Pendekar Laknat Jilid 51-60

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Laknat Jilid 51-60
Pendekar Laknat Jilid 51-60

51. Kepiawaian Thian-jim-sin-kang

Semula Siau-liong masih ringan, tetapi setelah Randa Bu-san berobah memberingas, ia menjadi sibuk juga. Ia masih belum sembuh. Lama kelamaan tenaganya makin lemah, darah mulai bergolak. Keringat dingin mulai mengucur deras, napas pun terengah-engah keras.

Siau-liong mulai payah. Setiap saat ia terancam kehancuran dari serangan-serangan yang berbahaya dari Randa Bu-san.

Suara tertawa Iblis Penakluk-dunia sebentar putus sebentar melengking. Tak ubahnya seperti seorang iblis yang sedang menikmati korban yang disiksanya.

Terdengar pada jerit rintihan yang ngeri. Anak buah Lu Bu-ki kena ditendang perutnya oleh Ti-ki-cu (salah seorang Kun-lun Sam-cu), sehingga terlempar sampai setombak jauhnya, terbentur tembok dan rubuh tak berkutik lagi....

Walaupun keempat anak buahnya sudah rubuh, namun Lu Bu-ki tetap tak gentar menghadapi ketiga Kun-lun Sam-cu. Kematian keempat kawannya itu membuatnya sedih dan marah. Ia memberingas laksana seekor singa. Ruyung besi dimainkan sederas hujan.

Diam-diam tangan kirinya mempersiapkan tiga butir pelor baja. Lu Bu-ki termasyhur dengan gelar Thiat-pian sin-tan atau si Ruyung besi Pelor-sakti. Ilmunya melontar senjata rahasia itu, memang bukan olah-olah hebatnya.

Demikianlah pada saat ia mainkan ruyung dengan gencar, tiba-tiba ia susuli dengan menimpukkan tiga pelor besi ke arah Kun-lun Sam-cu.

Jaraknya amat dekat dan ilmu lontaran dari Lu Bu-ki itu amat tepat dan dahsyat. Ti-ki-cu yang menyerang paling depan sendiri, lebih dulu yang menderita. Mata kirinya terhantam sebutir pelor sehingga biji matanya meluncur keluar. Darah mengucur deras sehingga seketika berobah ia seperti seorang manusia bermuka merah.

Tetapi Ti-ki-cu memang luar biasa. Walaupun sebuah biji matanya sudah coplok dan menderita luka berat, tetapi ia agaknya seperti tak merasa dan tetap menyerang hebat.

Betapapun dingin hati Lu Bu-ki membunuh orang, tetapi menghadapi seorang manusia luar biasa seperti Ti-ki-cu, gentarlah hatinya. Permainannya ruyung pun kacau.

Liau Hoan dan Song Ling yang menghadapi It Hang totiang berempat, masih dapat bertempur dengan berimbang. Tetapi setelah Iblis Penakluk-dunia tertawa tadi, It Hang totiang menyerang kalap sehingga Liau Hoan dan Song Ling kelabakan.

Liau Hoan menyambar tubuh Poh Ceng-in dan ditegakkan di tangan sudut ruang. Ia melayani serangan musuh dengan sebelah tangan. Tetapi makin lama ia tak sabar lagi. Tiba-tiba ia melantangkan doa 'Omitohud’, lalu berseru, “Untung celaka tiada pintunya. Hanya manusia sendiri yang membuatnya. Terpaksa aku harus membuka pantangan membunuh!"

Siau-liong terkejut dan buru-buru berteriak, “Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang telah dilenyapkan kesadaran pikirannya oleh Iblis Penakluk-dunia. Harap losiansu suka bermurah hati agar jangan sampai saling bunuh membunuh sendiri....”

Liau Hoan tertawa panjang, “Bunuh membunuh sudah sejak tadi terjadi. Jika engkau masih tak tegah, tentu kita sukar lolos dari sini!"

Ucapan itu mengandung anjuran supaya Siau-liong jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan ilmu sakti Thian-kong-sin-kang.

Rupanya Song-ling dapat menangkap maksud paderi itu. Cepat ia berseru, “Siau-liong.... bagaimanapun halnya, jangan melukai mama!"

“Jangan kuatir! Sekalipun tubuhku hancur lebur, tetapi tak nanti akan melukai mamamu!" seru Siau-liong.

“Nona, jagalah wanita siluman ini!" tiba-tiba Liau Hoan membentak dan terus dorongkan tubuh Poh Ceng-in.

Song Ling tak berani membantah. Pada saat ia menyambuti tubuh Poh Ceng-in, Liau Hoan sudah berputar tubuh dan lepaskan tiga tamparan dan lima pukulan.

Angin menderu hebat dan It Hang totiang berlima terpaksa mundur sampai lima langkah. Tetapi secepat itu juga mereka segera maju lagi. Mereka benar-benar seperti tak menghiraukan keselamatanya dan menyerang kalap.

Liau Hoan agak tertegun. Begitu kawanan penyerangnya maju, tiba-tiba ia menggembor keras dan hamburkan pukulan bertubi-tubi lagi.

Ilmu kepandaian dari paderi Liau Hoan itu lebih tinggi dari kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Paderi itu termasyhur dengan ilmu jari sakti Kim-kong-ci (Jari baja), amat getarkan dunia persilatan. Tetapi karena ia jarang ke luar ke dunia persilatan, maka namanya pun jarang dibicarakan orang.

Dalam menghadapi pertempuran saat itu, ia sudah menyadari bahwa jika tak menggunakan serangan kilat untuk mengakhiri pertempuran, tentulah kedua durjana Iblis Penakluk-dunia akan mengeluarkan lain rencana yang lebih ganas lagi.

Amukan Liau Hoan itu telah memberi hasil. Tiba-tiba Tan It-hong ketua Ji-tok-kau terjungkal rubuh di tanah. Dia kena tertutuk jalan darah diperutnya.

Dengan rubuhnya seorang, tekanan pihak It Hang totiang menjadi berkurang. Tetapi sekonyong-konyong Iblis Penakluk-dunia tertawa memanjang lagi. Dan secepat berhenti tertawa, iblis itu berseru, “Apa yang kukatakan tentu kulakukan. Pembebasan tawanan gelombang ketiga, segera berlangsung!"

Tak berapa lama dua sosok tubuh menerobos masuk. Ketika Siau-liong memandang kedua pendatang itu, diam-diam ia mengeluh, “Celaka!" Ternyata yang datang itu adalah Naga Terkutuk dan Harimau Iblis.

Begitu masuk tanpa berkata apa-apa, kedua durjana itu terus menyerang. Naga Terkutuk menerjang Siau-liong, Harimau Iblis merabu Liau Hoan siansu.

Walaupun sudah dapat menutuk rubuh Tan Ih-hong, tetapi Liau Hoan masih mengalami kesulitan menghadapi tokoh-tokoh utama semacam It Hang totiang.

Dan kini bertambah pula dengan seorang Harimau Iblis. Dengan serangan yang dahsyat sebanyak tiga jurus, Harimau Iblis dapat membuat Liau Hoan kelabakan. Liau Hoan gagal untuk merebut kedudukan. Keadaannya dibawah angin lagi.

Keadaan Siau-liong pun begitu juga. Dia diserang dari muka dan belakang oleh Naga Terkutuk serta Randa Bu-san. Dia kelabakan dan hanya mampu bertahan diri saja.

Melihat Liau Hoan siansu terdesak mundur, Song Ling terpaksa bertindak. Ia lepaskan Poh Ceng-in dan ikut terjun dalam pertempuran.

Keadaan Lu Bu-ki makin payah lagi Ruyung besinya sudah terpental. Bajunya sudah compang camping. Sepintas pandang, keadaannya mirip dengan orang gila.

Dalam himpitan kedua tokoh Naga Terkutuk dan Randa Bu-san, keadaan Siau-liong benar-benar berbahaya sekali. Sekali ia lengah atau salah tangan tentulah ia akan remuk binasa. Betapapun ia berlaku hati-hati dan cermat, namun akhirnya dadanya kena tertampar angin pukulan Randa Bu-san. Namun angin itu bukanlah angin biasa, melainkan angin dari Ilmu Ya li-sin-kang.

Seketika Siau-liong rasakan tulang belulangnya seperti hancur berantakan, darahnya bergolak keras. Mata serasa gelap dan ia tak dapat menahan lagi. Segumpal darah segar menghambur dari mulutnya....

Namun ia menyadari bahwa saat itu sedang berada dalam pertempuran mati hidup. Sekali ia lengah, jiwanya pasti amblas. Dalam keadaan terancam itu, akhirnya ia terpaksa berjuang. Dengan kerahkan sisa tenaganya, ia lepaskan pukulan jurus Tonggak-menyanggah-langit ke arah Randa Bu-san dan gunakan jurus Sapu-jagad menghantam Naga Terkutuk.

Kedua pukulan itu adalah jurus dari ilmu Thian-kong-sin-kang. Serangkum sinar emas memancar, walaupun Randa Bu-san cepat-cepat gerakkan kedua tangannya untuk menyongsong, tetapi tubuhnya tetap berguncang-guncang keras mau rubuh.

Sedang Naga Terkutuk pun terhuyung-huyung mundur sampai tujuh-delapan langkah, membentur meja sembahyang. Berulang kali ia hendak berusaha menegakkan tubuh tetapi gagal. Akhirnya ia rubuh dengan menderita luka parah.

Setelah menghantam, Siau-liong rasakan tenaganya telah habis. Tulang-belulangnya serasa berhamburan lepas, sehingga ia tak kuat lagi untuk berdiri tegak. Lukanya masih belum sembuh sama sekali. Dan saat itu ia menderita luka lagi. Betapa kokoh tenaga-dalamnya, tetapi ia benar-benar sudah kehabisan tenaga....

Setelah melakukan pernapasan beberapa jenak, Randa Bu-san rasakan lukanya sudah sembuh. Dengan melengking nyaring, wanita itu hantamkan kedua tangannya ke arah Siau-liong.

Saat itu Siau-liong sudah tak berdaya lagi. hanya memandang kesima ke arah pukulan maut dari Randa Bu-san itu....

Liau Hoan siansu, Song Ling dan Lu Bu-ki pun sudah kenabisan tenaga. Walaupun mengetahui Siau-liong terancam bahaya tetap mereka sendiri sudah payah. Tak mungkin dapat memberi pertolongan lagi. Apalagi yang mengancam Siau-liong itu adalah tenaga sakti Ya-lin-sin-kang.

Sekali pun ketiga orang itu serempak maju menolong pun juga tak berguna. Bahkan malah akan menambah jumlah korban saja.

Karena tak dapat melepaskan diri dari serangan It Hang totiang dan Cu Kong-leng, maka menangislah Song Ling seraya menjerit, “Ma, jangan membunuhnya, engkau tak boleh....”

Tetapi Randa Bu-san tak menghiraukan. Ia tetap lancarkan kedua pukulan mautnya ke arah Siau-liong.

Tahu kalau detik itu harus mati, Siau-liong pejamkan mata menunggu ajal.

Sekonyong-konyong dari luar biara melesat masuk sesosok bayangan. Dan sebelum berdiri tegak, orang itu secepat kilat untuk menutuk lengan Randa Bu-san.

Kedatangan orang itu sama sekali tiada mengeluarkan suara. Gerakannya secepat angin. Jika tak mengetahui dengan mata kepala sendiri, orang tentu mengira pendatang itu bukan manusia tetap bangsa setan.

Tokoh semacam Randa Bu-san yang memiliki Ya-li-sin-kang, pun tak mampu mendengar kedatangan orang itu. Baru ia gelagapan kaget ketika lengannya hendak ditutuk orang itu.

Tetapi Randa Bu-san tak kecewa diagungkan orang sebagai tokoh sakti jaman itu. Ia tak mau berputar tubuh melainkan malah maju ke muka seraya mengganti kedua pukulannya tadi dengan jurus Angin-puyuh-menyambar-pohon, untuk menyapu pendatang itu.

Orang itu mendengus dingin. Begitu kakinya menginjak tanah, ia balikkan tangan kanan yang hendak menutuk lengan Randa Bu-san tadi, untuk menyongsong kedua pukulan wanita Bu-san itu.

Baik pukulan Randa Bu-san maupun gerakan tangan orang itu, sama-sama tergolong tenaga dalam lunak. Sedikit pun tak mengeluarkan suara apa-apa. Walaupun gerak pukulannya mereka tak begitu dahsyat, tetapi angin halus dari pukulan itu telah menimbulkan badai keras yang memekakkan telinga.

Begitu pukulan saling beradu, tubuh kedua tokoh itu sama-sama berguncang. Rupanya kekuatan mereka berimbang.

Siau-liong yang pejamkan mata tadi karena merasa sampai beberapa jenak pukulan Randa Bu-san belum juga tiba, tetapi ia mendengar deru angin menyambar di udara, buru-buru ia membuka mata.

Begitu membuka mata, ia terkejut girang. Yang datang itu bukan lain adalah Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho, gurunya sendiri.

"Suhu! Engkau....”

Belum Siau-liong selesai berteriak, Kongsun Sin-tho sudah cepat goyangkan tangannya, “Jangan banyak omong! Lekas beristirahat salurkan tenagamu!"

Habis berseru, tabib itu segera dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong pukulan Randa Bu-san.

Seperti orang yang hidup lagi dari kematian apalagi mendapat kunjungan dari suhu yang dicintainya, legalah hati Siau-liong. Cepat ia melakukan perintah suhunya. Duduk bersemadhi menyalurkan pernapasan dan tenaga murni.

Tetapi ia menyadari bahwa keadaannya saat itu benar-benar berbahaya sekali. Ia harus cepat-cepat pulihkan tenaganya agar dapat menghadapi situasi saat itu.

Diluar dugaan ketika ia menguapkan hawa-murni dalam perut, ia rasakan serangkum hawa panas mengalir naik. Suatu hal yang tak sama seperti biasanya. Diam-diam ia girang, pikirnya, “Adakah dalam beberapa hari ini aku memperoleh kemajuan luar biasa dalam ilmu tenaga-dalam."

Segera ia mulai mengatur hawa panas itu menurut jalan darah yang tersebar diseluruh tubuhnya. Dan pada beberapa kejap kemudian, ia telah mencapai dalam kehampaan. Pikiran dan semangatnya manunggal. Ia tak ingat lagi apa yang terjadi disekeliling tempat situ. Semua kosong melompong....

Karena diganggu oleh Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho, marahlah Randa Bu-san. Dengan meraung seperti singa betina yang kehilangan anak, ia menyerang tabib itu dengan gencar sekali. Hanya dalam sekejap mata saja, ia sudah lancarkan lebih dari duapuluh jurus.

Tetapi Kongsun Sin-tho melayani dengan tenang. Serangan dari wanita Bu-san yang menggunakan jurus ganas itu, satu demi satu dapat dihapusnya. Betapapun Randa Bu-san seperti orang yang kalap, tetapi sedikitpun tak mampu berbuat apa-apa terhadap tabib sakti itu.

Ilmu tenaga sakti Thian-jim-sin-kang yang dimiliki Kongsun Sin-tho itu, walaupun sederajat dengan tenaga sakti Ya-li-sin-kang, Jit-hua sin-kang dan Cek-ci-sin-kang, tetapi Than-jim-sin-kang itu mempunyai keefektifan tersendiri. Dan karena Kongsun Sin-tho telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pelajaran ilmu Thian-jim-sin-kang itu, maka kepandaiannya pun setingkat lebih tinggi dari Randa Bu-san.

Melihat perkembangan itu, semangat Liau Hoan dan Lu Bu-ki pun bangkit kembali. Tetapi Song Ling makin gelisah. Ia tak kenal siapa Kongsun Sin-tho itu. Maka ia kuatir kalau mamanya sampai terluka oleh kakek tua berjenggot putih itu.

Kongsun Sin-tho memang sakti. Sambil melayani Randa Bu-sam, diam-diam iapun pancarkan tenaga kisar (putar) untuk melanda Harimau Iblis dan Kun-lun Sam-cu.

Tenaga kisar dari Thian-jim-sin-kang itu, walaupun tidak sampai melukai orang, namun mampu juga untuk memaksa Harimau Iblis dan kawan-kawannya sempoyongan jatuh.

Bantuan Kongsun Sin-tho itu benar-benar meringankan Liau Hoan siansu dan Lu Bu-ki. Saat itu mereka siap untuk merebut kemenangan lagi.

Sekonyong konyong terdengar suitan nyaring dan panjang. Nada dan suaranya amat ngeri sekali, mirip dengan suara harpa yang dipetik sekeras-kerasnya. Membuat anak telinga serasa pecah.

Dan memang pada saat suitan itu berhenti, nadanya tak ubah seperti senar harpa yang putus!

Randa Bu-san, Harimau Iblis dan rombongannya tertegun. Pada lain saat, mereka segera mengamuk lagi, menyerang dengan dahsyat dan ganas. Tiba-tiba Harimau Iblis menyambar tubuh Tan Ih-hong yang terluka di tanah. Sekali enjot, ia membawanya menerobos ke luar.

Randa Bu-san lancarkan serangan gencar. Setelah berhasil mengundurkan Kongsun Sin-tho, cepat ia menyambar tubuh Naga Terkutuk yang duduk bersandar pada meja sembahyang, lalu dibawah kabur keluar.

It Hang totiang, Shin Bu-seng, Cu Kong-leng dan ketiga tokoh Kun-lun Sam-cu, pun mulai mengundurkan diri. Satu demi satu mereka melangkah keluar biara dan lenyap dalam kegelapan malam.

Dengan begitu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa suitan panjang tadi tentu berasal dari Iblis Penakluk-dunia yang memberi komando supaya jago-jagonya mundur.

Kala itu sudah menjelang tengah malam. Angin meniup keras dan tak lama kemudian hujan pun mencurah lebat.

Y

Ruang biara kembali sunyi senyap. Siau-liong dan rombongan orang gagah, masih terengah-engah napasnya karena kehabisan tenaga. Untunglah Poh Ceng-in masih berada pada mereka.

Song Ling menangis tersedu-sedu. Tak henti-hentinya ia mengoceh tetapi tak jelas apa yang diocehkan itu. Tentulah karena memikirkan nasib ibunya. Dara itu sampai hancur hatinya.

Kongsun Sin-tho melangkah beberapa tindak, tiba-tiba berhenti dan menghela napas panjang.

Setelah napasnya agak tenang, Lu Bu-ki terlongong-longong memandang kedua anak buahnya yang binasa itu. Setelah merapikan pakaiannya, si tinggi besar itu menghampiri kemuka Kongsun Sin-tho Memberi hormat, serunya, “Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Entah siapakah nama locianpwe yang mulia?"

Kongsun Sin-tho tersenyum, “Aku bernama Kongsun sin-tho, seorang tabib yang suka berkelana dalam dunia persilatan."

Lu Bu-ki tersentak kaget, “0, kiranya Kong-sun cianpwe....” si tinggi besar terlongong-longong sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Memang ia pernah mendengar nama Kongsun Sin-tho yang termasyhur sebagai seorang tabib sakti. Setitikpun ia tak menyangka bahwa tabib itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang teramat sakti.

Liau Hoan siansu juga menghampiri, serunya sambil memberi hormat, “Ilmu ketabiban sicu yang telah menyelamatkan jiwa manusia, tersebar harum dalam dunia persilatan. Ah, tak kira kalau sicu ternyata pewaris dari ilmu sakti Thian-jim-sin-kang. Maafkan karena lengah menghaturkan hormat!"

Kongsun Sin-tho tertawa, “Sedikit ilmu kepandaian yang tak berarti itu, masakan dapat lolos dari pengawasan losiansu....”

Behenti sejenak ia melanjutkan berkata lagi, “Walaupun saat ini musuh sudah mundur, tetapi menurut hematku, pengunduran mereka itu tentu mengandung siasat. Setiap saat mereka mungkin akan menyerang lagi. sebaiknya saudara-saudara suka beristirahat memulangkan tenaga!" Habis berkata tabib itu terus duduk numprah di tanah.

Lu Bu-ki memang sudah kehabisan tenaga. Tanpa diulang lagi, ia segera menurut anjuran Kongsun Sin-tho. Ia duduk sandarkan diri pada meja sembahyang.

Demikianpun Liau Hoan siansu. Bertempur lawan Harimau Iblis dan rombongannya, paderi kurus itu kehabisan tenaga. Terpaksa ia duduk numprah. Hanya Song Ling seorang yang masih tak henti-hentinya menangis.

Setelah beristirahat sepeminum teh lamanya Siau-liong berbangkit dan menghampiri Kongsun Sin-tho. Ia berlutut di hadapan guru itu.

"Lukamu masih parah. Jika tak cepat dirawat, kecuali akan gagal mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang, pun engkau bakal cacad seumur hidup! " seru Kongsun Sin-tho.

"Harap suhu jangan kuatir, murid sudah banyak baikan," Siau-liong tertawa.

Kongsun Sin-tho mengamati wajah pemuda itu. Lalu menjamah bahu dan keningnya. Tiba-tiba mulutnya menghambur puji, “Benar-benar ilmu sakti nomor satu di dunia. Liong-ji, rejekimu benar-benar besar sekali!"

Ilmu Thian-kong-sin-kang memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Kongsun Sin-tho tak tahu sampai dimanakah kesaktian Thian-kong-sin-kang itu. Tetapi ia anggap, segala macam ilmu sakti walaupun aliran ajarannya berbeda, tetapi semua ilmu sakti itu tentu berpusat pada ajaran pokok yakni melatih Tenaga dan Khi (hawa murni).

Thian-kong-sin-kang walaupun mengutamakan Sin (semangat) sebagai sumber pokoknya, tetapi caranya berlatih tentu tak jauh bedanya dengan lain-lain ilmu. Demikian anggapan Kongsun Sin-tho.

Tetapi alangkah kejutnya, ketika ia dapatkan luka yang diderita Siau-liong sudah enam tujuh bagian sembuh setelah pemuda itu menjalankan penyaluran hawa murni hanya dalam waktu yang singkat saja. Saat itu barulah Kongsun Sin-tho benar-benar mengakui bahwa ilmu Thian-kong-sin-kang itu memang nyata lebih unggul dari segala ilmu sakti yang terdapat dalam dunia persilatan.

Berkata pula tabib itu kepada Siau-liong, “Karena engkau telah makan buah Im-yang-som dan minum darah binyawak purba, maka engkau dapat mempelajari Thian-kong-sin-kang dengan cepat. Sekarang engkau sudah mempunyai dasar-dasar tenaga dalam Thian-kong-sin-kang. Dengan begitu, apabila engkau terus giat berlatih dalam beberapa waktu lagi, paling tidak engkau tentu sudah dapat menguasai separoh bagian dari ilmu itu. Cukup dengan mencapai lima bagian saja, cukup bagimu untuk menjagoi dunia persilatan. Hanya saja....”

Tabib itu menghela napas, sambungnya pula, “Pada dewasa ini dunia persilatan sedang diamuk pergolakan besar. Mungkin tak memberi kesempatan padamu untuk meyakinkan ilmu itu dengan tenang."

Song Ling masih menangis saja. Kongsu Sin-tho heran dan menanyakan pada Siau-liong: "Apakah dia puteri dari Randa Bu-san?"

"Ya," sahut Siau-liong, "Randa Bu-san pernah menolong jiwa murid. tetapi saat ini....” ia menyhela napas tak melanjutkan kata-katanya.

Sambil mengusap-usap tangan, Kongsun Sin-tho suruh Siau-liong menghibur dara itu.

Memang Siau-liong bermaksud hendak menghibur dara itu tetapi sungkan terhadap gurunya Setelah Kongsun Sin-tho menyuruhnya, cepat-cepat ia menghampiri dara itu.

Siau-liong membisiki beberapa patah kata ke dekat telinga Song Ling. Entah bagaimana dara itu terus berhenti menangis dengan mendadak ia berbangkit, menarik tangan Siau-liong diajak kehadapan Konsun Sin-tho.

"Locianpwe," kata dara itu dengan menangis sesunggukan, "mohon locianpwe suka menolong mamaku.... mohon locianpwe suka menolong mamaku....”

Dara itu mendekap kaki kanan Kongsun Sin-tho dan menangis tersedu-sedu amat mengibakan sekali.

Tabib tua itu kerutkan alis lalu bertanya kepada Siau-liong, “Liong-ji, engkau bilang apa saja kepadanya?"

Siau-liong tundukkan kepala menyahut sendat, “Murid tak mengatakan apa-apa, hanya memberitahu bahwa kemungkinan suhu dapat menolong ibunya."
52. Kekurangan Pil Mujijad

Kongsun Sin-tho menghela napas, “Karena keadaan sudah begini, sudah tentu aku tak dapat berpeluk tangan. Tetapi ketahuilah. Kemampuanku terbatas. Sedang saat ini Iblis Penakluk-dunia sudah menguasai "tiga tokoh pemilik ilmu Ya-li-in-kang, Jit-hua-sin-kang dan Ce-ci-sin-kang. Kekuatan mereka tentu dapat menguasai dunia persilatan. Dan lagi....”

Tabib tua itU berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Yang kukuatirkan, menilik kecerdikan iblis itu, kemungkinan dia akan minta secara paksa ketiga ilmu sakti Ya-li, Jit-hua dan Ce-ci itu. Jika hal itu terdjadi dia pasti akan memiliki tiga macam ilmu sakti dan sukar dicari tandingannya lagi!"

Siau-liong tertegun. Apa yang dikatakan suhunya itu, benar-benar belum pernah dipikirkan. Sedang Song Ling masih tetap mendekap kaki Kongsun Sin-tho seraya menangis merengek-rengek.

Akhirnya Kongsun Sin-tho mengangkat bangun Siau-liong dan Song Ling, ujarnya, “Akan kuusahakan sekuat tenagaku. Sudahlah jangan menangis saja. Karena keadaan tak dapat ditolong dengan menangis!"

Song Ling berhenti menangis. Sepasang kelopak matanya membenjul. Ditatapnya Kongsun Sin-tho dengan pandang memohon.

“Pertempuran antara golongan Hitam dan Putih pada beberapa hari yang lalu memang dahsyat sekali," kata Kongsun Sin-tho pula, "Bukan karena aku bermaksud hendak berpeluk tangan saja. Tetapi memang ada beberapa pertimbangan. Dengan menguasai ketiga tokoh pewaris ilmu Ya-li-sin-kang, Jit-hua-sin-kang dan Ce-ci-sin-kang itu, berarti Iblis Penakluk-dunia sudah memperoleh tiga dari lima buah ilmu sakti dalam dunia persilatan. Sekali pun Ceng Hi totiang mengundang seluruh orang gagah dalam dunia, tetap sia-sia saja, seperti kawanan kambing hendak menyerbu kesarang harimau....”

Tabib itu menghela napas, katanya lanjut: “Sudah beberapa kali aku masuk ke dalam Lembah Semi dan secara diam-diam menyelidiki keadaan Jong Leng lojin yang telah dihilangkan kesadaran pikirannya itu. Pikirku hendak mengusahakan obat untuk memulih kesadaran mereka. Tetapi akhirnya kurasa, keadaan tokoh itu memang tak dapat ditolong lagi....”

Mendengar itu Song Ling menangis lagi, “Kalau begitu mamaku juga tak mungkin dapat disembuhkan lagi....?"

Kongsun Sin-tho cepat-cepat gelengkan kepalanya, “Boleh dikata hidupku kuabdikan pada ilmu pengobatan. Aku tak mengatakan pasti bahwa keadaan mereka tak dapat disembuhkan. Apalagi soal ini menyangkut hidup matinya dunia persilatan. Maka dalam beberapa hari ini aku pergi mencari obat ke perbagai tempat. Rencanaku hendak membuat pil mujijad untuk menyembuhkan segala penyakit!"

"Apakah dapat menyembuhkan Randa Bu-san yang terkena ilmu sihir itu?" buru-buru Siau-liong menukas.

Wajah tabib itu berobah serius, “Apakah mampu mengobati atau tidak, sekarang masih sukar kukatakan. Tetapi dalam penyelidikan sekali yang lebih mendalam, aku berhasil menemukan suatu obat.... Jika obat itu tetap gagal, akupun tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali harus mundur teratur....”

"Apakah pil buatan locianpwe itu sudah selesai?" tukas Song Ling.

Kongsun Shin-tho tertawa, “Pil yang kunamakan Sip-siau-cwan-soh-sin-tan itu memerlukan sepuluh macam obat. Caranya membuat mudah saja. Dalam empat jam saja sudah selesai. Tetapi kesepuluh bahan obat itu, ada tiga macam yang sukar dicari!"

Ia berhenti sejenak memandang Siau-liong dan Song Ling, katanya pula, “Kesatu, sebatang Ho-siu-oh berumur seribu tahun. Kedua, buah som salju berumur ratusan tahun....”
Siau-liong menghela napas: “Ah, memang bahan itu tak mungkin didapatkan. Walaupun orang menggunakan waktunya seumur hidup, belum dapat memperolehnya. Apalagi saat ini kita didesak oleh keadaan!"

Kongsun Sin-tho tersenyum, “Kemasyhuran namaku dalam dunia persilatan adalah karena pandai mencari bahan-bahan ramuan obat. Untung dua dua macam bahan obat itu sudah kuperoleh. Dan kini tinggal yang ketiga saja....”

“Apakah yang ketiga itu?” buru-buru Siau-liong mendesak.

"Ramuan obat yang ketiga adalah seekor Tenggoret-emas-berkaki-tiga. Beberapa tahun yang lalu aku sudah menjelajahi seluruh gunung dan sungai, tetapi belum pernah bertemu dengan binatang itu. Kabarnya paderi Kim Ting dari Go-bi-pay memelihara seekor. Tetapi paderi tua itu berwatak aneh. Mungkin sukar memintanya....”

“Rasanya paderi Kim Ting itu tentu seorang paderi yang saleh. Asal kita menuturkan tentang ancaman Iblis Penakluk-dunia yang hendak menguasai dunia persilatan, tentulah paderi itu akan suka memberikan kepada kita!" kata Siau-liong.

“Hal itu masih sukar dikata," kata Kongsun Sin-tho, "kita boleh berusaha tetapi nasib yang akan menentukan!"

Tiba-tiba tabib itu mengambil buli-buli arak pada punggungnya. Ia mengambil sumbat penutupnya lalu dengan hati-hati sekali mengeluarkan dua bungkusan sutera. Yang sebuah diserahkan kepada Siau-liong.

“Dua macam ramuan obat dan tujuh macam ramuan yang lain, telah kubungkus menjadi dua. Di dalam bungkusan itu terdapat resep untuk membuat obat itu. Asal sudah mendapat Tenggoret emas berkaki tiga dari paderi Kim Ting, bolehlah ramuan obat itu segera dikerjakan."

Berkata Kongsun Sin-tho dengan wajah gelap: "Saat ini kita masih terkepung disini. Iblis Penakluk-dunia itu bukan olah-olah licin serta ganasnya. Jika dia menyuruh ketiga tokoh pewaris ilmu sakti dan beberapa anak buahnya kemari, aku tak yakin mampu lolos dari sini!"

Siau-liong terkejut. Ia menyadari ucapan gurunya itu tentu bukan sendau gurau. Siau-liong tergagap melongo.

Kongsun Sin-tho tertawa hambar, ujarnya, “Orang pandai yang kaya akan pertimbangan, sekali pasti jatuh juga. Ingat kata pepatah Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali pasti akan jatuh juga. Dalam hal itu, aku memang mengutamakan tindakan yang hati-hati. Mati hidupnya, timbul lenyapnnya dunia persilatan dewasa ini, seolah-olah telah jatuh dibahu kita berdua. Selama salah satu diantara kita masih hidup, tentulah masih ada harapan untuk membasmi kawanan iblis durjana yang hendak merajalela menyebar keganasan dan kelaliman itu....”

Siau-liong anggukkan kepala. Kini baru ia terbuka matanya. Suhu yang dianggapnya tak mau campur tangan urusan dunia persilatan itu, ternyata orang yang paling memperhatikan gejolak-gejolak dunia persilatan. Demi menyelamatkan tokoh-tokoh persilatan yang terancam bahaya maut, suhunya ini tak menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.

“Lekas engkau simpan dalam bajumu. Lebih baik engkau lekatkan pada tubuhmu. Selekas tenaga sekalian kawan pulih kembali, kita segera tinggalkan tempat ini....”

Wajah tabib itu berobah bengis, katanya pula, “Setelah dapat keluar dari sini, segera saja menuju ke gunung Go-bi. Jangan sekali-kali berhenti ditengah jalan. Dan jangan memikirkan aku dan kawan-kawanmu. Ingat, apabila aku sudah keluar dari tempat ini, tentu takkan balik kanan disini lagi. Jika tak kuat mengekang hati untuk hal-hal yang kecil, tentu bisa mengakibatkan gagalnya rencana besar!"

Siau-liong kerutkan alis. Tetapi demi melihat wajah suhunya tampak serius, ia tak berani membantah dan terpaksa mengiakan sambil tundukkan kepala.

Setelah melakukan pernapasan untuk menyalurkan darah, Lu Bu-ki dan Liau Hoan pun sudah pulih tenaganya. Menyambar tubuh Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah, Liau Hoan segera menuju ke belakang Siau-liong dan duduk.

Kongsun Sin-tho sejenak memandang ke arah Poh Ceng-in, kerutkan dahi tetapi tak berkata apa-apa.

"Perempuan ini adalah anak perempuan dari suami isteri Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, "buru-buru Siau-liong memberi keterangan, "jika membawanya menerobos keluar dari kepungan, mungkin kedua suami isteri iblis itu tak berani terlalu mendesak kita!"

Kongsun Sin-tho tertawa hambar. ”Apakah dalam pertempuran tadi engkau tak pernah menggunakan wanita itu untuk menekan Iblis Penakluk-dunia!"

Siau-liong terbeliak. Ia ingat bagaimana sikap Iblis Penakluk-dunia dan isterinya waktu diancam dengan jiwa anaknya. Jelas kedua suami isteri itu tak takut.

Merahlah wajah Siau-liong. Ia tundukkan kepala tersipu-sipu.

Saat itu, guruh dan guntur tak henti-hentinya bersahut-sahutan. Hujan makin deras.

Puncak wuwungan biara yang sudah tak terurus itu pecah-pecah sehingga air hujan meluncur masuk. Lantai penuh air.

Sudah beberapa hari Siau-liong tak mandi. Pakaiannya berlumuran debu kotor dan noda darah. Juga keadaan Lu Bu-ki dan Liau Hoan tak keruan.

Melihat keadaan orang-orang itu, Kongsun Sin-tho menghela napas pelahan.

Sekonyong-konyong angin berembus. membawa hawa yang harum sekali. Siau-liong terkejut. Ia tak asing lagi dengan bau harum itu.

"Iblis Penakluk-dunia sedang menyebarkan hawa beracun pemusnah jiwa!" serunya, "orang yang mencium bau itu tentu lemah lunglai tak bertenaga....”

Tiba-tiba ia teringat botol obat penawar pemberian Poh Ceng-in yang masih separoh isinya. Tetapi obat penawar itu telah dimakannya habis. Dalam gugup, terlintas sesuatu pada pikirannya. Cepat ia berputar tubuh lalu menerkam Poh Ceng-in.

Tetapi setelah beberapa saat merabah-rabah pakaian wanita itu, tetap ia tak menemukan apa-apa.

Tiba-tiba sepasang mata Kongsun Sin-tho terentang lebar-lebar dan memancarkan sinar yang menakutkan orang. Rupanya tabib itu sedang membenam diri dalam renungan. Sampai lama baru ia tertawa dan berkata seorang diri.

"Aneh, benar-benar suatu hal yang sukar dimengerti!" seru tabib itu.

Mendengar kata-kata suhunya, Siau-liong hentikan penggeledahannya.

Saat itu hawa yang mengandung bau harum itu makin menebal. Diantara rombongannya, Lu Bu-ki lah yang paling rendah kepandaiannya. Tampaknya ia sudah mulai tak tahan. Beberapa kali ia batuk-batuk.

"Bau ini hanya sejenis obat bius biasa," kata Kongsun Sin-tho, "kedua suami isteri iblis itu tentu sudah tahu kemasyhuranku sebagai tabib. Tetapi mengapa mereka mengeluarkan permainan yang tak berarti itu....”

Berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Tentulah dia masih menyiapkan siasat lain yang lebih ganas lagi. Yang dikeluarkan sekarang ini hanya tipu muslihat kosong!"

Habis berkata tabib itu mengambil buli-buli merah yang dipanggul di punggung. Ia mengeluarkan beberapa pil merah dan dibagi-bagikan kepada rombongan Siau-liong.

Begitu masuk ke dalam perut, pil itu terasa menyegarkan semangat. Rasa muak dari hawa wangi tadi, lenyap seketika.

Dan tak berapa lama, hawa harum itupun lenyap sama sekali.

Kongsun Sin-tho kerutkan dahi seperti tengah merenungkan soal yang penting tetapi belum dapat memecahkan.

Tiba-tiba terdengar lengking suara yang nyaring dan tajam sekali. Sekalian orang gagah seperti robek anak telinganya. Menyusul terdengar pula suara yang memuakkan telinga. Mirip dengan seruling, pun mirip dengan gemerincing golok saling beradu.

Suara yang hiruk itu setempo melengking tinggi setempo pelahan. Tetapi terus menerus tak henti-hentinya, sehingga mengganggu ketenangan hati sekalian orang.

Kongsun Sin-tho berseru lantang, “Ah, itu hanya suatu permainan tak berarti untuk mengacau pikiran orang. Tetapi mengapa Iblis Penakluk-dunia menggunakan permainan itu terhadap aku?"

Kemudian tabib itu minta kepada sekalian orang supaya memusatkan semangat dan pikirannya! Jangan sampai tercengkam dengan suara itu.

Setelah melakukan perintah, ternyata sekalian orang merasa tenang lagi pikirannya. Tak berapa lama kemudian, suara kacau itupun lenyap.

Kongsun Sin-tho pelahan-lahan bangkit dari tempat duduknya. Sambil mendukung kedua tangan di punggung, ia berjalan mondar-mandir. Rupanya ia sedang memeras otak untuk mencari daya.

Tiba-tiba ia berhenti dan memandang sekali orang, serunya, “Betapapun halnya, tempat ini sudah tak sesuai lagi. Kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini!"

Saat itu hujan amat lebatnya. Tetapi setelah berkata, Kongsun Sin-tho terus melangkah keluar. Sekali loncat, ia sudah tiba ditengah halaman.

Siau-liong dan kawan-kawan, begitu tiba diambang pintu tak mau cepat-cepat meniru tindakan Kongsun Sin-tho melainkan berhenti dan mengawasi sepak terjangnya tabib itu.

Begitu tegak ditengah halaman, sekonyong-konyong tubuh Kongsun Sin-tho meluncur lima enam tombak ke udara. Dia berputar-putar di atas udara Kemudian ia melayang turun.

Selain gemuruh hujan, saat itu tiada terdengar suara apa-apa lagi Siau-liong dan Song Ling menjaga dipintu sedang Liau Hoan sambil menjinjing tubuh Poh Ceng-in mengikuti di belakang mereka. Lu Bu-ki siap dengan senjatanya. Tangan kanan mencekal ruyung besi, tangan kiri menggenggam pelor baja.

Keempat orang itu tegang sekali.

Tiba-tiba Siau-liong berkata kepada Liau Hoan dengan nada menyesal, “Ah, membikin repot locianpwe saja. Baiklah aku yang akan membuka jalan!"

“Jangan kuatir!" sahut Liau Hoan, “asal aku masih bernapas saja, tentu takkan melepaskan perempuan siluman ini!"

Tiba Kongsun Sin-tho melambai dan memanggil Siau-liong berempat. Siau-liong dan kawan-kawannya cepat menyusul tabib itu. Tetapi dalam hujan yang selebat itu, pandangan mata mereka tak dapat menembus lebih dari setombak jauhnya.

Kongsun Sin-tho segera mempelopori berjalan dimuka. Dia tak mau keluar dari pintu besar melainkan menerobos dari sebuah lubang ditembok.

Pada saat rombongan Siau-liong hendak menyusup lubang itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring memecah angkasa. Pada lain saat muncul belasan orang yang mengepung mereka.

Ah, ternyata rombongan Iblis Penakluk dunia. Bahkan iblis itu sendiri yang memimpinnya. Disamping kanan kirinya tampak Lam-hay Sin-m Jong Leng lojin, Randa Bu-san, It Hang totiang, Harimau Iblis dan beberapa anak buah lainnya.

Iblis Penakluk-dunia tertawa mengekeh, “Kongsun tua, Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali akan tergelincir juga .... ha, ha, tepat sekali kata-katamu itu. Tahukah engkau bahwa aku memiliki ilmu Menembus-langit meneropong-bumi sehingga apa yang kalian bicarakan tadi, dapat kudengar semua?"

Kongsun Sin-tho mendengus dingin. Tanpa berkata apa-apa, ia terus songsongkan kedua tangannya ke arah rombongan Iblis Penakluk-dunia seraya berseru kepada Siau-liong, “Liong-ji, lekas lari!"

Diantara kelima ilmu sakti, adalah ilmu Thian-jim-sin-kang yang dimiliki Kongsun Sin-tho itu yang paling hebat sesudah Thian-kong-sin-kang.

Dua buah hantaman Kongsun Sin-tho yang dilancarkan dengan sekuat tenaga itu, cepat dan dahsyatnya bukan main. Karena tak sempat menghindar maka Iblis Penakluk-dunia, Lam-hay Sin-ni Jong Leng lojin, Randa Bu-san dan lain-lain, terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Setelah kerahkan tenaga, barulah mereka dapat berdiri tegak.

Pukulan Kongsun Sin-tho itu menimbulkan deru gelombang angin yang dahsyat sehingga lumpur muncrat berhamburan kemana-mana. Hujan lebat angin keras dan lumpur berhamburan. Benar-benar membuat rombongan Iblis Penakluk-dunia tak dapat membuka mata.

Sedang Siau-liong dan kawan-kawan pun segera melakukan perintah Kongsun Sin-tho. Siau-liong menarik tangan Song Ling terus diajak loncat menerobos lubang tembok.

Iblis Penakluk-dunia marah sekali. Setelah berdiri tegak, ia segera tertawa nyaring. Tar, tar, ia getarkan cambuknya beberapa kali di udara.

Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san, Jong Leng lojin serempak menggerung. Bagaikan tiga ekor singa buas, mereka menerjang dan menyerang Kongsun Sin-tho dengan kalap.

Hujan pukulan dari ketiga tokoh itu telah menimbulkan badai sedahsyat gunung rubuh ......

Saat itu Siau-liong dan Song Ling sudah lari sejauh belasan tombak. Ketika berpaling, Siau-liong tak dapat melihat apa-apa karena lebatnya hujan ia terkejut dan berhenti. Dipandangnya dengan seksama, namun tetap tak tampak suhunya menyusul ia makin gelisah.

“Harap nona melintasi hutan ini dulu aku hendak kembali membantu suhuku!" katanya.

“Akupun hendak menolong mama!" sahut si dara.

Dan pada saat Siau-liong berputar tubuh Song Ling pun mengikuti juga. Tetapi pada saat kedua anak muda itu hendak ayun tubuh, tiba-tiba terdengar Kongsun Sin-tho membentak dengan ilmu Menyusup-suara, “Liong-ji, lekas pergi ke puncak Go-bi. Aku akan menyusul belakangan!"

Siau-liong tertegun. Cepat ia menarik tangan si dara.

"Eh, mengapa engkau?" seru Song Ling.

Siau-liong menghela napas dan menerangkan bahwa suhunya tak memperbolehkan ia masuk ke dalam biara lagi.

“Jika kembali masuk, pun belum tentu dapat menolong mamamu. Lebih baik kita turut perintah suhu mencari Tenggoret-emas kepuncak Go-bi!” katanya pula.

Song Ling meragu, katanya, “Sehari tak dapat menolong mama, sehari hatiku tak tenteram. Ah.... kalau mau pergi, cepat saja!"

Kedua anak muda itu segera gunakan ilmu meringankan tubuh. Melintasi hutan terus menuju ketimur. Hanya dalam waktu sepeminum teh saja, mereka sudah mencapai lima-enam li jauhnya.

Bermula kedua anak muda itu masih dapat mendengar suara tertawa Iblis Penakluk-dunia dan teriakan jeritan orang-orang yang bertempur. Tetapi makin lama suara itu makin jauh dan akhirnya lenyap ditelan kelebatan hujan.

Siau-liong mengajak Song Ling berhenti dan meneduh dibawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya.

“Rasanya tak perlu kita lari ke mati-matian begini. Iblis Penakluk-dunia tak mengejar kita. Kita tentukan arah dulu baru lanjutkan perjalanan lagi!" kata Siau-liong.

“Aneh, mengapa Iblis Penakluk-dunia dua kali sengaja lepaskan kita lolos, ini....” kata Song Ling.

Siau-liong pun heran tetapi ia tak dapat berkata apa-apa. Hanya diam-diam ia gelisah, memikirkan keselamatan suhunya, Liau Hoan siansu, Lu Bu-ki dan Poh Ceng-in. Betapapun bencinya terhadap Poh Ceng-in tetapi karena hidup matinya harus bersama wanita itu, terpaksa ia harus memikirkan keselamatan wanita itu. Jika dalam keadaan terdesak paderi itu sampai menutuk mati Poh Ceng-in, tentulah ia juga akan ikut binasa.

Dan lagi tadi Iblis Penakluk-dunia mengatakan bahwa iblis itu dengan ilmu Menembus-langit-meneropong-bumi dapat mendengar pembicaraannya dengan Kongsun Sin-tho. Lalu mengapa iblis itu tak mau suruh anak buahnya merintangi? Adakah iblis itu tak begitu menganggap penting ataukah memang mempunyai lain rencana lagi?

Melihat Siau-liong diam saja, Song Ling berseru pula, “Iblis Penakluk-dunia sangat menginginkan ilmu Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki. Tetapi mengapa dia tak mau menawanmu? Apakah dia tak kuatir engkau lolos? Bukankah amat berbahaya sekali apabila engkau dapat meloloskan diri? Karena setelah mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang, engkau tentu akan mencarinya?"

Siau-liong menghela napas, “Iblis itu tentu sudah memperhitungkan bahwa tak mungkin dalam keadaan saat ini, aku akan melarikan diri untuk belajar ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Tetapi mengapa dia tak mau menawanku, memang benar-benar mengherankan sekali!"

Siau-liong duga Iblis Penakluk-dunia itu tentu sudak dapat menduga bahwa dialah yang menyamar sebagai Pendekar Laknat. Dugaan itu makin diperkuat, ketika di dalam biara rusak Iblis Penakluk-dunia memanggilnya dengan sebutan "Pendekar Laknat tua."

Siau-liong masih melanjutkan renungannya. Sewaktu dalam barisan Pohon Bunga bertempur lawan Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin, ia telah menderita luka. Begitu pula ketika Randa Bu-san dapat ditawan Iblis Penakluk dunia. Siau-liong ingat, paling tidak dua kali sebenarnya ia sudah jatuh ketangan Iblis Penakluk-dunia. Tetapi mengapa iblis itu sengaja membiarkan dirinya lolos?

Sudah pasti Iblis Penakluk-dunia itu tahu bahwa dialah (Siau-liong) yang menemukan kitab pusaka Thian-kong-sin-kang dan menghancurkan kitab itu. Jika Iblis Penakluk-dunia hendak memburu ilmu itu, seharusnya menangkap dan memaksanya supaya mengajarkan ilmu itu.

Sejak siasat Iblis Penakluk-dunia menggunakan si Mulut Besi Ong Tiat-go gagal, Siau-liong memang lebih waspada. Tetapi terhadap gerak gerik iblis itu yang membiarkan dirinya lolos begitu saja, benar-benar Siau-liong tak mengerti!

Karena makin memikir makin gelisah, akhirnya Siau-liong menghela napas, ujarnya, “Setelah tiba di Go-bi, lebih dulu akan kuturunkan ilmu Thian kong-sin-kang itu kepadamu. Apabila Iblis Penakluk-dunia telah berhasil menguasai dunia persilatan, sebaiknya nona mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk meyakinkan Thian-kong-sin-kang. Setelah berhasil barulah nona berusaha untuk mencari balas!"

“Sudahlah, jangan banyak omong. Aku sudah mempunyai rencana sendiri dan takkan menerima ilmu Thian-kong-sin-kang itu....” sahut si dara, "jangan pindahkan beban berat itu kepadaku."

"Sama sekali aku tak bermaksud hendak mengalihkan tanggung jawab kepadamu....”

“Tak peduli engkau bilang apa saja, toh percuma! Lebih baik engkau tentukan arah yang harus kita tempuh sekarang ini!" tukas Song Ling.

Siau-liong menghela napas, “Apakah nona sungguh-sungguh tak mau meluluskan?"

Rupanya Song Ling tak sabar lagi.

“Tidak! Tidak! Huh, tak malu engkau sebagai anak lelaki, mengapa merengek-rengek begini macam!"

Tiba-tiba dara itu loncat menerjang hujan....
53. Pelayan Rumah Penginapan

Siau-liong tertegun dan malu hati. Cepat ia loncat mengikuti dara itu. Mereka tak paham jalan-jalan di pegunungan Tay-liang-san. Apalagi tengah malam hujan angin seperti saat itu mereka tak tahu arah yang akan ditempuh. Terpaksa mereka hanya berjalan menurut apa yang dapat dilalui.

Dalam waktu singkat mereka telah mencapai dua li jauhnya. Hujanpun sudah berkurang. Tiba-tiba mereka tertegun berhenti. Ternyata mereka berhadapan dengan dua simpang jalan. Sesaat tak tahu mereka harus mengambil jalan yang mana.

Song Ling menatap Siau-liong dengan pandang bertanya. Tetapi pemuda itupun bimbang sendiri. Ia menyadari bahwa Tay-liang-san itu merupakan pegunungan dan beribu puncak. Sekali kesasar, tentu sukar keluar.

Pada saat ia belum dapat mengambil putusan, tiba-tiba dari jauh terdengar derap kaki orang menghampiri.

Langkah kaki itu amat pelahan sekali apalagi sedang hujan. Tetapi berkat telinganya yang tajam, dapatlah Siau-liong menangkap suara langkah itu. Apalagi saat itu ia pasang telinga dengan seksama sehingga dapat mendengar jelas.

Ia terkejut dan cepat menarik tangan Song Ling lalu diajak bersembunyi digerumbul semak.

Song Ling tak mendengar apa-apa, tetapi karena ditarik Siau-liong ia duga pemuda itu tentu mendengar sesuatu.

Saat itu keduanya berada diujung jalan kecil yang terletak diatas. Dan gerumbul semak itu terletak di tepi jalan. Apabila pendatang dari jalan kecil juga, tentulah akan mengetahui mereka.

Langkah kaki itu makin lama makin dekat dan jelas langkahnya berat. Terang bukan orang persilatan.

"Apakah dia seorang pemburu? Tetapi mengapa keluar tengah malam hujan lebat?" pikir Siau-liong.

Tepat pada saat itu dilihatnya sesosok tubuh yang terhuyung-huyung meughampiri. Segera Siau-liong mengenali siapa pendatang itu. Girangnya bukan kepaang. Buru-buru ia berkata kepada Song Ling, "Itulah Lu Bu-ki!"

Samar-samar Song Ling juga melihatnya. Serunya heran, “Mengapa hanya dia seorang? Dan mengapa tampaknya terluka?"

Memang orang itu terhuyung-huyung sehingga sampai beberapa saat baru tiba ditempat Siau-liong bersembunyi.

Tubuhnya berlumuran darah, pakaian compang-camping dan berjalan dengan susah payah .......

Siau-liong cepat meneriakinya, “Saudara Lu!"

Lu Bu-ki tersentak kaget dan cepat mencabut pedang dipunggungnya. Tetapi setelah melihat siapa yang memanggil itu, ia menghela napas, “Ah, kiranya saudara Kongsun dan nona Song. Mengapa kalian disini?"

Siau-liong tak menjawab melainkan melanjutkan pertanyaannya, “Apakah saudara Lu melihat suhuku dan Liau Hoan taysu....”

Lu Bu-ki menukas dengan helaan napas, “Ah, hidup selama empatpuluh tahun lebih, baru hari ini mataku terbuka. Kongsun Sin-tho locianpwe itu, ternyata seorang sakti. Seorang diri dia mampu menghadapi empat tokoh sakti si Iblis Penakluk-dunia, Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin dan Randa Bu-san. Benar-benar suatu pertempuran yang belum pernah terjadi dalam sejarah persilatan ......”

Sambil terengah-engah. Lu Bu-ki seperti menggambarkan pertempuran itu dengan gerak-gerak yang bersemangat.

Siau-liong tergopoh menukasnya, “Bagaimanakah kesudahannya pertempuran itu? Suhuku....?"

Lu Bu-ki tertegun, sahutnya, “Aku dan Liau Hoan taysu pun bertempur sendiri dengan Harimau Iblis dan It Hang totiang .......”

Berhenti sejenak ia berkata pula, “Tetapi karena kepandaianku jelek, dalam tiga jurus saja aku sudah menderita luka. Sedang Liau Hoan taysu karena mencengkeram perempuan baju merah itu, gerakannya tak leluasa. Pihak kita hanya mengandalkan kekuatan Kongsun locianpwe seorang....”

Tiba-tiba ia berhenti lagi dan terengah-engah. Sesungguhnya Siau-liong gelisah sekali tetapi ia sungkan untuk mendesak. Terpaksa dengan sabar ia bertanya, “Apakah engkau terluka parah?"

Setelah terengah sejenak, Lu Bu-ki paksakan tertawa, “Hanya beberapa luka luar saja, tidak jadi apa ........”

Tetapi tampaknya kedua kakinya sudah tak kuat berdiri lagi. Maka duduklah ia di tepi jalan lalu berkata pelahan-lahan.

"Sebenarnya dalam pertempuran itu aku sudah bertekad untuk mengadu jiwa. Tetapi karena Kongsun locianpwe berulang kali menyerukan supaya aku dan Liau Hoan taysu segera mengundurkan diri, bahkan dalam kesibukan menghadapi keroyokan keempat lawannya yang tangguh itu, Kongsun locianpwe masih sempat juga untuk membantu aku ......”

Mata si tinggi besar itu berkaca-kaca dan berseru dengan nada tegang, “Saat itu aku dan Liau Hoan taysu terdesak musuh. Tetapi karena dibantu Kongsun locianpwe dengan sebuah hantaman yang memaksa Harimau Iblis dan It Hang totiang mundur bahkan Shin Bu-seng dari Tiam-jong-pay menderita luka, sambil menyeret perempuan siluman baju merah itu, segera menerobos keluar dari biara. Kemudian akupun menyusul keluar Tetapi karena malam Itu hujan lebat dan angin kencang, suasana di luar gelap pekat. Begitu keluar aku tak melihat Liau Hoan taysu lagi. Tentulah dia sudah lari jauh....”

Siau-liong banting-banting kaki dan menghela napas, “Kalau begitu engkau tak mengetahui bagaimana kesudahan pertempuran suhuku itu?"

Lu Bu-ki gelengkan kepala menghela napas, “Karena tak melihat Liau Hoan taysu dan menderita luka, sedang keadaan diluar gelap gulita sekali dan saat itu Kongsun locianpwe gunakan ilmu Menyusup suara untuk menyuruh aku lekas.... aku lekas pergi dan lagi....”

Ia berhenti memandang Siau-liong, “Suhumu suruh aku apabila bertemu dengan engkau, supaya menyampaikan pesannya suruh engkau lekas menuju ke gunung Go-bi, menemui paderi sakti Kim Ting. Minta Tenggoret-berkaki-tiga dari paderi itu. Suhumu mengatakan pula. Beban berat untuk menyelamatkan dunia persilatan dewasa ini, terletak dibahumu. Suruh engkau menyadari tugas berat itu. Setiap tindakan harus hati-hati....”

Siau-liong menghela napas, “Kalau begitu, suhu kemungkinan besar tentu tertimpah bahaya!" sesaat ia gelisah dan cemas sekali.

"Kalau aku bisa meloloskan diri, tentulah Kongsun-cianpwe takkan tertimpah apa-apa ......” Lu Bu-ki menatap Siau-liong dan tiba-tiba diam.

Siau-liong menghela napas, “Itulah karena Iblis Penakluk-dunia tak berniat menangkapmu. Tetapi terhadap suhu .... dengan mengandalkan pada ketiga tokoh sakti yang telah menjadi orangnya itu, betapa pun sakti kepandaian suhu tetapi mungkin .... ah! Tertawannya Randa Bu-san merupakan salah satu contoh....”

Makin memikir, makin gelisahlah Siau-liong. Ia merasa pasti bahwa suhunya tentu celaka ......

Song Ling yang selama itu hanya mendengarkan mereka bicara, pikirannya pun agak tenang. Tetapi mukanya basah dengan airmata campur hujan. Setelah menghela napas panjang ia bertanya kepada Lu Bu-ki, “Mamaku.... apakah masih linglung pikirannya?"

Lu Bu-ki terpaksa mengangguk, “Selama ilmu siluman dari kedua suami isteri iblis itu belum dapat dipecahkan, keadaan ibu nona tentu sukar sembuh....”

"Lalu berpaling dan berkata kepada Siau-liong, “Menurut hematku, baiklah saudara melakukan pesan Kongsun-cianpwe untuk lekas mencari paderi sakti Kim-Ting di Go-bi dan minta Tenggoret-emas-berkaki-tiga itu!"

Siau-liong mengangguk. Lalu ia menanyakan bagaimana dengan luka si tinggi besar itu.

Dengan gagah Lu Bu-ki tertawa, “Aku masih kuat menahan!" — Habis berkata ia terus loncat bangun. Tetapi sebelum kakinya tegak, iapun terhuyung-huyung mau jatuh lagi. Jelas bahwa lukanya memang berat tetapi ia paksakan diri bertahan.

Siau-liong cepat-cepat memapahnya tetapi si tinggi besar itu menghindar ke samping lalu tertawa garang, “Habis hujan, tanah licin. Sama sekali bukan karena aku tak dapat berjalan!"

Ia terus ayunkan langkah lebar berjalan. Hampir setengah dari umurnya telah dipergunakan berkecimpung dalam Rimba Hijau. Sekali pun jarang sekali datang ke gunung Tay-liang-san, tetapi Lu Bu-ki cukup mengenal jalan di daerah itu. Maka berjalanlah ia menempuh hujan yang masih belum reda dengan diikuti Siau-liong dan Song Ling.

Untunglah makin lama hujan pun makin reda dan akhirnya berhenti. Langitpun cerah juga. Rembulan muncul bagaikan sebuah bola lampu yang tergantung di atas barisan puncak gunung.

Tetapi karena sudah terlanjur basah kuyup ketika dihembus angin malam, ketiga orang itu menggigil kedinginan. Song Ling yang bermula mengikuti persis di belakang Lu Bu-ki, lama kelamaan merasa letih juga dan akhirnya ia berjalan menjajari Siau-liong. Berkali-kali ia sandarkan tubuhnya ke bahu pemuda itu.

Siau-liong diam-diam kerahkan tenaga dalam. Ia memperhatikan keadaan sekeliling penjuru. Maka bermula ia tak memperhatikan Song Ling. Baru setelah dara itu gemetar keras, ia terkejut, “Apakah engkau kedinginan?"

Suatu pertanyaan yang sesungguhnya dapat dijawab sendiri karena dia juga gemetar kedinginan.

"Tidak," sahut Song Ling.

Siau-liong terkejut mendengar nada suara dara itu lain dari biasanya. Buru-buru ia berhenti. Ternyata wajah Song Ling berobah pucat, giginya bercaterukan keras. Tangannya dingin sekali tetapi dahinya amat panas.

"Engkau sakit!" seru Siau-liong.

Song Ling paksakan diri, “Hanya cape sedikit, tetapi tak mengapa....” — tetapi mendadak ia mencengkeram lengan Siau-liong dan meronta, “Pelahan-lahan saja!"

Siau-liong iba sekali melihat keadaan dara itu sehingga hampir menangis. Song Ling menderita luka parah pada tubuh dan hatinya. Lalu menempuh perjalanan ditengah malam yang berhujan lebat, angin keras. Sudah tentu dara itu tak kuat bertahan.

Tetapi sikap si dara yang tetap gagah, sinar matanya yang memancar kekerasan hati dan katup bibirnya yang angkuh pantang mundur, diam-diam menimbulkan rasa kagum pada Siau-liong.

Tak berapa lama malam pun berganti pagi. Pemandangan sekeliling penjuru, makin terang. Diam-diam Siau-liong gelisah. Jika saat itu Iblis Penakluk-dunia melakukan pengejaran, tentulah sukar untuk meloloskan diri lagi.

Lu Bu-ki benar-benar tak kecewa sebagai seorang jantan perkasa. Walaupun tubuhnya berhias luka-luka tetapi ia tetap kuat berjalan. Mendengar berulang kali Siau-liong menghela napas, ia tahu isi hati pemuda itu. Segera ia berhenti, katanya, “Tay-liang-san walaupun terdiri dari ribuan puncak, tetapi mempunyai jalan keluar sampai berpuluh-puluh buah. Kongsun locianpwe dan Liau Hoan siansu tentu sudah meloloskan diri dari lain jalan!"

"Eh, apakah nona sakit?" tiba-tiba ia terkejut melihat keadaan Song Ling.

"Entah masih berapa jauh lagi dapat keluar dari pegunungan ini? Kecuali nona Song tak kuat bertahan lagi....” tiba-tiba Siau-liong alihkan kata-katanya, “Dalam keadaan berlumuran darah begini tidaklah leluasa kalau bertemu orang. Lebih baik kita cari tempat beristirahat dulu."

Sambil menunjuk jauh kesebelah muka, Lu Bu-ki mengatakan, “Setelah melintasi gunduk gunung itu, segera kita sudah keluar dari Tay-liang-san.... dibawah gunung kita akan tiba dikota Ma-pian-koan. Disana nanti kita cari hotel. untuk mengobati sakit nona Song dan sekalian beristirahat."

Mendengar itu timbullah semangat Siau-liong. Tetapi saat itu Song Ling benar-benar sudah tak kuat lagi. Dengan napas memburu keras, ia sandarkan tubuh ke bahu Siau-liong.

"Nona....” seru Siau-liong.

"Hm....," gumam Song Ling terus rubuh.

Siau-liong terkejut. Terpaksa ia memondong dara itu terus lanjutkan perjalanan lagi.

Ternyata Lu Bu-ki memang kenal jalanan disitu. Setelah melintasi gunduk, mereka tiba di tanah datar. Dari jauh tampak sebuah kota. Paling jauh hanya tiga li jaraknya.

Sekalipun ingat akan pesan suhunya supaya jangan menunda perjalanan ke Go-bi tetapi jarak ke Go-bi tak kurang dari tujuh-delapanpuluh li. Sedang saat itu Song Ling menderita sakit sehingga tak kuat berjalan lagi. Maka Siau-liong terpaksa memutuskan untuk beristirahat dulu di kota Ma-pian-koan.

Ternyata kota itu tak berapa besar, kalah besar dan ramai dengan kota Sok-ciu.... Karena saat itu baru saja terang tanah maka rumah-rumah dan jalanan masih sepi.

Lu Bu-ki dan Siau-liong berhenti disebuah rumah penginapan di gang yang sepi. Papan nama yang tergantung pada rumah penginapan itu berbunyi, “Pondok Toa Ong Ki". Sebuah pondok penginapan yang sudah tua dan kecil.

Lu Bu-ki mengetuk pintu tetapi sampai lama tiada penyahutan. Si tinggi besar yang beradat berangasan lalu mendebur sekeras-kerasnya seraya berteriak, “Hai, pintu, lekas bukakan pintu!"

Siau-liong terkejut. Ia memperingatkan siberangasan supaya hati-hati karena kota itu masih masuk lingkungan daerah Tay-liang-san.

Lu Bu-ki terpaksa bersabar dan menunggu. Paling tidak sepeminum teh lamanya baru terdengar langkah kaki orang dan pada lain saat terdengarlah pintu dibuka. Seorang lelaki tua muncul. Tetapi begitu melihat kedua pendatang yang berlumuran darah dan bahkan yang seorang memondong seorang gadis, orang tua itu menjerit kaget lalu bergegas-gegas hendak menutup pintu lagi.

Lu Bu-ki mendorong daun pintu dan membentak, “Tua bangka, bukankah engkau membuka rumah penginapan? Aku membawa uang....”

Siau-liong cepat melangkah maju, “Losianseng, kami mendapat kesulitan dalam perjalanan. Minta tolong menyewa kamar disini. Semua rekening tentu akan bayar lunas!"

"Apakah kalian ini....” tanya orang tua itu tak henti-hentinya memandang bergantian kepada tetamunya.

Siau-liong takut si tinggi besar omong keliru, buru-buru ia mendahului, “Kami adalah.... pedagang yang baru pertama kali ini menjual kain kedaerah Biau sini. Tak terduga ketika melintasi pegunungan Tay-liang-san kami telah mendapat kesulitan karena dihadang oleh orang Biau. Barang-barang dagangan kami telah dirampas semua....”

Kemudian memandang ke arah Song Ling yang dipondongnya, Siau-liong menghela napas, “Adikku ini menderita kegoncangan kaget dan karena kehujanan, terserang sakit.... harap losianseng suka menolongi."

Rupanya pemilik pondok itu percaya, katanya, “Memang tahun ini berdagang keluar daerah tidak mudah. Masih untung kalian bisa selamat. Beberapa hari yang lalu, ada rombongan pedagang kain yang yang masuk ke daerah Biau, ketika melintasi pegunungan Tay-liang-san pun dibegal orang Biau liar. Dari lima orang yang dapat lolos hanya seorang saja selamat. Kabarnya yang empat orang itu mati terkena panah beracun dari orang Biau.... ai.... silahkan masuk!"

Rupanya pemilik pondok yang tua itu kasihan pada Siau-liong. Sambil menunjukkan jalan, ia mengingau, “Memang tak mengherankan kalau nona itu jatuh sakit.... jangankan hanya seorang wanita, bahkan lelaki yang gagah perkasa pun tentu terserang penyakit kalau menempuh perjalanan yang begitu berat....”

"Apakah kalian terluka oleh mereka?" tanya orang tua itu sambil mengawasi pakaian Siau-liong dan Lu Bu-ki yang berlumuran darah.

"Tidak, melainkan diwaktu meloloskan diri telah jatuh beberapa kali sampai terluka. Tetapi tak jadi apa," sahut Siau-liong.

Pemilik pondok itu membawa tetamunya kebagian ruang belakang. Saat itu dari sebuah kamar, muncul seorang lelaki berumur kira-kira tigapuluhan tahun. Kepala besar, mata kecil, wajahnya menyeramkan. Tak henti-hentinya dia memandang Siau-liong saja.

Setelah mempersilahkan Siau-liong bertiga masuk ke dalam sebuah kamar, pemilik pondok berseru memanggil lelaki tadi, “Tho Tao-ciang lekas hangatkan arak dan hidangan tuan-tuan tetamu ini. Lalu masak lagi air panas untuk mereka."

Siau-liong menghaturkan terima kasih. Setelah orang tua itu mengingau seorang diri, lalu pergi.

Ruang kamar ternyata teramat bersih. Tetapi hanya terdapat ranjang besar untuk dua orang. Siau-liong segera letakkan Song Ling di atas kasur. Tepat pada saat itu pelayan yang disebut Tho Tao-cing tadipun datang membawa arak hangat.

Setelah meminumkan dua cawan arak kepada Song Ling, tampaklah dara itu sadar. Ketika membuka mata, serentak ia hendak meronta bangun.

“Jangan kuatir, beristirahatlah dengan tenang. Sekarang kita berada dalam pondok penginapan. Setelah engkau sembuh, kita lanjutkan perjalanan lagi," kata Siau-liong.

Tetapi Song Ling gelisah. Dengan napas gopoh ia berkata, “Aku hanya menderita sedikit angin dingin. Sama sekali tidak merasa sakit. Setelah istirahat, kita pergi. Apakah engkau lupa akan pesan suhumu....”

Siau-liong memberi isyarat mata, “Karena sudah berada di tempat yang aman, sekarang atau nanti akhirnya toh kita akan kesana juga!"

Rupanya Song Ling cukup cerdas. Ia tahu Siau-liong tentu mencurigai pelayan yang berwajah seram itu. Maka iapun tak mau bicara lagi.

Lu Bu-ki mengambil sekeping perak sepuluhan tail lalu diberikan kepada pelayan itu:"Harap belikan pakaian untuk bertiga, sediakan hidangan dan sisanya untukmu!"

Dengan tertawa-tawa, pelayan menyambuti perak terus melangkah pergi. Cepat sekali ia sudah menyediakan pesanan Lu Bu-ki. Ia datang membawa tiga stel pakaian baru.

Saat itu hari sudah siang. Tetamu-tetamu lain yang jumlahnya hanya empat-lima orang sudah berkemas untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah mandi air hangat dan ganti pakaian, agak segarlah perasaan Siau-liong bertiga. Kemudian mereka menutup pintu dan makan. Tetapi walaupun sakitnya sudah agak berkurang, Song Ling tetap tak dapat menelan nasi. Terpaksa ia tidur saja di ranjang.

Sesuai dengan tubuhnya yang tinggi perkasa, Lu Bu-ki gemar sekali minum. Setelah menghabiskan tiga cawan, semangatnya makin beringas. Lukanya seolah-olah dilupakan. Siau-liong hanya makan sedikit Setelah Lu Bu-ki habis makan, Siau-liong suruh dia beristirahat di tempat tidur untuk memulangkan tenaga.

Tetapi si tinggi besar tetap menolak, “Aku tidak lelah. Lebih baik engkau yang beristirahat dulu.“

Karena Lu Bu-ki tetap menolak, Siau-liong terpaksa naik ketempat tidur. Karena letih, ia jatuh pulas.

Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia terkejut mendengar suara berisik yang lembut sekali. Dilihatnya Song Ling masih tidur pulas, Lu Bu-ki pun mendengkur di atas kursi.

Suara gemersik itu berasal dari jendela. Ia duga tentulah perbuatan sipelayan. Maka sengaja ia batuk-batuk lalu duduk diranjang.

Orang yang mengintai diluar kamar itu segera berjingkat-jingkat pergi. Dia meninggalkan sebuah lubang pada kertas jendela.

Sekalipun sudah berhati-hati sekali, tetap terdengar Siau-liong. Jelas orang itu tak mengerti ilmu silat.

"Betapapun lihaynya tetapi tak mungkin Iblis Penakluk-dunia menanam pengaruhnya sampai di tempat semacam ini. Tentulah pelayan itu mencurigai gerak-gerik kita," pikir Siau-liong.

Diluar ruangan, sunyi senyap. Kecuali Siau-liong bertiga, pondok penginapan itu sudah tak ada tetamu lain lagi.

Saat itu matahari sudah condong ke barat. Ia berjalan keluar. Terasa tubuhnya ringan sekali. Rasa letih sudah hilang. Ia menghampiri ketempat Song Ling. Dilihatnya pipi dara itu merah sekali. Dirabanya pipi dara itu. Panas sekali tetapi kaki tangannya dingin, napasnya sesak.

“Ah, dia benar-benar keras hati. Sakitnya begini berat, masih paksa diri bertahan," pikir Siau-liong.

Ia memanggil pelayan minta alat tulis.

Lu Bu-ki terkejut bangun dan melonjak dari kursinya, ia tertawa sendiri, “Ho, baru liyer-liyer sebentar, sudah jatuh pulas!"

"Bagaimana dengan lukamu?" tanya Siau-liong.

Orang tinggi besar itu mengatakan sudah sembuh. Saat itu pelayan datang membawa alat tulis.

Entah bagaimana, ia tampak ketakutan berhadapan dengan Siau-liong dan Lu Bu-ki.

Siau-liong duga pelayan itu ketakutan karena merasa perbuatannya mengintai tadi, tentu diketahui Siau-liong.

Sejak kecil Siau-liong ikut pada Kongsun Sin-tho. Walaupun tabib sakti itu tak mengajarkan ilmu pengobatan, tetapi karena biasa mendengar dan melihat suhunya meramu obat, maka Siau-liong pun mengerti juga sedikit-sedikit. Segera ia menulis resep dan suruh pelayan iiu membelikan ke rumah obat.

Setelah pelayan pergi, bertanyalah Siau-liong kepada Lu Bu-ki, “masih jauhkah perjalanan ke gunung Go-bi itu?"

“Dari sini kita menyeberang sungai, kira-kira hanya empatpuluhan li. Jadi semua hanya tujuhpuluhan li. Tetapi.... perjalanan itu merupakan daerah pegunungan, tiada jalan datar. Tak bisa ditempuh dengan kuda atau kereta. Bahkan jalan kaki saja sukar. Mengingat nona Song masih sakit....”
54. Kaki-tangan Iblis di Kota

Siau-liong cepat menukas dengan serius, “Kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu sudah jelas hendak berusaha menguasai dunia persilatan. Ceng Hi totiang terpaksa menuruti perintahnya untuk menghadiri pertemuan di Go-bi. Tentulah saat ini mereka sudah menuju ke Go-bi. Kemarin malam dengan gunakan ilmu Mendengar-langit-menembus-bumi, dia telah mencuri dengar pembicaraanku. Tentulah dia sudah mengetuhui perjalanan kita ke Go-bi ini. Sekalipun dia tak muncul tetap tentu sudah mengatur rencana untuk menangkap kita. Menurut penilaianku, di gunung Go-bi sudah dirobah menjadi suatu perangkap. Kaki tangan Iblis Penakluk-dunia sudah tersebar diseluruh pelosok gunung itu. Lebih baik kita berangkat pada malam hari saja dan besok pagi-pagi sudah dapat mencapai puncak Kim-ting dari gunung Go-bi....”

"Hai!" tiba-tiba Lu Bu-ki menggebrak meja, mengapa aku lupa? Ya, aku teringat akan sebuah jalan singkat yang dapat mencapai belakang gunung Go-bi. Jalan itu sepi sekali sehingga tak diketahui orang. Biarlah nanti malam aku yang menjadi penunjuk jalan!"

Siau-liong gembira mendengarkan. Setelah setengah hari beristirahat, semangat merekapun sudah segar kembali. Tetapi Song Ling masih tidur sedang Siau-liong dan Lu Bu-ki duduk bersemadhi memulangkan semangat.

Tak berapa lama si pelayan tadi muncul dengan membawa obat yang sudah dimasaknya. Lebih dulu Siau-liong mencicipi obat itu baru ia angkat tubuh si dara dan pelahan-lahan meminumkannya.

Ternyata manjur juga obat buatan Siau-liong itu. Tak berapa lama semangat si dara pun mulai berangsur-angsur pulih. Tetapi berulang kali dara itu berteriak-teriak hendak melanjutkan perjalanan dan tak henti-hentinya mengoceh seorang diri, menangis dan menghela napas. Terang dara itu menanggung kedukaan yang menggoncangkan perasaannya sehingga belum pulih.

Siau-liong menghiburnya dan menjelaskan mengapa baru berangkat nanti malam. Rupanya dara itu mau menerima penjelasan dan sikapnya pun agak tenang. Demikian mereka bertiga segera bersemadhi memulangkan semangat. Pada saat matahari hampir silam, pelayan tadi pun mengetuk pintu dan berseru:

“Tuan-tuan.... ada seorang tetamu hendak bertemu!"

Siau-liong dan Lu Bu-ki terkejut, pikir mereka, “Pagi-pagi sekali kita datang ke pondok penginapan ini dan sepanjang hari tak pernah keluar. Mengapa ada orang yang hendak menemui kita?"

Belum mereka mengambil putusan menemui orang itu atau tidak, tiba-tiba terdengar derap kaki orang berjalan masuk Siau-liong cepat menarik Lu Bu-ki. Keduanya siap-siap.

"Apakah tinggal dideretan kamar timur?" teriak orang itu dengan nyaring.

"Ya, ya, " sahut sipelayan tadi, "kamar yang inilah."

“Hayo, engkau keluar!" bentak orang itu seraya terus masuk ke dalam pintu.

Lu Bu-ki terkejut tetapi setelah mengetahui siapa pendatang itu, ia segera tertawa gelak-gelak, “Ah! kiranya Auyang pangcu!"

"Benarkah saudara Lu yang bicara ini?" seru orang itu.

Lu Bu-ki cepat membuka pintu untuk pendatang itu. Seorang lelaki tua berumur enampuluhan tahun rambut dan jenggotnya sudah menjunjung uban, pinggang menyelip sepasang senjata Poan-kwan-pit melangkah masuk. Mata orang itu berbentuk segi tiga hidung bengkok macam burung wulung. Wajahnya menampilkan seorang licin.

Orang itu memandang Siau-liong sampai beberapa jenak baru memberi hormat dan berseru dengan tertawa, “Saudara ini tentulah Kongsun-siauhiap, bukan?"

Siau-liong mengiakan lalu minta tanya nama orang itu juga.

Lu Bu-ki menerangkan, “Saudara Auyang Pa ini, adalah pangcu (ketua) dari duapuluh delapan kelompok yang tersebar diperairan telaga Poh-yang-ou. Kali ini memenuhi undangan Ceng Hi totiang untuk menggempur sarang Iblis Penakluk-dunia."

Siau-liong menatap Auyang Pa, tanyanya dengan nada serius, “Apakah Auyang pangcu belum berjumpa dengan rombongan Ceng Hi totiang? Mengapa tahu kalau aku dan kawan-kawan berada disini?"

Sejenak mengeliarkan mata, Auyang Pa menyahut, “Karena kuatir ditengah jalan menemui kesulitan, maka Ceng Hi totiang dan rombongan mengambil jalan singkat yaitu melalui jembatan Ngo-tong-kiau, gunung Lok-san lalu mengitari gunung. Aku mendapat perintah supaya menjaga ditempat ini untuk menyelidiki gerak-gerik Iblis Penakluk-dunia. Tak terduga semalam dipuncak Lok-beng-nia aku telah berjumpa dengan seorang cianpwe yang ternama....”

Ia berhenti untuk menatap wajah Siau-liong dan tertawa, “Locianpwe itu semula termasyhur sebagai seorang tabib sakti. Tak pernah dunia persilatan mengetahui kalau dia ternyata memiliki kepandaian sakti. Karena tak seorangpun yang tahu bahwa sebenarnya dia adalah pewaris dari ilmu tenaga sakti Thian-jim-sin-kang!”

Siau-liong terbeliak kaget sekali. Serunya gopoh, “Auyang pangcu maksudkan....”

Auyang Pa tertawa, “Benar, memang suhumu Tabib-sakti jenggot-naga Kongsun locianpwe!"

"Dimanakah suhuku sekarang."

Tenang-tenang Auyang Pa menjawab, “Semalam menjelang tengah malam aku bertemu dengan Kongsun-cianpwe di biara Leng-hun-si dipuncak Lok-beng-nia. Rupanya beliau menderita luka kecil, sedang beristirahat dalam biara itu....”

Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “Beliau minta tolong kepadaku apabila berjumpa dengan Kongsun-siauhiap supaya menyampaikan pesan. Beliau....”

“Apakah suhu tak ke Go-bi?" tanya Siau-liong.

Auyang Pa tertawa pula, “Beliau mengatakan pasti kesana. Tetapi untuk sementara ini beliau hendak mengerjakan suatu urusan yang penting sekali. Mungkin akan terlambat beberapa waktu. Beliau mengatakan malam nanti akan datang ke Ma-koan dan minta engkau menunggu disini!"

Siau-liong kerutkan alis bertanya, “Apakah luka suhuku itu tak berbahaya?"

"Hanya menderita luka ringan. Ketika beristirahat dalam biara, dia tetap tertawa-tawa seperti biasa. Jelas tentu tak apa-apa." .

Siau-liong merenung sejenak. Tiba-tiba dengan mata berkilat-kilat ia mengajukan pertanyaan pula, “Apakah suhu tak bilang apa-apa lagi? Apakah dia tak mengatakan mengapa suruh aku tunggu disini?"

Auyang Pa tersenyum menepuk keningnya sendiri, “Benar! Kongsun-cianpwe mengatakan, karena saat itu keadaannya berbahaya maka suruh engkau cepat-cepat menuju ke Go-bi. Tetapi karena sekarang bahaya itu sudah lewat dan memperhitungkan tak mungkin kedua suami isteri durjana itu akan menyergap di tengah jalan, maka ia minta engkau menunggunya agar dapat bersama-sama ke Go-bi. Paderi sakti di puncak Kim-ting itu beradat aneh. Jika bicara kurang sesuai sedikit saja, tentu sukar untuk mendapat tenggoret berkaki tiga itu!"

Rupanya Lu Bu-ki cepat percaya penuh. Maka menyelutuklah ia, “Kalau begitu, kita tunggu saja disini, tetapi....” ia kerutkan dahi lalu berkata pula, "eh, mengapa Kongsun-cianpwe tahu kalau kita berada di pondok sini?"

Auyang Pa tertawa, “Itu mudah. Aku membawa dua orang pengikut. Sekarang mereka menunggu diluar. Suruh mereka menunggu kedatangan Kongsun-cianpwe dijalan."

Habis berkata ia terus melangkah keluar.

“Memang kubuktikan sendiri kesaktian Kongsun-cianpwe itu. Dan kuyakin dia tentu dapat lolos dari bahaya....” kata Lu Bu-ki dengan gembira.

Siau-liong tetap merenung diam. Sudah tentu si tinggi besar heran, “Eh, mengapa saudara malah kelihatan kurang senang?"

“Apakah saudara kenal baik dengan Auyang Pa itu?" Siau-liong balas menegur.

Lu Bu-ki terkesiap, sahutnya, “Meskipun tak erat tetapi kami sudah kenal lama. Dan lagi kali ini kami bersama-sama memenuhi undangan Ceng Hi totiang. Dia merupakan seorarg dari berpuluh jago-jago ternama yang diundang Ceng Hi totiang. Baru dua hari ini aku berpisah dengan dia.... tentu tak mungkin sampai....”

“Menilik ucapan dan sikapnya, kurasa ada sesuatu yang tak wajar pada dirinya," tukas Siau-liong.

Lu Bu-ki hendak menjawab tetapi tiba-tiba saat itu Auyang Pa melangkah masuk lagi seraya tertawa nyaring, “Telah kuatur beres dan juga sudah kusuruh jongos menyediakan hidangan untuk kita. Malam ini aku yang menjadi tuan rumah. Minum sampai puas dulu baru kita berangkat!"

Begitulah ketika lilin mulai dipasang, si pelayan Tho Thau-ciang pun masuk membawa dua teratak lilin, ditaruh di meja lalu beringsut-ingsut keluar. Tingkah lakunya mirip seperti tikus yang takut keluar.

Siau-liong memperhatikan bahwa tiada seorang tetamu lagi yang datang ke pondok penginapan situ Auyang Pa bergembira ria, bercakap-cakap sambil minum. Sedang Song Ling masih duduk bersandar pada ranjang. Gadis itupun memandang tingkah laku Auyang Pa dengan heran.

Siau-liong lebih dulu mengambilkan makanan untuk Song Ling agar dara itu tak usah turun dari tempat tidur. Dan Song Ling pun segera makan. Rupanya ia tak senang dengan Auyang Pa maka tak mau ikut campur bicara.

Si tinggi besar Lu Bu-ki walaupun juga mempunyai sedikit rasa curiga terhadap Auyang Pa, tetapi ia tetap makan dan minum dengan gembira bersama orang itu.

Auyang Pa tampaknya bersikap lapang dan wajar. Tetapi diam-diam pandang matanya tak putus-putusnya melirik ke arah Siau-liong.

Siau-liong menuang secawan arak lalu disongsongkan ke muka Auyang Pa, “Auyang-pangcu termashyur di dunia persilatan tetapi baru pertama kali ini aku beruntung dapat bertemu muka. Maka dalam kesempatan ini aku hendak menghaturkan arak kehormatan kepada Auyang-pangcu!"

Auyang Pa tergopoh menyambuti, “Apa yang disohorkan orang itu hanya nama kosong belaka. Aku sendiri merasa malu. Adalah Kongsun-siauhiap yang harus dikagumi. Karena dalam usia semuda itu sudah mendapat warisan ilmu sakti Thian-kong-sin-kang!" — habis berkata ia terus meneguk habis cawan arak itu.

Siau-liong hanya tertawa dingin. Tiba-tiba ia bertanya dengan serius, “Bagaimana Auyang-pangcu tahu kalau aku menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang?"

Auyang Pa tersentak kaget, sesaat tampak ia agak gugup dan hampir tak dapat menjawab. Akhirnya ia pura-pura batuk dan menyahut dengan ter-sendat-sendat, “Aku.... hanya.... mendengar dari Kongsun-cianpwe....”

Siau-liong mengangguk tertawa, “O, kiranya begitu....” — kemudian ia berpaling kepada Lu Bu-ki lalu bertanya pula kepada Auyang Pa, “Apakah Auyang pangcu suruh anak buah menunggu suhuku di tengah jalan?"

Auyang Pa paksakan tertawa, “Benar, asal tahu suhu saudara lewat disini, tentu akan diketahui."

"Sayang aku segera berangkat, tak sempat menunggunya lagi," tiba-tiba Siau-liong berkata dengan nada dingin.

Auyang Pa terkejut sekali, serunya, “Mengapa Kongsun-siauhiap hendak buru-buru....” — tiba-tiba kisarkan tubuh. Rupanya ia hendak menunggu kesempatan pada saat Siau-liong lengah, harus hendak loncat kabur.

Siau-liong pura-pura tak melihat dan masih lanjutkan kata-katanya, “Jika tak mengalami peristiwa semacam diri Ong Tiat-go, mungkin aku tentu dapat engkau kelabuhi!"

Lu Bu-ki mulai curiga, “Saudara Kongsun, apakah dia....”

"Kongsun siauhiap, apa maksudmu!" Auyang Pa menukas dengan berteriak keras. Dan tiba-tiba ia melesat dari tempat duduknya.

Tetapi Siau-liong lebih cepat. Pada saat Auyang Pa hendak bergerak, ia sudah cepat mencengkeram pergelangan tangan kirinya. Seketika itu juga Auyang Pa rasakan lengan kirinya kesemutan. sakitnya bukan kepalang....

Siau-liong tertawa kepada Lu Bu-ki, “Pada saat kutanya mengapa suhu tahu kita berada disini, dia gelagapan tak dapat menjawab lancar. Sebenarnya dia tak mungkin tahu kita disini kecuali si pelayan The Thau-ciang itu menjadi kaki tangannya......"

"Brak," Lu Bu-ki menghantam meja dan menggembor, “Ya, benar! Mengapa aku tak dapat memikir sampai disitu....”

Siau-liong mendengus, “Kedua kalinya, suhu tak pernah merobah pesan yang telah diberikan. Karena beliau sudah suruh aku lekas ke Go-bi, tak mungkin dia akan merobah perintah suruh aku menunggunya disini....”

Lu Bu-ki berjingkrak seperti orang yang kebakaran jenggot, “Keparat, sungguh tak kira kalau si tua ini mau juga menjadi kaki tangan Iblis Penakluk-dunia....”

Tetapi pada lain saat, ia bertanya dengan nada meragu, “Tetapi dia adalah ketua dari Poh-yang-pang. Dan baru dua hari aku berpisah dengan dia. Mengapa cepat sekali ia sudah berganti haluan?"

Sekalipun Auyang Pa itu seorang jago yang dapat digolongkan kelas satu tetapi ditangan Siau-liong, dia tak mampu berkutik sama sekali.

Siau-liong menghela napas, “Memang Iblis Penakluk-dunia itu benar-benar hendak melaksanakan cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan dan memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang. Segala rencana dan siasat akan ditempuhnya!"

"Apakah Auyang Pa juga terkena ilmu siluman dari Iblis Penakluk-dunia?" Lu Bu-ki belalakkan matanya lebar-lebar.

"Belum dapat dipastikan....” kata Siau-liong lalu memandang Auyang Pa dengan cermat, katanya pula, “Lebih baik tanya saja padanya!"

Habis berkata ia terus memijat lebih keras sehingga Auyang Pa menjerit kesakitan dan meronta-ronta, “Ampun! Ampunilah.... jiwaku!"

Siau-liong tertawa dingin. Ia hentikan pijatannya, “Hayo bilang! Bagaimana engkau dapat bersekutu dengan Iblis Penakluk-dunia itu? Apakah engkau sungguh ketemu dengan suhuku? Apakah rencana Iblis Penakluk-dunia mengirim engkau ke mari?"

Auyang Pa menghela napas, “Ah, kalau Kongsun-siauhiap tetap tak mau percaya omonganku, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi apa yang kukatakan tadi memang benar seluruhnya. Sebelum tengah malam nanti, suhu Kongsun-siauhiap tentu datang kemari. Nah, saat itu barulah Kongsun-siauhiap percaya pada omonganku!"

Siau-liong tertawa dingin, “Aku berani memastikan bahwa engkau tak pernah bertemu dengan suhuku. Coba saja bayangkan. Suhu berhadapan dengan tiga pewaris ilmu sakti. Jika tak menderita luka parah, pun tentu tak dapat lolos dari cengkeraman Iblis Penakluk dunia....”

Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Kalau kemungkinan itu tidak menimpa pada suhu, pun tak mungkin dia akan berhenti ditengah jalan memberi pesan kepadamu. Suhu tentu sudah melintasi sungai!"

Seketika pucatlah wajah Auyang Pa. Dia tak dapat membantah lagi dan hanya meratap minta ampun.

"Plak," tiba-tiba Lu Bu-ki menampar muka Auyang Pa, “Apakah engkau masih tak mau bicara terus terang....?" - kemudian orang tinggi besar itu minta ijin kepada Siau-long untuk 'menyelesaikan' Auyang Pa. Dan sebelum Siau-liong sempat buka suara, si tinggi besar sudah mencengkeram bahu Auyang Pa dan dipijit sekeras-kerasnya.

Lu Bu-ki gunakan ilmu Hun-kin-jo-kut atau Pencarkan-urat-sesatkan-tulang.

Waktu ditampar tadi tadi, mulut Auyang Pa mengucur darah dan matanya berkunang-kunang hampir pingsan. Kemudian ketika dipelintir oleh si tinggi besar, seketika ia rasakan sekujur tubuhnya seperti digigiti ribuan ekor semut. Gemetarlah kaki tangannya, giginya pun berceterukan keras. Keringat berderai-derai membanjir.

Beberapa saat kemudian barulah Lu Bu-ki membuka jalan darah Auyang Pa lagi lalu membentaknya, “Hayo, mau bilang atau tidak!"

Auyang Pa rasakan tubuhnya seperti setengah mati. Akhirnya ia tak kuat dan berteriak, “Ya, ya, aku bilang....”

Ia melirik Siau-liong dan melanjutkan kata-katanya, “ Suhumu Kongsun-cianpwe, sudah....”

Tetapi belum ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dari luar jendela melayang setitik sinar kemilau yang langsung menyasar ketenggorokan Auyang Pa. Cepat dan tepat sekali senjata rahasia itu menyusup ke dalam tenggorokan Auyang Pa.

Siau-liong dan Lu Bu-ki terkejut sekali. Bahkan Song Ling pun menjerit kaget, terus loncat turun dari ranjang.

Siau-liong menampar padam lilin. Lalu ia memeriksa Auyang Pa. Tetapi ternyata ketua Poh-yang-pang itu sudah mati. Kematiannya serupa dengan Ong Tiat-go. mati terkena panah Ngo-tok-tui-han-cian dari Iblis Penakluk-dunia!

"Menilik gelagat, mungkin kedua suami isteri iblis itu sudah mengejar kemari. Jika mereka membawa anak buah, kita tentu sukar lolos!" bisik Siau-liong.

Diam-diam ia menyesal karena tak mengindahkan pesan suhunya supaya ia jangan menunda perjalanan ke Go-bi.

Tiba-tiba Song Ling berbisik kedekat telinga Siau-liong, “Yang melepas panah Ngo-tok-tui-hun-cian, kemungkinan tentu anak buah Iblis Penakluk-dunia. Kalau kita tetap berada disini, jelas tentu makin berbahaya. Lebih baik kita menerjang keluar saja!"

"Apakah engkau dapat bertahan diri?" tanya Siau-liong.

Si dara tersenyum, “Aku hanya menderita serangan angin dingin. Setelah minum obat tadi, dan tidur satu hari penuh, semangatku sudah pulih segar lagi!"

Siau-liong lega hatinya. Kemudian ia membagi tugas. Ia yang akan mempelopori menerjang keluar, Lu Bu-ki dan Song Ling supaya mengikuti dari belakang. Habis memesan, ia membuka daun jendela terus loncat ke ruang tengah.

Pada waktu meloncat itu, diam-diam ia sudah kerahkan tenaga sakti untuk melindungi diri. Pikirnya, sekalipun musuh melepas panah beracun, tetap tak dapat melukainya.

Tetapi diluar dugaan, ternyata ruang tengah sunyi-sunyi saja. Tiada terancam serangan panah gelap. Siau-liong berhenti sejenak lalu enjot tubuhnya melayang ke puncak rumah.

Saat itu hampir menjelang tengah malam. Sekeliling penjuru pondok penginapan itu gelap dan sunyi. Seolah-olah kosong dengan tetamu. Sedang di ruang pemilik pondok pun tak kedengaran suara apa-apa.

Tetapi Siau-liong tak sempat meneliti. Cepat ia melayang turun dan melambai kepada Lu Bu-ki, “Hayo, lekas kemari!"

Demikianlah dengan dipelopori Siau-liong dimuka dan diikuti Lu Bu-ki dan Song Ling dari belakang, mereka lari tinggalkan pondok penginapan itu. Tak berapa kejap, merekapun sudah berada diluar kota.

Setelah tak tampak orang mengejar, Siau-liong longgar hatinya. Ia berpaling kepada Song Ling dan Lu Bu-ki, “Sungguh diluar dugaan! Orang yang lepaskan panah kepada Auyang Pa tadi, seharusnya menjaga jangan sampai kita lolos. Tetapi mengapa orang itu tak merintangi sama sekali?"

Lu Bu-ki kerutkan dahi. Ia heran juga atas kejadian itu.

Song Ling maju selangkah kesisi Siau-liong, katanya, “Saat ini kita tetap belum terlepas dari lingkungan jaring Iblis Penakluk-dunia. Siapa tahu sembarang saat kita akan diserang. Maka janganlah meninggalkan kewaspadaan!"

"Benar," Siau-liong mengiakan.

Kini ganti Lu Bu-ki yang menjadi pelopor jalan. Mereka bertiga berlarian di sepanjang jalan kecil yang tinggi rendah tak rata.

Untung luka Song Ling sudah baik. Sambil bergandengan tangan dengan Siau-liong, keduanya dapat berlari dengan cepat. Tak berapa lama tibalah mereka di tepi sungai.

Bengawan Bin-kiang amat luas. Lu Bu-ki membuat sebuah perahu kecil. Setelah selesai mereka bertiga segera naik perahu itu. Dengan tenaganya yang besar, Lu Bu-ki dapat mendayung perahu itu hingga mencapai tepi seberang.

"Dari sini ke Go-bi hanya tinggal tigapuluhan li jauhnya!" seru Lu Bu-ki gembira.

Baru mereka bertiga naik ke daratan, tiba-tiba tampak sebuah perahu meluncur datang dengan kecepatan yang tinggi. Ditengah perahu itu duduk seorang laki-laki tua. Belum perahu tiba ditepi, orang itu sudah berseru, “Hai, apakah Liong-ji yang berada di daratan situ?"

Melihat munculnya perahu itu, diam-diam Siau-liong terkejut girang. Apalagi setelah mendengar orang yang berada dalam perahu, ia makin girang sekali.

"Ya, benar," sahutnya. Lalu berpaling kepada Song Ling dan Lu Bu-ki, “Suhuku datang!"

Selekas merapat ketepi, orang itu segera loncat kedaratan lalu lemparkan sekeping perak kepada tukang perahu dan suruh tukang perahu pergi.

Siau-liong tercengang. Dilihatnya tukang perahu itu seorang lelaki pertengahan umur, memakai caping dan berpakaian seperti seorang pencari ikan.

Kongsun Sin-tho bergantian memandang kepada Siau-liong lalu berkata, “Sudah sehari semalam mengapa kalian baru tiba disini?"

"Karena murid....”

Tetapi tanpa menunggu Siau-liong menyelesaikan kata-katanya, Kongsun Sin-tho sudah menukas, “Tak apalah, asal aku sudah dapat bertemu kalian di sini, segera akan kuselesaikan hal itu."

Siau-liong tertegun, “Apakah suhu terluka dalam pertempuran itu?"

Kongsun Sin-tho tersenyum, “Jika terluka, masakan saat ini aku bisa berada disini?"
55. Ah, Suhu Juga ......??

Siau-liong merenung sejenak, lalu bertanya, “Apakah suhu bertemu dengan Auyang Pa dan memberi pesan supaya murid menunggu di kota Ma-koan?"

“Tidak!" sahut Kongsun Sin-tho, "apakah kalian bersua sesuatu ditengah jalan?"

Siau-liong menghela napas, “Iblis Penakluk-dunia mengirim orangnya pura-pura bertemu suhu dan mengaku menerima perintah supaya aku menunggu kedatangan suhu di Ma-koan," Siau-liong lalu menuturkan pengalamannya dengan Auyang Pa, "syukur tipu muslihat itu dapat kuketahui dan dapat murid segera lanjutkan perjalanan lagi!"

Kongsun Sin-tho menghela napas. Ia segera mengajak Siau-liong bertiga untuk melanjutkan perjalanan.

Karena melihat sikap dan bicara Kongsun Sin-tho dingin, Song Ling dan Lu Bu-ki tak berani ikut campur bicara. Keduanya hanya mengikuti di belakang Siau-liong saja.

Saat itu jalanan pun agak datar. Kongsun Sin-tho diam saja. Setelah berjalan dua li, tiba-tiba ia melintas keseberang dan belok ke barat. Sebuah jalan kecil yang kedua tepi penuh ditumbuhi gerumbul pohon lebat.

“Kongsun-cianpwe!" seru Lu Bu-ki seraya maju dua langkah.

Tabib sakti itu berhenti dan menanyakan apa maksud si tinggi besar.

"Aku cukup paham dengan jalanan di daerah sini. Jalan kecil yang cianpwe tempuh ini akan menuju kelain jurusan. Makin lama tentu makin jauh dari Go-bi!" kata Lu Bu-ki.

Siau-liong dan Song Ling terkesiap.

“Jika Kongsun-cianpwe suka percaya padaku, biarlah aku yang menjadi penunjuk jalan!" kata Lu Bu-ki pula.

Kongsun Sin-tho tertawa gelak-gelak, “Dahulu aku pernah berkeliaran di sini mencari daun obat. Tak mungkin tersesat jalan, hanya....”

Lu Bu-ki seorang kasar yang berwatak polos. Tanpa menunggu tabib itu habis berkata, ia terus menyelutuk, “Tahun yang lalu aku pun lewat dijalanan ini sampai dua kali. Kecuali takkan menuju ke Go-bi, pun jalanan ini sunyi dan terasing, penuh dengan tanjakan yang sukar dilalui....”

Tiba-tiba Kongsun Sin-tho membentaknya, “Justeru aku memang hendak mencari tempat yang sunyi untuk menyelesaikan suatu urusan besar. Adakah engkau kira aku benar-benar tak kenal jalan?"

Lu Bu-ki tergagap tak dapat menyahut. Tersipu-sipu ia tundukkan kepala.

Sejenak berdiam diri, tiba-tiba Kongsun Sin-tho berseru, “Lu tayhiap!"

Lu Bu-ki buru-buru mengiakan.

"Aku hendak bicara dengan muridku dan nona Song mengenai suatu urusan yang penting. Bolehkah kuminta Lu tayhiap menunggu disini saja?" kata Kongsun Sin-tho.

Lu Bu-ki melirik Siau-liong lalu buru-buru mengiakan, “Karena Kongsun-cianpwe yang memberi perintah, sudah tentu aku menurut saja!"

Tabib sakti itu tersenyum, “Terima kasih atas kesediaan Lu tayhiap " — Kemudian ia berkata kepada Siau-liong, “Tak jauh dari sini terdapat sebuah pondok. Mari engkau dan nona Song ikut aku kesana untuk merundingkan suatu hal yang penting!"

Siau-liong heran. Tetapi melihat suhunya bersikap sungguh-sungguh, ia duga tentu ada suatu urusan penting yang hendak dibicarakan. Maka segera ia menarik tangan si dara untuk menyusul Kongsun Sin-tho.

Jalanan berkelak-kelok naik turun dan berbiluk-biluk. Setelah beberapa saat, mereka melihat sebuah gubuk di atas sebuah bukit kecil yang tak berapa jauh jaraknya. Gubuk itu seperti baru saja dibangun.

Sejenak Kongsun Sin-tho berpaling memandang Siau-liong berdua lalu melangkah kegubuk itu.

Ternyata gubuk di puncak bukit kecil itu, merupakan tempat peristirahatan dari para pencari kayu dan pemburu yang masuk ke daerah situ. Tetapi menilik bahan-bahannya, gubuk itu tentu belum lama didirikan. Dan menilik halamannya, seperti belum pernah didatangi orang.

Siau-liong resah. Tak tahu ia apa yang hendak dibicarakan suhunya nanti. Mengapa suhunya begitu serius mengajaknya bicara di tempat yang sesunyi itu?

Begitu masuk ke dalam gubuk, Kongsun Sin-tho terus duduk di tanah dan suruh Siau-liong berdua duduk di sampingnya.

Anak bukit tempat gubuk itu didirikan, ternyata dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang lebih tinggi dan hutan-hutan lebat.

Kongsun Sin-tho menghela napas, ujarnya, “Dewasa ini pengaruh kekuatan Iblis Penakluk-dunia sukar dilawan. Semalam apabila tak terlindung oleh hujan deras, kemungkinan aku sukar meloloskan diri....”

Siau-liong diam saja. Ia tahu dan mengakui bahwa dewasa itu Iblis Penakluk-dunia memang berhasil menyusun kekuasaan besar. Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san, Jong Leng lojin dan beberapa tokoh sakti sudah dapat dikuasainya.

Kongsun Sin-tho berkata pula, “Menyelamatkan kehancuran, mempertahankan kelangsungan hidup. Tugas berat itu terletak dibahu kita berdua. Apabila kita ini tertimpah bahaya maka habislah harapan dunia persilatan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya....”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Dalam rangka itu, kurasa kepergian kita ke Go-bi itu, tidaklah banyak manfaatnya."

Siau-liong tersentak kaget, serunya gopoh, “Adakah suhu kuatir paderi sakti Kim Ting itu tak mau mermberikan Tenggoret-kaki-tiga?"

Kongsun Sin-tho menghela napas, “Itu hanya salah satu sebab. Andaikata ia mau menyerahkan binatang mustika itu, belum tentu pil mujijad Cap-siau-cwan-soh-sin-tan buatanku itu dapat menyembuhkan Lam-hay Sin-ni dan beberapa tokoh rombongannya....”

Siau-liong teringat bahwa ketika dalam biara rusak dahulu, suhunya memang pernah menyatakan hal itu. Ia kerutkan alis, mengepal tangan untuk menekan kegelisahan hatinya.

"Sekalipun pil buatanku itu mempunyai khasiat untuk menyembuhkan Lam-hay Sin-ni dan kawan-kawan, tetapi pun masih suatu pertanyaan, bagaimanakah cara untuk meminumkan kepada mereka. Apa lagi Iblis Penakluk-dunia itu seorang tokoh yang licin dan cerdik sekali. Bukankah dia sudah dapat menangkap pembicaraan kita dalam biara rusak itu? Masakan dia tak segera bersiap mengadakan penjagaan. Maka....”

Siau-liong terlongong dan berseru geram, “Kalau begitu, pertumpahan darah tak mungkin terhindar dalam dunia persilatan lagi!"

Kongsun Sin-tho tiba-tiba tertawa, “Hal-hal yang kukatakan tadi hanyalah timbul dari kecemasanku sendiri. Mungkin keadaan tak sedemikian berbahaya. Tetapi....”

Seketika berobahlah wajah tabib sakti itu lalu berkata dengan nada serius, “Kusuruh engkau datang kemari ini, adalah justeru hendak merundingkan rencana yang sesuai."

"Murid bersedia mendengar apapun yang suhu perintahkan!"

Kongsun Sin-tho merenung sejenak lalu berkata pula,

“Dalam dunia persilatan, hanya ilmu sakti Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki itu benar-benar tiada tandingnya. Ilmu yang paling ditakuti Iblis Penakluk-dunia! Sayang penemuanmu ilmu sakti itu, terlalu pendek sekali waktunya hingga engkau belum sempat meyakinkan dengan sempurna. Paling tidak harus membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mempelajari ilmu itu sampai pada tataran tertentu. Tetapi keadaan saat ini, tidaklah menyempatkan engkau melakukan latihan. Karena setiap saat keadaan bisa berobah makin memburuk. Kita tak sempat menunggu hasilmu....”

Siau-liong memandang wajah suhunya tanpa berkata sepatahpun juga.

“Saat ini walaupun kurang tepat kalau menghapus rencana menuju ke gunung Go-bi. Tetapi resiko yang kita hadapipun tak kecil. Misalnya sampai terjadi sesuatu digunung itu, katakanlah, kita ini akan kehilangan jiwa di sana. Lalu siapakah yang akan muncul untuk menyelamatkan dunia persilatan dari cengkeraman Iblis Penakluk-dunia nanti? Maka setelah kupertimbangkan lagi dengan seksama, lebih baik kita mengatur persiapan yang tepat lebih dulu....”

Kongsun Sin-tho melirik Song Ling lalu melanjutkan kata-katanya, “Nona Song mempunyai tulang dan bakat yang amat bagus sekali. Lagi pula berotak cerdas. Disamping itu ia sudah memiliki dasar-dasar latihan ilmu Ya-li-sin-kang. Menurut pendapatku, baiklah engkau....”

Tanpa menunggu suhunya selesai bicara, Siau-liong cepat menukas, “Bukankah suhu menghendaki supaya kuajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada nona Song?"

Wajah Kongsun Sin-tho membesi, ujarnya,

“Memang begitulah maksudku. Setelah mendapat pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang, sebaiknya nona Song mencari tempat yang tersembunyi untuk meyakinkannya. Paling lambat setengah tahun kemudian, tentu sudah ada hasilnya. Sekalipun andaikata dalam pertemuan Go-bi nanti kita sampai terluka atau binasa, nona Song tetap masih ada dan kelak pasti dapat membasmi gerombolan durjana itu!"

Siau-liong berulang anggukkan kepala, ujarnya, “Memang sejak semula aku sudah mengandung maksud begitu. Hanya nona Song masih belum mau....”

Kongsun Sin-tho beralih memandang Song Ling, serunya, “Dunia persilatan harus tetap menghidupkan setitik Hawa Murni agar jangan sampai ludas selama-lamanya. Nona juga memikul beban berat, mengapa menolak?"

Agak tersipu Song Ling memandang ke arah tabib sakti itu, tiba-tiba ia berteriak dengan nada gemetar, “Aku tak mau! Aku tak mau lepaskan usahaku untuk menolong ibuku hanya karena mengurusi soal Thian-kong-sin-kang. Sekalipun dalam waktu setengah tahun akan berhasil mempelajari, tetapi mungkin pada waktu itu aku sudah tak dapat melihat wajah ibuku lagi."

Dara itu menangis tersedu-sedu.

Tetapi rupanya Kongsun Sin-tho tak menghirau. Ia membentaknya bengis,

“Usahaku ini bukan semata-mata hanya untuk menyelamatkan dunia persilatan, pun juga untuk menolong ibumu dan lain-lain tokoh yang sedang menderita dibawah cengkeraman Iblis Penakluk-dunia. Ingatlah, apabila pertemuan di Go-bi itu sampai gagal dan kita menderita kekalahan, engkaupun takkan mempunyai harapan untuk berjumpa dengan mamamu untuk selama-lamanya!"

Siau-liong pun ikut menghibur dan membujuk Song Ling Sampai lama ia memberi penjelasan panjang lebar, sehingga dara itu agak tenang.

Tiba-tiba Kongsun Sin-tho berseru, “Waktu sudah tak banyak lagi, hayo segeralah mulai!"

Memandang kesekeliling penjuru, Siau-liong bertanya, “Apakah ditempat ini juga?"

"Telah kusiapkan penyelidikan yang teliti, ternyata tempat ini yang paling aman. Sudahlah, jangan engkau kuatirkan apa-apa lagi dan segeralah engkau turunkan pelajaran itu dengan sepenuh hati!"

Tiba-tiba terlintas sesuatu pada benak Siau-liong. Ia agak bimbang. Sejak kecil ia hidup bersama gurunya itu maka ia kenal baik sekali akan adat perangai gurunya. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu, memberinya kesan bahwa sikap dan tingkah laku gurunya itu agak berbeda dengan biasanya.

Dan lagi setelah melintasi sungai barulah gurunya itu muncul dengan naik perahu. Tetapi mengapa mengatakan kalau sudah lebih dulu tiba di tempat situ dan mempersiapkan tempat dipondok sunyi itu? Bukankah itu membingungkan. Diam-diam Siau-liong curiga.

Melihat pemuda itu masih berayal, Kongsun Sin-tho cepat mendesaknya, “Mengapa engkau membuang-buang waktu saja? Mengapa masih tak lekas-lekas mulai menurunkan pelajaran?"

Dalam pada berdiam diri itu, Siau-liong diam-diam menimang. Atas teguran suhunya, ia segera menjawab, “Jika hendak menurunkan seluruh isi kitab pusaka itu, paling tidak tentu memerlukan waktu empat jam. Mungkin besok pagi baru dapat habis!"

"Soal waktu, tak jadi apa. Aku akan menjaga disini. Curahkan pikiranmu untuk menurunkan pelajaran, lain-lain hal aku yang mengatur!"

Siau-liong tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi ia tetap meragu. Tiba-tiba Song Ling mendekati dan berbisik kedekat telinganya, “Perhatikanlah sorot mata suhumu itu!"

Siau-liong terkejut. Buru-buru ia menatap wajah suhunya. Dilihat sepasang mata Kongsun Sin-tho itu lurus menyorot kemuka. Sinarnya memancarkan cahaya yang aneh.

Seketika hati Siau-liong seperti diguyur es. Tubuhnya menggigil. Jelas diketahuinya bahwa sorot mata suhunya itu tidak wajar lagi....

Suatu pancaran sinar yang mengandung keganasan, kelinglungan dan ketololan. Suatu keadaan yang Siau-liong tak asing lagi. Karena hai itu serupa seperti yang terjadi pada diri Randa Bu-san.

Siau-liong terkejut dan gelisah. Pikirnya, “Adakah suhu juga....”

Tak berani ia melanjutkan dugaannya. Tetapi diam-diam ia kerahkan tenaga untuk bersiap.

Tiba-tiba Kongsun Sin-tho berpaling dan menegurnya, “Bagaimana? Mengapa masih belum mulai?"

Siau-liong berusaha menekan kegelisahannya. Sahutnya, “Murid pertimbangkan lagi. Soal ini agaknya.... masih terdapat hal-hal yang tak leluasa....”

Ditatapnya wajah Kongsun Sin-tho, lalu melanjutkan berkata, “Kalau suhu sudah mendengar pendapat murid, baiklah soal itu dipertangguhkan saja setelah nanti habis dari Go-bi, baru....”

“Apakah engkau hendak menentang perintahku?" cepat Kongsun Sin-tho membentak.

Buru-buru Siau-liong menyahut dengan kepala menunduk,

“Budi suhu kepadaku sedalam lautan. Sekalipun tubuh murid hancur-lebur, murid tentu akan melaksanakan perintah suhu. Tetapi maaf, ilmu Thian-kong sin-kang itu bukanlah suhu yang mengajarkan kepada murid. Dan sejauh yang murid ketahui, rasanya suhu tak pernah memaksa murid untuk mengajarkan suatu ilmu kepada lain orang!"

Gemetarlah tubuh Kongsun Sin-tho mendengar penyahutan itu. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Lalu membentak,

“Muridku! Tampaknya engkau memang sudah tak mau menurut perintahku lagi!"

Siau-liong hendak menyahut tetapi saat itu tiba-tiba dari jauh terdengar derap langkah orang mendatangi. Dan tak berapa lama terdengar suara parau dari Lu Bu-ki,

“Kongsun-cianpwe.... Kongsun-siauhiap....”

Siau-liong terkejut. Cepat ia berpaling. Dilihatnya si tinggi besar Lu Bu-ki tengah berlari-lari mendatangi kepondok itu.

Sekonyong-konyong Kongsun Sin-tho berbangkit seraya membentak keras,

“Berhenti!"

Lu Bu-ki tertegun tetapi ia tetap melangkah masuk dan berseru, “Kongsun-cianpwe, dari tepi seberang sungai....”

Kongsun Sin-tho membentak marah dan tiba-tiba ia menghantam Lu Bu-ki!

Si tinggi besar terkejut. Ia tak menduga sama sekali kalau bakal menerima kemarahan Kongsun Sin-tho. Dalam gugup ia tak dapat berusaha menghindari lagi. Pun andaikata ia sudah siap, juga tak mungkin ia mampu menerima pukulan sakti dari Kongsun Sin-tho itu.

Dalam keadaan seperti saat itu, tak boleh tidak, si tinggi besar Lu Bu-ki pasti celaka!

Untunglah sejak melihat keadaan suhunya tak wajar itu, Siau-liong sudah siap-siap. Melihat suhunya menghantam Lu Bu-ki yang tak bersiap-siap itu, kejut Siau-liong bukan kepalang.

Ia tahu bahwa pukulan ilmu sakti Thian-jim-sin-kang dari suhunya itu pasti akan menghancurkan Lu Bu-ki. Siau-liong tak banyak berpikir lagi untuk menyelamatkan tokoh tinggi besar itu, ia harus cepat bertindak.

Serentak melonjak bangun ia songsongkan tangannya ke arah pukulan suhunya "Bum".... terdengar getaran keras. Akibatnya gubuk yang baru didirikan itu hancur lebur berantakan .......

Lu Bu-ki tercengang. Serunya gopoh, “Ini.... ini.... Kongsun-siauhiap.... apakah sebenarnya....”

Tetapi Siau-liong tak sempat menjawab. Segera ia berseru kepada suhunya, “Suhu.... engkau.... ini bagaimana? Apakah engkau juga....”

Akibat dari pukulan dihapus oleh pukulan Siau-liong, tubuh Kongsun Sin-tho agak berguncang. Dipandangnya Siau-liong tajam-tajam lalu membentaknya,

“Murid, sungguh tak nyana kalau engkau berani menghantam aku!"

"Suhu! Murid sungguh terpaksa. Engkau....” air mata Siau-liong bercucuran.

Dipandangnya wajah suhunya. Tiba-tiba ia mendapat kesan bahwa sikap suhunya itu berobah seperti asing. Jauh sekali bedanya dengan suhunya yang dulu.

Apa yang dilakukan tadi, benar-benar suatu hal yang tak pernah diimpikan semula. Walaupun hal itu terdesak oleh keadaan namun hati Siau-liong seperti diiris-iris rasanya.

Sambil menatap Siau-liong, Kongsun Sin-tho membentak, “Apakah engkau tahu bahwa jika engkau tak mau menurut perintah suhu, hanya jalan kematian yang engkau peroleh?"

Begitu saling bertatap pandang dengan suhunya, Siau-liong tiba-tiba menangis, “Suhu, murid rela mati ditangan suhu! Engkau.... bunuhlah murid! Matipun murid takkan penasaran....”

Habis berkata, Siau-liong terus berlutut dihadapan Kongsun Sin-tho, tundukkan kepala siap menunggu kematian!

Song Ling dan Lu Bu-ki yang berdiri di samping hanya terlongong-longong menyaksikan adegan itu tanpa dapat berbuat sesuatu apa.

"Apakah engkau benar-benar rela mati?" bentak Kongsun Sin-tho.

"Benar, mati dibawah tangan suhu, murid merasa ikhlas dan akan mati dengan meram!"

Kongsun Sin-tho rentangkan kedua matanya lebar-lebar. Dipandangnya Siau-liong dan mulailah ia mengangkat tangan kanannya pelahan-lahan ke atas.

Tetapi wajahnya tiba-tiba memantulkan kesedihan. Dan tangan kanannya itupun berhenti di atas saja. Sampai lama tak juga dihantamkan ke bawah.

Karena sampai lama belum juga gurunya memukul, Siau-liong pelahan-lahan mengangkat kepala. Tepat matanya bertatapan dengan mata suhunya.

Dilihatnya mata suhunya tiba-tiba mengucurkan beberapa titik air mata. Dan air mata itu tepat menetes ke muka Siau-liong.

Siau-liong menghela napas, serunya rawan: "Suhu, suhu....”

"Muridku....” sahut Kongsun Sin-tho dengan iba.

"Suhu, lebih baik kita menuju ke Go-bi dulu," kembali Siau-liong mengulang permintaannya.

Tiba-tiba wajah Kongsun Sin-tho berobah lagi dan segera membentaknya bengis,

“Tetapi engkau lebih dulu engkau harus menurut perintahku untuk memberikan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada nona Song."

Siau-liong menghela napas, “Suhu, apakah engkau benar-benar juga terkena ilmu siluman dari Iblis Penakluk-dunia....”

"Tutup mulutmu!" bentak Kongsun Sin-tho dengan mata berapi-api,.... untuk yang terakhir kali jawablah. Engkau mau menurut perintahku atau tidak?"

Siau-liong merenung sejenak lalu menyahut tegas,

“Murid hanya menurut perintah yang sehat, bukan perintah yang kacau! Apabila suhu hendak memaksa murid melakukan perbuatan yang mencelakai dunia persilatan, biar mati murid tetap tak mau menurut!"

Seketika tegaklah rambut Kongsun Sin-tho. Dengan menggembor keras ia mengangkat tangan kanan terus hendak dihantamkan ke arah kepala Siau-liong.

Song Ling dan Lu Bu-ki sudah siap-siap. Tetapi karena berdiri pada jarak beberapa langkah, mereka tak berdaya membendung pukulan Kongsun Sin-tho yang dilancarkan secepat kilat.
56. Pertapa Sakti Mata Satu

“Bum....” terdengar letupan dahsyat disertai hamburan debu dan pasir serta ranting-ranting pohon yang berhamburan keempat penjuru. Suatu keadaan yang mirip dengan ledakkan halilintar.

Song Ling terkejut pucat. Dalam hamburan debu yang masih menebal, ia menjerit sekuatnya, “Siau-liong! Siau-liong....” - terus loncat menyusup ke tempat Siau-liong.

Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuatnya terlongong-longong.

Kongsun Sin-tho berdiri beberapa langkah jauhnya. Wajahnya tenang, terlongong-longong tak bicara apa-apa.

Sedang Siau-liong pun tak kurang suatu apa. Dan sudah bangun berdiri. Disampingnya tampak seorang tua berbaju ungu. Orang tua tak dikenal itu tengah tertawa dingin.

Karena tak menduga sama sekali, maka Song Ling tak dapat mengetahui kapankah orang tua baju ungu itu munculnya? Tetapi cepat ia dapat menduga bahwa tentulah orang tua baju ungu itu yang telah menyelamatkan jiwa Siau-liong.

Dandanan orang tua itu memang aneh. Selain pakaiannya yang berwarna ungu, pun mukanya tertutup dengan sutera ungu yang tebal.

Dari bayang-bayang sutera ungu tampak jelas jenggotnya yang putih memanjang sampai keperut. Tetapi wajahnya tak tampak jelas.

Siau-liong memandang Kongsun Sin-tho lalu memandang ke arah orang tua yang tak dikenal itu. Kemudian memberi hormat,

“Mohon tanya mengapa locianpwe menolong diriku?"

Orang tua baju ungu itu tertawa dingin,

“Ada dua macam kematian. Mati segempar gunung Thaysan rubuh dan mati sepele seperti jatuhnya bulu burung. Mati seperti yang hendak engkau tempuh ini, mati yang tak berharga....”

Kemudian menuding pada Kongsun Sin-tho ia berkata pula,

“Sekalipun dia merupakan guru yang telah melepas budi besar kepadamu! Tetapi kesadarannya sudah hilang. Apa yang dilakukannya, semata-mata hanya menurut apa yang diperintahkan orang yang menguasainya dengan ilmu hitam. Jika engkau relakan dirimu dihantamnya, bukankah engkau akan mati dengan penasaran?"

Siau-liong merenung ucapan orang tua baju ungu itu dan merasa memang benar. Serentak teringatlah ia akan tindakan suhunya ketika berada dalam biara rusak yang lalu.

Saat itu Kongsun Sin-tho memberi padanya separoh dari pil Cap-siau-cwan-soh-sin-tan. Mungkin saat itu gurunya sudah menduga akan terjadi kemungkinan yang menimpah dirinya seperti saat ini.

Maka jelaslah maksudnya, Kongsun Sin-tho menugaskannya ke puncak Kim-ting untuk meminta Terggoret-emas-kaki-tiga kepada paderi sakti. Karena hanya binatang pusaka itulah yang harus menjadi campuran ramuan pil Cap-siau-cwan-soh-sin-tan agar benar-benar dapat menjadi obat mujijad untuk menolong suhunya dan sekalian tokoh-tokoh yang dibius Iblis Penakluk-dunia.

Diam-diam Siau-liong kucurkan keringat dingin. Pikirnya,

“Jika orang tua baju ungu ini tak menolong pada waktu yang tepat, tentulah saat itu dirinya sudah mati. Bukankah aku bakal menjadi seorang yang berdosa karena telah menelantarkan tugas berat yang dipikulnya?"

Memandang ke arah Kongsun Sin-tho, dilihatnya mata gurunya itu sudah redup. Pandang matanya sudah hampa seperti orang tolol. Kongsun Sin-tho memandang berkesiap kepada dirinya dan orang tua baju ungu itu.

Tiba-tiba terdengar lengking suitan ngeri yang menusuk telinga. Berasal dari tengah hutan. Kumandang suitan itu sampai lama belum hilang.

Dan serentak terbeliak kagetlah Kongsun Sin-tho mendengar suitan itu. Ia memandang kesekeliling penjuru lalu menghela napas. Tanpa berkata apa, tiba-tiba ia loncat ke udara. Dalam dua tiga loncatan saja, ia sudah menghilang dalam gerumbul pohon yang lebat.

Siau-liong bercucuran air mata memandang bayangan suhunya. Sesaat ia berdiri terlongong-longong.

Tiba-tiba ia berputar tubuh lalu berlutut dihadapan orang tua baju ungu, “Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Bolehkah kumohon tanya nama locianpwe yang mulia?"

Orang tua baju ungu itu tertawa gelak-gelak. Ia mengangkat bangun Siau-liong, serunya,

“Karena engkau ini sudah menjadi pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, tak perlulah engkau menjalankan peradatan begitu.... Aku sungguh-sungguh tak berani menerima....”

Berhenti sejenak ia melanjutkan berkata, “Dahulu rasanya aku pun pernah punya nama. Tetapi karena tinggal dipegunungan sampai belasan tahun, telah kulupakan semua!"

Siau-liong terkesiap. Ia anggap orang tua itu benar-benar seorang aneh.

Saat itu Lu Bu-ki dan Song Ling pun sudah menghampiri. Keduanya serta-merta memberi hormat kepada orang tua aneh itu.

Orang tua itu mengangguk tertawa lalu membelai rambut Song Ling, tegurnya, “Nak, berapakah umurmu sekarang?"

Song Ling terkesiap, sahutnya, “Delapan belas tahun!"

Orang tua aneh itu tiba-tiba menghela napas, ujarnya, “Ah, waktu benar-benar cepat sekali! Dalam sekejap mata saja sudah limabelas tahun....”

Tampaknya dia sayang sekali kepada Song Ling. Sambil mengelus-elus kedua bahu dan pipi si dara, ia berkata,

“Kuingat ketika melihatmu dulu, engkau baru seorang budak kecil berumur tiga tahun."

"Locianpwe, apakah engkau tak salah lihat?" seru Song Ling heran.

Orang tua baju ungu itu tertawa gelak, “Sekalipun burung yang terbang pada limabelas tahun berselang, aku pasti masih mengenalinya!"

Habis berkata tiba-tiba orang tua itu menarik sutera kerudung mukanya....

Seorang tua yang wajahnya masih merah segar, jenggotnya putih seperti salju tetapi matanya sebelah kiri buta. Melihat itu serta-merta Song Ling berlutut dan berseru dengan isak tangis,

“Ah, kiranya kakek guru.... Pertapa-sakti-mata-satu!"

Pertapa-sakti itu menepuk-nepuk bahu si dara dan tertawa gelak-gelak, “Nak, engkau seperti ibumu, cerdas sekali!"

Makin sedih dan air matanya pun berderai-derai seperti banjir. Ia memeluk kaki orang tua itu seraya meratap, “Mohon, kakek guru suka menolong ibu. Dia sekarang....”

Orang tua itu mengangkat si dara bangun, ujarnya, “Sudah tentu, sudah tentu.... tetapi....”

Rupanya orang tua itu tak yakin mampu melakukan hal itu. Maka sampai lama sekali ia tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Walaupun belum mendengar kesanggupan yang positip, tetapi bertemu dengan kakek gurunya itu, cukup membuat hati Song Ling terhibur. Ia berpaling ke arah Siau-liong dan suruh anak muda itu menghadap kakek gurunya.

"Aku yang rendah, menghaturkan hormat kepada locianpwe!" kata Siau-liong seraya memberi hormat.

“Ah, jangan banyak peradatan....” orang tua menganggukkan kepala lalu bertanya, “Apakah engkau ini putera dari Tong Gun-liong dan murid dari Kongsun Sin-tho?"

Siau-liong tertegun, katanya tergagap, “Ya benar."

Ia heran mengapa orang tua itu tahu asal usulnya begitu jelas. Jika begitu, kemungkinan orang tua itu tentu tahu juga bagaimana peristiwa yang dialaminya ketika masuk ke dalam pusar bumi dan mendapat rejeki yang luar biasa.

Song Ling dan Lu Bu-ki pun terperanjat juga. Mereka hanya tahu bahwa Siau-liong itu memakai she Kongsun. Tak pernah mereka mendengar bahwa pemuda itu putera dari Tong Gun-liong.

Setelah tertegun beberapa saat, si tinggi besar Lu Bu-ki maju kehadapan Pertapa-sakti-mata-satu itu, memberi hormat, “Aku yang rendah Lu Bu-ki, menghadap locianpwe."

Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, “Ah, sungguh menggembirakan sekali dapat bertemu dengan Lu-tayhiap yang menguasai Rimba Hijau wilayah selatan!"

“Ah, locianpwe keliwat memuji....” tersipu-sipu si tinggi besar menyahut, "Tadi aku telah melihat beberapa sosok bayangan menyusup kegerumbul pohon. Mungkin Iblis Penakluk-dunia sudah datang bersama anak buahnya....”

Pertapa-sakti-mata-satu itu tertawa meloroh, “Ah, mungkin mataku yang tinggal satu ini kurang awas. Tetapi aku memang tak melihat seseorang yang bersembunyi disekeliling sini....”

Sejenak pertapa itu memandang Lu Bu-ki lalu Siau-liong, katanya pula, “Karena kalian hendak menuju ke Go-bi, marilah bersama sama dengan aku kesana!" — Habis berkata ia terus menarik tangan Song Ling dan diajak berjalan.

Lu Bu-ki terlongong sejenak....

Suara suitan tinggi tadi tentulah tanda dari Iblis Penakluk-dunia untuk memanggil Kongsun Sin-tho. Tetapi mengapa pertapa mata-satu itu mengatakan tak melihat orang bersembunyi disekeliling tempat situ?

Tetapi walaupun kasar, Lu Bu-ki itu cerdas juga. Ia memperhatikan kilatan mata pertapa-sakti itu seperti memberi isyarat rahasia kepadanya. Maka iapun tak mau banyak bicara. Ia melangkah pelahan-lahan mengikuti Pertapa-sakti-mata satu.

Tenang sekali pertapa-sakti itu ayunkan langkah memimpin tangan Song Ling sambil tanya ini itu. Begitu lambat ia berjalan hingga sepenyala dupa lamanya barulah ia keluar dari persimpangan jalan itu lalu belok menuju, kejalanan yang menjurus ke Go-bi.

Siau-liong masih sedih memikirkan suhunya yang juga telah menjadi korban kehilangan kesadaran pikirannya. Ia berjalan di belakang Pertapa-sakti-mata-satu itu tanpa bicara apa-apa.

Lu Bu-ki tak henti-hentinya memandang kian kemari. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap, kecuali deru air sungai yang bergemuruh dari kejauhan, hanya angin yang mendesis-desis menghembus pohon-pohon.

Tetapi diam-diam kepala Rimba Hijau wilayah selatan itu sudah menduga bahwa Iblis Penakluk-dunia tentu telah menyembunyikan anak buahnya. Gerak-gerik dan pembicaraan kawan-kawannya tentu sudah didengar mereka.

Tetapi ia memperhatikan betapa tenang Pertapa-sakti-mata-satu itu berjalan. Sedikit pun tak mengacuhkan keadaan di sekelilingnya. Mau tak mau terpengaruh juga hati Lu Bu-ki. Iapun berlaku setenang mungkin.

Tiba-tiba Pertapa-sakti-mata-satu percepat langkahnya.... Tak berapa lama gunung Go-bi pun sudah tampak dari kejauhan. Lebih kurang hanya tinggal duapuluhan li jauhnya.

Tiba-tiba orang tua aneh itu berhenti lalu tertawa meloroh, “Sungguh tak nyana, dalam usia setua ini, aku masih menemani kalian untuk menikmati pemandangan alam yang permai....”

Sekonyong-konyong orang tua itu berputar tubuh ke arah Lu Bu-ki, serunya,

“Iblis Penakluk-dunia sudah membawa anak buahnya bersembunyi dalam gerumbul pohon. Berkat peyakinanku selama berpuluh tahun dalam ilmu Hun-yu-than-bi atau Menyiak-sunyi-menyusup-kelebatan, aku dapat mendengar suara ulat atau unggas yang bergerak pada jarak sepuluh li jauhnya. Gerak gerik mereka tak lepas dari pendengaranku. Tetapi aku memang sengaja pura-pura tak mendengar agar dapat mengelabuhi perhatian mereka. Kalau tidak....”

Ia tersenyum dan berkata pula, “Aku tentu tak mampu menghadapi serangan gabungan dari Empat tenaga sakti!"

"Apakah ibu juga.... datang?" tanya Song Ling.

"Datang sih datang tetapi aku tak berdaya menolongnya!" kata Pertapa-sakti-mata-satu.

Siau-liong memandang ke arah jalan yang dipandang pertapa itu. Tiba-tiba ia melihat beberapa sosok bayangan berkelebat dan lenyap lagi.

Kiranya perkataan Pertapa-sakti-mata-satu itu memang benar. Iblis Penakluk-dunia telah datang bersama rombongan anak buahnya. Segera Siau-liong berkata kepada orang tua sakti itu,

“Apakah locianpwe melihat dalam gerumbul pohon itu....”

Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, “Sudah kukatakan, setiap ulat dan unggas yang bergerak dalam lingkungan sepuluh li, tak mungkin lolos dari telingaku....”

Siau-liong menundukkan kepala tak membantah. Tetapi diam-diam ia merasa orang tua itu terlalu besar omongannya. Pikirnya,

“Biarpun telingamu amat tajam, tak mungkin engkau mampu mendengar gerak-gerik ulat dan burung sejauh sepuluh li. Apalagi matamu hanya tinggal satu."

Tiba-tiba Pertapa-sakti-mata-satu berkata pula, “Memang Iblis Penakluk-dunia agak takut juga kepadaku. Kalau tadi dia tak berani keluar, saat inipun tentu tak berani mengejar kita."

Ia tertawa meloroh lalu berseru nyaring, “Hayo, kita lanjutkan jalan lagi!" — ia terus menggandeng tangan Song Ling dan melangkah kemuka. Siau-liong dan Lu Bu-ki terpaksa mengikuti.

Saat itu mereka sudah menyusur jalanan gunung. Puncak Go-bi tampak menjulang tinggi kelangit. Gunung yang berselaput rimba hijau, bertaburan dengan gumpal awan putih yang tak henti-hentinya berarak-arakan kian kemari.

Gunung Go-bi benar-benar merupakan gunung keramat tempat para dewa yang indah tenang alamnya.

Pertapa-sakti-mata-satu itu tetap berjalan pelahan-lahan. Tetapi ternyata langkahnya itu amat cepat sekali sehingga Lu Bu-ki terpaksa harus mengejar dengan berlari agar jangan sampai ketinggalan jauh.

Gua Ko-hud-tong itu terletak di belakang gunung. Maka setelah mendaki beberapa waktu, Pertapa-sakti-mata-satu lalu mengajak rombongannya mengitari ke belakang gunung.

Walaupun dalam hati ingin sekali segera mendapatkan paderi sakti Kim Ting untuk meminta Tenggoret-berkaki-tiga. Tetapi ia tak kenal jalanan dan tak kenal pula pada paderi sakti itu.

Oleh karena ia sungkan untuk bertanya kepada Pertapa-sakti-mata-satu, terpaksa ia hanya mengikuti di belakang orang tua itu saja. Hanya diam-diam ia memperhatikan keadaan disekeliling penjuru.

Rupanya pertapa sakti itu tahu akan kegelisahan si dara. Tak henti-hentinya ia tertawa-tawa menghibur hati dara itu.

Siau-liong tak dapat menangkap apa yang dikatakan Pertapa-sakti itu kepada Song Ling. Tetapi dilihatnya berulang kali si dara berpaling memandang ke arahnya dan memberi isyarat kicupan mata kepadanya.

"Sudahlah, jangan mempedulikan dia!" Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, "dia memang seorang budak tolol!"

Ia berpaling memandang Siau-liong. Siau-liong tertegun. Cepat-cepat ia maju selangkah, “Apakah locianpwe hendak bicara kepadaku?"

Song Ling tertawa mengikik, “Apakah engkau tuli? Kakek guru bilang engkau ini....” - tiba-tiba ia berhenti dan menutup mulutnya yang tertawa.

Merah telinga Siau-liong. Ia menunduk diam. Pertapa sakti-mata-satu itu menganggukkan kepala, katanya, “Aku hendak menjelaskan dulu namamu yang sesungguhnya agar dapat memanggil dengan tepat."

Siau-liong tersipu-sipu tak berani mengangkat muka. Mulutnya tergagap menyambut,

“Aku sebenarnya memang orang she Tong. Karena hendak menghindari ancaman dunia persilatan dan demi usahaku untuk membalas sakit hati orang tua, maka aku terpaksa berganti memakai she suhuku Kongsun. Tetapi....”

"Kalau begitu baik tetap kupanggil Kongsun-siauhiap sajalah!"' cepat-cepat orang tua itu menukas.

"Ah, jangan, locianpwe. Harap locianpwa cukup panggil namaku saja!"

Pertapa-sakti-mata satu itu tertawa, “Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu sakti nomor satu di dunia persilatan. Saat ini Kongsun-siauhiap merupakan jago nomor satu di dunia. Masakan aku berani berlaku kurang hormat?" sahut pertapa-mata-satu itu.

“Ah, masakan aku berani menerima sanjung pujian yang begitu tinggi," buru-buru Siau-liong berseru.

Tetapi orang tua itu tak menghiraukan kata-kata Siau-liong, ia menghela napas,

“Sayang ilmu sakti itu belum dapat engkau pelajari sempurna. Apabila sudah dapat engkau kuasai, Iblis Penakluk-dunia dan keempat tokoh ilmu sakti itu, tak mungkin mampu menandingi kesaktianmu. Cukup engkau seorang diri saja, sudah pasti dapat membasmi gerombolan Iblis Penakluk-dunia dan menyelamatkan dunia persilatan!"

Diam-diam Siau-liong menghela napas. Ucapan orang tua baju ungu itu memang tak bohong. Ia baru mengetahui sedikit tentang ilmu Thian-kong-sin-kang itu tetapi kepandaiannya sudah maju begitu pesat.

Apalagi kalau ia sudah dapat menguasainya semua. Tetapi, ah, sayang ia tak mempunyai kesempatan untuk meyakinkan ilmu itu.

Dengan nada rawan berkatalah Pertapa sakti-mata-satu itu, “Segala apa tergantung takdir. Kita hanya dapat berusaha tetapi Allah yang kuasa....”

Tiba-tiba mata orang tua yang tinggal sebelah itu berkilat-kilat tajam dan berkatalah ia dalam soal lain,

“Tadi kukatakan bahwa ilmuku Hun-yu-than-bi itu dapat mendengar gerak-gerik ulat dan unggas yang bergerak dalam jarak sepuluh li .... Kongsun-siauhiap tentu tak percaya hal itu, bukan?"

“Ah, mana aku berani tak percaya," buru-buru Siau-liong berseru.

“Tapi memang begitulah. Maka hendak kutunjukkan bukti kepadamu....” tiba-tiba orang tua itu menuding kemuka, tanyanya, “Apakah Kongsun-siauhiap melihat sesuatu?"

Siau-liong tertegun. Ia memandang ke arah yang ditunjuk pertapa tua itu. Tetapi kecuali puncak gunung yang tinggi menyusup kelangit dan bertutup hutan belantara yang lebat dengan lingkaran jalan-jalan kecil, Siau-liong tak melihat apa-apa lagi.

“Rasanya aku tak melihat apa-apa," kata Siau-liong.

“Apakah mendengar apa-apa?" tanya pertapa tua itu pula.

Siau-liong pasang telinga mendengari dengan penuh perhatian. Tetapi ia tak mendengar apa-apa, sahutnya:

“Yang kudengar hanya deru angin dan desir serangga. Lain tidak!"

“Kudengar pada jarak tiga li, dua orang sedang berjalan. Mereka mempunyai hubungan dengan engkau!" kata pertapa tua itu.

Siau-liong, Lu Bu-ki dan Song Ling terhenti, seketika, memandang orang tua aneh itu. “Apakah locianpwe tak bergurau?"

“Aku tinggal dibalik gunung sana," orang tua itu menunjuk pada hutan disebelah kiri, "setengah jam lagi kita jumpa di gua Ko-hud-tong," habis berkata ia terus melangkah pergi.

“Hai, kakek guru, dia tak kenal jalan," si dara memburunya.

“Hus, budak perempuan, dia tak tahu jalan apa sangkut-pautnya dengan dirimu....” bentak orang tua itu lalu membisiki telinga si dara,

"setelah gerombolan Iblis Penakluk-dunia tertumpas, kakek tentu akan menjomblangkan perjodohan kalian!"

Song Ling tersipu-sipu malu....
57. Penglepasan Sandera ......

"Sucou, engkau....” teriak Song Ling.

Siau-liong tak mendengar apa pun yang dibisikkan orang tua itu kepada Song Ling. Ia terus melesat pergi.

"Maaf, akupun akan mengikuti saudara Kongsun." Si tinggi besar Lu Bu-ki pun segera memberi hormat kepada Pertapa-sakti-mata-satu itu terus menyusul Siau-liong.

Song Ling hanya memandang terlongong ke arah bayangan pemuda itu. Walaupun ucapan orang tua itu hanya kata-kata menghibur, tetapi tak urung hati dara itu tergerak juga. Entah bagaimana saat itu ia merasa seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang belum pernah dirasakan selama ini.

Sejak kecil ia hidup bersama ibunya di gunung Bu-san yang sepi. Selama itu tak pernah ia berkawan dengan anak lelaki. Ia berangkat dewasa dalam alam kesunyian.

Sejak berkenalan dengan Siau-liong, walau pun keduanya saling menjaga kesopanan tetapi tanpa terasa dalam hati dara itu tumbuh semacam perasaan yang aneh. Suatu perasaan yang belum pernah dialami seumur hidup. Ia merasa takut kalau ditinggal pergi pemuda yang baik budi itu.

“Nak, apakah engkau sungguh-sungguh suka kepadanya?" tiba-tiba orang tua sakti itu menegurnya.

Song Ling mendesus lalu tertawa tersipu-sipu. Ia tak mau menjawab melainkan mengikuti di belakang kakek gurunya berjalan.

Sementara itu karena menggunakan ilmu meringankan tubuh, dalam beberapa kejap saja dapatlah Sau-liong mencapai tiga li jauhnya.

Sambil lari, ia tetap memperhatikan keadaan disekelilingnya. Tetapi sampai sejauh itu ia tak melihat barang seorang pun jua. Seketika timbullah rasa curiganya, “Huh, jangan-jangan orang tua bermata satu itu hanya mengelabuhi aku supaya pisah dengan Song Ling ....”

Dengan napas terengah-engah, Lu Bu-ki menyusul tiba, serunya, “Apakah saudara Kongsun melihat seseorang?"

”Kita tentu ditipunya. Sampai sepuluh li jauhnya tak kelihatan apa-apa. Memang di dunia tak mungkin terdapat orang dan ilmu seaneh itu," sahut Siau-liong.

Lu Bu-ki banting-banting kaki dan menggembor: “Benar! Aku juga tak percaya pada ilmu begitu!"

Sejenak meragu, Siau-liong lanjutkan larinya lagi. Kira-kira dua puluh tombak jauhnya ia tiba dibawah kaki sebuah gunung. Kaki gunung itu penuh ditumbuhi gerumbul rumput dan aneka pohon seperti di dalam hutan. Tetapi Siau-liong tak mendengar suara dan melihat sesuatu.

Berpaling ke arah Lu Bu-ki, ia gelengkan kepala terus hendak pergi. Tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar bunyi cengkerik dari balik sebuah batu besar.

Siau-liong dan Lu Bu-ki tertegun. Setelah pasang pendengaran barulah mereka mendengar suara orang bicara.

"Engkau mau pergi atau tidak!" seru seseorang.

Seorang wanita menjawab, “Ah, aku memang benar-benar tak dapat berjalan lagi!"

Mendengar suara itu, girang Siau-liong bukan kepalang. Kedua orang yang berbicara dibalik gerumbul itu jelas paderi Liau Hoan dari Thian-san dan pemilik Lembah Semi Poh-Ceng-in.

Terdengar Liau Hoan membentak, “Apakah suruh aku menggendongmu?"

Poh Ceng-in menghela napas panjang, ujarnya, “Lebih baik bunuh aku sajalah!"

Liau Hoan tertawa dingin: “Jika memang membunuhmu tak perlu kubawa engkau kian kemari seperti ini!"

Siau-liong kerutkan dahi. Dilihatnya paderi kurus dari Thian-san itu muncul dari balik batu sambil menjinjing tubuh Poh Ceng-in.

Begitu melihat Siau-liong, paderi itu girang sekali. Ia maju menghampiri, “Kukira engkau sudah mendaki kepuncak Kim-ting, tak kira kalau dapat bertemu disini."

Memandang Poh Ceng-in, berkatalah Siau-liong, “"Ah, losiansu tentu payah dalam perjalanan, aku selalu memikirkan....”

Liau Hoan tertawa, “Jika tak punya sandera wanita baju merah ini, mungkin aku sudah celaka dan tak dapat berjumpa lagi!"

Poh Ceng-in tak mau banyak bicara melainkan memandang Siau-liong dengan penuh dendam. Ia tertawa geram lalu pejamkan matanya.

Siau-liong agak kasihan. Dilihatnya kedua tangan wanita itu masih terikat ke belakang, rambutnya terurai kusut, tubuhnya berlumuran kotoran dan napasnya terengah-engah.

Sejenak meragu, Siau-liong menghampiri kesamping Poh Ceng-in, serunya, “Tak perlu engkau mendendam kepadaku. Kalau mau marah, marahlah kepada ayah bundamu....” ia menghela napas lagi, katanya, "aku bukan seorang yang kejam tak kenal perikemanusiaan. Hanya karena terpaksa oleh keadaan, dan lagi aku pasti memenuhi janji setahun lagi bertemu digunung Bu-san."

Poh Ceng-in membuka mata dan mendengus, “Hm, tak perlu omong lagi! Karena sudah tahu cara mengobati racun dalam tubuhmu, silahkan bunuh aku .... aku cudah cukup menderita siksaan macam begini!"

Tiba-tiba wanita pemilik lembah itu tertawa melengking, “Pula sekarang aku sudah sadar bahwa hubungan laki perempuan itu memang tak dapat dipaksa!"

Kedua pipi Poh Ceng-in bercucuran air mata. Wajahnya rawan. Seolah-olah orang yang menyesal.

Siau -liong terlongong beberapa saat. Ia heran mengapa dalam detik-detik menderita kesulitan seperti itu, Poh Ceng-in yang ganas seperti menyadari kesalahannya.

Siau-liong memang berhati welas asih. Diam-diam iapun menyesal telah menyiksa seorang wanita sampai begitu rupa.

Beberapa saat kemudian, ia berkata kepada paderi Liau Hoan, “Selama membawa wanita ini menempuh bahaya maut, tentulah losiansu letih dan payah sekali!"

Liau Hoan tertawa, “Ah, tak apa. Karena tahu wanita itu amat penting bagi Kongsun-hiapsu, maka aku tetap menjaganya mati-matian."

“Apakah losiansu tak keberatan menyerahkan wanita itu kepadaku?" tanya Siau-liong pula.

Liau Hoan tertegun, serunya, “Sudah tentu aku menurut saja apa pesan Kongsun-siauhiap!"

Baik sikap dan nada ucapannya, paderi dari Thian-san itu amat menghormati sekali kepada Siau-liong.

Siau-liong segera berjongkok dan membuka tali pengikat Poh Ceng-in, memapahnya berdiri lalu berkata hambar, “Silahkan pergi!"

Sepasang mata wanita pemilik Lembah Semi itu memancar sinar heran. Dipandangnya Siau-liong, “Engkau lepaskan aku pergi?"

Siau-liong tertawa tawar, “Benar, engkau bebas!"

Lu Bu-ki dan Liau Hoan terkejut sekali, hampir keduanya serempak berseru: "Kongsun-siauhiap, wanita siluman itu tak boleh dilepaskan!"

Liau Hoan maju selangkah, katanya, “Aku mengabdikan diri ke dalam gereja. Meskipun tak menyetujui pembunuhan tetapi kejahatan wanita itu benar-benar melebihi takeran. Dan lagi dia telah menguasai jiwa Kongsun-siauhiap. Mana boleh....”

Lu Bu-ki pun sudah mencabut ruyung besi dan menghadang Poh Ceng-in, “Betul! Wanita siluman itu tak boleh dilepas!"

Seru Siau-liong tenang, “Mati hidup tergantung takdir. Kaya miskin pun sudah suratan nasib. Kalau aku memang sudah ditakdirkan harus mati, bagaimanapun hendak berdaya tentu tak berguna. Apalagi menjadikan seorang perempuan lemah sebagai sandera. Sekalipun dapat mengalahkan Iblis Penakluk-dunia, tetapi cara itu bukan kesatria!"

Melihat sikap Siau-liong yang jantan itu, mau tak mau Liau Hoan dan Lu Bu-ki mengindahkan juga. Mereka serempak mundur.

Tetapi Poh Ceng-in pun tak mau segera pergi. Ia tertegun memandang Siau-liong.

"Omitohud!" seru Liau Hoan siansu, "Kongsun-siauhiap berbudi welas asih dan berwatak kesatria. Sekalipun sudah empatpuluh tahun lamanya aku mengabdikan diri dalam gereja, tetapi ternyata masih kalah dengan pribudinya!"

Paderi itu menarik Lu Bu-ki, “Lu-tayhiap, biarkan dia pergi!"

Poh Ceng-in rupanya hendak bicara, tetapi sampai sekian lama bibirnya bergerak, belum juga terluncur kata-kata. Tiba-tiba ia menutup mukanya, berputar tubuh terus melangkah pergi dengan terhuyung-huyung.

Sekonyong-konyong Siau-liong loncat memburu, “Tunggu dulu!"

Poh Ceng-in berhenti, “Apakah engkau menyesal?"

Siau-liong tertawa dingin, “Kaum persilatan menjunjung tinggi janji. Sekali seorang lelaki berkata, takkan bergoyah seperti gunung yang kokoh. Masakan aku menyesal?"

Poh Ceng-in berputar diri. Dengan air mata berlinang-linang ia menatap Siau-liong: "Kalau begitu, engkau....”

“Tolong sampaikan pada suami isteri Iblis Penakluk-dunia. Bahwa sejak dahulu sampai sekarang. Kejahatan itu tak mungkin dapat mengalahkan Kebenaran. Dengan siasat keji dan ilmu Hitam, orang tuamu itu hendak menguasai dunia persilatan, meskipun dapat berhasil tetapi tak akan tahan lama. Maka sebelum terlambat, harap lekas sadar agar mereka dapat melewati pada hari tua mereka dengan tenteram. Dan yang kedua kalinya....”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan: “Engkau pun harus memegang janji dibarisan Tujuh-maut tempo hari. Jika dalam setahun ini, racun jong-tok itu tak bekerja, besok tahun muka pada pertengahan musim rontok seperti hari ini, aku tentu datang ke Bu-san.”

Poh Ceng-in menunduk memandang tanah, katanya, “Apakah masih ada lain pesanan lagi?”

“Tak ada, silahkan pergi!”

“Baik, semuanya kuingat!” kata Poh Ceng-in seraya melangkah pergi.

Beberapa saat kemudian, Liau Hoan siansu berkata: “Adakah Kongsun-siauhiap masih ingat akan janji untuk bersama aku menuju ke Thian-san?”

Siau-liong tertawa hambar, “Kuharap losiansu pun dapat mengingat bahwa aku meluluskan hal itu setelah nanti tahun depan pertengahan musim rontok. Pada saat itu apabila aku masih hidup, tentu akan memenuhi janji itu!”

Liau Hoan tersenyum: “Baik akan kutunggu.”

Sejenak memandang keempat penjuru, Siau-liong bertanya kepada kedua orang itu apakah mereka tahu jalan ke puncak Kim-ting.

Lu Bu-ki tampil kemuka: “Apakah saudara Kongsun tak mau bertemu dengan Tok Bok lojin itu?”

Siau-liong menghela napas, “Saat ini Iblis Penakluk-dunia sudah membawa rombongannya. Entah rencana apa yang mereka siapkan. Maka kurasa hendak kepuncak Kim-ting dulu meminta Tenggoret-berkaki-tiga kepada paderi sakti itu!”

Lu Bu-ki menatap Liau Hoan siansu, serunya, “Kalau begitu, aku yang menunjukkan jalan!”

Si tinggi besar itu terus ayunkan langkah mendahului berjalan. Ternyata dia memang paham jalanan disitu.

Kira-kira sepenanak nasi lamanya, mereka tiba disebuah gunung karang yang menjulang tinggi. Dipuncak gunung itu penuh dengan pohon cemara dan jati.

“Sudah sampai Puncak itu adalah puncak Kim-ting dari gunung Go-bi!” Lu Bu-ki berhenti.

“Omitohud! Benar-benar sebuah tempat yang keramat!” seru Liau Hoan siansu.

Rupanya Lu Bu-ki teringat akan sesuatu hal yang penting maka tiba-tiba ia berseru,

“Dalam pertempuran di Lembah Semi tempo hari, kaum persilatan telah menderita kekalahan. Dengan dapat menguasai dua tokoh pewaris ilmu sakti serta beberapa tokoh sakti lainnya, Iblis Penakluk-dunia dapat mengalahkan Ceng Hi totiang dan Pendekar Laknat. Impiannya untuk menguasai dunia persilatan, rupanya akan segera menjadi kenyataan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia mundur lagi dan mengadakan janji kepada Ceng Hi totiang supaya dalam waktu tiga hari datang kepuncak Kim-ting?”

Siau-liong juga heran.

Liau Hoan tertawa gelak-gelak, “Sekali pun aku tak berani mengatakan tahu betul rahasia itu, tetapi sedikit banyak aku dapat menduganya ...”

Ia menunjuk kearah puncak Kim-ting yang tinggi, katanya,

“Puncak Kim-ting dari Go-bi, setelah menjadi tempat pertandingan ilmu pedang dan adu pedang dari Tio Sam-hong dengan paderi Sembilan-jari Sapolo pada seribu tahun yang lalu, maka tempat itu dianggap sebagai tempat keramat oleh kaum persilatan.

Beratus-ratus tahun lamanya entah sudah terjadi berapa banyak peristiwa besar dipuncak gunung itu. Pemilihan Ketua dunia persilatan angkatan ketiga yang dilangsungkan pada seratus tahun yang lalu, juga diselenggarakan dipuncak itu.

Sekalipun sudah dapat mengalahkan Ceng Hi totiang dan menundukkan sebagian besar kaum persilatan, tetapi apabila Iblis Penakluk-dunia tak dapat mengadakan rapat besar di puncak Kim-ting untuk mengumumkan pengangkatannya sebagai Penguasa Dunia persilatan, tentu sukarlah bagi dia hendak menguasai dunia persilatan selama-lamanya.”

Berhenti sebentar, paderi Liau Hoan melanjutkan pula, “Yang kedua kalinya, Iblis Penakluk-dunia sudah memperhitungkan bahwa kekuatan dunia persilatan sekarang ini sudah rapuh. Tiada seorang lawan yang mampu menentangnya lagi. Maka ia suruh seluruh tokoh-tokoh persilatan datang ke Kim-ting dimana nanti ia akan mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Penguasa Dunia-persilatan. Ia sudah memperhitungkan sekalipun barangkali nanti ada sementara orang yang berani menentangnya, tetapi ia yakin dengan memiliki keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu, ia tentu dapat menghancurkan setiap perintang .....”

Siau-liong mendengarkan dengan diam. Diam-diam ia merenungkan suhunya dan Randa Bu-san serta tokoh-tokoh pewaris ilmu sakti yang ditawan Iblis Penakluk-dunia itu. Ia menghela napas panjang.

Sambil memandang Siau-liong, Liau Hoan siansu melanjutkan kata-katanya,

“Iblis Penakluk-dunia mengetahui bahwa Kongsun-siauhiap masih belum sempat mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang. Maka untuk saat ini dia tak takut. Tetapi paling lama dalam sepuluh hari, apabila ia tak dapat merebut kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, ia tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan Kongsun-siauhiap!”

Siau-liong menyadari bahwa ucapan paderi itu memang bukan ancaman kosong. Tiba-tiba ia teringat akan ucapan suhunya Kongsun Sin-tho, bahwa kemungkinan Iblis Penakluk-dunia sudah dapat mempelajari ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang, Cek-ci-sin-kang dan lain-lainnya. Tetapi ia (Siau-liong) sungguh lacur.

Berulang kali ditawan dan dilepas oleh Iblis Penakluk-dunia. Dan beberapa kali dikelabuhinya hingga hampir saja ia hendak mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada Song Ling.

“Saudara Kongsun, mari kita lanjutkan jalan lagi!” tiba-tiba Lu Bu-ki berseru.

Siau-liong gelagapan. Ia menyadari kalau tadi ia tertegun melamun. Segera ia mengiakan dan terus mengikuti dibelakang Lu Bu-ki. Mereka bertiga menyusur jalan yang berlingkar-lingkar baik.

Sambil berjalan, Siau-liong menghela napas, “Entah bagaimana dengan paderi sakti dari puncak Kim-ting itu? Jika ia tak menyerahkan tenggoret ajaib itu, lalu bagaimana kita harus bertindak.....?”

Berkata Liau Hoan siansu, “Sekalipun sempit pengalaman karena jarang keluar ke Tionggoan, tetapi menurut hematku, sejak muda paderi sakti Kim-ting itu sudah masuk ke dalam gereja. Setelah masuk menjadi murid gereja Bik-hun-si yang terletak di bagian depan gunung Go-bi, ia lalu pindah mengasingkan diri di puncak Kim-ting ini.

Selama seratus tahun terakhir ini, jarang orang melihatnya turun gunung. Mengenai apakah dia sakti dalam ilmu silat atau tidak, mungkin tiada seorangpun yang tahu. Juga berapa usianya sekarang ini, orang pun tak ada yang mengetahui. Tetapi mungkin tak kurang dari seratus duapuluhan tahun umurnya.....”

Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, “Selama seratus tahun terakhir ini, di puncak Kim-ting pun telah terjadi beberapa peristiwa besar. Tetapi selama itu tak pernah terdengar orang bercerita tentang kehadiran paderi sakti itu. Orang yang mendaki keatas pun kebanyakan jarang dapat menjumpainya. Bahkan sedikit sekali kaum persilatan yang tahu manakah paderi sakti itu. Soal apakah dia benar-benar memelihara Tenggoret-berkaki-tiga dan apakah dia saat ini masih hidup, aku sendiripun tak jelas!”

“Jika tak mendengar dari Ceng Hi totiang, akupun tak mengetahui kalau di puncak Kim-ting tinggal seorang paderi .... tetapi karena dia disebut sebagai paderi sakti, tentulah mahir dalam ilmu kesaktian dan tentu amat bijaksana juga. Jika mengetahui bahwa binatang ajaib itu dapat menyelamatkan banjir darah dalam dunia persilatan, tentulah ia tak sayang memberikannya!”

Dalam pada bercakap-cakap itu, merekapun sudah mulai mencapai puncak. Ternyata di sekeliling barisan puncak gunung itu, terdapat sebuah tanah datar. Puncak penuh pohon cemara dan jati yang tinggi serta air terjun dan sumber air terdapat dimana-mana. Sungguh sebuah tempat yang mirip tempat dewa-dewa.

Mereka bertiga terus melintasi hutan dan ketika tiba di ujung hutan, tetap mereka tak menemukan barang sebuah rumah atau biara. Sekeliling penjuru hanya gunung belantara yang senyap. Sedang di depan gunung itu hanya jurang karang yang amat curam.

Siau-liong berhenti dan berkata heran, “Apakah saudara Lu tak salah?”

Lu Bu-ki menampar kepalanya, “Sekalipun ditengah malam, tak mungkin aku salah jalan!”

Liau Hoan menyelutuk, “Memang paderi sakti Kim-ting itu tinggal di dalam gua. Belum tentu tinggal di puncak sini .....”

Tiba-tiba si tinggi besar Lu Bu-ki berteriak kaget, “Hai, lihatlah ke arah hutan cemara di sebelah kiri itu .....”

Siau-liong dan Liau Hoan serempak memandang ke arah yang ditunjuk. Diatas anak puncak yang bersambung dengan puncak Kim-ting, memang terdapat sebuah hutan pohon cemara. Dan di tengah hutan itu tampak beberapa sosok tubuh melintas.

Oleh karena tertutup oleh hutan yang lebat, maka tak dapat terlihat jelas bagaimana pakaian orang-orang itu. Tetapi menilik gerakannya yang amat cepat sekali itu, jelaslah kalau mereka itu tentu orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi.

Begitu melesat, kawanan orang itupun lenyap, bersembunyi dalam gerumbul hutan lebat.

Siau-liong merenung. Tiba-tiba ia berkata, “Mereka tentulah rombongan Ceng Hi totiang!” — ia terus loncat dua tombak.

“Hai, benar, kecuali mereka siapa lagi!” seru Lu Bu-ki seraya terus lari menyusul.

Jalan yang merentang kearah hutan cemara di samping puncak itu, agak menurun kelain puncak yang lebih rendah. Luasnya hanya terpaut sedikit dengan puncak Kim-ting, tetapi keadaannya lebih berbahaya.

Penuh dengan karang curam dan gunduk batu aneh yang lebat seperti sebuah hutan. Sekalipun para pemburu, juga takkan memilih tempat seperti itu.

Adalah Siau-liong yang lebih dulu lari menghampiri. Dalam beberapa loncatan saja ia sudah tiba di tempat sosok-sosok tubuh yang muncul lenyap tadi. Memandang kedalam hutan, memang terlihat beberapa sosok tubuh tadi masih bergerak-gerak pelahan.

Ia girang sekali. Jelas rombongan orang itu adalah rombongan yang dipimpin Ceng Hi totiang.

Segera ia melangkah menghampiri ke tempat mereka. Jalanan bermula hanya tiga-empat tombak lebarnya, tetapi makin lama makin lebar. Dikedua samping jalan, merupakan dua buah puncak gunung yang penuh dengan hutan cemara dan jati.

Tetapi kira-kira seratus tombak lagi, jalan itu terhadang oleh sebuah karang gunung yang tinggi. Rupanya karang itu merupakan ujung terakhir lalu disambung jalan lagi yang membelok ke sebelah kanan.

Ceng Hi totiang dan rombongannya sedang berhenti dan mondar mandir di bawah karang gunung itu.

Mereka cepat melihat kedatangan Siau-liong. Empat orang imam pengawal Ceng Hi totiang segera maju menghadang dengan pedang melintang, “Siapa engkau?”

Baru Siau-liong hendak menyahut, Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu pun telah tiba. Cepat si tinggi besar loncat kemuka Siau-liong dan memberi isyarat kepada keempat imam itu seraya berseru,

“Orang sendiri, harap kalian jangan salah paham.....”

Kemudian berpaling menunjuk Siau-liong, Lu Bu-ki berkata, “Kongsun-siauhiap ini, adalah pewaris dari ilmu Thian-kong-sin-kang!”

Ceng Hi totiang bersama lebih kurang limapuluh tokoh-tokoh persilatan, terkejut ketika mendengar keterangan Lu Bu-ki. Mereka serempak memandang kearah Siau-liong.
58. Kacung Penjaga Guha

Ceng Hi totiang segera maju menghampiri dengan heran. Diam-diam Siau-liong geli juga. Bukan baru pertama kali itu ia berjumpa dengan Ceng Hi totiang. Tetapi perjumpaannya dahulu memang bukan sebagai Kongsun Liong, tetapi sebagai Pendekar Laknat.

Lebih dulu Ceng Hi totiang memberi salam kepada Lu Bu-ki, “Ah, saudara Lu tentu lelah!”

Setelah itu baru ia mengucap Omitohud kepada Liau Hoan siansu. Terhadap Siau-liong, tampaknya Ceng Hi tak begitu menganggap penting.

Sehabis balas memberi ucapan salam keagamaan, berkatalah Liau Hoan siansu, “Harap totiang jangan menegur aku dulu .....” — ia berpaling kepada Siau-liong dan berkata pula,

“Kongsun-siauhiap ini telah mendapat rejeki luar biasa. Ia telah memperoleh pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dunia persilatan dari ancaman Iblis Penakluk-dunia, rasanya tiada lain orang lagi kecuali Kongsun-siauhiap ini!”

Ceng Hi terkesiap. Menilik kedudukan dan kebesaran nama Liau Hoan totiang, ia percaya penuh. Maka berpalinglah ia ke arah Siau-liong, serunya, “Ah, maaf, aku agak terlambat menghaturkan hormat!”

Rombongan Ceng Hi totiang itu terdiri dari tokoh-tokoh pilihan yang tergolong jago kelas satu. Diantaranya termasuk para ketua partai persilatan dan kepala dari beberapa aliran perguruan silat. To Kiu-kong dari partai Kay-pang, Pengemis-tertawa Tio Tay-tong, Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay dan keempat Su-lo, juga ikut dalam rombongan itu.

Begitu melihat Siau-liong bersama Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu tiba-tiba muncul, To Kiu-kong dan Tio Tay-tong girang sekali. Serempak keduanya maju memberi hormat kepada Siau-liong, seraya berseru, “Sucou-ya!” terus hendak berlutut dihadapan Siau-liong.

Siau-liong cepat mencegah, serunya: “Kiu-kong, jangan banyak peradatanlah!”

Ceng Hi totiang tertawa gelak-gelak, “Kongsun-siauhiap sungguh seorang pemuda yang luar biasa. Kiranya murid dari Pengemis-tengkorak Siong loenghiong. Aku merasa makin kurang menghormat tadi...”

Berhenti sejenak mengicup mata, Ceng Hi melanjutkan pula, “Tetapi tadi saudara Lu Bu-ki dan Liau Hoan siansu mengatakan bahwa Kongsun-siauhiap adalah pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang. Ini sungguh membingungkan. Menurut pengetahuanku ....”

Kuatir kalau imam tua itu terus mendesak pertanyaan, buru-buru Siau-liong menukas, “Hanya secara kebetulan saja aku telah mendapatkan suatu cara belajar dari sebuah ilmu sakti. Tetapi mungkin berbeda dengan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun karena belum dapat mempelajari sampai sempurna maka masih sukar untuk menggunakannya.....”

Sepasang mata Ceng Hi totiang berkilat-kilat menatap anak muda itu, serunya, “Kongsun-siauhiap, apakah engkau tak keberatan bicara dengan empat mata kepadaku?”

Siau-liong tahu bahwa imam tua itu mulai curiga. Maka ia menyatakan setuju. Ceng Hi totiang tersenyum lalu mendahului melangkah kebelakang sebuah batu karang yang besar. Siau-liong segera mengikuti.

Menilik kedudukan Ceng Hi totiang dalam rombongannya, ketika ia bicara dengan Siau-liong tadi, tiada seorang pun yang berani ikut bicara. Mereka hanya mengawasi Ceng Hi totiang dan Siau-liong menyelinap kebalik batu.

Setelah agak jauh dari rombongan tokoh-tokoh persilatan itu, barulah Ceng Hi totiang berhenti. Ia anggap disitu aman, takkan didengar orang lagi.

“Tadi Liau Hoan siansu dan Lu-tayhiap mengatakan bahwa Kongsun-siauhiap adalah pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang. Kupercaya keterangan itu tentu tak bohong....” Ceng Hi totiang mulai membuka pembicaraan.

Siau-liong hanya tersenyum tak menjawab.

Ceng Hi totiang berhenti sejenak lalu melanjutkan,

“Sudah ribuan tahun ilmu Thian-kong-sin-kang itu tak muncul didunia. Kaum persilatan dari masa ke masa selalu berusaha untuk mencari ilmu sakti itu. Tetapi tiada seorangpun yang berhasil. Dua bulan yang lalu, munculnya peta pusaka pada Giok-pwe, telah menimbulkan kegemparan besar dikalangan persilatan. Munculnya Iblis Penakluk-dunia ke Tionggoan lagi untuk melaksanakan tujuannya menguasai dunia persilatan, tak lain maksudnya memang hanya akan mencari kitab pusaka Thian-kong-sin-kang.”

Melihat imam tua itu tak menyinggung keraguan terhadap dirinya, Siau-liong tak sabar lagi. Ia harus lekas-lekas mendapatkan paderi sakti Kim-ting untuk meminta Tenggoret-emas-berkaki-tiga. Ia tak mau membuang waktu maka segera ia menyelutuk, “Kalau totiang hendak mengajukan pertanyaan, silahkan. Pokok, aku tak mau membohongi totiang!”

Dalam keadaan seperti itu, ia cepat dapat menduga bahwa Ceng Hi totiang tentu sudah dapat melihat kelemahannya. Maka Siau-liong pun bersedia untuk memberi keterangan sejujurnya.

Ceng Hi agak terkesiap, ujarnya: “Tempo hari dalam pertempuran lawan Iblis Penakluk-dunia di Lembah Semi, aku telah menderita kekalahan habis-habisan. Untung saat itu Pendekar Laknat muncul dan dapat menghadapi Jong Leng lojin serta Lam-hay Sin-ni, sehingga aku dan rombongan dapat terlepas dari kehancuran.

Kala itu Pendekar Laknat telah menggunakan ilmu Thian-kong-sin-kang. Pun tampaknya ia baru saja mempelajari ilmu sakti itu hingga belum sempurna. Tetapi kupercaya bahwa kitab pusaka Thian-kong-sin-kang yang sudah lenyap beribu tahun itu telah jatuh ditangan Pendekar Laknat. Sayang, pada malamnya Pendekar Laknat telah menghilang lagi. Dan sampai sekarang belum terdengar kabar beritanya ....”

Siau-liong kerutkan dahi, serunya, Totiang hendak mengatakan bahwa aku.....”

Ceng Hi totiang tertawa panjang, “Maaf kalau aku bicara dengan terus terang ini. Pendekar Laknat pada duapuluh tahun yang lalu, aku pernah kenal dengan baik. Tetapi Pendekar Laknat yang muncul sekarang ini, kecuali wajahnya yang mirip, ilmu kepandaian dan perawakan tubuhnya, sama sekali berbeda dengan Pendekar Laknat yang dulu. Yang paling mengherankan ialah ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Tak mungkin sekali gus akan timbul dua orang Pendekar Laknat.

“Ini...ini.....”

Tiba-tiba Ceng Hi totiang berhenti dan memandang Siau-liong dan tersenyum.

Siau-liong menduga bahwa Ceng Hi totiang telah mengetahui semuanya. Maka setelah batuk-batuk sebentar, ia berkata, “Ah, totiang sungguh awas. Memang aku tak mau bohong .....”

Kemudian ia menuturkan segala apa yang dialaminya. Dari masa kecil sampai belajar silat di gunung Hong-san sehingga sekarang. Akhirnya ia menutup penuturannya,

“Adalah karena menjunjung totiang sebagai seorang imam yang sakti maka kuberitahu semua yang mengenai diriku. Kuharap totiang suka menyimpan rahasia itu, jangan diberitahukan kepada lain orang. Apabila beruntung dapat menindas Iblis Penakluk-dunia, aku masih berharap dapat menggunakan sisa hidup dalam satu tahun itu untuk membalas sakit hati ayahku lalu menemui ibuku di seberang laut!”

Ceng Hi totiang menghela napas panjang. Dengan wajah bersungguh ia berkata,

“Kongsun-siauhiap seorang pemuda gagah yang berhati perwira. Maka tak heranlah kalau mendapat berkah yang luar biasa itu. Arwah nenek guruku Tio Sam-hong tentu akan puas dialam baka. Harap jangan kuatir, aku pasti akan menyimpan rahasia itu...”

Berhenti sejenak ia melanjutkan lagi, “Apa rencana Kongsun-siauhiap tetap akan memenuhi perjanjian mati bersama dengan wanita pemilik Lembah Semi itu?”

Siau-liong menghela napas, “Sekali sudah berjanji, sukar untuk mengingkari. Sekalipun mengenai soal kematian yang penting, tetapi aku tak dapat melanggar janji!”

Ceng Hi totiang mengangguk hormat, “Watak dan tindakan Kongsun-siauhiap itu, makin menimbulkan rasa hormatku!”

Tersipu-sipu Siau-liong membalas hormat.

Setelah itu maka Ceng Hi totiang pun segera alihkan pembicaraan tentang soal yang menyangkut kepentingan saat itu.

“Walaupun paderi sakti dari Kim-ting itu jarang diketahui dunia persilatan tetapi kutahu dia memang seorang tokoh aneh yang jarang muncul diluar. Kedatanganku bersama rombongan tokoh-tokoh persilatan itu tak lain memang hendak memohon supaya orang tua sakti itu mau keluar membantu kami. Tadi telah kukatakan hal itu kepada seorang Sian-thong (murid penjaga guha) untuk menyampaikan pada beliau. Saat ini kukira tentu sudah ada keterangan. Karena Kongsun-siauhiap juga akan menemuinya, baiklah kita sama-sama menghadap.”

Melihat bahwa Ceng Hi totiang yang sudah berumur 90 tahun lebih itu masih menyebut dengan kata-kata yang sungkan 'beliau orang tua' kepada paderi sakti Kim-ting, diam-diam makin besarlah rasa hormat Siau-liong. Segera ia mengikuti Ceng Hi totiang.

Di atas karang gunung yang membelok ke sebelah kanan dari lereng puncak, terdapat sebuah guha seluas satu tombak. Tetapi guha itu amat dalam. Dua orang kacung yang satu berpakaian warna biru dan yang satu putih, sedang menjaga disamping pintu guha dengan pedang terhunus.

Rombongan orang gagah berhenti beberapa tombak jauhnya dari guha itu. Mereka berbisik saling membicarakan pertapa sakti dari Kim-ting itu. Tetapi setelah Ceng Hi totiang muncul bersama Siau-liong, merekapun lalu diam dan hanya memandang ke arah kedua orang itu.

Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si, segera tampil kemuka dan setelah menyebut doa keagamaan, “Omitohud! Tingkah lalu paderi sakti ini agak berlebih-lebihan. Bahkan sampai pada kacungnya saja sudah begitu garang ... “

Buru-buru Ceng Hi totiang melangkah maju mencegahnya: “Harap taysu jangan marah, ketahuilah bahwa paderi sakti .....”

“Hai, engkau bilang apa!” kedua kacung itu melangkah tiga langkah dan salah seorang membentak Ti Gong taysu. Deliki mata dan lintangkan pedang bersikap hendak menyerang.

Ti Gong taysu terkenal beradat keras. Sudah tentu ia tak dapat membiarkan dirinya diperlakukan begitu kasar oleh seorang kacung kecil. Serentak ia membentak, “Budak sekecil engkau mengapa berani begitu kurang ajar. Tahukah engkau siapa yang datang kesini ini?”

Kacung baju putih itu mendengus dingin, sahutnya, “Tak peduli kalian ini orang apa, kalau Seng-ceng tak mau menemui, tentu tetap tak mau keluar...”

Seng-ceng adalah sebutan menghormat dari kacung itu kepada paderi sakti Kim-ting.

Kacung baju biru pun ikut menghampiri dan membentak, “Selamanya tak pernah ada orang yang berani bikin ribut disini. Jika kalian tak lekas angkat kaki, jangan sesalkan kami berlaku kurang ajar!”

Ti Gong tertawa meloroh, “Ho, bagaimana pun juga, aku tetap akan menemui Seng-ceng. Apakah kalian kacung kecil berdua ini mampu mengusir kami?”

Seketika itu kedua kacung deliki matanya. Serentak mereka putar pedang dan menyerang Ti Gong taysu.

Ketua Siau-lim-si terbeliak kaget. Ternyata ilmu permainan pedang kedua kacung itu hebat dan cepat sekali. Karena terdesak, ia terpaksa mundur sampai 7- 8 langkah.

Kedua kacung itu hentikan serangannya. membentak, “Jika Seng-ceng tak memperbolehkan kami membunuh jiwa, batang kepala yang gundul itu tentu sudah terpisah dari badanmu!”

Karena marahnya, Ti Gong taysu menguak-nguak seperti kerbau gila. Berpaling kepada Ceng Hi totiang ia berseru, “Harap totiang suka maafkan aku. Aku hendak memberi sedikit hajaran kepada kedua budak kecil itu!”

Tetapi Ceng Hi totiang buru-buru mencegah, “Jika dalam urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan besar tentu akan kacau. Harap taysu suka memikirkan kepentingan kita semua!”

Ti Gong taysu mendengus-dengus dan mengundurkan diri.

“Imam hidung kerbau, mau omong apa engkau?” tiba-tiba kedua kacung itu membentak Ceng Hi.

Walaupun dihina begitu, namun dengan tetap tenang Ceng Hi totiang menjawab, “Harap siauko berdua jangan marah dulu. Kami beramai-ramai hendak menemui Seng-ceng adalah karena ada urusan yang amat penting sekali.”

Kacung baju biru tertawa, “Daripada paderi gemuk bertelinga lebar tadi, rupanya engkau lebih jinak sedikit.”

Ceng Hi totiang tetap tertawa, “Harap siauko berdua suka menolongi kepentingan kami dan membujuk supaya Seng-ceng suka menerima kedatangan kami!”

Kacung baju biru tiba-tiba berpaling sejenak kepada kacung baju putih, ujarnya, “Harap sute suka menjaga mulut guha sana agar mereka tak menerobos masuk sehingga mengganggu Seng-ceng!”

“Lebih baik kalau mereka pergi dan perlu apa harus meladeni mereka?” seru si kacung baju putih. Ia terus mundur menjaga di mulut guha.

Setelah itu barulah kacung baju biru berpaling dan berkata kepada Ceng Hi totiang lagi, “Seng-ceng tadi bilang tak dapat menemui. Tak peduli engkau hendak mempunyai urusan apa, tetap tiada gunanya!”

“Apakah siauko pernah kasih tahu gelaran namaku kepada Seng-ceng?” tanya Ceng Hi.

“Apakah dahulu engkau pernah bertemu dengan Seng-ceng?” tanya si kacung.

“Sekali pun belum pernah bertemu muka tetapi sudah lama aku mengagumi namanya. Jika engkau mau menerangkan sedikit kepada Seng-ceng, mungkin beliau orang tua itu tentu akan kenal namaku yang tak berharga itu ....”

Ceng Hi totiang berhenti sesaat, lalu berkata lagi, “Dan lagi kedatanganku kemari bukanlah untuk kepentingan pribadi melainkan demi keselamatan dan kelangsungan hidup dunia persilatan.”

Jawab si kacung, “Seng-ceng mengasingkan diri bertapa. Selamanya tak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Kurasa omonganmu tadi percuma saja. Lebih baik kalau kalian segera angkat kaki dari sinilah!”

“Jika Seng-ceng memang tak mau menemui, akupun tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi harap engkau mengingat jerih payah kami datang kemari dan suka melapor sekali lagi kepada Seng-ceng....”

Rupanya kacung baju biru itu tak sabar. Ia membentak bengis, “Jika tak mau enyah,” dia memandang ke sekeliling lalu melanjutkan, “Tentu terpaksa kupanggilkan keempat Suheng yang menjaga guha ini untuk menghadapi kalian!”

Mendengar omongan kacung itu makin lama makin kurang ajar, Ti Gong taysu tak dapat menahan diri lagi. Sambil menyebut Omitohud, ia melangkah keluar, serunya,

“Murid agama menjunjung welas asih dan perikemanusiaan. Apabila Seng-ceng itu benar-benar seorang imam sahid, tak mungkin bertindak begitu kasar. Tentulah kalian sendiri jang menghalang-halangi kami. Nanti setelah kami menerobos masuk menemui Seng-ceng, barulah tahu.....”

Ketua partai Siau-lim-si itu berpaling kepada Ceng Hi totiang dan berseru lantang, “Karena dengan cara baik-baik tak berguna, terpaksa kita harus menggunakan kekerasan!”

Kacung baju biru itu lintangkan pedang dan tertawa dingin.

Ceng Hi totiang menghela napas. Waktu ia hendak membuka mulut tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari kejauhan.

Sekalian orang terkejut. Dan sebelum sempat menduga apa-apa, kembali terdengar suara tertawa yang bernada congkak sekali. Saat itu barulah semua orang menyadari bahwa suitan dan tertawa itu berasal dari Iblis Penakluk-dunia!

Memang Iblis Penakluk-dunia itu seorang durjana yang julig dan banyak tipu akal. Bahwa secara tiba-tiba ia muncul disitu, tentulah karena hendak melaksanakan rencananya untuk menguasai dunia persilatan.

Suara tertawa itu berasal dari puncak Kim-ting. Jelaslah bahwa iblis itu tentu sudah berada di puncak itu. Hanya teraling dengan hutan lebat dari tempat rombongan Ceng Hi.

Secepat suara tertawa lenyap, terdengarlah Iblis Penakluk-dunia berseru bengis, “Kepada Ceng Hi imam tua!”

Serentak terdengar empat lima suara serempak mengulang kata-kata itu, “Kepada Ceng Hi imam tua!”

Sekalian orang tegang tegang dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka mencurahkan pandang mata ke arah Ceng Hi totiang.

Tiba-tiba kacung baju biru itu tertawa, “Ih, siapa yang datang lagi itu? Apakah pemimpin kalian?”

Ceng Hi totiang menyahut gopoh, “Yang datang itu adalah durjana iblis yang hendak menimbulkan pertumpahan darah dalam dunia persilatan ......”

Ia berputar tubuh dan berkata pelahan kepada rombongan tokoh-tokoh gagah, “Saat ini tibalah sudah detik-detik yang genting. Harap saudara-saudara jangan sembarangan bergerak sendiri!”

Melihat wajah rombongan tetamu itu amat tegang, kacung baju biru tertawa makin keras, “Hai, kalian orang-orang persilatan itu mengapa suka bermusuhan dan berkelahi untuk cari kemenangan......”

Kemudian bocah itu menyerut wajah dan berseru pula, “Kalau mau berkelahi, pergilah cari tempat di puncak Kim-ting sana. Jika berani mengganggu ketenangan tempat ini, awaslah.....”

Ceng Hi totiang menghela napas lirih.

Pada saat ia hendak berputar diri untuk menghadapi keadaan saat itu, tiba-tiba dua sosok tubuh melintas di sebelah muka. Seorang kakek mata satu berpakaian ungu muncul dengan memimpin tangan seorang dara baju hijau.

Sekalian orang amat terkejut sekali!

Menilik pandangan mata mereka yang tajam termasuk diri Ceng Hi totiang, setiap gerakan dari suatu apapun, tentu tak lepas dari pandangan mereka. Tetapi kemunculan kakek bersama itu benar-benar tak diketahui sama sekali.

Saat itu Siau-liong, Liau Hoan siansu dan Lu Bu-ki berdiri di samping. Diam-diam mereka gelisah melihat sikap keras dari kacung penjaga guha yang menolak memberi laporan kepada Seng-ceng. Sedang saat itu Iblis Penakluk-dunia bersama rombongannya sudah muncul.

Ketika melihat Kakek Mata-satu muncul secara tiba-tiba, girang hati Siau-long tak terperikan. Cepat ia maju memberi hormat, “Locianpwe ... nona Song .....”

Kakek Mata-satu tersenyum, “Apakah Kongsun-siauhiap sudah mendapat kedua kawanmu itu?”

“Locianpwe memang sakti sekali. Aku benar-benar bertemu dengan mereka!” sahut Siau-liong.

Sekalian orang dalam rombongan Ceng Hi totiang berdiam diri dan memperhatikan pembicaraan Siau-liong dengan kakek bermata satu itu.

Setelah merenung beberapa saat, Ceng Hi totiang menganggukkan kepala lalu maju memberi hormat kepada kakek itu, “Bukankah cianpwe ini pada enampuluh tahun yang lalu .....”

Pertapa-sakti-mata satu goyangkan tangan, tertawa, “Tak perlu mengatakan lagi! Asal engkau sudah tahu saja ...” kemudian ia menunjuk kearah matanya yang tinggal satu itu, katanya pula,

“Kemungkinan mataku yang tinggal sebiji ini lebih dapat diingat lagi orang. Memang tak mengherankan kalau engkau masih memikirkan peristiwa pada enampuluh tahun yang lampau itu.”

Tersipu-sipu Ceng Hi totiang memberi hormat,

“Ah, ucapan cianpwe itu kelewat berat. Adalah karena kagum dan mengindahkan akan keperwiraan dan keluhuran cianpwe maka sekalipun sudah lewat berpuluh tahun, aku masih tak lupa pada pertapa sakti itu bukan karena melihat matanya yang tinggal satu.”

Tetapi ia pikir, ucapan itu terlalu menyinggung perasaan orang. Maka ia tak mau melanjutkan......

Saat itu kacung baju biru menghampiri, teriaknya, “Hai, paman Buta!” ia memandang si pertapa sakti lalu bertanya lagi, “Apakah paman kenal pada mereka?”

Pertapa-sakti-mata satu tertawa, “Bukan hanya kenal tetapi mereka adalah sahabatku!”

Kacung kecil itu terkesiap serunya tertawa, “Ah, paman Buta ngaco lagi. Bukankah paman serupa dengan suhuku. Setahun penuh tak mau bertemu orang? Mengapa mendadak sontak mempunyai sekian banyak kawan?”

Pertapa sakti mata satu tertawa keras, serunya, “Kalau begitu, anggap sajalah mereka itu musuh!”

Ceng Hi totiang terkejut.

Kacung baju biru tertawa makin keras.

Beberapa saat kemudian baru ia berkata, “Kalau begitu, tak usah menghiraukan mereka saja!” sahut Pertapa-sakti-mata-satu.
59. Pura-pura Menyerah .....

“Apakah hari ini engkau hendak menantang suhuku bermain catur?” tanya kacung itu pula.

“Tidak,” jawab si pertapa, “hari ini aku sengaja membawa cucu perempuanku bermain-main!”

Bocah itu tercengang. Dipandangnya Song Ling sejenak, katanya, “Hari ini sungguh aneh sekali! Segala apa berobah aneh. Mengapa dulu tak pernah kudengar paman mempunyai seorang cucu perempuan?”

“Baru berapa tahunkah engkau hidup di dunia? Masakan engkau tahu segala urusan!” Pertapa-sakti-mata-satu tertawa.

Kacung baju biru tertawa mengikik, “Ah, paman mengandalkan diri sebagai orang tua. Cobalah paman bilang, hari ini paman hendak mengapa?”

Pertapa-sakti masukkan tangannya kedalam saku. Sampai beberapa saat baru pelahan-lahan ia menariknya keluar. Tetapi tangannya digenggam sehingga tak tahu apa isinya.

“Hari ini aku membawa sebuah mainan yang aneh untukmu!”

Bocah itu girang sekali, “Terima kasih paman Buta. Apakah barang itu?”

“Didalam genggamanku ini. Tetapi engkau harus menebaknya. Kalau menebak tepat, baru kuberikan kepadamu!”

Kacung itu tertawa, “Ai, paman hendak mempermainkan orang lagi. Aku tak mau menebaklah dan tak menginginkan benda itu!”

“Kalau begitu jangan engkau menyesal lho. Mainan ini akan kuberikan kepada sutemu!” kata si pertapa seraya membuka tangannya.

Suatu benda yang berkilat-kilat warnanya memancar diantara celah jarinya. Tetapi cepat-cepat pertapa itu mengatupkan genggamannya lagi.

“Ya, ya, aku akan menebaknya .....” seru kacung itu gopoh. Ia kerutkan dahi beberapa saat lalu menerka, “Tentulah sebutir mutiara Ya-beng-cu ......”

Pertapa-sakti-mata-satu gelengkan kepala: “Salah!”

“Mata kucing!” seru bocah itu pula.

“Salah!” si pertapa menggeleng.

Bocah itu mengerut kening dan mengomel: “Ini salah itu salah, lalu bagaimana orang harus menebaknya!”

Bocah yang menjaga dimulut guha tadi pun rupanya tak sabar. Ia segera menghampiri, serunya, “Ah, paman Buta memang berat sebelah. Punya barang baik tak mau memberikan kepadaku.”

Pertapa itu tertawa, “Engkau pun boleh ikut menebak. Kalau betul, tentu kuberikan kepadamu.”

Bocah baju putih dan baju biru benar-benar saling berebut menebak. Tugas untuk menjaga mulut guha hampir dilupakan.

Pada saat Pertapa-sakti-mata-satu sedang bergurau mengadakan tebakan dengan bocah penjaga guha itu. Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah, gelisah. Tetapi mereka tak berani campur mulut. Untunglah saat itu suara Iblis Penakluk-dunia tak kedengaran lagi.

Kemudian setelah bocah baju putih yang menjaga di mulut guha itu ikut menimbrung ke tempat pertapa sakti, tahulah Ceng Hi totiang akan maksud dari pertapa sakti itu. Segera ia lontarkan isyarat mata kepada Siau-liong.

Siau-liong memang berotak terang. Cepat ia dapat menangkap isyarat Ceng Hi totiang. Dengan gerakan yang tak mengeluarkan suara dan tak menarik perhatian orang, ia berjengket-jengket mundur menyingkir dari pengawasan mata kedua kacung itu. Setelah mendekati mulut guha, cepat ia menyelundup masuk.

Gerakan Siau-liong itu dilakukan dengan cepat sekali dan tak mengeluarkan suara apa-apa. Walau pun Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah dapat melihat jelas, tetapi kedua bocah penjaga guha itu tak dapat mengetahui sama sekali.

Setelah tahu Siau-liong sudah menyelundup masuk, Pertapa-sakti-mata-satu tertawa, “Hai, mengapa hari ini kalian begitu tolol? Apakah masih tak mampu menebak?”

Karena berulang kali menebak, si pertapa tetap gelengkan kepala. Akhirnya marahlah si bocah baju putih, serunya geram, “Ai, tentu tak lebih hanya sebutir batu!”

Pertapa-sakti teriawa nyaring, “Ho, ternyata engkau yang lebih cerdas dan dapat menebak jitu!” — ia membuka genggamannya dan ternyata memang sebutir batu mengkilap.

Kedua Bocah itu serempak membentak, “Kutahu paman Buta memang tak bermaksud baik dan sengaja hendak mempermainkan kami saja. Tetapi lain kali jangan harap dapat mengingusi kami lagi! Sungguh sial!”

Pertapa-sakti tertawa, “Sedang apakah suhumu saat ini?”

“Duduk!” sahut kedua bocah itu.

Menunjuk pada Ceng Hi totiang dan rombongannya, berkata pula pertapa itu, “Mereka hendak bertemu dengan suhu kalian, mengapa kalian tak mau melaporkan?”

Bocah baju biru buru-buru menerangkan, “Sudah kulaporkan tetapi suhu tak mau menemui!”

Pertapa-sakti mengangguk tertawa, “Kalau begitu kalian tak salah, tetapi.....” ia picingkan matanya yang tinggal satu, berkata lagi, “Karena tadi kalian hanya mengurus untuk menebak batu dalam genggamanku, andaikata ada orang yang menyelundup masuk kedalam guha, bagaimanakah suhumu akan menghukum kalian?”

“Yah, ngeri!” seru kedua bocah itu, “paling ringan tentu akan suruh kami menghadap tembok sampai sepuluh hari lamanya!”

“Mungkin tak memberi makan kami sampai tiga hari,” si bocah baju putih menambahi.

Pertapa-sakti tertawa, “Kalau suhumu hendak memberi hukuman, timpahkan saja segala kesalahan itu padaku!”

Kedua bocah itu terkejut, “Bagaimana? Apakah benar-benar ada orang yang menyelundup kedalam?”

“Ah, sukar dikatakan,” kata pertapa-sakti, karena kalian mempunyai empat biji mata saja tak mampu melihat, apalagi aku yang tinggal satu. Sudah tentu lebih tak kelihatan lagi!”

Bocah baju biru memandang geram kesekeliling lalu mengawasi Ceng Hi totiang dan rombongannya dengan dendam, serunya,

“Kukira mereka tentu tak punya keberanian untuk berbuat begitu. Dengan mengandalkan tenaga keempat Su-leng (Empat arwah) yang menjaga guha, sekalipun mereka beramai-ramai masuk semua, tentu tiada seorang pun yang mampu melewati penjagaan ...”

Tiba-tiba bocah baju biru itu berpaling kearah kawannya baju putih dan membentak, “Suruh engkau menjaga mulut guha dengan ketat, mengapa engkau lari kemari?”

Bocah baju putih itu tersipu-sipu ketakutan terus kembali ke mulut guha lagi. Sejenak meragu, bocah baju biru itu berkata, “Apakah paman Buta tak masuk?”

Pertapa sakti goyangkan tangan, “Pemandangan alam di sini paling indah. Aku bersama cucuku ini akan duduk beristirahat disini sebentar!”

“Kalau begitu, maaf, kami tak dapat menemani paman disini!” seru bocah itu terus kembali ke mulut guha. Keduanya menjaga di kanan kiri guha.

Pertapa-sakti-mata-satu itupun segera mencari tempat duduk. Sambil menunjuk kesana sini, ia berkata dengan bisik-bisik kepada Song Ling. Sama sekali ia tak menghiraukan Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah.

Ceng Hi totiang tegak disamping. Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba terdengar pula suara teriakan pelahan dari Iblis Penakluk-dunia, “Untuk yang kedua kalinya, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!”

Serentak berturut-turut terdengar suara menyambut ulang, “Untuk yang kedua kalinya, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi .....!”

Beberapa saat lagi, kembali Iblis Penakluk-dunia berseru, “Untuk yang kedua kalinya, apabila tidak datang, akan dihukum mati!”

Riuh rendah suara menyambut dan mengulang seruan itu terdengar dari seluruh penjuru. Ceng Hi tertawa masam. Saat itu ia belum dapat menentukan keputusan.

Tengah dalam keadaan gelisah, tiba-tiba telinganya terngiang oleh suara seseorang yang menggunakan ilmu Menyusup suara, “Imam tua tak perlu gelisah. Yang dapat mengatasi malapetaka hari ini tak lain hanyalah pemuda Kongsun yang memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang itu. Aku sendiri sukar memberi bantuan!”

Ceng Hi totiang cepat dapat mengetahui bahwa yang bicara dengan ilmu Menyusup suara itu tak lain dari Pertapa-sakti-mata-satu. Ia pun segera menjawab dengan ilmu menyusup suara juga,

“Terima kasih atas perhatian cianpwe. Tetapi keadaan ini benar-benar gawat sekali. Kedua suami isteri iblis itu sudah tiba kemari. Dalam waktu beberapa saat tentu sukar terhindar dari pertempuran berdarah.....”

Pertapa-sakti tertawa, “Apakah engkau takut dihukum mati oleh Iblis Penakluk-dunia?”

Ceng Hi totiang menyahut gopoh, “Sudah hampir duapuluh tahun kusarungkan pedang. Jika takut mati, masakan aku mau muncul lagi di dunia persilatan?”

“Kalau begitu gunakan siasat mengulur waktu sampai beberapa jam. Mungkin Kongsun-siauhiap itu sudah dapat keluar dari guha!”

“Ah, tetapi keadaan sudah sukar diundurkan lagi, kecuali .....” Ceng Hi berhenti meragu sejenak, katanya pula, “Adakah cianpwe menghendaki supaya aku bertekuk lutut kepada Iblis Penakluk dunia?”

Pertapa-sakti tertawa, “Pandai menyesuaikan keadaan, tahu mencari kesempatan pada setiap perobahan. Segala cara dan siasat boleh digunakan!”

Ceng Hi totiang menghela napas panjang. Ia diam. Oleh karena pembicaraan itu dilakukan dengan ilmu Menyusup suara, maka sekalian orang tak dapat mendengar. Mereka hanya menduga-duga saja apa yang sedang dibicarakan kedua tokoh itu.

Pada saat itu kembali terdengar teriakan menggeledek dari Iblis Penakluk-dunia, “Untuk yang ketiga kali, ditujukan kepada imam tua Ceng Hi!”

Seperti seruan yang dua kali tadi, dan empat penjuru terdengarlah suara orang mengulang perintah Iblis Penakluk-dunia itu.

Seluruh mata rombongan orang gagah tertumpah pada Ceng Hi totiang. Sikap imam sakti itu tenang sekali.

Dengan suara tenang serius ia berkata, “Saat ini kita menghadapi ancaman maut. Karena tak berguna, aku telah menyia-nyiakan kepercayaan saudara-saudara yang dilimpahkan pada diriku. Sekali pun mati, aku masih merasa berdosa.....”

Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si, dapat berseru lantang, “Soal ini tak dapat menyalahkan totiang. Oleh karena sudah menjadi suratan takdir, kami ikhlas mengorbankan jiwa. Kalau kalah, tetap akan meninggalkan nama harum. Matipun tiada menyesal.....”

Ceng Hi totiang cepat menukas, “Mengandalkan keberanian seperti harimau, mengandalkan jumlah banyak seperti air sungai, bukan termasuk keberanian seorang kesatria sejati. Aku hendak mengajukan pertanyaan kepada saudara-saudara ...”

Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay yang berdiri disamping Ceng Hi, pun menyeletuk, “Totiang saat ini adalah pemimpin rombongan orang gagah. Apa yang totiang rasa baik, silahkan memberi perintah saja. Masakan totiang kuatir ada orang yang berani menentang?”

Ceng Hi totiang menghela napas panjang, “Apabila saudara percaya padaku. Apa pun yang hendak kulakukan, harap saudara tahankan emosi agar aku leluasa melaksanakan rencanaku.”

Dengan menekan rendah suaranya, berkatalah Ti Gong taysu, “Silahkan totiang memberi perintah. Kecuali disuruh menyerah pada Iblis Penakluk-dunia, kuyakin tiada seorangpun yang akan menentang perintah totiang!” - habis berkata ketua Siau-lim-si itu memandang kearah rombongan orang gagah.

Ceng Hi totiang kerutkan kening lalu gunakan ilmu Menyusup suara kepada Ti Gong taysu, “Apa yang kukatakan justeru mengenai soal itu. Demi untuk menyelamatkan kelangsungan hidup dunia persilatan Terpaksa untuk sementara waktu kita harus pura-pura menyerah kepada Iblis Penakluk-dunia!”

Bukan kepalang kejut Ti Gong taysu sehingga ia melonjak dan menggerung seperti singa kelaparan, “Apakah aku tak salah dengar bahwa ucapan itu berasal dari totiang?”

Dengan masih gunakan ilmu Menyusup suara, Ceng Hi berkata,

“Jika dalam soal kecil tak dapat menahan perasaan, tentulah soal-soal besar akan gagal, Tadi Kongsun-siauhiap sudah menyelundup ke dalam guha menemui Seng-ceng. Menurut perhitunganku, paling tidak dalam beberapa jam tentu sudah membawa laporan. Hanya untuk beberapa waktu itu kita pura-pura menyerah, begitu Kongsun-siauhiap sudah keluar, kita harus cepat-cepat berbalik haluan. Jika rencana itu gagal, tiada jalan lagi kecuali harus bertempur sampai mati!”

Ti Gong taysu terlongong. Memandang kepada Ceng Hi totiang, didapatinya wajah imam tua itu menampil kedukaan tetapi tetap memancar kepribadian yang pantang menyerah.

Ti Gong taysu menghela napas, tundukkan kepala tak berkata apa-apa.

Rombongan tokoh-tokoh persilatan pun berdiam diri. Mereka percaya penuh pada Ceng Hi totiang.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek, “Panggilan untuk imam tua Ceng Hi supaya segera datang kemari. Apabila masih berayal, tentu akan dihukum mati!”

Kini tiada lagi Ceng Hi bersangsi. Dengan tenang ia segera ayunkan langkah ke puncak Kim-ting. Sekalian orang gagah tanpa berkata sepatah pun, tundukkan kepala dan mengikuti dibelakang imam tua itu.

Pertapa-sakti-mata-satu tetap duduk di tempatnya dan masih tetap tersenyum-senyum bicara dengan si dara Song Ling. Liau Hoan siansu pun masih duduk di samping, tak ikut pada rombongan orang gagah.

Song Ling gelisah resah. Terkenang akan ibunya yang menjadi tawanan Iblis Penakluk-dunia, memikirkan Siau-liong yang masuk ke dalam guha. Tak henti-hentinya ia celingukan kian kemari. Apa yang dikatakan Pertapa-sakti kepadanya, sama sekali tak dihiraukan.

Ceng Hi totiang bersama rombongan orang gagah melintasi beberapa gerumbul hutan dan kini disebelah muka tampak sebuah dataran. Di ujung dataran itu tampak suatu jajaran sosok tubuh manusia.

Jumlahnya tak kurang dari seratusan orang. Terdiri dari lelaki dan perempuan dengan berbagai corak pakaian. Tetapi yang paling menonjol sendiri, ialah jajaran paling depan yang terdiri dan belasan orang baju hitam, Mereka mengenakan kerudung muka sehingga tak dapat melihat roman mukanya.

Tetapi begitu melihatnya, segeralah Ceng Hi totiang dan rombongannya dapat menduga. Barisan baju hitam itu tentulah keempat tokoh pewaris empat jenis ilmu sakti, kedua momok Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It Hang totiang.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tegak berdiri ditengah-tengah. Di belakangnya dijaga oleh empat lelaki dan empat wanita. Demi melihat Ceng Hi muncul dengan kepala menunduk, iblis itu segera tertawa nyaring.

Secepat hentikan tertawanya, Iblis-penaklak-dunia pun segera membentak keras, “Imam tua Ceng Hi, lupakah engkau akan perintahku tempo hari?”

Mendengar kata-kata itu seketika wajah sekalian orang gagah, berobah merah padam. Kata-kata Iblis Penakluk-dunia itu benar-benar suatu hinaan besar.

Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Mereka lebih memberatkan nama daripada jiwa. Seketika mereka siap hendak menyerbu.

Wajah Ceng Hi pun berobah-robah, hijau membesi lalu pucat lesi. Suatu pertanda bahwa hatinya lebih tegang dari rombongannya. Tetapi pada lain saat ia tersenyum lalu berputar tubuh menghadang ke arah rombongan orang gagah.

Setelah mengeliarkan pandang mata kesekeliling, ia berkata, “Tuan mengatakan bahwa empat hari kemudian akan datang ke puncak Kim-ting. Tetapi hari ini baru hari yang ketiga.”

Dari belakang kedua suami isteri iblis segera terdengar seorang lelaki gagah memaki, “Imam hidung kerbau, sungguh besar nian nyalimu! Sejak saat ini kita semua ini adalah anak buah kedua pemimpin kita. Mengapa engkau menyebut dengan panggilan begitu? Hayo, lekas memberi hormat haturkan maaf!”

Ceng Hi totiang seorang tokoh yang namanya amat diindahkan orang. Dihadapan rombongan tokoh persilatan dari berbagai aliran, benar-benar ia akan kehilangan muka apabila sampai minta maaf kepada Iblis Penakluk-dunia. Maka sampai beberapa jenak ia berdiam diri saja.

Rombongan orang gagah pun merah tegang wajahnya. Suasana makin gawat.

“Hai, apakah engkau tuli?” bentak lelaki gagah itu pula.

Ceng Hi totiang menghela napas lalu anggukkan kepala, “Ya, aku merasa salah!"

Walaupun mulut berkata begitu, tetapi dari pelupuk matanya, mengembang air mata. Sepanjang hidupnya, baru pertama kali itu ia menderita hinaan sedemikian besar. Tetapi demi kepentingan umum, terpaksa ia tahankan perasaannya.

Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring: "Aku sih tak terlalu mengutamakan soal-soal peradatan kecil. Asal kelak dapat merobah kesalahan saja, cukuplah sudah....”

Berhenti sejenak ia berkata pula, “Kuanggap diriku ini memiliki kecerdasan jauh lebih tinggi dari orang biasa. Kalau tidak masakan aku dapat berhasil seperti hari ini. Pepatah mengatakan 'prajurit akan bermanfaat karena dapat bergerak cepat' Jika besok pagi aku baru datang kemari, entah tingkah yang bagaimana macamnya lagi yang hendak kalian unjukkan padaku....”

Menunjuk ke arah gua tempat tinggal paderi sakti dari Kim-ting, ia berkata pula, “Gerak-gerik kalian selama ini, sudah berada dalam pengawasanku. Sekalipun kalian dapat menyeret keluar paderi dari gua itu, pun tetap tak berguna....”

Habis berkata ia berpaling ke belakang, “Dimana engkau, muridku!"

Soh-beng Ki-su sambil berkaok-kaok, segera maju kehadapan suhunya.

“Segala yang dikerjakan, kuserahkan kepadamu untuk memberi perintah. Aku hendak beristirahat sebentar. Dalam waktu tiga jam, apa yang kuserahkan kepadamu harus sudah selesai!"

Soh-beng Ki-su mengiakan. Sambil tertawa meloroh, Iblis Penakluk-dunia dan isterinya segera berjalan turun dari puncak. Anak buahnya mengikuti. Tak lama ia sudah menghilang ke dalam gerumbul hutan.

Yang masih berada di tanah datar itu tinggal Soh-beng Ki-su beserta sepuluh orang lelaki berpakaian ringkas. Diantara ke sepuluh orang itu, ada delapan orang yang bahunya dihinggapi burung elang besar. Yang dua orang lagi, tangannya mencekal pena pit dan tinta bak. Keduanya menjinjing selipat kain sutera putih.

Dengan tertawa mengekeh, Soh-beng Ki-su berkata kepada Ceng Hi, “Aku mendapat perintah dari suhu. Apabila dalam ucapanku ada yang kasar, harap totiang jangan sesalkan dihati....”

Ia menyapukan pandang matanya ke arah Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah, katanya pula,

“Apa yang dikehendaki suhuku hanya dua hal. Pertama, segera didirikan panggung seluas dua tombak dan setinggi tiga meter. Panggung itu akan diperuntukkan pengangkatan suhuku sebagai Bu-lim bengcu (pemimpin dunia persilatan).

Kedua, lekaslah kalian beramai-ramai membuat dan menanda tangani surat pernyataan mendukung atas pengangkatan beliau itu. Buatlah enampuluh empat pucuk undangan yang kalian beramai-ramai menanda-tangani....”

Menunjuk pada ke delapan ekor burung elang besar yang hinggap dibahu kedelapan lelaki berpakaian ringkas itu, Soh-beng Ki-su berkata pula, “Kedelapan ekor burung itu dapat mengedarkan surat undangan itu ke alamat yang dituju. Agar seluruh kaum persilatan tahu dan mentaati."

Diam-diam Ceng Hi terkejut, pikirnya, “Segala permintaannya masih dapat kupaksakan diri untuk menerima. Tetapi surat dukungan yang akan disiarkan ke seluruh penjuru dunia persilatan itu, benar-benar suatu hal yang tak boleh terjadi."

Maka dengan suara tersendat-sendat, Ceng Hi menyanggah, “Ini.... ini....”

Soh-beng Ki-su mendengus dingin, “Tak perlu ini itu lagi. Apa yang diperintahkan suhu, kalian tentu sudah mendengar. Kedua hal itu hanya diberi waktu tiga jam harus sudah selesai. Jika terlambat mengerjakan, kalian tahu sendiri akibatnya."

Ceng Hi merenung sampai lama baru berkata, “Kalau begitu, aku menurut saja!"

Ia memandang tenang kepada rombongan orang gagah, katanya, “Harap saudara-saudara suka membantu aku membuat panggung itu!"

Dengan lesu sekalian orang mengiakan. Mereka segera mulai membuat sebuah panggung.

Diam-diam Ceng Hi memberi isyarat rahasia agar mereka bekerja selambat mungkin.

Soh-beng Ki-su tak mau mendesak. Bersama ke sepuluh orang berpakaian ringkas, ia duduk diujung puncak sambil mengawasi pekerjaan Ceng Hi dan rombongannya.

Y

Sekarang kita tinggalkan sejenak pembuatan panggung itu untuk menjenguk keadaan dalam gua.

Setelah berhasil menyelundup masuk, Siau-liong dapatkan gua itu tak begitu gelap. Setelah memusatkan perhatian, barulah ia dapat melihat jelas. Kiranya tempat itu tak mirip dengan sebuah gua melainkan sebuah lorong terowongan yang panjang ke dalam.
60. Paderi Kim-ting

Siau-liong makin tegang. Cepat-cepat ia ayunkan langkah dan tak berapa lama sudah tiba di ujung akhir terowongan itu.

Di muka ujung terowongan itu terbentang sebuah lapangan kosong yang ditumbuhi pohon-pohon bunga aneh dan rumput-rumput. Walaupun saat itu berada dalam pertengahan musim rontok, tetapi pohon-pohon bunga disitu tetap menghamburkan bunga-bunga aneka warna.

Batang-batang pohon cemara yang tumbuh lurus disebelah muka, menjulang tinggi sampai menyusup ke dinding karang. Sayup-sayup tampak sebuah mulut gua seluas satu tombak ditengah pohon cemara itu. Pikir Siau-liong, paderi sakti di puncak Kim-ting itu tentu tinggal dalam gua tersebut.

Segera berjalan menuju ke gua itu. Sekonyong-konyong, serangkum angin keras menyambar punggungnya. Siau-liong terkejut sekali dan segera miringkan tubuh loncat mundur sampai lima langkah.

Setelah terhindar, ia cepat memandang ke arah penyerangnya itu. Ah, bukan kepalang kejutnya. Yang menyerang itu ternyata seekor kera berbulu emas yang besarnya hampir menyerupai orang.

Pukulan yang dilancarkan kera bulu emas itu bukan kepalang dahsyatnya sehingga ketika luput dan menghantam tanah, pasir dan debu segera muncrat berhamburan dan tanah pun berlubang sampai setengah meter.

Siau-liong cepat dapat menduga bahwa kera bulu emas itu tentulah binatang piaraan Paderi sakti Kim-ting. Maka ia tak mau balas menyerang, Malah ia terus mengangkat tangan memberi salam kepada kera itu.

Tepat pada saat ia sedang memberi hormat, kepada kera bulu emas itu, tiba-tiba serangkum angin keras menyambar punggungnya lagi. Dalam kejutnya, ia cepat apungkan tubuh melayang beberapa meter.

Ah, kiranya seekor kera bulu emas lagi. Bahkan yang ini tampaknya amat galak. Sambil menyeringaikan giginya yang runcing, ia memandang Siau-liong dengan buas.

Belum sempat Siau-liong menenangkan diri, kembali ia diserang oleh dua ekor kera bulu emas lagi.

Siau-liong benar-benar gelisah dan serba sulit. Ia tak mau balas menyerang karena kuatir menimbulkan kemarahan paderi sakti Kim-ting. Namun dengan mengalah itu, ia harus banting tulang setengah mati untuk menghindari serangan keempat ekor kera bulu emas yang gencar itu.

Keempat ekor kera bulu emas itu memang lihay. Serangan mereka serba aneh dan sukar diduga. Untunglah dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dapatlah Siau-liong berlincahan menghindarinya.

Tetapi betapapun juga, karena tak mau balas menyerang, maka setelah dapat bertahan sampai sepeminum teh lamanya, akhirnya ia mulai tak dapat bertahan lagi.

Keempat ekor kera bulu emas itu meraung keras. Serempak mereka menyerang makin gencar. Angin menderu-deru, tangan keempat binatang itu berhadapan mengarah bagian tubuh Siau-liong beberapa yang berbahaya.

Siau-liong makin gugup. Jika tak mau balas menyerang, ia tentu akan terluka dibawah pukulan kera bulu emas itu. Dengan menggerung keras, ia segera mulai menyerang dengan jurus Angin-awan-berobah-warna.

Hamburan pukulan yang bersinar emas itu berkelebat kian kemari dan terdengarlah serangkum suitan bernada macam naga meringkik.

Untunglah Siau-liong masih mengingat pada paderi sakti Kim-ting. Ia hanya gunakan sepertiga bagian tenaganya dan tak mau mengarah pada tempat yang berbahaya dari tubuh kera berbulu emas itu.

Diluar dugaan, begitu Siau-liong memukul kawanan kera bulu emas itu segera hentikan serangannya. Mereka memandang wajah Siau-liong sampai sekian lama.

Kemudian mereka menyeringai dan bercuit-cuit beberapa kali. Pelahan-lahan mereka mulai menyurut mundur dan masuk ke dalam gerumbul pohon bunga.

Siau-liong mengusap keringatnya dingin. Setelah itu cepat-cepat ia lanjutkan perjalanan lari ke arah gua.

Begitu tiba di pintu gua, ia berhenti. Dilihatnya di atas sehelai permadani tinggi yang terletak beberapa meter dalam pintu gua, duduklah seorang paderi tua dengan mata memejam.

Paderi tua itu amat kurus sekali. Duduk di atas permadadani tak ubah seperti sesosok tulang kerangka. Tetapi wajahnya menampilkan suatu perbawa yang mengundang rasa perindahan orang. Tanpa disadari, Siau-liong pun segera berlutut.

Rupanya paderi tua kurus itu tak mendengar dan tak mengetahui kedatangan Siau-liong. Dia tetap duduk pejamkan mata tak bergerak.

Diam-diam Siau-liong menimang. Walaupun paderi tua itu seorang tuli tetapi masakan tak mendengar suara pertempuran hebat antara ia dengan keempat kera bulu emas tadi. Ah, tentulah paderi tua itu hanya berpura-pura saja.

Siau-liong tak berani mengganggu. Terpaksa ia tetap berlutut menunggu sampai paderi itu terjaga.

Lebih kurang sepenyulut dupa lamanya, barulah paderi tua itu pelahan-lahan membuka mata. Sepasang matanya yang berapi-api, menatap Siau-liong sejenak lalu dipejamkan lagi.

Siau-liong baru hendak membuka mulut atau tiba-tiba paderi itu sudah mengatupkan matanya pula. Ia bingung. Tetapi terpaksa bersabar menunggu lagi.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, tetap paderi tua itu diam saja. Akhirnya Siau-liong tak sabar lagi. Segera ia berseru pelahan, “Seng-ceng, Seng-ceng.... locianpwe, locianpwe....”

Rupanya paderi kurus itu memang Seng-ceng atau paderi sakti dari Kim-ting. Ia terkejut mendengar seruan Siau-liong. Cepat ia membuka mata dan membentak, “Kedua kacung Hitam Putih itu?"

Siau-liong tersendat-sendat menyahut, “Mereka masih berada diluar gua."

Seng-ceng itu mendengus, serunya pula, “Keempat kera penjaga gua itu?"

Siau-liong termenung sejenak. Ia duga yang dimaksud itu tentu keempat ekor kera bulu emas.

“Aku tak melukai mereka!" sahutnya.

Tiba-tiba paderi sakti dari Kim-ting itu membentak murka, “Nyalimu sungguh besar sekali berani menyelundup ke gua sini!"

Pada saat Siau-liong hendak memberi penjelasan, entah bagaimana caranya bergerak tadi, tahu-tahu Siau-liong merasa empat buah jalan darah di dadanya tertutuk oleh sambaran jari paderi sakti itu.

Seketika Siau-liong rasakan tubuhnya lemas lunglai, kaki tangannya pun melentuk.

"Bluk".... rubuhlah anak muda itu dan terkapar di tanah....!

Mata paderi tua itu sejenak memancar lalu pelahan-lahan mengatup lagi.

Bukan main gelisah dan bingung Siau-liong. Diam-diam ia memaki paderi itu sebagai seorang yang tak kenal perikemanusiaan.

Tidak mau membantu, pun tak apa. Tetapi mengapa menyerang orang dengan cara gelap begitu. Itu bukan tingkah laku seorang paderi saleh tetapi seorang penjahat kejam.

Karena jalan darahnya tertutuk dan kaki tangannya sakit sekali, tubuh kaku seperti orang mati, sekali pun Siau-liong dapat bicara tetapi tak mampu bergerak. Maka ia hanya deliki mata memandang geram kepada paderi itu.

Tampak paderi tua itu membuka mata lagi, tegurnya, “Mengapa engkau berani memaki-maki aku?"

Siau-liong seperti tersengat kala kagetnya, “Aku memakinya dalam hati, mengapa dia tahu?" pikirnya. Dipandangnya paderi itu dengan terpesona.

Paderi Kim-ting itu tersenyum, ujarnya, “Tak usah engkau merasa heran. Dari sinar matamu tahulah aku isi hatimu dan apa yang terkandung dalam pikiranmu!"

Diam-diam Siau-liong tertawa, pikirnya, “Ah, kiranya dia hanya menduga-duga saja dari kerut wajahku."

Ia segera katupkan mata.

Saat itu masuklah kedua bocah penjaga gua tadi. Bukan kepalang kejut melihat Siau-liong rubuh di tanah dengan jalan darah tertutuk.

Tetapi yang menggoncangkan hati kedua bocah itu ialah mengapa pemuda itu dapat menyelundup masuk ke dalam gua. Dari mana dan kapankah dia masuk.

Kedua bocah itu saling bertukar pandang lalu serempak berlutut menghadap si paderi sakti.

"Kemari!" seru paderi Kim-ting.

Kedua bocah itu tersipu-sipu bangun dan menghampiri. Mata mereka menggeram ke arah Siau-liong. Begitu tiba di hadapan paderi sakti, kedua bocah itu terus berseru: '“Murid harus dihukum!"

Serempak mereka berlutut.

Paderi, sakti itu mendengus dingin, “Kemanakah kalian tadi?"

Bocah baju putih memang kawannya baju biru lalu menjawab tersekat, “Tak pergi kemana-mana, hanya terus berada di pintu gua....”

“Kalau menjaga di mulut gua, mengapa tak tahu orang masuk kemari?" bentak paderi sakti.

Bocah baju putih tersendat-sendat menjawab: “Murid.... murid....”

Tetapi anak itu tak dapat menemukan alasan yang tepat. Maka sampai beberapa saat ia hanya dapat berkata, “murid.... murid....” saja.

“Apakah kalian pergi cari burung ke bawah karang?" seru paderi sakti pula.

Tiba-tiba bocah baju biru menyelutuk, “Tadi paman Buta datang kemari membohongi kami dengan sebuah batu berkilau sehingga dia dapat menyelundup kemari!"

Paderi sakti itu menyebut Omitohud pelahan, ujarnya: "Binatang, kalian harus menerima hukuman apa?"

Tanpa ragu-ragu lagi si bocah baju putih berseru, “Murid rela menghadap tembok selama sepuluh hari agar dapat sungguh-sungguh bertobat!"

Paderi sakti Kim-ting mengangguk pelahan, bertanya kepada kacung baju biru: "Engkau?"

"Murid rela tiga hari tak makan!" sahut kacung itu.

Paderi sakti Kim-ting tersenyum, “Tetapi hari ini aku memberi kelonggaran takkan menghukum kalian!"

Kedua bocah itu terkejut dan saling berpandangan dengan wajah girang. Buru-buru mereka menundukkan kepala sampai ke tanah selaku memberi hormat. Setelah itu mereka berdiri dan menghaturkan terima kasih.

Kemudian paderi sakti Kim-ting menunjuk ke arah Siau-liong dan suruh kedua murid supaya menggeledah badan pemuda itu.

Kedua kacung itu segera melakukan perintah. Sekujur badan Siau-liong habis digeledahnya. Dari badik yang terselip dipinggang, pedang yang terpanggul dibahu dan bungkusan pakaian yang terisi penyamaran Pendekar Laknat sampai pada bungkusan kecil isi pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan semua digeledah oleh kedua kacung itu.

Walaupun sedih dan geram, bingung dan marah, tetapi karena jalan darahnya tertutuk, Siau-liong pun tak dapat berbuat suatu apa kecuali hanya deliki mata memandang perbuatan kedua bocah kacung itu.

Semua benda hasil geledahannya ditaruh dihadapan paderi sakti Kim-ting: "Suhu, semua barang yang terdapat pada tubuhnya telah kami ambil semua!"

Paderi sakti Kim-ting merenung sejenak lalu suruh kedua bocah itu mengangkut Siau-liong kegua Hang Gan-li.

"Apakah suhu hendak membakarnya?" seru si kacung baju putih terkejut.

"Jangan banyak tanya!" bentak paderi itu.

Bocah itu buru-buru mengiakan. Lalu bersama kawannya sibaju biru mengangkut Siau-liong menyusuri dinding gunung yang membelok kesebelah kanan.

Diam-diam Siau-liong mengeluh, “Ah, kali ini tentu tamat riwayatku!"

Ia memandang dengan murka sekali kepada paderi Kim-ting tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja. Siau-liong benci sekali kepada paderi yang pura-pura alim itu.

Jika ia sampai berhasil lolos, tentu akan diajaknya paderi itu mengadu jiwa. Tetapi apa daya. Pada saat itu ia tak dapat berkutik kecuali hanya deliki mata penuh dendam dan kebencian kepada paderi itu.

Cepat sekali kedua kacung itu telah tiba dimuka sebuah mulut gua yang gelap gulita.

"Kita lemparkan saja ke dalam! Toh dia sudah tak bakal hidup lagi!" seru si kacung baju putih.

Kacung baju biru setuju. Setelah menggoncang-goncang tubuh Siau-liong maju mundur beberapa kali, barulah kedua bocah itu lemparkan Siau-liong ke dalam gua.

"Bum"....

Kedua bocah itu tertawa ngikik lalu mendorong sebuah batu karang yang berada di tepi gua, menutup mulut gua. Gua makin gelap pekat sehingga orang tentu tak dapat melihat jari jemarinya sendiri.

Tetapi lemparan kedua bocah itu tak sampai melukai tubuh Siau-liong. Walaupun tubuh tak berkutik tetapi kesadaran pikirannya masih hidup. Berkat ilmu tenaga dalamnya yang makin sempurna, tak berapa lama ia sudah biasa akan keadaan gua.

Diperhatikannya sekeliling tempat itu. Gua hanya kira-kira dua tombak luasnya, tapi dindingnya terdiri dari batu-batu yang runcing. Sepintas pandang amat menyeramkan sekali!

Siau-liong benar-benar kalap. Perasaannya hampir seperti orang gila. Dia bendak berteriak tetapi tak dapat bersuara. Dia hendak menghancurkan gua itu tetapi tak dapat berkutik.

Ia hendak lolos dan menghajar paderi Kim-ting itu tetapi mengangkat tangan saja ia tak mampu. Hatinya panas seperti dibakar.

Entah berapa lama, nafsu kemarahannya yang menyala-nyala didadanya itu makin reda. Sebagai gantinya saat itu ia merasa berduka sekali.

Gurunya, Kongsun Sin-tho yang tertawan musuh, ibunya yang berada diseberang laut, Tiau Bok-kun, Mawar Putih.... bayangan mereka satu demi satu mulai melintas kealam pikirannya. Peristiwa-peristiwa yang lampau mulai membayang dalam benaknya.

Teringat akan Pertapa-sakti-mata-satu, yang jelas menjadi suhu dari Randa Bu-san atau pewaris angkatan terdahulu dari ilmu sakti Ya-li-sin-kang yang amat diindahkan orang persilatan, telah memberi bantuan besar kepadanya. Karena pertapa sakti itu memikat perhatian kedua kacung untuk main terka, sehingga ia mendapat kesempatan untuk menyeludup masuk ke dalam gua. Adakah pertapa sakti-mata-satu itu mempunyai maksud sengaja hendak mencelakai dirinya?

Lalu ia teringat akan Ceng Hi totiang. Dialah yang merupakan satu-satunya tokoh yang tepat memimpin barisan orang persilatan. Ceng Hi begitu menghormat sekali kepada paderi sakti Kim-ting.

Adakah Ceng Hi totiang itu benar-benar tak tahu bagaimana pribadi paderi kurus dari puncak Kim-ting yang begitu dingin dan tak kenal perikemanusiaan? Bukankah sia-sia belaka usaha Ceng Hi totiang untuk bersusah payah merendah diri meminta bantuan paderi sinting dari Kim-ting itu?

Makin merenung, Siau-liong makin gelisah dan tak dapat menemukan pemecahannya.

Sekonyong-konyong ia merasa seperti dilanda gelombang hawa panas. Bermula hanya ringan tetapi makin lama makin dahsyat. Ketika memperhatikan keadaan tempat itu, kejutnya bukan kepalang.

Ternyata hawa panas itu berasal dari dinding gua yang mulai berbongkah-bongkah mengeluarkan asap putih. Asap itu amat menusuk hidung karena berbau belirang.

Hawa panas makin lama makin keras. Keempat dinding gua seakan akan membara. Asap pun makin tebal. Betapapun tajam mata Siau-liong, namun akhirnya ia tak mampu melihat keadaan di sekelilingnya lagi.

Kecuali panas, pun asap itu amat menyesakkan napas sehingga ia harus ngangakan mulut lebar-lebar untuk melakukan pernapasan.

Siau-liong hampir putus asa. Ia merasa tentu takkan hidup lagi. Tetapi naluri sebagai manusia yang tak menyerah pada ancaman maut, membangkit semangat hidupnya.

Cepat ia kerahkan semangat, pusatkan seluruh pikiran. Menekan hawa darahnya yang bergolak. Ia hendak gunakan ilmu bernapas dari Thian-kong-sin-kang untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk.

Tetapi sayang tindakannya itu terlambat. Jalan darahnya yang tertutuk itu seolah-olah ditutup oleh empat batang paku besar. Betapa keras tenaga dalam yang dipancarkan dari perutnya, namun tetap tak mampu menjebolkan paku itu.

Ia hentikan usahanya. Napasnya terengah-engah, keringat membanjir turun.

Saat itu asap mulai menipis. Demikian pula dengan hawa panas, pun mulai berkurang. Akhirnya asap dan hawa itu lenyap dan gua pun kembali seperti sedia kala.

Diam-diam ia mengeluh. Sejam lagi asap dan hawa belirang itu berhamburan, ia tentu mati.

Pikirannya melayang pada Ceng Hi totiang dan rombongan tokoh-tokoh persilatan. Entah bagaimana keadaan mereka saat itu!

Tetapi apabila terjadi pertempuran, akibatnya mudah diduga. Ceng Hi totiang dan rombongannya pasti sudah dihancurkan oleh kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia.

Dalam keadaan tak berdaya seperti saat itu, terpaksalah Siau-liong kembali pada keputusannya tadi. Ia harus merenungkan inti pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang lagi.

Kitab pusaka itu benar-benar menyerupai laut yang tidak dapat diukur dalamnya. Begitu membenamkan pikiran menjelajah isi kitab Thian-kong-sin-kang, iapun segera lelap dari alam kesunyian yang hampa dari Ke-akuan.

Ia berusaha untuk merenungkan arti dan kegunaan dari intisari pelajaran Thian-kong-sin-kang antara lain mengenai apa yang disebut Semangat, hati, keinginan, pikiran, gerakan, ketenangan, kehampaan dan isi.

Entah berapa lama ia tenggelam dalam laut pencarian rahasia kitab Thian-kong-sin-kang itu, tiba-tiba gua mulai terasa dingin. Bermula masih dapat ditahan tetapi makin lama makin menggigilkan tubuh. Ia rasakan seperti dibenam dalam sungai es, sehingga darahnya serasa membeku.

Tetapi saat itu ia masih bergulat untuk memeras otak memecahkan isi kitab Thian-kong-sin-kang. Betapa hebat hawa dingin itu menyerang, ia masih dapat bertahan.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, hawa dingin itu pun mereda. Tetapi sebagai gantinya, memancar pulalah hawa panas yang tadi.

Dari dingin mendadak berganti panas, walau pun orang yang memiliki tubuh baja sekalipun, tentu sukar bertahan. Apalagi seperti Siau-liong yang jalan darahnya masih tertutuk. Dia benar-benar seperti sam-sing atau ayam sesaji sembahyangan.

Tetapi dalam penderitaan yang hebat itu, Siau-liong menemukan sesuatu yang belum pernah dimilikinya. Suatu tenaga sekokoh baja yang tak tergoyahkan.

Walaupun jasmaniah ia menderita siksaan yang sedemikian hebat, tetapi dalam rohaniah ia telah mendapat suatu rasa kesadaran yang tenang. Ia tetap terlelap dalam lautan ilmu sakti yang sukar dipelajari.

Dalam pada itu perobahan hawa dalam gua tetap berlangsung sampai berulang kali. Dingin mendadak berobah panas. Panas tiba-tiba berganti dingin.

Keadaan itu telah berlangsung sejam lamanya, Siau-liong seperti digodog dalam kawah gunung berapi lalu dilemparkan ke dalam sungai es....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar