Pendekar Laknat Jilid 11-20

Pendekar Laknat Jilid 11-20

Wajah dara itu makin rawan, katanya lebih lanjut, “Sejak kecil aku sudah sebatang kara. Adalah suhuku yang merawat dan memelihara diriku sampai besar. Kami tinggal di sebuah pulau kecil. Karena tak bercocok tanam, sejak kecil aku membantu suhu berburu dan mencari ikan. Cara membakar daging tadi, pun aku belajar dari suhu."

"Mengapa engkau tinggalkan suhumu dan seorang diri......”

"Aku hendak membalas dendam untuk suhu!" tukas Mawar Putih geram.

Siau-liong terbeliak memandang dara itu, tanyanya, “Mengapa nona tak datang bersama suhu nona? Apakah beliau tega......?”

"Suhu sedang sakit....” sahut Mawar Putih dengan nada sumbang. Dua butir air mata menitik dari sudut matanya, "suhu mengatakan bahwa penyakit yang diindapkannya itu tak mungkin sembuh. Yang beliau selalu ingat adalah dendam darahnya. Karena suhu sudah mewariskan seluruh kepandaiannya kepadaku, maka sudah selayaknya aku yang membalaskan dendam itu. Akan kubawa kepala orang itu kehadapan suhu!"

Siau-liong tertarik perhatiannya. Tetapi ia tak dapat menemukan kata-kata untuk menghibur dara itu. Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa tujuan dara itu menyangkut juga asal-usul dirinya. Rasa haru Siau-liong makin meluap. Iapun kucurkan beberapa titik air mata.

"Eh, mengapa engkau juga menangis?" Mawar Putih hentikan sedunya dan tertawa menegur.

Siau-liong tertegun. Ia heran mengapa secepat itu si dara sudah mengganti tangis dengan senyum tawa. Terpaksa iapun ikut tertawa.

"Siapakah musuhmu?" tanyanya.

Dengan geram Mawar Putih menyahut, “Ketua partai Kong-tong-pay To Hun-ki bersama keempat Su-lo!"

Siau-liong termangu. Mengapa terjadi peristiwa yang begitu kebetulan sekali! Toh Hun-ki adalah musuhnya besar karena telah membunuh ayahnya. Mengapa musuh besar si dara itu juga To Hun-ki?

"Apakah suhumu seorang pria atau wanita?" tanyanya agak ragu.

“Sudah tentu wanita!"

“Mengapa suhumu bermusuhan dengan Toh Hun-ki?"

Dara itu kicupkan gundu matanya, “Pertanyaanmu terlalu jauh! Apakah engkau hendak mengetahui peristiwa itu sejelasnya? Apa perlumu?"

Siau-liong menghela napas, “Ah, terus terang saja, Toh Hun-ki itu juga musuhku besar!"

Mawar Putih terbeliak dan menatapnya. Beberapa jenak kemudian, ia berkata, “Sungguh kebetulan sekali. Kita dapat bekerja sama."

Siau-liong mendengus dan merenung. Kemunculan Ki Ih kedunia persilatan lagi untuk mencari balas kepada Kong-tong-pay, setiap orang persilatan sudah mengetahui semua. Apalagi ia sendiripun sudah menyaksikan wanita sakti itu. Walaupun setiap kali belum berhasil menerangkan kepada wanita itu, namun ia percaya bahwa wanita sakti itu tentulah Coa-sik Se-si Ki Ih.

Tetapi aneh sekali! Mengapa Mawar Putih mengatakan bahwa suhunya sedang sakit dirumah? Kalau begitu, jelas guru Mawar Putih ini tentu bukan Ki Ih. Habis kalau bukan Ki Ih, siapakah sesungguhnya guru dara itu? Mengapa ia juga mempunyai dendam sakit hati kepada Kong-tong-pay.

"Nona, aku hendak bertanya kepadamu!"

"Silahkan!"

"Siapakah nama suhumu itu....?”

Mawar Putih terdiam sejenak baru menjawab, “Tiada gunanya kuberitahukan nama suhuku. Beliau bernama Aminah si Boneka-cantik dari Persia!"

"Apa?" Siau-liong menegas kejut.

"Aminah Pasilia!"

"Nama yang aneh dan sukar diingat serta tak sedap didengar," kata Siau-liong.

Mawar Putih deliki mata, “Apa? Engkau berani menghina nama suhuku?"

Dara itu terus berbangkit hendak pergi. Siau-liong menyesal dan buru-buru minta maaf.

Saat itu hari sudah terang tanah. Cuaca cerah. Mawar Putih melangkah pelahan-lahan sambil kerutkan alis, berkata, “Sekarang hendak kemanakah kita ini? Kita tak dapat terus tinggal di biara bobrok ini!"

Sesaat Siau-liong pun tak dapat menentukan arah tujuannya. Dia hendak membalas dendam. Hendak mencari ibunya. Hendak mengangkat nama Koay suhu dalam dunia persilatan. Hendak mengembangkan kewibawaan partai pengemis. Hendak merebut separoh bagian dari Giok-pwe yang berada ditangan Soh-beng Ki-su. Hendak mencari orang baju hitam yang misterius di dalam Lembah Semi......

Banyak nian pekerjaan yang direncanakan tetapi ia bingung untuk memulai yang mana dulu. Tiba-tiba ia teringat akan Tiau Bok-kun. Sikap dan tingkah laku nona itu penuh dengan kehalusan yang mesra sehingga ia tersentuh dengan suatu perasaan. Perasaan yang selama ini belum pernah dialaminya.

Benar racun dalam tubuh nona itu sudah dapat disumbatnya tetapi jika tak diobati tepat pada waktunya, nona itu tetap terancam bahaya cacat. Adakah Toh Hun-ki pegang janji untuk membawa si nona ke Siok-ciu mencari obat?

Andaikata Toh Hun-ki benar-benar pegang janji, tetapi seorang nona yang sebatang kara tentu berbahaya sekali mengembara di dunia persilatan. Misalnya, jika bertemu dengan tokoh sejahat Soh-beng Ki-su, bukankah sukar untuk membayangkan nasib nona itu?

Lama merenung tiba-tiba ia menertawakan dirinya sendiri. Ia baru kenal dengan nona itu, mengapa ia mewajibkan diri untuk memikirkan nasib nona itu? Bukankah di dunia terdapat banyak sekali nona yang bernasib begitu? Apakah ia harus memikirkan nasib mereka semua?

Namun betapapun juga, tetap ia merasa masih terlekat dengan beban kewajiban itu. Selama belum terlaksana, ia merasa masih belum himpas.

"Aku hendak ke Siok-siu, apakah engkau......”

"Baik, aku menurut kemana saja engkau pergi!" tukas Mawar Putih terus mendahului melangkah keluar.

Siau-liong terpaksa mengikuti.

Karena tak kenal jalan mereka hanya menurutkan aliran anak sungai itu menuruni lamping gunung. Pada saat melintasi dua buah puncak, pada gerumbul pohon disebelah muka. Tampak beberapa sosok tubuh tengah lari menyongsongnya.

Buru-buru Siau-liong menarik Mawar Putih bersembunyi dibalik batu besar.

Cepat sekali orang-orang itu sudah tiba dua tombak jauhnya dari tempat Siau-liong. Yang dimuka sendiri, mengenakan jubah biru, jenggot panjang sampai kedada, mencekal sebatang tongkat Kumala Hijau. Ah, itulah si Jenggot-perak To Kiu-kong, ketua partay Kay-pang. Dibelakangnya mengiring Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan si Pincang kiri Tio Tau serta Pincang kanan Li Ki.

Siau-liong cepat loncat keluar, “Kiu-kong, lama kita tak berjumpa!"

To Kiu-kong dan rombongannya terkejut. Tetapi mereka girang bukan kepalang setelah mengetahui siapa penghadangnya itu. Serta-merta mereka berlutut memberi hormat, “Cousu-ya."

Siau-liong mengangkat bangun To Kiu-kong dan suruh yang lain-lain berdiri.

“Partai kita dapat berdiri tegak dalam pergolakan dunia persilatan adalah karena selama ini sekalian anak murid taat pada disiplin partai. Maka kumohon Cousu-ya jangan keliwat merendah diri," kata To Kiu-kong.

Sesungguhnya Siau-liong merasa sungkan menerima penghormatan yang berlebih-lebihan dari To Kiu-kong serta tokoh-tokoh Kay-pang yang lain. Mereka jauh lebih tua dari dirinya. Dan sekalipun sudah diangkat sebagai ketua, namun Siau-liong tak mengerti tentang peraturan partai itu. Ia hanya manda tersenyum mendengar ucapan To Kiu-kong itu.

Kemudian To Kiu-kong menerangkan bahwa selama beberapa hari ini, ia bersama rombongan, berusaha mencari Siau-liong. Sungguh tak diduga kalau mereka akan bertemu disitu.

Siau-liong terpaksa merangkai cerita tentang dirinya selama beberapa hari itu. Untunglah To Kiu-kong tak menanya lebih jauh.

“Dewasa ini dunia persilatan telah dilanda bahaya. Tokoh-tokoh sakti dari berbagai partai persilatan berbondong-bondong datang ke Jwan-lam....”

Berhenti sejenak, ketua Kay-pang itu melanjutkan pula, “Iblis Penaluk dunia, Dewi Neraka pun kabarnya telah berada dalam lembah Semi digunung Tay-liang-san. Partai-partai persilatan telah menerima surat undangan dari kedua suami isteri momok itu supaya pada pertengahan musim rontok, datang ke lembah Semi guna mengadu kepandaian. Aku sendiripun telah menerima undangan itu juga......” ia mengeluarkan sebuah sampul lalu diserahkan kepada Siau-liong.

Siau-liong menyambuti. Dilihatnya undangan itu hanya selembar sutera pesegi sebesar sapu tangan, diberi tulisan berbunyi:

Untuk merayakan malam Tiong-jiu yang indah, kami undang saudara suka menghadiri perjamuan yang kami selenggarakan dilembah Semi dengan acara: MENGADU KEPANDAIAN DENGAN MENDAPAT HADIAH GIOK-PWE. Bila terlambat atau tidak datang, terpaksa akan kami larang saudara bergerak di dunia persilatan.

Tertanda: Iblis Penaluk Dunia Dewi Neraka.

"Hal ini sudah kuketahui," Siau-liong tertawa dingin seraya mengembalikan surat itu.

“Pada hematku," kata To Kiu-kong, "tujuan dari kedua momok itu tak lain adalah hendak merebut separoh bagian dari Giok-pwe. Dan kedua kalinya, mereka hendak menjaring semua tokoh-tokoh persilatan, menghancurkannya lalu menguasai dunia persilatan. Asal salah satu dari rencana itu berhasil, tentulah dunia persilatan akan terancam bahaya banjir darah. Iblis dan durjana akan menguasai dunia persilatan!"

Siau-liong tertawa, “Orang kuno mengatakan bahwa 'Kejahatan selalu kalah dengan Kebenaran'. Sekalipun ganas sekali rencana kedua momok itu, tetapi tak mungkin mereka berhasil menentang seluruh dunia persilatan!"

To Kiu-kong amat mengindahkan sekali kepada Siau-liong yang dianggapnya sebagai kakek guru Kay-pang. Ia hanya mengiakan saja.

“Masih ada sebuah hal lagi yang hendak kulaporkan kepada Cousu-ya," kata To Kiu-kong.

“Katakanlah," seru Siau-liong.

"Beberapa hari yang lalu, Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay telah dijebak oleh Soh-beng Ki-su. Tetapi entah bagaimana ketua Kong-tong-pay itu telah ditolong oleh Pendekar Laknat. Sungguh mengherankan sekali mengapa sekarang Pendekar Laknat berbeda sekali dengan duapuluh tahun yang lalu. Perangainya berobah jauh lebih baik......"

To Kiu-kong berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Kabarnya Pendekar Laknat sudah bertempur dengan Iblis Penaluk dunia. Keduanya sama-sama terluka parah."

Sesungguhnya peristiwa itu telah diketahui Siau-liong tetapi ia tak leluasa menerangkan. Ia hanya menanyakan adakah To Kiu-kong hendak memberi laporan lain lagi.

"Ya, mengenai nona Tiau Bok-kun," Kata To Kiu-kong, "nona itupun ditolong Pendekar Laknat dilembah Semi. Sekarang sedang diantar Toh Hun-ki berobat ke Siok-ciu......”

Kemudian ketua Kay-pang itu menerangkan lebih lanjut bahwa racun ditubuh nona itu sudah dapat dikeluarkan dan ia telah suruh anak buah Kay-pang untuk menjaga dan merawat nona itu dirumah penginapan.

“Tahukah engkau kemana perginya Toh Hun-ki,” tiba-tiba Mawar Putih menyeletuk.

To Kiu-kong tergugu. Setelah memandang ke arah Siau-liong, ia menyahut, “Aku dan Toh Hun-ki bergantian meninggalkan Siok-ciu. Kemungkinan saat ini dia sedang menuju ke puncak Ngo-siong-nia!"

Kemudian ketua Kay-pang itu memberi laporan lebih lanjut, “Saat ini dalam kota Siok-ciu telah berkumpul banyak sekali tokoh-tokoh persilatan. Karena kuatir didengar orang, maka ketua Bu-tong-pay It Hang totiang, tokoh ketiga Kun-lun sam-cu dari partai Kun-lun-pay dan rombongan lain, bergegas menuju ke puncak Ngo-siong-nia. Mereka hendak mengatur rencana untuk menghadapi iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka......”

Mawar Putih menyeringai lalu mendengus, “Tak perlu mengoceh begitu banyak! Dimana puncak Ngo-siong-nia itu?"

To Kiu-kong kerutkan dahi. Ia heran mengapa dara itu begitu bengis. Tetapi karena sidara kawan Cousu-ya mereka, terpaksa To Kiu-kong bersabar. Sahutnya, “Kira-kira dua puluh li dari sini, terdapat sebuah puncak gunung yang penuh ditumbuhi pohon Siong-pik!"

Diam-diam Siau-liong tahu kalau Mawar Putih tentu salah paham kepadanya. Tetapi dihadapan tokoh-tokoh Kay-pang, ia tak leluasa memberi penjelasan. Maka iapun diam saja atas sikap kasar dari dara itu terhadap To Kiu-kong. Walaupun sudah berulang kali ia memberi isyarat, tetapi si dara tetap tak mengacuhkan.

Demikian pun Pengemis Tertawa dan si Pincang-kanan dan si Pincang-kiri. Mereka diam-diam heran mengapa Cousu-ya mereka selalu galang-gulung dengan beberapa gadis yang tak keruan.

"Mari kesana!" Mawar Putih terus menarik lengan Siau-liong.

Siau-liong tertawa, “Eh, apakah nona hendak pergi....”

Mawar Putih deliki mata, “Sudah tentu ke puncak Ngo-siong-nia untuk mencari To Hun-ki! Bukankah engkau mengatakan bahwa engkau pun mempunyai dendam sakit hati tak mau hidup bersama manusia itu?"

Sesaat Siau-liong tak dapat menjawab. Memang pada akhirnya kelak ia tentu akan membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu. Tetapi bukan pada saat itu ia harus menuju ke Ngo-siong-nia dan membunuh mereka.

Melihat Siau-liong ragu-ragu, Mawar Putih tertawa mengejek, “Hm, agaknya aku telah keliru menilai orang. Lekas pergilah engkau ke Siok-cu menjenguk gadis kekasihmu itu!"

Habis berkata dara itu terus berputar tubuh dan hendak melangkah.

“Nona Pek! nona Pek....!" seru Siau-liong gugup.

Tetapi tak dipedulikan Mawar Putih. Dara itu bahkan terus gunakan ilmu lari cepat menuju ke timur.

Siau-liong bimbang, mengejar atau membiarkannya. Selagi dia masih belum mengambil keputusan, gadis itu sudah lenyap dari pandangan mata.

To Kiu-kong dan rombongannya terbeliak heran tetapi tak berani bertanya. Dan lama sekali Siau-liong masih memandang ke arah bayangan Mawar Putih.

To Kiu-kong saling berpandangan dengan Pengemis Tertawa, lalu berbatuk-batuk, ujarnya,

“Adakah nona itu dengan Cousu-ya....?”

Siau-liong tersadar. Cepat ia menukas tertawa, “Tak ada hubungan dan sebelumnya pun tak kenal....”

Kemudian ia alihkan pembicaraan dengan menanyakan tujuan To Kiu-kong dan kawan-kawan.

To Kiu-kong tertegun lalu menyahut dengan serius, “Tadi telah kulaporkan kepada Cousu-ya bahwa It Hang totiang ketua Bu-tong-pay telah mengajak beberapa tokoh persilatan mengadakan pertemuan rahasia dipuncak Ngo-siong-nia. Mereka hendak merundingkan rencana menghadapi kedua durjana iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka. Karena tak dapat menemukan Cousu-ya maka aku terpaksa melancangi untuk menerima undangan itu. Beruntung disini kami dapat menjumpai Cousu-ya."

Siau-liong kerutkan dahi, ujarnya, “Apakah Toh Hun-ki dan rombongannya juga hadir kesana."

To Kiu-kong mengangguk, “Rasanya saat ini tentu sudah tiba disana."

Siau-liong terkejut, serunya, “Kalau begitu kita harus cepat-cepat kesana, kalau tidak......” ia tak lanjutkan kata-katanya. Rupanya ia merasa kurang leluasa.

To Kiu-kong seorang yang banyak pengalaman. Ia hanya tersenyum, “Tak mungkin dapat mendahului kita tiba dipuncak itu......” ia memandang Siau-liong lalu melanjutkan pula, “Puncak Ngo-siang-nia itu amat berbahaya sekali. Sekelilingnya lembah-lembah yang disebut Lembah Sembilan lingkaran. Jika tak paham, tentu tersesat. Apa lagi saat ini disekitar lembah itu telah dijaga ketat oleh murid-murid Go-bi-pay dan anak buah Kay-pang......”

Siau-liong mengangguk. Tetapi diam-diam ia gelisah karena menguatirkan keselamatan si dara. Demikianlah mereka segera menuju ke puncak Ngo-siong-nia.

Sesungguhnya jarak dua puluh li itu dapat ditempuh dalam waktu setengah jam saja. Tetapi karena jalanan sukar dan To Kiu-kong tak henti-hentinya memberi petunjuk keadaan tempat itu kepada Siau-liong, maka mereka berjalan agak lambat. Kurang lebih sejam barulah mereka tiba di puncak itu.

Memang apa yang dikatakan To Kiu-kong benar. Keadaan puncak amat berbahaya dan sulit sekali jalanannya. Jika tak paham pasti tersesat. Pula pada setiap tikung dan tempat yang berbahaya tentu dijaga oleh anak buah Kay-pang serta imam jubah kelabu.

To Kiu-kong paham benar dengan keadaan tempat itu. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia menerima hormat dari anak buah Kay-pang yang ditugaskan berjaga disitu.

Bermula Siau-liong mengira bahwa di atas puncak tentu terdapat biara atau kuil. Tetapi ternyata dugaannya itu keliru. Puncak gunung merupakan sebuah hutan lebat.

Setiba di tepi hutan, To Kiu-kong segera bersuit nyaring. Beberapa puncak pohon siong tampak bergerak-gerak dan sesaat kemudian beberapa sosok tubuh meluncur turun. Mereka segera berjajar menghadang To Kiu-kong.

Y

Ternyata yang turun dari puncak pohon itu empat orang imam yang masing-masing mencekal golok kwat-to. Salah seorang yang dimuka adalah seorang imam tua, berjenggot panjang menghunus sebatang pedang.

Setelah memberi salam dengan anggukan kepala imam tua itu berseru kepada To Kiu-kong,

“Ketua kami dan beberapa cianpwe sudah lama menunggu kedatangan. Selekas saudara tiba, pertemuan segera dimulai. Tetapi...... ia beralih memandang Siau-liong lalu berkata, “Pertemuan ini menyangkut kepentingan dunia persilatan. Ketua kami telah memberi perintah, yang tak menerima undangan tak diperbolehkan hadir. Saudara ini......”

To Kiu-kong cepat maju selangkah dan memberi hormat, tukasnya, “Adalah Cousu-ya kami......”

Kemudian ia memberi keterangan kepada Siau-liong: “Saudara-saudara ini adalah anak murid dari It Hang totiang ketua Bu-tong-pay dan Ki Ceng siansu ketua Go-bi-pay. Karena belum kenal pada Cousu-ya maka meminta keterangan."

"Tak apalah," kata Siau-liong.

Imam tua itu terkesiap. Setelah saling bertukar pandang dengan ketiga kawannya lalu memandang lagi kepada Siau-liong, kemudian mundur beberapa langkah, “Silahkan!"

To Kiu-kong mempersilahkan Siau-liong berjalan dimuka, ia dan Pengemis Tertawa mengiring dibelakangnya.

Hutan itu seluas berpuluh tombak dan amat lebat sekali sehingga sesuai dijadikan tempat perundingan rahasia.

Menyusup sejauh sepuluhan tombak, tiba-tiba pemandangan disitu tampak terang. Ternyata sebelumnya, berpuluh-puluh batang pohon telah ditabas sehingga tersedia sebuah tanah lapang yang cukup luas.

Ditengah tanah lapang itu tampak hadir tigapuluhan orang lebih. Terdiri dari paderi, imam dan orang biasa. Pada umumnya mereka sudah berusia limapuluh tahun ke atas. Sikapnya angker.

Imam tua yang duduk ditengah-tengah, berjenggot putih menjulai kedada dan punggung menyanggul sebatang kebut pertapaan segera berbangkit menyambut kedatangan To Kiu-kong.

"Atas nama sekalian hadirin, kuucapkan selamat datang!" ia terus tersipu-sipu menyongsong.

To Kiu-kong segera memperkenalkan diri Siau-liong, sebagai Cousu-ya dari partai Kay-pang.

“Aku yang rendah bernama Kongsun Liong," Siau-liong memperkenalkan diri.

Ternyata imam yang sikap dan wajahnya berperbawa seperti seorang dewa itu adalah It Hang totiang, penyelenggara dari pertemuan. Ketua Bu-tong-pay itu terkesiap lalu memaksa diri bersenyum, ujarnya, “Kalau begitu saudara tentulah ahli waris dari Pengemis Tengkorak Song locianpwe?"

Siau-liong mengiakan.

It Hang menatap wajah Siau-liong dengan penuh keheranan lalu menyisih kesamping mempersilahkan To Kiu-kong dan rombongan masuk.

Sekalian tokoh yang hadir disitu tampak duduk diam. Tetapi seluruh pandang mata mereka tercurah pada diri Siau-liong. Rata-rata mereka sudah berumur setengah abad. Hanya Siau-liong seorang saja yang masih muda.

Agaknya Siau-liong pun merasakan kekakuan suasana disitu. Tetapi karena menyadari bahwa saat itu dirinya sebagai ketua Kay-pang, terpaksa ia menekan perasaannya. Setelah masuk, iapun terus duduk diantara mereka.

Ternyata yang hadir disitu adalah tokoh-tokoh ternama, antara lain: Ketua Siau-lim-si, Ti Gong taysu. Ki Ceng siansu ketua Go-bi-pay, Ciang Bu-seng ketua partai Tiam-jong-pay, It-bi-cu, Sam-ki-cu, Bu-wi-cu tiga serangkai dari partai Kun-lun. Lam Leng lojin dari partai Thian-san-pay. Tan I-hong pemimpin Ji-tok-kau. Cu Kong-leng ketua Tong-thing-pang. Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari partai Kong-tong-pay. Ditambah lagi dengan It Hang totiang ketua Bu-tong-pay dan anak buah Kay-pang serta beberapa tokoh persilatan yang berilmu tinggi.

Benar-benar merupakan suatu pertemuan yang megah dan hebat.

Setelah rombongan To Kiu-kong duduk, It Hang totiang segera membuka pertemuan, "Dewasa ini suasana dunia kacau, dunia persilatan timbul berbagai peristiwa. Beberapa durjana muncul kembali. Dimana-mana terjadi pembunuhan berdarah. Merupakan suatu bencana yang sejak berpuluh-puluh tahun baru timbul kembali......”

Tiba-tiba diantara hadirin terdengar orang batuk-batuk, serunya, “Harap toheng suka menunggu sebentar. Aku hendak mohon sedikit penjelasan tentang sebuah hal."

Ternyata yang bicara itu adalah Lam Leng lojin yang terkenal sebagai Thian-san it-soh atau orang tua dari gunung Thian-san. Tubuhnya kurus kecil, sepasang matanya berkilat-kilat penuh perbawa. Dan memelihara jenggot seperti jenggot kambing. Tingginya kurang dari satu setengah meter, tetapi nada suaranya bergema nyaring sekali.

It Hang totiang hentikan pidatonya lalu mempersilahkan orang tua dari gunung Thian-san itu mengajukan pertanyaan.

Lam Leng lojin memberi hormat lalu berseru. "Sungguh suatu tindakan yang amat terpuji dari totiang untuk mengundang sekalian tokoh-tokoh persilatan berunding untuk menghadapi ancaman yang akan menimpa keselamatan dunia persilatan. Pertemuan ini bersifat rahasia. Oleh karena itu, sekalian orang yang hadir harus diketahui asal-usulnya dengan jelas. Kita harus menyadari bahwa kedua durjana itu, licin dan banyak tipu muslihatnya. Apabila pertemuan ini sampai bocor, pasti akan mengakibatkan kebinasaan pada dunia persilatan. Dalam hal ini kumohon totiang suka waspada!"

Habis berkata orang pendek kurus dari Thia-san itu memandang ke arah Siau-liong lalu duduk kembali.

Walaupun tak jelas menyebut nama tetapi isyarat mata Lam Leng lojin itu segera dapat ditangkap. Seluruh hadirin memandang ke arah Siau-liong.

Siau-liong pun tahu hal itu. Tetapi karena orang tak terang-terangan menyinggung dirinya pula ia tak mau cari perkara, terpaksa ia diam saja.

It Hang totiang mengangguk pelahan.

"Lam-heng benar, tetapi aku sudah mengadakan persiapan. Sekalipun ada orang luar yang menyelundup, dia pasti tak mampu lolos dari pengamatan para kawan-kawan dan tak mungkin keluar dari puncak Ngo-siong-nia ini....”

Habis berkata pimpinan pertemuan itu tertawa dingin dan sejenak memandang ke arah Siau-liong lalu berkata pelahan-lahan, “Sekarang yang penting adalah untuk menentukan suatu rencana....”

Sambil mengurut-urut jenggotnya yang panjang, ia memandang lagi ke sekeliling hadirin kemudian menghela napas.

"Thian dan Te kedua momok itu, mempunyai anak buah yang besar dan tersebar luas. Mereka telah mengirim undangan kepada seluruh kaum persilatan untuk menghadiri pertandingan adu silat dilembah Semi. Jelas, maksud mereka tentulah hendak menjaring seluruh kaum persilatan untuk dibinasakan. Jika kita memenuhi undangannya kelembah Semi dan datang pada pertengahan bulan Delapan, tentulah kita termakan perangkap mereka....”

03.12. Tuduhan Mata-mata Musuh . . . . . . ??!!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari seorang imam tua baju kuning yang serentak berbangkit dari tempat duduknya, “Menurut pendapat loni, lebih baik saat ini juga kita serbu lembah itu!"

Nadanya nyaring dan garang sekali. Empat imam yang duduk dibelakangnya, sama duduk pejamkan mata dengan khidmat. Kiranya paderi yang membuka suara itu adalah Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si.

It Hang totiang menyahut, “Pendapatku memang sesuai sekali dengan saran taysu. Dalam ilmu perang dikatakan bahwa siasat ilmu menggunakan tentara yang hebat ialah dapat melakukan serangan secara tepat dan cepat. Menyerang musuh selagi musuh tak menyangka dan tak bersiap. Betapapun ilmu kesaktian yang demiliki kedua momok itu, namun sukar kiranya untuk menghadapi kekuatan kita beramai-ramai......”

Sejenak ketua Bu-tong-pay itu berhenti dan memandang ke arah ketua Tiam-jong-pay dan ketua Tong-thing-pang. kemudian melanjutkan lagi dengan pelahan-lahan, “Apalagi saudara Shin dan Cu, mahir dalam ilmu barisan Pat-kwa kiu-kiong, Ngo-heng-tin dan lain-lain perkakas rahasia. Kita mempunyai pegangan kuat untuk memenangkan pertempuran. Hanya saja......”

Kembali ia kerutkan alis, sejenak berhenti lalu berkata pula, “Kabarnya kedua durjana Liong dan Hou juga tiba didaerah selatan sini. Pendekar Laknat sudah beberapa kali menampakkan diri. Apabila ketiga momok itu benar-benar muncul dan berserikat dengan kedua momok Thian dan Te (Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka), ah, kita pasti terancam bahaya!"

Seketika heninglah suasana. Sekalian hadirin terdiam. Memang yang dikatakan It Hang totiang itu benar. Jika saat itu mereka menyerbu ke Lembah Semi, tentu masih dapat menghadapi Iblis Penaluk dunia dan Dewi Naraka. Tetapi apabila kelima momok itu bersatu, tentu tak mungkin dikalahkan.

Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay segera berbangkit. Setelah memberi hormat kepada para hadirin, ia segera berpaling menghadap It Hang totiang.

"Masih ada sebuah hal yang hendak kupersembahkan kepada totiang dan saudara sekalian!" serunya.

"Silahkan," kata It Hang totiang.

Toh Hun-ki tersenyum, serunya, “Jika saudara-saudara tak lupa, tentulah masih ingat akan peristiwa duapuluh tahun yang lampau. Pada masa itu kelima Durjana muncul dan mengaduk dunia persilatan. Dunia persilatan seolah-olah banjir darah dan korban banyak berjatuhan. Kelima durjana itu terdiri dari Iblis Penaluk dunia dengan isterinya Dewi Neraka, si Naga dan si Harimau serta Pendekar Laknat......”

Ia berhenti sejenak untuk mencari kesan, kemudian melanjutkan, “Tentang Pendekar Laknat, walaupun disohorkan ganas dan kejam tetapi sepak terjangnya tidaklah seganas suami isteri Penaluk-dunia dan Dewi Neraka serta kedua Naga dan Harimau. Kebanyakan yang mati ditangan Pendekar Laknat itu adalah tokoh-tokoh yang jahat dan tak berbudi. Dan pula dalam pertempuran dahsyat dilembah Lok-gan-koh pada duapuluh tahun yang lalu itu, jika Pendekar Laknat tak beralih haluan memusuhi suami-isteri Penaluk dunia dan Dewi Neraka, tentulah 72 tokoh-tokoh sakti yang dikerahkan Tjeng Hi totiang ketua Kun-lun-pay untuk mengepung kelima durjana itu, tentulah mereka habis binasa semua. Ya, apabila saat itu Pendekar Laknat tak menyerang dan menghalau suami isteri Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka, tentulah saat ini dunia persilatan sudah dikuasai oleh kedua suami isteri durjana itu......”

Kembali Toh Hun-ki berhenti untuk menyelidiki suasana hadirin. "Oleh karena itu," ia melanjutkan pula, "menurut hematku, Pendekar Laknat bukan seorang momok yang ganas tetapi sesungguhnya adalah seorang kesatrya yang penuh dengan jiwa perwira dan budi luhur......”

"Adakah maksud saudara Toh hendak mengagungkan nama Pendekar Laknat karena perbuatannya yang lalu itu?" tiba-tiba ketua Siau-lim-si, Ti Gong taysu berseru dengan nada dan wajah membesi.

Toh Hun-ki tertawa hambar, sahutnya, “Bukan melainkan itu saja, tetapi baru-baru ini memang aku telah mengalami suatu peristiwa yang berharga untuk bukti......”

Kemudian ketua Kong-tong-pay itu segera menuturkan tentang peristiwa yang dialaminya ketika masuk ke Lembah Semi.

"Demi jiwa raga dan kehormatanku, kujamin bahwa Pendekar Laknat itu bukanlah momok ganas seperti duapuluh tahun berselang. Bukan saja tak mengganggu dunia persilatan pun jika kita tak dapat mengajaknya dalam persekutuan, tentu akan menambah kekuatan kita. Paling tidak, kita takkan dimusuhinya."

Ti Gong taysu menggerung seperti singa lapar, “Benar-benar ucapan yang sembrono! Bersahabat dengan Pendekar Laknat untuk mendapatkan bantuannya menghadapi para momok durjana itu, benar-benar suatu langkah yang tak dapat diterima oleh pikiran yang sehat."

Ketua Siau-lim-si itu terus melangkah kehadapan It Hang totiang lalu berseru, “Entah bagaimana dengan pendapat totiang, tetapi aku menolak sekeras-kerasnya!"

Sambil mengurut jenggotnya yang panjang, ketua Bu-tong-pay It Hang totiang menyahut, “Pendekar Laknat adalah momok ganas yang tergolong aliran jahat. Betapapun perbuatannya selama ini namun tetap tak dapat kita jadikan sahabat, Namun jika apa yang dikatakan Toh Hun-ki lo-hiapsu itu benar, tak apalah kita singkirkan ketakutan terhadap momok itu dengan tak saling mengganggu. Setelah nanti urusan Lembah Semi selesai, kita masih dapat bersahabat dengannya untuk membersihkan kejahatan di dunia persilatan. Hal itu tentu akan merupakan suatu berkah bagi kita semua......”

Tiba-tiba wajah ketua Bu-tong-pay itu berobah sunyi dan berkatalah ia dengan sarat, “Tetapi yang jelas dewasa ini kelima durjana itu mempunyai kekuatan besar. Sejak memendam diri selama duapuluh tahun itu, entah mereka sudah berapa menambah kesaktiannya. Entah mereka akan bersekutu atau tidak, kita belum dapat memperhitungkan. Oleh karena itu, kuharap para saudara sekalian, suka bersatu hati untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari kelima durjana itu!"

Ti Gong taysu tertawa nyaring, serunya, “Sudah tentu kita akan bertindak begitu. Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada hidup bercermin bangkai. Rasanya kekuatiran saudara itu berlebih-lebihan. Adakah diantara kita yang hadir ini terdapat orang yang takut mati?"

Habis berkata, ketua Siau-lim-si itu sapukan pandang matanya ke arah hadirin. Ti Gong taysu memang terkenal berwatak keras. Sekalipun sejak kecil sudah masuk gereja dan sudah berumur enampuluh tahun lebih, serta menduduki jabatan yang tertinggi dalam gereja Siau-lim-si, namun perangai

masih belum banyak berubah. Sedikit-sedikit dia lekas naik darah.

Oleh karena sudah mengetahui watak paderi Siau-lim-si itu, maka Toh Hun-ki pun tak mau melayani. Ia ganda tertawa saja dan tak menghiraukan Ti Gong.

Karena sekalian hadirin tiada yang buka suara maka It Hang totiang segera bertepuk tangan tiga kali dan berseru nyaring, “Kalau begitu kita putuskan malam ini juga kita menuju ke Lembah Semi. Tengah malam kita serbu lembah itu......” wajahnya berobah gelap dan berkata lagi ia dengan suara yang serius, “Hidup matinya dunia persilatan, ditentukan dalam pertempuran di lembah nanti......”

Sekonyong-koyong Lam Leng tojin melengking dan loncat ke udara lalu melayang turun di hadapan It Hang totiang.

"Tunggu sebentar," katanya sambil memberi hormat, "hendaknya janganlah totiang melupakan suatu hal yang amat penting sekali......”

Sambil menunjuk ke arah Siau-liong orang tua dari Thian-san itu berkata pula, “Asal-usul dirinya masih belum diketahui jelas. Lawankah atau kawan? Andaikata dia itu mata-mata yang dikirim kemari oleh kedua suami isteri durjana itu, bukankah kita bakal hancur dalam penyerbuan ke Lembah Semi malam nanti?"

Belum It Hang memberi suatu pernyataan, Ti Gong taysu sudah melangkah kemuka Siau-liong dan membentak dengan suara menggeledek, “Siau-sicu, menilik umurnya yang masih begitu muda, masakan engkau ini menjadi ketua dari partai Kay-pang?"

Saat itu sebenarnya Siau-liong masih terbenam dalam renungan. Ia mendapat kesan bahwa sikap Toh Hun-ki dalam pidatonya membela Pendekar Laknat, menunjukkan pribadinya yang kesatrya sebagai seorang ketua partai persilatan. Siau-liong bimbang. Toh Hun-ki itu adalah pembunuh ayahnya yang harus dibalas. Namun kalau membunuhnya, Siau-liong merasa telah bertindak tak layak terhadap seorang tokoh yang berjiwa luhur.

Tengah ia mengalami pertentangan batin, tiba-tiba Ti Gong melangkah dihadapannya dan membentak dengan kata-kata yang kasar. Siau-liong marah.

Tetapi sebelum ia menjawab, To Kiu-kong yang berada di sisinya sudah mendahului berbangkit. Sambil memberi hormat, berkatalah tokoh Kay-pang itu, “Mengapa taysu mengajukan pertanyaan semacam itu? Sejak pimpinan Kay-pang masih dipegang oleh Pengemis Tengkorak Song Thay-kun Cousu hingga sampai sekarang, partai Kay-pang telah mendapat sambutan dan penghargaan dari semua partai persilatan besar. Masakan aku keliru mengenal Cousu kami sendiri?"

Dengan ucapan itu, secara halus To Kiu-kong telah memberi dampratan kepada Ti Gong. Saat itu si Pincang-kanan dan si Pincang kiripun berdiri di kedua samping To Kiu-kong, memandang Ti Gong dengan marah.

Ti Gong mendengus. Karena malu ia menjadi marah. Tetapi pada saat hendak bertindak, It Hang totiang dan Lam Leng lojin cepat menghampiri.

Lam Leng lojin tertawa mengekeh, melerai ditengah To Kiu-kong dan Ti Gong taysu, ujarnya kepada To Kiu-kong, “Pertemuan dipuncak ini bersifat rahasia dan bertujuan untuk menyelamatkan dunia persilatan dari keganasan kelima durjana itu. Jika pertemuan ini sampai bocor, akibatnya tentu suatu bencana bagi dunia persilatan. Adalah demi menjaga keselamatan dan pengamanan pertemuan ini maka beberapa saudara telah mengajukan pertanyaan kepada ketua saudara. Dalam hal itu hendaknya saudara jangan salah paham."

Mendengar itu, Siau-liong serentak berbangkit. Serunya dengan tertawa tawar, “Oleh karena baru saja muncul di dunia persilatan, sudah tentu saudara belum kenal padaku. Entah dengan cara bagaimanakah agar saudara dapat mempercayai diriku itu?"

Lam Leng tojin berpaling ke arah It Hang totiang, ujarnya, “Adakah maksud totiang....”

Ternyata orang tua dari gunung Thian-san itu sendiri pun merasa sukar untuk memecahkan persoalan saat itu. Jika To Kiu-kong menerangkan bahwa pemuda itu adalah Cousu dari Kay-pang, sudah tentu harus dipercaya.

Kecurigaan bahwa pemuda itu menjadi mata-mata yang dikirim suami isteri Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka, memang sukar diselidiki. Oleh karena tak dapat memecahkan persoalan, Lam Leng lojin tumpahkan beban itu kepada It Hang totiang sebagai pimpinan pertemuan.

Menyadari kedudukannya sebagai seorang penanggung jawab, It Hang pun segera maju selangkah dan menatap Siu-liong dengan tajam.

"Pertama kuminta sicu suka menuturkan tentang pengalaman sicu dikala menerima warisan ilmu dari mendiang Song Thian-kun," katanya.

Siau-liong tak senang hati. Permintaan itu merupakan suatu penyelidikan terhadap dirinya. Namun demi mengingat akan sekalian hadirin, terpaksa ia tekan amarahnya dan menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika berjumpa dengan tengkorak Song Thay-kun dalam pusar bumi.

Setelah mendengarkan sampai selesai, It Hang merenung sejenak lalu berpaling ke arah To Kiu-kong,

“Sebagai seorang ketua, saudara telah memerintahkan anak murid untuk mengangkat Kongsun Liong sicu sebagai Cousu Kay-pang. Adakah hal saudara dasarkan atas lencana Tengkorak yang terkalung didada pemuda itu?"

Sahut To Kiu-kong, “Sudah tentu bukan hanya berdasar lencana itu saja. Aku telah menguji kepandaian dan dapatkan bahwa Cousu kami ini memang telah memiliki ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari mendiang Song Cousu kami."

Pertama, It Hang totiang memandang kesekeliling hadirin, lalu ia gelengkan kepala.

“Keterangan saudara tentang penemuan ilmu sakti Thay-siang-ciang itu, masih harus diuji kebenarannya," katanya kepada Siu-liong, "pada hematku, Laut Penasaran di pusar bumi gunung Hong-san itu merupakan tempat yang amat panas dan amat dingin. Sebelum engkau keluar dari tempat itu dan sebelum mendapat petunjuk dari Pengemis Tengkorak, bukankah kepandaian saudara belum berapa tinggi. Dengan kepandaian yang saudara miliki saat itu, sukar rasanya saudara mampu keiuar lagi dari Laut Penasaran. Dan lagi, mengapa saudara dapat menemukan tempat musnahnya Pengemis Tengkorak?"

Adalah karena terpancang oleh pesan mendiang Pendekar Laknat, terpaksa Siau-liong tak dapat memberi keterangan. Diam-diam ia memuji ketajaman It Hang totiang untuk cara penyelidikan yang dilakukan itu.

Ia tergagap tak dapat menyahut sampai beberapa saat.

It Hang totiang tertawa dingin lalu memandang lagi kepada To Kiu-kong, serunya, “Menilik gelagat, asal usul ketua saudara ini, tentu berbelit-belit!"

To Kiu-kong kerutkan sepasang alis, ujarnya, "Sebelum menghilang, mendiang Song Cousu kami telah berulang kali memberi petunjuk bahwa ciri pengenal dirinya adalah lencana Tengkorak dan ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang. Barang siapa memiliki kedua hal itu, dialah ahli warisnya. Oleh karena itu aku pun mentaati pesan mendiang Song Cousu dan tak menanyakan lebih lanjut tentang diri Cousu kami yang sekarang ini......"

Lam Leng lojin tertawa mengekeh dan menyelutuk, “Andaikata Pengemis Tengkorak tidak meninggal dalam Laut Penasaran tetapi menderita penyakit dilain tempat dan berjumpa dengan anak itu. Lalu anak itu memaksanya supaya memberi ajaran ilmu Thay-siang-ciang kemudian merampas lencana itu, adakah saudara juga tetap hendak menobatkannya menjadi ketua Kay-pang?"

"Hal itu tak mungkin terjadi!" To Kiu-kong mendengus.

It Hang totiang tertawa, “Taruhlah apa yang dituturkan Kongsun sicu itu benar semua. Tetapi karena Pengemis Tengkorak sudah meninggal maka sukar untuk meminta keterangan kepadanya. Ya, kalau pemuda itu seorang pemuda jujur, itu sih tak mengapa. Tetapi kalau dia salah seorang anak buah kedua suami isteri durjana, adakah saudara juga tetap mengangkatnya sebagai ketua?"

Bermula To Kiu-kong memang marah. Tetapi demi mendengar pertanyaan It Hang totiang, tiba-tiba wajahnya menampilkan rasa curiga. Ia mengakui, sebelumnya ia tak pernah dapat memikirkan sepanjang yang ditanyakan It Hang totiang itu. Dan Siau-liong yang merasa dirinya dipaksa sebagai anak buah suami isteri durjana, amat marah sekali.

Dengan lantang berserulah ia kepada It Hang, “Dengan sepenuh hati aku datang kemari untuk ikut serta saudara menghadapi para durjana. Tetapi mengapa saudara mencurigai dan menuduh aku sebagai mata-mata musuh?"

Sahut It Hang totiang dengan nyaring, “Terus terang saja, tokoh persilatan yang masuk ke dalam Laut Penasaran dan dapat keluar lagi dengan selamat, belum pernah terdapat. Kecuali dia itu memiliki kepandaian yang dipunyai oleh kelima durjana itu menjadi satu. Maka....”

Ia berhenti sejenak memandang sekalian hadirin, “Maaf, memang aku sendiri pun curiga terhadap dirimu, jangan-jangan mempunyai hubungan dengan suami isteri durjana itu. Kecuali engkau dapat menuturkan dengan sejujurnya pengalaman selama masuk ke dalam Laut Penasaran!"

Siau-liong tak mengira ia akan didesak sedemikian rupa oleh It Hang totiang. Betapapun juga, ia sudah bersumpah untuk mematuhi pesan Koay suhu (Pendekar Laknat) untuk tak menceritakan diri tokoh aneh itu kepada siapapun juga.

"Karena saudara mencurigai diriku," serunya dengan tertawa dingin, “akupun tak dapat berbuat apa-apa. Nah aku akan mohon diri!"

Habis berkata ia terus melangkah pergi.

“Hai, hendak kemana engkau," Ti Gong tay-su menggerung keras seraya loncat menghadang.

Dalam pada itu It Hang segera memberi penjelasan kepada To Kiu-kong. Ia duga Siau-liong itu tentu anak buah suami isteri durjana, Maka terpaksa tak diperbolehkan pergi dari situ.

To Kiu-kong tergoyah pikirannya. Mengapa Cousu mereka (Siau-liong) tak mau menceritakan pengalamannya? Sekilas ia dapat menerima alasan yang dikemukakan It Hang totiang. Dan diam sajalah ia, bahkan menundukan kepala tak mau mencegah Ti Gong taysu.

Sesungguhnya sekalian tokoh-tokoh yang hadir di situ sudah mengepung Siau-liong. Demi It Hang telah membuka kedok pemuda itu dan pemuda itu terus hendak pergi, segera mereka mencabut senjata dan siap menyerang.

Karena murkanya wajah Siau-liong sampai pucat. Kemudian sambil tertawa dingin, ia berseru,

“Bagiku mati hidup, kalah menang bukanlah soal, hanya saja....” ia berganti nada rawan dan lanjutkan kata-katanya, “Hanya sayang, dengan saling bunuh membunuh ini, apakah tidak patut disayangkan?"

Dengan murka sekali Ti Gong taysu membentak bengis, “Anak siluman, serahkan jiwamu, jangan banyak tingkah."

“Wuut....” sebuah pukulan segera dilayangkan kepada Siau-liong. Yang diarah bagian dadanya.

Ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak, pada masa itu telah menggetarkan seluruh dunia persilatan. Lepas dari asal usul Siau-liong, tetapi tentulah pemuda itu paham akan pukulan Thay-siang-ciang yang hebat sehingga tokoh seperti To Kiu-kong sampai dapat percaya penuh dan mengangkatnya sebagai ketua Kay-pang.

Dan Ti Gong pun menyadari hal itu. Ia tak berani memandang rendah. Sekali turun tangan, ia gunakan jurus Raja Pa-ong-mendorong gunung. Salah sebuah jurus dari ilmu simpanan Kim-kong-ciang gereja Siau-lim-si. Dilayangkan oleh seorang tokoh semacam Ti Gong taysu, pukulan itu kuasa membelah batu gunung dahsyatnya.

Melihat betapa kasar paderi itu, marahlah Siau-liong. Diapun segera gunakan jurus Toa-lo-kim-kong untuk menyongsong.

Sesungguhnya ilmu pukulan Thay-siang-ciang warisan mendiang Song Thay-kun itu juga bersumber pada ilmu kesaktian aliran gereja. Serupa dengan Tat-mo-kim-kong-ciang yang dilancarkan Ti Gong taysu, pukulan Thay-siang-ciang yang dimainkan Siau-liong itu juga termasuk ilmu tenaga dalam yang keras.

“Darr....” terdengar ledakan keras, disusul dengan debu dan angin yang bertebaran menderu-deru keempat penjuru.

Ti Gong taysu tergetar. Ia rasakan pukulan anak muda itu hebat sekali. Suatu pukulan yang mengandung tenaga dalam Lunak-keras. Apabila ilmu tenaga dalam yang bersifat keras itu diyakinkan sampai pada tataran yang tinggi, maka berobahlah perbawanya menjadi Semu-lunak, atau yang disebut dengan istilah Kong-kek-seng-ji (apabila Keras mencapai klimaks tertinggi, timbullah lunak)

Mau tak mau ketua Siau-lim-si itu terkejut sekali......

Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, seketika ia rasakan darahnya bergolak keras dan tergempurlah kuda-kuda kakinya. Ia terhuyung-huyung lima langkah ke belakang baru dapat berdiri dengan tegak lagi.

Ketika memandang kemuka, dilihat pemuda lawannya itu masih tegak berdiri ditempatnya dengan gagahnya.

“Maafkan, lo-siansu," seru Siau-liong sambil memberi hormat.

Malu Ti Gong taysu bukan kepalang. Dan rasa malu itu menimbulkan kemarahan yang hebat. Semula ia anggap, sekali pukul pemuda itu tentu akan terkapar rubuh. Tetapi diluar dugaan dia sendiri yang harus menderita terkena tangkisan pemuda itu.

Ti Gong taysu adalah ketua Siau-lim-si yang amat tinggi kedudukannya dan harum namanya dalam dunia persilatan Tetapi saat itu disaksikan oleh berpuluh-puluh tokoh persilatan terkenal, ia harus menderita kekalahan dari seorang pemuda yang tak terkenal.

Dengan menggerung laksana harimau kelaparan, ketua Siau-lim-si itu hendak menyerang lagi. Tetapi It Hang totiang cepat mencegahnya, “Taysu, ijinkanlah aku yang akan meminta pelajaran dari Kong-sun sicu itu!"

Sebagai ketua Bu-tong-pay yang berilmu tinggi tahulah It Hang akan kesaktian yang dimiliki pemuda itu. Sebagai seorang pimpinan pertemuan, ia harus mengambil alih tanggung jawab untuk menyelesaikan diri pemuda itu.

Cepat ketua Bu-tong-pay itu mencabut kebut dan dengan melangkah pelahan-lahan ia menghampiri kemuka Siau-liong.

“Ti Gong taysu sudah menerima pelajaran ilmu pukulan saudara," katanya sambil mengurut jenggot, “sekarang aku yang tua dan tak berguna ini, ingin juga mendapat pelajaran saudara dalam ilmu senjata......”

Bu-tong-pay terkenal sebagai partai persilatan yang mengutamakan ilmu permainan pedang. Rupanya ketua Bu-tong-pay itu tak mau adu pukulan tetapi hendak menantang pertempuran senjata. Ia yakin akan kehebatan ilmu pedang partainya.

“Silahkan saudara mencabut senjata dan segeralah menyerang dulu," seru It Hang.

Diluar dugaan Siau-liong hanya mendengus, “Silahkan totiang menggunakan kebut, aku yang rendah tetap hendak melayani dengan tangan kosong saja....” sejenak memandang ke arah hadirin, ia melanjutkan pula, “Sejak aku turun kedunia persilatan, sekalipun aku memiliki pedang pusaka, tetapi belum pernah selama ini kugunakan. Dan pada saat ini, aku pun tetap takkan melanggar pantangan itu!"

Suatu ucapan yang angkuh dan besar sekali!

Sekalian tokoh-tokoh yang hadir disitu terbeliak, kaget. Mereka, sejumlah tak kurang dari duapuluh tokoh-tokoh ternama, merasa dianggap sepi oleh pemuda tak terkenal itu.

It Hang marah sekali. Tetapi ia tetap tenang dan tersenyum simpul, ujarnya, “Baiklah, karena sicu menghendaki sendiri, harap hati-hati!"

Ia menutup kata-katanya dengan gerakan kebut pertapaan dalam jurus Memukul-lonceng-emas. Kebut dimainkan setengah lingkaran di udara lalu tiba-tiba berganti dengan gerak Angin-meniup-siluman-lari, untuk menghantam kepala Siau-liong.

Jurus yang dimainkan ketua Bu-tong-pay itu amatlah anehnya dan digerakkan dengan kecepatan yang luar biasa sehingga membuat Siau-liong terbeliak kaget.

Kebut pertapaan itu dibuat daripada bahan anyaman ratusan lembar kawat baja. Sepintas pandang menyerupai kebut ekor kuda. tetapi ketika dimainkan oleh It Hang, kebut itu berobah menjadi sebuah senjata yang melempang lurus. Dan karena It Hang telah pancarkan sembilan bagian tenaga dalamnya, maka beratus-ratus lembar kawat baja itu tegak lurus dengan tajamnya.

Melihat sekali turun tangan, ketua Bu-tong-pay itu sudah gunakan jurus yang ganas, terpaksa Siau-liong pun harus melayani. Jurus Raja-langit-mendorong-pagoda, salah sebuah jurus dari ilmu pukulan sakti Thay-siang-bu-kek, segera dilancarkan. Kedua tangannya didorong kemuka. Tangan kanan memukul, tangan kiri ditebarkan untuk mencengkeram kebut lawan.

Setitik pun tak terlintas dalam benak It Hang totiang bahwa pemuda itu memiliki ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang sedemikian tingginya. Dibanding dengan tataran yang dicapai oleh Pengemis Tengkorak Song Thay-kun, pemuda itu ternyata lebih unggul.

Seketika ketua Bu-tong-pay itu rasakan lengan kanannya tergetar dan kebut yang dicekalnya itu terlanda oleh suatu tenaga membal yang luar biasa dahsyatnya. Hampir saja kebut itu terlepas dari cekalannya. Belum hilang kejutnya, It Hang rasakan tangan kanan pemuda yang diluruskan kemuka dada itu, mengandung hamburan tenaga sakti yang amat maut.

It Hang totiang terkejut sekali dan buru-buru menyurut mundur dua langkah......

04.13. Kegarangan Harimau Iblis

Dalam dua jurus saja, Siau-liong sudah berhasil mengalahkan dua orang tokoh sakti. Ti Gong taysu dan It Hang totiang sehingga sekalian tokoh-tokoh yang hadir terkejut bukan kepalang!

Diam-diam It Hang totiang menimang. Saat itu jika tak beramai-ramai turun tangan, dikuatirkan tak ada yang mampu mengalahkan pemuda itu. Ah, diam-diam ia menghela napas. Demi menyelamatkan dunia persilatan, terpaksa harus meninggalkan tata-susila dunia persilatan.

Pada saat ketua Bu-tong-pay itu hendak memberi komando, sekonyong-konyong dari arah hutan terdengar suara orang tertawa nyaring. Nadanya menusuk ketelinga sekalian orang.

Sekalian tokoh terperanjat!

It Hang terbeliak. Cepat ia memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi empat keliling hutan itu hanya pohon-pohon yang lebat belaka. tiada tampak bayangan seseorangpun juga......

Ketua Bu-tong-pay itu benar-benar terpesona. Pada hal penjagaan di tempat pertemuan itu sudah diatur sedemikian ketat sekali. Setiap tiga langkah sebuah pos kecil dan setiap lima langkah sebuah pos. Sedemikian ketat dan rapat penjagaan itu diatur sehingga jangankan orang sedang lalat atau nyamuk pun tak mungkin lolos dari pengamatan!

Tetapi yang jelas, orang misterius itu dapat menembus masuk dibawah hidung penjagaan yang sedemikan ketat itu. Suatu hal yang benar-benar membuat ketua Bu-tong-pay itu terlongong-longong kehilangan paham......

Setelah berhenti tertawa, orang misterius itu berseru nyaring, “Hidung kerbau It Hang, keledai gundul Ti Gong, Tan Ih-hong, Sin Bu-seng, si Tua Lam Leng...... ha, ha! Hari ini kalian mengadakan pertemuan besar....!"

Dari puncak sebatang pohon tinggi yang tumbuh disebelah kiri, melayang turun sesosok tubuh manusia. Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang menukik dari udara. Tetapi setiba di bumi, gerakannya amat ringan laksana kapas jatuh di tanah......

Seorang tua yang tinggi besar dan mengenakan pakaian hitam putih yang menyolok, tegak berdiri memandang sekalian hadirin dengan mata berkilat kilat tajam. Umurnya lebih dari tujuhpuluh tahun, kepalanya gundul, wajahnya ke-merah-merahan segar sehingga tampaknya baru berumur lebih kurang limapuluhan tahun.

Kembali orang tua itu tertawa nyaring, “Ho, perlu apa kalian berada disini......?"

Dan tanpa menunggu penyahutan, ia berpaling memandang Siau-liong, “Apakah untuk menghina anak kecil itu?"

Sekalian orang tak dapat menjawab. Suasana hening lelap. Kekalahan Ti Gong taysu dan It Hang totiang amat menggoncangkan perasaan mereka sehingga tak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Pada saat itu kebetulan Lam Leng lojin berdiri paling dekat dengan orang misterius itu. Orang tua dari Thian-san itu paksakan diri tertawa.

"Kalau tak salah, saudara tentulah....”

Belum Lam Leng lojin menyelesaikan kata-katanya, orang aneh itu sudah membentaknya, “Apa? Dua puluh tahun tak bertemu engkau sudah tak kenal lagi padaku?"

"Ah, saudara masih bersemangat seperti dulu. Mataku belum rabun, sudah tentu takkan lupa. Hanya saja....” Lam Leng lojin tertawa tawar lalu berkata pula, “Dalam saat dan suasana seperti sekarang ini, kemunculan saudara di dunia persilatan, apakah tak....”

"Engkau tak berhak bertanya!" orang itu cepat membentaknya seraya terus menghampiri Siau-liong.

Sekalian hadirin kebanyakan tokoh-tokoh silat tua dan ternama. Pada masa duapuluh tahun yang lalu, ketika kelima durjana muncul mengacau dunia persilatan, merekapun ikut serta. Sudah tentu mereka tahu siapa pendatang yang aneh itu.

Kiranya orang aneh itu adalah salah seorang tokoh dari Lima Durjana, yakni Harimau maut pencabut nyawa!

Lam Leng lojin dan Ti Gong taysu cepat maju menghadang dan membentak, “Berhenti!"

Harimau-maut berhenti, tertawa nyaring lalu tiba-tiba hantamkan kedua tangannya kedada penghadangnya.

Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin memperhitung, si Harimau-maut tentu tak berani mengganas karena menghadapi sekian banyak tokoh-tokoh persilatan. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Ternyata Harimau maut masih seganas pada duapuluh tahun berselang. Tanpa berkata suatu apa, dia sudah melancarkan serangan yang dahsyat.

Ti Gong dan Lam Leng terkejut sekali.

Kedua tokoh itu cepat menangkis. Ti Gong menggunakan Air terjun membelah gunung, salah sebuah jurus dari ilmu pukulan Tat-mo-kim-kong-ciang. Sedang Lam Leng mengeluarkan Membalik awan menjungkir hujan. Keduanya menyongsong dari samping dengan sepenuh tenaga.

Ketika terjadi benturan, terdengarlah suara letupan yang dahsyat. Tubuh Harimau-maut agak menggigil. Tertawa nyaring, ia tetap tak mengacuhkan apa-apa dan terus menghampiri kemuka Siau-liong.

Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin tersurut mundur sampai tiga langkah baru dapat berdiri tegak. Wajah kedua tokah itu pucat lesi, tubuh berguncang-guncang mau rubuh.

Ti Gong taysu terengah-engah, tiba-tiba ia muntah darah. Jelas ia telah menderita luka dalam yang parah.

Empat orang paderi Siau-lim-si pengikutnya, cepat-cepat lari memapah Ti Gong keluar gelanggang.

Sekalipun saat itu tak tampak tanda suatu apa, tetapi ditilik dari tubuhnya yang berguncangan itu, jelas Lam Leng lojin juga menderita luka dalam yang berat. Ia berjalan hendak menuju ketepi gelanggang. Tetapi baru empat langkah, ia jatuh terduduk di tengah gelanggang.

It Hang totiang kerutkan dahi. Ia tampak gugup menyaksikan peristiwa itu. Buru-buru ia memberi perintah agar semua anak murid Kay-pang dan Go-bi-pay yang menjaga di puncak gunung itu serta anak buah lain-lain partai, segera siapkan senjata dan mengepung rapat hutan itu. Harimau-maut dan Siau-liong harus dibunuh dibawah hujan anak panah dan senjata rahasia.

Disamping itu, It Hang mengajak seluruh hadirin untuk beramai-ramai menyerang musuh. Ia tak mau memegang tata-susila dunia persilatan lagi. Yang penting momok Harimau-maut harus dilenyapkan!

Setelah menyaksikan bagaimana dalam sebuah pukulan saja, Harimau-maut dapat melukai Ti Gong dan Lam Leng, sekalian hadirin tergetar nyalinya. Mereka tak berani lagi menghadang momok itu.

Kemudian setelah mendapat isyarat dari It Hang, merekapun segera mencabut senjata masing-masing siap sedia menghadapi si momok.

Tetapi Harimau-maut tak mengacuhkan sikap orang-orang itu. Seolah-olah tak terjadi suatu apa dengan langkah lebar ia menuju kehadapan Siau-liong, menatap lekat-lekat pemuda itu lalu bertanya dengan tertawa, “Buyung, mengapa mereka menghina engkau?"

Siau-liong hanya mendengus tak mau menyahut. Dalam hati pemuda itu, terbit pertentangan sendiri. Ia tak mau bentrok dengan tokoh-tokoh partai persilatan. Tetapi karena didesak sedemikian rupa, terpaksa ia harus mengadu pukulan dengan Ti Gong dan It Hang.

Ia menyadari bahwa bentrokan dengan ketua Siau-lim-si dan Bu-tong-pay itu berarti akan memperdalam salah paham sekalian tokoh terhadap dirinya. Itulah sebabnya ia termenung-menung diam.

Kemunculan mendadak dari Harimau-maut itu telah mengalihkan perhatian sekalian orang. Turut pengetahuan Siau-liong, Naga-keparat dari gunung Kengsan dan Harimau-iblis itu dahulu ketika muncul, telah menimbulkan banyak peristiwa-peristiwa berdarah di dunia persilatan. Tetapi menurut penilaian yang adil, sepak terjang kedua momok itu tidak termasuk golongan Hitam juga bukan golongan Putih. Melainkan ditengah-tengah. Mereka bertindak menurut sekehendak hati sendiri.

Dalam hal itu, memang tindakan mereka lebih banyak bersifat jahat. Dan lagi mereka pernah berserikat dengan Iblis Penaluk dunia serta Dewi Neraka untuk menghancurkan dunia persilatan. Dengan begitu, kaum persilatan mempunyai kesan tak baik dan membenci kedua momok itu.

Siau-liong masih melanjutkan renungannya. Memang tak sukar baginya untuk tinggalkan tempat situ. Tetapi ia kuatir, tindakan begitu akan lebih memperdalam tuduhan orang bahwa ia adalah kaki tangan Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka.

Tetapi jika ia tetap berada disitu, tentulah akan bentrok dengan Harimau iblis (Harimau-maut). Celakanya, ia terpancang tak dapat mengeluarkan ilmu sakti Bu-kek-sin-kang dan hanya dapat menggunakan ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Entah apakah dengan ilmu pukulan itu ia dapat mengalahkan Harimau iblis atau tidak. Ia tak yakin......

“Hai!" tiba-tiba pikirannya mengilas, "mengapa aku tak pergi dulu dari sini, lalu muncul lagi sebagai Pendekar Laknat? Bukankah dengan langkah itu ia akan terhindar bertempur dengan Harimau-iblis dan sekaligus dapat membuktikan nama baik Pendekar Laknat itu memang nyata. Ah, bukankah ia dapat 'sekali dayung dua tepian'?"

Segera ia bendak laksanakan rencananya itu. Tetapi pada saat ia hendak gunakan gerak Naga-berputar-18 kali, Harimau-iblis yang habis melukai dua orang, sudah menghampiri ke tempatnya.

Sekalipun Siau-liong marah melihat sikap dan ucapan Harimau-iblis yang sombong tetapi ia masih dapat berpikir dengan kepala dingin. Ia tak tahu bahwa ia dapat mengalahkan momok itu dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang saja. Maka terpaksa ia tekan kemarahannya dan tak mengacuhkan pertanyaan momok itu.

Tetapi bukannya marah kebalikannya Harimau-iblis malah tertawa gelak-gelak, “Buyung, jangan takut. Kalau ada kesulitan, bilang saja. Nanti aku yang menyelesaikan. Jangan takut mereka berjumlah banyak....” tiba-tiba ia berputar tubuh memandang sekalian orang, kemudian berkata lagi: ” Mereka itu tak berarti apa-apa bagiku. Aku paling benci kalau yang Kuat menindas yang Lemah, mengandalkan jumlah banyak mau menindas orang!"

Siau-liong tertawa dingin, serunya sinis, “Bagaimana engkau tahu, aku takut kepada mereka?"

Harimau Iblis tertegun dan menyurut selangkah. Ditatapnya pemuda itu dengan tajam. Tiba-tiba ia tertawa keras. Nadanya seperti harimau meraung-raung. Lama baru ia hentikan tertawanya yang aneh itu.

"Bagus! Punya perbawa gaib dan nyali besar! Sesuai sekali dengan watakku. Kita harus menjadi sahabat baik......” serunya.

Kemudian ia memandang lagi kesekeliling, lalu berkata lagi, “Kemunculanku di dunia persilatan sekarang ini rasanya takkan sia-sia karena dapat mengikat persahabatan dengan engkau. Hayo, kita pergi kekota Siok-ciu minum arak!"

Terus saja Harimau Iblis menarik bahu Siau-liong hendak diajak pergi.

“Aku tak mau bermusuhan dengan saudara, jangan mengujuk kekasaran!" teriak Siau-liong seraya mengeliat untuk menghindar.

Sudah tentu Harimau Iblis tak mau melepas anak itu. Dengan menguak aneh, ia berputar membayangi Siau-liong dan secepat kilat menyambar pergelangan tangan pemuda itu, bentaknya, “Budak, mengapa engkau tak tahu diri!"

Siau-liong mendengus tetapi ia tak mau menghindar lagi dan membiarkan tangannya dicekal orang.

Cerdik juga anak itu. Karena tak leluasa menggunakan Bu-kek-sin-kang dalam pukulan, ia gunakan siasat lain. Maka dibiarkan saja tangannya dicekal tetapi diam-diam ia salurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

Dalam mata Harimau Iblis, Siau-liong itu dianggap sebagai pemuda yang belum hilang bau pupuknya. Ia yakin, sekali sambar tentu dapat mencekalnya. Maka ia tak bersiap apa-apa.

Tetapi alangkah kejutnya ketika jari menyentuh tangan Siau-liong, seketika ia rasakan di jarinya dipancar oleh serangkum hawa panas. Sakitnya seperti terkena hantaman. Terpaksa ia mundur beberapa langkah.

It Hang totiang bermula cemas sekali kalau pemuda itu mau bersekutu dengan Harimau Iblis. Tetapi ketika melihat Siau-liong tak mengacuhkan tawaran Harimau Iblis dan tiba-tiba momok itu tersentak mundur beberapa langkah, terkejutlah sekalian orang.

Kini seluruh mata hadirin tertumpah pada Siau-liong dan Harimau Iblis. Dengan ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang sakti, tentulah Siau-liong dapat mengimbangi Harimau Iblis. Dan apabila kedua orang itu bertempur seru, siapapun yang kalah dan menang, bagi sekalian tokoh yang hadir disitu, merupakan suatu keuntungan. Syukur kedua-duanya sama-sama terluka parah......

Harimau Iblis terkejut sekali karena lengannya kesemutan. Cepat ia salurkan tenaga dalam. Setelah sembuh, ia maju lagi dan meraung marah, “Ho, aku salah lihat! Apakah nama ilmumu itu?"

Membengiskan matanya, momok itu membentak keras:”Bilang lekas, siapa gurumu!"

"Apakah engkau berhak bertanya?" sahut Siau-liong dengan hambar.

Bukan kepalang marah Harimau Iblis. Mukanya membiru gelap dan gerahamnya bergemerutukan lalu meraung sekuat-kuatnya, “Aku tak berhak bertanya? Ho, hari ini aku akan mengadu jiwa dengan engkau."

Habis berseru, terus hendak mencengkeram bahu. Siau-liong sudah bersiap untuk mengadu kepandaian dengan momok itu.

Tiba-tiba momok itu hentikan gerakannya lalu tertawa keras. "Buyung, siapakah namamu!?" serunya.

Siau-liong pun tertawa dingin, sahutnya, “Namaku Kongsun Liong!"

Momok itu merenung sejenak lalu berkata seorang diri, “Kongsu Liong, Kong.... sun.... Liong.... sebenarnya nama yang tak terkenal, tetapi mengapa....” ia kerutkan alis seperti lengah berpikir.

Tiba-tiba ia tertawa nyaring, serunya, “Buyung, sekalipun engkau tak mau mengatakan nama guru pun tetapi akupun dapat menebak. Ilmu tenaga sakti yang luar biasa itu, cukup kukenal......” kembali ia tundukkan kepala merenung.

Diam-diam Siau-liong terkejut. Ia kuatir Harimau Iblis akan mengenal tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu. Apabila hal itu sampai diketahui Harimau Iblis dan didengar oleh sekian banyak tokoh-tokoh persilatan, tentulah merugikan nama baik Pendekar Laknat dan juga tak menguntungkan bagi hari depannya sendiri.

Untuk mencegah hal itu, terpaksa ia maju selangkah dan berseru, “Iblis tua, terimalah sebuah pukulan. Mungkin engkau baru dapat memikir dengan berhasil!"

“Wut....” jurus Tay-lo-kim-kong segera dilontarkan ke arah momok itu.

Setelah menderita kesakitan tadi, Harimau Iblis tak berani memandang rendah pada pemuda itu lagi. Cepat ia gunakan jurus Menurut-aliran air-mendorong-perahu untuk menangkis.

Jurus itu adalah salah sebuah jurus yang amat ganas dari ilmu pukulan Hou-pik-sin-ciang atau pukulan sakti Harimau-maut. Kerasnya bukan alang kepalang.

“Dar....” terdengar letupan keras dan bahu kedua orang itu sama tergetar.

Seketika berobahlah wajah Harimau Iblis. Pukulan yang dilancarkan Siau-liong itu jauh bedanya dengan tenaga sakti yang dipancarkan pada pergelangan tangannya tadi. Benar-benar ia tak habis mengerti.

Setelah saling menarik pulang tangannya, kembali Harimau Iblis berseru, “Buyung, rupanya paling sedikit engkau mempunyai dua orang guru sakti. Pukulanmu yang ini lain sekali dari yang tadi. Aku tak mungkin salah lihat, lekas bilanglah......”

"Silahkan engkau mengeluarkan seluruh kepandaianmu, tak perlu bertanya ini itu!" bentak Siau-liong dan menyusul lagi dengan sebuah pukulan lagi ke arah dada.

Harimau Iblis tertawa nyaring lalu menyongsong dengan jurus Harimau hitam mengorek hati.

Siau-liong tak menduga sama sekali bahwa gerakan tangan dari momok itu dapat dirobah menjadi genggaman tinju. Seketika ia rasakan dadanya seperti dilanda oleh sebuah batu raksasa sehingga jantung serasa pecah dan hampir saja ia rubuh......

Tujuan Harimau Iblis itu hendak menghancur leburkan tubuh Siau-liong. Tetapi karena tinjunya tak cukup besar, terpaksa ia hanya mengarah dada anak muda itu. Ia berhasil tetapi iapun terkena pukulan Siau-liong. Ia rasakan tulang belulangnya serasa copot dan mata berbinar-binar gelap.

Dua kali adu pukulan itu, membuat Harimau Iblis benar memuncak kemarahannya. Meraunglah ia dengan sekuat-kuatnya, “Sungguh tak kira dalam kemunculanku di dunia persilatan kali ini, aku akan berjumpa dengan seorang manusia yang seganas engkau......

Ia bolang-balingkan tangannya kanan dan berseru pula, “Dengan pukulanku ini, kita akan menentukan siapa hidup siapa mati!"

Siau-liong tertawa dingin saja. Tetapi diam-diam ia sudah menyalurkan tenaga saktinya sampai sepuluh bagian. Selekas Harimau Iblis memukul, iapun cepat menghantam dengan pukulan sakti Thay-siang-ciang.

Harimau Iblis sudah memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu. Maka pukulannya dilancarkan dengan tenaga penuh, Terdengar ledakan keras disusul dengan pasir dan debu berhamburan. Dalam libatan asap debu yang lebat, tampak kedua jago itu sama-sama terhuyung-huyung sampai lima enam langkah lalu rubuh......

Karena tak mau mengeluarkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, Siau-liong hanya gunakan pukulan sakti Thay-siang-ciang. Ternyata kekuatannya berimbang dengan pukulan sakti Harimau iblis. Isi dada kedua orang itu terasa bergolak hebat, darah berhamburan sungsang sumbal. Begitu jatuh, keduanya segera pejamkan mata untuk menenangkan darahnya.

Melihat kesudahan itu girang It Hang totiang bukan kepalang. Pikirnya, “Mereka ibarat ikan masuk jaring. Kalau tak menggunakan kesempatan ini untuk melenyapkan mereka, tak mungkin dapat menyelamatkan dunia persilatan......”

Ketua Bu-tong-pay itu segera menghampiri ketempat Harimau Iblis. Tetapi sebelum dekat, tiba-tiba Harimau Iblis dua membuka mata, “Hidung kerbau, walaupun aku harus mati tetapi tak nanti mati di tanganmu!"

It Hang totiang tertegun. Tetapi pada lain saat ia tertawa, “Iblis tua, asal kuayunkan tangan jiwamu pasti melayang!"

“Belum tentu!" dengus Harimau Iblis.

It Hang terkesiap. Timbullah keraguannya adakah momok itu benar-benar terluka parah. Sebagai ketua Bu-tong-pay yang ternama dan saat itu menjadi pimpinan berpuluh-puluh tokoh persilatan, jika membunuh seorang lawan yang sedang menderita luka dan tak dapat melawan, sekalipun yang dibunuhnya itu seorang durjana besar, tetapi perbuatan itu tetap akan tercelah dan namanya cemar.

Ketua Bu-tong-pay itu berpaling ke arah Siau-liong. Dilihatnya pemuda itu juga duduk menyalurkan napas. Tetapi wajahnya merah segar seperti orang sehat saja. To Kiu-kong, Pengemis Tertawa Tio Tay-tong, sepasang pengemis Pincang sama menghampiri ketempat Siau-liong. Mereka memandang Siau-liong dengan cemas.

Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin, setelah melakukan penyaluran napas, saat itu sudah tak kurang suatu dan berdiri lagi. Tetapi sikap mereka tampak putus asa dan malu. Kekalahan yang diderita dari Siau-liong tadi, amat memalukan kedua tokoh itu.

Sedang sekalian tokoh-tokoh, tegak berdiam diri disekeliling tempat itu. It Hang totiang tampak bingung. Akhirnya ia memanggil duapuluhan jago panah untuk mengepung Harimau Iblis dan Siau-liong.

Rupanya It Hang tak mau mengambil resiko kehilangan nama baik. Ia akan menunggu lain orang turun tangan untuk membunuh Harimau Iblis dan Siau-liong.

Sekonyong-konyong dari luar hutan terdengar suara seruling berbunyi. Seruling itu adalah untuk alat menyampaikan berita. Setelah Harimau Iblis berhasil menyusup dari penjagaan yang ketat, It Hang perintahkan semua penjaga di pos-pos menuju ke puncak dan berpencaran menjaga di empat penjuru hutan. Seruling pertandaan itu menandakan bahwa ada musuh yang tiba di dekat hutan.

Selekas bunyi seruling berhenti, terdengarlah gemerincing suara senjata beradu. Tentulah musuh itu sedang bertempur dengan para penjaga hutan situ. Kemudian tak berselang beberapa waktu, terdengarlah jeritan ngeri. Tentulah beberapa penjaga telah dirubuhkan orang itu.

Ketika memandang ke arah datangnya pertandaan seruling, sekalian tokoh-tokoh persilatan melihat seorang wanita bertubuh semampai dan mukanya berkudung kain hitam, tengah lari menerobos masuk ke dalam hutan.

Wanita itu mencekal sebatang pedang yacg berkilat-kilat. Sejenak memandang ke arah sekalian tokoh persilatan disitu, tiba-tiba wanita ini terus menyerang Toh Hun-ki, ketua Kong-tong-pay.

Sekalian tokoh terperanjat sekali ketika mengetahui bahwa wanita itu bukan lain ialah Dewi Ular Ki Ih.

Toh Hun-ki menghindar kesamping, mencabut pedang lalu menempur wanita itu.

Melihat serangan yang dilancarkan Ki Ih dahsyat dan berbahaya, terpaksa keempat Su-lo dari Kong-tong-pay pun sama mencabut pedang dan terus menyerang Dewi Ular.

It Hang tetap merasa sungkan terjun kegelanggang pertempuran. Tetapi ia tetap gelisah karena tahu bahwa wanita itu mempunyai dendam darah terhadap Kong-tong-pay. Tentu mereka akan bertempur mati-matian dan melupakan masalah penyelesaian Harimau Iblis serta Siau-liong.

Benar sekalipun Harimau Iblis dan Siau-liong apabila terjaga tentu akan dihujani anak panah oleh kawanan jago tembak, namun sukar diduga terjadinya lain-lain perobahan.

Dalam menyalurkan napas itu, tak pernah Siau-liong lepaskan perhatiannya kepada orang-orang yang mengepungnya itu. Sesungguhnya ia hanya menderita luka ringan yang tak membahayakan. Ketika mengetahui yang mengamuk penjaga-penjaga pos itu ternyata Ki Ih, ia kaget dan girang sekali.

Buru-buru ia menyalurkan pernapasan lagi. Setelah merasa sembuh, tanpa menghiraukan barisan panah yang masih siap membidik, tiba-tiba ia melambung ke udara dan melayang ke arah tempat Ki Ih bertempur dengan Toh Hun-ki.

Tetapi para pengepung itu adalah jago-jago pilihan dari setiap partai. Mereka bermata tajam dan tangkas bergerak. Begitu melihat Siau-liong loncat ke atas, mereka segera menghujani anak panah.

“Cres, cres....” karena terburu-buru hendak mendapatkan ibunya, Siau-liong tak menghiraukan keselamatan dirinya sendiri. Ia lengah dan lengan kanannya terkena dua batang anak panah. Dengan geram, dicabutnya anak panah itu lalu ia balas menghantam dengan pukulan Thay-siang-ciang.

04.14. Rahasia Wanita Berkerudung Hitam

Terdengar beberapa kali jeritan ngeri disusul dengan rubuhnya tujuh-delapan sosok tubuh dari anak buah barisan pemanah itu.

It Hang terkejut. Cepat ia loncat mengejar diikuti Kun-lun Sam-cu, Shin Bu-seng ketua Tiam-jong-pay, Tan I-hong ketua Ji-tok-kau, Ti Gong taysu dan Lam Leng lojin.

“Bagus! Kali ini bakal berlangsung pertunjukan yang ramai!" tiba-tiba Harimau Iblis tertawa terbahak-bahak.

Sekalian tokoh terkejut. Ada beberapa yang lari menghampiri momok itu.

Lebih kurang duaratus anak murid dari Gobi-pay, Kay-pang dan partai-partai lain yang bertugas menjaga hutan itu segera lepaskan anak panah dan serentak keadaan menjadi kacau balau.

Siau-liong lepaskan beberapa kali pukulan lagi. Setelah dapat mengundurkan It Hang totiang dan rombongannya, ia segera dapat mendekati ketempat Ki Ih.

Wanita itu bertempur dengan gagah. Serangannya makin lama makin dahsyat. Walau pun ia takkan kalah dengan To Hun-ki dan keempat Su-lo, tetapipun sukar merebut kemenangan.

Serentak Siau-liong menggembor keras terus loncat menerjang kepungan To Hun-ki dan tegak disamping ibunya. Betapalah kejutnya ketika mengetahui bahwa sesungguhnya ibunya itu sudah menderita luka-luka. Sekujur tubuhnya berlumuran bintik-bintik darah.

Hati Siau-liong seperti disayat. Setelah lepaskan tiga buah pukulan ke arah To Hun-ki, ia segera menyambar Ki Ih dengan gunakan gerak Naga-berputar-18 lingkaran, ia loncat menerobos hujan anak panah dan lari keluar hutan, lalu menuruni puncak bukit.

Lapat-lapat ia mendengar suara Ti Gong taysu, ketua Siau-lim-si yang menegur To Kiu-kong, “Omitohud Bagaimana asal-usul ketuamu yang sebenarnya? Mengapa ia mempunyai hubungan dengan Ki Ih?"

Menyusul terdengar suara tertawa keras dari si Harimau Iblis. Dan beberapa saat kemudian terdengar hiruk pikuk suara orang bertempur. Tentulah Harimau Iblis sudah mulai bertempur dengan lawanan orang gagah.

Tetapi Siau-liong tak menghiraukan. Yang penting ia harus menyelamatkan ibunya. Beberapa penjaga yang coba hendak merintangi larinya, dapat dihantam kocar-kacir. Dan beberapa loncatan berhasillah ia menerobos keluar dari hutan.

Dia lari sepembawa kakinya. Hatinya penuh dengan rasa sedih dan gembira. Akhirnya ia bertemu juga dengan ibu kandungnya. Dengan demikian rindu dendam dari ibu dan anak yang sudah terpisah belasan tahun itu, akan terpenuhi.

Memang ia marah sekali terhadap kecongkakan It Hang totiang, Ti Gong taysu dan orang-orang yang menuduh dengan membabi-buta itu. Ia merasa kecewa dan putus asa terhadap sikap mereka. Rasanya tak sudi lagi ia campur tangan tentang kemunculan beberapa momok yang hendak menghancurkan dunia persilatan itu.

Pikirnya, “Setelah menghimpaskan dendam sakit hati, ia hendak mengajak ibunya mencari tempat yang sunyi dan hidup dengan tenang. Ia ingin membaktikan hidupnya untuk membalas budi."

Walaupun lembah Kiu-hui-koh itu amat pelik dan berbelit-belit jalannya, tetapi berkat petunjuk yang telah diterimanya dari To Kiu-kong, dapatlah ia keluar.

Sejak dipondong oleh Siau-liong, Ki Ih diam saja. Sepatah pun tak berkata. Rupanya ia membiarkan dirinya dibawa anak itu berlari-larian.

Saat itu sudah lewat tengah hari. Siau-liong kendorkan larinya.

Tiba-tiba dilihatnya tak jauh di atas lereng gunung, terdapat sebuah pondok dari atap rumbia. Ia memutuskan untuk beristirahat dulu agar ibunya dapat mengasoh. Maka segeralah ia menuju ke pondok itu.

Pondok itu ternyata sepi-sepi saja. Berulang kali mengetuk pintu, barulah terdengar langkah orang berjalan dengan pelahan. Ternyata yang membukakan pintu adalah seorang wanita berumur 40-an tahun. Mengenakan baju pendek warna hitam. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam.

Siau-liong tertegun. Ia heran mengapa ditempat yang sesunyi itu terdapat seorang wanita yang mengenakan dandanan seperti itu? Tetapi ia duga tentulah wanita itu keluarga pemburu. Bagi kaum pemburu, mengenakan pakaian serba ringkas, sudahlah umum. Ia segera menyatakan maksud kedatangannya.

Perempuan baju hitam itu tampak tenang-tenang saja, memandang Siau-liong yang memondong seorang wanita berlumuran darah pakaiannya. Tanpa bertanya apa-apa lagi, perempuan itupun mengangguk dan mempersilahkan Siau-liong masuk.

Perkakas perabot dalam pondok itu amat sederhana sekali. Kecuali balai-balai kayu dan meja kursi, tiada terdapat lain-lain perkakas lagi.

Setelah membawa tetamunya masuk ke dalam bilik, tanpa mengucap apa-apa, perempuan itupun melangkah keluar, menuju ke belakang.

Sejenak meragu, Siau-liong lalu letakkan ibunya di atas balai. Hatinya amat sedih, beberapa butir airmata menitik keluar.

Belum berumur seratus hari ia sudah terpisah dari ibunya. Kemudian setelah dewasa, ia selalu terkenang akan ibunya itu. Ia amat rindu akan kasih seorang ibu. Dan saat itu, harapannya telah terkabul. Sekalipun ia belum pernah melihat wajah ibunya tetapi ia tahu bahwa ibunya itu wanita yang bernama Dewi Ular Ki Ih, wanita yang saat itu terbaring dihadapannya.

Setelah luapan haru kesedihannya reda, mulailah ia memeriksa luka ibunya. Ternyata beberapa luka yang diderita ibunya itu hanya luka luar yang tak berarti.

Tiba-tiba ia terkesiap. Ibunya jelas tak terluka berat. Tetapi mengapa tampak seperti orang yang tak sadarkan diri?

Belum sempat ia memperoleh jawaban, tiba-tiba perempuan pemilik pondok itu masuk dengan membawa sepanci air panas. Tersipu-sipu Siau-liong menyambuti. Ia membasuh luka ibunya.

Pemilik pondok memberinya sebotol pujer warna kuning, ujarnya, “Puyer ini dapat menghentikan perdarahan. Dalam beberapa jam saja luka itu tentu sudah sembuh."

Sambil menyambuti, Siau-liong bertanya, “Adakah cianpwe ini termasuk keluarga pemburu. Dalam rumah ini......?"

Oleh karena pemilik rumah itu seorang wanita yang sudah setengah umur, demi menghormatnya, Siau-liong menggunakan sebutan 'cianpwe' kepadanya.

Pemilik pondok itu geleng-geleng kepala, “Aku hanya sementara waktu saja menetap disini."

Siau-liong heran tetapi ia sungkan untuk mendesak lebih lanjut.

Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang bernada penuh kemesraan, “Ma......”

Sesosok tubuh menerobos masuk dan muncullah seorang dara berwajah segar. Pakaiannya berwarna hijau, umurnya diantara limabelas-enambelas tahun. Ia terkejut melihat keadaan dalam bilik. Dipandangnya Siau-liong dan Ki Ih yang berbaring di atas balai-balai itu, lalu lari ke dalam ruang belakang.

Perempuan baju hitam itu hanya tertawa tawar lalu menyuruh Siau-liong lekas melumurkan puyer keluka ibunya. Habis itu ia keluar menuju ke belakang.

Siau-liong tertegun sejenak lalu melumurkan obat itu ke luka ibunya, juga luka pada lengannya sendiri yang terkena anak panah itu. Setelah membalut, ia segera menyingkap sutera hitam yang menutupi wajah Ki Ih.

Rasa kegirangan yang meluap-luap akan bertemu dengan ibunya yang sudah berpisah hampir duapuluhan tahun telah menyebabkan Siau-liong amat terangsang hatinya. Sambil membuka kain kerudung, serentak mulutnya pun berseru dengan gemetar, “Ma...... apakah engkau tak kenal dengan putera kandungmu sendiri......?"

Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa mengikik, “Hi, hi, hi, siapa yang engkau panggil mama itu?"

Siau-liong terkejut seperti mendengar halilintar berbunyi ditengah hari. Dan ketika memandang kewajah ibunya, ah...... hampir ia pingsan!

Ternyata yang terbungkus dalam kain kerudung hitam itu sebuah wajah yang cantik berseri dari si dara seberang lautan, Mawar Putih!

Setelah terlongong-longong beberapa saat, Siau-liong menjadi kalap. Diterkamnya bahu si dara itu, bentaknya, “Kiranya engkau! Mengapa engkau menyaru sebagai ibuku? Engkau......”

Rindu dendam yang terpendam selama belasan tahun, dan saat itu dikiranya akan terlaksana, ternyata hancur berantakan bagai awan dihembus angin......

Keadaan Siau-liong saat itu seperti orang gila. Matanya melotot, wajah merah padam dan tangan dikepal sekeras-kerasnya. Seolah-olah ia hendak menelan dara itu.

Melihat keadaan Siau-liong sedemikian itu Mawar Putih agak ketakutan. Ia menyurut mundur seraya berseru, “Apakah engkau gila? Siapa yang menyaru jadi ibumu?"

Dengan geram Siau-liong menatap dara itu, serunya, “Dalam dunia persilatan siapakah yang tak tahu bahwa engkau ini adalah Dewi Ular Ki Ih? Pakaian yang engkau kenakan dan ilmu Pedang-kilat serta senjata rahasia Hwe-hun-tui serta tindakanmu memusuhi Toh Hun-ki untuk membalas sakit hati. Tiada seorangpun yang menyangsikan engkau tentu Ki Ih......”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan dengan makin geram, “Hm, makanya engkau mengenakan kerudung hitam menutup wajahmu, kiranya...... ah! Engkau...... telah membikin sengsara hatiku!"

Mawar Putih tertawa dingin, sahutnya, “Dalam hal apa aku mencelakai dirimu? Apa yang kusenang pakai, kupakai saja. Mau senang mengenakan kain kerudung, pun siapa yang melarang?"

Habis berkata dara itu terus loncat turun dari balai-balai, lalu berkata pula, “Ilmuku Pedang Kilat dan senjata rahasia Hwe-hun-tui itu adalah ajaran guruku. Aku hendak membunuh Toh Hun-ki, pun juga demi membalaskan sakit hati guruku!"

Siau-liong terlongong tak dapat menjawab.

Mawar Putih memandang sejenak kepada pemuda itu lalu menyeringaikan hidung, mendengus: "Semalam aku tak jadi membunuhmu di dalam biara dan pagi ini engkau telah menolong aku dari puncak Ngo-song-nia. Dengan begitu kita tak punya hutang piutang lagi dan anggaplah seperti kita belum pernah kenal mengenal."

Habis berkata dara itu terus melangkah keluar.

Saat itu ketegangan Siau-liong sudah mulai sirap. Cepat ia mengejar dan menghadang si dara, ujarnya, “Nona engkau......”

Mawar Putih deliki mata, “Aku mau pergi! Mengapa engkau menghadang aku!"

Siau-liong merah mukanya. Terpaksa ia tahan kemarahannya, “Tadi aku telah berlaku kasar, harap maafkan. Tetapi aku hendak mohon bertanya kepadamu tentang beberapa hal yang penting."

Sejenak dara itu keliarkan biji matanya. Tampaknya ia geli melihat keadaan Siau-liong yang tak ubah seperti monyet mencium terasi. Tetapi ia berusaha sekuatnya untuk menahan rasa geli itu. Maka dengan sengaja, ia pura-pura membentak dengan garang, “Lekas katakan! Aku tak punya tempo melayanimu."

Siau-liong menghela napas, ujarnya, “Ibu kandungku itu bernama Ki Ih. Sejak aku dilahirkan belum seratus hari, keluargaku telah tertimpah bencana. Ayahku meninggal secara mengenaskan dan ibu tercerai-berai entah kemana......”

"Uh, riwayatmu benar-benar membuat orang terharu," kata Mawar Putih sambil menyengir.

Siau-liong melanjutkan lagi, “Setiap nona hendak membunuh Toh Hun-ki, tentu nona berganti dandanan, mengenakan kerudung hitam dan memainkan ilmu pedang kilat serta senjata rahasia Hwe-hun-ti. Dengan begitu semua orang persilatan menganggap nona itu adalah ibuku yang muncul kembali ke dalam dunia persilatan lagi......”

Mawar Putih kerutkan dahi tak menyahut.

“Menilik tindakan-tindakan nona itu," kata Siau-liong pula, "aku berani memastikan bahwa gurumu itu tentulah ibuku sendiri. Maukah nona memberitahukan nama sebenarnya dari guru nona itu?"

Mawar Putih hunjamkan kakinya ke tanah, berseru, “Bukankah telah kukatakan bahwa guruku itu bernama. Aminah Pattalia. Selama ini belum pernah orang memanggil guruku dengan nama lain!"

Siau-liong menghela napas, tanyanya pula, “Pernahkah gurumu itu mengatakan kalau mempunyai dendam sakit hati dengan Kong-tong-pay?"

Mawar Putih gelengkan kepala, “Guruku tak mau mengatakan dan akupun tak pernah bertanya. Cukup bahwa memang dendam permusuhan itu, memang ada! Kalau tidak masakan guruku siang malam tak pernah melupakannya."

Siau-liong sudah mulai percaya bahwa guru dari dara itu tentulah ibunya sendiri Dewi Ular Ki Ih. Maka ia terus lancarkan pertanyaan untuk mendapatkan bukti-bukti yarg lebih jelas.

Setelah termenung sejenak, ia bertanya pula, “Sebelum pergi ke Tionggoan sini, apakah gurumu tak mengatakan apa-apa lagi."

Mawar Putih merenung. Tiba-tiba ia berseru, “Eh, berapakah umurmu sekarang?"

"Enam belas tahun!"

Tiba-tiba Mawar Putih bertepuk tangan, serunya, “Ah, mungkin benar. Memang guruku pernah suruh aku menyelidiki tentang seseorang. Jika memang masih hidup orang itu berumur enambelas tahun......”

Ia berhenti sejenak menatap wajah Siau-liong sampai beberapa kali, lalu berkata, “Wajahmu memang mirip dengan suhuku. Tetapi orang yang akan kucari itu seharusnya bernama Tong Siau-liong bukan Kongsun Liong......”

"Ah......” Siau-liong banting-banting kakinya, "sebenarnya namaku adalah Tong Siau-liong. Sejak dipungut sebagai murid dari Tabib sakti Kongsun Sin-to, aku mengganti she dengan Kongsun agar orang jangan mengetahui asal-usulku......”

Mawar Putih tertawa dingin, “Ih, benar-benar suatu pertemuan yang tak tersangka-sangka! Jika tak berkelahi tentu tak bertemu!"

Siau-liong benar tak mengerti mengapa dara itu selalu bersikap dingin. Sudah kenal sampai sedemikian jauh dan diam-diam Siau-liong tahu bahwa dara itu jatuh hati kepadanya, tetapi ia bersikap dingin.

Bahkan saat itu setelah mengetahui bahwa guru dara itu adalah ibunya, suatu hal yang seharusnya akan menambah erat hubungan mereka berdua. Tetapi mengapa sikap dara tetap begitu dingin?

Tetapi ia tak sempat lagi mencari tahu sebabnya. Serentak ia menjurah dihadapan dara itu dan berseru, “Nona....”

"Bilanglah, Mengapa ak-uk ak-uk seperti orang ketulangan?" seru Mawar Putih.

"Sudilah nona membawa aku menemui ibu. Atau cukup nona memberitahukan letak pulau kediamannya, aku tentu dapat mencari kesana!"

Masih dengan nada dingin, Mawar Putih berkata, “Sudah tentu! Asal engkau benar-benar putera dari guruku, tentu akan kubawamu kesana. Tetapi....” — tiba-tiba ia berganti dengan nada dengusan hidung, “Aku tak dapat begitu saja mempercayai keteranganmu tadi!"

Siau-liong terkejut mundur selangkah, serunya, “Dengan cara bagaimanakah nona akan dapat mempercayai?"

“Kecuali engkau dapat membawa kemari batang kepala dari Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay itu!"

Siau-liong kerutkan alis, “Tetapi ibu menderita sakit......”

"Di dunia ini tiada obat yang dapat menyembuhkan penyakit guruku kecuali kelima butir kepala orang Kong-tong-pay itu....!" tukas Mawar Putih. Ditatapnya wajah pemuda itu beberapa saat kemudian ia menghela napas.

"Sudah tentu karena bertemu dengan putera yang dirindukan siang malam, guruku tentu amat gembira sekali. Tetapi, aku sudah terlanjur bersumpah dihadapan guru. Tak membawa kelima butir kepala orang itu, aku takkan pulang!"

Diam-diam Siau-liong malu dalam hati. Mawar Putih hanya seorang murid, namun dengan mati-matian tetap berusaha untuk membalaskan sakit hati gurunya. Adakah dia, sebagai seorang putera, kalah dengan tindakan dara itu?

Tetapi ia teringat akan pesan mendiang ayahnya supaya jangan melakukan pembalasan itu. Ah, yang manakah harus ia turut? Pesan ayahnya atau keinginan ibunya?

Dan lagi Toh Hun-ki itu ternyata seorang tokoh tua yang penuh keperwiraan dan luhur budinya, bingung ia untuk menentukan pilihan!

Melihat pemuda itu termenung-menung saja, Mawar Putih menertawakan, “Agaknya engkau tak mempunyai pikiran untuk membalas sakit hati. Sesungguhnya akupun tak memerlukan bantuanmu. Lambat atau laun, aku tentu dapat membunuh orang Kong-tong-pay Itu. Hanya saja......”

Tiba-tiba ia berputar tubuh dan terus menelungkupi balai-balai dan menangis, “Engkaupun jangan harap dapat berjumpa dengan ibumu! Beliau tentu tak sudi mempunyai seorang putera seperti engkau. Aku...... aku pun tak dapat membawamu kesana.”

Siau-liong serba sulit. Sesaat tak dapat ia berkata apa-apa.

“Krakkk....” tiba-tiba pintu terbuka dan dara baju hijau masuk membawa sebuah penampan. Sekilas melirik Siau-liong dan Mawar Putih, ia tertawa menyengir, ujarnya, “Silahkan saudara berdua makan!"

Siau-liong menghaturkan terima kasih. Sedang Mawar Putih cepat mengusap air matanya. Ternyata penampan itu berisi beberapa masakan dan nasi putih.

Sambil menghidangkan makanan di atas meja, dara baju hijau itu tersenyum, “Ibu mengatakan bahwa di hutan sini tak dapat menyediakan hidangan yang lezat. Sekedar makanan kasar dan teh yang tawar ini, harap saudara jangan menolak."

Habis berkata dara itu terus melangkah keluar. Karena sehari suntuk tak makan, Mawar Putih yang masih belum hilang sifat kekanak-kanakannya, segera menghampiri kemeja dan mengajak Siau-liong makan.

Selesai makan hari pun sudah hampir petang Siau-liong gelisah. Beberapa kali, ia mengajak bicara tetapi Mawar Putih tak mengacuhkan. Ia enak-enak tidur di atas balai-balai.

Nyonya rumah tak muncul lagi. Hanya si dara baju hijau yang datang membawa sebuah tempat lilin lalu mengemasi perabot makan dimeja lain keluar lagi.

Masih belum dapat terpikirkan Siau-liong siapakah sesungguhnya kedua ibu dan anak dalam pondok itu. Tetapi ia percaya mereka tentulah keluarga persilatan yang mengasingkan diri.

Hari makin malam. Dibawah penerangan lilin yang bergoyang gontai sinarnya, Mawar Putih tidur dengan nyenyaknya.

Siau-liong makin gelisah. Akhirnya ia duduk dikursi bersemadhi. Entah berapa lama, iapun terlena tidur.

Tiba-tiba setiup angin pegunungan berhembus dari jendela, menyadarkan Siau-liong dari tidurnya. Dilihatnya Mawar Putih masih tidur nyenyak. Diam-diam Siau-liong bercekat hatinya. Mengapa ia sampai tidur juga. Apabila kedua ibu dan anak pemilik pondok itu kaum......

Tetapi ia menghela napas lega ketika yang terdengar disekeliling penjuru hanya bunyi belalang dan tenggoret. Diam-diam ia menertawakan dirinya yang banyak curiga. Sekalipun orang mengatakan bahwa dunia persilatan itu kotor, keji dan penuh kejahatan, tetapi tak seharusnya ia mengukur pemilik pondok yang telah memberikan tempat bermalam dan hidangan itu, sedemikian rendahnya.

Melongok kelangit, ia perkirakan sudah menjelang tengah malam. Ia berbangkit dan mondar-mandir diruangan. Tiba-tiba ia kepalkan tinju dan menghela napas panjang. Rupanya ia telah mengambil keputusan.

Cepat ia menghampiri meja, mengambil pena dan tinta bak lalu menulis:

"Adik Mawar,
Aku sudah memutuskan untuk mengambil kepala Toh Hun-ki dan keempat Su-lo Kong-tong-pay. Dalam waktu tiga hari tentu sudah selesai. Tunggulah dirumah penginapan Siok-ciu."

Setelah meragu sejenak, ia menulis namanya "Tong Siau-liong" dibalik kertas itu lalu ditaruh disamping Mawar Putih. Kemudian ia memadamkan lilin lalu melangkah keluar. Ia gunakan ilmu lari cepat menuju kepuncak Ngo-siong-nia.

Ia tak tahu adakah Toh Hun-ki dan rombongannya masih berada dipuncak itu. Lebih kurang sejam lamanya, tibalah ia dihutan pohon siong dari puncak Ngo-siong-nia lagi.

Tetapi dilapangan dalam hutan itu sudah sepi. Yang tampak hanya dua batang golok kwat-to serta beberapa tetes noda darah. Ia duga pertempuran antara momok Harimau Iblis lawan rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang totiang tentu berlangsung dahsyat sekali. Entah siapa yang menang dan entah kemana perginya mereka itu.

Terpaksa ia menuruni puncak itu lagi. Tiba-tiba ia teringat bahwa It Hang totiang hendak merencanakan untuk menyerbu ke Lembah Semi pada malam hari. Adakah mereka sedang melaksanakan rencananya itu?

Ya, kecuali jejak itu, tak ada lain hal yang dapat ia ikuti. Maka setelah merenung beberapa saat, ia segera menuju ke Lembah Semi.

Sekalipun ia masih ingat akan jalanan dari belakang lembah tetapi ia masih gentar menghadapi barisan pohon bunga yang amat berbahaya. Ia tak berani mencobanya dan terpaksa mengambil jalan dari mulut lembah.

04.15. Kembali Ke Lembah Maut

Jalanan masuk ke mulut lembah itu penuh ditaburi dengan batu yang aneh-aneh bentuknya. Dengan hati-hati sekali ia menyusur maju.

Dia sudah mengambil keputusan untuk membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo agar selekasnya ia dapat bertemu dengan ibunya. Sekalipun mendiang ayahnya sudah memberi pesan. Namun dalam menjatuhkan pilihan, akhirnya ia memilih untuk menuruti kehendak ibunya yang masih hidup.

Juga dalam penyerbuannya ke Lembah Semi itu juga mengandung tujuan yang mulia. Sepasang suami-isteri momok Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, merupakan bahaya yang mengancam keselamatan dunia persilatan. Jika ia dapat melenyapkan mereka, sekalipun ia juga membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, tetapi tetap ia berjasa juga kepada dunia persilatan.

Dengan jasa untuk menebus kesalahan. Rasanya arwah ayahnya yang mengasoh di alam baka tentu dapat memaafkan perbuatannya itu.

Tiba di mulut lembah, ia tersirap kaget. Beberapa sosok tubuh terkapar di tanah. Diantaranya terdapat dua orang paderi, tiga orang imam dan lima atau enam orang pengemis. Ditilik dari darah pada luka mereka yang sudah membeku, tentulah mereka sudah berapa lama matinya.

Saat itu sudah lewat tengah malam. Dari kenyataan beberapa mayat itu, teranglah kalau It Hang totiang tentu melaksanakan rencananya menyerbu Lembah Semi.

Ia pasang telinga mendengarkan keadaan. Tetapi dalam lembah tampak sunyi senyap. Timbullah keheranannya, “Adakah para tokoh-tokoh pemimpin partai itu juga sudah menjadi korban keganasan Iblis Penakluk dunia?"

Diam-diam Siau-liong menaruh perindahan terhadap It Hang totiang dan rombongan orang gagah. Serentak timbullah perhatiannya untuk memikirkan keselamatan mereka.

Ah, tujuannya ke lembah situ adalah untuk membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo. Tetapi iapun mencemaskan juga nasib tokoh-tokoh persilatan itu. Akhirnya ia memutuskan. Tak peduli apapun yang terjadi, ia harus menyerbu Lembah Semi untuk membasmi penjahat-penjahat Iblis Penakluk-dunia, Dewi Neraka, Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah itu.

Segera ia melangkah masuk ke dalam lembah. Saat itu ia sudah tiba di aliran sungai dimana dahulu ia telah bertempur dengan ular besar yang ternyata hanya ular buatan manusia belaka.

Ular yang sudah dihantamnya remuk itu sudah tak ada lagi. Yang dihadapinya hanyalah sebuah anak sungai biasa. Tak sulit baginya untuk melintasi.

Tetapi belum ia bergerak, tiba-tiba dari arah muka, terdengar orang tertawa gelak-gelak, “Aha, bapak dapat meramal dengan tepat sekali. Benar memang ada orang yang datang mengantar jiwa!"

Menyusul muncullah dua sosok tubuh dari balik batu besar. Karena malam gelap tak dapat dilihat bagaimana wajah mereka. Tetapi Siau-liong tak ragu lagi. Kedua orang itu tentulah anak buah Iblis Penakluk-dunia.

"Eh, mengapa yang datang hanya seorang?" kata salah seorang dari mereka, seraya ayunkan tangannya. Sebertik api biru meluncur ke udara. Rupanya suatu pertandaan untuk memberi laporan ke dalam lembah.

Siau-liong cepat loncat hendak membekuk kedua orang itu. Tetapi mereka dapat bergerak amat lincah. Mereka loncat ke lain batu. Dengan gunakan sikap Ayam-emas-berdiri-satu-kaki, orang itu berputar-putar. Seketika terdengarlah suara menggelegar yang dahsyat.

Terpaksa Siau-liong berhenti untuk memperhatikan perobahan yang akan terjadi. Batu-batu yang tampaknya datar-datar itu, tiba-tiba terangkat naik sampai setombak tingginya. Bagian bawah bagian batu itu merupakan senjata golok yang ujungnya amat runcing dan kedua belah matanya sangat tajam.

Kedua orang berpakaian hitam itu loncat kemuka dan berpencaran hinggap di atas batu besar. Kembali mereka berputar tubuh dan batu-batu disitu serta tanah, lenyap seketika.

Pada saat kedua orang itu loncat lagi kelain tempat, tempat yang ditinggal itu muncul berpuluh-puluh ekor binatang beracun. Rupanya binatang-binatang itu sudah kelaparan sekali. Mereka saling gigit menggigit dan bunuh membunuh sendiri.

Pada saat kedua orang baju hitam itu loncat kelain batu, tempat yang ditinggalkan itu memancarkan air beracun setinggi dua tombak.

Demikian berturut-turut kedua orang itu telah berloncatan pindah dari satu ke lain tempat. Rupanya mereka setiap kali menggerakkan alat-alat rahasia. Sampai pada yang terakhir, kedua belah dinding karang lembah itu meluncurkan berpuluh batang anak panah beracun. Seolah-olah jalanan lembah itu penuh dengan maut. Tak mungkin orang dapat melintasinya.

Walaupun hal itu tak mengejutkan hati Siau-liong, namun diam-diam ia mengagumi juga kelihayan pemilik lembah yang telah memasang alat-alat rahasia sedemikian ketat dan maut.

Siau-liong tak menghiraukan kesemua itu. Sambil menggerung keras, ia apungkan diri melayang ke dalam lembah.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar lengking jeritan. Ketika Siau-liong berpaling ia mengeluh kaget, "Celaka....!"

Kiranya yang menjerit itu adalah Mawar Putih dalam penyamarannya sebagai Ki Ih. Terpaksa Siau-liong melayang kembali kesamping dara itu.

“Mengapa engkau....”

"Mengapa engkau tak mengajak aku!" tukas Mawar Putih.

"Aku tak menghendaki engkau ikut aku menempuh bahaya!" sahut Siau-liong.

Mawar Putih mendengus, “Engkau anggap aku seorang yang tamak hidup takut mati!"

Siau-liong tersipu tundukkan kepala, tak dapat menyahut.

Mawar Putih memandang Siau-liong lalu tertawa menyeringai. Tiba-tiba ia lemparkan sebuah bungkusan kepadanya, “Terimalah!"

Ketika menyambuti, bukan main kejut Siau-liong. Ternyata bungkusan itu berisi pakaian dan kedok muka Pendekar Laknat. Ah...... tentulah waktu ia tidur, Mawar Putih telah mengambilnya. Diam-diam ia menyesali dirinya yang begitu lalai.

"Nona......” katanya tersendat-sendat.

Mawar Putih cibirkan bibir tertawa, “Seharusnya dulu-dulu engkau sudah memberitahu kepadaku!"

Siau-liong tak menyahut. Diam-diam ia menimbang masuk ke lembah Semi dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat, memang lebih baik. Cepat ia berganti dandanan sebagai momok itu.

Mawar Putih tertawa geli melihat pemuda yang cakap itu tiba-tiba berobah menjadi seorang momok tua yang menyeramkan. Siau-liong sendiripun geli.

Saat itu kedua orang baju hitam tadi sudah lenyap. Sambil memandang ke arah lembah, Siau-liong kerutkan dahi, “Lembah penuh dengan alat rahasia? yang amat berbahaya. Harap engkau tunggu dulu Setelah kuhancurkan alat-alat itu, barulah akan kubawamu kesana!"

"Tidak! Engkau tentu hendak tinggalkan aku!" Mawar Putih menolak.

"Aku tak bermaksud begitu, harap engkau......”

"Kalau begitu hayo kita bersama-sama menyerbu!" tukas Mawar Putih terus melangkah ke dalam lembah.

Siau-liong cemas. Benar dara itu sudah mendapat warisan ilmu silat dari ibunya. Tetapi jika hendak melintasi lembah yang penuh dengan perkakas rahasia itu, kiranya tak mungkin dapat.

Tetapi nona itu keras wataknya, kemanja-manjaan, sehingga ia tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya.

Apa boleh buat. Akhirnya ia memutuskan sebuah rencana. Disambarnya tubuh dara itu lalu dibawanya loncat ke dalam lembah......

Y

Siau-liong melayang ke atas batu besar yang ditempat kedua orang baju hitam tadi. Ia hendak menyelidiki perobahan yang terjadi disitu.

Sesungguh dengan gerak Naga-melingkar-18 kali, dapatlah Siau-liong melayang lebih jauh dan tak perlu untuk menyelidiki keadaan dulu. Tepat pada saat kakinya hendak menginjak batu, tiba-tiba ia mengeluh kaget.

Ternyata batu itu seperti lenyap dan tubuhnyapun meluncur ke bawah, jatuh ke ujung tiga batang golok. Untung sebelumnya ia sudah berjaga-jaga. Cepat ia tamparkan tangannya ke udara dan dengan meminjam tenaga tamparan itu, ia melambung lagi ke atas.

Pada perjalanan kedua, binatang-binatang beracun itu tak mampu mencelakai Siau-liong yang melambung tinggi hingga ia dapat melintasi dengan selamat. Juga kedua belah karang yang menyemburkan anak panah dan senjata rahasia beracun itu, Siau-liong sudah bersiap. Jubah Pendekar Laknat yang gerombyongan itu dapat digunakan untuk menampar rintangan itu.

Perkakas rahasia yang disiapkan dalam lembah oleh kedua suami isteri Iblis Penaluk dunia dan Dewi Neraka itu, sebenarnya untuk menjaring seluruh tokoh persilatan.

Lapisan yang ketiga terdiri dari air mancur yang mengandung racun. Selain racunnya ganas, pun airnya mancur tinggi sekali. Sekali terkena, daging dan tulang-tulang akan luluh menjadi cairan.

Tengah Siau-liong menimang-nimang untuk cara yang hendak dilakukan dalam melintasi rintangan ketiga itu, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan dilihatnya binatang-binatang beracun itu bergeliatan menjulur ke atas. Ia terkejut girang dan serentak tertawa keras, serunya, “Budak liar, nasibmu memang belum ditakdirkan mati. Ada jalan!"

Dalam kepitan Siau-liong, Mawar Putih merasa aman. Ia heran mengapa Siau-liong berseru begitu. Iapun cepat dapat menanggapi dan berseru, “Laknat tua, nyonyamu ini tak pernah takut pada kematian!"

Siau-liong sengaja menggunakan siasat untuk membingungkan hati anak buah lembah yang bersembunyi disekitar tempat itu. Mereka tentu terkejut dan pangling mengapa kedua momok itu dapat datang bersama-sama ke lembah mereka.

Disamping itu Siau-liong mendapat akal. Asal tak terluka, binatang-binatang berbisa itu tak berbahaya. Maka ia memutuskan untuk menggunakan suatu cara yang amat luar biasa tetapi amat berbahaya sekali.

Tiba-tiba ia melayang turun ke bawah dan tepat menginjak di atas punggung seekor kadal besar. Begitu menginjak iapun menyerempaki dengan sebuah hantaman ke atas. Dengan tenaga pijakan dan pukulan itu, tubuhnya segera melambung tinggi ke udara.

Mawar Putih terkejut menyaksikan keberanian Siau-liong menempuh cara yang sedemikian berbahaya itu. Andaikata ia tak menyaru sebagai Ki Ih, tentu ia sudah menjerit ngeri.

Pada saat tubuh Siau-liong hendak meluncur turun, tiba-tiba ia lontarkan tubuh si dara kemuka. Mawar Putih pun bergeliatan menggunakan gerak Burung-walet-menerobos-sangkar. Indah dan luwes sekali tubuh dara itu bergeliatan melayang di atas semburan air beracun.

Anak buah Lembah Semi yang menyaksikan dari puncak gunung, terlongong-longong seperti melihat sebuah pertunjukan akrobat yang luar biasa mendebarkan.

Mawar Putih dimuka dan Siau-liong dibelakang. Laksana dua ekor burung walet, kedua anak muda itu meluncur di udara, melampaui semburan air beracun.

Setelah kedua pemuda itu hampir selesai melintasi rintangan itu, barulah anak buah Lembah Semi tersadar. Buru-buru mereka segera menggelundungkan balok dan batu serta menaburkan senjata rahasia.

Siau-liong terkejut. Betapapun lihaynya, tetapi diserang dari atas dan bawah secara begitu ganas, tentulah akan celaka juga.

Siau-liong cepat gunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang untuk menghantam serangan dari atas puncak itu. Kemudian ia menggeliat menyusul disamping Mawar Putih.

“Sungguh berbahaya," keluh si dara ketika melihat anak panah dan senjata rahasia berseliweran disampingnya. Tetapi dibawah lindungan Siau-liong, dara itu tetap aman. Seketika timbullah nyalinya lagi.

Pada saat hanya tinggal dua tiga tombak lagi ia akan dapat melintasi rintangan itu, dan serangan senjata rahasia dari atas pun sudah mulai reda, tiba-tiba ia tersirap kaget. Ternyata Mawar Putih sudah mulai habis tenaganya sehingga tubuhnya mulai meluncur ke bawah.

Dalam kejutnya, Siau-liong bersuit nyaring lalu menukik ke bawah untuk menyambar si dara.

Untunglah si dara segera tersadar. Dengan kerahkan seluruh tenaga, dara itu bergeliat meluncur kemuka lagi sampai dua tiga tombak.

Pada saat Mawar Putih hendak terhindar dari pancuran air racun, tiba-tiba sebuah batu besar melayang turun dari atas puncak. Tepat batu itu akan jatuh di kepala si dara.

Saat itu Mawar Putih sudah kehabisan tenaga. Sekalipun ia tahu akan ancaman bahaya itu, tetap ia tak mampu menghindar lagi. Jika terhantam batu itu, kepalanya pasti hancur lebur jatuh ke bawah.

Sudah tentu Siau-liong gugup sekali. Dalam saat-saat yang tak menyempatkan ia berpikir lagi, ia nekat meluncur dan membentur batu itu dengan kepalanya.

“Pyur....” terdengar letupan dan hancurlah batu itu berhamburan jatuh ke bawah. Berhasil menghancurkan batu, cepat sekali Siau-liong sudah menyambar tubuh Mawar Putih terus dibawa melayang.

Anak buah Lembah Semi yang menyaksikan kesaktian Pendekar Laknat, sama leletkan lidah. Kemudian mereka segera lepaskan api pertandaan untuk memberi isyarat bahaya kepada kawan-kawannya dalam lembah.

Saat itu ia harus menghadapi lapisan keempat yang merupakan Lautan api.

Ilmu meringankan tubuh Naga-berputar-18-lingkaran, sudah menghabiskan tenaganya. Jika ia tak berhenti dulu disebuah batu, tentulah ia dan si dara akan terancam bahaya tercebur dalam lautan api.

Dalam perhitungannya, ia masih sanggup untuk melampaui rintangan keempat Lautan api itu. Tetapi apabila lorong lembah itu masih jauh, dan ia tak menemukan tempat beristirahat, tentu akan habislah tenaganya.

Namun ibarat orang naik dipunggung harimau, Siau-liong sudah tak dapat mundur lagi. Akhirnya ia berhasil melintasi rintangan keempat itu dan tiba dibagian lorong sungai yang datar.

Baru saja ia meletakkan tubuh si dara ke tanah, tiba-tiba terdengar ledakan bergemuruh dahsyat, seperti sebuah gempa bumi. Ledakan itu berasal dari bunyi sebuah genderang. Entah darimana tempatnya.

“Dung...... dung......!”

Bunyi genderang itu menggetarkan seluruh isi lembah. Jantung Mawar Putih pun serasa terlepas keluar. Buru-buru ia sandarkan diri pada tubuh Siau-liong.

Siau-liong kerahkan tenaga sakti untuk menolak serangan bunyi genderang maut itu. Ia bersiap-siap menunggu apa saja yang hendak dilakukan orang-orang Lembah Semi itu.

Genderang berhenti serentak. Sebagai gantinya, angin menderu, batu dan pasir beterbangan dan airpun bergolak-golak ke atas udara.

Siau-liong dan Mawar Putih merasa bahwa yang diinjaknya saat itu bukanlah tanah, melainkan gumpalan ombak laut.

Siau-liong menyadari bahwa gelombang yang menggoncangkan bumi itu adalah sebuah tenaga sakti aneh Ki-bun-tun-kang yang menggunakan entah berapa puluh anak buah Lembah Semi.

Dipersatukan menjadi tenaga sakti Thay-kek-bu-wi-kang dan Thay-im-ki-bun-kang. Hantaman dari arus tenaga sakti itulah yang membuat bumi bergoncang seolah-olah ditimpa gempa.

Siau-liong memeluk Mawar Putih untuk memberi saluran tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Kemudian ia kembangkan tenaga sakti lunak untuk menahan arus serangan itu.

Pertempuran adu tenaga sakti berlangsung beberapa waktu. Pelahan-lahan kabut dan pasir terdampar ke belakang dan tanah yang dipijaknya itu pun menjadi tanah biasa lagi.

Tetapi gumpalan kabut itu berhenti pada jarak beberapa langkah. Seperti ada suatu tenaga lain yang menghentikan buyarnya kabut itu. Kembali terjadi pertempuran hebat adu tenaga sakti. Kabut tak dapat mundur tetapi pun tak dapat melayang maju lagi.

Setelah berlangsung beberapa waktu, tiba-tiba terdengar letupan keras. Kabut itu berhamburan lenyap dan keadaan dalam sungai itupun tampak seperti biasa lagi.

Mawar Putih kagum atas kesaktian Siau-liong. Dipandangnya anak muda itu dengan tersenyum tawa. Kemudian keduanya bergandengan tangan melangkah maju.

Mereka merasa sebagai sepasang muda mudi yang berjalan dengan mesra. Tetapi bagi pandangan mata berpuluh anak buah Lembah Semi yang bersembunyi di sekeliling tempat itu, kedua pemuda itu adalah seorang lelaki tua berwajah buruk dengan seorang wanita yang berkerudung muka.

Baru melangkah dua tiga tindak, tiba-tiba keduanya mendengar genderang bertalu tiga kali. Suaranya amat dahsyat sekali. Seketika pemandangan yang terbentang dihadapan, berobah sama sekali.

Sekeliling penjuru penuh dengan gunung es dan karang es. Ada yang menjulang tinggi macam tiang penyangga langit. Ada yang berkilat-kilat menyilaukan mata, atasnya datar, tetapi bagian-bagian bawah runcing dan salju yang menutup gunung itu mencair dan mengalir turun seperti banjir. Kesemuanya itu merupakan pemandangan yang ngeri.

Siau-liong tetap memeluk Mawar Putih dan membantu si dara dengan penyaluran tenaga sakti. Ia tahu bahwa pemandangan di muka itu hanya pemandangan buatan yang diciptakan oleh Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka.

Kembali ia gunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang yang bersifat panas untuk menghancurkan gunung es itu.

Tak berapa lama gunung-gunung dan karang es itu meleleh dan mengalir menjadi air ke dalam sungai. Pemandangan dalam lembah itu kembali pula seperti semula.

Pada saat Siau-liong dan Mawar Putih saling berpandangan dengan heran, tiba-tiba muncullah nona pemilik lembah diiring duapuluh orang dara cantik.

"Aku disuruh mewakili ayah dan ibu untuk menyambut kedatangan saudara berdua!" kata nona itu dengan memberi hormat.

Siau-liong hanya menyahut singkat. Kemudian nona pemilik lembah itu mengibaskan tangan. Ia dan ke duapuluh pengiringnya itu segera melenyapkan diri dibalik jajaran batu-batu besar.

Siau-liong menimbang. Karena nona pemilik lembah itu sudah keluar menyambut sendiri, tentulah sudah tak ada lagi rintangan alat-alat rahasia. Segera ia ajak Mawar Putih melangkah kemuka.

Setelah keluar dari lembah, membelok kesebelah kiri dan menyusur jalan. Membelok sekali lagi, tibalah mereka di pintu batu yang atasnya tergantung dua buah papan bertuliskan:

"Dunia persilatan tergabung satu
Lembah Semi mengubur orang gagah."

Ditengah kedua papan itu terdapat sebuah papan lagi yang bertulis,

“Pesiar ke lembah sambil menghadiri pertandingan besar adu kesaktian."

Siau-liong heran. Saat itu masih lama dengan hari pertandingan yang akan dilangsungkan pada pertengahan musim rontok. Tetapi mengapa persiapan telah dilakukan sedemikian rupa.

Ah, tentulah Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sudah memperhitungkan kemungkinan It Hang totiang akan menyerbu sebelum hari pertandingan itu. Maka ia sudah mengadakan persiapan lebih dulu.

Tengah Siau-liong mencemaskan keselamatan It Hang totiang dan rombongan orang gagah, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan entah darimana datang, muncullah nona pemilik lembah beserta ke duapuluh dara pengiringnya tadi. Mereka menyambut Siau-liong dan mempersilahkan masuk.

Siau-liong mendengus. Sambil menarik tangan Mawar Putih, ia melangkah masuk. Tertawa nyaring lalu membentak keras, “Undangan adu kepandaian, ditetapkan pada nanti hari Tiong-jiu tetapi mengapa....?”

Nona pemilik lembah itu tertawa mengekeh, “Perhitungan manusia sering meleset. Maka serempak dengan mengirim undangan, ayah dan ibu terus mempersiapkan segala sesuatu....” ia berhenti sejenak memandang kepada Siau-liong dan Mawar Putih lalu berkata pula, “Seluruh orang gagah dalam dunia persilatan sudah terjaring. Kini hanya kurang kalian berdua saja!"

Habis berkata ia terus menarik sebuah kain sutera merah yang menutup sebilah papan dari batu kumala merah. Papan batu itu setinggi satu tombak tetapi tak terdapat suatu tulisan apa-apa.

Dengan tertawa-tawa nona itu mengambil pit atau pena lalu menulis di atas papan kumala itu.

Kesan-kesan Pesiar ke Lembah Semi

Walaupun hanya sebuah pit, tetapi ketika dituliskan, tak ubah seperti ujung pisau yang tajam. Tulisan itu terukir pada batu pualam sedalam dua tiga dim.

Dan setelah diletakkan lagi, pit itu tetap lurus seperti belum dipakai.

Siau-liong mendongkol sekali. Diambilnya pena itu lalu dicorat-coretkan di atas meja sehingga ujung pit yang terbuat daripada bulu, menjadi kacau balau. Setelah itu pit dicelupkan ke dalam tinta bak.

Mawar Putih heran melihat tingkah laku pemuda itu. Seperti yang dilakukan nona pemilik lembah tadi, adalah mudah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya keujung pit sehingga pit itu berobah sekeras pisau. Tetapi mengapa Siau-liong mencelupkan ujung pit ke dalam tinta. Bukankah pit itu akan lemas karena basah. Dan kalau basah, bukankah akan sukar disaluri tenaga dalam?

04.16. Ujian Pemilik Lembah Maut

Pada saat itu Siau-liong sudah siap menulis. Ujung pit yang kalut tadi, saat itu lurus lagi. Maka mulailah ia menulis:

"Pendekar Kesatria
Muncul di dunia
Membasmi kejahatan
Mengamankan persilatan."

Nona pemilik lembah itu terbeliak kaget. Tulisan Pendekar Laknat Siau-liong itu menggoreskan tulisannya sampai setengah inci ke dalam papan batu. Tulisannya berwarna hitam jelas sekali.

Habis menulis, Siau-liong tertawa gelak-gelak. Ia lemparkan pit itu ke arah pintu batu. "Bluk", pit jatuh tepat ditengah-tengah pintu.

Kembali pemilik lembah terbeliak kaget menyaksikan kepandaian Siau-liong yang dianggapnya Pendekar Laknat itu.

Kemudian Siau-liong gunakan jarinya untuk menggurat dibawah tulisannya tadi:

Kesan dari Pendekar Kesatria.

Dengan mengganti nama dari Bu-kek-gong-mo atau Pendekar Laknat dengan Bu-kek-sin-kun atau Pendekar Kesatria itu, jelaslah sudah maksud Siau-liong. Ia menyatakan bahwa Pendekar Laknat sekarang bukan lagi seorang momok ganas seperti dahulu melainkan seorang Kesatria yang hendak membela kebenaran, menegakkan keadilan, membasmi kejahatan dan melenyapkan kelaliman.

Pemilik lembah segera melangkah ke dalam.

Siau-liong menggandeng Mawar Putih mengikuti dari belakang. Sepanjang jalan yang dilalui, alam, pemandangannya amat indah sekali. Sedikit pun tiada tanda-tanda bahwa lembah seindah itu merupakan suatu tempat penjagalan manusia yang ganas......

Setelah dua tiga kali membelok, tibalah mereka diruang besar yang menyerupai sebuah paseban istana.

Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka sudah menunggu disitu. Melihat Pendekar Laknat datang bersama Ki Ih, mereka menyeringai sinis. Didepan meja yang berada disebelah mukanya, telah disiapkan berpuluh gelas emas.

Siau-liong tahu bahwa iblis itu hendak mengadakan adu minum arak. Tetapi heran, mengapa menyediakan sekian banyak cawan? Apakah gunanya?

Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh yang menyeramkan. Dewi Neraka segera mengangkat poci arak lalu dengan gerak yang istimewa, arak itu memancur keluar ke arah berpuluh cawan. Dalam beberapa kejap saja, berpuluh-puluh cawan itu sudah penuh semua.

Kemudian Dewi Neraka itu unjukkan kepandaian lebih jauh. Ia ngangakan mulutnya dan arak dalam berpuluh cawan itu meluncur keluar, masuk ke dalam mulut wanita itu lagi.

Walaupun kepandaian menekan dengan tangan dan menyedot dengan mulut, bukanlah suatu kepandaian yang mengherankan tetapi karena Dewi Neraka dapat mengisi dan menyedot arak dari sekian puluh cawan besar kecil, diam-diam Siau-liong kagum juga.

Siau-liong sejenak memandang ke arah Mawar Putih, memberi senyuman lalu melangkah maju dengan tenang.

Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka menunggu dengan penuh perhatian.

Dengan kedua tangan Siau-liong mencekal poci arak itu. Seketika dari poci itu meluncur keluar sepuluh buah pancuran kecil. Kesepuluh pancuran itu memancur ke atas lalu berhamburan jatuh ke dalam berpuluh-puluh cawan arak. Setetes pun tiada yang menumpah ke meja.

Sudah tentu pertunjukkan itu mengejutkan Dewi Neraka dan Iblis Penakluk-dunia. Namun mereka berusaha untuk bersikap tenang-tenang saja.

Siau-liong duduk bersila. Sekali ngangakan mulut, ia menyedot arak dari lima cawan. Sekaligus, lima cawan berisi arak itu telah disedotnya habis. Kemudian diulanginya lagi. Tiap kali ia selalu menyedot lima cawan arak.

Pada waktu pertunjukan itu berlangsung hingga semua cawan telah habis disedotnya, tiada seorang pun yang berani bernapas.

Setelah itu giliran Iblis Penakluk dunia. Iblis itu mengangkat sebuah poci arak yang besar. Begitu besar hingga lebih tepat kalau disebut bejana atau guci.

Setelah guci besar itu dicekal, ia gunakan ilmu tenaga dalam yang paling sukar diyakinkan yakni sifat MELEKAT. Cawan-cawan arak besar itu segera saling melekat rapat. Sekali menunduk, berpuluh cawan arak itu segera penuh dengan arak. Dan sekali iblis itu lekatkan bibirnya pada sebuah cawan yang paling besar, arak pun segera meluncur ke dalam mulutnya.

Sepintas pandang memang cara minum itu, tiadalah yang mengherankan. Tetapi ketika diperhatikan dengan seksama, orang tentu akan terperanjat.

Kiranya arak yang diminum dari cawan besar itu, tak pernah habis. Tetapi berpuluh cawan besar kecil yang melekat pada cawan besar itu, isinya meluap ke atas dan mencurah ke cawan sebelahnya dan cawan itu pun meluap menumpah ke lain cawan. Dengan luapan secara berantai dari satu ke lain cawan itu, akhirnya menumpah kecawan besar yang diminum Iblis Penakluk dunia itu. Itulah sebabnya mengapa arak dalam cawan besar itu tak habis-habisnya.

Kemudian Iblis Penakluk-dunia membuka mulut menghadap ke atas. Sekali ia mengangkat cawan besar itu, maka meluncurlah air ke udara sampai satu tombak tingginya. Air itu meluncur turun tepat masuk ke dalam mulut Iblis Penakluk-dunia!

Selesai minum, iblis itu segera gunakan tenaga sakti untuk menjajar puluhan cawan di tanah. Jaraknya dengan Siau-liong lebih kurang dua meter. Cawan kecil terletak paling depan dekat Siau-liong sedang cawan besar paling belakang, kira-kira setombak jauhnya dari pemuda itu. Jika Siau-liong hendak mengambil cawan besar itu, tentulah ia harus berbangkit. Suatu hal yang mengurangkan perbawanya.

Siau-liong tak mau unjuk kelemahan. Iapun gunakan tenaga sakti untuk menyedot jajaran cawan itu. Bagaikan seekor ular, jajaran cawan yang masih melekat satu sama lain itu, bergerak-gerak menghampiri ketempatnya.

Menyaksikan kesaktian Pendekar Laknat dalam ilmu tenaga dalam untuk menyedot itu, diam-diam Iblis Penakluk dunia cucurkan keringat dingin. Ia tak kira kalau Pendekar Laknat saat ini telah mencapai tataran ilmu tenaga dalam yang sedemikian hebatnya.

Dalam pada itu, setelah menarik jajaran cawan, Siau-liong segera mengangkat naik. Serempak berpuluh cawan besar kecil itu naik mendatar ke atas tanah. Lalu ia menuangkan arak memenuhi semua cawan. Sekali ia memijat cawan yang paling muka, maka arak dan cawan besar kecil itu, satu demi satu meluncur ke dalam mulut Siau-liong.

Habis minum, ia menarik jajaran cawan yang melekat itu terus ditaburkan ke arah dinding ruang yang terbuat dari batu marmar.

“Crek....... crek......” berturut-turut cawan-cawan itu menyusup ke dalam dinding, tepat membentuk beberapa huruf yang berbunyi:

"Kesan Pendekar Kesatria dalam pertandingan minum arak."

Siau-liong berbangkit, membersihkan pakaiannya lalu tertawa nyaring......

Iblis Penakluk dunia tak dapat berbuat apa-apa kecuali tertawa dingin. Ia segera berbangkit dan melangkah keluar. Siau-liong dan Mawar Putih mengikutinya.

Setelah membelok dua tiga buah tikungan, tibalah mereka disebuah hutan aneh. Dikata aneh karena hutan itu terdapat papan nama yang berbunyi:

Hutan Nafsu!

Dalam Hutan Nafsu itu terdapat tak kurang dari duaratus batang pohon yang daunnya bergemerlapan seperti kumala dan dahan-dahan berwarna emas. Setiap batang pohon, tergantung sepuluh buah Giok-pwe seperti kepunyaan nona Tiau Bok-kun. Baik bentuk dan ukiran kembangannya, menyerupai sekali. Kemungkinan nona itu pernah datang kesitu, lalu lencananya Giok-pwe ditiru dan dibuat sebanyak-banyaknya.

Pada tepi hutan itu terpancang sebuah papan kayu yang bertuliskan:

"Pada setiap pohon wangi
Harus membedakan tulen palsu
Giok-pwe dipersembahkan!
Tentu takkan mengecewakan.
Namun bila tak berhasil
Adalah kesalahanmu sendiri.
Dirimu terbakar api
Tulang belulang mendjadi abu."

Didepan papan itu terdapat sebuah meja dan dimeja itu terletak sebuah Kim-ting atau Bejana emas yang penuh dengan segenggam kayu cendana.

Siau-liong memperhitungkan. Jika menyalakan kayu cendana itu, paling banyak hanya berlangsung sampai sepenanak nasi. Dalam waktu sepenanak nasi itu untuk membedakan mana Giok-pwe yang tulen dan mana yang palsu, sungguh tak mungkin dapat!

Di lain ujung dari hutan itu, tampak sebuah lubang sedalam satu tombak. Lubang itu penuh dengan kayu bakar dan ranting kering serta bahan bakar lainnya.

Sedang sekeliling Hutan Nafsu itu penuh dijaga oleh anak buah Lembah Semi yang ketat sekali. Sekali kedua suami isteri momok itu memberi isyarat, mereka tentu akan segera menyerbu.

Pada saat Siau-liong merenungkan cara yang akan diambilnya, tiba-tiba Mawar Putih menggamit lengannya dan berbisik, “Tolol, semua itu palsu!"

Siau-liong tertegun. Tetapi cepat ia dapat menyadari. Giok-pwe yang asli harganya sama dengan sebuah kota. Setiap orang persilatan sama mengiler untuk mendapatkan benda itu. Tak mungkin kedua suami-isteri momok itu mau menggantungnya pada pohon dan suruh orang mencarinya.

Merasa dirinya ditipu, marahlah Siau-liong. Sekali ayunkan tangan, bejana di atas meja itu hancur berantakan.

Melihat itu Dewi Neraka marah sekali. Sambil bersuit nyaring, ia loncat keluar menyerang seraya membentak, “Iblis Laknat, engkau mencari mati sendiri!"

Gerakan tongkat itu menimbulkan deru angin dahsyat yang melanda Siau-liong. Siau-liong tenang-tenang menangkis dengan tangan.

Dewi Neraka makin marah. Serangannya yang dahsyat itu dapat dihalau secara tepat oleh lawan. Tiba-tiba ia enjot tubuhnya melayang ke atas sebatang pohon. Sambil menginjak daun puncak pohon itu, ia menyambari Siau-liong, “Hai, Pendekar Laknat, selama duapuluh tahun ini, sudah berapa tingginya kesaktianmu. Hayo, kita adu kepandaian di puncak pohon ini!"

Siau-liong sejenak berpaling memberi senyuman kepada Mawar Putih. Maksudnya minta nona itu jangan kuatir.

Mawar Putih mengangguk.

Sekali menjejak tanah, tubuh Siau-liong meluncur ke udara lalu hinggap di puncak pohon berdiri dengan sebelah kaki.

Dewi Neraka diam-diam terkejut menyaksikan ilmu meringankan Pendekar Laknat yang sedemikian hebatnya. Ia tentu akan lebih kaget lagi apabila mengetahui bahwa sesungguhnya momok Pendekar laknat yang berdiri dihadapannya itu hanya seorang pemuda belasan tahun umurnya.

Dewi Neraka mulai beraksi. Segera ia gunakan tenaga sakti Thay-im-ki-bun-kang yang diyakinkan selama berpuluh tahun untuk memutar tongkatnya. Taburan tongkat itu menghamburkan suatu angin tenaga dalam yang merontokkan daun-daun kumala bertebaran mengelilingi tubuhnya. Tebaran daun-daun kumala itu menimbulkan suara tajam macam suitan yang nyaring. Sepintas pandang menyerupai ribuan batang golok terbang yang berkilat-kilat menyeramkan.

Tangan kanan memainkan tongkat, tangan kiri Dewi Neraka itu bergerak naik turun. Tiba-tiba tebaran daun-daun kumala itu melekat panjang, menjadi semacam puluhan batang jwan-pian atau cambuk ruyung yang menyerang Siau-liong.

Siau-liong tertawa melengking. Ia sudah siap menyambut dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Namun ia tenang-tenang saja menunggu serangan.

Dewi Neraka terkejut. Serangan ruyung dari daun kumala itu seolah-olah terpancang oleh sekeping dinding baja yang tak kelihatan. Dan bukan melainkan itu saja, pun ketika Dewi Neraka gerakkan tangan hendak menarik balik ruyung daun tu, ternyata tak mudah. Ruyung-ruyung daun itu seperti tersedot oleh suatu hawa yang amat kuat.

Dewi Neraka menambahi tenaga saktinya, tampak amat tegang. Dahinya penuh butir keringat. Setelah mengerahkan seluruh tenaganya sampai beberapa saat, barulah ia berhasil menarik balik ruyung daunnya.

Sekonyong-konyong daun-daun kumala itu mengelompok dan membentuk diri menjadi enambelas bunga teratai. Setelah berjajar menjadi sepasang barisan "Pa-kwa-tin”, lalu mulai bergerak menyerang Siau-liong.

Ternyata Dewi Neraka telah gunakan ilmu tenaga dalam Thay-im-ki-bun-kang dan ilmu hitam ajaran aliran agama Pek-lian-kau, untuk membentuk barisan Lian-hoa-pat-kwa-tin atau barisan bunga teratai yang berbentuk pat-kwa.

Kali ini jika Siau-liong tetap gunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, tentu celakalah ia.

Ternyata keistimewaan dari barisan bunga Teratai itu ialah kalau dilawan dengan tenaga. Sekali terlanda oleh tenaga, betapapun kecil tenaga hantaman itu, barisan Teratai akan pecah berhamburan menyerang seluruh jalan darah pada tubuh orang.

Suatu hal yang tak mungkin Siau-liong mampu menjaga.

Sesungguhnya Siau-liong tak tahu hal itu. Namun ia pun tak mau menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang untuk menangkis. Melainkan menaburkan lengan jubahnya kian kemari. Dengan gerakan itu dapatlah ia melepaskan barisan Teratai dari kekuasaan tangan Dewi Neraka.

Dewi Neraka terkejut sekali. Buru-buru tarikan tangannya lebih gencar. Dengan usaha itu dapatlah ia mengambil kembali kekuasaan pada bunga Teratainya. Tetapi hal itu hanya berlangsung tak lama, beberapa saat kemudian kembali Teratai-teratai itu lolos dari kekuasaannya dan ikut berputar-putar menurut jubah lengan Siau-liong.

Dewi Neraka makin penasaran. Ia pusatkan lagi tariannya dan berhasil menguasai bunga Teratai tetapi beberapa saat kemudian, lepas lagi.

Dengan demikian terjadilah perpindahan beberapa kali. Setelah mencapai perpindahan sampai delapan kali, Siau-liong dapat menguasai teratai-teratai itu agak lama. Dewi Neraka mandi keringat berjuang untuk merebut. Tetapi tampaknya ia sudah tak mampu lagi......

Melihat isterinya menderita kekalahan, sepasang mata Iblis Penakluk dunia berkilat-kilat memancarkan api. Benaknya mulai menimang-nimang untuk menggunakan siasat yang sangat ganas.

Kebalikannya, Mawar Putih berseri-seri girang atas kemenangan Siau-liong.

Saat itu Siau-liong hendak berputar tubuh dan loncat turun dan puncak pohon. Tiba-tiba Mawar Putih melengking keras, “Awas!"

Siau-Jiong mendengus dingin. Cepat ia berputar lagi dan lepaskan pukulan Menjungkir-balik-gunung-sungai.

Iblis Penakluk-dunia yakin bahwa serangannya dari belakang itu tentu akan berhasil menghancurkan Pendekar Laknat. Maka ia gunakan jurus Menghancurkan-gunung-Hoa-san yang diLancarkan dengan kilat. Setitikpun ia tak menduga bahwa Pendekar Laknat dapat bergerak lebih cepat. Jika adu kekerasan, tentulah kedua-duanya akan sama-sama terluka.

Tempo hari ketika di bagian lembah, ia pernah adu pukulan dengan Siau-liong dan menderita. Ia tak mau menderita untuk yang kedua kalinya. Cepat ia menarik pulang tangannya dan loncat menghindar ke samping.

Siau-liong tertawa mengejek, “Ho, kiranya engkau juga hanya bangsa anjing buduk yang suka menyerang dari belakang......”

Belum selesai memaki, Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka sudah menyerbunya. Siau-liong songsongkan kedua tangannya dengan pukulan Tay-lo-kim-kong.

Demikian ketiga orang itu bertempur di atas pohon. Suatu pertempuran yang hanya dilakukan oleh jago-jago yang sudah tinggi ilmu meringankan tubuhnya.

Siau-liong diserang dari muka dan belakang oleh kedua suami isteri durjana itu. Dalam suatu adegan, Siau-liong berhasil menggunakan siasat. Ketika Iblis Penakluk-dunia menghantam dari belakang dan Dewi Neraka memukul dari muka, Siau-liong loncat melambung ke udara.

Kedua suami isteri itu terkejut. Mereka buru-buru berusaha sekuat-kuatnya untuk menarik pulang pukulannya agar jangan saling berhantam sendiri.

Pada saat itulah, Siau-liong gunakan pukulan Siu-lo-pan-chia menghantam mereka. Pemuda itu benar-benar cerdik sekali. Kalau hanya pukulan Siau-liong itu saja, tentu kedua suami-isteri iblis itu tak sampai menderita bahaya.

Tetapi kedua suami isteri itu sedang menarik pulang pukulannya. Pada saat itulah Siau-liong menyusuli dengan hantaman. Kedua durjana itu terdampar ke belakang sampai belasan langkah dan terhuyung-huyung mau jatuh.

Namun kedua suami isteri itu adalah dua dari Lima Durjana yang paling ditakuti dunia persilatan. Kepandaian mereka memang bukan olah-olah hebatnya. Pukulan Siau-liong itu tak sampai membuat mereka kalah.

Pada saat tubuh berayun-ayun mau jatuh, mereka malah enjot tubuhnya ke udara seraya lepaskan hantaman ke arah kepala Siau-liong. Suatu gerakan yang tak terduga-duga dan luar biasa.

Melihat itu Mawar Putih kucurkan keringat dingin. Ia terkejut dan hampir saja menjerit karena mengira Siau-liong pasti celaka.

Tetapi ternyata Siau-liong memiliki jurus istimewa dalam ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Ilmu pukulan sakti ajaran mendiang Pengemis Tengkorak Song Thay-kun itu mempunyai sebuah jurus yang disebut Dewa-menderita-berkelana. Justeru dalam keadaan yang berbahaya, jurus itu dapat mengembangkan kedahsyatannya.

Tampak pemuda itu bergeliatan seperti orang yang hampir tenggelam dalam air. Tahu-tahu ia sudah lancarkan jurus istimewa Dewa-menderita-berkelana......

Seketika kedua suami isteri durjana itu rasakan darahnya bergolak keras. Mereka terkejut sekali. Buru-buru mereka meluncur setombak jauhnya dan hinggap di atas sebatang dahan. Jelas mereka sudah kehabisan tenaga.

Tetapi kedua suami isteri iblis itu selain licik dan penuh akal muslihat, juga memiliki ilmu Hitam yang tinggi. Iblis Penakluk dunia mendahului loncat turun kebumi seraya menantang. "Hai, Laknat. Bertempur di atas pohon sudah kuakui kepandaianmu. Hayo, kita bertempur dibawah lagi!"

Saat itu Dewi Neraka pun menyusul turun dan berdiri disamping suaminya. Sambil menunggu Siau-liong, mereka cepat menggunakan kesempatan untuk menyalurkan darah, memulangkan tenaga.

Siau-liong tertawa nyaring, serunya, “Tetamu harus menurut kemauan tuan rumah. Terserah kalian hendak memilih acara apa sajalah."

Setelah menyalurkan darah itu, tenaga Iblis Penakluk dunia kembali segar. Ia tersenyum, “Laknat tua....”

"Bukan, panggillah Pendekar kesatria!" cepat Siau-liong menukas.

Iblis Penakluk-dunia tertawa gelak-gelak, “Ho, tak kira engkau si tua bangka ini juga gila nama kosong......"

Setelah berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Masih ingatkah engkau akan peraturan lama ketika kita bertempur sampai limapuluh jurus dahulu?"

Sudah tentu Siau-liong tak tahu. Namun ia tak mau diketahui orang. Sambil tertawa hambar ia menyahut, “Aku belum pikun, masakan lupa!"

“Bagus!" teriak Iblis Penakluk dunia, "sekarang engkau menurut lagi peraturan lama itu. Terima dulu lima puluh jurus seranganku, baru nanti kita bicara lagi!"

Sungguh licin sekali iblis tua itu. Dengan peraturan itu, ia bebas menyerang Siau-liong sampai limapuluh jurus tanpa memberi hak pada Siau-liong untuk balas menyerang.

Siau-liong terpancing. Karena malu mengatakan tak tahu tentang peraturan lama antara Pendekar Laknat dengan Iblis Penakluk dunia, ia segera tertawa menghina, “Silahkan, aku siap menanti serangamu!"

Iblis Penakluk-dunia tak mau banyak bicara lagi. Cepat ia sudah lancarkan jurus Lima gunung menindih kepala. Dan serempak dengan itu Dewi Neraka pun gerakkan tongkatnya, menyapu pinggang Siau-liong dalam jurus Bumi-merekah-gunung-meletus......

Serangan kedua durjana itu merupakan kombinasi serangan yang serasi. Dahsyatnya bukan alang kepalang. Tokoh-tokoh paling sakti dari kalangan partai yang manapun, jika menghadapi serangan kedua suami isteri durjana itu, tak boleh tidak tentu akan remuk!

Kedua suami isteri durjana itu diam-diam memperhatikan bahwa kesaktian Pendekar Laknat sekarang ini, jauh melebihi dari duapuluh tahun yang lalu. Kuatir kalau kalah, maka Iblis Penakluk-dunia lalu menggunakan cara licik itu.

Siau-liong terkejut. Ia masih asing dengan jurus serangan dari kedua iblis itu. Maka ia berlaku hati-hati sekali. Lebih banyak menjaga diri dari pada menyerang.

Demikian cepat sekali serangan itu sudah berjalan sepuluh jurus. Tiba-tiba kedua momok itu merobah gaya serangannya. Mereka menyerang sederas hujan mencurah dan sedahsyat badai melanda.

Melihat itu Mawar Putih gelisah sekali. seperti semut di atas papan besi panas. Sampai-sampai ia tak berani bernapas karena pikirannya amat tegang sekali. Diam-diam ia memanjatkan doa semoga Siau-liong berhasil selamat dari ke limapuluh jurus serangan kedua iblis itu.

Seluruh perhatian dara itu tercurah akan jalannya pertempuran. Setiap jurus dihitungnya dengan cermat sekali. Setiap jurus, membuat jantungnya mendebur keras. Ketika sudah sampai hitungan ke empatpuluh, diam-diam hatinya merekah girang.

"Sudah empatpuluh jurus, tinggal sepuluh jurus lagi, ah, dia berhasil dengan selamat," pikirnya.

Tetapi, ah...... pada saat ia mulai menghitung jurus yang ke empatpuluh satu dan menyusul akan tiba jurus yang ke empatpuluh dua, diam-diam ia mengeluh.

Mulai jurus yang ke empatpuluh satu itu, gerakan kedua iblis itu tiba-tiba menjadi lambat. Hanya gerakannya yang tampak lambat tetapi kedahsyatan dan keganasannya serta perobahannya, benar-benar belum pernah terjadi jurus ilmu serangan semacam itu, dalam sejarah dunia persilatan selama duapuluh tahun yang terakhir ini.

Pada duapuluh tahun yang lalu, Pendekar Laknat memang jatuh dibawah sepuluh jurus serangan kedua suami isteri iblis itu. Walaupun karena mendapat rejeki luar biasa, minum darah binyawak tua, makan buah Im-yang-som dan disaluri tenaga-dalam oleh Koay suhu atau Pendekar Laknat, Siau-liong menjadi pemuda gemblengan.

Tetapi dalam pengalaman bertempur menghadapi tokoh-tokoh sakti semacam suami isteri iblis itu, ia masih kurang. Oleh karenanya, saat itu ia kelabakan dan terdesak di bawah angin.

Mulai dari jurus yang ke empatpuluh satu itu, baik gerakan suami isteri iblis itu menggunakan tenaga berat atau ringan, tetap membuat Siau-liong groggi atau sempoyongan. Kepalanya pening, mata berkunang dan darah bergolak-golak. Ia seperti seorang mabuk yang tak tahu arah penjuru lagi......

Mawar Putih benar-benar bingung sekali. Hatinya seperti disayat sembilu dan air matanya pun berderai-derai turun......

Namun dara itu tak dapat berbuat suatu apa. Dalam peraturan dunia persilatan, pada setiap adu kepandaian walaupun dengan cara yang bagaimana tak adilnya, orang lain tak boleh ikut campur membantu. Itulah sebabnya ia seperti seorang gagu yang sakit ketulangan. Tahu sakit tetapi tak dapat menyatakan dan berbuat apa-apa......

Pada jurus yang ke empatpuluh lima, sekonyong-konyong Siau-liong memekik kaget. Mawar Putih pun tersentak kaget dan kucurkan keringat dingin.

Serangan jurus ke empatpuluh lima itu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali. Siau-liong terkejut sekali dan sampai menjerit kaget. Ia gunakan gerak-langkah Thay-siang bu-kek-poh-hwat untuk menghindar dari serangan maut itu. Ah...... ia berhasil lolos dari lubang jarum. Tubuhnya basah kuyup bersimbah peluh!

Sejak keluar dari pusar bumi dan mendapat ilmu kesaktian dari Pendekar Tengkorak Song Thay-kun serta Pendekar Laknat, baru pertama kali itu Siau-liong menghadapi pertempuran yang membuat semangatnya serasa terbang!

Suami isteri iblis itu tak memberi ampun lagi, Mereka melancarkan serangan maut lagi. Jurus ke empatpuluh enam dapat dihadapi Siau-liong dengan selamat. Tetapi pada jurus yang ke empatpuluh tujuh, ia terdesak lagi dan pontang panting tak keruan......

05.17. Pertempuran Dalam Air

KELEDAI MALAS BERGULING-GULING, demikian jurus yang digunakan Siau-liong ketika diburu serangan dari empat penjuru oleh kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Dengan menjatuhkan diri berguling-guling di tanah dapatlah Siau-liong menyelamatkan diri dari serangan yang ke empatpuluh tujuh. Jubahnya menderita robek beberapa tempat.

Waktu suami isteri ganas itu melancarkan serangan pada jurus ke empatpuluh delapan, si dara Mawar Putih tak dapat menahan diri lagi. Ia tak peduli lagi segala peraturan dunia persilatan. Secepat mencabut pedang, ia terus hendak loncat maju membantu pemuda itu.

Untunglah Siau-liong ternyata dapat lolos dari serangan lawan. Pemuda itu hanya menderita napas sesak karena tekanan angin pukulan suami isteri iblis.

Jurus ke empatpuluh sembilan membuat tubuh Siau-liong basah kuyup mandi keringat. Ia segera kerahkan tenaga murni untuk menghantam dinding kepungan musuh.

“Dess....” terdengar desus benturan angin yang amat keras ketika ia lancarkan pukulan Thay-siang-ciang. Ia gunakan sisa tenaganya dalam pukulan itu. Dahsyatnya bukan alang-kepalang sehingga debu dan pasir bertebaran keempat penjuru.

Tetapi sayang. Karena tenaga dalamnya sudah habis digunakan untuk menghadapi empatpuluh delapan jurus serangan maut dari suami isteri iblis, maka sekalipun pukulannya itu masih mengunjuk perbawa, tetapi tak berisi. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka hanya tersurut mundur dua langkah. Tetapi Siau-liong masih terkurung dalam lingkaran tenaga dalam yang dipancarkan kedua suami isteri iblis itu.

Pada jurus ke limapuluh atau jurus yang terakhir, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka telah gunakan seluruh tenaga sakti untuk melancarkan pukulan maut Thay-im-ki-bun-kang. Dua macam tenaga sakti digabungkan menjadi satu dalam gerak serangan yang serempak.

Siau-liong sudah kehabisan tenaga untuk menolak serangan itu. Ia rasakan dirinya seperti ditimpah gunung Himalaya yang rubuh! Tak boleh tidak, dia tentu hancur lebur......

Tetapi berkat bahan-bahan tulang Siau-liong yang bagus apalagi telah makan buah Im-yang-som dan menghisap darah binatang purba dalam pusar bumi, makin terjepit dalam bahaya makin ia dapat memancarkan tenaga sakti. Semangat ingin hidup, tambah memperhebat daya kekuatan tenaganya.

Dalam jepitan dua macam aliran tenaga sakti dari suami isteri iblis itu, sekonyong-konyong anak muda itu mencelat ke udara sampai dua tiga tombak tingginya. Sambil bergeliatan ia melayang hinggap di atas sebatang pohon, lalu duduk memejamkan mata untuk memulangkan napas.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka benar-benar terlongong-longong melihatnya......

Serangan limapuluh jurus tadi, bagi kedua suami isteri itu merupakan ilmu simpanan yang paling diandalkan. Dan yang mengherankan, Pendekar Laknat menghadapinya dengan jurus-jurus permainan ilmu silat yang baru. Seharusnya, apabila Pendekar Laknat tetap mengunakan jurus seperti dalam pertempuran dahulu tak mungkin dia sampai begitu pontang panting keadaannya.

Sudah tentu kedua suami isteri itu tak tahu bahwa Pendekar Laknat yang dihadapi saat itu bukanlah Pendekar Laknat pada duapuluh tahun berselang, melainkan hanya seorang anak muda yang baru berumur belasan tahun.

Sudah tentu Siau-liong tak tahu cara menghadapi ke limapuluh serangan suami isteri itu. Oleh karena masih kurang pengalaman bertempur, apalagi dikeroyok dua musuh yang sakti, ia menjadi kelabakan setengah mati. Darahnya bergolak-golak keras. Walaupun ia dapat menyelamatkan diri dari limapuluh serangan itu, tetapi ia memerlukan beristirahat untuk menenangkan darahnya.

Tetapi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu menganggap Pendekar Laknat sebagai musuh bebuyutan yang menjadi duri mata mereka. Cepat mereka loncat ke atas menyerang Siau-liong lagi.

Siau-liong pun sudah menjaga kemungkinan itu. Begitu serangan tinju dan tongkat tiba, mendadak ia menghilang. Tahu-tahu ia sudah berdiri dimuka Mawar Putih.

Kedua suami isteri itu makin panas. Mereka malayang turun dan sambil menggerung terus menghampiri Siau-liong.

Siau-liong siap sedia. Tiba-tiba Mawar Putih menyelinap kemuka pemuda itu. Ia kira Siau-liong tentu menderita luka. Tanpa menghiraukan suatu apa, dara itu terus melindunginya.

Siau-liong terkejut. Ia tahu Mawar Putih tak mungkin mampu menerima serangan kedua momok itu. Kepandaian dara itu masih belum memadai.

Pada saat itu Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka sudah mulai lancarkan pukulan dengan sepenuh tenaga.

“Celaka....!” Siau-liong gugup. Untuk maju melindungi dimuka dara itu, jelas sudah tak keburu lagi. Satu-satunya jalan, ia menarik pinggang dara itu terus diseret lari!

Kedua iblis itu meraung-ruang dan mengejarnya. Saat itu hari sudah terang tanah. Keadaan dalam lembah makin jelas. Tiba-tiba Siau-liong tak jauh disebelah muka terdapat sebuah kolam besar seluas seratusan tombak bahu. Hingga menyerupai sebuah telaga besar.

Pikir Siau-liong, kedua momok itu tinggal di daerah pegunungan, mereka tentu kurang mahir berenang dalam air. Maka cepat-cepat pemuda itu menyempal dua batang dahan pohon. Setelah dilempar ke dalam telaga, mereka apungkan diri hinggap di atas dahan itu, meluncur ke tengah telaga.

Begitu tiba, kedua iblis itupun mencontoh tindakan Siau-liong, menggunakan dahan pohon untuk meluncur dipermukaan air.

Siau-liong tenang saja. Sambil bergandengan tangan dengan Mawar Putih mereka meluncur dengan bebas, berlenggang lenggok ke kanan kiri.

Memang perhitungannya tepat. Ilmu air kedua momok tak selihay di atas daratan. Setelah beberapa putaran mengejar, mereka berteriak-teriak seperti kalap yang kehabisan napas.

Akhirnya kedua iblis itu mencari akal. Tak mau mereka bersama mengejar melainkan memencar diri. Iblis Penakluk dunia tetap mengejar di air sedang Dewi Neraka naik ke darat dan berlarian mengelilingi telaga.

Begitu kedua anak muda itu lari ke arah mana saja, cepat Dewi Neraka loncat ke dalam telaga untuk menghadang. Dengan cara itu dapat kedua iblis itu menarik keuntungan dari cara pengejaran itu.

Keadaan Siau-liong makin lama makin berbahaya. Kedua iblis itu makin lama makin dapat mempersempit lingkaran gerak Siau-liong berdua.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Siau-liong rasakan suatu sambaran angin melanda belakangnya. Ternyata kedua suami isteri yang ganas itu tak sabar lagi. Dari jarak jauh mereka sudah lantas mengirim pukulan.

Pada saat keadan makin bahaya dimana kedua suami isteri itu makin mendekat, cepat Siau-liong membuka jubah luarnya sehingga dalam pakaian dalam yang ringkas, tubuhnya tampak tegap kekar.

Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka terbeliak heran melihat tingkah laku Pendekar Laknat itu. Apa perlunya dia membuka jubah?

Kuatir kalau musuh akan melarikan diri, kedua suami isteri iblis itu segera pesatkan serangannya. Setiap kesempatan pukulannya dapat mencapai, mereka segera lontarkan hantaman!

Sambil mengandeng Mawar Putih, Siau-liong tamparkan jubahnya untuk menangkis. Jubah itu mempunyai dwi-fungsi atau dua macam daya kegunaan. Pertama, untuk menangkis. Dan kedua, dengan meminjam tenaga tamparan itu, Siau-liong dapat bergerak dengan pesat.

Kembali kedua suami isteri iblis itu terbeliak. Sesaat mereka kehilangan paham. Cara memutar jubah untuk meminjam tenaga mempercepat gerakan tubuh, sungguh suatu cara yang cerdik sekali.

Kedua iblis itu bingung. Mereka tak berani mendesak maju tetapi pun tak mau melepaskan kurungannya. Karena sekali lepas, sukarlah untuk memperoleh kesempatan sebagus itu lagi.

Mengapa kedua iblis itu juga tak mau meniru perbuatan Siau-liong saja? Ah, kiranya memang berlainan tujuan kedua pihak itu. Siau-liong hanya ingin menghindarkan diri dengan berputar-putar dipermukaan telaga. Sedangkan Kedua iblis itu bertujuan untuk membunuh. Jika mereka menggunakan cara seperti Siau-liong, tentu tenaga pukulan mereka akan berkurang.

Kejar mengejar itu berlangsung cukup lama. Tiba-tiba diluar kesadaran, Siau-liong berdua telah menempatkan diri dalam lingkaran kemampuan pukulan lawan mengenainya. Seketika kedua iblis itu meluncur sambil tertawa lepas. Pada lain saat mereka menghantam dengan tiba-tiba.

Dipermukaan telaga seketika melambung dua gunduk gelombang dahsyat yang muncrat ke atas dengan amat tingginya. Kemudian jatuh berhamburan menimpah Siau-liong dan Mawar Putih.

Sesosok jubah hitam terdampar ke atas dan pada lain saat Siau-liong dan Mawar Putih lenyap.

"Kurang ajar, dia menghilang ke dalam telaga!" gerutu Iblis Penakluk-dunia. Ia bersama isterinya menyurut mundur. Tetapi disekeliling penjuru tak tampak bayangan Siau-liong dan Mawar Putih.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Mereka heran mengapa Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih secepat itu dapat meloloskan diri. Mereka tentu menyelam ke dalam air atau bersembunyi dibalik batu.

Cepat mereka menyelam ke dalam air dan memeriksa gundukan batu di dasar telaga. Walaupun mereka mempunyai indera penglihatan yang tajam sekali tetapi karena berada di dalam air, mereka tak dapat melihat dengan jelas.

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia melihat di balik sebuah batu besar, dua sosok tubuh mendekam.

Cepat ia menyerbunya.

Pyah, pyah. pyah.... terdengar air beriak keras dan gelombang muncrat ke atas.

Siau-liong dan Mawar Putih unggul dalam air. Mereka cepat menyongsong iblis itu dengan pukulan. Iblis Penakluk dunia terpaksa berhenti dan menangkis dengan kedua tangannya.

Tetapi iblis itu kalah unggul dalam air. Gelombang air yang selaju kuda lari mendamparnya sehingga ia terpaksa gunakan ilmu Cian-kin-tui atau Kaki-seribu-kati dan meramkan mata untuk bertahan diri.

Pada saat ia membuka mata, Pendekar Laknat dan Ki Ih sudah lenyap lagi. Tetapi ia mendengar air disebelah muka beriak keras. Tentulah Pendekar Laknat dan Ki Ih sedang dikejar Dewi Neraka. Cepat iapun meluncur kemuka. Baru tiga empat tombak berenang, tampak isterinya sedang bertempur dengan Pendekar Laknat dan Ki Ih. Secepat kilat ia segera menyambar pergelangan tangan Pendekar Laknat.

Pertempuran itu telah menyebabkan air beriak seperti diaduk-aduk sehingga sukar untuk melukai lawan. Satu-satunya jalan ialah mencengkeram tangan Pendekar Laknat.

Tetapi Siau-liong diam saja. Baru ketika tangan iblis itu hampir menyentuh pergelangan tangannya, ia segera menjejak lawan. Tetapi Iblis Penakluk-dunia itu juga sakti. Cepat ia mengendap ke bawah dan gunakan jarinya untuk menutuk telapak kaki Siau-liong.

Untuk menghindari ancaman itu, Siau-liong melambung ke atas, berjumpalitan dan menghantam dengan kedua tangannya. Setelah dapat mengundurkan kedua lawan, cepat ia menarik Mawar Putih dan laksana anak panah, mereka meluncur kemuka.

Kedua suami isteri itu bergegas mengejar. Tetapi baru lima enam tombak, mereka sudah kehilangan jejak Siau-liong dan Mawar Putih. Terpaksa kedua iblis itu meluncur ke atas permukaan air lagi. Mereka memutuskan menggunakan siasat ‘menjaga kelinci keluar dari gerumbul'.

Memang benar perhitungan mereka itu. Betapapun pandainya berenang, namun Siau-liong dan Mawar Putih tentu tak mungkin terus menerus menyelam dalam air.

Dengan perhitungan itu, Iblis Penakluk dunia menunggu dalam air, Dewi Neraka di daratan.

Cara itu membuat Siau-liong dan Mawar Putih mati kutu. Keduanya berusaha diam-diam mendekati tepi pantai. Pikirnya, sewaktu kedua iblis lengah, mereka terus hendak loncat ke daratan dan meloloskan diri.

Tetapi pada saat menyembul ke permukaan air Iblis Penakluk-dunia cepat melihatnya. Buru-buru kedua pemuda itu menyelam lagi ke dalam air.

Marah karena dipermainkan Siau-liong dan Mawar Putih, kedua suami isteri iblis itu segera terjun mengejar ke dasar telaga.

Siau-liong terkejut ketika melihat kedua iblis itu menggunakan siasat Barisan-dua-muka untuk mencegat. Karena sukar untuk menembus, Siau-liong menarik Mawar Putih ke sisinya dan siap menghadapi musuh.

Mawar Putih heran mengapa Siau-liong diam saja. Ia salah duga kalau pemuda itu hendak menyerah.

Pada saat itu, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka makin mendekat. Sekonyong-konyong Siau-liong lancarkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Hawa panas yang memancar dari tenaga sakti itu mampu memanaskan air dan menimbulkan gelombang besar.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka terkejut. Buru-buru mereka berhenti dan melancarkan menyalurkan tenaga dalam.

Tenaga dalam Thay-im-ki-bun-kang dari Iblis Penakluk-dunia dan tenaga dalam Thay-im-bu-wi-kang dari Dewi Neraka serentak memancar bersama-sama. Air telaga yang panas itu segera dingin lagi.

Dengan begitu kedua belah pihak sama-sama tak menarik keuntungan apa-apa. Tetapi bagi Siau-liong hal itu tidak menguntungkan. Ia harus lekas-lekas mencari kesempatan lolos.

Tak berapa lama, kedua iblis itu tak tahan lagi berendam dalam dasar air. Iblis Penakluk-dunia segera melambung ke permukaan air. Dengan begitu serangannya pun buyar.

Menggunakan kesempatan itu, Siau-liong cepat menarik Mawar Putih diajak meluncur ke lain tempat. Dalam sekejap saja keduanya sudah mencapai 7-8 tombak jauhnya. Merekapun memerlukan bernapas.

Tetapi begitu keduanya muncul di permukan telaga, suami isteri iblis yang sudah lebih dahulu berada di permukaan air cepat mengejarnya.

Siau-liong lepaskan Mawar Putih dan siap melontarkan pukulan Bu-kek-sin-kang. Sekalipun tak mati tetapi sekurang-kurangnya kedua iblis itu pasti akan menderita.

Dengan menggembor keras, tiba-tiba Siau-liong melambung ke udara dan lepaskan pukulan Dewa menderita-dalam-berkelana.

Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka menyurut mundur satu tombak lalu loncat ke atas potongan dahan kayu dan maju menyerang lagi dengan tongkat dan pukulan. Mereka mencegah agar Siau-liong jangan sampai mendekati Mawar Putih lagi.

Memang Mawar Putih tak menang melawan Dewi Neraka. Tetapi berkat ilmunya berenang yang tinggi, ia dapat melampaui kedua iblis itu. Bahkan menang dibanding dengan Siau-liong.

Begitu melihat Dewi Neraka maju menerjang, mendadak dara itu lenyap.

Pada saat Siau-liong meluncur turun ke air lagi, ia terkejut karena tak melihat Mawar Putih. Tetapi ia tak sempat mencarinya lagi karena saat itu Iblis Penakluk-dunia sudah menyerangnya. Dalam kemurkaannya, Siau-liong balas menghantam lawan.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba Siau-liong mendengar bunyi senjata beradu. Ia duga Mawar Putih tentu benempur di atas daratan dengan Dewi Neraka. Ia cemas. Sekalipun takkan kalah tetapi Mawar Putih tentu tak kuat bertempur lama. Dengan gugup, Siau-liong bersuit nyaring lagi loncat ke udara lagi.

Kuatir lawan akan melontarkan pukulan sakti lagi, buru-buru Iblis Penakluk-dunia menyelam ke dalam air. Kesempatan itu digunakan Siau-liong untuk melayang dua tiga tombak jauhnya. Selekas tiba di air, ia cepat berenang ke daratan.

Tetapi belum Siau-liong mencapai daratan, Mawar Putih sudah meluncur ke dalam air lagi dengan potongan dahan kayu. Ternyata dara itu juga menguatirkan keselamatan Siau-liong. Setelah berhasil melepaskan diri dari serangan Dewi Neraka, cepat ia loncat ke dalam telaga lagi.

Siau-liong meneriakinya dan dara itupun segera lemparkan dua batang dahan kayu. Siau-liong loncat ke atas dahan kayu lalu meluncur bersama dara itu.

Suami isteri iblis mengkal sekali. Mereka gunakan siasat untuk menyerang dari muka dan belakang. Siau-liong terpaksa menghadapi mereka. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah bertempur sampai berpuluh-puluh jurus. Tetapi tetap belum ada yang menang atau kalah.

Rupanya Siau-liong tak sabar lagi. Tiba-tiba ia memekik keras, “Berhenti!"

Kedua suami isteri iblis itu tertegun dan hentikan serangannya.

Siau-liong tertawa keras. Pada saat Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tertegun, Siau-liong cepat menarik tangan Mawar Putih meluncur kedaratan. Dalam beberapa loncatan saja, keduanya sudah mencapai duapuluhan tombak jauhnya.

Dewi Neraka bersuit nyaring. Sambil bolang-balingkan tongkat, ia hendak mengejar. Tetapi dicegah suaminya, “Sudahlah, biarkan mereka lolos!"

"Tolol! Apa engkau gila? Terang mereka sudah hampir kalah mengapa engkau lepaskan lagi?"

Y

Iblis Penakluk dunia tertawa.

"Isteriku, apakah engkau melihat arah mereka lari?" tanyanya.

Sepasang mata wanita iblis itu mengeliar, serunya, “Apa hubungannya dengan orang itu?"

Sambil mengurut jenggotnya yang hampir mencapai lutut, iblis pendek itu berkata dengan gembira, “Mereka menuju ke arah selat Tujuh maut yang menembus ke ujung buntu. Sebelumnya sudah kusuruh murid-murid dan puteri kita supaya bersiap disana. Sekalipun dewa turun kesitu, tak mungkin mampu lolos dari bencana kebinasaan!"

Dewi Neraka menghunjamkan tongkat dan tertawa mengekeh, “Heh, heh, aku memang seorang nenek linglung. Tetapi si tua Laknat itu masih membawa separoh Giok-pwe, jika......”

"Jangan kuatir, isteriku," Iblis Penakluk-dunia menukas, "dalam waktu tiga jam kemudian kutanggung benda itu tentu akan jatuh ditangan kita dalam keadaan utuh!"

Kedua suami isteri itu saling berpandang. Serempak mereka tertawa keras.

Kemudian berkatalah Dewi Neraka dengan berseri gembira, “Asal benda itu jatuh ke tangan kita, dunia persilatan pasti kita kuasai!"

Kembali kedua suami isteri iblis itu tertawa nyaring.

"Tetapi sebelum benda itu jatuh ketangan kita, aku kuatir kedua manusia itu akan muncul menghalangi urusan ini!" tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia berseru.

“Apakah engkau maksudkan si Naga-laknat dan Harimau......”

"Si Naga dan si Harimau kedua iblis itu hanya mengandalkan keberanian. Tak perlu kita cemaskan!" cepat Iblis Penakluk dunia menukas.

Dewi Neraka deliki mata dan membentak suaminya, “Jangan jual lagak! Lekas katakan siapakah manusia itu!"

Dengan wajah bersungguh, Iblis Penakluk dunia berkata, “Yang kukuatirkan bukan lain adalah si Tabib sakti jenggot naga Kongsun Sin Tho dari gunung Hong-san dan puncak Sin-li-hong gunung Busan......”

”Tolol!" Dewi Neraka menukas tertawa, "mengapa makin tua engkau makin bernyali kecil? Engkau takut kepada tabib yang jual resep jamu dan janda yang tak berani ketemu orang itu? Ha, ha......”

Iblis Penakluk-dunia menyingkirkan hidungnya yang melengkung seperti kait, ujarnya, “Benar, si tabib tua Kongsun Sin Tho memang hanya termasyhur dalam ilmu pengobatan dan selama itu orang tak pernah melihat kepandaian silatnya. Orang menganggapnya dia tak mempunyai ilmu kepandaian silat yang berarti. Tetapi sesungguhnya hanya aku seorang yang tahu. Dua puluh tahun yang lalu ketika di gunung Tong-pik-san, aku pernah menderita kekalahan dari orang itu. Kepandaian tabib itu......” — ia berhenti menghela napas.

"Jauh di atas kita berdua," katanya kemudian, "dan tentang janda yang tinggal di puncak Sin-li-hong itu, bahkan lebih sukar lagi dihadapi."

Wajah Dewi Neraka berobah seketika, katanya, “Kalau begitu, kita terpaksa harus melepaskan si tua Jong Ling untuk menghadapi mereka!"

Iblis Penakluk-dunia merenung. Beberapa jenak kemudian ia berkata, “Melepas si Jong Ling memang menguntungkan tetapi juga akan berbahaya...... ah, tetapi mungkin akulah yang berbanyak kecemasan. Selama ini kedua orang itu tak pernah mencampuri urusan orang lain. Kemungkinan dalam urusan kita ini, mereka pun takkan menyimpang dari adat kebiasaannya itu."

Dewi Neraka deliki mata, “Tolol......” tiba-tiba ia tertawa mengekeh. Nadanya macam burung hantu mengukuk di tengah malam.

Iblis Penakluk dunia memandang isterinya, lalu ikut tertawa nyaring: “Isteriku paling lama hanya sehari semalam, kita bakal memperoleh pusaka yang dibuat incaran oleh beribu-ribu manusia dari dahulu sampai sekarang. Pada saat itu, ho, pada saat itu tak ada manusia di dunia yang mampu melawan aku dan engkau!"

Pada saat kedua suami isteri iblis itu sedang bercakap-cakap, Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah bersama anak buahnya muncul. Dengan sikap manja, nona itu jatuhkan diri kedada Dewi Neraka, tanyanya, “Ma, apakah engkau bersama ayah sudah menenggelamkan mereka ke dalam air?"

Sambil membelai-belai rambut puterinya, wanita iblis itu berkata, “Anak tolol....” kemudian ia tertawa mengekeh. Tangan kanan mencekal tongkat, tangan kiri memegang bahu si nona, ia berjalan terhenyak-henyak menuju ke dalam lembah.

Setelah memandang ke arah Siau-liong dan Mawar Putih lari tadi. Iblis Penakluk dunia segera memanggil muridnya, Soh-beng Ki-su.

"Cepat putuskan semua jalan yang menghubungi selat Tujuh-maut. Lalu suruh anak buah dalam lembah berkumpul untuk menunggu perintah!"

Soh-beng Ki-su mengiakan dan terus pergi.

Iblis Penakluk dunia masih tertegun di tempat itu. Wajahnya sebentar gelisah sebentar berobah girang. Setelah Soh-beng Ki-su lenyap, barulah bergegas menyusul isterinya.

05.18. Berganti Rupa . . . . . .

Dilain pihak, setelah lari satu li jauhnya dan tak melihat kedua iblis itu mengejar barulah Siau-liong dan Mawar Putih berhenti.

Napas Mawar Putih terengah-engah. Ia duduk disebuah batu besar dan menghela napas panjang pendek. Siau-liong sejenak memandang ke sekeliling penjuru. Diam-diam ia kerutkan dahi.

Empat penjuru merupakan karang tinggi yang landai, penuh ditumbuhi pakis (lumut) sehingga tak mungkin dipanjat. Disebelah muka tampak jalan kecil yang menyerupai pematang sawah, berkelak-keluk melingkar-lingkar. Dan memandang ke atas hanya langit biru. Tampaknya sepanjang hari lembah itu tak terkena sinar matahari, pula tak pernah didatangi orang......

Ujung mulut selat lembah itu, menembus ke telaga. Hanya itu, tak ada lain-lain jalanan lagi.

Diam-diam Siau-liong menimang dalam hati, “Tampaknya selat ini masih dalam lingkungan Lembah Semi. Anak murid kedua suami isteri iblis itu kemungkinan tentu bersembunyi disekitar situ. Ah, aku harus hati-hati. Kecuali alat-alat rahasia yang hebat, pun kedua suami isteri itu amat ganas dan banyak tipu muslihat......”

Ilmu kepandaian Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang tergolong pada aliran Hitam itu telah mencapai peyakinan yang tinggi. Mau tak mau Siau-liong harus mengakui bahwa baru pertama kali itu ia bertemu dengan musuh yang tangguh. Apalagi kedua suami isteri itu menyerang dengan serempak untuk saling mengisi. Apabila bertempur lama, tentu berbahaya.

Diam-diam hati Siau-liong tergetar. Masuknya ke dalam lembah Semi, walaupun bertujuan hendak melenyapkan Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, tetapi yang penting ialah membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo. Dengan begitu dapatlah ia meminta Mawar Putih untuk membawanya menemui ibunya di luar lautan.

Tetapi ternyata Toh Hun-ki dan rombongannya tak kelihatan. Yang ada adalah kedua suami isteri ganas. Diam-diam Siau-liong menghela napas.

“Bagaimana sekarang kita ini?" Mawar Putih bangkit dari duduk dan menghampiri Siau-liong.

Siau-liong merenung. Katanya sesaat kemudian, “Turut pendapatku, Toh Hun-ki dan keempat Sulo itu tentu sudah ikut rombongan It Hang totiang untuk menggempur Lembah Semi. Ah, bagaimana nasib mereka, sukar diramalkan......”

Kemudian ia berpaling memandang ke arah telaga, katanya lebih lanjut, “Lebih dulu kita harus mencari tempat beristirahat yang tersembunyi. Biarlah aku kembali menyelidiki lembah. Apabila Toh Hun-ki dan rombongannya sudah binasa ditangan kedua suami isteri iblis itu, tetap akan kupotong batang kepalanya dan kubawa kemari!"

Mawar Putih merenung sampai beberapa saat. "Siau.... liong," dara itu berseru pelahan.

Siau-liong terkejut, “Ada sesuatu?"

Mawar Putih tersenyum, “Bukalah kedokmu itu, ah, memuakkan...... sekali!"

Tiba-tiba Siau-liong mendapat pikiran. Jika ia dan Mawar Putih berganti rupa dan tidak lagi sebagai Pendekar Laknat - Ki Ih, kedua suami isteri iblis itu tentu akan bingung.

Segera ia menarik tangan dara itu ke balik gerumbul pohon alang-alang. Alang-alang itu setinggi orang, menjaluri disepanjang jalan yang berkelak-kelok sampai beberapa tombak jauhnya. Suatu tempat persembunyian yang bagus.

Setelah sejenak memandang kesekeliling dan yakin tiada orang, barulah kedua anak muda itu melepas kedok dan pakaian penyamaran mereka. Setelah itu mereka berjalan menyusur ujung jalan kecil itu. Kira-kira sepeminum teh lamanya, barulah mereka keluar.

Kini mereka tiba disebuah selat yang dikelilingi karang dan batu raksasa. Setelah mengamati sekeliling, barulah Siau-liong mengajak Mawar Putih berjalan menurut jalan pematang di tengah selat itu.

Karang di kedua samping jalan amat berbahaya sekali. Menjulang tinggi dengan lempang dan penuh pakis. Tak mungkin dapat di daki orang.

"Makin berjalan makin tak tampak jalanan. Hendak kemanakah engkau ini?" akhirnya karena tak tahan, Mawar Putih bertanya.

“Harap bicara pelahan-lahan saja. Lembah karang ini dapat memantul gema suara sejauh dua li," kata Siau-liong.

Sesungguhnya ia sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengamati keadaan disekeliling dan jalan kecil yang dilewati itu. Maka ia tak jelas yang dikatakan Mawar Putih.

Mawar Putih mendengus dan terpaksa diam.

Karena kuatir selat itu mengandung alat rahasia lagi, terpaksa Siau-liong berjalan dengan pelahan-lahan. Maka hampir sepenanak nasi lamanya, mereka baru mencapai satu li jauhnya.

Jalanan selat lembah itu lurus menuju kemuka. Tampak pada ujung jalan disebelah muka, menjulang sebuah puncak gunung. Sebenarnya apabila sudah tiba di ujung jalan, akan terdapat sebuah jalan tembusan lagi. Tetapi karena tak tahu, Siau-liong berhenti di tengah jalan.

Tengah ia menimang-nimang baik melanjutkan perjalanan lagi atau tidak, tiba-tiba Mawar Putih menjerit kaget. Cepat ia berpaling. Ah, ternyata dara itu tengah ayunkan pedangnya menabas seekor ular besar sepanjang 6-7 meter.

Betapapun Mawar Putih itu seorang anak perempuan yang mempunyai sifat pembawaan bernyali kecil. Sekalipun sudah menabas kutung ular, tetapi wajahnya masih tampak ketakutan.

Ular itu tubuhnya berwarna hijau tetapi ekornya merah. Kepalanya mempunyai sebuah tengger warna hitam. Tubuhnya yang terkutung itu masih bergeliatan tak henti-hentinya. Jelas binatang itu tentu seekor ular yang amat berbisa.

Siau-liong tak menghiraukan. Ia anggap ular itu binatang yang biasa terdapat dipegunungan. Segera ia menarik tangan si dara lagi untuk diajak berjalan menuju ke ujung jalan.

Tiba disitu, disebelah kiri terbentur sebuah selat gunung yang agak lebar. Merupakan sebuah tanah lapang seluas beberapa bahu, dikelilingi oleh deretan puncak gunung yang berjajar rapi. Pohon-pohon layu, mengesankan pemandangan musim rontok yang sayu. Jauh sekali bedanya dengan alam kesegaran dalam Lembah Semi.

Siau-liong berjalan dimuka. Ia berjalan dengan hati-hati. Tiba-tiba Mawar Putih yang berada dibelakangnya menjerit kaget lagi. Jeritan itu menimbulkan gema suara yang berkumandang sampai beberapa li jauhnya.

Ketika berpaling, Siau-liong melihat berpuluh ekor ular besar tengah merayap mendatangi. Mawar Putih siapkan tenjata rahasia Hwe-hun-tun terus ditaburkan ke arah kawanan ular itu. Binatang itu bergeliatan susul menyusul mati.

Kini barulah Siau-liong menyadari bahwa kawanan ular itu bukanlah suatu hal yang kebetulan melainkan tentu suatu perangkap musuh yang sengaja dipersiapkan.

Ia memandang lebih jauh. Dilihat pada celah-celah batu dalam gerumbul rumput, penuh dengan benda-benda yang bergeliatan. Selain ular berbisa, pun terdapat juga binatang kadal, kelabang dan lain-lain serangga berbisa.

Siau-liong cepat suruh Mawar Putih berjalan dimuka dan ia melindungi dibelakangnya. Ia menimang. Jika menggunakan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang atau Thay-siang-ciang, tentulah dirinya akan ketahuan.

Akhirnya terpaksa ia gunakan akal. Memukul dengan diam-diam menyaluri tenaga sakti Bu-kek-sin-kang secara perlahan. Walaupun cara memukul itu terpaksa hanya menggunakan tiga bagian tenaga sehingga tak dapat menghancurkan binatang-binatang itu seluruhnya. Tetapi hawa panas yang memancar dari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu memaksa kawanan binatang itu tak berani maju lagi.

Begitulah dengan jalan bersama si dara, Siau-liong tetap siap siaga menjaga kawanan binatang beracun. Kemudian ia meminta si dara supaya menyimpan pedang dan senjata rahasia Hwe-hun-tui.

Mawar Putih salah paham dan deliki mata: ”Mengapa? Apakah karena kepandaianku tak menyamai engkau?"

Siau-liong tertawa hambar, “Saat ini dirimu bukan sebagai Ki Ih, jangan sampai menimbulkan kecurigaan orang."

"Uh, aku memang tolol!" si dara tertawa lalu melakukan perintah Siau-liong.

Tiba di tanah lapang, tampak empat penjuru dikelilingi batu karang yang tinggi sekali sehingga tempat itu menyerupai dasar sebuah sumur.

Tempat itu seluas sepuluhan bahu. Ditengah terdapat segerumbul rimba yang ditumbuhi belasan pohon cemara. Benar-benar merupakan sebuah tempat bersembunyi yang bagus sekali.

Siau-liong mengajak Mawar Putih cepat-cepat menuju ke rimba cemara itu. Mereka terkejut ketika menemukan dua orang lelaki dalam rimba itu. Seorang lelaki berumur limapuluhan tahun, memelihara rambut panjang sampai ke bahu. Mengenakan pakaian pertapaan, bukan sebagai imam pun bukan sebagai orang biasa. Dia duduk bersila sambil memegang sebatang kebut pertapaan. Mulutnya kemak-kemit seperti tengah menghapal.

Sedang yang seorang lagi, seorang tua bertubuh kurus tinggi. Mata berkilat-kilat tajam. Begitu melihat Siau-liong dan Mawar Putih muncul dia terkejut lalu tebarkan kipas Kim-kut-san atau kipas berkerangka emas. Selagi Siau-liong belum berdiri tegak, cepat orang tua itu menyerang dadanya dengan jurus Mengusir-angin-memburu-awan.

Siau-liong ingat-ingat lupa orangtua itu. Dia seperti pernah bertemu tetapi entah dimana. Ia marah karena orang tua itu amat kasar. Cepat ia kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ke lengannya. Begitu kipas Kim-kut-san melayang, ia segera menyongsongnya.

Rupanya orangtua itu menyadari bahaya. Secepat kedua tenaga beradu, ia terus menyurut mundur.

Siau-liong tak mau memburu melainkan membentaknya, “Apakah kalian berdua ini kaki tangan suami isteri iblis itu?"

Lelaki yang duduk bersila di tanah itu sejenak berpaling samping memandang ke arah Siau-liong dan Mawar Putih, lalu melanjutkan menghapal lagi. Sedangkan orang tua yang mencekal kipas Kim-kut-san tadi mengeliarkan matanya beberapa jenak lalu bertanya kepada Siau-liong, “Apakah saudara bukan Cousu dari partay Kay-pang?"

Siau-liong mengamati kedua orang tua itu lagi dan teringatlah ia bahwa mereka itu tokoh-tokoh yang ikut hadir dalam pertemuan di puncak Ngo-siong-nia dipimpin It Hang totiang.

"Saudara dengan Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka......”

Belum orang tua itu selesai bertanya Siau-liong tertawa menukas, “Aku dan paman berdua, satu kubu ialah tak mau hidup dalam dunia persilatan bersama kedua suami isteri iblis itu......”

Serentak Siau-liong teringat akan sikap It Hang, Ti Gong taysu, Lam Leng lojin dan lain-lain orang terhadap dirinya tempo hari. Seketika meluaplah kemarahannya, “Tetapi karena It Hang totiang dan lain-lain orang mencurigai diriku maka terpaksa aku bersama nona ini masuk sendiri ke dalam Lembah Semi......”

Orangtua yang memegang kipas buru-buru menjurah memberi hormat, “Lebih dulu kuwakili It Hang totiang dan beberapa saudara, menghaturkan maaf kepadamu. Sukalah saudara berlapang dada......” sejenak berhenti, ia berkata pula, "Aku Cu Kong-leng yang oleh dunia persilatan digelari sebagai Im-yang-san (si Kipas tenaga Positip dan Negatip), berkat kepercayaan dari para sahabat himpunan Tong-thing-pang, telah diangkat sebagai ketua dari perhimpunan itu......”

Kemudian ia menunjuk kepada lelaki yang duduk bersemadhi di tanah, berkata lagi, “Dan saudara itu adalah Tan Ih-hong, ketua perkumpulan Ji-tok-kau...... dia tengah mengobati lukanya dari gigitan binatang beracun!"

Lelaki yang duduk bersila itu atau Tan Ih-hong tetap berkomat-kamit mulutnya. Ia tak menghiraukan orang.

Siau-liongpun tak mempedulikannya. Ia bertanya lagi kepada Cu Kong-leng, “Apakah saudara ikut dalam rombongan It Hang totiang menyerbu ke Lembah Semi? Apakah saudara tahu dimana Toh-Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay itu?"

Ketua Tong-thing-pang itu menghela napas panjang, ujarnya, “Kemarin setelah saudara dan Dewi Ular Ki Ih tinggalkan puncak Ngo-siong-nia. Harimau Iblis muncul kembali dan bertempur sengit lawan It Hang totiang dan kawan-kawan. Kesudahannya ketua Go bi-pay Ki Ceng siansu dan Lam Leng lojin menderita luka parah. Karena terpaksa, kami beramai-ramai mengeroyoknya barulah pertempuran berimbang. Tetapi kalau pertempuran itu berlangsung lama, kedua pihak pasti akan sama-sama remuk. Untunglah si Naga Haram muncul......”

"Engkau maksudkan Naga Haram dan gunung Kengsan itu?" Mawar Putih menyeletuk.

Cu Kong-leng mengiakan.

Mawar Putih menyeringai, “Kabarnya Harimau Iblis dan Naga Haram itu sebenarnya dua orang bersaudara. Kalau dia muncul, kalian tentu celaka karena masakan dia takkan membantu saudaranya si Harimau Iblis itu?"

Cu Kong-leng tak kenal siapa Mawar Putih itu. Ia tak senang karena dara itu kasar nada bicaranya. Tetapi mengingat dara itu kawan Kongsun Liong (Siau-liong), terpaksa ia mengangguk, “Benar, tetapi kemunculan Naga Haram saat itu ternyata tak menyusahkan rombongan orang gagah. Bahkan dia malah menganjurkan supaya jangan memusuhi rombongan orang gagah. Setelah tukar bicara dengan gunakan ilmu Menyusup suara, mereka segera tinggalkan puncak gunung......”

Cu Kong-leng berhenti sejenak. Memandang kesekeliling penjuru lalu berkata pula, “Setelah terjadi kehebohan dari saudara dan Ki Ih lalu Harimau Iblis, para orang gagah yang hadir dipuncak Ngo-siong-nia itu hampir saja bubar. Untunglah It Hang teguh pendirian. Ia tetap berkeras hendak melakukan penyerbuan ke Lembah Semi, akhirnya para orang gagah menunjang keputusan ketua Bu-tong pay itu dan pada tengah malam mereka telah tiba diluar Lembah Semi......”

Cu Kong-leng berhenti untuk menghela napas. Sesaat kemudian ia berkala pelahan-lahan, “Rombongan orang gagah dipecah menjadi dua kelompok yang akan masuk dari muka dan belakang lembah. Karena aku dan ketua Tiam-jong-pay yakni saudara Shin Bu-seng agak mengerti tentang ilmu Ngo-heng, maka kami berdua ditempatkan secara terpisah dalam kedua kelompok itu. Aku termasuk dalam kelompok Ti Gong taysu, Kun-lun Sam-cu dan Tan Ih-hong yang masuk dari belakang lembah. Sedang ketua Tiam-jong-pay Shin Bu-seng ditempatkan pada kelompok kedua yang terdiri dari ketua Kay-pang To Kiu-kong ketua Kong-tong-pay Toh Hun-ki dan It Hang totiang yang masuk dari sebelah muka......”

Cu Kong-leng berhenti untuk menyelidiki kesan Siau-liong dan Mawar Putih.

"Diputuskan pula bahwa pada kurang lebih pada pukul satu malam supaya kedua kelompok itu bertemu di dalam lembah. Jika sampai terjadi pencegatan oleh suami isteri iblis dan anak buahnya, supaya melepaskan anak panah yang berbunyi untuk memberi berita. Agar bisa cepat memberi bantuan......”

Kembali ketua Tong-thing-pang itu berhenti sejenak lagi untuk menghela napas.

Rupanya Mawar Putih tak sabar, tegurnya, “Ih, mengapa engkau begitu loyo? Apakah engkau dapat menutur dengan lancar?"

Cu Kong-leng kerutkan dahi, berbatuk-batuk lalu melanjutkan pula, “Setelah masuk dari belakang lembah, di sepanjang jalan kami tak menemui suatu rintangan apa-apa. Karena aku agak paham tentang segala jenis alat perangkap, kelompok kami dapat melewati beberapa persiapan musuh. Tetapi dikala hampir mencapai tengah lembah, ketua Siau-lim-si Ti Gong taysu karena tak hati-hati secara tak sengaja telah menyentuh tombol sebuah perkakas rahasia......"

Mawar Putih mendengus, “Uh, lagi-lagi paderi tua itu!"

Cu Kong-leng tertawa menyeringai, katanya, “Untunglah saat itu Ti Gong taysu dan aku cepat-cepat dapat menghadapi perobahan. Sebelum terjerumus ke dalam perangkap, kami dapat menghindar. Tetapi celakanya Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka segera mengetahui tentang kedatangan kami. Segera terjadilah pertempuran seru......”

Sesaat merenung, Cu Kong leng menyambung penuturannya lagi, “Walaupun saat itu Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka tak muncul, tetapi Soh-beng Ki-su dan nona pemilik lembah memimpin anak buahnya untuk menyerang. Karena paham akan keadaan tempat dan berjumlah lebih banyak pula karena......”

Kembali Cu Kong-leng menghela napas lagi, lalu katanya, “Kepandaian kami tak memadai untuk menghadapi ilmu setan mereka, maka tak berapa lama bertempur, kami telah tercerai berai. Aku dan saudara Tan Ih-hong terdesak mundur sampai ke dalam selat lembah sini. Sebelumnya kami telah melepaskan anak panah suitan, tetapi dari kelompok It Hang totiang, tak muncul barang seorang bala bantuanpun juga......”

"Toh Hun-ki dan keempat Su-lo itu sudah mati atau masih hidup!" teriak Mawar Putih tak sabar lagi.

Cu Kong-leng memandang si dara dengan pandang tak mengerti, katanya, “Sejak terdesak ke dalam selat ini, kami telah kehilangan hubungan dengan kawan-kawan. Kami tak jelas lagi bagaimana keadaan mereka. Tetapi menurut hematku......”

Untuk kesekian kali, Cu Kong-leng menghela napas lagi, “Termasuk It Hang totiang, To Kiu kong, Shin Bu seng dan beberapa tokoh lain kemungkinan besar tentu mengalami nasib jelek!"

Dalam pada itu diam-diam Cu Kong-leng heran mengapa Kongsun Liong dan dara yang dianggap liar itu, begitu memperhatikan sekali akan diri Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari partai Kong-tong-pay.

Mawar Putih banting-banting kaki lalu menegur Siau-liong, “Bagaimana tindakan kita? Pergi atau mengobrak-abrik Lembah Semi?"

Siau-liong juga kehilangan paham. Sesaat ia termangu-mangu.

Cu Kong-leng batuk-batuk, kemudian berkata, “Bermula kami heran mengapa orang Lembah Semi tak mengejar kesitu. Tetapi setelah memeriksa keadaan tempat ini, barulah aku tersadar......”

"Bagaimana?" tukas Mawar Putih pula.

Cu Kong-leng tertawa masam, jawabnya, “Tempat ini merupakan tempat buntu. Meskipun aku paham akan ilmu perkakas rahasia dan ilmu barisan, tetapi sungguh aku tak mengerti barisan mereka ini!"

Siau-liong memandang ke sekeliling penjuru. Memang benarlah. Karang-karang yang memagari sekeliling tempat itu menjulang tinggi dengan landai sekali atau tegak lurus. Sukar untuk dipanjat. Pun andaikata dapat memanjat ke atas, dikuatirkan di atas karang itu sudah disiapkan alat atau barisan anak buah Lembah Semi.

Hutan pohon siong itu berada di tengah-tengah tanah buntu. Rupanya memang dibuat oleh orang-orang Lembah Semi. Karang-karang tinggi itupun juga disempurnakan dangan lubang-lubang gua yang dilengkapi dengan perkakas rahasia dan barisan pendam.

Tengah Siau-liong merenungkan keadaan tempat itu, tiba-tiba Mawar Putih menjerit kaget dan cepat bersembunyi di belakangnya seraya menunjuk ke arah Tan Ih-hong ketua perkumpulan Ji-tok-kau, “Lihatlah, dia......”

Ketika Siau-liong berpaling, tampak ketua Ji-tok-kau itu itu sedang menampar-namparkan kebut hud-tim. Dari kebud hud-tim itu menghambur bubuk putih yang halus. Sedang tangan kirinya mencekal seekor ular berbisa dan dimasukkan ke dalam mulutnya, “kresss......” Kepala ular itu remuk dikunyahnya terus ditelan ke dalam perut. Darah bercucuran dari mulut membaurkan bau anyir yang memuakkan sekali......

Tetapi ketua Ji-tok-kau atau perkumpulan Pemakan Racun, makan dengan lahapnya. Dikunyah ular beracun sepanjang setengah meter itu seperti orang makan kuweh untir-untir atau baling-baling.

Siau-liong, Mawar Putih dan Cu Kong-leng serasa diiris-iris hatinya karena ngeri......

"Tan kaucu itu memang biasa makan ular beracun. Dia mendirikan perkumpulan Pemakan racun. Pengaruhnya besar sekali di daerah Selam,” Cu Kong-leng menerangkan.

Dalam beberapa saat Tan Ih-hong sudah memakan habis ular itu. Setelah mendahak dua kali sambil mengusap mulut ia berbangkit.

"Kawanan ular berbisa itu sudah kutindak dengan jimat (tumbal). Tak mungkin mereka berani datang lagi. Tetapi kalau orang Lembah Semi yang mahir menguasai ular itu menyuruh binatang beracun itu menyerang lagi, akupun tak dapat berbuat apa-apa!" kata ketua perkumpulan Pemakan Ular itu.

Ketua Pemakan-ular itu memelihara rambut panjang sampai kebahu. Wajahnya berwarna hijau kehitam-hitaman. Tentulah hal itu disebabkan karena gemar makan ular beracun. Pakaiannya betapa compang camping, kaki telanjang dan kotor. Pertapa bukan, pengemispun tidak.

Ketua Pemakan Ular itu tak menghiraukan Siau-liong dan Mawar Putih. Tetapi agaknya ia jeri juga terhadap kedua anak muda itu. Ia berjalan mengitar dan menuju ketempat Cu Kong-leng, serunya, “Bagaimana? Apakah engkau sudah dapat menemukan jalan keluar dari lembah ini?"

Karena ngeri melihat demonstrasi Tan Ih-hong makan ular beracun tadi, Mawar Putih masih gemetar dan bersembunyi di belakang Siau-liong.

Saat itu sekali pun dalam gerumbul semak yang sedang diluar hutan pohon siong itu masih terdengar suara gemersik dari kawanan ular berbisa, tetapi mereka tak berani bergerak. Rupanya apa yang dikatakan ketua Pemakan Ular itu memang benar.

"Barisan ini memang amat aneh sekali. Sampai saat ini aku belum dapat mengetahui namanya," sahut Cu Kong-leng ketua himpunan Tong-thing-pang itu.

Mendengar itu marahlah Tan Ih-hong, bentaknya, “Ho, engkau menipu aku! Aku sudah makan dan menundukkan kawanan ular beracun itu tetapi engkau tak mampu mengetahui barisan yang begitu sederhana! Uh, sampai dimanakah pengetahuanmu tentang ilmu barisan itu......”

Ia berhenti sejenak lalu berkata lebih lanjut, “Ketahuilah, sekalipun terkurung disini sampai 28 tahun pun takkan kelaparan mati. Aku dapat makan ular. Tetapi bagaimana dengan kalian? Bukankah kalau tak makan setengah bulan saja kalian tentu sudah tak kuat? Apalagi kawanan ular berbisa itu......”

Ia melirik ke arah Siau-liong dengan pandang yang jeri lalu tak melanjutkan kata-katanya.

Cu Kong-leng tertawa dingin, “Sama sekali aku tak menipu saudara supaya mengusir ular beracun itu. Harap tahu bahwa meskipun untuk saat ini aku belum dapat mengetahui barisan mereka tetapi sedikit telah kuselami gerak perobahannya. Mungkin tak lama lagi tentu sudah kuketahui rahasia barisan mereka itu. Sekalipun saudara dapat hidup dengan makan ular beracun tetapi tempat ini penuh dengan alat rahasia pembawa maut. Benar memang kedua suami isteri iblis itu tak mengejar kesini tetapi jika tak kutunjukkan jalannya, sekali salah langkah tentu akan tertimpah bahaya maut!"

Agaknya ketua perkumpulan Pemakan Ular itu memang singkat sekali pikirannya. Mendengar bantahan Cu Kong-leng, ia menjadi bungkam.

Kemudian Cu Kong-leng menunjuk kesekeliling penjuru dan berkata kepada Siau-liong, “Sekalipun pengetahuanku picik, tetapi aku pernah meyakinkan sampai berpuluh tahun tentang ilmu perkakas rahasia dan barisan. Dalam duaratus macam barisan yang pernah kupelajari, tak ada satupun yang sama dengan barisan itu!"

05.19. Barisan Tujuh Maut

Menurut arah yang ditunjuk Cu Kong-leng, Siau-liong melihat deretan karang tinggi itu seperti menyerupai bentuk delapan tanduk runcing.

Berkata Cu Kong-leng pula, “Jika menurutkan keadaan alam, jelas barisan mereka mengandung unsur perobahan Pat-kwa-kiu-kong. Tetapi......”

Ia menunjuk ke arah gua-gua yang besar kecil dan tinggi rendah pada kaki karang itu, lalu berkata pula, “Yang tak kumengerti ialah tentang ke tujuh buah gua yang tersebar diempat penjuru itu. Yang enam buah, jelas gua alam. Tetapi yang satu tentu dibuat orang......” - ia berhenti dan merenung.

"Kabarnya suami isteri iblis itu mahir menggunakan tipu siasat untuk menjebak orang. Mungkin tempat ini tiada terdapat perkakas rahasianya. Mereka memang sengaja membuat lubang gua untuk menimbulkan kecurigaan orang!" kata Siau-liong yang tak sabar menunggu.

Tetapi ketua Tong-thing-pang itu gelengkan kepala, “Tempat itu amat berbahaya dan merupakan ciptaan alam yang menyerupai bentuk barisan Pat-kwa-tin. Sudah tentu kedua iblis itu takkan menyia-nyiakannya. Kalau tak percaya, cobalah saudara cari jalan yang saudara lalui ketika datang kesini tadi. Apakah saudara mampu menemukannya lagi atau tidak!"

Siau-liong terkejut. Cepat ia melakukan perintah itu. Ah, memang keadaan empat penjuru hampir sama. Dan belasan batang pohon siong yang tumbuh ditengah hutan itupun hampir sama semua sehingga sukar menemukan dari jalan mana tadi ia masuk kesitu.

Bukan kepalang kejut Siau-liong. Kedatangannya ke hutan situ adalah untuk mencari tempat bersembunyi. Setelah memulangkan tenaga, ia hendak keluar untuk menempur kedua suami isteri iblis itu lagi. Lalu mencari Toh Hun-ki dan keempat Su-lo.

Maka bermula ia tak menghiraukan Cu Kong-leng yang sedang mempelajari keadaan tempat situ. Tetapi setelah melakukan apa yang dikatakan Cu Kong-leng tadi, gelisahlah ia. Benar-benar ia tak mampu menemukan jalan yang ia masuki tadi.

"Jika barisan Pat-kwa digabung dengan perobahan barisan Bintang-tujuh, benar-benar sebuah barisan yang luar biasa hebatnya. Sejak dahulu belum pernah orang melakukan hal itu. Mengingat Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka itu memiliki kecerdasan yang hebat, tidak mustahil kalau mereka dapat menyatukan kedua bentuk barisan itu. Kecuali......”

“Plak,” tiba-tiba ketua Tong-thing-pang itu menampar pipinya sendiri, “Benar! Ah, tentu bukan ciptaan kedua iblis itu sendiri. Orang yang menciptakan barisan itu, karena berani memaksa menyalahi perhitungan alam, tentulah sudah mati dalam barisan!"

Siau-liong dan Mawar Putih setengah mengerti setengah tidak. Tetapi melihat sikap ketua Tong Thing-pang itu, terang kalau dia benar-benar memeras otak.

Saat itu agaknya Cu Kong-leng sudah menemukan titik-titik terang. Segera ia melangkah maju kehadapan Siau-liong, “Jika orang yang meciptakan barisan itu tidak dibunuh kedua suami isteri iblis, dia adalah seorang ahli pikir yang cemerlang sekali. Tetapi kemungkinan besar, orang itu tentu sudah mati dalam barisan yang diciptakannya itu sendiri......”

Ia menghela napas, katanya pula, “Karena ia menciptakan barisan ini terlampau ganas, dalam ke tujuh lubang barisan itu sama sekali tidak diberi pintu hidup. Oleh karenanya, sekalipun ia mampu balik keluar dari barisan, tentu juga akan mendapat kutukan......”

Siau-liong hanya menganggukkan kepala.

“Penilaian saudara memang tepat," kata Siau-liong, “tetapi tentulah ada sebab lain mengapa orang itu mau menciptakan barisan semacam ini!"

"Maksudmu?....”

Siau-liong tertawa, “Orang itu tentu sudah linglung atau memang sudah gila!"

Tiba-tiba ketua Tong-thing-pang itu bertepuk tangan, “Bagus! Pendapat saudara memang hebat. Memang orang linglung atau gila sering menonjolkan kepandaiannya. Menilik ciptaan yang begitu ganasnya, memang hanya seorang gila yang dapat melakukannya. Tetapi......” ia menunduk berpikir lagi.

Beberapa saat kemudian ia berkata, “Tokoh-tokoh yang ahli dalam ilmu barisan dan alat-alat rahasia, sebagian besar aku tahu. Tetapi aneh, mengapa aku tak dapat menemukan siapakah pencipta barisan itu?"

Tan Ih-hong mondar-mandir mendukung tangan. Tiba-tiba ia menarik tubuh Cu Kong-leng, serunya, “Kawanan ular berbisa itu dalam waktu sejam lagi tentu akan liar kembali. Lekaslah cari jalan keluar!"

Cu Kong-leng geleng-geleng kepala, “Tempat ini merupakan tanah mati. Sama sekali tiada jalan keluar......”

Namun ketua Tong-thing-pang itu tetap membuat penilaian. Tiba-tiba ia menunjuk sebuah gua yang paling besar, serunya, “Jika terpaksa, kita hanya dapat menggunakan jalan ini untuk keluar. Tetapi adakah gua itu menembus keluar atau masih dalam bagian lembah, aku tak berani memastikan. Pula mungkin di dalam gua terdapat banyak ular dan serangga berbisa......”

“Jangan kuatir, serahkan kawanan binatang beracun itu padaku!" seru ketua Pemakan Ular.

Cu Kong-leng tertawa, “Kecuali binatang beracun, mungkin masih terdapat bahaya air dan api serta lubang-lubang jebakan yang tak dapat kita duga-duga. Jika hanya seorang saja, kemungkinan tentu binasa......”

“Semua ancaman alat rahasia dan lain-lain perangkap, menjadi tanggunganmu!" teriak Tan Ih-hong.

Kemudian Cu Kong-leng menanyakan pendapat Siau-liong. Pemuda itu memandang sejenak kepada Mawar Putih lalu menjawab, “Dari pada disini menunggu kematian, lebih baik kita coba-coba menempuh bahaya!"

Baru Siau-liong berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit pelahan. Sudah tentu sekalian orang terperanjat. Suitan itu seperti bunyi seruling tetapi pun mirip dengan batang pohon yang berderak-derak tertiup angin.

Menyusul dengan itu, karang yang mengelilingi empat penjuru, menghambur kabut tipis. Dibawa kesiur angin, kabut itu makin lama makin tebal dan pelahan-lahan mengumpul ditengah. Saat itu alam disekeliling penjuru tampak meremang tak jelas lagi.

Suara suitan itupun kedengaranya makin rendah nadanya sehingga sukar diketahui berasal dari benda apa. Suaranya mirip dengan kawanan setan yang merintih-rintih ditengah malam.

Suasana dalam hutan ditengah tanah lapang buntu itu makin terasa seram.

Seketika berobahlah wajah Cu Kong-leng ujarnya, “Rapanya barisan mereka sudah mulai bergerak. Harap saudara sekalian mengikuti aku, jangan bergerak sendiri!"

Tiba-tiba Tan Ih-hong berteriak, “Awas! Kawanan ular berbisa itu mulai menyerang lagi!"

Memang benar. Dari sekeliling penjuru hutan, ribuan ular dan binatang berbisa serempak merayap datang. Sambil gerakkan kebut hudtimnya kekanan kiri, Tan Ih-hong membaca doa.

Tetapi rupanya kawanan binatang beracun itu telah mendapat tekanan dari ilmu sihir yang lebih kuat. Mereka tak mengacuhkan Tan Ih-hong dan terus menyerbu.

Karena kebutnya tak memberi hasil, Tan Ih hong bingung juga. Tiba-tiba ia menyambar seekor ular besar terus digigit kepalanya. Setelah meminum darah ular itu, ia segera menyemburkan kesekeliling penjuru.

Serangan istimewa itu memaksa kawanan binatang beracun tak berani maju lagi. Tetapi mereka tetap bergeliatan disekeliling hutan.

Dalam pada itu kabutpun makin tebal sehingga mata sukar memandang kemuka. Dan yang lebih mengejutkan. Tiba-tiba belasan batang pohon siong bergetaran! Makin lama makin keras seperti terjadi gempa bumi.

Keempat orang itu seperti berada dalam perahu yang tengah diamuk badai. Kepala mereka pening, mata berkunang-kunang......

Cu Kong-leng berseru gugup, “Tempat ini merupakan poros tengah barisan. Jika terjadi suatu perobahan, semua benda disini tentu hancur ludas. Lekas ikut aku!"

Kembali Tan Ih-hong mencengkeram seekor ular besar lalu digigit kepalanya. Setelah itu ia semburkan darah ular tadi ke arah yang ditunjukkan Cu Kong-leng. Kawanan binatang berbisa yang berada ditempat itu segera menyingkir memberi jalan.

Cu Kong-leng berjalan lebih dulu, ketiga orang lainnya mengikut dibelakangnya. Beberapa kali Cu Kong-leng berhenti untuk membuat penyelidikan. Dengan begitu jalannya amat pelahan sekali.

Untunglah selama itu Tan Ih-hong dapat menggigit mati tujuh-delapan ekor ular besar dan setiap kali tentu menyemburkan darah ular itu untuk membuka jalan. Dengan demikian amanlah perjalanan mereka.

Kira-kira sepenanak nasi lamanya. tiba-tiba Cu Kong-leng berseru, “Sudah sampai!"

"Sampai dimana?" Tan Ih-hong bertanya penuh ketegangan.

Cu Kong-leng tertawa hambar, “Tiada nama yang lebih tepat untuk tempat itu kecuali kita sebut sebagai Pintu Akhirat."

Ketika Siau-liong mengawasi kemuka, ternyata yang disebut Pintu Akhirat oleh ketua Tong-thing-pang itu adalah gua paling besar yang tadi ditunjuk oleh Tan Ih-hong. Gua itu setinggi satu tombak, lebar empat-lima meter. Disebelah dalam hitam pekat tak tampak suatu apa.

Sepintas pandang gua itu seperti buatan alam. Gerumbul rumput alang-alang yang tumbuh di pintu gua, hampir setinggi orang. Sarang laba-laba dan galagasi memenuhi lubang pintu. Memberi kesan bahwa gua itu tak pernah dikunjungi manusia.

Siau-liong memandang lekat kepada Cu Kong-leng. Diam-diam pemuda itu mulai meragukan keterangan Cu Kong-leng.

Sedang Tan Ih-hong pun melongok ke dalam gua lalu melengking, “Hm, jelas sebuah gua yang tak pernah diinjak manusia mengapa engkau katakan sebagai jalan keluar?"

"Mataku belum rabun. Kuyakin takkan salah lihat!" jawab Cu Kong-leng.

Tan Ih-hong tak membantah tetapi pun tak berani gegabah masuk.

Saat itu kabut tebal sudah merata menyelimuti hutan siong. Hanya suara bergetaran tadi sudah berhenti.

Setelah memasang pendengaran, berkatalah Cu Kong-leng, “Jika penilaianku tak salah. Gua ini setengahnya memang ciptaan alam tapi setengahnya juga dibuat manusia. Kupercaya gerak-gerik kita ini tentu sudah diawasi musuh!"

“Bagaimana engkau tahu?" seru Tan Ih-hong kurang puas.

"Tadi barisan itu jelas sudah bergerak. Jika kita masih berada dalam hutan, tentu sudah mati ditangan mereka......” kata Cu Kong-leng, "bahwa kemudian barisan itu berhenti, menandakan kalau mereka mengetahui bahwa kita sudah tinggalkan hutan itu!"

Kemudian sambil menunjuk ke dalam gua, ketua Tong-thing-pang itu berkata pula, “Walaupun kuyakin gua itu merupakan satu-satunya jalan keluar. Tetapi aku tak berani memastikan adakah kita nanti mampu keluar dengan selamat atau tidak. Karena dalam gua itu tentu penuh bahaya maut!"

Karena tak mengerti ilmu barisan dan ilmu segala macam alat rahasia, Siau-liong diam saja. Demikian pun dengan Mawar Putih.

Cu Kong-leng melangkah masuk ke dalam gua. Beberapa langkah kemudian, ia berseru memanggil ketiga orang itu supaya lekas masuk juga.

Ketika Siau-liong bertiga masuk, ternyata gua itu merupakan sebuah terowongan alam. Tetapi bagian lantai dan langit-langit serta dinding gua terdapat bekas-bekas dibuat manusia.

Kembali Cu Kong-leng menyatakan keyakinannya bahwa gua itu pasti merupakan satu-satunya jalan keluar. Tetapi ia masih belum mengetahui alat rahasia apa saja yang dipasang dalam gua itu.

Mereka melanjutkan langkah. Makin ke dalam lorong gua itu makin sempit. Juga sinar penerangannya, makin gelap. Jika mereka berempat tak memiliki ilmu silat tinggi, pasti tak mampu melihat keadaan disekeliling.

Kira-kira sepuluh tombak jauhnya, tibalah mereka di ujung gua. Setelah menyelidiki kian kemari, akhirnya Cu Kong-leng menunjuk pada sebuah batu hijau yang menonjol di sebelah kiri, “Itulah alat penggerak pesawat rahasia......”

Tampak ketua Tong-thing-pang itu yakin akan penemuannya. Setelah memandang bergantian pada Siau-liong, Mawar Putih dan Tan Ih-hong, ia berkata pula, “Jika memutar alat itu, akan terjadi dua kemungkinan. Kesatu, akan terbuka sebuah jalan hidup. Dan yang kedua akan terjadi suatu perobahan yang tak terduga-duga......”

"Serangan ular dan binatang berbisa?" tanya Tan Ih-hong.

Cu Kong-leng gelengkan kepala, “Sukar dipastikan. Semburan api mungkin bencana air atau mungkin pula letusan gunung dan mungkin kita akan terperosok ke dalam lubang penjara tanah!"

Tan Ih-hong terkejut, “Apakah tak ada lain pesawat penggerak lagi?"

Pun Mawar Putih mendesak juga supaya Cu Kong-leng memeriksa lagi lebih cermat.

Ketua Tong-thing-pang itu menurut. Ia menyelidiki sekitar tempat itu dengan seksama. Tapi tetap tak menemukan suatu apa.

“Ah tak ada lain kecuali yang itu!" katanya.

Siau-liong tak dapat berkata apa-apa. Demikian pun Mawar Putih dan Tan Ih-hong.

"Kita akan menurut saja apa yang dikatakan saudara Kongsun Liong," kata Cu Kong-leng seraya memandang Siau-liong.

Karena hal itu menyangkut keselamatan jiwa mereka berempat, Siau-liong tak berani gegabah mengambil keputusan. Sesaat ia memandang wajah Mawar Putih tetapi dara itupun tak punya pendapat apa-apa. Ia tertegun diam.

"Saat ini musuh sudah mengamati gerak-gerik kita. Sekalipun kita diam saja disini, mereka tetap menyerang. Daripada mati konyol, lebih baik kita putar alat itu. Untung-untunganlah, mungkin bencana mungkin kebebasan!" akhirnya Cu Kong-leng menyetujui.

Karena Mawar Putih diam saja dan ketua Pemakan Ular itu juga hanya celingak-celinguk, akhirnya Siau-liong menyetujui.

Cu Kong-leng mulai mengangkat tangan kanannya. Tangannya agak gemetar, butir-butir keringat mengucur dari dahinya. Hatinya tegang sekali.

Tiba-tiba ketua Pemakan Ular Tan Ih-hong mendesah pelahan lalu menarik jubahnya yang penuh tambalan itu ke atas untuk menutup mukanya.

Dalam pada itu tangan Cu Kong-leng makin menggigil keras. Setelah berhenti sejenak, akhirnya ia menjamah batu hijau dan menekannya.

Batu marmar hijau itu hanya sebesar mangkuk. Sekali ditekan terus menyurut masuk.

Keempat orang itu menahan napas untuk menunggu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara bergetar dahsyat sehingga tanah dalam gua itu bergoncangan.

Mawar Putih menjerit terus memeluk dada Siau-liong. Dalam keadaan yang sedemikian tegangnya, dara itu lupa akan segala susila dan rasa malu.

Tetapi sampai beberapa saat, belum terjadi sesuatu. Goncangan itupun makin reda. Rupanya berasal dari luar gua. Setelah itu terdengar suara berderak-derak. Ah, dinding gua sebelah muka tiba-tiba merekah dan terbuka sebuah jalan lebar.

Cu Kong-leng menghela napas longgar dan berseru gembira, “Hola, bahaya telah lalu. Hayo kita keluar "

Mawar Putih lepaskan pelukannya. Dengan wajah tersipu-sipu merah ia memandang Siau-liong lalu berputar tubuh.

Tan Ih-hong pun membuka tutup mukanya lalu cepat-cepat mengikuti langkah Cu Kong-leng.

Cu Kong-leng melangkah dengan hati-hati sekali. Siau-liong cepat menarik Mawar Putih diajak mengikuti orang she Cu itu.

Lorong jalan itu makin lama makin lebar dan terang. Kira-kira tiga tombak jauhnya, merupakan sebuah gua besar menyerupai sebuah ruangan di bawah tanah.

Setelah memandang kesekeliling Cu Kong-leng berkata, “Penilaianku tadi banyak yang meleset. Pencipta barisan itu ternyata bukan orang ganas karena masih memberi jalan hidup......”

Tampaknya Cu Kong-leng amat gembira. Kipas disusupkan kepunggung lagi lalu mengurut-urut jenggot, katanya pula, “Kini aku pun sudah jelas akan bentuk barisan ini. Tak lain hanya gabungan antara barisan Pat-kwa dan Thay-kek. Sama sekali bukan seperti yang kukatakan tadi ialah barisan Tujuh-maut......”

Sambil menunjuk pada kedua samping dinding gua, ia menerangkan bahwa asal tidak menyentuh dinding itu, barisan tentu takkan bergerak. Lalu ia menghampiri kemuka dinding gua dan menunjuk sebuah batu menonjol sebesar telur, serunya, “Inilah alat pembuka dari jalan ke luar!"

Dengan wajah berseri tawa, ia segera menekan batu itu. Siau-liong dan Tan Ih-hong sudah mulai menaruh kepercayaan kepada Cu Kong-leng. Mereka merasa lega.

Setelah batu ditekan, dari bawah tanah terdengar suara macam kerbau menguak. Sambil tersenyum simpul, Cu Kong-leng berpaling, "Suara itu berasal dari pergantian antara Pat-kwa dengan Thay-kek. Begitu peralihan tempat itu selesai, pintu keluar tentu akan terbuka......”

Baru ia berkata begitu, sekonyong-konyong terjadi ledakan dahsyat. Kedua dinding gua berderak-derak merekah. Batu-batu berguguran seperti hujan mencurah sehingga keempat orang itu tak dapat berdiri tegak.

"Barisan Tujuh Maut....” serentak Cu Kong-leng menjerit keras.

Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu dari kedua samping dinding gua yang pecah itu, gelombang air bah melanda dahsyat. Siau-liong berempat pontang-panting tak dapat berdiri tegak. Beberapa kali Siau-liong berusaha untuk mempertahankan keseimbangan tubuh tetapi selalu gagal. Air bah yang membawa pecahan batu melandanya hebat sekali sehingga ia hampir pingsan.

Samar-samar ia masih mendengar Mawar Putih menjerit memanggilnya, “Siau.... liong.... Siau.... liong....”

Tetapi jeritan dara itu lenyap ditelan gelombang air bah yang mengamuk dahsyat. Tak mungkin Siau-liong dapat mendekati Mawar Putih. Yang terdengar tak lain suara teriakan Cu Kong-leng yang masih memekik-mekik seperti orang gila, “Barisan Tujuh Maut.... pintu celaka.... air bah....”

Jeritan ketua Tong-thing-pang itu terputus oleh sebuah ledakan yang dahsyat lagi. Tanah ruang gua itu segera amblong ke bawah. Keempat orang itu laksana orang yang terlempar ke bawah jurang. Siau-liong yang memiliki tenaga sakti hebat, tetap tak mampu berbuat apa-apa.

Y

Siau-liong merasa bahwa dirinya pasti mati dalam barisan Tujuh Maut itu. Dari ketinggian duapuluhan tombak, ia dihempaskan oleh gelombang air terjun. Ia rasakan sendi tulangnya seperti remuk dan pada lain saat ia tak ingat apa-apa lagi......

Entah selang berapa lama ia dalam keadaan pingsan itu. Hanya ketika ia membuka mata ia rasakan tulang belulangnya seperti pecah dan tenaganya lenyap sehingga tak kuat untuk mengangkat tangannya.

Otaknya masih berbinar-binar sehingga tak dapat mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia pun tak tahu dimanakah saat itu ia berada.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia mendengar langkah kaki orang berjalan mendatangi. Ia terkejut. Cepat ia loncat bangun. Uh...... kaki dan tangannya serasa tak bertulang lagi. Ia meronta dan berusaha untuk menggeliat bangun namun tetap sia-sia.

Pada lain saat ia merasa dahinya telah dielus-elus oleh sebuah tangan yang halus. Sebuah helaan napas ringan terdengar dan hidung Siau-liong serentak terbaur oleh bau yang harum semerbak.

Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk merentang sepasang mata memandang ke muka. Tetapi pandang matanya masih berkunang-kunang, tak dapat melihat jelas kecuali hanya sesosok bayangan beraneka bunga.

Tak berapa lama, derap langkah kaki orang tadi kedengaran pula. Jelas yang datang itu tentu bukan seorang saja.

Tangan halus itu kembali menjamah keningnya dan terdengarlah suara yang lemah-lembut, “Hatilah engkau mengangkatnya bangun!"

Siau-liong rasakan punggungnya diangkat oleh dua lengan yang halus untuk didudukkan. Karena masih lemah tenaga dan pikirannya, Siau-liong membiarkan saja dirinya diangkat itu.

Kemudian mulutnya seperti dingangakan tangan orang lalu dimasuki sebutir pil. Mau tak mau Siau-liong menelan pil itu juga.

"Hati-hatilah merawatnya! Jika sudah sadar, panggillah aku," kata orang yang berkata tadi.

Siau-liong dibaringkan lagi di atas ranjang. Terdengar langkah orang meninggalkan ruang itu. Beberapa kali orang itu berhenti. Agaknya seperti tak tega meninggalkan Siau-liong.

Pil itu memancarkan aliran tenaga keseluruh tubuh Siau-liong sehingga ia merasa semangat dan tenaganya pulih kembali. Cepat ia mengambil napas dan menyalurkan tenaga-murni. Berkat memiliki dasar tenaga dalam yang kokoh, tak berapa lama tenaga dalamnya sudah pulang kembali. Segera ia hentikan penyaluran tenaga dalam lalu membuka mata.

Ah...... kiranya dirinya saat itu berada dalam sebuah ruang tidur yang indah dan berbaring di atas sebuah ranjang yang harum baunya.

Kamar tidur itu tentu milik seorang gadis.

Ia terkejut sekali. Ia heran mengapa dirinya, tiba-tiba berada disitu. Buru-buru ia tenangkan perasaannya untuk mengenang kembali apa yang telah dialaminya. Akhirnya berhasillah ia mengingat semua peristiwa.

Diam-diam ia menggigit lidahnya sendiri sehingga kesadaran pikirannya bertambab terang. Ah, ternyata ia belum mati. Tetapi serempak itu, pikirannya kacau tak karuan, hatinya amat cemas sekali. Dimanakah gerangan dua orang itu?

Kegelisahan Siau-liong itu selain karena hubungannya dengan Mawar Putih yang makin erat, pun juga karena ia memerlukan sekali tenaga dara itu. Jika Mawar Putih sampai mati, bukankah selamanya ia bakal tak bertemu dengan ibu kandungnya Dewi Ular Ki Ih?

05.20. Calon Mantu Pemilik Lembah Maut

Cepat-cepat ia memeriksa pakaiannya. Ah, ternyata perlengkapan untuk menyaru menjadi Pendekar Laknat masih berada di dalam baju. Demikianpun separoh Giok-pwe yang diberikan Toh Hun-ki itu, juga masih ada.

Setelah menenangkan diri, Siau-liong lalu loncat bangun. Ruangan itu sunyi senyap. Dibawah ranjang terdapat dua orang pelayan perempuan duduk bersila. Begitu melihat Siau-liong loncat turun dari ranjang, kedua bujang gadis itu terkejut. Mereka tersipu-sipu menyongsong.

Siau-liong tetap tak tahu dimanakah tempat beradanya saat itu. Tetapi ia duga tentulah dirinya ditolong oleh pemilik ruang tidur itu.

Melihat kedua bujang itu menghampiri, Siau-liong segera memberi hormat, “Entah siapakah yang telah menolong diriku?"

Kedua bujang dara itu baru berumur limabelas—enambelas tahun. Rambutnya dikuncir, mengenakan baju dan celana hijau daun. Pinggangnya bersabuk sutera hijau gelap.

Kedua bujang dara itu tertawa dan serempak berseru, “Sudah tentu nona majikan kami!"

Siau-liong terbeliak, “Apakah nonamu itu......”

"Nanti engkau tentu tahu sendiri!" tukas salah seorang gadis pelayan.

Siau-liong tak mau bertanya lebih jauh. Ia lebih memikirkan keselamatan Mawar Putih dan kedua orang itu. Maka ditanyakanlah hal itu kepada kedua gadis pelayan.

"Tolol! Perlu apa nona kami menolong lain orang? Yang penting hanya menolong engkau!" kedua gadis pelayan itu tertawa mengikik.

Diam-diam Siau-liong terkejut. Tentulah Mawar Putih dan kedua orang itu mengalami bahaya.

Salah seorang gadis pelayan itu segera mengajak kawannya keluar. Tak berapa lama mereka mengiring seorang nona yang mengenakan pakaian merah menyala. Dandanannya amat mewah, tak ubah seperti puteri istana.

Ketika Siau-liong mengawasi dengan seksama, ia terbeliak kaget. Nona baju merah itu bukan lain adalah gadis pemilik Lembah Semi atau puteri tunggal dari suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Waktu melihat Siau-liong sudah berdiri didepan ranjang, nona itu tertawa gembira, serunya, “Eh, engkau masih harus beristirahat dulu, mengapa turun dari tempat tidur?"

Diam-diam Siau-liong kerahkan tenaga dalam siap akan dihantamkan. Nona itu terkejut. Tetapi pada lain saat ia tertawa, “Eh, engkau ini bagaimana? Dengan maksud baik kuselamatkan jiwamu, mengapa engkau memandangku begitu menyeramkan? Apakah...... ah, aku memang tolol," nona itu menepuk-nepuk dahinya sendiri, "mungkin pikiranmu masih goncang akibat barisan Tujuh Maut itu. Tetapi jangan kuatir. Engkau sekarang sudah selamat dan tak ada orang yang berani menganggumu disini......”

Nona itu maju selangkah dan bertanyakan nama Siau-liong. Siau-liong hendak meledak kemarahannya. Untunglah saat itu ia menyadari bahwa dirinya bukan lagi sebagai Pendekar Laknat. Seharusnya ia bersikap seperti tak kenal dengan nona itu. Begitu pula ia harus menyadari kedudukannya saat itu.

Mawar Putih belum ketahuan nasibnya. Kalau andaikata masih hidup tentulah menjadi tawanan orang Lembah Semi. Demikian pula dengan rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang totiang. Mereka belum diketahui nasibnya!

Mengingat akan nasib mereka, seketika Siau-liong merasa beban yang dipikulnya makin berat. Bukan saja melaksanakan dendam terhadap Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, merehabilitir nama baik mendiang Pendekar Laknat, mencari ibunya. Pun sekarang tambah lagi dengan tugas untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka demi menyelamatkan dunia persilatan.

Timbullah serentak pikiran Siau-liong.

Ia harus menggunakan siasat untuk pura-pura bersikap baik terhadap nona pemilik lembah itu. Pelahan-lahan ia akan menunggu kesempatan untuk bertindak.

Melihat pemuda itu termenung-menung, nona itu menafsirkan Siau-liong tentu masih belum hilang kegoncangan hatinya akibat malapetaka barisan Tujuh Maut.

Ia maju dua langkah lagi, mendorong Siau-liong, “Eh, mengapa engkau ini? Apakah masih gentar?"

Siau-liong terkejut. Buru-buru ia menyurut selangkah ke belakang, “Ah.... no.... na....”

Nona pemilik lembah itu tertawa mengikik, tanyanya pula, “Siapakah namamu?"

"Kongsun Liong!"

Dengan mata memancar asmara, nona itu memandang lekat, ujarnya, “Ih, engkau benar-benar seperti seekor naga.... naga yang indah."

Tiba-tiba nona itu tempelkan lengannya ke bahu Siau-liong. Pemuda itu terkejut dan mundur selangkah lagi dengan wajah kemerah-merahan.

"Eh. engkau malu-malu?" nona itu tertawa.

Ia terus berpaling dan menyuruh bujang kedua pergi. Setelah itu ia menarik lengan baju Siau-liong, “Mari kita duduk bercakap-cakap."

Siau-liong terpaksa menurut saja.

“Tahukah engkau siapa namaku?" tanya nona itu dengan memandang lekat.

Siau-liong paksakan tertawa, “Justeru itu yang hendak kutanyakan."

Nona itu cibirkan bibirnya tertawa, “Namaku Po Ceng-in, pemilik Lembah Semi ini. Lembah Semi ini pemberian dari ayah bundaku. Mereka berdua jarang datang kemari!"

Siau-liong hanya mengangguk saja.

"Karena aku suka memakai warna merah, ayah bundaku senang memanggilku Siau-hong......,” kata nona itu dengan sikap manja lalu mendekat dan tempelkan tangannya ke bahu Siau-liong, “Jika engkau suka, panggillah aku Siau-hong saja......”

"Hm, baiklah!" sahut Siau-liong terpaksa.

Sambil kicupkan ekor matanya dengan tingkah yang genit, nona itu mendesak, “Nah, panggillah aku......!” ia terus rapatkan tubuh ke tubuh Siau-liong.

Karena dua kali didesak, Siau-liong terdesak ketepi ranjang dan tak dapat menghindar lagi. Untuk serentak berdiri, ia sungkan. Bingung saat itu hatinya. Sebesar itu, belum pernah ia duduk merapat begitu rupa dengan seorang gadis.

Wajah Siau-liong merah padam, mulutnya serasa terkancing tak dapat berkata apa-apa.

Diluar dugaan sikap malu dari Siau-liong itu malah makin menimbulkan nafsu si nona lebih berkobar.

“Panggillah......” desaknya dengan pandang penuh asmara.

"Siau.... nona Siau-hong....” akhirnya Siau-liong paksakan diri memanggil.

Nona itu tertawa mengikik.

"Siau-hong cukup Siau-hong saja, tak perlu pakai nona. Mengapa nadamu begitu janggal?"

Sejenak ia keliarkan ekor matanya yang genit lalu menanyakan umur Siau-liong.

"Tujuh belas tahun!" sahut Siau-liong.

"Ih, sebaya dengan aku....” tiba-tiba nona itu merah mukanya dan tak melanjutkan berkata lagi.

Diam-diam Siau-liong gelisah. Ia kuatir nona itu akan tanya ini itu sehingga tiba pada pertanyaan yang ia tak dapat menjawab. Terlintas pada diri Mawar Putih, cepat ia alihkan pembicaraan.

"Boleh kuketahui bagaimana nona telah menolong jiwaku?" tanyanya.

"Sebenarnya bukan menolong dalam arti yang sesungguhnya. Lebih tepat kalau meminta dirimu dari tangan ayahku!"

Karena tak leluasa untuk langsung menanyakan diri Mawar Putih, maka Siau-liong bertanya dengan cara memutar, “Selain diriku, siapa lagi yang nona tolong!"

Nona itu tertawa mengikik, “Cukup engkau seorang saja. Aku tak peduli lain orang!"

Karena tak berhasil menanyakan diri Mawar Putih, maka Siau-liong, bertanya pula, “Selain aku masih ada beberapa orang yang terjerumus dalam barisan itu. Entah bagaimana mereka sekarang ini......”

Nona itu mendengus hambar, “Hm, dalam sehari semalam itu telah tertangkap empat lima puluh orang. Siapakah yang engkau tanyakan itu?"

Terpaksa Siau-liong menerangkan juga. "Yang seorang adalah Cu Kong-leng ketua Tong-thing-pang, seorang Tan Ih-hong ketua Pemakan ular dan masih ada lagi seorang gadis bernama......”

Seketika berobahlah wajah nona pemilik lembah, tukasnya, “Mengapa engkau begitu menaruh perhatian kepada mereka?"

Ditatapnya wajah Siau-liong lekat-lekat lalu bertanya pula, “Apakah engkau datang bersama anak perempuan itu? kalian......”

"Aku hanya berjumpa ditengah jalan. Sebelum itu tak kenal mengenal!" buru-buru Siau-liong menukas.

Nona pemilik lembah itu mengangguk puas. Namun wajahnya tetap dingin, ujarnya, “Sekali pun gadis dengan kedua ketua perkumpulan itu tidak mati tetapi mereka dijebloskan ayah ke Lembah Maut. Barang siapa tak mau menjadi anak buah ayah, tentu akan mengalami nasib begitu!"

Mendapat keterangan itu agak legalah hati Siau-liong. Asal Mawar Putih belum meninggal, ia masih mempunyai harapan untuk menolong.

Kembali mata nona pemilik lembah itu berkilat-kilat, serunya, “Karena sekarang kita bertemu tentulah dalam penitisan dahulu kita memang berjodoh. Asal engkau tak memusuhi orang tuaku, kita tentu dapat......”

Sekalipun nona itu seorang gadis yang cabul dan tak punya malu, tetapi pada saat mengucap soal-soal perkawinan, agaknya masih kikuk juga.

Kembali ia memberi kicupan mata kepada Siau-liong lalu berkata dengan nada gembira, “Dewasa ini ayah-ibuku sudah merajai dunia persilatan. Hari depan kita tentu penuh kesenangan. Tak ada seorang manusia dalam dunia yang berani mengganggu kita!"

Siau-liong tak leluasa menjawab tetapi hatinya amat muak.

Pada saat yang sulit itu, tiba-tiba terdengar suara langkah orang berhenti didepan pintu. Setelah batuk-batuk, orang itu berseru, “Nona, nyonya besar datang!"

Siau-liong terkejut. Yang dimaksud dengan nyonya besar tentulah Dewi Neraka, ibu dari nona pemilik lembah itu. Diam-diam ia gelisah.

Nona pemilik lembah itu tertawa riang, “Ah, ibu datang......”

Baru ia berkata begitu, muncullah seorang wanita tua ke dalam ruang situ.

“Ma......!" nona itu cepat berseru seraya menghampiri. Ia pun memberi isyarat kepada Siau-liong, “Lekas, menyambut ibuku!"

Sesaat Siau-liong tak tahu bagaimana harus bertindak. Untuk membungkuk tubuh memberi hormat kepada Dewi Neraka, ia muak. Namun kalau tak mempedulikan, ia kuatir akan menimbulkan kecurigaan orang.

Akhirnya terpaksa ia memberi hormat dengan segan dan mengucap beberapa patah kata yang tak lampias.

Sejak masuk ke dalam ruangan, Dewi Neraka memperhatikan sekali diri Siau-liong. Ditatapnya wajah pemuda itu lekat-lekat, kemudian berpaling kepada puterinya, “Nak apakah engkau sungguh-sungguh suka kepadanya?"

Nona itu menyahut bisik-bisik, “Jika tak suka, masakan kuminta dia dibebaskan......” - kemudian dengan suara agak keras, ia berseru, “Asal mama meluluskan, kami segera......”

“Baik, mama tak keberatan, asal......” tiba-tiba Dewi Neraka menghampiri Siau-liong dan menghantam kepala pemuda itu dengan jurus Menghantam-gunung Hoa-san.

Bukan kepalang kejut Siau-liong. Jurus itu bukan main dahsyatnya dan dilancarkan dalam jarak dekat secara tak terduga-duga.

Tetapi untunglah Siau-liong cerdas sekali. Cepat ia dapat mengetahui apa maksudnya. Maka bukan saja tak menghindar atau menangkis, bahkan ia malah pura-pura terkejut dan terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah.

"Ma, mengapa engkau ini? apakah......!" secepat kilat nona pemilik lembah itupun loncat menghadang ditengah.

Dewi Neraka memang sudah menghentikan tangannya. Ia membelai-belai rambut anaknya seraya tertawa mengutuk, “Anak tolol! mama kan hanya hendak mengetahui asal-usulnya saja!"

Sambil menyandarkan kepalanya kedada sang ibu dengan sikap kemanja-manjaan, nona pemilik lembah itu berkata, “Ah, tetapi mama hampir membikin orang kaget setengah mati, sungguh......”

Dewi Neraka memandang Siau-liong lagi. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah botol kecil diberikan kepada putrinya, “mama takkan mencampuri urusanmu pribadi, tetapi......” - Tiba-tiba wajah Dewi Neraka berobah dingin, “Dia bersama rombongan orang-orang yang memusuhi kita. Harus diberi minum sebutir pil ini dulu......”

"Tidak ma!" nona itu menolak, “aku tak ingin dia menjadi seorang yang tolol dan linglung pikiran. Akulah yang menanggung bahwa kelak dia tentu takkan memusuhi ayah dan mama lagi!"

Dewi Neraka amat menyayang sekali kepada puterinya itu. Maka ia hanya dapat geleng-gelengkan kepala dan menghela napas lalu menyimpan botol itu lagi.

Baru ia hendak berkata apa-apa, tiba-tiba terdengar suara genderang berbunyi gencar.

"Ah, ayahmu mencari aku. Tentulah sudah mendapat laporan tentang jejak Pendekar Laknat dan wanita Ular itu......” habis berkata lalu keluar.

Setelah Dewi Neraka pergi, berkatalah si nona dengan mengulum senyum, “Jangan takut kepada ibuku yang berwajah seram itu. Sesungguhnya dia baik hati."

Siau-liong mengiakan. Kemudian ia berkata dengan nada selembut mungkin, “Sudah lama kudengar cerita orang tentang Pendekar Laknat muncul di dunia persilatan lagi. Sungguh aku ingin sekali melihat bagaimana perwujudan momok itu. Tadi karena ibumu mengatakan telah menemukan jejak Pendekar Laknat dan Ki Ih, apakah engkau setuju kalau secara diam-diam kita ikuti ibumu agar dapat melihatnya?"

Nona itu kerutkan dahi. Sesaat kemudian ia menjawab, “Eh, mengapa nyalimu mendadak berobah begitu besar? Pada hal sesungguhnya Pendekar Laknat itu tak lain hanya seorang tua buruk yang memuakkan!"

Siau-liong mengeluh tetapi untunglah pada saat itu juga si nona menyusuli kata-kata lagi, “Tetapi baiklah. Ini merupakan permintaanmu yang pertama kepadaku. Sudah tentu aku tak dapat menolak."

Nona itu menarik tangan Siau-liong terus diajak keluar. Sudah dua kali Siau-liong masuk ke dalam Lembah Semi itu. Tetapi tempat-tempat yang dilalui saat itu, sama sekali belum pernah didatanginya.

Setelah melintasi tiga buah jalanan naik turun dan beberapa deret bangunan perumahan, tibalah mereka disebuah halaman gedung yang luas. Selama dalam perjalanan itu, Siau-liong selalu memperhatikan dengan seksama. Diam-diam ia merasa kagum atas bangunan yang diciptakan dalam lembah itu.

Tiba-tiba nona itu menarik lengan baju Siau-liong suruh pemuda itu berjalan pelahan dulu. Siau-liong terkejut. Segera ia hentikan langkahnya. Dari dalam ruang besar terdengar suara orang tertawa.

"Itulah ayahku," si nona membisiki kedekat telinga Siau-liong. Pada hal Siau-liong memang sudah mengetahui hal itu.

"Ih, agaknya mereka tidak membicarakan soal Pendekar Laknat dan Ki Ih," kata nona itu pula seraya berjingkat-jingkat menghampiri ke bawah jendela belakang.

Saat itu menjelang sore hari. Dibagian ruang belakang penuh ditumbuhi pohon yang-liu. Dengan hati-hati Siau-liong mengikuti si nona yang saat itu sudah mengintip dari lobang jendela.

Ternyata dalam ruang gedung itu terdapat beberapa orang. Kecuali suami isteri Iblis Penakluk dunia dan Dewi Neraka, terdapat pula dua orang tetamu. Ketika melihat wajah kedua tetamu itu, kejut Siau-liong bukan alang kepalang. Ternyata kedua tetamu itu bukan lain adalah Harimau Iblis dan si Naga Terkutuk.

Saat itu kedengaran Naga Terkutuk berkata, “Kemunculan saudara ke dunia persilatan, rupanya tiada mempunyai maksud memusuhi kami berdua saudara. Tetapi......”

Naga Terkutuk yang bertubuh tinggi kurus dan mengenakan jubah warna kuning, pinggang menyelip sebatang ruyung lemas itu, sejenak melirik ke arah saudaranya, Harimau Iblis.

Kemudian ia menatap pula tuan rumah dengan pandang mata penuh keserakahan, “Asal saudara suka membagi harta pusaka itu kepada kami, kami tentu akan membantu cita-cita saudara untuk menguasai dunia persilatan!"

Iblis Penakluk-dunia serentak berbangkit lalu berjalan mondar-mandir sambil mendukung kedua tangannya. Wajahnya yang seram tampak makin menyeramkan.

"Memang tak sukar untuk membagi harta pusaka itu," akhirnya ia menjawab. Setelah berbatuk-batuk sejenak, ia melanjutkan pula, “Tetapi......” ia paksakan tertawa menyeringai.

"Tetapi bagaimanakah cara kita membagi kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong itu?"

Tio Sam-hong adalah pendiri dari partai Bu-tong-pay. Apabila kitab pusaka itu benar buah karya Tio Sam-hong, tentulah merupakan kitab yang memuat ilmu pelajaran pedang sakti. Merupakan sebuah kitab pusaka yang tiada keduanya dalam dunia persilatan!

Harimau Iblis yang sejak tadi hanya diam saja, saat itu sekonyong-konyong berteriak menggeledek, “Masing-masing mendapat separoh bagian, apakah sukarnya?"

Seketika berobahlah wajah Iblis Penakluk-dunia. Hampir meledaklah kemarahannya tetapi pada lain saat ia dapat menindas lagi emosinya. Ia mengulum senyum tetapi tak berkata apa-apa.

Adalah Dewi Neraka yang serentak berbangkit dan berkata dengan nada dingin, “Jika saat ini merundingkan tentang cara membagi harta pusaka, rasanya masih terlalu pagi......”

Sejenak memandang ke arah kedua tetamunya, wanita itu melanjutkan, “Separoh bagian dari Giok-pwe itu masih berada ditangan Pendekar Laknat. Jika tak dapat menemukan jejaknya, tak mungkin kita membicarakan soal pembagian harta itu. Ibarat orang melihat rembulan dalam air alias omong kosong belaka!"

Tiba-tiba Naga Terkutuk tertawa gelak-gelak, “Bukankah Pendekar Laknat dan Dewi Ular Ki Ih sudah terperangkap dalam barisan Tujuh Maut lembah ini? Masakan mereka mempunyai sayap terbang ke angkasa?"

Iblis Penakluk-dunia gelengkan kepala: “Berbicara tentang peristiwa itu tentulah saudara berdua takkan percaya. Bahkan kami berdua suami isteri pun benar-benar tak mengerti!"

Sejenak berhenti ia melanjutkan pula, “Seluruh penjuru, setiap pelosok dan segenap ujung dari barisan Tujuh Maut itu telah kami periksa dan selidiki, tetapi kedua orang itu hilang tiada berbekas."

Mendengar itu Harimau Iblis hanya tertawa dingin, “Ho, benar-benar suatu hal yang tak mungkin!"

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia pun tertawa, “Sekali pun Pendekar Laknat dan Dewi Ular lenyap tetapi diantara sekian banyak tokoh persilatan yang tertangkap itu, terdapat seorang pemuda dan seorang gadis!"

Mendengar itu Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serempak berbangkit.

"Siapakah kedua muda mudi itu?" tanya Naga Terkutuk seraya memandang tuan rumah dengan tajam.

Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Kalau kukatakan, saudara berdua tentu akan kecewa. Mereka berdua tak lebih dari anak-anak muda yang masih ingusan!"

Naga Terkutuk mendengus lalu duduk lagi. Sementara Harimau Iblis tampak merenung dan berkata seorang diri, “Ah, tetapi masa ini tak boleh disamakan dengan masa duapuluh tahun yang lalu. Diantara kalangan muda, terdapat juga yang sakti......”

"Dimanakah mereka sekarang?" tanyanya kepada Iblis Penakluk-dunia.

Jawab Iblis Penakluk-dunia, “Yang perempuan sudah dimasukkan dalam Lembah Maut dan yang lelaki......” — tiba-tiba ia melambai ke arah luar jendela dan berseru keras, “Hai, masuklah kalian!"

Mendengar itu Siau-liong terbeliak kaget. Tetapi karena jejaknya sudah ketahuan, apa boleh buat, terpaksa ia melangkah masuk. Nona pemilik lembah pun segera mengikuti dibelakangnya.

“Ada keperluan apakah ayah memanggil kami berdua?" begitu masuk si nona segera berseru kepada ayahnya, Iblis Penakluk-dunia.

Mata Iblis Penakluk-dunia berkilat-kilat memandang Siau-liong. Melihat itu si nona menjadi gelisah. Buru-buru ia berseru kepada ibunya, Dewi Neraka, “Ma......”

Dewi Neraka tersenyum, “Budak tolol! Mama kan berada disini, mengapa engkau kuatir?"

Naga Terkutuk loncat dari tempat duduknya dan menghampiri Siau-liong diamatinya pemuda itu dari ujung kaki sampai ke atas kepala Kemudian ia tertawa gelak-gelak: "Ho, kami tak tahu kalau saudara sudah mendapat menantu......”

Naga Terkutuk alihkan pandang matanya ke arah nona pemilik lembah lalu berseru dengan nada mengejek, “Nona Po, ilmumu merawat diri benar-benar luar biasa hebatnya. Meskipun engkau sudah berumur lebih dari empatpuluh tahun, tetapi kelihatannya...... seperti seorang gadis yang baru berumur duapuluhan tahun. Benar-benar sepadan menjadi pasangan dari engkoh kecil ini......”

Seketika berubahlah wajah Po Ceng-in, nona pemilik lembah itu.

"Siapakah yang memberitahukan umurku kepadamu?" teriaknya melengking.

Naga Terkutuk tertawa nyaring, “Kuingat dahulu ketika pertama kali datang ke lembah ini, engkau mengaku berumur duapuluh tahun. Sekarang setelah dua puluh tahun lagi aku kemari, masakan salah kalau kukatakan engkau berumur empatpuluh tahun itu?"

Merah padamlah selebar muka Po Ceng-in. Dipandangnya Naga Terkutuk itu dengan mata berapi-api dan tubuh menggigil. Seolah-olah hendak menelannya......

Dewi Neraka serentak berdiri seraya. menghujamkan tongkatnya kelantai. Wajahnya membesi. Tetapi ketika melangkah dua tindak, ia mendengus untuk menekan kemarahannya. Ditariknya tubuh Po Ceng-in ke sisinya dan dihiburnya, “Kemarilah anakku, jangan pedulikan iblis tua itu!"

Naga Terkutuk cepat mengangkat kedua tangannya menghaturkan maaf kepada kedua suami isteri seraya tertawa, “Maafkan, maafkan!"

Sekonyong-konyong wajahnya membengis dan berpaling membentak Siau-liong, “Budak, siapa namamu? Berapa umurmu sekarang?"

Demi menyelamatkan keadaan, sudah beberapa kali Siau-liong harus menekan kemarahan. Tetapi kali ini karena diperlakukan begitu oleh Naga Terkutuk, ia tak dapat menahan diri lagi.

"Meskipun umurku baru belasan tahun tetapi aku sudah dewasa. Siapa yang engkau sebut ‘budak’ itu!" ia balas membentak.

Naga Terkutuk seorang momok yang garang dan congkak. Entah beberapa sudah tokoh-tokoh persilatan yang jatuh ditangannya. Sudah tentu ia tak dapat menerima perlakuan yang diunjuk Siau-liong, seorang anak muda yang dianggapnya masih ingusan.

Dipandangnya Siau-liong dengan tertawa dingin, “Umurku sudah delapanpuluh delapan tahun. Jika mempunyai cucu, tentu juga lebih besar dari engkau. Pula dalam kedudukanku dikalangan persilatan, bukanlah suatu hinaan kalau kupanggilmu dengan sebutan budak!"

Habis berkata ia segera menampar bahu Siau-liong. Tampaknya tamparan itu amat pelahan dan sepintas pandang hanya sebagai suatu peringatan dari orang tua terhadap anak muda. Tetapi sesungguhnya tepukan itu merupakan gerak Naga-sakti-mencakar yang dahsyat.

Siau-liong tegak termangu-mangu......

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar