!"
Diam-diam Siau-liong menghela
napas. Ucapan orang tua baju ungu itu memang tak bohong. Ia baru mengetahui
sedikit tentang ilmu Thian-kong-sin-kang itu tetapi kepandaiannya sudah maju
begitu pesat.
Apalagi kalau ia sudah dapat
menguasainya semua. Tetapi, ah, sayang ia tak mempunyai kesempatan untuk
meyakinkan ilmu itu.
Dengan nada rawan berkatalah
Pertapa sakti-mata-satu itu, “Segala apa tergantung takdir. Kita hanya dapat
berusaha tetapi Allah yang kuasa....”
Tiba-tiba mata orang tua yang
tinggal sebelah itu berkilat-kilat tajam dan berkatalah ia dalam soal lain,
“Tadi kukatakan bahwa ilmuku
Hun-yu-than-bi itu dapat mendengar gerak-gerik ulat dan unggas yang bergerak
dalam jarak sepuluh li .... Kongsun-siauhiap tentu tak percaya hal itu,
bukan?"
“Ah, mana aku berani tak percaya,"
buru-buru Siau-liong berseru.
“Tapi memang begitulah. Maka
hendak kutunjukkan bukti kepadamu....” tiba-tiba orang tua itu menuding kemuka,
tanyanya, “Apakah Kongsun-siauhiap melihat sesuatu?"
Siau-liong tertegun. Ia
memandang ke arah yang ditunjuk pertapa tua itu. Tetapi kecuali puncak gunung
yang tinggi menyusup kelangit dan bertutup hutan belantara yang lebat dengan
lingkaran jalan-jalan kecil, Siau-liong tak melihat apa-apa lagi.
“Rasanya aku tak melihat
apa-apa," kata Siau-liong.
“Apakah mendengar
apa-apa?" tanya pertapa tua itu pula.
Siau-liong pasang telinga
mendengari dengan penuh perhatian. Tetapi ia tak mendengar apa-apa, sahutnya:
“Yang kudengar hanya deru
angin dan desir serangga. Lain tidak!"
“Kudengar pada jarak tiga li,
dua orang sedang berjalan. Mereka mempunyai hubungan dengan engkau!" kata
pertapa tua itu.
Siau-liong, Lu Bu-ki dan Song
Ling terhenti, seketika, memandang orang tua aneh itu. “Apakah locianpwe tak
bergurau?"
“Aku tinggal dibalik gunung
sana," orang tua itu menunjuk pada hutan disebelah kiri, "setengah
jam lagi kita jumpa di gua Ko-hud-tong," habis berkata ia terus melangkah
pergi.
“Hai, kakek guru, dia tak
kenal jalan," si dara memburunya.
“Hus, budak perempuan, dia tak
tahu jalan apa sangkut-pautnya dengan dirimu....” bentak orang tua itu lalu
membisiki telinga si dara,
"setelah gerombolan Iblis
Penakluk-dunia tertumpas, kakek tentu akan menjomblangkan perjodohan
kalian!"
Song Ling tersipu-sipu
malu....
57. Penglepasan Sandera ......
"Sucou, engkau....”
teriak Song Ling.
Siau-liong tak mendengar apa
pun yang dibisikkan orang tua itu kepada Song Ling. Ia terus melesat pergi.
"Maaf, akupun akan
mengikuti saudara Kongsun." Si tinggi besar Lu Bu-ki pun segera memberi
hormat kepada Pertapa-sakti-mata-satu itu terus menyusul Siau-liong.
Song Ling hanya memandang
terlongong ke arah bayangan pemuda itu. Walaupun ucapan orang tua itu hanya
kata-kata menghibur, tetapi tak urung hati dara itu tergerak juga. Entah
bagaimana saat itu ia merasa seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang belum
pernah dirasakan selama ini.
Sejak kecil ia hidup bersama
ibunya di gunung Bu-san yang sepi. Selama itu tak pernah ia berkawan dengan
anak lelaki. Ia berangkat dewasa dalam alam kesunyian.
Sejak berkenalan dengan
Siau-liong, walau pun keduanya saling menjaga kesopanan tetapi tanpa terasa
dalam hati dara itu tumbuh semacam perasaan yang aneh. Suatu perasaan yang
belum pernah dialami seumur hidup. Ia merasa takut kalau ditinggal pergi pemuda
yang baik budi itu.
“Nak, apakah engkau
sungguh-sungguh suka kepadanya?" tiba-tiba orang tua sakti itu menegurnya.
Song Ling mendesus lalu
tertawa tersipu-sipu. Ia tak mau menjawab melainkan mengikuti di belakang kakek
gurunya berjalan.
Sementara itu karena
menggunakan ilmu meringankan tubuh, dalam beberapa kejap saja dapatlah
Sau-liong mencapai tiga li jauhnya.
Sambil lari, ia tetap
memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tetapi sampai sejauh itu ia tak melihat
barang seorang pun jua. Seketika timbullah rasa curiganya, “Huh, jangan-jangan
orang tua bermata satu itu hanya mengelabuhi aku supaya pisah dengan Song Ling
....”
Dengan napas terengah-engah,
Lu Bu-ki menyusul tiba, serunya, “Apakah saudara Kongsun melihat
seseorang?"
”Kita tentu ditipunya. Sampai
sepuluh li jauhnya tak kelihatan apa-apa. Memang di dunia tak mungkin terdapat
orang dan ilmu seaneh itu," sahut Siau-liong.
Lu Bu-ki banting-banting kaki
dan menggembor: “Benar! Aku juga tak percaya pada ilmu begitu!"
Sejenak meragu, Siau-liong
lanjutkan larinya lagi. Kira-kira dua puluh tombak jauhnya ia tiba dibawah kaki
sebuah gunung. Kaki gunung itu penuh ditumbuhi gerumbul rumput dan aneka pohon
seperti di dalam hutan. Tetapi Siau-liong tak mendengar suara dan melihat
sesuatu.
Berpaling ke arah Lu Bu-ki, ia
gelengkan kepala terus hendak pergi. Tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar
bunyi cengkerik dari balik sebuah batu besar.
Siau-liong dan Lu Bu-ki
tertegun. Setelah pasang pendengaran barulah mereka mendengar suara orang
bicara.
"Engkau mau pergi atau
tidak!" seru seseorang.
Seorang wanita menjawab, “Ah,
aku memang benar-benar tak dapat berjalan lagi!"
Mendengar suara itu, girang
Siau-liong bukan kepalang. Kedua orang yang berbicara dibalik gerumbul itu
jelas paderi Liau Hoan dari Thian-san dan pemilik Lembah Semi Poh-Ceng-in.
Terdengar Liau Hoan membentak,
“Apakah suruh aku menggendongmu?"
Poh Ceng-in menghela napas
panjang, ujarnya, “Lebih baik bunuh aku sajalah!"
Liau Hoan tertawa dingin:
“Jika memang membunuhmu tak perlu kubawa engkau kian kemari seperti ini!"
Siau-liong kerutkan dahi.
Dilihatnya paderi kurus dari Thian-san itu muncul dari balik batu sambil
menjinjing tubuh Poh Ceng-in.
Begitu melihat Siau-liong,
paderi itu girang sekali. Ia maju menghampiri, “Kukira engkau sudah mendaki
kepuncak Kim-ting, tak kira kalau dapat bertemu disini."
Memandang Poh Ceng-in,
berkatalah Siau-liong, “"Ah, losiansu tentu payah dalam perjalanan, aku
selalu memikirkan....”
Liau Hoan tertawa, “Jika tak
punya sandera wanita baju merah ini, mungkin aku sudah celaka dan tak dapat
berjumpa lagi!"
Poh Ceng-in tak mau banyak
bicara melainkan memandang Siau-liong dengan penuh dendam. Ia tertawa geram
lalu pejamkan matanya.
Siau-liong agak kasihan.
Dilihatnya kedua tangan wanita itu masih terikat ke belakang, rambutnya terurai
kusut, tubuhnya berlumuran kotoran dan napasnya terengah-engah.
Sejenak meragu, Siau-liong
menghampiri kesamping Poh Ceng-in, serunya, “Tak perlu engkau mendendam
kepadaku. Kalau mau marah, marahlah kepada ayah bundamu....” ia menghela napas
lagi, katanya, "aku bukan seorang yang kejam tak kenal perikemanusiaan.
Hanya karena terpaksa oleh keadaan, dan lagi aku pasti memenuhi janji setahun
lagi bertemu digunung Bu-san."
Poh Ceng-in membuka mata dan
mendengus, “Hm, tak perlu omong lagi! Karena sudah tahu cara mengobati racun
dalam tubuhmu, silahkan bunuh aku .... aku cudah cukup menderita siksaan macam
begini!"
Tiba-tiba wanita pemilik
lembah itu tertawa melengking, “Pula sekarang aku sudah sadar bahwa hubungan
laki perempuan itu memang tak dapat dipaksa!"
Kedua pipi Poh Ceng-in
bercucuran air mata. Wajahnya rawan. Seolah-olah orang yang menyesal.
Siau -liong terlongong
beberapa saat. Ia heran mengapa dalam detik-detik menderita kesulitan seperti
itu, Poh Ceng-in yang ganas seperti menyadari kesalahannya.
Siau-liong memang berhati
welas asih. Diam-diam iapun menyesal telah menyiksa seorang wanita sampai
begitu rupa.
Beberapa saat kemudian, ia
berkata kepada paderi Liau Hoan, “Selama membawa wanita ini menempuh bahaya
maut, tentulah losiansu letih dan payah sekali!"
Liau Hoan tertawa, “Ah, tak
apa. Karena tahu wanita itu amat penting bagi Kongsun-hiapsu, maka aku tetap
menjaganya mati-matian."
“Apakah losiansu tak keberatan
menyerahkan wanita itu kepadaku?" tanya Siau-liong pula.
Liau Hoan tertegun, serunya,
“Sudah tentu aku menurut saja apa pesan Kongsun-siauhiap!"
Baik sikap dan nada ucapannya,
paderi dari Thian-san itu amat menghormati sekali kepada Siau-liong.
Siau-liong segera berjongkok
dan membuka tali pengikat Poh Ceng-in, memapahnya berdiri lalu berkata hambar,
“Silahkan pergi!"
Sepasang mata wanita pemilik
Lembah Semi itu memancar sinar heran. Dipandangnya Siau-liong, “Engkau lepaskan
aku pergi?"
Siau-liong tertawa tawar,
“Benar, engkau bebas!"
Lu Bu-ki dan Liau Hoan
terkejut sekali, hampir keduanya serempak berseru: "Kongsun-siauhiap,
wanita siluman itu tak boleh dilepaskan!"
Liau Hoan maju selangkah,
katanya, “Aku mengabdikan diri ke dalam gereja. Meskipun tak menyetujui
pembunuhan tetapi kejahatan wanita itu benar-benar melebihi takeran. Dan lagi
dia telah menguasai jiwa Kongsun-siauhiap. Mana boleh....”
Lu Bu-ki pun sudah mencabut
ruyung besi dan menghadang Poh Ceng-in, “Betul! Wanita siluman itu tak boleh
dilepas!"
Seru Siau-liong tenang, “Mati
hidup tergantung takdir. Kaya miskin pun sudah suratan nasib. Kalau aku memang
sudah ditakdirkan harus mati, bagaimanapun hendak berdaya tentu tak berguna.
Apalagi menjadikan seorang perempuan lemah sebagai sandera. Sekalipun dapat
mengalahkan Iblis Penakluk-dunia, tetapi cara itu bukan kesatria!"
Melihat sikap Siau-liong yang
jantan itu, mau tak mau Liau Hoan dan Lu Bu-ki mengindahkan juga. Mereka
serempak mundur.
Tetapi Poh Ceng-in pun tak mau
segera pergi. Ia tertegun memandang Siau-liong.
"Omitohud!" seru
Liau Hoan siansu, "Kongsun-siauhiap berbudi welas asih dan berwatak
kesatria. Sekalipun sudah empatpuluh tahun lamanya aku mengabdikan diri dalam
gereja, tetapi ternyata masih kalah dengan pribudinya!"
Paderi itu menarik Lu Bu-ki,
“Lu-tayhiap, biarkan dia pergi!"
Poh Ceng-in rupanya hendak
bicara, tetapi sampai sekian lama bibirnya bergerak, belum juga terluncur
kata-kata. Tiba-tiba ia menutup mukanya, berputar tubuh terus melangkah pergi
dengan terhuyung-huyung.
Sekonyong-konyong Siau-liong
loncat memburu, “Tunggu dulu!"
Poh Ceng-in berhenti, “Apakah
engkau menyesal?"
Siau-liong tertawa dingin,
“Kaum persilatan menjunjung tinggi janji. Sekali seorang lelaki berkata, takkan
bergoyah seperti gunung yang kokoh. Masakan aku menyesal?"
Poh Ceng-in berputar diri.
Dengan air mata berlinang-linang ia menatap Siau-liong: "Kalau begitu,
engkau....”
“Tolong sampaikan pada suami
isteri Iblis Penakluk-dunia. Bahwa sejak dahulu sampai sekarang. Kejahatan itu
tak mungkin dapat mengalahkan Kebenaran. Dengan siasat keji dan ilmu Hitam,
orang tuamu itu hendak menguasai dunia persilatan, meskipun dapat berhasil
tetapi tak akan tahan lama. Maka sebelum terlambat, harap lekas sadar agar
mereka dapat melewati pada hari tua mereka dengan tenteram. Dan yang kedua
kalinya....”
Ia berhenti sejenak lalu
melanjutkan: “Engkau pun harus memegang janji dibarisan Tujuh-maut tempo hari.
Jika dalam setahun ini, racun jong-tok itu tak bekerja, besok tahun muka pada
pertengahan musim rontok seperti hari ini, aku tentu datang ke Bu-san.”
Poh Ceng-in menunduk memandang
tanah, katanya, “Apakah masih ada lain pesanan lagi?”
“Tak ada, silahkan pergi!”
“Baik, semuanya kuingat!” kata
Poh Ceng-in seraya melangkah pergi.
Beberapa saat kemudian, Liau
Hoan siansu berkata: “Adakah Kongsun-siauhiap masih ingat akan janji untuk
bersama aku menuju ke Thian-san?”
Siau-liong tertawa hambar,
“Kuharap losiansu pun dapat mengingat bahwa aku meluluskan hal itu setelah
nanti tahun depan pertengahan musim rontok. Pada saat itu apabila aku masih
hidup, tentu akan memenuhi janji itu!”
Liau Hoan tersenyum: “Baik
akan kutunggu.”
Sejenak memandang keempat
penjuru, Siau-liong bertanya kepada kedua orang itu apakah mereka tahu jalan ke
puncak Kim-ting.
Lu Bu-ki tampil kemuka:
“Apakah saudara Kongsun tak mau bertemu dengan Tok Bok lojin itu?”
Siau-liong menghela napas,
“Saat ini Iblis Penakluk-dunia sudah membawa rombongannya. Entah rencana apa
yang mereka siapkan. Maka kurasa hendak kepuncak Kim-ting dulu meminta
Tenggoret-berkaki-tiga kepada paderi sakti itu!”
Lu Bu-ki menatap Liau Hoan
siansu, serunya, “Kalau begitu, aku yang menunjukkan jalan!”
Si tinggi besar itu terus
ayunkan langkah mendahului berjalan. Ternyata dia memang paham jalanan disitu.
Kira-kira sepenanak nasi
lamanya, mereka tiba disebuah gunung karang yang menjulang tinggi. Dipuncak
gunung itu penuh dengan pohon cemara dan jati.
“Sudah sampai Puncak itu
adalah puncak Kim-ting dari gunung Go-bi!” Lu Bu-ki berhenti.
“Omitohud! Benar-benar sebuah
tempat yang keramat!” seru Liau Hoan siansu.
Rupanya Lu Bu-ki teringat akan
sesuatu hal yang penting maka tiba-tiba ia berseru,
“Dalam pertempuran di Lembah
Semi tempo hari, kaum persilatan telah menderita kekalahan. Dengan dapat
menguasai dua tokoh pewaris ilmu sakti serta beberapa tokoh sakti lainnya,
Iblis Penakluk-dunia dapat mengalahkan Ceng Hi totiang dan Pendekar Laknat.
Impiannya untuk menguasai dunia persilatan, rupanya akan segera menjadi
kenyataan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia mundur lagi dan mengadakan janji kepada
Ceng Hi totiang supaya dalam waktu tiga hari datang kepuncak Kim-ting?”
Siau-liong juga heran.
Liau Hoan tertawa gelak-gelak,
“Sekali pun aku tak berani mengatakan tahu betul rahasia itu, tetapi sedikit
banyak aku dapat menduganya ...”
Ia menunjuk kearah puncak
Kim-ting yang tinggi, katanya,
“Puncak Kim-ting dari Go-bi,
setelah menjadi tempat pertandingan ilmu pedang dan adu pedang dari Tio
Sam-hong dengan paderi Sembilan-jari Sapolo pada seribu tahun yang lalu, maka
tempat itu dianggap sebagai tempat keramat oleh kaum persilatan.
Beratus-ratus tahun lamanya
entah sudah terjadi berapa banyak peristiwa besar dipuncak gunung itu.
Pemilihan Ketua dunia persilatan angkatan ketiga yang dilangsungkan pada
seratus tahun yang lalu, juga diselenggarakan dipuncak itu.
Sekalipun sudah dapat
mengalahkan Ceng Hi totiang dan menundukkan sebagian besar kaum persilatan,
tetapi apabila Iblis Penakluk-dunia tak dapat mengadakan rapat besar di puncak
Kim-ting untuk mengumumkan pengangkatannya sebagai Penguasa Dunia persilatan,
tentu sukarlah bagi dia hendak menguasai dunia persilatan selama-lamanya.”
Berhenti sebentar, paderi Liau
Hoan melanjutkan pula, “Yang kedua kalinya, Iblis Penakluk-dunia sudah
memperhitungkan bahwa kekuatan dunia persilatan sekarang ini sudah rapuh. Tiada
seorang lawan yang mampu menentangnya lagi. Maka ia suruh seluruh tokoh-tokoh
persilatan datang ke Kim-ting dimana nanti ia akan mengumumkan pengangkatan
dirinya sebagai Penguasa Dunia-persilatan. Ia sudah memperhitungkan sekalipun
barangkali nanti ada sementara orang yang berani menentangnya, tetapi ia yakin
dengan memiliki keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu, ia tentu dapat
menghancurkan setiap perintang .....”
Siau-liong mendengarkan dengan
diam. Diam-diam ia merenungkan suhunya dan Randa Bu-san serta tokoh-tokoh
pewaris ilmu sakti yang ditawan Iblis Penakluk-dunia itu. Ia menghela napas
panjang.
Sambil memandang Siau-liong,
Liau Hoan siansu melanjutkan kata-katanya,
“Iblis Penakluk-dunia
mengetahui bahwa Kongsun-siauhiap masih belum sempat mempelajari ilmu
Thian-kong-sin-kang. Maka untuk saat ini dia tak takut. Tetapi paling lama
dalam sepuluh hari, apabila ia tak dapat merebut kitab pusaka
Thian-kong-sin-kang, ia tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan
Kongsun-siauhiap!”
Siau-liong menyadari bahwa
ucapan paderi itu memang bukan ancaman kosong. Tiba-tiba ia teringat akan
ucapan suhunya Kongsun Sin-tho, bahwa kemungkinan Iblis Penakluk-dunia sudah
dapat mempelajari ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang, Cek-ci-sin-kang dan
lain-lainnya. Tetapi ia (Siau-liong) sungguh lacur.
Berulang kali ditawan dan
dilepas oleh Iblis Penakluk-dunia. Dan beberapa kali dikelabuhinya hingga
hampir saja ia hendak mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada Song
Ling.
“Saudara Kongsun, mari kita
lanjutkan jalan lagi!” tiba-tiba Lu Bu-ki berseru.
Siau-liong gelagapan. Ia menyadari
kalau tadi ia tertegun melamun. Segera ia mengiakan dan terus mengikuti
dibelakang Lu Bu-ki. Mereka bertiga menyusur jalan yang berlingkar-lingkar
baik.
Sambil berjalan, Siau-liong
menghela napas, “Entah bagaimana dengan paderi sakti dari puncak Kim-ting itu?
Jika ia tak menyerahkan tenggoret ajaib itu, lalu bagaimana kita harus
bertindak.....?”
Berkata Liau Hoan siansu,
“Sekalipun sempit pengalaman karena jarang keluar ke Tionggoan, tetapi menurut
hematku, sejak muda paderi sakti Kim-ting itu sudah masuk ke dalam gereja.
Setelah masuk menjadi murid gereja Bik-hun-si yang terletak di bagian depan
gunung Go-bi, ia lalu pindah mengasingkan diri di puncak Kim-ting ini.
Selama seratus tahun terakhir
ini, jarang orang melihatnya turun gunung. Mengenai apakah dia sakti dalam ilmu
silat atau tidak, mungkin tiada seorangpun yang tahu. Juga berapa usianya
sekarang ini, orang pun tak ada yang mengetahui. Tetapi mungkin tak kurang dari
seratus duapuluhan tahun umurnya.....”
Berhenti sejenak, ia
melanjutkan pula, “Selama seratus tahun terakhir ini, di puncak Kim-ting pun
telah terjadi beberapa peristiwa besar. Tetapi selama itu tak pernah terdengar
orang bercerita tentang kehadiran paderi sakti itu. Orang yang mendaki keatas
pun kebanyakan jarang dapat menjumpainya. Bahkan sedikit sekali kaum persilatan
yang tahu manakah paderi sakti itu. Soal apakah dia benar-benar memelihara
Tenggoret-berkaki-tiga dan apakah dia saat ini masih hidup, aku sendiripun tak
jelas!”
“Jika tak mendengar dari Ceng
Hi totiang, akupun tak mengetahui kalau di puncak Kim-ting tinggal seorang
paderi .... tetapi karena dia disebut sebagai paderi sakti, tentulah mahir
dalam ilmu kesaktian dan tentu amat bijaksana juga. Jika mengetahui bahwa
binatang ajaib itu dapat menyelamatkan banjir darah dalam dunia persilatan,
tentulah ia tak sayang memberikannya!”
Dalam pada bercakap-cakap itu,
merekapun sudah mulai mencapai puncak. Ternyata di sekeliling barisan puncak
gunung itu, terdapat sebuah tanah datar. Puncak penuh pohon cemara dan jati
yang tinggi serta air terjun dan sumber air terdapat dimana-mana. Sungguh
sebuah tempat yang mirip tempat dewa-dewa.
Mereka bertiga terus melintasi
hutan dan ketika tiba di ujung hutan, tetap mereka tak menemukan barang sebuah
rumah atau biara. Sekeliling penjuru hanya gunung belantara yang senyap. Sedang
di depan gunung itu hanya jurang karang yang amat curam.
Siau-liong berhenti dan
berkata heran, “Apakah saudara Lu tak salah?”
Lu Bu-ki menampar kepalanya,
“Sekalipun ditengah malam, tak mungkin aku salah jalan!”
Liau Hoan menyelutuk, “Memang
paderi sakti Kim-ting itu tinggal di dalam gua. Belum tentu tinggal di puncak
sini .....”
Tiba-tiba si tinggi besar Lu
Bu-ki berteriak kaget, “Hai, lihatlah ke arah hutan cemara di sebelah kiri itu
.....”
Siau-liong dan Liau Hoan
serempak memandang ke arah yang ditunjuk. Diatas anak puncak yang bersambung
dengan puncak Kim-ting, memang terdapat sebuah hutan pohon cemara. Dan di
tengah hutan itu tampak beberapa sosok tubuh melintas.
Oleh karena tertutup oleh
hutan yang lebat, maka tak dapat terlihat jelas bagaimana pakaian orang-orang
itu. Tetapi menilik gerakannya yang amat cepat sekali itu, jelaslah kalau
mereka itu tentu orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi.
Begitu melesat, kawanan orang
itupun lenyap, bersembunyi dalam gerumbul hutan lebat.
Siau-liong merenung. Tiba-tiba
ia berkata, “Mereka tentulah rombongan Ceng Hi totiang!” — ia terus loncat dua
tombak.
“Hai, benar, kecuali mereka
siapa lagi!” seru Lu Bu-ki seraya terus lari menyusul.
Jalan yang merentang kearah
hutan cemara di samping puncak itu, agak menurun kelain puncak yang lebih
rendah. Luasnya hanya terpaut sedikit dengan puncak Kim-ting, tetapi keadaannya
lebih berbahaya.
Penuh dengan karang curam dan
gunduk batu aneh yang lebat seperti sebuah hutan. Sekalipun para pemburu, juga
takkan memilih tempat seperti itu.
Adalah Siau-liong yang lebih
dulu lari menghampiri. Dalam beberapa loncatan saja ia sudah tiba di tempat
sosok-sosok tubuh yang muncul lenyap tadi. Memandang kedalam hutan, memang
terlihat beberapa sosok tubuh tadi masih bergerak-gerak pelahan.
Ia girang sekali. Jelas
rombongan orang itu adalah rombongan yang dipimpin Ceng Hi totiang.
Segera ia melangkah
menghampiri ke tempat mereka. Jalanan bermula hanya tiga-empat tombak lebarnya,
tetapi makin lama makin lebar. Dikedua samping jalan, merupakan dua buah puncak
gunung yang penuh dengan hutan cemara dan jati.
Tetapi kira-kira seratus
tombak lagi, jalan itu terhadang oleh sebuah karang gunung yang tinggi. Rupanya
karang itu merupakan ujung terakhir lalu disambung jalan lagi yang membelok ke
sebelah kanan.
Ceng Hi totiang dan
rombongannya sedang berhenti dan mondar mandir di bawah karang gunung itu.
Mereka cepat melihat
kedatangan Siau-liong. Empat orang imam pengawal Ceng Hi totiang segera maju
menghadang dengan pedang melintang, “Siapa engkau?”
Baru Siau-liong hendak
menyahut, Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu pun telah tiba. Cepat si tinggi besar
loncat kemuka Siau-liong dan memberi isyarat kepada keempat imam itu seraya
berseru,
“Orang sendiri, harap kalian
jangan salah paham.....”
Kemudian berpaling menunjuk
Siau-liong, Lu Bu-ki berkata, “Kongsun-siauhiap ini, adalah pewaris dari ilmu
Thian-kong-sin-kang!”
Ceng Hi totiang bersama lebih
kurang limapuluh tokoh-tokoh persilatan, terkejut ketika mendengar keterangan
Lu Bu-ki. Mereka serempak memandang kearah Siau-liong.
58. Kacung Penjaga Guha
Ceng Hi totiang segera maju
menghampiri dengan heran. Diam-diam Siau-liong geli juga. Bukan baru pertama
kali itu ia berjumpa dengan Ceng Hi totiang. Tetapi perjumpaannya dahulu memang
bukan sebagai Kongsun Liong, tetapi sebagai Pendekar Laknat.
Lebih dulu Ceng Hi totiang
memberi salam kepada Lu Bu-ki, “Ah, saudara Lu tentu lelah!”
Setelah itu baru ia mengucap
Omitohud kepada Liau Hoan siansu. Terhadap Siau-liong, tampaknya Ceng Hi tak
begitu menganggap penting.
Sehabis balas memberi ucapan
salam keagamaan, berkatalah Liau Hoan siansu, “Harap totiang jangan menegur aku
dulu .....” — ia berpaling kepada Siau-liong dan berkata pula,
“Kongsun-siauhiap ini telah
mendapat rejeki luar biasa. Ia telah memperoleh pelajaran ilmu
Thian-kong-sin-kang. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dunia persilatan
dari ancaman Iblis Penakluk-dunia, rasanya tiada lain orang lagi kecuali
Kongsun-siauhiap ini!”
Ceng Hi terkesiap. Menilik
kedudukan dan kebesaran nama Liau Hoan totiang, ia percaya penuh. Maka
berpalinglah ia ke arah Siau-liong, serunya, “Ah, maaf, aku agak terlambat
menghaturkan hormat!”
Rombongan Ceng Hi totiang itu
terdiri dari tokoh-tokoh pilihan yang tergolong jago kelas satu. Diantaranya
termasuk para ketua partai persilatan dan kepala dari beberapa aliran perguruan
silat. To Kiu-kong dari partai Kay-pang, Pengemis-tertawa Tio Tay-tong, Toh
Hun-ki ketua Kong-tong-pay dan keempat Su-lo, juga ikut dalam rombongan itu.
Begitu melihat Siau-liong
bersama Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu tiba-tiba muncul, To Kiu-kong dan Tio
Tay-tong girang sekali. Serempak keduanya maju memberi hormat kepada
Siau-liong, seraya berseru, “Sucou-ya!” terus hendak berlutut dihadapan
Siau-liong.
Siau-liong cepat mencegah,
serunya: “Kiu-kong, jangan banyak peradatanlah!”
Ceng Hi totiang tertawa
gelak-gelak, “Kongsun-siauhiap sungguh seorang pemuda yang luar biasa. Kiranya
murid dari Pengemis-tengkorak Siong loenghiong. Aku merasa makin kurang
menghormat tadi...”
Berhenti sejenak mengicup
mata, Ceng Hi melanjutkan pula, “Tetapi tadi saudara Lu Bu-ki dan Liau Hoan
siansu mengatakan bahwa Kongsun-siauhiap adalah pewaris ilmu
Thian-kong-sin-kang. Ini sungguh membingungkan. Menurut pengetahuanku ....”
Kuatir kalau imam tua itu
terus mendesak pertanyaan, buru-buru Siau-liong menukas, “Hanya secara
kebetulan saja aku telah mendapatkan suatu cara belajar dari sebuah ilmu sakti.
Tetapi mungkin berbeda dengan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun karena belum dapat
mempelajari sampai sempurna maka masih sukar untuk menggunakannya.....”
Sepasang mata Ceng Hi totiang
berkilat-kilat menatap anak muda itu, serunya, “Kongsun-siauhiap, apakah engkau
tak keberatan bicara dengan empat mata kepadaku?”
Siau-liong tahu bahwa imam tua
itu mulai curiga. Maka ia menyatakan setuju. Ceng Hi totiang tersenyum lalu
mendahului melangkah kebelakang sebuah batu karang yang besar. Siau-liong
segera mengikuti.
Menilik kedudukan Ceng Hi
totiang dalam rombongannya, ketika ia bicara dengan Siau-liong tadi, tiada
seorang pun yang berani ikut bicara. Mereka hanya mengawasi Ceng Hi totiang dan
Siau-liong menyelinap kebalik batu.
Setelah agak jauh dari
rombongan tokoh-tokoh persilatan itu, barulah Ceng Hi totiang berhenti. Ia
anggap disitu aman, takkan didengar orang lagi.
“Tadi Liau Hoan siansu dan
Lu-tayhiap mengatakan bahwa Kongsun-siauhiap adalah pewaris ilmu
Thian-kong-sin-kang. Kupercaya keterangan itu tentu tak bohong....” Ceng Hi
totiang mulai membuka pembicaraan.
Siau-liong hanya tersenyum tak
menjawab.
Ceng Hi totiang berhenti
sejenak lalu melanjutkan,
“Sudah ribuan tahun ilmu
Thian-kong-sin-kang itu tak muncul didunia. Kaum persilatan dari masa ke masa
selalu berusaha untuk mencari ilmu sakti itu. Tetapi tiada seorangpun yang
berhasil. Dua bulan yang lalu, munculnya peta pusaka pada Giok-pwe, telah
menimbulkan kegemparan besar dikalangan persilatan. Munculnya Iblis
Penakluk-dunia ke Tionggoan lagi untuk melaksanakan tujuannya menguasai dunia
persilatan, tak lain maksudnya memang hanya akan mencari kitab pusaka
Thian-kong-sin-kang.”
Melihat imam tua itu tak
menyinggung keraguan terhadap dirinya, Siau-liong tak sabar lagi. Ia harus
lekas-lekas mendapatkan paderi sakti Kim-ting untuk meminta Tenggoret-emas-berkaki-tiga.
Ia tak mau membuang waktu maka segera ia menyelutuk, “Kalau totiang hendak
mengajukan pertanyaan, silahkan. Pokok, aku tak mau membohongi totiang!”
Dalam keadaan seperti itu, ia
cepat dapat menduga bahwa Ceng Hi totiang tentu sudah dapat melihat
kelemahannya. Maka Siau-liong pun bersedia untuk memberi keterangan sejujurnya.
Ceng Hi agak terkesiap,
ujarnya: “Tempo hari dalam pertempuran lawan Iblis Penakluk-dunia di Lembah
Semi, aku telah menderita kekalahan habis-habisan. Untung saat itu Pendekar
Laknat muncul dan dapat menghadapi Jong Leng lojin serta Lam-hay Sin-ni,
sehingga aku dan rombongan dapat terlepas dari kehancuran.
Kala itu Pendekar Laknat telah
menggunakan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun tampaknya ia baru saja mempelajari
ilmu sakti itu hingga belum sempurna. Tetapi kupercaya bahwa kitab pusaka
Thian-kong-sin-kang yang sudah lenyap beribu tahun itu telah jatuh ditangan
Pendekar Laknat. Sayang, pada malamnya Pendekar Laknat telah menghilang lagi.
Dan sampai sekarang belum terdengar kabar beritanya ....”
Siau-liong kerutkan dahi,
serunya, Totiang hendak mengatakan bahwa aku.....”
Ceng Hi totiang tertawa
panjang, “Maaf kalau aku bicara dengan terus terang ini. Pendekar Laknat pada
duapuluh tahun yang lalu, aku pernah kenal dengan baik. Tetapi Pendekar Laknat
yang muncul sekarang ini, kecuali wajahnya yang mirip, ilmu kepandaian dan
perawakan tubuhnya, sama sekali berbeda dengan Pendekar Laknat yang dulu. Yang
paling mengherankan ialah ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Tak mungkin sekali gus
akan timbul dua orang Pendekar Laknat.
“Ini...ini.....”
Tiba-tiba Ceng Hi totiang
berhenti dan memandang Siau-liong dan tersenyum.
Siau-liong menduga bahwa Ceng
Hi totiang telah mengetahui semuanya. Maka setelah batuk-batuk sebentar, ia
berkata, “Ah, totiang sungguh awas. Memang aku tak mau bohong .....”
Kemudian ia menuturkan segala
apa yang dialaminya. Dari masa kecil sampai belajar silat di gunung Hong-san
sehingga sekarang. Akhirnya ia menutup penuturannya,
“Adalah karena menjunjung
totiang sebagai seorang imam yang sakti maka kuberitahu semua yang mengenai
diriku. Kuharap totiang suka menyimpan rahasia itu, jangan diberitahukan kepada
lain orang. Apabila beruntung dapat menindas Iblis Penakluk-dunia, aku masih
berharap dapat menggunakan sisa hidup dalam satu tahun itu untuk membalas sakit
hati ayahku lalu menemui ibuku di seberang laut!”
Ceng Hi totiang menghela napas
panjang. Dengan wajah bersungguh ia berkata,
“Kongsun-siauhiap seorang
pemuda gagah yang berhati perwira. Maka tak heranlah kalau mendapat berkah yang
luar biasa itu. Arwah nenek guruku Tio Sam-hong tentu akan puas dialam baka.
Harap jangan kuatir, aku pasti akan menyimpan rahasia itu...”
Berhenti sejenak ia
melanjutkan lagi, “Apa rencana Kongsun-siauhiap tetap akan memenuhi perjanjian
mati bersama dengan wanita pemilik Lembah Semi itu?”
Siau-liong menghela napas,
“Sekali sudah berjanji, sukar untuk mengingkari. Sekalipun mengenai soal
kematian yang penting, tetapi aku tak dapat melanggar janji!”
Ceng Hi totiang mengangguk
hormat, “Watak dan tindakan Kongsun-siauhiap itu, makin menimbulkan rasa
hormatku!”
Tersipu-sipu Siau-liong
membalas hormat.
Setelah itu maka Ceng Hi
totiang pun segera alihkan pembicaraan tentang soal yang menyangkut kepentingan
saat itu.
“Walaupun paderi sakti dari
Kim-ting itu jarang diketahui dunia persilatan tetapi kutahu dia memang seorang
tokoh aneh yang jarang muncul diluar. Kedatanganku bersama rombongan
tokoh-tokoh persilatan itu tak lain memang hendak memohon supaya orang tua
sakti itu mau keluar membantu kami. Tadi telah kukatakan hal itu kepada seorang
Sian-thong (murid penjaga guha) untuk menyampaikan pada beliau. Saat ini kukira
tentu sudah ada keterangan. Karena Kongsun-siauhiap juga akan menemuinya,
baiklah kita sama-sama menghadap.”
Melihat bahwa Ceng Hi totiang
yang sudah berumur 90 tahun lebih itu masih menyebut dengan kata-kata yang
sungkan 'beliau orang tua' kepada paderi sakti Kim-ting, diam-diam makin
besarlah rasa hormat Siau-liong. Segera ia mengikuti Ceng Hi totiang.
Di atas karang gunung yang
membelok ke sebelah kanan dari lereng puncak, terdapat sebuah guha seluas satu
tombak. Tetapi guha itu amat dalam. Dua orang kacung yang satu berpakaian warna
biru dan yang satu putih, sedang menjaga disamping pintu guha dengan pedang
terhunus.
Rombongan orang gagah berhenti
beberapa tombak jauhnya dari guha itu. Mereka berbisik saling membicarakan
pertapa sakti dari Kim-ting itu. Tetapi setelah Ceng Hi totiang muncul bersama
Siau-liong, merekapun lalu diam dan hanya memandang ke arah kedua orang itu.
Ti Gong taysu, ketua
Siau-lim-si, segera tampil kemuka dan setelah menyebut doa keagamaan,
“Omitohud! Tingkah lalu paderi sakti ini agak berlebih-lebihan. Bahkan sampai
pada kacungnya saja sudah begitu garang ... “
Buru-buru Ceng Hi totiang
melangkah maju mencegahnya: “Harap taysu jangan marah, ketahuilah bahwa paderi
sakti .....”
“Hai, engkau bilang apa!”
kedua kacung itu melangkah tiga langkah dan salah seorang membentak Ti Gong
taysu. Deliki mata dan lintangkan pedang bersikap hendak menyerang.
Ti Gong taysu terkenal beradat
keras. Sudah tentu ia tak dapat membiarkan dirinya diperlakukan begitu kasar
oleh seorang kacung kecil. Serentak ia membentak, “Budak sekecil engkau mengapa
berani begitu kurang ajar. Tahukah engkau siapa yang datang kesini ini?”
Kacung baju putih itu
mendengus dingin, sahutnya, “Tak peduli kalian ini orang apa, kalau Seng-ceng
tak mau menemui, tentu tetap tak mau keluar...”
Seng-ceng adalah sebutan
menghormat dari kacung itu kepada paderi sakti Kim-ting.
Kacung baju biru pun ikut
menghampiri dan membentak, “Selamanya tak pernah ada orang yang berani bikin
ribut disini. Jika kalian tak lekas angkat kaki, jangan sesalkan kami berlaku
kurang ajar!”
Ti Gong tertawa meloroh, “Ho,
bagaimana pun juga, aku tetap akan menemui Seng-ceng. Apakah kalian kacung
kecil berdua ini mampu mengusir kami?”
Seketika itu kedua kacung
deliki matanya. Serentak mereka putar pedang dan menyerang Ti Gong taysu.
Ketua Siau-lim-si terbeliak
kaget. Ternyata ilmu permainan pedang kedua kacung itu hebat dan cepat sekali.
Karena terdesak, ia terpaksa mundur sampai 7- 8 langkah.
Kedua kacung itu hentikan
serangannya. membentak, “Jika Seng-ceng tak memperbolehkan kami membunuh jiwa,
batang kepala yang gundul itu tentu sudah terpisah dari badanmu!”
Karena marahnya, Ti Gong taysu
menguak-nguak seperti kerbau gila. Berpaling kepada Ceng Hi totiang ia berseru,
“Harap totiang suka maafkan aku. Aku hendak memberi sedikit hajaran kepada
kedua budak kecil itu!”
Tetapi Ceng Hi totiang
buru-buru mencegah, “Jika dalam urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan
besar tentu akan kacau. Harap taysu suka memikirkan kepentingan kita semua!”
Ti Gong taysu mendengus-dengus
dan mengundurkan diri.
“Imam hidung kerbau, mau omong
apa engkau?” tiba-tiba kedua kacung itu membentak Ceng Hi.
Walaupun dihina begitu, namun
dengan tetap tenang Ceng Hi totiang menjawab, “Harap siauko berdua jangan marah
dulu. Kami beramai-ramai hendak menemui Seng-ceng adalah karena ada urusan yang
amat penting sekali.”
Kacung baju biru tertawa,
“Daripada paderi gemuk bertelinga lebar tadi, rupanya engkau lebih jinak
sedikit.”
Ceng Hi totiang tetap tertawa,
“Harap siauko berdua suka menolongi kepentingan kami dan membujuk supaya
Seng-ceng suka menerima kedatangan kami!”
Kacung baju biru tiba-tiba
berpaling sejenak kepada kacung baju putih, ujarnya, “Harap sute suka menjaga
mulut guha sana agar mereka tak menerobos masuk sehingga mengganggu Seng-ceng!”
“Lebih baik kalau mereka pergi
dan perlu apa harus meladeni mereka?” seru si kacung baju putih. Ia terus
mundur menjaga di mulut guha.
Setelah itu barulah kacung
baju biru berpaling dan berkata kepada Ceng Hi totiang lagi, “Seng-ceng tadi
bilang tak dapat menemui. Tak peduli engkau hendak mempunyai urusan apa, tetap
tiada gunanya!”
“Apakah siauko pernah kasih
tahu gelaran namaku kepada Seng-ceng?” tanya Ceng Hi.
“Apakah dahulu engkau pernah
bertemu dengan Seng-ceng?” tanya si kacung.
“Sekali pun belum pernah
bertemu muka tetapi sudah lama aku mengagumi namanya. Jika engkau mau menerangkan
sedikit kepada Seng-ceng, mungkin beliau orang tua itu tentu akan kenal namaku
yang tak berharga itu ....”
Ceng Hi totiang berhenti
sesaat, lalu berkata lagi, “Dan lagi kedatanganku kemari bukanlah untuk
kepentingan pribadi melainkan demi keselamatan dan kelangsungan hidup dunia
persilatan.”
Jawab si kacung, “Seng-ceng
mengasingkan diri bertapa. Selamanya tak pernah mencampuri urusan dunia
persilatan. Kurasa omonganmu tadi percuma saja. Lebih baik kalau kalian segera
angkat kaki dari sinilah!”
“Jika Seng-ceng memang tak mau
menemui, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi harap engkau mengingat jerih
payah kami datang kemari dan suka melapor sekali lagi kepada Seng-ceng....”
Rupanya kacung baju biru itu
tak sabar. Ia membentak bengis, “Jika tak mau enyah,” dia memandang ke
sekeliling lalu melanjutkan, “Tentu terpaksa kupanggilkan keempat Suheng yang
menjaga guha ini untuk menghadapi kalian!”
Mendengar omongan kacung itu
makin lama makin kurang ajar, Ti Gong taysu tak dapat menahan diri lagi. Sambil
menyebut Omitohud, ia melangkah keluar, serunya,
“Murid agama menjunjung welas
asih dan perikemanusiaan. Apabila Seng-ceng itu benar-benar seorang imam sahid,
tak mungkin bertindak begitu kasar. Tentulah kalian sendiri jang
menghalang-halangi kami. Nanti setelah kami menerobos masuk menemui Seng-ceng,
barulah tahu.....”
Ketua partai Siau-lim-si itu
berpaling kepada Ceng Hi totiang dan berseru lantang, “Karena dengan cara
baik-baik tak berguna, terpaksa kita harus menggunakan kekerasan!”
Kacung baju biru itu
lintangkan pedang dan tertawa dingin.
Ceng Hi totiang menghela
napas. Waktu ia hendak membuka mulut tiba-tiba terdengar suara suitan panjang
dari kejauhan.
Sekalian orang terkejut. Dan
sebelum sempat menduga apa-apa, kembali terdengar suara tertawa yang bernada
congkak sekali. Saat itu barulah semua orang menyadari bahwa suitan dan tertawa
itu berasal dari Iblis Penakluk-dunia!
Memang Iblis Penakluk-dunia
itu seorang durjana yang julig dan banyak tipu akal. Bahwa secara tiba-tiba ia
muncul disitu, tentulah karena hendak melaksanakan rencananya untuk menguasai
dunia persilatan.
Suara tertawa itu berasal dari
puncak Kim-ting. Jelaslah bahwa iblis itu tentu sudah berada di puncak itu.
Hanya teraling dengan hutan lebat dari tempat rombongan Ceng Hi.
Secepat suara tertawa lenyap,
terdengarlah Iblis Penakluk-dunia berseru bengis, “Kepada Ceng Hi imam tua!”
Serentak terdengar empat lima
suara serempak mengulang kata-kata itu, “Kepada Ceng Hi imam tua!”
Sekalian orang tegang tegang
dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka mencurahkan pandang mata
ke arah Ceng Hi totiang.
Tiba-tiba kacung baju biru itu
tertawa, “Ih, siapa yang datang lagi itu? Apakah pemimpin kalian?”
Ceng Hi totiang menyahut
gopoh, “Yang datang itu adalah durjana iblis yang hendak menimbulkan
pertumpahan darah dalam dunia persilatan ......”
Ia berputar tubuh dan berkata
pelahan kepada rombongan tokoh-tokoh gagah, “Saat ini tibalah sudah detik-detik
yang genting. Harap saudara-saudara jangan sembarangan bergerak sendiri!”
Melihat wajah rombongan tetamu
itu amat tegang, kacung baju biru tertawa makin keras, “Hai, kalian orang-orang
persilatan itu mengapa suka bermusuhan dan berkelahi untuk cari
kemenangan......”
Kemudian bocah itu menyerut
wajah dan berseru pula, “Kalau mau berkelahi, pergilah cari tempat di puncak
Kim-ting sana. Jika berani mengganggu ketenangan tempat ini, awaslah.....”
Ceng Hi totiang menghela napas
lirih.
Pada saat ia hendak berputar
diri untuk menghadapi keadaan saat itu, tiba-tiba dua sosok tubuh melintas di
sebelah muka. Seorang kakek mata satu berpakaian ungu muncul dengan memimpin
tangan seorang dara baju hijau.
Sekalian orang amat terkejut
sekali!
Menilik pandangan mata mereka
yang tajam termasuk diri Ceng Hi totiang, setiap gerakan dari suatu apapun,
tentu tak lepas dari pandangan mereka. Tetapi kemunculan kakek bersama itu
benar-benar tak diketahui sama sekali.
Saat itu Siau-liong, Liau Hoan
siansu dan Lu Bu-ki berdiri di samping. Diam-diam mereka gelisah melihat sikap
keras dari kacung penjaga guha yang menolak memberi laporan kepada Seng-ceng.
Sedang saat itu Iblis Penakluk-dunia bersama rombongannya sudah muncul.
Ketika melihat Kakek Mata-satu
muncul secara tiba-tiba, girang hati Siau-long tak terperikan. Cepat ia maju
memberi hormat, “Locianpwe ... nona Song .....”
Kakek Mata-satu tersenyum,
“Apakah Kongsun-siauhiap sudah mendapat kedua kawanmu itu?”
“Locianpwe memang sakti
sekali. Aku benar-benar bertemu dengan mereka!” sahut Siau-liong.
Sekalian orang dalam rombongan
Ceng Hi totiang berdiam diri dan memperhatikan pembicaraan Siau-liong dengan
kakek bermata satu itu.
Setelah merenung beberapa
saat, Ceng Hi totiang menganggukkan kepala lalu maju memberi hormat kepada
kakek itu, “Bukankah cianpwe ini pada enampuluh tahun yang lalu .....”
Pertapa-sakti-mata satu
goyangkan tangan, tertawa, “Tak perlu mengatakan lagi! Asal engkau sudah tahu
saja ...” kemudian ia menunjuk kearah matanya yang tinggal satu itu, katanya
pula,
“Kemungkinan mataku yang
tinggal sebiji ini lebih dapat diingat lagi orang. Memang tak mengherankan
kalau engkau masih memikirkan peristiwa pada enampuluh tahun yang lampau itu.”
Tersipu-sipu Ceng Hi totiang
memberi hormat,
“Ah, ucapan cianpwe itu
kelewat berat. Adalah karena kagum dan mengindahkan akan keperwiraan dan
keluhuran cianpwe maka sekalipun sudah lewat berpuluh tahun, aku masih tak lupa
pada pertapa sakti itu bukan karena melihat matanya yang tinggal satu.”
Tetapi ia pikir, ucapan itu
terlalu menyinggung perasaan orang. Maka ia tak mau melanjutkan......
Saat itu kacung baju biru
menghampiri, teriaknya, “Hai, paman Buta!” ia memandang si pertapa sakti lalu
bertanya lagi, “Apakah paman kenal pada mereka?”
Pertapa-sakti-mata satu
tertawa, “Bukan hanya kenal tetapi mereka adalah sahabatku!”
Kacung kecil itu terkesiap
serunya tertawa, “Ah, paman Buta ngaco lagi. Bukankah paman serupa dengan
suhuku. Setahun penuh tak mau bertemu orang? Mengapa mendadak sontak mempunyai
sekian banyak kawan?”
Pertapa sakti mata satu
tertawa keras, serunya, “Kalau begitu, anggap sajalah mereka itu musuh!”
Ceng Hi totiang terkejut.
Kacung baju biru tertawa makin
keras.
Beberapa saat kemudian baru ia
berkata, “Kalau begitu, tak usah menghiraukan mereka saja!” sahut
Pertapa-sakti-mata-satu.
59. Pura-pura Menyerah .....
“Apakah hari ini engkau hendak
menantang suhuku bermain catur?” tanya kacung itu pula.
“Tidak,” jawab si pertapa,
“hari ini aku sengaja membawa cucu perempuanku bermain-main!”
Bocah itu tercengang.
Dipandangnya Song Ling sejenak, katanya, “Hari ini sungguh aneh sekali! Segala
apa berobah aneh. Mengapa dulu tak pernah kudengar paman mempunyai seorang cucu
perempuan?”
“Baru berapa tahunkah engkau
hidup di dunia? Masakan engkau tahu segala urusan!” Pertapa-sakti-mata-satu
tertawa.
Kacung baju biru tertawa
mengikik, “Ah, paman mengandalkan diri sebagai orang tua. Cobalah paman bilang,
hari ini paman hendak mengapa?”
Pertapa-sakti masukkan
tangannya kedalam saku. Sampai beberapa saat baru pelahan-lahan ia menariknya
keluar. Tetapi tangannya digenggam sehingga tak tahu apa isinya.
“Hari ini aku membawa sebuah
mainan yang aneh untukmu!”
Bocah itu girang sekali,
“Terima kasih paman Buta. Apakah barang itu?”
“Didalam genggamanku ini.
Tetapi engkau harus menebaknya. Kalau menebak tepat, baru kuberikan kepadamu!”
Kacung itu tertawa, “Ai, paman
hendak mempermainkan orang lagi. Aku tak mau menebaklah dan tak menginginkan
benda itu!”
“Kalau begitu jangan engkau
menyesal lho. Mainan ini akan kuberikan kepada sutemu!” kata si pertapa seraya
membuka tangannya.
Suatu benda yang
berkilat-kilat warnanya memancar diantara celah jarinya. Tetapi cepat-cepat
pertapa itu mengatupkan genggamannya lagi.
“Ya, ya, aku akan menebaknya
.....” seru kacung itu gopoh. Ia kerutkan dahi beberapa saat lalu menerka,
“Tentulah sebutir mutiara Ya-beng-cu ......”
Pertapa-sakti-mata-satu
gelengkan kepala: “Salah!”
“Mata kucing!” seru bocah itu
pula.
“Salah!” si pertapa
menggeleng.
Bocah itu mengerut kening dan
mengomel: “Ini salah itu salah, lalu bagaimana orang harus menebaknya!”
Bocah yang menjaga dimulut
guha tadi pun rupanya tak sabar. Ia segera menghampiri, serunya, “Ah, paman
Buta memang berat sebelah. Punya barang baik tak mau memberikan kepadaku.”
Pertapa itu tertawa, “Engkau
pun boleh ikut menebak. Kalau betul, tentu kuberikan kepadamu.”
Bocah baju putih dan baju biru
benar-benar saling berebut menebak. Tugas untuk menjaga mulut guha hampir
dilupakan.
Pada saat
Pertapa-sakti-mata-satu sedang bergurau mengadakan tebakan dengan bocah penjaga
guha itu. Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah, gelisah. Tetapi mereka tak
berani campur mulut. Untunglah saat itu suara Iblis Penakluk-dunia tak
kedengaran lagi.
Kemudian setelah bocah baju
putih yang menjaga di mulut guha itu ikut menimbrung ke tempat pertapa sakti,
tahulah Ceng Hi totiang akan maksud dari pertapa sakti itu. Segera ia lontarkan
isyarat mata kepada Siau-liong.
Siau-liong memang berotak
terang. Cepat ia dapat menangkap isyarat Ceng Hi totiang. Dengan gerakan yang
tak mengeluarkan suara dan tak menarik perhatian orang, ia berjengket-jengket
mundur menyingkir dari pengawasan mata kedua kacung itu. Setelah mendekati
mulut guha, cepat ia menyelundup masuk.
Gerakan Siau-liong itu
dilakukan dengan cepat sekali dan tak mengeluarkan suara apa-apa. Walau pun
Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah dapat melihat jelas, tetapi kedua
bocah penjaga guha itu tak dapat mengetahui sama sekali.
Setelah tahu Siau-liong sudah
menyelundup masuk, Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, “Hai, mengapa hari ini
kalian begitu tolol? Apakah masih tak mampu menebak?”
Karena berulang kali menebak,
si pertapa tetap gelengkan kepala. Akhirnya marahlah si bocah baju putih,
serunya geram, “Ai, tentu tak lebih hanya sebutir batu!”
Pertapa-sakti teriawa nyaring,
“Ho, ternyata engkau yang lebih cerdas dan dapat menebak jitu!” — ia membuka
genggamannya dan ternyata memang sebutir batu mengkilap.
Kedua Bocah itu serempak
membentak, “Kutahu paman Buta memang tak bermaksud baik dan sengaja hendak
mempermainkan kami saja. Tetapi lain kali jangan harap dapat mengingusi kami
lagi! Sungguh sial!”
Pertapa-sakti tertawa, “Sedang
apakah suhumu saat ini?”
“Duduk!” sahut kedua bocah
itu.
Menunjuk pada Ceng Hi totiang
dan rombongannya, berkata pula pertapa itu, “Mereka hendak bertemu dengan suhu
kalian, mengapa kalian tak mau melaporkan?”
Bocah baju biru buru-buru
menerangkan, “Sudah kulaporkan tetapi suhu tak mau menemui!”
Pertapa-sakti mengangguk
tertawa, “Kalau begitu kalian tak salah, tetapi.....” ia picingkan matanya yang
tinggal satu, berkata lagi, “Karena tadi kalian hanya mengurus untuk menebak
batu dalam genggamanku, andaikata ada orang yang menyelundup masuk kedalam
guha, bagaimanakah suhumu akan menghukum kalian?”
“Yah, ngeri!” seru kedua bocah
itu, “paling ringan tentu akan suruh kami menghadap tembok sampai sepuluh hari
lamanya!”
“Mungkin tak memberi makan
kami sampai tiga hari,” si bocah baju putih menambahi.
Pertapa-sakti tertawa, “Kalau
suhumu hendak memberi hukuman, timpahkan saja segala kesalahan itu padaku!”
Kedua bocah itu terkejut,
“Bagaimana? Apakah benar-benar ada orang yang menyelundup kedalam?”
“Ah, sukar dikatakan,” kata
pertapa-sakti, karena kalian mempunyai empat biji mata saja tak mampu melihat,
apalagi aku yang tinggal satu. Sudah tentu lebih tak kelihatan lagi!”
Bocah baju biru memandang geram
kesekeliling lalu mengawasi Ceng Hi totiang dan rombongannya dengan dendam,
serunya,
“Kukira mereka tentu tak punya
keberanian untuk berbuat begitu. Dengan mengandalkan tenaga keempat Su-leng
(Empat arwah) yang menjaga guha, sekalipun mereka beramai-ramai masuk semua,
tentu tiada seorang pun yang mampu melewati penjagaan ...”
Tiba-tiba bocah baju biru itu
berpaling kearah kawannya baju putih dan membentak, “Suruh engkau menjaga mulut
guha dengan ketat, mengapa engkau lari kemari?”
Bocah baju putih itu
tersipu-sipu ketakutan terus kembali ke mulut guha lagi. Sejenak meragu, bocah
baju biru itu berkata, “Apakah paman Buta tak masuk?”
Pertapa sakti goyangkan
tangan, “Pemandangan alam di sini paling indah. Aku bersama cucuku ini akan
duduk beristirahat disini sebentar!”
“Kalau begitu, maaf, kami tak
dapat menemani paman disini!” seru bocah itu terus kembali ke mulut guha.
Keduanya menjaga di kanan kiri guha.
Pertapa-sakti-mata-satu itupun
segera mencari tempat duduk. Sambil menunjuk kesana sini, ia berkata dengan
bisik-bisik kepada Song Ling. Sama sekali ia tak menghiraukan Ceng Hi totiang
dan rombongan orang gagah.
Ceng Hi totiang tegak
disamping. Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba terdengar
pula suara teriakan pelahan dari Iblis Penakluk-dunia, “Untuk yang kedua
kalinya, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!”
Serentak berturut-turut
terdengar suara menyambut ulang, “Untuk yang kedua kalinya, ditujukan kepada
imam tua Ceng Hi .....!”
Beberapa saat lagi, kembali
Iblis Penakluk-dunia berseru, “Untuk yang kedua kalinya, apabila tidak datang,
akan dihukum mati!”
Riuh rendah suara menyambut
dan mengulang seruan itu terdengar dari seluruh penjuru. Ceng Hi tertawa masam.
Saat itu ia belum dapat menentukan keputusan.
Tengah dalam keadaan gelisah,
tiba-tiba telinganya terngiang oleh suara seseorang yang menggunakan ilmu
Menyusup suara, “Imam tua tak perlu gelisah. Yang dapat mengatasi malapetaka
hari ini tak lain hanyalah pemuda Kongsun yang memiliki ilmu
Thian-kong-sin-kang itu. Aku sendiri sukar memberi bantuan!”
Ceng Hi totiang cepat dapat
mengetahui bahwa yang bicara dengan ilmu Menyusup suara itu tak lain dari
Pertapa-sakti-mata-satu. Ia pun segera menjawab dengan ilmu menyusup suara
juga,
“Terima kasih atas perhatian
cianpwe. Tetapi keadaan ini benar-benar gawat sekali. Kedua suami isteri iblis
itu sudah tiba kemari. Dalam waktu beberapa saat tentu sukar terhindar dari
pertempuran berdarah.....”
Pertapa-sakti tertawa, “Apakah
engkau takut dihukum mati oleh Iblis Penakluk-dunia?”
Ceng Hi totiang menyahut
gopoh, “Sudah hampir duapuluh tahun kusarungkan pedang. Jika takut mati,
masakan aku mau muncul lagi di dunia persilatan?”
“Kalau begitu gunakan siasat
mengulur waktu sampai beberapa jam. Mungkin Kongsun-siauhiap itu sudah dapat
keluar dari guha!”
“Ah, tetapi keadaan sudah
sukar diundurkan lagi, kecuali .....” Ceng Hi berhenti meragu sejenak, katanya
pula, “Adakah cianpwe menghendaki supaya aku bertekuk lutut kepada Iblis
Penakluk dunia?”
Pertapa-sakti tertawa, “Pandai
menyesuaikan keadaan, tahu mencari kesempatan pada setiap perobahan. Segala
cara dan siasat boleh digunakan!”
Ceng Hi totiang menghela napas
panjang. Ia diam. Oleh karena pembicaraan itu dilakukan dengan ilmu Menyusup
suara, maka sekalian orang tak dapat mendengar. Mereka hanya menduga-duga saja
apa yang sedang dibicarakan kedua tokoh itu.
Pada saat itu kembali
terdengar teriakan menggeledek dari Iblis Penakluk-dunia, “Untuk yang ketiga
kali, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!”
Seperti seruan yang dua kali
tadi, dan empat penjuru terdengarlah suara orang mengulang perintah Iblis
Penakluk-dunia itu.
Seluruh mata rombongan orang
gagah tertumpah pada Ceng Hi totiang. Sikap imam sakti itu tenang sekali.
Dengan suara tenang serius ia
berkata, “Saat ini kita menghadapi ancaman maut. Karena tak berguna, aku telah
menyia-nyiakan kepercayaan saudara-saudara yang dilimpahkan pada diriku. Sekali
pun mati, aku masih merasa berdosa.....”
Ti Gong taysu, ketua
Siau-lim-si, dapat berseru lantang, “Soal ini tak dapat menyalahkan totiang.
Oleh karena sudah menjadi suratan takdir, kami ikhlas mengorbankan jiwa. Kalau
kalah, tetap akan meninggalkan nama harum. Matipun tiada menyesal.....”
Ceng Hi totiang cepat menukas,
“Mengandalkan keberanian seperti harimau, mengandalkan jumlah banyak seperti
air sungai, bukan termasuk keberanian seorang kesatria sejati. Aku hendak
mengajukan pertanyaan kepada saudara-saudara ...”
Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay
yang berdiri disamping Ceng Hi, pun menyeletuk, “Totiang saat ini adalah
pemimpin rombongan orang gagah. Apa yang totiang rasa baik, silahkan memberi
perintah saja. Masakan totiang kuatir ada orang yang berani menentang?”
Ceng Hi totiang menghela napas
panjang, “Apabila saudara percaya padaku. Apa pun yang hendak kulakukan, harap
saudara tahankan emosi agar aku leluasa melaksanakan rencanaku.”
Dengan menekan rendah
suaranya, berkatalah Ti Gong taysu, “Silahkan totiang memberi perintah. Kecuali
disuruh menyerah pada Iblis Penakluk-dunia, kuyakin tiada seorangpun yang akan
menentang perintah totiang!” - habis berkata ketua Siau-lim-si itu memandang
kearah rombongan orang gagah.
Ceng Hi totiang kerutkan
kening lalu gunakan ilmu Menyusup suara kepada Ti Gong taysu, “Apa yang
kukatakan justeru mengenai soal itu. Demi untuk menyelamatkan kelangsungan
hidup dunia persilatan Terpaksa untuk sementara waktu kita harus pura-pura
menyerah kepada Iblis Penakluk-dunia!”
Bukan kepalang kejut Ti Gong
taysu sehingga ia melonjak dan menggerung seperti singa kelaparan, “Apakah aku
tak salah dengar bahwa ucapan itu berasal dari totiang?”
Dengan masih gunakan ilmu
Menyusup suara, Ceng Hi berkata,
“Jika dalam soal kecil tak
dapat menahan perasaan, tentulah soal-soal besar akan gagal, Tadi
Kongsun-siauhiap sudah menyelundup ke dalam guha menemui Seng-ceng. Menurut
perhitunganku, paling tidak dalam beberapa jam tentu sudah membawa laporan.
Hanya untuk beberapa waktu itu kita pura-pura menyerah, begitu Kongsun-siauhiap
sudah keluar, kita harus cepat-cepat berbalik haluan. Jika rencana itu gagal,
tiada jalan lagi kecuali harus bertempur sampai mati!”
Ti Gong taysu terlongong.
Memandang kepada Ceng Hi totiang, didapatinya wajah imam tua itu menampil
kedukaan tetapi tetap memancar kepribadian yang pantang menyerah.
Ti Gong taysu menghela napas,
tundukkan kepala tak berkata apa-apa.
Rombongan tokoh-tokoh
persilatan pun berdiam diri. Mereka percaya penuh pada Ceng Hi totiang.
Tiba-tiba terdengar suara
bentakan menggeledek, “Panggilan untuk imam tua Ceng Hi supaya segera datang
kemari. Apabila masih berayal, tentu akan dihukum mati!”
Kini tiada lagi Ceng Hi
bersangsi. Dengan tenang ia segera ayunkan langkah ke puncak Kim-ting. Sekalian
orang gagah tanpa berkata sepatah pun, tundukkan kepala dan mengikuti
dibelakang imam tua itu.
Pertapa-sakti-mata-satu tetap
duduk di tempatnya dan masih tetap tersenyum-senyum bicara dengan si dara Song
Ling. Liau Hoan siansu pun masih duduk di samping, tak ikut pada rombongan
orang gagah.
Song Ling gelisah resah.
Terkenang akan ibunya yang menjadi tawanan Iblis Penakluk-dunia, memikirkan
Siau-liong yang masuk ke dalam guha. Tak henti-hentinya ia celingukan kian
kemari. Apa yang dikatakan Pertapa-sakti kepadanya, sama sekali tak dihiraukan.
Ceng Hi totiang bersama
rombongan orang gagah melintasi beberapa gerumbul hutan dan kini disebelah muka
tampak sebuah dataran. Di ujung dataran itu tampak suatu jajaran sosok tubuh
manusia.
Jumlahnya tak kurang dari
seratusan orang. Terdiri dari lelaki dan perempuan dengan berbagai corak
pakaian. Tetapi yang paling menonjol sendiri, ialah jajaran paling depan yang
terdiri dan belasan orang baju hitam, Mereka mengenakan kerudung muka sehingga
tak dapat melihat roman mukanya.
Tetapi begitu melihatnya,
segeralah Ceng Hi totiang dan rombongannya dapat menduga. Barisan baju hitam
itu tentulah keempat tokoh pewaris empat jenis ilmu sakti, kedua momok Naga
Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It Hang totiang.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka tegak berdiri ditengah-tengah. Di belakangnya dijaga oleh empat lelaki
dan empat wanita. Demi melihat Ceng Hi muncul dengan kepala menunduk, iblis itu
segera tertawa nyaring.
Secepat hentikan tertawanya,
Iblis-penaklak-dunia pun segera membentak keras, “Imam tua Ceng Hi, lupakah
engkau akan perintahku tempo hari?”
Mendengar kata-kata itu
seketika wajah sekalian orang gagah, berobah merah padam. Kata-kata Iblis
Penakluk-dunia itu benar-benar suatu hinaan besar.
Mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan yang ternama. Mereka lebih memberatkan nama daripada jiwa. Seketika
mereka siap hendak menyerbu.
Wajah Ceng Hi pun
berobah-robah, hijau membesi lalu pucat lesi. Suatu pertanda bahwa hatinya
lebih tegang dari rombongannya. Tetapi pada lain saat ia tersenyum lalu
berputar tubuh menghadang ke arah rombongan orang gagah.
Setelah mengeliarkan pandang
mata kesekeliling, ia berkata, “Tuan mengatakan bahwa empat hari kemudian akan
datang ke puncak Kim-ting. Tetapi hari ini baru hari yang ketiga.”
Dari belakang kedua suami
isteri iblis segera terdengar seorang lelaki gagah memaki, “Imam hidung kerbau,
sungguh besar nian nyalimu! Sejak saat ini kita semua ini adalah anak buah
kedua pemimpin kita. Mengapa engkau menyebut dengan panggilan begitu? Hayo,
lekas memberi hormat haturkan maaf!”
Ceng Hi totiang seorang tokoh
yang namanya amat diindahkan orang. Dihadapan rombongan tokoh persilatan dari
berbagai aliran, benar-benar ia akan kehilangan muka apabila sampai minta maaf
kepada Iblis Penakluk-dunia. Maka sampai beberapa jenak ia berdiam diri saja.
Rombongan orang gagah pun
merah tegang wajahnya. Suasana makin gawat.
“Hai, apakah engkau tuli?”
bentak lelaki gagah itu pula.
Ceng Hi totiang menghela napas
lalu anggukkan kepala, “Ya, aku merasa salah!"
Walaupun mulut berkata begitu,
tetapi dari pelupuk matanya, mengembang air mata. Sepanjang hidupnya, baru
pertama kali itu ia menderita hinaan sedemikian besar. Tetapi demi kepentingan
umum, terpaksa ia tahankan perasaannya.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
nyaring: "Aku sih tak terlalu mengutamakan soal-soal peradatan kecil. Asal
kelak dapat merobah kesalahan saja, cukuplah sudah....”
Berhenti sejenak ia berkata
pula, “Kuanggap diriku ini memiliki kecerdasan jauh lebih tinggi dari orang
biasa. Kalau tidak masakan aku dapat berhasil seperti hari ini. Pepatah
mengatakan 'prajurit akan bermanfaat karena dapat bergerak cepat' Jika besok
pagi aku baru datang kemari, entah tingkah yang bagaimana macamnya lagi yang
hendak kalian unjukkan padaku....”
Menunjuk ke arah gua tempat
tinggal paderi sakti dari Kim-ting, ia berkata pula, “Gerak-gerik kalian selama
ini, sudah berada dalam pengawasanku. Sekalipun kalian dapat menyeret keluar
paderi dari gua itu, pun tetap tak berguna....”
Habis berkata ia berpaling ke
belakang, “Dimana engkau, muridku!"
Soh-beng Ki-su sambil
berkaok-kaok, segera maju kehadapan suhunya.
“Segala yang dikerjakan, kuserahkan
kepadamu untuk memberi perintah. Aku hendak beristirahat sebentar. Dalam waktu
tiga jam, apa yang kuserahkan kepadamu harus sudah selesai!"
Soh-beng Ki-su mengiakan.
Sambil tertawa meloroh, Iblis Penakluk-dunia dan isterinya segera berjalan
turun dari puncak. Anak buahnya mengikuti. Tak lama ia sudah menghilang ke
dalam gerumbul hutan.
Yang masih berada di tanah
datar itu tinggal Soh-beng Ki-su beserta sepuluh orang lelaki berpakaian
ringkas. Diantara ke sepuluh orang itu, ada delapan orang yang bahunya
dihinggapi burung elang besar. Yang dua orang lagi, tangannya mencekal pena pit
dan tinta bak. Keduanya menjinjing selipat kain sutera putih.
Dengan tertawa mengekeh,
Soh-beng Ki-su berkata kepada Ceng Hi, “Aku mendapat perintah dari suhu.
Apabila dalam ucapanku ada yang kasar, harap totiang jangan sesalkan
dihati....”
Ia menyapukan pandang matanya
ke arah Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah, katanya pula,
“Apa yang dikehendaki suhuku
hanya dua hal. Pertama, segera didirikan panggung seluas dua tombak dan
setinggi tiga meter. Panggung itu akan diperuntukkan pengangkatan suhuku
sebagai Bu-lim bengcu (pemimpin dunia persilatan).
Kedua, lekaslah kalian
beramai-ramai membuat dan menanda tangani surat pernyataan mendukung atas
pengangkatan beliau itu. Buatlah enampuluh empat pucuk undangan yang kalian
beramai-ramai menanda-tangani....”
Menunjuk pada ke delapan ekor
burung elang besar yang hinggap dibahu kedelapan lelaki berpakaian ringkas itu,
Soh-beng Ki-su berkata pula, “Kedelapan ekor burung itu dapat mengedarkan surat
undangan itu ke alamat yang dituju. Agar seluruh kaum persilatan tahu dan
mentaati."
Diam-diam Ceng Hi terkejut,
pikirnya, “Segala permintaannya masih dapat kupaksakan diri untuk menerima.
Tetapi surat dukungan yang akan disiarkan ke seluruh penjuru dunia persilatan
itu, benar-benar suatu hal yang tak boleh terjadi."
Maka dengan suara
tersendat-sendat, Ceng Hi menyanggah, “Ini.... ini....”
Soh-beng Ki-su mendengus
dingin, “Tak perlu ini itu lagi. Apa yang diperintahkan suhu, kalian tentu
sudah mendengar. Kedua hal itu hanya diberi waktu tiga jam harus sudah selesai.
Jika terlambat mengerjakan, kalian tahu sendiri akibatnya."
Ceng Hi merenung sampai lama
baru berkata, “Kalau begitu, aku menurut saja!"
Ia memandang tenang kepada
rombongan orang gagah, katanya, “Harap saudara-saudara suka membantu aku
membuat panggung itu!"
Dengan lesu sekalian orang
mengiakan. Mereka segera mulai membuat sebuah panggung.
Diam-diam Ceng Hi memberi
isyarat rahasia agar mereka bekerja selambat mungkin.
Soh-beng Ki-su tak mau
mendesak. Bersama ke sepuluh orang berpakaian ringkas, ia duduk diujung puncak
sambil mengawasi pekerjaan Ceng Hi dan rombongannya.
◄
Y ►
Sekarang kita tinggalkan
sejenak pembuatan panggung itu untuk menjenguk keadaan dalam gua.
Setelah berhasil menyelundup
masuk, Siau-liong dapatkan gua itu tak begitu gelap. Setelah memusatkan
perhatian, barulah ia dapat melihat jelas. Kiranya tempat itu tak mirip dengan
sebuah gua melainkan sebuah lorong terowongan yang panjang ke dalam.
60. Paderi Kim-ting
Siau-liong makin tegang.
Cepat-cepat ia ayunkan langkah dan tak berapa lama sudah tiba di ujung akhir
terowongan itu.
Di muka ujung terowongan itu
terbentang sebuah lapangan kosong yang ditumbuhi pohon-pohon bunga aneh dan
rumput-rumput. Walaupun saat itu berada dalam pertengahan musim rontok, tetapi
pohon-pohon bunga disitu tetap menghamburkan bunga-bunga aneka warna.
Batang-batang pohon cemara
yang tumbuh lurus disebelah muka, menjulang tinggi sampai menyusup ke dinding
karang. Sayup-sayup tampak sebuah mulut gua seluas satu tombak ditengah pohon
cemara itu. Pikir Siau-liong, paderi sakti di puncak Kim-ting itu tentu tinggal
dalam gua tersebut.
Segera berjalan menuju ke gua
itu. Sekonyong-konyong, serangkum angin keras menyambar punggungnya. Siau-liong
terkejut sekali dan segera miringkan tubuh loncat mundur sampai lima langkah.
Setelah terhindar, ia cepat
memandang ke arah penyerangnya itu. Ah, bukan kepalang kejutnya. Yang menyerang
itu ternyata seekor kera berbulu emas yang besarnya hampir menyerupai orang.
Pukulan yang dilancarkan kera
bulu emas itu bukan kepalang dahsyatnya sehingga ketika luput dan menghantam
tanah, pasir dan debu segera muncrat berhamburan dan tanah pun berlubang sampai
setengah meter.
Siau-liong cepat dapat menduga
bahwa kera bulu emas itu tentulah binatang piaraan Paderi sakti Kim-ting. Maka
ia tak mau balas menyerang, Malah ia terus mengangkat tangan memberi salam
kepada kera itu.
Tepat pada saat ia sedang
memberi hormat, kepada kera bulu emas itu, tiba-tiba serangkum angin keras
menyambar punggungnya lagi. Dalam kejutnya, ia cepat apungkan tubuh melayang
beberapa meter.
Ah, kiranya seekor kera bulu
emas lagi. Bahkan yang ini tampaknya amat galak. Sambil menyeringaikan giginya
yang runcing, ia memandang Siau-liong dengan buas.
Belum sempat Siau-liong
menenangkan diri, kembali ia diserang oleh dua ekor kera bulu emas lagi.
Siau-liong benar-benar gelisah
dan serba sulit. Ia tak mau balas menyerang karena kuatir menimbulkan kemarahan
paderi sakti Kim-ting. Namun dengan mengalah itu, ia harus banting tulang
setengah mati untuk menghindari serangan keempat ekor kera bulu emas yang
gencar itu.
Keempat ekor kera bulu emas
itu memang lihay. Serangan mereka serba aneh dan sukar diduga. Untunglah dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dapatlah Siau-liong berlincahan
menghindarinya.
Tetapi betapapun juga, karena
tak mau balas menyerang, maka setelah dapat bertahan sampai sepeminum teh
lamanya, akhirnya ia mulai tak dapat bertahan lagi.
Keempat ekor kera bulu emas
itu meraung keras. Serempak mereka menyerang makin gencar. Angin menderu-deru,
tangan keempat binatang itu berhadapan mengarah bagian tubuh Siau-liong
beberapa yang berbahaya.
Siau-liong makin gugup. Jika
tak mau balas menyerang, ia tentu akan terluka dibawah pukulan kera bulu emas
itu. Dengan menggerung keras, ia segera mulai menyerang dengan jurus
Angin-awan-berobah-warna.
Hamburan pukulan yang bersinar
emas itu berkelebat kian kemari dan terdengarlah serangkum suitan bernada macam
naga meringkik.
Untunglah Siau-liong masih
mengingat pada paderi sakti Kim-ting. Ia hanya gunakan sepertiga bagian
tenaganya dan tak mau mengarah pada tempat yang berbahaya dari tubuh kera
berbulu emas itu.
Diluar dugaan, begitu
Siau-liong memukul kawanan kera bulu emas itu segera hentikan serangannya.
Mereka memandang wajah Siau-liong sampai sekian lama.
Kemudian mereka menyeringai
dan bercuit-cuit beberapa kali. Pelahan-lahan mereka mulai menyurut mundur dan
masuk ke dalam gerumbul pohon bunga.
Siau-liong mengusap keringatnya
dingin. Setelah itu cepat-cepat ia lanjutkan perjalanan lari ke arah gua.
Begitu tiba di pintu gua, ia
berhenti. Dilihatnya di atas sehelai permadani tinggi yang terletak beberapa
meter dalam pintu gua, duduklah seorang paderi tua dengan mata memejam.
Paderi tua itu amat kurus
sekali. Duduk di atas permadadani tak ubah seperti sesosok tulang kerangka.
Tetapi wajahnya menampilkan suatu perbawa yang mengundang rasa perindahan
orang. Tanpa disadari, Siau-liong pun segera berlutut.
Rupanya paderi tua kurus itu
tak mendengar dan tak mengetahui kedatangan Siau-liong. Dia tetap duduk
pejamkan mata tak bergerak.
Diam-diam Siau-liong menimang.
Walaupun paderi tua itu seorang tuli tetapi masakan tak mendengar suara
pertempuran hebat antara ia dengan keempat kera bulu emas tadi. Ah, tentulah
paderi tua itu hanya berpura-pura saja.
Siau-liong tak berani
mengganggu. Terpaksa ia tetap berlutut menunggu sampai paderi itu terjaga.
Lebih kurang sepenyulut dupa
lamanya, barulah paderi tua itu pelahan-lahan membuka mata. Sepasang matanya
yang berapi-api, menatap Siau-liong sejenak lalu dipejamkan lagi.
Siau-liong baru hendak membuka
mulut atau tiba-tiba paderi itu sudah mengatupkan matanya pula. Ia bingung.
Tetapi terpaksa bersabar menunggu lagi.
Kira-kira sepeminum teh
lamanya, tetap paderi tua itu diam saja. Akhirnya Siau-liong tak sabar lagi.
Segera ia berseru pelahan, “Seng-ceng, Seng-ceng.... locianpwe, locianpwe....”
Rupanya paderi kurus itu
memang Seng-ceng atau paderi sakti dari Kim-ting. Ia terkejut mendengar seruan
Siau-liong. Cepat ia membuka mata dan membentak, “Kedua kacung Hitam Putih
itu?"
Siau-liong tersendat-sendat
menyahut, “Mereka masih berada diluar gua."
Seng-ceng itu mendengus,
serunya pula, “Keempat kera penjaga gua itu?"
Siau-liong termenung sejenak.
Ia duga yang dimaksud itu tentu keempat ekor kera bulu emas.
“Aku tak melukai mereka!"
sahutnya.
Tiba-tiba paderi sakti dari
Kim-ting itu membentak murka, “Nyalimu sungguh besar sekali berani menyelundup
ke gua sini!"
Pada saat Siau-liong hendak
memberi penjelasan, entah bagaimana caranya bergerak tadi, tahu-tahu Siau-liong
merasa empat buah jalan darah di dadanya tertutuk oleh sambaran jari paderi
sakti itu.
Seketika Siau-liong rasakan
tubuhnya lemas lunglai, kaki tangannya pun melentuk.
"Bluk".... rubuhlah
anak muda itu dan terkapar di tanah....!
Mata paderi tua itu sejenak
memancar lalu pelahan-lahan mengatup lagi.
Bukan main gelisah dan bingung
Siau-liong. Diam-diam ia memaki paderi itu sebagai seorang yang tak kenal perikemanusiaan.
Tidak mau membantu, pun tak
apa. Tetapi mengapa menyerang orang dengan cara gelap begitu. Itu bukan tingkah
laku seorang paderi saleh tetapi seorang penjahat kejam.
Karena jalan darahnya tertutuk
dan kaki tangannya sakit sekali, tubuh kaku seperti orang mati, sekali pun
Siau-liong dapat bicara tetapi tak mampu bergerak. Maka ia hanya deliki mata
memandang geram kepada paderi itu.
Tampak paderi tua itu membuka
mata lagi, tegurnya, “Mengapa engkau berani memaki-maki aku?"
Siau-liong seperti tersengat
kala kagetnya, “Aku memakinya dalam hati, mengapa dia tahu?" pikirnya.
Dipandangnya paderi itu dengan terpesona.
Paderi Kim-ting itu tersenyum,
ujarnya, “Tak usah engkau merasa heran. Dari sinar matamu tahulah aku isi
hatimu dan apa yang terkandung dalam pikiranmu!"
Diam-diam Siau-liong tertawa,
pikirnya, “Ah, kiranya dia hanya menduga-duga saja dari kerut wajahku."
Ia segera katupkan mata.
Saat itu masuklah kedua bocah
penjaga gua tadi. Bukan kepalang kejut melihat Siau-liong rubuh di tanah dengan
jalan darah tertutuk.
Tetapi yang menggoncangkan
hati kedua bocah itu ialah mengapa pemuda itu dapat menyelundup masuk ke dalam
gua. Dari mana dan kapankah dia masuk.
Kedua bocah itu saling
bertukar pandang lalu serempak berlutut menghadap si paderi sakti.
"Kemari!" seru
paderi Kim-ting.
Kedua bocah itu tersipu-sipu
bangun dan menghampiri. Mata mereka menggeram ke arah Siau-liong. Begitu tiba
di hadapan paderi sakti, kedua bocah itu terus berseru: '“Murid harus
dihukum!"
Serempak mereka berlutut.
Paderi, sakti itu mendengus
dingin, “Kemanakah kalian tadi?"
Bocah baju putih memang
kawannya baju biru lalu menjawab tersekat, “Tak pergi kemana-mana, hanya terus
berada di pintu gua....”
“Kalau menjaga di mulut gua,
mengapa tak tahu orang masuk kemari?" bentak paderi sakti.
Bocah baju putih
tersendat-sendat menjawab: “Murid.... murid....”
Tetapi anak itu tak dapat
menemukan alasan yang tepat. Maka sampai beberapa saat ia hanya dapat berkata,
“murid.... murid....” saja.
“Apakah kalian pergi cari
burung ke bawah karang?" seru paderi sakti pula.
Tiba-tiba bocah baju biru
menyelutuk, “Tadi paman Buta datang kemari membohongi kami dengan sebuah batu
berkilau sehingga dia dapat menyelundup kemari!"
Paderi sakti itu menyebut
Omitohud pelahan, ujarnya: "Binatang, kalian harus menerima hukuman
apa?"
Tanpa ragu-ragu lagi si bocah
baju putih berseru, “Murid rela menghadap tembok selama sepuluh hari agar dapat
sungguh-sungguh bertobat!"
Paderi sakti Kim-ting
mengangguk pelahan, bertanya kepada kacung baju biru: "Engkau?"
"Murid rela tiga hari tak
makan!" sahut kacung itu.
Paderi sakti Kim-ting
tersenyum, “Tetapi hari ini aku memberi kelonggaran takkan menghukum
kalian!"
Kedua bocah itu terkejut dan
saling berpandangan dengan wajah girang. Buru-buru mereka menundukkan kepala
sampai ke tanah selaku memberi hormat. Setelah itu mereka berdiri dan
menghaturkan terima kasih.
Kemudian paderi sakti Kim-ting
menunjuk ke arah Siau-liong dan suruh kedua murid supaya menggeledah badan
pemuda itu.
Kedua kacung itu segera
melakukan perintah. Sekujur badan Siau-liong habis digeledahnya. Dari badik
yang terselip dipinggang, pedang yang terpanggul dibahu dan bungkusan pakaian
yang terisi penyamaran Pendekar Laknat sampai pada bungkusan kecil isi pil
Sip-siau-cwan-soh-sin-tan semua digeledah oleh kedua kacung itu.
Walaupun sedih dan geram,
bingung dan marah, tetapi karena jalan darahnya tertutuk, Siau-liong pun tak
dapat berbuat suatu apa kecuali hanya deliki mata memandang perbuatan kedua
bocah kacung itu.
Semua benda hasil geledahannya
ditaruh dihadapan paderi sakti Kim-ting: "Suhu, semua barang yang terdapat
pada tubuhnya telah kami ambil semua!"
Paderi sakti Kim-ting merenung
sejenak lalu suruh kedua bocah itu mengangkut Siau-liong kegua Hang Gan-li.
"Apakah suhu hendak
membakarnya?" seru si kacung baju putih terkejut.
"Jangan banyak
tanya!" bentak paderi itu.
Bocah itu buru-buru mengiakan.
Lalu bersama kawannya sibaju biru mengangkut Siau-liong menyusuri dinding
gunung yang membelok kesebelah kanan.
Diam-diam Siau-liong mengeluh,
“Ah, kali ini tentu tamat riwayatku!"
Ia memandang dengan murka
sekali kepada paderi Kim-ting tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.
Siau-liong benci sekali kepada paderi yang pura-pura alim itu.
Jika ia sampai berhasil lolos,
tentu akan diajaknya paderi itu mengadu jiwa. Tetapi apa daya. Pada saat itu ia
tak dapat berkutik kecuali hanya deliki mata penuh dendam dan kebencian kepada
paderi itu.
Cepat sekali kedua kacung itu
telah tiba dimuka sebuah mulut gua yang gelap gulita.
"Kita lemparkan saja ke
dalam! Toh dia sudah tak bakal hidup lagi!" seru si kacung baju putih.
Kacung baju biru setuju.
Setelah menggoncang-goncang tubuh Siau-liong maju mundur beberapa kali, barulah
kedua bocah itu lemparkan Siau-liong ke dalam gua.
"Bum"....
Kedua bocah itu tertawa ngikik
lalu mendorong sebuah batu karang yang berada di tepi gua, menutup mulut gua.
Gua makin gelap pekat sehingga orang tentu tak dapat melihat jari jemarinya
sendiri.
Tetapi lemparan kedua bocah
itu tak sampai melukai tubuh Siau-liong. Walaupun tubuh tak berkutik tetapi
kesadaran pikirannya masih hidup. Berkat ilmu tenaga dalamnya yang makin
sempurna, tak berapa lama ia sudah biasa akan keadaan gua.
Diperhatikannya sekeliling
tempat itu. Gua hanya kira-kira dua tombak luasnya, tapi dindingnya terdiri
dari batu-batu yang runcing. Sepintas pandang amat menyeramkan sekali!
Siau-liong benar-benar kalap.
Perasaannya hampir seperti orang gila. Dia bendak berteriak tetapi tak dapat
bersuara. Dia hendak menghancurkan gua itu tetapi tak dapat berkutik.
Ia hendak lolos dan menghajar
paderi Kim-ting itu tetapi mengangkat tangan saja ia tak mampu. Hatinya panas
seperti dibakar.
Entah berapa lama, nafsu
kemarahannya yang menyala-nyala didadanya itu makin reda. Sebagai gantinya saat
itu ia merasa berduka sekali.
Gurunya, Kongsun Sin-tho yang
tertawan musuh, ibunya yang berada diseberang laut, Tiau Bok-kun, Mawar
Putih.... bayangan mereka satu demi satu mulai melintas kealam pikirannya.
Peristiwa-peristiwa yang lampau mulai membayang dalam benaknya.
Teringat akan
Pertapa-sakti-mata-satu, yang jelas menjadi suhu dari Randa Bu-san atau pewaris
angkatan terdahulu dari ilmu sakti Ya-li-sin-kang yang amat diindahkan orang
persilatan, telah memberi bantuan besar kepadanya. Karena pertapa sakti itu
memikat perhatian kedua kacung untuk main terka, sehingga ia mendapat
kesempatan untuk menyeludup masuk ke dalam gua. Adakah pertapa sakti-mata-satu
itu mempunyai maksud sengaja hendak mencelakai dirinya?
Lalu ia teringat akan Ceng Hi
totiang. Dialah yang merupakan satu-satunya tokoh yang tepat memimpin barisan
orang persilatan. Ceng Hi begitu menghormat sekali kepada paderi sakti
Kim-ting.
Adakah Ceng Hi totiang itu
benar-benar tak tahu bagaimana pribadi paderi kurus dari puncak Kim-ting yang
begitu dingin dan tak kenal perikemanusiaan? Bukankah sia-sia belaka usaha Ceng
Hi totiang untuk bersusah payah merendah diri meminta bantuan paderi sinting
dari Kim-ting itu?
Makin merenung, Siau-liong
makin gelisah dan tak dapat menemukan pemecahannya.
Sekonyong-konyong ia merasa
seperti dilanda gelombang hawa panas. Bermula hanya ringan tetapi makin lama
makin dahsyat. Ketika memperhatikan keadaan tempat itu, kejutnya bukan
kepalang.
Ternyata hawa panas itu
berasal dari dinding gua yang mulai berbongkah-bongkah mengeluarkan asap putih.
Asap itu amat menusuk hidung karena berbau belirang.
Hawa panas makin lama makin
keras. Keempat dinding gua seakan akan membara. Asap pun makin tebal. Betapapun
tajam mata Siau-liong, namun akhirnya ia tak mampu melihat keadaan di
sekelilingnya lagi.
Kecuali panas, pun asap itu
amat menyesakkan napas sehingga ia harus ngangakan mulut lebar-lebar untuk
melakukan pernapasan.
Siau-liong hampir putus asa.
Ia merasa tentu takkan hidup lagi. Tetapi naluri sebagai manusia yang tak
menyerah pada ancaman maut, membangkit semangat hidupnya.
Cepat ia kerahkan semangat,
pusatkan seluruh pikiran. Menekan hawa darahnya yang bergolak. Ia hendak
gunakan ilmu bernapas dari Thian-kong-sin-kang untuk membuka jalan darahnya
yang tertutuk.
Tetapi sayang tindakannya itu
terlambat. Jalan darahnya yang tertutuk itu seolah-olah ditutup oleh empat
batang paku besar. Betapa keras tenaga dalam yang dipancarkan dari perutnya,
namun tetap tak mampu menjebolkan paku itu.
Ia hentikan usahanya. Napasnya
terengah-engah, keringat membanjir turun.
Saat itu asap mulai menipis.
Demikian pula dengan hawa panas, pun mulai berkurang. Akhirnya asap dan hawa
itu lenyap dan gua pun kembali seperti sedia kala.
Diam-diam ia mengeluh. Sejam
lagi asap dan hawa belirang itu berhamburan, ia tentu mati.
Pikirannya melayang pada Ceng
Hi totiang dan rombongan tokoh-tokoh persilatan. Entah bagaimana keadaan mereka
saat itu!
Tetapi apabila terjadi
pertempuran, akibatnya mudah diduga. Ceng Hi totiang dan rombongannya pasti
sudah dihancurkan oleh kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia.
Dalam keadaan tak berdaya
seperti saat itu, terpaksalah Siau-liong kembali pada keputusannya tadi. Ia
harus merenungkan inti pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang lagi.
Kitab pusaka itu benar-benar
menyerupai laut yang tidak dapat diukur dalamnya. Begitu membenamkan pikiran
menjelajah isi kitab Thian-kong-sin-kang, iapun segera lelap dari alam
kesunyian yang hampa dari Ke-akuan.
Ia berusaha untuk merenungkan
arti dan kegunaan dari intisari pelajaran Thian-kong-sin-kang antara lain
mengenai apa yang disebut Semangat, hati, keinginan, pikiran, gerakan,
ketenangan, kehampaan dan isi.
Entah berapa lama ia tenggelam
dalam laut pencarian rahasia kitab Thian-kong-sin-kang itu, tiba-tiba gua mulai
terasa dingin. Bermula masih dapat ditahan tetapi makin lama makin menggigilkan
tubuh. Ia rasakan seperti dibenam dalam sungai es, sehingga darahnya serasa
membeku.
Tetapi saat itu ia masih
bergulat untuk memeras otak memecahkan isi kitab Thian-kong-sin-kang. Betapa
hebat hawa dingin itu menyerang, ia masih dapat bertahan.
Kira-kira sepeminum teh
lamanya, hawa dingin itu pun mereda. Tetapi sebagai gantinya, memancar pulalah
hawa panas yang tadi.
Dari dingin mendadak berganti
panas, walau pun orang yang memiliki tubuh baja sekalipun, tentu sukar
bertahan. Apalagi seperti Siau-liong yang jalan darahnya masih tertutuk. Dia
benar-benar seperti sam-sing atau ayam sesaji sembahyangan.
Tetapi dalam penderitaan yang
hebat itu, Siau-liong menemukan sesuatu yang belum pernah dimilikinya. Suatu
tenaga sekokoh baja yang tak tergoyahkan.
Walaupun jasmaniah ia
menderita siksaan yang sedemikian hebat, tetapi dalam rohaniah ia telah
mendapat suatu rasa kesadaran yang tenang. Ia tetap terlelap dalam lautan ilmu
sakti yang sukar dipelajari.
Dalam pada itu perobahan hawa
dalam gua tetap berlangsung sampai berulang kali. Dingin mendadak berobah
panas. Panas tiba-tiba berganti dingin.
Keadaan itu telah berlangsung
sejam lamanya, Siau-liong seperti digodog dalam kawah gunung berapi lalu
dilemparkan ke dalam sungai es....