Pendekar Laknat Jilid 11-20
Wajah dara itu makin rawan,
katanya lebih lanjut, “Sejak kecil aku sudah sebatang kara. Adalah suhuku yang
merawat dan memelihara diriku sampai besar. Kami tinggal di sebuah pulau kecil.
Karena tak bercocok tanam, sejak kecil aku membantu suhu berburu dan mencari
ikan. Cara membakar daging tadi, pun aku belajar dari suhu."
"Mengapa engkau
tinggalkan suhumu dan seorang diri......”
"Aku hendak membalas dendam
untuk suhu!" tukas Mawar Putih geram.
Siau-liong terbeliak memandang
dara itu, tanyanya, “Mengapa nona tak datang bersama suhu nona? Apakah beliau
tega......?”
"Suhu sedang sakit....”
sahut Mawar Putih dengan nada sumbang. Dua butir air mata menitik dari sudut
matanya, "suhu mengatakan bahwa penyakit yang diindapkannya itu tak
mungkin sembuh. Yang beliau selalu ingat adalah dendam darahnya. Karena suhu
sudah mewariskan seluruh kepandaiannya kepadaku, maka sudah selayaknya aku yang
membalaskan dendam itu. Akan kubawa kepala orang itu kehadapan suhu!"
Siau-liong tertarik
perhatiannya. Tetapi ia tak dapat menemukan kata-kata untuk menghibur dara itu.
Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa tujuan dara itu menyangkut juga asal-usul
dirinya. Rasa haru Siau-liong makin meluap. Iapun kucurkan beberapa titik air
mata.
"Eh, mengapa engkau juga
menangis?" Mawar Putih hentikan sedunya dan tertawa menegur.
Siau-liong tertegun. Ia heran
mengapa secepat itu si dara sudah mengganti tangis dengan senyum tawa. Terpaksa
iapun ikut tertawa.
"Siapakah musuhmu?"
tanyanya.
Dengan geram Mawar Putih
menyahut, “Ketua partai Kong-tong-pay To Hun-ki bersama keempat Su-lo!"
Siau-liong termangu. Mengapa
terjadi peristiwa yang begitu kebetulan sekali! Toh Hun-ki adalah musuhnya
besar karena telah membunuh ayahnya. Mengapa musuh besar si dara itu juga To
Hun-ki?
"Apakah suhumu seorang
pria atau wanita?" tanyanya agak ragu.
“Sudah tentu wanita!"
“Mengapa suhumu bermusuhan
dengan Toh Hun-ki?"
Dara itu kicupkan gundu
matanya, “Pertanyaanmu terlalu jauh! Apakah engkau hendak mengetahui peristiwa
itu sejelasnya? Apa perlumu?"
Siau-liong menghela napas,
“Ah, terus terang saja, Toh Hun-ki itu juga musuhku besar!"
Mawar Putih terbeliak dan
menatapnya. Beberapa jenak kemudian, ia berkata, “Sungguh kebetulan sekali.
Kita dapat bekerja sama."
Siau-liong mendengus dan
merenung. Kemunculan Ki Ih kedunia persilatan lagi untuk mencari balas kepada
Kong-tong-pay, setiap orang persilatan sudah mengetahui semua. Apalagi ia
sendiripun sudah menyaksikan wanita sakti itu. Walaupun setiap kali belum berhasil
menerangkan kepada wanita itu, namun ia percaya bahwa wanita sakti itu tentulah
Coa-sik Se-si Ki Ih.
Tetapi aneh sekali! Mengapa
Mawar Putih mengatakan bahwa suhunya sedang sakit dirumah? Kalau begitu, jelas
guru Mawar Putih ini tentu bukan Ki Ih. Habis kalau bukan Ki Ih, siapakah
sesungguhnya guru dara itu? Mengapa ia juga mempunyai dendam sakit hati kepada
Kong-tong-pay.
"Nona, aku hendak
bertanya kepadamu!"
"Silahkan!"
"Siapakah nama suhumu
itu....?”
Mawar Putih terdiam sejenak
baru menjawab, “Tiada gunanya kuberitahukan nama suhuku. Beliau bernama Aminah
si Boneka-cantik dari Persia!"
"Apa?" Siau-liong
menegas kejut.
"Aminah Pasilia!"
"Nama yang aneh dan sukar
diingat serta tak sedap didengar," kata Siau-liong.
Mawar Putih deliki mata, “Apa?
Engkau berani menghina nama suhuku?"
Dara itu terus berbangkit
hendak pergi. Siau-liong menyesal dan buru-buru minta maaf.
Saat itu hari sudah terang
tanah. Cuaca cerah. Mawar Putih melangkah pelahan-lahan sambil kerutkan alis,
berkata, “Sekarang hendak kemanakah kita ini? Kita tak dapat terus tinggal di
biara bobrok ini!"
Sesaat Siau-liong pun tak
dapat menentukan arah tujuannya. Dia hendak membalas dendam. Hendak mencari
ibunya. Hendak mengangkat nama Koay suhu dalam dunia persilatan. Hendak
mengembangkan kewibawaan partai pengemis. Hendak merebut separoh bagian dari
Giok-pwe yang berada ditangan Soh-beng Ki-su. Hendak mencari orang baju hitam
yang misterius di dalam Lembah Semi......
Banyak nian pekerjaan yang
direncanakan tetapi ia bingung untuk memulai yang mana dulu. Tiba-tiba ia
teringat akan Tiau Bok-kun. Sikap dan tingkah laku nona itu penuh dengan
kehalusan yang mesra sehingga ia tersentuh dengan suatu perasaan. Perasaan yang
selama ini belum pernah dialaminya.
Benar racun dalam tubuh nona
itu sudah dapat disumbatnya tetapi jika tak diobati tepat pada waktunya, nona
itu tetap terancam bahaya cacat. Adakah Toh Hun-ki pegang janji untuk membawa
si nona ke Siok-ciu mencari obat?
Andaikata Toh Hun-ki
benar-benar pegang janji, tetapi seorang nona yang sebatang kara tentu
berbahaya sekali mengembara di dunia persilatan. Misalnya, jika bertemu dengan
tokoh sejahat Soh-beng Ki-su, bukankah sukar untuk membayangkan nasib nona itu?
Lama merenung tiba-tiba ia
menertawakan dirinya sendiri. Ia baru kenal dengan nona itu, mengapa ia
mewajibkan diri untuk memikirkan nasib nona itu? Bukankah di dunia terdapat
banyak sekali nona yang bernasib begitu? Apakah ia harus memikirkan nasib
mereka semua?
Namun betapapun juga, tetap ia
merasa masih terlekat dengan beban kewajiban itu. Selama belum terlaksana, ia
merasa masih belum himpas.
"Aku hendak ke Siok-siu,
apakah engkau......”
"Baik, aku menurut kemana
saja engkau pergi!" tukas Mawar Putih terus mendahului melangkah keluar.
Siau-liong terpaksa mengikuti.
Karena tak kenal jalan mereka
hanya menurutkan aliran anak sungai itu menuruni lamping gunung. Pada saat
melintasi dua buah puncak, pada gerumbul pohon disebelah muka. Tampak beberapa
sosok tubuh tengah lari menyongsongnya.
Buru-buru Siau-liong menarik
Mawar Putih bersembunyi dibalik batu besar.
Cepat sekali orang-orang itu
sudah tiba dua tombak jauhnya dari tempat Siau-liong. Yang dimuka sendiri,
mengenakan jubah biru, jenggot panjang sampai kedada, mencekal sebatang tongkat
Kumala Hijau. Ah, itulah si Jenggot-perak To Kiu-kong, ketua partay Kay-pang.
Dibelakangnya mengiring Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan si Pincang kiri Tio
Tau serta Pincang kanan Li Ki.
Siau-liong cepat loncat
keluar, “Kiu-kong, lama kita tak berjumpa!"
To Kiu-kong dan rombongannya
terkejut. Tetapi mereka girang bukan kepalang setelah mengetahui siapa
penghadangnya itu. Serta-merta mereka berlutut memberi hormat, “Cousu-ya."
Siau-liong mengangkat bangun
To Kiu-kong dan suruh yang lain-lain berdiri.
“Partai kita dapat berdiri
tegak dalam pergolakan dunia persilatan adalah karena selama ini sekalian anak
murid taat pada disiplin partai. Maka kumohon Cousu-ya jangan keliwat merendah
diri," kata To Kiu-kong.
Sesungguhnya Siau-liong merasa
sungkan menerima penghormatan yang berlebih-lebihan dari To Kiu-kong serta
tokoh-tokoh Kay-pang yang lain. Mereka jauh lebih tua dari dirinya. Dan
sekalipun sudah diangkat sebagai ketua, namun Siau-liong tak mengerti tentang
peraturan partai itu. Ia hanya manda tersenyum mendengar ucapan To Kiu-kong
itu.
Kemudian To Kiu-kong
menerangkan bahwa selama beberapa hari ini, ia bersama rombongan, berusaha
mencari Siau-liong. Sungguh tak diduga kalau mereka akan bertemu disitu.
Siau-liong terpaksa merangkai
cerita tentang dirinya selama beberapa hari itu. Untunglah To Kiu-kong tak
menanya lebih jauh.
“Dewasa ini dunia persilatan
telah dilanda bahaya. Tokoh-tokoh sakti dari berbagai partai persilatan
berbondong-bondong datang ke Jwan-lam....”
Berhenti sejenak, ketua
Kay-pang itu melanjutkan pula, “Iblis Penaluk dunia, Dewi Neraka pun kabarnya
telah berada dalam lembah Semi digunung Tay-liang-san. Partai-partai persilatan
telah menerima surat undangan dari kedua suami isteri momok itu supaya pada
pertengahan musim rontok, datang ke lembah Semi guna mengadu kepandaian. Aku
sendiripun telah menerima undangan itu juga......” ia mengeluarkan sebuah
sampul lalu diserahkan kepada Siau-liong.
Siau-liong menyambuti.
Dilihatnya undangan itu hanya selembar sutera pesegi sebesar sapu tangan,
diberi tulisan berbunyi:
Untuk merayakan malam
Tiong-jiu yang indah, kami undang saudara suka menghadiri perjamuan yang kami
selenggarakan dilembah Semi dengan acara: MENGADU KEPANDAIAN DENGAN MENDAPAT HADIAH
GIOK-PWE. Bila terlambat atau tidak datang, terpaksa akan kami larang saudara
bergerak di dunia persilatan.
Tertanda: Iblis Penaluk Dunia
Dewi Neraka.
"Hal ini sudah
kuketahui," Siau-liong tertawa dingin seraya mengembalikan surat itu.
“Pada hematku," kata To
Kiu-kong, "tujuan dari kedua momok itu tak lain adalah hendak merebut
separoh bagian dari Giok-pwe. Dan kedua kalinya, mereka hendak menjaring semua
tokoh-tokoh persilatan, menghancurkannya lalu menguasai dunia persilatan. Asal
salah satu dari rencana itu berhasil, tentulah dunia persilatan akan terancam
bahaya banjir darah. Iblis dan durjana akan menguasai dunia persilatan!"
Siau-liong tertawa, “Orang
kuno mengatakan bahwa 'Kejahatan selalu kalah dengan Kebenaran'. Sekalipun
ganas sekali rencana kedua momok itu, tetapi tak mungkin mereka berhasil
menentang seluruh dunia persilatan!"
To Kiu-kong amat mengindahkan
sekali kepada Siau-liong yang dianggapnya sebagai kakek guru Kay-pang. Ia hanya
mengiakan saja.
“Masih ada sebuah hal lagi
yang hendak kulaporkan kepada Cousu-ya," kata To Kiu-kong.
“Katakanlah," seru
Siau-liong.
"Beberapa hari yang lalu,
Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay telah dijebak oleh Soh-beng Ki-su. Tetapi entah
bagaimana ketua Kong-tong-pay itu telah ditolong oleh Pendekar Laknat. Sungguh
mengherankan sekali mengapa sekarang Pendekar Laknat berbeda sekali dengan
duapuluh tahun yang lalu. Perangainya berobah jauh lebih baik......"
To Kiu-kong berhenti sejenak
lalu melanjutkan, “Kabarnya Pendekar Laknat sudah bertempur dengan Iblis
Penaluk dunia. Keduanya sama-sama terluka parah."
Sesungguhnya peristiwa itu
telah diketahui Siau-liong tetapi ia tak leluasa menerangkan. Ia hanya
menanyakan adakah To Kiu-kong hendak memberi laporan lain lagi.
"Ya, mengenai nona Tiau
Bok-kun," Kata To Kiu-kong, "nona itupun ditolong Pendekar Laknat
dilembah Semi. Sekarang sedang diantar Toh Hun-ki berobat ke Siok-ciu......”
Kemudian ketua Kay-pang itu
menerangkan lebih lanjut bahwa racun ditubuh nona itu sudah dapat dikeluarkan
dan ia telah suruh anak buah Kay-pang untuk menjaga dan merawat nona itu
dirumah penginapan.
“Tahukah engkau kemana
perginya Toh Hun-ki,” tiba-tiba Mawar Putih menyeletuk.
To Kiu-kong tergugu. Setelah
memandang ke arah Siau-liong, ia menyahut, “Aku dan Toh Hun-ki bergantian
meninggalkan Siok-ciu. Kemungkinan saat ini dia sedang menuju ke puncak
Ngo-siong-nia!"
Kemudian ketua Kay-pang itu
memberi laporan lebih lanjut, “Saat ini dalam kota Siok-ciu telah berkumpul
banyak sekali tokoh-tokoh persilatan. Karena kuatir didengar orang, maka ketua
Bu-tong-pay It Hang totiang, tokoh ketiga Kun-lun sam-cu dari partai
Kun-lun-pay dan rombongan lain, bergegas menuju ke puncak Ngo-siong-nia. Mereka
hendak mengatur rencana untuk menghadapi iblis Penaluk dunia dan Dewi
Neraka......”
Mawar Putih menyeringai lalu
mendengus, “Tak perlu mengoceh begitu banyak! Dimana puncak Ngo-siong-nia
itu?"
To Kiu-kong kerutkan dahi. Ia
heran mengapa dara itu begitu bengis. Tetapi karena sidara kawan Cousu-ya
mereka, terpaksa To Kiu-kong bersabar. Sahutnya, “Kira-kira dua puluh li dari
sini, terdapat sebuah puncak gunung yang penuh ditumbuhi pohon Siong-pik!"
Diam-diam Siau-liong tahu
kalau Mawar Putih tentu salah paham kepadanya. Tetapi dihadapan tokoh-tokoh
Kay-pang, ia tak leluasa memberi penjelasan. Maka iapun diam saja atas sikap
kasar dari dara itu terhadap To Kiu-kong. Walaupun sudah berulang kali ia
memberi isyarat, tetapi si dara tetap tak mengacuhkan.
Demikian pun Pengemis Tertawa
dan si Pincang-kanan dan si Pincang-kiri. Mereka diam-diam heran mengapa
Cousu-ya mereka selalu galang-gulung dengan beberapa gadis yang tak keruan.
"Mari kesana!" Mawar
Putih terus menarik lengan Siau-liong.
Siau-liong tertawa, “Eh,
apakah nona hendak pergi....”
Mawar Putih deliki mata,
“Sudah tentu ke puncak Ngo-siong-nia untuk mencari To Hun-ki! Bukankah engkau
mengatakan bahwa engkau pun mempunyai dendam sakit hati tak mau hidup bersama
manusia itu?"
Sesaat Siau-liong tak dapat
menjawab. Memang pada akhirnya kelak ia tentu akan membunuh Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo itu. Tetapi bukan pada saat itu ia harus menuju ke Ngo-siong-nia
dan membunuh mereka.
Melihat Siau-liong ragu-ragu,
Mawar Putih tertawa mengejek, “Hm, agaknya aku telah keliru menilai orang.
Lekas pergilah engkau ke Siok-cu menjenguk gadis kekasihmu itu!"
Habis berkata dara itu terus
berputar tubuh dan hendak melangkah.
“Nona Pek! nona Pek....!"
seru Siau-liong gugup.
Tetapi tak dipedulikan Mawar
Putih. Dara itu bahkan terus gunakan ilmu lari cepat menuju ke timur.
Siau-liong bimbang, mengejar
atau membiarkannya. Selagi dia masih belum mengambil keputusan, gadis itu sudah
lenyap dari pandangan mata.
To Kiu-kong dan rombongannya
terbeliak heran tetapi tak berani bertanya. Dan lama sekali Siau-liong masih
memandang ke arah bayangan Mawar Putih.
To Kiu-kong saling
berpandangan dengan Pengemis Tertawa, lalu berbatuk-batuk, ujarnya,
“Adakah nona itu dengan
Cousu-ya....?”
Siau-liong tersadar. Cepat ia
menukas tertawa, “Tak ada hubungan dan sebelumnya pun tak kenal....”
Kemudian ia alihkan
pembicaraan dengan menanyakan tujuan To Kiu-kong dan kawan-kawan.
To Kiu-kong tertegun lalu
menyahut dengan serius, “Tadi telah kulaporkan kepada Cousu-ya bahwa It Hang
totiang ketua Bu-tong-pay telah mengajak beberapa tokoh persilatan mengadakan
pertemuan rahasia dipuncak Ngo-siong-nia. Mereka hendak merundingkan rencana
menghadapi kedua durjana iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka. Karena tak dapat
menemukan Cousu-ya maka aku terpaksa melancangi untuk menerima undangan itu.
Beruntung disini kami dapat menjumpai Cousu-ya."
Siau-liong kerutkan dahi,
ujarnya, “Apakah Toh Hun-ki dan rombongannya juga hadir kesana."
To Kiu-kong mengangguk,
“Rasanya saat ini tentu sudah tiba disana."
Siau-liong terkejut, serunya,
“Kalau begitu kita harus cepat-cepat kesana, kalau tidak......” ia tak
lanjutkan kata-katanya. Rupanya ia merasa kurang leluasa.
To Kiu-kong seorang yang
banyak pengalaman. Ia hanya tersenyum, “Tak mungkin dapat mendahului kita tiba
dipuncak itu......” ia memandang Siau-liong lalu melanjutkan pula, “Puncak
Ngo-siang-nia itu amat berbahaya sekali. Sekelilingnya lembah-lembah yang
disebut Lembah Sembilan lingkaran. Jika tak paham, tentu tersesat. Apa lagi
saat ini disekitar lembah itu telah dijaga ketat oleh murid-murid Go-bi-pay dan
anak buah Kay-pang......”
Siau-liong mengangguk. Tetapi
diam-diam ia gelisah karena menguatirkan keselamatan si dara. Demikianlah
mereka segera menuju ke puncak Ngo-siong-nia.
Sesungguhnya jarak dua puluh
li itu dapat ditempuh dalam waktu setengah jam saja. Tetapi karena jalanan sukar
dan To Kiu-kong tak henti-hentinya memberi petunjuk keadaan tempat itu kepada
Siau-liong, maka mereka berjalan agak lambat. Kurang lebih sejam barulah mereka
tiba di puncak itu.
Memang apa yang dikatakan To
Kiu-kong benar. Keadaan puncak amat berbahaya dan sulit sekali jalanannya. Jika
tak paham pasti tersesat. Pula pada setiap tikung dan tempat yang berbahaya
tentu dijaga oleh anak buah Kay-pang serta imam jubah kelabu.
To Kiu-kong paham benar dengan
keadaan tempat itu. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia menerima hormat dari
anak buah Kay-pang yang ditugaskan berjaga disitu.
Bermula Siau-liong mengira
bahwa di atas puncak tentu terdapat biara atau kuil. Tetapi ternyata dugaannya
itu keliru. Puncak gunung merupakan sebuah hutan lebat.
Setiba di tepi hutan, To
Kiu-kong segera bersuit nyaring. Beberapa puncak pohon siong tampak
bergerak-gerak dan sesaat kemudian beberapa sosok tubuh meluncur turun. Mereka
segera berjajar menghadang To Kiu-kong.
◄
Y ►
Ternyata yang turun dari
puncak pohon itu empat orang imam yang masing-masing mencekal golok kwat-to.
Salah seorang yang dimuka adalah seorang imam tua, berjenggot panjang menghunus
sebatang pedang.
Setelah memberi salam dengan
anggukan kepala imam tua itu berseru kepada To Kiu-kong,
“Ketua kami dan beberapa
cianpwe sudah lama menunggu kedatangan. Selekas saudara tiba, pertemuan segera
dimulai. Tetapi...... ia beralih memandang Siau-liong lalu berkata, “Pertemuan
ini menyangkut kepentingan dunia persilatan. Ketua kami telah memberi perintah,
yang tak menerima undangan tak diperbolehkan hadir. Saudara ini......”
To Kiu-kong cepat maju
selangkah dan memberi hormat, tukasnya, “Adalah Cousu-ya kami......”
Kemudian ia memberi keterangan
kepada Siau-liong: “Saudara-saudara ini adalah anak murid dari It Hang totiang
ketua Bu-tong-pay dan Ki Ceng siansu ketua Go-bi-pay. Karena belum kenal pada
Cousu-ya maka meminta keterangan."
"Tak apalah," kata
Siau-liong.
Imam tua itu terkesiap.
Setelah saling bertukar pandang dengan ketiga kawannya lalu memandang lagi kepada
Siau-liong, kemudian mundur beberapa langkah, “Silahkan!"
To Kiu-kong mempersilahkan
Siau-liong berjalan dimuka, ia dan Pengemis Tertawa mengiring dibelakangnya.
Hutan itu seluas berpuluh
tombak dan amat lebat sekali sehingga sesuai dijadikan tempat perundingan
rahasia.
Menyusup sejauh sepuluhan
tombak, tiba-tiba pemandangan disitu tampak terang. Ternyata sebelumnya,
berpuluh-puluh batang pohon telah ditabas sehingga tersedia sebuah tanah lapang
yang cukup luas.
Ditengah tanah lapang itu
tampak hadir tigapuluhan orang lebih. Terdiri dari paderi, imam dan orang
biasa. Pada umumnya mereka sudah berusia limapuluh tahun ke atas. Sikapnya
angker.
Imam tua yang duduk ditengah-tengah,
berjenggot putih menjulai kedada dan punggung menyanggul sebatang kebut
pertapaan segera berbangkit menyambut kedatangan To Kiu-kong.
"Atas nama sekalian
hadirin, kuucapkan selamat datang!" ia terus tersipu-sipu menyongsong.
To Kiu-kong segera
memperkenalkan diri Siau-liong, sebagai Cousu-ya dari partai Kay-pang.
“Aku yang rendah bernama
Kongsun Liong," Siau-liong memperkenalkan diri.
Ternyata imam yang sikap dan
wajahnya berperbawa seperti seorang dewa itu adalah It Hang totiang, penyelenggara
dari pertemuan. Ketua Bu-tong-pay itu terkesiap lalu memaksa diri bersenyum,
ujarnya, “Kalau begitu saudara tentulah ahli waris dari Pengemis Tengkorak Song
locianpwe?"
Siau-liong mengiakan.
It Hang menatap wajah
Siau-liong dengan penuh keheranan lalu menyisih kesamping mempersilahkan To
Kiu-kong dan rombongan masuk.
Sekalian tokoh yang hadir
disitu tampak duduk diam. Tetapi seluruh pandang mata mereka tercurah pada diri
Siau-liong. Rata-rata mereka sudah berumur setengah abad. Hanya Siau-liong seorang
saja yang masih muda.
Agaknya Siau-liong pun
merasakan kekakuan suasana disitu. Tetapi karena menyadari bahwa saat itu
dirinya sebagai ketua Kay-pang, terpaksa ia menekan perasaannya. Setelah masuk,
iapun terus duduk diantara mereka.
Ternyata yang hadir disitu
adalah tokoh-tokoh ternama, antara lain: Ketua Siau-lim-si, Ti Gong taysu. Ki
Ceng siansu ketua Go-bi-pay, Ciang Bu-seng ketua partai Tiam-jong-pay,
It-bi-cu, Sam-ki-cu, Bu-wi-cu tiga serangkai dari partai Kun-lun. Lam Leng
lojin dari partai Thian-san-pay. Tan I-hong pemimpin Ji-tok-kau. Cu Kong-leng
ketua Tong-thing-pang. Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari partai Kong-tong-pay.
Ditambah lagi dengan It Hang totiang ketua Bu-tong-pay dan anak buah Kay-pang
serta beberapa tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
Benar-benar merupakan suatu
pertemuan yang megah dan hebat.
Setelah rombongan To Kiu-kong
duduk, It Hang totiang segera membuka pertemuan, "Dewasa ini suasana dunia
kacau, dunia persilatan timbul berbagai peristiwa. Beberapa durjana muncul
kembali. Dimana-mana terjadi pembunuhan berdarah. Merupakan suatu bencana yang
sejak berpuluh-puluh tahun baru timbul kembali......”
Tiba-tiba diantara hadirin
terdengar orang batuk-batuk, serunya, “Harap toheng suka menunggu sebentar. Aku
hendak mohon sedikit penjelasan tentang sebuah hal."
Ternyata yang bicara itu
adalah Lam Leng lojin yang terkenal sebagai Thian-san it-soh atau orang tua
dari gunung Thian-san. Tubuhnya kurus kecil, sepasang matanya berkilat-kilat
penuh perbawa. Dan memelihara jenggot seperti jenggot kambing. Tingginya kurang
dari satu setengah meter, tetapi nada suaranya bergema nyaring sekali.
It Hang totiang hentikan
pidatonya lalu mempersilahkan orang tua dari gunung Thian-san itu mengajukan
pertanyaan.
Lam Leng lojin memberi hormat
lalu berseru. "Sungguh suatu tindakan yang amat terpuji dari totiang untuk
mengundang sekalian tokoh-tokoh persilatan berunding untuk menghadapi ancaman
yang akan menimpa keselamatan dunia persilatan. Pertemuan ini bersifat rahasia.
Oleh karena itu, sekalian orang yang hadir harus diketahui asal-usulnya dengan
jelas. Kita harus menyadari bahwa kedua durjana itu, licin dan banyak tipu
muslihatnya. Apabila pertemuan ini sampai bocor, pasti akan mengakibatkan
kebinasaan pada dunia persilatan. Dalam hal ini kumohon totiang suka
waspada!"
Habis berkata orang pendek
kurus dari Thia-san itu memandang ke arah Siau-liong lalu duduk kembali.
Walaupun tak jelas menyebut
nama tetapi isyarat mata Lam Leng lojin itu segera dapat ditangkap. Seluruh
hadirin memandang ke arah Siau-liong.
Siau-liong pun tahu hal itu.
Tetapi karena orang tak terang-terangan menyinggung dirinya pula ia tak mau
cari perkara, terpaksa ia diam saja.
It Hang totiang mengangguk
pelahan.
"Lam-heng benar, tetapi
aku sudah mengadakan persiapan. Sekalipun ada orang luar yang menyelundup, dia
pasti tak mampu lolos dari pengamatan para kawan-kawan dan tak mungkin keluar
dari puncak Ngo-siong-nia ini....”
Habis berkata pimpinan
pertemuan itu tertawa dingin dan sejenak memandang ke arah Siau-liong lalu
berkata pelahan-lahan, “Sekarang yang penting adalah untuk menentukan suatu
rencana....”
Sambil mengurut-urut
jenggotnya yang panjang, ia memandang lagi ke sekeliling hadirin kemudian
menghela napas.
"Thian dan Te kedua momok
itu, mempunyai anak buah yang besar dan tersebar luas. Mereka telah mengirim
undangan kepada seluruh kaum persilatan untuk menghadiri pertandingan adu silat
dilembah Semi. Jelas, maksud mereka tentulah hendak menjaring seluruh kaum
persilatan untuk dibinasakan. Jika kita memenuhi undangannya kelembah Semi dan
datang pada pertengahan bulan Delapan, tentulah kita termakan perangkap
mereka....”
03.12. Tuduhan Mata-mata Musuh
. . . . . . ??!!
Tiba-tiba terdengar suara
nyaring dari seorang imam tua baju kuning yang serentak berbangkit dari tempat
duduknya, “Menurut pendapat loni, lebih baik saat ini juga kita serbu lembah
itu!"
Nadanya nyaring dan garang
sekali. Empat imam yang duduk dibelakangnya, sama duduk pejamkan mata dengan
khidmat. Kiranya paderi yang membuka suara itu adalah Ti Gong taysu, ketua
Siau-lim-si.
It Hang totiang menyahut,
“Pendapatku memang sesuai sekali dengan saran taysu. Dalam ilmu perang
dikatakan bahwa siasat ilmu menggunakan tentara yang hebat ialah dapat
melakukan serangan secara tepat dan cepat. Menyerang musuh selagi musuh tak
menyangka dan tak bersiap. Betapapun ilmu kesaktian yang demiliki kedua momok
itu, namun sukar kiranya untuk menghadapi kekuatan kita beramai-ramai......”
Sejenak ketua Bu-tong-pay itu
berhenti dan memandang ke arah ketua Tiam-jong-pay dan ketua Tong-thing-pang.
kemudian melanjutkan lagi dengan pelahan-lahan, “Apalagi saudara Shin dan Cu,
mahir dalam ilmu barisan Pat-kwa kiu-kiong, Ngo-heng-tin dan lain-lain perkakas
rahasia. Kita mempunyai pegangan kuat untuk memenangkan pertempuran. Hanya
saja......”
Kembali ia kerutkan alis,
sejenak berhenti lalu berkata pula, “Kabarnya kedua durjana Liong dan Hou juga
tiba didaerah selatan sini. Pendekar Laknat sudah beberapa kali menampakkan
diri. Apabila ketiga momok itu benar-benar muncul dan berserikat dengan kedua
momok Thian dan Te (Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka), ah, kita pasti
terancam bahaya!"
Seketika heninglah suasana.
Sekalian hadirin terdiam. Memang yang dikatakan It Hang totiang itu benar. Jika
saat itu mereka menyerbu ke Lembah Semi, tentu masih dapat menghadapi Iblis
Penaluk dunia dan Dewi Naraka. Tetapi apabila kelima momok itu bersatu, tentu
tak mungkin dikalahkan.
Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay
segera berbangkit. Setelah memberi hormat kepada para hadirin, ia segera
berpaling menghadap It Hang totiang.
"Masih ada sebuah hal
yang hendak kupersembahkan kepada totiang dan saudara sekalian!" serunya.
"Silahkan," kata It
Hang totiang.
Toh Hun-ki tersenyum, serunya,
“Jika saudara-saudara tak lupa, tentulah masih ingat akan peristiwa duapuluh
tahun yang lampau. Pada masa itu kelima Durjana muncul dan mengaduk dunia
persilatan. Dunia persilatan seolah-olah banjir darah dan korban banyak
berjatuhan. Kelima durjana itu terdiri dari Iblis Penaluk dunia dengan
isterinya Dewi Neraka, si Naga dan si Harimau serta Pendekar Laknat......”
Ia berhenti sejenak untuk
mencari kesan, kemudian melanjutkan, “Tentang Pendekar Laknat, walaupun
disohorkan ganas dan kejam tetapi sepak terjangnya tidaklah seganas suami
isteri Penaluk-dunia dan Dewi Neraka serta kedua Naga dan Harimau. Kebanyakan
yang mati ditangan Pendekar Laknat itu adalah tokoh-tokoh yang jahat dan tak
berbudi. Dan pula dalam pertempuran dahsyat dilembah Lok-gan-koh pada duapuluh
tahun yang lalu itu, jika Pendekar Laknat tak beralih haluan memusuhi
suami-isteri Penaluk dunia dan Dewi Neraka, tentulah 72 tokoh-tokoh sakti yang
dikerahkan Tjeng Hi totiang ketua Kun-lun-pay untuk mengepung kelima durjana
itu, tentulah mereka habis binasa semua. Ya, apabila saat itu Pendekar Laknat
tak menyerang dan menghalau suami isteri Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka,
tentulah saat ini dunia persilatan sudah dikuasai oleh kedua suami isteri
durjana itu......”
Kembali Toh Hun-ki berhenti
untuk menyelidiki suasana hadirin. "Oleh karena itu," ia melanjutkan
pula, "menurut hematku, Pendekar Laknat bukan seorang momok yang ganas
tetapi sesungguhnya adalah seorang kesatrya yang penuh dengan jiwa perwira dan
budi luhur......”
"Adakah maksud saudara
Toh hendak mengagungkan nama Pendekar Laknat karena perbuatannya yang lalu
itu?" tiba-tiba ketua Siau-lim-si, Ti Gong taysu berseru dengan nada dan
wajah membesi.
Toh Hun-ki tertawa hambar,
sahutnya, “Bukan melainkan itu saja, tetapi baru-baru ini memang aku telah
mengalami suatu peristiwa yang berharga untuk bukti......”
Kemudian ketua Kong-tong-pay
itu segera menuturkan tentang peristiwa yang dialaminya ketika masuk ke Lembah
Semi.
"Demi jiwa raga dan
kehormatanku, kujamin bahwa Pendekar Laknat itu bukanlah momok ganas seperti
duapuluh tahun berselang. Bukan saja tak mengganggu dunia persilatan pun jika
kita tak dapat mengajaknya dalam persekutuan, tentu akan menambah kekuatan
kita. Paling tidak, kita takkan dimusuhinya."
Ti Gong taysu menggerung
seperti singa lapar, “Benar-benar ucapan yang sembrono! Bersahabat dengan
Pendekar Laknat untuk mendapatkan bantuannya menghadapi para momok durjana itu,
benar-benar suatu langkah yang tak dapat diterima oleh pikiran yang sehat."
Ketua Siau-lim-si itu terus
melangkah kehadapan It Hang totiang lalu berseru, “Entah bagaimana dengan
pendapat totiang, tetapi aku menolak sekeras-kerasnya!"
Sambil mengurut jenggotnya
yang panjang, ketua Bu-tong-pay It Hang totiang menyahut, “Pendekar Laknat
adalah momok ganas yang tergolong aliran jahat. Betapapun perbuatannya selama
ini namun tetap tak dapat kita jadikan sahabat, Namun jika apa yang dikatakan
Toh Hun-ki lo-hiapsu itu benar, tak apalah kita singkirkan ketakutan terhadap
momok itu dengan tak saling mengganggu. Setelah nanti urusan Lembah Semi
selesai, kita masih dapat bersahabat dengannya untuk membersihkan kejahatan di
dunia persilatan. Hal itu tentu akan merupakan suatu berkah bagi kita
semua......”
Tiba-tiba wajah ketua
Bu-tong-pay itu berobah sunyi dan berkatalah ia dengan sarat, “Tetapi yang
jelas dewasa ini kelima durjana itu mempunyai kekuatan besar. Sejak memendam
diri selama duapuluh tahun itu, entah mereka sudah berapa menambah
kesaktiannya. Entah mereka akan bersekutu atau tidak, kita belum dapat
memperhitungkan. Oleh karena itu, kuharap para saudara sekalian, suka bersatu
hati untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari kelima durjana
itu!"
Ti Gong taysu tertawa nyaring,
serunya, “Sudah tentu kita akan bertindak begitu. Lebih baik pecah sebagai
ratna dari pada hidup bercermin bangkai. Rasanya kekuatiran saudara itu
berlebih-lebihan. Adakah diantara kita yang hadir ini terdapat orang yang takut
mati?"
Habis berkata, ketua
Siau-lim-si itu sapukan pandang matanya ke arah hadirin. Ti Gong taysu memang
terkenal berwatak keras. Sekalipun sejak kecil sudah masuk gereja dan sudah
berumur enampuluh tahun lebih, serta menduduki jabatan yang tertinggi dalam
gereja Siau-lim-si, namun perangai
masih belum banyak berubah. Sedikit-sedikit
dia lekas naik darah.
Oleh karena sudah mengetahui
watak paderi Siau-lim-si itu, maka Toh Hun-ki pun tak mau melayani. Ia ganda
tertawa saja dan tak menghiraukan Ti Gong.
Karena sekalian hadirin tiada
yang buka suara maka It Hang totiang segera bertepuk tangan tiga kali dan
berseru nyaring, “Kalau begitu kita putuskan malam ini juga kita menuju ke
Lembah Semi. Tengah malam kita serbu lembah itu......” wajahnya berobah gelap
dan berkata lagi ia dengan suara yang serius, “Hidup matinya dunia persilatan,
ditentukan dalam pertempuran di lembah nanti......”
Sekonyong-koyong Lam Leng
tojin melengking dan loncat ke udara lalu melayang turun di hadapan It Hang
totiang.
"Tunggu sebentar,"
katanya sambil memberi hormat, "hendaknya janganlah totiang melupakan
suatu hal yang amat penting sekali......”
Sambil menunjuk ke arah
Siau-liong orang tua dari Thian-san itu berkata pula, “Asal-usul dirinya masih
belum diketahui jelas. Lawankah atau kawan? Andaikata dia itu mata-mata yang
dikirim kemari oleh kedua suami isteri durjana itu, bukankah kita bakal hancur
dalam penyerbuan ke Lembah Semi malam nanti?"
Belum It Hang memberi suatu
pernyataan, Ti Gong taysu sudah melangkah kemuka Siau-liong dan membentak
dengan suara menggeledek, “Siau-sicu, menilik umurnya yang masih begitu muda,
masakan engkau ini menjadi ketua dari partai Kay-pang?"
Saat itu sebenarnya Siau-liong
masih terbenam dalam renungan. Ia mendapat kesan bahwa sikap Toh Hun-ki dalam
pidatonya membela Pendekar Laknat, menunjukkan pribadinya yang kesatrya sebagai
seorang ketua partai persilatan. Siau-liong bimbang. Toh Hun-ki itu adalah
pembunuh ayahnya yang harus dibalas. Namun kalau membunuhnya, Siau-liong merasa
telah bertindak tak layak terhadap seorang tokoh yang berjiwa luhur.
Tengah ia mengalami
pertentangan batin, tiba-tiba Ti Gong melangkah dihadapannya dan membentak
dengan kata-kata yang kasar. Siau-liong marah.
Tetapi sebelum ia menjawab, To
Kiu-kong yang berada di sisinya sudah mendahului berbangkit. Sambil memberi
hormat, berkatalah tokoh Kay-pang itu, “Mengapa taysu mengajukan pertanyaan
semacam itu? Sejak pimpinan Kay-pang masih dipegang oleh Pengemis Tengkorak
Song Thay-kun Cousu hingga sampai sekarang, partai Kay-pang telah mendapat
sambutan dan penghargaan dari semua partai persilatan besar. Masakan aku keliru
mengenal Cousu kami sendiri?"
Dengan ucapan itu, secara
halus To Kiu-kong telah memberi dampratan kepada Ti Gong. Saat itu si
Pincang-kanan dan si Pincang kiripun berdiri di kedua samping To Kiu-kong,
memandang Ti Gong dengan marah.
Ti Gong mendengus. Karena malu
ia menjadi marah. Tetapi pada saat hendak bertindak, It Hang totiang dan Lam
Leng lojin cepat menghampiri.
Lam Leng lojin tertawa mengekeh,
melerai ditengah To Kiu-kong dan Ti Gong taysu, ujarnya kepada To Kiu-kong,
“Pertemuan dipuncak ini bersifat rahasia dan bertujuan untuk menyelamatkan
dunia persilatan dari keganasan kelima durjana itu. Jika pertemuan ini sampai
bocor, akibatnya tentu suatu bencana bagi dunia persilatan. Adalah demi menjaga
keselamatan dan pengamanan pertemuan ini maka beberapa saudara telah mengajukan
pertanyaan kepada ketua saudara. Dalam hal itu hendaknya saudara jangan salah
paham."
Mendengar itu, Siau-liong
serentak berbangkit. Serunya dengan tertawa tawar, “Oleh karena baru saja
muncul di dunia persilatan, sudah tentu saudara belum kenal padaku. Entah
dengan cara bagaimanakah agar saudara dapat mempercayai diriku itu?"
Lam Leng tojin berpaling ke
arah It Hang totiang, ujarnya, “Adakah maksud totiang....”
Ternyata orang tua dari gunung
Thian-san itu sendiri pun merasa sukar untuk memecahkan persoalan saat itu.
Jika To Kiu-kong menerangkan bahwa pemuda itu adalah Cousu dari Kay-pang, sudah
tentu harus dipercaya.
Kecurigaan bahwa pemuda itu
menjadi mata-mata yang dikirim suami isteri Iblis Penaluk dunia dan Dewi
Neraka, memang sukar diselidiki. Oleh karena tak dapat memecahkan persoalan,
Lam Leng lojin tumpahkan beban itu kepada It Hang totiang sebagai pimpinan pertemuan.
Menyadari kedudukannya sebagai
seorang penanggung jawab, It Hang pun segera maju selangkah dan menatap
Siu-liong dengan tajam.
"Pertama kuminta sicu
suka menuturkan tentang pengalaman sicu dikala menerima warisan ilmu dari
mendiang Song Thian-kun," katanya.
Siau-liong tak senang hati.
Permintaan itu merupakan suatu penyelidikan terhadap dirinya. Namun demi
mengingat akan sekalian hadirin, terpaksa ia tekan amarahnya dan menuturkan
semua peristiwa yang dialaminya ketika berjumpa dengan tengkorak Song Thay-kun
dalam pusar bumi.
Setelah mendengarkan sampai
selesai, It Hang merenung sejenak lalu berpaling ke arah To Kiu-kong,
“Sebagai seorang ketua,
saudara telah memerintahkan anak murid untuk mengangkat Kongsun Liong sicu
sebagai Cousu Kay-pang. Adakah hal saudara dasarkan atas lencana Tengkorak yang
terkalung didada pemuda itu?"
Sahut To Kiu-kong, “Sudah
tentu bukan hanya berdasar lencana itu saja. Aku telah menguji kepandaian dan
dapatkan bahwa Cousu kami ini memang telah memiliki ilmu pukulan
Thay-siang-ciang dari mendiang Song Cousu kami."
Pertama, It Hang totiang
memandang kesekeliling hadirin, lalu ia gelengkan kepala.
“Keterangan saudara tentang
penemuan ilmu sakti Thay-siang-ciang itu, masih harus diuji kebenarannya,"
katanya kepada Siu-liong, "pada hematku, Laut Penasaran di pusar bumi
gunung Hong-san itu merupakan tempat yang amat panas dan amat dingin. Sebelum
engkau keluar dari tempat itu dan sebelum mendapat petunjuk dari Pengemis
Tengkorak, bukankah kepandaian saudara belum berapa tinggi. Dengan kepandaian
yang saudara miliki saat itu, sukar rasanya saudara mampu keiuar lagi dari Laut
Penasaran. Dan lagi, mengapa saudara dapat menemukan tempat musnahnya Pengemis
Tengkorak?"
Adalah karena terpancang oleh
pesan mendiang Pendekar Laknat, terpaksa Siau-liong tak dapat memberi
keterangan. Diam-diam ia memuji ketajaman It Hang totiang untuk cara
penyelidikan yang dilakukan itu.
Ia tergagap tak dapat menyahut
sampai beberapa saat.
It Hang totiang tertawa dingin
lalu memandang lagi kepada To Kiu-kong, serunya, “Menilik gelagat, asal usul
ketua saudara ini, tentu berbelit-belit!"
To Kiu-kong kerutkan sepasang
alis, ujarnya, "Sebelum menghilang, mendiang Song Cousu kami telah
berulang kali memberi petunjuk bahwa ciri pengenal dirinya adalah lencana
Tengkorak dan ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang. Barang siapa memiliki kedua
hal itu, dialah ahli warisnya. Oleh karena itu aku pun mentaati pesan mendiang
Song Cousu dan tak menanyakan lebih lanjut tentang diri Cousu kami yang
sekarang ini......"
Lam Leng lojin tertawa
mengekeh dan menyelutuk, “Andaikata Pengemis Tengkorak tidak meninggal dalam
Laut Penasaran tetapi menderita penyakit dilain tempat dan berjumpa dengan anak
itu. Lalu anak itu memaksanya supaya memberi ajaran ilmu Thay-siang-ciang
kemudian merampas lencana itu, adakah saudara juga tetap hendak menobatkannya
menjadi ketua Kay-pang?"
"Hal itu tak mungkin
terjadi!" To Kiu-kong mendengus.
It Hang totiang tertawa,
“Taruhlah apa yang dituturkan Kongsun sicu itu benar semua. Tetapi karena
Pengemis Tengkorak sudah meninggal maka sukar untuk meminta keterangan
kepadanya. Ya, kalau pemuda itu seorang pemuda jujur, itu sih tak mengapa.
Tetapi kalau dia salah seorang anak buah kedua suami isteri durjana, adakah
saudara juga tetap mengangkatnya sebagai ketua?"
Bermula To Kiu-kong memang
marah. Tetapi demi mendengar pertanyaan It Hang totiang, tiba-tiba wajahnya
menampilkan rasa curiga. Ia mengakui, sebelumnya ia tak pernah dapat memikirkan
sepanjang yang ditanyakan It Hang totiang itu. Dan Siau-liong yang merasa
dirinya dipaksa sebagai anak buah suami isteri durjana, amat marah sekali.
Dengan lantang berserulah ia
kepada It Hang, “Dengan sepenuh hati aku datang kemari untuk ikut serta saudara
menghadapi para durjana. Tetapi mengapa saudara mencurigai dan menuduh aku
sebagai mata-mata musuh?"
Sahut It Hang totiang dengan
nyaring, “Terus terang saja, tokoh persilatan yang masuk ke dalam Laut
Penasaran dan dapat keluar lagi dengan selamat, belum pernah terdapat. Kecuali
dia itu memiliki kepandaian yang dipunyai oleh kelima durjana itu menjadi satu.
Maka....”
Ia berhenti sejenak memandang
sekalian hadirin, “Maaf, memang aku sendiri pun curiga terhadap dirimu,
jangan-jangan mempunyai hubungan dengan suami isteri durjana itu. Kecuali
engkau dapat menuturkan dengan sejujurnya pengalaman selama masuk ke dalam Laut
Penasaran!"
Siau-liong tak mengira ia akan
didesak sedemikian rupa oleh It Hang totiang. Betapapun juga, ia sudah
bersumpah untuk mematuhi pesan Koay suhu (Pendekar Laknat) untuk tak
menceritakan diri tokoh aneh itu kepada siapapun juga.
"Karena saudara
mencurigai diriku," serunya dengan tertawa dingin, “akupun tak dapat
berbuat apa-apa. Nah aku akan mohon diri!"
Habis berkata ia terus
melangkah pergi.
“Hai, hendak kemana
engkau," Ti Gong tay-su menggerung keras seraya loncat menghadang.
Dalam pada itu It Hang segera
memberi penjelasan kepada To Kiu-kong. Ia duga Siau-liong itu tentu anak buah
suami isteri durjana, Maka terpaksa tak diperbolehkan pergi dari situ.
To Kiu-kong tergoyah
pikirannya. Mengapa Cousu mereka (Siau-liong) tak mau menceritakan
pengalamannya? Sekilas ia dapat menerima alasan yang dikemukakan It Hang
totiang. Dan diam sajalah ia, bahkan menundukan kepala tak mau mencegah Ti Gong
taysu.
Sesungguhnya sekalian
tokoh-tokoh yang hadir di situ sudah mengepung Siau-liong. Demi It Hang telah
membuka kedok pemuda itu dan pemuda itu terus hendak pergi, segera mereka
mencabut senjata dan siap menyerang.
Karena murkanya wajah
Siau-liong sampai pucat. Kemudian sambil tertawa dingin, ia berseru,
“Bagiku mati hidup, kalah
menang bukanlah soal, hanya saja....” ia berganti nada rawan dan lanjutkan
kata-katanya, “Hanya sayang, dengan saling bunuh membunuh ini, apakah tidak
patut disayangkan?"
Dengan murka sekali Ti Gong
taysu membentak bengis, “Anak siluman, serahkan jiwamu, jangan banyak
tingkah."
“Wuut....” sebuah pukulan
segera dilayangkan kepada Siau-liong. Yang diarah bagian dadanya.
Ilmu pukulan Thay-siang-ciang
dari Pengemis Tengkorak, pada masa itu telah menggetarkan seluruh dunia
persilatan. Lepas dari asal usul Siau-liong, tetapi tentulah pemuda itu paham
akan pukulan Thay-siang-ciang yang hebat sehingga tokoh seperti To Kiu-kong sampai
dapat percaya penuh dan mengangkatnya sebagai ketua Kay-pang.
Dan Ti Gong pun menyadari hal
itu. Ia tak berani memandang rendah. Sekali turun tangan, ia gunakan jurus Raja
Pa-ong-mendorong gunung. Salah sebuah jurus dari ilmu simpanan Kim-kong-ciang
gereja Siau-lim-si. Dilayangkan oleh seorang tokoh semacam Ti Gong taysu,
pukulan itu kuasa membelah batu gunung dahsyatnya.
Melihat betapa kasar paderi
itu, marahlah Siau-liong. Diapun segera gunakan jurus Toa-lo-kim-kong untuk
menyongsong.
Sesungguhnya ilmu pukulan
Thay-siang-ciang warisan mendiang Song Thay-kun itu juga bersumber pada ilmu
kesaktian aliran gereja. Serupa dengan Tat-mo-kim-kong-ciang yang dilancarkan
Ti Gong taysu, pukulan Thay-siang-ciang yang dimainkan Siau-liong itu juga
termasuk ilmu tenaga dalam yang keras.
“Darr....” terdengar ledakan
keras, disusul dengan debu dan angin yang bertebaran menderu-deru keempat
penjuru.
Ti Gong taysu tergetar. Ia
rasakan pukulan anak muda itu hebat sekali. Suatu pukulan yang mengandung
tenaga dalam Lunak-keras. Apabila ilmu tenaga dalam yang bersifat keras itu
diyakinkan sampai pada tataran yang tinggi, maka berobahlah perbawanya menjadi
Semu-lunak, atau yang disebut dengan istilah Kong-kek-seng-ji (apabila Keras
mencapai klimaks tertinggi, timbullah lunak)
Mau tak mau ketua Siau-lim-si
itu terkejut sekali......
Tetapi sebelum ia sempat
berbuat sesuatu, seketika ia rasakan darahnya bergolak keras dan tergempurlah
kuda-kuda kakinya. Ia terhuyung-huyung lima langkah ke belakang baru dapat
berdiri dengan tegak lagi.
Ketika memandang kemuka,
dilihat pemuda lawannya itu masih tegak berdiri ditempatnya dengan gagahnya.
“Maafkan, lo-siansu,"
seru Siau-liong sambil memberi hormat.
Malu Ti Gong taysu bukan
kepalang. Dan rasa malu itu menimbulkan kemarahan yang hebat. Semula ia anggap,
sekali pukul pemuda itu tentu akan terkapar rubuh. Tetapi diluar dugaan dia
sendiri yang harus menderita terkena tangkisan pemuda itu.
Ti Gong taysu adalah ketua
Siau-lim-si yang amat tinggi kedudukannya dan harum namanya dalam dunia
persilatan Tetapi saat itu disaksikan oleh berpuluh-puluh tokoh persilatan
terkenal, ia harus menderita kekalahan dari seorang pemuda yang tak terkenal.
Dengan menggerung laksana
harimau kelaparan, ketua Siau-lim-si itu hendak menyerang lagi. Tetapi It Hang
totiang cepat mencegahnya, “Taysu, ijinkanlah aku yang akan meminta pelajaran
dari Kong-sun sicu itu!"
Sebagai ketua Bu-tong-pay yang
berilmu tinggi tahulah It Hang akan kesaktian yang dimiliki pemuda itu. Sebagai
seorang pimpinan pertemuan, ia harus mengambil alih tanggung jawab untuk
menyelesaikan diri pemuda itu.
Cepat ketua Bu-tong-pay itu
mencabut kebut dan dengan melangkah pelahan-lahan ia menghampiri kemuka
Siau-liong.
“Ti Gong taysu sudah menerima
pelajaran ilmu pukulan saudara," katanya sambil mengurut jenggot,
“sekarang aku yang tua dan tak berguna ini, ingin juga mendapat pelajaran
saudara dalam ilmu senjata......”
Bu-tong-pay terkenal sebagai
partai persilatan yang mengutamakan ilmu permainan pedang. Rupanya ketua
Bu-tong-pay itu tak mau adu pukulan tetapi hendak menantang pertempuran
senjata. Ia yakin akan kehebatan ilmu pedang partainya.
“Silahkan saudara mencabut
senjata dan segeralah menyerang dulu," seru It Hang.
Diluar dugaan Siau-liong hanya
mendengus, “Silahkan totiang menggunakan kebut, aku yang rendah tetap hendak
melayani dengan tangan kosong saja....” sejenak memandang ke arah hadirin, ia
melanjutkan pula, “Sejak aku turun kedunia persilatan, sekalipun aku memiliki
pedang pusaka, tetapi belum pernah selama ini kugunakan. Dan pada saat ini, aku
pun tetap takkan melanggar pantangan itu!"
Suatu ucapan yang angkuh dan
besar sekali!
Sekalian tokoh-tokoh yang
hadir disitu terbeliak, kaget. Mereka, sejumlah tak kurang dari duapuluh
tokoh-tokoh ternama, merasa dianggap sepi oleh pemuda tak terkenal itu.
It Hang marah sekali. Tetapi
ia tetap tenang dan tersenyum simpul, ujarnya, “Baiklah, karena sicu
menghendaki sendiri, harap hati-hati!"
Ia menutup kata-katanya dengan
gerakan kebut pertapaan dalam jurus Memukul-lonceng-emas. Kebut dimainkan
setengah lingkaran di udara lalu tiba-tiba berganti dengan gerak
Angin-meniup-siluman-lari, untuk menghantam kepala Siau-liong.
Jurus yang dimainkan ketua
Bu-tong-pay itu amatlah anehnya dan digerakkan dengan kecepatan yang luar biasa
sehingga membuat Siau-liong terbeliak kaget.
Kebut pertapaan itu dibuat
daripada bahan anyaman ratusan lembar kawat baja. Sepintas pandang menyerupai
kebut ekor kuda. tetapi ketika dimainkan oleh It Hang, kebut itu berobah
menjadi sebuah senjata yang melempang lurus. Dan karena It Hang telah pancarkan
sembilan bagian tenaga dalamnya, maka beratus-ratus lembar kawat baja itu tegak
lurus dengan tajamnya.
Melihat sekali turun tangan,
ketua Bu-tong-pay itu sudah gunakan jurus yang ganas, terpaksa Siau-liong pun
harus melayani. Jurus Raja-langit-mendorong-pagoda, salah sebuah jurus dari
ilmu pukulan sakti Thay-siang-bu-kek, segera dilancarkan. Kedua tangannya
didorong kemuka. Tangan kanan memukul, tangan kiri ditebarkan untuk
mencengkeram kebut lawan.
Setitik pun tak terlintas
dalam benak It Hang totiang bahwa pemuda itu memiliki ilmu pukulan
Thay-siang-ciang yang sedemikian tingginya. Dibanding dengan tataran yang
dicapai oleh Pengemis Tengkorak Song Thay-kun, pemuda itu ternyata lebih
unggul.
Seketika ketua Bu-tong-pay itu
rasakan lengan kanannya tergetar dan kebut yang dicekalnya itu terlanda oleh
suatu tenaga membal yang luar biasa dahsyatnya. Hampir saja kebut itu terlepas
dari cekalannya. Belum hilang kejutnya, It Hang rasakan tangan kanan pemuda
yang diluruskan kemuka dada itu, mengandung hamburan tenaga sakti yang amat
maut.
It Hang totiang terkejut
sekali dan buru-buru menyurut mundur dua langkah......
04.13. Kegarangan Harimau
Iblis
Dalam dua jurus saja,
Siau-liong sudah berhasil mengalahkan dua orang tokoh sakti. Ti Gong taysu dan
It Hang totiang sehingga sekalian tokoh-tokoh yang hadir terkejut bukan
kepalang!
Diam-diam It Hang totiang
menimang. Saat itu jika tak beramai-ramai turun tangan, dikuatirkan tak ada
yang mampu mengalahkan pemuda itu. Ah, diam-diam ia menghela napas. Demi
menyelamatkan dunia persilatan, terpaksa harus meninggalkan tata-susila dunia persilatan.
Pada saat ketua Bu-tong-pay
itu hendak memberi komando, sekonyong-konyong dari arah hutan terdengar suara
orang tertawa nyaring. Nadanya menusuk ketelinga sekalian orang.
Sekalian tokoh terperanjat!
It Hang terbeliak. Cepat ia
memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi empat keliling hutan itu hanya
pohon-pohon yang lebat belaka. tiada tampak bayangan seseorangpun juga......
Ketua Bu-tong-pay itu
benar-benar terpesona. Pada hal penjagaan di tempat pertemuan itu sudah diatur
sedemikian ketat sekali. Setiap tiga langkah sebuah pos kecil dan setiap lima
langkah sebuah pos. Sedemikian ketat dan rapat penjagaan itu diatur sehingga
jangankan orang sedang lalat atau nyamuk pun tak mungkin lolos dari pengamatan!
Tetapi yang jelas, orang
misterius itu dapat menembus masuk dibawah hidung penjagaan yang sedemikan
ketat itu. Suatu hal yang benar-benar membuat ketua Bu-tong-pay itu
terlongong-longong kehilangan paham......
Setelah berhenti tertawa,
orang misterius itu berseru nyaring, “Hidung kerbau It Hang, keledai gundul Ti
Gong, Tan Ih-hong, Sin Bu-seng, si Tua Lam Leng...... ha, ha! Hari ini kalian
mengadakan pertemuan besar....!"
Dari puncak sebatang pohon
tinggi yang tumbuh disebelah kiri, melayang turun sesosok tubuh manusia.
Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang menukik dari udara. Tetapi
setiba di bumi, gerakannya amat ringan laksana kapas jatuh di tanah......
Seorang tua yang tinggi besar
dan mengenakan pakaian hitam putih yang menyolok, tegak berdiri memandang
sekalian hadirin dengan mata berkilat kilat tajam. Umurnya lebih dari
tujuhpuluh tahun, kepalanya gundul, wajahnya ke-merah-merahan segar sehingga
tampaknya baru berumur lebih kurang limapuluhan tahun.
Kembali orang tua itu tertawa
nyaring, “Ho, perlu apa kalian berada disini......?"
Dan tanpa menunggu penyahutan,
ia berpaling memandang Siau-liong, “Apakah untuk menghina anak kecil itu?"
Sekalian orang tak dapat
menjawab. Suasana hening lelap. Kekalahan Ti Gong taysu dan It Hang totiang
amat menggoncangkan perasaan mereka sehingga tak tahu apa yang harus mereka
lakukan.
Pada saat itu kebetulan Lam
Leng lojin berdiri paling dekat dengan orang misterius itu. Orang tua dari
Thian-san itu paksakan diri tertawa.
"Kalau tak salah, saudara
tentulah....”
Belum Lam Leng lojin
menyelesaikan kata-katanya, orang aneh itu sudah membentaknya, “Apa? Dua puluh
tahun tak bertemu engkau sudah tak kenal lagi padaku?"
"Ah, saudara masih
bersemangat seperti dulu. Mataku belum rabun, sudah tentu takkan lupa. Hanya
saja....” Lam Leng lojin tertawa tawar lalu berkata pula, “Dalam saat dan
suasana seperti sekarang ini, kemunculan saudara di dunia persilatan, apakah
tak....”
"Engkau tak berhak
bertanya!" orang itu cepat membentaknya seraya terus menghampiri
Siau-liong.
Sekalian hadirin kebanyakan
tokoh-tokoh silat tua dan ternama. Pada masa duapuluh tahun yang lalu, ketika
kelima durjana muncul mengacau dunia persilatan, merekapun ikut serta. Sudah
tentu mereka tahu siapa pendatang yang aneh itu.
Kiranya orang aneh itu adalah
salah seorang tokoh dari Lima Durjana, yakni Harimau maut pencabut nyawa!
Lam Leng lojin dan Ti Gong
taysu cepat maju menghadang dan membentak, “Berhenti!"
Harimau-maut berhenti, tertawa
nyaring lalu tiba-tiba hantamkan kedua tangannya kedada penghadangnya.
Ti Gong taysu dan Lam Leng
lojin memperhitung, si Harimau-maut tentu tak berani mengganas karena
menghadapi sekian banyak tokoh-tokoh persilatan. Tetapi ternyata dugaan itu
meleset. Ternyata Harimau maut masih seganas pada duapuluh tahun berselang.
Tanpa berkata suatu apa, dia sudah melancarkan serangan yang dahsyat.
Ti Gong dan Lam Leng terkejut
sekali.
Kedua tokoh itu cepat
menangkis. Ti Gong menggunakan Air terjun membelah gunung, salah sebuah jurus
dari ilmu pukulan Tat-mo-kim-kong-ciang. Sedang Lam Leng mengeluarkan Membalik
awan menjungkir hujan. Keduanya menyongsong dari samping dengan sepenuh tenaga.
Ketika terjadi benturan,
terdengarlah suara letupan yang dahsyat. Tubuh Harimau-maut agak menggigil.
Tertawa nyaring, ia tetap tak mengacuhkan apa-apa dan terus menghampiri kemuka
Siau-liong.
Ti Gong taysu dan Lam Leng
lojin tersurut mundur sampai tiga langkah baru dapat berdiri tegak. Wajah kedua
tokah itu pucat lesi, tubuh berguncang-guncang mau rubuh.
Ti Gong taysu terengah-engah,
tiba-tiba ia muntah darah. Jelas ia telah menderita luka dalam yang parah.
Empat orang paderi Siau-lim-si
pengikutnya, cepat-cepat lari memapah Ti Gong keluar gelanggang.
Sekalipun saat itu tak tampak
tanda suatu apa, tetapi ditilik dari tubuhnya yang berguncangan itu, jelas Lam
Leng lojin juga menderita luka dalam yang berat. Ia berjalan hendak menuju
ketepi gelanggang. Tetapi baru empat langkah, ia jatuh terduduk di tengah
gelanggang.
It Hang totiang kerutkan dahi.
Ia tampak gugup menyaksikan peristiwa itu. Buru-buru ia memberi perintah agar
semua anak murid Kay-pang dan Go-bi-pay yang menjaga di puncak gunung itu serta
anak buah lain-lain partai, segera siapkan senjata dan mengepung rapat hutan
itu. Harimau-maut dan Siau-liong harus dibunuh dibawah hujan anak panah dan
senjata rahasia.
Disamping itu, It Hang
mengajak seluruh hadirin untuk beramai-ramai menyerang musuh. Ia tak mau
memegang tata-susila dunia persilatan lagi. Yang penting momok Harimau-maut
harus dilenyapkan!
Setelah menyaksikan bagaimana
dalam sebuah pukulan saja, Harimau-maut dapat melukai Ti Gong dan Lam Leng,
sekalian hadirin tergetar nyalinya. Mereka tak berani lagi menghadang momok
itu.
Kemudian setelah mendapat
isyarat dari It Hang, merekapun segera mencabut senjata masing-masing siap
sedia menghadapi si momok.
Tetapi Harimau-maut tak
mengacuhkan sikap orang-orang itu. Seolah-olah tak terjadi suatu apa dengan
langkah lebar ia menuju kehadapan Siau-liong, menatap lekat-lekat pemuda itu
lalu bertanya dengan tertawa, “Buyung, mengapa mereka menghina engkau?"
Siau-liong hanya mendengus tak
mau menyahut. Dalam hati pemuda itu, terbit pertentangan sendiri. Ia tak mau
bentrok dengan tokoh-tokoh partai persilatan. Tetapi karena didesak sedemikian
rupa, terpaksa ia harus mengadu pukulan dengan Ti Gong dan It Hang.
Ia menyadari bahwa bentrokan
dengan ketua Siau-lim-si dan Bu-tong-pay itu berarti akan memperdalam salah
paham sekalian tokoh terhadap dirinya. Itulah sebabnya ia termenung-menung
diam.
Kemunculan mendadak dari
Harimau-maut itu telah mengalihkan perhatian sekalian orang. Turut pengetahuan
Siau-liong, Naga-keparat dari gunung Kengsan dan Harimau-iblis itu dahulu
ketika muncul, telah menimbulkan banyak peristiwa-peristiwa berdarah di dunia
persilatan. Tetapi menurut penilaian yang adil, sepak terjang kedua momok itu tidak
termasuk golongan Hitam juga bukan golongan Putih. Melainkan ditengah-tengah.
Mereka bertindak menurut sekehendak hati sendiri.
Dalam hal itu, memang tindakan
mereka lebih banyak bersifat jahat. Dan lagi mereka pernah berserikat dengan
Iblis Penaluk dunia serta Dewi Neraka untuk menghancurkan dunia persilatan.
Dengan begitu, kaum persilatan mempunyai kesan tak baik dan membenci kedua
momok itu.
Siau-liong masih melanjutkan
renungannya. Memang tak sukar baginya untuk tinggalkan tempat situ. Tetapi ia
kuatir, tindakan begitu akan lebih memperdalam tuduhan orang bahwa ia adalah
kaki tangan Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka.
Tetapi jika ia tetap berada
disitu, tentulah akan bentrok dengan Harimau iblis (Harimau-maut). Celakanya,
ia terpancang tak dapat mengeluarkan ilmu sakti Bu-kek-sin-kang dan hanya dapat
menggunakan ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Entah apakah dengan ilmu pukulan itu
ia dapat mengalahkan Harimau iblis atau tidak. Ia tak yakin......
“Hai!" tiba-tiba
pikirannya mengilas, "mengapa aku tak pergi dulu dari sini, lalu muncul
lagi sebagai Pendekar Laknat? Bukankah dengan langkah itu ia akan terhindar
bertempur dengan Harimau-iblis dan sekaligus dapat membuktikan nama baik
Pendekar Laknat itu memang nyata. Ah, bukankah ia dapat 'sekali dayung dua
tepian'?"
Segera ia bendak laksanakan
rencananya itu. Tetapi pada saat ia hendak gunakan gerak Naga-berputar-18 kali,
Harimau-iblis yang habis melukai dua orang, sudah menghampiri ke tempatnya.
Sekalipun Siau-liong marah
melihat sikap dan ucapan Harimau-iblis yang sombong tetapi ia masih dapat
berpikir dengan kepala dingin. Ia tak tahu bahwa ia dapat mengalahkan momok itu
dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang saja. Maka terpaksa ia tekan kemarahannya
dan tak mengacuhkan pertanyaan momok itu.
Tetapi bukannya marah
kebalikannya Harimau-iblis malah tertawa gelak-gelak, “Buyung, jangan takut.
Kalau ada kesulitan, bilang saja. Nanti aku yang menyelesaikan. Jangan takut
mereka berjumlah banyak....” tiba-tiba ia berputar tubuh memandang sekalian
orang, kemudian berkata lagi: ” Mereka itu tak berarti apa-apa bagiku. Aku
paling benci kalau yang Kuat menindas yang Lemah, mengandalkan jumlah banyak
mau menindas orang!"
Siau-liong tertawa dingin,
serunya sinis, “Bagaimana engkau tahu, aku takut kepada mereka?"
Harimau Iblis tertegun dan
menyurut selangkah. Ditatapnya pemuda itu dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa
keras. Nadanya seperti harimau meraung-raung. Lama baru ia hentikan tertawanya
yang aneh itu.
"Bagus! Punya perbawa
gaib dan nyali besar! Sesuai sekali dengan watakku. Kita harus menjadi sahabat
baik......” serunya.
Kemudian ia memandang lagi
kesekeliling, lalu berkata lagi, “Kemunculanku di dunia persilatan sekarang ini
rasanya takkan sia-sia karena dapat mengikat persahabatan dengan engkau. Hayo,
kita pergi kekota Siok-ciu minum arak!"
Terus saja Harimau Iblis
menarik bahu Siau-liong hendak diajak pergi.
“Aku tak mau bermusuhan dengan
saudara, jangan mengujuk kekasaran!" teriak Siau-liong seraya mengeliat
untuk menghindar.
Sudah tentu Harimau Iblis tak
mau melepas anak itu. Dengan menguak aneh, ia berputar membayangi Siau-liong
dan secepat kilat menyambar pergelangan tangan pemuda itu, bentaknya, “Budak,
mengapa engkau tak tahu diri!"
Siau-liong mendengus tetapi ia
tak mau menghindar lagi dan membiarkan tangannya dicekal orang.
Cerdik juga anak itu. Karena
tak leluasa menggunakan Bu-kek-sin-kang dalam pukulan, ia gunakan siasat lain.
Maka dibiarkan saja tangannya dicekal tetapi diam-diam ia salurkan tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang.
Dalam mata Harimau Iblis,
Siau-liong itu dianggap sebagai pemuda yang belum hilang bau pupuknya. Ia
yakin, sekali sambar tentu dapat mencekalnya. Maka ia tak bersiap apa-apa.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika jari menyentuh tangan Siau-liong, seketika ia rasakan di jarinya dipancar
oleh serangkum hawa panas. Sakitnya seperti terkena hantaman. Terpaksa ia
mundur beberapa langkah.
It Hang totiang bermula cemas
sekali kalau pemuda itu mau bersekutu dengan Harimau Iblis. Tetapi ketika
melihat Siau-liong tak mengacuhkan tawaran Harimau Iblis dan tiba-tiba momok
itu tersentak mundur beberapa langkah, terkejutlah sekalian orang.
Kini seluruh mata hadirin
tertumpah pada Siau-liong dan Harimau Iblis. Dengan ilmu pukulan
Thay-siang-ciang yang sakti, tentulah Siau-liong dapat mengimbangi Harimau
Iblis. Dan apabila kedua orang itu bertempur seru, siapapun yang kalah dan
menang, bagi sekalian tokoh yang hadir disitu, merupakan suatu keuntungan.
Syukur kedua-duanya sama-sama terluka parah......
Harimau Iblis terkejut sekali
karena lengannya kesemutan. Cepat ia salurkan tenaga dalam. Setelah sembuh, ia
maju lagi dan meraung marah, “Ho, aku salah lihat! Apakah nama ilmumu
itu?"
Membengiskan matanya, momok
itu membentak keras:”Bilang lekas, siapa gurumu!"
"Apakah engkau berhak
bertanya?" sahut Siau-liong dengan hambar.
Bukan kepalang marah Harimau
Iblis. Mukanya membiru gelap dan gerahamnya bergemerutukan lalu meraung
sekuat-kuatnya, “Aku tak berhak bertanya? Ho, hari ini aku akan mengadu jiwa
dengan engkau."
Habis berseru, terus hendak
mencengkeram bahu. Siau-liong sudah bersiap untuk mengadu kepandaian dengan
momok itu.
Tiba-tiba momok itu hentikan
gerakannya lalu tertawa keras. "Buyung, siapakah namamu!?" serunya.
Siau-liong pun tertawa dingin,
sahutnya, “Namaku Kongsun Liong!"
Momok itu merenung sejenak
lalu berkata seorang diri, “Kongsu Liong, Kong.... sun.... Liong.... sebenarnya
nama yang tak terkenal, tetapi mengapa....” ia kerutkan alis seperti lengah
berpikir.
Tiba-tiba ia tertawa nyaring,
serunya, “Buyung, sekalipun engkau tak mau mengatakan nama guru pun tetapi
akupun dapat menebak. Ilmu tenaga sakti yang luar biasa itu, cukup
kukenal......” kembali ia tundukkan kepala merenung.
Diam-diam Siau-liong terkejut.
Ia kuatir Harimau Iblis akan mengenal tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu. Apabila
hal itu sampai diketahui Harimau Iblis dan didengar oleh sekian banyak
tokoh-tokoh persilatan, tentulah merugikan nama baik Pendekar Laknat dan juga
tak menguntungkan bagi hari depannya sendiri.
Untuk mencegah hal itu,
terpaksa ia maju selangkah dan berseru, “Iblis tua, terimalah sebuah pukulan.
Mungkin engkau baru dapat memikir dengan berhasil!"
“Wut....” jurus
Tay-lo-kim-kong segera dilontarkan ke arah momok itu.
Setelah menderita kesakitan
tadi, Harimau Iblis tak berani memandang rendah pada pemuda itu lagi. Cepat ia
gunakan jurus Menurut-aliran air-mendorong-perahu untuk menangkis.
Jurus itu adalah salah sebuah
jurus yang amat ganas dari ilmu pukulan Hou-pik-sin-ciang atau pukulan sakti
Harimau-maut. Kerasnya bukan alang kepalang.
“Dar....” terdengar letupan
keras dan bahu kedua orang itu sama tergetar.
Seketika berobahlah wajah
Harimau Iblis. Pukulan yang dilancarkan Siau-liong itu jauh bedanya dengan
tenaga sakti yang dipancarkan pada pergelangan tangannya tadi. Benar-benar ia
tak habis mengerti.
Setelah saling menarik pulang
tangannya, kembali Harimau Iblis berseru, “Buyung, rupanya paling sedikit
engkau mempunyai dua orang guru sakti. Pukulanmu yang ini lain sekali dari yang
tadi. Aku tak mungkin salah lihat, lekas bilanglah......”
"Silahkan engkau
mengeluarkan seluruh kepandaianmu, tak perlu bertanya ini itu!" bentak
Siau-liong dan menyusul lagi dengan sebuah pukulan lagi ke arah dada.
Harimau Iblis tertawa nyaring
lalu menyongsong dengan jurus Harimau hitam mengorek hati.
Siau-liong tak menduga sama
sekali bahwa gerakan tangan dari momok itu dapat dirobah menjadi genggaman
tinju. Seketika ia rasakan dadanya seperti dilanda oleh sebuah batu raksasa
sehingga jantung serasa pecah dan hampir saja ia rubuh......
Tujuan Harimau Iblis itu
hendak menghancur leburkan tubuh Siau-liong. Tetapi karena tinjunya tak cukup
besar, terpaksa ia hanya mengarah dada anak muda itu. Ia berhasil tetapi iapun
terkena pukulan Siau-liong. Ia rasakan tulang belulangnya serasa copot dan mata
berbinar-binar gelap.
Dua kali adu pukulan itu,
membuat Harimau Iblis benar memuncak kemarahannya. Meraunglah ia dengan
sekuat-kuatnya, “Sungguh tak kira dalam kemunculanku di dunia persilatan kali
ini, aku akan berjumpa dengan seorang manusia yang seganas engkau......
Ia bolang-balingkan tangannya
kanan dan berseru pula, “Dengan pukulanku ini, kita akan menentukan siapa hidup
siapa mati!"
Siau-liong tertawa dingin
saja. Tetapi diam-diam ia sudah menyalurkan tenaga saktinya sampai sepuluh
bagian. Selekas Harimau Iblis memukul, iapun cepat menghantam dengan pukulan
sakti Thay-siang-ciang.
Harimau Iblis sudah memutuskan
untuk mengakhiri pertempuran itu. Maka pukulannya dilancarkan dengan tenaga
penuh, Terdengar ledakan keras disusul dengan pasir dan debu berhamburan. Dalam
libatan asap debu yang lebat, tampak kedua jago itu sama-sama terhuyung-huyung
sampai lima enam langkah lalu rubuh......
Karena tak mau mengeluarkan
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, Siau-liong hanya gunakan pukulan sakti
Thay-siang-ciang. Ternyata kekuatannya berimbang dengan pukulan sakti Harimau
iblis. Isi dada kedua orang itu terasa bergolak hebat, darah berhamburan
sungsang sumbal. Begitu jatuh, keduanya segera pejamkan mata untuk menenangkan
darahnya.
Melihat kesudahan itu girang
It Hang totiang bukan kepalang. Pikirnya, “Mereka ibarat ikan masuk jaring.
Kalau tak menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan mereka, tak mungkin
dapat menyelamatkan dunia persilatan......”
Ketua Bu-tong-pay itu segera
menghampiri ketempat Harimau Iblis. Tetapi sebelum dekat, tiba-tiba Harimau
Iblis dua membuka mata, “Hidung kerbau, walaupun aku harus mati tetapi tak
nanti mati di tanganmu!"
It Hang totiang tertegun.
Tetapi pada lain saat ia tertawa, “Iblis tua, asal kuayunkan tangan jiwamu
pasti melayang!"
“Belum tentu!" dengus
Harimau Iblis.
It Hang terkesiap. Timbullah
keraguannya adakah momok itu benar-benar terluka parah. Sebagai ketua
Bu-tong-pay yang ternama dan saat itu menjadi pimpinan berpuluh-puluh tokoh
persilatan, jika membunuh seorang lawan yang sedang menderita luka dan tak
dapat melawan, sekalipun yang dibunuhnya itu seorang durjana besar, tetapi
perbuatan itu tetap akan tercelah dan namanya cemar.
Ketua Bu-tong-pay itu
berpaling ke arah Siau-liong. Dilihatnya pemuda itu juga duduk menyalurkan
napas. Tetapi wajahnya merah segar seperti orang sehat saja. To Kiu-kong,
Pengemis Tertawa Tio Tay-tong, sepasang pengemis Pincang sama menghampiri
ketempat Siau-liong. Mereka memandang Siau-liong dengan cemas.
Ti Gong taysu dan Lam Leng
lojin, setelah melakukan penyaluran napas, saat itu sudah tak kurang suatu dan
berdiri lagi. Tetapi sikap mereka tampak putus asa dan malu. Kekalahan yang
diderita dari Siau-liong tadi, amat memalukan kedua tokoh itu.
Sedang sekalian tokoh-tokoh,
tegak berdiam diri disekeliling tempat itu. It Hang totiang tampak bingung.
Akhirnya ia memanggil duapuluhan jago panah untuk mengepung Harimau Iblis dan
Siau-liong.
Rupanya It Hang tak mau
mengambil resiko kehilangan nama baik. Ia akan menunggu lain orang turun tangan
untuk membunuh Harimau Iblis dan Siau-liong.
Sekonyong-konyong dari luar
hutan terdengar suara seruling berbunyi. Seruling itu adalah untuk alat
menyampaikan berita. Setelah Harimau Iblis berhasil menyusup dari penjagaan
yang ketat, It Hang perintahkan semua penjaga di pos-pos menuju ke puncak dan
berpencaran menjaga di empat penjuru hutan. Seruling pertandaan itu menandakan
bahwa ada musuh yang tiba di dekat hutan.
Selekas bunyi seruling
berhenti, terdengarlah gemerincing suara senjata beradu. Tentulah musuh itu
sedang bertempur dengan para penjaga hutan situ. Kemudian tak berselang
beberapa waktu, terdengarlah jeritan ngeri. Tentulah beberapa penjaga telah
dirubuhkan orang itu.
Ketika memandang ke arah
datangnya pertandaan seruling, sekalian tokoh-tokoh persilatan melihat seorang
wanita bertubuh semampai dan mukanya berkudung kain hitam, tengah lari
menerobos masuk ke dalam hutan.
Wanita itu mencekal sebatang
pedang yacg berkilat-kilat. Sejenak memandang ke arah sekalian tokoh persilatan
disitu, tiba-tiba wanita ini terus menyerang Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay.
Sekalian tokoh terperanjat
sekali ketika mengetahui bahwa wanita itu bukan lain ialah Dewi Ular Ki Ih.
Toh Hun-ki menghindar
kesamping, mencabut pedang lalu menempur wanita itu.
Melihat serangan yang
dilancarkan Ki Ih dahsyat dan berbahaya, terpaksa keempat Su-lo dari
Kong-tong-pay pun sama mencabut pedang dan terus menyerang Dewi Ular.
It Hang tetap merasa sungkan
terjun kegelanggang pertempuran. Tetapi ia tetap gelisah karena tahu bahwa
wanita itu mempunyai dendam darah terhadap Kong-tong-pay. Tentu mereka akan
bertempur mati-matian dan melupakan masalah penyelesaian Harimau Iblis serta
Siau-liong.
Benar sekalipun Harimau Iblis
dan Siau-liong apabila terjaga tentu akan dihujani anak panah oleh kawanan jago
tembak, namun sukar diduga terjadinya lain-lain perobahan.
Dalam menyalurkan napas itu,
tak pernah Siau-liong lepaskan perhatiannya kepada orang-orang yang
mengepungnya itu. Sesungguhnya ia hanya menderita luka ringan yang tak
membahayakan. Ketika mengetahui yang mengamuk penjaga-penjaga pos itu ternyata
Ki Ih, ia kaget dan girang sekali.
Buru-buru ia menyalurkan
pernapasan lagi. Setelah merasa sembuh, tanpa menghiraukan barisan panah yang
masih siap membidik, tiba-tiba ia melambung ke udara dan melayang ke arah
tempat Ki Ih bertempur dengan Toh Hun-ki.
Tetapi para pengepung itu
adalah jago-jago pilihan dari setiap partai. Mereka bermata tajam dan tangkas
bergerak. Begitu melihat Siau-liong loncat ke atas, mereka segera menghujani
anak panah.
“Cres, cres....” karena
terburu-buru hendak mendapatkan ibunya, Siau-liong tak menghiraukan keselamatan
dirinya sendiri. Ia lengah dan lengan kanannya terkena dua batang anak panah.
Dengan geram, dicabutnya anak panah itu lalu ia balas menghantam dengan pukulan
Thay-siang-ciang.
04.14. Rahasia Wanita
Berkerudung Hitam
Terdengar beberapa kali
jeritan ngeri disusul dengan rubuhnya tujuh-delapan sosok tubuh dari anak buah
barisan pemanah itu.
It Hang terkejut. Cepat ia
loncat mengejar diikuti Kun-lun Sam-cu, Shin Bu-seng ketua Tiam-jong-pay, Tan
I-hong ketua Ji-tok-kau, Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin.
“Bagus! Kali ini bakal
berlangsung pertunjukan yang ramai!" tiba-tiba Harimau Iblis tertawa
terbahak-bahak.
Sekalian tokoh terkejut. Ada
beberapa yang lari menghampiri momok itu.
Lebih kurang duaratus anak
murid dari Gobi-pay, Kay-pang dan partai-partai lain yang bertugas menjaga
hutan itu segera lepaskan anak panah dan serentak keadaan menjadi kacau balau.
Siau-liong lepaskan beberapa
kali pukulan lagi. Setelah dapat mengundurkan It Hang totiang dan rombongannya,
ia segera dapat mendekati ketempat Ki Ih.
Wanita itu bertempur dengan
gagah. Serangannya makin lama makin dahsyat. Walau pun ia takkan kalah dengan
To Hun-ki dan keempat Su-lo, tetapipun sukar merebut kemenangan.
Serentak Siau-liong menggembor
keras terus loncat menerjang kepungan To Hun-ki dan tegak disamping ibunya.
Betapalah kejutnya ketika mengetahui bahwa sesungguhnya ibunya itu sudah
menderita luka-luka. Sekujur tubuhnya berlumuran bintik-bintik darah.
Hati Siau-liong seperti
disayat. Setelah lepaskan tiga buah pukulan ke arah To Hun-ki, ia segera
menyambar Ki Ih dengan gunakan gerak Naga-berputar-18 lingkaran, ia loncat
menerobos hujan anak panah dan lari keluar hutan, lalu menuruni puncak bukit.
Lapat-lapat ia mendengar suara
Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si yang menegur To Kiu-kong, “Omitohud Bagaimana
asal-usul ketuamu yang sebenarnya? Mengapa ia mempunyai hubungan dengan Ki
Ih?"
Menyusul terdengar suara
tertawa keras dari si Harimau Iblis. Dan beberapa saat kemudian terdengar hiruk
pikuk suara orang bertempur. Tentulah Harimau Iblis sudah mulai bertempur
dengan lawanan orang gagah.
Tetapi Siau-liong tak
menghiraukan. Yang penting ia harus menyelamatkan ibunya. Beberapa penjaga yang
coba hendak merintangi larinya, dapat dihantam kocar-kacir. Dan beberapa loncatan
berhasillah ia menerobos keluar dari hutan.
Dia lari sepembawa kakinya.
Hatinya penuh dengan rasa sedih dan gembira. Akhirnya ia bertemu juga dengan
ibu kandungnya. Dengan demikian rindu dendam dari ibu dan anak yang sudah
terpisah belasan tahun itu, akan terpenuhi.
Memang ia marah sekali
terhadap kecongkakan It Hang totiang, Ti Gong taysu dan orang-orang yang
menuduh dengan membabi-buta itu. Ia merasa kecewa dan putus asa terhadap sikap
mereka. Rasanya tak sudi lagi ia campur tangan tentang kemunculan beberapa
momok yang hendak menghancurkan dunia persilatan itu.
Pikirnya, “Setelah
menghimpaskan dendam sakit hati, ia hendak mengajak ibunya mencari tempat yang
sunyi dan hidup dengan tenang. Ia ingin membaktikan hidupnya untuk membalas
budi."
Walaupun lembah Kiu-hui-koh
itu amat pelik dan berbelit-belit jalannya, tetapi berkat petunjuk yang telah
diterimanya dari To Kiu-kong, dapatlah ia keluar.
Sejak dipondong oleh
Siau-liong, Ki Ih diam saja. Sepatah pun tak berkata. Rupanya ia membiarkan
dirinya dibawa anak itu berlari-larian.
Saat itu sudah lewat tengah
hari. Siau-liong kendorkan larinya.
Tiba-tiba dilihatnya tak jauh
di atas lereng gunung, terdapat sebuah pondok dari atap rumbia. Ia memutuskan
untuk beristirahat dulu agar ibunya dapat mengasoh. Maka segeralah ia menuju ke
pondok itu.
Pondok itu ternyata sepi-sepi
saja. Berulang kali mengetuk pintu, barulah terdengar langkah orang berjalan
dengan pelahan. Ternyata yang membukakan pintu adalah seorang wanita berumur
40-an tahun. Mengenakan baju pendek warna hitam. Sepasang matanya berkilat-kilat
tajam.
Siau-liong tertegun. Ia heran
mengapa ditempat yang sesunyi itu terdapat seorang wanita yang mengenakan
dandanan seperti itu? Tetapi ia duga tentulah wanita itu keluarga pemburu. Bagi
kaum pemburu, mengenakan pakaian serba ringkas, sudahlah umum. Ia segera
menyatakan maksud kedatangannya.
Perempuan baju hitam itu
tampak tenang-tenang saja, memandang Siau-liong yang memondong seorang wanita
berlumuran darah pakaiannya. Tanpa bertanya apa-apa lagi, perempuan itupun
mengangguk dan mempersilahkan Siau-liong masuk.
Perkakas perabot dalam pondok
itu amat sederhana sekali. Kecuali balai-balai kayu dan meja kursi, tiada
terdapat lain-lain perkakas lagi.
Setelah membawa tetamunya
masuk ke dalam bilik, tanpa mengucap apa-apa, perempuan itupun melangkah keluar,
menuju ke belakang.
Sejenak meragu, Siau-liong
lalu letakkan ibunya di atas balai. Hatinya amat sedih, beberapa butir airmata
menitik keluar.
Belum berumur seratus hari ia
sudah terpisah dari ibunya. Kemudian setelah dewasa, ia selalu terkenang akan
ibunya itu. Ia amat rindu akan kasih seorang ibu. Dan saat itu, harapannya
telah terkabul. Sekalipun ia belum pernah melihat wajah ibunya tetapi ia tahu
bahwa ibunya itu wanita yang bernama Dewi Ular Ki Ih, wanita yang saat itu
terbaring dihadapannya.
Setelah luapan haru
kesedihannya reda, mulailah ia memeriksa luka ibunya. Ternyata beberapa luka
yang diderita ibunya itu hanya luka luar yang tak berarti.
Tiba-tiba ia terkesiap. Ibunya
jelas tak terluka berat. Tetapi mengapa tampak seperti orang yang tak sadarkan
diri?
Belum sempat ia memperoleh
jawaban, tiba-tiba perempuan pemilik pondok itu masuk dengan membawa sepanci
air panas. Tersipu-sipu Siau-liong menyambuti. Ia membasuh luka ibunya.
Pemilik pondok memberinya
sebotol pujer warna kuning, ujarnya, “Puyer ini dapat menghentikan perdarahan.
Dalam beberapa jam saja luka itu tentu sudah sembuh."
Sambil menyambuti, Siau-liong
bertanya, “Adakah cianpwe ini termasuk keluarga pemburu. Dalam rumah
ini......?"
Oleh karena pemilik rumah itu
seorang wanita yang sudah setengah umur, demi menghormatnya, Siau-liong
menggunakan sebutan 'cianpwe' kepadanya.
Pemilik pondok itu
geleng-geleng kepala, “Aku hanya sementara waktu saja menetap disini."
Siau-liong heran tetapi ia
sungkan untuk mendesak lebih lanjut.
Tiba-tiba terdengar sebuah
seruan yang bernada penuh kemesraan, “Ma......”
Sesosok tubuh menerobos masuk
dan muncullah seorang dara berwajah segar. Pakaiannya berwarna hijau, umurnya
diantara limabelas-enambelas tahun. Ia terkejut melihat keadaan dalam bilik.
Dipandangnya Siau-liong dan Ki Ih yang berbaring di atas balai-balai itu, lalu
lari ke dalam ruang belakang.
Perempuan baju hitam itu hanya
tertawa tawar lalu menyuruh Siau-liong lekas melumurkan puyer keluka ibunya.
Habis itu ia keluar menuju ke belakang.
Siau-liong tertegun sejenak
lalu melumurkan obat itu ke luka ibunya, juga luka pada lengannya sendiri yang
terkena anak panah itu. Setelah membalut, ia segera menyingkap sutera hitam
yang menutupi wajah Ki Ih.
Rasa kegirangan yang
meluap-luap akan bertemu dengan ibunya yang sudah berpisah hampir duapuluhan
tahun telah menyebabkan Siau-liong amat terangsang hatinya. Sambil membuka kain
kerudung, serentak mulutnya pun berseru dengan gemetar, “Ma...... apakah engkau
tak kenal dengan putera kandungmu sendiri......?"
Sekonyong-konyong terdengar
suara ketawa mengikik, “Hi, hi, hi, siapa yang engkau panggil mama itu?"
Siau-liong terkejut seperti
mendengar halilintar berbunyi ditengah hari. Dan ketika memandang kewajah
ibunya, ah...... hampir ia pingsan!
Ternyata yang terbungkus dalam
kain kerudung hitam itu sebuah wajah yang cantik berseri dari si dara seberang
lautan, Mawar Putih!
Setelah terlongong-longong
beberapa saat, Siau-liong menjadi kalap. Diterkamnya bahu si dara itu,
bentaknya, “Kiranya engkau! Mengapa engkau menyaru sebagai ibuku? Engkau......”
Rindu dendam yang terpendam
selama belasan tahun, dan saat itu dikiranya akan terlaksana, ternyata hancur
berantakan bagai awan dihembus angin......
Keadaan Siau-liong saat itu
seperti orang gila. Matanya melotot, wajah merah padam dan tangan dikepal
sekeras-kerasnya. Seolah-olah ia hendak menelan dara itu.
Melihat keadaan Siau-liong
sedemikian itu Mawar Putih agak ketakutan. Ia menyurut mundur seraya berseru,
“Apakah engkau gila? Siapa yang menyaru jadi ibumu?"
Dengan geram Siau-liong
menatap dara itu, serunya, “Dalam dunia persilatan siapakah yang tak tahu bahwa
engkau ini adalah Dewi Ular Ki Ih? Pakaian yang engkau kenakan dan ilmu
Pedang-kilat serta senjata rahasia Hwe-hun-tui serta tindakanmu memusuhi Toh
Hun-ki untuk membalas sakit hati. Tiada seorangpun yang menyangsikan engkau
tentu Ki Ih......”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan
dengan makin geram, “Hm, makanya engkau mengenakan kerudung hitam menutup
wajahmu, kiranya...... ah! Engkau...... telah membikin sengsara hatiku!"
Mawar Putih tertawa dingin,
sahutnya, “Dalam hal apa aku mencelakai dirimu? Apa yang kusenang pakai,
kupakai saja. Mau senang mengenakan kain kerudung, pun siapa yang
melarang?"
Habis berkata dara itu terus
loncat turun dari balai-balai, lalu berkata pula, “Ilmuku Pedang Kilat dan
senjata rahasia Hwe-hun-tui itu adalah ajaran guruku. Aku hendak membunuh Toh
Hun-ki, pun juga demi membalaskan sakit hati guruku!"
Siau-liong terlongong tak
dapat menjawab.
Mawar Putih memandang sejenak
kepada pemuda itu lalu menyeringaikan hidung, mendengus: "Semalam aku tak
jadi membunuhmu di dalam biara dan pagi ini engkau telah menolong aku dari
puncak Ngo-song-nia. Dengan begitu kita tak punya hutang piutang lagi dan
anggaplah seperti kita belum pernah kenal mengenal."
Habis berkata dara itu terus
melangkah keluar.
Saat itu ketegangan Siau-liong
sudah mulai sirap. Cepat ia mengejar dan menghadang si dara, ujarnya, “Nona
engkau......”
Mawar Putih deliki mata, “Aku
mau pergi! Mengapa engkau menghadang aku!"
Siau-liong merah mukanya.
Terpaksa ia tahan kemarahannya, “Tadi aku telah berlaku kasar, harap maafkan.
Tetapi aku hendak mohon bertanya kepadamu tentang beberapa hal yang
penting."
Sejenak dara itu keliarkan
biji matanya. Tampaknya ia geli melihat keadaan Siau-liong yang tak ubah
seperti monyet mencium terasi. Tetapi ia berusaha sekuatnya untuk menahan rasa
geli itu. Maka dengan sengaja, ia pura-pura membentak dengan garang, “Lekas katakan!
Aku tak punya tempo melayanimu."
Siau-liong menghela napas,
ujarnya, “Ibu kandungku itu bernama Ki Ih. Sejak aku dilahirkan belum seratus
hari, keluargaku telah tertimpah bencana. Ayahku meninggal secara mengenaskan
dan ibu tercerai-berai entah kemana......”
"Uh, riwayatmu
benar-benar membuat orang terharu," kata Mawar Putih sambil menyengir.
Siau-liong melanjutkan lagi,
“Setiap nona hendak membunuh Toh Hun-ki, tentu nona berganti dandanan,
mengenakan kerudung hitam dan memainkan ilmu pedang kilat serta senjata rahasia
Hwe-hun-ti. Dengan begitu semua orang persilatan menganggap nona itu adalah
ibuku yang muncul kembali ke dalam dunia persilatan lagi......”
Mawar Putih kerutkan dahi tak
menyahut.
“Menilik tindakan-tindakan
nona itu," kata Siau-liong pula, "aku berani memastikan bahwa gurumu
itu tentulah ibuku sendiri. Maukah nona memberitahukan nama sebenarnya dari
guru nona itu?"
Mawar Putih hunjamkan kakinya
ke tanah, berseru, “Bukankah telah kukatakan bahwa guruku itu bernama. Aminah
Pattalia. Selama ini belum pernah orang memanggil guruku dengan nama
lain!"
Siau-liong menghela napas,
tanyanya pula, “Pernahkah gurumu itu mengatakan kalau mempunyai dendam sakit
hati dengan Kong-tong-pay?"
Mawar Putih gelengkan kepala,
“Guruku tak mau mengatakan dan akupun tak pernah bertanya. Cukup bahwa memang
dendam permusuhan itu, memang ada! Kalau tidak masakan guruku siang malam tak
pernah melupakannya."
Siau-liong sudah mulai percaya
bahwa guru dari dara itu tentulah ibunya sendiri Dewi Ular Ki Ih. Maka ia terus
lancarkan pertanyaan untuk mendapatkan bukti-bukti yarg lebih jelas.
Setelah termenung sejenak, ia
bertanya pula, “Sebelum pergi ke Tionggoan sini, apakah gurumu tak mengatakan
apa-apa lagi."
Mawar Putih merenung.
Tiba-tiba ia berseru, “Eh, berapakah umurmu sekarang?"
"Enam belas tahun!"
Tiba-tiba Mawar Putih bertepuk
tangan, serunya, “Ah, mungkin benar. Memang guruku pernah suruh aku menyelidiki
tentang seseorang. Jika memang masih hidup orang itu berumur enambelas
tahun......”
Ia berhenti sejenak menatap
wajah Siau-liong sampai beberapa kali, lalu berkata, “Wajahmu memang mirip
dengan suhuku. Tetapi orang yang akan kucari itu seharusnya bernama Tong
Siau-liong bukan Kongsun Liong......”
"Ah......” Siau-liong
banting-banting kakinya, "sebenarnya namaku adalah Tong Siau-liong. Sejak
dipungut sebagai murid dari Tabib sakti Kongsun Sin-to, aku mengganti she
dengan Kongsun agar orang jangan mengetahui asal-usulku......”
Mawar Putih tertawa dingin,
“Ih, benar-benar suatu pertemuan yang tak tersangka-sangka! Jika tak berkelahi
tentu tak bertemu!"
Siau-liong benar tak mengerti
mengapa dara itu selalu bersikap dingin. Sudah kenal sampai sedemikian jauh dan
diam-diam Siau-liong tahu bahwa dara itu jatuh hati kepadanya, tetapi ia
bersikap dingin.
Bahkan saat itu setelah
mengetahui bahwa guru dara itu adalah ibunya, suatu hal yang seharusnya akan
menambah erat hubungan mereka berdua. Tetapi mengapa sikap dara tetap begitu
dingin?
Tetapi ia tak sempat lagi
mencari tahu sebabnya. Serentak ia menjurah dihadapan dara itu dan berseru,
“Nona....”
"Bilanglah, Mengapa ak-uk
ak-uk seperti orang ketulangan?" seru Mawar Putih.
"Sudilah nona membawa aku
menemui ibu. Atau cukup nona memberitahukan letak pulau kediamannya, aku tentu
dapat mencari kesana!"
Masih dengan nada dingin,
Mawar Putih berkata, “Sudah tentu! Asal engkau benar-benar putera dari guruku,
tentu akan kubawamu kesana. Tetapi....” — tiba-tiba ia berganti dengan nada
dengusan hidung, “Aku tak dapat begitu saja mempercayai keteranganmu tadi!"
Siau-liong terkejut mundur
selangkah, serunya, “Dengan cara bagaimanakah nona akan dapat
mempercayai?"
“Kecuali engkau dapat membawa
kemari batang kepala dari Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay
itu!"
Siau-liong kerutkan alis,
“Tetapi ibu menderita sakit......”
"Di dunia ini tiada obat
yang dapat menyembuhkan penyakit guruku kecuali kelima butir kepala orang
Kong-tong-pay itu....!" tukas Mawar Putih. Ditatapnya wajah pemuda itu
beberapa saat kemudian ia menghela napas.
"Sudah tentu karena
bertemu dengan putera yang dirindukan siang malam, guruku tentu amat gembira
sekali. Tetapi, aku sudah terlanjur bersumpah dihadapan guru. Tak membawa
kelima butir kepala orang itu, aku takkan pulang!"
Diam-diam Siau-liong malu
dalam hati. Mawar Putih hanya seorang murid, namun dengan mati-matian tetap
berusaha untuk membalaskan sakit hati gurunya. Adakah dia, sebagai seorang
putera, kalah dengan tindakan dara itu?
Tetapi ia teringat akan pesan
mendiang ayahnya supaya jangan melakukan pembalasan itu. Ah, yang manakah harus
ia turut? Pesan ayahnya atau keinginan ibunya?
Dan lagi Toh Hun-ki itu
ternyata seorang tokoh tua yang penuh keperwiraan dan luhur budinya, bingung ia
untuk menentukan pilihan!
Melihat pemuda itu
termenung-menung saja, Mawar Putih menertawakan, “Agaknya engkau tak mempunyai
pikiran untuk membalas sakit hati. Sesungguhnya akupun tak memerlukan
bantuanmu. Lambat atau laun, aku tentu dapat membunuh orang Kong-tong-pay Itu.
Hanya saja......”
Tiba-tiba ia berputar tubuh
dan terus menelungkupi balai-balai dan menangis, “Engkaupun jangan harap dapat
berjumpa dengan ibumu! Beliau tentu tak sudi mempunyai seorang putera seperti
engkau. Aku...... aku pun tak dapat membawamu kesana.”
Siau-liong serba sulit. Sesaat
tak dapat ia berkata apa-apa.
“Krakkk....” tiba-tiba pintu
terbuka dan dara baju hijau masuk membawa sebuah penampan. Sekilas melirik
Siau-liong dan Mawar Putih, ia tertawa menyengir, ujarnya, “Silahkan saudara
berdua makan!"
Siau-liong menghaturkan terima
kasih. Sedang Mawar Putih cepat mengusap air matanya. Ternyata penampan itu
berisi beberapa masakan dan nasi putih.
Sambil menghidangkan makanan
di atas meja, dara baju hijau itu tersenyum, “Ibu mengatakan bahwa di hutan
sini tak dapat menyediakan hidangan yang lezat. Sekedar makanan kasar dan teh
yang tawar ini, harap saudara jangan menolak."
Habis berkata dara itu terus
melangkah keluar. Karena sehari suntuk tak makan, Mawar Putih yang masih belum
hilang sifat kekanak-kanakannya, segera menghampiri kemeja dan mengajak
Siau-liong makan.
Selesai makan hari pun sudah
hampir petang Siau-liong gelisah. Beberapa kali, ia mengajak bicara tetapi
Mawar Putih tak mengacuhkan. Ia enak-enak tidur di atas balai-balai.
Nyonya rumah tak muncul lagi.
Hanya si dara baju hijau yang datang membawa sebuah tempat lilin lalu mengemasi
perabot makan dimeja lain keluar lagi.
Masih belum dapat terpikirkan
Siau-liong siapakah sesungguhnya kedua ibu dan anak dalam pondok itu. Tetapi ia
percaya mereka tentulah keluarga persilatan yang mengasingkan diri.
Hari makin malam. Dibawah
penerangan lilin yang bergoyang gontai sinarnya, Mawar Putih tidur dengan
nyenyaknya.
Siau-liong makin gelisah.
Akhirnya ia duduk dikursi bersemadhi. Entah berapa lama, iapun terlena tidur.
Tiba-tiba setiup angin
pegunungan berhembus dari jendela, menyadarkan Siau-liong dari tidurnya.
Dilihatnya Mawar Putih masih tidur nyenyak. Diam-diam Siau-liong bercekat
hatinya. Mengapa ia sampai tidur juga. Apabila kedua ibu dan anak pemilik
pondok itu kaum......
Tetapi ia menghela napas lega
ketika yang terdengar disekeliling penjuru hanya bunyi belalang dan tenggoret.
Diam-diam ia menertawakan dirinya yang banyak curiga. Sekalipun orang
mengatakan bahwa dunia persilatan itu kotor, keji dan penuh kejahatan, tetapi
tak seharusnya ia mengukur pemilik pondok yang telah memberikan tempat bermalam
dan hidangan itu, sedemikian rendahnya.
Melongok kelangit, ia
perkirakan sudah menjelang tengah malam. Ia berbangkit dan mondar-mandir
diruangan. Tiba-tiba ia kepalkan tinju dan menghela napas panjang. Rupanya ia
telah mengambil keputusan.
Cepat ia menghampiri meja,
mengambil pena dan tinta bak lalu menulis:
"Adik Mawar,
Aku sudah memutuskan untuk
mengambil kepala Toh Hun-ki dan keempat Su-lo Kong-tong-pay. Dalam waktu tiga
hari tentu sudah selesai. Tunggulah dirumah penginapan Siok-ciu."
Setelah meragu sejenak, ia
menulis namanya "Tong Siau-liong" dibalik kertas itu lalu ditaruh
disamping Mawar Putih. Kemudian ia memadamkan lilin lalu melangkah keluar. Ia
gunakan ilmu lari cepat menuju kepuncak Ngo-siong-nia.
Ia tak tahu adakah Toh Hun-ki
dan rombongannya masih berada dipuncak itu. Lebih kurang sejam lamanya, tibalah
ia dihutan pohon siong dari puncak Ngo-siong-nia lagi.
Tetapi dilapangan dalam hutan
itu sudah sepi. Yang tampak hanya dua batang golok kwat-to serta beberapa tetes
noda darah. Ia duga pertempuran antara momok Harimau Iblis lawan rombongan
orang gagah yang dipimpin It Hang totiang tentu berlangsung dahsyat sekali.
Entah siapa yang menang dan entah kemana perginya mereka itu.
Terpaksa ia menuruni puncak
itu lagi. Tiba-tiba ia teringat bahwa It Hang totiang hendak merencanakan untuk
menyerbu ke Lembah Semi pada malam hari. Adakah mereka sedang melaksanakan
rencananya itu?
Ya, kecuali jejak itu, tak ada
lain hal yang dapat ia ikuti. Maka setelah merenung beberapa saat, ia segera
menuju ke Lembah Semi.
Sekalipun ia masih ingat akan
jalanan dari belakang lembah tetapi ia masih gentar menghadapi barisan pohon
bunga yang amat berbahaya. Ia tak berani mencobanya dan terpaksa mengambil
jalan dari mulut lembah.
04.15. Kembali Ke Lembah Maut
Jalanan masuk ke mulut lembah
itu penuh ditaburi dengan batu yang aneh-aneh bentuknya. Dengan hati-hati
sekali ia menyusur maju.
Dia sudah mengambil keputusan
untuk membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo agar selekasnya ia dapat bertemu
dengan ibunya. Sekalipun mendiang ayahnya sudah memberi pesan. Namun dalam
menjatuhkan pilihan, akhirnya ia memilih untuk menuruti kehendak ibunya yang
masih hidup.
Juga dalam penyerbuannya ke
Lembah Semi itu juga mengandung tujuan yang mulia. Sepasang suami-isteri momok
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan bahaya yang mengancam
keselamatan dunia persilatan. Jika ia dapat melenyapkan mereka, sekalipun ia juga
membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, tetapi tetap ia berjasa juga kepada
dunia persilatan.
Dengan jasa untuk menebus
kesalahan. Rasanya arwah ayahnya yang mengasoh di alam baka tentu dapat
memaafkan perbuatannya itu.
Tiba di mulut lembah, ia
tersirap kaget. Beberapa sosok tubuh terkapar di tanah. Diantaranya terdapat
dua orang paderi, tiga orang imam dan lima atau enam orang pengemis. Ditilik
dari darah pada luka mereka yang sudah membeku, tentulah mereka sudah berapa
lama matinya.
Saat itu sudah lewat tengah
malam. Dari kenyataan beberapa mayat itu, teranglah kalau It Hang totiang tentu
melaksanakan rencananya menyerbu Lembah Semi.
Ia pasang telinga mendengarkan
keadaan. Tetapi dalam lembah tampak sunyi senyap. Timbullah keheranannya,
“Adakah para tokoh-tokoh pemimpin partai itu juga sudah menjadi korban
keganasan Iblis Penakluk dunia?"
Diam-diam Siau-liong menaruh
perindahan terhadap It Hang totiang dan rombongan orang gagah. Serentak
timbullah perhatiannya untuk memikirkan keselamatan mereka.
Ah, tujuannya ke lembah situ
adalah untuk membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo. Tetapi iapun mencemaskan
juga nasib tokoh-tokoh persilatan itu. Akhirnya ia memutuskan. Tak peduli
apapun yang terjadi, ia harus menyerbu Lembah Semi untuk membasmi penjahat-penjahat
Iblis Penakluk-dunia, Dewi Neraka, Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah itu.
Segera ia melangkah masuk ke
dalam lembah. Saat itu ia sudah tiba di aliran sungai dimana dahulu ia telah
bertempur dengan ular besar yang ternyata hanya ular buatan manusia belaka.
Ular yang sudah dihantamnya
remuk itu sudah tak ada lagi. Yang dihadapinya hanyalah sebuah anak sungai
biasa. Tak sulit baginya untuk melintasi.
Tetapi belum ia bergerak,
tiba-tiba dari arah muka, terdengar orang tertawa gelak-gelak, “Aha, bapak
dapat meramal dengan tepat sekali. Benar memang ada orang yang datang mengantar
jiwa!"
Menyusul muncullah dua sosok
tubuh dari balik batu besar. Karena malam gelap tak dapat dilihat bagaimana
wajah mereka. Tetapi Siau-liong tak ragu lagi. Kedua orang itu tentulah anak
buah Iblis Penakluk-dunia.
"Eh, mengapa yang datang
hanya seorang?" kata salah seorang dari mereka, seraya ayunkan tangannya.
Sebertik api biru meluncur ke udara. Rupanya suatu pertandaan untuk memberi
laporan ke dalam lembah.
Siau-liong cepat loncat hendak
membekuk kedua orang itu. Tetapi mereka dapat bergerak amat lincah. Mereka
loncat ke lain batu. Dengan gunakan sikap Ayam-emas-berdiri-satu-kaki, orang
itu berputar-putar. Seketika terdengarlah suara menggelegar yang dahsyat.
Terpaksa Siau-liong berhenti
untuk memperhatikan perobahan yang akan terjadi. Batu-batu yang tampaknya
datar-datar itu, tiba-tiba terangkat naik sampai setombak tingginya. Bagian
bawah bagian batu itu merupakan senjata golok yang ujungnya amat runcing dan
kedua belah matanya sangat tajam.
Kedua orang berpakaian hitam
itu loncat kemuka dan berpencaran hinggap di atas batu besar. Kembali mereka
berputar tubuh dan batu-batu disitu serta tanah, lenyap seketika.
Pada saat kedua orang itu
loncat lagi kelain tempat, tempat yang ditinggal itu muncul berpuluh-puluh ekor
binatang beracun. Rupanya binatang-binatang itu sudah kelaparan sekali. Mereka
saling gigit menggigit dan bunuh membunuh sendiri.
Pada saat kedua orang baju
hitam itu loncat kelain batu, tempat yang ditinggalkan itu memancarkan air
beracun setinggi dua tombak.
Demikian berturut-turut kedua
orang itu telah berloncatan pindah dari satu ke lain tempat. Rupanya mereka
setiap kali menggerakkan alat-alat rahasia. Sampai pada yang terakhir, kedua
belah dinding karang lembah itu meluncurkan berpuluh batang anak panah beracun.
Seolah-olah jalanan lembah itu penuh dengan maut. Tak mungkin orang dapat
melintasinya.
Walaupun hal itu tak
mengejutkan hati Siau-liong, namun diam-diam ia mengagumi juga kelihayan
pemilik lembah yang telah memasang alat-alat rahasia sedemikian ketat dan maut.
Siau-liong tak menghiraukan
kesemua itu. Sambil menggerung keras, ia apungkan diri melayang ke dalam
lembah.
Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar lengking jeritan. Ketika Siau-liong berpaling ia mengeluh kaget,
"Celaka....!"
Kiranya yang menjerit itu
adalah Mawar Putih dalam penyamarannya sebagai Ki Ih. Terpaksa Siau-liong
melayang kembali kesamping dara itu.
“Mengapa engkau....”
"Mengapa engkau tak
mengajak aku!" tukas Mawar Putih.
"Aku tak menghendaki
engkau ikut aku menempuh bahaya!" sahut Siau-liong.
Mawar Putih mendengus, “Engkau
anggap aku seorang yang tamak hidup takut mati!"
Siau-liong tersipu tundukkan
kepala, tak dapat menyahut.
Mawar Putih memandang
Siau-liong lalu tertawa menyeringai. Tiba-tiba ia lemparkan sebuah bungkusan
kepadanya, “Terimalah!"
Ketika menyambuti, bukan main
kejut Siau-liong. Ternyata bungkusan itu berisi pakaian dan kedok muka Pendekar
Laknat. Ah...... tentulah waktu ia tidur, Mawar Putih telah mengambilnya.
Diam-diam ia menyesali dirinya yang begitu lalai.
"Nona......” katanya
tersendat-sendat.
Mawar Putih cibirkan bibir
tertawa, “Seharusnya dulu-dulu engkau sudah memberitahu kepadaku!"
Siau-liong tak menyahut.
Diam-diam ia menimbang masuk ke lembah Semi dalam penyamaran sebagai Pendekar
Laknat, memang lebih baik. Cepat ia berganti dandanan sebagai momok itu.
Mawar Putih tertawa geli
melihat pemuda yang cakap itu tiba-tiba berobah menjadi seorang momok tua yang
menyeramkan. Siau-liong sendiripun geli.
Saat itu kedua orang baju
hitam tadi sudah lenyap. Sambil memandang ke arah lembah, Siau-liong kerutkan
dahi, “Lembah penuh dengan alat rahasia? yang amat berbahaya. Harap engkau
tunggu dulu Setelah kuhancurkan alat-alat itu, barulah akan kubawamu
kesana!"
"Tidak! Engkau tentu
hendak tinggalkan aku!" Mawar Putih menolak.
"Aku tak bermaksud
begitu, harap engkau......”
"Kalau begitu hayo kita
bersama-sama menyerbu!" tukas Mawar Putih terus melangkah ke dalam lembah.
Siau-liong cemas. Benar dara
itu sudah mendapat warisan ilmu silat dari ibunya. Tetapi jika hendak melintasi
lembah yang penuh dengan perkakas rahasia itu, kiranya tak mungkin dapat.
Tetapi nona itu keras
wataknya, kemanja-manjaan, sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa untuk
mencegahnya.
Apa boleh buat. Akhirnya ia
memutuskan sebuah rencana. Disambarnya tubuh dara itu lalu dibawanya loncat ke
dalam lembah......
◄
Y ►
Siau-liong melayang ke atas
batu besar yang ditempat kedua orang baju hitam tadi. Ia hendak menyelidiki
perobahan yang terjadi disitu.
Sesungguh dengan gerak
Naga-melingkar-18 kali, dapatlah Siau-liong melayang lebih jauh dan tak perlu
untuk menyelidiki keadaan dulu. Tepat pada saat kakinya hendak menginjak batu,
tiba-tiba ia mengeluh kaget.
Ternyata batu itu seperti
lenyap dan tubuhnyapun meluncur ke bawah, jatuh ke ujung tiga batang golok.
Untung sebelumnya ia sudah berjaga-jaga. Cepat ia tamparkan tangannya ke udara
dan dengan meminjam tenaga tamparan itu, ia melambung lagi ke atas.
Pada perjalanan kedua,
binatang-binatang beracun itu tak mampu mencelakai Siau-liong yang melambung
tinggi hingga ia dapat melintasi dengan selamat. Juga kedua belah karang yang
menyemburkan anak panah dan senjata rahasia beracun itu, Siau-liong sudah bersiap.
Jubah Pendekar Laknat yang gerombyongan itu dapat digunakan untuk menampar
rintangan itu.
Perkakas rahasia yang
disiapkan dalam lembah oleh kedua suami isteri Iblis Penaluk dunia dan Dewi
Neraka itu, sebenarnya untuk menjaring seluruh tokoh persilatan.
Lapisan yang ketiga terdiri
dari air mancur yang mengandung racun. Selain racunnya ganas, pun airnya mancur
tinggi sekali. Sekali terkena, daging dan tulang-tulang akan luluh menjadi
cairan.
Tengah Siau-liong
menimang-nimang untuk cara yang hendak dilakukan dalam melintasi rintangan
ketiga itu, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan dilihatnya binatang-binatang
beracun itu bergeliatan menjulur ke atas. Ia terkejut girang dan serentak
tertawa keras, serunya, “Budak liar, nasibmu memang belum ditakdirkan mati. Ada
jalan!"
Dalam kepitan Siau-liong,
Mawar Putih merasa aman. Ia heran mengapa Siau-liong berseru begitu. Iapun
cepat dapat menanggapi dan berseru, “Laknat tua, nyonyamu ini tak pernah takut
pada kematian!"
Siau-liong sengaja menggunakan
siasat untuk membingungkan hati anak buah lembah yang bersembunyi disekitar
tempat itu. Mereka tentu terkejut dan pangling mengapa kedua momok itu dapat
datang bersama-sama ke lembah mereka.
Disamping itu Siau-liong
mendapat akal. Asal tak terluka, binatang-binatang berbisa itu tak berbahaya.
Maka ia memutuskan untuk menggunakan suatu cara yang amat luar biasa tetapi
amat berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia melayang turun ke
bawah dan tepat menginjak di atas punggung seekor kadal besar. Begitu menginjak
iapun menyerempaki dengan sebuah hantaman ke atas. Dengan tenaga pijakan dan
pukulan itu, tubuhnya segera melambung tinggi ke udara.
Mawar Putih terkejut
menyaksikan keberanian Siau-liong menempuh cara yang sedemikian berbahaya itu.
Andaikata ia tak menyaru sebagai Ki Ih, tentu ia sudah menjerit ngeri.
Pada saat tubuh Siau-liong
hendak meluncur turun, tiba-tiba ia lontarkan tubuh si dara kemuka. Mawar Putih
pun bergeliatan menggunakan gerak Burung-walet-menerobos-sangkar. Indah dan
luwes sekali tubuh dara itu bergeliatan melayang di atas semburan air beracun.
Anak buah Lembah Semi yang
menyaksikan dari puncak gunung, terlongong-longong seperti melihat sebuah
pertunjukan akrobat yang luar biasa mendebarkan.
Mawar Putih dimuka dan
Siau-liong dibelakang. Laksana dua ekor burung walet, kedua anak muda itu
meluncur di udara, melampaui semburan air beracun.
Setelah kedua pemuda itu
hampir selesai melintasi rintangan itu, barulah anak buah Lembah Semi tersadar.
Buru-buru mereka segera menggelundungkan balok dan batu serta menaburkan
senjata rahasia.
Siau-liong terkejut. Betapapun
lihaynya, tetapi diserang dari atas dan bawah secara begitu ganas, tentulah
akan celaka juga.
Siau-liong cepat gunakan
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang untuk menghantam serangan dari atas puncak itu.
Kemudian ia menggeliat menyusul disamping Mawar Putih.
“Sungguh berbahaya,"
keluh si dara ketika melihat anak panah dan senjata rahasia berseliweran disampingnya.
Tetapi dibawah lindungan Siau-liong, dara itu tetap aman. Seketika timbullah
nyalinya lagi.
Pada saat hanya tinggal dua
tiga tombak lagi ia akan dapat melintasi rintangan itu, dan serangan senjata
rahasia dari atas pun sudah mulai reda, tiba-tiba ia tersirap kaget. Ternyata
Mawar Putih sudah mulai habis tenaganya sehingga tubuhnya mulai meluncur ke
bawah.
Dalam kejutnya, Siau-liong
bersuit nyaring lalu menukik ke bawah untuk menyambar si dara.
Untunglah si dara segera
tersadar. Dengan kerahkan seluruh tenaga, dara itu bergeliat meluncur kemuka
lagi sampai dua tiga tombak.
Pada saat Mawar Putih hendak
terhindar dari pancuran air racun, tiba-tiba sebuah batu besar melayang turun
dari atas puncak. Tepat batu itu akan jatuh di kepala si dara.
Saat itu Mawar Putih sudah
kehabisan tenaga. Sekalipun ia tahu akan ancaman bahaya itu, tetap ia tak mampu
menghindar lagi. Jika terhantam batu itu, kepalanya pasti hancur lebur jatuh ke
bawah.
Sudah tentu Siau-liong gugup
sekali. Dalam saat-saat yang tak menyempatkan ia berpikir lagi, ia nekat
meluncur dan membentur batu itu dengan kepalanya.
“Pyur....” terdengar letupan
dan hancurlah batu itu berhamburan jatuh ke bawah. Berhasil menghancurkan batu,
cepat sekali Siau-liong sudah menyambar tubuh Mawar Putih terus dibawa
melayang.
Anak buah Lembah Semi yang
menyaksikan kesaktian Pendekar Laknat, sama leletkan lidah. Kemudian mereka
segera lepaskan api pertandaan untuk memberi isyarat bahaya kepada
kawan-kawannya dalam lembah.
Saat itu ia harus menghadapi
lapisan keempat yang merupakan Lautan api.
Ilmu meringankan tubuh
Naga-berputar-18-lingkaran, sudah menghabiskan tenaganya. Jika ia tak berhenti
dulu disebuah batu, tentulah ia dan si dara akan terancam bahaya tercebur dalam
lautan api.
Dalam perhitungannya, ia masih
sanggup untuk melampaui rintangan keempat Lautan api itu. Tetapi apabila lorong
lembah itu masih jauh, dan ia tak menemukan tempat beristirahat, tentu akan
habislah tenaganya.
Namun ibarat orang naik
dipunggung harimau, Siau-liong sudah tak dapat mundur lagi. Akhirnya ia
berhasil melintasi rintangan keempat itu dan tiba dibagian lorong sungai yang
datar.
Baru saja ia meletakkan tubuh
si dara ke tanah, tiba-tiba terdengar ledakan bergemuruh dahsyat, seperti
sebuah gempa bumi. Ledakan itu berasal dari bunyi sebuah genderang. Entah
darimana tempatnya.
“Dung...... dung......!”
Bunyi genderang itu
menggetarkan seluruh isi lembah. Jantung Mawar Putih pun serasa terlepas
keluar. Buru-buru ia sandarkan diri pada tubuh Siau-liong.
Siau-liong kerahkan tenaga
sakti untuk menolak serangan bunyi genderang maut itu. Ia bersiap-siap menunggu
apa saja yang hendak dilakukan orang-orang Lembah Semi itu.
Genderang berhenti serentak.
Sebagai gantinya, angin menderu, batu dan pasir beterbangan dan airpun
bergolak-golak ke atas udara.
Siau-liong dan Mawar Putih
merasa bahwa yang diinjaknya saat itu bukanlah tanah, melainkan gumpalan ombak
laut.
Siau-liong menyadari bahwa
gelombang yang menggoncangkan bumi itu adalah sebuah tenaga sakti aneh Ki-bun-tun-kang
yang menggunakan entah berapa puluh anak buah Lembah Semi.
Dipersatukan menjadi tenaga
sakti Thay-kek-bu-wi-kang dan Thay-im-ki-bun-kang. Hantaman dari arus tenaga
sakti itulah yang membuat bumi bergoncang seolah-olah ditimpa gempa.
Siau-liong memeluk Mawar Putih
untuk memberi saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Kemudian ia kembangkan
tenaga sakti lunak untuk menahan arus serangan itu.
Pertempuran adu tenaga sakti
berlangsung beberapa waktu. Pelahan-lahan kabut dan pasir terdampar ke belakang
dan tanah yang dipijaknya itu pun menjadi tanah biasa lagi.
Tetapi gumpalan kabut itu
berhenti pada jarak beberapa langkah. Seperti ada suatu tenaga lain yang
menghentikan buyarnya kabut itu. Kembali terjadi pertempuran hebat adu tenaga
sakti. Kabut tak dapat mundur tetapi pun tak dapat melayang maju lagi.
Setelah berlangsung beberapa
waktu, tiba-tiba terdengar letupan keras. Kabut itu berhamburan lenyap dan
keadaan dalam sungai itupun tampak seperti biasa lagi.
Mawar Putih kagum atas
kesaktian Siau-liong. Dipandangnya anak muda itu dengan tersenyum tawa.
Kemudian keduanya bergandengan tangan melangkah maju.
Mereka merasa sebagai sepasang
muda mudi yang berjalan dengan mesra. Tetapi bagi pandangan mata berpuluh anak
buah Lembah Semi yang bersembunyi di sekeliling tempat itu, kedua pemuda itu
adalah seorang lelaki tua berwajah buruk dengan seorang wanita yang berkerudung
muka.
Baru melangkah dua tiga
tindak, tiba-tiba keduanya mendengar genderang bertalu tiga kali. Suaranya amat
dahsyat sekali. Seketika pemandangan yang terbentang dihadapan, berobah sama
sekali.
Sekeliling penjuru penuh
dengan gunung es dan karang es. Ada yang menjulang tinggi macam tiang penyangga
langit. Ada yang berkilat-kilat menyilaukan mata, atasnya datar, tetapi
bagian-bagian bawah runcing dan salju yang menutup gunung itu mencair dan mengalir
turun seperti banjir. Kesemuanya itu merupakan pemandangan yang ngeri.
Siau-liong tetap memeluk Mawar
Putih dan membantu si dara dengan penyaluran tenaga sakti. Ia tahu bahwa
pemandangan di muka itu hanya pemandangan buatan yang diciptakan oleh Iblis Penakluk
dunia dan Dewi Neraka.
Kembali ia gunakan tenaga
sakti Bu-kek-sin-kang yang bersifat panas untuk menghancurkan gunung es itu.
Tak berapa lama gunung-gunung
dan karang es itu meleleh dan mengalir menjadi air ke dalam sungai. Pemandangan
dalam lembah itu kembali pula seperti semula.
Pada saat Siau-liong dan Mawar
Putih saling berpandangan dengan heran, tiba-tiba muncullah nona pemilik lembah
diiring duapuluh orang dara cantik.
"Aku disuruh mewakili
ayah dan ibu untuk menyambut kedatangan saudara berdua!" kata nona itu
dengan memberi hormat.
Siau-liong hanya menyahut
singkat. Kemudian nona pemilik lembah itu mengibaskan tangan. Ia dan ke
duapuluh pengiringnya itu segera melenyapkan diri dibalik jajaran batu-batu
besar.
Siau-liong menimbang. Karena
nona pemilik lembah itu sudah keluar menyambut sendiri, tentulah sudah tak ada
lagi rintangan alat-alat rahasia. Segera ia ajak Mawar Putih melangkah kemuka.
Setelah keluar dari lembah,
membelok kesebelah kiri dan menyusur jalan. Membelok sekali lagi, tibalah
mereka di pintu batu yang atasnya tergantung dua buah papan bertuliskan:
"Dunia persilatan
tergabung satu
Lembah Semi mengubur orang
gagah."
Ditengah kedua papan itu
terdapat sebuah papan lagi yang bertulis,
“Pesiar ke lembah sambil
menghadiri pertandingan besar adu kesaktian."
Siau-liong heran. Saat itu
masih lama dengan hari pertandingan yang akan dilangsungkan pada pertengahan
musim rontok. Tetapi mengapa persiapan telah dilakukan sedemikian rupa.
Ah, tentulah Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sudah memperhitungkan kemungkinan It Hang
totiang akan menyerbu sebelum hari pertandingan itu. Maka ia sudah mengadakan
persiapan lebih dulu.
Tengah Siau-liong mencemaskan
keselamatan It Hang totiang dan rombongan orang gagah, tiba-tiba pintu gerbang
itu terbuka dan entah darimana datang, muncullah nona pemilik lembah beserta ke
duapuluh dara pengiringnya tadi. Mereka menyambut Siau-liong dan mempersilahkan
masuk.
Siau-liong mendengus. Sambil
menarik tangan Mawar Putih, ia melangkah masuk. Tertawa nyaring lalu membentak
keras, “Undangan adu kepandaian, ditetapkan pada nanti hari Tiong-jiu tetapi
mengapa....?”
Nona pemilik lembah itu
tertawa mengekeh, “Perhitungan manusia sering meleset. Maka serempak dengan
mengirim undangan, ayah dan ibu terus mempersiapkan segala sesuatu....” ia
berhenti sejenak memandang kepada Siau-liong dan Mawar Putih lalu berkata pula,
“Seluruh orang gagah dalam dunia persilatan sudah terjaring. Kini hanya kurang
kalian berdua saja!"
Habis berkata ia terus menarik
sebuah kain sutera merah yang menutup sebilah papan dari batu kumala merah.
Papan batu itu setinggi satu tombak tetapi tak terdapat suatu tulisan apa-apa.
Dengan tertawa-tawa nona itu
mengambil pit atau pena lalu menulis di atas papan kumala itu.
Kesan-kesan Pesiar ke Lembah
Semi
Walaupun hanya sebuah pit,
tetapi ketika dituliskan, tak ubah seperti ujung pisau yang tajam. Tulisan itu
terukir pada batu pualam sedalam dua tiga dim.
Dan setelah diletakkan lagi,
pit itu tetap lurus seperti belum dipakai.
Siau-liong mendongkol sekali.
Diambilnya pena itu lalu dicorat-coretkan di atas meja sehingga ujung pit yang
terbuat daripada bulu, menjadi kacau balau. Setelah itu pit dicelupkan ke dalam
tinta bak.
Mawar Putih heran melihat
tingkah laku pemuda itu. Seperti yang dilakukan nona pemilik lembah tadi,
adalah mudah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya keujung pit sehingga pit itu
berobah sekeras pisau. Tetapi mengapa Siau-liong mencelupkan ujung pit ke dalam
tinta. Bukankah pit itu akan lemas karena basah. Dan kalau basah, bukankah akan
sukar disaluri tenaga dalam?
04.16. Ujian Pemilik Lembah Maut
Pada saat itu Siau-liong sudah
siap menulis. Ujung pit yang kalut tadi, saat itu lurus lagi. Maka mulailah ia
menulis:
"Pendekar Kesatria
Muncul di dunia
Membasmi kejahatan
Mengamankan persilatan."
Nona pemilik lembah itu
terbeliak kaget. Tulisan Pendekar Laknat Siau-liong itu menggoreskan tulisannya
sampai setengah inci ke dalam papan batu. Tulisannya berwarna hitam jelas
sekali.
Habis menulis, Siau-liong
tertawa gelak-gelak. Ia lemparkan pit itu ke arah pintu batu. "Bluk",
pit jatuh tepat ditengah-tengah pintu.
Kembali pemilik lembah
terbeliak kaget menyaksikan kepandaian Siau-liong yang dianggapnya Pendekar
Laknat itu.
Kemudian Siau-liong gunakan
jarinya untuk menggurat dibawah tulisannya tadi:
Kesan dari Pendekar Kesatria.
Dengan mengganti nama dari
Bu-kek-gong-mo atau Pendekar Laknat dengan Bu-kek-sin-kun atau Pendekar
Kesatria itu, jelaslah sudah maksud Siau-liong. Ia menyatakan bahwa Pendekar
Laknat sekarang bukan lagi seorang momok ganas seperti dahulu melainkan seorang
Kesatria yang hendak membela kebenaran, menegakkan keadilan, membasmi kejahatan
dan melenyapkan kelaliman.
Pemilik lembah segera
melangkah ke dalam.
Siau-liong menggandeng Mawar
Putih mengikuti dari belakang. Sepanjang jalan yang dilalui, alam, pemandangannya
amat indah sekali. Sedikit pun tiada tanda-tanda bahwa lembah seindah itu
merupakan suatu tempat penjagalan manusia yang ganas......
Setelah dua tiga kali
membelok, tibalah mereka diruang besar yang menyerupai sebuah paseban istana.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka sudah menunggu disitu. Melihat Pendekar Laknat datang bersama Ki Ih,
mereka menyeringai sinis. Didepan meja yang berada disebelah mukanya, telah
disiapkan berpuluh gelas emas.
Siau-liong tahu bahwa iblis
itu hendak mengadakan adu minum arak. Tetapi heran, mengapa menyediakan sekian
banyak cawan? Apakah gunanya?
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa aneh yang menyeramkan. Dewi Neraka segera mengangkat poci arak lalu
dengan gerak yang istimewa, arak itu memancur keluar ke arah berpuluh cawan.
Dalam beberapa kejap saja, berpuluh-puluh cawan itu sudah penuh semua.
Kemudian Dewi Neraka itu
unjukkan kepandaian lebih jauh. Ia ngangakan mulutnya dan arak dalam berpuluh
cawan itu meluncur keluar, masuk ke dalam mulut wanita itu lagi.
Walaupun kepandaian menekan
dengan tangan dan menyedot dengan mulut, bukanlah suatu kepandaian yang
mengherankan tetapi karena Dewi Neraka dapat mengisi dan menyedot arak dari
sekian puluh cawan besar kecil, diam-diam Siau-liong kagum juga.
Siau-liong sejenak memandang
ke arah Mawar Putih, memberi senyuman lalu melangkah maju dengan tenang.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka menunggu dengan penuh perhatian.
Dengan kedua tangan Siau-liong
mencekal poci arak itu. Seketika dari poci itu meluncur keluar sepuluh buah pancuran
kecil. Kesepuluh pancuran itu memancur ke atas lalu berhamburan jatuh ke dalam
berpuluh-puluh cawan arak. Setetes pun tiada yang menumpah ke meja.
Sudah tentu pertunjukkan itu
mengejutkan Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia. Namun mereka berusaha untuk
bersikap tenang-tenang saja.
Siau-liong duduk bersila.
Sekali ngangakan mulut, ia menyedot arak dari lima cawan. Sekaligus, lima cawan
berisi arak itu telah disedotnya habis. Kemudian diulanginya lagi. Tiap kali ia
selalu menyedot lima cawan arak.
Pada waktu pertunjukan itu
berlangsung hingga semua cawan telah habis disedotnya, tiada seorang pun yang
berani bernapas.
Setelah itu giliran Iblis
Penakluk dunia. Iblis itu mengangkat sebuah poci arak yang besar. Begitu besar
hingga lebih tepat kalau disebut bejana atau guci.
Setelah guci besar itu
dicekal, ia gunakan ilmu tenaga dalam yang paling sukar diyakinkan yakni sifat
MELEKAT. Cawan-cawan arak besar itu segera saling melekat rapat. Sekali
menunduk, berpuluh cawan arak itu segera penuh dengan arak. Dan sekali iblis
itu lekatkan bibirnya pada sebuah cawan yang paling besar, arak pun segera
meluncur ke dalam mulutnya.
Sepintas pandang memang cara
minum itu, tiadalah yang mengherankan. Tetapi ketika diperhatikan dengan
seksama, orang tentu akan terperanjat.
Kiranya arak yang diminum dari
cawan besar itu, tak pernah habis. Tetapi berpuluh cawan besar kecil yang
melekat pada cawan besar itu, isinya meluap ke atas dan mencurah ke cawan
sebelahnya dan cawan itu pun meluap menumpah ke lain cawan. Dengan luapan
secara berantai dari satu ke lain cawan itu, akhirnya menumpah kecawan besar
yang diminum Iblis Penakluk dunia itu. Itulah sebabnya mengapa arak dalam cawan
besar itu tak habis-habisnya.
Kemudian Iblis Penakluk-dunia
membuka mulut menghadap ke atas. Sekali ia mengangkat cawan besar itu, maka
meluncurlah air ke udara sampai satu tombak tingginya. Air itu meluncur turun tepat
masuk ke dalam mulut Iblis Penakluk-dunia!
Selesai minum, iblis itu
segera gunakan tenaga sakti untuk menjajar puluhan cawan di tanah. Jaraknya
dengan Siau-liong lebih kurang dua meter. Cawan kecil terletak paling depan
dekat Siau-liong sedang cawan besar paling belakang, kira-kira setombak jauhnya
dari pemuda itu. Jika Siau-liong hendak mengambil cawan besar itu, tentulah ia
harus berbangkit. Suatu hal yang mengurangkan perbawanya.
Siau-liong tak mau unjuk
kelemahan. Iapun gunakan tenaga sakti untuk menyedot jajaran cawan itu.
Bagaikan seekor ular, jajaran cawan yang masih melekat satu sama lain itu,
bergerak-gerak menghampiri ketempatnya.
Menyaksikan kesaktian Pendekar
Laknat dalam ilmu tenaga dalam untuk menyedot itu, diam-diam Iblis Penakluk
dunia cucurkan keringat dingin. Ia tak kira kalau Pendekar Laknat saat ini
telah mencapai tataran ilmu tenaga dalam yang sedemikian hebatnya.
Dalam pada itu, setelah
menarik jajaran cawan, Siau-liong segera mengangkat naik. Serempak berpuluh
cawan besar kecil itu naik mendatar ke atas tanah. Lalu ia menuangkan arak
memenuhi semua cawan. Sekali ia memijat cawan yang paling muka, maka arak dan
cawan besar kecil itu, satu demi satu meluncur ke dalam mulut Siau-liong.
Habis minum, ia menarik
jajaran cawan yang melekat itu terus ditaburkan ke arah dinding ruang yang
terbuat dari batu marmar.
“Crek....... crek......”
berturut-turut cawan-cawan itu menyusup ke dalam dinding, tepat membentuk
beberapa huruf yang berbunyi:
"Kesan Pendekar Kesatria
dalam pertandingan minum arak."
Siau-liong berbangkit,
membersihkan pakaiannya lalu tertawa nyaring......
Iblis Penakluk dunia tak dapat
berbuat apa-apa kecuali tertawa dingin. Ia segera berbangkit dan melangkah
keluar. Siau-liong dan Mawar Putih mengikutinya.
Setelah membelok dua tiga buah
tikungan, tibalah mereka disebuah hutan aneh. Dikata aneh karena hutan itu
terdapat papan nama yang berbunyi:
Hutan Nafsu!
Dalam Hutan Nafsu itu terdapat
tak kurang dari duaratus batang pohon yang daunnya bergemerlapan seperti kumala
dan dahan-dahan berwarna emas. Setiap batang pohon, tergantung sepuluh buah
Giok-pwe seperti kepunyaan nona Tiau Bok-kun. Baik bentuk dan ukiran
kembangannya, menyerupai sekali. Kemungkinan nona itu pernah datang kesitu,
lalu lencananya Giok-pwe ditiru dan dibuat sebanyak-banyaknya.
Pada tepi hutan itu terpancang
sebuah papan kayu yang bertuliskan:
"Pada setiap pohon wangi
Harus membedakan tulen palsu
Giok-pwe dipersembahkan!
Tentu takkan mengecewakan.
Namun bila tak berhasil
Adalah kesalahanmu sendiri.
Dirimu terbakar api
Tulang belulang mendjadi
abu."
Didepan papan itu terdapat
sebuah meja dan dimeja itu terletak sebuah Kim-ting atau Bejana emas yang penuh
dengan segenggam kayu cendana.
Siau-liong memperhitungkan.
Jika menyalakan kayu cendana itu, paling banyak hanya berlangsung sampai
sepenanak nasi. Dalam waktu sepenanak nasi itu untuk membedakan mana Giok-pwe
yang tulen dan mana yang palsu, sungguh tak mungkin dapat!
Di lain ujung dari hutan itu,
tampak sebuah lubang sedalam satu tombak. Lubang itu penuh dengan kayu bakar
dan ranting kering serta bahan bakar lainnya.
Sedang sekeliling Hutan Nafsu
itu penuh dijaga oleh anak buah Lembah Semi yang ketat sekali. Sekali kedua
suami isteri momok itu memberi isyarat, mereka tentu akan segera menyerbu.
Pada saat Siau-liong
merenungkan cara yang akan diambilnya, tiba-tiba Mawar Putih menggamit
lengannya dan berbisik, “Tolol, semua itu palsu!"
Siau-liong tertegun. Tetapi
cepat ia dapat menyadari. Giok-pwe yang asli harganya sama dengan sebuah kota.
Setiap orang persilatan sama mengiler untuk mendapatkan benda itu. Tak mungkin
kedua suami-isteri momok itu mau menggantungnya pada pohon dan suruh orang
mencarinya.
Merasa dirinya ditipu,
marahlah Siau-liong. Sekali ayunkan tangan, bejana di atas meja itu hancur
berantakan.
Melihat itu Dewi Neraka marah
sekali. Sambil bersuit nyaring, ia loncat keluar menyerang seraya membentak,
“Iblis Laknat, engkau mencari mati sendiri!"
Gerakan tongkat itu
menimbulkan deru angin dahsyat yang melanda Siau-liong. Siau-liong
tenang-tenang menangkis dengan tangan.
Dewi Neraka makin marah.
Serangannya yang dahsyat itu dapat dihalau secara tepat oleh lawan. Tiba-tiba
ia enjot tubuhnya melayang ke atas sebatang pohon. Sambil menginjak daun puncak
pohon itu, ia menyambari Siau-liong, “Hai, Pendekar Laknat, selama duapuluh
tahun ini, sudah berapa tingginya kesaktianmu. Hayo, kita adu kepandaian di
puncak pohon ini!"
Siau-liong sejenak berpaling
memberi senyuman kepada Mawar Putih. Maksudnya minta nona itu jangan kuatir.
Mawar Putih mengangguk.
Sekali menjejak tanah, tubuh
Siau-liong meluncur ke udara lalu hinggap di puncak pohon berdiri dengan
sebelah kaki.
Dewi Neraka diam-diam terkejut
menyaksikan ilmu meringankan Pendekar Laknat yang sedemikian hebatnya. Ia tentu
akan lebih kaget lagi apabila mengetahui bahwa sesungguhnya momok Pendekar
laknat yang berdiri dihadapannya itu hanya seorang pemuda belasan tahun
umurnya.
Dewi Neraka mulai beraksi.
Segera ia gunakan tenaga sakti Thay-im-ki-bun-kang yang diyakinkan selama
berpuluh tahun untuk memutar tongkatnya. Taburan tongkat itu menghamburkan
suatu angin tenaga dalam yang merontokkan daun-daun kumala bertebaran
mengelilingi tubuhnya. Tebaran daun-daun kumala itu menimbulkan suara tajam
macam suitan yang nyaring. Sepintas pandang menyerupai ribuan batang golok
terbang yang berkilat-kilat menyeramkan.
Tangan kanan memainkan
tongkat, tangan kiri Dewi Neraka itu bergerak naik turun. Tiba-tiba tebaran
daun-daun kumala itu melekat panjang, menjadi semacam puluhan batang jwan-pian
atau cambuk ruyung yang menyerang Siau-liong.
Siau-liong tertawa melengking.
Ia sudah siap menyambut dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Namun ia
tenang-tenang saja menunggu serangan.
Dewi Neraka terkejut. Serangan
ruyung dari daun kumala itu seolah-olah terpancang oleh sekeping dinding baja
yang tak kelihatan. Dan bukan melainkan itu saja, pun ketika Dewi Neraka
gerakkan tangan hendak menarik balik ruyung daun tu, ternyata tak mudah.
Ruyung-ruyung daun itu seperti tersedot oleh suatu hawa yang amat kuat.
Dewi Neraka menambahi tenaga
saktinya, tampak amat tegang. Dahinya penuh butir keringat. Setelah mengerahkan
seluruh tenaganya sampai beberapa saat, barulah ia berhasil menarik balik
ruyung daunnya.
Sekonyong-konyong daun-daun
kumala itu mengelompok dan membentuk diri menjadi enambelas bunga teratai.
Setelah berjajar menjadi sepasang barisan "Pa-kwa-tin”, lalu mulai
bergerak menyerang Siau-liong.
Ternyata Dewi Neraka telah
gunakan ilmu tenaga dalam Thay-im-ki-bun-kang dan ilmu hitam ajaran aliran
agama Pek-lian-kau, untuk membentuk barisan Lian-hoa-pat-kwa-tin atau barisan
bunga teratai yang berbentuk pat-kwa.
Kali ini jika Siau-liong tetap
gunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, tentu celakalah ia.
Ternyata keistimewaan dari
barisan bunga Teratai itu ialah kalau dilawan dengan tenaga. Sekali terlanda
oleh tenaga, betapapun kecil tenaga hantaman itu, barisan Teratai akan pecah
berhamburan menyerang seluruh jalan darah pada tubuh orang.
Suatu hal yang tak mungkin
Siau-liong mampu menjaga.
Sesungguhnya Siau-liong tak
tahu hal itu. Namun ia pun tak mau menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
untuk menangkis. Melainkan menaburkan lengan jubahnya kian kemari. Dengan
gerakan itu dapatlah ia melepaskan barisan Teratai dari kekuasaan tangan Dewi
Neraka.
Dewi Neraka terkejut sekali.
Buru-buru tarikan tangannya lebih gencar. Dengan usaha itu dapatlah ia
mengambil kembali kekuasaan pada bunga Teratainya. Tetapi hal itu hanya
berlangsung tak lama, beberapa saat kemudian kembali Teratai-teratai itu lolos
dari kekuasaannya dan ikut berputar-putar menurut jubah lengan Siau-liong.
Dewi Neraka makin penasaran.
Ia pusatkan lagi tariannya dan berhasil menguasai bunga Teratai tetapi beberapa
saat kemudian, lepas lagi.
Dengan demikian terjadilah
perpindahan beberapa kali. Setelah mencapai perpindahan sampai delapan kali,
Siau-liong dapat menguasai teratai-teratai itu agak lama. Dewi Neraka mandi
keringat berjuang untuk merebut. Tetapi tampaknya ia sudah tak mampu lagi......
Melihat isterinya menderita
kekalahan, sepasang mata Iblis Penakluk dunia berkilat-kilat memancarkan api.
Benaknya mulai menimang-nimang untuk menggunakan siasat yang sangat ganas.
Kebalikannya, Mawar Putih
berseri-seri girang atas kemenangan Siau-liong.
Saat itu Siau-liong hendak
berputar tubuh dan loncat turun dan puncak pohon. Tiba-tiba Mawar Putih
melengking keras, “Awas!"
Siau-Jiong mendengus dingin.
Cepat ia berputar lagi dan lepaskan pukulan Menjungkir-balik-gunung-sungai.
Iblis Penakluk-dunia yakin
bahwa serangannya dari belakang itu tentu akan berhasil menghancurkan Pendekar
Laknat. Maka ia gunakan jurus Menghancurkan-gunung-Hoa-san yang diLancarkan dengan
kilat. Setitikpun ia tak menduga bahwa Pendekar Laknat dapat bergerak lebih
cepat. Jika adu kekerasan, tentulah kedua-duanya akan sama-sama terluka.
Tempo hari ketika di bagian
lembah, ia pernah adu pukulan dengan Siau-liong dan menderita. Ia tak mau
menderita untuk yang kedua kalinya. Cepat ia menarik pulang tangannya dan
loncat menghindar ke samping.
Siau-liong tertawa mengejek,
“Ho, kiranya engkau juga hanya bangsa anjing buduk yang suka menyerang dari
belakang......”
Belum selesai memaki, Iblis
Penakluk dunia dan Dewi Neraka sudah menyerbunya. Siau-liong songsongkan kedua
tangannya dengan pukulan Tay-lo-kim-kong.
Demikian ketiga orang itu
bertempur di atas pohon. Suatu pertempuran yang hanya dilakukan oleh jago-jago
yang sudah tinggi ilmu meringankan tubuhnya.
Siau-liong diserang dari muka
dan belakang oleh kedua suami isteri durjana itu. Dalam suatu adegan,
Siau-liong berhasil menggunakan siasat. Ketika Iblis Penakluk-dunia menghantam
dari belakang dan Dewi Neraka memukul dari muka, Siau-liong loncat melambung ke
udara.
Kedua suami isteri itu
terkejut. Mereka buru-buru berusaha sekuat-kuatnya untuk menarik pulang
pukulannya agar jangan saling berhantam sendiri.
Pada saat itulah, Siau-liong
gunakan pukulan Siu-lo-pan-chia menghantam mereka. Pemuda itu benar-benar
cerdik sekali. Kalau hanya pukulan Siau-liong itu saja, tentu kedua
suami-isteri iblis itu tak sampai menderita bahaya.
Tetapi kedua suami isteri itu
sedang menarik pulang pukulannya. Pada saat itulah Siau-liong menyusuli dengan
hantaman. Kedua durjana itu terdampar ke belakang sampai belasan langkah dan
terhuyung-huyung mau jatuh.
Namun kedua suami isteri itu
adalah dua dari Lima Durjana yang paling ditakuti dunia persilatan. Kepandaian
mereka memang bukan olah-olah hebatnya. Pukulan Siau-liong itu tak sampai
membuat mereka kalah.
Pada saat tubuh berayun-ayun
mau jatuh, mereka malah enjot tubuhnya ke udara seraya lepaskan hantaman ke
arah kepala Siau-liong. Suatu gerakan yang tak terduga-duga dan luar biasa.
Melihat itu Mawar Putih
kucurkan keringat dingin. Ia terkejut dan hampir saja menjerit karena mengira
Siau-liong pasti celaka.
Tetapi ternyata Siau-liong
memiliki jurus istimewa dalam ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Ilmu pukulan sakti
ajaran mendiang Pengemis Tengkorak Song Thay-kun itu mempunyai sebuah jurus
yang disebut Dewa-menderita-berkelana. Justeru dalam keadaan yang berbahaya,
jurus itu dapat mengembangkan kedahsyatannya.
Tampak pemuda itu bergeliatan
seperti orang yang hampir tenggelam dalam air. Tahu-tahu ia sudah lancarkan
jurus istimewa Dewa-menderita-berkelana......
Seketika kedua suami isteri
durjana itu rasakan darahnya bergolak keras. Mereka terkejut sekali. Buru-buru
mereka meluncur setombak jauhnya dan hinggap di atas sebatang dahan. Jelas
mereka sudah kehabisan tenaga.
Tetapi kedua suami isteri
iblis itu selain licik dan penuh akal muslihat, juga memiliki ilmu Hitam yang
tinggi. Iblis Penakluk dunia mendahului loncat turun kebumi seraya menantang.
"Hai, Laknat. Bertempur di atas pohon sudah kuakui kepandaianmu. Hayo,
kita bertempur dibawah lagi!"
Saat itu Dewi Neraka pun
menyusul turun dan berdiri disamping suaminya. Sambil menunggu Siau-liong,
mereka cepat menggunakan kesempatan untuk menyalurkan darah, memulangkan
tenaga.
Siau-liong tertawa nyaring,
serunya, “Tetamu harus menurut kemauan tuan rumah. Terserah kalian hendak
memilih acara apa sajalah."
Setelah menyalurkan darah itu,
tenaga Iblis Penakluk dunia kembali segar. Ia tersenyum, “Laknat tua....”
"Bukan, panggillah
Pendekar kesatria!" cepat Siau-liong menukas.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
gelak-gelak, “Ho, tak kira engkau si tua bangka ini juga gila nama
kosong......"
Setelah berhenti sejenak ia
melanjutkan pula, "Masih ingatkah engkau akan peraturan lama ketika kita
bertempur sampai limapuluh jurus dahulu?"
Sudah tentu Siau-liong tak
tahu. Namun ia tak mau diketahui orang. Sambil tertawa hambar ia menyahut, “Aku
belum pikun, masakan lupa!"
“Bagus!" teriak Iblis
Penakluk dunia, "sekarang engkau menurut lagi peraturan lama itu. Terima
dulu lima puluh jurus seranganku, baru nanti kita bicara lagi!"
Sungguh licin sekali iblis tua
itu. Dengan peraturan itu, ia bebas menyerang Siau-liong sampai limapuluh jurus
tanpa memberi hak pada Siau-liong untuk balas menyerang.
Siau-liong terpancing. Karena
malu mengatakan tak tahu tentang peraturan lama antara Pendekar Laknat dengan
Iblis Penakluk dunia, ia segera tertawa menghina, “Silahkan, aku siap menanti
serangamu!"
Iblis Penakluk-dunia tak mau
banyak bicara lagi. Cepat ia sudah lancarkan jurus Lima gunung menindih kepala.
Dan serempak dengan itu Dewi Neraka pun gerakkan tongkatnya, menyapu pinggang
Siau-liong dalam jurus Bumi-merekah-gunung-meletus......
Serangan kedua durjana itu
merupakan kombinasi serangan yang serasi. Dahsyatnya bukan alang kepalang.
Tokoh-tokoh paling sakti dari kalangan partai yang manapun, jika menghadapi
serangan kedua suami isteri durjana itu, tak boleh tidak tentu akan remuk!
Kedua suami isteri durjana itu
diam-diam memperhatikan bahwa kesaktian Pendekar Laknat sekarang ini, jauh
melebihi dari duapuluh tahun yang lalu. Kuatir kalau kalah, maka Iblis
Penakluk-dunia lalu menggunakan cara licik itu.
Siau-liong terkejut. Ia masih
asing dengan jurus serangan dari kedua iblis itu. Maka ia berlaku hati-hati
sekali. Lebih banyak menjaga diri dari pada menyerang.
Demikian cepat sekali serangan
itu sudah berjalan sepuluh jurus. Tiba-tiba kedua momok itu merobah gaya
serangannya. Mereka menyerang sederas hujan mencurah dan sedahsyat badai
melanda.
Melihat itu Mawar Putih
gelisah sekali. seperti semut di atas papan besi panas. Sampai-sampai ia tak
berani bernapas karena pikirannya amat tegang sekali. Diam-diam ia memanjatkan
doa semoga Siau-liong berhasil selamat dari ke limapuluh jurus serangan kedua
iblis itu.
Seluruh perhatian dara itu
tercurah akan jalannya pertempuran. Setiap jurus dihitungnya dengan cermat
sekali. Setiap jurus, membuat jantungnya mendebur keras. Ketika sudah sampai
hitungan ke empatpuluh, diam-diam hatinya merekah girang.
"Sudah empatpuluh jurus,
tinggal sepuluh jurus lagi, ah, dia berhasil dengan selamat," pikirnya.
Tetapi, ah...... pada saat ia
mulai menghitung jurus yang ke empatpuluh satu dan menyusul akan tiba jurus
yang ke empatpuluh dua, diam-diam ia mengeluh.
Mulai jurus yang ke empatpuluh
satu itu, gerakan kedua iblis itu tiba-tiba menjadi lambat. Hanya gerakannya
yang tampak lambat tetapi kedahsyatan dan keganasannya serta perobahannya,
benar-benar belum pernah terjadi jurus ilmu serangan semacam itu, dalam sejarah
dunia persilatan selama duapuluh tahun yang terakhir ini.
Pada duapuluh tahun yang lalu,
Pendekar Laknat memang jatuh dibawah sepuluh jurus serangan kedua suami isteri
iblis itu. Walaupun karena mendapat rejeki luar biasa, minum darah binyawak
tua, makan buah Im-yang-som dan disaluri tenaga-dalam oleh Koay suhu atau
Pendekar Laknat, Siau-liong menjadi pemuda gemblengan.
Tetapi dalam pengalaman
bertempur menghadapi tokoh-tokoh sakti semacam suami isteri iblis itu, ia masih
kurang. Oleh karenanya, saat itu ia kelabakan dan terdesak di bawah angin.
Mulai dari jurus yang ke
empatpuluh satu itu, baik gerakan suami isteri iblis itu menggunakan tenaga
berat atau ringan, tetap membuat Siau-liong groggi atau sempoyongan. Kepalanya
pening, mata berkunang dan darah bergolak-golak. Ia seperti seorang mabuk yang
tak tahu arah penjuru lagi......
Mawar Putih benar-benar
bingung sekali. Hatinya seperti disayat sembilu dan air matanya pun
berderai-derai turun......
Namun dara itu tak dapat
berbuat suatu apa. Dalam peraturan dunia persilatan, pada setiap adu kepandaian
walaupun dengan cara yang bagaimana tak adilnya, orang lain tak boleh ikut
campur membantu. Itulah sebabnya ia seperti seorang gagu yang sakit ketulangan.
Tahu sakit tetapi tak dapat menyatakan dan berbuat apa-apa......
Pada jurus yang ke empatpuluh
lima, sekonyong-konyong Siau-liong memekik kaget. Mawar Putih pun tersentak
kaget dan kucurkan keringat dingin.
Serangan jurus ke empatpuluh
lima itu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Siau-liong terkejut
sekali dan sampai menjerit kaget. Ia gunakan gerak-langkah Thay-siang
bu-kek-poh-hwat untuk menghindar dari serangan maut itu. Ah...... ia berhasil
lolos dari lubang jarum. Tubuhnya basah kuyup bersimbah peluh!
Sejak keluar dari pusar bumi
dan mendapat ilmu kesaktian dari Pendekar Tengkorak Song Thay-kun serta
Pendekar Laknat, baru pertama kali itu Siau-liong menghadapi pertempuran yang
membuat semangatnya serasa terbang!
Suami isteri iblis itu tak
memberi ampun lagi, Mereka melancarkan serangan maut lagi. Jurus ke empatpuluh
enam dapat dihadapi Siau-liong dengan selamat. Tetapi pada jurus yang ke
empatpuluh tujuh, ia terdesak lagi dan pontang panting tak keruan......
05.17. Pertempuran Dalam Air
KELEDAI MALAS
BERGULING-GULING, demikian jurus yang digunakan Siau-liong ketika diburu
serangan dari empat penjuru oleh kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka.
Dengan menjatuhkan diri
berguling-guling di tanah dapatlah Siau-liong menyelamatkan diri dari serangan
yang ke empatpuluh tujuh. Jubahnya menderita robek beberapa tempat.
Waktu suami isteri ganas itu
melancarkan serangan pada jurus ke empatpuluh delapan, si dara Mawar Putih tak
dapat menahan diri lagi. Ia tak peduli lagi segala peraturan dunia persilatan.
Secepat mencabut pedang, ia terus hendak loncat maju membantu pemuda itu.
Untunglah Siau-liong ternyata
dapat lolos dari serangan lawan. Pemuda itu hanya menderita napas sesak karena
tekanan angin pukulan suami isteri iblis.
Jurus ke empatpuluh sembilan
membuat tubuh Siau-liong basah kuyup mandi keringat. Ia segera kerahkan tenaga
murni untuk menghantam dinding kepungan musuh.
“Dess....” terdengar desus
benturan angin yang amat keras ketika ia lancarkan pukulan Thay-siang-ciang. Ia
gunakan sisa tenaganya dalam pukulan itu. Dahsyatnya bukan alang-kepalang
sehingga debu dan pasir bertebaran keempat penjuru.
Tetapi sayang. Karena tenaga
dalamnya sudah habis digunakan untuk menghadapi empatpuluh delapan jurus
serangan maut dari suami isteri iblis, maka sekalipun pukulannya itu masih
mengunjuk perbawa, tetapi tak berisi. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka
hanya tersurut mundur dua langkah. Tetapi Siau-liong masih terkurung dalam
lingkaran tenaga dalam yang dipancarkan kedua suami isteri iblis itu.
Pada jurus ke limapuluh atau
jurus yang terakhir, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka telah gunakan seluruh
tenaga sakti untuk melancarkan pukulan maut Thay-im-ki-bun-kang. Dua macam
tenaga sakti digabungkan menjadi satu dalam gerak serangan yang serempak.
Siau-liong sudah kehabisan
tenaga untuk menolak serangan itu. Ia rasakan dirinya seperti ditimpah gunung
Himalaya yang rubuh! Tak boleh tidak, dia tentu hancur lebur......
Tetapi berkat bahan-bahan
tulang Siau-liong yang bagus apalagi telah makan buah Im-yang-som dan menghisap
darah binatang purba dalam pusar bumi, makin terjepit dalam bahaya makin ia
dapat memancarkan tenaga sakti. Semangat ingin hidup, tambah memperhebat daya
kekuatan tenaganya.
Dalam jepitan dua macam aliran
tenaga sakti dari suami isteri iblis itu, sekonyong-konyong anak muda itu
mencelat ke udara sampai dua tiga tombak tingginya. Sambil bergeliatan ia
melayang hinggap di atas sebatang pohon, lalu duduk memejamkan mata untuk
memulangkan napas.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka benar-benar terlongong-longong melihatnya......
Serangan limapuluh jurus tadi,
bagi kedua suami isteri itu merupakan ilmu simpanan yang paling diandalkan. Dan
yang mengherankan, Pendekar Laknat menghadapinya dengan jurus-jurus permainan
ilmu silat yang baru. Seharusnya, apabila Pendekar Laknat tetap mengunakan
jurus seperti dalam pertempuran dahulu tak mungkin dia sampai begitu pontang
panting keadaannya.
Sudah tentu kedua suami isteri
itu tak tahu bahwa Pendekar Laknat yang dihadapi saat itu bukanlah Pendekar
Laknat pada duapuluh tahun berselang, melainkan hanya seorang anak muda yang
baru berumur belasan tahun.
Sudah tentu Siau-liong tak
tahu cara menghadapi ke limapuluh serangan suami isteri itu. Oleh karena masih
kurang pengalaman bertempur, apalagi dikeroyok dua musuh yang sakti, ia menjadi
kelabakan setengah mati. Darahnya bergolak-golak keras. Walaupun ia dapat
menyelamatkan diri dari limapuluh serangan itu, tetapi ia memerlukan
beristirahat untuk menenangkan darahnya.
Tetapi Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka itu menganggap Pendekar Laknat sebagai musuh bebuyutan yang
menjadi duri mata mereka. Cepat mereka loncat ke atas menyerang Siau-liong
lagi.
Siau-liong pun sudah menjaga
kemungkinan itu. Begitu serangan tinju dan tongkat tiba, mendadak ia
menghilang. Tahu-tahu ia sudah berdiri dimuka Mawar Putih.
Kedua suami isteri itu makin
panas. Mereka malayang turun dan sambil menggerung terus menghampiri Siau-liong.
Siau-liong siap sedia.
Tiba-tiba Mawar Putih menyelinap kemuka pemuda itu. Ia kira Siau-liong tentu
menderita luka. Tanpa menghiraukan suatu apa, dara itu terus melindunginya.
Siau-liong terkejut. Ia tahu
Mawar Putih tak mungkin mampu menerima serangan kedua momok itu. Kepandaian
dara itu masih belum memadai.
Pada saat itu Iblis Penakluk
dunia dan Dewi Neraka sudah mulai lancarkan pukulan dengan sepenuh tenaga.
“Celaka....!” Siau-liong
gugup. Untuk maju melindungi dimuka dara itu, jelas sudah tak keburu lagi.
Satu-satunya jalan, ia menarik pinggang dara itu terus diseret lari!
Kedua iblis itu meraung-ruang
dan mengejarnya. Saat itu hari sudah terang tanah. Keadaan dalam lembah makin
jelas. Tiba-tiba Siau-liong tak jauh disebelah muka terdapat sebuah kolam besar
seluas seratusan tombak bahu. Hingga menyerupai sebuah telaga besar.
Pikir Siau-liong, kedua momok
itu tinggal di daerah pegunungan, mereka tentu kurang mahir berenang dalam air.
Maka cepat-cepat pemuda itu menyempal dua batang dahan pohon. Setelah dilempar
ke dalam telaga, mereka apungkan diri hinggap di atas dahan itu, meluncur ke
tengah telaga.
Begitu tiba, kedua iblis
itupun mencontoh tindakan Siau-liong, menggunakan dahan pohon untuk meluncur
dipermukaan air.
Siau-liong tenang saja. Sambil
bergandengan tangan dengan Mawar Putih mereka meluncur dengan bebas,
berlenggang lenggok ke kanan kiri.
Memang perhitungannya tepat.
Ilmu air kedua momok tak selihay di atas daratan. Setelah beberapa putaran
mengejar, mereka berteriak-teriak seperti kalap yang kehabisan napas.
Akhirnya kedua iblis itu
mencari akal. Tak mau mereka bersama mengejar melainkan memencar diri. Iblis
Penakluk dunia tetap mengejar di air sedang Dewi Neraka naik ke darat dan
berlarian mengelilingi telaga.
Begitu kedua anak muda itu
lari ke arah mana saja, cepat Dewi Neraka loncat ke dalam telaga untuk
menghadang. Dengan cara itu dapat kedua iblis itu menarik keuntungan dari cara
pengejaran itu.
Keadaan Siau-liong makin lama
makin berbahaya. Kedua iblis itu makin lama makin dapat mempersempit lingkaran
gerak Siau-liong berdua.
Beberapa saat kemudian,
tiba-tiba Siau-liong rasakan suatu sambaran angin melanda belakangnya. Ternyata
kedua suami isteri yang ganas itu tak sabar lagi. Dari jarak jauh mereka sudah
lantas mengirim pukulan.
Pada saat keadan makin bahaya
dimana kedua suami isteri itu makin mendekat, cepat Siau-liong membuka jubah
luarnya sehingga dalam pakaian dalam yang ringkas, tubuhnya tampak tegap kekar.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka terbeliak heran melihat tingkah laku Pendekar Laknat itu. Apa perlunya
dia membuka jubah?
Kuatir kalau musuh akan
melarikan diri, kedua suami isteri iblis itu segera pesatkan serangannya.
Setiap kesempatan pukulannya dapat mencapai, mereka segera lontarkan hantaman!
Sambil mengandeng Mawar Putih,
Siau-liong tamparkan jubahnya untuk menangkis. Jubah itu mempunyai dwi-fungsi
atau dua macam daya kegunaan. Pertama, untuk menangkis. Dan kedua, dengan
meminjam tenaga tamparan itu, Siau-liong dapat bergerak dengan pesat.
Kembali kedua suami isteri
iblis itu terbeliak. Sesaat mereka kehilangan paham. Cara memutar jubah untuk
meminjam tenaga mempercepat gerakan tubuh, sungguh suatu cara yang cerdik
sekali.
Kedua iblis itu bingung.
Mereka tak berani mendesak maju tetapi pun tak mau melepaskan kurungannya.
Karena sekali lepas, sukarlah untuk memperoleh kesempatan sebagus itu lagi.
Mengapa kedua iblis itu juga
tak mau meniru perbuatan Siau-liong saja? Ah, kiranya memang berlainan tujuan
kedua pihak itu. Siau-liong hanya ingin menghindarkan diri dengan
berputar-putar dipermukaan telaga. Sedangkan Kedua iblis itu bertujuan untuk
membunuh. Jika mereka menggunakan cara seperti Siau-liong, tentu tenaga pukulan
mereka akan berkurang.
Kejar mengejar itu berlangsung
cukup lama. Tiba-tiba diluar kesadaran, Siau-liong berdua telah menempatkan
diri dalam lingkaran kemampuan pukulan lawan mengenainya. Seketika kedua iblis
itu meluncur sambil tertawa lepas. Pada lain saat mereka menghantam dengan
tiba-tiba.
Dipermukaan telaga seketika
melambung dua gunduk gelombang dahsyat yang muncrat ke atas dengan amat
tingginya. Kemudian jatuh berhamburan menimpah Siau-liong dan Mawar Putih.
Sesosok jubah hitam terdampar
ke atas dan pada lain saat Siau-liong dan Mawar Putih lenyap.
"Kurang ajar, dia
menghilang ke dalam telaga!" gerutu Iblis Penakluk-dunia. Ia bersama
isterinya menyurut mundur. Tetapi disekeliling penjuru tak tampak bayangan
Siau-liong dan Mawar Putih.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Mereka heran mengapa Pendekar
Laknat dan Dewi Ular Ki Ih secepat itu dapat meloloskan diri. Mereka tentu
menyelam ke dalam air atau bersembunyi dibalik batu.
Cepat mereka menyelam ke dalam
air dan memeriksa gundukan batu di dasar telaga. Walaupun mereka mempunyai
indera penglihatan yang tajam sekali tetapi karena berada di dalam air, mereka
tak dapat melihat dengan jelas.
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
melihat di balik sebuah batu besar, dua sosok tubuh mendekam.
Cepat ia menyerbunya.
Pyah, pyah. pyah.... terdengar
air beriak keras dan gelombang muncrat ke atas.
Siau-liong dan Mawar Putih
unggul dalam air. Mereka cepat menyongsong iblis itu dengan pukulan. Iblis
Penakluk dunia terpaksa berhenti dan menangkis dengan kedua tangannya.
Tetapi iblis itu kalah unggul
dalam air. Gelombang air yang selaju kuda lari mendamparnya sehingga ia
terpaksa gunakan ilmu Cian-kin-tui atau Kaki-seribu-kati dan meramkan mata
untuk bertahan diri.
Pada saat ia membuka mata,
Pendekar Laknat dan Ki Ih sudah lenyap lagi. Tetapi ia mendengar air disebelah
muka beriak keras. Tentulah Pendekar Laknat dan Ki Ih sedang dikejar Dewi
Neraka. Cepat iapun meluncur kemuka. Baru tiga empat tombak berenang, tampak
isterinya sedang bertempur dengan Pendekar Laknat dan Ki Ih. Secepat kilat ia
segera menyambar pergelangan tangan Pendekar Laknat.
Pertempuran itu telah
menyebabkan air beriak seperti diaduk-aduk sehingga sukar untuk melukai lawan.
Satu-satunya jalan ialah mencengkeram tangan Pendekar Laknat.
Tetapi Siau-liong diam saja.
Baru ketika tangan iblis itu hampir menyentuh pergelangan tangannya, ia segera
menjejak lawan. Tetapi Iblis Penakluk-dunia itu juga sakti. Cepat ia mengendap
ke bawah dan gunakan jarinya untuk menutuk telapak kaki Siau-liong.
Untuk menghindari ancaman itu,
Siau-liong melambung ke atas, berjumpalitan dan menghantam dengan kedua
tangannya. Setelah dapat mengundurkan kedua lawan, cepat ia menarik Mawar Putih
dan laksana anak panah, mereka meluncur kemuka.
Kedua suami isteri itu
bergegas mengejar. Tetapi baru lima enam tombak, mereka sudah kehilangan jejak
Siau-liong dan Mawar Putih. Terpaksa kedua iblis itu meluncur ke atas permukaan
air lagi. Mereka memutuskan menggunakan siasat ‘menjaga kelinci keluar dari
gerumbul'.
Memang benar perhitungan
mereka itu. Betapapun pandainya berenang, namun Siau-liong dan Mawar Putih
tentu tak mungkin terus menerus menyelam dalam air.
Dengan perhitungan itu, Iblis
Penakluk dunia menunggu dalam air, Dewi Neraka di daratan.
Cara itu membuat Siau-liong
dan Mawar Putih mati kutu. Keduanya berusaha diam-diam mendekati tepi pantai.
Pikirnya, sewaktu kedua iblis lengah, mereka terus hendak loncat ke daratan dan
meloloskan diri.
Tetapi pada saat menyembul ke
permukaan air Iblis Penakluk-dunia cepat melihatnya. Buru-buru kedua pemuda itu
menyelam lagi ke dalam air.
Marah karena dipermainkan
Siau-liong dan Mawar Putih, kedua suami isteri iblis itu segera terjun mengejar
ke dasar telaga.
Siau-liong terkejut ketika
melihat kedua iblis itu menggunakan siasat Barisan-dua-muka untuk mencegat.
Karena sukar untuk menembus, Siau-liong menarik Mawar Putih ke sisinya dan siap
menghadapi musuh.
Mawar Putih heran mengapa
Siau-liong diam saja. Ia salah duga kalau pemuda itu hendak menyerah.
Pada saat itu, Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka makin mendekat. Sekonyong-konyong Siau-liong
lancarkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Hawa panas yang memancar dari tenaga
sakti itu mampu memanaskan air dan menimbulkan gelombang besar.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka terkejut. Buru-buru mereka berhenti dan melancarkan menyalurkan tenaga
dalam.
Tenaga dalam
Thay-im-ki-bun-kang dari Iblis Penakluk-dunia dan tenaga dalam
Thay-im-bu-wi-kang dari Dewi Neraka serentak memancar bersama-sama. Air telaga
yang panas itu segera dingin lagi.
Dengan begitu kedua belah
pihak sama-sama tak menarik keuntungan apa-apa. Tetapi bagi Siau-liong hal itu
tidak menguntungkan. Ia harus lekas-lekas mencari kesempatan lolos.
Tak berapa lama, kedua iblis
itu tak tahan lagi berendam dalam dasar air. Iblis Penakluk-dunia segera
melambung ke permukaan air. Dengan begitu serangannya pun buyar.
Menggunakan kesempatan itu,
Siau-liong cepat menarik Mawar Putih diajak meluncur ke lain tempat. Dalam
sekejap saja keduanya sudah mencapai 7-8 tombak jauhnya. Merekapun memerlukan
bernapas.
Tetapi begitu keduanya muncul
di permukan telaga, suami isteri iblis yang sudah lebih dahulu berada di
permukaan air cepat mengejarnya.
Siau-liong lepaskan Mawar
Putih dan siap melontarkan pukulan Bu-kek-sin-kang. Sekalipun tak mati tetapi
sekurang-kurangnya kedua iblis itu pasti akan menderita.
Dengan menggembor keras,
tiba-tiba Siau-liong melambung ke udara dan lepaskan pukulan Dewa
menderita-dalam-berkelana.
Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka menyurut mundur satu tombak lalu loncat ke atas potongan dahan kayu dan
maju menyerang lagi dengan tongkat dan pukulan. Mereka mencegah agar Siau-liong
jangan sampai mendekati Mawar Putih lagi.
Memang Mawar Putih tak menang
melawan Dewi Neraka. Tetapi berkat ilmunya berenang yang tinggi, ia dapat
melampaui kedua iblis itu. Bahkan menang dibanding dengan Siau-liong.
Begitu melihat Dewi Neraka
maju menerjang, mendadak dara itu lenyap.
Pada saat Siau-liong meluncur
turun ke air lagi, ia terkejut karena tak melihat Mawar Putih. Tetapi ia tak
sempat mencarinya lagi karena saat itu Iblis Penakluk-dunia sudah menyerangnya.
Dalam kemurkaannya, Siau-liong balas menghantam lawan.
Beberapa saat kemudian
tiba-tiba Siau-liong mendengar bunyi senjata beradu. Ia duga Mawar Putih tentu
benempur di atas daratan dengan Dewi Neraka. Ia cemas. Sekalipun takkan kalah
tetapi Mawar Putih tentu tak kuat bertempur lama. Dengan gugup, Siau-liong
bersuit nyaring lagi loncat ke udara lagi.
Kuatir lawan akan melontarkan
pukulan sakti lagi, buru-buru Iblis Penakluk-dunia menyelam ke dalam air.
Kesempatan itu digunakan Siau-liong untuk melayang dua tiga tombak jauhnya.
Selekas tiba di air, ia cepat berenang ke daratan.
Tetapi belum Siau-liong
mencapai daratan, Mawar Putih sudah meluncur ke dalam air lagi dengan potongan
dahan kayu. Ternyata dara itu juga menguatirkan keselamatan Siau-liong. Setelah
berhasil melepaskan diri dari serangan Dewi Neraka, cepat ia loncat ke dalam
telaga lagi.
Siau-liong meneriakinya dan
dara itupun segera lemparkan dua batang dahan kayu. Siau-liong loncat ke atas
dahan kayu lalu meluncur bersama dara itu.
Suami isteri iblis mengkal
sekali. Mereka gunakan siasat untuk menyerang dari muka dan belakang.
Siau-liong terpaksa menghadapi mereka. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah
bertempur sampai berpuluh-puluh jurus. Tetapi tetap belum ada yang menang atau
kalah.
Rupanya Siau-liong tak sabar
lagi. Tiba-tiba ia memekik keras, “Berhenti!"
Kedua suami isteri iblis itu
tertegun dan hentikan serangannya.
Siau-liong tertawa keras. Pada
saat Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tertegun, Siau-liong cepat menarik
tangan Mawar Putih meluncur kedaratan. Dalam beberapa loncatan saja, keduanya
sudah mencapai duapuluhan tombak jauhnya.
Dewi Neraka bersuit nyaring.
Sambil bolang-balingkan tongkat, ia hendak mengejar. Tetapi dicegah suaminya,
“Sudahlah, biarkan mereka lolos!"
"Tolol! Apa engkau gila?
Terang mereka sudah hampir kalah mengapa engkau lepaskan lagi?"
◄
Y ►
Iblis Penakluk dunia tertawa.
"Isteriku, apakah engkau
melihat arah mereka lari?" tanyanya.
Sepasang mata wanita iblis itu
mengeliar, serunya, “Apa hubungannya dengan orang itu?"
Sambil mengurut jenggotnya
yang hampir mencapai lutut, iblis pendek itu berkata dengan gembira, “Mereka
menuju ke arah selat Tujuh maut yang menembus ke ujung buntu. Sebelumnya sudah
kusuruh murid-murid dan puteri kita supaya bersiap disana. Sekalipun dewa turun
kesitu, tak mungkin mampu lolos dari bencana kebinasaan!"
Dewi Neraka menghunjamkan
tongkat dan tertawa mengekeh, “Heh, heh, aku memang seorang nenek linglung.
Tetapi si tua Laknat itu masih membawa separoh Giok-pwe, jika......”
"Jangan kuatir, isteriku,"
Iblis Penakluk-dunia menukas, "dalam waktu tiga jam kemudian kutanggung
benda itu tentu akan jatuh ditangan kita dalam keadaan utuh!"
Kedua suami isteri itu saling
berpandang. Serempak mereka tertawa keras.
Kemudian berkatalah Dewi
Neraka dengan berseri gembira, “Asal benda itu jatuh ke tangan kita, dunia
persilatan pasti kita kuasai!"
Kembali kedua suami isteri
iblis itu tertawa nyaring.
"Tetapi sebelum benda itu
jatuh ketangan kita, aku kuatir kedua manusia itu akan muncul menghalangi
urusan ini!" tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia berseru.
“Apakah engkau maksudkan si
Naga-laknat dan Harimau......”
"Si Naga dan si Harimau
kedua iblis itu hanya mengandalkan keberanian. Tak perlu kita cemaskan!"
cepat Iblis Penakluk dunia menukas.
Dewi Neraka deliki mata dan
membentak suaminya, “Jangan jual lagak! Lekas katakan siapakah manusia
itu!"
Dengan wajah bersungguh, Iblis
Penakluk dunia berkata, “Yang kukuatirkan bukan lain adalah si Tabib sakti
jenggot naga Kongsun Sin Tho dari gunung Hong-san dan puncak Sin-li-hong gunung
Busan......”
”Tolol!" Dewi Neraka
menukas tertawa, "mengapa makin tua engkau makin bernyali kecil? Engkau
takut kepada tabib yang jual resep jamu dan janda yang tak berani ketemu orang
itu? Ha, ha......”
Iblis Penakluk-dunia menyingkirkan
hidungnya yang melengkung seperti kait, ujarnya, “Benar, si tabib tua Kongsun
Sin Tho memang hanya termasyhur dalam ilmu pengobatan dan selama itu orang tak
pernah melihat kepandaian silatnya. Orang menganggapnya dia tak mempunyai ilmu
kepandaian silat yang berarti. Tetapi sesungguhnya hanya aku seorang yang tahu.
Dua puluh tahun yang lalu ketika di gunung Tong-pik-san, aku pernah menderita
kekalahan dari orang itu. Kepandaian tabib itu......” — ia berhenti menghela
napas.
"Jauh di atas kita
berdua," katanya kemudian, "dan tentang janda yang tinggal di puncak
Sin-li-hong itu, bahkan lebih sukar lagi dihadapi."
Wajah Dewi Neraka berobah
seketika, katanya, “Kalau begitu, kita terpaksa harus melepaskan si tua Jong
Ling untuk menghadapi mereka!"
Iblis Penakluk-dunia merenung.
Beberapa jenak kemudian ia berkata, “Melepas si Jong Ling memang menguntungkan
tetapi juga akan berbahaya...... ah, tetapi mungkin akulah yang berbanyak
kecemasan. Selama ini kedua orang itu tak pernah mencampuri urusan orang lain.
Kemungkinan dalam urusan kita ini, mereka pun takkan menyimpang dari adat
kebiasaannya itu."
Dewi Neraka deliki mata,
“Tolol......” tiba-tiba ia tertawa mengekeh. Nadanya macam burung hantu
mengukuk di tengah malam.
Iblis Penakluk dunia memandang
isterinya, lalu ikut tertawa nyaring: “Isteriku paling lama hanya sehari
semalam, kita bakal memperoleh pusaka yang dibuat incaran oleh beribu-ribu
manusia dari dahulu sampai sekarang. Pada saat itu, ho, pada saat itu tak ada
manusia di dunia yang mampu melawan aku dan engkau!"
Pada saat kedua suami isteri
iblis itu sedang bercakap-cakap, Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah bersama
anak buahnya muncul. Dengan sikap manja, nona itu jatuhkan diri kedada Dewi
Neraka, tanyanya, “Ma, apakah engkau bersama ayah sudah menenggelamkan mereka
ke dalam air?"
Sambil membelai-belai rambut
puterinya, wanita iblis itu berkata, “Anak tolol....” kemudian ia tertawa
mengekeh. Tangan kanan mencekal tongkat, tangan kiri memegang bahu si nona, ia
berjalan terhenyak-henyak menuju ke dalam lembah.
Setelah memandang ke arah
Siau-liong dan Mawar Putih lari tadi. Iblis Penakluk dunia segera memanggil
muridnya, Soh-beng Ki-su.
"Cepat putuskan semua
jalan yang menghubungi selat Tujuh-maut. Lalu suruh anak buah dalam lembah
berkumpul untuk menunggu perintah!"
Soh-beng Ki-su mengiakan dan
terus pergi.
Iblis Penakluk dunia masih
tertegun di tempat itu. Wajahnya sebentar gelisah sebentar berobah girang.
Setelah Soh-beng Ki-su lenyap, barulah bergegas menyusul isterinya.
05.18. Berganti Rupa . . . . .
.
Dilain pihak, setelah lari
satu li jauhnya dan tak melihat kedua iblis itu mengejar barulah Siau-liong dan
Mawar Putih berhenti.
Napas Mawar Putih
terengah-engah. Ia duduk disebuah batu besar dan menghela napas panjang pendek.
Siau-liong sejenak memandang ke sekeliling penjuru. Diam-diam ia kerutkan dahi.
Empat penjuru merupakan karang
tinggi yang landai, penuh ditumbuhi pakis (lumut) sehingga tak mungkin
dipanjat. Disebelah muka tampak jalan kecil yang menyerupai pematang sawah,
berkelak-keluk melingkar-lingkar. Dan memandang ke atas hanya langit biru.
Tampaknya sepanjang hari lembah itu tak terkena sinar matahari, pula tak pernah
didatangi orang......
Ujung mulut selat lembah itu,
menembus ke telaga. Hanya itu, tak ada lain-lain jalanan lagi.
Diam-diam Siau-liong menimang
dalam hati, “Tampaknya selat ini masih dalam lingkungan Lembah Semi. Anak murid
kedua suami isteri iblis itu kemungkinan tentu bersembunyi disekitar situ. Ah,
aku harus hati-hati. Kecuali alat-alat rahasia yang hebat, pun kedua suami
isteri itu amat ganas dan banyak tipu muslihat......”
Ilmu kepandaian Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang tergolong pada aliran Hitam itu telah
mencapai peyakinan yang tinggi. Mau tak mau Siau-liong harus mengakui bahwa
baru pertama kali itu ia bertemu dengan musuh yang tangguh. Apalagi kedua suami
isteri itu menyerang dengan serempak untuk saling mengisi. Apabila bertempur
lama, tentu berbahaya.
Diam-diam hati Siau-liong
tergetar. Masuknya ke dalam lembah Semi, walaupun bertujuan hendak melenyapkan
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, tetapi yang penting ialah membunuh Toh
Hun-ki dan keempat Su-lo. Dengan begitu dapatlah ia meminta Mawar Putih untuk
membawanya menemui ibunya di luar lautan.
Tetapi ternyata Toh Hun-ki dan
rombongannya tak kelihatan. Yang ada adalah kedua suami isteri ganas. Diam-diam
Siau-liong menghela napas.
“Bagaimana sekarang kita
ini?" Mawar Putih bangkit dari duduk dan menghampiri Siau-liong.
Siau-liong merenung. Katanya
sesaat kemudian, “Turut pendapatku, Toh Hun-ki dan keempat Sulo itu tentu sudah
ikut rombongan It Hang totiang untuk menggempur Lembah Semi. Ah, bagaimana
nasib mereka, sukar diramalkan......”
Kemudian ia berpaling
memandang ke arah telaga, katanya lebih lanjut, “Lebih dulu kita harus mencari
tempat beristirahat yang tersembunyi. Biarlah aku kembali menyelidiki lembah.
Apabila Toh Hun-ki dan rombongannya sudah binasa ditangan kedua suami isteri
iblis itu, tetap akan kupotong batang kepalanya dan kubawa kemari!"
Mawar Putih merenung sampai
beberapa saat. "Siau.... liong," dara itu berseru pelahan.
Siau-liong terkejut, “Ada
sesuatu?"
Mawar Putih tersenyum,
“Bukalah kedokmu itu, ah, memuakkan...... sekali!"
Tiba-tiba Siau-liong mendapat
pikiran. Jika ia dan Mawar Putih berganti rupa dan tidak lagi sebagai Pendekar
Laknat - Ki Ih, kedua suami isteri iblis itu tentu akan bingung.
Segera ia menarik tangan dara
itu ke balik gerumbul pohon alang-alang. Alang-alang itu setinggi orang,
menjaluri disepanjang jalan yang berkelak-kelok sampai beberapa tombak jauhnya.
Suatu tempat persembunyian yang bagus.
Setelah sejenak memandang
kesekeliling dan yakin tiada orang, barulah kedua anak muda itu melepas kedok
dan pakaian penyamaran mereka. Setelah itu mereka berjalan menyusur ujung jalan
kecil itu. Kira-kira sepeminum teh lamanya, barulah mereka keluar.
Kini mereka tiba disebuah
selat yang dikelilingi karang dan batu raksasa. Setelah mengamati sekeliling,
barulah Siau-liong mengajak Mawar Putih berjalan menurut jalan pematang di
tengah selat itu.
Karang di kedua samping jalan
amat berbahaya sekali. Menjulang tinggi dengan lempang dan penuh pakis. Tak
mungkin dapat di daki orang.
"Makin berjalan makin tak
tampak jalanan. Hendak kemanakah engkau ini?" akhirnya karena tak tahan,
Mawar Putih bertanya.
“Harap bicara pelahan-lahan
saja. Lembah karang ini dapat memantul gema suara sejauh dua li," kata
Siau-liong.
Sesungguhnya ia sedang
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengamati keadaan disekeliling dan jalan
kecil yang dilewati itu. Maka ia tak jelas yang dikatakan Mawar Putih.
Mawar Putih mendengus dan
terpaksa diam.
Karena kuatir selat itu
mengandung alat rahasia lagi, terpaksa Siau-liong berjalan dengan
pelahan-lahan. Maka hampir sepenanak nasi lamanya, mereka baru mencapai satu li
jauhnya.
Jalanan selat lembah itu lurus
menuju kemuka. Tampak pada ujung jalan disebelah muka, menjulang sebuah puncak
gunung. Sebenarnya apabila sudah tiba di ujung jalan, akan terdapat sebuah
jalan tembusan lagi. Tetapi karena tak tahu, Siau-liong berhenti di tengah
jalan.
Tengah ia menimang-nimang baik
melanjutkan perjalanan lagi atau tidak, tiba-tiba Mawar Putih menjerit kaget.
Cepat ia berpaling. Ah, ternyata dara itu tengah ayunkan pedangnya menabas
seekor ular besar sepanjang 6-7 meter.
Betapapun Mawar Putih itu
seorang anak perempuan yang mempunyai sifat pembawaan bernyali kecil. Sekalipun
sudah menabas kutung ular, tetapi wajahnya masih tampak ketakutan.
Ular itu tubuhnya berwarna
hijau tetapi ekornya merah. Kepalanya mempunyai sebuah tengger warna hitam.
Tubuhnya yang terkutung itu masih bergeliatan tak henti-hentinya. Jelas
binatang itu tentu seekor ular yang amat berbisa.
Siau-liong tak menghiraukan.
Ia anggap ular itu binatang yang biasa terdapat dipegunungan. Segera ia menarik
tangan si dara lagi untuk diajak berjalan menuju ke ujung jalan.
Tiba disitu, disebelah kiri
terbentur sebuah selat gunung yang agak lebar. Merupakan sebuah tanah lapang
seluas beberapa bahu, dikelilingi oleh deretan puncak gunung yang berjajar
rapi. Pohon-pohon layu, mengesankan pemandangan musim rontok yang sayu. Jauh
sekali bedanya dengan alam kesegaran dalam Lembah Semi.
Siau-liong berjalan dimuka. Ia
berjalan dengan hati-hati. Tiba-tiba Mawar Putih yang berada dibelakangnya
menjerit kaget lagi. Jeritan itu menimbulkan gema suara yang berkumandang
sampai beberapa li jauhnya.
Ketika berpaling, Siau-liong
melihat berpuluh ekor ular besar tengah merayap mendatangi. Mawar Putih siapkan
tenjata rahasia Hwe-hun-tun terus ditaburkan ke arah kawanan ular itu. Binatang
itu bergeliatan susul menyusul mati.
Kini barulah Siau-liong
menyadari bahwa kawanan ular itu bukanlah suatu hal yang kebetulan melainkan
tentu suatu perangkap musuh yang sengaja dipersiapkan.
Ia memandang lebih jauh.
Dilihat pada celah-celah batu dalam gerumbul rumput, penuh dengan benda-benda
yang bergeliatan. Selain ular berbisa, pun terdapat juga binatang kadal,
kelabang dan lain-lain serangga berbisa.
Siau-liong cepat suruh Mawar
Putih berjalan dimuka dan ia melindungi dibelakangnya. Ia menimang. Jika
menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang atau Thay-siang-ciang, tentulah
dirinya akan ketahuan.
Akhirnya terpaksa ia gunakan
akal. Memukul dengan diam-diam menyaluri tenaga sakti Bu-kek-sin-kang secara
perlahan. Walaupun cara memukul itu terpaksa hanya menggunakan tiga bagian
tenaga sehingga tak dapat menghancurkan binatang-binatang itu seluruhnya.
Tetapi hawa panas yang memancar dari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu memaksa
kawanan binatang itu tak berani maju lagi.
Begitulah dengan jalan bersama
si dara, Siau-liong tetap siap siaga menjaga kawanan binatang beracun. Kemudian
ia meminta si dara supaya menyimpan pedang dan senjata rahasia Hwe-hun-tui.
Mawar Putih salah paham dan
deliki mata: ”Mengapa? Apakah karena kepandaianku tak menyamai engkau?"
Siau-liong tertawa hambar,
“Saat ini dirimu bukan sebagai Ki Ih, jangan sampai menimbulkan kecurigaan
orang."
"Uh, aku memang
tolol!" si dara tertawa lalu melakukan perintah Siau-liong.
Tiba di tanah lapang, tampak
empat penjuru dikelilingi batu karang yang tinggi sekali sehingga tempat itu
menyerupai dasar sebuah sumur.
Tempat itu seluas sepuluhan
bahu. Ditengah terdapat segerumbul rimba yang ditumbuhi belasan pohon cemara.
Benar-benar merupakan sebuah tempat bersembunyi yang bagus sekali.
Siau-liong mengajak Mawar
Putih cepat-cepat menuju ke rimba cemara itu. Mereka terkejut ketika menemukan
dua orang lelaki dalam rimba itu. Seorang lelaki berumur limapuluhan tahun,
memelihara rambut panjang sampai ke bahu. Mengenakan pakaian pertapaan, bukan
sebagai imam pun bukan sebagai orang biasa. Dia duduk bersila sambil memegang
sebatang kebut pertapaan. Mulutnya kemak-kemit seperti tengah menghapal.
Sedang yang seorang lagi,
seorang tua bertubuh kurus tinggi. Mata berkilat-kilat tajam. Begitu melihat
Siau-liong dan Mawar Putih muncul dia terkejut lalu tebarkan kipas Kim-kut-san
atau kipas berkerangka emas. Selagi Siau-liong belum berdiri tegak, cepat orang
tua itu menyerang dadanya dengan jurus Mengusir-angin-memburu-awan.
Siau-liong ingat-ingat lupa
orangtua itu. Dia seperti pernah bertemu tetapi entah dimana. Ia marah karena
orang tua itu amat kasar. Cepat ia kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke
lengannya. Begitu kipas Kim-kut-san melayang, ia segera menyongsongnya.
Rupanya orangtua itu menyadari
bahaya. Secepat kedua tenaga beradu, ia terus menyurut mundur.
Siau-liong tak mau memburu
melainkan membentaknya, “Apakah kalian berdua ini kaki tangan suami isteri
iblis itu?"
Lelaki yang duduk bersila di
tanah itu sejenak berpaling samping memandang ke arah Siau-liong dan Mawar
Putih, lalu melanjutkan menghapal lagi. Sedangkan orang tua yang mencekal kipas
Kim-kut-san tadi mengeliarkan matanya beberapa jenak lalu bertanya kepada
Siau-liong, “Apakah saudara bukan Cousu dari partay Kay-pang?"
Siau-liong mengamati kedua
orang tua itu lagi dan teringatlah ia bahwa mereka itu tokoh-tokoh yang ikut
hadir dalam pertemuan di puncak Ngo-siong-nia dipimpin It Hang totiang.
"Saudara dengan Iblis
Penakluk dunia dan Dewi Neraka......”
Belum orang tua itu selesai
bertanya Siau-liong tertawa menukas, “Aku dan paman berdua, satu kubu ialah tak
mau hidup dalam dunia persilatan bersama kedua suami isteri iblis itu......”
Serentak Siau-liong teringat
akan sikap It Hang, Ti Gong taysu, Lam Leng lojin dan lain-lain orang terhadap
dirinya tempo hari. Seketika meluaplah kemarahannya, “Tetapi karena It Hang
totiang dan lain-lain orang mencurigai diriku maka terpaksa aku bersama nona
ini masuk sendiri ke dalam Lembah Semi......”
Orangtua yang memegang kipas
buru-buru menjurah memberi hormat, “Lebih dulu kuwakili It Hang totiang dan
beberapa saudara, menghaturkan maaf kepadamu. Sukalah saudara berlapang
dada......” sejenak berhenti, ia berkata pula, "Aku Cu Kong-leng yang oleh
dunia persilatan digelari sebagai Im-yang-san (si Kipas tenaga Positip dan
Negatip), berkat kepercayaan dari para sahabat himpunan Tong-thing-pang, telah
diangkat sebagai ketua dari perhimpunan itu......”
Kemudian ia menunjuk kepada
lelaki yang duduk bersemadhi di tanah, berkata lagi, “Dan saudara itu adalah
Tan Ih-hong, ketua perkumpulan Ji-tok-kau...... dia tengah mengobati lukanya
dari gigitan binatang beracun!"
Lelaki yang duduk bersila itu
atau Tan Ih-hong tetap berkomat-kamit mulutnya. Ia tak menghiraukan orang.
Siau-liongpun tak
mempedulikannya. Ia bertanya lagi kepada Cu Kong-leng, “Apakah saudara ikut
dalam rombongan It Hang totiang menyerbu ke Lembah Semi? Apakah saudara tahu
dimana Toh-Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay itu?"
Ketua Tong-thing-pang itu
menghela napas panjang, ujarnya, “Kemarin setelah saudara dan Dewi Ular Ki Ih
tinggalkan puncak Ngo-siong-nia. Harimau Iblis muncul kembali dan bertempur
sengit lawan It Hang totiang dan kawan-kawan. Kesudahannya ketua Go bi-pay Ki
Ceng siansu dan Lam Leng lojin menderita luka parah. Karena terpaksa, kami
beramai-ramai mengeroyoknya barulah pertempuran berimbang. Tetapi kalau
pertempuran itu berlangsung lama, kedua pihak pasti akan sama-sama remuk.
Untunglah si Naga Haram muncul......”
"Engkau maksudkan Naga
Haram dan gunung Kengsan itu?" Mawar Putih menyeletuk.
Cu Kong-leng mengiakan.
Mawar Putih menyeringai,
“Kabarnya Harimau Iblis dan Naga Haram itu sebenarnya dua orang bersaudara. Kalau
dia muncul, kalian tentu celaka karena masakan dia takkan membantu saudaranya
si Harimau Iblis itu?"
Cu Kong-leng tak kenal siapa
Mawar Putih itu. Ia tak senang karena dara itu kasar nada bicaranya. Tetapi
mengingat dara itu kawan Kongsun Liong (Siau-liong), terpaksa ia mengangguk,
“Benar, tetapi kemunculan Naga Haram saat itu ternyata tak menyusahkan
rombongan orang gagah. Bahkan dia malah menganjurkan supaya jangan memusuhi
rombongan orang gagah. Setelah tukar bicara dengan gunakan ilmu Menyusup suara,
mereka segera tinggalkan puncak gunung......”
Cu Kong-leng berhenti sejenak.
Memandang kesekeliling penjuru lalu berkata pula, “Setelah terjadi kehebohan
dari saudara dan Ki Ih lalu Harimau Iblis, para orang gagah yang hadir dipuncak
Ngo-siong-nia itu hampir saja bubar. Untunglah It Hang teguh pendirian. Ia
tetap berkeras hendak melakukan penyerbuan ke Lembah Semi, akhirnya para orang
gagah menunjang keputusan ketua Bu-tong pay itu dan pada tengah malam mereka
telah tiba diluar Lembah Semi......”
Cu Kong-leng berhenti untuk
menghela napas. Sesaat kemudian ia berkala pelahan-lahan, “Rombongan orang
gagah dipecah menjadi dua kelompok yang akan masuk dari muka dan belakang
lembah. Karena aku dan ketua Tiam-jong-pay yakni saudara Shin Bu-seng agak
mengerti tentang ilmu Ngo-heng, maka kami berdua ditempatkan secara terpisah
dalam kedua kelompok itu. Aku termasuk dalam kelompok Ti Gong taysu, Kun-lun
Sam-cu dan Tan Ih-hong yang masuk dari belakang lembah. Sedang ketua
Tiam-jong-pay Shin Bu-seng ditempatkan pada kelompok kedua yang terdiri dari
ketua Kay-pang To Kiu-kong ketua Kong-tong-pay Toh Hun-ki dan It Hang totiang
yang masuk dari sebelah muka......”
Cu Kong-leng berhenti untuk
menyelidiki kesan Siau-liong dan Mawar Putih.
"Diputuskan pula bahwa
pada kurang lebih pada pukul satu malam supaya kedua kelompok itu bertemu di
dalam lembah. Jika sampai terjadi pencegatan oleh suami isteri iblis dan anak
buahnya, supaya melepaskan anak panah yang berbunyi untuk memberi berita. Agar
bisa cepat memberi bantuan......”
Kembali ketua Tong-thing-pang
itu berhenti sejenak lagi untuk menghela napas.
Rupanya Mawar Putih tak sabar,
tegurnya, “Ih, mengapa engkau begitu loyo? Apakah engkau dapat menutur dengan
lancar?"
Cu Kong-leng kerutkan dahi,
berbatuk-batuk lalu melanjutkan pula, “Setelah masuk dari belakang lembah, di
sepanjang jalan kami tak menemui suatu rintangan apa-apa. Karena aku agak paham
tentang segala jenis alat perangkap, kelompok kami dapat melewati beberapa
persiapan musuh. Tetapi dikala hampir mencapai tengah lembah, ketua Siau-lim-si
Ti Gong taysu karena tak hati-hati secara tak sengaja telah menyentuh tombol
sebuah perkakas rahasia......"
Mawar Putih mendengus, “Uh,
lagi-lagi paderi tua itu!"
Cu Kong-leng tertawa
menyeringai, katanya, “Untunglah saat itu Ti Gong taysu dan aku cepat-cepat
dapat menghadapi perobahan. Sebelum terjerumus ke dalam perangkap, kami dapat
menghindar. Tetapi celakanya Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka segera
mengetahui tentang kedatangan kami. Segera terjadilah pertempuran seru......”
Sesaat merenung, Cu Kong leng
menyambung penuturannya lagi, “Walaupun saat itu Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka tak muncul, tetapi Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah memimpin anak
buahnya untuk menyerang. Karena paham akan keadaan tempat dan berjumlah lebih
banyak pula karena......”
Kembali Cu Kong-leng menghela
napas lagi, lalu katanya, “Kepandaian kami tak memadai untuk menghadapi ilmu
setan mereka, maka tak berapa lama bertempur, kami telah tercerai berai. Aku
dan saudara Tan Ih-hong terdesak mundur sampai ke dalam selat lembah sini.
Sebelumnya kami telah melepaskan anak panah suitan, tetapi dari kelompok It
Hang totiang, tak muncul barang seorang bala bantuanpun juga......”
"Toh Hun-ki dan keempat
Su-lo itu sudah mati atau masih hidup!" teriak Mawar Putih tak sabar lagi.
Cu Kong-leng memandang si dara
dengan pandang tak mengerti, katanya, “Sejak terdesak ke dalam selat ini, kami
telah kehilangan hubungan dengan kawan-kawan. Kami tak jelas lagi bagaimana
keadaan mereka. Tetapi menurut hematku......”
Untuk kesekian kali, Cu
Kong-leng menghela napas lagi, “Termasuk It Hang totiang, To Kiu kong, Shin Bu
seng dan beberapa tokoh lain kemungkinan besar tentu mengalami nasib
jelek!"
Dalam pada itu diam-diam Cu
Kong-leng heran mengapa Kongsun Liong dan dara yang dianggap liar itu, begitu
memperhatikan sekali akan diri Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari partai
Kong-tong-pay.
Mawar Putih banting-banting
kaki lalu menegur Siau-liong, “Bagaimana tindakan kita? Pergi atau
mengobrak-abrik Lembah Semi?"
Siau-liong juga kehilangan
paham. Sesaat ia termangu-mangu.
Cu Kong-leng batuk-batuk,
kemudian berkata, “Bermula kami heran mengapa orang Lembah Semi tak mengejar
kesitu. Tetapi setelah memeriksa keadaan tempat ini, barulah aku
tersadar......”
"Bagaimana?" tukas
Mawar Putih pula.
Cu Kong-leng tertawa masam,
jawabnya, “Tempat ini merupakan tempat buntu. Meskipun aku paham akan ilmu
perkakas rahasia dan ilmu barisan, tetapi sungguh aku tak mengerti barisan
mereka ini!"
Siau-liong memandang ke
sekeliling penjuru. Memang benarlah. Karang-karang yang memagari sekeliling
tempat itu menjulang tinggi dengan landai sekali atau tegak lurus. Sukar untuk
dipanjat. Pun andaikata dapat memanjat ke atas, dikuatirkan di atas karang itu
sudah disiapkan alat atau barisan anak buah Lembah Semi.
Hutan pohon siong itu berada
di tengah-tengah tanah buntu. Rupanya memang dibuat oleh orang-orang Lembah
Semi. Karang-karang tinggi itupun juga disempurnakan dangan lubang-lubang gua
yang dilengkapi dengan perkakas rahasia dan barisan pendam.
Tengah Siau-liong merenungkan
keadaan tempat itu, tiba-tiba Mawar Putih menjerit kaget dan cepat bersembunyi
di belakangnya seraya menunjuk ke arah Tan Ih-hong ketua perkumpulan
Ji-tok-kau, “Lihatlah, dia......”
Ketika Siau-liong berpaling,
tampak ketua Ji-tok-kau itu itu sedang menampar-namparkan kebut hud-tim. Dari
kebud hud-tim itu menghambur bubuk putih yang halus. Sedang tangan kirinya
mencekal seekor ular berbisa dan dimasukkan ke dalam mulutnya, “kresss......”
Kepala ular itu remuk dikunyahnya terus ditelan ke dalam perut. Darah
bercucuran dari mulut membaurkan bau anyir yang memuakkan sekali......
Tetapi ketua Ji-tok-kau atau
perkumpulan Pemakan Racun, makan dengan lahapnya. Dikunyah ular beracun
sepanjang setengah meter itu seperti orang makan kuweh untir-untir atau
baling-baling.
Siau-liong, Mawar Putih dan Cu
Kong-leng serasa diiris-iris hatinya karena ngeri......
"Tan kaucu itu memang
biasa makan ular beracun. Dia mendirikan perkumpulan Pemakan racun. Pengaruhnya
besar sekali di daerah Selam,” Cu Kong-leng menerangkan.
Dalam beberapa saat Tan
Ih-hong sudah memakan habis ular itu. Setelah mendahak dua kali sambil mengusap
mulut ia berbangkit.
"Kawanan ular berbisa itu
sudah kutindak dengan jimat (tumbal). Tak mungkin mereka berani datang lagi.
Tetapi kalau orang Lembah Semi yang mahir menguasai ular itu menyuruh binatang
beracun itu menyerang lagi, akupun tak dapat berbuat apa-apa!" kata ketua
perkumpulan Pemakan Ular itu.
Ketua Pemakan-ular itu
memelihara rambut panjang sampai kebahu. Wajahnya berwarna hijau
kehitam-hitaman. Tentulah hal itu disebabkan karena gemar makan ular beracun.
Pakaiannya betapa compang camping, kaki telanjang dan kotor. Pertapa bukan,
pengemispun tidak.
Ketua Pemakan Ular itu tak
menghiraukan Siau-liong dan Mawar Putih. Tetapi agaknya ia jeri juga terhadap
kedua anak muda itu. Ia berjalan mengitar dan menuju ketempat Cu Kong-leng,
serunya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah dapat menemukan jalan keluar dari
lembah ini?"
Karena ngeri melihat
demonstrasi Tan Ih-hong makan ular beracun tadi, Mawar Putih masih gemetar dan
bersembunyi di belakang Siau-liong.
Saat itu sekali pun dalam
gerumbul semak yang sedang diluar hutan pohon siong itu masih terdengar suara
gemersik dari kawanan ular berbisa, tetapi mereka tak berani bergerak. Rupanya
apa yang dikatakan ketua Pemakan Ular itu memang benar.
"Barisan ini memang amat
aneh sekali. Sampai saat ini aku belum dapat mengetahui namanya," sahut Cu
Kong-leng ketua himpunan Tong-thing-pang itu.
Mendengar itu marahlah Tan
Ih-hong, bentaknya, “Ho, engkau menipu aku! Aku sudah makan dan menundukkan
kawanan ular beracun itu tetapi engkau tak mampu mengetahui barisan yang begitu
sederhana! Uh, sampai dimanakah pengetahuanmu tentang ilmu barisan itu......”
Ia berhenti sejenak lalu
berkata lebih lanjut, “Ketahuilah, sekalipun terkurung disini sampai 28 tahun
pun takkan kelaparan mati. Aku dapat makan ular. Tetapi bagaimana dengan
kalian? Bukankah kalau tak makan setengah bulan saja kalian tentu sudah tak kuat?
Apalagi kawanan ular berbisa itu......”
Ia melirik ke arah Siau-liong
dengan pandang yang jeri lalu tak melanjutkan kata-katanya.
Cu Kong-leng tertawa dingin,
“Sama sekali aku tak menipu saudara supaya mengusir ular beracun itu. Harap
tahu bahwa meskipun untuk saat ini aku belum dapat mengetahui barisan mereka
tetapi sedikit telah kuselami gerak perobahannya. Mungkin tak lama lagi tentu
sudah kuketahui rahasia barisan mereka itu. Sekalipun saudara dapat hidup
dengan makan ular beracun tetapi tempat ini penuh dengan alat rahasia pembawa
maut. Benar memang kedua suami isteri iblis itu tak mengejar kesini tetapi jika
tak kutunjukkan jalannya, sekali salah langkah tentu akan tertimpah bahaya
maut!"
Agaknya ketua perkumpulan
Pemakan Ular itu memang singkat sekali pikirannya. Mendengar bantahan Cu
Kong-leng, ia menjadi bungkam.
Kemudian Cu Kong-leng menunjuk
kesekeliling penjuru dan berkata kepada Siau-liong, “Sekalipun pengetahuanku
picik, tetapi aku pernah meyakinkan sampai berpuluh tahun tentang ilmu perkakas
rahasia dan barisan. Dalam duaratus macam barisan yang pernah kupelajari, tak
ada satupun yang sama dengan barisan itu!"
05.19. Barisan Tujuh Maut
Menurut arah yang ditunjuk Cu
Kong-leng, Siau-liong melihat deretan karang tinggi itu seperti menyerupai
bentuk delapan tanduk runcing.
Berkata Cu Kong-leng pula,
“Jika menurutkan keadaan alam, jelas barisan mereka mengandung unsur perobahan
Pat-kwa-kiu-kong. Tetapi......”
Ia menunjuk ke arah gua-gua
yang besar kecil dan tinggi rendah pada kaki karang itu, lalu berkata pula,
“Yang tak kumengerti ialah tentang ke tujuh buah gua yang tersebar diempat
penjuru itu. Yang enam buah, jelas gua alam. Tetapi yang satu tentu dibuat
orang......” - ia berhenti dan merenung.
"Kabarnya suami isteri
iblis itu mahir menggunakan tipu siasat untuk menjebak orang. Mungkin tempat
ini tiada terdapat perkakas rahasianya. Mereka memang sengaja membuat lubang
gua untuk menimbulkan kecurigaan orang!" kata Siau-liong yang tak sabar
menunggu.
Tetapi ketua Tong-thing-pang
itu gelengkan kepala, “Tempat itu amat berbahaya dan merupakan ciptaan alam
yang menyerupai bentuk barisan Pat-kwa-tin. Sudah tentu kedua iblis itu takkan
menyia-nyiakannya. Kalau tak percaya, cobalah saudara cari jalan yang saudara
lalui ketika datang kesini tadi. Apakah saudara mampu menemukannya lagi atau
tidak!"
Siau-liong terkejut. Cepat ia
melakukan perintah itu. Ah, memang keadaan empat penjuru hampir sama. Dan
belasan batang pohon siong yang tumbuh ditengah hutan itupun hampir sama semua
sehingga sukar menemukan dari jalan mana tadi ia masuk kesitu.
Bukan kepalang kejut
Siau-liong. Kedatangannya ke hutan situ adalah untuk mencari tempat
bersembunyi. Setelah memulangkan tenaga, ia hendak keluar untuk menempur kedua
suami isteri iblis itu lagi. Lalu mencari Toh Hun-ki dan keempat Su-lo.
Maka bermula ia tak
menghiraukan Cu Kong-leng yang sedang mempelajari keadaan tempat situ. Tetapi
setelah melakukan apa yang dikatakan Cu Kong-leng tadi, gelisahlah ia.
Benar-benar ia tak mampu menemukan jalan yang ia masuki tadi.
"Jika barisan Pat-kwa digabung
dengan perobahan barisan Bintang-tujuh, benar-benar sebuah barisan yang luar
biasa hebatnya. Sejak dahulu belum pernah orang melakukan hal itu. Mengingat
Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka itu memiliki kecerdasan yang hebat, tidak
mustahil kalau mereka dapat menyatukan kedua bentuk barisan itu. Kecuali......”
“Plak,” tiba-tiba ketua
Tong-thing-pang itu menampar pipinya sendiri, “Benar! Ah, tentu bukan ciptaan
kedua iblis itu sendiri. Orang yang menciptakan barisan itu, karena berani
memaksa menyalahi perhitungan alam, tentulah sudah mati dalam barisan!"
Siau-liong dan Mawar Putih
setengah mengerti setengah tidak. Tetapi melihat sikap ketua Tong Thing-pang
itu, terang kalau dia benar-benar memeras otak.
Saat itu agaknya Cu Kong-leng
sudah menemukan titik-titik terang. Segera ia melangkah maju kehadapan
Siau-liong, “Jika orang yang meciptakan barisan itu tidak dibunuh kedua suami
isteri iblis, dia adalah seorang ahli pikir yang cemerlang sekali. Tetapi
kemungkinan besar, orang itu tentu sudah mati dalam barisan yang diciptakannya
itu sendiri......”
Ia menghela napas, katanya
pula, “Karena ia menciptakan barisan ini terlampau ganas, dalam ke tujuh lubang
barisan itu sama sekali tidak diberi pintu hidup. Oleh karenanya, sekalipun ia
mampu balik keluar dari barisan, tentu juga akan mendapat kutukan......”
Siau-liong hanya menganggukkan
kepala.
“Penilaian saudara memang
tepat," kata Siau-liong, “tetapi tentulah ada sebab lain mengapa orang itu
mau menciptakan barisan semacam ini!"
"Maksudmu?....”
Siau-liong tertawa, “Orang itu
tentu sudah linglung atau memang sudah gila!"
Tiba-tiba ketua
Tong-thing-pang itu bertepuk tangan, “Bagus! Pendapat saudara memang hebat.
Memang orang linglung atau gila sering menonjolkan kepandaiannya. Menilik
ciptaan yang begitu ganasnya, memang hanya seorang gila yang dapat
melakukannya. Tetapi......” ia menunduk berpikir lagi.
Beberapa saat kemudian ia
berkata, “Tokoh-tokoh yang ahli dalam ilmu barisan dan alat-alat rahasia,
sebagian besar aku tahu. Tetapi aneh, mengapa aku tak dapat menemukan siapakah
pencipta barisan itu?"
Tan Ih-hong mondar-mandir
mendukung tangan. Tiba-tiba ia menarik tubuh Cu Kong-leng, serunya, “Kawanan
ular berbisa itu dalam waktu sejam lagi tentu akan liar kembali. Lekaslah cari
jalan keluar!"
Cu Kong-leng geleng-geleng
kepala, “Tempat ini merupakan tanah mati. Sama sekali tiada jalan keluar......”
Namun ketua Tong-thing-pang
itu tetap membuat penilaian. Tiba-tiba ia menunjuk sebuah gua yang paling
besar, serunya, “Jika terpaksa, kita hanya dapat menggunakan jalan ini untuk
keluar. Tetapi adakah gua itu menembus keluar atau masih dalam bagian lembah,
aku tak berani memastikan. Pula mungkin di dalam gua terdapat banyak ular dan
serangga berbisa......”
“Jangan kuatir, serahkan
kawanan binatang beracun itu padaku!" seru ketua Pemakan Ular.
Cu Kong-leng tertawa, “Kecuali
binatang beracun, mungkin masih terdapat bahaya air dan api serta lubang-lubang
jebakan yang tak dapat kita duga-duga. Jika hanya seorang saja, kemungkinan
tentu binasa......”
“Semua ancaman alat rahasia
dan lain-lain perangkap, menjadi tanggunganmu!" teriak Tan Ih-hong.
Kemudian Cu Kong-leng
menanyakan pendapat Siau-liong. Pemuda itu memandang sejenak kepada Mawar Putih
lalu menjawab, “Dari pada disini menunggu kematian, lebih baik kita coba-coba
menempuh bahaya!"
Baru Siau-liong berkata
begitu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit pelahan. Sudah tentu sekalian
orang terperanjat. Suitan itu seperti bunyi seruling tetapi pun mirip dengan
batang pohon yang berderak-derak tertiup angin.
Menyusul dengan itu, karang
yang mengelilingi empat penjuru, menghambur kabut tipis. Dibawa kesiur angin,
kabut itu makin lama makin tebal dan pelahan-lahan mengumpul ditengah. Saat itu
alam disekeliling penjuru tampak meremang tak jelas lagi.
Suara suitan itupun
kedengaranya makin rendah nadanya sehingga sukar diketahui berasal dari benda
apa. Suaranya mirip dengan kawanan setan yang merintih-rintih ditengah malam.
Suasana dalam hutan ditengah
tanah lapang buntu itu makin terasa seram.
Seketika berobahlah wajah Cu
Kong-leng ujarnya, “Rapanya barisan mereka sudah mulai bergerak. Harap saudara
sekalian mengikuti aku, jangan bergerak sendiri!"
Tiba-tiba Tan Ih-hong
berteriak, “Awas! Kawanan ular berbisa itu mulai menyerang lagi!"
Memang benar. Dari sekeliling
penjuru hutan, ribuan ular dan binatang berbisa serempak merayap datang. Sambil
gerakkan kebut hudtimnya kekanan kiri, Tan Ih-hong membaca doa.
Tetapi rupanya kawanan
binatang beracun itu telah mendapat tekanan dari ilmu sihir yang lebih kuat.
Mereka tak mengacuhkan Tan Ih-hong dan terus menyerbu.
Karena kebutnya tak memberi
hasil, Tan Ih hong bingung juga. Tiba-tiba ia menyambar seekor ular besar terus
digigit kepalanya. Setelah meminum darah ular itu, ia segera menyemburkan
kesekeliling penjuru.
Serangan istimewa itu memaksa
kawanan binatang beracun tak berani maju lagi. Tetapi mereka tetap bergeliatan
disekeliling hutan.
Dalam pada itu kabutpun makin
tebal sehingga mata sukar memandang kemuka. Dan yang lebih mengejutkan.
Tiba-tiba belasan batang pohon siong bergetaran! Makin lama makin keras seperti
terjadi gempa bumi.
Keempat orang itu seperti
berada dalam perahu yang tengah diamuk badai. Kepala mereka pening, mata
berkunang-kunang......
Cu Kong-leng berseru gugup,
“Tempat ini merupakan poros tengah barisan. Jika terjadi suatu perobahan, semua
benda disini tentu hancur ludas. Lekas ikut aku!"
Kembali Tan Ih-hong
mencengkeram seekor ular besar lalu digigit kepalanya. Setelah itu ia semburkan
darah ular tadi ke arah yang ditunjukkan Cu Kong-leng. Kawanan binatang berbisa
yang berada ditempat itu segera menyingkir memberi jalan.
Cu Kong-leng berjalan lebih
dulu, ketiga orang lainnya mengikut dibelakangnya. Beberapa kali Cu Kong-leng
berhenti untuk membuat penyelidikan. Dengan begitu jalannya amat pelahan
sekali.
Untunglah selama itu Tan
Ih-hong dapat menggigit mati tujuh-delapan ekor ular besar dan setiap kali
tentu menyemburkan darah ular itu untuk membuka jalan. Dengan demikian amanlah
perjalanan mereka.
Kira-kira sepenanak nasi
lamanya. tiba-tiba Cu Kong-leng berseru, “Sudah sampai!"
"Sampai dimana?" Tan
Ih-hong bertanya penuh ketegangan.
Cu Kong-leng tertawa hambar,
“Tiada nama yang lebih tepat untuk tempat itu kecuali kita sebut sebagai Pintu
Akhirat."
Ketika Siau-liong mengawasi
kemuka, ternyata yang disebut Pintu Akhirat oleh ketua Tong-thing-pang itu
adalah gua paling besar yang tadi ditunjuk oleh Tan Ih-hong. Gua itu setinggi
satu tombak, lebar empat-lima meter. Disebelah dalam hitam pekat tak tampak
suatu apa.
Sepintas pandang gua itu
seperti buatan alam. Gerumbul rumput alang-alang yang tumbuh di pintu gua, hampir
setinggi orang. Sarang laba-laba dan galagasi memenuhi lubang pintu. Memberi
kesan bahwa gua itu tak pernah dikunjungi manusia.
Siau-liong memandang lekat
kepada Cu Kong-leng. Diam-diam pemuda itu mulai meragukan keterangan Cu
Kong-leng.
Sedang Tan Ih-hong pun
melongok ke dalam gua lalu melengking, “Hm, jelas sebuah gua yang tak pernah
diinjak manusia mengapa engkau katakan sebagai jalan keluar?"
"Mataku belum rabun.
Kuyakin takkan salah lihat!" jawab Cu Kong-leng.
Tan Ih-hong tak membantah
tetapi pun tak berani gegabah masuk.
Saat itu kabut tebal sudah
merata menyelimuti hutan siong. Hanya suara bergetaran tadi sudah berhenti.
Setelah memasang pendengaran,
berkatalah Cu Kong-leng, “Jika penilaianku tak salah. Gua ini setengahnya
memang ciptaan alam tapi setengahnya juga dibuat manusia. Kupercaya gerak-gerik
kita ini tentu sudah diawasi musuh!"
“Bagaimana engkau tahu?"
seru Tan Ih-hong kurang puas.
"Tadi barisan itu jelas
sudah bergerak. Jika kita masih berada dalam hutan, tentu sudah mati ditangan
mereka......” kata Cu Kong-leng, "bahwa kemudian barisan itu berhenti,
menandakan kalau mereka mengetahui bahwa kita sudah tinggalkan hutan itu!"
Kemudian sambil menunjuk ke
dalam gua, ketua Tong-thing-pang itu berkata pula, “Walaupun kuyakin gua itu
merupakan satu-satunya jalan keluar. Tetapi aku tak berani memastikan adakah
kita nanti mampu keluar dengan selamat atau tidak. Karena dalam gua itu tentu
penuh bahaya maut!"
Karena tak mengerti ilmu
barisan dan ilmu segala macam alat rahasia, Siau-liong diam saja. Demikian pun
dengan Mawar Putih.
Cu Kong-leng melangkah masuk
ke dalam gua. Beberapa langkah kemudian, ia berseru memanggil ketiga orang itu
supaya lekas masuk juga.
Ketika Siau-liong bertiga
masuk, ternyata gua itu merupakan sebuah terowongan alam. Tetapi bagian lantai
dan langit-langit serta dinding gua terdapat bekas-bekas dibuat manusia.
Kembali Cu Kong-leng
menyatakan keyakinannya bahwa gua itu pasti merupakan satu-satunya jalan
keluar. Tetapi ia masih belum mengetahui alat rahasia apa saja yang dipasang
dalam gua itu.
Mereka melanjutkan langkah.
Makin ke dalam lorong gua itu makin sempit. Juga sinar penerangannya, makin
gelap. Jika mereka berempat tak memiliki ilmu silat tinggi, pasti tak mampu
melihat keadaan disekeliling.
Kira-kira sepuluh tombak
jauhnya, tibalah mereka di ujung gua. Setelah menyelidiki kian kemari, akhirnya
Cu Kong-leng menunjuk pada sebuah batu hijau yang menonjol di sebelah kiri,
“Itulah alat penggerak pesawat rahasia......”
Tampak ketua Tong-thing-pang
itu yakin akan penemuannya. Setelah memandang bergantian pada Siau-liong, Mawar
Putih dan Tan Ih-hong, ia berkata pula, “Jika memutar alat itu, akan terjadi
dua kemungkinan. Kesatu, akan terbuka sebuah jalan hidup. Dan yang kedua akan terjadi
suatu perobahan yang tak terduga-duga......”
"Serangan ular dan
binatang berbisa?" tanya Tan Ih-hong.
Cu Kong-leng gelengkan kepala,
“Sukar dipastikan. Semburan api mungkin bencana air atau mungkin pula letusan
gunung dan mungkin kita akan terperosok ke dalam lubang penjara tanah!"
Tan Ih-hong terkejut, “Apakah
tak ada lain pesawat penggerak lagi?"
Pun Mawar Putih mendesak juga
supaya Cu Kong-leng memeriksa lagi lebih cermat.
Ketua Tong-thing-pang itu
menurut. Ia menyelidiki sekitar tempat itu dengan seksama. Tapi tetap tak
menemukan suatu apa.
“Ah tak ada lain kecuali yang
itu!" katanya.
Siau-liong tak dapat berkata
apa-apa. Demikian pun Mawar Putih dan Tan Ih-hong.
"Kita akan menurut saja
apa yang dikatakan saudara Kongsun Liong," kata Cu Kong-leng seraya
memandang Siau-liong.
Karena hal itu menyangkut
keselamatan jiwa mereka berempat, Siau-liong tak berani gegabah mengambil
keputusan. Sesaat ia memandang wajah Mawar Putih tetapi dara itupun tak punya
pendapat apa-apa. Ia tertegun diam.
"Saat ini musuh sudah
mengamati gerak-gerik kita. Sekalipun kita diam saja disini, mereka tetap
menyerang. Daripada mati konyol, lebih baik kita putar alat itu.
Untung-untunganlah, mungkin bencana mungkin kebebasan!" akhirnya Cu
Kong-leng menyetujui.
Karena Mawar Putih diam saja
dan ketua Pemakan Ular itu juga hanya celingak-celinguk, akhirnya Siau-liong
menyetujui.
Cu Kong-leng mulai mengangkat
tangan kanannya. Tangannya agak gemetar, butir-butir keringat mengucur dari
dahinya. Hatinya tegang sekali.
Tiba-tiba ketua Pemakan Ular
Tan Ih-hong mendesah pelahan lalu menarik jubahnya yang penuh tambalan itu ke
atas untuk menutup mukanya.
Dalam pada itu tangan Cu
Kong-leng makin menggigil keras. Setelah berhenti sejenak, akhirnya ia menjamah
batu hijau dan menekannya.
Batu marmar hijau itu hanya
sebesar mangkuk. Sekali ditekan terus menyurut masuk.
Keempat orang itu menahan
napas untuk menunggu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara bergetar
dahsyat sehingga tanah dalam gua itu bergoncangan.
Mawar Putih menjerit terus
memeluk dada Siau-liong. Dalam keadaan yang sedemikian tegangnya, dara itu lupa
akan segala susila dan rasa malu.
Tetapi sampai beberapa saat,
belum terjadi sesuatu. Goncangan itupun makin reda. Rupanya berasal dari luar
gua. Setelah itu terdengar suara berderak-derak. Ah, dinding gua sebelah muka
tiba-tiba merekah dan terbuka sebuah jalan lebar.
Cu Kong-leng menghela napas
longgar dan berseru gembira, “Hola, bahaya telah lalu. Hayo kita keluar "
Mawar Putih lepaskan
pelukannya. Dengan wajah tersipu-sipu merah ia memandang Siau-liong lalu
berputar tubuh.
Tan Ih-hong pun membuka tutup
mukanya lalu cepat-cepat mengikuti langkah Cu Kong-leng.
Cu Kong-leng melangkah dengan
hati-hati sekali. Siau-liong cepat menarik Mawar Putih diajak mengikuti orang
she Cu itu.
Lorong jalan itu makin lama
makin lebar dan terang. Kira-kira tiga tombak jauhnya, merupakan sebuah gua
besar menyerupai sebuah ruangan di bawah tanah.
Setelah memandang kesekeliling
Cu Kong-leng berkata, “Penilaianku tadi banyak yang meleset. Pencipta barisan
itu ternyata bukan orang ganas karena masih memberi jalan hidup......”
Tampaknya Cu Kong-leng amat
gembira. Kipas disusupkan kepunggung lagi lalu mengurut-urut jenggot, katanya
pula, “Kini aku pun sudah jelas akan bentuk barisan ini. Tak lain hanya
gabungan antara barisan Pat-kwa dan Thay-kek. Sama sekali bukan seperti yang
kukatakan tadi ialah barisan Tujuh-maut......”
Sambil menunjuk pada kedua
samping dinding gua, ia menerangkan bahwa asal tidak menyentuh dinding itu,
barisan tentu takkan bergerak. Lalu ia menghampiri kemuka dinding gua dan
menunjuk sebuah batu menonjol sebesar telur, serunya, “Inilah alat pembuka dari
jalan ke luar!"
Dengan wajah berseri tawa, ia
segera menekan batu itu. Siau-liong dan Tan Ih-hong sudah mulai menaruh
kepercayaan kepada Cu Kong-leng. Mereka merasa lega.
Setelah batu ditekan, dari
bawah tanah terdengar suara macam kerbau menguak. Sambil tersenyum simpul, Cu
Kong-leng berpaling, "Suara itu berasal dari pergantian antara Pat-kwa
dengan Thay-kek. Begitu peralihan tempat itu selesai, pintu keluar tentu akan
terbuka......”
Baru ia berkata begitu,
sekonyong-konyong terjadi ledakan dahsyat. Kedua dinding gua berderak-derak
merekah. Batu-batu berguguran seperti hujan mencurah sehingga keempat orang itu
tak dapat berdiri tegak.
"Barisan Tujuh Maut....”
serentak Cu Kong-leng menjerit keras.
Tetapi ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena saat itu dari kedua samping dinding gua yang
pecah itu, gelombang air bah melanda dahsyat. Siau-liong berempat
pontang-panting tak dapat berdiri tegak. Beberapa kali Siau-liong berusaha
untuk mempertahankan keseimbangan tubuh tetapi selalu gagal. Air bah yang
membawa pecahan batu melandanya hebat sekali sehingga ia hampir pingsan.
Samar-samar ia masih mendengar
Mawar Putih menjerit memanggilnya, “Siau.... liong.... Siau.... liong....”
Tetapi jeritan dara itu lenyap
ditelan gelombang air bah yang mengamuk dahsyat. Tak mungkin Siau-liong dapat
mendekati Mawar Putih. Yang terdengar tak lain suara teriakan Cu Kong-leng yang
masih memekik-mekik seperti orang gila, “Barisan Tujuh Maut.... pintu
celaka.... air bah....”
Jeritan ketua Tong-thing-pang
itu terputus oleh sebuah ledakan yang dahsyat lagi. Tanah ruang gua itu segera
amblong ke bawah. Keempat orang itu laksana orang yang terlempar ke bawah
jurang. Siau-liong yang memiliki tenaga sakti hebat, tetap tak mampu berbuat
apa-apa.
◄
Y ►
Siau-liong merasa bahwa
dirinya pasti mati dalam barisan Tujuh Maut itu. Dari ketinggian duapuluhan
tombak, ia dihempaskan oleh gelombang air terjun. Ia rasakan sendi tulangnya
seperti remuk dan pada lain saat ia tak ingat apa-apa lagi......
Entah selang berapa lama ia
dalam keadaan pingsan itu. Hanya ketika ia membuka mata ia rasakan tulang
belulangnya seperti pecah dan tenaganya lenyap sehingga tak kuat untuk
mengangkat tangannya.
Otaknya masih berbinar-binar
sehingga tak dapat mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia pun tak
tahu dimanakah saat itu ia berada.
Beberapa saat kemudian,
tiba-tiba ia mendengar langkah kaki orang berjalan mendatangi. Ia terkejut.
Cepat ia loncat bangun. Uh...... kaki dan tangannya serasa tak bertulang lagi.
Ia meronta dan berusaha untuk menggeliat bangun namun tetap sia-sia.
Pada lain saat ia merasa
dahinya telah dielus-elus oleh sebuah tangan yang halus. Sebuah helaan napas
ringan terdengar dan hidung Siau-liong serentak terbaur oleh bau yang harum
semerbak.
Dengan sekuat tenaga ia
berusaha untuk merentang sepasang mata memandang ke muka. Tetapi pandang
matanya masih berkunang-kunang, tak dapat melihat jelas kecuali hanya sesosok
bayangan beraneka bunga.
Tak berapa lama, derap langkah
kaki orang tadi kedengaran pula. Jelas yang datang itu tentu bukan seorang
saja.
Tangan halus itu kembali
menjamah keningnya dan terdengarlah suara yang lemah-lembut, “Hatilah engkau
mengangkatnya bangun!"
Siau-liong rasakan punggungnya
diangkat oleh dua lengan yang halus untuk didudukkan. Karena masih lemah tenaga
dan pikirannya, Siau-liong membiarkan saja dirinya diangkat itu.
Kemudian mulutnya seperti
dingangakan tangan orang lalu dimasuki sebutir pil. Mau tak mau Siau-liong
menelan pil itu juga.
"Hati-hatilah merawatnya!
Jika sudah sadar, panggillah aku," kata orang yang berkata tadi.
Siau-liong dibaringkan lagi di
atas ranjang. Terdengar langkah orang meninggalkan ruang itu. Beberapa kali
orang itu berhenti. Agaknya seperti tak tega meninggalkan Siau-liong.
Pil itu memancarkan aliran
tenaga keseluruh tubuh Siau-liong sehingga ia merasa semangat dan tenaganya
pulih kembali. Cepat ia mengambil napas dan menyalurkan tenaga-murni. Berkat
memiliki dasar tenaga dalam yang kokoh, tak berapa lama tenaga dalamnya sudah
pulang kembali. Segera ia hentikan penyaluran tenaga dalam lalu membuka mata.
Ah...... kiranya dirinya saat
itu berada dalam sebuah ruang tidur yang indah dan berbaring di atas sebuah
ranjang yang harum baunya.
Kamar tidur itu tentu milik
seorang gadis.
Ia terkejut sekali. Ia heran
mengapa dirinya, tiba-tiba berada disitu. Buru-buru ia tenangkan perasaannya
untuk mengenang kembali apa yang telah dialaminya. Akhirnya berhasillah ia
mengingat semua peristiwa.
Diam-diam ia menggigit
lidahnya sendiri sehingga kesadaran pikirannya bertambab terang. Ah, ternyata
ia belum mati. Tetapi serempak itu, pikirannya kacau tak karuan, hatinya amat
cemas sekali. Dimanakah gerangan dua orang itu?
Kegelisahan Siau-liong itu
selain karena hubungannya dengan Mawar Putih yang makin erat, pun juga karena
ia memerlukan sekali tenaga dara itu. Jika Mawar Putih sampai mati, bukankah
selamanya ia bakal tak bertemu dengan ibu kandungnya Dewi Ular Ki Ih?
05.20. Calon Mantu Pemilik
Lembah Maut
Cepat-cepat ia memeriksa
pakaiannya. Ah, ternyata perlengkapan untuk menyaru menjadi Pendekar Laknat
masih berada di dalam baju. Demikianpun separoh Giok-pwe yang diberikan Toh
Hun-ki itu, juga masih ada.
Setelah menenangkan diri,
Siau-liong lalu loncat bangun. Ruangan itu sunyi senyap. Dibawah ranjang
terdapat dua orang pelayan perempuan duduk bersila. Begitu melihat Siau-liong
loncat turun dari ranjang, kedua bujang gadis itu terkejut. Mereka tersipu-sipu
menyongsong.
Siau-liong tetap tak tahu
dimanakah tempat beradanya saat itu. Tetapi ia duga tentulah dirinya ditolong
oleh pemilik ruang tidur itu.
Melihat kedua bujang itu
menghampiri, Siau-liong segera memberi hormat, “Entah siapakah yang telah
menolong diriku?"
Kedua bujang dara itu baru
berumur limabelas—enambelas tahun. Rambutnya dikuncir, mengenakan baju dan
celana hijau daun. Pinggangnya bersabuk sutera hijau gelap.
Kedua bujang dara itu tertawa
dan serempak berseru, “Sudah tentu nona majikan kami!"
Siau-liong terbeliak, “Apakah
nonamu itu......”
"Nanti engkau tentu tahu
sendiri!" tukas salah seorang gadis pelayan.
Siau-liong tak mau bertanya
lebih jauh. Ia lebih memikirkan keselamatan Mawar Putih dan kedua orang itu.
Maka ditanyakanlah hal itu kepada kedua gadis pelayan.
"Tolol! Perlu apa nona
kami menolong lain orang? Yang penting hanya menolong engkau!" kedua gadis
pelayan itu tertawa mengikik.
Diam-diam Siau-liong terkejut.
Tentulah Mawar Putih dan kedua orang itu mengalami bahaya.
Salah seorang gadis pelayan
itu segera mengajak kawannya keluar. Tak berapa lama mereka mengiring seorang
nona yang mengenakan pakaian merah menyala. Dandanannya amat mewah, tak ubah
seperti puteri istana.
Ketika Siau-liong mengawasi
dengan seksama, ia terbeliak kaget. Nona baju merah itu bukan lain adalah gadis
pemilik Lembah Semi atau puteri tunggal dari suami isteri Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka.
Waktu melihat Siau-liong sudah
berdiri didepan ranjang, nona itu tertawa gembira, serunya, “Eh, engkau masih
harus beristirahat dulu, mengapa turun dari tempat tidur?"
Diam-diam Siau-liong kerahkan
tenaga dalam siap akan dihantamkan. Nona itu terkejut. Tetapi pada lain saat ia
tertawa, “Eh, engkau ini bagaimana? Dengan maksud baik kuselamatkan jiwamu,
mengapa engkau memandangku begitu menyeramkan? Apakah...... ah, aku memang
tolol," nona itu menepuk-nepuk dahinya sendiri, "mungkin pikiranmu
masih goncang akibat barisan Tujuh Maut itu. Tetapi jangan kuatir. Engkau
sekarang sudah selamat dan tak ada orang yang berani menganggumu disini......”
Nona itu maju selangkah dan
bertanyakan nama Siau-liong. Siau-liong hendak meledak kemarahannya. Untunglah
saat itu ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi sebagai Pendekar Laknat.
Seharusnya ia bersikap seperti tak kenal dengan nona itu. Begitu pula ia harus
menyadari kedudukannya saat itu.
Mawar Putih belum ketahuan
nasibnya. Kalau andaikata masih hidup tentulah menjadi tawanan orang Lembah
Semi. Demikian pula dengan rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang totiang.
Mereka belum diketahui nasibnya!
Mengingat akan nasib mereka,
seketika Siau-liong merasa beban yang dipikulnya makin berat. Bukan saja
melaksanakan dendam terhadap Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, merehabilitir nama
baik mendiang Pendekar Laknat, mencari ibunya. Pun sekarang tambah lagi dengan
tugas untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka demi menyelamatkan
dunia persilatan.
Timbullah serentak pikiran
Siau-liong.
Ia harus menggunakan siasat
untuk pura-pura bersikap baik terhadap nona pemilik lembah itu. Pelahan-lahan
ia akan menunggu kesempatan untuk bertindak.
Melihat pemuda itu
termenung-menung, nona itu menafsirkan Siau-liong tentu masih belum hilang
kegoncangan hatinya akibat malapetaka barisan Tujuh Maut.
Ia maju dua langkah lagi,
mendorong Siau-liong, “Eh, mengapa engkau ini? Apakah masih gentar?"
Siau-liong terkejut. Buru-buru
ia menyurut selangkah ke belakang, “Ah.... no.... na....”
Nona pemilik lembah itu
tertawa mengikik, tanyanya pula, “Siapakah namamu?"
"Kongsun Liong!"
Dengan mata memancar asmara,
nona itu memandang lekat, ujarnya, “Ih, engkau benar-benar seperti seekor
naga.... naga yang indah."
Tiba-tiba nona itu tempelkan
lengannya ke bahu Siau-liong. Pemuda itu terkejut dan mundur selangkah lagi
dengan wajah kemerah-merahan.
"Eh. engkau
malu-malu?" nona itu tertawa.
Ia terus berpaling dan
menyuruh bujang kedua pergi. Setelah itu ia menarik lengan baju Siau-liong,
“Mari kita duduk bercakap-cakap."
Siau-liong terpaksa menurut
saja.
“Tahukah engkau siapa
namaku?" tanya nona itu dengan memandang lekat.
Siau-liong paksakan tertawa,
“Justeru itu yang hendak kutanyakan."
Nona itu cibirkan bibirnya
tertawa, “Namaku Po Ceng-in, pemilik Lembah Semi ini. Lembah Semi ini pemberian
dari ayah bundaku. Mereka berdua jarang datang kemari!"
Siau-liong hanya mengangguk
saja.
"Karena aku suka memakai
warna merah, ayah bundaku senang memanggilku Siau-hong......,” kata nona itu
dengan sikap manja lalu mendekat dan tempelkan tangannya ke bahu Siau-liong,
“Jika engkau suka, panggillah aku Siau-hong saja......”
"Hm, baiklah!" sahut
Siau-liong terpaksa.
Sambil kicupkan ekor matanya
dengan tingkah yang genit, nona itu mendesak, “Nah, panggillah aku......!” ia
terus rapatkan tubuh ke tubuh Siau-liong.
Karena dua kali didesak,
Siau-liong terdesak ketepi ranjang dan tak dapat menghindar lagi. Untuk
serentak berdiri, ia sungkan. Bingung saat itu hatinya. Sebesar itu, belum
pernah ia duduk merapat begitu rupa dengan seorang gadis.
Wajah Siau-liong merah padam,
mulutnya serasa terkancing tak dapat berkata apa-apa.
Diluar dugaan sikap malu dari
Siau-liong itu malah makin menimbulkan nafsu si nona lebih berkobar.
“Panggillah......” desaknya
dengan pandang penuh asmara.
"Siau.... nona
Siau-hong....” akhirnya Siau-liong paksakan diri memanggil.
Nona itu tertawa mengikik.
"Siau-hong cukup
Siau-hong saja, tak perlu pakai nona. Mengapa nadamu begitu janggal?"
Sejenak ia keliarkan ekor
matanya yang genit lalu menanyakan umur Siau-liong.
"Tujuh belas tahun!"
sahut Siau-liong.
"Ih, sebaya dengan
aku....” tiba-tiba nona itu merah mukanya dan tak melanjutkan berkata lagi.
Diam-diam Siau-liong gelisah.
Ia kuatir nona itu akan tanya ini itu sehingga tiba pada pertanyaan yang ia tak
dapat menjawab. Terlintas pada diri Mawar Putih, cepat ia alihkan pembicaraan.
"Boleh kuketahui
bagaimana nona telah menolong jiwaku?" tanyanya.
"Sebenarnya bukan
menolong dalam arti yang sesungguhnya. Lebih tepat kalau meminta dirimu dari
tangan ayahku!"
Karena tak leluasa untuk
langsung menanyakan diri Mawar Putih, maka Siau-liong bertanya dengan cara
memutar, “Selain diriku, siapa lagi yang nona tolong!"
Nona itu tertawa mengikik,
“Cukup engkau seorang saja. Aku tak peduli lain orang!"
Karena tak berhasil menanyakan
diri Mawar Putih, maka Siau-liong, bertanya pula, “Selain aku masih ada
beberapa orang yang terjerumus dalam barisan itu. Entah bagaimana mereka
sekarang ini......”
Nona itu mendengus hambar,
“Hm, dalam sehari semalam itu telah tertangkap empat lima puluh orang. Siapakah
yang engkau tanyakan itu?"
Terpaksa Siau-liong
menerangkan juga. "Yang seorang adalah Cu Kong-leng ketua Tong-thing-pang,
seorang Tan Ih-hong ketua Pemakan ular dan masih ada lagi seorang gadis
bernama......”
Seketika berobahlah wajah nona
pemilik lembah, tukasnya, “Mengapa engkau begitu menaruh perhatian kepada
mereka?"
Ditatapnya wajah Siau-liong
lekat-lekat lalu bertanya pula, “Apakah engkau datang bersama anak perempuan
itu? kalian......”
"Aku hanya berjumpa
ditengah jalan. Sebelum itu tak kenal mengenal!" buru-buru Siau-liong
menukas.
Nona pemilik lembah itu
mengangguk puas. Namun wajahnya tetap dingin, ujarnya, “Sekali pun gadis dengan
kedua ketua perkumpulan itu tidak mati tetapi mereka dijebloskan ayah ke Lembah
Maut. Barang siapa tak mau menjadi anak buah ayah, tentu akan mengalami nasib
begitu!"
Mendapat keterangan itu agak
legalah hati Siau-liong. Asal Mawar Putih belum meninggal, ia masih mempunyai
harapan untuk menolong.
Kembali mata nona pemilik
lembah itu berkilat-kilat, serunya, “Karena sekarang kita bertemu tentulah
dalam penitisan dahulu kita memang berjodoh. Asal engkau tak memusuhi orang
tuaku, kita tentu dapat......”
Sekalipun nona itu seorang
gadis yang cabul dan tak punya malu, tetapi pada saat mengucap soal-soal
perkawinan, agaknya masih kikuk juga.
Kembali ia memberi kicupan
mata kepada Siau-liong lalu berkata dengan nada gembira, “Dewasa ini ayah-ibuku
sudah merajai dunia persilatan. Hari depan kita tentu penuh kesenangan. Tak ada
seorang manusia dalam dunia yang berani mengganggu kita!"
Siau-liong tak leluasa
menjawab tetapi hatinya amat muak.
Pada saat yang sulit itu,
tiba-tiba terdengar suara langkah orang berhenti didepan pintu. Setelah
batuk-batuk, orang itu berseru, “Nona, nyonya besar datang!"
Siau-liong terkejut. Yang
dimaksud dengan nyonya besar tentulah Dewi Neraka, ibu dari nona pemilik lembah
itu. Diam-diam ia gelisah.
Nona pemilik lembah itu
tertawa riang, “Ah, ibu datang......”
Baru ia berkata begitu,
muncullah seorang wanita tua ke dalam ruang situ.
“Ma......!" nona itu
cepat berseru seraya menghampiri. Ia pun memberi isyarat kepada Siau-liong,
“Lekas, menyambut ibuku!"
Sesaat Siau-liong tak tahu
bagaimana harus bertindak. Untuk membungkuk tubuh memberi hormat kepada Dewi
Neraka, ia muak. Namun kalau tak mempedulikan, ia kuatir akan menimbulkan
kecurigaan orang.
Akhirnya terpaksa ia memberi
hormat dengan segan dan mengucap beberapa patah kata yang tak lampias.
Sejak masuk ke dalam ruangan,
Dewi Neraka memperhatikan sekali diri Siau-liong. Ditatapnya wajah pemuda itu
lekat-lekat, kemudian berpaling kepada puterinya, “Nak apakah engkau
sungguh-sungguh suka kepadanya?"
Nona itu menyahut bisik-bisik,
“Jika tak suka, masakan kuminta dia dibebaskan......” - kemudian dengan suara
agak keras, ia berseru, “Asal mama meluluskan, kami segera......”
“Baik, mama tak keberatan,
asal......” tiba-tiba Dewi Neraka menghampiri Siau-liong dan menghantam kepala
pemuda itu dengan jurus Menghantam-gunung Hoa-san.
Bukan kepalang kejut
Siau-liong. Jurus itu bukan main dahsyatnya dan dilancarkan dalam jarak dekat
secara tak terduga-duga.
Tetapi untunglah Siau-liong
cerdas sekali. Cepat ia dapat mengetahui apa maksudnya. Maka bukan saja tak
menghindar atau menangkis, bahkan ia malah pura-pura terkejut dan
terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah.
"Ma, mengapa engkau ini?
apakah......!" secepat kilat nona pemilik lembah itupun loncat menghadang
ditengah.
Dewi Neraka memang sudah
menghentikan tangannya. Ia membelai-belai rambut anaknya seraya tertawa
mengutuk, “Anak tolol! mama kan hanya hendak mengetahui asal-usulnya
saja!"
Sambil menyandarkan kepalanya
kedada sang ibu dengan sikap kemanja-manjaan, nona pemilik lembah itu berkata,
“Ah, tetapi mama hampir membikin orang kaget setengah mati, sungguh......”
Dewi Neraka memandang
Siau-liong lagi. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah botol kecil diberikan kepada
putrinya, “mama takkan mencampuri urusanmu pribadi, tetapi......” - Tiba-tiba
wajah Dewi Neraka berobah dingin, “Dia bersama rombongan orang-orang yang
memusuhi kita. Harus diberi minum sebutir pil ini dulu......”
"Tidak ma!" nona itu
menolak, “aku tak ingin dia menjadi seorang yang tolol dan linglung pikiran.
Akulah yang menanggung bahwa kelak dia tentu takkan memusuhi ayah dan mama
lagi!"
Dewi Neraka amat menyayang
sekali kepada puterinya itu. Maka ia hanya dapat geleng-gelengkan kepala dan
menghela napas lalu menyimpan botol itu lagi.
Baru ia hendak berkata
apa-apa, tiba-tiba terdengar suara genderang berbunyi gencar.
"Ah, ayahmu mencari aku.
Tentulah sudah mendapat laporan tentang jejak Pendekar Laknat dan wanita Ular
itu......” habis berkata lalu keluar.
Setelah Dewi Neraka pergi,
berkatalah si nona dengan mengulum senyum, “Jangan takut kepada ibuku yang
berwajah seram itu. Sesungguhnya dia baik hati."
Siau-liong mengiakan. Kemudian
ia berkata dengan nada selembut mungkin, “Sudah lama kudengar cerita orang
tentang Pendekar Laknat muncul di dunia persilatan lagi. Sungguh aku ingin
sekali melihat bagaimana perwujudan momok itu. Tadi karena ibumu mengatakan
telah menemukan jejak Pendekar Laknat dan Ki Ih, apakah engkau setuju kalau
secara diam-diam kita ikuti ibumu agar dapat melihatnya?"
Nona itu kerutkan dahi. Sesaat
kemudian ia menjawab, “Eh, mengapa nyalimu mendadak berobah begitu besar? Pada
hal sesungguhnya Pendekar Laknat itu tak lain hanya seorang tua buruk yang
memuakkan!"
Siau-liong mengeluh tetapi
untunglah pada saat itu juga si nona menyusuli kata-kata lagi, “Tetapi baiklah.
Ini merupakan permintaanmu yang pertama kepadaku. Sudah tentu aku tak dapat
menolak."
Nona itu menarik tangan
Siau-liong terus diajak keluar. Sudah dua kali Siau-liong masuk ke dalam Lembah
Semi itu. Tetapi tempat-tempat yang dilalui saat itu, sama sekali belum pernah
didatanginya.
Setelah melintasi tiga buah
jalanan naik turun dan beberapa deret bangunan perumahan, tibalah mereka
disebuah halaman gedung yang luas. Selama dalam perjalanan itu, Siau-liong
selalu memperhatikan dengan seksama. Diam-diam ia merasa kagum atas bangunan yang
diciptakan dalam lembah itu.
Tiba-tiba nona itu menarik
lengan baju Siau-liong suruh pemuda itu berjalan pelahan dulu. Siau-liong
terkejut. Segera ia hentikan langkahnya. Dari dalam ruang besar terdengar suara
orang tertawa.
"Itulah ayahku," si
nona membisiki kedekat telinga Siau-liong. Pada hal Siau-liong memang sudah
mengetahui hal itu.
"Ih, agaknya mereka tidak
membicarakan soal Pendekar Laknat dan Ki Ih," kata nona itu pula seraya
berjingkat-jingkat menghampiri ke bawah jendela belakang.
Saat itu menjelang sore hari.
Dibagian ruang belakang penuh ditumbuhi pohon yang-liu. Dengan hati-hati
Siau-liong mengikuti si nona yang saat itu sudah mengintip dari lobang jendela.
Ternyata dalam ruang gedung
itu terdapat beberapa orang. Kecuali suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi
Neraka, terdapat pula dua orang tetamu. Ketika melihat wajah kedua tetamu itu,
kejut Siau-liong bukan alang kepalang. Ternyata kedua tetamu itu bukan lain
adalah Harimau Iblis dan si Naga Terkutuk.
Saat itu kedengaran Naga Terkutuk
berkata, “Kemunculan saudara ke dunia persilatan, rupanya tiada mempunyai
maksud memusuhi kami berdua saudara. Tetapi......”
Naga Terkutuk yang bertubuh
tinggi kurus dan mengenakan jubah warna kuning, pinggang menyelip sebatang
ruyung lemas itu, sejenak melirik ke arah saudaranya, Harimau Iblis.
Kemudian ia menatap pula tuan
rumah dengan pandang mata penuh keserakahan, “Asal saudara suka membagi harta
pusaka itu kepada kami, kami tentu akan membantu cita-cita saudara untuk
menguasai dunia persilatan!"
Iblis Penakluk-dunia serentak
berbangkit lalu berjalan mondar-mandir sambil mendukung kedua tangannya.
Wajahnya yang seram tampak makin menyeramkan.
"Memang tak sukar untuk
membagi harta pusaka itu," akhirnya ia menjawab. Setelah berbatuk-batuk
sejenak, ia melanjutkan pula, “Tetapi......” ia paksakan tertawa menyeringai.
"Tetapi bagaimanakah cara
kita membagi kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong itu?"
Tio Sam-hong adalah pendiri
dari partai Bu-tong-pay. Apabila kitab pusaka itu benar buah karya Tio Sam-hong,
tentulah merupakan kitab yang memuat ilmu pelajaran pedang sakti. Merupakan
sebuah kitab pusaka yang tiada keduanya dalam dunia persilatan!
Harimau Iblis yang sejak tadi
hanya diam saja, saat itu sekonyong-konyong berteriak menggeledek, “Masing-masing
mendapat separoh bagian, apakah sukarnya?"
Seketika berobahlah wajah
Iblis Penakluk-dunia. Hampir meledaklah kemarahannya tetapi pada lain saat ia
dapat menindas lagi emosinya. Ia mengulum senyum tetapi tak berkata apa-apa.
Adalah Dewi Neraka yang
serentak berbangkit dan berkata dengan nada dingin, “Jika saat ini merundingkan
tentang cara membagi harta pusaka, rasanya masih terlalu pagi......”
Sejenak memandang ke arah
kedua tetamunya, wanita itu melanjutkan, “Separoh bagian dari Giok-pwe itu
masih berada ditangan Pendekar Laknat. Jika tak dapat menemukan jejaknya, tak
mungkin kita membicarakan soal pembagian harta itu. Ibarat orang melihat
rembulan dalam air alias omong kosong belaka!"
Tiba-tiba Naga Terkutuk
tertawa gelak-gelak, “Bukankah Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih sudah
terperangkap dalam barisan Tujuh Maut lembah ini? Masakan mereka mempunyai
sayap terbang ke angkasa?"
Iblis Penakluk-dunia gelengkan
kepala: “Berbicara tentang peristiwa itu tentulah saudara berdua takkan
percaya. Bahkan kami berdua suami isteri pun benar-benar tak mengerti!"
Sejenak berhenti ia
melanjutkan pula, “Seluruh penjuru, setiap pelosok dan segenap ujung dari
barisan Tujuh Maut itu telah kami periksa dan selidiki, tetapi kedua orang itu
hilang tiada berbekas."
Mendengar itu Harimau Iblis
hanya tertawa dingin, “Ho, benar-benar suatu hal yang tak mungkin!"
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
pun tertawa, “Sekali pun Pendekar Laknat dan Dewi Ular lenyap tetapi diantara
sekian banyak tokoh persilatan yang tertangkap itu, terdapat seorang pemuda dan
seorang gadis!"
Mendengar itu Naga Terkutuk
dan Harimau Iblis serempak berbangkit.
"Siapakah kedua muda mudi
itu?" tanya Naga Terkutuk seraya memandang tuan rumah dengan tajam.
Iblis Penakluk-dunia tertawa,
“Kalau kukatakan, saudara berdua tentu akan kecewa. Mereka berdua tak lebih
dari anak-anak muda yang masih ingusan!"
Naga Terkutuk mendengus lalu
duduk lagi. Sementara Harimau Iblis tampak merenung dan berkata seorang diri,
“Ah, tetapi masa ini tak boleh disamakan dengan masa duapuluh tahun yang lalu.
Diantara kalangan muda, terdapat juga yang sakti......”
"Dimanakah mereka
sekarang?" tanyanya kepada Iblis Penakluk-dunia.
Jawab Iblis Penakluk-dunia,
“Yang perempuan sudah dimasukkan dalam Lembah Maut dan yang lelaki......” —
tiba-tiba ia melambai ke arah luar jendela dan berseru keras, “Hai, masuklah
kalian!"
Mendengar itu Siau-liong
terbeliak kaget. Tetapi karena jejaknya sudah ketahuan, apa boleh buat,
terpaksa ia melangkah masuk. Nona pemilik lembah pun segera mengikuti
dibelakangnya.
“Ada keperluan apakah ayah
memanggil kami berdua?" begitu masuk si nona segera berseru kepada
ayahnya, Iblis Penakluk-dunia.
Mata Iblis Penakluk-dunia
berkilat-kilat memandang Siau-liong. Melihat itu si nona menjadi gelisah.
Buru-buru ia berseru kepada ibunya, Dewi Neraka, “Ma......”
Dewi Neraka tersenyum, “Budak
tolol! Mama kan berada disini, mengapa engkau kuatir?"
Naga Terkutuk loncat dari
tempat duduknya dan menghampiri Siau-liong diamatinya pemuda itu dari ujung
kaki sampai ke atas kepala Kemudian ia tertawa gelak-gelak: "Ho, kami tak
tahu kalau saudara sudah mendapat menantu......”
Naga Terkutuk alihkan pandang
matanya ke arah nona pemilik lembah lalu berseru dengan nada mengejek, “Nona
Po, ilmumu merawat diri benar-benar luar biasa hebatnya. Meskipun engkau sudah
berumur lebih dari empatpuluh tahun, tetapi kelihatannya...... seperti seorang
gadis yang baru berumur duapuluhan tahun. Benar-benar sepadan menjadi pasangan
dari engkoh kecil ini......”
Seketika berubahlah wajah Po
Ceng-in, nona pemilik lembah itu.
"Siapakah yang
memberitahukan umurku kepadamu?" teriaknya melengking.
Naga Terkutuk tertawa nyaring,
“Kuingat dahulu ketika pertama kali datang ke lembah ini, engkau mengaku
berumur duapuluh tahun. Sekarang setelah dua puluh tahun lagi aku kemari,
masakan salah kalau kukatakan engkau berumur empatpuluh tahun itu?"
Merah padamlah selebar muka Po
Ceng-in. Dipandangnya Naga Terkutuk itu dengan mata berapi-api dan tubuh
menggigil. Seolah-olah hendak menelannya......
Dewi Neraka serentak berdiri
seraya. menghujamkan tongkatnya kelantai. Wajahnya membesi. Tetapi ketika
melangkah dua tindak, ia mendengus untuk menekan kemarahannya. Ditariknya tubuh
Po Ceng-in ke sisinya dan dihiburnya, “Kemarilah anakku, jangan pedulikan iblis
tua itu!"
Naga Terkutuk cepat mengangkat
kedua tangannya menghaturkan maaf kepada kedua suami isteri seraya tertawa,
“Maafkan, maafkan!"
Sekonyong-konyong wajahnya
membengis dan berpaling membentak Siau-liong, “Budak, siapa namamu? Berapa
umurmu sekarang?"
Demi menyelamatkan keadaan,
sudah beberapa kali Siau-liong harus menekan kemarahan. Tetapi kali ini karena
diperlakukan begitu oleh Naga Terkutuk, ia tak dapat menahan diri lagi.
"Meskipun umurku baru
belasan tahun tetapi aku sudah dewasa. Siapa yang engkau sebut ‘budak’
itu!" ia balas membentak.
Naga Terkutuk seorang momok
yang garang dan congkak. Entah beberapa sudah tokoh-tokoh persilatan yang jatuh
ditangannya. Sudah tentu ia tak dapat menerima perlakuan yang diunjuk
Siau-liong, seorang anak muda yang dianggapnya masih ingusan.
Dipandangnya Siau-liong dengan
tertawa dingin, “Umurku sudah delapanpuluh delapan tahun. Jika mempunyai cucu,
tentu juga lebih besar dari engkau. Pula dalam kedudukanku dikalangan
persilatan, bukanlah suatu hinaan kalau kupanggilmu dengan sebutan budak!"
Habis berkata ia segera
menampar bahu Siau-liong. Tampaknya tamparan itu amat pelahan dan sepintas
pandang hanya sebagai suatu peringatan dari orang tua terhadap anak muda.
Tetapi sesungguhnya tepukan itu merupakan gerak Naga-sakti-mencakar yang
dahsyat.
Siau-liong tegak
termangu-mangu......